Bu Kek Siansu Jilid 01
PAGI ITU bukan main indahnya di dalam hutan di lereng pegunungan Jeng Hoa San (Gunung Seribu Bunga). Matahari muda memuntahkan cahayanya yang kuning keemasan ke permukaan bumi, menghidupkan kembali rumput-rumput yang hampir lumpuh oleh embun, pohon-pohon yang lenyap ditelan kegelapan malam, bunga-bunga yang menderita semalaman oleh hawa dingin menusuk.
![Bu-Kek Sian-su Cerita Silat Mandarin Serial Bu Kek Sian Su Karya Kho Ping Hoo](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhIKWFykXACArZlYWL5dclnltm6xvGNVD9YVkyKDMOtd6Cv_V2um1W0H3ogW7if_JTUqc5SsbDoQ0zPC7hD-QiDnroMTAgN4-8d79X51WQxvXHwI6eUtDLzt-zEywQ2E6nobrGUS340G2ZFXl2_IGeRXvxE7M0bE19AEUbUXuHEuhBo6JGn9yIwPu36Cw/w150-h200-rw/Bu-Kek-Sian-Su.jpg)
Cahaya kuning emas yang membawa kehangatan, keindahan, dan penghidupan itu mengusir halimun tebal, dan halimun lari pergi dari cahaya raja kehidupan itu, meninggalkan butiran-butiran embun yang kini menjadi penghias ujung-ujung daun dan rumput membuat bunga-bunga yang beraneka warna itu seperti dara-dara muda jelita sehabis mandi, segar dan berseri-seri.
Cahaya matahari yang lembut itu tertangkis oleh daun dan ranting pepohonan hutan yang rimbun. Namun kelembutannya membuat cahaya itu dapat juga menerobos di antara celah-celah daun dan ranting sehingga sinar kecil memanjang yang tampak jelas di antara bayang-bayang pohon meluncur ke bawah, di sana-sini bertemu dengan pantulan air membentuk warna pelangi yang amat indahnya, warna yang dibentuk oleh segala macam warna terutama oleh warna dasar merah, kuning dan biru. Indah!
Bagi mata yang bebas dari segala ikatan, keindahan itu makin terasa. Keindahan yang baru dan yang senantiasa akan nampak baru biar pun andaikata dilihat setiap hari. Sebelum cahaya pertama yang kemerahan dari matahari pagi tampak, keadaan hutan di lereng itu sunyi senyap.
Yang mula-mula membangunkan hutan itu adalah kokok ayam hutan yang pendek dan nyaring sekali. Kokok yang tiba-tiba dan mengejutkan, susul-menyusul dari beberapa penjuru. Kokok ayam jantan inilah yang menggugah para burung yang tadinya diselimuti kegelapan malam, menyembunyikan muka di bawah selimut tebal dan hangat dari sayap mereka. Kini terjadilah gerakan-gerakan hidup di setiap pohon besar dan terdengar kicau burung yang sahut-menyahut, bermacam-macam suaranya, bersaing indah dan ramai namun kesemuanya memiliki kemerduan yang khas.
Sukar bagi telinga untuk menentukan mana yang lebih indah, karena suara yang bersahut-sahutan itu merupakan kesatuan seperangkat alat musik yang dibunyikan bersama. Yang ada pada telinga hanya indah! Sukar dikatakan mana yang lebih indah, suara burung-burung itu sendiri ataukah keheningan kosong yang terdapat di antara jarak suara-suara itu.
Anak laki-laki itu masih amat kecil, tidak akan lebih dari tujuh tahun usianya. Dia berdiri seperti sebuah patung, berdiri di tempat datar yang agak tinggi di hutan Gunung Seribu Bunga itu, menghadap ke timur. Sudah ada setengah jam lebih dia berdiri seperti itu. Hanya matanya saja yang bergerak-gerak, mata yang lebar yang penuh sinar ketajaman dan kelembutan, seperti biasa mata kanak-kanak yang hidupnya masih bebas dan bersih, namun di antara kedua matanya, kulit di antara alis itu agak terganggu oleh garis-garis lurus.
Aneh juga melihat seorang anak kecil seperti itu sudah ada keriput di antara kedua alisnya! Anak itu pakaiannya sederhana sekali, biar pun amat bersih seperti bersihnya tubuhnya, dari rambut sampai ke kuku jari tangannya yang terpelihara dan bersih. Wajahnya biasa saja, seperti anak-anak lain dengan bentuk muka yang tampan. Hanya matanya dan keriput di antara matanya itulah yang jarang terdapat pada anak-anak dan membuat dia menjadi seorang anak yang mudah mendatangkan kesan pada hati pemandangnya sebagai seorang anak yang aneh dan tentu memiliki sesuatu yang luar biasa.
Sepasang mata anak itu bersinar-sinar penuh seri kehidupan ketika dia tadi melihat munculnya bola merah besar di balik puncak gunung sebelah timur. Bola merah yang amat besar dan yang mula-mula merupakan pemandangan yang amat menarik hati, akan tetapi lambat laun merupakan benda yang tak kuat lagi mata memandangnya karena cahaya yang makin menguning dan berkilauan. Maka dia mengalihkan pandangannya, kini menikmati betapa cahaya yang tiada terbatas luasnya itu menghidupkan segala sesuatu, dari puncak pegunungan sampai jauh di sana, di bawah kaki gunung.
Anak itu lalu menanggalkan pakaiannya, satu semi satu dengan gerakan sabar dan tidak tergesa-gesa, tanpa menengok ke kanan-kiri karena selama ini dia tahu bahwa di pagi hari seperti itu tidak akan ada seorang pun manusia kecuali dirinya sendiri berada di situ.
Dengan telanjang bulat dia lalu menghampiri sebuah batu dan duduk bersila menghadap matahari. Duduknya tegak lurus, kedua kakinya bersilang dan napasnya masuk keluar dengan halus tanpa diatur, tanpa paksaan seperti pernapasan seorang bayi sedang tidur nyenyak. Sudah beberapa tahun dia melakukan ini setiap hari, duduk sambil mandi cahaya matahari selama dua tiga jam sampai semua tubuhnya bermandi peluh dan terasa panas barulah dia berhenti.
Juga di waktu malam terang bulan, dia duduk pula di batu itu, telanjang bulat, mandi cahaya bulan purnama selama tujuh malam, kadang-kadang sampai lupa diri dan duduk bersila sampai setengah tidur, dan barulah dia berhenti kalau tubuh sudah hampir membeku dan bulan sudah lenyap bersembunyi di balik puncak barat. Anak yang luar biasa!
Memang. Demikian pula penduduk di sekitar pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya Sin Tong (Anak Ajaib), demikianlah nama anak ini yang diketahui orang. Anak ajaib, anak sakti dan lain-lain sebutan lagi. Karena semua orang menyebutnya Sin Tong dan memang dia sendiri tidak pernah mau menyatakan siapa namanya, maka anak itu sudah menjadi terbiasa dengan sebutan ini dan menganggap namanya Sin Tong!
Mengapakah orang-orang dusun, penghuni semua dusun di sekitar lereng dan kaki pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya anak ajaib? Hal ini ada sebabnya, yaitu karena anak berusia tujuh tahun itu pandai sekali mengobati penyakit dengan memberi daun-daun, buah-buah, dan akar-akar obat yang benar-benar manjur sekali!
Hampir semua penduduk yang terkena penyakit datang ke lereng Hutan Seribu Bunga, yaitu nama hutan di mana anak itu tinggal karena di antara sekalian hutan di Pegunungan Seribu Bunga, hutan inilah yang benar-benar tepat disebut Hutan Seribu Bunga dengan tetumbuhan beraneka warna, penuh dengan bunga-bunga indah, terutama sekali pada musim semi. Dan anak ini akan memberi daun atau akar obat dengan hati terbuka, dengan tulus ikhlas, suka rela dan selalu menolak kalau diberi uang! Maka berduyun-duyun orang dusun datang kepadanya dan diam-diam memujanya sebagai seorang anak ajaib, sebagai dewa yang menjelma menjadi seorang anak-anak yang menolong dusun-dusun itu dari malapetaka.
Bahkan ketika terjangkit penyakit menular, penyakit demam hebat yang menimbulkan banyak korban tahun lalu, bocah ajaib inilah yang membasminya dengan memberi akar-akar tertentu yang harus diminum airnya setelah dimasak. Dengan akar itu, yang sakit banyak tertolong dan yang belum terkena penyakit tidak akan ketularan.
Ketika orang-orang dusun itu, terutama yang wanita, datang membawa pakaian baru yang sudah dijahit rapi, anak itu tak dapat menolak, dan menyatakan terima kasihnya dengan butiran air mata menetes di kedua pipinya. Akan tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Karena jasa orang-orang dusun ini, maka anak itu selalu berpakaian sederhana sekali, potongan dusun.
Siapakah sebetulnya anak kecil ajaib yang menjadi penghuni Hutan Seribu Bunga seorang diri saja itu? Benarkah dia seorang dewa yang turun dari kahyangan menjadi seorang anak-anak untuk menolong seorang manusia, seperti kepercayaan para penduduk di pegunungan Tibet sehingga banyak terdapat Lama yang dianggap sebagai Sang Buddha sendiri yang ‘menjelma’ menjadi anak-anak dan menjadi calon Lama? Sebetulnya tentu saja tidak seperti ketahyulan yang dipercaya oleh orang-orang yang memang suka akan ketahyulan dan suka akan yang ajaib-ajaib itu.
Anak itu dahulunya adalah anak tunggal dari Keluarga Kwa di kota Kun-Leng, sebuah kota kecil di sebelah timur pegunungan Jeng-hoa-san. Dia bernama Kwa Sin Liong, dan nama Sin Liong (Naga Sakti) ini diberikan kepadanya karena ketika mengandungnya, ibunya mimpi melihat seekor naga beterbangan di angkasa di antara awan-awan.
Ada pun ayah Sin Liong adalah seorang pedagang obat yang cukup kaya di kota Kun-leng. Akan tetapi malapetaka menimpa keluarga ini ketika malam hari tiga orang pencuri memasuki rumah mereka. Tadinya tiga orang penjahat ini hendak melakukan pencurian terhadap keluarga kaya ini, akan tetapi ketika mereka memasuki kamar, ayah dan ibu Sin Liong mempergoki mereka. Karena khawatir dikenal, tiga orang itu lalu membunuh ayah-bunda Sin Liong dengan bacokan-bacokan golok.
Ketika itu Sin Liong baru berusia lima tahun dan di tempat remang-remang itu melihat betapa ayah-bundanya dihujani bacokan golok dan roboh mandi darah, tewas tanpa sempat berteriak. Saking ngeri dan takutnya, Sin Liong seperti berubah menjadi gagu, matanya melotot dan dia tidak bisa mengeluarkan suara. Karena ini, tiga orang pencuri itu tidak melihat anak kecil di kamar yang gelap itu. Mereka terutama sibuk mengumpulkan barang-barang berharga dan mereka itu juga panik, ingin lekas-lekas pergi karena mereka telah terpaksa membunuh tuan dan nyonya rumah.
Setelah para penjahat itu keluar dari kamar, barulah Sin Liong dapat menjerit, menjerit sekuat tenaganya sehingga malam hari itu terkoyak oleh jeritan anak ini. Para tetangga mereka terkejut dan semua pintu dibuka, semua laki-laki berlari ke luar dan melihat tiga orang yang tidak dikenal keluar dari rumah keluarga Kwa membawa buntalan-buntalan besar.
Segera terdengar teriakan, "Maling…maling!"
Orang-orang itu mengurung tiga penjahat ini. Beberapa orang lari memasuki rumah keluarga Kwa dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat suami-isteri itu tewas dalam keadaan mandi darah. Sedangkan Sin Liong terlihat menangisi kedua orang-tuanya, memeluki mereka sehingga muka, tangan dan pakaian anak itu penuh dengan darah ayah-bundanya.
"Pembunuh! Mereka membunuh keluarga Kwa!" orang yang menyaksikan mayat kedua orang itu segera lari keluar dan berteriak-teriak.
"Manusia kejam! Tangkap mereka!"
"Tidak! Bunuh saja mereka!"
"Tubuh suami-istri Kwa hancur mereka cincang!"
"Bunuh!"
"Serbu...!"
Dan terjadilah pergumulan atau pertandingan yang berat sebelah. Tiga orang itu terpaksa melakukan perlawanan untuk membela diri, akan tetapi mana mereka itu, maling-maling biasa, mampu menahan serbuan puluhan bahkan ratusan orang yang marah dan haus darah?
Ketika pengeroyokan di luar rumahnya sedang terjadi, anak laki-laki itu keluar dari dalam, mukanya penuh darah, kedua tangannya dan pakaiannya juga. Dia melangkah ke luar seperti dalam mimpi, mukanya pucat sekali dan matanya yang lebar itu terbelalak memandang penuh kengerian.
Dia berdiri di depan pintu rumahnya, matanya makin terbelalak memandang apa yang terjadi di depan rumahnya. Jelas tampak olehnya betapa para tetangganya itu, seperti sekumpulan serigala buas, menyerang dan memukuli tiga orang pencuri tadi, para pembunuh ayah-bundanya. Terdengar olehnya betapa pencuri-pencuri itu mengaduh-aduh merintih-rintih, minta-minta ampun dan terdengar pula suara bak-bik-buk ketika kaki tangan dan senjata menghantami mereka. Mereka bertiga telah roboh, tapi terus digebuki, dibacok, dihantam dan darah muncrat-muncrat. Akhirnya tubuh tiga orang itu berkelojotan, dan suara yang aneh keluar dari tenggorokan mereka.
Akan tetapi orang-orang yang marah dan haus darah itu, yang menganggap bahwa apa yang mereka lakukan ini sudah baik dan adil, terus saja menghantami tiga orang manusia sial itu sampai tubuh mereka remuk dan tidak tampak seperti tubuh manusia lagi, patutnya hanya onggokan-onggokan daging hancur dan tulang-tulang patah! Saat semua orang sudah merasa puas, juga mulai ngeri melihat hasil perbuatan sendiri, barulah mereka menghentikan pengeroyokan terhadap tiga mayat itu dan kemudian memasuki rumah keluarga Kwa. Tapi Sin Liong sudah tidak berada di situ!
Kiranya bocah ini, yang baru saja tergetar jiwanya, tergores penuh luka melihat ayah-bundanya dibacoki dan dibunuh, ketika melihat tiga orang pembunuh itu dikeroyok dan disiksa, jiwanya makin terhimpit, luka-luka dihatinya makin banyak dan dia tidak kuat menahan lagi. Dilihatnya wajah orang-orang itu semua seperti wajah iblis, dengan mata bernyala-nyala penuh kebencian dan dendam, penuh nafsu membunuh, dengan mulut terngangga seolah-olah tampak taring dan gigi meruncing, siap untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya.
Dia merasa ngeri, merasa seolah-olah berada di antara sekumpulan iblis. Maka sambil menangis tersedu-sedu Sin Liong lalu lari meninggalkan tempat itu, meninggalkan rumahnya, meninggalkan kota Kun-leng, terus berlari ke arah pegunungan yang tampak dari jauh seperti seorang manusia sedang rebahan, seorang manusia dewa yang sakti, yang akan melindunginya dari kejaran iblis itu!
Seperti orang kehilangan ingatan, semalam itu Sin Liong terus berlari sampai pada keesokan harinya. Saking lelahnya, dia tersaruk-saruk di kaki pegunungan Jeng-hoa-san, kadang-kadang tersandung kakinya dan jatuh menelungkup, bangun lagi dan lari lagi, terhuyung-huyung dan akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi dia terguling roboh pingsan di dalam sebuah hutan di lereng bagian bawah pegunungan Jeng-hoa-san.
Setelah siuman, anak kecil berusia lima tahun ini melanjutkan perjalanannya, dan beberapa hari kemudian tibalah dia di sebuah hutan penuh bunga karena kebetulan pada waktu itu adalah musim semi. Di sepanjang jalan mendaki pegunungan, kalau perutnya sudah mulai lapar, anak ini memetik buah-buahan dan makan daun-daunan, memilih yang rasanya segar dan tidak pahit sehingga dia tidak sampai kelaparan.
Di dalam hutan seribu bunga itu Sin Liong terpesona, merasa seperti hidup di alam lain, di dunia lain. Tempat yang hening dan bersih, tidak ada seorang pun manusia. Kalau dia teringat akan manusia, dia bergidik dan menangis saking takut dan ngerinya. Dia telah menyaksikan kekejaman-kekejaman yang amat hebat. Bukan hanya kekejaman orang-orang yang merenggut nyawa ayah-bundanya, yang memaksa ayah-bundanya berpisah darinya dan mati meninggalkannya, akan tetapi juga melihat kekejaman puluhan orang tetangga yang menyiksa tiga orang itu sampai mati dan hancur tubuhnya, Dia bergidik dan ketakutan kalau teringat akan hal itu.
Di dalam Hutan Seribu Bunga itulah dia merasakan keamanan, kebersihan, dan keheningan yang menyejukkan perasaan. Mula-mula Sin Liong tidak mempunyai niat untuk kembali ke kotanya karena ia masih terasa ngeri, tidak ingin melihat ayah-bundanya yang berlumuran darah, tak ingin melihat mayat tiga orang pencuri yang rusak hancur.
Ketika dia tiba di hutan Jeng-hoa-san itu dan melihat betapa tubuh dan pakaiannya ternoda darah yang baunya amat busuk, dia cepat mandi dan mencuci pakaian di anak sungai yang terdapat di hutan itu, anak sungai yang airnya keluar dari sumber air, jernih dan sejuk sekali. Mula-mula memang dia tidak ingin pulang karena kengerian hatinya, akan tetapi setelah dua tiga bulan ‘bersembunyi’ di tempat itu, timbul rasa cintanya terhadap Hutan Seribu Bunga dan dia kini tidak ingin pulang sama sekali karena dia telah menganggap hutan itu sebagai tempat tinggalnya yang baru!
Di dekat pohon peak yang besar, terdapat bukit batu dan di situ ada goanya yang cukup besar untuk dijadikan tempat tinggal, dijadikan tempat berlindung dari serangan hujan dan angin. Goa ini dibersihkannya dan menjadi sebuah tempat yang amat menyenangkan. Demikianlah, anak ini tidak tahu sama sekali bahwa harta kekayaan orang-tuanya yang tidak mempunyai keluarga dan sanak kadang lainnya, telah dijadikan perebutan antara para tetangga sampai habis ludes sama sekali!
Dengan alasan ‘mengamankan’ barang-barang berharga dari rumah kosong itu, para tetangga telah memperkaya diri sendiri. Mereka ini tetap tidak tahu, atau tidak mengerti bahwa mereka telah mengulangi perbuatan tiga orang pencuri yang mereka keroyok dan bunuh bersama itu. Mereka juga melakukan pencurian, sungguh pun caranya tidak ‘sekasar’ yang dilakukan para pencuri.
Jika dinilai, pencurian yang dilakukan para tetangga dan ‘sahabat’ ini jauh lebih kotor dan rendah daripada yang dilakukan oleh tiga orang pencuri dahulu itu. Para pencuri itu melakukan pencurian dengan sengaja dan terang-terangan sebagai pencuri, tidak berselubung apa-apa, dan kejahatannya itu memang terbuka, sebagai orang-orang yang mengambil barang orang lain di waktu Si Pemilik sedang lengah atau tertidur.
Namun, apa yang dilakukan oleh para tetangga itu adalah pencurian terselubung, dengan kedok ‘menolong’, sehingga kalau dibuat takaran, kejahatan mereka itu berganda. Pertama, jahat seperti Si Pencuri biasa karena mengambil dan menghaki milik orang lain. Kedua, jahat karena telah bersikap munafik, melakukan kejahatan dengan selubung ‘kebaikan'.
Demikianlah sampai dua tahun lamanya anak berusia lima tahun ini tinggal seorang diri di dalam Hutan Seribu Bunga. Sebagai putera seorang ahli pengobatan, biar pun ketika itu usianya baru lima tahun, sedikit banyak Sin Liong tahu akan daun-daun dan akar obat, bahkan sering dia ikut ayahnya mencari daun-daun obat di gunung-gunung.
Setelah kini dia hidup seorang diri di dalam hutan, bakatnya akan ilmu pengobatan mendapat ujian dan pemupukan secara alam. Dia harus makan setiap hari. Untuk keperluan ini, dia telah pandai memilih dari pengalaman, mana daun yang berkhasiat dan mana yang enak, mana pula yang beracun dan sebagainya.
Selama dua tahun itu, dengan pakaian cabik-cabik tidak karuan, sering pula dia terserang sakit dan dari pengalaman ini pula dia dapat memilih daun-daun dan akar-akar obat, bukan dari pengetahuan, melainkan dari pengalaman. Mungkin karena tidak ada sesuatu lainnya yang menjadikan bahan pemikiran, maka anak ini dapat mencurahkan semua perhatiannya terhadap pengenalan akan daun dan akar serta buah dan kembang yang mengandung obat ini sehingga penciumannya amat tajam terhadap khasiat daun dan akar obat.
Dengan menciumnya saja dia dapat menentukan khasiat apakah yang terkandung dalam suatu daun, bunga, buah atau pun akar! Tidak kelirulah kata-kata orang bahwa pengalaman adalah guru terpandai. Tentu saja kata-kata itu baru terbukti kebenarannya kalau seseorang memiliki rasa kasih terhadap yang dilakukannya itu. Dan memang di lubuk hati Sin Liong, dia mempunyai rasa kasih yang menimbulkan suka, dan suka ini menimbulkan kerajinan untuk mempelajari khasiat bunga-bunga dan daun-daun yang banyak sekali macamnya dan tumbuh di dalam Hutan Seribu Bunga itu.
Selain mempelajari khasiat tumbuh-tumbuhan, bukan hanya untuk menjadi makanan sehari-hari akan tetapi juga untuk pengobatan, Sin Liong mempunyai kesukaan lain lagi yang timbul dari rasa kasihnya kepada alam, kasih yang sepenuhnya dan yang mungkin sekali timbul karena dia merasa hidup sebatang-kara dan juga timbul karena melihat kekejaman yang menggores di kalbunya akan perbuatan manusia ketika ayah ibunya dan tiga orang pencuri itu tewas.
Di tempat itu dia melihat kedamaian yang murni, kewajaran yang indah, dan tidak pernah melihat kepalsuan-kepalsuan, tidak melihat kekejaman. Rasa kasih kepada alam ini membuat dia amat peka terhadap keadaan sekelilingnya, membuat perasaannya tajam sekali sehingga dia dapat merasakan betapa hangat dan nikmatnya sinar matahari pagi, betapa lembut dan sejuk segarnya sinar bulan purnama sehingga tanpa ada yang memberi tahu dan menyuruh hampir setiap pagi dia bertelanjang mandi cahaya matahari pagi dan setiap bulan purnama dia bertelanjang mandi sinar bulan purnama.
Tanpa disadarinya, tubuhnya telah menerima dan menyerap inti tenaga mukjijat dari bulan dan matahari, yang membuat darahnya bersih, tulangnya kuat dan tenaga dalam di tubuhnya makin terkumpul di luar kesadarannya. Setelah keringat membasahi seluruh tubuh dan beberapa kali memutar tubuhnya yang duduk bersila di atas batu, Sin Liong turun dari batu itu, menghapus peluh dengan sapu-tangan lebar. Setelah tubuhnya tidak berkeringat lagi, setelah dibelai bersilirnya angin pagi, dia mengenakan lagi pakaiannya dan pergi mengeluarkan bunga, daun, buah dan akar obat dari dalam goa untuk dijemur dibawah sinar matahari. Inilah yang menjadi pekerjaannya sehari-hari, selain mencangkok, memperbanyak dan menanam tanaman-tanaman yang berkhasiat.
Menjelang tengah hari, mulailah berdatangan penduduk yang membutuhkan obat. Di antara mereka terdapat pula beberapa orang kang-ouw yang kasar dan menderita luka beracun dalam pertempuran. Untuk mereka semua, tanpa pandang bulu, Sin Liong memberikan obatnya setelah memeriksa luka-luka dan penyakit yang mereka derita. Lebih dari lima belas orang datang berturut-turut minta obat dan yang datang terakhir adalah seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi besar, di punggungnya tergantung golok dan dia datang terpincang-pincang karena pahanya terluka hebat, luka yang membengkak dan menghitam.
"Sin-tong, kau tolonglah aku..." Begitu tiba di depan goa dimana Sin Liong duduk dan memotong-motong akar basah dengan sebuah pisau kecil, laki-laki bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar itu menjatuhkan diri dan merintih kesakitan.
Sin Liong mengerutkan alisnya. Di antara orang-orang yang minta pengobatan, dia paling tidak suka melihat orang kang-ouw yang dapat dikenal dari sikap kasar dan senjata yang selalu mereka bawa. Namun belum pernah dia menolak untuk mengobati mereka, bahkan diam-diam dia menilai mereka itu sebagai orang-orang yang berwatak serigala, yang haus darah, yang selalu saling bermusuhan dan saling melukai, sehingga mereka ini merupakan manusia-manusia yang patut dikasihani karena tidak mengenal apa artinya ketentraman, kedamaian, dan kasih antar manusia yang mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan.
"Orang tua gagah, bukankah dua bulan yang lalu kau pernah datang dan minta obat karena luka di lengan kirimu yang keracunan?" tanyanya sambil menatap wajah berkulit hitam itu.
"Benar, benar sekali, Sin-tong. Aku adalah Sin-hek-houw (Macan Hitam Sakti) yang dahulu terkena senjata jarum beracun di lenganku. Akan tetapi sekarang aku menderita luka lebih parah lagi. Pahaku terbacok pedang lawan dan celakanya pedang itu mengandung racun yang hebat sekali. Kalau kau tidak segera menolongku, aku akan mati, Sin-tong."
Sin Liong tidak berkata apa-apa lagi. Ia menghampiri orang yang di atas tanah itu, memeriksa luka mengangga di balik celana yang ikut terobek. Luka itu lebar dan dalam, luka yang tertutup oleh darah yang menghitam dan membengkak, bahkan ketika dipegang seluruh kaki itu terasa panas, tanda keracunan hebat!
Sin Liong menarik nafas panjang. "Lo-eng-hiong, mengapa engkau masih saja bertempur dengan orang lain, saling melukai dan saling membunuh? Bukankah dahulu ketika kau datang ke sini pertama kali, pernah kau berjanji tidak akan lagi bertanding dengan orang lain?"
Mata yang lebar itu melotot kemudian pandang matanya melembut. Tak mungkin dia dapat marah kepada anak ajaib ini. Seorang anak kecil berusia tujuh tahun dapat bicara seperti itu kepadanya, seolah-olah anak itu adalah seorang kakek yang menjadi pertapa dan hidup suci!
"Sin-tong, aku adalah Sin-hek-houw, dan jangan kau menyebut Lo-eng-hiong (Orang Tua Gagah) kepadaku. Aku adalah seorang perampok, mengertikah kau? Seorang perampok tunggal yang mengandalkan hidup dari merampok orang lewat! Kalau aku tidak butuh barang, aku tentu tidak akan menganggu orang, dan kalau orang yang kumintai barangnya itu tidak melawan, aku tentu tidak akan menyerangnya. Akan tetapi, dua kali aku keliru menilai orang....”
“Dahulu, aku menyerang seorang nenek yang kelihatan lemah, dan akibatnya lenganku terluka hebat. Sekarang, aku merampok seorang kakek yang kelihatan lemah, yang membawa barang berharga, dan akibatnya pahaku hampir buntung dan kini keracunan hebat. Kau tolonglah, aku akan berterima kasih kepadamu, Sin-tong. Dan aku datang kali ini juga akan mengabarkan sesuatu yang amat penting bagimu."
"Lo-eng-hiong, aku tidak membutuhkan terima kasih dan balasan. Aku mengenal khasiat tetumbuhan di sini. Tetumbuhan itu tumbuh di sini begitu saja, mempersilakan siapa pun juga yang mengerti untuk memetik dan mempergunakannya, tanpa membeli, tanpa merampas dan tanpa menggunakan kekerasan. Aku hanya memetik dan menyerahkan kepadamu, perlu apa aku minta terima kasih dan balasan? Lukamu ini hebat. Seluruh kaki sudah panas, berarti darahmu telah keracunan. Untuk mengeluarkan racunnya yang masih mengeram di sekitar luka, sebaiknya luka itu dibuka agar dapat diobati, tidak seperti sekarang ini, ditutup oleh darah beracun yang mengering. Dapatkah kau membuka lukamu itu, Lo-enghiong?"
Orang setengah tua itu membelalakan mata dan kembali dia kagum mendengar cara bocah itu bicara. Akan tetapi keheranannya lenyap ketika dia teringat bahwa bocah ini adalah Sin-tiong, anak ajaib! Maka dia lalu menghunus goloknya.
Saat melihat berkelebatnya sinar golok, Sin Liong memejamkan matanya. Terbayang kembali tiga batang golok yang membacoki tubuh ayah-bundanya, dan banyak golok yang kemudian membacoki tubuh tiga orang pencuri itu.
Sin-hek-houw menggunakan ujung goloknya untuk menusuk dan membuka kembali luka di pahanya. Dia mengeluh keras, akan tetapi lukanya sudah terbuka dan darah hitam mengucur ke luar. Dengan siksaan rasa nyeri yang hebat, Sin-hek-houw melemparkan goloknya dan menggunakan kedua tangannya memijit-mijit paha yang terasa nyeri itu.
Sin Liong berlutut, menggunakan jari tangannya yang halus untuk bantu memijat sehingga darah makin banyak keluar. Darah hitam dan baunya membuat orang mau muntah! Akan tetapi Sin Liong yang melakukan hal itu dengan rasa kasih sayang di hati, dengan rasa iba yang mendalam dan tidak dibuat-buat dan tidak pula disengaja, menerima bau itu dengan perasaan makin terharu.
Apa artinya hidup kalau hati tak senang?
"Apa yang Locianpwe katakan memang benar. Di antara Locianpwe dengan Bu-tong-pai, tidak pernah ada urusan. Dan sekali ini, kami orang-orang muda dari Bu-tong-pai juga tidak berniat untuk menganggu Locianpwe yang terhormat. Hanya kami mendengar berita bahwa di antara banyak tokoh kang-ouw, Locianpwe juga berminat kepada anak kecil budiman yang terkenal dengan sebutan Sin-tong dan yang berdiam di dalam Hutan Seribu Bunga. Benarkah ini, dan apakah Locianpwe sekarang sedang menuju ke hutan itu?"
Tiba-tiba Kwat Lin bangkit serentak, seolah-olah ada tenaga baru memasuki tubuhnya yang menderita nyeri, lelah dan kelaparan karena selama tiga hari tiga malam dia dipermainkan tanpa diberi makan atau minum oleh kakek iblis itu. Dia berdiri tegak, telanjang bulat, lalu memandang ke arah semua mayat suheng-nya. Matanya menjadi liar, keluar suara parau dari mulutnya yang pecah-pecah bibirnya oleh gigitan kakek iblis.
"Suheng sekalian, dengarlah! Aku The Kwat Lin, bersumpah untuk membalaskan kematian suheng sekalian. Satu-satunya tujuan hidupku sekarang hanyalah untuk membalas dendam dan membunuh iblis busuk Pat-jiu Kai-ong!"
Tiba-tiba dia terhuyung mundur memandang wajah twa-suheng-nya. Pria inilah sebetulnya yang sudah sejak dahulu mencuri hatinya.
"Twa-suheng...!" Dia menubruk dan berlutut di dekat mayat yang sudah mulai membusuk itu. "Jangan berduka, Twa-suheng.... Jangan menangis...." Dia berdiri sesunggukan. "Apa...? Aku telanjang...? Pakaianmu...?"
Seperti orang gila yang bicara dengan sesosok mayat, Kwat Lin bertanya, kemudian dia membuka baju dan celana luar dari mayat yang sudah kaku kejang itu dengan agak susah, lalu mengenakan pada tubuhnya sendiri. Tentu saja agak kebesaran.
"Hi-hi-hik, pakaianmu kebesaran, Suheng...." Dia memandang wajah mayat twa-suhengnya dan tertawa lagi. "Hi-hik. Nah, begitu, tertawalah Twa-suheng, tertawalah para suheng sekalian..., tertawa dan bergembiralah karena dendam kalian pasti akan kubalaskan! Hi-hi-hik... hu-hu-huuuhhh..."
Dia menangis lagi terisak-isak dan dengan terhuyung-huyung dia meninggalkan tempat mengerikan itu setelah mengambil pedang twa-suheng-nya. Pedang itu adalah pedang pusaka terbaik di antara pedang ketiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu, sebatang pedang pemberian ketua Bu-tong pai sendiri. Pedang yang di dekat gagangnya ada gambar setangkai bunga bwee merah, maka pedang itu diberi nama Ang-bwee-kiam (Pedang Bunga Bwee Merah). Dia terhuyung-huyung, pergi tak tentu tujuan, asal menggerakkan kedua kaki melangkah saja. Langkahnya kecil-kecil dan terhuyung-huyung karena tubuhnya masih terasa lelah, lapar dan sakit semua.
Kadang-kadang terdengar dia terisak menangis, kemudian terkekeh geli. Kalau ada orang yang bertemu dengan wanita yang bibirnya pecah-pecah, mukanya penuh debu dan air mata, matanya membengkak dan merah, rambutnya riap-riapan dan pakaiannya terlalu besar ini, tentu orang itu akan merasa seram, mengira bahwa setidaknya dia adalah seorang wanita gila. Dugaan ini memang tidak meleset terlalu jauh. Penderitaan lahir batin yang melanda diri Kwat Lin membuat wanita malang ini tidak kuat menahan sehingga terjadi perubahan pada ingatannya.
Pada hari yang sama ketika Cap-sha Sin-hiap roboh di tangan kakek iblis Pat-jiu Kai-ong di kaki pegunungan Jeng-hoa-san, terjadi pula peristiwa hebat di bagian lain dari pegunungan itu. Kalau Cap-sha Sin-hiap roboh di daerah timur pegunungan, maka di daerah barat terjadi pula peristiwa yang hampir sama sungguh pun sifatnya berbeda.
Pada pagi hari itu, seorang wanita berjalan seorang diri mendaki lereng pertama dari pegunungan Jeng-hoa-san sebelah barat. Wanita itu memasuki hutan dengan wajah berseri. Harus diakui bahwa wajah wanita cantik ini manis sekali, mempunyai daya tarik yang kuat sungguh pun usianya sudah empat puluh tahun. Tidak ada keriput mengganggu kulit mukanya yang putih halus. Mulutnya yang agak lebar itu mempunyai bibir yang senantiasa menantang dan seolah-olah buah masak yang sudah pecah.
Akan tetapi kalau orang memperhatikan matanya, mata yang jernih dan bersinar tajam, maka hati yang kagum akan kecantikannya tentu akan berubah menjadi ragu-ragu, curiga dan ngeri karena sepasang mata itu tidak pernah, atau jarang sekali berkedip. Mata itu terbuka terus seperti mata boneka!
Dengan langkah-langkah gontai dan lemas, membuat buah pinggulnya menonjol dan bergoyang ke kanan-kiri, wanita itu berjalan seorang diri, memutar-mutar sebuah payung yang dipanggulnya. Sebuah payung hitam yang tertutup, gagangnya melengkung dan ujungnya meruncing. Pakaiannya serba mewah dan indah, rambutnya panjang sekali, digelung ke atas seperti sebuah menara hitam yang indah, terhias tusuk sanggul dari mutiara dan emas.
Yang menarik adalah kuku-kuku jari tangannya. Kuku yang panjang terpelihara, diberi warna merah, panjang meruncing dan agak melengkung seperti kuku kucing atau harimau. Pakaiannya yang mewah itu dibuat terlalu pas dengan tubuhnya sehingga membungkus ketat tubuh itu, membayangkan lekuk lengkung yang menggairahkan dari dada sampai ke kaki karena celananya yang terbuat dari sutera merah muda itu pun ketat sekali!
Biar pun kelihatannya seperti seorang wanita cantik dan genit (tante girang), namun sesungguhnya dia bukanlah manusia biasa! Dia inilah yang terkenal sekali di dunia hitam kaum penjahat, karena wanita ini bukan lain adalah Kiam-mo Cai-li (Wanita Pandai Berpayung Pedang), sebuah julukan yang membuat bulu tengkuk orang yang sudah mengenalnya berdiri saking ngerinya karena wanita yang sebenarnya hanya bernama Liok Si ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi mengerikan dan kekejaman yang sukar dicari bandingnya!
Bahkan ia disamakan dengan wanita cantik penjelmaan siluman rase yang biasa mengganggu pria. Setiap pria yang terjebak dalam pelukannya tentu akan mati kehabisan darah, disedot habis oleh siluman ini! Tentu saja bagi mereka yang belum pernah berjumpa dengannya, sama sekali tidak akan mengira bahwa wanita yang berlenggak-lenggok dengan payung di pundak itulah iblis wanita yang menggeggerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang luar biasa.
Mudah saja diduga mengapa pada hari itu Kiam-mo Cai-li ini mendaki lereng Jeng-hoa-san! Tentu saja dia pun mendengar berita menggegerkan dunia kang-ouw akan adanya Sin-tong, Si Bocah ajaib. Mendengar cerita ini, kontan hatinya berdebar-debar keras penuh ketegangan dan penuh birahi!
Dia dapat membayangkan betapa tenaga mukjijat yang dihimpunnya secara ilmu hitam dengan jalan menghisap sari tenaga ratusan orang pria, akan meningkat dengan hebat sekali kalau dia bisa menghisap kejantanan si Bocah Ajaib itu! Maka begitu mendengar akan bocah ajaib di puncak pegunungan Jeng-hoa-san di dalam Hutan Seribu Bunga, dia segera menempuh perjalanan jauh mengunjungi pegunungan itu.
Perjalanan yang jauh karena biar pun sering kali Liok Si ini pergi merantau namun dia memiliki sebuah pondok kecil seperti istana mewah yang terletak di tempat yang tidak lumrah dikunjungi manusia, yaitu di daerah Rawa Bangkai. Rawa-rawa yang liar ini terdapat di kaki pegunungan Luliang-san, merupakan daerah maut karena banyak lumpur dan pasir yang berputar, hingga merupakan perangkap maut bagi manusia dan hewan. Namun di tengah-tengah rawa-rawa yang tidak dapat dikunjungi oleh manusia lain itu terdapat sebuah tanah datar, tanah keras semacam pulau. Di atas pulau inilah letaknya istana kecil milik Liok Si yang berjuluk Kiam-mo Cai-li, di mana ia tinggal bersama belasan orang pembantu-pembantu yang sudah menjadi orang-orang kepercayaannya.
Dia disebut Cai-li (Wanita Pandai) karena sebetulnya wanita ini dulunya adalah puteri seorang sasterawan kenamaan. Sejak kecil Liok Si telah mempelajari kesusasteraan sehingga dia mahir sekali akan sastra, bahkan dia pernah menyamar sebagai pria menempuh ujian pemerintah sehingga dia lulus dan mendapat gelar siucai! Akan tetapi penyamarannya ketahuan, dan seorang pembesar tinggi istana yang kagum padanya lalu mengambilnya sebagai seorang selir.
Selain ilmu sastra, semenjak kecil Liok Si juga digembleng ilmu silat oleh para sahabat ayahnya. Apalagi setelah menjadi selir pembesar tinggi di istana, dia mengadakan hubungan dengan kepala-kepala pengawal, dengan pengawal-pengawal kaisar yang berilmu tinggi, menyerahkan tubuhnya sebagai pengganti ilmu silat-ilmu silat tinggi yang diperolehnya sebagai bayaran.
Akhirnya pembesar itu mengetahui akan tabiat selirnya ini yang ternyata adalah seorang wanita yang gila pria, maka dia diusir dari istana pembesar itu. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh wanita ini? Dia membunuh Si Pembesar, membawa banyak harta benda yang dicurinya dari istana itu, kemudian minggat! Belasan tahun kemudian, muncullah nama julukan Kiam-mo Cai-li, namun tidak ada yang menduga bahwa dia adalah Liok Si yang dahulu menjadi selir bangsawan dan yang membunuh bangsawan itu sehingga menjadi orang buruan pemerintah.
Liok Si berjalan sambil tersenyum-senyum. Kadang-kadang senyumnya melebar dan tampak giginya yang putih mengkilat dan di kedua ujungnya terdapat sebuah gigi yang agak meruncing sehingga sekelebatan mirip gigi caling sihung. Hatinya gembira sekali kalau dia membayangkan betapa akan sedapnya kalau dia dapat memperoleh bocah ajaib itu.
"Hemmm, aku harus bersikap halus dan hati-hati terhadapnya, menikmatinya selama mungkin. Hemmm...," pikirnya sambil tersenyum.
Tiba-tiba dia terkejut dan menghentikan langkahnya, akan tetapi kembali dia tersenyum manis. Matanya mengerling tajam penuh kegairahan ketika melihat lima orang laki-laki berdiri di depannya dengan sikap gagah. Pandang matanya menyambar-nyambar dan terbayang kepuasan serta kekaguman. Memang, hati seorang wanita gila pria seperti Liok Si tentu saja menjadi berdebar tegang ketika melihat lima orang pria yang usianya rata-rata tiga puluh tahun lebih bertubuh tegap-tegap dan rata-rata berwajah tampan dan gagah! Seperti melihat lima butir buah yang ranum dan matang hati!
"Aih-aihh... Siapakah Ngo-wi (Anda berlima) yang gagah perkasa ini? Dan apakah Ngo-wi sengaja hendak bertemu dan bicara dengan aku?"
Seorang di antara mereka, yang usianya tiga puluh tahun, mukanya bulat dan alisnya seperti golok hitam dan tebal, berkata, "Apakah kami berhadapan dengan Kiam-mo Cai-li dari Rawa Bangkai?"
Wanita itu memainkan bola matanya memandangi wajah mereka berganti-ganti dengan berseri, mulutnya tersenyum ketika menjawab, "Kalau benar mengapa? Kalian ini siapakah?"
"Kami adalah Kee-san Ngo-hohan (Lima Pendekar dari Gunung Ayam)."
"Tsk tsk tsk...," Kiam-mo Cai-li mengeluarkan bunyi dengan lidahnya tanda kagum. Segera dia menjura dan berkata manis, "Aih, kiranya lima pendekar yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai murid-murid utama Hoa-san-pai! Aih, terimalah hormatnya seorang wanita bodoh seperti aku."
"Harap Toanio (Nyonya) tidak mengejek dan bersikap merendah. Kami sudah tahu siapa adanya Kiam-mo Cai-li, dan karena melihat engkau mendaki Jeng-hoa-san, maka terpaksa kami memberanikan diri untuk menghadang."
"Ehm...! Maksud kalian?" Senyumnya makin manis dan kerling matanya makin memikat.
"Kami telah mendengar akan berita bahwa tokoh-tokoh kang-ouw sedang berusaha untuk memperebutkan Sin-tong yang berada di Hutan Seribu Bunga. Kami mendengar pula bahwa Kiam-mo Cai-li merupakan seorang di antara mereka yang hendak menculik Sin-tong. Karena kami telah berhutang budi, diberi obat oleh Sin-tong, maka kami hanya dapat membalas budinya dengan melindunginya terutama dari tangan... maaf, para tokoh kaum sesat yang tentu tidak mempunyai itikad baik terhadap dirinya. Andaikata kami tidak berhutang budi sekali pun, mengingat bahwa Sin-tong adalah seorang anak ajaib yang telah banyak menolong orang tanpa pandang bulu, sudah menjadi kewajiban orang-orang gagah untuk melindunginya."
Kembali Kiam-mo Cai-li tersenyum. "Terus terang saja, memang aku mendengar tentang Sin-tong dan aku ingin mendapatkannya, maka hari ini aku mendaki Jeng-hoa-san. Habis kalian mau apa?"
"Kalau begitu, kami minta dengan hormat agar kau suka membatalkan niatmu itu, Toanio. Kalau kau memaksa hendak menganggu Sin-tong, terpaksa kami akan merintangimu dan tidak membolehkan kau melanjutkan perjalanan!"
"Hi-hi-hik, galak amat! Lima orang laki-laki muda tampan dan gagah bertemu dengan seorang wanita cantik penuh gairah, sungguh tidak semestinya kalau bermain senjata mengadu nyawa!"
Bu-kek Sian-su Jilid 02