Si Gila Dari Muara Bangkai - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat serial pendekar pulau neraka
Episode Si Gila Dari Muara Bangkai

Karya Teguh S
Penerbit pertama Cintamedia, Jakarta



Pendekar Pulau Neraka Episode si gila dari muara bangkai



SATU

SEORANG bertubuh tegap terbungkus pakaian ketat berwarna hijau tampak berdiri tegak di sebuah batu besar sambil menatap ke arah muara yang berair keruh di bawahnya. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar dipermainkan angin. Sebilah golok yang tajam berkilat berada tepat di mukanya. Untuk sesaat terlihat, perhatiannya seperti terpusat pada satu arah. Lalu....

“Yeaaa...!”

Tubuh laki-laki berusia sekitar dua puluh dua tahun itu berkelebat cepat. Dan seketika golok ditangannya menyambar kesana kemari sedemikian hebatnya.

Crak! Crok!

Seketika air yang mengalir di hadapannya terlihat keruh. Lalu beberapa ekor ikan dan kepiting tampak mengambang ke atas dalam keadaan terbelah dua. Tubuhnya kemudian kembali melesat ke tempat semula, tanpa pernah terjeblos ke dalam air.

“Hup!”

Pemuda berbaju hijau itu mendaratkan kakinya di atas tanah. Dan matanya langsung memandang ke bawah, seperti tidak percaya dengan apa yang telah diperbuatnya itu. Kemudian terlihat bibirnya tersenyum-senyum sendiri, lalu menggaruk-garuk rambutnya yang kusut masai seperti telah lama tidak tersentuh air.

“Hei? Aku telah berhasil! Aku telah berhasil memecahkan jurus ‘Golok Angin’...!” teriak pemuda itu girang. Kemudian kembali pemuda itu bergerak cepat, menebas apa saja yang ada di sekitarnya. Suaranya lantang bergema dalam teriakan keras yang membahana ke sekeliling tempat itu.

“Yeaaa...!”
Tras! Cras!

Beberapa cabang pohon tampak berjatuhan menjadi potongan-potongan kecil, begitu terkibas goloknya. Demikian juga helai-helai dedaunannya. Lalu ketika tubuhnya berkelebat lagi, beberapa ekor ikan dan kepiting yang berada di muara itu langsung mengambang ke permukaan air dalam keadaan terbelah dua.

Ilmu golok pemuda itu mengandalkan kecepatan gerak yang hebat dengan tebasan-tebasan saling menyilang. Lalu tebasan itu bergerak ke arah yang berlawanan secara tidak terduga. Sehingga, tubuh pemuda itu bagai terbungkus kelebatan goloknya sendiri.

Sebentar kemudian pemuda itu menutup jurusnya dan berhenti bergerak. Matanya memandang ke sekeliling dengan wajah puas. Lalu bibirnya tersenyum-senyum sendiri.

“Ha ha ha...! Tidak sia-sia aku tinggal di tempat ini, selama sepuluh tahun! Tunggulah kalian, Manusia-manusia Keparat! Aku akan datang menagih hutang nyawa istri dan anak-anakku. Siapa pun yang terlibat di dalamnya, akan mendapat balasan yang menyakitkan dari Darmo Gandul! Kalian telah membuatku terhina. Dan ini hanya akan terbalas dengan nyawa kalian...!” teriak pemuda itu seraya tertawa lebar dengan suara nyaring.
Kemudian terlihat pemuda yang bernama Darmo Gandul itu menekuk wajahnya. Seraut bias kekejaman seperti menyatu dalam guratan wajahnya. Goloknya lantas disimpan di pinggang. Kemudian, kembali matanya memandang batu besar yang berada pada jarak lima langkah di depannya. Lalu pikirannya dipusatkan barang beberapa saat. Kini dia menarik napas panjang, seraya membuka satu jurus. Kedua tangannya sudah bergerak menyilang di depan dada. Sebentar kemudian, tangannya bergerak ke arah pinggang. Dan mendadak saja, pemuda itu menghentakkan kedua tangan ke depan.

“Yeaaa...!”
Jderrr!
Brukkk!

Batu sebesar kerbau di hadapan pemuda itu kontan hancur berantakan menjadi kerikil dihantam pukulan maut yang terlontar dari telapak tangannya yang disorongkan ke depan.

“Hua ha ha....! Hei! Pukulanku pun ternyata sangat hebat! Ah! Sungguh dahsyat. Ha ha ha...! Mereka akan mendapat ancaman hebat dariku!” celoteh Darmo Gandul, bicara sendiri sambil tertawa-tawa seperti orang kurang waras.

Setelah puas tertawa, Darmo Gandul melompat lincah dari sebuah batu ke batu lainnya. Kemudian dia berlari kencang, ke arah hutan kecil yang tidak begitu jauh dari tempatnya tadi. Beberapa saat pemuda itu berhenti, dan langsung memandang ke satu arah. Pada jarak sepuluh langkah di depannya, terlihat sebuah gundukan tanah makam yang agak besar. Dan di sebelahnya, terdapat dua buah gundukan tanah makam yang berukuran lebih kecil. Dihampirinya perlahan-lahan, lalu bersimpuh di antara ketiga makam itu. Wajahnya terlihat muram. Dan untuk beberapa saat kepalanya tertunduk lesu.

“Minarni, maafkan kakangmu yang tidak mampu melindungimu...,” ujar Darmo Gundul bernada duka. “Tapi aku berjanji, manusia-manusia keparat itu akan mampus di tanganku. Jaga anak kita baik-baik, ya? Katakan pada mereka, jangan nakal-nakal. Ah! Kalau mereka dewasa, tentu akan gagah sepertiku. Dan si kecil yang baru kau lahirkan, akan secantik dirimu....”

Darmo Gandul kembali terdiam, kemudian mendadak berdiri tegak. Matanya menyapu ke sekeliling tempat itu dengan sorot buas. Sesaat dia menggeram, kemudian mencabut goloknya.

“Yeaaaa...! Mampuslah kalian! Mampusss...!
Yeaaaa....!”
Crok! Cras!

Pemuda itu berteriak-teriak garang sambil menebas ranting-ranting kayu di sekitarnya. Sebentar saja, terlihat semak-semak berserakan tidak karuan seperti bekas dilanda topan.

Tras! Bruakkk!

Pohon-pohon kecil tumbang disapu goloknya. Demikian juga dedaunan. Darmo Gandul mengamuk hebat untuk beberapa saat Kemudian diiringi satu lengkingan panjang, tubuhnya berkelebat cepat dari tempat itu, menerobos hutan disekitarnya...

Alam kembali tenang. Hewan-hewan kecil yang tadi bersembunyi di sekitarnya kembali menampakkan diri, setelah ketakutan melihat keganasan lelaki itu!


***


Beberapa petani yang tengah menggarap sawah ladang di pagi hari yang cerah ini tampak tersentak kaget, ketika sesuatu melintas di pematang bagai sapuan angin kencang. Dedaunan bergoyang-goyang dan ratusan ekor bebek yang berkumpul ribut mencari makan, mendadak hening. Lalu binatang-binatang itu terpaku beberapa saat lamanya.

“Astaga! Apa itu yang barusan lewat?!” desis seseorang sambil membuka topi bambunya.

“Datangnya dari arah muara!” sahut kawannya di sawah sebelah.

“Muara? Muara Bangkai?! Hiii! Mungkin penunggu tempat itu yang sedang berkeliaran!” sahut seorang wanita setengah baya dengan wajah ketakutan.

“Husy, kamu ada-ada saja!” umpat laki-laki yang menyangkut caping bambunya.

“Bisa jadi, Kang Karjo!” timpal seorang kawannya yang berdiri tidak jauh darinya.

“Bisa jadi bagaimana, Gimin?” tanya laki-laki bercaping yang dipanggil Kaijo.

“Eeeh! Memangnya Kakang belum tahu keangkeran Muara Bangkai itu?” sahut laki-laki yang bernama Gimin balik bertanya. Karjo menggeleng.

“Wah! Kang Karjo ketinggalan berita. Kata orang-orang tempat itu ada penunggunya. Makhluk halus barangkali. Tidak ada seorang pun yang berani datang ke sana. Belum lama ini kerbaunya Pak Somad kesasar ke sana. Eh, kemudian ditemukan Kang Sujo telah menjadi bangkai dan tinggal tulang-belulangnya saja. Kang Sujo sempat melihat sekelebatan sesuatu yang berbentuk manusia. Dia tidak berani memastikan dan langsung pulang buru-buru!” jelas Gimin.

Karjo termanggu mendengar penjelasan kawannya. Sekilas dia memandang ke sekelilingnya. Tampak beberapa orang mulai meninggalkan sawah ladang dengan terburu-buru.

“Eh! Kang Dima, Pak Dudung, mau ke mana?!” teriak Karjo.

“Pulang, Jo! Ngeri... soalnya takut menjadi korban penghuni Muara Bangkai itu!” sahut mereka takut-takut.

Dan ketika melihat Gimin langsung ikut angkat kaki dari tempatnya, Karjo pun mengikuti dari belakang. Sementara istrinya telah lebih dulu meninggalkannya.

Sebentar saja, persawahan itu terlihat sepi. Dan mereka yang tadi berada di tempat ini, berduyun-duyun meninggalkannya untuk kembali ke rumah masing-masing. Namun baru saja tiba dipinggiran desa, tampak ramai sekali orang berlari ke sana kemari sambil menjerit-jerit ketakutan.

“Lari! Lariii...! Ada orang gila mengamuk...!”

“Orang gila?!”

Salah seorang dari mereka, yang kembali dari sawah termangu. Sementara yang lainnya bergegas melihat apa yang tengah terjadi. Namun mereka dibuat terkejut sendiri, ketika melihat banyak mayat-mayat bergelimpangan disana-sini.

Tampak seorang pemuda berambut panjang dan acak-acakan tengah berjalan tenang sambil menggerogoti buah-buahan di tangannya. Di pinggangnya terselip sebilah golok yang agak panjang. Melihat wajahnya yang kotor dan pakaian hijaunya yang robek di sana-sini, maka sepintas saja bisa diduga kalau pemuda itu adalah seorang gembel.

“Ha ha ha...! Rasakan sendiri kalau hendak mencari penyakit denganku. Kalian akan mampus! Padahal aku hanya minta sedikit makanan. Tapi, kenapa kalian malah mengusirku seperti anjing?!” kata pemuda itu sambil tertawa-tawa.

Pemuda gembel itu terus tertawa-tawa kegirangan melihat mayat-mayat yang bergeletakan didekatnya. Lalu tanpa mempedulikan keadaan disekelilingnya, dia melenggang pergi dari tempat itu. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak beberapa orang pemuda desa menghadang. Rata-rata wajah mereka garang penuh kemarahan dengan masing-masing menggenggam sebilah golok tajam terhunus.

“Gembel busuk! Kau kira bisa seenaknya bisa pergi dari sini?! Huh! Kau harus membayar nyawa mereka dengan nyawamu!” bentak salah seorang pemuda yang bertubuh besar dengan pipi gemuk.

“He he he...! Hei, Babi Busuk! Minggatlah dari sini. Dan, jangan cari penyakit kalau tidak ingin mampus seperti mereka!” hardik pemuda gembel itu sambil tertawa mengejek.

“Kurang ajar! Kau kira aku takut denganmu, he?! Mampuslah kau!” geram pemuda bertubuh besar itu, langsung menyabetkan goloknya ke arah pemuda gembel itu.

Bettt!
“Uts!”
Cras!
“Aaa...!”

Cepat sekali pemuda gembel itu bergerak melompat ke samping kanan, menghindari tebasan golok pemuda gemuk ini. Bahkan dia langsung menyabetkan goloknya. Kontan terdengar pekikan nyaring, sambaran golok pemuda gembel itu mengenai sasaran dengan telak. Pemuda gemuk itu terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan memegangi dahi. Goloknya pun sudah terlepas dari genggaman. Pada dahinya terlihat bekas tebasan golok lawan yang terus membelah mukanya. Darah terus mengucur deras membasahi tanah ketika tubuhnya ambruk tak berdaya.

“Hei?!”

Kawan-kawan laki-laki gemuk itu tersentak kaget melihat teman mereka tewas dalam waktu singkat. Bahkan mereka tidak sempat melihat bagaimana pemuda gembel itu mencabut golok dan langsung menebas kawan mereka. Bahkan pada saat dia menyarungkan kembali goloknya, tidak ada seorang pun yang mampu melihatnya.

“Hi hi hi...! Babi busuk! Kenapa malah tertidur di situ? Bukankah kau akan membunuhku? Hi Hi hi...! Ayo, bangunlah. Bunuhlah aku!” teriak pemuda gembel itu sambil tertawa mengejek.

“Kurang ajar! Keparat jahanam! Akan kubalaskan kematian Ludiro!” dengus seorang pemuda bertubuh agak kurus. Padahal kawan-kawannya yang lain mulai ciut nyalinya, melihat apa yang telah dilakukan si gembel itu.

“Hi hi hi...! Kenapa marah-marah, tolol? Kau hendak membalas kematian si gemuk tolol itu? Ayo, serang aku!” sahut pemuda gembel itu tenang dan tetap tertawa mengejek.

“Setan! Terima kematianmu, yeaaa...!”

Orang bertubuh agak kurus itu langsung melesat dengan kibasan golok terhunus, lumayan cepat gerakannya. Namun pemuda gembel itu tetap tenang-tenang saja. Tapi sedikit lagi senjata orang kurus itu hendak membabat lehernya, dia sedikit mengegos ke kanan. Begitu serangan itu luput, pemuda gembel langsung menghantam ke arah dada.

Debb!
“Aaaa...!”

Pemuda bertubuh kurus itu kontan memekik tertahan begitu dadanya mendapat satu pukulan telak dari pemuda gembel itu. Tubuhnya langsung terjungkal beberapa langkah ke tanah dalam keadaan luka dalam. Tulang dadanya hancur remuk! Agaknya, pukulan pemuda gembel itu telah disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga, laki-laki kurus itu tak mampu dikalahkannya. Pemuda gembel itu memandang tajam pada laki-laki itu. Kemudian, tatapan matanya beredar ke sekeliling.

“Siapa lagi yang mau menggangguku? Ayo, maju!” sentak pemuda gembel itu melotot garang. Beberapa pemuda desa itu kini betul-betul ciut nyalinya. Dan begitu mendengar bentakan nyaring, perlahan-lahan mereka beringsut kemudian kabur secepatnya dari tempat ini.

“Ha ha ha...! Dasar pengecut-pengecut hina. Larilah kalian sejauh-jauhnya dari sini!” ujar pemuda gembel itu sambil terkekeh-kekeh. Dia berlalu dengan langkah tenang meninggalkan tempat itu, seperti tidak ada kejadian apa-apa.


***


SIANG ini matahari tidak terlalu garang bersinar. Namun jalan yang dilalui sebuah rombongan orang berkuda terasa sangat teduh. Karena, di kiri dan kanan terbentang jajaran pepohonan lebat yang menaungi. Seorang pemuda yang berkuda di depan sesekali melirik ke belakang, ke sebuah kereta kuda yang dijaga ketat oleh beberapa orang berkuda dikiri, kanan, depan, dan belakang. Kemudian kudanya dihela perlahan-lahan. Melihat dari gerak-geriknya, agaknya dia yang memimpin rombongan itu.

Ketika mereka melintasi jalan yang sudah tampak sepi, salah seorang anak buahnya memacu kudanya. Langsung dibarenginya langkah kuda pemuda pemimpin rombongan itu.

“Kakang Darsono, tempat ini agak sepi. Sebaiknya kita berhati-hati....”

Pemuda yang dipanggil Darsono tersenyum kecil. “Adi Gundala..., kau tidak usah merasa cemas begitu. Aku hafal daerah ini. Dan rasanya tidak ada yang akan mengganggu kita,” sahut Darsono.

“Aku mengerti, Kang. Tapi perasaanku sejak tadi gelisah. Tidak ada salahnya kalau kita waspada. Siapa tahu ada kejadian yang tidak terduga...” kata pemuda bernama Gundala itu.

Darsono berpikir sesaat, kemudian kembali tersenyum. “Hm.., apa yang kau katakan memang tidak salah. Kita dalam perjalanan mengawal putri Adipati Buntaran. Dan sudah selayaknya bertanggung jawab penuh atas keselamatannya. Nah, katakan pada yang lain agar berwaspada...!” kata Darsono memberi perintah.

“Baik, Kang...!” sahut Gundala cepat seraya membalikkan tali kekangnya. Lalu dia memberi perintah pada yang lain. Dalam sekejap, rombongan yang berjumlah lebih dari dua belas orang itu bersiaga di tempat masing-masing. Dan merasakan suasana yang sedikit tegang, sosok tubuh ramping yang berada dalam kereta kuda menjadi heran. Lalu disibaknya tirai jendela keretanya. Ternyata dia adalah seorang gadis cantik bermata jeli. Sepasang alisnya yang tebal, memberi isyarat pada seorang pengawal yang berada di samping keretanya.

“Pengawal, apa yang sedang terjadi? Kenapa Kakang Gundala memberi perintah pada kalian untuk berwaspada? Apakah kita sedang menghadapi musuh?” tanya gadis itu lembut.

“Ampun, Kanjeng Putri Nirmala. Sebenarnya tidak ada apa-apa. Gundala hanya memberi perintah agar kami tetap waspada. Sebab walaupun suasana kelihatan tenang, siapa tahu ada kejadian yang tidak terduga,” sahut pengawal itu.

Mendengar penjelasan itu, gadis cantik yang bernama Nirmala mengangguk tenang. Kemudian, kembali ditutupnya tirai jendela kereta. Namun baru saja mereka berjalan kurang dari dua puluh tombak, mendadak Darsono memberi isyarat pada anak buahnya untuk menghentikan laju kuda masing-masing.

Melihat hal ini, Gundala langsung memacu kuda mendekatinya. Dan dia melihat tempat itu telah dikepung sekawanan perampok yang bersenjata lengkap. Tiga orang yang agaknya bertindak sebagai pimpinan, berdiri tegak di depan pada jarak lima tombak.

“Kakang Darsono, siapa mereka ini?” tanya Gundala, sedikit cemas.

“Entahlah, Adi Gundala. Setahuku, daerah ini bukan sarang perampok. Namun melihat gelagat, agaknya mereka berniat jahat terhadap kita....”

“Hati-hati, Kakang! Jumlah mereka banyak sekali...!” Darsono diam termangu, menunggu tindakan apa yang dilakukan kawanan itu.

Tampak tiga orang yang menghadang di depan mereka melangkah pelan mendekati. Kemudian ketika telah berjarak lima tombak langkah ketiga orang itu berhenti. Seorang yang berperut besar dan bercambang bawuk tebal mendekati. Di pinggangnya banyak terselip pisau kecil. Wajahnya seram dengan sepasang mata merah menyala. Apalagi, ketika memandang ke arah Darsono.

“Turun kalian semua!” bentak laki-laki berwajah seram itu agak serak. Darsono tersenyum kecil. Kemudian sebelah tangannya diangkat untuk memberi isyarat pada anak buahnya, agar jangan menuruti perintah orang itu.

“Kisanak! Siapakah kalian, dan apa yang dikehendaki dari kami?” tanya pemuda ini ramah pada lelaki bertubuh gemuk dan besar itu.

“Bangsat! Kau kira bisa bertingkah di hadapan Perampok Pisau Terbang, he?! Kuperintahkan sekali lagi, turun kalian semua! Tinggalkan segala barang berharga yang kalian bawa, dan pergilah dari tempat ini secepatnya kalau ingin selamat!” hardik orang bertubuh besar itu, mengancam.

“Hm. Agaknya kalian adalah kawanan rampok yang menamakan diri Perampok Pisau Terbang. Apakah saat ini aku tengah berhadapan dengan Satwa Manggala?” tanya Darsono, ingin memastikan.

“Bocah ingusan! Kau telah mengenalku. Nah, sekarang apakah kau ingin coba-coba bertingkah di hadapanku?!” dengus Ketua Perampok Pisau Terbang yang dikenal sebagai Satwa Manggala semakin galak.

“Ki Satwa Manggala! Kemashyuran namamu sering kudengar. Dan, siapa yang ingin berani mencari gara-gara denganmu? Tapi saat ini, kami tengah mengemban tugas dari Adipati Buntaran. Jadi, harap kalian tidak mengganggu kami....”

“Setan! Dikira dengan membawa-bawa nama adipati sial itu, aku akan takut, heh? Sekalipun kalian tengah mengemban tugas dari raja, apa peduliku? Lekas tinggalkan barang-barang berharga yang dibawa, dan pergilah dari sini kalau masih ingin hidup!”

“Ki Satwa Manggala, sayang sekali, kami tidak bisa menuruti keinginanmu. Maaf..., ini adalah tanggung jawab. Dan walau bagaimanapun, kami tidak bisa berbuat seenaknya. Harap kau mengerti dan tidak memaksa...,” sahut Darsono pelan.

“Keparat! Kalau begitu, mampuslah kalian...!” bentak Ki Satwa Manggala seraya melompat menyerang Darsono.

Begitu melihat ketuanya bergerak menyerang, maka sepuluh anggota Perguruan Pisau Terbang serentak menyerang rombongan itu. Maka pertempuran tidak dapat dielakkan lagi. Meski anak buah Darsono berjumlah sedikit, namun langsung mengadakan perlawanan gigih.

Darsono langsung melompat dari punggung kudanya, begitu tubuh lawan menerjang. Namun Ki Satwa Manggala agaknya tidak membiarkannya luput begitu saja. Tubuhnya langsung melenting ringan dengan kaki melayang menghantam muka. Namun Darsono tidak kalah gesit menghindari. Sambil mengegoskan kepala, tubuhnya berbalik. Bahkan kepalan tangan kirinya dapat melepaskan pukulan ke arah laki-laki seram itu.

“Yeaaaa...!”

Ki Satwa Manggala cepat menangkis dengan tangan kanannya. Akibatnya benturan keras pun terjadi.

Plakkk!

Bahkan kepalan tangan kiri laki-laki bercambang bauk itu langsung menghantam dada Darsono dengan keras.

Wuk!
“Uts!”

Darsono cepat melompat ke belakang dengan wajah kaget Angin serangan pemimpin perampok itu kuat bukan main, dan terasa menyambar dadanya dengan kuat. Dan baru saja hendak memantapkan kedudukannya, serangan Ki Satwa Manggala kembali datang. Maka cepat pemuda itu mencabut keris yang terselip di pinggang belakang. Begitu melihat pemuda itu mencabut senjata, cepat Ki Satwa Manggala mengimbangi. Tangannya langsung bergerak ke pinggang, dan langsung bergerak mengibas.

Serr! Ser!

Seketika beberapa buah pisau kepala perampok itu meluncur deras menghujani Darsono. Pemuda itu jadi terkejut berusaha mengelak dari sambaran hujan pisau yang berseliweran. Namun, tidak urung sebuah pisau tak mampu dihindarinya. Maka....

Cras!
“Oh...!”

Sebuah pisau berhasil merobek bahu kiri pemuda itu. Darsono kontan mengeluh kesakitan, dan langsung bergulingan menyelamatkan diri dari sambaran pisau yang masih mengejarnya.

“Hiyaaaa...!”


***


DUA

DARSONO cepat melenting menjauhi hujan serangan pisau Ketua Perampok Pisau Terbang. Namun pada saat yang sama mendadak satu hantaman keras mengancam dadanya. Begitu cepat serangan itu, hingga Darsono tak mampu menghindarinya. Maka....

Diegkh!
“Aaakh...!”

Pemuda itu kontan menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke tanah disertai muntahan darah segar, begitu dadanya terhantam tendangan keras Ki Satwa Manggala. Isi dadanya terasa akan pecah dan nyeri bukan main. Dia berusaha bangkit, namun tubuhnya bergetar dan pandangannya berkunang-kunang. Dan belum juga keadaannya membaik, laki-laki pemimpin perampok itu sudah kembali menyerangnya!

“Bocah keparat! Rasakan akibat kesombonganmu! Yeaaa...!” Ki Satwa Manggala langsung melesat, melepaskan tendangan ke dagu. Sementara Darsono hanya mampu terbeliak lebar. Dan....

Begkh!
“Aaaa...!”

Kembali Darsono terjungkal ke tanah disertai pekik kesakitan, ketika ujung kaki laki-laki setengah baya itu menghantam dagunya. Beberapa buah giginya kontan tanggal dan rahangnya seperti mau lepas. Sementara, begitu kedua kakinya mendarat ditanah, Ki Satwa Manggala terkekeh seraya berkacak pinggang.

“Ayo, bangkitlah. Tunjukkan kemampuanmu!” suara laki-laki itu terdengar sinis.

Darsono merangkak tertatih-tatih, berusaha bangkit. Namun baru saja kembali berdiri, ujung kaki Ki Satwa Manggala kembali menghantam. Untuk ketiga kalinya, pemuda itu terjungkal dan menjerit keras. Tubuhnya terkapar tanpa daya. Entah hidup atau mati!

Sementara itu, Gundala benar-benar tidak berdaya menghadapi keroyokan kedua pembantu utama Ki Satwa Manggala. Meski telah mengerahkan seluruh kepandaian yang dimiliki, tetap saja dia tidak bisa berbuat banyak. Kedua lawan menyerangnya bertubi-tubi silih berganti.

“Yeaaaa...!”

Salah seorang yang bersenjatakan tombak menyapu kepala Gundala dengan ujung senjata. Namun pemuda itu segera melompat ke belakang. Sementara, orang yang bersenjata golok, telah siap menyambut dengan tebasannya. Maka terpaksa Gundala menangkis dengan kerisnya.

Trakkk!
“Uuh...!”

Seperti yang tadi terjadi, Gundala bisa menduga kalau tidak akan mampu menahan tenaga yang disalurkan tebasan lawannya. Bahkan kerisnya pun sampai terlepas dari genggaman! Dan belum lagi dia mampu menguasai diri, seorang lawannya melepaskan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Sehingga....

Begkh!
“Aaakh...!”

Gundala menjerit keras dan tubuhnya sempoyongan begitu perutnya mendapat satu tendangan keras. Namun demikian Gundala masih mampu menjatuhkan diri, untuk menghindari hunjaman senjata tombak lawannya yang seorang lagi. Namun, ketika ujung kaki orang bersenjata tombak menyapu pinggangnya dengan keras, maka terpaksa Gundala melenting ke atas untuk menghindarinya. Sayang, pada saat itu lawannya yang bersenjata golok mengayunkan senjatanya cepat ke lambung. Begitu cepatnya, sehingga Gundala tidak sempat mengelak. Dan....

“Aaaakh...!”

Gundala menjerit keras, begitu sabetan golok lawannya menyambar pinggang. Tubuhnya kembali ambruk dengan pinggang robek lebar. Darah tampak mengucur deras dari lukanya, bercampur tanah dan debu. Pemuda itu menggelepar-gelepar beberapa saat menahan sekarat, kemudian diam tidak berkutik. Mati.

Sisa-sisa rombongan pengawal kereta kuda itu pun agaknya mengalami nasib sama dengan kedua pimpinannya. Satu persatu mereka tewas tanpa daya menghadapi perampok yang berjumlah banyak dan memiliki kemampuan hebat.

“Aouw...! Lepaskan akuuu, Keparat! Lepaskaaan...!”

Dalam keadaan demikian, rombongan pengawal itu dibuat terkejut begitu terdengar jeritan wanita dari dalam kereta. Agaknya beberapa orang anak buah Perampok Pisau Terbang berhasil menyelinap ke dalam, dan berusaha menculik putri Adipati Buntaran. Beberapa orang dari mereka berusaha menolong, namun anak buah Perampok Pisau Terbang agaknya tidak membiarkan begitu saja. Langsung tiga orang dari mereka menghadang dan menyerang anak buah Darsono yang berusaha membantu.

“Hentikan langkah kalian. Dan, biarkan mereka bersenang-senang dengan wanita itu!” hardik salah seorang dari kawanan rampok.

“Keparat jahanam! Kalian betul-betul kawanan binatang!” bentak salah seorang dari anak buah Darsono.

“Huh! Apa pedulimu?! Yang jelas, kalian akan mampus hari ini, yeaaaa...!”

“Huh! Jangan kira kami takut menghadapi kalian! Walaupun harus mati, tapi kalian tidak dapat menginjak-injak kami seenaknya! Hiyaaa!”

Crab! Crab!
“Aaaa...!”

Begitu dua orang pengawal itu hendak bersama-sama menyerang, salah seorang kawanan rampok mendadak melemparkan beberapa buah pisau.

Serrr!

Mereka terkejut dan berusaha menghindar. Namun, terlambat karena.... Seketika dua orang pengawal memekik kesakitan, ketika pisau itu menghunjam dada. Mereka kontan terjengkang ke tanah, dengan dada mengucurkan darah. Begitu melihat kedua kawannya tewas, para pengawal yang tersentak kaget dan terpaku beberapa saat. Pada saat itulah kawanan perampok itu melompat menerkam bagai kawanan serigala kelaparan.

“Hiyaaaa...!”

Maka dalam waktu singkat, para pengawal terbantai satu demi satu disertai jeritan menyayat. Sementara itu beberapa orang anak buah Ki Satwa Manggala langsung menyeret Nirmala yang berada di dalam kereta. Gadis itu langsung dibawa ke hadapan Ketua Perampok Pisau Terbang.

Laki-laki berperut gemuk bercambang bauk tebal itu tersenyum lebar, begitu melihat gadis cantik bertubuh montok di hadapannya yang meronta-ronta berusaha melepaskan diri.

“He he he...! Jadi, inikah putri Adipati Buntaran itu? Hm... cantik sekali. Dia sangat cocok untuk jadi istriku...!” Ki Satwa Manggala menyeringai lebar, bagai anjing liar melihat ayam kampung.

“Rampok keparat! Lepaskan aku! Kalau tidak, ayahku akan menghukum gantung kalian!” jerit Nirmala dengan wajah galak, mengancam kawanan rampok itu.

“He, kalian dengar itu? Ayahnya akan menghukum gantung kita!” teriak Ki Satwa Manggala seraya memandang ke seluruh anak buahnya dengan senyum mengejek. Seluruh anak buah laki-laki gendut itu terbahak-bahak mendengar kata-kata Nirmala.

“Hei, Bocah! Di kadipaten sana, kau boleh berkata begitu. Tapi di sini, hanya ada satu penguasa. Perampok Pisau Terbang! Meski raja sekalipun, harus tunduk di bawah undang-undang kami!” teriak salah seorang.

“Alam adalah milik orang-orang berhati bersih. Maka tidak sepatutnya kawanan rampok menguasainya!” sahut sebuah suara, tiba-tiba.

“Hei?!”


***


SEMUA mata dibuat kaget oleh suara yang begitu keras, dan menggema ke segala arah. Maka serentak mereka berpaling, ke arah sumber suara. Kini, tampak seorang pemuda tampan berambut gondrong.

Tubuhnya yang tegap, terbungkus pakaian dari kulit harimau. Pemuda itu berdiri tegak di belakang para perampok pada jarak tujuh langkah. Sikapnya tenang sekali dan tidak peduli, ketika beberapa orang anggota Perampok Pisau Terbang langsung melompat mengurungnya.

Apalagi monyet kecil berbulu hitam yang berada di pundaknya. Binatang itu mengejek-ejek kawanan rampok ini dengan seringainya yang lucu. Kemudian, dia melompat-lompat seraya menunjukkan pantatnya berkali-kali.

“Kaaaakh...!”

“Siapa kau, Bocah? Pergilah dari sini. Dan, jangan cari penyakit selagi punya waktu!” hardik Ki Satwa Manggala dengan suara menggelegar.

“Hm.... Boleh saja aku pergi. Tapi, kalian harus merasakan dulu, apa yang dirasakan mereka!” sahut pemuda itu, seraya menuding ke arah mayat-mayat yang bergeletakan di sekitarnya.

“Keparat! Rupanya kau sengaja datang untuk mampus, heh?!” geram Ki Satwa Manggala. Langsung tangannya memberi isyarat pada anak buahnya untuk menghajar pemuda itu.

Beberapa orang anak buah laki-laki gendut itu langsung melompat menyerang.

“Yeaaaa...!”
Serr!

Beberapa orang di antara mereka sudah langsung menggunakan senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil yang menyambar cepat sekali. Namun pemuda berpakaian dari kulit harimau itu hanya tersenyum kecil, kemudian bergerak cepat sekali.

Sehingga seketika dia seperti lenyap dari pandangan. Bahkan tahu-tahu saja, terdengar pekik kesakitan dari beberapa orang anak buah Ki Satwa Manggala. Tiga orang dari mereka terjungkal muntah darah! Dan ini membuat para perampok menghentikan. serangan untuk sementara.

“Setan! Siapa kau?!” hardik Ki Satwa Manggala mulai berhati-hati melihat sepak terjang pemuda itu.

Pemuda berbaju kulit harimau itu tersenyum sinis.

“Orang-orang menyebutku Pendekar Pulau Neraka...!” sahut pemuda itu pelan. Namun, cukup didengar mereka yang berada di tempat itu.

“Apa?! Pendekar Pulau Neraka...?” Ki Satwa Manggala tersentak kaget. Demikian pula seluruh anak buahnya. Siapa yang tidak akan kenal nama besar Pendekar Pulau Neraka?

Sosok pemuda tampan yang belakangan ini menggegerkan rimba persilatan dan sangat ditakuti orang-orang seperti mereka. Tapi Ki Satwa Manggala cepat menutupi rasa terkejutnya. Kini, raut wajahnya kembali seperti semula. Dalam keadaan begitu, mana mau keterkejutan hatinya ditunjukkan di depan anak buahnya. Maka sambil menyungging senyum yang tidak kalah sinisnya, dia bertolak pinggang. Langsung ditudingnya pemuda yang tak lain Bayu Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka.

“He, Bocah! Siapa pun dirimu, mau Pendekar Pulau Neraka atau dedemit dari neraka, pergilah dari tempat ini! Paling tidak selagi aku masih mengampuni jiwamu!”

“Aku tidak butuh ampunan! Tapi begitu kalian merasakan penderitaan yang mereka alami, maka saat itu juga aku akan pergi dari sini. Tanpa disuruh!” sahut Bayu dingin.

“Hm.... Kalau begitu, jelas. Kau memang ingin mampus, Bocah. Maka jangan salahkan aku nantinya,” ancam Ki Satwa Manggala, sinis. Kembali tangannya memberi isyarat pada dua orang anak buahnya, “Kebo Wungu dan Danang Selaksa! Beri pelajaran pada bocah sombong ini!”

Kedua anak buah Ki Satwa Manggala yang bersenjata tombak dan golok itu terdiam beberapa saat dengan wajah ragu.

“Kalian dengar perintahku?!” hardik Ki Satwa Manggala, berang.

“Dengar, Ki. Tapi...,” Kebo Wungu yang bersenjata tombak hendak mengemukakan alasan, namun....

“Cepat laksanakan...!” potong laki-laki gendut itu dengan bentakan menggelegar.

“Baik..., baik, Ki,” sahut keduanya serentak. Dengan ragu-ragu terpaksa Kebo Wungu dan Danang Selaksa membuka jurus. Mereka langsung berputar mengelilingi Bayu. Agaknya, keduanya sadar kalau bukanlah tandingan Pendekar Pulau Neraka. Namun begitu, mereka lebih takut lagi terhadap Ki Satwa Manggala.

Sehingga tidak heran bila segenap kemampuan yang dimiliki langsung dikerahkan ketika melompat menyerang pemuda itu.

“Yeaaa....!”
“Hup!”

Bayu berkelit dengan melompat ke atas ketika mendapat serangan dari dua arah. Sebelah kakinya ditekuk menghindari tebasan golok, sementara kepalanya merunduk untuk menghindari sapuan tombak Kebo Wungu. Kemudian tubuhnya berputaran indah di udara dan mendarat manis di tanah. Kebo Wungu dan Danang Selaksa cepat mengejar dengan serangan serangan maut. Namun gesit sekali pemuda itu mengelak mengegoskan tubuhnya.

“Uts...!”

Begitu habis mengegos, Pendekar Pulau Neraka cepat membuat jarak dengan membuat salto beberapa kali. Dan begitu menjejak tanah, dia langsung berbalik. Lalu seketika, tangan kanannya dikibaskan. Maka saat itu juga melesat Cakra Mautnya yang merupakan senjata andalannya.

Singngng!

Cakra Maut melesat bagaikan kilat ke arah dua anak buah Ki Satwa Manggala itu. Danang Selaksa sempat menjatuhkan diri menghindari. Namun, Kebo Wungu berada dalam keadaan yang sulit Dia tidak sempat menghindar, namun mencoba menangkis dengan tombaknya.

Tras! Cras!
“Aaaa...!”

Tapi yang terjadi sungguh mengejutkan semua yang berada di tempat itu. Tombak Kebo Wungu putus dan Cakra Maut terus meluncur deras merobek dadanya. Kebo Wungu menjerit menyayat, dan kontan terjungkal ke tanah. Tepat ketika Kebo Wungu tak berkutik lagi. Bayu kembali mengangkat tangannya. Maka, Cakra Maut kembali melesat pulang ke tangannya.

“Hei?!”

“Keparat!” maki Ki Satwa Manggala geram. Laki-laki gendut itu kemudian melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka sambil melemparkan senjata rahasianya.

Serr! Set!
“Huh!”

Bayu hanya mendengus kecil, kemudian mengibaskan tangan kanannya.

Singngng!

Cakra Maut yang baru saja menempel di pergelangan tangan Bayu kembali melesat memapak senjata rahasia Ki Satwa Manggala.

Trass!
“Uts!”

Pisau-pisau yang dilemparkan Ketua Perampok Pisau Terbang itu langsung hancur berantakan. Bahkan senjata Pendekar Pulau Neraka nyaris merobek lehernya, kalau dia tidak buru-buru menjatuhkan diri.

“Hiyaaaa...!”

Bayu agaknya tidak sudi lagi memberi kesempatan pada laki-laki gendut itu. Begitu Ki Satwa Manggala menjatuhkan diri menghindari senjatanya, saat itu juga tubuhnya melesat menyerang. Sementara tangan kanannya menangkap senjatanya yang bergerak pulang ke tempatnya.


***


KI SATWA MANGGALA terkejut bukan main, dan tidak sempat menghindar. Terpaksa tendangan Pendekar Pulau Neraka yang berisi tenaga dalam cukup sempurna ditangkis.

Plakkk!
“Hiiih!”

Pergelangan tangan laki-laki gendut itu terasa remuk ketika menahan tendangan Bayu. Namun begitu serangan susulan Pendekar Pulau Neraka masih sempat dihindarinya dengan mengegos ke kanan. Sementara Bayu cepat berbalik. Langsung dilepaskannya satu tendangan keras menyapu pinggang Ki Satwa Manggala.

Namun, laki-laki gendut itu cepat melompat ke atas menghindari. Melihat hal ini Pendekar Pulau Neraka cepat melenting mengikuti. Kepalan kirinya langsung dikibaskan ke arah dada. Dan untung saja, Ki Satwa Manggala masih sempat menangkis.

Plakk!

Benturan keras terjadi, sehingga membuat Ki Satwa Manggala terjajar. Dan belum lagi dia mampu menguasai diri, ujung kaki Pendekar Pulau Neraka telah menghantam ke arah perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga laki-laki itu tidak mampu berbuat apa-apa.

Dukkk!
“Aaaakh...!”

Ki Satwa Manggala memekik kesakitan, ketika tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang.

“Yeaaa...!”

Pendekar Pulau Neraka terus melesat menyerang ketika kedua kakinya baru saja menjejak tanah. Melihat itu tentu saja para anak buah Ki Satwa Manggala tidak tinggal diam. Sementara mereka langsung menyerang pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi, Bayu agaknya tidak sudi melepaskan lawannya begitu saja. Maka ketika mengetahui kalau anak buah laki-laki gendut ini hendak membokongnya, tangan kanannya kembali dikibaskan. Seketika Cakra Maut melesat ke arah anak buah Ki Satwa Manggala. Sehingga....

Tras! Cras! Brett!
“Aaaa...!”

Terdengar pekik kesakitan ketika senjata maut Pendekar Pulau Neraka memapas lawan-lawan yang mencoba mendekatinya. Padahal perhatian Pendekar Pulau Neraka sendiri terus tertuju pada pemimpin perampok itu. Tubuh mereka kontan terjungkal. Dua orang robek perutnya, sementara seorang lagi lehernya nyaris putus.

Sementara itu Ki Satwa Manggala cepat menangkis tendangan Pendekar Pulau Neraka. Wajahnya kontan berkerut menahan sakit, ketika kedua kaki dan tangan mereka berbenturan. Bayu terus mengejar dengan hantaman kepalan tangan kiri ke arah dada Ki Satwa Manggala. Laki-laki itu segera melompat ke belakang. Namun tubuh Bayu telah lebih dulu berjumpalitan dengan melepaskan satu pukulan ke arah dada.

Begkh!
“Aaaakh...!”

Ki Satwa Manggala memekik kesakitan begitu dadanya telak sekali terhantam pukulan Pendekar Pulau Neraka. Tubuhnya tersungkur sejauh sepuluh langkah sambil memuntahkan darah segar. Sedangkan Bayu berjumpalitan kembali sambil menangkap Cakra Maut yang tadi dilepaskannya. Dan begitu tangan kanannya mengibas kembali, Cakra Maut kembali melesat ke arah anak buah Ki Satwa Manggala yang langsung menyerang dengan pisau-pisau kecil mereka.

Sing!
Tras! Breet!
“Aaaa...!”

Korban kembali berjatuhan di pihak kawanan Perampok Pisau Terbang. Kali ini, lima orang langsung terjungkal tewas dengan leher nyaris putus. Danang Selaksa mencoba membokong, pada saat Bayu tengah bergerak untuk menangkap senjatanya yang berbalik pulang.

“Yeaaaa...!”
“Uts...!”

Dengan cepat pemuda itu mengegoskan kepala. Kemudian tangan kanannya bergerak menangkis kepalan tangan kiri Danang Selaksa.

Plakkk!

Danang Selaksa langsung melenguh kesakitan, ketika menangkis tadi. Namun ujung kaki kirinya cepat mencoba menghantam lambung Pendekar Pulau Neraka. Bayu segera melompat ke atas menghindarinya sembari menangkap kembali Cakra Mautnya yang melesat ke arahnya.

Begitu Cakra Maut kembali ke pergelangan tangannya, saat itu juga Bayu melepaskannya. Seketika Cakra Maut melesat, menderu keras ke arah Danang Selaksa. Laki-laki itu terkesiap, dan mencoba menangkis dengan goloknya.

Trang!

Namun golok itu putus disambar senjata Cakra Maut Bahkan senjata andalan Pendekar Pulau Neraka tenis menyambar lehernya.

“Aaaa....!”

Danang Selaksa hanya mampu memekik tertahan. Tubuhnya kontan ambruk dengan darah muncrat membasahi tanah. Kini beberapa orang dari kawanan rampok itu terkejut dan ragu-ragu menyerang Bayu. Namun sebagian masih tetap tidak peduli. Mereka segera menyerang dengan amarah meluap-luap.

“Bocah Keparat, mampus kau...! Yeaaa...!”
“Aaaa...!”

Bayu agaknya tidak mau bertindak kepalang tanggung. Begitu tangan kanannya dikibaskan, Cakra Mautnya langsung melesat memapaki serangan.

Singngng!
Cras! Brett!

Kembali terdengar pekik kematian yang diiringi robohnya beberapa orang anak buah kawanan rampok. Senjata andalan Pendekar Pulau Neraka kembali meminta korban. Ketika beberapa orang kembali menyerang, maka Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka tenis menyambar-nyambar.

“Pendekar Pulau Neraka! Hentikan perbuatanmu...!” Terdengar suara serak yang berteriak mencegah pembantaian itu.

“Hmmm...!”

Bayu menoleh dan tersenyum sinis ke arah Ki Satwa Manggala yang berteriak mencegahnya. Lalu dia melompat kecil, menangkap Cakra Maut yang melesat ke arahnya.


***


TIGA

Pendekar Pulau Neraka menatap Ki Satwa Manggala dalam-dalam. “Kenapa?” tanya Bayu bernada dingin.

Ki Satwa Manggala bangkit perlahan-lahan sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri dengan tangan kirinya. “Kuakui kekalahan kami. Dan, tidak perlu lagi kau membantai anak buahku. Sudah cukup korban yang kau timbulkan...,” pinta Ki Satwa Manggala, lemah.

“Hm.... Tadi kudengar ada nada kesombongan pada kata-katamu. Apakah Perampok Pisau Terbang saat ini telah menjadi pengecut?” ejek Bayu.

“Pendekar Pulau Neraka! Kau boleh berkata apa saja saat ini. Tapi, aku lebih mengutamakan keselamatan anak buahku. Suatu saat, aku akan menagih persoalan ini berikut bunganya!” dengus Ki Satwa Manggala dengan hawa amarah menggelora mendengar kata-kata Bayu.

“Kisanak! Kapan saja kau hendak menagih hutang atas persoalan ini, aku akan bersedia melunasinya sampai tuntas!” sahut Bayu mantap.

Ki Satwa Manggala menoleh sekilas ke arah Pendekar Pulau Neraka. Kemudian tangannya memberi isyarat pada sisa anak buahnya, untuk segera berlalu dari tempat ini. Maka begitu orangtua itu, berbalik dan melangkah pergi, sisa anggota Perampok Pisau Terbang segera mengikutinya.

Bayu masih sempat memperhatikan beberapa saat sampai kawanan itu lenyap dari penglihatannya. Lalu kakinya melangkah pelan mendekati gadis yang nyaris menjadi korban kebiadaban kawanan tadi. Tampak wajah gadis itu masih pucat menahan rasa ketakutan. Bayu tersenyum dan mencoba meyakinkan lewat raut wajahnya kalau tidak bermaksud jahat padanya.

“Nisanak, siapakah namamu? Namaku, Bayu. Dan, jangan khawatir. Aku tidak bermaksud jahat padamu...,” ujar Bayu ramah.

Gadis itu memperhatikan beberapa saat. Sepertinya, dia hendak meyakinkan pada dirinya kalau apa yang dikatakan pemuda itu memang benar. “Aku..., aku Nirmala, putri Adipati Buntaran dari Kadipaten Karang Wates...,” sahut gadis itu, masih dilanda ketakutan.

“Hm, Nirmala.... Kini kau boleh kembali ke tempatmu...,” ujar Bayu, seraya hendak berbalik dari melangkah pergi.

“Eh! Kisanak sendiri hendak ke mana?” tanya Nirmala buru-buru, ketika melihat Bayu hendak melangkah.

“Aku hendak melanjutkan perjalanan....”

“Tunggu!” cegah Nirmala tiba-tiba, “Aku takut pulang seorang diri. Kau lihat? Semua pengawalku tewas oleh mereka. Bersediakah kau mengantarkanku sampai di kadipaten? Ayahku tentu akan memberi hadiah yang banyak atas bantuan yang kau berikan padaku....”

“Aku tidak mengharapkan hadiah atas apa yang kulakukan padamu, Nirmala!” sahut Bayu menegaskan.

“Eh! Bukan maksudku menyepelekan bantuan yang kau berikan. Tapi, anggaplah sebagai rasa terima kasihku. Apa pun yang kau inginkan, ayahku pasti akan mengabulkannya!” bujuk gadis itu.

Bayu tersenyum kecil. “Baiklah. Aku akan mengantarkanmu sampai di kadipaten. Tapi, ingat! Aku tidak akan mengharapkan hadiah apa-apa atas apa yang kuperbuat hari ini terhadapmu!” tegas Bayu kembali.

Wajah gadis itu tampak berseri, seketika pemuda itu langsung berbalik dan berjalan ke arah kereta. Bergegas gadis itu mengikuti di belakangnya. Sebentar saja Pendekar Pulau Neraka sudah melompat ringan ke atas kereta kuda. Rupanya Bayu hendak bertindak sebagai kusir menggantikan kusir yang telah tewas.

Sementara monyet kecil yang tadi sempat menyelamatkan diri, kini telah langsung melompat ke sampingnya. Binatang itu seketika berjingkrak-jingkrak, sambil mengeluarkan suara melengking.

“Yeaaa...!”

Bayu menghela kencang kedua kuda yang menarik kereta, begitu Nirmala telah berada didalamnya. Seketika hewan-hewan itu berlari, dengan kecepatan bagai dikejar setan. Nirmala tersentak kaget. Nyaris gadis itu terjerembab didalam kereta, kalau tidak cepat berpegangan.

“Bayu! Perlahan-lahan sedikit mengendalikannya. Aku bisa terjatuh!” jerit Nirmala.

Bayu terkekeh pelan. Kemudian, kuda-kuda itu mulai dikendalikan agar berlari dengan kecepatan biasa. Kini Nirmala menghela napas lega. Namun demikian, bukan berarti hatinya bisa tenang. Hatinya malah mulai mencurigai pemuda itu. Jangan-jangan malah pemuda itu akan membawanya ke suatu tempat. Lalu..., ah! Dia tidak mampu membayangkan kejadian buruk yang bakal menimpanya! Tidak terasa, diam-diam gadis itu berdoa di dalam hati.

Sementara Pendekar Pulau Neraka sama sekali tidak banyak bicara, dia diam membisu selama dalam perjalanan. Padahal gadis itu telah mencoba untuk mengajaknya bicara. Namun, Bayu hanya menjawab sepatah atau dua patah kata saja. Dan hal ini membuatnya merasa sungkan untuk terus mengajak bercakap-cakap.

Kalau ada satu hal yang membuat gadis itu merasa tenang, adalah karena rasa aman dalam hatinya. Meskipun seorang diri, namun Nirmala bisa melihat bagaimana Bayu mengalahkan kawanan Perampok Pisau Terbang yang justru telah menewaskan seluruh para pengawalnya. Dan apa yang diduga memang tidak berlebihan. Tidak ada satu gangguan pun yang dialami, sejak pemuda itu memegang kendali kereta kudanya.

Menjelang sore, kereta kuda yang ditumpangi Nirmala memasuki kadipaten dan terus melaju ke tempat kediaman Adipati Buntaran di tengah kota. Tidak lama kemudian, kereta kuda itu berhenti tepat di pintu gerbang kadipaten. Nirmala menunggu beberapa saat, agar Bayu membukakan pintu kereta baginya.

Hal itu memang biasa dilakukan oleh para kusir keretanya yang lain. Namun untuk beberapa lama, tidak terdengar suara apa pun. Gadis itu jadi kesal sendiri. Segera dibukanya pintu kereta, lalu kepalanya mendongak ke tempat kusir berada. Namun dia terpaku sendiri jadinya. Ternyata Pendekar Pulau Neraka hilang dari tempatnya berada!


***


Beberapa pengawal kadipaten yang melihat ada kereta kuda milik kadipaten berhenti di pintu gerbang, bergegas menghampiri. Dan mereka segera memberi penghormatan, ketika melihat siapa yang turun dari kereta kuda.

“Kanjeng Gusti Ayu Nirmala, terimalah salah hormat kami...!” kata salah seorang.

“Kalian lihat pemuda itu?” Nirmala malah bertanya.

“Pemuda? Pemuda yang mana, Kanjeng Gusti?” tanya seorang pengawal dengan wajah bingung.

“Pemuda tampan berambut panjang, memakai baju dari kulit harimau? Dia bersama seekor monyet kecil berbulu hitam!” jelas gadis itu.

Beberapa pengawal memperhatikan ke sekitar tempat itu, kemudian menggeleng lemah. Sementara seorang pengawal segera melangkah memasuki rumah kediaman adipati, begitu menyadari kalau putri junjungannya, Adipati Buntaran kembali hanya seorang diri.

“Kanjeng Gusti. Kami tidak melihat siapa-siapa bersamamu....”

“Mustahil! Dia yang menyelamatkan aku dari kawanan Perampok Pisau Terbang, dan mengantarkanku hingga tiba di sini!” tandas Nirmala dengan wajah bingung tidak mengerti.

Para pengawal yang berada di tempat itu kembali dibuat bingung oleh kata-kata Nirmala. Dua orang dari mereka langsung melompat ke punggung kuda dan memeriksa di sekitarnya.

“Kanjeng Gusti Ayu, silakan masuk! Ayahanda telah menunggu-nunggu sejak tadi...,” kata seorang pengawal yang tadi memasuki rumah berhalaman luas ini, dan melaporkan pada Adipati Buntaran.

Gadis itu melangkah perlahan. Wajahnya masih menampakkan kebingungan. Ke mana gerangan pemuda yang bernama Bayu tadi?

Belum juga putri Adipati Buntaran itu masuk ke rumahnya, seorang lelaki setengah baya tampak tergopoh-gopoh menghampiri diiringi beberapa orang pengawal.

“Nirmala, anakku. Kau tidak apa-apa?!” tanya laki-laki yang tak lain Adipati Buntaran dengan wajah semburat kegembiraan. Langsung dipeluknya Nirmala dengan perasaan haru. Dan gadis itu pun membalasnya dengan hangat.

“Ayah cemas ketika para pengawal melaporkan kau kembali seorang diri! Ke mana para pengawal yang menyertaimu?” tanya Adipati Buntaran.

“Ayahanda, ceritanya panjang. Lebih baik, kita bercakap-cakap di dalam saja...,” sahut Nirmala.

“Oh, tentu saja. Nah, mandilah lebih dulu. Dan bersihkan tubuhmu, lalu makanlah. Kemudian baru setelah itu temui ayah di balairung utama!”

Nirmala mengangguk cepat. Sementara dua orang wanita setengah baya yang merupakan para pengasuhnya sejak kecil, buru-buru mengiringinya ke salah satu ruangan dari gedung di dalam kadipaten ini.


***


Adipati Buntaran duduk di kursi besar di ujung ruangan balairung utama. Di sebelahnya terlihat seorang wanita setengah baya berwajah cantik dan berpakaian mewah, didampingi seorang gadis cantik berpakaian indah. Sementara berjejer ke kiri dan kanannya duduk bersila para abdi setia. Di antara mereka, terlihat dua orang panglima utama yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun.

Mereka adalah Ki Dipati Unus dan Ki Soma Nagara. Adipati Buntaran sengaja mengumpulkan para perwiranya diruangan ini, untuk membahas apa yang telah menimpa putrinya sore tadi. Kedatangannya seorang diri tanpa diiringi para pengawal, sudah membuat teka-teki yang mencurigakan. Sekaligus, membuat cemas hatinya.

Dan ketika Nirmala menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya, semua orang yang berada dalam ruangan mendengar dengan seksama. Beberapa kali Adipati Buntaran tampak mengerutkan rahang, menahan amarah.

“Kurang ajar! Kawanan rampok itu agaknya patut mendapat hajaran yang setimpal!” geram Adipati Buntaran sambil mengepalkan kedua tangannya. Laki-laki itu lalu memandang ke arah dua panglimanya.

“Ki Soma Nagara dan Ki Dipati Unus! Besok pagi-pagi sekali, siapkan pasukan pilihan. Dan, gempur kawanan rampok itu. Sapu bersih mereka dan jangan sisakan seorang pun!”

“Ampun, Kanjeng Gusti Adipati. Segala titah akan hamba kerjakan secepatnya!” sahut.Ki Dipati Unus.

“Maaf, Kanjeng Gusti. Bukan hamba bermaksud hendak lancang. Namun, bukankah para kawanan rampok itu telah mendapat hukuman yang setimpal dari pemuda yang telah diceritakan Gusti Ayu Nirmala tadi? Tentu saat ini mereka tengah bersembunyi, mereka pasti menduga kalau Kanjeng Gusti akan mengejar mereka.

Maka menurut hemat hamba, pekerjaan mencari-cari mereka akan sia-sia saja. Bahkan bukan tidak mustahil, pada saat banyak pengawal di kadipaten ini dikerahkan untuk mencari, mereka tiba-tiba datang menyerbu tempat ini,” saran Ki Soma Nagara.

“Hm...,” Adipati Buntaran berpikir sesaat, kemudian mengangguk pelan. “Apa yang kau katakan terakhir memang benar, Ki Soma Nagara. Namun, aku tetap memutuskan untuk mengirim beberapa orang pilihan untuk menghajar mereka!”

“Ampun, Gusti Adipati. Sekali lagi, bukan hamba hendak melangkahi keputusan. Namun kalau Kanjeng Gusti tetap hendak mengirim beberapa orang untuk menyapu bersih mereka, menurut hemat hamba itu bukanlah keputusan bijaksana. Sebab, kita tidak tahu, sampai di mana kekuatan mereka. Bila yang dikatakan Gusti Ayu Nirmala benar bahwa pemuda itu telah banyak menewaskan para perampok itu, bukan berarti kekuatan mereka lemah. Malah bisa jadi mereka tidak membawa serta seluruh kekuatannya saat itu. Dan kalau Kanjeng Gusti mengirimkan hanya beberapa orang saja, hamba khawatir malah kita yang akan tunggang-langgang....”

Adipati Buntaran kembali tercenung mendengar nasihat salah seorang panglimanya. Apa yang dikatakan Ki Soma Nagara memang benar, serba masuk di akal. Dia memandang laki-laki itu dengan seksama.

“Lalu menurutmu, langkah apa yang terbaik untuk menghajar mereka?” tanyanya.

Ki Soma Nagara berpikir sesaat, kemudian memandang Nirmala. “Gusti Nirmala, siapa pemuda yang kau katakan telah menolongmu?”

“Kalau tidak salah, namanya Bayu. Ya, Bayu! Aku ingat “Begitu dia menyebutkan namanya,” sahut Nirmala.

“Bayu? Hm..., bagaimana ciri-cirinya?” tanya Ki Soma Nagara lagi.

“Dia masih muda. Dan..., tampan. Lalu rambutnya panjang dan memakai baju dari kulit harimau. Dan senjatanya, aneh. Sebab, bisa melesat cepat dari pergelangan tangannya, lalu kembali ketempatnya semula...,” jelas Nirmala.

“Cakra Maut! Astaga, pasti pemuda itu Pendekar Pulau Neraka!” desis Ki Soma Nagara, kaget.

“Ah! Benar sekali, Paman! Aku ingat betul saat itu kepala perampok itu menyebutkannya demikian. Siapa sebenarnya Pendekar Pulau Neraka itu, Paman?” tanya Nirmala.

Semua orang yang berada di ruangan itu terdiam beberapa saat. “Gusti Nirmala, dia adalah seorang pendekar hebat berkepandaian amat tinggi. Jarang ada orang yang mampu mengalahkannya. Suatu keberuntungan bagimu bisa bertemu dengannya...,” sahut Ki Soma Nagara.

“Ki Soma Nagara, kembali kepada persoalan semula. Apakah kau mempunyai cara untuk mengatasi kawanan perampok itu?” tanya Adipati Buntaran kembali.

Namun belum sempat Ki Soma Nagara menjawab, terdengar jeritan keras dari arah luar. Mereka yang berada di ruangan itu tersentak kaget. Seketika Ki Soma Nagara dan Ki Dipati Unus langsung melompat keluar.


***


Di halaman luas depan rumah Adipati Buntaran, tampak seorang pemuda berpakaian compang-camping seperti pengemis tengah terkekeh-kekeh kegirangan melihat beberapa mayat para pengawal kadipaten tergeletak bermandikan darah. Beberapa orang pengawal sudah mengurungnya, namun ragu-ragu untuk menyerang kembali.

Seperti yang disaksikan sendiri, kecepatan bergerak pemuda berambut panjang dan awut-awutan itu luar biasa. Entah bagaimana caranya, dia mampu mencabut golok dan menebas dahi lawan, lalu menyarungkan kembali goloknya, dalam sekelebatan saja.

“Ha ha ha...! Lho? Lho.... Kenapa pada tidur? Bukankah tadi kalian hendak meringkusku? Ayo, bangun! Bangun, Geblek! Dan kalian, kenapa diam saja? Ayo tangkap aku! Ringkus dan cincang seperti cacing! Hi hi hi...! Dasar kantung-kantung tai tidak berguna!” celoteh pemuda gembel itu sendiri sambil menuding-nuding ke arah mayat yang bergeletakan, lalu ke arah para pengawal kadipaten yang masih mengurungnya.

“Orang sinting keparat! Kau kira kami takut, heh?! Mampus kau sekarang!” geram pengawal itu. Dengan cepat pengawal itu melompat dan menerkam, dengan senjata tombak yang diputar sedemikian rupa seperti kitiran.

“Yeaaa...!”

Melihat kawannya melompat, tiga orang pengawal lain langsung melompat, seraya menghunuskan senjata golok panjang yang tajam berkilat.

“Hi hi hi...! Dasar cecurut bau! Kalian kira bisa berbuat apa terhadapku, heh?!” sahut pemuda pengemis itu sambil terkekeh kekeh mengejek.

“Uts!”

Begitu senjata pengawal menyambar tubuhnya, pemuda gembel itu cepat melompat ke atas dan berputaran beberapa kali. Dan diiringi bentakan nyaring, pengemis itu meluruk turun dengan sabetan goloknya yang cepat bagai kilat.

“Hiyaaaa...!”
Crasss!
“Aaaa...!”

Cepat sekali golok itu menebas dahi keempat lawannya, sehingga sulit diikuti pandangan mata biasa. Bahkan keempat lawannya sama sekali tidak menyadari kalau pemuda gembel itu mencabut senjata. Dan tiba-tiba saja mereka merasakan sakit luar biasa di dahi. Keempat orang itu memekik menyayat, dengan pandangan menjadi gelap. Tubuh, mereka seketika roboh bermandikan darah.

“Gila!” desis para pengawal lain dengan wajah kaget dan mata terbelalak.

“Hi hi hi...! Ayo! Siapa yang hendak berlomba ke neraka? Aku akan senang hati mengirim kalian ke sana! Ayo! Yang paling cepat, itu yang paling baik. Atau kalian ingin bersama-sama?!” sentak pemuda gembel itu terus terkekeh-kekeh, begitu mendarat di tanah.

Matanya langsung beredar keliling, seperti menantang. Kemudian terlihat raut wajah gembel itu berubah garang seraya melangkah ke arah para pengurungnya dengan sikap mengancam. Namun sebelum bertindak lebih jauh.

“Kisanak, hentikan perbuatanmu...!” Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang mengejutkan, membuat pemuda gembel itu berpaling, Tampak Ki Soma Nagara dan Ki Dipati Unus telah berdiri tegak di depan para pengawal seraya memandang pemuda gembel itu dengan sorot mata tajam. Wajah mereka tampak garang, memendam amarah meluap-luap melihat mayat-mayat bergelimpangan di halaman ini.

“Siapa kalian, Monyet buduk?!” hardik pemuda gembel itu seenaknya.

“Kisanak. Hati-hati bicaramu, dan jaga lidahmu! Kau tengah berhadapan dengan kedua panglima kadipaten!” ujar Ki Soma Nagara, dingin.

“Puiih! Kenapa aku harus berhati-hati kepada dua ekor monyet buduk! Heh?! Tidak usah banyak bicara. Suruh si keparat Buntaran itu keluar! Aku hendak mengambil kepalanya!” desis pemuda gembel itu dengan suara garang.

“Kisanak! Kau sungguh keterlaluan...!”

“Setan belang, monyet buduk, kadal bengkak...! Tutup mulut busukmu itu! Suruh keluar si Buntaran keparat itu! Katakan padanya, Darmo Gandul alias si Gila dari Muara Bangkai, menagih hutang nyawa istri dan anaknya! Ayo! Atau, ku tendang pantat kalian...?” potong pemuda yang ternyata Darmo Gandul dan berjuluk si Gila dari Muara Bangkai dengan suara menggelegar memekakkan telinga.

“Hm. Kau semakin keterlaluan, Kisanak. Aku tidak bisa membiarkan perbuatanmu yang seenaknya saja...!” desis Ki Dipati Unus tidak dapat menahan amarahnya lagi.

Namun sebelum kedua orang itu mencabut senjatanya, Darmo Gandul telah melompat menyerang diiringi bentakan nyaring.

“Yeaaaa...!”
“Uts!”

Kedua panglima kadipaten itu tersentak kaget melihat gerakan si Gila dari Muara Bangkai yang cepat bukan main. Terpaksa keduanya melompat ke belakang seraya mencabut pedang masing-masing. Namun baru saja mencabut senjata, mendadak berkelebat angin tajam menyambar. Buru-buru mereka menangkis

Trangngng!

Kedua panglima itu kontan mengeluh kesakitan, ketika senjata mereka seperti membentur batu cadas yang keras luar biasa. Bahkan sempat membuat genggaman pada senjata masing-masing nyaris terlepas.


***


EMPAT

“Hiyaaa...!”

Gembel yang menyebut dirinya si Gila dari Muara Bangkai kembali berkelebat cepat menyerang kedua Panglima Kadipaten Karang Wates. Sementara beberapa orang para pengawal kadipaten mencoba membokong ke arah pemuda gembel itu.

“Yeaaaa...!”

Namun tanpa berbalik sedikit pun, si Gila dari Muara Bangkai mengebutkan goloknya ke belakang. Begitu cepat gerakannya, sehingga para pembokong tak kuasa menghindarinya. Dan....

Trang! Cras!
“Aaaa...!”

Dua orang pembokong langsung memekik kesakitan. Tubuh mereka tersungkur dengan luka di dahi mengucurkan darah segar. Melihat hal ini kedua panglima kadipaten itu menggeram.

“Gembel keparat! Kau akan rasakan pembalasan kami, yeaaa...!” Ki Dipati Unus menggeram. Pedangnya segera diputar sedemikian rupa, menyambar pinggang Darmo Gandul. Sementara pada saat yang bersamaan, Ki Soma Nagara langsung menyerang kembali.

“Hup! He he he...! Apa yang kau tebas, Tikus busuk?” ejek si Gila dari Muara Bangkai setelah berhasil menghindari serangan Ki Soma Nagara dengan lompatan indah dan putarkan tubuhnya. Namun serangan Ki Soma Nagara tidak berhenti sampai di situ saja. Pedangnya cepat dikelebatkan ke depan, ke arah Si Gila dari Muara Bangkai.

Melihat hal ini, Darmo Gandul tidak gugup. Maka goloknya berkelebat cepat menangkis tebasan pedang Ki Soma Nagara yang mencoba memapas pinggangnya.

Trang!

Ki Soma Nagara jadi terjajar dua langkah tepat ketika Si Gila dari Muara Bangkai mendarat ditanah. Bahkan pemuda gembel itu langsung melepaskan tendangan geledek yang begitu cepat. Akibatnya....

Dukkk!
“Aaaakh...!”

Ki Soma Nagara menjerit kesakitan, begitu ujung kaki Si Gila dari Muara Bangkai menggedor keras dadanya. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang disertai muntahan darah segar.

“Yeaaa...! Mampus kau...!?”

Geram Ki Soma Nagara mengincar kesempatan ketika pemuda itu lengah. Pedangnya langsung berkelebat, menyambar ke arah leher.

“Uts!”

Namun, pemuda yang disangkanya lengah itu mudah sekali menundukkan kepalanya menghindari tebasan pedang itu. Kemudian tubuhnya berbalik cepat menyambar pergelangan tangan Ki Dipati Unus.

Tras!
“Aaaakh...!”

Panglima Kadipaten Karang Wates itu kontan memekik, ketika pergelangan tangannya yang memegang senjata putus disambar golok Si Gila dari Muara Bangkai.

“Hiiih!”

Darmo Gandul alias Si Gila dari Muara Bangkai mendengus tajam. Tanpa memberi kesempatan sedikit pun, tubuhnya melompat mengejar panglima yang terhuyung-huyung. Dan seketika goloknya kembali berkelebat tanpa mampu dihindari.

Cras!
“Aaaa...!”

Kembali terdengar jeritan menyayat, membelah angkasa yang semula sunyi. Dipati Unus tidak mampu menghindari golok lawan yang cepat sekali menyambar dahinya. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung dengan darah mengucur deras mengiringi tubuhnya yang ambruk di tanah menggelepar-gelepar.

“He he he...! Siapa yang mau menyusul? Ayo, cepat! Cepat...!” teriak Si Gila dari Muara Bangkai sambil memandang lawan-lawannya disertai tawa mengejek.

Ki Soma Nagara dan para pengawal kadipaten yang tersisa, terpaku beberapa saat. Para pengawal itu ragu-ragu untuk menyerang, dan hanya mampu melirik ke arah panglima kadipaten ini. Agaknya, mereka menunggu keputusan dari laki-laki itu. Sedangkan Ki Soma Nagara sendiri melangkah sambil menahan rasa nyeri di dadanya. Kemudian langkahnya berhenti di depan pemuda gembel itu pada jarak lima tombak.

“Kisanak! Di antara kita tidak ada urusan apa-apa....”

“Diam mulutmu, Kodok Buduk! Tahu apa kau dengan segala urusanku?! Panggil si keparat Buntaran, dan menyingkirlah dari mukaku!” sentak pemuda gembel itu memotong pembicaraan Ki Soma Nagara dengan suara menggelegar.

Sementara itu, Ki Soma Nagara berusaha untuk bersabar. Dia mengulur waktu, dengan mengajak pemuda gembel itu bercakap-cakap. Dan ketika seorang pengawal yang baru saja kembali dari dalam bangunan megah itu memberi isyarat, dia langsung mengerti.

Sementara itu, Adipati Buntaran bukannya tidak mengerti gelagat. Dan ketika dikabari bahwa, salah seorang panglimanya tewas, adipati itu segera mengungsikan istri serta putrinya keluar dari bangunan kadipaten lewat jalan belakang. Laki-laki berusia lebih dari setengah baya itu menyadari akan kepandaian pemuda gembel yang telah berjuluk Si Gila dari Muara Bangkai.

Walaupun seluruh pengawalnya menyerang, rasanya pemuda itu masih mampu mengatasi. Bahkan mampu menghabisi mereka dengan cepat. Namun, agaknya Si Gila dari Muara Bangkai bukannya tidak mengerti gelagat. Apalagi ketika pendengarannya yang tajam mendengar ringkikan kuda dari arah belakang istana kadipaten. Maka dengan wajah geram, tubuhnya melompat ke atas atap istana disertai ilmu meringankan tubuhnya yang sudah cukup tinggi.

“Setan Alas! Jangan coba-coba kabur dariku, heh!” dengus Si Gila dari Muara Bangkai.

“Pemuda gembel! Kau masih berurusan denganku! Jangan coba-coba kabur! Serang dia...!” teriak Ki Soma Nagara seraya melompat menghadang, setelah memberi perintah pada sisa pengawal kadipaten. Seketika ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan pula.


***


Darmo Gandul, menggeram melihat Ki Soma Nagara menghadang. Bahkan langsung menyerangnya. Maka tubuhnya langsung melesat cepat bagai sapuan angin kencang disertai kelebatan goloknya yang cepat bukan main. Beberapa orang pengawal kadipaten langsung roboh sambil memekik kesakitan. Dan ini membuat Ki Soma Nagara terkejut setengah mati.

“Yeaaaa...!”

Satu sambaran kencang dari Si Gila dari Muara Bangkai mengancam tubuh Ki Soma Nagara. Maka dengan cepat panglima itu menyabetkan pedangnya untuk menangkis.

Trang!
“Uhh...!”

Tangan Ki Soma Nagara langsung bergetar hebat dan telapak tangannya terasa nyeri bukan main. Bahkan nyaris pedang dalam genggamannya terlepas, ketika senjatanya beradu dengan golok Darmo Gandul. Dan belum juga Ki Soma Nagara mampu menguasai diri, ujung kaki Si Gila dari Muara Bangkai menghantam ke arah dada. Maka, dengan sebisa-bisanya panglima itu melompat ke belakang. Namun Darmo Gandul agaknya tidak sudi memberi kesempatan pada laki-laki itu lagi. Maka cepat tubuhnya melesat sambil mengayunkan goloknya, selagi panglima itu belum mantap keseimbangan tubuh. Sehingga....

Wusss!
Bress!
“Aaaa...!”

Ki Soma Nagara kontan memekik kesakitan, begitu golok Darmo Gandul menyambar batok kepalanya. Tubuhnya langsung terjungkal roboh dengan batok kepala nyaris terbelah. Sementara, tubuh Si Gila dari Muara Bangkai terus melesat bagai kilat ke belakang, tanpa mempedulikannya. Namun, sisa para pengawal kadipaten rupanya terus mengejarnya.

“Buntaran keparat! Kau kira bisa kabur dariku, heh?!” bentak Si Gila dari Muara Bangkai nyaring begitu melihat sebuah kereta yang berlari kencang.

Maka seketika dikejarnya kereta kuda itu, disertai ilmu meringankan tubuhnya. Begitu cepat lesatan tubuh Si Gila dari Muara Bangkai, sehingga sebentar saja sudah hampir mendekati kereta kuda itu. Kemudian....

“Heyaaa...!”

Kedua ekor kuda yang menarik kereta langsung meringkik nyaring dengan kedua kaki depan terangkat tinggi, ketika sebuah tenaga dahsyat menyentak laju kereta. Bahkan tiba-tiba saja....

Crass!
“Hieeee...!”

Kedua ekor kuda itu menggelepar tanpa daya, ketika kedua kaki depannya terpapas putus oleh kelebatan senjata Si Gila dari Muara Bangkai. Sementara kereta yang ditarik terjungkal diiringi jerit ketakutan penumpang di dalamnya. Sedangkan laki-laki setengah baya yang tak lain adalah Adipati Buntaran ikut terjungkal, tak mampu mengendalikan kereta kudanya. Dia memang bertindak menjadi kusir, untuk menyelamatkan anak-istrinya.

“Kakang...!”
“Ayaaah...!”

“He he he...! Buntaran keparat! Akhirnya kau harus menerima pembalasan akibat perbuatanmu terhadap keluargaku tujuh tahun lalu. Hari ini, kau tidak akan bisa lolos dari tanganku...!” desis pemuda gembel itu seraya berdiri tegak di depan tiga orang penumpang kereta kuda yang terjungkal itu.

Tawanya panjang menggema ke seluruh tempat ini penuh rasa dendam dan amarah. Adipati Buntaran hanya menggigil ketakutan. Demikian pula kedua wanita yang memeluknya erat-erat

“Si... siapa kau...?!” tanya adipati itu, tergagap.

“Hei?! Masih berlagak lupa rupanya? Aku Darmo Gandul, Setan! Tujuh tahun lalu, kau menyuruh beberapa pendekar mengeroyokku. Mereka menyiksa dan memperkosa istriku beramai-ramai. Kemudian anakku pun dibunuhnya. Semua itu karena kau, Keparat! Hari ini pembalasan telah tiba, dan dimulai darimu. Kau akan menerima buah dari perbuatanmu! Siapa menabur angin, dia akan menuai badai!” dengus Darmo Gandul dengan wajah kelam.

“Darmo Gandul? Ah, ya...! Aku ingat. Kau adalah perampok yang sering berbuat kerusuhan. Dan kau juga sering memperkosa gadis-gadis serta wanita-wanita cantik di kadipaten ini, tanpa mempedulikan istri orang lain atau bukan!” sahut Adipati Buntaran berusaha menenangkan diri.

“Phuih! Aku tidak peduli pembelaanmu. Tidak seharusnya sebagai adipati yang bijaksana kau berbuat begitu. Kau tidak merasakan, bagaimana siksaan yang kualami. Dan kini, kau akan merasakannya, Setan! Kau akan merasakannya, Keparat! Ha ha ha...!”

Si Gila dari Muara Bangkai tertawa terbahak-bahak. Bahkan goloknya langsung dicabut dengan sikap mengancam. Namun saat itu juga, para pengawal kadipaten telah berdatangan dan mengepung tempat itu. Bahkan mereka langsung melompat menyerang Si Gila dari Muara Bangkai.

“Gembel keparat! Mampuslah kau! Yeaaa...!”
“Huh!”

Si Gila dari Muara Bangkai mendengus geram. Tubuhnya segera melompat cepat sambil mencabut golok, yang langsung dikelebatkan dengan cepat

Srak!
Craass!
“Aaaa...!”

Dua orang langsung terjungkal roboh tidak berdaya dengan darah memancur deras dari kening. Kini Si Gila dari Muara Bangkai mengamuk sejadi-jadinya. Sementara pada saat itu juga, Adipati Buntaran mencari kesempatan untuk meloloskan diri, namun menyuruh Nirmala bergegas lebih dulu.

“Cepat! Selamatkan dirimu, anakku! Lari! Larilah sekuat tenagamu...!” teriak Adipati Buntaran. Begitu mendapat kesempatan. Darmo Gandul melompat cepat untuk menghadang. Namun beberapa orang pengawal mencoba menghalanginya. Bukan main geramnya pemuda gembel itu. Seketika goloknya berkelebat cepat menyambar mereka. Maka kembali terdengar jeritan panjang yang menyayat

“Aaaa...!”
“Hiyaaaa...!”

Darmo Gandul terus berusaha mengejar Nirmala yang berlari kencang meninggalkan tempat itu. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, melihat ke arah kedua orang tuanya yang mencoba membantu menghadang pemuda gembel itu. Berat rasa hatinya meninggalkan mereka. Namun ayahnya terus memaksa.

Gadis itu mengerti, apa yang akan terjadi terhadap kedua orang tuanya. Dan ini membuat hatinya pilu. Dengan tangis panjang dan air mata berlinang, gadis itu terus berlari menyusuri jalan setapak dan menembus kegelapan malam di balik pepohonan rimbun.

“Darmo Gandul! Kau berurusan denganku! Jangan ganggu anakku...!” teriak Adipati Buntaran. Adipati itu cepat mengejar, dan langsung menghadang Darmo Gandul dengan keris terhunus. Namun, Si Gila dari Muara Bangkai tentu saja tidak sudi niatnya terhalang. Maka goloknya langsung dibabatkan, menghadang keris adipati itu.

Trang!

Adipati Buntaran terkejut setengah mati. Kerisnya langsung terlepas dari genggaman dihantam golok Darmo Gandul. Bahkan tubuhnya sempat terjajar beberapa langkah. Dan belum lagi dia sempat menguasai diri, satu tendangan keras menghantam dadanya.

Dukk!
“Aaaakh...!”

Terdengar jeritan kesakitan dari Adipati Buntaran. Laki-laki setengah baya itu terjungkal ke belakang sambil menyemburkan darah segar dari mulutnya.

“Kakang...!”

Nyai Buntaran langsung menubruk suaminya yang tengah megap-megap tidak berdaya, disertai jeritan memilukan.

“Gembel hina, mampus kau...!” bentak sisa pengawal kadipaten yang semakin kalap melihat kelakuan Si Gila dari Muara Bangkai.

Darmo Gandul semakin geram. Wajahnya terlihat semakin kelam. Dengan melompat bagaikan sapuan angin kencang, tubuhnya menyelinap ke arah para pengawal. Sesaat kemudian, terdengar pekik kematian yang disusul robohnya tiga orang lawan. Berikutnya, dua orang kembali roboh. Sementara tubuh pemuda gembel itu melenting ke arah belakang, ketika dua orang pengawal yang tersisa menyerbu sekaligus. Lalu....

“Yeaaa...!”
Gras!
“Aaaa...!”

Kembali terdengar jerit kesakitan, ketika ke dua pengawal kadipaten roboh bersimbah darah tersabet golok pemuda gembel itu. Darmo Gandul kini mulai menyarungkan goloknya cepat, kemudian memandang ke arah suami-istri itu dengan wajah menyeringai.

“Sekarang, tidak ada seorang pun yang bisa menolongmu...,” ujar Si Gila dari Muara Bangkai, dingin.

“Bunuhlah kami! Bunuhlah kami...! Aku tidak takut mati...!” teriak Adipati Buntaran kalap.

“Membunuhmu? Membunuh kalian...? Ha ha ha...! Itu terlalu enak bagimu, Setan! Kau akan merasakan mati perlahan-lahan dan amat menderita lahir batin...!” teriak Darmo Gandul terbahak-bahak. Kemudian Si Gila dari Muara Bangkai menghampiri keduanya perlahan-lahan. Namun sebelum sempat berbuat sesuatu.

“Gembel hina, hentikan perbuatanmu...!”
“Hei?!”

Terdengar bentakan nyaring, yang membuat Darmo Gandul tersentak. Dan dia langsung berpaling ke arah datangnya suara.


***


Tepat empat tombak di depan Si Gila dari Muara Bangkai, tegak seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya yang besar, terbungkus pakaian kelabu. Sebilah pedang, tampak tersampir di punggungnya. Rambutnya yang panjang digelung ke atas. Sambil melipat kedua tangan di dada, matanya memandang ke arah Si Gila dari Muara Bangkai dengan sorot tajam menusuk.

“Ah! Aku kenal kau! Aku kenal kau...! Gajah Bengkak yang sebentar lagi akan menyusul yang lain. Hi hi hi...! Suatu kebetulan yang amat kuimpikan kau datang ke sini. Sehingga, aku tidak susah payah lagi mencarimu!” oceh pemuda gembel itu sambil tertawa kegirangan.

“Kau berani lancang kepada Gajah Lanang, gembel keparat! Dan, rupanya kau masih hidup juga, heh?! Hari ini, aku akan membereskanmu sehingga tidak bergentayangan lagi!” sahut laki-laki bernama Gajah Lanang dengan nada lantang.

“Hi hi hi...! Gajah Bengkak! Bicara apa kau? Ajal sudah di ambang mata, tapi masih mengoceh seperti orang gila. Mana kawan-kawanmu yang lain? Kenapa tidak disuruh ke sini mengeroyokku? Ayo, panggil mereka. Dan, keroyok aku seperti dulu. Kali ini, lebih mudah dan cepat rasanya membereskan kalian...!” sahut Si Gila dari Muara Bangkai.

“Phuiih! Menghadapi orang sinting sepertimu, tidak perlu banyak orang! Cabutlah golokmu, agar persoalan lebih cepat selesai!” desis Gajah Lanang seraya meraba gagang pedangnya.

Sring!

Gajah Lanang sudah langsung mencabut pedangnya.

“Hi hi hi...! Tujuh tahun lalu saja, kau tidak akan mampu menghadapiku seorang diri. Sehingga, perlu meminta bantuan kawan-kawanmu. Apalagi, saat ini. Hi hi hi...! Hei, Buntaran keparat! Sungguh beruntung kecoa ini datang, sehingga nyawamu bisa sedikit diperpanjang!” ejek Darmo Gandul terkekeh-kekeh.

“Adipati Buntaran! Tenangkanlah hatimu. Sebentar lagi, keparat ini akan kumusnahkan dari muka bumi!” teriak Gajah Lanang.

“Syukur kau cepat datang, Sobat. Gembel busuk ini hampir saja merenggut nyawa kami...,” sahut Adipati Buntaran dengan wajah sedikit lega.

“Hi hi hi...! Bukan hampir, Buntaran goblok! Tapi, aku hanya meluangkan waktu sedikit. Nah, Gajah Lanang. Ayo seranglah aku. Dan, buktikan kata-katamu!” teriak Darmo Gandul menimpali.

“Keparat! Lihat serangan...!” geram Gajah Lanang seraya melompat menyerang. Namun Darmo Gandul gesit sekali mengelak dengan meliuk-liuk indah.

Sementara derit angin serangan laki-laki bertubuh besar itu menyapu seluruh tubuh Darmo Gandul dari kaki hingga rambut. Namun Si Gila dari Muara Bangkai terus meliuk-liuk bagai penari sambil tertawa-tawa keras mengejek. Bukan main panasnya Gajah Lanang diremehkan demikian rupa. Namun sesungguhnya dia kagum melihat pemuda gembel itu. Setelah tujuh tahun berselang, tanpa diduga kepandaian Darmo Gandul maju demikian pesat. Buktinya, seluruh kepandaiannya telah dikerahkan namun belum mampu menyentuh bajunya sekali pun.

“Sekarang giliranku, Gajah Lanang! Lihat serangan...!” bentak Si Gila dari Muara Bangkai.

Tring!

Secepat kilat Darmo Gandul mencabut golok, secepat itu pula dikelebatkan ke arah perut Gajah Lanang. Laki-laki bertubuh besar itu terkesiap dan cepat menangkis dengan pedangnya.

Trang!

Benturan kedua senjata membuat kulit telapak tangan Gajah Lanang terasa perih dan terkelupas. Dan belum lagi sempat menyadari, mendadak satu tebasan kilat menyambar dahinya.

Crasss!
“Aaaa....”

Gajah Lanang kontan memekik kesakitan dengan tubuh roboh bermandikan darah. Tangannya terus memegangi luka menganga di dahinya, sambil menggelepar-gelepar meregang nyawa.

“Hi hi hi...! Mampus kau, mampuss...! He he
he...! Sekarang pertunjukan berikutnya, setan Buntaran!” teriak Si Gila dari Muara Bangkai dengan mata memandang tubuh Gajah Lanang.

Tepat ketika tubuh Gajah Lanang diam tak berkutik lagi, Si Gila dari Muara Bangkai mengalihkan pandangan ke arah Adipati Buntaran yang belum juga pergi dari tempat ini. Bahkan ketika pemuda gembel itu melompat ke arah istrinya, dia hanya terkesiap saja. Cepat sekali Si Gila dari Muara Bangkai menyambar istri Buntaran, dan memeluknya erat-erat.

“Aouw! Lepaskan aku! Lepaskan aku, Keparat...!” teriak wanita itu mencoba berteriak-teriak dan melepaskan diri.

“Lepaskan istriku, Keparat...!” teriak adipati itu, begitu tersadar. Seketika adipati itu melompat cepat, hendak membebaskan istrinya. Namun tanpa diduga ujung kaki pemuda itu menghantam dadanya.

Dukkk!
“Aaaakh...!”

Laki-laki setengah baya itu kembali tersungkur disertai muntahan darah kental.

“He he he...! Seharusnya anakmu yang cantik dan montok itu menjadi bagianku. Tapi, tidak apa. Karena, istrimu pun masih memenuhi syarat. Kau akan melihat pertunjukan yang menggairahkan, Buntaran...!” ejek Si Gila dari Muara Bangkai, terdengar memuakkan.

Dengan tangan kiri memeluk, Nyai Buntaran dari belakang, tangan kanan Si Gila dari Muara Bangkai bergerak cepat menjambret baju wanita itu.

Bret! Bret!

“Aouww! Kurang ajar! Keparat! Lepaskan aku! Lepaskaaaan...! Aouw...!”

Istri Adipati Buntaran menjerit-jerit ketakutan, ketika semua pakaiannya telah dilucuti. Bahkan tubuhnya yang lemah itu dilemparkan hingga terjerembab. Wanita yang sama sekali tak memiliki ilmu olah kanuragan itu berteriak kesakitan. Kemudian seperti serigala melihat anak ayam, pemuda gembel ini melompat menerkam tubuh wanita yang telah, telanjang itu dan menindihnya kuat-kuat. Nyai Buntaran menjerit ketakutan dan berusaha melepaskan diri. Namun, jepitan Si Gila dari Muara Bangkai itu kuat luar biasa.

“Lepaskan istriku, Setan Keparat! Lepaskan dia...!” teriak Adipati Buntaran dengan sekujur tubuh menggigil menahan amarah menggelegak.

Laki-laki itu hendak bangkit menolong istrinya, namun mulutnya kembali memuntahkan darah kental berkali-kali. Hawa amarah dan luka dalam yang dideritanya, semakin membuatnya tidak berdaya. Apalagi mendengar teriakan teriakan istrinya yang sangat menghiba penuh ketakutan. Lelaki itu hanya bisa berteriak-teriak, lalu kembali memuntahkan darah segar. Dan ketika istrinya melengking nyaring menahan rasa sakit, kemudian semuanya terasa gelap sekali!


***


LIMA

Hari telah agak malam ketika Bayu tiba di pinggiran Hutan Kaliwalang. Sejak tadi Tiren melenguh pendek. Dan pemuda itu jadi tersenyum dan mengajaknya berhenti.

“Kau lapar, Tiren?”
“Nguk! Nguk...!”
“Nah, bisakah kau mencari sesuatu untuk makan malam kita?”
“Nguk! Nguk...!” Tiren mengangguk.

“Baiklah. Kau mencari makanan buat kita, sementara aku menyalakan api. Kita bermalam disini saja. Tampaknya, di daerah ini banyak yang bisa didapat sebagai makanan...,” lanjut Bayu seraya memandang ke sekeliling.

Tanpa banyak bicara lagi, monyet kecil itu melompat ke salah satu cabang pohon, lalu menghilang di kegelapan malam. Ketika kembali kepada Bayu di tangannya telah bergelantungan buah-buahan segar. Monyet kecil itu berteriak girang. Tampak pemuda yang selalu berpakaian dari kulit harimau itu telah membuat api unggun dan sedang menguliti dua ekor kelinci yang bertubuh gemuk.

“Kaaakh...!”

“Kau makanlah bagianmu. Dan aku akan memakan bagianku! Kau tentu tidak menyukai daging kelinci ini, bukan?” sahut Bayu tenang.

“Nguk! Nguk...!”

Bayu tersenyum kecil, kemudian mulai memanggang kedua daging kelinci yang diperolehnya. Sementara, Tiren menggerogoti buah-buahan.

“Hmmm. Harum betul daging kelinci ini. Perutku semakin lapar saja. Tapi kalau untuk dibagi dua pun, rasanya masih cukup!” kata pemuda itu seperti untuk dirinya sendiri. Tiren melompat-lompat seraya berteriak keras.

“Hus! Diamlah, Tiren! Jangan malah membuat takut sobat kita yang sedang mengintip. Mungkin dia juga lapar, seperti kita. Tak perlu khawatir, masih banyak bagian kalau dia hendak bergabung...,” lanjut Bayu.

Pada saat itu juga, tepat di depan Pendekar Pulau Neraka keluar sesosok tubuh laki-laki setengah baya dari balik semak-semak, Bayu tetap tenang dan tidak mempedulikan kehadiran orang itu, karena sibuk membolak-balik daging kelinci yang sedang dibakarnya.

“Hm! Sungguh aku bertindak gegabah terhadap orang yang berkepandaian tinggi seperti Kisanak. Maafkan kelancanganku. Namaku, Bhatara Wisesa. Siapakah dirimu, Kisanak? Oh, ya. Apakah tidak keberatan bila aku bergabung dan meminta sedikit daging kelincimu untuk mengganjal perutku yang lapar?” sapa laki-laki yang baru datang itu dengan ramah.

Bayu mengangkat kepalanya. Kini di depannya berdiri seorang laki-laki setengah baya bersenjatakan kapak besar terselip di pinggang. Tubuh laki-laki yang mengaku bernama Bhatara Wisesa agak kurus. Sepasang kelopak matanya cekung, ketika memandang ke arah Pendekar Pulau Neraka. Namun begitu, senyumnya amat ramah dan wajahnya bersih. Jauh sekali dari kesan seorang yang hendak berniat jahat.

“Silakan, Kisanak. Tentu saja dengan senang hati aku akan membagimu daging kelinci ini. Duduklah. Namaku Bayu Hanggara. Kau boleh memanggilku sesuka hatimu...,” sahut Bayu menyilakan tamunya untuk duduk.

Ki Bhatara Wisesa itu duduk bersila persis di depan Pendekar Pulau Neraka. Sementara Bayu langsung memberikan daging kelinci yang tadi tengah dibakarnya. Laki-laki bertubuh kurus itu menerimanya disertai senyum cerah.

“Silakan, Kisanak!” ujar Bayu.
“Terima kasih.”

Mereka duduk bersila sambil sesekali melahap hidangan daging kelinci. Sedangkan Tiren melompat-lompat di dekat Bayu, sambil menyeringai lebar ke arah tamu Bayu. Kemudian menjerit keras beberapa kali.

“Hus! Diamlah, Tiren! Kau hanya menambah ribut saja...!”

“Nguk! Nguk...!” Tiren mengangguk cepat. Kepalanya tertunduk, kemudian terdengar melenguh pendek.

“Hm, nikmat sekali daging kelinci ini. Kenyang rasanya perutku saat ini. Terima kasih banyak, Bayu. Melihat kawan kecilmu ini dan mengetahui namamu, aku jadi teringat akan seseorang. Sejak tadi aku berpikir tentangmu. Apakah kau yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka...?” tanya Ki Bhatara Wisesa.

Bayu tersenyum kecil mendengar pertanyaan tamunya itu. Kemudian kepalanya mengangguk pelan.

“Ah! Sungguh tak kuduga kalau saat ini sedang berhadapan dengan seorang pendekar besar di zaman ini!” desah Ki Bhatara Wisesa kagum.

“Kisanak, jangan terlalu berlebihan memuji orang. Bisa-bisa kepalaku semakin besar saja. Aku hanyalah manusia biasa seperti kebanyakan orang...,” sahut Bayu merendah. “Kalau boleh tahu, akan ke manakah tujuanmu saat ini?”

“Aku hendak mengunjungi sahabat lamaku. Adipati Buntaran....”
“Hm, Adipati Buntaran? Ya, ya...,” sahut Bayu mengangguk.
“Apakah kau mengenalnya juga, Bayu?”
“Kebetulan, aku hanya pernah mendengar namanya....”
“Beliau memang seorang adipati yang amat termashyur!” sahut Ki Bhatara Wisesa memuji.

Bayu kembali tersenyum, lalu menghabiskan sisa daging kelinci panggangnya. Namun mendadak pemuda itu berpaling. Terlebih lagi, ketika Tiren berteriak nyaring. Bayu cepat berdiri dan memandang ke sekelilingnya. Sementara Ki Bhatara Wisesa jadi bingung sendiri dibuatnya, dan ikut-ikutan berdiri.

“Ada apa, Bayu...?” tanya laki-laki kurus itu bingung.

“Aku mendengar jerit ketakutan...,” sahut pemuda itu seraya melompat ke satu arah. Tiren mengikuti dari belakang. Dan, Ki Bhatara Wisesa pun agaknya tidak mau ketinggalan.


***


Seorang gadis tengah menjerit ketakutan melihat dua orang laki-laki bertubuh besar yang menyeringai lebar. Napasnya kembang kempis tidak beraturan dan lututnya gemetar tidak berdaya. Setelah berlari cukup lama, kini tak disangka-sangka kedua orang itu muncul di hadapannya. Niatnya tadi hendak berbalik dan kabur, namun kedua kakinya seperti tidak mampu bergerak. Gadis itu hanya bisa menjerit sekuat tenaga, ketika kedua orang bertampang seram itu semakin mendekat.

“He he he...! Diamlah, anak manis. Percuma saja berteriak-teriak. Karena, tidak ada seorang pun di tempat ini yang akan menolongmu,” kata salah seorang seraya tersenyum lebar, tapi mirip seringai serigala.

“Apa yang dikatakannya benar, Cah Ayu. Percuma kau berteriak. Lebih baik, simpan tenaga mu. Sebab, sebentar lagi kita akan bersama-sama melakukan perjalanan ke sorga...! He he he...!” timpal yang seorang lagi.

Gadis itu beringsut ke belakang. Sinar rembulan samar-samar memperlihatkan wajahnya yang pucat dengan tubuh gemetar ketakutan.

“Jangan...! Jangan.... Kasihanilah aku.... Kumohon, pergilah. Dan, jangan ganggu aku...,” rintih gadis itu memohon dan mengharap belas kasihan kedua lelaki brewok itu.

“He he he...! Tentu saja! Siapa yang hendak mengganggumu? Kami justru akan memberi kenikmatan. Nah, tenang-tenang sajalah. Tak perlu takut...”

Serentak, kedua orang yang berwajah mirip itu menyergap dan langsung memeluk gadis ini.

“Oh, tidak! Tidak! Aouw...! Lepaskan! Lepaskaaaan...!” teriak gadis itu, ketakutan.

Sementara kedua orang itu begitu erat memeluk tubuhnya. Bahkan dengan sangat bernafsu, diciuminya gadis ini yang terus berteriak-teriak, dan berusaha melepaskan diri. Namun hingga mereka bertiga terjerembab, pelukan kedua lelaki itu sama sekali tidak terlepas.

“Jangan! Jangaaan...! Lepaskan aku! Lepaskan aku...!” teriak gadis itu semakin ketakutan ketika mereka telah merobek robek pakaiannya dengan kasar.

Gadis itu berusaha memukul-mukul sekuat tenaga, namun tenaga kedua lelaki itu sangat tangguh dan kuat. Bahkan salah seorang telah menotoknya hingga membuat gadis itu tak mampu bergerak lagi tanpa daya. Dan kini, laki-laki yang seorang lagi dengan penuh nafsu menggerayangi seluruh tubuhnya.

“Tidak! Oh, jangan! Jangaaan...! Lepaskan aku! Lepaskan!” teriak gadis itu, seperti tiada henti. Tubuhnya terus menggelinjang, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman mereka. Gadis itu tidak dapat membendung lagi air matanya menyadari nasibnya yang buruk. Jantungnya berdetak lebih kencang, dan darahnya mengalir tidak beraturan. Perasaan marah, benci, dan dendam menyatu dalam hatinya. Gadis itu megap-megap tidak berdaya. Dan dia berdoa dalam hati, mengharapkan kemukjizatan yang bakal terjadi.

Dan baru saja doa gadis itu selesai, tiba-tiba melesat bayangan kuning yang begitu cepat bagai kilat ke arah dua laki-laki bertampang seram yang tengah dirasuki nafsu iblis itu. Lalu....

Degkh! Bugh!
“Aah! Ugh!”

Seketika terdengar pekik kesakitan dari dua laki-laki bertampang seram itu. Tubuh mereka kontan terjungkal beberapa langkah, begitu bayangan kuning itu melepaskan dua tendangan beruntun. Kini gadis itu merasa tubuhnya sangat ringan. Dan dia buru-buru bangkit seraya menutupi tubuhnya dengan sisa-sisa pakaiannya yang masih lebar. Tepat ketika berdiri, gadis itu melihat dua sosok tubuh yang berwajah penuh kemarahan.

Ketika melihat seekor monyet kecil bergelantungan di bahu seseorang yang baru datang itu, gadis ini langsung merasa bersyukur.

“Bayu...! Oh, syukurlah kau datang tepat waktunya. Tolonglah aku! Mereka..., mereka hendak menodaiku...!”

Tanpa malu-malu lagi, gadis itu memeluk pemuda yang baru tiba di depan kedua lelaki yang hendak memperkosanya. Hal itu membuat pemuda yang memang Bayu menjadi gelagapan.

“Nirmala? Kenapa kau sampai ada di sini...?!” tanya Bayu ketika mengenali gadis itu.

“Ceritanya panjang. Oh, tolonglah aku! Mereka..., mereka....”

“Tenanglah, Nirmala. Biar kubereskan mereka...,” sahut Bayu seraya melepaskan rangkulan gadis itu perlahan-lahan.

Sementara kedua lelaki yang tadi terjungkal, sudah bangkit dengan wajah garang. “Setan keparat! Siapa kalian? Huh! Manusia yang mau mampus berani mengganggu urusan Setan Kembar!” dengus salah seorang dari kedua lelaki berewok yang berjuluk Setan Kembar. Bahkan golok panjang yang telah dihunus terselip dipinggang masing-masing.

“Hei! Setan Kembar! Sungguh kotor perbutanmu. Hari ini kalian akan menerima akibatnya. Aku Bhatara Wisesa, bersumpah akan membunuh kalian saat ini!” geram seorang lelaki yang sudah berada di samping Pendekar Pulau Neraka.

“Hm.... Ki Bhatara Wisesa, makhluk pengecut! Siapa yang tidak mengenalmu? Tujuh tahun lalu, kau hanya mampu menghadapi seorang pemuda tidak berguna. Bahkan secara keroyokan. Kau tidak ada derajat berhadapan dengan kami!” dengus orang tertua dari Setan Kembar itu.

“Dan kau siapa, bocah usil?!” tanya orang yang lebih muda dari Setan Kembar, sambil menuding ke arah Bayu.

“Setan Kembar! Ketahuilah, pemuda inilah yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka!” sahut Ki Bhatara Wisesa.

“Hm, Pendekar Pulau Neraka....” Kedua Setan Kembar tampak terkejut mendengar penjelasan laki-laki setengah baya itu. Namun mana mau keterkejutannya ditunjukkan. Dan mereka tetap saja menunjukkan wajah sinis.

“Huh! Siapa yang peduli dengan segala julukanmu?! Kurapa! Mereka telah mengganggu kesenangan kita. Dan untuk itu, mereka harus mampus di tangan kita!

Hm.... Tapi rasanya kita masih memberi mereka kesempatan kalau ingin selamat. Pergilah dan tinggalkan gadis itu di sini!” sentak orang tertua dari Setan Kembar menggertak.

“Benar, Kurapi. Kalau mereka membandel, kita hajar saja!” timpal laki-laki termuda dari Setan Kembar, yang dipanggil Kurapa.

Bayu hanya tersenyum dingin. “Setan Kembar! Sungguh bagus usulmu itu. Hanya sayang, aku tidak pernah meninggalkan tempat sebelum urusan selesai. Dan, aku akan menyelesaikannya, agar kalian bisa merasa tenang...,” sahut Bayu enteng.

“Bocah setan! Baiklah kalau kau ingin mampus. Nah, terima kematianmu!” desis Kurapi, orang tertua dari Setan Kembar. Dan laki-laki bertampang seram itu langsung melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka.

“Yeaaa...!”

Pada saat yang bersamaan, Kurapa tidak mau ketinggalan dengan kakaknya. Goloknya segera dicabut, menyerang Ki Bhatara Wisesa.

“Huh?!”


***


Bayu mendengus sinis. Demikian pula Ki Bhatara Wisesa. Laki-laki setengah baya itu sudah langsung mencabut kampaknya, menyambut serangan Kurapa.

“Hiyaaaa...!”
Tragngng!
“Hiiih...!”

Ketika terjadi benturan senjata, Ki Bhatara Wisesa sedikit mengeluh. Himpitan tenaga dalam Kurapa yang disalurkan lewat senjata golok panjangnya, begitu kuat luar biasa. Bahkan sempat membuatnya terkejut kaget menahan rasa nyeri. Namun begitu, Ki Bhatara Wisesa masih sigap sekali melompat ke samping menghindari satu tendangan susulan yang dilakukan Kurapa.

Sementara itu, Bayu yang tengah menghadapi Kurapi dengan tenang melejit dari terkaman senjata lawannya. Lalu, Pendekar Pulau Neraka melompat ke samping. Sedangkan laki-laki bertubuh besar itu terus mengejarnya sambil berbalik mengayunkan senjata.

Wuk!
“Uts!”

Bayu cepat menundukkan kepala, menghindari tebasan senjata Kurapi. Dan belum juga tegak berdiri, kepalan tangan Kurapi sudah menderu ke arah dada. Maka cepat Pendekar Pulau Neraka menghindar ke samping, dan langsung melepaskan serangan balasan. Ujung kakinya langsung bergerak menghantam ke arah pinggang. Kurapi tersentak kaget, melihat kecepatan gerak Pendekar Pulau Neraka. Bahkan belum lagi kedudukannya mantap, mendadak kepalan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka menghujam ke arah perut.

“Uhh....”
“Yeaaaa...!”

Namun demikian Kurapi masih sempat mengelak. Malah cepat melancarkan serangan balasan berupa tendangan ke arah dada. Sayang, Bayu telah melejit ke atas ke samping seraya berputaran di udara beberapa kali. Melihat hal ini Kurapi tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Langsung diserangnya Pendekar Pulau Neraka dengan senjata terhunus. Tapi pada saat nyaris bersamaan, Bayu yang masih di udara mengibaskan tangan kanannya.

Singngng!

Seketika Cakra Maut melesat cepat menyambar ke arah Kurapi. Akibatnya laki-laki gemuk itu terkesiap setengah mati. Sementara cahaya putih yang mengeluarkan bunyi desing nyaring dari Cakra Maut itu melesat tidak tertahankan. Kurapi cepat menyabetkan goloknya untuk menangkis.

Tras!

Namun siapa sangka kalau golok itu sama sekali tidak berguna. Bahkan putus disambar senjata Cakra Maut Malah senjata Pendekar Pulau Neraka terus menyambar pangkal lehernya.

Cras!
“Aaakh...!”

Terdengar jeritan Kurapi yang menyayat Darah muncrat bersama tubuhnya yang ambruk ke tanah tidak berdaya!

“Hei?! Kurapi!” Kurapa tersentak kaget begitu mendengar jeritan Kurapi yang kini menggelepar-gelepar meregang nyawa. Padahal saat itu dia sedang mendesak lawannya. Malah Ki Bhatara Wisesa sendiri sempat keteter beberapa kali. Tanpa mengindahkan lawannya, Kurapa melompat menyerang Bayu dengan amarah meluap-luap.

“Pendekar Pulau Neraka! Kau harus membayar nyawa saudaraku dengan nyawa busukmu! Yeaaa...!”

Kurapa langsung mengelebatkan senjatanya ke arah batok kepala Bayu. Namun manis sekali Pendekar Pulau Neraka mengelak ke samping. Lalu tubuhnya melenting ke atas, saat Kurapa memapas pinggangnya. Dan baru saja Pendekar Pulau Neraka mendarat, kepalan kiri laki-laki gemuk itu menghantam keras ke arah dada. Seketika Pendekar Pulau Neraka menangkis dengan telapak tangan kanannya.

Plak!
“Uhh...!”

Laki-laki gemuk itu merasakan kepalan tangannya seperti menghantam batu cadas ketika ditangkis Pendekar Pulau Neraka. Dan belum hilang rasa kagetnya, mendadak Pendekar Pulau Neraka mengayunkan tendangan keras ke arah dada. Kurapa terkejut, lalu cepat melompat ke belakang. Namun, Pendekar Pulau Neraka terus mengejar. Seketika, kepalan tangannya menghantam ke arah dada Kurapa.

“Yeaaa...!”

Kurapa cepat menangkis dengan pergelangan tangan kirinya.

Plakk!
“Aaaakh...!”

Seketika laki-laki berewok itu menjerit kesakitan ketika tangannya beradu. Dan belum lagi hilang rasa sakitnya, Pendekar Pulau Neraka membuat gerakan berputar. Langsung dilepaskannya satu tendangan setengah lingkaran ke arah punggung Kurapa. Begitu cepat gerakannya, sehingga...,

Begkh!
“Aaakh!”

Tubuh Kurapa terhuyung-huyung ke depan disertai jerit kesakitan. Tendangan yang berisi tenaga dalam kuat itu membuat tulang punggungnya seperti lumpuh tidak berdaya. Dan belum lagi kedudukannya diperbaiki, mendadak melesat cahaya putih keperakan ke arahnya.

Singngng!

“Hei?! Oh...!”

Kurapa hanya mampu tergagap dengan wajah pucat. Namun Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka agaknya tidak mengenal ampun. Senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu terus menyambar lehernya.

Cras!
“Aaaakh...!”

Laki-laki gemuk itu kontan menjerit tertahan, begitu lehernya tersambar Cakra Maut. Tubuhnya lalu ambruk dengan darah memancur dari pangkal lehernya yang nyaris putus, membuat luka yang lebar. Sementara Ki Bhatara Wisesa hanya bisa ternganga melihat apa yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka.

Semua berlangsung singkat saja. Bahkan dia tidak sempat membantu Pendekar Pulau Neraka. Dalam waktu singkat-saja Pendekar Pulau Neraka membereskan si Setan Kembar dengan cara... amat kejam! Nirmala sendiri sejak tadi memalingkan muka dengan perasaan ngeri bercampur takut. Apa yang dilakukan pemuda itu terhadap kedua lawannya, sungguh membuat hatinya bergidik ngeri. Bukan hanya saat ini. Malah ketika pemuda itu dulu membereskan kawanan Perampok Pisau Terbang, dia sudah begitu ngeri.

“Kaaaakh...!”

Tiren menjerit keras seraya melompat menghampiri Bayu. Pemuda itu menangkapnya dan membawanya ke pundaknya. Lalu dihampirinya Ki Bhatara Wisesa dan Nirmala.


***


ENAM

“Nirmala, kau tidak apa-apa?” tanya Pendekar Pulau Neraka halus. Nirmala mengangkat wajahnya. Dan rasa takutnya yang tadi menghantuinya, kini berubah menjadi rasa takut yang aneh ketika memandang pemuda itu. Dua kali dia bertemu, dan dua kali pula hatinya dibuat bergidik ngeri melihat kekejaman sepak terjang pemuda yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka ini.

“Eh! T... tidak...,” sahut gadis itu, menggeleng lemah.
“Hm....”

Bayu menggumam pelan seraya memalingkan wajahnya. Tidak enak rasanya memandang gadis itu, yang berpakaian tak karuan. Sehingga, bagian-bagian tertentu tubuhnya yang putih mulus masih terlihat. Apa yang dilakukan pemuda itu agaknya diikuti Ki Bhatara Wisesa pula.

“Kenapa kau bisa berada di tempat ini?” lanjut Bayu.

“Eh! Ceritanya..., ceritanya....” Nirmala tidak mampu melanjutkan kata-kata. Suaranya seperti tercekat di kerongkongan ketika rasa duka cita yang amat dalam terasa sesak dan berkumpul di rongga dadanya. Wajah gadis itu memerah dan bibirnya yang indah bergetar. Kedua kelopak matanya terlihat sembab, menahan air mata yang hendak tumpah. Namun akhirnya dia tak kuasa menahan, sambil menunduk sedih gadis itu menangis terisak.

“Nirmala! Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Bayu, dengan wajah heran.

“Se... seorang pemuda gembel mengamuk dan menewaskan banyak sekali pengawal kadipaten. Dia mengincar ayahku. Dan saat aku melarikan diri, dia... dia.... Oh, Tuhan! Bayu, tolonglah aku! Aku..., aku takut sekali...,” jelas gadis itu singkat.

“Pemuda gembel? Pemuda gembel bagaimana yang kau maksud...?”

“Entahlah. Aku tidak tahu. Dia..., dia menyebut dirinya Si Gila dari Muara Bangkai. Sedang namanya kalau tidak salah Dar..., Darmo Gandul.”

“Darmo Gandul?!” Ki Bhatara Wisesa jadi terkejut mendengar sebuah nama yang diucapkan gadis itu.

Bayu memandang ke arah laki-laki setengah baya itu dengan wajah meminta penjelasan. “Kau kenal orang itu, Ki!”

“Hm. Nantilah kuceritakan padamu. Kalau kau setuju, bagaimana kalau kita ke kadipaten sekarang juga, Bayu?” ajak Ki Bhatara Wisesa.

“Baiklah. Mari, Nirmala...,” sahut Bayu mengajak gadis itu seraya menuntun tangannya.

Ketika mereka mulai berangkat, Ki Bhatara Wisesa tergesa-gesa sekali. Sedangkan Nirmala terlihat letih dan pucat. Sesekali kakinya tersandung, dan mengeluh kesakitan.

“Bayu! Kita harus secepatnya ke sana...,” kata Ki Bhatara Wisesa.

Bayu berpikir sesaat, kemudian mengangguk pelan. Lalu cepat digendong Nirmala. Seketika Pendekar Pulau Neraka berlari cepat ke arah kadipaten.

“Maaf, Nirmala. Tidak ada cara lain...!” ucap Bayu sambil berlari.

Nirmala hanya mengangguk, karena menyadari keadaan dirinya sendiri. Kini ketiga orang itu bergerak ke tempat tujuan. Dan ketika. Bayu mengempos tenaga untuk mengerahkan ilmu lari cepatnya, Ki Bhatara Wisesa pun tidak mau ketinggalan. Mereka terus berlari cepat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh.


***


Apa yang ditemukan di halaman bangunan Kadipaten Karang Wates itu sangat mengenaskan. Mayat-mayat para pengawal bergelimpangan di sana-sini bersimbah darah bercampur tanah. Ki Bhatara Wisesa mendesis geram.

“Melihat luka yang sama di dahi mereka, ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu golok yang sangat hebat. Bagaimana mungkin dia mampu berbuat begini? Kalau benar perbuatannya, tentu amat membahayakan!” desis Ki Bhatara Wisesa.

Sementara itu Nirmala sama sekali tidak mempedulikan. Gadis itu sudah langsung menghambur ke dalam bangunan megah yang kini sepi tanpa penghuni.

“Ayaaah...! Ibuuuu...!” teriak gadis itu, khawatir.

“Nirmala...!” seru Bayu, seraya mengejar. Gadis itu terus menghambur ke halaman belakang, sementara Bayu mengejarnya. Nirmala langsung menuju jalan yang tak jauh dari bagian belakang rumahnya. Dia terus berlari, sampai akhirnya tiba di tempat saat kereta kudanya dihadang Darmo Gandul.

“Oh, tidak! Tidaaaak...?!” Tiba-tiba Nirmala memekik sambil mendekap wajahnya dengan kedua tangan.

“Nirmala...?!” Bayu tersentak dan buru-buru melompat menghampiri. Tampak gadis itu bersimpuh di tengah jalan, menghadapi dua sosok mayat yang bersimbah darah. Yang seorang, laki-laki setengah baya berpakaian indah. Punggungnya terluka parah, seperti dihantam senjata tajam. Tangan kanannya terjulur berusaha menggapai tangan seorang wanita setengah baya, yang juga tergeletak bersimbah darah tanpa mengenakan sehelai pakaian di tubuhnya. Melihat pemandangan itu, Bayu terpaksa memalingkan pandangan.

“Adipati Buntaran, sahabatku? Oh! Kenapa nasibmu sampai begini rupa?!” desis Ki Bhatara Wisesa yang telah berada di situ pula. Wajahnya tampak pucat dengan bibir gemetar.

Bayu mendiamkan saja kedua orang itu larut dalam kedukaan. Pendekar Pulau Neraka lantas duduk di atas sebuah batu besar, sambil memperhatikan mereka. Sedangkan Tiren duduk di pangkuannya.

“Nirmala, tenangkanlah hatimu. Aku bersumpah akan menuntut balas atas kematian kedua orangtuamu ini!” tegas Ki Bhatara Wisesa sambil menepuk-nepuk pundak gadis itu.

Nirmala diam saja tanpa menoleh. Dia terpekur disertai isakan tangisnya. Ki Bhatara Wisesa bangkit, dan memandangnya sekilas sebelum berjalan pelan menghampiri Bayu.

“Orang itu benar-benar terkutuk...!” desis orang tua itu geram.

“Hm.... Kau belum menceritakan, bagaimana duduk persoalannya sehingga pemuda gembel yang diceritakan Nirmala berbuat begini terhadap keluarga Adipati Buntaran...!” tanya Bayu.

Ki Bhatara Wisesa menarik napas panjang, kemudian mulai menceritakan peristiwa yang terjadi tujuh tahun silam. Dan buntutnya, adalah kejadian sekarang ini.


***


Pemakaman Adipati Buntaran dan istrinya serta para pengawal kadipaten dilaksanakan pada pagi harinya. Banyak penduduk yang datang menghadiri. Selama ini, Adipati Buntaran memang tidak terlalu ramah. Dia jarang turun melihat keadaan rakyatnya. Namun begitu, beliau tetap dihormati. Karena selama pemerintahannya, tujuh wilayah yang termasuk dalam Kadipaten Karang Wates, selalu aman-aman saja.

Sementara itu Nirmala masih tetap tidak banyak bicara. Dan Bayu pun agaknya tidak ingin mengusik kesedihan gadis itu. Dia lebih banyak diam, memperhatikan kesibukan itu. Sedangkan Ki Bhatara Wisesa tampak bertindak sebagai pengganti tuan rumah dalam kesibukan yang terjadi di rumah kediaman almarhum Adipati Buntaran.

Orang-orang sudah kembali ke tempat masing-masing, sementara beberapa orang penduduk yang kenal baik dengan Adipati Buntaran, masih berada di tempat ini sambil bercakap-cakap. Ki Bhatara Wisesa mendekati Bayu yang duduk di salah satu pojok ruangan di teras depan.

“Bayu, maukah kau menolongku...?” tanya Ki Bhatara Wisesa, seraya meletakkan bokongnya di samping Pendekar Pulau Neraka.

“Hm..., tentang apa?” Bayu malah balik bertanya.

“Kita harus menghentikan perbuatan pemuda itu. Dia tidak waras, dan akan membuat kekacauan yang lebih parah!”

“Kita...?!”

Ki Bhatara Wisesa memandang Pendekar Pulau Neraka dengan wajah tidak percaya. Tadinya, dia berharap Bayu akan turun tangan membantunya untuk memerangi pemuda gembel yang berjuluk Si Gila dari Muara Bangkai. Bahkan kalau mungkin membinasakannya. Tapi, jawaban Bayu yang bernada aneh itu membuatnya kecewa sekali.

“Bayu! Apakah..., apakah kau tidak bersedia menolong kami?” tanya Ki Bhatara Wisesa menegaskan.

“Aku suka sekali menolong, tapi lihat dulu, apa dan siapa yang hendak kutolong!” tegas Bayu.

“Maksudmu?”

“Orang yang sepatutnya mendapat pertolongan tentunya!”

“Bayu! Aku tidak ingin memohon padamu. Kalau memang kau tidak ingin membantu, aku sendiri masih mampu melakukannya! Hanya perlu diingat, bukankah perbuatannya terhadap keluarga Adipati Buntaran sungguh keji dan biadab?!” sentak orang tua itu tak senang.

“Tentu saja! Tapi, kau telah bercerita padaku, kenapa Si Gila dari Muara Bangkai, sampai berbuat demikian. Kalian telah membunuh anak dan istrinya. Bahkan beberapa orang kawanmu menodai istrinya, sebelum dibunuh. Bukankah berarti kalian sama keji dan biadabnya?!

Dan semua itu atas perintah Adipati Buntaran!” sahut Bayu, tidak kalah sengitnya.

“Dia patut menerima itu, setelah apa yang dilakukannya terhadap wanita-wanita seluruh kadipaten ini!” kilah Ki Bhatara Wisesa.

“Hm. Sudah sewajarnya sebagai seorang manusia, dia memiliki dendam yang hebat terhadap kalian. Seandainya aku diperlakukan begitu, tentu akan bisa merasakan dendam yang hebat dalam dadaku....”

“Terima kasih atas bantuanmu semalam, Bayu. Maaf, aku musti mengurus yang lainnya...!” sahut Ki Bhatara Wisesa seraya beranjak dari tempat itu.

Bayu menghela napas panjang seraya memandang laki-laki itu. Kemudian pandangannya dialihkan, seraya bangkit dan perlahan-lahan meninggalkan tempat. Namun baru saja keluar dari halaman depan bangunan kadipaten itu, mendadak.

“Bayu, tunggu...!”

Bayu langsung menoleh. Tampak Nirmala menghampirinya. Dia menunggu beberapa saat. Dan ketika telah dekat, bukannya bicara dengan pemuda ini, tapi gadis itu malah menundukkan kepala dengan keadaan membisu.

“Ada apa, Nirmala...?”

“Apakah kau akan meninggalkanku begini saja...?” tanya gadis itu bernada berat serta putus asa.

“Nirmala! Di antara orang-orang itu terdapat kerabatmu. Dan kau berarti telah berada di tengah keluargamu....”

“Bayu! Benarkah kau tidak ingin menolongku...?”

“Menolong bagaimana, Nirmala...?”

Gadis itu menarik napas panjang-panjang, kemudian menghembuskannya perlahan-lahan seraya mengalihkan pandangan. Kemudian beberapa saat kemudian matanya menatap lurus kepada Bayu.

“Tahukah kau, betapa sakit hati dan dendamnya hatiku melihat keadaan begini yang menimpa keluargaku? Kalau saja aku memiliki kemampuan tentu saja tidak mesti memohon kepadamu...,” kata gadis itu.

Bayu memandang gadis itu sejenak. “Nirmala, maaf. Bukannya aku tidak mengerti perasaanmu. Tapi, aku tidak bisa berjanji. Kita lihat saja bagaimana nanti,” ucap Bayu pelan.

Kemudian Bayu berbalik dan berlalu dari tempat itu. Nirmala ingin menahannya, namun hanya bisa terpaku dengan wajah tidak menentu. Dan matanya menyertai pemuda itu sampai hilang dari pandangannya. Haruskah Bayu menolong mereka? Bukankah dendam antara keduanya telah menjadi impas?

Adipati Buntaran menyiksa pemuda gembel yang berjuluk Si Gila dari Muara Bangkai berikut istri dan anaknya. Sedangkan Si Gila dari Muara Bangkai telah membalasnya. Hanya saja, pemuda gembel itu masih berkeliaran dan Adipati Buntaran telah menemui ajalnya. Lalu, siapakah yang akan membalaskan dendam orang-orang yang telah dianiaya pemuda itu sebelumnya? Dan bukan tidak mungkin, dia akan membuat keonaran yang lebih dahsyat Apalagi kemampuannya yang menurut Ki Bhatara Wisesa, telah meningkat pesat. Tentu semakin sulit saja bagi orang lain untuk mencegah perbuatan-perbuatan buruknya.


***


Dua orang laki-laki berusia setengah baya tampak berlari cepat melintasi pinggir Hutan Kali Walang. Melihat dari cara berpakaian dan senjata yang disandang, jelas kalau keduanya termasuk tokoh persilatan. Yang seorang berpakaian serba kuning, dengan sebilah pedang di punggung. Sementara yang seorang lagi berbaju hijau, membawa-bawa sebuah tongkat baja yang ujungnya runcing seperti tombak.

“Kakang Baladewa! Apakah menurutmu Ki Jangger ada di tempatnya saat ini? Sudah lama sekali kita tidak bertemu beliau,” kata lelaki yang berbaju kuning.

“Entahlah, Adi Dunggo. Mudah-mudahan saja dia ada di tempatnya,” sahut laki-laki berbaju hijau yang dipanggil Baladewa.

“Hm. Apa yang menimpa Adipati Buntaran sudah jelas. Darmo Gandul ternyata masih hidup, dan kepandaiannya kini berlipat ganda. Seharusnya dulu pastikan kematiannya di dalam jurang. Tapi Ki Jangger malah mengajak kita pergi. Dan sekarang, beginilah jadinya. Dia menyusahkan kita saja...!” umpat laki-laki yang bernama Ki Dunggo dengan wajah kesal.

“Hm. Itu sudah menjadi tanggung jawab kita. Tidak perlu menyesali apa yang telah terjadi. Toh pada saat itu, tidak ada yang menolak usulnya. Sebab, jurang tempat kita membuangnya telah terkenal angker dan banyak dihuni binatang-binatang berbisa. Kita tidak tahu, bagaimana caranya dia bisa lolos dari maut. Yang jelas, kita harus menyiapkan diri dari segala ancamannya...,” gumam Ki Baladewa.

“Benar, Kakang. Tapi aku sedikit khawatir. Dulu saja, kita bersusah payah menjatuhkannya. Dan, setelah tujuh tahun berselang, ternyata kemampuannya semakin pesat, aku khawatir apakah kita bisa mengalahkannya...?” desah Ki Dunggo, seperti berat untuk mengatakannya.

Ki Baladewa terdiam mendengar kata-kata Ki Dunggo. Apa yang didengarnya memang tidak salah. Kematian Adipati Buntaran dan seluruh pengawal kadipaten, telah membuatnya cemas. Pemuda gembel itu sama sekali tidak menemui kesulitan menghadapi kedua panglima kadipaten yang memiliki kepandaian cukup tinggi.

“Apa yang kau pikirkan, Kakang?” tanya Ki Dunggo membuyarkan lamunan laki-laki itu.

“Dia sedang memikirkan kematiannya...! Hi hi hi...!” Mendadak terdengar satu suara menyahuti. Dan yang lebih mengejutkan lagi, tiba-tiba melesat sesosok tubuh dari atas sebuah cabang pohon, lalu tepat berdiri di depan mereka.

“Hei?!” kedua orang itu tersentak kaget dan langsung menghentikan langkah. Di depan mereka, kini berdiri tegak seorang pemuda berpakaian compang-camping dengan rambut panjang awut-awutan. Di pinggangnya terselip sebuah golok agak panjang. Sorot matanya tajam dan memandang rendah ke arah mereka berdua.

“Siapa kau...?!” bentak Ki Dunggo garang.

“He he he...! Dunggo Keparat! Ternyata kau sudah lupa padaku. Tapi jangan harap Darmo Gandul akan lupa padamu!” sahut pemuda gembel itu.

“Darmo Gandul! Jadi, kau yang berjuluk Si Gila dari Muara Bangkai...?” sahut Ki Dunggo, dengan wajah kaget.

Bukan hanya Ki Dunggo yang terkejut. Malah Ki Baladewa sampai terjingkat. Terakhir mereka mengenal Darmo Gandul adalah pemuda tampan yang selalu rapi, serta memiliki kemampuan hebat. Maka tidak heran bila dia mampu menggaet dan merusak kehormatan gadis-gadis yang tergila-gila padanya. Tapi yang mereka lihat saat ini, Darmo Gandul lebih buruk dan jorok dari pengemis yang paling kotor sekalipun. Kalaupun ada yang membuat nyali mereka ciut, adalah sorot mata pemuda itu yang tajam laksana seekor harimau hendak menerkam mangsa.

“He he he...! Mulai ciut, Dunggo Keparat? Hari ini, kalian berdua tidak akan bisa lepas dari kematian! Hi hi hi...! Satu persatu kalian akan mampus di tanganku. Si Buntaran keparat telah mendapat giliran pertama. Dan belum lama berselang, kawan kalian si setan Gumilar telah menyusulnya. Hi hi hi...!”

“Apa?! Kau telah membunuh Gumilar pula? Keparat! Kau tidak akan lepas dariku, Darmo Gandul!” sentak Ki Baladewa garang.

“Diam! Cabut senjatamu, dan pertahankan nyawamu dari golokku...!” bentak Darmo Gandul dengan suara menggeledek. Setelah berkata demikian, Si Gila dari Muara Bangkai langsung mencabut golok dan melompat menerkam.

“Yeaaa...!”

Ki Baladewa dan Ki Dunggo tersentak kaget Namun mereka buru-buru melompat ke belakang, menghindari serangan Darmo Gandul seraya mencabut senjata.

Sring!

Begitu senjata mereka tercabut, langsung dipapaknya serangan golok Si Gila dari Muara Bangkai.

Trak! Trak!
“Uhh....”

Kembali kedua orang itu terkejut, ketika mencoba menangkis golok Darmo Gandul. Pedang Ki Dunggo terlihat rompal, dan nyaris terlepas dari genggamannya. Telapak tangannya terasa nyeri dan terkelupas, ketika benturan terjadi. Begitu pula tongkat Baladewa yang nyaris patah, disambar golok itu. Tenaga dan kecepatan Si Gila dari Muara Bangkai amat cepat dan kuat. Dan belum lagi beberapa jurus, mereka tampaknya mulai keteter.

“Hiyaaaa...!”

Kedua orang tua itu menggeram,” mencoba membalas menyerang. Namun Si Gila dari Muara Bangkai gesit sekali mengelak dengan melenting ke atas. Dan tahu-tahu, dia telah mendarat di belakang mereka sambil mengayunkan goloknya.

Cras!
“Aaah...!”

Ki Dunggo mengeluh kesakitan, ketika golok Si Gila dari Muara Bangkai memotong telinga kirinya. Sementara nasib baik masih berpihak pada Ki Baladewa. Begitu golok Darmo Gandul berkelebat ke arahnya, dia cepat berbalik. Seketika ditangkisnya golok itu.

Trang!

Ki Baladewa terjajar beberapa langkah. Namun belum juga bisa menguasai diri, tiba-tiba ujung kaki pemuda itu meluncur ke arah dadanya. Begitu cepatnya, sehingga....

Begkh!
“Aaaakh!”

Ki Baladewa mengeluh tertahan, begitu kaki Darmo Gandul mendarat telak di dadanya. Tubuhnya sampai terjajar beberapa langkah, namun cepat menguasai diri. Seketika dikerahkannya hawa murni untuk mengusir rasa sesak yang menyerang dadanya.

“Hi hi hi...! Dua ekor tikus busuk menjerit kesakitan! He he he...! Sebentar lagi, kalian akan merasakan sakit yang lebih hebat dan seru...!” ejek Si Gila dari Muara Bangkai tertawa terkekeh.

“Setan!” Ki Dunggo menggeram. Demikian juga Ki Baladewa. Dengan disertai amarah meluap kedua orang itu melompat bersamaan menyerang Si Gila dari Muara Bangkai.

“Yeaaaa...!”

Si Gila dari Muara Bangkai menggeram. Tubuhnya segera bergerak cepat, melejit menghindari serangan kedua lawannya. Terasa angin bersiur cepat Dan begitu berada di udara, Darmo Gandul cepat meluruk turun disertai sabetan goloknya ke arah Ki Dunggo yang hanya mampu ternganga. Dan tahu-tahu....

Cras!
“Aaaaa...!”

Ki Dunggo memekik keras, begitu dahinya terbabat golok Si Gila dari Muara Bangkai. Tubuhnya, terjungkal dengan darah mengucur deras dari luka dalam di dahinya, tepat ketika Darmo Gandul mendarat di tanah.

“Hei?! Kurang ajar...!” Bukan main geram dan marahnya Ki Baladewa melihat kenyataan itu. Darahnya tersirap, dan langsung menyerang pemuda itu dengan membabi buta.

“He he he...! Sini! Ke sinilah cepat. Susullah kawanmu itu...!” ejek Darmo Gandul.

“Yeaaaa...!” Ki Baladewa menyabetkan tongkatnya menyapu seluruh tubuh Darmo Gandul. Sehingga terlihat seolah pemuda itu terkurung dan tidak mampu keluar dari putaran tongkatnya. Namun, mendadak Ki Baladewa terkejut. Tiba-tiba, Darmo Gandul melompat ke atas, lalu meluruk dengan kebutan goloknya. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Cras!
“Aaaa...!”

Terdengar jerit tertahan, kemudian terlihat tubuh Ki Baladewa ambruk bermandikan darah dengan dahi luka cukup dalam.

“Hi hi hi...! Mampus kau! Mampus kalian...! Hi hi hi...!” teriak Si Gila dari-Muara Bangkai seraya tertawa nyaring dan melesat meninggalkan Hutan Kaliwalang yang kembali sunyi seperti tadi.


***


TUJUH

SEORANG laki-laki tua tampak duduk terpaku dengan kedua kaki bersila di atas bale-bale di beranda pondoknya yang sederhana. Matanya yang cekung memandang lurus ke depan. Sementara dua orang laki-laki lain yang berusia sekitar tiga puluh tahun, berada di kiri kanannya, dengan mata jelalatan ke seluruh tempat itu, seperti mencari-cari sesuatu. Wajah mereka tampak menyiratkan perasaan cemas, dan gelisah. Demikian juga yang terlihat pada wajah lelaki tua itu. Namun, agaknya dia berusaha menepis perasaannya dan bersikap lebih tenang.

“Ki Jengger, apakah kira-kira dia akan datang?” tanya laki-laki yang memakai ikat kepala merah pada laki-laki tua itu. Orang tua yang dipanggil Ki Jangger menoleh kemudian tersenyum kecil.

“Dia telah mengirim surat tantangan pada kita. Jadi sudah pasti dia akan datang ke sini, Sasongko....”

“Hm.... Kepandaiannya maju pesat dan sangat luar biasa. Seluruh pengawal kadipaten berikut dua orang panglimanya yang tangguh, dapat disapu bersih olehnya...,” gumam laki-laki yang seorang lagi.

“Apakah kau merasa gentar, Dusila?” tanya Ki Jangger.

“Entahlah. Kemampuanku bisa diukur, dan tidak banyak mengalami kemajuan belakangan ini. Aku tidak mengira dia masih hidup setelah dicemplungkan ke dalam jurang....”

“Salahmu sendiri. Kau terlalu rakus dengan perempuan! Kerjamu hanya pelesir dan bersenang-senang saja...!” umpat Ki Jangger.

Dusila hanya tersenyum. “Seharusnya kita menghubungi Ki Dunggo, Ki Baladewa, dan Ki Bhatara Wisesa lebih dulu...,” kata Sasongko pelan.

“Hm. Siapa yang tahu kalau saat ini mereka masih hidup....”

“Apa maksudmu, Ki Jangger?”

“Siapa tahu Darmo Gandul telah menghabisi mereka lebih dulu. Ki Gajah Lanang telah tewas di tangannya. Dan bukan tidak mungkin, dia mendatangi mereka satu persatu untuk mengurangi kekuatan kita,” sahut Ki Jangger menjelaskan.

Sasongko menghela napas panjang, untuk mengusir kegalauannya. “Hm.... Dulu saja, kita harus susah payah baru berhasil mengalahkannya. Lalu, apa yang bisa kita lakukan dengan bertiga begini?” tanya Dusila.

“Agaknya kau takut, Dusila?” sindir Ki Jangger.

“Aku bukan takut, Ki Jangger. Hanya masih sayang nyawaku...!”

“Kau boleh pulang sebelum dia datang!” sahut Ki Jangger tenang.

Ki Dusila menarik napas panjang. “Hm, kukira itu usul yang baik. Kepandaianku tidak seberapa. Malah masih berada di bawah Kakang Gajah Lanang. Kalau saja dia tewas ditangan pemuda itu, sudah pasti aku tidak akan mampu berbuat apa-apa menghadapinya...,” sahut Dusila, mengutarakan kekhawatirannya.

“Jadi, kau ingin melarikan diri, Dusila...?” tanya Sasongko.
“Aku tidak mau mati konyol di sini!”
“Hm. Kau pengecut, Dusila!” ejek Sasongko.

“Terserah apa kata kalian. Yang jelas, aku masih sayang nyawaku...!” sahut Dusila seraya beranjak dari tempat itu.

Sasongko merasa geram bukan main melihat kepengecutan kawannya. Dia sudah mau melompat mengejar. Namun Ki Jangger telah menangkap pergelangan tangannya.

“Biarkan saja dia memilih jalannya, Sasongko!”
“Huh! Aku tidak sudi punya kawan sepengecut dia! Dia tidak pantas hidup. Lebih baik mampus di tanganku!”

“Tidak perlu! Apa kau pikir Darmo Gandul akan membiarkannya lolos begitu saja? Tidak. Ke mana pun dia pergi, pemuda gembel itu akan mencarinya. Dan dia akan celaka karena harus menghadapinya seorang diri. Paling tidak, kita beruntung karena bisa menghadapinya berdua...,” jelas Ki Jangger.

Meski Sasongko bisa mengerti apa yang dimaksud Ki Jangger, namun hatinya masih tetap panas. Dan hawa amarah dalam dirinya belum bisa surut begitu saja. Dipandangi Dusila yang melenggang seenaknya didepan mereka.

“Huh! Manusia Pengecut Busuk! Mudah-mudahan di tengah jalan bertemu Darmo Gandul dan mampus di tangannya!” dengus Sasongko menahan geram.

Dan baru saja kata-katanya selesai, mendadak terdengar jerit panjang melolong. Tampak Dusila terbirit-birit lari ke arah mereka dengan darah memancur deras di dahinya. Namun baru saja melangkah tiga tindak, tubuhnya ambruk dan nyawanya melayang seketika. Tidak jauh dari mayatnya, tampak berdiri tegak seorang pemuda berpakaian gembel dengan rambut panjang awut-awutan.

Senyumnya sinis dan sorot matanya tajam memandang rendah ke arah mayat Dusila. “He he he...! Kau kira bisa kabur seenaknya lari dariku, Setan?! Hm.... Tidak ada seorang pun dari kalian yang akan hidup jika aku mendatangi...!” kata pemuda gembel itu sambil terkekeh-kekeh sendiri.

Sasongko dan Ki Jangger tersentak kaget Dan mereka jadi saling pandang sesaat. “Si Gila dari Muara Bangkai!” seru mereka hampir berbarengan. Kembali tatapan kedua orang itu beralih pada sosok pemuda berpakaian compang-camping itu.

“Dia telah datang, Ki Jangger,” lanjut Sasongko. Ki Jangger mengangguk. Kemudian dia beranjak dari duduknya. Demikian pula Sasongko. Mereka lantas berjalan lalu berdiri tegak beberapa tindak, lalu menunggu pemuda gembel itu menghampiri.


***


“Hi hi hi...! Kalian tentu terlalu lama menungguku, bukan? Maafkanlah. Sebab, baru saja tadi aku mengirim dua orang kawan kalian. Siapa namanya? Ah, aku ingat! Satu seekor tikus kurap yang bernama Dunggo. Dan satu lagi, seekor kecoa buduk tidak berguna yang bernama Baladewa. Mereka telah menyusul kawan-kawannya yang lain. Dan si pengecut ini, pantas mendapat giliran berikutnya...!” teriak pemuda itu sambil terus tertawa-tawa sendiri kegirangan.

“Darmo Gandul! Jangan dikira dengan ulahmu ini bisa menggertak kami!” sahut Ki Jangger, dingin.

“Ha ha ha...! Tua Bangka bulukan yang bernama Jengger! Kau kira aku menggertak, heh? Untuk apa? Aku tidak akan menggertakmu, tapi langsung akan mengirim kalian ke akherat menyusul yang lain!” ejek Si Gila dari Muara Bangkai.

“Keparat!”

“Hei? Apa kau bilang, Kodok buduk?!” sentak Darmo Gandul pada Sasongko yang menggeram.

“Kau Jahanam keparat!” maki Sasongko.

“He he he...! Kalian pun pantas mendapat sebutan itu. Kalau begitu, kita sama-sama keparat. Masih ingat peristiwa tujuh tahun silam. Oh.... Kasihan sekali istriku mendapat perlakuan kalian yang buas. Kau dan Dusila jahanam itu, memperkosanya tanpa henti. Lalu, membunuhnya didepan mataku. Dan aku juga berbuat begitu terhadap istrimu dan semua kekasih Dusila jahanam itu. Mereka semua mampus setelah terengah-engah meladeniku. Hanya sayang, kau tidak sempat menyaksikannya, Sasongko....”

“Apa katamu? Keparat jahanam! Apa yang kau lakukan terhadap istriku...?!” geram Sasongko dengan mata melotot lebar.

“Eit, eit! Jangan sampai lupa. Tidak hanya istrimu, tapi juga anak perempuanmu yang sedang ranum-ranumnya...! Hi hi hi...!”

“Setan! kubunuh kau! Kubunuh kau...!” geram Sasongko bukan main, laki-laki itu bahkan langsung melompat menyerang setelah mencabut goloknya.

“Yeaaa...!”

Ki Jangger hendak menahan kawannya, namun Sasongko telah lebih dulu melompat menyerang dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Sebagai orang yang lebih tua dan kenyang pengalaman, Ki Jangger bisa merasakan bahaya yang akan menimpa kawannya. Sasongko bertarung dengan amarah meluap-luap, yang bakal membuat serangan-serangannya menjadi tidak beraturan. Maka laki-laki tua itu tidak bisa berpangku tangan saja. Dengan cepat, dicabutnya pedang yang tergenggam di tangan kiri. Lalu orang tua itu ikut melompat menyerang Darmo Gandul.

“Darmo Gandul, maaf. Aku terpaksa ikut turun tangan...!”

“He he he...! Siapa yang melarangmu? Lebih cepat kalian maju bersamaan, akan lebih bagus. Berarti memudahkan pekerjaanku...!” sahut Darmo Gandul tenang.

“Yeaaa...!”

“Setan...!” Golok Sasongko menyambar-nyambar, mengurung pertahanan Darmo Gandul. Sementara Ki Jangger menjaga agar jangan sampai Darmo Gandul mampu menghindar. Maka begitu melihat pemuda itu bergerak menyusup ke atas, ujung pedangnya langsung menghadang.

Trang!
“Uhhh...!”

Bukan main kagetnya Ki Jangger, ketika pedangnya membentur golok Si. Gila dari Muara Bangkai yang tercabut dengan cepat. Tangannya langsung bergetar hebat dan jantungnya berdetak lebih kencang. Dan belum sempat menguasai diri, tendangan Darmo Gandul meluncur ke arah dagunya.

“Hiiih...!”

Masih untung Ki Jangger melompat ke belakang, untuk menghindarinya. Dan dia semakin tertolong, ketika Sasongko mengayunkan golok menebas pinggang Darmo Gandul.

“Mampus...!”

“He he he...! Apanya yang mampus? Kau yang akan mampusss...!” ejek Darmo Gandul seraya menghindari serangan dengan cepat. Tubuh Si Gila dari Muara Bangkai melejit ke belakang sambil menunduk, sekaligus menghindari tebasan pedang Ki Jangger. Goloknya menyilang di dahi, lalu mendadak saja berkelebat cepat menyambar kepala Sasongko.

Cras!
“Aaaa...!”

Sasongko kontan memekik panjang begitu golok Darmo Gandul membabat dahinya. Tubuhnya langsung tersungkur ke depan dengan darah mengucur deras dari dahinya. Maka bukan main kagetnya Ki Jangger. Untuk sesaat dia tidak tahu harus berbuat apa.

“Hua ha ha...! Mampus! Eh, dia benar-benar mampus! Hi hi hi...! Dasar kodok buduk tidak berguna. Tua Bangka, keparat! Kini di antara kalian yang tersisa, tinggal dua orang lagi Ki Bhatara Wisesa dan kau! Sayang, dia tidak kujumpai di rumahnya. Tapi, kau ada di hadapanku. Maka, kaulah yang lebih dulu akan menyusul kawan-kawanmu!”

“Darmo Gandul! Sampai kapan pun aku tidak takut menghadapimu. Kau tidak perlu menggertakku...!” sahut Ki Jangger dingin.

“Hi hi hi...! Apakah aku menggertakmu? Hi hi hi...! Aku tidak pernah mengatakannya. Tapi, justru akan melaksanakannya. Seperti sekarang...!”

Setelah berkata demikian, tubuh Darmo Gandul melesat cepat menerkam Ki Jangger. Namun orang tua yang telah waspada itu menangkis gesit dengan kibasan pedangnya. Sejak tadi diperhatikannya, cepat sekali Darmo Gandul mencabut golok. Dan secepat itu pula disarungkannya kembali.

Permainan goloknya tidak seperti kebanyakan tokoh-tokoh lainnya. Begitu selesai satu gerakan, maka kembali disarungkannya. Lalu, dicabut kembali jika diperlukannya. Semua dilakukan dengan gerakan cepat sekali. Bahkan pandangan mata orang tua itu yang tajam, sedikit mengalami kesulitan untuk melihatnya kalau tidak diamat-amati betul.

Begitu tangan Darmo Gandul meraba gagang golok cepat sekali Ki Jangger mengayunkan pedangnya, gerakan pemuda itu sungguh cepat luar biasa. Baru saja pedang orang tua itu mengibas, golok Darmo Gandul telah memapaknya.

Trangngng!

Seperti perkiraannya, pedang Ki Jangger rompal disambar golok pemuda itu. Malah nyaris terlepas dari genggamannya akibat himpitan tenaga dalam Darmo Gandul yang disalurkan begitu kuat.

“Hiiih!”
“Uts!”

Ki Jangger melompat ke belakang, ketika Si Gila dari Muara Bangkai mengayunkan tendangan menggeledek. Tubuh pemuda gembel itu langsung melompat mengejar. Dan sambil berbalik, kepalan tangannya dihantamkan ke dada orang tua itu. Maka Ki Jangger cepat mengibaskan pedangnya. Namun, ternyata pukulan itu hanya tipu belaka. Karena tanpa disangka-sangka Darmo Gandul menarik kepalan tangannya, lalu cepat sekali memutar tubuhnya. Dan seketika kaki kanannya diayunkan menghantam telak pinggang Ki Jangger.

Begkh!
“Aaakh...!”

Ki Jangger menjerit kesakitan begitu pinggangnya tersambar kaki pemuda itu. Tepat ketika tubuhnya terjungkal ke belakang, Si Gila dari Muara Bangkai melompat menerkam disertai sambaran goloknya. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

“Yeaaaa...!”
Crasss!
“Aaaa...!”

Ki Jangger kembali memekik tertahan, begitu golok Darmo Gandul menyambar dahinya. Darah kontan memancur deras dari luka yang memanjang dan dalam. Tubuhnya terjungkal ke tanah diiringi tawa nyaring Si Gila dari Muara Bangkai yang melesat meninggalkan tempat itu.

“Ha ha ha...!”


***


Dua sosok tubuh berbeda usia dan berlainan jenis tampak berjalan santai sekali. Mereka tampaknya lebih banyak berdiam diri. Hanya sesekali lelaki tua di sebelah sosok gadis cantik itu menghibur. Sementara, gadis itu hanya tersenyum kecil. Lalu kepalanya tertunduk dengan wajah muram.

“Akan kemana tujuan kita sekarang, Paman Bhatara Wisesa...?” tanya gadis itu, setelah sekian lama berjalan. Keringat mulai bercucuran di dahinya. Dan nyata sekali, keletihan membayangi wajahnya. Dan laki-laki tua yang tak lain Ki Bhatara Wisesa itu tersenyum kecil.

“Agaknya kau terlalu larut dalam kesedihanmu, Nirmala. Sehingga tidak mendengar kata-kataku sejak tadi....”

“Maafkan aku, Paman...,” ucap gadis yang ternyata adalah Nirmala.

“Nirmala.... Kita akan menuju tempat kawanku. Dia seorang tokoh hebat. Mudah-mudahan bersama yang lainnya, kami akan berhasil mengalahkan pemuda gembel itu. Kau tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Tidak lama lagi, pemuda gembel itu tentu akan mendapat pembalasan yang setimpal atas perbuatannya!” tegas Ki Bhatara Wisesa meyakinkan.

Nirmala, putri Adipati Buntaran itu terdiam beberapa saat lamanya mendengar penjelasan Ki Bhatara Wisesa.

“Apa yang sedang kau pikirkan...?” tanya Ki Bhatara Wisesa seperti mengerti jalan pikiran gadis itu.

“Eh! Tidak ada, Paman...!”

Ki Bhatara Wisesa tersenyum kecil. “Nirmala! Aku telah menganggapmu sebagai putriku sendiri. Dan demikian pula, aku berharap kau sudi menganggapku sebagai pengganti ayah mu..., yang telah tiada.”

“Terima kasih, Paman....”

“Ayahmu bersahabat baik denganku. Kami seperti saudara saja layaknya. Nah! Maukah kau menganggapku sebagai pengganti ayahmu?”

Gadis itu tersenyum, kemudian mengangguk kecil.

“Hm, sebagai seorang ayah, sudah sepatutnya membantu anaknya. Kulihat wajahmu muram terus. Apa gerangan yang kau pikirkan...?” tanya Ki Bhatara Wisesa.

“Aku ingin agar pemuda gembel itu menerima pembalasan yang setimpal, Paman...!”

“Ya! Paman mengerti dan bisa merasakannya. Namun, rasanya masih ada kekecewaan lain yang tersirat di wajahmu. Boleh paman tahu?” desah laki-laki itu.

Gadis itu menggeleng lemah. “Tidak ada....”

“Kau memikirkan pemuda itu, bukan...?” duga Ki Bhatara Wisesa.

“Siapa yang Paman maksudkan...?” tanya gadis itu sedikit kaget.

“Siapa lagi kalau bukan si Pendekar Pulau Neraka...!”

Nirmala terdiam. Wajahnya yang tampak jengah, buru-buru dialihkan. Namun, Ki Bhatara Wisesa masih sempat melihatnya.

“Betul kau memikirkannya...?”

Nirmala tidak menjawab. Namun tidak bisa memungkiri apa yang dikatakan orang tua ini. Dia memang memikirkan Bayu. Dan rasanya, tidak bisa dilupakannya begitu saja. Dua kali dia diselamatkan pemuda itu. Padahal Nirmala sama sekali tidak mengenalnya. Sikapnya yang tidak peduli, bahkan berkesan tidak ramah, entah kenapa membuatnya merasa senang terhadap pemuda itu.

Tapi sebagai seorang wanita yang terbiasa hidup di lingkungan yang penuh tata krama, tidak mungkin perasaannya dibeberkan. Atau, paling tidak sedikit memberikan lampu hijau bagi pemuda itu. Dan ketika Bayu sama sekali tidak mengerti apa yang dirasakannya, seharusnya Nirmala kesal dan benci. Perasaan itu pun ada, namun hanya sesaat. Karena, gadis ini tidak mampu menghimpit rasa sukanya terhadap Bayu.

“Benar, bukan...?” tanya Ki Bhatara Wisesa menyentak lamunannya.

Gadis itu kembali tersenyum kecil, seraya berpaling.

“Jangan terlampau berharap kepadanya, Nirmala. Sebagai orang tua, aku memberi nasihat yang berguna bagimu...,” ujar Ki Bhatara Wisesa.

“Kenapa, Paman?”

“Dia orang liar dan sulit diatur. Bahkan sangat terkenal kejam. Orang begitu sulit dipercaya. Meski selama ini dia terkenal sebagai pembasmi kejahatan yang sulit dicari tandingannya, tapi sering berbuat sesuka hatinya. Buktinya dalam persoalan ini, dia sama sekali tidak peduli!”

Nirmala diam saja mendengar kata-kata orang tua itu.

“Nah! Orang seperti itu, tidak pantas menerima perhatianmu. Lebih baik jangan diingat-ingat lagi!” tandas orang tua itu.

“Dia memang kejam, Paman. Tapi Bayu telah dua kali menolongku. Bagaimana mungkin Paman bisa menafsirkannya begitu?” tanya Nirmala, heran.

“Hm, paman tidak katakan dia jahat. Tapi, wataknya sulit diduga. Itu saja. Bisa jadi sekarang dia baik dan telah menolongmu. Tapi, siapa tahu di lain kesempatan malah meminta pamrih dan berbuat yang bukan-bukan terhadapmu!”

“Kurasa dia bukan orang seperti itu, Paman....”

“Hm.... Terserahlah. Paman hanya tidak ingin kau jatuh ke dalam kebaikan palsu seorang laki-laki yang belum banyak kau kenal. Sebab, kalau saja terjadi sesuatu yang buruk terhadapmu, sudah barang tentu kedua orangtuamu di alam sana akan menyesali paman...”

“He he he...! Sejak kapan kunyuk yang bernama Ki Bhatara Wisesa pandai menasihati orang...?” Tiba-tiba terdengar suara menyahuti.

“Hei?!”
“Ohhh!”


***


DELAPAN

Mendadak saja melesat sebuah bayangan. Dan sebentar saja telah berdiri sesosok tubuh di hadapan Ki Bhatara Wisesa dan Nirmala. Kedua orang itu terkejut setengah mati.

“Paman, dialah orang itu...!” teriak Nirmala. Ki Bhatara Wisesa menyipitkan matanya melihat seorang pemuda kumal berpakaian compang-camping. Rambutnya yang panjang, dibiarkan awut-awutan tak terurus. Sementara di pinggangnya terselip sebilah golok berukuran agak panjang.

“Hm. Jadi kau rupanya Darmo Gandul alias Si Gila dari Muara Bangkai...?” tanya Ki Bhatara Wisesa, seperti berkata pada diri sendiri.

“Hi hi hi...! Kunyuk busuk! Agaknya kau masih ingat denganku. Bagus-bagus...! Dan kau, gadis cantik. Sungguh pucuk dicinta ulam tiba. Ternyata, tidak bersusah payah aku mencarimu ke mana-mana. Sebentar lagi, setelah aku membereskan kunyuk ini, aku akan bersenang-senang denganmu...!” sahut Darmo Gandul diiringi tawa nyaring.

“Darmo Gandul! Tutup mulut kotormu itu!” bentak Ki Bhatara Wisesa.

“Hm. Pintar menyalak juga kau, Kunyuk! Mudah-mudahan sebentar lagi kau akan menyalak panjang sebagai akhir hidupmu. Ke mana kawan-kawan yang lain? Ha ha ha...! Sungguh bodoh diriku! Kenapa aku menjadi pelupa begini? Hi hi hi...! Mereka memang sudah tidak sabar menyusul si Keparat Buntaran. Jadi..., ya kukirim saja mereka semua menyusulnya. Dan sungguh kasihan, karena kau orang terakhir...!”

“Darmo Gandul, apa maksudmu?!”

“He he he...! Kau membentak, ya? Ha ha ha...! Sungguh hebat, Kunyuk tolol. Nyawa telah di ambang maut, masih mencoba unjuk gigi. Kalau melihat jalan yang ditempuh, agaknya kau akan menemui kawan-kawanmu, bukan? Nah! Lebih baik, urungkan niatmu. Sebab, mereka semua telah kojor! Hi hi hi...! Kunyuk Jangger, Sasongko, Dusila, kodok Dunggo, dan kecoa Baladewa, telah kabur duluan ke akherat! Hi hi hi...!”

“Keparat! Aku bersumpah akan membunuhmu...!”

Srettt!

Dengan amarah meluap-luap mendengar kata-kata Darmo Gandul, Ki Bhatara Wisesa mencabut kapaknya yang terselip di pinggang.

“Hi hi hi...! Mau apa kau dengan penggebuk lalat itu...?” ejek Darmo Gandul kembali.
“Untuk menggorok lehermu, Keparat!”
“Yeaaaa...!”

Setelah berkata demikian, Ki Bhatara Wisesa langsung melompat menyerang. Darmo Gandul dengan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Meski belum membuktikan akan kehebatan lawannya, namun kalau saja Darmo Gandul mampu mengobrak-abrik seluruh pengawal kadipaten, tentu saja kepandaiannya tidak rendah.

Wukkk!

“Uts! Belum kena, Monyet!” ejek Darmo Gandul, langsung mengelak manis saat kapak orang tua itu menyambar lehernya. Kepalanya ditekuk ke belakang, dan tubuhnya bergerak ke samping. Ki Bhatara Wisesa menggeram, lalu tubuhnya berputar. Cepat kapaknya dihantamkan ke tulang iga Si Gila dari Muara Bangkai.

Bettt!

“Jauh sekali, Setan!” ejek Darmo Gandul, disertai gerakan menghindar. Tubuhnya melejit ke samping, lalu melompat ke atas.

“Sekarang kau akan mampus...!” dengus Ki Bhatara Wisesa, langsung mengejar ke atas sambil mengayunkan kapaknya.

“Yeaaa...!”

“Hi hi hi...! Kau tak akan mampu menyerang ku dengan kepandaian yang seujung kuku itu, Monyet buduk!” ejek Darmo Gandul, langsung cepat berputaran ke belakang, dengan tubuh masih di udara. Bukan main kalapnya Ki Bhatara Wisesa melihat pemuda itu mempermainkannya begitu rupa sambil terus mengejeknya. Darahnya terasa naik ke ubun-ubun, dan bola matanya merah menahan geram bukan main.

Sementara itu Nirmala terlihat pucat wajahnya begitu melihat kehadiran pemuda gembel itu. Tubuhnya bergetar dan semangatnya melayang terbang. Dia hanya bisa bersandar di sebuah batang pohon, tanpa mampu menggerakkan seluruh tubuhnya untuk berlari menjauh menyelamatkan diri. Tanpa sadar dia terus berdoa dengan bibir gemetar. Firasatnya mengatakan, orang tua itu tidak akan mampu mengalahkan Si Gila. dari Muara Bangkai. Bahkan bukan tidak mungkin Ki Bhatara Wisesa akan binasa. Kalau seluruh pengawal di kadipaten saja binasa di tangan pemuda sinting itu, apalagi Ki Bhatara Wisesa yang hanya seorang diri?

“Oh, Bayu.... Datanglah. Aku betul-betul takut...” Tanpa sadar gadis itu memanggil nama pemuda yang belakangan ini lekat dalam ingatannya.

“Aaaakh...!”
“Ohh!”

Nirmala tersentak kaget mendengar jeritan Ki Bhatara Wisesa. Ternyata pergelangan tangan orang tua itu telah putus!

“Hi hi hi...! Sekarang giliranmu, Kunyuk! Kau telah kuberi kesempatan melakukan serangan, dan ternyata disia-siakan...!” ejek Darmo Gandul sambil terkekeh-kekeh.

Seketika tubuh Si Gila dari Muara Bangkai melesat cepat menyambar ke arah Ki Bhatara Wisesa. Maka cepat-cepat orang tua itu bergulingan untuk menghindarinya. Sambil menahan rasa sakit dan tanpa senjata karena sudah terlempar bersama tangannya yang buntung, dia mencoba bertahan.

Namun Si Gila dari Muara Bangkai terus mengejarnya. Malah kali ini Darmo Gandul melepaskan tendangan geledek, sebelum Ki Bhatara Wisesa mampu berdiri. Dan....

Bukkk!
“Aaaakh...!”

Untuk kedua kalinya Ki Bhatara Wisesa memekik kesakitan. Satu tendangan keras mendarat telak di perutnya. Akibatnya, tubuhnya terangkat sekitar dua jengkal dari permukaan tanah. Dan belum juga rasa sakit itu hilang, cepat sekali Si Gila dari Muara Bangkai mencabut goloknya. Langsung disambarnya kaki kiri orang tua itu sebatas lutut

Cras!
“Aaaakh...!”

“Hi hi hi...! Kita akan bermain-main dulu barang beberapa saat, Kunyuk! Karena, kau adalah orang terakhir. Dan setelah aku puas, maka lepaslah penderitaanmu bersama penderitaanku yang menanggung dendam...”


***


“Keparat! Lebih baik bunuh saja aku! Ayo, bunuh! Aku tidak takut mati...!” teriak Ki Bhatara Wisesa, menggelegar.

“He he he...! Bunuh? Hm.... Itu soal mudah. Tapi tidak ada salahnya kalau kita bermain-main dulu barang sesaat..!”

Tubuh Darmo Gandul kembali berkelebat. Sementara Ki Bhatara Wisesa berusaha menghindar dengan bergulingan.

“Eh!” Eh! Mau lari ke mana? Hm.... Kakimu masih kuat, ya? Nih, satu lagi!” Si Gila dari Muara Bangkai kembali membabatkan goloknya. Begitu cepat, sehingga Ki Bhatara Wisesa tak mampu menyelamatkan sebelah kakinya lagi.

Cras!
“Aaaakh...!”

Ki Bhatara Wisesa kembali memekik kesakitan, begitu golok Darmo Gandul menebas kakinya yang satu lagi. Ki Bhatara Wisesa masih bergulingan, walaupun kakinya terus mengeluarkan darah. Sementara Si Gila dari Muara Bangkai hanya memperhatikan, seperti menyaksikan tontonan yang amat menarik.

“Nirmala, pergi dari sini! Pergi cepaaat..!” teriak Ki Bhatara Wisesa mengingatkan, tanpa mempedulikan rasa sakit akibat pergelangan tangan kiri dan kedua kakinya yang buntung.

“Hm, kabur? Coba saja...,” ejek Darmo Gandul.

Mendengar teriakan itu, Nirmala tersentak kaget Dia seperti tersadar dari lamunan panjang. Namun baru saja berdiri, pemuda gembel itu telah melesat dan mendarat di hadapannya. Dia menjerit ketakutan, namun Darmo Gandul telah memeluk dan mengangkatnya ke pundak.

“Lepaskan aku! Aouw...! Lepaskan akuuuu...!” teriak gadis itu sambil memukul-mukul punggung Si Gila dari Muara Bangkai.

“Keparat busuk, lepaskan dia! Dia tidak ada sangkut-pautnya dengan urusanmu!” teriak Ki Bhatara Wisesa, namun tidak bisa, berbuat apa-apa.

“He he he...! Istri dan anakkupun tidak ada urusan denganku. Tapi, kenapa kalian memperlakukannya dengan kejam? Dan tidak ada salahnya kalau aku berbuat hal yang sama...!” sahut pemuda gembel itu dengan tenang, seraya menghempaskan keras Nirmala ke tanah keras.

Gadis itu menjerit kesakitan. Namun lagi sempat menguasai diri, mendadak pemuda itu telah menghimpit erat tubuhnya. Ki Bhatara Wisesa menggeram. Dan dengan sekuat tenaga, tubuhnya digulirkan sambil menghantam tubuh Darmo Gandul dengan kepalan tangan kiri. Namun tanpa menoleh sedikit pun Si Gila dari Muara Bangkai menangkis dengan kaki kanannya, lalu ujung kakinya keras menghantam ke arah wajah orang tua itu.

Plak! Begkh!
“Aaaakh...!”

Ki Bhatara Wisesa memekik kesakitan. Tubuhnya bergulir bermandikan darah dari tulang hidung dan giginya yang rontok dan patah.

“Hi hi hi...! Mau mencoba menghalangiku? Tidak ada seorang pun yang boleh menghalangiku kalau tidak ingin mampus...!”

“Aku yang akan menghalangi niatmu, Kisanak!” Mendadak terdengar sebuah suara, memenggal kalimat Si Gila dari Muara Bangkai.

Darmo Gandul terkejut. Buru-buru dia bangkit berdiri, dan langsung memandang seorang pemuda berambut gondrong dan berwajah tampan. Pemuda berbaju kulit harimau dengan seekor monyet kecil di pundak itu memanglah Bayu Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka.

“Bayu...! Oh, syukurlah kau cepat datang...!” Nirmala terkejut bercampur girang melihat kedatangan pemuda itu. Semangatnya cepat bangkit dan bermaksud berdiri menghampiri untuk menumpahkan perasaan syukurnya. Namun cepat sebelah tangan Darmo Gandul melayang ke arahnya. Nirmala tercekat. Untung pada saat itu juga, kaki kanan Bayu meluncur untuk memapak.

Plakkk!

Begitu terjadi benturan kaki dan tangan, Darmo Gandul cepat berbalik. Langsung dihantamnya kepala Bayu dengan tendangan keras. Pendekar Pulau Neraka cepat menunduk. Namun bukan main kagetnya Bayu, ketika tiba-tiba bersiur angin kencang menyambarnya. Matanya sempat melihat, tangan Darmo Gandul mencabut golok hendak memapas dahinya. Maka Pendekar Pulau Neraka cepat melompat ke belakang menghindari. Namun, Si Gila dari Muara Bangkai terus mengejarnya dengan serangan-serangan maut.

“Hiyaaaa...!”

“Hm. Ilmu golokmu luar biasa, sobat! Sebaiknya persoalan ini tidak usah diteruskan, asal dengan satu syarat Kau harus melepaskan mereka. Sudah banyak yang menjadi korbanmu....”

“Tutup mulutmu! Siapa pun orangnya yang mencoba menghalangi niatku, harus mampus!” desis Darmo Gandul menggeram.

“Di antara kita tidak ada saling permusuhan? Kenapa kau ingin menghabisiku? Bukankah apa yang kuusulkan padamu masuk akal? Mereka telah cukup mendapat hajatanmu, Dan, sudah sepatutnya kau harus mengakhiri dendammu...,” ujar Bayu kembali menasihatinya.

“He he he...! Ternyata kau sama saja dengan kunyuk buduk itu. Sok menasihati, dan sok mengatur orang. Lebih baik atur dirimu sendiri. Sebab, aku tidak akan mengampuni siapa pun yang mencoba menghalangi niatku!” dengus Darmo Gandul.

Bayu bukannya tidak punya alasan untuk menawarkan usulnya. Sebab Pendekar Pulau Neraka tahu kalau pemuda itu sekadar balas dendam. Tapi dalam keadaan tidak waras begitu, tentu saja dia akan berbahaya bagi orang lain. Apalagi kepandaiannya luar biasa. Mau tidak mau, Bayu mengagumi kehebatannya.

“Yeaaaa...!”

Darmo Gandul terus mencecar Pendekar Pulau Neraka. Dan pada satu kesempatan, goloknya dikebutkan ke dahi Bayu.

“Uts!”

Pendekar Pulau Neraka cepat melenting ke belakang, tapi terlambat karena....

Cras!

Ternyata golok Si Gila dari Muara Bangkai sempat melukai dada Pendekar Pulau Neraka, hingga mengeluarkan darah segar.


***


“Bayu...!” Nirmala menjerit ketakutan. Dan wajahnya pun tampak cemas, ketika melihat golok pemuda gembel itu melukai dada sebelah kanan Pendekar Pulau Neraka.

Bayu sendiri kaget. Tidak heran kalau lawan-lawannya dibuat tidak berdaya oleh Si Gila dari Muara Bangkai. Kecepatan gerak pemuda ini luar biasa. Bahkan sama sekali tidak terduga. Begitu mendarat di tanah. Tampak wajah Pendekar Pulau Neraka mulai kelam, dan hawa kekejaman mulai terlintas pancaran matanya ketika memandang ke arah Si Gila dari Muara Bangkai yang tertawa terbahak-bahak mengejeknya.

“Hua ha ha...! Itu satu peringatan bagimu. Dan berikutnya, kau akan menemukan kematianmu! Hi hi hi...! Tidak ada waktu lagi bagimu untuk merubah pendirian. Meski kau merangkak-rangkak dan mencium telapak kakiku, nyawa busukmu tidak mungkin kuampuni, Kecoa buduk!”

“Hm. Sungguh hebat, Tikus bulukan! Tapi aku yakin, itu hanya kebetulan. Karena kau tidak akan mampu melakukannya untuk kedua kalinya,” balas Bayu, mengejek.

“Apa katamu, heh?! Apa katamu? Kurang ajar! Kau menganggap remeh padaku, ya?! Kau kira Si Gila dari Muara Bangkai ini apa, heh?! Setan alas? Kecoa busuk! Kau akan mampus! Mampus! Mampusss...!” teriak Darmo Gandul kalap, dengan melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka.

“Hiyaaa...!”

Namun baru saja Si Gila dari Muara Bangkai melesat, Bayu cepat mengebutkan tangan kanannya, dengan tubuh agak miring ke kiri dan kaki melebar.

Singngng!


“Hei?!”

Darmo Gandul terkejut bukan main, ketika melihat sekelebatan cahaya putih keperakan menyambar ke arahnya diiringi suara berdesing nyaring. Buru-buru tubuhnya mengegos ke samping. Tapi, siapa sangka kalau saat itu Pendekar Pulau Neraka melesat bersamaan. Seketika satu tendangan dilepaskan Bayu. Begitu berhasil menghindari terjangan Cakra Maut, buru-buru Darmo Gandul memapak tendangan Pendekar Pulau Neraka.

Plak!

Terjadi benturan keras, membuat Darmo Gandul sedikit terhuyung. Namun, Pendekar Pulau Neraka kelihatan tak ingin memberi kesempatan sedikitpun. Seketika tubuhnya berputar, seraya melepaskan satu tendangan geledek ke punggung Si Gila dari Muara Bangkai. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Dukkk!
“Aaaakh...!”

Darmo Gandul kontan tersungkur disertai teriakan kesakitan. Melihat hal ini, Bayu melompat ke atas menyambar Cakra Maut yang kembali melesat ke arahnya. Dan begitu senjata maut itu menempel di pergelangan tangan kanannya, secepat itu pula kembali dikibaskan.

Singngng!
“Eeeh...!”

Kembali cahaya putih keperakan yang berdesing nyaring melesat bagai kilat ke arah Si Gila dari Muara Bangkai, sehingga membuatnya terkejut Dan secepat apa pun dia bergerak, rasanya tidak mungkin mampu mengimbangi kecepatan senjata Pendekar Pulau Neraka. Maka dengan geram, goloknya dikibaskan untuk menangkis.

Tras!
“Hei?!”

Kembali Darmo Gandul dibuat terkejut melihat senjatanya patah jadi dua bagian. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, Cakra Maut terus menerjang ke arah lehernya. Begitu cepatnya, sehingga....

Cras!
“Aaaa...!”

Kejadian itu cepat sekali berlangsung. Darmo Gandul memekik kesakitan ketika Cakra Maut menerjang lehernya hingga hampir buntung! Bahkan tubuhnya sampai terjungkal mengikuti dorongan tenaga Cakra Maut. Tubuhnya menggelepar-gelepar sesaat begitu jatuh keras di tanah beserta ceceran darah yang membasahi bumi. Tak lama kemudian, tubuhnya diam tak berkutik lagi. Mati.

“Huh!” Bayu mendengus pelan seraya mengibaskan tangan kanannya. Maka senjata itu kembali melesat ke arahnya. Begitu tertangkap, dibersihkannya Cakra Maut dari noda darah.

“Bayu...!” panggil Nirmala.

Bayu hanya menoleh sekilas, kemudian mengambil Tiren yang berlari ke arahnya. Dibawanya monyet kecil itu ke pundaknya. Pendekar Pulau Neraka lantas menatap gadis itu sesaat. Jarak mereka hanya terpaut dua langkah saja. Lalu bibirnya tersenyum kecil.

“Nirmala.... Apa yang dikatakan orang tua itu tentang ku, memang benar. Orang sepertiku tidak pantas menerima perhatianmu. Nah, baik-baiklah kau menjaga diri. Selamat tinggal...!”

Gadis itu hendak menahan, namun lagi-lagi suaranya tercekat dalam tenggorokannya. Dan Bayu pun telah melesat ke atas, kemudian cepat sekali menghilang setelah melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lain.

“Bayu...? Oh! Tidak mengertikah kau perasaanku...?” desah Nirmala perlahan seraya memandang ke arah menghilangnya Pendekar Pulau Neraka.

Diam-diam gadis itu berharap kalau-kalau Bayu akan berbalik lagi untuknya. Namun sampai lamunannya terusik oleh rintihan Ki Bhatara Wisesa, Bayu tidak muncul-muncul lagi. Nirmala mendesah pelan, dan terus mendesah. Entah sampai kapan....


SELESAI

Episode Selanjutnya Nyi Roro Sekar Mayang

Si Gila Dari Muara Bangkai

Cerita silat serial pendekar pulau neraka
Episode Si Gila Dari Muara Bangkai

Karya Teguh S
Penerbit pertama Cintamedia, Jakarta



Pendekar Pulau Neraka Episode si gila dari muara bangkai



SATU

SEORANG bertubuh tegap terbungkus pakaian ketat berwarna hijau tampak berdiri tegak di sebuah batu besar sambil menatap ke arah muara yang berair keruh di bawahnya. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar dipermainkan angin. Sebilah golok yang tajam berkilat berada tepat di mukanya. Untuk sesaat terlihat, perhatiannya seperti terpusat pada satu arah. Lalu....

“Yeaaa...!”

Tubuh laki-laki berusia sekitar dua puluh dua tahun itu berkelebat cepat. Dan seketika golok ditangannya menyambar kesana kemari sedemikian hebatnya.

Crak! Crok!

Seketika air yang mengalir di hadapannya terlihat keruh. Lalu beberapa ekor ikan dan kepiting tampak mengambang ke atas dalam keadaan terbelah dua. Tubuhnya kemudian kembali melesat ke tempat semula, tanpa pernah terjeblos ke dalam air.

“Hup!”

Pemuda berbaju hijau itu mendaratkan kakinya di atas tanah. Dan matanya langsung memandang ke bawah, seperti tidak percaya dengan apa yang telah diperbuatnya itu. Kemudian terlihat bibirnya tersenyum-senyum sendiri, lalu menggaruk-garuk rambutnya yang kusut masai seperti telah lama tidak tersentuh air.

“Hei? Aku telah berhasil! Aku telah berhasil memecahkan jurus ‘Golok Angin’...!” teriak pemuda itu girang. Kemudian kembali pemuda itu bergerak cepat, menebas apa saja yang ada di sekitarnya. Suaranya lantang bergema dalam teriakan keras yang membahana ke sekeliling tempat itu.

“Yeaaa...!”
Tras! Cras!

Beberapa cabang pohon tampak berjatuhan menjadi potongan-potongan kecil, begitu terkibas goloknya. Demikian juga helai-helai dedaunannya. Lalu ketika tubuhnya berkelebat lagi, beberapa ekor ikan dan kepiting yang berada di muara itu langsung mengambang ke permukaan air dalam keadaan terbelah dua.

Ilmu golok pemuda itu mengandalkan kecepatan gerak yang hebat dengan tebasan-tebasan saling menyilang. Lalu tebasan itu bergerak ke arah yang berlawanan secara tidak terduga. Sehingga, tubuh pemuda itu bagai terbungkus kelebatan goloknya sendiri.

Sebentar kemudian pemuda itu menutup jurusnya dan berhenti bergerak. Matanya memandang ke sekeliling dengan wajah puas. Lalu bibirnya tersenyum-senyum sendiri.

“Ha ha ha...! Tidak sia-sia aku tinggal di tempat ini, selama sepuluh tahun! Tunggulah kalian, Manusia-manusia Keparat! Aku akan datang menagih hutang nyawa istri dan anak-anakku. Siapa pun yang terlibat di dalamnya, akan mendapat balasan yang menyakitkan dari Darmo Gandul! Kalian telah membuatku terhina. Dan ini hanya akan terbalas dengan nyawa kalian...!” teriak pemuda itu seraya tertawa lebar dengan suara nyaring.
Kemudian terlihat pemuda yang bernama Darmo Gandul itu menekuk wajahnya. Seraut bias kekejaman seperti menyatu dalam guratan wajahnya. Goloknya lantas disimpan di pinggang. Kemudian, kembali matanya memandang batu besar yang berada pada jarak lima langkah di depannya. Lalu pikirannya dipusatkan barang beberapa saat. Kini dia menarik napas panjang, seraya membuka satu jurus. Kedua tangannya sudah bergerak menyilang di depan dada. Sebentar kemudian, tangannya bergerak ke arah pinggang. Dan mendadak saja, pemuda itu menghentakkan kedua tangan ke depan.

“Yeaaa...!”
Jderrr!
Brukkk!

Batu sebesar kerbau di hadapan pemuda itu kontan hancur berantakan menjadi kerikil dihantam pukulan maut yang terlontar dari telapak tangannya yang disorongkan ke depan.

“Hua ha ha....! Hei! Pukulanku pun ternyata sangat hebat! Ah! Sungguh dahsyat. Ha ha ha...! Mereka akan mendapat ancaman hebat dariku!” celoteh Darmo Gandul, bicara sendiri sambil tertawa-tawa seperti orang kurang waras.

Setelah puas tertawa, Darmo Gandul melompat lincah dari sebuah batu ke batu lainnya. Kemudian dia berlari kencang, ke arah hutan kecil yang tidak begitu jauh dari tempatnya tadi. Beberapa saat pemuda itu berhenti, dan langsung memandang ke satu arah. Pada jarak sepuluh langkah di depannya, terlihat sebuah gundukan tanah makam yang agak besar. Dan di sebelahnya, terdapat dua buah gundukan tanah makam yang berukuran lebih kecil. Dihampirinya perlahan-lahan, lalu bersimpuh di antara ketiga makam itu. Wajahnya terlihat muram. Dan untuk beberapa saat kepalanya tertunduk lesu.

“Minarni, maafkan kakangmu yang tidak mampu melindungimu...,” ujar Darmo Gundul bernada duka. “Tapi aku berjanji, manusia-manusia keparat itu akan mampus di tanganku. Jaga anak kita baik-baik, ya? Katakan pada mereka, jangan nakal-nakal. Ah! Kalau mereka dewasa, tentu akan gagah sepertiku. Dan si kecil yang baru kau lahirkan, akan secantik dirimu....”

Darmo Gandul kembali terdiam, kemudian mendadak berdiri tegak. Matanya menyapu ke sekeliling tempat itu dengan sorot buas. Sesaat dia menggeram, kemudian mencabut goloknya.

“Yeaaaa...! Mampuslah kalian! Mampusss...!
Yeaaaa....!”
Crok! Cras!

Pemuda itu berteriak-teriak garang sambil menebas ranting-ranting kayu di sekitarnya. Sebentar saja, terlihat semak-semak berserakan tidak karuan seperti bekas dilanda topan.

Tras! Bruakkk!

Pohon-pohon kecil tumbang disapu goloknya. Demikian juga dedaunan. Darmo Gandul mengamuk hebat untuk beberapa saat Kemudian diiringi satu lengkingan panjang, tubuhnya berkelebat cepat dari tempat itu, menerobos hutan disekitarnya...

Alam kembali tenang. Hewan-hewan kecil yang tadi bersembunyi di sekitarnya kembali menampakkan diri, setelah ketakutan melihat keganasan lelaki itu!


***


Beberapa petani yang tengah menggarap sawah ladang di pagi hari yang cerah ini tampak tersentak kaget, ketika sesuatu melintas di pematang bagai sapuan angin kencang. Dedaunan bergoyang-goyang dan ratusan ekor bebek yang berkumpul ribut mencari makan, mendadak hening. Lalu binatang-binatang itu terpaku beberapa saat lamanya.

“Astaga! Apa itu yang barusan lewat?!” desis seseorang sambil membuka topi bambunya.

“Datangnya dari arah muara!” sahut kawannya di sawah sebelah.

“Muara? Muara Bangkai?! Hiii! Mungkin penunggu tempat itu yang sedang berkeliaran!” sahut seorang wanita setengah baya dengan wajah ketakutan.

“Husy, kamu ada-ada saja!” umpat laki-laki yang menyangkut caping bambunya.

“Bisa jadi, Kang Karjo!” timpal seorang kawannya yang berdiri tidak jauh darinya.

“Bisa jadi bagaimana, Gimin?” tanya laki-laki bercaping yang dipanggil Kaijo.

“Eeeh! Memangnya Kakang belum tahu keangkeran Muara Bangkai itu?” sahut laki-laki yang bernama Gimin balik bertanya. Karjo menggeleng.

“Wah! Kang Karjo ketinggalan berita. Kata orang-orang tempat itu ada penunggunya. Makhluk halus barangkali. Tidak ada seorang pun yang berani datang ke sana. Belum lama ini kerbaunya Pak Somad kesasar ke sana. Eh, kemudian ditemukan Kang Sujo telah menjadi bangkai dan tinggal tulang-belulangnya saja. Kang Sujo sempat melihat sekelebatan sesuatu yang berbentuk manusia. Dia tidak berani memastikan dan langsung pulang buru-buru!” jelas Gimin.

Karjo termanggu mendengar penjelasan kawannya. Sekilas dia memandang ke sekelilingnya. Tampak beberapa orang mulai meninggalkan sawah ladang dengan terburu-buru.

“Eh! Kang Dima, Pak Dudung, mau ke mana?!” teriak Karjo.

“Pulang, Jo! Ngeri... soalnya takut menjadi korban penghuni Muara Bangkai itu!” sahut mereka takut-takut.

Dan ketika melihat Gimin langsung ikut angkat kaki dari tempatnya, Karjo pun mengikuti dari belakang. Sementara istrinya telah lebih dulu meninggalkannya.

Sebentar saja, persawahan itu terlihat sepi. Dan mereka yang tadi berada di tempat ini, berduyun-duyun meninggalkannya untuk kembali ke rumah masing-masing. Namun baru saja tiba dipinggiran desa, tampak ramai sekali orang berlari ke sana kemari sambil menjerit-jerit ketakutan.

“Lari! Lariii...! Ada orang gila mengamuk...!”

“Orang gila?!”

Salah seorang dari mereka, yang kembali dari sawah termangu. Sementara yang lainnya bergegas melihat apa yang tengah terjadi. Namun mereka dibuat terkejut sendiri, ketika melihat banyak mayat-mayat bergelimpangan disana-sini.

Tampak seorang pemuda berambut panjang dan acak-acakan tengah berjalan tenang sambil menggerogoti buah-buahan di tangannya. Di pinggangnya terselip sebilah golok yang agak panjang. Melihat wajahnya yang kotor dan pakaian hijaunya yang robek di sana-sini, maka sepintas saja bisa diduga kalau pemuda itu adalah seorang gembel.

“Ha ha ha...! Rasakan sendiri kalau hendak mencari penyakit denganku. Kalian akan mampus! Padahal aku hanya minta sedikit makanan. Tapi, kenapa kalian malah mengusirku seperti anjing?!” kata pemuda itu sambil tertawa-tawa.

Pemuda gembel itu terus tertawa-tawa kegirangan melihat mayat-mayat yang bergeletakan didekatnya. Lalu tanpa mempedulikan keadaan disekelilingnya, dia melenggang pergi dari tempat itu. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak beberapa orang pemuda desa menghadang. Rata-rata wajah mereka garang penuh kemarahan dengan masing-masing menggenggam sebilah golok tajam terhunus.

“Gembel busuk! Kau kira bisa seenaknya bisa pergi dari sini?! Huh! Kau harus membayar nyawa mereka dengan nyawamu!” bentak salah seorang pemuda yang bertubuh besar dengan pipi gemuk.

“He he he...! Hei, Babi Busuk! Minggatlah dari sini. Dan, jangan cari penyakit kalau tidak ingin mampus seperti mereka!” hardik pemuda gembel itu sambil tertawa mengejek.

“Kurang ajar! Kau kira aku takut denganmu, he?! Mampuslah kau!” geram pemuda bertubuh besar itu, langsung menyabetkan goloknya ke arah pemuda gembel itu.

Bettt!
“Uts!”
Cras!
“Aaa...!”

Cepat sekali pemuda gembel itu bergerak melompat ke samping kanan, menghindari tebasan golok pemuda gemuk ini. Bahkan dia langsung menyabetkan goloknya. Kontan terdengar pekikan nyaring, sambaran golok pemuda gembel itu mengenai sasaran dengan telak. Pemuda gemuk itu terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan memegangi dahi. Goloknya pun sudah terlepas dari genggaman. Pada dahinya terlihat bekas tebasan golok lawan yang terus membelah mukanya. Darah terus mengucur deras membasahi tanah ketika tubuhnya ambruk tak berdaya.

“Hei?!”

Kawan-kawan laki-laki gemuk itu tersentak kaget melihat teman mereka tewas dalam waktu singkat. Bahkan mereka tidak sempat melihat bagaimana pemuda gembel itu mencabut golok dan langsung menebas kawan mereka. Bahkan pada saat dia menyarungkan kembali goloknya, tidak ada seorang pun yang mampu melihatnya.

“Hi hi hi...! Babi busuk! Kenapa malah tertidur di situ? Bukankah kau akan membunuhku? Hi Hi hi...! Ayo, bangunlah. Bunuhlah aku!” teriak pemuda gembel itu sambil tertawa mengejek.

“Kurang ajar! Keparat jahanam! Akan kubalaskan kematian Ludiro!” dengus seorang pemuda bertubuh agak kurus. Padahal kawan-kawannya yang lain mulai ciut nyalinya, melihat apa yang telah dilakukan si gembel itu.

“Hi hi hi...! Kenapa marah-marah, tolol? Kau hendak membalas kematian si gemuk tolol itu? Ayo, serang aku!” sahut pemuda gembel itu tenang dan tetap tertawa mengejek.

“Setan! Terima kematianmu, yeaaa...!”

Orang bertubuh agak kurus itu langsung melesat dengan kibasan golok terhunus, lumayan cepat gerakannya. Namun pemuda gembel itu tetap tenang-tenang saja. Tapi sedikit lagi senjata orang kurus itu hendak membabat lehernya, dia sedikit mengegos ke kanan. Begitu serangan itu luput, pemuda gembel langsung menghantam ke arah dada.

Debb!
“Aaaa...!”

Pemuda bertubuh kurus itu kontan memekik tertahan begitu dadanya mendapat satu pukulan telak dari pemuda gembel itu. Tubuhnya langsung terjungkal beberapa langkah ke tanah dalam keadaan luka dalam. Tulang dadanya hancur remuk! Agaknya, pukulan pemuda gembel itu telah disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga, laki-laki kurus itu tak mampu dikalahkannya. Pemuda gembel itu memandang tajam pada laki-laki itu. Kemudian, tatapan matanya beredar ke sekeliling.

“Siapa lagi yang mau menggangguku? Ayo, maju!” sentak pemuda gembel itu melotot garang. Beberapa pemuda desa itu kini betul-betul ciut nyalinya. Dan begitu mendengar bentakan nyaring, perlahan-lahan mereka beringsut kemudian kabur secepatnya dari tempat ini.

“Ha ha ha...! Dasar pengecut-pengecut hina. Larilah kalian sejauh-jauhnya dari sini!” ujar pemuda gembel itu sambil terkekeh-kekeh. Dia berlalu dengan langkah tenang meninggalkan tempat itu, seperti tidak ada kejadian apa-apa.


***


SIANG ini matahari tidak terlalu garang bersinar. Namun jalan yang dilalui sebuah rombongan orang berkuda terasa sangat teduh. Karena, di kiri dan kanan terbentang jajaran pepohonan lebat yang menaungi. Seorang pemuda yang berkuda di depan sesekali melirik ke belakang, ke sebuah kereta kuda yang dijaga ketat oleh beberapa orang berkuda dikiri, kanan, depan, dan belakang. Kemudian kudanya dihela perlahan-lahan. Melihat dari gerak-geriknya, agaknya dia yang memimpin rombongan itu.

Ketika mereka melintasi jalan yang sudah tampak sepi, salah seorang anak buahnya memacu kudanya. Langsung dibarenginya langkah kuda pemuda pemimpin rombongan itu.

“Kakang Darsono, tempat ini agak sepi. Sebaiknya kita berhati-hati....”

Pemuda yang dipanggil Darsono tersenyum kecil. “Adi Gundala..., kau tidak usah merasa cemas begitu. Aku hafal daerah ini. Dan rasanya tidak ada yang akan mengganggu kita,” sahut Darsono.

“Aku mengerti, Kang. Tapi perasaanku sejak tadi gelisah. Tidak ada salahnya kalau kita waspada. Siapa tahu ada kejadian yang tidak terduga...” kata pemuda bernama Gundala itu.

Darsono berpikir sesaat, kemudian kembali tersenyum. “Hm.., apa yang kau katakan memang tidak salah. Kita dalam perjalanan mengawal putri Adipati Buntaran. Dan sudah selayaknya bertanggung jawab penuh atas keselamatannya. Nah, katakan pada yang lain agar berwaspada...!” kata Darsono memberi perintah.

“Baik, Kang...!” sahut Gundala cepat seraya membalikkan tali kekangnya. Lalu dia memberi perintah pada yang lain. Dalam sekejap, rombongan yang berjumlah lebih dari dua belas orang itu bersiaga di tempat masing-masing. Dan merasakan suasana yang sedikit tegang, sosok tubuh ramping yang berada dalam kereta kuda menjadi heran. Lalu disibaknya tirai jendela keretanya. Ternyata dia adalah seorang gadis cantik bermata jeli. Sepasang alisnya yang tebal, memberi isyarat pada seorang pengawal yang berada di samping keretanya.

“Pengawal, apa yang sedang terjadi? Kenapa Kakang Gundala memberi perintah pada kalian untuk berwaspada? Apakah kita sedang menghadapi musuh?” tanya gadis itu lembut.

“Ampun, Kanjeng Putri Nirmala. Sebenarnya tidak ada apa-apa. Gundala hanya memberi perintah agar kami tetap waspada. Sebab walaupun suasana kelihatan tenang, siapa tahu ada kejadian yang tidak terduga,” sahut pengawal itu.

Mendengar penjelasan itu, gadis cantik yang bernama Nirmala mengangguk tenang. Kemudian, kembali ditutupnya tirai jendela kereta. Namun baru saja mereka berjalan kurang dari dua puluh tombak, mendadak Darsono memberi isyarat pada anak buahnya untuk menghentikan laju kuda masing-masing.

Melihat hal ini, Gundala langsung memacu kuda mendekatinya. Dan dia melihat tempat itu telah dikepung sekawanan perampok yang bersenjata lengkap. Tiga orang yang agaknya bertindak sebagai pimpinan, berdiri tegak di depan pada jarak lima tombak.

“Kakang Darsono, siapa mereka ini?” tanya Gundala, sedikit cemas.

“Entahlah, Adi Gundala. Setahuku, daerah ini bukan sarang perampok. Namun melihat gelagat, agaknya mereka berniat jahat terhadap kita....”

“Hati-hati, Kakang! Jumlah mereka banyak sekali...!” Darsono diam termangu, menunggu tindakan apa yang dilakukan kawanan itu.

Tampak tiga orang yang menghadang di depan mereka melangkah pelan mendekati. Kemudian ketika telah berjarak lima tombak langkah ketiga orang itu berhenti. Seorang yang berperut besar dan bercambang bawuk tebal mendekati. Di pinggangnya banyak terselip pisau kecil. Wajahnya seram dengan sepasang mata merah menyala. Apalagi, ketika memandang ke arah Darsono.

“Turun kalian semua!” bentak laki-laki berwajah seram itu agak serak. Darsono tersenyum kecil. Kemudian sebelah tangannya diangkat untuk memberi isyarat pada anak buahnya, agar jangan menuruti perintah orang itu.

“Kisanak! Siapakah kalian, dan apa yang dikehendaki dari kami?” tanya pemuda ini ramah pada lelaki bertubuh gemuk dan besar itu.

“Bangsat! Kau kira bisa bertingkah di hadapan Perampok Pisau Terbang, he?! Kuperintahkan sekali lagi, turun kalian semua! Tinggalkan segala barang berharga yang kalian bawa, dan pergilah dari tempat ini secepatnya kalau ingin selamat!” hardik orang bertubuh besar itu, mengancam.

“Hm. Agaknya kalian adalah kawanan rampok yang menamakan diri Perampok Pisau Terbang. Apakah saat ini aku tengah berhadapan dengan Satwa Manggala?” tanya Darsono, ingin memastikan.

“Bocah ingusan! Kau telah mengenalku. Nah, sekarang apakah kau ingin coba-coba bertingkah di hadapanku?!” dengus Ketua Perampok Pisau Terbang yang dikenal sebagai Satwa Manggala semakin galak.

“Ki Satwa Manggala! Kemashyuran namamu sering kudengar. Dan, siapa yang ingin berani mencari gara-gara denganmu? Tapi saat ini, kami tengah mengemban tugas dari Adipati Buntaran. Jadi, harap kalian tidak mengganggu kami....”

“Setan! Dikira dengan membawa-bawa nama adipati sial itu, aku akan takut, heh? Sekalipun kalian tengah mengemban tugas dari raja, apa peduliku? Lekas tinggalkan barang-barang berharga yang dibawa, dan pergilah dari sini kalau masih ingin hidup!”

“Ki Satwa Manggala, sayang sekali, kami tidak bisa menuruti keinginanmu. Maaf..., ini adalah tanggung jawab. Dan walau bagaimanapun, kami tidak bisa berbuat seenaknya. Harap kau mengerti dan tidak memaksa...,” sahut Darsono pelan.

“Keparat! Kalau begitu, mampuslah kalian...!” bentak Ki Satwa Manggala seraya melompat menyerang Darsono.

Begitu melihat ketuanya bergerak menyerang, maka sepuluh anggota Perguruan Pisau Terbang serentak menyerang rombongan itu. Maka pertempuran tidak dapat dielakkan lagi. Meski anak buah Darsono berjumlah sedikit, namun langsung mengadakan perlawanan gigih.

Darsono langsung melompat dari punggung kudanya, begitu tubuh lawan menerjang. Namun Ki Satwa Manggala agaknya tidak membiarkannya luput begitu saja. Tubuhnya langsung melenting ringan dengan kaki melayang menghantam muka. Namun Darsono tidak kalah gesit menghindari. Sambil mengegoskan kepala, tubuhnya berbalik. Bahkan kepalan tangan kirinya dapat melepaskan pukulan ke arah laki-laki seram itu.

“Yeaaaa...!”

Ki Satwa Manggala cepat menangkis dengan tangan kanannya. Akibatnya benturan keras pun terjadi.

Plakkk!

Bahkan kepalan tangan kiri laki-laki bercambang bauk itu langsung menghantam dada Darsono dengan keras.

Wuk!
“Uts!”

Darsono cepat melompat ke belakang dengan wajah kaget Angin serangan pemimpin perampok itu kuat bukan main, dan terasa menyambar dadanya dengan kuat. Dan baru saja hendak memantapkan kedudukannya, serangan Ki Satwa Manggala kembali datang. Maka cepat pemuda itu mencabut keris yang terselip di pinggang belakang. Begitu melihat pemuda itu mencabut senjata, cepat Ki Satwa Manggala mengimbangi. Tangannya langsung bergerak ke pinggang, dan langsung bergerak mengibas.

Serr! Ser!

Seketika beberapa buah pisau kepala perampok itu meluncur deras menghujani Darsono. Pemuda itu jadi terkejut berusaha mengelak dari sambaran hujan pisau yang berseliweran. Namun, tidak urung sebuah pisau tak mampu dihindarinya. Maka....

Cras!
“Oh...!”

Sebuah pisau berhasil merobek bahu kiri pemuda itu. Darsono kontan mengeluh kesakitan, dan langsung bergulingan menyelamatkan diri dari sambaran pisau yang masih mengejarnya.

“Hiyaaaa...!”


***


DUA

DARSONO cepat melenting menjauhi hujan serangan pisau Ketua Perampok Pisau Terbang. Namun pada saat yang sama mendadak satu hantaman keras mengancam dadanya. Begitu cepat serangan itu, hingga Darsono tak mampu menghindarinya. Maka....

Diegkh!
“Aaakh...!”

Pemuda itu kontan menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke tanah disertai muntahan darah segar, begitu dadanya terhantam tendangan keras Ki Satwa Manggala. Isi dadanya terasa akan pecah dan nyeri bukan main. Dia berusaha bangkit, namun tubuhnya bergetar dan pandangannya berkunang-kunang. Dan belum juga keadaannya membaik, laki-laki pemimpin perampok itu sudah kembali menyerangnya!

“Bocah keparat! Rasakan akibat kesombonganmu! Yeaaa...!” Ki Satwa Manggala langsung melesat, melepaskan tendangan ke dagu. Sementara Darsono hanya mampu terbeliak lebar. Dan....

Begkh!
“Aaaa...!”

Kembali Darsono terjungkal ke tanah disertai pekik kesakitan, ketika ujung kaki laki-laki setengah baya itu menghantam dagunya. Beberapa buah giginya kontan tanggal dan rahangnya seperti mau lepas. Sementara, begitu kedua kakinya mendarat ditanah, Ki Satwa Manggala terkekeh seraya berkacak pinggang.

“Ayo, bangkitlah. Tunjukkan kemampuanmu!” suara laki-laki itu terdengar sinis.

Darsono merangkak tertatih-tatih, berusaha bangkit. Namun baru saja kembali berdiri, ujung kaki Ki Satwa Manggala kembali menghantam. Untuk ketiga kalinya, pemuda itu terjungkal dan menjerit keras. Tubuhnya terkapar tanpa daya. Entah hidup atau mati!

Sementara itu, Gundala benar-benar tidak berdaya menghadapi keroyokan kedua pembantu utama Ki Satwa Manggala. Meski telah mengerahkan seluruh kepandaian yang dimiliki, tetap saja dia tidak bisa berbuat banyak. Kedua lawan menyerangnya bertubi-tubi silih berganti.

“Yeaaaa...!”

Salah seorang yang bersenjatakan tombak menyapu kepala Gundala dengan ujung senjata. Namun pemuda itu segera melompat ke belakang. Sementara, orang yang bersenjata golok, telah siap menyambut dengan tebasannya. Maka terpaksa Gundala menangkis dengan kerisnya.

Trakkk!
“Uuh...!”

Seperti yang tadi terjadi, Gundala bisa menduga kalau tidak akan mampu menahan tenaga yang disalurkan tebasan lawannya. Bahkan kerisnya pun sampai terlepas dari genggaman! Dan belum lagi dia mampu menguasai diri, seorang lawannya melepaskan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Sehingga....

Begkh!
“Aaakh...!”

Gundala menjerit keras dan tubuhnya sempoyongan begitu perutnya mendapat satu tendangan keras. Namun demikian Gundala masih mampu menjatuhkan diri, untuk menghindari hunjaman senjata tombak lawannya yang seorang lagi. Namun, ketika ujung kaki orang bersenjata tombak menyapu pinggangnya dengan keras, maka terpaksa Gundala melenting ke atas untuk menghindarinya. Sayang, pada saat itu lawannya yang bersenjata golok mengayunkan senjatanya cepat ke lambung. Begitu cepatnya, sehingga Gundala tidak sempat mengelak. Dan....

“Aaaakh...!”

Gundala menjerit keras, begitu sabetan golok lawannya menyambar pinggang. Tubuhnya kembali ambruk dengan pinggang robek lebar. Darah tampak mengucur deras dari lukanya, bercampur tanah dan debu. Pemuda itu menggelepar-gelepar beberapa saat menahan sekarat, kemudian diam tidak berkutik. Mati.

Sisa-sisa rombongan pengawal kereta kuda itu pun agaknya mengalami nasib sama dengan kedua pimpinannya. Satu persatu mereka tewas tanpa daya menghadapi perampok yang berjumlah banyak dan memiliki kemampuan hebat.

“Aouw...! Lepaskan akuuu, Keparat! Lepaskaaan...!”

Dalam keadaan demikian, rombongan pengawal itu dibuat terkejut begitu terdengar jeritan wanita dari dalam kereta. Agaknya beberapa orang anak buah Perampok Pisau Terbang berhasil menyelinap ke dalam, dan berusaha menculik putri Adipati Buntaran. Beberapa orang dari mereka berusaha menolong, namun anak buah Perampok Pisau Terbang agaknya tidak membiarkan begitu saja. Langsung tiga orang dari mereka menghadang dan menyerang anak buah Darsono yang berusaha membantu.

“Hentikan langkah kalian. Dan, biarkan mereka bersenang-senang dengan wanita itu!” hardik salah seorang dari kawanan rampok.

“Keparat jahanam! Kalian betul-betul kawanan binatang!” bentak salah seorang dari anak buah Darsono.

“Huh! Apa pedulimu?! Yang jelas, kalian akan mampus hari ini, yeaaaa...!”

“Huh! Jangan kira kami takut menghadapi kalian! Walaupun harus mati, tapi kalian tidak dapat menginjak-injak kami seenaknya! Hiyaaa!”

Crab! Crab!
“Aaaa...!”

Begitu dua orang pengawal itu hendak bersama-sama menyerang, salah seorang kawanan rampok mendadak melemparkan beberapa buah pisau.

Serrr!

Mereka terkejut dan berusaha menghindar. Namun, terlambat karena.... Seketika dua orang pengawal memekik kesakitan, ketika pisau itu menghunjam dada. Mereka kontan terjengkang ke tanah, dengan dada mengucurkan darah. Begitu melihat kedua kawannya tewas, para pengawal yang tersentak kaget dan terpaku beberapa saat. Pada saat itulah kawanan perampok itu melompat menerkam bagai kawanan serigala kelaparan.

“Hiyaaaa...!”

Maka dalam waktu singkat, para pengawal terbantai satu demi satu disertai jeritan menyayat. Sementara itu beberapa orang anak buah Ki Satwa Manggala langsung menyeret Nirmala yang berada di dalam kereta. Gadis itu langsung dibawa ke hadapan Ketua Perampok Pisau Terbang.

Laki-laki berperut gemuk bercambang bauk tebal itu tersenyum lebar, begitu melihat gadis cantik bertubuh montok di hadapannya yang meronta-ronta berusaha melepaskan diri.

“He he he...! Jadi, inikah putri Adipati Buntaran itu? Hm... cantik sekali. Dia sangat cocok untuk jadi istriku...!” Ki Satwa Manggala menyeringai lebar, bagai anjing liar melihat ayam kampung.

“Rampok keparat! Lepaskan aku! Kalau tidak, ayahku akan menghukum gantung kalian!” jerit Nirmala dengan wajah galak, mengancam kawanan rampok itu.

“He, kalian dengar itu? Ayahnya akan menghukum gantung kita!” teriak Ki Satwa Manggala seraya memandang ke seluruh anak buahnya dengan senyum mengejek. Seluruh anak buah laki-laki gendut itu terbahak-bahak mendengar kata-kata Nirmala.

“Hei, Bocah! Di kadipaten sana, kau boleh berkata begitu. Tapi di sini, hanya ada satu penguasa. Perampok Pisau Terbang! Meski raja sekalipun, harus tunduk di bawah undang-undang kami!” teriak salah seorang.

“Alam adalah milik orang-orang berhati bersih. Maka tidak sepatutnya kawanan rampok menguasainya!” sahut sebuah suara, tiba-tiba.

“Hei?!”


***


SEMUA mata dibuat kaget oleh suara yang begitu keras, dan menggema ke segala arah. Maka serentak mereka berpaling, ke arah sumber suara. Kini, tampak seorang pemuda tampan berambut gondrong.

Tubuhnya yang tegap, terbungkus pakaian dari kulit harimau. Pemuda itu berdiri tegak di belakang para perampok pada jarak tujuh langkah. Sikapnya tenang sekali dan tidak peduli, ketika beberapa orang anggota Perampok Pisau Terbang langsung melompat mengurungnya.

Apalagi monyet kecil berbulu hitam yang berada di pundaknya. Binatang itu mengejek-ejek kawanan rampok ini dengan seringainya yang lucu. Kemudian, dia melompat-lompat seraya menunjukkan pantatnya berkali-kali.

“Kaaaakh...!”

“Siapa kau, Bocah? Pergilah dari sini. Dan, jangan cari penyakit selagi punya waktu!” hardik Ki Satwa Manggala dengan suara menggelegar.

“Hm.... Boleh saja aku pergi. Tapi, kalian harus merasakan dulu, apa yang dirasakan mereka!” sahut pemuda itu, seraya menuding ke arah mayat-mayat yang bergeletakan di sekitarnya.

“Keparat! Rupanya kau sengaja datang untuk mampus, heh?!” geram Ki Satwa Manggala. Langsung tangannya memberi isyarat pada anak buahnya untuk menghajar pemuda itu.

Beberapa orang anak buah laki-laki gendut itu langsung melompat menyerang.

“Yeaaaa...!”
Serr!

Beberapa orang di antara mereka sudah langsung menggunakan senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil yang menyambar cepat sekali. Namun pemuda berpakaian dari kulit harimau itu hanya tersenyum kecil, kemudian bergerak cepat sekali.

Sehingga seketika dia seperti lenyap dari pandangan. Bahkan tahu-tahu saja, terdengar pekik kesakitan dari beberapa orang anak buah Ki Satwa Manggala. Tiga orang dari mereka terjungkal muntah darah! Dan ini membuat para perampok menghentikan. serangan untuk sementara.

“Setan! Siapa kau?!” hardik Ki Satwa Manggala mulai berhati-hati melihat sepak terjang pemuda itu.

Pemuda berbaju kulit harimau itu tersenyum sinis.

“Orang-orang menyebutku Pendekar Pulau Neraka...!” sahut pemuda itu pelan. Namun, cukup didengar mereka yang berada di tempat itu.

“Apa?! Pendekar Pulau Neraka...?” Ki Satwa Manggala tersentak kaget. Demikian pula seluruh anak buahnya. Siapa yang tidak akan kenal nama besar Pendekar Pulau Neraka?

Sosok pemuda tampan yang belakangan ini menggegerkan rimba persilatan dan sangat ditakuti orang-orang seperti mereka. Tapi Ki Satwa Manggala cepat menutupi rasa terkejutnya. Kini, raut wajahnya kembali seperti semula. Dalam keadaan begitu, mana mau keterkejutan hatinya ditunjukkan di depan anak buahnya. Maka sambil menyungging senyum yang tidak kalah sinisnya, dia bertolak pinggang. Langsung ditudingnya pemuda yang tak lain Bayu Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka.

“He, Bocah! Siapa pun dirimu, mau Pendekar Pulau Neraka atau dedemit dari neraka, pergilah dari tempat ini! Paling tidak selagi aku masih mengampuni jiwamu!”

“Aku tidak butuh ampunan! Tapi begitu kalian merasakan penderitaan yang mereka alami, maka saat itu juga aku akan pergi dari sini. Tanpa disuruh!” sahut Bayu dingin.

“Hm.... Kalau begitu, jelas. Kau memang ingin mampus, Bocah. Maka jangan salahkan aku nantinya,” ancam Ki Satwa Manggala, sinis. Kembali tangannya memberi isyarat pada dua orang anak buahnya, “Kebo Wungu dan Danang Selaksa! Beri pelajaran pada bocah sombong ini!”

Kedua anak buah Ki Satwa Manggala yang bersenjata tombak dan golok itu terdiam beberapa saat dengan wajah ragu.

“Kalian dengar perintahku?!” hardik Ki Satwa Manggala, berang.

“Dengar, Ki. Tapi...,” Kebo Wungu yang bersenjata tombak hendak mengemukakan alasan, namun....

“Cepat laksanakan...!” potong laki-laki gendut itu dengan bentakan menggelegar.

“Baik..., baik, Ki,” sahut keduanya serentak. Dengan ragu-ragu terpaksa Kebo Wungu dan Danang Selaksa membuka jurus. Mereka langsung berputar mengelilingi Bayu. Agaknya, keduanya sadar kalau bukanlah tandingan Pendekar Pulau Neraka. Namun begitu, mereka lebih takut lagi terhadap Ki Satwa Manggala.

Sehingga tidak heran bila segenap kemampuan yang dimiliki langsung dikerahkan ketika melompat menyerang pemuda itu.

“Yeaaa....!”
“Hup!”

Bayu berkelit dengan melompat ke atas ketika mendapat serangan dari dua arah. Sebelah kakinya ditekuk menghindari tebasan golok, sementara kepalanya merunduk untuk menghindari sapuan tombak Kebo Wungu. Kemudian tubuhnya berputaran indah di udara dan mendarat manis di tanah. Kebo Wungu dan Danang Selaksa cepat mengejar dengan serangan serangan maut. Namun gesit sekali pemuda itu mengelak mengegoskan tubuhnya.

“Uts...!”

Begitu habis mengegos, Pendekar Pulau Neraka cepat membuat jarak dengan membuat salto beberapa kali. Dan begitu menjejak tanah, dia langsung berbalik. Lalu seketika, tangan kanannya dikibaskan. Maka saat itu juga melesat Cakra Mautnya yang merupakan senjata andalannya.

Singngng!

Cakra Maut melesat bagaikan kilat ke arah dua anak buah Ki Satwa Manggala itu. Danang Selaksa sempat menjatuhkan diri menghindari. Namun, Kebo Wungu berada dalam keadaan yang sulit Dia tidak sempat menghindar, namun mencoba menangkis dengan tombaknya.

Tras! Cras!
“Aaaa...!”

Tapi yang terjadi sungguh mengejutkan semua yang berada di tempat itu. Tombak Kebo Wungu putus dan Cakra Maut terus meluncur deras merobek dadanya. Kebo Wungu menjerit menyayat, dan kontan terjungkal ke tanah. Tepat ketika Kebo Wungu tak berkutik lagi. Bayu kembali mengangkat tangannya. Maka, Cakra Maut kembali melesat pulang ke tangannya.

“Hei?!”

“Keparat!” maki Ki Satwa Manggala geram. Laki-laki gendut itu kemudian melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka sambil melemparkan senjata rahasianya.

Serr! Set!
“Huh!”

Bayu hanya mendengus kecil, kemudian mengibaskan tangan kanannya.

Singngng!

Cakra Maut yang baru saja menempel di pergelangan tangan Bayu kembali melesat memapak senjata rahasia Ki Satwa Manggala.

Trass!
“Uts!”

Pisau-pisau yang dilemparkan Ketua Perampok Pisau Terbang itu langsung hancur berantakan. Bahkan senjata Pendekar Pulau Neraka nyaris merobek lehernya, kalau dia tidak buru-buru menjatuhkan diri.

“Hiyaaaa...!”

Bayu agaknya tidak sudi lagi memberi kesempatan pada laki-laki gendut itu. Begitu Ki Satwa Manggala menjatuhkan diri menghindari senjatanya, saat itu juga tubuhnya melesat menyerang. Sementara tangan kanannya menangkap senjatanya yang bergerak pulang ke tempatnya.


***


KI SATWA MANGGALA terkejut bukan main, dan tidak sempat menghindar. Terpaksa tendangan Pendekar Pulau Neraka yang berisi tenaga dalam cukup sempurna ditangkis.

Plakkk!
“Hiiih!”

Pergelangan tangan laki-laki gendut itu terasa remuk ketika menahan tendangan Bayu. Namun begitu serangan susulan Pendekar Pulau Neraka masih sempat dihindarinya dengan mengegos ke kanan. Sementara Bayu cepat berbalik. Langsung dilepaskannya satu tendangan keras menyapu pinggang Ki Satwa Manggala.

Namun, laki-laki gendut itu cepat melompat ke atas menghindari. Melihat hal ini Pendekar Pulau Neraka cepat melenting mengikuti. Kepalan kirinya langsung dikibaskan ke arah dada. Dan untung saja, Ki Satwa Manggala masih sempat menangkis.

Plakk!

Benturan keras terjadi, sehingga membuat Ki Satwa Manggala terjajar. Dan belum lagi dia mampu menguasai diri, ujung kaki Pendekar Pulau Neraka telah menghantam ke arah perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga laki-laki itu tidak mampu berbuat apa-apa.

Dukkk!
“Aaaakh...!”

Ki Satwa Manggala memekik kesakitan, ketika tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang.

“Yeaaa...!”

Pendekar Pulau Neraka terus melesat menyerang ketika kedua kakinya baru saja menjejak tanah. Melihat itu tentu saja para anak buah Ki Satwa Manggala tidak tinggal diam. Sementara mereka langsung menyerang pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi, Bayu agaknya tidak sudi melepaskan lawannya begitu saja. Maka ketika mengetahui kalau anak buah laki-laki gendut ini hendak membokongnya, tangan kanannya kembali dikibaskan. Seketika Cakra Maut melesat ke arah anak buah Ki Satwa Manggala. Sehingga....

Tras! Cras! Brett!
“Aaaa...!”

Terdengar pekik kesakitan ketika senjata maut Pendekar Pulau Neraka memapas lawan-lawan yang mencoba mendekatinya. Padahal perhatian Pendekar Pulau Neraka sendiri terus tertuju pada pemimpin perampok itu. Tubuh mereka kontan terjungkal. Dua orang robek perutnya, sementara seorang lagi lehernya nyaris putus.

Sementara itu Ki Satwa Manggala cepat menangkis tendangan Pendekar Pulau Neraka. Wajahnya kontan berkerut menahan sakit, ketika kedua kaki dan tangan mereka berbenturan. Bayu terus mengejar dengan hantaman kepalan tangan kiri ke arah dada Ki Satwa Manggala. Laki-laki itu segera melompat ke belakang. Namun tubuh Bayu telah lebih dulu berjumpalitan dengan melepaskan satu pukulan ke arah dada.

Begkh!
“Aaaakh...!”

Ki Satwa Manggala memekik kesakitan begitu dadanya telak sekali terhantam pukulan Pendekar Pulau Neraka. Tubuhnya tersungkur sejauh sepuluh langkah sambil memuntahkan darah segar. Sedangkan Bayu berjumpalitan kembali sambil menangkap Cakra Maut yang tadi dilepaskannya. Dan begitu tangan kanannya mengibas kembali, Cakra Maut kembali melesat ke arah anak buah Ki Satwa Manggala yang langsung menyerang dengan pisau-pisau kecil mereka.

Sing!
Tras! Breet!
“Aaaa...!”

Korban kembali berjatuhan di pihak kawanan Perampok Pisau Terbang. Kali ini, lima orang langsung terjungkal tewas dengan leher nyaris putus. Danang Selaksa mencoba membokong, pada saat Bayu tengah bergerak untuk menangkap senjatanya yang berbalik pulang.

“Yeaaaa...!”
“Uts...!”

Dengan cepat pemuda itu mengegoskan kepala. Kemudian tangan kanannya bergerak menangkis kepalan tangan kiri Danang Selaksa.

Plakkk!

Danang Selaksa langsung melenguh kesakitan, ketika menangkis tadi. Namun ujung kaki kirinya cepat mencoba menghantam lambung Pendekar Pulau Neraka. Bayu segera melompat ke atas menghindarinya sembari menangkap kembali Cakra Mautnya yang melesat ke arahnya.

Begitu Cakra Maut kembali ke pergelangan tangannya, saat itu juga Bayu melepaskannya. Seketika Cakra Maut melesat, menderu keras ke arah Danang Selaksa. Laki-laki itu terkesiap, dan mencoba menangkis dengan goloknya.

Trang!

Namun golok itu putus disambar senjata Cakra Maut Bahkan senjata andalan Pendekar Pulau Neraka tenis menyambar lehernya.

“Aaaa....!”

Danang Selaksa hanya mampu memekik tertahan. Tubuhnya kontan ambruk dengan darah muncrat membasahi tanah. Kini beberapa orang dari kawanan rampok itu terkejut dan ragu-ragu menyerang Bayu. Namun sebagian masih tetap tidak peduli. Mereka segera menyerang dengan amarah meluap-luap.

“Bocah Keparat, mampus kau...! Yeaaa...!”
“Aaaa...!”

Bayu agaknya tidak mau bertindak kepalang tanggung. Begitu tangan kanannya dikibaskan, Cakra Mautnya langsung melesat memapaki serangan.

Singngng!
Cras! Brett!

Kembali terdengar pekik kematian yang diiringi robohnya beberapa orang anak buah kawanan rampok. Senjata andalan Pendekar Pulau Neraka kembali meminta korban. Ketika beberapa orang kembali menyerang, maka Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka tenis menyambar-nyambar.

“Pendekar Pulau Neraka! Hentikan perbuatanmu...!” Terdengar suara serak yang berteriak mencegah pembantaian itu.

“Hmmm...!”

Bayu menoleh dan tersenyum sinis ke arah Ki Satwa Manggala yang berteriak mencegahnya. Lalu dia melompat kecil, menangkap Cakra Maut yang melesat ke arahnya.


***


TIGA

Pendekar Pulau Neraka menatap Ki Satwa Manggala dalam-dalam. “Kenapa?” tanya Bayu bernada dingin.

Ki Satwa Manggala bangkit perlahan-lahan sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri dengan tangan kirinya. “Kuakui kekalahan kami. Dan, tidak perlu lagi kau membantai anak buahku. Sudah cukup korban yang kau timbulkan...,” pinta Ki Satwa Manggala, lemah.

“Hm.... Tadi kudengar ada nada kesombongan pada kata-katamu. Apakah Perampok Pisau Terbang saat ini telah menjadi pengecut?” ejek Bayu.

“Pendekar Pulau Neraka! Kau boleh berkata apa saja saat ini. Tapi, aku lebih mengutamakan keselamatan anak buahku. Suatu saat, aku akan menagih persoalan ini berikut bunganya!” dengus Ki Satwa Manggala dengan hawa amarah menggelora mendengar kata-kata Bayu.

“Kisanak! Kapan saja kau hendak menagih hutang atas persoalan ini, aku akan bersedia melunasinya sampai tuntas!” sahut Bayu mantap.

Ki Satwa Manggala menoleh sekilas ke arah Pendekar Pulau Neraka. Kemudian tangannya memberi isyarat pada sisa anak buahnya, untuk segera berlalu dari tempat ini. Maka begitu orangtua itu, berbalik dan melangkah pergi, sisa anggota Perampok Pisau Terbang segera mengikutinya.

Bayu masih sempat memperhatikan beberapa saat sampai kawanan itu lenyap dari penglihatannya. Lalu kakinya melangkah pelan mendekati gadis yang nyaris menjadi korban kebiadaban kawanan tadi. Tampak wajah gadis itu masih pucat menahan rasa ketakutan. Bayu tersenyum dan mencoba meyakinkan lewat raut wajahnya kalau tidak bermaksud jahat padanya.

“Nisanak, siapakah namamu? Namaku, Bayu. Dan, jangan khawatir. Aku tidak bermaksud jahat padamu...,” ujar Bayu ramah.

Gadis itu memperhatikan beberapa saat. Sepertinya, dia hendak meyakinkan pada dirinya kalau apa yang dikatakan pemuda itu memang benar. “Aku..., aku Nirmala, putri Adipati Buntaran dari Kadipaten Karang Wates...,” sahut gadis itu, masih dilanda ketakutan.

“Hm, Nirmala.... Kini kau boleh kembali ke tempatmu...,” ujar Bayu, seraya hendak berbalik dari melangkah pergi.

“Eh! Kisanak sendiri hendak ke mana?” tanya Nirmala buru-buru, ketika melihat Bayu hendak melangkah.

“Aku hendak melanjutkan perjalanan....”

“Tunggu!” cegah Nirmala tiba-tiba, “Aku takut pulang seorang diri. Kau lihat? Semua pengawalku tewas oleh mereka. Bersediakah kau mengantarkanku sampai di kadipaten? Ayahku tentu akan memberi hadiah yang banyak atas bantuan yang kau berikan padaku....”

“Aku tidak mengharapkan hadiah atas apa yang kulakukan padamu, Nirmala!” sahut Bayu menegaskan.

“Eh! Bukan maksudku menyepelekan bantuan yang kau berikan. Tapi, anggaplah sebagai rasa terima kasihku. Apa pun yang kau inginkan, ayahku pasti akan mengabulkannya!” bujuk gadis itu.

Bayu tersenyum kecil. “Baiklah. Aku akan mengantarkanmu sampai di kadipaten. Tapi, ingat! Aku tidak akan mengharapkan hadiah apa-apa atas apa yang kuperbuat hari ini terhadapmu!” tegas Bayu kembali.

Wajah gadis itu tampak berseri, seketika pemuda itu langsung berbalik dan berjalan ke arah kereta. Bergegas gadis itu mengikuti di belakangnya. Sebentar saja Pendekar Pulau Neraka sudah melompat ringan ke atas kereta kuda. Rupanya Bayu hendak bertindak sebagai kusir menggantikan kusir yang telah tewas.

Sementara monyet kecil yang tadi sempat menyelamatkan diri, kini telah langsung melompat ke sampingnya. Binatang itu seketika berjingkrak-jingkrak, sambil mengeluarkan suara melengking.

“Yeaaa...!”

Bayu menghela kencang kedua kuda yang menarik kereta, begitu Nirmala telah berada didalamnya. Seketika hewan-hewan itu berlari, dengan kecepatan bagai dikejar setan. Nirmala tersentak kaget. Nyaris gadis itu terjerembab didalam kereta, kalau tidak cepat berpegangan.

“Bayu! Perlahan-lahan sedikit mengendalikannya. Aku bisa terjatuh!” jerit Nirmala.

Bayu terkekeh pelan. Kemudian, kuda-kuda itu mulai dikendalikan agar berlari dengan kecepatan biasa. Kini Nirmala menghela napas lega. Namun demikian, bukan berarti hatinya bisa tenang. Hatinya malah mulai mencurigai pemuda itu. Jangan-jangan malah pemuda itu akan membawanya ke suatu tempat. Lalu..., ah! Dia tidak mampu membayangkan kejadian buruk yang bakal menimpanya! Tidak terasa, diam-diam gadis itu berdoa di dalam hati.

Sementara Pendekar Pulau Neraka sama sekali tidak banyak bicara, dia diam membisu selama dalam perjalanan. Padahal gadis itu telah mencoba untuk mengajaknya bicara. Namun, Bayu hanya menjawab sepatah atau dua patah kata saja. Dan hal ini membuatnya merasa sungkan untuk terus mengajak bercakap-cakap.

Kalau ada satu hal yang membuat gadis itu merasa tenang, adalah karena rasa aman dalam hatinya. Meskipun seorang diri, namun Nirmala bisa melihat bagaimana Bayu mengalahkan kawanan Perampok Pisau Terbang yang justru telah menewaskan seluruh para pengawalnya. Dan apa yang diduga memang tidak berlebihan. Tidak ada satu gangguan pun yang dialami, sejak pemuda itu memegang kendali kereta kudanya.

Menjelang sore, kereta kuda yang ditumpangi Nirmala memasuki kadipaten dan terus melaju ke tempat kediaman Adipati Buntaran di tengah kota. Tidak lama kemudian, kereta kuda itu berhenti tepat di pintu gerbang kadipaten. Nirmala menunggu beberapa saat, agar Bayu membukakan pintu kereta baginya.

Hal itu memang biasa dilakukan oleh para kusir keretanya yang lain. Namun untuk beberapa lama, tidak terdengar suara apa pun. Gadis itu jadi kesal sendiri. Segera dibukanya pintu kereta, lalu kepalanya mendongak ke tempat kusir berada. Namun dia terpaku sendiri jadinya. Ternyata Pendekar Pulau Neraka hilang dari tempatnya berada!


***


Beberapa pengawal kadipaten yang melihat ada kereta kuda milik kadipaten berhenti di pintu gerbang, bergegas menghampiri. Dan mereka segera memberi penghormatan, ketika melihat siapa yang turun dari kereta kuda.

“Kanjeng Gusti Ayu Nirmala, terimalah salah hormat kami...!” kata salah seorang.

“Kalian lihat pemuda itu?” Nirmala malah bertanya.

“Pemuda? Pemuda yang mana, Kanjeng Gusti?” tanya seorang pengawal dengan wajah bingung.

“Pemuda tampan berambut panjang, memakai baju dari kulit harimau? Dia bersama seekor monyet kecil berbulu hitam!” jelas gadis itu.

Beberapa pengawal memperhatikan ke sekitar tempat itu, kemudian menggeleng lemah. Sementara seorang pengawal segera melangkah memasuki rumah kediaman adipati, begitu menyadari kalau putri junjungannya, Adipati Buntaran kembali hanya seorang diri.

“Kanjeng Gusti. Kami tidak melihat siapa-siapa bersamamu....”

“Mustahil! Dia yang menyelamatkan aku dari kawanan Perampok Pisau Terbang, dan mengantarkanku hingga tiba di sini!” tandas Nirmala dengan wajah bingung tidak mengerti.

Para pengawal yang berada di tempat itu kembali dibuat bingung oleh kata-kata Nirmala. Dua orang dari mereka langsung melompat ke punggung kuda dan memeriksa di sekitarnya.

“Kanjeng Gusti Ayu, silakan masuk! Ayahanda telah menunggu-nunggu sejak tadi...,” kata seorang pengawal yang tadi memasuki rumah berhalaman luas ini, dan melaporkan pada Adipati Buntaran.

Gadis itu melangkah perlahan. Wajahnya masih menampakkan kebingungan. Ke mana gerangan pemuda yang bernama Bayu tadi?

Belum juga putri Adipati Buntaran itu masuk ke rumahnya, seorang lelaki setengah baya tampak tergopoh-gopoh menghampiri diiringi beberapa orang pengawal.

“Nirmala, anakku. Kau tidak apa-apa?!” tanya laki-laki yang tak lain Adipati Buntaran dengan wajah semburat kegembiraan. Langsung dipeluknya Nirmala dengan perasaan haru. Dan gadis itu pun membalasnya dengan hangat.

“Ayah cemas ketika para pengawal melaporkan kau kembali seorang diri! Ke mana para pengawal yang menyertaimu?” tanya Adipati Buntaran.

“Ayahanda, ceritanya panjang. Lebih baik, kita bercakap-cakap di dalam saja...,” sahut Nirmala.

“Oh, tentu saja. Nah, mandilah lebih dulu. Dan bersihkan tubuhmu, lalu makanlah. Kemudian baru setelah itu temui ayah di balairung utama!”

Nirmala mengangguk cepat. Sementara dua orang wanita setengah baya yang merupakan para pengasuhnya sejak kecil, buru-buru mengiringinya ke salah satu ruangan dari gedung di dalam kadipaten ini.


***


Adipati Buntaran duduk di kursi besar di ujung ruangan balairung utama. Di sebelahnya terlihat seorang wanita setengah baya berwajah cantik dan berpakaian mewah, didampingi seorang gadis cantik berpakaian indah. Sementara berjejer ke kiri dan kanannya duduk bersila para abdi setia. Di antara mereka, terlihat dua orang panglima utama yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun.

Mereka adalah Ki Dipati Unus dan Ki Soma Nagara. Adipati Buntaran sengaja mengumpulkan para perwiranya diruangan ini, untuk membahas apa yang telah menimpa putrinya sore tadi. Kedatangannya seorang diri tanpa diiringi para pengawal, sudah membuat teka-teki yang mencurigakan. Sekaligus, membuat cemas hatinya.

Dan ketika Nirmala menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya, semua orang yang berada dalam ruangan mendengar dengan seksama. Beberapa kali Adipati Buntaran tampak mengerutkan rahang, menahan amarah.

“Kurang ajar! Kawanan rampok itu agaknya patut mendapat hajaran yang setimpal!” geram Adipati Buntaran sambil mengepalkan kedua tangannya. Laki-laki itu lalu memandang ke arah dua panglimanya.

“Ki Soma Nagara dan Ki Dipati Unus! Besok pagi-pagi sekali, siapkan pasukan pilihan. Dan, gempur kawanan rampok itu. Sapu bersih mereka dan jangan sisakan seorang pun!”

“Ampun, Kanjeng Gusti Adipati. Segala titah akan hamba kerjakan secepatnya!” sahut.Ki Dipati Unus.

“Maaf, Kanjeng Gusti. Bukan hamba bermaksud hendak lancang. Namun, bukankah para kawanan rampok itu telah mendapat hukuman yang setimpal dari pemuda yang telah diceritakan Gusti Ayu Nirmala tadi? Tentu saat ini mereka tengah bersembunyi, mereka pasti menduga kalau Kanjeng Gusti akan mengejar mereka.

Maka menurut hemat hamba, pekerjaan mencari-cari mereka akan sia-sia saja. Bahkan bukan tidak mustahil, pada saat banyak pengawal di kadipaten ini dikerahkan untuk mencari, mereka tiba-tiba datang menyerbu tempat ini,” saran Ki Soma Nagara.

“Hm...,” Adipati Buntaran berpikir sesaat, kemudian mengangguk pelan. “Apa yang kau katakan terakhir memang benar, Ki Soma Nagara. Namun, aku tetap memutuskan untuk mengirim beberapa orang pilihan untuk menghajar mereka!”

“Ampun, Gusti Adipati. Sekali lagi, bukan hamba hendak melangkahi keputusan. Namun kalau Kanjeng Gusti tetap hendak mengirim beberapa orang untuk menyapu bersih mereka, menurut hemat hamba itu bukanlah keputusan bijaksana. Sebab, kita tidak tahu, sampai di mana kekuatan mereka. Bila yang dikatakan Gusti Ayu Nirmala benar bahwa pemuda itu telah banyak menewaskan para perampok itu, bukan berarti kekuatan mereka lemah. Malah bisa jadi mereka tidak membawa serta seluruh kekuatannya saat itu. Dan kalau Kanjeng Gusti mengirimkan hanya beberapa orang saja, hamba khawatir malah kita yang akan tunggang-langgang....”

Adipati Buntaran kembali tercenung mendengar nasihat salah seorang panglimanya. Apa yang dikatakan Ki Soma Nagara memang benar, serba masuk di akal. Dia memandang laki-laki itu dengan seksama.

“Lalu menurutmu, langkah apa yang terbaik untuk menghajar mereka?” tanyanya.

Ki Soma Nagara berpikir sesaat, kemudian memandang Nirmala. “Gusti Nirmala, siapa pemuda yang kau katakan telah menolongmu?”

“Kalau tidak salah, namanya Bayu. Ya, Bayu! Aku ingat “Begitu dia menyebutkan namanya,” sahut Nirmala.

“Bayu? Hm..., bagaimana ciri-cirinya?” tanya Ki Soma Nagara lagi.

“Dia masih muda. Dan..., tampan. Lalu rambutnya panjang dan memakai baju dari kulit harimau. Dan senjatanya, aneh. Sebab, bisa melesat cepat dari pergelangan tangannya, lalu kembali ketempatnya semula...,” jelas Nirmala.

“Cakra Maut! Astaga, pasti pemuda itu Pendekar Pulau Neraka!” desis Ki Soma Nagara, kaget.

“Ah! Benar sekali, Paman! Aku ingat betul saat itu kepala perampok itu menyebutkannya demikian. Siapa sebenarnya Pendekar Pulau Neraka itu, Paman?” tanya Nirmala.

Semua orang yang berada di ruangan itu terdiam beberapa saat. “Gusti Nirmala, dia adalah seorang pendekar hebat berkepandaian amat tinggi. Jarang ada orang yang mampu mengalahkannya. Suatu keberuntungan bagimu bisa bertemu dengannya...,” sahut Ki Soma Nagara.

“Ki Soma Nagara, kembali kepada persoalan semula. Apakah kau mempunyai cara untuk mengatasi kawanan perampok itu?” tanya Adipati Buntaran kembali.

Namun belum sempat Ki Soma Nagara menjawab, terdengar jeritan keras dari arah luar. Mereka yang berada di ruangan itu tersentak kaget. Seketika Ki Soma Nagara dan Ki Dipati Unus langsung melompat keluar.


***


Di halaman luas depan rumah Adipati Buntaran, tampak seorang pemuda berpakaian compang-camping seperti pengemis tengah terkekeh-kekeh kegirangan melihat beberapa mayat para pengawal kadipaten tergeletak bermandikan darah. Beberapa orang pengawal sudah mengurungnya, namun ragu-ragu untuk menyerang kembali.

Seperti yang disaksikan sendiri, kecepatan bergerak pemuda berambut panjang dan awut-awutan itu luar biasa. Entah bagaimana caranya, dia mampu mencabut golok dan menebas dahi lawan, lalu menyarungkan kembali goloknya, dalam sekelebatan saja.

“Ha ha ha...! Lho? Lho.... Kenapa pada tidur? Bukankah tadi kalian hendak meringkusku? Ayo, bangun! Bangun, Geblek! Dan kalian, kenapa diam saja? Ayo tangkap aku! Ringkus dan cincang seperti cacing! Hi hi hi...! Dasar kantung-kantung tai tidak berguna!” celoteh pemuda gembel itu sendiri sambil menuding-nuding ke arah mayat yang bergeletakan, lalu ke arah para pengawal kadipaten yang masih mengurungnya.

“Orang sinting keparat! Kau kira kami takut, heh?! Mampus kau sekarang!” geram pengawal itu. Dengan cepat pengawal itu melompat dan menerkam, dengan senjata tombak yang diputar sedemikian rupa seperti kitiran.

“Yeaaa...!”

Melihat kawannya melompat, tiga orang pengawal lain langsung melompat, seraya menghunuskan senjata golok panjang yang tajam berkilat.

“Hi hi hi...! Dasar cecurut bau! Kalian kira bisa berbuat apa terhadapku, heh?!” sahut pemuda pengemis itu sambil terkekeh kekeh mengejek.

“Uts!”

Begitu senjata pengawal menyambar tubuhnya, pemuda gembel itu cepat melompat ke atas dan berputaran beberapa kali. Dan diiringi bentakan nyaring, pengemis itu meluruk turun dengan sabetan goloknya yang cepat bagai kilat.

“Hiyaaaa...!”
Crasss!
“Aaaa...!”

Cepat sekali golok itu menebas dahi keempat lawannya, sehingga sulit diikuti pandangan mata biasa. Bahkan keempat lawannya sama sekali tidak menyadari kalau pemuda gembel itu mencabut senjata. Dan tiba-tiba saja mereka merasakan sakit luar biasa di dahi. Keempat orang itu memekik menyayat, dengan pandangan menjadi gelap. Tubuh, mereka seketika roboh bermandikan darah.

“Gila!” desis para pengawal lain dengan wajah kaget dan mata terbelalak.

“Hi hi hi...! Ayo! Siapa yang hendak berlomba ke neraka? Aku akan senang hati mengirim kalian ke sana! Ayo! Yang paling cepat, itu yang paling baik. Atau kalian ingin bersama-sama?!” sentak pemuda gembel itu terus terkekeh-kekeh, begitu mendarat di tanah.

Matanya langsung beredar keliling, seperti menantang. Kemudian terlihat raut wajah gembel itu berubah garang seraya melangkah ke arah para pengurungnya dengan sikap mengancam. Namun sebelum bertindak lebih jauh.

“Kisanak, hentikan perbuatanmu...!” Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang mengejutkan, membuat pemuda gembel itu berpaling, Tampak Ki Soma Nagara dan Ki Dipati Unus telah berdiri tegak di depan para pengawal seraya memandang pemuda gembel itu dengan sorot mata tajam. Wajah mereka tampak garang, memendam amarah meluap-luap melihat mayat-mayat bergelimpangan di halaman ini.

“Siapa kalian, Monyet buduk?!” hardik pemuda gembel itu seenaknya.

“Kisanak. Hati-hati bicaramu, dan jaga lidahmu! Kau tengah berhadapan dengan kedua panglima kadipaten!” ujar Ki Soma Nagara, dingin.

“Puiih! Kenapa aku harus berhati-hati kepada dua ekor monyet buduk! Heh?! Tidak usah banyak bicara. Suruh si keparat Buntaran itu keluar! Aku hendak mengambil kepalanya!” desis pemuda gembel itu dengan suara garang.

“Kisanak! Kau sungguh keterlaluan...!”

“Setan belang, monyet buduk, kadal bengkak...! Tutup mulut busukmu itu! Suruh keluar si Buntaran keparat itu! Katakan padanya, Darmo Gandul alias si Gila dari Muara Bangkai, menagih hutang nyawa istri dan anaknya! Ayo! Atau, ku tendang pantat kalian...?” potong pemuda yang ternyata Darmo Gandul dan berjuluk si Gila dari Muara Bangkai dengan suara menggelegar memekakkan telinga.

“Hm. Kau semakin keterlaluan, Kisanak. Aku tidak bisa membiarkan perbuatanmu yang seenaknya saja...!” desis Ki Dipati Unus tidak dapat menahan amarahnya lagi.

Namun sebelum kedua orang itu mencabut senjatanya, Darmo Gandul telah melompat menyerang diiringi bentakan nyaring.

“Yeaaaa...!”
“Uts!”

Kedua panglima kadipaten itu tersentak kaget melihat gerakan si Gila dari Muara Bangkai yang cepat bukan main. Terpaksa keduanya melompat ke belakang seraya mencabut pedang masing-masing. Namun baru saja mencabut senjata, mendadak berkelebat angin tajam menyambar. Buru-buru mereka menangkis

Trangngng!

Kedua panglima itu kontan mengeluh kesakitan, ketika senjata mereka seperti membentur batu cadas yang keras luar biasa. Bahkan sempat membuat genggaman pada senjata masing-masing nyaris terlepas.


***


EMPAT

“Hiyaaa...!”

Gembel yang menyebut dirinya si Gila dari Muara Bangkai kembali berkelebat cepat menyerang kedua Panglima Kadipaten Karang Wates. Sementara beberapa orang para pengawal kadipaten mencoba membokong ke arah pemuda gembel itu.

“Yeaaaa...!”

Namun tanpa berbalik sedikit pun, si Gila dari Muara Bangkai mengebutkan goloknya ke belakang. Begitu cepat gerakannya, sehingga para pembokong tak kuasa menghindarinya. Dan....

Trang! Cras!
“Aaaa...!”

Dua orang pembokong langsung memekik kesakitan. Tubuh mereka tersungkur dengan luka di dahi mengucurkan darah segar. Melihat hal ini kedua panglima kadipaten itu menggeram.

“Gembel keparat! Kau akan rasakan pembalasan kami, yeaaa...!” Ki Dipati Unus menggeram. Pedangnya segera diputar sedemikian rupa, menyambar pinggang Darmo Gandul. Sementara pada saat yang bersamaan, Ki Soma Nagara langsung menyerang kembali.

“Hup! He he he...! Apa yang kau tebas, Tikus busuk?” ejek si Gila dari Muara Bangkai setelah berhasil menghindari serangan Ki Soma Nagara dengan lompatan indah dan putarkan tubuhnya. Namun serangan Ki Soma Nagara tidak berhenti sampai di situ saja. Pedangnya cepat dikelebatkan ke depan, ke arah Si Gila dari Muara Bangkai.

Melihat hal ini, Darmo Gandul tidak gugup. Maka goloknya berkelebat cepat menangkis tebasan pedang Ki Soma Nagara yang mencoba memapas pinggangnya.

Trang!

Ki Soma Nagara jadi terjajar dua langkah tepat ketika Si Gila dari Muara Bangkai mendarat ditanah. Bahkan pemuda gembel itu langsung melepaskan tendangan geledek yang begitu cepat. Akibatnya....

Dukkk!
“Aaaakh...!”

Ki Soma Nagara menjerit kesakitan, begitu ujung kaki Si Gila dari Muara Bangkai menggedor keras dadanya. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang disertai muntahan darah segar.

“Yeaaa...! Mampus kau...!?”

Geram Ki Soma Nagara mengincar kesempatan ketika pemuda itu lengah. Pedangnya langsung berkelebat, menyambar ke arah leher.

“Uts!”

Namun, pemuda yang disangkanya lengah itu mudah sekali menundukkan kepalanya menghindari tebasan pedang itu. Kemudian tubuhnya berbalik cepat menyambar pergelangan tangan Ki Dipati Unus.

Tras!
“Aaaakh...!”

Panglima Kadipaten Karang Wates itu kontan memekik, ketika pergelangan tangannya yang memegang senjata putus disambar golok Si Gila dari Muara Bangkai.

“Hiiih!”

Darmo Gandul alias Si Gila dari Muara Bangkai mendengus tajam. Tanpa memberi kesempatan sedikit pun, tubuhnya melompat mengejar panglima yang terhuyung-huyung. Dan seketika goloknya kembali berkelebat tanpa mampu dihindari.

Cras!
“Aaaa...!”

Kembali terdengar jeritan menyayat, membelah angkasa yang semula sunyi. Dipati Unus tidak mampu menghindari golok lawan yang cepat sekali menyambar dahinya. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung dengan darah mengucur deras mengiringi tubuhnya yang ambruk di tanah menggelepar-gelepar.

“He he he...! Siapa yang mau menyusul? Ayo, cepat! Cepat...!” teriak Si Gila dari Muara Bangkai sambil memandang lawan-lawannya disertai tawa mengejek.

Ki Soma Nagara dan para pengawal kadipaten yang tersisa, terpaku beberapa saat. Para pengawal itu ragu-ragu untuk menyerang, dan hanya mampu melirik ke arah panglima kadipaten ini. Agaknya, mereka menunggu keputusan dari laki-laki itu. Sedangkan Ki Soma Nagara sendiri melangkah sambil menahan rasa nyeri di dadanya. Kemudian langkahnya berhenti di depan pemuda gembel itu pada jarak lima tombak.

“Kisanak! Di antara kita tidak ada urusan apa-apa....”

“Diam mulutmu, Kodok Buduk! Tahu apa kau dengan segala urusanku?! Panggil si keparat Buntaran, dan menyingkirlah dari mukaku!” sentak pemuda gembel itu memotong pembicaraan Ki Soma Nagara dengan suara menggelegar.

Sementara itu, Ki Soma Nagara berusaha untuk bersabar. Dia mengulur waktu, dengan mengajak pemuda gembel itu bercakap-cakap. Dan ketika seorang pengawal yang baru saja kembali dari dalam bangunan megah itu memberi isyarat, dia langsung mengerti.

Sementara itu, Adipati Buntaran bukannya tidak mengerti gelagat. Dan ketika dikabari bahwa, salah seorang panglimanya tewas, adipati itu segera mengungsikan istri serta putrinya keluar dari bangunan kadipaten lewat jalan belakang. Laki-laki berusia lebih dari setengah baya itu menyadari akan kepandaian pemuda gembel yang telah berjuluk Si Gila dari Muara Bangkai.

Walaupun seluruh pengawalnya menyerang, rasanya pemuda itu masih mampu mengatasi. Bahkan mampu menghabisi mereka dengan cepat. Namun, agaknya Si Gila dari Muara Bangkai bukannya tidak mengerti gelagat. Apalagi ketika pendengarannya yang tajam mendengar ringkikan kuda dari arah belakang istana kadipaten. Maka dengan wajah geram, tubuhnya melompat ke atas atap istana disertai ilmu meringankan tubuhnya yang sudah cukup tinggi.

“Setan Alas! Jangan coba-coba kabur dariku, heh!” dengus Si Gila dari Muara Bangkai.

“Pemuda gembel! Kau masih berurusan denganku! Jangan coba-coba kabur! Serang dia...!” teriak Ki Soma Nagara seraya melompat menghadang, setelah memberi perintah pada sisa pengawal kadipaten. Seketika ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan pula.


***


Darmo Gandul, menggeram melihat Ki Soma Nagara menghadang. Bahkan langsung menyerangnya. Maka tubuhnya langsung melesat cepat bagai sapuan angin kencang disertai kelebatan goloknya yang cepat bukan main. Beberapa orang pengawal kadipaten langsung roboh sambil memekik kesakitan. Dan ini membuat Ki Soma Nagara terkejut setengah mati.

“Yeaaaa...!”

Satu sambaran kencang dari Si Gila dari Muara Bangkai mengancam tubuh Ki Soma Nagara. Maka dengan cepat panglima itu menyabetkan pedangnya untuk menangkis.

Trang!
“Uhh...!”

Tangan Ki Soma Nagara langsung bergetar hebat dan telapak tangannya terasa nyeri bukan main. Bahkan nyaris pedang dalam genggamannya terlepas, ketika senjatanya beradu dengan golok Darmo Gandul. Dan belum juga Ki Soma Nagara mampu menguasai diri, ujung kaki Si Gila dari Muara Bangkai menghantam ke arah dada. Maka, dengan sebisa-bisanya panglima itu melompat ke belakang. Namun Darmo Gandul agaknya tidak sudi memberi kesempatan pada laki-laki itu lagi. Maka cepat tubuhnya melesat sambil mengayunkan goloknya, selagi panglima itu belum mantap keseimbangan tubuh. Sehingga....

Wusss!
Bress!
“Aaaa...!”

Ki Soma Nagara kontan memekik kesakitan, begitu golok Darmo Gandul menyambar batok kepalanya. Tubuhnya langsung terjungkal roboh dengan batok kepala nyaris terbelah. Sementara, tubuh Si Gila dari Muara Bangkai terus melesat bagai kilat ke belakang, tanpa mempedulikannya. Namun, sisa para pengawal kadipaten rupanya terus mengejarnya.

“Buntaran keparat! Kau kira bisa kabur dariku, heh?!” bentak Si Gila dari Muara Bangkai nyaring begitu melihat sebuah kereta yang berlari kencang.

Maka seketika dikejarnya kereta kuda itu, disertai ilmu meringankan tubuhnya. Begitu cepat lesatan tubuh Si Gila dari Muara Bangkai, sehingga sebentar saja sudah hampir mendekati kereta kuda itu. Kemudian....

“Heyaaa...!”

Kedua ekor kuda yang menarik kereta langsung meringkik nyaring dengan kedua kaki depan terangkat tinggi, ketika sebuah tenaga dahsyat menyentak laju kereta. Bahkan tiba-tiba saja....

Crass!
“Hieeee...!”

Kedua ekor kuda itu menggelepar tanpa daya, ketika kedua kaki depannya terpapas putus oleh kelebatan senjata Si Gila dari Muara Bangkai. Sementara kereta yang ditarik terjungkal diiringi jerit ketakutan penumpang di dalamnya. Sedangkan laki-laki setengah baya yang tak lain adalah Adipati Buntaran ikut terjungkal, tak mampu mengendalikan kereta kudanya. Dia memang bertindak menjadi kusir, untuk menyelamatkan anak-istrinya.

“Kakang...!”
“Ayaaah...!”

“He he he...! Buntaran keparat! Akhirnya kau harus menerima pembalasan akibat perbuatanmu terhadap keluargaku tujuh tahun lalu. Hari ini, kau tidak akan bisa lolos dari tanganku...!” desis pemuda gembel itu seraya berdiri tegak di depan tiga orang penumpang kereta kuda yang terjungkal itu.

Tawanya panjang menggema ke seluruh tempat ini penuh rasa dendam dan amarah. Adipati Buntaran hanya menggigil ketakutan. Demikian pula kedua wanita yang memeluknya erat-erat

“Si... siapa kau...?!” tanya adipati itu, tergagap.

“Hei?! Masih berlagak lupa rupanya? Aku Darmo Gandul, Setan! Tujuh tahun lalu, kau menyuruh beberapa pendekar mengeroyokku. Mereka menyiksa dan memperkosa istriku beramai-ramai. Kemudian anakku pun dibunuhnya. Semua itu karena kau, Keparat! Hari ini pembalasan telah tiba, dan dimulai darimu. Kau akan menerima buah dari perbuatanmu! Siapa menabur angin, dia akan menuai badai!” dengus Darmo Gandul dengan wajah kelam.

“Darmo Gandul? Ah, ya...! Aku ingat. Kau adalah perampok yang sering berbuat kerusuhan. Dan kau juga sering memperkosa gadis-gadis serta wanita-wanita cantik di kadipaten ini, tanpa mempedulikan istri orang lain atau bukan!” sahut Adipati Buntaran berusaha menenangkan diri.

“Phuih! Aku tidak peduli pembelaanmu. Tidak seharusnya sebagai adipati yang bijaksana kau berbuat begitu. Kau tidak merasakan, bagaimana siksaan yang kualami. Dan kini, kau akan merasakannya, Setan! Kau akan merasakannya, Keparat! Ha ha ha...!”

Si Gila dari Muara Bangkai tertawa terbahak-bahak. Bahkan goloknya langsung dicabut dengan sikap mengancam. Namun saat itu juga, para pengawal kadipaten telah berdatangan dan mengepung tempat itu. Bahkan mereka langsung melompat menyerang Si Gila dari Muara Bangkai.

“Gembel keparat! Mampuslah kau! Yeaaa...!”
“Huh!”

Si Gila dari Muara Bangkai mendengus geram. Tubuhnya segera melompat cepat sambil mencabut golok, yang langsung dikelebatkan dengan cepat

Srak!
Craass!
“Aaaa...!”

Dua orang langsung terjungkal roboh tidak berdaya dengan darah memancur deras dari kening. Kini Si Gila dari Muara Bangkai mengamuk sejadi-jadinya. Sementara pada saat itu juga, Adipati Buntaran mencari kesempatan untuk meloloskan diri, namun menyuruh Nirmala bergegas lebih dulu.

“Cepat! Selamatkan dirimu, anakku! Lari! Larilah sekuat tenagamu...!” teriak Adipati Buntaran. Begitu mendapat kesempatan. Darmo Gandul melompat cepat untuk menghadang. Namun beberapa orang pengawal mencoba menghalanginya. Bukan main geramnya pemuda gembel itu. Seketika goloknya berkelebat cepat menyambar mereka. Maka kembali terdengar jeritan panjang yang menyayat

“Aaaa...!”
“Hiyaaaa...!”

Darmo Gandul terus berusaha mengejar Nirmala yang berlari kencang meninggalkan tempat itu. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, melihat ke arah kedua orang tuanya yang mencoba membantu menghadang pemuda gembel itu. Berat rasa hatinya meninggalkan mereka. Namun ayahnya terus memaksa.

Gadis itu mengerti, apa yang akan terjadi terhadap kedua orang tuanya. Dan ini membuat hatinya pilu. Dengan tangis panjang dan air mata berlinang, gadis itu terus berlari menyusuri jalan setapak dan menembus kegelapan malam di balik pepohonan rimbun.

“Darmo Gandul! Kau berurusan denganku! Jangan ganggu anakku...!” teriak Adipati Buntaran. Adipati itu cepat mengejar, dan langsung menghadang Darmo Gandul dengan keris terhunus. Namun, Si Gila dari Muara Bangkai tentu saja tidak sudi niatnya terhalang. Maka goloknya langsung dibabatkan, menghadang keris adipati itu.

Trang!

Adipati Buntaran terkejut setengah mati. Kerisnya langsung terlepas dari genggaman dihantam golok Darmo Gandul. Bahkan tubuhnya sempat terjajar beberapa langkah. Dan belum lagi dia sempat menguasai diri, satu tendangan keras menghantam dadanya.

Dukk!
“Aaaakh...!”

Terdengar jeritan kesakitan dari Adipati Buntaran. Laki-laki setengah baya itu terjungkal ke belakang sambil menyemburkan darah segar dari mulutnya.

“Kakang...!”

Nyai Buntaran langsung menubruk suaminya yang tengah megap-megap tidak berdaya, disertai jeritan memilukan.

“Gembel hina, mampus kau...!” bentak sisa pengawal kadipaten yang semakin kalap melihat kelakuan Si Gila dari Muara Bangkai.

Darmo Gandul semakin geram. Wajahnya terlihat semakin kelam. Dengan melompat bagaikan sapuan angin kencang, tubuhnya menyelinap ke arah para pengawal. Sesaat kemudian, terdengar pekik kematian yang disusul robohnya tiga orang lawan. Berikutnya, dua orang kembali roboh. Sementara tubuh pemuda gembel itu melenting ke arah belakang, ketika dua orang pengawal yang tersisa menyerbu sekaligus. Lalu....

“Yeaaa...!”
Gras!
“Aaaa...!”

Kembali terdengar jerit kesakitan, ketika ke dua pengawal kadipaten roboh bersimbah darah tersabet golok pemuda gembel itu. Darmo Gandul kini mulai menyarungkan goloknya cepat, kemudian memandang ke arah suami-istri itu dengan wajah menyeringai.

“Sekarang, tidak ada seorang pun yang bisa menolongmu...,” ujar Si Gila dari Muara Bangkai, dingin.

“Bunuhlah kami! Bunuhlah kami...! Aku tidak takut mati...!” teriak Adipati Buntaran kalap.

“Membunuhmu? Membunuh kalian...? Ha ha ha...! Itu terlalu enak bagimu, Setan! Kau akan merasakan mati perlahan-lahan dan amat menderita lahir batin...!” teriak Darmo Gandul terbahak-bahak. Kemudian Si Gila dari Muara Bangkai menghampiri keduanya perlahan-lahan. Namun sebelum sempat berbuat sesuatu.

“Gembel hina, hentikan perbuatanmu...!”
“Hei?!”

Terdengar bentakan nyaring, yang membuat Darmo Gandul tersentak. Dan dia langsung berpaling ke arah datangnya suara.


***


Tepat empat tombak di depan Si Gila dari Muara Bangkai, tegak seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya yang besar, terbungkus pakaian kelabu. Sebilah pedang, tampak tersampir di punggungnya. Rambutnya yang panjang digelung ke atas. Sambil melipat kedua tangan di dada, matanya memandang ke arah Si Gila dari Muara Bangkai dengan sorot tajam menusuk.

“Ah! Aku kenal kau! Aku kenal kau...! Gajah Bengkak yang sebentar lagi akan menyusul yang lain. Hi hi hi...! Suatu kebetulan yang amat kuimpikan kau datang ke sini. Sehingga, aku tidak susah payah lagi mencarimu!” oceh pemuda gembel itu sambil tertawa kegirangan.

“Kau berani lancang kepada Gajah Lanang, gembel keparat! Dan, rupanya kau masih hidup juga, heh?! Hari ini, aku akan membereskanmu sehingga tidak bergentayangan lagi!” sahut laki-laki bernama Gajah Lanang dengan nada lantang.

“Hi hi hi...! Gajah Bengkak! Bicara apa kau? Ajal sudah di ambang mata, tapi masih mengoceh seperti orang gila. Mana kawan-kawanmu yang lain? Kenapa tidak disuruh ke sini mengeroyokku? Ayo, panggil mereka. Dan, keroyok aku seperti dulu. Kali ini, lebih mudah dan cepat rasanya membereskan kalian...!” sahut Si Gila dari Muara Bangkai.

“Phuiih! Menghadapi orang sinting sepertimu, tidak perlu banyak orang! Cabutlah golokmu, agar persoalan lebih cepat selesai!” desis Gajah Lanang seraya meraba gagang pedangnya.

Sring!

Gajah Lanang sudah langsung mencabut pedangnya.

“Hi hi hi...! Tujuh tahun lalu saja, kau tidak akan mampu menghadapiku seorang diri. Sehingga, perlu meminta bantuan kawan-kawanmu. Apalagi, saat ini. Hi hi hi...! Hei, Buntaran keparat! Sungguh beruntung kecoa ini datang, sehingga nyawamu bisa sedikit diperpanjang!” ejek Darmo Gandul terkekeh-kekeh.

“Adipati Buntaran! Tenangkanlah hatimu. Sebentar lagi, keparat ini akan kumusnahkan dari muka bumi!” teriak Gajah Lanang.

“Syukur kau cepat datang, Sobat. Gembel busuk ini hampir saja merenggut nyawa kami...,” sahut Adipati Buntaran dengan wajah sedikit lega.

“Hi hi hi...! Bukan hampir, Buntaran goblok! Tapi, aku hanya meluangkan waktu sedikit. Nah, Gajah Lanang. Ayo seranglah aku. Dan, buktikan kata-katamu!” teriak Darmo Gandul menimpali.

“Keparat! Lihat serangan...!” geram Gajah Lanang seraya melompat menyerang. Namun Darmo Gandul gesit sekali mengelak dengan meliuk-liuk indah.

Sementara derit angin serangan laki-laki bertubuh besar itu menyapu seluruh tubuh Darmo Gandul dari kaki hingga rambut. Namun Si Gila dari Muara Bangkai terus meliuk-liuk bagai penari sambil tertawa-tawa keras mengejek. Bukan main panasnya Gajah Lanang diremehkan demikian rupa. Namun sesungguhnya dia kagum melihat pemuda gembel itu. Setelah tujuh tahun berselang, tanpa diduga kepandaian Darmo Gandul maju demikian pesat. Buktinya, seluruh kepandaiannya telah dikerahkan namun belum mampu menyentuh bajunya sekali pun.

“Sekarang giliranku, Gajah Lanang! Lihat serangan...!” bentak Si Gila dari Muara Bangkai.

Tring!

Secepat kilat Darmo Gandul mencabut golok, secepat itu pula dikelebatkan ke arah perut Gajah Lanang. Laki-laki bertubuh besar itu terkesiap dan cepat menangkis dengan pedangnya.

Trang!

Benturan kedua senjata membuat kulit telapak tangan Gajah Lanang terasa perih dan terkelupas. Dan belum lagi sempat menyadari, mendadak satu tebasan kilat menyambar dahinya.

Crasss!
“Aaaa....”

Gajah Lanang kontan memekik kesakitan dengan tubuh roboh bermandikan darah. Tangannya terus memegangi luka menganga di dahinya, sambil menggelepar-gelepar meregang nyawa.

“Hi hi hi...! Mampus kau, mampuss...! He he
he...! Sekarang pertunjukan berikutnya, setan Buntaran!” teriak Si Gila dari Muara Bangkai dengan mata memandang tubuh Gajah Lanang.

Tepat ketika tubuh Gajah Lanang diam tak berkutik lagi, Si Gila dari Muara Bangkai mengalihkan pandangan ke arah Adipati Buntaran yang belum juga pergi dari tempat ini. Bahkan ketika pemuda gembel itu melompat ke arah istrinya, dia hanya terkesiap saja. Cepat sekali Si Gila dari Muara Bangkai menyambar istri Buntaran, dan memeluknya erat-erat.

“Aouw! Lepaskan aku! Lepaskan aku, Keparat...!” teriak wanita itu mencoba berteriak-teriak dan melepaskan diri.

“Lepaskan istriku, Keparat...!” teriak adipati itu, begitu tersadar. Seketika adipati itu melompat cepat, hendak membebaskan istrinya. Namun tanpa diduga ujung kaki pemuda itu menghantam dadanya.

Dukkk!
“Aaaakh...!”

Laki-laki setengah baya itu kembali tersungkur disertai muntahan darah kental.

“He he he...! Seharusnya anakmu yang cantik dan montok itu menjadi bagianku. Tapi, tidak apa. Karena, istrimu pun masih memenuhi syarat. Kau akan melihat pertunjukan yang menggairahkan, Buntaran...!” ejek Si Gila dari Muara Bangkai, terdengar memuakkan.

Dengan tangan kiri memeluk, Nyai Buntaran dari belakang, tangan kanan Si Gila dari Muara Bangkai bergerak cepat menjambret baju wanita itu.

Bret! Bret!

“Aouww! Kurang ajar! Keparat! Lepaskan aku! Lepaskaaaan...! Aouw...!”

Istri Adipati Buntaran menjerit-jerit ketakutan, ketika semua pakaiannya telah dilucuti. Bahkan tubuhnya yang lemah itu dilemparkan hingga terjerembab. Wanita yang sama sekali tak memiliki ilmu olah kanuragan itu berteriak kesakitan. Kemudian seperti serigala melihat anak ayam, pemuda gembel ini melompat menerkam tubuh wanita yang telah, telanjang itu dan menindihnya kuat-kuat. Nyai Buntaran menjerit ketakutan dan berusaha melepaskan diri. Namun, jepitan Si Gila dari Muara Bangkai itu kuat luar biasa.

“Lepaskan istriku, Setan Keparat! Lepaskan dia...!” teriak Adipati Buntaran dengan sekujur tubuh menggigil menahan amarah menggelegak.

Laki-laki itu hendak bangkit menolong istrinya, namun mulutnya kembali memuntahkan darah kental berkali-kali. Hawa amarah dan luka dalam yang dideritanya, semakin membuatnya tidak berdaya. Apalagi mendengar teriakan teriakan istrinya yang sangat menghiba penuh ketakutan. Lelaki itu hanya bisa berteriak-teriak, lalu kembali memuntahkan darah segar. Dan ketika istrinya melengking nyaring menahan rasa sakit, kemudian semuanya terasa gelap sekali!


***


LIMA

Hari telah agak malam ketika Bayu tiba di pinggiran Hutan Kaliwalang. Sejak tadi Tiren melenguh pendek. Dan pemuda itu jadi tersenyum dan mengajaknya berhenti.

“Kau lapar, Tiren?”
“Nguk! Nguk...!”
“Nah, bisakah kau mencari sesuatu untuk makan malam kita?”
“Nguk! Nguk...!” Tiren mengangguk.

“Baiklah. Kau mencari makanan buat kita, sementara aku menyalakan api. Kita bermalam disini saja. Tampaknya, di daerah ini banyak yang bisa didapat sebagai makanan...,” lanjut Bayu seraya memandang ke sekeliling.

Tanpa banyak bicara lagi, monyet kecil itu melompat ke salah satu cabang pohon, lalu menghilang di kegelapan malam. Ketika kembali kepada Bayu di tangannya telah bergelantungan buah-buahan segar. Monyet kecil itu berteriak girang. Tampak pemuda yang selalu berpakaian dari kulit harimau itu telah membuat api unggun dan sedang menguliti dua ekor kelinci yang bertubuh gemuk.

“Kaaakh...!”

“Kau makanlah bagianmu. Dan aku akan memakan bagianku! Kau tentu tidak menyukai daging kelinci ini, bukan?” sahut Bayu tenang.

“Nguk! Nguk...!”

Bayu tersenyum kecil, kemudian mulai memanggang kedua daging kelinci yang diperolehnya. Sementara, Tiren menggerogoti buah-buahan.

“Hmmm. Harum betul daging kelinci ini. Perutku semakin lapar saja. Tapi kalau untuk dibagi dua pun, rasanya masih cukup!” kata pemuda itu seperti untuk dirinya sendiri. Tiren melompat-lompat seraya berteriak keras.

“Hus! Diamlah, Tiren! Jangan malah membuat takut sobat kita yang sedang mengintip. Mungkin dia juga lapar, seperti kita. Tak perlu khawatir, masih banyak bagian kalau dia hendak bergabung...,” lanjut Bayu.

Pada saat itu juga, tepat di depan Pendekar Pulau Neraka keluar sesosok tubuh laki-laki setengah baya dari balik semak-semak, Bayu tetap tenang dan tidak mempedulikan kehadiran orang itu, karena sibuk membolak-balik daging kelinci yang sedang dibakarnya.

“Hm! Sungguh aku bertindak gegabah terhadap orang yang berkepandaian tinggi seperti Kisanak. Maafkan kelancanganku. Namaku, Bhatara Wisesa. Siapakah dirimu, Kisanak? Oh, ya. Apakah tidak keberatan bila aku bergabung dan meminta sedikit daging kelincimu untuk mengganjal perutku yang lapar?” sapa laki-laki yang baru datang itu dengan ramah.

Bayu mengangkat kepalanya. Kini di depannya berdiri seorang laki-laki setengah baya bersenjatakan kapak besar terselip di pinggang. Tubuh laki-laki yang mengaku bernama Bhatara Wisesa agak kurus. Sepasang kelopak matanya cekung, ketika memandang ke arah Pendekar Pulau Neraka. Namun begitu, senyumnya amat ramah dan wajahnya bersih. Jauh sekali dari kesan seorang yang hendak berniat jahat.

“Silakan, Kisanak. Tentu saja dengan senang hati aku akan membagimu daging kelinci ini. Duduklah. Namaku Bayu Hanggara. Kau boleh memanggilku sesuka hatimu...,” sahut Bayu menyilakan tamunya untuk duduk.

Ki Bhatara Wisesa itu duduk bersila persis di depan Pendekar Pulau Neraka. Sementara Bayu langsung memberikan daging kelinci yang tadi tengah dibakarnya. Laki-laki bertubuh kurus itu menerimanya disertai senyum cerah.

“Silakan, Kisanak!” ujar Bayu.
“Terima kasih.”

Mereka duduk bersila sambil sesekali melahap hidangan daging kelinci. Sedangkan Tiren melompat-lompat di dekat Bayu, sambil menyeringai lebar ke arah tamu Bayu. Kemudian menjerit keras beberapa kali.

“Hus! Diamlah, Tiren! Kau hanya menambah ribut saja...!”

“Nguk! Nguk...!” Tiren mengangguk cepat. Kepalanya tertunduk, kemudian terdengar melenguh pendek.

“Hm, nikmat sekali daging kelinci ini. Kenyang rasanya perutku saat ini. Terima kasih banyak, Bayu. Melihat kawan kecilmu ini dan mengetahui namamu, aku jadi teringat akan seseorang. Sejak tadi aku berpikir tentangmu. Apakah kau yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka...?” tanya Ki Bhatara Wisesa.

Bayu tersenyum kecil mendengar pertanyaan tamunya itu. Kemudian kepalanya mengangguk pelan.

“Ah! Sungguh tak kuduga kalau saat ini sedang berhadapan dengan seorang pendekar besar di zaman ini!” desah Ki Bhatara Wisesa kagum.

“Kisanak, jangan terlalu berlebihan memuji orang. Bisa-bisa kepalaku semakin besar saja. Aku hanyalah manusia biasa seperti kebanyakan orang...,” sahut Bayu merendah. “Kalau boleh tahu, akan ke manakah tujuanmu saat ini?”

“Aku hendak mengunjungi sahabat lamaku. Adipati Buntaran....”
“Hm, Adipati Buntaran? Ya, ya...,” sahut Bayu mengangguk.
“Apakah kau mengenalnya juga, Bayu?”
“Kebetulan, aku hanya pernah mendengar namanya....”
“Beliau memang seorang adipati yang amat termashyur!” sahut Ki Bhatara Wisesa memuji.

Bayu kembali tersenyum, lalu menghabiskan sisa daging kelinci panggangnya. Namun mendadak pemuda itu berpaling. Terlebih lagi, ketika Tiren berteriak nyaring. Bayu cepat berdiri dan memandang ke sekelilingnya. Sementara Ki Bhatara Wisesa jadi bingung sendiri dibuatnya, dan ikut-ikutan berdiri.

“Ada apa, Bayu...?” tanya laki-laki kurus itu bingung.

“Aku mendengar jerit ketakutan...,” sahut pemuda itu seraya melompat ke satu arah. Tiren mengikuti dari belakang. Dan, Ki Bhatara Wisesa pun agaknya tidak mau ketinggalan.


***


Seorang gadis tengah menjerit ketakutan melihat dua orang laki-laki bertubuh besar yang menyeringai lebar. Napasnya kembang kempis tidak beraturan dan lututnya gemetar tidak berdaya. Setelah berlari cukup lama, kini tak disangka-sangka kedua orang itu muncul di hadapannya. Niatnya tadi hendak berbalik dan kabur, namun kedua kakinya seperti tidak mampu bergerak. Gadis itu hanya bisa menjerit sekuat tenaga, ketika kedua orang bertampang seram itu semakin mendekat.

“He he he...! Diamlah, anak manis. Percuma saja berteriak-teriak. Karena, tidak ada seorang pun di tempat ini yang akan menolongmu,” kata salah seorang seraya tersenyum lebar, tapi mirip seringai serigala.

“Apa yang dikatakannya benar, Cah Ayu. Percuma kau berteriak. Lebih baik, simpan tenaga mu. Sebab, sebentar lagi kita akan bersama-sama melakukan perjalanan ke sorga...! He he he...!” timpal yang seorang lagi.

Gadis itu beringsut ke belakang. Sinar rembulan samar-samar memperlihatkan wajahnya yang pucat dengan tubuh gemetar ketakutan.

“Jangan...! Jangan.... Kasihanilah aku.... Kumohon, pergilah. Dan, jangan ganggu aku...,” rintih gadis itu memohon dan mengharap belas kasihan kedua lelaki brewok itu.

“He he he...! Tentu saja! Siapa yang hendak mengganggumu? Kami justru akan memberi kenikmatan. Nah, tenang-tenang sajalah. Tak perlu takut...”

Serentak, kedua orang yang berwajah mirip itu menyergap dan langsung memeluk gadis ini.

“Oh, tidak! Tidak! Aouw...! Lepaskan! Lepaskaaaan...!” teriak gadis itu, ketakutan.

Sementara kedua orang itu begitu erat memeluk tubuhnya. Bahkan dengan sangat bernafsu, diciuminya gadis ini yang terus berteriak-teriak, dan berusaha melepaskan diri. Namun hingga mereka bertiga terjerembab, pelukan kedua lelaki itu sama sekali tidak terlepas.

“Jangan! Jangaaan...! Lepaskan aku! Lepaskan aku...!” teriak gadis itu semakin ketakutan ketika mereka telah merobek robek pakaiannya dengan kasar.

Gadis itu berusaha memukul-mukul sekuat tenaga, namun tenaga kedua lelaki itu sangat tangguh dan kuat. Bahkan salah seorang telah menotoknya hingga membuat gadis itu tak mampu bergerak lagi tanpa daya. Dan kini, laki-laki yang seorang lagi dengan penuh nafsu menggerayangi seluruh tubuhnya.

“Tidak! Oh, jangan! Jangaaan...! Lepaskan aku! Lepaskan!” teriak gadis itu, seperti tiada henti. Tubuhnya terus menggelinjang, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman mereka. Gadis itu tidak dapat membendung lagi air matanya menyadari nasibnya yang buruk. Jantungnya berdetak lebih kencang, dan darahnya mengalir tidak beraturan. Perasaan marah, benci, dan dendam menyatu dalam hatinya. Gadis itu megap-megap tidak berdaya. Dan dia berdoa dalam hati, mengharapkan kemukjizatan yang bakal terjadi.

Dan baru saja doa gadis itu selesai, tiba-tiba melesat bayangan kuning yang begitu cepat bagai kilat ke arah dua laki-laki bertampang seram yang tengah dirasuki nafsu iblis itu. Lalu....

Degkh! Bugh!
“Aah! Ugh!”

Seketika terdengar pekik kesakitan dari dua laki-laki bertampang seram itu. Tubuh mereka kontan terjungkal beberapa langkah, begitu bayangan kuning itu melepaskan dua tendangan beruntun. Kini gadis itu merasa tubuhnya sangat ringan. Dan dia buru-buru bangkit seraya menutupi tubuhnya dengan sisa-sisa pakaiannya yang masih lebar. Tepat ketika berdiri, gadis itu melihat dua sosok tubuh yang berwajah penuh kemarahan.

Ketika melihat seekor monyet kecil bergelantungan di bahu seseorang yang baru datang itu, gadis ini langsung merasa bersyukur.

“Bayu...! Oh, syukurlah kau datang tepat waktunya. Tolonglah aku! Mereka..., mereka hendak menodaiku...!”

Tanpa malu-malu lagi, gadis itu memeluk pemuda yang baru tiba di depan kedua lelaki yang hendak memperkosanya. Hal itu membuat pemuda yang memang Bayu menjadi gelagapan.

“Nirmala? Kenapa kau sampai ada di sini...?!” tanya Bayu ketika mengenali gadis itu.

“Ceritanya panjang. Oh, tolonglah aku! Mereka..., mereka....”

“Tenanglah, Nirmala. Biar kubereskan mereka...,” sahut Bayu seraya melepaskan rangkulan gadis itu perlahan-lahan.

Sementara kedua lelaki yang tadi terjungkal, sudah bangkit dengan wajah garang. “Setan keparat! Siapa kalian? Huh! Manusia yang mau mampus berani mengganggu urusan Setan Kembar!” dengus salah seorang dari kedua lelaki berewok yang berjuluk Setan Kembar. Bahkan golok panjang yang telah dihunus terselip dipinggang masing-masing.

“Hei! Setan Kembar! Sungguh kotor perbutanmu. Hari ini kalian akan menerima akibatnya. Aku Bhatara Wisesa, bersumpah akan membunuh kalian saat ini!” geram seorang lelaki yang sudah berada di samping Pendekar Pulau Neraka.

“Hm.... Ki Bhatara Wisesa, makhluk pengecut! Siapa yang tidak mengenalmu? Tujuh tahun lalu, kau hanya mampu menghadapi seorang pemuda tidak berguna. Bahkan secara keroyokan. Kau tidak ada derajat berhadapan dengan kami!” dengus orang tertua dari Setan Kembar itu.

“Dan kau siapa, bocah usil?!” tanya orang yang lebih muda dari Setan Kembar, sambil menuding ke arah Bayu.

“Setan Kembar! Ketahuilah, pemuda inilah yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka!” sahut Ki Bhatara Wisesa.

“Hm, Pendekar Pulau Neraka....” Kedua Setan Kembar tampak terkejut mendengar penjelasan laki-laki setengah baya itu. Namun mana mau keterkejutannya ditunjukkan. Dan mereka tetap saja menunjukkan wajah sinis.

“Huh! Siapa yang peduli dengan segala julukanmu?! Kurapa! Mereka telah mengganggu kesenangan kita. Dan untuk itu, mereka harus mampus di tangan kita!

Hm.... Tapi rasanya kita masih memberi mereka kesempatan kalau ingin selamat. Pergilah dan tinggalkan gadis itu di sini!” sentak orang tertua dari Setan Kembar menggertak.

“Benar, Kurapi. Kalau mereka membandel, kita hajar saja!” timpal laki-laki termuda dari Setan Kembar, yang dipanggil Kurapa.

Bayu hanya tersenyum dingin. “Setan Kembar! Sungguh bagus usulmu itu. Hanya sayang, aku tidak pernah meninggalkan tempat sebelum urusan selesai. Dan, aku akan menyelesaikannya, agar kalian bisa merasa tenang...,” sahut Bayu enteng.

“Bocah setan! Baiklah kalau kau ingin mampus. Nah, terima kematianmu!” desis Kurapi, orang tertua dari Setan Kembar. Dan laki-laki bertampang seram itu langsung melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka.

“Yeaaa...!”

Pada saat yang bersamaan, Kurapa tidak mau ketinggalan dengan kakaknya. Goloknya segera dicabut, menyerang Ki Bhatara Wisesa.

“Huh?!”


***


Bayu mendengus sinis. Demikian pula Ki Bhatara Wisesa. Laki-laki setengah baya itu sudah langsung mencabut kampaknya, menyambut serangan Kurapa.

“Hiyaaaa...!”
Tragngng!
“Hiiih...!”

Ketika terjadi benturan senjata, Ki Bhatara Wisesa sedikit mengeluh. Himpitan tenaga dalam Kurapa yang disalurkan lewat senjata golok panjangnya, begitu kuat luar biasa. Bahkan sempat membuatnya terkejut kaget menahan rasa nyeri. Namun begitu, Ki Bhatara Wisesa masih sigap sekali melompat ke samping menghindari satu tendangan susulan yang dilakukan Kurapa.

Sementara itu, Bayu yang tengah menghadapi Kurapi dengan tenang melejit dari terkaman senjata lawannya. Lalu, Pendekar Pulau Neraka melompat ke samping. Sedangkan laki-laki bertubuh besar itu terus mengejarnya sambil berbalik mengayunkan senjata.

Wuk!
“Uts!”

Bayu cepat menundukkan kepala, menghindari tebasan senjata Kurapi. Dan belum juga tegak berdiri, kepalan tangan Kurapi sudah menderu ke arah dada. Maka cepat Pendekar Pulau Neraka menghindar ke samping, dan langsung melepaskan serangan balasan. Ujung kakinya langsung bergerak menghantam ke arah pinggang. Kurapi tersentak kaget, melihat kecepatan gerak Pendekar Pulau Neraka. Bahkan belum lagi kedudukannya mantap, mendadak kepalan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka menghujam ke arah perut.

“Uhh....”
“Yeaaaa...!”

Namun demikian Kurapi masih sempat mengelak. Malah cepat melancarkan serangan balasan berupa tendangan ke arah dada. Sayang, Bayu telah melejit ke atas ke samping seraya berputaran di udara beberapa kali. Melihat hal ini Kurapi tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Langsung diserangnya Pendekar Pulau Neraka dengan senjata terhunus. Tapi pada saat nyaris bersamaan, Bayu yang masih di udara mengibaskan tangan kanannya.

Singngng!

Seketika Cakra Maut melesat cepat menyambar ke arah Kurapi. Akibatnya laki-laki gemuk itu terkesiap setengah mati. Sementara cahaya putih yang mengeluarkan bunyi desing nyaring dari Cakra Maut itu melesat tidak tertahankan. Kurapi cepat menyabetkan goloknya untuk menangkis.

Tras!

Namun siapa sangka kalau golok itu sama sekali tidak berguna. Bahkan putus disambar senjata Cakra Maut Malah senjata Pendekar Pulau Neraka terus menyambar pangkal lehernya.

Cras!
“Aaakh...!”

Terdengar jeritan Kurapi yang menyayat Darah muncrat bersama tubuhnya yang ambruk ke tanah tidak berdaya!

“Hei?! Kurapi!” Kurapa tersentak kaget begitu mendengar jeritan Kurapi yang kini menggelepar-gelepar meregang nyawa. Padahal saat itu dia sedang mendesak lawannya. Malah Ki Bhatara Wisesa sendiri sempat keteter beberapa kali. Tanpa mengindahkan lawannya, Kurapa melompat menyerang Bayu dengan amarah meluap-luap.

“Pendekar Pulau Neraka! Kau harus membayar nyawa saudaraku dengan nyawa busukmu! Yeaaa...!”

Kurapa langsung mengelebatkan senjatanya ke arah batok kepala Bayu. Namun manis sekali Pendekar Pulau Neraka mengelak ke samping. Lalu tubuhnya melenting ke atas, saat Kurapa memapas pinggangnya. Dan baru saja Pendekar Pulau Neraka mendarat, kepalan kiri laki-laki gemuk itu menghantam keras ke arah dada. Seketika Pendekar Pulau Neraka menangkis dengan telapak tangan kanannya.

Plak!
“Uhh...!”

Laki-laki gemuk itu merasakan kepalan tangannya seperti menghantam batu cadas ketika ditangkis Pendekar Pulau Neraka. Dan belum hilang rasa kagetnya, mendadak Pendekar Pulau Neraka mengayunkan tendangan keras ke arah dada. Kurapa terkejut, lalu cepat melompat ke belakang. Namun, Pendekar Pulau Neraka terus mengejar. Seketika, kepalan tangannya menghantam ke arah dada Kurapa.

“Yeaaa...!”

Kurapa cepat menangkis dengan pergelangan tangan kirinya.

Plakk!
“Aaaakh...!”

Seketika laki-laki berewok itu menjerit kesakitan ketika tangannya beradu. Dan belum lagi hilang rasa sakitnya, Pendekar Pulau Neraka membuat gerakan berputar. Langsung dilepaskannya satu tendangan setengah lingkaran ke arah punggung Kurapa. Begitu cepat gerakannya, sehingga...,

Begkh!
“Aaakh!”

Tubuh Kurapa terhuyung-huyung ke depan disertai jerit kesakitan. Tendangan yang berisi tenaga dalam kuat itu membuat tulang punggungnya seperti lumpuh tidak berdaya. Dan belum lagi kedudukannya diperbaiki, mendadak melesat cahaya putih keperakan ke arahnya.

Singngng!

“Hei?! Oh...!”

Kurapa hanya mampu tergagap dengan wajah pucat. Namun Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka agaknya tidak mengenal ampun. Senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu terus menyambar lehernya.

Cras!
“Aaaakh...!”

Laki-laki gemuk itu kontan menjerit tertahan, begitu lehernya tersambar Cakra Maut. Tubuhnya lalu ambruk dengan darah memancur dari pangkal lehernya yang nyaris putus, membuat luka yang lebar. Sementara Ki Bhatara Wisesa hanya bisa ternganga melihat apa yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka.

Semua berlangsung singkat saja. Bahkan dia tidak sempat membantu Pendekar Pulau Neraka. Dalam waktu singkat-saja Pendekar Pulau Neraka membereskan si Setan Kembar dengan cara... amat kejam! Nirmala sendiri sejak tadi memalingkan muka dengan perasaan ngeri bercampur takut. Apa yang dilakukan pemuda itu terhadap kedua lawannya, sungguh membuat hatinya bergidik ngeri. Bukan hanya saat ini. Malah ketika pemuda itu dulu membereskan kawanan Perampok Pisau Terbang, dia sudah begitu ngeri.

“Kaaaakh...!”

Tiren menjerit keras seraya melompat menghampiri Bayu. Pemuda itu menangkapnya dan membawanya ke pundaknya. Lalu dihampirinya Ki Bhatara Wisesa dan Nirmala.


***


ENAM

“Nirmala, kau tidak apa-apa?” tanya Pendekar Pulau Neraka halus. Nirmala mengangkat wajahnya. Dan rasa takutnya yang tadi menghantuinya, kini berubah menjadi rasa takut yang aneh ketika memandang pemuda itu. Dua kali dia bertemu, dan dua kali pula hatinya dibuat bergidik ngeri melihat kekejaman sepak terjang pemuda yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka ini.

“Eh! T... tidak...,” sahut gadis itu, menggeleng lemah.
“Hm....”

Bayu menggumam pelan seraya memalingkan wajahnya. Tidak enak rasanya memandang gadis itu, yang berpakaian tak karuan. Sehingga, bagian-bagian tertentu tubuhnya yang putih mulus masih terlihat. Apa yang dilakukan pemuda itu agaknya diikuti Ki Bhatara Wisesa pula.

“Kenapa kau bisa berada di tempat ini?” lanjut Bayu.

“Eh! Ceritanya..., ceritanya....” Nirmala tidak mampu melanjutkan kata-kata. Suaranya seperti tercekat di kerongkongan ketika rasa duka cita yang amat dalam terasa sesak dan berkumpul di rongga dadanya. Wajah gadis itu memerah dan bibirnya yang indah bergetar. Kedua kelopak matanya terlihat sembab, menahan air mata yang hendak tumpah. Namun akhirnya dia tak kuasa menahan, sambil menunduk sedih gadis itu menangis terisak.

“Nirmala! Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Bayu, dengan wajah heran.

“Se... seorang pemuda gembel mengamuk dan menewaskan banyak sekali pengawal kadipaten. Dia mengincar ayahku. Dan saat aku melarikan diri, dia... dia.... Oh, Tuhan! Bayu, tolonglah aku! Aku..., aku takut sekali...,” jelas gadis itu singkat.

“Pemuda gembel? Pemuda gembel bagaimana yang kau maksud...?”

“Entahlah. Aku tidak tahu. Dia..., dia menyebut dirinya Si Gila dari Muara Bangkai. Sedang namanya kalau tidak salah Dar..., Darmo Gandul.”

“Darmo Gandul?!” Ki Bhatara Wisesa jadi terkejut mendengar sebuah nama yang diucapkan gadis itu.

Bayu memandang ke arah laki-laki setengah baya itu dengan wajah meminta penjelasan. “Kau kenal orang itu, Ki!”

“Hm. Nantilah kuceritakan padamu. Kalau kau setuju, bagaimana kalau kita ke kadipaten sekarang juga, Bayu?” ajak Ki Bhatara Wisesa.

“Baiklah. Mari, Nirmala...,” sahut Bayu mengajak gadis itu seraya menuntun tangannya.

Ketika mereka mulai berangkat, Ki Bhatara Wisesa tergesa-gesa sekali. Sedangkan Nirmala terlihat letih dan pucat. Sesekali kakinya tersandung, dan mengeluh kesakitan.

“Bayu! Kita harus secepatnya ke sana...,” kata Ki Bhatara Wisesa.

Bayu berpikir sesaat, kemudian mengangguk pelan. Lalu cepat digendong Nirmala. Seketika Pendekar Pulau Neraka berlari cepat ke arah kadipaten.

“Maaf, Nirmala. Tidak ada cara lain...!” ucap Bayu sambil berlari.

Nirmala hanya mengangguk, karena menyadari keadaan dirinya sendiri. Kini ketiga orang itu bergerak ke tempat tujuan. Dan ketika. Bayu mengempos tenaga untuk mengerahkan ilmu lari cepatnya, Ki Bhatara Wisesa pun tidak mau ketinggalan. Mereka terus berlari cepat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh.


***


Apa yang ditemukan di halaman bangunan Kadipaten Karang Wates itu sangat mengenaskan. Mayat-mayat para pengawal bergelimpangan di sana-sini bersimbah darah bercampur tanah. Ki Bhatara Wisesa mendesis geram.

“Melihat luka yang sama di dahi mereka, ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu golok yang sangat hebat. Bagaimana mungkin dia mampu berbuat begini? Kalau benar perbuatannya, tentu amat membahayakan!” desis Ki Bhatara Wisesa.

Sementara itu Nirmala sama sekali tidak mempedulikan. Gadis itu sudah langsung menghambur ke dalam bangunan megah yang kini sepi tanpa penghuni.

“Ayaaah...! Ibuuuu...!” teriak gadis itu, khawatir.

“Nirmala...!” seru Bayu, seraya mengejar. Gadis itu terus menghambur ke halaman belakang, sementara Bayu mengejarnya. Nirmala langsung menuju jalan yang tak jauh dari bagian belakang rumahnya. Dia terus berlari, sampai akhirnya tiba di tempat saat kereta kudanya dihadang Darmo Gandul.

“Oh, tidak! Tidaaaak...?!” Tiba-tiba Nirmala memekik sambil mendekap wajahnya dengan kedua tangan.

“Nirmala...?!” Bayu tersentak dan buru-buru melompat menghampiri. Tampak gadis itu bersimpuh di tengah jalan, menghadapi dua sosok mayat yang bersimbah darah. Yang seorang, laki-laki setengah baya berpakaian indah. Punggungnya terluka parah, seperti dihantam senjata tajam. Tangan kanannya terjulur berusaha menggapai tangan seorang wanita setengah baya, yang juga tergeletak bersimbah darah tanpa mengenakan sehelai pakaian di tubuhnya. Melihat pemandangan itu, Bayu terpaksa memalingkan pandangan.

“Adipati Buntaran, sahabatku? Oh! Kenapa nasibmu sampai begini rupa?!” desis Ki Bhatara Wisesa yang telah berada di situ pula. Wajahnya tampak pucat dengan bibir gemetar.

Bayu mendiamkan saja kedua orang itu larut dalam kedukaan. Pendekar Pulau Neraka lantas duduk di atas sebuah batu besar, sambil memperhatikan mereka. Sedangkan Tiren duduk di pangkuannya.

“Nirmala, tenangkanlah hatimu. Aku bersumpah akan menuntut balas atas kematian kedua orangtuamu ini!” tegas Ki Bhatara Wisesa sambil menepuk-nepuk pundak gadis itu.

Nirmala diam saja tanpa menoleh. Dia terpekur disertai isakan tangisnya. Ki Bhatara Wisesa bangkit, dan memandangnya sekilas sebelum berjalan pelan menghampiri Bayu.

“Orang itu benar-benar terkutuk...!” desis orang tua itu geram.

“Hm.... Kau belum menceritakan, bagaimana duduk persoalannya sehingga pemuda gembel yang diceritakan Nirmala berbuat begini terhadap keluarga Adipati Buntaran...!” tanya Bayu.

Ki Bhatara Wisesa menarik napas panjang, kemudian mulai menceritakan peristiwa yang terjadi tujuh tahun silam. Dan buntutnya, adalah kejadian sekarang ini.


***


Pemakaman Adipati Buntaran dan istrinya serta para pengawal kadipaten dilaksanakan pada pagi harinya. Banyak penduduk yang datang menghadiri. Selama ini, Adipati Buntaran memang tidak terlalu ramah. Dia jarang turun melihat keadaan rakyatnya. Namun begitu, beliau tetap dihormati. Karena selama pemerintahannya, tujuh wilayah yang termasuk dalam Kadipaten Karang Wates, selalu aman-aman saja.

Sementara itu Nirmala masih tetap tidak banyak bicara. Dan Bayu pun agaknya tidak ingin mengusik kesedihan gadis itu. Dia lebih banyak diam, memperhatikan kesibukan itu. Sedangkan Ki Bhatara Wisesa tampak bertindak sebagai pengganti tuan rumah dalam kesibukan yang terjadi di rumah kediaman almarhum Adipati Buntaran.

Orang-orang sudah kembali ke tempat masing-masing, sementara beberapa orang penduduk yang kenal baik dengan Adipati Buntaran, masih berada di tempat ini sambil bercakap-cakap. Ki Bhatara Wisesa mendekati Bayu yang duduk di salah satu pojok ruangan di teras depan.

“Bayu, maukah kau menolongku...?” tanya Ki Bhatara Wisesa, seraya meletakkan bokongnya di samping Pendekar Pulau Neraka.

“Hm..., tentang apa?” Bayu malah balik bertanya.

“Kita harus menghentikan perbuatan pemuda itu. Dia tidak waras, dan akan membuat kekacauan yang lebih parah!”

“Kita...?!”

Ki Bhatara Wisesa memandang Pendekar Pulau Neraka dengan wajah tidak percaya. Tadinya, dia berharap Bayu akan turun tangan membantunya untuk memerangi pemuda gembel yang berjuluk Si Gila dari Muara Bangkai. Bahkan kalau mungkin membinasakannya. Tapi, jawaban Bayu yang bernada aneh itu membuatnya kecewa sekali.

“Bayu! Apakah..., apakah kau tidak bersedia menolong kami?” tanya Ki Bhatara Wisesa menegaskan.

“Aku suka sekali menolong, tapi lihat dulu, apa dan siapa yang hendak kutolong!” tegas Bayu.

“Maksudmu?”

“Orang yang sepatutnya mendapat pertolongan tentunya!”

“Bayu! Aku tidak ingin memohon padamu. Kalau memang kau tidak ingin membantu, aku sendiri masih mampu melakukannya! Hanya perlu diingat, bukankah perbuatannya terhadap keluarga Adipati Buntaran sungguh keji dan biadab?!” sentak orang tua itu tak senang.

“Tentu saja! Tapi, kau telah bercerita padaku, kenapa Si Gila dari Muara Bangkai, sampai berbuat demikian. Kalian telah membunuh anak dan istrinya. Bahkan beberapa orang kawanmu menodai istrinya, sebelum dibunuh. Bukankah berarti kalian sama keji dan biadabnya?!

Dan semua itu atas perintah Adipati Buntaran!” sahut Bayu, tidak kalah sengitnya.

“Dia patut menerima itu, setelah apa yang dilakukannya terhadap wanita-wanita seluruh kadipaten ini!” kilah Ki Bhatara Wisesa.

“Hm. Sudah sewajarnya sebagai seorang manusia, dia memiliki dendam yang hebat terhadap kalian. Seandainya aku diperlakukan begitu, tentu akan bisa merasakan dendam yang hebat dalam dadaku....”

“Terima kasih atas bantuanmu semalam, Bayu. Maaf, aku musti mengurus yang lainnya...!” sahut Ki Bhatara Wisesa seraya beranjak dari tempat itu.

Bayu menghela napas panjang seraya memandang laki-laki itu. Kemudian pandangannya dialihkan, seraya bangkit dan perlahan-lahan meninggalkan tempat. Namun baru saja keluar dari halaman depan bangunan kadipaten itu, mendadak.

“Bayu, tunggu...!”

Bayu langsung menoleh. Tampak Nirmala menghampirinya. Dia menunggu beberapa saat. Dan ketika telah dekat, bukannya bicara dengan pemuda ini, tapi gadis itu malah menundukkan kepala dengan keadaan membisu.

“Ada apa, Nirmala...?”

“Apakah kau akan meninggalkanku begini saja...?” tanya gadis itu bernada berat serta putus asa.

“Nirmala! Di antara orang-orang itu terdapat kerabatmu. Dan kau berarti telah berada di tengah keluargamu....”

“Bayu! Benarkah kau tidak ingin menolongku...?”

“Menolong bagaimana, Nirmala...?”

Gadis itu menarik napas panjang-panjang, kemudian menghembuskannya perlahan-lahan seraya mengalihkan pandangan. Kemudian beberapa saat kemudian matanya menatap lurus kepada Bayu.

“Tahukah kau, betapa sakit hati dan dendamnya hatiku melihat keadaan begini yang menimpa keluargaku? Kalau saja aku memiliki kemampuan tentu saja tidak mesti memohon kepadamu...,” kata gadis itu.

Bayu memandang gadis itu sejenak. “Nirmala, maaf. Bukannya aku tidak mengerti perasaanmu. Tapi, aku tidak bisa berjanji. Kita lihat saja bagaimana nanti,” ucap Bayu pelan.

Kemudian Bayu berbalik dan berlalu dari tempat itu. Nirmala ingin menahannya, namun hanya bisa terpaku dengan wajah tidak menentu. Dan matanya menyertai pemuda itu sampai hilang dari pandangannya. Haruskah Bayu menolong mereka? Bukankah dendam antara keduanya telah menjadi impas?

Adipati Buntaran menyiksa pemuda gembel yang berjuluk Si Gila dari Muara Bangkai berikut istri dan anaknya. Sedangkan Si Gila dari Muara Bangkai telah membalasnya. Hanya saja, pemuda gembel itu masih berkeliaran dan Adipati Buntaran telah menemui ajalnya. Lalu, siapakah yang akan membalaskan dendam orang-orang yang telah dianiaya pemuda itu sebelumnya? Dan bukan tidak mungkin, dia akan membuat keonaran yang lebih dahsyat Apalagi kemampuannya yang menurut Ki Bhatara Wisesa, telah meningkat pesat. Tentu semakin sulit saja bagi orang lain untuk mencegah perbuatan-perbuatan buruknya.


***


Dua orang laki-laki berusia setengah baya tampak berlari cepat melintasi pinggir Hutan Kali Walang. Melihat dari cara berpakaian dan senjata yang disandang, jelas kalau keduanya termasuk tokoh persilatan. Yang seorang berpakaian serba kuning, dengan sebilah pedang di punggung. Sementara yang seorang lagi berbaju hijau, membawa-bawa sebuah tongkat baja yang ujungnya runcing seperti tombak.

“Kakang Baladewa! Apakah menurutmu Ki Jangger ada di tempatnya saat ini? Sudah lama sekali kita tidak bertemu beliau,” kata lelaki yang berbaju kuning.

“Entahlah, Adi Dunggo. Mudah-mudahan saja dia ada di tempatnya,” sahut laki-laki berbaju hijau yang dipanggil Baladewa.

“Hm. Apa yang menimpa Adipati Buntaran sudah jelas. Darmo Gandul ternyata masih hidup, dan kepandaiannya kini berlipat ganda. Seharusnya dulu pastikan kematiannya di dalam jurang. Tapi Ki Jangger malah mengajak kita pergi. Dan sekarang, beginilah jadinya. Dia menyusahkan kita saja...!” umpat laki-laki yang bernama Ki Dunggo dengan wajah kesal.

“Hm. Itu sudah menjadi tanggung jawab kita. Tidak perlu menyesali apa yang telah terjadi. Toh pada saat itu, tidak ada yang menolak usulnya. Sebab, jurang tempat kita membuangnya telah terkenal angker dan banyak dihuni binatang-binatang berbisa. Kita tidak tahu, bagaimana caranya dia bisa lolos dari maut. Yang jelas, kita harus menyiapkan diri dari segala ancamannya...,” gumam Ki Baladewa.

“Benar, Kakang. Tapi aku sedikit khawatir. Dulu saja, kita bersusah payah menjatuhkannya. Dan, setelah tujuh tahun berselang, ternyata kemampuannya semakin pesat, aku khawatir apakah kita bisa mengalahkannya...?” desah Ki Dunggo, seperti berat untuk mengatakannya.

Ki Baladewa terdiam mendengar kata-kata Ki Dunggo. Apa yang didengarnya memang tidak salah. Kematian Adipati Buntaran dan seluruh pengawal kadipaten, telah membuatnya cemas. Pemuda gembel itu sama sekali tidak menemui kesulitan menghadapi kedua panglima kadipaten yang memiliki kepandaian cukup tinggi.

“Apa yang kau pikirkan, Kakang?” tanya Ki Dunggo membuyarkan lamunan laki-laki itu.

“Dia sedang memikirkan kematiannya...! Hi hi hi...!” Mendadak terdengar satu suara menyahuti. Dan yang lebih mengejutkan lagi, tiba-tiba melesat sesosok tubuh dari atas sebuah cabang pohon, lalu tepat berdiri di depan mereka.

“Hei?!” kedua orang itu tersentak kaget dan langsung menghentikan langkah. Di depan mereka, kini berdiri tegak seorang pemuda berpakaian compang-camping dengan rambut panjang awut-awutan. Di pinggangnya terselip sebuah golok agak panjang. Sorot matanya tajam dan memandang rendah ke arah mereka berdua.

“Siapa kau...?!” bentak Ki Dunggo garang.

“He he he...! Dunggo Keparat! Ternyata kau sudah lupa padaku. Tapi jangan harap Darmo Gandul akan lupa padamu!” sahut pemuda gembel itu.

“Darmo Gandul! Jadi, kau yang berjuluk Si Gila dari Muara Bangkai...?” sahut Ki Dunggo, dengan wajah kaget.

Bukan hanya Ki Dunggo yang terkejut. Malah Ki Baladewa sampai terjingkat. Terakhir mereka mengenal Darmo Gandul adalah pemuda tampan yang selalu rapi, serta memiliki kemampuan hebat. Maka tidak heran bila dia mampu menggaet dan merusak kehormatan gadis-gadis yang tergila-gila padanya. Tapi yang mereka lihat saat ini, Darmo Gandul lebih buruk dan jorok dari pengemis yang paling kotor sekalipun. Kalaupun ada yang membuat nyali mereka ciut, adalah sorot mata pemuda itu yang tajam laksana seekor harimau hendak menerkam mangsa.

“He he he...! Mulai ciut, Dunggo Keparat? Hari ini, kalian berdua tidak akan bisa lepas dari kematian! Hi hi hi...! Satu persatu kalian akan mampus di tanganku. Si Buntaran keparat telah mendapat giliran pertama. Dan belum lama berselang, kawan kalian si setan Gumilar telah menyusulnya. Hi hi hi...!”

“Apa?! Kau telah membunuh Gumilar pula? Keparat! Kau tidak akan lepas dariku, Darmo Gandul!” sentak Ki Baladewa garang.

“Diam! Cabut senjatamu, dan pertahankan nyawamu dari golokku...!” bentak Darmo Gandul dengan suara menggeledek. Setelah berkata demikian, Si Gila dari Muara Bangkai langsung mencabut golok dan melompat menerkam.

“Yeaaa...!”

Ki Baladewa dan Ki Dunggo tersentak kaget Namun mereka buru-buru melompat ke belakang, menghindari serangan Darmo Gandul seraya mencabut senjata.

Sring!

Begitu senjata mereka tercabut, langsung dipapaknya serangan golok Si Gila dari Muara Bangkai.

Trak! Trak!
“Uhh....”

Kembali kedua orang itu terkejut, ketika mencoba menangkis golok Darmo Gandul. Pedang Ki Dunggo terlihat rompal, dan nyaris terlepas dari genggamannya. Telapak tangannya terasa nyeri dan terkelupas, ketika benturan terjadi. Begitu pula tongkat Baladewa yang nyaris patah, disambar golok itu. Tenaga dan kecepatan Si Gila dari Muara Bangkai amat cepat dan kuat. Dan belum lagi beberapa jurus, mereka tampaknya mulai keteter.

“Hiyaaaa...!”

Kedua orang tua itu menggeram,” mencoba membalas menyerang. Namun Si Gila dari Muara Bangkai gesit sekali mengelak dengan melenting ke atas. Dan tahu-tahu, dia telah mendarat di belakang mereka sambil mengayunkan goloknya.

Cras!
“Aaah...!”

Ki Dunggo mengeluh kesakitan, ketika golok Si Gila dari Muara Bangkai memotong telinga kirinya. Sementara nasib baik masih berpihak pada Ki Baladewa. Begitu golok Darmo Gandul berkelebat ke arahnya, dia cepat berbalik. Seketika ditangkisnya golok itu.

Trang!

Ki Baladewa terjajar beberapa langkah. Namun belum juga bisa menguasai diri, tiba-tiba ujung kaki pemuda itu meluncur ke arah dadanya. Begitu cepatnya, sehingga....

Begkh!
“Aaaakh!”

Ki Baladewa mengeluh tertahan, begitu kaki Darmo Gandul mendarat telak di dadanya. Tubuhnya sampai terjajar beberapa langkah, namun cepat menguasai diri. Seketika dikerahkannya hawa murni untuk mengusir rasa sesak yang menyerang dadanya.

“Hi hi hi...! Dua ekor tikus busuk menjerit kesakitan! He he he...! Sebentar lagi, kalian akan merasakan sakit yang lebih hebat dan seru...!” ejek Si Gila dari Muara Bangkai tertawa terkekeh.

“Setan!” Ki Dunggo menggeram. Demikian juga Ki Baladewa. Dengan disertai amarah meluap kedua orang itu melompat bersamaan menyerang Si Gila dari Muara Bangkai.

“Yeaaaa...!”

Si Gila dari Muara Bangkai menggeram. Tubuhnya segera bergerak cepat, melejit menghindari serangan kedua lawannya. Terasa angin bersiur cepat Dan begitu berada di udara, Darmo Gandul cepat meluruk turun disertai sabetan goloknya ke arah Ki Dunggo yang hanya mampu ternganga. Dan tahu-tahu....

Cras!
“Aaaaa...!”

Ki Dunggo memekik keras, begitu dahinya terbabat golok Si Gila dari Muara Bangkai. Tubuhnya, terjungkal dengan darah mengucur deras dari luka dalam di dahinya, tepat ketika Darmo Gandul mendarat di tanah.

“Hei?! Kurang ajar...!” Bukan main geram dan marahnya Ki Baladewa melihat kenyataan itu. Darahnya tersirap, dan langsung menyerang pemuda itu dengan membabi buta.

“He he he...! Sini! Ke sinilah cepat. Susullah kawanmu itu...!” ejek Darmo Gandul.

“Yeaaaa...!” Ki Baladewa menyabetkan tongkatnya menyapu seluruh tubuh Darmo Gandul. Sehingga terlihat seolah pemuda itu terkurung dan tidak mampu keluar dari putaran tongkatnya. Namun, mendadak Ki Baladewa terkejut. Tiba-tiba, Darmo Gandul melompat ke atas, lalu meluruk dengan kebutan goloknya. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Cras!
“Aaaa...!”

Terdengar jerit tertahan, kemudian terlihat tubuh Ki Baladewa ambruk bermandikan darah dengan dahi luka cukup dalam.

“Hi hi hi...! Mampus kau! Mampus kalian...! Hi hi hi...!” teriak Si Gila dari-Muara Bangkai seraya tertawa nyaring dan melesat meninggalkan Hutan Kaliwalang yang kembali sunyi seperti tadi.


***


TUJUH

SEORANG laki-laki tua tampak duduk terpaku dengan kedua kaki bersila di atas bale-bale di beranda pondoknya yang sederhana. Matanya yang cekung memandang lurus ke depan. Sementara dua orang laki-laki lain yang berusia sekitar tiga puluh tahun, berada di kiri kanannya, dengan mata jelalatan ke seluruh tempat itu, seperti mencari-cari sesuatu. Wajah mereka tampak menyiratkan perasaan cemas, dan gelisah. Demikian juga yang terlihat pada wajah lelaki tua itu. Namun, agaknya dia berusaha menepis perasaannya dan bersikap lebih tenang.

“Ki Jengger, apakah kira-kira dia akan datang?” tanya laki-laki yang memakai ikat kepala merah pada laki-laki tua itu. Orang tua yang dipanggil Ki Jangger menoleh kemudian tersenyum kecil.

“Dia telah mengirim surat tantangan pada kita. Jadi sudah pasti dia akan datang ke sini, Sasongko....”

“Hm.... Kepandaiannya maju pesat dan sangat luar biasa. Seluruh pengawal kadipaten berikut dua orang panglimanya yang tangguh, dapat disapu bersih olehnya...,” gumam laki-laki yang seorang lagi.

“Apakah kau merasa gentar, Dusila?” tanya Ki Jangger.

“Entahlah. Kemampuanku bisa diukur, dan tidak banyak mengalami kemajuan belakangan ini. Aku tidak mengira dia masih hidup setelah dicemplungkan ke dalam jurang....”

“Salahmu sendiri. Kau terlalu rakus dengan perempuan! Kerjamu hanya pelesir dan bersenang-senang saja...!” umpat Ki Jangger.

Dusila hanya tersenyum. “Seharusnya kita menghubungi Ki Dunggo, Ki Baladewa, dan Ki Bhatara Wisesa lebih dulu...,” kata Sasongko pelan.

“Hm. Siapa yang tahu kalau saat ini mereka masih hidup....”

“Apa maksudmu, Ki Jangger?”

“Siapa tahu Darmo Gandul telah menghabisi mereka lebih dulu. Ki Gajah Lanang telah tewas di tangannya. Dan bukan tidak mungkin, dia mendatangi mereka satu persatu untuk mengurangi kekuatan kita,” sahut Ki Jangger menjelaskan.

Sasongko menghela napas panjang, untuk mengusir kegalauannya. “Hm.... Dulu saja, kita harus susah payah baru berhasil mengalahkannya. Lalu, apa yang bisa kita lakukan dengan bertiga begini?” tanya Dusila.

“Agaknya kau takut, Dusila?” sindir Ki Jangger.

“Aku bukan takut, Ki Jangger. Hanya masih sayang nyawaku...!”

“Kau boleh pulang sebelum dia datang!” sahut Ki Jangger tenang.

Ki Dusila menarik napas panjang. “Hm, kukira itu usul yang baik. Kepandaianku tidak seberapa. Malah masih berada di bawah Kakang Gajah Lanang. Kalau saja dia tewas ditangan pemuda itu, sudah pasti aku tidak akan mampu berbuat apa-apa menghadapinya...,” sahut Dusila, mengutarakan kekhawatirannya.

“Jadi, kau ingin melarikan diri, Dusila...?” tanya Sasongko.
“Aku tidak mau mati konyol di sini!”
“Hm. Kau pengecut, Dusila!” ejek Sasongko.

“Terserah apa kata kalian. Yang jelas, aku masih sayang nyawaku...!” sahut Dusila seraya beranjak dari tempat itu.

Sasongko merasa geram bukan main melihat kepengecutan kawannya. Dia sudah mau melompat mengejar. Namun Ki Jangger telah menangkap pergelangan tangannya.

“Biarkan saja dia memilih jalannya, Sasongko!”
“Huh! Aku tidak sudi punya kawan sepengecut dia! Dia tidak pantas hidup. Lebih baik mampus di tanganku!”

“Tidak perlu! Apa kau pikir Darmo Gandul akan membiarkannya lolos begitu saja? Tidak. Ke mana pun dia pergi, pemuda gembel itu akan mencarinya. Dan dia akan celaka karena harus menghadapinya seorang diri. Paling tidak, kita beruntung karena bisa menghadapinya berdua...,” jelas Ki Jangger.

Meski Sasongko bisa mengerti apa yang dimaksud Ki Jangger, namun hatinya masih tetap panas. Dan hawa amarah dalam dirinya belum bisa surut begitu saja. Dipandangi Dusila yang melenggang seenaknya didepan mereka.

“Huh! Manusia Pengecut Busuk! Mudah-mudahan di tengah jalan bertemu Darmo Gandul dan mampus di tangannya!” dengus Sasongko menahan geram.

Dan baru saja kata-katanya selesai, mendadak terdengar jerit panjang melolong. Tampak Dusila terbirit-birit lari ke arah mereka dengan darah memancur deras di dahinya. Namun baru saja melangkah tiga tindak, tubuhnya ambruk dan nyawanya melayang seketika. Tidak jauh dari mayatnya, tampak berdiri tegak seorang pemuda berpakaian gembel dengan rambut panjang awut-awutan.

Senyumnya sinis dan sorot matanya tajam memandang rendah ke arah mayat Dusila. “He he he...! Kau kira bisa kabur seenaknya lari dariku, Setan?! Hm.... Tidak ada seorang pun dari kalian yang akan hidup jika aku mendatangi...!” kata pemuda gembel itu sambil terkekeh-kekeh sendiri.

Sasongko dan Ki Jangger tersentak kaget Dan mereka jadi saling pandang sesaat. “Si Gila dari Muara Bangkai!” seru mereka hampir berbarengan. Kembali tatapan kedua orang itu beralih pada sosok pemuda berpakaian compang-camping itu.

“Dia telah datang, Ki Jangger,” lanjut Sasongko. Ki Jangger mengangguk. Kemudian dia beranjak dari duduknya. Demikian pula Sasongko. Mereka lantas berjalan lalu berdiri tegak beberapa tindak, lalu menunggu pemuda gembel itu menghampiri.


***


“Hi hi hi...! Kalian tentu terlalu lama menungguku, bukan? Maafkanlah. Sebab, baru saja tadi aku mengirim dua orang kawan kalian. Siapa namanya? Ah, aku ingat! Satu seekor tikus kurap yang bernama Dunggo. Dan satu lagi, seekor kecoa buduk tidak berguna yang bernama Baladewa. Mereka telah menyusul kawan-kawannya yang lain. Dan si pengecut ini, pantas mendapat giliran berikutnya...!” teriak pemuda itu sambil terus tertawa-tawa sendiri kegirangan.

“Darmo Gandul! Jangan dikira dengan ulahmu ini bisa menggertak kami!” sahut Ki Jangger, dingin.

“Ha ha ha...! Tua Bangka bulukan yang bernama Jengger! Kau kira aku menggertak, heh? Untuk apa? Aku tidak akan menggertakmu, tapi langsung akan mengirim kalian ke akherat menyusul yang lain!” ejek Si Gila dari Muara Bangkai.

“Keparat!”

“Hei? Apa kau bilang, Kodok buduk?!” sentak Darmo Gandul pada Sasongko yang menggeram.

“Kau Jahanam keparat!” maki Sasongko.

“He he he...! Kalian pun pantas mendapat sebutan itu. Kalau begitu, kita sama-sama keparat. Masih ingat peristiwa tujuh tahun silam. Oh.... Kasihan sekali istriku mendapat perlakuan kalian yang buas. Kau dan Dusila jahanam itu, memperkosanya tanpa henti. Lalu, membunuhnya didepan mataku. Dan aku juga berbuat begitu terhadap istrimu dan semua kekasih Dusila jahanam itu. Mereka semua mampus setelah terengah-engah meladeniku. Hanya sayang, kau tidak sempat menyaksikannya, Sasongko....”

“Apa katamu? Keparat jahanam! Apa yang kau lakukan terhadap istriku...?!” geram Sasongko dengan mata melotot lebar.

“Eit, eit! Jangan sampai lupa. Tidak hanya istrimu, tapi juga anak perempuanmu yang sedang ranum-ranumnya...! Hi hi hi...!”

“Setan! kubunuh kau! Kubunuh kau...!” geram Sasongko bukan main, laki-laki itu bahkan langsung melompat menyerang setelah mencabut goloknya.

“Yeaaa...!”

Ki Jangger hendak menahan kawannya, namun Sasongko telah lebih dulu melompat menyerang dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Sebagai orang yang lebih tua dan kenyang pengalaman, Ki Jangger bisa merasakan bahaya yang akan menimpa kawannya. Sasongko bertarung dengan amarah meluap-luap, yang bakal membuat serangan-serangannya menjadi tidak beraturan. Maka laki-laki tua itu tidak bisa berpangku tangan saja. Dengan cepat, dicabutnya pedang yang tergenggam di tangan kiri. Lalu orang tua itu ikut melompat menyerang Darmo Gandul.

“Darmo Gandul, maaf. Aku terpaksa ikut turun tangan...!”

“He he he...! Siapa yang melarangmu? Lebih cepat kalian maju bersamaan, akan lebih bagus. Berarti memudahkan pekerjaanku...!” sahut Darmo Gandul tenang.

“Yeaaa...!”

“Setan...!” Golok Sasongko menyambar-nyambar, mengurung pertahanan Darmo Gandul. Sementara Ki Jangger menjaga agar jangan sampai Darmo Gandul mampu menghindar. Maka begitu melihat pemuda itu bergerak menyusup ke atas, ujung pedangnya langsung menghadang.

Trang!
“Uhhh...!”

Bukan main kagetnya Ki Jangger, ketika pedangnya membentur golok Si. Gila dari Muara Bangkai yang tercabut dengan cepat. Tangannya langsung bergetar hebat dan jantungnya berdetak lebih kencang. Dan belum sempat menguasai diri, tendangan Darmo Gandul meluncur ke arah dagunya.

“Hiiih...!”

Masih untung Ki Jangger melompat ke belakang, untuk menghindarinya. Dan dia semakin tertolong, ketika Sasongko mengayunkan golok menebas pinggang Darmo Gandul.

“Mampus...!”

“He he he...! Apanya yang mampus? Kau yang akan mampusss...!” ejek Darmo Gandul seraya menghindari serangan dengan cepat. Tubuh Si Gila dari Muara Bangkai melejit ke belakang sambil menunduk, sekaligus menghindari tebasan pedang Ki Jangger. Goloknya menyilang di dahi, lalu mendadak saja berkelebat cepat menyambar kepala Sasongko.

Cras!
“Aaaa...!”

Sasongko kontan memekik panjang begitu golok Darmo Gandul membabat dahinya. Tubuhnya langsung tersungkur ke depan dengan darah mengucur deras dari dahinya. Maka bukan main kagetnya Ki Jangger. Untuk sesaat dia tidak tahu harus berbuat apa.

“Hua ha ha...! Mampus! Eh, dia benar-benar mampus! Hi hi hi...! Dasar kodok buduk tidak berguna. Tua Bangka, keparat! Kini di antara kalian yang tersisa, tinggal dua orang lagi Ki Bhatara Wisesa dan kau! Sayang, dia tidak kujumpai di rumahnya. Tapi, kau ada di hadapanku. Maka, kaulah yang lebih dulu akan menyusul kawan-kawanmu!”

“Darmo Gandul! Sampai kapan pun aku tidak takut menghadapimu. Kau tidak perlu menggertakku...!” sahut Ki Jangger dingin.

“Hi hi hi...! Apakah aku menggertakmu? Hi hi hi...! Aku tidak pernah mengatakannya. Tapi, justru akan melaksanakannya. Seperti sekarang...!”

Setelah berkata demikian, tubuh Darmo Gandul melesat cepat menerkam Ki Jangger. Namun orang tua yang telah waspada itu menangkis gesit dengan kibasan pedangnya. Sejak tadi diperhatikannya, cepat sekali Darmo Gandul mencabut golok. Dan secepat itu pula disarungkannya kembali.

Permainan goloknya tidak seperti kebanyakan tokoh-tokoh lainnya. Begitu selesai satu gerakan, maka kembali disarungkannya. Lalu, dicabut kembali jika diperlukannya. Semua dilakukan dengan gerakan cepat sekali. Bahkan pandangan mata orang tua itu yang tajam, sedikit mengalami kesulitan untuk melihatnya kalau tidak diamat-amati betul.

Begitu tangan Darmo Gandul meraba gagang golok cepat sekali Ki Jangger mengayunkan pedangnya, gerakan pemuda itu sungguh cepat luar biasa. Baru saja pedang orang tua itu mengibas, golok Darmo Gandul telah memapaknya.

Trangngng!

Seperti perkiraannya, pedang Ki Jangger rompal disambar golok pemuda itu. Malah nyaris terlepas dari genggamannya akibat himpitan tenaga dalam Darmo Gandul yang disalurkan begitu kuat.

“Hiiih!”
“Uts!”

Ki Jangger melompat ke belakang, ketika Si Gila dari Muara Bangkai mengayunkan tendangan menggeledek. Tubuh pemuda gembel itu langsung melompat mengejar. Dan sambil berbalik, kepalan tangannya dihantamkan ke dada orang tua itu. Maka Ki Jangger cepat mengibaskan pedangnya. Namun, ternyata pukulan itu hanya tipu belaka. Karena tanpa disangka-sangka Darmo Gandul menarik kepalan tangannya, lalu cepat sekali memutar tubuhnya. Dan seketika kaki kanannya diayunkan menghantam telak pinggang Ki Jangger.

Begkh!
“Aaakh...!”

Ki Jangger menjerit kesakitan begitu pinggangnya tersambar kaki pemuda itu. Tepat ketika tubuhnya terjungkal ke belakang, Si Gila dari Muara Bangkai melompat menerkam disertai sambaran goloknya. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

“Yeaaaa...!”
Crasss!
“Aaaa...!”

Ki Jangger kembali memekik tertahan, begitu golok Darmo Gandul menyambar dahinya. Darah kontan memancur deras dari luka yang memanjang dan dalam. Tubuhnya terjungkal ke tanah diiringi tawa nyaring Si Gila dari Muara Bangkai yang melesat meninggalkan tempat itu.

“Ha ha ha...!”


***


Dua sosok tubuh berbeda usia dan berlainan jenis tampak berjalan santai sekali. Mereka tampaknya lebih banyak berdiam diri. Hanya sesekali lelaki tua di sebelah sosok gadis cantik itu menghibur. Sementara, gadis itu hanya tersenyum kecil. Lalu kepalanya tertunduk dengan wajah muram.

“Akan kemana tujuan kita sekarang, Paman Bhatara Wisesa...?” tanya gadis itu, setelah sekian lama berjalan. Keringat mulai bercucuran di dahinya. Dan nyata sekali, keletihan membayangi wajahnya. Dan laki-laki tua yang tak lain Ki Bhatara Wisesa itu tersenyum kecil.

“Agaknya kau terlalu larut dalam kesedihanmu, Nirmala. Sehingga tidak mendengar kata-kataku sejak tadi....”

“Maafkan aku, Paman...,” ucap gadis yang ternyata adalah Nirmala.

“Nirmala.... Kita akan menuju tempat kawanku. Dia seorang tokoh hebat. Mudah-mudahan bersama yang lainnya, kami akan berhasil mengalahkan pemuda gembel itu. Kau tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Tidak lama lagi, pemuda gembel itu tentu akan mendapat pembalasan yang setimpal atas perbuatannya!” tegas Ki Bhatara Wisesa meyakinkan.

Nirmala, putri Adipati Buntaran itu terdiam beberapa saat lamanya mendengar penjelasan Ki Bhatara Wisesa.

“Apa yang sedang kau pikirkan...?” tanya Ki Bhatara Wisesa seperti mengerti jalan pikiran gadis itu.

“Eh! Tidak ada, Paman...!”

Ki Bhatara Wisesa tersenyum kecil. “Nirmala! Aku telah menganggapmu sebagai putriku sendiri. Dan demikian pula, aku berharap kau sudi menganggapku sebagai pengganti ayah mu..., yang telah tiada.”

“Terima kasih, Paman....”

“Ayahmu bersahabat baik denganku. Kami seperti saudara saja layaknya. Nah! Maukah kau menganggapku sebagai pengganti ayahmu?”

Gadis itu tersenyum, kemudian mengangguk kecil.

“Hm, sebagai seorang ayah, sudah sepatutnya membantu anaknya. Kulihat wajahmu muram terus. Apa gerangan yang kau pikirkan...?” tanya Ki Bhatara Wisesa.

“Aku ingin agar pemuda gembel itu menerima pembalasan yang setimpal, Paman...!”

“Ya! Paman mengerti dan bisa merasakannya. Namun, rasanya masih ada kekecewaan lain yang tersirat di wajahmu. Boleh paman tahu?” desah laki-laki itu.

Gadis itu menggeleng lemah. “Tidak ada....”

“Kau memikirkan pemuda itu, bukan...?” duga Ki Bhatara Wisesa.

“Siapa yang Paman maksudkan...?” tanya gadis itu sedikit kaget.

“Siapa lagi kalau bukan si Pendekar Pulau Neraka...!”

Nirmala terdiam. Wajahnya yang tampak jengah, buru-buru dialihkan. Namun, Ki Bhatara Wisesa masih sempat melihatnya.

“Betul kau memikirkannya...?”

Nirmala tidak menjawab. Namun tidak bisa memungkiri apa yang dikatakan orang tua ini. Dia memang memikirkan Bayu. Dan rasanya, tidak bisa dilupakannya begitu saja. Dua kali dia diselamatkan pemuda itu. Padahal Nirmala sama sekali tidak mengenalnya. Sikapnya yang tidak peduli, bahkan berkesan tidak ramah, entah kenapa membuatnya merasa senang terhadap pemuda itu.

Tapi sebagai seorang wanita yang terbiasa hidup di lingkungan yang penuh tata krama, tidak mungkin perasaannya dibeberkan. Atau, paling tidak sedikit memberikan lampu hijau bagi pemuda itu. Dan ketika Bayu sama sekali tidak mengerti apa yang dirasakannya, seharusnya Nirmala kesal dan benci. Perasaan itu pun ada, namun hanya sesaat. Karena, gadis ini tidak mampu menghimpit rasa sukanya terhadap Bayu.

“Benar, bukan...?” tanya Ki Bhatara Wisesa menyentak lamunannya.

Gadis itu kembali tersenyum kecil, seraya berpaling.

“Jangan terlampau berharap kepadanya, Nirmala. Sebagai orang tua, aku memberi nasihat yang berguna bagimu...,” ujar Ki Bhatara Wisesa.

“Kenapa, Paman?”

“Dia orang liar dan sulit diatur. Bahkan sangat terkenal kejam. Orang begitu sulit dipercaya. Meski selama ini dia terkenal sebagai pembasmi kejahatan yang sulit dicari tandingannya, tapi sering berbuat sesuka hatinya. Buktinya dalam persoalan ini, dia sama sekali tidak peduli!”

Nirmala diam saja mendengar kata-kata orang tua itu.

“Nah! Orang seperti itu, tidak pantas menerima perhatianmu. Lebih baik jangan diingat-ingat lagi!” tandas orang tua itu.

“Dia memang kejam, Paman. Tapi Bayu telah dua kali menolongku. Bagaimana mungkin Paman bisa menafsirkannya begitu?” tanya Nirmala, heran.

“Hm, paman tidak katakan dia jahat. Tapi, wataknya sulit diduga. Itu saja. Bisa jadi sekarang dia baik dan telah menolongmu. Tapi, siapa tahu di lain kesempatan malah meminta pamrih dan berbuat yang bukan-bukan terhadapmu!”

“Kurasa dia bukan orang seperti itu, Paman....”

“Hm.... Terserahlah. Paman hanya tidak ingin kau jatuh ke dalam kebaikan palsu seorang laki-laki yang belum banyak kau kenal. Sebab, kalau saja terjadi sesuatu yang buruk terhadapmu, sudah barang tentu kedua orangtuamu di alam sana akan menyesali paman...”

“He he he...! Sejak kapan kunyuk yang bernama Ki Bhatara Wisesa pandai menasihati orang...?” Tiba-tiba terdengar suara menyahuti.

“Hei?!”
“Ohhh!”


***


DELAPAN

Mendadak saja melesat sebuah bayangan. Dan sebentar saja telah berdiri sesosok tubuh di hadapan Ki Bhatara Wisesa dan Nirmala. Kedua orang itu terkejut setengah mati.

“Paman, dialah orang itu...!” teriak Nirmala. Ki Bhatara Wisesa menyipitkan matanya melihat seorang pemuda kumal berpakaian compang-camping. Rambutnya yang panjang, dibiarkan awut-awutan tak terurus. Sementara di pinggangnya terselip sebilah golok berukuran agak panjang.

“Hm. Jadi kau rupanya Darmo Gandul alias Si Gila dari Muara Bangkai...?” tanya Ki Bhatara Wisesa, seperti berkata pada diri sendiri.

“Hi hi hi...! Kunyuk busuk! Agaknya kau masih ingat denganku. Bagus-bagus...! Dan kau, gadis cantik. Sungguh pucuk dicinta ulam tiba. Ternyata, tidak bersusah payah aku mencarimu ke mana-mana. Sebentar lagi, setelah aku membereskan kunyuk ini, aku akan bersenang-senang denganmu...!” sahut Darmo Gandul diiringi tawa nyaring.

“Darmo Gandul! Tutup mulut kotormu itu!” bentak Ki Bhatara Wisesa.

“Hm. Pintar menyalak juga kau, Kunyuk! Mudah-mudahan sebentar lagi kau akan menyalak panjang sebagai akhir hidupmu. Ke mana kawan-kawan yang lain? Ha ha ha...! Sungguh bodoh diriku! Kenapa aku menjadi pelupa begini? Hi hi hi...! Mereka memang sudah tidak sabar menyusul si Keparat Buntaran. Jadi..., ya kukirim saja mereka semua menyusulnya. Dan sungguh kasihan, karena kau orang terakhir...!”

“Darmo Gandul, apa maksudmu?!”

“He he he...! Kau membentak, ya? Ha ha ha...! Sungguh hebat, Kunyuk tolol. Nyawa telah di ambang maut, masih mencoba unjuk gigi. Kalau melihat jalan yang ditempuh, agaknya kau akan menemui kawan-kawanmu, bukan? Nah! Lebih baik, urungkan niatmu. Sebab, mereka semua telah kojor! Hi hi hi...! Kunyuk Jangger, Sasongko, Dusila, kodok Dunggo, dan kecoa Baladewa, telah kabur duluan ke akherat! Hi hi hi...!”

“Keparat! Aku bersumpah akan membunuhmu...!”

Srettt!

Dengan amarah meluap-luap mendengar kata-kata Darmo Gandul, Ki Bhatara Wisesa mencabut kapaknya yang terselip di pinggang.

“Hi hi hi...! Mau apa kau dengan penggebuk lalat itu...?” ejek Darmo Gandul kembali.
“Untuk menggorok lehermu, Keparat!”
“Yeaaaa...!”

Setelah berkata demikian, Ki Bhatara Wisesa langsung melompat menyerang. Darmo Gandul dengan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Meski belum membuktikan akan kehebatan lawannya, namun kalau saja Darmo Gandul mampu mengobrak-abrik seluruh pengawal kadipaten, tentu saja kepandaiannya tidak rendah.

Wukkk!

“Uts! Belum kena, Monyet!” ejek Darmo Gandul, langsung mengelak manis saat kapak orang tua itu menyambar lehernya. Kepalanya ditekuk ke belakang, dan tubuhnya bergerak ke samping. Ki Bhatara Wisesa menggeram, lalu tubuhnya berputar. Cepat kapaknya dihantamkan ke tulang iga Si Gila dari Muara Bangkai.

Bettt!

“Jauh sekali, Setan!” ejek Darmo Gandul, disertai gerakan menghindar. Tubuhnya melejit ke samping, lalu melompat ke atas.

“Sekarang kau akan mampus...!” dengus Ki Bhatara Wisesa, langsung mengejar ke atas sambil mengayunkan kapaknya.

“Yeaaa...!”

“Hi hi hi...! Kau tak akan mampu menyerang ku dengan kepandaian yang seujung kuku itu, Monyet buduk!” ejek Darmo Gandul, langsung cepat berputaran ke belakang, dengan tubuh masih di udara. Bukan main kalapnya Ki Bhatara Wisesa melihat pemuda itu mempermainkannya begitu rupa sambil terus mengejeknya. Darahnya terasa naik ke ubun-ubun, dan bola matanya merah menahan geram bukan main.

Sementara itu Nirmala terlihat pucat wajahnya begitu melihat kehadiran pemuda gembel itu. Tubuhnya bergetar dan semangatnya melayang terbang. Dia hanya bisa bersandar di sebuah batang pohon, tanpa mampu menggerakkan seluruh tubuhnya untuk berlari menjauh menyelamatkan diri. Tanpa sadar dia terus berdoa dengan bibir gemetar. Firasatnya mengatakan, orang tua itu tidak akan mampu mengalahkan Si Gila. dari Muara Bangkai. Bahkan bukan tidak mungkin Ki Bhatara Wisesa akan binasa. Kalau seluruh pengawal di kadipaten saja binasa di tangan pemuda sinting itu, apalagi Ki Bhatara Wisesa yang hanya seorang diri?

“Oh, Bayu.... Datanglah. Aku betul-betul takut...” Tanpa sadar gadis itu memanggil nama pemuda yang belakangan ini lekat dalam ingatannya.

“Aaaakh...!”
“Ohh!”

Nirmala tersentak kaget mendengar jeritan Ki Bhatara Wisesa. Ternyata pergelangan tangan orang tua itu telah putus!

“Hi hi hi...! Sekarang giliranmu, Kunyuk! Kau telah kuberi kesempatan melakukan serangan, dan ternyata disia-siakan...!” ejek Darmo Gandul sambil terkekeh-kekeh.

Seketika tubuh Si Gila dari Muara Bangkai melesat cepat menyambar ke arah Ki Bhatara Wisesa. Maka cepat-cepat orang tua itu bergulingan untuk menghindarinya. Sambil menahan rasa sakit dan tanpa senjata karena sudah terlempar bersama tangannya yang buntung, dia mencoba bertahan.

Namun Si Gila dari Muara Bangkai terus mengejarnya. Malah kali ini Darmo Gandul melepaskan tendangan geledek, sebelum Ki Bhatara Wisesa mampu berdiri. Dan....

Bukkk!
“Aaaakh...!”

Untuk kedua kalinya Ki Bhatara Wisesa memekik kesakitan. Satu tendangan keras mendarat telak di perutnya. Akibatnya, tubuhnya terangkat sekitar dua jengkal dari permukaan tanah. Dan belum juga rasa sakit itu hilang, cepat sekali Si Gila dari Muara Bangkai mencabut goloknya. Langsung disambarnya kaki kiri orang tua itu sebatas lutut

Cras!
“Aaaakh...!”

“Hi hi hi...! Kita akan bermain-main dulu barang beberapa saat, Kunyuk! Karena, kau adalah orang terakhir. Dan setelah aku puas, maka lepaslah penderitaanmu bersama penderitaanku yang menanggung dendam...”


***


“Keparat! Lebih baik bunuh saja aku! Ayo, bunuh! Aku tidak takut mati...!” teriak Ki Bhatara Wisesa, menggelegar.

“He he he...! Bunuh? Hm.... Itu soal mudah. Tapi tidak ada salahnya kalau kita bermain-main dulu barang sesaat..!”

Tubuh Darmo Gandul kembali berkelebat. Sementara Ki Bhatara Wisesa berusaha menghindar dengan bergulingan.

“Eh!” Eh! Mau lari ke mana? Hm.... Kakimu masih kuat, ya? Nih, satu lagi!” Si Gila dari Muara Bangkai kembali membabatkan goloknya. Begitu cepat, sehingga Ki Bhatara Wisesa tak mampu menyelamatkan sebelah kakinya lagi.

Cras!
“Aaaakh...!”

Ki Bhatara Wisesa kembali memekik kesakitan, begitu golok Darmo Gandul menebas kakinya yang satu lagi. Ki Bhatara Wisesa masih bergulingan, walaupun kakinya terus mengeluarkan darah. Sementara Si Gila dari Muara Bangkai hanya memperhatikan, seperti menyaksikan tontonan yang amat menarik.

“Nirmala, pergi dari sini! Pergi cepaaat..!” teriak Ki Bhatara Wisesa mengingatkan, tanpa mempedulikan rasa sakit akibat pergelangan tangan kiri dan kedua kakinya yang buntung.

“Hm, kabur? Coba saja...,” ejek Darmo Gandul.

Mendengar teriakan itu, Nirmala tersentak kaget Dia seperti tersadar dari lamunan panjang. Namun baru saja berdiri, pemuda gembel itu telah melesat dan mendarat di hadapannya. Dia menjerit ketakutan, namun Darmo Gandul telah memeluk dan mengangkatnya ke pundak.

“Lepaskan aku! Aouw...! Lepaskan akuuuu...!” teriak gadis itu sambil memukul-mukul punggung Si Gila dari Muara Bangkai.

“Keparat busuk, lepaskan dia! Dia tidak ada sangkut-pautnya dengan urusanmu!” teriak Ki Bhatara Wisesa, namun tidak bisa, berbuat apa-apa.

“He he he...! Istri dan anakkupun tidak ada urusan denganku. Tapi, kenapa kalian memperlakukannya dengan kejam? Dan tidak ada salahnya kalau aku berbuat hal yang sama...!” sahut pemuda gembel itu dengan tenang, seraya menghempaskan keras Nirmala ke tanah keras.

Gadis itu menjerit kesakitan. Namun lagi sempat menguasai diri, mendadak pemuda itu telah menghimpit erat tubuhnya. Ki Bhatara Wisesa menggeram. Dan dengan sekuat tenaga, tubuhnya digulirkan sambil menghantam tubuh Darmo Gandul dengan kepalan tangan kiri. Namun tanpa menoleh sedikit pun Si Gila dari Muara Bangkai menangkis dengan kaki kanannya, lalu ujung kakinya keras menghantam ke arah wajah orang tua itu.

Plak! Begkh!
“Aaaakh...!”

Ki Bhatara Wisesa memekik kesakitan. Tubuhnya bergulir bermandikan darah dari tulang hidung dan giginya yang rontok dan patah.

“Hi hi hi...! Mau mencoba menghalangiku? Tidak ada seorang pun yang boleh menghalangiku kalau tidak ingin mampus...!”

“Aku yang akan menghalangi niatmu, Kisanak!” Mendadak terdengar sebuah suara, memenggal kalimat Si Gila dari Muara Bangkai.

Darmo Gandul terkejut. Buru-buru dia bangkit berdiri, dan langsung memandang seorang pemuda berambut gondrong dan berwajah tampan. Pemuda berbaju kulit harimau dengan seekor monyet kecil di pundak itu memanglah Bayu Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka.

“Bayu...! Oh, syukurlah kau cepat datang...!” Nirmala terkejut bercampur girang melihat kedatangan pemuda itu. Semangatnya cepat bangkit dan bermaksud berdiri menghampiri untuk menumpahkan perasaan syukurnya. Namun cepat sebelah tangan Darmo Gandul melayang ke arahnya. Nirmala tercekat. Untung pada saat itu juga, kaki kanan Bayu meluncur untuk memapak.

Plakkk!

Begitu terjadi benturan kaki dan tangan, Darmo Gandul cepat berbalik. Langsung dihantamnya kepala Bayu dengan tendangan keras. Pendekar Pulau Neraka cepat menunduk. Namun bukan main kagetnya Bayu, ketika tiba-tiba bersiur angin kencang menyambarnya. Matanya sempat melihat, tangan Darmo Gandul mencabut golok hendak memapas dahinya. Maka Pendekar Pulau Neraka cepat melompat ke belakang menghindari. Namun, Si Gila dari Muara Bangkai terus mengejarnya dengan serangan-serangan maut.

“Hiyaaaa...!”

“Hm. Ilmu golokmu luar biasa, sobat! Sebaiknya persoalan ini tidak usah diteruskan, asal dengan satu syarat Kau harus melepaskan mereka. Sudah banyak yang menjadi korbanmu....”

“Tutup mulutmu! Siapa pun orangnya yang mencoba menghalangi niatku, harus mampus!” desis Darmo Gandul menggeram.

“Di antara kita tidak ada saling permusuhan? Kenapa kau ingin menghabisiku? Bukankah apa yang kuusulkan padamu masuk akal? Mereka telah cukup mendapat hajatanmu, Dan, sudah sepatutnya kau harus mengakhiri dendammu...,” ujar Bayu kembali menasihatinya.

“He he he...! Ternyata kau sama saja dengan kunyuk buduk itu. Sok menasihati, dan sok mengatur orang. Lebih baik atur dirimu sendiri. Sebab, aku tidak akan mengampuni siapa pun yang mencoba menghalangi niatku!” dengus Darmo Gandul.

Bayu bukannya tidak punya alasan untuk menawarkan usulnya. Sebab Pendekar Pulau Neraka tahu kalau pemuda itu sekadar balas dendam. Tapi dalam keadaan tidak waras begitu, tentu saja dia akan berbahaya bagi orang lain. Apalagi kepandaiannya luar biasa. Mau tidak mau, Bayu mengagumi kehebatannya.

“Yeaaaa...!”

Darmo Gandul terus mencecar Pendekar Pulau Neraka. Dan pada satu kesempatan, goloknya dikebutkan ke dahi Bayu.

“Uts!”

Pendekar Pulau Neraka cepat melenting ke belakang, tapi terlambat karena....

Cras!

Ternyata golok Si Gila dari Muara Bangkai sempat melukai dada Pendekar Pulau Neraka, hingga mengeluarkan darah segar.


***


“Bayu...!” Nirmala menjerit ketakutan. Dan wajahnya pun tampak cemas, ketika melihat golok pemuda gembel itu melukai dada sebelah kanan Pendekar Pulau Neraka.

Bayu sendiri kaget. Tidak heran kalau lawan-lawannya dibuat tidak berdaya oleh Si Gila dari Muara Bangkai. Kecepatan gerak pemuda ini luar biasa. Bahkan sama sekali tidak terduga. Begitu mendarat di tanah. Tampak wajah Pendekar Pulau Neraka mulai kelam, dan hawa kekejaman mulai terlintas pancaran matanya ketika memandang ke arah Si Gila dari Muara Bangkai yang tertawa terbahak-bahak mengejeknya.

“Hua ha ha...! Itu satu peringatan bagimu. Dan berikutnya, kau akan menemukan kematianmu! Hi hi hi...! Tidak ada waktu lagi bagimu untuk merubah pendirian. Meski kau merangkak-rangkak dan mencium telapak kakiku, nyawa busukmu tidak mungkin kuampuni, Kecoa buduk!”

“Hm. Sungguh hebat, Tikus bulukan! Tapi aku yakin, itu hanya kebetulan. Karena kau tidak akan mampu melakukannya untuk kedua kalinya,” balas Bayu, mengejek.

“Apa katamu, heh?! Apa katamu? Kurang ajar! Kau menganggap remeh padaku, ya?! Kau kira Si Gila dari Muara Bangkai ini apa, heh?! Setan alas? Kecoa busuk! Kau akan mampus! Mampus! Mampusss...!” teriak Darmo Gandul kalap, dengan melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka.

“Hiyaaa...!”

Namun baru saja Si Gila dari Muara Bangkai melesat, Bayu cepat mengebutkan tangan kanannya, dengan tubuh agak miring ke kiri dan kaki melebar.

Singngng!


“Hei?!”

Darmo Gandul terkejut bukan main, ketika melihat sekelebatan cahaya putih keperakan menyambar ke arahnya diiringi suara berdesing nyaring. Buru-buru tubuhnya mengegos ke samping. Tapi, siapa sangka kalau saat itu Pendekar Pulau Neraka melesat bersamaan. Seketika satu tendangan dilepaskan Bayu. Begitu berhasil menghindari terjangan Cakra Maut, buru-buru Darmo Gandul memapak tendangan Pendekar Pulau Neraka.

Plak!

Terjadi benturan keras, membuat Darmo Gandul sedikit terhuyung. Namun, Pendekar Pulau Neraka kelihatan tak ingin memberi kesempatan sedikitpun. Seketika tubuhnya berputar, seraya melepaskan satu tendangan geledek ke punggung Si Gila dari Muara Bangkai. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Dukkk!
“Aaaakh...!”

Darmo Gandul kontan tersungkur disertai teriakan kesakitan. Melihat hal ini, Bayu melompat ke atas menyambar Cakra Maut yang kembali melesat ke arahnya. Dan begitu senjata maut itu menempel di pergelangan tangan kanannya, secepat itu pula kembali dikibaskan.

Singngng!
“Eeeh...!”

Kembali cahaya putih keperakan yang berdesing nyaring melesat bagai kilat ke arah Si Gila dari Muara Bangkai, sehingga membuatnya terkejut Dan secepat apa pun dia bergerak, rasanya tidak mungkin mampu mengimbangi kecepatan senjata Pendekar Pulau Neraka. Maka dengan geram, goloknya dikibaskan untuk menangkis.

Tras!
“Hei?!”

Kembali Darmo Gandul dibuat terkejut melihat senjatanya patah jadi dua bagian. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, Cakra Maut terus menerjang ke arah lehernya. Begitu cepatnya, sehingga....

Cras!
“Aaaa...!”

Kejadian itu cepat sekali berlangsung. Darmo Gandul memekik kesakitan ketika Cakra Maut menerjang lehernya hingga hampir buntung! Bahkan tubuhnya sampai terjungkal mengikuti dorongan tenaga Cakra Maut. Tubuhnya menggelepar-gelepar sesaat begitu jatuh keras di tanah beserta ceceran darah yang membasahi bumi. Tak lama kemudian, tubuhnya diam tak berkutik lagi. Mati.

“Huh!” Bayu mendengus pelan seraya mengibaskan tangan kanannya. Maka senjata itu kembali melesat ke arahnya. Begitu tertangkap, dibersihkannya Cakra Maut dari noda darah.

“Bayu...!” panggil Nirmala.

Bayu hanya menoleh sekilas, kemudian mengambil Tiren yang berlari ke arahnya. Dibawanya monyet kecil itu ke pundaknya. Pendekar Pulau Neraka lantas menatap gadis itu sesaat. Jarak mereka hanya terpaut dua langkah saja. Lalu bibirnya tersenyum kecil.

“Nirmala.... Apa yang dikatakan orang tua itu tentang ku, memang benar. Orang sepertiku tidak pantas menerima perhatianmu. Nah, baik-baiklah kau menjaga diri. Selamat tinggal...!”

Gadis itu hendak menahan, namun lagi-lagi suaranya tercekat dalam tenggorokannya. Dan Bayu pun telah melesat ke atas, kemudian cepat sekali menghilang setelah melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lain.

“Bayu...? Oh! Tidak mengertikah kau perasaanku...?” desah Nirmala perlahan seraya memandang ke arah menghilangnya Pendekar Pulau Neraka.

Diam-diam gadis itu berharap kalau-kalau Bayu akan berbalik lagi untuknya. Namun sampai lamunannya terusik oleh rintihan Ki Bhatara Wisesa, Bayu tidak muncul-muncul lagi. Nirmala mendesah pelan, dan terus mendesah. Entah sampai kapan....


SELESAI

Episode Selanjutnya Nyi Roro Sekar Mayang