Iblis Pulau Hitam

Cerita silat pendekar pulau neraka episode iblis pulau hitam
Sonny Ogawa
Cerita silat serial pendekar pulau neraka
Episode Iblis Pulau Hitam

Karya Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit Cintamedia, Jakarta



cerita silat pendekar pulau neraka



SATU

Iring-iringan itu telah mencapai pinggiran hutan Dandaka menjelang sore hari. Ki Panji Narada memberi perintah pada murid-muridnya untuk beristirahat. Beliau memeriksa sebuah tandu berukuran sedang yang diusung murid-muridnya secara bergantian. Setelah memastikan bahwa Praba Ningrum dalam keadaan tenang, ia bermaksud memberi perintah pada murid-muridnya untuk berjaga-jaga.

"Ayah..." panggil Praba Ningrum dengan suara pelan. Gadis itu tersipu malu manakala si orang tua berusia sekitar empat puluh tahun lebih itu menoleh.

Ki Panji Narada tersenyum kecil. "Kenapa, Nduk...? Kau kembali gelisah?"

"Sedikit, tapi hatiku mengatakan bahwa tempat ini tidak aman. Apakah tidak lebih baik kita melanjutkan perjalanan?"

"Tempat ini aman, Nduk. Lagipula sudah hampir seharian mereka terus berjalan tanpa istirahat cukup. Kau tenang-tenang sajalah. Biasa kalau gadis se usiamu sering merasa gelisah menjelang bertemu dengan calon suaminya," goda Ki Panji Narada.

"Ayah bisa saja... tapi sungguh perasaanku tak tenang bukan karena ingin bertemu dengan Kakang Pranajaya. Seperti ada bisikan yang mengatakan bahwa tempat ini tak aman untuk kita beristirahat."

Ki Panji Narada terkekeh kecil. "Itu hanya perasaanmu saja. Ayahmu tak akan berkata sesumbar, tapi kalau ada yang coba-coba mengganggumu seluruh murid Perguruan Jari Sakti ini rela mempertaruhkan nyawa. Nah. kau tenang sajalah. Ayah akan memberi perintah pada mereka untuk berjaga-jaga semalaman," sahut orang tua itu menentramkan hati putrinya.

"Maksud Ayah, kita akan bermalam di sini.

"Ya, kenapa tidak? Desa Sumur Wering satu hari perjalanan lagi dari sini. Kalau sekarang mereka beristirahat, tentu tenaga mereka akan segar bugar begitu tiba di sana. Apakah kau suka melihat ayahmu serta murid-murid lain berwajah lesu bercampur letih saat berhadapan dengan calon besan?"goda Ki Panji Narada kembali.

Praba Ningrum hanya tersenyum. Ia tak tahu harus berkata apa lagi untuk mencegah niat orang tua itu. Kalau Ki Panji Narada berkata demikian, tentu saja beralasan. Pertama, tempat yang bernama Hutan Dandaka ini belum pernah terdengar dihuni oleh perampok atau begal. Kedua siapa yang berani mengusik-usik dan cari gara-gara dengan Perguruan Jari Sakti?

Perguruan yang selama ini telah mampu bertahan hampir satu abad lamanya itu sangat disegani oleh kalangan persilatan. Lebih-lebih pada masa kepemimpinan Ayahanda Ki Panji Narada yang dikalangan persilatan terkenal gengan gelar Pendekar Jari Sakti. Ilmu silatnya tinggi dan amat disegani bukan saja oleh kalangan persilatan, tapi juga kalangan pejabat negara. Sebagai putranya, tentu saja Ki Panji Narada mewarisi ilmu silat beliau.

Berpikir sampai disitu, pastilah orang akan berpikir seribu kali untuk mengganggunya. Apalagi pada saat ini iring-iringan mereka membawa calon pengantin perempuan putra Bupati Sumur Wering yang hubungan kekerabatannya dengan pihak kerajaan amat dekat. Walau demikian, sebagai orang persilatan tetap saja Ki Panji Narada mawas diri. Beberapa kali beliau berkeliling tempat itu untuk memastikan keamanannya. Demikian pula dengan murid-muridnya.

Beberapa orang diantara mereka pun berkeliling secara bergantian. Setelah yakin tak ada sesuatu yang patut dicurigakan, beliau duduk dengan tenang dan jauh dari tenda utama tempat putrinya, Praba Ningrum, beristirahat. Senja baru saja berlalu dan mereka bersiap-siap untuk bersantap malam. Hari ini agak meriah karena beberapa orang murid berhasil memburu lima ekor kijang dan lebih dari lima belas ekor kelinci.

Jumlah itu lebih dari cukup untuk membuat kenyang dua puluh orang murid Perguruan Jari Sakti, serta beberapa orang tamu mereka yaitu lima orang pengawal Kabupaten serta tujuh orang murid-murid Perguruan Tangan Baja. Perlu diketahui bahwa Pranajaya yang merupakan calon suami Praba Ningrum selain Putra Bupati, juga murid dari Perguruan Tangan Baja. Hal ini amat membahagiakan hati Ki Panji Narada. Dengan demikian akan terjalin tali persahabatan yang lebih erat diantara Perguruan mereka berdua.

"Kalian harus makan yang kenyang dan esok hari bangun pagi-pagi agar kita bisa lebih cepat tiba di sana," kata Ki Panji Narada.

"Dan setibanya disana perut kami akan meledak, Ki. Sebab Kanjeng Bupati telah menyiapkan hidangan lezat yang bukan main banyaknya!" sahut salah seorang pengawal Kabupaten melucu.

"Ha ha ha ha...! Kapan lagi kalian makan enak?" timpal seorang murid Perguruan Jari Sakti.

"Mumpung ada kesempatan langka nikmati dulu sepuas-puasnya."

"Bersenang-senang boleh, tapi harus tetap waspada!" ingat Ki Panji Narada. "Hal-hal seperti ini yang kadang membuat manusia lupa akan keadaan sekelilingnya. Mereka terhanyut oleh suasana dan musuh dengan leluasa memporak-porandakan kita."

"Ah, siapa yang berani mengganggu kita, Ki?" sahut salah seorang murid Perguruan Tangan Baja yang bertubuh kekar dengan sikap jumawa.

"Mendengar nama Perguruan kita saja orang akan berpikir dua kali buat mengusik-usiknya. Apalagi saat ini Kanjeng Bupati hajat dalam urusan kita."

"Betul, Ki!" timpal seorang pengawal Kabupaten.

"Barang siapa yang berani mengganggu rombongan ini, apalagi sampai mengusik Putri Praba Ningrum, tentu mereka tak akan lepas dari kejaran Kanjeng Bupati."

Ki Panji Narada tersenyum kecil. "Betul apa yang kalian katakan itu, tapi dikalangan persilatan penuh dengan orang-orang yang tiada terduga kelakuannya," sahutnya dengan wajah bijaksana.

"Dalamnya lautan masih bisa diukur, tapi dalamnya niat yang terkandung di hati manusia siapa yang tahu? Hari ini mereka takut, tapi siapa tahu esok hari keberanian mereka semakin menggila. Untuk itulah kewaspadaan masih mutlak dilakukan."

Orang tua itu baru saja selesai bicara ketika terdengar jerit kesakitan yang disusul munculnya tubuh salah seorang murid Perguruan Jari Sakti. Orang itu termasuk salah seorang diantara tiga orang yang bertugas jaga secara berkeliling.

Mereka terkejut dan bergegas menghampiri, namun belum lagi sempat mencapai temannya, orang itu sudah ambruk. Dari tubuhnya terlihat luka-luka yang mengerikan. Wajahnya rusak, sedangkan ditubuhnya terdapat luka yang lebar dan dalam.

"Koneng?! Astaga, siapa yang melakukan perbuatan keji ini padamu?!" sentak Pandu Wilantara, murid tertua Perguruan Jari Sakti murka. Kedua pelipisnya menegang menahan rasa amarahnya. Diguncang guncangkan tubuh Koneng beberapa kali.

"Kita harus membalasnya!" teriak salah seorang murid Jari Sakti yang lain. Ucapannya menyulut kemarahan yang lain. Serentak mereka mencabut senjatanya masing-masing dan mulai bergerak untuk mencari biang kerusuhan itu.

"Tenang! Tenang...!" teriak Ki Panji Narada.

"Kalian jangan bertindak sendiri-sendiri. Dengar perintahku!"

"Tapi, Ki..." sela Pandu Wilantara terhenti ketika terdengar suara tawa nyaring seperti mengurung tempat itu. Semuanya mencari-cari arah sumber suara itu.


***


"Ha ha ha ha...! Alangkah lucunya. Sekumpulan kijang-kijang empuk mengira dirinya harimau. Tapi saat sepasang harimau yang asli muncul, mereka menggigil ketakutan. Sungguh lucu! Sungguh lucu! Hayo, mengaumlah kalian sekarang!"

Serempak semua mata menengadah pada sebuah pohon tak begitu jauh dari tempat mereka beristirahat. Seorang laki-laki bertubuh besar dengan wajah seram, nampak menyeringai buas dengan sikap meremehkan. Kulitnya hitam dan memakai pakaian kuning berselang-seling. Pada punggungnya tersampir sebilah pedang. Melihat tokoh satu ini, Ki Panji Narada mengernyitkan alisnya. Rasanya ia belum pernah bertemu. Namun merasakan suara tawanya yang mengandung tenaga dalam hebat, pastilah ia seorang tokoh persilatan berilmu tinggi.

"Kisanak, siapa kau? Kenapa datang langsung mengejek kami dan apakah kau ada sangkut-pautnya dengan kematian muridku?" tanya Ki Panji Narada dengan suara datar.

"Kaukah yang bernama Panji Narada, Ketua Perguruan Jari Sakti?" balas orang berkulit hitam itu tanpa memperdulikan pertanyaan Ki Panji Narada.

Sikapnya sombong sekali. Ki Panji Narada masih menahan rasa sabar. Dengan nada suara yang tak berubah, beliau menyahut,

"Benar, namaku Panji Narada dan mengetuai Perguruan Jari Sakti. Nah, Kisanak, kalau kau tak ada urusan dengan kejadian ini kuharap kau sudi berlalu."

"Ha ha ha ha...! Maut telah di ambang pintu tapi sikapmu angkuh sekali. Baiklah orang sepertimu cepat-cepat mencium telapak kakiku. Siapa tahu kami sudi mengampuni jiwamu yang tak berharga. Bukankah demikian Kakang Manggala?!" kata orang itu kembali terbahak-bahak.

Dan selesai ucapannya terdengar satu suara menyahut didahului oleh suara tawanya yang lebih keras hingga menggetarkan mereka yang mendengarnya. Ki Panji Narada merasa takjub. Kehadiran teman si tinggi besar kulit hitam itu sungguh tak disadarinya.

"Betul Adik Durbala. Untuk apa kau bertanya jawab segala dengan cecoro-cecoro busuk ini? Lebih cepat kau habisi mereka bukankah lebih baik?"

Bukan main panasnya hati Ki Panji Narada. Kedua orang ini betul-betul sengaja mencari gara-gara. Walau begitu, dia sempat merasa aneh. Siapa sesungguhnya kedua orang ini? Dari warna kulit serta ukuran tubuh mereka yang besar, agaknya mereka bersaudara. Juga dari pakaian serta senjata yang mereka pergunakan. Hanya saja orang terakhir yang dipanggil Manggala bertubuh lebih besar dan tinggi sedikit dibanding orang pertama. Namun angkuh dan seramnya tiada beda.

"Guru, untuk apa debat omong dengan mereka? Sudah jelas orang ini yang membunuh ketiga murid Perguruan Jari Sakti. Perintahkan kami untuk meringkus dan menghukum mereka!" kata Pandu Wilantara tak sabar. Kedua tangannya terkepal erat dan sepasang matanya menatap tajam penuh dendam kepada dua orang asing itu.

"He he he he...! Besar juga nyalimu, bocah. Sini, biar kupecahkan batok kepalamu!"

Dengan tiba-tiba orang yang bernama Manggala melesat dari cabang pohon tempatnya tadi berpijak dan bergerak cepat mengirim satu tendangan ke arah Pandu Wilantara. Pemuda berusia tiga puluh tahun itu yang memang sejak tadi sudah bersiaga, cepat membuang diri. Namun tak urung ia tersentak kaget. Angin serangan lawan bersiur kencang dan sempat membuat denyut jantungnya berdetak semakin cepat.

"Jangan serakah kau, Kakang Manggala! Aku pun ingin mencicipi mereka!" teriak Durbala yang ikut turun dan menyerang dua orang murid Perguruan Jari Sakti yang berada di bawah cabang pohon tempatnya tadi berpijak.

Tapi kali ini agaknya Ki Panji Narada sudah cukup bersabar diri melihat kelakuan dua orang asing yang menganggap remeh mereka. Dengan serta merta tubuhnya berkelebat dan menyambut serangan lawan.

"Kisanak, agaknya kalian perlu diberi pelajaran agar tidak menganggap bahwa diri bisa berbuat apa saja!"

"Ha ha ha ha...! Bagus! Bagus! Sudah lama sekali aku berniat mencicipi ilmu silatmu. Kata orang Pendekar Jari Sakti memiliki ilmu silat tinggi yang sulit ditandingi. Sebetulnya aku segan menghadapimu. tapi karena saat ini dia tak ada dan kau mewarisi ilmu silatnya, bolehkan kau menghadapiku." sahut Durbala masih dengan sikap meremehkan.

Mendengar ucapan lawan bukan main kesalnya hati Ki Panji Narada. Tanpa menunda lebih lama, ia langsung mengeluarkan ilmu silat tingkat tinggi yang dimilikinya. Dengan demikian lawan akan terbuka matanya dan tak lagi menganggap remeh. Apa yang diharapkan Ki Panji Narada berhasil.

Untuk sesaat lawan dibuat sibuk dan tak sempat mengejeknya. Kedua jari di tangan kiri dan kanan Ki Panji Narada kaku dan keras bagai baja. Angin serangannya tajam bagai kelebatan mata pisau yang mengiris-iris. Tapi sebentar saja lawan kembali terkekeh-kekeh.

"He he he he...! Betul apa yang kuduga, ternyata ilmu silat Jari Sakti tiada kehebatannya. Bagusnya hanya untuk menepuk lalat."

"Huh, keluarkan pedangmu dan mari bertarung sampai seribu jurus. Jangan hanya omong kosong belaka!" dengus Ki Panji Narada semakin kesal.

"Pedangku hanya keluar bila aku bosan melihat wajahmu dan memang saat ini aku betul-betul muak melihatmu."

"Sriiiiing...!"

Selesai dengan kata-katanya, Durbala langsung mengeluarkan pedang yang tadi tersampir dipunggungnya. Ki Panji Narada sedikit tercekat melihat senjata lawan. Pedang itu tak seperti biasanya melainkan bergerigi pada kedua matanya seperti gergaji. Kalau saja ditusukkan ke tubuh lawan, niscaya akibatnya sungguh mengenaskan.

"Kenapa? Mulai takut mati...? He...he...he...!

Lekaslah tusuk jantungmu sendiri sebelum aku memotes lehermu." ejek Durbala.

"Huh, jangan takabur, Kisanak!" dengus Ki Panji Narada. "Walau kau punya ilmu setinggi langit, tak nanti aku lari. Sebaiknya sebut siapa kalian dan apa maksud kalian mengacau disini agar nanti lebih gampang aku menuliskannya di batu nisan!"

"Hebat! Sungguh hebat gertakan mu! Tapi baiklah, untuk orang yang ingin di alam kubur nanti. Nah, ingat baik-baik. Kami berdua adalah Sepasang Iblis Pulau Hitam!"

"Sepasang Iblis Pulau Hitam?" Ki Panji mengernyitkan alis. Belum pernah selama ini ia mendengar gelar itu. Tapi tentang Pulau Hitam sering diperbincangkan orang. Kabarnya di sana bercokol seorang tokoh sesat yang amat sakti. Tapi cerita itupun lambat laun sirna sendiri seiring sang tokoh yang tak pernah terdengar lagi kabar beritanya selama hampir setengah abad.

Tapi apakah mereka berdua ini berasal dari pulau itu?. Tapi tak ada waktu panjang baginya untuk memikirkan hal itu sebab dengan satu gerakan kilat, ujung pedang lawan nyaris membabat lehernya. Ki Panji Narada berkelit ke kiri sambil menundukkan sedikit kepalanya. Tangan kirinya disiringkan dengan cepat ke dada kanan lawan.

"Wuuuut....!"

Namun dengan gerakan yang tak terduga tubuh Durbala seperti berputar ke kanan, kemudian melentik ke atas dua kali sambil menyabetkan pedangnya kembali ke leher lawan.

"Yeaaaaah...!"
"Wuk! Wuk!"
"Aaaaakh...!"

Ki Panji Narada tersentak kaget mendengar jeritan itu. Baru saja ia seperti terlepas dari incaran maut dan bernafas lega, dan kini timbul korban baru. Tidak kepalang tanggung melainkan murid tertua dan paling diandalkannya, yaitu Pandu Wilantara. Tubuhnya nyaris terbelah dua di bagian pinggang. Orang tua itu hampir mual isi perutnya melihat pemandangan yang mengenaskan itu.

"Ha ha ha...! Bocah bagus, sayang kau harus cepat-cepat menyusul teman-temanmu!" ejek Manggala sambil berkacak pinggang. Tapi pada saat itu juga murid-murid Perguruan Jari Sakti lainnya menyerbu dibantu beberapa orang murid Perguruan Tangan Baja serta pengawal Kabupaten.

"Bedebah biadab! Kau harus menebus nyawanya dengan nyawa busukmu!" teriak seorang murid Perguruan Jari Sakti sambil menyerang dengan kalap.

"Wuuceeh, mulut besarmu boleh juga, bocah!"

"Wusss...!"
"Heaaaat...!"
"Crass...!"

Satu lagi lawan tumbang dengan leher hampir putus disabet pedang maut Manggala. Orang itu sempat terkekeh ketika yang lain mengurung dan langsung menyerangnya dengan kalap.

"Bedebah jahanam! Kau terima ini...!" teriak seorang murid Tangan Baja dengan kalap.

"He he he...! Gerakanmu agak lain dari temanmu. Apakah kau sudah kalap dan ingin menghabisi ku secepatnya? Kau boleh bermimpi bocah!"

"Tutup mulutmu!"
"Ciaaaat...!"
"Plak! Breeet...!"

Dengan telapak tangan kiri terbuka, Manggala memapaki tinju lawan, lalu dengan leluasa pedang menyambar ke arah leher. Gerakannya gesit dan mengandung tenaga dalam kuat. Dalam beberapa gebrakan saja telah lima orang kembali tewas ditangannya. Jerit kematian dan darah seperti membanjir di tempat itu. Namun walau demikian, tak seorang pun dari mereka yang berniat untuk kabur. Sebaliknya mereka malah semakin bernafsu untuk menyerang lawan.


***


Sementara itu pertarungan antara Ki Panji Narada dengan Durbala telah berlangsung hingga dua puluh jurus. Perlahan-lahan mulai terlihat ketua Perguruan Jari Sakti itu mulai tersudut. Saat ini dia hanya bisa bertahan mati-matian menyelamatkan jiwanya.

"Ha ha ha ha...! Hanya sampai di sini sajakah kemampuanmu, tua bangka keropos? Ternyata nama Pendekar Jari Sakti yang diheboh-hebohkan orang itu omong kosong belaka. Ilmu silat kalian picisan dan sama sekali tak berguna!" ejek Durbala.

"Jangan banyak omong kau! Terimalah kematianmu!" teriak Ki Panji Narada. Kali ini merubah jurus dan serangannya semakin cepat. Agaknya orang tua itu benar-benar ingin mengadu jiwa dengan lawannya.

"Heaaaa...!"
"Wut! Wut!"

Kedua tangannya yang membentuk tusukan dan jari tangan menyambar-nyambar di sela-sela kelebatan pedang lawan. Untuk sekejap Durbala dibuat jengkel jadinya. Dengan menggunakan tenaga dalam yang tinggi menahan amarah. pedangnya diayunkan lebih cepat sehingga menimbulkan suara angin yang kencang.

"Wuk! Wuk!''
"Ciaaaaat...!"
"Bet!"

Tangan kanan Ki Panji Narada dengan tiba-tiba melesat ke tenggorokan lawan. Durbala tercekat, namun tangan kirinya mengibas bermaksud ingin menangkis. Tapi dengan tiada disangka, Ki Panji Narada menarik serangan ketika tubuhnya melenting ke atas dengan tangan kiri mengarah ke ubun-ubun lawan. Angin serangannya yang mendesir kencang menandakan bahwa orang tua itu mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya lewat tusukan dua jari tangannya. Kalau saja Durbala tak cepat-cepat mengegoskan kepala sambil memutar tubuh, niscaya ubun-ubunnya akan bolong ditembus jari-jari Ki Panji Narada.

"Wuuuk!"
"Dess!"

Bukan main kalapnya Durbala ketika satu tendangan kaki kanan lawan menghajar punggungnya. Walau tak berakibat parah bagi dirinya, tapi sempat juga membuatnya sedikit terjajar. Saat membalikkan tubuh dan langsung menyabetkan pedang, ia tak menduga begitu menjejakkan kaki, tubuh Ki Panji Narada kembali melentik ke atas dan berputar dua kali ke arah belakang dan mengirim satu tendangan yang cukup keras.

"Jangan girang hati dulu kau tua bangka! Kali ini riwayatmu benar-benar akan tamat!" dengus Durbala sambil terus menyerang lawan. Pedang ditangannya seperti bermata, terus mengikuti kemana pun lawan bergerak menghindar. Dalam sekejap saja terlihat bahwa Ki Panji Narada telah terkurung oleh serangan lawan dan tak ada sedikit celah pun baginya untuk menghindar.

"Yeaaah...!"
"Tuk! Breet...!"
"Aaaaarghk!"

Ki Panji Narada mengeluh kesakitan. Saat pedang lawan berkelebat menyabet lehernya. orang tua itu berada dalam genting. Jalan satu-satunya adalah menjatuhkan diri ke tanah. Tapi seiring dengan gerakan tubuhnya, pedang lawan kembali menyambar pinggang. Ki Panji Narada berguling dan tangan kanannya coba menghantam pergelangan lawan. Ia mengeluh kesakitan ketika dua jari tangan kanannya patah terkena benturan tadi. Dan pada saat itulah pedang lawan terus menghajar pinggangnya hingga robek.

"Sekarang terimalah kematianmu...!" Kembali Durbala mengayunkan pedangnya dengan bernafsu. Ki Panji Narada tak punya kesempatan lagi menyelamatkan diri kalau saja pada saat itu dua orang muridnya tak segera membantu.

"Heaaat...!"

"Cecurut busuk, terimalah kematian kalian!" bentak Durbala sambil membalikkan tubuh dan menyabetkan pedang.

Breeet...!
"Wuayyaaa...!"

Dengan sekali tebas, pedang Durbala merobek perut kedua lawan. Terdengar jerit dan lolong kesakitan dua orang itu ambruk dengan isi perut yang terburai. Namun seketika itu juga tiga orang lainnya langsung menyerang tanpa mengenal rasa takut.

"Daluyo, selamatkan Praba Ningrum!" teriak Ki Panji Narada memberikan perintah pada salah seorang muridnya yang bermaksud ikut mengeroyok Durbala.

"Tapi, Ki...?"

"Tak ada waktu lagi. Lekas selamatkan putriku cepat...!"

"Ba... baik, Ki...."

Pemuda berusia dua puluh lima tahun yang dipanggil Daluyo itu langsung melompat ke tempat tandu yang paling besar. Namun belum lagi ia melangkah jauh, tiba-tiba satu angin serangan seolah menerpa ke arahnya. Tanpa menoleh lagi pemuda itu langsung menundukkan kepala dan menghantamkan satu pukulan.

"Wuuk! Praak!"
"Aaaaakh...!"

Daluyo menjerit kesakitan ketika tulang lengannya patah akibat benturan suatu benda keras. Belum lagi ia sempat mengetahui apa yang menghantamnya tadi, satu sabetan senjata tajam menghunjam dadanya. Pemuda itu menjerit panjang ketika tulang dadanya remuk. Seiring tubuhnya ambruk, Durbala terkekeh di dekatnya.

"He he he...! Kenapa aku tak ingat sejak tadi. Bukankah kalian membawa seorang perempuan dalam rombongan ini? Kalau tahu begitu tak akan kubuat kalian menderita lama-lama," ujar Durbala terkekeh sambil melangkah lebar mendekati tandu.

"Jahanam, jangan ganggu anakku!" teriak Ki Panji Narada berusaha bangkit dan bermaksud menahan lawan dengan serangan kilat. Namun dalam keadaan terluka parah begitu, sulit baginya untuk bergerak cepat. Juga bila ia mengerahkan tenaga dalamnya itu sama artinya dengan membunuh dirinya lebih cepat karena aliran darahnya mengalir lebih deras. Tapi demi menyelamatkan putrinya dari bahaya, orang tua itu seperti tak memperdulikan keadaannya lagi.

Trass!"
"Aaaaakh...!"

Sambil mendengus dingin Durbala mengayunkan pedang. Sedetik kemudian terdengar jeritan tertahan Ki Panji Narada. Kepalanya menggelinding ditebas pedang lawan.

Praba Ningrum yang sejak tadi dan ketakutan dalam tandunya melihat kehadiran dua orang asing yang mengacau rombongan mereka, kini lebih terkejut lagi melihat kematian ayahnya yang tragis.

"Ayah...!" teriaknya dengan detak jantung nyaris terhenti. Batinnya terasa hancur dan air matanya tiada lagi bisa tertahan. Tanpa sadar gadis belia berusia tujuh belas tahun itu menghambur keluar memburu ayahnya.

Namun belum lagi sampai, langkahnya terhenti ketika tangan kiri Durbala meraih pinggangnya lalu mengepitnya erat-erat sambil terkekeh-kekeh.

"Ha ha ha ha...! Gadis bagus! Tubuhmu montok dan wajahmu cantik sekali. Diamlah anak manis, kau aman dalam dekapan ku!"

"Lepaskan aku! Lepaskaaan! Jahanam keparat! Lepaskan aku...!"

Praba Ningrum berteriak-teriak histeris berusaha melepaskan diri. Tapi Durbala telah memperhitungkan hal itu. Sebagai putri Ki Panji Narada, tentu ia memiliki ilmu silat dan kepandaian yang lumayan, sebab itulah kepitan Durbala amat kencang. Dan saat kedua tangan gadis itu bermaksud menghajar kepala, tangan kanannya bergerak menotok. Praba Ningrum sesaat terkulai dengan tubuh lemas. Durbala terkekeh-kekeh keras.

"Kakang Manggala, tinggalkan cecurut-cecurut tak berguna itu. Tak sukakah kau dengan apa yang kubawa ini?"

Manggala yang saat itu sedang membantai sisa-sisa lawannya langsung tersenyum begitu melihat Durbala mengepit tubuh seorang gadis. Sambil mengayunkan pedang menghabisi tiga orang lawannya, ia langsung melompat meninggalkan tempat itu mengiringi kelebatan Durbala yang lebih dulu bergerak.

"Aaaaaakh...!"

Ketiga orang terakhir dalam rombongan itu langsung tumbang dengan perut robek dan isinya terburai keluar. Seketika tempat itu sunyi. Dan manakala angin bertiup, bau darah nyaris tercium seketika. Menyapu gelapnya malam menembus belukar dan melewati pegunungan. Dedaunan tertunduk layu, dan bunyi satwa liar terhenti seperti hanyut dalam duka yang dalam.


***


DUA

Awan kelabu yang sejak tadi menaungi angkasa berubah kelam. Beberapa kali kilatan cahaya petir seperti membelah angkasa yang disusul gelegarnya suara geledek. Pemuda berambut gondrong itu melompat cepat dari satu tonjolan batu yang satu ke batu yang lain. Melihat gerakannya yang ringan dan gesit, nyata bahwa ia memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup handal. Sebentar saja tubuhnya telah tiba di seberang sungai itu.

Seekor monyet berbulu coklat yang sejak tadi berada di pundaknya menjerit keras sambil menutupi matanya ketika kilatan petir kembali membelah angkasa.

"Tenang, Tiren! Jangan takut. Itu hanya pertanda bahwa sebentar lagi akan hujan. Tapi kau kalau terus menjerit, dia akan menyambar mu," kata si pemuda yang mengenakan baju kulit harimau itu menakut-nakuti.

"Cieeeet...!"

"Huss, diam! Diam!"

Pemuda itu menepuk-nepuk kepala si monyet bernama Tiren sambil berlari-lari kecil ketika titik-titik air hujan mulai turun. Diliriknya keadaan di tempat itu untuk mencari tempat perlindungan. Namun yang terlihat hanya pohon-pohon besar dari hutan yang tak begitu lebat. Pemuda itu mendesah kesal. Namun mendadak langkahnya tertahan ketika sepasang matanya yang tajam mendapati sesosok tubuh tergeletak di atas rerumputan.

Cieeet! Cieeeet!" Tiren menjerit melengking sambil melompat turun dari pundak Bayu.

"Astaga, kenapa gadis ini?!" sentak Bayu sambil memalingkan wajahnya sesaat. Apa yang dilihatnya adalah sesosok tubuh seorang gadis yang terbaring tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya.

"Tiren, coba bangunkan dia. Barangkali gadis ini hanya pingsan saja!"

"Cieeet"

Dengan patuh Tiren langsung menjalankan perintah Bayu. Digoyang-goyangkan tubuh gadis itu lalu ditutupinya dengan pakaian yang terhampar tak jauh dari tempat itu. Namun tak terlihat gerakan apa pun. Tiren kembali mencericit sambil melompat ke pundak Bayu.

"Apa? Maksudmu gadis ini sudah mati? Mana mungkin!" sahut Bayu seperti tak mengerti apa yang dikatakan sahabatnya itu. Bayu segera berbalik dan memeriksa keadaan si gadis. Sekejap saja Bayu langsung mengetahui bahwa gadis itu dalam keadaan tertotok. Setelah membebaskan totokannya, Bayu bermaksud membopongnya ke tempat yang teduh di bawah pohon besar. Namun saat itu juga terdengar suara halus yang menegurnya dengan sinis.

"Pemuda hidung belang, letakkan gadis itu!"

Bukan main terkejutnya Bayu ketika melihat seorang gadis muda berwajah galak, berdiri tak begitu jauh darinya. Mengenakan pakaian hijau sambil berkacak pinggang. Rambutnya diikat pada bagian belakang. Di sebelahnya berdiri seorang pemuda bertubuh kekar dengan kedua tangan bersedekap. Sepasang matanya menatap penuh kebencian pada Bayu.

"Kisanak, siapa kalian dan kenapa datang-
datang langsung menuduhku demikian rupa? Namaku Bayu Hanggara dan aku bermaksud hendak menolong gadis ini," jelas Bayu dengan suara lunak, masih tetap membopong tubuh gadis tadi.

"Cia! Pandai sekali kau bersilat lidah. Sudah jelas keadaan gadis itu bagaimana, kau tentu belum puas dan ingin melampiaskan kembali nafsu setanmu!" sentak gadis berbaju hijau itu dengan suara kasar.

"Tinggalkan gadis itu atau aku harus memaksamu dengan cara kekerasan dan sekaligus menghukummu!"

"Sriing!".

Dengan tiba-tiba gadis berbaju hijau itu mencabut pedang yang tersampir di pinggangnya. Kemudian menghunus dengan sikap mengancam. Melihat kelakuan si gadis, Bayu Hanggara atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pendekar Pulau Neraka itu menjadi kesal sendiri. Tanpa mengacuhkan mereka, Bayu berbalik dan bermaksud meninggalkan mereka sambil mengeluarkan suara di hidung.

"Setan berkeliaran di mana-mana sambil menyerupai apa pun. Terkadang malah menuduh orang yang tak bersalah apa-apa lebih dulu agar ia bisa leluasa menjalankan maksiatnya."

"Kurang ajar! Jelas-jelas kau yang telah mencabuli gadis itu. Kini malah menuduh kami yang bukan-bukan!" teriak gadis itu kalap. Agaknya ia mengerti apa yang di maksud oleh Bayu. Dan tanpa pikir dua kali tubuhnya melompat sambil mengayunkan pedang.

"Ciaaat!"
"Wus! Wuk!"

Meskipun di tangannya membopong tubuh seorang gadis Bayu masih bisa mengelak dari sabetan pedang. Bahkan dua kali serangan selanjutnya berhasil di elakkan Bayu dengan manis. Tubuh Bayu melesat beberapa tombak jauhnya dengan ke dua kaki menjejak ringan di tanah.

"Nisanak, jangan kau memaksaku untuk bertindak keras. Di antara kita tiada permusuhan dan aku pun tak pernah mengganggu kalian. Kenapa kau begitu bernafsu hendak membunuhku?"

"Pemuda hidung belang keparat! Kalau tidak kutebas lehermu sekarang, tentu akan banyak gadis-gadis malang yang akan menjadi korban niat busuk dari nafsu setanmu!"

"Kenapa kau beranggapan begitu terhadapku? Apakah karena kau pernah menjadi korban seseorang yang wajahnya mirip denganku?"

"Tutup mulutmu! Walau kau mengoceh apa pun jangan harap mataku bisa tertipu dengan pemuda sepertimu! Terima seranganku!"

Begitu selesai berkata demikian, kembali tubuh gadis berbaju hijau itu mencelat sambil mengayunkan pedang. Kali ini gerakan cepat dan bertenaga. Bayu Hanggara yang mulai muak melihat tingkah gadis itu bermaksud akan memberinya pelajaran. Di letakkannya gadis yang berada dalam bopongannya dan bersiap menyambut serangan lawan.

"Heaaaat...!"
"Yeaaaah...!"

Belum lagi gadis itu menjejakkan kaki ke tanah, tubuhnya melayang memapaki. Cakra maut bersegi enam di tangan kanannya menangkis pedang lawan. Sementara kaki kanannya bermaksud menghajar ke arah perut.

"Traang!"
"Wuk!"


***


Gadis itu terkejut kaget. Pedangnya bergetar hebat. Masih untung ia mampu berkelit dari tendangan lawan. Tapi keseimbangan tubuhnya sudah tak terjaga lagi. Dan ketika tubuh Bayu menjejak ke tanah, dengan cepat kembali ia melentik dan mengirim satu pukulan sebelum gadis itu menyentuh tanah. Sungguh indah gerakannya. Dan kali ini gadis itu tak akan mampu menghindar dari serangan.

"Pemuda keparat! Akulah lawanmu!"

"Wuss!"
"Haiit...!"

Bayu Hanggara melejit ringan manakala pemuda yang tadi bersama gadis itu dengan tiba-tiba menyerang ke arahnya dengan satu pukulan jarak jauh. Masih untung pendengarannya yang tajam mengingatkan akan bahaya itu. Ketika kedua kakinya menjejak di tanah pada jarak lima tombak. Pemuda itu terkekeh kecil. Dilihatnya si gadis berbaju hijau mendengus marah dan wajahnya tambah menyiratkan kebencian.

"Hemm, apakah kau bermaksud akan meringkusku pula?" tanyanya datar pada pemuda bertubuh kekar yang mengenakan baju hitam itu dengan suara datar.

"Tergantung...."

"Bagus! Agaknya akalmu lebih di pakai ketimbang kekasih mu itu."

"Maksudku tergantung dari kata-katamu. Kalau melihat caramu menyerang adikku, tentulah kau bukan orang baik-baik. Namun demikian aku tak ingin menuduh orang sembarangan sebelum jelas persoalannya."

"He he he he...! Tentu saja. Siapa yang tak ingin membela kekasihnya. Kalau ia menyerang dengan bernafsu ingin mencabut nyawaku, dalam anggapanmu itu hanya sekedarnya saja. Tapi sebaliknya tidak."

Pemuda bertubuh kekar itu mengerti akan sindiran lawan. Dia menarik nafas dalam-dalam untuk menyabarkan diri, kemudian katanya pelan namun ada kesan mengancam.

"Kalau kau yakin bahwa dirimu tak bersalah, maka gadis itulah yang menjadi kunci satu-satunya. Kulihat sekilas ia hanya pingsan. Tentu sebentar lagi akan sadar, dan kalau kemudian terbukti kau melakukan perbuatan terkutuk itu, kau tak akan lepas dari tanganku!"

"Ha ha ha ha...!' Boleh juga ancamanmu, sobat. Nah, kenapa tak kau urus saja dia sementara aku menonton di sini."

Pemuda itu mendengus sinis, kemudian memberi isyarat pada gadis berbaju hijau itu untuk memeriksa keadaan gadis yang masih belum sadarkan diri itu.
Sementara itu hujan mulai turun agak deras dan mereka berteduh di bawah pohon rindang yang memiliki daun-daun yang rimbun. Bayu Hanggara hanya memperhatikan saja gadis berbaju hijau itu mengurut-urut pada bagian-bagian tertentu di tubuh gadis yang tadi ditemukannya. Untuk beberapa saat kemudian terlihat reaksinya. Gadis itu mengeliat-geliat dengan suara lirih.

"Ohh...!"

"Tenanglah, Nona. Kau berada di tempat yang aman. Kami tak bermaksud menyakitimu."

Gadis itu bangkit dan memandang ketiga orang asing di hadapannya satu persatu. Kemudian menatap dirinya sekilas dan termangu sejenak. Tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu tanpa sebab.

"Nona, tenanglah. Kami hanya bermaksud menolongmu. Namaku Ratih, dan ini Kakangku Mahendra. Aku tahu apa yang telah kau alami. Kalau kau mengenalinya, katakan pada kami. Orang itu tak akan lepas begitu saja."

"Alangkah malangnya nasibku. Ohh.... Alangkah malangnya..." ujar gadis itu berkali-kali di antara isak tangisnya. "Tiada guna hidup menanggung malu...."

"Nona, tenanglah. Kami bersungguh-sungguh akan membantumu dan membalas sakit hatimu. Nah, apakah pemuda ini yang telah melakukannya terhadapmu?" tunjuk gadis berbaju hijau yang mengaku bernama Ratih pada Bayu Hanggara.

Tapi gadis itu tak menoleh. Ditatapnya gadis dihadapannya itu dengan wajah sayu.

"Betulkah kalian ingin menolongku...?"

"Tentu saja. Nah. katakanlah siapa orang itu?"

"Cabutlah pedangmu dan bunuhlah aku saat ini!"

"Nona, jangan main-main! Kami bersungguh-sungguh akan menolongmu. Orang seperti itu harus mampus agar tak lagi mencari korban!" dengus Ratih.

Gadis itu kembali terisak pelan sambil menggelengkan kepala.

"Kalian tak akan mampu menghadapinya... kalian tak akan mampu..." ujarnya dengan suara lemah.

"Cuih! Meski harus berkorban nyawa, aku rela asal bajingan seperti itu lenyap dari muka bumi ini! Katakanlah Nona, siapa dia? Apakah pemuda ini?!"

Sudah dua kali gadis itu menuding padanya. Jengkel juga perasaan Bayu Hanggara. Agaknya lekat betul tuduhan gadis ini padanya. Entah apa sebabnya, tiba-tiba merasa yakin bahwa dialah yang telah berbuat tak senonoh pada gadis itu.

"Bukan... mereka menamakan dirinya sepasang Iblis Pulau Hitam," sahut gadis itu. Kemudian ia menceritakan kejadian yang telah dialaminya dari awal hingga akhir. Selesai gadis itu bercerita, Bayu Hanggara angkat bicara sambil melangkah pelan dari tempat itu.

"Nah, Nona... kukira penjelasan Adik Praba Ningrum telah jelas, bukan? Kalau kalian berniat membantunya, jangan tanggung-tanggung. Uruslah dia dan jangan pernah mengurus orang lain yang tak bersalah dengan menuduhnya yang tidak-tidak."

Setelah mengajak sahabatnya, Tiren, Bayu Hanggara melesat dari tempat itu dengan gerakan ringan. Sebentar saja tubuhnya lenyap dari pandangan mata mereka. Ratih dan Mahendra masih terpaku dengan wajah menyesal. Baru saja mereka turun gunung dan yakin bahwa ilmu yang mereka pelajari selama ini tiada tandingannya, tiba-tiba dengan mudah seorang pemuda yang sebaya dengan mereka melayaninya. Betapa tidak?

Guru mereka yang dikalangan Persilatan terkenal dengan gelar Malaikat Penyambung Nyawa bukanlah tokoh sembarangan. Dalam jajaran tokoh-tokoh golongan putih beliau termasuk yang amat disegani. Bukan saja pada ketinggian ilmu silatnya, tapi juga karena keluasan cara berpikirnya dan kebijaksanaan yang sering dilihat sesama tokoh lain dalam menyelesaikan setiap masalah. Tapi kini sebagai murid, mereka bukan saja menganggap lawan remeh, tapi juga menuduh tanpa alasan yang jelas.

"Sungguh sayang, kita tak mengetahuinya dengan jelas siapa pemuda itu sebenarnya. Ilmu silatnya tinggi. Entah dari golongan mana ia berasal...." kata Mahendra pelan.

"Mungkin juga dia murid tokoh sesat, Kakang. Kenapa di persoalkan sekali? Sikapnya saja sudah jelas, Dia sama sekali tak tergerak untuk menolong sesamanya. Mendengar cerita Praba Ningrum yang amat mengenaskan itu, tak membuat hatinya tergerak untuk membasmi tokoh yang menamakan dirinya Sepasang Iblis Pulau Hitam. Padahal kepandaiannya cukup lumayan dan bisa diandalkan," sahut Ratih.

"Mungkin ada alasan tertentu dalam hatinya. Kita tak bisa menerka maksud seseorang dengan melihat kulit luarnya saja, Ratih...."

"Sudahlah, Kakang.... Untuk apa kita memperbincangkan orang yang tak ada. Sekarang bagaimana dengan Praba Ningrum? Apakah akan kita antarkan kepada calon suaminya, yaitu putra Bupati Sumur Wering atau bagaimana?"

"Bagaimana, Praba? Apakah kau bersedia kami antarkan ke tempat calon suamimu?" tanya Mahendra kembali pada gadis bernama Praba Ningrum itu.

Gadis itu terdiam beberapa saat lamanya. Hatinya bimbang bukan main. Masih punya rasa malukah ia bertemu dengan calon suaminya dalam keadaan begini? Ohh, rasanya lebih baik menceburkan diri ke dalam jurang terjal ketimbang harus menghadapi aib yang memalukan ini.

"Lebih baik tinggalkan aku saja di sini..." sahutnya lemah.

"Jangan berkata begitu, Praba...." Ratih memegang kedua lengannya dan membujuk.

"Aku mengerti apa yang kau rasakan, tapi lebih baik menghadapi kenyataan daripada lari menghindar. Kami akan menceritakan hal ini pada mereka. Mudah-mudahan mereka mau mengerti. Tapi kalau ternyata calon suamimu dan Bupati Sumur Wering itu berpikiran picik, lebih baik kau ikut dengan kami ke padepokan. Nah, bagaimana? Kau mau bukan?"

Praba Ningrum tak langsung menyahut. Di pandanginya gadis itu agak lama sebelum mengangguk pelan. Ratih tersenyum dan membimbingnya perlahan-lahan. Setelah hujan reda, ketiganya segera berlalu dari tempat itu. Hati Praba Ningrum masih gamang. Bayangan kelabu senantiasa berada dalam pikirannya. Namun Ratih selalu menghibur dan membesarkan hatinya. Perlahan-lahan gadis itu mampu tersenyum kecil, walau masih terasa kesan getir.


***


Ibukota kabupaten kini nampak sepi. Orang-orang yang tadi berkerumun di halaman depan rumah bupati, kini bubar satu demi satu. Bukan saja oleh hujan deras yang seolah sengaja dicurahkan dari langit sejak tadi pagi, namun juga karena keramaian yang diadakan Kanjeng Bupati tidak seperti yang diharapkan. Putra beliau yang bernama Pranajaya sejak pagi tadi terus gelisah.

Seharusnya calon isterinya sudah tiba pagi-pagi sekali. Namun sampai siang tadi, belum terlihat tanda-tanda kehadiran rombongan tersebut, Hiburan yang beraneka macam didatangkan Ayahandanya, seperti tak mampu mengusik kegelisahan hatinya. Dan kini senja mulai berakhir. Halaman depan telah sepi. Panggung besar yang dihiasi oleh rupa-rupa kembang serta rangkaian janur kuning dan umbul-umbul beraneka warna bergerak-gerak tertiup angin.

"Mungkin mereka mendapat halangan di jalan, Nak. Berdoa saja mudah-mudahan bukan marabahaya...." hibur Ayahandanya.

"Tapi hatiku tak bisa tenang, Ayah. Sepertinya Dinda Praba Ningrum serta yang lain ada dalam bahaya. Apakah tidak sebaiknya Ayahanda memerintahkan pengawal untuk menyusul mereka?" tanya Pranajaya dengan wajah cemas.

"Sudah. Siang tadi usai bubar acara, Ayah telah mengirim sepuluh orang utusan. Bahkan gurumu. Ki Anom Subrata sendiri mengirim tujuh orang murid terbaiknya untuk menyusul rombongan itu."

"Betul, Den Prana !" sahut seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih bertubuh agak pendek yang sejak tadi berada di dekatnya.

"Jangan khawatir. Kakang-kakang mu pasti mampu membereskan persoalan, kalau benar ada pengacau yang mengganggu rombongan itu."

"Aku tidak meragukan kemampuan Kakang seperguruan. Guru. Tapi ..... ahh sulit sekali untuk dijelaskan. Entah kenapa kecemasan ku begitu kuat bahwa mereka menghadapi bahaya besar yang rasanya sulit dibendung. Kalau saja Ayahanda mengizinkan, Aku bermaksud untuk menyusul mereka ke sana."

"Kau pengantin, Nak. Dan mana boleh pengantin berkeliaran kesana kemari. Lagi pula urusan itu sudah ditangani oleh Kakang seperguruanmu. Tenangkanlah hatimu, mudah-mudahan segalanya akan cepat beres," hibur Kanjeng Bupati.

Baru saja laki-laki berpakaian bagus selesai bicara, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa nyaring yang memekakkan telinga. Suara itu datangnya entah dari mana. Mereka mencari-cari sumber suara itu dan saling berpandangan tak mengerti.

"Ha ha ha ha....! Alangkah sedihnya hatiku melihat sang pengantin begitu berduka. Tapi untuk apa sedih, bila pengantin wanita itu sendiri lebih menyukai diriku dari pada kekasihnya hingga rela menyerahkan diri ke dalam pelukanku. Ha ha ha...!

"Siapa kau ?! Tunjukkan dirimu !" bentak Ki Anom Subrata.

"Ha ha ha ....! Orang cebol besar mulut, boleh juga gertakkanmu, tapi kau tak akan lagi melihat matahari esok pagi karena kedatanganku kemari untuk mencabut nyawamu yang tak berharga itu!" sahut suara tadi.

"Huh, hanya pengecut bermulut besar yang biasanya cuma bersembunyi. Tunjukkan dirimu atau harus ku paksa dulu untuk keluar!"

"Ha ha, ha ....! kalau benar kau punya nyali, keluarlah dari tempatmu dan berlututlah minta ampun. Siapa tahu aku bersedia mengampuni jiwamu!"

"Kurang ajar !" Ki Anom Subrata yang lekas naik darah itu langsung menggenjot tubuhnya keluar dan tubuh pendek itu terus melenting ke wuwungan atap dengan satu teriakan menggelegar.

"Yeaaa...!"
"Haiiiiit...!"

Begitu tubuh Ki Anom Subrata melesat, saat itu pula satu bayangan mencelat dengan ringan menghindari serangan, dan menjejakkan kaki persis di halaman depan. Kanjeng Bupati serta putranya dapat melihat jelas sesosok tubuh tinggi besar berkulit hitam pekat. Memakai baju kuning berselang-seling hitam. Orang itu menyandang sebilah pedang di punggungnya. Rambutnya dibiarkan lepas terurai sebatas punggung. Wajahnya tak begitu menyeramkan kalau saja ia tak berkulit hitam begitu, namun sorot matanya tajam menusuk seperti meremehkan setiap orang.

"Siapa kau, Kisanak? Dan apa tujuanmu sebenarnya datang ke tempatku ini?" tanya Bupati Sumur Wering dengan suara lunak.

Namun belum lagi si muka hitam itu menyahut, dari atas wuwungan atap tubuh Ki Anom Subrata meluruk turun dengan satu serangan kilat ke arah orang asing itu.

"Maling busuk ! kali ini kau tak akan lepas dari kejaranku!"

"Ha ha ha ha...! Apakah kau yang bernama Anom Subrata, Ketua Perguruan Tangan Baja?" tanya orang berwajah hitam tak mempedulikan makian lawan. Tubuhnya yang tinggi besar itu bergerak amat lincah saat serangan orang tua bertubuh pendek itu mengenai tempat kosong.

"Apa maumu sebenarnya?!" bentak Ki Anom Subrata menghentikan serangannya sambil berkacak pinggang. "Benar, akulah Anom Subrata!"

"Ha ha ha ...! kau lihatlah Kakang Manggala. Sungguh sombong sekali lagak tikus kerdil ini. Baiknya cepat-cepat direncah, lalu diberikan pada srigala-srigala kelaparan di hutan sana!" kata si wajah hitam terbahak-bahak menengadahkan wajah ke atas sambil berkacak pinggang. Suaranya lantang dan keras membahana diseputar tempat itu. Hingga tanpa menunggu panggilan dari Bupati, para pengawalnya langsung berkumpul di halaman depan lengkap dengan senjata masing-masing.

"Ha ha ha ha...! benar adik Durbala, orang seperti dia akan merasa dirinya jago dan harus cepat-cepat di penggal lehernya." sahut satu suara yang tak kalah kerasnya.

Tiba-tiba mencelat sebuah bayangan dari wuwungan atap dan menjejakkan kaki tak jauh dari Ki Anom Subrata. Sepasang matanya langsung terarah pada Bupati Sumur Wering dengan sikap mengancam.

"Kalau kau ingin selamat, singkirkan cecurut-cecurut ini dari sini! kami hanya ingin berurusan dengan tikus kerdil ini!" tunjuknya pada Ki Anom Subrata.

"Siapa kalian dan ada urusan apa dengan Ki Anom Subrata?" tanya Bupati masih dengan suara datar.

"Lagi pula jangan berharap kami tak takut ikut campur dalam urusan ini. Kalian datang tanpa di undang, lalu seenaknya cari urusan dengan tamuku dan mengacau di pekarangan ini. Itu saja lebih dari cukup untukku ikut campur dalam masalah mu."

"Bandel!" bentak orang yang muncul belakangan. Wajahnya yang sama hitam dengan orang pertama tadi, nampak lebih kelam menyiratkan hawa kemarahan. Urat-urat di kedua pelipis dan tangannya nampak keluar. Dalam keadaan demikian, orang ini amat menyeramkan, lebih-lebih karena tubuhnya lebih besar di banding orang yang pertama yang dipanggilnya, Durbala. Kalau dilihat sepintas, mereka seperti saudara kembar, sulit dibedakan mana kakak dan mana adik . Hanya besar tubuh mereka yang mungkin sedikit bisa dibedakan.

"Kurung mereka!" perintah Bupati dengan suara tegas. "Tangkap hidup-hidup agar bisa diadili dan diberi hukuman yang sepadan atas kelakuan mereka."

Tanpa diperintah dua kali, pengawal pengawal kabupaten yang telah berkumpul itu mulai mengurung kedua orang asing itu. Kemudian dengan satu teriakan nyaring senjata berupa golok dan tombak di tangan mereka langsung meluruk menyerang lawan.

"Heaaaa....!"

"Cecurut-cecurut sialan ! kalau sudah siap mampus, sini!" bentak Durbala sambil mencabut pedang di punggungnya.

Sriiing !

Untuk sesaat para pengeroyoknya tersentak kaget melihat senjata lawan berupa pedang bergerigi berukuran lebih besar dibanding pedang lain pada umumnya. lebih mirip gergaji bermata dua yang tajam dan kuat. Tapi setelah Bupati kembali memerintah, semangat mereka bangkit.

"Ayo, kurung buto ijo ini! kurung...!" "Ringkus....!"

Namun dua orang bertubuh besar itu hanya tenang-tenang saja seolah menganggap hanya sebuah permainan belaka. Dan sikap itu di buktikan oleh serangan balasan mereka yang amat mengejutkan. Sekali bergerak, paling tidak tiga orang langsung ambruk dengan leher hampir putus dan perut robek lebar hingga isinya ikut terburai keluar. Tentu saja pemandangan ini mengiris hati Bupati Sumur Wering. Lebih-lebih Ki Anom Subrata, mana bisa orang tua itu berpangku tangan melihat kejadian ini.

"Iblis biadab! Akulah lawanmu!" bentaknya sambil melompat ke arah Durbala dengan satu serangan bertenaga kuat.

"He he he he...! bagus, kenapa tidak sejak tadi?" ejek Durbala langsung memapaki serangan lawan dengan sabetan pedangnya.

Terpaksa Ki Anom Subrata menarik serangan, tubuhnya jumpalitan menghindari sabetan pedang lawan. Dan dengan gerakkan kilat kaki kanannya menendang ke kepala Durbala.

"Wuuk !"
"Crass...!"

Ki Anom Subrata mengeluh pelan. Lawan dengan mudah berkelit sambil menundukkan sedikit kepala, pedangnya berkelebat memapas pergelangan lengan lawan. Masih untung Ki Anom Subrata mampu berkelit meski tak urung bahunya sempat terkena sabetan senjata lawan.

"Adik Durbala, jangan serakah kau ! Biar tua bangka, ini bagianku!" teriak Manggala sambil terus melompat meninggalkan para pengeroyoknya dan langsung menyerang Ki Anom Subrata.

Durbala terkekeh-kekeh sambil menghadang para pengawal Kabupaten yang menyerangnya. Dia mengamuk, membabat siapa saja yang berada di dekatnya. Hingga dalam tempo yang singkat halaman depan rumah Bupati Sumur Wering ini banjir oleh darah.

Sementara itu Manggala tak memberi sedikitpun kesempatan pada Ki Anom Subrata untuk melepaskan diri dari serangannya. Orang tua itu sendiri merasakan serangan lawan semakin menggila. Beberapa kali ujung pedang lawan nyaris menyabet kulit tubuhnya. Bila dibandingkan dengan lawan pertama tadi, dapat dirasakannya bahwa tenaga lawannya yang sekarang jauh lebih kuat dan gerakkannya pun lebih ringan.

"Heaaat...!"

Dengan satu teriakkan menggelegar, Manggala menyabetkan pedangnya dengan gencar ke arah tenggorokan lawan. Ki Anom Subrata menundukkan sedikit kepalanya namun kaki kiri lawan langsung menyambut dengan satu tendangan keras. Ki Anom Subrata terkejut dan cepat-cepat membuang diri ke belakang sambil bersalto. Namun agaknya Manggala telah memperhitungkan hal itu. Tubuhnya langsung bergerak menyusul dengan tinju kiri siap menghajar lawan.

"Plak! Crass!"
"Wuayyaaa...!"

Ki Anom Subrata hanya sempat menjerit kecil ketika pedang lawan menebas pinggangnya hingga terdengar derak tulangnya yang patah. Tubuhnya langsung ambruk dengan nyawa lepas. Manggala berdiri tegak sambil terkekeh-kekeh.

"Mampuslah kau tua bangka keropos!" kemudian melirik ke arah Durbala yang masih asyik membantai lawan-lawannya.

"Adik Durbala, ayo kita tinggalkan tempat ini!" "Sebentar, Kakang Manggala ! kau pergilah dulu, aku belum puas kalau belum menghabisi cecurut-cecurut kurang ajar ini!"

"Baiklah kalau begitu!" sahut Manggala sambil melentingkan tubuhnya dan berkelebat dari tempat itu secepat kilat. Dalam sekejap saja tubuhnya lenyap dari pandangan meninggalkan suara tawa panjang penuh kemenangan.


***


TIGA

Senja belum lagi berganti ketika Bayu Hanggara tiba di desa Sumur Wering. Suasana terasa sepi, dan tanah nampak masih lembab dan sebagian terlihat tergenang air. Kalau Bayu Hanggara sampai tiba di sini rasanya memang bukan sekedar kebetulan belaka. Ada yang mengganjal di hatinya setelah mendengar penuturan gadis bernama Praba Ningrum itu. Nama Sepasang Iblis Pulau Hitam baru sekali ini didengarnya, tapi sepak terjangnya sangat kejam. Walau ia belum melihat sendiri bukinya, tapi dari cerita gadis itu bahwa Perguruannya belum pernah bermusuhan dengan kedua orang itu.

Dan saat pembantaian itu terjadi, tak pernah didengarnya mereka mengemukakan alasan, kenapa memusuhi Perguruan jari Sakti. Bayu Hanggara, pemuda berbaju kulit harimau yang lebih di kenal sebagai Pendekar Pulau Neraka itu baru saja akan melangkahkan kakinya pada sebuah kedai, terdengar teriakan seseorang dari kejauhan menghampiri tempat itu.

"Ada pengacau! Ada pengacau...!" Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu segera menghampiri orang tersebut. Salah seorang mencekal lengannya.

"Ada apa?!"

"A... ada pengacau di rumah Bupati. Ba... banyak yang tewas! Cepat bunyikan kentongan!" cerita orang itu sambil mengatur nafasnya yang memburu.

"Siapa?" tanya yang lain.

"Tidak tahu. Mereka cuma berdua. Tubuhnya tinggi besar dan berkulit hitam!"

Bayu Hanggara yang mendengar cerita orang itu jadi tergerak hatinya. Menurut penuturan Praba Ningrum, dua orang pengacau yang membantai rombongan mereka persis seperti apa yang di tuturkan orang tadi. Mungkinkah ia mendatangi kediaman Bupati karena kurang puas dengan korban di pihak mempelai wanita?

Tanpa membuang waktu lagi Bayu segera menggenjot tubuh dan berlalu dari tempat itu secepatnya. Tiren, si monyet kecil sahabatnya ribut menjerit-jerit kecil. Apa yang dikatakan orang itu ternyata benar. Tiba di halaman depan kediaman Bupati, Bayu Hanggara melihat mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan yang menggenaskan.

Sementara seorang lelaki bertubuh besar dengan kulit hitam kelam nampak sedang bertarung dengan tiga orang pengawal Bupati dan seorang pemuda berwajah tampan. Dengan menggunakan pedang bergerigi, si tinggi besar terus mendesak lawan-lawannya sambil terkekeh-kekeh kegirangan.

"He he he he...! Tikus-tikus busuk bau tanah, sebentar lagi jiwa kalian yang tak berharga itu akan ku kirim ke akherat!"

"Jahanam berwajah hitam, jangan kira kami takut padamu!" Orang sepertimu layaknya berada di neraka!" sahut si pemuda berwajah tampan itu marah.

"Tiada angin tiada hujan kau datang membantai dan membuat kekacauan."

"Kaukah yang bernama Pranajaya, calon mantu si Panji Narada itu? Kalau benar, sungguh suatu kebetulan, he he he...! Calon istrimu berwajah cantik dan tubuhnya amat menggiurkan. Sayang kalau dilewatkan begitu saja."

"Apa maksudmu, keparat?!"

"Maksudku, si tua bangka Panji Narada telah kami kirim ke akherat beserta yang lainnya, sedangkan calon istrimu telah kucicipi lebih dahulu!"

"Keparat! Perbuatanmu sungguh biadab. Orang sepertimu memang layak mampus!" teriak si pemuda berwajah tampan yang tak lain adalah Pranajaya, putra Bupati Sumur Wering. Golok di tangannya berkelebat dengan cepat, serta tinju kirinya mulai menghitam pertanda bahwa ia mengerahkan tenaga dalam yang hebat.

"He he he he...! Apa yang bisa kau andalkan dari ilmu silat picisan itu? Gurumu sendiri telah kami buat mampus, apalagi kau yang cuma punya kepandaian seujung kuku," kembali si tinggi besar yang bernama Durbala itu mengejek.

"Biar pun kepandaianku tak seberapa, tapi aku rela mengadu jiwa denganmu.

Heaaaat...!"

Dengan satu teriakan menggelegar, Pranajaya menghantamkan tinju ke dada kiri lawan. Durbala terkekeh dan menangkis dengan tangan kirinya. Tapi Pranajaya pun tak bodoh. Dari beberapa kali gebrakan dirasakannya bahwa tenaga dalam lawan lebih tinggi beberapa tingkat diatasnya. Ditariknya kembali serangan itu dan menyabetkan golok dengan gerakan kilat ke perut.

"Trang! Breet!"
"Uughk!"

Pranajaya mengeluh pendek. Pada saat goloknya menebas perut lawan, Durbala lebih cepat menyapu pedangnya ke bawah dan terus mengayunkan kaki ke arah selangkangan. Pranajaya kalang kabut menghindarinya dengan menggeser tubuhnya ke kiri. Pada saat itulah ujung pedang lawan berhasil mengenai dadanya. Masih untung dia mempunyai ilmu silat yang patut diacungkan jempol hingga ujung pedang lawan hanya menggores sedikit luka di dadanya.

"Nah, susullah gurumu di akherat!" bentak Durbala sambil kembali mengayunkan pedangnya menyambar tubuh Pranajaya yang dalam keadaan terjepit. Tepat pada saat itu ketiga pengawal kabupaten yang lain menerjang ke arahnya.

"Yeaaaaa...!"
"Bet!"
"Trang!"


***


Durbala tersentak kaget. Walaupun dia tak melihat, namun pendengarannya yang terlatih dapat merasakan kehadiran serangan bokongan lawan. Bisa dipastikan, dalam sekali gebrakan ketiga lawannya pasti tewas. Namun yang dihadapinya justru pedangnya seperti menghantam batu cadas yang bukan main kerasnya. Tangannya terasa kesemutan saat menangkis tadi. Durbala mengegoskan tubuhnya pelan dan menangkap sebuah kilauan cahaya perak yang bergerak ke arah seorang pemuda berambut panjang yang tiba-tiba ada di tempat itu. Sepasang matanya menyipit memperhatikan.

"Siapa kau?" bentak Durbala.

"Siapa pula kau?" balas si pemuda berambut panjang yang tak lain adalah Bayu Hanggara, balik bertanya tak kalah garangnya.

Durbala melihat sinar perak yang dia lihat tadi berasal dari sebuah cakra terbuat dari perak yang bersegi enam dan menempel di lengan kanannya.

"Kalau tak salah, bukankah kau yang bergelar Pendekar Pulau Neraka?"

"Tak salah, Kisanak. Begitulah orang-orang memanggilku. Apakah kau salah seorang dari Iblis Pulau Hitam?"

"He he he he...! Akhirnya bertemu juga dengan orang yang sangat kuharap-harapkan. Tapi siapa sangka Pendekar Pulau Neraka yang termasyhur itu begitu cepat mengenali Iblis Pulau Hitam. Apalagi kalau bukan takut dan ingin memohon belas kasihan!" ejek Durbala.

Bayu Hanggara tertawa sinis. " Ya, siapa yang tak kenal dengan kalian? Bau busuk akan cepat menyebar ke mana-mana. Ada urusan apa kau mencari-cariku, Kisanak?"

"Untuk memenggal kepalamu!"

"Memenggal kepalaku? Hi hi hi hi...! Kenapa tidak kau katakan sejak tadi? Kalau tahu kau mencari-cariku, tentu dengan senang hati aku akan memberikannya, tapi setelah jantungmu ku keluarkan lebih dulu."

"Bedebah! Kau kira bisa menjagoi dunia persilatan seenakmu? Hari ini terimalah kematianmu!"

Dengan satu lompatan ringan Durbala mengayunkan pedangnya ke arah leher lawan. Bayu masih terlihat tegak mematung dan memperhatikan dengan seksama gerakan lawan. Kalau saja mereka tak tahu siapa pemuda itu, tentu akan menganggapnya sok jago dan hanya mencari mati saja.

"Heaaaa...!"
"Wuss! Wuuk!"

Dua jengkal lagi ujung pedang lawan akan menebas lehernya. Bayu memiringkan sedikit kepalanya, dan menangkis tinju kanan lawan dengan tangannya. Bukan main terkejutnya hati Bayu. Tangannya terasa kesemutan setelah benturan itu.

Belum lagi habis rasa kagetnya. kembali pedang lawan menyambar ke arah pinggang. Cepat-cepat Bayu Hanggara menjatuhkan diri sambil bergulingan menghindari sambaran pedang lawan yang bertubi-tubi. Dan dalam satu kesempatan, tubuhnya tiba-tiba melenting sambil terus bersalto beberapa kali ke belakang pada jarak tujuh tombak. Durbala tak mengejarnya, tapi mengeluarkan suara sindiran sambil tersenyum mengejek.

"Menganggap remeh, heh? Lebih sering kau begitu nyawamu akan cepat melayang dan aku tak perduli. Lebih cepat kau mampus lebih baik."

Bayu Hanggara tersenyum kecil. Diliriknya sekilas suasana di tempat itu yang mulai ramai. Teriakan-teriakan pemuda-pemuda desa yang geram melihat mayat-mayat bergelimpangan, segera ditingkahi oleh suara berwibawa seorang laki-laki setengah baya yang tak lain dari Bupati Sumur Wering.

"Tenang! Tenang! Pengacau ini memang harus di tangkap dan di adili. Tapi dia amat berbahaya. Jangan sampai timbul korban sia-sia kembali."

"Tapi Kanjeng Bupati, orang itu harus segera di tangkap! Dia telah membunuh banyak orang!" sahut seseorang.

"Benar! Dia tak perlu diadili tapi bunuh saja!" sahut yang lain lagi bersemangat.

Bupati itu kembali berteriak-teriak mencegah tindakan nekat warganya. Tapi orang-orang itu seperti sudah kerasukan setan. Hati mereka penuh dengan amarah dan dendam. Bagai air bah yang meluap, mereka langsung menyerang Durbala.

"Bunuh! Bunuuuh...!"
"Cacah tubuhnya...!"

"Tikus-tikus got mau mampus, majulah kalian semua!" bentak Durbala garang. Tubuhnya langsung berkelebat dengan pedang terayun siap mencari mangsa.

Bayu Hanggara yang menyadari bahwa orang-orang desa itu bukanlah lawan yang sepadan bagi Durbala, segera menggenjot tubuh, menghalangi.

"Cukup! Mereka bukanlah lawan mu. Mari kita teruskan permainan kita tadi!"

"Yeaaaa...!"
"Trang! Wuuk!"

Melihat Bayu menghadangnya, Durbala langsung menyabetkan pedang sambil mengayunkan tendangan ke ulu hati. Namun dengan mantap Bayu Hanggara menangkis dengan cakra mautnya. Tubuhnya melengkung ke belakang dan terus bersalto dengan kedua kaki menghantam pantat lawan. Tapi Durbala telah memperhitungkan hal itu. Tubuhnya bergerak menghindar ke belakang. Namun belum lagi kedua kakinya menjejak tanah, belasan ujung golok telah menantinya.

"Heaaaat...!"
"Trang! Trang!"

Pedangnya menyambar ke sana ke mari memapaki serangan pengeroyoknya. Beberapa buah golok terpental, namun secepat itu pula yang lainnya menghunus tanpa mengenal takut.

"Serbuuuu...!"
"Rencah...!"

Menghadapi serangan gencar itu sebenarnya Durbala tak takut. Juga dia merasa mampu melayani, bahkan menghabisi mereka satu persatu. Namun yang diperhitungkannya saat ini adalah Pendekar Pulau Neraka itu. Dalam gebrakan tadi saja terasa tangannya sakit dan linu. Hawa serangan pemuda itu menekan kuat dan dibarengi tenaga dalam kuat. Pendekar Pulau Neraka pun nampaknya tak mau perduli dengan keadaannya saat ini. Di antara keroyokan orang-orang desa itu, tubuhnya melayang-layang menyambar ke mana saja ia dapat menghindar.

"Huh, tak kusangka ternyata nama Pendekar Pulau Neraka cuma pepesan kosong belaka. Kau mencari kesempatan dalam kesempitan. Karena merasa tak mungkin menghadapiku satu lawan satu kau gunakan kesempatan ini untuk mengalahkanku," ejek Durbala.

Bayu Hanggara terkekeh kecil, "Aku tak perduli apa pun ocehanmu. Yang jelas saat ini kau harus mampus! sahut Bayu.

"Pendekar Pulau Neraka, ku tantang kau duel satu lawan satu tanpa cecoro-cecoro ini!" teriak Durbala sambil melompat tinggi dan berusaha lari dari keroyokan. Namun pada saat itu juga mendesir sebuah benda berwarna perak ke arahnya dan nyaris menghajar pinggang kalau saja tubuhnya tak dimiringkan ke kiri.

"Bangsat!"

"Jangan coba-coba lari dari hadapanku, Kisanak! Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatan biadab mu!" sahut Bayu sambil tertawa pelan. Tangan kanannya menangkap cakra maut yang melayang ke arahnya kembali.

"Pendekar picisan, kalau begitu aku akan mengadu jiwa denganmu!" kata Durbala geram.

Dengan satu teriakan melengking Durbala menerjang Bayu Hanggara sambil menghunus pedang kepada pengeroyoknya yang coba menghalangi. Namun bersamaan dengan Bayu sudah melesat memapakinya.

"Yeaaaa...!"
"Haiiiit...!"

Agaknya kali ini Durbala benar-benar kalap. Serangannya hebat bukan main. Terarah pada sembilan titik kematian di tubuh lawan. Tenaga dalam yang dikeluarkannya pun telah mencapai tingkat yang paling tinggi. Angin serangannya mampu membuat beberapa orang tubuh pengeroyoknya limbung.

"Wuss...!"
"Bet!"

Bayu Hanggara benar-benar kagum dibuatnya. Dalam dua jurus pertama ia benar-benar merasa kalang kabut dan hanya bisa bertahan menghadapi serangan lawan. Selain ayunan pedang bergerigi yang lihai dan cepat, tangan kiri lawan juga sering menghantam dengan pukulan jarak jauh. Baru saja ia merasa lepas dari incaran maut ketika kelebatan pedang lawan disusul dengan pukulan bertubi-tubi yang dilakukan dari jarak satu tombak. Kalau saja saat itu keadaan Durbala lebih leluasa, bisa jadi ia akan terluka.

"Bangsat sialan! Terimalah kematian kalian!" teriak Durbala geram ketika serangannya yang ditujukan ke Bayu dikacaukan oleh para pengeroyoknya yang masih terus bernafsu untuk menghabisinya.

"Kaulah bangsat paling busuk yang patut mampus!" sahut seorang di antara mereka dengan garang. Yang lain menyahut serempak.

"Heaaaaat..!"
"Trang! Breeet...!"
"Wuaaaa...!"

Ujung pedang Durbala kembali meminta korban saat dua orang terdekat yang begitu bernafsu akan membunuhnya kalah cepat dengan kelebatan pedangnya. Pekik kematian kembali menggema. Tapi tidak membuat yang lainnya menjadi takut. Bahkan kemarahan mereka menjadi dua kali lipat.

"Jahanam keparat, mampuslah kau!" teriak salah seorang sambil menghunuskan goloknya. Durbala memapaki dengan pedangnya, tapi rupanya orang tahu, tidak guna ia beradu senjata karena tenaga dalam lawan lebih tinggi beberapa tingkat di atasnya. Maka dengan satu gerakan manis tubuhnya membungkuk dan berputar sambil menyabet perut lawan.

"Uts! Brengsek!" Durbala tersentak. Sedikit saja ia lengah, ujung golok lawan pasti telah merobek kulit perutnya. Agaknya ia tadi terlalu menganggap remeh pada lawan sehingga melupakan pertahanan sendiri.

Namun ketika tubuhnya berkelebat ke atas, justru satu bayangan yang bergerak secepat kilat menyambar ke arahnya. Durbala terkesiap, namun tak mungkin lagi mengubah gerakan pada saat sedang mengapung begini. Jalan satu-satunya hanya mengempos tenaga dalam dan memapaki bayangan itu.

"Hiiih...!"
"Plak!"
"Wus!"
"Buk...!
"Aaakh...!"

Durbala menjerit tertahan ketika satu tendangan keras menghantam punggungnya. Tubuhnya terhuyung-huyung ketika kedua kakinya menjejak tanah. Namun pada saat itu serangan dari pada pengeroyoknya semakin bernafsu saja. Rasanya sulit bagi Durbala bertahan lebih lama kalau keadaannya terus begini.


***


EMPAT

Apa sebenarnya yang terjadi pada Durbala tadi? Ketika tubuhnya melesat ke atas saat itu pula Bayu Hanggara mengirim satu serangan. Walau pun tahu bahwa ia mampu menahan pukulan jarak jauh lawan yang berisi tenaga dalam kuat, tapi ia memilih menghindar. Telapak kirinya menangkis tinju kanan lawan, dan bertumpu hingga tubuhnya melenting ke atas sambil berputar ke arah punggung Durbala, lalu mengirim tendangan keras. Dan kini setelah merasakan tulang punggungnya seperti remuk, Durbala harus menghadapi ancaman lain. Gerakannya tersendat dan tak leluasa seperti tadi. Dari sudut bibirnya menetes darah kental kehitam-hitaman.

"Crass!"
"Kena!" teriak seseorang ketika ujung senjatanya berhasil melukai betis lawan.

"Ayo, teman-teman hajar terus!"

"Benar! Sebentar lagi dia tentu lemas setelah tubuhnya penuh luka!" sahut yang lain.

"Cincaaaaang....!"
"Yeaaaah?!"

Dengan sisa-sisa tenaganya, Durbala yang sedang terluka dalam masih cukup berbahaya. Ujung pedangnya kembali berhasil melukai tiga orang lawan sebelum ia sendiri dihajar oleh Bayu Hanggara ketika berusaha menangkis serangan pemuda itu. Melihat lawan masih berusaha mencoba untuk menahan, Bayu Hanggara malah sengaja mengempos tenaga dalamnya. Akibatnya sungguh fatal. Bukan saja Durbala terlempar sejauh tiga tombak, tapi juga luka dalam yang dideritanya pun bertambah parah. Durbala berusaha bangkit dengan tubuh bergetar dan bertumpu pada pedang yang ditancapkan ke tanah. Darah kental kehitam-hitaman berkali-kali menetes dari sudut bibirnya yang terkatup rapat.

"Ayo, dia sudah terluka! Cincang..!" teriak seseorang memberi komando pada yang lainnya.

Bayu Hanggara terkekeh sinis dan tak berusaha mencegah tindakan orang-orang desa itu. Bisa dibayangkan, dalam sekejap saja tubuh Durbala akan tercerai berai dihajar bermacam-macam senjata tajam. Namun pada saat itu terdengar bentakan keras yang disusul melesatnya satu bayangan ke arah Durbala.

"Tikus-tikus busuk! Kalian akan merasakan pembalasannya nanti!"

Gerakan bayangan itu luar biasa ccpatnya. Ujung senjata warga desa itu nyaris terhunjam ke tubuh Durbala kurang dari dua jengkal lagi, tiba-tiba jasadnya seperti raib entah ke mana. Tentu saja hal ini membuat mereka terkejut setengah mati dengan hati geram bercampur heran.

Apakah dalam keadaan terluka parah itu pun lawan masih bisa bangkit dan bergerak cepat?

Kalau warga desa itu heran dan bertanya-tanya, kemana lenyapnya tubuh Durbala, tidak demikian dengan Bayu Hanggara. Matanya yang tajam dan terlatih sempat melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam kelam, serta mengenakan baju yang sama dengan baju Durbala, membawa tubuh Durbala keluar dari tempat itu. Bisa jadi orang itu teman atau saudara kembar Durbala yang dijuluki si Iblis Pulau Hitam.

Maka tanpa berpikir panjang lagi, tubuhnya berkelebat cepat sambil menghantamkan pukulan jarak jauh ke arah orang itu yang berhasil menyelamatkan Durbala.

"Bangsat! Kau pikir bisa berbuat seenakmu di depan mataku?" bentak Bayu Hanggara.

"Wusss!"
"Weer!"

Pukulan jarak jauh yang di lontarkan Bayu Hanggara itu dengan manis dihindarkan oleh lawan, bahkan secara tak terduga kembali balas menyerang dengan pukulan jarak jauh pula yang tak kalah kuatnya di banding pukulan Bayu.

"Haaeeep...!" Bayu Hanggara yang tak menduga hal itu cepat-cepat membuang diri ke samping, dan terus melenting dengan satu serangan balasan. Namun saat itu juga terlihat bayangan tadi telah berlari menjauh. Dengan geram Bayu melempar Cakra mautnya.

"Zwiing!"

Cakra Maut bersegi enam berwarna keperakan ini mendesing bagai anak panah dan berputar-putar menyambar mangsa. Orang itu menangkis dengan pedangnya, tapi senjata itu melejit dan sempat menggores bahunya sebelum kembali berputar dan berbalik ke arah Pendekar Pulau Neraka.

Bayu mendengus kesal. Sepasang matanya masih menatap jalang ke arah bayangan itu lenyap. Suara hiruk-pikuk orang-orang desa yang berusaha mengejar, seolah tak mengusik kegusaran hatinya. Setelah beberapa saat kemudian, barulah ia melangkah dari tempat itu tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya.

"Kisanak! Eh... ng... maaf, kalau Kisanak sudi, Kanjeng Bupati berkenan mengundang ke rumah," kata seorang pengawal Bupati sambil menjura hormat.

Bayu melirik ke ruang depan. Dilihatnya seorang laki-laki setengah baya berpakaian bagus menganggukkan kepala sambil tersenyum. Pendekar Pulau Neraka itu mengerutkan keningnya sedikit, seakan dia tengah berpikir sebelum menyetujui ajakan orang itu.

Namun baru berjalan beberapa langkah, muncul tiga orang yang tadi bertemu di tepi hutan. Si gadis berbaju hijau yang berwajah cantik masih menunjukkan wajah tak senang, sementara gadis di sebelahnya menundukkan kepalanya. Sedangkan pemuda bertubuh kekar di sampingnya hanya melirik sekilas padanya.

"Praba Ningrum...!" teriak Pranajaya begitu melihat gadis yang menundukkan wajahnya.


***


Pemuda itu cepat-cepat menghampirinya dengan wajah penuh haru.

"Kau... kau tak apa-apa?" tanya Pranajaya dengan suara yang jadi tergagap. Gadis yang dipanggil Praba Ningrum tidak menyahut, bahkan semakin menundukkan wajahnya lebih dalam.

"Praba Ningrum, kau tidak apa-apa?" tanya pemuda itu lagi. Putra Bupati Sumur Wering mengapit kedua lengan gadis itu.

Praba Ningrum menatap Pranajaya sesaat, kemudian berpaling sambil terisak memeluk gadis berbaju hijau yang tak lain dari Dewi Ratih.

"Kenapa, Praba...? Apa yang terjadi?" tanya Pranajaya lagi. Jelas sekali terdengar dari nada suaranya, kalau dia begitu cemas melihat Praba Ningrum menangis terisak di dalam pelukan Dewi Ratih. Pranajaya jadi serba salah, tidak tahu lagi apa yang bisa dilakukan.

"Kisanak, tenanglah kau..." kata Dewi Ratih sambil menepiskan tangan Pranajaya. "Dia sedang mengalami tekanan batin yang cukup hebat."

"Oh, maaf! maaf sampai kami melupakan kalian berdua. Ng... siapa kalian berdua ini? Apakah masih saudara jauh dari Praba Ningrum?" ujar Pranajaya, baru sadar bahwa di tempat itu ada orang lain lagi.

"Bukan. Kami hanya kebetulan bertemu dengannya ketika ia tak sadarkan diri di tepi hutan..."

"Tak sadarkan diri? Oh, apakah yang telah terjadi padanya?"

Dewi Ratih terdiam sejenak. Sulit rasanya menjelaskan kejadian yang menimpa Praba Ningrum dalam keadaan begini. Tapi untunglah Pranajaya cepat membaca situasi. Buru-buru ia mengajak mereka ke dalam sementara Bayu Hanggara telah lebih dulu berbincang-bincang dengan Bupati.

Adiknya Praba Ningrum berkeras membatalkan rencana perkawinan mereka tanpa menjelaskan alasan yang kuat. Tentu saja hal itu tak bisa diterima Pranajaya. Gadis itu pun sulit menerangkan. Untunglah ada Dewi Ratih yang bersedia menjadi perantara. Pranajaya membawa mereka berdua masuk ke dalam sebuah kamar. Lama sekali Dewi Ratih berdiam sebelum menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya atas kejadian yang menimpa Praba Ningrum.

Bukan main geram dan sakit hatinya Pranajaya setelah mendengar penuturan itu. Kedua pelipisnya menggembung dan sepasang matanya nanar. Kedua tangannya terkepal menahan marah yang memuncak.

"Jahanam keparat! Mereka tak akan lepas dari tanganku...!" dengusnya perlahan.

"Kisanak, hal itu bisa diurus belakangan. Yang penting saat ini adalah calon isteri mu. Dia dalam keadaan goncang. Disinilah batu ujian pertama mu teruji. Apakah kau akan menolaknya setelah kejadian itu?"

Pranajaya tak langsung menjawab tapi malah mendekati Praba Ningrum sambil mengamati kedua lengannya. Tangan kanannya meraih dagu gadis itu hingga tatapan mereka bertemu.

"Praba... kenapa kau berpikir begitu? Walau apapun yang menimpamu, tak mungkin aku mencampakkan mu begitu saja. Percayalah, sedikitpun aku tak berpaling. Kejadian ini bukan keinginan mu, aku tahu betul. Perkawinan kita akan tetap dilaksanakan."

"Syukurlah kalau memang demikian. Tugasku selesai, dan kami mohon pamit, Kisanak." kata Dewi Ratih sambil berlalu dari kamar itu.

"Ah, kenapa buru-buru? Kami bahkan belum sempat menjamu kalian. Tinggallah beberapa saat lagi."

"Terima kasih. Kami bermaksud mencari kedua iblis itu. Selama mereka masih berkeliaran, korban semakin bertambah. Lebih cepat dibereskan, keadaan akan semakin membaik."

"Baiklah, kalau niat kalian memang tak bisa ditunda lagi, apa boleh buat. Hanya aku tak tahu harus dengan cara apa mengucapkan terima kasih pada Kisanak berdua yang telah menyelamatkan Praba Ningrum."

"Jangan berterima kasih pada kami, tapi berterima kasihlah pada tamu kalian itu...."

"Pada siapa? Apakah maksudnya pada Pendekar Pulau Neraka itu?"

Dewi Ratih mengangguk. "Dialah yang pertama kali menemukan Praba Ningrum, dan bermaksud menolongnya. Pada awalnya kami salah paham menuduhnya hendak berbuat tak senonoh dengan Praba Ningrum," jelas Dewi Ratih sambil berlalu dari ruangan itu.

Walau Bupati sendiri berusaha menahan, namun agaknya niat mereka sudah tak bisa dicegah lagi. Setelah keduanya berlalu dari tempat itu, tak lama Bayu Hanggara pun menyusul. Baginya berlama-lama di tempat itu amat risih. Perlakuan dan sikap mereka santun dan penuh tata krama. Beda betul dengan jiwa semangatnya yang liar.


***


Durbala berkali-kali memaki Abangnya itu, tetapi Manggala hanya diam sambil mendengus sinis. Namun ketika sekali lagi adiknya itu mengomel tak karuan, barulah membentak marah.

"Diam kau Durbala! Apa kau pikir aku takut menghadapinya?" karena keadaanmulah makanya aku tak cepat-cepat menggempurnya. Apa kau pikir aku menghindar karena takut? Puiih! Tubuhku justru menggigil kehilangan kesempatan yang baik itu!"

Durbala tersentak mendengar kata-kata abangnya itu. Dipandanginya wajah itu sekali lagi. Hela nafasnya yang sesak perlahan-lahan terasa panas.

"Semua salahku juga..." desahnya seperti merasa bersalah. "Kalau saja aku tak menganggap remeh, tentu tak akan begini jadinya."

"Diamlah kau, Durbala! Pikirkanlah dulu kesehatanmu. Kalau kau sudah merasa sehat tentu kita akan mencari pemuda itu lagi. Dan saat itulah dia tak akan bisa lolos dari tanganku," kata Manggala.

"Iya, ya... sebenarnya kalau tak ada tikus-tikus busuk itu aku bisa mengalahkan dengan mudah." lanjut Durbala penasaran. Manggala menatap wajah adiknya beberapa saat sambil tersenyum sinis.

"Kau bisa mengalahkan dengan mudah?" tanyanya dengan suara sumbang penuh sindiran.

"Jangan gegabah, Durbala. Si Pendekar Pulau Neraka itu adalah lawan yang paling tangguh. Ilmu silat dan kepandaiannya tinggi. Jangankan kau seorang, kita berdua pun belum tentu bisa mengalahkannya," sambungnya lagi.

"Kenapa mesti mengagungkan lawan. Kakang? Ilmu silat dan kepandaian kita belum tentu berada di bawahnya. Dalam beberapa bentrokkan tadi, bisa ku rasakan bahwa kita berdua mampu membinasakan pemuda gondrong itu," sahut Durbala yakin.

"Apa yang kau rasakan tak selalu sama dengan kenyataan. Semua orang mengakui bahwa Pendekar Pulau Neraka adalah pendekar paling tangguh dan sulit untuk dikalahkan. Itulah sebabnya dia merupakan tujuan akhir kita. Kalau dia bisa binasa di tangan kita, maka nama Iblis Pulau Hitam akan menjulang seketika."

Manggala tertawa terbahak-bahak di ikuti adiknya, Durbala. Dalam bayangannya, impian itu tak lama lagi pasti terwujud. Walau belum pasti sekali, dia berkeyakinan suatu saat mereka berdua mampu membinasakan pendekar yang belakangan ini namanya menggoncangkan dunia persilatan. Gelak tawa mereka mendadak terhenti ketika satu bentakan keras bergema. Keduanya cepat bangkit dengan sikap waspada dan memandang ke sekeliling.

"Siapa kau? Keluarlah tak perlu bersembunyi. Kami sudah mengetahui tempatmu!" balas Manggala.

"Ha ha ha ha...! sungguh hebat penglihatan Iblis Pulau Hitam. Tak heran kalian berani unjuk keberanian belakangan ini!" sahut satu suara itu lagi di antara sela-sela cabang pohon berdaun rimbun.

Dari tempat itu kemudian melesat satu bayangan, dan langsung menjejakkan kakinya persis lima tombak di hadapan mereka berdua. Terlihat seorang laki-laki tua bertubuh kecil dengan janggut panjang. Rambutnya telah putih dan dibiarkan lepas terurai begitu saja. Dadanya berselempang kain seperti layaknya pendeta agama.

"Siapa kau, Kisanak?" tanya Manggala dingin.

"Aku cuma seorang tua renta tak berguna. Namaku Ki Misbah, tapi orang-orang biasa menjulukiku si Katai Berwajah Boneka."

"Hemm, lama sudah kudengar nama besarmu. Tak nyana bayangan ku sama persis dengan kenyataannya. Apa maumu Ki Misbah?"

Orang tua katai bernama Ki Misbah itu terkekeh. Namun seperti gelarnya, roman wajah orang tua itu betul-betul mirip dengan boneka. Walau ia tersenyum, bibirnya tetap terkatup rapat. Bahkan tak di ketahui pasti apa pun lewat pantulan raut wajahnya, karena wajahnya betul-betul kaku tanpa ekspresi.

"Banyak kudengar tentang kelakuan buruk kalian berdua belakangan ini. Dan hal itu membuat pantat ku gatal. Lalu ketika kalian membantai Perguruan Jari Sakti dan mengacau di kediaman Bupati, gatal-gatal di seluruh tubuhku seperti tak terkendali dan ingin memecahkan batok kepala kalian. Biar tak ada lagi rintihan kesakitan, keluarga yang ditinggalkan dan gadis-gadis tak perawan korban nafsu biadab kalian..." sahut si orang tua itu santai.

"Hemm, mau mencoba jadi malaikat penyelamat, orang tua? Silahkan. Tapi kau tak akan sempat menyesal bila berhadapan dengan Iblis Pulau Hitam, sebab kami tak akan pernah membiarkan orang-orang sok jago sepertimu berlalu hidup-hidup."

"He he he he...! Tong kosong biasanya berbunyi nyaring, dan kedua manusia rendah seperti kalian cuma sebangsa keledai dungu yang menganggap dirinya harimau."

"Orang tua, kami memang harimau!" sahut Manggala geram dan langsung melompat ke arah Ki Misbah dengan satu serangan kilat mengandung tenaga dalam kuat.

"He he he he...! Kalau keledai tetap saja keledai. Yang dungu tak akan berubah pintar selagi dia berlaku sombong terhadap kedunguannya! Begitu juga seperti kalian berdua!"

"Kau boleh berkata apa saja setelah berada di akherat sana nanti!" dengus Manggala gusar setelah serangannya dapat dengan mudah dielakkan lawan. Tubuhnya kembali berputar dan bersalto beberapa kali di udara.

"Yeaaaaah...!"
"Plak!"
"Dess!"

Manggala terkejut setengah mati. Gerakan lawan gesit bukan main. Ketika kedua kaki menerjang dengan kuat, orang tua itu cuma menangkis dengan tangan kiri. Lalu dengan seketika kaki kanannya menendang ke perut lawan. Buru-buru Manggala berkelit, tapi tak urung pinggangnya terkena juga.

"Bangsat!"

Ki Misbah terkekeh melihat wajah lawan yang gusar penuh kemarahan.

"Kenapa? Apa sekarang kepalamu pun ingin dijitak?"

"Jangan merasa bangga dulu, orang tua. Kali ini kau tak akan lolos lagi!" dengus Manggala garang.

Sementara itu Durbala yang melihat dalam segebrakkan saja abangnya dapat dihajar merasa perlu untuk turun tangan. Namun secepat kilat Manggala menepiskan tangannya.

"Tidak usah, Durbala. Aku sendiri pun masih mampu memberi pelajaran pada si cebol ini."

"Tapi, Kang...."
"Tidak perlu kataku!" bentaknya kesal.

Durbala cuma diam menurut saja. Dilihatnya Manggala kembali memasang kuda-kuda dengan tatapan penuh kebencian ke arah lawan. Dengan satu teriakan panjang, tubuhnya kembali melesat menyerang Lawan.

"Hiaaaat...!"


***


Dalam segebrakan tadi sebenarnya membuat keyakinan di hatinya semakin bertambah. Meski lawan berhasil menendang pinggangnya, tapi tendangan itu tak berarti apa-apa dan tak membuat luka dalam yang serius. Dari situ ia dapat menyimpulkan bahwa tenaga dalam orang tua bertubuh katai itu tak terlalu hebat dan masih berada di bawahnya. Namun dari ilmu peringan tubuh, lawan boleh diberi acungan jempol. Dia mampu bergerak cepat dan menghindari serangan lawan boleh dengan gerakan yang tak duga. Juga pada saat kedua tangan atau kaki mereka berbenturan, anggota tubuhnya lemas seperti tak bertenaga, hingga Manggala merasa seperti menghantam angin saja.

"Hi hi hi hi....! keluarkanlah seluruh kepandaian yang kau miliki. Ingin kulihat sampai sejauh mana kesaktian yang kalian pelajari dari tokoh yang mendekam diPulau Hitam itu." kata Ki Misbah sambil menghindari serangan lawan dengan gerakan ringan.

Tubuhnya berputar ke atas, lalu dengan tiba-tiba menukik seperti elang menyambar anak ayam. Dan ketika Manggala menyongsongnya dengan satu tinju mautnya ke arah batok kepalanya, dengan enaknya Ki Misbah menangkis. Dan bertumpu pada itu, tubuhnya berkelebat pada bagian lawan sambil menyarangkan sebuah tinju.

"Wuk!
Bet!"
"Uts..."
"Wussss...!"

"He he he he...! Ayo, kerahkan seluruh tenaga yang kau miliki, dan pilihlah bagian terempuk dari tubuhku!" ejek Ki Misbah.

Bukan main gusar Manggala mendengar ejekan orang tua itu, ketika serangan orang tua Katai itu berhasil dihindarinya, tangan kirinya segera mengebut ke arah kepala lawan dibarengi tenaga dalam kuat. Dalam perkiraannya orang tua itu pasti akan terpelanting. Dan walaupun tidak tewas, pasti akan terluka parah. Tapi siapa sangka ia cuma menghajar angin. Lain halnya dengan Ki Misbah. Ia segera menjatuhkan dirinya ke bawah dan seraya bergulingan tubuhnya terus melentik ke atas dan bergerak menjauh dengan bersalto menghindari serangan Manggala yang berikutnya.

"Huh, kau membuat aku marah, cebol! Hari ini kau tak akan lepas dari pedangku!" dengus Manggala sambil mencabut pedangnya yang memiliki mata bergerigi.

"He he he he...! Apakah dengan senjata pemotong rumput itu kau hendak membinasakan aku?"

"Benar. Kaulah rumputnya dan aku akan menghirup darahmu!" bentak Manggala sambil terus menyerang lawan.

"Heaaaaat
"Klap! klap!"

Dengan adanya pedang di tangan. gerakan Manggala menyerang lawan semakin leluasa. Terlihat perlahan-lahan Ki Misbah agak kerepotan menghindari sambaran ujung pedang lawan. Sampai pada satu kesempatan.

Ciaaaat!
"Buk!
Cresss!"


***


LIMA

Ki Misbah terkejut. Saat tinjunya berhasil dengan telak menghantam dada lawan, tapi saat itu pula ujung pedang Manggala berhasil merobek sedikit pundak kirinya. Darah mengucur deras. Ki Misbah meringis menahan nyeri.

Manggala pun merasakan hal yang sama. Tinju lawan yang bersarang di dadanya seperti hendak meremukkan tulang-tulang rusuknya. Tubuhnya terjajar beberapa langkah, namun ia masih sempat kembali menyerang dengan pedang berkelebat di tangannya.

"Sekarang mampuslah kau, cebol!"
"Wuuk! Trang!"
"Yeaaaa...!"

Tubuh Manggala berputar-putar ke atas. Secara tak disangka-sangka Ki Misbah mengeluarkan senjatanya dari balik bajunya, berupa keris berlekuk, dan langsung menangkis serangan Manggala. Kedua senjata itu beradu. Namun seperti saat mereka berbenturan tangan, senjata di tangan Ki Misbah itu pun seperti lemas tak bertenaga, tapi dengan tiba-tiba melejit ke atas dan memapas lehernya. Karuan saja Manggala tersentak dan cepat-cepat membuang tubuhnya ke belakang. Namun ujung keris Ki Misbah terus mengejarnya. Pada saat menjejakkan kaki kedua kalinya, tubuhnya melenting menjauhi lawan.

"Ciaaaat...!"

Tubuh Manggala dengan cepat kembali menyerang. Namun Ki Misbah sudah menduga hal itu. Buru-buru ia membungkuk dan kaki kanannya menendang dengan gaya berputar. Sedangkan kaki kirinya menyentuh bumi hingga tubuhnya terangkat ke atas ketika lawan hendak menyapu tubuhnya dari bawah dengan satu tendangan keras.

"Tring! Kleps!"
"Cress!"
"Uughk...!"

Manggala mengeluh kesakitan. Tak menduga kecepatan gerak Ki Misbah sungguh luar biasa. Begitu senjata mereka beradu kembali keris Ki Misbah kembali melejit langsung menebas ke arah leher. Untung Manggala sempat berkelit, meski ujung keris itu sempat menyambar pangkal leher dan menggores sedikit luka.

"Mampuslah kalian jahanam!" Ki Misbah sambil kembali mengirim serangan susulan.

"Yeaaaaa...!"
"Trang! Tring!"

Ki Misbah terpaksa menarik serangan ketika dari arah belakang terdengar sebuah teriakan. Durbala mencelat dengan satu serangan kilat ke arahnya.

"Bajingan busuk! Mau membokong, heh?"

"Huh, apa perduliku dengan membokongmu? Yang jelas saat ini kau harus mampus!" geram Durbala sengit sambil mengayunkan pedang ditangannya.

Mau tak mau Ki Misbah harus melayaninya. Tapi kepandaian Durbala tak boleh dianggap remeh. Pada dasarnya kepandaian Manggala dan Durbala tak beda jauh. Maka tak heran bila Ki Misbah harus lebih berhati-hati lagi.

Sementara itu melihat Durbala menyerang lawannya. Manggala seperti mendiamkannya saja. Dia bahkan ikut menyerang. Dan menghadapi dua orang lawan berilmu tinggi seperti mereka, perlahan-lahan terlihat Ki Misbah mulai terdesak.

"He he he he...! Sungguh hebat ilmu kalian. Tapi jangan berbangga hati dulu bisa mengalahkanku," kata Ki Misbah berusaha memanas-manasi mereka.

"Tertawalah sepuasmu sebelum kami kirim ke akherat untuk berjumpa dengan moyangmu!" sahut Manggala mendengus sinis.

"Kali ini kau tak akan punya kesempatan untuk unjuk gigi lagi, cebol busuk!" timpal Durbala.

Dan si tinggi besar berwajah hitam itu ingin membuktikan ucapannya dengan menggempur lawan lebih gencar. Pedang di tangannya seperti bersuara menimbulkan bunyi yang mengilukan ulu hati menyambar-nyambar mengikuti ke mana saja orang tua itu bergerak. Sesekali Ki Misbah berusaha menangkis, namun Manggala pun berbuat hal serupa dengan adiknya hingga menyulitkan gerak si orang tua itu.

"Ciaaaaaat...!"

Manggala berteriak nyaring dengan ujung pedang menyambar ke arah Ki Misbah. Tubuh Ki Misbah berputar-putar di udara, tapi saat itu Durbala melompat mengejarnya sambil menghunuskan pedang.

"Tring! Wuk!"
"Bret"!"

"Terima kematianmu, cebol!" teriak Manggala kembali ketika melihat ujung pedang adiknya berhasil mengenai perut lawan.

Tubuh Ki Misbah terhuyung-huyung beberapa tindak sebelum menyentuh tanah. Dengan sisa tenaganya dia berusaha menangkis.

"Traaaang!"
"Craaaass!".
"Aaaaakhg...!"

Orang tua itu menjerit kecil saat ujung pedang Manggala nyaris membuat paha kanannya buntung. Tubuhnya ambruk ke tanah dan berguling-gulingan menghindari serangan lawan.

"Mampuslah kau!" teriak Durbala geram pada saat tubuh Ki Misbah persis terhenti didekatnya. Pedang di tangannya secepat kilat terayun ke bawah.

"Bless!"
"Wuaaaaaayaa...!"

Ki Misbah menjerit keras saat ujung pedang Durbala persis menembus ke jantungnya, dan melesak sedalam tiga jengkal hingga menembus ke tanah. Kemudian tak terdengar lagi suara di sekitar tempat itu. Ki Misbah tewas di tangan Sepasang Iblis Pulau Hitam.

"Apa kataku? Kita tak boleh gegabah menghadapi musuh berilmu tinggi seorang diri!" kata Durbala dengan wajah puas sambil melirik ke arah Manggala.

Dicabutnya pedang di tubuh Ki Misbah dan memasukkannya kembali ke sarungnya setelah dibersihkan.

"Guru pun telah berpesan begitu, bukan? Kalau kita bertempur sendiri-sendiri seperti orang pincang."

"Sudahlah, jangan banyak omong. Kau pun pernah melakukan kesalahan juga ketika di tempat kediaman Bupati itu," sahut Manggala.

"Tapi aku merasa mampu mengatasi mereka!"

"Sampai si Pendekar Pulau Neraka datang dan kau kewalahan."

"Ah, kalau saja tak ada pengacau-pengacau keparat itu sudah kupenggal kepala si jahanam itu!" sahut Durbala geram.

"Nah, kau mulai menganggap enteng lagi. Harus berapa kali kukatakan...? Pendekar Pulau Neraka itu tidak bisa dianggap enteng. Dan jangan sekali-kali menganggapnya ringan. Dia lah musuh utama yang harus dibinasakan!"

"Tapi menghadapi kita berdua, dia bisa berbuat apa? Bukan begitu, Kakang Manggala?"

"He he he he...! Ya, ya... sejauh ini tak seorang pun yang tahan menghadapi gempuran kita berdua."

"Tunggu apalagi? Mari kita cari si keparat itu?"

"Tunggu dulu, Durbala! Kesehatanmu masih belum pulih benar."

"Aku sudah merasa sehat. Ayolah, sebelum dia melarikan diri dari kita!"

"Kalau memang begitu, mari!"

Keduanya baru akan beranjak ketika dua bayangan dengan tiba-tiba melesat ke hadapan mereka pada jarak sepuluh tombak.

"Iblis Pulau Hitam! Hemm, bangsat-bangsat keparat! Mau kemana kalian mencari korban hari ini?" bentak suatu suara dengan lantang.


***


Kedua orang bertubuh tinggi besar itu tertegun beberapa saat kemudian. Namun begitu melihat siapa yang muncul tak lain dari seorang laki-laki muda bertubuh kekar dengan seorang gadis berwajah cantik, mereka tertawa terbahak-bahak.

"Ha ha ha ha...! Sungguh beruntung kita hari ini. Susah-susah mencari mangsa ternyata malah datang sendiri!" kata Manggala. "Durbala, kau uruslah bocah berwajah tak sedap itu, aku akan mengurus si manis ini."

"Jangan khawatir, Kakang! Dalam sekejap dia akan kubereskan!" sahut Durbala cepat. Kemudian dengan langkah lebar dihampirinya dua orang itu. Dengan wajah geram ditundingnya pemuda itu.

"Bocah pentil, pergilah kau dari hadapanku secepatnya dan jangan kembali lagi. Tapi lepaskan kekasihmu ini agar kami bisa mengampuni nyawamu!"

Mendengar bentakan itu si pemuda yang tak lain dari Mahendra, kakak si gadis berbaju hijau, Dewi Ratih itu malah tersenyum kecil. Sepasang matanya menatap Durbala dengan sikap menantang.

"Iblis keparat! Jauh-jauh kami datang mencari kalian untuk mengorek jantungmu! Harap kau sadari itu. Jika pun saat ini kalian menyembah sambil memohon ampun, tak nantinya aku kan memaafkan dosamu yang telah lewat takaran itu."

"Apa?" Durbala tersentak dengan wajah geram. Kedua bola matanya melotot garang. Dengan satu hentakan keras tangan kanannya meninju Mahendra. Sekali pukul tentu bocah ini agak terpental belasan tombak, pikirnya.

Tapi tak percuma Mahendra berguru pada tokoh sakti jika menghadapi serangan enteng begitu saja ia tak mampu menghindar. Sambil memiringkan tubuh ke kanan, tinju lawan lewat beberapa senti disamping kepalanya. Dengan cepat kaki kirinya menendang dada kanan lawan.

"Wuuk!"

Durbala mundur ke belakang sedikit. Lalu sambil berbalik, kaki kanannya menyapu pinggang lawan. Mahendra cukup menundukkan tubuh, kemudian tinju kanannya menghantam selangkangan lawan.

"Bet! Bet!"

"Kurang ajar! Betul-betul tak bisa dikasih hati rupanya!" bentak Durbala dengan amarah meluap ketika dirinya baru saja terkena serangan lawan.

"Siapa yang butuh hatimu? Kami cuma butuh jantung kalian!"

"Heaaaat...!"

Dengan satu teriakan keras Mahendra menyambut serangan lawan dengan tenaga dalam penuh. Duel sengit tak dapat dihindari lagi. Dalam beberapa gebrakan saja Durbala segera mengetahui bahwa lawan berilmu cukup. Itulah sebabnya dia tak berani gegabah dan mengeluarkan segenap kemampuannya.

Mahendra sendiri mulai merasakan bahwa tenaga dalam lawan ada setingkat di atasnya. Angin serangannya saja mampu membuat tubuhnya bergetar. Belum lagi gerakan lawan yang gesit seperti kijang berlari. Kalau saja dia tak memiliki ilmu peringan tubuh tinggi pasti dalam beberapa gebrakan saja pukulan lawan telah menewaskannya.

Sementara itu Manggala telah menghampiri Dewi Ratih. Dengan wajah yang dibuat semanis mungkin, dia mulai merayu si gadis.

"Ha ha ha ha...! Tak sangka wajahku demikian tampan sehingga gadis secantikmu tergila-gila padaku. Kemarilah manis, bukankah kau datang jauh-jauh hanya untuk mencariku? Ayo, kesinilah cepat...."

"Cuiih! Jauh-jauh aku datang memang mencarimu, tapi bukan tergila-gila dengan wajahmu yang seperti pantat kuali itu melainkan ingin mengorek jantungmu untuk hiasan kamarku!" balas Dewi Ratih garang dengan wajah penuh amarah.

"Amboooi! Kau, datang untuk mengorek jantungku? Nah, silahkan kekasihku....," sahut Manggala enteng sambil membusung dadanya.

Merasa lawan menganggap remeh dirinya. Dewi Ratih semakin geram saja. Dengan satu gerakan kilat dicabutnya pedang dan langsung menyabetkan ke dada lawan.

"Zwiiing!"
"Wut! Wut!"

Tujuh kali sabetan pedang Dewi Ratih yang dilakukan dengan cepat semuanya kandas tanpa sedikit pun mengenai sasaran. Tubuh Manggala yang besar itu enteng saja bergerak ke sana ke mari menghindar. Bahkan ketika ia mulai membalas, sempat Dewi Ratih kelabakan merasakan angin pukulannya yang besar dan bertenaga kuat. Kalau saja ia tak cepat-cepat mengibaskan pedang, bukan tak mungkin serangan lawan berhasil menjatuhkahnya.

"Ha ha ha ha...! Kau semakin membuatku gemas saja, manis. Kemarilah cepat sebelum aku menggunakan kekerasan terhadapmu,"

"Cuih! Aku akan mendekat setelah kukorek jantungmu!" sahut Dewi Ratih.

"Hemm, agaknya kau memang ingin dipaksa. Baiklah kalau itu yang kau inginkan!" dengus Manggala. Wajahnya berupa kelam dan hawa kemarahan mulai terlihat.

Dengan satu lompatan kecil tubuhnya terangkat dan melayangkan satu tamparan ke pipi gadis itu. Dewi Ratih menyambutnya dengan sabetan pedang. Namun dengan cepat Manggala menarik tangan dan menendang bahu kanan Dewi Ratih.

"Wuuk!"

Tubuh Dewi Ratih membungkuk menghindari tendangan lawan, dan kembali ujung pedangnya menyambar. Kali ini perut Manggala nyaris robek kalau saja laki-laki berwajah hitam itu tak cepat-cepat melompat ke atas. Dalam keadaan begitu kaki kirinya masih sempat menendang pergelangan tangan kanan Dewi Ratih.

"Bet!"

"Huh, jangan harap bisa menjatuhkan pedang dari tanganku! Bila tanganku putus pun, belum tentu kau berhasil," ejek Dewi Ratih.

"Siapa yang butuh pedang bututmu itu! Sebentar lagi kau akan merasakan bahwa Iblis Pulau Hitam tak bisa dipandang remeh," dengus Manggala.

Kali ini Manggala merapatkan kedua tangan di dada, kemudian diturunkan sebatas pinggang. Yang sebelah kanan terkepal, sedangkan tangan kiri terbuka. Kemudian dia berteriak nyaring.

"Heaaaaat...!"

Dewi Ratih terkejut. Dari telapak kiri lawan menderu angin kencang menghantam tubuhnya. Gadis itu mencelat ke atas sambil bersalto beberapa kali. Namun saat itu pula tubuh Manggala menyambutnya dengan tinju kanan bersiap menghantam batok kepala. Dewi Ratih yang mengetahui hal itu cepat-cepat mengibaskan pedang melindungi bagian kepalanya. Ketika Manggala kembali menarik serangan, dan mengayunkan kaki ke arah perut, pedangnya masih mampu berkelebat melindungi.

"Yeaaa...!"
"Trang! Tuk!"

Seperti tadi Manggala menarik serangan kakinya, dan dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh pandangan mata biasa, pedang bergeriginya tercabut memapaki serangan lawan. Kemudian pada saat yang bersamaan, tangan kirinya bergerak menotok urat leher si gadis. Dewi Ratih mengeluh pelan sebelum tubuhnya ambruk lemas.

"He he he he...! Apa kataku. Sekarang kau tak bisa lagi lepas dari cengkeraman ku!" Manggala terkekeh sambil membopong tubuh gadis itu.

"Cuiih! Lepaskan aku keparat! Aku masih mampu menebas lehermu!" teriak Dewi Ratih sambil memaki-maki.

"Percuma kau berteriak-teriak, manis. Lebih baik kau diam. Sebab kalau tidak, aku akan bertindak kasar padamu," sahut Manggala. Namun gadis itu terus berteriak-teriak memaki-maki.

Sementara itu melihat si gadis, Mahendra yang sedang bertarung dengan Durbala jadi terganggu konsentrasinya.

"Dewi Ratih! Bangsat, lepaskan adikku?!" teriaknya sengit lalu melompat hendak menerjang Manggala. Namun saat itu pula Durbala yang telah meloloskan pedang bergeriginya langsung menebas kedua kaki lawan.

"Craaaas!"

Mahendra menjerit kesakitan. Tubuhnya ambruk sambil berguling-guling. Manggala tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Secepat pedangnya tercabut, kembali terdengar pekikan Mahendra ketika pedang lawan menghunjam ke jantungnya. Tubuh itu meregang sesaat, sebelum akhirnya terkulai lemah. Nyawanya langsung lepas dari raga.

"Kakang Mahendra...!" pekik Dewi Ratih melihat pemandangan yang mengenaskan di depan matanya.

"Diamlah. manis. Percayalah, kau tak akan mengalami nasib seperti itu kalau menurut pada kami. Bahkan kujanjikan surga kenikmatan yang belum pernah kau peroleh selama ini," kata Manggala sambil terkekeh-kekeh membawa gadis itu berlalu masuk ke dalam pinggiran hutan yang tak jauh dari tempat itu.

Dari arah belakang Durbala menyusul sambil tertawa terkekeh-kekeh. Sementara suara Dewi Ratih yang menjerit-jerit dan memaki-maki, perlahan-lahan hilang seperti ditelan kegelapan malam.


***


TUJUH

Dalam waktu singkat saja akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan sepasang Iblis Pulau Hitam mengejutkan kalangan persilatan. Nama Iblis Pulau Hitam dianggap sebagai ancaman yang membuat tokoh-tokoh golongan putih menjadi geram dan marah. Dalam waktu seminggu lebih, telah banyak tokoh yang tewas di tangan mereka. Begitu juga halnya dengan Perguruan-perguruan ilmu silat yang terkenal, ambruk di tangan kedua tokoh ini.

Telah banyak pula tokoh-tokoh golongan putih yang mencoba untuk menghentikan aksi mereka, namun semuanya tewas dengan keadaan yang mengenaskan. Salah satu diantaranya tokoh yang gemas mendengar sepak terjang Iblis Pulau Hitam adalah Suropati. Tokoh ini merupakan ketua dari Perguruan Silat Elang Emas.

Pada masa itu perguruan mereka merupakan salah satu Perguruan Silat yang disegani. Murid-muridnya terkenal di mana-mana karena perbuatan mereka yang memusuhi golongan hitam, dan tak segan-segan menolong kaum yang lemah.

Hari ini Ki Suropati mengumpulkan murid-murid utamanya di ruang depan yang luas dan lebar. Wajah-wajah mereka tampak geram dan sepertinya ingin secepatnya menumpas kedua tokoh golongan sesat itu.

"Mereka berilmu tinggi dan sulit diukur kemampuannya. Untuk itu kalian harus hati-hati dan jangan gegabah," nasehat Ki Suropati.

"Tapi Guru, walau setinggi apa pun ilmu mereka kami tidak takut, dan tetap seperti rencana semula," sahut seorang muridnya.

"Bagus! Dalam membela kebenaran tak perlu takut. Walau nyawa sebagai taruhannya. Tapi sekali lagi yang perlu kalian ingat, jangan gegabah. Dan janganlah keberanian kalian menjadi sia-sia. Kalau salah seorang diantara kalian merasa kewalahan, maka temannya wajib membantu. Berkelahi secara kroyokan memang tidak baik, tapi jangan diartikan demikian dalam hal ini. Anggaplah hal itu sebagai suatu gotong-royong. Gotong royong memerangi kebatilan itu merupakan tindakan yang baik."

"Iya, Guru....!" sahut muridnya hampir bersamaan.

Sepasang mata laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun itu menatap ketujuh murid utamanya itu bergantian. Kemudian katanya setelah menghela nafas pendek.

"Nah, sekarang. Mari kita sama-sama berangkat. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa senantiasa melindungi kalian semua..."

"Guru" panggil seorang muridnya pelan.
"Apakah tidak lebih baik kalau kami saja yang mencari mereka? Kalau seandainya guru ikut, kami khawatir terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Perguruan ini tak akan memiliki pengganti..."

Ki Suropati tersenyum. "Apa maksudmu, Prahasta...?"

"Maksudku ..... ng..., apakah kami saja tak cukup untuk menghadapi mereka?"

"Apakah kau pernah melihatku berdiam diri sementara kebatilan merajalela? Tidak, Prahasta! Lebih banyak jumlah orang yang memerangi mereka, itu lebih baik. Walaupun aku harus tewas di tangan mereka sekali pun, namun kematianku tidak akan sia-sia. Begitu juga halnya dengan kalian."

Prahasta tak berkata-kata apa lagi mendengar penjelasan orang tua itu. Setelah tak ada lagi yang mereka bicarakan, ketujuh murid Ki Suropati segera berlalu dari ruangan itu. Namun baru saja mereka bersiap-siap, tiba-tiba melesat dua buah bayangan yang langsung diiringi suara tawa yang menggelegar.

"Ha ha ha ha ...! Perguruan picisan inikah yang akan menantang Iblis Pulau Hitam?" Ki Suropati beserta murid-muridnya yang lain langsung bersiaga. Pada jarak tujuh tombak di depan mereka berdiri dua sosok tubuh tinggi besar serta berkulit hitam bagai jelaga. Mengenakan baju loreng kuning dan hitam, amat kontras sekali.

Sepasang mata mereka menatap keadaan sekelilingnya dengan pandangan meremehkan.

"Siapa kalian?" tanya Ki Suropati dengan suara datar.

"Bukankah kalian hendak mencari Iblis Pulau Hitam? Nah, kamilah orangnya!" sahut salah seorang yang lebih tinggi.

"Hemm, jadi kalian yang bernama Iblis Pulau Hitam? Bagus! Tak susah-susah lagi kami mencari keparat busuk seperti kalian."

"He he he he...! Tua bangka bau tanah. Kudengar kau berilmu tinggi. Ingin kubuktikan sampai di mana kehebatanmu," sahut salah seorang diantara Iblis Pulau Hitam yang bernama Manggala.

"Tak usah banyak basa-basi, Kisanak. Dosa kalian telah lewat takaran. Aku tak akan pernah membiarkan manusia-manusia seperti kalian hidup dengan tenang," sahut Ki Suropati. Orang tua itu pun kemudian memberikan isyarat. Dua orang murid utamanya langsung berkelebat ke arah Iblis Pulau Hitam.

"He he he he...! Kau menganggap remeh dengan mengirim cecoro-cecoro ini untuk menghadapi kami? Majulah kalian semua biar lebih cepat kami menebas batang leher kalian!" sahut Durbala yang bertubuh lebih pendek dari Manggala.

"Sriiiing!"

Kedua Iblis Pulau Hitam itu langsung meloloskan pedang maut mereka dan menyambut serangan dua murid utama Perguruan Elang Emas yang bersenjatakan pedang pendek.

"Trang!"
"Wuuut...!"
"Ughk...!"

Kedua murid utama Ki Suropati itu terhuyung-huyung sambil meringis ketika pedang di tangan mereka terpental dihajar senjata lawan.

"Heaaaat!"
"Trang! Trang!"

Dua orang murid lainnya berusaha membantu ketika kedua Iblis Pulau Hitam bermaksud menghabisi dua temannya yang pertama. Namun keduanya dibuat terkejut. Dengan sekali hantam, pedang di tangan terpental. Belum lagi sempat menguasai diri, Iblis Pulau Hitam telah mengayunkan pedang.

"Wuuut!"
"Trak!"

"Huh, kenapa tidak dari tadi saja kau turun tangan?" dengus Manggala.

Pada saat-saat terakhir dengan tiba-tiba Ki Suropati melesat dan menangkis pedang lawan dengan senjatanya berupa pedang pendek berbulu Rajawali. Orang tua itu sempat terkejut merasakan tangannya kesemutan. Bukan main hebatnya tenaga dalam lawan, pikirnya di hati.

"Guru," kami masih mampu menghadapi dua iblis ini!" seru salah seorang murid yang belum dapat kesempatan sambil menjura hormat. Ki Suropati menatapnya sekilas, kemudian mengalihkan pandangan pada murid-muridnya yang lain. Walau menyaksikan sendiri kehebatan lawan, namun tak seorang pun diantara mereka menunjukkan wajah gentar. Malah senjata mereka tergenggam erat dengan sikap bersiaga.

"Kalian ingin mencicipi Iblis ini?"

"Betul, Guru!" sahut mereka serempak, Ki Suropati tersenyum. Kemudian katanya perlahan.

"Setiap peraturan mana pun mengatakan bahwa pimpinan berhak mencicipi lebih dulu apa pun yang datang padanya. Aku biasanya tidak demikian bila mendapatkan sesuatu yang bagus dan berguna. Tapi kali ini, biarlah aku mencobanya lebih dulu. Dan kalian belakangan, atau siapa saja diantara kalian yang tak ingin mencicipi kehebatan kedua iblis ini, boleh angkat kaki dan berlalu segera."

Tak ada seorang pun dari muridnya yang buka suara. Mereka mengerti apa yang dimaksud orang tua itu. Biasanya kalau beliau merasa yakin bahwa lawan dapat dikalahkannya. maka murid-muridnyalah yang akan maju. Tapi bila merasa lawan sangat tangguh, maka ia tak mengizinkan muridnya maju, melainkan beliau sendiri yang menghadapinya. Demikian juga dalam hal ini. Guru mereka menganggap bahwa kedua Iblis Pulau Hitam itu berilmu tinggi. Dan buktinya telah mereka lihat.

"Nah, Kisanak berdua silahkan kalau hendak bermain-main denganku barang sejenak," ujar Ki Suropati pada kedua lawannya setelah menunggu tak ada jawaban dari muridnya.

"He he he he...! Kau akan menghadapi kami berdua seorang diri? Jangan menyesal, orang tua! Walau kalian semuanya maju, belum tentu unggul menghadapi kami!" ejek Durbala jumawa.

"Kau tak akan menyesal, orang tua!" timpal Manggala.

"Untuk menghadapi kalian berdua kurasa tulang tuaku ini sudah cukup. Mengeroyok kalian cuma membuat kami malu saja, sebab tenaga murid-muridku diperuntukkan bagi tugas yang lebih besar," jawab Ki Suropati tenang.

Wajah Manggala mendengus sinis mendengar ejekan itu, sementara Durbala yang sudah tak sabar langsung mencelat sambil menghunus pedang menyerang lawan.

"Orang tua busuk. Kau pikir bisa menganggap enteng terhadap Iblis Pulau Hitam? Kau rasakan ini!"

"Wuk! Wuk!"

Lima kali sabetan pedang Durbala yang dilakukan secara cepat hingga sulit diikuti oleh mata biasa serta mengandung tenaga dalam kuat, dengan mudah dielakkan Ki Suropati. Tubuh orang tua itu berlekuk-lekuk seperti orang yang sedang menari menghindari pedang lawan.

"He he he he...! Ilmu pedang beginikah yang kalian andalkan untuk menjagoi dunia persilatan?"


***


Semakin gusar saja Durbala mendengar ejekan itu. Telapak kirinya mendekap dada dengan posisi miring. Tangan yang memegang pedang di tangannya itu berputar-putar seperti baling-baling membentuk pusaran angin kencang. Dari telapak kirinya pun meleset angin jarak jauh seperti meliuk-liuk menyambar lawan.

"Kali ini tubuhmu akan ku lumatkan, keparat!" maki Durbala geram.

Apa yang diucapkannya tak salah. Dan seperti enggan mengulur-ulur waktu serta berlama-lama bertarung dengan orang tua itu maka dikeluarkannya segenap kepandaiannya. Jadilah pertarungan itu sebagai suatu tontonan menarik yang membuat decak kagum serta kecemasan murid-murid Perguruan Elang Emas. Hanya beberapa orang murid utama saja yang mampu menyaksikan pertarungan itu karena penglihatan mereka sudah terlatih. Sedangkan yang lain hanya dapat menyaksikan kelebatan bayangan yang bergulung-gulung saja.

"Durbala, agaknya kau lamban sekali menghabisi tua bangka ini. Biarlah kubantu," teriak Manggala tak sabaran lalu melompat masuk ke dalam kancah pertarungan.

Beberapa orang murid Perguruan Elang Emas terkejut melihat guru mereka dikeroyok. Pastilah Ki Suropati akan terdesak hebat.

"Guru, kami terpaksa membantumu!" teriak salah seorang murid utama perguruan itu.

Tanpa menunggu jawaban gurunya, kelima murid utama langsung ikut dalam kancah pertarungan, Sebenarnya apa yang dirasakan orang tua itu adalah bahwa ia mampu mengimbangi ilmu silat lawan. Bahkan perlahan-lahan mulai menekan setelah mengetahui gerak-gerik tipu lawan.

Pantas saja Manggala cepat-cepat turun tangan untuk membantu. Walau pun demikian orang tua itu tak merasa gentar. Dalam bayangannya, kalau mereka berasal dari satu perguruan yang sama, tentu ilmu silatnya tak jauh berbeda. Itulah sebabnya Ki Suropati tak bermaksud melarang murid-muridnya ikut membantu.

"Heaaaaa...!"
"Trak!"
"Trang!"
"Crasss!"
"Wayaaaa...!"

Terdengar pekik kesakitan yang disusul terlemparnya dua murid utama dari arena pertarungan. Perut mereka robek, isinya terburai keluar. Begitu menyentuh tanah hanya menggelepar sesaat, sebelum akhirnya kaku tak bergerak lagi. Murid-murid yang lain terpana barang beberapa saat sebelum amarah mereka kembali meluap-luap.

Ki Suropati sendiri menjadi heran. Seharusnya Manggala tak bisa melakukan hal itu terhadap muridnya sebab ia sendiri sedang mendesaknya. Namun secara tak terduga tiba-tiba Durbala mengambil alih dan kesempatan sedetik itu digunakan lawan untuk menghajar dua muridnya yang terdekat.

Keanehan lain yang dilihat Ki Suropati itu adalah bahwa ilmu silat lawan jadi berbeda kali ini. Serangan mereka kompak saling susul menyusul, kemudian saling jaga menjaga. Bila salah seorang menyerang, maka yang lainnya telah siap pada serangan berikut dengan memperkirakan mana lawan akan bergerak menghindar.

"Celaka!" teriak Ki Suropati setelah merasa bahwa serangan kedua lawan memiliki gerak tipu yang tiada diduga.

"Mulai takut mampus, orang tua?" ejek Durbala.

"Huh, aku lebih suka mampus dari pada hidup jadi pengecut!"

"Bagus, kalau demikian. Dekatkan kepalamu agar lebih mudah aku memenggalnya."

"Boleh kau ambil kepalaku setelah kutebas dulu lehermu!"

"Yeaaa...!"
"Cras! Cras!"
"Aaaaargk...!"

Dua orang murid utama Ki Suropati kembali terlempar sambil menjerit kesakitan. Sesaat kemudian keduanya terlihat mengejang. Keadaannya hampir sama dengan yang pertama tadi.

"Guru, kami tak bisa mendiamkan hal ini! Terpaksa kami juga turun tangan!" teriak murid-muridnya yang lain.

Lalu seperti dikomando oleh suara itu, sekitar tiga puluh murid-murid Perguruan Elang Emas langsung mengeroyok Iblis Pulau Hitam. Dalam dada mereka penuh dengan gelora dendam dan amarah yang meluap-luap. Perguruan Elang Emas bukanlah perguruan picisan dan selama ini belum pernah mereka tewas dengan mudah serta tentu saja hal ini merupakan penghinaan berat. Dianggap seperti lalat yang gampang ditepuk kapan saja.

"Heaaaat...!"
"Yeaaah...!"
"Trang!"
"Buk! Buk!"
"Sreet!"

Serbuan murid-murid Perguruan Elang Emas hebat bukan main. Tapi amukan kedua Iblis Pulau Hitam lebih dahsyat lagi. Seperti menebas rumput liar, pedang itu berkelebat ke sana ke mari dan memakan korban banyak. Sekali pedang itu bergerak, tiga atau empat korban akan tewas dengan keadaan yang mengerikan.

Dalam tempo singkat, belasan murid Ki Suropati tewas. Tentu saja hal ini membuat Ki Suropati menjadi sedih. Walau ia berusaha mendesak kedua lawan, tapi dalam perpaduan serangan, mereka sama sekali tak merasa direpotkan oleh keroyokan itu dan masih mampu meladeni serangan orang tua itu.

"Berhenti ....!" teriak Ki Suropati dengan suara menggelegar.


***


Seketika pertarungan terhenti, begitu terdengar teriakan keras Ki Suropati. Semua murid-murid Ki Suropati cepat-cepat berlompatan mundur. Mereka tampak keheranan, karena baru sekali ini Ki Suropati menghentikan pertarungan pada saat mereka bertarung melawan musuh.

"Murid-muridku, dengarlah...!" seru Ki Suropati lantang. "Biarlah kedua lawan ini bagianku. Kalau aku tewas nanti, keputusan ada di tangan kaian. Kalian berhak untuk menentukan jalan hidup kalian sendiri."

"Tidak, Guru. Kami akan tetap menggempur kedua keparat ini sampai tetes darah terakhir!" sahut murid-muridnya.

"Bagus! Tapi selagi aku masih berdiri tegak di sini, tak seorang pun boleh membantuku!" kata Ki Suropati tegas.

"Tapi, Guru...!"

"Sudahlah.... Kalian tak boleh membantuku sampai aku tewas, dan keputusan nanti berada di tangan kalian. Jangan ada yang membantah. Kalau ada yang berkeras, maka saat ini juga dia bukan muridku lagi," lanjut Ki Suropati tegas.

Semuanya terlihat menunduk tanpa memberikan jawaban. Tapi Ki Suropati mengerti, bahwa mereka menurut akan kata-katanya walau mereka berat melaksanakannya. Kemudian dia beralih kepada kedua Iblis Pulau Hitam yang masih tersenyum mengejek.

"Nah, Kisanak. Aku siap bertarung dengan kalian kembali...!"

"He he he he...! Kalau kau mau menyembah kaki kami dan mengatakan takluk, mungkin nyawa kalian bisa kuampuni," ejek Durbala.

"Kisanak, sudah jangan banyak bicara. Kalian tahu hal itu tak akan pernah kulakukan. Bersiaplah kalian!" sahut Ki Suropati.

Melihat lawan meremehkannya, Durbala langsung menyerang dengan kekuatan penuh. Kali ini ia betul-betul mengarahkan segenap kemampuan yang dimilikinya.

"Yeaaaah...!"
"Trang!"
"Plak!"

Untuk sesaat kedua Iblis Pulau Hitam tercekat. Serangan Ki Suropati cepat bagai kilat serta mengandung tenaga dalam kuat. Ketika telapak kirinya bermaksud menghajar kepala Durbala, lawan langsung memapakinya. Ia sedikit meringis.

Tangannya terasa kesemutan akibat benturan itu. Dan pada saat yang bersamaan, pedang di tangan Ki Suropati menebas leher Manggala yang dengan cepat ditangkis dengan pedangnya sambil menundukkan kepala dan balas menendang lawan.

"Wuk!"

Tubuh Ki Suropati bersalto ke udara beberapa kali. Namun saat itu juga Durbala bergerak menyusul sambil menghunus pedang. Ujung senjatanya bergulung-gulung seperti hendak mengiris seluruh permukaan tubuh lawan.

"Trang!"
"Wuuuut!"

Ki Suropati masih sempat menangkis serangan lawan dengan permainan ilmu pedangnya yang lihai. Bahkan pada akhir serangan ia masih sempat membalas walaupun luput. Tinju kiri Durbala nyaris menghantam dada pada kesempatan pertahanannya terbuka. Namun Ki Suropati cepat melindungi diri dengan memapakinya.

"Bughk!"
"Aaaaaargk...!"

Keduanya menjerit kesakitan dengan tubuh terlontar pada arah yang berlawanan.

"Yeaaah...!"

"Guru ...!" pekik salah seorang murid sambil melompat menyerang lawan ketika melihat Manggala hendak mencuri kesempatan dengan menghunus pedang ke tubuh Ki Suropati.

"Trasss!"
"Trang!"
"Bughk!"
"Aaaaakh...!"

Pemandangan mengerikan terjadi dalam beberapa detik. Tubuh murid Ki Suropati yang berusaha melindungi gurunya, terbelah dua manakala berusaha menahan ayunan pedang lawan. Mata pedang bergerigi itu terus menghantam Ki Suropati setelah membabat pinggang salah seorang muridnya. Ki Suropati masih sempat menangkis, namun tendangan lawan seperti membuat tulang dadanya remuk.

Tak pelak lagi, Ki Suropati terbanting keras ke atas tanah seperti seonggok bangkai. Walau demikian nampaknya kegarangan Manggala tak cukup sampai di situ saja. Begitu menjejakkan kakinya di tanah, dengan kecepatan yang begitu tinggi sekali dia kembali melesat untuk menghabisi nyawa Ki Suropati.

"Hiyaaaa...!"

Tapi belum juga tindakan Manggala terlaksana, tiba-tiba saja terdengar suara bentakan keras menggelegar. Membuat gerakan Manggala jadi terhenti seketika.

"Cacing keparat! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" teriak tiga orang murid Ki Suropati yang langsung menghadang, dengan pedang terhunus ke arah Manggala.

"Cacing-cacing busuk, mampuslah kalian!" desis Manggala geram.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaaah...!"
"Trang!"
"Crass!"
"Breet!"

Manggala benar-benar mengamuk pada tiga orang lawannya ini. Pedangnya berkelebatan cepat, membabat ketiga senjata lawan. Dan ketika sekali lagi berkelebat dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa. ketiga lawannya menjerit kesakitan sebelum ambruk dengan perut robek dan isinya terburai keluar.

"Wuaaaa...!"

Pada saat yang bersamaan terdengar jeritan pendek perlahan. Manggala melirik dengan cepat ke arah suara itu. Ketika ia sedang menghadapi ketiga murid Ki Suropati, maka kesempatan itu dipergunakan oleh Durbala untuk menghabisi jiwa lawan. Ujung pedangnya langsung menghunjam ke jantung Ki Suropati yang telah tak berdaya, dan ketika senjatanya tertarik, terdengar tulang rusuk Ki Suropati berbunyi saat pedang Durbala dicabut. Durbala kembali berkali-kali menghunjam ujung pedangnya ke tubuh Ki Suropati dan seperti semula manakala ujung pedang itu dicabut maka isi perutnya seperti ikut keluar.

"Biadab! Iblis keparat!" teriak semua murid Ki Suropati dengan amarah yang meluap. Tanpa dikomando lagi mereka langsung menyerang Durbala dan Manggala. Melihat itu kedua Iblis Pulau Hitam malah terkekeh-kekeh senang. Kemudian dengan mendengus sinis dan wajah menyiratkan kegarangan, keduanya langsung mengayunkan pedang. Pekik kesakitan dan jerit kematian langsung terdengar yang di susul tumbangnya beberapa korban dalam keadaan mengerikan. Dalam waktu singkat tempat itu banjir darah dan mayat-mayat bergelimpangan.

"Ha ha ha ha...! Mampuslah mereka yang hendak menentang Iblis Pulau Hitam!" Durbala terbahak-bahak setelah menewaskan lawan terakhirnya. Tingkahnya itu diikuti oleh Manggala dengan suara yang tak kalah kerasnya.

"Siapa pun yang mencoba menentang Iblis Pulau Hitam dia harus mati!" katanya sambil mengacungkan pedang berlumuran darah di tangannya..

"Iblis Pulau Hitam, terimalah salam perkenalan dariku!"

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang disusul satu bayangan melesat ke arah Manggala. Cepat-cepat dia berkelit sambil mengayunkan pedang. Namun bayangan itu bergulung ke atas dan langsung menyambar kepalanya.

"Wuuut!"
"Splak!"

Tubuh Manggala terjajar beberapa langkah ketika tangannya berusaha memapaki tamparan lawan. Kemudian pada saat itu pula Durbala langsung melesat dengan satu serangan kilat.

"Yeaaat...!"
"Bet!"
"Trang!"

Seperti halnya dengan Manggala, tubuh Durbala terhuyung-huyung beberapa tindak ketika pedangnya ditangkis oleh suatu benda yang amat keras. Tangannya terasa perih serta kesemutan. Belum lagi mereka sempat memperbaiki posisi, bayangan itu telah kembali melesat menyambar.

"Iblis-iblis jahanam, mampuslah kalian sekarang...!"

"Wuut!"
"Wuss!"

Tak percuma kedua orang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam itu punya nama angker kalau saja kepandaian mereka cetek. Sambil bersalto ringan, keduanya langsung mengirimkan pukulan jarak jauh pada waktu bersamaan. Bayangan itu melejit menghindari, namun Manggala menyambarnya sambil mengayunkan pedang dengan tenaga dalam tinggi.

"Siapa pun yang bermain-main dengan Iblis Pulau Hitam, dia harus mampus!!"

"Trang!"
"Wuuut!"
"Yeaaaah...!"

Pedang Manggala kembali membentur benda keras seperti tadi. Namun kali ini cuma kesemutan saja dan sempat didengarnya bayangan itu mengeluh pendek meski masih sempat menyabetkan senjatanya ke tubuh lawan. Namun Manggala cepat berkelit. Pada saat itulah terdengar teriakan keras dari Durbala yang mengirimkan serangan susulan terhadap lawan.


"Trang!"
"Hiyaaat...!"

Serangan kedua Iblis Pulau Hitam itu kini mulai teratur dan kompak. Bila salah seorang selesai menyerang, maka detik itu pula yang seorang lagi melancarkan serangan. Dan bila ia berhenti maka yang pertama kembali menyerang. Begitu seterusnya. Hingga walaupun bayangan itu memiliki ilmu peringan tubuh setingkat lebih tinggi dibanding mereka, namun perlahan-lahan terlihat ia mulai terdesak. Kemudian pada suatu kesempatan, ujung pedang Durbala nyaris merobek wajah lawan.

"Uts!"
"Shaaat...!"
"Crasss!"

Bayangan itu mengeluh kesakitan. Walaupun berhasil menghindari sembarangan ujung pedang Durbala, namun pada saat yang bersamaan Manggala berhasil merobek bahu kanannya. Bayangan itu bersalto beberapa kali ke belakang. Kemudian pada jarak enam tombak. Tegak berdiri memandang tajam. Barulah keduanya dapat saling melihat jelas.

Bayangan tadi ternyata seorang laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun, berpakaian serba hitam dan rambut yang sudah berwarna putih. Wajahnya agak bulat dan dahinya licin. Tubuhnya pun agak gemuk. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat besi sepanjang lebih kurang tujuh jengkal dengan hulu berbentuk kepala burung Rajawali berwarna keemasan.

"Siapa kau?" tanya Manggala berang.

"Akulah pendiri Perguruan Elang Emas ini. Kalian telah berbuat semaunya dengan menghabisi seluruh murid-muridku. Untuk itu kalian harus mampus!" sahut si orang tua.

"Hemm, kaukah yang bernama Ki Suganda yang terkenal dengan gelar Elang Emas Penyapu Jagat?"

"Agaknya pendengaran kalian masih. bagus dan mata kalian masih jeli. Hanya sayang nurani kalian yang telah busuk!"

"Orang tua, aku tak perduli ucapanmu. Kalau kau merasa tak senang, kau boleh menuntut balas. Kalau kau mau menyudahi sampai disini, kami pun akan membiarkan kau berlalu dengan selamat," kata Manggala.

Walau pun baru sekali berhadapan dengan orang tua ini, tapi nama Elang Emas Penyapu Jagat telah sering di dengarnya lewat penuturan Gurunya. Beliau salah seorang tokoh kosen golongan putih yang ilmu silatnya sulit di ukur kemampuannya. Kelebihan utamanya adalah ilmu peringan tubuhnya yang telah mencapai tingkat sempurna.

"He he he he...! Enak sekali bicaramu, Kisanak. Perguruan Elang Emas, akulah yang mendirikannya. Ki Suropati adalah murid tertua ku, dan yang lainnya termasuk cucu muridku. Kalian datang tanpa sebab, dan membasmi mereka tanpa alasan. Bagaimana mungkin aku bisa mendiamkan hal ini?"

"Jadi kau akan menuntut balas?" tanya Durbala dengan senyum mengejek.

"Tidak. Hanya ingin meminta kepala kalian sebagai bukti ganti nyawa mereka!" sahut Ki Suganda dingin.

"Keparat...!" geram Durbala langsung memerah wajahnya.

Meskipun terdengar tenang, tapi kata-kata yang dikeluarkan Ki Suganda membuat telinga siapa saja yang mendengarnya bagai ditusuk pisau. Dan ini membuat wajah Durbala jadi memerah.

"Huh, kau kira dengan mengandalkan nama besarmu kami jadi takut? Kau pun akan mendapat gilirannya nanti," dengus Manggala juga ikut geram mendengar kata-kata Ki Suganda tadi.

Merasa bahwa lawan mampu dilukainya, ia langsung melompat dengan satu serangan kilat. Bersamaan dengan itu Durbala pun ikut mengerubutinya dengan pedang siap di tangan.

"Hiyaaa...!"
"Shaaa...!"
"Hup! Yeaaah...!"

Dikerubuti oleh dua orang berilmu tinggi itu, Ki Suganda langsung mengerahkan segenap kemampuannya. Tubuhnya bergerak bagai bayangan dan sulit dikejar lawan. Walaupun penyerangan Manggala dan Durbala sangat kompak, tapi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ki Suganda berada satu tingkat di atas mereka hingga sulit bagi kedua Iblis Pulau Hitam itu untuk dapat menjatuhkan lawan dalam sekejap. Bahkan beberapa kali Ki Suganda berhasil mendesak mereka dengan jurus-jurus permainan pedangnya yang dahsyat, berkelebatan cepat bagai kilat, menyambar ke mana saja tubuh lawan bergerak. Hingga beberapa jurus berlalu, masih terlalu sulit diperkirakan, siapa di antara mereka yang keluar sebagai pemenang dalam pertarungan itu.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaaah...!"

Teriakan-teriakan keras menggelegar, terdengar begitu dahsyat memecah angkasa. Disertai dengan suara denting senjata beradu. Terlihat kilatan-kilatan bunga api berpendar setiap kali senjata-senjata mereka beradu. Dan tampaknya pertarungan itu masih akan terus berlangsung lebih lama lagi. Sebuah pertarungan tingkat tinggi yang begitu dahsyat dan menakjubkan. Karena masing-masing sudah mengeluarkan jurus-jurusnya yang dahsyat.


* www.sonnyogawa.com *


Pagi bersinar hangat saat ayunan langkah kaki Bayu sampai di pinggiran hutan. Sejak tadi Tiren, monyet sahabat kecilnya yang centil terus mencerecet ribut di pundak Pendekar Pulau Neraka itu. Lalu turun dari pundak pemuda berbaju kulit harimau ini dan berlari-lari kecil sambil memanjat pohon-pohon.

"Tiren, kau mau tinggal di situ? Aku akan terus jalan!"

"Nguk...!"

"Kau tidak mau ikut...? Baiklah. Aku akan meninggalkanmu disini.

Setelah berkata begitu Bayu bersiap-siap menggenjot tubuhnya dan berlari kencang. Dari belakang terdengar Tiren menjerit dengan suara melengking sambil lari mengejar. Tapi Bayu seakan tak mau menghentikan larinya. Saat melihat depannya ada sebuah pondok kecil, Bayu bermaksud bersembunyi di tempat itu.

Namun Bayu terkejut ketika melihat sesosok tubuh seorang gadis tergolek di sebuah balai bambu yang sudah reyot di sana. Tapi yang lebih mengejutkan lagi, gadis itu dalam keadaan bugil. Dan sepertinya dia pernah mengenal gadis itu. Cepat-cepat ditutupinya tubuh gadis itu dengan pakaian yang menggelatak di lantai. Kemudian sambil mengurut-urut perlahan, gadis mulai sadarkan diri.

"Ohh...!"

Bayu melirik sekilas. Perlahan-lahan kemudian, dia bermaksud meninggalkan gadis itu. Tapi entah kenapa, hatinya tiba-tiba ragu. Ada perasaan khawatir jika gadis itu mengalami lagi hal-hal buruk setelah sepeninggalnya nanti. Dia kenal gadis itu. Kalau ingat sikap dan raut wajahnya yang selalu menampakkan rasa ketidaksenangan terhadap dirinya, kesal juga hatinya. Dua kali mereka bertemu, dua kali pula tak pernah dilihatnya gadis itu sedikit memberikan senyum manisnya. Tapi baru saja Bayu membalikkan tubuhnya, tiba-tiba saja dia tersentak kaget, ketika mendengar gadis itu menangis terisak. Cepat dibalikkannya tubuhnya, lalu melangkah menghampiri.

"Maaf, aku cuma ingin sekedar membantu. Kulihat kau dalam keadaan tak sadarkan diri. Tak ada maksud-maksud buruk di hatiku terhadapmu," katanya dengan suara pelan.

Tak terlihat reaksi gadis itu. Tangisnya semakin keras terdengar sambil membenamkan diri dibalai bambu, Bayu jadi salah tingkah. Melihat sesuatu yang tak beres di tubuh gadis itu, dia bisa memastikan apa yang telah menimpanya.

"Nisanak, kali ini aku tak mau kau menuduhku berbuat yang tidak-tidak padamu. Walau aku bukan orang baik-baik, tapi aku tak pernah memaksakan kehendak pada orang yang tak suka padaku," lanjutnya.

Tetap saja gadis itu diam dan terus menangis terisak. Bayu menunggu beberapa saat lamanya, kemudian perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Tapi baru saja dia sampai di depan pintu, tiba-tiba saja sebuah bayangan hitam kecil menyambar cepat bagai kilat.

"Utfs...!"
"Cieeeeeet...!"

Cepat-cepat Bayu menangkap, begitu mendengar suara jeritan yang sudah akrab di telinganya. Sebentar dia menarik napas panjang, lalu menaruh Tiren dipundak kanannya. Sahabat kecilnya itu berteriak-teriak marah. Bayu terkekeh kecil.

"Salahmu sendiri, kenapa aku ajak tadi, kau
malah bermain-main di pohon!"

"Cieeeet! Cieeeeet!" Tiren menggerutu kesal. Wajahnya terlihat lucu dengan kerut merut begitu.

"Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Siapa tahu tiba-tiba buruan kita muncul."

Tapi baru beberapa langkah, gadis yang berada digubuk tadi keluar dan memanggilnya dengan suara lirih. Bayu berbalik dan tertegun sesaat. Walau dalam keadaan lusuh sekali pun, namun wajahnya tetap cantik mempesona.

"Kisanak, terima kasih atas pertolonganmu..."

"Ah, sudahlah. Aku cuma kebetulan lewat saja. Eh, kemana kekasihmu itu?"

Perlahan gadis itu menundukkan wajahnya, kemudian membuang pandangan jauh ke arah lain. Terdengar suaranya yang lirih mengandung kepedihan.

"Dia sudah tewas di tangan Iblis Pulau Hitam."

"Oh...?!" desis Bayu terkejut. "Betul-betul keparat mereka!" geramnya tak sadar.

Sedangkan gadis cantik itu hanya diam saja. Pandangannya masih tertuju ke arah lain. Seakan dia tidak sanggup lagi menentang sorot mata pemuda tampan berbaju kulit harimau itu.

"Mereka tak akan ku maafkan lagi. Kali ini kalian harus mampus di tanganku. Telah banyak korban berjatuhan di tangannya." sambung Bayu mendesis geram.

"Kisanak, apakah kau mau memburu kedua Iblis itu?!" tanya gadis cantik itu agak ragu-ragu terdengar nada suaranya.

"Benar!" sahut Bayu mantap.

"Kau tidak keberatan kalau aku ikut denganmu, Kisanak? Mereka punya hutang nyawa padaku...."

"Aku rasa, sebaiknya kau pulihkan kesehatanmu dulu? Aku lihat kau masih sangat lemah."

"Tidak. Aku kuat. Aku masih sanggup memenggal kepala mereka!" sentak gadis itu tegas.

Bayu jadi tertegun memandangi gadis cantik ini. Setelah berpikir sesaat, Pendekar Pulau Neraka itu menganggukkan kepala menyetujui. Dalam hatinya mengatakan percuma saja menghalang-halangi keinginan gadis ini. Dan entah kenapa, tiba-tiba hatinya merasa cemas jika kejadian buruk menimpa gadis ini. Lebih-lebih dalam keadaan tubuhnya yang lemah, dengan mudah orang-orang yang iseng akan memperdayainya.

"Tiren, kau mau carikan kami buah-buahan segar?" pinta Bayu.

"Nguk...!"

Tanpa diminta dua kali monyet kecil berbulu hitam itu langsung melompat dari pundak Bayu ke atas cabang pohon. Dalam waktu singkat saja dia sudah menghilang dari pandangan.

"Cerdik sekali dia...," puji gadis itu.

"Ya, memang dia sangat cerdik," sambut Bayu tersenyum bangga. "Ng... Nisanak...."

"Bukankah kau telah tahu namaku? Jangan panggil aku dengan sebutan lagi." selak gadis itu cepat.

"Baiklah, eh... Dewi Ratih...," entah kenapa, Bayu jadi tergagap.

"Ratih saja juga boleh," kata gadis cantik yang memang bernama Dewi Ratih itu tersenyum.

"Ya, ya.... Ratih. Nama yang bagus," gumam Bayu memuji. "Tapi aku minta kau juga jangan memanggilku Kisanak. Bukankah kau juga sudah tahu namaku.

Gadis itu menoleh sekilas, kemudian tersenyum kecil.

"Mulanya aku menganggap kau sama saja dengan kami, murid-murid yang baru turun gunung menjalankan amanat dari Guru. Sudah pasti belum mampu menunjukkan kehebatan dan ketenaran namanya. Tapi ternyata dugaanku salah. Sepanjang perjalanan menuju tempat kediaman Bupati, namamu amat dikenal. Siapa sangka aku akan berhadapan dengan Bayu Hanggara, si Pendekar Pulau Neraka yang belakangan ini namanya sempat menggetarkan rimba persilatan."

"Kau terlalu memujiku, Ratih. Kepandaianku tak seberapa, sebab di atas langit masih ada langit."

Dewi Ratih cuma tersenyum kecil. kemudian kembali terdiam.

"Cieeeeet...!"

"Ah, Tiren sudah kembali! Nah, lihat dia bawa buah-buahan segar."

Apa yang dikatakan Bayu memang benar. Tiren kembali dari cabang pohon dan turun bersama buah-buahan segar dan ranum. Untuk sesaat mereka beristirahat sambil menikmati buah-buahan itu. Namun pendengaran Bayu yang tajam merasakan kehadiran seseorang di tempat itu. Sambil memakan buah, dia menggumam pelan, sambil mengerahkan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkatan sempurna.

"Kisanak yang berada di atas pohon, turunlah! Kalau kau hendak bergabung, aku tak akan pelit untuk memberimu sebuah!"

Dewi Ratih mencari-cari ke sekeliling tempat itu dengan sepasang mata indahnya. Demikian juga dengan Tiren. Tak berapa lama kemudian, terdengar suara tawa cekikikan panjang yang disusul sebuah bayangan melesat cepat ke arah mereka.

Tahu-tahu seorang perempuan tua sudah berdiri di dekat mereka. Wajahnya penuh keriput menyeramkan dengan pipi yang sudah kempot. Rambutnya yang sebagian telah memutih digulung dengan tusuk konde berbentuk naga sebanyak tujuh tusuk. Sementara di tangan kanannya terlihat sebuah tongkat sepanjang satu tombak berwarna hitam dan berbulu kepala naga.


***


DELAPAN

"Hi hi hi hi...! Dua pasang muda mudi enak-enakan berpacaran setelah menyebarkan malapetaka. Kalian tak akan lepas dari tongkat maut Nini Surti," terasa begitu kering sekali suara perempuan tua yang langsung mengenalkan dirinya bernama Nyai Surti itu.

"Nyai Surti...?!" gumam Bayu agak mendesis. "Hemm, pernah kudengar nama itu. Apakah kau yang punya gelar Bianglala Naga Pertala?"

Bayu bangkit berdiri perlahan-lahan. Dan langsung berhadapan dengan perempuan tua yang mengaku bernama Nyai Surti itu. Sejenak Pendekar Pulau Neraka itu mengamatinya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Sedangkan yang dipandangi malah tersenyum. Tapi sorot mata nenek itu mengandung kebencian yang dalam.

"Hi hi hi hi...! Agaknya matamu belum lamur, Bocah. Nah, bersiaplah menerima kematianmu!" dengus Nyai Surti, langsung mengacungkan tongkat.

"Eeee...! Tunggu dulu, Nini Surti. Aku tak keberatan menerima kematian ditanganmu, tapi jelaskan dulu apa persoalannya? Setahuku di antara kita tak ada saling permusuhan."

"Sialan! Sekarang kau pura-pura pikun, heh? Bukankah kau yang menghancurkan seluruh anak murid Perguruan Jari Sakti? Nah, Si Panji Narada yang menjadi ketuanya itu adalah menantuku. Apa lagi alasanmu, Bocah?"

"Nini, aku tak tahu apa maksudmu. Bukankah sepengetahuanku yang membantai seluruh murid Perguruan Jari Sakti adalah Iblis Pulau Hitam? Kenapa tiba-tiba kau menuduhku begitu?"

"Heh, bukankah kalian dari sepasang Iblis Pulau Hitam itu?"

"Nini, namaku Bayu Hanggara, tapi orang-orang selalu memanggilku Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan gadis ini adalah temanku," Bayu mencoba menjelaskan.

Tapi tampaknya Nyai Surti belum bisa mempercayai penjelasan Pendekar Pulau Neraka itu. Dengan sorot mata yang tajam, dia mengamati pemuda tampan berbaju kulit harimau ini dalam-dalam. Kemudian beralih pada Dewi Ratih yang sudah berdiri di samping Bayu sejak tadi. Gadis itu hanya diam saja, meskipun dipandangi dengan sorot mata yang begitu tajam penuh selidik.

"Ah, benarkah kalian bukan Iblis Pulau Hitam...?" desah Nyai Surti, seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Nini, aku berkata apa adanya. Bahkan kami pun sedang mencari mereka untuk menuntut balas," kata Bayu terus mencoba meyakinkan, kalau tuduhan perempuan tua ini tidak benar.

"Tapi orang-orang yang melihatnya, mengatakan mereka menuju ke arah sini..." lagi-lagi nada suara Nyai Surati terdengar seperti bicara pada dirinya sendiri.

Sedangkan Bayu jadi terdiam. Dewi Ratih juga tidak mengeluarkan suara sedikitpun juga. Tampak jelas kening Pendekar Pulau Neraka itu berkerut. Tapi entah apa yang ada di dalam kepala pemuda tampan itu sekarang ini. Hanya dia sendiri yang tahu. Sedangkan Nyai Surti tampak kebingungan. Jelas sekali kalau dia jadi bimbang mendengar penjelasan Bayu tadi. Dia tidak tahu, apakah tuduhannya tadi benar atau salah. Tapi dia juga belum mau percaya begitu saja, walaupun pengetahuannya tentang orang-orang yang sedang dicarinya sangat sedikit sekali. Sementara Bayu sendiri terus berpikir dengan kening berkerut cukup dalam. Kemudian katanya seperti pada dirinya sendiri.

"Mereka sering memusuhi perguruan-perguruan silat terkenal, dan menghancurkannya. Tujuannya jelas, ingin mendapatkan nama tenar. Kudengar tempo hari di sebelah selatan tempat ini ada sebuah perguruan silat yang belakangan namanya amat terkenal yaitu Perguruan Mata Elang Emas. Apakah tidak mungkin keduanya menyatroni perguruan itu?"

"Ah, betul katamu, Bocah." selak Nyai Surti cepat. "Kalau demikian aku akan kesana lebih dulu."

Seketika itu juga, dia melesat cepat, bagai kilat meninggalkan tempat itu. Begitu cepat dan tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki perempuan tua itu, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi bayangannya.

"Bayu, kita pun harus segera kesana!" kata Dewi Ratih bangkit berdiri dengan wajah bersemangat.

"Benar, Ratih. Ayolah...," sahut Bayu langsung menyetujui.


***


Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, keduanya bisa tiba di tempat itu dengan waktu singkat. Apa yang diperkirakan Bayu ternyata benar terbukti. Murid-murid perguruan itu semua tewas dengan cara yang mengerikan. Sementara di satu sudut terlihat dua orang bertubuh besar dengan kulit hitam sedang mengerubuti laki-laki tua yang menggunakan pedang pendek. Nini Surti yang baru saja datang, langsung terjun dalam kancah pertarungan. Si Kakek yang sedang dikerubuti dua lawannya tak lain adalah Ki Suganda, yang lebih dikenal dengan julukan Elang Emas Penyapu Jagat, langsung berseru girang melihat kehadiran Nyai Surti.

"Nyai Surti..., bagus kau cepat datang. Kudengar merekalah yang menghancurkan perguruan menantumu itu!"

"Hemm..., jadi inikah cecurut yang menamakan dirinya Iblis Pulau Hitam?" desis Nyai Surti, tidak dapat lagi menahan kegeramannya.

"Betul. Kini mereka telah menghancurkan pula murid-muridku. Mau tak mau aku harus mengadu jiwa. Harga kepala mereka berduapun rasanya belum setimpal dengan perbuatan biadabnya ini."

Mengetahui bahwa kedua orang bertubuh tinggi besar itu adalah musuh yang dicari carinya, Nini Surti langsung mengerahkan seluruh kepandaian yang dimilikinya untuk menghabisi lawan secepatnya. Tongkat di tangannya berputar-putar menimbulkan suara menderu dan angin kencang menghantam lawan. Kedua Iblis Pulau Hitam yang sejak tadi mendesak Ki Suganda, terpaksa membagi perhatian terhadap lawan barunya.

Sebenarnya Ki Suganda tak begitu suka dibantu bila sedang berhadapan dengan lawan. Namun kali ini keadaannya sudah terdesak sekali. Beberapa kali tubuhnya kena dilukai lawan, hanya karena ilmu peringan tubuhnya yang sempurna menyelamatkan selembar nyawanya. Tapi itupun hanya soal waktu. Kalau saja pada saat itu Nini Surti tak cepat datang, mungkin sebentar lagi Ki Suganda akan betul-betul terdesak. Bisa jadi jiwanya hanya sampai di situ sebelum dendamnya terbalas. Itulah sebabnya ia tak keberatan Nini Surti ikut membantu. Kebetulan ada alasan yang tepat bagi perempuan tua itu untuk menempur kedua iblis itu.

"Bayu, aku tak mau tinggal diam disini saja!" kata Dewi Ratih ketika mereka mendekat.

"Kedua Iblis itu telah merusak kehormatanku berkali-kali. Mereka harus membayarnya dengan nyawa mereka sendiri," lanjutnya.

Tanpa meminta persetujuan Bayu, Dewi Ratih langsung menerjang lawan dengan garang.

"Iblis-iblis keparat! Kali ini kalian tak akan lepas dari kejaranku!"

"He he he he...! Nona manis, agaknya kau pun berada di sini? Apakah kau tergila-gila pada kami sampai kau menyusul ke sini?" sahut salah seorang di antara mereka, Durbala.

"Cuiih! Melihat tampangmu saja muak rasanya perutku. Kalau belum mengorek jantungmu, hidupku belum puas rasanya!"

"Ciaaaat...!"
"Trang!"
"Trak! Trak!"
"Ughk..!"

Dewi Ratih mengeluh kesakitan ketika pedangnya ditangkis senjata Durbala. Masih untung dia dapat melompat ke belakang ketika ujung pedang Manggala menyambar pinggangnya. Sementara pada saat yang bersamaan. Durbala menangkis serangan pedang Ki Suganda dan dilanjutkan dengan pedang bergerigi Manggala yang menyampok tongkat Nini Surti. Kedua orang tua itu betul-betul merasa penasaran sekali, sebab kedua Iblis Pulau Hitam sama sekali tak merasa kerepotan walau dikeroyok. Kekuatan dan kecepatan bergerak mereka tetap sama seperti menghadapi Ki Suganda tadi. Bahkan dalam satu kesempatan berikut, mereka berhasil mendesak kedua lawannya.

"Yeaaaah...!"
"Wut!"
"Trang!"
"Trak!"

Kembali kedua Iblis Pulau Hitam memapas serangan senjata lawan. Kali ini serangan mereka bukan main hebatnya karena mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki. Kulit tangan Ki Suganda sampai terkelupas, dan tongkat Nini Surti malah patah dua. Namun begitu perempuan tua itu bukannya gentar malah dengan memegang masing-masing potongan tongkatnya, kembali ia menyerang lawan dengan ganas.

"Wuut!" "Wuut!"
"Yeaaaah...!"

Nini Surti mencecar habis-habisan kedua lawannya. Pada saat yang bersamaan Dewi Ratih kembali menyerang lawan sambil berteriak keras. Ujung pedangnya menyambar Durbala yang saat itu tengah kerepotan menghadapi dua serangan lawan sekaligus, yaitu dari Ki Suganda dan Nini Surti.

"Ciaaat!"
"Trang!"
"Trak!"
"Crass!"

Kejadian itu begitu cepat terjadi. Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, ujung pedang Manggala menyobek paha Nini Surti serta menangkis pedang di tangan Dewi Ratih hingga terpental. Bahkan kalau saja pada saat itu tak ada sebuah sinar perak yang melesat cepat dan menangkis pedang lawan, niscaya leher gadis itu akan terpisah jadi dua ditebas senjata lawan.

"Pendekar Pulau Neraka!" teriak Manggala geram. "Kau mau ikut mengeroyok kami? Majulah, biar sekalian kami kirim kalian ke akherat!"

"Ha ha ha ha...! Akhirnya tokoh-tokoh kosen yang disegani rimba persilatan berkumpul di sini untuk menerima kematiannya!" sahut Durbala.

"Bagus! Bagus! Siapa yang lebih dulu ingin mampus?"

Bayu Hanggara melihat Dewi Ratih meringis kesakitan, dengan kulit tangan terkelupas. Sementara Nini Surti sedang menghentikan pendarahan di pahanya, dan Ki Suganda terdiam barang sejenak memperhatikan mereka. Bayu maju perlahan mendekati.

"Kisanak, biarlah aku sendiri yang mewakili mereka untuk memenggal kepala kalian!" kata Bayu pelan, namun terasa dingin.

"Ha ha ha ha...! Sombong sekali kau, Bocah. Mereka saja belum tentu mampu mengungguli kami. Apalagi kau yang cuma punya nama kosong," sahut Manggala memanas-manasi.

"Untuk menghadapi kalian tak perlu kugunakan nama kosong ku," balas Bayu santai. Kemudian ia berpaling kepada orang tua itu.

"Kisanak berdua, kalau tak keberatan biarlah ku wakilkan kalian untuk mencopot kepala kedua orang iblis ini," lanjutnya.

Ki Suganda dan Nini Surti mengerti. Dalam gebrakan tadi, tak mungkin rasanya mereka bisa menang melawan kedua iblis itu. Kalaupun diteruskan, paling tidak salah seorang diantara mereka akan tewas. Bila Bayu yang tampil, walaupun tidak mampu mengunggulinya, paling tidak dua iblis itu akan kerepotan. Dan di saat itulah mereka bermaksud akan membokongnya nanti.

"Nah, iblis busuk, bersiaplah!" kata Bayu Hanggara. Cakra maut di tangannya kini tergenggam erat. Dilihatnya kedua Iblis Pulau Hitam bersiaga dengan pandangan mata tak henti mengawasi geraknya.

"Yeaaaaa...!"
"Heaaaat!"

Dengan satu teriakan kencang Bayu Hanggara melempar cakra mautnya ke arah lawan. Dan bersamaan dengan itu tubuhnya melesat cepat dengan satu serangan kilat yang bertenaga kuat.

"Zwiing!"
"Trang!"
"Wuuut!"

Saat kedua lawan menghantamkan pedang untuk memapaki cakra maut berwarna keperakan itu, tinju kanan Bayu Hanggara menghantam dada Iblis Pulau Hitam yang bertubuh lebih besar. Tetapi dengan manis Manggala dapat menghindarinya sambil bersalto ke belakang. Bahkan satu tendangan keras nyaris menghantam kepala Bayu kalau saja ia tak memutar tubuhnya seperti gangsing. Pada saat itu kaki kanannya berhasil menghantam lambung lawannya yang lain. Seperti temannya, Durbala mampu berkelit, bahkan dengan cepat mengirim serangan balasan dengan menyabetkan pedangnya.

"Wuuut!"
"Yeaaaaaaa...!"
"Trang! Trang!"

Dari tangan kanan Bayu Hanggara melesat serangkum angin kencang namun itu tak cukup untuk menghentikan laju pedang lawan. Paling tidak ia bisa menghindar lebih cepat daripada sambaran senjata lawan dan menangkap kembali cakra mautnya untuk memapaki serangan Manggala.

"Sheaaa...!"

Dengan satu teriakan keras telapak tangan tersorong ke depan dan menderu angin kencang menghantam keduanya. Tapi kedua lawan pun membalas dengan bersamaan menggabungkan tenaga dalam mereka. Pada saat itulah Bayu kembali melepas cakra mautnya yang diikuti oleh kelebatan tubuhnya ke arah mereka.

"Hiyaaaa...!"


***


"Wuss!"
"Trang!"
"Bughk!"
"Aaakh...!"

Begitu adu tenaga dalam tadi selesai, melesat sinar berwarna keperakan menghantam Iblis Pulau Hitam. Keduanya seperti mengerti tipu daya Bayu. Sebab hanya Manggala saja yang menangkis, sedangkan Durbala berkelit menjaga serangan lawan. Tapi agaknya ia salah perhitungan, sebab Bayu cuma menyerang satu lawan saja. Lalu ketika cakra maut tadi terpental dan kembali pada pemiliknya. kembali dilemparkan ke arah Durbala. Hingga kali ini terlihat Bayu membagi dua perhatian. Satu menyerang Manggala, sedangkan cakra mautnya menyerang Durbala. Secara tak langsung hal itu membuat keduanya agak kaget. Dan waktu yang sepersekian detik itu cukup bagi Bayu Hanggara menyarangkan pukulan ke dada lawan, serta cakra mautnya berhasil merobek bahu Durbala.

"Bangsat!" maki Durbala sambil meringis ke sakitan. Begitu juga halnya dengan Manggala. Wajahnya terlihat menahan marah. Sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri, kembali ia mengacungkan pedang sambil berbisik kepada Durbala.

"Agaknya ia mengetahui kelemahan kita. Kalau dia pergunakan cara tadi untuk memisahkan kita, jaga jarak jangan sampai terlalu jauh, tapi masih dalam jarak jangkau serangan."

Durbala mengangguk. Kemudian dengan satu teriakan keras, kembali keduanya bergerak menyerang lawan.

"Yeaaah...!"
"Trang!"
"Trak!"
"Wuuut!"

Bayu Hanggara belum melemparkan cakra mautnya, tapi memegangnya untuk menangkis kedua pedang lawan. Pikirnya, hal tadi tentu akan membuat lawan lebih berhati-hati untuk menyerangnya. Dan ia bermaksud memanfaatkan kesempatan tadi. Namun yang dihadapinya justru jebakan hebat. Dalam pertarungan jarak dekat seperti ini, keduanya hebat bukan main. Lawan seperti terkurung dalam kelebatan pedang mereka. Walau sejauh ini Bayu dapat menangkis setiap semua serangan tapi ia tak yakin bisa bertahan lama.

"Hiyaaat...!"

Dengan satu teriakan keras, tubuh Bayu Hanggara melesat jauh ke atas. Namun ujung pedang Manggala berhasil merobek sedikit kulit pinggangnya. Bayu Hanggara meringis kesakitan. Namun bahaya lain segera menanti ketika ujung pedang Durbala mengejarnya.

"Yeaaah...!"
"Trass!"
"Wuut!"
"Aaaarghk...!"

Dalam keadaan seperti itu dilemparnya cakra maut ke tenggorokan lawan. Durbala berhasil mengelak sambil mengegoskan kepala ke samping. Namun tak urung senjata itu kembali merobek pangkal lehernya. Sedang pedangnya sendiri hampir mencederai kaki Bayu kalau seandainya ia tak cepat-cepat mengangkatnya.

"Yeaaat...!"
"Shaaa...!"
"Bughk!"
"Trass!"
"Prak!"

Ketika tubuhnya melesat turun Bayu bersiap-siap menyambut serangan Manggala. Kejadiannya begitu cepat sekali. Pada saat yang bersamaan pula Nini Surti dan Ki Suganda, serta Dewi Ratih menyerang Manggala hingga mereka melupakan Durbala. Tak ampun lagi, pedang Durbala melesat cepat membabat kedua kaki Dewi Ratih dan terus meluncur menyambar pinggang Nini Surti.

Tapi Manggala sendiri bukannya tak luput dari serangan. Walau ujung pedangnya berhasil menyambar bahu kiri Bayu dan terus bergerak merobek perut Ki Suganda, ia sendiri mengalami nasib yang naas. Kepalanya remuk dihantam tinju Bayu sedang punggungnya terbelah disambar pedang Ki Suganda. Dan pada bagian jantung serta lambungnya bolong ditusuk tongkat Nini Surti.

"Tap!"
"Heaaat!"
"Crass!"
"Trak!"
"Whuaaaa...!"

Bayu Hanggara tak mau membuang-buang waktu dan kesempatan lagi. Begitu cakra mautnya berputar kembali ke tangan, secepat itu pula melesat lagi dan menyambar tubuh Durbala pada bagian jantung. Terdengar tulang-tulang rusuknya berderak patah ketika cakra maut bersegi enam itu menembus hingga ke punggungnya. Lalu berbalik ke arah Bayu.

Durbala menjerit lirih ketika tubuhnya berputar-putar limbung sebelum akhirnya ambruk dengan nyawa lepas dari raga. Bayu Hanggara membersihkan noda-noda. darah pada cakra mautnya sebelum melekatkan kembali di tangan. Kemudian ia melangkah pelan ke arah Dewi Ratih dan menghentikan pendarahan di kakinya.

"Sudah kukatakan, kau tak perlu turun tangan. Biar aku saja yang menghadapi mereka," kata Bayu seperti menyesali kejadian itu. "Juga yang lainnya, mereka tewas sia-sia."

"Tidak. Mereka tidak tewas sia-sia. Mereka puas dengan kedua Iblis itu telah tewas di tanganmu walaupun harus dibayar dengan nyawa mereka sendiri. Tapi itu lebih baik daripada kebiadaban mereka akan menimbulkan korban nyawa yang lebih banyak. Sepertiku juga, kedua kaki yang buntung ini tak membuatku menyesal," sahut Dewi Ratih dengan haru.

"Entahlah, aku tak mengerti. Mungkin juga kata-katamu benar. Paling tidak benar menurut kenyataan, sebab tanpa kehadiran mereka yang membuat perhatian lawanku terkejut dan membagi perhatiannya. Paling tidak aku akan cidera berat," kata Bayu perlahan.

Matanya beredar berkeliling, memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar tempat itu. Begitu banyak tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan saling tumpang tindih di sekitarnya. Bau anyir darah pun menyeruak masuk ke dalam hidungnya, terbawa hembusan angin yang lembut mengusik kulit.

"Nah, Ratih. Tugasku telah selesai. Kau tentu bisa pulang sendiri, bukan? Aku akan melanjutkan perjalanan," kata Bayu lagi, seraya melirik sebentar pada gadis Dewi Ratih.

Baru saja Bayu akan memanggil Tiren, monyet kecil sahabatnya yang berbulu coklat kehitaman itu, sudah terdengar suara Dewi Ratih memanggilnya pelan. Terpaksa Bayu tidak jadi melangkah pergi.

"Bayu, tidak keberatankah kau menolongku sekali lagi?"

"Apa...?" terdengar enggan nada suara Bayu.

"Bagaimana aku bisa berjalan ke tempatku dalam keadaan begini?" lirih sekali suara Dewi Ratih.

Bayu jadi tertegun memandangi gadis cantik itu. Memang tidak mungkin Dewi Ratih bisa menempuh perjalanan jauh dalam keadaan terluka cukup berat begini.

"Plak!"

Bayu menepuk keningnya sendiri. Memang tidak mungkin dia meninggalkan Dewi Ratih seorang diri di tempat seperti ini, dengan keadaan tidak memungkinkan lagi untuk bisa berjalan jauh seorang diri. Dan Bayu terpaksa harus menghalau perasaan hatinya pada gadis ini. Mau tidak mau, dia harus membantu Dewi Ratih sekali lagi. Dan tak berapa lama kemudian, keduanya segera berlalu dari tempat itu meninggalkan bau anyir darah, mayat-mayat yang bergelimpangan, dan kejadian yang hampir saja merenggut nyawa mereka. Dari jauh terdengar Tiren menjerit keras seperti memecah kesunyian.


SELESAI

Episode Berikutnya Warisan Iblis
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.