Bu Kek Siansu Jilid 10

SIOK TOJIN mengerutkan alisnya, perutnya terasa panas. Dia tidak pandai bicara, maka dalam kemendongkolannya dia hanya berkata, "Hemm, seekor kerbau diikat hidungnya, manusia diikat mulutnya!"

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-kek Sian-su Karya Kho Ping Hoo
Ucapan ini mengandung maksud bahwa kalau Kiam-mo Cai-li tidak memenuhi janji yang diucapkan dengan mulut, dia sama dengan seekor kerbau! Setelah berkata demikian, tangan kanannya bergerak dan tampaklah sinar berkilau dari pedang yang telah dicabutnya.

"Tentu saja mulutku dapat dipercaya, Siok Tojin! Aku akan mengalahkanmu dalam waktu sembilan jurus!” Kiam-mo Cai-li berkata sambil mengejek. Tangan kanannya memegang payung yang segera terbuka dan dipakainya, sedangkan tangan kirinya meraba-raba sanggul rambutnya, seperti sedang merapikan padahal diam-diam dia melepas tali rambutnya yang panjang itu.

"Sebagai nyonya rumah rasanya kurang sopan jika aku menyerang tamuku. Silakan dimulai, Totiang,” ujar Kiam-mo Cai-li.

“Singgg...!” Siok Tojin langsung menghunus pedangnya. Tosu ini memang lebih pandai berbicara melalui pedang dibandingkan dengan mulutnya.

Pihak lawan sudah memintanya membuka pertarungan, maka tanpa sungkan lagi tosu ini menerjang ke depan, apa-lagi perutnya masih panas akibat dia tadi diremehkan. Melihat iblis wanita yang menjadi lawannya menyandang payung di bahu kanan, langsung pedangnya menusuk lurus ke arah pundak kiri lawan yang lebih terbuka.

Dalam pertarungan biasa, dia akan menusukkan pedangnya tepat ke jantung lawan, tetapi karena pertarungan ini hanya untuk menguji kepandaian, maka sengaja dia arahkan pedangnya lebih tinggi sehingga tidak mengancam jiwa lawannya.

Tidak percuma Liok Si bergelar Cai-li (Wanita Pandai). Melihat gerakan pembuka tosu ini dia lantas paham bahwa pihak lawan memang hanya ingin mengujinya, tidak punya maksud mencelakakan. Sebab itu bibirnya mengembangkan senyum manis, dan dalam hati dia pun bertekad untuk tidak menurunkan tangan berat kepada tosu itu. Begitu pedang datang menyambar, Kiam-mo Cai-li cepat menarik kaki kiri sedikit ke belakang, sedangkan kaki kanannya ditekuk sehingga tubuhnya merendah dan menjauh dari pedang Siok Tojin.

Namun gerakan pembuka tadi ternyata hanya pancingan belaka. Begitu tubuh lawan bergerak, segera Siok Tojin menahan pedangnya, lalu membuat gerakan memutar dan membabat lengan kiri lawan. Kiam-mo Cai-li tidak mengelak lagi, secepat kilat tangan kanannya yang memegang payung digerakkan untuk menangkis pedang yang mengancam lengannya. Melihat urat di dahi tosu itu menegang, tanda bahwa dia sedang mengerahkan tenaga penuh, Kiam-mo Cai-li turut menghimpun sinkang dan menangkis dengan sekuatnya.

“Tranggg...!” timbul percikan api akibat benturan payung dan pedang, diikuti langkah mundur keduanya.

Dalam sekali gebrakan, keduanya langsung paham kemampuan lawan masing-masing. Pedang Siok Tojin bergerak lebih dulu, namun payung Kiam-mo Cai-li yang sampai lebih awal di tempat tujuan, padahal jarak yang ditempuh pedang lebih pendek dibandingkan payung. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan majikan Rawa Bangkai itu masih lebih unggul. 

Selain itu, ketika terjadi benturan tadi Siok Tojin dapat melihat pedangnya sedikit terpental dan merasakan perih di telapak tangannya, sedangkan payung di tangan wanita iblis itu hanya terlihat sedikit tergetar. Mau tidak mau Siok Tojin harus mengakui bahwa sinkang-nya juga lebih asor.

“Hemmm..., baik kecepatan mau pun sinkang-nya lebih unggul, tidak heran lidahnya bisa berucap hingga menjilat langit. Melihat kenyataan ini, sebaiknya aku bertahan saja selama sepuluh jurus, hendak kulihat apa yang bisa dia lakukan terhadap diriku. Lewat sepuluh jurus, jika aku masih berdiri tegak, bukankah dia sendiri yang harus mengaku kalah?” demikian jalan pikiran si tosu dalam mengatur siasat.

Setelah mengambil keputusan demikian, Siok Tojin tidak mau bergerak sembarangan lagi. Dia hanya berdiri tegak dengan kuda-kuda sekokoh batu karang, kedua kaki dipentang dengan lutut sedikit menekuk, pedang menuding diarahkan lurus ke depan, tangan kirinya dipasang melintang di depan dada, sedangkan matanya mengawasi lawan dengan waspada.

Mula-mula Kiam-mo Cai-li tertegun melihat lawannya diam tak bergerak, namun dia segera sadar akan isi benak si tosu. Semenjak sebelum pertarungan dimulai, ketika dia menyatakan akan menundukkan lawannya di bawah sepuluh jurus, wanita cerdik ini sudah memikirkan pula kemungkinan ini.

“Hi-hik..., baru satu jurus Totiang sudah mematung tidak berani maju. Apakah Totiang merasa takut kepada seorang wanita? Bukankah Totiang bermaksud mengujiku? Atau... justru aku yang perlu menguji kepandaian Totiang?” dengan cerdik Kiam-mo Cai-li menyindir tajam sambil tersenyum mengejek.

Walau pun seorang tosu, agaknya Siok Tojin adalah orang yang lebih mengutamakan hati dibandingkan otak. Mendengar sindiran lawan, dia lupa pada siasat yang sudah ditanam dalam pikirannya. “Siapa yang takut?!” bentaknya sambil kembali menerjang.

Kiam-mo Cai-li tahu An-goanswe tidak mungkin mengirim orang lemah untuk menguji dirinya. Bisa melewati rawa maut hingga kakinya menginjak istana kediamannya saja sudah menunjukkan bahwa tosu ini bukan lawan yang mudah dikalahkan begitu saja.

Bila Siok Tojin hanya bertahan saja, dia khawatir hingga lewat sepuluh jurus dirinya belum mampu mengalahkan tosu ini. Karena itu dia memang sengaja memancing kemarahan lawan agar mau menyerang, dengan demikian akan timbul lubang-lubang yang dapat diterobos payung, kuku, atau rambutnya yang seperti cambuk.

Segera kedua orang itu saling serang dengan dahsyat. Walau pun Siok Tojin tidak bertahan sama sekali, namun pada kenyataannya dia ada di pihak yang lebih banyak bertahan. Dalam empat gerakan, dia hanya menyerang satu kali, sisa tiga gerakan lainnya berupa tangkisan atau gerakan mengelak untuk mempertahankan diri. Selain dia kalah cepat, niatnya untuk bertahan tidak terhapus hilang dari otaknya.

Tidak demikian dengan Kiam-mo Cai-li. Wanita ini harus menjatuhkan lawan sebelum jurus ke sepuluh dimainkan, karena itu dia langsung mengembangkan jurus-jurus pilihan. Payungnya berkelebat cepat, kadang tertutup lain kali terbuka, sekali menusuk dua kali membabat. Di samping itu tangan kirinya tidak tinggal diam, akan tetapi turut menyerang dengan kuku-kukunya yang beracun.

Setelah lewat empat lima jurus kedudukan Siok Tojin sudah sangat payah. Seluruh ruang geraknya seakan-akan tertutup tanpa jalan lolos, terkepung oleh kelebatan sinar payung dan cengkeraman kuku jari Kiam-mo Cai-li. Hingga suatu saat, pada jurus kelima, tubuh tosu itu terhuyung setelah pedangnya terpaksa menangkis payung lawan yang menyabet lengan atasnya dengan tenaga penuh.

Tiba-tiba Kiam-mo Cai-li mengeluarkan suara lengking yang membuat telinga semua orang mendengung. Mendadak tangan kiri wanita iblis ini menyerang ulu hati lawan dengan gerakan mencengkeram, mengandalkan kuku jarinya yang panjang dan mengandung racun. Dalam waktu yang bersamaan, payung di tangan kanannya berkelebat secepat kilat membabat pinggang kiri si tosu.

Walau pun dalam keadaan terhuyung, Siok Tojin masih dapat melihat dua serangan sekaligus yang sama berbahaya ini. Cepat tangan kirinya bergerak menangkap pergelangan tangan Kiam-mo Cai-li, sementara pedangnya diayun menangkis payung yang mengarah pada pinggangnya. Kiam-mo Cai-li mendengus, dia biarkan tangan lawan menangkap pergelangan kirinya, namun tanpa mengurangi tenaga, cakar kiri itu tetap mendorong dan mengancam ulu hati Siok Tojin. Di saat itu pula dia kerahkan sinkang pada payungnya sehingga pedang lawan menempel tanpa dapat dilepaskan.

Sekejap itu pula terjadilah adu tenaga antara kedua orang ini, majikan Rawa Bangkai berada pada kedudukan menyerang, sedangkan utusan An Lu Shan berjuang untuk mempertahankan diri. Pada saat itu, hanya sekejap saja, Siok Tojin sempat melihat senyum di bibir Kiam-mo Cai-li tanpa tahu apa maksudnya. Dia baru tersentak keget ketika kepala wanita itu tiba-tiba menghentak ke depan, diikuti oleh serangkum bayangan hitam yang panjang bagaikan ular menyambar ke arahnya.

"Ehhh... celaka...!!" Siok Tojin berseru.

Akan tetapi bagaimana dia dapat menghindarkan diri dari serangan ke tiga ini? Kedua tangannya telah menahan dua ancaman maut dan sama sekali tidak bisa dilepaskan.

"Plak-plak...!!" seperti ular hidup mematuk saja layaknya, ujung rambut panjang itu menotok dua kali, membuat ke dua lengan tangan Siok Tojin seketika lumpuh dan pedangnya telah dirampas oleh ujung rambut yang terayun-ayun dan berputar ke atas, membawa pedang itu berputaran di atas kepala.

"Bagaimana, Totiang?" Kiam-mo Cai-li bertanya.

Sambil menundukkan kepalanya, Siok Tojin berkata lirih, "Pinto mengaku kalah."

Memang dia tahu akan kekeliruannya sekarang, akan tetapi dia harus mengaku bahwa dia telah dikalahkan dalam lima enam jurus saja! Dia tahu pula bahwa lawan tidak hendak mencelakakannya, kalau tidak, tentu ujung rambut itu dapat melakukan totokan maut yang akan menewaskannya.

Rambut itu membawa pedang meluncur ke bawah dan melempar pedang menancap di depan kaki Siok Tojin, kemudian dua kali rambut menyambar, dan menotok sehingga terbebaslah tosu itu dari totokan. Siok Tojin menghela napas, mengambil pedangnya, menjura lalu tanpa berkata-kata lagi dia melangkah mundur ke tempat teman-temannya.

"Ha-ha-ha, bukan main hebatnya Kiam-mo Cai-li. Pedang payung lihai, kukunya berbahaya, rambutnya hebat, akan tetapi yang lebih hebat lagi adalah kecerdikannya yang memancing kemarahan Siok Tojin! Memang kecerdikan seperti itu amat dibutuhkan dalam tugas bekerja dari dalam yang membutuhkan kecerdikan seperti yang dimiliki Kiam-mo Cai-li. Kionghi (Selamat)! An-goanswe tentu akan girang sekali mendengar laporan kami tentang diri Kiam-mo Cai-li!"

Kiam-mo Cai-li yang sudah duduk kembali, tersenyum girang. “Aihh, Lo-enghiong Pat-jiu Mo-kai terlalu memuji!” katanya dengan bangga dan girang.

"Sekarang untuk melengkapi tugas kami yang diberikan oleh An-goanswe, kuharap The-toanio suka memperlihatkan kepandaian," kata pula Pat-jiu Mo-kai sambil melangkah maju menyeret tongkat bututnya. "Dan agaknya terpaksa aku sendiri yang harus maju melayani Toanio."

The Kwat Lin masih tetap duduk dan memandang kakek pengemis itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian dengan suara tenang dia berkata, "Siapa-lagi yang diutus oleh An-goanswe untuk menguji kami?"

"Hanya kami bertiga, dan karena Siok Tojin sudah kalah....."

"Maka tinggal engkau dan Tan-lo-enghiong itu. Nah, kau lihat Tan-lo-enghiong juga telah membawa senjatanya, membawa sebatang toya, maka sebaiknya kalau kalian berdua maju dan mengeroyokku!"

Pat-jiu Mo-kai tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, The-toannio, apakah Toanio juga hendak menggunakan siasat seperti Kiam-mo Cai-li tadi? Ingat, tidaklah mudah untuk memancing kemarahanku!"

The Kwat Lin mengerutkan alisnya, lalu melangkah maju. "Siapa yang menggunakan siasat? Tanpa siasat pun aku masih sanggup menghadapi kalian berdua."

Tiba-tiba terdengar suara Han Bu Ong, "Ibu, berikan dia kepadaku! Biar aku yang menandingi pengemis tua itu!"

Pat-jiu Mo-kai diam-diam terkejut. Kalau seorang anak belasan tahun berani menghadapinya, tentu ibunya memiliki kepandaian yang hebat sekali.

Akan tetapi The Kwat Lin menoleh kepada puteranya dan berkata, "Bu Ong, kita tidak sedang menghadapi musuh, dan pertandingan ini hanya untuk menguji kepandaian saja. Jangan kau ikut-ikut!"

Han Bu Ong cemberut, lalu berkata, "Apa-lagi hanya dikeroyok dua, biar kalian berlima maju semua, ibu akan dapat mengalahkan kalian dengan satu tangan saja!"

Kembali Pat-jiu Mo-kai terkejut. Bocah itu, putera The Kwat Lin, tidak boleh dianggap seperti bocah biasa. Dia tentu telah memiliki kepandaian tinggi pula, maka kata-katanya tidak boleh dianggap kosong belaka. Lenyaplah keraguannya dan dia berkata kepada The Kwat Lin, "Memang sesungguhnya aku sendiri dan Tan Goan Kok merupakan orang-orang yang diutus menguji kepandaian Toanio, apakah kami boleh maju bersama menghadapi kelihaian Toanio?"

Dengan sikap tak acuh The Kwat Lin berkata sambil menggerakkan tangan kirinya, "Majulah, jangan sungkan-sungkan!"

Tan Goan Kok yang berwatak kasar itu melompat ke depan. "Hemm, tentu Nyonya rumah memiliki kelihaian yang luar biasa maka menantang kita maju berdua, Pat-jiu Mo-kai!"

Pat-jiu Mo-kai mengangguk-angguk. "Hati-hatilah, Tan-sicu."

Mereka berdua lalu memasang kuda-kuda di sebelah kanan-kiri The Kwat Lin. Pat-jiu Mo-kai memegang tongkat butut dengan tangan kanan seperti memegang sebatang pedang. Tongkat itu menuding lurus ke depan dari dadanya, sedangkan tangan kirinya menjaga di depan pusar. Kedua kakinya ditekuk sedikit, agak merapat di depan dan belakang. Tan Goan Kok memegang toyanya dengan kedua tangan. Kuda-kudanya kuat sekali, kokoh seperti batu karang dan toya di kedua tangannya itu sedikit pun tidak bergoyang.

Melihat dua orang itu sudah memasang kuda-kuda, The Kwat Lin lalu mencabut pedangnya, yaitu Ang-bwe-kiam dan melangkah maju sambil berkata, “Nah silakan kalian mulai!"

"Kami adalah tamu-tamu dan kami maju berdua, tidak pantas kalau kami mulai, silakan Toanio mulai," kata Pat-jiu Mo-kai yang tidak mau membuka serangan karena dia ingin lawan maju menyerang lebih dulu agar dia atau temannya dapat mengacaukan pertahanan lawan dengan serangan mendadak.

The Kwat Lin tersenyum, maklum akan siasat kakek jembel itu. "Nah, sambutlah!" teriaknya.

Pat-jiu Mo-kai kecele kalau hendak melanjutkan siasatnya, karena tiba-tiba pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar yang menyambar ke arah mereka seperti kilat cepatnya sehingga sekali bergerak, pedang itu telah menyerang mereka berdua dalam waktu yang hampir bersamaan! Tentu saja mereka terkejut sekali dan cepat menggerakkan tongkat dan toya untuk menangkis.

"Trang...! Cringggg...!!"

Pat-jiu Mo-kai dan Tan Goan Kok terhuyung ke belakang. Tenaga yang keluar dari Ang-bwe-kiam sungguh dahsyat, membuat telapak tangan mereka terasa panas dan hampir saja senjata mereka terlepas. Terkejutlah kedua orang itu dan The Kwat Lin diam-diam mentertawakan mereka karena dia memang hendak mengukur lebih dulu kekuatan lawan. Karena merasa penasaran, kini ke dua orang itu maju dari kanan-kiri dan mulailah mereka menyerang dengan ganas.

Kwat Lin sudah dapat mengetahui bahwa di antara kedua orang pengeroyoknya, tongkat kakek jembel itulah yang lebih lihai, maka dia selalu mendahulukan tangkisannya terhadap tongkat itu, baru dia menangkis toya yang menyambar.

Dia tahu bahwa kakek Tan Goan Kok yang kasar itu hanyalah mengandalkan tenaga gwakang yang besar, namun makin besar tenaga kasar lawan, makin mudah dia menghadapinya karena sedikit getarkan pedang yang dilakukan dengan pengerahan sinkang cukup membuat telapak tangan Tan Goan Kok terpukul sendiri oleh tangannya.

Lewat sepuluh jurus, setelah dia yakin akan ukuran tenaga kedua orang lawannya, tiba-tiba The Kwat Lin menyarungkan kembali pedangnya dan menghadapi kedua lawan itu dengan tangan kosong.

Tentu saja dua orang lawannya cepat menahan senjata dan Pat-jiu Mo-kai berseru, “Heiii, The-toanio. Kami belum kalah, mengapa engkau mengakhiri pertandingan?"

"Siapa mengakhiri? Lanjutkanlah serangan kalian, aku menyimpan pedang karena takut rusak."

"Huhhh, dengan tangan kosong pun ibu akan mudah mengalahkan kalian!"

Mendengar teriakan bocah itu, dua orang kakek itu lalu maju lagi dan menggerakkan senjata mereka untuk menyerang. Tongkat Pat-jiu Mo-kai melayang dari atas menghantam kepala, sedangkan toya Tan Goan Kok menyambar dari samping menghantam lambung! Mereka terkejut setengah mati melihat lawan itu sama sekali tidak mengelak, hanya miringkan sedikit tubuhnya dan meloncat sedikit.

"Bukk! Bukkk!!" tongkat itu dengan kerasnya menghantam leher dan toya itu menghantam pangkal paha, akan tetapi tiba-tiba dua orang kakek itu roboh terguling dalam keadaan lemas tertotok!

"Horeeee...!!" Han Bu Ong bersorak melihat betapa dalam segebrakan saja setelah ibunya menyimpan pedang, dua orang pengeroyok itu dapat dirobohkan.

Sementara itu The Kwat Lin cepat membebaskan totokannya sehingga dua orang kakek itu dapat bangkit sambil memungut senjata mereka dan memandang dengan mata terbelalak kagum kepada wanita itu. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa mereka dapat dirobohkan hanya dalam segebrakan saja, namun kenyataannya memang demikian. Mengingat akan siasat lawan ini, mereka bergidik dan kagum sekali.

Ternyata ketika tadi dia menggunakan pedang, The Kwat Lin hanya ingin mengukur sampai di mana kekuatan dua orang lawannya. Setelah yakin benar, dia menyimpan pedang dan sengaja menerima hantaman yang sudah dia ukur akan dapat diterima oleh leher dan pinggulnya. 

Kemudian pada saat kedua senjata itu tiba di tubuhnya, dia menggunakan kesempatan selagi kedua orang kakek itu terkejut melihat lawan tidak mengelak dan menerima pukulan. Cepat seperti kilat kedua tangan The Kwat Lin bergerak dan berhasil menotok roboh dua orang kakek yang sama sekali tidak menduga bahwa lawan yang terkena hantaman dua kali itu akan menotok mereka!

"Bukan Main!!!" Tan Goan Kok berseru dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu tanding sehebat itu. "Kami mengaku kalah! Kiranya The-toanio memiliki kelihaian yang amat luar biasa dan kami akan melaporkan semua ini kelak kepada An-goanswe," kata Pat-jiu Mo-kai.

The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li girang sekali setelah dapat menundukkan para utusan itu, maka pesta lalu diadakan untuk menyambut utusan-utusan An Lu Shan. Sambil makan minum mereka lalu merundingkan dan merencanakan siasat untuk bekerja sama.

Dalam kesempatan ini, Pat-jiu Mo-kai mengeluarkan sebuah peti hitam kecil dan menyerahkannya kepada The Kwat Lin sambil berkata, "Harap Toanio suka menerima hadiah tanda persahabatan dari An-goanswe ini."

The Kwat Lin menyatakan terima kasih, lalu bersama Kiam-mo Cai-li membuka peti yang berisi emas dan perak dalam jumlah yang cukup banyak. The Kwat Lin lalu melepaskan rantai kalungnya dan menyerahkannya kepada Pat-jiu Mo-kai sambil berkata, "Kami tidak mempunyai apa-apa untuk dipersembahkan kepada An-goanswe sebagai tanda persahabatan ini, harap Mo-kai suka menerima dan menyampaikan kepada beliau."

Pat-jiu Mo-kai menerima kalung itu. Mereka berlima terbelalak kagum melihat mata kalung yang amat besar dan indah penuh batu permata yang amat luar biasa. Biar pun mereka bukanlah ahli, namun pengalaman membuat mereka, terutama tiga orang kakek itu, dapat menduga bahwa harga kalung ini tidak kalah mahalnya dengan peti dan isinya, hadiah dari An Lu Shan tadi!

"Hendaknya di antara pelaporan Cuwi, diberi-tahukan kepada An-goanswe bahwa kami sama sekali tidak membutuhkan harta benda, melainkan hendaknya An-goanswe mengingat bahwa saya adalah bekas Ratu Pulau Es dan puteraku adalah seorang Pangeran. Sedangkan Kiam-mo Cai-li adalah majikan Rawa Bangkai sehingga kelak kalau perjuangan kita berhasil, sudah sepatutnya kalau kami memperoleh kedudukan yang setingkat dengan keadaan dan dengan bantuan kami."

Mengertilah tiga orang kakek itu bahwa wanita lihai bekas ratu ini ternyata memiliki ambisi untuk kedudukan tinggi bagi puteranya.

* * *

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Liu Bwee, Ratu Pulau Es yang bernasib sengsara, ibu dari Swat Hong itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Liu Bwee meninggalkan Pulau Es, naik perahu dan mencari atau menyusul puterinya, Han Swat Hong yang lebih dulu meninggalkan Pulau Es menuju ke Pulau Neraka hendak menggantikan hukuman yang dijatuhkan oleh Raja Pulau Es atas diri Liu Bwee.

Sambil menahan tangisnya, wanita yang menderita sengsara karena madunya ini mendayung perahu secepatnya meninggalkan Pulau Es. Akan tetapi, biar pun semenjak kecil berada di Pulau Es, namun dia belum pernah pergi Ke Pulau Neraka.

Siapakah orangnya yang berani pergi ke Pulau Neraka, kecuali mereka yang memang dihukum buang ke pulau terkutuk itu? Karena tidak mengenal jalan, Liu Bwee menjadi bingung, apa-lagi karena tidak lagi melihat bayangan puterinya.

Dia adalah puteri nelayan Pulau Es, tentu saja dia pandai mengemudikan perahu. Akan tetapi karena tidak tahu di mana letaknya Pulau Neraka, dia menjadi bingung dan meluncurkan perahunya tanpa arah tertentu, asal meninggalkan Pulau Es sejauh-jauhnya saja. Dia ingin menjauhkan diri dari suaminya yang amat tercinta, dan terutama dari The Kwat Lin, madunya yang telah menghancurkan hidupnya.

Setelah sehari semalam berputaran tanpa tujuan dan sama sekali tidak melihat Pulau Neraka atau puterinya, bahkan tidak melihat seorang pun manusia yang dapat dia tanyai di antara gumpalan-gumpalan es yang mengambang di laut dan pulau-pulau kosong yang banyak terdapat di situ, tanpa makan tanpa tidur, akhirnya Liu Bwee terpaksa mendarat di sebuah pulau kosong yang subur.

Dia mencari makanan untuk memenuhi tuntutan perutnya yang lapar. Melihat bahwa pulau ini cukup subur dan baik hawanya, dia mengambil keputusan untuk tinggal di pulau itu, betapa selama hidupnya sampai hari akhir. Dia sudah merasa bosan dengan urusan dunia yang hanya mendatangkan kesengsaraan batin belaka.

Mulailah Liu Bwee, wanita cantik yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun dan masih kelihatan muda sekali itu mengasingkan diri dan bertapa di pulau kosong sampai hampir enam bulan lamanya. Dia sudah menemukan ketenteraman batin, melupakan segala urusan duniawi.

Namun ada saja sebabnya kalau memang belum jodohnya menjadi pertapa. Pada suatu hari, badai yang amat hebat mengamuk. Badai inilah yang membasmi Pulau Es dan badai ini mengamuk juga di pulau kosong di mana Liu Bwee bertapa itu.

Badai itu hebat bukan main! Biar pun Liu Bwee tadinya sudah bersembunyi di dalam goa, dia diterjang air laut yang naik ke atas pulau. Berkat ketangkasan dan kepandaiannya, Liu Bwee berhasil menyambar ujung ranting pohon ketika tubuhnya diseret oleh arus ombak laut yang amat kuat dan dia berhasil naik ke puncak pohon kecil yang menyelamatkannya.

Akan tetapi air terus datang bergelombang dari arah laut dan dia harus berpegang kepada batang pohon itu kuat-kuat setiap kali air menghantamnya dengan kekuatan yang amat dahsyat. Dan hal ini berlangsung berjam-jam.

Betapa pun kuatnya Liu Bwee, dia hanya seorang manusia, maka makin lama makin lemaslah tubuhnya karena dia harus berjuang melawan air laut yang dahsyat itu. Setiap kali ombak datang bergulung, setiap kali pula hampir menenggelamkan pohon itu. Selain dia harus berpegangan kuat-kuat mengerahkan sinkang-nya agar jangan sampai terseret oleh air, juga dia harus menahan napas karena air menghantam seluruh tubuh dan mukanya.

"Celaka...!" pikirnya ketika untuk kesekian puluh kalinya dia berhasil mempertahankan dirinya dari serangan air laut. "Kalau terus begini, aku tidak akan kuat lagi bertahan...."

Liu Bwee melihat ke kanan-kiri. Banyak pohon yang sudah tumbang dan dia merasa ngeri. Kalau pohon di mana dia berlindung ini tumbang, dia tentu akan tewas. Sayang dia tidak dapat pindah ke pohon yang tinggi di sana itu, tentu di sana dia akan aman karena air tidak dapat mencapai pohon itu. Kembali datang serangan air. Liu Bwee memejamkan mata, menahan napas dan berpegangan erat-erat, maklum bahwa yang datang ini adalah ombak yang amat ganas dan kuat.

"Haiii...! Yang di sana itu...! Berpeganglah kuat-kuat! Aku akan berusaha menolongmu!" suara teriakan laki-laki ini datang dari arah pohon tinggi tadi.

Liu Bwee membuka matanya, melihat sinar hitam kecil menyambar dari pohon besar itu. Akan tetapi pada saat itu air pun datang menerjang dengan kekuatan yang amat dahsyat.

"Oughhh...!"

Betapa pun kuat kedua tangan Liu Bwee berpegang pada ranting pohon, namun kekuatan air itu lebih dahsyat lagi. Terdengar batang itu patah dan tubuh Liu Bwee hanyut terseret ombak. Dia sudah putus asa dan menyerahkan jiwa raganya kepada Tuhan. "Matilah aku...," bisiknya.

Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terasa nyeri dan tertahan, kemudian tubuhnya ditarik menuju ke pohon besar! Ketika dia memperhatikan, kiranya tubuhnya telah terlibat sehelai tali hitam yang amat kuat dan teringatlah dia akan sinar hitam yang tadi menyambar kepadanya sebelum air menghantamnya. Dia maklum bahwa ada orang menolongnya, maka bangkit kembali semangatnya untuk melawan maut, untuk mempertahankan hidupnya.

Liu Bwee mulai menggerakkan kaki tangannya, berenang agar tidak sampai tengelam. Dia membiarkan dirinya diseret oleh tali itu ke arah pohon besar yang lebih tinggi itu. Napasnya terengah-engah hampir putus karena tenaganya sudah habis dipergunakan untuk melawan hantaman-hantaman air yang bertubi-tubi tadi.

Kalau saja tidak ada tali hitam yang melingkari pinggangnya yang selain menariknya ke arah pohon juga menahannya dari seretan ombak, tentu dia tidak sanggup berenang ke pohon itu. Dia berenang hanya untuk mencegah tubuhnya tenggelam saja.

Tahulah dia bahwa nyawanya diselamatkan oleh tali itu dan diam-diam dia berterima kasih sekali kepada orang yang berada di pohon dan yang belum tampak olehnya itu. Dengan seluruh tenaga yang masih bersisah padanya, Liu Bwee berusaha keras agar dia tidak sampai tenggelam.

"Pertahankanlah... sebentar lagi...," terdengar suara laki-laki tadi dari pohon.

Liu Bwee merasa betapa tubuhnya ditarik makin cepat ke arah pohon karena dari arah laut sudah datang lagi gelombang yang amat dahsyat. Ngeri juga dia menyaksikan gelombang sebesar gunung yang datang bergulung-gulung dari depan seolah-olah seekor naga raksasa yang datang hendak menelannya.

"Cepat... cepatlah!" dia merintih.

Dalam keadaan setengah pingsan dia merasa betapa tubuhnya ditarik atau lebih tepatnya diseret ke arah pohon itu. Akhirnya dia tiba di pohon itu dan sebuah lengan yang kuat menyambarnya. Tubuhnya diangkat ke atas pohon tepat pada saat gelombang itu datang bergulung-gulung. Liu Bwee mengeluh dan tak sadarkan diri!

"Aneh...!" lapat-lapat Liu Bwee mendengar kata-kata ‘aneh’ itu.

Akan tetapi seluruh tubuhnya sakit-sakit, kepalanya pening dan tenaganya habis, maka dia tidak membuka mata dan membiarkan saja ketika merasa betapa ada telapak tangan hangat menyentuh tengkuknya. Dari telapak tangan itu keluar hawa sinkang yang hangat dan membantu peredaran jalan darahnya, memulihkan kembali tenaganya secara perlahan-lahan.

"Aneh sekali...!"

Kini Liu Bwee teringat semua dan mengenal suara itu sebagai suara laki-laki yang menolongnya. Cepat dia membuka matanya dan menggerakkan tubuhnya hendak bangkit duduk. Akan tetapi hampir dia menjerit karena tubuhnya limbung dan kalau laki-laki itu tidak cepat menyambar lengannya, tentu dia sudah jatuh terguling dari atas batang pohon yang besar itu, jatuh ke bawah yang masih direndam air laut yang masih berguncang.

"Ahhh...!" keluh Liu Bwee, lalu mengangkat muka memandang.

Seorang laki-laki, usianya tentu sudah empat puluh tahun lebih, duduk di atas dahan di depannya. Laki-laki itu berwajah gagah sekali. Alisnya tebal, matanya lebar dan air mukanya yang penuh goresan tanda penderitaan batin itu kelihatan matang dan penuh ketulusan hati. Tubuhnya tegap, pakaiannya bersih dan rapi, dan di punggungnya tampak sebatang pedang.

Laki-laki itu memandang kepadanya dengan air muka membayangkan keheranan, maka tentu laki-laki ini yang tadi berkali-kali menyerukan kata-kata ‘aneh’ dan tentu laki-laki ini pula yang telah menolongnya karena di dalam pohon itu tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.

"Engkaukah yang menyelamatkan nyawaku tadi? Aku harus menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolonganmu," Liu Bwee berkata sambil memandang wajah yang gagah dan sederhana itu.

Laki-laki itu mengelus jenggot yang hitam panjang, menatap wajah Liu Bwee, lalu berkata, "Harap jangan berkata demikian. Dalam keadaan dunia seolah-olah kiamat ini, alam mengamuk dahsyat tak terlawan oleh tenaga manusia mana pun, sudah sepatutnya kalau di antara manusia saling bantu-membantu. Hemmm... sungguh aneh sekali...!"

"In-kong (Tuan Penolong), mengapa berkali-kali mengatakan aneh?" tanya Liu Bwee.

Orang itu tidak tertawa, hanya mengelus jenggotnya dan menatap wajah Liu Bwee tanpa sungkan-sungkan, seolah-olah dia sedang memandang benda yang aneh dan belum pernah dilihatnya. "Siapa kira di pulau kosong ini, di mana laki-laki pun sukar untuk hidup, terdapat seorang wanita yang masih muda dan cantik jelita."

Liu Bwee merasa betapa mukanya menjadi panas dan dia tahu bahwa tentu kulit mukanya menjadi merah sekali. Diam-diam dia memaki dirinya sendiri. “Huh, apa artinya kau bertapa sampai berbulan-bulan kalau sekarang mendengar pujian dari mulut seorang laki-laki kau lantas merasa berdebar dan girang?” demikian dia memaki dalam hatinya.

Untuk menutupi perasaannya, dia pura-pura tidak mendengar dan cepat bertanya, "Bagaimana In-kong bisa tiba di tempat ini? Setahuku, di pulau ini tidak ada orang lain kecuali aku seorang."

"Memang aku tidak tinggal di pulau ini, Toanio...."

Kembali wajah Liu Bwee menjadi merah mendengar sebutan ‘nyonya besar’ ini. Laki-laki itu terlalu merendahkan diri.

"Aku adalah seorang perantau di antara pulau-pulau kosong di sekitar tempat ini, akan tetapi tidak pernah mendarat di sini karena tidak menyangka bahwa di sini ada orangnya. Sekali mendarat di sini, badai mengamuk dan kebetulan sekali aku melihat engkau berjuang melawan maut di pohon kecil itu."

"Untung bagiku. engkau seolah-olah diutus oleh Thian untuk datang menolongku."

"Aku girang berhasil menyelamatkanmu, dan aku kagum sekali. Belum tentu ada satu di antara seribu orang yang akan dapat bertahan melawan hantaman gelombang air laut sehebat itu berkali-kali, dan kau malah masih kuat berenang. Inilah yang mengherankan aku. Seorang wanita muda....."

"Aku tidak muda lagi, usiaku sudah tiga puluh lima tahun...."

"Itu masih muda namanya, setidaknya bagiku. Seorang wanita muda...," dan mata laki-laki itu bercahaya penuh tantangan sehingga Liu Bwee tidak membantah lagi, "cantik dan berkepandaian tinggi, bukan orang sembarangan, ini sudah jelas sekali, berada seorang diri di pulau kosong. Siapa tidak akan merasa heran?"

"Aku sedang mencari puteriku yang hilang...."

"Ah...!" laki-laki itu terkejut dan memandang penuh perhatian. "Berapakah usianya dan siapa namanya? Aku akan membantumu mencarinya," dia bicara dengan suara mengandung keperihatinan dan perasaan iba yang nampak jelas sekali sehingga Liu Bwee merasa makin tertarik dan berterima kasih. Jelas baginya bahwa penolongnya adalah seorang laki-laki yang baik hati, sungguh pun kehadirannya di bagian dunia yang amat terasing ini bukanlah hal yang tidak aneh.

"Dia sudah dewasa, sekitar enam belas tahun, namanya Han Swat Hong...."

"Ahhh?!" kembali laki-laki itu memotong dengan seruan kaget dan matanya terbelalak memandang Liu Bwee. "She Han...? Apa hubungannya dengan Han Ti Ong?"

"Dia anaknya...." Liu Bwee sendiri terkejut karena merasa telah terlanjur bicara, maka dia menahan kata-katanya.

Laki-laki itu terkejut dan jelas terbayang di mukanya betapa jawaban ini sama sekali tidak disangkanya. Matanya memandang Liu Bwee dengan penuh perhatian dan penuh selidik, dan sampai lama dia baru bertanya. "Kalau puterimu itu adalah anak Han Ti Ong berarti bahwa... Paduka adalah Ratu Pulau Es...."

Liu Bwee menarik napas panjang. Dia tidak dapat bersembunyi lagi, dan pula, orang yang telah menyelamatkan nyawanya ini memang berhak untuk mengetahui semuanya. Apa-lagi karena memang penderitaan batinnya adalah karena terkumpulanya rasa penasaran di dalam hatinya yang membutuhkan jalan ke luar. Selain ini, sebutan ‘paduka’ amat menyakitkan telinganya. Maka dia kembali menarik napas panjang. "Itu sudah lalu... sekarang aku bukanlah ratu lagi, melainkan seorang buangan....."

"Apa...?! Seorang permaisuri dibuang dari Pulau Es?"

Liu Bwee lalu menceritakan riwayatnya, menceritakan betapa suaminya, Raja Pulau Es telah mengambil seorang selir bernama The Kwat Lin dan betapa akhirnya karena ulah selir itu, dia difitnah dihukum buang Ke Pulau Neraka!

"Puteriku, Han Swat Hong menjadi marah dan lari minggat dari Pulau Es hendak mewakili aku menerima hukuman buang di Pulau Neraka. Aku mengejarnya, akan tetapi tidak berhasil, bahkan aku tersesat ke pulau ini. Karena merasa putus harapan, aku lalu bertapa di sini sampai enam bulan lamanya. Hari ini semestinya penderitaanku berakhir, akan tetapi agaknya Thian masih hendak memperpanjang hukumanku makanya aku dapat kau selamatkan...," tak tertahankan lagi, Liu Bwee menutupi mukanya dan menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja dia terisak-isak.

"Krekkk! Krekkk!" ranting kayu di depan laki-laki itu telah hancur berkeping-keping karena diremasnya dengan tangan kanan. "Kejam! Jahat sekali! Orang yang merasa dirinya bersih adalah sekotor-kotornya orang! Seperti Han Ti Ong dan semua raja di Pulau Es! Menghukumi orang-orang dan membuang mereka ke Pulau Neraka, hidup di neraka yang amat sengsara. Akan tetapi mereka sendiri, si penghukum itu, melakukan kekejian dan kejahatan bertumpuk-tumpuk dan merasa dirinya benar! Betapa menjemukan! Aku akan mempertaruhkan nyawa untuk menentang kejahatan dan kepalsuan macam ini!"

Liu Bwee mengangkat mukanya memandang. Kedua pipinya masih basah oleh air matanya. "In-kong, engkau siapakah dan mengapa seolah-olah menaruh permusuhan dengan Pulau Es?"

"Aku bernama Ouw Sian Kok, aku putera tunggal dari ketua di Pulau Neraka."

"Ohhh...!!" kini giliran Liu Bwee yang menjadi kaget setengah mati karena tidak mengira bahwa penolongnya ternyata adalah musuh besar Pulau Es!

"Harap Paduka jangan khawatir...."

"In-kong, jangan kau menyebutku Paduka. Aku bukanlah seorang permaisuri lagi, melainkan seorang buangan seperti engkau pula. Kau tahu bahwa namaku Liu Bwee, orang biasa anak nelayan, hanya bekas ratu yang sekarang menjadi orang buangan."

"Hem, baiklah Liu-toanio. Dan aku pun tidak suka disebut In-kong. Aku lebih tua dari-padamu, sebut saja aku Twako. Sebutlah, aku bukanlah musuh langsung dari Pulau Es, karena aku bukan seorang buangan, melainkan keturunan seorang buangan.

Akan tetapi aku pun hanya bekas putera Ketua Pulau Neraka karena sudah lima belas tahun lamanya aku meninggalkan Pulau Neraka, tidak pernah menjenguknya lagi dan menjadi perantau di antara pulau-pulau kosong ini...." Tiba-tiba wajah yang gagah itu kelihatan menyuram.

"Eh, kenapakah Ouw-twako? Apa yang terjadi denganmu maka engkau menjadi demikian?" Liu Bwee bertanya, tertarik hatinya.

Ouw Sian Kok menghela napas panjang, agaknya tidak suka menceritakan peristiwa masa lalu yang telah merubah jalan hidupnya sama sekali. "Aku memang sudah tidak senang tinggal di Pulau Neraka. Keadaan pulau itu membuat orang yang tinggal di situ menjadi buas, liar dan kejam karena terpaksa oleh kekejaman di pulau itu. Akan tetapi sebagai putera ketua, aku menekan ketidak senanganku dan terutama karena aku hidup penuh kasih sayang dengan isteriku. Kami mempunyai seorang anak perempuan yang sudah lima belas tahun tidak pernah kulihat. Tuhan menghukum aku. Isteriku yang tercinta itu meninggal dan aku... aku lalu pergi meninggalkan ayah, anakku, dan Pulau Neraka sampai sekarang."

Sehabis bercerita, Ouw Sian Kok menundukkan mukanya dan berkali-kali menghela napas panjang.

Liu Bwee memandang dengan mata penuh belas kasihan, bengong dan tidak dapat berkata-kata. Betapa besar persamaan penderitaan di antara mereka. Dia pun kehilangan suami. Sungguh pun suaminya masih hidup, akan tetapi apa bedanya dengan mati kalau suaminya sudah tidak mencintainya lagi?

Dan dia kehilangan anaknya pula, sama benar dengan nasib Ouw Sian Kok yang kehilangan isteri dan anaknya. Hanya bedanya, kalau dia mencari-cari Swat Hong, adalah laki-laki ini sengaja meninggalkan puterinya.

"Kasihan engkau, Ouw-twako," katanya sambil menyentuh tangan laki-laki yang telah menolongnya itu.

Ouw Sian Kok menghela napas, kemudian tiba-tiba mengangkat mukanya dan tersenyum. "Betapa aneh dan lucunya. Engkau yang bernasib malang ini menaruh kasihan kepada aku! Hemm, isteriku dirampas oleh Tuhan, aku tidak mungkin bisa mendendam. Sebaliknya, suamimu dirampas wanita lain, itu merupakan hal yang lebih menyakitkan hati lagi. Sudahlah, lebih baik kita melupakan semua itu dan yang terpenting kita memperhatikan keadaan kita sendiri, berusaha menghindarkan bahaya. Lihat, badai mulai berhenti dan air yang merendam pulau sudah surut dan kembali ke laut, cuaca sudah terang dan tidak segelap tadi!"

Liu Bwee memandang ke bawah lalu ke kanan-kiri. Benar saja, badai telah berhenti. Seketika lupalah dia akan segala kedukaan dan wajahnya berseri. Dia tidak tahu, betapa Ouw Sin Kok memandangnya dengan penuh kagum melihat wajah cantik dengan air mata yang masih menempel di pipi itu kini tersenyum dan berseri-seri.

"Mari kita turun!" kata Liu Bwee setelah melihat bahwa dengan amat cepatnya air telah meninggalkan pulau, seperti serombongan anak-anak nakal yang pulang ke rumah dipanggil ibunya.

Mereka meloncat turun dan menuju ke tepi pantai di mana Ouw San Kok menaruh perahunya. Girang hatinya bahwa sebelum meninggalkan perahu ketika badai mulai mengamuk, dia telah mengikat perahunya dengan kuat sekali pada batu karang sehingga kini perahunya itu masih berada di situ. Akan tetapi perahu Liu Bwee lenyap tak meninggalkan bekas.

"Liu-toanio, mari kita berangkat."

"Eh, ke mana?" Liu Bwee memandang penuh keheranan dan mengerutkan alisnya.

"Ke Pulau Es."

"Apa...? Apa maksudmu?" Liu Bwee hampir menjerit. "Aku tidak sudi! Aku tidak mau kembali hanya untuk menerima penghinaan saja."

"Liu-toanio, seorang wanita seperti Toanio tidak selayaknya hidup sengsara seperti ini. Han Ti Ong telah berlaku sewenang-wenang dan tersesat. Biarlah aku yang akan menegur dan mengingatkan akan kesesatannya itu, Toanio. Aku tidak rela melihat Toanio diperlakukan dengan tidak adil, aku tidak rela melihat Toanio hidup sengsara. Marilah dan jangan khawatir, aku sebagai seorang laki-laki tentu akan lebih mudah menyadarkan suamimu yang sedang tergila-gila kepada wanita lain itu. Akulah yang bertanggung-jawab, dan aku pertaruhkan nyawaku untuk itu."

Liu Bwee memandang dengan kaget dan terheran-heran, bengong dan seperti terpesona sehingga dia menurut saja ketika diajak naik ke perahu oleh Ouw Sian Kok. Setelah perahu meluncur, barulah dia dapat berkata, "Ouw-twako... mengapa kau melakukan semua ini untukku? Mengapa engkau menolongku, membelaku mati-matian? Mengapa engkau begini baik kepadaku?"

Sambil mendayung perahunya dengan gerakan tangkas dan kuat sekali sehingga perahu itu melucur amat cepatnya di permukaan air laut yang kini amat tenang, setenang-tenangnya seolah-olah raksasa yang habis mengamuk hebat itu kini kelelahan dan kehabisan tenaga, Ouw Sian Kok menjawab tanpa menoleh kepada Liu Bwee,

"Engkau begitu sengsara, dan begitu tenang, mengingatkan aku kepada isteriku yang tercinta. Engkau begitu membutuhkan perlindungan, begitu membutuhkan bantuan. Siapa-lagi kalau bukan aku yang membantumu, Toanio?"

Liu Bwee memandang laki-laki itu dari samping, tak terasa lagi kedua matanya basah dan beberapa butir air mata turun di sepanjang pipinya. Sejenak dia tidak mampu menjawab. Memang dia sudah tidak mempunyai siapa-siapa-lagi di dunia ini, hanya Swat Hong yang sekarang tidak diketahuinya berada di mana. Tidak ada seorang pun yang menemaninya, apa-lagi membelanya.

Maka kemunculan laki-laki gagah perkasa ini yang memperlihatkan sikap membelanya mati-matian itu menimbulkan sikap keharuan hatinya. Apa-lagi mendengar betapa laki-laki itu ketika melihat dia teringat akan isterinya tercinta yang telah meninggal dunia, hatinya menjadi terharu sekali dan dia tidak tega untuk menolak lagi.

Di samping itu, juga ada rasa sungkan dan malu-malu di dalam hati wanita ini karena dia seperti mendapat bisikan hatinya bahwa laki-laki penolongnya ini menaruh hati kepadanya dan rela membelanya dengan taruhan nyawa! Hal ini bukan membuat dia merasa bangga dan girang seperti yang mungkin akan dirasakannya jika dia masih seorang gadis muda, melainkan mendatangkan rasa sungkan dan malu sehingga pelayaran itu dilanjutkan dengan diam-diam karena Liu Bwee merasa sukar sekali untuk membuka mulut.

Beberapa jam berlalu dengan sunyi. Akhirnya Ouw Sian Kok yang merasa tidak tahan berkata, "Toanio, aku mohon maaf sebanyaknya kalau semua ucapanku yang sudah-sudah menyinggung perasaanmu."

Liu Bwee menggigit bibirnya. Laki-laki yang gagah perkasa dan budiman ini, harus diakuinya memiliki sifat jantan dan rendah hati. "Tidak ada yang harus dimaafkan," katanya lirih.

"Toanio marah kepadaku?" sejenak kemudian Ouw Sian Kok bertanya lagi, sekali ini dia tidak dapat menahan keinginan hatinya lagi untuk tidak menengok dan menatap wajah wanita itu. Kebetulan sekali pada saat itu Liu Bwee juga memandang kepadanya. Sedetik dua pasang mata itu bertemu bertemu.

Akan tetapi Liu Bwee segera mengalihkan pandang matanya dan menjawab dengan gerakan kepalanya menggeleng.

Jawaban ini cukup bagi Ouw Sian Kok. Dengan wajah berseri dan suara gembira dia berkata, "Aku girang bahwa kau tidak marah kepadaku, Toanio."

Perahu didayungnya kuat-kuat sehingga meluncur cepat sekali menuju ke tujuan, yaitu Pulau Es. Biar pun tidak pernah mendatangi pulau itu, namun dia sudah tahu di mana letaknya karena sering-kali dalam perantauannya dia memandang pulau itu dari jauh.

Kegembiraan besar seperti yang belum pernah dialaminya selama lima belas tahun ini memenuhi hatinya. Kalau saja tidak ada Liu Bwee di situ, kalau saja dia tidak merasa malu, tentu dia akan bernyanyi dengan riang sebagai peluapan rasa gembiaranya.

Dua hari dua malam meeka melakukan pelayaran, kalau lapar mereka makan ikan panggang di atas perahu dan minum air es yang mengambang di atas permukaan laut. Akhirnya tibalah mereka di Pulau Es dan dari jauh saja sudah kelihatan perbedaan pulau itu yang amat mengherankan Liu Bwee.

"Mengapa begitu sunyi? Mengapa begitu bersih licin? Ouw-twako, cepatlah mendarat, kurasa telah terjadi apa-apa di sana," Liu Bwee berkata dengan jantung berdebar, tidak saja karena melihat pulau di mana dia di besarkan sejak kecil itu, akan tetapi juga tegang hatinya membayangkan pertemuannya dengan suaminya dan dengan selir suaminya.

Setelah perahu menempel di pulau, Liu Bwee meloncat ke darat. Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi kini disertai rasa khawatir. Pulau Es berubah bukan main. Mengapa tidak tampak seorang pun? Tak lama kemudian dia berlari diikuti Ouw Sian Kok yang sudah mengikat perahunya. Pria ini pun terheran-heran, mengapa pulau yang terkenal sekali di Pulau Neraka sebagai kerajaan itu kelihatan begini sunyi senyap?

Ketika mendekati sebuah tanjakan dan tampak Istana Pulau Es, Liu Bwee mengeluarkan seruan tertahan dan mukanya menjadi pucat sekali. "Apa... apa yang terjadi...? Dan bangunan-bangunan mereka... mengapa lenyap? Hanya tinggal istana yang kosong dan rusak... ahhh...."

Terhuyung-huyung Liu Bwee berlari mendekati istana, tetapi diikuti oleh Ouw Sian Kok yang merasa khawatir sekali. Seperti seorang mabuk, Liu Bwee berteriak-teriak memanggil orang-orang dan berlari memasuki istana yang sudah kosong itu, diikuti oleh Ouw Sian Kok yang juga merasa heran. Akan tetapi laki-laki ini segera dapat menduga apa yang telah terjadi.

"Ke mana...? Mereka semua ke mana...?" Liu Bwee berdiri di tengah ruangan istana yang dahulu begitu megah dan kini kosong dan sunyi itu.

Melihat wajah yang pucat dengan mata yang terbelalak liar itu, Ouw Sian Kok cepat meloncat dan memegang lengan Liu Bwee, ditariknya ke luar dari istana. Setelah tiba di luar istana, Ouw Sian Kok berkata, suaranya tegas dan penuh rasa iba,

"Liu-toanio, kuatkanlah hatimu. Ingatlah apa yang telah kita alami di pulau kosong itu. Badai itu hebat bukan main, selama hidupku belum pernah mengalami badai sehebat itu. Pulau Es ini tidak begitu jauh, dan melihat hebatnya badai, tidak salah lagi bahwa pulau ini pun dilanda badai."

Bagaikan kilat cepatnya gerakan Liu Bwee ketika dia membalikkan tubuh memandang pria itu, matanya terbelalak. "Ahhh...! Kau benar...! Badai itu! Pulau Es diamuk badai dan disapu bersih oleh badai. Ya Tuhan...!" Liu Bwee mendekap mukanya dengan kedua tangan, menjatuhkan diri berlutut di atas es dan menangis sesenggukan.

"Aku khawatir sekali, Toanio, bahwa tidak hanya benda-benda yang disapu bersih dari permukaan pulau ini, melainkan juga para penghuninya. Kalau ada penghuninya yang selamat, mustahil mereka meninggalkan pulau. Siapa yang mampu melawan kedahsyatan badai seperti itu?"

"Kau benar... ah... suamiku... aihhh, semua saudaraku di Pulau Es, benarkah kalian tewas semua? Benarkah ini? Ataukah hanya mimpi...?" seperti orang kehilangan ingatan Liu Bwee mendekati istana, meraba-raba tembok istana dan berbisik-bisik.

Melihat ini Sian Kok merasa kasihan sekali. Akan tetapi karena dia maklum akan kehancuran hati bekas permaisuri Raja Pulau Es itu, dia hanya memandang dan menjaga, mendiamkannya saja.

"Ohhh... mereka semua tewas? Semua tewas...? Siapa percaya... suamiku begitu gagah perkasa, berilmu tinggi, tak mungkin dia tewas oleh badai...." Liu Bwee berbisik-bisik dan meraba-raba tembok seolah-olah dia hendak bertanya dan mencari keterangan kepada dinding batu itu.

Tiba-tiba jari tangannya menyentuh huruf-huruf terukir di situ. Matanya terbelalak memandang dan bibirnya bergerak membaca tulisan yang dikenalnya benar, tulisan suaminya yang dibuat dengan cara mengukir batu itu dengan jari tangannya!

Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah kalian mencari wanita jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah puteraku, dia keturunan Kai-ong.

"Ohhh...!!" Liu Bwee memejamkan matanya, kepalanya seperti dipukuli orang dan pandang matanya berkunang. Dia cepat menekankan kedua tangannya pada dinding agar jangan roboh, tidak tahu bahwa Sian Kok sudah meloncat ke dekatnya dan siap menolongnya.

Pria ini membaca ukiran huruf di dinding itu dan menggeleng-geleng kepalanya. Dia kagum sekali, Raja Pulau Es benar-benar hebat. Dalam saat terakhir melawan badai masih sempat menuliskan huruf secara itu!

"Jelas bahwa badai telah membasmi semua isi pulau ini, Toanio," katanya hati-hati.

Liu Bwee tersadar. Membuka mata dan kebetulan sekali tangannya meraba bekas cengkeraman jari tangan suaminya pada dinding batu. Melihat itu, tak tertahankan lagi dia sesenggukan. Dia pun dapat membayangkan apa yang terjadi.

"Duhai suamiku... betapa hebat kau menderita...," bisiknya di antara isak tangisnya.

Sian Kok memandang bekas cengkeraman jari tangan itu dan dia pun dapat membayangkan Han Ti Ong berusaha menahan dirinya dari seretan air dengan mencengkeram batu dinding. Namun kekuatan badai yang amat dahsyat itu akhirnya menang, dan tentu Raja itu diseret dan ditelan gelombang membadai, lenyap dalam perut lautan.

Liu Bwee menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis. Kembali tangannya meraba huruf-huruf di bawah. Agaknya huruf-huruf dibuat orang sambil berlutut pula dan di dinding bawah ini juga terdapat bekas cengkeraman jari tangan. Setelah mengusap matanya agar pandangan matanya tidak tertutup air mata, dia membaca lagi, ‘Bwee-moi, dosaku padamu terlalu besar, maka Thian menghukum aku. Selamat tinggal.

Selesai membaca ini Liu Bwee mengeluarkan suara menjerit, lalu tergelimpang dan roboh pingsan. Untung Sian Kok cepat menyambarnya sehingga kepalanya tidak sampai terbentur dinding batu. Sian Kok cepat mengangkat tubuh wanita itu dan matanya menyapu tulisan di bawah itu.

Dia menghela napas dan membawa tubuh yang pingsan itu ke dalam istana dan meletakkannya ke dalam sebuah kamar. Ketika memeriksanya, dia memperoleh kenyataan bahwa nyonya ini menerima pukulan batin yang hebat sehingga keadaannya amat gawat.

Dengan tergesa-gesa Sian Kok meninggalkan Liu Bwee, berlari ke perahunya dan cepat mendayung perahunya menuju ke sebuah pulau dan memetik beberapa daun obat yang dikenalnya. Tak lama kemudian dia sudah kembali ke Pulau Es, memasak obat dan mencekokkan obat itu ke dalam mulut Liu Bwee. Kemudian dia membantu nyonya itu dengan penyaluran sinkang-nya sehingga semalam suntuk dia duduk bersila di dekat Liu Bwee, mengerahkan tenaga agar tubuh nyonya yang pingsan itu tetap hangat.

Pada keesokan harinya Liu Bwee mengeluh dan sadar sehingga menggirangkan hati Sian Kok yang lupa akan keadaan dirinya sendiri yang kehabisan tenaga dan mukanya pucat sekali. Setelah sadar dan teringat lagi, Liu Bwee menangis sesenggukan, dibiarkan oleh Sian Kok yang menganggap tangis itu sebagai obat mujarab.

Setelah tangisnya mereda, Liu Bwee teringat bahwa tahu-tahu dia berada di dalam kamar istana yang kosong itu. Maklumlah dia bahwa dia pingsan dan dibawa ke tempat ini oleh Sian Kok. Dia mengangkat muka, menghentikan tangisnya dan memandang. Dia melihat betapa pria itu pucat mukanya dan kelihatan lelah sekali, maka sebagai seorang ahli, dia dapat menduga sebabnya.

"Berapa lamakah aku pingsan di sini, Toako?"

"Hemm, semalam suntuk kau pingsan, membuat hatiku gelisah."

"Dan selama ini engkau menjagaku, mengerahkan sinkang untuk membantuku, bukan?"

"Hemmm..., tak perlu dibicarakan itu. Yang penting, engkau telah siuman kembali dan harap kau suka menjaga kesehatanmu sendiri, jangan terlalu menurutkan perasaan berduka. Toanio, dalam tulisan pesan suamimu itu disebut Sin Liong, siapakah dia?"

"Sin Liong adalah murid suamiku, seorang pemuda yang amat baik," Liu Bwee berkata sambil menghapus sisa air matanya.

"Kalau begitu, legakan hatimu, Toanio. Biar pun sangat boleh jadi suamimu, seperti semua penghuni Pulau Es, disapu habis oleh badai, namun kurasa puterimu selamat dan baru-baru ini datang pula ke pulau kosong ini."

Liu Bwee memandang dengan mata terbelalak. "Bagaimana engkau bisa tahu?"

"Aku melihat bekas tapak kaki mereka masih jelas membekas di bagian es yang membeku di atas sana, tapak kaki seorang wanita dan seorang pria. Dan aku juga menemukan ini." Ouw Sian Kok mengeluarkan sehelai sapu-tangan hijau dan memberikannya kepada Liu Bwee.

Liu Bwee menyambar sapu-tangan itu dan kembali matanya yang sudah mengering mencucurkan air mata. Dia mendekap sapu-tangan itu dan berkata, "Benar, ini adalah sapu-tangan pengikat rambut anakku! Di mana tapak-tapak kaki itu, Toako? Ingin aku melihatnya!"

Mereka lalu meninggalkan istana menuju ke bagian atas. Benar saja, tampak jelas bekas tapak kaki dua orang, kecil dan besar, tanda bahwa baru saja, mungkin paling lama kemarin, ada dua orang datang ke pulau itu. Seorang laki-laki dan seorang wanita. Siapa-lagi kalau bukan Swat Hong dan Sin Liong?

"Tidak salah lagi, tentu anakku dan Sin Liong. Akan tetapi di mana mereka sekarang? Aku harus bertemu dengan puteriku, Ouw-twako."

Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya yang tebal. "Mereka itu adalah orang-orang muda yang lihai dan tentu mereka telah melihat pula tulisan berukir di dinding pesan suamimu. Dan tentu mereka berusaha untuk mencari sampai dapat wanita bernama The Kwat Lin itu."

"Kalau begitu, aku akan menyusul mereka, Toako. Tentu mereka melakukan pengejaran ke daratan besar."

Ouw Sian Kok mengangguk-angguk. "Kukira dugaanmu tidak keliru. Akan tetapi, Toanio, pernahkah Toanio ke daratan besar di barat sana?"

Liu Bwee menggeleng kepala tanpa menjawab, alisnya berkerut karena dia pun merasa bingung dan khawatir. Ke mana dia harus mencari puterinya? Padahal menurut penuturan yang didengarnya di Pulau Es, daratan besar amatlah luasnya, seluas lautan yang tiada tepi.

Melihat wajah wanita itu, Ouw Sian Kok merasa makin kasihan dan dengan suara penuh semangat dia berkata, "Toanio, jangan khawatir. Di dalam perantauanku, pernah aku mendarat di daratan besar dan biarlah aku menemanimu mencari puterimu Han Swat Hong itu, sekalian menjadi penunjuk jalan."

Berseri wajah Liu Bwee. Dia memandang kepada laki-laki itu penuh harapan dan rasa terima kasih, akan tetapi mulutnya berkata, "Ahhh, aku selalu menyusahkan Twako saja...."

"Jangan berkata demikian, Toanio. Aku hidup sebatang kara, akan tetapi aku adalah seorang pria. Sedangkan engkau seorang wanita yang masih muda, mana bisa harus hidup bersunyi diri? Apa-lagi engkau hendak mencari puterimu di daratan besar, mana mungkin aku berpeluk tangan? Aku sudah merasa cukup berbahagia kalau Toanio sudi kutemani."

"Tentu saja aku girang sekali dan banyak terima kasih atas budimu yang berlimpah-limpah itu, Toako. Semoga kelak Thian saja yang dapat membalasmu karena apakah dayaku untuk membalas kebaikanmu?" Dia menjadi terharu sekali. Dahulu Liu Bwee adalah seorang wanita periang dan jenaka, namun penderitaan batin membuat dia menjadi perasa dan halus budi serta lemah.

Ouw Sian Kok tidak menjawab, hanya menjawab dalam hatinya, "Pandang matamu itu sudah merupakan pembalasan yang berlipat ganda bagiku."

Berangkatlah kedua orang ini meninggalkan Pulau Es. Pelayaran yang amat sulit dan sukar. Biar pun bekas permaisuri Raja Pulau Es, Liu Bwee di waktu kecil sudah kenyang bermain-main dengan perahu, maka dia tidaklah amat menderita. Bahkan dia dapat membantu sehingga perjalanan dengan perahu mengarungi lautan luas itu berjalan lancar.

* * *

"Ha-ha-ha, kalian ini kaki tangan An Lu Shan si pemberontak laknat, apakah tidak mendengar siapa adanya Cap-pwe Eng-hiong (Delapan Belas Pendekar) dari Bu-tong-pai? Kami adalah patriot-patriot sejati, dan kalian menghendaki supaya kami menyerah? Sampai titik darah terakhir akan kami lawan kalian para pemberontak laknat!"

Ucapan ini keluar dari mulut seorang laki-laki berusia tiga puluh lebih yang bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah perkasa, mewakili tujuh belas orang adik-adik seperguruannya yang kesemuanya bersikap gagah perkasa.

Sedikit pun delapan belas orang itu tidak memperlihatkan rasa takut biar pun mereka itu dikurung oleh sedikitnya lima puluh orang prajurit yang berpakaian seragam dan bersenjata lengkap. Mereka bahkan mengejek dan menantang komandan pasukan yang tadinya membujuk agar mereka menyerah dan membantu pergerakan An Lu Shan. 

Mereka terdiri dari delapan belas orang, kesemuanya laki-laki yang bersikap gagah perkasa, berpakaian sederhana dan rambut mereka digelung ke atas. Dengan pedang di tangan, mereka siap menghadapi pengeroyokan lima puluh lebih pasukan pemberontak An Lu Shan itu.

Cap-pwe Eng-hiong atau Delapan Belas Pendekar dari Bu-tong-san ini adalah murid-murid dari Kui Tek Tojin, ketua Bu-tong-pai. Mereka termasuk para anggota Bu-tong-pai yang meninggalkan Bu-tong-pai ketika The Kwat Lin merebut kekuasaan. Biar pun mereka merupakan orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi, namun pada waktu The Kwat Lin merebut kekuasaan di Bu-tong-pai, mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu.

The Kwat Lin adalah termasuk kakak seperguruan mereka, akan tetapi wanita itu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang bahkan melebihi guru mereka sendiri, di samping kenyataan bahwa wanita itu telah merampas tongkat pusaka Bu-tong-pai sehingga guru mereka dan para tokoh lain di Bu-tong-pai tidak dapat berkutik lagi.

Setelah The Kwat Lin melarikan diri karena gagalnya Swi Liang di istana, para tokoh Bu-tong-pai dipimpin oleh Kui Tek Tojin kembali ke Bu-tong-san. Kedatangan pasukan pemerintah yang menyerbu Bu-tong-pai mereka sambut dengan penjelasan yang menyadarkan pihak pemerintah.

Namun sebagai akibatnya, Bu-tong-pai sekarang mau tidak mau harus memperlihatkan ‘kebersihannya’ dengan jalan membantu pemerintah menentang para pemberontak. Hanya dengan cara inilah Bu-tong-pai dapat membuktikan kesetian mereka kepada pemerintah dan karena itu pula, delapan belas orang murid Kui Tek Tojin itu mulai turun tangan menentang pasukan-pasukan An Lu Shan setiap kali terdapat kesempatan.

An Lu Shan menjadi marah mendengar betapa Bu-tong-pai yang dahulu merupakan perkumpulan yang bebas, tidak membantu mana-mana dalam perang pemberontakan, kini mulai membantu pemerintah. Maka dia lalu mengirim pasukan untuk membasmi Delapan Belas Pendekar Bu-tong itu.

Demikianlah pada hari itu, selagi delapan belas orang itu menyelidiki kedudukan An Lu Shan di utara, mereka dikepung oleh pasukan itu dan disuruh menyerah. Akan tetapi tentu saja delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu tidak sudi menyerah, bahkan siap untuk melawan mati-matian.

Ucapan Song Kiat, Twa-suheng (Kakak Seperguruan Pertama) dari delapan belas orang pendekar itu, mendatangkan kemarahan di hati komandan pasukan yang segera mengeluarkan aba-aba dan menyerbulah hampir enam puluh orang pasukan itu mengeroyok Cap-pwe Eng-hiong.

Terjadilah perang kecil yang amat hebat dan segera delapan belas orang pendekar itu terkejut sekali memperoleh kenyataan bahwa pasukan yang mengeroyok mereka itu bukanlah pasukan biasa, melainkan pasukan pilihan yang dipimpin oleh komandan yang memiliki kepandaian tinggi dan para prajuritnya rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan.

Mereka melawan dengan mati-matian, bantu-membantu dan memutar pedang mereka dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaian mereka. Tidak percuma delapan belas orang ini dijuluki Cap-pwe Eng-hiong karena gerakan mereka memang cepat dan tangkas serta kuat sekali, sehingga biar pun dikeroyok oleh lawan yang jauh lebih banyak jumlahnya, yaitu setiap orang dikeroyok oleh tiga empat orang lawan, mereka mampu mempertahankan diri dengan baik. Bahkan lewat tiga puluh jurus, mulailah ada lawan yang berjatuhan dan terluka parah oleh pedang Cap-pwe Eng-hiong yang mengamuk itu.

Dengan gagah perkasa ke delapan belas orang itu mengamuk dan mendesak pasukan An Lu Shan. Berturut-turut robohlah pihak lawan sehingga tempat itu mulai ternoda darah merah dan tubuh para prajurit yang terluka malang melintang menghalangi kaki mereka yang masih bertempur.

Di antara lebih lima puluh orang prajurit itu, sudah ada dua puluh lebih yang roboh, bahkan komandannya juga sudah terluka oleh sambaran pedang di tangan Song Kiat. Kemenangan yang sudah tampak di depan mata ini menambah semangat Cap-pwe Eng-hiong. Mereka bergerak makin ganas dan cepat dengan niat membasmi semua musuh dan tidak membiarkan seorang pun meloloskan diri.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar sorak sorai dan muncullah kurang lebih seratus orang anak buah pasukan An Lu Shan yang baru tiba. Serta merta mereka itu menerima aba-aba untuk menyerbu dan membantu kawan-kawan mereka. Kedatangan pasukan baru yang lebih besar lagi jumlahnya ini mengejutkan hati Cap-pwe Eng-hiong yang tidak menyangka-nyangkanya, namun bukan berarti bahwa mereka menjadi gentar, bahkan menambah kegembiraan. Mereka mengamuk sungguh pun sekali ini mereka segera terkurung dan terdesak hebat karena jumlah musuh jauh lebih besar.

Pertempuran yang berat sebelah itu terjadi di daerah pegunungan yang amat sunyi, jauh dari perkampungan, jauh dari dunia ramai. Akan tetapi pada saat pasukan kedua datang menyerbu, di tempat itu muncul pula dua orang yang menonton pertempuran itu dengan alis berkerut dan pandang mata ngeri. Mereka itu adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang bukan lain adalah Ouw Sian Kok dan Liu Bwee!

Mereka berdua meninggalkan Pulau Es, telah mendarat di daratan besar dan telah melakukan perjalanan berhari-hari sehingga pada hari itu mereka tiba di pegunungan utara ini. Sebagai orang-orang yang sejak kecil tidak pernah menyaksikan perang, kini penglihatan di depan itu sungguh amat tidak menyenangkan, juga amat mengherankan hati mereka.

"Betapa buasnya mereka...!" Liu Bwee berkata lirih.

"Hemm, memang sudah banyak kudengar bahwa manusia di dunia ramai, di daratan besar ini, lebih buas dari-pada binatang-binatang hutan. Manusia-manusia saling bunuh antara sesamanya, dan sekarang kita melihat perang yang begini ganas dan kejam...."

"...dan licik sekali!" Liu Bwee menyambung. "Jumlah yang amat banyak mengeroyok jumlah sedikit, benar-benar tidak mengenal arti kegagahan sama sekali."

"Jika tidak keliru dugaanku, yang berjumlah banyak itu tentulah anggota pasukan, lihat pakaian mereka yang seragam. Sedangkan delapan belas orang itu benar-benar harus dipuji kegagahan mereka, biar pun dikeroyok banyak dan didesak hebat, melawan terus dan sedikit pun tidak kelihatan gentar."

"Pikiranmu cocok dengan pikiranku, Toako. Memang mereka itu mengagumkan dan karena itu, mari kita bantu mereka."

"Cocok, Toanio. Yang lemah harus kita bantu. Mari...!"

Ouw Sian Kok dan Liu Bwee lalu meloncat ke depan dan terdengarlah suara melengking tinggi keluar dari mulut kedua orang ini. Begitu mereka menyerbu, dalam segebrakan saja Liu Bwee merobohkan empat orang dengan kaki tangannya sedangkan Ouw Sian Kok merobohkan enam orang yang dilempar-lemparkan seperti orang membuang rumput-rumput kering saja!

Pasukan menjadi geger. Sedangkan delapan belas orang pendekar itu melirik dan menjadi kagum dan girang sekali karena sekilas pandang saja maklumlah mereka bahwa laki-laki dan wanita asing yang tiba-tiba membantu mereka itu adalah orang-orang yang luar biasa lihainya!

Seorang komandan pasukan menerjang Ouw Sian Kok dengan tombaknya, sebatang tombak bergagang panjang dan dihias ronce merah, sebuah tombak pusaka yang baik sekali. Tombak itu meluncur dan berdesing, menusuk perut Ouw Sian Kok. Laki-laki ini kagum melihat mata tombak yang mengeluarkan cahaya.

Cepat ia miringkan tubuh sambil mengayun kaki dan tangannya merobohkan dua orang pengeroyok lain. Secepat kilat kemudian dia menangkap tombak itu dengan kedua tangan, lalu mengerahkan sinkang membetot dan membalikkan tombak sehingga gagang tombak terlepas dari pegangan pemiliknya. Gagang tombak itu meluncur terus menghantam tengkuk sang komandan hingga membuatnya terjungkal!

Liu Bwee yang juga dikeroyok banyak sekali orang sudah berhasil merampas sebatang pedang yang dianggapnya cukup baik. Dengan pedang ini dia mengamuk. Setiap senjata lawan yang bertemu dengan pedangnya tentu patah atau terlempar dari pegangan pemiliknya, dan tangan kiri serta kedua kakinya merobohkan setiap lawan yang berani menyerangnya.

Amukan kedua orang dari Pulau Es dan Pulau Neraka ini amat hebat, dalam belasan gebrakan saja tidak kurang dari tiga puluh orang anggota pasukan telah roboh. Hal ini tentu saja menimbulkan kegemparan, membesarkan hati delapan belas orang pendekar, akan tetapi membuat jeri sisa anggota pasukan. Akhirnya, sisa pasukan merasa tidak kuat dan melarikan diri, meninggalkan teman-teman mereka yang terluka!

Delapan belas orang pendekar itu berdiri berjajar. Beberapa orang di antara mereka menderita luka-luka ringan dan kelihatanlah betapa gagahnya mereka, sedikit pun tidak kelihatan menderita ketika mereka berdiri berjajar di depan kedua orang itu. Song Kiat mewakili saudara-saudaranya, menjura kepada Ouw Sian Kok dan Liu Bwee, diturut oleh tujuh belas orang saudara seperguruannya.

"Kami delapan belas orang seperguruan dari Bu-tong-pai menghaturkan banyak terima kasih kepada Ji-wi Taihiap dan Lihiap yang telah menyelamatkan kami dari pengeroyokan anjing-anjing pemberontak itu. Bolehkan kami mengetahui nama Ji-wi yang mulia?" kata Song Kiat sang Twa-suheng.

Liu Bwee hanya memandang dan menyerahkan jawabannya kepada Ouw Sian Kok yang sudah mengelus jenggotnya dan tertawa. "Cuwi amat gagah perkasa, dan bantuan kami berdua tadi tidak ada artinya. Melihat Cuwi dikeroyok, kami berdua menjadi gatal tangan dan maafkan kalau kami mencampuri. Hal ini tidak perlu dibicarakan lagi dan tidak perlu kami memperkenalkan nama. Hanya ingin kami ketahui, siapakah pasukan itu dan mengapa Cuwi bentrok dengan mereka?"

Delapan belas orang itu saling pandang, kemudian memandang Ouw Sian Kok dengan mata terbelalak heran. Bagaimana mereka tidak akan merasa heran mendengar kata-kata Ouw Sian Kok yang menunjukkan bahwa dua orang perkasa ini sama sekali tidak mengenal keadaan sehingga tidak tahu bahwa pasukan itu adalah pasukan pemberontak An Lu Shan?

Melihat kehebatan ilmu silat mereka, Song Kiat dan para sutenya menduga bahwa tentu kedua orang ini adalah pertapa-pertapa sakti yang baru saja turun gunung sehingga sama sekali tidak mengerti akan keadaan dunia. Timbul keinginan mereka untuk mengajak dua orang sakti ini membantu perjuangan mereka, selain mengangkat kembali nama Bu-tong-pai yang telah dirusak oleh The Kwat Lin, juga berbakti kepada negara menentang pemberontakan.

"Agaknya Ji-wi tidak tahu akan keadaan di kota raja," Song Kiat berkata. "Kami adalah murid-murid Bu-tong-pai yang membantu pemerintah untuk menghadapi para pemberontak. Pasukan tadi adalah pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Jenderal An Lu Shan.

Kami bertugas menyelidiki kedudukan An Lu Shan yang kabarnya kini berpusat di Telaga Utara, akan tetapi baru tiba di sini kami telah dikeroyok oleh pasukan itu. Melihat kesaktian Ji-wi, demi keselamatan negara dan bangsa, kami mohon sudilah kiranya Ji-wi membantu usaha penyelidikan kami itu."

Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Kami berdua tidak ingin terlibat ke dalam permusuhan dan kami sama sekali tidak mengerti dan tidak mengenal siapa itu An Lu Shan dan pemberontakannya. Kalau tadi kami turun tangan membantu adalah karena kami tidak senang melihat jumlah kecil dikeroyok oleh jumlah banyak. Selain itu, kami pun mempunyai sedikit keperluan untuk bertanya kepada Cuwi."

Kecewa rasa hati Song Kiat mendengar bahwa dua orang sakti itu tidak mau mencampuri urusan pemerintah, akan tetapi karena kedua orang ini sudah menyelamatkan mereka semua dari bahaya maut, dia menyembunyikan kekecewaannya itu dan menjawab dengan ramah, "Silakan Taihiap kalau hendak bertanya sesuatu tentu kami akan berusaha memberi keterangan sejelasnya dan sedapatnya."

"Kami hanya ingin menanyakan kalau-kalau Cuwi pernah bertemu dengan seorang pemuda dan seorang pemudi yang bernama Han Swat Hong. Kami berdua sedang mencari mereka itu dan kami akan merasa berterima kasih sekali andai kata di antara Cuwi ada yang pernah melihat mereka itu."

Delapan belas orang pendekar itu saling pandang dan masing-masing mengangkat pundaknya. Tak seorang pun di antara mereka pernah mendengar dua nama yang ditanyakan itu. "Maaf, Taihiap. Agaknya di antara kami tidak ada yang pernah mendengar nama itu. Akan tetapi nama-nama itu telah kami catat dalam hati dan kami akan mencarinya. Hanya kalau sudah kami dapat, ke manakah kami harus melapor kepada Ji-wi?"

Liu Bwee menarik napas panjang. "Sudahlah, kalau tidak mengenal sudah saja. Akan tetapi kalian adalah orang-orang Bu-tong-pai, apakah kalian mengenal seorang tokoh Bu-tong-pai yang bernama The Kwat Lin?"

Seketika wajah delapan belas orang itu berubah mendengar ini. Mereka terkejut bukan main karena tidak menyangka-nyangka bahwa wanita perkasa itu akan menyebut nama iblis betina yang menjadi musuh besar Bu-tong-pai itu! Timbul kekhawatiran di hati mereka. Dua orang ini memiliki kesaktian yang luar biasa, sama dengan The Kwat Lin dan wanita ini mengenal The Kwat Lin, tentulah segolongan dengan The Kwat Lin!

Akan tetapi, Song Kiat memiliki pendapat lain. Dua orang ini terang sekali berbeda dengan The Kwat Lin dan mereka berdua telah membuktikan kegagahan mereka dengan membantu yang lemah tertindas, biar pun belum mengenal. Maka dengan berani, berbeda dengan sute-sute-nya yang berpendapat untuk tidak mengaku kenal The Kwat Lin, Song Kiat melangkah maju, menjura kepada Liu Bwee sambil bertanya, "Sebelum saya menjawab, bolehkah saya bertanya apakah Lihiap sahabat dari wanita bernama The Kwat Lin itu?"

Liu Bwee membelalakkan matanya dan sinar matanya berapi-api. "Sahabat? Apa kau gila? Kalau bertemu, aku akan membunuh iblis betina itu!"

Mendengar ini serta merta Song Kiat menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh tujuh belas orang sute-nya sehingga Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menjadi terkejut dan terheran-heran.

"Apa... apa artinya ini?!" Liu Bwee membentak.

"Maafkan, kami berlutut saking girang dan terharunya hati kami mendengar ucapan Lihiap tadi. Kami sudah merasa khawatir sekali kalau-kalau Jiwi mempunyai hubungan baik dengan The Kwat Lin. Kiranya iblis betina itu adalah musuh Jiwi dan kami merasa mendapatkan bantuan untuk menghadapinya karena iblis betina itu adalah musuh besar Bu-tong-pai."

"Ahhh...! Bukankah dia dahulu anak murid Bu-tong-pai? Bagaimana kalian bisa mengatakan bahwa dia musuh besar Bu-tong-pai?" Liu Bwee yang dahulu sudah mendengar riwayat The Kwat Lin bertanya sambil memandang penuh selidik.

"Benar ucapan Lihiap. The Kwat Lin sebenarnya masih terhitung Suci (Kakak Perempuan Seperguruan) kami sendiri karena dia adalah seorang di antara Cap-sha Sin-hiap (Tiga Belas Pendekar), murid-murid dari Supek kami almarhum Kui Bhok Sianjin. Akan tetapi setelah selama belasan tahun dia menghilang, beberapa bulan yang lalu pada suatu hari dia muncul bersama seorang puteranya dan dia menggunakan kepandaiannya yang luar biasa menundukkan Suhu kami, ketua Bu-tong-pai yang sah, bahkan telah merampas tongkat pusaka lambang kekuasaan ketua Bu-tong-pai. Iblis betina itu merampas Bu-tong-pai dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua Bu-tong-pai....."

"Ahhh...! Benar-benar iblis dia!" Liu Bwee memaki.

"Dia becita-cita untuk merampas kerajaan, lalu mengirim muridnya menyelundup ke istana, akan tetapi ketahuan dan muridnya itu dihukum mati. Karena kegagalan ini, The Kwat Lin menjadi buruan pemerintah dan dia kini telah melarikan diri dari Bu-tong-pai yang kini telah dikuasai pula oleh Suhu kami. Karena perbuatan The Kwat Lin itulah, hampir saja Bu-tong-pai dibasmi oleh pemerintah dan untuk membuktikan kesetiaan kami terhadap pemerintah, kini Bu-tong-pai membantu pemerintah menghadapi pemberontak An Lu Shan."

Ouw Sian Kok mengangguk-angguk. "Hemmm, kiranya itulah yang menyebabkan kalian bentrok dengan pasukan An Lu Shan hari ini."

"Di manakah adanya The Kwat Lin sekarang?" Liu Bwee bertanya.

Dia ingin segera bertemu dengan The Kwat Lin, membalas kejahatan madunya itu dan merampas kembali pusaka Pulau Es seperti dipesan oleh suaminya dengan huruf ukiran di dinding istana Pulau Es itu. Apa-lagi dengan bantuan Ouw Sian Kok, dia yakin akan dapat membalas dendam kepada madunya yang jahat itu.

"Kami rasa dia bersembunyi di Rawa Bangkai. Kalau saja kami sudah selesai dengan tugas kami di Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami menemani Jiwi menyerbu ke sana."

"Rawa Bangkai? Di manakah itu? Tempat apakah itu?" Liu Bwee mendesak penuh semangat karena dia merasa girang bisa memperoleh keterangan di mana adanya musuh besarnya itu.

"Rawa Bangkai adalah sebuah tempat yang amat berbahaya dan tidak ada orang berani mengunjunginya karena banyak sudah binatang dan manusia tewas secara mengerikan ketika berada di dekat tempat itu. Konon kabarnya dahulu banyak terdapat bangkai binatang dan mayat manusia di rawa itu sehingga diberi nama Rawa Bangkai. Majikan tempat itu adalah seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang berjuluk Kiam-mo Cai-li, seorang wanita yang amat lihai dan merupakan iblis betina yang ditakuti. Kiam-mo Cai-li telah menjadi sekutu The Kwat Lin dan agaknya sebagai orang buruan dia melarikan diri bersama puteranya ke tempat itu. Akan tetapi, amatlah berbahaya bagi orang-orang asing seperti Jiwi untuk mendatangi tempat berbahaya itu. Kalau Jiwi sudi bersabar sampai kami menyelesaikan tugas kami di Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami akan membantu Jiwi, karena The Kwat Lin juga merupakan musuh besar kami."

Liu Bwe dan Ouw Sian Kok saling pandang. Ternyata di antara kedua orang ini sudah terdapat saling pengeritan yang mendalam sehingga bentrokan pandang mata mereka saja sudah cukup menjadi pengganti kata-kata perundingan. Liu Bwee mengangguk dan terdengar Ouw Sian Kok berkata, 

"Baiklah kami berdua akan membantu Cuwi menyelidiki Telaga Utara. Biar pun kami tidak mempunyai urusan dengan pemberontakan An Lu Shan, setelah tadi kami membantu Cuwi, tentu saja berarti kami juga dimusuhi oleh mereka. Setelah kami membantu Cuwi ke Telaga Utara, harap kelak Cuwi suka membantu menjadi petunjuk jalan kami ke Rawa Bangkai."

Berseri wajah delapan belas orang itu dan mereka segera menyatakan setuju. Tentu saja hati mereka girang bukan main. Tempat yang dijadikan markas rahasia oleh An Lu Shan merupakan tempat yang amat sulit dikunjungi, merupakan tempat yang berbahaya sekali dan kabarnya amat sukar memasuki daerah Telaga Utara itu. Kini dengan bantuan kedua orang sakti ini, hati mereka menjadi besar karena bantuan mereka berdua akan mempermudah penyelesaian tugas mereka.

Berangkatlah delapan belas orang itu mengiringkan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menuju ke Telaga Utara yang terletak di dekat tembok besar di utara dan tempat ini merupakan tempat rahasia dari An Lu Shan di mana An Lu Shan mengumpulkan orang-orang gagah untuk membantunya. 

Di sepanjang jalan, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok mendengar banyak penuturan delapan belas pendekar Bu-tong-pai itu tentang orang-orang kang-ouw dan tentang pemberontakan An Lu Shan yang mengancam keamanan hidup rakyat jelata. 

Melihat semangat kepahlawanan delapan belas orang ini, tergeraklah hati Liu Bwee mengingat bahwa dia adalah permaisuri Han Ti Ong dan suaminya juga berdarah keluarga Kaisar di daratan besar, maka dia pun mulai bersemangat untuk membantu mereka menghadapi An Lu Shan.

Telaga Utara merupakan telaga yang kecil saja, bergaris tengah paling banyak dua li dan tengahnya terdapat sebuah pulau yang dihubungkan ke pinggir telaga dengan jembatan buatan. Di atas pulau inilah berdiri sebuah gedung yang menjadi tempat pertemuan bagi An Lu Shan dan para pembantunya jika dia hendak mengadakan perundingan dengan para tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi untuk membagi-bagi tugas kerja.

Biar pun telaga itu tidak berapa besar, namun letaknya di antara puncak-puncak gunung sehingga amat sukar dikunjungi orang, apa-lagi puncak di mana telaga itu berada, merupakan puncak yang dikelilingi jurang-jurang amat curam sehingga bagi orang luar yang tidak mengenal jalan, merupakan suatu ketidak-mungkinan untuk datang ke telaga itu.

Berbeda dengan pertempuran-pertempuran resmi, jika mengunjungi telaga ini, An Lu Shan berpakaian seperti rakyat biasa dan tidak dikawal oleh pasukan pengawal, melainkan oleh belasan orang pengawal yang berpakaian preman pula sehingga kelihatannya seperti sedang berpesiar. Akan tetapi, pengawal-pengawal itu adalah orang-orang pilihan yang berilmu tinggi.

Orang-orang kang-ouw yang mengadakan pertemuan di Telaga Utara itu adalah rata-rata orang lihai, baik dari golongan sesat mau pun dari golongan bersih yang membantu An Lu Shan dengan pamrih masing-masing. Sebagian besar yang datang dari golongan besih adalah orang-orang kang-ouw yang menaruh dendam kepada kerajaan.

Ada pula yang menganggap bahwa pemberontakan An Lu Shan adalah benar karena menentang raja lalim yang hanya tahu bersenang-senang dengan selir Yang Kui Hui saja tanpa menghiraukan kesengsaraan rakyat. Mereka menganggap pemberontakan itu sebagai perjuangan para patriot yang membela bangsa, kebenaran dan keadilan.

Tentu saja yang datang dari golongan sesat lain lagi pamrih atau dasar tindakan mereka yang membantu An Lu Shan. Ada yang ingin memperoleh keuntungan harta benda, ada yang menginginkan kedudukan dan kemuliaan. Walau pun An Lu Shan kelihatannya kasar, namun selain merupakan seorang jenderal yang ahli dalam ilmu perang, juga merupakan seorang yang amat cerdik.

Tentu saja dia pun tahu akan dasar dan pamrih yang terkandung di hati para orang pandai yang membantunya, namun dia pura-pura tidak tahu karena pada waktu itu dia amat membutuhkan tenaga mereka. Tentu saja dia pun sudah bersiap-siap untuk menghadapi semua pamrih mereka itu dan siapa pun yang merasa dapat mengelabui An Lu Shan akan kecelik sekali!

Biar pun dia merasa aman kalau berada di Telaga Utara, akan tetapi kesukaran mencapai puncak ini bukan merupakan hal yang membuat An Lu Shan menjadi lengah. Diam-diam dia menaruh mata-mata dan penjaga yang melakukan penjagaan di sekitar pegunungan itu secara sembunyi untuk mengikuti setiap gerak-gerik orang yang menuju ke Telaga Utara, juga membayangi gerak-gerik para tokoh kang-ouw yang katanya menjadi pembantu An Lu Shan. Apa-lagi kalau dia sendiri sedang berada di gedung di telaga itu, penjagaan secara sembunyi dilakukan dengan ketat sekali.

Demikianlah, ketika delapan belas orang pendekar Bu-tong bersama Liu Bwee dan Ouw Sian Kok pada pagi hari itu tiba dipegunungan ini, gerak-gerik mereka telah diamat-amati para penjaga rahasia itu dari jauh dan bahkan sudah ada penjaga yang cepat lari ke telaga untuk memberi laporan.

An Lu Shan yang mendengar bahwa ada dua puluh orang yang gerak-geriknya lincah dan merupakan orang-orang asing menuju ke telaga, memberi perintah kepada komandan pengawal agar membayangi saja dua puluh orang itu.

"Hendak kulihat bagaimana mereka akan dapat mengunjungi telaga tanpa mengetahui jalan rahasia kita," katanya. "Dan kalau pun mereka bisa memasuki telaga, setelah mereka masuk, potong jalannya agar mereka tidak dapat keluar pula," demikian perintahnya.

Dia sama sekali tidak merasa gentar karena barisan terpendam yang melindungi berjumlah tidak kurang dari seratus orang, sedangkan lima belas orang pengawal pilihan selalu mendapinginya, belum lagi dua puluh lebih orang kang-ouw yang menjadi sekutunya dan yang tentu akan siap membantunya jika ada bahaya mengancam. Apa artinya dua puluh orang itu? Akan tetapi dia tidak mau memerintahkan membasmi mereka karena dia harus tahu lebih dulu siapa mereka dan apa kehendak mereka mengunjungi Telaga Utara.

"Bagaimana mungkin menuju ke dataran di depan itu kalau dikelilingi jurang selebar dan securam ini?" Liu Bwee bertanya dengan penuh keraguan ketika mereka semua berdiri di depan jurang yang ternganga lebar di depan mereka.

Jurang itu lebarnya kurang lebih dua puluh lima meter dan curam sehingga melompati jurang ini mendatangkan ancaman bahaya maut yang mengerikan. Tanpa bersayap, mana mungkin orang melompatinya begitu saja?

Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya. "Apakah semua keliling gunung ini di halangi jurang seperti ini?"

Song Kiat, orang tertua dari Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong mengangguk. "Kami sudah menyelidiki tempat ini dengan seksama dan memang telaga di gunung ini dikelilingi oleh jurang-jurang. Bagian yang paling sempit hanya bagian ini, maka kita harus menyeberang melalui tempat ini."

"Hemm, bagaimana caranya kalian hendak menyeberang?" tanya Ouw Sian Kok penuh keraguan. Dia sendiri yang memiliki kepandaian jauh melampaui mereka merasa ragu-ragu untuk mempertaruhkan nyawa meloncati jurang selebar ini.

"Rintangan ini telah kami pelajari dan perhitungkan masak-masak sebelum kami berangkat ke sini, Taihiap. Harap jangan khawatir karena kami telah memperoleh akal untuk menyeberang. Kalau kita turun ke jurang, kemudian merayap naik, amat sukar dan lebih berbahaya. Maka jalan satu-satunya adalah membuat jembatan manusia dari sini ke seberang jurang."

"Jembatan manusia? Apa maksudmu dan bagaimana caranya?" tanya Liu Bwee.

"Harap Lihiap jangan khawatir karena kami sudah melatih diri dan berhasil baik. Kalau jembatan sudah terbentuk, harap Taihiap dan Lihiap suka menyeberang lebih dulu dan melindungi kami di seberang sana."

"Baik, lekas kerjakan sebelum tampak ada penjaga di seberang!" kata Ouw Sian Kok.

Dengan hati kagum Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menyaksikan betapa delapan belas orang pendekar itu beraksi. Seorang di antara mereka, yang betubuh tinggi besar dan jelas membayangkan tenaga yang hebat, berdiri di tepi jurang, memasang kuda-kuda dan mengerahkan Tenaga Sakti Ban-kin-liat sehingga kedua kakinya seolah-olah berakar di dalam tanah yang diinjaknya. Di dalam latihannya, apa-lagi orang berkaki kuat ini sudah memasang kuda-kuda seperti itu, enam ekor kuda pun tidak akan mampu menarik kedua kakinya terlepas dari tanah!

Dia berdiri memasang kuda-kudanya di belakang sebongkah batu yang menonjol sedikit dari dalam tanah, batu yang merupakan batu raksasa tertanam di tepi jurang itu. Kemudian, seorang saudaranya melompat dan berdiri di atas pundaknya. Disusul pula oleh loncatan orang ke tiga dan ke empat sehingga mereka berdiri tersusun, masing-masing berdiri di pundak saudaranya dengan tegak dan sedikit pun tidak bergoyang seolah-olah merupakan sebatang pohon yang kokoh!

Setelah itu, orang ke lima merayap naik melalui tubuh empat orang saudaranya, terus berdiri di atas pundak orang yang berada paling atas, disusul oleh orang ke enam yang berdiri di atas pundak orang ke lima dan demikian seterusnya sampai ada tujuh belas orang berdiri susun menyusun amat tingginya, namun sedikit pun tidak bergoyang dan orang yang berada paling bawah kelihatan tidak bergeming, seolah-olah beban enam belas orang banyaknya itu tidak terasa amat berat baginya!

Kemudian atas aba-aba Song Kiat yang berada paling atas, kaki masing-masing yang tadinya menginjak pundak orang dibawahnya itu merosot ke belakang pundak dan kedua betisnya ditangkap oleh kedua tangan orang bawah, dan pada saat itu, susunan orang itu mendoyong ke depan dan terus mendoyong dengan cepatnya seperti akan runtuh ke dalam jurang. Orang ke delapan belas yang tidak ikut naik tadi, kini membantu orang paling bawah, memasang kuda-kuda dan memegangi kedua kaki orang terbawah yang sudah mengait pada tonjolan batu tadi.

Melihat ini Liu Bwee dan Ouw Sian Kok merasa cemas sekali. Mereka mulai mengerti bagaimana cara mereka itu membentuk sebuah jembatan manusia, akan tetapi cara itu sungguh amat berbahaya. Selain membutuhkan ginkang dan sinkang yang kuat, ketangkasan yang terlatih, juga membutuhkan nyali yang amat besar. Sekali saja meleset atau sedikit saja salah perhitungan, bisa mengakibatkan tewasnya delapan belas orang itu terjerumus kedalam jurang!

Kini susunan orang itu telah melintang, dan orang teratas telah berhasil mencapai seberang dan menyambar akar pohon yang amat kuat yang berdiri di seberang. Maka jadilah ‘jembatan’ istimewa itu! Sunguh merupakan demonstrasi ketangkasan yang luar biasa dan berbahaya bukan main! Sejenak Liu Bwee dan Ouw Sian Kok tercengang, penuh keheranan dan kagum. Baru mereka sadar ketika terdengar suara orang yang memegangi kaki orang terbawah tadi.

"Taihiap dan Lihiap, silakan menyeberang lebih dulu agar dapat melindungi kami di seberang sana!" Kata-kata ini menyadarkan kedua orang itu.

Ketika Liu Bwee memandang kepada Ouw Sian Kok, putera Ketua Pulau Neraka ini mengangguk. Dengan tombak rampasan di tangannya, Ouw Sian Kok tanpa ragu-ragu lagi lalu melangkah dan ‘menyeberang’ melalui jembatan manusia yang sambung-menyambung dan menelungkup itu sambil mengerahkan ginkang-nya. Dia melangkah dengan cekatan dan ringan sekali sehingga tak lama kemudian Ouw Sian Kok telah tiba di seberang sana, lalu melambaikan tangannya kepada Liu Bwee yang memandang dengan kagum.

Setelah melihat betapa Ouw Sian Kok menyeberang, Liu Bwee lalu mencontoh perbuatan temannya itu. Dengan pedang rampasan di tangan kanan, dengan hati-hati sambil mengerahkan ginkang-nya, Liu Bwee mulai menyeberangi ‘jembatan’ istimewa itu dan melangkah sambil mengatur keseimbangan tubuhnya.

Betapa pun lihainya, Liu Bwee tidak berani menengok ke bawah karena dia merasa ngeri juga! Akhirnya dia berhasil mencapai tepi seberang dan meloncat ke bawah pohon dekat Ouw Sian Kok.

"Mereka benar-benar merupakan pendekar-pendekar yang mengagumkan," kata Liu Bwee.

Ouw Sian Kok mengangguk dan merasa girang bahwa dia dan Liu Bwee telah mengambil keputusan untuk membantu delapan belas orang gagah ini.

Setelah dua orang itu menyeberang dengan selamat, orang ke delapan belas yang berada paling belakang, lalu mengeluarkan suara teriakan sebagai isyarat kepada saudara-saudaranya, kemudian orang terakhir juga memegangi kedua betis orang ke tujuh belas dan melompat ke bawah jurang! 

Liu Bwee hampir menjerit karena ngerinya menyaksikan betapa jembatan manusia itu seolah-olah putus di ujung sana dan kalau tadi ketika membentuk jembatan mereka saling berdiri di pundak orang di bawahnya, kini mereka saling bergantungan pada kaki orang yang berada di atasnya. Yang mengerikan adalah ketika susunan orang yang delapan belas banyaknya ini meluncur ke bawah dari ujung sana dan agaknya akan terbanting hancur pada dinding karang di seberang sini.

Namun dengan cekatan dan terlatih, masing-masing kini hanya merangkul kedua kaki teman di atas dengan sebuah lengan saja sedangkan tangan yang bebas dipergunakan untuk mendorong ke depan, ke arah dinding karang ketika tubuh mereka terayun dekat dinding. Akhirnya selamatlah rangkaian orang ini tergantung di sepanjang dinding karang.

Kini yang paling berat bagiannya adalah Song Kiat karena dia merupakan orang pertama paling atas yang menggunakan kekuatan kedua tangannya, bergantung pada akar pohon dan menahan berat tujuh belas orang sutenya yang bergantung pada kakinya!

Pantas saja twa-suheng ini menjadi orang pertama, karena memang tugasnya paling berat, dan ji-suheng (kakak seperguruan ke dua) dari delapan belas orang pendekar itulah yang menjadi orang terakhir, yaitu Si Tinggi Besar tadi.

Ouw Sian Kok mengangguk kagum ketika bersama Liu Bwee dia melihat betapa orang yang bergantung paling bawah kini mulai merayap naik ke atas, disusul oleh orang ke dua, ketiga dan seterusnya sehingga tak lama kemudian, kedelapan belas orang itu telah dapat meloncat ke tepi jurang dengan selamat!

"Bagus! Cuwi memang pantas menjadi Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong!" Ouw Sian Kok memuji.

"Taihiap terlalu memuji. Kami telah melihat daerah ini dan penyeberangan secara membuat jembatan tadi telah kami latih selama berbulan-bulan. Baru hari ini kami berani mencoba menyeberangi tempat ini. Sekarang selanjutnya kami hanya mengharapkan bantuan Jiwi, karena An Lu Shan memiliki banyak sekali kaki tangan yang amat lihai. Menurut penyelidikan kami, pada saat ini Telaga Utara kosong sehingga kita boleh menyelidiki dengan aman. Kalau jenderal pemberontak itu tidak berada di sini, penjagaan tidaklah demikian kuat."

Ouw Sian Kok menoleh ke kanan-kiri, lalu menghela napas dan berkata, "Kuharap saja Cuwi (Saudara Sekalian) tidak sampai membuat salah perhitungan. Menurut penglihatanku, tempat rahasia seorang berpangkat tinggi tentulah selalu dijaga ketat. Tempat ini kelihatan begitu sunyi senyap, seperti sebuah pulau kosong saja. Hal ini bahkan menimbulkan kecurigaan...."

"Apa pun yang akan terjadi, setelah kita berada di sini, akan kita hadapi bersama. Ouw-toako, tidak perlu kita khawatir," Liu Bwee menghibur.

Mereka lalu begerak maju memasuki daerah itu. Tak lama kemudian tibalah mereka di tepi telaga dan sudah tampak bangunan besar yang berada di tengah telaga. Selama itu tidak nampak seorang pun penjaga sehingga Ouw Sian Kok merasa makin khawatir dan curiga.

"Hemm, hanya ada dua kemungkinan. Mereka telah pindah dan meninggalkan tempat ini, atau kita masuk perangkap!" baru saja Ouw Sian Kok mengeluarkan kata-kata ini, terdengar suara tertawa disusul suara gerakan banyak orang dan muncullah puluhan orang dari jembatan telaga mau pun dari belakang pohon dan semak-semak.

"Celaka, kita terjebak...!" Song Kiat berseru. "Taihiap Lihiap, kita kembali saja!"

Tergesa-gesa delapan belas orang pendekar itu memutar tubuh dan lari kembali ke jurang di mana mereka menyeberang tadi, diikuti oleh Ouw Sian Kok dan Liu Bwee. Akan tetapi, begitu tiba di tepi jurang, Song Kiat menjadi pucat dan memandang ke depan dengan mata terbelalak, demikian pula para sute-nya.

Ternyata di tempat penyeberangan itu, di sebelah sana tampak berbaris pasukan yang siap dengan busur dan anak panah mereka. Dengan adanya pasukan panah itu tidak mungkin lagi bagi mereka untuk melarikan diri dengan membentuk jembatan manusia seperti tadi. Tentu mereka akan dihujani anak panah dan akan tewas semua.

Melihat betapa delapan belas orang pendekar itu kebingungan, Ouw Sian Kok berkata dengan suara agak kecewa, "Mengapa Cuwi menjadi bingung setelah berhadapan dengan musuh?"

"Taihiap tidak tahu, memang benar dugaan Taihiap tadi bahwa kita terperosok ke dalam perangkap. Penyelidikan kita yang sudah-sudah pun agaknya sudah diketahui oleh orang-orang An Lu Shan. Ternyata secara diam-diam An Lu Shan berada di sini, lengkap dengan semua pembantunya dan hal ini amatlah berbahaya."

"Berbahaya atau tidak, kita sudah menghadapinya dan perlu apa bingung? Kebingungan hanya akan membuat kita tidak tenang dan lemah. Hadapilah apa saja yang kita temui, berbahaya mau pun tidak. Apa gunanya hidup sebagai pendekar kalau matinya seperti pengecut?"

Mendengar ucapan Ouw Sian Kok ini, bangkitlah semangat kepahlawanan delapan belas orang murid Bu-tong-pai itu. "Ucapan Taihiap tepat sekali! Maafkan kalau tadi kami bingung karena hal ini sama sekali tidak kami duga-duga. Apalagi kami telah mengajak Jiwi ke sini, berarti kami menyeret Jiwi ke dalam bahaya pula."

"Hidup memang merupakan keadaan yang penuh bahaya, tergantung kita menghadapinya," Liu Bwee berkata. Memang bagi wanita yang sudah mengalami banyak kesengsaraan, apa-lagi sejak kecil tinggal di Pulau Es, bahaya bukanlah apa-apa dan merupakan hal yang wajar.

"Kalau begitu, mari kita ke telaga dan kita hadapi An Lu Shan sendiri. Setelah menghadapi dia, tugas kami berubah, tidak lagi melakukan penyelidikan melainkan kalau perlu menewaskan jenderal pemberontak itu!" Song Kiat berkata penuh semangat sambil mencabut pedangnya.

Gerakan ini diikuti oleh tujuh belas orang sute-nya. Dengan berlari cepat mereka kembali ke telaga di mana telah menanti An Lu Shan dan semua pembantunya. Akan tetapi mereka tercengang ketika tiba ditempat itu. Mereka melihat An Lu Shan berdiri diiringi oleh puluhan orang yang bermacam-macam bentuk dan keadaannya, menanti dengan sikap tenang, sama sekali tidak memperlihatkan sikap permusuhan.

Akan tetapi mereka juga melihat betapa tempat itu telah dikurung oleh banyak sekali orang-orang yang bersenjata lengkap! Delapan belas orang itu tidak tahu harus berkata apa, akan tetapi mereka sudah siap untuk melawan dengan nekat dan mati-matian apabila diserang oleh pasukan yang demikian banyaknya.

Ternyata memang An Lu Shan telah mengatur perangkap ini. Ketika mendengar laporan dari anak buahnya yang berhasil menyelamatkan diri, betapa delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai yang tadinya sudah hampir dapat dibasmi itu diselamatkan oleh dua orang laki-laki dan wanita yang memiliki kesaktian luar biasa, An Lu Shan merasa tertarik sekali dan cepat dia mengatur persiapan untuk menyambut mereka.

"Mereka tentu akan mengunjungi tempat ini," katanya. "Biarkan mereka menyeberang dan jangan menurunkan tangan besi sebelum mendapatkan perintahku. Aku ingin bicara dulu dengan mereka, siapa tahu kita dapat membujuk mereka untuk bekerja sama, terutama dua orang sakti itu."

Demikianlah, karena memandang rendah kecerdikan An Lu Shan, delapan belas orang murid Bu-tong-pai itu masuk ke dalam perangkap yang memang telah dipasang oleh jenderal itu. Kalau dia menghendaki, tadi ketika delapan belas orang itu membuat jembatan manusia, tentu dengan mudah dia akan membasmi mereka.

"Hemm, Cuwi tentulah Bu-tong Cap-pwe Enghiong yang gagah perkasa," terdengar An Lu Shan berkata dengan suaranya yang nyaring penuh wibawa, kasar dan tidak memakai banyak sopan santun pula. "Ada keperluan apakah Cuwi mengunjungi tempat kami ini?"

Karena tidak mungkin lagi berpura-pura atau berbohong, maka sesuai dengan wataknya sebagai pendekar, Song Kiat menjawab dengan suara lantang, "Kami datang untuk membunuh Jenderal pemberontak An Lu Shan!"

Tentu saja jawaban ini membuat marah para pembantu jenderal itu, yang sudah kelihatan gatal tangan untuk membasmi musuh. Akan tetapi An Lu Shan menggerakkan tangan ke atas untuk mencegah. Dia berkata lagi, ditujukan kepada delapan belas orang pendekar itu, akan tetapi diam-diam matanya yang tajam menyapu dengan penuh selidik kepada laki-laki setengah tua yang memegang tombak dan wanita cantik yang memegang pedang di dekat delapan belas pendekar itu.

"Sungguh kami merasa heran sekali mengapa para orang gagah di Bu-tong-pai masih juga belum sadar? Pemerintah yang dikuasai Kaisar lalim selain menyia-nyiakan sebuah perkumpulan besar seperti Bu-tong-pai, juga telah menghinanya, menganggap Bu-tong-pai sebagai perkumpulan orang jahat. Sekarang Cuwi malah membela Kaisar, bukankah itu namanya penjilatan? Apakah orang-orang gagah demikian rendah dirinya, menjilat-jilat kalau dihina oleh pihak yang lebih tinggi?"

"Kami bukan membela Kaisar atau pemerintah, kami membela rakyat dan negara dari gangguan pemberontak!" Song Kiat berteriak lantang.

An Lu Shan tertawa. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Demikianlah semestinya watak seorang pendekar yang berjiwa pahlawan. Kalau begitu antara Cuwi dan kami terdapat kecocokan. Kami bukanlah pemberontak, melainkan pejuang yang memperjuangkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh kelaliman Kaisar yang hanya tahu bersenang-senang belaka. Marilah kita bersama-sama mengenyahkan pemerintahan lalim ini untuk membangun sebuah pemerintahan yang akan dapat mendatangkan kemakmuran kepada rakyat jelata. Dengan demikian, barulah tidak percuma kita hidup sebagai manusia, terutama sebagai manusia yang berjiwa gagah."

Ucapan yang keluar dari mulut An Lu Shan terdengar penuh semangat kepahlawanan. Memang jenderal ini merupakan seorang ahli bicara yang amat pandai sehingga sejenak delapan belas orang itu saling pandang dengan bingung.

Tiba-tiba Liu Bwee yang biar pun hanya seorang wanita namun pernah menjadi Permaisuri Raja Pulau Es, yang merasa masih sedarah dengan Kaisar daratan besar, dan sudah banyak pula membaca kitab sejarah sehingga mengerti sedikit akan politik, berkata yang ditujukan kepada delapan belas orang gagah itu, "Orang gagah harus memiliki pendirian. Sifat suka berbalik pikiran dan mudah terbawa angin adalah sifat ular kepala dua dan merupakan sifat yang paling rendah dan berbahaya."

Mendengar ucapan ini, sadarlah pendekar dari Bu-tong-pai itu dan Song Kiat berteriak, "Jenderal An Lu Shan! Tidak ada gunanya engkau mencoba untuk membujuk kami! Kami tidak membutuhkan pangkat, tidak membutuhkan harta, tidak membutuhkan nama besar sebagai pemberontak! Kami harus mempertahankan pendirian kami, harus membela dan mematuhi perintah ketua dan guru kami dengan darah dan nyawa!"

Kedua pihak sudah ‘panas’, akan tetapi An Lu Shan masih bersabar. Ia mengangkat tangannya, menahan anak buahnya, lalu berkata, "Terserah pemilihan Cuwi dari Bu-tong-pai. Akan tetapi karena Jiwi yang datang bersama Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong merupakan manusia-manusia sakti yang cerdik pandai, ingin kami mengenal mereka, dan mengapa pula Jiwi mencampuri urusan Bu-tong-pai yang memusuhi kami?"

"Kami berdua hanyalah orang-orang yang kebetulan lewat dan melihat kegagahan Bu-tong Cap-pwe Enghiong, kami berdua sudah mengambil keputusan untuk membantu mereka. Tentu saja ini adalah tanggung-jawab kami dan tidak ada sangkut pautnya dengan kalian," kata Ouw Siang Kok.

"Harap Jiwi suka mempertimbangkan, dan kami menjamin bahwa Jiwi kelak akan menerima penghargaan dari kekuasaan yang memerintah negara, dari rakyat dan dari dunia kang-ouw yang banyak membantu kami. Jiwi tidak perlu membantu kami menghadapi orang-orang Bu-tong-pai. Asal Jiwi suka lepas tangan, kami sudah amat berterima kasih dengan Jiwi." An Lu Shan yang bermata tajam dapat menduga bahwa dua orang itu amat lihai, maka dia berusaha membujuk Ouw Sian Kok dan Liu Bwee.

"Jenderal An Lu Shan," tiba-tiba Liu Bwee berkata, suaranya penuh wibawa dan sikapnya agung seperti seorang ratu bicara kepada seorang bawahannya. "Engkau tentu maklum, bagi seorang yang gagah perkasa dan budiman, janji adalah lebih berharga dari-pada nyawa, dan bagi seorang gagah, nyawa bukan merupakan benda yang terlalu disayangkan, sedikitnya tidaklah melebihi kehormatan dan nama. Kematian bukan apa-apa. Kami yang sudah berjanji kepada Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong tentu tidak mungkin dapat mundur lagi. Nah, kami semua telah siap. Apa pun yang akan kau lakukan, kami akan hadapi dengan pertaruhan nyawa."

An Lu Shan tercengang dan sampai lama tak mampu menjawab, memandang kepada Liu Bwee dengan penuh penyesalan. Mana hatinya tidak akan menyesal melihat seorang wanita sehebat itu berdiri di pihak musuh? Terpaksa dia menggerakkan tangannya dan bergeraklah para pengawalnya menerjang maju!

Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang sudah bersatu hati itu seperti mengerti isi hati masing-masing, maka hampir berbareng mereka berdua menggerakkan kaki meloncat ke arah An Lu Shan. Mereka maklum bahwa menghadapi lawan yang jauh lebih besar jumlahnya, mereka harus berlaku cerdik dan sedapat mungkin mereka harus lebih dulu merobohkan pimpinan lawan. Kalau pemimpin seperti An Lu Shan itu dapat ditangkap, tentu yang lain akan tunduk, atau kalau sampai dapat dibunuh, hal ini tentu akan melumpuhkan semangat lawan.

An Lu Shan terkejut melihat gerakan mereka berdua. Memang dia sudah mendengar laporan anak buahnya bahwa dua orang ini lihai sekali. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa mereka akan dapat bergerak secepat itu, seperti dua sinar halilintar saja menyambar ke arahnya. Dia berteriak dan cepat menjatuhkan diri ke belakang sehingga dua orang penyerang itu langsung dihadapi oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang berdiri di kanan-kiri dan belakangnya.

"Trang-cringgg-cringgg...!!"

Para tokoh kang-ouw itu terkejut bukan main. Sekaligus ada empat orang yang melindungi An Lu Shan dan menangkis pedang dan tombak di tangan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok, akan tetapi empat orang itu terhuyung ke belakang karena mereka bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat!

Ouw Sian Kok yang ingin agar penyerbuan delapan belas orang pendekar itu berhasil dalam waktu singkat dan tidak perlu terjadi pembunuhan besar-besaran, sudah mengunakan ginkang-nya yang amat hebat. Tubuhnya melucur ke depan mengejar An Lu Shan yang hendak menyelamatkan diri ke belakang para pembantu dan para pengawalnya.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati An Lu Shan ketika melihat tiba-tiba dia diancam oleh sebatang tombak yang dipegang oleh orang yang seperti ‘terbang’ di atasnya! Dia pun bukanlah seorang biasa, melainkan seorang panglima yang sudah banyak pengalamannya bertempur, memiliki pula ilmu silat campuran yang lihai dan tenaganya kuat bukan main. 

Melihat betapa dia terancam, secepat kilat tangan kanannya bergerak dan begitu pedangnya tercabut, tampak sinar terang yang menyilaukan mata. Kemudian pedangnya menangkis ke arah tombak yang mengurungnya dengan sinar tombak.

"Trakkkk!" tombak di tangan Ouw Sian Kok itu patah-patah! Tentu saja tombak biasa itu tidak mampu melawan pedang Tiong-gi-kiam hadiah dari Kaisar kepada An Lu Shan ini, yang merupakan sebatang pedang pusaka kuno yang amat ampuh.

Akan tetapi Ouw Sian Kok yang berilmu tinggi itu tidak menjadi gugup. Dia bahkan mampu menggerakkan sisa gagang tombaknya menotok pergelangan tangan kanan An Lu Shan dengan kecepatan sedemikian rupa sehingga serangan ini tidak tampak dan tahu-tahu tangan Jenderal itu telah tertotok dan pedangnya terampas oleh Ouw Sian Kok! Kini para pengawal dan orang-orang kang-ouw telah mengurungnya dan berhasil melindungi An Lu Shan yang cepat menyelinap ke belakang.

Jenderal ini menjadi marah. Selain pedangnya terampas, hampir saja dia celaka. "Serbu mereka! Basmi mereka semua, jangan beri ampun seorang pun juga!" dia berteriak memberi perintah.

An Lu Shan adalah seorang yang cerdik dan pandai memikat hati orang untuk membantunya. Akan tetapi, di waktu marah dia berubah menjadi seorang yang amat kejam dan tidak mengenal ampun, sesuai dengan latar belakang hidupnya yang liar dan ganas.

Terjadilah pertempuran yang amat seru di tepi telaga itu. Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, Liu Bwee, dan Ouw Sian Kok, mengamuk dengan hebatnya sungguh pun Liu Bwee dan Ouw Sian Kok selalu merobohkan lawan tanpa membunuh mereka. Di antara mereka berdua dan An Lu Shan sama sekali tidak terdapat permusuhan, apa-lagi dengan para anak buah Jenderal itu, sama sekali tidak ada urusan dengan mereka. 

Maka tentu saja mereka tidak sampai hati untuk melakukan pembunuhan dan hanya merobohkan mereka dengan tendangan, dorongan tangan kiri, totokan atau ada juga yang tersambar pedang akan tetapi tidak terluka parah yang membahayakan nyawa mereka.

Berbeda dengan sepak terjang Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang biar pun mengiriskan namun tidak pernah membunuh, sebaliknya delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai itu mengamuk dengan mengerikan. Mereka seperti segerombolan harimau yang haus darah. Pedang mereka berkelebatan.

Kalau ada pihak lawan yang roboh, tentu roboh dalam keadaan yang mengerikan sekali, terobek perut mereka atau tersayat leher mereka hampir putus, atau tertembus dada mereka oleh pedang sehingga begitu roboh mereka berkelojotan dan nyawa mereka melayang tidak lama kemudian. Delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai itu seolah-olah menyebar maut di antara para pengawal An Lu Shan.

Hal ini membuat An Lu Shan marah sekali. Cepat dia memerintahkan pengawal-pengawal pribadinya untuk meninggalkannya dan menyerbu lawan. Juga para tokoh kang-ouw tidak ada yang menganggur, sebagian menghadapi Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang amat lhai, sebagian pula kini menghadapi delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu. Kini pasukan pengawal yang menjaga di sekitar tempat itu sudah berkumpul semua sehingga lebih dari seratus orang anak buah An Lu Shan mengurung dan mengeroyok musuh.

Betapa pun gagahnya delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu, menghadapi pengeroyokan lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak, apa-lagi setelah para pengawal pribadi An Lu Shan dan orang-orang kangouw maju akhirnya mereka roboh juga seorang demi seorang!

Tak lama kemudian, Bu-tong Cap-pwe Enghiong yang gagah perkasa itu tewas seorang demi seorang setelah melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir dan setelah masing-masing merobohkan sedikitnya dua orang lawan!

Tempat itu yang biasanya menjadi tempat pertemuan dan peristirahatan bagi An Lu Shan, hari itu berubah menjadi tempat yang penuh dengan noda darah dan penuh dengan mayat manusia yang malang melintang. Mengerikan!

Liu Bwee dan Ouw Sian Kok juga terdesak hebat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki tingkat ilmu silat lebih tinggi dari-pada tokoh-tokoh kang-ouw yang berada di situ, bahkan ilmu silat mereka termasuk ilmu yang aneh dan tidak dikenal oleh para lawan. Biar pun banyak sudah, sedikitnya ada dua puluh orang yang roboh tak berdaya oleh mereka, namun mereka seperti dua ekor belalang dikeroyok semut yang banyak dan dekat.

Akhirnya sebuah hantaman dengan toya yang mengenai lutut kanan Liu Bwee membuat nyonya perkasa ini terjungkal dan dia lalu ditubruk oleh empat orang lawan, ditotok dan dibelenggu, lalu diseret pergi sebagai seorang tawanan. Betapa pun juga orang-orang kang-ouw itu masih merasa segan untuk membunuh wanita yang amat mereka kagumi ini.

Melihat Liu Bwee tertawan, Ouw Sian Kok mengeluarkan pekik melengking dan pekik ini saja sudah cukup untuk merobohkan beberapa orang pengeroyok yang kurang kuat sinkang-nya. Tiong-gi-kiam di tangannya menyusul berkelebat, membuat belasan batang senjata lawan beterbangan dan robohlah lima enam orang lagi! Bukan main hebatnya sepak terjang Ouw Sian Kok yang sudah marah itu.

"An Lu Shan, bebaskan Liu-toanio atau... akan kubasmi kalian semua! Aku Ouw Sian Kok dari Pulau Neraka tidak biasa mengeluarkan ancaman kosong belaka!" Saking marah dan khawatir melihat Liu Bwee ditawan, Ouw Sian Kok lupa diri dan menyebut-nyebut Pulau Neraka.

Terkejutlah semua orang mendengar ini. Mereka tidak pernah tahu di mana adanya Pulau Neraka, akan tetapi di dalam dongeng mereka mendengar bahwa Pulau Es dan Pulau Neraka merupakan pulau-pulau tempat tinggal para dewata dan siluman yang memiliki ilmu yang amat luar biasa!

"Kalian tidak tahu dia itu adalah bekas Permaisuri dari Pulau Es! Bebaskan dia!" teriaknya lagi sambil menendang dengan kedua kakinya secara berantai, merobohkan empat orang di antara para pengeroyoknya.

Kembali semua orang terkejut, termasuk An Lu Shan. Pulau Es? Benarkah apa yang dikatakan laki-laki gagah perkasa itu? Ataukah hanya gertak sambal saja agar wanita yang tertawan itu dibebaskan?

Selagi semua orang ragu-ragu, terdengarlah suara ketawa, "Heh-heh-heh, anak-anak nakal, kiranya masih ada yang tinggal di antara penghuni Pulau Es dan Pulau Neraka! Hemmm, hayo kalian berdua ikut saja bersamaku karena bukan di sinilah tempat kalian!" Suara ini halus dan perlahan saja, namun anehnya mengatasi semua suara dan terdengar dengan jelas oleh mereka semua.

Ketika An Lu Shan dan anak buahnya memandang, ternyata yang muncul adalah seorang kakek bercaping lebar yang mereka kenal sebagai kakek nelayan yang suka memancing ikan di telaga. Karena kakek itu bersikap halus dan tidak pernah bicara, maka An Lu Shan hanya menyuruh anak buahnya mengamat-amati saja. Kakek itu sudah berbulan-bulan memancing ikan di telaga dan sama sekali tidak mengganggu, juga sama sekali tidak mencurigakan, maka kini kemunculannya dalam keadaan yang menegangkan itu benar-benar amat mengherankan hati orang.

Ouw Sian Kok yang mendengar ucapan itu menjadi terkejut sekali. Cepat dia memandang. Terlihat olehnya seorang kakek berpakaian sederhana tambal-tambalan, bertopi caping lebar seperti yang biasa digunakan para nelayan, memegang tangkai pancing dari bambu dan dipinggangnya tergantung sebuah kipas bambu. Dia cepat memandang wajah kakek itu dan melihat wajah yang sudah tua akan tetapi dengan sepasang mata yang tajam penuh wibawa.

Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang lihai. Otomatis dia mengira bahwa tentu ini merupakan seorang tokoh kang-ouw yang menjadi kaki tanan An Lu Shan pula. Maka lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum lawan tangguh ini mendahuluinya, pikir Ouw Sian Kok.

"Sudah tua bangka masih banyak pamrih mencampuri urusan pemberontakan!" bentaknya. Pedangnya mengeluarkan sinar, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung ketika dia meloncat dan memutar senjata itu menyerang.

Dengan tenang kakek itu menghadapi penyerangan ini, sikapnya seperti seorang tua menghadapi seorang anak yang nakal. Karena menduga bahwa kakek itu tentu amat lihai, maka sekali ini Ouw Sian Kok tidak bersikap tanggung-tanggung, pedangnya meluncur dengan amat cepatnya dan dia membuka serangan. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu memutar pancingnya dan terdengarlah suara bersuitan nyaring sekali.

Ouw Sian Kok bersikap waspada. Ketika tangkai yang terbuat dari bambu panjang itu menyambar ke depan menyambutnya, dia cepat menggerakkan pedangnya yang ampuh dengan mengerahkan tenaga sinkang untuk membabat putus bambu itu. Namun bambu itu seperti hidup bergerak mengikuti sinar pedangnya, berkejaran dengan sinar pedangnya tetapi tidak pernah tersentuh, dan tahu-tahu Ouw Sian Kok merasa betapa tubuhnya terangkat ke atas.

Ternyata bahwa ketika kakek itu memutar bambu yang menjadi tangkai pancing, tali pancingnya berputaran sedemikian cepatnya sampai tidak tampak karena tali itu kecil saja. Tahu-tahu mata pancing itu telah mengait punggung baju Ouw Sian Kok sehingga seolah-olah Ouw Sian Kok dijadikan ‘ikan’ yang terkena pancing!

Ouw Sian Kok terkejut dan marah. Dia bergerak hendak membabat tali pancing di atas punggungnya, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya yang tergantung itu berputar cepat sekali. Dia diputar-putar di atas kepala kakek itu sehingga kalau sampai tali itu diputuskan dengan tangannya, tentu tubuhnya akan terlempar dan terbanting keras tanpa dia mampu mencegahnya karena tubuhnya sudah berputaran seperti kitiran di udara.

Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, kaget dan kagum melihat betapa mudahnya kakek tua itu membuat Ouw Sian Kok yang sakti itu tidak berdaya sama sekali!

Ouw Sian Kok merasa malu dan marah. Dikerahkannya sinkang-nya dan dia telah menggunakan ilmu memberatkan tubuhnya. Seketika tubuhnya yang masih berputar-putar itu agak menurun dan bambu itu melengkung seolah-olah tidak kuat menahan tubuhnya.

"Tidak buruk...!" kakek itu berseru kagum juga.

Akan tetapi karena dia masih memutar-mutar hasil pancingannya itu dengan amat cepatnya, Ouw Sian Kok tidak dapat melepaskan diri. Ia hanya melirik ke arah kakek itu dengan pandang mata penuh kemarahan dan kadang-kadang mencoba untuk menggerakkan pedang membacok ke arah tubuh kakek itu.

Tiba-tiba terdengar suara Liu Bwee, "Ouw-toako, jangan melawan...! Lo-cianpwe, mohon Lo-cianpwe sudi mengampuninya...!!"

Mendengar seruan Liu Bwee ini Ouw Sian Kok terkejut. Dia menghentikan usahanya untuk menyerang atau membebaskan diri, lalu berkata, "Harap Lo-cianpwe sudi memaafkan kalau saya bersikap kurang ajar!"

"Heh-heh-heh, ternyata Pulau Neraka belum merusakmu, orang muda!" Tali pancing itu mengendur dan tahu-tahu Ouw Sian kok telah mendapatkan dirinya berada di atas tanah. Dia berdiri tak bergerak, hanya menoleh ke arah Liu Bwee yang kini sudah terbelenggu dan dijaga ketat.

Kakek itu lalu menghadap ke arah An Lu Shan yang berdiri di tempat aman, kemudian berkata halus, "An-goanswe harap suka memenuhi permintaan seorang tua seperti aku agar suka membebaskan wanita itu."

Sudah kita ketahui bahwa An Lu Shan adalah seorang yang amat cerdik. Melihat keadaan kekek itu, dia pun maklum bahwa orang tua itu amat sakti dan menghadapi seorang kakek seperti itu, lebih baik bersahabat dari-pada memusuhinya. Kalau ingin berhasil dalam mengejar cita-cita, berbaiklah dengan sebanyak mungkin orang pandai, demikian pedoman hatinya. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk membebaskan Liu Bwee.

Tentu saja isyarat ini tidak ada yang berani membantahnya sungguh pun para anak buah dan pembantunya merasa khawatir akan sikap An Lu Shan ini. Di situ terdapat tiga orang lawan tangguh, yang seorang sudah tertawan, mengapa dibebaskan lagi? Bukankah ini merupakan perbuatan bodoh dan berbahaya?

Liu Bwee yang sudah terbebas dari totokan dan belenggu segera menghampiri kakek itu dan menjatuhkan diri berlutut. "Lo-cianpwe...," katanya dan melanjutkan katanya dengan tangis yang menyedihkan.

Kakek itu mengangguk-angguk. "Sudahlah, sudahlah, aku sudah tahu semua yang menimpa dirimu dan Pulau Es. Sudah semestinya demikian, ditangisi pun tidak akan ada gunanya."

Liu Bwee tersadar setelah mendengar ucapan ini. Cepat ia menghapus air matanya, lalu berkata kepada Ouw Sian Kok, "Ouw-twako, beliau ini adalah kakek dari suamiku yang telah lama meninggalkan pulau dan mengasingkan diri sebagai seorang pertapa. Baru sekarang aku dapat bertemu dengan beliau...."

Mendengar ini, terkejutlah hati Ouw Sian Kok. Kalau orang tua ini kakek dari Han Ti Ong, berarti kakek ini dahulunya adalah Raja Pulau Es atau setidaknya tentu pangeran! Dan tentu ilmunya sudah amat tinggi, karena dia tadi sudah merasakan kelihaian kakek ini. Hatinya makin tunduk dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu di samping Liu Bwee. "Teecu Ouw Sian Kok mohon maaf sebesarnya kepada Lo- cianpwe," katanya.

Kakek itu terkekeh, "Heh-heh-heh, kalian ini dua orang muda memang tidak pernah bertobat! Sudah puluhan tahun hidup menghadapi bermacam penderitaan, masih saja tidak mau merubah dan mencari keributan pula di sini. Kalian berdua mempunyai bakat baik sekali untuk mempelajari hidup dan marilah kalian ikut bersamaku! Kalau kalian tidak mau, aku pun tidak akan memaksa, akan tetapi kelak kalian hanya akan menemui kekecewaan dan kesengsaraan belaka. Sebaliknya, kalau kalian suka ikut bersamaku, segala hal mungkin saja terjadi.”

Liu Bwee dan Ouw Sian Kok saling pandang. Biar pun mulut mereka tidak saling bicara, namun hati mereka sudah saling menerima getaran. Mereka tahu bahwa ke mana pun mereka pergi, asal mereka tidak berpisah, mereka akan merasa cukup kuat, berani, tabah dan bahagia! Maka keduanya lalu mengangguk-angguk tanpa bicara lagi.

Kakek itu merasa girang, lalu menoleh ke arah An Lu Shan. "An-goanswe, telah berbulan-bulan aku menyaksikan gerakanmu dan engkau memang pantas menjadi penggempur kelemahan kerajaan. Bukan urusanku untuk mencampuri. Nah, perkenankan kami bertiga pergi dari sini."

An Lu Shan cepat melangkah maju dan mengangkat kedua tangannya ke depan dada, "Lo-cianpwe, saya mohon petunjuk Lo-cianpwe mengenai perjuangan kami!" Jenderal ini maklum bahwa membujuk mereka untuk membantunya amatlah sukar, maka sedikitnya dia ingin memperoleh petunjuk dan nasehat dari kakek sakti itu.

Mendengar ini, kakek itu lalu memutar-mutar pancingnya yang mengeluarkan suara bersuitan dan makin lama makin nyaring kemudian terdengar suara itu melengking seperti suling dan berlagu! Barulah terdengar suaranya seperti orang bernyanyi, diiringi suara seperti suling yang timbul dari tali yang diputar cepat itu.

"Yang lama akan terguling yang baru menggantikannya, yang baru akan menjadi lama dan ada yang lebih baru pula! Yang tua akan mati diganti yang muda, yang muda akan menjadi tua, mati dan diganti pula!

Apakah yang kekal di dunia ini? Yang menyebabkan kematian dan kesengsaraan akan dilanda kematian dan kesengsaraan. Ayah dan anak menyukai kekerasan akan menjadi korban kekerasan pula!”

Suara melengking dan nyanyian terhenti. Semua orang tercengang dan diam, pikiran bekerja memecahkan arti nyanyian itu. Ketika mereka memandang, tiga orang itu telah pergi dari situ. Barulah para pengawal sadar dan hendak mengejar, akan tetapi An Lu Shan berkata, "Jangan ganggu mereka!"

Para pengawal yang mengikuti dari jauh kemudian melapor kepada An Lu Shan betapa kakek itu menggandeng tangan Ouw Sian Kok dan Liu Bwee melompati jurang yang amat lebar, kemudian lenyap di balik gunung!

An Lu Shan menghela napas panjang, mengingat-ingat dan mencoba memecahkan arti nyanyian itu, menyuruh orangnya menuliskan nyanyian kakek itu. Dia merasa girang ketika orang-orangnya yang terkenal ahli sastra menguraikan nyanyian yang merupakan ramalan baik baginya. Yang lama akan terguling, yang baru akan menggantikannya. Hal ini saja sudah jelas berarti bahwa perjuangannya menggulingkan pemerintahan lama pasti akan berhasil.

Apa-lagi bait-bait terakhir yang mengatakan bahwa ayah dan anak menyukai kekerasan akan menjadi korban kekerasan pula. Ditafsirkannya bahwa ayah dan anak tentulah Kaisar dan Putera Mahkota yang tentu akan dibunuhnya kalau dia berhasil merebut tahta kerajaan.

Memang demikianlah semua manusia. Selalu menafsirkan segala sesuatu dengan kepentingan dan keinginan hatinya sendiri seolah-olah segala sesuatu yang tampak di dunia ini khusus diperuntukkan dirinya belaka! Kenyataannya kelak akan terbukti, bahwa biar pun An Lu Shan behasil merampas tahta kerajaan, namun dia tidak dapat lama menikmati hasil pembunuhan besar-besaran dalam perang pemberontakan itu, karena tidak lama kemudian dia dan puteranya berturut-turut dibunuh oleh kaki tangannya sendiri!

Orang memang selalu lupa akan kenyataan hidup bahwa yang baru lambat laun akan menjadi lama juga, yang muda akan menjadi tua pula. Manusia selalu dibuai oleh khayal, selalu dipermainkan oleh pikirannya sendiri yang menjangkau jauh ke masa depan, menjangkau segala sesuatu yang tidak ada atau yang belum dimilikinya.

Manusia tidak mau melihat apa adanya, tidak mau mempedulikan ‘yang begini’ melainkan selalu mengarahkan pandang matanya kepada ‘yang begitu’, yaitu sesuatu yang belum ada, yang menimbulkan keinginan hatinya untuk memperolehnya. 

Manusia lupa bahwa ‘yang begitu’ tadi, artinya belum diperolehnya, kalau sudah diperoleh dan berada di tangannya akan menjadi ‘yang begini’ pula dan mata akan tidak mempedulikan lagi karena sudah memandang pula kepada ‘yang begitu’, ialah hal lain yang belum dimilikinya.

Betapa akan berada jauh keadaan hidup apabila kita menunjukkan pandang mata kita kepada ‘yang begini’, kepada apa adanya, mempelajari, mengertinya sehingga terjadilah perubahan karena dengan mengerti kebiasaan yang buruk, mengerti dengan sedalam-dalamnya, otomatis kebiasaan itu pun terhentilah.

Dengan mengerti sedalamnya akan keadaan sekarang, saat ini, apa adanya setiap detik, benda apa pun juga, di mana pun juga, mengandung keindahan murni yang tidak dapat diperoleh keinginan. Lenyaplah batas yang memisahkan indah dan buruk, senang dan susah, untung dan rugi, aku dan engkau.

Kalau sudah begini, baru kita tahu apa artinya cinta kasih, apa artinya kebenaran, kemurnian, kesucian dan apa artinya sebutan Tuhan yang biasanya hanya menjadi kembang bibir belaka.

Kita tinggalkan dulu Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang ikut pergi bersama kakek nelayan sakti yang bukan lain adalah kakek dari Han Ti Ong, bekas Raja Pulau Es yang telah puluhan tahun lamanya meninggalkan pulau itu dan merantau di tempat-tempat sunyi sebagai pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai. Sudah terlalu lama kita meninggalkan Sin Liong dan Swat Hong, maka marilah kita mengikuti perjalanan dua orang itu.

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.