Istana Pulau Es Jilid 24

Cerita silat karya kho ping hoo

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 24

MAYA bangkit pula berdiri dan mukanya pucat sekali. "Suheng, mengapa engkau berkata seperti itu kepadaku? Suheng, begitu bencikah engkau kepadaku? Aku... aku bukan gila kedudukan. Aku... aku bergabung dengan Kerajaan Mancu untuk membangun kembali Khitan yang telah hancur, untuk dapat membalas sakit hati orang tua terhadap Yucen, Mongol dan Sung. Kalau hanya seorang diri, mana mungkin aku dapat membalas, Suheng? Ayah bundaku dan kerajaan mereka hancur oleh Yucen dan Sung, sedangkan Bibi Mutiara Hitam tewas di tangan orang Mongol. Suheng, marilah engkau pergi bersamaku menghadap Raja Mancu. Perbuatanmu hari ini tentu akan dimaafkan, mari kita berjuang bahu-membahu untuk membalas dendam keluarga, menegakkan cita-cita, Suheng..."

Han Ki melangkah mundur, matanya terbelalak. "Tidak! Aku tidak mau terlibat dalam perang antar bangsa yang kotor ini. Aku meninggalkan Istana Pulau Es untuk mencari engkau dan Khu-sumoi. Sekarang aku telah dapat berjumpa denganmu, Sumoi. Kau tinggalkan semua ini, mari kita mencari Khu-sumoi dan kita bertiga kembali ke Pulau Es."

Maya mengerutkan keningnya, menjawab perlahan, “Engkau tahu tiada keinginan lebih besar di hatiku kecuali hidup di dekatmu di Pulau Es, Suheng. Akan tetapi, lupakah engkau akan peristiwa tidak enak yang terjadi di antara kita bertiga? Aku tidak tahu apakah Sumoi sudah tidak marah lagi kepadaku. Marilah engkau ikut bersamaku, Suheng. Luka-lukamu harus dirawat dan biarlah aku nanti menyuruh pasukan mencari berita ke mana perginya Sumoi. Setelah kita bertiga berkumpul, baru kita bicarakan urusan masa depan kita!”

“Tidak, aku tidak sudi menerima kebaikan orang Mancu setelah aku membunuhi banyak anak buahnya. Setidaknya aku sekarang sudah tahu di mana engkau berada. Aku tidak akan menghalangi jalan hidupmu, Sumoi. Biarlah aku pergi sendiri mencari Khu-sumoi...,” dengan hati penuh duka karena kecewa menyaksikan sumoi-nya itu ternyata telah menjadi seorang Panglima Besar Mancu, Han Ki membalikkan tubuh hendak pergi.

“Tunggu, Suheng...!” Maya berkelebat dan sudah meloncat menghadang ke depan suheng-nya, memandang dengan sepasang mata merah dan basah.

Biar pun tubuhnya sudah lelah sekali, melihat Maya mengejarnya, Han Ki memandang dengan wajah berseri. “Bagus, Sumoi. Lekas kau buang pakaian panglima itu dan marilah kau ikut bersamaku mencari Khu-sumoi.”

“Suheng, tidak ada kebahagiaan bagiku melebihi kalau aku hidup di sampingmu selamanya, Suheng. Aku suka ikut bersamamu, akan tetapi marilah kita berdua pergi ke Pulau Es dan hidup selamanya di sana. Jangan mencari Sumoi karena... hal itu... hal itu hanya akan menimbulkan pertentangan dan...”

“Maya-sumoi! Apa maksudmu ini?” Han Ki membentak.

“Suheng, tidak tahukah engkau...? Aku... aku... dan Sumoi... kami... ah, tak mungkin kami berdua hidup di sampingmu bersama-sama...”

“Omong kosong! Kau seperti anak kecil saja, Sumoi! Sudahlah, nanti kita bicara lagi kalau sudah pergi dari sini. Mari ikut bersamaku.”

“Tidak, Suheng. Kalau Suheng tidak mau berjanji pergi berdua saja dengan aku ke Pulau Es aku tidak bisa ikut. Suheng harus dapat memilih seorang di antara kami.”

“Maya...!”

Maya terisak menangis. “Selamat berpisah, Suheng...” Ia membalikkan tubuhnya, kemudian melampiaskan kemarahan, kedukaan dan kekecewaannya dengan memimpin pasukannya menyerang pasukan Yucen yang menjadi kocar-kacir dan melarikan diri.

Han Ki pergi meninggalkan tempat itu dengan hati gelisah. Diam-diam ia merasa menyesal sekali bahwa di dalam hatinya, Maya masih membenci Siauw Bwee dan dia bingung sekali karena dia pun maklum apa yang menyebabkan Maya bersikap seperti itu. Maya jatuh cinta kepadanya dan merasa cemburu kepada Siauw Bwee!



Pandang matanya berkunang dan kepalanya menjadi pening ketika ia melihat gerakan pasukan yang hilir-mudik. Ia terhuyung-huyung menjauhkan diri dan di dalam hatinya mengeluh, “Maya... kenapa engkau bersikap seperti ini? Mengapa engkau memaksa aku menjadi makin menderita setelah aku kehilangan Hong Kwi? Engkau dan Siauw Bwee adalah sumoi-ku juga murid-muridku, bagaimana aku dapat jatuh cinta kepada kalian yang kukenal sejak kecil? Maya... apa yang harus kulakukan kini? Siauw Bwee, aku harus mencarimu dan mudah-mudahan kau akan dapat membujuk Maya agar dia suka kembali ke Pulau Es...”

Setelah gagal mengajak Maya kembali ke Pulau Es, dengan hati berduka akhirnya Han Ki dapat keluar dari daerah perang itu dan mulai dengan usahanya untuk mencari sumoi-nya yang kedua, yaitu Khu Siauw Bwee. Ia bahkan mengalami pukulan batin ketika melihat kenyataan bahwa Maya telah menjadi seorang Panglima Besar Mancu dan dara itu bertekad hanya mau pergi bersamanya kalau tidak mengajak Siauw Bwee.

Dengan mengerahkan seluruh sisa tenaganya, Han Ki dapat mencapai lereng gunung dan dari tempat ini dia hanya melihat gerakan pasukan seperti serombongan semut. Ia lelah lahir batin ketika duduk di bawah pohon. Pertandingan hebat di mana ia telah membunuh banyak sekali orang Mancu itu telah menghabiskan tenaganya. Kini, setelah sadar akan segala perbuatannya, ditambah dengan pertemuannya dengan Maya, ia merasa batinnya tertekan hebat dan penuh dengan penyesalan.

Seluruh tubuhnya lemas, akan tetapi tidak selemas batinnya. Kulit tubuhnya menderita banyak luka, akan tetapi tidak sehebat luka di hatinya. Baru terbuka matanya, mata batinnya betapa ia telah melakukan perbuatan yang amat jahat membunuhi orang-orang Mancu tanpa alasan, hanya terdorong oleh rasa sakit hatinya oleh kematian Sung Hong Kwi. Ia menyesal bukan main dan merasa malu sendiri mengapa dia sampai dapat menjadi begitu lemah.

Teringat ia akan suhu-nya, Bu Kek Siansu dan ia menjadi makin menyesal! Gurunya adalah seorang manusia dewa yang telah menurunkan banyak ilmu kepadanya. Ilmu-ilmu yang amat luar biasa dan yang amat tinggi pula. Sekarang terbuktilah kata gurunya dahulu bahwa yang menentukan nilai seseorang bukanlah ilmunya, bukanlah kepandaiannya, melainkan kekuatan batinnya. Dan dia harus mengakui bahwa batinnya masih lemah, masih mudah dikuasai oleh nafsu dendam. Ia merasa menyesal sekali.

Ia harus dapat membujuk Maya agar melepaskan diri dari ikatan perang. Hal ini sudah merupakan kewajibannya. Namun, ia mengenal pula kekerasan hati sumoi-nya itu sehingga dalam keadaan seperti sekarang ini, dipaksa pun akan percuma.

“Aku harus dapat menemukan Khu-sumoi. Hanya dialah yang kiranya akan dapat membantuku membujuk Maya. Khu-sumoi, di manakah engkau...?” Han Ki mengeluh.

Dalam keadaan berduka itu teringatlah Han Ki akan semua pengalamannya sejak kecil.
Dan teringat ia akan kedua orang enci-nya. Ia pernah mendengar dari Menteri Kam Liong bahwa kedua orang kakak perempuannya, yaitu Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, berada di Ta-liang-san belajar ilmu dari paman kakek mereka, Kauw Bian Cinjin. Dalam keadaan tertekan hatinya itu timbul perasaan rindu di hatinya kepada kedua orang enci-nya itu.

Akhirnya, setelah bersemedhi di lereng gunung itu selama semalam untuk memulihkan tenaganya, pada keesokan harinya Han Ki meninggalkan tempat itu dan pergi menuju ke selatan, ke Pegunungan Ta-liang-san karena dia tahu bahwa kedua orang suci-nya itu dahulu tinggal di Puncak Ta-liang-san, digembleng oleh paman kakeknya, Kauw Bian Cinjin.....

******************


Di lereng Gunung Heng-toan-san sebelah timur, di lembah Sungai Cin-sha, terdapat sebuah kelompok bangunan yang dilingkari tembok tinggi dan tebal, merupakan sebuah benteng yang kokoh kuat, megah dan juga menyeramkan karena siang malam selalu terjaga orang-orang yang kelihatan gagah sehingga tidak ada penduduk sekitar Pegunungan Heng-toan-san yang berani datang mendekat. Para penduduk di kaki pegunungan ini sering kali melihat orang-orang yang kelihatannya gagah menggiring kereta yang berisi peti-peti barang atau menggiring serombongan kuda yang juga penuh muatan bahkan ada kalanya menggiring wanita-wanita cantik yang menangis di sepanjang jalan.

Biar pun semua barang dan tawanan itu digiring memasuki benteng dan semua penduduk dapat menduga bahwa perampokan-perampokan yang terjadi di sekitar pegunungan ini tentu ada hubungannya dengan benteng besar itu, namun tak seorang pun berani mencampuri. Mereka hanya tahu bahwa benteng itu merupakan sarang dari perkumpulan Beng-kauw yang kini menjadi nama yang amat ditakuti, tidak seperti beberapa tahun yang lalu di mana Beng-kauw terkenal sebagai perkumpulan yang amat kuat berpengaruh, menjadi tulang punggung Kerajaan Nan-cao dan juga menjadi penjamin ketenteraman karena tidak ada penjahat yang berani sembarangan bergerak di bawah kekuasaan Beng-kauw.

Memang Beng-kauw kini telah berubah sama sekali semenjak dikuasai oleh Hoat Bhok Lama. Pendeta Lama dari Tibet yang berjubah merah ini adalah keturunan dari datuk kaum sesat Thai-lek Kauw-ong, maka biar pun dia berpakaian pendeta, namun pakaian ini hanya menjadi kedok belaka untuk menutupi keadaan yang sebenarnya karena Hoat Bhok Lama adalah seorang yang menjadi hamba dari nafsu-nafsunya, yang mengumbar nafsu tanpa pengekangan sedikit pun juga. Hidupnya telah dipersembahkan untuk menuruti segala kesenangan dunia yang dapat ia capai dengan mengandalkan kepandaiannya yang tinggi.

Dia gila kedudukan, gila kemewahan, gila perempuan. Karena hendak menuruti dorongan nafsu-nafsunya ini, dirampasnya Beng-kauw agar dia memperoleh kedudukan ketua yang tinggi, memiliki ratusan orang anak buah yang taat, dihormati dan ditakuti banyak orang. Kemudian untuk memuaskan nafsunya akan kemewahan, dia menggunakan kepandaian dan kekuasaannya untuk menundukkan semua kaum sesat di daerah itu sehingga setiap pencurian, setiap perampokan yang berhasil, harus lebih dulu dibawa ke bentengnya. Setelah dia memilih hasil-hasil rampokan itu, baru sisanya dikembalikan kepada mereka yang melakukannya! Bukan hanya benda-benda berharga dan indah, juga termasuk penculikan-penculikan wanita cantik!

Karena inilah maka keadaan di dalam benteng itu benar-benar mengagumkan orang. Semua perabot serba mewah dan mahal, gudangnya penuh dengan emas dan perak, sedangkan di dalam kamar-kamar yang berderet-deret di belakang kamar ketua ini terdapat simpanan wanita cantik yang merupakan haremnya, tidak kurang dari dua puluh orang banyaknya, dan masih terus minta ditambah!

Wanita-wanita ini dalam beberapa tahun saja sudah diganti-ganti dengan orang baru, karena watak Hoat Bhok Lama yang pembosan tidak memungkinkan seorang wanita tinggal lebih dari sebulan di situ. Setelah bosan, ia hadiahkan kepada pembantu-pembantu yang berjasa, kemudian dia menghendaki pengganti untuk memperlengkapi haremnya.

Pihak pimpinan Beng-kauw yang asli sudah sejak dahulu berusaha membasmi Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, namun tiada seorang pun dapat menandingi kelihaian pendeta Lama ini. Bahkan mendengar akan kejahatan Beng-kauw baru ini, banyak orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang datang untuk menentang. Namun mereka semua menjadi korban dalam perjuangan mereka menentang kejahatan ini.

Selain Hoat Bhok Lama amat sakti dan pembantu-pembantunya yang dia latih juga memiliki kepandaian tinggi, juga di sekitar sarang mereka telah dipasangi tempat-tempat yang berbahaya, jebakan-jebakan dan alat-alat rahasia yang mampu menghancurkan setiap penyerbu sebelum mereka dapat memasuki benteng.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali kembali tampak sebuah kereta diiringkan oleh anak buah Beng-kauw yang menyeleweng memasuki pintu gerbang benteng itu. Di dalam kereta terdapat tiga orang wanita muda yang menangis terisak-isak. Mereka adalah anggota rombongan pedagang yang baru saja dirampok. Semua harta dirampas, kaum pria yang berada di kereta dibunuh termasuk para pengawal, sedangkan tiga orang wanita muda yang cantik itu ditawan.

Mereka adalah tiga orang enci adik, yang dua orang telah menikah dan baru saja suami mereka tewas dalam pertempuran melawan perampok, ada pun yang termuda masih gadis berusia enam belas tahun. Biar pun kedua orang enci-nya telah menikah, namun karena usia mereka baru dua puluh tahun lebih dan cantik-cantik pula, maka mereka tidak dibunuh dan dijadikan tawanan.

Hoat Bhok Lama tercengang penuh kegirangan hati ketika melihat tiga orang wanita ini. Baru saja dua hari yang lalu ia menghadiahkan lima orang wanita haremnya dan ia haus akan wanita-wanita baru, maka kedatangan tiga orang wanita ini membuat pendeta Lama itu gembira sekali. Ia minum-minum sampai mabok kemudian sekaligus menyeret tiga orang tawanan itu yang meronta-ronta dan menangis, memasuki kamarnya.

Terdengarlah jerit tangis tiga orang wanita itu yang terdengar sampai keluar kamar dan ditertawai anak buah Beng-kauw. Sudah terlalu sering terdengar rintih tangis dari dalam kamar yang merupakan kamar jagal di mana wanita-wanita muda seperti domba-domba yang disembelih tanpa ada yang membela mereka. Di antara rintih tangis ini terdengar suara ketawa Hoat Bhok Lama yang menyeramkan.

“Tok-tok-tok! Suhu...!” terdengar ketukan di pintu kamar itu.

“Setan! Siapa yang sudah bosan hidup berani menggangguku?” Hoat Bhok Lama membentak marah dari dalam kamar.

“Teecu hendak melapor, ada musuh datang!” Wanita muda yang kini berlutut di luar pintu kamar berkata.

“Heh, keparat!” Hoat Bhok Lama meloncat, menyambar pakaian dan membuka daun pintu. Tangannya terkepal, siap memukul wanita muda yang menjadi muridnya, juga merangkap selirnya tentu saja karena muridnya ini cantik.

“Maaf, Suhu. Kalau tidak penting, teecu mana berani mengganggu kesenangan Suhu? Penjaga melapor bahwa dua orang kakak beradik she Kam itu naik lagi ke bukit. Apa yang harus kami lakukan?”

“Apa? Dua orang keturunan Beng-kauw itu? Bagus, sekali ini dua keturunan terakhir itu harus dibasmi agar tidak selalu menimbulkan kekacauan. Eh, kau jaga mereka bertiga itu, suruh mereka makan dan membersihkan diri dan jangan sampai mereka membunuh diri, aku masih belum selesai dengan mereka!” Setelah selesai berkata demikian, tergesa-gesa Hoat Bhok Lama meninggalkan kamar tanpa menengok lagi. Si Murid memasuki kamar dan melihat betapa tiga orang wanita muda itu saling peluk di atas ranjang sambil menangis mengguguk.

Hoat Bhok Lama berlari menaiki anak tangga menuju ke atas tembok di mana terdapat gardu penjaga. Para pembantunya sudah menanti dan memberi hormat.

“Di mana mereka? Dan berapa orang yang datang?”

“Hanya mereka berdua, Kauwcu (Ketua Agama),” jawab seorang pembantunya. “Enci adik Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui yang dulu juga.”

“Hemm, mereka benar-benar sudah bosan hidup. Kalau saja masih muda, hemm, ada gunanya, akan tetapi biar pun cantik, mereka sudah terlalu tua. Kita bunuh saja mereka.”

“Wah, sayang, Kauwcu. Mereka cantik-cantik sekali dan sebagai keturunan Beng-kauw yang masih ada hubungan darah dengan Suling Emas, tentu mereka hebat. Aihh, bagaimana kalau mereka itu diberikan kepada kami saja?”

“Boleh, akan tetapi selanjutnya harus dibunuh. Sebelum dibunuh, boleh kalian permainkan mereka sepuasnya. Kalau tidak dibunuh, mereka tentu akan selalu membikin kacau. Di mana mereka?”

“Mereka mendaki dari lereng sebelah utara.”

“Sekali ini aku tidak ingin mengorbankan anak buah. Mereka cukup lihai dan sekarang aku sendiri akan keluar menangkap mereka.” Tanpa menanti jawaban karena maklum bahwa ucapannya merupakan perintah yang tidak boleh dibantah, kakek berjubah merah ini lalu melompat turun seperti seekor burung berbulu merah yang besar dan dengan kaki ringan sekali dia turun ke atas tanah di luar tembok.

Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendaki lereng Pegunungan Heng-tuan dari utara dan tidak tahu bahwa pihak musuh telah tahu akan kedatangan mereka. Andai kata mereka tahu pun mereka tidak peduli dan tidak takut karena mereka telah bertekad bulat untuk mengadu nyawa dengan pimpinan Beng-kauw yang menyeleweng itu. Mereka telah gagal mohon bantuan Siauw-lim-pai dan sebelum mengambil keputusan terakhir mengadu nyawa di Heng-tuan-san, mereka telah mencari bantuan namun hasilnya kosong.

Para orang-orang gagah sudah mendengar akan kesaktian Hoat Bhok Lama, mereka menjadi gentar dan tidak berani membantu. Partai-partai besar yang mengkhawatirkan kedudukan mereka segan untuk memusuhi Beng-kauw yang amat kuat itu. Dengan kecewa dan penasaran akhirnya kedua orang enci adik itu mengambil keputusan terakhir, yaitu maju sendiri tanpa bantuan, mengadu nyawa dengan Ketua Beng-kauw yang sakti untuk membalas dendam kematian suami dan saudara-saudara mereka, dan untuk merampas kembali Beng-kauw.

Mereka telah mempersiapkan diri dengan tekad bulat mempertaruhkan nyawa dan mempersenjatai diri dengan lengkap. Sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang cambuk di tangan kiri. Pecut di tangan mereka yang berwarna hitam itu bukanlah senjata sembarangan, tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangan mereka.

Pecut itu dahulunya adalah senjata dari paman kakek, juga guru mereka, Kauw Bian Cinjin. Pecut itu terbuat dari pintalan rambut monyet hitam raksasa yang hanya terdapat di Pegunungan Himalaya dan senjata ini mengeluarkan pengaruh mukjizat dan hawa panas. Pecut ini dahulu hanya sebuah, kemudian oleh Kauw Bian Cinjin dijadikan dua dan menjadi dua buah pecut kecil sebagai senjata kedua orang cucu keponakan, juga muridnya.

“Moi-moi, hati-hati, kita sudah mendekati benteng. Kita belum pernah menyerbu dari utara akan tetapi aku menduga bahwa di bagian ini pun tentu banyak terdapat jebakan-jebakan dan alat rahasia. Siapkan senjatamu dan jangan sembrono melangkahkan kaki.”

“Baik, Cici,” jawab Siang Hui dan dia berjalan di belakang cicinya karena Siang Kui lebih berpengalaman di samping lebih tinggi tingkat ilmunya.

Mereka berhenti di tepi padang rumput yang membentang luas di antara mereka dan tembok benteng. Di kanan kiri mereka terdapat gunung-gunung batu karang.

“Hemm, begini sunyinya dan tenang. Amat mencurigakan!” kata Siang Hui.

“Benar, kita harus menyelidiki dulu, baru boleh melintasi padang rumput ini. Siapa tahu di bawahnya tersembunyi jebakan.” Berkata demikian, Siang Kui mengambil sepotong batu untuk dilemparkan ke arah rumput yang hijau segar di sebelah depan.

“Trakk!” Batu itu hancur berkeping-keping disambar sinar merah dari samping dan kepingannya jatuh ke atas rumput tanpa menimbulkan reaksi apa-apa.

Dua orang wanita perkasa itu cepat menengok ke kiri dan mereka memandang dengan muka merah dan mata terbelalak penuh kemarahan kepada seorang kakek yang sudah berdiri di situ sambil tertawa bergelak. Hoat Bhok Lama, musuh besar yang mereka cari-cari, pembunuh Kauw Bian Cinjin, suami mereka dan para tokoh Beng-kauw yang lain! Inilah orang yang telah merampas nama Beng-kauw, menghancurkan Beng-kauw asli yang didirikan oleh kakek mereka, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan dan kini mengangkat diri menjadi Ketua Beng-kauw, membawa anak buah Beng-kauw menyeleweng ke arah jalan sesat!

“Ha-ha-ha, kalian berdua perempuan keras kepala, sudah berkali-kali kami beri ampun mengingat bahwa keturunan pendiri Beng-kauw hanya tinggal kalian berdua, mengapa masih belum bertobat dan datang mengantar nyawa? Bukankah lebih baik kalian yang menjadi janda, masih cantik, mencari suami-suami baru sebelum terlambat sehingga memiliki keturunan untuk menyambung keluarga?”

“Hoat Bhok Lama, engkau penjahat besar yang berkedok pendeta, manusia terkutuk yang berselimut jubah merah Lama, keparat busuk yang bersembunyi di balik nama pendeta! Hari ini kami akan mengadu nyawa denganmu untuk membersihkan nama Beng-kauw dan membalas kematian tokoh-tokoh Beng-kauw!” Setelah mencaci marah, tubuh Kam Siang Kui bergerak cepat berubah menjadi bayangan hijau, pedangnya menusuk ke arah perut lawan.

“Crengggg...!” Siang Kui terhuyung ke belakang, tangan yang memegang pedang tergetar hebat.

Hoat Bhok Lama tertawa bergelak, sepasang gembreng yang tahu-tahu telah berada di kedua tangannya dan tadi dipergunakan menangkis pedang itu berkilauan menyilaukan mata dan bunyi gembreng membuat telinga kedua orang wanita kakak beradik itu seperti tuli. Akan tetapi Siang Hui telah menggerakkan pecut hitam di tangannya.

“Tar-tar...!” Ujung cambuk hitam ini menyambar ke arah kepala Hoat Bhok Lama yang menjadi kaget juga karena ia mengenal cambuk bulu kera yang ampuh ini. Cepat ia melempar tubuh ke belakang, kemudian berjungkir-balik dan tubuhnya meluncur ke depan, gembreng di tangan kiri menghantam ke arah kepala Siang Hui.

“Cringgg...!” Seperti juga enci-nya, ketika pedangnya menangkis gembreng kuning itu, tubuhnya terhuyung dan tangan kanannya tergetar.

“Ha-ha-ha! Aku akan menangkap kalian hidup-hidup! Ha-ha!” Hoat Bhok Lama kini menerjang maju, sepasang gembrengnya berubah menjadi gulungan sinar kuning yang lebar, menyambar-nyambar seperti dua bola api.

“Sing-sing-sing, crenggg...!” Sepasang gembreng itu menyambar-nyambar dengan suara berdesing dan kadang-kadang diseling bunyi berdencreng kalau sepasang senjata aneh itu saling bertemu sendiri atau beradu dengan pedang lawan. Hebat bukan main sepasang senjata ini.

Dahulu, seorang di antara datuk kaum sesat yang bernama Thai-lek Kauw-ong merupakan orang yang amat sakti sehingga hanya pendekar-pendekar sakti seperti Suling Emas saja yang sanggup menandinginya, di samping tokoh-tokoh atau datuk-datuk kaum sesat lain seperti mendiang Bu-tek Siu-lam, Jin-cam Khoa-ong, Siauw-bin Lo-mo dan Kam Sian Eng, bibi kedua orang wanita ini yang telah mewarisi ilmu-ilmu aneh dari Liu Lu Sian, puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan pendiri Beng-kauw. Dan Hoat Bhok Lama adalah keturunan langsung yang mewarisi ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong.

Di samping senjata sepasang gembreng yang amat ampuh, bukan saja dapat dimainkan dengan dahsyat akan tetapi dapat pula mengeluarkan getaran suara yang menulikan telinga dan menggetarkan jantung, namun di samping ini dia memiliki Ilmu Silat Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin Puyuh) dan pukulan Thai-lek-kang yang mengandung sinkang amat kuat.

“Wuuut-wuuut-wuuut, tar-tar-tar!”

Kedua orang wanita Beng-kauw itu terpaksa menjaga diri dengan cambuk hitam mereka yang diputar cepat, berubah menjadi segulung sinar hitam yang membentuk benteng sinar kuat menyelimuti tubuh mereka, sedangkan dari dalam gulungan sinar hitam itu pedang mereka kadang-kadang meluncur ke depan secara tiba-tiba untuk membalas serangan lawan.

Sebetulnya, tingkat kepandaian kedua orang wanita perkasa itu masih jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian Hoat Bhok Lama, dan kalau kakek ini menghendaki, tentu saja dia dapat mengeluarkan ilmunya yang tinggi untuk merobohkan dan membunuh mereka dalam waktu yang tidak terlalu lama. Akan tetapi kedua orang wanita itu bertanding mati-matian, bermaksud mengadu nyawa dan rela mati asal dapat membunuh kakek itu. Hal ini membuat mereka seolah-olah berubah menjadi dua ekor naga betina yang ganas.

Di samping ini, Hoat Bhok Lama juga ingin menangkap kedua lawannya hidup-hidup seperti yang ia janjikan kepada para pembantunya. Dua orang wanita ini telah banyak membikin pusing kepalanya, maka akan terlalu enak bagi mereka kalau dibunuh begitu saja. Kalau dia menawan mereka hidup-hidup, dia akan memperoleh dua keuntungan. Pertama, ia dapat menyiksa musuh-musuh ini dan kedua ia akan dapat menyenangkan hati pembantu-pembantu dan anak buahnya. Bagi dia sendiri, biar pun mata keranjang dan harus diakui bahwa kedua orang janda ini masih amat menarik, namun sudah terlalu tua dan dia dapat memperoleh gadis-gadis muda setiap saat yang dikehendakinya!

Karena itulah maka pertandingan itu berlangsung lama dan amat hebat. Siang Kui dan Siang Hui maklum bahwa memang mereka datang mengantar nyawa. Mereka tahu bahwa lawan jauh lebih pandai dari mereka, karena itu mereka tadinya berusaha minta bantuan Ketua Siauw-lim-pai untuk membantu mereka. Namun semua usaha mereka gagal dan kini mereka datang dengan tekad bulat untuk membunuh lawan atau mengorbankan nyawa terbunuh olehnya!

“Cuit-cuit-tar-tar-tar!” Dua batang cambuk yang bergulung-gulung itu menyambar empat kali ke arah empat jalan darah di tubuh Hoat Bhok Lama, disusul tusukan dua batang pedang dari kanan kiri.

“Aihhhh!” Hoat Bhok Lama terkejut sekali.

Sepasang gembrengnya bergerak melindungi tubuhnya sehingga terdengarlah suara nyaring yang membuat dua orang wanita itu menjerit karena telinga mereka seperti ditusuk jarum dan jantung mereka tergetar, membuat mereka terhuyung ke belakang. Namun sebatang ujung cambuk di tangan Siang Kui masih berhasil melecut dan menotok leher kanan Hoat Bhok Lama, mendatangkan rasa nyeri bukan main. Kalau lain orang yang terkena totokan ini tentu akan roboh, setidaknya menjadi lumpuh lengan kanannya.

Namun sinkang kakek ini kuat sekali dan ia hanya merasa lehernya ngilu dan matanya berkunang. Bangkitlah kemarahan kakek ini dan ia mengeluarkan teriakan keras seperti seekor singa terluka, sepasang gembrengnya digerakkan cepat sekali dan tubuhnya berpusing seperti gasing!

Siang Kui dan Siang Hui terkejut bukan main. Pusingan tubuh kakek itu mengeluarkan angin seperti angin puyuh, membuat pasangan kuda-kuda kaki mereka berdua tidak dapat tetap. Itulah Soan-hong Sin-ciang yang biasanya dilakukan dengan tangan kosong, akan tetapi kini lebih berbahaya lagi karena yang menyambar-nyambar dari bayangan yang berpusingan itu adalah sepasang gembreng!

Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui melakukan perlawanan mati-matian, mengimbangi cengkeraman-cengkeraman maut yang berupa sepasang gembreng itu dengan serangan-serangan mereka yang tidak kalah dahsyatnya. Akan tetapi yang membuat keduanya merasa pening dan bingung adalah tubuh lawan yang berpusing ditambah suara gembreng beradu yang selain menulikan telinga juga menggetarkan jantung mereka.

Untuk memusatkan sinkang menghadapi lawan yang lihai ini, kedua orang kakak beradik itu memejamkan mata dan hanya mengandalkan pendengaran mereka yang sudah kacau oleh suara gembreng.

“Cuit-cuittt...!” Dua orang wanita itu secepat kilat telah menyerang dengan cambuk mereka ketika Hoat Bhok Lama secara tiba-tiba menghentikan pusingan tubuhnya hanya untuk sejenak saja.

“Cret-crett!” ujung cambuk bertemu sepasang gembreng, melekat dan melibat tak dapat ditarik kembali.

Terdengar kakek itu terkekeh dan tiba-tiba ia melepaskan kedua gembrengnya, tubuhnya berjongkok dan ia memukul dengan kedua tangan terbuka dari bawah ke arah perut kedua orang lawannya. Inilah pukulan Thai-lek-kang yang jaman dahulu membuat Thai-lek Kauw-ong menjadi seorang di antara datuk-datuk golongan hitam!

“Siuuut! Siuuutt!” dua sinar kecil hitam menyambar ke arah kedua pelipis Hoat Bhok Lama dari kanan kiri.

Kakek ini terkejut sekali, terpaksa menarik kembali kedua tangannya dan tubuhnya ke belakang sehingga sambaran benda-benda itu lewat yang ternyata hanyalah dua buah batu kecil yang dilepas dengan tenaga dahsyat. Kakek ini meloncat ke atas, mencengkeram ke arah kepala dua orang wanita yang sudah terkena pukulan Thai-lek-kang sehingga terhuyung ke belakang. Ketika mereka membuang diri ke belakang, cepat Hoat Bhok Lama sudah merampas kembali sepasang gembrengnya yang tadi terbelit oleh ujung kedua batang cambuk.

Ketua Beng-kauw itu menoleh ke kanan kiri dan melihat munculnya dua orang laki-laki muda. Yang muncul dari sebelah kirinya adalah seorang pemuda tampan sekali, dengan pakaian mewah indah dan di punggungnya tampak gagang pedang beronce merah, sikapnya gagah dan sepasang matanya bersinar tajam. Yang muncul dari kanan adalah seorang pemuda yang pakaiannya sederhana, memegang tongkat dan kedua kakinya telanjang.

Ia maklum bahwa dua orang yang dapat melempar sebuah batu kerikil dengan tenaga lontaran seperti itu tentu memiliki tenaga besar dan kepandaian tinggi. Kalau tadi dia maju sendiri untuk menghadapi dua orang kakak beradik itu adalah karena dia sudah yakin akan dapat memenangkan pertandingan melawan mereka. Akan tetapi kini munculnya dua orang muda yang lihai membuat dia ragu-ragu untuk mengandalkan kepandaian sendiri, maka kakek itu tertawa aneh dan tubuhnya sudah melompat ke belakang, ke arah padang rumput.

“Manusia terkutuk, hendak lari ke mana kau?” Siang Kui berseru dan meloncat pula mengejar, diikuti oleh Siang Hui.

“Kedua bibi jangan kejar dia!” Laki-laki tampan yang bukan lain adalah Suma Hoat si Jai-hwa-sian berteriak memberi peringatan.

Kalau saja yang muncul bukan Suma Hoat tentu enci adik Kam itu akan menurut, akan tetapi munculnya keponakan yang dianggap sebagai seorang manusia cabul dan jahat, membuat hati mereka marah. Apa lagi Siang Kui yang cerdik tidak mau melakukan hal yang lengah atau sembrono, mengejar begitu saja. Dia sudah curiga bahwa padang rumput itu mengandung jebakan, maka dia pun meloncat ke arah bekas kaki Hoat Bhok Lama menginjak. Dan benar saja, ketika tubuhnya turun, dia menginjak tempat yang keras.

“Moi-moi, ikuti jejak kakiku!” Dia berteriak kepada adiknya tanpa menoleh karena dia harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk melihat dan mengingat bekas injakan kaki orang yang dikejarnya.

Tiga kali dia meloncat mengikuti Hoat Bhok Lama dan dia sudah berada di tengah padang rumput, di belakang Hoat Bhok Lama, sedangkan Siang Hui juga sudah menyusul dan berada di belakang enci-nya ketika tiba-tiba Hoat Bhok Lama tertawa bergelak dan tubuh Siang Kui bersama adiknya yang menginjak tepat di bekas kaki pendeta itu terjeblos dan roboh terguling ke dalam air!

Ternyata bahwa rumput hijau itu tumbuh di atas air yang tertutup tanah tipis. Tempat berpijak kaki Hoat Bhok Lama memang tepat di atas balok-balok yang dipasang dan disembunyikan di bawah rumput, akan tetapi balok-balok ini dipasangi kawat sehingga dapat diatur oleh anak buahnya yang bersembunyi sehingga ketika ia memberi isyarat, anak buahnya menggerakkan balok-balok itu sehingga tentu saja kaki Siang Kui dan Siang Hui tergelincir dan terjatuhlah mereka ke dalam air.

Air itu ternyata cukup dalam karena tempat ini sesungguhnya merupakan telaga kecil yang oleh Hoat Bhok Lama diatur menjadi padang rumput sebagai jebakan. Dua orang wanita ini boleh jadi amat perkasa kalau mereka di darat, akan tetapi mereka tidak berdaya dan menjadi gelagapan setelah tercebur ke dalam air. Empat orang anak buah Hoat Bhok Lama yang bertugas menjaga tempat ini segera muncul dari bawah rumput di mana mereka bersembunyi, lalu mereka berenang menghampiri Siang Kui dan Siang Hui.

Mereka adalah ahli-ahli renang yang pandai, maka mereka dengan mudah dapat menarik kaki kedua orang wanita itu dari bawah dan dalam pergulatan ini kedua orang wanita perkasa itu kehilangan senjata pedang dan cambuk mereka, akan tetapi mereka berhasil membunuh dua orang pengeroyok. Biar pun demikian, mereka tidak mampu melepaskan pegangan tangan dua orang pada kaki mereka yang menarik mereka ke bawah sehingga terpaksa mereka gelagapan minum air telaga yang kotor!

“Cepat, kita harus menolong mereka!” teriak Im-yang Seng-cu yang tadi muncul bersama Suma Hoat.

Orang aneh bertelanjang kaki ini sudah melontarkan tongkatnya. Tubuhnya menyusul melayang seperti seekor burung terbang dan kakinya hinggap di atas tongkatnya yang melintang dan mengambang di atas rumput dekat tempat kedua orang wanita itu tenggelam. Juga Suma Hoat sudah melontarkan sepotong kayu yang didapatnya di situ, meniru perbuatan kawannya melompat.

Sekali menggerakkan tangan mereka sudah berhasil membunuh dua orang yang berusaha menenggelamkan dua orang wanita itu, kemudian mereka menarik tangan Siang Hui dan Siang Kui. Namun tubuh dua orang terlalu berat untuk dapat ditahan oleh hanya sebatang tongkat dan kayu, maka sambil menarik, mereka terus melontarkan tubuh Siang Kui dan Siang Hui ke depan, ke arah tepi di seberang yang lebih dekat.

Siang Kui dan Siang Hui yang sudah kehilangan senjata meluncur ke depan dan mereka berjungkir-balik di udara untuk menambah tenaga luncuran sehingga mereka dapat turun ke tepi seberang padang rumput dengan selamat. Dengan kemarahan meluap-luap mereka tidak sempat berterima kasih kepada keponakan mereka yang tadinya mereka benci itu, melainkan terus mengejar bayangan Hoat Bhok Lama yang berlari ke depan sambil tertawa-tawa. Kakek itu lari mendekati sebuah gunung batu karang di sebelah depan.

Melihat kenekatan kedua orang bibinya, Suma Hoat menjadi khawatir sekali. Dia dan Im-yang Seng-cu baru saja tiba di tempat itu dan hampir mereka terlambat menolong Siang Kui dan Siang Hui.

“Monyet tua itu lihai dan licik sekali, kita harus membantu bibimu!” Im-yang Seng-cu berkata, “Aku harus membawa senjataku, lontarkan aku ke sana!”

Suma Hoat mengangguk, lalu ia memegang lengan kawannya dan mengerahkan sinkang melemparkan tubuh kawan itu ke seberang depan. Im-yang Seng-cu menjepit tongkatnya dengan jari kaki yang telanjang dan dia pun mengerahkan ginkang-nya untuk membantu tenaga lontaran Suma Hoat. Pemuda tampan ini sampai amblas kedua kakinya yang menginjak kayu ketika melontarkan tubuh kawannya, kemudian ia menggunakan kayu itu sebagai perahu untuk menyusup di antara rumput hijau menuju ke seberang.

Hoat Bhok Lama tadinya tertawa-tawa menanti dua orang wanita yang sudah tidak memegang senjata. Dia merasa yakin kini akan dapat menawan mereka. Akan tetapi ketika ia melihat dua orang laki-laki muda yang lihai itu juga mengejar, cepat kakek ini mengeluarkan suara melengking panjang untuk memberi isyarat kepada anak buahnya. Pada saat Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat tiba di seberang padang rumput atau telaga yang tertutup rumput itu, dari atas puncak gunung karang tampak datang banyak orang anak buah Beng-kauw yang menjadi kaki tangan Hoat Bhok Lama.

Melihat ini Suma Hoat berteriak, “Harap Bibi berdua hadapi tikus-tikus dari atas itu. Serahkan monyet tua ini kepada kami!”

Sekali ini Siang Kui dan Siang Hui tidak membantah. Diam-diam mereka merasa berbesar hati bahwa keponakan mereka itu agaknya telah insyaf dan kini datang bersama seorang bertelanjang kaki yang kelihatan juga lihai sekali untuk membantu mereka menghadapi pendeta Lama yang menyelewengkan Beng-kauw. Mereka juga tahu diri, maklum bahwa mereka tidak akan mampu menandingi Hoat Bhok Lama, apa lagi setelah mereka kehilangan senjata mereka. Maka mereka hanya mengangguk dengan pandang mata bersyukur, kemudian mereka lari naik menyambut rombongan anak buah Hoat Bhok Lama.

Dengan beberapa kali loncatan Suma Hoat dan Im-yang Seng-cu sudah berhadapan dengan Hoat Bhok Lama yang sudah menanti dengan sepasang gembreng di tangan dan sepasang mata yang memandang ringan. Mulutnya menyeringai menyambut dua orang muda itu dengan ucapan memuji, “Wah, kepandaian kalian boleh juga! Siapakah kalian orang-orang muda yang berani menentang Ketua Beng-kauw?”

Suma Hoat tidak mau menjawab dan sudah akan menerjang maju, akan tetapi Im-yang Seng-cu tertawa menjawab, “Anak buah Beng-kauw yang kau pimpin adalah penyeleweng-penyeleweng dan engkau adalah seorang ketua palsu, Hoat Bhok Lama! Karena itu hari ini aku, Im-yang Seng-cu dan sahabat kentalku ini, Jai-hwa-sian sengaja datang untuk melenyapkan yang palsu membangun yang asli. Bagaimana?”

Hoat Bhok Lama menjadi merah mukanya dan alisnya berkerut. “Hemmm, seingatku nama julukan Jai-hwa-san dimiliki seorang yang rendah hati menggolongkan diri sebagai kaum sesat dan hitam, juga Im-yang Seng-cu kabarnya adalah seorang pelarian yang murtad dari Hoa-san-pai, jadi juga tidak tergolong kaum bersih. Mengapa kini berlagak seperti orang-orang bersih yang sombong dan hendak menentang golongan sendiri? Sebaiknya Ji-wi membantu kami dan Ji-wi akan menikmati hidup ini. Apa lagi Jai-hwa-sian, ingin mendapatkan gadis yang betapa cantik pun tidak usah repot-repot mencari sendiri. Bagaimana?”

Mereka saling pandang, kemudian Im-yang Seng-cu tertawa, “Ha-ha-ha-ha! Usulmu memang adil dan baik sekali. Kami bukan hendak mengaku-aku orang baik-baik dan orang suci! Memang kami akui bahwa Jai-hwa-sian dan Im-yang Seng-cu bukan manusia suci, namun kami tidak pernah menyembunyikan diri di balik jubah pendeta merah dan di bawah kepala gundul! Di antara kami dengan engkau jelas terdapat perbedaan yang mencolok, Hoat Bhok Lama. Kami kotor akan tetapi tidaklah palsu seperti engkau! Kalau sekarang engkau suka berlutut minta ampun kepada dua orang keturunan Beng-kauw asli itu dan menyerahkan kembali anak buahmu yang sudah kau bawa menyeleweng, kemudian kau membiarkan aku mengetuk kepalamu yang gundul sampai benjol-benjol, kemudian kau membiarkan rambut kepalamu tumbuh dan mengganti baju pendetamu, nah, kalau begitu mungkin kami mau mengampunkan engkau!”

“Manusia sombong! Makanlah gembrengku seorang satu!” bentak Hoat Bhok Lama yang menjadi marah sekali dan menyerang ke depan, kedua gembrengnya sebelum menyerang saling beradu sehingga terdengar suara yang menggetarkan jantung menulikan telinga, kemudian tampak sinar kuning menyambar ke arah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat.

“Cringgg! Tranggg!” Pedang di tangan Suma Hoat dan tongkat di tangan Im-yang Seng-cu menangkis.

Dua orang muda perkasa itu terdorong mundur, tanda bahwa tenaga sinkang kakek itu benar-benar amat hebat, mereka terkejut dan balas menyerang, maka terjadilah pertandingan yang amat seru dan dalam sekejap mata saja lenyaplah bayangan mereka bertiga, terbungkus oleh sinar senjata masing-masing. Dua gulungan sinar kuning dari sepasang gembreng Hoat Bhok Lama saling belit dengan sinar putih pedang Suma Hoat dan sinar hijau tongkat Im-yang Seng-cu!

Hoat Bhok Lama adalah keturunan langsung dari Thai-lek Kauw-ong yang mempunyai dua orang murid. Murid kedua adalah Pat-jiu Sin-kauw yang pernah bentrok dengan dua orang muda itu ketika mereka menyerbu tempat Coa-bengcu, ketua perkumpulan hitam di pantai Po-hai dahulu. Namun dibandingkan dengan Hoat Bhok Lama kepandaian Pat-jiu Sin-kauw masih terlalu rendah karena murid pertama ini benar-benar telah mewarisi kepandaian Thai-lek Kauw-ong yang hebat.

Setelah kini bertanding mati-matian, tahulah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat bahwa tingkat mereka masih kalah oleh Ketua Beng-kauw palsu ini, maka mereka mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaian mereka untuk mengimbangi gerakan sepasang gembreng yang benar-benar dahsyat sekali itu.

Andai kata mereka berdua itu maju satu lawan satu, pasti mereka akan kalah. Akan tetapi karena mereka itu maju berdua dan di antara mereka terdapat kecocokan hati dan perasaan persahabatan yang mendalam sehingga gerakan mereka pun dapat saling melindungi, repot juga bagi Hoat Bhok Lama untuk dapat mendesak kedua orang pengeroyoknya yang jauh lebih muda. Apa lagi selama ini Hoat Bhok Lama terlalu banyak membuang tenaga untuk bersenang-senang dengan wanita-wanita muda yang menjadi tawanannya sehingga tenaga sinkang-nya banyak berkurang, juga daya tahan dan napasnya.

Untung baginya bahwa Suma Hoat tidak dapat mencurahkan seluruh perhatiannya dalam pertandingan itu karena pemuda perkasa ini membagi perhatiannya kepada kedua orang bibinya yang sudah bertempur dikeroyok banyak orang anak buah Beng-kauw yang menyeleweng. Pertandingan di dekat puncak gunung karang itu lebih seru lagi. Dua puluh orang lebih pembantu-pembantu Hoat Bhok Lama yang memegang bermacam senjata mengeroyok Siang Kui dan Siang Hui yang mengamuk seperti dua ekor singa betina yang marah.

Biar pun tingkat kepandaian para pembantu ketua palsu itu tidak setinggi tingkat mereka, namun mereka berdua bertangan kosong dan mereka dikeroyok dan dikepung ketat. Siang Kui dan Siang Hui mengamuk, merobohkan enam orang, namun muncul pula beberapa orang lagi sehingga para pengeroyoknya tetap berjumlah dua puluh orang lebih.

Sambil memutar pedang melindungi tubuh dari sambaran sinar kuning yang bergulung-gulung, Suma Hoat sering kali melirik ke atas. Dia melihat betapa kedua orang bibinya mengamuk dan kini para pengeroyok itu makin mundur menuju ke puncak gunung karang dikejar oleh kedua bibinya. Ia merasa tidak enak sekali, mengingat betapa licik mereka ini dan betapa berbahayanya tempat yang penuh jebakan itu.

“Bibi berdua, harap jangan mengejar mereka...!” Ia berteriak.

Akan tetapi teriakannya itu sia-sia belaka. Siang Kui dan Siang Hui yang sudah berhasil merobohkan banyak musuh dan kini melihat anak buah Beng-kauw palsu itu mundur, tentu saja tidak mau melepaskan mereka dan berniat untuk membasmi sampai ke akar-akarnya. Apa lagi karena mereka kini memperoleh kesempatan baik sekali selagi Hoat Bhok Lama yang amat lihai itu sibuk menghadapi pengeroyokan dua orang muda perkasa. Enci adik ini mengejar terus dan merobohkan banyak anak buah musuh yang melarikan diri ke puncak gunung karang.

Ketika sisa anak buah Beng-kauw itu tiba di bawah puncak, tiba-tiba mereka lenyap seperti ditelan jurang. Dua orang wanita perkasa itu melompat jauh dan setibanya di bawah puncak mereka memandang ke kanan kiri, mencari-cari.

“Bibi... awaaasss...!” Masih terdengar teriakan Suma Hoat jauh di bawah dan tiba-tiba tanah batu yang mereka injak tergetar hebat! Siang Kui dan Siang Hui terkejut sekali. Getaran makin menghebat disertai suara bergemuruh seolah-olah gunung itu akan meletus!

“Moi-moi, turun...!” Siang Kui berseru keras.

Hampir berbareng mereka membalik dan hendak meloncat turun melalui jalan mereka mengejar naik tadi. Akan tetapi mata mereka terbelalak dan tubuh mereka berdiri kaku memandang ke depan. Batu-batu besar yang mereka lalui tadi kini telah merekah pecah membentuk jurang menganga lebar dan kini puncak gunung batu itu runtuh ke bawah! Mula-mula hanya batu-batu kecil lalu disusul batu-batu sebesar kerbau bahkan batu-batu sebesar rumah bergulingan ke bawah.

“Cici...!” Siang Hui menjerit. Mereka berusaha mengelak, akan tetapi mana mungkin menghindarkan diri dari hujan batu yang sedemikian banyaknya?

Suma Hoat dan Im-yang Seng-cu menyaksikan mala-petaka mengerikan itu. Suma Hoat menjadi nekat. Dengan gerengan seperti seekor singa dia menubruk maju, menerima gembreng kanan lawan dengan telapak tangan kiri sedangkan pedangnya membacok ke arah kepala yang ditangkis oleh Hoat Bhok Lama dengan gembreng kiri. Saat itu tongkat Im-yang Seng-cu bergerak dan memang inilah yang dihendaki Suma Hoat, yaitu membuat sepasang senjata lawan sibuk menghadapinya agar temannya dapat turun tangan.

“Desss!” Biar pun Hoat Bhok Lama dapat menyelamatkan kepala dan lehernya, namun tetap saja pundaknya kena hantaman tongkat Im-yang Seng-cu sehingga ia terlempar ke belakang dan terhuyung-huyung, akan tetapi Suma Hoat juga mengeluh dan roboh miring.

Hoat Bhok Lama tertawa bergelak, lalu berloncatan pergi menghilang. Im-yang Seng-cu tidak berani mengejar ketika melihat temannya terluka.

Dia berlutut dan bertanya, “Bagaimana?”

Suma Hoat menyeringai dan menarik napas panjang. Tangan kirinya, dari telapak tangan sampai ke siku berwarna biru karena tadi ketika ia menahan gembreng dia kalah tenaga sehingga hawa sinkang lawan yang mendesaknya membuat lengannya terluka dan kemasukan hawa beracun. Akan tetapi Suma Hoat tidak mempedulikan diri sendiri, matanya memandang ke arah puncak, kedua matanya berlinang air mata. Dengan nekat ia kemudian meloncat bangun dan berlari mendaki pundak yang kini sudah tidak berguncang lagi. Batu-batu dari puncak telah menutup tempat di mana Siang Kui dan Siang Hui berdiri, ribuan bongkah batu besar yang membentuk puncak baru.

“Bibi...” Bibi...!” Suma Hoat sudah menyarungkan pedangnya dan tanpa mempedulikan lengan kirinya yang sudah biru itu dia mulai membongkar batu-batu besar seperti kelakuan seorang gila.

“Sabar dan tenanglah, sahabatku. Bagaimana mungkin kita membongkar batu-batu sebanyak dan sebesar ini?” Im-yang Seng-cu menghibur, akan tetapi ia pun ikut membantu kawannya membongkar batu-batu. Suma Hoat tidak menjawab dan tidak mempedulikan kawannya, melainkan terus membongkar batu-batu itu sambil memanggil-manggil kedua orang bibinya.

“Bibi...” Tiba-tiba Suma Hoat melemparkan sebuah batu besar dan Im-yang Seng-cu juga memandang terbelalak ketika tampak pakaian orang di bawah batu itu. Suma Hoat mengulur tangan menangkap lengan orang itu.

“Bi...!” Akan tetapi ia berhenti memanggil dan meloncat ke belakang ketika melihat bahwa orang di bawah batu itu sama sekali bukan bibinya, bahkan kini tampak bergerak-gerak dan muncullah sebuah kepala seorang kakek tua, kepala yang botak dan amat besar, dengan mata melotot dan mulut tersenyum-senyum!

Melihat kakek yang kepalanya besar ini, Im-yang Seng-cu segera mengayun tongkatnya tepat mengenai kepala yang rambutnya jarang itu dengan keras sekali.

“Takkk!” Akan tetapi tongkatnya terpental dan Im-yang Seng-cu merasa betapa kedua telapak tangannya nyeri bukan main, seolah-olah bukan kepala orang yang dihantamnya tadi melainkan kepala terbuat dari baja murni.

Kakek itu mengejapkan matanya, kemudian tubuhnya digoyang dan dia terlepas dari himpitan batu-batu, meloncat bangun. Kiranya kakek ini bertubuh pendek cebol, tubuh seperti anak kecil akan tetapi kepalanya lebih besar dari pada kepala orang dewasa yang mana pun juga!

“Monyet, kau orangnya Hoat Bhok Lama, ya?” Tangannya terulur dan angin dorongan yang keras membuat Im-yang Seng-cu roboh terguling sungguh pun dia telah mengerahkan sinkang menahan.

Tentu saja Im-yang Seng-cu terkejut sekali dan cepat melompat bangun sambil melintangkan tongkat di depan dada siap bertanding.

“Jangan, Locianpwe! Dia sahabatku, malah memusuhi Hoat Bhok Lama!” Suma Hoat yang dapat mengerti bahwa kakek itu amat sakti segera berkata.

“Heh-heh-heh, kalau aku tidak tahu, apakah dia dapat bangun lagi? Ha-ha-ha, Hoat Bhok Lama benar kurang ajar. Kalau tidak ada kau orang muda yang membongkar batu, kiranya aku si tua bangka akan mampus.” Kakek yang bertubuh kecil dan berkepala besar itu tertawa bergelak sampai keluar air matanya!

Tiba-tiba Im-yang Seng-cu menghampiri kakek itu dan menjura penuh hormat sambil berkata, “Mohon Locianpwe mengampuni boanpwe yang seperti buta tidak mengenal Locianpwe Bu-tek Lo-jin.”

Mendengar disebutnya nama itu, Suma Hoat terkejut bukan main dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak. Di dalam perantauannya pernah ia mendengar akan nama orang-orang sakti seperti dewa yang oleh dunia kang-ouw dianggap telah lenyap dari dunia ramai, orang-orang seperti Bu Kek Siansu dan kedua adalah Bu-tek Lo-jin.

Teringatlah ia akan ciri-ciri orang aneh ini, bertubuh seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar. Pantas saja pukulan tongkat Im-yang Seng-cu yang amat dahsyat pada kepala kakek ini seperti tidak terasa tadi, kiranya kakek ini adalah orang yang memiliki kesaktian yang kabarnya seperti dewa itu! Maka ia pun cepat memberi hormat di depan kakek itu.

Kakek itu memang benar Bu-tek Lo-jin, seorang yang sudah amat tua usianya dan sudah puluhan tahun tidak pernah terdengar lagi muncul di dunia ramai. Di dalam cerita ‘Mutiara Hitam’ kakek yang sakti dan berwatak aneh ini muncul, bahkan menjadi guru pendekar Pek-kong-to Tang Hauw Lam, suami dari pendekar wanita Mutiara Hitam. Kakek Bu-tek Lo-jin ini pulalah yang mengunjungi Khitan dan mengadakan pelamaran atas diri Mutiara Hitam sebagai wali muridnya itu. Biar pun hanya beberapa bulan saja Tang Hauw Lam menerima petunjuk dari kakek ini, namun kakek itu telah menurunkan ilmu yang dahsyat-dahsyat dan membuat pendekar itu makin terkenal.

Setelah Tang Hauw Lam menikah dengan Mutiara Hitam, kakek yang aneh watak dan bentuk tubuhnya ini lalu menghilang dan tidak pernah terdengar lagi sepak terjangnya yang aneh-aneh. Karena itu dapat dibayangkan betapa keget dan heran hati Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat ketika tanpa disangka-sangka mereka bertemu dengan kakek sakti ini secara demikian luar biasa!

“Ha-ha-ho-ho-ho! Engkau sudah mengemplang kepalaku satu kali, akan tetapi engkau bermata tajam dapat mengenalku, berarti sudah lunas! Kulihat gerakanmu tadi seperti ilmu dari Hoa-san. Eh, bocah tak bersepatu seperti aku, siapakah sih engkau ini? Dan kau ini, bocah yang bertulang baik dan telah menyelamatkan aku dari himpitan batu-batu, kau siapa?”

Suma Hoat cepat menjawab, “Dia itu adalah sahabat saya yang terkenal dengan sebutan Im-yang Seng-cu, bekas tokoh Hoa-san-pai. Ada pun saya sendiri... saya bernama Suma Hoat...”

“Heh-heh-heh! Im-yang Seng-cu? Nama sebutan yang bagus. Dan kau she Suma? Hemm, kau berjodoh denganku. Eh, Suma Hoat, coba kau serang dengan seluruh kepandaian yang kau miliki!”

Tentu saja Suma Hoat terbelalak heran. Dia teringat akan kedua bibinya, maka dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu dan berkata, “Harap Locianpwe sudi memaafkan teecu. Sesungguhnya teecu ingin membongkar batu-batu ini untuk menolong kedua orang bibi teecu yang tertimbun batu.” Setelah berkata demikian, kembali Suma Hoat membongkar batu-batu itu.

“Hayaaaa...! Jadi mereka itu tadi bibi-bibimu? Percuma, siapa dapat menyelamatkan dua orang wanita yang terhimpit batu-batu begini banyak? Mereka telah tewas dan mengapa masih harus mengganggu jenazah mereka yang sudah baik-baik terkubur seperti ini? Jarang ada orang mati dapat dikubur sehebat ini! Apakah engkau bersusah payah membongkar batu-batu ini hanya untuk menyaksikan tubuh mereka yang tentu sudah hancur?”

“Bu-tek Locianpwe benar sekali, sahabatku. Dari pada membuang waktu membongkar batu yang tidak akan dapat menolong kedua orang bibimu, lebih baik kita mencari Hoat Bhok Lama dan membalas kematian kedua orang bibimu,” kata Im-yang Seng-cu.

Ucapan ini menyadarkan Suma Hoat. Dia meloncat bangun, pandang matanya beringas. “Kau betul! Mari kita kejar dia!”

“Heitt, nanti dulu!” Bu-tek Lo-jin berseru dan tampak bayangan berkelebat, tahu-tahu tubuhnya yang kecil sudah berdiri di depan Suma Hoat. “Aku tadi sudah merasakan gebukan tongkat Si Kaki Telanjang akan tetapi aku belum melihat kepandaianmu. Dengan kepandaian seperti yang dimiliki Si Kaki Telanjang, bagaimana mungkin melawan Si Gundul Jubah Merah? Apa lagi, setelah aku bebas, Si Gundul busuk itu dapat berlari ke manakah? Hayo Suma Hoat, kau seranglah aku!”

Suma Hoat kelihatan ragu-ragu, akan tetapi Im-yang Seng-cu cepat berkata, suaranya terdengar gembira, “Suma Hoat, mengapa kau begini bodoh dan tidak cepat-cepat mentaati perintah gurumu?”

Tentu saja Suma Hoat tidak bodoh, bahkan dia cerdik sekali. Kalau tadi dia kurang perhatian adalah karena hatinya berduka oleh kematian kedua bibinya dan marah kepada Hoat Bhok Lama. Kini ia teringat betapa besar untungnya kalau dia bisa menjadi murid orang sakti ini, maka biar pun lengan kirinya terasa nyeri, dia memasang kuda-kuda dan berkata, “Baik, teecu mentaati perintah Locianpwe. Teecu menyerang!” Tubuhnya sudah menerjang maju, kedua kakinya melakukan gerakan aneh dan ketika ia menggerakkan kedua tangannya, angin menyambar ke arah leher dan pusar kakek itu.

“Cuss! Cusss!”

“Heiiihhh! Dari mana engkau memperoleh ilmu setan ini?” Bu-tek Lo-jin berteriak sambil membelalakkan kedua matanya, mengelus-elus leher dan perut yang tadi tercium ujung jari tangan Suma Hoat.

Pemuda ini sendiri sudah terhuyung ke samping dengan kaget sekali. Ketika ia menotok tadi, jari tangannya seperti menotok air saja, bahkan tenaga sinkang-nya seperti terbanting membuat ia terpelanting ketika dari tubuh kakek itu timbul hawa mukjizat yang melawannya. Maklum betapa saktinya kakek aneh ini, Suma Hoat menjatuhkan diri berlutut. “Teecu mohon petunjuk.”

Bu-tek Lo-jin mengerutkan alisnya yang tebal putih. “Di dunia gila ini banyak sudah kulihat dan temui orang-orang gila yang memiliki kepandaian seperti setan. Biar pun mereka semua sekarang telah menjadi setan-setan, entah di neraka, entah di mana, akan tetapi mengenang kepandaian mereka, aku masih bergidik. Pak-kek Sin-ong dan Lam-kek Sin-ong memiliki ilmu kepandaian istimewa, tidak perlu bicara lagi tentang ilmu kepandaian Suling Emas dan keturunan-keturunannya. Dahulu, di empat penjuru dunia terdapat datuk-datuk golongan hitam yang seperti raja-raja kejahatan, mereka adalah Bu-tek Siu-lam dari barat, Thai-lek Kauw-ong dari timur, Jin-cam Khoa-ong dari utara, dan Siauw-bin Lo-mo dari selatan. Namun mereka semua itu masih tidak mampu menandingi kedahsyatan, kegilaan dan keseraman adik Suling Emas yang telah menjadi murid iblis-iblis sendiri, bernama Kam Sian Eng. Heh, orang muda, gerakan kakimu tadi bukankah dari Cap-sha Seng-keng, dan serangan tanganmu yang aneh tadi mirip Im-yang-tiam-hoat? Padahal dua ilmu itu dahulu milik Kam Sian Eng si wanita iblis!”

“Beliau adalah nenek teecu!” Suma Hoat berkata.

“Aihhhh! Pantas... pantas...!” Kakek yang sudah tua sekali itu berloncatan seperti seorang anak kecil. “Dia memang mempunyai seorang putera Suma Kiat yang licik dan jahat sekali, jadi dia...”

“Dia adalah ayah teecu!” Suma Hoat berkata cepat, suaranya keras karena ia merasa mengkal sekali, sungguh pun ia tidak dapat membantah akan kebenaran kata-kata kakek ini.

“Ha-ha-ha-ha! Besar sekali untungku! Pernah aku mengambil murid calon suami Mutiara Hitam, sekarang aku mengambil murid seorang keturunan keluarga Suling Emas, biar pun dari keluarga yang gila dan jahat. Eh Suma Hoat, di dalam dirimu engkau condong kepada yang jahat atau yang baik?”

“Tentu saja yang baik, Locianpwe!”

Im-yang Seng-cu mendengarkan percakapan itu penuh perhatian dan diam-diam ia merasa terharu mendengar pengakuan sahabatnya. Dia pun percaya bahwa sebetulnya sahabatnya yang berjuluk Jai-hwa-sian itu tidaklah memiliki dasar watak yang jahat, memiliki sebuah penyakit yang ditimbulkan oleh dendam kebencian terhadap wanita sehingga terciptalah dorongan nafsu birahi yang tidak wajar di samping kekejaman yang amat mengerikan terhadap kaum wanita.

Bu-tek Lo-jin memandang dengan matanya yang tua dan mulut yang tak bergigi lagi. “Heh-heh, kalau engkau mengerti yang baik, coba terangkan, apakah kebaikan itu?”

Tanpa ragu-ragu Suma Hoat menjawab, “Apa yang baik menurut perasaan hati teecu, itulah baik bagi teecu!”

Im-yang Seng-cu mengerutkan alisnya dan menganggap betapa piciknya jawaban sahabatnya itu. Akan tetapi Bu-tek Lo-jin tertawa bergelak sampai keluar air matanya. “Huah-ha-ha-hah, berbahaya sekali! Perasaan hati dapat dikuasai nafsu sehingga bukanlah hati yang murni yang akan diturut, melainkan nafsu. Akan tetapi, setidaknya engkau jujur, muridku. Mengaku apa adanya, tanpa ditutupi kepalsuan. Bagiku, masih lebih kuhargai seorang penjahat yang mengaku dirinya jahat dari pada seorang baik yang menyombongkan kebaikannya. Nah, mulai sekarang engkau menjadi muridku yang bungsu, murid terakhir sebelum aku lenyap ditelan maut. Engkau siap menerima warisan ilmu-ilmuku?”

“Teecu siap, Suhu.”

“Nah, kalau begitu, mari kau ikut aku pergi dari tempat ini!” Kakek aneh itu bangkit dan Suma Hoat juga bangkit berdiri.

“Heii, nanti dulu, Suma Hoat! Apakah kau lupa untuk membalaskan kematian kedua orang bibimu?” Im-yang Seng-cu menegur.

Suma Hoat memandang gurunya. “Suhu, teecu harus membunuh Hoat Bhok Lama dan membasmi Beng-kauw palsu yang mereka rampas dari tangan kedua bibi teecu yang telah tewas. Setelah itu baru teecu akan mengikuti Suhu!”

Bu-tek Lo-jin mengerutkan alisnya. “Mengapa kau hendak membunuhnya? Untuk membalas dendam kematian kedua bibimu?”

Suma Hoat yang cerdik itu ternyata sedikit banyak telah dapat menyelami dan mengenal watak gurunya yang amat aneh itu. Ia menggeleng kepala dan menjawab, “Sebagai murid, teecu harus mencontoh Suhu. Suhu sama sekali tidak mendendam kepada Hoat Bhok Lama padahal Suhu dicelakainya. Tidak, teecu bukan hendak membunuhnya karena dendam, melainkan karena teecu harus memberantas kejahatan yang dilakukan Hoat Bhok Lama dan anak buahnya. Teecu harus menolong dan melindungi orang-orang dari ancaman perbuatan jahat mereka.”

Kembali kakek itu tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha! Pikiran keruh, pendapat yang kacau-balau. Siapakah engkau ini yang dapat memberantas kejahatan yang dilakukan orang-orang? Siapakah engkau ini yang dapat menolong dan melindungi orang-orang? Khayalan kosong melompong! Akan tetapi selama ucapan dan perbuatanmu sejalan dengan isi hatimu, engkau jujur dan tulen. Hayolah, aku pun ingin sekali mengetuk satu kali kepala Hoat Bhok Lama yang botak, ha-ha-ha!”

Setelah berkata demikian, Bu-tek Lo-jin yang masih tertawa-tawa itu menyambar lengan Suma Hoat, meloncat dan sekali berkelebat tubuhnya dan tubuh murid barunya lenyap di balik tumpukan batu-batu yang longsor dari puncak tadi. Im-yang Seng-cu menarik napas panjang. Dia merasa senang sekali bahwa sahabatnya telah menjadi murid kakek aneh itu.

Dia tidak merasa iri hati, karena dia sendiri tidak mempunyai keinginan menjadi murid siapa pun juga, bahkan dia telah melepaskan diri dari ikatan Hoa-san-pai. Im-yang Seng-cu adalah seorang yang ingin bebas, tidak mau terikat oleh peraturan, tidak mau mencontoh guru yang sudah dicetak untuk murid, ingin hidup bebas lahir batin. Akan tetapi, di dalam hatinya terdapat rasa simpati yang besar terhadap Jai-hwa-sian Suma Hoat, perasaan yang timbul di luar kesadarannya. Dia merasa kasihan kepada Suma Hoat, maka kini merasa girang bahwa sahabatnya itu menjadi murid seorang pandai.

Dengan hati tegang Im-yang Seng-cu lalu meninggalkan tempat itu, menyusul guru dan murid itu yang ia tahu tentulah mencari Hoat Bhok Lama di sarangnya. Karena puncak gunung batu karang itu runtuh, perjalanan menuruni tempat itu sukar sekali. Terbentuk puncak-puncak tumpukan batu baru, dan goncangan tadi membuat banyak tanah batu merekah menjadi jurang-jurang yang amat curam...


BERSAMBUNG KE JILID 25


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.