Mutiara Hitam Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

MUTIARA HITAM

JILID 13

PUTRI MIMI tersenyum, giginya berkilat putih dan indah seperti mutiara disusun dan senyumnya seakan-akan menerangi cuaca yang sudah mulai gelap itu. “Dugaanmu benar, Kongcu. Dan hal ini membuktikan ketajaman matamu dan kecerdikanmu, belum pernah jumpa dapat menduga tepat.” Kemudian puteri jelita itu memandang kepala pengawal dan berkata.

“Cianbu, bagaimana kau dan pasukanmu dapat muncul secara kebetulan? Ataukah memang kau sengaja mengikuti perjalananku?” Pertanyaan terakhir ini mengandung penasaran dan kemarahan.

Kepala pengawal itu kembali memberi hormat seperti tadi, menjura dalam-dalam, baru menjawab. Jawabannya singkat sekali dan tegas seperti kalau ia membuat laporan kepada atasannya. “Hamba mendapat pelaporan rahasia dari para penyelidik bahwa Pangeran Mahkota telah ditawan pimpinan Hsi-hsia. Hamba memimpin pasukan mengejar Paduka karena khawatir akan terjadi hal serupa.”

“Apa...? Pangeran Talibu tertawan...?” Puteri Mimi menjadi kaget sekali. “Mengapa orang-orang Hsi-hsia menawan Pangeran? Dan dibawa ke mana?” Wajah puteri ini sekarang menjadi pucat dan ia cemas sekali.

Kepala pengawal itu menggeleng kepala. “Mengapa Pangeran ditawan belum dapat hamba ketahui, hal itu sedang diselidiki. Dan hamba hanya tahu bahwa Pangeran ditawan di luar kota Lok-yang, juga belum diketahui dibawa ke mana. Orang-orang kita sedang sibuk mencari dan menyelidik, dan tentu saja kita amat mengharapkan bantuan Kerajaan Sung...” Ia menoleh ke arah Kiang Liong.

“Hemm, aku agaknya tahu mengapa Pangeran Talibu ditawan orang-orang Hsi-hsia dan tentu saja kami akan membantu sekuat tenaga untuk membebaskannya karena kejadian itu terjadi di wilayah Kerajaan Sung.” kata Kiang Liong. “Harap Puteri beristirahat saja di rumahku agar terjaga keamanannya, ada pun Cianbu kuharap membantu teman-teman melakukan penyelidikan. Hanya pesanku, orang-orang Hsi-hsia dipimpin oleh Bouw Lek Couwsu dan hwesio-hwesio jubah merah. Di antara mereka banyak terdapat orang-orang pandai, maka harap jangan tergesa-gesa turun tangan. Aku yakin bahwa orang-orang Hsi-hsia tidak akan membunuh Pangeran Talibu.”

“Kiang-kongcu, agaknya kau banyak mengerti akan urusan ini. Sebetulnya mengapakah mereka menawan Pangeran?” tanya Puteri Mimi.

Kiang Liong tersenyum. “Tidak banyak waktu untuk bicara, Puteri. Marilah kita berangkat dan kelak kuceritakan kepadamu.”

Puteri Mimi lalu memberi perintah kepada kepala pengawal untuk memenuhi permintaan Kiang Liong tadi. Berangkatlah pasukan itu pergi, juga Sang Puteri lalu bersama Kiang Liong meloncat ke atas punggung dua ekor kuda yang disediakan oleh kepala pasukan.



Karena dapat menduga bahwa Bouw Lek Couwsu pada saat itu tentu telah mempunyai banyak kaki tangan yang disebar sebagai mata-mata di kota raja, maka Kiang Liong membawa Puteri Mimi memasuki kota raja lewat tengah malam. Ia sudah dikenal oleh semua penjaga pintu gerbang, maka dapat masuk tanpa kesukaran. Kemudian menjelang pagi ia memasuki gedung tempat tinggal ayahnya melalui sebuah pintu rahasia yang hanya diketahui olehnya dari belakang rumah.

Ketika ia bangun pagi itu, sudah agak siang, ia melihat bahwa di taman samping diadakan pesta. Ia membawa Puteri Mimi yang bermalam di sebuah kamar tamu kepada ayah bundanya dan dengan singkat menceritakan pengalamannya, memperkenalkan Puteri Mimi kepada orang tuanya. Sebagai seorang pangeran, tentu saja Pangeran Kiang menerima puteri Panglima Khitan itu dengan hormat dan ramah, juga ibunya amat suka kepada gadis yang cantik jelita ini. Kemudian dari ibunya ia mendengar tentang kunjungan Suma Kiat yang mengaku putera tunggal mendiang kakak ibunya, Suma Boan.

“Bagaimana ini, Ibu? Mengapa secara mendadak muncul seorang keponakan Ibu? Kenapa Ibu tidak pernah bercerita bahwa mendiang Paman Suma Boan meninggalkan seorang putera?” Kiang Liong bertanya.

“Hemm, aku pun heran sekali melihat Ibumu, Liong-ji (Anak Liong),” kata Pangeran Kiang dengan muka cemberut. “Aku pun baru sekarang mendengar akan hal itu, padahal setahuku, Pamanmu Suma Boan tidak pernah menikah dan tidak pernah punya putera. Kalau saja kau melihat ibu pemuda itu... hiihh, mengerikan sekali, seperti iblis betina.”

“Ah, terlalu sekali. Tidak sepatutnya kau mengeluarkan kata-kata seperti itu!” Suma Ceng, ibu Kiang Liong memandang suaminya dengan pandang mata penuh teguran. “Kau sendiri dahulu menjadi sahabat baik kakakku Suma Boan, apakah kau tidak melihat betapa Suma Kiat ini mirip sekali dengan Kakakku dahulu? Pula, kita pernah mendengar tentang urusannya dengan Kam Sian Eng. Memang Kam Sian Eng mengerikan, akan tetapi... ah, dia seorang yang berilmu tinggi, dan tidak waras, apa lagi dia masih adik tiri Suling Emas, apakah kau masih bersangsi?”

Makin keruh wajah Pangeran Kiang. “Huh, segala yang menyangkut nama Suling Emas selalu benar dan baik, sebaliknya pendapatku tidak pernah ada yang benar. Sialan!”

“Eh, bukan begitu. Aku hanya bicara sebenarnya dan....“

“Sudahlah!” Pangeran Kiang membanting kaki dan meninggalkan kamar.

Kiang Liong menjadi sedih dan juga malu karena ayah bundanya bertengkar di depan Puteri Mimi. Sungguh memalukan dan menyedihkan. Sudah sering kali ia mendengar ayah dan ibunya bertengkar dan selalu dalam pertengkarannya ini dibawa-bawa nama gurunya, Suling Emas. Dahulu ketika dia diambil murid Suling Emas pun menjadi bahan percekcokan antara ayah dan ibunya. Ia menghela napas panjang dan berkata.

“Sesungguhnya, bagaimanakah ia datang dan mau apa? Sekarang, eh, wanita yang menjadi ibunya itu ke mana, apakah berada di sini pula?”

Suma Ceng yang biar pun usianya sudah mendekati lima puluh masih tampak cantik dan halus itu, menarik napas panjang, memegang dan menarik tangan Puteri Mimi mendudukkan gadis itu di dekatnya sambil berkata. “Puteri harap kau maafkan kami yang tidak tahu sopan-santun. Tentu membikin kau merasa tidak enak sekali.”

Mimi biar pun masih gadis remaja, namun ia terdidik sejak kecil dan hidup di kalangan orang-orang besar, maka ia pandai membawa diri. Ia mengelus-elus tangan nyonya yang halus itu, kagum akan kecantikannya, lalu tersenyum dan berkata, “Bibi yang baik, panggil saja aku Mimi, dan sungguh mati apa yang terjadi dan terucapkan tadi, sekarang pun aku sudah lupa lagi.”

Suma Ceng memandang wajah yang jelita itu dengan pandang mata kagum dan senang. Kemudian berkata, suaranya halus dan matanya sayu termenung. "Aahhh, kau tentu dekat dengan Ratu Khitan, Mimi. Mendengar pun tidak mengapa, karena wanita yang dibicarakan tadi, Kam Sian Eng, adalah enci angkat ratumu di Khitan."

Kemudian ia memandang putera sulungnya, "Liong-ji, ketika pamanmu Suma Boan dahulu meninggal dunia, di luar tahu siapa pun juga ia meninggalkan Kam Sian Eng dalam keadaan mengandung. Semenjak itu Kam Sian Eng menghilang dan beberapa hari yang lalu di waktu malam dia muncul secara tiba-tiba di sini bersama puteranya, Suma Kiat. Ia minta supaya aku menerima Suma Kiat tinggal untuk sementara di sini dan memperkenalkannya kepada para pembesar di kota raja. Tentu saja aku tidak dapat menolak permintaannya dan pagi hari ini kami memperkenalkan Suma Kiat melalui pesta umum kepada para tamu. Ayahmu tidak setuju, maka terpaksa Suma Kiat sendiri yang menjadi wakil dalam pesta."

Kiang Liong menghela napas panjang. Sudah lama ia tahu bahwa tentu ada rahasia aneh terselip dalam rumah tangga ibunya, dan di dalam rahasia ini, gurunya memegang peran yang tidak kecil. Gurunya sendiri belum pernah mau bertemu dengan ayah ibunya. Dan ibunya amat sayang kepadanya, melebihi sayangnya kepada dua orang adiknya, Kiang Sun dan Kiang Hoat. Akan tetapi ayahnya jauh lebih sayang kepada dua orang adiknya. Rahasia apakah?

Dia tidak tahu dan tidak pernah ibunya mau bicara tentang itu. Kini adiknya Kiang Sun yang sudah berusia dua puluh tiga tahun, sudah menikah dan bahkan tinggal jauh di selatan, di Sucouw. Ada pun Kiang Hoat adiknya yang bungsu, menjadi siucai (sastrawan) yang pandai, akan tetapi pekerjaannya sehari-hari hanya mengejar wanita-wanita cantik dan menghambur-hamburkan uang saja.

"Kalau begitu... Bibi Kam Sian Eng itu tidak tinggal di sini?"

"Tidak, bahkan ia datang, bicara singkat lalu pergi lagi menghilang seperti... seperti setan. Tidak terlalu menyalahkan Ayahmu kalau mengatakan dia iblis betina. Memang mengerikan sekali, Liong-ji. Tentang kepandaiannya, aku tidak heran karena sudah banyak kumelihat orang-orang sakti seperti Suling... eh, Gurumu sehingga melihat orang berkelebat lalu lenyap bukan hal baru bagiku. Akan tetapi ia menyembunyikan mukanya dalam kerudung hitam, pakaiannya serba putih, dan sikapnya... hih, menyeramkan!"

Kiang Liong tidak merasa heran kalau adik tiri gurunya seperti itu lihai dan anehnya, hal itu tidak mengherankan. Hemm, pemuda yang kini mewakili tuan rumah berpesta di taman, adalah saudara misan dengannya. Dan melihat ibu pemuda itu sakti, tentu pemuda yang bernama Suma Kiat itu lihai pula. Hal ini menggembirakan hatinya, karena biar pun ia mempunyai dua orang adik namun mereka itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Ayahnya lebih senang anak-anaknya belajar ilmu surat dari pada ilmu silat. Teringat akan adiknya, ia lalu bertanya.

"Adik Hong ke mana, Ibu? Apakah ikut berpesta di samping?"

Ibunya cemberut. "Ah, bocah nakal itu, hatiku susah sekali memikirkan dia! Seorang siucai pemogoran! Kini tergila-gila kepada anak pemilik rumah makan di barat kota! Merengek minta dikawinkan dengan anak itu. Anak pemilik restoran! Wah benar-benar anak itu membikin malu orang tua!"

Kiang Liong tertawa, dan ibunya memandang marah. "Kenapa tertawa?"

"Ha-ha, Ibu benar aneh. Kalau anak pemilik restoran, mengapa sih? Kan dia juga perempuan tulen? Kalau memang Adik Hoat mencintanya..."

"Cinta? Ah, cinta hanya awal bencana dan duka! Aku akan merasa bahagia sekali kalau dia mencinta seorang gadis seperti... Mimi ini..."

"Ihhh... Bibi membikin aku malu saja!" Puteri Mimi menjauhkan diri dan tersenyum jengah.

"Ha-ha-ha! Ibu tidak usah marah-marah, maafkan kalau pendapat saya keliru." Kiang Liong berlutut dan memeluk kedua kaki ibunya dengan sikap manja. Ibunya menundukkan muka dan mengelus kepala puteranya. Puteranya ini menjadi buah hatinya, putera inilah keturunan dari pria yang dicintanya, putera Suling Emas!

"Sudahlah, kau sendiri terlalu nakal, sudah begini tua tidak juga mau menikah."

"Sabar dulu, Ibu. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan. Apa lagi sekarang, aku harus cepat-cepat menghadap Kaisar untuk menyampaikan hasil penyelidikanku, bahkan harus cepat-cepat bertindak untuk menyelamatkan kerajaan, juga untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan yang kini tertawan orang-orang Hsi-hsia."

Seketika wanita itu menjadi serius. "Aihhh, ada urusan begini besar mengapa kau tadi bicara tentang urusan pribadi saja? Liong-ji, cukuplah tentang urusan kita sendiri, kau harus lekas menghadap kaisar dan selesaikan urusan penting itu."

Pada saat itulah terdengar suara ribut-ribut di samping gedung, dari arah taman di mana sedang berlangsung pesta. mendengar ini, Kiang Liong lalu melompat dan melangkah ke luar, diikuti Puteri Mimi yang juga ingin mengetahui apa yang terjadi di sana.

********************


DEMIKIANLAH, seperti telah kita ketahui di bagian depan cerita ini, ketika Kiang Liong tiba di taman dan menyaksikan keributan yang terjadi, ia menegur dengan suara penuh wibawa.

"Hemmm, apakah yang terjadi di sini?"

"Kiang-kongcu datang...!" Seruan ini keluar dari mulut beberapa orang sekaligus dan semua mata kini memandang ke arah Kiang Liong.

Dengan pandang matanya yang tajam Kiang Liong menyapu wajah orang-orang yang kelihatan menimbulkan keributan. Tertegun hatinya ketika ia mengenal Mutiara Hitam, juga ia dapat menduga bahwa pengemis muda bertopi itu tentulah ketua baru Khong-sim Kai-pang yang sudah banyak didengarnya. Melihat pemuda itu, teringatlah ia akan Song Goat dan timbul rasa tidak senang di hatinya, apa lagi melihat munculnya pengemis muda itu bersama Mutiara Hitam! Hatinya makin sebal melihat seorang pemuda berpakaian serba mewah yang ia dapat menduga tentulah saudara misannya, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa, hanya memandang penuh perhatian.

Suma Kiat adalah seorang yang wataknya aneh, namun harus diakui bahwa di balik keanehannya, ia memiliki kecerdikan luar biasa. Mendengar seruan orang-orang itu, ia segera menghadapi Kiang Liong dan menarik muka semanis-manisnya, menjura dengan penuh hormat sambil berkata.

"Kiang-piauwheng (Kakak Misan Kiang), aku adikmu Suma Kiat mohon maaf sebesarnya bahwa aku tidak dapat mencegah kekacauan dalam pesta ini yang ditimbulkan oleh jembel busuk ini!" Setelah berkata demikian, ia kembali menggunakan tangan kanan menutupi luka di pundak kirinya.

Kiang Liong hanya mengangguk kepada Suma Kiat sebagai balasan, lalu bertanya, suaranya tetap tenang. "Siapakah yang mengacau dan apa sebabnya?"

Dengan muka seperti hendak menangis Suma Kiat lalu menunjuk Yu Siang Ki dan berkata, "Jembel busuk inilah yang mengacau. Dia berani menghina tamu-tamu kita, tamu wanita lagi. Aku tentu sudah dapat memukul mampus padanya kalau saja Sumoi-ku ini tidak mencampuri dan melukai pundakku!"

Kiang Liong tertegun dan merasa amat heran, akan tetapi hanya di dalam hatinya saja. Sungguh tak disangka-sangkanya. Mutiara Hitam ini sumoi dari Suma Kiat? Murid wanita aneh bernama Kam Sian Eng yang menurut ibunya tadi masih adik tiri gurunya sendiri? Jadi kalau begitu Mutiara Hitam ini bukan orang lain, masih terhitung adik seperguruan dengannya. Ia menjadi bingung dan sejenak kesima tak dapat berkata.

Kemudian ia memandang Yu Siang Ki, pandang matanya penuh selidik dan ia harus mengaku bahwa pemuda tampan yang berpakaian penuh tambalan ini memiliki wibawa besar dan sinar mata tajam juga. Pemuda bertopi lebar itu amat tenang, membayangkan keagungan seorang ketua. Ia lalu teringat bahwa ia sebagai tuan rumah, maka ia segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat. Gerakan ini membuat wajah Yu Siang Ki berseri sedikit, kemudian ia pun balas menghormat.

"Pesta kecil ini diadakan untuk menyambut kedatangan Adik misanku ini, dan siapa pun yang suka boleh datang. Saya rasa para pelayan kami sudah cukup terlatih untuk menyambut setiap orang tamu sebagaimana mestinya. Akan tetapi, belum pernah terjadi ada tamu menghina tamu lain, apa lagi tamu-tamu wanita. Sungguh hal yang amat tidak patut dan mengecewakan. Harap saja sobat sudi memberi penjelasan."

Sebelum Yu Siang Ki sempat menjawab, lima orang wanita yang tadi dikalahkan Siang Ki sudah berebut maju dan seorang di antara mereka berkata, "Mula-mula adalah si Bocah Iblis ini yang menghina kami, Kiang-kongcu. Tanpa sebab ia membalikkan meja dan menyiram kami dengan kuwah panas. Kemudian setelah kami dapat menahan diri karena ternyata dia sumoi dari Suma-kongcu, si Jembel busuk ini bikin gara-gara dan menyerang kami!"

Kiang Liong menoleh kepada mereka dan tersenyum masam. Ia tentu saja mengenal mereka, gadis yang cantik dan dan genit ini yang selalu mengejar-ngejarnya, dan tahu pula bahwa orang-orang seperti mereka ini hanya tepat dijadikan teman bersenang-senang, namun tidak boleh didengar omongannya dalam urusan besar.

"Harap kalian pergilah agar tidak menambah keruh suasana. Aku akan membereskan urusan ini. Pergilah!" Suara dan pandang mata Kiang Liong membuat lima orang wanita itu mundur dan dengan bersungut-sungut mereka lalu pergi dari dalam taman itu, bersumpah untuk membalas dendam kepada Kwi Lan dan Siang Ki.

Kiang Liong kembali menghadapi Siang Ki. "Nah, sobat, bagaimana penjelasanmu? Kuulangi lagi bahwa sebagai seorang tamu, adalah amat tidak pantas melakukan pengacauan dan menghina tamu-tamu lain."

"Kiang-kongcu, sudah amat lama saya mendengar nama besar Kiang-kongcu sebagai seorang Enghiong (pendekar) yang gagah. Akan tetapi keadaan dalam pesta ini benar-benar membuat hati saya kecewa. Terus terang saja, lima orang wanita itu bukanlah manusia-manusia yang patut menjadi tamu Kiang-kongcu. Saya telah turun tangan menghajar mereka, kalau hal ini dianggap salah, saya bersedia menerima pertanggungan-jawabnya."

Diam-diam Kiang Liong kagum mendengar jawaban itu. Jawaban yang sederhana namun sekaligus menonjolkan sifat gagah pemuda itu yang tidak suka menceritakan peristiwa itu untuk membela diri sendiri dengan jalan menyalahkan orang lain. Juga membayangkan keangkuhan seorang ketua perkumpulan pengemis yang mengaku telah menghajar orang dan kalau dianggap salah, suka menerima pertanggungan-jawabnya! Namun jawaban ini pun mengandung tantangan terhadap dirinya sebagai tuan rumah. Kiang Liong seorang laki-laki sejati, betapa pun juga Suma Kiat adalah adik misannya dan kini adiknya itu terluka, si Pembuat Onar berdiri di depannya menantang!

"Hemm, sombong sekali! Sobat, kau hendak mempertanggung-jawabkan perbuatanmu berarti kau menantang aku sebagai tuan rumah. Marilah kita selesaikan urusan ini secara laki-laki!" Pandang mata Kiang Liong tajam menusuk.

Yu Siang Ki berdiri tegak, keningnya berkerut dan ia menjawab dengan lantang dan gagah. "Aku Yu Siang Ki sebagai seorang gagah mengenal kegagahan, menjunjung tinggi persahabatan dan tahu mana baik mana buruk. Sebagai ketua Khong-sim Kai-pang harus mempertahankan nama. Sudah lama mendengar akan kegagahan Kiang-kongcu sebagai murid pendekar sakti Kim-siauw-eng (Suling Emas), maka kalau Kongcu menantangku untuk mengadu kepandaian, aku orang she Yu tentu saja tidak berani berlaku kurang ajar dan ceroboh membentur gunung Thai-san. Akan tetapi, kalau Kiang-kongcu bertindak sebagai pembela lima orang wanita tadi, berarti Kongcu membela yang sesat dan aku siap untuk menerima pelajaran dari Kiang-kongcu!"

Dua orang muda yang sama tinggi, sama tampan dan gagah itu kini berdiri saling berhadapan, wajah mereka serius, pandang mata berkilat, siap untuk bertanding seperti dua ekor ayam jantan berlagak. Semua tamu menjadi tegang, apa lagi setelah mendengar bahwa jembel muda itu adalah ketua Khong-sim Kai-pang yang baru! Mereka mengharapkan untuk menonton sebuah pertandingan yang hebat antara dua orang jago muda yang berilmu tinggi.

"Piauwheng, untuk memukul seekor anjing kotor, perlu apa menggunakan tongkat besar? Harap Piauwheng jangan mencapaikan diri, untuk membikin mampus anjing ini, adikmu ini masih cukup kuat. Tadi pun kalau tidak dihalangi Sumoi, anjing ini sudah kuhajar sampai mampus!" kata Suma Kiat berlagak sambil memegangi pundaknya yang masih mengucurkan darah.

"Kiang-kongcu, maafkan kalau aku mencampuri urusan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan aku,” tiba-tiba Puteri Mimi menghampiri Kiang Liong dan menyentuh pundaknya.

Sejak tadi puteri ini mendengar dan melihat dengan penuh perhatian. Ia amat kagum menyaksikan sikap Yu Siang Ki, juga amat heran dan kagum melihat Kwi Lan yang cantik jelita dan gagah. Mendengar ucapan Siang Ki tadi, puteri ini pun kagum dan dapat menghargai kegagahan orang muda yang ia anggap menyamar dalam pakaian jembel itu.

Melihat majunya Puteri Mimi, terpaksa Kiang Liong mengalihkan perhatiannya dan menoleh. Ia melihat betapa dua pipi yang halus itu kemerahan, mata yang jeli itu bersinar-sinar, dan diam-diam ia menjadi kagum. "Ada petunjuk apakah, Puteri?" Kini semua orang memperhatikan Mimi karena dandannya, kecantikannya, dan suaranya yang asing namun sedap didengar.

"Kiang-kongcu, mereka yang ribut-ribut semua adalah tamu. Keributan yang terjadi di antara tamu tentu ada sebabnya. Tanpa menyelidiki sebabnya lalu berpihak, amat tidak bijaksana. Sebagai tuan rumah, sebaiknya bersikap adil dan menyelidiki lebih dulu apa sebab keributan, baru mengambil keputusan yang bijaksana dan adil. Menurutkan hati panas melupakan pertimbangan pikiran akan menimbulkan penyesalan yang sudah terlambat. Harap Kiang-kongcu mendahulukan kesadaran."

Tidak hanya Kiang-liong dan Yu Siang Ki yang menjadi heran dan kagum sekali, juga semua orang yang mendengar ini tercengang. Amat sukar diharapkan ucapan seperti itu keluar dari sepasang bibir mungil dari seorang dara remaja seperti Puteri Mimi.

Kalau semua mata memandang kagum kepada Putera Mimi, sebaliknya Kwi Lan yang sejak tadi sudah amat marah, kini tak dapat menahan kegemasan hatinya. Ia melangkah maju dengan pedang di tangan kanan dan berdiri di depan Yu Siang Ki membelakangi pemuda ini, menghadapi Kiang Liong dengan sikap dan pandang mata penuh tantangan! Suaranya nyaring tinggi menyambar telinga semua orang, langsung menusuk jantung mereka dengan kata-kata yang tajam.

"Orang she Kiang! Apakah karena menjadi murid Suling Emas engkau lalu boleh berlagak sombong seperti seorang pangeran dari langit? Kalau segala macam urusan kecil hendak dibereskan secara begini sukar olehmu, apa lagi urusan besar! Ketahuilah dan dengar baik-baik. Yang menghina lima orang pelacur tadi adalah aku, Mutiara Hitam! Yang melukai adik misanmu ini adalah aku pula, Mutiara Hitam! Yu Siang Ki ini hanya turun tangan karena perempuan-perempuan rendah tadi menghinaku. Akan tetapi yang menjadi biang keladi adalah aku. Kalau kau mau berlagak seperti hakim dan memberi hukuman, hayo hukumlah aku. Mutiara Hitam berani berbuat berani bertanggung jawab! Orang she Kiang, aku mendengar bahwa Suling Emas seorang pendekar besar dan patriot, akan tetapi muridnya mengapa mengumpulkan kaum pemberontak? Hayo majulah kau boleh mengandalkan kedudukan dan nama gurumu, akan tetapi jangan kira aku takut!"

Wajah semua orang menjadi pucat. Mereka yang memang mempunyai persekutuan untuk membantu gerakan bangsa Hsi-hsia menjadi pucat karena khawatir, sebaliknya yang tidak tahu apa-apa, menjadi pucat karena ucapan yang keluar dari mulut gadis ini benar-benar merupakan penghinaan hebat!

"Kwi Lan, apakah kau sudah menjadi gila? Mengapa kau mengeluarkan ucapan-ucapan tidak karuan?" Yu Siang Ki menegurnya, wajah pemuda ini pun menjadi pucat. Ia maklum bahwa kali ini gadis liar ini telah membuat onar dan kekacauan hebat sekali.

Akan tetapi yang ditegur sama sekali tidak mempedulikannya, bahkan sinar matanya seakan-akan mengejek dan berkata. "Jangan turut campur!"

Wajah Kiang Liong sebentar merah sebentar pucat. Hebat penghinaan ini! Kalau diucapkan tidak di tempat umum, masih belum hebat dan mungkin ia dapat menerimanya sambil tersenyum. Akan tetapi ucapan yang amat menghinanya itu diucapkan di depan banyak tamu. Suaranya agak gemetar karena menahan amarah ketika ia bertanya.

"Mutiara Hitam, sungguh lancang mulutmu!" Kalau engkau masih Sumoi dari adik misanku Suma Kiat berarti kau bukan orang lain, akan tetapi mengapa kau berani bersikap begini kurang ajar? Kau menuduh dan memfitnah yang bukan-bukan. Siapa mengumpulkan kaum pemberontak? Apa maksudmu?"

Kwi Lan tersenyum mengejek. Cuping hidungnya yang tipis berkembang-kempis. "Masih berpura-pura lagi? Apa kau menghendaki aku menelanjangi kedokmu dan menunjuk tokoh pemberontak?"

Sepasang mata Kiang Liong mengeluarkan sinar berkilat. Sudah gatal-gatal tangannya untuk menerjang maju, menghajar gadis yang liar ini. Akan tetapi ia masih dapat menekan hatinya dan membentak, "Boleh! Coba hendak kulihat siapa orangnya!"

"Kau lihat baik-baik!" Kwi Lan yang masih memegang pedang itu menyapu taman dengan pandang matanya kemudian melangkah dan menghampiri meja di mana duduk tiga orang hwesio.

"Sumoi... jangan...!" Suma Kiat berseru.

Akan tetapi dengan langkah lebar, Kwi Lan sudah tiba di depan meja tiga orang hwesio itu dan sekali tendang, meja itu mencelat dan menimpa tiga orang hwesio tadi.

"Brakkk...!" Hwesio kurus berjubah kuning itu dengan tangan kirinya menyampok dan meja itu pecah. Sambil menghantam hwesio itu meloncat dan berdiri tegak memandang Kwi Lan. "Omitohud, apakah Nona ini menjadi gila?"

Kwi Lan tertawa, menuding dengan pedangnya. "Apakah engkau yang bernama Cheng Kong Hosiang?"

"Sumoi, jangan...!" kembali Suma Kiat berseru.

Cheng Kong Hosiang menjadi beringas pandang matanya. Kakek ini mencium bahaya, akan tetapi ia memandang rendah gadis ini. Ia seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, tentu saja tidak takut menghadapi seorang gadis remaja.

"Pinceng benar Cheng Kong Hosiang, Nona mau apa dan...."

Belum habis ucapannya, tubuh Kwi Lan menerjang maju. Dua orang hwesio tinggi besar yang duduk di kanan kiri Cheng Kong Hosiang adalah murid-murid hwesio tua ini, mereka pun pandai ilmu silat dan melihat gadis itu sudah menerjang maju, mereka segera menyambut dari kanan kiri bersenjatakan tongkat.

"Trang-trang... wuuut-wuuut, aduhhh...!"

Cepat luar biasa gerakan Kwi Lan. Dengan pedang Siang-bhok-kiam di tangan kanan, ia menangkis dan menempel dua tongkat itu sehingga tak dapat ditarik kembali, kemudian dengan gerakan memutar amat kuat, ia membuat dua batang tongkat ikut berputaran sampai terlepas dari tangan pemegangnya, kemudian secara mendadak tangan Kwi Lan bergerak, dua kali memukul dan robohlah dua orang hwesio itu dengan tulang pundak patah-patah!

Cheng Kong Hosiang sudah menyambar tongkatnya yang panjang dan berat, namun gerakan Kwi Lan lebih cepat dari padanya. Tubuh gadis ini seperti lenyap, berubah menjadi bayangan yang didahului sinar pedang kehijauan.

"Sumoi, tahan...!" Kembali terdengar suara Suma Kiat yang sudah dekat di belakangnya.

Melihat sumoi-nya nekat dan hendak membuka rahasia hwesio itu, Suma Kiat marah sekali dan mengirim pukulan maut dari belakang. Pukulan ini adalah pukulan jarak jauh yang mengandung hawa beracun dan betapa pun lihainya Kwi Lan, karena ia menujukan perhatiannya kepada hwesio di depannya, agaknya sukar baginya untuk menghindarkan diri dari pukulan maut suheng-nya. Dan kalau pukulan itu sampai mengenai lambungnya, sukar pula nyawanya dapat ditolong!

"Dukk...!"

Suma Kiat terhuyung ke belakang, mulutnya menyeringai menahan nyeri, seluruh lengan kanannya terasa lumpuh dan dadanya sesak. Bukan karena tangkisan Kiang Liong, melainkan karena hawa pukulannya sendiri membalik ketika pukulannya tadi tertahan oleh lengan Kiang Liong. Melihat betapa adik misannya mengirim pukulan dari belakang seganas dan sekeji itu, Kiang Liong sudah cepat bergerak menangkis. Diam-diam pemuda ini menjadi makin tidak senang kepada adik misannya. Terhadap seorang sumoi saja sudah dapat bersikap sekeji dan securang itu.

Andai kata Mutiara Hitam ini benar bersalah dalam hal keributan ini sekali pun, ia tetap tidak akan membiarkan adik misannya atau orang lain merobohkannya secara curang. Sinar matanya yang amat tajam membuat Suma Kiat tak berani membuka mulut, kemudian mereka berdua, seperti juga semua orang, kembali menonton pertandingan antara Mutiara Hitam dan Cheng Kong Hosiang.

Yu Siang Ki juga menyaksikan peristiwa yang terjadi amat cepatnya itu dan ia makin tidak mengerti akan sikap Kiang Liong. Tadi memperlihatkan sikap bermusuhan, akan tetapi sekarang melindungi Mutiara Hitam. Dan Kwi Lan mengapa bersikap seperti itu? Ia merasa dihadapkan sebuah teka-teki. Benarkah apa yang dituduhkan gadis itu? Bahwa Kiang Liong bersekongkol dengan para pemberontak? Ah, rasanya tidak mungkin. Dan siapakah hwesio bernama Cheng Kong Hosiang yang diserang Kwi Lan? Ia memandang penuh perhatian, siap untuk membantu Kwi Lan apa bila gadis itu terancam bahaya.

Hwesio kurus itu memang lihai sekali. Tongkatnya terbuat dari pada baja kebiruan yang kuat dan berat, sedangkan ilmu tongkatnya juga luar biasa kuatnya. Tongkat di tangannya diputar cepat sehingga lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar biru yang menyilaukan mata. Kwi Lan sendiri sudah lenyap bayangannya, tergulung oleh sinar pedangnya yang kehijauan. Namun pertahanan hwesio tua itu benar amat tangguh. Ke mana pun juga sinar pedang Kwi Lan menyerang, selalu dapat ditangkisnya dengan tongkat sehingga pertandingan itu menjadi makin seru dan sengit. Belasan serangan hwesio itu juga tak pernah berhasil karena gerakan Kwi Lan amat gesit.

"Trang! Trang...!" dua kali tongkat dan pedang bertemu dan kedua orang yang bertanding seru itu mencelat mundur sampai tiga meter lebih.

“Tahan!" seru Cheng Kong Hosiang, menghapus peluh di dahinya dengan ujung baju lengan kiri, sikapnya bengis. "Nona, pinceng adalah tamu Kiang-kongcu dan pinceng cukup menghormat tuan rumah, tidak sudi mengacau di dalam taman ini. Kalau kau tidak memandang mata kepada Kiang-kongcu dan tetap hendak menantang pinceng, bukan di sini tempatnya!"

Kwi Lan tersenyum mengejek. "Wah, kau tua bangka gundul benar pandai mencari muka kepada tuan rumah yang menjadi sekutumu! Eh, Cheng Kong Hosiang, apa kau kira aku tidak mengerti akan rahasia busukmu? Engkau adalah utusan Bouw Lek Couwsu pemimpin bangsa Hsi-hsia. Engkau bertugas mengadakan persekutuan busuk dengan kaum pengkhianat dan pemberontak di kota raja. Sebagian besar bangsawan dan pembesar yang hadir di sini.."

"Trang-trang...!" Tongkat itu menyambar hebat dan Kwi Lan yang menangkis dua buah serangan itu sampai merasa tergetar pundaknya. Ia menjadi marah dan menggerakkan pedangnya membalas serangan lawan. Kedua orang itu kembali sudah bertanding secara hebat.

Berubah wajah Siang Ki mendengar ucapan Kwi Lan tadi. Ah, kiranya gadis itu sudah bertindak dengan dasar yang demikian penting. Betulkah apa yang diucapkan gadis itu? Ia melirik kepada para tokoh pengemis dan mereka bersiap-siap. Sementara itu, para pembesar yang mendengar ucapan Kwi Lan, menjadi pucat wajahnya dan bangkitlah mereka, kemudian secara tergesa-gesa dan diam-diam mereka bergerak hendak pergi meninggalkan tempat berbahaya ini.

"Berhenti! Semua tidak boleh, meninggalkan tempat ini!" bentak Kiang Liong yang cepat memberi isyarat kepada penjaga, kemudian membisikkan perintah agar si Penjaga cepat pergi mengundang komandan pengawal istana dan pasukannya.

Ia sendiri menjaga di pintu dan menonton pertempuran dengan hati tegang. Sejak tadi ia sudah merasa heran melihat betapa hwesio tua itu amat lihai serta memiliki ilmu silat yang didasari gerakan kaki pat-kwa, persis seperti ilmu silat Bouw Lek Couwsu yang lihai. Kini mendengar ucapan Kwi Lan, kecurigaannya makin hebat. Tuduhan gadis itu bukan hal yang tidak boleh jadi, mengingat betapa Bouw Lek Couwsu berniat keras untuk menghubungi para pembesar khianat.

Kwi Lan maklum bahwa ia telah membongkar rahasia besar dan tentu saja hwesio ini akan berusaha keras untuk membunuhnya. Bahkan mungkin kaki tangan hwesio ini termasuk suhengnya akan mencelakakannya. Akan tetapi hatinya agak lega melihat betapa tadi pukulan suheng-nya digagalkan oleh Kiang Liong. Kalau sampai terjadi pertempuran besar, yang ia khawatirkan hanya Kiang Liong yang ia tahu memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari padanya. Maka melihat sikap Kiang Liong tadi, hatinya lega, pula dugaannya bahwa Kiang Liong ikut pula berkhianat, kini menipis. Ia harus dapat menghalau hwesio ini lebih dulu, pikirnya. Akan tetapi tidaklah mudah mengalahkan hwesio ini yang sesungguhnya adalah murid kepala Bouw Lek Couwsu sendiri.

Kwi Lan menjadi penasaran. Pertahanan hwesio itu benar amat kuat, sukar ditembusi pedangnya. Ia harus menggunakan akal. Dalam satu dua detik saja ia sudah mendapatkan akal ini. Kalau lawannya yang merupakan seorang berilmu dan sudah memiliki pengalaman matang dalam pertandingan-pertandingan itu dibiarkan terus mempertahankan diri agaknya dalam waktu selama seratus jurus belum tentu ia akan bisa mendapatkan kemenangan. Jalan satu-satunya hanya memancing agar kakek itu menyerang, karena pertahanan seseorang sudah pasti akan menjadi lebih lemah jika dipergunakan untuk menyerang. Artinya setiap serangan membuka lowongan atau kelemahan dalam pertahanan.

Tiba-tiba Kwi Lan menusukkan pedangnya ke arah dada lawan. Sengaja ia membuat gerakannya itu agak miring dengan kedudukan kaki yang tidak cukup kuat. Tongkat lawan menangkis dan Kwi Lan berseru keras dan kaget, pedangnya terlepas dari pegangan! Yu Siang Ki mengeluarkan seruan kaget pula, bahkan Suma Kiat juga mengeluarkan seruan, akan tetapi seruan girang. Ia maklum bahwa betapa pun lihainya, Cheng Kong Hosiang akhirnya tidak akan dapat menandingi kehebatan sumoi-nya dan tentu akan roboh.

Kini melihat berubahnya jalannya pertandingan, diam-diam ia merasa girang. Ia mencinta sumoi-nya, akan tetapi kalau sumoi-nya menghalang jalan menuju tercapainya cita-citanya, ia tidak segan-segan bergembira melihat sumoi-nya terancam bahaya maut! Hanya Kiang Liong yang tetap tenang, berdiri tegak matanya tak pernah berkedip memandang jalannya pertandingan. Pemuda ini sudah terlalu hebat digembleng oleh Suling Emas untuk tidak melihat dasar gerakan Kwi Lan itu.

Akan tetapi Cheng Kong Hosiang yang melihat pedang lawannya terlepas, tidak memikirkan lagi kemungkinan lain. Dalam detik itu, kemenangan sudah terbayang olehnya. Gadis ini harus dibunuh karena terlalu berbahaya. Tongkatnya berkelebat dalam serangannya, menghantam ke arah kepala Kwi Lan. Gadis ini miringkan tubuh menundukkan kepala, sengaja membiarkan ujung tongkat menyerempet pundaknya!

Di dalam hatinya, Kiang Liong tertegun. Memang siasat ini hebat, akan tetapi terlalu berbahaya. Gadis ini bukan main, memiliki ketabahan yang sukar dicari tandingnya. Meleset sedikit saja perhitungannya, terlambat seperempat detik saja gerakannya, kepalanya akan hancur dipukul tongkat. Namun selain tabah Kwi Lan juga tenang dan cerdik, perhitungannya takkan meleset. Pada saat ia merasa pundak kanannya nyeri diserempet ujung tongkat, tangan kirinya sudah menghantam ke depan. Itulah pukulan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).

"Auuuggghhh...!" Pukulan itu agaknya tidak terlalu keras, akan tetapi tubuh Cheng Kong Hosiang terpelanting ke belakang, dan kakek ini bergulingan dan menggeliat-geliat kesakitan karena seluruh isi perutnya seperti ditusuk-tusuk.

"Sumoi, kau terlalu...!" Suma Kiat lari menghampiri Kwi Lan yang sudah siap sedia melawan suheng-nya, akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak menyerangnya, melainkan berlutut di dekat tubuh Cheng Kong Hosiang yang masih menggeliat-geliat.

"Lo-suhu, bagian mana yang terasa sakit? Coba kuperiksanya...!" Pemuda ini meraba dada, meraba perut dan pendeta tua itu tidak merintih lagi, bahkan tidak bergerak lagi.

"Piauw-te (Adik Misan), minggirlah!" Kiang Liong membentak Suma Kiat.

Pemuda ini hendak memeriksa dan memaksa hwesio itu membuka rahasia, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia memeriksa, Cheng Kong Hosiang ternyata sudah tak bernyawa lagi. Ia bangkit berdiri, dan menatap wajah adik misannya dengan pandang mata tajam menusuk akan tetapi Suma Kiat hanya menyeringai saja.

Pada saat itu terdengar hiruk-pikuk di luar taman dan masuklah seorang komandan berpakaian gagah memimpin sepasukan pengawal terdiri dari tiga losin orang. Komandan itu segera melangkah lebar menghampiri Kiang Liong, sedangkan para anak buahnya dengan rapi menjaga di pintu keluar.

"Hemm, tidak ada perlunya kita berada di sini lebih lama lagi. Siang Ki, mari kita pergi!" kata Kwi Lan yang sudah menyimpan pedangnya.

Yu Siang Ki mengangguk. Memang ia ingin sekali bicara dengan Kwi Lan mengenai tuduhan yang dilontarkan oleh gadis tadi. Para tokoh kai-pang yang berada di sini ikut bergerak. Komandan pengawal menghadang dan memandang kepada Kiang Liong dengan pandang mata bertanya, menanti perintah. Akan tetapi Kiang Liong berkata halus, "Biarkan mereka pergi!"

Yu Siang Ki merasa sungkan juga mendengar ucapan Kiang Liong ini. Ia merangkap kedua tangan di depan dada lalu menjura kepada Kiang Liong sambil berkata, "Kiang-kongcu, maafkan kelakuan saya tadi."

"Hemm, tidak ada yang perlu dimaafkan. Kalau kau ingin minta maaf, pergilah ke lereng Bukit Cin-lin-san, di kuil Pek-lian-si. Di sana ada seorang calon nikouw yang akan mempertimbangkan apakah kau dapat dimaafkan atau tidak." Setelah berkata demikian, Kiang Liong membalikkan tubuh, tidak mempedulikan lagi kepada ketua Khong-sim Kai-pang ini.

Yu Siang Ki tercengang, tidak mengerti, akan tetapi karena Kiang Liong sudah membelakanginya dan bercakap-cakap dengan komandan pengawal, dan karena Kwi Lan sudah menarik tangannya, terpaksa ia mengikuti gadis itu keluar dari taman bersama para tokoh pengemis.

"Kwi Lan, apakah artinya semua ucapanmu tentang persekutuan...."

"Ssst, diam dan mari kita keluar kota raja. Ada pekerjaan penting untuk kita. Kita harus pergi menolong Pangeran Mahkota Khitan yang tertawan oleh Bouw Lek Couwsu!"

"Apa...? Bagaimana? Di mana?"

"Sstt, mari ikut saja, nanti kujelaskan."

"Mengapa kau tergesa-gesa seperti orang ketakutan?"

"Hemm, kau benar cerewet. Aku memang takut!"

"Takut siapa?"

"Bodoh, Guruku tentu. Kalau dia datang aku takkan terlepas dari kematian dan Pangeran Mahkota Khitan takkan tertolong."

"Ah, Gurumu marah karena kau membunuh hwesio itu?"

Kwi Lan menghentikan larinya memandang pemuda itu dan membanting kaki. "Siang Ki, kau benar cerewet! Dan bodoh. Hwesio itu dibunuh Suheng, apa kau tidak tahu? Suheng bersekutu dengan hwesio itu dan para pembesar Sung yang khianat. Ini bukan urusanku, yang penting aku harus menyelamatkan Putera Mahkota Khitan. Kau mau membantuku? Baik, sekarang lebih baik kau kumpulkan rekan-rekanmu yang memiliki kepandaian, kemudian menyusulku pergi ke lembah Sungai Kuning di sebelah barat Lok-yang, di kaki Gunung Fu-niu-san. Di sanalah markas Bouw Lek Couwsu dan barisan mata-matanya, dan di sana Pangeran Mahkota ditawan. Nah, sampai jumpa di sarang musuh!" Kwi Lan lalu melompat dan lari meninggalkan Siang Ki dan kawan-kawannya yang berdiri melongo saking kaget dan herannya.

Mendengar penuturan Kwi Lan ini, ia teringat akan pesan Kiang-kongcu dan tiba-tiba wajahnya berubah. Seorang calon nikouw? Yang akan mempertimbangkan permintaan maafnya? Ah, tentu saja. Siapa lagi kalau bukan Nona Song Goat yang dimaksudkan oleh Kiang-kongcu. Tunangannya itu, dalam keadaan sakit hati dan merasa terhina, tentu mengambil keputusan untuk menjadi seorang nikouw! Dan agaknya Kiang-kongcu pernah berjumpa dengan Song Goat maka memberi pesan seperti itu.

Akan tetapi urusan yang dikemukakan Kwi Lan amat besar. Biar pun ia tidak peduli tentang nasib Pangeran Khitan, akan tetapi kalau Kwi Lan seorang diri menyerbu ke sana, hal ini amat berbahaya bagi gadis itu. Dia harus menyusul dan membawa pasukan pengemis yang cukup kuat.

"Mari kumpulkan teman-teman!" katanya dan berangkatlah mereka mempersiapkan pasukan pengemis yang kuat. Mereka mengumpulkan teman-teman ini dari kota raja dan Lok-yang. Setelah lengkap, Siang Ki memimpin tiga puluh orang tokoh kai-pang, dengan berpencar agar tidak menarik perhatian, berangkat menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Kwi Lan.

*** KHO PING HOO ***


SEMUA TAMU yang hadir dalam pesta penyambutan Suma Kiat digiring oleh pasukan pengawal istana. Setelah diperiksa, ditanya seorang demi seorang, mereka itu tidak ada yang mengaku kenal dengan Cheng Kong Hosiang. Bahkan semua menyatakan tidak mengenal Suma Kiat, dan hanya datang hadir karena mengingat Pangeran Kiang dan terutama sekali mengingat nama Kiang-kongcu!

Diam-diam Kiang Liong berunding dengan pembesar yang berwenang, lalu membebaskan mereka semua, akan tetapi semenjak saat itu, gerak-gerik semua pembesar ini selalu diawasi. Kemudian Kiang Liong menghadap Kaisar dan menceritakan pengalamannya dalam penyelidikan gerakan orang-orang Hsi-hsia. Kaisar menerima laporan ini dengan sabar, kemudian menjatuhkan perintah kepada semua panglimanya agar berusaha keras mencegah pecahnya perang.

"Betapa pun kecilnya, perang tetap merupakan mala-petaka bagi rakyat. Oleh karena itu, sedapat mungkin harus dihindarkan. Hubungilah bangsa Hsi-hsia dan selidiki apa kehendak mereka. Kalau hanya harta benda yang mereka kehendaki, kami lebih suka mengorbankan sebagian harta benda dari pada mendatangkan mala-petaka bagi rakyat!"

Perintah kaisar inilah yang kelak mencelakakan Kerajaan Sung sendiri. Karena perintah semacam ini yang sering kali dikeluarkan oleh Kaisar yang suka damai dan anti perang ini, kedudukan Kerajaan Sung menjadi makin lemah sehingga akhirnya tidak kuat bertahan ketika mala-petaka tiba. Perintah ini pula yang membuat bangsa Hsi-hsia yang tidak berapa besar itu menjadi makin kuat dan kelak merupakan ancaman yang sama besarnya dengan bangsa Khitan!

Kiang Liong kecewa sekali mendengar perintah ini. Namun tentu saja tak seorang di antara para panglima berani membangkang. Dengan hati gelisah Kiang Liong kembali ke rumah orang tuanya. Bagaimana caranya untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan kalau kaisar melarang dipergunakannya kekerasan terhadap orang-orang Hsi-hsia? Dan di manakah adanya Pangeran Khitan yang tertawan itu? Ia teringat akan peristiwa di dalam taman. Melihat betapa Suma Kiat diam-diam membunuh Cheng Kong Hosiang dan melihat pula sikap Suma Kiat ketika Mutiara Hitam menghamburkan dakwaan-dakwaan yang hebat itu.

Malam itu ia mengajak Suma Kiat ke kamarnya, mengunci pintu kamarnya dan dengan wajah bengis ia berkata, "Nah, sekarang kau harus menceritakan semua rahasiamu, Piauwte!"

Suma Kiat memandang kakak misan ini, menyeringai dan duduk di atas kursi. Tanpa berkata sesuatu ia menuangkan arak yang tersedia di meja ke dalam sebuah cawan dan minum dengan mata mengerling penuh ejekan. Setelah cawan itu kering, ia meletakkannya di atas meja, perlahan-lahan dan tidak tergesa-gesa, barulah ia menoleh dan menjawab.

"Piauwheng, aku tidak punya rahasia apa-apa."

"Suma Kiat! Orang lain boleh kau bohongi akan tetapi aku tidak! Kau kira aku tidak tahu akan kebingunganmu ketika kau melihat Mutiara Hitam hendak membuka rahasia di dalam taman? Dan... kau membunuh Cheng Kong Hosiang, tentu hendak menutup mulutnya, bukan?"

"Ha-ha-ha, Piauwheng. Kau benar-benar tidak adil. Mengapa kau membela Sumoi, membela pengemis itu dan orang-orang lain, sebaliknya menekan adik misan sendiri? Sungguh engkau seorang kakak yang tak patut dibanggakan. Sekarang kau malah membentak dan menuduh yang bukan-bukan kepadaku. Hemm, agaknya kau tidak suka dan iri karena aku datang di sini, ya? Kau tidak suka melihat kenyataan bahwa aku putera Pamanmu? Akan kulihat apa kata Bibi kalau kuceritakan hal ini kepadanya!" Suma Kiat bangkit dari tempat duduknya, hendak pergi ke pintu.

Akan tetapi dengan sebuah loncatan kilat, tubuh Kiang Liong berkelebat dan sudah berada di ambang pintu. Wajahnya bengis, mulutnya tersenyum dingin, menyembunyikan hati yang panas oleh marah. Suaranya mendesis perlahan, "Suma Kiat, jangan kau mempermainkan aku! Engkau telah membunuh Cheng Kong Hosiang yang agaknya benar seorang penghubung dan pembantu Bouw Lek Couwsu. Engkau bersekongkol dengan pemberontak dan musuh, mempergunakan tempat kami, mengotorkan dan mencemarkan nama baik keluarga kami. Hayo ceritakan, sampai berapa jauhnya kau melakukan kesesatan ini? Tahukah kau tentang penawanan Putera Mahkota Khitan? Jawab sejujurnya kalau kau tidak ingin aku menggunakan kekerasan terhadapmu!"

Tiba-tiba berubah sikap Suma Kiat. Ia berdiri tegak, bertolak pinggang dan mukanya membayangkan kemarahan yang membuat wajah yang tampan itu menjadi ganas. Bibirnya tersenyum mengejek, setengah menyeringai dan matanya disipitkan, dari mana menyambar ke luar sinar mata yang tajam dan aneh. Kemudian ia tertawa, kepalanya didongakkan dan perutnya bergerak-gerak, suara ketawa yang panjang bergelak, akan tetapi yang tersentak berhenti secara tiba-tiba dan wajahnya sama sekali tidak ikut tertawa. Ketawa iblis, atau ketawanya seorang yang tidak waras otaknya!

"Kiang Liong! Engkau terlalu! Apa kau kira aku ini orang bawahanmu sehingga boleh kau perintah begitu saja? Kau lupa agaknya bahwa aku ini seorang tamu, bahwa aku ini keponakan Ibumu. Semua orang boleh jadi gentar terhadap namamu, akan tetapi aku, Suma Kiat, selama hidupku belum pernah takut kepada siapa pun juga. Kau tidak perlu menggertak dengan omong kosong, boleh gunakan kekerasan, aku tidak takut!"

Setelah berkata demikian, dengan membusungkan dada Suma Kiat melenggang terus hendak keluar, tidak mempedulikan Kiang Liong yang menghadang di pintu.

Kiang Liong membentak, "Bocah setan, jangan harap dapat keluar dari kamar ini sebelum kau mengaku!" Sambil membentak tangan kanan Kiang Liong mendorong kembali tubuh Suma Kiat ke dalam kamar.

Suma Kiat tertawa, cepat miringkan tubuh dan secara tiba-tiba kepalan tangan kirinya menyambar dengan pukulan keras ke leher Kiang Liong, sedangkan seperempat detik berikutnya, tangan kanannya menyusul dengan pukulan jari-jari terbuka ke arah lambung. Pukulan ke dua inilah pukulan maut, pukulan Siang-tok-ciang yang beracun dan amat ganas!

"Plak-plak...!" Tangkisan Kiang Liong cepat sekali dan bertenaga besar karena pemuda ini sudah tahu akan kelihaian adik misannya sehingga melihat pukulan maut itu ia menjadi marah dan menangkis dengan pengerahan sinkang disalurkan ke tangannya. Tubuh Suma Kiat terlempar dan menabrak dinding sedangkan dengan kaget Kiang Liong merasa betapa lengannya yang menangkis menjadi panas sekali.

Hanya beberapa detik saja Suma Kiat menjadi nanar karena terbanting ke dinding. Ia sudah meloncat bangun lagi, mukanya merah sekali, mulutnya tersenyum menyeringai. "Piauwheng, kau benar-benar mengajak berkelahi?"

"Huh, bukan aku yang mengajak berkelahi, melainkan engkau yang memancing keributan. Tinggal kau pilih, mengaku terus terang ataukah harus kuberi hajaran lebih dulu!" jawab Kiang Liong, suaranya bengis pandang matanya tajam.

Suma Kiat tersenyum dan menjura. "Ah, Kakak Misanku yang baik, mana Adikmu berani kurang ajar kepadamu? Harap kau suka maafkan dan marilah kita bicara secara baik-baik." Sambil berkata demikian Suma Kiat mendekati Kiang Liong.

Pada hakekatnya Kiang Liong juga tidak suka bertentangan dengan keponakan ibunya, karena hal ini tentu akan menyusahkan hati ibunya. Maka ia bersikap sabar, menekan kemarahannya dan berkata, "Begitulah yang kukehendaki, Piauwte. Sekarang kau ceritakan baik-baik tentang...."

"Wuuuutt... dukkkk...!" Tubuh Kiang Liong terjengkang ke belakang dan bergulingan di lantai.

Pukulan Suma Kiat datangnya terlalu tiba-tiba dan terlalu cepat sehingga dia yang tidak menyangka-nyangka tidak sempat menangkis, bahkan mengelak pun terlambat. Masih untung bahwa pukulan yang menghantam ulu hatinya itu menjadi meleset karena Kiang Liong melempar diri ke belakang, namun tetap saja dada kanannya terkena pukulan. Hanya karena sinkang pemuda ini sudah mendekati tingkat tertinggi saja yang menyelamatkan nyawanya. Isi dadanya seperti dibakar, napasnya sesak dan sambil mengguling-gulingkan tubuhnya ia menahan napas mengerahkan sinkang yang ia desakkan dari pusar ke dada. Ia tahu bahwa ia terluka, sungguh pun tidak berat dan berbahaya. Ia menahan kemarahannya dan terus bergulingan, karena ia tahu kalau kemarahan menguasai hati dan menyesak di dada, lukanya akan menjadi berbahaya.

"Heh-heh, kau mencari celaka sendiri, Kiang Liong!" terdengar suara Suma Kiat mengejek dan angin pukulan yang keras secara bertubi-tubi menyambar ke arah Kiang Liong, menutup jalan ke luar dari empat jurusan.

Kiang Liong yang sedang bergulingan itu berhasil menyambar kaki sebuah kursi dan cepat ia melempar kursi itu ke atas sambil menyusul dengan lompatan yang disebut gaya Kim-eng-hoan-sin (Garuda Emas Membalikkan Tubuh), cepat sekali menyusul di belakang bayangan kursi yang dilontarkannya.

"Kraakkk... bruukk!" Kursi yang terbuat dari kayu yang tebal dan berat itu hancur berkeping-keping karena terhimpit hawa pukulan Suma Kiat yang menyambar dari kanan kiri.

"Aihhh...!" Suma Kiat terkejut, tidak mengira bahwa lawannya yang sudah hampir kalah itu dapat menyelamatkan diri dengan pertolongan sebuah kursi.

Namun ia tidak dapat terlalu lama berheran, karena Kiang Liong kini sudah menyambar ke depan dan menggunakan kedua tangannya, yang kanan menimpa dari atas, yang kiri mendorong dari bawah. Inilah pukulan tangan kosong yang diambil dari gerakan ilmu silat Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Mengacau Lautan), sebuah ilmu silat Suling Emas yang luar biasa ampuhnya. Tangan kanan menimpa dengan kekuatan berdasarkan tenaga gwakang (tenaga keras/luar) sedangkan tangan kiri mendorong dari bawah dengan tenaga lweekang (tenaga dalam).

Suma Kiat memang telah mempelajari pelbagai ilmu silat yang aneh-aneh, namun dalam hal tenaga dalam dan pengalaman, ia masih ketinggalan jauh oleh Kiang Liong. Ia terkejut dan menggunakan kedua tangannya untuk menahan dan menangkis dua pukulan itu. Inilah kesalahannya. Tangan kanan Kiang Liong tiba lebih dulu dan melihat sambarannya Suma Kiat juga menangkis dengan tenaga gwakang. Akan tetapi setengah detik berikutnya, pukulan tangan kiri Kiang Liong yang ditangkisnya itu ternyata menggunakan tenaga yang berlawanan, yakni tenaga dalam.

Suma Kiat terkejut, namun terlambat. Lengannya seperti ditempel, lekat dan tahu-tahu tangan Kiang Liong sudah menangkap pergelangan tangannya dan sekali Kiang Liong membuat gerakan, menyendal, tubuh Suma Kiat terlempar ke atas menabrak langit-langit kemudian terbanting jatuh ke atas lantai!

Suma Kiat mengeluh, kepalanya yang terbentur pada langit-langit membuatnya pening. Ketika ia membuka mata, lantai terasa berputaran. Ia meramkan matanya lagi, mengaduh, merintih dan menarik napas dalam-dalam. Ia sudah pasrah karena kalau saat itu lawannya menyusul dengan serangan baru, ia tentu takkan dapat mengelak atau menangkis. Ia menanti maut. Namun pukulan itu tidak kunjung tiba. Ketika ia membuka matanya perlahan-lahan, ia melihat Kiang Liong masih berdiri tegak, bertolak pinggang, kedua kaki terpentang lebar, sikapnya menyeramkan dan menakutkan hati Suma Kiat.

Tiba-tiba Suma Kiat menangis! Menangis sesenggukan, terisak-isak dan bergulingan di atas lantai, seperti seorang anak kecil menangis rewel. "Uhuuk-hu-huukk... Piauwheng, kau benar kejam sekali... u-hu-huuk... kalau memang kau tega kepada adik misan, kau bunuhlah aku sekarang juga... u-huhuuukk...!"

Kiang Liong mengerutkan keningnya. Ia teringat akan ucapan ayah bundanya tentang Kam Sian Eng, ibu pemuda ini. Menurut penuturan ibunya, mungkin sekali Kam Sian Eng itu seorang wanita yang selain aneh, juga tidak waras otaknya. Dan bukan aneh kalau puteranya ini juga agak miring, tidak waras. Ataukah berpura-pura? Ia menghela napas dan duduk di atas sebuah kursi.

"Sudahlah, tidak perlu banyak tingkah. Bangkit dan lekas kau ceritakan semua rahasia itu," katanya dengan hati sebal.

Suma Kiat menghapus air matanya, kemudian meringis kesakitan. Untung bahwa Kiang Liong tadi tidak bermaksud mencelakakannya, dan hanya menggunakan kekuatan sinkang untuk melontarkannya. Rasa nyeri yang dideritanya kini hanya akibat terbanting, hanya merupakan luka lecet dan benjol belaka. Dengan terpincang-pincang buatan Suma Kiat menghampiri kakak misannya, menggerakan pinggul sehingga pedangnya terputar agak dekat ke pinggang.

"Piauwheng, kau benar-benar terlalu kejam. Apakah kesalahanku maka kau memukulku begini rupa? Memang aku bunuh Cheng Kong Hosiang, hwesio jahat dan beracun mulutnya itu. Coba saja kau pikir, Piauwheng. Siapa yang tidak menjadi marah. Dia berani membujuk-bujuk aku untuk bersekongkol dengannya. Katanya... kelak kalau bangsa Hsi-hsia menyerbu ke kota raja, aku supaya membantu gerakan itu. Nah, apa ini tidak menjengkelkan? Aku tidak tahu apa-apa tentang pemberontakan, tentang persekongkolan gelap. Aku hanya suka kepada... eh, sahabat-sahabatmu yang cantik itu. Apa lagi enci adik Chi itu. Kau bagi mereka untukku, ya, Piauwheng?"

Kiang Liong mendongkol bukan main. Ia tahu bahwa adik misannya ini membohong. Ia sudah mendongkol oleh sikap Kaisar yang tidak berniat membasmi ancaman bangsa Hsi-hsia, kini setelah ada harapan memperoleh keterangan tentang ditawannya Pangeran Mahkota Khitan, Suma Kiat mempermainkannya. Kalau tidak ingat ibunya, ingin ia sekali pukul merobohkan adik misan yang tidak patut ini!

"Suma Kiat!" bentaknya marah. "Tak perlu kau berpura-pura lagi. Aku bukan anak kecil yang bisa kau bodohi dengan sandiwaramu. Hayo katakan, di mana adanya Pangeran Mahkota Khitan yang ditawan oleh Bouw Lek Couwsu, di mana markas orang-orang Hsi-hsia, kalau tidak mengaku... hemm... engkau tentu akan kuhajar!" Kiang Liong melangkah maju, mengamangkan tinjunya, mengancam.

"Eh... eh... ohh... Piauwheng kau bunuhlah saja aku...," kembali Suma Kiat menangis menggerung-gerung!

Kiang Liong menjadi gemas dan makin marah. Celaka, pikirnya, kalau anak edan ini makin keras menangis, tentu akan terdengar oleh ibunya. Lebih baik kutotok dia agar tidak dapat banyak tingkah. Ia melangkah maju dan... sinar putih yang menyilaukan mata menyambarnya ketika tahu-tahu Suma Kiat sudah mencabut pedang dan menyerangnya secepat kilat!

Kiang Liong terkejut bukan main. Serangan pedang ini amat cepat dan dilakukan dari jarak dekat secara tak tersangka-sangka. Untuk mencabut senjata pensilnya sudah tidak keburu lagi, maka tiada lain jalan bagi Kiang Liong kecuali mengerahkan tenaga ginkang dan tubuhnya mencelat ke belakang. Akan tetapi sinar pedang putih itu terus menyambar diikuti bunyi dengus Suma Kiat yang agaknya mentertawakan.

"Crak-crak...!" Sebuah meja besar pecah menjadi beberapa potong kena sambar sinar pedang Suma Kiat ketika tubuh Kiang Liong menyelinap ke belakang meja.

Beberapa detik ini sudah cukup bagi Kiang Liong. Ketika pedang Suma Kiat bertemu dengan meja yang mewakili dirinya, ia sudah mencabut sepasang pensilnya dan kini ia meloncat melampaui meja sambil menyerang! Suma Kiat tidak gentar melihat bahwa kakak misannya hanya memegang sepasang senjata pensil yang hanya satu kaki lebih panjangnya itu. Ia tertawa dan pedangnya diputar cepat, membentuk gulungan sinar putih

"Cring-cring... trang-trang-trang...!" berkali-kali pedang yang bersinar putih itu bertemu dengan sepasang pensil di kedua tangan Kiang Liong.

Barulah Suma Kiat menjadi terkejut ketika tangan kanannya terasa hampir lumpuh setiap kali pedangnya bertemu dengan kedua pensil kakak misannya. Ia jauh kalah kuat tenaganya dan ia menjadi bingung karena dua pensil itu mengandung tenaga yang berlawanan dan lebih membingungkan lagi, berubah-ubah. Kalau dalam bentrokan pertama pensil kiri mengandung tenaga kasar, dalam bentrokan ke dua mengandung tenaga lemas, dan demikian sebaliknya dengan pensil kanan. Orang yang sudah dapat mengatur tenaga berubah-ubah seperti itu, benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh.

Betapa pun Suma Kiat mengeluarkan semua ilmu pedangnya yang aneh, tetap saja ia terkurung dan terhimpit oleh sinar sepasang pensil. Ia terdesak mundur dan hanya mampu memutar pedang melindungi tubuhnya. Andai kata Suma Kiat bukan adik misan Kiang Liong melainkan seorang musuh yang boleh dibunuh, tentu saja ia sudah roboh binasa karena dengan kelebihan ilmunya, dengan mudah Kiang Liong dapat membunuh Suma Kiat. Akan tetapi Kiang Liong tidak ingin membunuhnya, hanya ingin merobohkan dan menaklukkannya, maka hal ini memakan waktu agak lama dan tidaklah mudah, sama dengan orang hendak menangkap hidup-hidup seekor harimau ganas. Kiang Liong sedang menanti kesempatan untuk menotok adik misannya.

Tiba-tiba terdengar suara lengking nyaring menyeramkan. Mendengar ini Kiang Liong terkejut, akan tetapi Suma Kiat dengan suara girang berseru. "Ibu, tolonglah!"

Angin yang keras menyambar masuk dari jendela dan... lampu dinding dalam kamar itu seketika menjadi padam! Kiang Liong kaget, tidak melanjutkan serangannya dan meloncat mundur. Akan tetapi dari depan, pedang Suma Kiat menerjangnya dengan hebat. Kagetlah Kiang Liong dan ia menangkis. Pertemuan pedang dengan pensil di tangannya menciptakan bunga api yang tampak jelas di dalam kamar gelap ini.

Kembali Suma Kiat menyerangnya. Kiang Liong menangkis kembali hanya mengandalkan ketajaman pendengarannya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa lawannya jauh lebih tajam pandangan matanya di dalam gelap dari pada dia. Suma Kiat semenjak kecil hidup di dalam istana bawah tanah, sudah biasa dengan kegelapan. Matanya amat tajam di dalam gelap, inilah sebabnya mengapa setelah kamar menjadi gelap ia dapat menyerang bertubi-tubi sehingga mengejutkan Kiang Liong.

Karena tidak ingin ‘salah tangan’ dalam gelap itu sehingga ia membunuh atau mendatangkan luka berat pada adik misannya, pada saat pedang Suma Kiat menyambar dari depan, ia cepat ‘menangkap’ pedang itu dengan sepasang pensilnya dengan cara menjepit pedang itu dengan dua pensil yang disilangkan. Suma Kiat terengah-engah berusaha menarik kembali pedangnya, namun sia-sia belaka. Pedang itu seperti lekat pada sepasang pensil.

"Suma Kiat, lepaskan pedangmu!" dengan suara tegas Kiang Liong berkata.

Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut bukan main. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu ada hawa pukulan menyambar ke arah tengkuknya. Ia menjadi serba susah. Melepaskan jepitan pedang Suma Kiat berarti memberi kesempatan kepada adik misan yang gila itu untuk menyerangnya lagi. Tidak melepaskannya, ia terancam pukulan hebat yang kini sudah tiba.

Kiang Liong mengerahkan tenaga, memutar sepasang pensil dan terdengar suara seruan kaget Suma Kiat karena pedangnya sudah terampas, secara paksa direnggut lepas dari tangannya oleh tenaga putaran yang hebat. Pada saat itu, Kiang Liong terpaksa menerima tamparan dari belakang yang mengenai pundaknya karena ia sudah miringkan tubuh dan mengerahkan sinkang ke arah pundak. Ia percaya bahwa tenaga sinkang-nya dapat melindungi pundak yang terpukul oleh lawan yang tidak kelihatan.

"Plakk...!”

Pukulan yang merupakan tamparan telapak tangan halus itu tidak keras, akan tetapi ternyata tubuh Kiang Liong terguling roboh, sepasang pensil yang masih menjepit pedang Suma Kiat terlepas dari kedua tangan, jatuh berkerontangan di atas lantai kamar.

Suma Kiat menyalakan lampu dinding, menyeringai kepada wanita berkerudung hitam sambil berkata. "Untung kau datang, Ibu."

"Goblok! Menghadapi senjata sepasang pensil jangan mau bertempur dekat!" gumam wanita itu yang bukan lain adalah Kam Sian Eng.

Melihat wanita ini, Kiang Liong dapat menduga siapa adanya dan ia merasa seram juga. Di dalam hati ia mentertawai ucapan wanita itu. Memang kata-katanya mengandung kebenaran, yaitu bahwa keampuhan senjata pit adalah untuk pertempuran jarak dekat, akan tetapi mengingat akan tingkat Suma Kiat, tetap saja ia akan dapat mengalahkan adik misan itu biar pun menggunakan siasat pertempuran jarak jauh.

Akan tetapi ia tidak dapat berpikir lebih panjang lagi karena rasa nyeri di pundaknya membuat ia terpaksa mengerahkan tenaga melawannya. Baru saja ia memejamkan mata mengatur pernapasan, tiba-tiba belakang lehernya ditotok. Kagum juga hatinya karena wanita itu dapat menotoknya tanpa ia ketahui sama sekali, tanda bahwa gerakannya amat ringan. Ia kini tidak dapat bergerak pula, menjadi lemas karena yang tertotok adalah jalan darah yang berpusat di punggung. Maka ia hanya dapat rebah telentang sambil memandang ibu dan putera yang gila itu.

"Bagus, Ibu. Kita bawa Kiang Liong kepada Couwsu, tentu dia akan girang sekali. Kiang Liong ini menggagalkan pertemuan dan persekutuan, bahkan membahayakan kedudukan para pembantu di kota raja."

Sian Eng mengangguk. Sepasang sinar mata yang amat tajam menembus kerudung hitam, membuat Kiang Liong tertegun dan ngeri. Mata itu bukan mata orang biasa! Mata itu kehilangan perasaan, kehilangan ketenangan dan kesadaran. Mata orang yang sudah gila atau mata iblis!

"Kau bawa dia dan mari kita pergi!" katanya lirih.

"Heh-heh-heh, nanti dulu, Ibu. Masih ada lagi yang harus kubawa bersama kita. Aku tanggung Bouw Lek Couwsu akan lebih senang hatinya dan yang akan kubawa ini merupakan tanggungan akan bala bantuan Khitan, Heh-heh!"

"Siapa?"

"Puteri Panglima Besar Khitan. Kau tunggu sebentar, Ibu." Suma Kiat menyarungkan pedangnya yang tadi terampas Kiang Liong, mengebut-ngebutkan bajunya dan meloncat ke luar dari dalam kamar.

Di ruangan tengah Suma Kiat bertemu dengan Suma Ceng yang berjalan tergesa-gesa bersama Puteri Mimi. "Kiat-ji (Anak Kiat), apakah yang terjadi? Aku mendengar suara ribut-ribut. Apakah... kau bertengkar lagi? Mana Liong-ji?"

"Heh-heh-heh, anakmu sudah mampus!" Suma Kiat terkekeh kurang ajar dan matanya melahap Puteri Mimi yang jelita.

"Apa...? Di mana dia...?" Suma Ceng menjerit.

Akan tetapi dengan lebih kurang ajar lagi Suma Kiat mendorong dengan tangan kanannya ke arah dada bibinya sambil membentak. "Pergilah kau!"

Nyonya Kiang itu cukup mengenal ilmu silat sehingga ia cepat miringkan tubuh mengelak dari dorongan kurang ajar itu. Akan tetapi tidak cukup mengenal kecurangan dan kelihaian keponakannya. Dengan sabetan kaki yang amat cepat, Suma Kiat menyerang. Kedua kaki nyonya itu tersabet, terangkat dan tubuhnya terbanting ke lantai. Kepalanya membentur lantai dan nyonya ini pingsan!

"Kau jahat!" Mimi membentak marah, sepasang matanya yang indah lebar itu terbelalak.

"Heh-heh, tidak kepadamu, manis." Suma Kiat terkekeh, tangannya menjangkau hendak menangkap.

Akan tetapi Puteri Mimi bukan seorang wanita lemah. Cepat ia mengelak dan tangan kirinya yang dikepal keras menghantam dada Suma Kiat, disusul tendangan kaki kanannya.

"Heh-heh, kau gesit juga, manis!" Suma Kiat dengan gerakan seenaknya mengelak dan berusaha menangkap lagi. Namun Mimi dengan nekat melakukan perlawanan, mengirim pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan mengarah bagian berbahaya dan lemah dari tubuh lawan.

Terdengar suara ribut-ribut, tanda para penghuni rumah sudah terbangun semua oleh suara hiruk-pikuk ini. Suma Kiat cukup cerdik, tidak mau melayani gadis itu lebih lama lagi. Tiba-tiba ia berseru dan tangannya menyelonong, mengirim pukulan yang amat kuat ke arah muka Mimi. Gadis ini terkejut dan cepat berusaha menangkis, akan tetapi ternyata pukulan ini hanya gertakan belaka dan di lain saat tubuh Mimi sudah menjadi lemas karena tertotok oleh tangan kiri Suma Kiat. Mimi mengeluh dan tubuhnya yang akan roboh itu disambar oleh Suma Kiat dan dipanggulnya, dibawa lari ke arah kamar Kiang Liong.

Melihat Suma Kiat kembali membawa tubuh seorang gadis Khitan yang cantik, Sian Eng tidak berkata apa-apa. Wanita ini lalu menyambar tubuh Kiang Liong, dikempit dengan lengan kirinya, kemudian berkata singkat. "Hayo pergi, ikuti aku!"

Bagaikan bayangan dua setan, ibu dan anak ini menghilang melalui jendela dan terus melompat ke atas genteng, berlari-lari dan lenyap ditelan kegelapan malam.

Di dalam gedung menjadi gempar. Pangeran Kiang dan para pelayan serta pengawal menjadi kaget dan gelisah melihat Nyonya Kiang pingsan di ruangan tengah. Lebih kaget lagi mereka melihat bahwa Puteri Mimi telah lenyap, demikian pula Kiang Liong lenyap dari dalam kamarnya yang kacau-balau keadaannya. Setelah Nyonya Kiang siuman, barulah Pangeran Kiang mendengar akan perbuatan Suma Kiat. Ia menghela napas panjang dan mengomel.

“Ah, tidak disangkanya dia menurun ayahnya...!” Tentu saja Pangeran Kiang ini kenal akan Suma Boan yang memang amat jahat.

Mendengar ucapan suaminya, Nyonya Kian atau Suma Ceng bangkit dan berkata ketus. “Perlu apa memburuk-burukkan nama Kakakku yang sudah mati? Lebih baik kau cepat-cepat berusaha mengerahkan pengawal untuk mencari Liong-ji dan Puteri Mimi!”

Pangeran Kiang menggerakkan pundak, akan tetapi ia keluar dari kamar isterinya untuk mengerahkan pasukan pengawal. Lenyapnya Kiang Liong tidaklah amat menggelisahkan hatinya. Pertama karena ia tahu akan kelihaian Kiang Liong sehingga lenyapnya tidak perlu dikhawatirkan. Kedua karena ia memang kurang peduli akan pemuda itu yang menurut hukum adalah putera sulungnya akan tetapi yang ia ketahui dengan yakin di dalam hati bukanlah keturunannya. Ia maklum akan permainan asmara antara isterinya dan Suling Emas, maka melihat sikap dan wajah Kiang Liong, melihat pula betapa Suling Emas amat mencinta pemuda itu, ia merasa yakin bahwa pemuda itu adalah keturunan Suling Emas. Akan tetapi ia terlampau mencinta isteri, maka ia tidak pernah membicarakan hal ini.

Sementara itu, Kiang Liong dan Mimi dibawa lari Kam Sian Eng dan Suma Kiat. Semalam suntuk mereka berlari seperti terbang cepatnya menuju ke barat. Mereka melewati kota Lok-yang, terus ke barat sampai mereka tiba di luar sebuah hutan besar di kaki bukit Fu-niu-san di lembah Sungai Kuning.

Malam telah terganti pagi dan matahari telah bersinar cemerlang. Mereka berhenti di luar hutan dan Kiang Liong yang sudah tertotok lemas kembali dilempar oleh wanita berkerudung itu sehingga rebah telentang di atas tanah.

Suma Kiat duduk di bawah pohon, tubuh Mimi dipangkunya. “Ibu, kenapa berhenti?”

“Kita menanti penjemputan. Tempat ini penuh rahasia, amat berbahaya,” kata ibunya.

Puteri Mimi mengeluh dan bergerak perlahan, berusaha melepaskan diri dari atas pangkuan dan dari lengan Suma Kiat yang memeluknya. Melihat bahwa puteri ini sudah bebas dari totokan, Suma Kiat, tertawa. “Ha-ha-ha, manis. Tenanglah, karena aku tidak akan menyusahkanmu. Sebaliknya, engkau akan menikmati banyak kesenangan dengan aku, ha-ha!” Suma Kiat memeluk erat dan mendekatkan mukanya hendak mencium. Puteri Mimi meronta-ronta, namun tenaga pemuda itu jauh lebih kuat.

Kam Sian Eng duduk bersila, memejamkan mata, sama sekali tidak mengacuhkan perbuatan anaknya itu. Hanya Kiang Liong yang menatap dengan sepasang mata mengeluarkan cahaya berapi. Pemuda ini mengerahkan tenaga, namun totokan wanita berkerudung hitam itu benar hebat, membuat kaki tangannya lumpuh dan ia hanya dapat membentak keras.

“Suma Kiat! Demi Tuhan, kalau kau mengganggu puteri itu, aku pasti akan membunuhmu!”

Suma Kiat mengangkat muka memandang sambil menyeringai. Melihat sinar mata Kiang Liong, ia tertawa. “Ha-ha, Piauwheng, apakah kau cemburu dan iri?” Ia mengejek.

Akan tetapi agaknya sinar mata Kiang Liong yang menyeramkan itu membuat ia keder juga. Ia tahu betapa lihainya kakak misannya itu maka lenyaplah untuk sementara gelora nafsunya. Ia mendorong tubuh Mimi dari atas pangkuan. Gadis ini terjungkal dan jatuh ke atas tanah, rebah miring. Biar pun ia sudah dapat bergerak, namun ia pura-pura tak berdaya dan terus rebah miring, di dalam hati merasa lega bahwa untuk sementara ia terbebas dari pada penghinaan. Akan tetapi tentu saja ia amat cemas, apa lagi mengingat bahwa Pangeran Mahkota Khitan tertawan musuh, dan kini dia sendiri, bahkan Kiang Liong, satu-satunya orang yang dapat ia harapkan juga tertawan!

Mereka tidak lama menanti. Dari dalam hutan terdengar suara seperti lolong srigala susul-menyusul, makin lama makin dekat dan tak lama kemudian muncullah dua belas orang hwesio jubah merah yang segera memberi hormat kepada Kam Sian Eng. Seorang di antara mereka, yang bermuka hitam, segera berkata.

“Maafkan pinceng sekalian yang agak lambat menyambut. Couwsu memerintahkan pinceng untuk menyambut Toanio dan mempersilakan Toanio menjumpai Couwsu.”

Kam Sian Eng bangkit, tak menjawab hanya menggerakkan tangan kepada Suma Kiat, memberi tanda agar puteranya mengikutinya. Kemudian ia menyambar dan mengempit tubuh Kiang Liong. Suma Kiat memondong Puteri Mimi lalu mengikuti ibunya, diiringkan dua belas orang hwesio jubah merah, memasuki hutan yang besar dan gelap. Hwesio muka hitam sebagai penunjuk jalan membawa mereka berjalan melalui pohon-pohon besar menerjang alang-alang dan berputar-putaran. Sungguh jalan yang amat sulit bagi orang luar dan hanya jalan inilah yang dapat dilalui dengan aman. Mengambil jalan lain berarti harus menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia, pasukan-pasukan terpendam dan hujan anak panah!

********************


SETELAH berpisah dari Yu Siang Ki yang akan mengumpulkan teman-teman para tokoh Kai-pang, Kwi Lan melanjutkan perjalanan melanjut perjalanan seorang diri menuju kebarat. Ia melakukan perjalanan cepat sekali dan ia tiba di kaki bukit Fu-niu-san pada sore hari menjelang senja. Jantungnya berdebar keras. Ia belum pernah melihat Putera Mahkota Khitan, akan tetapi karena Pangeran Mahkota itu adalah putera angkat ibu kandungnya, maka berarti saudara angkatnya pula. Ia hanya tahu bahwa putera angkat ibunya itu bernama Pangeran Talibu.

Biasanya Ia tak senang dan iri kalau teringat akan pangeran ini, akan tetapi mendengar Pangeran ini tertawan oleh Bouw Lek Couwsu, ia menjadi gelisah sekali. Ia sendiri menjadi heran mengapa ia menjadi begini? Jantungnya terasa bergetar penuh kecemasan dan hasrat satu-satunya yang memenuhi hatinya hanya pergi menolong dan membebaskan Pangeran itu dari pada orang-orang Hsi-hsia!

Ibu kandungnya, Ratu Khitan, tentu susah sekali hatinya kalau sampai Pangeran Mahkota ini tertimpa bencana. Kini ia dapat menggambarkan betapa keadaan ibu kandungnya itu. Melihat watak gurunya, sudah pasti ia dahulu dipisahkan secara paksa oleh gurunya dari ibu kandungnya. Dan tentu saja ibu kandungnya mengangkat seorang putera yang menjadi penggantinya. Ibu kehilangan dia, anak kandung, kalau sekarang harus kehilangan lagi putera angkat, alangkah akan hancur hatinya.

Hutan yang lebar dan gelap itu tidak menjadikannya gentar. Kwi Lan seorang gadis yang tak pernah mengenal takut. Pula ia sudah terbiasa di dalam gelap. Tidak percuma ia sejak kecil dahulu tinggal di dalam istana bawah tanah. Dengan hati tabah, Kwi Lan mencabut pedangnya kemudian memasuki hutan. Ada sebuah lorong kecil di dalam hutan itu dan jalan inilah yang ia ambil. Sunyi sekali keadaan dalam hutan, sunyi dan gelap, bahkan sedikit pun tak ada angin bertiup.

Jalan kecil itu penuh daun kering. Baru kurang lebih seratus langkah ia berjalan dengan hati-hati, tiba-tiba kakinya menginjak alat rahasia yang tersembunyi di bawah tumpukan daun kering. Terdengar bunyi bercuitan dari kanan kiri dan puluhan batang anak panah menyambar ke arahnya dari pohon-pohon di kanan kiri, anak panah yang meluncur dari busur digerakkan oleh alat-alat rahasia secara otomatis! Kwi Lan tidak mau bertindak sembrono. Ia berdiri tegak dan tetap di tempatnya, hanya memutar pedangnya menjadi segulung sinar melindungi tubuhnya. Semua anak panah terpukul runtuh dan akhirnya hujan anak panah itu pun berhenti.

Kwi Lan amat cerdik. Ia dapat menduga bahwa kiranya bukan hanya ini tempat yang mengandung rahasia serangan atau jebakan gelap. Ia memandang ke sekeliling. Kalau ia mengambil jalan liar, besar sekali bahayanya ia akan tersesat di dalam hutan ini, apa lagi malam hampir tiba. Kalau melalui jalan kecil ini ia akan menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia yang lebih berbahaya lagi. Ia memandang ke atas dan matanya yang indah berseri-seri. Itulah jalan yang paling tepat, pikirnya dan sekali ia mengenjotkan kaki pada tanah dan mengayun tubuh, tubuhnya yang ramping itu melayang ke arah pohon.

Kemudian mulailah ia melanjutkan perjalanan melalul ‘jalan atas’ yaitu berloncatan dari pohon ke pohon! Hal ini tidak terlalu sukar ia lakukan karena pohon-pohon di situ amat lebat, sambung-menyambung di kanan kiri jalan kecil yang dari atas nampak putih. Dengan enaknya Kwi Lan terus berloncatan sehingga dalam waktu singkat ia sudah masuk ke dalam hutan, melampaui lebih seratus batang pohon besar.

Tiba-tiba ketika ia meloncat ke sebuah pohon besar, ada bayangan hitam lebar seperti layar menyambar ke arahnya. Cepat ia menggerakkan pedangnya ke depan, diputar sambil mengerahkan tenaga.

“Cring-cring... brettt...!”

Ketika ia memandang, kiranya yang menyambarnya adalah sehelai jala yang dalamnya dilengkapi dengan kaitan-kaitan baja! Ia bergidik dan marah sekali, apa lagi ketika melihat lima ekor monyet sebesar manusia berlompatan dan menyerangnya dari lima penjuru. Gerakan binatang-binatang ini tentu saja amat tangkas. Sambil cecowetan mereka menyerbu, menggerakkan kedua lengan yang panjang berbulu.

Kwi Lan boleh jadi pandai ilmu silat dan andai kata ia dikeroyok di atas tanah, jangankan hanya oleh lima ekor monyet, biar oleh lima puluh ekor monyet sekali pun ia tidak akan gentar. Kini ia berada di atas dahan-dahan pohon yang tentu saja merupakan ‘daerah’ monyet. Binatang-binatang itu tentu saja dapat bergerak lebih leluasa dan gesit. Betapa pun juga, Kwi Lan tidak kehilangan akal. Tangan kirinya sudah merogoh saku dan sekali tangan kirinya bergerak, sinar hijau menyambar. Itulah jarum-jarum hijau!

Lima ekor monyet itu tak dapat mengelak dan dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati Kwi Lan ketika mendengar betapa ‘monyet-monyet’ itu mengeluarkan suara mengaduh seperti manusia! Kiranya mereka adalah manusia-manusia yang menyamar sebagai monyet, agaknya untuk mengawasi daerah itu sekalian menjadi penjaga. Setelah mendapat kenyataan bahwa mereka itu manusia, Kwi Lan menjadi makin tabah. Lima orang itu masih berusaha bergantung pada dahan-dahan pohon. Kwi Lan menerjang maju, lima kali Siang-bhok-kiam berkelebat dan lima orang itu terpelanting ke bawah tanpa dapat mengeluh lagi karena mereka semua telah tewas!

Akan tetapi pada saat itu terdengar ledakan keras dan... pohon besar di mana Kwi Lan berada itu tiba-tiba roboh! Kwi Lan tentu saja menjadi kaget dan panik. Hendak meloncat turun, takut tertimpa dahan-dahan pohon raksasa ini. Kalau tidak, juga terdapat bahaya terbanting bersama pohon. Biar pun terancam bahaya maut, gadis ini masih tidak kehilangan akal. Ia mempergunakan pandang matanya yang tajam dan terbiasa di tempat gelap, mengikuti robohnya pohon itu sambil berpegang kuat-kuat pada dahan.

Setelah tahu arah pohon roboh, ia cepat menyelinap dan berpindah pada dahan sebelah atas sehingga ia berada di dahan yang akan menjadi bagian teratas apa bila pohon itu sudah rebah di tanah. Kemudian, sambil mengerahkan seluruh ginkang-nya, sebelum pohon itu menimpa tanah, ia sudah mengenjot tubuhnya ke depan, melampaui pohon itu dan melayang turun ke atas tanah sambil menyambar ujung dahan terpanjang.

Untung sekali bahwa dalam seperempat detik terakhir ia ingat untuk menyambar ujung ranting dari dahan terpanjang pohon itu, karena begitu kedua kakinya turun menginjak tanah yang tertutup daun-daun kering, tiba-tiba tanah itu bergoyang dan tubuhnya terjeblos ke dalam lubang sumur yang amat lebar dan dalam! Kwi Lan menahan napas, mengerahkan tenaga menarik tubuhnya ke atas dengan bantuan ujung ranting pohon. Tubuhnya mencelat keluar dari sumur dan ia tidak berani lagi turun ke atas tanah yang banyak jebakannya melainkan memeluk dahan terendah sebatang pohon terdekat!

Kini ia ‘nongkrong’ di atas dahan mengeluarkan sapu tangan dan menghapus dahi dan leher yang penuh dengan keringat dingin. Tangan yang dipergunakan untuk menghapus keringat itu agak gemetar, jantungnya berdebar-debar. Bukan main, pikirnya. Kini terdengar suara hiruk pikuk yang datangnya dari tengah hutan. Bahaya baru lagi mengancam pikir Kwi Lan. Ia berada terlalu dekat dengan mayat lima orang itu, dan hal ini berbahaya. Para penjaga tentu akan memeriksa sekeliling tempat ini. Ia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi ia gentar juga mengingat akan banyaknya alat rahasia yang demikian berbahaya. Di samping ini, ia tidak ingin bertempur dengan mereka sebelum dapat menemukan dan menolong Pangeran Mahkota. Lebih baik ia bersembunyi. Akan tetapi soalnya yang repot, di mana tempat sembunyi?

Kwi Lan memandang ke sekeliling. Ia tidak mempercayai jalan kecil itu. Tentu banyak jebakan. Bersembunyi di pohon juga tidak aman. Buktinya tadi ia bertemu lima orang yang menyamar sebagai monyet. Dari atas pohon ia melihat tak jauh dari situ terdapat sebuah jurang. Ia lalu berloncatan mendekati jurang ini melalui pohon-pohon menjauhi jalan kecil. Kemudian dengan hati-hati sekali ia turun dari pohon, tidak berani meloncat. Ia masih berpegang kepada batang pohon ketika kakinya turun ke tanah, kemudian ia melangkah maju perlahan-lahan menggunakan sebatang ranting sebagai tongkat. Ia menekan tanah di depan tongkat lebih dulu sebelum kakinya menginjak. Akan tetapi ternyata bagian yang liar ini tidak ada jebakannya.

Suara manusia terdengar makin mendekat dan akhirnya tampaklah obor yang cukup banyak. Malam telah tiba. Kwi Lan menelungkup di pingir jurang. Jurang yang kecil, lebih mirip sebuah sumur besar yang dindingnya batu karang. Perlahan-lahan ia merayap turun, berpegang kepada akar-akar pohon dan batu-batu menonjol. Akhirnya ia berhenti dan bersembunyi di bawah sebuah batu yang menonjol, terlindung dari atas oleh batu itu. Tempat ia bersembunyi itu tidak berapa jauh dari tempat pohon roboh tadi dan ia mulai mendengar jejak kaki banyak orang dan suara mereka, ada yang berbahasa daerah yang ia mengerti.

“Siapa yang terjebak? Di mana dia?” terdengar suara yang parau,

“Tidak ada bayangan seorang setan pun!” seru suara yang lain, suaranya tinggi.

“Wah, mereka ini tewas...!”

“Bawa obor, biarkan pinceng memeriksanya!”

Kwi Lan tersenyum. Girang hatinya bahwa ia memasuki tempat yang benar. Itulah suara orang Hsi-hsia dan yang terakhir tentulah seorang hwesio jubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu. Tak salah lagi, di sini markas baru Bouw Lek Couwsu, dan menurut suheng-nya, di sinilah Pangeran Mahkota tertawan. Ia memutar otaknya. Agaknya penjagaan di daerah ini pasti amat kuat, jauh lebih kuat dari pada markas Bouw Lek Couwsu di Bukit Kao-likung-san di lembah Nukiang dahulu, karena selain markas ini dekat kota raja Kerajaan Sung, juga pengalaman di Kao-likung-san yang dibasmi orang-orang Beng-kauw tentu membuat Bouw Lek Couwsu kini berhati-hati. Apa akal untuk dapat menemukan Pangeran Mahkota yang ditawan?

Suara orang-orang di sebelah atas makin ribut. Benar saja, mereka kini mencari-carinya. Mereka sudah tahu bahwa lima orang anak buah yang menyamar sebagai monyet itu tewas oleh tangan manusia, terluka jarum dan tewas oleh bacokan pedang. Makin jelas suara mereka ketika mendekat dan tak lama kemudian Kwi Lan mendengar menyambarnya puluhan senjata rahasia dan anak panah ke dalam jurang atas sumur di mana ia bersembunyi. Kalau ia bersembunyi di dasar jurang itu, tentu tubuhnya dihujani senjata rahasia. Akan tetapi di bawah batu besar yang menonjol ini, ia terlindung dan aman!

“Kalau dia bersembunyi di bawah tentu mampus!” terdengar seorang berkata. Kemudian suara mereka makin menjauh.

Kwi Lan maklum bahwa bahaya telah lewat, maka ia cepat merayap naik. Dari tepi jurang ia mengintai. Lima buah mayat itu telah mereka angkut dan masih ada beberapa orang berkeliaran mencari-cari di sekitar tempat itu dengan obor di tangan. Kwi Lan menyelinap dan berindap-indap membayangi seorang tinggi besar, bangsa Hsi-hsia yang mencari sendirian ke jurusan barat. Orang Hsi-hsia ini memandang ke kanan kiri, sebuah obor di tangan kiri dan sebuah golok di tangan kanan. Ia membabati alang-alang dengan goloknya, mencari-cari.

Tiba-tiba dua batang jari yang kecil namun kuatnya laksana baja menotok lehernya dan seketika orang Hsi-hsia itu lumpuh dan pingsan. Bagaikan iblis sendiri bayangan Kwi Lan berkelebat dekat, menerima obor dan golok yang terlepas dari tangan orang Hsi-hsia itu, membuang golok dan menangkap lengan korbannya, lalu memadamkan obor, mengempit tubuh yang lemas itu dan membawanya naik ke atas pohon. Ia merasa yakin bahwa kini pohon merupakan tempat sembunyi yang aman setelah orang-orang itu tadi mencari dengan teliti. Makin dekat tempat pohon tumbang makin baik karena kini mereka berpencar mencari ke tempat yang agak jauh.

“Jawab saja dengan anggukan,” bisik Kwi Lan dekat orang Hsi-hsia yang ditawannya setelah ia menotok urat gagu orang itu. “Kau tahu di mana Pangeran Mahkota Khitan ditawan?”

Orang itu menggeleng kepalanya.

“Jangan kau bohong. Kalau kau mau mengantarku ke tempat tawanan itu, kau takkan kubunuh.”

Kembali orang itu menggeleng kepala, kini dengan keras. Ketika Kwi Lan memandang di bawah sinar bulan yang bersinar melalui celah-celah daun pohon, ia melihat betapa orang itu memandang kepadanya dengan mata melotot penuh kebencian. Sebuah muka yang membayangkan keras hati dan keras kepala, sedikit pun tidak takut atau tunduk. Ia menjadi gemas dan sadar akan kekeliruannya. Mengapa ia menawan seorang Hsi-hsia? Tentu saja orang Hsi-hsia akan membela pemimpinnya dengan taruhan nyawa, menganggap diri sendiri seorang patriot, seorang pahlawan!

Tadi ia melihat banyak orang sebangsanya, bukan orang Hsi-hsia. Kalau orang Han sudah membantu Hsi-hsia menentang kerajaan sendiri, dia adalah seorang pengkhianat. Dan biasanya, seorang pengkhianat adalah seorang pengecut, hanya berjuang untuk uang dan kedudukan. Orang yang berjuang untuk cita-cita bangsa, bangsa apa pun juga, adalah seorang patriot yang tentu tidak takut mati. Sebaliknya seorang yang berjuang untuk harta dan kedudukan sehingga rela menjadi pengkhianat bangsa, tentu seorang pengecut besar. Orang seperti itu tentu takut mati.

Sadar akan kekeliruannya ini Kwi Lan lalu menotok tubuh tawanannya sehingga menjadi lumpuh, dan ia menjepitkan tubuh itu di antara dua dahan bercabang, kemudian dengan gerakan tangan ia merayap turun dari pohon. Ia berlaku hati-hati, tidak berani sembarangan meloncat.

Setelah mencari dengan hati-hati, menyelinap di antara alang-alang dan pohon-pohon, akhirnya ia melihat seorang laki-laki tinggi kurus, berpakaian seperti pengemis penuh tambalan membawa obor dan pedang mencari-cari seperti orang Hsi-hsia tadi. Kwi Lan merunduk sampai dekat, kemudian bergerak cepat seperti tadi, membikin orang itu tidak berdaya dan pingsan dengan sebuah totokan di belakang telinga. Kembali ia membawa orang itu naik ke atas pohon.

Tepat dugaannya, pengemis baju bersih yang berjiwa khianat ini menjadi ketakutan, apa lagi ketika ia mengenal bahwa yang menawannya adalah Mutiara Hitam yang sudah amat terkenal di antara kaum sesat dunia pengemis. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil, akan tetapi ia tidak berani berteriak minta tolong karena tak dapat bersuara akibat totokan pada urat gagunya.

“Bawa aku ke tempat tahanan Pangeran Mahkota Khitan, dan kau tidak akan kubunuh,” desis Kwi Lan sambil menempelkan pedangnya di leher orang itu. Si Pengemis terbelalak, lalu mengangguk-angguk.

“Akan kubebaskan totokanmu dan kau boleh berteriak minta tolong, akan tetapi pedangku akan menembus lehermu sebelum ada kawanmu yang datang untuk menolongmu!” Kembali orang itu menggeleng-geleng kepala dan dengan sebuah totokan Kwi Lan membebaskannya.

“Ampunkan aku, Li-hiap...”

“Sst, jangan banyak cerewet,” bisik Kwi Lan. “Hayo bawa aku ke tempat itu.”

Mereka turun dari pohon, Kwi Lan terus mengikuti orang ini dengan ujung pedang ditodongkan di punggung. Pengemis itu lalu mengambil jalan simpangan, melalui alang-alang dan kumpulan pohon yang besar dan liar, jauh dari jalan kecil yang penuh jebakan.

Sampai lima kali orang itu menyuruh Kwi Lan berhenti di tempat-tempat tertentu, berbisik bahwa tempat itu terjaga oleh seorang dua orang penjaga. Kwi Lan menotoknya lumpuh, kemudian merayap ke tempat penjagaan. Pedangnya bekerja cepat dan di setiap tempat penjagaan rahasia ini dua atau tiga orang penjaganya roboh binasa semua sebelum mereka sempat bergerak.

Akhirnya, lima tempat penjagaan rahasia dapat dilalui dan mereka kini menuju ke tepi Sungai Huang-ho, sebuah daerah yang berbatu-batu besar. Biar pun Kwi Lan melakukan perjalanan malam yang gelap, hanya diterangi bulan sepotong, namun ia mencatat jalan liar ini di dalam ingatannya. Kalau sudah berhasil membebaskan Pangeran Mahkota, jalan ini akan membawa mereka keluar dari sarang Bouw Lek Couwsu.

“Di sanalah tempat tahanan itu, Lihiap. Di dalam goa yang tampak dari sini itu,” pengemis yang ditawan itu berbisik, suaranya gemetar dan dengan ujung bajunya ia menghapus peluh.

Mereka telah melakukan perjalanan yang amat sukar dan amat lambat sehingga malam telah menjelang pagi ketika mereka tiba di tempat ini. Kwi Lan menggerakkan jari tangannya menotok tawanannya. Orang itu mengeluarkan suara keluhan dan roboh tak mampu bergerak lagi, hanya sepasang matanya saja yang bergerak-gerak memandang penuh rasa takut. Nyawanya berada di ujung rambut. Andai kata ia terbebas dari kematian di tangan gadis ini, kalau hwesio jubah merah tahu akan perbuatannya membawa Mutiara Hitam ke sini, ia pasti akan mengalami kematian yang lebih hebat lagi.

Dengan amat hati-hati Kwi Lan merayap di bawah rumput tinggi, mendekati bukit-bukit batu yang berbaris di sepanjang tepi sungai. Setelah tiba di barisan batu itu, ia meloncat dan menyelinap di belakang batu, lalu perlahan-lahan ia bergerak mendekati goa batu yang tadi ditunjukkan dari jauh oleh tawanannya. Tiba-tiba ia berhenti dan menyelinap di belakang batu, mengintai. Jantungnya berdebar keras karena tegang.

Kiranya di depan goa yang cukup besar itu terdapat lima orang penjaga! Dan melihat keadaan mereka, ia dapat menduga bahwa lima orang yang bertugas menjaga tempat tahanan ini tentulah bukan orang-orang biasa. Tiga orang hwesio jubah merah yang bersenjata pedang, seorang bangsa Hsi-hsia yang tinggi besar dan memegang sebuah penggada yang mengerikan karena selain besar dan berat juga dihias duri-duri runcing, sedangkan orang ke lima adalah seorang kecil pendek yang memegang toya. Melihat tambal-tambalan pada pakaian orang ini jelas bahwa dia seorang tokoh kai-pang yang sesat.

Kwi Lan mengintai, hatinya berguncang. Tentu saja ia tidak gentar. Akan tetapi tampaknya lima orang itu cukup tangguh. Kalau ia melompat ke luar dan dikeroyok lima, tentu tidak dapat mencapai kemenangan secara cepat, dan kalau ia tidak bekerja cepat dan keburu datang bala bantuan atau Bouw Lek Couwsu muncul sendiri, usahanya tentu akan gagal.

Ia mulai menyesal mengapa tidak datang bersama Yu Siang Ki. Kalau ada pemuda itu di sampingnya tentu akan lebih kuat keadaannya dan lebih banyak harapan akan berhasil. Apa lagi kalau Kiang Liong ikut membantu. Pemuda hebat! Pemuda lihai luar biasa. Tiba-tiba Kwi Lan mencubit telinganya sendiri. Hatinya gemas. Mengapa tiada hujan tiada angin ia teringat dan mengenang pemuda itu? Ih, pemuda sombong. Tidak memandang mata kepadanya!

Padahal semua pemuda, yang tampan-tampan dan gagah-gagah, seorang demi serang jatuh cinta kepadanya! Mula-mula Tang Hauw Lam si Berandal! Hampir ia tertawa ketika teringat kepada Hauw Lam. Kemudian Siangkoan Li, dan Yu Siang Ki. Akan tetapi Kiang Liong ini tidak memandang sebelah mata kepadanya! Si Sombong, mentang-mentang menjadi murid Suling Emas lalu besar kepala!

Kwi Lan makin gemas. Menghadapi tugas berat, mengapa ia masih melamun yang bukan-bukan? Salahnya orang she Kiang itu! Ia mengusir semua kenangan, kemudian menjemput batu kecil, dilemparkan ke sebelah kanannya, kurang lebih dua puluh meter jauhnya dari mulut goa.

“Eh, apa itu?” Seorang di antara mereka bangkit berdiri, yakni hwesio jubah merah yang kepalanya besar sekali. Ia mencabut pedang lalu menggerutu. “Biar pinceng periksa, siapa tahu ada musuh.”

“Benar, mari kita periksa, Suheng,” kata hwesio kedua yang kurus kering seperti cecak mati sambil mencabut pedangnya pula.

Kwi Lan siap dengan jarum-jarumnya, mendekam di belakang sebuah batu besar. Ketika ia mendengar jejak kaki dua orang hwesio ini sudah datang dekat, lewat di depan batu besar, ia membiarkan mereka lewat beberapa langkah, kemudian tiba-tiba ia menyerang dengan jarum-jarum hijau dari belakang!

Hebat bukan main serangan ini. Jarum-jarum hijau itu adalah senjata-senjata rahasia yang halus sekali, dilontarkan dengan tenaga sinkang sehingga hampir tak mengeluarkan suara, saking cepatnya hanya tampak sinar kehijauan. Apa lagi dilontarkan dari jarak dekat dan dari belakang si Korban, benar-benar amat berbahaya.

Dua orang hwesio itu adalah murid-murid pilihan Bouw Lek Couwsu, akan tetapi menghadapi serangan gelap seperti ini mereka tidak dapat menyelamatkan diri. Biar pun mereka yang telah memiliki gerak reflek lumayan, namun ketika mengelak masih kurang cepat sehingga dua tiga batang jarum telah menyusup ke dalam kulit memasuki daging meracuni darah. Dua orang hwesio ini menjerit, terhuyung-huyung dan sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam dua kali bergerak, menamatkan riwayat dua orang hwesio ini. Setelah membunuh dua orang lawannya, Kwi Lan cepat menyelinap kembali ke belakang batu besar.

Tiga orang penjaga yang lain terkejut sekali, dengan lompatan-lompatan jauh mereka menyerbu. Kwi Lan mempergunakan kesempatan ini untuk memutar batu besar, lalu cepat ia lari memasuki goa. Ia melihat seorang pemuda yang tampan, tubuh dari pinggang ke atas telanjang, berdiri dengan terbelenggu. Pemuda ini setengah pingsan, bersandar pada dinding batu, tubuhnya yang kuat dan berkulit putih bersih itu penuh dengan luka-luka bekas cambukan. Namun wajah yang tampan itu masih membayangkan kegagahan dan keagungan, sedikit pun tidak kelihatan takut atau khawatir.

Kwi Lan memegang pundaknya, mengguncangnya perlahan. “Eh, sadarlah!”

Pemuda itu membuka matanya, memandang heran, seakan-akan tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Sinar matanya yang tajam itu seperti bertanya apakah ia dalam mimpi.

“Jawablah, apakah engkau ini Pangeran Mahkota Khitan yang bernama Pangeran Talibu?”

Pemuda itu sejenak memandang tajam, lalu balas bertanya. “Engkau siapakah, Nona? Bagaimana kau bisa...”

“Tidak penting aku siapa, yang penting, apa kau benar Pangeran Mahkota Talibu?” Suaranya gemas dan tidak sabaran.

Pemuda itu menahan senyum yang mengembang di bibirnya, lalu mengangguk. “Aku mengenalmu! Ya... Aku mengenalmu. Kau tidak asing bagiku... tapi di mana dan kapankah? Nona, kau siapakah?”

“Wah, kau cerewet benar, apakah pangeran-pangeran memang cerewet? Aku datang untuk menolongmu.”

Pemuda itu tiba-tiba membelalakkan matanya dan berseru. “Nona, awas...!”

Kwi Lan yang sudah lega hatinya karena yakin bahwa pemuda inilah Pangeran Mahkota Khitan yang harus ditolongnya, cepat membalikkan tubuh dan pedang Siang-bhok-kiam sudah berada di tangan kanannya. Kiranya tiga orang itu, sisa para penjaga sudah kembali ke situ dan berdiri di depan goa dengan senjata di tangan dan sikap mengancam. Melihat ini Pangeran Talibu mengeluh, memejamkan mata dan berkata lirih.

“Nona, kenapa kau mengorbankan diri untukku? Kenapa...?” Ia tidak berani menoleh, tidak tega menyaksikan nona ini dikeroyok para penjaga yang ia tahu amat lihai. Di samping kekhawatirannya, ia pun masih mengingat-ingat di mana dan kapan ia pernah melihat nona ini. Wajah yang jelita itu bukan asing baginya, wajah yang amat dikenalnya, akan tetapi ia tidak ingat kapan dan di mana.

Pangeran Talibu makin merapatkan matanya, keningnya berkerut ketika ia mendengar suara denting riuh bertemunya senjata tajam, diseling bentakan marah tiga orang penjaga yang mengeroyok nona itu. Ia tahu betapa lihai para penjaga itu, terutama sekali hwesio-hwesio jubah merah. Seorang gadis remaja seperti tadi mana akan mampu bertahan melawan pengeroyokan mereka? Melawan seorang di antara mereka saja sudah cukup berat. Kecuali kalau dara itu memiliki ilmu kehebatan sehebat ibunya. Ibunya!

Teringatlah ia sekarang. Gadis itu mirip benar dengan ibunya! Hanya bedanya tua dan muda. Mata itu, bibir itu! Ia menjadi makin heran dan makin khawatir. Sepuluh menit sudah lewat. Suara pertempuran sudah berhenti. Ah, tentu gadis yang mirip ibunya itu sudah menggeletak menjadi mayat. Atau tertawan. Ih, kalau ia teringat akan nasib lima orang gadis yang jatuh ke tangan Bouw Lek Couwsu, Butek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo, ia menjadi ngeri. Lebih baik dara ini mati saja dari pada tertawan hidup-hidup!

Talibu membuka matanya dan... ia terbelalak heran dan juga kagum. Tiga orang penjaga sudah menggeletak di depan goa, tak bernyawa lagi! Ada pun dara itu sejenak memandang ke sekeliling depan goa, kemudian meloncat masuk ke dalam goa, gerakannya seperti seekor burung, demikian ringan dan lincah. Wajahnya tetap tenang dan napasnya biasa saja seakan-akan bukan seperti orang yang baru saja dikeroyok tiga lawan berat!

“Tahanlah, aku akan melepaskan belenggu!” bisik Kwi Lan dan sinar hijau berkelebat ketika ia menggerakkan pedangnya. Terdengar suara nyaring empat kali. Pangeran Talibu menggigit bibir karena setiap kali pedang membabat belenggu, ia merasa kulit tangan atau kakinya panas dan sakit. Akan tetapi kini ia telah bebas, belenggu yang mengikat kaki tangannya sudah putus semua. Ia menjadi makin kagum, memandang Kwi Ian dengan sepasang mata bersinar-sinar.

“Nona, kau...”

“Sstt, mari kita lari!” Kwi Lan menyambar tangan Pangeran itu dan ditariknya ke luar dari goa, diajak lari cepat meninggalkan goa. Tak jauh dari goa Talibu melihat mayat dua orang hwesio jubah merah, maka mengertilah ia mengapa hanya ada tiga orang penjaga yang tadi mengeroyok gadis perkasa ini. Kiranya yang dua orang sudah dipancing ke luar dan dibunuh pula. Talibu lalu mengambil sebatang pedang milik hwesio itu, barulah ia mengikuti Kwi Lan sambil berkata.

“Nona, kau benar hebat! Aku kagum dan berterima kasih...”

“Sssttt, jangan cerewet! Kita belum bebas!” bisik Kwi Lan galak.

Talibu yang berjalan berindap-indap di belakang gadis ini mau tak mau tersenyum. Gadis ini hebat, memiliki ilmu silat tinggi dan ketabahan yang luar biasa. Juga galaknya tidak kepalang. Baru sekali ini selama hidupnya ia dimaki-maki cerewet beberapa kali oleh seorang gadis remaja. Dia, putera Ratu Khitan, Pangeran Mahkota yang disembah-sembah rakyatnya, kini dicerewet-cerewetkan oleh seorang gadis jelita yang galak!

Akan tetapi belum lama mereka pergi, baru tiba di daerah hutan, terdengar bunyi terompet dan dari empat penjuru muncullah pasukan Hsi-hsia yang mengurung mereka. Pangeran Talibu tertawa, membuat Kwi Lan terheran dan gadis ini menoleh, memandang Pangeran itu, khawatir kalau-kalau dalam keadaan terancam pangeran itu menjadi gila karena takut. Akan tetapi Pangeran yang tak berbaju, tubuhnya luka-luka itu berdiri tegak dengan sikap gagah, pedang yang dipungutnya tadi melintang di depan dada, matanya bersinar-sinar, wajahnya amat tampan. Pangeran itu membalas pandang mata Kwi Lan dan berkata.

“Bagus! Seperti inilah selayaknya seorang pangeran tewas! Tidak mati konyol dalam goa sebagai tawanan. Mati dalam medan perang adalah mati nikmat, mati terhormat. Namun, kalau Tuhan menghendaki dan aku akan dapat terbebas dari pada ancaman ini sehingga dapat melanjutkan hidup, percayalah, aku Talibu selama hidupku tidak akan pernah melupakan engkau! Sekarang aku tidak peduli lagi. Andai kata kita berdua takkan dapat lolos, bagi aku, mati dalam bertanding di sampingmu merupakan kehormatan besar. Ha-ha-ha!”

Kwi Lan memandang dengan mata berseri. Sungguh patut menjadi seorang pangeran. Patut menjadi putera angkat ibu kandungnya. Patut menjadi kakak angkatnya. Pemuda ini memiliki semangat pendekar, jiwa satria, dan amat tampan! Ia pun tersenyum dan berkata lirih, “Pangeran Talibu, selama nyawa saya belum meninggalkan badan, selalu masih ada harapan untuk hidup. Mari kita menghajar anjing-anjing Hsi-hsia itu!”

“Bagus! Kau hebat sekali, Nona. Marilah kita mati bersama atau bebas!” Pangeran Talibu berseru penuh semangat sambil menerjang maju, memutar pedangnya.

Melihat gerakan pedang Pangeran itu, Kwi Lan maklum bahwa orang-orang Hsi-hsia untuk sementara tidak mungkin dapat merobohkannya, maka ia pun lalu meloncat maju memutar pedangnya, tidak jauh dari Sang Pangeran karena ia harus memasang mata melindungi Pangeran itu dari mara-bahaya. Begitu enam orang memapaki pedangnya, Kwi Lan membuat gerakan menyilang dengan pedang agak ke bawah dan robohlah tiga orang lawan dengan perut terobek pedang!

Tiba-tiba terdengar suara bergelak ketawa dan Kwi Lan cepat-cepat meloncat mundur ketika ada angin hebat menyambar dari kanan kiri. Kiranya Siauw-bin Lo-mo telah berdiri di depannya dan tadi mengirim pukulan dengan tangan kirinya.

“Kakek busuk! Mari kita mengadu nyawa!” bentak Kwi Lan yang menjadi marah sekali melihat musuh besarnya Ini.

“Heh-heh-heh, kau masih belum kapok?” Siauw-bin Lo-mo mengejek dan cepat menubruk maju.

Kwi Lan menyambar dengan tusukan pedang, akan tetapi sambil membuang diri ke kiri, kakek itu maju terus, tangannya menjangkau dan hampir saja pundak Kwi Lan kena dicengkeram! Hebat bukan main dan aneh gerakan kakek lihai ini. Kwi Lan berlaku hati-hati, tidak memberi kesempatan kepada kakek bertangan kosong itu untuk mendekati dirinya dengan jalan memutar pedang ke mana pun bayangan kaki itu berkelebat. Dengan gerakannya yang lincah dan ilmu pedang yang ganas, untuk sementara Kwi Lan dapat bertahan terhadap desakan kakek ini, akan tetapi hatinya gelisah karena ia kini sama sekali tidak dapat membagi perhatiannya untuk melindungi Pangeran Talibu.

“Pangeran, kau larilah!” bentak Kwi Lan nyaring sambil menubruk dengan pedangnya yang diputar membentuk lingkaran panjang.

Namun Siauw-bin Lo-mo sambil terkekeh-kekeh dapat menghindarkan diri dan membalas dengan sebuah tendangan kuat yang dipapaki sabetan pedang dengan gemas oleh Kwi Lan. Kembali kakek itu dapat menghindarkan diri. Serang-menyerang terjadi dan Kwi Lan terpaksa harus mencurahkan seluruh perhatiannya terhadap kakek ini.

Siauw-bin Lo-mo diam-diam menjadi gemas sekali. Ia ingin menangkap hidup-hidup nona ini, untuk dipersembahkan kepada Bouw Lek Couwsu sebagai tebusan tempo hari ketika ia kehilangan gadis yang sudah menjadi tawanannya. Setelah melayani Kwi Lan selama lima puluh jurus dan melihat betapa Pangeran Talibu juga belum dapat tertawan kembali, ia mendapatkan akal baik. Ia tahu bahwa orang-orang Hsi-hsia dan para hwesio anak buah Bouw Lek Couwsu tidak berani membunuh Pangeran Talibu yang merupakan tawanan penting, dan untuk menangkap hidup-hidup Pangeran yang nekat itu pun bukan hal mudah bagi mereka.

“Kalian kepung gadis ini!” Tiba-tiba ia berseru dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali melewati kepala hwesio-hwesio jubah merah yang sudah datang menerjang Kwi Lan, kemudian turun di depan Pangeran Talibu sambil terkekeh menyeramkan.

Pangeran Talibu terkejut, cepat menusukkan pedangnya ke dada kakek itu, Siauw-bin Lo-mo hanya miringkan tubuh kemudian secepat kilat ia sudah menangkap pergelangan tangan Pangeran itu, merampas, pedangnya, kemudian sekali kakinya menendang lutut, Pangeran Talibu roboh. Siauw-bin Lo-mo menempelkan ujung pedang di dada Pangeran Talibu sambil berseru.

“Mundur semua! Lepaskan bocah itu!”

Namun sebelum para pengeroyok mundur, Kwi Lan sudah berhasil merobohkan empat orang hwesio jubah merah dengan pedangnya yang ganas. Kini ia membalik memandang ke arah suara Siauw-bin Lo-mo dan pucatlah wajahnya ketika melihat Pangeran Talibu sudah roboh dan ditodong pedang.

“Heh-heh-heh, bocah nakal. Lekas kau lepaskan pedang dan menyerah. Kalau tidak, sebelum aku mengambil nyawamu, Pangeran ini akan kutusuk sampai tembus jantungnya!”

Kwi Lan ragu-ragu. Ia maklum akan kelihaian kakek itu dan harus ia akui bahwa dia sendiri belum tentu dapat mengatasinya. Dan ia tahu pula betapa kejam hati si Kakek yang tentu tidak akan ragu-ragu untuk membunuh Pangeran Talibu. Hatinya menjadi lemas dan ia berdiri dengan tubuh lemas.

“Nona, kau larilah! Jangan mendengarkan ocehan kakek ini. Kematian bagi Talibu bukan apa-apa! Lari dan lawanlah, Jangan menyerah!” Talibu berteriak-teriak akan tetapi sebuah tendangan pada dagunya membuat ia pingsan!

“Heh-heh-heh, Nona, kau menghendaki aku menusuk jantungnya?” Siauw-bin Lomo mengguratkan ujung pedang pada dada yang telanjang itu dan... kulit Pangeran Talibu di dada robek sedikit, memperlihatkan garis merah memanjang.

Kwi Lan merasa pusing, terpaksa melepaskan pedangnya dan berkata lemah, “Siauw-bin Lo-mo, kau jahanam tua bangka, lepaskan dia!”

“Heh-heh-heh, aku tidak akan membunuhnya kalau kau menyerah. Hayo belenggu dia!”

Empat orang hwesio jubah merah menghampiri Kwi Lan dan membelenggu kedua tangan gadis itu. Kwi Lan tidak melawan. Ia harus berani menyerah untuk menyelamatkan nyawa Pangeran Talibu. Seorang Hsi-hsia tinggi besar yang merasa benci dan marah kepada gadis yang telah membunuh banyak kawannya ini, menyeringai dan datang mendekati Kwi Lan, tangannya menjangkau untuk meraba dada gadis itu.

Sudah biasa bagi orang-orang peperangan ini apa bila pasukan mereka menawan seorang wanita, siapa saja di antara anggota pasukan boleh mempermainkan si tawanan. Orang Hsi-hsia tinggi besar ini pun tidak terkecuali. Melihat kecantikan Kwi Lan dan mengingat betapa gadis ini sudah menjatuhkan korban banyak di antara temannya, ia hendak menjadi orang pertama menghina dan mempermainkan gadis jelita yang lihai ini.

“Heh, mundur...!” Namun seruan Siauw-bin Lo-mo ini terlambat. Kalau kakek ini mau tentu saja ia akan dapat menyelamatkan orang Hsi-hsia itu, akan tetapi tentu saja ia tidak sudi merendahkan diri menolong seorang prajurit Hsi-hsia biasa yang baginya tidak lebih seekor kucing atau anjing.

Pada saat jari tangan kurang ajar itu menyentuh dada, kaki Kwi Lan bergerak dengan kecepatan yang sukar diduga, tepat menghantam pusar orang Hsi-hsia itu.

“Hekkk!” Orang Hsi-hsia hanya sempat mengeluarkan suara demikian, lalu tubuhnya terlempar dan roboh tak dapat bergerak lagi. Isi perutnya berantakan karena tendangan Kwi Lan tadi mengandung tenaga sinkang yang hebat! Setelah menendang, gadis itu tetap tenang hanya menyapu semua orang dengan pandang mata dingin, yang agaknya bertanya atau menantang, siapa lagi yang berani kurang ajar terhadap dirinya.

Keadaan tegang dipecahkan suara ketawa Siauw-bin Lo-mo. “Heh-heh-heh, orang goblok macam dia sudah sepatutnya mampus! Hayo bawa tawanan menghadap Couwsu!” Ia sendiri lalu memegang lengan dan menarik Kwi Lan, sedangkan Pangeran Talibu yang pingsan dipanggul oleh seorang hwesio jubah merah.

“Ha-ha, Bouw Lek Couwsu, memang sudah takdirnya engkau bernasib baik. Lihat siapa yang kutawan untukmu ini. Si Mutiara Hitam! Ha-ha-ha, kutanggung selama hidupmu belum pernah kau menikmati bunga liar sehebat ini!” kata Siauw-bin Lo-mo kepada Bouw-Lek Couwsu yang sedang duduk bercakap-cakap ditemani Bu-tek Siu-lam dan Thai-lek Kauw-ong serta Jin-cam Khoa-ong.

Memang Bouw Lek Couwsu selain lihai ilmunya juga amat cerdik. Dalam usahanya memperluas daerah kekuasaan dan menggerakkan bangsa Hsi-hsia menyerbu Kerajaan Sung, ia telah dapat pula menempel kelima orang Bu-tek Ngo-sian. Tentu saja lima orang sakti ini suka sekali bersekutu dengan Bouw Lek Couwsu, oleh karena, kecuali Thai-lek Kauw-ong seorang, mereka semua pun bercita-cita untuk mengangkat diri sendiri menjadi seorang yang berkedudukan tinggi. Dengan bersekutu dengan Bouw Lek Couwsu mereka mendapatkan sekutu yang kuat dengan barisan orang-orang tangguh.

Sian Eng sendiri tidak bersekongkol dengan pemimpin Hsi-hsia ini karena wanita ini mempunyai cita-cita yang lebih tinggi lagi, yaitu apa bila bala tentara Hsi-hsia berhasil mengalahkan Kerajaan Sung, ia akan mengangkat puteranya, Suma Kiat, menjadi kaisar baru. Betapa tidak? Suma Kiat adalah putera Suma Boan yang masih keturunan Pangeran! Inilah sebabnya mengapa Kam Sian Eng menempatkan puteranya di kota raja di rumah Pangeran Kiang, kemudian mengusahakan persekutuan di antara pembesar-pembesar Kerajaan Sung.

Ada pun Bu-tek Siu-lam, tokoh sakti banci itu, adalah seorang dari dunia barat yang sengaja bertualang untuk mencari kesempatan baik guna menempatkan dirinya dalam kedudukan yang tinggi. Tadinya ia hanya ingin menguasai para pengemis dan ingin menjadi raja pengemis, akan tetapi kini melihat kesempatan terbuka untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi lagi, ia segera menerima penawaran Bouw Lek Couwsu untuk bersekutu dan mengerahkan barisan pengemis baju bersih untuk membantu Hsi-hsia apa bila saat penyerbuan tiba. Ia yakin bahwa kalau gerakan ini berhasil, kelak ia sedikitnya tentu akan menjadi seorang pangeran!

Siauw-bin Lo-mo adalah seorang perampok sejak kecil, kini pun ia telah menjadi datuk para perampok dan bajak. Setelah terbuka kesempatan untuk memiliki jabatan atau kedudukan tinggi, tentu saja ia pun senang membantu Bouw Lek Couwsu. Ia sudah tua dan sudah waktunya hidup bergelimang kesenangan dan kemewahan, hidup dimuliakan orang sampai matinya. Ia pun mengerahkan anak buahnya, para perampok dan bajak, juga orang-orang Thian-liong-pang, untuk membantu usaha Bouw Lek Couwsu, bahkan berjanji kelak akan bergerak dari dalam bersama para pengemis anak buah Bu-tek Siu-lam.

Jin-cam Khoa-ong sudah tentu saja mendukung usaha Bouw Lek Couwsu sepenuh hati. Seperti diketahui, Algojo Manusia ini juga disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari Utara), menjadi musuh Kerajaan Khitan dan dianggap sebagai seorang pengkhianat bangsa Khitan. Ia pun menyatakan ingin membantu Hsi-hsia dengan janji bahwa kalau usaha Hsi-hsia ini berhasil, kelak ia akan diberi pinjam tentara dan perlengkapan untuk menyerbu Khitan dan merampas singgasana Ratu Khitan yang menjadi musuh besarnya.

Hanya Thai-lek Kauw-ong seorang yang tidak mempunyai cita-cita. Ia datang ke markas Bouw Lek Couwsu karena terbujuk teman-temannya dan terutama sekali karena tidak mau kalah dengan empat orang temannya yang katanya sedang mengusahakan pekerjaan penting dan besar. Ia sendiri tidak peduli siapa yang akan menjadi kaisar, akan tetapi kalau empat orang kawannya yang tergabung dalam Bu-tek Ngo-sian semua berjasa, dan ia sendiri berpeluk tangan tentu namanya akan kalah dan ia tidak patut menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian. Inilah sebabnya mengapa ia suka datang menjadi tamu Bouw Lek Couwsu. Akan tetapi ia tidak pernah ikut bicara tentang urusan pemberontakan, hanya menikmati hidangan yang serba lezat.

Bouw Lek Couwsu sendiri yang cerdik juga tidak mau mengajak kakek raja monyet ini untuk merundingkan soal politik, karena ia hanya mengharapkan bantuan tenaga kakek sakti itu apa bila menghadapi musuh-musuh tangguh kelak. Apa lagi kalau diingat bahwa Thai-lek Kauw-ong tidak mempunyai seorang pun pengikut atau anak buah. Kini kelima Bu-tek Ngo-sian sudah lengkap sendiri di belakangnya, bahkan sudah berkumpul di markas Sian-toanio yang lebih aktip bersama puteranya untuk mengumpulkan dan memperkuat persekutuannya dengan pembesar-pembesar kota raja.

Ketika Siauw-bin Lo-mo datang membawa tawanan Mutiara Hitam, ia menjadi girang dan juga terkejut mendengar laporan tentang usaha Mutiara Hitam untuk membebaskan Pangeran Talibu. Ah, ia terlalu sembrono, terlalu percaya kepada alat-alat rahasia dan penjagaan anak buahnya. Ternyata masih ada yang menyelundup dan hampir saja membebaskan tawanan penting itu. Ia telah menggunakan pelbagai usaha untuk memaksa Pangeran Talibu menulis surat kepada Ratu Khitan, bahkan sudah menyiksanya, namun pangeran yang keras hati itu tetap tidak mau menuruti permintaannya. Pangeran itu ditahan dalam goa juga dalam rangka penyiksaan agar Pangeran itu tunduk. Siapa kira malah hampir dibebaskan Mutiara Hitam.

Bouw Lek Couwsu adalah seorang laki-laki tua, seorang pendeta yang diwaktu mudanya terlalu banyak mengejar ilmu, mengekang nafsu. Karena pada dasarnya ia memang seorang hamba nafsu, setelah tua pengekangannya jebol dan jadilah ia seorang sakti yang gila nafsu, gila perempuan. Melihat Mutiara Hitam yang selain muda remaja dan cantik jelita, juga lihai ilmu silatnya, ia sudah mengeluarkan air liur. Akan tetapi di samping sifatnya yang mata keranjang, ia amat cerdik dan ambisinya besar sekali untuk kedudukan yang tertinggi. Ambisi ini agaknya lebih besar dari pada nafsunya, sehingga begitu melihat Mutiara Hitam yang jelita dan melihat Pangeran Talibu yang masih pingsan, timbul sebuah akalnya untuk menundukkan Pangeran Talibu.

“Bagus!” jawabnya kepada Siauw-bin Lo-mo sambil tertawa bergelak. “Sekali ini pinceng benar-benar berterima kasih kepadamu, Lo-mo.” Kemudian ia berkata kepada muridnya, “Masukkan mereka berdua dalam kamar tahanan di belakang, jaga yang kuat agar jangan sampai ada kemungkinan didatangi orang luar!”

Setelah Kwi Lan dan Pangeran Talibu dibawa pergi, Bouw Lek Couwsu membicarakan rencananya terhadap Kwi Lan dan Talibu kepada empat orang kakek sakti dan tertawalah mereka. Bahkan Thai-lek Kauw-ong mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul sambil berkata.

“Demi Iblis! Engkau benar-benar pintar sekali, Couwsu!”

Bouw Lek Couwsu tertawa. “Memang, sesungguhnya sayang sekali melepaskan bunga ini kepada seorang Hsi-hsia, sama dengan melemparkan daging pilihan untuk seekor anjing buduk. Akan tetapi, makin buruk si anjing, makin sakit hati Talibu dan makin besar kemungkinan ia menyerah! Ha-ha-ha!”

“Heh-heh-heh, Couwsu. Rencanamu ini baik sekali, akan tetapi harus cepat-cepat kau laksanakan. Karena kalau sampai Sian-toanio keburu datang, tak mungkin hal itu dilaksanakan lagi, bahkan kiraku, Mutiara Hitam harus dibebaskan.”

“Mengapa?” Bouw Lek Couwsu bertanya heran.

“Heh-heh, Mutiara Hitam itu adalah murid Sian-toanio.”

Semua orang terkejut mendengar ini. Keadaan menjadi sunyi. Bouw Lek Couwsu mengerutkan kening lalu memandang Siauw-bin Lo-mo. “Eh, Lo-mo. Apa artinya ini? Kalau kau sudah tahu dia murid Sian-toanio, mengapa kau sengaja menawannya dan memberikannya kepadaku? Apakah kau sengaja hendak mengadu aku dengan Sian-toanio?”

Siauw-bin Lo-mo terkekeh, “Couwsu, kau benar-benar pelupa sekali. Berapa kali Mutiara Hitam menentangmu? Berapa kali menentangku? Bahkan sekarang dia datang untuk membebaskan Talibu. Bukankah dia termasuk musuh yang berbahaya? Kalau muridnya seperti itu, kita harus berhati-hati terhadap gurunya. Siapa tahu hati macam apa yang ada di balik kedok kerudung hitam mengerikan itu? Kau harus hati-hati, Couwsu”

Bouw Lek Couwsu masih mengerutkan kening, meraba-raba dagunya, berpikir lalu mengangguk-angguk. “Hemmm, memang diam-diam aku sudah menaruh curiga kepada wanita itu. Kalau dapat menariknya sebagai kawan, baik, kalau sebagal lawan, amat berbahaya. Memang kita harus berhati-hati dan rencana ini harus cepat-cepat dikerjakan, sekarang juga!”

Kalau Kwi Lan dan Talibu mendengar apa yang mereka rencanakan tentu hati kedua orang muda ini menjadi cemas sekali. Akan tetapi mereka tidak mendengar apa-apa ketika mereka digusur dan dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang luas. Kamar ini merupakan ruangan yang lebarnya sepuluh meter, kosong tidak ada perabot sebuah pun. Lantainya dari batu putih yang bersih dingin, dindingnya dari tembok tebal, atapnya pun dilapisi jeruji besi yang amat kuat. Sebuah jendela di samping dilindungi jeruji besi sebesar lengan manusia, pintunya juga besi dan bagian atasnya ada jeruji pula...


BERSAMBUNG KE JILID 14


Mutiara Hitam Jilid 13

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

MUTIARA HITAM

JILID 13

PUTRI MIMI tersenyum, giginya berkilat putih dan indah seperti mutiara disusun dan senyumnya seakan-akan menerangi cuaca yang sudah mulai gelap itu. “Dugaanmu benar, Kongcu. Dan hal ini membuktikan ketajaman matamu dan kecerdikanmu, belum pernah jumpa dapat menduga tepat.” Kemudian puteri jelita itu memandang kepala pengawal dan berkata.

“Cianbu, bagaimana kau dan pasukanmu dapat muncul secara kebetulan? Ataukah memang kau sengaja mengikuti perjalananku?” Pertanyaan terakhir ini mengandung penasaran dan kemarahan.

Kepala pengawal itu kembali memberi hormat seperti tadi, menjura dalam-dalam, baru menjawab. Jawabannya singkat sekali dan tegas seperti kalau ia membuat laporan kepada atasannya. “Hamba mendapat pelaporan rahasia dari para penyelidik bahwa Pangeran Mahkota telah ditawan pimpinan Hsi-hsia. Hamba memimpin pasukan mengejar Paduka karena khawatir akan terjadi hal serupa.”

“Apa...? Pangeran Talibu tertawan...?” Puteri Mimi menjadi kaget sekali. “Mengapa orang-orang Hsi-hsia menawan Pangeran? Dan dibawa ke mana?” Wajah puteri ini sekarang menjadi pucat dan ia cemas sekali.

Kepala pengawal itu menggeleng kepala. “Mengapa Pangeran ditawan belum dapat hamba ketahui, hal itu sedang diselidiki. Dan hamba hanya tahu bahwa Pangeran ditawan di luar kota Lok-yang, juga belum diketahui dibawa ke mana. Orang-orang kita sedang sibuk mencari dan menyelidik, dan tentu saja kita amat mengharapkan bantuan Kerajaan Sung...” Ia menoleh ke arah Kiang Liong.

“Hemm, aku agaknya tahu mengapa Pangeran Talibu ditawan orang-orang Hsi-hsia dan tentu saja kami akan membantu sekuat tenaga untuk membebaskannya karena kejadian itu terjadi di wilayah Kerajaan Sung.” kata Kiang Liong. “Harap Puteri beristirahat saja di rumahku agar terjaga keamanannya, ada pun Cianbu kuharap membantu teman-teman melakukan penyelidikan. Hanya pesanku, orang-orang Hsi-hsia dipimpin oleh Bouw Lek Couwsu dan hwesio-hwesio jubah merah. Di antara mereka banyak terdapat orang-orang pandai, maka harap jangan tergesa-gesa turun tangan. Aku yakin bahwa orang-orang Hsi-hsia tidak akan membunuh Pangeran Talibu.”

“Kiang-kongcu, agaknya kau banyak mengerti akan urusan ini. Sebetulnya mengapakah mereka menawan Pangeran?” tanya Puteri Mimi.

Kiang Liong tersenyum. “Tidak banyak waktu untuk bicara, Puteri. Marilah kita berangkat dan kelak kuceritakan kepadamu.”

Puteri Mimi lalu memberi perintah kepada kepala pengawal untuk memenuhi permintaan Kiang Liong tadi. Berangkatlah pasukan itu pergi, juga Sang Puteri lalu bersama Kiang Liong meloncat ke atas punggung dua ekor kuda yang disediakan oleh kepala pasukan.



Karena dapat menduga bahwa Bouw Lek Couwsu pada saat itu tentu telah mempunyai banyak kaki tangan yang disebar sebagai mata-mata di kota raja, maka Kiang Liong membawa Puteri Mimi memasuki kota raja lewat tengah malam. Ia sudah dikenal oleh semua penjaga pintu gerbang, maka dapat masuk tanpa kesukaran. Kemudian menjelang pagi ia memasuki gedung tempat tinggal ayahnya melalui sebuah pintu rahasia yang hanya diketahui olehnya dari belakang rumah.

Ketika ia bangun pagi itu, sudah agak siang, ia melihat bahwa di taman samping diadakan pesta. Ia membawa Puteri Mimi yang bermalam di sebuah kamar tamu kepada ayah bundanya dan dengan singkat menceritakan pengalamannya, memperkenalkan Puteri Mimi kepada orang tuanya. Sebagai seorang pangeran, tentu saja Pangeran Kiang menerima puteri Panglima Khitan itu dengan hormat dan ramah, juga ibunya amat suka kepada gadis yang cantik jelita ini. Kemudian dari ibunya ia mendengar tentang kunjungan Suma Kiat yang mengaku putera tunggal mendiang kakak ibunya, Suma Boan.

“Bagaimana ini, Ibu? Mengapa secara mendadak muncul seorang keponakan Ibu? Kenapa Ibu tidak pernah bercerita bahwa mendiang Paman Suma Boan meninggalkan seorang putera?” Kiang Liong bertanya.

“Hemm, aku pun heran sekali melihat Ibumu, Liong-ji (Anak Liong),” kata Pangeran Kiang dengan muka cemberut. “Aku pun baru sekarang mendengar akan hal itu, padahal setahuku, Pamanmu Suma Boan tidak pernah menikah dan tidak pernah punya putera. Kalau saja kau melihat ibu pemuda itu... hiihh, mengerikan sekali, seperti iblis betina.”

“Ah, terlalu sekali. Tidak sepatutnya kau mengeluarkan kata-kata seperti itu!” Suma Ceng, ibu Kiang Liong memandang suaminya dengan pandang mata penuh teguran. “Kau sendiri dahulu menjadi sahabat baik kakakku Suma Boan, apakah kau tidak melihat betapa Suma Kiat ini mirip sekali dengan Kakakku dahulu? Pula, kita pernah mendengar tentang urusannya dengan Kam Sian Eng. Memang Kam Sian Eng mengerikan, akan tetapi... ah, dia seorang yang berilmu tinggi, dan tidak waras, apa lagi dia masih adik tiri Suling Emas, apakah kau masih bersangsi?”

Makin keruh wajah Pangeran Kiang. “Huh, segala yang menyangkut nama Suling Emas selalu benar dan baik, sebaliknya pendapatku tidak pernah ada yang benar. Sialan!”

“Eh, bukan begitu. Aku hanya bicara sebenarnya dan....“

“Sudahlah!” Pangeran Kiang membanting kaki dan meninggalkan kamar.

Kiang Liong menjadi sedih dan juga malu karena ayah bundanya bertengkar di depan Puteri Mimi. Sungguh memalukan dan menyedihkan. Sudah sering kali ia mendengar ayah dan ibunya bertengkar dan selalu dalam pertengkarannya ini dibawa-bawa nama gurunya, Suling Emas. Dahulu ketika dia diambil murid Suling Emas pun menjadi bahan percekcokan antara ayah dan ibunya. Ia menghela napas panjang dan berkata.

“Sesungguhnya, bagaimanakah ia datang dan mau apa? Sekarang, eh, wanita yang menjadi ibunya itu ke mana, apakah berada di sini pula?”

Suma Ceng yang biar pun usianya sudah mendekati lima puluh masih tampak cantik dan halus itu, menarik napas panjang, memegang dan menarik tangan Puteri Mimi mendudukkan gadis itu di dekatnya sambil berkata. “Puteri harap kau maafkan kami yang tidak tahu sopan-santun. Tentu membikin kau merasa tidak enak sekali.”

Mimi biar pun masih gadis remaja, namun ia terdidik sejak kecil dan hidup di kalangan orang-orang besar, maka ia pandai membawa diri. Ia mengelus-elus tangan nyonya yang halus itu, kagum akan kecantikannya, lalu tersenyum dan berkata, “Bibi yang baik, panggil saja aku Mimi, dan sungguh mati apa yang terjadi dan terucapkan tadi, sekarang pun aku sudah lupa lagi.”

Suma Ceng memandang wajah yang jelita itu dengan pandang mata kagum dan senang. Kemudian berkata, suaranya halus dan matanya sayu termenung. "Aahhh, kau tentu dekat dengan Ratu Khitan, Mimi. Mendengar pun tidak mengapa, karena wanita yang dibicarakan tadi, Kam Sian Eng, adalah enci angkat ratumu di Khitan."

Kemudian ia memandang putera sulungnya, "Liong-ji, ketika pamanmu Suma Boan dahulu meninggal dunia, di luar tahu siapa pun juga ia meninggalkan Kam Sian Eng dalam keadaan mengandung. Semenjak itu Kam Sian Eng menghilang dan beberapa hari yang lalu di waktu malam dia muncul secara tiba-tiba di sini bersama puteranya, Suma Kiat. Ia minta supaya aku menerima Suma Kiat tinggal untuk sementara di sini dan memperkenalkannya kepada para pembesar di kota raja. Tentu saja aku tidak dapat menolak permintaannya dan pagi hari ini kami memperkenalkan Suma Kiat melalui pesta umum kepada para tamu. Ayahmu tidak setuju, maka terpaksa Suma Kiat sendiri yang menjadi wakil dalam pesta."

Kiang Liong menghela napas panjang. Sudah lama ia tahu bahwa tentu ada rahasia aneh terselip dalam rumah tangga ibunya, dan di dalam rahasia ini, gurunya memegang peran yang tidak kecil. Gurunya sendiri belum pernah mau bertemu dengan ayah ibunya. Dan ibunya amat sayang kepadanya, melebihi sayangnya kepada dua orang adiknya, Kiang Sun dan Kiang Hoat. Akan tetapi ayahnya jauh lebih sayang kepada dua orang adiknya. Rahasia apakah?

Dia tidak tahu dan tidak pernah ibunya mau bicara tentang itu. Kini adiknya Kiang Sun yang sudah berusia dua puluh tiga tahun, sudah menikah dan bahkan tinggal jauh di selatan, di Sucouw. Ada pun Kiang Hoat adiknya yang bungsu, menjadi siucai (sastrawan) yang pandai, akan tetapi pekerjaannya sehari-hari hanya mengejar wanita-wanita cantik dan menghambur-hamburkan uang saja.

"Kalau begitu... Bibi Kam Sian Eng itu tidak tinggal di sini?"

"Tidak, bahkan ia datang, bicara singkat lalu pergi lagi menghilang seperti... seperti setan. Tidak terlalu menyalahkan Ayahmu kalau mengatakan dia iblis betina. Memang mengerikan sekali, Liong-ji. Tentang kepandaiannya, aku tidak heran karena sudah banyak kumelihat orang-orang sakti seperti Suling... eh, Gurumu sehingga melihat orang berkelebat lalu lenyap bukan hal baru bagiku. Akan tetapi ia menyembunyikan mukanya dalam kerudung hitam, pakaiannya serba putih, dan sikapnya... hih, menyeramkan!"

Kiang Liong tidak merasa heran kalau adik tiri gurunya seperti itu lihai dan anehnya, hal itu tidak mengherankan. Hemm, pemuda yang kini mewakili tuan rumah berpesta di taman, adalah saudara misan dengannya. Dan melihat ibu pemuda itu sakti, tentu pemuda yang bernama Suma Kiat itu lihai pula. Hal ini menggembirakan hatinya, karena biar pun ia mempunyai dua orang adik namun mereka itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Ayahnya lebih senang anak-anaknya belajar ilmu surat dari pada ilmu silat. Teringat akan adiknya, ia lalu bertanya.

"Adik Hong ke mana, Ibu? Apakah ikut berpesta di samping?"

Ibunya cemberut. "Ah, bocah nakal itu, hatiku susah sekali memikirkan dia! Seorang siucai pemogoran! Kini tergila-gila kepada anak pemilik rumah makan di barat kota! Merengek minta dikawinkan dengan anak itu. Anak pemilik restoran! Wah benar-benar anak itu membikin malu orang tua!"

Kiang Liong tertawa, dan ibunya memandang marah. "Kenapa tertawa?"

"Ha-ha, Ibu benar aneh. Kalau anak pemilik restoran, mengapa sih? Kan dia juga perempuan tulen? Kalau memang Adik Hoat mencintanya..."

"Cinta? Ah, cinta hanya awal bencana dan duka! Aku akan merasa bahagia sekali kalau dia mencinta seorang gadis seperti... Mimi ini..."

"Ihhh... Bibi membikin aku malu saja!" Puteri Mimi menjauhkan diri dan tersenyum jengah.

"Ha-ha-ha! Ibu tidak usah marah-marah, maafkan kalau pendapat saya keliru." Kiang Liong berlutut dan memeluk kedua kaki ibunya dengan sikap manja. Ibunya menundukkan muka dan mengelus kepala puteranya. Puteranya ini menjadi buah hatinya, putera inilah keturunan dari pria yang dicintanya, putera Suling Emas!

"Sudahlah, kau sendiri terlalu nakal, sudah begini tua tidak juga mau menikah."

"Sabar dulu, Ibu. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan. Apa lagi sekarang, aku harus cepat-cepat menghadap Kaisar untuk menyampaikan hasil penyelidikanku, bahkan harus cepat-cepat bertindak untuk menyelamatkan kerajaan, juga untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan yang kini tertawan orang-orang Hsi-hsia."

Seketika wanita itu menjadi serius. "Aihhh, ada urusan begini besar mengapa kau tadi bicara tentang urusan pribadi saja? Liong-ji, cukuplah tentang urusan kita sendiri, kau harus lekas menghadap kaisar dan selesaikan urusan penting itu."

Pada saat itulah terdengar suara ribut-ribut di samping gedung, dari arah taman di mana sedang berlangsung pesta. mendengar ini, Kiang Liong lalu melompat dan melangkah ke luar, diikuti Puteri Mimi yang juga ingin mengetahui apa yang terjadi di sana.

********************


DEMIKIANLAH, seperti telah kita ketahui di bagian depan cerita ini, ketika Kiang Liong tiba di taman dan menyaksikan keributan yang terjadi, ia menegur dengan suara penuh wibawa.

"Hemmm, apakah yang terjadi di sini?"

"Kiang-kongcu datang...!" Seruan ini keluar dari mulut beberapa orang sekaligus dan semua mata kini memandang ke arah Kiang Liong.

Dengan pandang matanya yang tajam Kiang Liong menyapu wajah orang-orang yang kelihatan menimbulkan keributan. Tertegun hatinya ketika ia mengenal Mutiara Hitam, juga ia dapat menduga bahwa pengemis muda bertopi itu tentulah ketua baru Khong-sim Kai-pang yang sudah banyak didengarnya. Melihat pemuda itu, teringatlah ia akan Song Goat dan timbul rasa tidak senang di hatinya, apa lagi melihat munculnya pengemis muda itu bersama Mutiara Hitam! Hatinya makin sebal melihat seorang pemuda berpakaian serba mewah yang ia dapat menduga tentulah saudara misannya, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa, hanya memandang penuh perhatian.

Suma Kiat adalah seorang yang wataknya aneh, namun harus diakui bahwa di balik keanehannya, ia memiliki kecerdikan luar biasa. Mendengar seruan orang-orang itu, ia segera menghadapi Kiang Liong dan menarik muka semanis-manisnya, menjura dengan penuh hormat sambil berkata.

"Kiang-piauwheng (Kakak Misan Kiang), aku adikmu Suma Kiat mohon maaf sebesarnya bahwa aku tidak dapat mencegah kekacauan dalam pesta ini yang ditimbulkan oleh jembel busuk ini!" Setelah berkata demikian, ia kembali menggunakan tangan kanan menutupi luka di pundak kirinya.

Kiang Liong hanya mengangguk kepada Suma Kiat sebagai balasan, lalu bertanya, suaranya tetap tenang. "Siapakah yang mengacau dan apa sebabnya?"

Dengan muka seperti hendak menangis Suma Kiat lalu menunjuk Yu Siang Ki dan berkata, "Jembel busuk inilah yang mengacau. Dia berani menghina tamu-tamu kita, tamu wanita lagi. Aku tentu sudah dapat memukul mampus padanya kalau saja Sumoi-ku ini tidak mencampuri dan melukai pundakku!"

Kiang Liong tertegun dan merasa amat heran, akan tetapi hanya di dalam hatinya saja. Sungguh tak disangka-sangkanya. Mutiara Hitam ini sumoi dari Suma Kiat? Murid wanita aneh bernama Kam Sian Eng yang menurut ibunya tadi masih adik tiri gurunya sendiri? Jadi kalau begitu Mutiara Hitam ini bukan orang lain, masih terhitung adik seperguruan dengannya. Ia menjadi bingung dan sejenak kesima tak dapat berkata.

Kemudian ia memandang Yu Siang Ki, pandang matanya penuh selidik dan ia harus mengaku bahwa pemuda tampan yang berpakaian penuh tambalan ini memiliki wibawa besar dan sinar mata tajam juga. Pemuda bertopi lebar itu amat tenang, membayangkan keagungan seorang ketua. Ia lalu teringat bahwa ia sebagai tuan rumah, maka ia segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat. Gerakan ini membuat wajah Yu Siang Ki berseri sedikit, kemudian ia pun balas menghormat.

"Pesta kecil ini diadakan untuk menyambut kedatangan Adik misanku ini, dan siapa pun yang suka boleh datang. Saya rasa para pelayan kami sudah cukup terlatih untuk menyambut setiap orang tamu sebagaimana mestinya. Akan tetapi, belum pernah terjadi ada tamu menghina tamu lain, apa lagi tamu-tamu wanita. Sungguh hal yang amat tidak patut dan mengecewakan. Harap saja sobat sudi memberi penjelasan."

Sebelum Yu Siang Ki sempat menjawab, lima orang wanita yang tadi dikalahkan Siang Ki sudah berebut maju dan seorang di antara mereka berkata, "Mula-mula adalah si Bocah Iblis ini yang menghina kami, Kiang-kongcu. Tanpa sebab ia membalikkan meja dan menyiram kami dengan kuwah panas. Kemudian setelah kami dapat menahan diri karena ternyata dia sumoi dari Suma-kongcu, si Jembel busuk ini bikin gara-gara dan menyerang kami!"

Kiang Liong menoleh kepada mereka dan tersenyum masam. Ia tentu saja mengenal mereka, gadis yang cantik dan dan genit ini yang selalu mengejar-ngejarnya, dan tahu pula bahwa orang-orang seperti mereka ini hanya tepat dijadikan teman bersenang-senang, namun tidak boleh didengar omongannya dalam urusan besar.

"Harap kalian pergilah agar tidak menambah keruh suasana. Aku akan membereskan urusan ini. Pergilah!" Suara dan pandang mata Kiang Liong membuat lima orang wanita itu mundur dan dengan bersungut-sungut mereka lalu pergi dari dalam taman itu, bersumpah untuk membalas dendam kepada Kwi Lan dan Siang Ki.

Kiang Liong kembali menghadapi Siang Ki. "Nah, sobat, bagaimana penjelasanmu? Kuulangi lagi bahwa sebagai seorang tamu, adalah amat tidak pantas melakukan pengacauan dan menghina tamu-tamu lain."

"Kiang-kongcu, sudah amat lama saya mendengar nama besar Kiang-kongcu sebagai seorang Enghiong (pendekar) yang gagah. Akan tetapi keadaan dalam pesta ini benar-benar membuat hati saya kecewa. Terus terang saja, lima orang wanita itu bukanlah manusia-manusia yang patut menjadi tamu Kiang-kongcu. Saya telah turun tangan menghajar mereka, kalau hal ini dianggap salah, saya bersedia menerima pertanggungan-jawabnya."

Diam-diam Kiang Liong kagum mendengar jawaban itu. Jawaban yang sederhana namun sekaligus menonjolkan sifat gagah pemuda itu yang tidak suka menceritakan peristiwa itu untuk membela diri sendiri dengan jalan menyalahkan orang lain. Juga membayangkan keangkuhan seorang ketua perkumpulan pengemis yang mengaku telah menghajar orang dan kalau dianggap salah, suka menerima pertanggungan-jawabnya! Namun jawaban ini pun mengandung tantangan terhadap dirinya sebagai tuan rumah. Kiang Liong seorang laki-laki sejati, betapa pun juga Suma Kiat adalah adik misannya dan kini adiknya itu terluka, si Pembuat Onar berdiri di depannya menantang!

"Hemm, sombong sekali! Sobat, kau hendak mempertanggung-jawabkan perbuatanmu berarti kau menantang aku sebagai tuan rumah. Marilah kita selesaikan urusan ini secara laki-laki!" Pandang mata Kiang Liong tajam menusuk.

Yu Siang Ki berdiri tegak, keningnya berkerut dan ia menjawab dengan lantang dan gagah. "Aku Yu Siang Ki sebagai seorang gagah mengenal kegagahan, menjunjung tinggi persahabatan dan tahu mana baik mana buruk. Sebagai ketua Khong-sim Kai-pang harus mempertahankan nama. Sudah lama mendengar akan kegagahan Kiang-kongcu sebagai murid pendekar sakti Kim-siauw-eng (Suling Emas), maka kalau Kongcu menantangku untuk mengadu kepandaian, aku orang she Yu tentu saja tidak berani berlaku kurang ajar dan ceroboh membentur gunung Thai-san. Akan tetapi, kalau Kiang-kongcu bertindak sebagai pembela lima orang wanita tadi, berarti Kongcu membela yang sesat dan aku siap untuk menerima pelajaran dari Kiang-kongcu!"

Dua orang muda yang sama tinggi, sama tampan dan gagah itu kini berdiri saling berhadapan, wajah mereka serius, pandang mata berkilat, siap untuk bertanding seperti dua ekor ayam jantan berlagak. Semua tamu menjadi tegang, apa lagi setelah mendengar bahwa jembel muda itu adalah ketua Khong-sim Kai-pang yang baru! Mereka mengharapkan untuk menonton sebuah pertandingan yang hebat antara dua orang jago muda yang berilmu tinggi.

"Piauwheng, untuk memukul seekor anjing kotor, perlu apa menggunakan tongkat besar? Harap Piauwheng jangan mencapaikan diri, untuk membikin mampus anjing ini, adikmu ini masih cukup kuat. Tadi pun kalau tidak dihalangi Sumoi, anjing ini sudah kuhajar sampai mampus!" kata Suma Kiat berlagak sambil memegangi pundaknya yang masih mengucurkan darah.

"Kiang-kongcu, maafkan kalau aku mencampuri urusan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan aku,” tiba-tiba Puteri Mimi menghampiri Kiang Liong dan menyentuh pundaknya.

Sejak tadi puteri ini mendengar dan melihat dengan penuh perhatian. Ia amat kagum menyaksikan sikap Yu Siang Ki, juga amat heran dan kagum melihat Kwi Lan yang cantik jelita dan gagah. Mendengar ucapan Siang Ki tadi, puteri ini pun kagum dan dapat menghargai kegagahan orang muda yang ia anggap menyamar dalam pakaian jembel itu.

Melihat majunya Puteri Mimi, terpaksa Kiang Liong mengalihkan perhatiannya dan menoleh. Ia melihat betapa dua pipi yang halus itu kemerahan, mata yang jeli itu bersinar-sinar, dan diam-diam ia menjadi kagum. "Ada petunjuk apakah, Puteri?" Kini semua orang memperhatikan Mimi karena dandannya, kecantikannya, dan suaranya yang asing namun sedap didengar.

"Kiang-kongcu, mereka yang ribut-ribut semua adalah tamu. Keributan yang terjadi di antara tamu tentu ada sebabnya. Tanpa menyelidiki sebabnya lalu berpihak, amat tidak bijaksana. Sebagai tuan rumah, sebaiknya bersikap adil dan menyelidiki lebih dulu apa sebab keributan, baru mengambil keputusan yang bijaksana dan adil. Menurutkan hati panas melupakan pertimbangan pikiran akan menimbulkan penyesalan yang sudah terlambat. Harap Kiang-kongcu mendahulukan kesadaran."

Tidak hanya Kiang-liong dan Yu Siang Ki yang menjadi heran dan kagum sekali, juga semua orang yang mendengar ini tercengang. Amat sukar diharapkan ucapan seperti itu keluar dari sepasang bibir mungil dari seorang dara remaja seperti Puteri Mimi.

Kalau semua mata memandang kagum kepada Putera Mimi, sebaliknya Kwi Lan yang sejak tadi sudah amat marah, kini tak dapat menahan kegemasan hatinya. Ia melangkah maju dengan pedang di tangan kanan dan berdiri di depan Yu Siang Ki membelakangi pemuda ini, menghadapi Kiang Liong dengan sikap dan pandang mata penuh tantangan! Suaranya nyaring tinggi menyambar telinga semua orang, langsung menusuk jantung mereka dengan kata-kata yang tajam.

"Orang she Kiang! Apakah karena menjadi murid Suling Emas engkau lalu boleh berlagak sombong seperti seorang pangeran dari langit? Kalau segala macam urusan kecil hendak dibereskan secara begini sukar olehmu, apa lagi urusan besar! Ketahuilah dan dengar baik-baik. Yang menghina lima orang pelacur tadi adalah aku, Mutiara Hitam! Yang melukai adik misanmu ini adalah aku pula, Mutiara Hitam! Yu Siang Ki ini hanya turun tangan karena perempuan-perempuan rendah tadi menghinaku. Akan tetapi yang menjadi biang keladi adalah aku. Kalau kau mau berlagak seperti hakim dan memberi hukuman, hayo hukumlah aku. Mutiara Hitam berani berbuat berani bertanggung jawab! Orang she Kiang, aku mendengar bahwa Suling Emas seorang pendekar besar dan patriot, akan tetapi muridnya mengapa mengumpulkan kaum pemberontak? Hayo majulah kau boleh mengandalkan kedudukan dan nama gurumu, akan tetapi jangan kira aku takut!"

Wajah semua orang menjadi pucat. Mereka yang memang mempunyai persekutuan untuk membantu gerakan bangsa Hsi-hsia menjadi pucat karena khawatir, sebaliknya yang tidak tahu apa-apa, menjadi pucat karena ucapan yang keluar dari mulut gadis ini benar-benar merupakan penghinaan hebat!

"Kwi Lan, apakah kau sudah menjadi gila? Mengapa kau mengeluarkan ucapan-ucapan tidak karuan?" Yu Siang Ki menegurnya, wajah pemuda ini pun menjadi pucat. Ia maklum bahwa kali ini gadis liar ini telah membuat onar dan kekacauan hebat sekali.

Akan tetapi yang ditegur sama sekali tidak mempedulikannya, bahkan sinar matanya seakan-akan mengejek dan berkata. "Jangan turut campur!"

Wajah Kiang Liong sebentar merah sebentar pucat. Hebat penghinaan ini! Kalau diucapkan tidak di tempat umum, masih belum hebat dan mungkin ia dapat menerimanya sambil tersenyum. Akan tetapi ucapan yang amat menghinanya itu diucapkan di depan banyak tamu. Suaranya agak gemetar karena menahan amarah ketika ia bertanya.

"Mutiara Hitam, sungguh lancang mulutmu!" Kalau engkau masih Sumoi dari adik misanku Suma Kiat berarti kau bukan orang lain, akan tetapi mengapa kau berani bersikap begini kurang ajar? Kau menuduh dan memfitnah yang bukan-bukan. Siapa mengumpulkan kaum pemberontak? Apa maksudmu?"

Kwi Lan tersenyum mengejek. Cuping hidungnya yang tipis berkembang-kempis. "Masih berpura-pura lagi? Apa kau menghendaki aku menelanjangi kedokmu dan menunjuk tokoh pemberontak?"

Sepasang mata Kiang Liong mengeluarkan sinar berkilat. Sudah gatal-gatal tangannya untuk menerjang maju, menghajar gadis yang liar ini. Akan tetapi ia masih dapat menekan hatinya dan membentak, "Boleh! Coba hendak kulihat siapa orangnya!"

"Kau lihat baik-baik!" Kwi Lan yang masih memegang pedang itu menyapu taman dengan pandang matanya kemudian melangkah dan menghampiri meja di mana duduk tiga orang hwesio.

"Sumoi... jangan...!" Suma Kiat berseru.

Akan tetapi dengan langkah lebar, Kwi Lan sudah tiba di depan meja tiga orang hwesio itu dan sekali tendang, meja itu mencelat dan menimpa tiga orang hwesio tadi.

"Brakkk...!" Hwesio kurus berjubah kuning itu dengan tangan kirinya menyampok dan meja itu pecah. Sambil menghantam hwesio itu meloncat dan berdiri tegak memandang Kwi Lan. "Omitohud, apakah Nona ini menjadi gila?"

Kwi Lan tertawa, menuding dengan pedangnya. "Apakah engkau yang bernama Cheng Kong Hosiang?"

"Sumoi, jangan...!" kembali Suma Kiat berseru.

Cheng Kong Hosiang menjadi beringas pandang matanya. Kakek ini mencium bahaya, akan tetapi ia memandang rendah gadis ini. Ia seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, tentu saja tidak takut menghadapi seorang gadis remaja.

"Pinceng benar Cheng Kong Hosiang, Nona mau apa dan...."

Belum habis ucapannya, tubuh Kwi Lan menerjang maju. Dua orang hwesio tinggi besar yang duduk di kanan kiri Cheng Kong Hosiang adalah murid-murid hwesio tua ini, mereka pun pandai ilmu silat dan melihat gadis itu sudah menerjang maju, mereka segera menyambut dari kanan kiri bersenjatakan tongkat.

"Trang-trang... wuuut-wuuut, aduhhh...!"

Cepat luar biasa gerakan Kwi Lan. Dengan pedang Siang-bhok-kiam di tangan kanan, ia menangkis dan menempel dua tongkat itu sehingga tak dapat ditarik kembali, kemudian dengan gerakan memutar amat kuat, ia membuat dua batang tongkat ikut berputaran sampai terlepas dari tangan pemegangnya, kemudian secara mendadak tangan Kwi Lan bergerak, dua kali memukul dan robohlah dua orang hwesio itu dengan tulang pundak patah-patah!

Cheng Kong Hosiang sudah menyambar tongkatnya yang panjang dan berat, namun gerakan Kwi Lan lebih cepat dari padanya. Tubuh gadis ini seperti lenyap, berubah menjadi bayangan yang didahului sinar pedang kehijauan.

"Sumoi, tahan...!" Kembali terdengar suara Suma Kiat yang sudah dekat di belakangnya.

Melihat sumoi-nya nekat dan hendak membuka rahasia hwesio itu, Suma Kiat marah sekali dan mengirim pukulan maut dari belakang. Pukulan ini adalah pukulan jarak jauh yang mengandung hawa beracun dan betapa pun lihainya Kwi Lan, karena ia menujukan perhatiannya kepada hwesio di depannya, agaknya sukar baginya untuk menghindarkan diri dari pukulan maut suheng-nya. Dan kalau pukulan itu sampai mengenai lambungnya, sukar pula nyawanya dapat ditolong!

"Dukk...!"

Suma Kiat terhuyung ke belakang, mulutnya menyeringai menahan nyeri, seluruh lengan kanannya terasa lumpuh dan dadanya sesak. Bukan karena tangkisan Kiang Liong, melainkan karena hawa pukulannya sendiri membalik ketika pukulannya tadi tertahan oleh lengan Kiang Liong. Melihat betapa adik misannya mengirim pukulan dari belakang seganas dan sekeji itu, Kiang Liong sudah cepat bergerak menangkis. Diam-diam pemuda ini menjadi makin tidak senang kepada adik misannya. Terhadap seorang sumoi saja sudah dapat bersikap sekeji dan securang itu.

Andai kata Mutiara Hitam ini benar bersalah dalam hal keributan ini sekali pun, ia tetap tidak akan membiarkan adik misannya atau orang lain merobohkannya secara curang. Sinar matanya yang amat tajam membuat Suma Kiat tak berani membuka mulut, kemudian mereka berdua, seperti juga semua orang, kembali menonton pertandingan antara Mutiara Hitam dan Cheng Kong Hosiang.

Yu Siang Ki juga menyaksikan peristiwa yang terjadi amat cepatnya itu dan ia makin tidak mengerti akan sikap Kiang Liong. Tadi memperlihatkan sikap bermusuhan, akan tetapi sekarang melindungi Mutiara Hitam. Dan Kwi Lan mengapa bersikap seperti itu? Ia merasa dihadapkan sebuah teka-teki. Benarkah apa yang dituduhkan gadis itu? Bahwa Kiang Liong bersekongkol dengan para pemberontak? Ah, rasanya tidak mungkin. Dan siapakah hwesio bernama Cheng Kong Hosiang yang diserang Kwi Lan? Ia memandang penuh perhatian, siap untuk membantu Kwi Lan apa bila gadis itu terancam bahaya.

Hwesio kurus itu memang lihai sekali. Tongkatnya terbuat dari pada baja kebiruan yang kuat dan berat, sedangkan ilmu tongkatnya juga luar biasa kuatnya. Tongkat di tangannya diputar cepat sehingga lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar biru yang menyilaukan mata. Kwi Lan sendiri sudah lenyap bayangannya, tergulung oleh sinar pedangnya yang kehijauan. Namun pertahanan hwesio tua itu benar amat tangguh. Ke mana pun juga sinar pedang Kwi Lan menyerang, selalu dapat ditangkisnya dengan tongkat sehingga pertandingan itu menjadi makin seru dan sengit. Belasan serangan hwesio itu juga tak pernah berhasil karena gerakan Kwi Lan amat gesit.

"Trang! Trang...!" dua kali tongkat dan pedang bertemu dan kedua orang yang bertanding seru itu mencelat mundur sampai tiga meter lebih.

“Tahan!" seru Cheng Kong Hosiang, menghapus peluh di dahinya dengan ujung baju lengan kiri, sikapnya bengis. "Nona, pinceng adalah tamu Kiang-kongcu dan pinceng cukup menghormat tuan rumah, tidak sudi mengacau di dalam taman ini. Kalau kau tidak memandang mata kepada Kiang-kongcu dan tetap hendak menantang pinceng, bukan di sini tempatnya!"

Kwi Lan tersenyum mengejek. "Wah, kau tua bangka gundul benar pandai mencari muka kepada tuan rumah yang menjadi sekutumu! Eh, Cheng Kong Hosiang, apa kau kira aku tidak mengerti akan rahasia busukmu? Engkau adalah utusan Bouw Lek Couwsu pemimpin bangsa Hsi-hsia. Engkau bertugas mengadakan persekutuan busuk dengan kaum pengkhianat dan pemberontak di kota raja. Sebagian besar bangsawan dan pembesar yang hadir di sini.."

"Trang-trang...!" Tongkat itu menyambar hebat dan Kwi Lan yang menangkis dua buah serangan itu sampai merasa tergetar pundaknya. Ia menjadi marah dan menggerakkan pedangnya membalas serangan lawan. Kedua orang itu kembali sudah bertanding secara hebat.

Berubah wajah Siang Ki mendengar ucapan Kwi Lan tadi. Ah, kiranya gadis itu sudah bertindak dengan dasar yang demikian penting. Betulkah apa yang diucapkan gadis itu? Ia melirik kepada para tokoh pengemis dan mereka bersiap-siap. Sementara itu, para pembesar yang mendengar ucapan Kwi Lan, menjadi pucat wajahnya dan bangkitlah mereka, kemudian secara tergesa-gesa dan diam-diam mereka bergerak hendak pergi meninggalkan tempat berbahaya ini.

"Berhenti! Semua tidak boleh, meninggalkan tempat ini!" bentak Kiang Liong yang cepat memberi isyarat kepada penjaga, kemudian membisikkan perintah agar si Penjaga cepat pergi mengundang komandan pengawal istana dan pasukannya.

Ia sendiri menjaga di pintu dan menonton pertempuran dengan hati tegang. Sejak tadi ia sudah merasa heran melihat betapa hwesio tua itu amat lihai serta memiliki ilmu silat yang didasari gerakan kaki pat-kwa, persis seperti ilmu silat Bouw Lek Couwsu yang lihai. Kini mendengar ucapan Kwi Lan, kecurigaannya makin hebat. Tuduhan gadis itu bukan hal yang tidak boleh jadi, mengingat betapa Bouw Lek Couwsu berniat keras untuk menghubungi para pembesar khianat.

Kwi Lan maklum bahwa ia telah membongkar rahasia besar dan tentu saja hwesio ini akan berusaha keras untuk membunuhnya. Bahkan mungkin kaki tangan hwesio ini termasuk suhengnya akan mencelakakannya. Akan tetapi hatinya agak lega melihat betapa tadi pukulan suheng-nya digagalkan oleh Kiang Liong. Kalau sampai terjadi pertempuran besar, yang ia khawatirkan hanya Kiang Liong yang ia tahu memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari padanya. Maka melihat sikap Kiang Liong tadi, hatinya lega, pula dugaannya bahwa Kiang Liong ikut pula berkhianat, kini menipis. Ia harus dapat menghalau hwesio ini lebih dulu, pikirnya. Akan tetapi tidaklah mudah mengalahkan hwesio ini yang sesungguhnya adalah murid kepala Bouw Lek Couwsu sendiri.

Kwi Lan menjadi penasaran. Pertahanan hwesio itu benar amat kuat, sukar ditembusi pedangnya. Ia harus menggunakan akal. Dalam satu dua detik saja ia sudah mendapatkan akal ini. Kalau lawannya yang merupakan seorang berilmu dan sudah memiliki pengalaman matang dalam pertandingan-pertandingan itu dibiarkan terus mempertahankan diri agaknya dalam waktu selama seratus jurus belum tentu ia akan bisa mendapatkan kemenangan. Jalan satu-satunya hanya memancing agar kakek itu menyerang, karena pertahanan seseorang sudah pasti akan menjadi lebih lemah jika dipergunakan untuk menyerang. Artinya setiap serangan membuka lowongan atau kelemahan dalam pertahanan.

Tiba-tiba Kwi Lan menusukkan pedangnya ke arah dada lawan. Sengaja ia membuat gerakannya itu agak miring dengan kedudukan kaki yang tidak cukup kuat. Tongkat lawan menangkis dan Kwi Lan berseru keras dan kaget, pedangnya terlepas dari pegangan! Yu Siang Ki mengeluarkan seruan kaget pula, bahkan Suma Kiat juga mengeluarkan seruan, akan tetapi seruan girang. Ia maklum bahwa betapa pun lihainya, Cheng Kong Hosiang akhirnya tidak akan dapat menandingi kehebatan sumoi-nya dan tentu akan roboh.

Kini melihat berubahnya jalannya pertandingan, diam-diam ia merasa girang. Ia mencinta sumoi-nya, akan tetapi kalau sumoi-nya menghalang jalan menuju tercapainya cita-citanya, ia tidak segan-segan bergembira melihat sumoi-nya terancam bahaya maut! Hanya Kiang Liong yang tetap tenang, berdiri tegak matanya tak pernah berkedip memandang jalannya pertandingan. Pemuda ini sudah terlalu hebat digembleng oleh Suling Emas untuk tidak melihat dasar gerakan Kwi Lan itu.

Akan tetapi Cheng Kong Hosiang yang melihat pedang lawannya terlepas, tidak memikirkan lagi kemungkinan lain. Dalam detik itu, kemenangan sudah terbayang olehnya. Gadis ini harus dibunuh karena terlalu berbahaya. Tongkatnya berkelebat dalam serangannya, menghantam ke arah kepala Kwi Lan. Gadis ini miringkan tubuh menundukkan kepala, sengaja membiarkan ujung tongkat menyerempet pundaknya!

Di dalam hatinya, Kiang Liong tertegun. Memang siasat ini hebat, akan tetapi terlalu berbahaya. Gadis ini bukan main, memiliki ketabahan yang sukar dicari tandingnya. Meleset sedikit saja perhitungannya, terlambat seperempat detik saja gerakannya, kepalanya akan hancur dipukul tongkat. Namun selain tabah Kwi Lan juga tenang dan cerdik, perhitungannya takkan meleset. Pada saat ia merasa pundak kanannya nyeri diserempet ujung tongkat, tangan kirinya sudah menghantam ke depan. Itulah pukulan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).

"Auuuggghhh...!" Pukulan itu agaknya tidak terlalu keras, akan tetapi tubuh Cheng Kong Hosiang terpelanting ke belakang, dan kakek ini bergulingan dan menggeliat-geliat kesakitan karena seluruh isi perutnya seperti ditusuk-tusuk.

"Sumoi, kau terlalu...!" Suma Kiat lari menghampiri Kwi Lan yang sudah siap sedia melawan suheng-nya, akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak menyerangnya, melainkan berlutut di dekat tubuh Cheng Kong Hosiang yang masih menggeliat-geliat.

"Lo-suhu, bagian mana yang terasa sakit? Coba kuperiksanya...!" Pemuda ini meraba dada, meraba perut dan pendeta tua itu tidak merintih lagi, bahkan tidak bergerak lagi.

"Piauw-te (Adik Misan), minggirlah!" Kiang Liong membentak Suma Kiat.

Pemuda ini hendak memeriksa dan memaksa hwesio itu membuka rahasia, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia memeriksa, Cheng Kong Hosiang ternyata sudah tak bernyawa lagi. Ia bangkit berdiri, dan menatap wajah adik misannya dengan pandang mata tajam menusuk akan tetapi Suma Kiat hanya menyeringai saja.

Pada saat itu terdengar hiruk-pikuk di luar taman dan masuklah seorang komandan berpakaian gagah memimpin sepasukan pengawal terdiri dari tiga losin orang. Komandan itu segera melangkah lebar menghampiri Kiang Liong, sedangkan para anak buahnya dengan rapi menjaga di pintu keluar.

"Hemm, tidak ada perlunya kita berada di sini lebih lama lagi. Siang Ki, mari kita pergi!" kata Kwi Lan yang sudah menyimpan pedangnya.

Yu Siang Ki mengangguk. Memang ia ingin sekali bicara dengan Kwi Lan mengenai tuduhan yang dilontarkan oleh gadis tadi. Para tokoh kai-pang yang berada di sini ikut bergerak. Komandan pengawal menghadang dan memandang kepada Kiang Liong dengan pandang mata bertanya, menanti perintah. Akan tetapi Kiang Liong berkata halus, "Biarkan mereka pergi!"

Yu Siang Ki merasa sungkan juga mendengar ucapan Kiang Liong ini. Ia merangkap kedua tangan di depan dada lalu menjura kepada Kiang Liong sambil berkata, "Kiang-kongcu, maafkan kelakuan saya tadi."

"Hemm, tidak ada yang perlu dimaafkan. Kalau kau ingin minta maaf, pergilah ke lereng Bukit Cin-lin-san, di kuil Pek-lian-si. Di sana ada seorang calon nikouw yang akan mempertimbangkan apakah kau dapat dimaafkan atau tidak." Setelah berkata demikian, Kiang Liong membalikkan tubuh, tidak mempedulikan lagi kepada ketua Khong-sim Kai-pang ini.

Yu Siang Ki tercengang, tidak mengerti, akan tetapi karena Kiang Liong sudah membelakanginya dan bercakap-cakap dengan komandan pengawal, dan karena Kwi Lan sudah menarik tangannya, terpaksa ia mengikuti gadis itu keluar dari taman bersama para tokoh pengemis.

"Kwi Lan, apakah artinya semua ucapanmu tentang persekutuan...."

"Ssst, diam dan mari kita keluar kota raja. Ada pekerjaan penting untuk kita. Kita harus pergi menolong Pangeran Mahkota Khitan yang tertawan oleh Bouw Lek Couwsu!"

"Apa...? Bagaimana? Di mana?"

"Sstt, mari ikut saja, nanti kujelaskan."

"Mengapa kau tergesa-gesa seperti orang ketakutan?"

"Hemm, kau benar cerewet. Aku memang takut!"

"Takut siapa?"

"Bodoh, Guruku tentu. Kalau dia datang aku takkan terlepas dari kematian dan Pangeran Mahkota Khitan takkan tertolong."

"Ah, Gurumu marah karena kau membunuh hwesio itu?"

Kwi Lan menghentikan larinya memandang pemuda itu dan membanting kaki. "Siang Ki, kau benar cerewet! Dan bodoh. Hwesio itu dibunuh Suheng, apa kau tidak tahu? Suheng bersekutu dengan hwesio itu dan para pembesar Sung yang khianat. Ini bukan urusanku, yang penting aku harus menyelamatkan Putera Mahkota Khitan. Kau mau membantuku? Baik, sekarang lebih baik kau kumpulkan rekan-rekanmu yang memiliki kepandaian, kemudian menyusulku pergi ke lembah Sungai Kuning di sebelah barat Lok-yang, di kaki Gunung Fu-niu-san. Di sanalah markas Bouw Lek Couwsu dan barisan mata-matanya, dan di sana Pangeran Mahkota ditawan. Nah, sampai jumpa di sarang musuh!" Kwi Lan lalu melompat dan lari meninggalkan Siang Ki dan kawan-kawannya yang berdiri melongo saking kaget dan herannya.

Mendengar penuturan Kwi Lan ini, ia teringat akan pesan Kiang-kongcu dan tiba-tiba wajahnya berubah. Seorang calon nikouw? Yang akan mempertimbangkan permintaan maafnya? Ah, tentu saja. Siapa lagi kalau bukan Nona Song Goat yang dimaksudkan oleh Kiang-kongcu. Tunangannya itu, dalam keadaan sakit hati dan merasa terhina, tentu mengambil keputusan untuk menjadi seorang nikouw! Dan agaknya Kiang-kongcu pernah berjumpa dengan Song Goat maka memberi pesan seperti itu.

Akan tetapi urusan yang dikemukakan Kwi Lan amat besar. Biar pun ia tidak peduli tentang nasib Pangeran Khitan, akan tetapi kalau Kwi Lan seorang diri menyerbu ke sana, hal ini amat berbahaya bagi gadis itu. Dia harus menyusul dan membawa pasukan pengemis yang cukup kuat.

"Mari kumpulkan teman-teman!" katanya dan berangkatlah mereka mempersiapkan pasukan pengemis yang kuat. Mereka mengumpulkan teman-teman ini dari kota raja dan Lok-yang. Setelah lengkap, Siang Ki memimpin tiga puluh orang tokoh kai-pang, dengan berpencar agar tidak menarik perhatian, berangkat menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Kwi Lan.

*** KHO PING HOO ***


SEMUA TAMU yang hadir dalam pesta penyambutan Suma Kiat digiring oleh pasukan pengawal istana. Setelah diperiksa, ditanya seorang demi seorang, mereka itu tidak ada yang mengaku kenal dengan Cheng Kong Hosiang. Bahkan semua menyatakan tidak mengenal Suma Kiat, dan hanya datang hadir karena mengingat Pangeran Kiang dan terutama sekali mengingat nama Kiang-kongcu!

Diam-diam Kiang Liong berunding dengan pembesar yang berwenang, lalu membebaskan mereka semua, akan tetapi semenjak saat itu, gerak-gerik semua pembesar ini selalu diawasi. Kemudian Kiang Liong menghadap Kaisar dan menceritakan pengalamannya dalam penyelidikan gerakan orang-orang Hsi-hsia. Kaisar menerima laporan ini dengan sabar, kemudian menjatuhkan perintah kepada semua panglimanya agar berusaha keras mencegah pecahnya perang.

"Betapa pun kecilnya, perang tetap merupakan mala-petaka bagi rakyat. Oleh karena itu, sedapat mungkin harus dihindarkan. Hubungilah bangsa Hsi-hsia dan selidiki apa kehendak mereka. Kalau hanya harta benda yang mereka kehendaki, kami lebih suka mengorbankan sebagian harta benda dari pada mendatangkan mala-petaka bagi rakyat!"

Perintah kaisar inilah yang kelak mencelakakan Kerajaan Sung sendiri. Karena perintah semacam ini yang sering kali dikeluarkan oleh Kaisar yang suka damai dan anti perang ini, kedudukan Kerajaan Sung menjadi makin lemah sehingga akhirnya tidak kuat bertahan ketika mala-petaka tiba. Perintah ini pula yang membuat bangsa Hsi-hsia yang tidak berapa besar itu menjadi makin kuat dan kelak merupakan ancaman yang sama besarnya dengan bangsa Khitan!

Kiang Liong kecewa sekali mendengar perintah ini. Namun tentu saja tak seorang di antara para panglima berani membangkang. Dengan hati gelisah Kiang Liong kembali ke rumah orang tuanya. Bagaimana caranya untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan kalau kaisar melarang dipergunakannya kekerasan terhadap orang-orang Hsi-hsia? Dan di manakah adanya Pangeran Khitan yang tertawan itu? Ia teringat akan peristiwa di dalam taman. Melihat betapa Suma Kiat diam-diam membunuh Cheng Kong Hosiang dan melihat pula sikap Suma Kiat ketika Mutiara Hitam menghamburkan dakwaan-dakwaan yang hebat itu.

Malam itu ia mengajak Suma Kiat ke kamarnya, mengunci pintu kamarnya dan dengan wajah bengis ia berkata, "Nah, sekarang kau harus menceritakan semua rahasiamu, Piauwte!"

Suma Kiat memandang kakak misan ini, menyeringai dan duduk di atas kursi. Tanpa berkata sesuatu ia menuangkan arak yang tersedia di meja ke dalam sebuah cawan dan minum dengan mata mengerling penuh ejekan. Setelah cawan itu kering, ia meletakkannya di atas meja, perlahan-lahan dan tidak tergesa-gesa, barulah ia menoleh dan menjawab.

"Piauwheng, aku tidak punya rahasia apa-apa."

"Suma Kiat! Orang lain boleh kau bohongi akan tetapi aku tidak! Kau kira aku tidak tahu akan kebingunganmu ketika kau melihat Mutiara Hitam hendak membuka rahasia di dalam taman? Dan... kau membunuh Cheng Kong Hosiang, tentu hendak menutup mulutnya, bukan?"

"Ha-ha-ha, Piauwheng. Kau benar-benar tidak adil. Mengapa kau membela Sumoi, membela pengemis itu dan orang-orang lain, sebaliknya menekan adik misan sendiri? Sungguh engkau seorang kakak yang tak patut dibanggakan. Sekarang kau malah membentak dan menuduh yang bukan-bukan kepadaku. Hemm, agaknya kau tidak suka dan iri karena aku datang di sini, ya? Kau tidak suka melihat kenyataan bahwa aku putera Pamanmu? Akan kulihat apa kata Bibi kalau kuceritakan hal ini kepadanya!" Suma Kiat bangkit dari tempat duduknya, hendak pergi ke pintu.

Akan tetapi dengan sebuah loncatan kilat, tubuh Kiang Liong berkelebat dan sudah berada di ambang pintu. Wajahnya bengis, mulutnya tersenyum dingin, menyembunyikan hati yang panas oleh marah. Suaranya mendesis perlahan, "Suma Kiat, jangan kau mempermainkan aku! Engkau telah membunuh Cheng Kong Hosiang yang agaknya benar seorang penghubung dan pembantu Bouw Lek Couwsu. Engkau bersekongkol dengan pemberontak dan musuh, mempergunakan tempat kami, mengotorkan dan mencemarkan nama baik keluarga kami. Hayo ceritakan, sampai berapa jauhnya kau melakukan kesesatan ini? Tahukah kau tentang penawanan Putera Mahkota Khitan? Jawab sejujurnya kalau kau tidak ingin aku menggunakan kekerasan terhadapmu!"

Tiba-tiba berubah sikap Suma Kiat. Ia berdiri tegak, bertolak pinggang dan mukanya membayangkan kemarahan yang membuat wajah yang tampan itu menjadi ganas. Bibirnya tersenyum mengejek, setengah menyeringai dan matanya disipitkan, dari mana menyambar ke luar sinar mata yang tajam dan aneh. Kemudian ia tertawa, kepalanya didongakkan dan perutnya bergerak-gerak, suara ketawa yang panjang bergelak, akan tetapi yang tersentak berhenti secara tiba-tiba dan wajahnya sama sekali tidak ikut tertawa. Ketawa iblis, atau ketawanya seorang yang tidak waras otaknya!

"Kiang Liong! Engkau terlalu! Apa kau kira aku ini orang bawahanmu sehingga boleh kau perintah begitu saja? Kau lupa agaknya bahwa aku ini seorang tamu, bahwa aku ini keponakan Ibumu. Semua orang boleh jadi gentar terhadap namamu, akan tetapi aku, Suma Kiat, selama hidupku belum pernah takut kepada siapa pun juga. Kau tidak perlu menggertak dengan omong kosong, boleh gunakan kekerasan, aku tidak takut!"

Setelah berkata demikian, dengan membusungkan dada Suma Kiat melenggang terus hendak keluar, tidak mempedulikan Kiang Liong yang menghadang di pintu.

Kiang Liong membentak, "Bocah setan, jangan harap dapat keluar dari kamar ini sebelum kau mengaku!" Sambil membentak tangan kanan Kiang Liong mendorong kembali tubuh Suma Kiat ke dalam kamar.

Suma Kiat tertawa, cepat miringkan tubuh dan secara tiba-tiba kepalan tangan kirinya menyambar dengan pukulan keras ke leher Kiang Liong, sedangkan seperempat detik berikutnya, tangan kanannya menyusul dengan pukulan jari-jari terbuka ke arah lambung. Pukulan ke dua inilah pukulan maut, pukulan Siang-tok-ciang yang beracun dan amat ganas!

"Plak-plak...!" Tangkisan Kiang Liong cepat sekali dan bertenaga besar karena pemuda ini sudah tahu akan kelihaian adik misannya sehingga melihat pukulan maut itu ia menjadi marah dan menangkis dengan pengerahan sinkang disalurkan ke tangannya. Tubuh Suma Kiat terlempar dan menabrak dinding sedangkan dengan kaget Kiang Liong merasa betapa lengannya yang menangkis menjadi panas sekali.

Hanya beberapa detik saja Suma Kiat menjadi nanar karena terbanting ke dinding. Ia sudah meloncat bangun lagi, mukanya merah sekali, mulutnya tersenyum menyeringai. "Piauwheng, kau benar-benar mengajak berkelahi?"

"Huh, bukan aku yang mengajak berkelahi, melainkan engkau yang memancing keributan. Tinggal kau pilih, mengaku terus terang ataukah harus kuberi hajaran lebih dulu!" jawab Kiang Liong, suaranya bengis pandang matanya tajam.

Suma Kiat tersenyum dan menjura. "Ah, Kakak Misanku yang baik, mana Adikmu berani kurang ajar kepadamu? Harap kau suka maafkan dan marilah kita bicara secara baik-baik." Sambil berkata demikian Suma Kiat mendekati Kiang Liong.

Pada hakekatnya Kiang Liong juga tidak suka bertentangan dengan keponakan ibunya, karena hal ini tentu akan menyusahkan hati ibunya. Maka ia bersikap sabar, menekan kemarahannya dan berkata, "Begitulah yang kukehendaki, Piauwte. Sekarang kau ceritakan baik-baik tentang...."

"Wuuuutt... dukkkk...!" Tubuh Kiang Liong terjengkang ke belakang dan bergulingan di lantai.

Pukulan Suma Kiat datangnya terlalu tiba-tiba dan terlalu cepat sehingga dia yang tidak menyangka-nyangka tidak sempat menangkis, bahkan mengelak pun terlambat. Masih untung bahwa pukulan yang menghantam ulu hatinya itu menjadi meleset karena Kiang Liong melempar diri ke belakang, namun tetap saja dada kanannya terkena pukulan. Hanya karena sinkang pemuda ini sudah mendekati tingkat tertinggi saja yang menyelamatkan nyawanya. Isi dadanya seperti dibakar, napasnya sesak dan sambil mengguling-gulingkan tubuhnya ia menahan napas mengerahkan sinkang yang ia desakkan dari pusar ke dada. Ia tahu bahwa ia terluka, sungguh pun tidak berat dan berbahaya. Ia menahan kemarahannya dan terus bergulingan, karena ia tahu kalau kemarahan menguasai hati dan menyesak di dada, lukanya akan menjadi berbahaya.

"Heh-heh, kau mencari celaka sendiri, Kiang Liong!" terdengar suara Suma Kiat mengejek dan angin pukulan yang keras secara bertubi-tubi menyambar ke arah Kiang Liong, menutup jalan ke luar dari empat jurusan.

Kiang Liong yang sedang bergulingan itu berhasil menyambar kaki sebuah kursi dan cepat ia melempar kursi itu ke atas sambil menyusul dengan lompatan yang disebut gaya Kim-eng-hoan-sin (Garuda Emas Membalikkan Tubuh), cepat sekali menyusul di belakang bayangan kursi yang dilontarkannya.

"Kraakkk... bruukk!" Kursi yang terbuat dari kayu yang tebal dan berat itu hancur berkeping-keping karena terhimpit hawa pukulan Suma Kiat yang menyambar dari kanan kiri.

"Aihhh...!" Suma Kiat terkejut, tidak mengira bahwa lawannya yang sudah hampir kalah itu dapat menyelamatkan diri dengan pertolongan sebuah kursi.

Namun ia tidak dapat terlalu lama berheran, karena Kiang Liong kini sudah menyambar ke depan dan menggunakan kedua tangannya, yang kanan menimpa dari atas, yang kiri mendorong dari bawah. Inilah pukulan tangan kosong yang diambil dari gerakan ilmu silat Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Mengacau Lautan), sebuah ilmu silat Suling Emas yang luar biasa ampuhnya. Tangan kanan menimpa dengan kekuatan berdasarkan tenaga gwakang (tenaga keras/luar) sedangkan tangan kiri mendorong dari bawah dengan tenaga lweekang (tenaga dalam).

Suma Kiat memang telah mempelajari pelbagai ilmu silat yang aneh-aneh, namun dalam hal tenaga dalam dan pengalaman, ia masih ketinggalan jauh oleh Kiang Liong. Ia terkejut dan menggunakan kedua tangannya untuk menahan dan menangkis dua pukulan itu. Inilah kesalahannya. Tangan kanan Kiang Liong tiba lebih dulu dan melihat sambarannya Suma Kiat juga menangkis dengan tenaga gwakang. Akan tetapi setengah detik berikutnya, pukulan tangan kiri Kiang Liong yang ditangkisnya itu ternyata menggunakan tenaga yang berlawanan, yakni tenaga dalam.

Suma Kiat terkejut, namun terlambat. Lengannya seperti ditempel, lekat dan tahu-tahu tangan Kiang Liong sudah menangkap pergelangan tangannya dan sekali Kiang Liong membuat gerakan, menyendal, tubuh Suma Kiat terlempar ke atas menabrak langit-langit kemudian terbanting jatuh ke atas lantai!

Suma Kiat mengeluh, kepalanya yang terbentur pada langit-langit membuatnya pening. Ketika ia membuka mata, lantai terasa berputaran. Ia meramkan matanya lagi, mengaduh, merintih dan menarik napas dalam-dalam. Ia sudah pasrah karena kalau saat itu lawannya menyusul dengan serangan baru, ia tentu takkan dapat mengelak atau menangkis. Ia menanti maut. Namun pukulan itu tidak kunjung tiba. Ketika ia membuka matanya perlahan-lahan, ia melihat Kiang Liong masih berdiri tegak, bertolak pinggang, kedua kaki terpentang lebar, sikapnya menyeramkan dan menakutkan hati Suma Kiat.

Tiba-tiba Suma Kiat menangis! Menangis sesenggukan, terisak-isak dan bergulingan di atas lantai, seperti seorang anak kecil menangis rewel. "Uhuuk-hu-huukk... Piauwheng, kau benar kejam sekali... u-hu-huuk... kalau memang kau tega kepada adik misan, kau bunuhlah aku sekarang juga... u-huhuuukk...!"

Kiang Liong mengerutkan keningnya. Ia teringat akan ucapan ayah bundanya tentang Kam Sian Eng, ibu pemuda ini. Menurut penuturan ibunya, mungkin sekali Kam Sian Eng itu seorang wanita yang selain aneh, juga tidak waras otaknya. Dan bukan aneh kalau puteranya ini juga agak miring, tidak waras. Ataukah berpura-pura? Ia menghela napas dan duduk di atas sebuah kursi.

"Sudahlah, tidak perlu banyak tingkah. Bangkit dan lekas kau ceritakan semua rahasia itu," katanya dengan hati sebal.

Suma Kiat menghapus air matanya, kemudian meringis kesakitan. Untung bahwa Kiang Liong tadi tidak bermaksud mencelakakannya, dan hanya menggunakan kekuatan sinkang untuk melontarkannya. Rasa nyeri yang dideritanya kini hanya akibat terbanting, hanya merupakan luka lecet dan benjol belaka. Dengan terpincang-pincang buatan Suma Kiat menghampiri kakak misannya, menggerakan pinggul sehingga pedangnya terputar agak dekat ke pinggang.

"Piauwheng, kau benar-benar terlalu kejam. Apakah kesalahanku maka kau memukulku begini rupa? Memang aku bunuh Cheng Kong Hosiang, hwesio jahat dan beracun mulutnya itu. Coba saja kau pikir, Piauwheng. Siapa yang tidak menjadi marah. Dia berani membujuk-bujuk aku untuk bersekongkol dengannya. Katanya... kelak kalau bangsa Hsi-hsia menyerbu ke kota raja, aku supaya membantu gerakan itu. Nah, apa ini tidak menjengkelkan? Aku tidak tahu apa-apa tentang pemberontakan, tentang persekongkolan gelap. Aku hanya suka kepada... eh, sahabat-sahabatmu yang cantik itu. Apa lagi enci adik Chi itu. Kau bagi mereka untukku, ya, Piauwheng?"

Kiang Liong mendongkol bukan main. Ia tahu bahwa adik misannya ini membohong. Ia sudah mendongkol oleh sikap Kaisar yang tidak berniat membasmi ancaman bangsa Hsi-hsia, kini setelah ada harapan memperoleh keterangan tentang ditawannya Pangeran Mahkota Khitan, Suma Kiat mempermainkannya. Kalau tidak ingat ibunya, ingin ia sekali pukul merobohkan adik misan yang tidak patut ini!

"Suma Kiat!" bentaknya marah. "Tak perlu kau berpura-pura lagi. Aku bukan anak kecil yang bisa kau bodohi dengan sandiwaramu. Hayo katakan, di mana adanya Pangeran Mahkota Khitan yang ditawan oleh Bouw Lek Couwsu, di mana markas orang-orang Hsi-hsia, kalau tidak mengaku... hemm... engkau tentu akan kuhajar!" Kiang Liong melangkah maju, mengamangkan tinjunya, mengancam.

"Eh... eh... ohh... Piauwheng kau bunuhlah saja aku...," kembali Suma Kiat menangis menggerung-gerung!

Kiang Liong menjadi gemas dan makin marah. Celaka, pikirnya, kalau anak edan ini makin keras menangis, tentu akan terdengar oleh ibunya. Lebih baik kutotok dia agar tidak dapat banyak tingkah. Ia melangkah maju dan... sinar putih yang menyilaukan mata menyambarnya ketika tahu-tahu Suma Kiat sudah mencabut pedang dan menyerangnya secepat kilat!

Kiang Liong terkejut bukan main. Serangan pedang ini amat cepat dan dilakukan dari jarak dekat secara tak tersangka-sangka. Untuk mencabut senjata pensilnya sudah tidak keburu lagi, maka tiada lain jalan bagi Kiang Liong kecuali mengerahkan tenaga ginkang dan tubuhnya mencelat ke belakang. Akan tetapi sinar pedang putih itu terus menyambar diikuti bunyi dengus Suma Kiat yang agaknya mentertawakan.

"Crak-crak...!" Sebuah meja besar pecah menjadi beberapa potong kena sambar sinar pedang Suma Kiat ketika tubuh Kiang Liong menyelinap ke belakang meja.

Beberapa detik ini sudah cukup bagi Kiang Liong. Ketika pedang Suma Kiat bertemu dengan meja yang mewakili dirinya, ia sudah mencabut sepasang pensilnya dan kini ia meloncat melampaui meja sambil menyerang! Suma Kiat tidak gentar melihat bahwa kakak misannya hanya memegang sepasang senjata pensil yang hanya satu kaki lebih panjangnya itu. Ia tertawa dan pedangnya diputar cepat, membentuk gulungan sinar putih

"Cring-cring... trang-trang-trang...!" berkali-kali pedang yang bersinar putih itu bertemu dengan sepasang pensil di kedua tangan Kiang Liong.

Barulah Suma Kiat menjadi terkejut ketika tangan kanannya terasa hampir lumpuh setiap kali pedangnya bertemu dengan kedua pensil kakak misannya. Ia jauh kalah kuat tenaganya dan ia menjadi bingung karena dua pensil itu mengandung tenaga yang berlawanan dan lebih membingungkan lagi, berubah-ubah. Kalau dalam bentrokan pertama pensil kiri mengandung tenaga kasar, dalam bentrokan ke dua mengandung tenaga lemas, dan demikian sebaliknya dengan pensil kanan. Orang yang sudah dapat mengatur tenaga berubah-ubah seperti itu, benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh.

Betapa pun Suma Kiat mengeluarkan semua ilmu pedangnya yang aneh, tetap saja ia terkurung dan terhimpit oleh sinar sepasang pensil. Ia terdesak mundur dan hanya mampu memutar pedang melindungi tubuhnya. Andai kata Suma Kiat bukan adik misan Kiang Liong melainkan seorang musuh yang boleh dibunuh, tentu saja ia sudah roboh binasa karena dengan kelebihan ilmunya, dengan mudah Kiang Liong dapat membunuh Suma Kiat. Akan tetapi Kiang Liong tidak ingin membunuhnya, hanya ingin merobohkan dan menaklukkannya, maka hal ini memakan waktu agak lama dan tidaklah mudah, sama dengan orang hendak menangkap hidup-hidup seekor harimau ganas. Kiang Liong sedang menanti kesempatan untuk menotok adik misannya.

Tiba-tiba terdengar suara lengking nyaring menyeramkan. Mendengar ini Kiang Liong terkejut, akan tetapi Suma Kiat dengan suara girang berseru. "Ibu, tolonglah!"

Angin yang keras menyambar masuk dari jendela dan... lampu dinding dalam kamar itu seketika menjadi padam! Kiang Liong kaget, tidak melanjutkan serangannya dan meloncat mundur. Akan tetapi dari depan, pedang Suma Kiat menerjangnya dengan hebat. Kagetlah Kiang Liong dan ia menangkis. Pertemuan pedang dengan pensil di tangannya menciptakan bunga api yang tampak jelas di dalam kamar gelap ini.

Kembali Suma Kiat menyerangnya. Kiang Liong menangkis kembali hanya mengandalkan ketajaman pendengarannya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa lawannya jauh lebih tajam pandangan matanya di dalam gelap dari pada dia. Suma Kiat semenjak kecil hidup di dalam istana bawah tanah, sudah biasa dengan kegelapan. Matanya amat tajam di dalam gelap, inilah sebabnya mengapa setelah kamar menjadi gelap ia dapat menyerang bertubi-tubi sehingga mengejutkan Kiang Liong.

Karena tidak ingin ‘salah tangan’ dalam gelap itu sehingga ia membunuh atau mendatangkan luka berat pada adik misannya, pada saat pedang Suma Kiat menyambar dari depan, ia cepat ‘menangkap’ pedang itu dengan sepasang pensilnya dengan cara menjepit pedang itu dengan dua pensil yang disilangkan. Suma Kiat terengah-engah berusaha menarik kembali pedangnya, namun sia-sia belaka. Pedang itu seperti lekat pada sepasang pensil.

"Suma Kiat, lepaskan pedangmu!" dengan suara tegas Kiang Liong berkata.

Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut bukan main. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu ada hawa pukulan menyambar ke arah tengkuknya. Ia menjadi serba susah. Melepaskan jepitan pedang Suma Kiat berarti memberi kesempatan kepada adik misan yang gila itu untuk menyerangnya lagi. Tidak melepaskannya, ia terancam pukulan hebat yang kini sudah tiba.

Kiang Liong mengerahkan tenaga, memutar sepasang pensil dan terdengar suara seruan kaget Suma Kiat karena pedangnya sudah terampas, secara paksa direnggut lepas dari tangannya oleh tenaga putaran yang hebat. Pada saat itu, Kiang Liong terpaksa menerima tamparan dari belakang yang mengenai pundaknya karena ia sudah miringkan tubuh dan mengerahkan sinkang ke arah pundak. Ia percaya bahwa tenaga sinkang-nya dapat melindungi pundak yang terpukul oleh lawan yang tidak kelihatan.

"Plakk...!”

Pukulan yang merupakan tamparan telapak tangan halus itu tidak keras, akan tetapi ternyata tubuh Kiang Liong terguling roboh, sepasang pensil yang masih menjepit pedang Suma Kiat terlepas dari kedua tangan, jatuh berkerontangan di atas lantai kamar.

Suma Kiat menyalakan lampu dinding, menyeringai kepada wanita berkerudung hitam sambil berkata. "Untung kau datang, Ibu."

"Goblok! Menghadapi senjata sepasang pensil jangan mau bertempur dekat!" gumam wanita itu yang bukan lain adalah Kam Sian Eng.

Melihat wanita ini, Kiang Liong dapat menduga siapa adanya dan ia merasa seram juga. Di dalam hati ia mentertawai ucapan wanita itu. Memang kata-katanya mengandung kebenaran, yaitu bahwa keampuhan senjata pit adalah untuk pertempuran jarak dekat, akan tetapi mengingat akan tingkat Suma Kiat, tetap saja ia akan dapat mengalahkan adik misan itu biar pun menggunakan siasat pertempuran jarak jauh.

Akan tetapi ia tidak dapat berpikir lebih panjang lagi karena rasa nyeri di pundaknya membuat ia terpaksa mengerahkan tenaga melawannya. Baru saja ia memejamkan mata mengatur pernapasan, tiba-tiba belakang lehernya ditotok. Kagum juga hatinya karena wanita itu dapat menotoknya tanpa ia ketahui sama sekali, tanda bahwa gerakannya amat ringan. Ia kini tidak dapat bergerak pula, menjadi lemas karena yang tertotok adalah jalan darah yang berpusat di punggung. Maka ia hanya dapat rebah telentang sambil memandang ibu dan putera yang gila itu.

"Bagus, Ibu. Kita bawa Kiang Liong kepada Couwsu, tentu dia akan girang sekali. Kiang Liong ini menggagalkan pertemuan dan persekutuan, bahkan membahayakan kedudukan para pembantu di kota raja."

Sian Eng mengangguk. Sepasang sinar mata yang amat tajam menembus kerudung hitam, membuat Kiang Liong tertegun dan ngeri. Mata itu bukan mata orang biasa! Mata itu kehilangan perasaan, kehilangan ketenangan dan kesadaran. Mata orang yang sudah gila atau mata iblis!

"Kau bawa dia dan mari kita pergi!" katanya lirih.

"Heh-heh-heh, nanti dulu, Ibu. Masih ada lagi yang harus kubawa bersama kita. Aku tanggung Bouw Lek Couwsu akan lebih senang hatinya dan yang akan kubawa ini merupakan tanggungan akan bala bantuan Khitan, Heh-heh!"

"Siapa?"

"Puteri Panglima Besar Khitan. Kau tunggu sebentar, Ibu." Suma Kiat menyarungkan pedangnya yang tadi terampas Kiang Liong, mengebut-ngebutkan bajunya dan meloncat ke luar dari dalam kamar.

Di ruangan tengah Suma Kiat bertemu dengan Suma Ceng yang berjalan tergesa-gesa bersama Puteri Mimi. "Kiat-ji (Anak Kiat), apakah yang terjadi? Aku mendengar suara ribut-ribut. Apakah... kau bertengkar lagi? Mana Liong-ji?"

"Heh-heh-heh, anakmu sudah mampus!" Suma Kiat terkekeh kurang ajar dan matanya melahap Puteri Mimi yang jelita.

"Apa...? Di mana dia...?" Suma Ceng menjerit.

Akan tetapi dengan lebih kurang ajar lagi Suma Kiat mendorong dengan tangan kanannya ke arah dada bibinya sambil membentak. "Pergilah kau!"

Nyonya Kiang itu cukup mengenal ilmu silat sehingga ia cepat miringkan tubuh mengelak dari dorongan kurang ajar itu. Akan tetapi tidak cukup mengenal kecurangan dan kelihaian keponakannya. Dengan sabetan kaki yang amat cepat, Suma Kiat menyerang. Kedua kaki nyonya itu tersabet, terangkat dan tubuhnya terbanting ke lantai. Kepalanya membentur lantai dan nyonya ini pingsan!

"Kau jahat!" Mimi membentak marah, sepasang matanya yang indah lebar itu terbelalak.

"Heh-heh, tidak kepadamu, manis." Suma Kiat terkekeh, tangannya menjangkau hendak menangkap.

Akan tetapi Puteri Mimi bukan seorang wanita lemah. Cepat ia mengelak dan tangan kirinya yang dikepal keras menghantam dada Suma Kiat, disusul tendangan kaki kanannya.

"Heh-heh, kau gesit juga, manis!" Suma Kiat dengan gerakan seenaknya mengelak dan berusaha menangkap lagi. Namun Mimi dengan nekat melakukan perlawanan, mengirim pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan mengarah bagian berbahaya dan lemah dari tubuh lawan.

Terdengar suara ribut-ribut, tanda para penghuni rumah sudah terbangun semua oleh suara hiruk-pikuk ini. Suma Kiat cukup cerdik, tidak mau melayani gadis itu lebih lama lagi. Tiba-tiba ia berseru dan tangannya menyelonong, mengirim pukulan yang amat kuat ke arah muka Mimi. Gadis ini terkejut dan cepat berusaha menangkis, akan tetapi ternyata pukulan ini hanya gertakan belaka dan di lain saat tubuh Mimi sudah menjadi lemas karena tertotok oleh tangan kiri Suma Kiat. Mimi mengeluh dan tubuhnya yang akan roboh itu disambar oleh Suma Kiat dan dipanggulnya, dibawa lari ke arah kamar Kiang Liong.

Melihat Suma Kiat kembali membawa tubuh seorang gadis Khitan yang cantik, Sian Eng tidak berkata apa-apa. Wanita ini lalu menyambar tubuh Kiang Liong, dikempit dengan lengan kirinya, kemudian berkata singkat. "Hayo pergi, ikuti aku!"

Bagaikan bayangan dua setan, ibu dan anak ini menghilang melalui jendela dan terus melompat ke atas genteng, berlari-lari dan lenyap ditelan kegelapan malam.

Di dalam gedung menjadi gempar. Pangeran Kiang dan para pelayan serta pengawal menjadi kaget dan gelisah melihat Nyonya Kiang pingsan di ruangan tengah. Lebih kaget lagi mereka melihat bahwa Puteri Mimi telah lenyap, demikian pula Kiang Liong lenyap dari dalam kamarnya yang kacau-balau keadaannya. Setelah Nyonya Kiang siuman, barulah Pangeran Kiang mendengar akan perbuatan Suma Kiat. Ia menghela napas panjang dan mengomel.

“Ah, tidak disangkanya dia menurun ayahnya...!” Tentu saja Pangeran Kiang ini kenal akan Suma Boan yang memang amat jahat.

Mendengar ucapan suaminya, Nyonya Kian atau Suma Ceng bangkit dan berkata ketus. “Perlu apa memburuk-burukkan nama Kakakku yang sudah mati? Lebih baik kau cepat-cepat berusaha mengerahkan pengawal untuk mencari Liong-ji dan Puteri Mimi!”

Pangeran Kiang menggerakkan pundak, akan tetapi ia keluar dari kamar isterinya untuk mengerahkan pasukan pengawal. Lenyapnya Kiang Liong tidaklah amat menggelisahkan hatinya. Pertama karena ia tahu akan kelihaian Kiang Liong sehingga lenyapnya tidak perlu dikhawatirkan. Kedua karena ia memang kurang peduli akan pemuda itu yang menurut hukum adalah putera sulungnya akan tetapi yang ia ketahui dengan yakin di dalam hati bukanlah keturunannya. Ia maklum akan permainan asmara antara isterinya dan Suling Emas, maka melihat sikap dan wajah Kiang Liong, melihat pula betapa Suling Emas amat mencinta pemuda itu, ia merasa yakin bahwa pemuda itu adalah keturunan Suling Emas. Akan tetapi ia terlampau mencinta isteri, maka ia tidak pernah membicarakan hal ini.

Sementara itu, Kiang Liong dan Mimi dibawa lari Kam Sian Eng dan Suma Kiat. Semalam suntuk mereka berlari seperti terbang cepatnya menuju ke barat. Mereka melewati kota Lok-yang, terus ke barat sampai mereka tiba di luar sebuah hutan besar di kaki bukit Fu-niu-san di lembah Sungai Kuning.

Malam telah terganti pagi dan matahari telah bersinar cemerlang. Mereka berhenti di luar hutan dan Kiang Liong yang sudah tertotok lemas kembali dilempar oleh wanita berkerudung itu sehingga rebah telentang di atas tanah.

Suma Kiat duduk di bawah pohon, tubuh Mimi dipangkunya. “Ibu, kenapa berhenti?”

“Kita menanti penjemputan. Tempat ini penuh rahasia, amat berbahaya,” kata ibunya.

Puteri Mimi mengeluh dan bergerak perlahan, berusaha melepaskan diri dari atas pangkuan dan dari lengan Suma Kiat yang memeluknya. Melihat bahwa puteri ini sudah bebas dari totokan, Suma Kiat, tertawa. “Ha-ha-ha, manis. Tenanglah, karena aku tidak akan menyusahkanmu. Sebaliknya, engkau akan menikmati banyak kesenangan dengan aku, ha-ha!” Suma Kiat memeluk erat dan mendekatkan mukanya hendak mencium. Puteri Mimi meronta-ronta, namun tenaga pemuda itu jauh lebih kuat.

Kam Sian Eng duduk bersila, memejamkan mata, sama sekali tidak mengacuhkan perbuatan anaknya itu. Hanya Kiang Liong yang menatap dengan sepasang mata mengeluarkan cahaya berapi. Pemuda ini mengerahkan tenaga, namun totokan wanita berkerudung hitam itu benar hebat, membuat kaki tangannya lumpuh dan ia hanya dapat membentak keras.

“Suma Kiat! Demi Tuhan, kalau kau mengganggu puteri itu, aku pasti akan membunuhmu!”

Suma Kiat mengangkat muka memandang sambil menyeringai. Melihat sinar mata Kiang Liong, ia tertawa. “Ha-ha, Piauwheng, apakah kau cemburu dan iri?” Ia mengejek.

Akan tetapi agaknya sinar mata Kiang Liong yang menyeramkan itu membuat ia keder juga. Ia tahu betapa lihainya kakak misannya itu maka lenyaplah untuk sementara gelora nafsunya. Ia mendorong tubuh Mimi dari atas pangkuan. Gadis ini terjungkal dan jatuh ke atas tanah, rebah miring. Biar pun ia sudah dapat bergerak, namun ia pura-pura tak berdaya dan terus rebah miring, di dalam hati merasa lega bahwa untuk sementara ia terbebas dari pada penghinaan. Akan tetapi tentu saja ia amat cemas, apa lagi mengingat bahwa Pangeran Mahkota Khitan tertawan musuh, dan kini dia sendiri, bahkan Kiang Liong, satu-satunya orang yang dapat ia harapkan juga tertawan!

Mereka tidak lama menanti. Dari dalam hutan terdengar suara seperti lolong srigala susul-menyusul, makin lama makin dekat dan tak lama kemudian muncullah dua belas orang hwesio jubah merah yang segera memberi hormat kepada Kam Sian Eng. Seorang di antara mereka, yang bermuka hitam, segera berkata.

“Maafkan pinceng sekalian yang agak lambat menyambut. Couwsu memerintahkan pinceng untuk menyambut Toanio dan mempersilakan Toanio menjumpai Couwsu.”

Kam Sian Eng bangkit, tak menjawab hanya menggerakkan tangan kepada Suma Kiat, memberi tanda agar puteranya mengikutinya. Kemudian ia menyambar dan mengempit tubuh Kiang Liong. Suma Kiat memondong Puteri Mimi lalu mengikuti ibunya, diiringkan dua belas orang hwesio jubah merah, memasuki hutan yang besar dan gelap. Hwesio muka hitam sebagai penunjuk jalan membawa mereka berjalan melalui pohon-pohon besar menerjang alang-alang dan berputar-putaran. Sungguh jalan yang amat sulit bagi orang luar dan hanya jalan inilah yang dapat dilalui dengan aman. Mengambil jalan lain berarti harus menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia, pasukan-pasukan terpendam dan hujan anak panah!

********************


SETELAH berpisah dari Yu Siang Ki yang akan mengumpulkan teman-teman para tokoh Kai-pang, Kwi Lan melanjutkan perjalanan melanjut perjalanan seorang diri menuju kebarat. Ia melakukan perjalanan cepat sekali dan ia tiba di kaki bukit Fu-niu-san pada sore hari menjelang senja. Jantungnya berdebar keras. Ia belum pernah melihat Putera Mahkota Khitan, akan tetapi karena Pangeran Mahkota itu adalah putera angkat ibu kandungnya, maka berarti saudara angkatnya pula. Ia hanya tahu bahwa putera angkat ibunya itu bernama Pangeran Talibu.

Biasanya Ia tak senang dan iri kalau teringat akan pangeran ini, akan tetapi mendengar Pangeran ini tertawan oleh Bouw Lek Couwsu, ia menjadi gelisah sekali. Ia sendiri menjadi heran mengapa ia menjadi begini? Jantungnya terasa bergetar penuh kecemasan dan hasrat satu-satunya yang memenuhi hatinya hanya pergi menolong dan membebaskan Pangeran itu dari pada orang-orang Hsi-hsia!

Ibu kandungnya, Ratu Khitan, tentu susah sekali hatinya kalau sampai Pangeran Mahkota ini tertimpa bencana. Kini ia dapat menggambarkan betapa keadaan ibu kandungnya itu. Melihat watak gurunya, sudah pasti ia dahulu dipisahkan secara paksa oleh gurunya dari ibu kandungnya. Dan tentu saja ibu kandungnya mengangkat seorang putera yang menjadi penggantinya. Ibu kehilangan dia, anak kandung, kalau sekarang harus kehilangan lagi putera angkat, alangkah akan hancur hatinya.

Hutan yang lebar dan gelap itu tidak menjadikannya gentar. Kwi Lan seorang gadis yang tak pernah mengenal takut. Pula ia sudah terbiasa di dalam gelap. Tidak percuma ia sejak kecil dahulu tinggal di dalam istana bawah tanah. Dengan hati tabah, Kwi Lan mencabut pedangnya kemudian memasuki hutan. Ada sebuah lorong kecil di dalam hutan itu dan jalan inilah yang ia ambil. Sunyi sekali keadaan dalam hutan, sunyi dan gelap, bahkan sedikit pun tak ada angin bertiup.

Jalan kecil itu penuh daun kering. Baru kurang lebih seratus langkah ia berjalan dengan hati-hati, tiba-tiba kakinya menginjak alat rahasia yang tersembunyi di bawah tumpukan daun kering. Terdengar bunyi bercuitan dari kanan kiri dan puluhan batang anak panah menyambar ke arahnya dari pohon-pohon di kanan kiri, anak panah yang meluncur dari busur digerakkan oleh alat-alat rahasia secara otomatis! Kwi Lan tidak mau bertindak sembrono. Ia berdiri tegak dan tetap di tempatnya, hanya memutar pedangnya menjadi segulung sinar melindungi tubuhnya. Semua anak panah terpukul runtuh dan akhirnya hujan anak panah itu pun berhenti.

Kwi Lan amat cerdik. Ia dapat menduga bahwa kiranya bukan hanya ini tempat yang mengandung rahasia serangan atau jebakan gelap. Ia memandang ke sekeliling. Kalau ia mengambil jalan liar, besar sekali bahayanya ia akan tersesat di dalam hutan ini, apa lagi malam hampir tiba. Kalau melalui jalan kecil ini ia akan menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia yang lebih berbahaya lagi. Ia memandang ke atas dan matanya yang indah berseri-seri. Itulah jalan yang paling tepat, pikirnya dan sekali ia mengenjotkan kaki pada tanah dan mengayun tubuh, tubuhnya yang ramping itu melayang ke arah pohon.

Kemudian mulailah ia melanjutkan perjalanan melalul ‘jalan atas’ yaitu berloncatan dari pohon ke pohon! Hal ini tidak terlalu sukar ia lakukan karena pohon-pohon di situ amat lebat, sambung-menyambung di kanan kiri jalan kecil yang dari atas nampak putih. Dengan enaknya Kwi Lan terus berloncatan sehingga dalam waktu singkat ia sudah masuk ke dalam hutan, melampaui lebih seratus batang pohon besar.

Tiba-tiba ketika ia meloncat ke sebuah pohon besar, ada bayangan hitam lebar seperti layar menyambar ke arahnya. Cepat ia menggerakkan pedangnya ke depan, diputar sambil mengerahkan tenaga.

“Cring-cring... brettt...!”

Ketika ia memandang, kiranya yang menyambarnya adalah sehelai jala yang dalamnya dilengkapi dengan kaitan-kaitan baja! Ia bergidik dan marah sekali, apa lagi ketika melihat lima ekor monyet sebesar manusia berlompatan dan menyerangnya dari lima penjuru. Gerakan binatang-binatang ini tentu saja amat tangkas. Sambil cecowetan mereka menyerbu, menggerakkan kedua lengan yang panjang berbulu.

Kwi Lan boleh jadi pandai ilmu silat dan andai kata ia dikeroyok di atas tanah, jangankan hanya oleh lima ekor monyet, biar oleh lima puluh ekor monyet sekali pun ia tidak akan gentar. Kini ia berada di atas dahan-dahan pohon yang tentu saja merupakan ‘daerah’ monyet. Binatang-binatang itu tentu saja dapat bergerak lebih leluasa dan gesit. Betapa pun juga, Kwi Lan tidak kehilangan akal. Tangan kirinya sudah merogoh saku dan sekali tangan kirinya bergerak, sinar hijau menyambar. Itulah jarum-jarum hijau!

Lima ekor monyet itu tak dapat mengelak dan dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati Kwi Lan ketika mendengar betapa ‘monyet-monyet’ itu mengeluarkan suara mengaduh seperti manusia! Kiranya mereka adalah manusia-manusia yang menyamar sebagai monyet, agaknya untuk mengawasi daerah itu sekalian menjadi penjaga. Setelah mendapat kenyataan bahwa mereka itu manusia, Kwi Lan menjadi makin tabah. Lima orang itu masih berusaha bergantung pada dahan-dahan pohon. Kwi Lan menerjang maju, lima kali Siang-bhok-kiam berkelebat dan lima orang itu terpelanting ke bawah tanpa dapat mengeluh lagi karena mereka semua telah tewas!

Akan tetapi pada saat itu terdengar ledakan keras dan... pohon besar di mana Kwi Lan berada itu tiba-tiba roboh! Kwi Lan tentu saja menjadi kaget dan panik. Hendak meloncat turun, takut tertimpa dahan-dahan pohon raksasa ini. Kalau tidak, juga terdapat bahaya terbanting bersama pohon. Biar pun terancam bahaya maut, gadis ini masih tidak kehilangan akal. Ia mempergunakan pandang matanya yang tajam dan terbiasa di tempat gelap, mengikuti robohnya pohon itu sambil berpegang kuat-kuat pada dahan.

Setelah tahu arah pohon roboh, ia cepat menyelinap dan berpindah pada dahan sebelah atas sehingga ia berada di dahan yang akan menjadi bagian teratas apa bila pohon itu sudah rebah di tanah. Kemudian, sambil mengerahkan seluruh ginkang-nya, sebelum pohon itu menimpa tanah, ia sudah mengenjot tubuhnya ke depan, melampaui pohon itu dan melayang turun ke atas tanah sambil menyambar ujung dahan terpanjang.

Untung sekali bahwa dalam seperempat detik terakhir ia ingat untuk menyambar ujung ranting dari dahan terpanjang pohon itu, karena begitu kedua kakinya turun menginjak tanah yang tertutup daun-daun kering, tiba-tiba tanah itu bergoyang dan tubuhnya terjeblos ke dalam lubang sumur yang amat lebar dan dalam! Kwi Lan menahan napas, mengerahkan tenaga menarik tubuhnya ke atas dengan bantuan ujung ranting pohon. Tubuhnya mencelat keluar dari sumur dan ia tidak berani lagi turun ke atas tanah yang banyak jebakannya melainkan memeluk dahan terendah sebatang pohon terdekat!

Kini ia ‘nongkrong’ di atas dahan mengeluarkan sapu tangan dan menghapus dahi dan leher yang penuh dengan keringat dingin. Tangan yang dipergunakan untuk menghapus keringat itu agak gemetar, jantungnya berdebar-debar. Bukan main, pikirnya. Kini terdengar suara hiruk pikuk yang datangnya dari tengah hutan. Bahaya baru lagi mengancam pikir Kwi Lan. Ia berada terlalu dekat dengan mayat lima orang itu, dan hal ini berbahaya. Para penjaga tentu akan memeriksa sekeliling tempat ini. Ia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi ia gentar juga mengingat akan banyaknya alat rahasia yang demikian berbahaya. Di samping ini, ia tidak ingin bertempur dengan mereka sebelum dapat menemukan dan menolong Pangeran Mahkota. Lebih baik ia bersembunyi. Akan tetapi soalnya yang repot, di mana tempat sembunyi?

Kwi Lan memandang ke sekeliling. Ia tidak mempercayai jalan kecil itu. Tentu banyak jebakan. Bersembunyi di pohon juga tidak aman. Buktinya tadi ia bertemu lima orang yang menyamar sebagai monyet. Dari atas pohon ia melihat tak jauh dari situ terdapat sebuah jurang. Ia lalu berloncatan mendekati jurang ini melalui pohon-pohon menjauhi jalan kecil. Kemudian dengan hati-hati sekali ia turun dari pohon, tidak berani meloncat. Ia masih berpegang kepada batang pohon ketika kakinya turun ke tanah, kemudian ia melangkah maju perlahan-lahan menggunakan sebatang ranting sebagai tongkat. Ia menekan tanah di depan tongkat lebih dulu sebelum kakinya menginjak. Akan tetapi ternyata bagian yang liar ini tidak ada jebakannya.

Suara manusia terdengar makin mendekat dan akhirnya tampaklah obor yang cukup banyak. Malam telah tiba. Kwi Lan menelungkup di pingir jurang. Jurang yang kecil, lebih mirip sebuah sumur besar yang dindingnya batu karang. Perlahan-lahan ia merayap turun, berpegang kepada akar-akar pohon dan batu-batu menonjol. Akhirnya ia berhenti dan bersembunyi di bawah sebuah batu yang menonjol, terlindung dari atas oleh batu itu. Tempat ia bersembunyi itu tidak berapa jauh dari tempat pohon roboh tadi dan ia mulai mendengar jejak kaki banyak orang dan suara mereka, ada yang berbahasa daerah yang ia mengerti.

“Siapa yang terjebak? Di mana dia?” terdengar suara yang parau,

“Tidak ada bayangan seorang setan pun!” seru suara yang lain, suaranya tinggi.

“Wah, mereka ini tewas...!”

“Bawa obor, biarkan pinceng memeriksanya!”

Kwi Lan tersenyum. Girang hatinya bahwa ia memasuki tempat yang benar. Itulah suara orang Hsi-hsia dan yang terakhir tentulah seorang hwesio jubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu. Tak salah lagi, di sini markas baru Bouw Lek Couwsu, dan menurut suheng-nya, di sinilah Pangeran Mahkota tertawan. Ia memutar otaknya. Agaknya penjagaan di daerah ini pasti amat kuat, jauh lebih kuat dari pada markas Bouw Lek Couwsu di Bukit Kao-likung-san di lembah Nukiang dahulu, karena selain markas ini dekat kota raja Kerajaan Sung, juga pengalaman di Kao-likung-san yang dibasmi orang-orang Beng-kauw tentu membuat Bouw Lek Couwsu kini berhati-hati. Apa akal untuk dapat menemukan Pangeran Mahkota yang ditawan?

Suara orang-orang di sebelah atas makin ribut. Benar saja, mereka kini mencari-carinya. Mereka sudah tahu bahwa lima orang anak buah yang menyamar sebagai monyet itu tewas oleh tangan manusia, terluka jarum dan tewas oleh bacokan pedang. Makin jelas suara mereka ketika mendekat dan tak lama kemudian Kwi Lan mendengar menyambarnya puluhan senjata rahasia dan anak panah ke dalam jurang atas sumur di mana ia bersembunyi. Kalau ia bersembunyi di dasar jurang itu, tentu tubuhnya dihujani senjata rahasia. Akan tetapi di bawah batu besar yang menonjol ini, ia terlindung dan aman!

“Kalau dia bersembunyi di bawah tentu mampus!” terdengar seorang berkata. Kemudian suara mereka makin menjauh.

Kwi Lan maklum bahwa bahaya telah lewat, maka ia cepat merayap naik. Dari tepi jurang ia mengintai. Lima buah mayat itu telah mereka angkut dan masih ada beberapa orang berkeliaran mencari-cari di sekitar tempat itu dengan obor di tangan. Kwi Lan menyelinap dan berindap-indap membayangi seorang tinggi besar, bangsa Hsi-hsia yang mencari sendirian ke jurusan barat. Orang Hsi-hsia ini memandang ke kanan kiri, sebuah obor di tangan kiri dan sebuah golok di tangan kanan. Ia membabati alang-alang dengan goloknya, mencari-cari.

Tiba-tiba dua batang jari yang kecil namun kuatnya laksana baja menotok lehernya dan seketika orang Hsi-hsia itu lumpuh dan pingsan. Bagaikan iblis sendiri bayangan Kwi Lan berkelebat dekat, menerima obor dan golok yang terlepas dari tangan orang Hsi-hsia itu, membuang golok dan menangkap lengan korbannya, lalu memadamkan obor, mengempit tubuh yang lemas itu dan membawanya naik ke atas pohon. Ia merasa yakin bahwa kini pohon merupakan tempat sembunyi yang aman setelah orang-orang itu tadi mencari dengan teliti. Makin dekat tempat pohon tumbang makin baik karena kini mereka berpencar mencari ke tempat yang agak jauh.

“Jawab saja dengan anggukan,” bisik Kwi Lan dekat orang Hsi-hsia yang ditawannya setelah ia menotok urat gagu orang itu. “Kau tahu di mana Pangeran Mahkota Khitan ditawan?”

Orang itu menggeleng kepalanya.

“Jangan kau bohong. Kalau kau mau mengantarku ke tempat tawanan itu, kau takkan kubunuh.”

Kembali orang itu menggeleng kepala, kini dengan keras. Ketika Kwi Lan memandang di bawah sinar bulan yang bersinar melalui celah-celah daun pohon, ia melihat betapa orang itu memandang kepadanya dengan mata melotot penuh kebencian. Sebuah muka yang membayangkan keras hati dan keras kepala, sedikit pun tidak takut atau tunduk. Ia menjadi gemas dan sadar akan kekeliruannya. Mengapa ia menawan seorang Hsi-hsia? Tentu saja orang Hsi-hsia akan membela pemimpinnya dengan taruhan nyawa, menganggap diri sendiri seorang patriot, seorang pahlawan!

Tadi ia melihat banyak orang sebangsanya, bukan orang Hsi-hsia. Kalau orang Han sudah membantu Hsi-hsia menentang kerajaan sendiri, dia adalah seorang pengkhianat. Dan biasanya, seorang pengkhianat adalah seorang pengecut, hanya berjuang untuk uang dan kedudukan. Orang yang berjuang untuk cita-cita bangsa, bangsa apa pun juga, adalah seorang patriot yang tentu tidak takut mati. Sebaliknya seorang yang berjuang untuk harta dan kedudukan sehingga rela menjadi pengkhianat bangsa, tentu seorang pengecut besar. Orang seperti itu tentu takut mati.

Sadar akan kekeliruannya ini Kwi Lan lalu menotok tubuh tawanannya sehingga menjadi lumpuh, dan ia menjepitkan tubuh itu di antara dua dahan bercabang, kemudian dengan gerakan tangan ia merayap turun dari pohon. Ia berlaku hati-hati, tidak berani sembarangan meloncat.

Setelah mencari dengan hati-hati, menyelinap di antara alang-alang dan pohon-pohon, akhirnya ia melihat seorang laki-laki tinggi kurus, berpakaian seperti pengemis penuh tambalan membawa obor dan pedang mencari-cari seperti orang Hsi-hsia tadi. Kwi Lan merunduk sampai dekat, kemudian bergerak cepat seperti tadi, membikin orang itu tidak berdaya dan pingsan dengan sebuah totokan di belakang telinga. Kembali ia membawa orang itu naik ke atas pohon.

Tepat dugaannya, pengemis baju bersih yang berjiwa khianat ini menjadi ketakutan, apa lagi ketika ia mengenal bahwa yang menawannya adalah Mutiara Hitam yang sudah amat terkenal di antara kaum sesat dunia pengemis. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil, akan tetapi ia tidak berani berteriak minta tolong karena tak dapat bersuara akibat totokan pada urat gagunya.

“Bawa aku ke tempat tahanan Pangeran Mahkota Khitan, dan kau tidak akan kubunuh,” desis Kwi Lan sambil menempelkan pedangnya di leher orang itu. Si Pengemis terbelalak, lalu mengangguk-angguk.

“Akan kubebaskan totokanmu dan kau boleh berteriak minta tolong, akan tetapi pedangku akan menembus lehermu sebelum ada kawanmu yang datang untuk menolongmu!” Kembali orang itu menggeleng-geleng kepala dan dengan sebuah totokan Kwi Lan membebaskannya.

“Ampunkan aku, Li-hiap...”

“Sst, jangan banyak cerewet,” bisik Kwi Lan. “Hayo bawa aku ke tempat itu.”

Mereka turun dari pohon, Kwi Lan terus mengikuti orang ini dengan ujung pedang ditodongkan di punggung. Pengemis itu lalu mengambil jalan simpangan, melalui alang-alang dan kumpulan pohon yang besar dan liar, jauh dari jalan kecil yang penuh jebakan.

Sampai lima kali orang itu menyuruh Kwi Lan berhenti di tempat-tempat tertentu, berbisik bahwa tempat itu terjaga oleh seorang dua orang penjaga. Kwi Lan menotoknya lumpuh, kemudian merayap ke tempat penjagaan. Pedangnya bekerja cepat dan di setiap tempat penjagaan rahasia ini dua atau tiga orang penjaganya roboh binasa semua sebelum mereka sempat bergerak.

Akhirnya, lima tempat penjagaan rahasia dapat dilalui dan mereka kini menuju ke tepi Sungai Huang-ho, sebuah daerah yang berbatu-batu besar. Biar pun Kwi Lan melakukan perjalanan malam yang gelap, hanya diterangi bulan sepotong, namun ia mencatat jalan liar ini di dalam ingatannya. Kalau sudah berhasil membebaskan Pangeran Mahkota, jalan ini akan membawa mereka keluar dari sarang Bouw Lek Couwsu.

“Di sanalah tempat tahanan itu, Lihiap. Di dalam goa yang tampak dari sini itu,” pengemis yang ditawan itu berbisik, suaranya gemetar dan dengan ujung bajunya ia menghapus peluh.

Mereka telah melakukan perjalanan yang amat sukar dan amat lambat sehingga malam telah menjelang pagi ketika mereka tiba di tempat ini. Kwi Lan menggerakkan jari tangannya menotok tawanannya. Orang itu mengeluarkan suara keluhan dan roboh tak mampu bergerak lagi, hanya sepasang matanya saja yang bergerak-gerak memandang penuh rasa takut. Nyawanya berada di ujung rambut. Andai kata ia terbebas dari kematian di tangan gadis ini, kalau hwesio jubah merah tahu akan perbuatannya membawa Mutiara Hitam ke sini, ia pasti akan mengalami kematian yang lebih hebat lagi.

Dengan amat hati-hati Kwi Lan merayap di bawah rumput tinggi, mendekati bukit-bukit batu yang berbaris di sepanjang tepi sungai. Setelah tiba di barisan batu itu, ia meloncat dan menyelinap di belakang batu, lalu perlahan-lahan ia bergerak mendekati goa batu yang tadi ditunjukkan dari jauh oleh tawanannya. Tiba-tiba ia berhenti dan menyelinap di belakang batu, mengintai. Jantungnya berdebar keras karena tegang.

Kiranya di depan goa yang cukup besar itu terdapat lima orang penjaga! Dan melihat keadaan mereka, ia dapat menduga bahwa lima orang yang bertugas menjaga tempat tahanan ini tentulah bukan orang-orang biasa. Tiga orang hwesio jubah merah yang bersenjata pedang, seorang bangsa Hsi-hsia yang tinggi besar dan memegang sebuah penggada yang mengerikan karena selain besar dan berat juga dihias duri-duri runcing, sedangkan orang ke lima adalah seorang kecil pendek yang memegang toya. Melihat tambal-tambalan pada pakaian orang ini jelas bahwa dia seorang tokoh kai-pang yang sesat.

Kwi Lan mengintai, hatinya berguncang. Tentu saja ia tidak gentar. Akan tetapi tampaknya lima orang itu cukup tangguh. Kalau ia melompat ke luar dan dikeroyok lima, tentu tidak dapat mencapai kemenangan secara cepat, dan kalau ia tidak bekerja cepat dan keburu datang bala bantuan atau Bouw Lek Couwsu muncul sendiri, usahanya tentu akan gagal.

Ia mulai menyesal mengapa tidak datang bersama Yu Siang Ki. Kalau ada pemuda itu di sampingnya tentu akan lebih kuat keadaannya dan lebih banyak harapan akan berhasil. Apa lagi kalau Kiang Liong ikut membantu. Pemuda hebat! Pemuda lihai luar biasa. Tiba-tiba Kwi Lan mencubit telinganya sendiri. Hatinya gemas. Mengapa tiada hujan tiada angin ia teringat dan mengenang pemuda itu? Ih, pemuda sombong. Tidak memandang mata kepadanya!

Padahal semua pemuda, yang tampan-tampan dan gagah-gagah, seorang demi serang jatuh cinta kepadanya! Mula-mula Tang Hauw Lam si Berandal! Hampir ia tertawa ketika teringat kepada Hauw Lam. Kemudian Siangkoan Li, dan Yu Siang Ki. Akan tetapi Kiang Liong ini tidak memandang sebelah mata kepadanya! Si Sombong, mentang-mentang menjadi murid Suling Emas lalu besar kepala!

Kwi Lan makin gemas. Menghadapi tugas berat, mengapa ia masih melamun yang bukan-bukan? Salahnya orang she Kiang itu! Ia mengusir semua kenangan, kemudian menjemput batu kecil, dilemparkan ke sebelah kanannya, kurang lebih dua puluh meter jauhnya dari mulut goa.

“Eh, apa itu?” Seorang di antara mereka bangkit berdiri, yakni hwesio jubah merah yang kepalanya besar sekali. Ia mencabut pedang lalu menggerutu. “Biar pinceng periksa, siapa tahu ada musuh.”

“Benar, mari kita periksa, Suheng,” kata hwesio kedua yang kurus kering seperti cecak mati sambil mencabut pedangnya pula.

Kwi Lan siap dengan jarum-jarumnya, mendekam di belakang sebuah batu besar. Ketika ia mendengar jejak kaki dua orang hwesio ini sudah datang dekat, lewat di depan batu besar, ia membiarkan mereka lewat beberapa langkah, kemudian tiba-tiba ia menyerang dengan jarum-jarum hijau dari belakang!

Hebat bukan main serangan ini. Jarum-jarum hijau itu adalah senjata-senjata rahasia yang halus sekali, dilontarkan dengan tenaga sinkang sehingga hampir tak mengeluarkan suara, saking cepatnya hanya tampak sinar kehijauan. Apa lagi dilontarkan dari jarak dekat dan dari belakang si Korban, benar-benar amat berbahaya.

Dua orang hwesio itu adalah murid-murid pilihan Bouw Lek Couwsu, akan tetapi menghadapi serangan gelap seperti ini mereka tidak dapat menyelamatkan diri. Biar pun mereka yang telah memiliki gerak reflek lumayan, namun ketika mengelak masih kurang cepat sehingga dua tiga batang jarum telah menyusup ke dalam kulit memasuki daging meracuni darah. Dua orang hwesio ini menjerit, terhuyung-huyung dan sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam dua kali bergerak, menamatkan riwayat dua orang hwesio ini. Setelah membunuh dua orang lawannya, Kwi Lan cepat menyelinap kembali ke belakang batu besar.

Tiga orang penjaga yang lain terkejut sekali, dengan lompatan-lompatan jauh mereka menyerbu. Kwi Lan mempergunakan kesempatan ini untuk memutar batu besar, lalu cepat ia lari memasuki goa. Ia melihat seorang pemuda yang tampan, tubuh dari pinggang ke atas telanjang, berdiri dengan terbelenggu. Pemuda ini setengah pingsan, bersandar pada dinding batu, tubuhnya yang kuat dan berkulit putih bersih itu penuh dengan luka-luka bekas cambukan. Namun wajah yang tampan itu masih membayangkan kegagahan dan keagungan, sedikit pun tidak kelihatan takut atau khawatir.

Kwi Lan memegang pundaknya, mengguncangnya perlahan. “Eh, sadarlah!”

Pemuda itu membuka matanya, memandang heran, seakan-akan tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Sinar matanya yang tajam itu seperti bertanya apakah ia dalam mimpi.

“Jawablah, apakah engkau ini Pangeran Mahkota Khitan yang bernama Pangeran Talibu?”

Pemuda itu sejenak memandang tajam, lalu balas bertanya. “Engkau siapakah, Nona? Bagaimana kau bisa...”

“Tidak penting aku siapa, yang penting, apa kau benar Pangeran Mahkota Talibu?” Suaranya gemas dan tidak sabaran.

Pemuda itu menahan senyum yang mengembang di bibirnya, lalu mengangguk. “Aku mengenalmu! Ya... Aku mengenalmu. Kau tidak asing bagiku... tapi di mana dan kapankah? Nona, kau siapakah?”

“Wah, kau cerewet benar, apakah pangeran-pangeran memang cerewet? Aku datang untuk menolongmu.”

Pemuda itu tiba-tiba membelalakkan matanya dan berseru. “Nona, awas...!”

Kwi Lan yang sudah lega hatinya karena yakin bahwa pemuda inilah Pangeran Mahkota Khitan yang harus ditolongnya, cepat membalikkan tubuh dan pedang Siang-bhok-kiam sudah berada di tangan kanannya. Kiranya tiga orang itu, sisa para penjaga sudah kembali ke situ dan berdiri di depan goa dengan senjata di tangan dan sikap mengancam. Melihat ini Pangeran Talibu mengeluh, memejamkan mata dan berkata lirih.

“Nona, kenapa kau mengorbankan diri untukku? Kenapa...?” Ia tidak berani menoleh, tidak tega menyaksikan nona ini dikeroyok para penjaga yang ia tahu amat lihai. Di samping kekhawatirannya, ia pun masih mengingat-ingat di mana dan kapan ia pernah melihat nona ini. Wajah yang jelita itu bukan asing baginya, wajah yang amat dikenalnya, akan tetapi ia tidak ingat kapan dan di mana.

Pangeran Talibu makin merapatkan matanya, keningnya berkerut ketika ia mendengar suara denting riuh bertemunya senjata tajam, diseling bentakan marah tiga orang penjaga yang mengeroyok nona itu. Ia tahu betapa lihai para penjaga itu, terutama sekali hwesio-hwesio jubah merah. Seorang gadis remaja seperti tadi mana akan mampu bertahan melawan pengeroyokan mereka? Melawan seorang di antara mereka saja sudah cukup berat. Kecuali kalau dara itu memiliki ilmu kehebatan sehebat ibunya. Ibunya!

Teringatlah ia sekarang. Gadis itu mirip benar dengan ibunya! Hanya bedanya tua dan muda. Mata itu, bibir itu! Ia menjadi makin heran dan makin khawatir. Sepuluh menit sudah lewat. Suara pertempuran sudah berhenti. Ah, tentu gadis yang mirip ibunya itu sudah menggeletak menjadi mayat. Atau tertawan. Ih, kalau ia teringat akan nasib lima orang gadis yang jatuh ke tangan Bouw Lek Couwsu, Butek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo, ia menjadi ngeri. Lebih baik dara ini mati saja dari pada tertawan hidup-hidup!

Talibu membuka matanya dan... ia terbelalak heran dan juga kagum. Tiga orang penjaga sudah menggeletak di depan goa, tak bernyawa lagi! Ada pun dara itu sejenak memandang ke sekeliling depan goa, kemudian meloncat masuk ke dalam goa, gerakannya seperti seekor burung, demikian ringan dan lincah. Wajahnya tetap tenang dan napasnya biasa saja seakan-akan bukan seperti orang yang baru saja dikeroyok tiga lawan berat!

“Tahanlah, aku akan melepaskan belenggu!” bisik Kwi Lan dan sinar hijau berkelebat ketika ia menggerakkan pedangnya. Terdengar suara nyaring empat kali. Pangeran Talibu menggigit bibir karena setiap kali pedang membabat belenggu, ia merasa kulit tangan atau kakinya panas dan sakit. Akan tetapi kini ia telah bebas, belenggu yang mengikat kaki tangannya sudah putus semua. Ia menjadi makin kagum, memandang Kwi Ian dengan sepasang mata bersinar-sinar.

“Nona, kau...”

“Sstt, mari kita lari!” Kwi Lan menyambar tangan Pangeran itu dan ditariknya ke luar dari goa, diajak lari cepat meninggalkan goa. Tak jauh dari goa Talibu melihat mayat dua orang hwesio jubah merah, maka mengertilah ia mengapa hanya ada tiga orang penjaga yang tadi mengeroyok gadis perkasa ini. Kiranya yang dua orang sudah dipancing ke luar dan dibunuh pula. Talibu lalu mengambil sebatang pedang milik hwesio itu, barulah ia mengikuti Kwi Lan sambil berkata.

“Nona, kau benar hebat! Aku kagum dan berterima kasih...”

“Sssttt, jangan cerewet! Kita belum bebas!” bisik Kwi Lan galak.

Talibu yang berjalan berindap-indap di belakang gadis ini mau tak mau tersenyum. Gadis ini hebat, memiliki ilmu silat tinggi dan ketabahan yang luar biasa. Juga galaknya tidak kepalang. Baru sekali ini selama hidupnya ia dimaki-maki cerewet beberapa kali oleh seorang gadis remaja. Dia, putera Ratu Khitan, Pangeran Mahkota yang disembah-sembah rakyatnya, kini dicerewet-cerewetkan oleh seorang gadis jelita yang galak!

Akan tetapi belum lama mereka pergi, baru tiba di daerah hutan, terdengar bunyi terompet dan dari empat penjuru muncullah pasukan Hsi-hsia yang mengurung mereka. Pangeran Talibu tertawa, membuat Kwi Lan terheran dan gadis ini menoleh, memandang Pangeran itu, khawatir kalau-kalau dalam keadaan terancam pangeran itu menjadi gila karena takut. Akan tetapi Pangeran yang tak berbaju, tubuhnya luka-luka itu berdiri tegak dengan sikap gagah, pedang yang dipungutnya tadi melintang di depan dada, matanya bersinar-sinar, wajahnya amat tampan. Pangeran itu membalas pandang mata Kwi Lan dan berkata.

“Bagus! Seperti inilah selayaknya seorang pangeran tewas! Tidak mati konyol dalam goa sebagai tawanan. Mati dalam medan perang adalah mati nikmat, mati terhormat. Namun, kalau Tuhan menghendaki dan aku akan dapat terbebas dari pada ancaman ini sehingga dapat melanjutkan hidup, percayalah, aku Talibu selama hidupku tidak akan pernah melupakan engkau! Sekarang aku tidak peduli lagi. Andai kata kita berdua takkan dapat lolos, bagi aku, mati dalam bertanding di sampingmu merupakan kehormatan besar. Ha-ha-ha!”

Kwi Lan memandang dengan mata berseri. Sungguh patut menjadi seorang pangeran. Patut menjadi putera angkat ibu kandungnya. Patut menjadi kakak angkatnya. Pemuda ini memiliki semangat pendekar, jiwa satria, dan amat tampan! Ia pun tersenyum dan berkata lirih, “Pangeran Talibu, selama nyawa saya belum meninggalkan badan, selalu masih ada harapan untuk hidup. Mari kita menghajar anjing-anjing Hsi-hsia itu!”

“Bagus! Kau hebat sekali, Nona. Marilah kita mati bersama atau bebas!” Pangeran Talibu berseru penuh semangat sambil menerjang maju, memutar pedangnya.

Melihat gerakan pedang Pangeran itu, Kwi Lan maklum bahwa orang-orang Hsi-hsia untuk sementara tidak mungkin dapat merobohkannya, maka ia pun lalu meloncat maju memutar pedangnya, tidak jauh dari Sang Pangeran karena ia harus memasang mata melindungi Pangeran itu dari mara-bahaya. Begitu enam orang memapaki pedangnya, Kwi Lan membuat gerakan menyilang dengan pedang agak ke bawah dan robohlah tiga orang lawan dengan perut terobek pedang!

Tiba-tiba terdengar suara bergelak ketawa dan Kwi Lan cepat-cepat meloncat mundur ketika ada angin hebat menyambar dari kanan kiri. Kiranya Siauw-bin Lo-mo telah berdiri di depannya dan tadi mengirim pukulan dengan tangan kirinya.

“Kakek busuk! Mari kita mengadu nyawa!” bentak Kwi Lan yang menjadi marah sekali melihat musuh besarnya Ini.

“Heh-heh-heh, kau masih belum kapok?” Siauw-bin Lo-mo mengejek dan cepat menubruk maju.

Kwi Lan menyambar dengan tusukan pedang, akan tetapi sambil membuang diri ke kiri, kakek itu maju terus, tangannya menjangkau dan hampir saja pundak Kwi Lan kena dicengkeram! Hebat bukan main dan aneh gerakan kakek lihai ini. Kwi Lan berlaku hati-hati, tidak memberi kesempatan kepada kakek bertangan kosong itu untuk mendekati dirinya dengan jalan memutar pedang ke mana pun bayangan kaki itu berkelebat. Dengan gerakannya yang lincah dan ilmu pedang yang ganas, untuk sementara Kwi Lan dapat bertahan terhadap desakan kakek ini, akan tetapi hatinya gelisah karena ia kini sama sekali tidak dapat membagi perhatiannya untuk melindungi Pangeran Talibu.

“Pangeran, kau larilah!” bentak Kwi Lan nyaring sambil menubruk dengan pedangnya yang diputar membentuk lingkaran panjang.

Namun Siauw-bin Lo-mo sambil terkekeh-kekeh dapat menghindarkan diri dan membalas dengan sebuah tendangan kuat yang dipapaki sabetan pedang dengan gemas oleh Kwi Lan. Kembali kakek itu dapat menghindarkan diri. Serang-menyerang terjadi dan Kwi Lan terpaksa harus mencurahkan seluruh perhatiannya terhadap kakek ini.

Siauw-bin Lo-mo diam-diam menjadi gemas sekali. Ia ingin menangkap hidup-hidup nona ini, untuk dipersembahkan kepada Bouw Lek Couwsu sebagai tebusan tempo hari ketika ia kehilangan gadis yang sudah menjadi tawanannya. Setelah melayani Kwi Lan selama lima puluh jurus dan melihat betapa Pangeran Talibu juga belum dapat tertawan kembali, ia mendapatkan akal baik. Ia tahu bahwa orang-orang Hsi-hsia dan para hwesio anak buah Bouw Lek Couwsu tidak berani membunuh Pangeran Talibu yang merupakan tawanan penting, dan untuk menangkap hidup-hidup Pangeran yang nekat itu pun bukan hal mudah bagi mereka.

“Kalian kepung gadis ini!” Tiba-tiba ia berseru dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali melewati kepala hwesio-hwesio jubah merah yang sudah datang menerjang Kwi Lan, kemudian turun di depan Pangeran Talibu sambil terkekeh menyeramkan.

Pangeran Talibu terkejut, cepat menusukkan pedangnya ke dada kakek itu, Siauw-bin Lo-mo hanya miringkan tubuh kemudian secepat kilat ia sudah menangkap pergelangan tangan Pangeran itu, merampas, pedangnya, kemudian sekali kakinya menendang lutut, Pangeran Talibu roboh. Siauw-bin Lo-mo menempelkan ujung pedang di dada Pangeran Talibu sambil berseru.

“Mundur semua! Lepaskan bocah itu!”

Namun sebelum para pengeroyok mundur, Kwi Lan sudah berhasil merobohkan empat orang hwesio jubah merah dengan pedangnya yang ganas. Kini ia membalik memandang ke arah suara Siauw-bin Lo-mo dan pucatlah wajahnya ketika melihat Pangeran Talibu sudah roboh dan ditodong pedang.

“Heh-heh-heh, bocah nakal. Lekas kau lepaskan pedang dan menyerah. Kalau tidak, sebelum aku mengambil nyawamu, Pangeran ini akan kutusuk sampai tembus jantungnya!”

Kwi Lan ragu-ragu. Ia maklum akan kelihaian kakek itu dan harus ia akui bahwa dia sendiri belum tentu dapat mengatasinya. Dan ia tahu pula betapa kejam hati si Kakek yang tentu tidak akan ragu-ragu untuk membunuh Pangeran Talibu. Hatinya menjadi lemas dan ia berdiri dengan tubuh lemas.

“Nona, kau larilah! Jangan mendengarkan ocehan kakek ini. Kematian bagi Talibu bukan apa-apa! Lari dan lawanlah, Jangan menyerah!” Talibu berteriak-teriak akan tetapi sebuah tendangan pada dagunya membuat ia pingsan!

“Heh-heh-heh, Nona, kau menghendaki aku menusuk jantungnya?” Siauw-bin Lomo mengguratkan ujung pedang pada dada yang telanjang itu dan... kulit Pangeran Talibu di dada robek sedikit, memperlihatkan garis merah memanjang.

Kwi Lan merasa pusing, terpaksa melepaskan pedangnya dan berkata lemah, “Siauw-bin Lo-mo, kau jahanam tua bangka, lepaskan dia!”

“Heh-heh-heh, aku tidak akan membunuhnya kalau kau menyerah. Hayo belenggu dia!”

Empat orang hwesio jubah merah menghampiri Kwi Lan dan membelenggu kedua tangan gadis itu. Kwi Lan tidak melawan. Ia harus berani menyerah untuk menyelamatkan nyawa Pangeran Talibu. Seorang Hsi-hsia tinggi besar yang merasa benci dan marah kepada gadis yang telah membunuh banyak kawannya ini, menyeringai dan datang mendekati Kwi Lan, tangannya menjangkau untuk meraba dada gadis itu.

Sudah biasa bagi orang-orang peperangan ini apa bila pasukan mereka menawan seorang wanita, siapa saja di antara anggota pasukan boleh mempermainkan si tawanan. Orang Hsi-hsia tinggi besar ini pun tidak terkecuali. Melihat kecantikan Kwi Lan dan mengingat betapa gadis ini sudah menjatuhkan korban banyak di antara temannya, ia hendak menjadi orang pertama menghina dan mempermainkan gadis jelita yang lihai ini.

“Heh, mundur...!” Namun seruan Siauw-bin Lo-mo ini terlambat. Kalau kakek ini mau tentu saja ia akan dapat menyelamatkan orang Hsi-hsia itu, akan tetapi tentu saja ia tidak sudi merendahkan diri menolong seorang prajurit Hsi-hsia biasa yang baginya tidak lebih seekor kucing atau anjing.

Pada saat jari tangan kurang ajar itu menyentuh dada, kaki Kwi Lan bergerak dengan kecepatan yang sukar diduga, tepat menghantam pusar orang Hsi-hsia itu.

“Hekkk!” Orang Hsi-hsia hanya sempat mengeluarkan suara demikian, lalu tubuhnya terlempar dan roboh tak dapat bergerak lagi. Isi perutnya berantakan karena tendangan Kwi Lan tadi mengandung tenaga sinkang yang hebat! Setelah menendang, gadis itu tetap tenang hanya menyapu semua orang dengan pandang mata dingin, yang agaknya bertanya atau menantang, siapa lagi yang berani kurang ajar terhadap dirinya.

Keadaan tegang dipecahkan suara ketawa Siauw-bin Lo-mo. “Heh-heh-heh, orang goblok macam dia sudah sepatutnya mampus! Hayo bawa tawanan menghadap Couwsu!” Ia sendiri lalu memegang lengan dan menarik Kwi Lan, sedangkan Pangeran Talibu yang pingsan dipanggul oleh seorang hwesio jubah merah.

“Ha-ha, Bouw Lek Couwsu, memang sudah takdirnya engkau bernasib baik. Lihat siapa yang kutawan untukmu ini. Si Mutiara Hitam! Ha-ha-ha, kutanggung selama hidupmu belum pernah kau menikmati bunga liar sehebat ini!” kata Siauw-bin Lo-mo kepada Bouw-Lek Couwsu yang sedang duduk bercakap-cakap ditemani Bu-tek Siu-lam dan Thai-lek Kauw-ong serta Jin-cam Khoa-ong.

Memang Bouw Lek Couwsu selain lihai ilmunya juga amat cerdik. Dalam usahanya memperluas daerah kekuasaan dan menggerakkan bangsa Hsi-hsia menyerbu Kerajaan Sung, ia telah dapat pula menempel kelima orang Bu-tek Ngo-sian. Tentu saja lima orang sakti ini suka sekali bersekutu dengan Bouw Lek Couwsu, oleh karena, kecuali Thai-lek Kauw-ong seorang, mereka semua pun bercita-cita untuk mengangkat diri sendiri menjadi seorang yang berkedudukan tinggi. Dengan bersekutu dengan Bouw Lek Couwsu mereka mendapatkan sekutu yang kuat dengan barisan orang-orang tangguh.

Sian Eng sendiri tidak bersekongkol dengan pemimpin Hsi-hsia ini karena wanita ini mempunyai cita-cita yang lebih tinggi lagi, yaitu apa bila bala tentara Hsi-hsia berhasil mengalahkan Kerajaan Sung, ia akan mengangkat puteranya, Suma Kiat, menjadi kaisar baru. Betapa tidak? Suma Kiat adalah putera Suma Boan yang masih keturunan Pangeran! Inilah sebabnya mengapa Kam Sian Eng menempatkan puteranya di kota raja di rumah Pangeran Kiang, kemudian mengusahakan persekutuan di antara pembesar-pembesar Kerajaan Sung.

Ada pun Bu-tek Siu-lam, tokoh sakti banci itu, adalah seorang dari dunia barat yang sengaja bertualang untuk mencari kesempatan baik guna menempatkan dirinya dalam kedudukan yang tinggi. Tadinya ia hanya ingin menguasai para pengemis dan ingin menjadi raja pengemis, akan tetapi kini melihat kesempatan terbuka untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi lagi, ia segera menerima penawaran Bouw Lek Couwsu untuk bersekutu dan mengerahkan barisan pengemis baju bersih untuk membantu Hsi-hsia apa bila saat penyerbuan tiba. Ia yakin bahwa kalau gerakan ini berhasil, kelak ia sedikitnya tentu akan menjadi seorang pangeran!

Siauw-bin Lo-mo adalah seorang perampok sejak kecil, kini pun ia telah menjadi datuk para perampok dan bajak. Setelah terbuka kesempatan untuk memiliki jabatan atau kedudukan tinggi, tentu saja ia pun senang membantu Bouw Lek Couwsu. Ia sudah tua dan sudah waktunya hidup bergelimang kesenangan dan kemewahan, hidup dimuliakan orang sampai matinya. Ia pun mengerahkan anak buahnya, para perampok dan bajak, juga orang-orang Thian-liong-pang, untuk membantu usaha Bouw Lek Couwsu, bahkan berjanji kelak akan bergerak dari dalam bersama para pengemis anak buah Bu-tek Siu-lam.

Jin-cam Khoa-ong sudah tentu saja mendukung usaha Bouw Lek Couwsu sepenuh hati. Seperti diketahui, Algojo Manusia ini juga disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari Utara), menjadi musuh Kerajaan Khitan dan dianggap sebagai seorang pengkhianat bangsa Khitan. Ia pun menyatakan ingin membantu Hsi-hsia dengan janji bahwa kalau usaha Hsi-hsia ini berhasil, kelak ia akan diberi pinjam tentara dan perlengkapan untuk menyerbu Khitan dan merampas singgasana Ratu Khitan yang menjadi musuh besarnya.

Hanya Thai-lek Kauw-ong seorang yang tidak mempunyai cita-cita. Ia datang ke markas Bouw Lek Couwsu karena terbujuk teman-temannya dan terutama sekali karena tidak mau kalah dengan empat orang temannya yang katanya sedang mengusahakan pekerjaan penting dan besar. Ia sendiri tidak peduli siapa yang akan menjadi kaisar, akan tetapi kalau empat orang kawannya yang tergabung dalam Bu-tek Ngo-sian semua berjasa, dan ia sendiri berpeluk tangan tentu namanya akan kalah dan ia tidak patut menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian. Inilah sebabnya mengapa ia suka datang menjadi tamu Bouw Lek Couwsu. Akan tetapi ia tidak pernah ikut bicara tentang urusan pemberontakan, hanya menikmati hidangan yang serba lezat.

Bouw Lek Couwsu sendiri yang cerdik juga tidak mau mengajak kakek raja monyet ini untuk merundingkan soal politik, karena ia hanya mengharapkan bantuan tenaga kakek sakti itu apa bila menghadapi musuh-musuh tangguh kelak. Apa lagi kalau diingat bahwa Thai-lek Kauw-ong tidak mempunyai seorang pun pengikut atau anak buah. Kini kelima Bu-tek Ngo-sian sudah lengkap sendiri di belakangnya, bahkan sudah berkumpul di markas Sian-toanio yang lebih aktip bersama puteranya untuk mengumpulkan dan memperkuat persekutuannya dengan pembesar-pembesar kota raja.

Ketika Siauw-bin Lo-mo datang membawa tawanan Mutiara Hitam, ia menjadi girang dan juga terkejut mendengar laporan tentang usaha Mutiara Hitam untuk membebaskan Pangeran Talibu. Ah, ia terlalu sembrono, terlalu percaya kepada alat-alat rahasia dan penjagaan anak buahnya. Ternyata masih ada yang menyelundup dan hampir saja membebaskan tawanan penting itu. Ia telah menggunakan pelbagai usaha untuk memaksa Pangeran Talibu menulis surat kepada Ratu Khitan, bahkan sudah menyiksanya, namun pangeran yang keras hati itu tetap tidak mau menuruti permintaannya. Pangeran itu ditahan dalam goa juga dalam rangka penyiksaan agar Pangeran itu tunduk. Siapa kira malah hampir dibebaskan Mutiara Hitam.

Bouw Lek Couwsu adalah seorang laki-laki tua, seorang pendeta yang diwaktu mudanya terlalu banyak mengejar ilmu, mengekang nafsu. Karena pada dasarnya ia memang seorang hamba nafsu, setelah tua pengekangannya jebol dan jadilah ia seorang sakti yang gila nafsu, gila perempuan. Melihat Mutiara Hitam yang selain muda remaja dan cantik jelita, juga lihai ilmu silatnya, ia sudah mengeluarkan air liur. Akan tetapi di samping sifatnya yang mata keranjang, ia amat cerdik dan ambisinya besar sekali untuk kedudukan yang tertinggi. Ambisi ini agaknya lebih besar dari pada nafsunya, sehingga begitu melihat Mutiara Hitam yang jelita dan melihat Pangeran Talibu yang masih pingsan, timbul sebuah akalnya untuk menundukkan Pangeran Talibu.

“Bagus!” jawabnya kepada Siauw-bin Lo-mo sambil tertawa bergelak. “Sekali ini pinceng benar-benar berterima kasih kepadamu, Lo-mo.” Kemudian ia berkata kepada muridnya, “Masukkan mereka berdua dalam kamar tahanan di belakang, jaga yang kuat agar jangan sampai ada kemungkinan didatangi orang luar!”

Setelah Kwi Lan dan Pangeran Talibu dibawa pergi, Bouw Lek Couwsu membicarakan rencananya terhadap Kwi Lan dan Talibu kepada empat orang kakek sakti dan tertawalah mereka. Bahkan Thai-lek Kauw-ong mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul sambil berkata.

“Demi Iblis! Engkau benar-benar pintar sekali, Couwsu!”

Bouw Lek Couwsu tertawa. “Memang, sesungguhnya sayang sekali melepaskan bunga ini kepada seorang Hsi-hsia, sama dengan melemparkan daging pilihan untuk seekor anjing buduk. Akan tetapi, makin buruk si anjing, makin sakit hati Talibu dan makin besar kemungkinan ia menyerah! Ha-ha-ha!”

“Heh-heh-heh, Couwsu. Rencanamu ini baik sekali, akan tetapi harus cepat-cepat kau laksanakan. Karena kalau sampai Sian-toanio keburu datang, tak mungkin hal itu dilaksanakan lagi, bahkan kiraku, Mutiara Hitam harus dibebaskan.”

“Mengapa?” Bouw Lek Couwsu bertanya heran.

“Heh-heh, Mutiara Hitam itu adalah murid Sian-toanio.”

Semua orang terkejut mendengar ini. Keadaan menjadi sunyi. Bouw Lek Couwsu mengerutkan kening lalu memandang Siauw-bin Lo-mo. “Eh, Lo-mo. Apa artinya ini? Kalau kau sudah tahu dia murid Sian-toanio, mengapa kau sengaja menawannya dan memberikannya kepadaku? Apakah kau sengaja hendak mengadu aku dengan Sian-toanio?”

Siauw-bin Lo-mo terkekeh, “Couwsu, kau benar-benar pelupa sekali. Berapa kali Mutiara Hitam menentangmu? Berapa kali menentangku? Bahkan sekarang dia datang untuk membebaskan Talibu. Bukankah dia termasuk musuh yang berbahaya? Kalau muridnya seperti itu, kita harus berhati-hati terhadap gurunya. Siapa tahu hati macam apa yang ada di balik kedok kerudung hitam mengerikan itu? Kau harus hati-hati, Couwsu”

Bouw Lek Couwsu masih mengerutkan kening, meraba-raba dagunya, berpikir lalu mengangguk-angguk. “Hemmm, memang diam-diam aku sudah menaruh curiga kepada wanita itu. Kalau dapat menariknya sebagai kawan, baik, kalau sebagal lawan, amat berbahaya. Memang kita harus berhati-hati dan rencana ini harus cepat-cepat dikerjakan, sekarang juga!”

Kalau Kwi Lan dan Talibu mendengar apa yang mereka rencanakan tentu hati kedua orang muda ini menjadi cemas sekali. Akan tetapi mereka tidak mendengar apa-apa ketika mereka digusur dan dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang luas. Kamar ini merupakan ruangan yang lebarnya sepuluh meter, kosong tidak ada perabot sebuah pun. Lantainya dari batu putih yang bersih dingin, dindingnya dari tembok tebal, atapnya pun dilapisi jeruji besi yang amat kuat. Sebuah jendela di samping dilindungi jeruji besi sebesar lengan manusia, pintunya juga besi dan bagian atasnya ada jeruji pula...


BERSAMBUNG KE JILID 14