Istana Pulau Es Jilid 20 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 20

MAYA menghampirinya dan menyerahkan pedang pusakanya. Yan Hwa menarik napas panjang, menerima dan menyimpan pedangnya dan berdiri dengan muka tunduk. “Maafkan aku, kini aku percaya sepenuhnya. Suheng dan aku bukanlah tandinganmu.”

Mendengar ucapan yang bernada kecewa itu Maya berkata, “Tidak perlu penasaran, Yan Hwa. Ketahuilah bahwa aku adalah penghuni Istana Pulau Es, pewaris ilmu Suhu Bu Kek Siansu.”

Terbelalak mata Yan Hwa memandang dan dalam pandang mata itu kini terkandung kekaguman dan sikap takluk. “Aahhhh, sungguh aku tidak tahu diri. Maya, biarlah mulai saat ini aku menjadi pembantumu.”

Maya tersenyum girang dan maju merangkul pundak Yan Hwa. Tiba-tiba mereka berdua menoleh ketika mendengar suara keluhan. Ketika memandang ke arah para perwira, mereka itu mengeluh dan menggosok-gosok mata mereka seolah-olah mata mereka sakit dan memang mata mereka terasa pedih dan gatal karena setelah pertandingan berhenti, mata mereka masih terus seperti melihat sinar kilat menyambar-nyambar menimbulkan rasa pedih dan nyeri.

Maya menghela napas, “Yan Hwa, hati-hatilah engkau menggunakan pedangmu. Pedangmu dan pedang Ji Kun adalah pusaka-pusaka yang ampuhnya menggila dan kalau kurang hati-hati atau salah mempergunakannya dapat menimbulkan mala-petaka hebat.”

Yan Hwa mengangguk dan dia lalu menceritakan riwayat kedua pusaka Sepasang Pedang Iblis itu. Mendengar penuturan ini, Maya bergidik ngeri dan diam-diam ia amat khawatir akan nasib Yan Hwa dan Ji Kun yang mewarisi sepasang pedang pusaka seperti itu. Namun karena maklum akan keangkuhan mereka, dia tidak mau berkata apa-apa, baik terhadap Yan Hwa mau pun terhadap Ji Kun kelak.



Para perwira dan prajurit menjadi makin kagum terhadap Maya, juga menjadi girang karena pasukan mereka bertambah seorang perwira wanita yang luar biasa lihainya sehingga tentu saja hal ini membesarkan hati karena berarti kuatnya pasukan mereka.

Pasukan Maut terus bergerak ke selatan dengan hati-hati karena mereka telah mendekati batas-batas daerah yang dikuasai oleh Kerajaan Sung dan Yucen. Ketika mendengar pelaporan dari para penyelidik bahwa di depan, kurang lebih tiga puluh li dari situ terdapat sebuah barisan besar yang belum diketahui barisan kerajaan mana, Maya lalu menghentikan pasukannya dan menugaskan kepada Ok Yan Hwa dan Cia Kim Seng untuk pergi melakukan penyelidikan.

Berangkatlah Cia Kim Seng si bekas penggembala dan Ok Yan Hwa menunggang kuda melakukan penyelidikan ke depan. “Cia-huciang, karena engkau lebih mengenal daerah ini, biarlah engkau yang menjadi penunjuk jalan, aku ikut di belakangmu,” kata Yan Hwa di tengah jalan.

Cia Kim Seng memandang dengan wajah berseri. Biar pun dalam ilmu silat wanita ini amat angkuh dan keras hati tidak mau kalah, akan tetapi dalam hal lain cukup jujur dan berwatak gagah, maka ia menjawab, “Baiklah, akan tetapi tentang keselamatanku di jalan, aku sepenuhnya mengandalkan perlindunganmu.”

“Jangan khawatir, Cia-huciangkun aku akan selalu menjaga.”

Mereka membalapkan kuda dan setelah melakukan perjalanan belasan li jauhnya, mereka tiba di padang rumput. Dari depan nampak mengebul debu tebal dan tinggi. Mereka menahan kuda dan Cia Kim Seng mengerutkan alisnya yang tebal sambil memandang ke depan penuh perhatian. Tak salah lagi, di sana terdapat barisan besar yang sedang berperang. Entah barisan mana yang agaknya sedang mengundurkan diri ke sini itu.

Tiba-tiba Yan Hwa berseru keras, “Awas belakangmu!”

Cia Kim Seng membalikkan kuda dan pada saat itu terdengar gonggongan anjing yang riuh-rendah. Ketika mereka memandang, banyak sekali serigala keluar dari padang rumput. Demikian banyaknya sehingga kuda yang ditunggangi dua orang itu meringkik-ringkik ketakutan.

“Kita lari...!” Cia Kim Seng berteriak.

“Jangan! Percuma, kuda-kuda kita akan dapat disusulnya. Tunggu!” Yan Hwa berseru karena ia melihat penglihatan yang amat aneh. Di antara serigala-serigala itu, tampak merangkak paling depan seorang laki-laki berkepala gundul, hanya memakai celana hitam sebatas betis yang sudah robek-robek ujungnya. Laki-laki ini merangkak seperti serigala, dan mulutnya mengeluarkan bunyi menggonggong dan agaknya dia memimpin barisan serigala itu!

“Pergunakan cambuk melindungi diri, Cia-huciang! Aku akan menangkap manusia serigala itu. Tentu dia pemimpinnya!” Setelah berkata demikian, Yan Hwa meloncat dari atas kudanya dan langsung menerkam Si Kepala Gundul.

Manusia serigala itu tiba-tiba meloncat berdiri, tertawa-tawa dan menyambut datangnya tubuh Yan Hwa dengan kedua tangan mencengkeram dan mulut dibuka lebar untuk menggigit! Yan Hwa merasa ngeri, akan tetapi dia sama sekali tidak menjadi takut dan gugup. Sambutan serangan ini dapat ia elakkan dan kakinya terayun menendang dari samping.

”Desss!” tendangan kaki Yan Hwa tepat mengenai lambung laki-laki aneh itu.

Akan tetapi ternyata dia memiliki tubuh yang kebal dan kuat sehingga ketika tubuhnya terguling, dia sudah bangkit lagi dan mengeluarkan suara menggonggong keras. Mendengar suara ini, enam ekor serigala menerjang maju, akan tetapi dengan mudah Yan Hwa menggerakkan kedua kakinya, menendangi binatang-binatang itu sehingga terlempar jauh.

Yan Hwa sempat melihat betapa Cia Kim Seng dikeroyok banyak serigala sehingga repot mengayun pecut ke kanan kiri tubuh kudanya yang meringkik-ringkik ketakutan. Keadaannya benar terancam bahaya. Yan Hwa maklum kalau dia tidak cepat bertindak, mereka akan terancam bahaya maut dan dia merasa enggan untuk menggunakan pedang pusakanya membunuh binatang-binatang itu! Maka ketika laki-laki gundul itu menerjangnya, ia lalu miringkan tubuh, dari samping ia mengirim totokan yang tepat mengenai jalan darah di pundak yang telanjang. Laki-laki itu mengaduh dan Yan Hwa sudah mencengkeram tengkuknya.

“Cepat perintahkan anjing-anjingmu mundur, kalau tidak kupatahkan batang lehermu!” Ia mengancam dan jari-jari tangannya yang halus itu mencengkeram tengkuk seperti sepasang jepitan baja!

“Aduhhh..., ampun... lepaskan aku...!”

“Lekas perintahkan anjing-anjing itu mundur atau kau mampus!”

Tiba-tiba laki-laki gundul itu mengeluarkan suara menyalak-nyalak seperti seekor anjing ketakutan dan... serigala-serigala itu lalu menyalak-nyalak dan mundur teratur meninggalkan Cia Kim Seng!

Dengan muka berkeringat Kim Seng melompat turun dari kudanya. “Bunuh saja manusia serigala itu!” katanya marah.

“Ampun...!” Si Laki-laki gundul berkata.

“Aku mau mengampuni kau, akan tetapi engkau harus siap sewaktu-waktu membantu pasukan kami kalau kami butuhkan!” bentak Yan Hwa.

“Baik... baik..., aku berjanji...!”

Yan Hwa melepaskan cengkeramannya dan sambil mengeluh laki-laki itu mengelus-elus tengkuknya dan memandang dengan gentar. “Ceritakan, siapa kau?”

“Aku bernama Theng Kok, keluargaku habis karena korban perang, dan aku... sejak kecil bermain-main dengan serigala-serigala di sini, aku pandai menguasai mereka...”

“Hemm, Theng Kok. Kalau kelak kau suka membantu kami, kau akan kami beri hadiah besar, akan tetapi kalau kau tidak mau, lihat ini!” Yan Hwa mengayun tangannya ke arah sepotong batu dan hancurlah batu itu.

Muka Theng Kok menjadi pucat. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul. “Aku menurut... menurut...!”

Yan Hwa lalu menangkap kembali kudanya dan melanjutkan perjalanan bersama Cia Kim Seng. Debu yang tampak di depan mengebul makin tinggi. Mereka membalapkan kuda ke arah debu mengebul itu dan tak lama kemudian tampaklah oleh mereka pasukan Mancu yang bergerak mengundurkan diri.

Terjadilah hal yang amat aneh dan mengherankan hati Ok Yan Hwa ketika mereka berdua bertemu dengan pasukan Mancu yang berada paling belakang. Pasukan yang dipimpin oleh seorang perwira Mancu itu begitu bertemu dengan Cia Kim Seng serta-merta menjatuhkan diri berlutut, dan Sang Perwira berkata, Pangeran...!”

Lenyaplah sikap Cia Kim Seng yang biasanya sederhana, kini tampak dia penuh wibawa ketika bertanya, “Siapa yang memimpin barisan ini?”

“Panglima Durbana, Pangeran!” jawab perwira itu penuh hormat.

“Mengapa mundur ke selatan dan kini mundur lagi ke timur? Apa yang terjadi?”

“Ketika kami hendak bergerak ke pantai timur, kami bertemu dengan barisan besar Yucen sehingga kami terpukul mundur ke selatan. Kemarin kami bertemu dengan barisan besar Kerajaan Sung dan setelah bertempur sehari semalam, terpaksa kami mundur...”

“Memalukan! Apakah pasukan-pasukan kita sudah demikian lemahnya sehingga bisanya hanya mundur dan lari saja? Panggil Panglima Durbana menghadap!”

“Baik, Pangeran!” Perwira itu lalu meloncat ke atas kudanya dan membalap ke depan.

Ok Yan Hwa memandang ‘rekannya’ itu penuh takjub. “Jadi kau... kau... seorang Pangeran Mancu...?”

Cia Kim Seng menggerakkan tubuh menjura dengan membungkuk setengah badan sambil berkata, “Benar, Ok-lihuciang. Aku adalah Pangeran Bharigan yang sengaja menyamar untuk melakukan penyelidikan sendiri ke arah timur. Tidak ada waktu untuk bicara panjang, kelak tentu kujelaskan semua kepada Maya-ciangkun.”

Seorang panglima datang berkuda. Dia segera melompat turun dari kudanya dan berlutut dengan sebelah kaki di depan Pangeran Bharigan.

“Lekas katakan mengapa engkau mundur menghadapi pasukan Sung?!” Pangeran itu menegur dengan suara marah.

“Maaf, Pangeran. Terpaksa hamba menarik mundur barisan karena pihak musuh terlalu kuat, apa lagi dipimpin oleh Jenderal Besar Suma Kiat dan pembantu-pembantunya yang berkepandaian tinggi.”

Pangeran Bharigan mengelus dagunya, kemudian menoleh kepada Yan Hwa. ”Ok-li-huciang. Harap kau suka segera memberi laporan kepada Maya-li-ciangkun mengenai keadaan kami yang memerlukan bantuan segera.”

“Baik, Cia... eh, Pangeran Bharigan.” Ok Yan Hwa meloncat ke atas kudanya dan membalap meninggalkan tempat itu.

Ketika tiba di perkemahan Pasukan Maut, dengan singkat namun jelas dia menceritakan kepada Maya dan para perwira lain tentang keadaan barisan Mancu, tentang pihak musuh barisan Sung yang dipimpin Suma Kiat, dan tentang diri Cia Kim Seng yang ternyata adalah Pangeran Bharigan dari Kerajaan Mancu. Mendengar penuturan itu Maya menjadi terheran-heran, juga kaget dan girang. Musuh besarnya, Suma Kiat, berada di depan!

“Bagus! Kita akan berpesta menghancurkan barisan Sung! Sungguh tidak kusangka bahwa penggembala domba itu ternyata seorang Pangeran Mancu!”

Pada saat Maya mempersiapkan pasukannya untuk membantu pasukan Mancu menggempur bala tentara Sung yang dipimpin oleh Jenderal Suma Kiat, tiba-tiba datang sebuah pasukan kecil, terdiri dari lima puluh orang. Maya menjadi girang ketika mendapat kenyataan bahwa pasukan kecil itu ternyata adalah pasukan yang dipimpin Can Ji Kun yang kembali dari timur setelah memenuhi tugasnya melapor kepada Panglima Laut Bu Gi Hoat yang memberontak terhadap Kerajaan Sung.

Hati Maya menjadi tegang dan memandang penuh perhatian kepada Ok Yan Hwa dan Can Ji Kun, suheng dan sumoi yang bertemu di tempat itu dan kini berdiri berhadapan saling pandang itu.

“Hemm..., kiranya engkau di sini?” terdengar Can Ji Kun menegur, pandang matanya tidak pernah melepaskan wajah sumoi-nya.

“Kalau engkau cukup berharga menjadi pembantu di sini, mengapa aku tidak?” Ok Yan Hwa menjawab pula. Suaranya mengandung ejekan dan tantangan, namun sinar matanya yang bersinar dan kedua pipi yang kemerahan itu tak dapat menyembunyikan rasa rindu dan senangnya berhadapan dengan pemuda tampan itu.

Dua orang ini aneh, pikir Maya. Untung saat itu mereka sedang sibuk menghadapi serbuan ke tempat musuh, maka segala urusan pribadi dapat dikesampingkan. Maya lalu berkata, “Ji Kun dan Yan Hwa, kalian adalah murid-murid tersayang dari Bibi Mutiara Hitam! Suma Kiat adalah musuh besar kita karena dialah yang menjadi biang keladinya sehingga Menteri Kam Liong, uwa guru kalian, tewas secara menyedihkan. Semenjak dahulu, keturunan Suma selalu melakukan kejahatan, dan kini tiba saatnya bagi kita untuk membersihkan dunia dari keturunan jahat itu. Ji Kun, engkau memimpin pasukan sayap kiri, dan Yan Hwa memimpin pasukan sayap kanan. Biar aku sendiri yang akan menghadapinya langsung dari depan bersama pasukan-pasukan Mancu. Kalian berdua jangan ikut menerjang maju karena tugas kalian hanya menjaga kalau Si Keparat itu melarikan diri. Kalian harus mencegahnya lolos dan begitu bertemu dengan dia, lepaskan panah api sebagai isyarat.”

Kedua orang suheng dan sumoi itu mengangguk.

“Jangan khawatir, Si Tua Bangka keparat Suma Kiat itu tentu akan tewas di tanganku!” kata Ji Kun sambil meraba gagang pedangnya.

“Belum tentu! Agaknya akulah yang akan berhasil menembuskan pedangku di jantungnya!” Yan Hwa tidak mau kalah.

Maya tersenyum. “Kita sama lihat sajalah. Hanya, sebagai atasan kalian aku tidak akan memberi ampun kalau sampai kalian memberi kesempatan kepadanya untuk lolos.”

Setelah melepas pandang mata penuh wibawa dengan sinar tajam seperti menembus dada mereka, Maya lalu tersenyum dan berkata, “Ji Kun, engkau baru datang, beristirahatlah. Aku akan mengatur barisan dan menjelang senja nanti kita berangkat.”

Ji Kun mengangguk dan membalikkan tubuh menghadapi Yan Hwa. Kembali mereka itu saling pandang dengan sinar mata penuh rindu. Maya yang sudah meninggalkan mereka, tiba-tiba teringat akan pandang mata mereka itu, lalu menengok. Alisnya berkerut dan berbagai pertanyaan aneh timbul di hatinya ketika ia melihat kedua orang muda itu sambil berpegangan tangan, bergandeng memasuki tenda Yan Hwa! Jelas sekali sikap mereka itu menunjukkan bahwa mereka saling mencinta!

Memasuki perkemahan berdua dengan sikap seperti itu? Hemmm... diam-diam Maya makin terheran-heran mengapa di samping menyerahkan Sepasang Pedang Iblis yang sungguh tidak pantas dipegang pendekar, juga agaknya bibinya, Mutiara Hitam, telah memberi pendidikan batin yang keliru sehingga kini kedua orang suheng dan sumoi itu agaknya saling mencinta, bukan seperti saudara seperguruan, melainkan seperti seorang pria dan wanita. Hemmm... tiba-tiba Maya merasa betapa mukanya panas. Mengapa dia merasa tidak senang? Apakah salahnya kalau Yan Hwa dan Ji Kun saling mencinta?

Mereka adalah dua orang muda yang sama-sama tampan dan cantik, sama-sama gagah perkasa. Sedangkan dia sendiri... dia pun jatuh cinta kepada Kam Han Ki, Suheng-nya! Ah, betapa pun juga, tidak seperti mereka berdua itu yang secara terang-terangan di siang hari memasuki perkemahan berdua! Sungguh tidak patut! Itu pelanggaran susila namanya! Belum menjadi suami isteri, di siang hari, di depan mata semua anggota pasukan, memasuki perkemahan untuk bermain asmara! Benar-benar tidak pantas!

Akan tetapi... apa pedulinya? Maya mengangkat kedua pundak dan mengusir bayangan kedua orang itu dari dalam kepalanya, lalu menyibukkan diri untuk mengatur barisan yang senja itu juga akan diberangkatkan untuk bersama barisan Mancu menghantam pasukan Sung yang dipimpin oleh Jenderal Suma Kiat.

Barisan Mancu sendiri, setelah melihat kehadiran Pangeran Bharigan yang gagah perkasa dan kini langsung memimpin mereka sendiri, timbul semangat baru, apa lagi ketika mendengar bahwa mereka kini dibantu oleh Pasukan Maut yang sudah amat terkenal dipimpin oleh panglima wanita bersama pembantu-pembantunya yang lihai. Segera Pangeran Bharigan yang sudah mengadakan kontak dengan Maya menyusun barisannya dan mengatur siasat yang sesuai dengan petunjuk Maya untuk bersama-sama menyerbu barisan Sung pada malam hari itu.

Bala tentara Sung yang dipimpin oleh Suma Kiat itu memang kuat. Bukan hanya lengkap peralatan perangnya, akan tetapi juga besar jumlahnya dan dipimpin sendiri oleh Suma Kiat yang bukan saja amat tinggi ilmu silatnya, juga amat pandai mengatur barisan dalam perang. Apa lagi, di sampingnya terdapat pembantu-pembantunya yang lihai, di antaranya yang menjadi pembantu utamanya adalah selir mudanya sendiri, selir cantik jelita yang amat dicintanya, yaitu Bu Ci Goat yang tak pernah terpisah dari sampingnya semenjak dahulu tertangkap basah bermain gila dengan puteranya, Suma Hoat yang kemudian diusirnya.

Bu Ci Goat yang telah mewarisi ilmu kepandaian Suma Kiat, bahkan memiliki tingkat yang lebih tinggi dari pada Siangkoan Lee murid tunggal jenderal itu, selain menjadi pembantu utama yang boleh diandaikan juga merupakan satu-satunya yang dapat menghibur dan menyenangkan hati Suma Kiat di mana dan kapan saja. Selain selir mudanya ini, tentu saja orang kedua yang dapat ia andalkan adalah muridnya sendiri, Siangkoan Lee yang kini juga merupakan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Semenjak Suma Kiat berhasil mempengaruhi Kaisar untuk mencelakai orang yang amat dibencinya, yaitu Menteri Kam Liong sehingga musuhnya itu tewas bersama muridnya karena dikeroyok pasukan pengawal, Suma Kiat merasa hidupnya tidak tenang dan tidak tenteram lagi.

Kebenciannya terhadap Kam Liong yang sesungguhnya masih keluarganya sendiri adalah kebencian yang timbul semenjak dia masih muda, timbul perasaan mengiri dan karena dia selalu mempunyai anggapan bahwa keturunan Suling Emas adalah orang-orang yang selalu memusuhinya dan menghalanginya. Padahal Suling Emas adalah kakak ibunya sehingga keturunan Suling Emas adalah saudara-saudara misannya sendiri. Dia tidak pernah mau mengerti bahwa keturunan Suling Emas memusuhi perbuatannya, menentang kejahatannya, bukan pribadinya. Keturunan Suling Emas adalah orang-orang yang berjiwa pendekar, terutama Menteri Kam Liong, sedangkan dia selalu mengumbar nafsu dan tidak segan melakukan perbuatan yang amat jahat. (baca cerita MUTIARA HITAM, episode 4 dari serial BU KEK SIANSU).

Memang demikianlah keadaan manusia yang belum sadar batinnya, sukar sekali untuk dapat mengenal kekurangan pada diri sendiri. Orang yang belum sadar selalu tinggi hati, terlalu tinggi menghargai diri sendiri, selalu merasa sebagai orang terbaik, terpandai, dan segala sifat baik yaitu diawali ‘ter’ lagi karena dia mempunyai perasaan lebih dari pada siapa pun di dunia ini. Mereka paling pandai, paling baik, paling benar karena itu paling patut dianugerahi, paling patut dikasihani, dan lain-lain.

Orang yang belum sadar batinnya selalu mengemukakan kebaikan-kebaikan dirinya sehingga dia menjadi terbiasa dan mabok, tanpa disadarinya menyeret dia menjadi hamba nafsu keakuannya, pertimbangan akalnya miring dan budinya digelapkan. Sebaliknya, manusia yang sudah sadar batinnya akan selalu berhati-hati dalam setiap sepak terjangnya, setiap kata-katanya, selalu mawas diri dan meneliti diri pribadi agar setiap perbuatannya tidak akan menyusahkan atau merugikan lain orang hanya demi keuntungan diri sendiri.

Menilai diri sendiri lebih dulu yang dianggap jauh lebih penting dari pada menilai diri orang lain dengan kesadaran bahwa sesungguhnya SUMBER SEGALA SESUATU YANG MELANDA DIRI BERADA DI DALAM HATI SENDIRI. Karena itu, seorang yang sudah sadar batinnya, setiap kali tertimpa sesuatu hal, baik yang menyenangkan mau pun yang menyusahkan, selalu akan menjenguk ke dalam hati sendiri untuk mencari sebab musababnya sebelum mencari sebab-sebab itu di luar dirinya
.

Ketika menteri Kam Liong masih ada, Suma Kiat yang menjadi jenderal dan menduduki kursi panglima itu merasa tidak bebas, seolah-olah sepasang mata saudara misannya yang tajam itu selalu mengikuti dan mengawasinya. Dia selalu beranggapan bahwa kalau Kam Liong sudah dibinasakan, tentu akan merasa senang dan bebas, merasa tidak ada musuhnya lagi.

Akan tetapi, setelah keadaan membantunya, yaitu keadaan yang ditimbulkan oleh hubungan cinta antara Kam Han Ki dan Sung Hong Kwi, sehingga dia berhasil melenyapkan Menteri Kam Liong yang dibencinya, bukan kesenangan dan kebebasan yang didapatnya, melainkan sebaliknya!

Kematian Menteri Kam Liong itu membangkitkan kemarahan di hati banyak pembesar dan terutama di hati orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga Suma Kiat malah dimusuhi banyak orang! Sudah banyak orang gagah berusaha menjatuhkannya, dan biar pun dengan kepandaian dan kedudukannya dia berhasil mengalahkan mereka, namun dia selalu merasa tidak tenteram dan tidak aman.

Pemberontakan-pemberontakan yang timbul karena terutama sekali disebabkan oleh kematian Menteri Kam Liong membuat Suma Kiat merasa kepalang untuk mundur, bahkan dia mempergunakan kesempatan itu untuk mencari kedudukan lebih tinggi dan jasa lebih besar di mata Kaisar, maka dia sendiri yang memimpin pasukan untuk membasmi para pemerontak.

Di dalam melaksanakan tugas ini pun dia selalu didampingi oleh selirnya yang tercinta dan dapat diandalkan, juga oleh muridnya, Siangkoan Lee. Dengan adanya dua orang pembantu ini, bersama pasukan yang kuat dan besar, dia merasa agak aman sungguh pun dia selalu berhati-hati meneliti para pembantu di kanan kirinya, kalau-kalau ada di antara mereka yang menjadi pengagum mendiang Menteri Kam Liong dan merupakan orang berbahaya baginya.

Ketika tiba di perbatasan utara dan bertemu dengan barisan Mancu, tentu saja Suma Kiat segera mengerahkan pasukan-pasukannya dan berhasil memukul mundur barisan Mancu ke utara kembali. Kemenangan besar itu dirayakan oleh Suma Kiat dengan pesta dan pencatatan pahala bagi para perwira dan tentaranya. Sehari itu pula dia sendiri bersenang-senang dengan Bu Cin Goat selirnya tercinta sambil memberi kesempatan kepada pasukan-pasukannya untuk beristirahat. Namun penjagaan tetap dilakukan dengan ketat dan para penyelidiknya tetap melakukan penyelidikan di sekitar daerah itu untuk mengawasi gerak-gerik musuh.

Tentu saja Suma Kiat yang memandang rendah pasukan Mancu itu tidak tahu bahwa pasukan yang telah dipukul mundur itu sehabis menderita kekalahan dari pasukan-pasukan Yucen, kini bangkit kembali semangatnya karena Pangeran Bharigan telah berada di tengah mereka. Apa lagi karena pasukan Mancu ini percaya akan kekuatan Pasukan Maut yang dipimpin Panglima Wanita Maya yang membantunya dan telah mengatur siasat untuk menyerbu barisan Sung di malam itu. Yang didengar oleh Suma Kiat dari para penyelidiknya hanya bahwa pasukan Mancu kini tidak lagi melarikan diri, melainkan menghentikan gerakan mereka lari dan kini agaknya sedang menyusun kekuatan dan membuat perkemahan di lereng bukit.

Mendengar itu Suma Kiat tertawa dan memberi perintah kepada para perwiranya, “Biarkan mereka hari ini. Kalau kita menyerbu, selain pasukan kita masih lelah juga kedudukan mereka di lereng membuat mereka kuat dan tentu kita akan mengorbankan banyak prajurit. Biarkan prajurit-prajurit kita beristirahat. Tentu mereka malam ini akan melakukan penyerbuan balasan, dan kita siap untuk menyambut dan menghancurkan mereka. Ha-ha-ha!”

Setelah memberi perintah, Suma Kiat menggandeng tangan selirnya memasuki kamar. Setelah menutupkan pintu kamar, langsung ia memeluk, memondong dan menciumi Bu Ci Goat penuh nafsu, membawanya ke pembaringan.

Akan tetapi Ci Goat melepaskan diri dan berkata, “Musuh menyusun kekuatan dan ada bahaya mereka menyerbu. Mengapa engkau hanya memikirkan senang-senang saja? Ini bukan waktunya untuk kita bersenang-senang.”

Suma Kiat memandang selirnya yang muda, merangkulnya dan tertawa. “Ah, mengapa engkau pusingkan hal itu? Melawan sekelompok anjing Mancu yang sudah kita pukul mundur, apa bahayanya? Biarkan mereka mengira bahwa kita lengah, dan biarkan mereka malam ini menyerbu untuk menemukan maut, seperti sekumpulan nyamuk menerjang api, ha-ha-ha! Ci Goat, engkau semakin manis saja!” Ia memeluk dan menciumi lagi, dan kini Ci Goat tidak menolak, bahkan membalas dengan belaian yang dapat memabokkan jenderal tua itu.

Akan tetapi sepasang alis wanita itu agak mengerut. Dia tidak melayani pencurahan kasih sayang suaminya dengan sepenuh hati karena hanya tubuhnya saja yang melayani, akan tetapi hati dan pikirannya penuh kecewa dan terbayanglah wajah tampan seorang perwira muda yang sebetulnya selama ini telah direncanakan untuk menjadi temannya melewatkan malam dingin!

Memang, di samping kecerdikan Suma Kiat sebagai seorang panglima perang, dia memiliki kelemahan. Menghadapi selir mudanya ini, dia seolah-olah buta tidak melihat kenyataan betapa selirnya ini hanya berpura-pura saja puas mempunyai suami yang jauh lebih tua, akan tetapi sebenarnya secara diam-diam dia cerdik. Setiap ada kesempatan, Bu Ci Goat selalu mencari teman bersenang-senang melewatkan malam dengan perwira-perwira muda yang jauh lebih muda, tampan dan memuaskan dari pada suaminya!

Penyelewengan Bu Ci Goat ini hanya diketahui oleh Siangkoan Lee yang cerdik. Akan tetapi orang muda muka buruk seperti kuda ini masih kalah cerdik oleh Bu Ci Goat dalam hal seperti itu. Dengan modal wajah cantik tubuh menggairahkan, Ci Goat berhasil membuat Siangkoan Lee terpeleset ke dalam pelukannya dan menikmati cinta kasih birahinya! Hal ini bukan dilakukan oleh Ci Goat karena dia suka kepada Siangkoan Lee, sama sekali bukan. Mana mungkin seorang wanita hamba nafsu birahi seperti dia tertarik kepada seorang pemuda yang mukanya seperti kuda itu?

Dia sengaja menyerahkan diri kepada Siangkoan Lee karena dia tahu bahwa murid suaminya ini telah mengetahui rahasia penyelewengannya. Sekali Siangkoan Lee telah diberi kesempatan bermain cinta dengannya, tentu saja pemuda ini tidak lagi berani mencoba untuk membuka rahasianya kepada Suma Kiat, sebab dia sendiri merupakan seorang di antara mereka yang berani mencemarkan kehormatan Sang Panglima!

Suma Kiat adalah seorang panglima perang yang cerdik, dan juga seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Tentu saja dia pun bukan tidak dapat menduga bahwa seorang wanita seperti Ci Goat, yang pernah mengganggu putera tunggalnya sehingga puteranya itu dia usir, akan dapat melayani dia seorang diri tanpa jemu. Dia menduga bahwa kalau ada kesempatan pasti Ci Goat akan melampiaskan nafsu birahinya yang tak kunjung padam dan puas itu dengan pria-pria muda dan tampan. Akan tetapi dia tidak mau peduli, yang penting tidak menyolok di depan matanya!

Memang, seorang pria seperti Suma Kiat yang tak tahu diri, adalah sebodoh-bodohnya orang. Dia pun menjadi lengah oleh nafsu-nafsunya, tidak tahu bahwa di saat dia bersenang dengan selirnya, ada beberapa orang perwiranya yang mengadakan pertemuan rahasia dan saling berbisik-bisik mengatur rencana. Mereka itu bukan lain adalah para perwira yang sudah terbujuk oleh tiga orang perwira tinggi, yaitu Ong Ki Bu, Cong Hai dan Kwee Tiang, tiga orang perwira yang dahulu pernah menjadi rekan Khu Tek San. Mereka ini diam-diam mendendam atas kematian Menteri Kam Liong dan perwira Khu Tek San. Mereka itu hanya menanti saat baik, dan mendengar betapa pihak Mancu mengadakan persiapan, diam-diam mereka menanti saat itu untuk mereka pergunakan apa bila keadaan memungkinkan.

******************


KITA TINGGALKAN dulu dua pasukan yang sudah sama-sama bersiap untuk saling serbu itu dan marilah kita mengikuti perjalanan dan pengalaman Suma Hoat yang sudah lama kita tinggalkan.....

Di dalam hati orang muda yang tampan wajahnya dan tegap tubuhnya, seorang pria muda yang memiliki segala-galanya untuk dengan mudah menjatuhkan hati setiap orang wanita ini terdapat watak-watak yang saling bertentangan. Mungkin sekali seandainya tidak ada pukulan batin karena asmara yang telah menghancurkan hatinya, yaitu ketika dia mengalami kegagalan dalam asmaranya dengan Ciok Kim Hwa, bahkan melihat kekasihnya membunuh diri, perkembangan dalam watak Suma Hoat akan menjadi lain sekali.

Mungkin dia hanya akan menjadi seorang yang memiliki nafsu birahi besar dan seorang pria yang tidak akan melewatkan setiap kesempatan untuk bercinta dengan setiap orang wanita cantik yang suka melayaninya. Dan memang watak seperti ini telah ia perlihatkan sebelum ia bertemu dengan mendiang Ciok Kim Hwa. Akan tetapi kegagalan cintanya dengan Kim Hwa, ditambah lagi sikap ayahnya yang mengusirnya setelah ia melayani rayuan ibu tirinya, membentuk watak yang mengerikan dalam hati pemuda tampan ini.

Dalam urusan lain, Suma Hoat memiliki watak pendekar, menentang kejahatan dan membela yang lemah tertindas. Akan tetapi, sekali berhadapan dengan wanita cantik, lenyaplah semua kependekarannya dan dia berubah menjadi iblis yang amat ganas! Dengan senyum di bibir dia dapat melihat wanita cantik yang menolak cintanya mati di tangannya, seolah-olah darah yang mengalir dari tubuh wanita yang dibunuhnya mendatangkan rasa panas dan meredakan nafsunya, sama dengan kalau wanita itu suka melayani cintanya!

Dia akan tertawa terbahak-bahak kalau melihat wanita yang telah menjadi korbannya itu benar-benar jatuh cinta kepadanya, menangis dan berlutut memohon agar jangan ditinggalkan. Dia merasa senang sekali meninggalkan wanita itu menangis, bahkan dia sering kali mengintai untuk melihat gadis-gadis yang patah hati dan tercemar nama dan kehormatannya itu menggantung diri, minum racun, atau menusuk perut dengan gunting untuk membunuh diri. Kekejaman yang melebihi iblis inilah yang membuat ia di juluki Jai-hwa-sian!

Suma Hoat merantau sampai jauh ke barat, ke utara dan selatan. Dia sendiri tidak sadar bahwa hidupnya sudah tidak normal lagi, bahwa dia sebetulnya menderita penyakit! Penyakit jiwa yang timbul karena pengalaman-pengalamannya dengan wanita yang menekan batinnya! Kepatahan hatinya karena cintanya putus. Cinta murni yang pertama kali menyentuh hatinya bersama Ciok Kim Hwa, kemudian pengalamannya yang kedua bersama Bu Ci Goat selir ayahnya mendatangkan rasa kebencian hebat kepada kaum wanita!

Dia sendiri tidak tahu bahwa perbuatan-perbuatannya yang keji, yang membuat dia dijuluki Jai-hwa-sian, yang sepintas lalu akan dianggap orang sebagai perbuatan yang semata-mata terdorong oleh nafsu birahinya yang tidak lumrah, sebenarnya adalah perbuatan yang terdorong oleh dendam dan benci!

Dia memperkosa wanita, menyakiti hati mereka, membiarkan mereka patah hati dan membunuh diri, bahkan ada kalanya dia membunuh mereka, adalah karena bencinya kepada kaum wanita yang dia anggap semua mempunyai cinta palsu! Ciok Kim Hwa yang telah membunuh diri itu pun telah mengecewakan hatinya, maka dia girang melihat wanita-wanita cantik membunuh diri karena telah diperkosanya dan ditinggalkannya!

Pada waktu Suma Hoat merantau ke barat ia mempelajari banyak ilmu silat yang tinggi dan aneh-aneh sehingga dibandingkan dengan dulu ketika ia meninggalkan ayahnya, tingkat kepandaiannya sudah memperoleh kemajuan jauh sekali. Bahkan di antara ilmu yang aneh-aneh itu dia mempelajari pula ilmunya orang India menaklukkan ular dengan suling, mempelajari pula penggunaan obat-obat dan racun-racun dari sari-sari kembang dan daun untuk membius wanita, untuk membuat korbannya mabok dan bangkit gairah birahinya.

Pendeknya, Suma Hoat yang telah berjuluk Jai-hwa-sian ini mempelajari banyak macam ilmu yang dianggap bermanfaat baginya, yaitu ilmu silat dan ilmu yang ada hubungannya dengan kesukaannya mengganggu wanita. Bahkan dari seorang wanita India tukang sihir yang selain menjadi gurunya juga menjadi kekasihnya, dia mempelajari cara-cara untuk merayu dan menjatuhkan hati wanita! Maka ketika ia kembali dari perantauannya ke barat, Suma Hoat telah berubah menjadi seorang pria tampan yang sudah matang, lengkap dengan syarat-syarat sebagai Jai-hwa-sian, seorang ‘play boy’ besar yang tiada tandingannya.

Pandang mata Suma Hoat amatlah tajamnya terhadap wanita. Biar pun dari jarak jauh, dia dapat menentukan berapa usia seorang wanita, cantik tidaknya, apa keistimewaan, dan cacat celanya hanya dengan melihat dari belakang saja! Demikianlah, ketika pada suatu pagi ia memasuki kota Jit-bun dan melewati sebuah restoran, ia segera melihat dua orang wanita yang amat menarik perhatiannya.

Perutnya mamang lapar dan dia sedang memilih-milih restoran. Agaknya belum tentu ia akan memasuki restoran itu kalau saja matanya yang awas tidak melihat dua orang wanita yang sedang duduk menghadap meja di restoran yang masih sunyi itu. Sekerling pandang saja ia sudah tertarik sekali melihat dua orang wanita itu yang ia tahu adalah dua orang gadis cantik yang masih muda dan bertubuh kuat sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi!

Suma Hoat memasuki restoran itu dan sengaja duduk di meja yang menghadap ke arah dua orang gadis itu sehingga dia dapat memandang dan memperhatikan mereka dengan leluasa. Hatinya makin tertarik. Hemm dua orang gadis kang-ouw, pikirnya. Pedang mereka diletakkan di atas meja dan dari cara mereka duduk demikian tegak menunjukkan bahwa dua orang gadis itu sudah memiliki kepandaian yang lumayan. Ia makin tertarik ketika mendapat kenyataan betapa kedua orang gadis itu memiliki daya tarik yang berbeda.

Yang seorang, kira-kira berusia dua puluh tahun, berwajah bundar seperti bulan purnama, pandang matanya tenang dan dalam, sikapnya pendiam, membayangkan kecantikan lautan di kala senja diterangi matahari senja yang merah, begitu indah mempesona dan menerangkan hati. Gadis ini berpakaian biru, rambutnya yang gemuk dan hitam dibelah dua dan diikat di kanan kiri belakang kedua telinganya. Ibarat bunga, gadis ini adalah bunga teratai yang tenang dan tegak mengambang di atas air telaga menenangkan hati siapa yang memandang, indah tidak membosankan.

Ada pun gadis kedua paling tinggi berusia delapan belas tahun, sifatnya menjadi lawan gadis pertama. Gadis ini pakaiannya merah muda, wajahnya agak lonjong dengan dagu meruncing manis. Mulutnya yang kecil tersenyum-senyum, sepasang matanya yang bersinar-sinar dengan pandang mata tajam menyambar-nyambar seperti kilat, membayangkan kecantikan yang menimbulkan gairah menggelora, seperti kecantikan lautan di waktu terbakar matahari pagi yang mulai memanas dan ombak-ombak mulai menggelora membuih di pantai.

Rambutnya digelung tinggi ke atas sehingga wajahnya tampak sepenuhnya, manis dan kedua telinganya memakai anting-anting yang menambah kemanisannya. Gadis itu lincah jenaka dan periang, ibarat bunga dia adalah bunga mawar hitam yang liar berduri, namun harum semerbak dan kokoh kuat di atas tangkainya, tidak takut serangan angin dan hujan! Sukarlah bagi Suma Hoat yang memandang mereka bergantian untuk mengatakan siapa di antara kedua orang gadis yang lebih menarik hatinya. Keduanya sama cantik jelita, sama manis dan sama kuat daya tariknya sungguh pun sifat mereka berlawanan.

Melihat seorang pemuda tampan dan gagah memandang mereka penuh perhatian, gadis baju biru membuang muka dengan alis berkerut, akan tetapi gadis baju merah membalas pandang mata Suma Hoat dengan berani dan penuh tantangan sehingga terpaksa Suma Hoat memanggil pelayan karena dia tidak ingin gadis baju merah yang tentu berdarah panas itu memakinya. Pelayan datang dan ia segera memesan makanan dan minuman.

Kedua orang gadis itu saling berbisik, berbisik perlahan, akan tetapi diam-diam Suma Hoat tersenyum dalam hatinya. Biar pun bisikan itu tidak akan terdengar orang lain yang berdiri hanya satu meter jauhnya dari mereka, namun dapat terdengar olehnya yang duduk dalam jarak lima meter dari mereka. Tidak percuma dia memiliki sinkang yang kuat dan bersusah payah melatih diri untuk mempertajam pendengarannya yang merupakan syarat utama bagi seorang ahli silat tinggi.

“Suci, kulihat orang ini bukan orang sembarangan, kalau bukan seorang pendekar yang berilmu tinggi tentu seorang penjahat yang berbahaya...,” bisik gadis baju merah kepada gadis baju biru.

“Hemm, melihat pandangan matanya, dia bukan orang baik-baik, Sumoi. Kita harus waspada, dan kalau betul dia seorang penjahat, kita harus membasminya!” bisik Si Kakak Seperguruan.

Suma Hoat tertawa dalam hatinya, akan tetapi ia mengambil sikap seolah-olah tidak mendengar dan berteriak kepada pelayan, “Hee, pelayan! Minta tambah araknya, aku suka sekali yang hangat dan manis!” Ia lalu menoleh ke arah gadis baju merah yang kebetulan memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu dan gadis itu menjadi merah kedua pipinya, sedangkan gadis baju biru yang juga memandangnya membuang muka lagi.

Hati Suma Hoat makin tertarik. Kiranya kakak beradik seperguruannya, pikirnya. Akan tetapi keduanya benar-benar menarik hatinya. Gadis baju merah itu membayangkan kehangatan dan kemanisan seperti arak yang diminumnya, sedangkan Si Baju Biru itu memperlihatkan sikap dingin dan tenang, sikap yang akan lebih menggairahkan kalau sampai berhasil dia tundukkah. Dan dia pasti akan dapat menundukkan mereka. Pasti!

“Jangan pandang dia, Sumoi. Aku mengenal sinar mata laki-laki seperti itu! Baik dia pendekar mau pun penjahat, yang jelas dia adalah laki-laki yang kurang ajar. Kita sedang melakukan tugas, dan Suhu berpesan agar kita tidak melibatkan diri dan membawa-bawa Siauw-lim-pai ke dalam permusuhan. Mari kita selesaikan makan dan melanjutkan perjalanan agar jangan kemalaman melewati Pegunungan Kwi-hwa-san.”

“Baiklah, Suci.”

Kedua orang gadis itu melanjutkan makan hidangan mereka yang dilayani oleh seorang pelayan. Mendengar bisikan itu, Suma Hoat tertarik. Kiranya dua orang murid Siauw-lim-pai! Dia harus berhati-hati. Siauw-lim-pai tidak boleh dibuat main-main! Namun selama ini dia hanya mendapatkan gadis-gadis yang lemah, maka munculnya dua tangkai bunga harum di depan hidungnya yang ternyata adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, telah mengusik nafsu birahinya.

“Setelah makan, kita mengambil bekal pakaian di hotel Nam-am kemudian membeli roti kering untuk bekal di perjalanan,” kata pula gadis baju biru.

“Apakah tidak perlu membeli kuda, Suci?”

“Ahh, mana bisa kita begitu royal, Sumoi? Membeli kuda bukanlah hal yang murah. Pula, kalau kita menggunakan ilmu lari cepat tidak banyak bedanya dengan menunggang kuda.”

“Akan tetapi tidak melelahkan, Suci...”

“Hemm, Sumoi. Dari mana engkau akan mendapatkan uang untuk membeli dua ekor kuda? Kalau bekal uang kita ditambah perhiasan ditukarkan kuda, habis bagaimana kita akan membeli makanan? Sudahlah, jangan rewel...”

Suma Hoat bangkit dari bangkunya, menghampiri pengurus restoran, berbisik-bisik dan mengeluarkan beberapa potong perak dari sakunya, kemudian pergi meninggalkan restoran diikuti pandang mata dua orang murid perempuan Siauw-lim-pai, akan tetapi Suma Hoat sendiri tidak pernah menengok.

“Agaknya engkau salah duga, Suci. Dia bukan orang jahat. Kelihatannya lebih pantas menjadi seorang pendekar, begitu halus gerak-geriknya seperti seorang pelajar, dan wajahnya...”

“Sumoi!”

Sumoi-nya tersenyum, akan tetapi kedua pipinya merah. “Suci, kalau tidak salah tahun ini usiamu sudah dua puluh tahun, bukan? Dan aku sudah delapan belas tahun. Kita sudah dewasa, dan selama bertahun-tahun kita selalu tekun mempelajari ilmu silat. Salahkah kalau sebagai gadis-gadis dewasa, sekali-kali kita memandang dan memperhatikan seorang pemuda yang menarik hati? Betapa pun juga, kelak kita tentu akan bertemu jodoh, Suci...”

“Hush! Sumoi, memalukan sekali bicaramu! Sungguh melanggar susila!”

Gadis baju merah menahan ketawa, menutup mulut dan memandang suci-nya dengan mata berseri. “Suci, maafkan kalau aku membantah. Gadis-gadis dewasa merasa tertarik dan membicarakan seorang pemuda yang gagah dan tampan, mengapa kau katakan melanggar susila? Kalau begitu pendapatmu, tentu akan terjadi makin banyak lagi peristiwa yang menyedihkan seperti dalam dongeng Sam Pek dan Eng Tai! Laki-laki boleh memilih jodoh, apakah kita kaum wanita hanya dijadikan budak belian, diberikan siapa saja di luar kehendak kita untuk menjadi isteri orang? Tidak, Suci. Kuanggap sudah wajar kalau kita pun tertarik kepada pria yang memenuhi selera hati kita dan...”

“Cukup, Sumoi! Agaknya kau tergila-gila kepada dia tadi, ya? Sungguh tak tahu malu!”

“Tergila-gila sih tidak, hanya aku mengatakan bahwa dia itu seorang pemuda yang gagah tampan dan halus gerak-geriknya...”

“Sudahlah. Mari kita pergi! Kalau terdengar orang, sungguh memalukan!” Si Gadis Baju Biru lalu bangkit berdiri, diikuti sumoi-nya yang tersenyum-senyum memanggii pelayan.

“Hitung semua berapa!” kata Sang Suci dengan suara agak keras karena hatinya mengkal terhadap sumoi-nya. Dia mengenal sumoi-nya yang berwatak jenaka, riang dan lincah, akan tetapi memuji-muji seorang pemuda tampan benar-benar hal ini dianggap keterlaluan dan tak tahu malu!

Betapa heran hati kedua orang gadis itu ketika dengan membongkok-bongkok Si Pelayan berkata, “Sudah dibayar, Ji-wi Siocia. Semua hidangan sudah dibayar lunas oleh sahabat Ji-wi tadi.”

“Sudah dibayar? Oleh sahabat yang mana?” gadis baju biru bertanya.

Pelayan itu membungkuk-bungkuk tersenyum. “Oleh Kongcu tadi yang mengaku sahabat Ji-wi. Dia baik sekali, pembayarannya kelebihan banyak akan tetapi dihadiahkan kepada kami...”

Gadis baju biru mengepal tinju, matanya memancarkan kemarahan, wajahnya agak merah. Akan tetapi sumoi-nya menyentuh lengannya dari belakang dan berkata, Ah, sungguh sahabat kita itu terlalu sungkan. Marilah, Suci, kalau sudah dibayar, sudah saja.” Ia menarik tangan suci-nya keluar dari restoran itu.

“Setan! Dia benar-benar kurang ajar dan berani mati!” Gadis baju biru mengomel setelah mereka keluar dari restoran.

“Aihhh, mengapa Suci marah-marah? Orang telah bersikap baik, mengapa tidak bersyukur dan berterima kasih malah dimaki-maki?” Sumoi-nya mencela.

“Sumoi!” Suci-nya membentak marah dan melototkan matanya yang bening. “Apakah harga diri kehormatanmu hanya semurah harga makanan itu?”

“Eh-eh... mengapa Suci berkata demikian? Dia membayar makanan secara diam-diam, sedikit pun tidak mengeluarkan ucapan dan perbuatan yang kurang ajar! Bagaimana Suci menyebut-nyebut soal harga diri dan kehormatan?”

Suci-nya menghela napas panjang. “Sumoi, biar usiamu sudah delapan belas tahun, namun engkau selalu terkurung dan tidak ada pengalaman. Engkau tidak tahu betapa bahayanya kaum pria dengan sikap manis mereka. Hati-hatilah Sumoi, kalau engkau tidak membentuk benteng baja di luar hati dan perasaanmu, engkau akan mudah tergelincir oleh licinnya sikap manis pria.”

“Suci...”

“Sudahlah! Mari kita ke hotel!”

Akan tetapi ketika mereka berdua tiba di hotel, mereka menghadapi keanehan kedua yang membikin Sang Suci makin mendongkol akan tetapi Sang Sumoi makin girang. Di hotel ini, tidak hanya kamar hotel dibayar oleh ‘sahabat’ itu, malah telah tersedia dua ekor kuda besar yang dihadiahkan oleh ‘sahabat’ itu kepada mereka! Gadis baju biru hendak marah-marah, akan tetapi sumoi-nya membisikkan bahwa kalau Sang Suci marah-marah, maka tentu akan menarik perhatian orang dan bukankah hal itu akan lebih memalukan lagi?

“Kita terima dengan wajar dan semua orang akan menganggap hal itu wajar pula, karena apakah anehnya kalau seorang sahabat baik menghadiahkan dua ekor kuda? Pula, bukankah perbuatan-perbuatannya itu kini meyakinkan kita bahwa dia tidak mengandung niat buruk?”

“Hemm... malah makin curiga aku kepadanya, Sumoi.”

Seorang pelayan hotel menghampiri mereka dan memberi hormat. “Ji-wi Siocia, Kongcu sahabat Ji-wi tadi meninggalkan sepucuk surat kepada Ji-wi.” Ia menyerahkan sebuah sampul kepada mereka. Gadis baju biru menerima sampul dengan alis berkerut.

“Wah, sampulnya berbau harum!” bisik Sumoi tersenyum dan hal ini menambah kemengkalan hati suci-nya yang merobek ujung sampul dengan gerakan kasar lalu mencabut ke luar sehelai kertas. Tulisan yang terdapat di kertas itu amat indah, dan hanya merupakan surat yang singkat:

Sebaiknya menunggang kuda agar tidak kemalaman lewat Kwi-hwa-san. Harap Ji-wi Lihiap berhati-hati kalau sampai di sana, karena di Kwi-hwa-san terdapat gerombolan perampok yang lihai.
Teriring homatnya Sahabat Ji-wi
.

Gadis baju biru itu merobek-robek surat dan sampul sampai berkeping-keping dan wajahnya menjadi merah. “Kalau ada perampok, tentu dialah orangnya. Hemm, hendak kulihat saja sampai di mana puncak kekurang-ajarannya!”

Biar pun berkata demikian, dia tidak menolak ketika sumoi-nya mengajak dia melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda pemberian Si Pembuat Surat itu. Setelah membeli bekal roti kering, mereka lalu membalapkan kuda keluar kota menuju di mana Puncak Pegunungan Kwi-hwa-san tampak tertutup awan.

Kedua orang gadis itu bukanlah gadis-gadis sembarangan. Yang berbaju biru, sang suci, bernama Liang Bi, sedangkan sumoi-nya bernama Kim Cui Leng. Keduanya adalah murid-murid pilihan dari Ketua Siauw-lim-pai di waktu itu, yaitu Kian Ti Hosiang yang amat lihai! Biar pun baru selama lima tahun mereka digembleng oleh Kian Ti Hosiang, namun ilmu kepandaian kedua orang gadis ini amat lihai, maka mereka mendapat kepercayaan Kian Ti Hosiang untuk mewakilinya mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil dari perkumpulan Beng-kauw di selatan.

Tujuan mereka adalah Tai-liang-san di mana terdapat wakil partai Beng-kauw dan Ta-liang-san terletak di sebelah barat Kwi-hwa-san sehingga perjalanan mereka sudah dekat. Paling lama tiga hari lagi mereka akan tiba di tempat tujuan. Akan tetapi, peristiwa pertemuan dengan pemuda tampan gagah itu membuat hati Liang Bi merasa tidak enak sungguh pun sumoi-nya kelihatan gembira dan selalu memuji-muji kebaikan hati pemuda tampan itu.

Menjelang senja mereka tiba di Pegunungan Kwi-hwa-san yang kelihatan sunyi sekali. ”Untung kita berkuda sehingga sebelum gelap tiba di sini, Suci. Kita harus berhati-hati,” kata Cui Leng yang teringat akan isi surat pemberi kuda.

“Huh, siapa percaya kepada obrolan si pembual itu? Kalau ada perampok, tentu dialah orangnya. Biar dia muncul, akan kubayar lunas kelakuannya terhadap kita!” jawab Liang Bi marah.

“Eh, eh...! Kalau engkau hendak membayar lunas, berarti kita harus mengganti uang makanan, hotel dan harga kedua ekor kuda ini. Mana uang kita cukup, Suci?”

Muka Liang Bi menjadi merah. “Bukan itu maksudku. Yang kubayar adalah kelancangannya dan kekurang-ajarannya, kubayar dengan makian, kalau perlu kuhajar dia!”

“Awas, Suci...!” Cui Leng tiba-tiba berseru dan tangannya menangkap sebatang anak panah yang meluncur ke arah dadanya. Akan tetapi, tanpa diperingatkan pun, Liang Bi sudah bergerak cepat dan tangan kirinya sudah pula berhasil menangkap sebatang anak panah yang menyambarnya.

Tiba-tiba terdengar suara bercuitan nyaring dan belasan batang anak panah menyambar ke arah kuda tunggangan mereka! Dengan anak panah rampasan, kedua orang dara perkasa ini menangkis, akan tetapi tidak urung ada anak panah yang menancap di perut kuda mereka. Keduanya berseru keras dan melompat ke atas, berjungkir-balik dan turun ke atas tanah sambil mencabut pedang. Dua ekor kuda itu roboh dan berkelojotan. Dari depan terdengar sorakan dan muncullah dua puluh orang lebih, berlari-lari ke arah mereka.

“Kau masih tidak percaya, Suci?” Cui Leng berkata, teringat akan bunyi surat.

Namun suci-nya menjawab kaku, “Ini tentu perbuatan Si Laknat itu. Kalau muncul gerombolan perampok ini, tentu dialah kepalanya!”

Akan tetapi gerombolan perampok yang terdiri dari dua puluh delapan orang ternyata bukan dipimpin pemuda tampan yang dicurigai, melainkan dikepalai oleh dua orang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar, bersenjata golok besar di tangan kanan dan sebatang cambuk di tangan kiri. Ada pun semua anggota perampok bersenjata golok besar, di pinggang mereka tampak gulungan tali hitam. Tidak tampak pemuda tampan di antara mereka.

“Ha-ha-ha-ha! Suheng! Sungguh untung anak panah kita tadi tidak melukai mereka. Kiranya mereka adalah dua orang nona yang begini denok, sayang kalau terluka. Hari ini kita mendapat untung besar, kita berdua akan memperoleh seorang satu, ha-ha-ha!” Perampok kedua yang bertahi lalat di ujung hidungnya tertawa.

“Kau benar, Sute. Sudah lama kita menjadi duda, dan dua orang nona ini patut menjadi isteri kita. Eh, dua orang nona yang jelita, kalian siapakah dan hendak ke mana? Jangan takut, kami tidak akan mengganggu kalian, bahkan hendak mengangkat kalian menjadi isteri yang tercinta dan hidup mewah di Puncak Kwi-hwa-san,” kata perampok kesatu yang matanya merah.

“Keparat yang bosan hidup!” Cui Leng membentak dan menudingkan pedangnya.

“Jangan sembarangan membuka mulut besar yang berbau menjijikkan! Buka lebar-lebar kedua mata dan telingamu. Kami suci dan sumoi adalah murid-murid Ketua Siauw-lim-pai! Kalian telah lancang tangan membunuh kuda kami, hayo kalian ganti dengan kedua telinga kalian. Buntungkan daun telinga kalian dan kami akan mengampuni jiwa anjing kalian!”

“Ha-ha-ha-ha! Yang galak ini tentu sumoi-nya. Wah, cocok dengan aku, Suheng, aku suka yang liar dan panas. Biar suci-nya itu untukmu, lebih cocok.”

“Benar, Sute. Aku lebih suka yang tenang. Hemm..., tenang menghanyutkan. Ha-ha-ha!”

”Monyet busuk! Kalian benar-benar sudah bosan hidup!” bentak Cui Leng.

“Sumoi, perlu apa banyak bicara dengan cacing rendah ini? Kita basmi mereka!” kata Liang Bi yang sudah menerjang maju diikuti sumoi-nya yang sudah marah sekali.

Akan tetapi sambil tertawa, dua orang kepala rampok itu meloncat ke belakang, jauh dari mereka dan memberi aba-aba dengan suara nyaring kepada anak buahnya yang cepat mengurung dua orang gadis itu, dengan sikap tenang Liang Bi dan Cui Leng memasang kuda-kuda dan memperhatikan gerak-gerik para pengepung mereka yang sudah membuat lingkaran mengelilingi mereka. Dengan pedang melintang di depan dada, tangan kiri diangkat tinggi ke atas kepala berdiri mengadu punggung, kedua orang gadis itu merupakan dua orang pendekar wanita yang amat berbahaya, dan hal ini agaknya dimengerti oleh dua orang kepala perampok maka mereka tidak berani melayani secara langsung melainkan menyuruh anak buah mereka mengeroyok.

Andai kata dua puluh delapan orang anak buah perampok itu mengeroyok secara liar dengan senjata mereka itu, Liang Bi dan Cui Leng akan mudah membasmi mereka. Akan tetapi kiranya dua orang kepala rampok itu adalah orang-orang kasar yang memiliki kepandaian tinggi sehingga anak buah mereka pun terlatih, bahkan pandai membentuk barisan yang kini mulai mengelilingi dua orang dara perkasa itu.

Atas perintah dua orang kepala rampok, anak buah mereka kini melolos gulungan tali hitam. Kembali dua orang pemimpin itu meneriakkan perintah dan tiba-tiba tampak sinar hitam melayang dari sekeliling dua orang gadis itu. Kiranya para anak buah perampok itu telah melontarkan tali hitam ke arah mereka dan tali-tali itu akan melibat tubuh mereka berdua. Liang Bi dan Cui Leng tidak menjadi gentar dan cepat mereka memutar pedang menyambut. Beberapa helai tali hitam terbabat putus, akan tetapi ada yang menyambar ke arah kaki dan tubuh mereka sehingga terpaksa keduanya meloncat ke sana ke mari sambil memutar pedang.

Biar pun tidak ada tali yang dapat membelit tubuh mereka, namun mereka menjadi terpisah dan segera dua puluh delapan orang itu terpecah menjadi dua rombongan, masing-masing empat belas orang mengurung Liang Bi dan Cui Leng! Sehelai tali melibat kaki Cui Leng. Pemegang tali tertawa girang akan tetapi suara ketawanya berubah pekik ketakutan ketika tubuhnya melayang ke udara karena dara ini menggerakkan kakinya yang terbelit tali sedemikian kuatnya sehingga pemegangnya terbawa melayang ke atas dan terlempar ke arah dara ini yang menyambut dengan babatan pedangnya.

“Crokkk!” Perampok itu roboh dan mati seketika karena pinggangnya hampir putus!

Mulailah para perampok itu menerjang dengan golok mereka dan dua orang dara perkasa itu menggerakkan pedang mengamuk. Biar pun para perampok itu rata-rata pandai mainkan golok, namun menghadapi Liang Bi dan Cui Leng, sebentar saja enam orang roboh tak dapat bangun kembali sedangkan beberapa orang lagi terlempar kena tendangan dan merangkak bangun lagi sambil mengaduh-aduh. Kacau-balaulah keadaan para pengeroyok, namun mereka masih mengeroyok penuh semangat karena kini dua orang pimpinan mereka maju sendiri dan ikut mengeroyok.

Perampok mata merah melawan Liang Bi dibantu belasan orang anak buahnya, sedangkan sute-nya, yaitu perampok bertahi lalat, menghadapi Cui Leng, juga dibantu belasan orang. Pertandingan hebat dan mati-matian terjadi dan ternyata bahwa dua orang kepala rampok itu memiliki kepandaian yang lumayan, terutama sekali cambuk mereka yang melecut-lecut di atas kepala lawan membuat kedua orang gadis itu harus bersilat dengan hati-hati.

Selain kelihaian cambuk mereka, juga senjata golok kedua orang kepala rampok ini berat sekali, ditambah tenaga mereka yang seperti gajah membuat dua orang pendekar wanita Siauw-lim-pai mempergunakan ginkang untuk mengelak ke sana ke mari sambil menggerakkan pedang merobohkan lagi beberapa orang anak buah perampok. Darah mulai muncrat ke sana-sini membasahi rumput dan dua orang dara perkasa itu mengamuk dengan hebat, tidak mau berhenti sebelum membasmi semua perampok itu.

Setelah mendapat kenyataan bahwa dua orang wanita yang tadinya hendak mereka tangkap hidup-hidup itu amat lihai, nafsu birahi kedua orang kepala rampok berubah menjadi kemarahan meluap-luap dan kini mereka menyerang untuk membunuh. Namun Liang Bi dan Cui Leng tidak menjadi gentar. Pedang mereka berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyilaukan mata dan amat berbahaya karena setiap orang pengeroyok yang berani terlalu dekat tentu akan roboh disambar pedang. Pengepungan menjadi mengendur dan mereka hanya berani menyerang dari jauh, bahkan tidak berani menyerang secara langsung dari depan, kecuali dua orang kepala rampok yang memutar-mutar cambuk mengeluarkan angin yang berbunyi nyaring bercuitan.

Tiba-tiba dua orang dara perkasa itu menjerit dan terhuyung. Paha kiri Lian Bi dan pundak kanan Cui Leng terkena senjata rahasia yang berupa jarum dengan ronce merah. Mereka tidak tahu siapa yang melepas senjata rahasia secara demikian lihai, datangnya dari atas dan tak tersangka-sangka sehingga mereka yang datang menghadapi pengeroyokan itu tidak dapat mengelak lagi. Liang Bi yang terluka pahanya kini melawan sambil agak terpincang-pincang sedangkan Cui Leng terpaksa memindahkan pedang ke tangan kiri karena lengan kanannya terasa panas dan kaku! Para perampok tidak melihat datangnya senjata rahasia itu, mengira bahwa dua orang gadis itu menjadi lelah. Mereka mengepung semakin ketat sambil berteriak-teriak.

“Tangkap mereka hidup-hidup!” teriak kedua orang kepala perampok sambil mendesak terus.

Liang Bi dan Cui Leng kini menjadi repot. Kalau pihak perampok dapat melepas senjata rahasia demikian lihainya, berarti mereka akan celaka. Untuk mencegah dua orang kepala rampok itu menyerang dengan senjata rahasia lagi, mereka memaksa diri bergerak cepat meloncat ke sana-sini di antara para pengeroyok sehingga membahayakan penyerangan senjata rahasia mengenai kawan sendiri. Biar pun sudah terluka, namun mereka masih sempat merobohkan masing-masing dua orang anak buah perampok lagi. Namun keadaan mereka makin payah, karena luka jarum itu benar-benar menimbulkan rasa panas yang terus menjalar ke seluruh tubuh mereka. Sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi, mereka dapat menduga bahwa tentu saja senjata rahasia itu mengandung racun berbahaya, maka tentu saja mereka mulai merasa khawatir sekali.

Tiba-tiba terdengar suara melengking seperti suling dengan lagu yang amat aneh, makin lama makin keras. Tak lama kemudian terdengar jerit ketakutan disusul robohnya beberapa orang anggota perampok.

"Ular...! Ular...!"...


BERSAMBUNG KE JILID 21


Istana Pulau Es Jilid 20

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 20

MAYA menghampirinya dan menyerahkan pedang pusakanya. Yan Hwa menarik napas panjang, menerima dan menyimpan pedangnya dan berdiri dengan muka tunduk. “Maafkan aku, kini aku percaya sepenuhnya. Suheng dan aku bukanlah tandinganmu.”

Mendengar ucapan yang bernada kecewa itu Maya berkata, “Tidak perlu penasaran, Yan Hwa. Ketahuilah bahwa aku adalah penghuni Istana Pulau Es, pewaris ilmu Suhu Bu Kek Siansu.”

Terbelalak mata Yan Hwa memandang dan dalam pandang mata itu kini terkandung kekaguman dan sikap takluk. “Aahhhh, sungguh aku tidak tahu diri. Maya, biarlah mulai saat ini aku menjadi pembantumu.”

Maya tersenyum girang dan maju merangkul pundak Yan Hwa. Tiba-tiba mereka berdua menoleh ketika mendengar suara keluhan. Ketika memandang ke arah para perwira, mereka itu mengeluh dan menggosok-gosok mata mereka seolah-olah mata mereka sakit dan memang mata mereka terasa pedih dan gatal karena setelah pertandingan berhenti, mata mereka masih terus seperti melihat sinar kilat menyambar-nyambar menimbulkan rasa pedih dan nyeri.

Maya menghela napas, “Yan Hwa, hati-hatilah engkau menggunakan pedangmu. Pedangmu dan pedang Ji Kun adalah pusaka-pusaka yang ampuhnya menggila dan kalau kurang hati-hati atau salah mempergunakannya dapat menimbulkan mala-petaka hebat.”

Yan Hwa mengangguk dan dia lalu menceritakan riwayat kedua pusaka Sepasang Pedang Iblis itu. Mendengar penuturan ini, Maya bergidik ngeri dan diam-diam ia amat khawatir akan nasib Yan Hwa dan Ji Kun yang mewarisi sepasang pedang pusaka seperti itu. Namun karena maklum akan keangkuhan mereka, dia tidak mau berkata apa-apa, baik terhadap Yan Hwa mau pun terhadap Ji Kun kelak.



Para perwira dan prajurit menjadi makin kagum terhadap Maya, juga menjadi girang karena pasukan mereka bertambah seorang perwira wanita yang luar biasa lihainya sehingga tentu saja hal ini membesarkan hati karena berarti kuatnya pasukan mereka.

Pasukan Maut terus bergerak ke selatan dengan hati-hati karena mereka telah mendekati batas-batas daerah yang dikuasai oleh Kerajaan Sung dan Yucen. Ketika mendengar pelaporan dari para penyelidik bahwa di depan, kurang lebih tiga puluh li dari situ terdapat sebuah barisan besar yang belum diketahui barisan kerajaan mana, Maya lalu menghentikan pasukannya dan menugaskan kepada Ok Yan Hwa dan Cia Kim Seng untuk pergi melakukan penyelidikan.

Berangkatlah Cia Kim Seng si bekas penggembala dan Ok Yan Hwa menunggang kuda melakukan penyelidikan ke depan. “Cia-huciang, karena engkau lebih mengenal daerah ini, biarlah engkau yang menjadi penunjuk jalan, aku ikut di belakangmu,” kata Yan Hwa di tengah jalan.

Cia Kim Seng memandang dengan wajah berseri. Biar pun dalam ilmu silat wanita ini amat angkuh dan keras hati tidak mau kalah, akan tetapi dalam hal lain cukup jujur dan berwatak gagah, maka ia menjawab, “Baiklah, akan tetapi tentang keselamatanku di jalan, aku sepenuhnya mengandalkan perlindunganmu.”

“Jangan khawatir, Cia-huciangkun aku akan selalu menjaga.”

Mereka membalapkan kuda dan setelah melakukan perjalanan belasan li jauhnya, mereka tiba di padang rumput. Dari depan nampak mengebul debu tebal dan tinggi. Mereka menahan kuda dan Cia Kim Seng mengerutkan alisnya yang tebal sambil memandang ke depan penuh perhatian. Tak salah lagi, di sana terdapat barisan besar yang sedang berperang. Entah barisan mana yang agaknya sedang mengundurkan diri ke sini itu.

Tiba-tiba Yan Hwa berseru keras, “Awas belakangmu!”

Cia Kim Seng membalikkan kuda dan pada saat itu terdengar gonggongan anjing yang riuh-rendah. Ketika mereka memandang, banyak sekali serigala keluar dari padang rumput. Demikian banyaknya sehingga kuda yang ditunggangi dua orang itu meringkik-ringkik ketakutan.

“Kita lari...!” Cia Kim Seng berteriak.

“Jangan! Percuma, kuda-kuda kita akan dapat disusulnya. Tunggu!” Yan Hwa berseru karena ia melihat penglihatan yang amat aneh. Di antara serigala-serigala itu, tampak merangkak paling depan seorang laki-laki berkepala gundul, hanya memakai celana hitam sebatas betis yang sudah robek-robek ujungnya. Laki-laki ini merangkak seperti serigala, dan mulutnya mengeluarkan bunyi menggonggong dan agaknya dia memimpin barisan serigala itu!

“Pergunakan cambuk melindungi diri, Cia-huciang! Aku akan menangkap manusia serigala itu. Tentu dia pemimpinnya!” Setelah berkata demikian, Yan Hwa meloncat dari atas kudanya dan langsung menerkam Si Kepala Gundul.

Manusia serigala itu tiba-tiba meloncat berdiri, tertawa-tawa dan menyambut datangnya tubuh Yan Hwa dengan kedua tangan mencengkeram dan mulut dibuka lebar untuk menggigit! Yan Hwa merasa ngeri, akan tetapi dia sama sekali tidak menjadi takut dan gugup. Sambutan serangan ini dapat ia elakkan dan kakinya terayun menendang dari samping.

”Desss!” tendangan kaki Yan Hwa tepat mengenai lambung laki-laki aneh itu.

Akan tetapi ternyata dia memiliki tubuh yang kebal dan kuat sehingga ketika tubuhnya terguling, dia sudah bangkit lagi dan mengeluarkan suara menggonggong keras. Mendengar suara ini, enam ekor serigala menerjang maju, akan tetapi dengan mudah Yan Hwa menggerakkan kedua kakinya, menendangi binatang-binatang itu sehingga terlempar jauh.

Yan Hwa sempat melihat betapa Cia Kim Seng dikeroyok banyak serigala sehingga repot mengayun pecut ke kanan kiri tubuh kudanya yang meringkik-ringkik ketakutan. Keadaannya benar terancam bahaya. Yan Hwa maklum kalau dia tidak cepat bertindak, mereka akan terancam bahaya maut dan dia merasa enggan untuk menggunakan pedang pusakanya membunuh binatang-binatang itu! Maka ketika laki-laki gundul itu menerjangnya, ia lalu miringkan tubuh, dari samping ia mengirim totokan yang tepat mengenai jalan darah di pundak yang telanjang. Laki-laki itu mengaduh dan Yan Hwa sudah mencengkeram tengkuknya.

“Cepat perintahkan anjing-anjingmu mundur, kalau tidak kupatahkan batang lehermu!” Ia mengancam dan jari-jari tangannya yang halus itu mencengkeram tengkuk seperti sepasang jepitan baja!

“Aduhhh..., ampun... lepaskan aku...!”

“Lekas perintahkan anjing-anjing itu mundur atau kau mampus!”

Tiba-tiba laki-laki gundul itu mengeluarkan suara menyalak-nyalak seperti seekor anjing ketakutan dan... serigala-serigala itu lalu menyalak-nyalak dan mundur teratur meninggalkan Cia Kim Seng!

Dengan muka berkeringat Kim Seng melompat turun dari kudanya. “Bunuh saja manusia serigala itu!” katanya marah.

“Ampun...!” Si Laki-laki gundul berkata.

“Aku mau mengampuni kau, akan tetapi engkau harus siap sewaktu-waktu membantu pasukan kami kalau kami butuhkan!” bentak Yan Hwa.

“Baik... baik..., aku berjanji...!”

Yan Hwa melepaskan cengkeramannya dan sambil mengeluh laki-laki itu mengelus-elus tengkuknya dan memandang dengan gentar. “Ceritakan, siapa kau?”

“Aku bernama Theng Kok, keluargaku habis karena korban perang, dan aku... sejak kecil bermain-main dengan serigala-serigala di sini, aku pandai menguasai mereka...”

“Hemm, Theng Kok. Kalau kelak kau suka membantu kami, kau akan kami beri hadiah besar, akan tetapi kalau kau tidak mau, lihat ini!” Yan Hwa mengayun tangannya ke arah sepotong batu dan hancurlah batu itu.

Muka Theng Kok menjadi pucat. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul. “Aku menurut... menurut...!”

Yan Hwa lalu menangkap kembali kudanya dan melanjutkan perjalanan bersama Cia Kim Seng. Debu yang tampak di depan mengebul makin tinggi. Mereka membalapkan kuda ke arah debu mengebul itu dan tak lama kemudian tampaklah oleh mereka pasukan Mancu yang bergerak mengundurkan diri.

Terjadilah hal yang amat aneh dan mengherankan hati Ok Yan Hwa ketika mereka berdua bertemu dengan pasukan Mancu yang berada paling belakang. Pasukan yang dipimpin oleh seorang perwira Mancu itu begitu bertemu dengan Cia Kim Seng serta-merta menjatuhkan diri berlutut, dan Sang Perwira berkata, Pangeran...!”

Lenyaplah sikap Cia Kim Seng yang biasanya sederhana, kini tampak dia penuh wibawa ketika bertanya, “Siapa yang memimpin barisan ini?”

“Panglima Durbana, Pangeran!” jawab perwira itu penuh hormat.

“Mengapa mundur ke selatan dan kini mundur lagi ke timur? Apa yang terjadi?”

“Ketika kami hendak bergerak ke pantai timur, kami bertemu dengan barisan besar Yucen sehingga kami terpukul mundur ke selatan. Kemarin kami bertemu dengan barisan besar Kerajaan Sung dan setelah bertempur sehari semalam, terpaksa kami mundur...”

“Memalukan! Apakah pasukan-pasukan kita sudah demikian lemahnya sehingga bisanya hanya mundur dan lari saja? Panggil Panglima Durbana menghadap!”

“Baik, Pangeran!” Perwira itu lalu meloncat ke atas kudanya dan membalap ke depan.

Ok Yan Hwa memandang ‘rekannya’ itu penuh takjub. “Jadi kau... kau... seorang Pangeran Mancu...?”

Cia Kim Seng menggerakkan tubuh menjura dengan membungkuk setengah badan sambil berkata, “Benar, Ok-lihuciang. Aku adalah Pangeran Bharigan yang sengaja menyamar untuk melakukan penyelidikan sendiri ke arah timur. Tidak ada waktu untuk bicara panjang, kelak tentu kujelaskan semua kepada Maya-ciangkun.”

Seorang panglima datang berkuda. Dia segera melompat turun dari kudanya dan berlutut dengan sebelah kaki di depan Pangeran Bharigan.

“Lekas katakan mengapa engkau mundur menghadapi pasukan Sung?!” Pangeran itu menegur dengan suara marah.

“Maaf, Pangeran. Terpaksa hamba menarik mundur barisan karena pihak musuh terlalu kuat, apa lagi dipimpin oleh Jenderal Besar Suma Kiat dan pembantu-pembantunya yang berkepandaian tinggi.”

Pangeran Bharigan mengelus dagunya, kemudian menoleh kepada Yan Hwa. ”Ok-li-huciang. Harap kau suka segera memberi laporan kepada Maya-li-ciangkun mengenai keadaan kami yang memerlukan bantuan segera.”

“Baik, Cia... eh, Pangeran Bharigan.” Ok Yan Hwa meloncat ke atas kudanya dan membalap meninggalkan tempat itu.

Ketika tiba di perkemahan Pasukan Maut, dengan singkat namun jelas dia menceritakan kepada Maya dan para perwira lain tentang keadaan barisan Mancu, tentang pihak musuh barisan Sung yang dipimpin Suma Kiat, dan tentang diri Cia Kim Seng yang ternyata adalah Pangeran Bharigan dari Kerajaan Mancu. Mendengar penuturan itu Maya menjadi terheran-heran, juga kaget dan girang. Musuh besarnya, Suma Kiat, berada di depan!

“Bagus! Kita akan berpesta menghancurkan barisan Sung! Sungguh tidak kusangka bahwa penggembala domba itu ternyata seorang Pangeran Mancu!”

Pada saat Maya mempersiapkan pasukannya untuk membantu pasukan Mancu menggempur bala tentara Sung yang dipimpin oleh Jenderal Suma Kiat, tiba-tiba datang sebuah pasukan kecil, terdiri dari lima puluh orang. Maya menjadi girang ketika mendapat kenyataan bahwa pasukan kecil itu ternyata adalah pasukan yang dipimpin Can Ji Kun yang kembali dari timur setelah memenuhi tugasnya melapor kepada Panglima Laut Bu Gi Hoat yang memberontak terhadap Kerajaan Sung.

Hati Maya menjadi tegang dan memandang penuh perhatian kepada Ok Yan Hwa dan Can Ji Kun, suheng dan sumoi yang bertemu di tempat itu dan kini berdiri berhadapan saling pandang itu.

“Hemm..., kiranya engkau di sini?” terdengar Can Ji Kun menegur, pandang matanya tidak pernah melepaskan wajah sumoi-nya.

“Kalau engkau cukup berharga menjadi pembantu di sini, mengapa aku tidak?” Ok Yan Hwa menjawab pula. Suaranya mengandung ejekan dan tantangan, namun sinar matanya yang bersinar dan kedua pipi yang kemerahan itu tak dapat menyembunyikan rasa rindu dan senangnya berhadapan dengan pemuda tampan itu.

Dua orang ini aneh, pikir Maya. Untung saat itu mereka sedang sibuk menghadapi serbuan ke tempat musuh, maka segala urusan pribadi dapat dikesampingkan. Maya lalu berkata, “Ji Kun dan Yan Hwa, kalian adalah murid-murid tersayang dari Bibi Mutiara Hitam! Suma Kiat adalah musuh besar kita karena dialah yang menjadi biang keladinya sehingga Menteri Kam Liong, uwa guru kalian, tewas secara menyedihkan. Semenjak dahulu, keturunan Suma selalu melakukan kejahatan, dan kini tiba saatnya bagi kita untuk membersihkan dunia dari keturunan jahat itu. Ji Kun, engkau memimpin pasukan sayap kiri, dan Yan Hwa memimpin pasukan sayap kanan. Biar aku sendiri yang akan menghadapinya langsung dari depan bersama pasukan-pasukan Mancu. Kalian berdua jangan ikut menerjang maju karena tugas kalian hanya menjaga kalau Si Keparat itu melarikan diri. Kalian harus mencegahnya lolos dan begitu bertemu dengan dia, lepaskan panah api sebagai isyarat.”

Kedua orang suheng dan sumoi itu mengangguk.

“Jangan khawatir, Si Tua Bangka keparat Suma Kiat itu tentu akan tewas di tanganku!” kata Ji Kun sambil meraba gagang pedangnya.

“Belum tentu! Agaknya akulah yang akan berhasil menembuskan pedangku di jantungnya!” Yan Hwa tidak mau kalah.

Maya tersenyum. “Kita sama lihat sajalah. Hanya, sebagai atasan kalian aku tidak akan memberi ampun kalau sampai kalian memberi kesempatan kepadanya untuk lolos.”

Setelah melepas pandang mata penuh wibawa dengan sinar tajam seperti menembus dada mereka, Maya lalu tersenyum dan berkata, “Ji Kun, engkau baru datang, beristirahatlah. Aku akan mengatur barisan dan menjelang senja nanti kita berangkat.”

Ji Kun mengangguk dan membalikkan tubuh menghadapi Yan Hwa. Kembali mereka itu saling pandang dengan sinar mata penuh rindu. Maya yang sudah meninggalkan mereka, tiba-tiba teringat akan pandang mata mereka itu, lalu menengok. Alisnya berkerut dan berbagai pertanyaan aneh timbul di hatinya ketika ia melihat kedua orang muda itu sambil berpegangan tangan, bergandeng memasuki tenda Yan Hwa! Jelas sekali sikap mereka itu menunjukkan bahwa mereka saling mencinta!

Memasuki perkemahan berdua dengan sikap seperti itu? Hemmm... diam-diam Maya makin terheran-heran mengapa di samping menyerahkan Sepasang Pedang Iblis yang sungguh tidak pantas dipegang pendekar, juga agaknya bibinya, Mutiara Hitam, telah memberi pendidikan batin yang keliru sehingga kini kedua orang suheng dan sumoi itu agaknya saling mencinta, bukan seperti saudara seperguruan, melainkan seperti seorang pria dan wanita. Hemmm... tiba-tiba Maya merasa betapa mukanya panas. Mengapa dia merasa tidak senang? Apakah salahnya kalau Yan Hwa dan Ji Kun saling mencinta?

Mereka adalah dua orang muda yang sama-sama tampan dan cantik, sama-sama gagah perkasa. Sedangkan dia sendiri... dia pun jatuh cinta kepada Kam Han Ki, Suheng-nya! Ah, betapa pun juga, tidak seperti mereka berdua itu yang secara terang-terangan di siang hari memasuki perkemahan berdua! Sungguh tidak patut! Itu pelanggaran susila namanya! Belum menjadi suami isteri, di siang hari, di depan mata semua anggota pasukan, memasuki perkemahan untuk bermain asmara! Benar-benar tidak pantas!

Akan tetapi... apa pedulinya? Maya mengangkat kedua pundak dan mengusir bayangan kedua orang itu dari dalam kepalanya, lalu menyibukkan diri untuk mengatur barisan yang senja itu juga akan diberangkatkan untuk bersama barisan Mancu menghantam pasukan Sung yang dipimpin oleh Jenderal Suma Kiat.

Barisan Mancu sendiri, setelah melihat kehadiran Pangeran Bharigan yang gagah perkasa dan kini langsung memimpin mereka sendiri, timbul semangat baru, apa lagi ketika mendengar bahwa mereka kini dibantu oleh Pasukan Maut yang sudah amat terkenal dipimpin oleh panglima wanita bersama pembantu-pembantunya yang lihai. Segera Pangeran Bharigan yang sudah mengadakan kontak dengan Maya menyusun barisannya dan mengatur siasat yang sesuai dengan petunjuk Maya untuk bersama-sama menyerbu barisan Sung pada malam hari itu.

Bala tentara Sung yang dipimpin oleh Suma Kiat itu memang kuat. Bukan hanya lengkap peralatan perangnya, akan tetapi juga besar jumlahnya dan dipimpin sendiri oleh Suma Kiat yang bukan saja amat tinggi ilmu silatnya, juga amat pandai mengatur barisan dalam perang. Apa lagi, di sampingnya terdapat pembantu-pembantunya yang lihai, di antaranya yang menjadi pembantu utamanya adalah selir mudanya sendiri, selir cantik jelita yang amat dicintanya, yaitu Bu Ci Goat yang tak pernah terpisah dari sampingnya semenjak dahulu tertangkap basah bermain gila dengan puteranya, Suma Hoat yang kemudian diusirnya.

Bu Ci Goat yang telah mewarisi ilmu kepandaian Suma Kiat, bahkan memiliki tingkat yang lebih tinggi dari pada Siangkoan Lee murid tunggal jenderal itu, selain menjadi pembantu utama yang boleh diandaikan juga merupakan satu-satunya yang dapat menghibur dan menyenangkan hati Suma Kiat di mana dan kapan saja. Selain selir mudanya ini, tentu saja orang kedua yang dapat ia andalkan adalah muridnya sendiri, Siangkoan Lee yang kini juga merupakan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Semenjak Suma Kiat berhasil mempengaruhi Kaisar untuk mencelakai orang yang amat dibencinya, yaitu Menteri Kam Liong sehingga musuhnya itu tewas bersama muridnya karena dikeroyok pasukan pengawal, Suma Kiat merasa hidupnya tidak tenang dan tidak tenteram lagi.

Kebenciannya terhadap Kam Liong yang sesungguhnya masih keluarganya sendiri adalah kebencian yang timbul semenjak dia masih muda, timbul perasaan mengiri dan karena dia selalu mempunyai anggapan bahwa keturunan Suling Emas adalah orang-orang yang selalu memusuhinya dan menghalanginya. Padahal Suling Emas adalah kakak ibunya sehingga keturunan Suling Emas adalah saudara-saudara misannya sendiri. Dia tidak pernah mau mengerti bahwa keturunan Suling Emas memusuhi perbuatannya, menentang kejahatannya, bukan pribadinya. Keturunan Suling Emas adalah orang-orang yang berjiwa pendekar, terutama Menteri Kam Liong, sedangkan dia selalu mengumbar nafsu dan tidak segan melakukan perbuatan yang amat jahat. (baca cerita MUTIARA HITAM, episode 4 dari serial BU KEK SIANSU).

Memang demikianlah keadaan manusia yang belum sadar batinnya, sukar sekali untuk dapat mengenal kekurangan pada diri sendiri. Orang yang belum sadar selalu tinggi hati, terlalu tinggi menghargai diri sendiri, selalu merasa sebagai orang terbaik, terpandai, dan segala sifat baik yaitu diawali ‘ter’ lagi karena dia mempunyai perasaan lebih dari pada siapa pun di dunia ini. Mereka paling pandai, paling baik, paling benar karena itu paling patut dianugerahi, paling patut dikasihani, dan lain-lain.

Orang yang belum sadar batinnya selalu mengemukakan kebaikan-kebaikan dirinya sehingga dia menjadi terbiasa dan mabok, tanpa disadarinya menyeret dia menjadi hamba nafsu keakuannya, pertimbangan akalnya miring dan budinya digelapkan. Sebaliknya, manusia yang sudah sadar batinnya akan selalu berhati-hati dalam setiap sepak terjangnya, setiap kata-katanya, selalu mawas diri dan meneliti diri pribadi agar setiap perbuatannya tidak akan menyusahkan atau merugikan lain orang hanya demi keuntungan diri sendiri.

Menilai diri sendiri lebih dulu yang dianggap jauh lebih penting dari pada menilai diri orang lain dengan kesadaran bahwa sesungguhnya SUMBER SEGALA SESUATU YANG MELANDA DIRI BERADA DI DALAM HATI SENDIRI. Karena itu, seorang yang sudah sadar batinnya, setiap kali tertimpa sesuatu hal, baik yang menyenangkan mau pun yang menyusahkan, selalu akan menjenguk ke dalam hati sendiri untuk mencari sebab musababnya sebelum mencari sebab-sebab itu di luar dirinya
.

Ketika menteri Kam Liong masih ada, Suma Kiat yang menjadi jenderal dan menduduki kursi panglima itu merasa tidak bebas, seolah-olah sepasang mata saudara misannya yang tajam itu selalu mengikuti dan mengawasinya. Dia selalu beranggapan bahwa kalau Kam Liong sudah dibinasakan, tentu akan merasa senang dan bebas, merasa tidak ada musuhnya lagi.

Akan tetapi, setelah keadaan membantunya, yaitu keadaan yang ditimbulkan oleh hubungan cinta antara Kam Han Ki dan Sung Hong Kwi, sehingga dia berhasil melenyapkan Menteri Kam Liong yang dibencinya, bukan kesenangan dan kebebasan yang didapatnya, melainkan sebaliknya!

Kematian Menteri Kam Liong itu membangkitkan kemarahan di hati banyak pembesar dan terutama di hati orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga Suma Kiat malah dimusuhi banyak orang! Sudah banyak orang gagah berusaha menjatuhkannya, dan biar pun dengan kepandaian dan kedudukannya dia berhasil mengalahkan mereka, namun dia selalu merasa tidak tenteram dan tidak aman.

Pemberontakan-pemberontakan yang timbul karena terutama sekali disebabkan oleh kematian Menteri Kam Liong membuat Suma Kiat merasa kepalang untuk mundur, bahkan dia mempergunakan kesempatan itu untuk mencari kedudukan lebih tinggi dan jasa lebih besar di mata Kaisar, maka dia sendiri yang memimpin pasukan untuk membasmi para pemerontak.

Di dalam melaksanakan tugas ini pun dia selalu didampingi oleh selirnya yang tercinta dan dapat diandalkan, juga oleh muridnya, Siangkoan Lee. Dengan adanya dua orang pembantu ini, bersama pasukan yang kuat dan besar, dia merasa agak aman sungguh pun dia selalu berhati-hati meneliti para pembantu di kanan kirinya, kalau-kalau ada di antara mereka yang menjadi pengagum mendiang Menteri Kam Liong dan merupakan orang berbahaya baginya.

Ketika tiba di perbatasan utara dan bertemu dengan barisan Mancu, tentu saja Suma Kiat segera mengerahkan pasukan-pasukannya dan berhasil memukul mundur barisan Mancu ke utara kembali. Kemenangan besar itu dirayakan oleh Suma Kiat dengan pesta dan pencatatan pahala bagi para perwira dan tentaranya. Sehari itu pula dia sendiri bersenang-senang dengan Bu Cin Goat selirnya tercinta sambil memberi kesempatan kepada pasukan-pasukannya untuk beristirahat. Namun penjagaan tetap dilakukan dengan ketat dan para penyelidiknya tetap melakukan penyelidikan di sekitar daerah itu untuk mengawasi gerak-gerik musuh.

Tentu saja Suma Kiat yang memandang rendah pasukan Mancu itu tidak tahu bahwa pasukan yang telah dipukul mundur itu sehabis menderita kekalahan dari pasukan-pasukan Yucen, kini bangkit kembali semangatnya karena Pangeran Bharigan telah berada di tengah mereka. Apa lagi karena pasukan Mancu ini percaya akan kekuatan Pasukan Maut yang dipimpin Panglima Wanita Maya yang membantunya dan telah mengatur siasat untuk menyerbu barisan Sung di malam itu. Yang didengar oleh Suma Kiat dari para penyelidiknya hanya bahwa pasukan Mancu kini tidak lagi melarikan diri, melainkan menghentikan gerakan mereka lari dan kini agaknya sedang menyusun kekuatan dan membuat perkemahan di lereng bukit.

Mendengar itu Suma Kiat tertawa dan memberi perintah kepada para perwiranya, “Biarkan mereka hari ini. Kalau kita menyerbu, selain pasukan kita masih lelah juga kedudukan mereka di lereng membuat mereka kuat dan tentu kita akan mengorbankan banyak prajurit. Biarkan prajurit-prajurit kita beristirahat. Tentu mereka malam ini akan melakukan penyerbuan balasan, dan kita siap untuk menyambut dan menghancurkan mereka. Ha-ha-ha!”

Setelah memberi perintah, Suma Kiat menggandeng tangan selirnya memasuki kamar. Setelah menutupkan pintu kamar, langsung ia memeluk, memondong dan menciumi Bu Ci Goat penuh nafsu, membawanya ke pembaringan.

Akan tetapi Ci Goat melepaskan diri dan berkata, “Musuh menyusun kekuatan dan ada bahaya mereka menyerbu. Mengapa engkau hanya memikirkan senang-senang saja? Ini bukan waktunya untuk kita bersenang-senang.”

Suma Kiat memandang selirnya yang muda, merangkulnya dan tertawa. “Ah, mengapa engkau pusingkan hal itu? Melawan sekelompok anjing Mancu yang sudah kita pukul mundur, apa bahayanya? Biarkan mereka mengira bahwa kita lengah, dan biarkan mereka malam ini menyerbu untuk menemukan maut, seperti sekumpulan nyamuk menerjang api, ha-ha-ha! Ci Goat, engkau semakin manis saja!” Ia memeluk dan menciumi lagi, dan kini Ci Goat tidak menolak, bahkan membalas dengan belaian yang dapat memabokkan jenderal tua itu.

Akan tetapi sepasang alis wanita itu agak mengerut. Dia tidak melayani pencurahan kasih sayang suaminya dengan sepenuh hati karena hanya tubuhnya saja yang melayani, akan tetapi hati dan pikirannya penuh kecewa dan terbayanglah wajah tampan seorang perwira muda yang sebetulnya selama ini telah direncanakan untuk menjadi temannya melewatkan malam dingin!

Memang, di samping kecerdikan Suma Kiat sebagai seorang panglima perang, dia memiliki kelemahan. Menghadapi selir mudanya ini, dia seolah-olah buta tidak melihat kenyataan betapa selirnya ini hanya berpura-pura saja puas mempunyai suami yang jauh lebih tua, akan tetapi sebenarnya secara diam-diam dia cerdik. Setiap ada kesempatan, Bu Ci Goat selalu mencari teman bersenang-senang melewatkan malam dengan perwira-perwira muda yang jauh lebih muda, tampan dan memuaskan dari pada suaminya!

Penyelewengan Bu Ci Goat ini hanya diketahui oleh Siangkoan Lee yang cerdik. Akan tetapi orang muda muka buruk seperti kuda ini masih kalah cerdik oleh Bu Ci Goat dalam hal seperti itu. Dengan modal wajah cantik tubuh menggairahkan, Ci Goat berhasil membuat Siangkoan Lee terpeleset ke dalam pelukannya dan menikmati cinta kasih birahinya! Hal ini bukan dilakukan oleh Ci Goat karena dia suka kepada Siangkoan Lee, sama sekali bukan. Mana mungkin seorang wanita hamba nafsu birahi seperti dia tertarik kepada seorang pemuda yang mukanya seperti kuda itu?

Dia sengaja menyerahkan diri kepada Siangkoan Lee karena dia tahu bahwa murid suaminya ini telah mengetahui rahasia penyelewengannya. Sekali Siangkoan Lee telah diberi kesempatan bermain cinta dengannya, tentu saja pemuda ini tidak lagi berani mencoba untuk membuka rahasianya kepada Suma Kiat, sebab dia sendiri merupakan seorang di antara mereka yang berani mencemarkan kehormatan Sang Panglima!

Suma Kiat adalah seorang panglima perang yang cerdik, dan juga seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Tentu saja dia pun bukan tidak dapat menduga bahwa seorang wanita seperti Ci Goat, yang pernah mengganggu putera tunggalnya sehingga puteranya itu dia usir, akan dapat melayani dia seorang diri tanpa jemu. Dia menduga bahwa kalau ada kesempatan pasti Ci Goat akan melampiaskan nafsu birahinya yang tak kunjung padam dan puas itu dengan pria-pria muda dan tampan. Akan tetapi dia tidak mau peduli, yang penting tidak menyolok di depan matanya!

Memang, seorang pria seperti Suma Kiat yang tak tahu diri, adalah sebodoh-bodohnya orang. Dia pun menjadi lengah oleh nafsu-nafsunya, tidak tahu bahwa di saat dia bersenang dengan selirnya, ada beberapa orang perwiranya yang mengadakan pertemuan rahasia dan saling berbisik-bisik mengatur rencana. Mereka itu bukan lain adalah para perwira yang sudah terbujuk oleh tiga orang perwira tinggi, yaitu Ong Ki Bu, Cong Hai dan Kwee Tiang, tiga orang perwira yang dahulu pernah menjadi rekan Khu Tek San. Mereka ini diam-diam mendendam atas kematian Menteri Kam Liong dan perwira Khu Tek San. Mereka itu hanya menanti saat baik, dan mendengar betapa pihak Mancu mengadakan persiapan, diam-diam mereka menanti saat itu untuk mereka pergunakan apa bila keadaan memungkinkan.

******************


KITA TINGGALKAN dulu dua pasukan yang sudah sama-sama bersiap untuk saling serbu itu dan marilah kita mengikuti perjalanan dan pengalaman Suma Hoat yang sudah lama kita tinggalkan.....

Di dalam hati orang muda yang tampan wajahnya dan tegap tubuhnya, seorang pria muda yang memiliki segala-galanya untuk dengan mudah menjatuhkan hati setiap orang wanita ini terdapat watak-watak yang saling bertentangan. Mungkin sekali seandainya tidak ada pukulan batin karena asmara yang telah menghancurkan hatinya, yaitu ketika dia mengalami kegagalan dalam asmaranya dengan Ciok Kim Hwa, bahkan melihat kekasihnya membunuh diri, perkembangan dalam watak Suma Hoat akan menjadi lain sekali.

Mungkin dia hanya akan menjadi seorang yang memiliki nafsu birahi besar dan seorang pria yang tidak akan melewatkan setiap kesempatan untuk bercinta dengan setiap orang wanita cantik yang suka melayaninya. Dan memang watak seperti ini telah ia perlihatkan sebelum ia bertemu dengan mendiang Ciok Kim Hwa. Akan tetapi kegagalan cintanya dengan Kim Hwa, ditambah lagi sikap ayahnya yang mengusirnya setelah ia melayani rayuan ibu tirinya, membentuk watak yang mengerikan dalam hati pemuda tampan ini.

Dalam urusan lain, Suma Hoat memiliki watak pendekar, menentang kejahatan dan membela yang lemah tertindas. Akan tetapi, sekali berhadapan dengan wanita cantik, lenyaplah semua kependekarannya dan dia berubah menjadi iblis yang amat ganas! Dengan senyum di bibir dia dapat melihat wanita cantik yang menolak cintanya mati di tangannya, seolah-olah darah yang mengalir dari tubuh wanita yang dibunuhnya mendatangkan rasa panas dan meredakan nafsunya, sama dengan kalau wanita itu suka melayani cintanya!

Dia akan tertawa terbahak-bahak kalau melihat wanita yang telah menjadi korbannya itu benar-benar jatuh cinta kepadanya, menangis dan berlutut memohon agar jangan ditinggalkan. Dia merasa senang sekali meninggalkan wanita itu menangis, bahkan dia sering kali mengintai untuk melihat gadis-gadis yang patah hati dan tercemar nama dan kehormatannya itu menggantung diri, minum racun, atau menusuk perut dengan gunting untuk membunuh diri. Kekejaman yang melebihi iblis inilah yang membuat ia di juluki Jai-hwa-sian!

Suma Hoat merantau sampai jauh ke barat, ke utara dan selatan. Dia sendiri tidak sadar bahwa hidupnya sudah tidak normal lagi, bahwa dia sebetulnya menderita penyakit! Penyakit jiwa yang timbul karena pengalaman-pengalamannya dengan wanita yang menekan batinnya! Kepatahan hatinya karena cintanya putus. Cinta murni yang pertama kali menyentuh hatinya bersama Ciok Kim Hwa, kemudian pengalamannya yang kedua bersama Bu Ci Goat selir ayahnya mendatangkan rasa kebencian hebat kepada kaum wanita!

Dia sendiri tidak tahu bahwa perbuatan-perbuatannya yang keji, yang membuat dia dijuluki Jai-hwa-sian, yang sepintas lalu akan dianggap orang sebagai perbuatan yang semata-mata terdorong oleh nafsu birahinya yang tidak lumrah, sebenarnya adalah perbuatan yang terdorong oleh dendam dan benci!

Dia memperkosa wanita, menyakiti hati mereka, membiarkan mereka patah hati dan membunuh diri, bahkan ada kalanya dia membunuh mereka, adalah karena bencinya kepada kaum wanita yang dia anggap semua mempunyai cinta palsu! Ciok Kim Hwa yang telah membunuh diri itu pun telah mengecewakan hatinya, maka dia girang melihat wanita-wanita cantik membunuh diri karena telah diperkosanya dan ditinggalkannya!

Pada waktu Suma Hoat merantau ke barat ia mempelajari banyak ilmu silat yang tinggi dan aneh-aneh sehingga dibandingkan dengan dulu ketika ia meninggalkan ayahnya, tingkat kepandaiannya sudah memperoleh kemajuan jauh sekali. Bahkan di antara ilmu yang aneh-aneh itu dia mempelajari pula ilmunya orang India menaklukkan ular dengan suling, mempelajari pula penggunaan obat-obat dan racun-racun dari sari-sari kembang dan daun untuk membius wanita, untuk membuat korbannya mabok dan bangkit gairah birahinya.

Pendeknya, Suma Hoat yang telah berjuluk Jai-hwa-sian ini mempelajari banyak macam ilmu yang dianggap bermanfaat baginya, yaitu ilmu silat dan ilmu yang ada hubungannya dengan kesukaannya mengganggu wanita. Bahkan dari seorang wanita India tukang sihir yang selain menjadi gurunya juga menjadi kekasihnya, dia mempelajari cara-cara untuk merayu dan menjatuhkan hati wanita! Maka ketika ia kembali dari perantauannya ke barat, Suma Hoat telah berubah menjadi seorang pria tampan yang sudah matang, lengkap dengan syarat-syarat sebagai Jai-hwa-sian, seorang ‘play boy’ besar yang tiada tandingannya.

Pandang mata Suma Hoat amatlah tajamnya terhadap wanita. Biar pun dari jarak jauh, dia dapat menentukan berapa usia seorang wanita, cantik tidaknya, apa keistimewaan, dan cacat celanya hanya dengan melihat dari belakang saja! Demikianlah, ketika pada suatu pagi ia memasuki kota Jit-bun dan melewati sebuah restoran, ia segera melihat dua orang wanita yang amat menarik perhatiannya.

Perutnya mamang lapar dan dia sedang memilih-milih restoran. Agaknya belum tentu ia akan memasuki restoran itu kalau saja matanya yang awas tidak melihat dua orang wanita yang sedang duduk menghadap meja di restoran yang masih sunyi itu. Sekerling pandang saja ia sudah tertarik sekali melihat dua orang wanita itu yang ia tahu adalah dua orang gadis cantik yang masih muda dan bertubuh kuat sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi!

Suma Hoat memasuki restoran itu dan sengaja duduk di meja yang menghadap ke arah dua orang gadis itu sehingga dia dapat memandang dan memperhatikan mereka dengan leluasa. Hatinya makin tertarik. Hemm dua orang gadis kang-ouw, pikirnya. Pedang mereka diletakkan di atas meja dan dari cara mereka duduk demikian tegak menunjukkan bahwa dua orang gadis itu sudah memiliki kepandaian yang lumayan. Ia makin tertarik ketika mendapat kenyataan betapa kedua orang gadis itu memiliki daya tarik yang berbeda.

Yang seorang, kira-kira berusia dua puluh tahun, berwajah bundar seperti bulan purnama, pandang matanya tenang dan dalam, sikapnya pendiam, membayangkan kecantikan lautan di kala senja diterangi matahari senja yang merah, begitu indah mempesona dan menerangkan hati. Gadis ini berpakaian biru, rambutnya yang gemuk dan hitam dibelah dua dan diikat di kanan kiri belakang kedua telinganya. Ibarat bunga, gadis ini adalah bunga teratai yang tenang dan tegak mengambang di atas air telaga menenangkan hati siapa yang memandang, indah tidak membosankan.

Ada pun gadis kedua paling tinggi berusia delapan belas tahun, sifatnya menjadi lawan gadis pertama. Gadis ini pakaiannya merah muda, wajahnya agak lonjong dengan dagu meruncing manis. Mulutnya yang kecil tersenyum-senyum, sepasang matanya yang bersinar-sinar dengan pandang mata tajam menyambar-nyambar seperti kilat, membayangkan kecantikan yang menimbulkan gairah menggelora, seperti kecantikan lautan di waktu terbakar matahari pagi yang mulai memanas dan ombak-ombak mulai menggelora membuih di pantai.

Rambutnya digelung tinggi ke atas sehingga wajahnya tampak sepenuhnya, manis dan kedua telinganya memakai anting-anting yang menambah kemanisannya. Gadis itu lincah jenaka dan periang, ibarat bunga dia adalah bunga mawar hitam yang liar berduri, namun harum semerbak dan kokoh kuat di atas tangkainya, tidak takut serangan angin dan hujan! Sukarlah bagi Suma Hoat yang memandang mereka bergantian untuk mengatakan siapa di antara kedua orang gadis yang lebih menarik hatinya. Keduanya sama cantik jelita, sama manis dan sama kuat daya tariknya sungguh pun sifat mereka berlawanan.

Melihat seorang pemuda tampan dan gagah memandang mereka penuh perhatian, gadis baju biru membuang muka dengan alis berkerut, akan tetapi gadis baju merah membalas pandang mata Suma Hoat dengan berani dan penuh tantangan sehingga terpaksa Suma Hoat memanggil pelayan karena dia tidak ingin gadis baju merah yang tentu berdarah panas itu memakinya. Pelayan datang dan ia segera memesan makanan dan minuman.

Kedua orang gadis itu saling berbisik, berbisik perlahan, akan tetapi diam-diam Suma Hoat tersenyum dalam hatinya. Biar pun bisikan itu tidak akan terdengar orang lain yang berdiri hanya satu meter jauhnya dari mereka, namun dapat terdengar olehnya yang duduk dalam jarak lima meter dari mereka. Tidak percuma dia memiliki sinkang yang kuat dan bersusah payah melatih diri untuk mempertajam pendengarannya yang merupakan syarat utama bagi seorang ahli silat tinggi.

“Suci, kulihat orang ini bukan orang sembarangan, kalau bukan seorang pendekar yang berilmu tinggi tentu seorang penjahat yang berbahaya...,” bisik gadis baju merah kepada gadis baju biru.

“Hemm, melihat pandangan matanya, dia bukan orang baik-baik, Sumoi. Kita harus waspada, dan kalau betul dia seorang penjahat, kita harus membasminya!” bisik Si Kakak Seperguruan.

Suma Hoat tertawa dalam hatinya, akan tetapi ia mengambil sikap seolah-olah tidak mendengar dan berteriak kepada pelayan, “Hee, pelayan! Minta tambah araknya, aku suka sekali yang hangat dan manis!” Ia lalu menoleh ke arah gadis baju merah yang kebetulan memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu dan gadis itu menjadi merah kedua pipinya, sedangkan gadis baju biru yang juga memandangnya membuang muka lagi.

Hati Suma Hoat makin tertarik. Kiranya kakak beradik seperguruannya, pikirnya. Akan tetapi keduanya benar-benar menarik hatinya. Gadis baju merah itu membayangkan kehangatan dan kemanisan seperti arak yang diminumnya, sedangkan Si Baju Biru itu memperlihatkan sikap dingin dan tenang, sikap yang akan lebih menggairahkan kalau sampai berhasil dia tundukkah. Dan dia pasti akan dapat menundukkan mereka. Pasti!

“Jangan pandang dia, Sumoi. Aku mengenal sinar mata laki-laki seperti itu! Baik dia pendekar mau pun penjahat, yang jelas dia adalah laki-laki yang kurang ajar. Kita sedang melakukan tugas, dan Suhu berpesan agar kita tidak melibatkan diri dan membawa-bawa Siauw-lim-pai ke dalam permusuhan. Mari kita selesaikan makan dan melanjutkan perjalanan agar jangan kemalaman melewati Pegunungan Kwi-hwa-san.”

“Baiklah, Suci.”

Kedua orang gadis itu melanjutkan makan hidangan mereka yang dilayani oleh seorang pelayan. Mendengar bisikan itu, Suma Hoat tertarik. Kiranya dua orang murid Siauw-lim-pai! Dia harus berhati-hati. Siauw-lim-pai tidak boleh dibuat main-main! Namun selama ini dia hanya mendapatkan gadis-gadis yang lemah, maka munculnya dua tangkai bunga harum di depan hidungnya yang ternyata adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, telah mengusik nafsu birahinya.

“Setelah makan, kita mengambil bekal pakaian di hotel Nam-am kemudian membeli roti kering untuk bekal di perjalanan,” kata pula gadis baju biru.

“Apakah tidak perlu membeli kuda, Suci?”

“Ahh, mana bisa kita begitu royal, Sumoi? Membeli kuda bukanlah hal yang murah. Pula, kalau kita menggunakan ilmu lari cepat tidak banyak bedanya dengan menunggang kuda.”

“Akan tetapi tidak melelahkan, Suci...”

“Hemm, Sumoi. Dari mana engkau akan mendapatkan uang untuk membeli dua ekor kuda? Kalau bekal uang kita ditambah perhiasan ditukarkan kuda, habis bagaimana kita akan membeli makanan? Sudahlah, jangan rewel...”

Suma Hoat bangkit dari bangkunya, menghampiri pengurus restoran, berbisik-bisik dan mengeluarkan beberapa potong perak dari sakunya, kemudian pergi meninggalkan restoran diikuti pandang mata dua orang murid perempuan Siauw-lim-pai, akan tetapi Suma Hoat sendiri tidak pernah menengok.

“Agaknya engkau salah duga, Suci. Dia bukan orang jahat. Kelihatannya lebih pantas menjadi seorang pendekar, begitu halus gerak-geriknya seperti seorang pelajar, dan wajahnya...”

“Sumoi!”

Sumoi-nya tersenyum, akan tetapi kedua pipinya merah. “Suci, kalau tidak salah tahun ini usiamu sudah dua puluh tahun, bukan? Dan aku sudah delapan belas tahun. Kita sudah dewasa, dan selama bertahun-tahun kita selalu tekun mempelajari ilmu silat. Salahkah kalau sebagai gadis-gadis dewasa, sekali-kali kita memandang dan memperhatikan seorang pemuda yang menarik hati? Betapa pun juga, kelak kita tentu akan bertemu jodoh, Suci...”

“Hush! Sumoi, memalukan sekali bicaramu! Sungguh melanggar susila!”

Gadis baju merah menahan ketawa, menutup mulut dan memandang suci-nya dengan mata berseri. “Suci, maafkan kalau aku membantah. Gadis-gadis dewasa merasa tertarik dan membicarakan seorang pemuda yang gagah dan tampan, mengapa kau katakan melanggar susila? Kalau begitu pendapatmu, tentu akan terjadi makin banyak lagi peristiwa yang menyedihkan seperti dalam dongeng Sam Pek dan Eng Tai! Laki-laki boleh memilih jodoh, apakah kita kaum wanita hanya dijadikan budak belian, diberikan siapa saja di luar kehendak kita untuk menjadi isteri orang? Tidak, Suci. Kuanggap sudah wajar kalau kita pun tertarik kepada pria yang memenuhi selera hati kita dan...”

“Cukup, Sumoi! Agaknya kau tergila-gila kepada dia tadi, ya? Sungguh tak tahu malu!”

“Tergila-gila sih tidak, hanya aku mengatakan bahwa dia itu seorang pemuda yang gagah tampan dan halus gerak-geriknya...”

“Sudahlah. Mari kita pergi! Kalau terdengar orang, sungguh memalukan!” Si Gadis Baju Biru lalu bangkit berdiri, diikuti sumoi-nya yang tersenyum-senyum memanggii pelayan.

“Hitung semua berapa!” kata Sang Suci dengan suara agak keras karena hatinya mengkal terhadap sumoi-nya. Dia mengenal sumoi-nya yang berwatak jenaka, riang dan lincah, akan tetapi memuji-muji seorang pemuda tampan benar-benar hal ini dianggap keterlaluan dan tak tahu malu!

Betapa heran hati kedua orang gadis itu ketika dengan membongkok-bongkok Si Pelayan berkata, “Sudah dibayar, Ji-wi Siocia. Semua hidangan sudah dibayar lunas oleh sahabat Ji-wi tadi.”

“Sudah dibayar? Oleh sahabat yang mana?” gadis baju biru bertanya.

Pelayan itu membungkuk-bungkuk tersenyum. “Oleh Kongcu tadi yang mengaku sahabat Ji-wi. Dia baik sekali, pembayarannya kelebihan banyak akan tetapi dihadiahkan kepada kami...”

Gadis baju biru mengepal tinju, matanya memancarkan kemarahan, wajahnya agak merah. Akan tetapi sumoi-nya menyentuh lengannya dari belakang dan berkata, Ah, sungguh sahabat kita itu terlalu sungkan. Marilah, Suci, kalau sudah dibayar, sudah saja.” Ia menarik tangan suci-nya keluar dari restoran itu.

“Setan! Dia benar-benar kurang ajar dan berani mati!” Gadis baju biru mengomel setelah mereka keluar dari restoran.

“Aihhh, mengapa Suci marah-marah? Orang telah bersikap baik, mengapa tidak bersyukur dan berterima kasih malah dimaki-maki?” Sumoi-nya mencela.

“Sumoi!” Suci-nya membentak marah dan melototkan matanya yang bening. “Apakah harga diri kehormatanmu hanya semurah harga makanan itu?”

“Eh-eh... mengapa Suci berkata demikian? Dia membayar makanan secara diam-diam, sedikit pun tidak mengeluarkan ucapan dan perbuatan yang kurang ajar! Bagaimana Suci menyebut-nyebut soal harga diri dan kehormatan?”

Suci-nya menghela napas panjang. “Sumoi, biar usiamu sudah delapan belas tahun, namun engkau selalu terkurung dan tidak ada pengalaman. Engkau tidak tahu betapa bahayanya kaum pria dengan sikap manis mereka. Hati-hatilah Sumoi, kalau engkau tidak membentuk benteng baja di luar hati dan perasaanmu, engkau akan mudah tergelincir oleh licinnya sikap manis pria.”

“Suci...”

“Sudahlah! Mari kita ke hotel!”

Akan tetapi ketika mereka berdua tiba di hotel, mereka menghadapi keanehan kedua yang membikin Sang Suci makin mendongkol akan tetapi Sang Sumoi makin girang. Di hotel ini, tidak hanya kamar hotel dibayar oleh ‘sahabat’ itu, malah telah tersedia dua ekor kuda besar yang dihadiahkan oleh ‘sahabat’ itu kepada mereka! Gadis baju biru hendak marah-marah, akan tetapi sumoi-nya membisikkan bahwa kalau Sang Suci marah-marah, maka tentu akan menarik perhatian orang dan bukankah hal itu akan lebih memalukan lagi?

“Kita terima dengan wajar dan semua orang akan menganggap hal itu wajar pula, karena apakah anehnya kalau seorang sahabat baik menghadiahkan dua ekor kuda? Pula, bukankah perbuatan-perbuatannya itu kini meyakinkan kita bahwa dia tidak mengandung niat buruk?”

“Hemm... malah makin curiga aku kepadanya, Sumoi.”

Seorang pelayan hotel menghampiri mereka dan memberi hormat. “Ji-wi Siocia, Kongcu sahabat Ji-wi tadi meninggalkan sepucuk surat kepada Ji-wi.” Ia menyerahkan sebuah sampul kepada mereka. Gadis baju biru menerima sampul dengan alis berkerut.

“Wah, sampulnya berbau harum!” bisik Sumoi tersenyum dan hal ini menambah kemengkalan hati suci-nya yang merobek ujung sampul dengan gerakan kasar lalu mencabut ke luar sehelai kertas. Tulisan yang terdapat di kertas itu amat indah, dan hanya merupakan surat yang singkat:

Sebaiknya menunggang kuda agar tidak kemalaman lewat Kwi-hwa-san. Harap Ji-wi Lihiap berhati-hati kalau sampai di sana, karena di Kwi-hwa-san terdapat gerombolan perampok yang lihai.
Teriring homatnya Sahabat Ji-wi
.

Gadis baju biru itu merobek-robek surat dan sampul sampai berkeping-keping dan wajahnya menjadi merah. “Kalau ada perampok, tentu dialah orangnya. Hemm, hendak kulihat saja sampai di mana puncak kekurang-ajarannya!”

Biar pun berkata demikian, dia tidak menolak ketika sumoi-nya mengajak dia melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda pemberian Si Pembuat Surat itu. Setelah membeli bekal roti kering, mereka lalu membalapkan kuda keluar kota menuju di mana Puncak Pegunungan Kwi-hwa-san tampak tertutup awan.

Kedua orang gadis itu bukanlah gadis-gadis sembarangan. Yang berbaju biru, sang suci, bernama Liang Bi, sedangkan sumoi-nya bernama Kim Cui Leng. Keduanya adalah murid-murid pilihan dari Ketua Siauw-lim-pai di waktu itu, yaitu Kian Ti Hosiang yang amat lihai! Biar pun baru selama lima tahun mereka digembleng oleh Kian Ti Hosiang, namun ilmu kepandaian kedua orang gadis ini amat lihai, maka mereka mendapat kepercayaan Kian Ti Hosiang untuk mewakilinya mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil dari perkumpulan Beng-kauw di selatan.

Tujuan mereka adalah Tai-liang-san di mana terdapat wakil partai Beng-kauw dan Ta-liang-san terletak di sebelah barat Kwi-hwa-san sehingga perjalanan mereka sudah dekat. Paling lama tiga hari lagi mereka akan tiba di tempat tujuan. Akan tetapi, peristiwa pertemuan dengan pemuda tampan gagah itu membuat hati Liang Bi merasa tidak enak sungguh pun sumoi-nya kelihatan gembira dan selalu memuji-muji kebaikan hati pemuda tampan itu.

Menjelang senja mereka tiba di Pegunungan Kwi-hwa-san yang kelihatan sunyi sekali. ”Untung kita berkuda sehingga sebelum gelap tiba di sini, Suci. Kita harus berhati-hati,” kata Cui Leng yang teringat akan isi surat pemberi kuda.

“Huh, siapa percaya kepada obrolan si pembual itu? Kalau ada perampok, tentu dialah orangnya. Biar dia muncul, akan kubayar lunas kelakuannya terhadap kita!” jawab Liang Bi marah.

“Eh, eh...! Kalau engkau hendak membayar lunas, berarti kita harus mengganti uang makanan, hotel dan harga kedua ekor kuda ini. Mana uang kita cukup, Suci?”

Muka Liang Bi menjadi merah. “Bukan itu maksudku. Yang kubayar adalah kelancangannya dan kekurang-ajarannya, kubayar dengan makian, kalau perlu kuhajar dia!”

“Awas, Suci...!” Cui Leng tiba-tiba berseru dan tangannya menangkap sebatang anak panah yang meluncur ke arah dadanya. Akan tetapi, tanpa diperingatkan pun, Liang Bi sudah bergerak cepat dan tangan kirinya sudah pula berhasil menangkap sebatang anak panah yang menyambarnya.

Tiba-tiba terdengar suara bercuitan nyaring dan belasan batang anak panah menyambar ke arah kuda tunggangan mereka! Dengan anak panah rampasan, kedua orang dara perkasa ini menangkis, akan tetapi tidak urung ada anak panah yang menancap di perut kuda mereka. Keduanya berseru keras dan melompat ke atas, berjungkir-balik dan turun ke atas tanah sambil mencabut pedang. Dua ekor kuda itu roboh dan berkelojotan. Dari depan terdengar sorakan dan muncullah dua puluh orang lebih, berlari-lari ke arah mereka.

“Kau masih tidak percaya, Suci?” Cui Leng berkata, teringat akan bunyi surat.

Namun suci-nya menjawab kaku, “Ini tentu perbuatan Si Laknat itu. Kalau muncul gerombolan perampok ini, tentu dialah kepalanya!”

Akan tetapi gerombolan perampok yang terdiri dari dua puluh delapan orang ternyata bukan dipimpin pemuda tampan yang dicurigai, melainkan dikepalai oleh dua orang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar, bersenjata golok besar di tangan kanan dan sebatang cambuk di tangan kiri. Ada pun semua anggota perampok bersenjata golok besar, di pinggang mereka tampak gulungan tali hitam. Tidak tampak pemuda tampan di antara mereka.

“Ha-ha-ha-ha! Suheng! Sungguh untung anak panah kita tadi tidak melukai mereka. Kiranya mereka adalah dua orang nona yang begini denok, sayang kalau terluka. Hari ini kita mendapat untung besar, kita berdua akan memperoleh seorang satu, ha-ha-ha!” Perampok kedua yang bertahi lalat di ujung hidungnya tertawa.

“Kau benar, Sute. Sudah lama kita menjadi duda, dan dua orang nona ini patut menjadi isteri kita. Eh, dua orang nona yang jelita, kalian siapakah dan hendak ke mana? Jangan takut, kami tidak akan mengganggu kalian, bahkan hendak mengangkat kalian menjadi isteri yang tercinta dan hidup mewah di Puncak Kwi-hwa-san,” kata perampok kesatu yang matanya merah.

“Keparat yang bosan hidup!” Cui Leng membentak dan menudingkan pedangnya.

“Jangan sembarangan membuka mulut besar yang berbau menjijikkan! Buka lebar-lebar kedua mata dan telingamu. Kami suci dan sumoi adalah murid-murid Ketua Siauw-lim-pai! Kalian telah lancang tangan membunuh kuda kami, hayo kalian ganti dengan kedua telinga kalian. Buntungkan daun telinga kalian dan kami akan mengampuni jiwa anjing kalian!”

“Ha-ha-ha-ha! Yang galak ini tentu sumoi-nya. Wah, cocok dengan aku, Suheng, aku suka yang liar dan panas. Biar suci-nya itu untukmu, lebih cocok.”

“Benar, Sute. Aku lebih suka yang tenang. Hemm..., tenang menghanyutkan. Ha-ha-ha!”

”Monyet busuk! Kalian benar-benar sudah bosan hidup!” bentak Cui Leng.

“Sumoi, perlu apa banyak bicara dengan cacing rendah ini? Kita basmi mereka!” kata Liang Bi yang sudah menerjang maju diikuti sumoi-nya yang sudah marah sekali.

Akan tetapi sambil tertawa, dua orang kepala rampok itu meloncat ke belakang, jauh dari mereka dan memberi aba-aba dengan suara nyaring kepada anak buahnya yang cepat mengurung dua orang gadis itu, dengan sikap tenang Liang Bi dan Cui Leng memasang kuda-kuda dan memperhatikan gerak-gerik para pengepung mereka yang sudah membuat lingkaran mengelilingi mereka. Dengan pedang melintang di depan dada, tangan kiri diangkat tinggi ke atas kepala berdiri mengadu punggung, kedua orang gadis itu merupakan dua orang pendekar wanita yang amat berbahaya, dan hal ini agaknya dimengerti oleh dua orang kepala perampok maka mereka tidak berani melayani secara langsung melainkan menyuruh anak buah mereka mengeroyok.

Andai kata dua puluh delapan orang anak buah perampok itu mengeroyok secara liar dengan senjata mereka itu, Liang Bi dan Cui Leng akan mudah membasmi mereka. Akan tetapi kiranya dua orang kepala rampok itu adalah orang-orang kasar yang memiliki kepandaian tinggi sehingga anak buah mereka pun terlatih, bahkan pandai membentuk barisan yang kini mulai mengelilingi dua orang dara perkasa itu.

Atas perintah dua orang kepala rampok, anak buah mereka kini melolos gulungan tali hitam. Kembali dua orang pemimpin itu meneriakkan perintah dan tiba-tiba tampak sinar hitam melayang dari sekeliling dua orang gadis itu. Kiranya para anak buah perampok itu telah melontarkan tali hitam ke arah mereka dan tali-tali itu akan melibat tubuh mereka berdua. Liang Bi dan Cui Leng tidak menjadi gentar dan cepat mereka memutar pedang menyambut. Beberapa helai tali hitam terbabat putus, akan tetapi ada yang menyambar ke arah kaki dan tubuh mereka sehingga terpaksa keduanya meloncat ke sana ke mari sambil memutar pedang.

Biar pun tidak ada tali yang dapat membelit tubuh mereka, namun mereka menjadi terpisah dan segera dua puluh delapan orang itu terpecah menjadi dua rombongan, masing-masing empat belas orang mengurung Liang Bi dan Cui Leng! Sehelai tali melibat kaki Cui Leng. Pemegang tali tertawa girang akan tetapi suara ketawanya berubah pekik ketakutan ketika tubuhnya melayang ke udara karena dara ini menggerakkan kakinya yang terbelit tali sedemikian kuatnya sehingga pemegangnya terbawa melayang ke atas dan terlempar ke arah dara ini yang menyambut dengan babatan pedangnya.

“Crokkk!” Perampok itu roboh dan mati seketika karena pinggangnya hampir putus!

Mulailah para perampok itu menerjang dengan golok mereka dan dua orang dara perkasa itu menggerakkan pedang mengamuk. Biar pun para perampok itu rata-rata pandai mainkan golok, namun menghadapi Liang Bi dan Cui Leng, sebentar saja enam orang roboh tak dapat bangun kembali sedangkan beberapa orang lagi terlempar kena tendangan dan merangkak bangun lagi sambil mengaduh-aduh. Kacau-balaulah keadaan para pengeroyok, namun mereka masih mengeroyok penuh semangat karena kini dua orang pimpinan mereka maju sendiri dan ikut mengeroyok.

Perampok mata merah melawan Liang Bi dibantu belasan orang anak buahnya, sedangkan sute-nya, yaitu perampok bertahi lalat, menghadapi Cui Leng, juga dibantu belasan orang. Pertandingan hebat dan mati-matian terjadi dan ternyata bahwa dua orang kepala rampok itu memiliki kepandaian yang lumayan, terutama sekali cambuk mereka yang melecut-lecut di atas kepala lawan membuat kedua orang gadis itu harus bersilat dengan hati-hati.

Selain kelihaian cambuk mereka, juga senjata golok kedua orang kepala rampok ini berat sekali, ditambah tenaga mereka yang seperti gajah membuat dua orang pendekar wanita Siauw-lim-pai mempergunakan ginkang untuk mengelak ke sana ke mari sambil menggerakkan pedang merobohkan lagi beberapa orang anak buah perampok. Darah mulai muncrat ke sana-sini membasahi rumput dan dua orang dara perkasa itu mengamuk dengan hebat, tidak mau berhenti sebelum membasmi semua perampok itu.

Setelah mendapat kenyataan bahwa dua orang wanita yang tadinya hendak mereka tangkap hidup-hidup itu amat lihai, nafsu birahi kedua orang kepala rampok berubah menjadi kemarahan meluap-luap dan kini mereka menyerang untuk membunuh. Namun Liang Bi dan Cui Leng tidak menjadi gentar. Pedang mereka berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyilaukan mata dan amat berbahaya karena setiap orang pengeroyok yang berani terlalu dekat tentu akan roboh disambar pedang. Pengepungan menjadi mengendur dan mereka hanya berani menyerang dari jauh, bahkan tidak berani menyerang secara langsung dari depan, kecuali dua orang kepala rampok yang memutar-mutar cambuk mengeluarkan angin yang berbunyi nyaring bercuitan.

Tiba-tiba dua orang dara perkasa itu menjerit dan terhuyung. Paha kiri Lian Bi dan pundak kanan Cui Leng terkena senjata rahasia yang berupa jarum dengan ronce merah. Mereka tidak tahu siapa yang melepas senjata rahasia secara demikian lihai, datangnya dari atas dan tak tersangka-sangka sehingga mereka yang datang menghadapi pengeroyokan itu tidak dapat mengelak lagi. Liang Bi yang terluka pahanya kini melawan sambil agak terpincang-pincang sedangkan Cui Leng terpaksa memindahkan pedang ke tangan kiri karena lengan kanannya terasa panas dan kaku! Para perampok tidak melihat datangnya senjata rahasia itu, mengira bahwa dua orang gadis itu menjadi lelah. Mereka mengepung semakin ketat sambil berteriak-teriak.

“Tangkap mereka hidup-hidup!” teriak kedua orang kepala perampok sambil mendesak terus.

Liang Bi dan Cui Leng kini menjadi repot. Kalau pihak perampok dapat melepas senjata rahasia demikian lihainya, berarti mereka akan celaka. Untuk mencegah dua orang kepala rampok itu menyerang dengan senjata rahasia lagi, mereka memaksa diri bergerak cepat meloncat ke sana-sini di antara para pengeroyok sehingga membahayakan penyerangan senjata rahasia mengenai kawan sendiri. Biar pun sudah terluka, namun mereka masih sempat merobohkan masing-masing dua orang anak buah perampok lagi. Namun keadaan mereka makin payah, karena luka jarum itu benar-benar menimbulkan rasa panas yang terus menjalar ke seluruh tubuh mereka. Sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi, mereka dapat menduga bahwa tentu saja senjata rahasia itu mengandung racun berbahaya, maka tentu saja mereka mulai merasa khawatir sekali.

Tiba-tiba terdengar suara melengking seperti suling dengan lagu yang amat aneh, makin lama makin keras. Tak lama kemudian terdengar jerit ketakutan disusul robohnya beberapa orang anggota perampok.

"Ular...! Ular...!"...


BERSAMBUNG KE JILID 21