Mutiara Hitam Jilid 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

MUTIARA HITAM

JILID 11

KIANG LIONG kagum bukan main dan hatinya diliputi keharuan. Bocah itu amat tampan, dan sedikit pun tidak tampak sinar takut dalam sepasang matanya yang bening, dan lebar. Biar pun ia tidak dapat bergerak dan tak dapat mengeluarkan kata-kata, namun jelas pandang matanya menyinarkan kebencian dan sakit hati terhadap Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu yang telah membasmi keluarganya. Anak yang luar biasa dan mengagumkan, pikirnya.

Sementara itu, Siang-mou Sin-ni sudah mengeluarkan sebatang jarum emas yang panjangnya kurang lebih dua dim dan di sepanjang batang jarum itu berlubang. Dengan jarum di tangan kanan, sambil tersenyum dan mengerling ke arah Kiang Liong, ia menghampiri bocah yang telentang di atas meja itu.

Terjadi perang di dalam hati Kiang Liong. Kalau mengingat akan tugasnya sebagai penyelidik, teringat akan kewajiban sebagai seorang yang setia dan mencinta pemerintahannya, ia harus membiarkan Siang-mou Sin-ni melanjutkan apa yang hendak dilakukan kepada Han Ki. Akan tetapi kalau menurutkan perasaan dan wataknya sebagai seorang pendekar gagah, tak mungkin ia mendiamkan saja. Ia dapat menduga kini apa yang dilakukan Siang-mou Sin-ni. Jarum emas itu akan ditusukkan di bagian tubuh yang tidak membahayakan nyawa anak itu, sampai mengenai dan menembus tulang, kemudian dari lubang jarum akan disedot sumsum dari dalam tulang anak itu!

Bouw Lek Couwsu menyeringai lebar dan Siang-mou Sin-ni tersenyum manis. Matanya berkilat-kilat penuh nafsu, ketika tersenyum bibirnya tampak merah seperti berlepotan darah dalam pandangan Kiang Liong, gigi yang berderet rapi dan putih itu seakan-akan bercaling.

“Hanya sedikit darah dan sumsum untukku, tidak akan mematikan anak ini!” katanya sambil membalikkan tubuh anak itu menelungkup di atas meja. Sekali tangan kirinya bergerak, ia sudah merobek baju atas dan tampaklah punggung Han Ki yang putih dan sehat.

Kini wajah Siang-mou Sin-ni tampak buas oleh nafsu yang menggelora. Tangannya agak menggigil. Setelah jari-jari tangan kirinya meraba-raba punggung atas di bawah tengkuk, tangan kanannya yang memegang jarum emas mulai bergerak perlahan, menempelkan ujung jarum ke kulit punggung anak itu, siap untuk menusuk.



Meledaklah rasa penasaran dan kemarahan di hati Kiang Liong. Tanpa dapat terkendalikan lagi, tubuhnya berkelebat ke depan dan mulutnya membentak, “Iblis betina, lepaskan dia!”

Hebat bukan main gerakan Kiang Liong ini karena saking marahnya ia langsung menerjang Siang-mou Sin-ni dengan ilmu silat Lo-hai Kun-hoat (Ilmu Silat Pengacau Lautan) yang sifatnya paling dahsyat di antara ilmu silat yang ia pelajari dari Suling Emas. Biar pun Siang-mou Sin-ni amat lihai, namun saat itu sebagian besar perhatiannya sedang tertuju kepada Han Ki dan nafsunya sedang melonjak-lonjak, Karena terjangannya ini tidak tersangka-sangka, maka ia kurang cepat menghindar. Memang benar ia dapat meloncat ke samping, namun hawa pukulan Kiang Liong tetap saja mengenai bahu kanannya sehingga bahu kanan itu terasa lumpuh dan jarum emasnya terlempar!

“Keparat!” Siang-mou Sin-ni mengumpat, rambutnya kini sudah bergerak menyambar ke pinggang Kiang Liong. Namun pemuda itu dengan sigapnya menghindar dan dengan cepat tangan kirinya meraih ke arah meja hendak menyambar tubuh Han Ki.

“Perlahan dulu, orang muda!” Suara ini keluar dari mulut Bouw Lek Couwsu dan sinar yang amat kuat menangkis ke arah lengan tangan Kiang Liong yang meraih tubuh Han Ki. Untung Kiang Liong maklum akan bahaya dan cepat menarik kembali lengannya. Kalau tidak tentu lengannya akan patah bertemu dengan tongkat yang berat dan digerakkan tenaga hebat pula.

Dari arah kanan menyambar hawa pukulan yang dingin. Kiang Liong cepat miringkan tubuh dan menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga sinkang. Akan tetapi tiba-tiba perutnya terasa sakit sekali sehingga begitu lengannya terbentur lengan Siang-mou Sin-ni yang memukul dari kanan, ia terpental ke belakang. Kiang Liong terhuyung-huyung dan sambaran tongkat Bouw Lek Couwsu tak dapat ia elakkan, dan jalan satu-satunya hanya menangkis dengan telapak tangan.

“Plakk!!” tongkat terpental, akan tetapi Kiang Liong merasa betapa kenyerian dari perutnya naik ke dada, terus ke tenggorokannya dan ia menyemburkan darah dari mulutnya. Tahulah ia bahwa ia terluka hebat, maka tanpa pedulikan apa-apa lagi ia lalu duduk bersila di atas lantai, mengatur pernapasan dan mengerahkan hawa murni melawan luka dan racun yang mengamuk di perut.

Siang-mou Sin-ni terkekeh dan sudah menggerakkan tangan untuk memberi pukulan terakhir. Tangannya penuh dengan hawa beracun dari Ilmu Tok-hiat-hoat-lek dan sekali mengenai kepala Kiang Liong yang dijadikan sasaran, tak dapat dihindarkan lagi pemuda itu tentu akan menggeletak tak bernyawa lagi. Ketika tangan Siang-mou Sin-ni menyambar, Kiang Liong sedang siulian (semedhi) untuk mengerahkan hawa murni di tubuhnya.

“Plakk!” Tangan yang halus namun keji dari Siang-mou Sin-ni bertemu dengan ujung tongkat Bouw Lek Couwsu. Wanita itu membelalakkan matanya dan memandang marah. Akan tetapi Bouw Lek Couwsu berkedip kepadanya, kemudian mendekatinya dan berbisik-bisik di dekat telinga Siang-mou Sin-ni.

“Ia terluka oleh pukulanmu Tok-hiat-hoat-lek yang tadi,” bisiknya. “Berapa lamakah ia akan dapat bertahan untuk hidup?”

Siang-mou Sin-ni yang belum dapat menangkap maksud pendeta itu menjawab ragu. “Dia lihai dan kuat, tentu dapat bertahan sampai tiga bulan. Namun darahnya sudah keracunan dan ia tidak dapat tertolong lagi.”

“Bagus,” bisik pendeta itu. “Kita tak perlu membunuhnya. Kita lanjutkan rencana, biarkan dia kembali dan menyusun kekuatan di kota raja membantu kita dengan janji kalau dia tidak melanggar janji, selain anak ini kelak kita kembalikan, juga kau janjikan obat penawar pukulanmu Tok-hiat-hoat-lek! Dengan tanggungan nyawa anak ini dan nyawanya sendiri, agaknya tidak ada jalan lain baginya untuk mengkhianati kita.”

Siang-mou Sin-ni tersenyum dan mengangguk-angguk. “Tok-hiat-hoat-lek ilmuku itu akibatnya luar biasa. Di dunia ini tidak akan ada yang dapat mengobatinya kecuali aku sendiri. Ilmu yang baru ini belum dikenal orang, biar Suling Emas sendiri tak mungkin dapat menyembuhkan muridnya, hi-hik!” Ia lalu mengambil jarum emas yang tadi terlempar di atas lantai, kemudian menghampiri Han Ki yang masih tertelungkup di atas meja.

Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk di luar, suara sorak-sorai gemuruh disusul suara jerit-jerit mengerikan, suara senjata-senjata bertemu dan banyak sekali orang bertempur.

Pintu kamar itu terpentang lebar dari sebelah luar dan dua orang Hsi-hsia berteriak, “Barisan Beng-kauw menyerbu...!” Mendadak mereka roboh terjungkal dan di punggung mereka menancap dua buah hui-to (golok terbang)!

“Tar-tar-tar...!” Suara meledak-ledak ini adalah suara lecutan cambuk yang berada di tangan seorang kakek bertopi lebar. Ke mana pun cambuknya menyambar, di situ tentu ada beberapa orang musuh terjungkal tewas.

Di sampingnya tampak seorang laki-laki gagah berusia lima puluh lima tahun yang mengamuk pula dengan sebatang pedang berhawa dingin dan bersinar kuning terang. Masih ada lagi seorang kakek tinggi kurus berjenggot panjang bermata tajam yang mengamuk dengan tangan kosong, akan tetapi setiap pukulan atau tendangan kakinya tentu merobohkan seorang lawan.

Di samping tiga orang kakek luar biasa ini tampak Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dua orang gadis yang telah dibebaskan, mengamuk pula dengan pedang mereka. Selain mereka, ratusan orang anggota Beng-kauw sedang menyerbu dan melakukan penyembelihan terhadap orang-orang Hsi-hsia dengan hati penuh kemarahan karena penyerbuan ini adalah pembalasan dendam mereka terhadap para pendeta jubah merah dan orang-orang Hsi-hsia.

Kakek bertopi lebar bersenjata cambuk yang luar biasa lihainya itu bukan lain adalah Kauw Bian Cinjin. Usianya sudah delapan puluh tahun lebih dan dialah satu-satunya tokoh Beng-kauw yang lolos dari kematian. Kauw Bian Cinjin adalah sute (adik seperguruan) ketua Beng-kauw yang tewas, akan tetapi dalam hal kepandaian, kakek ini melebihi suheng-nya. Sudah bertahun-tahun ia mengundurkan diri dari Beng-kauw dan bertapa di puncak Ta-liang-san.

Pada beberapa hari yang lalu, selagi Kauw Bian Cinjin bercakap-cakap dengan dua orang kakek yang menjadi tamunya, datang seorang anggota Beng-kauw yang sambil menangis melaporkan tentang mala-petaka yang menimpa Beng-kauw. Tentu saja Kauw Bian Cinjin menjadi marah sekali. Dua orang kakek yang menjadi tamunya itu juga menawarkan tenaga bantuan mereka. Mereka ini bukan orang-orang sembarangan. Yang bersenjata pedang dan bertubuh gagah adalah ketua penghuni Ang-san-kok di Gunung Heng-tuan, bernama Lie Bok Liong.

Pembaca CINTA BERNODA DARAH tentu masih ingat akan nama ini, nama seorang pemuda yang mencinta Lin Lin atau Puteri Yalina akan tetapi tidak terbalas sehingga ia mengasingkan diri dan tetap tinggal membujang sampai tua sambil memperdalam ilmu silatnya. Ada pun kakek kedua yang kurus berjenggot panjang dan amat lihai kaki tangannya itu adalah seorang sahabat baiknya yang tinggal di Ang-san-kok, bernama Ong Toan Liong.

Demikianlah, dengan disertai bantuan dua orang sahabat yang menjadi tamunya, Kauw Bian Cinjin bergegas turun gunung, mengumpulkan para anggota Beng-kauw sejumlah empat lima ratus orang kemudian mengadakan penyerbuan ke Lembah Nu-kiang di Kao-likung-san. Kebetulan sekali di lereng gunung itu Kauw Bian Cinjin berjumpa dengan Siang Kui dan Siang Hui yang malam itu dibebaskan karena pertolongan Kiang Liong. Dengan cepat dan singkat dua orang gadis ini menceritakan pengalamannya, tentang Kiang Liong dan tentang adiknya yang masih tertawan. Penyerbuan dilanjutkan dengan cepat dan begitu tiba di markas Bouw Lek Couwsu, terjadilah perang yang hebat dan berat sebelah.

Biar pun para hwesio jubah merah rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun jumlah orang-orang Beng-kauw yang menyerbu terlalu banyak. Apa lagi di sebelah depan dipimpin oleh tiga orang kakek yang demikian lihai, terutama sekali yang bercaping dan bersenjata cambuk, amat mengerikan. Dengan cepat dan mudahnya, Kauw Bian Cinjin yang diikuti oleh Lie Bok Liong, Ong Toan Liong, dan kedua orang gadis cucunya itu menyerbu terus sampai ke bangunan terbesar yang menjadi tempat kediaman Bouw Lek Couwsu.

Lecutan cambuk Kauw Bian Cinjin menghancurkan pintu kamar Bouw Lek Couwsu dan mereka menyerbu ke dalam. Akan tetapi kamar itu kosong! Tidak tampak Bouw Lek Couwsu mau pun Siang-mou Sin-ni. Juga tidak tampak Kiang Liong mau pun Kam Han Ki. Kedua orang gadis yang pernah menjadi tawanan di tempat ini segera menjadi penunjuk jalan, menggeledah dan mencari di seluruh bangunan yang berada di situ, namun sia-sia saja. Dua orang musuh besar yang menjadi biang keladi penghancuran Beng-kauw, dua orang tawanan yang hendak mereka tolong, tak tampak bayangannya.

Mereka mengamuk dan membunuh semua pelayan dan orang-orang Hsi-hsia. Ketika mereka keluar lagi, ternyata perang kecil itu sudah selesai. Di mana-mana bertumpuk mayat orang-orang Hsi-hsia dan ada juga beberapa korban orang-orang Beng-kauw, tetapi ketika diperiksa, hanya terdapat tujuh orang mayat pendeta jubah merah. Ternyata bahwa semua orang Hsi-hsia yang bertugas di situ, sejumlah kurang lebih seratus orang tewas. Akan tetapi para hwesio jubah merah agaknya sebagian besar melarikan diri dan sudah terang bahwa Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni juga melarikan diri. Yang menyusahkan hati Kauw Bian Cinjin terutama sekali Siang Kui dan Siang Hui adalah lenyapnya Kiang Liong dan Kam Han Ki. Ke manakah perginya dua orang tawanan itu?

Ketika tadi mendengar laporan tentang penyerbuan orang-orang Beng-kauw dan melihat sekelebatan bahwa jumlah penyerbu jauh lebih besar, Siang-mou Sin-ni sudah menyambar tubuh Han Ki dan lari secepat terbang melalui belakang bangunan, turun gunung melalui jurusan lain. Dia seorang cerdik, tidak mau kehilangan Han Ki dan tidak mau pula mempertaruhkan nyawanya menghadapi penyerbuan orang-orang Beng-kauw yang kini jauh lebih kuat.

Bouw Lek Couwsu juga bukan seorang bodoh. Ia memang menerjang ke luar dan merobohkan beberapa orang penyerbu, akan tetapi melihat dari jauh akan kelihaian tiga orang kakek yang mengamuk dan melihat pula betapa banyaknya orang-orang Beng-kauw yang menyerbu, diam-diam ia memberi tanda rahasia kepada para muridnya untuk melarikan diri. Sebagai perisai, mereka meninggalkan orang-orang Hsi-hsia yang memang bodoh akan tetapi penuh keberanian itu.

Bouw Lek Couwsu teringat akan Kiang Liong yang tadi masih duduk bersila di dalam kamarnya. Hatinya bimbang. Pemuda itu sudah mengetahui rahasia pergerakannya. Bagaimana kalau mengkhianatinya? Di samping kebimbangan ini, ia pun merasa betapa pentingnya bantuan pemuda itu. Akan tetapi ketika ia memasuki kamarnya, Kiang Liong sudah tidak ada lagi di situ! Ia yakin benar pihak musuh belum ada yang menyerbu kamarnya! Siang-mou Sin-ni memang sudah pergi membawa lari Han Ki, akan tetapi tadi Kiang Liong masih duduk bersila di situ. Ke manakah perginya pemuda itu?

Karena keadaan sudah amat mendesak dan melihat betapa murid-muridnya sudah tersebar melarikan diri, Bouw Lek Couwsu juga berkelebat pergi turun gunung dari sebelah belakang.

Kini setelah perang selesai, tinggallah Kauw Bian Cinjin berulang kali menghela napas panjang. Alangkah menyesal hatinya bahwa ia terpaksa harus membunuh begitu banyak manusia, padahal selama bertahun-tahun ia hidup aman di pertapaan. Namun, betapa mungkin ia tinggal diam saja mendengar pimpinan Beng-kauw terbasmi? Di sampingnya, Siang Kui dan Siang Hui menangis karena dua orang ini mengkhawatirkan nasib adik mereka Kam Han Ki. Setelah mencari dengan sia-sia, akhirnya mereka turun dari gunung itu dengan hati gelisah. Kemenangan mereka itu tidak memuaskan hati karena yang hendak mereka tolong terutama Han Ki lenyap dilarikan musuh.

********************


Kamar itu amat terang dan hawanya bersih sejuk karena jendela dan pintunya terbuka lebar menerima masuknya hawa dan sinar matahari pagi. Hawa pegunungan amat sejuk memasuki ruangan.

Yu Siang Ki yang rebah telentang di atas dipan mengeluh perlahan, lalu mengerang kesakitan. Tujuh belas bagian tubuhnya telah ditusuk jarum emas dan perak oleh kakek kurus yang melarikannya dari dalam kerangkeng, dan baru saja jarum-jarum itu dicabut kembali.

“Aduhh....” Ia menggerak-gerakkan pelupuk mata dan kaki tangannya yang lemas.

“Siang Ki, syukur kau telah tertolong...”

Siang Ki membuka matanya dan pandang matanya bertemu dengan wajah ayu, wajah Kwi Lan! Gadis ini dengan senyum lebar dan wajah berseri saking girangnya melihat Siang Ki tertolong nyawanya, memegang sebuah cangkir, lalu mendekatinya.

“Siang Ki, kau minumlah obat ini.”

“Kwi Lan...! Bagaimana kita bisa berada di sini...? Bukankah kita berdua tertawan...?” Saking herannya Siang Ki memegang tangan Kwi Lan, menahannya meminumkan obat.

Kwi Lan tertawa. “Tiga hari tiga malam kau pingsan terus, kusangka mati! Kau minum dulu ini baru bicara.” Tanpa menanti jawaban ia membawa cangkir itu ke bibir Siang Ki yang terpaksa meminum obat yang pahit dan harum itu.

“Kwi Lan, bagaimana...?”

“Hush, kau tertolong Song Yok San-jin (Orang Gunung Ahli Obat she Song), dan puterinya, Enci Goat yang cantik manis!” Berkata demikian, Kwi Lan menudingkan telunjuknya ke sebelah kiri dipan.

Siang Ki cepat menoleh. Barulah tampak olehnya seorang kakek kurus berjenggot jarang sedang memeriksa sesuatu dalam dua tabung kaca dan seorang gadis yang cantik manis bergelung tinggi berada di depan kakek itu.

“Hemmm, tak salah dugaanku. Racun Peluru Bintang itu adalah racun jamur laut yang terdapat di selatan. Ah, sungguh keji orang-orang Thian-liong-pang. Tentu mendapat racun ini dari datuk mereka, Siauw-bin Lo-mo. Biar pun racun ini ganas, namun pemunahnya tidak sukar. Jalan darahnya telah kututup, racun tidak menjalar. Goat-ji (Anak Goat), kau ambillah batu penghisap dan bubukan biji delima putih.”

Setelah gadis cantik itu pergi untuk melakukan perintah ayahnya, kakek itu membalikkan tubuhnya dan membuang darah dalam kedua tabung itu ke luar pintu, lalu menaruh tabung ke dalam jambangan air yang berada di sudut. Barulah ia menghampiri dipan dan bertanya ramah. “Siauw-pangcu (Ketua) sudah sadar? Syukurlah...“

Siang Ki cepat melompat turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata, “Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah penyelamat nyawa kami berdua orang muda, harap jangan bersungkan kepada saya. Terimalah hormat dan terima kasih saya Yu Siang Ki.”

Kakek itu tertawa sambil berdongak ke atas, mengelus jenggotnya yang jarang. “Ha-ha-ha! Pangcu muda dari Khong-sim Kai-pang benar-benar tidak mengecewakan menjadi putera sahabatku Yu Kang Tianglo! Jangan banyak sungkan, kita di antara orang sendiri. Bangkitlah!” Sambil berkata demikian kakek itu mengangkat bangun Yu Siang Ki dan pemuda ini mendapat kenyataan betapa di balik telapak tangan yang halus itu tersembunyi tenaga yang amat kuat sehingga ia menjadi amat kagum dan segera bangkit berdiri.

“Locianpwe mengenal mendiang ayah saya sebagai sahabat, sungguh merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar bagi saya,” katanya, akan tetapi tiba-tiba Siang Ki memejamkan kedua mata karena kepalanya terasa pening.

“Siauw-pangcu harap rebahan dulu karena racun masih belum lenyap dari tubuhmu,” kata ahli pengobatan itu. Tanpa diperintah kedua kalinya, juga karena Kwi Lan memegang dan mendorong pundaknya, pemuda itu kembali merebahkan diri telentang di atas dipan.

Gadis cantik berambut hitam panjang yang disanggul tinggi itu muncul dengan langkah kakinya yang ringan, membawa obat dan batu penghisap yang tadi diminta ayahnya. Kakek itu menerima obat dari tangan puterinya, kemudian berkata kepada Kwi Lan dan puterinya itu, “Kalian keluarlah dulu dari kamar ini karena aku akan menyedot hawa beracun dari luka-lukanya.”

Song Goat, gadis cantik itu menggandeng lengan Kwi Lan dan ditariknya gadis itu ke luar. Kwi Lan menurut saja karena memang ia ingin bicara dengan gadis ini yang mempunyai jarum-jarum hijau persis senjata rahasianya. Setelah dua orang gadis itu keluar, Song Hai yang berjuluk Yok-san-jin itu lalu menggulung kedua lengan jubahnya, kemudian mulai menanggalkan pakaian Yu Siang Ki.

Luka-luka karena senjata rahasia Peluru Bintang dari tokoh-tokoh Thian-liong-pang itu tampak kebiruan, bahkan ada yang sudah menghitam. Dengan tangan kanannya kakek itu memegang batu penghisap, sebuah batu yang berwarna putih dan banyak lubang-lubang kecil, seperti batu bintang yang terdapat di dasar laut. Kemudian tangan kirinya dengan jari-jari yang panjang halus itu memijit di sekitar luka sambil menekan batu itu pada lukanya.

Yu Siang Ki meringis kesakitan, akan tetapi pemuda ini lalu menggigit bibir menahan rasa nyeri sehingga tidak sedikit pun keluhan keluar dari mulutnya. Hanya keringat yang besar-besar berkumpul di dahinya. Tak lama kemudian batu yang berwarna putih itu menjadi hijau lalu hitam! Kakek itu menunda pekerjaannya menghisap hawa beracun lalu memasukkan batu yang menghitam itu ke dalam air yang sudah dicampuri obat. Seketika warna hitam itu luntur, batu menjadi putih kembali akan tetapi airnya yang berubah agak kehitaman seperti dimasuki tinta bak! Lalu penghisapan itu dilakukan lagi pada semua luka sampai luka-luka itu kelihatan merah. Usaha pembersihan hawa beracun ini amat nyeri, perih dan seperti ditusuk-tusuk rasanya, dan baru selesai setelah satu jam lebih. Barulah kakek itu membantu Siang Ki mengenakan pakaiannya kembali.

“Aman sudah. Tinggal minum obat ini dan dalam beberapa hari lagi Siauw-pangcu akan pulih kembali kesehatannya seperti biasa.”

Kakek itu lalu menuangkan obat bubuk delima putih, ditaburkan pada luka dan terasalah oleh Siang Ki betapa keperihan dan kenyerian pada luka-lukanya lenyap seketika, terganti oleh rasa dingin dan menyenangkan. Tanpa disadarinya, ia sudah memejamkan mata menarik napas lega dan pulas seketika! Kakek itu tersenyum, lalu mencuci kedua tangannya dan duduk di atas bangku dekat pembaringan.

Sementara itu, setelah berada di luar pondok kecil itu, Kwi Lan segera menangkap tangan Song Goat dan berkata, “Cici yang baik, hampir mati aku menahan sabar untuk mendengar semua keteranganmu. Hayo lekas ceritakan, pertama-tama, mengapa kau menggunakan jarum-jarum hijauku untuk membunuhi para hwesio itu, kemudian menggunakan juga ketika kau menolong kami? Dari mana kau mendapatkan jarum-jarum hijau itu?”

Song Goat tersenyum dan dua buah lekuk kecil muncul di sepasang pipinya dekat mulut sehingga ia tampak manis sekali. “Adik yang baik, bukankah engkau yang berjuluk Mutiara Hitam? Kenapa kau tak dapat menebak sendiri? Hi-hik!”

“Eh, eh, jangan jual mahal, Enci yang baik. Lekas ceritakan, kalau tidak...“

“Hemm, anak ganas, kalau tidak kuceritakan kepadamu apakah kau akan memaksaku dengan pedangmu yang lihai?” Song Goat yang ternyata pandai berkelakar itu menggoda, sepasang matanya disipitkan ketika mengerling.

“Aihhh! Kalau tidak mau, kucubit pipimu yang manis ini!” Kwi Lan tertawa dan mengancam dengan jari-jari tangannya yang kecil.

“Aduh, ampun... kau anak ganas!” Song Goat tertawa, menutupi kedua pipinya. “Mari kita duduk di sana dan kau dengarkan ceritaku.”

Dua orang gadis remaja yang cantik jelita itu lalu duduk di atas batu-batu besar tidak jauh dari pondok itu. Song Goat mengeluarkan dua buah kantong dari saku bajunya. “Kau lihat ini, yang sekantong terisi jarum-jarum biasa, dan kantong kedua terisi jarum-jarum hijau beracun. Jangan kira bahwa aku mencuri jarum-jarummu, Adik Kwi Lan. Kau tentu mengerti bahwa ayahku adalah seorang yang ahli dalam hal segala macam racun, dan agaknya secara kebetulan saja jarum-jarum kita menggunakan racun hijau yang sama. Akan tetapi ada perbedaannya di antara kita.”

“Apa bedanya?”

“Kau selalu menggunakan jarum hijau beracun, akan tetapi aku hanya menggunakan jarum biasa tanpa racun, kecuali kalau harus merobohkan orang jahat yang patut dibunuh.”

“Seperti yang kau lakukan kepada hwesio-hwesio dalam kuil itu? Kau mau bilang bahwa pendeta-pendeta itu adalah orang-orang jahat?” Kwi Lan mengejek.

“Lebih jahat dari pada penjahat biasa, Adik manis! Penjahat biasa memang penjahat, akan tetapi penjahat-penjahat keji itu berkedok di balik Agama Buddha yang suci, benar-benar menjemukan sekali! Apa kau belum dapat menduga bahwa mereka itu adalah sekutu orang-orang Thian-liong-pang dan perampok-perampok di bawah pengaruh Siauw-bin Lo-mo? Apakah kau tidak tahu bahwa kedatangan orang-orang Thian-liong-pang yang menginap di rumah mereka itu mengorbankan belasan orang gadis baik-baik yang mereka tangkap untuk disuguhkan kepada orang-orang Thian-liong-pang? Kebetulan Ayah dan aku tahu akan hal ini, maka kami turun tangan membunuh mereka membebaskan gadis-gadis itu. Para tamu, orang-orang Thian-liong-pang itu, segera bubar melarikan diri. Karena sepak terjangmu bersama... eh, Pangcu itu, Ayah mengajak aku diam-diam mengikuti karena khawatir kalau-kalau kalian terjebak oleh orang-orang Thian-liong-pang yang lihai dan curang. Dugaan Ayah ternyata terbukti. Kami tak dapat segera turun tangan karena tidaklah mudah membebaskan kalian dari tangan dua belas orang tokoh Thian-liong-pang itu, apa lagi setelah ternyata mereka itu berkumpul dengan Siauw-bin Lo-mo si iblis tua...”

Tiba-tiba Kwi Lan meloncat bangun, diikuti Song Goat yang pendengarannya masih kalah tajam oleh Mutiara Hitam. Dua orang gadis ini membalikkan tubuh sambil mencabut pedang dan di depannya telah berdiri seorang kakek yang tertawa-tawa, kakek kurus yang bukan lain adalah Siauw-bin Lo-mo!

“Ha-ha-ha-ha, bocah manis, ini aku si Iblis Tua sudah datang. Jadi engkaukah yang telah berani main-main dan menculik tawananku? Ha-ha-ha, bagus sekali. Bouw Lek Couwsu tentu akan senang hatinya mendapat tambahan hadiah seorang dara lagi secantik engkau. Mari, kalian ikut bersamaku!” Sambil berkata demikian, Siauw-bin Lo-mo menerjang maju, dua lengannya bergerak aneh hendak mencengkeram dua orang gadis itu.

“Siauw-bin Lo-mo iblis tua! Rasakan pembalasanku!” Kwi Lan sudah berseru keras dan marah sekali, pedang Siang-bhok-kiam di tangannya berubah menjadi sinar hijau bergulung panjang membabat kedua lengan kakek itu.

“Aiihhh...!” Siauw-bin Lo-mo mengeluarkan seruan panjang saking kagetnya dan cepat menarik kembali kedua lengannya.

Ia tadi terlalu memandang rendah kepada dua orang gadis itu, apa lagi Kwi Lan yang pernah tertawan oleh Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang, anak buahnya. Tak disangkanya gadis ini dapat menyambutnya sehebat itu dan ia maklum bahwa gadis remaja yang galak ini ternyata benar-benar lihai dan hebat ilmu pedangnya, sesuai dengan kegalakannya ketika memaki-maki di dalam kerangkeng. Baru sekarang ia mengerti mengapa orang-orangnya menawan gadis ini di dalam kerangkeng dan menjaganya ketat, kiranya gadis ini benar-benar amat berbahaya.

Song Goat juga membantu Kwi Lan menggerakkan pedangnya. Biar pun gadis puteri ahli obat ini tidak seganas dan sehebat Kwi Lan ilmu pedangnya, namun juga termasuk seorang muda yang berilmu tinggi.

“Ha-ha-ha-ha, memang Bouw Lek Couwsu bernasib baik! Ha-ha, kiranya selama hidup dalam petualangannya dengan wanita, belum pernah ia mendapatkan dua orang gadis cantik yang begini lihai!”

Biar pun maklum bahwa dua orang gadis lawannya bukan lawan lunak, namun Siauw-bin Lo-mo sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan tentu saja tidak menjadi gentar. Sehabis tertawa lebar, ia lalu menerjang maju dengan kedua tangan kosong menghadapi dua orang lawannya yang bersenjata pedang. Dan Kwi Lan mengeluarkan seruan tertahan. Hebat memang kakek kurus ini!

Gerakannya demikian aneh dan ringan sehingga setiap kali pedangnya hendak mengenai sasaran, bagian tubuh kakek itu seperti terdorong lebih dulu dan selalu dapat mengelak, bahkan beberapa kali gagang pedangnya hampir kena dirampas! Saking marahnya, Kwi Lan lalu berseru nyaring dan pedangnya kini mainkan ilmu pedang yang tiada keduanya dalam soal keanehan di dunia ini.

Siauw-bin Lo-mo yang memandang rendah ilmu pedang Song Goat karena segera mengenal ilmu pedang gadis ini yang bersumber pada ilmu pedang Kun-lun-pai, kini terbelalak heran menghadapi ilmu pedang yang dimainkan Kwi Lan. Dalam gerakan ilmu pedang ini ia mengenal jurus-jurus campuran yang mirip ilmu pedang dari Hoa-san-pai, tusukan-tusukan jalan darah seperti ilmu silat Siauw-lim, pengerahan tenaga berdasarkan ilmu dari Go-bi-san! Repot juga untuk sementara kakek ini menghadapi ilmu pedang Kwi Lan. Akan tetapi oleh karena tingkatnya memang jauh lebih tinggi dan ia sudah memiliki pengalaman banyak dalam pertempuran, segera ia dapat menyesuaikan diri dan kini ia malah berhasil mengirim tendangan ke arah tangan Song Goat yang memegang pedang. Pedang gadis itu terlepas dan ia sendiri terhuyung.

“Ha-ha-ha!” Siauw-bin Lo-mo sambil tertawa-tawa melesat dari depan Kwi Lan ke dekat Song Goat untuk merobohkan gadis ini, akan tetapi tiba-tiba ia terdorong oleh hawa pukulan dari belakang yang membuatnya terhuyung-huyung dan berseru heran dan kaget.

Sebagai seorang ahli, Siauw-bin Lomo mengerti betapa hebatnya hawa pukulan itu, maka cepat ia menggulingkan dirinya sambil mengerahkan hawa sakti dan akibat pukulan jarak jauh itu dapat dipunahkan. Ia selamat dari bahaya akan tetapi mengalami malu karena ternyata ia hampir celaka dalam tangan seorang gadis remaja, hanya karena pukulan jarak jauh tangan kiri Kwi Lan. Ia tidak tahu bahwa gadis itu disamping ilmu pedangnya yang luar biasa, juga menguasai ilmu pukulan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).

Song Goat yang tidak terluka mendapat kesempatan untuk mengambil pedangnya kembali dan kini ia sudah maju lagi membantu Kwi Lan yang sudah menerjang kakek lihai itu. Namun kini Siauw-bin Lo-mo sudah bersikap hati-hati sekali dan gerakan yang aneh dari kedua lengannya membuat Kwi Lan dan Song Goat menjadi pening! Lebih celaka lagi, dua orang gadis itu melihat betapa kini bermunculan dua belas orang yang bukan lain adalah Thai-lek-kwi Ma Kiu ketua Thian-liong-pang bersama sebelas orang adik seperguruannya! Akan tetapi Cap-ji-liong ini hanya berdiri di pinggir menonton, tidak berani bergerak mengganggu datuk mereka yang yang sedang mempermainkan dua orang gadis remaja itu!

Pada saat itu, dari dalam pondok melompat ke luar Yok-san-jin Song Hai si ahli obat. Ia sudah memegang sebatang pedang. Melihat betapa Kwi Lan dan Song Goat terdesak hebat dan mengenal kakek kurus itu, ia berseru. “Siauw-bin Lo-mo, tidak malu engkau melawan anak-anak?”

Siauw-bin Lo-mo menoleh dan tertawa. “Ha-ha-ha, kiranya tukang obat Song yang berada di sini. Ah, kiranya gadis ini anakmu? Ha-ha, majulah kau sekalian, dikeroyok tiga pun aku tidak takut!”

Akan tetapi, dua belas orang Cap-ji-liong sudah maju pula menghadang kakek ahli obat itu yang segera mengurungnya dengan senjata di tangan. Melihat ini, Song Hai segera memasang kuda-kuda dan bersikap waspada karena dapat menduga bahwa dua belas orang tokoh Thian-liong-pang ini tentulah bukan orang-orang lemah.

“Ha-ha-ha-ha! Song Hai tukang obat, sebelum main-main dengan aku, kau rasakanlah dulu kelihaian anak buahku!” Ucapan Siauw-bin Lo-mo ini merupakan perintah bagi Cap-ji-liong dan lenyaplah keraguan mereka. Segera mereka menerjang maju secara teratur, mengurung kakek tukang obat itu dengan barisan yang terkenal kuat.

Kwi Lan menggigit bibir dan mengeluarkan semua kepandaiannya. Betapa pun juga kakek itu terlampau kuat untuknya. Biar pun ia dibantu Song Goat yang juga lihai ilmu pedangnya, namun tetap saja dua orang gadis ini terdesak hebat dan akhirnya terhuyung oleh bayangan kedua tangan Siauw-bin Lo-mo yang seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya. Song Goat yang lebih dulu merasa pening dan sebuah tamparan membuat ia terhuyung ke belakang kembali terlepas dari tangan. Tamparan yang mengenai pundak kanan itu membuat tangan kanannya serasa lumpuh!

Kwi Lan berseru marah dan menusuk pinggang lawan yang sedang miring tubuhnya. Siauw-bin Lo-mo terkekeh dan berjungkir balik, kemudian menyambut pukulan tangan kiri Kwi Lan dengan tangkisan tangan kanan.

“Plakk...!” Siauw-bin Lo-mo terhuyung mundur, akan tetapi Kwi Lan harus berjungkir balik beberapa kali untuk mencegah terguling. Ketika gadis ini sudah berdiri lagi, ia diserang secara bertubi-tubi di antara suara ketawa lawannya. Ia berusaha untuk membalas, namun karena sudah terdesak dan kalah dulu, ia tidak mendapat kesempatan dan hanya dapat mengelak dan menggerakkan pedang membabat tangan yang hendak menangkap dan menotoknya.

Pada saat Kwi Lan terdesak hebat, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi yang tidak hanya mengejutkan hati Siauw-bin Lo-mo, akan tetapi juga amat mengagetkan Song Hai dan dua belas orang pengeroyoknya. Lengking yang menggetarkan jantung dan menulikan telinga itu seketika membuat mereka semua menghentikan pertandingan dan Kwi Lan menjadi girang sekali ketika menoleh ke arah datangnya suara melengking yang tentu saja ia kenal baik ini.

Bagaikan bayangan setan, tiba-tiba saja di situ sudah berdiri seorang wanita bertubuh ramping berpakaian serba putih dan mukanya dikerudungi sutera jarang seperti rajut berwarna hitam. Kam Sian Eng guru Kwi Lan!

“Siauw-bin Lo-mo, kau berani menyerang muridku, berarti engkau tidak memandang mata kepadaku!”

Siauw-bin Lo-mo mengenal wanita ini dan tertawa, akan tetapi suara ketawanya canggung karena hatinya merasa tidak enak. “Eh... Sian-toanio (Nyonya Sian), jadi gadis yang ganas dan lihai ini muridmu? Pantas begitu hebat. Aku tidak tahu bahwa dia muridmu, Sian-toanio karena dia pun tidak mengatakan apa-apa kepadaku.”

“Sekarang kau tahu Siauw-bin Lo-mo, apakah kau masih akan melanjutkan pertempuran?” tanya Kam Sian Eng, suaranya kaku.

“Ha-ha-ha, tentu saja aku tidak mau mengganggu keponakan sendiri! Bouw Lek Couwsu akan cukup puas kalau aku membawa nona puteri tukang obat ini. Hayo engkau ikut bersamaku!” Sambil berkata demikian, tubuh kakek kurus ini melesat ke depan, ke arah Song Goat untuk menyambar tubuh gadis ini yang tentu saja sama sekali bukan lawan Siauw-bin Lo-mo.

Akan tetapi tiba-tiba sinar hijau berkelebat dan kakek itu harus menarik kembali kedua tangannya karena Kwi Lan telah membabat ke arah kedua tangan yang hendak menerkam Song Goat itu. Kini gadis ini dengan pedang di tangan berdiri menghadang di depan Song Goat, sikapnya menantang, matanya mendelik marah.

“Ha-ha-ha-ha, keponakanku yang baik, apakah kau hendak menantang aku? Sian-toanio apakah begini kau mengajar muridmu?”

“Kwi Lan! Mundur kau! Mau apa kau mencampuri urusan orang lain? Sejak kapan kau begini usil dan lancang?” Kam Sian Eng membentak, suaranya dingin seperti suara dari lubang kubur membuat Cap-ji-liong yang terkenal gagah sekali pun menggigil dan merasa seram.

“Bibi, aku tidak suka mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi Enci Goat ini dan ayahnya, Song-locianpwe, telah menyelamatkan nyawaku ketika aku menjadi tawanan tua bangka iblis ini!” Ia menuding ke arah Siauw-bin Lo-mo. “Bagaimana mungkin aku sekarang membiarkan iblis tua ini mencelakai Enci Goat?”

Kam Sian Eng adalah seorang yang memiliki watak aneh sekali karena memang jiwanya sakit, ingatannya terganggu oleh peristiwa hebat di waktu mudanya. Ia tidak mengenal budi, tidak mengenal apa itu baik atau jahat, namun terhadap diri Kwi Lan ada perasaan kasih sayang di hatinya. Maka melihat sikap dan mendengar pembelaan Kwi Lan, ia menarik napas panjang dan menoleh kepada Siauw-bin Lo-mo, berkata singkat. “Lo-mo, pergilah. Tidak ada urusan apa-apa lagi di sini. Setahun kemudian kelak kita bertemu kembali.”

Siauw-bin Lo-mo tertawa masam. Ia menjadi serba salah. Ia tidak takut kepada Kam Sian Eng, akan tetapi juga tidak menghendaki nama Bu-tek Ngo-sian menjadi pecah hanya karena urusan seorang gadis! Selain itu, juga otaknya yang cerdik bekerja cepat. Kalau terjadi pertempuran karena ia kukuh, pihaknya tentu rugi. Dia sendiri melawan Sian-toanio ini masih merupakan keadaan setengah-setengah, belum tentu siapa yang akan menang atau kalah. Akan tetapi, dua belas orang Cap-ji-liong itu kalau harus menghadapi kakek tukang obat Song bersama puterinya dan si Mutiara Hitam, agaknya akan terancam bahaya kehancuran. Maka ia lalu tertawa dan agar jangan terlalu kehilangan muka ia berkata.

“Ha-ha-ha-ha! Melihat muka Sian-toanio yang menjadi saudaraku sendiri, tentu saja aku tidak akan meributkan soal seorang gadis! Hanya sayang sekali, saudaraku yang menjadi seorang di antara Bu-tek Ngo-sian, ternyata harus tunduk kepada muridnya. Ha-ha-ha! Hayo, kita pergi!” Ia berseru kepada Cap-ji-liong yang tanpa banyak cakap tidak berani membantah dan segera mengikuti datuk mereka pergi dari dalam hutan.

Biar pun perangainya aneh dan otaknya tidak waras, namun Kam Sian Eng adalah seorang wanita yang memiliki watak angkuh dan tinggi hati. Oleh karena itu, ejekan yang keluar dari mulut Siauw-bin Lo-mo tadi sedikit banyak telah meracuni hatinya, membuat keningnya berkerut dan sepasang matanya mengeluarkan sinar dingin menakutkan. Melihat betapa sepasang mata Sian Eng memandangnya seperti itu, tahulah Kwi Lan bahwa gurunya atau bibinya ini sedang marah sekali. Maka ia menjadi khawatir dan bersikap waspada.

Pada saat itu nampak bayangan berkelebat keluar dari pondok. Ternyata dia adalah Yu Siang Ki yang sudah sembuh, hanya belum pulih tenaganya. Namun karena tadi ia terbangun dari tidurnya dan mendengar suara melengking nyaring, ia segera mengerahkan tenaga, menyambar tongkat dan setelah tubuhnya tidak begitu lemah lagi, kini ia meloncat ke luar, siap membantu Song Hai dan puterinya, terutama sekali Kwi Lan jika ada bahaya mengancam. Ketika ia melihat mereka itu berhadapan dengan seorang wanita yang memakai kerudung, yang sikapnya aneh, yang matanya menyinarkan keseraman yang mengerikan, ia meloncat dan sudah berada di samping Kwi Lan. Gerakannya tidaklah sekuat biasa, namun pemuda ini tidak kehilangan kelincahannya.

“Siapa jembel ini?” Suara Kam Sian Eng dingin sekali, membuat Siang Ki meremang bulu tengkuknya, dan sinar mata yang menyambar ke arah mukanya seperti tangan dingin menyentuh leher. Ia bergidik.

Song Hai atau Yok-san-jin yang semenjak tadi memandang kepada Kam Sian Eng dengan penuh rasa kagum dan heran, segera melangkah maju dan menjura sebagai penghormatan, lalu berkata, “Kouwnio, orang muda ini bukan lain adalah kai-pangcu (ketua perkumpulan pengemis) dari Khong-sim Kai-pang, putera mendiang Yu Kang Tianglo yang gagah perkasa.”

Sian Eng melirik ke arah kakek berjenggot itu. Hatinya senang mendengar dirinya disebut kouwnio (nona). Tentu saja kakek itu merasa tepat menyebut nona kepada wanita berkerudung ini karena ia jauh lebih tua dan memang Sian Eng kelihatan masih muda, baik dipandang pada wajah di balik kerudung itu mau pun bentuk tubuh yang langsing padat.

Akan tetapi kalau hati Sian Eng merasa senang dengan sebutan kouwnio, ia mengerutkan kening mendengar bahwa pemuda ini adalah Ketua Khong-sim Kai-pang, putera Yu Kang Tianglo yang merupakan seorang di antara lawan golongan sesat yang dipimpin Bu-tek Ngo-sian. Dia tentu saja tidak mau memusuhi orang-orang seperti Suling Emas, akan tetapi ia sama sekali tidak ada hubungan dengan Yu Kang Tianglo atau pun puteranya. Maka kalau ia hendak mengumpulkan jasa untuk mengalahkan empat orang yang lain dari Bu-tek Ngo-sian, ia boleh mulai dengan putera Yu Kang Tianglo yang menjadi ketua Khong-sim Kai-pang ini.

“Hemm, jembel muda ini ketua Khong-sim Kai-pang? Begini muda menjadi pangcu? Hendak kulihat sampai di mana kemampuannya!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba tangan kanan Kam Sian Eng bergerak, secepat kilat tangan itu sudah menampar dengan jari tangan terbuka ke arah dada Yu Siang Ki!

“Bibi...!” Kwi Lan menjerit, mengenal pukulan itu yang bukan lain adalah Siang-tok-ciang! Di tangan gurunya, Siang-tok-ciang ini hebat bukan main karena ketika berlatih, kalau dia dengan pengerahan tenaga seluruhnya hanya mampu memukul pohon menjadi layu daun-daunnya, adalah gurunya ini sekali pukul membuat pohon itu mati seketika karena hangus sebelah dalamnya!

Yu Siang Ki bukanlah seorang muda yang bodoh. Dia cukup waspada dan tahu betapa hebat dan berbahayanya pukulan itu yang meniupkan hawa panas dan bau yang wangi. Cepat ia mengelak dengan jalan melempar tubuhnya ke belakang. Betapa pun cepat gerakannya mengelak ini, namun hawa pukulan dari tangan Kam Sian Eng tetap saja menyerempet pundaknya, membuat tubuh pemuda itu bergulingan akan tetapi ia terbebas dari pada bahaya maut.

Bibir Kam Sian Eng tersenyum dan makin gelisah hati Kwi Lan. Ia tentu saja mengenal senyum gurunya ini, senyum maut karena senyum ini berarti bahwa gurunya merasa tersinggung dan marah sekali melihat betapa pukulannya dapat dielakkan. Ia melangkah maju dan kembali tangannya bergerak hendak memukul dengan Siang-tok-ciang yang lebih hebat.

“Bibi, jangan...!”

Akan tetapi pukulan sudah dilancarkan dan terpaksa Kwi Lan berkelebat maju sambil mengangkat tangannya menangkis.

“Plakk!!” dan tubuh gadis itu bergulingan sampai lima meter jauhnya, dan ketika ia meloncat bangun, wajahnya agak pucat, akan tetapi tidak terluka. Sian Eng sejenak berdiri seperti patung memandang muridnya, sinar matanya makin dingin, senyumnya melebar.

“Bibi, kau tidak boleh membunuh Yu Siang Ki. Dia tidak bersalah apa-apa, mengapa dibunuh?”

“Dia... apamu?” tanya Sian Eng, suaranya penuh kemarahan yang ditahan-tahan.

“Dia sahabat baikku, Bibi. Banyak kualami suka duka, kualami bahaya maut di sampingnya, dia pernah menolongku dan....”

Sejak tadi Sian Eng memang sudah merasa kecewa dan marah kepada Kwi Lan, yaitu ketika ia diejek oleh Siauw-bin Lo-mo bahwa dia tunduk kepada muridnya. Kini kejengkelan hatinya itu makin menjadi-jadi seperti api disiram minyak oleh perbuatan Kwi Lan yang dengan nekat berani menangkis pukulannya dan menghalangi dia turun tangan terhadap Yu Siang Ki. Marah dan kecewa, apa lagi melihat betapa tukang obat dan gadisnya memandang dengan muka jelas berpihak kepada Kwi Lan.

Watak Sian Eng memang aneh dan ganas, makin ditentang makin ganas dan kini kemarahan hatinya membuat gilanya kumat dan ia tidak peduli atau tidak ingat lagi bahwa Kwi Lan adalah muridnya, juga keponakannya. Ia kini maju mendekati Kwi Lan dan membentak. “Setan cilik! Berani kau menentang aku? Dua kali kau menghina Gurumu sendiri, tahukah kau apa hukumannya untuk itu?”

Kwi Lan menjatuhkan dirinya berlutut. Ia seorang pemberani, tidak takut mati dan tidak takut melawan siapa pun juga. Akan tetapi tak mungkin ia mau melawan gurunya yang mendidiknya sejak ia masih kecil. Ia pun tahu bahwa sekali gurunya marah seperti ini, biar pun ia melawan juga tidak ada gunanya, lari pun percuma.

“Bibi, kebaikanmu tidak cukup kubalas dengan nyawa. Kalau kau menghendaki, aku bersedia menerima hukuman apa pun juga, bahkan kematian tidak akan membikin aku menyesal. Silakan!”

Sian Eng tercengang. Dia berwatak aneh, keras dan ganas. Akan tetapi melihat betapa Kwi Lan menantang maut dengan sikap sedingin dan setenang ini, ia terkejut juga, terkejut dan kagum. Akan tetapi hanya untuk sesaat karena kemarahannya kembali memuncak.

“Kau sudah berani menangkis pukulanku, nah, kau cobalah tangkis ini!” Tangan kanannya bergerak menyambar ke arah kepala Kwi Lan yang menunduk.

“Wuuuutttt... prakkkk...!” Hancur luluh tongkat di tangan Yu Siang Ki ketika ia pergunakan untuk menangkis tangan Siang Eng dalam usahanya menolong Kwi Lan yang terancam bahaya maut. Ia sendiri terhuyung ke belakang. Akan tetapi pemuda ini sudah melompat maju lagi, membusungkan dada menantang kepada Sian Eng.

“Cianpwe, tidak semestinya membunuh Kwi Lan karena dia tidak berdosa. Kalau dia menolong saya dianggap salah oleh Cianpwe, maka kesalahannya adalah karena saya dan saya bersedia menerima hukumannya, sekali-kali bukan Kwi Lan yang harus menanggung.”

Kam Sian Eng tercengang. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pengemis muda ini begini nekat, berani menangkis pukulannya dan melindungi Kwi Lan. Ia makin marah. Akan tetapi keheranannya melihat pembelaan pemuda itu kepada muridnya, membuat ia ragu-ragu untuk turun tangan dan sebaliknya ia membentak.

“Mengapa kau membela dia? Dia apamu?”

Yu Siang Ki tersenyum duka dan menggeleng kepalanya. “Memang bukan apa-apa, Cianpwe. Akan tetapi saya siap untuk mempertaruhkan nyawa untuknya.”

Terdengar isak tertahan yang keluar dari kerongkongan Song Goat. Gadis ini ternyata telah menangis perlahan sambil menutupi mukanya. Ayahnya sudah berdiri di sampingnya dan merangkul pundak puterinya, wajah kakek ini pun diliputi kedukaan.

“Hemm...! Kau... kau mencinta Kwi Lan?”

Kwi Lan sendiri memandang dengan mata terbelalak. Semua orang memandang kepada Siang Ki dan keadaan di situ hening oleh ketegangan menanti jawaban Siang Ki yang ditanya secara terus terang oleh wanita berkerudung yang menyeramkan itu.

“Benar! Saya mencinta Kwi Lan dan siap mati untuknya!” jawab Siang Ki kemudian dengan suara tenang. Kembali Song Goat terisak, kini menangis tersedu-sedu dan meronta dari rangkulan ayahnya, terus melarikan diri sambil menangis.

“Goat-ji (Anak Goat)...!” Song Hai kakek ahli obat itu lalu lari mengejar puterinya setelah ia memandang ke arah Yu Siang Ki dengan sinar mata mengandung penyesalan.

“Bibi, apakah Bibi masih berkeras hendak membunuh kami? Silakan!” Kwi Lan berkata, nada suaranya marah dan ia menantang dengan nekat sedangkan Yu Siang Ki memandang dengan sikap tenang.

Kam Sian Eng ragu-ragu, “Hemm, kau mencinta Kwi Lan? Eh, Kwi Lan, apakah kau juga mencinta pemuda jembel ini?” Orang yang dicinta Kam Sian Eng dahulu adalah seorang putera pangeran, maka tentu saja ia memandang rendah kepada Yu Siang Ki yang biar pun tampan namun berpakaian jembel.

“Cinta...?” Kwi Lan menggeleng kepala. “Aku tidak tahu..., aku tidak mencinta siapa-siapa, akan tetapi Siang Ki amat baik kepadaku dan pernah menolongku. Yang sudah jelas, dia adalah sahabat baikku, Bibi.”

Sinar mata kemarahan di balik kerudung itu berseri sebentar. Di sudut benaknya, wanita aneh ini tentu saja tidak ingin mendengar Kwi Lan mencinta laki-laki lain karena sudah ia harapkan untuk menjadi isteri puteranya!

“Bagus, biarlah kuampunkan nyawa jembel muda ini. Akan tetapi kau harus segera menyusul Suheng-mu.”

Biar pun sejak kecil sering cekcok dengan Suma Kiat putera tunggal gurunya, akan tetapi karena sejak kecil menjadi teman bermain, Kwi Lan gembira mendengar ini. “Di mana adanya Suma-suheng?”

“Di kota raja Kerajaan Sung. Kau lekaslah menyusul ke sana. Awas kalau kau tidak berada di sana dalam waktu dua bulan.” Setelah berkata demikian tubuh wanita berkerudung ini berkelebat dan lenyap dari situ.

Kwi Lan dan Siang Kwi saling pandang. Baru saja mereka terlepas dari bahaya maut yang sudah mengancam hebat. Siang Ki yang tadinya amat tegang, kini menarik napas panjang. “Hebat... Gurumu hebat...,” katanya dan terasalah kini oleh pemuda itu betapa tubuhnya masih amat lemah, biar pun rasa nyeri sudah hilang.

“Ah, ke mana perginya Enci Goat tadi? Siang Ki, kau mengasolah di pondok, biar aku mengejar mereka!” Tanpa menanti jawaban Siang Ki, Kwi Lan lalu melompat jauh dan mengerahkan ginkang dan berlari secepat larinya kijang memasuki hutan di mana tadi ia melihat Song Goat melarikan diri kemudian dikejar ayahnya.

Jauh di dalam hutan, Kwi Lan mendapatkan kakek Song itu berdiri seperti arca, mukanya pucat dan diliputi awan kedukaan, bahkan ada bintik-bintik air mata di kedua pipinya!

“Song-lopek! Ada apakah? Mana Enci Goat?”

Kakek itu tidak menjawab, hanya menudingkan telunjuk kanannya ke batang pohon di depannya. Kwi Lan memandang dan ternyata di pohon itu terdapat sehelai sapu tangan sutera putih yang tertusuk jarum keempat ujungnya dan sapu tangan itu ada tulisannya, agaknya ditulis dengan ranting pohon dengan tinta getah pohon.

Ayah, biarkan anak merantau melupakan duka. Sampai jumpa’.

“Eh, apa artinya semua ini, Lopek? Adakah ini sapu tangan Enci Goat? Tulisannya?” tanya Kwi Lan yang masih belum mengerti.

Song Hai mengangguk dan menarik napas panjang. “Kalau aku mau, tentu saja aku akan dapat mengejarnya sampai tersusul. Akan tetapi apa gunanya? Sejak kecil dia berkeras hati. Dan dia tulis sampai jumpa, berarti kelak ia akan kembali kepada ayahnya...” Muka yang tua itu kelihatan berduka sekali. “Biarlah aku menunggu..., menunggu dan mengharap... dan berdoa semoga Thian Yang Maha Adil akan memberi jalan kepada Anakku....“

“Akan tetapi... mengapa Enci Goat melarikan diri? Mengapa kalian berduka?”

Tiba-tiba kakek itu membalikkan tubuh memandangnya dengan tajam sambil bertanya, suaranya tegas, “Nona apakah... maaf, apakah kau mencinta Yu Siang Ki?”

Kwi Lan melongo dan wajahnya menjadi merah. Untung ia teringat bahwa kakek ini telah menolong dia dan Siang Ki, kalau tidak, tentu pertanyaan itu akan dianggapnya kurang ajar. Ia hanya terheran mengapa kakek ini bertanya demikian, lebih heran lagi karena baru saja gurunya pun bertanya demikian.

“Aku tidak tahu, Lopek. Aku suka kepadanya tentu saja karena dia seorang yang baik, dia seorang sahabatku. Akan tetapi cinta...? Ah, aku sendiri tidak tahu apakah itu cinta, kurasa aku tidak mencinta siapa-siapa.”

Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira dan ia memegang tangan Kwi Lan. “Ah, alangkah lega dan girang hatiku, Nona. Tapi... tapi... ah, apa bedanya? Dia tetap saja mencintamu.”

“Kalau begitu mengapa, Lopek? Mengapa pernyataan cinta Siang Ki kepadaku begini mendukakan hati Enci Goat dan kau?”

Kembali kakek itu menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya. “Dahulu, ayah pemuda itu adalah sahabat baikku. Yu Kang Tianglo pernah melihat Goat-ji di waktu anakku berusia satu tahun dan puteranya juga berusia satu tahun. Dan pada waktu itu, Yu Kang Tianglo mengikat jodoh antara kami, Goat-ji dan Siang Ki. Sudah bertahun-tahun aku membawa anakku merantau, mencari tunangannya. Akhirnya kami mendengar bahwa Yu Siang Ki telah menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang. Kami menyusul ke sana akan tetapi dia sudah pergi. Kami mengikuti jejaknya terus sampai dapat berjumpa, bahkan menolongnya. Akan tetapi tadi pemuda itu menyatakan bahwa dia mencintamu dan tentu saja kau mengerti betapa hancur dan malu rasa hati Goat-ji....”

“Ahhh...!” Kwi Lan berseru kaget. “Kasihan sekali Enci Goat! Kenapa Siang Ki begitu tidak tahu aturan dan tidak mengenal budi?”

Melihat gadis itu kelihatan marah-marah, Song Hai memegang tangannya. “Jangan kau persalahkan sahabatmu itu, Nona. Yu-pangcu agaknya sama sekali tidak tahu akan tali perjodohan yang ditentukan mendiang ayahnya itu. Karena melihat sikapnya yang berbudi, kurasa kalau dia tahu tentu dia tidak akan melakukan hal yang begitu menyakitkan hati Goat-ji. Sudahlah, urusan ini tidak perlu dipersoalkan, soal jodoh berada di tangan Thian. Manusia tidak berkuasa memaksakan. Selamat berpisah, Nona.”

Kakek itu membalikkan diri meninggalkan Kwi Lan. Akan tetapi baru saja berjalan beberapa langkah, ia membalik dan berkata, “Oh ya, tolong kau sampaikan gurumu. Kepadanya tadi aku tidak berani bicara karena khawatir menyinggungnya, akan tetapi mengingat engkau, Nona, maka wajib kuberitahukan agar kau sampaikan kepada gurumu. Agar dia cepat-cepat menghilangkan semua tenaga sinkang, menghentikan latihan dan tidak mengerahkan tenaga lagi agar nyawanya dapat tertolong.”

“Heee? Kenapa, Lopek?”

“Dia... telah salah berlatih. Aku melihat cahaya maut di wajahnya, tanda bahwa hawa sakti yang terhimpun secara keliru di dalam tubuh meracuni darah dan merusak bagian dalam tubuhnya. Dan... dan kau sendiri, Nona, karena kau masih muda dan kau kuat maka belum tampak tanda-tanda itu. Hanya mengingat keadaan gurumu, bukan tidak mungkin engkau kelak akan terancam oleh bahaya yang sama. Maka lekas kau mencari guru yang sakti dan minta petunjuknya. Dalam hal ini, aku sendiri tak dapat memberi petunjuk. Ilmu silatku belum setinggi itu.” Setelah berkata demikian, kakek itu membalikkan tubuh dan kali ini ia tidak menengok lagi sampai lenyap di balik pohon-pohon besar.

Kwi Lan tergesa-gesa kembali ke pondok. Ia melihat Yu Siang Ki telah berdiri di luar pondok, agaknya menanti-nanti kedatangannya. Begitu melihat munculnya gadis itu, Siang Ki tersenyum gembira dan berkata, “Kwi Lan, kita harus cepat-cepat pergi dari sini, siapa tahu kalau-kalau iblis itu kembali lagi dan....”

Pemuda itu menghentikan kata-katanya karena melihat wajah gadis itu merah sekali dan sinar matanya seakan-akan dua batang pedang ditodongkan ke ulu hatinya. “Eh... eh..., ada apakah...?”

Kwi Lan berdiri di depan pemuda itu, tangan kiri bertolak pinggang, lengan kanan diulur ke depan dengan telunjuk ditudingkan hampir menyentuh hidung Yu Siang Ki, suaranya ketus ketika kata-katanya keluar menghambur dari bibir yang merah.

“Kau ini seorang yang sangat bo-ceng-li!”

“Hah...?” Siang Ki memandang bengong, benar-benar kaget, heran dan tidak mengerti, mengapa tiada hujan tiada angin gadis ini marah-marah seperti kilat menyambar-nyambar, mengatakan ia bo-ceng-li (tak tahu aturan)!

“Kau tidak setia, tidak mengenal budi, dan berhati kejam!” Kembali Kwi Lan menyerang dengan hardikannya tanpa mempedulikan keheranan dan kebingungan pemuda itu.

“Aahhh...?”

“Semenjak berusia setahun, kau telah ditunangkan dengan Enci Goat oleh mendiang ayahmu!”

“Ehhh...?”

“Enci Goat dan ayahnya bertahun-tahun mencarimu, setelah bertemu mereka telah menyelamatkan nyawamu. Akan tetapi, apa yang kau lakukan kepadanya? Di depan Enci Goat, kau secara bo-ceng-li sekali menyatakan bahwa kau mencintaku!”

“Ohhhh...?”

“Huh! Bisanya cuma ah-eh-oh! Laki-laki macam apa kau ini? Tidak setia, tidak mengenal budi, malah menghancurkan hati Enci Goat yang begitu baik! Kalau tidak ingat engkau sahabatku, sekarang juga sudah kutusuk dadamu, kukeluarkan hatimu!”

“Eeee-eeeh, nanti dulu Kwi Lan. Apa artinya semua ini? Tentang tunangan itu, dalam usia setahun, bagaimana pula ini? Sungguh aku tidak mengerti...”

“Benar kau tidak mengerti? Kau tidak tahu? Berani kau bersumpah bahwa kau tidak tahu akan ikatan jodoh antara kau dan Enci Goat? Bersumpahlah kalau kau berani menyangkal!”

“Sungguh mati aku tidak tahu seujung rambut pun. Kalau aku tahu dan menyangkal, biarlah aku disambar geledek!”

“Huh, enak saja laki-laki bersumpah. Di hari terang seperti ini, tiada hujan tiada angin, mana mungkin ada geledek?”

Siang Ki menahan senyum di hatinya yang perih. Ah, Kwi Lan, kau tidak tahu betapa miripnya kau dengan sinar kilat menyambar-nyambar ketika datang-datang marah tiada ujung pangkalnya, indah gemilang seperti kilat, namun amat berbahaya dan sambarannya kini sudah terasa nyeri jantungnya.

“Sungguh Kwi Lan. Mendiang ayahku tidak pernah bicara sesuatu mengenai hal itu. Bagaimana kau bisa tahu akan pertunanganku itu? Siapa yang memberitahu kepadamu?”

Melihat sinar mata pemuda itu, Kwi Lan percaya bahwa memang benar Siang Ki belum tahu akan tali perjodohan yang mengikatnya, maka dengan suara yang lebih sabar ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Song Hai dan tentang cerita kakek itu.

“Karena mendiang ayahmu sendiri yang menentukan ikatan jodoh, tentu saja sejak kecil Enci Goat sudah menganggap dirinya calon isterimu, demikian pula Song-lopek tidak memandang lain pemuda karena menganggap kau sebagai calon mantu.”

“Ah..., akan tetapi mengapa mereka tidak mau memberitahu kepadaku? Sungguh mati, Kwi Lan. Andai kata aku tahu, betapa pun hancur hatiku, kiranya aku tidak akan begitu keji untuk menyatakan cinta kasihku kepadamu di depan mereka. Aduh, Kwi Lan, aku menjadi bingung sekali, aku menjadi malu kepada mereka. Katakanlah, Kwi Lan, engkau yang sudah tahu rahasia hatiku, engkau satu-satunya wanita yang pernah kucinta, apakah yang harus kulakukan sekarang?” Dengan lemas Siang Ki menjatuhkan diri, duduk di atas tanah dengan wajah muram.

Betapa pun juga, di dalam hatinya Kwi Lan amat suka kepada pemuda yang ia tahu amat baik ini. Agaknya tidak akan sukar baginya untuk memperdalam rasa suka ini menjadi rasa cinta, kalau saja dia diberi waktu dan kesempatan. Akan tetapi pengertian bahwa pemuda ini adalah ‘hak milik’ Song Goat, tentu saja menghapus semua bibit-bibit cinta dari hatinya. Ia merasa kasihan, lalu duduk pula di atas tanah, menyentuh lengan pemuda itu sambil berkata, suaranya halus.

“Siang Ki, ke mana perginya sifat gagahmu? Mungkinkah seorang pendekar muda seperti engkau, seorang ketua Khong-sim Kai-pang, menjadi begini lemah hanya oleh urusan yang menyangkut perasaanmu sendiri? Hayo usirlah semua kebingungan dan kedukaanmu. Lihat baik-baik, Siang Ki. Aku tidak mencintamu, aku tidak mungkin bisa cinta kepadamu, kecuali sebagai seorang adik. Seorang gagah seperti engkau sudah sepatutnya menjunjung tinggi nama ayahmu dan memenuhi janji ayahmu, juga harus kau jaga masa depan Enci Goat yang tentu saja selamanya tidak akan sudi menikah dengan orang lain karena sejak kecil sudah merasa menjadi jodohmu. Sekarang Enci Goat melarikan diri dalam keadaan duka dan merana. Kewajibanmulah untuk mencarinya dan menyambung kembali ikatan yang kau putus tanpa kau ketahui.”

“Ke mana... aku harus mencarinya?”

“Entahlah, aku sendiri akan pergi ke kota raja, memenuhi pesan Bibi Sian.”

“Aku sedang mencari Paman Suling Emas. Apakah kau tidak jadi pergi ke Khitan?”

“Tentu jadi nanti, setelah selesai urusanku memenuhi pesan Bibi Sian di kota raja.”

“Kalau begitu, kita dapat melakukan perjalanan bersama!”

Kwi Lan memandang pemuda itu dengan kening berkerut karena melihat seri gembira pada wajah itu. “Yu Siang Ki! Masih belum sadarkah engkau dari lamunanmu yang kosong? Engkau adalah calon suami Enci Goat, jangan kau harap untuk aku... aku...”

Siang Ki tersenyum duka dan menggeleng kepala. “Betapa pun perih hatiku, aku harus membenarkan pendapatmu dan aku tidak akan bertindak bodoh menurutkan hati dan perasaan, Kwi Lan. Tidak, aku hanya ingin melakukan perjalanan bersamamu, pertama karena dengan demikian kita akan lebih kuat menghadapi musuh-musuh yang lihai. Kedua, kalau sampai kita dapat berjumpa dengan... Nona Goat, hanya engkaulah yang dapat menolongku untuk menerangkannya tentang... eh, tentang kebodohanku. Kalau bukan kau yang.menjelaskannya, tentu ia tidak percaya kepadaku.”

Kwi Lan berpikir sebentar lalu mengangguk. “Alasanmu memang kuat. Baiklah, kita melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi, awas dan ingat, aku hanya seorang sahabat dan kita saling mencinta seperti kakak beradik.”

Kemudian Siang Ki menarik napas panjang melepaskan kedukaan hatinya. “Sejak detik ini kau sudah kuanggap seorang gi-moi (adik angkat karena ikatan budi).”

“Baiklah, kau menjadi gi-heng (kakak angkat). Mari kita berangkat, sedapat mungkin kita kejar Enci Goat.”

Tanpa menjawab Siang Ki lalu meloncat bangun dan pergilah dua orang muda itu meninggalkan hutan.

********************


Setelah menuliskan pesan pada sapu tangan putih yang ia pasang di batang pohon, Song Goat terus melarikan diri sambil menangis. Jantungnya serasa ditusuk-tusuk. Teringat ia betapa dengan susah payah ayahnya membawanya merantau sampai bertahun-tahun, dan betapa hatinya berdebar tegang penuh perasaan puas dan gembira ketika akhirnya ia melihat pemuda yang dijodohkan dengannya, pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Bahagia terasa di hatinya ketika ia dan ayahnya, dengan jalan menempuh bahaya maut, berhasil merampas Siang Ki dari tangan orang-orang Thian-liong-pang kemudian bahkan mengobatinya dan menyelamatkan nyawa calon suaminya itu. Rasa malu dan jengah tertutup oleh sinar cinta kasih yang mekar di lubuk hatinya ketika ia melihat calon suaminya ini.

Akan tetapi, alangkah besar kedukaan dan kekecewaan hatinya mendengar orang yang sejak kecil dijodohkan dengan dirinya itu di depannya, dan di depan ayahnya, secara terang-terangan mengaku cinta kepada, Kwi Lan! Ia merasa dikhianati, merasa dicurangi dan hatinya sakit sekali.

Sudah banyak tokoh-tokoh kang-ouw meminangnya, namun semua ditolak ayahnya yang memegang teguh janjinya dengan mendiang Yu Kang Tianglo, sahabatnya. Dan lebih banyak lagi dia sendiri menangkap sinar kagum dan mesra penuh kasih dari pandang mata banyak pemuda-pemuda tampan, namun ia selalu tidak sudi melayani mereka oleh karena hatinya sudah penuh dengan keyakinan dan kesetiaan bahwa dia adalah jodoh putera Yu Kang Tianglo!

Song Goat berjalan terus tanpa tujuan. Hatinya yang pedih membuat kakinya bergerak menempuh jalan-jalan yang paling sukar. Pandang matanya muram tertutup air mata dan wajahnya agak pucat. Setelah hari menjadi gelap, barulah ia terpaksa berhenti karena tak mungkin melanjutkan perjalanan yang amat sukar itu di malam gelap.

Betapa pun nelangsa hatinya, Song Goat sama sekali tidak mempunyai niat untuk bunuh diri. Pendidikan ayahnya tentang kebatinan sudah mendalam sehingga perbuatan ini merupakan pantangan besar baginya. Ayahnya sebagai ahli pengobatan berpendirian bahwa manusia harus menjaga diri harus memelihara tubuh dan mempertahankan nyawa sekuatnya, menentang maut sedapat mungkin karena hal ini merupakan satu dari pada kewajiban hidup. Bunuh diri merupakan perbuatan yang paling hina dan pengecut.

Tidak, dia tidak mau membunuh diri, dan melanjutkan perjalanan dalam gelap melalui jurang-jurang berbatu-batu itu yang sama halnya dengan usaha bunuh diri. Rasa lapar di perutnya menambah kesengsaraannya, namun sambil menggigit bibir Song Goat menahan lapar lalu mencari tempat di antara batu-batu besar yang merupakan dinding tinggi di sebelah kirinya untuk tempat berlindung melewatkan malam.

Tempat di lereng gunung ini amat sunyi. Tiada terdengar sesuatu, tiada terlihat sesuatu yang hidup. Hanya penuh batu-batu dan goa-goa batu. Mula-mula sebelum datang malam, tidak tampak sesuatu yang menandakan bahwa di sekitar tempat itu ada manusia lain. Akan tetapi setelah cuaca menjadi gelap, dari tempat ia mengaso, Song Goat dapat melihat cahaya menyorot ke luar dari goa-goa batu sejauh sepelepasan anak panah. Cahaya yang menyorot ke luar di antara celah-celah batu itu bergerak-gerak, tanda bahwa itu adalah cahaya api yang menyala dan bergerak-gerak terhembus angin.

Ia merasa heran dan curiga. Siapakah orangnya menjadi penghuni tempat yang sunyi dan liar ini? Keinginan tahu yang besar menyelubungi hatinya dan membuat ia bangkit. Perlahan-lahan ia menunduk dan menyelinap di antara batu-batu besar menghampiri goa itu. Dari celah-celah batu di luar goa yang diterangi sinar api unggun itu ia mengintai dan... otomatis tangan kiri Song Goat menutup mulutnya untuk mencegah suara keluar dari mulut itu, matanya terbelalak dan mukanya menjadi merah saking jengah.

Ia tentu akan segera membuang muka dan mundur agar tidak melihat lagi pemandangan yang tidak sopan itu kalau saja pengertiannya tentang cara pengobatan tidak membuat ia sadar dan maklum bahwa dua orang di dalam goa itu tengah melakukan latihan untuk penyembuhan luka di dalam yang amat hebat. Dua orang sedang duduk bersila, saling berhadapan, kedua pasang tangan saling menempel pada telapakan, mata meram dari kepala mereka tampak uap mengebul ke atas. Yang membuat ia malu dan jengah adalah keadaan mereka yang telanjang bulat dan mereka itu adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik!

Song Goat banyak belajar ilmu pengobatan dari ayahnya. Biar pun belum pernah ayahnya melakukan cara pengobatan seaneh yang dilakukan dua orang di dalam goa, namun gadis itu pernah mendengar tentang pengobatan dengan cara menyalurkan hawa sakti di dalam tubuh ke tubuh orang lain yang diobati. Ia bahkan tahu pula cara menyalurkan ini dapat pula ia membantu seorang yang terluka di bagian dalam tubuhnya dengan penyaluran tenaga melalui telapak tangan. Akan tetapi dalam keadaan telanjang bulat seperti itu! Benar-benar baru kali ini ia melihatnya! Tentu ini merupakan cara pengobatan kaum sesat pikirnya. Karena ingin tahu, ia melawan perasaan malu dan jengah serta terus memandang keadaan dua orang muda yang ia anggap tidak tahu akan susila itu.

Setelah pandang matanya mulai terbiasa dengan sinar api unggun yang bergerak-gerak itu, ia mengenal wanita cantik yang telanjang bulat itu. Kiranya wanita itu adalah gadis berpakaian merah yang memimpin para hwesio Tibet menyerang Siauw-bin Lo-mo, gadis yang mengaku sebagai murid Siang-mou Sin-ni! Ah, pantas saja mereka melakukan cara pengobatan macam ini, pikirnya. Tidak salah lagi, pemuda tampan ini pun tentu seorang anggota kaum sesat.

Berpikir demikian, Song Goat menjadi muak dan hendak menyelinap pergi, akan tetapi ia urungkan niatnya ketika melihat berkelebatnya bayangan empat orang tinggi besar memasuki goa itu. Ia mengintai dan melihat bahwa empat orang ini adalah hwesio-hwesio berjubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu!

Hemmm, kiranya tempat ini menjadi tempat berkumpul kaum sesat ini, pikirnya dengan hati berdebar. Kini tahulah ia bahwa ia tersesat ke sarang harimau, ke tempat musuh dan kalau sampai ia diketahui orang, tentu akan celaka. Baru murid Siang-mou Sin-ni saja sudah amat hebat dan tinggi tingkat kepandaiannya, tidak terlawan olehnya. Apa lagi ditambah hwesio-hwesio itu dan pemuda tampan tak tahu malu ini! Dia harus cepat pergi meninggalkan tempat berbahaya ini, malam ini juga.

Akan tetapi, kembali Song Goat menahan gerakan kakinya yang sudah melangkah hendak pergi dan matanya terbelalak memandang ke dalam goa. Hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya terjadi. Empat orang hwesio jubah merah itu mencabut golok dan pedang masing-masing, lalu serempak menyerang pemuda yang masih duduk bersila tak bergerak sambil meramkan mata! Hampir saja Song Goat berseru kaget melihat gemerlapnya empat batang senjata tajam itu melayang ke arah si Pemuda.

Juga kini baru tampak oleh Song Goat bahwa tubuh pemuda tampan itu dari leher ke bawah berwarna kehitaman. Tadi ia tidak sampai hati memandang tubuh telanjang bulat itu, kini dalam sekilas pandang karena pemuda itu terancam bahaya, baru ia melihatnya dan tahulah ia bahwa pemuda itu telah keracunan secara hebat sekali. Melihat betapa tubuh wanita itu putih bersih dan kemerahan membayangkan kesehatan, ia kini tahu bahwa si Wanita itulah yang sedang menyalurkan hawa sakti untuk membantu dan mengobati si Pemuda. Dan kini pemuda itu diserang hebat dalam keadaan tidak berdaya sama sekali.

Song Goat melihat betapa wanita cantik murid Siang-mou Sin-ni itu membuka mata, terbelalak, lalu tangan kanannya yang tadinya menempel pada telapak tangan pemuda itu terlepas, dan secepat kilat tangan itu mendorong ke depan melalui atas kepala pemuda itu, empat kali berturut-turut mendorong ke arah empat orang hwesio jubah merah yang tidak memperhatikannya. Dari tangan kanan itu meluncur hawa pukulan yang jelas tampak bersinar merah ke arah empat orang hwesio jubah merah dan... empat orang hwesio itu mengeluarkan pekik mengerikan, senjata mereka terlepas dan mereka terjengkang ke belakang dengan mata terbelalak dan tewas seketika!

Akan tetapi tubuh wanita cantik itu sendiri tergetar hebat, tangan kirinya menggigil kemudian tubuhnya sendiri terjengkang, telentang, seluruh tubuhnya kini menjadi menghitam napasnya terengah-engah. Anehnya tubuh si Pemuda yang tadinya menghitam itu kini menjadi putih bersih dari leher sampai ke pinggang, dan warna kehitaman hanya tampak dari pinggang ke bawah.

“Celaka...!” seru Song Goat dalam hatinya. Melihat wanita cantik itu menolong si Pemuda dan mengorbankan diri sendiri, timbul rasa simpatinya dan ia dapat menduga bahwa wanita itu kini terluka hebat sekali, sebaliknya si Pemuda itu sudah terobati sebagian besar dan masih ada harapan tertolong nyawanya.

Setelah kedua telapak tangannya terlepas dari kedua tangan wanita itu, si Pemuda tubuhnya bergoyang-goyang, kemudian ia membuka matanya. Melihat wanita itu telentang dengan tubuh menghitam dan di sekelilingnya rebah empat orang hwesio jubah merah yang sudah tewas semua, pemuda itu meloncat dan menubruk wanita cantik itu mengangkat kepalanya dan dipangkunya kepala itu.

“Leng In... ah, Leng In...,” pemuda itu berbisik, penuh perasaan terharu dan khawatir.

Po Leng In, wanita itu, membuka mata dan tersenyum, senyum yang membayangkan maut, senyum yang amat menyedihkan, kedua lengannya bergerak seperti hendak merangkul leher, akan tetapi rebah kembali dengan lemas, bibirnya bergerak.

“...aku puas... dapat mengakhiri hidup dalam keadaan begini... aku bahagia... dapat menolongmu, kekasihku...“ Po Leng In masih berusaha menggerakkan tubuh, agaknya ingin sekali bicara banyak, akan tetapi ia menjadi lemas. Tubuhnya tiba-tiba kejang dan kemudian lemas, tak bernyawa lagi.

“Leng In !” Pemuda itu mempererat pelukannya, membenamkan muka pada rambut yang hitam halus itu menahan sedu sedan yang naik ke tenggorokannya. Melihat ini Song Goat terharu.

Siapa pun pemuda itu, betapa pun ia menjadi sekutu murid Siang-mou Sin-ni, menjadi kekasih wanita sesat itu dan terang juga seorang sesat, namun melihat pemuda itu berduka dan terharu, ia ikut merasakan kedukaannya. Ia dapat merasa betapa perih hati ditinggali orang yang dicintanya. Dan ia pun merasa seolah-olah ia dipaksa berpisah dari orang yang dicintanya, dari calon suaminya. Tak tertahankan lagi, ia pun terisak, namun ditahan-tahannya.

Tiba-tiba tubuh pemuda yang telanjang bulat itu mencelat keluar dari goa. Terbuktilah kelihaian pemuda itu. Suaranya menahan isak yang begitu lirih ternyata didengar pemuda itu dan gerakan pemuda itu meloncat bukan main ringannya, tahu-tahu sudah berada di depannya dengan sikap mengancam dan bengis, siap hendak menyerang.

Akan tetapi agaknya pemuda itu kaget, heran, ragu dan jengah ketika melihat bahwa yang mengintai adalah seorang gadis cantik, bukan seorang hwesio jubah merah. Dan wajah yang tampan dan penuh keheranan dan kedukaan itu tiba-tiba menyeringai menahan sakit tubuhnya terguling dan ia roboh pingsan di depan kaki Song Goat.

Keinginan pertama yang memenuhi hati Song Goat adalah cepat-cepat pergi meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Akan tetapi watak yang dibentuk ayahnya semenjak kecil, watak yang ingin menolong orang yang sedang menderita sakit, watak yang ingin melawan segala macam penyakit yang hendak merenggut nyawa orang siapa pun adanya orang itu, membuat ia menekan perasaannya, memperbesar nyalinya dan ia segera meloncat ke dalam goa.

Ia membungkuk dan memeriksa nadi serta dada Po Leng In, hanya untuk mendapat keyakinan bahwa wanita itu tak dapat ditolong lagi, sudah tewas akibat racun yang menerobos melalui telapak tangan pemuda itu. Hawa beracun itu menerobos memasuki tubuhnya karena wanita ini tadi mengerahkan semua tenaga untuk merobohkan empat orang hwesio jubah merah.

Dengan sendirinya, tubuhnya menjadi lemah dan kosong, tidak ada daya tahan sehingga penyaluran hawa sakti dari pemuda itu menerobos dan membawa sebagian besar hawa beracun pindah ke dalam tubuhnya! Ketika Song Goat melirik ke arah empat orang hwesio jubah merah, tanpa memeriksa lagi ia sudah yakin bahwa mereka semua tewas dengan mata mendelik, mata terbuka lebar namun sama sekali tidak bergerak dan tidak ada cahayanya, mata orang-orang mati.

Ia menghela napas panjang. Tidak ada yang dapat ia kerjakan lagi di dalam goa yang menjadi kuburan lima orang itu, maka ia lalu menyambar tumpukan pakaian warna putih di dekat tumpukan pakaian warna merah, membawa pakaian itu keluar dan ia membungkuk lalu memeriksa detik nadi dan dada pemuda tampan itu. Benar seperti diduganya, pemuda ini tertolong dari pinggang ke atas sudah bebas hawa beracun, akan tetapi di bagian bawah tubuhnya masih menghitam. Kalau tidak cepat mendapat pertolongan yang tepat, nyawa pemuda ini pun masih terancam bahaya maut.

Sebagai puteri tunggal Yok-san-jin, ia maklum bahwa hawa beracun yang meracuni pemuda ini aneh dan jahat bukan main. Dan sudah menjadi watak ayahnya apa bila menghadapi penyakit atau racun yang amat jahat, makin jahat makin tertariklah hatinya, makin besar semangatnya untuk melawan dan mengalahkan penyakit atau racun itu!

Ia lalu mengenakan pakaian pemuda itu sedapatnya dengan perasaan jengah dan seberapa dapat tanpa melihat tubuh pemuda itu sehingga cara ia mengenakan pakaian itupun tidak karuan, seolah-olah tubuh pemuda itu hanya ia bungkus saja dengan pakaian putih itu. Kemudian ia mengempit tubuh pemuda itu, dikempit bagian pinggangnya dan pergilah Song Goat meninggalkan goa yang mengerikan tadi.

Ia harus cepat ditolong, kalau tidak, menurut taksirannya, dalam waktu kurang dari tiga puluh enam jam tentu sukar ditolong pula. Dan ia membutuhkan banyak benda, air mendidih, beberapa daun obat. Mulailah Song Goat merayap dan berjalan perlahan menuruni lereng dari atas, mencari-cari dengan pandang matanya dan akhirnya ia melihat cahaya penerangan dari sekelompok rumah-rumah, tentu sebuah dusun.

Dipercepatnya jalannya dan menjelang fajar ia sudah memasuki sebuah dusun yang cukup besar. Ia mencari-cari kemudian mengetuk pintu sebuah kedai makan di sudut dusun. Tak lama kemudian daun pintu dibuka dan seorang laki-laki gemuk setengah tua muncul. Dia pemilik kedai dan selalu bangun pagi-pagi untuk mempersiapkan kedainya. Kini ia memandang dengan heran melihat seorang gadis cantik jelita sepagi ini sudah datang berkunjung sambil mengempit tubuh seorang laki-laki yang pingsan.

“...ehh..., Nona siapakah...? Mau apa...? Dan... dia ini...?”

“Paman, aku seorang ahli pengobatan, sahabatku ini sakit keras. Hari ini kusewa kedaimu, atau setidaknya dapurmu.”

“Tapi... tapi... mana bisa...?”

“Tidak ada tapi, Paman. Demi nyawa orang ini, kau harus menolongku. Hanya sehari kusewa kedai dan dapurmu. Pula, adakah kedaimu dapat menghasilkan sebanyak ini dalam sehari? Song Goat mengeluarkan sebuah gelang emas dan melemparkannya ke atas meja. Kau terimalah gelang itu, untuk sewa kedai sehari.”

Tukang kedai itu dengan bingung dan ragu-ragu memandang Song Goat, kemudian memandang wajah pemuda yang sakit, lalu melirik ke arah gelang emas di atas meja. Kalamenjingnya naik turun. Sudah amat lama ia sebagai duda tergila-gila kepada seorang janda muda di dusun itu, akan tetapi belum juga berhasil memikatnya. Dengan gelang emas seindah itu agaknya... hemm, akan tetapi ia harus hati-hati.

“Orang ini... bagaimana kalau mati di tempatku?”

“Tidak, Paman. Ia akan hidup dan ini tergantung pertolonganmu juga. Lekas kau nyalakan perapian di dapur dan adakah Paman mempunyai sebuah ember besar yang cukup besar dimasuki orang ini?”

“Haaah?" Si Gendut itu terbelalak, heran akan tetapi mengangguk-angguk dan ia segera memasuki dapur diikuti Song Goat setelah merapatkan kembali daun pintu depan.

Tanpa banyak cakap lagi Song Goat lalu memilih sebuah tempat masak air yang amat besar, dengan gantungan kawat yang kuat. Juga ia melihat bahwa tempat perapian cukup besar. Memang kedai itu adalah kedai makanan. Hatinya puas.

“Paman, harap kau tolong isi panci besar itu dengan air dan persiapkan perapian. Aku hendak mencari beberapa daun obat di hutan,” kata Song Goat sambil menurunkan dan merebahkan tubuh pemuda itu di atas sebuah bangku panjang yang terdapat di ruangan belakang.

Pemuda itu mengeluh lalu membuka matanya, menoleh ke kanan kiri. Ia terheran ketika melihat dirinya rebah di atas bangku dalam sebuah kamar yang tidak begitu bersih. Lebih-lebih lagi keheranannya ketika ia melihat seorang gadis cantik bersanggul tinggi berdiri di dekatnya, dan dengan gerakan serta tangan berkulit halus menahan dadanya, mencegahnya untuk bangkit.

“Kau keracunan hebat. Aku berusaha mengobatimu. Kau akan sembuh dan bebas dari bahaya maut kalau mentaati pesanku. Kalau kau membangkang kau akan mati. Kau rebah saja di sini, jangan turun dan banyak bergerak. Aku akan pergi mencari daun obat di hutan. Tak perlu bercerita apa-apa dengan Paman pemilik kedai yang sibuk di dapur.” Sikap Song Goat kasar dan ketus. Makin ketus dan kasar sikapnya ketika melihat bahwa laki-laki muda ini benar-benar amat tampan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar lembut tapi tajam menembus jantung. Terhadap seorang pemuda sesat sahabat dan kekasih murid Siang-mou Sin-ni tak perlu ia bersikap halus pikirnya.

Pemuda itu kini sudah membuka mata lebar-lebar dan bibirnya tersenyum ketika dapat mengenal sikap kasar dan ketus yang dibuat-buat itu. Ia sudah terlampau masak dalam pengalamannya untuk mengenal sifat wanita-wanita cantik seperti ini!

“Ah, kiranya aku diselamatkan oleh seorang dewi dari kahyangan. Apakah engkau Kwan Im Pouwsat (Dewi Kasih Sayang), Nona?”

Merah muka Song Goat. Selama hidupnya belum pernah Ia dirayu laki-laki, apa lagi kalau laki-laki itu setampan dan segagah ini, dengan kata-kata merayu yang halus tapi menyenangkan hati. Akan tetapi kembali ia teringat bahwa pemuda ini adalah seorang pemuda sesat, maka ia memaksa diri cemberut dan pandang matanya galak. Bahkan ia tidak menjawab, hanya sibuk mempersiapkan sebuah bungkusan kuning dari saku dalam bajunya, lalu menuang isi bungkusan yang berwarna merah ke dalam tekoan (tempat teh) itu. Kemudian juga masih cemberut tanpa bicara, ia menghampiri pemuda itu dan dengan jari-jari tangannya ia memeriksa dan menekan jalan darah di di dekat mata kaki kanan.

Pemuda itu terus mengikuti semua gerakan gadis itu dengan senyum dan mata memandang kagum. “Nona, kau hebat. Kalau bukan penjelmaan Kwan Im Pouwsat, entah siapa dan entah dewi dari kahyangan mana...”

“Kau diamlah. Simpan kelakarmu itu untuk orang-orang segolonganmu! Aku Song Goat... hemm, aku puteri Song Yok-san-jin. Engkau dalam keadaan setengah hidup setengah mati. Kalau kau mau kuobati, kau diam saja. Aku mau pergi mencari beberapa daun obat.”

Pada saat itu, si Gendut pemilik kedai muncul dari dapur dan Song Goat segera berkata kepadanya, “Paman, aku pergi sekarang mencari obat. Kau godok obat bubuk ini dengan air setekoan penuh, dan sisakan setengah mangkok, kemudian suruh diminum sampai habis.”

Setelah berkata demikian, dengan sikap marah tanpa menoleh lagi sedikit pun kepada pemuda itu, Song Goat berkelebat dan bayangannya lenyap menerobos lubang jendela. Pemilik kedai memandang melongo sampai lama, tercengang keheranan, juga pandang matanya membayangkan rasa ketakutan. Ketika ia memandang pemuda yang sakit itu, ia makin heran karena pemuda itu tersenyum lebar, agaknya sama sekali tidak heran melihat betapa gadis cantik tadi terbang begitu saja keluar jendela seperti seekor burung!

“Kau kenapa, Paman Gedut?” pemuda itu menegurnya sambil tertawa.

“Kau tanya kenapa, orang muda? Tidakkah kau melihat semua keanehan ini? Gadis cantik itu datang di waktu fajar mengempit tubuhmu, lalu menyewa kedaiku dengan bayaran tinggi, kini ia menghilang begitu saja melalui jendela. Biar disambar geledek aku kalau hal ini bukan aneh namanya! Mimpikah aku? Atau... setan... eh, bidadarikah dia? Dan kau, orang muda, kau benar-benar sakitkah?”

Pemuda itu tertawa dan memang amat mengherankan seorang yang katanya sakit terancam maut bisa tertawa dan bersikap setenang itu. “Paman, dia itu tadi seorang bidadari. Lebih baik aku dan Paman mentaati semua perintahnya agar mendapat berkahnya!”

Pemilik kedai itu menjulurkan lidahnya, menggeleng-geleng kepala kemudian bergegas memasuki dapur membawa tekoan berisi obat untuk dimasaknya sesuai dengan perintah si Dewi tadi.

Setelah si Gendut itu pergi, pemuda itu lalu bangkit, duduk bersila dan meramkan mata, mengumpulkan hawa murni di tubuh untuk menekan racun yang masih mengotori separuh tubuhnya agar jangan menjalar makin luas. Ia tentu saja pernah mendengar akan nama Song Yok-san-jin si ahli obat, dan sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kakek ahli obat itu mempunyai seorang puteri yang demikian cantik jelita, lebih-lebih lagi tak pernah menyangka bahwa ia akan tertolong oleh seorang gadis cantik lain yang jauh bedanya dengan Po Leng In.

Teringat akan Po Leng In, ia menarik napas panjang. Patut dikasihani wanita itu. Memang harus diakui bahwa Po Leng In bukan wanita baik-baik dan sudah terlalu banyak dosanya. Akan tetapi ia harus berani mengakui pula bahwa Po Leng In amat baik kepadanya dan ia berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada murid Siang-mou Sin-ni itu! Teringat akan itu semua, ia tidak dapat mengosongkan pikirannya maka cepat-cepat ia menggunakan kekuatan batin untuk mengusir bayangan-bayangan itu.

Setelah kamar belakang ini diterangi sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela, barulah Song Goat muncul dengan cara seperti tadi, yaitu melompat masuk melalui lubang jendela. Wajahnya yang cantik itu kemerahan karena sepagi itu sudah bekerja keras dan berlari-lari, tangannya menggenggam beberapa daun obat dan lehernya berkeringat. Melihat pemuda itu duduk bersila dan bersemedhi dengan cara yang bersih, ia terheran. Sudah ia ketahui bahwa pemuda itu amat lihai, akan tetapi cara bersiulian (bersemedhi) seperti itu benar benar di luar dugaannya. Pemuda itu pun membuka mata dan melihat Song Goat ia lalu berkata.

“Nona, terus terang saja, apakah kau anggap keadaanku masih ada harapan?”

Song Goat menggerakkan kedua pundaknya, Gerakan yang lucu bagi scorang gadis muda dan cantik seperti dia, gerakan yang ia tiru dari ayahnya. Lucu akan tetapi manis! “Entahlah, kalau dapat akan kucoba menyembuhkannya. Sayangnya, aku tidak tahu pasti racun apa yang menyerangmu. Setelah minum obat bubuk yang kutinggalkan tadi, bagaimana rasanya dalam perutmu?”

“Tidak terasa apa-apa. hanya dingin.”

“Tidak ada rasa gatal-gatal di sekitar pusar?”

“Tidak.”

“Aneh, kalau terkena pukulan beracun biasanya obat bubukku tadi tentu akan menimbulkan rasa gatal. Hmm, mudah-mudahan saja usahaku menolongmu berhasil.”

“Nona Song, mengapa begini keras benar kau berusaha untuk menolongku?”

Gadis itu memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan si Gadis menjadi marah. “Huh, apa lagi kalau bukan karena kebetulan aku puteri ayahku seorang ahli obat? Sudah menjadi kewajiban kami untuk berusaha menyembuhkan siapa saja.” Ia berhenti dan cepat menyambung, “Tentu saja kalau si sakit suka diobati!”

Pemuda itu tersenyum. Gadis ini sebenarnya halus dan baik budi, akan tetapi entah mengapa terhadap dia berpura-pura galak. “Kalau begitu, biarlah kubantu usahamu dengan keterangan yang mungkin berguna bagimu. Luka yang meracuni tubuhku adalah luka dalam akibat pukulan Tok-hiat Hoat-lek dari Siang-mou Sin-ni. Lambungku kena pukul Siang-mou Sin-ni.”

Song Goat tercengang. Hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya. Mengapa pemuda ini yang jelas adalah sahabat dan kekasih murid Siang-mou Sin-ni, terluka hebat karena pukulan iblis betina itu? Teringatlah ia kini betapa pemuda ini diserang oleh empat orang hwesio jubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu!

“Hemmm, mengapa kau dipukul Siang-mou Sin-ni?”

“Mengapa? Karena aku musuhnya.”

“Musuh...?” Song Goat terheran. Ini sama sekali tidak pernah disangkanya. “Engkau musuh Siang-mou Sin-ni?”

Pemuda itu tersenyum lalu membungkukkan tubuhnya yang masih duduk bersila. “Nona Song, maaf, seharusnya engkau mengenal siapa yang kau tolong ini. Aku she Kiang bernama Liong. Aku tadinya berusaha menolong cucu-cucu Beng-kauw yang tertawan oleh Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, akan tetapi aku dicurangi mereka dan terkena pukulan Tok-hiat Hoat-lek.”

“Hemmm...,” Song Goat masih ragu-ragu. “Kalau kau musuh mereka, kenapa kau dan murid iblis betina itu....”

“Ah, kau maksudkan Po Leng In?” Kiang Liong mengerutkan keningnya. “Dia memang murid Siang-mou Sin-ni akan tetapi dia telah menolongku, menyelamatkan nyawaku, bahkan... ia telah mengorbankan nyawanya untukku. Dia seorang gadis yang patut dikasihani. Nona Song, aku berterima kasih sekali atas kebaikanmu yang berusaha mengobatiku, akan tetapi pukulan Siang-mou Sin-ni hebat sekali, apakah kiranya masih dapat diobati?”

Agak lega hati Song Goat mendengar keterangan Kiang Liong. Ternyata ia tidak menolong orang jahat bahkan menolong bekas lawan kaum sesat. Juga kini ia tahu bahwa Po Leng In mencinta pemuda ini dan mengorbankan nyawa, mengkhianati guru sendiri. Ah, Po Leng In lebih bahagia dari pada aku, pikirnya duka. Orang sesat macam dia saja mempunyai kekasih yang patut dicinta dan dibela dengan pengorbanan nyawa!

“Akan kucoba dan agaknya sebagian besar tergantung dari pada sinkang di tubuhmu sendiri. Obat-obatku ini harus dicampur dengan air panas dan kau harus merendam diri dalam air panas itu, lebih panas lebih baik kiranya. Akan tetapi, kalau sifat sinkangmu berlawanan, mungkin akan berbahaya. Bolehkah aku mengetahui siapa gurumu agar aku dapat mengira-ngira tentang hawa sakti di tubuhmu?”

“Kalau bukan engkau yang tanya, Nona, aku segan mengaku. Akan tetapi karena kau penolongku dan keterangan ini mungkin berguna, ketahuilah bahwa Suhu adalah Kim-siauw-eng...”

“Suling Emas...?” Song Goat memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia memandang pakaian yang membungkus tubuh Kiang Liong. “Dan kau... jadi kau adalah... Kiang-kongcu yang terkenal itu?”

Kini wajah Kiang Liong yang menjadi merah, “Ah, kau berlebihan, Nona. Nona, ayahmu Song-cianpwe barulah nama yang terkenal. Aku Kiang Liong hanya seorang yang... pada saat ini menggantungkan nyawa kepadamu.”

Mau tak mau Song Goat tersenyum. Jantungnya berdebar aneh. Kiranya pemuda yang disangkanya pemuda sesat, adalah Kiang-kongcu yang menjadi buah bibir dunia persilatan, murid tunggal pendekar sakti Suling Emas! Bukan hanya dunia persilatan yang membicarakan sepak terjang pemuda perkasa ini, juga gadis-gadis banyak yang menyebut-nyebut namanya dengan wajah berseri-seri dan senyum dikulum.

“Kalau begitu aku boleh dua kali menarik napas lega.”

Kiang Liong adalah seorang pemuda yang wataknya romantis. Pandai sekali ia bergaul dengan wanita! Agaknya watak ini ia dapatkan dari ibunya! Kini melihat betapa nona penolongnya sudah tidak kelihatan galak dan ketus, ia tersenyum dan mendapatkan kembali kelincahannya.

“Wah, penarikan napas lega seorang gadis sehebat engkau tentu ada alasannya yang amat kuat. Bolehkah aku mengetahui alasannya, Nona Song?”

Kini gadis itu pun tersenyum. Berhadapan dengan Kiang Liong yang pandai bicara dan jenaka, timbul pula kegembiraannya. “Tentu saja boleh, memang bukan hal yang perlu dirahasiakan. Pertama, dengan kepandaianmu tentu saja engkau akan dapat mengatasi cara pengobatan ini dan tentu hawa beracun yang mengeram di tubuhmu dapat diusir dalam waktu singkat. Kedua, aku tidak perlu khawatir lagi karena ternyata kau bukan seorang pemuda sesat seperti yang tadinya kusangka.”

“Aduh, hal yang pertama itu membuat aku menjadi besar kepala karena kau puji-puji, akan tetapi hal kedua membuat aku amat tidak enak hati, Nona. Kenapa kau mengira aku seorang sesat?”

Merah wajah Song Goat teringat akan keadaan pemuda ini dan Po Leng In yang berhadapan dalam keadaan telanjang bulat. “Karena... karena... kau dan wanita murid Siang-mou Sin-ni itu....“

Kiang Liong menepuk kepalanya. “Benar juga! Tentu saja kau akan menganggap begitu. Memang Leng In yang berusaha menyembuhkan aku secara itu. Dia adalah murid Siang-mou Sin-ni dan aku terluka oleh pukulan gurunya, maka ia berusaha menyembuhkan aku dengan cara gurunya pula.”

Pada saat itu, si Gendut, pemilik kedai muncul dan seperti lagak seorang prajurit ia berkata, “Perapian dan air sudah siap!”

Song Goat mengangguk, dan ketika si Gendut itu pergi lagi, ia berkata kepada Kiang Liong. “Kiang-kongcu, maafkan aku. Cara pengobatan ayahku mengharuskan engkau berendam di air sepanas-panasnya dicampur daun-daun obat ini. Silakan kau masuk dulu ke dapur membuka... membuka pakaian dan merendamkan diri di dalam air di atas perapian. Nanti aku menyusulmu setelah kau siap. Suruh saja Paman Gendut itu memberi kabar kepadaku.”

Setelah Kiang Liong keluar dari kamar itu pergi ke dapur. Song Goat lalu memasukkan daun-daun obat ke dalam tekoan (cerek teh). Dari situ ia dapat mendengar suara Kiang Liong yang halus dan tenang diseling seruan heran pemilik kedai. Song Goat tersenyum geli. Tentu saja bagi pemilik kedai yang belum melihat cara pengobatan seperti ini, apa yang akan mereka lakukan ini amat mengejutkan dan mengherankan.

Akan tetapi ia yakin betul bahwa hanya inilah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan Kiang Liong dari pada pengaruh hawa beracun yang mengotori darah itu. Menurut ajaran ayahnya, semua pukulan yang mengandung hawa beracun dan selalu menjadi sumber kelihaian kaum sesat, jika pukulan itu meracuni darah, maka tentu didasari hawa pukulan yang bersifat dingin. Tok-hiat Hoat-lek, pukulan Siang-mou Sin-ni yang melukai Kiang Liong ini pun seperti dinyatakan namanya, meracuni darah dan betapa pun hebatnya, jelas didasari pukulan dingin karena hanya hawa dingin saja yang dapat meracuni darah.

Terdengar langkah kaki berat dan pemilik kedai sudah muncul pula di pintu, matanya melotot lebar dan wajahnya merah sekali, “Siocia (Nona), apakah yang akan Nona lakukan? Mau... mau... rebus dia...?”

“Kau diam dan jangan mencampuri urusan kami,” Song Goat menegur kesal. Percuma saja menerangkan kepada orang yang sama sekali tidak mengerti. “Apakah Kongcu (Tuan Muda) sudah siap?”

“Sudah... sudah..., dan api sudah saya nyalakan.” Si Gendut itu menggerakkan pundak menyatakan rasa ngerinya. Tanpa banyak cakap lagi Song Goat lalu membawa tekoan memasuki dapur diikuti oleh Si Gendut yang mengeluarkan suara seperti ayam biang memanggil anaknya dengan bibirnya yang tebal memberengut.

Kiang Liong sudah duduk bersila di dalam tahang penuh air itu, tergantung di atas perapian yang mulai menyala apinya. Air dalam tahang hampir penuh, meredam pemuda tubuh pemuda yang duduk bersila itu sampai atas pinggang. Untuk menjaga agar gadis penolongnya tidak merasa jengah, ia sengaja duduk membelakangi meja, menghadap ke jendela dapur. Topi pelajar masih menutupi kepalanya, akan tetapi bagian tubuh lain semua telanjang bulat. Tubuh bagian atas tampak berkulit putih bersih dan berisi otot-otot kekar.

“Kiang-kongcu, kalau terlalu panas harap katakan agar aku dapat mengecilkan apinya atau memadamkan sama sekali,” kata gadis itu sambil mengisi tekoan dengan air dan menaruhnya pula di atas api.

Kiang Liong hanya mengangguk dan berkata lirih, “Sama sekali tidak panas, boleh kau besarkan apinya.”

Dengan tongkat pengorek api, Song Goat membuka-buka arang dan kayu di perapian dan makin besarlah nyala api. Tak lama kemudian tekoan yang isinya daun obat dan sedikit air itu mendidih, maka dituangkanlah isi tekoan ke dalam tahang air. Api makin membesar dan hawa di dapur mulai panas, air di dalam tahang pun makin lama makin mendekati mendidih.

Makin lama sepasang mata tukang kedai makin melebar pula, kemudian ia tak dapat menahan perasaannya lagi dan berseru, “Nona, sungguh mati! Kalau Nona hendak merebus daging manusia, saya tidak mau ikut campur! Saya bukan tukang masak orang, bukan pembunuh!” Ia hampir berteriak-teriak saking tegang dan ngerinya.

Air di tahang sudah mulai mendidih, uap mengepul dari seluruh tubuh Kiang Liong. Dengan hati penuh ketegangan dan kegirangan Song Goat melihat betapa air di tahang itu sudah mulai berubah warnanya, tidak sebening tadi. Maka ia menjadi gemas sekali melihat sikap si Gendut itu dan mendengar teriakannya.

“Diam dan keluarlah dari dapur ini! Kalau tidak, kau pun akan kurebus hidup-hidup!”

Muka Si Gendut menjadi pucat, matanya terbelalak dan bagaikan seekor anjing digebuk ia lalu berlari ke luar dari dapur itu, kedua tangan memegangi kepalanya!

Song Goat tersenyum geli, lalu berkata halus dari belakang punggung Kiang Liong, “Kiang-kongcu, agaknya berhasil usaha kita....”

Kian Liong mengangguk, “Syukurlah, dan makin besar terima kasihku kepadamu, Nona Song”

“Tak perlu berterima kasih kepadaku, Kongcu. Lebih tepat kau berterima kasih kepada gurumu yang telah menurunkan ilmu yang hebat kepadamu sehingga sinkang-mu begini kuat menahan panasnya air mendidih. Apakah tidak terlalu panas?”

“Tidak, boleh kau tambah apinya agar lebih panas. Bukankah kau bilang tadi lebih panas lebih baik?”

“Betul, makin panas makin cepat hawa beracun dibersihkan.”

“Kalau begitu, lekas besarkan apinya, Nona. Tidak enak terlalu lama begini, dianggap babi rebus oleh tukang kedai!”

Song Goat tersenyum dan dari belakang ia memandang kagum. Bukan main! Dia sendiri biar pun akan dapat bertahan dalam air mendidih, namun harus ia kerahkan seluruh lweekang-nya, menggunakan hawa sinkang di tubuh melawan panas dan untuk ini tentu saja ia tidak sanggup untuk bicara. Akan tetapi pemuda ini tidak hanya menyuruh besarkan api, malah masih dapat enak-enak bicara dan berkelakar! Pemuda hebat!

Sementara itu, pemilik kedai yang gendut dan merasa amat gelisah itu tak dapat menahan hatinya lagi dan bahkan tidak berani berada di dalam kedainya. Ia keluar dan sebentar saja banyak kenalan dan langganannya datang bertanya. Saking tak dapat menahan kegelisahannya, ia menceritakan kejadian aneh di dalam dapur kedainya dan ramailah mereka bercakap-cakap dan berbisik-bisik di luar kedai. Ibu-ibu yang mendengar bahwa ada orang merebus daging manusia, menjadi pucat dan berlarilah mereka ketakutan mencari anak-anak masing-masing, melarang mereka bermain di luar rumah dan menyembunyikan mereka ke dalam kamar. Setan pemakan daging manusia tentu lebih suka akan anak-anak yang dagingnya masih lunak!

“Tentu dia perempuan siluman rase!” bisik seorang kakek sambil mengangguk-anggukkan kepala penuh keyakinan.

“Tapi... Kongcu itu menurut saja direbus,” kata si Gendut pemilik kedai.

“Uuuhh, kau tahu apa? Siluman rase tentu saja pandai ilmu hitam. Sekali senyum dan sekali kerling, laki-laki akan terpikat dan disuruh apa pun juga takkan membantah,” kata pula si Kakek yang tahu segala.

“Memang dia cantik sekali, cantik jelita dan muda dan... galak.”

“Wah, tak salah lagi. Tentu siluman rase, pandai memikat hati pria, suka makan daging manusia. Ihhh...!” kata si Kakek.

“Ihhh...!” kata yang lain.

“Celaka, dia harus dibinasakan. Mari kita serbu, jangan sampai dia lolos dan merebus anak-anak kita!” seru seorang laki-laki tinggi besar yang ingat akan dua orang anaknya yang gemuk-gemuk.

“Betul, hayo serbu!”

“Cari senjata!”

“Panggil Lo-suhu di kelenteng, minta jimat!”

Ramailah kini para penduduk dusun itu dan sebentar saja mereka semua, termasuk seorang hwesio tua kurus berpakaian butut, berdiri di depan kedai dengan segala macam senjata di tangan. Ada yang membawa golok penyembelih babi, ada yang membawa palang pintu, cangkul, linggis dan sebagainya. Bahkan beberapa orang wanita yang cukup pemberani, karena mendengar bahwa setan itu setan betina, ikut pula datang membawa pisau dapur atau besi pengorek api!

Mereka bersemangat untuk menangkap siluman, akan tetapi juga ngeri dan takut karena mendengar penuturan tukang kedai betapa siluman rase itu pandai terbang menghilang! Dipimpin oleh tukang kedai yang diikuti kakek yang mengenal siluman dan hwesio yang dianggap suci serta ditakuti siluman, rombongan penduduk dusun ini memasuki kedai berindap-indap dan tak berani mengeluarkan suara. Bahkan yang nyalinya kecil dan memilih tempat di ujung belakang hampir tak berani bernapas.

Di luar pintu dapur, hwesio tua sudah mulai kemak-kemik membaca mantera dan doa pengusir setan. Mendengar suara ini semua orang meremang bulu tengkuknya, termasuk si Kakek yang mengenal siluman. Kakek ini melirik ke belakang dan melihat betapa semua mata ditujukan kepadanya, ia menahan napas dan menerobos maju ke pintu sambil membentak.

“Siluman jahat! Kami sudah mengenalmu, kau siluman rase, hayo menyerah kalau tak ingin kami bunuh!” Akan tetapi sambil maju ia menarik lengan si Hwesio karena kakek ini mempunyai keyakinan bahwa selama ia berdampingan dengan pendeta suci, siluman itu tidak akan mampu mengganggunya. Mereka kini masuk ke dalam dapur dan... semua mata melongo karena di dalam dapur itu tidak tampak seorang pun manusia!

“Eh, mana dia...?” tanya suara meragu.

Si Tukang Kedai melihat bahaya dalam suara ini, bahaya bahwa semua orang nanti akan mengira dia membohong. Maka ia lalu lari ke jendela, memandang ke luar, kemudian kembali menghampiri tahang isi air yang masih mendidih!

“Lihat...!” Suaranya gemetar, telunjuknya menggigil menuding ke arah air di dalam tahang. “Lihat air ini...!”

Semua orang memandang. Air itu kehitaman dan mendidih, akan tetapi tidak ada daging manusia seperti yang tadi diceritakan si Gendut tukang kedai. Betapa pun juga, bukti bahwa benar ada tahang air direbus dengan airnya menghitam, membuat mereka masih percaya bahwa di dalam dapur ini tadi ada siluman rase.

“Tentu ia menghilang, membawa korbannya yang sudah matang untuk dimakan dalam goa,” kata si Tukang Kedai.

“Omitohud...! Memang ada hawa busuk ditinggalkan di kamar ini..., pinceng harus membuat sembahyangan malam ini, harap saudara sekalian sudi mengumpulkan perbekalan dan keperluan sembahyang...,“ kata si Hwesio.

Terdengar semua orang mengeluarkan keluhan perlahan karena ucapan hwesio ini berarti bahwa mereka harus mengeluarkan sebagian milik mereka yang tidak banyak, menambah beban hidup mereka yang sudah berat. Akan tetapi mereka tidak berani membantah pada saat itu karena ketika mereka mencium-cium dengan hidung, memang tercium bau yang tidak enak, tanda bahwa ucapan hwesio itu benar. Dan keluarlah mereka perlahan-lahan, termasuk dia yang cepat-cepat menyelinap pergi agar tidak ketahuan rahasianya bahwa saking takutnya, ia sampai menjadi mulas secara mendadak dan tak tertahankan lagi mencret di dalam celana. Dialah pencipta bau siluman!

********************


Siang-mou Sin-ni berhasil melarikan diri ketika orang-orang Beng-kauw menyerbu markas Bouw Lek Couwsu di Kao-likung-san. Wanita ini memang licik dan cerdik. Dengan meminjam tangan Bouw Lek Couwsu dan orang Hsi-hsia, ia berhasil membinasakan ketua Beng-kauw dan juga Kam Bu Sin bersama isterinya dan banyak tokoh Beng-kauw lainnya. Kemudian, melihat keadaan bahaya, mana ia mau bersetia kawan kepada Bouw Lek Couwsu si hwesio tua itu? Apa lagi ia ingin sekali membawa lari Han Ki untuk menyempurnakan ilmunya yang baru, menyedot hawa murni dan darah bocah ini. Maka tanpa mempedulikan nasib sahabatnya itu, ia mendahului lari sambil memondong tubuh Han Ki, melarikan diri melalui belakang gunung.

Sebagai seorang yang berpengalaman, ia maklum bahwa Kauw Bian Cinjin dan orang-orang Beng-kauw lainnya tentu akan mencarinya dalam usaha mereka merampas kembali Han Ki, cucu ketua Beng-kauw. Maka ia tidak mau berhenti dan terus melakukan perjalanan melalui Sungai Yang-ce-kiang dan sampai di kaki Gunung Ta-liang-san ia mendarat, lalu membawa anak itu ke Puncak Ta-liang-san di mana ia membuat pondok bambu dalam sebuah hutan penuh bunga. Tempat ini sunyi dan indah, membuat ia merasa aman. Tak mungkin ada orang Beng-kauw yang akan menduga bahwa dia bersembunyi di Puncak Ta-liang-san. Kalau ia sudah menyempurnakan ilmu Hun-beng-to-hoat dengan mengorbankan nyawa Han Ki baru ia akan turun gunung dan hendak ia lihat siapa orangnya yang akan mampu melawannya lagi!

Han Ki biar pun masih kecil maklum akan bahaya maut yang mengancam dirinya. Akan tetapi anak ini tidak pernah menangis dan selalu membangkang tidak sudi menurut perintah Siang-mou Sin-ni. Disuruh makan ia tidak mau, diajak bicara ia memaki-maki dan setiap kali ia dibebaskan dari totokan, ia lalu mengamuk dan berusaha melawan mati-matian!

Siang-mou Sin-ni adalah seorang yang semenjak muda berkecimpung dalam dunia persilatan. Menyaksikan sikap anak kecil ini, ia merasa amat kagum di dalam hatinya. Kagum akan ketabahan yang luar biasa, akan kekerasan hati dan akan daya tahan anak ini. Akan tetapi di samping rasa kagumnya, ia pun merasa jengkel.

“Kau makanlah, apa kau ingin mati kelaparan?” bentaknya sambil menyodorkan makanan yang sudah ia campur obat karena selama beberapa pekan dalam perjalanan, tubuh anak ini menjadi agak kurus.

“Tidak sudi! Kau makanlah sendiri, iblis betina tak tahu malu!” Han Ki menjawab sambil memandang dengan mata melotot.

Sesudah begitu, mau tak mau terpaksa Siang-mou Sin-ni memaksa anak itu menelan makanan dengan menotok leher, membuat Han Ki kehilangan tenaga sehingga mudah saja mulutnya dibuka dan makanan dijejalkan masuk melalui kerongkongannya. Anak ini hanya bisa memandang penuh kemarahan.

Pagi hari itu Siang-mou Sin-ni tampak gembira di dalam pondok. Han Ki rebah miring di atas dipan. Sinar matahari pagi menyorot masuk melalui jendela pondok yang terbuka lebar. Pagi yang cerah, akan tetapi bukan ini yang membuat wajah Siang-mou Sin-ni berseri. Ia gembira melihat Han Ki sekarang tampak sehat dan segar dan pagi ini ia mengambil keputusan untuk memulai dengan I-kin-hoan-jwe, menyedot darah dan sumsum Han Ki untuk penyempurnaan ilmunya yang mukjijat, yaitu ilmu Hun-beng-to-hoat!

Sambil bersenandung kecil seperti seorang dara remaja yang bahagia, iblis betina ini mempersiapkan jarumnya yang panjang, kemudian dengan sinar mata penuh nafsu binatang, ia mulai menanggalkan pakaian Han Ki. Tubuh anak ini sungguh mengagumkan, kulitnya putih bersih dan di bawah kulit, penuh daging yang gempal dan padat. Warna kemerahan membuktikan akan kesehatan yang amat baik sehingga Siang-mou Sin-ni menjadi ngilar dibuatnya. Biar pun matanya melotot penuh perlawanan, namun Han Ki yang ditotok itu tidak mampu bergerak, bahkan tidak mampu mengeluarkan suara. Ada juga rasa takut dan ngeri menyerang hati anak ini, namun sungguh luar biasa, anak ini dapat mengatasinya dan sama sekali tidak tampak sinar takut di wajahnya!

Han Ki rebah telentang. Matanya bersinar-sinar penuh api menatap wajah wanita itu. Kembali Siang-mou Sin-ni menjadi amat kagum. Anak ini memang hebat bukan main, memiliki ketabahan yang luar biasa. Teringatlah ia akan ayah anak ini, Kam Bu Sin, yang juga amat tabah dan betapa pun dahulu ia pernah menyiksanya.

Kam Bu Sin sama sekali tidak pernah mau menyerah tidak mau menurutkan keinginannya. Bahkan ia dahulu menggantungkan tubuh Kam Bu Sin di dahan pohon, membiarkan tubuhnya dikeroyok dan digigiti semut, namun tetap saja laki-laki gagah ini tidak mau menyerah sehingga akhirnya ia terpaksa menggunakan obat bius dan perangsang yang merampas ingatan Kam Bu Sin. Dan sekarang, anak ini memperlihatkan ketabahan dan sikap pantang menyerah yang hebatnya melebihi ayahnya!

Teringat akan ayah anak ini, makin menggelora nafsu iblis di tubuh Siang-mou Sin-ni. Pandang matanya yang penuh nafsu itu menjadi haus dan perlahan ia membalikkan tubuh Han Ki menelungkup di atas dipan. Jari-jari tangan kirinya yang panjang-panjang meraba punggung di bawah tengkuk, kemudian tangan kanannya menusukkan jarum panjang ke dalam punggung Han Ki.

Han Ki yang tak dapat bergerak itu dapat merasa nyeri dan perih di punggungnya, namun ketika ia mengerahkan tenaga untuk melawan, tenaganya tak dapat disalurkan. Anak ini lalu meramkan mata dan mengumpulkan semua semangat, berusaha mengerahkan tenaga yang berkumpul di dalam pusarnya. Ia merasa betapa di dalam pusarnya terjadi pertentangan antara panas dan dingin yang amat hebat, demikian hebatnya rasa nyeri dalam pusar, kadang-kadang seperti terbakar dan kadang-kadang seperti membeku sehingga ia tidak merasakan lagi tusukan pada punggungnya.

Siang-mou Sin-ni sudah duduk bersila di dekat Han Ki. Jarum sudah ia tusukkan sampai menembus tulang punggung. Wajahnya berkilat saking girang dan dikuasai nafsu. Ia lalu menahan napas dan menekan gelora nafsunya, menenteramkan hati dan mengendorkan semua tenaga.

Dalam melakukan I-kin-hoan-jwe ini ia harus ‘mengosongkan’ diri dan karena inilah maka ia sengaja menjejalkan obat yang sifatnya panas yang sesuai dengan keadaan dirinya sewaktu kosong sehingga tidak ada bahaya terhadap tubuh bagian dalamnya yang kosong dan tidak terlindung hawa sakti. Darah dan sum-sum yang akan disedotnya itulah yang akan menjadi ‘bahan bakar’ bagi penyempurnaan ilmunya Hun-beng-to-hoat yang sedang dilatihnya, dan kalau ia berhasil, ia akan mampu melawan orang sakti mana pun juga di dunia ini!

Setelah keadaan dirinya sudah kosong benar, Siang-mou Sin-ni lalu menundukkan tubuhnya ke depan, mulutnya menggigit ujung jarum yang menancap di punggung Han Ki lalu menghisap!

Hawa di dalam pusar Han Ki bergulung-gulung antara hawa panas dan dingin. Hawa panas luar biasa adalah akibat obat-obat Siang-mou Sin-ni yang di jejalkan kepadanya, sedangkan hawa dingin adalah akibat obat minuman Bouw Lek Couwsu yang diminumnya di dalam kamar Bouw Lek Couwsu. Sejak kecil anak ini memang sudah digembleng ayah bundanya dan telah memiliki dasar penggunaan hawa sakti di dalam tubuh.

Biar pun ia belum dapat memelihara dan menghimpun hawa sakti, namun ia tahu bagaimana cara menghimpunnya. Kini merasa betapa pusarnya bergerak-gerak dan di dalamnya bergulung-gulung hawa yang amat kuat, anak ini tidak mempedulikan lagi punggungnya dan tidak mempedulikan apa yang akan terjadi kepadanya, melainkan mencurahkan seluruh perhatiannya ke pusar dan berusaha mengerahkan tenaga untuk menguasai hawa yang bergulung-gulung itu.

Bagaikan seorang penghisap madat, Siang-mou Sin-ni menghisap jarum panjang itu. Terasa segar dan manis darah yang memasuki mulutnya. Ia menyedot makin kuat dan... jeritan ngeri keluar dari dadanya, wajahnya menjadi pucat dan matanya terbelalak. Ia begitu kaget sehingga tanpa disadari lagi ia sudah menarik mukanya ke belakang sehingga jarum yang digigit pada ujungnya itu ikut terarik, keluar dari punggung Han Ki.

Anak itu sendiri tiba-tiba dapat bergerak meloncat bangun, mukanya merah seperti dibakar, akan tetapi tubuh bagian bawah menggigil kedinginan. Seperti seorang yang mabok Han Ki memandang ke depan, melihat betapa Siang-mou Sin-ni duduk bersila dengan mata meram, muka pucat, tubuh bergoyang-goyang dan napas terengah-engah. Ketika melihat jarum panjang menggeletak di atas dipan, depan kaki Siang-mou Sin-ni yang bersila. Han Ki menjadi kalap. Ia menyambar jarum panjang itu lalu dengan gerakan penuh kebencian ia menusukkan jarum itu ke dada Siang-mou Sin-ni.

“Blessss...!” Jarum panjang itu amblas menembus dada langsung menusuk dan menembus jantung!

Siang-mou Sin-ni terbelalak kaget mengeluarkan jerit melengking tinggi, tangan kirinya bergerak menghantam ke arah dada Han Ki.

“Krakk...!” Tubuh anak itu terpental jauh, terbanting dalam keadaan pingsan dan beberapa tulang iganya patah-patah!

Namun Siang-mou Sin-ni sekarang sudah berkelojotan. Betapa pun sakti dan kuatnya, namun jarum panjang yang menembus jantungnya itu membuat ia tidak dapat menahan lagi. Dari lehernya keluar jeritan-jeritan melengking mengerikan, ia terguling dari atas dipan, berkelejotan, menjambak-jambak rambutnya, kemudian menggeliat-geliat dan akhirnya dia tak bergerak lagi. Siang-mou Sin-ni yang dahulu terkenal sebagai seorang di entara Enam Iblis, tewas di tangan seorang anak kecil berusia sebelas tahun!

Apakah yang telah terjadi? Ternyata ketika Siang-mou Sin-ni melakukan penyedotan, bukan hanya darah dan sumsum yang disedotnya, melainkan juga hawa yang bergelombang di tubuh anak itu. Dan hawa itu bukan hanya hawa panas yang amat dibutuhkan Siang-mou Sin-ni, melainkan bercampur dengan hawa dingin yang amat kuat. Hal ini sama sekali tidak diduga oleh Siang-mou Sin-ni yang sedang dimabok nafsu sehingga ia yang sedang dalam keadaan kosong, itu sekaligus terpukul hebat oleh hawa dingin yang menyerang dalam tubuhnya.

Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, reaksi pertama dari tubuhnya tentu saja serentak bangkit dengan pengerahan sinkang dan menolak atau melawan hawa dingin ini. Dan inilah kekeliruannya yang dilakukan dalam keadaan tak sadar. Kalau ia tidak melawan ia hanya akan luka ringan oleh hawa dingin ini yang biar pun kuat, namun tidak ada pendorongnya, mengingat Han Ki belum pandai menggunakan hawa ini dan dalam keadaan tertotok pula.

Akan tetapi begitu ia melawan, ia yang tadi dalam keadaan kosong terpukul oleh pengerahan tenaganya sendiri membuat ia pening dan hampir pingsan. Bukan itu saja akibatnya, bahkan pengerahan hawa saktinya itu melalui jarum menjalar kedalam tubuh Han Ki dan seakan-akan merupakan bantuan yang tak disangka-sangka oleh anak ini. Han Ki sedang berusaha mengerahkan tenaga untuk menguasai peperangan hawa di dalam pusar. Kini tiba-tiba hawa panas memasuki tubuhnya dan tenaga ini amat kuat sehingga mendadak menerobos jalan darahnya, melenyapkan pengaruh totokan dan membuatnya dapat bergerak lagi.

Akan tetapi, pengaruh dua hawa yang berlainan tadi masih membuat ia pening dan seperti mabok. Betapa pun juga, karena dia masih kanak-kanak dan berdarah bersih, ia lebih dulu sadar dari pada Siang-mou Sin-ni dan anak kecil ini berhasil membunuh musuh besarnya dengan jarum si Iblis Betina itu sendiri! Namun karena Siang-mou Sin-ni lihai luar biasa, biar pun jantungnya sudah tertembus jarum, pukulan jari-jari tangannya masih mampu mematahkan beberapa tulang iga anak itu.


BERSAMBUNG KE JILID 12


Mutiara Hitam Jilid 11

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

MUTIARA HITAM

JILID 11

KIANG LIONG kagum bukan main dan hatinya diliputi keharuan. Bocah itu amat tampan, dan sedikit pun tidak tampak sinar takut dalam sepasang matanya yang bening, dan lebar. Biar pun ia tidak dapat bergerak dan tak dapat mengeluarkan kata-kata, namun jelas pandang matanya menyinarkan kebencian dan sakit hati terhadap Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu yang telah membasmi keluarganya. Anak yang luar biasa dan mengagumkan, pikirnya.

Sementara itu, Siang-mou Sin-ni sudah mengeluarkan sebatang jarum emas yang panjangnya kurang lebih dua dim dan di sepanjang batang jarum itu berlubang. Dengan jarum di tangan kanan, sambil tersenyum dan mengerling ke arah Kiang Liong, ia menghampiri bocah yang telentang di atas meja itu.

Terjadi perang di dalam hati Kiang Liong. Kalau mengingat akan tugasnya sebagai penyelidik, teringat akan kewajiban sebagai seorang yang setia dan mencinta pemerintahannya, ia harus membiarkan Siang-mou Sin-ni melanjutkan apa yang hendak dilakukan kepada Han Ki. Akan tetapi kalau menurutkan perasaan dan wataknya sebagai seorang pendekar gagah, tak mungkin ia mendiamkan saja. Ia dapat menduga kini apa yang dilakukan Siang-mou Sin-ni. Jarum emas itu akan ditusukkan di bagian tubuh yang tidak membahayakan nyawa anak itu, sampai mengenai dan menembus tulang, kemudian dari lubang jarum akan disedot sumsum dari dalam tulang anak itu!

Bouw Lek Couwsu menyeringai lebar dan Siang-mou Sin-ni tersenyum manis. Matanya berkilat-kilat penuh nafsu, ketika tersenyum bibirnya tampak merah seperti berlepotan darah dalam pandangan Kiang Liong, gigi yang berderet rapi dan putih itu seakan-akan bercaling.

“Hanya sedikit darah dan sumsum untukku, tidak akan mematikan anak ini!” katanya sambil membalikkan tubuh anak itu menelungkup di atas meja. Sekali tangan kirinya bergerak, ia sudah merobek baju atas dan tampaklah punggung Han Ki yang putih dan sehat.

Kini wajah Siang-mou Sin-ni tampak buas oleh nafsu yang menggelora. Tangannya agak menggigil. Setelah jari-jari tangan kirinya meraba-raba punggung atas di bawah tengkuk, tangan kanannya yang memegang jarum emas mulai bergerak perlahan, menempelkan ujung jarum ke kulit punggung anak itu, siap untuk menusuk.



Meledaklah rasa penasaran dan kemarahan di hati Kiang Liong. Tanpa dapat terkendalikan lagi, tubuhnya berkelebat ke depan dan mulutnya membentak, “Iblis betina, lepaskan dia!”

Hebat bukan main gerakan Kiang Liong ini karena saking marahnya ia langsung menerjang Siang-mou Sin-ni dengan ilmu silat Lo-hai Kun-hoat (Ilmu Silat Pengacau Lautan) yang sifatnya paling dahsyat di antara ilmu silat yang ia pelajari dari Suling Emas. Biar pun Siang-mou Sin-ni amat lihai, namun saat itu sebagian besar perhatiannya sedang tertuju kepada Han Ki dan nafsunya sedang melonjak-lonjak, Karena terjangannya ini tidak tersangka-sangka, maka ia kurang cepat menghindar. Memang benar ia dapat meloncat ke samping, namun hawa pukulan Kiang Liong tetap saja mengenai bahu kanannya sehingga bahu kanan itu terasa lumpuh dan jarum emasnya terlempar!

“Keparat!” Siang-mou Sin-ni mengumpat, rambutnya kini sudah bergerak menyambar ke pinggang Kiang Liong. Namun pemuda itu dengan sigapnya menghindar dan dengan cepat tangan kirinya meraih ke arah meja hendak menyambar tubuh Han Ki.

“Perlahan dulu, orang muda!” Suara ini keluar dari mulut Bouw Lek Couwsu dan sinar yang amat kuat menangkis ke arah lengan tangan Kiang Liong yang meraih tubuh Han Ki. Untung Kiang Liong maklum akan bahaya dan cepat menarik kembali lengannya. Kalau tidak tentu lengannya akan patah bertemu dengan tongkat yang berat dan digerakkan tenaga hebat pula.

Dari arah kanan menyambar hawa pukulan yang dingin. Kiang Liong cepat miringkan tubuh dan menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga sinkang. Akan tetapi tiba-tiba perutnya terasa sakit sekali sehingga begitu lengannya terbentur lengan Siang-mou Sin-ni yang memukul dari kanan, ia terpental ke belakang. Kiang Liong terhuyung-huyung dan sambaran tongkat Bouw Lek Couwsu tak dapat ia elakkan, dan jalan satu-satunya hanya menangkis dengan telapak tangan.

“Plakk!!” tongkat terpental, akan tetapi Kiang Liong merasa betapa kenyerian dari perutnya naik ke dada, terus ke tenggorokannya dan ia menyemburkan darah dari mulutnya. Tahulah ia bahwa ia terluka hebat, maka tanpa pedulikan apa-apa lagi ia lalu duduk bersila di atas lantai, mengatur pernapasan dan mengerahkan hawa murni melawan luka dan racun yang mengamuk di perut.

Siang-mou Sin-ni terkekeh dan sudah menggerakkan tangan untuk memberi pukulan terakhir. Tangannya penuh dengan hawa beracun dari Ilmu Tok-hiat-hoat-lek dan sekali mengenai kepala Kiang Liong yang dijadikan sasaran, tak dapat dihindarkan lagi pemuda itu tentu akan menggeletak tak bernyawa lagi. Ketika tangan Siang-mou Sin-ni menyambar, Kiang Liong sedang siulian (semedhi) untuk mengerahkan hawa murni di tubuhnya.

“Plakk!” Tangan yang halus namun keji dari Siang-mou Sin-ni bertemu dengan ujung tongkat Bouw Lek Couwsu. Wanita itu membelalakkan matanya dan memandang marah. Akan tetapi Bouw Lek Couwsu berkedip kepadanya, kemudian mendekatinya dan berbisik-bisik di dekat telinga Siang-mou Sin-ni.

“Ia terluka oleh pukulanmu Tok-hiat-hoat-lek yang tadi,” bisiknya. “Berapa lamakah ia akan dapat bertahan untuk hidup?”

Siang-mou Sin-ni yang belum dapat menangkap maksud pendeta itu menjawab ragu. “Dia lihai dan kuat, tentu dapat bertahan sampai tiga bulan. Namun darahnya sudah keracunan dan ia tidak dapat tertolong lagi.”

“Bagus,” bisik pendeta itu. “Kita tak perlu membunuhnya. Kita lanjutkan rencana, biarkan dia kembali dan menyusun kekuatan di kota raja membantu kita dengan janji kalau dia tidak melanggar janji, selain anak ini kelak kita kembalikan, juga kau janjikan obat penawar pukulanmu Tok-hiat-hoat-lek! Dengan tanggungan nyawa anak ini dan nyawanya sendiri, agaknya tidak ada jalan lain baginya untuk mengkhianati kita.”

Siang-mou Sin-ni tersenyum dan mengangguk-angguk. “Tok-hiat-hoat-lek ilmuku itu akibatnya luar biasa. Di dunia ini tidak akan ada yang dapat mengobatinya kecuali aku sendiri. Ilmu yang baru ini belum dikenal orang, biar Suling Emas sendiri tak mungkin dapat menyembuhkan muridnya, hi-hik!” Ia lalu mengambil jarum emas yang tadi terlempar di atas lantai, kemudian menghampiri Han Ki yang masih tertelungkup di atas meja.

Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk di luar, suara sorak-sorai gemuruh disusul suara jerit-jerit mengerikan, suara senjata-senjata bertemu dan banyak sekali orang bertempur.

Pintu kamar itu terpentang lebar dari sebelah luar dan dua orang Hsi-hsia berteriak, “Barisan Beng-kauw menyerbu...!” Mendadak mereka roboh terjungkal dan di punggung mereka menancap dua buah hui-to (golok terbang)!

“Tar-tar-tar...!” Suara meledak-ledak ini adalah suara lecutan cambuk yang berada di tangan seorang kakek bertopi lebar. Ke mana pun cambuknya menyambar, di situ tentu ada beberapa orang musuh terjungkal tewas.

Di sampingnya tampak seorang laki-laki gagah berusia lima puluh lima tahun yang mengamuk pula dengan sebatang pedang berhawa dingin dan bersinar kuning terang. Masih ada lagi seorang kakek tinggi kurus berjenggot panjang bermata tajam yang mengamuk dengan tangan kosong, akan tetapi setiap pukulan atau tendangan kakinya tentu merobohkan seorang lawan.

Di samping tiga orang kakek luar biasa ini tampak Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dua orang gadis yang telah dibebaskan, mengamuk pula dengan pedang mereka. Selain mereka, ratusan orang anggota Beng-kauw sedang menyerbu dan melakukan penyembelihan terhadap orang-orang Hsi-hsia dengan hati penuh kemarahan karena penyerbuan ini adalah pembalasan dendam mereka terhadap para pendeta jubah merah dan orang-orang Hsi-hsia.

Kakek bertopi lebar bersenjata cambuk yang luar biasa lihainya itu bukan lain adalah Kauw Bian Cinjin. Usianya sudah delapan puluh tahun lebih dan dialah satu-satunya tokoh Beng-kauw yang lolos dari kematian. Kauw Bian Cinjin adalah sute (adik seperguruan) ketua Beng-kauw yang tewas, akan tetapi dalam hal kepandaian, kakek ini melebihi suheng-nya. Sudah bertahun-tahun ia mengundurkan diri dari Beng-kauw dan bertapa di puncak Ta-liang-san.

Pada beberapa hari yang lalu, selagi Kauw Bian Cinjin bercakap-cakap dengan dua orang kakek yang menjadi tamunya, datang seorang anggota Beng-kauw yang sambil menangis melaporkan tentang mala-petaka yang menimpa Beng-kauw. Tentu saja Kauw Bian Cinjin menjadi marah sekali. Dua orang kakek yang menjadi tamunya itu juga menawarkan tenaga bantuan mereka. Mereka ini bukan orang-orang sembarangan. Yang bersenjata pedang dan bertubuh gagah adalah ketua penghuni Ang-san-kok di Gunung Heng-tuan, bernama Lie Bok Liong.

Pembaca CINTA BERNODA DARAH tentu masih ingat akan nama ini, nama seorang pemuda yang mencinta Lin Lin atau Puteri Yalina akan tetapi tidak terbalas sehingga ia mengasingkan diri dan tetap tinggal membujang sampai tua sambil memperdalam ilmu silatnya. Ada pun kakek kedua yang kurus berjenggot panjang dan amat lihai kaki tangannya itu adalah seorang sahabat baiknya yang tinggal di Ang-san-kok, bernama Ong Toan Liong.

Demikianlah, dengan disertai bantuan dua orang sahabat yang menjadi tamunya, Kauw Bian Cinjin bergegas turun gunung, mengumpulkan para anggota Beng-kauw sejumlah empat lima ratus orang kemudian mengadakan penyerbuan ke Lembah Nu-kiang di Kao-likung-san. Kebetulan sekali di lereng gunung itu Kauw Bian Cinjin berjumpa dengan Siang Kui dan Siang Hui yang malam itu dibebaskan karena pertolongan Kiang Liong. Dengan cepat dan singkat dua orang gadis ini menceritakan pengalamannya, tentang Kiang Liong dan tentang adiknya yang masih tertawan. Penyerbuan dilanjutkan dengan cepat dan begitu tiba di markas Bouw Lek Couwsu, terjadilah perang yang hebat dan berat sebelah.

Biar pun para hwesio jubah merah rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun jumlah orang-orang Beng-kauw yang menyerbu terlalu banyak. Apa lagi di sebelah depan dipimpin oleh tiga orang kakek yang demikian lihai, terutama sekali yang bercaping dan bersenjata cambuk, amat mengerikan. Dengan cepat dan mudahnya, Kauw Bian Cinjin yang diikuti oleh Lie Bok Liong, Ong Toan Liong, dan kedua orang gadis cucunya itu menyerbu terus sampai ke bangunan terbesar yang menjadi tempat kediaman Bouw Lek Couwsu.

Lecutan cambuk Kauw Bian Cinjin menghancurkan pintu kamar Bouw Lek Couwsu dan mereka menyerbu ke dalam. Akan tetapi kamar itu kosong! Tidak tampak Bouw Lek Couwsu mau pun Siang-mou Sin-ni. Juga tidak tampak Kiang Liong mau pun Kam Han Ki. Kedua orang gadis yang pernah menjadi tawanan di tempat ini segera menjadi penunjuk jalan, menggeledah dan mencari di seluruh bangunan yang berada di situ, namun sia-sia saja. Dua orang musuh besar yang menjadi biang keladi penghancuran Beng-kauw, dua orang tawanan yang hendak mereka tolong, tak tampak bayangannya.

Mereka mengamuk dan membunuh semua pelayan dan orang-orang Hsi-hsia. Ketika mereka keluar lagi, ternyata perang kecil itu sudah selesai. Di mana-mana bertumpuk mayat orang-orang Hsi-hsia dan ada juga beberapa korban orang-orang Beng-kauw, tetapi ketika diperiksa, hanya terdapat tujuh orang mayat pendeta jubah merah. Ternyata bahwa semua orang Hsi-hsia yang bertugas di situ, sejumlah kurang lebih seratus orang tewas. Akan tetapi para hwesio jubah merah agaknya sebagian besar melarikan diri dan sudah terang bahwa Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni juga melarikan diri. Yang menyusahkan hati Kauw Bian Cinjin terutama sekali Siang Kui dan Siang Hui adalah lenyapnya Kiang Liong dan Kam Han Ki. Ke manakah perginya dua orang tawanan itu?

Ketika tadi mendengar laporan tentang penyerbuan orang-orang Beng-kauw dan melihat sekelebatan bahwa jumlah penyerbu jauh lebih besar, Siang-mou Sin-ni sudah menyambar tubuh Han Ki dan lari secepat terbang melalui belakang bangunan, turun gunung melalui jurusan lain. Dia seorang cerdik, tidak mau kehilangan Han Ki dan tidak mau pula mempertaruhkan nyawanya menghadapi penyerbuan orang-orang Beng-kauw yang kini jauh lebih kuat.

Bouw Lek Couwsu juga bukan seorang bodoh. Ia memang menerjang ke luar dan merobohkan beberapa orang penyerbu, akan tetapi melihat dari jauh akan kelihaian tiga orang kakek yang mengamuk dan melihat pula betapa banyaknya orang-orang Beng-kauw yang menyerbu, diam-diam ia memberi tanda rahasia kepada para muridnya untuk melarikan diri. Sebagai perisai, mereka meninggalkan orang-orang Hsi-hsia yang memang bodoh akan tetapi penuh keberanian itu.

Bouw Lek Couwsu teringat akan Kiang Liong yang tadi masih duduk bersila di dalam kamarnya. Hatinya bimbang. Pemuda itu sudah mengetahui rahasia pergerakannya. Bagaimana kalau mengkhianatinya? Di samping kebimbangan ini, ia pun merasa betapa pentingnya bantuan pemuda itu. Akan tetapi ketika ia memasuki kamarnya, Kiang Liong sudah tidak ada lagi di situ! Ia yakin benar pihak musuh belum ada yang menyerbu kamarnya! Siang-mou Sin-ni memang sudah pergi membawa lari Han Ki, akan tetapi tadi Kiang Liong masih duduk bersila di situ. Ke manakah perginya pemuda itu?

Karena keadaan sudah amat mendesak dan melihat betapa murid-muridnya sudah tersebar melarikan diri, Bouw Lek Couwsu juga berkelebat pergi turun gunung dari sebelah belakang.

Kini setelah perang selesai, tinggallah Kauw Bian Cinjin berulang kali menghela napas panjang. Alangkah menyesal hatinya bahwa ia terpaksa harus membunuh begitu banyak manusia, padahal selama bertahun-tahun ia hidup aman di pertapaan. Namun, betapa mungkin ia tinggal diam saja mendengar pimpinan Beng-kauw terbasmi? Di sampingnya, Siang Kui dan Siang Hui menangis karena dua orang ini mengkhawatirkan nasib adik mereka Kam Han Ki. Setelah mencari dengan sia-sia, akhirnya mereka turun dari gunung itu dengan hati gelisah. Kemenangan mereka itu tidak memuaskan hati karena yang hendak mereka tolong terutama Han Ki lenyap dilarikan musuh.

********************


Kamar itu amat terang dan hawanya bersih sejuk karena jendela dan pintunya terbuka lebar menerima masuknya hawa dan sinar matahari pagi. Hawa pegunungan amat sejuk memasuki ruangan.

Yu Siang Ki yang rebah telentang di atas dipan mengeluh perlahan, lalu mengerang kesakitan. Tujuh belas bagian tubuhnya telah ditusuk jarum emas dan perak oleh kakek kurus yang melarikannya dari dalam kerangkeng, dan baru saja jarum-jarum itu dicabut kembali.

“Aduhh....” Ia menggerak-gerakkan pelupuk mata dan kaki tangannya yang lemas.

“Siang Ki, syukur kau telah tertolong...”

Siang Ki membuka matanya dan pandang matanya bertemu dengan wajah ayu, wajah Kwi Lan! Gadis ini dengan senyum lebar dan wajah berseri saking girangnya melihat Siang Ki tertolong nyawanya, memegang sebuah cangkir, lalu mendekatinya.

“Siang Ki, kau minumlah obat ini.”

“Kwi Lan...! Bagaimana kita bisa berada di sini...? Bukankah kita berdua tertawan...?” Saking herannya Siang Ki memegang tangan Kwi Lan, menahannya meminumkan obat.

Kwi Lan tertawa. “Tiga hari tiga malam kau pingsan terus, kusangka mati! Kau minum dulu ini baru bicara.” Tanpa menanti jawaban ia membawa cangkir itu ke bibir Siang Ki yang terpaksa meminum obat yang pahit dan harum itu.

“Kwi Lan, bagaimana...?”

“Hush, kau tertolong Song Yok San-jin (Orang Gunung Ahli Obat she Song), dan puterinya, Enci Goat yang cantik manis!” Berkata demikian, Kwi Lan menudingkan telunjuknya ke sebelah kiri dipan.

Siang Ki cepat menoleh. Barulah tampak olehnya seorang kakek kurus berjenggot jarang sedang memeriksa sesuatu dalam dua tabung kaca dan seorang gadis yang cantik manis bergelung tinggi berada di depan kakek itu.

“Hemmm, tak salah dugaanku. Racun Peluru Bintang itu adalah racun jamur laut yang terdapat di selatan. Ah, sungguh keji orang-orang Thian-liong-pang. Tentu mendapat racun ini dari datuk mereka, Siauw-bin Lo-mo. Biar pun racun ini ganas, namun pemunahnya tidak sukar. Jalan darahnya telah kututup, racun tidak menjalar. Goat-ji (Anak Goat), kau ambillah batu penghisap dan bubukan biji delima putih.”

Setelah gadis cantik itu pergi untuk melakukan perintah ayahnya, kakek itu membalikkan tubuhnya dan membuang darah dalam kedua tabung itu ke luar pintu, lalu menaruh tabung ke dalam jambangan air yang berada di sudut. Barulah ia menghampiri dipan dan bertanya ramah. “Siauw-pangcu (Ketua) sudah sadar? Syukurlah...“

Siang Ki cepat melompat turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata, “Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah penyelamat nyawa kami berdua orang muda, harap jangan bersungkan kepada saya. Terimalah hormat dan terima kasih saya Yu Siang Ki.”

Kakek itu tertawa sambil berdongak ke atas, mengelus jenggotnya yang jarang. “Ha-ha-ha! Pangcu muda dari Khong-sim Kai-pang benar-benar tidak mengecewakan menjadi putera sahabatku Yu Kang Tianglo! Jangan banyak sungkan, kita di antara orang sendiri. Bangkitlah!” Sambil berkata demikian kakek itu mengangkat bangun Yu Siang Ki dan pemuda ini mendapat kenyataan betapa di balik telapak tangan yang halus itu tersembunyi tenaga yang amat kuat sehingga ia menjadi amat kagum dan segera bangkit berdiri.

“Locianpwe mengenal mendiang ayah saya sebagai sahabat, sungguh merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar bagi saya,” katanya, akan tetapi tiba-tiba Siang Ki memejamkan kedua mata karena kepalanya terasa pening.

“Siauw-pangcu harap rebahan dulu karena racun masih belum lenyap dari tubuhmu,” kata ahli pengobatan itu. Tanpa diperintah kedua kalinya, juga karena Kwi Lan memegang dan mendorong pundaknya, pemuda itu kembali merebahkan diri telentang di atas dipan.

Gadis cantik berambut hitam panjang yang disanggul tinggi itu muncul dengan langkah kakinya yang ringan, membawa obat dan batu penghisap yang tadi diminta ayahnya. Kakek itu menerima obat dari tangan puterinya, kemudian berkata kepada Kwi Lan dan puterinya itu, “Kalian keluarlah dulu dari kamar ini karena aku akan menyedot hawa beracun dari luka-lukanya.”

Song Goat, gadis cantik itu menggandeng lengan Kwi Lan dan ditariknya gadis itu ke luar. Kwi Lan menurut saja karena memang ia ingin bicara dengan gadis ini yang mempunyai jarum-jarum hijau persis senjata rahasianya. Setelah dua orang gadis itu keluar, Song Hai yang berjuluk Yok-san-jin itu lalu menggulung kedua lengan jubahnya, kemudian mulai menanggalkan pakaian Yu Siang Ki.

Luka-luka karena senjata rahasia Peluru Bintang dari tokoh-tokoh Thian-liong-pang itu tampak kebiruan, bahkan ada yang sudah menghitam. Dengan tangan kanannya kakek itu memegang batu penghisap, sebuah batu yang berwarna putih dan banyak lubang-lubang kecil, seperti batu bintang yang terdapat di dasar laut. Kemudian tangan kirinya dengan jari-jari yang panjang halus itu memijit di sekitar luka sambil menekan batu itu pada lukanya.

Yu Siang Ki meringis kesakitan, akan tetapi pemuda ini lalu menggigit bibir menahan rasa nyeri sehingga tidak sedikit pun keluhan keluar dari mulutnya. Hanya keringat yang besar-besar berkumpul di dahinya. Tak lama kemudian batu yang berwarna putih itu menjadi hijau lalu hitam! Kakek itu menunda pekerjaannya menghisap hawa beracun lalu memasukkan batu yang menghitam itu ke dalam air yang sudah dicampuri obat. Seketika warna hitam itu luntur, batu menjadi putih kembali akan tetapi airnya yang berubah agak kehitaman seperti dimasuki tinta bak! Lalu penghisapan itu dilakukan lagi pada semua luka sampai luka-luka itu kelihatan merah. Usaha pembersihan hawa beracun ini amat nyeri, perih dan seperti ditusuk-tusuk rasanya, dan baru selesai setelah satu jam lebih. Barulah kakek itu membantu Siang Ki mengenakan pakaiannya kembali.

“Aman sudah. Tinggal minum obat ini dan dalam beberapa hari lagi Siauw-pangcu akan pulih kembali kesehatannya seperti biasa.”

Kakek itu lalu menuangkan obat bubuk delima putih, ditaburkan pada luka dan terasalah oleh Siang Ki betapa keperihan dan kenyerian pada luka-lukanya lenyap seketika, terganti oleh rasa dingin dan menyenangkan. Tanpa disadarinya, ia sudah memejamkan mata menarik napas lega dan pulas seketika! Kakek itu tersenyum, lalu mencuci kedua tangannya dan duduk di atas bangku dekat pembaringan.

Sementara itu, setelah berada di luar pondok kecil itu, Kwi Lan segera menangkap tangan Song Goat dan berkata, “Cici yang baik, hampir mati aku menahan sabar untuk mendengar semua keteranganmu. Hayo lekas ceritakan, pertama-tama, mengapa kau menggunakan jarum-jarum hijauku untuk membunuhi para hwesio itu, kemudian menggunakan juga ketika kau menolong kami? Dari mana kau mendapatkan jarum-jarum hijau itu?”

Song Goat tersenyum dan dua buah lekuk kecil muncul di sepasang pipinya dekat mulut sehingga ia tampak manis sekali. “Adik yang baik, bukankah engkau yang berjuluk Mutiara Hitam? Kenapa kau tak dapat menebak sendiri? Hi-hik!”

“Eh, eh, jangan jual mahal, Enci yang baik. Lekas ceritakan, kalau tidak...“

“Hemm, anak ganas, kalau tidak kuceritakan kepadamu apakah kau akan memaksaku dengan pedangmu yang lihai?” Song Goat yang ternyata pandai berkelakar itu menggoda, sepasang matanya disipitkan ketika mengerling.

“Aihhh! Kalau tidak mau, kucubit pipimu yang manis ini!” Kwi Lan tertawa dan mengancam dengan jari-jari tangannya yang kecil.

“Aduh, ampun... kau anak ganas!” Song Goat tertawa, menutupi kedua pipinya. “Mari kita duduk di sana dan kau dengarkan ceritaku.”

Dua orang gadis remaja yang cantik jelita itu lalu duduk di atas batu-batu besar tidak jauh dari pondok itu. Song Goat mengeluarkan dua buah kantong dari saku bajunya. “Kau lihat ini, yang sekantong terisi jarum-jarum biasa, dan kantong kedua terisi jarum-jarum hijau beracun. Jangan kira bahwa aku mencuri jarum-jarummu, Adik Kwi Lan. Kau tentu mengerti bahwa ayahku adalah seorang yang ahli dalam hal segala macam racun, dan agaknya secara kebetulan saja jarum-jarum kita menggunakan racun hijau yang sama. Akan tetapi ada perbedaannya di antara kita.”

“Apa bedanya?”

“Kau selalu menggunakan jarum hijau beracun, akan tetapi aku hanya menggunakan jarum biasa tanpa racun, kecuali kalau harus merobohkan orang jahat yang patut dibunuh.”

“Seperti yang kau lakukan kepada hwesio-hwesio dalam kuil itu? Kau mau bilang bahwa pendeta-pendeta itu adalah orang-orang jahat?” Kwi Lan mengejek.

“Lebih jahat dari pada penjahat biasa, Adik manis! Penjahat biasa memang penjahat, akan tetapi penjahat-penjahat keji itu berkedok di balik Agama Buddha yang suci, benar-benar menjemukan sekali! Apa kau belum dapat menduga bahwa mereka itu adalah sekutu orang-orang Thian-liong-pang dan perampok-perampok di bawah pengaruh Siauw-bin Lo-mo? Apakah kau tidak tahu bahwa kedatangan orang-orang Thian-liong-pang yang menginap di rumah mereka itu mengorbankan belasan orang gadis baik-baik yang mereka tangkap untuk disuguhkan kepada orang-orang Thian-liong-pang? Kebetulan Ayah dan aku tahu akan hal ini, maka kami turun tangan membunuh mereka membebaskan gadis-gadis itu. Para tamu, orang-orang Thian-liong-pang itu, segera bubar melarikan diri. Karena sepak terjangmu bersama... eh, Pangcu itu, Ayah mengajak aku diam-diam mengikuti karena khawatir kalau-kalau kalian terjebak oleh orang-orang Thian-liong-pang yang lihai dan curang. Dugaan Ayah ternyata terbukti. Kami tak dapat segera turun tangan karena tidaklah mudah membebaskan kalian dari tangan dua belas orang tokoh Thian-liong-pang itu, apa lagi setelah ternyata mereka itu berkumpul dengan Siauw-bin Lo-mo si iblis tua...”

Tiba-tiba Kwi Lan meloncat bangun, diikuti Song Goat yang pendengarannya masih kalah tajam oleh Mutiara Hitam. Dua orang gadis ini membalikkan tubuh sambil mencabut pedang dan di depannya telah berdiri seorang kakek yang tertawa-tawa, kakek kurus yang bukan lain adalah Siauw-bin Lo-mo!

“Ha-ha-ha-ha, bocah manis, ini aku si Iblis Tua sudah datang. Jadi engkaukah yang telah berani main-main dan menculik tawananku? Ha-ha-ha, bagus sekali. Bouw Lek Couwsu tentu akan senang hatinya mendapat tambahan hadiah seorang dara lagi secantik engkau. Mari, kalian ikut bersamaku!” Sambil berkata demikian, Siauw-bin Lo-mo menerjang maju, dua lengannya bergerak aneh hendak mencengkeram dua orang gadis itu.

“Siauw-bin Lo-mo iblis tua! Rasakan pembalasanku!” Kwi Lan sudah berseru keras dan marah sekali, pedang Siang-bhok-kiam di tangannya berubah menjadi sinar hijau bergulung panjang membabat kedua lengan kakek itu.

“Aiihhh...!” Siauw-bin Lo-mo mengeluarkan seruan panjang saking kagetnya dan cepat menarik kembali kedua lengannya.

Ia tadi terlalu memandang rendah kepada dua orang gadis itu, apa lagi Kwi Lan yang pernah tertawan oleh Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang, anak buahnya. Tak disangkanya gadis ini dapat menyambutnya sehebat itu dan ia maklum bahwa gadis remaja yang galak ini ternyata benar-benar lihai dan hebat ilmu pedangnya, sesuai dengan kegalakannya ketika memaki-maki di dalam kerangkeng. Baru sekarang ia mengerti mengapa orang-orangnya menawan gadis ini di dalam kerangkeng dan menjaganya ketat, kiranya gadis ini benar-benar amat berbahaya.

Song Goat juga membantu Kwi Lan menggerakkan pedangnya. Biar pun gadis puteri ahli obat ini tidak seganas dan sehebat Kwi Lan ilmu pedangnya, namun juga termasuk seorang muda yang berilmu tinggi.

“Ha-ha-ha-ha, memang Bouw Lek Couwsu bernasib baik! Ha-ha, kiranya selama hidup dalam petualangannya dengan wanita, belum pernah ia mendapatkan dua orang gadis cantik yang begini lihai!”

Biar pun maklum bahwa dua orang gadis lawannya bukan lawan lunak, namun Siauw-bin Lo-mo sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan tentu saja tidak menjadi gentar. Sehabis tertawa lebar, ia lalu menerjang maju dengan kedua tangan kosong menghadapi dua orang lawannya yang bersenjata pedang. Dan Kwi Lan mengeluarkan seruan tertahan. Hebat memang kakek kurus ini!

Gerakannya demikian aneh dan ringan sehingga setiap kali pedangnya hendak mengenai sasaran, bagian tubuh kakek itu seperti terdorong lebih dulu dan selalu dapat mengelak, bahkan beberapa kali gagang pedangnya hampir kena dirampas! Saking marahnya, Kwi Lan lalu berseru nyaring dan pedangnya kini mainkan ilmu pedang yang tiada keduanya dalam soal keanehan di dunia ini.

Siauw-bin Lo-mo yang memandang rendah ilmu pedang Song Goat karena segera mengenal ilmu pedang gadis ini yang bersumber pada ilmu pedang Kun-lun-pai, kini terbelalak heran menghadapi ilmu pedang yang dimainkan Kwi Lan. Dalam gerakan ilmu pedang ini ia mengenal jurus-jurus campuran yang mirip ilmu pedang dari Hoa-san-pai, tusukan-tusukan jalan darah seperti ilmu silat Siauw-lim, pengerahan tenaga berdasarkan ilmu dari Go-bi-san! Repot juga untuk sementara kakek ini menghadapi ilmu pedang Kwi Lan. Akan tetapi oleh karena tingkatnya memang jauh lebih tinggi dan ia sudah memiliki pengalaman banyak dalam pertempuran, segera ia dapat menyesuaikan diri dan kini ia malah berhasil mengirim tendangan ke arah tangan Song Goat yang memegang pedang. Pedang gadis itu terlepas dan ia sendiri terhuyung.

“Ha-ha-ha!” Siauw-bin Lo-mo sambil tertawa-tawa melesat dari depan Kwi Lan ke dekat Song Goat untuk merobohkan gadis ini, akan tetapi tiba-tiba ia terdorong oleh hawa pukulan dari belakang yang membuatnya terhuyung-huyung dan berseru heran dan kaget.

Sebagai seorang ahli, Siauw-bin Lomo mengerti betapa hebatnya hawa pukulan itu, maka cepat ia menggulingkan dirinya sambil mengerahkan hawa sakti dan akibat pukulan jarak jauh itu dapat dipunahkan. Ia selamat dari bahaya akan tetapi mengalami malu karena ternyata ia hampir celaka dalam tangan seorang gadis remaja, hanya karena pukulan jarak jauh tangan kiri Kwi Lan. Ia tidak tahu bahwa gadis itu disamping ilmu pedangnya yang luar biasa, juga menguasai ilmu pukulan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).

Song Goat yang tidak terluka mendapat kesempatan untuk mengambil pedangnya kembali dan kini ia sudah maju lagi membantu Kwi Lan yang sudah menerjang kakek lihai itu. Namun kini Siauw-bin Lo-mo sudah bersikap hati-hati sekali dan gerakan yang aneh dari kedua lengannya membuat Kwi Lan dan Song Goat menjadi pening! Lebih celaka lagi, dua orang gadis itu melihat betapa kini bermunculan dua belas orang yang bukan lain adalah Thai-lek-kwi Ma Kiu ketua Thian-liong-pang bersama sebelas orang adik seperguruannya! Akan tetapi Cap-ji-liong ini hanya berdiri di pinggir menonton, tidak berani bergerak mengganggu datuk mereka yang yang sedang mempermainkan dua orang gadis remaja itu!

Pada saat itu, dari dalam pondok melompat ke luar Yok-san-jin Song Hai si ahli obat. Ia sudah memegang sebatang pedang. Melihat betapa Kwi Lan dan Song Goat terdesak hebat dan mengenal kakek kurus itu, ia berseru. “Siauw-bin Lo-mo, tidak malu engkau melawan anak-anak?”

Siauw-bin Lo-mo menoleh dan tertawa. “Ha-ha-ha, kiranya tukang obat Song yang berada di sini. Ah, kiranya gadis ini anakmu? Ha-ha, majulah kau sekalian, dikeroyok tiga pun aku tidak takut!”

Akan tetapi, dua belas orang Cap-ji-liong sudah maju pula menghadang kakek ahli obat itu yang segera mengurungnya dengan senjata di tangan. Melihat ini, Song Hai segera memasang kuda-kuda dan bersikap waspada karena dapat menduga bahwa dua belas orang tokoh Thian-liong-pang ini tentulah bukan orang-orang lemah.

“Ha-ha-ha-ha! Song Hai tukang obat, sebelum main-main dengan aku, kau rasakanlah dulu kelihaian anak buahku!” Ucapan Siauw-bin Lo-mo ini merupakan perintah bagi Cap-ji-liong dan lenyaplah keraguan mereka. Segera mereka menerjang maju secara teratur, mengurung kakek tukang obat itu dengan barisan yang terkenal kuat.

Kwi Lan menggigit bibir dan mengeluarkan semua kepandaiannya. Betapa pun juga kakek itu terlampau kuat untuknya. Biar pun ia dibantu Song Goat yang juga lihai ilmu pedangnya, namun tetap saja dua orang gadis ini terdesak hebat dan akhirnya terhuyung oleh bayangan kedua tangan Siauw-bin Lo-mo yang seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya. Song Goat yang lebih dulu merasa pening dan sebuah tamparan membuat ia terhuyung ke belakang kembali terlepas dari tangan. Tamparan yang mengenai pundak kanan itu membuat tangan kanannya serasa lumpuh!

Kwi Lan berseru marah dan menusuk pinggang lawan yang sedang miring tubuhnya. Siauw-bin Lo-mo terkekeh dan berjungkir balik, kemudian menyambut pukulan tangan kiri Kwi Lan dengan tangkisan tangan kanan.

“Plakk...!” Siauw-bin Lo-mo terhuyung mundur, akan tetapi Kwi Lan harus berjungkir balik beberapa kali untuk mencegah terguling. Ketika gadis ini sudah berdiri lagi, ia diserang secara bertubi-tubi di antara suara ketawa lawannya. Ia berusaha untuk membalas, namun karena sudah terdesak dan kalah dulu, ia tidak mendapat kesempatan dan hanya dapat mengelak dan menggerakkan pedang membabat tangan yang hendak menangkap dan menotoknya.

Pada saat Kwi Lan terdesak hebat, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi yang tidak hanya mengejutkan hati Siauw-bin Lo-mo, akan tetapi juga amat mengagetkan Song Hai dan dua belas orang pengeroyoknya. Lengking yang menggetarkan jantung dan menulikan telinga itu seketika membuat mereka semua menghentikan pertandingan dan Kwi Lan menjadi girang sekali ketika menoleh ke arah datangnya suara melengking yang tentu saja ia kenal baik ini.

Bagaikan bayangan setan, tiba-tiba saja di situ sudah berdiri seorang wanita bertubuh ramping berpakaian serba putih dan mukanya dikerudungi sutera jarang seperti rajut berwarna hitam. Kam Sian Eng guru Kwi Lan!

“Siauw-bin Lo-mo, kau berani menyerang muridku, berarti engkau tidak memandang mata kepadaku!”

Siauw-bin Lo-mo mengenal wanita ini dan tertawa, akan tetapi suara ketawanya canggung karena hatinya merasa tidak enak. “Eh... Sian-toanio (Nyonya Sian), jadi gadis yang ganas dan lihai ini muridmu? Pantas begitu hebat. Aku tidak tahu bahwa dia muridmu, Sian-toanio karena dia pun tidak mengatakan apa-apa kepadaku.”

“Sekarang kau tahu Siauw-bin Lo-mo, apakah kau masih akan melanjutkan pertempuran?” tanya Kam Sian Eng, suaranya kaku.

“Ha-ha-ha, tentu saja aku tidak mau mengganggu keponakan sendiri! Bouw Lek Couwsu akan cukup puas kalau aku membawa nona puteri tukang obat ini. Hayo engkau ikut bersamaku!” Sambil berkata demikian, tubuh kakek kurus ini melesat ke depan, ke arah Song Goat untuk menyambar tubuh gadis ini yang tentu saja sama sekali bukan lawan Siauw-bin Lo-mo.

Akan tetapi tiba-tiba sinar hijau berkelebat dan kakek itu harus menarik kembali kedua tangannya karena Kwi Lan telah membabat ke arah kedua tangan yang hendak menerkam Song Goat itu. Kini gadis ini dengan pedang di tangan berdiri menghadang di depan Song Goat, sikapnya menantang, matanya mendelik marah.

“Ha-ha-ha-ha, keponakanku yang baik, apakah kau hendak menantang aku? Sian-toanio apakah begini kau mengajar muridmu?”

“Kwi Lan! Mundur kau! Mau apa kau mencampuri urusan orang lain? Sejak kapan kau begini usil dan lancang?” Kam Sian Eng membentak, suaranya dingin seperti suara dari lubang kubur membuat Cap-ji-liong yang terkenal gagah sekali pun menggigil dan merasa seram.

“Bibi, aku tidak suka mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi Enci Goat ini dan ayahnya, Song-locianpwe, telah menyelamatkan nyawaku ketika aku menjadi tawanan tua bangka iblis ini!” Ia menuding ke arah Siauw-bin Lo-mo. “Bagaimana mungkin aku sekarang membiarkan iblis tua ini mencelakai Enci Goat?”

Kam Sian Eng adalah seorang yang memiliki watak aneh sekali karena memang jiwanya sakit, ingatannya terganggu oleh peristiwa hebat di waktu mudanya. Ia tidak mengenal budi, tidak mengenal apa itu baik atau jahat, namun terhadap diri Kwi Lan ada perasaan kasih sayang di hatinya. Maka melihat sikap dan mendengar pembelaan Kwi Lan, ia menarik napas panjang dan menoleh kepada Siauw-bin Lo-mo, berkata singkat. “Lo-mo, pergilah. Tidak ada urusan apa-apa lagi di sini. Setahun kemudian kelak kita bertemu kembali.”

Siauw-bin Lo-mo tertawa masam. Ia menjadi serba salah. Ia tidak takut kepada Kam Sian Eng, akan tetapi juga tidak menghendaki nama Bu-tek Ngo-sian menjadi pecah hanya karena urusan seorang gadis! Selain itu, juga otaknya yang cerdik bekerja cepat. Kalau terjadi pertempuran karena ia kukuh, pihaknya tentu rugi. Dia sendiri melawan Sian-toanio ini masih merupakan keadaan setengah-setengah, belum tentu siapa yang akan menang atau kalah. Akan tetapi, dua belas orang Cap-ji-liong itu kalau harus menghadapi kakek tukang obat Song bersama puterinya dan si Mutiara Hitam, agaknya akan terancam bahaya kehancuran. Maka ia lalu tertawa dan agar jangan terlalu kehilangan muka ia berkata.

“Ha-ha-ha-ha! Melihat muka Sian-toanio yang menjadi saudaraku sendiri, tentu saja aku tidak akan meributkan soal seorang gadis! Hanya sayang sekali, saudaraku yang menjadi seorang di antara Bu-tek Ngo-sian, ternyata harus tunduk kepada muridnya. Ha-ha-ha! Hayo, kita pergi!” Ia berseru kepada Cap-ji-liong yang tanpa banyak cakap tidak berani membantah dan segera mengikuti datuk mereka pergi dari dalam hutan.

Biar pun perangainya aneh dan otaknya tidak waras, namun Kam Sian Eng adalah seorang wanita yang memiliki watak angkuh dan tinggi hati. Oleh karena itu, ejekan yang keluar dari mulut Siauw-bin Lo-mo tadi sedikit banyak telah meracuni hatinya, membuat keningnya berkerut dan sepasang matanya mengeluarkan sinar dingin menakutkan. Melihat betapa sepasang mata Sian Eng memandangnya seperti itu, tahulah Kwi Lan bahwa gurunya atau bibinya ini sedang marah sekali. Maka ia menjadi khawatir dan bersikap waspada.

Pada saat itu nampak bayangan berkelebat keluar dari pondok. Ternyata dia adalah Yu Siang Ki yang sudah sembuh, hanya belum pulih tenaganya. Namun karena tadi ia terbangun dari tidurnya dan mendengar suara melengking nyaring, ia segera mengerahkan tenaga, menyambar tongkat dan setelah tubuhnya tidak begitu lemah lagi, kini ia meloncat ke luar, siap membantu Song Hai dan puterinya, terutama sekali Kwi Lan jika ada bahaya mengancam. Ketika ia melihat mereka itu berhadapan dengan seorang wanita yang memakai kerudung, yang sikapnya aneh, yang matanya menyinarkan keseraman yang mengerikan, ia meloncat dan sudah berada di samping Kwi Lan. Gerakannya tidaklah sekuat biasa, namun pemuda ini tidak kehilangan kelincahannya.

“Siapa jembel ini?” Suara Kam Sian Eng dingin sekali, membuat Siang Ki meremang bulu tengkuknya, dan sinar mata yang menyambar ke arah mukanya seperti tangan dingin menyentuh leher. Ia bergidik.

Song Hai atau Yok-san-jin yang semenjak tadi memandang kepada Kam Sian Eng dengan penuh rasa kagum dan heran, segera melangkah maju dan menjura sebagai penghormatan, lalu berkata, “Kouwnio, orang muda ini bukan lain adalah kai-pangcu (ketua perkumpulan pengemis) dari Khong-sim Kai-pang, putera mendiang Yu Kang Tianglo yang gagah perkasa.”

Sian Eng melirik ke arah kakek berjenggot itu. Hatinya senang mendengar dirinya disebut kouwnio (nona). Tentu saja kakek itu merasa tepat menyebut nona kepada wanita berkerudung ini karena ia jauh lebih tua dan memang Sian Eng kelihatan masih muda, baik dipandang pada wajah di balik kerudung itu mau pun bentuk tubuh yang langsing padat.

Akan tetapi kalau hati Sian Eng merasa senang dengan sebutan kouwnio, ia mengerutkan kening mendengar bahwa pemuda ini adalah Ketua Khong-sim Kai-pang, putera Yu Kang Tianglo yang merupakan seorang di antara lawan golongan sesat yang dipimpin Bu-tek Ngo-sian. Dia tentu saja tidak mau memusuhi orang-orang seperti Suling Emas, akan tetapi ia sama sekali tidak ada hubungan dengan Yu Kang Tianglo atau pun puteranya. Maka kalau ia hendak mengumpulkan jasa untuk mengalahkan empat orang yang lain dari Bu-tek Ngo-sian, ia boleh mulai dengan putera Yu Kang Tianglo yang menjadi ketua Khong-sim Kai-pang ini.

“Hemm, jembel muda ini ketua Khong-sim Kai-pang? Begini muda menjadi pangcu? Hendak kulihat sampai di mana kemampuannya!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba tangan kanan Kam Sian Eng bergerak, secepat kilat tangan itu sudah menampar dengan jari tangan terbuka ke arah dada Yu Siang Ki!

“Bibi...!” Kwi Lan menjerit, mengenal pukulan itu yang bukan lain adalah Siang-tok-ciang! Di tangan gurunya, Siang-tok-ciang ini hebat bukan main karena ketika berlatih, kalau dia dengan pengerahan tenaga seluruhnya hanya mampu memukul pohon menjadi layu daun-daunnya, adalah gurunya ini sekali pukul membuat pohon itu mati seketika karena hangus sebelah dalamnya!

Yu Siang Ki bukanlah seorang muda yang bodoh. Dia cukup waspada dan tahu betapa hebat dan berbahayanya pukulan itu yang meniupkan hawa panas dan bau yang wangi. Cepat ia mengelak dengan jalan melempar tubuhnya ke belakang. Betapa pun cepat gerakannya mengelak ini, namun hawa pukulan dari tangan Kam Sian Eng tetap saja menyerempet pundaknya, membuat tubuh pemuda itu bergulingan akan tetapi ia terbebas dari pada bahaya maut.

Bibir Kam Sian Eng tersenyum dan makin gelisah hati Kwi Lan. Ia tentu saja mengenal senyum gurunya ini, senyum maut karena senyum ini berarti bahwa gurunya merasa tersinggung dan marah sekali melihat betapa pukulannya dapat dielakkan. Ia melangkah maju dan kembali tangannya bergerak hendak memukul dengan Siang-tok-ciang yang lebih hebat.

“Bibi, jangan...!”

Akan tetapi pukulan sudah dilancarkan dan terpaksa Kwi Lan berkelebat maju sambil mengangkat tangannya menangkis.

“Plakk!!” dan tubuh gadis itu bergulingan sampai lima meter jauhnya, dan ketika ia meloncat bangun, wajahnya agak pucat, akan tetapi tidak terluka. Sian Eng sejenak berdiri seperti patung memandang muridnya, sinar matanya makin dingin, senyumnya melebar.

“Bibi, kau tidak boleh membunuh Yu Siang Ki. Dia tidak bersalah apa-apa, mengapa dibunuh?”

“Dia... apamu?” tanya Sian Eng, suaranya penuh kemarahan yang ditahan-tahan.

“Dia sahabat baikku, Bibi. Banyak kualami suka duka, kualami bahaya maut di sampingnya, dia pernah menolongku dan....”

Sejak tadi Sian Eng memang sudah merasa kecewa dan marah kepada Kwi Lan, yaitu ketika ia diejek oleh Siauw-bin Lo-mo bahwa dia tunduk kepada muridnya. Kini kejengkelan hatinya itu makin menjadi-jadi seperti api disiram minyak oleh perbuatan Kwi Lan yang dengan nekat berani menangkis pukulannya dan menghalangi dia turun tangan terhadap Yu Siang Ki. Marah dan kecewa, apa lagi melihat betapa tukang obat dan gadisnya memandang dengan muka jelas berpihak kepada Kwi Lan.

Watak Sian Eng memang aneh dan ganas, makin ditentang makin ganas dan kini kemarahan hatinya membuat gilanya kumat dan ia tidak peduli atau tidak ingat lagi bahwa Kwi Lan adalah muridnya, juga keponakannya. Ia kini maju mendekati Kwi Lan dan membentak. “Setan cilik! Berani kau menentang aku? Dua kali kau menghina Gurumu sendiri, tahukah kau apa hukumannya untuk itu?”

Kwi Lan menjatuhkan dirinya berlutut. Ia seorang pemberani, tidak takut mati dan tidak takut melawan siapa pun juga. Akan tetapi tak mungkin ia mau melawan gurunya yang mendidiknya sejak ia masih kecil. Ia pun tahu bahwa sekali gurunya marah seperti ini, biar pun ia melawan juga tidak ada gunanya, lari pun percuma.

“Bibi, kebaikanmu tidak cukup kubalas dengan nyawa. Kalau kau menghendaki, aku bersedia menerima hukuman apa pun juga, bahkan kematian tidak akan membikin aku menyesal. Silakan!”

Sian Eng tercengang. Dia berwatak aneh, keras dan ganas. Akan tetapi melihat betapa Kwi Lan menantang maut dengan sikap sedingin dan setenang ini, ia terkejut juga, terkejut dan kagum. Akan tetapi hanya untuk sesaat karena kemarahannya kembali memuncak.

“Kau sudah berani menangkis pukulanku, nah, kau cobalah tangkis ini!” Tangan kanannya bergerak menyambar ke arah kepala Kwi Lan yang menunduk.

“Wuuuutttt... prakkkk...!” Hancur luluh tongkat di tangan Yu Siang Ki ketika ia pergunakan untuk menangkis tangan Siang Eng dalam usahanya menolong Kwi Lan yang terancam bahaya maut. Ia sendiri terhuyung ke belakang. Akan tetapi pemuda ini sudah melompat maju lagi, membusungkan dada menantang kepada Sian Eng.

“Cianpwe, tidak semestinya membunuh Kwi Lan karena dia tidak berdosa. Kalau dia menolong saya dianggap salah oleh Cianpwe, maka kesalahannya adalah karena saya dan saya bersedia menerima hukumannya, sekali-kali bukan Kwi Lan yang harus menanggung.”

Kam Sian Eng tercengang. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pengemis muda ini begini nekat, berani menangkis pukulannya dan melindungi Kwi Lan. Ia makin marah. Akan tetapi keheranannya melihat pembelaan pemuda itu kepada muridnya, membuat ia ragu-ragu untuk turun tangan dan sebaliknya ia membentak.

“Mengapa kau membela dia? Dia apamu?”

Yu Siang Ki tersenyum duka dan menggeleng kepalanya. “Memang bukan apa-apa, Cianpwe. Akan tetapi saya siap untuk mempertaruhkan nyawa untuknya.”

Terdengar isak tertahan yang keluar dari kerongkongan Song Goat. Gadis ini ternyata telah menangis perlahan sambil menutupi mukanya. Ayahnya sudah berdiri di sampingnya dan merangkul pundak puterinya, wajah kakek ini pun diliputi kedukaan.

“Hemm...! Kau... kau mencinta Kwi Lan?”

Kwi Lan sendiri memandang dengan mata terbelalak. Semua orang memandang kepada Siang Ki dan keadaan di situ hening oleh ketegangan menanti jawaban Siang Ki yang ditanya secara terus terang oleh wanita berkerudung yang menyeramkan itu.

“Benar! Saya mencinta Kwi Lan dan siap mati untuknya!” jawab Siang Ki kemudian dengan suara tenang. Kembali Song Goat terisak, kini menangis tersedu-sedu dan meronta dari rangkulan ayahnya, terus melarikan diri sambil menangis.

“Goat-ji (Anak Goat)...!” Song Hai kakek ahli obat itu lalu lari mengejar puterinya setelah ia memandang ke arah Yu Siang Ki dengan sinar mata mengandung penyesalan.

“Bibi, apakah Bibi masih berkeras hendak membunuh kami? Silakan!” Kwi Lan berkata, nada suaranya marah dan ia menantang dengan nekat sedangkan Yu Siang Ki memandang dengan sikap tenang.

Kam Sian Eng ragu-ragu, “Hemm, kau mencinta Kwi Lan? Eh, Kwi Lan, apakah kau juga mencinta pemuda jembel ini?” Orang yang dicinta Kam Sian Eng dahulu adalah seorang putera pangeran, maka tentu saja ia memandang rendah kepada Yu Siang Ki yang biar pun tampan namun berpakaian jembel.

“Cinta...?” Kwi Lan menggeleng kepala. “Aku tidak tahu..., aku tidak mencinta siapa-siapa, akan tetapi Siang Ki amat baik kepadaku dan pernah menolongku. Yang sudah jelas, dia adalah sahabat baikku, Bibi.”

Sinar mata kemarahan di balik kerudung itu berseri sebentar. Di sudut benaknya, wanita aneh ini tentu saja tidak ingin mendengar Kwi Lan mencinta laki-laki lain karena sudah ia harapkan untuk menjadi isteri puteranya!

“Bagus, biarlah kuampunkan nyawa jembel muda ini. Akan tetapi kau harus segera menyusul Suheng-mu.”

Biar pun sejak kecil sering cekcok dengan Suma Kiat putera tunggal gurunya, akan tetapi karena sejak kecil menjadi teman bermain, Kwi Lan gembira mendengar ini. “Di mana adanya Suma-suheng?”

“Di kota raja Kerajaan Sung. Kau lekaslah menyusul ke sana. Awas kalau kau tidak berada di sana dalam waktu dua bulan.” Setelah berkata demikian tubuh wanita berkerudung ini berkelebat dan lenyap dari situ.

Kwi Lan dan Siang Kwi saling pandang. Baru saja mereka terlepas dari bahaya maut yang sudah mengancam hebat. Siang Ki yang tadinya amat tegang, kini menarik napas panjang. “Hebat... Gurumu hebat...,” katanya dan terasalah kini oleh pemuda itu betapa tubuhnya masih amat lemah, biar pun rasa nyeri sudah hilang.

“Ah, ke mana perginya Enci Goat tadi? Siang Ki, kau mengasolah di pondok, biar aku mengejar mereka!” Tanpa menanti jawaban Siang Ki, Kwi Lan lalu melompat jauh dan mengerahkan ginkang dan berlari secepat larinya kijang memasuki hutan di mana tadi ia melihat Song Goat melarikan diri kemudian dikejar ayahnya.

Jauh di dalam hutan, Kwi Lan mendapatkan kakek Song itu berdiri seperti arca, mukanya pucat dan diliputi awan kedukaan, bahkan ada bintik-bintik air mata di kedua pipinya!

“Song-lopek! Ada apakah? Mana Enci Goat?”

Kakek itu tidak menjawab, hanya menudingkan telunjuk kanannya ke batang pohon di depannya. Kwi Lan memandang dan ternyata di pohon itu terdapat sehelai sapu tangan sutera putih yang tertusuk jarum keempat ujungnya dan sapu tangan itu ada tulisannya, agaknya ditulis dengan ranting pohon dengan tinta getah pohon.

Ayah, biarkan anak merantau melupakan duka. Sampai jumpa’.

“Eh, apa artinya semua ini, Lopek? Adakah ini sapu tangan Enci Goat? Tulisannya?” tanya Kwi Lan yang masih belum mengerti.

Song Hai mengangguk dan menarik napas panjang. “Kalau aku mau, tentu saja aku akan dapat mengejarnya sampai tersusul. Akan tetapi apa gunanya? Sejak kecil dia berkeras hati. Dan dia tulis sampai jumpa, berarti kelak ia akan kembali kepada ayahnya...” Muka yang tua itu kelihatan berduka sekali. “Biarlah aku menunggu..., menunggu dan mengharap... dan berdoa semoga Thian Yang Maha Adil akan memberi jalan kepada Anakku....“

“Akan tetapi... mengapa Enci Goat melarikan diri? Mengapa kalian berduka?”

Tiba-tiba kakek itu membalikkan tubuh memandangnya dengan tajam sambil bertanya, suaranya tegas, “Nona apakah... maaf, apakah kau mencinta Yu Siang Ki?”

Kwi Lan melongo dan wajahnya menjadi merah. Untung ia teringat bahwa kakek ini telah menolong dia dan Siang Ki, kalau tidak, tentu pertanyaan itu akan dianggapnya kurang ajar. Ia hanya terheran mengapa kakek ini bertanya demikian, lebih heran lagi karena baru saja gurunya pun bertanya demikian.

“Aku tidak tahu, Lopek. Aku suka kepadanya tentu saja karena dia seorang yang baik, dia seorang sahabatku. Akan tetapi cinta...? Ah, aku sendiri tidak tahu apakah itu cinta, kurasa aku tidak mencinta siapa-siapa.”

Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira dan ia memegang tangan Kwi Lan. “Ah, alangkah lega dan girang hatiku, Nona. Tapi... tapi... ah, apa bedanya? Dia tetap saja mencintamu.”

“Kalau begitu mengapa, Lopek? Mengapa pernyataan cinta Siang Ki kepadaku begini mendukakan hati Enci Goat dan kau?”

Kembali kakek itu menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya. “Dahulu, ayah pemuda itu adalah sahabat baikku. Yu Kang Tianglo pernah melihat Goat-ji di waktu anakku berusia satu tahun dan puteranya juga berusia satu tahun. Dan pada waktu itu, Yu Kang Tianglo mengikat jodoh antara kami, Goat-ji dan Siang Ki. Sudah bertahun-tahun aku membawa anakku merantau, mencari tunangannya. Akhirnya kami mendengar bahwa Yu Siang Ki telah menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang. Kami menyusul ke sana akan tetapi dia sudah pergi. Kami mengikuti jejaknya terus sampai dapat berjumpa, bahkan menolongnya. Akan tetapi tadi pemuda itu menyatakan bahwa dia mencintamu dan tentu saja kau mengerti betapa hancur dan malu rasa hati Goat-ji....”

“Ahhh...!” Kwi Lan berseru kaget. “Kasihan sekali Enci Goat! Kenapa Siang Ki begitu tidak tahu aturan dan tidak mengenal budi?”

Melihat gadis itu kelihatan marah-marah, Song Hai memegang tangannya. “Jangan kau persalahkan sahabatmu itu, Nona. Yu-pangcu agaknya sama sekali tidak tahu akan tali perjodohan yang ditentukan mendiang ayahnya itu. Karena melihat sikapnya yang berbudi, kurasa kalau dia tahu tentu dia tidak akan melakukan hal yang begitu menyakitkan hati Goat-ji. Sudahlah, urusan ini tidak perlu dipersoalkan, soal jodoh berada di tangan Thian. Manusia tidak berkuasa memaksakan. Selamat berpisah, Nona.”

Kakek itu membalikkan diri meninggalkan Kwi Lan. Akan tetapi baru saja berjalan beberapa langkah, ia membalik dan berkata, “Oh ya, tolong kau sampaikan gurumu. Kepadanya tadi aku tidak berani bicara karena khawatir menyinggungnya, akan tetapi mengingat engkau, Nona, maka wajib kuberitahukan agar kau sampaikan kepada gurumu. Agar dia cepat-cepat menghilangkan semua tenaga sinkang, menghentikan latihan dan tidak mengerahkan tenaga lagi agar nyawanya dapat tertolong.”

“Heee? Kenapa, Lopek?”

“Dia... telah salah berlatih. Aku melihat cahaya maut di wajahnya, tanda bahwa hawa sakti yang terhimpun secara keliru di dalam tubuh meracuni darah dan merusak bagian dalam tubuhnya. Dan... dan kau sendiri, Nona, karena kau masih muda dan kau kuat maka belum tampak tanda-tanda itu. Hanya mengingat keadaan gurumu, bukan tidak mungkin engkau kelak akan terancam oleh bahaya yang sama. Maka lekas kau mencari guru yang sakti dan minta petunjuknya. Dalam hal ini, aku sendiri tak dapat memberi petunjuk. Ilmu silatku belum setinggi itu.” Setelah berkata demikian, kakek itu membalikkan tubuh dan kali ini ia tidak menengok lagi sampai lenyap di balik pohon-pohon besar.

Kwi Lan tergesa-gesa kembali ke pondok. Ia melihat Yu Siang Ki telah berdiri di luar pondok, agaknya menanti-nanti kedatangannya. Begitu melihat munculnya gadis itu, Siang Ki tersenyum gembira dan berkata, “Kwi Lan, kita harus cepat-cepat pergi dari sini, siapa tahu kalau-kalau iblis itu kembali lagi dan....”

Pemuda itu menghentikan kata-katanya karena melihat wajah gadis itu merah sekali dan sinar matanya seakan-akan dua batang pedang ditodongkan ke ulu hatinya. “Eh... eh..., ada apakah...?”

Kwi Lan berdiri di depan pemuda itu, tangan kiri bertolak pinggang, lengan kanan diulur ke depan dengan telunjuk ditudingkan hampir menyentuh hidung Yu Siang Ki, suaranya ketus ketika kata-katanya keluar menghambur dari bibir yang merah.

“Kau ini seorang yang sangat bo-ceng-li!”

“Hah...?” Siang Ki memandang bengong, benar-benar kaget, heran dan tidak mengerti, mengapa tiada hujan tiada angin gadis ini marah-marah seperti kilat menyambar-nyambar, mengatakan ia bo-ceng-li (tak tahu aturan)!

“Kau tidak setia, tidak mengenal budi, dan berhati kejam!” Kembali Kwi Lan menyerang dengan hardikannya tanpa mempedulikan keheranan dan kebingungan pemuda itu.

“Aahhh...?”

“Semenjak berusia setahun, kau telah ditunangkan dengan Enci Goat oleh mendiang ayahmu!”

“Ehhh...?”

“Enci Goat dan ayahnya bertahun-tahun mencarimu, setelah bertemu mereka telah menyelamatkan nyawamu. Akan tetapi, apa yang kau lakukan kepadanya? Di depan Enci Goat, kau secara bo-ceng-li sekali menyatakan bahwa kau mencintaku!”

“Ohhhh...?”

“Huh! Bisanya cuma ah-eh-oh! Laki-laki macam apa kau ini? Tidak setia, tidak mengenal budi, malah menghancurkan hati Enci Goat yang begitu baik! Kalau tidak ingat engkau sahabatku, sekarang juga sudah kutusuk dadamu, kukeluarkan hatimu!”

“Eeee-eeeh, nanti dulu Kwi Lan. Apa artinya semua ini? Tentang tunangan itu, dalam usia setahun, bagaimana pula ini? Sungguh aku tidak mengerti...”

“Benar kau tidak mengerti? Kau tidak tahu? Berani kau bersumpah bahwa kau tidak tahu akan ikatan jodoh antara kau dan Enci Goat? Bersumpahlah kalau kau berani menyangkal!”

“Sungguh mati aku tidak tahu seujung rambut pun. Kalau aku tahu dan menyangkal, biarlah aku disambar geledek!”

“Huh, enak saja laki-laki bersumpah. Di hari terang seperti ini, tiada hujan tiada angin, mana mungkin ada geledek?”

Siang Ki menahan senyum di hatinya yang perih. Ah, Kwi Lan, kau tidak tahu betapa miripnya kau dengan sinar kilat menyambar-nyambar ketika datang-datang marah tiada ujung pangkalnya, indah gemilang seperti kilat, namun amat berbahaya dan sambarannya kini sudah terasa nyeri jantungnya.

“Sungguh Kwi Lan. Mendiang ayahku tidak pernah bicara sesuatu mengenai hal itu. Bagaimana kau bisa tahu akan pertunanganku itu? Siapa yang memberitahu kepadamu?”

Melihat sinar mata pemuda itu, Kwi Lan percaya bahwa memang benar Siang Ki belum tahu akan tali perjodohan yang mengikatnya, maka dengan suara yang lebih sabar ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Song Hai dan tentang cerita kakek itu.

“Karena mendiang ayahmu sendiri yang menentukan ikatan jodoh, tentu saja sejak kecil Enci Goat sudah menganggap dirinya calon isterimu, demikian pula Song-lopek tidak memandang lain pemuda karena menganggap kau sebagai calon mantu.”

“Ah..., akan tetapi mengapa mereka tidak mau memberitahu kepadaku? Sungguh mati, Kwi Lan. Andai kata aku tahu, betapa pun hancur hatiku, kiranya aku tidak akan begitu keji untuk menyatakan cinta kasihku kepadamu di depan mereka. Aduh, Kwi Lan, aku menjadi bingung sekali, aku menjadi malu kepada mereka. Katakanlah, Kwi Lan, engkau yang sudah tahu rahasia hatiku, engkau satu-satunya wanita yang pernah kucinta, apakah yang harus kulakukan sekarang?” Dengan lemas Siang Ki menjatuhkan diri, duduk di atas tanah dengan wajah muram.

Betapa pun juga, di dalam hatinya Kwi Lan amat suka kepada pemuda yang ia tahu amat baik ini. Agaknya tidak akan sukar baginya untuk memperdalam rasa suka ini menjadi rasa cinta, kalau saja dia diberi waktu dan kesempatan. Akan tetapi pengertian bahwa pemuda ini adalah ‘hak milik’ Song Goat, tentu saja menghapus semua bibit-bibit cinta dari hatinya. Ia merasa kasihan, lalu duduk pula di atas tanah, menyentuh lengan pemuda itu sambil berkata, suaranya halus.

“Siang Ki, ke mana perginya sifat gagahmu? Mungkinkah seorang pendekar muda seperti engkau, seorang ketua Khong-sim Kai-pang, menjadi begini lemah hanya oleh urusan yang menyangkut perasaanmu sendiri? Hayo usirlah semua kebingungan dan kedukaanmu. Lihat baik-baik, Siang Ki. Aku tidak mencintamu, aku tidak mungkin bisa cinta kepadamu, kecuali sebagai seorang adik. Seorang gagah seperti engkau sudah sepatutnya menjunjung tinggi nama ayahmu dan memenuhi janji ayahmu, juga harus kau jaga masa depan Enci Goat yang tentu saja selamanya tidak akan sudi menikah dengan orang lain karena sejak kecil sudah merasa menjadi jodohmu. Sekarang Enci Goat melarikan diri dalam keadaan duka dan merana. Kewajibanmulah untuk mencarinya dan menyambung kembali ikatan yang kau putus tanpa kau ketahui.”

“Ke mana... aku harus mencarinya?”

“Entahlah, aku sendiri akan pergi ke kota raja, memenuhi pesan Bibi Sian.”

“Aku sedang mencari Paman Suling Emas. Apakah kau tidak jadi pergi ke Khitan?”

“Tentu jadi nanti, setelah selesai urusanku memenuhi pesan Bibi Sian di kota raja.”

“Kalau begitu, kita dapat melakukan perjalanan bersama!”

Kwi Lan memandang pemuda itu dengan kening berkerut karena melihat seri gembira pada wajah itu. “Yu Siang Ki! Masih belum sadarkah engkau dari lamunanmu yang kosong? Engkau adalah calon suami Enci Goat, jangan kau harap untuk aku... aku...”

Siang Ki tersenyum duka dan menggeleng kepala. “Betapa pun perih hatiku, aku harus membenarkan pendapatmu dan aku tidak akan bertindak bodoh menurutkan hati dan perasaan, Kwi Lan. Tidak, aku hanya ingin melakukan perjalanan bersamamu, pertama karena dengan demikian kita akan lebih kuat menghadapi musuh-musuh yang lihai. Kedua, kalau sampai kita dapat berjumpa dengan... Nona Goat, hanya engkaulah yang dapat menolongku untuk menerangkannya tentang... eh, tentang kebodohanku. Kalau bukan kau yang.menjelaskannya, tentu ia tidak percaya kepadaku.”

Kwi Lan berpikir sebentar lalu mengangguk. “Alasanmu memang kuat. Baiklah, kita melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi, awas dan ingat, aku hanya seorang sahabat dan kita saling mencinta seperti kakak beradik.”

Kemudian Siang Ki menarik napas panjang melepaskan kedukaan hatinya. “Sejak detik ini kau sudah kuanggap seorang gi-moi (adik angkat karena ikatan budi).”

“Baiklah, kau menjadi gi-heng (kakak angkat). Mari kita berangkat, sedapat mungkin kita kejar Enci Goat.”

Tanpa menjawab Siang Ki lalu meloncat bangun dan pergilah dua orang muda itu meninggalkan hutan.

********************


Setelah menuliskan pesan pada sapu tangan putih yang ia pasang di batang pohon, Song Goat terus melarikan diri sambil menangis. Jantungnya serasa ditusuk-tusuk. Teringat ia betapa dengan susah payah ayahnya membawanya merantau sampai bertahun-tahun, dan betapa hatinya berdebar tegang penuh perasaan puas dan gembira ketika akhirnya ia melihat pemuda yang dijodohkan dengannya, pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Bahagia terasa di hatinya ketika ia dan ayahnya, dengan jalan menempuh bahaya maut, berhasil merampas Siang Ki dari tangan orang-orang Thian-liong-pang kemudian bahkan mengobatinya dan menyelamatkan nyawa calon suaminya itu. Rasa malu dan jengah tertutup oleh sinar cinta kasih yang mekar di lubuk hatinya ketika ia melihat calon suaminya ini.

Akan tetapi, alangkah besar kedukaan dan kekecewaan hatinya mendengar orang yang sejak kecil dijodohkan dengan dirinya itu di depannya, dan di depan ayahnya, secara terang-terangan mengaku cinta kepada, Kwi Lan! Ia merasa dikhianati, merasa dicurangi dan hatinya sakit sekali.

Sudah banyak tokoh-tokoh kang-ouw meminangnya, namun semua ditolak ayahnya yang memegang teguh janjinya dengan mendiang Yu Kang Tianglo, sahabatnya. Dan lebih banyak lagi dia sendiri menangkap sinar kagum dan mesra penuh kasih dari pandang mata banyak pemuda-pemuda tampan, namun ia selalu tidak sudi melayani mereka oleh karena hatinya sudah penuh dengan keyakinan dan kesetiaan bahwa dia adalah jodoh putera Yu Kang Tianglo!

Song Goat berjalan terus tanpa tujuan. Hatinya yang pedih membuat kakinya bergerak menempuh jalan-jalan yang paling sukar. Pandang matanya muram tertutup air mata dan wajahnya agak pucat. Setelah hari menjadi gelap, barulah ia terpaksa berhenti karena tak mungkin melanjutkan perjalanan yang amat sukar itu di malam gelap.

Betapa pun nelangsa hatinya, Song Goat sama sekali tidak mempunyai niat untuk bunuh diri. Pendidikan ayahnya tentang kebatinan sudah mendalam sehingga perbuatan ini merupakan pantangan besar baginya. Ayahnya sebagai ahli pengobatan berpendirian bahwa manusia harus menjaga diri harus memelihara tubuh dan mempertahankan nyawa sekuatnya, menentang maut sedapat mungkin karena hal ini merupakan satu dari pada kewajiban hidup. Bunuh diri merupakan perbuatan yang paling hina dan pengecut.

Tidak, dia tidak mau membunuh diri, dan melanjutkan perjalanan dalam gelap melalui jurang-jurang berbatu-batu itu yang sama halnya dengan usaha bunuh diri. Rasa lapar di perutnya menambah kesengsaraannya, namun sambil menggigit bibir Song Goat menahan lapar lalu mencari tempat di antara batu-batu besar yang merupakan dinding tinggi di sebelah kirinya untuk tempat berlindung melewatkan malam.

Tempat di lereng gunung ini amat sunyi. Tiada terdengar sesuatu, tiada terlihat sesuatu yang hidup. Hanya penuh batu-batu dan goa-goa batu. Mula-mula sebelum datang malam, tidak tampak sesuatu yang menandakan bahwa di sekitar tempat itu ada manusia lain. Akan tetapi setelah cuaca menjadi gelap, dari tempat ia mengaso, Song Goat dapat melihat cahaya menyorot ke luar dari goa-goa batu sejauh sepelepasan anak panah. Cahaya yang menyorot ke luar di antara celah-celah batu itu bergerak-gerak, tanda bahwa itu adalah cahaya api yang menyala dan bergerak-gerak terhembus angin.

Ia merasa heran dan curiga. Siapakah orangnya menjadi penghuni tempat yang sunyi dan liar ini? Keinginan tahu yang besar menyelubungi hatinya dan membuat ia bangkit. Perlahan-lahan ia menunduk dan menyelinap di antara batu-batu besar menghampiri goa itu. Dari celah-celah batu di luar goa yang diterangi sinar api unggun itu ia mengintai dan... otomatis tangan kiri Song Goat menutup mulutnya untuk mencegah suara keluar dari mulut itu, matanya terbelalak dan mukanya menjadi merah saking jengah.

Ia tentu akan segera membuang muka dan mundur agar tidak melihat lagi pemandangan yang tidak sopan itu kalau saja pengertiannya tentang cara pengobatan tidak membuat ia sadar dan maklum bahwa dua orang di dalam goa itu tengah melakukan latihan untuk penyembuhan luka di dalam yang amat hebat. Dua orang sedang duduk bersila, saling berhadapan, kedua pasang tangan saling menempel pada telapakan, mata meram dari kepala mereka tampak uap mengebul ke atas. Yang membuat ia malu dan jengah adalah keadaan mereka yang telanjang bulat dan mereka itu adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik!

Song Goat banyak belajar ilmu pengobatan dari ayahnya. Biar pun belum pernah ayahnya melakukan cara pengobatan seaneh yang dilakukan dua orang di dalam goa, namun gadis itu pernah mendengar tentang pengobatan dengan cara menyalurkan hawa sakti di dalam tubuh ke tubuh orang lain yang diobati. Ia bahkan tahu pula cara menyalurkan ini dapat pula ia membantu seorang yang terluka di bagian dalam tubuhnya dengan penyaluran tenaga melalui telapak tangan. Akan tetapi dalam keadaan telanjang bulat seperti itu! Benar-benar baru kali ini ia melihatnya! Tentu ini merupakan cara pengobatan kaum sesat pikirnya. Karena ingin tahu, ia melawan perasaan malu dan jengah serta terus memandang keadaan dua orang muda yang ia anggap tidak tahu akan susila itu.

Setelah pandang matanya mulai terbiasa dengan sinar api unggun yang bergerak-gerak itu, ia mengenal wanita cantik yang telanjang bulat itu. Kiranya wanita itu adalah gadis berpakaian merah yang memimpin para hwesio Tibet menyerang Siauw-bin Lo-mo, gadis yang mengaku sebagai murid Siang-mou Sin-ni! Ah, pantas saja mereka melakukan cara pengobatan macam ini, pikirnya. Tidak salah lagi, pemuda tampan ini pun tentu seorang anggota kaum sesat.

Berpikir demikian, Song Goat menjadi muak dan hendak menyelinap pergi, akan tetapi ia urungkan niatnya ketika melihat berkelebatnya bayangan empat orang tinggi besar memasuki goa itu. Ia mengintai dan melihat bahwa empat orang ini adalah hwesio-hwesio berjubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu!

Hemmm, kiranya tempat ini menjadi tempat berkumpul kaum sesat ini, pikirnya dengan hati berdebar. Kini tahulah ia bahwa ia tersesat ke sarang harimau, ke tempat musuh dan kalau sampai ia diketahui orang, tentu akan celaka. Baru murid Siang-mou Sin-ni saja sudah amat hebat dan tinggi tingkat kepandaiannya, tidak terlawan olehnya. Apa lagi ditambah hwesio-hwesio itu dan pemuda tampan tak tahu malu ini! Dia harus cepat pergi meninggalkan tempat berbahaya ini, malam ini juga.

Akan tetapi, kembali Song Goat menahan gerakan kakinya yang sudah melangkah hendak pergi dan matanya terbelalak memandang ke dalam goa. Hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya terjadi. Empat orang hwesio jubah merah itu mencabut golok dan pedang masing-masing, lalu serempak menyerang pemuda yang masih duduk bersila tak bergerak sambil meramkan mata! Hampir saja Song Goat berseru kaget melihat gemerlapnya empat batang senjata tajam itu melayang ke arah si Pemuda.

Juga kini baru tampak oleh Song Goat bahwa tubuh pemuda tampan itu dari leher ke bawah berwarna kehitaman. Tadi ia tidak sampai hati memandang tubuh telanjang bulat itu, kini dalam sekilas pandang karena pemuda itu terancam bahaya, baru ia melihatnya dan tahulah ia bahwa pemuda itu telah keracunan secara hebat sekali. Melihat betapa tubuh wanita itu putih bersih dan kemerahan membayangkan kesehatan, ia kini tahu bahwa si Wanita itulah yang sedang menyalurkan hawa sakti untuk membantu dan mengobati si Pemuda. Dan kini pemuda itu diserang hebat dalam keadaan tidak berdaya sama sekali.

Song Goat melihat betapa wanita cantik murid Siang-mou Sin-ni itu membuka mata, terbelalak, lalu tangan kanannya yang tadinya menempel pada telapak tangan pemuda itu terlepas, dan secepat kilat tangan itu mendorong ke depan melalui atas kepala pemuda itu, empat kali berturut-turut mendorong ke arah empat orang hwesio jubah merah yang tidak memperhatikannya. Dari tangan kanan itu meluncur hawa pukulan yang jelas tampak bersinar merah ke arah empat orang hwesio jubah merah dan... empat orang hwesio itu mengeluarkan pekik mengerikan, senjata mereka terlepas dan mereka terjengkang ke belakang dengan mata terbelalak dan tewas seketika!

Akan tetapi tubuh wanita cantik itu sendiri tergetar hebat, tangan kirinya menggigil kemudian tubuhnya sendiri terjengkang, telentang, seluruh tubuhnya kini menjadi menghitam napasnya terengah-engah. Anehnya tubuh si Pemuda yang tadinya menghitam itu kini menjadi putih bersih dari leher sampai ke pinggang, dan warna kehitaman hanya tampak dari pinggang ke bawah.

“Celaka...!” seru Song Goat dalam hatinya. Melihat wanita cantik itu menolong si Pemuda dan mengorbankan diri sendiri, timbul rasa simpatinya dan ia dapat menduga bahwa wanita itu kini terluka hebat sekali, sebaliknya si Pemuda itu sudah terobati sebagian besar dan masih ada harapan tertolong nyawanya.

Setelah kedua telapak tangannya terlepas dari kedua tangan wanita itu, si Pemuda tubuhnya bergoyang-goyang, kemudian ia membuka matanya. Melihat wanita itu telentang dengan tubuh menghitam dan di sekelilingnya rebah empat orang hwesio jubah merah yang sudah tewas semua, pemuda itu meloncat dan menubruk wanita cantik itu mengangkat kepalanya dan dipangkunya kepala itu.

“Leng In... ah, Leng In...,” pemuda itu berbisik, penuh perasaan terharu dan khawatir.

Po Leng In, wanita itu, membuka mata dan tersenyum, senyum yang membayangkan maut, senyum yang amat menyedihkan, kedua lengannya bergerak seperti hendak merangkul leher, akan tetapi rebah kembali dengan lemas, bibirnya bergerak.

“...aku puas... dapat mengakhiri hidup dalam keadaan begini... aku bahagia... dapat menolongmu, kekasihku...“ Po Leng In masih berusaha menggerakkan tubuh, agaknya ingin sekali bicara banyak, akan tetapi ia menjadi lemas. Tubuhnya tiba-tiba kejang dan kemudian lemas, tak bernyawa lagi.

“Leng In !” Pemuda itu mempererat pelukannya, membenamkan muka pada rambut yang hitam halus itu menahan sedu sedan yang naik ke tenggorokannya. Melihat ini Song Goat terharu.

Siapa pun pemuda itu, betapa pun ia menjadi sekutu murid Siang-mou Sin-ni, menjadi kekasih wanita sesat itu dan terang juga seorang sesat, namun melihat pemuda itu berduka dan terharu, ia ikut merasakan kedukaannya. Ia dapat merasa betapa perih hati ditinggali orang yang dicintanya. Dan ia pun merasa seolah-olah ia dipaksa berpisah dari orang yang dicintanya, dari calon suaminya. Tak tertahankan lagi, ia pun terisak, namun ditahan-tahannya.

Tiba-tiba tubuh pemuda yang telanjang bulat itu mencelat keluar dari goa. Terbuktilah kelihaian pemuda itu. Suaranya menahan isak yang begitu lirih ternyata didengar pemuda itu dan gerakan pemuda itu meloncat bukan main ringannya, tahu-tahu sudah berada di depannya dengan sikap mengancam dan bengis, siap hendak menyerang.

Akan tetapi agaknya pemuda itu kaget, heran, ragu dan jengah ketika melihat bahwa yang mengintai adalah seorang gadis cantik, bukan seorang hwesio jubah merah. Dan wajah yang tampan dan penuh keheranan dan kedukaan itu tiba-tiba menyeringai menahan sakit tubuhnya terguling dan ia roboh pingsan di depan kaki Song Goat.

Keinginan pertama yang memenuhi hati Song Goat adalah cepat-cepat pergi meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Akan tetapi watak yang dibentuk ayahnya semenjak kecil, watak yang ingin menolong orang yang sedang menderita sakit, watak yang ingin melawan segala macam penyakit yang hendak merenggut nyawa orang siapa pun adanya orang itu, membuat ia menekan perasaannya, memperbesar nyalinya dan ia segera meloncat ke dalam goa.

Ia membungkuk dan memeriksa nadi serta dada Po Leng In, hanya untuk mendapat keyakinan bahwa wanita itu tak dapat ditolong lagi, sudah tewas akibat racun yang menerobos melalui telapak tangan pemuda itu. Hawa beracun itu menerobos memasuki tubuhnya karena wanita ini tadi mengerahkan semua tenaga untuk merobohkan empat orang hwesio jubah merah.

Dengan sendirinya, tubuhnya menjadi lemah dan kosong, tidak ada daya tahan sehingga penyaluran hawa sakti dari pemuda itu menerobos dan membawa sebagian besar hawa beracun pindah ke dalam tubuhnya! Ketika Song Goat melirik ke arah empat orang hwesio jubah merah, tanpa memeriksa lagi ia sudah yakin bahwa mereka semua tewas dengan mata mendelik, mata terbuka lebar namun sama sekali tidak bergerak dan tidak ada cahayanya, mata orang-orang mati.

Ia menghela napas panjang. Tidak ada yang dapat ia kerjakan lagi di dalam goa yang menjadi kuburan lima orang itu, maka ia lalu menyambar tumpukan pakaian warna putih di dekat tumpukan pakaian warna merah, membawa pakaian itu keluar dan ia membungkuk lalu memeriksa detik nadi dan dada pemuda tampan itu. Benar seperti diduganya, pemuda ini tertolong dari pinggang ke atas sudah bebas hawa beracun, akan tetapi di bagian bawah tubuhnya masih menghitam. Kalau tidak cepat mendapat pertolongan yang tepat, nyawa pemuda ini pun masih terancam bahaya maut.

Sebagai puteri tunggal Yok-san-jin, ia maklum bahwa hawa beracun yang meracuni pemuda ini aneh dan jahat bukan main. Dan sudah menjadi watak ayahnya apa bila menghadapi penyakit atau racun yang amat jahat, makin jahat makin tertariklah hatinya, makin besar semangatnya untuk melawan dan mengalahkan penyakit atau racun itu!

Ia lalu mengenakan pakaian pemuda itu sedapatnya dengan perasaan jengah dan seberapa dapat tanpa melihat tubuh pemuda itu sehingga cara ia mengenakan pakaian itupun tidak karuan, seolah-olah tubuh pemuda itu hanya ia bungkus saja dengan pakaian putih itu. Kemudian ia mengempit tubuh pemuda itu, dikempit bagian pinggangnya dan pergilah Song Goat meninggalkan goa yang mengerikan tadi.

Ia harus cepat ditolong, kalau tidak, menurut taksirannya, dalam waktu kurang dari tiga puluh enam jam tentu sukar ditolong pula. Dan ia membutuhkan banyak benda, air mendidih, beberapa daun obat. Mulailah Song Goat merayap dan berjalan perlahan menuruni lereng dari atas, mencari-cari dengan pandang matanya dan akhirnya ia melihat cahaya penerangan dari sekelompok rumah-rumah, tentu sebuah dusun.

Dipercepatnya jalannya dan menjelang fajar ia sudah memasuki sebuah dusun yang cukup besar. Ia mencari-cari kemudian mengetuk pintu sebuah kedai makan di sudut dusun. Tak lama kemudian daun pintu dibuka dan seorang laki-laki gemuk setengah tua muncul. Dia pemilik kedai dan selalu bangun pagi-pagi untuk mempersiapkan kedainya. Kini ia memandang dengan heran melihat seorang gadis cantik jelita sepagi ini sudah datang berkunjung sambil mengempit tubuh seorang laki-laki yang pingsan.

“...ehh..., Nona siapakah...? Mau apa...? Dan... dia ini...?”

“Paman, aku seorang ahli pengobatan, sahabatku ini sakit keras. Hari ini kusewa kedaimu, atau setidaknya dapurmu.”

“Tapi... tapi... mana bisa...?”

“Tidak ada tapi, Paman. Demi nyawa orang ini, kau harus menolongku. Hanya sehari kusewa kedai dan dapurmu. Pula, adakah kedaimu dapat menghasilkan sebanyak ini dalam sehari? Song Goat mengeluarkan sebuah gelang emas dan melemparkannya ke atas meja. Kau terimalah gelang itu, untuk sewa kedai sehari.”

Tukang kedai itu dengan bingung dan ragu-ragu memandang Song Goat, kemudian memandang wajah pemuda yang sakit, lalu melirik ke arah gelang emas di atas meja. Kalamenjingnya naik turun. Sudah amat lama ia sebagai duda tergila-gila kepada seorang janda muda di dusun itu, akan tetapi belum juga berhasil memikatnya. Dengan gelang emas seindah itu agaknya... hemm, akan tetapi ia harus hati-hati.

“Orang ini... bagaimana kalau mati di tempatku?”

“Tidak, Paman. Ia akan hidup dan ini tergantung pertolonganmu juga. Lekas kau nyalakan perapian di dapur dan adakah Paman mempunyai sebuah ember besar yang cukup besar dimasuki orang ini?”

“Haaah?" Si Gendut itu terbelalak, heran akan tetapi mengangguk-angguk dan ia segera memasuki dapur diikuti Song Goat setelah merapatkan kembali daun pintu depan.

Tanpa banyak cakap lagi Song Goat lalu memilih sebuah tempat masak air yang amat besar, dengan gantungan kawat yang kuat. Juga ia melihat bahwa tempat perapian cukup besar. Memang kedai itu adalah kedai makanan. Hatinya puas.

“Paman, harap kau tolong isi panci besar itu dengan air dan persiapkan perapian. Aku hendak mencari beberapa daun obat di hutan,” kata Song Goat sambil menurunkan dan merebahkan tubuh pemuda itu di atas sebuah bangku panjang yang terdapat di ruangan belakang.

Pemuda itu mengeluh lalu membuka matanya, menoleh ke kanan kiri. Ia terheran ketika melihat dirinya rebah di atas bangku dalam sebuah kamar yang tidak begitu bersih. Lebih-lebih lagi keheranannya ketika ia melihat seorang gadis cantik bersanggul tinggi berdiri di dekatnya, dan dengan gerakan serta tangan berkulit halus menahan dadanya, mencegahnya untuk bangkit.

“Kau keracunan hebat. Aku berusaha mengobatimu. Kau akan sembuh dan bebas dari bahaya maut kalau mentaati pesanku. Kalau kau membangkang kau akan mati. Kau rebah saja di sini, jangan turun dan banyak bergerak. Aku akan pergi mencari daun obat di hutan. Tak perlu bercerita apa-apa dengan Paman pemilik kedai yang sibuk di dapur.” Sikap Song Goat kasar dan ketus. Makin ketus dan kasar sikapnya ketika melihat bahwa laki-laki muda ini benar-benar amat tampan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar lembut tapi tajam menembus jantung. Terhadap seorang pemuda sesat sahabat dan kekasih murid Siang-mou Sin-ni tak perlu ia bersikap halus pikirnya.

Pemuda itu kini sudah membuka mata lebar-lebar dan bibirnya tersenyum ketika dapat mengenal sikap kasar dan ketus yang dibuat-buat itu. Ia sudah terlampau masak dalam pengalamannya untuk mengenal sifat wanita-wanita cantik seperti ini!

“Ah, kiranya aku diselamatkan oleh seorang dewi dari kahyangan. Apakah engkau Kwan Im Pouwsat (Dewi Kasih Sayang), Nona?”

Merah muka Song Goat. Selama hidupnya belum pernah Ia dirayu laki-laki, apa lagi kalau laki-laki itu setampan dan segagah ini, dengan kata-kata merayu yang halus tapi menyenangkan hati. Akan tetapi kembali ia teringat bahwa pemuda ini adalah seorang pemuda sesat, maka ia memaksa diri cemberut dan pandang matanya galak. Bahkan ia tidak menjawab, hanya sibuk mempersiapkan sebuah bungkusan kuning dari saku dalam bajunya, lalu menuang isi bungkusan yang berwarna merah ke dalam tekoan (tempat teh) itu. Kemudian juga masih cemberut tanpa bicara, ia menghampiri pemuda itu dan dengan jari-jari tangannya ia memeriksa dan menekan jalan darah di di dekat mata kaki kanan.

Pemuda itu terus mengikuti semua gerakan gadis itu dengan senyum dan mata memandang kagum. “Nona, kau hebat. Kalau bukan penjelmaan Kwan Im Pouwsat, entah siapa dan entah dewi dari kahyangan mana...”

“Kau diamlah. Simpan kelakarmu itu untuk orang-orang segolonganmu! Aku Song Goat... hemm, aku puteri Song Yok-san-jin. Engkau dalam keadaan setengah hidup setengah mati. Kalau kau mau kuobati, kau diam saja. Aku mau pergi mencari beberapa daun obat.”

Pada saat itu, si Gendut pemilik kedai muncul dari dapur dan Song Goat segera berkata kepadanya, “Paman, aku pergi sekarang mencari obat. Kau godok obat bubuk ini dengan air setekoan penuh, dan sisakan setengah mangkok, kemudian suruh diminum sampai habis.”

Setelah berkata demikian, dengan sikap marah tanpa menoleh lagi sedikit pun kepada pemuda itu, Song Goat berkelebat dan bayangannya lenyap menerobos lubang jendela. Pemilik kedai memandang melongo sampai lama, tercengang keheranan, juga pandang matanya membayangkan rasa ketakutan. Ketika ia memandang pemuda yang sakit itu, ia makin heran karena pemuda itu tersenyum lebar, agaknya sama sekali tidak heran melihat betapa gadis cantik tadi terbang begitu saja keluar jendela seperti seekor burung!

“Kau kenapa, Paman Gedut?” pemuda itu menegurnya sambil tertawa.

“Kau tanya kenapa, orang muda? Tidakkah kau melihat semua keanehan ini? Gadis cantik itu datang di waktu fajar mengempit tubuhmu, lalu menyewa kedaiku dengan bayaran tinggi, kini ia menghilang begitu saja melalui jendela. Biar disambar geledek aku kalau hal ini bukan aneh namanya! Mimpikah aku? Atau... setan... eh, bidadarikah dia? Dan kau, orang muda, kau benar-benar sakitkah?”

Pemuda itu tertawa dan memang amat mengherankan seorang yang katanya sakit terancam maut bisa tertawa dan bersikap setenang itu. “Paman, dia itu tadi seorang bidadari. Lebih baik aku dan Paman mentaati semua perintahnya agar mendapat berkahnya!”

Pemilik kedai itu menjulurkan lidahnya, menggeleng-geleng kepala kemudian bergegas memasuki dapur membawa tekoan berisi obat untuk dimasaknya sesuai dengan perintah si Dewi tadi.

Setelah si Gendut itu pergi, pemuda itu lalu bangkit, duduk bersila dan meramkan mata, mengumpulkan hawa murni di tubuh untuk menekan racun yang masih mengotori separuh tubuhnya agar jangan menjalar makin luas. Ia tentu saja pernah mendengar akan nama Song Yok-san-jin si ahli obat, dan sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kakek ahli obat itu mempunyai seorang puteri yang demikian cantik jelita, lebih-lebih lagi tak pernah menyangka bahwa ia akan tertolong oleh seorang gadis cantik lain yang jauh bedanya dengan Po Leng In.

Teringat akan Po Leng In, ia menarik napas panjang. Patut dikasihani wanita itu. Memang harus diakui bahwa Po Leng In bukan wanita baik-baik dan sudah terlalu banyak dosanya. Akan tetapi ia harus berani mengakui pula bahwa Po Leng In amat baik kepadanya dan ia berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada murid Siang-mou Sin-ni itu! Teringat akan itu semua, ia tidak dapat mengosongkan pikirannya maka cepat-cepat ia menggunakan kekuatan batin untuk mengusir bayangan-bayangan itu.

Setelah kamar belakang ini diterangi sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela, barulah Song Goat muncul dengan cara seperti tadi, yaitu melompat masuk melalui lubang jendela. Wajahnya yang cantik itu kemerahan karena sepagi itu sudah bekerja keras dan berlari-lari, tangannya menggenggam beberapa daun obat dan lehernya berkeringat. Melihat pemuda itu duduk bersila dan bersemedhi dengan cara yang bersih, ia terheran. Sudah ia ketahui bahwa pemuda itu amat lihai, akan tetapi cara bersiulian (bersemedhi) seperti itu benar benar di luar dugaannya. Pemuda itu pun membuka mata dan melihat Song Goat ia lalu berkata.

“Nona, terus terang saja, apakah kau anggap keadaanku masih ada harapan?”

Song Goat menggerakkan kedua pundaknya, Gerakan yang lucu bagi scorang gadis muda dan cantik seperti dia, gerakan yang ia tiru dari ayahnya. Lucu akan tetapi manis! “Entahlah, kalau dapat akan kucoba menyembuhkannya. Sayangnya, aku tidak tahu pasti racun apa yang menyerangmu. Setelah minum obat bubuk yang kutinggalkan tadi, bagaimana rasanya dalam perutmu?”

“Tidak terasa apa-apa. hanya dingin.”

“Tidak ada rasa gatal-gatal di sekitar pusar?”

“Tidak.”

“Aneh, kalau terkena pukulan beracun biasanya obat bubukku tadi tentu akan menimbulkan rasa gatal. Hmm, mudah-mudahan saja usahaku menolongmu berhasil.”

“Nona Song, mengapa begini keras benar kau berusaha untuk menolongku?”

Gadis itu memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan si Gadis menjadi marah. “Huh, apa lagi kalau bukan karena kebetulan aku puteri ayahku seorang ahli obat? Sudah menjadi kewajiban kami untuk berusaha menyembuhkan siapa saja.” Ia berhenti dan cepat menyambung, “Tentu saja kalau si sakit suka diobati!”

Pemuda itu tersenyum. Gadis ini sebenarnya halus dan baik budi, akan tetapi entah mengapa terhadap dia berpura-pura galak. “Kalau begitu, biarlah kubantu usahamu dengan keterangan yang mungkin berguna bagimu. Luka yang meracuni tubuhku adalah luka dalam akibat pukulan Tok-hiat Hoat-lek dari Siang-mou Sin-ni. Lambungku kena pukul Siang-mou Sin-ni.”

Song Goat tercengang. Hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya. Mengapa pemuda ini yang jelas adalah sahabat dan kekasih murid Siang-mou Sin-ni, terluka hebat karena pukulan iblis betina itu? Teringatlah ia kini betapa pemuda ini diserang oleh empat orang hwesio jubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu!

“Hemmm, mengapa kau dipukul Siang-mou Sin-ni?”

“Mengapa? Karena aku musuhnya.”

“Musuh...?” Song Goat terheran. Ini sama sekali tidak pernah disangkanya. “Engkau musuh Siang-mou Sin-ni?”

Pemuda itu tersenyum lalu membungkukkan tubuhnya yang masih duduk bersila. “Nona Song, maaf, seharusnya engkau mengenal siapa yang kau tolong ini. Aku she Kiang bernama Liong. Aku tadinya berusaha menolong cucu-cucu Beng-kauw yang tertawan oleh Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, akan tetapi aku dicurangi mereka dan terkena pukulan Tok-hiat Hoat-lek.”

“Hemmm...,” Song Goat masih ragu-ragu. “Kalau kau musuh mereka, kenapa kau dan murid iblis betina itu....”

“Ah, kau maksudkan Po Leng In?” Kiang Liong mengerutkan keningnya. “Dia memang murid Siang-mou Sin-ni akan tetapi dia telah menolongku, menyelamatkan nyawaku, bahkan... ia telah mengorbankan nyawanya untukku. Dia seorang gadis yang patut dikasihani. Nona Song, aku berterima kasih sekali atas kebaikanmu yang berusaha mengobatiku, akan tetapi pukulan Siang-mou Sin-ni hebat sekali, apakah kiranya masih dapat diobati?”

Agak lega hati Song Goat mendengar keterangan Kiang Liong. Ternyata ia tidak menolong orang jahat bahkan menolong bekas lawan kaum sesat. Juga kini ia tahu bahwa Po Leng In mencinta pemuda ini dan mengorbankan nyawa, mengkhianati guru sendiri. Ah, Po Leng In lebih bahagia dari pada aku, pikirnya duka. Orang sesat macam dia saja mempunyai kekasih yang patut dicinta dan dibela dengan pengorbanan nyawa!

“Akan kucoba dan agaknya sebagian besar tergantung dari pada sinkang di tubuhmu sendiri. Obat-obatku ini harus dicampur dengan air panas dan kau harus merendam diri dalam air panas itu, lebih panas lebih baik kiranya. Akan tetapi, kalau sifat sinkangmu berlawanan, mungkin akan berbahaya. Bolehkah aku mengetahui siapa gurumu agar aku dapat mengira-ngira tentang hawa sakti di tubuhmu?”

“Kalau bukan engkau yang tanya, Nona, aku segan mengaku. Akan tetapi karena kau penolongku dan keterangan ini mungkin berguna, ketahuilah bahwa Suhu adalah Kim-siauw-eng...”

“Suling Emas...?” Song Goat memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia memandang pakaian yang membungkus tubuh Kiang Liong. “Dan kau... jadi kau adalah... Kiang-kongcu yang terkenal itu?”

Kini wajah Kiang Liong yang menjadi merah, “Ah, kau berlebihan, Nona. Nona, ayahmu Song-cianpwe barulah nama yang terkenal. Aku Kiang Liong hanya seorang yang... pada saat ini menggantungkan nyawa kepadamu.”

Mau tak mau Song Goat tersenyum. Jantungnya berdebar aneh. Kiranya pemuda yang disangkanya pemuda sesat, adalah Kiang-kongcu yang menjadi buah bibir dunia persilatan, murid tunggal pendekar sakti Suling Emas! Bukan hanya dunia persilatan yang membicarakan sepak terjang pemuda perkasa ini, juga gadis-gadis banyak yang menyebut-nyebut namanya dengan wajah berseri-seri dan senyum dikulum.

“Kalau begitu aku boleh dua kali menarik napas lega.”

Kiang Liong adalah seorang pemuda yang wataknya romantis. Pandai sekali ia bergaul dengan wanita! Agaknya watak ini ia dapatkan dari ibunya! Kini melihat betapa nona penolongnya sudah tidak kelihatan galak dan ketus, ia tersenyum dan mendapatkan kembali kelincahannya.

“Wah, penarikan napas lega seorang gadis sehebat engkau tentu ada alasannya yang amat kuat. Bolehkah aku mengetahui alasannya, Nona Song?”

Kini gadis itu pun tersenyum. Berhadapan dengan Kiang Liong yang pandai bicara dan jenaka, timbul pula kegembiraannya. “Tentu saja boleh, memang bukan hal yang perlu dirahasiakan. Pertama, dengan kepandaianmu tentu saja engkau akan dapat mengatasi cara pengobatan ini dan tentu hawa beracun yang mengeram di tubuhmu dapat diusir dalam waktu singkat. Kedua, aku tidak perlu khawatir lagi karena ternyata kau bukan seorang pemuda sesat seperti yang tadinya kusangka.”

“Aduh, hal yang pertama itu membuat aku menjadi besar kepala karena kau puji-puji, akan tetapi hal kedua membuat aku amat tidak enak hati, Nona. Kenapa kau mengira aku seorang sesat?”

Merah wajah Song Goat teringat akan keadaan pemuda ini dan Po Leng In yang berhadapan dalam keadaan telanjang bulat. “Karena... karena... kau dan wanita murid Siang-mou Sin-ni itu....“

Kiang Liong menepuk kepalanya. “Benar juga! Tentu saja kau akan menganggap begitu. Memang Leng In yang berusaha menyembuhkan aku secara itu. Dia adalah murid Siang-mou Sin-ni dan aku terluka oleh pukulan gurunya, maka ia berusaha menyembuhkan aku dengan cara gurunya pula.”

Pada saat itu, si Gendut, pemilik kedai muncul dan seperti lagak seorang prajurit ia berkata, “Perapian dan air sudah siap!”

Song Goat mengangguk, dan ketika si Gendut itu pergi lagi, ia berkata kepada Kiang Liong. “Kiang-kongcu, maafkan aku. Cara pengobatan ayahku mengharuskan engkau berendam di air sepanas-panasnya dicampur daun-daun obat ini. Silakan kau masuk dulu ke dapur membuka... membuka pakaian dan merendamkan diri di dalam air di atas perapian. Nanti aku menyusulmu setelah kau siap. Suruh saja Paman Gendut itu memberi kabar kepadaku.”

Setelah Kiang Liong keluar dari kamar itu pergi ke dapur. Song Goat lalu memasukkan daun-daun obat ke dalam tekoan (cerek teh). Dari situ ia dapat mendengar suara Kiang Liong yang halus dan tenang diseling seruan heran pemilik kedai. Song Goat tersenyum geli. Tentu saja bagi pemilik kedai yang belum melihat cara pengobatan seperti ini, apa yang akan mereka lakukan ini amat mengejutkan dan mengherankan.

Akan tetapi ia yakin betul bahwa hanya inilah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan Kiang Liong dari pada pengaruh hawa beracun yang mengotori darah itu. Menurut ajaran ayahnya, semua pukulan yang mengandung hawa beracun dan selalu menjadi sumber kelihaian kaum sesat, jika pukulan itu meracuni darah, maka tentu didasari hawa pukulan yang bersifat dingin. Tok-hiat Hoat-lek, pukulan Siang-mou Sin-ni yang melukai Kiang Liong ini pun seperti dinyatakan namanya, meracuni darah dan betapa pun hebatnya, jelas didasari pukulan dingin karena hanya hawa dingin saja yang dapat meracuni darah.

Terdengar langkah kaki berat dan pemilik kedai sudah muncul pula di pintu, matanya melotot lebar dan wajahnya merah sekali, “Siocia (Nona), apakah yang akan Nona lakukan? Mau... mau... rebus dia...?”

“Kau diam dan jangan mencampuri urusan kami,” Song Goat menegur kesal. Percuma saja menerangkan kepada orang yang sama sekali tidak mengerti. “Apakah Kongcu (Tuan Muda) sudah siap?”

“Sudah... sudah..., dan api sudah saya nyalakan.” Si Gendut itu menggerakkan pundak menyatakan rasa ngerinya. Tanpa banyak cakap lagi Song Goat lalu membawa tekoan memasuki dapur diikuti oleh Si Gendut yang mengeluarkan suara seperti ayam biang memanggil anaknya dengan bibirnya yang tebal memberengut.

Kiang Liong sudah duduk bersila di dalam tahang penuh air itu, tergantung di atas perapian yang mulai menyala apinya. Air dalam tahang hampir penuh, meredam pemuda tubuh pemuda yang duduk bersila itu sampai atas pinggang. Untuk menjaga agar gadis penolongnya tidak merasa jengah, ia sengaja duduk membelakangi meja, menghadap ke jendela dapur. Topi pelajar masih menutupi kepalanya, akan tetapi bagian tubuh lain semua telanjang bulat. Tubuh bagian atas tampak berkulit putih bersih dan berisi otot-otot kekar.

“Kiang-kongcu, kalau terlalu panas harap katakan agar aku dapat mengecilkan apinya atau memadamkan sama sekali,” kata gadis itu sambil mengisi tekoan dengan air dan menaruhnya pula di atas api.

Kiang Liong hanya mengangguk dan berkata lirih, “Sama sekali tidak panas, boleh kau besarkan apinya.”

Dengan tongkat pengorek api, Song Goat membuka-buka arang dan kayu di perapian dan makin besarlah nyala api. Tak lama kemudian tekoan yang isinya daun obat dan sedikit air itu mendidih, maka dituangkanlah isi tekoan ke dalam tahang air. Api makin membesar dan hawa di dapur mulai panas, air di dalam tahang pun makin lama makin mendekati mendidih.

Makin lama sepasang mata tukang kedai makin melebar pula, kemudian ia tak dapat menahan perasaannya lagi dan berseru, “Nona, sungguh mati! Kalau Nona hendak merebus daging manusia, saya tidak mau ikut campur! Saya bukan tukang masak orang, bukan pembunuh!” Ia hampir berteriak-teriak saking tegang dan ngerinya.

Air di tahang sudah mulai mendidih, uap mengepul dari seluruh tubuh Kiang Liong. Dengan hati penuh ketegangan dan kegirangan Song Goat melihat betapa air di tahang itu sudah mulai berubah warnanya, tidak sebening tadi. Maka ia menjadi gemas sekali melihat sikap si Gendut itu dan mendengar teriakannya.

“Diam dan keluarlah dari dapur ini! Kalau tidak, kau pun akan kurebus hidup-hidup!”

Muka Si Gendut menjadi pucat, matanya terbelalak dan bagaikan seekor anjing digebuk ia lalu berlari ke luar dari dapur itu, kedua tangan memegangi kepalanya!

Song Goat tersenyum geli, lalu berkata halus dari belakang punggung Kiang Liong, “Kiang-kongcu, agaknya berhasil usaha kita....”

Kian Liong mengangguk, “Syukurlah, dan makin besar terima kasihku kepadamu, Nona Song”

“Tak perlu berterima kasih kepadaku, Kongcu. Lebih tepat kau berterima kasih kepada gurumu yang telah menurunkan ilmu yang hebat kepadamu sehingga sinkang-mu begini kuat menahan panasnya air mendidih. Apakah tidak terlalu panas?”

“Tidak, boleh kau tambah apinya agar lebih panas. Bukankah kau bilang tadi lebih panas lebih baik?”

“Betul, makin panas makin cepat hawa beracun dibersihkan.”

“Kalau begitu, lekas besarkan apinya, Nona. Tidak enak terlalu lama begini, dianggap babi rebus oleh tukang kedai!”

Song Goat tersenyum dan dari belakang ia memandang kagum. Bukan main! Dia sendiri biar pun akan dapat bertahan dalam air mendidih, namun harus ia kerahkan seluruh lweekang-nya, menggunakan hawa sinkang di tubuh melawan panas dan untuk ini tentu saja ia tidak sanggup untuk bicara. Akan tetapi pemuda ini tidak hanya menyuruh besarkan api, malah masih dapat enak-enak bicara dan berkelakar! Pemuda hebat!

Sementara itu, pemilik kedai yang gendut dan merasa amat gelisah itu tak dapat menahan hatinya lagi dan bahkan tidak berani berada di dalam kedainya. Ia keluar dan sebentar saja banyak kenalan dan langganannya datang bertanya. Saking tak dapat menahan kegelisahannya, ia menceritakan kejadian aneh di dalam dapur kedainya dan ramailah mereka bercakap-cakap dan berbisik-bisik di luar kedai. Ibu-ibu yang mendengar bahwa ada orang merebus daging manusia, menjadi pucat dan berlarilah mereka ketakutan mencari anak-anak masing-masing, melarang mereka bermain di luar rumah dan menyembunyikan mereka ke dalam kamar. Setan pemakan daging manusia tentu lebih suka akan anak-anak yang dagingnya masih lunak!

“Tentu dia perempuan siluman rase!” bisik seorang kakek sambil mengangguk-anggukkan kepala penuh keyakinan.

“Tapi... Kongcu itu menurut saja direbus,” kata si Gendut pemilik kedai.

“Uuuhh, kau tahu apa? Siluman rase tentu saja pandai ilmu hitam. Sekali senyum dan sekali kerling, laki-laki akan terpikat dan disuruh apa pun juga takkan membantah,” kata pula si Kakek yang tahu segala.

“Memang dia cantik sekali, cantik jelita dan muda dan... galak.”

“Wah, tak salah lagi. Tentu siluman rase, pandai memikat hati pria, suka makan daging manusia. Ihhh...!” kata si Kakek.

“Ihhh...!” kata yang lain.

“Celaka, dia harus dibinasakan. Mari kita serbu, jangan sampai dia lolos dan merebus anak-anak kita!” seru seorang laki-laki tinggi besar yang ingat akan dua orang anaknya yang gemuk-gemuk.

“Betul, hayo serbu!”

“Cari senjata!”

“Panggil Lo-suhu di kelenteng, minta jimat!”

Ramailah kini para penduduk dusun itu dan sebentar saja mereka semua, termasuk seorang hwesio tua kurus berpakaian butut, berdiri di depan kedai dengan segala macam senjata di tangan. Ada yang membawa golok penyembelih babi, ada yang membawa palang pintu, cangkul, linggis dan sebagainya. Bahkan beberapa orang wanita yang cukup pemberani, karena mendengar bahwa setan itu setan betina, ikut pula datang membawa pisau dapur atau besi pengorek api!

Mereka bersemangat untuk menangkap siluman, akan tetapi juga ngeri dan takut karena mendengar penuturan tukang kedai betapa siluman rase itu pandai terbang menghilang! Dipimpin oleh tukang kedai yang diikuti kakek yang mengenal siluman dan hwesio yang dianggap suci serta ditakuti siluman, rombongan penduduk dusun ini memasuki kedai berindap-indap dan tak berani mengeluarkan suara. Bahkan yang nyalinya kecil dan memilih tempat di ujung belakang hampir tak berani bernapas.

Di luar pintu dapur, hwesio tua sudah mulai kemak-kemik membaca mantera dan doa pengusir setan. Mendengar suara ini semua orang meremang bulu tengkuknya, termasuk si Kakek yang mengenal siluman. Kakek ini melirik ke belakang dan melihat betapa semua mata ditujukan kepadanya, ia menahan napas dan menerobos maju ke pintu sambil membentak.

“Siluman jahat! Kami sudah mengenalmu, kau siluman rase, hayo menyerah kalau tak ingin kami bunuh!” Akan tetapi sambil maju ia menarik lengan si Hwesio karena kakek ini mempunyai keyakinan bahwa selama ia berdampingan dengan pendeta suci, siluman itu tidak akan mampu mengganggunya. Mereka kini masuk ke dalam dapur dan... semua mata melongo karena di dalam dapur itu tidak tampak seorang pun manusia!

“Eh, mana dia...?” tanya suara meragu.

Si Tukang Kedai melihat bahaya dalam suara ini, bahaya bahwa semua orang nanti akan mengira dia membohong. Maka ia lalu lari ke jendela, memandang ke luar, kemudian kembali menghampiri tahang isi air yang masih mendidih!

“Lihat...!” Suaranya gemetar, telunjuknya menggigil menuding ke arah air di dalam tahang. “Lihat air ini...!”

Semua orang memandang. Air itu kehitaman dan mendidih, akan tetapi tidak ada daging manusia seperti yang tadi diceritakan si Gendut tukang kedai. Betapa pun juga, bukti bahwa benar ada tahang air direbus dengan airnya menghitam, membuat mereka masih percaya bahwa di dalam dapur ini tadi ada siluman rase.

“Tentu ia menghilang, membawa korbannya yang sudah matang untuk dimakan dalam goa,” kata si Tukang Kedai.

“Omitohud...! Memang ada hawa busuk ditinggalkan di kamar ini..., pinceng harus membuat sembahyangan malam ini, harap saudara sekalian sudi mengumpulkan perbekalan dan keperluan sembahyang...,“ kata si Hwesio.

Terdengar semua orang mengeluarkan keluhan perlahan karena ucapan hwesio ini berarti bahwa mereka harus mengeluarkan sebagian milik mereka yang tidak banyak, menambah beban hidup mereka yang sudah berat. Akan tetapi mereka tidak berani membantah pada saat itu karena ketika mereka mencium-cium dengan hidung, memang tercium bau yang tidak enak, tanda bahwa ucapan hwesio itu benar. Dan keluarlah mereka perlahan-lahan, termasuk dia yang cepat-cepat menyelinap pergi agar tidak ketahuan rahasianya bahwa saking takutnya, ia sampai menjadi mulas secara mendadak dan tak tertahankan lagi mencret di dalam celana. Dialah pencipta bau siluman!

********************


Siang-mou Sin-ni berhasil melarikan diri ketika orang-orang Beng-kauw menyerbu markas Bouw Lek Couwsu di Kao-likung-san. Wanita ini memang licik dan cerdik. Dengan meminjam tangan Bouw Lek Couwsu dan orang Hsi-hsia, ia berhasil membinasakan ketua Beng-kauw dan juga Kam Bu Sin bersama isterinya dan banyak tokoh Beng-kauw lainnya. Kemudian, melihat keadaan bahaya, mana ia mau bersetia kawan kepada Bouw Lek Couwsu si hwesio tua itu? Apa lagi ia ingin sekali membawa lari Han Ki untuk menyempurnakan ilmunya yang baru, menyedot hawa murni dan darah bocah ini. Maka tanpa mempedulikan nasib sahabatnya itu, ia mendahului lari sambil memondong tubuh Han Ki, melarikan diri melalui belakang gunung.

Sebagai seorang yang berpengalaman, ia maklum bahwa Kauw Bian Cinjin dan orang-orang Beng-kauw lainnya tentu akan mencarinya dalam usaha mereka merampas kembali Han Ki, cucu ketua Beng-kauw. Maka ia tidak mau berhenti dan terus melakukan perjalanan melalui Sungai Yang-ce-kiang dan sampai di kaki Gunung Ta-liang-san ia mendarat, lalu membawa anak itu ke Puncak Ta-liang-san di mana ia membuat pondok bambu dalam sebuah hutan penuh bunga. Tempat ini sunyi dan indah, membuat ia merasa aman. Tak mungkin ada orang Beng-kauw yang akan menduga bahwa dia bersembunyi di Puncak Ta-liang-san. Kalau ia sudah menyempurnakan ilmu Hun-beng-to-hoat dengan mengorbankan nyawa Han Ki baru ia akan turun gunung dan hendak ia lihat siapa orangnya yang akan mampu melawannya lagi!

Han Ki biar pun masih kecil maklum akan bahaya maut yang mengancam dirinya. Akan tetapi anak ini tidak pernah menangis dan selalu membangkang tidak sudi menurut perintah Siang-mou Sin-ni. Disuruh makan ia tidak mau, diajak bicara ia memaki-maki dan setiap kali ia dibebaskan dari totokan, ia lalu mengamuk dan berusaha melawan mati-matian!

Siang-mou Sin-ni adalah seorang yang semenjak muda berkecimpung dalam dunia persilatan. Menyaksikan sikap anak kecil ini, ia merasa amat kagum di dalam hatinya. Kagum akan ketabahan yang luar biasa, akan kekerasan hati dan akan daya tahan anak ini. Akan tetapi di samping rasa kagumnya, ia pun merasa jengkel.

“Kau makanlah, apa kau ingin mati kelaparan?” bentaknya sambil menyodorkan makanan yang sudah ia campur obat karena selama beberapa pekan dalam perjalanan, tubuh anak ini menjadi agak kurus.

“Tidak sudi! Kau makanlah sendiri, iblis betina tak tahu malu!” Han Ki menjawab sambil memandang dengan mata melotot.

Sesudah begitu, mau tak mau terpaksa Siang-mou Sin-ni memaksa anak itu menelan makanan dengan menotok leher, membuat Han Ki kehilangan tenaga sehingga mudah saja mulutnya dibuka dan makanan dijejalkan masuk melalui kerongkongannya. Anak ini hanya bisa memandang penuh kemarahan.

Pagi hari itu Siang-mou Sin-ni tampak gembira di dalam pondok. Han Ki rebah miring di atas dipan. Sinar matahari pagi menyorot masuk melalui jendela pondok yang terbuka lebar. Pagi yang cerah, akan tetapi bukan ini yang membuat wajah Siang-mou Sin-ni berseri. Ia gembira melihat Han Ki sekarang tampak sehat dan segar dan pagi ini ia mengambil keputusan untuk memulai dengan I-kin-hoan-jwe, menyedot darah dan sumsum Han Ki untuk penyempurnaan ilmunya yang mukjijat, yaitu ilmu Hun-beng-to-hoat!

Sambil bersenandung kecil seperti seorang dara remaja yang bahagia, iblis betina ini mempersiapkan jarumnya yang panjang, kemudian dengan sinar mata penuh nafsu binatang, ia mulai menanggalkan pakaian Han Ki. Tubuh anak ini sungguh mengagumkan, kulitnya putih bersih dan di bawah kulit, penuh daging yang gempal dan padat. Warna kemerahan membuktikan akan kesehatan yang amat baik sehingga Siang-mou Sin-ni menjadi ngilar dibuatnya. Biar pun matanya melotot penuh perlawanan, namun Han Ki yang ditotok itu tidak mampu bergerak, bahkan tidak mampu mengeluarkan suara. Ada juga rasa takut dan ngeri menyerang hati anak ini, namun sungguh luar biasa, anak ini dapat mengatasinya dan sama sekali tidak tampak sinar takut di wajahnya!

Han Ki rebah telentang. Matanya bersinar-sinar penuh api menatap wajah wanita itu. Kembali Siang-mou Sin-ni menjadi amat kagum. Anak ini memang hebat bukan main, memiliki ketabahan yang luar biasa. Teringatlah ia akan ayah anak ini, Kam Bu Sin, yang juga amat tabah dan betapa pun dahulu ia pernah menyiksanya.

Kam Bu Sin sama sekali tidak pernah mau menyerah tidak mau menurutkan keinginannya. Bahkan ia dahulu menggantungkan tubuh Kam Bu Sin di dahan pohon, membiarkan tubuhnya dikeroyok dan digigiti semut, namun tetap saja laki-laki gagah ini tidak mau menyerah sehingga akhirnya ia terpaksa menggunakan obat bius dan perangsang yang merampas ingatan Kam Bu Sin. Dan sekarang, anak ini memperlihatkan ketabahan dan sikap pantang menyerah yang hebatnya melebihi ayahnya!

Teringat akan ayah anak ini, makin menggelora nafsu iblis di tubuh Siang-mou Sin-ni. Pandang matanya yang penuh nafsu itu menjadi haus dan perlahan ia membalikkan tubuh Han Ki menelungkup di atas dipan. Jari-jari tangan kirinya yang panjang-panjang meraba punggung di bawah tengkuk, kemudian tangan kanannya menusukkan jarum panjang ke dalam punggung Han Ki.

Han Ki yang tak dapat bergerak itu dapat merasa nyeri dan perih di punggungnya, namun ketika ia mengerahkan tenaga untuk melawan, tenaganya tak dapat disalurkan. Anak ini lalu meramkan mata dan mengumpulkan semua semangat, berusaha mengerahkan tenaga yang berkumpul di dalam pusarnya. Ia merasa betapa di dalam pusarnya terjadi pertentangan antara panas dan dingin yang amat hebat, demikian hebatnya rasa nyeri dalam pusar, kadang-kadang seperti terbakar dan kadang-kadang seperti membeku sehingga ia tidak merasakan lagi tusukan pada punggungnya.

Siang-mou Sin-ni sudah duduk bersila di dekat Han Ki. Jarum sudah ia tusukkan sampai menembus tulang punggung. Wajahnya berkilat saking girang dan dikuasai nafsu. Ia lalu menahan napas dan menekan gelora nafsunya, menenteramkan hati dan mengendorkan semua tenaga.

Dalam melakukan I-kin-hoan-jwe ini ia harus ‘mengosongkan’ diri dan karena inilah maka ia sengaja menjejalkan obat yang sifatnya panas yang sesuai dengan keadaan dirinya sewaktu kosong sehingga tidak ada bahaya terhadap tubuh bagian dalamnya yang kosong dan tidak terlindung hawa sakti. Darah dan sum-sum yang akan disedotnya itulah yang akan menjadi ‘bahan bakar’ bagi penyempurnaan ilmunya Hun-beng-to-hoat yang sedang dilatihnya, dan kalau ia berhasil, ia akan mampu melawan orang sakti mana pun juga di dunia ini!

Setelah keadaan dirinya sudah kosong benar, Siang-mou Sin-ni lalu menundukkan tubuhnya ke depan, mulutnya menggigit ujung jarum yang menancap di punggung Han Ki lalu menghisap!

Hawa di dalam pusar Han Ki bergulung-gulung antara hawa panas dan dingin. Hawa panas luar biasa adalah akibat obat-obat Siang-mou Sin-ni yang di jejalkan kepadanya, sedangkan hawa dingin adalah akibat obat minuman Bouw Lek Couwsu yang diminumnya di dalam kamar Bouw Lek Couwsu. Sejak kecil anak ini memang sudah digembleng ayah bundanya dan telah memiliki dasar penggunaan hawa sakti di dalam tubuh.

Biar pun ia belum dapat memelihara dan menghimpun hawa sakti, namun ia tahu bagaimana cara menghimpunnya. Kini merasa betapa pusarnya bergerak-gerak dan di dalamnya bergulung-gulung hawa yang amat kuat, anak ini tidak mempedulikan lagi punggungnya dan tidak mempedulikan apa yang akan terjadi kepadanya, melainkan mencurahkan seluruh perhatiannya ke pusar dan berusaha mengerahkan tenaga untuk menguasai hawa yang bergulung-gulung itu.

Bagaikan seorang penghisap madat, Siang-mou Sin-ni menghisap jarum panjang itu. Terasa segar dan manis darah yang memasuki mulutnya. Ia menyedot makin kuat dan... jeritan ngeri keluar dari dadanya, wajahnya menjadi pucat dan matanya terbelalak. Ia begitu kaget sehingga tanpa disadari lagi ia sudah menarik mukanya ke belakang sehingga jarum yang digigit pada ujungnya itu ikut terarik, keluar dari punggung Han Ki.

Anak itu sendiri tiba-tiba dapat bergerak meloncat bangun, mukanya merah seperti dibakar, akan tetapi tubuh bagian bawah menggigil kedinginan. Seperti seorang yang mabok Han Ki memandang ke depan, melihat betapa Siang-mou Sin-ni duduk bersila dengan mata meram, muka pucat, tubuh bergoyang-goyang dan napas terengah-engah. Ketika melihat jarum panjang menggeletak di atas dipan, depan kaki Siang-mou Sin-ni yang bersila. Han Ki menjadi kalap. Ia menyambar jarum panjang itu lalu dengan gerakan penuh kebencian ia menusukkan jarum itu ke dada Siang-mou Sin-ni.

“Blessss...!” Jarum panjang itu amblas menembus dada langsung menusuk dan menembus jantung!

Siang-mou Sin-ni terbelalak kaget mengeluarkan jerit melengking tinggi, tangan kirinya bergerak menghantam ke arah dada Han Ki.

“Krakk...!” Tubuh anak itu terpental jauh, terbanting dalam keadaan pingsan dan beberapa tulang iganya patah-patah!

Namun Siang-mou Sin-ni sekarang sudah berkelojotan. Betapa pun sakti dan kuatnya, namun jarum panjang yang menembus jantungnya itu membuat ia tidak dapat menahan lagi. Dari lehernya keluar jeritan-jeritan melengking mengerikan, ia terguling dari atas dipan, berkelejotan, menjambak-jambak rambutnya, kemudian menggeliat-geliat dan akhirnya dia tak bergerak lagi. Siang-mou Sin-ni yang dahulu terkenal sebagai seorang di entara Enam Iblis, tewas di tangan seorang anak kecil berusia sebelas tahun!

Apakah yang telah terjadi? Ternyata ketika Siang-mou Sin-ni melakukan penyedotan, bukan hanya darah dan sumsum yang disedotnya, melainkan juga hawa yang bergelombang di tubuh anak itu. Dan hawa itu bukan hanya hawa panas yang amat dibutuhkan Siang-mou Sin-ni, melainkan bercampur dengan hawa dingin yang amat kuat. Hal ini sama sekali tidak diduga oleh Siang-mou Sin-ni yang sedang dimabok nafsu sehingga ia yang sedang dalam keadaan kosong, itu sekaligus terpukul hebat oleh hawa dingin yang menyerang dalam tubuhnya.

Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, reaksi pertama dari tubuhnya tentu saja serentak bangkit dengan pengerahan sinkang dan menolak atau melawan hawa dingin ini. Dan inilah kekeliruannya yang dilakukan dalam keadaan tak sadar. Kalau ia tidak melawan ia hanya akan luka ringan oleh hawa dingin ini yang biar pun kuat, namun tidak ada pendorongnya, mengingat Han Ki belum pandai menggunakan hawa ini dan dalam keadaan tertotok pula.

Akan tetapi begitu ia melawan, ia yang tadi dalam keadaan kosong terpukul oleh pengerahan tenaganya sendiri membuat ia pening dan hampir pingsan. Bukan itu saja akibatnya, bahkan pengerahan hawa saktinya itu melalui jarum menjalar kedalam tubuh Han Ki dan seakan-akan merupakan bantuan yang tak disangka-sangka oleh anak ini. Han Ki sedang berusaha mengerahkan tenaga untuk menguasai peperangan hawa di dalam pusar. Kini tiba-tiba hawa panas memasuki tubuhnya dan tenaga ini amat kuat sehingga mendadak menerobos jalan darahnya, melenyapkan pengaruh totokan dan membuatnya dapat bergerak lagi.

Akan tetapi, pengaruh dua hawa yang berlainan tadi masih membuat ia pening dan seperti mabok. Betapa pun juga, karena dia masih kanak-kanak dan berdarah bersih, ia lebih dulu sadar dari pada Siang-mou Sin-ni dan anak kecil ini berhasil membunuh musuh besarnya dengan jarum si Iblis Betina itu sendiri! Namun karena Siang-mou Sin-ni lihai luar biasa, biar pun jantungnya sudah tertembus jarum, pukulan jari-jari tangannya masih mampu mematahkan beberapa tulang iga anak itu.


BERSAMBUNG KE JILID 12