Warisan Iblis - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT SERIAL PENDEKAR PULAU NERAKA
Episode Warisan Iblis
Karya Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit Cintamedia, Jakarta



cersil Pendekar Pulau Neraka episode warisan iblis



SATU

Laut Utara terlihat tenang. Angin bertiup semilir menyapu sebuah kapal dagang yang sedang berlayar. Beberapa buah layar berkibar-kibar menambah suasana damai dan tentram. Di angkasa terlihat langit biru bersih dengan beberapa gerumbulan awan putih. Siang ini terasa betul-betul cerah. Di buritan kapal terlihat Juragan Sasmita Pura duduk pada sebuah kursi menikmati keindahan alam. Di sebelahnya terdapat istrinya yang cantik jelita beserta seorang pembantu wanita yang masih muda dan bertampang rupawan. Sementara di depannya terlihat seorang bocah laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun. Beliau adalah putra Juragan Sasmita Pura yang bernama Nara Sudana.

"Ayah, apakah bulan depan aku boleh ikut lagi?" tanya Nara Sudana memohon.

Juragan Sasmita Pura tersenyum pasti. "Boleh saja kau ikut dengan ayah agar kelak kau bisa meneruskan usaha perniagaan ayah ini."

"Tapi aku kurang suka berniaga, yah. Aku hanya senang melihat-lihat negeri lain."

"Untuk apa? Apakah kau ingin menjadi pengembara gembel?" goda Juragan Sasmita.

"Tentu tidak. Aku akan mengamalkan ilmu yang telah kupelajari selama ini," sahut Nara Sudana cepat.

Kembali Juragan Sasmita tersenyum. Putranya yang satu ini memang aneh sekali. Tidak seperti anak-anak lain sebayanya yang senang berkelahi, adu ketangkasan, serta bercita-cita menjadi orang kaya yang sangat dihormati. Dia malah begitu suka mempelajari kesusasteraan dan ingin mengembara ke negeri lain untuk menambah ilmu pengetahuannya.

"Apakah kau yakin bahwa niatmu itu bisa diterima orang lain?" tanya Juragan Sasmita kembali.

"Tentu saja! Kalau mereka bisa baca tulis, orang-orang tentu tidak akan bodoh, dan dengan begitu negara akan kuat."

"Tapi saat sekarang mereka tak memerlukan hal itu, Nak...."

"Kenapa tidak?!"

Juragan Sasmita menghela nafas. Kemudian katanya dengan suara pelan.

"Mereka perlu sesuatu untuk melindungi dirinya sendiri. Entah itu dengan membekali diri dengan kepandaian berkelahi, atau menjadi penguasa yang mampu menyewa jago-jago bayaran, lalu dengan sedikit harta untuk melengkapi kehidupan mereka...."

"Jadi menurut ayah orang hidup hanya untuk dirinya sendiri? Kemanakah rasa kemanusiaan mereka melihat orang-orang lain yang bodoh, menderita, dan tersiksa?"

"Nak, kau masih terlalu muda untuk mengetahui semuanya. Bila tiba waktunya kau tentu akan mengerti..." sahut ibunya.
Nara Sudana memalingkan wajah ke arah ibunya dengan rona bingung tak mengerti.

"Kenapa, bu? Apa bedanya saat ini dengan kelak? Apakah kini aku tak mampu mencerna segala sesuatu yang ada di depanku?"

"Tidak. Kau hanya belum cukup bekal untuk mencernanya dengan baik. Hatimu penuh dengan semangat menyala, tapi matamu masih samar-samar melihat ke arah lain...."

Mendengar kata-kata itu Nara Sudana semakin bingung saja. Dia mohon diri pada ayah ibunya, untuk meninggalkan tempat itu. Langkahnya pelan menapak tiap sudut kapal dagang milik ayahnya ini sambil terus memikirkan apa yang diucapkan orang tuanya tadi. Betulkah dia tak mengerti? Kenapa musti menunggu sampai dia lebih besar? Apakah pada usianya kini tak mampu mencerna segalanya yang terbentang di depan mata?

"Aku prihatin, Kang...."

Juragan Sasmita Pura melirik istrinya yang mendesah lirih sambil memperhatikan putra mereka satu-satunya.

"Tak perlu khawatir, Cendani. Dia akan mengerti sendiri kelak bila waktunya tiba...."

"Tapi kapan, Kang...?"

Juragan Sasmita tak langsung menjawab. Dia menghela nafas beberapa saat.

"Kenapa kau memikirkan hal itu?"

"Mengapa tidak? Dia putra kita satu-satunya. Kakang sudah berusia lanjut, dan kelak pastilah perniagaan ini turun padanya. Kalau mulai dari sekarang dia tak menyukai pekerjaan ini, bagaimana mungkin dia dapat melanjutkan usahamu?"

"Ya... aku pun sering memikirkan hal itu. Mungkin ada baiknya kita mengirim dia pada salah seorang guru...."

"Guru? Maksud kakang dia akan belajar tentang kesusasteraan lagi?"

"Tidak. Tapi aku bermaksud mengirimnya ke padepokan Laksa Dahana. Bukankah padepokan yang dipimpin Ki Tembayat Danang itu sangat terkenal? Murid-murid yang belajar di sana tidak melulu tentang ilmu silat, tapi juga soal adat dan agama."

"Itu usul yang bagus, Kang!" sahut Cendani, istrinya.

"Tapi kalau Den Nara tak berada di rumah, saya merasa sepi..." sahut Wulandari, pembantu wanita yang telah dianggap keluarga sendiri oleh keluarga Juragan Sasmita.

"Tapi kita bisa menjenguknya sebulan sekali, Wulan," jawab Cendani sambil tersenyum. Wulandari baru saja akan melanjutkan kata-katanya ketika terdengar seorang awak kapal berteriak nyaring.

"Semua bersiap! Ada bahaya mengancam...!"


***


Juragan Sasmita terkejut. Dari situ dia bisa melihat ke laut lepas. Sebuah kapal berukuran besar menuju ke arah mereka. Pada benderanya yang berwarna merah terlihat gambar tengkorak.

"Perompak laut!" desisnya.

"Juragan, silahkan masuk ke dalam. Kami akan menahan mereka!" kata Kebo Lanang, kepala pasukan pengawal kapal ini.

"Apakah tak ada jalan lain berdamai dengan mereka?"

"Maaf juragan, mereka adalah Perompak Tengkorak Darah yang terkenal kejam. Mereka tak pernah kenal damai sebelum menghabisi korbannya."

"Ohh..." Juragan Sasmita mengeluh pelan.
"Anakku! Anakku...!" teriak Cendani cemas.

"Tenanglah, Nyi. Nara Sudana sedang dikawal ke sini!" sahut Kebo Lanang menjelaskan.

Juragan Sasmita beserta keluarganya segera bersembunyi di dalam suatu ruangan kapal itu. Sementara Perompak Tengkorak Darah terus mendekat ke arah mereka.

"Gulung layar cepat! Dan kayuh sekuat tenaga kalian untuk menghindari mereka!" teriak Kebo Lanang memerintahkan awak kapalnya.

"Ki Kebo Lanang, sebagian awak kapal telah bersiap menghadapi mereka," lapor Aradea, tangan kanan Kebo Lanang.

"Bagus! Bersiaplah kalian, dan lawan mereka sampai titik darah penghabisan bila tak ada kesempatan lagi bagi kita untuk menghindar dari mereka."

"Baik, Ki!"

Sementara itu kapal Perompak Tengkorak Darah telah semakin dekat dengan mereka. Puluhan perompak-perompak di dalamnya bersorak-sorai penuh ancaman membuat sebagian awak kapal dagang itu bergetar hati mereka. Apalagi ketika belasan orang perompak-perompak itu siap bergelayutan pada seutas tambang yang diikatkan di tiang kapal untuk menyerang mereka dengan senjata terhunus.

"Seraaang...!" teriak salah seorang perompak.

"Yeaaa!"

Begitu mendengar teriakan itu, belasan perompak yang telah siap bergelayutan langsung melesat ke kapal dagang itu. Dan yang lainnya menyusul satu persatu.

"Seraaang...!" teriak Kebo Lanang memerintahkan anak buahnya.

Maka tak pelak lagi. Siang yang damai itu dipecahkan oleh teriakan-teriakan menggelegar yang kemudian disusul oleh jerit kesakitan dan kematian. Korban mulai berjatuhan.

"Hantam mereka...!" teriak Aradea sambil menghunuskan pedangnya ke sana ke mari.

Puluhan orang awak kapal dagang itu berjuang mati-matian melawan belasan Perompak Tengkorak Darah yang tangkas dan trampil bertarung di atas kapal. Perlahan-lahan terlihat mereka mulai terdesak hebat. Apalagi ketika kapal perompak itu telah berhimpitan, maka bagai tanggul jebol, sisa-sisa perompak yang tadi masih berada di kapalnya langsung melompat ke kapal dagang itu dan menghabisi seluruh awak kapal.

"Bedebah!" maki Kebo Lanang geram melihat anak buahnya banyak yang tewas.

Laki-laki bertubuh besar itu mengamuk sejadi-jadinya. Pedang di tangannya telah banyak memakan korban. Tak percuma dia dipercaya sebagai kepala keamanan kapal ini. Ilmu silatnya lumayan hebat, dan mulai terlihat beberapa orang perompak agak jerih menghadapinya. Namun saat itu juga muncul sosok bayangan menyerangnya.

"Hiyaaa...!"

Kebo Lanang cepat berbalik dan menangkis serangan lawan.

"Trak!"
"Ukh!"

"Hmm... cuma segitukah kemampuan orang andalan di kapal ini?" dengus sosok bayangan yang baru muncul.

Kebo Lanang yang merasakan tangannya linu menangkis senjata lawan berupa golok besar itu, menggeram garang. Sepasang matanya menyipit. Orang ini masih terhitung berusia muda, namun wajahnya memancarkan kebengisan. Apalagi dengan adanya codet yang melintang di pipi kanannya.

"Siapa kau?!"

"Aku tangan kanan Dasa Griwa, pemimpin Perompak Tengkorak Darah. Namaku Rintang Kala."

"Hmm... kalian terlalu merendahkan ku dengan mengirim kau. Kenapa tidak sekalian si Dasa Griwa sendiri yang menghadapiku!?"

"Ha ha ha...! Besar mulutmu, keparat!" sahut satu suara.

Kebo Lanang langsung berbalik. Seorang dengan sosok tinggi besar berdiri gagah di tepi kapal. Wajahnya penuh brewok dan kaki kirinya yang buntung diganti sebuah besi yang ujungnya runcing. Tangan kanannya menggenggam sebuah golok besar.

"Kaukah yang bernama Dasa Griwa?"

"Ha ha ha...!" Aku berbaik hati menyambut tantanganmu meskipun kau harus mampus!" dengus Dasa Griwa.

Selesai berkata begitu tubuhnya dengan cepat melesat ke arah Kebo Lanang sambil mengirim suatu serangan kilat.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaaa...!"

Kebo Lanang langsung bersiaga. Sambil menundukkan kepala, pedangnya menyambar perut lawan. Namun Dasa Griwa agaknya telah memperhitungkan hal itu. Golok besarnya langsung memapaki.

"Trak! Duk!"
"Ukh!"

Kebo Lanang menjerit kecil. Gerakan lawan sungguh cepat dan sama sekali tak diduganya. Kaki kanan Dasa Griwa menghantam perutnya. Kebo Lanang terhuyung-huyung beberapa tindak.

"Mampus!" bentak Dasa Griwa sambil mengirim serangan susulan.
"Trak! Cras!"
"Aaa...!"

Kebo Lanang menjerit kesakitan. Dia cuma sempat menangkis sekali karena selanjutnya kaki kiri Dasa Griwa langsung menyambar dadanya. Pemimpin pasukan pengawal di kapal dagang itu tewas beberapa saat kemudian setelah menggelepar-gelepar kesakitan.

"Keparat! Kalian harus membayar kematiannya!" bentak Aradea begitu melihat kematian Kebo Lanang. Tanpa berpikir panjang pemuda itu langsung menyerang Dasa Griwa dengan pedang terhunus.

"Hiyaaa....!"

Namun detik itu juga Rintang Kala, yang merupakan tangan kanan pemimpin Perompak Tengkorak Darah itu bergerak cepat menghadang.

"Hus, segala ikan teri hendak berlagak di hadapan sekumpulan hiu! Kaulah yang mampus lebih dulu!"

"Trak!"
"Bet!"

Aradea tersentak. Ketika senjata mereka beradu, terasa tangannya linu dan kesemutan. Belum lagi dia sempat menyadari bahwa tenaga dalam lawan lebih tinggi setingkat, tahu-tahu Rintang Kala dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa menghunuskan ujung golok besarnya ke tenggorokan lawan. Masih bagus Aradea mampu membuang dirinya ke belakang.

"Yeaaaa...!"
"Trak! Duk!"
"Akh!"

Serangan Rintang Kala selanjutnya sulit dielakkan. Walaupun Aradea berhasil menangkis sabetan senjata lawan, namun tak urung kaki Rintang Kala berhasil menghantam pinggangnya dengan telak. Tubuh Aradea terpental melewati tepi kapal dan tercebur ke luar sambil menjerit keras.

"Bagus Rintang Kala!" puji Dasa Griwa sambil terkekeh-kekeh.

"Terima kasih ketua...."

"Tumpas mereka semua, dan sikat barang-barang berharga yang ada?!" perintah Dasa Griwa selanjutnya dengan garang.

"Baik, ketua!" sahut Rintang Kala tangkas.


***


Setelah kehilangan pemimpinnya, sekejap saja seluruh awak kapal dapat mereka tumpas. Beberapa orang yang ciut nyalinya menyabung nyawa dengan melompat dari kapal dan berenang di sepanjang lautan luas.

"Ha ha ha...! Biarkan mereka, tak usah dikejar. Orang-orang itu akan mampus dengan sendirinya. Cepat angkut barang barang ini!" teriak Dasa Griwa memberi perintah. Setelah itu dia sendiri memeriksa seluruh kapal itu. Dasa Griwa menemukan sebuah ruangan di dalam kapal itu. Dengan serta merta ditendangnya pintu. Terdengar pekikan kaget wanita dari dalam. Wajah pemimpin Perompak Tengkorak Darah itu menyeringai dengan hidung kembang kempis. Buru-buru dia melangkah masuk. Namun saat itu juga terdengar teriakan nyaring yang disusul dua sosok bayangan langsung menyerangnya.

"Hiyaaaa...!"
"Uts!"
"Plak! Duk!"
"Aaua...!"

Tak percuma Dasa Griwa sebagai pemimpin perompak yang paling ditakuti di seantero lautan utara ini kalau dia berkepandaian rendah. Walau sedikit kaget, namun dengan tangkas dia menangkis serangan itu. Tangan kirinya menangkap pergelangan lawan, sementara kaki kanannya menendang ke arah perut lawan yang satu lagi setelah menundukkan kepala menghindari sabetan pedang. Kedua sosok bayangan itu menjerit ketika tubuh mereka melayang bagai sepotong ranting dilempar.

"Ha ha ha...! Tikus-tikus geladak mau coba-coba terhadap Dasa Griwa, mampuslah bagian kalian!" dengus pemimpin Perompak Tengkorak Darah itu sambil terbahak dan terus melangkah ke dalam. Dasa Griwa terkejut barang sejenak. Namun dia cepat menyeringai lebar manakala melihat Juragan Sasmita Pura sedang mendekap istri dan putranya. Sementara pembantu wanita mereka meringkuk di dekat kakinya. Wajah-wajah mereka pucat ketakutan.

"Hua ha ha...! Mimpi apa aku semalam! Sekali tepuk dua kenikmatan tertangkap. Ke sini, datanglah pada Dasa Griwa, kalian berdua pasti akan mendapat kenikmatan luar biasa."

Dasa Griwa melangkah ke dekat mereka. Tangannya bermaksud menjamah tubuh Cendani. Dalam keadaan begitu tiba-tiba saja keberanian Juragan Sasmita timbul.

"Plak!"

"Enyah kau dari tempatku ini!" bentaknya sambil menepis tangan kasar Dasa Griwa.

Tapi wajahnya sedikit meringis saat tangannya terasa pedih akibat benturan dengan tangan Dasa Griwa. Sebaliknya pemimpin Perompak Tengkorak Darah itu malah tertawa semakin lebar.

"Ha ha ha...! Kaukah pemilik seluruh barang berharga di kapal ini? Nah, relakanlah sebab sekarang semuanya menjadi milikku. Termasuk dua wanita cantik ini!"

"Keparat! Langkahi mayatku dulu baru kau boleh menerima bangkai mereka!" maki Juragan Sasmita geram.

"Ha ha ha...! Apa susahnya melangkahi mayatmu?"

Setelah berkata begitu Dasa Griwa menyorongkan kepalan tangan kanannya ke dada Juragan Sasmita.

"Hup!"
"Duk!"
"Ukh!"

"Kakang...!" jerit Cendani ketika melihat suaminya terlempar membentur dinding akibat tonjokan tinju kiri pimpinan Perompak Tengkorak Darah.

Pada saat tinju kanan Dasa Griwa melayang, Juragan Sasmita mencoba menangkis. Namun dengan tiba-tiba tinju kiri lawan menghantam perutnya dengan tenaga kuat. Akibatnya Juragan Sasmita menjerit keras. Dari mulutnya muncrat darah segar.

"Hmm... itulah upahnya kalau membandel. Ke sini kau!" bentak Dasa Griwa garang sambil me-narik lengan Cendani.

"Lepaskan! Lepaskan aku keparat!"

"Huh, kau kira ada yang bisa menghalangi keinginan Dasa Griwa?!" Sambil menyeringai lebar.

Dara Griwa menghempaskan tubuh Cendani ke atas ranjang yang terdapat dalam ruangan itu. Kemudian dengan gemas ditindihnya. tubuh itu sambil mencabik-cabik pakaiannya dengan kasar.
Cendani berteriak-teriak sambil berusaha melepaskan diri. Namun tubuh Dasa Griwa yang besar dan kuat itu tak mampu beringsut dari atas tubuhnya.

"Keparat! Bajingan laknat, lepaskan Lepaskaaan...!"

"Lepaskan ibuku! Lepaskan ibuku...!" bentak Nara Sudana yang sejak tadi cuma terpaku ketakutan.

Bocah laki-laki berusia sepuluh tahun itu seperti tersentak melihat keadaan itu. Rasa takutnya tiba-tiba saja sirna, dan dengan beraninya dia mengambil sepotong kayu lalu menghajar punggung pimpinan Perompak Tengkorak Darah.

"Prak!"

Nara Sudana terhenyak. Kayu di tangannya patah jadi dua. Tiba-tiba saja dilihatnya Dasa Griwa berbalik dan meradang ke arahnya dengan wajah geram.

"Bocah keparat! Rupanya kau ingin mampus menyusul bapak moyangmu!"

"Plak!"
"Aaaa...!"

Tanpa rasa perikemanusiaan sedikit pun Dasa Griwa melayangkan kaki ke tubuh Nara Sudana. Bocah itu memekik nyaring. Tubuhnya terpental menghajar dinding kayu ruangan yang langsung jebol.

"Anakku! Anakku...!" teriak Cendani berusaha bangkit.

"He he he...! Biarkan anakmu mampus. Sebaiknya kau bersenang-senang dulu denganku!"

Dasa Griwa langsung menangkap pergelangan lengan Cendani dan kembali menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Wanita itu berteriak-teriak histeris sambil berusaha berontak sekuat tenaga. Mulanya Dasa Griwa masih belum panik, namun ketika Wulandari yang juga tiba-tiba bangkit keberaniannya dan memukul-mukul tubuh pimpinan Perampok Tengkorak Darah itu, Dasa Griwa mulai naik pitam. Hampir saja dia bermaksud menghantam pembantu wanita keluarga Juragan Sasmita itu. Namun begitu melihat wajahnya yang rupawan, Dasa Griwa menyeringai lebar.

"Ha ha ha...! Agaknya kau tak sabaran. Baiklah, kau tunggu giliran sementara kami bersenang-senang lebih dulu."

"Baji...!"
"Tuk!"

Wulandari tak sempat meneruskan makiannya ketika dengan tiba-tiba urat gerak dan suaranya ditotok Dasa Griwa. Tubuhnya langsung ambruk bagai tak bertulang. Bersamaan dengan itu Dasa Griwa kembali meneruskan nafsu setannya terhadap istri Juragan Sasmita yang berusaha melepaskan diri darinya. Namun lama-kelamaan perlawanan wanita itu melemah seiring dengus nafas Dasa Griwa yang membara. Air mata wanita itu terus meleleh pilu. Batinnya menjerit keras.

Dasa Griwa memang kepala perompak yang tak pernah mengenal rasa kasihan. Setelah selesai memboyong seluruh barang berharga di kapal itu, dia pun kemudian membakar dan menghabisi segala yang ada di kapal itu, termasuk penghuninya. Gema tawanya melingkupi lautan yang kembali bergelombang tenang. Kapal berbendera tengkorak itu menjauh meninggalkan kepulan asap hitam dari kapal dagang yang perlahan-lahan tenggelam.


***


DUA

Awan di langit tampak mendung, dan angin bertiup mulai kencang. Siang yang terik itu dengan perlahan-lahan berubah kelabu, dan gelombang laut mulai menggila. Sementara itu di tengah lautan terlihat sepotong kayu yang dipermainkan ombak sejak tadi. Dipeluk oleh seorang bocah berusia sepuluh tahun yang tak lain dari Nara Sudana. Agaknya bocah itu mampu bertahan hidup di tengah lautan yang luasnya tak terkira itu.

Ketika tubuhnya dihantam Dasa Griwa, dia langsung terhempas ke dalam laut. Tapi bocah yang tabah itu tak kehilangan semangat. Melihat sepotong kayu yang terapung di dekatnya. dia berusaha meraih dan mencoba kembali ke kapal. Dasar bocah tak mampu berenang, malah dia terbawa arus angin yang menjauhi kapal itu. Bocah itu cuma bisa berteriak-teriak dengan suara parau memanggil ayah dan ibunya.

"Ayah... ibu... bagaimana nasib kalian? Ohh.... Tuhan, berilah kekuatan padaku untuk terus bertahan hidup," sebutnya berulang-ulang.

Sekujur kulit Nara Sudana mulai membiru kedinginan, dan pecah-pecah diterpa panas matahari siang yang panas. Begitu juga dengan wajahnya yang pucat. Bibirnya berdarah dan kulitnya mengelupas. Tapi tekad bocah itu kuat sekali. Dengan sekuat tenaga dipeluknya potongan kayu itu erat-erat seolah menyatu dengan tubuhnya.

"Ya Tuhan, lindungilah aku dari keganasan alam ini!" do'anya ketika melihat ombak yang mulai menggunung menghempaskannya berkali-kali.

Bocah itu tak henti-hentinya berdo'a ketika kesadarannya mulai hilang saat kepalanya terasa sakit luar biasa. Hempasan-hempasan itu betul-betul tak tertandingi oleh semangat hidupnya yang menyala-nyala.

"Ohh... aku tak ingin mati! Aku musti hidup! Aku musti hidup! Akan kucari mereka dan kuhabisi satu persatu. Akan... ohh...."

Nara Sudana tak mampu lagi meneruskan kata-katanya. Kesadarannya hilang, dan daya tahan tubuhnya telah betul-betul lemah. Tubuh kecil itu dipermainkan ombak yang menggila satu harian itu tanpa ketahuan hidup atau mati. Menjelang subuh dini hari barulah laut kembali tenang. Sang Surya seperti tersenyum di ufuk timur yang memerah.

Rasanya hanya kebesaran Yang Maha Pencipta saja yang menyebabkan tubuh bocah laki-laki itu terdampar di sebuah pulau terpencil di tengah lautan yang maha luas. Alamnya indah dan banyak terdapat bukit-bukit kecil serta pepohonan walaupun luasnya tak seberapa. Ketika perlahan-lahan matahari beranjak siang, Nara Sudana menggeliat sambil merintih pelan.

"Ohh...."

Bocah itu merasakan tubuhnya sakit bukan kepalang. Kepalanya berdenyut-denyut tak karuan. Perlahan dia merayap menjauhi pantai yang masih menggenangi sebagian tubuhnya.

"Di manakah aku ini? Tempat macam apa ini? Apakah aku telah berada di sorga...?" tanyanya dengan suara pelan.

Bocah itu berusaha bangkit. Namun baru saja dia tegak, tubuhnya kembali ambruk.

"Ohh... aku harus kuat! Aku harus kuat, dan tak boleh lemah. Aku harus terus hidup untuk membalas sakit hati dan dendam keluargaku! Aku harus hidup...!" katanya membulatkan tekad.

Setelah menghirup udara sepenuhnya, bocah itu kembali berusaha bangkit dengan mengerahkan segenap sisa tenaga yang dimilikinya. Namun baru saja melangkah dua tindak, dia kembali ambruk. Agaknya semangat hidup bocah itu betul betul luar biasa. Walaupun terus jatuh bangun, dia tetap memaksakan diri berjalan memasuki pulau itu.

"Ohh... tempat apakah itu? Agaknya sebuah goa. Barangkali aku bisa berlindung di situ."

Begitu melihat sebuah celah di antara bebukitan kecil, bocah itu bertambah semangat. Perlahan-lahan disibakkannya semak-semak yang menghalangi. Di dalam goa itu suasananya agak gelap dan pengap. Namun ketika dia terus melangkah ke dalam, ruangannya bertambah luas dan cahaya yang datang dari celah-celah langit goa menyebabkan sinar matahari menerangi. Di sudut ruangan itu terdapat sebuah kolam kecil yang penuh berisi air yang jernih berasal dari celah dinding goa. Air itu tak mengumpul di kolam itu semua, sebab pada celah yang lain terlihat air mengalir ke luar entah ke mana. Melihat air yang jernih itu Nara Sudana jadi mulai merasakan tenggorokannya yang kering dan terbakar sejak tadi. Buru-buru dia menciduk air itu dan merasakan tubuhnya sedikit lebih segar.

"Ahh... segar sekali air ini. Tapi perutku lapar. Di mana aku bisa memperoleh makanan di sini?" tanya bocah itu sambil memutar pandangan ke seluruh ruangan goa itu. Nara Sudana tersentak kaget ketika matanya melihat tumpukan tulang belulang manusia tak jauh dari kolam itu. Setelah diamati, ternyata tulang itu milik satu orang yang telah berusia lama.

"Ohh... siapakah orang yang malang ini? Apakah dia orang pertama yang datang ke pulau ini dan tak dapat keluar? Kalau demikian, apakah aku musti terkurung selamanya di sini sampai tubuhku tinggal tulang belulang?" keluh batin Nara Sudana.

Diamatinya sekali lagi tulang belulang yang telah rapuh itu. Tengkorak di atas sebuah batu datar yang agak mencuat sekitar satu jengkal dari permukaan tanah. Melihat pada posisi tulang paha dan kakinya bocah yang berotak cerdas itu cepat memperkirakan bahwa sebelum tulang belulang itu run-tuh tentu sosok tubuh ini sedang dalam keadaan duduk bersila. Kalau demikian....

"Pfuh! Pfuh!"

Bocah itu tiba-tiba berpikir sesuatu dan membersihkan debu tebal yang menyelimuti batu datar tempat tulang-belulang itu terkumpul. Ternyata dugaanya benar. Pada batu itu tertulis sebuah nama yang dipahat sebesar jari telunjuk, dan beberapa baris kata.

Di sini aku tinggal bersama dendam yang tak terbalas karena racun keparat yang menggerogoti tubuhku. Walau dia sudah mampus, tapi dendam ku kepada semua orang sedalam lautan. Barang siapa yang menemukan tempatku ini, kuwariskan segala kepandaianku untuk memusnahkan kesombongan orang-orang yang berkepandaian tinggi.

tertanda
Iblis Maut


Nara Sudana terhenyak. Dadanya berdebar keras. Mana kepandaian yang akan diturunkan orang ini? Tanyanya di hati.

Membaca kata-katanya yang mengandung keyakinan, pastilah dia tokoh persilatan berilmu tinggi. Bocah itu memutar pandang ke sekeliling.

"Hei!"

Dia tersentak girang ketika melihat dan menyadari bahwa seluruh dinding goa dalam ruangan ini penuh dengan gambar-gambar yang kelihatannya dipahat oleh jari. Diamat-amatinya barang beberapa saat, dan kembali wajah bocah itu semburat cerah.

"Hmm... melihat gambar-gambar ini, kelihatannya seperti orang yang sedang menari? Tapi mana mungkin Eyang Iblis Maut menciptakan tarian untuk membalaskan dendamnya. Aku yakin mungkin gerakan-gerakan ini adalah bagian dari ilmu silat yang dimilikinya," duga Nara Sudana setengah yakin.

Tanpa sadar dia mengikuti gerakan gerakan itu satu persatu secara acak tanpa mempedulikan keadaan tubuhnya yang lemah. Wajahnya tampak segar penuh rona kehidupan sekaligus dendam dan kebencian.

"Tunggulah pembalasan dariku keparat-keparat jahanam!" dengus Nara Sudana sambil menyipitkan mata dan mengerutkan wajah sedemikian rupa.

Agaknya dendam di hati bocah itu yang membara membuatnya mampu mengalahkan keadaan tubuhnya yang tadi lemah tak berdaya. Keyakinan untuk hidup berkobar-kobar dalam hatinya. Dan tanpa mengenal lelah dia terus mengikuti gerakan-gerakan yang tergurat di dinding goa dari hari berganti minggu, berganti bulan, dan tahun.

"Yeaaaaa...!"


***


Sementara itu tak terasa waktu telah berlalu tujuh tahun sejak peristiwa yang menimpa keluarga Juragan Sasmita. Selama itu pula Perompak Tengkorak Darah terus malang-melintang tanpa ada yang mampu menghalanginya. Banyak sudah tentara-tentara kerajaan yang dikirim untuk menghabisi mereka, namun semuanya tak ada yang pernah kembali lagi. Raja bukan main prihatin melihat keadaan itu. Soalnya pelayaran di laut itu sangat penting bagi perdagangan dengan negeri lain.

Dengan adanya Perompak Tengkorak Darah yang tak kenal kompromi dan merampas serta membunuh setiap kapal-kapal yang lewat di laut itu, mau tak mau perdagangan antar pulau dan negeri yang melewati laut itu tak bisa berjalan lancar. Bahkan lambat laut terasa sepi. Dasa Griwa yang menjadi ketua Perompak Tengkorak Darah semakin besar kepala saja. Bahkan karena gilanya akan kekuasaan dia bermaksud menyerang kerajaan dan menjadi raja baik di lautan maupun di darat.

"Ha ha ha...! Bagaimana pendapat kalian? Bukankah lebih pantas kalau aku yang menduduki jabatan raja itu?" tanyanya pada seluruh anggota Perompak Tengkorak Darah yang saat itu sedang merayakan kemenangan mereka setelah menumpas kapal perang kerajaan.

"Bagus ketua! Anda sangat cocok sekali menjadi raja!" sahut salah seorang anak buahnya.

"Betul! Dasa Griwa lebih pantas menjadi raja!"

"Raja yang sekarang lemah dan prajurit prajuritnya seperti penari-penari kerajaan yang gemulai!"

"Dasa Griwa penguasa laut dan daratan!"

"Hidup Dasa Griwa!"

"Hiduuup!"

Sorak-sorai gegap gempita langsung menyambut niat Dasa Griwa itu. Rintang Kala yang menjadi tangan kanan Dasa Griwa langsung naik di atas salah sebuah tiang. Sambil berdiri tegak, dia berucap lantang.

"Dengarkan semua! Seminggu dari sekarang kita akan langsung menyerang wilayah kerajaan. Kekuatan kita cukup dibandingkan dengan pengawal-pengawal kerajaan. Kita harus menang, dan nama Perompak Tengkorak Darah akan berkibar ke seantero negeri. Siapkan diri kalian mulai sekarang!!"

"Akuuuur!"

"Kita musnahkan orang-orang di kota raja!"

"Kita rampas semua barang berharga milik mereka!"

"Hidup Tengkorak Darah!"
"Hidup ketua Dasa Griwa!"
"Hiduuup!"

Kembali terdengar sahutan bersemangat dari seluruh anggota Perompak Tengkorak Darah. Rintang Kala tersenyum sinis. Terbayang dalam benaknya nama Tengkorak Darah akan ditakuti oleh Seantero golongan di negeri ini, dan akan menjadi gerombolan yang paling berkuasa pada jaman ini. Namun ketika semua kembali tenggelam dalam pesta pora itu sekonyong-konyong terdengar bentakan nyaring.

"Dasa Griwa tak akan pernah jadi raja, karena dia akan mampus seperti bangkai di sampah!"

Tentu saja semua yang berada di tempat itu menjadi kaget. Lebih-lebih Dasa Griwa. Wajahnya berkerut dan sepasang matanya melotot garang. Dia langsung bangkit dari singgasananya. Terlihat di antara kumpulan anak buahnya yang tadi sedang duduk bersila, berdiri seorang pemuda berkulit coklat dan bertubuh kekar. Rambutnya gondrong dan kusut masai seperti tak pernah diurus. Wajahnya tampak keras, dan sorot matanya berkilat tajam penuh kebencian.

"Siapa kau, dan dari mana bisa masuk ke tempat ini?! Aku tak mengenalmu sebelumnya?!" bentak Dasa Griwa garang.

Salah seorang anggota perompak Tengkorak Darah yang duduk tak jauh dari pemuda itu tiba-tiba saja berlutut dan memohon ampun.

"Ampunkan hamba, Paduka Dasa Griwa. Hamba tak tahu siapa pemuda ini.

Tapi melihat kejujuran dan kepandaiannya, hamba memberanikan diri mengambilnya sebagai anggota dalam pasukan hamba. Tapi kali ini hamba tak mengerti, kenapa dia bersikap begini. Mohon ampun untuk hamba dan dirinya, Paduka...."

Pemuda itu melirik ke arah orang itu. "Paman, kalau nanti ada orang yang akan kuampuni jiwanya itu adalah kau. Pergilah dari tempat ini sebelum banjir darah menelan dirimu!"

"Nara Sudana, tutup mulutmu! Aku tahu kau memiliki ilmu silat tinggi, tapi kau bukan tandingan orang-orang ini. Maka sebelum mereka marah, berlututlah memohon ampun!" bentak orang itu.

Pemuda yang dipanggil Nara Sudana itu bukannya takut mendengar kata-kata itu. Wajahnya semakin garang dan tangan kanannya bersiap meraih pedang yang tersandang di punggung. Kemudian katanya dengan suara dingin.

"Paman, agaknya kau tak bisa melepaskan diri dari jiwa anjing orang-orang itu. Kalau demikian ku cabut kata-kataku, dan kaulah yang lebih dulu mampus!"

"Sret!"
"Duk!"
"Aaaa...!"

Semua orang yang berada di situ tersentak kaget. Dasa Griwa sendiri hampir tak percaya bahwa tubuh malang yang ditendang pemuda itu melesat cepat ke arahnya. Masih untung Rintang Kala cepat bergerak memapaki.

"Plak."

Tubuh orang yang di sebelah pemuda itu ambruk ke lantai. Tubuhnya nyaris terbelah dua dengan darah yang mengucur deras. Yang melihat itu kembali terkejut dan timbul kemarahan mereka. Sambil bersiap menunggu perintah, mereka mencabut senjata masing-masing. Tapi Dasa Griwa mengacungkan tangan. Ditatapnya pemuda itu lekat-lekat. Pedang di tangannya berkilat tajam, dan tak terlihat sedikit pun noda darah. Pimpinan Perompak Tengkorak Darah itu mulai menyadari bahwa pemuda itu berilmu tinggi, dan dia tak main-main dengan kata-katanya tadi.

"Siapa kau, dan apa maksudmu dengan semua ini?" tanya Dasa Griwa dengan suara lunak.

"Jangan banyak mulut. Serahkan kepalamu saat ini juga, atau tempat ini akan banjir darah dan menenggelamkan mu!"

"Ha ha ha...! Sungguh hebat kau, bocah. Aku suka dengan sikapmu yang gagah. Suatu kehormatan besar kalau kau mau menjadi pengawal pribadiku."

"Dasa Griwa keparat, tentu saja aku akan senang menjadi pengawal pribadimu itu. Nah, serahkan dulu uang muka untukku dengan mempersembahkan kepalamu!" sahut Nara Sudana mengejek.

Mendengar itu tentu saja seluruh anggota perompak Tengkorak Darah yang berada di situ mendidih darahnya. Mereka nyaris akan menghajar pemuda itu kalau saja Dasa Griwa tak buru-buru memberi isyarat dengan tangannya.

"Tapi ketua, pemuda ini sangat kurang ajar sekali. Kalau tak diberi pelajaran dia akan semakin bertingkah!" tukas Rintang Kala.

"Sebentar. Aku masih mempunyai kepentingan dengannya," sahut Dasa Griwa sambil kembali mengalihkan perhatian pada pemuda itu.

"Pemuda, kudengar tadi namamu Nara Sudana bukan? Nah, ceritakan padaku kenapa kau begitu menginginkan kepalaku?"

"Dasa Griwa tak usah berbasa-basi segala. Kedatanganku ke sini menagih hutang nyawa ayah dan ibuku yang kalian bunuh secara biadab!"

"Hmm... ayah ibumu? Kuakui, telah banyak manusia yang tewas di tanganku, tapi mana mungkin kuingat mereka satu persatu. Coba kau jelaskan siapa mereka?

Siapa tahu kau salah tuduh...."

"He he he...! Mana mungkin aku bisa salah. Dasa Griwa pemimpin Perompak Tengkorak Darah cuma satu-satunya di dunia ini. Kaulah orangnya yang tujuh tahun lalu menyerang kapal kami. Kau bunuh ayahku dan kau perkosa ibuku, kemudian kau bakar dan tenggelamkan seluruh orang yang berada di kapal itu. Hari ini aku menagih hutang nyawa mereka pada kalian semua."

Agaknya pemuda itu betul-betul sudah muak dengan segala basa-basi Dasa Griwa. Dengan gerakan cepat, dia membabatkan pedangnya pada beberapa orang anak buah Perompak Tengkorak Darah yang paling dekat dengannya.

"Cras! Cras!"
"Hiyaaa...!"
"Aaaa...!"

Kecepatan bergerak pemuda itu luar biasa. Dalam sekejapan mata saja enam orang langsung tewas di tangannya. Dan pada serangan berikutnya kembali pedangnya memakan korban lima Orang nyawa melayang dengan tubuh penuh Iuka sayatan.

"Keparat! Kau hadapilah aku!" teriak Rintang Kala langsung menerjang dengan senjata di tangan.

Sebenarnya Dasa Griwa sangat menyayangkan hal ini. Setelah mengetahui bahwa pemuda itu memiliki kepandaian hebat, dia bermaksud membujuknya untuk mau menjadi tangan kanannya. Memiliki tangan kanan sepertinya tentulah amat membanggakan sekaligus dapat diandalkan. Tapi kini keadaan berubah cepat. Dendam pemuda itu tak bisa ditawar-tawar lagi. Sorot matanya yang tajam seperti hendak menelan semua orang yang berada di tempat ini.

Sementara itu Rintang Kala terkejut bukan main. Belum pernah selama malang melintang berhadapan dengan lawan-lawan dia menemukan yang sepadan kepandaiannya. Pemuda itu bukan lagi sepadan, tapi dengan mudah menghalau serangannya. Kalau saja saat itu dia tak dalam keadaan dikeroyok niscaya dalam satu jurus saja Rintang Kala nyaris binasa. Justru dalam menghadapi serangan balik pemuda itu, beberapa anak buahnya harus merelakan diri mereka sebagai perisai.

"Gila! Kepandaian dan kekuatannya seperti setan!" desis Rintang Kala.

Tangan kanan Dasa Griwa itu melihat bahwa pemuda itu dengan mudahnya menghajar lawan-lawannya seperti membabat rumput saja layaknya. Jerit kematian dan pekik kesakitan mewarnai di tempat itu. Ruangan ini berada dalam barak utama yang merupakan tempat kediaman Dasa Griwa. Tak jauh dari tempat itu berjejer puluhan rumah yang merupakan perkampungan bajak laut itu.

Tentu saja mendengar suara gaduh dari rumah utama, mereka langsung keluar dengan senjata terhunus menyerbu ke tempat kediaman Dasa Griwa. Pemandangan yang menakjubkan terlihat bagai semut mengerubungi gula. Lebih dari seratus orang anggota bajak laut telah mengurung tempat itu dan begitu melihat seorang pengacau yang sedang membasmi sebagian anak buah Perompak Tengkorak Darah, tanpa dikomando mereka langsung menerjunkan diri dan berebutan menyerang pemuda itu.


***


Pada mulanya Nara Sudana sempat terkejut melihat jumlah lawan yang banyak luar biasa itu. Tapi pemuda itu tak cepat gugup dan kehilangan akal, Tubuhnya seperti mengapung di udara saat dia bergerak cepat menyambar beberapa buah obor yang terpancang di dinding ruangan.

"Hiyaaaa...!"
"Brak!"

Obor-obor di tangannya itu melayang ke tiang-tiang kayu dan dinding-dinding rumah yang mudah terbakar. Hingga dalam tempo tak lama api berkobar kian cepat melahap rumah utama ini.

"Apiii...! Apiii....'"
"Cepat padamkan! Ambil air...!"

Beberapa orang yang berada di belakang kerumunan kawan-kawannya yang sedang mengeroyok pemuda itu mundur teratur sambil berlari ke tepi pantai yang tak begitu jauh dan menciduk air melalui timba-timba kayu guna memadamkan api.

"Mampuslah kalian semua! Mampuslah kalian...!" teriak Nara Sudana sambil mengeluarkan suara tawa yang menyeramkan.

Pedang pemuda itu seperti tiada henti mencari korban. Nara Sudana betul-betul mengamuk seperti kesetanan. Tak ada seorang pun yang selamat bila berada di dekatnya. Pedangnya seperti malaikat pencabut nyawa yang telah menewaskan lebih dari empat puluh anggota Perompak Tengkorak Darah.

Melihat hal itu tentu saja Dasa Griwa tak bisa tinggal diam. Simpatiknya pada pemuda itu kini berubah menjadi amarah yang bukan kepalang garangnya. Sambil membentak nyaring kepala Perompak Tengkorak Darah itu berkelebat ke arahnya dengan senjata terhunus.

"Bocah keparat, kau terimalah kematianmu!"
"Hiyaaa...!"

"Anjing Dasa Griwa, kenapa tidak sejak tadi kau maju lebih dulu? Kalau tidak tentu kau yang lebih dulu mampus!" sahut Nara Sudana tak kalah garang.

Walaupun dalam keadaan sedang dikeroyok begitu, tapi hebatnya Nara Sudana masih mampu memapaki serangan Dasa Griwa bahkan membabatkan pedangnya ke perut lawan.

"Yeaaa...!"

Kepala Perampok Tengkorak Darah itu kaget bukan main. Tangannya terasa kesemutan ketika senjata mereka tadi beradu. Dilihatnya pemuda itu malah tenang-tenang saja seperti tak merasakan sakit sedikit pun. Bahkan dia masih mampu mengirim serangan susulan. Kalau saja Dasa Griwa tak cepat berkelit niscaya perutnya akan robek di sabet pedang lawan.

"Mampuslah kau keparat!" bentak Nara Sudana terus bersalto mengejar lawan. Ujung pedang pemuda itu menyambar-nyambar ke sana ke mari melindungi dirinya dari keroyokan lawan, dan sekaligus mengirim serangan susulan yang ditujukan kedua arah yaitu pada pengeroyoknya yang terdiri dari bajak laut-bajak laut Tengkorak Darah dan Dasa Griwa sendiri.

"Hiyaaa...!"
"Trek! Trak!"
"Bret!"

Bukan main kagetnya Dasa Griwa. Dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa, ujung pedang Nara Sudana merobek bajunya dan mengiris sedikit kulit dadanya. Kalau saja saat itu gerakan si pemuda tak dihambat oleh dua orang anak buahnya, niscaya nyawa kepala Perompak Tengkorak Darah berada di ujung tanduk.

"Keparat-keparat laknat, mampuslah kalian lebih dulu!" bentak Nara Sudana memalingkan perhatian sesaat pada anak buah Dasa Griwa.

"Bret! Bret!"
"Aaa...!"

Pekik kematian kembali terdengar seiring robohnya lima sosok tubuh dengan nyawa melayang. Nara Sudana terus mengamuk mengayunkan pedangnya ke sana ke mari. Kembali belasan tubuh lawan tumbang disabet kelebatan pedangnya. Melihat amukan Nara Sudana seperti tak tertahan, beberapa orang perompak segera melarikan diri tanpa mempedulikan keadaan kawan-kawannya. Melihat hal itu yang lain pun menyusul tanpa mempedulikan teriakan Dasa Griwa yang menahan mereka. Hingga dalam sekejap saja tempat itu tinggal belasan orang termasuk Dasa Griwa sendiri.

"Rintang Kala pengecut, kenapa kau malah melarikan diri?!" bentak Dasa Griwa garang ingin mengejar tangan kanannya itu.

"Jangan harap kau bisa lari dariku keparat!" desis Nara Sudana geram langsung melesat mengejar sambil mengirim serangan maut.

Mau tak mau Dasa Griwa terpaksa meladeni amukan pemuda itu dibantu belasan anak buahnya yang masih setia.

"Maaf Dasa Griwa, dia datang hanya untukmu! Buat apa aku musti mengorbankan nyawa segala?!"

Kau hadapilah dia sendiri!" teriak Rintang Kala memimpin kawan-kawannya meninggalkan tempat itu dengan sebuah kapal yang cukup besar.

"Keparat!" gumam Dasa Griwa.

"Kini tibalah ajalmu, jahanam!" maki Nara Sudana.

Pedang pemuda itu menyambar-nyambar tubuhnya bagai tiada henti membuat Dasa Griwa sedikit cemas. Seluruh tubuhnya telah dibungkus kelebatan pedang lawan. Ketika dia coba menangkis, pedangnya malah terpental dihantam senjata lawan.

"Tak!"
"Mampus!" bentak Nara Sudana.
"Breet! Breet!"
"Aaaa...!"

Pada saat-saat yang kritis itu, nyawa Dasa Griwa masih bisa selamat karena anak buahnya menjadi tumbal untuk menghalangi serangan lawan. Namun tak urung dia terpekik kesakitan ketika perutnya kena diserempet ujung pedang lawan. Dasa Griwa mengambil kesempatan untuk melarikan diri ketika pemuda itu sedang sibuk menghajar sisa-sisa anak buahnya. Tapi Nara Sudana tak mungkin membiarkannya begitu saja. Pedangnya langsung terbang menghajar punggung kiri Dasa Griwa.

"Siiiut!
Grab!"
"Aaaa...!"

Terdengar jerit kematian kepala Perompak Tengkorak Darah ketika pedang yang dilempar Nara Sudana tepat menembus hingga ke jantung. Bersamaan dengan robohnya tubuh Dasa Griwa, sisa anak buahnya pun ambruk dihajar pukulan bertenaga dalam kuat yang dilancarkan Nara Sudana. Setelah mencabut pedangnya, pemuda itu langsung mengejar sisa anak buah Dasa Griwa yang melarikan diri.


***


TIGA

Desa Luragung terletak di pesisir pantai yang banyak dikunjungi oleh kapal-kapal dagang antar pulau maupun negeri lain. Tak heran bila di tempat itu menjadi ramai, baik penghuni baru yang terusberdatangan untuk mengadu nasib maupun penduduk asli yang tetap bertahan di kampung halamannya itu.

Siang itu seperti biasa terlihat banyak orang berlalu-lalang di sepanjang jalan utama dengan urusannya masing-masing. Di antara mereka terlihat seorang pemuda berambut gondrong dengan wajah tampan dan keras, serta mengenakan baju yang terbuat dari kulit harimau. Di pundaknya terdapat seekor monyet kecil berbulu hitam yang tampaknya begitu jinak dan bersahabat. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Bayu Hanggara alias si Pendekar Pulau Neraka!

"Kau lapar Tiren?" tanyanya pada monyet kecil itu.

"Nguk! Nguk!"

"Baiklah. Aku pun merasa perutku melilit-lilit tak karuan. Sebaiknya kita cari kedai dulu baru melanjutkan perjalanan."

"Kaaaakh...!"

Monyet kecil yang dipanggil Tiren itu menjerit keras. Bayu tersentak sambil mengikuti arah telunjuk Tiren.

"Dasar! Kalau mau tunjuk kedai tidak usah pakai menjerit segala!" bentak Bayu kesal.

"Nguk!"

Monyet kecil itu menyeringai lebar menunjukkan wajahnya dengan malu-malu. Hari ini kedai itu tampak ramai. Banyak pengunjung yang datang ke situ. Tak heran, sebab bila diperhatikan kedai ini adalah satu-satunya yang terbesar dan terlengkap di desa ini. Ruangan dalamnya luas dan banyak terdapat meja dan bangku-bangku. Kedai inipun memiliki penginapan yang cukup untuk beberapa orang.

"Pak, tolong sediakan nasi rames dengan sebumbung tuak!" pesan Bayu setelah mengambil tempat agak di sudut ruangan.

"Baik, Den!" sahut pelayan kedai yang tadi menghampirinya.

Sepeninggal pelayan itu Bayu mengedar pandangan ke sekeliling. Tak seorang pun yang merasa heran atas kehadirannya, sebab banyak di antara mereka pun berasal dari kaum persilatan dari berbagai macam aliran dan urusan. Melirik sekilas pada sekelompok orang yang berkumpul pada sebuah meja yang tak jauh darinya, Bayu tadinya tak tertarik mendengar perbincangan mereka. Lebih-lebih karena perutnya memang sudah keroncongan. Dia ingin cepat makan kemudian berlalu dari desa ini. Tapi ketika salah seorang di antara yang bermulut dower bercerita dengan penuh semangat, mau tak mau terusik juga hatinya untuk mencuri dengar pembicaraan mereka.

"Aku tak melihat, tapi kalian tahu tidak? Salah seorang kawanku adalah anak buah bajak laut Tengkorak Darah. Dia melihat sendiri kedahsyatan pemuda itu. Luar biasa!" kata si mulut dower dengan wajah yang meyakinkan.

Empat orang kawannya yang sedang menenggak tuak terpaku barang sesaat dengan wajah tak percaya. Cerita itu sesungguhnya tak masuk di akal. Bagaimana mungkin seorang pemuda mampu mengkocar-kacirkan anak buah Perompak Tengkorak Darah yang amat ditakuti?

Jangankan seorang pemuda tak dikenal seperti cerita kawannya itu, sedangkan jago-jago dari kerajaan yang dikirim membasmi mereka lengkap dengan prajurit pilihan hanya pulang tinggal nama. Juga beberapa orang tokoh persilatan golongan putih yang merasa prihatin dengan perbuatan bajak laut-bajak laut itu, turun tangan dan bermaksud membasmi mereka. Tapi tak seorang pun di antara mereka yang terdengar kembali pulang.

"Aku tak percaya!" bantah kawannya yang berkumis tipis dan bertubuh tegap sambil menenggak tuaknya.

"Huh, kau memang tak pernah percaya. Tapi kalau mendengar sendiri dari mulut mereka yang berhasil menyelamatkan diri dari amukan pemuda itu, baru kau percaya," sahut si mulut dower.

"Mustahil! Coba bayangkan, dengan seorang diri dia berhasil membuat anak buah Dasa Griwa kocar-kacir? Padahal jumlah mereka tak kurang dari tiga ratus orang!"

"Bisa saja Boneng!" sahut seorang kawannya yang bermata juling.

"Mana mungkin!"

"Di dunia ini apa yang tak mungkin? Siapa tahu pemuda itu merupakan jelmaan dewa yang diturunkan ke bumi untuk membantu kita."

"Pfuih! Kau ini ngomong apa?!" bentak si Boneng.

"Kenapa tidak?!" balas si mata juling tak mau kalah.

"Sudahlah... kenapa hal ini saja menjadikan kita berselisih. Kalian boleh percaya atau tidak, itu urusan kalian sendiri," kata si mulut dower tak acuh.

Agaknya orang ini sudah putus asa melihat kawan-kawannya tak juga percaya akan ocehannya.

"Kau sering berdusta, mana mungkin aku percaya dengan ceritamu," kata kawannya satu lagi seperti menjawab kata hatinya.

"Kali ini aku tidak berdusta, sobat. Kalau aku salah berarti kawanku itulah yang bercerita dusta padaku," tangkis si mulut dower dengan mimik serius.

Obrolan mereka terhenti ketika lima orang bertampang seram memasuki kedai itu. Sikap mereka kasar dan ingin menunjukkan kegarangannya dengan memperhatikan seluruh pengunjung kedai satu persatu dengan tatapan garang. Seorang yang berada paling depan berusia sekitar tiga puluhan dan bersenjata golok besar di punggungnya menyentakkan kursi sambil berteriak lantang pada salah seorang pelayan.

"Sediakan lima guci arak tulen untuk kami cepat!"

"Ba... baik, Den...!"

Kelimanya langsung menarik kursi dan duduk melingkari sebuah meja. Sementara sorot mata mereka seperti tiada henti mengawasi semua pengunjung kedai. Kemudian salah seorang di antara mereka berucap dengan suara pelan.

"Hmm... masih untung kita bisa lolos dari kejarannya. Kalau tidak entah apa yang terjadi. Mungkin kita sudah binasa..."

Laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang agaknya merupakan pemimpin mereka mendengus geram.

"Huh, kalau saja ada kesempatan ingin kupatahkan batang lehernya!"

"Tapi Rintang Kala... pemuda itu betul-betul luar biasa. Amukannya seperti tak tertahan. Entah bagaimana nasib Dasa Griwa. Kalau dia bisa mengejar dan membunuh kawan-kawan yang lain tentu dia telah membinasakan Dasa Griwa," sahut salah seorang kawannya.

"Bisa jadi..." sahut laki-laki yang dipanggil Rintang Kala.

"Lalu apa yang akan kita lakukan saat ini?" tanya seorang lagi.

"Tak ada yang bisa kita lakukan selain bersembunyi dari kejarannya!" sahut yang wajahnya penuh brewok.

"Huh, sebenarnya aku tak takut, tapi melawan juga hanya mengantar nyawa secara percuma!" dengus yang bertubuh kurus dan berambut panjang.

"Tapi ke mana kita akan bersembunyi? Pemuda itu sepertinya akan terus mencari kita sampai ke ujung langit sekalipun!" tanya seorang lagi yang wajahnya pucat.

"Kadang aku menyesal...."

"Jangan jadi pengecut kau, Badungan! Tak perlu menyesali apa yang sudah dilakukan. Yang penting saat ini bagaimana caranya menyelamatkan selembar nyawamu!" potong Rintang Kala kesal.

Yang lainnya mengangguk-anggukkan kepala mendengar kata-kata itu. Namun pada saat itu terdengar satu suara yang bernada sinis menyahuti pembicaraan mereka.


***


"He he he...! Baru sekarang ku tahu bahwa perompak-perompak Tengkorak Darah berjiwa pengecut dan lari dari kejaran lawan!"

Kelima orang yang tak lain dari anggota Perompak Tengkorak Darah langsung memalingkan wajah pada seorang laki-laki bertubuh kurus dengan muka lonjong. Melihat dari wajahnya yang cakap dan bersih agaknya laki-laki itu paling tidak berasal dari kalangan bangsawan atau hartawan. Lebih-lebih melihat pakaiannya yang rapi dan bagus. Usianya paling sekitar dua puluh lima tahun.

Tangan kanannya memegang sebuah kipas yang terbuat dari gading gajah. Di samping pemuda itu duduk seorang gadis berbaju hijau. Wajahnya cantik rupawan dengan kulit putih halus. Rambutnya yang panjang cuma diikat sehelai pita merah muda. Di pinggangnya terlihat sebatang pedang pendek.

Sementara di sekeliling mereka terlihat beberapa orang laki-laki berwajah garang dengan masing-masing bersenjatakan golok. Agaknya mereka adalah para pengawal pasangan muda-mudi itu.

"Siapa kau?!" bentak Rintang Kala sambil bangkit dan mendekati mereka.

Keempat kawannya melihat keadaan itu langsung bersiaga dengan wajah kurang senang di belakang Rintang Kala. Pemuda berpakaian bagus itu cuma tersenyum seperti menganggap remeh kalian orang sisa anak buah Perompak Tengkorak Darah.

"Aku tuan besarmu yang akan menjewer kuping kalian..." sahut pemuda itu santai.

"Kurang ajar!"

Salah seorang kawan Rintang Kala yang berangasih langsung mencabut golok besarnya dan menyabetkan ke arah pemuda itu.

"Bet!"
"Trak!"

"Huh, jangan coba-coba berbuat sembarangan pada majikanku!" bentak salah seorang pengawal pemuda itu yang langsung mencabut golok dan memapaki serangan tadi.

"Piwarang, menyingkirlah kau. Biar kuberi pelajaran orang tak tahu diri ini!" sela pemuda itu sambil berdiri dan mengembangkan kipasnya.

"Tapi Den Wangsa Bangkalan...."

"Tenanglah Piwarang... apakah kau pikir aku tak mampu memberi pelajaran pada kunyuk ini?" potong pemuda yang dipanggil Wangsa Bangkalan itu sambil tersenyum sinis.

"Bangsat! Orang sepertimu harus dibuka matanya lebar-lebar agar bisa berbuat sopan pada orang lain!" maki salah seorang bekas perompak Tengkorak Darah kembali mengayunkan golok besarnya.

Wangsa Bangkalan terkekeh pelan. Tubuh pemuda itu cuma berkelit sedikit ke kiri dan tangan kanannya menghantam pergelangan lengan lawan. Sementara kipas di tangan kiri menyabet ke pinggang lawan.

"Plak!
Breet!"
"Ukh!"

Perompak Tengkorak Darah itu terkejut sambil mendekap pinggang kanannya yang robek. Wajahnya meringis kesakitan bercampur dendam dan luapan amarah luar biasa.

"Kurang ajar...!" makinya kembali menyerang pemuda itu.

"Hmm... agaknya kali ini kau betul-betul tak bisa dikasih hati. Baiklah kalau itu maumu."

"Hiyaaa...!"
"Plak! Duk!"
"Aaaa...!"

Kali ini tubuh perompak Tengkorak Darah itu terpental ke belakang pada jarak kurang lebih tiga tombak. Tubuhnya menabrak dinding kedai hingga hancur. Masih terlihat sekilas dia menggelepar-gelepar dengan mulut penuh darah. Pemuda itu terkekeh sambil mengibas-ngibaskan pakaiannya dari debu. Gerakannya tadi sama sekali tak disangka lawan. Tubuhnya ringan mencelat ke atas dengan kaki kiri menangkis pergelangan lawan yang memegang senjata, sedangkan kaki kanan menendang ke ulu hati dengan keras.

"Juragan... aduh, juragan. Sebaiknya jangan berkelahi di sini. Kedai saya nanti rusak, dan... dan biasanya..." sela si pemilik kedai sambil memohon-mohon pada pemuda berbaju keren itu.

Tapi salah seorang pengawal pemuda itu tiba-tiba membentak dengan mata melotot.

"Orangtua, apakah kau tidak melihat siapa juraganmu ini?! Mereka adalah putra-putri Adipati Bangkalan yang termahsyur itu. Apa kau pikir beliau tak mampu mengganti segala kerusakan ini?! Pfuih, mereka bahkan mampu membeli sepuluh kali kedai seperti ini bahkan dirimu pun mampu dibelinya!"

"Jangan keterlaluan Paman Ketitir..." sela si gadis yang sejak tadi hanya diam memperhatikan kejadian itu.

"Tapi Den Ayu... mereka harus tahu siapa aden berdua agar tak sembarangan bicara...."

"Sudahlah... nah pak, maafkan kekasaran pamanku tadi. Kami akan mengganti kerusakan yang diperbuat kakangku," kata si gadis pada pemilik kedai itu.

Tapi si orang tua pemilik kedai begitu mengetahui bahwa kedua orang muda-mudi ini adalah putra-putri Adipati Bangkalan yang terkenal itu, mana berani dia menerima ganti rugi dari mereka. Bisa-bisa nanti sang Adipati murka dan dia tak bisa berdagang lagi di sini.

"Ti... tidak. Te... terima kasih, Den...."

"Ambillah, pak..." ujar gadis itu kembali sambil mengangsurkan kira-kira lima kepeng uang emas di tangannya.

Pemilik kedai itu masih ragu menerima. Saat itulah Rintang Kala yang tadi mendiamkan saja anak buahnya di hajar pemuda itu tiba-tiba angkat bicara.

"Hmm... pantas! Rupanya kalian anak-anak menak yang baru kenal dunia luar, tapi sudah demikian sombong. Kau, kutunggu di luar!" katanya menuding ke arah Wangsa Bangkalan sambil terus meninggalkan ruangan kedai itu dan beranjak ke halaman depan diikuti anak buahnya yang lain.

"Baik!" sahut Wangsa Bangkalan bersemangat.

"Kakang... jangan terlalu menyombongkan diri. Apakah kau tidak ingat pesan eyang?" Ingat adiknya dengan wajah kesal.

"Tenanglah Cempaka Wangi. Orang-orang itu memang sudah seharusnya diberi pelajaran. Pertama, mereka adalah orang-orang sesat yang selama ini menjadi musuh kerajaan dan juga musuh semua orang yang pernah menjadi korban mereka. Dan yang kedua, sikap mereka tadi sombong sekali. Seolah mereka pikir tempat ini akan menjadi miliknya dalam sekejap seperti saat mereka berada di lautan. Nah, itu sudah cukup bagiku untuk memberi hajaran bagi mereka!"

Gadis bernama Cempaka Wangi itu tak bisa berkata apa-apa lagi mendengar alasan abangnya. Tapi sebenarnya pun dia mengerti bahwa abangnya tak akan bisa dilarang kalau dia sudah punya keinginan. Begitu juga ketika beberapa orang pengawal mereka mencoba melarang dia bertarung, tetap saja Wangsa Bangkalan berkeras akan memberi pelajaran pada mereka dengan tangannya sendiri.

Sementara itu semua pengunjung kedai tertarik sekali melihat pertarungan ini. Hampir semua mengutuk perompak-perompak Tengkorak Darah dan mengelu-elukan pemuda itu. Bukan karena mereka putra-putri sang Adipati, tapi siapa yang tak kenal Perompak Tengkorak Darah yang kekejaman mereka nyaris dikutuk oleh semua penduduk di wilayah ini.

"Bunuh mereka jangan dikasih kesempatan untuk lari!"

"Cincaaang...!"
"Gantung kelima-limanya!"

Walau semua yang berada di situ mengutuk mereka, Rintang Kala dan kawan-kawannya begitu teguh. Semangat mereka tetap tak tergoyah. Begitu juga ketika Wangsa Bangkalan lebih dulu menyerang, Rintang Kala menyambutinya dengan mantap. Pertarungan itu memang disengaja terjadi antara mereka berdua. Kalau pemuda itu melarang para pengawalnya ikut campur, begitu juga halnya dengan Rintang Kala. Dia memerintahkan agar anak buahnya tak perlu turun tangan selagi mereka bertarung.


***


Pertarungan antara keduanya telah berlangsung lebih dari tiga jurus. Terlihat keduanya sama kuat. Namun pada jurus-jurus selanjutnya Rintang Kala telah berada di atas angin. Padahal bagi mereka yang berasal dari kalangan persilatan pasti akan melihat bahwa keduanya memiliki ilmu silat yang tangguh. Bahkan kalau diperhatikan dengan seksama, gerakan Wangsa Bangkalan yang indah mengandung tipuan yang mematikan. Hanya sayang bahwa pemuda itu melakukan dengan kaku seperti orang yang baru saja belajar ilmu silat.

Tidak demikian halnya dengan Rintang Kala. Belasan tahun malang melintang bersama Perompak Tengkorak Darah, membuatnya tak cepat gugup dengan serangan lawan. Pengalamannya lebih teruji, dan terbukti banyak membantu dalam setiap pertarungan. Seperti yang terjadi hari ini.

"Hiyaaaa...!"
"Trak! Bret!"
"Ukh...!"

Wangsa Bangkalan menjerit pelan. Dalam suatu kesempatan tubuh lawan berkelebat cepat menyambar kepala sambil mengayunkan senjata. Pemuda itu menunduk sambil menghindar ke belakang, tapi dengan tak disangka-sangka ujung golok besar Rintang Kala berubah haluan dan menyambar bahu kanan Wangsa Bangkalan. Masih untung cuma sedikit tergores karena dia masih sempat berkelit.

"Pelajaran pertama untuk anak-anak yang kurang ajar!" ejek Rintang Kala sinis.

"Huh, siapa bilang aku kalah olehmu! Kau akan rasakan ini!" bentak Wangsa Bangkalan kembali menyerang dengan kalap.

Kali ini pemuda itu mengerahkan segenap kepandaian yang dimiliki. Terbukti gerakan kipas yang dijadikannya senjata itu menimbulkan desir angin kencang dan menyambar-nyambar tubuh lawan dengan pengerahan tenaga dalam kuat.

Tapi serangan Rintang Kala pun bukan main hebatnya. Baru kali ini terbuka mata semua orang akan kehebatan salah seorang anggota Perompak Tengkorak Darah. Tubuh Rintang Kala bergerak bagai sapuan angin dengan golok besar di tangan berdengung menyambar-nyambar ke arah Wangsa Bangkalan.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
"Trak!"
"Bret!"
"Duk!"
"Akh...!"

Ketika dalam satu kesempatan. keduanya berteriak nyaring dan bersiap menyerang lawan, Wangsa Bangkalan mencoba menangkis senjata Rintang Kala. Tapi dia terkejut ketika kipasnya di buat hancur berantakan. Belum lagi habis rasa terkejutnya, ujung senjata lawan meluncur deras menghantam leher. Masih untung pada saat kritis itu Wangsa Bangkalan mampu menyelamatkan lehernya dengan berkelit ke belakang.

Namun tak urung ujung senjata lawan menghajar dadanya. Dan bersamaan dengan itu kaki kanan Rintang Kala menghajar perut Wangsa Bangkalan. Pemuda itu terlempar sejauh beberapa tombak sambil menjerit keras. Agaknya Rintang Kala betul-betul bernafsu untuk menghabisi pemuda yang dianggapnya sombong itu.

Begitu kakinya menyentuh tanah, saat itu pula tubuhnya kembali melesat dengan kecepatan bagai kilat mengayunkan senjata ke arah Wangsa Bangkalan. Semua orang yang melihat itu tercekat. Wangsa Bangkalan pasti tewas. Bahkan para pengawalnya tak mungkin mampu menandingi kecepatan bergerak Rintang Kala. Gadis bernama Cempaka Wangi sendiri sudah berteriak cemas.

"Hiyaaa...!"
"Sing!"
"Trak!"


***


EMPAT

Namun pada saat-saat yang kritis itu tiba-tiba melesat seberkas sinar keperakan yang memapaki senjata Rintang Kala dan membuatnya terpental jauh. Laki-laki berusia tiga puluh tahun dengan codet di pipi kanannya itu menggeram melihat kehadiran seorang pemuda berambut gondrong berwajah tampan berada di tempat itu sambil tersenyum. Di pundaknya terlihat seekor monyet kecil berbulu hitam.

Pemuda itu sendiri mengenakan baju yang terbuat dari kulit harimau. Ketika pemuda yang berbaju kulit harimau itu mengibaskan tangan, maka sinar keperakan yang tak lain dari sebuah senjata berbentuk cakra bersegi enam menempel di pergelangan tangan kanannya. Melihat itu sebagian mereka yang berada di situ tersentak kaget.

"Pendekar Pulau Neraka...!"

Rintang Kala selama hidupnya lebih banyak berada di laut hingga jarang mendengar ,nama tokoh-tokoh persilatan yang berada di darat, hingga dia tak terlalu terkejut mendengar nama itu. Bahkan dengan sikap menganggap remeh, dia pura-pura tak tahu.

"Huh, siapa lagi kau budak gembel?! Apakah kau ingin membela majikanmu itu?!"

"Dia bukan majikanku, dan kau tak perlu tahu siapa aku. Yang jelas aku paling tak suka pada kalian berdua. Tapi pengecualian untukmu karena kau adalah Perompak Tengkorak Darah yang kudengar sering menimbulkan kekacauan!"

"He he he...!" Satu lagi kulihat malaikat kesasar sepertimu. Tapi orang-orang sepertimu biasanya menemui ajal secara mengenaskan. Nah, pergilah dari sini sebelum timbul rasa muakku padamu!" bentak Rintang Kala.

Orang itu sengaja menggertak lawan. Padahal dia sendiri merasakan dalam sekelebatan saja senjatanya di buat terpental oleh senjata lawan. Tapi sebagai bekas Perompak Tengkorak Darah mana mau Rintang Kala menunjukkan kegentarannya di depan orang banyak. Maka dia sengaja berbuat begitu pada si pemuda berbaju harimau yang tak lain dari Bayu Hanggara atau Pendekar Pulau Neraka.

"Siapa yang mengatakan aku malaikat kesasar? Agaknya matamu telah lamur kisanak. Aku memang malaikat sesungguhnya yang akan mengantarmu ke neraka!" ejek Bayu sambil tersenyum sinis.

"Huh, kau boleh pentang bacot sesukamu setelah kukirim ke akherat!"

Setelah berkata begitu agaknya kemarahan Rintang Kala tak dapat ditahan lagi. Dia langsung menyerang lawan setelah anak buahnya melempar sebatang golok besar ke tangannya.

"Hiyaaa...!"

"Hmm... betul-betulkah kau ingin merasakan nikmatnya siksaan neraka?" ejek Bayu lagi.

"Jangan banyak bacot! Putus lehermu!"

"Uts, ha...!"

Sambil menundukkan kepala Bayu menghindari sabetan senjata lawan yang ditujukan ke lehernya. Tapi dengan tak terduga kaki kanan Rintang Kala menendang ke ulu hati. Tubuh Bayu mencelat ke belakang sambil bersalto dengan gerakan indah. Pada saat itulah kaki kanannya sempat menghajar betis kaki lawan.

"Plak!"
"Akh...!"
"Begkh!"

Rintang Kala menjerit tertahan. Tubuhnya terjerembab setelah berputar satu kali di udara. Namun dalam keadaan demikian, Bayu masih sempat menghajar pinggang kanannya lewat tendangan kaki kiri sebelum kedua kakinya menyentuh tanah. Kembali Rintang Kala menjerit keras ketika tubuhnya terlempar ke kiri.

"Keparat!" maki Rintang Kala cepat bangkit. Disekanya darah yang menetes di sudut bibir. Tendangan lawan memang tak cukup kuat, kalau tidak niscaya dia tak akan pernah bangkit lagi. Tapi walau begitu cukup membuat isi perutnya seperti diaduk-aduk.

"Hmm... agaknya kau masih belum puas juga? Ke sinilah cepat mendekat pada tuan besarmu!" ejek Bayu.

"Yeaaa...!" "Hiyaaa...!"

"Hei! Main keroyokan sekarang? Hmm... boleh juga kalau kawan-kawanmu ingin berbagi kesenangan denganmu."

"Bet!"
"Plak! Plak!"
"Begkh!"
"Akh!"

Tubuh Bayu berkelebat dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa. Tahu-tahu senjata di tangan mereka terpental jauh, dan disusul dengan jerit kesakitan. Kelimanya terpental dengan darah muncrat dari mulutnya. Salah seorang di antara mereka langsung menemui ajal. Orang itu adalah korban Wangsa Bangkalan yang tadi dihajarnya di dalam kedai. Agaknya dia memaksakan diri untuk menyerang si Pendekar Pulau Neraka, dan terpaksa menemui kematiannya.

"Huh, kali ini aku akan mengadu jiwa denganmu!" dengus Rintang Kala kembali bangkit dengan wajah garang.

"Siapa yang sudi mengadu jiwa denganmu? Kalau kau mau mengadunya, adulah dengan jiwa kawan-kawanmu itu. Siapa tahu mereka mau, dan kalian tetaplah berjiwa binatang seperti sekarang!"

"Keparat! Bersiap-siaplah kau untuk mampus!" bentak Rintang Kala.

"Yeaaaa...!"

Bersama dengan ketiga anak buahnya, kembali mereka menyerang Bayu dengan tangan kosong. Bayu sendiri masih tenang-tenang saja di tempatnya. Dia yakin bahwa walau mereka berempat tak mungkin mampu melukai dirinya, sebab tadi ketika bersenjata pun mereka tak mampu, apalagi kini bertangan kosong. Namun dengan tidak disangka saat itu juga melesat satu bayangan yang memapaki serangan mereka. Orang-orang yang berada di situ terkejut. Angin gerakan bayangan itu mampu membuat mereka yang memiliki ilmu silat rendah bergoyang limbung. Sedangkan debu-debu di sekitarnya membumbung tinggi dan daun-daun kering berterbangan ke mana mana.

"Breeet!"

"Aaaa...!"


***


Bersamaan dengan itu terdengar pekik kematian yang menyayat. Ketika desir angin itu ter-henti, ketiga Perompak Tengkorak Darah ambruk dengan pinggang nyaris putus. Dan di tempat itu telah tegak berdiri seorang pemuda berusia tujuh belas tahun berkulit coklat dengan rambut gondrong kusut masai seperti tak terurus. Sorot matanya tajam menusuk dan amat mengerikan seperti membawa dendam dari alam kubur. Di tangannya tergenggam sebatang pedang besar, namun tak terlihat sedikit pun noda darah. Rintang Kala yang melihat kehadiran pemuda itu, wajahnya langsung pucat dan tubuhnya gemetaran.

"Ka... kau..."

"Huh, kau pikir bisa bersembunyi dari Nara Sudana, keparat! Tak satu pun dari kalian boleh hidup didunia ini. Ke mana pun kalian bersembunyi akan kukejar!"

"A... aku tak bersalah...."

"Berdoalah sebelum mampus!" potong pemuda itu dingin.

"Ta...."

"Yeaaaa...!" Pemuda yang menyebut dirinya Nara Sudana itu bergerak cepat. Walau Rintang Kala berusaha berkelit dengan segenap kecepatan yang dimiliki, namun tetap saja terdengar jerit tertahan.

"Akh!
"Pluk!"
"Ohh...!"

Beberapa orang yang menyaksikan pertarungan itu berseru kaget ketika melihat kepala perompak Tengkorak Darah itu menggelinding jatuh. Tubuhnya yang tanpa kepala itupun menyusul kemudian.

"Ayaaah... ibuu, dendam kalian sudah terbalas hari ini! Tenanglah di akhirat karena anakmu tak akan membiarkan mereka lolos seorang pun. Orang-orang itu harus membayar mahal apa yang telah mereka perbuat terhadap kita!" teriak pemuda bernama Nara Sudana dengan suara lantang sambil menengadahkan wajah ke langit. Beberapa orang yang mendengar teriakannya bergetar tubuh mereka. Bahkan dua tiga orang tampak pingsan sambil mendekap telinganya yang mengucurkan darah.

Setelah puas berkaok-kaok, pemuda itu menggerang buas sambil menatap setiap orang yang berada di dekatnya. Mereka yang pengecut nyalinya langsung ciut dan perlahan-lahan menjauhi tempat itu. Bayu Hanggara masih tetap tegak di tempatnya seperti tak bergeming. Dua jarinya masih menutupi telinga monyet kecil berbulu hitam untuk melindunginya dari pengaruh getaran suara pemuda itu tadi. Ketika pemuda itu mengalihkan pandangan ke arahnya, Bayu bersiaga atas segala kemungkinan.

"Siapa kau?! Apakah kau juga anak buah si Dasa Griwa?!" bentak pemuda itu galak.

"Aku bukan siapa-siapa. Cuma pengembara biasa yang tak berharga..." sahut Bayu asal-asalan.

"Hmm..." Pemuda itu menggumam.

Setelah itu dia mengedarkan pandangan pada yang lain. Entah apa yang dipikirkan dan dilakukannya, tiba-tiba saja dia meninggalkan tempat itu seperti datangnya tadi. Berkelebat bagai sapuan angin serta menimbulkan angin kencang. Tahu-tahu ketika semuanya reda, pemuda itu raib entah ke mana.

"Gila! Bukan manusia barangkali itu orang!" ujar salah seorang di antara yang melihat pertarungan tadi.

"Iya, iya..." timpal kawannya.
"Jin barangkali?"
"Hus! Masak jin seperti itu."

"Eh, kan ada jin yang mirip seperti manusia. Bahkan kadang menyerupai gadis cantik."

"Alaaah! Sudah jangan bermimpi. Coba kalau mereka tadi mengamuk, kamu tidak bakal ketemu binimu di rumah!"

Kawannya itu cuma terkekeh sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

Sementara itu diam-diam Bayu meninggalkan tempat itu sambil menggendong Tiren di pangkuannya. Kasihan monyet itu, dia merasa terkejut dan sempat pucat ketika mendengar gelegar suara pemuda bernama Nara Sudana tadi yang menumpahkan segenap perasaan hatinya yang pilu.

"Kisanak...."
"Nguk!"

Tiren yang lebih dulu tersentak ketika Bayu menoleh ke belakang. Terlihat gadis yang tadi bersama si pemuda Wangsa Bangkalan menghampiri dengan langkah perlahan.

"Ada apa nisanak?"

"Aku... ng... kami ingin mengucapkan terima kasih atas kebaikan hatimu menolong kakangku...."

"Ah, hal itu sudah biasa. Bukankah setiap manusia harus saling tolong menolong?"

"Ng... dia bermaksud mengundangmu kalau kau tak keberatan kisanak."

"Mengundangku ke mana?"

"Ke tempat kediaman kami. Tak jauh lagi dari desa ini..."

Bayu berpikir sejenak. Sebenarnya dia tak suka pada pemuda itu. Kesan yang diperolehnya tadi adalah bahwa pemuda itu bersifat angkuh dan merasa dirinya hebat. Orang seperti itu biasanya sering mencemooh orang lain yang dianggapnya hina dan rendah derajatnya.

"Maaf nisanak, kami harus melanjutkan perjalanan..." sahut Bayu menolak dengan halus.

"Sayang sekali... padahal aku, eh kami akan merasa mendapat kehormatan bertemu dengan seorang pendekar terkenal seperti anda kisanak."

"Siapakah yang merasa dihormati nisanak? Kalau kalian merasa dihormati oleh seorang gembel sepertiku, sungguh tak pantas sekali. Aku cuma seorang pengembara biasa yang tak punya kebiasaan apa-apa."

"Anda terlalu merendah kisanak. Sebenarnya kami bermaksud kembali ke rumah karena ayahanda kami saat ini sedang mengadakan perayaan perkawinan kakangku yang paling tua. Itulah sebabnya kami dipanggil pulang, dan aku bermaksud mengundangmu untuk turut menghadirinya. Jangan tolak permintaanku ini kisanak...."

Bayu masih menimbang-nimbang ketika Wangsa Bangkalan beserta para pengawalnya mendekati.

"Betul kisanak, kami atas nama keluarga bermaksud mengundang anda," sahut Wangsa Bangkalan sambil tersenyum kecil.

"Hmm... bagaimana Tiren? Apakah kau suka?"

"Kaaakh!"

Monyet kecil berbulu hitam itu menjerit keras kemudian menepuk-nepuk kedua tangannya sambil menganggukkan kepala.

Mereka yang melihat kelakuannya terkekeh geli. Monyet kecil itu memang lucu sekali. Apalagi ketika dia membuat ulah sambil menari-nari di pundak Bayu.

"Ah, agaknya dia pun suka pada kalian. Baiklah..." sahut Bayu.

"Nguk! Nguk...!"

"Ha ha ha...!"


***


Adipati Bangkalan adalah seorang pembesar kerajaan yang amat terkenal saat itu. Selain ahli dalam ketatanegaraan beliau pun gemar akan ilmu silat. Tak heran bila di lingkungan kerajaan beliau sangat disegani oleh pembesar-pembesar lainnya. Tak kurang dari dua puluh orang para pengawal di kadipaten adalah tokoh-tokoh persilatan yang bekerja pada beliau. Selain itu juga pengawal-pengawal kadipaten sendiri terdiri dari orang-orang yang trampil dalam hal ilmu bela diri yang digembleng oleh seorang tokoh persilatan terkenal bernama Gagak Lumayung, atau lebih dikenal sebagai Pendekar Jari Sakti.

Tak heran saat perayaan perkawinan putra tertuanya beliau mengadakan pertandingan silat dengan mengundang tokoh-tokoh persilatan berbagai kalangan untuk memeriahkannya. Sebagai tokoh yang selama ini dikenal tegas dan jujur serta bijaksana, jelas tujuan beliau semata-semata untuk persahabatan dan mempererat tali persaudaraan di samping segi hiburannya di antara tokoh-tokoh persilatan. Waktu Wangsa Bangkalan dan Cempaka Wangi memperkenalkan Bayu Hanggara, bukan main senangnya beliau. Sampai-sampai si Pendekar Pulau Neraka itu di beri tempat di samping beliau. Itu adalah kehormatan yang bukan kepalang baginya.

"Tak sangka pendekar terkenal sepertimu sudi datang ke tempat kami yang buruk ini," kata Adipati Bangkalan merendah.

"Justru aku yang tiada menyangka bahwa orang hina sepertiku mendapat kehormatan luar biasa dari anda kisanak. Ini sungguh tak terduga. Jangan-jangan nanti malah menimbulkan kecemburuan pada yang lainnya," sahut Bayu.

"Ah, siapa yang tak kenal Pendekar Pulau Neraka? Namamu sudah termahsyur di delapan penjuru angin. Sudah sepantasnya kami mendapat kehormatan kedatanganmu."

Bayu sebenarnya jengah juga diperlakukan demikian. Matanya tiada henti melirik tamu-tamu yang lain. Kelihatannya dia betul-betul menjadi pusat perhatian saat ini. Bahkan Gagak Lumayung sendiri yang di kalangan kadipaten merupakan orang yang disegani hanya mendapat tempat di sebelah Wangsa Bangkalan. Kedudukan tempat yang utama saat itu adalah kedua mempelai. Di sebelah pengantin laki-laki adalah sang Adipati, Bayu, Cempaka Wangi serta tamu-tamu terhormat lainnya. Sementara di sebelah pengantin wanita adalah istri sang Adipati, Wangsa Bangkalan, Gagak Lumayung serta undangan lain yang merupakan tamu-tamu terhormat.

Sementara itu di hadapan mereka pada jarak tujuh tombak terdapat sebuah panggung yang agak luas tempat diselenggarakannya pertandingan, ilmu silat. Siapa pun yang diundang ataupun tidak, boleh ikut ambil bagian untuk memperebutkan hadiah seratus kepeng uang emas yang dijanjikan sang adipati. Asalkan mereka mengikuti peraturan yang telah di keluarkan. Pertandingan telah berlangsung tiga kali. Tiga orang telah keluar sebagai pemenang. Satu merupakan salah seorang pengawal kadipaten sedang dua lainnya merupakan tokoh-tokoh persilatan.

"Kau suka melihat pertandingan ini?"

"Eh... ng... apa?" Bayu tersentak ketika Cempaka Wangi bertanya pelan padanya di sela-sela ramainya pertandingan.

"Kau tentu suka melihat pertandingan seperti ini bukan?"

"Entahlah... sepertinya menarik juga...."

"Kenapa tidak ikut ambil bagian? Kau tentu bisa menang dan mengantungi hadiah yang dijanjikan ayahanda ku?"

Bayu tersenyum kecil. Sementara Tiren di pangkuannya menepuk-nepuk kedua tangan sambil menyeringai lebar ke arahnya.

"Aku lebih suka menonton saja...."

"Sayang sekali... padahal kesempatan terbuka luas untuk siapa saja. Atau mungkin orang sepertimu merasa malu berhadapan dengan mereka?"

"Itu pikiran buruk. Apakah kau pikir aku merasa paling jago di atas bumi ini? Tidak. Sama sekali aku tak beranggapan begitu. Bahkan kalau mau berkata jujur, kepandaianku tak ada secuil pun dibanding mereka yang memiliki ilmu silat hebat dan disegani."

"Lalu kenapa kau tak tertarik untuk ikut? Padahal banyak orang yang memperebutkan hadiah itu. Disamping mendapat hadiah, mereka yang menang pun akan mendapat nama tenar dan diakui sebagai salah seorang tokoh persilatan yang disegani."

Bayu cuma tersenyum mendengar celoteh gadis itu, dan tak menyahut apa-apa. Sulit untuk dijelaskan apa yang dilakukannya saat ini dan ke mana tujuannya. Barangkali dalam hal ini adalah pengabdian pada si lemah yang teraniaya. Walaupun dalam hal ini tak jarang dia melakukan kesalahan. Tapi kesalahan toh adalah kodrat manusia yang tak bisa dielakkan. Pertandingan di atas gelanggang semakin seru. Tokoh-tokoh yang berilmu tinggi mulai ikut ambil bagian. Dan yang membuatnya sedikit heran adalah ke ikut sertaan Gagak Lumayung. Memang tidak ada larangan untuk itu, tapi apakah dia tak berpikir bila nanti mengalami kekalahan toh yang malu bukan cuma dirinya sendiri, melainkan juga sang adipati beserta seluruh jajaran pengawal kadipaten yang selama ini menjadi murid-muridnya.

"Paman Gagak Lumayung berilmu tinggi dan tak seorang pun yang berani berhadapan dengan beliau," jelas Cempaka Wangi tanpa diminta.

"Hmm... lalu kenapa ayahanda mu tak mengijinkan beliau yang mengajarkan kalian ilmu silat?" tanya Bayu.

"Justru kami kenal ilmu silat pertama kali dari beliau. Tapi ayahanda berpikir lain mengingat kedudukan beliau, maka kami pun dititipkan di Padepokan Laksa Dahana. Selain belajar ilmu silat, Ki Tembayat Danang mengajarkan agama serta kesusilaan, serta sedikit ilmu ketatanegaraan. Beliau dulu adalah abdi kerajaan yang sangat diandalkan sebelum mengundurkan diri."

Si Pendekar Pulau Neraka menganggukkan kepala.

"Coba lihat! Cuma tiga jurus, Paman Gagak Lumayung telah mengalahkan lawannya!" seru Cempaka Wangi sambil bertepuk girang.

Di atas panggung terlihat Gagak Lumayung mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sambil mengitari tempat itu. Tak jauh dari situ lawannya berusaha bangkit sambil tertatih-tatih keluar dari gelanggang dan menyeka darah yang meleleh di bibirnya. Sampai saat seseorang mengumumkan nama-nama pemenang, terlihat tak ada lagi penantang yang berani tampil di arena. Mungkin juga takut melihat yang menjadi pemenang adalah tokoh-tokoh persilatan berilmu tinggi, atau juga punya alasan lain.

Namun karena pertandingan itu sendiri diusahakan berjalan dengan seadil-adilnya, timbul masalah karena jumlah pemenang yang akan diadu ternyata ganjil. Artinya salah seorang tak mempunyai lawan, atau salah seorang musti menghadapi dua lawan. Cara terakhir pasti tidak adil. Itulah sebabnya sang adipati turun tangan untuk mengundang siapa saja yang berani melawan salah seorang di antara para pemenang yang telah ada agar pertandingan tetap berjalan dengan adil dan jujur. Namun tak seorang pun di antara yang hadir menyambutnya.

"Maaf Kanjeng Adipati, saya ada usul jika diperkenankan..." kata Gagak Lumayung tiba-tiba.

"Usul apakah itu...?"

"Biarlah hamba yang mengalah tak memiliki lawan..."

"Maksudmu kau akan mengundurkan diri?"

"Tidak demikian Kanjeng Adipati. Maksud hamba jika hamba yang mendapat bagian tak memiliki lawan maka jika Kanjeng Adipati mengijinkan, hamba bermaksud memilih lawan yang kira-kira bisa disetujui oleh semuanya...."

"Hmm... boleh juga. Asal kau tak memilih lawan yang lemah dan rendah ilmu silatnya. Kalau begitu kau pasti menang dengan mudah," kata sang adipati berkelakar.

Semua yang berada di situ senyum-senyum kecil mendengarnya.

"Tentu saja tidak, Kanjeng Adipati. Hamba bermaksud memilih lawan yang setimpal tentunya."

"Nah, siapa lawan yang akan kau pilih?"

"Tamu kita hari ini, yaitu Ki Bayu Hanggara yang saat ini duduk di sebelah Kanjeng Adipati."

"Apa?" Adipati Bangkalan agak terkejut mendengar itu.

Mereka yang berada di situpun tak menduga hal itu. Antara sikap gegabah melawan pendekar itu, serta keingintahuan sampai di mana kehebatan ilmu silat si Pendekar Pulau Neraka yang selama ini sering digembar gemborkan, membuat semua mata menuju ke arah Bayu seperti menanti jawaban pemuda itu.


***


LIMA


Bayu Hanggara sendiri tak menduga hal itu. Sejak tadi dia memang tak sempat memperhatikan sorot mata Gagak Lumayung yang cemburu melihat perhatian seluruh keluarga sang adipati pada tamu mereka satu ini. Tapi jika seorang tokoh persilatan berkata begitu, sama artinya dengan suatu tantangan. Dan apakah mungkin dia bisa menolak tantangan itu di hadapan puluhan pasang mata yang saat ini menunggu jawaban dari mulutnya?

"Eeeh, kenapa jadi begini? Bukankah aku tak ikut dalam pertandingan ini?"

"Kisanak, siapa saja boleh mengikuti pertandingan ini diundang ataupun tidak asal mengikuti peraturan, yang telah ditetapkan. Yang menjadi masalah, apakah anda sudi atau tidak memeriahkannya untuk menghormati Kanjeng Adipati?" sahut Gagak Lumayung tegas.

Bayu tak enak hati mendengar kata-kata kepala pasukan pengawal kadipaten itu. Sepertinya dia bernafsu betul ingin menantangnya.

"Bagaimana kisanak? Apakah kau sudi menemaniku bermain-main satu atau dua jurus?" tanya Gagak Lumayung mencoba menegaskan.

"Ayolah, Bayu. Kami akan mendapat kehormatan sekali bila kau pun turut memeriahkan perkawinan putraku ini," sahut Adipati Bangkalan.

"Betul, Kakang Bayu. Kau harus ikut memeriahkannya. Anggaplah hal ini sebagai tanda persahabatan antara kau dan kami!" timpal Cempaka Wangi.

Pemuda itu jadi tak enak hati mendengar suara-suara itu. Akhirnya dia mengangguk pelan, dan disambut oleh semua orang dengan perasaan suka cita.

"Baiklah. Tapi terus-terang saya tak bermaksud untuk memenangkan hadiah yang dijanjikan Kanjeng Adipati. Semata-mata untuk menghormati dan turut memeriahkan perkawinan putra beliau. Jadi kalah atau menang tak saya persoalkan betul," sahut Bayu.

Gagak Lumayung sendiri menyetujui usul pemuda itu, dan menawarkan pertandingan mereka pada babak terakhir setelah pertandingan-pertandingan pada babak sebelumnya. Bayu sendiri sekali lagi menyetujui saja. Dan ketika saat-saat yang ditunggu oleh semua yang hadir di situ tiba, mereka menunggunya dengan hati berdebar-debar. Pendekar Pulau Neraka yang namanya belakangan ini menggegerkan rimba persilatan akan berhadapan dengan Gagak Lumayung yang sudah terkenal memiliki ilmu silat tingkat tinggi.

"Silakan kisanak. Sebagai tamu kau berhak menyerang lebih dulu," kata Gagak Lumayung ketika keduanya telah berada di atas arena pertarungan.

"Sebagai orang yang lebih muda, tentu aku harus mengalah pada anda kisanak. Silakan lebih dulu...."

"Baiklah kalau itu keinginanmu."

"Hiyaaa...!"

Dengan kaki kanan terangkat, Gagak Lumayung membentang dua jari tangan siap melancarkan serangan ke arah lawan. Nama Pendekar Pulau Neraka tentu saja dikenal semua orang sebagai tokoh muda yang memiliki ilmu silat tinggi, maka Gagak Lumayung tak mau gegabah. Dia langsung menyerang dengan mengerahkan segenap kepandaian yang dimilikinya.

"Bet!"
"Uts!"
"Yeaaa...!"

Tubuh Bayu berputar bagai gasing sambil bergerak cepat ke arah Gagak Lumayung. Ketika lawan mencelat ke atas menghindari serangannya, tubuh pemuda itu melentik mengikuti dengan satu bentakan keras.

"Plak! Plak!"
"Ukh!"
"Hiyaaa...!"

Gagak Lumayung tersentak kaget. Tak ada waktu dan kesempatan baginya untuk menghindar dari pukulan lawan selain memapakinya. Tangannya terasa linu dan kesemutan ketika menangkis tamparan pemuda itu. Tubuhnya mencelat mundur ke belakang beberapa tindak. Tapi begitu kedua kakinya menyentuh lantai, saat itu pula tubuh Bayu kembali mencelat sambil mengirim serangan susulan. Gerakan yang diperagakan kedua tokoh itu cepat dan bertenaga kuat membuat decak kekaguman mereka yang menonton pertarungan itu. Bahkan untuk mereka yang tak memiliki tenaga batin yang kuat, kepalanya terasa pusing menyaksikan pertandingan yang cepat bukan main antara keduanya.

"Bleduk!
"Yeaaa...!"

Tubuh Gagak Lumayung bergulingan di lantai menghindari serangan Pendekar Pulau Neraka. Tapi tubuh pemuda itu melentik dalam posisi miring dengan kedua kaki menendang tubuh lawan bergantian.

"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Ukh!"

Kembali Gagak Lumayung meringis kesakitan. Dalam keadaan terdesak begitu, dia mencoba mengeluarkan pukulan jari sakti menghantam kaki lawan. Tapi Bayu merasakan desir angin panas Serangan lawan, maka tanpa berpikir panjang dia mengerahkan sebagian tenaga dalamnya ke arah kaki. Akibatnya sungguh fatal. Terdengar suara berderak ketika Gagak Lumayung menjerit kesakitan sambil memegang dua jari tangan kirinya yang patah. Wajah kepala pasukan pengawal kadipaten itu berubah garang. Dengan mendengus sinis dia mencabut keris yang terselip di pinggang ketika Bayu tak meneruskan serangan dan memberi peluang padanya untuk menarik nafas.

"Aku biasa bersenjata. Keluarkanlah senjatamu agar pertarungan ini terasa lebih seru!"

"Biarlah untuk sementara aku bertangan kosong. Nanti kalau kurasa tak mampu melayanimu tentu akan kupergunakan senjataku," sahut Bayu tenang.

"Terserahmulah...."
"Hiyaaa...!"

Dengan bersemangat Gagak Lumayung kembali menyerang si Pendekar Pulau Neraka. Untuk beberapa jurus Bayu hanya meladeninya dengan jurus-jurus biasa saja. Tapi gerakan-gerakan yang dibuat Gagak Lumayung selanjutnya sungguh membuat pemuda itu kaget.

"Heh?"

Ujung keris Gagak Lumayung menyambar-nyambar pada bagian tubuh yang mematikan. Gerakannya pun ganas dan kejam, serta betul betul ditujukan untuk membunuh lawan.

"Kisanak, apakah kau ingin membunuhku?" tanya Bayu sedikit kesal.

"Kenapa? Apakah kau mulai takut?" sahut Gagak Lumayung terkekeh pelan.

Bukan main dongkolnya Bayu mendengar jawaban itu. Untuk dua jurus berselang dia masih bisa menghormati tuan rumah. Namun pada jurus berikutnya pemuda itu mulai naik pitam ketika serangan-serangan yang dilancarkan Gagak Lumayung semakin ganas seperti betul-betul hendak mencabut nyawanya.

"Gagak Lumayung, jangan salahkan kalau aku bersikap kasar padamu karena kaulah yang memulainya lebih dulu!" bentak Bayu sambil melentik ke belakang menghindari serangan lawan yang bertubi-tubi.

"Siapa yang akan menyalahkanmu? Ayo, hadapilah seranganku kalau kau betul-betul pendekar tangguh yang digemborkan banyak orang!"

"Baiklah kalau hal itu yang kau inginkan..."

"Hiyaaa...!"


***


Gerakan Pendekar Pulau Neraka cepat bukan main. Gagak Lumayung sendiri sampai terkejut dibuatnya. Tiba-tiba saja keris di tangannya terpental ketika pergelangannya terasa kaku. Belum lagi habis rasa terkejutnya, satu tendangan keras menghantam perutnya. Tubuh Gagak Lumayung terangkat setengah tombak. Masih untung dia mampu jatuh dengan kedua kaki di lantai meski tubuhnya agak limbung. Namun ketika dia kembali bersiaga dengan berjaga-jaga terhadap serangan lawan berikutnya, Pendekar Pulau Neraka telah raib dari tempat itu berikut monyet kecil yang tadi bersamanya. Dari jauh terdengar suara lapat-lapat.

"Maaf Kanjeng Adipati, kami tak bisa berlama-lama di tempatmu ini karena masih banyak yang harus dikerjakan. Terima kasih atas penghormatan yang kalian berikan padaku!"

Semua yang berada di situ terkagum melihat kecepatan bergerak pemuda itu.

"Wah, hebat! Rasanya kalau dia mau pasti Ki Gagak Lumayung dapat dikalahkan dengan mudah," kata salah seorang yang menonton pertandingan itu.

"Iya, iya... kayaknya Ki Gagak Lumayung naik pitam dan bermaksud menyerang pemuda itu secara membabi buta. Ternyata malah membuat malu dirinya sendiri!" sahut kawannya.

Hal seperti itupun tak luput dari perhatian Sang Adipati sendiri. Beliau sangat menyayangkan sikap kepala pasukan pengawalnya itu yang sembrono. Ternyata terlihat bahwa dari pihaknya sendirilah yang melanggar aturan yang telah ditetapkan. Semua orang yang dapat menyaksikan pertarungan itu bisa menilai bahwa serangan Gagak Lumayung belakangan bukanlah pertandingan yang jujur, melainkan pertarungan hidup mati. Dia begitu bernafsu untuk membuat Pendekar Pulau Neraka tewas, atau paling tidak cidera.

"Saudara-saudara semua, hari ini ada yang melakukan pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan. Walaupun itu adalah orangku sendiri, maka tetap dia dikenakan hukuman yaitu tidak diperkenankan mengikuti pertandingan selanjutnya karena dianggap gugur!" kata sang Adipati tegas.

"Maafkan kesalahan hamba Kanjeng Adipati..." sahut Gagak Lumayung menyadari kesalahannya.

Kepala pasukan pengawal kadipaten itu meninggalkan arena dengan langkah pelan. Namun baru saja pertandingan akan dilanjutkan, sekonyong-konyong melesat sesosok bayangan di atas panggung diiringi desir angin kencang yang membuat semua orang yang berada di tempat itu terkejut.

"Walah, ada setan!" teriak seseorang.
"Setan goblok!"
"Iya, setan...."

Semua orang melihat seorang pemuda berambut gondrong kusut masai berdiri tegak di atas panggung. Sorot matanya tajam berkilat memancarkan kegarangan. Tangan kanannya menggenggam sebatang pedang besar yang terlihat tajam.

"Ayahanda, beliaulah orang yang kuceritakan tadi?!" seru Cempaka Wangi dan Wangsa Bangkalan hampir berbareng.

"Pemuda yang menewaskan sisa-sisa Perompak Tengkorak Darah?"

Cempaka Wangi dan Wangsa Bangkalan mengangguk serempak. Belum lagi Sang Adipati buka mulut, pemuda yang berada di atas panggung itu berteriak lantang.

"Siapa yang merasa paling jago di antara kalian boleh maju menghadapiku!"

"Huh, sombong sekali dia!" sahut Senakrama, salah seorang peserta yang memenangkan pertarungan tadi.

"Betul! Sepertinya dia merasa paling jago di kolong jagat ini!" timpal Wlijeng Kono, atau lebih dikenal sebagai Dewa Tangan Delapan.

"Ayo, bukankah kalian datang ke sini untuk bertanding?! Kenapa? Apakah kini kalian menjadi pengecut semuanya?!" bentak pemuda itu lagi dengan suara lantang.

Senakrama yang masih muda dan berjiwa panas langsung menyambut tantangan itu setelah meminta ijin sang adipati.

"Kanjeng Adipati, mohon ijin untuk menghadapi pemuda ini."

"Hmm... silakan. Juga untuk kau kisanak, boleh saja mengikuti pertandingan ini asalkan memegang peraturan dengan teguh. Sebelumnya kau harus memperkenalkan nama lebih dulu," kata Adipati Bangkalan pada pemuda itu.

"Huh, Nara Sudana tak peduli dengan segala aturan! Kau cacing kurus, panggillah semua kawan-kawanmu untuk maju. Kalau tidak kau akan mampus penasaran!" sahut pemuda itu dengan sikap angkuh.

"Untuk menghadapi orang sepertimu cukup aku seorang. Nah, majulah kau kisanak!" sahut Senakrama sambil mencabut goloknya begitu melihat lawan mulai mengacungkan pedang.

"Yeaaa...!"

Pemuda yang mengaku bernama Nara Sudana itu tanpa basa-basi lagi langsung berteriak nyaring sambil memutar pedang. Senakrama agak terkejut melihat kecepatan lawan bergerak. Namun dengan gesit pemuda itupun mencoba berkelit sambil mengayunkan golok menangkis.

"Trak!"
"Breet!"
"Aaaa...!"

Terdengar jerit kematian yang disusul mencelatnya tubuh Senakrama dari atas panggung. Ketika tiba di tanah semua orang tersentak kaget. Pemuda itu tewas dengan perut robek dan isinya terburai keluar.

"Hei!" Adipati Bangkalan serta semua yang hadir di situ tersentak kaget.

"Kejam!"
"Biadab!"
"Bunuh dia!"

Semua orang yang berada di situ berteriak-teriak menuding ke arah Nara Sudana. Tapi pemuda itu malah tersenyum tipis dengan wajah sinis. Adipati Bangkalan masih menahan sabar sambil menarik nafas dalam-dalam.

"Kisanak, kau bukan saja melanggar peraturan tapi perbuatanmu kejam dan telengas dan itu melanggar hukum. Kau sudah sepatutnya mendapat hukuman!" kata sang Adipati tegas.

"Ha ha ha...! Kau akan menghukumku tua bangka? Majulah dan sini biar kuajarkan bagaimana caranya menghukum orang."

Selesai berkata begitu Nara Sudana langsung mencelat dari gelanggang ke arah sang Adipati.

''Kanjeng Adipati, awas!" teriak Gagak Lumayung sambil mencelat dan memapaki serangan lawan untuk melindungi junjungannya.

"Huh, mampuslah kau lebih dulu!" bentak Nara Sudana.

"Trak!"
"Duk!"
"Breeet!"
"Aaa...!"

Tubuh Gagak Lumayung terjungkal dengan darah muncrat dari mulutnya. Pada saat menangkis pedang lawan kerisnya terpental jauh dan Nara Sudana dengan cepat menyabetkan pedang ke lehernya. Tapi Gagak Lumayung masih sempat menundukkan kepala.

Sekonyong-konyong satu tendangan telak menghantam perutnya membuat kepala pasukan pengawal kadipaten itu menjerit keras. Masih untung ujung pedang lawan tertahan ketika beberapa orang pengawal langsung menghadang. Tapi mereka tewas dan ambruk dibabat pedang pemuda itu.

"Keparat! Perbuatannya sungguh biadab! Kepung dan jangan biarkan dia lolos. Bunuh di tempat!" teriak salah seorang anak buah Gagak Lumayung memberi perintah pada seluruh pengawal kadipaten.

Maka sebentar saja seluruh pengawal kadipaten telah mengurung Nara Sudana. Tapi pemuda itu agaknya tak ingin berlama-lama. Sebelum mereka menyerang dia telah lebih dulu berkelebat dengan pedang ditangan menyambar-nyambar ke arah mereka.

"Trak!
Trak!"
"Breet!"
"Begkh!"
"Aaa...!"

Sebentar saja terdengar pekik kematian. yang disusul dengan tumbangnya beberapa orang pengawal kadipaten secara mengenaskan disabet ujung pedang pemuda itu.

"Hajar dia!"
"Bunuuuh...!"

Mereka yang tadi mengikuti pertandingan menjadi kesal dan naik pitam. Seperti ada yang mengkomando, semuanya mengurung pemuda itu dan bersiap melancarkan serangan bersama para pengawal kadipaten.

"Hiyaaa...!

Dengan satu teriakan nyaring semuanya bernafsu ingin menghajar pemuda itu. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan tertawa terbahak-bahak pemuda itu mengamuk sejadi jadinya. Gerakannya cepat bukan main dan mengandung tenaga dalam kuat. Ketika tubuhnya berkelebat maka mendesir angin kencang yang membuat pakaian lawan berkibar-kibar seperti ditiup angin.

"Breet!
Breeet!"
"Aaa...!"

Pekik kematian kembali berkumandang di tempat itu. Darah membanjir dan tubuh-tubuh bergelimpangan dalam keadaan yang mengerikan. Amukan pemuda itu sungguh tiada tertahan. Ujung pedangnya membabat lawan seperti membabat ilalang saja layaknya. Tentu saja hal ini membuat sang adipati menjadi prihatin.

"Wangsa Bangkalan dan kau Cempaka Wangi, cepat selamatkan abang dan kakakmu! Pergi jauh-jauh dari tempat ini. Atau kalau perlu bawa mereka ke padepokan!" teriak Adipati Bangkalan di tengah-tengah amukan pemuda bernama Nara Sudana itu.

"Tidak ayahanda, aku akan tetap berada di sini dan membereskan perusuh keparat itu!" bantah Wangsa Bangkalan.

"Betul ayahanda, kami harus tetap berada di sini dan menangkap si pengacau itu," timpal Dharma Bangkalan, putra tertua sang adipati yang saat ini menjadi pengantin laki-laki.

"Tidak! Kalian harus mengungsi dari sini secepatnya! Biar aku yang akan menghadapi pemuda itu!"

Tapi kedua putra sang adipati itu bukannya mematuhi perintah ayahandanya. Keduanya langsung menerjunkan diri dalam kancah pertarungan.

"Anak-anak bandel!" Dengusnya kesal sambil memalingkan perhatian ke arah Cempaka Wangi.

"Aku pun harus menempur pengacau itu ayahanda," kata gadis itu siap mencabut pedangnya.

"Tidak Cempaka Wangi! Kali, ini kau. harus mematuhi perintah ayahmu. Bawa pergi kakakmu dari sini cepat!"

"Tapi ayahanda...."

"Tidak ada tapi-tapian! Cepat pergi! Aku tak mau melihat kalian semua tewas di hadapanku!"

Walau hatinya mangkal namun gadis itu mematuhi juga perintah ayahandanya. Sekilas matanya melirik ke arah pertarungan. Puluhan mayat telah bergelimpangan bersimbah darah. Gadis itu menggeram hebat. Ingin rasanya saat itu juga dia melompat dan menggabungkan diri dengan yang lainnya menghabisi pengacau itu.

"Kisanak, kali ini hadapilah aku!" bentak sang adipati sambil mencabut keris dan menerjang ke arah lawan.

"He he he...! Rupanya kau pun kepingin mampus seperti mereka? Baiklah. Terima seranganku!"

"Hiyaaa...!"

Bersama kedua putra dan beberapa orang yang tersisa, sang adipati mencoba menaklukkan pemuda bernama Nara Sudana itu.

"Yeaaa...!"
"Trak!"
"Breeet!"
"Aa...!"

Kembali terdengar pekik kematian ketika tubuh pemuda itu berkelebat. Lima orang tokoh persilatan tewas bersimbah darah. Wangsa Bangkalan dan Dharma Bangkalan terkejut ketika bahu mereka kena disambar ujung pedang lawan. Masih untung keduanya cepat berkelit dan cuma tergores. Kalau saja lambat sedikit bergerak niscaya mereka akan kehilangan sebelah lengan.

Sementara itu dalam gebrakan tadi Adipati Bangkalan baru merasakan hebatnya tenaga dalam lawan. Tangannya terasa perih dan kesemutan ketika senjata mereka beradu. Padahal siapa pun mengetahui bahwa Adipati Bangkalan bukanlah orang biasa. Beliau memiliki ilmu silat tak rendah. Kalau saja bukan karena kerendahan hatinya, tak mungkin beliau menolak jabatan sebagai panglima kerajaan tempo hari. Tapi berhadapan dengan pemuda itu betul-betul membuatnya penasaran. Betapa tidak? Pemuda yang melihat dari wajahnya paling tidak berusia tujuh belas tahun itu telah memiliki tenaga dalam setingkat datuk-datuk persilatan.

"Ha ha ha...! Satu dua tiga empat lima... ayo, majulah semua biar kalian lebih cepat mampus!" ejek pemuda itu memandang sinis sambil memutar-mutar pedangnya bagai kitiran.

Adipati Bangkalan mulai menyadari. Jumlah mereka saat itu tinggal lima orang lagi. Selain kedua putranya, ada Wlijeng Kono serta Gagak Lumayung yang telah kepayahan.

"Kisanak, tak ada angin tak ada hujan kau membantai dan membuat kerusuhan di tempatku ini. Ada persoalan apa sebenarnya?" tanya Adipati Bangkalan.

"He he he...! Tak ada angin tak ada hujan semua keluargaku dibantai. Masihkah ada pertanyaan lagi diantara kita?" sahut pemuda itu balik bertanya.

Sang Adipati akan melanjutkan kata-katanya namun terpotong ketika pemuda itu telah berkelebat ke arah mereka sambil membentak nyaring.

"Yeaaa...!"
"Trak! Trak!"
"Breet!"
"Aaaa...!"

"Wangsa...!" teriak Adipati Bangkalan begitu melihat putra keduanya menjerit nyaring disabet ujung pedang lawan.

Perut pemuda itu robek dan nyawanya lepas seketika. Bersamaan dengan itu Gagak Lumayung dan Wlijeng Kono mendapat giliran yang sama. Sementara Dharma Bangkalan cuma kehilangan lengan kanannya saja.

"Keparat! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" bentak Adipati Bangkalan' geram.

"Ha ha ha...! Siapa sudi mengadu jiwa denganmu? Kaulah yang akan lebih dulu mampus menyusul mereka!" sahut Nara Sudana sambil ketawa mengejek.

"Hiyaaa...!"

Bersamaan dengan itu Adipati Bangkalan kembali menyerang lawan dengan gerakan cepat mengandung tenaga dalam hebat. Kali ini ujung kerisnya menyambar-nyambar tubuh lawan seperti tiada henti. Dalam keadaan kalap begitu Adipati Bangkalan hanya memusatkan perhatian dengan menyerang lawan habis-habisan.

Untuk dua jurus yang berlangsung Nara Sudana sedikit terkejut. Serangan lawan yang ditujukan pada setiap daerah kematian di tubuh begitu gencar. Lebih-lebih Dharma Bangkalan sendiri seperti mencuri, tiap kelengahan dirinya. Tapi pada jurus selanjutnya pemuda itu menggertak rahang. Tubuhnya berputar bagai gasing. Dan sambil membentak nyaring ujung pedangnya berkiblat dengan cepat ke hadapan kedua lawan.

"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Breet!"
"Aaaa...!"

Dengan pengerahan tenaga dalam kuat Nara Sudana menyampok senjata lawan hingga terpental. Ujung pedangnya cepat berbalik dan menyabet leher kedua lawan dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata. Terdengar jeritan tertahan ketika leher Dharma Bangkalan putus dan tulang rusuk Adipati Bangkalan berderak dihantam pedang lawan. Keduanya ambruk seketika menambah jumlah korban yang tewas hari ini.

Keramaian itu telah lenyap. Orang-orang yang menonton pertandingan itu telah bubar sejak terjadinya pembantaian yang dilakukan pemuda itu tadi. Bau anyir darah bercampur dengan puluhan bangkai manusia di tempat itu.

"Ha ha ha...! Siapa lagi yang akan mendapat giliran untuk mampus! Ha ha ha...! Siapa pun di antara kalian yang memiliki kejagoan akan mampus di tanganku! Akan mampus di tanganku...! Tunggulah giliran kalian nanti!" teriak pemuda itu berulang-ulang sambil meninggalkan tempat itu.


***


ENAM

Langkah kaki keduanya seperti enggan untuk berlalu dari situ. Cempaka Wangi berat untuk meninggalkan ayahanda serta ibunya yang tak ketahuan bagaimana nasibnya. Sedangkan kakak iparnya yang bernama Pinang Sari cemas memikirkan bagaimana nasib suaminya saat ini. Berkali-kali keduanya melirik ke belakang sambil terus berjalan ke depan.

"Ke mana tujuan kita sekarang adik Cempaka?" tanya Pinang Sari dengan suara bergetar.

"Entahlah. Yang ku tahu saat ini hanya ke Padepokan Laksa Dahana. Mudah-mudahan Eyang Tembayat Danang mampu mencarikan jalan keluar dari kesulitan ini."

"Ah... tak seharusnya kita meninggalkan mereka dalam keadaan kacau begitu. Bagaimana nasibnya Kakang Dharma di sana...."

"Tenanglah Kak Pinang. Kakang Dharma memiliki ilmu silat tinggi. Begitu juga dengan ayahanda. Mereka tak mudah dikalahkan musuh. Apalagi di sana banyak tokoh-tokoh persilatan yang sedang berkumpul. Tentu saat ini mereka telah berhasil menangkap pemuda gila itu," kata Cempaka Wangi menghibur kakak iparnya.

"Tapi hatiku cemas, Dik...."

Cempaka Wangi diam tak menjawab. Kalau ingin berkata jujur, sebenarnya pun dia merasakan hal yang sama dengan kakak iparnya itu. Hanya gadis satu ini bisa menahan diri. Sejak berguru di padepokan itu sifat kekanak-kanakan berangsur-angsur hilang dari dirinya. Pandangannya luas ke depan. Jika dia menimpali kecemasan hati kakaknya tentu suasana akan semakin runyam. Dan kesedihan serta kecemasan mereka akan semakin bertambah.

"Berdo'a saja mudah-mudahan mereka dilindungi oleh Yang Maha Kuasa..." sahut Cempaka Wangi akhirnya.

"Pemuda itu berilmu tinggi. Dalam beberapa gebrakan saja dia mampu menewaskan banyak lawan. Bagaimana mungkin ayahanda serta Kakang Dharma mampu menandinginya?"

"Ayahanda bukan orang sembarangan. Beliau memiliki ilmu silat tinggi. Banyak tokoh-tokoh persilatan yang segan pada beliau. Mudah-mudahan beliau mampu mengatasinya."

"Aku pun berharap begitu..." sahut Pinang Sari ragu.

Keduanya kembali berdiam diri sambil mempercepat langkah.

"Jauh lagi padepokan itu dari sini?"

"Kira-kira setengah hari perjalanan lagi. Apakah kakak masih kuat melanjutkan perjalanan?"

Pinang Sari mengangguk ragu. Cempaka Wangi tersenyum kecil. Saat ini hari telah menjelang senja. Cukup jauh juga mereka telah berjalan. Telah melewati pinggiran hutan dan mulai memasuki wilayah bebukitan. Paling tidak sebelum tengah malam mereka telah sampai di padepokan. Cempaka Wangi memang sengaja mengambil jalan memintas melewati daerah yang jarang dilalui orang. Dengan demikian mereka lebih cepat tiba di padepokan Laksa Dahana.

"Sebaiknya kita istirahat saja di sini..." kata Cempaka Wangi.

Pinang Sari memperhatikan di sekeliling tempat itu. Terasa gelap dan menyeramkan. Sebagai seorang gadis yang biasa dibesarkan di suasana kehidupan mewah dan dimanja, hal ini merupakan penderitaan batin baginya. Diliriknya sekilas Cempaka Wangi enak-enakan duduk di atas batang pohon yang roboh.

"Apakah kakak mau berdiri di situ saja Duduklah barang sejenak, dan setelah penatnya hilang baru kita melanjutkan perjalanan lagi."

Pinang Sari melangkah pelan dan duduk di sebelah adik iparnya itu.

"Lapar? Sayang kita tak sempat membawa bekal makanan tadi. Aku tak bisa menangkap kelinci hutan. Kalaupun bisa, tak bisa memakannya dengan dibakar saja," kata Cempaka Wangi mengeluh.

"Tak apa-apa. Perutku masih terasa kenyang...."

"Kalau begitu aku coba cari buah-buahan saja di sini. Siapa tahu ada sekedar untuk pengganjal perut," kata Cempaka Wangi seperti tak mempedulikan jawaban kakak iparnya itu.

"Cempaka!" panggil Pinang Sari bangkit ketika melihat gadis itu akan beranjak dari duduknya.

"Kenapa?"

"Tidak usah. Aku seram berada di tempat ini. Sebaiknya kau di sini saja."

"Tidak lapar?" Pinang Sari menggelengkan kepala.

"Ya... terserah," sahut Cempaka Wangi kembali duduk.

Namun baru saja mereka hendak melepaskan penat, tiba-tiba melesat tiga sosok bayangan persis satu tombak di hadapan mereka. Dengan gerak reflek Cempaka Wangi cepat bangkit sambil mencabut pedangnya.

Pinang Sari bergetar ketakutan dan wajahnya seketika pucat melihat tampang ketiga orang yang baru datang itu. Ketiganya hanya mengenakan cawat tanpa baju. Tubuh mereka kurus kerempeng dengan kepala botak. Yang satu sebelah matanya besar, di sebelahnya berkaki pincang, dan yang terakhir tangan kirinya pendek.

"Siapa kalian?!" bentak Cempaka Wangi garang.

"Amboi, galak betul kalian. Tapi menambah gelora hatiku yang semakin menggebu-gebu," sahut yang sebelah matanya besar sambil ketawa kecil.

"Bagianku yang di belakangnya saja, Karpala!" teriak yang berkaki pincang.

"Kalau aku pilih gadis yang galak ini!" sahut yang sebelah tangannya pendek.

"Sudah! Jangan serakah. Karena gadis ini cuma berdua maka nanti akan kita bagi rata. Aku duluan sebagai saudara tertua baru bagian kau Karpalu, dan terakhir untukmu Karpali," kata si botak yang sebelah matanya besar itu bergantian pada si kaki pincang dan si tangan kiri pendek yang masing-masing bernama Karpalu dan Karpali.

"Ya, itu baru adil!" sahut Karpalu.

"Huu, aku selalu saja harus mengalah," gerutu Karpali.

"Kurang ajar! Mulut kalian sangat kotor. Kalian kira sedang berhadapan dengan siapa saat ini?!" bentak Cempaka Wangi sambil menudingkan pedang pendeknya.

"Amboi, bukan main galaknya membuat jantungku seperti berhenti berdetak. Sebaiknya cepat ditangkap saja!" sahut Karpalu seenaknya.

"Ya, ya... lebih cepat lebih baik!" timpal Karpali sambil maju dua langkah.

"Jangan melangkah! Atau kalian akan mampus di ujung pedangku ini!" gertak Cempaka Wangi.

"Hi hi hi...! Jangan bermain-main dengan senjata tajam itu Cah Ayu. Nanti akan celaka sendiri!" sahut Karpala.

Selesai berkata begitu ketiganya langsung melompat menjangkau kedua gadis itu. Pinang Sari yang sejak tadi sudah ketakutan, bersembunyi di belakang Cempaka Wangi sambil memeluk punggungnya erat-erat.

"Hiyaaa...!"

Cempaka Wangi menyabetkan pedang ke arah ketiganya. Tapi bukan main terkejutnya gadis itu ketika dia cuma membabat angin.

Sebaliknya terdengar jerit ketakutan Pinang Sari yang telah berada dalam rangkulan Karpala.

"Cempaka! Auw, tolong...!"

"Keparat! Lepaskan kakakku atau kepala kalian yang botak itu akan menggelinding saat ini juga!" bentak Cempaka Wangi garang.

"He he he...! Kau lihat Karpali? Dia begitu galak membuat gairahku ingin meledak-ledak. Sebaiknya cepat-cepat kita tangkap dia," sahut Karpalu.

"Ya, ya... tunggu apa lagi?"

Keduanya kembali melompat dengan gerakan ringan. Tapi kali ini Cempaka Wangi bersiaga penuh. Begitu keduanya sedikit lagi mendekat buru-buru disabetkannya pedang pendek di tangan menghajar tubuh lawan.

"Yeaaa...!"
"Bet!"
"Plak! Tuk!"
"Ohh...!"


***


Bukan main hebatnya gerakan kedua orang bersaudara itu. Bagai sehelai kapas ditiup angin tubuh mereka melayang menghindari sabetan senjata gadis itu. Tangan kanan Karpalu cuma menepuk ringan tangan Cempaka Wangi yang memegang senjata. Akibatnya sungguh hebat. Terasa ada sentakan keras, pedang di tangan gadis itu terlepas. Belum lagi habis rasa terkejutnya tiba-tiba satu tutukan di pinggang membuat gadis itu jatuh lemas. Namun buru-buru Karpali meraihnya.

"Hi hi hi...! Gadis cantik molek, kau akan menjadi pengantin kami malam ini!" teriak Karpali kegirangan sambil memondong Cempaka Wangi mengikuti jejak saudara tertuanya yang baru saja beranjak meninggalkan tempat itu diikuti oleh Karpalu.

"Keparat! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" teriak Cempaka Wangi sambil memaki-maki.

Tapi mana mau mereka melepaskan mereka begitu saja. Walau sepanjang perjalanan kedua gadis itu berteriak-teriak, ketiganya cuma terbahak-bahak kegirangan.

Mereka baru berlari kira-kira seratus tombak ketika di suatu tempat melesat sesosok bayangan menghadang. Ketiganya merandek sambil menyipitkan mata melihat seorang pemuda tampan berwajah keras berdiri tegak. Di pundaknya terdapat seekor monyet kecil berbulu hitam.

"Siapa yang akan membereskan kedua monyet ini?" tanya Karpala berpaling ke arah Karpalu yang tak membawa beban.

"Kalian pergilah lebih dulu. Biar kuselesaikan kedua monyet ini. Tapi jangan habisi sisa ku!" sahut Karpalu.

"He he he..., beres adikku!" sahut Karpala sambil melanjutkan langkah.

Namun baru berjalan beberapa langkah, pemuda berambut gondrong dan berbaju kulit harimau itu berkata dengan nada dingin serta mengancam.

"Boleh saja meninggalkan tempat ini tapi tinggalkan kedua gadis itu atau kalian boleh gorok leher sendiri!"

"He he he...! Bocah kurang ajar. Tak tahukah sedang berhadapan dengan siapa kau saat ini?!" ejek Karpalu.

"Mungkin setelah mendengar nama kita yang termahsyur dia akan lari terkencing-kencing!" sahut Karpali.

"Bocah ketahuilah, kami yang bergelar Tiga Iblis Hutan Gundul. Nah, setelah mendengar nama itu masih ingin coba-cobakah kau berlalu di hadapanku?

Pergilah dan kami akan menganggap bahwa antara kita tak terjadi apa-apa," kata Karpala.

"Tiga Iblis Hutan Gundul, kali ini bukan cuma kepala kalian saja yang akan gundul bila kata kataku tak dituruti. Tapi juga nyawa kalian akan kubuat gundul!" desis pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara atau si Pendekar Pulau Neraka itu.

"Kurang ajar!" maki Karpalu sambil terus melesat menyerang pemuda itu.

"Hiyaaa...!
"Uts, ha...!"
"Plak!"

Dengan gerakan manis, tubuh Pendekar Pulau Neraka bergerak ke samping. Tangan kirinya menangkis pukulan lawan, sedang tangan kanannya menghajar ke arah dada. Bersamaan dengan itu kaki kanannya menyabet kedua kaki lawan yang pincang dan terlihat lemah.

Tapi Karpalu bukanlah tokoh sembarangan. Tubuhnya menotol dengan ringan dan terus mencelat keatas mengirim jotosan ke batok kepala lawan. Tak ada pilihan bagi Bayu selain menangkis. Terdengar Karpalu mengeluh kesakitan sambil memegangi tangannya yang kesemutan akibat benturan kedua tangan tadi.

"Sungguh hebat kau bocah. Tapi jangan kira aku tak mampu mematahkan batok kepalamu!" dengus Karpalu.

"Karpalu, apakah kau tak mampu mengurus bocah itu?!" teriak Karpala kesal.

"Bukankah sudah kukatakan pergilah kalian lebih dulu. Serahkan bocah ini padaku!" sahut Karpalu.

"Baiklah kalau begitu," jawab Karpala.

Bersama dengan saudara termudanya dia langsung meninggalkan tempat itu bersamaan dengan serangan kilat yang dilancarkan Karpalu ke arah Pendekar Pulau Neraka.

"Keparat! Kalian pikir bisa pergi begitu saja dari hadapanku? Huh, jangan harap itu bisa kalian lakukan!" dengus Bayu.

Begitu selesai berkata demikian tangan kanannya terkibas ke atas maka detik itu juga mendesing sinar keperakan dari Cakra Maut yang melesat ke arah keduanya.

"Sing!"
"Hei, Cakra Maut!?"

Ketiga orang itu seperti terkejut dan menghentikan gerakannya. Karpala dan Karpali dengan susah payah menghindari gerakan senjata maut itu.

"Bocah, ada hubungan apa kau dengan si Cakra Maut Eyang Gardika?!" bentak Karpala dengan wajah penuh selidik ketika baru saja terhindar dari maut.

"Beliau adalah guruku. Kenapa rupanya?"

Ketiganya saling pandang sejenak. Kemudian seperti dikomando Karpala dan Karpali meletakkan gadis itu dari bopongan.

"Hmm... dulu aku pernah dikalahkan gurumu dan berjanji tak akan mencampuri dan berhadapan dengannya ataupun murid beliau. Biarlah hari ini kami mengalah. Nah, kau bawalah kedua gadis ini!" lanjut Karpala.

Setelah berkata begitu ketiganya langsung meninggalkan tempat itu dengan gerakan cepat.

"Hei, tunggu...!" Bayu mencoba mencegah untuk meminta penjelasan, namun ketiganya telah lenyap dari pandangan.

Pemuda itu menggelengkan kepala sambil melangkah ke arah dua gadis itu dan membebaskan totokan mereka.


***


TUJUH

"Bayu! Oh, untung ada kau. Kalau tidak entah apa yang terjadi pada kami!" teriak Cempaka Wangi penuh kegembiraan.

"Kenapa kalian berdua di tempat ini?" tanya Bayu heran.

Kemudian Cempaka Wangi pun menceritakan apa yang telah terjadi di kadipaten sejak kepergian pemuda itu hingga kepergian mereka mengungsi karena hura-hara yang dilakukan pemuda bernama Nara Sudana. Bayu terkejut mendengar cerita itu.

"Hmm... tak kusangka dia melakukan kekejaman begitu. Apakah pihak kadipaten tak pernah bermusuhan sebelumnya?"

"Kami tak pernah mengenal pemuda itu, dan ayahanda sendiri tampaknya tak mengerti kenapa tiba-tiba dia datang dan kemudian mengamuk tanpa alasan. Pemuda itu tak pernah mengatakan atasan apa yang menyebabkan dia mengamuk di tempat kami," jelas Cempaka Wangi.

"Kalau demikian sebaiknya kau melanjutkan perjalanan ke padepokan biar aku ke kadipaten!" kata Bayu mengusulkan.

"Tapi...."

"Betul kisanak! Apakah tidak sebaiknya anda ikut, eh mengantarkan kami jika sudi ke padepokan?" potong Pinang Sari masih menunjukkan wajah ketakutan.

Bayu tak langsung menjawab. Sebaliknya mengalihkan pandang pada Cempaka Wangi.

"Kami takut hal-hal seperti tadi akan terulang kembali..." lanjut Pinang Sari.

"Hmm... aku khawatir terjadi apa-apa di kadipaten..." sahut Bayu ragu.

"Di sana berkumpul banyak tokoh-tokoh persilatan. Sedang ayahanda sendiri bukanlah orang sembarangan. Rasanya beliau dengan dibantu yang lainnya mampu menangkap pemuda itu," kata Cempaka Wangi seperti menimpali kata-kata kakak iparnya tadi.

Bayu bukannya tak mengerti maksud mereka. Setelah berpikir sejenak kemudian dia mengajukan suatu usul.

"Baiklah. Sebaiknya memang kuantar kalian ke tempat tujuan untuk memastikan keselamatan kalian. Tapi aku tak bisa berlama-lama karena secepat itu pula akan ke kadipaten. Dan...."

"Kenapa Bayu? Kau kelihatannya ragu?"

"Bisakah kau menggunakan ilmu lari cepat untuk menyingkat waktu?"

"Tentu saja. Hal itulah yang menjadi masalah sebab kakakku ini tak bisa berjalan cepat," jelas Cempaka Wangi.

"Tak jadi masalah. Mari kita berangkat!"

"Auw!"

Pinang Sari tersentak kaget ketika dengan tiba-tiba tubuhnya disambar Pendekar Pulau Neraka dan di bawa berlari dengan cepat. Sementara di sampingnya Cempaka Wangi mengikuti dengan wajah yang sesekali dipalingkan ke arah pemuda itu.

"Maaf, aku tak bermaksud kurang ajar. Tapi cuma dengan jalan ini perjalanan kita akan lebih cepat sampai," jelas Bayu.

Pinang Sari sendiri setelah mengetahui niat pemuda itu tak lagi memprotes dengan wajah kesalnya. Sebaliknya dia malah tersenyum sambil memejamkan mata membayangkan kengerian dibawa berlari yang bukan main cepatnya menurut perkiraannya. Padahal saat menggunakan ilmu lari itu Bayu tak seluruhnya mengeluarkan segenap kemampuannya karena dia mensejajarkannya dengan kemampuan Cempaka Wangi. Waktu bergerak pertama tadi terlihat gadis itu tertinggal jauh dan tak mampu menyusul. Untuk itulah dia terpaksa memperpendek jarak dengan memperlambat larinya hingga mereka tetap bisa seiring.

Sepanjang perjalanan pemuda itu sama sekali tak memperhatikan wajah Cempaka Wangi yang kesal dan cemburu. Entah kenapa, gadis itu tiba-tiba dijalari oleh suatu perasaan kurang senang melihat pemuda itu membopong kakak iparnya. Padahal dia mengerti dan tahu bahwa hal itu dilakukan Bayu untuk memastikan keselamatan mereka serta ketepatan waktunya tiba di kadipaten.

Tiba di padepokan Bayu cuma sempat berkenalan sesaat dengan pimpinannya yaitu Ki Tembayat Danang. Namun ketika dia bermaksud untuk meninggalkan tempat itu ternyata Cempaka Wangi beserta orang tua itu dan tiga orang murid utamanya pun ingin turut serta pula, Bayu tak bisa berkata apa-apa untuk mencegahnya. Saat itu pula mereka kembali meninggalkan padepokan setelah menitipkan Pinang Sari di sana.

"Tidak capek?" tanya Bayu pada gadis itu ketika dilihatnya keringat bercucuran di pipi yang putih kemerahan itu.

Cempaka Wangi melirik sekilas kemudian mengalihkan perhatian lurus-lurus ke depan.

"Kalau capek kau bisa bilang istirahat pada gurumu. Kalau aku tidak...."

"Tentu saja!" sahut Cempaka Wangi ketus.

"Heh! Kenapa rupanya?"

"Tanya saja pada dirimu sendiri! Kau kan laki-laki, dan biasanya laki-laki tak akan pernah capek apalagi setelah membopong seorang gadis cantik."

"Hmm... agaknya kau kurang senang karena aku membopong kakak iparmu itu?"

"Tidak! Aku tahu maksudmu baik."
"Lalu?"

Cempaka Wangi melirik kembali. Cuma sekilas, dan segera mengalihkan perhatian ke arah lain.

"Apakah itu menjadi ganjalan di hatimu? Kalau demikian aku minta maaf..."

"Tak perlu."
"Lho?!"

"Untuk apa kau minta maaf padaku? Minta maaflah pada kekasihmu yang kau lupakan sejenak!"

"Kekasihku?" Bayu bergumam sambil tersenyum kecil.

"Kenapa? Apakah kau ingin berdusta dengan mengatakan bahwa kau tak punya kekasih?"

"Tidak. Bukankah aku tak mengatakan apa-apa?!"

"Berarti apa yang kukatakan benar kan?!"

"Mungkin benar mungkin juga tidak. Tergantung apa yang kurasa di dalam hati. Kalau aku merasa bahwa perbuatanku tadi menyeleweng, tentu saja aku merasa bersalah. Tapi sungguh, aku sama sekali tak merasa bersalah dengan kekasihku karena aku tak merasa bahwa perbuatanku tadi menyeleweng."

"Huh, mana mungkin kau bisa merasakan hati wanita! Kalau saja kekasihmu melihat perbuatanmu tadi jelas dia akan sakit hati!"

"Kenapa mempersoalkan hal itu? Pembicaraan kita jadi ngelantur tak karuan. Apakah kau tidak cemas memikirkan keadaan ayahanda serta saudara-saudara di kadipaten?"

Mendengar kata-kata Bayu, Cempaka Wangi tak berkata apa-apa lagi. Dan kebetulan saat itu kakak seperguruannya berteriak memberitahu.

"Lihat! Terjadi pertarungan di depan sana!"


***


Semuanya langsung melihat ke arah yang ditunjuk. Dan Bayu serta Cempaka Wangi tersentak ketika mengetahui bahwa yang sedang bertarung adalah orang-orang yang pernah mereka kenal.

"Eyang, pemuda itulah yang mengacau di kadipaten!" tunjuk Cempaka Wangi pada seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang sedang bertarung dengan seorang laki-laki berwajah buruk berkepala botak yang dikenalnya sebagai salah seorang dari Tiga Iblis Hutan Gundul.

"Tiga Iblis Hutan Gundul!" desis Bayu.

Si Pendekar Pulau Neraka menggelengkan kepala seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dua orang dari Tiga Iblis Hutan Gundul telah terkapar jadi mayat dengan tubuh penuh sayatan pedang.

"Cempaka, apakah kau yakin pemuda ini yang membuat kekacauan di tempatmu?" tanya Eyang Tembayat Danang meyakinkan.

"Betul Eyang. Mana mungkin aku salah mengenali orang."

"Hmm... agaknya bencana itu kini sedang terulang kembali..." gumam orang tua itu sambil mengelus-elus jenggotnya.

"Bencana? Bencana apa yang eyang maksudkan?!" tanya Cempaka Wangi heran.

"Melihat dari gerakan ilmu silatnya aku teingat pada salah seorang tokoh misterius yang sulit dicari tandingannya saat itu. Tokoh itu seperti orang tak waras. Dia membunuh siapa saja yang tak disukainya seperti orang kerasukan setan. Tak seorang pun mampu menandinginya saat itu. Aku sendiri tak pernah melihat tokoh itu selama ini karena hanya mendengar ceritanya saja dari kakek guruku yang hidup sejaman dengannya," jelas Eyang Tembayat Danang.

"Siapa nama tokoh itu, Eyang?"

"Iblis Maut."

Cempaka Wangi bergidik jantungnya mendengar nama itu. Diliriknya sekilas orang tua itu. Tampak berkali-kali dia menghela nafas. Dengan hati-hati gadis itu kembali bertanya.

"Apakah Eyang mampu mengatasi pemuda itu?"

"Entahlah... aku tak yakin. Kakek guruku sendiri ilmunya tak nempil sedikit pun dengan si Iblis Maut. Dan melihat apa yang dilakukan pemuda itu sama persis dengan apa yang pernah diceritakan padaku dulu," sahut Eyang Tembayat Danang.

Diam-diam tanpa sadar Cempaka Wangi melirik ke arah Bayu. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Pikiran itu masuk begitu saja dalam benaknya. Jika gurunya saja kelihatan ragu berhadapan dengan pemuda itu bisa dibayangkan ketinggian ilmu silatnya. Dan bagaimana bila pemuda itu berhadapan dengan Bayu?

Lamunan gadis itu terusik ketika terdengar jeritan yang menyayat.

"Aaaa...!"

Terlihat lawan pemuda itu terlempar sejauh lima tombak dengan pinggang nyaris terbelah dua.

"Ha ha ha...! Gundul-gundul picisan. Kalian kira bisa menjagoi semua orang selagi aku masih hidup? Puih! Jangan harap itu bisa terbukti. Ayo, siapa lagi yang mau mencoba-coba Nara Sudana! Ke sini kalau ingin mampus?!" bentak pemuda itu ke arah rombongan Ki Tembayat Danang.

Orang tua itu maju mendekati. Ketika jarak mereka telah mencapai tiga tombak dia berhenti dan memperhatikan pemuda itu sekilas.

"Apakah kau juga ingin mampus orang tua busuk? Ayo, seranglah aku! Ingin kulihat kepandaianmu. Kalau ternyata kau hanya orang tua kejemur, kau boleh mampus saat ini juga!"

Sungguh gila pemuda itu! Tiba-tiba saja dia langsung menyabetkan ujung pedangnya ke leher Ki Tembayat Danang.

"Hiyaaa...!"

"Eyaaaaang...!" Cempaka Wangi menjerit seperti memperingatkan.

Tapi sebenarnya peringatan itu tak perlu bagi Ki Tembayat Danang. Sebagai orang tua yang kenyang pengalaman di rimba persilatan tentu saja dia cepat beraksi. Dengan cepat dia menundukkan kepala. Lalu tubuhnya bersalto ke depan ketika pedang pemuda itu dengan cepat berbalik dan menyabet pinggangnya.

"Bet!"
"Yeaaa...!"

Tapi kalau orang tua itu mengira bahwa serangan lawan hanya mengandalkan kehebatan ilmu pedangnya, dia sungguh keliru. Sebab dengan tiada disangka tubuh pemuda itu dengan cepat mengikuti ke mana saja tubuhnya bergerak sambil mengayunkan kaki menendang serta menjotoskan tinju pada jarak jangkauannya.

"Hei!"

Ki Tembayat Danang terkejut. Hampir saja selangkangannya kena ditendang pemuda itu kalau tubuhnya tak cepat berputar menjauh. Tapi saat itu juga tubuh si pemuda bernama Nara Sudana ikut berputar sambil mengayunkan pedang mengincar kelemahan gerak lawan.

"Yeaaa...!"
"Bet!"
"Cres!"
"Eyaaang!"

Cempaka Wangi serta ketiga kakak seperguruannya tersentak kaget melihat ujung pedang Nara Sudana merobek pinggang pimpinan padepokan Laksa Dahana itu. Serentak mereka memburu dengan maksud menolong. Tapi pada saat itu justru Nara Sudana sedang melancarkan serangan susulan.

"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
"Sing!"
"Trak!"
"Bet!"

Nara Sudana tersentak kaget ketika selarik sinar keperakan menahan laju pedangnya. Tapi pemuda itu tak kehilangan gerak refleknya saat satu bayangan berkelebat cepat menyerang dirinya. Pedang di tangan seketika disabetkan dengan kecepatan gila hingga terdengar suaranya yang berciutan. Namun demikian bayangan itu lebih cepat lagi bergerak di belakang sinar keperakan yang kembali menyerang Nara Sudana setelah tadi berkelit menghindari sabetan pedang lawan.

"Trak!"
"Bet!"

Kembali Nara Sudana merasa tangannya sedikit bergetar ketika pedangnya menghajar sinar keperakan yang melesat amat cepat. Tapi kembali pula dia masih mampu menguasai diri dan memapas sosok bayangan yang mencoba menghajarnya. Dan seperti tadi, bayangan itupun mampu berkelit lebih cepat dari kelebatan pedangnya. Kemudian bersalto beberapa kali ke belakang.

"Kau! Kau... aku ingat! Kau adalah orang yang berada di dekat kedai itu bukan?!" tunjuk Nara Sudana ketika melihat siapa sosok bayangan itu.

"Hmm... ingatanmu rupanya tajam juga. Betul, akulah orangnya."

"Siapa kau? Apakah kaupun ingin mampus seperti yang lainnya?"


***


DELAPAN

"Bukankah kau sudah tahu siapa aku karena pernah kukatakan sebelumnya? Nah, soal mampus siapa yang sudi? Tapi kalau kau mau, dengan senang hati aku akan mengantarkannya," sahut sosok bayangan itu yang tak lain dari si Pendekar Pulau Neraka.

"Hmm... melihat gerakanmu agaknya kau boleh juga menjadi lawanku. Tapi kau harus mampus karena aku akan menjagoi seluruh rimba persilatan! Tak boleh ada seorang pun yang menghalangi niatku, dan tak boleh ada yang jago selain diriku!" kata pemuda itu kembali dengan sikap pongah.

"Kisanak, tujuanmu adalah sama seperti apa yang dipikirkan oleh kebanyakan tokoh-tokoh persilatan. Hanya sayang, caramu kurang benar...."

"Peduli dengan ocehanmu!" potong Nara Sudana sambil menuding Bayu dengan ujung pedangnya.

"Kau telah membantai banyak orang seperti hewan...."

"Membantai? Ha ha ha...! Orang-orangnya si Dasa Griwa kubuat mampus semua! Beberapa perguruan silat kocar-kacir di tanganku, dan baru saja orang-orang sok jago di gedung mewah itu semua kuhabisi dengan pedangku ini! He he he...! Dan sekarang giliran kalian yang akan mampus dibantai pedangku!" teriak Nara Sudana seperti orang kesurupan.

"Apa?! Kau telah membunuh seluruh orang di kadipaten?!" teriak Cempaka Wangi seperti tak percaya.

"Kadipaten? Hi hi hi...! Semuanya mampus di tanganku. Bahkan Sang Adipati sendiri mampus! Semuanya mampus! Mampus...!"

"Biadab! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" teriak Cempaka Wangi geram. Gadis itu langsung mencabut pedang pendeknya dan menyerang Nara Sudana dengan kalap.

"Adik Cempaka, jangan!" teriak salah seorang kakak seperguruannya bermaksud mencegah.

"He he he...! Wanita celaka, apakah kaupun, ingin mampus?!"

"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Sing!"
"Trak!"

Dengan sekali hantam pedang pendek di tangan Cempaka Wangi terpental. Pedang besar di tangan Nara Sudana dengan cepat berbalik dan menyambar lehernya. Gadis itu tergagap dan tak mampu berkelit. Eyang Tembayat Danang beserta tiga muridnya yang lain menarik nafas dan mencoba bergerak menolong walaupun itu tak membantu menyelamatkan nyawa Cempaka Wangi yang berada di ujung tanduk. Pada saat itulah Cakra Maut di tangan Bayu mendesing cepat bagai kilat menyambar pedang lawan sehingga Cempaka Wangi terhindar dari maut.

"Yeaaa...!"

Nara Sudana kali ini tak mau didahului lawan. Begitu benturan kedua senjata itu terjadi, tubuhnya berkelebat cepat menyambar si Pendekar Pulau Neraka.

"Hiyaaa...!"
"Bet!"
"Uts!"

Tubuh Pendekar Pulau Neraka jungkir balik menghindari hujan sambaran pedang yang bergerak cepat bukan main serta mengandung tenaga dalam kuat. Sedikit saja dia salah menghindar niscaya nyawanya bisa ditebak kapan akan melayang.

"Eyang, biarkan pemuda ini bagianku. Jangan biarkan seorang pun membantu karena akan membahayakan keselamatan mereka sendiri!" teriak Bayu di sela-sela pertarungan ketika sekilas matanya melirik gadis itu bermaksud kembali menyerang lawannya.

"Cempaka, kau dengar kata-katanya? Nah, cobalah menahan sabar dan relakan semua yang terjadi..." ujar Eyang Tembayat Danang dengan suara lirih.

"Tapi Eyang, si keparat itu harus mampus di tanganku!"

"Percuma. Kau tak akan mampu melawannya, dan hanya mengantar nyawa secara percuma. Pemuda itu bukan manusia lagi, Cah Ayu. Menurut kakek guruku siapa pun yang mempelajari ilmu silat si Iblis Maut sama saja dia mendapat warisan Iblis. Hatinya tak berperasaan dan tak mengenal kasihan. Yang ada di benaknya hanya niat membunuh dan kesombongan," lanjut Eyang Tembayat Danang menyabarkan hati gadis itu yang gundah.

"Tapi... apakah kita akan membiarkan Pendekar Pulau Neraka seorang diri menghadapinya? Dia bisa celaka Eyang?"

"Bagi seorang pendekar seperti dirinya tenaga kita ini bukan membantu malah akan merepotkan dirinya sendiri. Percayalah, dia pasti mampu mengatasi amukan pemuda itu."

"Bagaimana Eyang begitu yakin dia mampu mengatasi pemuda itu?"

"Karena dia murid si Cakra Maut yang sama gilanya dengan si Iblis Maut. Tapi syukurlah ternyata beliau memiliki murid yang mampu mengharumkan namanya."

"Tapi kalau terjadi apa-apa dengan Ka... kang Bayu Eyang ?" tanya Cempaka Wangi sempat terbata-bata mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu.

"Kau tampak mengkhawatirkan keselamatan murid si Gardika itu? Apakah kalian punya hubungan dekat?" goda Eyang Tembayat Danang sambil tersenyum penuh arti.

"Ah, Eyang bisa saja. Apakah Eyang serta yang lain tak mencemaskan Pendekar Pulau Neraka?" elak Cempaka Wangi.

"Tapi kecemasan kami mungkin kalah banyak dibandingkan dengan kecemasanmu terhadap pemuda itu."

"Eyang bisa sa...."

Ucapan Cempaka Wangi terpotong ketika mendengar si Pendekar Pulau Neraka mengeluh tertahan dengan tubuh limbung terhuyung-huyung.

"Eyang!?"
"Kaaaakh...!"


***


Mereka tersentak kaget. Darah mengucur deras dari bahu Bayu yang robek memanjang hingga ke siku kiri. Di dada kirinya terlihat telapak tangan lawan yang berwarna hitam. Dari mulutnya menetes darah kental.

"Kakang Bayu...!"
"Kaaakh...!"

Cempaka Wangi bermaksud mendekati si Pendekar Pulau Neraka, tapi lengan Eyang Tembayat Danang lebih cepat lagi menarik tangannya. Sedangkan monyet kecil berbulu hitam yang berteriak nyaring melihat keadaan Bayu langsung melompat ke pundak pemuda itu yang masih tegak berdiri dengan sorot mata garang. Keadaan Nara Sudana sendiri tak jauh berbeda. Perutnya robek melintang disabet Cakra Maut yang tadi mendesing ke arahnya.

Ketika telapak tangannya berhasil menghantam dada Pendekar Pulau Neraka, kaki kanan Bayu menendang dadanya hingga terlihat beberapa tulang rusuknya patah melesak ke dalam. Daya tahan kedua orang itu memang sangat mengagumkan. Dalam keadaan terluka berat begitu kedudukan mereka masih tetap tegak berdiri. Bahkan Nara Sudana kembali berteriak mengguntur.

"Yeaaa...!"

Tubuhnya mencelat mengirim serangan pamungkas terhadap Pendekar Pulau Neraka.

"Menjauh Tiren..." perintah Bayu pada monyet kecil berbulu hitam yang hinggap di pundaknya dengan wajah sedih.

"Nguk!"
"Hiyaaa...!"

Begitu monyet itu melompat, saat itu pula tubuh Bayu Hanggara melesat memapaki serangan lawan.

"Bet!"
"Begkh!"
"Crab!"
"Akh!"

Kejadian itu begitu cepat sekali berlangsung. Terdengar keluhan pelan yang keluar dari mulut Nara Sudana. Keduanya menjejakkan kaki di tanah dalam posisi saling membelakangi pada jarak dua tombak. Suasana terasa hening.

"Eyang, Kakang Bayu..." sera Cempaka Wangi dengan wajah cemas.

"Tenanglah Nduk. Mudah-mudahan Gusti Allah berkenan melindunginya," sahut Eyang Tembayat Danang dengan hati cemas.

Sebagai tokoh persilatan tentu saja dia mestinya mampu melihat apa yang barusan terjadi. Tapi peristiwa itu cepat sekali berlangsung. Bahkan dia tak sempat mengamati lewat pandangan mata. Hanya penglihatan mata batin serta pendengarannya yang terlatih mengetahui hal itu. Suara desir angin pertanda satu serangan dapat dielakkan, dan suara pukulan serta benda tajam menembus kulit yang disusul jerit tertahan menandakan bahwa salah seorang diantara mereka menjadi korban. Dalam keadaan terluka dalam begitu satu kali lagi pukulan yang mengandung tenaga dalam dilancarkan sudah cukup membuat mereka tewas.

Kelima orang itu menunggu beberapa saat. Ketika keduanya kemudian ambruk, Cempaka Wangi berteriak sendu sambil memburu ke arah Pendekar Pulau Neraka.

"Kakang Bayu...!"

Pada saat yang bersamaan monyet kecil berbulu hitam yang tadi menyaksikan pertarungan dengan serius berteriak nyaring sambil melompat mendekati Bayu.

"Eyang, Kakang Bayu... apakah... apakah dia tewas...?" tanya Cempaka Wangi.

Tak terasa air mata gadis itu meleleh. Terasa keharuan yang menyesak dalam hatinya saat menunggu gurunya itu memeriksa keadaan Bayu. Ketika melihat orang tua itu tersenyum sambil menghela nafas lega, gadis itu seperti tak sabaran menanti jawabannya.

"Bagaimana keadaannya, Eyang?"

"Syukurlah Gusti Allah masih melindungi nyawanya. Namun detak jantung serta gerak urat nadinya lemah sekali. Dia terluka dalam yang cukup parah. Agaknya pemuda itu merupakan lawan tangguhnya kali ini, sehingga dia cukup menguras segenap kemampuan yang dimilikinya," jelas Eyang Tembayat Danang.

Begitu mendengar penjelasan gurunya itu tak terasa gadis itu tersenyum dengan wajah berseri sambil menghapus air matanya.

"Sebaiknya lekas kita bawa ke padepokan untuk diberikan pertolongan!" kata orang tua itu lagi.

"Baik, Eyang!" sahut Cempaka Wangi bersemangat.

Sebelum meninggalkan tempat itu Ki Tembayat Danang memerintahkan ketiga muridnya itu untuk mengubur semua mayat yang berada di tempat itu. Termasuk juga pemuda bernama Nara Sudana. Agak lama dia memandangi tubuh pemuda itu. Dari ubun-ubun sampai ke selangkangannya nyaris terbelah dua dihantam senjata Cakra Maut yang dilontarkan Pendekar Pulau Neraka itu. Kemudian di dada kirinya terdapat gambar lima buah jari yang membuat tulang rusuknya semakin melesak ke dalam. Orang tua itu mengerti bahwa pada saat-saat tertentu tadi Bayu berkelit ke kanan menghindari satu pukulan serta satu kelebatan pedang lawan dengan menghantamkan tangan kirinya ke dada Nara Sudana. Akibatnya sungguh fatal seperti yang terlihat kini!

Seminggu lamanya Bayu dirawat dengan telaten oleh Cempaka Wangi di Padepokan Laksa Dahana. Berangsur-angsur pula luka dalamnya mulai pulih walau tak secara keseluruhan. Dan di saat-saat itu pula keakraban diantara mereka mulai terlihat.

Diantara derai gelak canda keduanya, Tiren hadir menyelingi dengan seringai lucu dan teriakan nyaringnya yang mengagetkan. Pada hari ke delapan pemuda itu bermaksud mohon diri. Walau Eyang Tembayat Danang berusaha mencegah namun niat pemuda itu seperti tak bisa dipatahkan. Yang paling berat melepaskannya justru Cempaka Wangi. Hampir setengah harian dia mengurung diri terus di kamarnya ketika Bayu akan berpamitan.

"Kenapa? Kenapa harus pergi Kakang? Tak bisakah langkahmu sesaat terhenti? Untukku kakang, tak bisakah?" tanya Cempaka Wangi dengan suara lirih dari balik pintu.

"Sulit untuk dijawab, Paka. Tapi kakiku seperti tak hendak berhenti berpijak...."

"Katakanlah Kakang, adakah sesuatu yang bisa menahan langkah kakimu? Maka walau itu seberat apa pun niscaya akan kutempuh juga!"

Bayu menggeleng lemah. Isak tangis gadis itu yang pelan terasa menusuk jantungnya. Tapi apakah dia akan berhenti berjalan, sementara masih banyak orang yang membutuhkan tenaganya? Hidup ini kadang aneh karena Dharma Bakti justru suka atau tidak berbenturan dengan keinginan pribadi. Seperti keinginan, cinta, dan panggilan batin yang sulit dijelaskan dengan cara apa pun. Pemuda berambut gondrong itu melangkah pelan. Entah apa yang dirasanya saat ini. Cintakah dia pada Cempaka?

Gadis itu cantik dan bila dia tersenyum maka sepertinya cahaya bulan kalah gemerlap dalam lubuk hati setiap laki-laki normal sepertinya. Tapi kedua kaki dan niatnya tak kenal kompromi. Walau dari jauh Bayu menyadari bahwa gadis itu memanggil-manggil namanya pelan sambil menitikkan air mata pilu, pemuda itu tak pernah menoleh lagi ke belakang. Hanya kata hatinya yang berkali-kali mengucapkan kata sesal.

"Maafkan aku Cempaka... maaf...."

"Nguk!

Tiren mencowet pelan. Bayu tak tahu maksudnya kali ini!


SELESAI

Kisah selanjutnya IRAMA PENCABUT NYAWA

Warisan Iblis

CERITA SILAT SERIAL PENDEKAR PULAU NERAKA
Episode Warisan Iblis
Karya Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit Cintamedia, Jakarta



cersil Pendekar Pulau Neraka episode warisan iblis



SATU

Laut Utara terlihat tenang. Angin bertiup semilir menyapu sebuah kapal dagang yang sedang berlayar. Beberapa buah layar berkibar-kibar menambah suasana damai dan tentram. Di angkasa terlihat langit biru bersih dengan beberapa gerumbulan awan putih. Siang ini terasa betul-betul cerah. Di buritan kapal terlihat Juragan Sasmita Pura duduk pada sebuah kursi menikmati keindahan alam. Di sebelahnya terdapat istrinya yang cantik jelita beserta seorang pembantu wanita yang masih muda dan bertampang rupawan. Sementara di depannya terlihat seorang bocah laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun. Beliau adalah putra Juragan Sasmita Pura yang bernama Nara Sudana.

"Ayah, apakah bulan depan aku boleh ikut lagi?" tanya Nara Sudana memohon.

Juragan Sasmita Pura tersenyum pasti. "Boleh saja kau ikut dengan ayah agar kelak kau bisa meneruskan usaha perniagaan ayah ini."

"Tapi aku kurang suka berniaga, yah. Aku hanya senang melihat-lihat negeri lain."

"Untuk apa? Apakah kau ingin menjadi pengembara gembel?" goda Juragan Sasmita.

"Tentu tidak. Aku akan mengamalkan ilmu yang telah kupelajari selama ini," sahut Nara Sudana cepat.

Kembali Juragan Sasmita tersenyum. Putranya yang satu ini memang aneh sekali. Tidak seperti anak-anak lain sebayanya yang senang berkelahi, adu ketangkasan, serta bercita-cita menjadi orang kaya yang sangat dihormati. Dia malah begitu suka mempelajari kesusasteraan dan ingin mengembara ke negeri lain untuk menambah ilmu pengetahuannya.

"Apakah kau yakin bahwa niatmu itu bisa diterima orang lain?" tanya Juragan Sasmita kembali.

"Tentu saja! Kalau mereka bisa baca tulis, orang-orang tentu tidak akan bodoh, dan dengan begitu negara akan kuat."

"Tapi saat sekarang mereka tak memerlukan hal itu, Nak...."

"Kenapa tidak?!"

Juragan Sasmita menghela nafas. Kemudian katanya dengan suara pelan.

"Mereka perlu sesuatu untuk melindungi dirinya sendiri. Entah itu dengan membekali diri dengan kepandaian berkelahi, atau menjadi penguasa yang mampu menyewa jago-jago bayaran, lalu dengan sedikit harta untuk melengkapi kehidupan mereka...."

"Jadi menurut ayah orang hidup hanya untuk dirinya sendiri? Kemanakah rasa kemanusiaan mereka melihat orang-orang lain yang bodoh, menderita, dan tersiksa?"

"Nak, kau masih terlalu muda untuk mengetahui semuanya. Bila tiba waktunya kau tentu akan mengerti..." sahut ibunya.
Nara Sudana memalingkan wajah ke arah ibunya dengan rona bingung tak mengerti.

"Kenapa, bu? Apa bedanya saat ini dengan kelak? Apakah kini aku tak mampu mencerna segala sesuatu yang ada di depanku?"

"Tidak. Kau hanya belum cukup bekal untuk mencernanya dengan baik. Hatimu penuh dengan semangat menyala, tapi matamu masih samar-samar melihat ke arah lain...."

Mendengar kata-kata itu Nara Sudana semakin bingung saja. Dia mohon diri pada ayah ibunya, untuk meninggalkan tempat itu. Langkahnya pelan menapak tiap sudut kapal dagang milik ayahnya ini sambil terus memikirkan apa yang diucapkan orang tuanya tadi. Betulkah dia tak mengerti? Kenapa musti menunggu sampai dia lebih besar? Apakah pada usianya kini tak mampu mencerna segalanya yang terbentang di depan mata?

"Aku prihatin, Kang...."

Juragan Sasmita Pura melirik istrinya yang mendesah lirih sambil memperhatikan putra mereka satu-satunya.

"Tak perlu khawatir, Cendani. Dia akan mengerti sendiri kelak bila waktunya tiba...."

"Tapi kapan, Kang...?"

Juragan Sasmita tak langsung menjawab. Dia menghela nafas beberapa saat.

"Kenapa kau memikirkan hal itu?"

"Mengapa tidak? Dia putra kita satu-satunya. Kakang sudah berusia lanjut, dan kelak pastilah perniagaan ini turun padanya. Kalau mulai dari sekarang dia tak menyukai pekerjaan ini, bagaimana mungkin dia dapat melanjutkan usahamu?"

"Ya... aku pun sering memikirkan hal itu. Mungkin ada baiknya kita mengirim dia pada salah seorang guru...."

"Guru? Maksud kakang dia akan belajar tentang kesusasteraan lagi?"

"Tidak. Tapi aku bermaksud mengirimnya ke padepokan Laksa Dahana. Bukankah padepokan yang dipimpin Ki Tembayat Danang itu sangat terkenal? Murid-murid yang belajar di sana tidak melulu tentang ilmu silat, tapi juga soal adat dan agama."

"Itu usul yang bagus, Kang!" sahut Cendani, istrinya.

"Tapi kalau Den Nara tak berada di rumah, saya merasa sepi..." sahut Wulandari, pembantu wanita yang telah dianggap keluarga sendiri oleh keluarga Juragan Sasmita.

"Tapi kita bisa menjenguknya sebulan sekali, Wulan," jawab Cendani sambil tersenyum. Wulandari baru saja akan melanjutkan kata-katanya ketika terdengar seorang awak kapal berteriak nyaring.

"Semua bersiap! Ada bahaya mengancam...!"


***


Juragan Sasmita terkejut. Dari situ dia bisa melihat ke laut lepas. Sebuah kapal berukuran besar menuju ke arah mereka. Pada benderanya yang berwarna merah terlihat gambar tengkorak.

"Perompak laut!" desisnya.

"Juragan, silahkan masuk ke dalam. Kami akan menahan mereka!" kata Kebo Lanang, kepala pasukan pengawal kapal ini.

"Apakah tak ada jalan lain berdamai dengan mereka?"

"Maaf juragan, mereka adalah Perompak Tengkorak Darah yang terkenal kejam. Mereka tak pernah kenal damai sebelum menghabisi korbannya."

"Ohh..." Juragan Sasmita mengeluh pelan.
"Anakku! Anakku...!" teriak Cendani cemas.

"Tenanglah, Nyi. Nara Sudana sedang dikawal ke sini!" sahut Kebo Lanang menjelaskan.

Juragan Sasmita beserta keluarganya segera bersembunyi di dalam suatu ruangan kapal itu. Sementara Perompak Tengkorak Darah terus mendekat ke arah mereka.

"Gulung layar cepat! Dan kayuh sekuat tenaga kalian untuk menghindari mereka!" teriak Kebo Lanang memerintahkan awak kapalnya.

"Ki Kebo Lanang, sebagian awak kapal telah bersiap menghadapi mereka," lapor Aradea, tangan kanan Kebo Lanang.

"Bagus! Bersiaplah kalian, dan lawan mereka sampai titik darah penghabisan bila tak ada kesempatan lagi bagi kita untuk menghindar dari mereka."

"Baik, Ki!"

Sementara itu kapal Perompak Tengkorak Darah telah semakin dekat dengan mereka. Puluhan perompak-perompak di dalamnya bersorak-sorai penuh ancaman membuat sebagian awak kapal dagang itu bergetar hati mereka. Apalagi ketika belasan orang perompak-perompak itu siap bergelayutan pada seutas tambang yang diikatkan di tiang kapal untuk menyerang mereka dengan senjata terhunus.

"Seraaang...!" teriak salah seorang perompak.

"Yeaaa!"

Begitu mendengar teriakan itu, belasan perompak yang telah siap bergelayutan langsung melesat ke kapal dagang itu. Dan yang lainnya menyusul satu persatu.

"Seraaang...!" teriak Kebo Lanang memerintahkan anak buahnya.

Maka tak pelak lagi. Siang yang damai itu dipecahkan oleh teriakan-teriakan menggelegar yang kemudian disusul oleh jerit kesakitan dan kematian. Korban mulai berjatuhan.

"Hantam mereka...!" teriak Aradea sambil menghunuskan pedangnya ke sana ke mari.

Puluhan orang awak kapal dagang itu berjuang mati-matian melawan belasan Perompak Tengkorak Darah yang tangkas dan trampil bertarung di atas kapal. Perlahan-lahan terlihat mereka mulai terdesak hebat. Apalagi ketika kapal perompak itu telah berhimpitan, maka bagai tanggul jebol, sisa-sisa perompak yang tadi masih berada di kapalnya langsung melompat ke kapal dagang itu dan menghabisi seluruh awak kapal.

"Bedebah!" maki Kebo Lanang geram melihat anak buahnya banyak yang tewas.

Laki-laki bertubuh besar itu mengamuk sejadi-jadinya. Pedang di tangannya telah banyak memakan korban. Tak percuma dia dipercaya sebagai kepala keamanan kapal ini. Ilmu silatnya lumayan hebat, dan mulai terlihat beberapa orang perompak agak jerih menghadapinya. Namun saat itu juga muncul sosok bayangan menyerangnya.

"Hiyaaa...!"

Kebo Lanang cepat berbalik dan menangkis serangan lawan.

"Trak!"
"Ukh!"

"Hmm... cuma segitukah kemampuan orang andalan di kapal ini?" dengus sosok bayangan yang baru muncul.

Kebo Lanang yang merasakan tangannya linu menangkis senjata lawan berupa golok besar itu, menggeram garang. Sepasang matanya menyipit. Orang ini masih terhitung berusia muda, namun wajahnya memancarkan kebengisan. Apalagi dengan adanya codet yang melintang di pipi kanannya.

"Siapa kau?!"

"Aku tangan kanan Dasa Griwa, pemimpin Perompak Tengkorak Darah. Namaku Rintang Kala."

"Hmm... kalian terlalu merendahkan ku dengan mengirim kau. Kenapa tidak sekalian si Dasa Griwa sendiri yang menghadapiku!?"

"Ha ha ha...! Besar mulutmu, keparat!" sahut satu suara.

Kebo Lanang langsung berbalik. Seorang dengan sosok tinggi besar berdiri gagah di tepi kapal. Wajahnya penuh brewok dan kaki kirinya yang buntung diganti sebuah besi yang ujungnya runcing. Tangan kanannya menggenggam sebuah golok besar.

"Kaukah yang bernama Dasa Griwa?"

"Ha ha ha...!" Aku berbaik hati menyambut tantanganmu meskipun kau harus mampus!" dengus Dasa Griwa.

Selesai berkata begitu tubuhnya dengan cepat melesat ke arah Kebo Lanang sambil mengirim suatu serangan kilat.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaaa...!"

Kebo Lanang langsung bersiaga. Sambil menundukkan kepala, pedangnya menyambar perut lawan. Namun Dasa Griwa agaknya telah memperhitungkan hal itu. Golok besarnya langsung memapaki.

"Trak! Duk!"
"Ukh!"

Kebo Lanang menjerit kecil. Gerakan lawan sungguh cepat dan sama sekali tak diduganya. Kaki kanan Dasa Griwa menghantam perutnya. Kebo Lanang terhuyung-huyung beberapa tindak.

"Mampus!" bentak Dasa Griwa sambil mengirim serangan susulan.
"Trak! Cras!"
"Aaa...!"

Kebo Lanang menjerit kesakitan. Dia cuma sempat menangkis sekali karena selanjutnya kaki kiri Dasa Griwa langsung menyambar dadanya. Pemimpin pasukan pengawal di kapal dagang itu tewas beberapa saat kemudian setelah menggelepar-gelepar kesakitan.

"Keparat! Kalian harus membayar kematiannya!" bentak Aradea begitu melihat kematian Kebo Lanang. Tanpa berpikir panjang pemuda itu langsung menyerang Dasa Griwa dengan pedang terhunus.

"Hiyaaa....!"

Namun detik itu juga Rintang Kala, yang merupakan tangan kanan pemimpin Perompak Tengkorak Darah itu bergerak cepat menghadang.

"Hus, segala ikan teri hendak berlagak di hadapan sekumpulan hiu! Kaulah yang mampus lebih dulu!"

"Trak!"
"Bet!"

Aradea tersentak. Ketika senjata mereka beradu, terasa tangannya linu dan kesemutan. Belum lagi dia sempat menyadari bahwa tenaga dalam lawan lebih tinggi setingkat, tahu-tahu Rintang Kala dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa menghunuskan ujung golok besarnya ke tenggorokan lawan. Masih bagus Aradea mampu membuang dirinya ke belakang.

"Yeaaaa...!"
"Trak! Duk!"
"Akh!"

Serangan Rintang Kala selanjutnya sulit dielakkan. Walaupun Aradea berhasil menangkis sabetan senjata lawan, namun tak urung kaki Rintang Kala berhasil menghantam pinggangnya dengan telak. Tubuh Aradea terpental melewati tepi kapal dan tercebur ke luar sambil menjerit keras.

"Bagus Rintang Kala!" puji Dasa Griwa sambil terkekeh-kekeh.

"Terima kasih ketua...."

"Tumpas mereka semua, dan sikat barang-barang berharga yang ada?!" perintah Dasa Griwa selanjutnya dengan garang.

"Baik, ketua!" sahut Rintang Kala tangkas.


***


Setelah kehilangan pemimpinnya, sekejap saja seluruh awak kapal dapat mereka tumpas. Beberapa orang yang ciut nyalinya menyabung nyawa dengan melompat dari kapal dan berenang di sepanjang lautan luas.

"Ha ha ha...! Biarkan mereka, tak usah dikejar. Orang-orang itu akan mampus dengan sendirinya. Cepat angkut barang barang ini!" teriak Dasa Griwa memberi perintah. Setelah itu dia sendiri memeriksa seluruh kapal itu. Dasa Griwa menemukan sebuah ruangan di dalam kapal itu. Dengan serta merta ditendangnya pintu. Terdengar pekikan kaget wanita dari dalam. Wajah pemimpin Perompak Tengkorak Darah itu menyeringai dengan hidung kembang kempis. Buru-buru dia melangkah masuk. Namun saat itu juga terdengar teriakan nyaring yang disusul dua sosok bayangan langsung menyerangnya.

"Hiyaaaa...!"
"Uts!"
"Plak! Duk!"
"Aaua...!"

Tak percuma Dasa Griwa sebagai pemimpin perompak yang paling ditakuti di seantero lautan utara ini kalau dia berkepandaian rendah. Walau sedikit kaget, namun dengan tangkas dia menangkis serangan itu. Tangan kirinya menangkap pergelangan lawan, sementara kaki kanannya menendang ke arah perut lawan yang satu lagi setelah menundukkan kepala menghindari sabetan pedang. Kedua sosok bayangan itu menjerit ketika tubuh mereka melayang bagai sepotong ranting dilempar.

"Ha ha ha...! Tikus-tikus geladak mau coba-coba terhadap Dasa Griwa, mampuslah bagian kalian!" dengus pemimpin Perompak Tengkorak Darah itu sambil terbahak dan terus melangkah ke dalam. Dasa Griwa terkejut barang sejenak. Namun dia cepat menyeringai lebar manakala melihat Juragan Sasmita Pura sedang mendekap istri dan putranya. Sementara pembantu wanita mereka meringkuk di dekat kakinya. Wajah-wajah mereka pucat ketakutan.

"Hua ha ha...! Mimpi apa aku semalam! Sekali tepuk dua kenikmatan tertangkap. Ke sini, datanglah pada Dasa Griwa, kalian berdua pasti akan mendapat kenikmatan luar biasa."

Dasa Griwa melangkah ke dekat mereka. Tangannya bermaksud menjamah tubuh Cendani. Dalam keadaan begitu tiba-tiba saja keberanian Juragan Sasmita timbul.

"Plak!"

"Enyah kau dari tempatku ini!" bentaknya sambil menepis tangan kasar Dasa Griwa.

Tapi wajahnya sedikit meringis saat tangannya terasa pedih akibat benturan dengan tangan Dasa Griwa. Sebaliknya pemimpin Perompak Tengkorak Darah itu malah tertawa semakin lebar.

"Ha ha ha...! Kaukah pemilik seluruh barang berharga di kapal ini? Nah, relakanlah sebab sekarang semuanya menjadi milikku. Termasuk dua wanita cantik ini!"

"Keparat! Langkahi mayatku dulu baru kau boleh menerima bangkai mereka!" maki Juragan Sasmita geram.

"Ha ha ha...! Apa susahnya melangkahi mayatmu?"

Setelah berkata begitu Dasa Griwa menyorongkan kepalan tangan kanannya ke dada Juragan Sasmita.

"Hup!"
"Duk!"
"Ukh!"

"Kakang...!" jerit Cendani ketika melihat suaminya terlempar membentur dinding akibat tonjokan tinju kiri pimpinan Perompak Tengkorak Darah.

Pada saat tinju kanan Dasa Griwa melayang, Juragan Sasmita mencoba menangkis. Namun dengan tiba-tiba tinju kiri lawan menghantam perutnya dengan tenaga kuat. Akibatnya Juragan Sasmita menjerit keras. Dari mulutnya muncrat darah segar.

"Hmm... itulah upahnya kalau membandel. Ke sini kau!" bentak Dasa Griwa garang sambil me-narik lengan Cendani.

"Lepaskan! Lepaskan aku keparat!"

"Huh, kau kira ada yang bisa menghalangi keinginan Dasa Griwa?!" Sambil menyeringai lebar.

Dara Griwa menghempaskan tubuh Cendani ke atas ranjang yang terdapat dalam ruangan itu. Kemudian dengan gemas ditindihnya. tubuh itu sambil mencabik-cabik pakaiannya dengan kasar.
Cendani berteriak-teriak sambil berusaha melepaskan diri. Namun tubuh Dasa Griwa yang besar dan kuat itu tak mampu beringsut dari atas tubuhnya.

"Keparat! Bajingan laknat, lepaskan Lepaskaaan...!"

"Lepaskan ibuku! Lepaskan ibuku...!" bentak Nara Sudana yang sejak tadi cuma terpaku ketakutan.

Bocah laki-laki berusia sepuluh tahun itu seperti tersentak melihat keadaan itu. Rasa takutnya tiba-tiba saja sirna, dan dengan beraninya dia mengambil sepotong kayu lalu menghajar punggung pimpinan Perompak Tengkorak Darah.

"Prak!"

Nara Sudana terhenyak. Kayu di tangannya patah jadi dua. Tiba-tiba saja dilihatnya Dasa Griwa berbalik dan meradang ke arahnya dengan wajah geram.

"Bocah keparat! Rupanya kau ingin mampus menyusul bapak moyangmu!"

"Plak!"
"Aaaa...!"

Tanpa rasa perikemanusiaan sedikit pun Dasa Griwa melayangkan kaki ke tubuh Nara Sudana. Bocah itu memekik nyaring. Tubuhnya terpental menghajar dinding kayu ruangan yang langsung jebol.

"Anakku! Anakku...!" teriak Cendani berusaha bangkit.

"He he he...! Biarkan anakmu mampus. Sebaiknya kau bersenang-senang dulu denganku!"

Dasa Griwa langsung menangkap pergelangan lengan Cendani dan kembali menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Wanita itu berteriak-teriak histeris sambil berusaha berontak sekuat tenaga. Mulanya Dasa Griwa masih belum panik, namun ketika Wulandari yang juga tiba-tiba bangkit keberaniannya dan memukul-mukul tubuh pimpinan Perampok Tengkorak Darah itu, Dasa Griwa mulai naik pitam. Hampir saja dia bermaksud menghantam pembantu wanita keluarga Juragan Sasmita itu. Namun begitu melihat wajahnya yang rupawan, Dasa Griwa menyeringai lebar.

"Ha ha ha...! Agaknya kau tak sabaran. Baiklah, kau tunggu giliran sementara kami bersenang-senang lebih dulu."

"Baji...!"
"Tuk!"

Wulandari tak sempat meneruskan makiannya ketika dengan tiba-tiba urat gerak dan suaranya ditotok Dasa Griwa. Tubuhnya langsung ambruk bagai tak bertulang. Bersamaan dengan itu Dasa Griwa kembali meneruskan nafsu setannya terhadap istri Juragan Sasmita yang berusaha melepaskan diri darinya. Namun lama-kelamaan perlawanan wanita itu melemah seiring dengus nafas Dasa Griwa yang membara. Air mata wanita itu terus meleleh pilu. Batinnya menjerit keras.

Dasa Griwa memang kepala perompak yang tak pernah mengenal rasa kasihan. Setelah selesai memboyong seluruh barang berharga di kapal itu, dia pun kemudian membakar dan menghabisi segala yang ada di kapal itu, termasuk penghuninya. Gema tawanya melingkupi lautan yang kembali bergelombang tenang. Kapal berbendera tengkorak itu menjauh meninggalkan kepulan asap hitam dari kapal dagang yang perlahan-lahan tenggelam.


***


DUA

Awan di langit tampak mendung, dan angin bertiup mulai kencang. Siang yang terik itu dengan perlahan-lahan berubah kelabu, dan gelombang laut mulai menggila. Sementara itu di tengah lautan terlihat sepotong kayu yang dipermainkan ombak sejak tadi. Dipeluk oleh seorang bocah berusia sepuluh tahun yang tak lain dari Nara Sudana. Agaknya bocah itu mampu bertahan hidup di tengah lautan yang luasnya tak terkira itu.

Ketika tubuhnya dihantam Dasa Griwa, dia langsung terhempas ke dalam laut. Tapi bocah yang tabah itu tak kehilangan semangat. Melihat sepotong kayu yang terapung di dekatnya. dia berusaha meraih dan mencoba kembali ke kapal. Dasar bocah tak mampu berenang, malah dia terbawa arus angin yang menjauhi kapal itu. Bocah itu cuma bisa berteriak-teriak dengan suara parau memanggil ayah dan ibunya.

"Ayah... ibu... bagaimana nasib kalian? Ohh.... Tuhan, berilah kekuatan padaku untuk terus bertahan hidup," sebutnya berulang-ulang.

Sekujur kulit Nara Sudana mulai membiru kedinginan, dan pecah-pecah diterpa panas matahari siang yang panas. Begitu juga dengan wajahnya yang pucat. Bibirnya berdarah dan kulitnya mengelupas. Tapi tekad bocah itu kuat sekali. Dengan sekuat tenaga dipeluknya potongan kayu itu erat-erat seolah menyatu dengan tubuhnya.

"Ya Tuhan, lindungilah aku dari keganasan alam ini!" do'anya ketika melihat ombak yang mulai menggunung menghempaskannya berkali-kali.

Bocah itu tak henti-hentinya berdo'a ketika kesadarannya mulai hilang saat kepalanya terasa sakit luar biasa. Hempasan-hempasan itu betul-betul tak tertandingi oleh semangat hidupnya yang menyala-nyala.

"Ohh... aku tak ingin mati! Aku musti hidup! Aku musti hidup! Akan kucari mereka dan kuhabisi satu persatu. Akan... ohh...."

Nara Sudana tak mampu lagi meneruskan kata-katanya. Kesadarannya hilang, dan daya tahan tubuhnya telah betul-betul lemah. Tubuh kecil itu dipermainkan ombak yang menggila satu harian itu tanpa ketahuan hidup atau mati. Menjelang subuh dini hari barulah laut kembali tenang. Sang Surya seperti tersenyum di ufuk timur yang memerah.

Rasanya hanya kebesaran Yang Maha Pencipta saja yang menyebabkan tubuh bocah laki-laki itu terdampar di sebuah pulau terpencil di tengah lautan yang maha luas. Alamnya indah dan banyak terdapat bukit-bukit kecil serta pepohonan walaupun luasnya tak seberapa. Ketika perlahan-lahan matahari beranjak siang, Nara Sudana menggeliat sambil merintih pelan.

"Ohh...."

Bocah itu merasakan tubuhnya sakit bukan kepalang. Kepalanya berdenyut-denyut tak karuan. Perlahan dia merayap menjauhi pantai yang masih menggenangi sebagian tubuhnya.

"Di manakah aku ini? Tempat macam apa ini? Apakah aku telah berada di sorga...?" tanyanya dengan suara pelan.

Bocah itu berusaha bangkit. Namun baru saja dia tegak, tubuhnya kembali ambruk.

"Ohh... aku harus kuat! Aku harus kuat, dan tak boleh lemah. Aku harus terus hidup untuk membalas sakit hati dan dendam keluargaku! Aku harus hidup...!" katanya membulatkan tekad.

Setelah menghirup udara sepenuhnya, bocah itu kembali berusaha bangkit dengan mengerahkan segenap sisa tenaga yang dimilikinya. Namun baru saja melangkah dua tindak, dia kembali ambruk. Agaknya semangat hidup bocah itu betul betul luar biasa. Walaupun terus jatuh bangun, dia tetap memaksakan diri berjalan memasuki pulau itu.

"Ohh... tempat apakah itu? Agaknya sebuah goa. Barangkali aku bisa berlindung di situ."

Begitu melihat sebuah celah di antara bebukitan kecil, bocah itu bertambah semangat. Perlahan-lahan disibakkannya semak-semak yang menghalangi. Di dalam goa itu suasananya agak gelap dan pengap. Namun ketika dia terus melangkah ke dalam, ruangannya bertambah luas dan cahaya yang datang dari celah-celah langit goa menyebabkan sinar matahari menerangi. Di sudut ruangan itu terdapat sebuah kolam kecil yang penuh berisi air yang jernih berasal dari celah dinding goa. Air itu tak mengumpul di kolam itu semua, sebab pada celah yang lain terlihat air mengalir ke luar entah ke mana. Melihat air yang jernih itu Nara Sudana jadi mulai merasakan tenggorokannya yang kering dan terbakar sejak tadi. Buru-buru dia menciduk air itu dan merasakan tubuhnya sedikit lebih segar.

"Ahh... segar sekali air ini. Tapi perutku lapar. Di mana aku bisa memperoleh makanan di sini?" tanya bocah itu sambil memutar pandangan ke seluruh ruangan goa itu. Nara Sudana tersentak kaget ketika matanya melihat tumpukan tulang belulang manusia tak jauh dari kolam itu. Setelah diamati, ternyata tulang itu milik satu orang yang telah berusia lama.

"Ohh... siapakah orang yang malang ini? Apakah dia orang pertama yang datang ke pulau ini dan tak dapat keluar? Kalau demikian, apakah aku musti terkurung selamanya di sini sampai tubuhku tinggal tulang belulang?" keluh batin Nara Sudana.

Diamatinya sekali lagi tulang belulang yang telah rapuh itu. Tengkorak di atas sebuah batu datar yang agak mencuat sekitar satu jengkal dari permukaan tanah. Melihat pada posisi tulang paha dan kakinya bocah yang berotak cerdas itu cepat memperkirakan bahwa sebelum tulang belulang itu run-tuh tentu sosok tubuh ini sedang dalam keadaan duduk bersila. Kalau demikian....

"Pfuh! Pfuh!"

Bocah itu tiba-tiba berpikir sesuatu dan membersihkan debu tebal yang menyelimuti batu datar tempat tulang-belulang itu terkumpul. Ternyata dugaanya benar. Pada batu itu tertulis sebuah nama yang dipahat sebesar jari telunjuk, dan beberapa baris kata.

Di sini aku tinggal bersama dendam yang tak terbalas karena racun keparat yang menggerogoti tubuhku. Walau dia sudah mampus, tapi dendam ku kepada semua orang sedalam lautan. Barang siapa yang menemukan tempatku ini, kuwariskan segala kepandaianku untuk memusnahkan kesombongan orang-orang yang berkepandaian tinggi.

tertanda
Iblis Maut


Nara Sudana terhenyak. Dadanya berdebar keras. Mana kepandaian yang akan diturunkan orang ini? Tanyanya di hati.

Membaca kata-katanya yang mengandung keyakinan, pastilah dia tokoh persilatan berilmu tinggi. Bocah itu memutar pandang ke sekeliling.

"Hei!"

Dia tersentak girang ketika melihat dan menyadari bahwa seluruh dinding goa dalam ruangan ini penuh dengan gambar-gambar yang kelihatannya dipahat oleh jari. Diamat-amatinya barang beberapa saat, dan kembali wajah bocah itu semburat cerah.

"Hmm... melihat gambar-gambar ini, kelihatannya seperti orang yang sedang menari? Tapi mana mungkin Eyang Iblis Maut menciptakan tarian untuk membalaskan dendamnya. Aku yakin mungkin gerakan-gerakan ini adalah bagian dari ilmu silat yang dimilikinya," duga Nara Sudana setengah yakin.

Tanpa sadar dia mengikuti gerakan gerakan itu satu persatu secara acak tanpa mempedulikan keadaan tubuhnya yang lemah. Wajahnya tampak segar penuh rona kehidupan sekaligus dendam dan kebencian.

"Tunggulah pembalasan dariku keparat-keparat jahanam!" dengus Nara Sudana sambil menyipitkan mata dan mengerutkan wajah sedemikian rupa.

Agaknya dendam di hati bocah itu yang membara membuatnya mampu mengalahkan keadaan tubuhnya yang tadi lemah tak berdaya. Keyakinan untuk hidup berkobar-kobar dalam hatinya. Dan tanpa mengenal lelah dia terus mengikuti gerakan-gerakan yang tergurat di dinding goa dari hari berganti minggu, berganti bulan, dan tahun.

"Yeaaaaa...!"


***


Sementara itu tak terasa waktu telah berlalu tujuh tahun sejak peristiwa yang menimpa keluarga Juragan Sasmita. Selama itu pula Perompak Tengkorak Darah terus malang-melintang tanpa ada yang mampu menghalanginya. Banyak sudah tentara-tentara kerajaan yang dikirim untuk menghabisi mereka, namun semuanya tak ada yang pernah kembali lagi. Raja bukan main prihatin melihat keadaan itu. Soalnya pelayaran di laut itu sangat penting bagi perdagangan dengan negeri lain.

Dengan adanya Perompak Tengkorak Darah yang tak kenal kompromi dan merampas serta membunuh setiap kapal-kapal yang lewat di laut itu, mau tak mau perdagangan antar pulau dan negeri yang melewati laut itu tak bisa berjalan lancar. Bahkan lambat laut terasa sepi. Dasa Griwa yang menjadi ketua Perompak Tengkorak Darah semakin besar kepala saja. Bahkan karena gilanya akan kekuasaan dia bermaksud menyerang kerajaan dan menjadi raja baik di lautan maupun di darat.

"Ha ha ha...! Bagaimana pendapat kalian? Bukankah lebih pantas kalau aku yang menduduki jabatan raja itu?" tanyanya pada seluruh anggota Perompak Tengkorak Darah yang saat itu sedang merayakan kemenangan mereka setelah menumpas kapal perang kerajaan.

"Bagus ketua! Anda sangat cocok sekali menjadi raja!" sahut salah seorang anak buahnya.

"Betul! Dasa Griwa lebih pantas menjadi raja!"

"Raja yang sekarang lemah dan prajurit prajuritnya seperti penari-penari kerajaan yang gemulai!"

"Dasa Griwa penguasa laut dan daratan!"

"Hidup Dasa Griwa!"

"Hiduuup!"

Sorak-sorai gegap gempita langsung menyambut niat Dasa Griwa itu. Rintang Kala yang menjadi tangan kanan Dasa Griwa langsung naik di atas salah sebuah tiang. Sambil berdiri tegak, dia berucap lantang.

"Dengarkan semua! Seminggu dari sekarang kita akan langsung menyerang wilayah kerajaan. Kekuatan kita cukup dibandingkan dengan pengawal-pengawal kerajaan. Kita harus menang, dan nama Perompak Tengkorak Darah akan berkibar ke seantero negeri. Siapkan diri kalian mulai sekarang!!"

"Akuuuur!"

"Kita musnahkan orang-orang di kota raja!"

"Kita rampas semua barang berharga milik mereka!"

"Hidup Tengkorak Darah!"
"Hidup ketua Dasa Griwa!"
"Hiduuup!"

Kembali terdengar sahutan bersemangat dari seluruh anggota Perompak Tengkorak Darah. Rintang Kala tersenyum sinis. Terbayang dalam benaknya nama Tengkorak Darah akan ditakuti oleh Seantero golongan di negeri ini, dan akan menjadi gerombolan yang paling berkuasa pada jaman ini. Namun ketika semua kembali tenggelam dalam pesta pora itu sekonyong-konyong terdengar bentakan nyaring.

"Dasa Griwa tak akan pernah jadi raja, karena dia akan mampus seperti bangkai di sampah!"

Tentu saja semua yang berada di tempat itu menjadi kaget. Lebih-lebih Dasa Griwa. Wajahnya berkerut dan sepasang matanya melotot garang. Dia langsung bangkit dari singgasananya. Terlihat di antara kumpulan anak buahnya yang tadi sedang duduk bersila, berdiri seorang pemuda berkulit coklat dan bertubuh kekar. Rambutnya gondrong dan kusut masai seperti tak pernah diurus. Wajahnya tampak keras, dan sorot matanya berkilat tajam penuh kebencian.

"Siapa kau, dan dari mana bisa masuk ke tempat ini?! Aku tak mengenalmu sebelumnya?!" bentak Dasa Griwa garang.

Salah seorang anggota perompak Tengkorak Darah yang duduk tak jauh dari pemuda itu tiba-tiba saja berlutut dan memohon ampun.

"Ampunkan hamba, Paduka Dasa Griwa. Hamba tak tahu siapa pemuda ini.

Tapi melihat kejujuran dan kepandaiannya, hamba memberanikan diri mengambilnya sebagai anggota dalam pasukan hamba. Tapi kali ini hamba tak mengerti, kenapa dia bersikap begini. Mohon ampun untuk hamba dan dirinya, Paduka...."

Pemuda itu melirik ke arah orang itu. "Paman, kalau nanti ada orang yang akan kuampuni jiwanya itu adalah kau. Pergilah dari tempat ini sebelum banjir darah menelan dirimu!"

"Nara Sudana, tutup mulutmu! Aku tahu kau memiliki ilmu silat tinggi, tapi kau bukan tandingan orang-orang ini. Maka sebelum mereka marah, berlututlah memohon ampun!" bentak orang itu.

Pemuda yang dipanggil Nara Sudana itu bukannya takut mendengar kata-kata itu. Wajahnya semakin garang dan tangan kanannya bersiap meraih pedang yang tersandang di punggung. Kemudian katanya dengan suara dingin.

"Paman, agaknya kau tak bisa melepaskan diri dari jiwa anjing orang-orang itu. Kalau demikian ku cabut kata-kataku, dan kaulah yang lebih dulu mampus!"

"Sret!"
"Duk!"
"Aaaa...!"

Semua orang yang berada di situ tersentak kaget. Dasa Griwa sendiri hampir tak percaya bahwa tubuh malang yang ditendang pemuda itu melesat cepat ke arahnya. Masih untung Rintang Kala cepat bergerak memapaki.

"Plak."

Tubuh orang yang di sebelah pemuda itu ambruk ke lantai. Tubuhnya nyaris terbelah dua dengan darah yang mengucur deras. Yang melihat itu kembali terkejut dan timbul kemarahan mereka. Sambil bersiap menunggu perintah, mereka mencabut senjata masing-masing. Tapi Dasa Griwa mengacungkan tangan. Ditatapnya pemuda itu lekat-lekat. Pedang di tangannya berkilat tajam, dan tak terlihat sedikit pun noda darah. Pimpinan Perompak Tengkorak Darah itu mulai menyadari bahwa pemuda itu berilmu tinggi, dan dia tak main-main dengan kata-katanya tadi.

"Siapa kau, dan apa maksudmu dengan semua ini?" tanya Dasa Griwa dengan suara lunak.

"Jangan banyak mulut. Serahkan kepalamu saat ini juga, atau tempat ini akan banjir darah dan menenggelamkan mu!"

"Ha ha ha...! Sungguh hebat kau, bocah. Aku suka dengan sikapmu yang gagah. Suatu kehormatan besar kalau kau mau menjadi pengawal pribadiku."

"Dasa Griwa keparat, tentu saja aku akan senang menjadi pengawal pribadimu itu. Nah, serahkan dulu uang muka untukku dengan mempersembahkan kepalamu!" sahut Nara Sudana mengejek.

Mendengar itu tentu saja seluruh anggota perompak Tengkorak Darah yang berada di situ mendidih darahnya. Mereka nyaris akan menghajar pemuda itu kalau saja Dasa Griwa tak buru-buru memberi isyarat dengan tangannya.

"Tapi ketua, pemuda ini sangat kurang ajar sekali. Kalau tak diberi pelajaran dia akan semakin bertingkah!" tukas Rintang Kala.

"Sebentar. Aku masih mempunyai kepentingan dengannya," sahut Dasa Griwa sambil kembali mengalihkan perhatian pada pemuda itu.

"Pemuda, kudengar tadi namamu Nara Sudana bukan? Nah, ceritakan padaku kenapa kau begitu menginginkan kepalaku?"

"Dasa Griwa tak usah berbasa-basi segala. Kedatanganku ke sini menagih hutang nyawa ayah dan ibuku yang kalian bunuh secara biadab!"

"Hmm... ayah ibumu? Kuakui, telah banyak manusia yang tewas di tanganku, tapi mana mungkin kuingat mereka satu persatu. Coba kau jelaskan siapa mereka?

Siapa tahu kau salah tuduh...."

"He he he...! Mana mungkin aku bisa salah. Dasa Griwa pemimpin Perompak Tengkorak Darah cuma satu-satunya di dunia ini. Kaulah orangnya yang tujuh tahun lalu menyerang kapal kami. Kau bunuh ayahku dan kau perkosa ibuku, kemudian kau bakar dan tenggelamkan seluruh orang yang berada di kapal itu. Hari ini aku menagih hutang nyawa mereka pada kalian semua."

Agaknya pemuda itu betul-betul sudah muak dengan segala basa-basi Dasa Griwa. Dengan gerakan cepat, dia membabatkan pedangnya pada beberapa orang anak buah Perompak Tengkorak Darah yang paling dekat dengannya.

"Cras! Cras!"
"Hiyaaa...!"
"Aaaa...!"

Kecepatan bergerak pemuda itu luar biasa. Dalam sekejapan mata saja enam orang langsung tewas di tangannya. Dan pada serangan berikutnya kembali pedangnya memakan korban lima Orang nyawa melayang dengan tubuh penuh Iuka sayatan.

"Keparat! Kau hadapilah aku!" teriak Rintang Kala langsung menerjang dengan senjata di tangan.

Sebenarnya Dasa Griwa sangat menyayangkan hal ini. Setelah mengetahui bahwa pemuda itu memiliki kepandaian hebat, dia bermaksud membujuknya untuk mau menjadi tangan kanannya. Memiliki tangan kanan sepertinya tentulah amat membanggakan sekaligus dapat diandalkan. Tapi kini keadaan berubah cepat. Dendam pemuda itu tak bisa ditawar-tawar lagi. Sorot matanya yang tajam seperti hendak menelan semua orang yang berada di tempat ini.

Sementara itu Rintang Kala terkejut bukan main. Belum pernah selama malang melintang berhadapan dengan lawan-lawan dia menemukan yang sepadan kepandaiannya. Pemuda itu bukan lagi sepadan, tapi dengan mudah menghalau serangannya. Kalau saja saat itu dia tak dalam keadaan dikeroyok niscaya dalam satu jurus saja Rintang Kala nyaris binasa. Justru dalam menghadapi serangan balik pemuda itu, beberapa anak buahnya harus merelakan diri mereka sebagai perisai.

"Gila! Kepandaian dan kekuatannya seperti setan!" desis Rintang Kala.

Tangan kanan Dasa Griwa itu melihat bahwa pemuda itu dengan mudahnya menghajar lawan-lawannya seperti membabat rumput saja layaknya. Jerit kematian dan pekik kesakitan mewarnai di tempat itu. Ruangan ini berada dalam barak utama yang merupakan tempat kediaman Dasa Griwa. Tak jauh dari tempat itu berjejer puluhan rumah yang merupakan perkampungan bajak laut itu.

Tentu saja mendengar suara gaduh dari rumah utama, mereka langsung keluar dengan senjata terhunus menyerbu ke tempat kediaman Dasa Griwa. Pemandangan yang menakjubkan terlihat bagai semut mengerubungi gula. Lebih dari seratus orang anggota bajak laut telah mengurung tempat itu dan begitu melihat seorang pengacau yang sedang membasmi sebagian anak buah Perompak Tengkorak Darah, tanpa dikomando mereka langsung menerjunkan diri dan berebutan menyerang pemuda itu.


***


Pada mulanya Nara Sudana sempat terkejut melihat jumlah lawan yang banyak luar biasa itu. Tapi pemuda itu tak cepat gugup dan kehilangan akal, Tubuhnya seperti mengapung di udara saat dia bergerak cepat menyambar beberapa buah obor yang terpancang di dinding ruangan.

"Hiyaaaa...!"
"Brak!"

Obor-obor di tangannya itu melayang ke tiang-tiang kayu dan dinding-dinding rumah yang mudah terbakar. Hingga dalam tempo tak lama api berkobar kian cepat melahap rumah utama ini.

"Apiii...! Apiii....'"
"Cepat padamkan! Ambil air...!"

Beberapa orang yang berada di belakang kerumunan kawan-kawannya yang sedang mengeroyok pemuda itu mundur teratur sambil berlari ke tepi pantai yang tak begitu jauh dan menciduk air melalui timba-timba kayu guna memadamkan api.

"Mampuslah kalian semua! Mampuslah kalian...!" teriak Nara Sudana sambil mengeluarkan suara tawa yang menyeramkan.

Pedang pemuda itu seperti tiada henti mencari korban. Nara Sudana betul-betul mengamuk seperti kesetanan. Tak ada seorang pun yang selamat bila berada di dekatnya. Pedangnya seperti malaikat pencabut nyawa yang telah menewaskan lebih dari empat puluh anggota Perompak Tengkorak Darah.

Melihat hal itu tentu saja Dasa Griwa tak bisa tinggal diam. Simpatiknya pada pemuda itu kini berubah menjadi amarah yang bukan kepalang garangnya. Sambil membentak nyaring kepala Perompak Tengkorak Darah itu berkelebat ke arahnya dengan senjata terhunus.

"Bocah keparat, kau terimalah kematianmu!"
"Hiyaaa...!"

"Anjing Dasa Griwa, kenapa tidak sejak tadi kau maju lebih dulu? Kalau tidak tentu kau yang lebih dulu mampus!" sahut Nara Sudana tak kalah garang.

Walaupun dalam keadaan sedang dikeroyok begitu, tapi hebatnya Nara Sudana masih mampu memapaki serangan Dasa Griwa bahkan membabatkan pedangnya ke perut lawan.

"Yeaaa...!"

Kepala Perampok Tengkorak Darah itu kaget bukan main. Tangannya terasa kesemutan ketika senjata mereka tadi beradu. Dilihatnya pemuda itu malah tenang-tenang saja seperti tak merasakan sakit sedikit pun. Bahkan dia masih mampu mengirim serangan susulan. Kalau saja Dasa Griwa tak cepat berkelit niscaya perutnya akan robek di sabet pedang lawan.

"Mampuslah kau keparat!" bentak Nara Sudana terus bersalto mengejar lawan. Ujung pedang pemuda itu menyambar-nyambar ke sana ke mari melindungi dirinya dari keroyokan lawan, dan sekaligus mengirim serangan susulan yang ditujukan kedua arah yaitu pada pengeroyoknya yang terdiri dari bajak laut-bajak laut Tengkorak Darah dan Dasa Griwa sendiri.

"Hiyaaa...!"
"Trek! Trak!"
"Bret!"

Bukan main kagetnya Dasa Griwa. Dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa, ujung pedang Nara Sudana merobek bajunya dan mengiris sedikit kulit dadanya. Kalau saja saat itu gerakan si pemuda tak dihambat oleh dua orang anak buahnya, niscaya nyawa kepala Perompak Tengkorak Darah berada di ujung tanduk.

"Keparat-keparat laknat, mampuslah kalian lebih dulu!" bentak Nara Sudana memalingkan perhatian sesaat pada anak buah Dasa Griwa.

"Bret! Bret!"
"Aaa...!"

Pekik kematian kembali terdengar seiring robohnya lima sosok tubuh dengan nyawa melayang. Nara Sudana terus mengamuk mengayunkan pedangnya ke sana ke mari. Kembali belasan tubuh lawan tumbang disabet kelebatan pedangnya. Melihat amukan Nara Sudana seperti tak tertahan, beberapa orang perompak segera melarikan diri tanpa mempedulikan keadaan kawan-kawannya. Melihat hal itu yang lain pun menyusul tanpa mempedulikan teriakan Dasa Griwa yang menahan mereka. Hingga dalam sekejap saja tempat itu tinggal belasan orang termasuk Dasa Griwa sendiri.

"Rintang Kala pengecut, kenapa kau malah melarikan diri?!" bentak Dasa Griwa garang ingin mengejar tangan kanannya itu.

"Jangan harap kau bisa lari dariku keparat!" desis Nara Sudana geram langsung melesat mengejar sambil mengirim serangan maut.

Mau tak mau Dasa Griwa terpaksa meladeni amukan pemuda itu dibantu belasan anak buahnya yang masih setia.

"Maaf Dasa Griwa, dia datang hanya untukmu! Buat apa aku musti mengorbankan nyawa segala?!"

Kau hadapilah dia sendiri!" teriak Rintang Kala memimpin kawan-kawannya meninggalkan tempat itu dengan sebuah kapal yang cukup besar.

"Keparat!" gumam Dasa Griwa.

"Kini tibalah ajalmu, jahanam!" maki Nara Sudana.

Pedang pemuda itu menyambar-nyambar tubuhnya bagai tiada henti membuat Dasa Griwa sedikit cemas. Seluruh tubuhnya telah dibungkus kelebatan pedang lawan. Ketika dia coba menangkis, pedangnya malah terpental dihantam senjata lawan.

"Tak!"
"Mampus!" bentak Nara Sudana.
"Breet! Breet!"
"Aaaa...!"

Pada saat-saat yang kritis itu, nyawa Dasa Griwa masih bisa selamat karena anak buahnya menjadi tumbal untuk menghalangi serangan lawan. Namun tak urung dia terpekik kesakitan ketika perutnya kena diserempet ujung pedang lawan. Dasa Griwa mengambil kesempatan untuk melarikan diri ketika pemuda itu sedang sibuk menghajar sisa-sisa anak buahnya. Tapi Nara Sudana tak mungkin membiarkannya begitu saja. Pedangnya langsung terbang menghajar punggung kiri Dasa Griwa.

"Siiiut!
Grab!"
"Aaaa...!"

Terdengar jerit kematian kepala Perompak Tengkorak Darah ketika pedang yang dilempar Nara Sudana tepat menembus hingga ke jantung. Bersamaan dengan robohnya tubuh Dasa Griwa, sisa anak buahnya pun ambruk dihajar pukulan bertenaga dalam kuat yang dilancarkan Nara Sudana. Setelah mencabut pedangnya, pemuda itu langsung mengejar sisa anak buah Dasa Griwa yang melarikan diri.


***


TIGA

Desa Luragung terletak di pesisir pantai yang banyak dikunjungi oleh kapal-kapal dagang antar pulau maupun negeri lain. Tak heran bila di tempat itu menjadi ramai, baik penghuni baru yang terusberdatangan untuk mengadu nasib maupun penduduk asli yang tetap bertahan di kampung halamannya itu.

Siang itu seperti biasa terlihat banyak orang berlalu-lalang di sepanjang jalan utama dengan urusannya masing-masing. Di antara mereka terlihat seorang pemuda berambut gondrong dengan wajah tampan dan keras, serta mengenakan baju yang terbuat dari kulit harimau. Di pundaknya terdapat seekor monyet kecil berbulu hitam yang tampaknya begitu jinak dan bersahabat. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Bayu Hanggara alias si Pendekar Pulau Neraka!

"Kau lapar Tiren?" tanyanya pada monyet kecil itu.

"Nguk! Nguk!"

"Baiklah. Aku pun merasa perutku melilit-lilit tak karuan. Sebaiknya kita cari kedai dulu baru melanjutkan perjalanan."

"Kaaaakh...!"

Monyet kecil yang dipanggil Tiren itu menjerit keras. Bayu tersentak sambil mengikuti arah telunjuk Tiren.

"Dasar! Kalau mau tunjuk kedai tidak usah pakai menjerit segala!" bentak Bayu kesal.

"Nguk!"

Monyet kecil itu menyeringai lebar menunjukkan wajahnya dengan malu-malu. Hari ini kedai itu tampak ramai. Banyak pengunjung yang datang ke situ. Tak heran, sebab bila diperhatikan kedai ini adalah satu-satunya yang terbesar dan terlengkap di desa ini. Ruangan dalamnya luas dan banyak terdapat meja dan bangku-bangku. Kedai inipun memiliki penginapan yang cukup untuk beberapa orang.

"Pak, tolong sediakan nasi rames dengan sebumbung tuak!" pesan Bayu setelah mengambil tempat agak di sudut ruangan.

"Baik, Den!" sahut pelayan kedai yang tadi menghampirinya.

Sepeninggal pelayan itu Bayu mengedar pandangan ke sekeliling. Tak seorang pun yang merasa heran atas kehadirannya, sebab banyak di antara mereka pun berasal dari kaum persilatan dari berbagai macam aliran dan urusan. Melirik sekilas pada sekelompok orang yang berkumpul pada sebuah meja yang tak jauh darinya, Bayu tadinya tak tertarik mendengar perbincangan mereka. Lebih-lebih karena perutnya memang sudah keroncongan. Dia ingin cepat makan kemudian berlalu dari desa ini. Tapi ketika salah seorang di antara yang bermulut dower bercerita dengan penuh semangat, mau tak mau terusik juga hatinya untuk mencuri dengar pembicaraan mereka.

"Aku tak melihat, tapi kalian tahu tidak? Salah seorang kawanku adalah anak buah bajak laut Tengkorak Darah. Dia melihat sendiri kedahsyatan pemuda itu. Luar biasa!" kata si mulut dower dengan wajah yang meyakinkan.

Empat orang kawannya yang sedang menenggak tuak terpaku barang sesaat dengan wajah tak percaya. Cerita itu sesungguhnya tak masuk di akal. Bagaimana mungkin seorang pemuda mampu mengkocar-kacirkan anak buah Perompak Tengkorak Darah yang amat ditakuti?

Jangankan seorang pemuda tak dikenal seperti cerita kawannya itu, sedangkan jago-jago dari kerajaan yang dikirim membasmi mereka lengkap dengan prajurit pilihan hanya pulang tinggal nama. Juga beberapa orang tokoh persilatan golongan putih yang merasa prihatin dengan perbuatan bajak laut-bajak laut itu, turun tangan dan bermaksud membasmi mereka. Tapi tak seorang pun di antara mereka yang terdengar kembali pulang.

"Aku tak percaya!" bantah kawannya yang berkumis tipis dan bertubuh tegap sambil menenggak tuaknya.

"Huh, kau memang tak pernah percaya. Tapi kalau mendengar sendiri dari mulut mereka yang berhasil menyelamatkan diri dari amukan pemuda itu, baru kau percaya," sahut si mulut dower.

"Mustahil! Coba bayangkan, dengan seorang diri dia berhasil membuat anak buah Dasa Griwa kocar-kacir? Padahal jumlah mereka tak kurang dari tiga ratus orang!"

"Bisa saja Boneng!" sahut seorang kawannya yang bermata juling.

"Mana mungkin!"

"Di dunia ini apa yang tak mungkin? Siapa tahu pemuda itu merupakan jelmaan dewa yang diturunkan ke bumi untuk membantu kita."

"Pfuih! Kau ini ngomong apa?!" bentak si Boneng.

"Kenapa tidak?!" balas si mata juling tak mau kalah.

"Sudahlah... kenapa hal ini saja menjadikan kita berselisih. Kalian boleh percaya atau tidak, itu urusan kalian sendiri," kata si mulut dower tak acuh.

Agaknya orang ini sudah putus asa melihat kawan-kawannya tak juga percaya akan ocehannya.

"Kau sering berdusta, mana mungkin aku percaya dengan ceritamu," kata kawannya satu lagi seperti menjawab kata hatinya.

"Kali ini aku tidak berdusta, sobat. Kalau aku salah berarti kawanku itulah yang bercerita dusta padaku," tangkis si mulut dower dengan mimik serius.

Obrolan mereka terhenti ketika lima orang bertampang seram memasuki kedai itu. Sikap mereka kasar dan ingin menunjukkan kegarangannya dengan memperhatikan seluruh pengunjung kedai satu persatu dengan tatapan garang. Seorang yang berada paling depan berusia sekitar tiga puluhan dan bersenjata golok besar di punggungnya menyentakkan kursi sambil berteriak lantang pada salah seorang pelayan.

"Sediakan lima guci arak tulen untuk kami cepat!"

"Ba... baik, Den...!"

Kelimanya langsung menarik kursi dan duduk melingkari sebuah meja. Sementara sorot mata mereka seperti tiada henti mengawasi semua pengunjung kedai. Kemudian salah seorang di antara mereka berucap dengan suara pelan.

"Hmm... masih untung kita bisa lolos dari kejarannya. Kalau tidak entah apa yang terjadi. Mungkin kita sudah binasa..."

Laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang agaknya merupakan pemimpin mereka mendengus geram.

"Huh, kalau saja ada kesempatan ingin kupatahkan batang lehernya!"

"Tapi Rintang Kala... pemuda itu betul-betul luar biasa. Amukannya seperti tak tertahan. Entah bagaimana nasib Dasa Griwa. Kalau dia bisa mengejar dan membunuh kawan-kawan yang lain tentu dia telah membinasakan Dasa Griwa," sahut salah seorang kawannya.

"Bisa jadi..." sahut laki-laki yang dipanggil Rintang Kala.

"Lalu apa yang akan kita lakukan saat ini?" tanya seorang lagi.

"Tak ada yang bisa kita lakukan selain bersembunyi dari kejarannya!" sahut yang wajahnya penuh brewok.

"Huh, sebenarnya aku tak takut, tapi melawan juga hanya mengantar nyawa secara percuma!" dengus yang bertubuh kurus dan berambut panjang.

"Tapi ke mana kita akan bersembunyi? Pemuda itu sepertinya akan terus mencari kita sampai ke ujung langit sekalipun!" tanya seorang lagi yang wajahnya pucat.

"Kadang aku menyesal...."

"Jangan jadi pengecut kau, Badungan! Tak perlu menyesali apa yang sudah dilakukan. Yang penting saat ini bagaimana caranya menyelamatkan selembar nyawamu!" potong Rintang Kala kesal.

Yang lainnya mengangguk-anggukkan kepala mendengar kata-kata itu. Namun pada saat itu terdengar satu suara yang bernada sinis menyahuti pembicaraan mereka.


***


"He he he...! Baru sekarang ku tahu bahwa perompak-perompak Tengkorak Darah berjiwa pengecut dan lari dari kejaran lawan!"

Kelima orang yang tak lain dari anggota Perompak Tengkorak Darah langsung memalingkan wajah pada seorang laki-laki bertubuh kurus dengan muka lonjong. Melihat dari wajahnya yang cakap dan bersih agaknya laki-laki itu paling tidak berasal dari kalangan bangsawan atau hartawan. Lebih-lebih melihat pakaiannya yang rapi dan bagus. Usianya paling sekitar dua puluh lima tahun.

Tangan kanannya memegang sebuah kipas yang terbuat dari gading gajah. Di samping pemuda itu duduk seorang gadis berbaju hijau. Wajahnya cantik rupawan dengan kulit putih halus. Rambutnya yang panjang cuma diikat sehelai pita merah muda. Di pinggangnya terlihat sebatang pedang pendek.

Sementara di sekeliling mereka terlihat beberapa orang laki-laki berwajah garang dengan masing-masing bersenjatakan golok. Agaknya mereka adalah para pengawal pasangan muda-mudi itu.

"Siapa kau?!" bentak Rintang Kala sambil bangkit dan mendekati mereka.

Keempat kawannya melihat keadaan itu langsung bersiaga dengan wajah kurang senang di belakang Rintang Kala. Pemuda berpakaian bagus itu cuma tersenyum seperti menganggap remeh kalian orang sisa anak buah Perompak Tengkorak Darah.

"Aku tuan besarmu yang akan menjewer kuping kalian..." sahut pemuda itu santai.

"Kurang ajar!"

Salah seorang kawan Rintang Kala yang berangasih langsung mencabut golok besarnya dan menyabetkan ke arah pemuda itu.

"Bet!"
"Trak!"

"Huh, jangan coba-coba berbuat sembarangan pada majikanku!" bentak salah seorang pengawal pemuda itu yang langsung mencabut golok dan memapaki serangan tadi.

"Piwarang, menyingkirlah kau. Biar kuberi pelajaran orang tak tahu diri ini!" sela pemuda itu sambil berdiri dan mengembangkan kipasnya.

"Tapi Den Wangsa Bangkalan...."

"Tenanglah Piwarang... apakah kau pikir aku tak mampu memberi pelajaran pada kunyuk ini?" potong pemuda yang dipanggil Wangsa Bangkalan itu sambil tersenyum sinis.

"Bangsat! Orang sepertimu harus dibuka matanya lebar-lebar agar bisa berbuat sopan pada orang lain!" maki salah seorang bekas perompak Tengkorak Darah kembali mengayunkan golok besarnya.

Wangsa Bangkalan terkekeh pelan. Tubuh pemuda itu cuma berkelit sedikit ke kiri dan tangan kanannya menghantam pergelangan lengan lawan. Sementara kipas di tangan kiri menyabet ke pinggang lawan.

"Plak!
Breet!"
"Ukh!"

Perompak Tengkorak Darah itu terkejut sambil mendekap pinggang kanannya yang robek. Wajahnya meringis kesakitan bercampur dendam dan luapan amarah luar biasa.

"Kurang ajar...!" makinya kembali menyerang pemuda itu.

"Hmm... agaknya kali ini kau betul-betul tak bisa dikasih hati. Baiklah kalau itu maumu."

"Hiyaaa...!"
"Plak! Duk!"
"Aaaa...!"

Kali ini tubuh perompak Tengkorak Darah itu terpental ke belakang pada jarak kurang lebih tiga tombak. Tubuhnya menabrak dinding kedai hingga hancur. Masih terlihat sekilas dia menggelepar-gelepar dengan mulut penuh darah. Pemuda itu terkekeh sambil mengibas-ngibaskan pakaiannya dari debu. Gerakannya tadi sama sekali tak disangka lawan. Tubuhnya ringan mencelat ke atas dengan kaki kiri menangkis pergelangan lawan yang memegang senjata, sedangkan kaki kanan menendang ke ulu hati dengan keras.

"Juragan... aduh, juragan. Sebaiknya jangan berkelahi di sini. Kedai saya nanti rusak, dan... dan biasanya..." sela si pemilik kedai sambil memohon-mohon pada pemuda berbaju keren itu.

Tapi salah seorang pengawal pemuda itu tiba-tiba membentak dengan mata melotot.

"Orangtua, apakah kau tidak melihat siapa juraganmu ini?! Mereka adalah putra-putri Adipati Bangkalan yang termahsyur itu. Apa kau pikir beliau tak mampu mengganti segala kerusakan ini?! Pfuih, mereka bahkan mampu membeli sepuluh kali kedai seperti ini bahkan dirimu pun mampu dibelinya!"

"Jangan keterlaluan Paman Ketitir..." sela si gadis yang sejak tadi hanya diam memperhatikan kejadian itu.

"Tapi Den Ayu... mereka harus tahu siapa aden berdua agar tak sembarangan bicara...."

"Sudahlah... nah pak, maafkan kekasaran pamanku tadi. Kami akan mengganti kerusakan yang diperbuat kakangku," kata si gadis pada pemilik kedai itu.

Tapi si orang tua pemilik kedai begitu mengetahui bahwa kedua orang muda-mudi ini adalah putra-putri Adipati Bangkalan yang terkenal itu, mana berani dia menerima ganti rugi dari mereka. Bisa-bisa nanti sang Adipati murka dan dia tak bisa berdagang lagi di sini.

"Ti... tidak. Te... terima kasih, Den...."

"Ambillah, pak..." ujar gadis itu kembali sambil mengangsurkan kira-kira lima kepeng uang emas di tangannya.

Pemilik kedai itu masih ragu menerima. Saat itulah Rintang Kala yang tadi mendiamkan saja anak buahnya di hajar pemuda itu tiba-tiba angkat bicara.

"Hmm... pantas! Rupanya kalian anak-anak menak yang baru kenal dunia luar, tapi sudah demikian sombong. Kau, kutunggu di luar!" katanya menuding ke arah Wangsa Bangkalan sambil terus meninggalkan ruangan kedai itu dan beranjak ke halaman depan diikuti anak buahnya yang lain.

"Baik!" sahut Wangsa Bangkalan bersemangat.

"Kakang... jangan terlalu menyombongkan diri. Apakah kau tidak ingat pesan eyang?" Ingat adiknya dengan wajah kesal.

"Tenanglah Cempaka Wangi. Orang-orang itu memang sudah seharusnya diberi pelajaran. Pertama, mereka adalah orang-orang sesat yang selama ini menjadi musuh kerajaan dan juga musuh semua orang yang pernah menjadi korban mereka. Dan yang kedua, sikap mereka tadi sombong sekali. Seolah mereka pikir tempat ini akan menjadi miliknya dalam sekejap seperti saat mereka berada di lautan. Nah, itu sudah cukup bagiku untuk memberi hajaran bagi mereka!"

Gadis bernama Cempaka Wangi itu tak bisa berkata apa-apa lagi mendengar alasan abangnya. Tapi sebenarnya pun dia mengerti bahwa abangnya tak akan bisa dilarang kalau dia sudah punya keinginan. Begitu juga ketika beberapa orang pengawal mereka mencoba melarang dia bertarung, tetap saja Wangsa Bangkalan berkeras akan memberi pelajaran pada mereka dengan tangannya sendiri.

Sementara itu semua pengunjung kedai tertarik sekali melihat pertarungan ini. Hampir semua mengutuk perompak-perompak Tengkorak Darah dan mengelu-elukan pemuda itu. Bukan karena mereka putra-putri sang Adipati, tapi siapa yang tak kenal Perompak Tengkorak Darah yang kekejaman mereka nyaris dikutuk oleh semua penduduk di wilayah ini.

"Bunuh mereka jangan dikasih kesempatan untuk lari!"

"Cincaaang...!"
"Gantung kelima-limanya!"

Walau semua yang berada di situ mengutuk mereka, Rintang Kala dan kawan-kawannya begitu teguh. Semangat mereka tetap tak tergoyah. Begitu juga ketika Wangsa Bangkalan lebih dulu menyerang, Rintang Kala menyambutinya dengan mantap. Pertarungan itu memang disengaja terjadi antara mereka berdua. Kalau pemuda itu melarang para pengawalnya ikut campur, begitu juga halnya dengan Rintang Kala. Dia memerintahkan agar anak buahnya tak perlu turun tangan selagi mereka bertarung.


***


Pertarungan antara keduanya telah berlangsung lebih dari tiga jurus. Terlihat keduanya sama kuat. Namun pada jurus-jurus selanjutnya Rintang Kala telah berada di atas angin. Padahal bagi mereka yang berasal dari kalangan persilatan pasti akan melihat bahwa keduanya memiliki ilmu silat yang tangguh. Bahkan kalau diperhatikan dengan seksama, gerakan Wangsa Bangkalan yang indah mengandung tipuan yang mematikan. Hanya sayang bahwa pemuda itu melakukan dengan kaku seperti orang yang baru saja belajar ilmu silat.

Tidak demikian halnya dengan Rintang Kala. Belasan tahun malang melintang bersama Perompak Tengkorak Darah, membuatnya tak cepat gugup dengan serangan lawan. Pengalamannya lebih teruji, dan terbukti banyak membantu dalam setiap pertarungan. Seperti yang terjadi hari ini.

"Hiyaaaa...!"
"Trak! Bret!"
"Ukh...!"

Wangsa Bangkalan menjerit pelan. Dalam suatu kesempatan tubuh lawan berkelebat cepat menyambar kepala sambil mengayunkan senjata. Pemuda itu menunduk sambil menghindar ke belakang, tapi dengan tak disangka-sangka ujung golok besar Rintang Kala berubah haluan dan menyambar bahu kanan Wangsa Bangkalan. Masih untung cuma sedikit tergores karena dia masih sempat berkelit.

"Pelajaran pertama untuk anak-anak yang kurang ajar!" ejek Rintang Kala sinis.

"Huh, siapa bilang aku kalah olehmu! Kau akan rasakan ini!" bentak Wangsa Bangkalan kembali menyerang dengan kalap.

Kali ini pemuda itu mengerahkan segenap kepandaian yang dimiliki. Terbukti gerakan kipas yang dijadikannya senjata itu menimbulkan desir angin kencang dan menyambar-nyambar tubuh lawan dengan pengerahan tenaga dalam kuat.

Tapi serangan Rintang Kala pun bukan main hebatnya. Baru kali ini terbuka mata semua orang akan kehebatan salah seorang anggota Perompak Tengkorak Darah. Tubuh Rintang Kala bergerak bagai sapuan angin dengan golok besar di tangan berdengung menyambar-nyambar ke arah Wangsa Bangkalan.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
"Trak!"
"Bret!"
"Duk!"
"Akh...!"

Ketika dalam satu kesempatan. keduanya berteriak nyaring dan bersiap menyerang lawan, Wangsa Bangkalan mencoba menangkis senjata Rintang Kala. Tapi dia terkejut ketika kipasnya di buat hancur berantakan. Belum lagi habis rasa terkejutnya, ujung senjata lawan meluncur deras menghantam leher. Masih untung pada saat kritis itu Wangsa Bangkalan mampu menyelamatkan lehernya dengan berkelit ke belakang.

Namun tak urung ujung senjata lawan menghajar dadanya. Dan bersamaan dengan itu kaki kanan Rintang Kala menghajar perut Wangsa Bangkalan. Pemuda itu terlempar sejauh beberapa tombak sambil menjerit keras. Agaknya Rintang Kala betul-betul bernafsu untuk menghabisi pemuda yang dianggapnya sombong itu.

Begitu kakinya menyentuh tanah, saat itu pula tubuhnya kembali melesat dengan kecepatan bagai kilat mengayunkan senjata ke arah Wangsa Bangkalan. Semua orang yang melihat itu tercekat. Wangsa Bangkalan pasti tewas. Bahkan para pengawalnya tak mungkin mampu menandingi kecepatan bergerak Rintang Kala. Gadis bernama Cempaka Wangi sendiri sudah berteriak cemas.

"Hiyaaa...!"
"Sing!"
"Trak!"


***


EMPAT

Namun pada saat-saat yang kritis itu tiba-tiba melesat seberkas sinar keperakan yang memapaki senjata Rintang Kala dan membuatnya terpental jauh. Laki-laki berusia tiga puluh tahun dengan codet di pipi kanannya itu menggeram melihat kehadiran seorang pemuda berambut gondrong berwajah tampan berada di tempat itu sambil tersenyum. Di pundaknya terlihat seekor monyet kecil berbulu hitam.

Pemuda itu sendiri mengenakan baju yang terbuat dari kulit harimau. Ketika pemuda yang berbaju kulit harimau itu mengibaskan tangan, maka sinar keperakan yang tak lain dari sebuah senjata berbentuk cakra bersegi enam menempel di pergelangan tangan kanannya. Melihat itu sebagian mereka yang berada di situ tersentak kaget.

"Pendekar Pulau Neraka...!"

Rintang Kala selama hidupnya lebih banyak berada di laut hingga jarang mendengar ,nama tokoh-tokoh persilatan yang berada di darat, hingga dia tak terlalu terkejut mendengar nama itu. Bahkan dengan sikap menganggap remeh, dia pura-pura tak tahu.

"Huh, siapa lagi kau budak gembel?! Apakah kau ingin membela majikanmu itu?!"

"Dia bukan majikanku, dan kau tak perlu tahu siapa aku. Yang jelas aku paling tak suka pada kalian berdua. Tapi pengecualian untukmu karena kau adalah Perompak Tengkorak Darah yang kudengar sering menimbulkan kekacauan!"

"He he he...!" Satu lagi kulihat malaikat kesasar sepertimu. Tapi orang-orang sepertimu biasanya menemui ajal secara mengenaskan. Nah, pergilah dari sini sebelum timbul rasa muakku padamu!" bentak Rintang Kala.

Orang itu sengaja menggertak lawan. Padahal dia sendiri merasakan dalam sekelebatan saja senjatanya di buat terpental oleh senjata lawan. Tapi sebagai bekas Perompak Tengkorak Darah mana mau Rintang Kala menunjukkan kegentarannya di depan orang banyak. Maka dia sengaja berbuat begitu pada si pemuda berbaju harimau yang tak lain dari Bayu Hanggara atau Pendekar Pulau Neraka.

"Siapa yang mengatakan aku malaikat kesasar? Agaknya matamu telah lamur kisanak. Aku memang malaikat sesungguhnya yang akan mengantarmu ke neraka!" ejek Bayu sambil tersenyum sinis.

"Huh, kau boleh pentang bacot sesukamu setelah kukirim ke akherat!"

Setelah berkata begitu agaknya kemarahan Rintang Kala tak dapat ditahan lagi. Dia langsung menyerang lawan setelah anak buahnya melempar sebatang golok besar ke tangannya.

"Hiyaaa...!"

"Hmm... betul-betulkah kau ingin merasakan nikmatnya siksaan neraka?" ejek Bayu lagi.

"Jangan banyak bacot! Putus lehermu!"

"Uts, ha...!"

Sambil menundukkan kepala Bayu menghindari sabetan senjata lawan yang ditujukan ke lehernya. Tapi dengan tak terduga kaki kanan Rintang Kala menendang ke ulu hati. Tubuh Bayu mencelat ke belakang sambil bersalto dengan gerakan indah. Pada saat itulah kaki kanannya sempat menghajar betis kaki lawan.

"Plak!"
"Akh...!"
"Begkh!"

Rintang Kala menjerit tertahan. Tubuhnya terjerembab setelah berputar satu kali di udara. Namun dalam keadaan demikian, Bayu masih sempat menghajar pinggang kanannya lewat tendangan kaki kiri sebelum kedua kakinya menyentuh tanah. Kembali Rintang Kala menjerit keras ketika tubuhnya terlempar ke kiri.

"Keparat!" maki Rintang Kala cepat bangkit. Disekanya darah yang menetes di sudut bibir. Tendangan lawan memang tak cukup kuat, kalau tidak niscaya dia tak akan pernah bangkit lagi. Tapi walau begitu cukup membuat isi perutnya seperti diaduk-aduk.

"Hmm... agaknya kau masih belum puas juga? Ke sinilah cepat mendekat pada tuan besarmu!" ejek Bayu.

"Yeaaa...!" "Hiyaaa...!"

"Hei! Main keroyokan sekarang? Hmm... boleh juga kalau kawan-kawanmu ingin berbagi kesenangan denganmu."

"Bet!"
"Plak! Plak!"
"Begkh!"
"Akh!"

Tubuh Bayu berkelebat dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa. Tahu-tahu senjata di tangan mereka terpental jauh, dan disusul dengan jerit kesakitan. Kelimanya terpental dengan darah muncrat dari mulutnya. Salah seorang di antara mereka langsung menemui ajal. Orang itu adalah korban Wangsa Bangkalan yang tadi dihajarnya di dalam kedai. Agaknya dia memaksakan diri untuk menyerang si Pendekar Pulau Neraka, dan terpaksa menemui kematiannya.

"Huh, kali ini aku akan mengadu jiwa denganmu!" dengus Rintang Kala kembali bangkit dengan wajah garang.

"Siapa yang sudi mengadu jiwa denganmu? Kalau kau mau mengadunya, adulah dengan jiwa kawan-kawanmu itu. Siapa tahu mereka mau, dan kalian tetaplah berjiwa binatang seperti sekarang!"

"Keparat! Bersiap-siaplah kau untuk mampus!" bentak Rintang Kala.

"Yeaaaa...!"

Bersama dengan ketiga anak buahnya, kembali mereka menyerang Bayu dengan tangan kosong. Bayu sendiri masih tenang-tenang saja di tempatnya. Dia yakin bahwa walau mereka berempat tak mungkin mampu melukai dirinya, sebab tadi ketika bersenjata pun mereka tak mampu, apalagi kini bertangan kosong. Namun dengan tidak disangka saat itu juga melesat satu bayangan yang memapaki serangan mereka. Orang-orang yang berada di situ terkejut. Angin gerakan bayangan itu mampu membuat mereka yang memiliki ilmu silat rendah bergoyang limbung. Sedangkan debu-debu di sekitarnya membumbung tinggi dan daun-daun kering berterbangan ke mana mana.

"Breeet!"

"Aaaa...!"


***


Bersamaan dengan itu terdengar pekik kematian yang menyayat. Ketika desir angin itu ter-henti, ketiga Perompak Tengkorak Darah ambruk dengan pinggang nyaris putus. Dan di tempat itu telah tegak berdiri seorang pemuda berusia tujuh belas tahun berkulit coklat dengan rambut gondrong kusut masai seperti tak terurus. Sorot matanya tajam menusuk dan amat mengerikan seperti membawa dendam dari alam kubur. Di tangannya tergenggam sebatang pedang besar, namun tak terlihat sedikit pun noda darah. Rintang Kala yang melihat kehadiran pemuda itu, wajahnya langsung pucat dan tubuhnya gemetaran.

"Ka... kau..."

"Huh, kau pikir bisa bersembunyi dari Nara Sudana, keparat! Tak satu pun dari kalian boleh hidup didunia ini. Ke mana pun kalian bersembunyi akan kukejar!"

"A... aku tak bersalah...."

"Berdoalah sebelum mampus!" potong pemuda itu dingin.

"Ta...."

"Yeaaaa...!" Pemuda yang menyebut dirinya Nara Sudana itu bergerak cepat. Walau Rintang Kala berusaha berkelit dengan segenap kecepatan yang dimiliki, namun tetap saja terdengar jerit tertahan.

"Akh!
"Pluk!"
"Ohh...!"

Beberapa orang yang menyaksikan pertarungan itu berseru kaget ketika melihat kepala perompak Tengkorak Darah itu menggelinding jatuh. Tubuhnya yang tanpa kepala itupun menyusul kemudian.

"Ayaaah... ibuu, dendam kalian sudah terbalas hari ini! Tenanglah di akhirat karena anakmu tak akan membiarkan mereka lolos seorang pun. Orang-orang itu harus membayar mahal apa yang telah mereka perbuat terhadap kita!" teriak pemuda bernama Nara Sudana dengan suara lantang sambil menengadahkan wajah ke langit. Beberapa orang yang mendengar teriakannya bergetar tubuh mereka. Bahkan dua tiga orang tampak pingsan sambil mendekap telinganya yang mengucurkan darah.

Setelah puas berkaok-kaok, pemuda itu menggerang buas sambil menatap setiap orang yang berada di dekatnya. Mereka yang pengecut nyalinya langsung ciut dan perlahan-lahan menjauhi tempat itu. Bayu Hanggara masih tetap tegak di tempatnya seperti tak bergeming. Dua jarinya masih menutupi telinga monyet kecil berbulu hitam untuk melindunginya dari pengaruh getaran suara pemuda itu tadi. Ketika pemuda itu mengalihkan pandangan ke arahnya, Bayu bersiaga atas segala kemungkinan.

"Siapa kau?! Apakah kau juga anak buah si Dasa Griwa?!" bentak pemuda itu galak.

"Aku bukan siapa-siapa. Cuma pengembara biasa yang tak berharga..." sahut Bayu asal-asalan.

"Hmm..." Pemuda itu menggumam.

Setelah itu dia mengedarkan pandangan pada yang lain. Entah apa yang dipikirkan dan dilakukannya, tiba-tiba saja dia meninggalkan tempat itu seperti datangnya tadi. Berkelebat bagai sapuan angin serta menimbulkan angin kencang. Tahu-tahu ketika semuanya reda, pemuda itu raib entah ke mana.

"Gila! Bukan manusia barangkali itu orang!" ujar salah seorang di antara yang melihat pertarungan tadi.

"Iya, iya..." timpal kawannya.
"Jin barangkali?"
"Hus! Masak jin seperti itu."

"Eh, kan ada jin yang mirip seperti manusia. Bahkan kadang menyerupai gadis cantik."

"Alaaah! Sudah jangan bermimpi. Coba kalau mereka tadi mengamuk, kamu tidak bakal ketemu binimu di rumah!"

Kawannya itu cuma terkekeh sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

Sementara itu diam-diam Bayu meninggalkan tempat itu sambil menggendong Tiren di pangkuannya. Kasihan monyet itu, dia merasa terkejut dan sempat pucat ketika mendengar gelegar suara pemuda bernama Nara Sudana tadi yang menumpahkan segenap perasaan hatinya yang pilu.

"Kisanak...."
"Nguk!"

Tiren yang lebih dulu tersentak ketika Bayu menoleh ke belakang. Terlihat gadis yang tadi bersama si pemuda Wangsa Bangkalan menghampiri dengan langkah perlahan.

"Ada apa nisanak?"

"Aku... ng... kami ingin mengucapkan terima kasih atas kebaikan hatimu menolong kakangku...."

"Ah, hal itu sudah biasa. Bukankah setiap manusia harus saling tolong menolong?"

"Ng... dia bermaksud mengundangmu kalau kau tak keberatan kisanak."

"Mengundangku ke mana?"

"Ke tempat kediaman kami. Tak jauh lagi dari desa ini..."

Bayu berpikir sejenak. Sebenarnya dia tak suka pada pemuda itu. Kesan yang diperolehnya tadi adalah bahwa pemuda itu bersifat angkuh dan merasa dirinya hebat. Orang seperti itu biasanya sering mencemooh orang lain yang dianggapnya hina dan rendah derajatnya.

"Maaf nisanak, kami harus melanjutkan perjalanan..." sahut Bayu menolak dengan halus.

"Sayang sekali... padahal aku, eh kami akan merasa mendapat kehormatan bertemu dengan seorang pendekar terkenal seperti anda kisanak."

"Siapakah yang merasa dihormati nisanak? Kalau kalian merasa dihormati oleh seorang gembel sepertiku, sungguh tak pantas sekali. Aku cuma seorang pengembara biasa yang tak punya kebiasaan apa-apa."

"Anda terlalu merendah kisanak. Sebenarnya kami bermaksud kembali ke rumah karena ayahanda kami saat ini sedang mengadakan perayaan perkawinan kakangku yang paling tua. Itulah sebabnya kami dipanggil pulang, dan aku bermaksud mengundangmu untuk turut menghadirinya. Jangan tolak permintaanku ini kisanak...."

Bayu masih menimbang-nimbang ketika Wangsa Bangkalan beserta para pengawalnya mendekati.

"Betul kisanak, kami atas nama keluarga bermaksud mengundang anda," sahut Wangsa Bangkalan sambil tersenyum kecil.

"Hmm... bagaimana Tiren? Apakah kau suka?"

"Kaaakh!"

Monyet kecil berbulu hitam itu menjerit keras kemudian menepuk-nepuk kedua tangannya sambil menganggukkan kepala.

Mereka yang melihat kelakuannya terkekeh geli. Monyet kecil itu memang lucu sekali. Apalagi ketika dia membuat ulah sambil menari-nari di pundak Bayu.

"Ah, agaknya dia pun suka pada kalian. Baiklah..." sahut Bayu.

"Nguk! Nguk...!"

"Ha ha ha...!"


***


Adipati Bangkalan adalah seorang pembesar kerajaan yang amat terkenal saat itu. Selain ahli dalam ketatanegaraan beliau pun gemar akan ilmu silat. Tak heran bila di lingkungan kerajaan beliau sangat disegani oleh pembesar-pembesar lainnya. Tak kurang dari dua puluh orang para pengawal di kadipaten adalah tokoh-tokoh persilatan yang bekerja pada beliau. Selain itu juga pengawal-pengawal kadipaten sendiri terdiri dari orang-orang yang trampil dalam hal ilmu bela diri yang digembleng oleh seorang tokoh persilatan terkenal bernama Gagak Lumayung, atau lebih dikenal sebagai Pendekar Jari Sakti.

Tak heran saat perayaan perkawinan putra tertuanya beliau mengadakan pertandingan silat dengan mengundang tokoh-tokoh persilatan berbagai kalangan untuk memeriahkannya. Sebagai tokoh yang selama ini dikenal tegas dan jujur serta bijaksana, jelas tujuan beliau semata-semata untuk persahabatan dan mempererat tali persaudaraan di samping segi hiburannya di antara tokoh-tokoh persilatan. Waktu Wangsa Bangkalan dan Cempaka Wangi memperkenalkan Bayu Hanggara, bukan main senangnya beliau. Sampai-sampai si Pendekar Pulau Neraka itu di beri tempat di samping beliau. Itu adalah kehormatan yang bukan kepalang baginya.

"Tak sangka pendekar terkenal sepertimu sudi datang ke tempat kami yang buruk ini," kata Adipati Bangkalan merendah.

"Justru aku yang tiada menyangka bahwa orang hina sepertiku mendapat kehormatan luar biasa dari anda kisanak. Ini sungguh tak terduga. Jangan-jangan nanti malah menimbulkan kecemburuan pada yang lainnya," sahut Bayu.

"Ah, siapa yang tak kenal Pendekar Pulau Neraka? Namamu sudah termahsyur di delapan penjuru angin. Sudah sepantasnya kami mendapat kehormatan kedatanganmu."

Bayu sebenarnya jengah juga diperlakukan demikian. Matanya tiada henti melirik tamu-tamu yang lain. Kelihatannya dia betul-betul menjadi pusat perhatian saat ini. Bahkan Gagak Lumayung sendiri yang di kalangan kadipaten merupakan orang yang disegani hanya mendapat tempat di sebelah Wangsa Bangkalan. Kedudukan tempat yang utama saat itu adalah kedua mempelai. Di sebelah pengantin laki-laki adalah sang Adipati, Bayu, Cempaka Wangi serta tamu-tamu terhormat lainnya. Sementara di sebelah pengantin wanita adalah istri sang Adipati, Wangsa Bangkalan, Gagak Lumayung serta undangan lain yang merupakan tamu-tamu terhormat.

Sementara itu di hadapan mereka pada jarak tujuh tombak terdapat sebuah panggung yang agak luas tempat diselenggarakannya pertandingan, ilmu silat. Siapa pun yang diundang ataupun tidak, boleh ikut ambil bagian untuk memperebutkan hadiah seratus kepeng uang emas yang dijanjikan sang adipati. Asalkan mereka mengikuti peraturan yang telah di keluarkan. Pertandingan telah berlangsung tiga kali. Tiga orang telah keluar sebagai pemenang. Satu merupakan salah seorang pengawal kadipaten sedang dua lainnya merupakan tokoh-tokoh persilatan.

"Kau suka melihat pertandingan ini?"

"Eh... ng... apa?" Bayu tersentak ketika Cempaka Wangi bertanya pelan padanya di sela-sela ramainya pertandingan.

"Kau tentu suka melihat pertandingan seperti ini bukan?"

"Entahlah... sepertinya menarik juga...."

"Kenapa tidak ikut ambil bagian? Kau tentu bisa menang dan mengantungi hadiah yang dijanjikan ayahanda ku?"

Bayu tersenyum kecil. Sementara Tiren di pangkuannya menepuk-nepuk kedua tangan sambil menyeringai lebar ke arahnya.

"Aku lebih suka menonton saja...."

"Sayang sekali... padahal kesempatan terbuka luas untuk siapa saja. Atau mungkin orang sepertimu merasa malu berhadapan dengan mereka?"

"Itu pikiran buruk. Apakah kau pikir aku merasa paling jago di atas bumi ini? Tidak. Sama sekali aku tak beranggapan begitu. Bahkan kalau mau berkata jujur, kepandaianku tak ada secuil pun dibanding mereka yang memiliki ilmu silat hebat dan disegani."

"Lalu kenapa kau tak tertarik untuk ikut? Padahal banyak orang yang memperebutkan hadiah itu. Disamping mendapat hadiah, mereka yang menang pun akan mendapat nama tenar dan diakui sebagai salah seorang tokoh persilatan yang disegani."

Bayu cuma tersenyum mendengar celoteh gadis itu, dan tak menyahut apa-apa. Sulit untuk dijelaskan apa yang dilakukannya saat ini dan ke mana tujuannya. Barangkali dalam hal ini adalah pengabdian pada si lemah yang teraniaya. Walaupun dalam hal ini tak jarang dia melakukan kesalahan. Tapi kesalahan toh adalah kodrat manusia yang tak bisa dielakkan. Pertandingan di atas gelanggang semakin seru. Tokoh-tokoh yang berilmu tinggi mulai ikut ambil bagian. Dan yang membuatnya sedikit heran adalah ke ikut sertaan Gagak Lumayung. Memang tidak ada larangan untuk itu, tapi apakah dia tak berpikir bila nanti mengalami kekalahan toh yang malu bukan cuma dirinya sendiri, melainkan juga sang adipati beserta seluruh jajaran pengawal kadipaten yang selama ini menjadi murid-muridnya.

"Paman Gagak Lumayung berilmu tinggi dan tak seorang pun yang berani berhadapan dengan beliau," jelas Cempaka Wangi tanpa diminta.

"Hmm... lalu kenapa ayahanda mu tak mengijinkan beliau yang mengajarkan kalian ilmu silat?" tanya Bayu.

"Justru kami kenal ilmu silat pertama kali dari beliau. Tapi ayahanda berpikir lain mengingat kedudukan beliau, maka kami pun dititipkan di Padepokan Laksa Dahana. Selain belajar ilmu silat, Ki Tembayat Danang mengajarkan agama serta kesusilaan, serta sedikit ilmu ketatanegaraan. Beliau dulu adalah abdi kerajaan yang sangat diandalkan sebelum mengundurkan diri."

Si Pendekar Pulau Neraka menganggukkan kepala.

"Coba lihat! Cuma tiga jurus, Paman Gagak Lumayung telah mengalahkan lawannya!" seru Cempaka Wangi sambil bertepuk girang.

Di atas panggung terlihat Gagak Lumayung mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sambil mengitari tempat itu. Tak jauh dari situ lawannya berusaha bangkit sambil tertatih-tatih keluar dari gelanggang dan menyeka darah yang meleleh di bibirnya. Sampai saat seseorang mengumumkan nama-nama pemenang, terlihat tak ada lagi penantang yang berani tampil di arena. Mungkin juga takut melihat yang menjadi pemenang adalah tokoh-tokoh persilatan berilmu tinggi, atau juga punya alasan lain.

Namun karena pertandingan itu sendiri diusahakan berjalan dengan seadil-adilnya, timbul masalah karena jumlah pemenang yang akan diadu ternyata ganjil. Artinya salah seorang tak mempunyai lawan, atau salah seorang musti menghadapi dua lawan. Cara terakhir pasti tidak adil. Itulah sebabnya sang adipati turun tangan untuk mengundang siapa saja yang berani melawan salah seorang di antara para pemenang yang telah ada agar pertandingan tetap berjalan dengan adil dan jujur. Namun tak seorang pun di antara yang hadir menyambutnya.

"Maaf Kanjeng Adipati, saya ada usul jika diperkenankan..." kata Gagak Lumayung tiba-tiba.

"Usul apakah itu...?"

"Biarlah hamba yang mengalah tak memiliki lawan..."

"Maksudmu kau akan mengundurkan diri?"

"Tidak demikian Kanjeng Adipati. Maksud hamba jika hamba yang mendapat bagian tak memiliki lawan maka jika Kanjeng Adipati mengijinkan, hamba bermaksud memilih lawan yang kira-kira bisa disetujui oleh semuanya...."

"Hmm... boleh juga. Asal kau tak memilih lawan yang lemah dan rendah ilmu silatnya. Kalau begitu kau pasti menang dengan mudah," kata sang adipati berkelakar.

Semua yang berada di situ senyum-senyum kecil mendengarnya.

"Tentu saja tidak, Kanjeng Adipati. Hamba bermaksud memilih lawan yang setimpal tentunya."

"Nah, siapa lawan yang akan kau pilih?"

"Tamu kita hari ini, yaitu Ki Bayu Hanggara yang saat ini duduk di sebelah Kanjeng Adipati."

"Apa?" Adipati Bangkalan agak terkejut mendengar itu.

Mereka yang berada di situpun tak menduga hal itu. Antara sikap gegabah melawan pendekar itu, serta keingintahuan sampai di mana kehebatan ilmu silat si Pendekar Pulau Neraka yang selama ini sering digembar gemborkan, membuat semua mata menuju ke arah Bayu seperti menanti jawaban pemuda itu.


***


LIMA


Bayu Hanggara sendiri tak menduga hal itu. Sejak tadi dia memang tak sempat memperhatikan sorot mata Gagak Lumayung yang cemburu melihat perhatian seluruh keluarga sang adipati pada tamu mereka satu ini. Tapi jika seorang tokoh persilatan berkata begitu, sama artinya dengan suatu tantangan. Dan apakah mungkin dia bisa menolak tantangan itu di hadapan puluhan pasang mata yang saat ini menunggu jawaban dari mulutnya?

"Eeeh, kenapa jadi begini? Bukankah aku tak ikut dalam pertandingan ini?"

"Kisanak, siapa saja boleh mengikuti pertandingan ini diundang ataupun tidak asal mengikuti peraturan, yang telah ditetapkan. Yang menjadi masalah, apakah anda sudi atau tidak memeriahkannya untuk menghormati Kanjeng Adipati?" sahut Gagak Lumayung tegas.

Bayu tak enak hati mendengar kata-kata kepala pasukan pengawal kadipaten itu. Sepertinya dia bernafsu betul ingin menantangnya.

"Bagaimana kisanak? Apakah kau sudi menemaniku bermain-main satu atau dua jurus?" tanya Gagak Lumayung mencoba menegaskan.

"Ayolah, Bayu. Kami akan mendapat kehormatan sekali bila kau pun turut memeriahkan perkawinan putraku ini," sahut Adipati Bangkalan.

"Betul, Kakang Bayu. Kau harus ikut memeriahkannya. Anggaplah hal ini sebagai tanda persahabatan antara kau dan kami!" timpal Cempaka Wangi.

Pemuda itu jadi tak enak hati mendengar suara-suara itu. Akhirnya dia mengangguk pelan, dan disambut oleh semua orang dengan perasaan suka cita.

"Baiklah. Tapi terus-terang saya tak bermaksud untuk memenangkan hadiah yang dijanjikan Kanjeng Adipati. Semata-mata untuk menghormati dan turut memeriahkan perkawinan putra beliau. Jadi kalah atau menang tak saya persoalkan betul," sahut Bayu.

Gagak Lumayung sendiri menyetujui usul pemuda itu, dan menawarkan pertandingan mereka pada babak terakhir setelah pertandingan-pertandingan pada babak sebelumnya. Bayu sendiri sekali lagi menyetujui saja. Dan ketika saat-saat yang ditunggu oleh semua yang hadir di situ tiba, mereka menunggunya dengan hati berdebar-debar. Pendekar Pulau Neraka yang namanya belakangan ini menggegerkan rimba persilatan akan berhadapan dengan Gagak Lumayung yang sudah terkenal memiliki ilmu silat tingkat tinggi.

"Silakan kisanak. Sebagai tamu kau berhak menyerang lebih dulu," kata Gagak Lumayung ketika keduanya telah berada di atas arena pertarungan.

"Sebagai orang yang lebih muda, tentu aku harus mengalah pada anda kisanak. Silakan lebih dulu...."

"Baiklah kalau itu keinginanmu."

"Hiyaaa...!"

Dengan kaki kanan terangkat, Gagak Lumayung membentang dua jari tangan siap melancarkan serangan ke arah lawan. Nama Pendekar Pulau Neraka tentu saja dikenal semua orang sebagai tokoh muda yang memiliki ilmu silat tinggi, maka Gagak Lumayung tak mau gegabah. Dia langsung menyerang dengan mengerahkan segenap kepandaian yang dimilikinya.

"Bet!"
"Uts!"
"Yeaaa...!"

Tubuh Bayu berputar bagai gasing sambil bergerak cepat ke arah Gagak Lumayung. Ketika lawan mencelat ke atas menghindari serangannya, tubuh pemuda itu melentik mengikuti dengan satu bentakan keras.

"Plak! Plak!"
"Ukh!"
"Hiyaaa...!"

Gagak Lumayung tersentak kaget. Tak ada waktu dan kesempatan baginya untuk menghindar dari pukulan lawan selain memapakinya. Tangannya terasa linu dan kesemutan ketika menangkis tamparan pemuda itu. Tubuhnya mencelat mundur ke belakang beberapa tindak. Tapi begitu kedua kakinya menyentuh lantai, saat itu pula tubuh Bayu kembali mencelat sambil mengirim serangan susulan. Gerakan yang diperagakan kedua tokoh itu cepat dan bertenaga kuat membuat decak kekaguman mereka yang menonton pertarungan itu. Bahkan untuk mereka yang tak memiliki tenaga batin yang kuat, kepalanya terasa pusing menyaksikan pertandingan yang cepat bukan main antara keduanya.

"Bleduk!
"Yeaaa...!"

Tubuh Gagak Lumayung bergulingan di lantai menghindari serangan Pendekar Pulau Neraka. Tapi tubuh pemuda itu melentik dalam posisi miring dengan kedua kaki menendang tubuh lawan bergantian.

"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Ukh!"

Kembali Gagak Lumayung meringis kesakitan. Dalam keadaan terdesak begitu, dia mencoba mengeluarkan pukulan jari sakti menghantam kaki lawan. Tapi Bayu merasakan desir angin panas Serangan lawan, maka tanpa berpikir panjang dia mengerahkan sebagian tenaga dalamnya ke arah kaki. Akibatnya sungguh fatal. Terdengar suara berderak ketika Gagak Lumayung menjerit kesakitan sambil memegang dua jari tangan kirinya yang patah. Wajah kepala pasukan pengawal kadipaten itu berubah garang. Dengan mendengus sinis dia mencabut keris yang terselip di pinggang ketika Bayu tak meneruskan serangan dan memberi peluang padanya untuk menarik nafas.

"Aku biasa bersenjata. Keluarkanlah senjatamu agar pertarungan ini terasa lebih seru!"

"Biarlah untuk sementara aku bertangan kosong. Nanti kalau kurasa tak mampu melayanimu tentu akan kupergunakan senjataku," sahut Bayu tenang.

"Terserahmulah...."
"Hiyaaa...!"

Dengan bersemangat Gagak Lumayung kembali menyerang si Pendekar Pulau Neraka. Untuk beberapa jurus Bayu hanya meladeninya dengan jurus-jurus biasa saja. Tapi gerakan-gerakan yang dibuat Gagak Lumayung selanjutnya sungguh membuat pemuda itu kaget.

"Heh?"

Ujung keris Gagak Lumayung menyambar-nyambar pada bagian tubuh yang mematikan. Gerakannya pun ganas dan kejam, serta betul betul ditujukan untuk membunuh lawan.

"Kisanak, apakah kau ingin membunuhku?" tanya Bayu sedikit kesal.

"Kenapa? Apakah kau mulai takut?" sahut Gagak Lumayung terkekeh pelan.

Bukan main dongkolnya Bayu mendengar jawaban itu. Untuk dua jurus berselang dia masih bisa menghormati tuan rumah. Namun pada jurus berikutnya pemuda itu mulai naik pitam ketika serangan-serangan yang dilancarkan Gagak Lumayung semakin ganas seperti betul-betul hendak mencabut nyawanya.

"Gagak Lumayung, jangan salahkan kalau aku bersikap kasar padamu karena kaulah yang memulainya lebih dulu!" bentak Bayu sambil melentik ke belakang menghindari serangan lawan yang bertubi-tubi.

"Siapa yang akan menyalahkanmu? Ayo, hadapilah seranganku kalau kau betul-betul pendekar tangguh yang digemborkan banyak orang!"

"Baiklah kalau hal itu yang kau inginkan..."

"Hiyaaa...!"


***


Gerakan Pendekar Pulau Neraka cepat bukan main. Gagak Lumayung sendiri sampai terkejut dibuatnya. Tiba-tiba saja keris di tangannya terpental ketika pergelangannya terasa kaku. Belum lagi habis rasa terkejutnya, satu tendangan keras menghantam perutnya. Tubuh Gagak Lumayung terangkat setengah tombak. Masih untung dia mampu jatuh dengan kedua kaki di lantai meski tubuhnya agak limbung. Namun ketika dia kembali bersiaga dengan berjaga-jaga terhadap serangan lawan berikutnya, Pendekar Pulau Neraka telah raib dari tempat itu berikut monyet kecil yang tadi bersamanya. Dari jauh terdengar suara lapat-lapat.

"Maaf Kanjeng Adipati, kami tak bisa berlama-lama di tempatmu ini karena masih banyak yang harus dikerjakan. Terima kasih atas penghormatan yang kalian berikan padaku!"

Semua yang berada di situ terkagum melihat kecepatan bergerak pemuda itu.

"Wah, hebat! Rasanya kalau dia mau pasti Ki Gagak Lumayung dapat dikalahkan dengan mudah," kata salah seorang yang menonton pertandingan itu.

"Iya, iya... kayaknya Ki Gagak Lumayung naik pitam dan bermaksud menyerang pemuda itu secara membabi buta. Ternyata malah membuat malu dirinya sendiri!" sahut kawannya.

Hal seperti itupun tak luput dari perhatian Sang Adipati sendiri. Beliau sangat menyayangkan sikap kepala pasukan pengawalnya itu yang sembrono. Ternyata terlihat bahwa dari pihaknya sendirilah yang melanggar aturan yang telah ditetapkan. Semua orang yang dapat menyaksikan pertarungan itu bisa menilai bahwa serangan Gagak Lumayung belakangan bukanlah pertandingan yang jujur, melainkan pertarungan hidup mati. Dia begitu bernafsu untuk membuat Pendekar Pulau Neraka tewas, atau paling tidak cidera.

"Saudara-saudara semua, hari ini ada yang melakukan pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan. Walaupun itu adalah orangku sendiri, maka tetap dia dikenakan hukuman yaitu tidak diperkenankan mengikuti pertandingan selanjutnya karena dianggap gugur!" kata sang Adipati tegas.

"Maafkan kesalahan hamba Kanjeng Adipati..." sahut Gagak Lumayung menyadari kesalahannya.

Kepala pasukan pengawal kadipaten itu meninggalkan arena dengan langkah pelan. Namun baru saja pertandingan akan dilanjutkan, sekonyong-konyong melesat sesosok bayangan di atas panggung diiringi desir angin kencang yang membuat semua orang yang berada di tempat itu terkejut.

"Walah, ada setan!" teriak seseorang.
"Setan goblok!"
"Iya, setan...."

Semua orang melihat seorang pemuda berambut gondrong kusut masai berdiri tegak di atas panggung. Sorot matanya tajam berkilat memancarkan kegarangan. Tangan kanannya menggenggam sebatang pedang besar yang terlihat tajam.

"Ayahanda, beliaulah orang yang kuceritakan tadi?!" seru Cempaka Wangi dan Wangsa Bangkalan hampir berbareng.

"Pemuda yang menewaskan sisa-sisa Perompak Tengkorak Darah?"

Cempaka Wangi dan Wangsa Bangkalan mengangguk serempak. Belum lagi Sang Adipati buka mulut, pemuda yang berada di atas panggung itu berteriak lantang.

"Siapa yang merasa paling jago di antara kalian boleh maju menghadapiku!"

"Huh, sombong sekali dia!" sahut Senakrama, salah seorang peserta yang memenangkan pertarungan tadi.

"Betul! Sepertinya dia merasa paling jago di kolong jagat ini!" timpal Wlijeng Kono, atau lebih dikenal sebagai Dewa Tangan Delapan.

"Ayo, bukankah kalian datang ke sini untuk bertanding?! Kenapa? Apakah kini kalian menjadi pengecut semuanya?!" bentak pemuda itu lagi dengan suara lantang.

Senakrama yang masih muda dan berjiwa panas langsung menyambut tantangan itu setelah meminta ijin sang adipati.

"Kanjeng Adipati, mohon ijin untuk menghadapi pemuda ini."

"Hmm... silakan. Juga untuk kau kisanak, boleh saja mengikuti pertandingan ini asalkan memegang peraturan dengan teguh. Sebelumnya kau harus memperkenalkan nama lebih dulu," kata Adipati Bangkalan pada pemuda itu.

"Huh, Nara Sudana tak peduli dengan segala aturan! Kau cacing kurus, panggillah semua kawan-kawanmu untuk maju. Kalau tidak kau akan mampus penasaran!" sahut pemuda itu dengan sikap angkuh.

"Untuk menghadapi orang sepertimu cukup aku seorang. Nah, majulah kau kisanak!" sahut Senakrama sambil mencabut goloknya begitu melihat lawan mulai mengacungkan pedang.

"Yeaaa...!"

Pemuda yang mengaku bernama Nara Sudana itu tanpa basa-basi lagi langsung berteriak nyaring sambil memutar pedang. Senakrama agak terkejut melihat kecepatan lawan bergerak. Namun dengan gesit pemuda itupun mencoba berkelit sambil mengayunkan golok menangkis.

"Trak!"
"Breet!"
"Aaaa...!"

Terdengar jerit kematian yang disusul mencelatnya tubuh Senakrama dari atas panggung. Ketika tiba di tanah semua orang tersentak kaget. Pemuda itu tewas dengan perut robek dan isinya terburai keluar.

"Hei!" Adipati Bangkalan serta semua yang hadir di situ tersentak kaget.

"Kejam!"
"Biadab!"
"Bunuh dia!"

Semua orang yang berada di situ berteriak-teriak menuding ke arah Nara Sudana. Tapi pemuda itu malah tersenyum tipis dengan wajah sinis. Adipati Bangkalan masih menahan sabar sambil menarik nafas dalam-dalam.

"Kisanak, kau bukan saja melanggar peraturan tapi perbuatanmu kejam dan telengas dan itu melanggar hukum. Kau sudah sepatutnya mendapat hukuman!" kata sang Adipati tegas.

"Ha ha ha...! Kau akan menghukumku tua bangka? Majulah dan sini biar kuajarkan bagaimana caranya menghukum orang."

Selesai berkata begitu Nara Sudana langsung mencelat dari gelanggang ke arah sang Adipati.

''Kanjeng Adipati, awas!" teriak Gagak Lumayung sambil mencelat dan memapaki serangan lawan untuk melindungi junjungannya.

"Huh, mampuslah kau lebih dulu!" bentak Nara Sudana.

"Trak!"
"Duk!"
"Breeet!"
"Aaa...!"

Tubuh Gagak Lumayung terjungkal dengan darah muncrat dari mulutnya. Pada saat menangkis pedang lawan kerisnya terpental jauh dan Nara Sudana dengan cepat menyabetkan pedang ke lehernya. Tapi Gagak Lumayung masih sempat menundukkan kepala.

Sekonyong-konyong satu tendangan telak menghantam perutnya membuat kepala pasukan pengawal kadipaten itu menjerit keras. Masih untung ujung pedang lawan tertahan ketika beberapa orang pengawal langsung menghadang. Tapi mereka tewas dan ambruk dibabat pedang pemuda itu.

"Keparat! Perbuatannya sungguh biadab! Kepung dan jangan biarkan dia lolos. Bunuh di tempat!" teriak salah seorang anak buah Gagak Lumayung memberi perintah pada seluruh pengawal kadipaten.

Maka sebentar saja seluruh pengawal kadipaten telah mengurung Nara Sudana. Tapi pemuda itu agaknya tak ingin berlama-lama. Sebelum mereka menyerang dia telah lebih dulu berkelebat dengan pedang ditangan menyambar-nyambar ke arah mereka.

"Trak!
Trak!"
"Breet!"
"Begkh!"
"Aaa...!"

Sebentar saja terdengar pekik kematian. yang disusul dengan tumbangnya beberapa orang pengawal kadipaten secara mengenaskan disabet ujung pedang pemuda itu.

"Hajar dia!"
"Bunuuuh...!"

Mereka yang tadi mengikuti pertandingan menjadi kesal dan naik pitam. Seperti ada yang mengkomando, semuanya mengurung pemuda itu dan bersiap melancarkan serangan bersama para pengawal kadipaten.

"Hiyaaa...!

Dengan satu teriakan nyaring semuanya bernafsu ingin menghajar pemuda itu. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan tertawa terbahak-bahak pemuda itu mengamuk sejadi jadinya. Gerakannya cepat bukan main dan mengandung tenaga dalam kuat. Ketika tubuhnya berkelebat maka mendesir angin kencang yang membuat pakaian lawan berkibar-kibar seperti ditiup angin.

"Breet!
Breeet!"
"Aaa...!"

Pekik kematian kembali berkumandang di tempat itu. Darah membanjir dan tubuh-tubuh bergelimpangan dalam keadaan yang mengerikan. Amukan pemuda itu sungguh tiada tertahan. Ujung pedangnya membabat lawan seperti membabat ilalang saja layaknya. Tentu saja hal ini membuat sang adipati menjadi prihatin.

"Wangsa Bangkalan dan kau Cempaka Wangi, cepat selamatkan abang dan kakakmu! Pergi jauh-jauh dari tempat ini. Atau kalau perlu bawa mereka ke padepokan!" teriak Adipati Bangkalan di tengah-tengah amukan pemuda bernama Nara Sudana itu.

"Tidak ayahanda, aku akan tetap berada di sini dan membereskan perusuh keparat itu!" bantah Wangsa Bangkalan.

"Betul ayahanda, kami harus tetap berada di sini dan menangkap si pengacau itu," timpal Dharma Bangkalan, putra tertua sang adipati yang saat ini menjadi pengantin laki-laki.

"Tidak! Kalian harus mengungsi dari sini secepatnya! Biar aku yang akan menghadapi pemuda itu!"

Tapi kedua putra sang adipati itu bukannya mematuhi perintah ayahandanya. Keduanya langsung menerjunkan diri dalam kancah pertarungan.

"Anak-anak bandel!" Dengusnya kesal sambil memalingkan perhatian ke arah Cempaka Wangi.

"Aku pun harus menempur pengacau itu ayahanda," kata gadis itu siap mencabut pedangnya.

"Tidak Cempaka Wangi! Kali, ini kau. harus mematuhi perintah ayahmu. Bawa pergi kakakmu dari sini cepat!"

"Tapi ayahanda...."

"Tidak ada tapi-tapian! Cepat pergi! Aku tak mau melihat kalian semua tewas di hadapanku!"

Walau hatinya mangkal namun gadis itu mematuhi juga perintah ayahandanya. Sekilas matanya melirik ke arah pertarungan. Puluhan mayat telah bergelimpangan bersimbah darah. Gadis itu menggeram hebat. Ingin rasanya saat itu juga dia melompat dan menggabungkan diri dengan yang lainnya menghabisi pengacau itu.

"Kisanak, kali ini hadapilah aku!" bentak sang adipati sambil mencabut keris dan menerjang ke arah lawan.

"He he he...! Rupanya kau pun kepingin mampus seperti mereka? Baiklah. Terima seranganku!"

"Hiyaaa...!"

Bersama kedua putra dan beberapa orang yang tersisa, sang adipati mencoba menaklukkan pemuda bernama Nara Sudana itu.

"Yeaaa...!"
"Trak!"
"Breeet!"
"Aa...!"

Kembali terdengar pekik kematian ketika tubuh pemuda itu berkelebat. Lima orang tokoh persilatan tewas bersimbah darah. Wangsa Bangkalan dan Dharma Bangkalan terkejut ketika bahu mereka kena disambar ujung pedang lawan. Masih untung keduanya cepat berkelit dan cuma tergores. Kalau saja lambat sedikit bergerak niscaya mereka akan kehilangan sebelah lengan.

Sementara itu dalam gebrakan tadi Adipati Bangkalan baru merasakan hebatnya tenaga dalam lawan. Tangannya terasa perih dan kesemutan ketika senjata mereka beradu. Padahal siapa pun mengetahui bahwa Adipati Bangkalan bukanlah orang biasa. Beliau memiliki ilmu silat tak rendah. Kalau saja bukan karena kerendahan hatinya, tak mungkin beliau menolak jabatan sebagai panglima kerajaan tempo hari. Tapi berhadapan dengan pemuda itu betul-betul membuatnya penasaran. Betapa tidak? Pemuda yang melihat dari wajahnya paling tidak berusia tujuh belas tahun itu telah memiliki tenaga dalam setingkat datuk-datuk persilatan.

"Ha ha ha...! Satu dua tiga empat lima... ayo, majulah semua biar kalian lebih cepat mampus!" ejek pemuda itu memandang sinis sambil memutar-mutar pedangnya bagai kitiran.

Adipati Bangkalan mulai menyadari. Jumlah mereka saat itu tinggal lima orang lagi. Selain kedua putranya, ada Wlijeng Kono serta Gagak Lumayung yang telah kepayahan.

"Kisanak, tak ada angin tak ada hujan kau membantai dan membuat kerusuhan di tempatku ini. Ada persoalan apa sebenarnya?" tanya Adipati Bangkalan.

"He he he...! Tak ada angin tak ada hujan semua keluargaku dibantai. Masihkah ada pertanyaan lagi diantara kita?" sahut pemuda itu balik bertanya.

Sang Adipati akan melanjutkan kata-katanya namun terpotong ketika pemuda itu telah berkelebat ke arah mereka sambil membentak nyaring.

"Yeaaa...!"
"Trak! Trak!"
"Breet!"
"Aaaa...!"

"Wangsa...!" teriak Adipati Bangkalan begitu melihat putra keduanya menjerit nyaring disabet ujung pedang lawan.

Perut pemuda itu robek dan nyawanya lepas seketika. Bersamaan dengan itu Gagak Lumayung dan Wlijeng Kono mendapat giliran yang sama. Sementara Dharma Bangkalan cuma kehilangan lengan kanannya saja.

"Keparat! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" bentak Adipati Bangkalan' geram.

"Ha ha ha...! Siapa sudi mengadu jiwa denganmu? Kaulah yang akan lebih dulu mampus menyusul mereka!" sahut Nara Sudana sambil ketawa mengejek.

"Hiyaaa...!"

Bersamaan dengan itu Adipati Bangkalan kembali menyerang lawan dengan gerakan cepat mengandung tenaga dalam hebat. Kali ini ujung kerisnya menyambar-nyambar tubuh lawan seperti tiada henti. Dalam keadaan kalap begitu Adipati Bangkalan hanya memusatkan perhatian dengan menyerang lawan habis-habisan.

Untuk dua jurus yang berlangsung Nara Sudana sedikit terkejut. Serangan lawan yang ditujukan pada setiap daerah kematian di tubuh begitu gencar. Lebih-lebih Dharma Bangkalan sendiri seperti mencuri, tiap kelengahan dirinya. Tapi pada jurus selanjutnya pemuda itu menggertak rahang. Tubuhnya berputar bagai gasing. Dan sambil membentak nyaring ujung pedangnya berkiblat dengan cepat ke hadapan kedua lawan.

"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Breet!"
"Aaaa...!"

Dengan pengerahan tenaga dalam kuat Nara Sudana menyampok senjata lawan hingga terpental. Ujung pedangnya cepat berbalik dan menyabet leher kedua lawan dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata. Terdengar jeritan tertahan ketika leher Dharma Bangkalan putus dan tulang rusuk Adipati Bangkalan berderak dihantam pedang lawan. Keduanya ambruk seketika menambah jumlah korban yang tewas hari ini.

Keramaian itu telah lenyap. Orang-orang yang menonton pertandingan itu telah bubar sejak terjadinya pembantaian yang dilakukan pemuda itu tadi. Bau anyir darah bercampur dengan puluhan bangkai manusia di tempat itu.

"Ha ha ha...! Siapa lagi yang akan mendapat giliran untuk mampus! Ha ha ha...! Siapa pun di antara kalian yang memiliki kejagoan akan mampus di tanganku! Akan mampus di tanganku...! Tunggulah giliran kalian nanti!" teriak pemuda itu berulang-ulang sambil meninggalkan tempat itu.


***


ENAM

Langkah kaki keduanya seperti enggan untuk berlalu dari situ. Cempaka Wangi berat untuk meninggalkan ayahanda serta ibunya yang tak ketahuan bagaimana nasibnya. Sedangkan kakak iparnya yang bernama Pinang Sari cemas memikirkan bagaimana nasib suaminya saat ini. Berkali-kali keduanya melirik ke belakang sambil terus berjalan ke depan.

"Ke mana tujuan kita sekarang adik Cempaka?" tanya Pinang Sari dengan suara bergetar.

"Entahlah. Yang ku tahu saat ini hanya ke Padepokan Laksa Dahana. Mudah-mudahan Eyang Tembayat Danang mampu mencarikan jalan keluar dari kesulitan ini."

"Ah... tak seharusnya kita meninggalkan mereka dalam keadaan kacau begitu. Bagaimana nasibnya Kakang Dharma di sana...."

"Tenanglah Kak Pinang. Kakang Dharma memiliki ilmu silat tinggi. Begitu juga dengan ayahanda. Mereka tak mudah dikalahkan musuh. Apalagi di sana banyak tokoh-tokoh persilatan yang sedang berkumpul. Tentu saat ini mereka telah berhasil menangkap pemuda gila itu," kata Cempaka Wangi menghibur kakak iparnya.

"Tapi hatiku cemas, Dik...."

Cempaka Wangi diam tak menjawab. Kalau ingin berkata jujur, sebenarnya pun dia merasakan hal yang sama dengan kakak iparnya itu. Hanya gadis satu ini bisa menahan diri. Sejak berguru di padepokan itu sifat kekanak-kanakan berangsur-angsur hilang dari dirinya. Pandangannya luas ke depan. Jika dia menimpali kecemasan hati kakaknya tentu suasana akan semakin runyam. Dan kesedihan serta kecemasan mereka akan semakin bertambah.

"Berdo'a saja mudah-mudahan mereka dilindungi oleh Yang Maha Kuasa..." sahut Cempaka Wangi akhirnya.

"Pemuda itu berilmu tinggi. Dalam beberapa gebrakan saja dia mampu menewaskan banyak lawan. Bagaimana mungkin ayahanda serta Kakang Dharma mampu menandinginya?"

"Ayahanda bukan orang sembarangan. Beliau memiliki ilmu silat tinggi. Banyak tokoh-tokoh persilatan yang segan pada beliau. Mudah-mudahan beliau mampu mengatasinya."

"Aku pun berharap begitu..." sahut Pinang Sari ragu.

Keduanya kembali berdiam diri sambil mempercepat langkah.

"Jauh lagi padepokan itu dari sini?"

"Kira-kira setengah hari perjalanan lagi. Apakah kakak masih kuat melanjutkan perjalanan?"

Pinang Sari mengangguk ragu. Cempaka Wangi tersenyum kecil. Saat ini hari telah menjelang senja. Cukup jauh juga mereka telah berjalan. Telah melewati pinggiran hutan dan mulai memasuki wilayah bebukitan. Paling tidak sebelum tengah malam mereka telah sampai di padepokan. Cempaka Wangi memang sengaja mengambil jalan memintas melewati daerah yang jarang dilalui orang. Dengan demikian mereka lebih cepat tiba di padepokan Laksa Dahana.

"Sebaiknya kita istirahat saja di sini..." kata Cempaka Wangi.

Pinang Sari memperhatikan di sekeliling tempat itu. Terasa gelap dan menyeramkan. Sebagai seorang gadis yang biasa dibesarkan di suasana kehidupan mewah dan dimanja, hal ini merupakan penderitaan batin baginya. Diliriknya sekilas Cempaka Wangi enak-enakan duduk di atas batang pohon yang roboh.

"Apakah kakak mau berdiri di situ saja Duduklah barang sejenak, dan setelah penatnya hilang baru kita melanjutkan perjalanan lagi."

Pinang Sari melangkah pelan dan duduk di sebelah adik iparnya itu.

"Lapar? Sayang kita tak sempat membawa bekal makanan tadi. Aku tak bisa menangkap kelinci hutan. Kalaupun bisa, tak bisa memakannya dengan dibakar saja," kata Cempaka Wangi mengeluh.

"Tak apa-apa. Perutku masih terasa kenyang...."

"Kalau begitu aku coba cari buah-buahan saja di sini. Siapa tahu ada sekedar untuk pengganjal perut," kata Cempaka Wangi seperti tak mempedulikan jawaban kakak iparnya itu.

"Cempaka!" panggil Pinang Sari bangkit ketika melihat gadis itu akan beranjak dari duduknya.

"Kenapa?"

"Tidak usah. Aku seram berada di tempat ini. Sebaiknya kau di sini saja."

"Tidak lapar?" Pinang Sari menggelengkan kepala.

"Ya... terserah," sahut Cempaka Wangi kembali duduk.

Namun baru saja mereka hendak melepaskan penat, tiba-tiba melesat tiga sosok bayangan persis satu tombak di hadapan mereka. Dengan gerak reflek Cempaka Wangi cepat bangkit sambil mencabut pedangnya.

Pinang Sari bergetar ketakutan dan wajahnya seketika pucat melihat tampang ketiga orang yang baru datang itu. Ketiganya hanya mengenakan cawat tanpa baju. Tubuh mereka kurus kerempeng dengan kepala botak. Yang satu sebelah matanya besar, di sebelahnya berkaki pincang, dan yang terakhir tangan kirinya pendek.

"Siapa kalian?!" bentak Cempaka Wangi garang.

"Amboi, galak betul kalian. Tapi menambah gelora hatiku yang semakin menggebu-gebu," sahut yang sebelah matanya besar sambil ketawa kecil.

"Bagianku yang di belakangnya saja, Karpala!" teriak yang berkaki pincang.

"Kalau aku pilih gadis yang galak ini!" sahut yang sebelah tangannya pendek.

"Sudah! Jangan serakah. Karena gadis ini cuma berdua maka nanti akan kita bagi rata. Aku duluan sebagai saudara tertua baru bagian kau Karpalu, dan terakhir untukmu Karpali," kata si botak yang sebelah matanya besar itu bergantian pada si kaki pincang dan si tangan kiri pendek yang masing-masing bernama Karpalu dan Karpali.

"Ya, itu baru adil!" sahut Karpalu.

"Huu, aku selalu saja harus mengalah," gerutu Karpali.

"Kurang ajar! Mulut kalian sangat kotor. Kalian kira sedang berhadapan dengan siapa saat ini?!" bentak Cempaka Wangi sambil menudingkan pedang pendeknya.

"Amboi, bukan main galaknya membuat jantungku seperti berhenti berdetak. Sebaiknya cepat ditangkap saja!" sahut Karpalu seenaknya.

"Ya, ya... lebih cepat lebih baik!" timpal Karpali sambil maju dua langkah.

"Jangan melangkah! Atau kalian akan mampus di ujung pedangku ini!" gertak Cempaka Wangi.

"Hi hi hi...! Jangan bermain-main dengan senjata tajam itu Cah Ayu. Nanti akan celaka sendiri!" sahut Karpala.

Selesai berkata begitu ketiganya langsung melompat menjangkau kedua gadis itu. Pinang Sari yang sejak tadi sudah ketakutan, bersembunyi di belakang Cempaka Wangi sambil memeluk punggungnya erat-erat.

"Hiyaaa...!"

Cempaka Wangi menyabetkan pedang ke arah ketiganya. Tapi bukan main terkejutnya gadis itu ketika dia cuma membabat angin.

Sebaliknya terdengar jerit ketakutan Pinang Sari yang telah berada dalam rangkulan Karpala.

"Cempaka! Auw, tolong...!"

"Keparat! Lepaskan kakakku atau kepala kalian yang botak itu akan menggelinding saat ini juga!" bentak Cempaka Wangi garang.

"He he he...! Kau lihat Karpali? Dia begitu galak membuat gairahku ingin meledak-ledak. Sebaiknya cepat-cepat kita tangkap dia," sahut Karpalu.

"Ya, ya... tunggu apa lagi?"

Keduanya kembali melompat dengan gerakan ringan. Tapi kali ini Cempaka Wangi bersiaga penuh. Begitu keduanya sedikit lagi mendekat buru-buru disabetkannya pedang pendek di tangan menghajar tubuh lawan.

"Yeaaa...!"
"Bet!"
"Plak! Tuk!"
"Ohh...!"


***


Bukan main hebatnya gerakan kedua orang bersaudara itu. Bagai sehelai kapas ditiup angin tubuh mereka melayang menghindari sabetan senjata gadis itu. Tangan kanan Karpalu cuma menepuk ringan tangan Cempaka Wangi yang memegang senjata. Akibatnya sungguh hebat. Terasa ada sentakan keras, pedang di tangan gadis itu terlepas. Belum lagi habis rasa terkejutnya tiba-tiba satu tutukan di pinggang membuat gadis itu jatuh lemas. Namun buru-buru Karpali meraihnya.

"Hi hi hi...! Gadis cantik molek, kau akan menjadi pengantin kami malam ini!" teriak Karpali kegirangan sambil memondong Cempaka Wangi mengikuti jejak saudara tertuanya yang baru saja beranjak meninggalkan tempat itu diikuti oleh Karpalu.

"Keparat! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" teriak Cempaka Wangi sambil memaki-maki.

Tapi mana mau mereka melepaskan mereka begitu saja. Walau sepanjang perjalanan kedua gadis itu berteriak-teriak, ketiganya cuma terbahak-bahak kegirangan.

Mereka baru berlari kira-kira seratus tombak ketika di suatu tempat melesat sesosok bayangan menghadang. Ketiganya merandek sambil menyipitkan mata melihat seorang pemuda tampan berwajah keras berdiri tegak. Di pundaknya terdapat seekor monyet kecil berbulu hitam.

"Siapa yang akan membereskan kedua monyet ini?" tanya Karpala berpaling ke arah Karpalu yang tak membawa beban.

"Kalian pergilah lebih dulu. Biar kuselesaikan kedua monyet ini. Tapi jangan habisi sisa ku!" sahut Karpalu.

"He he he..., beres adikku!" sahut Karpala sambil melanjutkan langkah.

Namun baru berjalan beberapa langkah, pemuda berambut gondrong dan berbaju kulit harimau itu berkata dengan nada dingin serta mengancam.

"Boleh saja meninggalkan tempat ini tapi tinggalkan kedua gadis itu atau kalian boleh gorok leher sendiri!"

"He he he...! Bocah kurang ajar. Tak tahukah sedang berhadapan dengan siapa kau saat ini?!" ejek Karpalu.

"Mungkin setelah mendengar nama kita yang termahsyur dia akan lari terkencing-kencing!" sahut Karpali.

"Bocah ketahuilah, kami yang bergelar Tiga Iblis Hutan Gundul. Nah, setelah mendengar nama itu masih ingin coba-cobakah kau berlalu di hadapanku?

Pergilah dan kami akan menganggap bahwa antara kita tak terjadi apa-apa," kata Karpala.

"Tiga Iblis Hutan Gundul, kali ini bukan cuma kepala kalian saja yang akan gundul bila kata kataku tak dituruti. Tapi juga nyawa kalian akan kubuat gundul!" desis pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara atau si Pendekar Pulau Neraka itu.

"Kurang ajar!" maki Karpalu sambil terus melesat menyerang pemuda itu.

"Hiyaaa...!
"Uts, ha...!"
"Plak!"

Dengan gerakan manis, tubuh Pendekar Pulau Neraka bergerak ke samping. Tangan kirinya menangkis pukulan lawan, sedang tangan kanannya menghajar ke arah dada. Bersamaan dengan itu kaki kanannya menyabet kedua kaki lawan yang pincang dan terlihat lemah.

Tapi Karpalu bukanlah tokoh sembarangan. Tubuhnya menotol dengan ringan dan terus mencelat keatas mengirim jotosan ke batok kepala lawan. Tak ada pilihan bagi Bayu selain menangkis. Terdengar Karpalu mengeluh kesakitan sambil memegangi tangannya yang kesemutan akibat benturan kedua tangan tadi.

"Sungguh hebat kau bocah. Tapi jangan kira aku tak mampu mematahkan batok kepalamu!" dengus Karpalu.

"Karpalu, apakah kau tak mampu mengurus bocah itu?!" teriak Karpala kesal.

"Bukankah sudah kukatakan pergilah kalian lebih dulu. Serahkan bocah ini padaku!" sahut Karpalu.

"Baiklah kalau begitu," jawab Karpala.

Bersama dengan saudara termudanya dia langsung meninggalkan tempat itu bersamaan dengan serangan kilat yang dilancarkan Karpalu ke arah Pendekar Pulau Neraka.

"Keparat! Kalian pikir bisa pergi begitu saja dari hadapanku? Huh, jangan harap itu bisa kalian lakukan!" dengus Bayu.

Begitu selesai berkata demikian tangan kanannya terkibas ke atas maka detik itu juga mendesing sinar keperakan dari Cakra Maut yang melesat ke arah keduanya.

"Sing!"
"Hei, Cakra Maut!?"

Ketiga orang itu seperti terkejut dan menghentikan gerakannya. Karpala dan Karpali dengan susah payah menghindari gerakan senjata maut itu.

"Bocah, ada hubungan apa kau dengan si Cakra Maut Eyang Gardika?!" bentak Karpala dengan wajah penuh selidik ketika baru saja terhindar dari maut.

"Beliau adalah guruku. Kenapa rupanya?"

Ketiganya saling pandang sejenak. Kemudian seperti dikomando Karpala dan Karpali meletakkan gadis itu dari bopongan.

"Hmm... dulu aku pernah dikalahkan gurumu dan berjanji tak akan mencampuri dan berhadapan dengannya ataupun murid beliau. Biarlah hari ini kami mengalah. Nah, kau bawalah kedua gadis ini!" lanjut Karpala.

Setelah berkata begitu ketiganya langsung meninggalkan tempat itu dengan gerakan cepat.

"Hei, tunggu...!" Bayu mencoba mencegah untuk meminta penjelasan, namun ketiganya telah lenyap dari pandangan.

Pemuda itu menggelengkan kepala sambil melangkah ke arah dua gadis itu dan membebaskan totokan mereka.


***


TUJUH

"Bayu! Oh, untung ada kau. Kalau tidak entah apa yang terjadi pada kami!" teriak Cempaka Wangi penuh kegembiraan.

"Kenapa kalian berdua di tempat ini?" tanya Bayu heran.

Kemudian Cempaka Wangi pun menceritakan apa yang telah terjadi di kadipaten sejak kepergian pemuda itu hingga kepergian mereka mengungsi karena hura-hara yang dilakukan pemuda bernama Nara Sudana. Bayu terkejut mendengar cerita itu.

"Hmm... tak kusangka dia melakukan kekejaman begitu. Apakah pihak kadipaten tak pernah bermusuhan sebelumnya?"

"Kami tak pernah mengenal pemuda itu, dan ayahanda sendiri tampaknya tak mengerti kenapa tiba-tiba dia datang dan kemudian mengamuk tanpa alasan. Pemuda itu tak pernah mengatakan atasan apa yang menyebabkan dia mengamuk di tempat kami," jelas Cempaka Wangi.

"Kalau demikian sebaiknya kau melanjutkan perjalanan ke padepokan biar aku ke kadipaten!" kata Bayu mengusulkan.

"Tapi...."

"Betul kisanak! Apakah tidak sebaiknya anda ikut, eh mengantarkan kami jika sudi ke padepokan?" potong Pinang Sari masih menunjukkan wajah ketakutan.

Bayu tak langsung menjawab. Sebaliknya mengalihkan pandang pada Cempaka Wangi.

"Kami takut hal-hal seperti tadi akan terulang kembali..." lanjut Pinang Sari.

"Hmm... aku khawatir terjadi apa-apa di kadipaten..." sahut Bayu ragu.

"Di sana berkumpul banyak tokoh-tokoh persilatan. Sedang ayahanda sendiri bukanlah orang sembarangan. Rasanya beliau dengan dibantu yang lainnya mampu menangkap pemuda itu," kata Cempaka Wangi seperti menimpali kata-kata kakak iparnya tadi.

Bayu bukannya tak mengerti maksud mereka. Setelah berpikir sejenak kemudian dia mengajukan suatu usul.

"Baiklah. Sebaiknya memang kuantar kalian ke tempat tujuan untuk memastikan keselamatan kalian. Tapi aku tak bisa berlama-lama karena secepat itu pula akan ke kadipaten. Dan...."

"Kenapa Bayu? Kau kelihatannya ragu?"

"Bisakah kau menggunakan ilmu lari cepat untuk menyingkat waktu?"

"Tentu saja. Hal itulah yang menjadi masalah sebab kakakku ini tak bisa berjalan cepat," jelas Cempaka Wangi.

"Tak jadi masalah. Mari kita berangkat!"

"Auw!"

Pinang Sari tersentak kaget ketika dengan tiba-tiba tubuhnya disambar Pendekar Pulau Neraka dan di bawa berlari dengan cepat. Sementara di sampingnya Cempaka Wangi mengikuti dengan wajah yang sesekali dipalingkan ke arah pemuda itu.

"Maaf, aku tak bermaksud kurang ajar. Tapi cuma dengan jalan ini perjalanan kita akan lebih cepat sampai," jelas Bayu.

Pinang Sari sendiri setelah mengetahui niat pemuda itu tak lagi memprotes dengan wajah kesalnya. Sebaliknya dia malah tersenyum sambil memejamkan mata membayangkan kengerian dibawa berlari yang bukan main cepatnya menurut perkiraannya. Padahal saat menggunakan ilmu lari itu Bayu tak seluruhnya mengeluarkan segenap kemampuannya karena dia mensejajarkannya dengan kemampuan Cempaka Wangi. Waktu bergerak pertama tadi terlihat gadis itu tertinggal jauh dan tak mampu menyusul. Untuk itulah dia terpaksa memperpendek jarak dengan memperlambat larinya hingga mereka tetap bisa seiring.

Sepanjang perjalanan pemuda itu sama sekali tak memperhatikan wajah Cempaka Wangi yang kesal dan cemburu. Entah kenapa, gadis itu tiba-tiba dijalari oleh suatu perasaan kurang senang melihat pemuda itu membopong kakak iparnya. Padahal dia mengerti dan tahu bahwa hal itu dilakukan Bayu untuk memastikan keselamatan mereka serta ketepatan waktunya tiba di kadipaten.

Tiba di padepokan Bayu cuma sempat berkenalan sesaat dengan pimpinannya yaitu Ki Tembayat Danang. Namun ketika dia bermaksud untuk meninggalkan tempat itu ternyata Cempaka Wangi beserta orang tua itu dan tiga orang murid utamanya pun ingin turut serta pula, Bayu tak bisa berkata apa-apa untuk mencegahnya. Saat itu pula mereka kembali meninggalkan padepokan setelah menitipkan Pinang Sari di sana.

"Tidak capek?" tanya Bayu pada gadis itu ketika dilihatnya keringat bercucuran di pipi yang putih kemerahan itu.

Cempaka Wangi melirik sekilas kemudian mengalihkan perhatian lurus-lurus ke depan.

"Kalau capek kau bisa bilang istirahat pada gurumu. Kalau aku tidak...."

"Tentu saja!" sahut Cempaka Wangi ketus.

"Heh! Kenapa rupanya?"

"Tanya saja pada dirimu sendiri! Kau kan laki-laki, dan biasanya laki-laki tak akan pernah capek apalagi setelah membopong seorang gadis cantik."

"Hmm... agaknya kau kurang senang karena aku membopong kakak iparmu itu?"

"Tidak! Aku tahu maksudmu baik."
"Lalu?"

Cempaka Wangi melirik kembali. Cuma sekilas, dan segera mengalihkan perhatian ke arah lain.

"Apakah itu menjadi ganjalan di hatimu? Kalau demikian aku minta maaf..."

"Tak perlu."
"Lho?!"

"Untuk apa kau minta maaf padaku? Minta maaflah pada kekasihmu yang kau lupakan sejenak!"

"Kekasihku?" Bayu bergumam sambil tersenyum kecil.

"Kenapa? Apakah kau ingin berdusta dengan mengatakan bahwa kau tak punya kekasih?"

"Tidak. Bukankah aku tak mengatakan apa-apa?!"

"Berarti apa yang kukatakan benar kan?!"

"Mungkin benar mungkin juga tidak. Tergantung apa yang kurasa di dalam hati. Kalau aku merasa bahwa perbuatanku tadi menyeleweng, tentu saja aku merasa bersalah. Tapi sungguh, aku sama sekali tak merasa bersalah dengan kekasihku karena aku tak merasa bahwa perbuatanku tadi menyeleweng."

"Huh, mana mungkin kau bisa merasakan hati wanita! Kalau saja kekasihmu melihat perbuatanmu tadi jelas dia akan sakit hati!"

"Kenapa mempersoalkan hal itu? Pembicaraan kita jadi ngelantur tak karuan. Apakah kau tidak cemas memikirkan keadaan ayahanda serta saudara-saudara di kadipaten?"

Mendengar kata-kata Bayu, Cempaka Wangi tak berkata apa-apa lagi. Dan kebetulan saat itu kakak seperguruannya berteriak memberitahu.

"Lihat! Terjadi pertarungan di depan sana!"


***


Semuanya langsung melihat ke arah yang ditunjuk. Dan Bayu serta Cempaka Wangi tersentak ketika mengetahui bahwa yang sedang bertarung adalah orang-orang yang pernah mereka kenal.

"Eyang, pemuda itulah yang mengacau di kadipaten!" tunjuk Cempaka Wangi pada seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang sedang bertarung dengan seorang laki-laki berwajah buruk berkepala botak yang dikenalnya sebagai salah seorang dari Tiga Iblis Hutan Gundul.

"Tiga Iblis Hutan Gundul!" desis Bayu.

Si Pendekar Pulau Neraka menggelengkan kepala seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dua orang dari Tiga Iblis Hutan Gundul telah terkapar jadi mayat dengan tubuh penuh sayatan pedang.

"Cempaka, apakah kau yakin pemuda ini yang membuat kekacauan di tempatmu?" tanya Eyang Tembayat Danang meyakinkan.

"Betul Eyang. Mana mungkin aku salah mengenali orang."

"Hmm... agaknya bencana itu kini sedang terulang kembali..." gumam orang tua itu sambil mengelus-elus jenggotnya.

"Bencana? Bencana apa yang eyang maksudkan?!" tanya Cempaka Wangi heran.

"Melihat dari gerakan ilmu silatnya aku teingat pada salah seorang tokoh misterius yang sulit dicari tandingannya saat itu. Tokoh itu seperti orang tak waras. Dia membunuh siapa saja yang tak disukainya seperti orang kerasukan setan. Tak seorang pun mampu menandinginya saat itu. Aku sendiri tak pernah melihat tokoh itu selama ini karena hanya mendengar ceritanya saja dari kakek guruku yang hidup sejaman dengannya," jelas Eyang Tembayat Danang.

"Siapa nama tokoh itu, Eyang?"

"Iblis Maut."

Cempaka Wangi bergidik jantungnya mendengar nama itu. Diliriknya sekilas orang tua itu. Tampak berkali-kali dia menghela nafas. Dengan hati-hati gadis itu kembali bertanya.

"Apakah Eyang mampu mengatasi pemuda itu?"

"Entahlah... aku tak yakin. Kakek guruku sendiri ilmunya tak nempil sedikit pun dengan si Iblis Maut. Dan melihat apa yang dilakukan pemuda itu sama persis dengan apa yang pernah diceritakan padaku dulu," sahut Eyang Tembayat Danang.

Diam-diam tanpa sadar Cempaka Wangi melirik ke arah Bayu. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Pikiran itu masuk begitu saja dalam benaknya. Jika gurunya saja kelihatan ragu berhadapan dengan pemuda itu bisa dibayangkan ketinggian ilmu silatnya. Dan bagaimana bila pemuda itu berhadapan dengan Bayu?

Lamunan gadis itu terusik ketika terdengar jeritan yang menyayat.

"Aaaa...!"

Terlihat lawan pemuda itu terlempar sejauh lima tombak dengan pinggang nyaris terbelah dua.

"Ha ha ha...! Gundul-gundul picisan. Kalian kira bisa menjagoi semua orang selagi aku masih hidup? Puih! Jangan harap itu bisa terbukti. Ayo, siapa lagi yang mau mencoba-coba Nara Sudana! Ke sini kalau ingin mampus?!" bentak pemuda itu ke arah rombongan Ki Tembayat Danang.

Orang tua itu maju mendekati. Ketika jarak mereka telah mencapai tiga tombak dia berhenti dan memperhatikan pemuda itu sekilas.

"Apakah kau juga ingin mampus orang tua busuk? Ayo, seranglah aku! Ingin kulihat kepandaianmu. Kalau ternyata kau hanya orang tua kejemur, kau boleh mampus saat ini juga!"

Sungguh gila pemuda itu! Tiba-tiba saja dia langsung menyabetkan ujung pedangnya ke leher Ki Tembayat Danang.

"Hiyaaa...!"

"Eyaaaaang...!" Cempaka Wangi menjerit seperti memperingatkan.

Tapi sebenarnya peringatan itu tak perlu bagi Ki Tembayat Danang. Sebagai orang tua yang kenyang pengalaman di rimba persilatan tentu saja dia cepat beraksi. Dengan cepat dia menundukkan kepala. Lalu tubuhnya bersalto ke depan ketika pedang pemuda itu dengan cepat berbalik dan menyabet pinggangnya.

"Bet!"
"Yeaaa...!"

Tapi kalau orang tua itu mengira bahwa serangan lawan hanya mengandalkan kehebatan ilmu pedangnya, dia sungguh keliru. Sebab dengan tiada disangka tubuh pemuda itu dengan cepat mengikuti ke mana saja tubuhnya bergerak sambil mengayunkan kaki menendang serta menjotoskan tinju pada jarak jangkauannya.

"Hei!"

Ki Tembayat Danang terkejut. Hampir saja selangkangannya kena ditendang pemuda itu kalau tubuhnya tak cepat berputar menjauh. Tapi saat itu juga tubuh si pemuda bernama Nara Sudana ikut berputar sambil mengayunkan pedang mengincar kelemahan gerak lawan.

"Yeaaa...!"
"Bet!"
"Cres!"
"Eyaaang!"

Cempaka Wangi serta ketiga kakak seperguruannya tersentak kaget melihat ujung pedang Nara Sudana merobek pinggang pimpinan padepokan Laksa Dahana itu. Serentak mereka memburu dengan maksud menolong. Tapi pada saat itu justru Nara Sudana sedang melancarkan serangan susulan.

"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
"Sing!"
"Trak!"
"Bet!"

Nara Sudana tersentak kaget ketika selarik sinar keperakan menahan laju pedangnya. Tapi pemuda itu tak kehilangan gerak refleknya saat satu bayangan berkelebat cepat menyerang dirinya. Pedang di tangan seketika disabetkan dengan kecepatan gila hingga terdengar suaranya yang berciutan. Namun demikian bayangan itu lebih cepat lagi bergerak di belakang sinar keperakan yang kembali menyerang Nara Sudana setelah tadi berkelit menghindari sabetan pedang lawan.

"Trak!"
"Bet!"

Kembali Nara Sudana merasa tangannya sedikit bergetar ketika pedangnya menghajar sinar keperakan yang melesat amat cepat. Tapi kembali pula dia masih mampu menguasai diri dan memapas sosok bayangan yang mencoba menghajarnya. Dan seperti tadi, bayangan itupun mampu berkelit lebih cepat dari kelebatan pedangnya. Kemudian bersalto beberapa kali ke belakang.

"Kau! Kau... aku ingat! Kau adalah orang yang berada di dekat kedai itu bukan?!" tunjuk Nara Sudana ketika melihat siapa sosok bayangan itu.

"Hmm... ingatanmu rupanya tajam juga. Betul, akulah orangnya."

"Siapa kau? Apakah kaupun ingin mampus seperti yang lainnya?"


***


DELAPAN

"Bukankah kau sudah tahu siapa aku karena pernah kukatakan sebelumnya? Nah, soal mampus siapa yang sudi? Tapi kalau kau mau, dengan senang hati aku akan mengantarkannya," sahut sosok bayangan itu yang tak lain dari si Pendekar Pulau Neraka.

"Hmm... melihat gerakanmu agaknya kau boleh juga menjadi lawanku. Tapi kau harus mampus karena aku akan menjagoi seluruh rimba persilatan! Tak boleh ada seorang pun yang menghalangi niatku, dan tak boleh ada yang jago selain diriku!" kata pemuda itu kembali dengan sikap pongah.

"Kisanak, tujuanmu adalah sama seperti apa yang dipikirkan oleh kebanyakan tokoh-tokoh persilatan. Hanya sayang, caramu kurang benar...."

"Peduli dengan ocehanmu!" potong Nara Sudana sambil menuding Bayu dengan ujung pedangnya.

"Kau telah membantai banyak orang seperti hewan...."

"Membantai? Ha ha ha...! Orang-orangnya si Dasa Griwa kubuat mampus semua! Beberapa perguruan silat kocar-kacir di tanganku, dan baru saja orang-orang sok jago di gedung mewah itu semua kuhabisi dengan pedangku ini! He he he...! Dan sekarang giliran kalian yang akan mampus dibantai pedangku!" teriak Nara Sudana seperti orang kesurupan.

"Apa?! Kau telah membunuh seluruh orang di kadipaten?!" teriak Cempaka Wangi seperti tak percaya.

"Kadipaten? Hi hi hi...! Semuanya mampus di tanganku. Bahkan Sang Adipati sendiri mampus! Semuanya mampus! Mampus...!"

"Biadab! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" teriak Cempaka Wangi geram. Gadis itu langsung mencabut pedang pendeknya dan menyerang Nara Sudana dengan kalap.

"Adik Cempaka, jangan!" teriak salah seorang kakak seperguruannya bermaksud mencegah.

"He he he...! Wanita celaka, apakah kaupun, ingin mampus?!"

"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Sing!"
"Trak!"

Dengan sekali hantam pedang pendek di tangan Cempaka Wangi terpental. Pedang besar di tangan Nara Sudana dengan cepat berbalik dan menyambar lehernya. Gadis itu tergagap dan tak mampu berkelit. Eyang Tembayat Danang beserta tiga muridnya yang lain menarik nafas dan mencoba bergerak menolong walaupun itu tak membantu menyelamatkan nyawa Cempaka Wangi yang berada di ujung tanduk. Pada saat itulah Cakra Maut di tangan Bayu mendesing cepat bagai kilat menyambar pedang lawan sehingga Cempaka Wangi terhindar dari maut.

"Yeaaa...!"

Nara Sudana kali ini tak mau didahului lawan. Begitu benturan kedua senjata itu terjadi, tubuhnya berkelebat cepat menyambar si Pendekar Pulau Neraka.

"Hiyaaa...!"
"Bet!"
"Uts!"

Tubuh Pendekar Pulau Neraka jungkir balik menghindari hujan sambaran pedang yang bergerak cepat bukan main serta mengandung tenaga dalam kuat. Sedikit saja dia salah menghindar niscaya nyawanya bisa ditebak kapan akan melayang.

"Eyang, biarkan pemuda ini bagianku. Jangan biarkan seorang pun membantu karena akan membahayakan keselamatan mereka sendiri!" teriak Bayu di sela-sela pertarungan ketika sekilas matanya melirik gadis itu bermaksud kembali menyerang lawannya.

"Cempaka, kau dengar kata-katanya? Nah, cobalah menahan sabar dan relakan semua yang terjadi..." ujar Eyang Tembayat Danang dengan suara lirih.

"Tapi Eyang, si keparat itu harus mampus di tanganku!"

"Percuma. Kau tak akan mampu melawannya, dan hanya mengantar nyawa secara percuma. Pemuda itu bukan manusia lagi, Cah Ayu. Menurut kakek guruku siapa pun yang mempelajari ilmu silat si Iblis Maut sama saja dia mendapat warisan Iblis. Hatinya tak berperasaan dan tak mengenal kasihan. Yang ada di benaknya hanya niat membunuh dan kesombongan," lanjut Eyang Tembayat Danang menyabarkan hati gadis itu yang gundah.

"Tapi... apakah kita akan membiarkan Pendekar Pulau Neraka seorang diri menghadapinya? Dia bisa celaka Eyang?"

"Bagi seorang pendekar seperti dirinya tenaga kita ini bukan membantu malah akan merepotkan dirinya sendiri. Percayalah, dia pasti mampu mengatasi amukan pemuda itu."

"Bagaimana Eyang begitu yakin dia mampu mengatasi pemuda itu?"

"Karena dia murid si Cakra Maut yang sama gilanya dengan si Iblis Maut. Tapi syukurlah ternyata beliau memiliki murid yang mampu mengharumkan namanya."

"Tapi kalau terjadi apa-apa dengan Ka... kang Bayu Eyang ?" tanya Cempaka Wangi sempat terbata-bata mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu.

"Kau tampak mengkhawatirkan keselamatan murid si Gardika itu? Apakah kalian punya hubungan dekat?" goda Eyang Tembayat Danang sambil tersenyum penuh arti.

"Ah, Eyang bisa saja. Apakah Eyang serta yang lain tak mencemaskan Pendekar Pulau Neraka?" elak Cempaka Wangi.

"Tapi kecemasan kami mungkin kalah banyak dibandingkan dengan kecemasanmu terhadap pemuda itu."

"Eyang bisa sa...."

Ucapan Cempaka Wangi terpotong ketika mendengar si Pendekar Pulau Neraka mengeluh tertahan dengan tubuh limbung terhuyung-huyung.

"Eyang!?"
"Kaaaakh...!"


***


Mereka tersentak kaget. Darah mengucur deras dari bahu Bayu yang robek memanjang hingga ke siku kiri. Di dada kirinya terlihat telapak tangan lawan yang berwarna hitam. Dari mulutnya menetes darah kental.

"Kakang Bayu...!"
"Kaaakh...!"

Cempaka Wangi bermaksud mendekati si Pendekar Pulau Neraka, tapi lengan Eyang Tembayat Danang lebih cepat lagi menarik tangannya. Sedangkan monyet kecil berbulu hitam yang berteriak nyaring melihat keadaan Bayu langsung melompat ke pundak pemuda itu yang masih tegak berdiri dengan sorot mata garang. Keadaan Nara Sudana sendiri tak jauh berbeda. Perutnya robek melintang disabet Cakra Maut yang tadi mendesing ke arahnya.

Ketika telapak tangannya berhasil menghantam dada Pendekar Pulau Neraka, kaki kanan Bayu menendang dadanya hingga terlihat beberapa tulang rusuknya patah melesak ke dalam. Daya tahan kedua orang itu memang sangat mengagumkan. Dalam keadaan terluka berat begitu kedudukan mereka masih tetap tegak berdiri. Bahkan Nara Sudana kembali berteriak mengguntur.

"Yeaaa...!"

Tubuhnya mencelat mengirim serangan pamungkas terhadap Pendekar Pulau Neraka.

"Menjauh Tiren..." perintah Bayu pada monyet kecil berbulu hitam yang hinggap di pundaknya dengan wajah sedih.

"Nguk!"
"Hiyaaa...!"

Begitu monyet itu melompat, saat itu pula tubuh Bayu Hanggara melesat memapaki serangan lawan.

"Bet!"
"Begkh!"
"Crab!"
"Akh!"

Kejadian itu begitu cepat sekali berlangsung. Terdengar keluhan pelan yang keluar dari mulut Nara Sudana. Keduanya menjejakkan kaki di tanah dalam posisi saling membelakangi pada jarak dua tombak. Suasana terasa hening.

"Eyang, Kakang Bayu..." sera Cempaka Wangi dengan wajah cemas.

"Tenanglah Nduk. Mudah-mudahan Gusti Allah berkenan melindunginya," sahut Eyang Tembayat Danang dengan hati cemas.

Sebagai tokoh persilatan tentu saja dia mestinya mampu melihat apa yang barusan terjadi. Tapi peristiwa itu cepat sekali berlangsung. Bahkan dia tak sempat mengamati lewat pandangan mata. Hanya penglihatan mata batin serta pendengarannya yang terlatih mengetahui hal itu. Suara desir angin pertanda satu serangan dapat dielakkan, dan suara pukulan serta benda tajam menembus kulit yang disusul jerit tertahan menandakan bahwa salah seorang diantara mereka menjadi korban. Dalam keadaan terluka dalam begitu satu kali lagi pukulan yang mengandung tenaga dalam dilancarkan sudah cukup membuat mereka tewas.

Kelima orang itu menunggu beberapa saat. Ketika keduanya kemudian ambruk, Cempaka Wangi berteriak sendu sambil memburu ke arah Pendekar Pulau Neraka.

"Kakang Bayu...!"

Pada saat yang bersamaan monyet kecil berbulu hitam yang tadi menyaksikan pertarungan dengan serius berteriak nyaring sambil melompat mendekati Bayu.

"Eyang, Kakang Bayu... apakah... apakah dia tewas...?" tanya Cempaka Wangi.

Tak terasa air mata gadis itu meleleh. Terasa keharuan yang menyesak dalam hatinya saat menunggu gurunya itu memeriksa keadaan Bayu. Ketika melihat orang tua itu tersenyum sambil menghela nafas lega, gadis itu seperti tak sabaran menanti jawabannya.

"Bagaimana keadaannya, Eyang?"

"Syukurlah Gusti Allah masih melindungi nyawanya. Namun detak jantung serta gerak urat nadinya lemah sekali. Dia terluka dalam yang cukup parah. Agaknya pemuda itu merupakan lawan tangguhnya kali ini, sehingga dia cukup menguras segenap kemampuan yang dimilikinya," jelas Eyang Tembayat Danang.

Begitu mendengar penjelasan gurunya itu tak terasa gadis itu tersenyum dengan wajah berseri sambil menghapus air matanya.

"Sebaiknya lekas kita bawa ke padepokan untuk diberikan pertolongan!" kata orang tua itu lagi.

"Baik, Eyang!" sahut Cempaka Wangi bersemangat.

Sebelum meninggalkan tempat itu Ki Tembayat Danang memerintahkan ketiga muridnya itu untuk mengubur semua mayat yang berada di tempat itu. Termasuk juga pemuda bernama Nara Sudana. Agak lama dia memandangi tubuh pemuda itu. Dari ubun-ubun sampai ke selangkangannya nyaris terbelah dua dihantam senjata Cakra Maut yang dilontarkan Pendekar Pulau Neraka itu. Kemudian di dada kirinya terdapat gambar lima buah jari yang membuat tulang rusuknya semakin melesak ke dalam. Orang tua itu mengerti bahwa pada saat-saat tertentu tadi Bayu berkelit ke kanan menghindari satu pukulan serta satu kelebatan pedang lawan dengan menghantamkan tangan kirinya ke dada Nara Sudana. Akibatnya sungguh fatal seperti yang terlihat kini!

Seminggu lamanya Bayu dirawat dengan telaten oleh Cempaka Wangi di Padepokan Laksa Dahana. Berangsur-angsur pula luka dalamnya mulai pulih walau tak secara keseluruhan. Dan di saat-saat itu pula keakraban diantara mereka mulai terlihat.

Diantara derai gelak canda keduanya, Tiren hadir menyelingi dengan seringai lucu dan teriakan nyaringnya yang mengagetkan. Pada hari ke delapan pemuda itu bermaksud mohon diri. Walau Eyang Tembayat Danang berusaha mencegah namun niat pemuda itu seperti tak bisa dipatahkan. Yang paling berat melepaskannya justru Cempaka Wangi. Hampir setengah harian dia mengurung diri terus di kamarnya ketika Bayu akan berpamitan.

"Kenapa? Kenapa harus pergi Kakang? Tak bisakah langkahmu sesaat terhenti? Untukku kakang, tak bisakah?" tanya Cempaka Wangi dengan suara lirih dari balik pintu.

"Sulit untuk dijawab, Paka. Tapi kakiku seperti tak hendak berhenti berpijak...."

"Katakanlah Kakang, adakah sesuatu yang bisa menahan langkah kakimu? Maka walau itu seberat apa pun niscaya akan kutempuh juga!"

Bayu menggeleng lemah. Isak tangis gadis itu yang pelan terasa menusuk jantungnya. Tapi apakah dia akan berhenti berjalan, sementara masih banyak orang yang membutuhkan tenaganya? Hidup ini kadang aneh karena Dharma Bakti justru suka atau tidak berbenturan dengan keinginan pribadi. Seperti keinginan, cinta, dan panggilan batin yang sulit dijelaskan dengan cara apa pun. Pemuda berambut gondrong itu melangkah pelan. Entah apa yang dirasanya saat ini. Cintakah dia pada Cempaka?

Gadis itu cantik dan bila dia tersenyum maka sepertinya cahaya bulan kalah gemerlap dalam lubuk hati setiap laki-laki normal sepertinya. Tapi kedua kaki dan niatnya tak kenal kompromi. Walau dari jauh Bayu menyadari bahwa gadis itu memanggil-manggil namanya pelan sambil menitikkan air mata pilu, pemuda itu tak pernah menoleh lagi ke belakang. Hanya kata hatinya yang berkali-kali mengucapkan kata sesal.

"Maafkan aku Cempaka... maaf...."

"Nguk!

Tiren mencowet pelan. Bayu tak tahu maksudnya kali ini!


SELESAI

Kisah selanjutnya IRAMA PENCABUT NYAWA