Suling Emas Jilid 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Suling Emas Jilid 15
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
AGAKNYA putera bagsawan itu cukup merasa puas mendengar ini. Bu Song memang seorang pemuda yang pandai membawa diri. Tanpa menjilat pun ia sanggup untuk menyesuaikan diri dan menyenangkan hati orang lain. Suma Boan lalu berteriak memanggil beberapa orang penjaga yang menjaga di gerbang pintu luar. Empat orang penjaga berlarian datang, siap menangkap atau memukul siapa saja atas perintah putera majikan mereka. Akan tetapi kali ini tidak ada pekerjaan pukul-memukul bagi mereka

"Kalian angkat singa-singaan ini dan kembalikan di tempatnya semula!" kata Suma Boan, kemudian sambil menepuk-nepuk telapak tangan menghilangkan debu ia melangkah lebar memasuki taman di samping istana dan lenyap ke dalam pintu berbentuk bulan.

Empat orang penjaga itu saling pandang. "Bagaimana bisa pindah ke sini?" seorang di antara mereka mengomel.

"Baru saja Suma-kongcu mempermainkannya dan melontarkan ke atas seperti sebuah singa kertas saja," Ciu Tang memberi keterangan sambil tertawa.

Empat orang itu menggoyang-goyang kepala dan seorang di antara mereka mengomel perlahan, "Ah, kenapa tidak dikembalikan sekalian ke tempat semula?" Biar pun mengomel, mereka lalu menghampiri singa-singaan batu itu dan berempat mereka mengerahkan tenaga. Singa barong dari batu hanya bergoyang-goyang saja, akan tetapi tidak dapat terangkat oleh mereka!

Ciu Tang meleletkan lidahnya saking kagum. "Empat orang tidak mampu mengangkat patung ini, tapi Suma-kongcu dapat memainkannya dengan sebelah tangan. Benar-benar seperti dewa!"

"Apa anehnya? Beliau memang Lui-kong-sian, tentu saja kami berempat tidak boleh dibandingkan dengan sebelah lengannya! Hayo kita mencari beberapa orang kawan lagi untuk membantu!" Empat orang itu lalu berlarian ke luar.

"Hebat...!" Ciu Tang lalu memasuki kembali ruangan tamu.

Akan tetapi Bu Song sejenak memandang singa-singaan batu. Baginya sukar untuk dipercaya bahwa sebuah benda yang tidak kuat diangkat empat orang, dapat dimainkan dengan sebuah tangan saja. Memang ia sudah terlalu sering menyaksikan kesaktian-kesaktian tinggi seperti gurunya dan juga orang-orang seperti Kong Lo Sengjin. Dibandingkan dengan kesaktian yang diperlihatkan gurunya, permainan Suma-kongcu itu hanyalah permainan kanak-kanak.

Akan tetapi ia tidak percaya kalau kongcu itu benar-benar sedemikian kuatnya. Dengan hati ingin tahu ia lalu menghampiri singa-singaan batu itu, mengulurkan tangan kanan menangkap leher singa-singaan batu lalu menggerakkan tangan sambil mengerahkan tenaga. Singa barong batu itu tergeser dan terlempar sejauh dua meter!

Bu Song tersenyum, lalu ia mengikuti Ciu Toan masuk ke dalam ruangan tamu. Ternyata empat orang penjaga tadi hanya main-main, mungkin untuk menyenangkan hati Suma-kongcu, pikirnya. Kalau para penjaga itu mau, jangankan empat orang, satu orang tentu sanggup mengembalikan singa-singaan itu di tempat asalnya.

Bu Song sama sekali tidak tahu bahwa di dalam dirinya terdapat tenaga yang luar biasa pula, tenaga yang terhimpun oleh latihan-latihan semedhi dan pernapasan. Akan tetapi ia tidak tahu akan hal ini dan tidak pandai mempergunakan tenaga sakti yang terhimpun ini. Hanya kadang-kadang secara kebetulan saja, seperti tadi tenaga sakti itu memperlihatkan diri tanpa ia sengaja.

Ketika ia tadi mengerahkan tenaga, secara kebetulan saja jalan darahnya terbuka sehingga tenaga sakti dapat menerobos dalam lengannya, maka mudah saja baginya untuk melemparkan singa-singaan itu. Andai kata tidak secara kebetulan tenaga sakti itu dapat menerobos ke dalam lengannya, tentu ia tidak akan mampu menggerakkan singa-singaan batu yang beratnya lebih dari limar ratus kati itu!

Pada saat itu, seorang pelayan mucul dan mereka dipanggil menghadap ke ruangan samping di mana Pangeran Suma Kong akan menerima mereka. Mereka mengikuti si pelayan dengan hati berdebar. Masih terdengar oleh Bu Song teriakan-teriakan kaget dari luar, "Eh, kenapa singa-singaan ini sudah pindah lagi lebih jauh? Tadi tidak di sini!"

Ia tersenyum, menganggap para penjaga yang kini datang delapan orang itu seperti badut-badut yang melawak untuk menyenangkan hati majikan, atau seperti anjing yang merunduk-runduk dan menggoyang-goyang ekor di depan majikan.

Bu Song bersikap hormat menghadapi seorang pembesar yang berpakaian serba indah dan bermuka keren. Di antara pelajaran-pelajaran dalam kitab, ada pula tercantum bahwa orang harus menghormat pembesar dan ini merupakan kewajiban seorang bijaksana. Pembesar mewakili pemerintah, maka harus dihormati selayaknya. Maka ia pun ikut berlutut ketika melihat Ciu Tang menjatuhkan diri berlutut ketika pembesar itu muncul diikuti oleh dua orang pengawal.

Agaknya Pangeran Suma Kong juga senang hatinya melihat Bu Song, maka ia lalu mengumumkan bahwa Bu Song diterima bekerja membantunya, sebagai seorang yang mengurus semua surat-surat, membuatkan surat-surat pengumuman, mencatatkan harta yang masuk dan keluar, juga membantu pangeran itu mengurus perpustakaan negara yang menjadi salah satu tugas Pangeran Suma Kong.

Bu Song demikian menarik hati pangeran itu sehingga ia malah diperintahkan tinggal di dalam istana, mendapatkan sebuah kamar di sebelah belakang, yaitu di bagian kamar-kamar pelayan dan pegawai. Bu Song menerima dengan ucapan terima kasih, kemudian ia diperbolehkan mengantar pulang Ciu Tang yang menjadi girang bukan main.

Demikianlah, mulai saat itu Bu Song menjadi pegawai Pangeran Suma Kong. Ia bekerja dengan giat dan rajin sehingga Pangeran Suma Kong merasa suka kepadanya. Setelah pemuda ini membantunya, segala pembukuan dan catatan beres, bahkan ia mulai mendapat pujian dari rekan-rekannya tentang kerapian surat-surat yang terkirim dari Pangeran Suma.

Selain rajin Bu Song juga pandai membawa diri, ke atas tidak menjilat, ke bawah tidak menekan. Semua pelayan suka belaka kepadanya, bahkan Suma-kongcu yang terkenal galak itu pun suka kepada Bu Song dan seringkali di waktu malam kalau Bu Song menganggur, Suma Boan suka mengajaknya mengobrol di taman, bermain catur atau membuat syair.

Dalam dua hal ini, Suma Boan boleh berguru kepada Bu Song, akan tetapi Bu Song selalu bersikap merendah, dalam bermain catur sengaja membuat permainan menjadi seru dan banyak ia mengalah. Hal ini ia lakukan bukan sekali-kali untuk menjilat, melainkan untuk mencegah putera majikan itu menjadi tak senang hati.

Agaknya masa depan Bu Song sudah dapat dipastikan baik dan sesuai dengan cita-cita gurunya kalau saja tidak terjadi beberapa hal yang tak terduga-duga. Setelah hampir dua tahun Bu Song bekerja di situ, dengan hati kecut ia mendapat kenyataan betapa pangeran itu seorang yang amat korup. Mengumpulkan harta kekayaan untuk diri sendiri dengan cara yang amat tercela.

Tidak hanya dengan cara menerima sogokan dalam ujian, namun ia masih menggelapkan uang yang seharusnya masuk ke istana raja. Belum lagi sogokan-sogokan dari para pembesar rendahan jika menghendaki sesuatu yang memerlukan kewibawaan dan kekuasaan Pangeran Suma. Ini semua masih ditambah pajak-pajak paksa yang dipungut dari petani-petani di luar kota raja, yaitu mereka yang mengerjakan sawah pangeran itu yang luasnya sukar diukur!

Malam itu terang bulan. Bulan purnama terapung di langit biru yang bersih dari awan. Indah sekali sinar menyinari jagad, dan lebih indah lagi di taman bunga di istana Pangeran Suma Kong. Suasana seperti ini amat romantis dan tentu akan mendatangkan rasa gembira dalam hati semua orang, terutama orang muda. Akan tetapi tidak demikian dengan Bu Song. Semenjak tadi ia duduk termenung di dalam taman bunga yang sunyi.

Di sudut taman itu, di bagian yang sunyi dan jauh terdapat sebuah pondok yang disebut Pondok Merah karena dicat merah. Sebuah pondok kecil di bawah lambaian daun-daun pohon berbunga. Di tempat inilah ia termenung dengan hati duka. Ia mulai merasa bosan dengan kehidupan di istana Pangeran Suma. Apalagi kalau ia ingat akan semua keadaan di situ, akan sifat dari majikan yang amat korup.

Tak dapat disangkal bahwa ia amat disayang oleh majikannya, disayang sebagai seorang pegawai yang cakap, disuka oleh para pelayan sebagai seorang teman kerja yang rendah hati dan peramah. Akan tetapi keadaan itu sungguh berlawanan dengan hatinya. Biar pun bukan dia yang makan semua uang tidak halal itu, akan tetapi ia merasa seakan-akan membantu orang berbuat jahat. Andai kata Pangeran Suma seorang perampok atau maling, maka dialah menjadi anak buah atau kaki tangannya! Alangkah rendahnya! Dan semua itu ia lakukan hanya untuk makan enak dan pakaian bagus! Atau untuk hari depan yang gemilang?

Dalam duka Bu Song teringat kepada Eng Eng. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang matanya yang terasa panas. Kalau Eng Eng tidak mati, tentu ia pulang kepada Eng Eng. Lebih baik hidup sebagai petani di gunung di samping Eng Eng tersayang. Dan kenangannya berlarut-larut sehingga ia lupa keadaan. Diambilnya sebuah suling yang belum lama ini dibuatnya, suling bambu yang jarang ia tiup. Karena malam itu sudah larut dan suasana di istana pangeran sudah amat sunyi, ia mulai meniup sulingnya.

Getaran suara suling keluar dari getaran hatinya. Teringat ia akan Eng Eng, maka otomatis ia lalu meniup suling itu mainkan lagu kesukaan Eng Eng. Lagu yang iramanya merayu-rayu kalbu. Lagu tentang keluh-kesah dan tangis setangkai kembang yang kekeringan, mengeluh dan meratap menanti datangnya hujan yang tak kunjung tiba, menanti tetesnya air embun yang akan memberi air kehidupan padanya. Berkali-kali lagu ini ia mainkan dan suasana malam indah itu berubah mengharukan.

Suara jengkerik di bawah rumput dan katak di empang seketika berhenti, seakan-akan mereka ini pun terpesona oleh suara suling yang merayu-rayu. Bulan purnama seakan-akan bergoyang-goyang di angkasa, seakan-akan ikut merana dan rindu kekasih, mencari dan mulai bergerak mengejar kekasihnya yang tak kunjug tiba, kadang-kadang menangis menyembunyikan muka di balik segumpal awan hitam.

Sambil bersuling itu Bu Song menatap bulan yang bergerak di antara awan, dan menjelang berakhirnya lagu, ia mendengar suara berkeresek di depan, maka ia mengalihkan pandang ke depan. Suara sulingnya perlahan-lahan melambat dan akhirnya terhenti, matanya bengong memandang ke depan, serasa mimpi. Mimpikah dia? Ataukah benar-benar Eng Eng yang datang itu, turun melalui sinar bulan purnama, berpakaian seperti seorang dewi kahyangan?

Wanita yang kini melangkah demikian ringan, demikian lembut seakan-akan tidak menginjak tanah, seakan-akan melayang dibawa sinar bulan mendekatinya, memiliki wajah lembut seperti Eng Eng. Matanya yang lebar bersinar lembut, hidungnya yang kecil mancung di atas mulut yang kecil mungil, muka yang manis dengan dagu meruncing. Itulah wajah Eng Eng! Akan tetapi pakaian itu? Begitu indah, begitu mewah. Hanya seorang dewi kahyangan saja berpakaian seperti itu, atau seorang puteri istana. Lihat rambutnya! Alangkah indahnya sanggul rambut itu, dihias dengan hiasan rambut emas permata yang berkilauan terkena sinar bulan. Puteri istana!

Berdebar jantung Bu Song dan teringat akan ini cepat-cepat ia bangkit berdiri. Tak salah lagi. Tentu dia itu puteri majikannya. Sudah hampir dua tahun dia bekerja di situ, dan sudah terlalu sering ia mendengar dari para pelayan bahwa Pangeran Suma Kong mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah Suma Boan yang selama ini bersikap cukup baik kepadanya, bahkan seperti menjadi sahabatnya sungguh pun di dalam hati ia tidak suka kepada pemuda bangsawan itu karena ia cukup mendengar tentang sepak-terjangnya yang memuakkan, yaitu mengganggu anak bini orang!

Ada pun anak ke dua Pangeran Suma adalah seorang gadis yang menurut para pelayan cantik seperti bidadari, terpelajar dan halus budi pekertinya, dihormati dan dikasihi semua pelayan. Seorang gadis yang sopan santun dan karenanya tak pernah melanggar peraturan dan belum pernah pula selama itu berjumpa dengan dia. Seorang gadis yang katanya bernama Suma Ceng. Agaknya tidak salah lagi. Inilah gadis itu! Raut wajahnya memang mirip Eng Eng, akan tetapi Eng Eng sudah mati, tak mungkin hidup kembali.

Dengan langkah lemah gemulai, sikap tenang sekali dan mata selalu tertuju kepada Bu Song, gadis itu kini menaiki tangga pondok dan menghampiri Bu Song yang sudah duduk kembali dengan tubuh lemas dan dada berdebar. "Kau... yang bernama Liu Bu Song, pegawai ayah yang baru...?"

Suara itu! Merdu dan bening seperti suara Eng Eng pula! Bu Song menjadi panik dan ia memaksa kedua kakinya yang lemas untuk berdiri lagi, menghadapi gadis itu lalu menjura dengan hormat. Akan tetapi mulutnya tak mampu mengeluarkan kata-kata, hanya matanya yang menatap tajam. Dua pasang mata bertemu pandang, saling mengikat dan saling menjenguk isi hati masing-masing.

Lama sekali mereka hanya berdiri berhadapan dan bengong saling pandang, disaksikan dan ditertawai oleh bulan purnama yang geli melihat kecanggungan kedua orang muda itu. Sinar bulan purnama memang penuh racun asmara dan begitu pandang mata kedua orang muda ini bersilang, bertautlah kedua hati mereka yang membuat keduanya berdebar jantungnya, gemetar tubuhnya dan menggigil kakinya.

"Maaf... maafkan saya, Siocia (Nona)... memang betul saya Liu Bu Song seorang pegawai rendah biasa saja...."

Bagaikan baru sadar dari mimpi gadis itu tersenyum. Gigi putih tersinar bulan berkilat menyambar jantung Bu Song membuat pemuda ini sedetik memejamkan matanya, tak kuat menyaksikan segala keindahan ini. Gadis itu memang benar Suma Ceng. Seperti juga Bu Song, sudah lama ia mendengar tentang diri Bu Song yang selalu dipuji-puji oleh para pelayan. Dipuji ketampanannya, dipuji keramahan dan kelembutannya, dipuji kepandaiannya. Dan tadi, mendengar tiupan suling, membuat ia seperti mimpi, lalu turun dan keluar dari kamarnya, memasuki taman dan memaksa kedua kakinya melangkah ke arah suara suling. Hikmat sang bulan dan sang malam indah membuat ia seperti mabok.

"Benar sekali cerita mereka...."

"Apa maksud Siocia...?"

Akan tetapi Suma Ceng menoleh ke arah bulan sehingga mukanya tersinar penuh, dan gadis ini berbisik seperti kepada bulan, "Benar sekali... sopan, halus, rendah hati..."

"Maaf, Siocia. Bolehkah saya mengetahui...."

"Aku adalah Suma Ceng atau... Ayah, Ibu dan Kakakku menyebutku Ceng Ceng begitu saja. Liu Bu Song Twako, hebat benar kepandaianmu menyuling. Seperti lagu dari sorga...."

Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang berdiri di depannya adalah puteri majikannya, Bu Song sudah menjura dengan dalam dan berkata, "Kiranya Suma-siocia. Maafkan kalau saya berlaku kurang hormat dan berani mengganggu Siocia dengan suara sulingku yang buruk...."

"Ah, jangan terlalu merendah. Selama hidupku belum pernah aku mendengar suara suling seperti tadi. Twako, maukah kau memainkan lagu tadi lagi untukku...?"

"Siocia..., mana saya berani...? Siocia, tidak pantas bagi saya berada di sini... saya... saya..."

"Tidak mengapa. Siapa yang akan menyalahkanmu? Aku yang datang karena tertarik oleh suara sulingmu. Liu-twako, lagu apakah yang kau mainkan tadi?"

"Lagu.... Setangkai Kembang Kekeringan..."

"Ahhhh...! Pantas begitu mengharukan. Twako, mengapa kau berduka dan menyanyikan lagu seperti itu? Tadi aku sampai meruntuhkan air mata mendengarnya..."

"Siocia...."

Mereka kembali berpandangan, keduanya tak dapat mengeluarkan kata-kata dan kembali dalam pandang mata itu mereka seakan-akan sudah mengenal masing-masing. Seakan-akan dalam pandang mata itu mereka sudah mengikrarkan janji, saling bertukar hati, bertukar kasih. Suma Ceng menundukkan muka lebih dulu. Mukanya menjadi merah sekali, giginya yang kecil-kecil menggigit bibir bawah, ujung matanya yang tajam meruncing itu melempar kerling ke arah Bu Song, lalu naik sedu-sedan setengah tawa dari kerongkongannya dan gadis itu membalikkan tubuh, terus berlari kecil meninggalkan pondok, berlari-lari cepat sekali kini dan sebentar saja lenyap di balik pintu bulan.

Bu Song bengong. Peristiwa tadi seperti mimpi. Ia menjambak-jambak rambutnya dan diam-diam menyumpahi hatinya. Mengapa hatinya begitu tertarik? Mengapa hatinya begitu penuh cinta birahi? Gadis itu adalah puteri majikannya! Dan dia hanyalah seorang juru tulis, seorang pegawai biasa! Dan gadis itu selain cantik jelita, puteri bangsawan yang kaya raya, pandai, dan juga melihat caranya berlari cepat itu tentulah seorang gadis yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi! Seperti seekor kumbang merindukan bulan!

Dengan langkah lemas Bu Song lalu menyeret kedua kakinya, kembali ke kamarnya yang berada jauh dari pondok kecil taman bunga itu. Semalam suntuk ia tidak dapat tidur, gelisah dan resah, rindu dan risau sehingga pada keesokan harinya ia bekerja dengan muka pucat dan baru pada hari itu ia merasa betapa pekerjaannya berat dan tidak lancar.

Semenjak terjadi pertemuan di malam itu, dua orang muda itu merasa tersiksa hidupnya. Bu Song mengerahkan kekuatan batinnya dan menonjolkan akal sehatnya, memaksa hati mengakui bahwa tak mungkin dia mencinta seorang gadis seperti Suma Ceng. Persamaan wajah gadis itu dengan Eng Eng sama sekali bukanlah alasan untuk ia membuta. Kenyataan memisahkan mereka jauh, sejauh bumi dan langit.

Suma Ceng adalah puteri seorang pembesar tinggi yang tinggal dalam istana, berkedudukan tinggi dan seorang bangsawan terhormat, masih keluarga raja! Dan dia? Dahulu memang ayahnya jenderal. Akan tetapi sekarang? Dia hanya seorang yang hidup sebatang kara, seorang pelajar yang tidak lulus, seorang yang menerima budi Pangeran Suma Kong seperti seorang pengemis kelaparan menerima sumbangan seorang kaya.

Seorang pegawai rendahan, seorang pegawai biasa. Tidak mungkin terjadi! Andai kata gadis bangsawan itu tertarik oleh suara sulingnya, tak mungkin sudi merendahkan diri bergaul dengan seorang pegawai rendah seperti dia. Belum lagi kalau ketahuan Sang Pangeran, tentu dia akan dihukum berat.

Juga Suma Ceng semalam itu dan malam-malam berikutnya tak dapat tidur nyenyak. Wajah pemuda bersuling itu terbayang terus. Suaranya yang halus dan sopan itu mengiang terus di telinganya. Sepasang mata lebar tajam yang terhias alis berbentuk golok itu seakan-akan terus membayanginya. Namun gadis ini pun mengerti bahwa tak mungkin ia dapat membiarkan dirinya bergaul dengan seorang pegawai ayahnya!

Tak mungkin berjodoh dengan seorang pekerja biasa. Ayahnya tentu akan marah sekali, juga kakaknya. Kadang-kadang Suma Ceng menangis kalau teringat akan hal ini, kalau teringat betapa kelak ia tentu akan dijodohkan dengan seorang laki-laki bangsawan yang belum tentu dicintanya, bahkan yang mungkin dibencinya.

Namun cinta adalah perasaan yang aneh, yang amat besar pengaruh dan kekuasaannya. Cinta kasih mengalahkan segala macam perasaan lain, bahkan mengalahkan akal budi dan kesadaran, membuat orang seakan menjadi buta dan nekat, siap untuk menyerbu lautan api. Cinta merupakan api yang menyala indah, menari-nari dan meliuk-liuk menimbulkan warna yang cerah dan indah, membelai-belai dan melambai-lambaikan tangan kepada orang-orang yang sudah terkena hikmatnya sehingga mereka itu melangkahkan kaki makin mendekati tanpa menyadari bahwa bahaya mengancam mereka. Baru akan terbuka mata mereka, baru akan sadar pesona mereka, setelah terlambat dan hanya penyesalan yang tinggal, penyesalan dan luka setelah hangus terbakar.

Akan tetapi, seperti juga api, cinta dapat mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan hidup, mendatangkan kehangatan dan mendorong semangat, menimbulkan keindahan dan kenikmatan hidup. Asal orang pandai menggunakannya. Asal orang dapat menguasainya. Cinta itu indah. Cinta itu nikmat. Cinta itu anugerah. Bagi mereka yang dapat menguasainya. Akan tetapi cinta itu pangkal mala-petaka. Cinta itu pangkal sengsara dan pangkal derita. Bagi mereka yang mabok dan lemah, yang menjadi permainan cinta. Cinta antara pria dan wanita memang memiliki dua sifat yang bertentangan seperti juga segala benda di dunia ini.

Namun manusia tetap lebih kuat, asal pandai membawa diri, pandai dan kuat menguasai nafsu liar ganas seperti kuda hutan. Bahagialah orang muda yang pandai menguasainya, sebaliknya kasihanlah mereka yang menjadi permainannya. Asal ingat saja bahwa CINTA KASIH dan NAFSU BIRAHI adalah dua sifat yang jauh berbeda akan tetapi bermuka kembar! Bermuka sama sehingga sukar bagi orang muda untuk memperbedakannya. Karena keliru mengenal inilah yang suka membawa mala-petaka. Nafsu birahi disangka cinta, maka terseretlah ia ke jurang kehancuran
.

Demikianlah pula dengan Bu Song dan Suma Ceng. Keduanya mabok oleh gelora cinta sehingga semua pengertian tentang perbedaan tempat mereka, pengertian tentang tidak adanya kemungkinan bagi mereka untuk berjodoh, hancur lebur dan terlupa sama sekali. Hanya tujuh hari mereka dapat bertahan. Malam ke delapan, lewat tengah malam, Bu Song tak dapat menahan dirinya dan ia sudah berada di dalam pondok kecil di ujung taman, meniup sulingnya.

Seakan-akan suara suling itu dapat menembusi kamarnya yang amat rapat, Suma Ceng yang juga tidak dapat menahan dirinya lagi sudah menyelinap ke luar dan berlari-lari memasuki taman, terus menuju ke ujung taman, ke pondok dari mana kini terdengar jelas alunan suara suling. Terengah-engah Suma Ceng tiba di depan pondok, bukan karena lari tadi, melainkan karena debar jantung yang menggelora. Suara suling terhenti karena Bu Song sudah mendengar kedatangannya. Pemuda itu berlari ke luar, mereka berhadapan dan seperti tak kuat menghadapi daya tarik besi sembrani yang memancar dari keduanya, mereka saling tubruk dan saling rangkul!

"Aku tahu kau akan datang..."

"Aku pun tahu kau menanti di sini..."

Hanya itu ucapan mereka sebagai pengganti pernyatan bahwa masing-masing tahu hati masing-masing, tahu bahwa mereka saling mencinta. Sambil bergandeng tangan mereka memasuki pondok merah, duduk di atas bangku di mana tadi Bu Song termenung dan menyuling.

Bu Song merasa seakan-akan Eng Eng hidup kembali. Ia takut akan kehilangan lagi, seperti seorang kanak-kanak yang pernah kehilangan benda mainan tersayang, kini didekapnya erat-erat takut kalau yang telah ketemu akan hilang lagi. Suma Ceng sebaliknya juga masih sadar bahwa sekali waktu ia akan kehilangan pemuda yang telah merampas hatinya ini, pemuda yang sudah merenggut kasih sayangnya. Kesadaran inilah yang membuat gadis itu nekat, menyerahkan diri dengan tulus ikhlas kepada pemuda yang takkan mungkin menjadi miliknya ini.

Keduanya mabok asmara hingga lupa diri, dan tanpa mereka sadari mereka menyerahkan diri kepada nafsu birahi. Nafsu birahi seperti pusingan air yang amat kuat. Sekali orang terseret, akan dibawa berpusing dan tenggelam, makin lama makin dalam dan takkan timbul kembali, sebelum.... mati!

Hanya bulan dan kadang-kadang malam gelap sunyi yang mengetahui. Hanya pondok merah di ujung taman menjadi saksi bisu akan pertemuan-pertemuan dua orang muda yang mabok nafsu dibuai gelora cinta kasih. Nafsu adalah saudara loba, makin dituruti makin menjadi, diberi sedikit ingin banyak, dituruti sehasta ingin sedepa. Pertemuan dan hubungan dilanjutkan. Mesra.....

Akhirnya tiba saatnya yang membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidaklah kekal adanya. Bahwa kesenangan di dunia ini tiada lain hanyalah keindahan-keindahan yang dibentuk sekelompok awan di angkasa raya. Sewaktu-waktu akan buyar kehilangan bentuk oleh tiupan angin. Bahkan banyak kalanya buyar dan berubah menjadi awan menghitam yang buruk menakutkan!

Malam itulah terjadinya. Malam yang takkan terlupa oleh Bu Song mau pun oleh Suma Ceng. Malam yang gelap tiada bulan tiada bintang, atau lebih tepat, malam yang terselimut awan. Malam yang dingin. Namun di dalam pondok merah itu yang ada hanyalah terang di dalam dua hati yang berpadu kasih, yang ada hanyalah panas di dalam dua tubuh yang dicekam nafsu birahi!

Sesosok bayangan berkelebat di depan pondok. Gerakannya cepat dan gesit sekali. Bayangan itu mendekam di ujung pondok, menanti. Seperti biasa, Bu Song menggandeng tangan kekasihnya dan berdua mereka bergandengan tangan menuju ke pintu bulan. Sampai di situlah Bu Song mengantar kekasihnya, kemudian sejenak saling rangkul, saling cium sebagai salam perpisahan malam itu.

Tiba-tiba bayangan yang sejak tadi mengikuti mereka, meloncat dan memukul muka Bu Song. Bu Song terhuyung dan roboh, Suma Ceng menjerit tertahan. Suma Boan sudah berdiri di depan mereka dengan mata melotot!

"Lekas kembali ke kamarmu!" bentak Suma Boan kepada adiknya yang berlari sambil terisak menangis.

Bu Song merangkak bangun, akan tetapi ia roboh kembali ketika kaki Suma Boan menendang dadanya. Kemudian putera pangeran itu mencengkeram rambutnya dan menyeretnya ke belakang istana, seperti seorang jagal menyeret seekor domba yang dibawa ke penjagalan.

"Bedebah! Anjing tak kenal budi!" Suma Boan memaki bekas sahabatnya.

Bu Song diam saja. Pikirannya mengakui kesalahannya, akan tetapi hatinya memberontak. Hatinya tidak mau mengakui salah. Ia dan Ceng Ceng saling mencinta. Apa salahnya?

Di belakang istana, Suma Boan memanggil seorang pengawal. Ia mendorong tubuh Bu Song sampai terkapar di atas tanah. "Ikat dia pada pohon itu!" perintahnya.

Pelayan itu menyeringai. Ia mengenal Bu Song dan ia tidak tahu mengapa majikannya marah-marah kepada pegawai muda ini. Akan tetapi Bu Song bukanlah sahabat para pengawal. Pengawal-pengawal adalah orang-orang yang mengutamakan kekerasan dan kekuatan. Seorang pemuda lemah tukang pegang pena dan kertas tentu saja bukan golongan mereka dan mereka menganggapnya rendah.

Dengan kasar ia menarik lengan Bu Song, menelikungnya ke belakang lalu medorong pemuda itu ke arah pohon. Kemudian ia mengikat kedua tangan Bu Song ke belakang pohon itu dengan sehelai tambang yang besar dan kuat. Hampir patah rasanya tulang lengan Bu Song. Ia merasa betapa sambungan tulang pundaknya sakit-sakit dan hampir terlepas. Namun sedikit pun tidak pernah terdengar keluhan dari mulutnya. Dia seorang pemuda yang tahan derita, daya tahannya luar biasa berkat gemblengan dari suhu-nya yang tak diketahui olehnya sendiri.

"Hayo, sekarang kau mau bicara apa? Keparat kurang ajar!" Suma Boan melangkah maju dan....

"Plak-plak-plak!" kedua pipi Bu Song ditampar sekerasnya sampai kepala Bu Song bergoyang-goyang ke kanan kiri.

"Suma-kongcu, bicara apa lagi? Aku dan dia saling mencinta. Kalau itu kau anggap bersalah, bunuhlah, aku tidak takut mati."

"Setan...!" Suma Boan marah sekali, tangan kanannya memukul dada dan tangan kiri menghantam ke arah perut.

Bu Song maklum akan hebatnya pukulan yang melayang datang. Ia tidak takut mati, akan tetapi ngeri juga membayangkan rasa nyeri dipukul, maka otomatis hawa sakti di tubuhnya berkumpul ke arah dada dan perut.

"Dukk! Duukk!" dua pukulan hebat itu tentu akan menghabiskan nyawa orang. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya hati Suma Boan ketika pukulannya bertemu dengan kulit yang keras sehingga pukulan-pukulan itu membalik. Namun Bu Song menjadi sesak napasnya dan terengah-engah.

"Jaga dia di sini sampai pagi. Kalau banyak cakap boleh pukul mukanya, tapi jangan dibunuh!" akhirnya Suma Boan meludahi muka Bu Song dan pergi dari tempat itu. Pengawal itu tertawa ha-ha-hi-hi lalu duduk bersandar batu karang hiasan di belakang istana.

Kiranya Suma Boan melaporkan kepada ayahnya tentang peristiwa semalam. Tentu saja Pangeran Suma Kong menjadi kaget bukan main dan marah sekali. "Keparat, anak setan tidak mengenal budi orang! Bunuh saja dia! Siksa biar tahu rasa!" Kemudian pangeran ini melangkah lebar menuju ke kamar anaknya, Suma Ceng.

Waktu itu matahari telah bersinar terang. Suma Boan menuju ke belakang istana dan makin gemas hatinya melihat Bu Song terikat di pohon itu. Alangkah tenang wajah pemuda itu, pikirnya. Sedikit pun tidak memperlihatkan ketakutan. Si Pengawal cepat bangkit berdiri ketika melihat majikannya muncul.

"A Piauw, urusan dengan bedebah ini adalah urusan antara dia dan aku. Hanya engkau yang menjadi saksi. Tak perlu kau bicarakan dengan orang lain. Kalau ada yang tanya, bilang saja bahwa kau tidak tahu. Mengerti?"

"Baik, Kongcu."

Bu Song mengangkat mukanya memandang Suma Boan, lalu berkata, "Suma-kongcu, kau benar, urusan ini adalah urusan antara engkau dan aku. Seperti kukatakan malam tadi, kalau kau menganggap aku telah melakukan sesuatu yang salah dan kau akan menghukumku, lakukanlah. Aku bersedia kau bunuh, akan tetapi jangan kau salahkan dia."

"Tutup mulut!" bentak Suma Boan yang mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku bajunya. "A Piauw, kau ambil secawan arak!"

Pengawal itu tadinya bingung. Untuk menghukum seorang lawan, mengapa harus mengambil secawan arak? Akan tetapi ia tidak berani membantah, segera berlari cepat meninggalkan tempat itu dan kembali lagi membawa sebuah cawan yang terisi arak setengah lebih. Suma Boan membuka bungkusannya, menuangkan sedikit bubuk hitam ke dalam cawan. Arak yang tadinya berwarna merah itu lalu berubah menjadi hitam dan mengeluarkan uap! Tahulah si Pengawal bahwa arak itu diberi racun. Ia menyeringai heran. Untuk membunuh lawan, mengapa tidak sekali pukul atau bacok saja dengan senjata? Mengapa harus menggunakan arak beracun?

"Bu Song, alangkah inginku menggunakan tanganku sendiri untuk memukulimu sampai pecah kepala dan dadamu, atau menggunakan sebatang golok mencincang hancur tubuhmu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau pernah melayani aku, pernah menjadi seorang yang kuanggap orangku dan sahabatku, biarlah kau menebus dosamu dengan minum racun. Akan tetapi jangan kira bahwa kau akan cepat terbebas dari racun ini. Tidak! Racun ini akan menggerogoti ususmu sedikit demi sedikit, dan kau akan mati dalam keadaan menderita, biar kau mendapat kesempatan untuk menyesali dosa-dosamu! A Piauw, minumkan arak itu padanya!"

A Piauw yang ingin menyenangkan hati majikannya, mengejek, "Heh-heh, orang muda. Silakan minum anggur pengantin...."

"A Piauw tutup mulutmu! Apa kau minta kupecahkan kepalamu?!"

A Piauw kaget sekali, tidak mengerti mengapa majikannya begitu marah.

Ada pun Bu Song tersenyum pahit mendengar ejekan itu, ejekan yang amat tepat. Ia tidak minum anggur pengantin bersama Suma Ceng, melainkan minum arak beracun untuk menemui maut! Ia menengadah dan membuka mulutnya. Akan tetapi A Piauw yang mendongkol oleh bentakan majikannya, menjambak rambut Bu Song dengan tangan kiri, menarik kepala itu ke belakang, lalu dengan tangan kanan ia menuangkan arak beracun itu ke dalam mulut Bu Song.

Bu Song merasa kerongkongannya seperti dibakar dan kepalanya pening karena bau arak itu menyengat hidung. Akan tetapi tanpa takut ia menelan arak itu ke dalam perutnya. Kemudian dengan menundukkan mukanya ia menanti datangnya rasa nyeri yang akan mengerogoti ususnya seperti yang dikatakan Suma Boan tadi. Aneh, sama sekali tidak ada rasa nyeri itu sungguh pun di dalam perutnya mulai bergerak-gerak seperti banyak hawa di situ dan terdengar suara tiada hentinya seperti air mendidih.

Suma Boan yang merasa amat benci mengingat perbuatan Bu Song dengan adiknya, menanti pemuda itu menderita nyeri yang luar biasa. Akan tetapi ia heran. Bu Song sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak menahan nyeri yang hebat, bahkan kelihatan tenang-tenang saja. Pangkal lengannya yang di telikung ke belakang dan semalam terasa nyeri seakan-akan terlepas sambungannya, kini malah sudah membaal dan tidak terasa apa-apa lagi.

Suma Boan menanti sampai lama, sampai matahari naik tinggi. Bu Song kelihatan lemah oleh lelah, lapar dan haus. Namun sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa racun itu bekerja dan mengamuk di dalam perut Bu Song. Suma Boan merasa penasaran dan menyuruh pembantunya menelanjangi tubuh atas Bu Song agar pemuda itu tersiksa oleh terik panas matahari. Memang niatnya ini berhasil dan Bu Song menggeliat-geliat disengat sinar matahari. Namun pemuda itu tetap saja membungkam, tak pernah mengeluh, tak pernah minta ampun dan tidak pernah minta minum.

Menurut perhitungan Suma Boan, orang yang minum racun tadi tentu umurnya takkan lewat setengah hari. Namun sampai matahari condong ke barat, Bu Song masih segar bugar biar pun amat menderita. Hal ini membuat Suma Boan menjadi penasaran dan marah sekali. Ia mengeluarkan sebatang cambuk dan mulailah ia mencambuki tubuh atas yang tak berbaju itu. Dada, leher, dan muka Bu Song sampai penuh jalur-jalur merah dan biru dan darah mulai bercucuran ke luar. Namun tetap saja Suma Boan sendiri yang kehabisan tenaga saking lelahnya. Ia telah mencambuki sampai seratus kali dan kini Bu Song tampak menggantung pada pohon itu, agaknya pingsan.

"Kau jaga dia malam ini. Hendak kulihat apakah besok pagi dia masih dapat bertahan hidup. Kalau malam nanti dia mampus, tetap jaga dia. Besok pagi bawa pergi mayatnya," kata Suma Boan kepada pembantunya.

Setelah melepaskan pandang untuk terakhir kalinya dengan senyum mengejek, Suma Boan lalu memasuki istana ayahnya. Kebetulan sekali seorang pengawal mencarinya karena ayahnya memanggil. Setelah ayah dan anak ini bertemu, mereka berunding.

"Aku sudah matangkan perjodohan adikmu dengan Perwira Muda Kiang. Sekarang baiknya perjodohan itu dipercepat. Besok kau pergilah kepada keluarga Kiang dan menyampaikan surat desakanku agar pernikahan dapat dilangsungkan dalam bulan ini atau selambatnya bulan depan. Aahhh, sungguh menggelisahkan hati benar anak perempuan itu! Kalau tidak ingat bahwa hanya dia seorang anakku perempuan, lebih baik melihat dia mati di depanku!"

"Ayah, sudah ada jalan terbaik mengapa berpikir demikian? Moi-moi masih terlalu muda dan harus diakui bahwa Bu Song memang tampan dan sikapnya menarik hati. Yang berdosa besar adalah Bu Song. Tentu dia yang memikat Moi-moi sehingga terjerumus...."

"Bagaimana dia? Bagaimana keparat jahanam itu? Sudah kau bikin mampus?"

Suma Boan mengangguk. "Malam nanti tentu dia mati. Aku membiarkan dia mati dalam keadaan menderita untuk menebus dosanya!"

Malam itu gelap gulita. Apa lagi di bagian belakang istana, karena malam itu semua pelayan atau pengawal dilarang memasuki kebun itu. Keluarga Suma tentu saja ingin menyimpan peristiwa itu, tidak ingin membiarkan orang luar tahu akan hubungan yang terjadi antara puteri Suma dengan seorang pegawai rendahan!

A Piauw si pengawal itu makan dan minum arak di bawah pohon, makanan dan arak yang dikirim oleh seorang pengawal lain atas perintah Suma Boan. Sambil minum arak A Piauw memandang ke arah tubuh yang masih lemas tergantung pada batang pohon. Diam-diam ia merasa amat kagum pada pemuda lemah itu. Seorang pemuda sastrawan yang tentu saja bertubuh lemah, akan tetapi sedikit pun tidak mengeluarkan rintihan atau keluhan, padahal ia telah diberi minum racun yang merusak usus dan dicambuki sampai seratus kali oleh Suma-kongcu yang terkenal mempunyai tangan yang kuat sekali! A Piauw menggeleng-geleng kepala. Kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri, tentu ia tidak akan sudi percaya. Mana ada seorang pemuda lemah dapat menahan segala derita tanpa mengeluh satu kali pun?

Angin malam bertiup dan daun-daun pohon bergoyang. A Piauw menarik leher bajunya ke atas. Entah mengapa, ia merasa bergidik. Sudah matikah pemuda itu? Berpikir demikian, ia bangkit berdiri dan menghampiri tubuh Bu Song. Muka itu masih tunduk, akan tetapi ketika ia mendekat, Bu Song mengangkat muka. Sepasang matanya masih bersinar tajam. A Piauw mundur lagi dan makin merasa seram. Pemuda ini bukan orang sembarangan, pikirnya. Bagaimana kalau sampai besok pagi belum mati? Ah, terserah Kongcu saja pikirnya. Tugasnya hanya menjaga dan apa sukarnya menjaga seorang yang sudah setengah mati dan terikat pada pohon?

Kembali angin membuat daun-daun pohon bergoyang. Akan tetapi pohon di mana Bu Song terikat, terlampau keras goyangnya. Keadaan amat gelap dan lampu gantung yang berada di atas kepala A Piauw tergantung pada batu karang. A Piauw menjadi curiga dan mendekati Bu Song. Akan tetapi matanya terbelalak ketika melihat Bu Song sudah terlepas dari ikatan, dan seorang kakek merangkul pundaknya.

"Heee...! Apa... siapa...."

Hanya sekian saja A Piauw mampu mengeluarkan kata-kata karena tubuhnya seolah-olah menjadi lumpuh seketika dan ia roboh seperti kain basah jatuh dari sampiran. Ia tak mampu bergerak mau pun mengeluarkan suara, hanya matanya melotot menyaksikan betapa kakek itu berkelebat pergi sambil mengempit tubuh Bu Song.

Penolong Bu Song itu bukan lain adalah Kim-mo Taisu. Kakek ini bermaksud mencari dan mengunjungi muridnya. Siang tadi ia mendengar dari Ciu Tiang akan nasib baik Bu Song yang di terima menjadi pegawai Pangeran Suma Kong. Diam-diam Kim-mo Taisu menjadi tidak senang hatinya. Ia sudah mendengar siapa adanya Pangeran Suma Kong, seorang bangsawan tinggi tukang korup. Ia khawatir kalau-kalau Bu Song akan menjadi rusak setelah menjadi kaki tangan pembesar koruptor itu. Maka sengaja malam itu ia pergi menyelidiki dan memasuki kompleks istana Pangeran Suma Kong melalui tembok belakang. Dan kebetulan sekali ia melihat betapa muridnya terikat pada pohon dengan tubuh bekas siksaan, maka ia cepat menolongnya dan membawanya pergi ke luar dari tembok kebun istana.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Ciu Tang ketika Kim-mo Taisu datang lagi membawa tubuh Bu Song yang lemah dan masih pingsan. Cepat ia membantu, dan setelah tubuh pemuda itu dibaringkan, Kim-mo Taisu segera memeriksanya. Lega hati kakek ini ketika mendapat kenyataan bahwa muridnya tidak menderita luka hebat, hanya luka di kulit saja. Akan tetapi melihat keadaannya, hatinya menjadi panas. Siksaan itu keterlaluan sekali dan kalau saja muridnya tidak memiliki hawa sakti dalam tubuh dan memiliki daya tahan yang luar biasa, tentu Bu Song sudah mati. Kakek ini sama sekali tidak tahu bahwa Bu Song malah telah diberi minum racun hebat yang untung sekali tidak membunuhnya karena tubuh Bu Song sudah kebal setelah pemuda ini menghabiskan obat sarang burung rajawali hitam.

Setelah diberi minum obat penguat, dalam waktu satu jam saja Bu Song sudah siuman. Ia membuka matanya dan memang tadi ketika tertolong, ia dalam keadaan sadar. Cepat ia turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kim-mo Taisu yang menjaganya di situ. Kakek ini memberi isyarat kepada Ciu Tang untuk keluar dari kamar, kemudian ia menutup daun pintu dan menyuruh muridnya duduk kembali di pembaringan.

"Ceritakan apa yang terjadi padamu," kata guru ini dengan pandang mata tajam.

Bu Song menjadi rikuh sekali, merasa malu dan tidak enak hati. Gurunya ini juga bekas calon mertuanya. Bagaimana hatinya akan merasa enak kalau bercerita bahwa dia mengadakan hubungan dengan puteri Pangeran Suma, ketahuan dan dihajar seperti itu? Bukankah gurunya akan menganggapnya seorang laki-laki hina dan rendah, bahkan mungkin dianggapnya dia seorang pemuda hidung belang atau mata keranjang? Akan tetapi, untuk berbohong terhadap suhunya ia tidak mau, maka sambil menundukkan mukanya ia berkata.

"Suhu, murid selayaknya menerima kematian. Agaknya Suhu telah membuang tenaga sia-sia dengan menolong murid yang murtad dan berdosa. Teecu (murid) akan menceritakan segalanya secara terus terang dan andai kata Suhu menjadi marah dan lalu menghukum atau membunuh teecu, teecu akan menerima dengan hati rela." Kemudian ia menceritakan semua pengalamannya, semenjak ia turun gunung pergi ke kota raja, tentang pertemuannya dengan Kakek Kong Lo Sengjin, tentang ujian dan kemudian tentang peristiwa antara dia dan Suma Ceng.

"Suhu, teecu telah berdosa. Teecu telah kehilangan kekuatan batin, tidak kuasa menghindarkan diri dari perbudakan nafsu seperti yang diajarkan Suhu. Teecu tidak berdaya, bertemu dengan Suma Ceng membuat teecu ingat kepada Eng Eng dan segala sesuatu tidak dapat teecu hindarkan lagi. Teecu menerima salah dan terserah kepada hukuman Suhu." Bu Song menutup ceritanya sambil menundukkan muka.

Kim-mo Taisu mendengarkan semua penuturan muridnya dengan termenung. Terbayanglah segala pengalamannya dengan wanita. Dia pun banyak mengalami mala-petaka dan penderitaan karena cinta. Dalam cinta kasih, ia selalu mengalami kegagalan dan kesialan! Mengapa hal yang buruk itu agaknya menurun kepada muridnya?

Akan tetapi ada hal yang membuat ia penasaran dan marah sekali ketika mendengar cerita muridnya. Yaitu tentang Kong Lo Sengjin, tentang percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang. Kiranya yang menyuruh bunuh isterinya adalah Kong Lo Sengjin, paman isterinya sendiri! Kiranya pamannya yang terlalu besar nafsunya akan kedudukan dan kemuliaan dunia itu telah sengaja membangkitkan amarah dalam hatinya dengan jalan menyuruh bunuh isterinya dan melakukan fitnah bahwa yang menyuruh bunuh adalah musuh-musuhnya!

"Bu Song, setelah engkau mengalami banyak penghinaan dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat, apakah engkau masih menganggap bahwa ilmu silat adalah rendah dan tidak patut dipelajari oleh orang budiman?"

Bu Song diam saja, tidak dapat menjawab. Memang banyak sudah kenyataan menimpa dirinya hanya karena ia seorang lemah.

"Andai kata engkau dahulu belajar ilmu silat dariku, apa kau kira Suma Boan berani menyiksamu? Bahkan mungkin Suma Ceng dapat menjadi jodohmu karena tidak ada orang berani melarangmu! Ilmu adalah ilmu, baik itu ilmu silat (bu) ataukah ilmu surat (bun). Ilmu tetap ilmu, titik. Tidak bisa dibilang baik mau pun buruk. Semua benda di dunia ini tidak punya sifat baik atau pun buruk. Yang ada hanya wajar, sudah semestinya begitu, tidak baik tidak buruk. Baik buruknya tergantung kepada si manusia yang memanfaatkannya. Karena sesungguhnya, istilah baik dan buruk adalah ciptaan manusia sendiri. Baik buruknya tergantung dari manusia, kalau dipergunakan untuk kebaikan maka itulah ilmu yang baik. Kalau dipergunakan untuk kejahatan, maka buruklah ilmu itu! Seperti halnya semua anggota tubuh, misalnya mulut. Mulut tetap mulut, tidak baik tidak buruk. Kalau dipergunakannya hanya untuk menjadi jalan masuknya makan minum yang enak-enak dan menjadi jalan ke luarnya maki-makian, ucapan kurang ajar, fitnah dan tipu, maka buruklah mulut itu! Akan tetapi kalau dipergunakan menjadi jalan masuk minum yang sehat dan jalan ke luar omongan yang baik-baik bagi manusia lain, maka baiklah mulut itu!"

Kim-mo Taisu bicara penuh semangat dan Bu Song mendengarkan sambil menundukkan mukanya, namun dengan penuh perhatian.

"Kau dahulu menganggap silat itu ilmu kasar untuk berkelahi dan membunuh orang atau melukainya, maka kau membencinya. Apakah ilmunya yang berkelahi, melukai atau membunuh orang? Bukan! Melainkan orangnya! Biar pun tak pandai silat, apakah tak dapat berkelahi atau membunuh orang? Sebaliknya kalau dipergunakan baik, maka ilmu silat amat berguna. Misalnya, untuk menjaga diri dari pada hinaan orang-orang yang merasa dapat berbuat semaunya karena kekuatannya, untuk menolong orang-orang yang mengalami penindasan dari orang-orang jahat, dan masih banyak sekali hal-hal baik yang hanya dapat dilakukan dengan sempurna oleh orang-orang yang pandai ilmu silat. Sekarang kita meninjau ilmu bun (sastra). Kau melihat sendiri keadaan di kota raja. Siapakah yang duduk di istana, menjadi pembesar-pembesar yang berkekuasaan dan berpengaruh besar? Mereka ini tergolong orang pandai sastra, orang-orang pintar dan terpelajar. Akan tetapi, apakah mereka menggunakan kepandaiannya itu untuk kebaikan? Memang ada, akan tetapi hanya beberapa gelintir manusia saja! Yang terbanyak, kepandaiannya itu hanya untuk melakukan kejahatan yang lebih kejam dari pada membunuh orang dengan bacokan pedang! Kepintarannya dipergunakan untuk ‘memintari’ orang lain yang bodoh. Kau lihat, kalau ilmu bun dipergunakan untuk kejahatan, apakah boleh kau sebut bahwa ilmu bun itu jahat dan buruk?"

Bu Song mengangguk-angguk. "Dahulu pun teecu sudah pernah Suhu beri wejangan seperti sekarang ini sehingga di dalam lubuk hati teecu sudah ada pengertian seperti itu. Namun teecu tidak percaya oleh karena tadinya teecu mengira bahwa orang terpelajar yang mempelajari filsafat hidup dari kitab-kitab kuno tentulah menjalani hidup menurut jejak seorang kuncu (bijaksana/budiman). Maka teecu lebih condong mempelajari bun dari pada bu. Akan tetapi siapa kira, setelah teecu berada di sini, teecu muak! Semua kata-kata Suhu benar belaka."

"Jadi, sekarang kau mau menjadi muridku, murid ilmu silat?"

Bu Song menjatuhkan diri berlutut. "Kalau Suhu masih percaya kepada teecu, kalau Suhu mau memberi pelajaran ilmu silat, berarti teecu menerima anugerah yang tiada bandingannya. Tentu saja teecu akan merasa berterima kasih sekali."

"Ha-ha-ha-ha-ha!" Baru kali ini semenjak bertahun-tahun Kim-mo Taisu dapat tertawa lagi. "Alangkah lucunya! Padahal di dalam dirimu telah terkumpul segala dasar ilmu silat yang hebat! Berlatih setahun kau akan memperoleh hasil sepuluh tahun, berlatih dua tahun akan memperoleh hasil dua puluh tahun! Sekarang mari kita berangkat ke istana Pangeran Suma. Kalau mereka memandang rendah kepadamu, kita bawa kekasihmu itu dengan kekerasan dan kalau perlu, kita bunuh Suma Kong dan puteranya, Suma Boan yang sudah menyiksamu! Pembesar-pembesar korup yang seperti lintah darat, yang telah menghisap darah rakyat sampai perutnya gendut, sudah sepatutnya dibunuh!"

Bu Song menubruk kaki suhunya. "Tidak... jangan, Suhu... ampunkan teecu, jangan Suhu lakukan hal itu...!"

"Hemm...!" Suara Kim-mo Taisu menjadi dingin sekali. "Kalau kau masih selemah ini, mana patut menjadi pendekar? Seorang pendekar harus berani mengambil tindakan, harus berani berbuat apa saja, kalau perlu kekerasan, asal semua tindakannya itu beralaskan kebenaran dan keadilan!"

"Bukan sekali-kali teecu berlemah hati. Tidak, Suhu. Hanya... teecu menghormat dan menghargai rasa cinta kasih teecu dan Ceng Ceng. Tidak mau teecu memaksakan cinta secara itu, apalagi membawa lari seorang gadis, puteri pangeran pula. Akan ke mana larinya nama baik Suma Ceng? Teecu amat mencintanya, tak mungkin teecu berani melakukan hal itu, mencemarkan nama baiknya selama hidup. Juga tentang ayah dan kakaknya, kalau kita membunuh mereka, bagaimana jadinya dengan nasibnya? Teecu teringat kepada Subo...."

Lemaslah seluruh tubuh Kim-mo Taisu mendengar ini. Muridnya mengingatkan ia akan nasib Khu Gin Lin, puteri bangsawan yang menjadi isterinya. Seperti juga kekasih muridnya ini, mendiang isterinya itu adalah puteri pangeran yang sekeluarganya terbasmi dan terbunuh. Ia menarik napas panjang.

"Sesukamulah. Agaknya kau seperti aku, siap menderita karena cinta..."

"Teecu bersumpah takkan menjatuhkan hati cinta kepada wanita lagi, Suhu."

"Ha-ha-ha-ha! Patah hati? Begitu pula aku dahulu, tapi nyatanya..."

"Tidak, teecu betul-betul bersumpah, selama hidup teecu tidak akan mencin...."

"Hushhh! Tak perlu bersumpah. Tidak ada yang melarang manusia untuk bercinta, muridku. Bahkan Tuhan sendiri pun tidak. Cinta itu anugerah, bahkan hidup ini baru berarti kalau diisi dengan cinta. Akan tetapi, bukan cinta yang digelapkan oleh nafsu. Kelak engkau akan mengerti sendiri!"

Kakek itu menarik napas panjang karena teringat akan pengalamannya sendiri di waktu muda. Sampai kini pun ia merasa bahwa cinta kasihnya yang sejati adalah pada diri Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, ibu muridnya ini. Mungkin karena inilah maka ia menganggap Bu Song seperti puteranya sendiri, dan ada perasaan sayang amat besar dalam hatinya terhadap pemuda ini.

Mereka tidak lama berada di rumah Ciu Tang. Malam itu juga, menjelang fajar, Kim-mo Taisu mengajak muridnya pergi dan keluar dari kota raja. Kim-mo Taisu maklum bahwa kalau terlalu lama mereka berada di situ, sudah tentu Ciu Tang akan ikut menderita celaka.

Semenjak saat itu mulailah Bu Song diajar ilmu silat. Seperti ketika ia mempelajari ilmu surat, pemuda ini amat tekun dan penuh perhatian. Dan baru terbukalah matanya bahwa sesungguhnya di dalam dirinya selama ini ia telah memiliki tenaga sakti yang hebat! Beberapa hari kemudian di dalam sebuah hutan, ia duduk bersila di depan suhunya yang juga duduk bersila. Ia disuruh mengatur napas dan mengumpulkan semangat seperti yang ia latih sejak kecil. Dan seperti biasa, kalau sudah begitu ia akan merasa ada hawa panas berkumpul di pusar.

"Tarik napas dalam-dalam dan tekan hawa panas itu agar naik ke dadamu," terdengar suara gurunya.

Bu Song yang memejamkan mata menuruti kata-kata gurunya ini, namun hawa panas yang berkumpul di sekitar bawah pusar itu sukar sekali ditekan naik. Tiba-tiba ia merasa betapa tangan suhunya menempel pada pusarnya dan dari telapak tangan suhunya itu keluar getaran hawa yang luar biasa kuatnya. Meminjam tenaga ini ia berusaha lagi dan kali ini berhasil. Hawa panas yang merupakan segumpal tenaga itu bergerak naik ke dada, membuat dadanya sesak dan ia terengah-engah hendak muntah.

"Bernapas perlahan-lahan, akan tetapi gunakan perhatian agar hawa jangan turun kembali. Setelah itu dorong hawa itu ke arah pundak kanan."

Demikianlah, sedikit demi sedikit Kim-mo Taisu melatih muridnya sehingga akhirnya, dalam waktu beberapa hari saja, Bu Song sudah berhasil menggunakan kekuatan untuk mendorong hawa panas itu mengitari tubuhnya, ke mana pun ia kehendaki. Dengan totokan-totokan yang tepat Kim-mo Taisu ‘membuka’ jalan darah tubuh muridnya, kemudian mulailah ia mengajarkan langkah, kuda-kuda, dan pukulan.

Memang betul apa yang diucapkan Kim-mo Taisu. Dalam diri Bu Song sudah terdapat tenaga sinkang yang amat kuat serta semua dasar ilmu silat tinggi memang sudah ia pelajari melalui huruf-huruf yang membentuk sajak-sajak dan ujar-ujar yang sengaja dahulu diselip-selipkan oleh Kim-mo Taisu dalam pelajaran ilmu sastra. Kini setelah dilatih prakteknya, tentu saja Bu Song cepat sekali dapat menangkap serta didorong bakatnya yang luar biasa, sebentar saja ia dapat menguasai setiap gerakan yang betapa sulit pun.

Dalam waktu setahun saja, dengan petunjuk suhunya, ia mampu sekali dorong merobohkan sebatang pohon sebesar manusia! Dalam waktu enam bulan, ginkang-nya sudah sedemikian hebat sehingga ia mampu mengikuti suhunya berloncatan di atas pohon seperti seekor tupai, dan merobohkan pohon sebesar manusia dapat ia lakukan dari jarak satu meter tanpa menyentuhnya! Guru dan murid ini tidak pernah berhenti berlatih silat. Siang dan malam berlatih terus dan beristirahat pun merupakan latihan semedhi mengumpulkan tenaga sakti. Kadang-kadang di waktu malam gelap, mereka berdua sudah berlatih saling serang bagaikan dua setan hutan yang berkelebatan di antara pohon-pohon. Kim-mo Taisu menggembleng muridnya dan menurunkan seluruh ilmu-ilmunya, tidak ada yang ia sisakan.

********************

Pada waktu itu yang memegang kekuasaan adalah Kerajaan Cou, kerajaan terakhir dari jaman Lima Kerajaan. Seperti kerajaan-kerajaan yang terdahulu, juga Kerajaan Cou ini tidak lama menguasai pemerintahan (951-960). Setelah sembilan tahun berdiri, pada tahun 959, raja Cou jatuh sakit berat. Kekuasaannya ia serahkan kepada putera mahkota yang pada waktu itu baru berusia sebelas tahun! Sebagai walinya tentu saja adalah ibu ratu. Semenjak inilah maka Kerajaan Cou menjadi lemah, karena para panglimanya banyak yang merasa tak senang melihat bahwa yang mereka bela hanyalah seorang anak yang manja serta seorang ibu yang ingin berkuasa saja.

Kerajaan Cou mempunyai seorang panglima tinggi yang amat dipercaya dan disayangi oleh Raja Cou. Panglima ini bernama Cao Kuang Yin, seorang ahli perang yang memang keturunan orang-orang terkenal. Nenek moyangnya adalah orang-orang yang menduduki jabatan tinggi, menjadi panglima semenjak jaman Kerajaan Tang dan berturut-turut dalam jaman Lima Kerajaan itu, nenek moyang Cao selalu menjadi orang-orang penting dalam pemerintahan, terutama dalam ketentaraan.

Seperti juga para panglima dan bangsawan lainnya, diam-diam Cao Kuang Yin tidak senang akan penggantian raja dengan seorang kanak-kanak didampingi ibunya yang tamak itu. Bahkan ketika raja kecil atas desakan ibu suri menjatuhkan hukuman kepada seorang pejabat tinggi yang membantah peraturan baru tentang pemungutan pajak yang diperberat, Panglima Cao sendiri menghadap ke istana dan dengan sejujurnya menyampaikan protes!

Peristiwa ini diikuti dengan hati tegang oleh para pembesar. Perbuatan Cao ini dapat dianggap sebagai sikap memberontak dan sekali raja kecil yang dipengaruhi ibunya itu menjatuhkan hukuman mati, panglima itu tentu takkan tertolong lagi. Namun agaknya ibu suri juga dapat melihat bahwa panglima besar ini tidak boleh dipandang ringan. Di belakangnya banyak terdapat pasukan besar yang mencintanya. Maka untuk meredakan ketegangan, ibu suri menerima protes itu dan membebaskan kembali petugas atau pejabat tinggi yang terkenal setia itu.

Namun perisitwa itu tidak berhenti sampai di situ saja. Pada waktu itu, musuh utama Kerajaan Cou, yaitu bangsa Khitan, selalu membuat kacau di daerah utara dan seringkali menyerbu kota-kota di utara. Dengan alasan menindas kerusuhan yang dilakukan oleh musuh itu, raja kecil atas desakan ibu suri lalu menjatuhkan surat perintah kepada Panglima Cao Kuang Yin untuk memimpin barisannya ke utara dan memerangi bangsa Khitan.

Sebagai seorang panglima perang yang setia, tentu saja Panglima Cao tidak dapat membantah perintah rajanya untuk menyerbu musuh. Apa pun alasannya, kalau ia tidak mentaati perintah ini, tentu dia akan menjadi bahan tertawaan orang sedunia sebagai seorang panglima yang takut perang! Terpaksa Panglima Cao memimpin barisannya bergerak ke utara, sungguh pun ia maklum bahwa bahaya yang mengancam kerajaan bukan hanya dari bangsa Khitan dan penjagaan tidak boleh dipusatkan di utara saja.

Para panglima muda, para perwira sampai para anggota barisan sebagian besar merasa tidak puas dan tidak senang dengan tugas ini. Bukan saja perjalanan dan tugas di utara itu amat berat, namun juga mereka dapat menduga bahwa perintah ini merupakan ‘pembalasan’ dari ibu suri sehingga tak mungkin kelak mereka akan menerima jasa dalam tugas yang mempertaruhkan nyawa ini. Di luar tahu Panglima Cao, diam-diam para panglima muda dan perwira mengadakan permufakatan dan persekutuan.

Pada malam hari itu, ketika barisan berhenti dan beristirahat setelah melakukan perjalanan beberapa hari dari kota raja, tujuh orang panglima muda dan sebelas orang perwira berkumpul dalam tenda besar. Mereka bermufakat untuk memaksa Panglima Besar Cao Kuang Yin dengan kekerasan agar suka memimpin barisan kembali ke kota raja dan menggempurnya serta mengambil alih kekuasaan. Pendeknya mereka hendak memaksa Coa Kuang Yin untuk memberontak terhadap raja kecil dan ibu suri!

Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang kakek aneh telah berdiri di sudut tenda. Kakek ini sudah tua sekali, kedua kakinya ditekuk bersila, tergantung di antara dua batang tongkat yang menggantikan kakinya. Tentu saja delapan belas orang komandan itu cepat bangkit dan kaget serta terheran-heran. Bagaimana tenda yang dijaga sekelilingnya oleh pasukan penjaga dapat kemasukan orang luar tanpa ada yang tahu? Karena mereka sedang merundingkan urusan rahasia yang gawat, tentu saja kehadiran seorang luar seperti kakek ini amat mengejutkan. Serentak mereka sudah mencabut pedang dan golok masing-masing.

"Ha-ha-ha-ha! Cu-wi Ciangkun (Para Perwira), harap jangan kaget dan curiga! Aku datang untuk membantu kalian melaksanakan maksud hati kalian yang amat baik ini. Kerajaan Cou yang lapuk harus diruntuhkan!"

Karena yang mengucapkan kata-kata ini seorang luar yang tak dikenal, tentu saja para panglima itu makin kaget dan khawatir. Dua orang di antara para perwira yang terkenal hebat kepandaiannya dalam ilmu memanah, telah menggerakkan tangan dan....

"Serrr! serrr!" dua batang anak panah dengan kecepatan kilat telah menyambar leher dan perut kakek itu!

Kakek itu sama sekali tidak mengelak atau kelihatan bergerak, agaknya ia tidak melihat bahwa dua batang anak panah seperti dua tangan maut menjangkau hendak mencabut nyawanya. Ia masih enak-enak berkata, "Biarlah aku yang akan mengajukan alasan kepada Cao-goanswe (Jenderal Cao), dan kalau terjadi kegagalan sehingga kalian terpaksa melawannya, aku akan membantu kalian!"

Delapan belas orang ahli perang itu berdiri dengan mata terbelalak kagum dan keget. Kakek itu masih bicara dan sementara itu, dua batang anak panah seakan-akan telah mengenai dada dan leher, akan tetapi karena kakek itu bicara sambil menggerakkan kedua tangan, mereka tidak melihat bagaimana sekarang tahu-tahu kedua batang anak panah itu telah terjepit di antara jari-jari tangan kakek itu!

Seorang panglima muda melangkah maju dengan pedang di tangan. "Engkau siapa? Berani memasuki tenda kami tanpa ijin?"

"Ha-ha-ha! Ciangkun (Panglima), engkau masih terlalu muda untuk mengenalku. Akan tetapi di antara kalian yang sudah tua tentu pernah mendengar namaku. Dahulu aku disebut Sin-jiu Couw Pa Ong seorang putera pangeran Kerajaan Tang dan aku masih ingat akan Cao Beng, Jenderal Kerajaan Tang yang menjadi kakek Jenderal Cao Kuang Yin sekarang! Akan tetapi sekarang aku hanya seorang kakek biasa saja yang disebut Kong Lo Sengjin!"

Kagetlah semua orang yang berada di dalam tenda itu. Nama Sin-jiu Couw Pa Ong memang amat terkenal. "Dengan cara bagaimana kau hendak mencampuri urusan kami, urusan tentara?"

Kembali kakek itu tertawa. "Dalam urusan perang memang kalian ahli, dan menghadapi barisan tentu saja aku tidak berarti. Akan tetapi menghadapi kekerasan lawan, kiranya aku dapat banyak membantu. Misalnya, dengan mudah aku dapat melucuti belasan orang lawan. Kalian lihat baik-baik!"

Tiba-tiba tubuh kakek itu berkelebat menyerbu mereka! Kagetlah belasan orang itu. Mereka juga bukan orang-orang biasa, melainkan panglima-panglima yang sudah biasa bertempur, maka tentu saja mereka itu pandai ilmu silat. Melihat bayangan kakek itu berkelebat dekat, tanpa ragu-ragu lagi mereka lalu menggerakkan senjata mereka menerjang. Terdengar suara kaget bergantian dan dalam sekejap mata saja semua panglima dan perwira sudah kehilangan senjata mereka. Ketika mereka memandang, ternyata pedang dan golok mereka yang terampas secara aneh itu telah tertumpuk di atas meja dan kakek itu pun sudah duduk di atas bangku dekat meja sambil tersenyum-senyum.

"Bagaimana? Cukup berhargakah aku menjadi sekutu kalian?"

Mereka lalu duduk kembali mengelilingi meja.

"Mengapa Lo-cianpwe hendak membantu kami? Dengan maksud apa?" tanya seorang panglima tua, kini menyebut lo-cianpwe karena maklum bahwa kakek lumpuh itu benar-benar sakti luar biasa.

"Dengan maksud apa? Tentu saja dengan maksud menegakkan kembali kekuasaan Tang yang sudah runtuh. Jenderal Cao adalah keturunan dari pembesar tinggi bangsawan Tang, maka sudah sepatutnya jika beliau diangkat. Akan tetapi kalau dia menolak, kita bisa memilih lain orang. Bukan Cao-goanswe seorang di antara kita yang cakap menggantikan raja kanak-kanak dan ibunya!"

Karena tertarik oleh kesaktian Kong Lo Sengjin yang tentu saja akan dapat merupakan pembantu yang amat berharga, akhirnya belasan orang komandan itu menerima Kong Lo Sengjin menjadi sekutu dan berundinglah mereka tentang niat mereka memaksa Cao Kuang Yin untuk memberontak.

Pada saat itu Jenderal Cao Kuang Yin sendiri tidak berada dalam tendanya. Panglima ini keluar seorang diri dan kini ia berdiri termenung di atas sebuah gunung kecil, menatap angkasa yang dihias bintang-bintang gemerlapan. Bulan seperempat tampak doyong di angkasa. Berkali-kali panglima ini menarik napas panjang, kemudian ia menengadah ke langit dan keluarlah keluhan hatinya yang tanpa ia sadari terucapkan dari mulutnya.

"Liang, Tang, Cin, Han Cou... lima kerajaan bermunculan, namun semua tidak berhasil mengamankan negara dan memakmurkan rakyat jelata. Ahhh, sekian banyaknya bintang bermunculan dan berjatuhan, tiada satu yang menyinarkan cahaya menerangi jagad. Bilakah akan muncul sebuah bintang yang demikian?"

Tiba-tiba terdengar keluhan orang lain yang disambung dengan kata-kata seperti sajak. "Bila kepalanya benar, kaki tangan yang tidak baik pun dapat dimanfaatkan. Bila kepalanya tidak benar, kaki tangan yang betapa baik pun tidak ada manfaatnya! Segala sesuatu memang sudah dikehendaki Tuhan maka dapat terjadi, akan tetapi jika manusia tidak berusaha dan hanya mengandalkan kehendak Tuhan, tiada bedanya ia dengan pohon atau hewan!"

Cao Kuang Yin terkejut, apalagi setelah menengok ia melihat seorang laki-laki gagah perkasa yang berpakaian seperti tosu berdiri tak jauh dari situ, juga menengadah sambil menuangkan arak dari sebuah guci arak. Ucapan tadi bukanlah kata-kata biasa, maka Cao Kuang Yin dapat menduga bahwa tentu orang ini bukan orang biasa pula. Cepat ia menghadapinya sambil menjura dan berkata, "Saudara yang baik, ucapanmu benar-benar mengagumkan hatiku, akan tetapi juga mengherankan. Sudilah kiranya memberi penjelasan."

Orang tua gagah itu bukan lain adalah Kim-mo Taisu. Setelah menurunkan semua ilmunya kepada Bu Song selama hampir tiga tahun, ia lalu berpisah dari muridnya itu yang ia suruh pergi mencari suling emas di Pulau Pek-coa-to seperti yang diceritakan sastrawan Ciu Gwan Liong kepada Bu Song. Ada pun dia sendiri lalu mulai pergi mencari Kong Lo Sengjin. Inilah sebabnya maka ia pada saat itu berada di atas bukit kecil, diam-diam membayangi Cao Kuang Yin yang ia kenal sebagai seorang panglima besar Kerajaan Cou.

Kim-mo Taisu sudah mendengar akan semua urusan di kota raja, maka ia pun tahu bahwa jenderal ini memimpin pasukan besar menuju ke utara. Ia merasa heran ketika dalam penyelidikannya mendapat kenyataan bahwa orang yang dikejar-kejarnya, yaitu Kong Lo Sengjin berada pula di dalam pasukan itu. Tentu saja ia tidak berani turun tangan secara sembrono dalam barisan yang begitu besar.

Kini ia sengaja mendekati Cao Kuang Yin dan sengaja menjawab keluhan jenderal itu untuk mengukur isi hatinya. Kini mendengar pertanyaan komandan itu dan melihat sikapnya yang wajar dan jujur sopan, diam-diam ia merasa kagum sekali. Segera Kim-mo Taisu menghadapinya dan membalas hormat selayaknya.

"Cao-goanswe, harap maafkan kalau saya menganggu. Tadi saya mendengar keluhan Goanswe tentang lima kerajaan yang tidak berhasil mengamankan negara dan memakmurkan rakyat jelata. Saya merasa cocok dan tanpa disengaja mengeluarkan kata-kata yang mengagetkan Goanswe. Sesungguhnya, negara kita banyak memiliki patriot-patriot, pahlawan-pahlawan yang cinta tanah air dan bangsa, yang setia kepada negara. Akan tetapi, kalau yang menjabat kaisar tidak bijaksana dan mementingkan kesenangan pribadi, tentu saja para pahlawan itu akan disalah-gunakan tenaganya. Akibatnya, pemimpin-pemimpin yang baik akan dikesampingkan, pembesar-pembesar korup penjilat akan terpakai. Turunnya bintang cemerlang sebagai kaisar tentu saja adalah kehendak Thian, akan tetapi semua itu hanya akan terjadi melalui ikhtiar dan usaha manusia sendiri. Inilah pendapat saya pribadi, Goanswe, kalau keliru harap dimaafkan." Kim-mo Taisu menenggak araknya kembali.

"Ah, tidak... tidak keliru! Benar sekali pendapat Saudara. Ah, bukankah saya berhadapan dengan Kim-mo Taisu...?"

"Cao-goanswe bermata tajam, benar-benar saya kagum sekali," kata Kim-mo Taisu.

Jenderal itu tertawa. "Nama Taisu menjulang setinggi gunung Thai-san. Kipas di pinggang, pedang di punggung dan guci arak di tangan, kemudian mengeluarkan pendapat sedemikian bijaksana, siapa lagi orangnya kalau bukan Kim-mo Taisu?"

Tiba-tiba terdengar suara berisik dan muncullah belasan orang yang serta merta menerjang Cao Kuang Yin dengan senjata mereka!

"Bunuh! Serbu cepat selagi ada kesempatan baik!" begitulah teriakan-teriakan mereka. Gerakan mereka cepat dan ringan, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Cao Kuang Yin kaget sekali. Cepat ia mengelak dari dua buah sambaran golok sambil melompat mundur dan mencabut pedangnya. "Kalian siapakah? Tidak melihat bahwa aku Jenderal Cao? Mundur!!"

"Ha-ha-ha, justru kami mencari dan harus membunuh Jenderal Cao!" seorang di antara mereka berseru. Mereka semua ada dua belas orang yang kini mengurung.

Ketika jenderal itu hendak menerjang mencari jalan ke luar, tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata, "Tenanglah, Goanswe, dan serahkan mereka kepadaku!"

Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu yang tadi menenggak araknya, menurunkan gucinya, kemudian tiba-tiba ia menyemburkan arak sambil memutar-mutar tubuhnya. Terdengar teriakan-teriakan kaget ketika dua belas orang itu merasakan sambaran arak yang seperti jarum-jarum disebar. Sebelum hilang kekagetan mereka, tiba-tiba Kim-mo Taisu sudah bergerak cepat sekali menggunakan kipasnya. Setiap kali kipasnya bergerak, seorang pengeroyok lantas roboh. Hiruk-pikuk suara mereka, golok dan pedang beterbangan, dan dalam waktu beberapa menit saja dua belas orang itu sudah roboh tak berkutik!

"Jangan bunuh semua!" Cao Kuang Yin mencegah, namun terlambat. Orang terakhir sudah roboh pula.

Jenderal itu cepat melompat ke dekat orang terakhir yang masih bergerak-gerak, kemudian ia menjambak leher baju orang itu dan membentak. "Hayo mengaku! Siapa menyuruh kalian?!"

Orang itu berusaha membuka mulut, akan tetapi suara yang keluar hanyalah suara seperti babi disembelih karena jalan darahnya sudah putus oleh ketukan gagang kipas dan ia hanya dapat menuding-nudingkan telunjuknya, lalu lemas dan nyawanya melayang.

"Cao-goanswe, orang-orang yang berbuat khianat macam mereka ini sudah sepatutnya dibunuh semua," kata Kim-mo Taisu.

"Ah, akan tetapi saya ingin mengetahui siapakah yang menyuruh mereka?"

"Dia tadi menunjuk ke arah selatan, ke arah kota raja. Agaknya dari kota raja datangnya perintah."

Cao Kuang Yin mengerutkan keningnya. Ia mengingat-ingat dan merasa bahwa di kota raja dia tidak mempunyai musuh, kecuali ibu suri tentunya karena ia telah mengajukan protes. Mungkinkah ibu suri yang mengirim pembunuh-pembunuh ini?

"Taisu telah menyelamatkan nyawa saya, sungguh merupakan budi besar."

"Penyelamat atau pencabut nyawa hanyalah menjadi kekusaan Thian! Sungguh pun kebetulan saya berada di sini ketika Goanswe diserang orang-orang itu, akan tetapi sesungguhnya bukan karena kebetulan saya mendekati Goanswe. Saya memang sengaja membayangi Goanswe ke tempat ini karena maksud tertentu."

"Ahh...?" Jenderal Cao kaget dan memandang tajam. "Maksud apakah?"

"Saya mempunyai urusan pribadi dengan orang yang kini kebetulan berada dalam barisan Goanswe. Tanpa perkenan Goanswe saya tidak berani mencari keributan dalam pasukan Goanswe."

Jenderal itu mengelus jenggotnya. "Hemm, siapakah orang itu?"

"Dia adalah Kong Lo Sengjin, atau dahulu terkenal dengan nama Sin-jiu Couw Pa Ong!"

"Hah? Sin-jiu Couw Pa Ong? Akan tetapi dalam barisanku tidak ada Kakek terkenal itu!"

"Sudah lama saya mengejarnya dan tidak salah lagi, dia berada dalam barisan Goanswe."

"Kalau begitu, biarlah kita periksa besok. Marilah Taisu ikut bersama saya. Malam ini harap Taisu suka menemani saya dan besok kita sama-sama memeriksa. Kalau betul ada Kakek itu dengan barisan, sudah tentu saya perkenankan Taisu untuk menyelesaikan urusan pribadi Taisu dengan dia tanpa campur tangan kami."

"Terima kasih. Goanswe benar-benar bijaksana." Kim-mo Taisu memberi hormat, kemudian mereka berdua berjalan bersama kembali ke perkemahan.

Jenderal Cao bercakap-cakap dan merasa cocok sekali dengan pendekar itu sehingga mereka bercakap-cakap sampai jauh malam. Kim-mo Taisu diberi tempat mengaso dekat tenda besar dan lewat tengah malam barulah keduanya menghentikan percakapan, lalu tidur di kemah masing-masing.

Peristiwa bersejarah itu terjadi pada pagi hari benar, ketika matahari belum muncul, baru sinarnya kemerahan yang nampak. Pada saat itu, Panglima Besar Cao Kuang Yin masih tidur nyenyak. Tiba-tiba ia terbangun dengan kaget dan tahu-tahu di dalam kemahnya telah penuh orang. Di sana telah hadir tujuh orang panglima bawahannya dan sebelas orang perwira, kesemuanya adalah komandan-komandan pasukan dalam barisan yang ia pimpin, dan di antara mereka tampak seorang kakek lumpuh bertongkat. Panglima tertua membawa sebuah baki perak yang ditutup sutera kuning dan para komandan yang lain berdiri dengan pedang di tangan!

"Heee! Apa artinya ini? Apa kehendak kalian sepagi ini tanpa dipanggil memasuki kemahku dan mengganggu orang tidur?" Cao Kuang Yin berseru sambil melompat turun dari permbaringannya. Ia sama sekali tidak merasa khawatir karena ia percaya penuh kepada semua pembantunya ini yang ia tahu amat setia dan sayang kepadanya.

"Kami menghadap Goanswe untuk mempersilakan Goanswe mengenakan pakaian ini, kemudian memimpin kami semua kembali ke kota raja," kata panglima tertua itu sambil menyodorkan baki.

Cao Kuang Yin merasa heran, mengerutkan keningnya dan membuka sutera kuning yang menutupi baki. Di atas baki itu tampak terlipat rapi satu stel pakaian berwarna kuning bersulamkan naga. Kagetlah Cao Kuang Yin. Pakaian seperti itu adalah pakaian kaisar! Pakaian seorang raja besar! Mereka ini menghendaki ia mengenakan pakaian kaisar dan memimpin mereka kembali ke kota raja. Itu berarti bahwa mereka ini menghendaki ia memberontak dan menggantikan kedudukan raja!

"Ah, mana mungkin...?" Ia membantah dan undur dua langkah.

Kakek lumpuh itu menggerakkan tongkatnya maju, akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Kim-mo Taisu telah menerobos dari belakang Cao Kuang Yin dengan merobek tenda. Dengan sikap tenang ia berdiri di sebelah kiri panglima itu dan berkata, "Coa-goanswe, apakah mereka ini perlu dibasmi?"

Akan tetapi Cao Kuang Yin menggeleng kepala. "Biarkan mereka bicara dulu."

Kakek itu yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin kaget sekali melihat munculnya Kim-mo Taisu, akan tetapi setelah mengenalnya ia pun tersenyum, dan kemudian berkata, "Bagus! Hadirnya Kim-mo Taisu merupakan penambahan kekuatan kita. Cao-goanswe, perkenalkanlah, aku adalah Sinjiu Couw Pa Ong. Aku mengenal baik kakekmu yang menjadi panglima ketika masa jayanya Kerajaan Tang. Semenjak Kerajaan Tang roboh oleh para pengkhianat bangsa, raja-raja bermunculan akan tetapi sampai sekarang pun tidak ada raja yang cukup bijaksana seperti dikala Kerajaan Tang. Oleh karena itu para Ciangkun ini bermufakat untuk mengangkat Goanswe menjadi raja baru dan kita semua kembali ke kota raja untuk mengambil alih kekuasaan. Harap saja Goanswe tidak menolak oleh karena keputusan para Ciangkun ini sudah bulat. Dan karena hal ini cocok dengan cita-citaku, maka aku pun memasuki persekutuan ini. Kuharap saja tidak perlu aku harus menghadapi cucu bekas sahabatku sebagai musuh!"

Sebelum Cao Kuang Yin menjawab. Kim-mo Taisu yang sudah mendahuluinya, berkata kepada Kong Lo Sengjin atau Couw Pa Ong, "Kong Lo Sengjin, tak perlu kau ikut bicara karena kata-kata dan perbuatanmu hanya berdasarkan kepalsuan belaka, sama seperti pengkhianatanmu menyuruh bunuh isteriku! Biarkan Cao-goanswe berurusan sendiri dengan para panglimanya, dan nanti setelah selesai, akulah yang akan berurusan dengan kau!"

Berubah wajah Kong Lo Sengjin mendengar ucapan ini, akan tetapi ia lalu mundur dan matanya memancarkan kemarahan besar.

Sementara itu panglima tua yang membawa baki sudah menekuk lutut di depan Cao Kuang Yin sambil berkata, "Kami semua mengharap agar Goanswe tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Kota raja sedang kosong, mengambil alih kekuasaan amatlah mudah bagi kita. Kami semua mengharapkan pimpinan seorang raja yang kuat, bukan seorang anak-anak di pangkuan ibunya yang lemah! Kami telah bertekad bulat mengangkat Goanswe menjadi kaisar baru dan memimpin kami menyerbu ke kota raja."

"Kami landasi ketekatan ini dengan nyawa kami!" terdengar riuh para panglima dan perwira itu menyambung ucapan panglima tua ini.

Suasana menjadi sunyi dan tegang. Otot-otot di tubuh mereka semua, termasuk Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, menegang dan mereka sudah siap. Mati hidup dan bertanding mati-matian hanya tergantung dari pada jawaban Cao Kuang Yin yang masih berdiri termenung, memandang pakaian kuning yang berada di atas baki. Wajahnya menjadi pucat, keningnya berkerut-kerut, matanya memancarkan sinar aneh.

Di dalam hatinya timbul bermacam perasaan, dalam otaknya berkelebat macam-macam pikiran. Memang berat baginya, bagi seorang patriot yang semenjak nenek moyangnya dahulu terkenal sebagai panglima-panglima dan pembesar-pembesar yang setia kepada raja. Bagi seorang pejabat kesetiaan adalah nomor satu. Namun sebagai seorang bijaksana, ia maklum bahwa semenjak Kerajaan Tang roboh, rakyat tidak pernah mengalami ketenteraman dan perdamaian dalam hidupnya. Perang saudara terjadi terus menerus, perebutan kekuasaan tak kunjung henti. Untuk mengakhiri semua penderitaan rakyat itu, perlu adanya tangan besi seorang pemimpin yang dapat menyatukan mereka dan menumpas yang ingkar dan para pengacau.

Ia maklum bahwa para panglima dan perwira ini mengangkatnya sebagai kaisar bukan semata-mata karena mengaguminya dan ingin mengagungkannya, melainkan karena rasa benci mereka kepada pucuk pimpinan yang berada di tangan seorang kanak-kanak di atas pangkuan seorang ibu yang gila kuasa. Karena mereka ini melihat bahwa jalan satu-satunya agar pemberontakan mereka berhasil adalah mengangkat dia sebagai komandan tertinggi barisan, menjadi raja.

Akan tetapi ia pun maklum bahwa kalau ia menolak, tentu mereka ini akan menjadi nekat dan menyerangnya, berusaha membunuhnya. Ia tidak takut, apalagi di sampingnya terdapat Kim-mo Taisu yang sakti. Akan tetapi kalau hal itu terjadi, maka akan menjadi rusaklah semua. Bagaimana sebuah barisan besar ditinggalkan para pimpinannya yang saling bermusuhan sendiri?

Jenderal Cao Kuang Yin menarik napas panjang, lalu terdengar ia berkata, suaranya nyaring dan berwibawa, "Aku hanya dapat menerima dan memakai pakaian ini setelah kalian semua bersumpah akan mentaati segala perintahku mulai detik ini juga!"

Delapan belas orang komandan pasukan itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan seperti telah dikomando mereka berbareng lalu menyatakan sumpah setia dan taat kepada kaisar baru!

Kembali Cao Kuang Yin menarik napas panjang. Sebelum menjemput pakaian kuning itu, ia lebih dulu melirik ke arah Kim-mo Taisu. Akan tetapi pendekar sakti ini hanya tersenyum, sama sekali tidak memperlihatkan sikap menentang. Memang di dalam hati Kim-mo Taisu juga menyetujui usul para komandan itu dan ia tahu bahwa hanya dengan jalan ini agaknya negara akan dapat diselamatkan dan dibebaskan dari pada perang saudara yang berlarut-larut. Cao Kuang Yin adalah seorang jenderal yang cakap, bertangan besi dan disegani.

Pakaian itu diambil oleh Cao Kuang Yin, lalu dipakainya, di luar pakaian tidurnya karena ketika itu ia masih berpakaian tidur. Seorang panglima mengambilkan topinya, topi jenderal sehingga Cao Kuang Yin kelihatan sebagai seorang raja yang sedang memimpin pasukan untuk maju perang. Melihat betapa angker dan gagah raja baru mereka itu, para komandan ini lalu berlutut memberi hormat dan meneriakkan "Banswee!" berkali-kali.

Kim-mo Taisu maju dan memberi hormat kepada Cao Kuang Yin. "Mohon perkenan Hong-siang (Kaisar) agar hamba menyelesaikan urusan pribadi hamba dengan Kong Lo Sengjin."

Cao Kuang Yin melirik ke arah kakek lumpuh yang masih berdiri di sudut, lalu mengangguk dan berkata lirih, "Terserah, akan tetapi kami masih membutuhkan bantuan Taisu, harap suka menemui kami di kota raja."

Kim-mo Taisu menyanggupi, lalu menoleh ke arah Kong Lo Sengjin dan berkata nyaring, "Kong Lo Sengjin, urusan di sini telah selesai. Mari kita bereskan perhitungan kita di luar!" Inilah tantangan yang tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh seorang sakti seperti Kong Lo Sengjin.

Akan tetapi pada saat itu di luar tenda terdengar suara hiruk-pikuk, suara banyak sekali orang dan mulailah terdengar teriakan-teriakan. "Hidup Kaisar! Hidup Kaisar! Hidup Kaisar!"

Cao Kuang Yin melirik ke arah para komandannya, dan melihat mereka masih berlutut dan tersenyum, tahulah ia bahwa para komandannya itu memang sudah mengatur sebelumnya agar usul mereka diperkuat oleh para anak buah mereka! Ia lalu berkata,

"Para Ciangkun boleh keluar dan mempersiapkan barisan. Hari ini juga kita kembali ke kota raja. Akan tetapi perintahku pertama kepada kalian dan kepada semua anggota barisan adalah, dilarang keras untuk melakukan kekerasan kepada siapa saja di kota raja, karena tidak mungkin akan ada perlawanan. Tidak ada seorang pun keluarga raja boleh diganggu, juga para pembesar dan pejabat lama, atau para penduduk, sama sekali tidak boleh diganggu harta benda atau nyawanya. Siapa melanggar perintah laranganku ini akan dihukum mati!"

Para komandan menyatakan taat, dan setelah memberi hormat keluarlah mereka bersama Kong Lo Sengjin. Kim-mo Taisu menjura ke arah Cao Kuang Yin dan keluar pula. Akan tetapi ternyata di luar tenda itu telah penuh dengan tentara, keadaan menjadi ribut sekali, apalagi setelah mereka itu diberi tahu bahwa Cao Kuang Yin telah menerima menjadi kaisar baru, mereka berteriak-teriak, bersorak-sorak dan bertepuk tangan.

Gegap-gempita keadaan di saat itu dan Kim-mo Taisu menjadi bingung ke mana harus mencari Kong Lo Sengjin yang tidak tampak batang hidungnya. Ia menjadi penasaran dan mendongkol sekali, dan makin yakinlah hatinya bahwa kakek itu benar-benar seorang yang curang dan licik. Lain kali apabila ia mendapat kesempatan bertemu muka, tentu ia takkan menyia-nyiakan waktu lagi dan memaksanya bertanding mati-matian.

Karena tidak ingin terlibat dalam urusan ketentaraan, maka ia segera menjauhkan diri, akan tetapi diam-diam ia berjanji dalam hati bahwa ia harus dan akan membantu kaisar baru ini apabila kelak ternyata kaisar baru ini berlaku bijaksana dan adil. Mendengar perintah pertamanya tadi, banyak hal-hal baik dapat diharapkan dari kaisar baru ini.

Demikianlah seperti tercatat dalam sejarah, Cao Kuang Yin berhasil mengambil alih kekuasaan tanpa pertumpahan darah. Cao Kuang Yin mendirikan Kerajaan Song (Sung) dan ia menjadi kaisar pertama berjuluk Sung Thai Cu. Dengan cerdik kaisar ini dapat mengambil hati para pembesar dan bangsawan yang ia pilih untuk menjadi pembantu-pembantunya. Yang jujur dan pandai tetap mendapatkan jabatan lama. Yang curang dan korup dipensiun dan diberi gelar.

Juga delapan belas komandan yang memaksanya menjadi kaisar itu, dengan alasan cerdik sekali telah diangkat oleh kaisar, diberi gelar kehormatan dan banyak hadiah, akan tetapi mereka tidak aktif lagi memimpin pasukan, dan diganti dengan tenaga-tenaga baru. Mulailah Dinasti Sung yang kuat memerintah dan berhasil menyatukan bangsa. Buktinya dinasti ini dapat bertahan sampai tiga abad lebih (960-1279).

********************

Seorang pemuda yang tampan gagah, bertubuh tinggi besar dan berpakaian sederhana, berjalan dengan langkah tegap menuruni lereng bukit terakhir di lembah Sungai Mutiara. Dari puncak bukit tadi sudah tampaklah Laut Selatan, di mana air Sungai Mutiara mengakhiri perjalanannya dan tampak pula samar-samar pulau-pulau kecil tidak jauh dari pantai.

Pemuda ini bukan lain adalah Bu Song. Dia bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu! Biar pun orangnya masih sama, akan tetapi keadaannya sudah jauh berbeda, seperti bumi dengan langit. Perubahan yang nampak pada wajahnya hanyalah bahwa kini timbul guratan-guratan pada wajahnya yang tampan, di kanan kiri kedua matanya, di dahi dan dekat mulut, juga di dagunya. Guratan yang timbul dari penderitaan batin.

Guratan-guratan pada muka yang membuat ia tampak dewasa dan matang, akan tetapi juga membuat mukanya tampak murung dan tertutup awan, membuat wajahnya seperti topeng yang tidak lagi mencerminkan isi hatinya. Pandang matanya jauh, dilindungi kelopak mata dan bulu mata yang seringkali bergetar dan setengah terpejam.

Bu Song masih muda akan tetapi pengalaman-pengalaman pahit membuat ia berpemandangan seperti orang tua. Perubahan lebih lagi terjadi dalam tubuhnya. Ia kini bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu, yang lemah dan tidak tahu bagaimana caranya menjaga diri dari pada serangan orang lain. Dia sekarang adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dalam beberapa bulan saja ia sudah mewarisi semua ilmu kepandaian suhu-nya, ilmu yang ia latih siang malam tanpa bosan. Dia kini sudah menjadi seorang pendekar.

Ketika Bu Song menceritakan semua pengalamannya kepada suhu-nya, ada dua hal yang dianggap penting oleh Kim-mo Taisu. Pertama tentang kekejian Kong Lo Sengjin yang menyuruh anggota Hui-to-pang membunuh isteri Kim-mo Taisu. Kedua adalah tentang kitab kuno pemberian sastrawan Ciu Gwan Liong dan cerita kakek sastrawan itu akan suling emas yang berada di tangan sastrawan Ciu Bun dan yang menurut kakek itu berada di Pulau Pek-coa-to di Lam-hai. Melihat kitab itu, Kim-mo Taisu menarik napas panjang dan berkata kepada muridnya yang telah ia gembleng selama beberapa bulan dengan hasil baik sekali.

"Bu Song, kitab ini biar pun hanya terisi sajak-sajak kuno, akan tetapi sesungguhnya merupakan pelajaran ilmu yang luar biasa. Kuncinya berada pada suling emas itulah. Hal ini pun sudah kuketahui dan juga diketahui oleh semua orang kang-ouw. Memang aneh sekali mengapa Bu Kek Siansu menghadiahkan benda-benda seperti itu kepada dua orang sastrawan lemah. Memang suling dan kitab itu adalah pegangan para sastrawan, akan tetapi di balik sajak dan suara suling, terdapat daya yang hebat sekali dan yang dapat dipergunakan orang jahat untuk memperhebat kepandaiannya. Kau telah berjodoh dengan kitab ini dan sudah dipilih oleh mendiang sastrawan Ciu Gwan Liong, maka sudah menjadi kewajibanmu untuk mencari suling emas itu ke Pulau Pek-coa-to di Lam Hai."

Pesan Kim-mo Taisu inilah yang menjadi sebab mengapa pada pagi hari itu Bu Song telah menuruni bukit di lembah Sungai Mutiara. Pulau Pek-coa-to adalah sebuah di antara pulau-pulau kecil di muara Sungai Mutiara itu, di Lam-hai (Laut Selatan). Dengan kepandaiannya, Bu Song dapat melakukan perjalanan cepat sekali dan menjelang tengah hari ia telah tiba di pantai muara Sungai Mutiara.

Suhu-nya telah memberi tahu bahwa Pulau Pek-coa-to adalah pulau yang ke tiga dari timur, yang tampak dari situ sebagai pulau yang paling kecil, akan tetapi agak panjang dan bentuknya berliku seperti tubuh ular. Juga dibandingkan dengan pulau lain, pulau ini tampak putih warnanya, atau lebih muda warnanya, maka inilah agaknya pulau ini disebut Pek-coa-to (Pulau Ular Putih). Demikian pikir Bu Song.

Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya karena bentuknya seperti ular putih maka pulau itu disebut Pulau Ular Putih, melainkan karena di atas pulau itu memang terdapat semacam ular berkulit putih yang tidak terdapat di tempat lain, ular yang amat berbisa!

Selagi Bu Song bingung karena tidak tahu bagaimana ia harus menyeberang ke pulau itu, tiba-tiba hatinya girang melihat seorang nelayan mendorong-dorong perahu kecilnya di atas pantai berpasir. Agaknya nelayan ini hendak berlayar mencari ikan.

Bu Song segera berlari menghampiri lalu berkata, "Twako, apakah kau hendak berlayar?"

Nelayan itu kaget. Daerah ini amat sepi, biasanya tidak pernah ada orang. Maka heranlah ia melihat seorang pemuda yang bersikap halus seperti orang kota dan suaranya agak asing, dengan lidah orang utara.

"Betul. Seperti biasa saya hendak mencari ikan," jawab nelayan itu sambil memasang tali layar dan bersiap-siap.

"Kebetulan sekali, Twako. Kau tolonglah aku menyeberang ke pulau itu. Berapa biayanya pulang pergi?"

Nelayan itu tidak segera menjawab, melainkan memandang ke arah pulau yang ditunjuk Bu Song. Berkali-kali ia menoleh dari Bu Song ke pulau itu, memandangnya bergantian lalu bertanya, "Kongcu, pulau yang mana...?"

"Itu yang ke tiga dari kiri, Pulau Pek-coa-to...."

"Wah...!" tiba-tiba wajah nelayan itu menjadi pucat dan ia memandang Bu Song dengan mata terbelalak.

Bu Song merasa tidak enak hatinya. "Twako, kenapa?"

Dengan suara tergagap nelayan yang berusia hampir empat puluh tahun itu bertanya, "Kongcu... mau apakah... pergi ke... pulau itu...?" Sungguh aneh, muka yang menghitam karena sering dipanggang terik matahari itu kelihatan ketakutan ketika memandang Bu Song.

"Ah, aku hanya ingin pesiar, Twako."

Orang itu menarik napas panjang, agaknya lega hatinya mendengar bahwa pemuda kota ini bukan sengaja hendak ke pulau itu, dan agaknya tidak mengenal keadaan maka ingin pesiar ke tempat itu.

"Kongcu salah pilih! Kalau ingin pesiar, banyak tempat yang indah, mengapa memilih pulau... maut... itu?"

"Pulau maut? Apa maksudmu, Twako?"

"Ah, Kongcu tentu saja tidak tahu. Pulau Pek-coa-to itu adalah pulau angker sekali. Karena keangkeran pulau itulah maka tempat ini sekarang menjadi sepi. Para nelayan merasa takut mencari ikan di muara ini, karena adanya pulau itulah. Jangankan mendarat, mendekati pulau itu saja sudah cukup untuk kehilangan nyawa!"

"Mengapa begitu?"

"Entahlah. Pulau itu penuh binatang-binatang yang luar biasa, berbisa dan buas. Selain itu, agaknya juga... iblis dan siluman menjadi penghuninya. Sudahlah, Kongcu, membicarakannya saja merupakan pantangan di sini. Saya seorang pelayan yang terpaksa mencari ikan di sini, karena satu-satunya sumber nafkah saya adalah pekerjaan ini. Akan tetapi saya selalu menjauhkan diri dari pulau itu. Kongcu benar-benar salah pilih kalau hendak bersenang-senang dan berpesiar di daerah ini."

"Tidak salah pilih, Twako. Aku benar-benar ingin pergi ke pulau itu. Jangan kau khawatir, aku dapat menjaga diri dengan baik. Dan ini untuk biaya kalau kau suka mengantarku ke sana." Bu Song sengaja mengeluarkan lima potong perak yang ia dapat dari suhu-nya sebagai bekal di perjalanan. Ia mempunyai sekantung uang perak dan beberapa potong uang emas.

Melihat lima potong perak ini, si Nelayan memandang terbelalak. Bukan sedikit perak itu! Mencari ikan sebulan belum tentu akan menghasilkan sebanyak itu. Akan tetapi ia memandang Bu Song dan berkata lagi, "Bukan saya tidak mau menyeberangkan ke sana, Kongcu. Akan tetapi aku takut."

"Tidak usah takut, aku menjamin keselamatanmu."

"Kongcu kelihatan kuat akan tetapi... banyak temanku nelayan yang lebih besar dan kuat dari pada Kongcu tewas secara aneh di dekat pulau itu...."

"Kau tidak usah ikut mendarat. Cukup asal kau antar aku ke pulau itu dan kau boleh berlayar mencari ikan. Nanti menjelang senja, kau jemput aku. Bagaimana?"

Si Nelayan ragu-ragu. Bu Song maklum bahwa perlu ia memperlihatkan kepandaiannya agar nelayan ini hilang rasa takutnya. Ia menghampiri sebuah batu karang besar dan berkata, "Twako, apakah penghuni pulau itu kepalanya lebih kuat dari pada batu karang ini?" Ia menggerakkan tangan kanannya menampar. Terdengar suara keras dan debu mengebul. Ujung batu karang itu pecah berantakan!

Si Nelayan melongo dan mengangguk-angguk. "Ah, kiranya Kongcu adalah seorang demikian kuat. Baiklah, akan tetapi seperti yang Kongcu katakan tadi, saya hanya mengantar dan menjemput, tidak ikut mendarat di sana."

"Jangan khawatir, asal perahumu sudah dekat dengan daratan pulau itu, tidak perlu terlalu dekat, dan kau boleh tinggalkan aku untuk dijemput senja nanti."

Nelayan itu menyeret perahunya dan tak lama kemudian, setelah dapat melalui ombak yang memecah di pantai, lajulah perahu itu membawa Bu Song dan si Nelayan berlayar ke tengah laut. Berdebar jantung Bu Song. Ia sama sekali tidak tahu akan keadaan pulau itu. Mendiang Ciu Gwan Liong hanya menceritakan bahwa kakak sastrawan itu yang bernama Ciu Bun bersembunyi di pulau kosong yang bernama Pek-coa-to ini.

Kenapa sekarang si Nelayan menceritakan hal yang aneh-enah dan seram? Kalau memang pulau itu sedemikian hebat dan berbahaya, apakah Ciu Bun sastrawan tua itu dapat hidup di sana? Bu Song tidak menjadi gentar, malah keanehan perkara ini makin menarik hatinya untuk segera mendarat di pulau itu, membuktikan omongan si Nelayan dan pesan mendiang Ciu Gwan Liong.

Dengan perahu layar yang mendapat angin penuh dan amat laju, sebentar saja mereka sudah tiba di dekat pulau itu. Kiranya yang membuat pulau itu tampak putih dari jauh adalah bukit-bukit atau batu-batu karang besar yang mengandung kapur. Pulau itu tampak sunyi dan kosong, sama sekali tidak kelihatan ada bahaya mengancam. Akan tetapi jelas tampak tubuh si Nelayan menggigil ketakutan. Maka Bu Song lalu meloncat ke darat.

"Kau pergilah mencari ikan, Twako. Nanti sore jemput aku di tempat ini!"

Si Nelayan hanya mengangguk-angguk dan cepat-cepat memutar perahunya untuk menjauhi tempat yang ditakuti ini.

Bu Song tersenyum ketika membalikkan tubuhnya memandang ke tengah pulau. Nelayan itu agaknya menjadi korban kepercayaan tahyul maka ia ketakutan seperti itu. Pulau ini agaknya sunyi dan tenteram, sama sekali tidak ada bahaya mengancam kecuali keadaannya yang liar dan agaknya tak pernah didatangi manusia. Ia melompat ke atas batu karang dan mendaki tempat yang paling tinggi untuk mengadakan pemeriksaan dari atas tentang keadaan pulau itu.

Setelah tiba di puncaknya, ia memandang ke bawah. Kiranya di tengah pulau itu tanahnya cukup subur, banyak pohon-pohon yang merupakan hutan. Akan tetapi sekeliling pulau itu adalah pantai batu karang sehingga dari jauh yang tampak hanyalah karang putih. Beberapa menit lamanya Bu Song mengintai dari atas, akan tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa di pulau itu ada orangnya. Ke mana ia harus mencari Ciu Bun? Benarkah kakek sastrawan itu berada di situ? Pulau ini hanya kecil saja. Ia tentu dapat menjelajahi sampai habis dan kembali ke tempat ia mendarat sebelum senja.

Bu Song turun dari batu karang itu dan berloncatan dari batu ke batu menuju ke tengah pulau. Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan sinar putih menyambar lehernya. Cepat Bu Song miringkan tubuh mengelak. Sinar itu lewat dan ketika ia menengok ke belakang, sinar itu telah lenyap sehingga ia tidak tahu senjata rahasia apakah yang menyambarnya tadi. Jantungnya berdebar. Kiranya benar ada orangnya dan agaknya orang itu berwatak keji, karena buktinya tanpa ada angin atau hujan tahu-tahu sudah menyerang dengan senjata rahasia!

Ia memandang ke kanan dari mana senjata rahasia tadi menyambar. Akan tetapi di sebelah kanannya hanya tampak batu karang dan tidak ada tanda-tanda manusia di situ. Ia kaget sekali. Tiba-tiba ia diserang lagi, dan kini bahkan serangan itu datang dari tiga jurusan, depan, kanan dan kiri. Juga menggunakan senjata rahasia seperti tadi, putih kecil yang menyerang leher, perut dan kaki. Untung ia dapat bergerak cepat dan loncatannya tadi menggagalkan serangan. Celaka, pikirnya. Agaknya sedikitnya ada tiga orang manusia yang memusuhinya.

"Cu-wi sekalian harap jangan turun tangan! Saya datang dengan maksud baik, bukan untuk bermusuhan dengan siapa pun juga."

Pada saat itu, dari sebelah kanan menyambar lagi benda putih. Bu Song penasaran dan ingin memperlihatkan kepandaiannya. Dengan dua jari tangan ia menyambar benda putih itu dan berhasil menjepitnya. Akan tetapi hampir saja ia berteriak saking kagetnya. Benda yang disangkanya senjata rahasia itu kiranya adalah seekor ular putih yang kini terjepit di antara dua jarinya, akan tetapi ular itu telah menggigit telapak tangannya! Bu Song gemas dan sekali remas kepala ular itu hancur.

Telapak tangannya mengeluarkan darah sedikit, tapi Bu Song tidak khawatir. Tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Akan tetapi ia tidak mau mengambil resiko, maka dengan pengerahan hawa sakti ke arah tangannya, ia berhasil mendorong ke luar darahnya melalui luka. Darahnya yang keluar dari luka berubah putih, tanda keracunan! Akan tetapi hanya sedikit, dan setelah yang mengucur ke luar adalah darah merah bersih, ia menghentikan usahanya. Luka tidak berarti, dan ia diam-diam merasa geli.

Kiranya ia tadi bicara terhadap ular-ular putih kecil yang menyerang orang sambil ‘terbang’ atau lebih tepat, meluncur dan melayang. Benar-benar amat berbahaya ular-ular itu. Kalau bukan dia yang digigit, bisa mendatangkan maut. Mulai mengertilah kini Bu Song mengapa si Nelayan itu takut setengah mati terhadap pulau ini. Dan ia pun menduga bahwa tentu masih ada bahaya-bahaya lainnya di pulau ini. Dengan hati-hati ia berjalan terus ke depan. Serangan ular-ular putih ia hindarkan dengan mengelak atau kadang-kadang mengebutnya dengan ujung baju lengan.

Tiba-tiba jantungnya berdebar keras dan ia menghentikan langkahnya. Ia menahan napas dan mendengarkan penuh perhatian. Tidak salah lagi! Itulah tiupan suling! Suara suling yang luar biasa sekali. Dia sendiri seorang ahli meniup suling, akan tetapi tiupan suling yang terdengar itu benar-benar mengagumkan. Dan suara itu datang dari depan sebelah kiri, dari pinggir hutan di mana terdapat bukit-bukit dengan batu-batu hitam.

Girang sekali hati Bu Song. Kiranya mendiang Ciu Gwan Liong tidak menipunya. Ia tidak ragu bahwa yang meniup suling itu tentulah sastrawan Ciu Bun yang dicarinya! Cepat ia berlari menuju ke bukit dekat hutan itu. Kini ia tiba di daerah penuh pasir, dan tiba-tiba ia roboh terguling karena pasir yang diinjaknya itu bergerak memutar!

Begitu jatuh, pasir yang menerima tubuhnya itu mengisap dan berputaran. Bu Song kaget bukan main. Cepat ia mengerahkan tenaganya dan memukulkan kedua telapak tangan ke atas pasir, menggunakan daya dorongan ini untuk mengangkat tubuh ke atas dan sambil berjungkir balik ia meloncat jauh ke depan. Mukanya pucat melihat pasir itu masih bergerak-gerak seperti air! Bukan main! Kalau ia tadi tidak cepat membebaskan diri, tentu tubuhnya akan terisap terus ke bawah dan sekali tubuhnya terisap, sukarlah melepaskan diri lagi. Benar-benar tempat yang amat berbahaya.

Kini ia melangkah dengan hati-hati sekali. Kiranya daerah berpasir ini banyak sekali pasir berpusing seperti itu. Akan tetapi karena ia sudah hati-hati, begitu kakinya menginjak pasir bergerak, ia segera meloncat dan dengan demikian terhindarlah ia dari bahaya itu. Akhirnya ia tiba di dekat bukit dari mana suara suling kini terdengar jelas.

Suara suling itu keluar dari sebuah goa. Dengan hati girang Bu Song terus berjalan menghampiri. Goa itu merupakan terowongan yang dalam dan gelap. Merasa bahwa ia berada di tempat orang, Bu Song tidak berani masuk dan hanya berdiri di depan goa, menanti sampai suara suling itu habis dilagukan. Akhirnya suara suling berhenti dan Bu Song segera berseru.

"Apakah Paman Ciu Bun berada di dalam?" Hening, tiada jawaban sampai lama.

"Saya datang membawa pesan mendiang Paman Ciu Gwan Liong!"

Segera terdengar jawaban dari dalam, suaranya penuh ejekan, "Sin-jiu Couw Pa Ong, apa artinya semua lelucon ini? Kalau kau mau coba memaksaku, mau menyiksaku atau membunuhku, kau masuk saja. Perlu apa menyebut-nyebut nama Gwan Liong?"

Bu Song terkejut. Mengapa orang di dalam itu menyebut-nyebut nama Sin-jiu Couw Pa Ong? "Paman Ciu Bun, saya bukan Sin-jiu Couw pa Ong. Nama saya Liu Bu Song!" teriaknya. Ia sengaja menggunakan she ibunya, karena ia masih merasa tak senang kepada ayahnya yang dianggap telah menceraikan ibunya dan menikah lagi.

"Orang muda, apakah kau bukan kaki tangan Couw Pa Ong?" Agaknya orang di dalam goa yang gelap itu dapat melihatnya yang berada di luar goa, buktinya dapat mengetahui bahwa dia adalah seorang pemuda.

"Sama sekali bukan, Paman."

"Kau membawa pesan apa dari Ciu Gwan Liong?"

"Sebelum Paman Ciu Gwan Liong meninggal, dia menyerahkan sebuah kitab kepada saya dan menyuruh saya mencari Paman Ciu Bun di pulau ini."

"Aaahhh...!" Orang itu mengeluarkan seruan kaget, diam sampai lama lalu berkata, "Orang muda, coba kau bacakan sajak ke tiga dari dalam kitab itu!"

Bu Song sudah sering membaca kitab pemberian Ciu Gwan Liong, maka tanpa membaca pun ia sudah hafal. Maka ia lalu membacakan kalimat dalam sajak ke tiga.

Matahari bersinar miring di tengah hari.
Sesuatu mati begitu lahir.
Selatan tiada batas dan ada ujungnya.
Aku pergi ke selatan hari ini dan tiba di sana kemarin!
Cintalah semua benda dengan sama.
Alam adalah satu
.

Kitab kecil kuno itu memang mengandung sajak-sajak yang amat aneh dan sukar dimengerti. Sajak ke tiga yang dibacakan oleh Bu Song itu adalah sajak dari seorang menteri Kerajaan Wei bernama Hui Su (370-319 BC), seorang tokoh Mohism, yaitu pengikut ajaran-ajaran Mo Cu. Keistimewaan Mohism adalah kata-kata yang saling bertentangan atau saling berlawanan.

Begitu mendengar Bu Song membacakan sajak itu, orang di sebelah dalam goa berseru girang, "Tepat...! Orang muda, engkau dapat sampai di sini tentu memiliki kepandaian, siapakah gurumu?"

"Suhu bernama Kim-mo Taisu."

"Wah, pantas... pantas saja adikku mempercayaimu. Kau masuklah dan suling ini tentu akan kuberikan kepadamu. Akan tetapi engkau harus bisa menghalau perintang yang menyeramkan itu lebih dulu. Ingin kulihat apakah kepercayaan Gwan Liong kepadamu tidak sia-sia! Masuklah, orang muda, akan tetapi awas terhadap binatang-binatang itu. mereka amat buas!"

Bu Song melangkah masuk. Karena orang di dalam goa sudah memberi peringatan, ia bersikap hati-hati sekali, melangkah perlahan-lahan dan mata serta telinganya siap sedia. Tiba-tiba ia mendengar desis keras dan hidungnya mencium bau yang amis. Baiknya cahaya matahari masih cukup terang memasuki goa itu sehingga ia dapat melihat bayangan hitam merayap datang di depannya dan ternyata yang merayap itu adalah seekor binatang seperti buaya yang luar biasa!

Kulitnya tebal, matanya besar bersinar hijau, lidahnya panjang bercabang seperti lidah ular dan dari mulutnya yang mendesis-desis itu keluar uap putih yang berbau amis. Suara mendesis makin hebat dan ternyata binatang itu bukan seekor saja, melainkan ada empat ekor! Mereka datang dari depan, kanan dan kiri dengan sikap mengancam.

Bu Song berdiri memasang kuda-kuda. Begitu melihat binatang yang paling dekat dengannya menyergap dengan kedua kaki depan terangkat dan mulut terbuka lebar, Bu Song segera mengerahkan tenaga ke tangan kanan dan ia memukul dengan jari terbuka.

"Desss!!" binatang seperti buaya itu terlempar, mengeluarkan suara keras akan tetapi lalu merayap pergi, gerakannya lemah dan limbung.

Lega hati Bu Song. Kiranya binatang-binatang ini lebih menakutkan dari pada membahayakan. Ia tidak menanti sampai binatang-binatang itu menyerbunya, melainkan mendahului menerjang maju dan dengan gerakan cepat sekali kedua tangannya membagi-bagi pukulan yang diarahkan kepada tiga ekor binatang yang lain. Terdengar suara keras dan binatang-binatang itu menjerit-jerit lalu lari kacau-balau, bersembunyi di balik batu karang yang gelap di kanan kiri goa.

"Bagus! Kau tidak kecewa menjadi murid Kim-mo Taisu dan kepercayaan adikku Gwan Liong. Tunggulah, orang muda. Setelah empat ekor binatang buruk itu pergi aku dapat keluar sendiri!" Suara orang itu terdengar girang dan tak lama kemudian muncullah sesosok bayangan hitam dari dalam gelap.

Ketika tiba di tempat yang diterangi sinar matahari dari luar, Bu Song melihat seorang laki-laki tua tinggi kurus bermuka pucat. Tubuh dan mukanya menyatakan bahwa kakek ini tidak sehat, atau bahkan sakit, akan tetapi ketika ia berjalan ke luar, langkahnya dan sikapnya membayangkan keangkuhan seorang terpelajar tinggi. Di tangan kanannya terdapat sebatang suling yang berkilauan ketika terkena sinar matahari, sebatang suling berwarna kuning. Tidak salah lagi, itulah suling emas, pikir Bu Song dengan hati penuh ketegangan.

Kakek itu pun memandang Bu Song penuh perhatian. Agaknya ia puas melihat Bu Song. "Mari kita keluar. Kau harus cepat-cepat mempelajari cara meniup suling ini dan menyesuaikan bunyinya dengan sajak-sajak di dalam kitab. Hayo cepat, jangan sampai ia keburu datang!" Tergesa-gesa kakek ini mengajak Bu Song keluar dari dalam goa.

"Apakah Paman maksudkan Kong Lo Sengjin?"

Kakek itu berhenti di depan goa dan memandang. Matanya yang tajam penuh selidik dan membayangkan kecurigaan. "Kau mengenal dia?"

"Tentu saja saya mengenal Kong Lo Sengjin, Paman. Isteri Suhu adalah keponakan Kong Lo Seng Jin, akan tetapi anehnya, kakek yang sakti tapi kejam itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri untuk menipu Suhu."

Kakek yang bukan lain adalah sastrawan Ciu Bun yang selama bertahun-tahun dicari-cari oleh tokoh-tokoh kang-ouw itu tercengang. "Apa...? Kim-mo Taisu menjadi mantu keponakan Couw Pa Ong? Sungguh aneh! Dan tua bangka itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri? Orang muda, eh... siapa namamu tadi? Bu Song? Bu Song, kau ceritakan semua kepadaku!"

Mereka pergi ke belakang tumpukan karang tak jauh dari goa. Di situ Kakek Ciu Bun duduk dan Bu Song segera menceritakan keadaan suhu-nya dan Kong Lo Sengjin menipu Kim-mo Taisu bahwa pembunuhnya adalah musuh-musuh Kong Lo Sengjin. Kemudian betapa secara tidak sengaja ia mendengar percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang maka ia tahu akan rahasia itu. Kemudian ia bercerita juga sedikit tentang keadaan dirinya, bahwa selain murid Kim-mo Taisu, dia pun bekas calon mantunya dan betapa calon isterinya puteri Kim-mo Taisu tewas di dalam jurang.

Mendengar penuturan itu, Ciu Bun bengong lalu memaki gemas, "Tua bangka itu benar-benar telah menyeleweng jauh dari pada kebenaran! Untung bukan dia yang mendapatkan kitab di tangan Gwan Liong. Kau tadi bilang Gwan Liong sudah meninggal, bagaimana kau tahu?"

"Bukan hanya tahu, Paman. Bahkan saya yang mengubur jenazahnya." Kembali Bu Song bercerita tentang nasib Ciu Gwan Liong yang buruk dan betapa kakek sastrawan itu agaknya membunuh diri agar jangan sampai terjatuh ke tangan Kong Lo Sengjin.

Ciu Bun membanting-banting kaki kanannya. "Couw Pa Ong, kau benar-benar patut dimaki dan dikutuk!"

Hening sejenak, kemudian Ciu Bun berkata, "Nah, kau ambil kitab itu, kau baca sajaknya dan aku akan meniup suling itu disesuaikan dengan isi sajak. Kau tahu, setiap huruf itu mengandung bunyi tertentu sesuai dengan maknanya. Suara suling ini harus ditiup sesuai dengan bunyi huruf sehingga merupakan lagu tertentu sesuai dengan bunyi sajak. Kami, yaitu aku dan adikku yang telah meninggal adalah sastrawan-sastrawan yang mengutamakan keindahan seni, maka pemberian anugerah dari Bu Kek Siansu berupa dua buah benda berharga ini bagi kami semata-mata hanyalah mengandung keindahan yang luar biasa. Keindahan seni sastra diselaraskan dengan seni suara. Menurut Bu Kek Siansu, kalau bunyi sajak dan suara suling ini sudah dapat diselaraskan seperti mestinya, maka akan mendatangkan hikmat luar biasa, menenangkan batin, menjernihkan pikiran dan menghalau segala macam pikiran jahat, menindih nafsu dan membawa orang ke tingkat batin yang lebih tinggi. Akan tetapi, selain itu aku yakin bahwa dua benda ini pun mengandung sesuatu yang amat hebat bagi dunia persilatan, karena buktinya tokoh-tokoh kang-ouw dari segala penjuru mencari-cari dan mengejar-ngejar kami. Nah, kau bacakan sajak yang mana saja, biar kutimpali dengan suling ini!"

Mendengar penjelasan itu Bu Song merasa betapa sulitnya mempelajari ilmu menyesuaikan bunyi huruf dan bunyi suling, namun ia menaruh perhatian besar dan segera ia membaca lambat-lambat sederet sajak. Kakek Ciu Bun sudah meniup sulingnya dan terdengarlah bunyi suling mengalun aneh, akan tetapi lebih aneh lagi bagi Bu Song, suara suling itu demikian enak dan cocok dengan suaranya yang membaca huruf-huruf secara lambat.

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan suara aneh lucu. "Ngieeehhh... ngieeehhh!"

Seketika Ciu Bun menghentikan tiupan sulingnya. Karena ini Bu Song juga menghentikan bacaannya dan menoleh ke arah suara. Kiranya di depan goa tadi kini tampak sekor kuda yang ditunggangi oleh dua orang. Dua orang laki-laki aneh sekali, karena mereka itu menunggang kuda dengan menghadap ke belakang dan laki-laki yang di belakang memegang ekor kuda sambil mengeluarkan suara "ngieeeeh-ngieeeeh" tadi.

Dua orang laki-laki ini benar-benar luar biasa sekali. Yang seorang bertubuh tinggi kurus seperti rangka terbungkus kulit, berkepala gundul dan bertelanjang baju, hanya memakai celana sebatas lutut dan bertelanjang kaki. Orang ke dua yang memegangi ekor kuda tidak kalah anehnya. Tubuhnya gemuk sekali, punggungnya berpunuk mulutnya besar dan dan kepalanya juga gundul bertelanjang baju dan bercelana seperti orang yang pertama.

"Kiu-ji dan Ciu-ji (Anak Kiu dan Anak Ciu)! Berani kalian mengganggu aku selagi meniup suling? Awas, kuadukan nanti kepada Ong-ya!"

Muka kedua orang gundul itu menjadi ketakutan. Si Gendut lalu menggerak-gerakkan ekor kuda agar kudanya berlari cepat. "Tidak... tidak... tidak...!" Mereka berkata ketakutan.

Benar-benar pemandangan yang luar biasa sekali. Tak dapat Bu Song menahan keingin-tahuan hatinya. "Paman, siapakah mereka tadi?"

"Mereka itu dua orang pelayan dan juga murid Couw Pa Ong. Gigitan-gigitan beracun dari binatang-binatang berbisa membuat mereka tidak waras otaknya. Akan tetapi mereka itu hebat kepandaiannya, mewarisi ilmunya Couw Pa Ong. Memang tua bangka itu aneh sekali, menurunkan ilmunya kepada dua orang gila macam itu."

"Jadi Kong Lo Sengjin tinggal di pulau ini?" Bu Song bertanya kaget karena hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya.

Ciu Bun mengangguk. "Tentu saja tinggal di sini! Dengarlah, Couw Pa Ong adalah sahabat baikku semenjak dahulu. Kami berdua orang-orang yang setia kepada Kerajaan Tang. Dia banyak belajar ilmu kesusateraan dari aku yang dulu menjabat kedudukan guru sastra di kota raja! Atas ajakannyalah aku tinggal di sini untuk menyembunyikan diri dari orang-orang jahat yang hendak merampas suling ini. Mula-mula Couw Pa Ong memang tetap menjadi sahabat baikku. Akan tetapi agaknya kegilaan kedua orang murid atau pelayannya itu menular kepadanya. Sikapnya mulai berubah dan dia mulai membujuk-bujukku untuk menurunkan rahasia suling dan kitab pemberian Bu Kek Siansu kepadanya! Akan tetapi setelah kutahu bahwa pikiran dan wataknya telah berubah, aku selalu mengatakan bahwa suling ini tidak ada artinya baginya, hanya untuk ditiup melagu menghibur diri. Ia penasaran lalu memasukkan aku ke dalam goa itu, dijaga oleh binatang-binatang liar. Tentu saja aku tidak berani keluar dan yang berani memasuki goa hanyalah dua orang bocah edan tadi yang mengantar makanan setiap hari kepadaku. Kau tahu bahwa Couw Pa Ong tentu hendak mencari dan menangkap adikku untuk memaksa kami kakak beradik membuka rahasia kitab dan suling. Untung sekali adikku bertemu dengan engkau. Nah, tahukah kau sekarang? Hayo kita berlatih lagi. Kau sudah dapat menangkap contohku tadi?"

"Sudah, Paman. Memang mendatangkan perasaan yang hebat, tapi aku masih bingung karena hal ini memang amat sukar dimengerti."

"Memang. Sekarang biarlah kau belajar meniup suling..."

"Paman, saya sudah biasa bersuling dan mendapat petunjuk Suhu..."

"Bagus! Ah, agaknya memang sudah jodoh. Nah, lekas kau meniup suling ini dan usahakan agar suara sulingmu dapat sesuai dengan bunyi dan sifat huruf yang kubaca!"

Mereka bertukar benda. Kakek itu menyerahkan suling emas dan menerima kitab dari tangan Bu Song. Sastrawan Ciu Bun membacakan sajak terakhir dari kitab itu dan Bu Song segera meniup sulingnya. Hebat tiupan suling anak muda ini. Memang ia berbakat sekali sehingga tiupannya mengandung getaran perasaannya. Pula, karena Bu Song sendiri sudah hafal akan isi kitab, ia segera dapat menyesuaikan bunyi sulingnya, mengarah bunyi huruf. Ketika meniup suling, seluruh perhatiannya dicurahkan kepada makna dari huruf yang ditiupnya. Terdengar perpaduan suara sajak dan suling yang luar biasa, mengalun-alun dan merayu-rayu.

ADA muncul dari TIADA.
Betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!


Demikianlah bunyi sajak terakhir itu. Sampai tiga kali Ciu Bun membaca sajak itu, terus diikuti oleh tiupan suling Bu Song. Setelah habis, terdengar Ciu Bun berseru, "Ya Tuhan....!!"

Bu Song memegang suling itu dan memandang Kakek Ciu Bun. Ia terkejut melihat wajah kakek itu makin pucat, seperti kehijauan, akan tetapi mata kakek itu bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga biar pun wajah itu amat pucat, namun seperti berseri-seri. Kedua kakinya ditekuk dan bersila, kedua tangan memegang kitab, lalu bibirnya bergerak. "Dapat sudah sekarang... ya Tuhan, dapat sudah..."

Bu Song tidak mengerti, lalu bertanya hormat, "Paman, apakah yang Paman maksudkan?"

"Bu Song, kau sudah hafal akan isi kitab?" tiba-tiba kakek itu bertanya, suaranya biasa kembali.

"Sudah, Paman."

"Kalau begitu tinggalkan kitab ini padaku dan kau bawalah suling itu pergi dari sini, cepat! Kau sudah tahu akan rahasia isi kitab dan suara suling. Bahagialah kau, Bu Song."

Bu Song mendekati. "Akan tetapi, kalau Paman di sini tertawan, marilah Paman ikut pergi dengan saya. Untuk apa tinggal di pulau berbahaya ini?"

"Tertawan? Berbahaya? Ahh, tidak sama sekali. Sudahlah, kau cepat pergi, jangan sampai dia datang mendapatkan kau di sini."

"Tapi, Paman..."

"Keraguan hati akan merintangi kemajuanmu, orang muda. Pergilah!" Kakek itu berkata dengan suara tegas sehingga Bu Song tidak berani membantah lagi.

Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang bersila di atas batu, menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri dan berjalan pergi dari situ, menuju ke tempat ia mendarat tadi. Di belakangnya ia mendengar suara kakek itu membaca sajak terakhir dan ketika tiba di dua kalimat terakhir, suara itu seperti berteriak girang.

Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!


Ketika Bu Song tiba di tepi pulau, di atas batu karang, ia melihat layar perahu nelayan itu dari jauh. Bu Song menaruh kedua tangan di pinggir mulutnya lalu berseru sambil mengerahkan khikang di dadanya, "Kakak nelayan...! Kemarilah...!!"

Layar itu makin besar dan kini tampaklah perahu kecil itu bersama si Nelayan yang berwajah ketakutan. Setelah perahu itu dekat, dalam jarak lima meter Bu Song lalu meloncat ke atas perahu. Akan tetapi si Nelayan memandang ke arah pulau dengan muka pucat dan tubuh menggigil, sehingga kedua tangannya tidak dapat lagi mengemudi perahu.

Bu Song terheran dan cepat menoleh. Untung ia sudah berada di atas perahu karena ternyata di tepi pulau itu berdiri dua orang manusia aneh yang tadi menunggang kuda dan mereka itu membawa sebuah batu karang besar yang kini mereka lemparkan ke arah perahu. Dua batu karang itu besarnya seperut kerbau dan dilempar dengan kekuatan dahsyat ke arah perahu!

"Cepat jalankan perahu ke tengah!" Bu Song masih sempat berteriak dan ia melompat ke buntut perahu, memasang kuda-kuda dan ketika dua batu karang itu datang menyambar, ia menggunakan kedua tangannya mendorong sambil mengerahkan sinkang-nya.

"Byurrr...!" dua batu karang itu dapat terdorong menyeleweng dan jatuh ke air, akan tetapi saking hebatnya tenaga lemparan itu, kedua kaki Bu Song melesak ke bawah karena papan atas perahu yang diinjaknya jebol! Selain itu, dua batu karang yang terbanting ke air itu menimbulkan gelombang hebat sehingga perahunya miring dan hampir saja terbalik. Baiknya nelayan itu tahu akan bahaya dan sudah cepat-cepat mengatur keseimbangan perahunya, mengemudi layar dan cepat sekali angin besar mendorong perahu menjauhi pulau! Dua manusia aneh itu meloncat-loncat di tepi pulau dan sebentar saja lenyap.

"Kongcu.... Mereka itu tadi.... siluman.... atau ibliskah.....?"

Bu Song tersenyum. Biarkan para nelayan ini ketakutan agar tidak berani mendekati pulau Pek-coa-to, karena kalau mendekati pulau itu memang besar kemungkinan mereka akan tewas. Selain di pulau itu terdapat banyak binatang buas dan berbisa. Juga di situ tinggal Kong Lo Sengjin dan dua orang pelayannya yang gila dan kejam.

"Agaknya mereka itu iblis pulau. Akan tetapi untung kita dapat melarikan diri!" jawab Bu Song.

Jawaban ini membuat nelayan itu makin ketakutan dan ia mengerahkan seluruh kecakapannya untuk berlayar secepat mungkin menyeberang ke daratan yang aman.
Selanjutnya,

Suling Emas Jilid 15

Suling Emas Jilid 15
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
AGAKNYA putera bagsawan itu cukup merasa puas mendengar ini. Bu Song memang seorang pemuda yang pandai membawa diri. Tanpa menjilat pun ia sanggup untuk menyesuaikan diri dan menyenangkan hati orang lain. Suma Boan lalu berteriak memanggil beberapa orang penjaga yang menjaga di gerbang pintu luar. Empat orang penjaga berlarian datang, siap menangkap atau memukul siapa saja atas perintah putera majikan mereka. Akan tetapi kali ini tidak ada pekerjaan pukul-memukul bagi mereka

"Kalian angkat singa-singaan ini dan kembalikan di tempatnya semula!" kata Suma Boan, kemudian sambil menepuk-nepuk telapak tangan menghilangkan debu ia melangkah lebar memasuki taman di samping istana dan lenyap ke dalam pintu berbentuk bulan.

Empat orang penjaga itu saling pandang. "Bagaimana bisa pindah ke sini?" seorang di antara mereka mengomel.

"Baru saja Suma-kongcu mempermainkannya dan melontarkan ke atas seperti sebuah singa kertas saja," Ciu Tang memberi keterangan sambil tertawa.

Empat orang itu menggoyang-goyang kepala dan seorang di antara mereka mengomel perlahan, "Ah, kenapa tidak dikembalikan sekalian ke tempat semula?" Biar pun mengomel, mereka lalu menghampiri singa-singaan batu itu dan berempat mereka mengerahkan tenaga. Singa barong dari batu hanya bergoyang-goyang saja, akan tetapi tidak dapat terangkat oleh mereka!

Ciu Tang meleletkan lidahnya saking kagum. "Empat orang tidak mampu mengangkat patung ini, tapi Suma-kongcu dapat memainkannya dengan sebelah tangan. Benar-benar seperti dewa!"

"Apa anehnya? Beliau memang Lui-kong-sian, tentu saja kami berempat tidak boleh dibandingkan dengan sebelah lengannya! Hayo kita mencari beberapa orang kawan lagi untuk membantu!" Empat orang itu lalu berlarian ke luar.

"Hebat...!" Ciu Tang lalu memasuki kembali ruangan tamu.

Akan tetapi Bu Song sejenak memandang singa-singaan batu. Baginya sukar untuk dipercaya bahwa sebuah benda yang tidak kuat diangkat empat orang, dapat dimainkan dengan sebuah tangan saja. Memang ia sudah terlalu sering menyaksikan kesaktian-kesaktian tinggi seperti gurunya dan juga orang-orang seperti Kong Lo Sengjin. Dibandingkan dengan kesaktian yang diperlihatkan gurunya, permainan Suma-kongcu itu hanyalah permainan kanak-kanak.

Akan tetapi ia tidak percaya kalau kongcu itu benar-benar sedemikian kuatnya. Dengan hati ingin tahu ia lalu menghampiri singa-singaan batu itu, mengulurkan tangan kanan menangkap leher singa-singaan batu lalu menggerakkan tangan sambil mengerahkan tenaga. Singa barong batu itu tergeser dan terlempar sejauh dua meter!

Bu Song tersenyum, lalu ia mengikuti Ciu Toan masuk ke dalam ruangan tamu. Ternyata empat orang penjaga tadi hanya main-main, mungkin untuk menyenangkan hati Suma-kongcu, pikirnya. Kalau para penjaga itu mau, jangankan empat orang, satu orang tentu sanggup mengembalikan singa-singaan itu di tempat asalnya.

Bu Song sama sekali tidak tahu bahwa di dalam dirinya terdapat tenaga yang luar biasa pula, tenaga yang terhimpun oleh latihan-latihan semedhi dan pernapasan. Akan tetapi ia tidak tahu akan hal ini dan tidak pandai mempergunakan tenaga sakti yang terhimpun ini. Hanya kadang-kadang secara kebetulan saja, seperti tadi tenaga sakti itu memperlihatkan diri tanpa ia sengaja.

Ketika ia tadi mengerahkan tenaga, secara kebetulan saja jalan darahnya terbuka sehingga tenaga sakti dapat menerobos dalam lengannya, maka mudah saja baginya untuk melemparkan singa-singaan itu. Andai kata tidak secara kebetulan tenaga sakti itu dapat menerobos ke dalam lengannya, tentu ia tidak akan mampu menggerakkan singa-singaan batu yang beratnya lebih dari limar ratus kati itu!

Pada saat itu, seorang pelayan mucul dan mereka dipanggil menghadap ke ruangan samping di mana Pangeran Suma Kong akan menerima mereka. Mereka mengikuti si pelayan dengan hati berdebar. Masih terdengar oleh Bu Song teriakan-teriakan kaget dari luar, "Eh, kenapa singa-singaan ini sudah pindah lagi lebih jauh? Tadi tidak di sini!"

Ia tersenyum, menganggap para penjaga yang kini datang delapan orang itu seperti badut-badut yang melawak untuk menyenangkan hati majikan, atau seperti anjing yang merunduk-runduk dan menggoyang-goyang ekor di depan majikan.

Bu Song bersikap hormat menghadapi seorang pembesar yang berpakaian serba indah dan bermuka keren. Di antara pelajaran-pelajaran dalam kitab, ada pula tercantum bahwa orang harus menghormat pembesar dan ini merupakan kewajiban seorang bijaksana. Pembesar mewakili pemerintah, maka harus dihormati selayaknya. Maka ia pun ikut berlutut ketika melihat Ciu Tang menjatuhkan diri berlutut ketika pembesar itu muncul diikuti oleh dua orang pengawal.

Agaknya Pangeran Suma Kong juga senang hatinya melihat Bu Song, maka ia lalu mengumumkan bahwa Bu Song diterima bekerja membantunya, sebagai seorang yang mengurus semua surat-surat, membuatkan surat-surat pengumuman, mencatatkan harta yang masuk dan keluar, juga membantu pangeran itu mengurus perpustakaan negara yang menjadi salah satu tugas Pangeran Suma Kong.

Bu Song demikian menarik hati pangeran itu sehingga ia malah diperintahkan tinggal di dalam istana, mendapatkan sebuah kamar di sebelah belakang, yaitu di bagian kamar-kamar pelayan dan pegawai. Bu Song menerima dengan ucapan terima kasih, kemudian ia diperbolehkan mengantar pulang Ciu Tang yang menjadi girang bukan main.

Demikianlah, mulai saat itu Bu Song menjadi pegawai Pangeran Suma Kong. Ia bekerja dengan giat dan rajin sehingga Pangeran Suma Kong merasa suka kepadanya. Setelah pemuda ini membantunya, segala pembukuan dan catatan beres, bahkan ia mulai mendapat pujian dari rekan-rekannya tentang kerapian surat-surat yang terkirim dari Pangeran Suma.

Selain rajin Bu Song juga pandai membawa diri, ke atas tidak menjilat, ke bawah tidak menekan. Semua pelayan suka belaka kepadanya, bahkan Suma-kongcu yang terkenal galak itu pun suka kepada Bu Song dan seringkali di waktu malam kalau Bu Song menganggur, Suma Boan suka mengajaknya mengobrol di taman, bermain catur atau membuat syair.

Dalam dua hal ini, Suma Boan boleh berguru kepada Bu Song, akan tetapi Bu Song selalu bersikap merendah, dalam bermain catur sengaja membuat permainan menjadi seru dan banyak ia mengalah. Hal ini ia lakukan bukan sekali-kali untuk menjilat, melainkan untuk mencegah putera majikan itu menjadi tak senang hati.

Agaknya masa depan Bu Song sudah dapat dipastikan baik dan sesuai dengan cita-cita gurunya kalau saja tidak terjadi beberapa hal yang tak terduga-duga. Setelah hampir dua tahun Bu Song bekerja di situ, dengan hati kecut ia mendapat kenyataan betapa pangeran itu seorang yang amat korup. Mengumpulkan harta kekayaan untuk diri sendiri dengan cara yang amat tercela.

Tidak hanya dengan cara menerima sogokan dalam ujian, namun ia masih menggelapkan uang yang seharusnya masuk ke istana raja. Belum lagi sogokan-sogokan dari para pembesar rendahan jika menghendaki sesuatu yang memerlukan kewibawaan dan kekuasaan Pangeran Suma. Ini semua masih ditambah pajak-pajak paksa yang dipungut dari petani-petani di luar kota raja, yaitu mereka yang mengerjakan sawah pangeran itu yang luasnya sukar diukur!

Malam itu terang bulan. Bulan purnama terapung di langit biru yang bersih dari awan. Indah sekali sinar menyinari jagad, dan lebih indah lagi di taman bunga di istana Pangeran Suma Kong. Suasana seperti ini amat romantis dan tentu akan mendatangkan rasa gembira dalam hati semua orang, terutama orang muda. Akan tetapi tidak demikian dengan Bu Song. Semenjak tadi ia duduk termenung di dalam taman bunga yang sunyi.

Di sudut taman itu, di bagian yang sunyi dan jauh terdapat sebuah pondok yang disebut Pondok Merah karena dicat merah. Sebuah pondok kecil di bawah lambaian daun-daun pohon berbunga. Di tempat inilah ia termenung dengan hati duka. Ia mulai merasa bosan dengan kehidupan di istana Pangeran Suma. Apalagi kalau ia ingat akan semua keadaan di situ, akan sifat dari majikan yang amat korup.

Tak dapat disangkal bahwa ia amat disayang oleh majikannya, disayang sebagai seorang pegawai yang cakap, disuka oleh para pelayan sebagai seorang teman kerja yang rendah hati dan peramah. Akan tetapi keadaan itu sungguh berlawanan dengan hatinya. Biar pun bukan dia yang makan semua uang tidak halal itu, akan tetapi ia merasa seakan-akan membantu orang berbuat jahat. Andai kata Pangeran Suma seorang perampok atau maling, maka dialah menjadi anak buah atau kaki tangannya! Alangkah rendahnya! Dan semua itu ia lakukan hanya untuk makan enak dan pakaian bagus! Atau untuk hari depan yang gemilang?

Dalam duka Bu Song teringat kepada Eng Eng. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang matanya yang terasa panas. Kalau Eng Eng tidak mati, tentu ia pulang kepada Eng Eng. Lebih baik hidup sebagai petani di gunung di samping Eng Eng tersayang. Dan kenangannya berlarut-larut sehingga ia lupa keadaan. Diambilnya sebuah suling yang belum lama ini dibuatnya, suling bambu yang jarang ia tiup. Karena malam itu sudah larut dan suasana di istana pangeran sudah amat sunyi, ia mulai meniup sulingnya.

Getaran suara suling keluar dari getaran hatinya. Teringat ia akan Eng Eng, maka otomatis ia lalu meniup suling itu mainkan lagu kesukaan Eng Eng. Lagu yang iramanya merayu-rayu kalbu. Lagu tentang keluh-kesah dan tangis setangkai kembang yang kekeringan, mengeluh dan meratap menanti datangnya hujan yang tak kunjung tiba, menanti tetesnya air embun yang akan memberi air kehidupan padanya. Berkali-kali lagu ini ia mainkan dan suasana malam indah itu berubah mengharukan.

Suara jengkerik di bawah rumput dan katak di empang seketika berhenti, seakan-akan mereka ini pun terpesona oleh suara suling yang merayu-rayu. Bulan purnama seakan-akan bergoyang-goyang di angkasa, seakan-akan ikut merana dan rindu kekasih, mencari dan mulai bergerak mengejar kekasihnya yang tak kunjug tiba, kadang-kadang menangis menyembunyikan muka di balik segumpal awan hitam.

Sambil bersuling itu Bu Song menatap bulan yang bergerak di antara awan, dan menjelang berakhirnya lagu, ia mendengar suara berkeresek di depan, maka ia mengalihkan pandang ke depan. Suara sulingnya perlahan-lahan melambat dan akhirnya terhenti, matanya bengong memandang ke depan, serasa mimpi. Mimpikah dia? Ataukah benar-benar Eng Eng yang datang itu, turun melalui sinar bulan purnama, berpakaian seperti seorang dewi kahyangan?

Wanita yang kini melangkah demikian ringan, demikian lembut seakan-akan tidak menginjak tanah, seakan-akan melayang dibawa sinar bulan mendekatinya, memiliki wajah lembut seperti Eng Eng. Matanya yang lebar bersinar lembut, hidungnya yang kecil mancung di atas mulut yang kecil mungil, muka yang manis dengan dagu meruncing. Itulah wajah Eng Eng! Akan tetapi pakaian itu? Begitu indah, begitu mewah. Hanya seorang dewi kahyangan saja berpakaian seperti itu, atau seorang puteri istana. Lihat rambutnya! Alangkah indahnya sanggul rambut itu, dihias dengan hiasan rambut emas permata yang berkilauan terkena sinar bulan. Puteri istana!

Berdebar jantung Bu Song dan teringat akan ini cepat-cepat ia bangkit berdiri. Tak salah lagi. Tentu dia itu puteri majikannya. Sudah hampir dua tahun dia bekerja di situ, dan sudah terlalu sering ia mendengar dari para pelayan bahwa Pangeran Suma Kong mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah Suma Boan yang selama ini bersikap cukup baik kepadanya, bahkan seperti menjadi sahabatnya sungguh pun di dalam hati ia tidak suka kepada pemuda bangsawan itu karena ia cukup mendengar tentang sepak-terjangnya yang memuakkan, yaitu mengganggu anak bini orang!

Ada pun anak ke dua Pangeran Suma adalah seorang gadis yang menurut para pelayan cantik seperti bidadari, terpelajar dan halus budi pekertinya, dihormati dan dikasihi semua pelayan. Seorang gadis yang sopan santun dan karenanya tak pernah melanggar peraturan dan belum pernah pula selama itu berjumpa dengan dia. Seorang gadis yang katanya bernama Suma Ceng. Agaknya tidak salah lagi. Inilah gadis itu! Raut wajahnya memang mirip Eng Eng, akan tetapi Eng Eng sudah mati, tak mungkin hidup kembali.

Dengan langkah lemah gemulai, sikap tenang sekali dan mata selalu tertuju kepada Bu Song, gadis itu kini menaiki tangga pondok dan menghampiri Bu Song yang sudah duduk kembali dengan tubuh lemas dan dada berdebar. "Kau... yang bernama Liu Bu Song, pegawai ayah yang baru...?"

Suara itu! Merdu dan bening seperti suara Eng Eng pula! Bu Song menjadi panik dan ia memaksa kedua kakinya yang lemas untuk berdiri lagi, menghadapi gadis itu lalu menjura dengan hormat. Akan tetapi mulutnya tak mampu mengeluarkan kata-kata, hanya matanya yang menatap tajam. Dua pasang mata bertemu pandang, saling mengikat dan saling menjenguk isi hati masing-masing.

Lama sekali mereka hanya berdiri berhadapan dan bengong saling pandang, disaksikan dan ditertawai oleh bulan purnama yang geli melihat kecanggungan kedua orang muda itu. Sinar bulan purnama memang penuh racun asmara dan begitu pandang mata kedua orang muda ini bersilang, bertautlah kedua hati mereka yang membuat keduanya berdebar jantungnya, gemetar tubuhnya dan menggigil kakinya.

"Maaf... maafkan saya, Siocia (Nona)... memang betul saya Liu Bu Song seorang pegawai rendah biasa saja...."

Bagaikan baru sadar dari mimpi gadis itu tersenyum. Gigi putih tersinar bulan berkilat menyambar jantung Bu Song membuat pemuda ini sedetik memejamkan matanya, tak kuat menyaksikan segala keindahan ini. Gadis itu memang benar Suma Ceng. Seperti juga Bu Song, sudah lama ia mendengar tentang diri Bu Song yang selalu dipuji-puji oleh para pelayan. Dipuji ketampanannya, dipuji keramahan dan kelembutannya, dipuji kepandaiannya. Dan tadi, mendengar tiupan suling, membuat ia seperti mimpi, lalu turun dan keluar dari kamarnya, memasuki taman dan memaksa kedua kakinya melangkah ke arah suara suling. Hikmat sang bulan dan sang malam indah membuat ia seperti mabok.

"Benar sekali cerita mereka...."

"Apa maksud Siocia...?"

Akan tetapi Suma Ceng menoleh ke arah bulan sehingga mukanya tersinar penuh, dan gadis ini berbisik seperti kepada bulan, "Benar sekali... sopan, halus, rendah hati..."

"Maaf, Siocia. Bolehkah saya mengetahui...."

"Aku adalah Suma Ceng atau... Ayah, Ibu dan Kakakku menyebutku Ceng Ceng begitu saja. Liu Bu Song Twako, hebat benar kepandaianmu menyuling. Seperti lagu dari sorga...."

Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang berdiri di depannya adalah puteri majikannya, Bu Song sudah menjura dengan dalam dan berkata, "Kiranya Suma-siocia. Maafkan kalau saya berlaku kurang hormat dan berani mengganggu Siocia dengan suara sulingku yang buruk...."

"Ah, jangan terlalu merendah. Selama hidupku belum pernah aku mendengar suara suling seperti tadi. Twako, maukah kau memainkan lagu tadi lagi untukku...?"

"Siocia..., mana saya berani...? Siocia, tidak pantas bagi saya berada di sini... saya... saya..."

"Tidak mengapa. Siapa yang akan menyalahkanmu? Aku yang datang karena tertarik oleh suara sulingmu. Liu-twako, lagu apakah yang kau mainkan tadi?"

"Lagu.... Setangkai Kembang Kekeringan..."

"Ahhhh...! Pantas begitu mengharukan. Twako, mengapa kau berduka dan menyanyikan lagu seperti itu? Tadi aku sampai meruntuhkan air mata mendengarnya..."

"Siocia...."

Mereka kembali berpandangan, keduanya tak dapat mengeluarkan kata-kata dan kembali dalam pandang mata itu mereka seakan-akan sudah mengenal masing-masing. Seakan-akan dalam pandang mata itu mereka sudah mengikrarkan janji, saling bertukar hati, bertukar kasih. Suma Ceng menundukkan muka lebih dulu. Mukanya menjadi merah sekali, giginya yang kecil-kecil menggigit bibir bawah, ujung matanya yang tajam meruncing itu melempar kerling ke arah Bu Song, lalu naik sedu-sedan setengah tawa dari kerongkongannya dan gadis itu membalikkan tubuh, terus berlari kecil meninggalkan pondok, berlari-lari cepat sekali kini dan sebentar saja lenyap di balik pintu bulan.

Bu Song bengong. Peristiwa tadi seperti mimpi. Ia menjambak-jambak rambutnya dan diam-diam menyumpahi hatinya. Mengapa hatinya begitu tertarik? Mengapa hatinya begitu penuh cinta birahi? Gadis itu adalah puteri majikannya! Dan dia hanyalah seorang juru tulis, seorang pegawai biasa! Dan gadis itu selain cantik jelita, puteri bangsawan yang kaya raya, pandai, dan juga melihat caranya berlari cepat itu tentulah seorang gadis yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi! Seperti seekor kumbang merindukan bulan!

Dengan langkah lemas Bu Song lalu menyeret kedua kakinya, kembali ke kamarnya yang berada jauh dari pondok kecil taman bunga itu. Semalam suntuk ia tidak dapat tidur, gelisah dan resah, rindu dan risau sehingga pada keesokan harinya ia bekerja dengan muka pucat dan baru pada hari itu ia merasa betapa pekerjaannya berat dan tidak lancar.

Semenjak terjadi pertemuan di malam itu, dua orang muda itu merasa tersiksa hidupnya. Bu Song mengerahkan kekuatan batinnya dan menonjolkan akal sehatnya, memaksa hati mengakui bahwa tak mungkin dia mencinta seorang gadis seperti Suma Ceng. Persamaan wajah gadis itu dengan Eng Eng sama sekali bukanlah alasan untuk ia membuta. Kenyataan memisahkan mereka jauh, sejauh bumi dan langit.

Suma Ceng adalah puteri seorang pembesar tinggi yang tinggal dalam istana, berkedudukan tinggi dan seorang bangsawan terhormat, masih keluarga raja! Dan dia? Dahulu memang ayahnya jenderal. Akan tetapi sekarang? Dia hanya seorang yang hidup sebatang kara, seorang pelajar yang tidak lulus, seorang yang menerima budi Pangeran Suma Kong seperti seorang pengemis kelaparan menerima sumbangan seorang kaya.

Seorang pegawai rendahan, seorang pegawai biasa. Tidak mungkin terjadi! Andai kata gadis bangsawan itu tertarik oleh suara sulingnya, tak mungkin sudi merendahkan diri bergaul dengan seorang pegawai rendah seperti dia. Belum lagi kalau ketahuan Sang Pangeran, tentu dia akan dihukum berat.

Juga Suma Ceng semalam itu dan malam-malam berikutnya tak dapat tidur nyenyak. Wajah pemuda bersuling itu terbayang terus. Suaranya yang halus dan sopan itu mengiang terus di telinganya. Sepasang mata lebar tajam yang terhias alis berbentuk golok itu seakan-akan terus membayanginya. Namun gadis ini pun mengerti bahwa tak mungkin ia dapat membiarkan dirinya bergaul dengan seorang pegawai ayahnya!

Tak mungkin berjodoh dengan seorang pekerja biasa. Ayahnya tentu akan marah sekali, juga kakaknya. Kadang-kadang Suma Ceng menangis kalau teringat akan hal ini, kalau teringat betapa kelak ia tentu akan dijodohkan dengan seorang laki-laki bangsawan yang belum tentu dicintanya, bahkan yang mungkin dibencinya.

Namun cinta adalah perasaan yang aneh, yang amat besar pengaruh dan kekuasaannya. Cinta kasih mengalahkan segala macam perasaan lain, bahkan mengalahkan akal budi dan kesadaran, membuat orang seakan menjadi buta dan nekat, siap untuk menyerbu lautan api. Cinta merupakan api yang menyala indah, menari-nari dan meliuk-liuk menimbulkan warna yang cerah dan indah, membelai-belai dan melambai-lambaikan tangan kepada orang-orang yang sudah terkena hikmatnya sehingga mereka itu melangkahkan kaki makin mendekati tanpa menyadari bahwa bahaya mengancam mereka. Baru akan terbuka mata mereka, baru akan sadar pesona mereka, setelah terlambat dan hanya penyesalan yang tinggal, penyesalan dan luka setelah hangus terbakar.

Akan tetapi, seperti juga api, cinta dapat mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan hidup, mendatangkan kehangatan dan mendorong semangat, menimbulkan keindahan dan kenikmatan hidup. Asal orang pandai menggunakannya. Asal orang dapat menguasainya. Cinta itu indah. Cinta itu nikmat. Cinta itu anugerah. Bagi mereka yang dapat menguasainya. Akan tetapi cinta itu pangkal mala-petaka. Cinta itu pangkal sengsara dan pangkal derita. Bagi mereka yang mabok dan lemah, yang menjadi permainan cinta. Cinta antara pria dan wanita memang memiliki dua sifat yang bertentangan seperti juga segala benda di dunia ini.

Namun manusia tetap lebih kuat, asal pandai membawa diri, pandai dan kuat menguasai nafsu liar ganas seperti kuda hutan. Bahagialah orang muda yang pandai menguasainya, sebaliknya kasihanlah mereka yang menjadi permainannya. Asal ingat saja bahwa CINTA KASIH dan NAFSU BIRAHI adalah dua sifat yang jauh berbeda akan tetapi bermuka kembar! Bermuka sama sehingga sukar bagi orang muda untuk memperbedakannya. Karena keliru mengenal inilah yang suka membawa mala-petaka. Nafsu birahi disangka cinta, maka terseretlah ia ke jurang kehancuran
.

Demikianlah pula dengan Bu Song dan Suma Ceng. Keduanya mabok oleh gelora cinta sehingga semua pengertian tentang perbedaan tempat mereka, pengertian tentang tidak adanya kemungkinan bagi mereka untuk berjodoh, hancur lebur dan terlupa sama sekali. Hanya tujuh hari mereka dapat bertahan. Malam ke delapan, lewat tengah malam, Bu Song tak dapat menahan dirinya dan ia sudah berada di dalam pondok kecil di ujung taman, meniup sulingnya.

Seakan-akan suara suling itu dapat menembusi kamarnya yang amat rapat, Suma Ceng yang juga tidak dapat menahan dirinya lagi sudah menyelinap ke luar dan berlari-lari memasuki taman, terus menuju ke ujung taman, ke pondok dari mana kini terdengar jelas alunan suara suling. Terengah-engah Suma Ceng tiba di depan pondok, bukan karena lari tadi, melainkan karena debar jantung yang menggelora. Suara suling terhenti karena Bu Song sudah mendengar kedatangannya. Pemuda itu berlari ke luar, mereka berhadapan dan seperti tak kuat menghadapi daya tarik besi sembrani yang memancar dari keduanya, mereka saling tubruk dan saling rangkul!

"Aku tahu kau akan datang..."

"Aku pun tahu kau menanti di sini..."

Hanya itu ucapan mereka sebagai pengganti pernyatan bahwa masing-masing tahu hati masing-masing, tahu bahwa mereka saling mencinta. Sambil bergandeng tangan mereka memasuki pondok merah, duduk di atas bangku di mana tadi Bu Song termenung dan menyuling.

Bu Song merasa seakan-akan Eng Eng hidup kembali. Ia takut akan kehilangan lagi, seperti seorang kanak-kanak yang pernah kehilangan benda mainan tersayang, kini didekapnya erat-erat takut kalau yang telah ketemu akan hilang lagi. Suma Ceng sebaliknya juga masih sadar bahwa sekali waktu ia akan kehilangan pemuda yang telah merampas hatinya ini, pemuda yang sudah merenggut kasih sayangnya. Kesadaran inilah yang membuat gadis itu nekat, menyerahkan diri dengan tulus ikhlas kepada pemuda yang takkan mungkin menjadi miliknya ini.

Keduanya mabok asmara hingga lupa diri, dan tanpa mereka sadari mereka menyerahkan diri kepada nafsu birahi. Nafsu birahi seperti pusingan air yang amat kuat. Sekali orang terseret, akan dibawa berpusing dan tenggelam, makin lama makin dalam dan takkan timbul kembali, sebelum.... mati!

Hanya bulan dan kadang-kadang malam gelap sunyi yang mengetahui. Hanya pondok merah di ujung taman menjadi saksi bisu akan pertemuan-pertemuan dua orang muda yang mabok nafsu dibuai gelora cinta kasih. Nafsu adalah saudara loba, makin dituruti makin menjadi, diberi sedikit ingin banyak, dituruti sehasta ingin sedepa. Pertemuan dan hubungan dilanjutkan. Mesra.....

Akhirnya tiba saatnya yang membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidaklah kekal adanya. Bahwa kesenangan di dunia ini tiada lain hanyalah keindahan-keindahan yang dibentuk sekelompok awan di angkasa raya. Sewaktu-waktu akan buyar kehilangan bentuk oleh tiupan angin. Bahkan banyak kalanya buyar dan berubah menjadi awan menghitam yang buruk menakutkan!

Malam itulah terjadinya. Malam yang takkan terlupa oleh Bu Song mau pun oleh Suma Ceng. Malam yang gelap tiada bulan tiada bintang, atau lebih tepat, malam yang terselimut awan. Malam yang dingin. Namun di dalam pondok merah itu yang ada hanyalah terang di dalam dua hati yang berpadu kasih, yang ada hanyalah panas di dalam dua tubuh yang dicekam nafsu birahi!

Sesosok bayangan berkelebat di depan pondok. Gerakannya cepat dan gesit sekali. Bayangan itu mendekam di ujung pondok, menanti. Seperti biasa, Bu Song menggandeng tangan kekasihnya dan berdua mereka bergandengan tangan menuju ke pintu bulan. Sampai di situlah Bu Song mengantar kekasihnya, kemudian sejenak saling rangkul, saling cium sebagai salam perpisahan malam itu.

Tiba-tiba bayangan yang sejak tadi mengikuti mereka, meloncat dan memukul muka Bu Song. Bu Song terhuyung dan roboh, Suma Ceng menjerit tertahan. Suma Boan sudah berdiri di depan mereka dengan mata melotot!

"Lekas kembali ke kamarmu!" bentak Suma Boan kepada adiknya yang berlari sambil terisak menangis.

Bu Song merangkak bangun, akan tetapi ia roboh kembali ketika kaki Suma Boan menendang dadanya. Kemudian putera pangeran itu mencengkeram rambutnya dan menyeretnya ke belakang istana, seperti seorang jagal menyeret seekor domba yang dibawa ke penjagalan.

"Bedebah! Anjing tak kenal budi!" Suma Boan memaki bekas sahabatnya.

Bu Song diam saja. Pikirannya mengakui kesalahannya, akan tetapi hatinya memberontak. Hatinya tidak mau mengakui salah. Ia dan Ceng Ceng saling mencinta. Apa salahnya?

Di belakang istana, Suma Boan memanggil seorang pengawal. Ia mendorong tubuh Bu Song sampai terkapar di atas tanah. "Ikat dia pada pohon itu!" perintahnya.

Pelayan itu menyeringai. Ia mengenal Bu Song dan ia tidak tahu mengapa majikannya marah-marah kepada pegawai muda ini. Akan tetapi Bu Song bukanlah sahabat para pengawal. Pengawal-pengawal adalah orang-orang yang mengutamakan kekerasan dan kekuatan. Seorang pemuda lemah tukang pegang pena dan kertas tentu saja bukan golongan mereka dan mereka menganggapnya rendah.

Dengan kasar ia menarik lengan Bu Song, menelikungnya ke belakang lalu medorong pemuda itu ke arah pohon. Kemudian ia mengikat kedua tangan Bu Song ke belakang pohon itu dengan sehelai tambang yang besar dan kuat. Hampir patah rasanya tulang lengan Bu Song. Ia merasa betapa sambungan tulang pundaknya sakit-sakit dan hampir terlepas. Namun sedikit pun tidak pernah terdengar keluhan dari mulutnya. Dia seorang pemuda yang tahan derita, daya tahannya luar biasa berkat gemblengan dari suhu-nya yang tak diketahui olehnya sendiri.

"Hayo, sekarang kau mau bicara apa? Keparat kurang ajar!" Suma Boan melangkah maju dan....

"Plak-plak-plak!" kedua pipi Bu Song ditampar sekerasnya sampai kepala Bu Song bergoyang-goyang ke kanan kiri.

"Suma-kongcu, bicara apa lagi? Aku dan dia saling mencinta. Kalau itu kau anggap bersalah, bunuhlah, aku tidak takut mati."

"Setan...!" Suma Boan marah sekali, tangan kanannya memukul dada dan tangan kiri menghantam ke arah perut.

Bu Song maklum akan hebatnya pukulan yang melayang datang. Ia tidak takut mati, akan tetapi ngeri juga membayangkan rasa nyeri dipukul, maka otomatis hawa sakti di tubuhnya berkumpul ke arah dada dan perut.

"Dukk! Duukk!" dua pukulan hebat itu tentu akan menghabiskan nyawa orang. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya hati Suma Boan ketika pukulannya bertemu dengan kulit yang keras sehingga pukulan-pukulan itu membalik. Namun Bu Song menjadi sesak napasnya dan terengah-engah.

"Jaga dia di sini sampai pagi. Kalau banyak cakap boleh pukul mukanya, tapi jangan dibunuh!" akhirnya Suma Boan meludahi muka Bu Song dan pergi dari tempat itu. Pengawal itu tertawa ha-ha-hi-hi lalu duduk bersandar batu karang hiasan di belakang istana.

Kiranya Suma Boan melaporkan kepada ayahnya tentang peristiwa semalam. Tentu saja Pangeran Suma Kong menjadi kaget bukan main dan marah sekali. "Keparat, anak setan tidak mengenal budi orang! Bunuh saja dia! Siksa biar tahu rasa!" Kemudian pangeran ini melangkah lebar menuju ke kamar anaknya, Suma Ceng.

Waktu itu matahari telah bersinar terang. Suma Boan menuju ke belakang istana dan makin gemas hatinya melihat Bu Song terikat di pohon itu. Alangkah tenang wajah pemuda itu, pikirnya. Sedikit pun tidak memperlihatkan ketakutan. Si Pengawal cepat bangkit berdiri ketika melihat majikannya muncul.

"A Piauw, urusan dengan bedebah ini adalah urusan antara dia dan aku. Hanya engkau yang menjadi saksi. Tak perlu kau bicarakan dengan orang lain. Kalau ada yang tanya, bilang saja bahwa kau tidak tahu. Mengerti?"

"Baik, Kongcu."

Bu Song mengangkat mukanya memandang Suma Boan, lalu berkata, "Suma-kongcu, kau benar, urusan ini adalah urusan antara engkau dan aku. Seperti kukatakan malam tadi, kalau kau menganggap aku telah melakukan sesuatu yang salah dan kau akan menghukumku, lakukanlah. Aku bersedia kau bunuh, akan tetapi jangan kau salahkan dia."

"Tutup mulut!" bentak Suma Boan yang mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku bajunya. "A Piauw, kau ambil secawan arak!"

Pengawal itu tadinya bingung. Untuk menghukum seorang lawan, mengapa harus mengambil secawan arak? Akan tetapi ia tidak berani membantah, segera berlari cepat meninggalkan tempat itu dan kembali lagi membawa sebuah cawan yang terisi arak setengah lebih. Suma Boan membuka bungkusannya, menuangkan sedikit bubuk hitam ke dalam cawan. Arak yang tadinya berwarna merah itu lalu berubah menjadi hitam dan mengeluarkan uap! Tahulah si Pengawal bahwa arak itu diberi racun. Ia menyeringai heran. Untuk membunuh lawan, mengapa tidak sekali pukul atau bacok saja dengan senjata? Mengapa harus menggunakan arak beracun?

"Bu Song, alangkah inginku menggunakan tanganku sendiri untuk memukulimu sampai pecah kepala dan dadamu, atau menggunakan sebatang golok mencincang hancur tubuhmu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau pernah melayani aku, pernah menjadi seorang yang kuanggap orangku dan sahabatku, biarlah kau menebus dosamu dengan minum racun. Akan tetapi jangan kira bahwa kau akan cepat terbebas dari racun ini. Tidak! Racun ini akan menggerogoti ususmu sedikit demi sedikit, dan kau akan mati dalam keadaan menderita, biar kau mendapat kesempatan untuk menyesali dosa-dosamu! A Piauw, minumkan arak itu padanya!"

A Piauw yang ingin menyenangkan hati majikannya, mengejek, "Heh-heh, orang muda. Silakan minum anggur pengantin...."

"A Piauw tutup mulutmu! Apa kau minta kupecahkan kepalamu?!"

A Piauw kaget sekali, tidak mengerti mengapa majikannya begitu marah.

Ada pun Bu Song tersenyum pahit mendengar ejekan itu, ejekan yang amat tepat. Ia tidak minum anggur pengantin bersama Suma Ceng, melainkan minum arak beracun untuk menemui maut! Ia menengadah dan membuka mulutnya. Akan tetapi A Piauw yang mendongkol oleh bentakan majikannya, menjambak rambut Bu Song dengan tangan kiri, menarik kepala itu ke belakang, lalu dengan tangan kanan ia menuangkan arak beracun itu ke dalam mulut Bu Song.

Bu Song merasa kerongkongannya seperti dibakar dan kepalanya pening karena bau arak itu menyengat hidung. Akan tetapi tanpa takut ia menelan arak itu ke dalam perutnya. Kemudian dengan menundukkan mukanya ia menanti datangnya rasa nyeri yang akan mengerogoti ususnya seperti yang dikatakan Suma Boan tadi. Aneh, sama sekali tidak ada rasa nyeri itu sungguh pun di dalam perutnya mulai bergerak-gerak seperti banyak hawa di situ dan terdengar suara tiada hentinya seperti air mendidih.

Suma Boan yang merasa amat benci mengingat perbuatan Bu Song dengan adiknya, menanti pemuda itu menderita nyeri yang luar biasa. Akan tetapi ia heran. Bu Song sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak menahan nyeri yang hebat, bahkan kelihatan tenang-tenang saja. Pangkal lengannya yang di telikung ke belakang dan semalam terasa nyeri seakan-akan terlepas sambungannya, kini malah sudah membaal dan tidak terasa apa-apa lagi.

Suma Boan menanti sampai lama, sampai matahari naik tinggi. Bu Song kelihatan lemah oleh lelah, lapar dan haus. Namun sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa racun itu bekerja dan mengamuk di dalam perut Bu Song. Suma Boan merasa penasaran dan menyuruh pembantunya menelanjangi tubuh atas Bu Song agar pemuda itu tersiksa oleh terik panas matahari. Memang niatnya ini berhasil dan Bu Song menggeliat-geliat disengat sinar matahari. Namun pemuda itu tetap saja membungkam, tak pernah mengeluh, tak pernah minta ampun dan tidak pernah minta minum.

Menurut perhitungan Suma Boan, orang yang minum racun tadi tentu umurnya takkan lewat setengah hari. Namun sampai matahari condong ke barat, Bu Song masih segar bugar biar pun amat menderita. Hal ini membuat Suma Boan menjadi penasaran dan marah sekali. Ia mengeluarkan sebatang cambuk dan mulailah ia mencambuki tubuh atas yang tak berbaju itu. Dada, leher, dan muka Bu Song sampai penuh jalur-jalur merah dan biru dan darah mulai bercucuran ke luar. Namun tetap saja Suma Boan sendiri yang kehabisan tenaga saking lelahnya. Ia telah mencambuki sampai seratus kali dan kini Bu Song tampak menggantung pada pohon itu, agaknya pingsan.

"Kau jaga dia malam ini. Hendak kulihat apakah besok pagi dia masih dapat bertahan hidup. Kalau malam nanti dia mampus, tetap jaga dia. Besok pagi bawa pergi mayatnya," kata Suma Boan kepada pembantunya.

Setelah melepaskan pandang untuk terakhir kalinya dengan senyum mengejek, Suma Boan lalu memasuki istana ayahnya. Kebetulan sekali seorang pengawal mencarinya karena ayahnya memanggil. Setelah ayah dan anak ini bertemu, mereka berunding.

"Aku sudah matangkan perjodohan adikmu dengan Perwira Muda Kiang. Sekarang baiknya perjodohan itu dipercepat. Besok kau pergilah kepada keluarga Kiang dan menyampaikan surat desakanku agar pernikahan dapat dilangsungkan dalam bulan ini atau selambatnya bulan depan. Aahhh, sungguh menggelisahkan hati benar anak perempuan itu! Kalau tidak ingat bahwa hanya dia seorang anakku perempuan, lebih baik melihat dia mati di depanku!"

"Ayah, sudah ada jalan terbaik mengapa berpikir demikian? Moi-moi masih terlalu muda dan harus diakui bahwa Bu Song memang tampan dan sikapnya menarik hati. Yang berdosa besar adalah Bu Song. Tentu dia yang memikat Moi-moi sehingga terjerumus...."

"Bagaimana dia? Bagaimana keparat jahanam itu? Sudah kau bikin mampus?"

Suma Boan mengangguk. "Malam nanti tentu dia mati. Aku membiarkan dia mati dalam keadaan menderita untuk menebus dosanya!"

Malam itu gelap gulita. Apa lagi di bagian belakang istana, karena malam itu semua pelayan atau pengawal dilarang memasuki kebun itu. Keluarga Suma tentu saja ingin menyimpan peristiwa itu, tidak ingin membiarkan orang luar tahu akan hubungan yang terjadi antara puteri Suma dengan seorang pegawai rendahan!

A Piauw si pengawal itu makan dan minum arak di bawah pohon, makanan dan arak yang dikirim oleh seorang pengawal lain atas perintah Suma Boan. Sambil minum arak A Piauw memandang ke arah tubuh yang masih lemas tergantung pada batang pohon. Diam-diam ia merasa amat kagum pada pemuda lemah itu. Seorang pemuda sastrawan yang tentu saja bertubuh lemah, akan tetapi sedikit pun tidak mengeluarkan rintihan atau keluhan, padahal ia telah diberi minum racun yang merusak usus dan dicambuki sampai seratus kali oleh Suma-kongcu yang terkenal mempunyai tangan yang kuat sekali! A Piauw menggeleng-geleng kepala. Kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri, tentu ia tidak akan sudi percaya. Mana ada seorang pemuda lemah dapat menahan segala derita tanpa mengeluh satu kali pun?

Angin malam bertiup dan daun-daun pohon bergoyang. A Piauw menarik leher bajunya ke atas. Entah mengapa, ia merasa bergidik. Sudah matikah pemuda itu? Berpikir demikian, ia bangkit berdiri dan menghampiri tubuh Bu Song. Muka itu masih tunduk, akan tetapi ketika ia mendekat, Bu Song mengangkat muka. Sepasang matanya masih bersinar tajam. A Piauw mundur lagi dan makin merasa seram. Pemuda ini bukan orang sembarangan, pikirnya. Bagaimana kalau sampai besok pagi belum mati? Ah, terserah Kongcu saja pikirnya. Tugasnya hanya menjaga dan apa sukarnya menjaga seorang yang sudah setengah mati dan terikat pada pohon?

Kembali angin membuat daun-daun pohon bergoyang. Akan tetapi pohon di mana Bu Song terikat, terlampau keras goyangnya. Keadaan amat gelap dan lampu gantung yang berada di atas kepala A Piauw tergantung pada batu karang. A Piauw menjadi curiga dan mendekati Bu Song. Akan tetapi matanya terbelalak ketika melihat Bu Song sudah terlepas dari ikatan, dan seorang kakek merangkul pundaknya.

"Heee...! Apa... siapa...."

Hanya sekian saja A Piauw mampu mengeluarkan kata-kata karena tubuhnya seolah-olah menjadi lumpuh seketika dan ia roboh seperti kain basah jatuh dari sampiran. Ia tak mampu bergerak mau pun mengeluarkan suara, hanya matanya melotot menyaksikan betapa kakek itu berkelebat pergi sambil mengempit tubuh Bu Song.

Penolong Bu Song itu bukan lain adalah Kim-mo Taisu. Kakek ini bermaksud mencari dan mengunjungi muridnya. Siang tadi ia mendengar dari Ciu Tiang akan nasib baik Bu Song yang di terima menjadi pegawai Pangeran Suma Kong. Diam-diam Kim-mo Taisu menjadi tidak senang hatinya. Ia sudah mendengar siapa adanya Pangeran Suma Kong, seorang bangsawan tinggi tukang korup. Ia khawatir kalau-kalau Bu Song akan menjadi rusak setelah menjadi kaki tangan pembesar koruptor itu. Maka sengaja malam itu ia pergi menyelidiki dan memasuki kompleks istana Pangeran Suma Kong melalui tembok belakang. Dan kebetulan sekali ia melihat betapa muridnya terikat pada pohon dengan tubuh bekas siksaan, maka ia cepat menolongnya dan membawanya pergi ke luar dari tembok kebun istana.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Ciu Tang ketika Kim-mo Taisu datang lagi membawa tubuh Bu Song yang lemah dan masih pingsan. Cepat ia membantu, dan setelah tubuh pemuda itu dibaringkan, Kim-mo Taisu segera memeriksanya. Lega hati kakek ini ketika mendapat kenyataan bahwa muridnya tidak menderita luka hebat, hanya luka di kulit saja. Akan tetapi melihat keadaannya, hatinya menjadi panas. Siksaan itu keterlaluan sekali dan kalau saja muridnya tidak memiliki hawa sakti dalam tubuh dan memiliki daya tahan yang luar biasa, tentu Bu Song sudah mati. Kakek ini sama sekali tidak tahu bahwa Bu Song malah telah diberi minum racun hebat yang untung sekali tidak membunuhnya karena tubuh Bu Song sudah kebal setelah pemuda ini menghabiskan obat sarang burung rajawali hitam.

Setelah diberi minum obat penguat, dalam waktu satu jam saja Bu Song sudah siuman. Ia membuka matanya dan memang tadi ketika tertolong, ia dalam keadaan sadar. Cepat ia turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kim-mo Taisu yang menjaganya di situ. Kakek ini memberi isyarat kepada Ciu Tang untuk keluar dari kamar, kemudian ia menutup daun pintu dan menyuruh muridnya duduk kembali di pembaringan.

"Ceritakan apa yang terjadi padamu," kata guru ini dengan pandang mata tajam.

Bu Song menjadi rikuh sekali, merasa malu dan tidak enak hati. Gurunya ini juga bekas calon mertuanya. Bagaimana hatinya akan merasa enak kalau bercerita bahwa dia mengadakan hubungan dengan puteri Pangeran Suma, ketahuan dan dihajar seperti itu? Bukankah gurunya akan menganggapnya seorang laki-laki hina dan rendah, bahkan mungkin dianggapnya dia seorang pemuda hidung belang atau mata keranjang? Akan tetapi, untuk berbohong terhadap suhunya ia tidak mau, maka sambil menundukkan mukanya ia berkata.

"Suhu, murid selayaknya menerima kematian. Agaknya Suhu telah membuang tenaga sia-sia dengan menolong murid yang murtad dan berdosa. Teecu (murid) akan menceritakan segalanya secara terus terang dan andai kata Suhu menjadi marah dan lalu menghukum atau membunuh teecu, teecu akan menerima dengan hati rela." Kemudian ia menceritakan semua pengalamannya, semenjak ia turun gunung pergi ke kota raja, tentang pertemuannya dengan Kakek Kong Lo Sengjin, tentang ujian dan kemudian tentang peristiwa antara dia dan Suma Ceng.

"Suhu, teecu telah berdosa. Teecu telah kehilangan kekuatan batin, tidak kuasa menghindarkan diri dari perbudakan nafsu seperti yang diajarkan Suhu. Teecu tidak berdaya, bertemu dengan Suma Ceng membuat teecu ingat kepada Eng Eng dan segala sesuatu tidak dapat teecu hindarkan lagi. Teecu menerima salah dan terserah kepada hukuman Suhu." Bu Song menutup ceritanya sambil menundukkan muka.

Kim-mo Taisu mendengarkan semua penuturan muridnya dengan termenung. Terbayanglah segala pengalamannya dengan wanita. Dia pun banyak mengalami mala-petaka dan penderitaan karena cinta. Dalam cinta kasih, ia selalu mengalami kegagalan dan kesialan! Mengapa hal yang buruk itu agaknya menurun kepada muridnya?

Akan tetapi ada hal yang membuat ia penasaran dan marah sekali ketika mendengar cerita muridnya. Yaitu tentang Kong Lo Sengjin, tentang percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang. Kiranya yang menyuruh bunuh isterinya adalah Kong Lo Sengjin, paman isterinya sendiri! Kiranya pamannya yang terlalu besar nafsunya akan kedudukan dan kemuliaan dunia itu telah sengaja membangkitkan amarah dalam hatinya dengan jalan menyuruh bunuh isterinya dan melakukan fitnah bahwa yang menyuruh bunuh adalah musuh-musuhnya!

"Bu Song, setelah engkau mengalami banyak penghinaan dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat, apakah engkau masih menganggap bahwa ilmu silat adalah rendah dan tidak patut dipelajari oleh orang budiman?"

Bu Song diam saja, tidak dapat menjawab. Memang banyak sudah kenyataan menimpa dirinya hanya karena ia seorang lemah.

"Andai kata engkau dahulu belajar ilmu silat dariku, apa kau kira Suma Boan berani menyiksamu? Bahkan mungkin Suma Ceng dapat menjadi jodohmu karena tidak ada orang berani melarangmu! Ilmu adalah ilmu, baik itu ilmu silat (bu) ataukah ilmu surat (bun). Ilmu tetap ilmu, titik. Tidak bisa dibilang baik mau pun buruk. Semua benda di dunia ini tidak punya sifat baik atau pun buruk. Yang ada hanya wajar, sudah semestinya begitu, tidak baik tidak buruk. Baik buruknya tergantung kepada si manusia yang memanfaatkannya. Karena sesungguhnya, istilah baik dan buruk adalah ciptaan manusia sendiri. Baik buruknya tergantung dari manusia, kalau dipergunakan untuk kebaikan maka itulah ilmu yang baik. Kalau dipergunakan untuk kejahatan, maka buruklah ilmu itu! Seperti halnya semua anggota tubuh, misalnya mulut. Mulut tetap mulut, tidak baik tidak buruk. Kalau dipergunakannya hanya untuk menjadi jalan masuknya makan minum yang enak-enak dan menjadi jalan ke luarnya maki-makian, ucapan kurang ajar, fitnah dan tipu, maka buruklah mulut itu! Akan tetapi kalau dipergunakan menjadi jalan masuk minum yang sehat dan jalan ke luar omongan yang baik-baik bagi manusia lain, maka baiklah mulut itu!"

Kim-mo Taisu bicara penuh semangat dan Bu Song mendengarkan sambil menundukkan mukanya, namun dengan penuh perhatian.

"Kau dahulu menganggap silat itu ilmu kasar untuk berkelahi dan membunuh orang atau melukainya, maka kau membencinya. Apakah ilmunya yang berkelahi, melukai atau membunuh orang? Bukan! Melainkan orangnya! Biar pun tak pandai silat, apakah tak dapat berkelahi atau membunuh orang? Sebaliknya kalau dipergunakan baik, maka ilmu silat amat berguna. Misalnya, untuk menjaga diri dari pada hinaan orang-orang yang merasa dapat berbuat semaunya karena kekuatannya, untuk menolong orang-orang yang mengalami penindasan dari orang-orang jahat, dan masih banyak sekali hal-hal baik yang hanya dapat dilakukan dengan sempurna oleh orang-orang yang pandai ilmu silat. Sekarang kita meninjau ilmu bun (sastra). Kau melihat sendiri keadaan di kota raja. Siapakah yang duduk di istana, menjadi pembesar-pembesar yang berkekuasaan dan berpengaruh besar? Mereka ini tergolong orang pandai sastra, orang-orang pintar dan terpelajar. Akan tetapi, apakah mereka menggunakan kepandaiannya itu untuk kebaikan? Memang ada, akan tetapi hanya beberapa gelintir manusia saja! Yang terbanyak, kepandaiannya itu hanya untuk melakukan kejahatan yang lebih kejam dari pada membunuh orang dengan bacokan pedang! Kepintarannya dipergunakan untuk ‘memintari’ orang lain yang bodoh. Kau lihat, kalau ilmu bun dipergunakan untuk kejahatan, apakah boleh kau sebut bahwa ilmu bun itu jahat dan buruk?"

Bu Song mengangguk-angguk. "Dahulu pun teecu sudah pernah Suhu beri wejangan seperti sekarang ini sehingga di dalam lubuk hati teecu sudah ada pengertian seperti itu. Namun teecu tidak percaya oleh karena tadinya teecu mengira bahwa orang terpelajar yang mempelajari filsafat hidup dari kitab-kitab kuno tentulah menjalani hidup menurut jejak seorang kuncu (bijaksana/budiman). Maka teecu lebih condong mempelajari bun dari pada bu. Akan tetapi siapa kira, setelah teecu berada di sini, teecu muak! Semua kata-kata Suhu benar belaka."

"Jadi, sekarang kau mau menjadi muridku, murid ilmu silat?"

Bu Song menjatuhkan diri berlutut. "Kalau Suhu masih percaya kepada teecu, kalau Suhu mau memberi pelajaran ilmu silat, berarti teecu menerima anugerah yang tiada bandingannya. Tentu saja teecu akan merasa berterima kasih sekali."

"Ha-ha-ha-ha-ha!" Baru kali ini semenjak bertahun-tahun Kim-mo Taisu dapat tertawa lagi. "Alangkah lucunya! Padahal di dalam dirimu telah terkumpul segala dasar ilmu silat yang hebat! Berlatih setahun kau akan memperoleh hasil sepuluh tahun, berlatih dua tahun akan memperoleh hasil dua puluh tahun! Sekarang mari kita berangkat ke istana Pangeran Suma. Kalau mereka memandang rendah kepadamu, kita bawa kekasihmu itu dengan kekerasan dan kalau perlu, kita bunuh Suma Kong dan puteranya, Suma Boan yang sudah menyiksamu! Pembesar-pembesar korup yang seperti lintah darat, yang telah menghisap darah rakyat sampai perutnya gendut, sudah sepatutnya dibunuh!"

Bu Song menubruk kaki suhunya. "Tidak... jangan, Suhu... ampunkan teecu, jangan Suhu lakukan hal itu...!"

"Hemm...!" Suara Kim-mo Taisu menjadi dingin sekali. "Kalau kau masih selemah ini, mana patut menjadi pendekar? Seorang pendekar harus berani mengambil tindakan, harus berani berbuat apa saja, kalau perlu kekerasan, asal semua tindakannya itu beralaskan kebenaran dan keadilan!"

"Bukan sekali-kali teecu berlemah hati. Tidak, Suhu. Hanya... teecu menghormat dan menghargai rasa cinta kasih teecu dan Ceng Ceng. Tidak mau teecu memaksakan cinta secara itu, apalagi membawa lari seorang gadis, puteri pangeran pula. Akan ke mana larinya nama baik Suma Ceng? Teecu amat mencintanya, tak mungkin teecu berani melakukan hal itu, mencemarkan nama baiknya selama hidup. Juga tentang ayah dan kakaknya, kalau kita membunuh mereka, bagaimana jadinya dengan nasibnya? Teecu teringat kepada Subo...."

Lemaslah seluruh tubuh Kim-mo Taisu mendengar ini. Muridnya mengingatkan ia akan nasib Khu Gin Lin, puteri bangsawan yang menjadi isterinya. Seperti juga kekasih muridnya ini, mendiang isterinya itu adalah puteri pangeran yang sekeluarganya terbasmi dan terbunuh. Ia menarik napas panjang.

"Sesukamulah. Agaknya kau seperti aku, siap menderita karena cinta..."

"Teecu bersumpah takkan menjatuhkan hati cinta kepada wanita lagi, Suhu."

"Ha-ha-ha-ha! Patah hati? Begitu pula aku dahulu, tapi nyatanya..."

"Tidak, teecu betul-betul bersumpah, selama hidup teecu tidak akan mencin...."

"Hushhh! Tak perlu bersumpah. Tidak ada yang melarang manusia untuk bercinta, muridku. Bahkan Tuhan sendiri pun tidak. Cinta itu anugerah, bahkan hidup ini baru berarti kalau diisi dengan cinta. Akan tetapi, bukan cinta yang digelapkan oleh nafsu. Kelak engkau akan mengerti sendiri!"

Kakek itu menarik napas panjang karena teringat akan pengalamannya sendiri di waktu muda. Sampai kini pun ia merasa bahwa cinta kasihnya yang sejati adalah pada diri Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, ibu muridnya ini. Mungkin karena inilah maka ia menganggap Bu Song seperti puteranya sendiri, dan ada perasaan sayang amat besar dalam hatinya terhadap pemuda ini.

Mereka tidak lama berada di rumah Ciu Tang. Malam itu juga, menjelang fajar, Kim-mo Taisu mengajak muridnya pergi dan keluar dari kota raja. Kim-mo Taisu maklum bahwa kalau terlalu lama mereka berada di situ, sudah tentu Ciu Tang akan ikut menderita celaka.

Semenjak saat itu mulailah Bu Song diajar ilmu silat. Seperti ketika ia mempelajari ilmu surat, pemuda ini amat tekun dan penuh perhatian. Dan baru terbukalah matanya bahwa sesungguhnya di dalam dirinya selama ini ia telah memiliki tenaga sakti yang hebat! Beberapa hari kemudian di dalam sebuah hutan, ia duduk bersila di depan suhunya yang juga duduk bersila. Ia disuruh mengatur napas dan mengumpulkan semangat seperti yang ia latih sejak kecil. Dan seperti biasa, kalau sudah begitu ia akan merasa ada hawa panas berkumpul di pusar.

"Tarik napas dalam-dalam dan tekan hawa panas itu agar naik ke dadamu," terdengar suara gurunya.

Bu Song yang memejamkan mata menuruti kata-kata gurunya ini, namun hawa panas yang berkumpul di sekitar bawah pusar itu sukar sekali ditekan naik. Tiba-tiba ia merasa betapa tangan suhunya menempel pada pusarnya dan dari telapak tangan suhunya itu keluar getaran hawa yang luar biasa kuatnya. Meminjam tenaga ini ia berusaha lagi dan kali ini berhasil. Hawa panas yang merupakan segumpal tenaga itu bergerak naik ke dada, membuat dadanya sesak dan ia terengah-engah hendak muntah.

"Bernapas perlahan-lahan, akan tetapi gunakan perhatian agar hawa jangan turun kembali. Setelah itu dorong hawa itu ke arah pundak kanan."

Demikianlah, sedikit demi sedikit Kim-mo Taisu melatih muridnya sehingga akhirnya, dalam waktu beberapa hari saja, Bu Song sudah berhasil menggunakan kekuatan untuk mendorong hawa panas itu mengitari tubuhnya, ke mana pun ia kehendaki. Dengan totokan-totokan yang tepat Kim-mo Taisu ‘membuka’ jalan darah tubuh muridnya, kemudian mulailah ia mengajarkan langkah, kuda-kuda, dan pukulan.

Memang betul apa yang diucapkan Kim-mo Taisu. Dalam diri Bu Song sudah terdapat tenaga sinkang yang amat kuat serta semua dasar ilmu silat tinggi memang sudah ia pelajari melalui huruf-huruf yang membentuk sajak-sajak dan ujar-ujar yang sengaja dahulu diselip-selipkan oleh Kim-mo Taisu dalam pelajaran ilmu sastra. Kini setelah dilatih prakteknya, tentu saja Bu Song cepat sekali dapat menangkap serta didorong bakatnya yang luar biasa, sebentar saja ia dapat menguasai setiap gerakan yang betapa sulit pun.

Dalam waktu setahun saja, dengan petunjuk suhunya, ia mampu sekali dorong merobohkan sebatang pohon sebesar manusia! Dalam waktu enam bulan, ginkang-nya sudah sedemikian hebat sehingga ia mampu mengikuti suhunya berloncatan di atas pohon seperti seekor tupai, dan merobohkan pohon sebesar manusia dapat ia lakukan dari jarak satu meter tanpa menyentuhnya! Guru dan murid ini tidak pernah berhenti berlatih silat. Siang dan malam berlatih terus dan beristirahat pun merupakan latihan semedhi mengumpulkan tenaga sakti. Kadang-kadang di waktu malam gelap, mereka berdua sudah berlatih saling serang bagaikan dua setan hutan yang berkelebatan di antara pohon-pohon. Kim-mo Taisu menggembleng muridnya dan menurunkan seluruh ilmu-ilmunya, tidak ada yang ia sisakan.

********************

Pada waktu itu yang memegang kekuasaan adalah Kerajaan Cou, kerajaan terakhir dari jaman Lima Kerajaan. Seperti kerajaan-kerajaan yang terdahulu, juga Kerajaan Cou ini tidak lama menguasai pemerintahan (951-960). Setelah sembilan tahun berdiri, pada tahun 959, raja Cou jatuh sakit berat. Kekuasaannya ia serahkan kepada putera mahkota yang pada waktu itu baru berusia sebelas tahun! Sebagai walinya tentu saja adalah ibu ratu. Semenjak inilah maka Kerajaan Cou menjadi lemah, karena para panglimanya banyak yang merasa tak senang melihat bahwa yang mereka bela hanyalah seorang anak yang manja serta seorang ibu yang ingin berkuasa saja.

Kerajaan Cou mempunyai seorang panglima tinggi yang amat dipercaya dan disayangi oleh Raja Cou. Panglima ini bernama Cao Kuang Yin, seorang ahli perang yang memang keturunan orang-orang terkenal. Nenek moyangnya adalah orang-orang yang menduduki jabatan tinggi, menjadi panglima semenjak jaman Kerajaan Tang dan berturut-turut dalam jaman Lima Kerajaan itu, nenek moyang Cao selalu menjadi orang-orang penting dalam pemerintahan, terutama dalam ketentaraan.

Seperti juga para panglima dan bangsawan lainnya, diam-diam Cao Kuang Yin tidak senang akan penggantian raja dengan seorang kanak-kanak didampingi ibunya yang tamak itu. Bahkan ketika raja kecil atas desakan ibu suri menjatuhkan hukuman kepada seorang pejabat tinggi yang membantah peraturan baru tentang pemungutan pajak yang diperberat, Panglima Cao sendiri menghadap ke istana dan dengan sejujurnya menyampaikan protes!

Peristiwa ini diikuti dengan hati tegang oleh para pembesar. Perbuatan Cao ini dapat dianggap sebagai sikap memberontak dan sekali raja kecil yang dipengaruhi ibunya itu menjatuhkan hukuman mati, panglima itu tentu takkan tertolong lagi. Namun agaknya ibu suri juga dapat melihat bahwa panglima besar ini tidak boleh dipandang ringan. Di belakangnya banyak terdapat pasukan besar yang mencintanya. Maka untuk meredakan ketegangan, ibu suri menerima protes itu dan membebaskan kembali petugas atau pejabat tinggi yang terkenal setia itu.

Namun perisitwa itu tidak berhenti sampai di situ saja. Pada waktu itu, musuh utama Kerajaan Cou, yaitu bangsa Khitan, selalu membuat kacau di daerah utara dan seringkali menyerbu kota-kota di utara. Dengan alasan menindas kerusuhan yang dilakukan oleh musuh itu, raja kecil atas desakan ibu suri lalu menjatuhkan surat perintah kepada Panglima Cao Kuang Yin untuk memimpin barisannya ke utara dan memerangi bangsa Khitan.

Sebagai seorang panglima perang yang setia, tentu saja Panglima Cao tidak dapat membantah perintah rajanya untuk menyerbu musuh. Apa pun alasannya, kalau ia tidak mentaati perintah ini, tentu dia akan menjadi bahan tertawaan orang sedunia sebagai seorang panglima yang takut perang! Terpaksa Panglima Cao memimpin barisannya bergerak ke utara, sungguh pun ia maklum bahwa bahaya yang mengancam kerajaan bukan hanya dari bangsa Khitan dan penjagaan tidak boleh dipusatkan di utara saja.

Para panglima muda, para perwira sampai para anggota barisan sebagian besar merasa tidak puas dan tidak senang dengan tugas ini. Bukan saja perjalanan dan tugas di utara itu amat berat, namun juga mereka dapat menduga bahwa perintah ini merupakan ‘pembalasan’ dari ibu suri sehingga tak mungkin kelak mereka akan menerima jasa dalam tugas yang mempertaruhkan nyawa ini. Di luar tahu Panglima Cao, diam-diam para panglima muda dan perwira mengadakan permufakatan dan persekutuan.

Pada malam hari itu, ketika barisan berhenti dan beristirahat setelah melakukan perjalanan beberapa hari dari kota raja, tujuh orang panglima muda dan sebelas orang perwira berkumpul dalam tenda besar. Mereka bermufakat untuk memaksa Panglima Besar Cao Kuang Yin dengan kekerasan agar suka memimpin barisan kembali ke kota raja dan menggempurnya serta mengambil alih kekuasaan. Pendeknya mereka hendak memaksa Coa Kuang Yin untuk memberontak terhadap raja kecil dan ibu suri!

Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang kakek aneh telah berdiri di sudut tenda. Kakek ini sudah tua sekali, kedua kakinya ditekuk bersila, tergantung di antara dua batang tongkat yang menggantikan kakinya. Tentu saja delapan belas orang komandan itu cepat bangkit dan kaget serta terheran-heran. Bagaimana tenda yang dijaga sekelilingnya oleh pasukan penjaga dapat kemasukan orang luar tanpa ada yang tahu? Karena mereka sedang merundingkan urusan rahasia yang gawat, tentu saja kehadiran seorang luar seperti kakek ini amat mengejutkan. Serentak mereka sudah mencabut pedang dan golok masing-masing.

"Ha-ha-ha-ha! Cu-wi Ciangkun (Para Perwira), harap jangan kaget dan curiga! Aku datang untuk membantu kalian melaksanakan maksud hati kalian yang amat baik ini. Kerajaan Cou yang lapuk harus diruntuhkan!"

Karena yang mengucapkan kata-kata ini seorang luar yang tak dikenal, tentu saja para panglima itu makin kaget dan khawatir. Dua orang di antara para perwira yang terkenal hebat kepandaiannya dalam ilmu memanah, telah menggerakkan tangan dan....

"Serrr! serrr!" dua batang anak panah dengan kecepatan kilat telah menyambar leher dan perut kakek itu!

Kakek itu sama sekali tidak mengelak atau kelihatan bergerak, agaknya ia tidak melihat bahwa dua batang anak panah seperti dua tangan maut menjangkau hendak mencabut nyawanya. Ia masih enak-enak berkata, "Biarlah aku yang akan mengajukan alasan kepada Cao-goanswe (Jenderal Cao), dan kalau terjadi kegagalan sehingga kalian terpaksa melawannya, aku akan membantu kalian!"

Delapan belas orang ahli perang itu berdiri dengan mata terbelalak kagum dan keget. Kakek itu masih bicara dan sementara itu, dua batang anak panah seakan-akan telah mengenai dada dan leher, akan tetapi karena kakek itu bicara sambil menggerakkan kedua tangan, mereka tidak melihat bagaimana sekarang tahu-tahu kedua batang anak panah itu telah terjepit di antara jari-jari tangan kakek itu!

Seorang panglima muda melangkah maju dengan pedang di tangan. "Engkau siapa? Berani memasuki tenda kami tanpa ijin?"

"Ha-ha-ha! Ciangkun (Panglima), engkau masih terlalu muda untuk mengenalku. Akan tetapi di antara kalian yang sudah tua tentu pernah mendengar namaku. Dahulu aku disebut Sin-jiu Couw Pa Ong seorang putera pangeran Kerajaan Tang dan aku masih ingat akan Cao Beng, Jenderal Kerajaan Tang yang menjadi kakek Jenderal Cao Kuang Yin sekarang! Akan tetapi sekarang aku hanya seorang kakek biasa saja yang disebut Kong Lo Sengjin!"

Kagetlah semua orang yang berada di dalam tenda itu. Nama Sin-jiu Couw Pa Ong memang amat terkenal. "Dengan cara bagaimana kau hendak mencampuri urusan kami, urusan tentara?"

Kembali kakek itu tertawa. "Dalam urusan perang memang kalian ahli, dan menghadapi barisan tentu saja aku tidak berarti. Akan tetapi menghadapi kekerasan lawan, kiranya aku dapat banyak membantu. Misalnya, dengan mudah aku dapat melucuti belasan orang lawan. Kalian lihat baik-baik!"

Tiba-tiba tubuh kakek itu berkelebat menyerbu mereka! Kagetlah belasan orang itu. Mereka juga bukan orang-orang biasa, melainkan panglima-panglima yang sudah biasa bertempur, maka tentu saja mereka itu pandai ilmu silat. Melihat bayangan kakek itu berkelebat dekat, tanpa ragu-ragu lagi mereka lalu menggerakkan senjata mereka menerjang. Terdengar suara kaget bergantian dan dalam sekejap mata saja semua panglima dan perwira sudah kehilangan senjata mereka. Ketika mereka memandang, ternyata pedang dan golok mereka yang terampas secara aneh itu telah tertumpuk di atas meja dan kakek itu pun sudah duduk di atas bangku dekat meja sambil tersenyum-senyum.

"Bagaimana? Cukup berhargakah aku menjadi sekutu kalian?"

Mereka lalu duduk kembali mengelilingi meja.

"Mengapa Lo-cianpwe hendak membantu kami? Dengan maksud apa?" tanya seorang panglima tua, kini menyebut lo-cianpwe karena maklum bahwa kakek lumpuh itu benar-benar sakti luar biasa.

"Dengan maksud apa? Tentu saja dengan maksud menegakkan kembali kekuasaan Tang yang sudah runtuh. Jenderal Cao adalah keturunan dari pembesar tinggi bangsawan Tang, maka sudah sepatutnya jika beliau diangkat. Akan tetapi kalau dia menolak, kita bisa memilih lain orang. Bukan Cao-goanswe seorang di antara kita yang cakap menggantikan raja kanak-kanak dan ibunya!"

Karena tertarik oleh kesaktian Kong Lo Sengjin yang tentu saja akan dapat merupakan pembantu yang amat berharga, akhirnya belasan orang komandan itu menerima Kong Lo Sengjin menjadi sekutu dan berundinglah mereka tentang niat mereka memaksa Cao Kuang Yin untuk memberontak.

Pada saat itu Jenderal Cao Kuang Yin sendiri tidak berada dalam tendanya. Panglima ini keluar seorang diri dan kini ia berdiri termenung di atas sebuah gunung kecil, menatap angkasa yang dihias bintang-bintang gemerlapan. Bulan seperempat tampak doyong di angkasa. Berkali-kali panglima ini menarik napas panjang, kemudian ia menengadah ke langit dan keluarlah keluhan hatinya yang tanpa ia sadari terucapkan dari mulutnya.

"Liang, Tang, Cin, Han Cou... lima kerajaan bermunculan, namun semua tidak berhasil mengamankan negara dan memakmurkan rakyat jelata. Ahhh, sekian banyaknya bintang bermunculan dan berjatuhan, tiada satu yang menyinarkan cahaya menerangi jagad. Bilakah akan muncul sebuah bintang yang demikian?"

Tiba-tiba terdengar keluhan orang lain yang disambung dengan kata-kata seperti sajak. "Bila kepalanya benar, kaki tangan yang tidak baik pun dapat dimanfaatkan. Bila kepalanya tidak benar, kaki tangan yang betapa baik pun tidak ada manfaatnya! Segala sesuatu memang sudah dikehendaki Tuhan maka dapat terjadi, akan tetapi jika manusia tidak berusaha dan hanya mengandalkan kehendak Tuhan, tiada bedanya ia dengan pohon atau hewan!"

Cao Kuang Yin terkejut, apalagi setelah menengok ia melihat seorang laki-laki gagah perkasa yang berpakaian seperti tosu berdiri tak jauh dari situ, juga menengadah sambil menuangkan arak dari sebuah guci arak. Ucapan tadi bukanlah kata-kata biasa, maka Cao Kuang Yin dapat menduga bahwa tentu orang ini bukan orang biasa pula. Cepat ia menghadapinya sambil menjura dan berkata, "Saudara yang baik, ucapanmu benar-benar mengagumkan hatiku, akan tetapi juga mengherankan. Sudilah kiranya memberi penjelasan."

Orang tua gagah itu bukan lain adalah Kim-mo Taisu. Setelah menurunkan semua ilmunya kepada Bu Song selama hampir tiga tahun, ia lalu berpisah dari muridnya itu yang ia suruh pergi mencari suling emas di Pulau Pek-coa-to seperti yang diceritakan sastrawan Ciu Gwan Liong kepada Bu Song. Ada pun dia sendiri lalu mulai pergi mencari Kong Lo Sengjin. Inilah sebabnya maka ia pada saat itu berada di atas bukit kecil, diam-diam membayangi Cao Kuang Yin yang ia kenal sebagai seorang panglima besar Kerajaan Cou.

Kim-mo Taisu sudah mendengar akan semua urusan di kota raja, maka ia pun tahu bahwa jenderal ini memimpin pasukan besar menuju ke utara. Ia merasa heran ketika dalam penyelidikannya mendapat kenyataan bahwa orang yang dikejar-kejarnya, yaitu Kong Lo Sengjin berada pula di dalam pasukan itu. Tentu saja ia tidak berani turun tangan secara sembrono dalam barisan yang begitu besar.

Kini ia sengaja mendekati Cao Kuang Yin dan sengaja menjawab keluhan jenderal itu untuk mengukur isi hatinya. Kini mendengar pertanyaan komandan itu dan melihat sikapnya yang wajar dan jujur sopan, diam-diam ia merasa kagum sekali. Segera Kim-mo Taisu menghadapinya dan membalas hormat selayaknya.

"Cao-goanswe, harap maafkan kalau saya menganggu. Tadi saya mendengar keluhan Goanswe tentang lima kerajaan yang tidak berhasil mengamankan negara dan memakmurkan rakyat jelata. Saya merasa cocok dan tanpa disengaja mengeluarkan kata-kata yang mengagetkan Goanswe. Sesungguhnya, negara kita banyak memiliki patriot-patriot, pahlawan-pahlawan yang cinta tanah air dan bangsa, yang setia kepada negara. Akan tetapi, kalau yang menjabat kaisar tidak bijaksana dan mementingkan kesenangan pribadi, tentu saja para pahlawan itu akan disalah-gunakan tenaganya. Akibatnya, pemimpin-pemimpin yang baik akan dikesampingkan, pembesar-pembesar korup penjilat akan terpakai. Turunnya bintang cemerlang sebagai kaisar tentu saja adalah kehendak Thian, akan tetapi semua itu hanya akan terjadi melalui ikhtiar dan usaha manusia sendiri. Inilah pendapat saya pribadi, Goanswe, kalau keliru harap dimaafkan." Kim-mo Taisu menenggak araknya kembali.

"Ah, tidak... tidak keliru! Benar sekali pendapat Saudara. Ah, bukankah saya berhadapan dengan Kim-mo Taisu...?"

"Cao-goanswe bermata tajam, benar-benar saya kagum sekali," kata Kim-mo Taisu.

Jenderal itu tertawa. "Nama Taisu menjulang setinggi gunung Thai-san. Kipas di pinggang, pedang di punggung dan guci arak di tangan, kemudian mengeluarkan pendapat sedemikian bijaksana, siapa lagi orangnya kalau bukan Kim-mo Taisu?"

Tiba-tiba terdengar suara berisik dan muncullah belasan orang yang serta merta menerjang Cao Kuang Yin dengan senjata mereka!

"Bunuh! Serbu cepat selagi ada kesempatan baik!" begitulah teriakan-teriakan mereka. Gerakan mereka cepat dan ringan, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Cao Kuang Yin kaget sekali. Cepat ia mengelak dari dua buah sambaran golok sambil melompat mundur dan mencabut pedangnya. "Kalian siapakah? Tidak melihat bahwa aku Jenderal Cao? Mundur!!"

"Ha-ha-ha, justru kami mencari dan harus membunuh Jenderal Cao!" seorang di antara mereka berseru. Mereka semua ada dua belas orang yang kini mengurung.

Ketika jenderal itu hendak menerjang mencari jalan ke luar, tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata, "Tenanglah, Goanswe, dan serahkan mereka kepadaku!"

Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu yang tadi menenggak araknya, menurunkan gucinya, kemudian tiba-tiba ia menyemburkan arak sambil memutar-mutar tubuhnya. Terdengar teriakan-teriakan kaget ketika dua belas orang itu merasakan sambaran arak yang seperti jarum-jarum disebar. Sebelum hilang kekagetan mereka, tiba-tiba Kim-mo Taisu sudah bergerak cepat sekali menggunakan kipasnya. Setiap kali kipasnya bergerak, seorang pengeroyok lantas roboh. Hiruk-pikuk suara mereka, golok dan pedang beterbangan, dan dalam waktu beberapa menit saja dua belas orang itu sudah roboh tak berkutik!

"Jangan bunuh semua!" Cao Kuang Yin mencegah, namun terlambat. Orang terakhir sudah roboh pula.

Jenderal itu cepat melompat ke dekat orang terakhir yang masih bergerak-gerak, kemudian ia menjambak leher baju orang itu dan membentak. "Hayo mengaku! Siapa menyuruh kalian?!"

Orang itu berusaha membuka mulut, akan tetapi suara yang keluar hanyalah suara seperti babi disembelih karena jalan darahnya sudah putus oleh ketukan gagang kipas dan ia hanya dapat menuding-nudingkan telunjuknya, lalu lemas dan nyawanya melayang.

"Cao-goanswe, orang-orang yang berbuat khianat macam mereka ini sudah sepatutnya dibunuh semua," kata Kim-mo Taisu.

"Ah, akan tetapi saya ingin mengetahui siapakah yang menyuruh mereka?"

"Dia tadi menunjuk ke arah selatan, ke arah kota raja. Agaknya dari kota raja datangnya perintah."

Cao Kuang Yin mengerutkan keningnya. Ia mengingat-ingat dan merasa bahwa di kota raja dia tidak mempunyai musuh, kecuali ibu suri tentunya karena ia telah mengajukan protes. Mungkinkah ibu suri yang mengirim pembunuh-pembunuh ini?

"Taisu telah menyelamatkan nyawa saya, sungguh merupakan budi besar."

"Penyelamat atau pencabut nyawa hanyalah menjadi kekusaan Thian! Sungguh pun kebetulan saya berada di sini ketika Goanswe diserang orang-orang itu, akan tetapi sesungguhnya bukan karena kebetulan saya mendekati Goanswe. Saya memang sengaja membayangi Goanswe ke tempat ini karena maksud tertentu."

"Ahh...?" Jenderal Cao kaget dan memandang tajam. "Maksud apakah?"

"Saya mempunyai urusan pribadi dengan orang yang kini kebetulan berada dalam barisan Goanswe. Tanpa perkenan Goanswe saya tidak berani mencari keributan dalam pasukan Goanswe."

Jenderal itu mengelus jenggotnya. "Hemm, siapakah orang itu?"

"Dia adalah Kong Lo Sengjin, atau dahulu terkenal dengan nama Sin-jiu Couw Pa Ong!"

"Hah? Sin-jiu Couw Pa Ong? Akan tetapi dalam barisanku tidak ada Kakek terkenal itu!"

"Sudah lama saya mengejarnya dan tidak salah lagi, dia berada dalam barisan Goanswe."

"Kalau begitu, biarlah kita periksa besok. Marilah Taisu ikut bersama saya. Malam ini harap Taisu suka menemani saya dan besok kita sama-sama memeriksa. Kalau betul ada Kakek itu dengan barisan, sudah tentu saya perkenankan Taisu untuk menyelesaikan urusan pribadi Taisu dengan dia tanpa campur tangan kami."

"Terima kasih. Goanswe benar-benar bijaksana." Kim-mo Taisu memberi hormat, kemudian mereka berdua berjalan bersama kembali ke perkemahan.

Jenderal Cao bercakap-cakap dan merasa cocok sekali dengan pendekar itu sehingga mereka bercakap-cakap sampai jauh malam. Kim-mo Taisu diberi tempat mengaso dekat tenda besar dan lewat tengah malam barulah keduanya menghentikan percakapan, lalu tidur di kemah masing-masing.

Peristiwa bersejarah itu terjadi pada pagi hari benar, ketika matahari belum muncul, baru sinarnya kemerahan yang nampak. Pada saat itu, Panglima Besar Cao Kuang Yin masih tidur nyenyak. Tiba-tiba ia terbangun dengan kaget dan tahu-tahu di dalam kemahnya telah penuh orang. Di sana telah hadir tujuh orang panglima bawahannya dan sebelas orang perwira, kesemuanya adalah komandan-komandan pasukan dalam barisan yang ia pimpin, dan di antara mereka tampak seorang kakek lumpuh bertongkat. Panglima tertua membawa sebuah baki perak yang ditutup sutera kuning dan para komandan yang lain berdiri dengan pedang di tangan!

"Heee! Apa artinya ini? Apa kehendak kalian sepagi ini tanpa dipanggil memasuki kemahku dan mengganggu orang tidur?" Cao Kuang Yin berseru sambil melompat turun dari permbaringannya. Ia sama sekali tidak merasa khawatir karena ia percaya penuh kepada semua pembantunya ini yang ia tahu amat setia dan sayang kepadanya.

"Kami menghadap Goanswe untuk mempersilakan Goanswe mengenakan pakaian ini, kemudian memimpin kami semua kembali ke kota raja," kata panglima tertua itu sambil menyodorkan baki.

Cao Kuang Yin merasa heran, mengerutkan keningnya dan membuka sutera kuning yang menutupi baki. Di atas baki itu tampak terlipat rapi satu stel pakaian berwarna kuning bersulamkan naga. Kagetlah Cao Kuang Yin. Pakaian seperti itu adalah pakaian kaisar! Pakaian seorang raja besar! Mereka ini menghendaki ia mengenakan pakaian kaisar dan memimpin mereka kembali ke kota raja. Itu berarti bahwa mereka ini menghendaki ia memberontak dan menggantikan kedudukan raja!

"Ah, mana mungkin...?" Ia membantah dan undur dua langkah.

Kakek lumpuh itu menggerakkan tongkatnya maju, akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Kim-mo Taisu telah menerobos dari belakang Cao Kuang Yin dengan merobek tenda. Dengan sikap tenang ia berdiri di sebelah kiri panglima itu dan berkata, "Coa-goanswe, apakah mereka ini perlu dibasmi?"

Akan tetapi Cao Kuang Yin menggeleng kepala. "Biarkan mereka bicara dulu."

Kakek itu yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin kaget sekali melihat munculnya Kim-mo Taisu, akan tetapi setelah mengenalnya ia pun tersenyum, dan kemudian berkata, "Bagus! Hadirnya Kim-mo Taisu merupakan penambahan kekuatan kita. Cao-goanswe, perkenalkanlah, aku adalah Sinjiu Couw Pa Ong. Aku mengenal baik kakekmu yang menjadi panglima ketika masa jayanya Kerajaan Tang. Semenjak Kerajaan Tang roboh oleh para pengkhianat bangsa, raja-raja bermunculan akan tetapi sampai sekarang pun tidak ada raja yang cukup bijaksana seperti dikala Kerajaan Tang. Oleh karena itu para Ciangkun ini bermufakat untuk mengangkat Goanswe menjadi raja baru dan kita semua kembali ke kota raja untuk mengambil alih kekuasaan. Harap saja Goanswe tidak menolak oleh karena keputusan para Ciangkun ini sudah bulat. Dan karena hal ini cocok dengan cita-citaku, maka aku pun memasuki persekutuan ini. Kuharap saja tidak perlu aku harus menghadapi cucu bekas sahabatku sebagai musuh!"

Sebelum Cao Kuang Yin menjawab. Kim-mo Taisu yang sudah mendahuluinya, berkata kepada Kong Lo Sengjin atau Couw Pa Ong, "Kong Lo Sengjin, tak perlu kau ikut bicara karena kata-kata dan perbuatanmu hanya berdasarkan kepalsuan belaka, sama seperti pengkhianatanmu menyuruh bunuh isteriku! Biarkan Cao-goanswe berurusan sendiri dengan para panglimanya, dan nanti setelah selesai, akulah yang akan berurusan dengan kau!"

Berubah wajah Kong Lo Sengjin mendengar ucapan ini, akan tetapi ia lalu mundur dan matanya memancarkan kemarahan besar.

Sementara itu panglima tua yang membawa baki sudah menekuk lutut di depan Cao Kuang Yin sambil berkata, "Kami semua mengharap agar Goanswe tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Kota raja sedang kosong, mengambil alih kekuasaan amatlah mudah bagi kita. Kami semua mengharapkan pimpinan seorang raja yang kuat, bukan seorang anak-anak di pangkuan ibunya yang lemah! Kami telah bertekad bulat mengangkat Goanswe menjadi kaisar baru dan memimpin kami menyerbu ke kota raja."

"Kami landasi ketekatan ini dengan nyawa kami!" terdengar riuh para panglima dan perwira itu menyambung ucapan panglima tua ini.

Suasana menjadi sunyi dan tegang. Otot-otot di tubuh mereka semua, termasuk Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, menegang dan mereka sudah siap. Mati hidup dan bertanding mati-matian hanya tergantung dari pada jawaban Cao Kuang Yin yang masih berdiri termenung, memandang pakaian kuning yang berada di atas baki. Wajahnya menjadi pucat, keningnya berkerut-kerut, matanya memancarkan sinar aneh.

Di dalam hatinya timbul bermacam perasaan, dalam otaknya berkelebat macam-macam pikiran. Memang berat baginya, bagi seorang patriot yang semenjak nenek moyangnya dahulu terkenal sebagai panglima-panglima dan pembesar-pembesar yang setia kepada raja. Bagi seorang pejabat kesetiaan adalah nomor satu. Namun sebagai seorang bijaksana, ia maklum bahwa semenjak Kerajaan Tang roboh, rakyat tidak pernah mengalami ketenteraman dan perdamaian dalam hidupnya. Perang saudara terjadi terus menerus, perebutan kekuasaan tak kunjung henti. Untuk mengakhiri semua penderitaan rakyat itu, perlu adanya tangan besi seorang pemimpin yang dapat menyatukan mereka dan menumpas yang ingkar dan para pengacau.

Ia maklum bahwa para panglima dan perwira ini mengangkatnya sebagai kaisar bukan semata-mata karena mengaguminya dan ingin mengagungkannya, melainkan karena rasa benci mereka kepada pucuk pimpinan yang berada di tangan seorang kanak-kanak di atas pangkuan seorang ibu yang gila kuasa. Karena mereka ini melihat bahwa jalan satu-satunya agar pemberontakan mereka berhasil adalah mengangkat dia sebagai komandan tertinggi barisan, menjadi raja.

Akan tetapi ia pun maklum bahwa kalau ia menolak, tentu mereka ini akan menjadi nekat dan menyerangnya, berusaha membunuhnya. Ia tidak takut, apalagi di sampingnya terdapat Kim-mo Taisu yang sakti. Akan tetapi kalau hal itu terjadi, maka akan menjadi rusaklah semua. Bagaimana sebuah barisan besar ditinggalkan para pimpinannya yang saling bermusuhan sendiri?

Jenderal Cao Kuang Yin menarik napas panjang, lalu terdengar ia berkata, suaranya nyaring dan berwibawa, "Aku hanya dapat menerima dan memakai pakaian ini setelah kalian semua bersumpah akan mentaati segala perintahku mulai detik ini juga!"

Delapan belas orang komandan pasukan itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan seperti telah dikomando mereka berbareng lalu menyatakan sumpah setia dan taat kepada kaisar baru!

Kembali Cao Kuang Yin menarik napas panjang. Sebelum menjemput pakaian kuning itu, ia lebih dulu melirik ke arah Kim-mo Taisu. Akan tetapi pendekar sakti ini hanya tersenyum, sama sekali tidak memperlihatkan sikap menentang. Memang di dalam hati Kim-mo Taisu juga menyetujui usul para komandan itu dan ia tahu bahwa hanya dengan jalan ini agaknya negara akan dapat diselamatkan dan dibebaskan dari pada perang saudara yang berlarut-larut. Cao Kuang Yin adalah seorang jenderal yang cakap, bertangan besi dan disegani.

Pakaian itu diambil oleh Cao Kuang Yin, lalu dipakainya, di luar pakaian tidurnya karena ketika itu ia masih berpakaian tidur. Seorang panglima mengambilkan topinya, topi jenderal sehingga Cao Kuang Yin kelihatan sebagai seorang raja yang sedang memimpin pasukan untuk maju perang. Melihat betapa angker dan gagah raja baru mereka itu, para komandan ini lalu berlutut memberi hormat dan meneriakkan "Banswee!" berkali-kali.

Kim-mo Taisu maju dan memberi hormat kepada Cao Kuang Yin. "Mohon perkenan Hong-siang (Kaisar) agar hamba menyelesaikan urusan pribadi hamba dengan Kong Lo Sengjin."

Cao Kuang Yin melirik ke arah kakek lumpuh yang masih berdiri di sudut, lalu mengangguk dan berkata lirih, "Terserah, akan tetapi kami masih membutuhkan bantuan Taisu, harap suka menemui kami di kota raja."

Kim-mo Taisu menyanggupi, lalu menoleh ke arah Kong Lo Sengjin dan berkata nyaring, "Kong Lo Sengjin, urusan di sini telah selesai. Mari kita bereskan perhitungan kita di luar!" Inilah tantangan yang tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh seorang sakti seperti Kong Lo Sengjin.

Akan tetapi pada saat itu di luar tenda terdengar suara hiruk-pikuk, suara banyak sekali orang dan mulailah terdengar teriakan-teriakan. "Hidup Kaisar! Hidup Kaisar! Hidup Kaisar!"

Cao Kuang Yin melirik ke arah para komandannya, dan melihat mereka masih berlutut dan tersenyum, tahulah ia bahwa para komandannya itu memang sudah mengatur sebelumnya agar usul mereka diperkuat oleh para anak buah mereka! Ia lalu berkata,

"Para Ciangkun boleh keluar dan mempersiapkan barisan. Hari ini juga kita kembali ke kota raja. Akan tetapi perintahku pertama kepada kalian dan kepada semua anggota barisan adalah, dilarang keras untuk melakukan kekerasan kepada siapa saja di kota raja, karena tidak mungkin akan ada perlawanan. Tidak ada seorang pun keluarga raja boleh diganggu, juga para pembesar dan pejabat lama, atau para penduduk, sama sekali tidak boleh diganggu harta benda atau nyawanya. Siapa melanggar perintah laranganku ini akan dihukum mati!"

Para komandan menyatakan taat, dan setelah memberi hormat keluarlah mereka bersama Kong Lo Sengjin. Kim-mo Taisu menjura ke arah Cao Kuang Yin dan keluar pula. Akan tetapi ternyata di luar tenda itu telah penuh dengan tentara, keadaan menjadi ribut sekali, apalagi setelah mereka itu diberi tahu bahwa Cao Kuang Yin telah menerima menjadi kaisar baru, mereka berteriak-teriak, bersorak-sorak dan bertepuk tangan.

Gegap-gempita keadaan di saat itu dan Kim-mo Taisu menjadi bingung ke mana harus mencari Kong Lo Sengjin yang tidak tampak batang hidungnya. Ia menjadi penasaran dan mendongkol sekali, dan makin yakinlah hatinya bahwa kakek itu benar-benar seorang yang curang dan licik. Lain kali apabila ia mendapat kesempatan bertemu muka, tentu ia takkan menyia-nyiakan waktu lagi dan memaksanya bertanding mati-matian.

Karena tidak ingin terlibat dalam urusan ketentaraan, maka ia segera menjauhkan diri, akan tetapi diam-diam ia berjanji dalam hati bahwa ia harus dan akan membantu kaisar baru ini apabila kelak ternyata kaisar baru ini berlaku bijaksana dan adil. Mendengar perintah pertamanya tadi, banyak hal-hal baik dapat diharapkan dari kaisar baru ini.

Demikianlah seperti tercatat dalam sejarah, Cao Kuang Yin berhasil mengambil alih kekuasaan tanpa pertumpahan darah. Cao Kuang Yin mendirikan Kerajaan Song (Sung) dan ia menjadi kaisar pertama berjuluk Sung Thai Cu. Dengan cerdik kaisar ini dapat mengambil hati para pembesar dan bangsawan yang ia pilih untuk menjadi pembantu-pembantunya. Yang jujur dan pandai tetap mendapatkan jabatan lama. Yang curang dan korup dipensiun dan diberi gelar.

Juga delapan belas komandan yang memaksanya menjadi kaisar itu, dengan alasan cerdik sekali telah diangkat oleh kaisar, diberi gelar kehormatan dan banyak hadiah, akan tetapi mereka tidak aktif lagi memimpin pasukan, dan diganti dengan tenaga-tenaga baru. Mulailah Dinasti Sung yang kuat memerintah dan berhasil menyatukan bangsa. Buktinya dinasti ini dapat bertahan sampai tiga abad lebih (960-1279).

********************

Seorang pemuda yang tampan gagah, bertubuh tinggi besar dan berpakaian sederhana, berjalan dengan langkah tegap menuruni lereng bukit terakhir di lembah Sungai Mutiara. Dari puncak bukit tadi sudah tampaklah Laut Selatan, di mana air Sungai Mutiara mengakhiri perjalanannya dan tampak pula samar-samar pulau-pulau kecil tidak jauh dari pantai.

Pemuda ini bukan lain adalah Bu Song. Dia bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu! Biar pun orangnya masih sama, akan tetapi keadaannya sudah jauh berbeda, seperti bumi dengan langit. Perubahan yang nampak pada wajahnya hanyalah bahwa kini timbul guratan-guratan pada wajahnya yang tampan, di kanan kiri kedua matanya, di dahi dan dekat mulut, juga di dagunya. Guratan yang timbul dari penderitaan batin.

Guratan-guratan pada muka yang membuat ia tampak dewasa dan matang, akan tetapi juga membuat mukanya tampak murung dan tertutup awan, membuat wajahnya seperti topeng yang tidak lagi mencerminkan isi hatinya. Pandang matanya jauh, dilindungi kelopak mata dan bulu mata yang seringkali bergetar dan setengah terpejam.

Bu Song masih muda akan tetapi pengalaman-pengalaman pahit membuat ia berpemandangan seperti orang tua. Perubahan lebih lagi terjadi dalam tubuhnya. Ia kini bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu, yang lemah dan tidak tahu bagaimana caranya menjaga diri dari pada serangan orang lain. Dia sekarang adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dalam beberapa bulan saja ia sudah mewarisi semua ilmu kepandaian suhu-nya, ilmu yang ia latih siang malam tanpa bosan. Dia kini sudah menjadi seorang pendekar.

Ketika Bu Song menceritakan semua pengalamannya kepada suhu-nya, ada dua hal yang dianggap penting oleh Kim-mo Taisu. Pertama tentang kekejian Kong Lo Sengjin yang menyuruh anggota Hui-to-pang membunuh isteri Kim-mo Taisu. Kedua adalah tentang kitab kuno pemberian sastrawan Ciu Gwan Liong dan cerita kakek sastrawan itu akan suling emas yang berada di tangan sastrawan Ciu Bun dan yang menurut kakek itu berada di Pulau Pek-coa-to di Lam-hai. Melihat kitab itu, Kim-mo Taisu menarik napas panjang dan berkata kepada muridnya yang telah ia gembleng selama beberapa bulan dengan hasil baik sekali.

"Bu Song, kitab ini biar pun hanya terisi sajak-sajak kuno, akan tetapi sesungguhnya merupakan pelajaran ilmu yang luar biasa. Kuncinya berada pada suling emas itulah. Hal ini pun sudah kuketahui dan juga diketahui oleh semua orang kang-ouw. Memang aneh sekali mengapa Bu Kek Siansu menghadiahkan benda-benda seperti itu kepada dua orang sastrawan lemah. Memang suling dan kitab itu adalah pegangan para sastrawan, akan tetapi di balik sajak dan suara suling, terdapat daya yang hebat sekali dan yang dapat dipergunakan orang jahat untuk memperhebat kepandaiannya. Kau telah berjodoh dengan kitab ini dan sudah dipilih oleh mendiang sastrawan Ciu Gwan Liong, maka sudah menjadi kewajibanmu untuk mencari suling emas itu ke Pulau Pek-coa-to di Lam Hai."

Pesan Kim-mo Taisu inilah yang menjadi sebab mengapa pada pagi hari itu Bu Song telah menuruni bukit di lembah Sungai Mutiara. Pulau Pek-coa-to adalah sebuah di antara pulau-pulau kecil di muara Sungai Mutiara itu, di Lam-hai (Laut Selatan). Dengan kepandaiannya, Bu Song dapat melakukan perjalanan cepat sekali dan menjelang tengah hari ia telah tiba di pantai muara Sungai Mutiara.

Suhu-nya telah memberi tahu bahwa Pulau Pek-coa-to adalah pulau yang ke tiga dari timur, yang tampak dari situ sebagai pulau yang paling kecil, akan tetapi agak panjang dan bentuknya berliku seperti tubuh ular. Juga dibandingkan dengan pulau lain, pulau ini tampak putih warnanya, atau lebih muda warnanya, maka inilah agaknya pulau ini disebut Pek-coa-to (Pulau Ular Putih). Demikian pikir Bu Song.

Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya karena bentuknya seperti ular putih maka pulau itu disebut Pulau Ular Putih, melainkan karena di atas pulau itu memang terdapat semacam ular berkulit putih yang tidak terdapat di tempat lain, ular yang amat berbisa!

Selagi Bu Song bingung karena tidak tahu bagaimana ia harus menyeberang ke pulau itu, tiba-tiba hatinya girang melihat seorang nelayan mendorong-dorong perahu kecilnya di atas pantai berpasir. Agaknya nelayan ini hendak berlayar mencari ikan.

Bu Song segera berlari menghampiri lalu berkata, "Twako, apakah kau hendak berlayar?"

Nelayan itu kaget. Daerah ini amat sepi, biasanya tidak pernah ada orang. Maka heranlah ia melihat seorang pemuda yang bersikap halus seperti orang kota dan suaranya agak asing, dengan lidah orang utara.

"Betul. Seperti biasa saya hendak mencari ikan," jawab nelayan itu sambil memasang tali layar dan bersiap-siap.

"Kebetulan sekali, Twako. Kau tolonglah aku menyeberang ke pulau itu. Berapa biayanya pulang pergi?"

Nelayan itu tidak segera menjawab, melainkan memandang ke arah pulau yang ditunjuk Bu Song. Berkali-kali ia menoleh dari Bu Song ke pulau itu, memandangnya bergantian lalu bertanya, "Kongcu, pulau yang mana...?"

"Itu yang ke tiga dari kiri, Pulau Pek-coa-to...."

"Wah...!" tiba-tiba wajah nelayan itu menjadi pucat dan ia memandang Bu Song dengan mata terbelalak.

Bu Song merasa tidak enak hatinya. "Twako, kenapa?"

Dengan suara tergagap nelayan yang berusia hampir empat puluh tahun itu bertanya, "Kongcu... mau apakah... pergi ke... pulau itu...?" Sungguh aneh, muka yang menghitam karena sering dipanggang terik matahari itu kelihatan ketakutan ketika memandang Bu Song.

"Ah, aku hanya ingin pesiar, Twako."

Orang itu menarik napas panjang, agaknya lega hatinya mendengar bahwa pemuda kota ini bukan sengaja hendak ke pulau itu, dan agaknya tidak mengenal keadaan maka ingin pesiar ke tempat itu.

"Kongcu salah pilih! Kalau ingin pesiar, banyak tempat yang indah, mengapa memilih pulau... maut... itu?"

"Pulau maut? Apa maksudmu, Twako?"

"Ah, Kongcu tentu saja tidak tahu. Pulau Pek-coa-to itu adalah pulau angker sekali. Karena keangkeran pulau itulah maka tempat ini sekarang menjadi sepi. Para nelayan merasa takut mencari ikan di muara ini, karena adanya pulau itulah. Jangankan mendarat, mendekati pulau itu saja sudah cukup untuk kehilangan nyawa!"

"Mengapa begitu?"

"Entahlah. Pulau itu penuh binatang-binatang yang luar biasa, berbisa dan buas. Selain itu, agaknya juga... iblis dan siluman menjadi penghuninya. Sudahlah, Kongcu, membicarakannya saja merupakan pantangan di sini. Saya seorang pelayan yang terpaksa mencari ikan di sini, karena satu-satunya sumber nafkah saya adalah pekerjaan ini. Akan tetapi saya selalu menjauhkan diri dari pulau itu. Kongcu benar-benar salah pilih kalau hendak bersenang-senang dan berpesiar di daerah ini."

"Tidak salah pilih, Twako. Aku benar-benar ingin pergi ke pulau itu. Jangan kau khawatir, aku dapat menjaga diri dengan baik. Dan ini untuk biaya kalau kau suka mengantarku ke sana." Bu Song sengaja mengeluarkan lima potong perak yang ia dapat dari suhu-nya sebagai bekal di perjalanan. Ia mempunyai sekantung uang perak dan beberapa potong uang emas.

Melihat lima potong perak ini, si Nelayan memandang terbelalak. Bukan sedikit perak itu! Mencari ikan sebulan belum tentu akan menghasilkan sebanyak itu. Akan tetapi ia memandang Bu Song dan berkata lagi, "Bukan saya tidak mau menyeberangkan ke sana, Kongcu. Akan tetapi aku takut."

"Tidak usah takut, aku menjamin keselamatanmu."

"Kongcu kelihatan kuat akan tetapi... banyak temanku nelayan yang lebih besar dan kuat dari pada Kongcu tewas secara aneh di dekat pulau itu...."

"Kau tidak usah ikut mendarat. Cukup asal kau antar aku ke pulau itu dan kau boleh berlayar mencari ikan. Nanti menjelang senja, kau jemput aku. Bagaimana?"

Si Nelayan ragu-ragu. Bu Song maklum bahwa perlu ia memperlihatkan kepandaiannya agar nelayan ini hilang rasa takutnya. Ia menghampiri sebuah batu karang besar dan berkata, "Twako, apakah penghuni pulau itu kepalanya lebih kuat dari pada batu karang ini?" Ia menggerakkan tangan kanannya menampar. Terdengar suara keras dan debu mengebul. Ujung batu karang itu pecah berantakan!

Si Nelayan melongo dan mengangguk-angguk. "Ah, kiranya Kongcu adalah seorang demikian kuat. Baiklah, akan tetapi seperti yang Kongcu katakan tadi, saya hanya mengantar dan menjemput, tidak ikut mendarat di sana."

"Jangan khawatir, asal perahumu sudah dekat dengan daratan pulau itu, tidak perlu terlalu dekat, dan kau boleh tinggalkan aku untuk dijemput senja nanti."

Nelayan itu menyeret perahunya dan tak lama kemudian, setelah dapat melalui ombak yang memecah di pantai, lajulah perahu itu membawa Bu Song dan si Nelayan berlayar ke tengah laut. Berdebar jantung Bu Song. Ia sama sekali tidak tahu akan keadaan pulau itu. Mendiang Ciu Gwan Liong hanya menceritakan bahwa kakak sastrawan itu yang bernama Ciu Bun bersembunyi di pulau kosong yang bernama Pek-coa-to ini.

Kenapa sekarang si Nelayan menceritakan hal yang aneh-enah dan seram? Kalau memang pulau itu sedemikian hebat dan berbahaya, apakah Ciu Bun sastrawan tua itu dapat hidup di sana? Bu Song tidak menjadi gentar, malah keanehan perkara ini makin menarik hatinya untuk segera mendarat di pulau itu, membuktikan omongan si Nelayan dan pesan mendiang Ciu Gwan Liong.

Dengan perahu layar yang mendapat angin penuh dan amat laju, sebentar saja mereka sudah tiba di dekat pulau itu. Kiranya yang membuat pulau itu tampak putih dari jauh adalah bukit-bukit atau batu-batu karang besar yang mengandung kapur. Pulau itu tampak sunyi dan kosong, sama sekali tidak kelihatan ada bahaya mengancam. Akan tetapi jelas tampak tubuh si Nelayan menggigil ketakutan. Maka Bu Song lalu meloncat ke darat.

"Kau pergilah mencari ikan, Twako. Nanti sore jemput aku di tempat ini!"

Si Nelayan hanya mengangguk-angguk dan cepat-cepat memutar perahunya untuk menjauhi tempat yang ditakuti ini.

Bu Song tersenyum ketika membalikkan tubuhnya memandang ke tengah pulau. Nelayan itu agaknya menjadi korban kepercayaan tahyul maka ia ketakutan seperti itu. Pulau ini agaknya sunyi dan tenteram, sama sekali tidak ada bahaya mengancam kecuali keadaannya yang liar dan agaknya tak pernah didatangi manusia. Ia melompat ke atas batu karang dan mendaki tempat yang paling tinggi untuk mengadakan pemeriksaan dari atas tentang keadaan pulau itu.

Setelah tiba di puncaknya, ia memandang ke bawah. Kiranya di tengah pulau itu tanahnya cukup subur, banyak pohon-pohon yang merupakan hutan. Akan tetapi sekeliling pulau itu adalah pantai batu karang sehingga dari jauh yang tampak hanyalah karang putih. Beberapa menit lamanya Bu Song mengintai dari atas, akan tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa di pulau itu ada orangnya. Ke mana ia harus mencari Ciu Bun? Benarkah kakek sastrawan itu berada di situ? Pulau ini hanya kecil saja. Ia tentu dapat menjelajahi sampai habis dan kembali ke tempat ia mendarat sebelum senja.

Bu Song turun dari batu karang itu dan berloncatan dari batu ke batu menuju ke tengah pulau. Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan sinar putih menyambar lehernya. Cepat Bu Song miringkan tubuh mengelak. Sinar itu lewat dan ketika ia menengok ke belakang, sinar itu telah lenyap sehingga ia tidak tahu senjata rahasia apakah yang menyambarnya tadi. Jantungnya berdebar. Kiranya benar ada orangnya dan agaknya orang itu berwatak keji, karena buktinya tanpa ada angin atau hujan tahu-tahu sudah menyerang dengan senjata rahasia!

Ia memandang ke kanan dari mana senjata rahasia tadi menyambar. Akan tetapi di sebelah kanannya hanya tampak batu karang dan tidak ada tanda-tanda manusia di situ. Ia kaget sekali. Tiba-tiba ia diserang lagi, dan kini bahkan serangan itu datang dari tiga jurusan, depan, kanan dan kiri. Juga menggunakan senjata rahasia seperti tadi, putih kecil yang menyerang leher, perut dan kaki. Untung ia dapat bergerak cepat dan loncatannya tadi menggagalkan serangan. Celaka, pikirnya. Agaknya sedikitnya ada tiga orang manusia yang memusuhinya.

"Cu-wi sekalian harap jangan turun tangan! Saya datang dengan maksud baik, bukan untuk bermusuhan dengan siapa pun juga."

Pada saat itu, dari sebelah kanan menyambar lagi benda putih. Bu Song penasaran dan ingin memperlihatkan kepandaiannya. Dengan dua jari tangan ia menyambar benda putih itu dan berhasil menjepitnya. Akan tetapi hampir saja ia berteriak saking kagetnya. Benda yang disangkanya senjata rahasia itu kiranya adalah seekor ular putih yang kini terjepit di antara dua jarinya, akan tetapi ular itu telah menggigit telapak tangannya! Bu Song gemas dan sekali remas kepala ular itu hancur.

Telapak tangannya mengeluarkan darah sedikit, tapi Bu Song tidak khawatir. Tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Akan tetapi ia tidak mau mengambil resiko, maka dengan pengerahan hawa sakti ke arah tangannya, ia berhasil mendorong ke luar darahnya melalui luka. Darahnya yang keluar dari luka berubah putih, tanda keracunan! Akan tetapi hanya sedikit, dan setelah yang mengucur ke luar adalah darah merah bersih, ia menghentikan usahanya. Luka tidak berarti, dan ia diam-diam merasa geli.

Kiranya ia tadi bicara terhadap ular-ular putih kecil yang menyerang orang sambil ‘terbang’ atau lebih tepat, meluncur dan melayang. Benar-benar amat berbahaya ular-ular itu. Kalau bukan dia yang digigit, bisa mendatangkan maut. Mulai mengertilah kini Bu Song mengapa si Nelayan itu takut setengah mati terhadap pulau ini. Dan ia pun menduga bahwa tentu masih ada bahaya-bahaya lainnya di pulau ini. Dengan hati-hati ia berjalan terus ke depan. Serangan ular-ular putih ia hindarkan dengan mengelak atau kadang-kadang mengebutnya dengan ujung baju lengan.

Tiba-tiba jantungnya berdebar keras dan ia menghentikan langkahnya. Ia menahan napas dan mendengarkan penuh perhatian. Tidak salah lagi! Itulah tiupan suling! Suara suling yang luar biasa sekali. Dia sendiri seorang ahli meniup suling, akan tetapi tiupan suling yang terdengar itu benar-benar mengagumkan. Dan suara itu datang dari depan sebelah kiri, dari pinggir hutan di mana terdapat bukit-bukit dengan batu-batu hitam.

Girang sekali hati Bu Song. Kiranya mendiang Ciu Gwan Liong tidak menipunya. Ia tidak ragu bahwa yang meniup suling itu tentulah sastrawan Ciu Bun yang dicarinya! Cepat ia berlari menuju ke bukit dekat hutan itu. Kini ia tiba di daerah penuh pasir, dan tiba-tiba ia roboh terguling karena pasir yang diinjaknya itu bergerak memutar!

Begitu jatuh, pasir yang menerima tubuhnya itu mengisap dan berputaran. Bu Song kaget bukan main. Cepat ia mengerahkan tenaganya dan memukulkan kedua telapak tangan ke atas pasir, menggunakan daya dorongan ini untuk mengangkat tubuh ke atas dan sambil berjungkir balik ia meloncat jauh ke depan. Mukanya pucat melihat pasir itu masih bergerak-gerak seperti air! Bukan main! Kalau ia tadi tidak cepat membebaskan diri, tentu tubuhnya akan terisap terus ke bawah dan sekali tubuhnya terisap, sukarlah melepaskan diri lagi. Benar-benar tempat yang amat berbahaya.

Kini ia melangkah dengan hati-hati sekali. Kiranya daerah berpasir ini banyak sekali pasir berpusing seperti itu. Akan tetapi karena ia sudah hati-hati, begitu kakinya menginjak pasir bergerak, ia segera meloncat dan dengan demikian terhindarlah ia dari bahaya itu. Akhirnya ia tiba di dekat bukit dari mana suara suling kini terdengar jelas.

Suara suling itu keluar dari sebuah goa. Dengan hati girang Bu Song terus berjalan menghampiri. Goa itu merupakan terowongan yang dalam dan gelap. Merasa bahwa ia berada di tempat orang, Bu Song tidak berani masuk dan hanya berdiri di depan goa, menanti sampai suara suling itu habis dilagukan. Akhirnya suara suling berhenti dan Bu Song segera berseru.

"Apakah Paman Ciu Bun berada di dalam?" Hening, tiada jawaban sampai lama.

"Saya datang membawa pesan mendiang Paman Ciu Gwan Liong!"

Segera terdengar jawaban dari dalam, suaranya penuh ejekan, "Sin-jiu Couw Pa Ong, apa artinya semua lelucon ini? Kalau kau mau coba memaksaku, mau menyiksaku atau membunuhku, kau masuk saja. Perlu apa menyebut-nyebut nama Gwan Liong?"

Bu Song terkejut. Mengapa orang di dalam itu menyebut-nyebut nama Sin-jiu Couw Pa Ong? "Paman Ciu Bun, saya bukan Sin-jiu Couw pa Ong. Nama saya Liu Bu Song!" teriaknya. Ia sengaja menggunakan she ibunya, karena ia masih merasa tak senang kepada ayahnya yang dianggap telah menceraikan ibunya dan menikah lagi.

"Orang muda, apakah kau bukan kaki tangan Couw Pa Ong?" Agaknya orang di dalam goa yang gelap itu dapat melihatnya yang berada di luar goa, buktinya dapat mengetahui bahwa dia adalah seorang pemuda.

"Sama sekali bukan, Paman."

"Kau membawa pesan apa dari Ciu Gwan Liong?"

"Sebelum Paman Ciu Gwan Liong meninggal, dia menyerahkan sebuah kitab kepada saya dan menyuruh saya mencari Paman Ciu Bun di pulau ini."

"Aaahhh...!" Orang itu mengeluarkan seruan kaget, diam sampai lama lalu berkata, "Orang muda, coba kau bacakan sajak ke tiga dari dalam kitab itu!"

Bu Song sudah sering membaca kitab pemberian Ciu Gwan Liong, maka tanpa membaca pun ia sudah hafal. Maka ia lalu membacakan kalimat dalam sajak ke tiga.

Matahari bersinar miring di tengah hari.
Sesuatu mati begitu lahir.
Selatan tiada batas dan ada ujungnya.
Aku pergi ke selatan hari ini dan tiba di sana kemarin!
Cintalah semua benda dengan sama.
Alam adalah satu
.

Kitab kecil kuno itu memang mengandung sajak-sajak yang amat aneh dan sukar dimengerti. Sajak ke tiga yang dibacakan oleh Bu Song itu adalah sajak dari seorang menteri Kerajaan Wei bernama Hui Su (370-319 BC), seorang tokoh Mohism, yaitu pengikut ajaran-ajaran Mo Cu. Keistimewaan Mohism adalah kata-kata yang saling bertentangan atau saling berlawanan.

Begitu mendengar Bu Song membacakan sajak itu, orang di sebelah dalam goa berseru girang, "Tepat...! Orang muda, engkau dapat sampai di sini tentu memiliki kepandaian, siapakah gurumu?"

"Suhu bernama Kim-mo Taisu."

"Wah, pantas... pantas saja adikku mempercayaimu. Kau masuklah dan suling ini tentu akan kuberikan kepadamu. Akan tetapi engkau harus bisa menghalau perintang yang menyeramkan itu lebih dulu. Ingin kulihat apakah kepercayaan Gwan Liong kepadamu tidak sia-sia! Masuklah, orang muda, akan tetapi awas terhadap binatang-binatang itu. mereka amat buas!"

Bu Song melangkah masuk. Karena orang di dalam goa sudah memberi peringatan, ia bersikap hati-hati sekali, melangkah perlahan-lahan dan mata serta telinganya siap sedia. Tiba-tiba ia mendengar desis keras dan hidungnya mencium bau yang amis. Baiknya cahaya matahari masih cukup terang memasuki goa itu sehingga ia dapat melihat bayangan hitam merayap datang di depannya dan ternyata yang merayap itu adalah seekor binatang seperti buaya yang luar biasa!

Kulitnya tebal, matanya besar bersinar hijau, lidahnya panjang bercabang seperti lidah ular dan dari mulutnya yang mendesis-desis itu keluar uap putih yang berbau amis. Suara mendesis makin hebat dan ternyata binatang itu bukan seekor saja, melainkan ada empat ekor! Mereka datang dari depan, kanan dan kiri dengan sikap mengancam.

Bu Song berdiri memasang kuda-kuda. Begitu melihat binatang yang paling dekat dengannya menyergap dengan kedua kaki depan terangkat dan mulut terbuka lebar, Bu Song segera mengerahkan tenaga ke tangan kanan dan ia memukul dengan jari terbuka.

"Desss!!" binatang seperti buaya itu terlempar, mengeluarkan suara keras akan tetapi lalu merayap pergi, gerakannya lemah dan limbung.

Lega hati Bu Song. Kiranya binatang-binatang ini lebih menakutkan dari pada membahayakan. Ia tidak menanti sampai binatang-binatang itu menyerbunya, melainkan mendahului menerjang maju dan dengan gerakan cepat sekali kedua tangannya membagi-bagi pukulan yang diarahkan kepada tiga ekor binatang yang lain. Terdengar suara keras dan binatang-binatang itu menjerit-jerit lalu lari kacau-balau, bersembunyi di balik batu karang yang gelap di kanan kiri goa.

"Bagus! Kau tidak kecewa menjadi murid Kim-mo Taisu dan kepercayaan adikku Gwan Liong. Tunggulah, orang muda. Setelah empat ekor binatang buruk itu pergi aku dapat keluar sendiri!" Suara orang itu terdengar girang dan tak lama kemudian muncullah sesosok bayangan hitam dari dalam gelap.

Ketika tiba di tempat yang diterangi sinar matahari dari luar, Bu Song melihat seorang laki-laki tua tinggi kurus bermuka pucat. Tubuh dan mukanya menyatakan bahwa kakek ini tidak sehat, atau bahkan sakit, akan tetapi ketika ia berjalan ke luar, langkahnya dan sikapnya membayangkan keangkuhan seorang terpelajar tinggi. Di tangan kanannya terdapat sebatang suling yang berkilauan ketika terkena sinar matahari, sebatang suling berwarna kuning. Tidak salah lagi, itulah suling emas, pikir Bu Song dengan hati penuh ketegangan.

Kakek itu pun memandang Bu Song penuh perhatian. Agaknya ia puas melihat Bu Song. "Mari kita keluar. Kau harus cepat-cepat mempelajari cara meniup suling ini dan menyesuaikan bunyinya dengan sajak-sajak di dalam kitab. Hayo cepat, jangan sampai ia keburu datang!" Tergesa-gesa kakek ini mengajak Bu Song keluar dari dalam goa.

"Apakah Paman maksudkan Kong Lo Sengjin?"

Kakek itu berhenti di depan goa dan memandang. Matanya yang tajam penuh selidik dan membayangkan kecurigaan. "Kau mengenal dia?"

"Tentu saja saya mengenal Kong Lo Sengjin, Paman. Isteri Suhu adalah keponakan Kong Lo Seng Jin, akan tetapi anehnya, kakek yang sakti tapi kejam itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri untuk menipu Suhu."

Kakek yang bukan lain adalah sastrawan Ciu Bun yang selama bertahun-tahun dicari-cari oleh tokoh-tokoh kang-ouw itu tercengang. "Apa...? Kim-mo Taisu menjadi mantu keponakan Couw Pa Ong? Sungguh aneh! Dan tua bangka itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri? Orang muda, eh... siapa namamu tadi? Bu Song? Bu Song, kau ceritakan semua kepadaku!"

Mereka pergi ke belakang tumpukan karang tak jauh dari goa. Di situ Kakek Ciu Bun duduk dan Bu Song segera menceritakan keadaan suhu-nya dan Kong Lo Sengjin menipu Kim-mo Taisu bahwa pembunuhnya adalah musuh-musuh Kong Lo Sengjin. Kemudian betapa secara tidak sengaja ia mendengar percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang maka ia tahu akan rahasia itu. Kemudian ia bercerita juga sedikit tentang keadaan dirinya, bahwa selain murid Kim-mo Taisu, dia pun bekas calon mantunya dan betapa calon isterinya puteri Kim-mo Taisu tewas di dalam jurang.

Mendengar penuturan itu, Ciu Bun bengong lalu memaki gemas, "Tua bangka itu benar-benar telah menyeleweng jauh dari pada kebenaran! Untung bukan dia yang mendapatkan kitab di tangan Gwan Liong. Kau tadi bilang Gwan Liong sudah meninggal, bagaimana kau tahu?"

"Bukan hanya tahu, Paman. Bahkan saya yang mengubur jenazahnya." Kembali Bu Song bercerita tentang nasib Ciu Gwan Liong yang buruk dan betapa kakek sastrawan itu agaknya membunuh diri agar jangan sampai terjatuh ke tangan Kong Lo Sengjin.

Ciu Bun membanting-banting kaki kanannya. "Couw Pa Ong, kau benar-benar patut dimaki dan dikutuk!"

Hening sejenak, kemudian Ciu Bun berkata, "Nah, kau ambil kitab itu, kau baca sajaknya dan aku akan meniup suling itu disesuaikan dengan isi sajak. Kau tahu, setiap huruf itu mengandung bunyi tertentu sesuai dengan maknanya. Suara suling ini harus ditiup sesuai dengan bunyi huruf sehingga merupakan lagu tertentu sesuai dengan bunyi sajak. Kami, yaitu aku dan adikku yang telah meninggal adalah sastrawan-sastrawan yang mengutamakan keindahan seni, maka pemberian anugerah dari Bu Kek Siansu berupa dua buah benda berharga ini bagi kami semata-mata hanyalah mengandung keindahan yang luar biasa. Keindahan seni sastra diselaraskan dengan seni suara. Menurut Bu Kek Siansu, kalau bunyi sajak dan suara suling ini sudah dapat diselaraskan seperti mestinya, maka akan mendatangkan hikmat luar biasa, menenangkan batin, menjernihkan pikiran dan menghalau segala macam pikiran jahat, menindih nafsu dan membawa orang ke tingkat batin yang lebih tinggi. Akan tetapi, selain itu aku yakin bahwa dua benda ini pun mengandung sesuatu yang amat hebat bagi dunia persilatan, karena buktinya tokoh-tokoh kang-ouw dari segala penjuru mencari-cari dan mengejar-ngejar kami. Nah, kau bacakan sajak yang mana saja, biar kutimpali dengan suling ini!"

Mendengar penjelasan itu Bu Song merasa betapa sulitnya mempelajari ilmu menyesuaikan bunyi huruf dan bunyi suling, namun ia menaruh perhatian besar dan segera ia membaca lambat-lambat sederet sajak. Kakek Ciu Bun sudah meniup sulingnya dan terdengarlah bunyi suling mengalun aneh, akan tetapi lebih aneh lagi bagi Bu Song, suara suling itu demikian enak dan cocok dengan suaranya yang membaca huruf-huruf secara lambat.

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan suara aneh lucu. "Ngieeehhh... ngieeehhh!"

Seketika Ciu Bun menghentikan tiupan sulingnya. Karena ini Bu Song juga menghentikan bacaannya dan menoleh ke arah suara. Kiranya di depan goa tadi kini tampak sekor kuda yang ditunggangi oleh dua orang. Dua orang laki-laki aneh sekali, karena mereka itu menunggang kuda dengan menghadap ke belakang dan laki-laki yang di belakang memegang ekor kuda sambil mengeluarkan suara "ngieeeeh-ngieeeeh" tadi.

Dua orang laki-laki ini benar-benar luar biasa sekali. Yang seorang bertubuh tinggi kurus seperti rangka terbungkus kulit, berkepala gundul dan bertelanjang baju, hanya memakai celana sebatas lutut dan bertelanjang kaki. Orang ke dua yang memegangi ekor kuda tidak kalah anehnya. Tubuhnya gemuk sekali, punggungnya berpunuk mulutnya besar dan dan kepalanya juga gundul bertelanjang baju dan bercelana seperti orang yang pertama.

"Kiu-ji dan Ciu-ji (Anak Kiu dan Anak Ciu)! Berani kalian mengganggu aku selagi meniup suling? Awas, kuadukan nanti kepada Ong-ya!"

Muka kedua orang gundul itu menjadi ketakutan. Si Gendut lalu menggerak-gerakkan ekor kuda agar kudanya berlari cepat. "Tidak... tidak... tidak...!" Mereka berkata ketakutan.

Benar-benar pemandangan yang luar biasa sekali. Tak dapat Bu Song menahan keingin-tahuan hatinya. "Paman, siapakah mereka tadi?"

"Mereka itu dua orang pelayan dan juga murid Couw Pa Ong. Gigitan-gigitan beracun dari binatang-binatang berbisa membuat mereka tidak waras otaknya. Akan tetapi mereka itu hebat kepandaiannya, mewarisi ilmunya Couw Pa Ong. Memang tua bangka itu aneh sekali, menurunkan ilmunya kepada dua orang gila macam itu."

"Jadi Kong Lo Sengjin tinggal di pulau ini?" Bu Song bertanya kaget karena hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya.

Ciu Bun mengangguk. "Tentu saja tinggal di sini! Dengarlah, Couw Pa Ong adalah sahabat baikku semenjak dahulu. Kami berdua orang-orang yang setia kepada Kerajaan Tang. Dia banyak belajar ilmu kesusateraan dari aku yang dulu menjabat kedudukan guru sastra di kota raja! Atas ajakannyalah aku tinggal di sini untuk menyembunyikan diri dari orang-orang jahat yang hendak merampas suling ini. Mula-mula Couw Pa Ong memang tetap menjadi sahabat baikku. Akan tetapi agaknya kegilaan kedua orang murid atau pelayannya itu menular kepadanya. Sikapnya mulai berubah dan dia mulai membujuk-bujukku untuk menurunkan rahasia suling dan kitab pemberian Bu Kek Siansu kepadanya! Akan tetapi setelah kutahu bahwa pikiran dan wataknya telah berubah, aku selalu mengatakan bahwa suling ini tidak ada artinya baginya, hanya untuk ditiup melagu menghibur diri. Ia penasaran lalu memasukkan aku ke dalam goa itu, dijaga oleh binatang-binatang liar. Tentu saja aku tidak berani keluar dan yang berani memasuki goa hanyalah dua orang bocah edan tadi yang mengantar makanan setiap hari kepadaku. Kau tahu bahwa Couw Pa Ong tentu hendak mencari dan menangkap adikku untuk memaksa kami kakak beradik membuka rahasia kitab dan suling. Untung sekali adikku bertemu dengan engkau. Nah, tahukah kau sekarang? Hayo kita berlatih lagi. Kau sudah dapat menangkap contohku tadi?"

"Sudah, Paman. Memang mendatangkan perasaan yang hebat, tapi aku masih bingung karena hal ini memang amat sukar dimengerti."

"Memang. Sekarang biarlah kau belajar meniup suling..."

"Paman, saya sudah biasa bersuling dan mendapat petunjuk Suhu..."

"Bagus! Ah, agaknya memang sudah jodoh. Nah, lekas kau meniup suling ini dan usahakan agar suara sulingmu dapat sesuai dengan bunyi dan sifat huruf yang kubaca!"

Mereka bertukar benda. Kakek itu menyerahkan suling emas dan menerima kitab dari tangan Bu Song. Sastrawan Ciu Bun membacakan sajak terakhir dari kitab itu dan Bu Song segera meniup sulingnya. Hebat tiupan suling anak muda ini. Memang ia berbakat sekali sehingga tiupannya mengandung getaran perasaannya. Pula, karena Bu Song sendiri sudah hafal akan isi kitab, ia segera dapat menyesuaikan bunyi sulingnya, mengarah bunyi huruf. Ketika meniup suling, seluruh perhatiannya dicurahkan kepada makna dari huruf yang ditiupnya. Terdengar perpaduan suara sajak dan suling yang luar biasa, mengalun-alun dan merayu-rayu.

ADA muncul dari TIADA.
Betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!


Demikianlah bunyi sajak terakhir itu. Sampai tiga kali Ciu Bun membaca sajak itu, terus diikuti oleh tiupan suling Bu Song. Setelah habis, terdengar Ciu Bun berseru, "Ya Tuhan....!!"

Bu Song memegang suling itu dan memandang Kakek Ciu Bun. Ia terkejut melihat wajah kakek itu makin pucat, seperti kehijauan, akan tetapi mata kakek itu bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga biar pun wajah itu amat pucat, namun seperti berseri-seri. Kedua kakinya ditekuk dan bersila, kedua tangan memegang kitab, lalu bibirnya bergerak. "Dapat sudah sekarang... ya Tuhan, dapat sudah..."

Bu Song tidak mengerti, lalu bertanya hormat, "Paman, apakah yang Paman maksudkan?"

"Bu Song, kau sudah hafal akan isi kitab?" tiba-tiba kakek itu bertanya, suaranya biasa kembali.

"Sudah, Paman."

"Kalau begitu tinggalkan kitab ini padaku dan kau bawalah suling itu pergi dari sini, cepat! Kau sudah tahu akan rahasia isi kitab dan suara suling. Bahagialah kau, Bu Song."

Bu Song mendekati. "Akan tetapi, kalau Paman di sini tertawan, marilah Paman ikut pergi dengan saya. Untuk apa tinggal di pulau berbahaya ini?"

"Tertawan? Berbahaya? Ahh, tidak sama sekali. Sudahlah, kau cepat pergi, jangan sampai dia datang mendapatkan kau di sini."

"Tapi, Paman..."

"Keraguan hati akan merintangi kemajuanmu, orang muda. Pergilah!" Kakek itu berkata dengan suara tegas sehingga Bu Song tidak berani membantah lagi.

Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang bersila di atas batu, menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri dan berjalan pergi dari situ, menuju ke tempat ia mendarat tadi. Di belakangnya ia mendengar suara kakek itu membaca sajak terakhir dan ketika tiba di dua kalimat terakhir, suara itu seperti berteriak girang.

Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!


Ketika Bu Song tiba di tepi pulau, di atas batu karang, ia melihat layar perahu nelayan itu dari jauh. Bu Song menaruh kedua tangan di pinggir mulutnya lalu berseru sambil mengerahkan khikang di dadanya, "Kakak nelayan...! Kemarilah...!!"

Layar itu makin besar dan kini tampaklah perahu kecil itu bersama si Nelayan yang berwajah ketakutan. Setelah perahu itu dekat, dalam jarak lima meter Bu Song lalu meloncat ke atas perahu. Akan tetapi si Nelayan memandang ke arah pulau dengan muka pucat dan tubuh menggigil, sehingga kedua tangannya tidak dapat lagi mengemudi perahu.

Bu Song terheran dan cepat menoleh. Untung ia sudah berada di atas perahu karena ternyata di tepi pulau itu berdiri dua orang manusia aneh yang tadi menunggang kuda dan mereka itu membawa sebuah batu karang besar yang kini mereka lemparkan ke arah perahu. Dua batu karang itu besarnya seperut kerbau dan dilempar dengan kekuatan dahsyat ke arah perahu!

"Cepat jalankan perahu ke tengah!" Bu Song masih sempat berteriak dan ia melompat ke buntut perahu, memasang kuda-kuda dan ketika dua batu karang itu datang menyambar, ia menggunakan kedua tangannya mendorong sambil mengerahkan sinkang-nya.

"Byurrr...!" dua batu karang itu dapat terdorong menyeleweng dan jatuh ke air, akan tetapi saking hebatnya tenaga lemparan itu, kedua kaki Bu Song melesak ke bawah karena papan atas perahu yang diinjaknya jebol! Selain itu, dua batu karang yang terbanting ke air itu menimbulkan gelombang hebat sehingga perahunya miring dan hampir saja terbalik. Baiknya nelayan itu tahu akan bahaya dan sudah cepat-cepat mengatur keseimbangan perahunya, mengemudi layar dan cepat sekali angin besar mendorong perahu menjauhi pulau! Dua manusia aneh itu meloncat-loncat di tepi pulau dan sebentar saja lenyap.

"Kongcu.... Mereka itu tadi.... siluman.... atau ibliskah.....?"

Bu Song tersenyum. Biarkan para nelayan ini ketakutan agar tidak berani mendekati pulau Pek-coa-to, karena kalau mendekati pulau itu memang besar kemungkinan mereka akan tewas. Selain di pulau itu terdapat banyak binatang buas dan berbisa. Juga di situ tinggal Kong Lo Sengjin dan dua orang pelayannya yang gila dan kejam.

"Agaknya mereka itu iblis pulau. Akan tetapi untung kita dapat melarikan diri!" jawab Bu Song.

Jawaban ini membuat nelayan itu makin ketakutan dan ia mengerahkan seluruh kecakapannya untuk berlayar secepat mungkin menyeberang ke daratan yang aman.
Selanjutnya,