Dibalik Caping Bambu - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Pulau Neraka
Episode Di Balik Caping Bambu
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar pulau Neraka

SATU

"Tolooong...!"

Terdengar teriakan keras melengking tinggi memecah keheningan malam. Teriakan itu terdengar berulang-ulang dari tepi sebuah hutan yang sangat lebat dan menghitam pekat. Tampak seorang wanita muda dengan baju koyak dan tubuh berlumur darah berlari terseok-seok. Wanita itu menjerit-jerit minta tolong. Tapi tidak seorang pun yang mendengar jeritannya, karena hutan itu memang sangat jauh dari pemukiman penduduk.

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar menghalau suara jeritan wanita itu.

"Oh!" wanita itu tersentak kaget. Belum lagi hilang keterkejutannya, tiba-tiba muncul sesosok bayangan hitam! Sebuah caping lebar hampir menutupi seluruh kepalanya. Mata wanita itu membeliak dengan tubuh bergetar dan wajah pucat pasi.

"Tolong, jangan sakiti aku.... Ampuuun...," rintih wanita itu memelas.

Sosok tubuh itu hanya membisu sambil berdiri tegak dengan kedua tangan sejajar tubuhnya. Pelahan-lahan kakinya terayun semakin dekat. Tubuh wanita itu pun semakin gemetar dan wajahnya sudah memucat bagai mayat.

"Jangan..., tolong, biarkan aku pergi. Jangan bunuh aku! Jangan...," rintih wanita itu, bergetar suaranya.

Tidak ada suara sedikit pun yang terdengar dari sosok hitam bercaping lebar itu. Dia tetap melangkah pelahan semakin mendekat. Dan setelah jaraknya tinggal tiga langkah lagi, tiba-tiba tangannya bergerak cepat menyampok kepala wanita itu!

"Aaa...!"

Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat hati. Dan belum lagi jeritan itu hilang dari pendengaran, tubuh wanita itu telah ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher! Darah segar pun langsung menyemburat deras keluar dari leher yang buntung itu.

"Ha ha ha...!"

Kembali terdengar suara tawa terbahak-bahak. Sesaat kemudian, suara tawa itu menghilang, disertai lanyapnya sosok tubuh hitam bercaping lebar itu. Kini suasana malam menjadi sunyi seketika. Tidak lagi terdengar suara apa pun. Malam yang pekat dan awan hitam yang menggantung di langit, membuat suasana di tepian hutan itu semakin menyeramkan. Angin berhembus agak kencang, sehingga memperdengarkan suara menggemuruh. Bau anyir darah yang mengalir deras dari leher tanpa kepala itu, menguar kemana-mana.
Setelah agak lama suasana seperti itu terjadi, dari arah Selatan terlihat dua orang berlari-lari cepat ke arah tepian hutan. Semakin dekat, semakin jelas rupa kedua orang itu. Yang seorang terlihat sudah berumur sekitar lima puluh tahun, ia mengenakan baju putih bersih yang agak ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap berotot. Sedangkan yang satunya lagi terlihat masih muda, memakai baju biru tua. Di pinggang mereka masing-masing tergantung sebilah pedang panjang.

Kedua laki-laki itu berhenti, tepat di dekat sosok tubuh wanita yang menggeletak tak bernyawa lagi dengan kepala terpisah cukup jauh dari badannya.

"Kita terlambat, Paman," desah pemuda yang memakai baju biru tua.

"Ya," sahut laki-laki setengah baya itu lirih.

Beberapa saat lamanya kedua laki-laki itu hanya diam membisu sambil memandangi sosok tubuh tidak bernyawa lagi itu. Darah segar masih saja mengucur dari leher yang buntung. Pemuda berbaju biru tua mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sedangkan laki-laki setengah baya dan memakai baju putih itu, melangkah mendekati kepala yang terpisah dari badannya. Dipungutnya kepala itu dan disatukan kembali dengan lehernya. Kemudian dibetulkannya letak tubuh wanita itu agar terbaring sempurna. Sebentar dipandanginya mayat itu, kemudian bangkit berdiri seraya menarik napas panjang.

"Kumpulkan ranting-ranting kayu, Randu Watung," perintah laki-laki setengah baya berbaju putih itu.

Pemuda berbaju biru tua yang dipanggil Randu Watung itu tidak membantah. Segera dipungutnya ranting-ranting yang banyak berserakan di sekitar tepian hutan ini. Kemudian ditumpuknya ranting-ranting itu untuk mengubur mayat wanita tersebut, sehingga seluruh tubuhnya tertutup ranting kering.

Pemuda itu kemudian menyalakan api dari pemantik yang diambilnya dari sabuk pinggangnya. Api langsung berkobar besar dan melahap ranting-ranting kering itu. Terdengar ledakan-ledakan kecil, disertai bunga api meletup menghiasi angkasa yang kelam. Randu Warung melangkah menghampiri laki-laki setengah baya yang dikenal dengan nama Martalaya itu.

"Lebih baik jasadnya dibakar, daripada dijadikan santapan binatang liar," kata Martalaya pelan.

"Sebaiknya kita kembali saja, Paman. Aku khawatir kuda-kuda kita ada yang mencuri," ujar Randu Warung setengah berbisik.

"Ayolah."

Kemudian kedua laki-laki itu pun mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu. Mereka berjalan pelahan dengan kepala agak tertunduk. Sesekali Martalaya menoleh ke belakang, menatap api yang masih terlihat besar. Bau yang khas mulai tercium. Dan kedua laki-laki itu terus melangkah semakin jauh meninggalkan tempat itu. Mereka tidak menyadari kalau ada sepasang mata yang mengawasi dari tempat yang cukup tersembunyi!

********************

"Paman...!" seru Randu Watung. Ki Martalaya bergegas menghampiri pemuda itu. Sejenak mulutnya ternganga dan matanya membeliak lebar. Betapa tidak? Tempat mereka bermalam sudah porak poranda, dan kuda-kuda mereka pun hilang, entah ke mana perginya? Padahal baru beberapa saat saja ditinggalkan, karena mendengar jeritan minta tolong, disusul dengan pekikan panjang melengking tinggi.

"Sejak semula aku sudah khawatir, Paman," kata Randu Watung bernada menyesali.

"Randu Watung, kita kedatangan tamu. Hati-hatilah...," bisik Martalaya, tanpa menghiraukan gerutuan pemuda itu.

Belum lagi Randu Watung bisa membuka mulut, mendadak sebuah bayangan hitam berkelebat cepat bagaikan kilat dan langsung meluruk deras ke arah pemuda itu. Namun Randu Watung ternyata bukanlah seorang pemuda kosong. Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, pemuda itu melompat ke samping menghindari terjangan bayangan hitam itu.

Randu Watung langsung melompat mendekati Martalaya. Dan mereka jadi terpaku begitu melihat sosok tubuh hitam mengenakan caping lebar yang hampir menutupi seluruh kepalanya, tahu-tahu sudah berdiri tegak sekitar tiga batang tombak jauhnya dari mereka. Kedua tangan sosok tubuh hitam itu terlipat di depan dada. Martalaya menoleh pada Randu Watung yang saat itu juga sedang menatapnya.

"Hati-hati, Randu. Tampaknya dia memiliki kepandaian yang tidak rendah," ujar Martalaya setengah berbisik.

"Iya, angin sambarannya sungguh luar biasa," sahut Randu Watung. Kembali ditatapnya sosok tubuh hitam di depannya.

Martalaya melangkah maju tiga tindak. Dengan sikunya, digesernya gagang pedang agak ke depan. Tangan kanannya langsung menggenggam gagang pedang yang menggantung di pinggangnya. Sikapnya begitu waspada, dan tatapan matanya tajam menusuk. Ingin dilihatnya wajah sosok tubuh di depannya, tapi seluruh wajah orang itu tertutup caping yang lebar. Hanya bagian dagunya saja yang terlihat putih.

"Siapa kau? Kenapa menyerang kami tanpa alasan?" tanya Martalaya, datar nada suaranya.

"Hm..., kalian berdua telah lancang. Berani mencampuri urusanku!" dengus sosok tubuh hitam bercaping lebar itu.

Martalaya menggumam tidak jelas. Kepalanya sedikit dimiringkan ke kanan dan agak mendongak ke atas. Sepertinya sedang berusaha menebak-nebak siapa orang di depannya ini. Suaranya terdengar dibuat-buat, dan sepertinya hendak menyembunyikan keadaan dirinya. Sukar bagi Martalaya untuk memastikan apakah orang itu laki-laki atau perempuan. Bentuk tubuhnya memang terlihat ramping, namun sangat tegap dan padat berisi.

Tangannya yang hanya terlihat sampai pergelangan saja, memang berkulit putih halus bagai tangan seorang wanita. Juga kakinya yang berbentuk indah. Dilihat dari bentuk tubuhnya, Martalaya menduga kalau orang itu adalah perempuan. Terlebih lagi dengan adanya gundukan kembar pada dadanya yang tertutup baju hitam yang rapat sampai menutupi leher.

"Nisanak, aku tidak kenal siapa kau. Dan aku juga tidak tahu maksud kata-katamu. Tolong berikan penjelasan, dan seandainya kami berbuat kesalahan, aku mohon maaf," ucap Martalaya sopan.

Sosok tubuh hitam bercaping lebar itu tidak menyahuti. Namun tiba-tiba saja dia melompat cepat bagaikan kilat disertai pukulan beruntun sebanyak tiga kali. Martalaya tersentak kaget. Buru-buru dia melompat mundur menghindari terjangan gadis itu. Tubuhnya dimiringkan ke kiri dan ke kanan dengan cepat, lalu dibalasnya serangan mendadak itu dengan melayangkan satu tendangan cepat menggeledek.

"Hait...!"

Tapi sosok tubuh yang bentuknya seperti wanita muda itu lebih cepat lagi berkelit dengan melentingkan tubuhnya ke atas. Dan pada saat rubuhnya melayang di udara, tanpa diduga sama sekali dihantamnya kepala Martalaya dengan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi!

"Akh...!" Martalaya memekik tertahan. Laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun itu terpental ke samping. Tubuhnya jatuh dan bergulingan beberapa kali. Tapi belum lagi tubuh laki-laki itu berhenti berguling, tubuh hitam bercaping lebar itu sudah meluruk deras ke arahnya. Kembali dilepaskannya satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.

"Hiyaaat..!"

Tapi belum juga orang itu bisa melaksanakan maksudnya, Randu Watung sudah melompat cepat memotong arus terjangan orang berbaju serba hitam itu. Randu Watung menghentakkan tangan kanannya ke arah perut. Tapi rupanya orang berbaju hitam itu tidak bisa dianggap enteng. Diegoskan tubuhnya sedikit ke kanan, dan sodokan tangan Randu Watung pun meleset dari sasaran. Dan belum lagi Randu Watung bisa menarik pulang tangannya, tiba-tiba....

Des!

"Akh...!" Randu Watung memekik keras. Tanpa dapat dihindari lagi, satu pukulan telak mendarat di dada pemuda itu. Tubuh Randu Watung pun langsung terjengkang ke belakang, dan punggungnya menghantam pohon dengan keras hingga tumbang!

"Mampus kau! Hiyaaa...!" teriak sosok tubuh berbaju hitam pekat itu.

Ia langsung melompat ke arah Randu Watung yang saat itu sedang berusaha bangkit berdiri. Dari udut bibir pemuda itu mengucurkan darah kental agak kehitaman. Randu Watung terkesiap begitu melihat orang berbaju hitam yang tidak banyak bicara itu sudah melompat hendak menyerang kembali. Tapi belum juga Randu Watung bisa melakukan sesuatu, mendadak Martalaya melompat memapak serangan itu.

"Hait..!"

Dug!

"Akh...!"

Sungguh luar biasa! Pukulan Martalaya yang disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi itu, malah berbalik menghantam dirinya sendiri. Dan akibatnya tubuh laki-laki setengah baya itu terpental deras ke belakang. Sedangkan orang berbaju hitam dan bercaping lebar itu hanya terdorong satu langkah saja, padahal pukulan Matalaya tadi tepat bersarang di dadanya.

"Phuih! Rupanya kau ingin lebih dulu ke neraka!" dengus orang berbaju serba hitam itu.

Karena marahnya, dia lupa mempergunakan ilmu yang bisa merubah suara. Sehingga terdengar suara merdu seorang wanita. Tapi semua itu tidak sempat diperhatikan Martalaya, karena orang bercaping itu sudah melompat cepat bagaikan kilat ke arah laki laki setengah tua yang sedang berusaha bangkit berdiri itu.

"Paman, awas...!" teriak Randu Watung keras.

Tapi peringatan pemuda itu terlambat, karena satu pukulan keras bertenaga dalam sangat tinggi sudah bersarang di dada Martalaya, sehingga tubuh laki-laki. setengah baya itu kembali terpental ke belakang sambil menjerit keras melengking tinggi. Dua pohon besar langsung tumbang terlanda tubuhnya.

Tapi Martalaya masih juga bisa bangkit berdiri, meskipun agak limbung. Laki-laki setengah baya itu mencabut pedang yang berwarna keperakan dan segera disilangkan di depan dadanya. Tatapan matanya begitu tajam, dan bibirnya terkatup rapat. Tapi tidak bisa mencegah darah yang merembes dari sudut bibirnya.

"Randu, cepat pergi! Dia bukan lawanmu!" seru Martalaya keras.

"Paman...."

"Jangan hiraukan aku, cepat pergi!" bentak Martalaya.

Randu Watung kelihatan ragu-ragu. Hatinya tidak bisa membiarkan Martalaya dalam keadaan seperti itu sendirian. Tapi mengingat dirinya yang terluka dalam cukup parah, Randu Watung tidak punya pilihan lain. Bisa dimengerti, kenapa orang tua itu menyuruh pergi secepatnya.

Sementara Randu Watung masih diliputi kebimbangan, orang bercaping lebar itu sudah kembali melompat cepat bagaikan kilat, disertai teriakan keras melengking tinggi. Serangan yang begitu cepat dan sukar diikuti pandangan mata biasa itu, membuat Martalaya sedikit gugup. Namun dengan cepat dia melompat ke samping seraya mengibaskan pedangnya.

"Randu, cepat pergi...!" seru Martalaya keras.

Perintah yang keras dan bernada tegas itu membuat Randu Watung tersentak. Kemudian setelah agak lama berpikir, dia langsung melompat cepat meninggalkan tempat itu. Meskipun dalam keadaan terluka cukup parah, namun Randu Watung masih juga bisa mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Meskipun tidak sebaik ketika tubuhnya dalam keadaan normal.

"Keparat..!" geram orang bercaping lebar itu.

Menyadari tidak mungkin lagi mengejar Randu Watung, orang berbaju serba hitam yang kepalanya tertutup caping lebar itu jadi geram setengah mati. Dia berteriak keras, dan langsung menyerang Martalaya dengan ganas. Serangan yang demikian cepat disertai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi itu, membuat Martalaya kewalahan juga sehingga jatuh bangun menghindari serangan yang beruntun itu.

"Hiya...! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras, orang berbaju serba hitam itu melompat ke depan, dan kakinya menendang cepat ke arah kepala Martalaya. Tapi laki-laki tua itu masih bisa menghindar dengan merundukkan tubuhnya sedikit. Namun untuk serangan kedua yang dilancarkan lebih cepat, Martalaya tidak sanggup lagi menghindar. Dalam keadaan tubuh masih di udara, orang bercaping itu mampu melemparkan dua buah pisau kecil yang tipis. Kedua pisau itu tidak bisa dielakkan oleh Martalaya, dan langsung menghunjam dalam hingga ke pangkal gagangnya.

"Aaa...!" Martalaya menjerit melengking tinggi.

Tubuh Martalaya langsung limbung, dan darah merembes keluar dari dadanya yang tertembus dua pisau bergagang segitiga seperti sebuah caping. Pada saat tubuh Martalaya limbung, orang bercaping lebar itu melayangkan satu tendangan keras, disusul dengan pukulan geledek bertenaga dalam cukup tinggi ke arah kepala. Kembali Martalaya menjerit keras melengking. Pedang di tangannya terlepas dan jatuh ke tanah. Dipegangi kepalanya yang retak berlumuran darah segar.

"Mampus! Hih...!"

Satu pukulan menggeledek kembali mendarat di dada Martalaya. Untuk ke sekian kalinya, laki-laki setengah baya itu menjerit. Tubuhnya terlontar deras dan menabrak sebongkah batu besar hingga hancur berantakan! Tubuh tegap itu pun langsung menggelosor ke tanah. Belum juga puas melihat lawannya masih bernapas, orang bercaping lebar itu lalu mengambil sebongkah batu besar berwarna hitam dan berlumut.

"Hiyaaa...!"

Tubuh ramping terbungkus baju hitam itu melenting tinggi ke udara, lalu dengan derasnya meluncur turun. Dan tangannya dihentakkan cepat ke bawah. Batu yang berada di dalam cengkeraman jari-jari lentik itu, langsung dihempaskan ke kepala Martalaya.

"Aaa...!" Darah langsung muncrat begitu kepala Martalaya hancur berantakan tertimpa batu yang hampir sebesar kepala kerbau itu. Hanya sebentar Martalaya mampu bergerak, kemudian tubuhnya mengejang dan tidak bergerak-gerak lagi. Orang berbaju hitam itu berdiri tegak memandangi mayat yang kepalanya sudah tak berbentuk lagi itu.

"Huh! Satu lolos...!" dengus orang itu kesal. Di layangkan pandangannya ke arah Randu Watung tadi melesat pergi. Malam yang gelap dan pekat, menghalangi pandangan matanya. Terlebih lagi saat itu udara dipenuhi kabut tebal. Lagi-lagi orang bercaping lebar itu menggerutu dan kakinya menghentak ke tanah karena kesal.

"Randu Watung.... Hm..., namamu Randu Watung. Huh! Kau tidak akan bisa lolos dariku, Randu Watung. Tidak ada seorang pun yang boleh mencampuri urusanku. Huh!"

Sambil bersungut-sungut kesal, orang bercaping lebar itu langsung melesat cepat meninggalkan tempat itu. Lesatannya sungguh cepat luar biasa, sehingga bagaikan hilang saja! Kini keadaan di sekitar tempat itu menjadi sunyi senyap bagai tidak pernah terjadi sesuatu. Hanya sosok tubuh dengan kepala pecah saja yang menjadi saksi bahwa di tempat itu tadi, berlangsung suatu pertempuran yang cukup dahsyat. Pertempuran yang meminta korban nyawa seorang laki-laki setengah baya.

Beberapa saat lamanya setelah orang berbaju hitam dan bercaping lebar itu lenyap, muncul Randu Watung dari balik semak belukar. Pemuda itu terseok-seok mendekati mayat Martalaya. Langsung ditubruk dan dipeluknya tubuh yang berlumuran darah itu.

"Paman, kenapa kau korbankan nyawamu hanya untuk menyelamatkanku...?" rintih Randu Watung! "Paman, aku berjanji di depan jasadmu. Akan kubalas kematianmu, dan kubunuh orang itu. Aku juga berjanji akan menemukan si Mata Iblis. Dendammu akan kubalaskan, Paman. Aku janji...!"

********************

DUA

Siang itu langit tampak cerah. Awan tipis berarak mengikuti hembusan angin yang datang semilir menyejukkan. Matahari bersinar indah, membawa makna kehidupan bagi seluruh makhluk di permukaan bumi ini. Namun semua keindahan itu seperti tidak dinikmati oleh seorang pemuda berbaju biru tua yang berjalan terseok-seok sambil menekan dadanya dengan tangan kanan. Sesekali bibirnya meringis merasakan sakit pada rongga dadanya.

"Hoek...!"

Pemuda itu memuntahkan darah kental kehitaman. Kemudian tubuhnya limbung, dan tiba-tiba ambruk ke tanah berumput basah. Pemuda itu berusaha bangkit berdiri, tapi tenaganya tidak mampu lagi menahan berat tubuhnya. Tubuhnya kembali ambruk, dan memuntahkan darah kental kehitaman. Pemuda itu berusaha merayap, menggapai-gapai mendekati sebuah sungai kecil yang berair jernih di depannya.

"Oh...," rintihnya lirih. Bibirnya semakin lebar meringis. Pandangannya berkunang-kunang, dan kepalanya terasa berat, bagai terbebani batu yang sangat besar.

Dengan sekuat tenaga, pemuda berbaju biru tua itu berusaha mengangkat kepalanya. Kelopak matanya disipitkan. Samar-samar dilihatnya bayangan seseorang yang berdiri tidak jauh di seberang sungai kecil itu. Pemuda itu berusaha menajamkan penglihatannya yang semakin berkurang, dan belum lagi dapat melihal jelas, penglihatannya sudah menghilang sama sekali, lalu terkulai tidak sadarkan diri.

Seorang laki-laki muda berwajah cukup tampan, melompat indah menyeberangi sungai kecil itu. Dia langsung mendarat tepat di dekat pemuda berbaju biru yang tergeletak tidak sadarkan diri lagi. Pemuda itu kemudian duduk bertumpu pada lututnya di tanah, sebentar diperiksanya tubuh yang tergeletak itu, kemudian kepalanya terangguk-angguk.

Setelah mengedarkan pandangannya ke sekeliling, pemuda berwajah cukup tampan dengan garis-garis kekerasan itu, mengangkat tubuh yang tergeletak pingsan. Lalu dibawanya ke tempat yang teduh dan terlindung dari sengatan matahari. Dibaringkannya tubuh pemuda berbaju biru tua itu di bawah pohon yang berumput tebal.

"Hm...., lukanya cukup parah. Harus kukeluarkan racun di dalam tubuhnya dulu," gumam pemuda berbaju kulit harimau itu pelahan.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berbaju kulit harimau itu duduk bersila. Kedua telapak tangannya merapat di depan dada dan matanya terpejam. Tidak lama kemudian matanya terbuka, dan tangannya langsung dihentakkan ke depan. Erat sekali kedua telapak tangannya menempel di dada pemuda yang menggeletak tidak sadarkan diri itu. Tampak asap tipis mengepul dari sela-sela jari tangan pemuda berbaju kulit harimau itu. Dan wajahnya mulai memerah, pertanda dia tengah berusaha menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh pemuda berbaju biru tua itu

"Uh...." Dengan satu keluhan pendek, dilepaskan tangannya dari dada bidang yang terbuka itu. Kemudian ditempelkan kembali telapak tangannya erat-erat setelah menggerak-gerakkannya sesaat. Kembali asap tipis mengepul dari sela-sela jarinya yang bergetar. Tampak dari seluruh pori-pori tubuh pemuda berbaju biru itu merembes darah. Dari mulut dan hidungnya juga mengeluarkan darah agak kehitaman. Semakin lama darah yang keluar dari mulutnya semakin banyak. Sedikit demi sedikit darah kehitaman itu berubah merah dan segar.

"Hhh...!" pemuda berbaju kulit harimau itu menarik napas panjang. Pelahan-lahan dilepaskan tangannya dari dada yang terbuka lebar. Kemudian jari-jari tangannya bergerak lincah menotok beberapa bagian tubuh pemuda yang menggeletak pingsan di depannya. Kembali ditariknya napas panjang, lalu digeser duduknya agak menjauh. Kedua tangannya bergerak-gerak di depan dada, kemudian pelahan turun ke bawah, dan berhenti tepat di lututnya yang tertekuk.

"Hsss...!" Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya sebentar menghimpun kembali tenaga dalam dan hawa murni yang terkuras akibat berusaha mengeluarkan racun dalam tubuh pemuda berbaju biru tua itu. Bersama dengan tersadarnya pemuda berbaju biru itu, dia juga membuka matanya.

"Ohhh...," rintih pemuda berbaju biru itu lirih.

"Jangan banyak bergerak dulu. Racun di tubuh belum semuanya terbuang," ujar pemuda itu seraya mendekati.

"Oh..., siapa kau?" tanya pemuda itu seraya berusaha bangkit. Tapi keburu ditahan, sehingga dia rebah lagi.

"Namaku Bayu," sahut pemuda berbaju kulit harimau itu memperkenalkan diri.

"Bayu.... Sepertinya aku belum mengenalmu."

"Memang, kita belum saling mengenal. Aku menemukanmu dalam keadaan pingsan dan terluka cukup parah."

"Terima kasih."

"Siapa namamu?" tanya Bayu.

"Randu Watung."

"Siapa yang melukaimu?" tanya Bayu lagi.

Randu Watung tidak langsung menjawab, menarik napas panjang dan berat. Terlalu sukar untuk menjawab pertanyaan Bayu Hanggara yang lebih kenal dengan panggilan Pendekar Pulau Neraka. Masalahnya, dia sendiri tidak tahu siapa yang melukai dan membunuh pamannya. Orang itu sukar dikenali. Seluruh wajahnya tertutup caping lebar dan pakaiannya serba hitam.

"Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir dulu. Sebaiknya kau beristirahat," ujar Bayu memaklumi.

"Ya, dadaku masih terasa sakit," pelan suara Randu Watung.

"Hm...."

Randu Watung memejamkan matanya kembali. Dia berusaha menghimpun hawa murni untuk membantu mempercepat pemulihan tubuhnya. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka duduk bersila di sampingnya, tidak ada lagi yang dibicarakan. Tapi dilihat dari kening Bayu yang berkerut, sudah bisa ditebak kalau ia memikirkan sesuatu. Entah apa yang dipikirkannya, yang jelas beberapa kali diliriknya Randu Watung yang masih terpejam.

********************

Randu Watung melangkah pelahan-lahan di samping Pendekar Pulau Neraka. Saat itu matahari sudah condong ke arah Barat. Sinarnya mulai redup, tidak lagi terik seperti semula. Mereka berhenti melangkah dan memandang lurus tidak berkedip ke depan. Tampak sebuah perkampungan kumuh yang letak rumah-rumahnya tidak teratur, dan jalanannya becek berlumpur. Randu Watung menoleh pada Pendekar Pulau Neraka. Tangan kanannya masih memegangi dadanya yang belum hilang rasa sakitnya.

"Kau perlu tempat untuk menyembuhkan luka dalammu, Randu Watung," kata Bayu, seakan mengerti maksud pandangan pemuda berbaju biru itu.

"Apa penduduk desa itu akan menerima kita? tanya Randu Watung.

"Mudah-mudahan saja," sahut Bayu agak mendesah.

"Tunggu sebentar, Bayu!" cegah Randu Watung melihat Bayu akan melangkah.

Pendekar Pulau Neraka itu menghentikan langkahnya. Ditatapnya pemuda di sampingnya.

"Aku merasa ada yang aneh di desa itu, Bayu, kata Randu Watung pelan.

Bayu mengerutkan keningnya. Kemudian menoleh kembali menatap ke arah desa yang terlihat di depannya. Semakin dalam kerutan di keningnya. Memang tidak seperti desa-desa lainnya. Desa di depan itu sungguh tidak sedap dipandang mata. Kadaannya tidak teratur dan berantakan sekali. Bahkan terlihat ada sekitar lima rumah hancur berantakan hampir rubuh. Juga tidak terlihat seorang pun penduduk di sana. Suasananya sunyi sepi seperti tidak berpenduduk sama sekali.

Dan belum jauh Pendekar Pulau Neraka itu berpikir lebih lama, tiba-tiba di sekitar mereka bermunculan orang-orang bertampang beringas menghunus senjata tajam. Bayu menggeser kakinya mendekati Randu Watung. Sebentar saja mereka sudah dikepung tidak kurang dari sepuluh orang bersenjata terhunus. Mereka semuanya memakai ikat kepala berwarna merah tua dengan bulatan hitam pada keningnya

"Si Mata Iblis...," desis Randu Warung pelan begitu pelannya sehingga hampir tidak terdengar oleh Pendekar Pulau Neraka.

"Hm...., kau kenal mereka, Randu Watung?" tanya Bayu setengah bergumam.

"Ya, mereka anak buahnya si Mata Iblis," sahut Randu Watung.

"Si Mata Iblis?! Siapa dia?" tanya Bayu lagi.

Belum sempat Randu Watung menjawab, tiba-tiba dua orang dari pengepung itu melompat sambil berteriak nyaring. Golok mereka yang tajam berkilat, berkelebatan cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh Bayu dan Randu Watung yang mematikan. Namun gerakan Pendekar Pulau Neraka itu lebih cepat dari dua orang penyerang itu. Dan sekali gebrak saja, mereka terpelanting seraya memekik keras!

Tubuh mereka bergulingan di tanah, namun segera bangkit kembali dan menyilangkan goloknya di depan dada. Sementara Bayu sudah siap, dan berusaha agar Randu Watung tidak banyak bergerak, karena luka dalamnya belum sembuh benar. Gerakan-gerakan yang dipaksakan, akan menambah parah luka dalamnya.

"Jangan bertindak kalau tidak terpaksa, Randu," pesan Bayu.

"Seraaang...!" tiba-tiba terdengar sebuah seruan keras.

Seketika itu juga, sepuluh orang bersenjata golok dengan ikat kepala merah itu bergerak berlompatan menyerang. Mereka berteriak memekakkan telinga seraya mengelebatkan golok-goloknya cepat mengincar bagian tubuh yang mematikan. Namun mereka tidak menyadari kalau berhadapan dengan seorang pendekar yang tangguh dan pilih tanding. Seorang pendekar muda yang sudah malang-melintang di rimba persilatan.

Meskipun harus melindungi seseorang yang sedang mengalami luka dalam cukup parah, Pendekar Pulau Neraka masih mampu menghadapi sepuluh orang pengeroyoknya. Bahkan satu persatu mereka terbanting keras ke tanah. Pekik pertempuran yang tadinya menggelegar, kini berganti jerit melengking kesakitan. Beberapa kali Bayu harus menangkis senjata mereka dengan pergelangan tangannya yang terdapat sebuah cakra perak.

Tring!

Sebuah golok hampir menebas kepala Pendekar Pulau Neraka itu, namun manis sekali ditangkisnya dengan tangan. Bahkan golok itu terbelah dua ketika membentur cakra yang menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu! Dan satu tendangan menggeledek dilepaskan Bayu, sehingga lawannya menjerit keras, terpental jauh ke belakang.

"Hiyaaa...!" teriak Bayu keras.

Seketika itu juga direndahkan tubuhnya ke samping agak terbungkuk. Lalu dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, dari pergelangan tangan kanannya melesat seberkas cahaya keperakan. Cakra Maut, senjata dahsyat andalan Pendekar Pulau Neraka ttu melesat cepat, dan seketika itu juga terdengar jeritan-jeritan melengking saling sambut. Disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh yang bersimbah darah.

"Hap...!"

Tiba-tiba Pendekar Pulau Neraka melompat, dan tangan kanannya terangkat ke atas. Cakra Maut pun kembali menempel di pergelangan tangan kanannya. Lalu begitu kakinya mendarat di tanah, cepat dilepaskan kembali senjatanya. Kembali berturut-turut terdengar jeritan menyayat hati. Cakra Maut kembali melesat balik setelah merobohkan tiga orang sekaligus. Bayu berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada.

Hanya dua kali saja dilepaskan senjatanya, enam orang menggeletak bersimbah darah tidak bernyawa lagi! Sedangkan yang empat orang lagi jadi tertegun dengan wajah pucat pasi saling berpandangan. Kemudian, tanpa berkata-kata lagi keempat orang itu melarikan diri tunggang-langgang. Bayu menarik napas panjang. Ditolehkan kepalanya pada Randu Watung yang tidak bergeming sedikit pun di tempatnya. Pemuda berbaju biru tua itu melangkah mendekati.

"Sebaiknya kita cepat pergi, Bayu," usul Randu Watung.

"Hm, baiklah," sahut Bayu, seraya menyipitkan matanya.

Randu Watung bergegas melangkah menuju desa itu, diikuti Bayu. Mereka berjalan cepat meninggalkan enam mayat yang bergelimpangan bersimbah darah. Sementara matahari semakin tenggelam di ufuk Barat! Rona merah menyemburat indah bagai kobaran api yang membakar permukaan bumi. Sedangkan kedua pemuda yang baru berkenalan itu mulai memasuki desa yang kumuh seperti tak berpenghuni itu.

********************

Bayu memilih sebuah rumah yang kosong Keadaannya sungguh kotor dan berantakan. Meja, kursi, dan dipan bambu sudah tidak berbentuk lagi. Pendekar Pulau Neraka itu membereskan sebuah kamar yang masih terdapat dipan bambu. Dia meminta agar Randu Warung beristirahat di kamar itu, sementara dia sendiri memeriksa keadaan rumah itu.

"Ada orangnya?" tanya Randu Warung, ketika Bayu kembali masuk ke dalam kamar itu. Randu Watung duduk bersila dengan tangan menempel pada lutut.

"Tidak," sahut Bayu singkat seraya duduk di tepi pembaringan yang hanya beralaskan tikar rombeng.

"Pasti telah terjadi sesuatu di sini...," gumam Randu Warung seperti bicara untuk dirinya sendiri.

Bayu hanya diam saja. Namun pandangannya begitu dalam menatap wajah pemuda berbaju biru tua itu. Dalam hatinya dia menduga ada sesuatu yang dirahasiakan, sehingga membuat Randu Watung kini termenung menatap kosong ke depan. Begitu jauh pandangannya, sehingga menerobos jendela yang sudah tidak memiliki daun lagi.

Sementara suasana mulai gelap. Matahari sudah tenggelam di balik peraduannya, digantikan cahaya bulan dan bintang yang indah gemerlapan. Meskipun cahaya bulan dan api unggun sudah membuat terang di dalam kamar ini, namun semua itu tidak mampu mengurangi dinginnya udara malam yang serasa menusuk tulang.

"Kau seperti memikirkan sesuatu, Randu," tegur Bayu. Tidak enak rasanya menduga terus-menerus.

"Entahlah...," desah Randu Watung seraya menghembuskan napas panjang dan berat.

"Kau belum menceritakan penyebab lukamu, Randu," kata Bayu masih diliputi penasaran. Sebab dia tahu kalau luka dalam yang diderita Randu Watung cukup parah. Dan dia tidak bisa mengeluarkan semua racun yang mengendap didalam tubuhnya. Sewaktu-waktu racun itu bisa membunuhnya secara pelahan-lahan.

"Hhh...! Aku sendiri tidak mengerti, kenapa dia menyerang dan membunuh pamanku. Padahal aku tidak mengenal, dan juga tidak tahu permasalahannya. Tiba-tiba dia datang dan menyerang tanpa berkata-kata lagi," Randu Watung mencoba menceritakan peristiwa pahit yang dialaminya.

"Hm..., aneh," gumam Bayu setengah tidak percaya.

"Memang sukar dipercaya, Bayu. Tapi memang itulah kenyataannya. Sayang paman telah tewas."

"Sama sekali kau tidak bisa mengenalinya?" tanya Bayu.

"Tidak. Dia berbaju serba hitam dan memakai caping lebar sehingga menutupi seluruh kepalanya. Gerakannya begitu cepat, dan ilmunya sungguh luai biasa!"

"Randu, kelihatannya kau kenal dengan orang-orang yang tadi mengeroyok kita. Siapa mereka?" tanya Bayu lagi.

"Mereka anak buahnya si Mata Iblis. Bisa dikenali dari ikat kepalanya," sahut Randu Watung.

"Tampaknya mereka sengaja hendak menyerangmu. Bisa kulihat dari pola serangannya yang selalu mengarah padamu," kata Bayu bernada curiga dan ingin tahu.

"Memang. Mereka memang hendak membunuhku," sahut Randu Warung berterus terang

"Kenapa?"

Randu Watung tidak langsung menjawab. Ditariknya napas panjang, tapi langsung meringis, karena dadanya tiba-tiba jadi terasa nyeri. Setiap kali ditariknya napas panjang, dadanya selalu saja seperti tertusuk ribuan jarum berbisa. Sungguh menyakitkan!

"Masih terasa sakit?" tanya Bayu yang sejak tadi memperhatikan.

"Dadaku ini..., ugh!" Randu Warung mengeluh
pendek.

"Luka dalammu cukup parah, Randu. Hanya Seorang tabib ahli saja yang dapat menyembuhkan lukamu. Terlebih lagi racun di dalam tubuhmu belum semuanya ke luar. Meskipun tidak begitu berbahaya, tapi...."

"Aku tahu, Bayu. Nyawaku memang terancam. Dan aku tidak boleh banyak bergerak, terlebih lagi mengerahkan tenaga dalam," potong Randu Watung cepat

Bayu hanya menarik napas panjang. Ada sedikit kekaguman di dalam hatinya melihat ketabahan pemuda itu. "Masih sanggup untuk bicara, Randu?" tanya Bayu.

Randu Watung tersenyum dan mengangguk.

"Kenapa si Mata Iblis hendak membunuhmu?" tanya Bayu.

"Bayu, sebenarnya Ayahku adalah seorang Adipati di Sangkal Putung. Bermula dari sekelompok orang yang memberontak pada kerajaan, dan Kadipaten Sangkal Putung menjadi sasaran pertama. Meskipun seluruh prajurit kadipaten sudah dikerahkan, tapi tetap tidak mampu mengusir para pemberontak itu. Mereka berhasil memukul mundur para prajurit, dan memaksa Ayah melarikan diri. Memang tadinya ada beberapa prajurit dan keluarga yang ikut. Tapi mereka semua tewas terbunuh dalam pelarian. Tinggal aku dan Paman yang masih bisa sampai ke hutan itu. Tapi, yaaah..., akhirnya Paman tewas juga di tangan orang yang tidak kukenali," Randu Watung menceritakan tentang dirinya.

"Hm..., lalu ke mana tujuanmu sekarang?" tanya Bayu.

"Aku tidak tahu, kabar terakhir yang kudengar kerajaan juga sedang berperang. Aku tidak mungkin datang ke sana dan melaporkan kejadian di Kadipaten Sangkal Putung."

"Apakah pihak kerajaan berperang melawan para pemberontak itu juga?" tebak Bayu.

"Bukan, tapi dengan kerajaan lain."

"Hm..., jadi mereka mengambil kesempatan...," gumam Bayu mulai mengerti.

"Begitulah."

"Lalu, siapa sebenarnya si Mata Iblis itu. Apa dia pemimpin pemberontakan itu?" tanya Bayu lagi.

"Aku tidak tahu," sahut Randu Watung.

"Lho...?!" Bayu terkejut mendengar jawaban itu. "Kau bisa mengenali mereka, tapi kau tidak tahu siapa si Mata Iblis itu. Aku tidak mengerti maksudmu, Randu...?"

"Aku memang tidak pernah tahu siapa itu si Mata Iblis. Aku hanya pernah mendengar dan mengetahui ciri-cirinya saja. Aku juga tidak tahu, kenapa anak buah si Mata Iblis selalu mengejar-ngejar kami berdua," Randu Warung berusaha menjelaskan.

Meskipun demikian, Bayu bisa menangkap adanya nada lain pada suara Randu Watung. Nada suara yang lain dan agak tertekan. Bayu menduga kalau Randu Watung menyimpan sesuatu rahasia yang tidak ingin diketahui orang lain. Dan rahasia itu nampaknya berhubungan dengan anak buah si Mata Iblis yang sore tadi mengeroyok.

"Randu, aku tidak mau mengetahui urusan pribadimu. Kau akan kubawa kepada seorang tabib yang dapat mengobati luka-lukamu. Aku tahu seorang tabib yang sangat pandai...," kata Bayu, terputus suaranya.

"Terima kasih," ucap Randu Warung pelan.

"Sekarang istirahatlah, biar aku yang berjaga-jaga malam ini."

"Tidak akan kulupakan pertolonganmu ini, Bayu."

Pendekar Pulau Neraka itu hanya tersenyum saja. Kemudian bangkit dari pembaringan, dan melangkah keluar kamar. Sedangkan Randu Watung masih duduk bersila dengan mata setengah terpejam. Hawa murni terus dialirkan untuk mengurangi rasa sakit dan menghambat penyebaran racun di dalam tubuhnya. Sementara malam terus beranjak semakin larut. Udara pun semakin dingin serasa menggigit tulang. Api unggun di dalam kamar itu tak mampu mengurangi hawa dingin yang menggigilkan itu. Suasana kembali sepi, sesekali terdengar suara binatang malam yang memecah kesunyian dimalam itu.

TIGA

"Masih jauh tempatnya, Bayu?" tanya Randu Warung sambil menyeka keringatnya.

"Tidak," sahut Bayu tanpa menghentikan langkahnya.

Tapi langkah kaki Pendekar Pulau Neraka akhirnya terhenti juga karena tidak mendengar lagi suara langkah kaki di belakangnya. Dia menoleh, da langsung terkejut begitu dilihatnya Randu Watung menggeletak tengkurap! Bayu bergegas menghampiri dan membalikkan tubuh pemuda berbaju biru yang tak bergerak sedikit pun. Seluruh wajahnya basah oleh keringat. Hampir tiga hari penuh mereka berjalan merambah hutan, dan itu membuat Randu Watung terpaksa menguras tenaganya. Bayu memeriksa urat nadi di pergelangan tangan Randu Watung.

"Hhh...! Terlalu banyak tenaga yang dikeluarkannya," desah Bayu.

Pendekar Pulau Neraka itu mengangkat rubuh Randu Watung, dan kembali melangkah seraya membopong tubuh pemuda itu di pundaknya. Dikerahkan ilmu meringankan tubuh, sehingga dengan cepat dia bisa berjalan melebihi orang berlari sekuat tenaga! Begitu cepat langkahnya, seolah-olah tidak menapak tanah!

Cukup sulit perjalanan yang ditempuh Pendekar Pulau Neraka itu, karena hutan yang semakin rapat dan jalan yang mendaki. Namun dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, tidak sulit baginya untuk cepat sampai di tempat tujuan.

Dan belum lagi matahari berada tepat di atas kepala, Pendekar Pulau Neraka itu sudah tiba di sebuah tempat yang berbatu dan dipenuhi pohon-pohon besar dan kecil. Di antara bongkahan batu sebesar kerbau, dan tiga buah pohon beringin, terlihat sebuah gubuk kecil yang kumuh. Bayu mengayunkan kakinya mendekati gubuk reyot itu.

"Masuklah, Bayu. Pintu tidak terkunci...!" terdengar suara serak dan bergetar dari dalam gubuk reyot itu.

Bayu langsung saja menerobos pintu yang setengah terbuka itu. Tampak di dalam ruangan yang sempit dan pengap, duduk bersila seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering. Hanya selembar kain lusuh yang melilit tubuhnya. Kain yang tadinya berwarna putih itu sudah pudar. Bayu segera meletakkan tubuh Randu Watung di atas selembar tikar lusuh di depan laki-laki tua itu.

"Siapa dia, Bayu?" tanya laki-laki tua kurus itu sambil mengelus-elus janggutnya yang panjang dan putih.

"Randu Watung. Lukanya cukup parah, dan sudah tiga kali pingsan, Eyang Puger," sahut Bayu yang sudah duduk bersila.

"Temanmu?" tanya laki-laki tua yang dipanggil Eyang Puger itu.

"Bukan. Ia tergeletak pingsan ketika kutemukan di tepi sungai."

"Hm...," gumam Eyang Puger pelahan. Laki-laki tua kurus kering itu memeriksa sebentar tubuh Randu Watung. Kemudian kepalanya terangguk-angguk sambil bergumam. Ditatapnya Pendeka Pulau Neraka yang hanya memperhatikan saja. Matanya yang cekung, serasa begitu tajam menusuk ke bola mata Bayu.

"Bagaimana dia bisa terluka seperti ini, Bayu?" tanya Eyang Puger.

"Aku tidak tahu pasti. Dia hanya bercerita bahwa dirinya diserang oleh orang tidak dikenal. Sedangkan pamannya tewas oleh orang itu," sahut Bayu.

"Hm..., kau tahu siapa dia?"

Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Alisnya berkerut sehingga hampir menyatu. Sedangkan Eyang Puger semakin tajam menatap padanya.

"Eyang kenal dengannya?" tanya Bayu penasaran.

"Entahlah, aku kurang yakin," sahut Eyang Puger. "Tapi aku harus menyembuhkannya. Luka dalam yang dideritanya cukup parah. Belum lagi harus mengeluarkan racun yang bersemayam di tubuhnya. Hm..., mungkin dia tidak sadarkan diri selama tiga hari,"

"Sembuhkan dia, Eyang. Tampaknya ada sesuatu yang disembunyikannya. Aku merasakan ketertutupan pada dirinya," kata Bayu berharap.

"Keluar dulu, Bayu," kata Eyang Puger.

Bayu bangkit berdiri, kemudian berbalik dan melangkah ke luar. Dihenyakkan tubuhnya di balai-balai bambu yang berada di samping pintu. Pendekar Pulau Neraka itu berbaring dengan kepala bertumpu pada kedua tangannya.

"Hm..., tampaknya Eyang Puger mengenali Randu Watung. Tidak biasanya dia begitu...," gumam Bayu dalam hati.

Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu jauh menerawang ke langit-langit beranda yang hitam dipenuhi sarang laba-laba. Dia teringat kembali awal pertemuannya dengan Eyang Puger. Pertemuan yang tidak disengaja. Desahan napas panjang terdengar berat dari hidung Pendekar Pulau Neraka itu. Kemudian dia bangkit berdiri, dan melangkah ke samping pondok ini. Langkah Bayu langsung terhenti ketika di ujung kakinya terdapat gundukan tanah berumput dikelilingi batu-batu. Dia berlutut di sisi gundukan tanah itu. Tangannya bertumpu pada batu nisan di sebelah kanannya.

"Hhh..., seharusnya kau tidak perlu berbuat nekad begitu, Wurati". Tapi aku kagum padamu. Cintamu begitu tulus dan murni, meskipun tahu suamimu seorang perampok besar. Hhh..., sayang kau terlalu cepat mengambil keputusan mengakhiri hidupmu," pelan suara Bayu.

"Ehm, ehm...!"

Bayu kaget dan langsung menoleh ketika mendengar suara mendehem di belakangnya. Tampak Eyang Puger sudah berdiri di belakangnya. Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri, dan berbalik menghadap laki laki tua kurus kering itu. Sebatang tongkat yang tidak beraturan bentuknya tergenggam di tangan yang kurus bagai tulang terbalut kulit.

"Kau sudah menemukan si jahanam itu, Bayu?" tanya Eyang Puger, agak tertekan nada suaranya.

"Sudah," sahut Bayu. "Tapi hanya sekali, karena dia berhasil lari dan mengorbankan banyak anak buahnya."

"Hhh...! Seandainya aku lebih memperdalam ilmu olah kanuragan, tentu tidak akan begini jadinya. Wurati cucuku satu-satunya. Aku. terlalu mencintainya sehingga tidak bisa melarangnya mencintai si jahanam itu," keluh Eyang Puger bernada menyesali diri.

"Eyang tidak salah, Wurati juga tidak. Tapi si jahanam itu memang harus membayar semua yang diperbuatnya. Aku janji, Eyang. Jika dia kutemukan, akan kubalaskan sakit hatimu. Aku berhutang nyawa padamu, Eyang," janji Bayu teringat pertolongan Eyang Puger yang menyembuhkan dirinya dari keracunan akibat bertarung melawan seorang yang tangguh dan memiliki ilmu racun yang sangat dahsyat.

"Aku percaya padamu, Bayu. Selama si Balaga masih hidup, jiwaku selalu bersamamu. Kau harus membunuhnya, Bayu. Kalau tidak, akan lebih banyak lagi gadis-gadis terpedaya dan tewas di tangannya. Biarlah cucuku menjadi tumbal," kata Eyang Puger pelan.

"Aku janji, Eyang," ucap Bayu tegas.

Eyang Puger menepuk-nepuk pundak Pendekar Pulau Neraka itu. Kemudian berbalik dan berjalan ke depan pondok diikuti Bayu. Mereka kemudian duduk bersisian di balai-balai bambu reyot yang hanya beralaskan tikar daun pandan lusuh dan robek-robek. Sesaat lamanya tidak ada yang berbicara. Seakan-akan sedang mengenang masa-masa lalu. Masa-masa yang teramat pahit bagi laki-laki tua itu.

"Bagaimana keadaan Randu Watung, Eyang?" tanya Bayu teringat pada pemuda yang ditolongnya.

"Tunggu sampai dia sadar dulu. Tapi aku sudah memberinya penahan rasa," sahut Eyang Puger.

"Kapan dia akan sembuh?"

"Tergantung dari daya tahan tubuhnya. Tapi kulihat otot-ototnya terlatih baik. Mungkin tidak lama."

Bayu kembali diam. Dan Eyang Puger pun terdiam. Mereka kembali sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tak ada lagi yang berbicara. Mereka hanya menatap alam yang tidak begitu sedap dipandang mata.

********************

Sudah dua hari Bayu tinggal di pondok kecil Eyang Puger. Dan selama itu Randu Watung belum juga sadarkan diri Randu Watung masih tetap dirawat oleh Eyang Puger, seorang tua yang ahli dalam ilmu pengobatan. Siang itu Bayu menemani Eyang Puger menunggui Randu Watung, tapi pemuda itu tetap seperti tidur nyenyak. Tidak bergeming sedikit pun.

"Hm...," gumam Eyang Puger pelan.

"Ada apa, Eyang?" tanya Bayu.

"Tampaknya aku kedatangan tamu," sahut Eyang Puger.

Bayu bangkit berdiri, dan pada saat itu sebatang anak panah melesat masuk menerobos pintu yang terbuka. Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka itu menggerakkan tangannya, dan menangkap anak panah yang tertuju ke arah Eyang Puger.

"Hup...!"

Bayu langsung melompat ke luar bagaikan kilat, seraya melemparkan anak panah di tangannya ke arah datangnya tadi. Begitu besar dan sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga anak panah itu melesat cepat melebihi dari yang tadi. Anak panah itu langsung menerobos semak belukar.

"Aaa...!"

Belum hilang suara jeritan panjang melengking, muncul sesosok tubuh dari semak itu. Tampak sebatang anak panah tertanam dalam di lehernya! Pada saat tubuh itu ambruk ke tanah, Bayu sudah mendarat lunak di halaman depan pondok Eyang Puger. Bersamaan dengan itu, dari balik pepohonan bermunculan sekitar dua puluh orang mengenakan ikat kepala merah dengan bulatan hitam tepat di keningnya. Mereka semua bersenjata golok. Tapi ada seorang yang memegang tombak bercabang dua pada ujung atasnya. Seorang laki-laki setengah baya mengenakan baju merah menyala yang di dadanya terdapat tiga lingkaran hitam. Seperti yang lainnya, dia juga mengenakan ikat kepala yang sama.

"Anak muda, serahkan Randu Watung padaku!" berat suara laki-laki setengah baya yang memegang tombak bercabang dua pada ujungnya itu.

"Hm..., aku tidak mengenalmu. Dan ada urusan apa kau meminta Randu Watung?" tanya Bayu dingin.

"Anak muda, aku peringatkan! Sebaiknya jangan berurusan dengan Partai Mata Iblis!"

"O..., jadi kau si Mata Iblis itu?" tebak Bayu.

"Bukan! Aku Nyakra, wakil ketiga dari si Mata Iblis! Sudahlah, Anak Muda. Jangan terlalu banyak tanya. Di mana kau sembunyikan Randu Watung?" agak kesal nada suara laki-laki setengah baya itu yang mengaku bernama Nyakra.

"Dia tidak ada bersamaku!" sahut Bayu tegas.

"Hm...," Nyakra menggumam tidak percaya. Matanya tajam melihat langsung ke dalam pondok yang pintunya terbuka lebar.

Bayu juga sempat melirik ke arah pondok itu. Tampak gelap di dalam sana. Tidak terlihat sesuatu pun. Pondok itu memang selalu gelap di dalamnya, Tidak ada jendela, hanya ada satu pintu di depan. Tapi biasanya keadaannya tidak segelap itu, karena ini siang hari, dan pintunya terbuka lebar. Lagi pula di dalam pondok itu terdapat api abadi yang selalu menyala terang kalau tidak ditutupi batu di atas tungkunya.

"Geledah rumah itu!" perintah Nyakra.

"Hey..., tunggu!" sentak Bayu terkejut.

Tapi dua orang sudah melompat cepat ke pondok itu. Dan Bayu yang berada cukup jauh, tidak mungkin bisa mengejar lagi. Pendekar Pulau Neraka itu mendepak dua buah kerikil yang berada di ujung kakinya, dan langsung melesat cepat bagai kilat. Kerikil itu pun segera menghantam kepala kedua orang yang hampir sampai ke pintu pondok!

"Akh!"

"Aaa...!"

Jeritan melengking dan tertahan terdengar hampir bersamaan. Dua orang itu pun langsung ambruk dengan kepala pecah tertimpa batu kerikil yang disepak dengan kekuatan tenaga dalam sangat sempurna sekali. Dua orang itu langsung tewas seketika! Bayu bergegas melompat ke pintu, dan berdiri tegak seraya melipat tangan di depan dada. Pandangan matanya begitu tajam menusuk, merayapi orang-orang di depannya.

"Tidak semudah itu kalian bisa masuk ke pondok ini!" dengus Bayu tandas.

"Anak muda, apa kau sadar dengan tindakanmu itu? Kau akan berhadapan dengan Partai Mata Iblis!" agak keras suara Nyakra.

"Siapa pun kalian, enyahlah dari sini!" bentak Bayu.

"Hm..., rupanya kau tidak bisa diajak lunak. Anak Muda. Baiklah, rasakan akibatnya!"

Nyakra menjentikkan jari tangannya. Dan enam orang bersenjata golok, langsung melangkah ke depan. Pendekar Pulau Neraka menggeser kakinya sedikit ke samping. Diliriknya bagian dalam pondok itu. Tidak ada seorang pun di sana. Meskipun benaknya masih bertanya-tanya, tapi harus dihadapinya enam orang lawan yang berlompatan menyerang.

"Hiyaaa...!"

"Yeaaah...!"

Dengan satu gerakan kilat, Bayu melompat dan mengirimkan pukulan serta tendangan beruntun ke arah enam orang itu. Gerakannya sungguh luar biasa cepat, dan setiap pukulan maupun tendangannya mengandung tenaga dalam sangat sempurna! Tak pelak lagi, sebelum enam orang itu berhasil menyarangkan serangannya, mereka harus menerima hajaran Pendekar Pulau Neraka.

Jerit dan pekik kesakitan terdengar saling susul. Enam orang bersenjata golok terpental ke belakang, dan jatuh bergulingan di tanah. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu golok mereka sudah berpindah tangan! Sedangkan Bayu hanya berdiri tegak menatap enam orang yang menggeletak tidak bergerak gerak lagi. Tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka memang sangat dahsyat, sehingga hanya sekali pukul saja, orang yang memiliki kepandaian rendah akan tewas seketika.

"Hih!" Bayu melemparkan golok rampasannya. Golok itu melayang cepat, dan menancap dalam di ujung kaki Nyakra. Golok berjumlah enam buah itu berjajar rapi mengelilingi wakil ketiga dari si Mata Iblis.

"Pergilah, sebelum aku bertindak lebih kejam lagi!" kata Bayu tegas.

Nyakra diam saja seraya menatap tajam. Gerahamnya bergemeletuk menahan amarah yang luar biasa. Tapi sudah dua kali di mencoba, dan delapan orang anak buahnya tewas hanya dengan satu kali gebrakan saja!

"Heh...!" Nyakra mengegoskan kepalanya disertai suara mendengus bagai sapi melenguh minta makan. Sisa anak buahnya segera melangkah mundur. Beberapa orang menggotong mayat teman mereka. Tanpa berkata apa-apa lagi, orang-orang dari Partai Mata Iblis segera meninggalkan tempat itu. Tapi Nyakra masih sempat menyemburkan ludah ke arah Pendekar Pulau Neraka.

Bayu hanya menarik napas panjang. Ditolehkan kepalanya ke arah kiri. Tampak Eyang Puger sudah berdiri di ambang pintu. Dan Bayu jadi terkejut, karena dilihatnya Randu Watung terbujur pingsan di dalam pondok itu Eyang Puger kemudian melangkah mendekati.

"Kau harus hati-hati, Bayu. Kelihatannya mereka tidak main-main," ujar Eyang Puger seraya menepuk pundak Pendekar Pulau Neraka itu.

"Ya," sahut Bayu mendesah.

Bayu melirik ke dalam pondok, dan Eyang Puger tersenyum. Dia bisa menebak apa yang dipikirkan pendekar muda itu. Ditepuknya pundak pemuda berbaju kulit harimau itu sekali lagi, dan diajaknya duduk di beranda.

"Aku tadi terpaksa menggunakan aji 'Halimun', kata Eyang Puger memberitahu tanpa diminta.

"O...?!" Bayu terkejut tidak mengerti.

"Aku menutupi pondok dengan kabut hitam agar tidak terlihat dari luar. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan diri. Aku khawatir melihat jumlah mereka yang banyak."

"Eyang bertindak tepat," puji Bayu tulus.

"Hanya untuk menjaga diri, Bayu. Ilmu itu tidak bisa digunakan untuk bertarung. Hanya untuk menyembunyikan diri saja. Ilmu pengecut!" Eyang Puger merendahkan diri.

"Tidak, Eyang. Pada dasarnya semua ilmu itu baik. Hanya manusianya saja yang membedakan baik buruknya ilmu itu."

"Kau bijaksana sekali, Bayu."

"Hanya sekadar mengingatkan, mungkin Eyang lupa."

"Ha ha ha.... Aku semakin yakin kalau kau orang yang berbudi luhur dan berhati emas. Meskipun...," Eyang Puger menghentikan kata katanya.

"Teruskan, Eyang," pinta Bayu.

"Kadang-kadang tindakanmu terlalu...," lagi-lagi yang Puger memutus kalimatnya.

"Kejam...," sambung Bayu langsung menebak.

"Aku tidak mengatakan begitu, Bayu. Aku yakin, kau masih bisa merubahnya."

"Terima kasih, Eyang," ucap Bayu tanpa ada perasaan tersinggung.

Bayu memang menyadari kalau setiap tindakannya selalu dikatakan kejam. Bahkan tokoh-tokoh rimba persilatan pun tidak bisa memasukkannya ke dalam golongan hitam atau putih. Sampai saat ini Pendekar Pulau Neraka tidak mempedulikan lawan yang bakal dihadapinya. Tidak peduli dari golongan mana. Terlebih lagi kalau orang itu tersangkut dengan pembunuhan keluarganya. Hingga saat ini tidak diketahui nasib ibunya, apakah sudah meninggal atau masih hidup. Hanya pusara ayahnya dan murid-murid ayahnya saja yang ditemukannya.

Bayu sadar, kalau sifatnya tidak akan bisa berubah sebelum menemukan ibunya. Dua puluh tahun lebih tidak pernah berjumpa. Bahkan wajah ibunya pun tidak pernah diketahuinya, karena terpisah sejak masih lahir. Belum tahu apa-apa, dan ayahnya saja baru memberinya sepotong nama ketika kerusuhan itu terjadi. (Baca Serial Pendekar Pulau Neraka, dalam kisah "Geger Rimba Persilatan")

"Kau melamun, Bayu?" tegur Eyang Puger.

"Oh!" Bayu tersentak dari lamunannya.

"Ada yang kau pikirkan?" tanya Eyang Puger lembut

"Tidak," sahut Bayu cepat. "Oh, ya. Sebaiknya kita lihat keadaan Randu Watung," Bayu mengalihkan perhatian.

Eyang Puger mengangguk dan tersenyum. Kemudian bangkit berdiri dan melangkah masuk ke dalam pondoknya. Sesaat Bayu masih duduk, kemudian ikut masuk ke dalam pondok kecil yang hampir rubuh itu. Kalau saja tidak ditunjang oleh batu dan pohon beringin, mungkin sudah lama pondok kecil ini hancur terhempas angin.

********************

Tepat seperti yang diramalkan Eyang Puger. Setelah tiga hari, Randu Watung baru bisa sadarkan dan itu pun keadaannya masih sangat lemah sekali, dia belum bisa diajak bicara. Eyang Puger merawatnya dengan sabar. Setiap saat laki-laki tua kurus itu mengeluarkan racun di dalam tubuh Randu Watung dan sedikit demi sedikit kesehatan pemuda itu pun pulih kembali. Memang tidak hanya satu hari untuk dapat bangkit dari pembaringan.

Setelah satu pekan pulih dari kesadarannya, Randu Watung baru bisa berlatih ringan. Tenaganya belum pulih benar, dan Eyang Puger juga masih berusaha memulihkannya seperti sediakala. Terlalu berat luka dalam yang diderita pemuda itu. Sehingga harus menjalani beberapa tahap penyembuhan. Dan tampaknya Randu Watung menyadari hal itu, dia selalu sabar dan mematuhi setiap kata yang diucapkan Eyang Puger.

"Kau berlatih cukup keras hari ini, Randu," kata Eyang Puger pada hari ke sepuluh Randu Warung melatih jurus-jurusnya kembali.

"Aku hanya berlatih ringan saja, Eyang," sahut Randu Watung.

"Nampaknya keadaanmu sudah pulih benar. Kau sudah bisa mengerahkan kekuatan tenaga dalammu kembali. Mudah-mudahan tidak berkurang," ujar Eyang Puger.

"Sudah kucoba, Eyang Tidak ada perubahan sama sekali."

"O..., syukurlah," desah Eyang Puger tersenyum senang.

Percakapan mereka terhenti ketika Bayu datang membawa seikat kayu bakar. Pendekar Pulau Neraka itu meletakkan kayu bakar di samping pondok, kemudian dihampirinya Eyang Puger dan Randu Watung yang duduk di bawah pohon beringin di depan pondok agak menyamping. Bayu duduk di samping laki-laki tua kurus berjubah putih kekuningan itu.

"Kelihatannya serius sekali," kata Bayu seraya memandangi mereka.

"Tidak," sahut Eyang Puger.

"Hm ... bagaimana keadaanmu, Randu?" tanya Bayu.

"Baik," sahut Randu Watung. "Tenagaku sudah pulih kembali, dan ini berkat perawatan Eyang Puger."

"Syukurlah kalau begitu. Dan berarti aku tidak bisa terus tinggal di sini. Harus kulanjutkan perjalanan kembali," ucap Bayu langsung tanpa basa-basi lagi.

"Bayu..," agak tertahan suara Randu Watung Dia merasa tidak enak.

"Ada yang harus kukerjakan, Randu. Dan aku sudah berjanji pada Eyang Puger," potong Bayu cepat.

"Bayu, sebaiknya kau tunda dulu urusan itu. Nampaknya Randu lebih penting dan harus didahulukan. Sudah tiga kali mereka datang ke sini. Kau tidak akan membiarkannya sendirian, kan?" lembut dan berwibawa nada suara Eyang Puger.

"Terus terang, Eyang. Aku tidak bisa terus-menerus menghadapi mereka tanpa tahu permasalahannya," kata Bayu seraya melirik Randu Watung.

"Maaf, kalau aku lupa menjelaskannya padamu, Bayu," ucap Randu Watung menyesal.

"Baru sedikit. Yang aku tidak ketahui, siapa sebenarnya si Mata Iblis itu? Dan mengapa ia selalu mengejar, bahkan ingin membunuhmu?" tanya Bayu langsung.

"Sebenarnya aku tidak ingin melibatkan orang lain dalam urusan pribadiku ini. Aku telah begitu banyak merepotkan kalian berdua. Seharusnya urusan ini kuselesaikan sendiri," kata Randu Watung, semakin tidak enak hatinya.

"Kau jangan berkata begitu, Randu. Sejak kau kutemukan tergeletak pingsan, mau tidak mau aku sudah terlibat. Apalagi sudah lebih dari sepuluh orang tewas di tanganku. Mereka tentu tidak akan melupakanku begitu saja," potong Bayu cepat.

"Aku menyesal telah melibatkanmu, Bayu," desah Randu Watung pelan.

"Ah, sudahlah. Ceritakan saja, apa masalahmu sehingga orang-orang Partai Mata Iblis mau membunuhmu?" desak Bayu tidak sabar.

Randu Watung menarik napas panjang. Tapi belum juga pemuda berbaju biru tua itu membuka mulutnya, mendadak....

"Awas...!" seru Bayu tiba-tiba.

EMPAT

Pendekar Pulau Neraka langsung melentingkan tubuhnya ketika seleret cahaya keperakan meluncur deras dari arah depan. Tubuhnya berputaran dua kali di udara, dan mendadak cahaya keperakan itu pun lenyap di dalam gulungan putaran tubuhnya. Begitu kakinya mendarat di tanah, terlihat sebilah pisau kecil' dan tipis berwarna keperakan terjepit di antara kedua jari tangan kanannya.

Belum lagi Bayu bisa menarik napas, datang lagi dua cahaya keperakan ke arah dirinya. Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka itu menggerakkan tangannya, dan mulutnya menangkap salah satu pisau kecil itu. Satunya lagi berhasil dijepit oleh jari tangan kiri.

"Hiyaaa.!"

Sambil berteriak keras, Bayu melemparkan dua pisau di tangannya sekaligus ke arah datangnya tadi. Dan sambil memutar tubuh, diambilnya pisau kecil yang berada di mulutnya, lalu dilontarkan ke atas sebuah pohon yang cukup tinggi dan rimbun.

"Akh!"

"Aaa...!"

Bersamaan dengan munculnya seseorang dari balik semak dengan dua pisau tertancap di leher, dari atas pohon meluncur jatuh seorang lagi dengan pisau menancap tembus di lehernya. Belum lagi hilang suara jeritan itu, tiba-tiba berlompatan beberapa orang yang langsung mengepung Bayu, Randu Watung dan Eyang Puger.

Ada sekitar tiga puluh orang mengenakan ikat kepala merah dengan bulatan hitam di bagian kening. Mereka semua sudah menghunus golok masing-masing. Dan belum lagi ada yang membuka suara, dari atas pohon meluncur turun sebuah bayangan hitam. Tahu tahu di depan Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri seorang berbaju hitam yang kepalanya hampir tertutup caping bambu yang lebar. Dari bentuk tubuh, kulit tangan serta kaki yang putih, dapat diketahui kalau orang itu adalah wanita.

"Caping Maut...," desis Eyang Puger pelahan, hampir tidak terdengar suaranya.

Tapi Bayu mendengar desisan itu dan diliriknya laki-laki tua berjubah kumal dan bertubuh kurus kering itu. Bayu menggeser kakinya mendekati Eyang Puger. Sedangkan Randu Watung nampak agak pucat menatap tidak berkedip pada orang berbaju hitam bercaping lebar yang menutupi hampir seluruh wajahnya itu. Perubahan wajah Randu Watung itu dapat dilihat Bayu, meskipun perubahan itu hanya sesaat, dan hampir tidak terlihat sama sekali.

"Randu Watung! Sebaiknya kau tidak melakukan perlawanan sama sekali. Kau tinggal sendiri, tidak mungkin bisa meneruskan rencana gila ayahmu," lantang kata-kata orang bercaping bambu itu. Meskipun nada suaranya dibuat-buat, tapi masih dapat diketahui kalau dia seorang wanita. "Dan kalian berdua, sebaiknya tidak ikut campur dalam urusan ini

"Randu, siapa dia?" tanya Bayu setengah berbisik.

"Aku tidak tahu. Dialah yang membunuh pamanku dan melukaiku," sahut Randu Watung jujur,

"Dia berjuluk si Caping Maut. Tapi...," celetuk Eyang Puger terdengar bergumam seperti untuk dirinya sendiri.

"Hm..., rupanya kau tahu banyak tentang diriku, Orang Tua. Tapi sayang, kau salah menilai!" celetuk si Caping Maut dingin.

"Siapa kau sebenarnya? Kenapa berlindung dibalik nama Caping Maut?" tanya Eyang Puger keras.

"Ha ha ha...! Akulah si Caping Maut!" si Caping Maut tertawa terbahak-bahak.

"Aku kenal si Caping Maut. Dia tidak punya ilmu pukulan beracun. Dan ilmu yang kau gunakan pada Randu Watung adalah jurus 'Dewa Maut Menyebar Racun'," lantang suara Eyang Puger.

"Orang tua! Sebaiknya jangan banyak bicara. Urusanku dengan bocah itu, bukan denganmu!" bentak si Caping Maut geram.

"Hhh! Sebaiknya kau buka saja tudungmu, Nisanak. Kalau bukan si Ratu Iblis, pasti kau adalah muridnya. Atau kau seorang pencuri ilmu? kata-kata Eyang Puger.

"Keparat! Kau terlalu banyak omong, tua bangka!" geram si Caping Maut.

Kalau saja wajahnya tidak tertutup caping yang lebar itu, pasti wajahnya sudah memerah bagai udang rebus. Dan orang berbaju serba hitam itu menjentikkan jarinya. Seketika itu juga sepuluh orang bersenjata golok berlompatan menyerang. Tujuan mereka sudah jelas, membunuh Eyang Puger yang membuat murka si Caping Maut.

Saat itu juga Bayu tidak bisa tinggal diam. Dia tidak ingin Eyang Puger celaka. Karena Pendekar Pulau Neraka itu tahu kalau Eyang Puger hanya bisa sedikit ilmu olah kanuragan, meskipun ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tahap kesempurnaan. Pendekar Pulau Neraka itu cepat melompat menghadang terjangan sepuluh orang itu. Bahkan Randu Watung yang merasa berhutang nyawa pada Eyang Puger, tidak mau tinggal diam. Langsung diloloskan pedangnya, dan bergerak cepat menghadang serangan sepuluh orang itu. Sedangkan Eyang Puger hanya berdiri saja di antara dua pemuda yang berusaha menghalau penyerang-penyerang itu.

Si Caping Maut memberi isyarat lagi ketika dilihatnya dalam sebentar saja sudah enam orang tewas bersimbah darah. Dan semua orang yang dibawanya, langsung bergerak maju mengeroyok Randu Watung dan Pendekar Pulau Neraka. Menghadapi keroyokan yang demikian banyaknya, Bayu sukar melepaskan senjata andalannya, Cakra Maut. Dia terpaksa menggunakan senjata itu digenggam. Namun begitu, keampuhannya tidak berkurang Golok yang beradu dengan Cakra Maut, langsung terpotong jadi dua bagian!

Denting senjata beradu dan pekik pertempura berbaur menjadi satu. Tubuh-tubuh bergelimpangan semakin bertambah. Bau anyir darah pun mulai tercium menyengat hidung. Tapi orang-orang Mata Iblis seakan tidak mengenal rasa takut. Meskipun sudah banyak yang tewas, tetap saja mereka merangsek.

"Hup! Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja si Caping Maut melompat cepat bagaikan kilat menyambar Eyang Puger, dan langsung dibawanya pergi. Bayu yang melihat itu, berusaha mengejar, namun orang orang Mata Iblis menghalanginya. Pendekar Pulau Neraka itu jadi geram setengah mati. Dia mengamuk bagai banteng terluka! Jerit pekik kematian pun menggema saling susul dibarengi terjungkalnya tubuh-tubuh yang tak bernyawa lagi!

Sementara itu bayangan si Caping Maut sudah tidak terlihat lagi. Dan orang-orang dari Partai Mata Iblis, langsung berlompatan mundur melarikan diri. Jumlah mereka sudah berkurang lebih dari setengahnya. Bayu berusaha mengejar, tapi beberapa pisau kecil beterbangan ke arahnya. Pendekar Pulau Neraka itu terpaksa berjumpalitan menghindari terjangan pisau-pisau kecil dan tipis berwarna keperakan itu. Dan begitu tidak ada lagi serangan yang datang, semua orang yang mengeroyoknya tadi sudah tidak terlihat lagi. Lenyap bagai ditelan bumi

"Huh!" dengus Bayu kesal. Dibalikkan badannya menghadap Randu Watung yang baru saja memasukkan pedang ke dalam sarungnya di pinggang.

Randu Watung menatap penuh penyesalan atas kejadian ini, karena harus melibatkan orang-orang yang telah berjasa menyelamatkan nyawanya dari maut. Bukan keinginannya untuk melibatkan Pendekar Pulau Neraka dan Eyang Puger. Tapi keadaanlah yang memaksa. Semua sudah terjadi, tidak ada gunanya penyesalan dihati. Sekarang ini keselamatan Eyang Puger menjadi perhatian utama.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Bayu?" tanya Randu Warung seperti orang kehilangan akal.

"Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu!" sentak Bayu kesal.

"Maaf, aku...," Randu Watung menjadi bergetar.

"Ah, sudahlah...!" potong Bayu cepat. Paling tidak disukainya mendengar kata-kata penyesalan. Baginya segala sesuatu yang telah terjadi tidak perlu disesalkan, tapi harus dihadapi. Baginya kata-kata penyesalan bukan satu hal untuk menyelesaikan persoalan.

Randu Warung langsung terdiam. Dari sorot matanya jelas terlihat kalau dia begitu menyesali semua yang telah terjadi. Tapi melihat sikap Pendekar Pulau Neraka yang tampaknya berang, dia tidak bisa berkata-kata lagi. Hanya diam yang bisa dilakukannya saat ini.

"Kau tahu, di mana sarang mereka?" tanya Bayu tajam

"Aku tidak tahu," sahut Randu Watung.

"Tidak tahu...?!" Bayu jadi mendelik. "Mereka selalu berusaha mencarimu. Dan kau mengakui kalau ada urusan dengan mereka, tapi sekarang kau bilang tidak tahu di mana mereka berada. Ini bukan saatnya main-main, Randu Watung! Kesabaranku bisa hilang, tahu!" keras nada suara Bayu.

"Sungguh, Bayu. Aku tidak tahu tempat tinggal mereka," kata Randu Watung berusaha meyakinkan.

"Randu apa sebenarnya masalahmu dengan mereka?" tanya Bayu setelah menarik napas panjang.

Randu Warung tidak langsung menjawab, meskipun nada suara Pendekar Pulau Neraka itu sudah terdengar sedikit lunak. Pemuda berbaju biru tua itu menghembuskan napas panjang, seakan-akan berat untuk menjawab pertanyaan itu. Melihat hal itu, Bayu tampak kesal. Digeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan mata sukar untuk diartikan.

"Baik...! Kau tunggu di sini sampai aku kembali bersama Eyang Puger. Tapi kalau terjadi apa-apa padanya, kau yang pertama harus bertanggung jawab," kata Bayu tegas.

Setelah berkata demikian, Bayu langsung berbalik dan melangkah lebar-lebar. Sejenak Randu Watung hanya diam mematung dengan mulut terbuka lebar Kemudian dia berlari mengejar Pendekar Pulau Neral itu.

"Bayu, tunggu...!"

Tapi Bayu tetap berjalan cepat. Tapi dia tidak mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga Randu Watung dengan mudah bisa mengejar, dan mensejajarkan langkahnya di samping pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Bayu, aku minta maaf. Bukan maksudku untuk mempermainkan dirimu. Sungguh, aku tidak menghendaki semua ini terjadi...," kata Randu Watung dengan nada suara bersungguh-sungguh.

Namun Bayu tetap diam. Dan langkahnya juga tidak berhenti setindak pun. Bahkan semakin cepat saja diayunkan kakinya.

"Dengar dulu, Bayu. Dengar penjelasanku...," desak Randu Warung.

"Tidak perlu, dan kau sebaiknya tunggu di pondok sampai aku kembali! Jangan paksa aku berubah pikiran, Randu!" tegas kata-kata Bayu.

"Tapi kau tidak akan bisa ke sana sendirian, Bayu!"

Seketika itu juga langkah kaki Pendekar Pulau Neraka terhenti. Tatapan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata Randu Warung. Sedangkan yang ditatap jadi gelisah. Baru disadari kalau sudah keterlepasan bicara tadi.

"Yah..., memang seharusnya aku berterus terang padamu. Bayu. Bagaimanapun juga kau sudah terlibat. Dan sekarang keselamatan Eyang Puger terancam di tangan mereka. Aku memang bersalah tidak mau berterus terang sejak semula. Tapi bukan maksudku untuk mempermainkan atau bermaksud buruk. Aku hanya tidak ingin ada orang lain yang terlibat dalam masalah ini Sungguh, Bayu. Aku berkata jujur dari hati nuraniku sendiri. Aku hanya tidak ingin ada yang celaka Sudah terlalu banyak korban yang jatuh," terdengar serius kata-kata Randu Watung.

"Kau sudah melibatkan aku, Randu. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, aku sudah tedibat. Dan sekarang nyawa Eyang Puger terancam. Bagaimanapun juga aku turut bersalah karena keterlibatan Eyang Puger karenaku juga," kata Bayu, mulai lunak suaranya.

"Bayu, memang ada beberapa ceritaku yang tidak benar. Tapi tidak semuanya bohong...," kata Randu Watung mulai terbuka.

"Di mana kebohonganmu?" tanya Bayu dingin. Kekesalannya mulai kambuh mendengar dirinya dibohongi.

"Aku sebenarnya bukan anak adipati, dan ayahku juga bukan seorang adipati. Semua itu tidak benar. Tapi memang ada pemberontakan di Kadipaten...."

"Siapa kau sebenarnya?" potong Bayu cepat sebelum Randu Watung selesai berbicara.

"Aku memang berasal dari sana. Juga seluruh keluargaku. Ayahku adalah seorang pejabat tinggi di sana, Tapi Ayah selalu menentang tindakan Gusti Adipati yang bertangan besi dan selalu menyengsarakan rakyat. Sebenarnya ayah lah yang memimpin pemberontakan. Tapi gagal, karena Gusti Adipati dibantu oleh orang dari Partai Mata Iblis. Mereka membunuh semua keluargaku, membakar hangus seluruh desa kelahiran keluargaku. Mereka belum puas kalau seluruh keturunan ayahku dan semua keluargaku belum lenyap," cerita Randu Watung.

"Hm.... Benar itu, Randu?" tanya Bayu setengah tidak percaya.

"Kali ini aku mengatakan yang sebenarnya, Bayu," sahut Randu Warung sungguh-sungguh.

"Teruskan," pinta Bayu.

Randu Warung menceritakan keadaan di Kadipaten Sangkal Putung sambil berjalan pelahan-lahan. Saat itu senja mulai merayap turun, tapi mereka tetap saja berjalan tanpa mempedulikan sang waktu. Sementara Bayu yang berjalan di sampingnya, hanya sesekali saja membuka suara. Itu pun dia bertanya kalau ada yang kurang jelas.

"Hm.... Rasanya sukar dipercaya kalau kau tidak tahu-menahu sama sekali tentang si Mata Iblis. Kau bisa mengenali orang-orangnya, tapi tidak tahu pemimpinnya," kata Bayu setengah bergumam.

"Mereka tiba-tiba saja muncul, dan menghancurkan semua rencana yang sudah disusun matang ayahku. Tidak ada yang tahu tentang mereka, kecuali adipati sendiri," sahut Randu Watung.

"Kau juga tidak tahu tentang si Caping Maut?" tanya Bayu bernada enggan. Karena sudah bisa ditebak jawaban Randu Watung.

"Tidak," sahut Randu Warung singkat

Bayu tersenyum tipis. Jawaban itulah yang sudah diduganya sejak semula.

"Kau pasti tidak percaya, Bayu," Randu Watung merasakan ada kekecewaan di balik senyuman tipis pendekar muda itu.

"Percaya. Hanya saja terasa aneh bagiku. Bagaimana mungkin kau akan membalaskan kematian pamanmu, kalau kau tidak tahu siapa yang melakukan semua itu. Sedangkan baru menghadapi si Caping Maut saja sudah tidak mampu. Bukannya aku meremehkanmu, Randu. Tapi..., ah, sudahlah!" Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Aku rasa semua jawabannya akan didapat di Kadipaten Sangkal Putung, Bayu," kata Randu Watung pelan. Nada suaranya terdengar ragu-ragu.

"Kau yakin?"

"Entahlah," sahut Randu Watung ragu-ragu.

"Tapi semua persoalannya berawal dari sana."

"Dan kau pasti tidak berani masuk ke sana."

"Bayu, demi Eyang Puger, aku rela mati. Aku berhutang nyawa padanya. Juga padamu. Aku tidak bisa lagi berbuat lain. Aku perlu pertolonganmu, Bayu," kata Randu Watung memohon.

Bayu hanya diam saja.

"Aku memang anak seorang pemberontak, Bayu. Tapi semua yang dilakukan oleh keluargaku demi kemanusiaan. Memerangi keangkaramurkaan yang merajalela di Kadipaten Sangkal Putung. Tidak ada maksud lain tersirat di hatiku, juga di hati ayahku selain membebaskan rakyat dari penderitaan dan tekanan yang mencekik leher. Kau bisa melihat penderitaan mereka nanti di sana, Bayu. Kau bisa saksikan, betapa menderitanya mereka. Bumi yang subur dan banyak menjanjikan kemakmuran terasa bagai neraka bagi mereka," kata Randu Watung serius.

"Aku sering melihat orang-orang yang menderita, tertekan, bergelimang dalam kemiskinan. Bukan hanya di tanah kelahiranmu, tapi juga di seluruh pelosok mayapada ini. Semua itu tidak akan bisa terhapus sampai dunia ini hancur sekalipun. Penderitaan bukan untuk disesali dan dikasihani. Tapi harus dilawan sebatas kemampuan. Kau, atau siapa pun juga tidak akan bisa merubah nasib mereka, Randu. Semua itu bisa hilang dari diri sendiri. Seorang yang kelihatannya tidak memiliki apa-apa, belum tentu dia miskin, dan sebaliknya. Semua bisa diukur dari jiwa, bukan dari berlimpahnya harta, kedudukan ataupun kekuasaan," kata Bayu panjang lebar menguraikan arti kehidupan.

"Kau bijaksana sekali, Bayu. Tidak heran kalau Eyang Puger selalu menyanjungmu," ucap Randu Watung tulus.

Kata-kata Pendekar Pulau Neraka itu sungguh meresap ke dalam sanubari Randu Watung. Dan semakin diresapi, semakin nyata kebenarannya. Kemiskinan dan penderitaan memang tidak bisa diukur dengan berlimpahnya harta, pangkat, kedudukan dan kekuasaan. Tapi semua hanya dapat dirasakan oleh masing-masing. Oleh jiwa seseorang.

"Randu, kita ke Kadipaten Sangkal Putung. Tapi ingat, bukan untuk merubah nasib rakyatnya, melainkan meringankan beban penderitaan mereka. Itu pun kalau memang benar apa yang kau ceritakan. Tapi kalau ternyata hanya karanganmu saja, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kau sendiri yang harus menentukannya," kata Bayu setengah mengancam.

"Nyawaku taruhannya, Bayu," janji Randu Watung.
"Terserah kau."

Pendekar Pulau Neraka itu memang sudah tidak mudah lagi percaya, karena Randu Watung pernah membohonginya. Sekali saja dirinya merasa dipermainkan, tidak ada ampun lagi. Bayu memang tegas, tapi mudah jatuh belas kasih. Hanya saja dia tidak bisa dikhianati sedikit pun. Sekali saja orang mendustainya, sukar baginya untuk bisa mempercayai kembali. Tapi melihat adanya kesungguhan di hari Randu Watung, Bayu mau juga ke Kadipaten Sangkal Putung. Tapi yang menjadi tujuan utamanya adalah menyelamatkan Eyang Puger dari cengkeraman orang yang berjuluk si Caping Maut itu.

********************

LIMA

Sementara itu, di suatu tempat tidak jauh dari Kadipaten Sangkal Putung, tepatnya di Bukit Kedaung, Eyang Puger duduk bersila di tanah yang tertutup jerami kering. Dinding dinding batu yang melingkarinya sangat tinggi, hitam dan berlumut tebal. Tidak ada sedikit pun lubang. Ruangan kecil ini terasa lembab. Hanya sebuah pelita kecil yang meneranginya dari luar pintu besi yang kokoh. Pintu itu hanya terdapat lubang kotak kecil yang tidak bisa dimasuki tangan.

Eyang Puger mengangkat kepalanya ketika mendengar suara pintu terbuka. Cahaya pelita langsung menerobos masuk, bersamaan dengan masuknya dua orang bertubuh kekar dengan golok terselip di pinggang. Dua orang berwajah beringas dan kasar itu kemudian mengangkat tubuh Eyang Puger, dan memaksanya berdiri. Lalu dengan kasar salah seorang mendorongnya keluar.

"Cepat, jalan!" bentaknya kasar.

Eyang Puger melangkah tertatih-tatih keluar dari ruangan sempit berdinding batu itu. Dia terus berjalan menyusuri lorong batu yang cukup panjang dan berliku diiringi dua orang di belakangnya. Laki-laki tua kurus kering itu berhenti tepat di depan sebuah pintu yang terbuat dari besi baja yang kokoh dan rapat. Salah seorang mengetuk pintu itu, yang langsung terbuka lebar. Cahaya matahari seketika menerobos masuk, membuat mata Eyang Puger mengerjap-ngerjap karena silau.

Salah seorang mendorong punggungnya, dan Eyang Puger kembali melangkah ke luar. Sejenak dipandanginya keadaan di luar. Tampak sebuah bangunan besar dan megah bagai sebuah istana kecil, berdiri megah di depan pintu penjara bawah tanah ini. Beberapa orang bersenjata, tampak menjaga bangunan itu. Eyang Puger melangkah menuju ke bangunan besar itu, mengikuti salah seorang yang membawanya. Sedangkan seorang lagi berjalan di belakang.

Lantai marmer yang putih, halus dan licin terasa dingin begitu kaki kurus laki-laki tua itu menginjaknya. Eyang Puger terus dibawa masuk ke dalam bangunan besar dan megah itu. Sebuah tangan kasar mendorongnya dengan keras, sehingga laki-laki tua itu jatuh tersungkur ke lantai. Pelahan-lahan Eyang Puger mengangkat kepalanya, dan matanya langsung membeliak lebar begitu melihat seorang laki-laki muda berwajah tegang dengan garis-garis kekerasan, berdiri tegak berkacak pinggang di depannya. Di belakangnya terlihat sebuah singgasana yang indah.

Ada empat orang di sebelah kiri pemuda berbaju indah dari bahan sutra halus berwarna hijau muda itu. Di sebelah kanannya juga terdapat empat orang. lalu dibelakangnya, di samping singgasana duduk seorang berpakaian hitam dengan wajah tertutup cadar hitam yang tipis. Juga ada seorang wanita berwajah cantik mengenakan baju gemeriapan yang ketat sehingga membentuk tubuhnya yang indah. Di punggungnya tersandang sebilah pedang yang gagangnya dihiasi batu mutiara. Yang membuat Eyang Puger terbeliak, justru laki-laki muda berwajah keras itu.

"Balaga...," desis Eyang Puger, agak tertahan suaranya.

"Selamat datang di istanaku, Ayah," ucap laki-laki yang dikenali Eyang Puger bernama Balaga itu.

"Phuih! Tidak pantas kau menyebut ayah padaku, Balaga!" dengus Eyang Puger ketus.

"Bagaimanapun juga kau adalah mertuaku."

"Siapa sudi punya menantu sepertimu? Cucuku bunuh diri gara-gara kau, Manusia iblis!"

"Ah, sayang sekali. Seharusnya dia bisa menunggu. Tapi sudahlah, itu memang kemauannya."

"Iblis kau, Balaga! Kubunuh kau...!" geram Eyang Puger memuncak amarahnya.

Tapi belum juga laki-laki tua itu bergerak, sebilah golok sudah menempel di lehernya. Laki-laki yang membawanya dari dalam penjara bawah tanah menatapnya tajam seraya menempelkan goloknya di leher laki-laki tua itu.

Golok itu menjauh setelah Balaga memberi isyarat dengan tangannya. Tapi Eyang Puger tidak bisa berbuat apa apa lagi. Dua orang bersenjata golok kini telah mengapitnya, dan menekannya agar tetap duduk di lantai

"Ketahuilah, Eyang Puger. Aku membawamu ke sini agar kau tidak terlibat dengan si pemberontak keparat itu. Dia pelarian, dan aku harus menyerahkan kepalanya pada Gusti Adipati. Tapi sayang, dia juga bermaksud buruk padaku. Terpaksa nyawanya harus melayang," ringan sekali kata-kata Balaga.

Eyang Puger hanya diam dengan geraham bergelemetuk menahan geram.

"Aku juga tidak akan segan-segan memenggal kepalamu jika kau tetap keras kepala!" kali ini terasa dingin nada suara Balaga.

"Kau pikir aku takut mendengar ancamanmu, bocah setan!" dengus Eyang Puger sinis.

"Jelas kau tidak takut mati, karena kau memang sudah bau tanah! Tapi bukan itu yang kuinginkan..."

"Bicaramu berbelit-belit, tapi hatimu tetap busuk!" ucap Eyang Puger geram.

"Ha ha ha...! Kau tidak akan berkata begitu kalau tahu siapa yang membawamu ke sini, Eyang Puger," kata Balaga seraya tertawa terbahak-bahak.

Eyang Puger menatap orang yang berbaju serba hitam dan memakai cadar hitam pula. Masih memperdengarkan suara tawanya, Balaga berbalik dan melangkah menghampiri orang yang duduk di samping singgasana itu. Ditepuk-tepuknya bahu orang itu yang ramping. Dan pelahan-lahan orang itu mengangkat cadar yang menutupi seluruh wajahnya.

"Kau...!" Eyang Puger terbeliak begitu melihat wajah orang itu.

"Ha ha ha...!"

********************

Sementara itu di tempat lain yang cukup jauh dari Kadipaten Sangkal Putung, Bayu Hanggara dan Randu Watung masih terus berjalan menuju kadipaten itu. Mereka berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Menurut Randu Watung, setelah melewati sebuah sungai yang besar, mereka akan sampai diwilayah Kadipaten Sangkal Putung.

Sekarang sungai besar yang airnya mengalir deras itu sudah terlihat Tampak sebuah rakit bersandar di tepi sungai. Di dalamnya duduk seorang tukang rakit menunggu penumpang. Bayu bergegas menuju rakit itu, karena dilihatnya di seberang sungai sana juga ada beberapa orang hendak menyeberang.

"Tukang rakit, tunggu...!" teriak Bayu saat melihat tukang rakit itu hendak menuju ke seberang.

Tukang rakit itu menoleh, dan menunggu. Bayu bergegas melompat naik diikuti Randu Watung. Rakit dari bambu itu bergerak pelahan menuju ke seberang sungai. Bayu berdiri paling ujung di depan. Pandangannya lurus tidak berkedip ke depan. Di belakangnya berdiri Randu Watung. Wajah pemuda itu kelihatan gelisah. Seberang sungai sana adalah wilayah Kadipaten Sangkal Putung. Itu berarti dia harus siap menyabung nyawa di tanah kelahirannya sendiri.

Tidak berapa lama kemudian, rakit itu pun merapat ke tepi, Bayu bergegas melompat diikuti Randu Watung. Pendekar Pulau Neraka itu melemparkan sekeping uang perak yang langsung ditangkap tukang rakit dengan tangkas. Kedua bola matanya membeliak lebar begitu melihat uang di dalam genggamannya. Hampir tidak dipercayainya dengan apa yang dilihatnya ini. Sungguh besar sekali pembayaran yang diterimanya. Bisa dua bulan penuh tidak akan habis uang ini meskipun dia tidak lagi mengayuh rakit menyeberangkan orang di sungai ini. Sementara orang-orang yang menunggu akan menyeberang, sudah naik ke rakit itu.

"Yihuiii...!" si tukang rakit berteriak gembira seraya berjingkrakan bagai anak kecil.

Tidak dipedulikannya lagi orang-orang yang akan menyeberang. Dengan cepat dia melompat dari rakitnya dan berlari kencang. Tinggal orang-orang yang sudah menunggu terbengong-bengong keheranan. Tukang rakit itu berlari-lari berjingkrakan sambil berteriak teriak gembira.

"Kenapa dia?"

"Sudah gila, barangkali."

"Terus, rakit ini...?"

Enam orang di atas rakit saling berpandangan.

"Hei...! Tukang rakit...!" teriak salah seorang memanggil.

"Buat kalian saja rakitnya...!" teriak si tukang rakit keras. "Aku tidak jadi tukang rakit lagi! Aku sudah kaya...! Ha ha ha...!"

"Beleguk!"

"Dasar edan...!"

Orang-orang yang sudah berada di atas rakit mengumpat kesal melihat tingkah orang yang selalu berada di sungai menjual jasa itu. Sebentar mereka saling berpandangan, lalu salah seorang mengambil kayuh, dan mulai mengayuh rakit itu ke seberang. Tidak ada lagi yang mempedulikan si tukang rakit yang dianggap sudah gila itu.

Sementara Pendekar Pulau Neraka dan Randu Watung sudah demikian jauh meninggalkan sungai. Mereka terus berjalan cepat melintasi hutan kecil yang menjadi pembatas kota kadipaten dengan perbatasan sungai besar itu. Bayu menghentikan langkahnya sekitar beberapa tombak lagi jaraknya memasuki pintu gerbang kota kadipaten. Randu Watung juga ikut berhenti melangkah. Mereka memandang pintu gerbang perbatasan yang dijaga dua orang prajurit kadipaten.

"Kau ragu-ragu, Randu?" Bayu menoleh menatap Randu Warung.

"Aku merasa ada yang aneh, Bayu. Tidak biasanya gerbang Utara ini dijaga," kata Randu Watung setengah bergumam.

Bayu kembali mengalihkan pandangannya. Saat itu seorang penjaga sudah berjalan menghampiri., Tombak panjang tergenggam erat di tangan kanannya. Dia berhenti setelah jaraknya tinggal beberapa langkah lagi Dan begitu melihat Randu Watung, langsung membungkuk memberi hormat.

"Raden...," ucap penjaga itu, agak tersendat suaranya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti takut ada orang lain yang melihatnya.

"Kenapa Raden kembali?"

"Siapa yang menugaskanmu di sini?" Randu Watung malah balik bertanya.

"Gusti Mata Iblis, perintah langsung dari si Caping Maut," sahut prajurit penjaga itu.

"Bukan Gusti Adipati?"

"Gusti Adipati sudah tiada, Raden. Sekarang ini istana kadipaten dalam keadaan kosong. Kami semua mengharapkan Raden, tapi tidak bisa berharap terlalu banyak. Bahkan seharusnya Raden tidak kembali pada saat seperti ini. Terlalu berbahaya, Raden...."

Randu Watung menatap Pendekar Pulau Neraka yang hanya diam saja dengan kening agak berkerut. Randu Watung bisa mengetahui kalau Bayu minta penjelasan tentang sikap prajurit penjaga itu. Tapi sekarang ini tidak ada waktu untuk menjelaskan.

"Prajurit kau harus melupakan pertemuan ini. Jangan katakan pada siapa pun kalau aku sudah kembali. Percayalah, Kadipaten Sangkal Putung. Sebentar lagi akan kembali seperti semula," pesan Randu Watung.

"Baik, Raden," sahut prajurit itu seraya membungkuk hormat.

"Kembalilah ke tempatmu, katakan pada temanmu itu. Jaga rahasia ini."

"Hamba laksanakan, Raden."

Saat prajurit itu berbalik, Randu Watung mencolek tangan Bayu. Dan secepat kilat mereka melompat melewati kepala prajurit penjaga itu, langsung menerobos pintu gerbang memasuki kota kadipaten. Begitu cepatnya mereka bergerak, sehingga dua orang prajurit itu hanya bisa bengong terlolong dengan mulut terbuka lebar.

Bayu dan Randu Watung terus berlari cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh. Kalau mau, sebenarnya Pendekar Pulau Neraka itu bisa jauh meninggalkan Randu Watung. Tapi hal itu tidak dilakukannya karena dia tidak tahu seluk-beluk kadipaten ini. Dan sikap penjaga gerbang Utara itu masih menjadi bahan pemikirannya. Tidak mungkin penjaga itu membungkuk hormat kalau Randu Watung bukan seorang putra yang disegani. Terlebih lagi penjaga itu menyebutnya Raden.

"Randu, sebaiknya jangan sekarang. Tunggu sampai malam," kata Bayu seraya menghentikan langkah kakinya.

Randu Watung menghentikan langkahnya. Sebentar ditatapnya Pendekar Pulau Neraka itu. Kemudian ditolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, lalu mengajak Bayu pergi, mencari tempat yang aman. Kedua pemuda itu melangkah cepat menembus pepohonan yang sangat rapat

********************

Malam sudah merambat jatuh ke dalam pelukan bumi. Seluruh permukaan Bukit Kedaung terselimut kegelapan. Tapi di salah satu tempat tampak terang oleh cahaya obor dan pelita. Tempat yang sangat indah dengan bangunan megah bagai sebuah istana kecil di puncak bukit.

Pintu gerbang benteng yang tinggi dan kokoh, terkuak memperdengarkan suara berderit dari engsel berkarat Terlihat seorang laki-laki tua berjubah putih kumal berjalan tertatih-tatih keluar dari gerbang benteng istana itu. Pintu yang terbuat dari kayu jati tebal, kembali tertutup. Orang tua berambut putih semua itu berhenti sebentar. Dipalingkan wajahnya memandang bangunan yang megah di belakangnya. Kemudian pelahan-lahan kakinya kembari terseret melangkah pergi. Tongkat kayu tanpa bentuk membantu langkahnya yang terseret lesu.

Tanpa disadari, dua pasang mata mengamati sejak laki-laki tua itu keluar dari pintu gerbang benteng bangunan megah itu. Dua pasang mata itu terus mengikuti sampai jauh meninggalkan bangunan tersebut Dan tiba-tiba mereka muncul di depan, sehingga membuat laki-laki tua itu terkejut setengah mati.

"Eyang, ini aku..., Bayu."

"Oh...," laki-laki tua yang ternyata Eyang Puger mendesah panjang.

Orang yang mengamati sejak tadi ternyata memang Bayu dan Randu Watung. Keduanya langsung mendekati dan menuntun Eyang Puger menjauhi tempat yang terbuka itu. Mereka berhenti di depan sebuah mulut goa yang tidak begitu besar. Kemudian masuk ke dalam goa itu dengan tubuh agak membungkuk. Randu Watung menyalakan pelita dari buah jarak. Keadaan goa yang tadinya gelap gulita, seketika jadi terang.

"Eyang tidak apa-apa?" tanya Bayu sambil membawa orang tua itu duduk di atas jerami kering.

"Tidak," sahut Eyang Puger seraya menarik napas panjang.

Randu Warung duduk bersila di depan laki-laki tua kurus itu. Sedangkan Bayu duduk di dekat mulut goa. Sesekali matanya memandang ke luar, mengamati keadaan di luar sana. Nyala lampu pelita yang kecil, cukup menerangi goa meskipun samar-samar. Bayu memperhatikan wajah Eyang Puger yang murung dengan pandangan mata kosong menekun lantai goa.

"Mereka menyakitimu, Eyang?" tegur Bayu.

Eyang Puger hanya menggeleng lemah. Pandangannya sayu mengarah pada Pendekar Pulau Neraka yang duduk dekat mulut goa.

"Randu, kau bisa menjaga di luar?"

Randu Watung menoleh sebentar pada Bayu kemudian bangkit berdiri. Dia tahu kalau ada sesuatu yang tidak boleh diketahuinya. Pemuda itu melangkah ke luar goa. Bayu menggeser duduknya mendekati Eyang Puger. Dia merasa ada sesuatu yang hendak diungkapkan laki-laki tua itu, tapi begitu berat untuk mengucapkannya.

"Eyang, aku tahu ada yang ingin kau katakan," kata Bayu selembut mungkin.

"Sulit, Bayu. Sepertinya aku sudah mati...," keluh Eyang Puger sendu.

"Ada apa sebenarnya, Eyang? Apa yang mereka lakukan padamu?" tanya Bayu mendesak.

Eyang Puger terdiam seraya menundukkan kepalanya menekun lantai goa yang lembab. Jelas sekali kalau ada sesuatu yang terasa berat untuk diucapkan. Hal ini membuat Bayu semakin penasaran. Pendekar Pulau Neraka itu menggeser duduknya semakin mendekat. Sementara cahaya pelita bertambah suram nyalanya.

"Eyang...," lembut suara Bayu. Digenggamnya jari-jari tangan orang tua itu yang kurus kering.

"Bayu, waktu kau menemukan mayat Wurati, apa kau yakin dia itu...," suara Eyang Puger terputus. Kepalanya menggeleng-geleng beberapa kali, sepertinya tidak sanggup untuk berkata-kata lagi.

"Eyang, apa maksudmu berkata begitu? Aku menemukan Wurati saat dia mau terjun ke jurang. Aku berusaha mencegahnya, tapi dia tetap nekad melompat ke jurang. Kepalanya pecah, wajahnya hancur. Sukar untuk dikenali lagi. Tapi aku yakin kalau dia Wurati, cucumu Eyang. Aku sempat bicara padanya," kata Bayu meyakinkan.

"Kau tidak mengatakan itu padaku, Bayu," nada suara Eyang Puger agak menyesali.

"Maaf, Eyang. Saat itu kau terpukul sekali. Aku tidak sanggup mengatakannya," ujar Bayu.

Eyang Puger menarik napas panjang. Ditatapnya dalam-dalam wajah Pendekar Pulau Neraka. Kemudian digenggamnya erat erat tangan pemuda itu, seolah-olah hendak mencari kekuatan pada diri Bayu.

"Bayu, kau tahu bahwa Wurati sebenarnya bukan cucuku asli. Dia datang padaku dalam keadaan yang mengenaskan sekali. Aku menerimanya, mengasihi dan menganggapnya sebagai cucuku sendiri. Dia begitu baik, penurut, dan rajin. Aku mencintainya, Bayu. Tapi...," kembali suara laki-laki tua itu terputus. Ada sedikit isakan di sela kata-katanya.

"Tapi kenapa, Eyang?"

"Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi, Bayu. Aku...."

Belum habis Eyang Puger berkata, tiba-tiba muncul Randu Watung dengan tergopoh-gopoh. Bayu langsung menggelinjang bangkit dan menghampiri Randu Watung.

"Celaka! Mereka menuju ke sini...!" kata Randu Watung sebelum ada yang bertanya.

"Mereka siapa?" Tanya Bayu.

"Orang-orang si Mata Iblis."

Jagat Dewa Batara" keluh Eyang Puger lirih.

ENAM

Bayu tidak sempat lagi bersuara, karena di depan goa sudah terdengar teriakan keras menggelegar menyuruh Randu Watung dan Eyang Puger ke luar. Kedua orang yang disebut namanya itu saling berpandangan. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka sudah merapat di bibir goa. Diperhatikannya sekeliling mulut goa. Agak terkejut juga begitu dilihatnya goa ini sudah dikepung puluhan orang bersenjata terhunus.

"Aku tahu kau di dalam Randu. Keluarlah, sebelum goa itu hancur!" teriakan keras dari luar goa terdengar lagi.

"Bagaimana, Bayu?" tanya Randu Watung.

"Kau tetap di sini, jaga Eyang Puger," kata Bayu tenang.

"Kau sendiri?"

"Aku akan ke luar. Mudah-mudahan mereka bisa pergi tanpa kekerasan," sahut Bayu tetap tenang.

"Jangan, Bayu. Berbahaya. Jumlah mereka terlalu banyak. Mereka orang-orang kejam," cegah Randu Watung.

"Jaga saja Eyang Puger. Keselamatannya ada ditanganmu,"

Bayu tidak menghiraukan cegahan itu. Belum sempat Randu Watung berkata, Pendekar Pulau Neraka itu sudah melompat cepat ke luar. Randu Watung bergegas berlari mendekati mulut goa. Dari balik batu, dia mengintip ke luar. Tampak Bayu berdiri tegak seraya melipat tangan di depan dada. Tidak jauh di depannya berdiri seorang laki-laki muda berbaju indah. Namun garis garis kekerasan terlihat jelas di wajahnya. Di sekeliling Pendekar Pulau Neraka itu sudah mengepung puluhan orang bersenjata golok terhunus. Mereka semua mengenakan ikat kepala berwarna merah dengan bulatan hitam pada keningnya.

"Balaga...," desis Bayu tertahan begitu mengenali laki-laki di depannya.

Bayu mengenali orang itu, karena memang laki-laki itulah yang dicarinya. Orang itu harus dibunuhnya untuk membalas budi pada Eyang Puger yang telah menolongnya dari luka-luka yang dideritanya ketika bertarung. Dan Balaga adalah cucu menantu, seorang kepala perampok berhati kejam.

Dengan memperalat istrinya, dia berhasil mencuri kitab berharga milik Eyang Puger. Kitab yang berisi ramu-ramuan obat-obatan dan segala jenis racun. Serta ilmu-ilmu pukulan beracun yang sangat dahsyat dan mematikan. Balaga menikahi Wurati, memang punya maksud tertentu untuk menguasai kitab itu. Untung saja minuman untuk Eyang Puger yang diberi bubuk racun, tidak mematikan laki-laki tua itu, hanya membuat tubuhnya habis seperti tinggal tulang saja.

Kalau saja Eyang Puger tidak memiliki pengetahuan tentang racun mungkin sekarang sudah tidak ada lagi. Dan Wurati sendiri setelah menyadari kesalahannya mengambil keputusan yang nekad. Bunuh diri dengan menceburkan dirinya ke dalam jurang berbatu cadas. Semua itu diketahui Bayu, bahkan saat Wurati bunuh diri pun Pendekar Pulau Neraka itu melihatnya. Bahkan berusaha mencegahnya.

"Sudah kuduga, kau pasti bersama monyet-monyet busuk itu, Bayu," dingin nada suara Balaga.

"Aku memang sengaja mencarimu, Balaga," ujar Bayu tidak kalah dinginnya.

"Ha ha ha...! Dulu kau boleh menang, Bayu. Tapi sekarang.... Kepandaianmu tidak ada artinya bagiku!" kata Balaga jumawa.

"Hm..., tidak kusangka kau bisa cepat menguasai isi kitab itu," sahut Bayu sinis.

"Ha ha ha...!" Balaga tertawa congkak.

"Kau harus mengembalikan kitab itu, Balaga!" dengus Bayu dingin.

"Sudah kubakar!" sahut Balaga lantang.

"Keparat! Manusia macam kau tidak patut lagi hidup lebih lama!" ujar Bayu tidak bisa lagi menahan amarahnya. Tapi tetap berusaha untuk tidak terpancing, meskipun darahnya sudah mendidih sampai ke kepala.

"Kau lihat, Bayu. Orang-orangku yang akan mencincangmu!"

Setelah berkata begitu, Balaga langsung menjentikkan jarinya. Dan seketika itu juga orang-orang bersenjata golok terhunus berlompatan menerjang Pendekar Pulau Neraka. Namun Bayu yang sudah siap sejak tadi, tidak bisa menahan diri. Langsung digunakannya jurus 'Kelelawar Maut'. Satu jurus yang dahsyat

"Hiya! Hiya...!"

Pendekar Pulau Neraka berlompatan cepat bagai kilat Tangannya berkelebatan menghajar setiap penyerang yang mencoba mendekatinya. Sungguh luar biasa pukulan Pendekar Pulau Neraka itu. Kepala dan dada hancur terkena pukulan mautnya! Belum lagi jari-jari tangannya yang setajam mata pisau, mampu mengoyak tubuh manusia hingga berkelojotan meregang nyawa.

Setiap pukulan, sabetan tangan Pendekar Pulau Neraka dari jurus 'Kelelawar Maut' mengandung racun yang langsung mematikan. Jurus-jurus pukulan Bayu memang sudah lebih disempurnakan lagi dalam pengembaraannya, sehingga terasa dahsyat akibatnya. Tidak ada seorang pun yang mampu bangkit lagi jika terkena pukulannya.

Dalam waktu tidak berapa lama saja, terlihat sudah lebih dari dua puluh orang menggeletak tidak bernyawa lagi. Dan mereka yang masih hidup, jadi gentar. Serangan-serangannya kacau, tidak beraturan lagi. Dan ini membuat Bayu semakin ganas.

Melihat orang-orangnya banyak yang tewas, Balaga jadi geram setengah mati. "Mundur...!" teriak Balaga keras.

Seketika itu juga orang-orangnya berlompatan mundur. Jumlah mereka yang semula ada sekitar tujuh puluh orang, kini tinggal sekitar empat puluh orang lagi. Mayat mayat bergelimpangan bersimbah darah. Sedangkan Bayu berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada.

"Hup...!" Balaga melompat cepat, dan mendarat di depan Pendekar Pulau Neraka sekitar satu batang tombak jauhnya. Dia menyepak salah satu tubuh di dekat kakinya, sehingga tubuh tak bernyawa lagi itu menggelinding menjauh.

"Kau harus mati malam ini, Bayu. Dulu kau hampir menggagalkan aku menguasai kitab itu. Dan sekarang kau juga akan menggagalkan aku menguasai Kadipaten Sangkal Putung. Phuih! Kau bermimpi bisa menghalangiku, Bayu!" kata Balaga dingin.

"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil saja. Namun tatapan matanya begitu tajam menusuk.

"Bersiaplah untuk mati, Pendekar Pulau Neraka! Hiyaaa...!" Bagaikan kilat Balaga melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Jari-jari tangannya mengembang kaku, siap menerkam tubuh Bayu.

Namun pemuda berbaju kulit harimau itu sudah siap sejak tadi. Bergegas dimiringkan tubuhnya ke kanan seraya menekuk lutut sedikit. Serangan Balaga luput dari sasaran. Namun dia kembali menyerang lebih cepat dan dahsyat. Bayu terpaksa berlompatan menghindari serangan-serangan itu. Dan memang sepertinya Balaga tidak memberi kesempatan pada Pendekar Pulau Neraka itu untuk balas menyerang. Mengambil napas saja tidak diberi kesempatan lagi. Namun sampai beberapa jurus berganti, belum juga Balaga mendesak. Bahkan sepertinya Bayu sengaja mempermainkan dengan lompatan menghindar dan berkelit saja tanpa balas menyerang.

"Setan keparat! Kau mau mempermainkan aku, heh...!" dengus Balaga menyadari kalau Bayu tidak pernah balas menyerang sekali pun.

"Ada orang yang lebih berhak menghukummu, Balaga," kata Bayu tenang seraya menghindari satu pukulan cepat menggeledek.

"Huh, sombong! Mampus kau! Hiyaaat...!"

Balaga semakin memperhebat serangan-serangannya. Dan Bayu memang mengakui kalau Balaga mengalami kemajuan yang pesat sekali. Angin pukulannya mengandung racun yang dahsyat dan keras luar biasa. Bayu terpaksa harus menahan napas, dan memindahkannya melalui pernapasan pusar. Dia tidak ingin menghirup udara yang sudah tersebar racun dari serangan-serangan Balaga.

"Ha ha ha...!" Balaga tertawa terbahak-bahak begitu melihat Bayu mulai limbung menghindari serangan dahsyatnya.

"Sebentar lagi kau akan mampus, Pendekar Pulau Neraka!"

"Hm..., bicaralah sepuasmu, Balaga!" dengus Bayu dalam hati.

Pendekar Pulau Neraka itu tidak berani membuka suara. Sekali saja bersuara, maka udara penuh racun di sekitar pertarungan akan terhisap ke dalam tubuhnya. Dan ini bisa membahayakan dirinya. Bayu memang sengaja menggunakan jurus 'Dewa Mabok'. Satu jurus yang sungguh aneh gerakan-gerakannya. Tubuhnya seperti sudah tidak berdaya lagi. Dan beberapa kali hampir jatuh tersuruk, tapi semua itu memang merupakan jurusnya yang ganjil dan baru sekali ini dikeluarkan dalam pengembaraannya mengarungi rimba persilatan.

Wajah Balaga yang semula gembira, jadi berkerut karena dia tidak bisa memasukkan salah satu pukulannya. Meskipun kelihatannya Bayu sudah limbung, namun masih sukar baginya menjatuhkan Pendekar Pulau Neraka itu. Bahkan beberapa kali Bayu mulai membalas serangan-serangan Balaga. Dan setiap serangan balasan itu terlontar, Balaga jadi jumpalitan menghindarinya.

"Kadal...!" dengus Balaga menggeram.

Pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka melawan Balaga masih berlangsung sengit. Sudah beberapa kali Bayu memberikan serangan balasan. Dan entah berapa kali pukulannya berhasil disarangkan di tubuh lawannya. Tapi pukulan itu tidak disertai pengerahan tenaga dalam secara penuh, sehingga tidak membuat Balaga terluka parah.

Selagi bertarung, Pendekar Pulau Neraka itu sempat melirik ke arah goa. Tampak Eyang Puger dan Randu Watung berdiri di depan mulut goa. Mereka menyaksikan pertarungan itu dengan serius. Sedangkan orang-orang dari Partai Mata Iblis berada cukup jauh. Tidak ada seorang pun yang berani mendekat, karena mereka tahu kalau Balaga mempergunakan jurus-jurus yang mengandung racun. Dan sudah jelas udara disekitar pertarungan itu sudah tersebar racun yang sangat mematikan.

"Eyang, tampaknya Bayu tidak bersungguh-sungguh," kata Randu Watung setengah berbisik

"Hm.... Aku tidak tahu, apa maksudnya," gumam Eyang Puger.

"Mungkin dia ingin menyerahkan Balaga hidup-hidup padamu, Eyang."

Eyang Puger menatap pemuda di sampingnya.

"Sedikit aku mengetahui tentang dirimu dan persoalanmu pada Balaga. Itulah sebabnya mengapa aku mengajak Bayu ke sini, karena aku tahu kalau Balaga adalah wakil utama dari Ketua Partai Mata Iblis," kata Randu Watung bisa menangkap arti pandangan laki-laki tua ahli pengobatan dan racun itu.

"Dari mana kau tahu?" tanya Eyang Puger.

"Secara tidak sengaja pernah kudengar pembicaraanmu dengan Bayu. Maaf, bukannya aku mau menguping. Aku tidak sengaja mendengarnya," sahut Randu Watung.

Eyang Puger memalingkan wajahnya kembali, melihat pertarungan antara Bayu dan Balaga. Dan Randu Watung juga sudah serius lagi memperhatikan pertarungan itu. Tampak kalau kini keadaan telah berubah jauh. Kali ini Balaga terpaksa jatuh bangun berusaha menghindari serangan-serangan Pendekar Pulau Neraka itu. Beberapa kali pukulan dan tendangan Bayu masuk telak di tubuhnya. Tapi semua itu tidak mengandung tenaga dalam penuh, sehingga Balaga masih bisa bertahan, meskipun darah sudah mengucur dari mulut dan hidungnya.

"Eyang! Beri dia hukuman yang pantas...!" teriak Bayu tiba-tiba.

Dan belum lagi hilang suara teriakan itu, tiba-tiba saja Bayu bergerak cepat memutari tubuh Balaga, dan tahu-tahu satu tendangan keras menghantam tubuh orang itu, hingga terjungkal jatuh, ambruk mencium tanah tepat di depan kaki Eyang Puger. Balaga berusaha bangkit berdiri, tapi Randu Watung sudah cepat mencabut pedangnya. Ujung pedang itu langsung ditekankan pada leher Balaga. Tentu saja hal ini membuat Balaga tidak bisa berkutik lagi. Dia hanya dapat memandang Eyang Puger dengan mata berapi-api.

Melihat pemimpinnya tidak berdaya lagi di bawah ujung pedang, orang-orang Partai Mata Iblis langsung berlarian meninggalkan tempat itu. Dan Bayu memang enggan mengejar. Kemudian dilangkahkan kakinya menghampiri Eyang Puger yang masih memandangi Balaga yang terlentang dengan ujung pedang berada di tenggokannya.

"Orang seperti dia tidak pantas dibiarkan hidup, Eyang," kata Randu Watung dingin.

"Balaga, aku akan memaafkanmu kalau kau mau berkata terus terang," kata Eyang Puger tidak menghiraukan kata-kata Randu Watung.

"Huh!" Balaga mendengus.

"Siapa orang yang mirip Wurati itu?" tanya Eyang Puger.

"Kau bisa tanya sendiri padanya, tua bangka!"' jawab Balaga ketus.

"Aku tidak main-main, Balaga. Kau boleh pergi dengan jaminanku kalau kau berkata jujur," kata Eyang Puger, agak tertahan nada suaranya.

"Kau pikir aku bodoh? Begitu aku bilang, pedang ini pun akan langsung memanggang leherku!

"Randu...," Eyang Puger menatap Randu Watung.

Dengan perasaan terpaksa, Randu Watung menyingkirkan pedangnya, dan memasukkan kembali ke dalam sarungnya. Balaga bergegas bangkit berdiri. Ditatapnya Randu Watung dan Bayu dengan pandangan yang tajam menusuk. Sinar matanya memancarkan kebencian dan dendam yang membara. Kemudian ditatapnya Eyang Puger. Pelahan kakinya bergerak mundur tiga langkah.

"Siapa, Balaga?" desak Eyang Puger mengulangi pertanyaan yang belum terjawab. Nada suaranya begitu berharap sekali.

"Dia itu Wurati yang asli! Aku sengaja menyusupkannya ke dalam kehidupanmu," kata Balaga datar.

"Lalu, siapa wanita yang bunuh diri itu?" tanya Eyang Puger, semakin tertahan suaranya.

"Perempuan bodoh yang kubuat gila dan kurubah wajahnya agar mirip Wurati. Ha ha ha...!"

"Kau bohong, Balaga!" geram Eyang Puger.

"Aku tahu kau tidak memiliki kepandaian merubah wajah seseorang. Siapa orang yang kau bunuh itu?"

"Tanyakan saja pada Wurati!" sahut Balaga seraya melompat. Dan secepat kilat tangannya mengibas ke arah Eyang Puger. Seleret cahaya hijau meluncur deras dari tangan itu.

Eyang Puger terkesiap. Namun belum sempat cahaya hijau dari sebilah pisau kecil itu bisa menyambar tubuh Eyang Puger, Bayu sudah bertindak cepat.

"Hiyaaa...!"

Wut!

Begitu tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu mengibas, Cakra Maut berwarna keperakan pun melesat cepat, dan menghantam pisau hijau yang dilepaskan Balaga. Bayu menghentakkan tangannya kembali begitu cakra berwarna perak itu kembali melesat cepat ke udara, dan langsung menancap dalam di dada Balaga yang masih berada di udara.

"Aaakh...!" Balaga menjerit melengking. Tubuhnya langsung meluruk deras jatuh ke tanah.

Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala, dan Cakra Maut melesat keluar dari tubuh Balaga, langsung menempel kembali di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu. Sesaat Balaga menggelepar dengan dada mengucurkan darah segar. Kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Kejadian yang begitu cepat, dan sukar diikuti pandangan mata biasa.

"Tamat sudah riwayatmu, Balaga...," desah Bayu pelahan. Bayu menatap Eyang Puger yang hanya diam mematung dengan pandangan kosong. Pendekar Pulau Neraka itu menghampiri dan mengambil tangannya, lalu digenggamnya erat-erat. Eyang Puger menatap Pendekar Pulau Neraka itu dalam-dalam.

"Bayu, aku mohon padamu. Cari tahu, apakah Wurati masih hidup atau memang sudah mati. Aku melihatnya di istana di Bukit Kedaung," kata Eyang Puger lirih. Setelah berkata begitu, Eyang Puger melangkahi pergi tertatih-tatih.

Sebentar Bayu memandangi, kemudian berjalan cepat mengejar Randu Watung mengikuti dari belakang. "Eyang mau ke mana?" tanya Bayu.

"Pulang. Tidak ada gunanya aku berada di sini. Bayu, kuharap kau mau membunuhnya kalau memang Wurati bermaksud buruk padaku, dan berkomplot dengan Balaga. Tapi kalau dia seorang yang baik, suruh dia kembali padaku," kata Eyang Puger tanpa menghentikan ayunan kakinya.

"Kita harus secepatnya ke sana, Bayu. Bangunan itu tempat peristirahatan...," Randu Watung menghentikan kalimatnya.

"Kau harus berterus terang pada Bayu, Randu. Katakan dirimu yang sebenarnya, dan tujuanmu berada di Kadipaten Sangkal Putung ini. Kuharap kau bisa menyelesaikan tugasmu dengan baik," ujar Eyang Puger.

"Sampaikan salam maafku pada ayahmu karena aku tidak menyambut dan mengenalimu dengan baik."

"Ada apa lagi ini...?!" sentak Bayu semakin kebingungan tidak mengerti. Dipandanginya Randu Watung dan Eyang Puger bergantian.

"Kau bisa menjelaskannya, Randu. Aku pergi dulu. Kuharap kalian berdua bisa memberantas mereka," kata Eyang Puger.

"Eyang...!" sentak Bayu.

Tapi Eyang Puger sudah lebih cepat melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Bayu menatap Randu Watung yang hanya diam saja dengan wajah yang sukar diartikan.

"Kau masih juga mendustaiku, Randu...?!" dingin nada suara Bayu.

"Maaf, Bayu. Aku terpaksa. Semua ini kulakukan demi tugasku yang teramat berat," kata Randu Watung meminta pengertian Pendekar Pulau Neraka itu.

"Siapa kau sebenarnya?" desak Bayu, tetap dingin nada suaranya.

"Aku sebenarnya Putra Mahkota Kerajaan Mandureja. Kadipaten Sangkal Putung termasuk wilayah Kerajaan Mandureja. Ayahanda Prabu menugaskanku untuk menghentikan pemberontakan orang-orang dari Partai Mata Iblis yang ingin menguasai Kadipaten Sangkal Putung ini. Bahkan mungkin akan menyebar ke kadipaten-kadipaten lainnya," ungkap Randu Watung mulai berterus terang.

"Bisa kupercaya ceritamu itu, Randu Watung?" Bayu masih sukar mempercayainya. Meskipun dia teringat dengan penjaga perbatasan yang begitu hormat dan memanggil Raden pada Randu Watung.

"Kali ini aku berkata terus terang, Bayu," Randu Watung meyakinkan.

"Dua kali kau berkata begitu padaku. Dan ini yang ketiga kalinya. Kalau kau tetap berdusta juga, aku tidak segan-segan memenggal kepalamu!" ancam Bayu tidak main-main.

"Kau boleh memenggal kepalaku, bahkan mencincang seluruh tubuhku, Bayu. Aku akan membawamu ke istana kalau persoalan ini sudah selesai. Akan kuceritakan jasamu, dan meminta Ayahanda Prabu agar kau menjadi saudara tuaku," nada suara Randu Watung terdengar serius kali ini.

"Aku tidak mengharapkan semua itu. Aku cukup puas jika kau tidak membiasakan diri mendustai orang!" tegas kata-kata Bayu.

"Bagaimanapun juga kau telah berjasa banyak, dan aku tidak akan melupakan jasa-jasamu."

Bayu terdiam. Kembali dilangkahkan kakinya perlahan-lahan. Meskipun nada suara Randu Watung terdengar serius, tapi Pendekar Pulau Neraka itu belum bisa percaya penuh. Sudah dua kali Randu Warung bercerita bohong padanya. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk tidak bisa langsung percaya lagi. Tapi Bayu masih tetap membiarkan pemuda berbaju biru itu mengikutinya, karena mereka punya tujuan yang sama, meskipun dengan maksud yang berbeda. Bayu belum bisa meninggalkan tempat ini, sebelum pesan Eyang Puger terlaksana seluruhnya. Dia harus mencari tahu apakah Wurati masih hidup, atau sudah mati.

"Kau marah padaku, Bayu?" tegur Randu Watung merasa tidak enak, karena Bayu diam saja.

"Tergantung dari sikap dan pembicaraanmu," sahut Bayu datar.

"Aku minta maaf," ucap Randu Warung.

"Maafmu bisa kau ucapkan nanti."

"Aku senang kalau kau mau memaafkanku."

"Sudahlah, sebaiknya kita cepat ke Bukit Kedaung," ujar Bayu enggan bicara lagi.

"Sebaiknya jangan sekarang."

"Kenapa?"

"Mereka pasti melipatgandakan penjagaan. Ayolah, kau ikuti saja kata-kataku. Kita tunggu saja laporan telik sandiku Setelah yakin, baru kita gempur mereka," kata Randu Watung.

"Hm .., mungkin kau benar. Tapi itu bukan berarti aku mulai percaya padamu."

Randu Warung tersenyum lebar. Hatinya kembali senang karena Bayu mau mengikuti kata-katanya, meskipun di hati Pendekar Pulau Neraka itu masih tersimpan ketidakpercayaan. Tapi kesediaan Bayu mengikutinya sudah cukup baginya.

********************

TUJUH

Rumah yang ditempati mereka tidak begitu besar. Tapi Bayu mendapatkan sebuah kamar yang cukup indah, bagai kamar seorang pembesar kerajaan. Bayu jadi berpikir juga, karena dirumah ini selalu saja ada orang-orang yang datang secara sembunyi-sembunyi. Dan di bagian depan terdapat kedai minum yang selalu sepi dari pengunjung. Bahkan Bayu bisa melihat kalau laki-laki tua yang katanya pemilik kedai dan rumah penginapan ini sikapnya begitu kaku melayani pengunjung. Bahkan buku-buku tangannya nampak halus, seperti tidak pernah bekerja berat. Juga pelayan-pelayan lainnya sangat canggung membawa baki.

Bayu menggeliat bangun dari pembaringannya. Dia tersentak kaget, dan langsung menggelinjang bangun begitu melihat Randu Watung sudah duduk di kursi dekat jendela kamar ini. Sedangkan pintu masih tertutup rapat. Randu Watung tersenyum. Pakaiannya sangat indah berhiaskan sulaman dari benang emas. Pemuda itu sangat tampan, persis seorang putra mahkota. Bayu duduk di tepi pembaringan. Disambarnya cawan berisi arak manis, dan langsung menenggaknya hingga tandas.

"Tidurmu nyenyak sekali," ucap Randu Watung tidak terlepas dari senyumannya.

"Ya, sampai kesiangan bangun," sahut Bayu.

"Kau tidur terlalu larut, bahkan menjelang pagi."

Bayu tersentak kaget. Ditatapnya lekat-lekat wajah Randu Watung yang masih juga tersenyum. Pemuda yang bajunya dari sutra berwarna biru itu memain-mainkan cawan perak di tangannya. Sudah tiga hari ini, Randu Watung selalu memakai baju dengan warna yang sama. Kalau tidak biru tua, selalu biru muda.

"Memang tidak ada perlunya aku mengetahui setiap kegiatanmu, Bayu. Tapi dengan ke luar setiap malam secara diam-diam, itu bisa membahayakan dirimu sendiri," kata Randu Watung dengan nada yang sangat lain dari biasanya. Suaranya begitu empuk dan mengandung kewibawaan yang sangat besar. Bayu sendiri hampir tidak percaya dengan pendengarannya.

Sepertinya Bayu tidak menghadapi Randu Watung yang dianggapnya sebagai pembual, pengarang cerita saja. Seolah-olah Bayu berhadapan dengan orang lain yang belum dikenalnya sama sekali. Sungguh sangat berbeda sekali, jauh dari yang selama ini dikenalnya.

"Aku berterima kasih sekali padamu, karena selama tiga hari ini telah mengurangi separuh dari jumlah mereka. Beberapa telik sandiku melaporkan bahwa jumlah anggota Partai Mata Iblis sudah berkurang lebih dari setengahnya. Dan itu berarti mengurangi kekuatan mereka, meskipun masih ada yang tangguh. Terutama pemimpinnya," lanjut Randu Warung.

"Jangan membuatku bingung, Randu Watung. Aku tidak mengerti dengan semua yang kau bicarakan," selak Bayu.

"Memang sukar menyelami jiwa seorang pendekar," kata Randu Warung kembali tersenyum lebar.

"Randu Watung, setiap malam aku memang ke luar. Aku ingin menyelidiki sendiri keadaan dan kekuatan mereka. Tapi tidak pernah bentrok dengan mereka, apalagi sampai membunuh begitu banyak anggota Partai Mata Iblis. Tidak sekali pun aku bentrok dengan mereka!" kata Bayu tegas.

"Kau terlalu merendah, Bayu."

"Aku berkata yang sebenarnya, Randu. Tidak seperti kau, yang selalu membual!" dengus Bayu sedikit kesal juga

"Hm...," gumam Randu Watung pelan.

Sedangkan Bayu hanya diam menatap tajam, langsung menusuk ke bola mata pemuda tampan di depannya.

"Kalau bukan kau yang mengurangi jumlah mereka, lalu siapa...?" Randu Watung seperti bertanya untuk dirinya sendiri.

"Belum pernah aku bermain seperti itu. Bagiku, menyerang, lalu menghilang tanpa jejak bukan sifat seorang ksatria. Aku lebih suka bertarung secara terbuka!" kata Bayu tegas.

"Kalau bukan kau, tentu ada orang lain," gumam Randu Watung pelan.

"Huh! Seharusnya aku tidak bertemu denganmu, Randu. Persoalan ini semakin bertambah rumit saja!" keluh Bayu bersungut-sungut.

"Bukan kita yang menginginkannya, tapi Dewata,"! ucap Randu Warung.

"Ah, sudahlah. Apa pun katamu, yang jelas aku tidak pernah membantai mereka. Aku sendiri heran dengan jumlah mereka yang semakin berkurang," potong Bayu cepat.

"Aku percaya padamu, Bayu. Tapi siapa pun orangnya, dia pasti punya tujuan yang sama, meskipun dengan jalan berbeda. Atau mungkin juga punya tujuan lain yang kita tidak tahu," kata Randu Watung tetap lembut nada suaranya, meskipun Bayu bernada sengit setiap kali berbicara dengannya. Dan Randu Watung bisa memakluminya. Tidak ada seorang pun yang rela dirinya didustai sampai dua kali berturut-turut.

Randu Watung bangkit berdiri, dan melangkah mendekati pintu. Dibukanya pintu itu, tapi belum juga kakinya melangkah ke luar, dia sudah berbalik lagi dengan pintu tetap terbuka lebar. Sedangkan Bayu masih tetap duduk di tepi pembaringannya.

"Kau mau makan di sini, atau di depan?" tanya Randu Warung.

"Nanti saja, aku belum lapar," sahut Bayu seraya bangkit berdiri.

"Aku tunggu kau di kedai depan, Bayu."

"Hm...."

Randu Watung melangkah ke luar, dan menutup kembali pintu kamar itu. Sementara Bayu melangkah ke jendela, dan membukanya lebar-lebar. Sebentar ditatapnya keadaan di luar, kemudian berbalik dan melangkah ke pintu. Tangannya membuka pintu, kemudian melangkah ke luar dari kamar ini. Dibiarkannya saja pintu itu tetap terbuka.

********************

Sejak matahari tenggelam, Bayu sudah berada tidak jauh dari bangunan megah dikelilingi tembok benteng yang tinggi dan kokoh, di Puncak Bukit Kedaung. Pendekar Pulau Neraka itu berada cukup terlindung dari penglihatan orang. Tatapan matanya sangat tajam, dan tidak berkedip mengamati sekitar bangunan megah itu. Seperti seekor burung, dia duduk di atas dahan yang cukup besar dengan daun-daun rimbun hampir menutupi tubuhnya.

Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu tertuju langsung ke bagian Timur gedung megah itu. Tampak sebuah bayangan berkelebatan menyelinap di antara pepohonan dan tembok batu benteng gedung itu. Cukup jauh jaraknya, sehingga Bayu tidak bisa melihat jelas. Tapi mendadak saja, Pendekar Pulau Neraka itu dikejutkan oleh sebuah suara melengking tinggi.

Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak di bagian Timur bangunan itu, terlihat beberapa tubuh berpentalan di udara. Jerit pekik menyayat terdengar saling susul. Bayu dapat melihat kalau bayangan itu bergerak cepat membantai orang-orang dari Partai Mata Iblis. Juga dilihatnya puluhan orang berlarian keluar dari dalam bangunan itu. Dan bayangan itu langsung berkelebat cepat melompati tembok benteng langsung lenyap di dalam hutan.

"Aku harus tahu, siapa dia!" gumam Bayu dalam hati. "Hup!"

Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka melesat cepat ke arah bayangan itu lenyap. Ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai taraf kesempurnaan, sehingga yang terlihat hanya bayangan kuning berkelebatan di antara pepohonan. Sementara di dalam benteng bangunan megah itu terjadi keributan besar, karena tidak kurang dari dua puluh orang tewas diserang orang yang tidak jelas tadi.

Dengan tatapan mata yang setajam mata elang, Pendekar Pulau Neraka mampu melihat di kegelapan malam. Cepat sekali dapat dilihatnya bayangan putih berkelebatan menyelinap diantara pepohonan. Bayu menggenjot tubuhnya, melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali. Lalu indah sekali kakinya menotok sebuah dahan, lalu melesat kembali dengan kecepatan yang sangat sukar diikuti pandangan mata biasa.

"Hap...!" Manis sekali Pendekar Pulau Neraka hinggap di dahan pohon setelah melewati orang yang dikejarnya. Dan dia memandangi terus, mengikuti arah larinya orang itu. Lalu....

"Berhenti...!" Sambil berteriak keras, Pendekar Pulau Neraka melompat turun, langsung di depan orang berbaju putih longgar. Bayu terkesiap begitu mengenali orang tersebut. Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka itu hanya bisa terdiam dengan mulut sedikit terbuka.

Sedangkan didepannya berdiri seorang laki-laki tua yang rambut dan janggutnya memutih semua. Jubahnya yang panjang putih, sudah kumal agak kekuningan. Tangan kanannya menggenggam sebatang tongkat yang tidak karuan bentuknya. Dia juga terkejut begitu tiba-tiba di depannya menghadang seorang pemuda berbaju kulit harimau.

"Eyang Puger...," desis Bayu setengah tidak percaya.

"Apa yang kau lakukan di sini, Bayu?" tanya Eyang Puger setelah hilang dari rasa keterkejutannya.

"Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu, Eyang. Untuk apa kau lakukan semua ini? Membantai mereka, lalu menghilang seperti musang," ujar Bayu seraya melangkah menghampiri laki-laki tua kurus kering itu.

"Aku tidak perlu menjelaskan lagi, Bayu. Kau pasti sudah tahu, kenapa aku begitu dendam pada mereka. Bagiku, dendam ini tidak akan pupus sebelum mereka musnah dari muka bumi," datar nada suara Eyang Puger.

"Aku mengerti, Eyang. Mereka memang orang-orang berhati iblis. Tapi dengan caramu seperti itu akan membuat kesulitan bagi dirimu sendiri," kata Bayu.

"Aku sudah tua, Bayu. Mati pun aku tidak menyesal kalau manusia keparat itu sudah mampus! Sampai ke neraka sekalipun aku tidak akan bisa mengampuninya. Dia telah menyakiti hatiku, Bayu. Belum pernah aku merasa terpedaya seperti kerbau begini. Aku malu, sakit hati...!" agak tertahan suara Eyang Puger.

"Eyang, apa sebenarnya yang telah terjadi padamu?" tanya Bayu tidak mengerti.

"Kau terlalu baik, Bayu. Sudah banyak aku menyusahkanmu. Rasanya tidak pantas kalau kukatakan hal ini padamu," terdengar pelan suara Eyang Puger.

"Katakan, Eyang. Mungkin akan membantu meringankan beban batinmu. Kau perlu seseorang yang bisa diajak bicara. Aku bersedia mendengar semua keluhanmu," desak Bayu.

"Bayu, kau ingat kata-kata Balaga waktu itu?"

"Ya," Bayu mengangguk.

"Apa yang dikatakannya, sebagian memang benar. Aku sengaja tidak kembali, karena aku penasaran dan ingin tahu kebenarannya. Tiga hari ini aku selalu menyelidiki mereka, mengurangi jumlah mereka agar Raden Randu Watung mudah menyelesaikan tugas beratnya. Oh.... Sungguh memalukan!" Eyang Puger menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Hm...!" kening Bayu berkerut

"Aku benar-benar malu pada diriku sendiri, Bayu. Kalau si keparat itu belum mati, tidak bakalan aku berani hidup di dunia ramai. Sungguh memalukan!"

"Begitu jauhkah?" Bayu masih kurang mengerti kata-kata Eyang Puger yang berbelit-belit menyesali dirinya.

"Kau tidak akan berkata begitu kalau sudah melihatnya sendiri, Bayu."

"Melihatnya? Melihat apa?" tanya Bayu.

"Wurati. Dia masih hidup dan sekarang ada di bangunan benteng itu."

"Apa...!?"

"Itulah yang ingin kuselidiki kebenarannya. Dan semakin jauh kuketahui, semakin sakit rasa hatiku. Kau pasti tidak akan percaya kalau Wurati benar-benar belum mati."

"Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi, Eyang?" tanya Bayu masih belum percaya. "Jelas aku melihatnya sendiri, bahkan sempat membujuknya agar tidak bunuh diri. Mustahil kalau dia masih hidup!"

"Kenyataannya begitu, Bayu. Wurati sengaja datang padaku dengan satu maksud buruk. Sebenarnya dia adalah istri Balaga. Mereka memang punya maksud untuk menguasai kitabku. Kau pasti tahu bagaimana pentingnya kitab itu bagiku. Perlu dua puluh tahun menyusunnya kembali. Mereka kini menguasainya, dan sudah mempelajarinya. Kitab itu sudah dibakar," ada nada keluhan pada kata-kata terakhirnya. "Wurati harus mati, Bayu. Dia telah menghancurkan seluruh kehidupanku. Semua yang kulakukan selama hidupku. Semuanya hancur...!"

Bayu diam saja. Masih belum bisa dipahami dan dipercayainya kalau Wurati belum mati. Memang sebelumnya Eyang Puger sudah memberitahu, agar dia menyelidiki kebenaran dari kematian Wurati. Tapi belum bisa berbuat banyak. Dan sekarang Eyang Puger bertindak sendiri, bahkan begitu yakin kalau Wurati masih hidup.

"Hi hi hi...!" tiba-tiba saja terdengar suara tawa mengikik.

Belum lagi Bayu bisa menghilangkan rasa keterkejutannya, tiba-tiba sebuah bayangan hitam berkelebat cepat, langsung menyerang Eyang Puger. Laki-laki tua renta itu berusaha menghindar seraya membanting tubuhnya ke tanah. Tapi gerakannya begitu lamban, dan entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu tubuh kurus kering itu terpental.

"Aaa...!" Eyang Puger menjerit keras melengking. Tubuh kurus kering itu membentur sebongkah batu sebesar kerbau. Dan batu itu pun hancur berkeping-keping memperdengarkan suara ledakan menggemuruh. Eyang Puger berusaha bangkit berdiri, namun bayangan hitam itu sudah berbalik dan hendak menyerang kembali. Namun pada saat bayangan hitam itu meluruk deras, secepat kilat Bayu mengebutkan tangannya, dan dia sendiri juga melesat ke arah Eyang Puger.

"Hiaaat...!"

"Hop!"

Seleret cahaya perak mendesing bagai kilat menyambar ke arah sosok tubuh hitam yang melesat di udara. Untungnya dia cepat-cepat memutar tubuhnya, sehingga Cakra Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka tidak sampai mengoyak tubuhnya. Dan pada saat yang bersamaan, Bayu menubruk Eyang Puger. Secepat itu pula seberkas sinar merah meluncur bagai kilat menghantam tanah di mana Eyang Puger tadi berdiri. Satu ledakan keras menggelegar menghantam tanah yang merekah berhamburan ke sekitarnya.

"Tunggu di sini, Eyang," kata Bayu setelah menempatkan Eyang Puger di tempat yang cukup aman.

"Hati-hati, Bayu," ujar Eyang Puger.

Bayu hanya menggumam kecil. Kemudian melompat menghadapi orang berbaju serba hitam mengenakan caping besar yang menutupi seluruh kepalanya. Belum sempat Pendekar Pulau Neraka itu membuka suara, mendadak saja disekeliling mereka bermunculan orang-orang berikat kepala merah dengan senjata terhunus. Jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang.

Tampak di antara mereka terdapat Nyakra, dan seorang perempuan muda dan cantik dengan pedang bertengger di punggungnya. Wanita cantik itu mendekati orang berbaju hitam dengan caping bambu yang lebar bertengger di kepalanya Sedangkan Nyakra menggerakkan tangannya, memberi isyarat pada semua orang pengikutnya untuk bersiaga. Bayu memperhatikan dengan mata tidak berkedip.

"Kalau hanya satu orang, tidak perlu mengerahkan banyak anggota, Caping Maut," kata wanita itu setengah berbisik.

"Dia bukan orang sembarangan, Kaniten. Kepandaiannya sangat tinggi," sahut si Caping Maut.

"Hm...," wanita yang dipanggil Kaniten melirik pemuda berbaju kulit harimau. "Boleh aku coba, Caping Maut?"

"Hati-hatilah! Terutama dengan senjatanya."

"Senjatanya...? Aku tidak melihat dia membawa senjata."

"Kau lihat pergelangan tangan kanannya, Kaniten?"

"Ya."

"Cakra itulah senjata mautnya."


Kaniten tertawa mendengar penjelasan si Caping Maut. Sama sekali dia tidak memandang sebelah mata pada Pendekar Pulau Neraka. Sementara Bayu yang mendengar semua pembicaraan itu hanya diam saja. Sempat diliriknya Eyang Puger yang berada di atas pohon yang cukup tinggi, dan terlindung tempatnya. Entah mereka tahu atau tidak, yang jelas tidak ada seorang pun yang memperhatikan Eyang Puger. Semua perhatian mereka tercurah pada Pendekar Pulau Neraka.

"Aku mau tahu, seperti apa kehebatan senjata yang kau takutkan itu, Ketua," kata Kaniten, nada suaranya sinis mengejek.

"Aku lebih tahu daripadamu, Kaniten. Beberapa kali aku bentrok dengannya. Kau akan menyesal tidak menghiraukan peringatanku," kata si Caping Maut agak tersinggung.

"Kita lihat saja. Kalau aku berhasil mengalahkannya, kau harus mundur dari jabatanmu sebagai Ketua Partai Mata Iblis!" kata Kaniten tandas.

"Kuharap kau bisa menyadari kepongahanmu, Kaniten."

Wanita cantik yang menyandang pedang di punggungnya itu, hanya mendengus mencibirkan si Caping Maut. Sama sekali tidak dihiraukan peringatan Ketua Partai Mata Iblis itu. Dengan sikap seenaknya, dia melangkah maju mendekati Bayu. Bibirnya masih menyunggingkan senyuman meremehkan.

Sedangkan Pendekar Pulau Neraka memperhatikan dengan mata tidak berkedip. Dia sudah malang-melintang di dalam rimba persilatan, dan sudah banyak bertemu dengan tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Sikap Kaniten yang meremehkannya, sama sekali tidak dipandang enteng.

"Enggan aku berkata banyak. Bersiaplah, Kisanak!" kata Kaniten langsung membuka jurus.

Bayu masih berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada. Namun tatapan matanya begitu tajam memperhatikan gerak-gerak kaki dan tangan Kaniten yang membuka jurus-jurus kembangan untuk memulai pertarungan.

"Tahan seranganku! Hiyaaat...!" Cepat sekali Kaniten melompat sambil melontarkan dua pukulan sekaligus.

Namun Bayu hanya sedikit memiringkan tubuhnya, sehingga serangan wanita itu berhasil dielakkan dengan mudah. Bahkan kakinya tidak dipindahkan sedikit pun. Dan Kaniten terus menyerang dengan cepat dan dahsyat


"Hup!"

Bayu terpaksa melompat ketika satu sepakan kaki Kaniten mengarah ke kakinya. Dan pada waktu Pendekar Pulau Neraka berada di udara, Kaniten dengan cepat mencabut pedangnya, dan langsung dikibaskan ke arah perut. Bayu terkesiap sesaat, tidak menyangka kalau Kaniten akan menyerang dengan pedangnya secepat itu. Tidak ada waktu lagi untuk berkelit. Cepat sekali Bayu menghentakkan tangan kanannya, memapak tebasan pedang itu.

Tring!

"Ikh!" Kaniten memekik kaget. Buru-buru ditarik pulang pedangnya. Wajah wanita itu jadi memerah, bibirnya meringis merasakan nyeri pada jari-jari tangannya. Sungguh tidak diduga kalau tenaga dalam Pendekar Pulau Neraka begitu dahsyat, dan pedangnya tadi hampir saja terpental ketika membentur Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau itu.

DELAPAN

Dua kali Kaniten melangkah mundur. Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung ke pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Sementara itu Bayu sudah berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada tidak jauh dan arena pertarungan itu, tampak si Caping Maut tersenyum. Diangkatnya sedikit caping yang menutupi wajahnya, sehingga bagian bibirnya dapat terlihat.

"Sudah kubilang, hati-hati dengan senjatanya, Kaniten'" seru si Caping Maut

"Huh!" dengus Kaniten kesal. Wanita cantik itu kembali menggerakkan pedangnya di depan dada. Lalu sambil berteriak keras, dia melompat mengibaskan pedangnya beberapa kali, mengarah pada bagian-bagian tubuh Pendekar Pulau Neraka yang mematikan.

Namun gesit sekali Bayu berkelit menghindari serangan-serangan yang cepat dan dahsyat itu. Bahkan dia masih mampu membalas dengan tidak kalah dahsyatnya. Pertarungan semakin meningkat. Tampak sekali kalau Kaniten sudah mengeluarkan jurus-jurusnya yang ampuh dan sangat berbahaya. Sedangkan sampai saat ini, Bayu belum punya kesempatan menggunakan senjata mautnya. Dia tidak punya jarak yang cukup untuk melontarkannya. Kaniten seperti sudah tahu saja, dia bertarung rapat tanpa memberi kesempatan pada Pendekar Pulau Neraka untuk merenggangkan jarak.

"Pecah kepalamu, keparat!" bentak Kaniten tiba-tiba. "Hiat..!"

Cepat sekali Kaniten mengibaskan pedangnya ke kepala Pendekar Pulau Neraka. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan begitu saja. Dengan cepat Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas, melindungi kepalanya dari tebasan pedang itu.

Tring!

"Hait...!"

Begitu dua senjata beradu, cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke belakang, dan secepat kilat dikebutkan tangan kanannya. Secercah cahaya keperakan melesat cepat bagai kilat dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Saat itu Kaniten terperangah, namun secepat kilat dikebutkan pedangnya menghalau Cakra Maut yang meluncur deras mengancam tubuhnya.

Tring!

"Akh...!" Kaniten memekik tertahan. Pedang di tangannya terpental ke udara begitu membentur Cakra Maut yang dilepaskan Bayu. Pada saat itu, Bayu cepat melompat sambil menghunjamkan satu pukulan bertenaga dalam sangat sempurna. Serangan yang cepat itu tidak dapat dihindarkan lagi, sehingga....

"Aaa...!" Kaniten menjerit keras melengking. Tubuh ramping itu terpental jauh ke belakang terkena pukulan keras bertenaga dalam sangat sempurna. Dan sebelum tubuh Kaniten jatuh ke tanah, Pendekar Pulau Neraka sudah menghentakkan tangan kanannya secara keras ke depan. Senjata cakra yang baru saja mau balik menempel, langsung melesat kembali, dan....

"Aaahk!" Untuk kedua kalinya Kaniten menjerit melengking tinggi. Tampak Cakra Maut menghunjam dalam di dada yang membusung indah itu. Kaniten menggelepar di tanah Darah mengucur deras dari dadanya begitu Cakra Maut kembali menghentak balik pada pemiliknya. Hanya sebentar wanita itu mampu bergerak, sesaat kemudian diam dengan nyawa melayang dari tubuhnya.

Gumaman-gumaman tertahan terdengar dari orang-orang anggota Partai Mata Iblis. Mereka semua tahu kalau Kaniten memiliki kepandaian yang sukar dicari tandingannya. Tapi sekarang menggeletak tidak bernyawa di tangan seorang pemuda berbaju kulit harimau. Pemuda yang belum dikenal, meskipun sudah malang-melintang di dalam rimba persilatan.

"Seraaang...!" tiba-tiba Nyakra berteriak keras.

Belum lagi hilang suara Nyakra, seketika itu juga terdengar seruan-seruan keras, disusul berlompatannya orang-orang bersenjata golok memakai ikat kepala merah dengan bulatan hitam pada keningnya. Mereka berlompatan menyerbu Pendekar Pulau Neraka. Hampir semua anggota Partai Mata Iblis berlompatan menyerang dengan golok terhunus berkelebatan.

Bayu tidak punya pilihan lain lagi. Dia belum mau mati tercincang sia-sia. Dengan mengerahkan jurus 'Kelelawar Sakti', Pendekar Pulau Neraka itu mengamuk bagai banteng terluka! Paling tidak disukainya menghadapi keroyokan seperti ini. Terlebih lagi para penyerangnya bertarung serabutan tidak pakai aturan sama sekali. Memang menguntungkan, tapi Bayu sendiri jadi sukar untuk menghadapinya.

Satu orang bisa terhajar, tiga atau lima orang menyerang serentak dari segala jurusan. Pekik pertempuran berbaur menjadi satu dengan jeritan kematian. Setiap pukulan dan tendangan Pendekar Pulau Neraka, selalu membawa korban. Tapi Bayu tidak terlalu sering menyerang, karena sudah disibukkan dengan serangan yang beruntun, sehingga harus lebih banyak terpusat pada penghindaran.

Sungguh suatu keadaan yang tidak menguntungkan bagi Pendekar Pulau Neraka. Untuk bisa lolos saja rasanya sudah tidak mungkin lagi. Pengepungan pada dirinya begitu rapat. Bahkan mereka seperti orang kemasukan setan, tidak lagi takut mati. Terus merangsek meskipun sudah banyak yang tewas berlumuran darah. Malam yang seharusnya hening, kini jadi hiruk-pikuk oleh pertempuran yang tidak seimbang

"Huh! Kalau begini terus, bisa habis napasku!" dengus Bayu menggerutu dalam hati.

Tapi Pendekar Pulau Neraka itu tidak punya kesempatan lagi untuk keluar dari keroyokan ini. Jumlah mereka tadi terlihat hanya sekitar lima puluh orang. Tapi entah dari mana datangnya, tahu-tahu jumlah mereka jadi tiga kali lipat banyaknya. Namun demikian, Bayu masih sempat melirik ke tempat Eyang Puger tadi berada. Dan hatinya jadi terkesiap, karena di sana tidak lagi dilihatnya laki-laki tua itu. Bayu jadi cemas, begitu diketahuinya kalau Eyang Puger tengah jungkir balik, jatuh bangun menghadang serangan si Caping Maut.

Bayu jadi geram melihat keadaan seperti ini. Dan begitu ada kesempatan, dilontarkan Cakra Maut-nya dengan cepat Senjata berbentuk bintang yang ujung-ujungnya bengkok itu melesat cepat memutar, membabat orang orang yang berada di sekitar Pendekar Pulau Neraka itu. Secepat kilat, Pendekar Pulau Neraka itu melompat melewati beberapa kepala. Namun belum jauh melompat, puluhan batang tombak sudah beterbangan menghujani tubuhnya.

"Kampret!" Bayu mengumpat geram. Terpaksa Bayu harus berjumpalitan di udara menghindari terjangan tombak-tombak itu. Dan berhasil ditangkapnya satu tombak. Dengan tombak di tangan, Pendekar Pulau Neraka itu meluruk turun, lalu mengamuk membuka jalan mendekati pertarungan antara Eyang Puger melawan si Caping Maut. Sementara senjata Cakra Maut terus bergerak beterbangan bagai seekor burung. Menghantam orang-orang Partai Mata Iblis yang jadi panik, menghadapi senjata yang bisa bergerak sendiri dengan kecepatan bagai kilat

Tiba-tiba saja di bagian lain terjadi kegaduhan. Tampak Randu Watung beserta orang-orang berjumlah lebih dari seratus orang menyerbu masuk ke dalam kancah pertarungan. Mereka semua mengenakan seragam prajurit dengan senjata pedang dan tombak panjang. Tampak orang-orang dari Partai Mata Iblis kocar-kacir tidak beraturan.

"Hap!" Bayu langsung melompat sambil menghentakkan tangannya ke atas. Dan Cakra Maut pun melesat bagai kilat menempel kembali di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu. Bagaikan seekor burung walet Pendekar Pulau Neraka melesat cepat ke arah Eyang Puger.

"Eyang! Mundur...!" seru Bayu keras.

Pada saat itu, satu pukulan telak dari si Caping Maut bersarang di dada yang kurus kering itu. Eyang Puger memekik keras, tubuhnya terlontar jauh ke belakang seraya memuntahkan darah segar dari mulutnya. Bayu langsung meluruk ke arah laki-laki tua itu dan menyangganya sebelum Eyang Puger jatuh ke tanah.

"Eyang...," nada suara Bayu terdengar cemas.

"Aku tidak apa-apa..., uhk!" kembali Eyang Puger memuntahkan darah kental kehitaman.

"Kau terkena racun, Eyang," kata Bayu semakin cemas.

Pada saat itu, si Caping Maut sudah melompat menerjang sambil melepaskan satu pukulan yang mengandung hawa panas menyengat. Serangan yang sangat cepat, dan tidak mungkin dihindari lagi! Namun tanpa diduga sama sekali, Eyang Puger nekad melompat menghadang serangan itu. Tak pelak lagi, pukulan itu bersarang di dada laki-laki tua itu.

Dug!

"Akh...!" Eyang Puger memekik keras.

"Eyang...!" seru Bayu terkejut. Bergegas Pendekar Pulau Neraka itu melompat, dan menghambur menangkap tubuh kurus kering yang melayang di udara. Lalu dia mendarat lunak, dan membaringkan Eyang Puger di bawah pohon. Tampak dari mulut, hidung dan telinga Eyang Puger mengucurkan darah. Napasnya tersendat, dan matanya setengah terpejam.

"Eyang...."

"Hati-hati menghadapinya, Bayu. Dia punya pukulan beracun yang sangat langka dan dahsyat," kata Eyang Puger lemah.

Bayu menggeram marah. Sementara si Caping Maut berdiri bertolak pinggang dengan angkuhnya. Caping bambu yang lebar masih menutupi sebagian wajahnya. Terlihat bibirnya yang merah menyunggingkan senyuman tipis mengejek.

"Bayu..., dia itu Wurati. Dia tidak mati di dasar jurang. Itu memang sudah direncanakan bersama Balaga.... Dia sengaja melompat ke dalam jurang sementara Balaga menunggu dengan mayat perempuan yang memakai baju sama persis dengan Wurati. Mereka sengaja merusak wajahnya agar tidak dikenali... uhk uhk!" kata-kata Eyang Puger tersendat-sendat Dan dia terbatuk-batuk disertai muntahan darah kental kehitaman.

"Lenyapkan dia, Bayu. Dia sangat berbahaya kalau sudah menguasai seluruh kitabku. Rebut kembali kitab itu dari tangannya...uhk!" lanjut Eyang Puger.

"Eyang...!"

Eyang Puger terkulai lemah. Matanya terpejam. Namun dadanya masih bergerak gerak, meskipun sangat sedikit dan satu-satu. Bayu membaringkan tubuh tua itu, kemudian berdiri dan melangkah maju beberapa tindak. Tatapan matanya tajam, menusuk langsung pada tubuh berbaju hitam dengan caping bambu yang lebar menutupi wajahnya.

"Tidak perlu kau menutupi wajahmu, Wurati!" dengus Bayu.

"Bagus! Rupanya si tua bangka bodoh itu sudah bercerita banyak padamu!" sahut wanita berbaju hitam itu sambil tetap berdiri tenang. Bibirnya yang merah selalu menyunggingkan senyuman tipis bernada mengejek.

Bayu menggeser kakinya lebih mendekat Dan baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi. Sementara itu para prajurit Kadipaten Sangkal Putung di bawah pimpinan Randu Watung, masih bertarung sengit melawan orang-orang Partai Mata Iblis.

Bayu sempat melirik Randu Watung yang bertarung sengit melawan Nyakra. Dan orang-orang dari Partai Mata Iblis sudah kelihatan terdesak. Bahkan beberapa di antaranya sudah berhasil melarikan diri. Sementara si Caping Maut yang kini menjadi pimpinan Partai Mata Iblis, menggantikan Balaga, sudah bersiap-siap melakukan penyerangan.

"Hiyaaat..!" si Caping Maut berteriak keras seraya melompat menerjang.

"Hait!" Seketika itu juga Bayu melesat ke atas, dan tangannya menghentak ke depan dengan jari-jari tangan terbuka lebar. Tanpa dapat dicegah lagi, dua tangan saling berbenturan di udara dengan kerasnya, sehingga menimbulkan satu ledakan keras menggelegar! Dua orang itu terpental ke belakang dan sama-sama jatuh bergulingan di tanah.

"Hup!" Namun Bayu langsung mampu melompat bangkit berdiri.

Sedangkan si Caping Maut memuntahkan darah segar dua kali. Dengan agak terhuyung, Wurati bangkit berdiri. Tangan kirinya menekap dada, dengan bibir meringis.

"Kematianmu sudah dekat, Wurati!" dengus Bayu dingin.

"Phuih! Kau pikir aku mudah kalah begitu saja? Lihat ini!" bentak Wurati tidak kalah dinginnya. Cepat sekali wanita berbaju hitam itu melepaskan caping bambu yang selama ini menutupi seluruh kepalanya. Dan bagaikan kilat dilemparkannya caping itu ke arah Pendekar Pulau Neraka.

Wut!

"Hiyaaa...!" Seketika itu juga Bayu mengecutkan tangannya ke atas, dan dari pergelangan tangannya melesat secercah sinar keperakan dari senjata Cakra Maut.

Dua benda yang meluncur deras itu langsung berbenturan di udara. Kembali satu ledakan keras terdengar menggelegar. Kali ini ledakannya sangat dahsyat sekali, sehingga menimbulkan getaran yang hebat, disertai hempasan angin yang keras dan percikan bunga api. Beberapa orang yang terkena percikan api, langsung menjerit keras. Tubuh mereka seketika hangus terbakar!

"Setan!" rutuk Wurati begitu melihat capingnya hancur berkeping-keping.

Sedangkan Cakra Maut, senjata andalan Pendekar Pulau Neraka kembali melesat balik pada pemiliknya. Bayu mengangkat tangan kanannya, dan senjata kebanggaannya itu kembali menempel erat di pergelangan tangan kanannya. Wurati bersungut-sungut memaki, dan menyumpah habis-habisan. Caping kebanggaannya itu bukan saja untuk pelengkap, tapi juga sebagai senjata yang sangat dahsyat. Tapi melawan Cakra Maut, caping itu hancur berantakan!

"Kau harus membayar mahal Caping Sakti ku, Pendekar Pulau Neraka!" geram Wurati memuncak amarahnya.

"Hhh! Caping seperti itu, terlalu banyak dijual di pasaran, Wurati," ejak Bayu sinis.

"Kadal buduk! Kubunuh kau, keparat!

Hiyaaa...!" Wurati tidak dapat lagi menahan amarahnya. Dia melompat seraya melontarkan beberapa pukulan dahsyat mengandung tenaga dalam yang sangat tinggi. Pukulannya mengandung hawa panas menyengat. Dan dari hawa itu tercium bau racun yang kuat dan mematikan.

Bayu cepat-cepat melompat mundur, lalu seketika itu juga dikebutkan tangan kanannya ke depan.

Wut!

"Eh...!" Wurati tersentak kaget. Buru-buru gadis itu membanting tubuhnya ke tanah. Namun gerakannya terlambat sedikit, dan ujung cakra yang melengkung, berhasil merobek bahu kiri wanita berbaju serba hitam itu. Darah segar pun langsung merembes ke luar. Wurati bergegas melompat bangkit kembali, tidak dipedulikan luka di bahunya. Dia kembali melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka.

Tapi baru saja melompat, tahu-tahu dari arah belakang terdengar suara mendesing yang keras mengagetkan. Wurati langsung menoleh. Bukan main terkejutnya dia begitu melihat Cakra Maut berbalik bagaikan kilat menyerangnya kembali. Mau tidak mau, secepat kilat si Caping Maut itu melentingkan tubuhnya berputaran di udara menghindari terjangan senjata dahsyat itu.

"Hiya...!"

Secepat Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangannya, secepat itu pula Bayu melompat mengirimkan satu tendangan menggeledek ke tubuh si Caping Maut. Serangan yang tidak terduga sama sekali, terlebih lagi pada saat itu keseimbangan tubuh si Caping Maut belum sempurna akibat berusaha menghindari terjangan Cakra Maut senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu.

Dug!

"Akh...!" Wurati menjerit keras. Tubuh ramping terbungkus baju hitam itu meluncur deras ke tanah. Bersamaan dengan terbantingnya tubuh si Caping maut Pendekar Pulau Neraka juga mendarat di tanah, dan secepat itu pula dihentakkan tangannya ke depan seraya membungkukkan tubuhnya sedikit.

"Hiaaat..!"

Wut!

"Aaa...!" Jeritan melengking tinggi terdengar menyayat. Tampak Wurati yang baru bisa bangkit berdiri tegak dengan mata membeliak lebar. Sesaat kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah dengan kepala menggelinding terpisah dari lehernya! Darah segar pun membasahi tanah.

Bayu mengangkat tangan kanannya, dan Cakra Maut pun kembali menempel pada tempatnya semula. Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu memandangi mayat Wurati atau si Caping Maut yang menjadi Ketua Partai Mata Iblis. Kemudian dihampiri dan diperiksanya tubuh wanita itu. Dari balik lipatan baju pada bagian dadanya, Pendekar Pulau Neraka itu menemukan sebuah kitab bersampul biru tua yang cukup tebal. Bayu tahu kalau kitab itu milik Eyang Puger. Kemudian Bayu bergegas berbalik dan menghampiri Eyang Puger yang masih menggeletak tidak sadarkan diri. Diselipkan kitab itu di balik sabuk pinggang Eyang Puger, kemudian diangkat dan dipondongnya tubuh kurus itu.

"Bayu...!"

Bayu yang hendak melangkah pergi, jadi tertahan langkahnya ketika mendengar suara panggilan dari arah belakang. Pendekar Pulau Neraka itu berbalik, dan tampaklah Randu Watung sedang berlari-lari kecil menghampirnya. Bayu sempat melihat Nyakra menggeletak dengan leher hampir buntung. Rupanya Randu Watung berhasil menghentikan perlawanan wakil ketua tiga Partai Mata Iblis itu. Randu Watung berdiri setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di depan Bayu. Sementara itu pertarungan sudah berhenti. Sisa-sisa anggota Partai Mata Iblis yang masih hidup sudah menyerah. Dan memang tidak sedikit yang berhasil kabur.

"Kenapa Eyang Puger?" tanya Randu Watung bernada cemas.

"Terluka, aku harus segera membawanya pulang," sahut Bayu.

"Perjalanan ke sana cukup jauh, dan memerlukan waktu tiga atau empat hari, Bayu. Sebaiknya kau bawa Eyang Puger ke istana kadipaten. Ada tabib ahli yang mungkin bisa mengobati lukanya," kata Randu Watung.

Belum lagi Bayu bisa menjawab untuk menolak, Randu Watung sudah memanggil seorang patih. Bayu sendiri tidak mengerti, karena seorang laki-laki setengah baya bertubuh tinggi tegap membungkuk hormat pada Randu Watung.

"Siapkan kuda secepatnya. Kemudian kirim utusan ke istana kadipaten untuk menyiapkan kamar dan tabib," perintah Randu Watung. Nada suaranya tegas berwibawa.

"Baik, Raden. Segera hamba laksanakan," sahut laki-laki setengah baya yang dipanggil patih itu.

"Cepat, jangan buang-buang waktu!"

Patih itu bergegas pergi. Bayu masih bengong. Sedangkan tidak lama patih itu sudah kembali bersama tiga orang prajurit berpangkat punggawa membawa kuda. Randu Watung langsung melompat ke salah satu kuda.

"Ayo, Bayu! Jangan buang-buang waktu!" kata Randu Watung.

Bayu masih diam memondong tubuh Eyang Puger. Tapi kemudian dilangkahkan kakinya mendekati patih itu, dan diberikannya tubuh laki-laki tua itu. Patih itu memondongnya dengan sikap ragu-ragu. Bayu melangkah mundur setelah Eyang Puger sudah berpindah tangan.

"Aku harus pergi, salamkan saja pada Eyang Puger," kata Bayu.

"Hey! Kau mau ke mana?" sentak Randu Watung seraya melompat turun dari kudanya. Dia sangat terkejut sekali dengan kata-kata Bayu tadi.

"Masih banyak yang harus kukerjakan. Satu saat nanti aku akan datang menjenguk Eyang Puger," kata Bayu pelan.

"Kau harus ikut, Bayu. Aku akan memperkenalkanmu pada Ayahanda Prabu. Itu sudah janjiku!" kata Randu Watung tegas.

"Terima kasih, bukannya aku menolak. Rasanya tidak pantas jika kuterima anugerah sebesar itu. Sekali lagi, aku mohon maaf, Raden," ucap Bayu seraya membungkuk memberi hormat. "Aku percaya kau seorang putra mahkota. Maaf atas kekasaranku beberapa hari ini," ucap Bayu lagi.

"Edan! Kau bicara apa?" sentak Randu Watung tidak suka.

"Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi, Raden. Sampaikan salamku pada Eyang Puger," ucap Bayu seraya melompat cepat bagaikan kilat.

"Bayu !" seru Randu Watung keras, tapi bayangan Pendekar Pulau Neraka sudah tidak terlihat lagi. Randu Watung berdiri mematung memandangi arah kepergian Bayu. Entah apa yang ada di dalam benaknya saat ini. Yang jelas dia merasa kehilangan seorang sahabat sejati. Tidak akan mungkin dia bisa melupakan pertemuannya dengan Pendekar Pulau Neraka.

"Raden...," tegur laki-laki setengah baya yang memondong Eyang Puger.

"Kau naik kuda bersama Eyang Puger. Bawa secepatnya ke istana kadipaten!" perintah Randu Watung tegas.

"Baik, Raden."

Randu Watung juga bergegas melompat naik ke punggung kudanya. Dan begitu patih itu melompat naik sambil membawa Eyang Puger, Randu Watung menggebah kudanya cepat cepat. Diikuti patih yang masih memondong Eyang Puger di atas punggung kuda. Sekitar seratus prajurit mengikutinya dari belakang. Mereka juga menunggang kuda. Sedangkan ada sekitar lima puluh prajurit lagi berjalan kaki membawa tawanan.

Randu Watung memacu kudanya dengan cepat di depan. Pikirannya masih tertuju pada Pendekar Pulau Neraka. Rasanya belum tenang kalau tidak memberikan sesuatu pada pendekar yang sudah begitu banyak jasanya. Randu Watung bertekad di dalam hatinya untuk mencari tahu di mana Pendekar Pulau Neraka berada.

"Randu, kitab pada Eyang Puger bisa menjadi petunjuk untuk mengobati lukanya...!" tiba-tiba terdengar suara Bayu yang menggema.

"Heh!" Randu Watung terkejut, langsung dihentikan langkah kaki kudanya. Begitu juga dengan yang lainnya. Mereka semua terkejut mendengar suara tanpa ujud itu.

"Bayu! Di mana kau...?" teriak Randu Watung keras.

Sunyi, tidak ada seorang pun yang terlihat. Randu Watung mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Juga dipasang telinganya tajam tajam. Tetap saja sunyi, tidak ada Bayu di dekat tempat itu. Randu Watung memerintahkan pada patihnya untuk membawa Eyang Puger secepatnya ke istana bersama sebagian prajurit.

Dia sendiri masih belum beranjak meskipun patih itu bersama sebagian prajurit sudah menggebah kudanya. Agak lama juga Randu Watung menunggu, tapi Bayu tidak juga muncul. Pemuda yang ternyata putra mahkota itu mendesah panjang dan berat. Kemudian digebah kudanya pelahan-lahan meninggalkan tempat itu.

S E L E S A I

Dibalik Caping Bambu

Serial Pendekar Pulau Neraka
Episode Di Balik Caping Bambu
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar pulau Neraka

SATU

"Tolooong...!"

Terdengar teriakan keras melengking tinggi memecah keheningan malam. Teriakan itu terdengar berulang-ulang dari tepi sebuah hutan yang sangat lebat dan menghitam pekat. Tampak seorang wanita muda dengan baju koyak dan tubuh berlumur darah berlari terseok-seok. Wanita itu menjerit-jerit minta tolong. Tapi tidak seorang pun yang mendengar jeritannya, karena hutan itu memang sangat jauh dari pemukiman penduduk.

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar menghalau suara jeritan wanita itu.

"Oh!" wanita itu tersentak kaget. Belum lagi hilang keterkejutannya, tiba-tiba muncul sesosok bayangan hitam! Sebuah caping lebar hampir menutupi seluruh kepalanya. Mata wanita itu membeliak dengan tubuh bergetar dan wajah pucat pasi.

"Tolong, jangan sakiti aku.... Ampuuun...," rintih wanita itu memelas.

Sosok tubuh itu hanya membisu sambil berdiri tegak dengan kedua tangan sejajar tubuhnya. Pelahan-lahan kakinya terayun semakin dekat. Tubuh wanita itu pun semakin gemetar dan wajahnya sudah memucat bagai mayat.

"Jangan..., tolong, biarkan aku pergi. Jangan bunuh aku! Jangan...," rintih wanita itu, bergetar suaranya.

Tidak ada suara sedikit pun yang terdengar dari sosok hitam bercaping lebar itu. Dia tetap melangkah pelahan semakin mendekat. Dan setelah jaraknya tinggal tiga langkah lagi, tiba-tiba tangannya bergerak cepat menyampok kepala wanita itu!

"Aaa...!"

Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat hati. Dan belum lagi jeritan itu hilang dari pendengaran, tubuh wanita itu telah ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher! Darah segar pun langsung menyemburat deras keluar dari leher yang buntung itu.

"Ha ha ha...!"

Kembali terdengar suara tawa terbahak-bahak. Sesaat kemudian, suara tawa itu menghilang, disertai lanyapnya sosok tubuh hitam bercaping lebar itu. Kini suasana malam menjadi sunyi seketika. Tidak lagi terdengar suara apa pun. Malam yang pekat dan awan hitam yang menggantung di langit, membuat suasana di tepian hutan itu semakin menyeramkan. Angin berhembus agak kencang, sehingga memperdengarkan suara menggemuruh. Bau anyir darah yang mengalir deras dari leher tanpa kepala itu, menguar kemana-mana.
Setelah agak lama suasana seperti itu terjadi, dari arah Selatan terlihat dua orang berlari-lari cepat ke arah tepian hutan. Semakin dekat, semakin jelas rupa kedua orang itu. Yang seorang terlihat sudah berumur sekitar lima puluh tahun, ia mengenakan baju putih bersih yang agak ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap berotot. Sedangkan yang satunya lagi terlihat masih muda, memakai baju biru tua. Di pinggang mereka masing-masing tergantung sebilah pedang panjang.

Kedua laki-laki itu berhenti, tepat di dekat sosok tubuh wanita yang menggeletak tak bernyawa lagi dengan kepala terpisah cukup jauh dari badannya.

"Kita terlambat, Paman," desah pemuda yang memakai baju biru tua.

"Ya," sahut laki-laki setengah baya itu lirih.

Beberapa saat lamanya kedua laki-laki itu hanya diam membisu sambil memandangi sosok tubuh tidak bernyawa lagi itu. Darah segar masih saja mengucur dari leher yang buntung. Pemuda berbaju biru tua mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sedangkan laki-laki setengah baya dan memakai baju putih itu, melangkah mendekati kepala yang terpisah dari badannya. Dipungutnya kepala itu dan disatukan kembali dengan lehernya. Kemudian dibetulkannya letak tubuh wanita itu agar terbaring sempurna. Sebentar dipandanginya mayat itu, kemudian bangkit berdiri seraya menarik napas panjang.

"Kumpulkan ranting-ranting kayu, Randu Watung," perintah laki-laki setengah baya berbaju putih itu.

Pemuda berbaju biru tua yang dipanggil Randu Watung itu tidak membantah. Segera dipungutnya ranting-ranting yang banyak berserakan di sekitar tepian hutan ini. Kemudian ditumpuknya ranting-ranting itu untuk mengubur mayat wanita tersebut, sehingga seluruh tubuhnya tertutup ranting kering.

Pemuda itu kemudian menyalakan api dari pemantik yang diambilnya dari sabuk pinggangnya. Api langsung berkobar besar dan melahap ranting-ranting kering itu. Terdengar ledakan-ledakan kecil, disertai bunga api meletup menghiasi angkasa yang kelam. Randu Warung melangkah menghampiri laki-laki setengah baya yang dikenal dengan nama Martalaya itu.

"Lebih baik jasadnya dibakar, daripada dijadikan santapan binatang liar," kata Martalaya pelan.

"Sebaiknya kita kembali saja, Paman. Aku khawatir kuda-kuda kita ada yang mencuri," ujar Randu Warung setengah berbisik.

"Ayolah."

Kemudian kedua laki-laki itu pun mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu. Mereka berjalan pelahan dengan kepala agak tertunduk. Sesekali Martalaya menoleh ke belakang, menatap api yang masih terlihat besar. Bau yang khas mulai tercium. Dan kedua laki-laki itu terus melangkah semakin jauh meninggalkan tempat itu. Mereka tidak menyadari kalau ada sepasang mata yang mengawasi dari tempat yang cukup tersembunyi!

********************

"Paman...!" seru Randu Watung. Ki Martalaya bergegas menghampiri pemuda itu. Sejenak mulutnya ternganga dan matanya membeliak lebar. Betapa tidak? Tempat mereka bermalam sudah porak poranda, dan kuda-kuda mereka pun hilang, entah ke mana perginya? Padahal baru beberapa saat saja ditinggalkan, karena mendengar jeritan minta tolong, disusul dengan pekikan panjang melengking tinggi.

"Sejak semula aku sudah khawatir, Paman," kata Randu Watung bernada menyesali.

"Randu Watung, kita kedatangan tamu. Hati-hatilah...," bisik Martalaya, tanpa menghiraukan gerutuan pemuda itu.

Belum lagi Randu Watung bisa membuka mulut, mendadak sebuah bayangan hitam berkelebat cepat bagaikan kilat dan langsung meluruk deras ke arah pemuda itu. Namun Randu Watung ternyata bukanlah seorang pemuda kosong. Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, pemuda itu melompat ke samping menghindari terjangan bayangan hitam itu.

Randu Watung langsung melompat mendekati Martalaya. Dan mereka jadi terpaku begitu melihat sosok tubuh hitam mengenakan caping lebar yang hampir menutupi seluruh kepalanya, tahu-tahu sudah berdiri tegak sekitar tiga batang tombak jauhnya dari mereka. Kedua tangan sosok tubuh hitam itu terlipat di depan dada. Martalaya menoleh pada Randu Watung yang saat itu juga sedang menatapnya.

"Hati-hati, Randu. Tampaknya dia memiliki kepandaian yang tidak rendah," ujar Martalaya setengah berbisik.

"Iya, angin sambarannya sungguh luar biasa," sahut Randu Watung. Kembali ditatapnya sosok tubuh hitam di depannya.

Martalaya melangkah maju tiga tindak. Dengan sikunya, digesernya gagang pedang agak ke depan. Tangan kanannya langsung menggenggam gagang pedang yang menggantung di pinggangnya. Sikapnya begitu waspada, dan tatapan matanya tajam menusuk. Ingin dilihatnya wajah sosok tubuh di depannya, tapi seluruh wajah orang itu tertutup caping yang lebar. Hanya bagian dagunya saja yang terlihat putih.

"Siapa kau? Kenapa menyerang kami tanpa alasan?" tanya Martalaya, datar nada suaranya.

"Hm..., kalian berdua telah lancang. Berani mencampuri urusanku!" dengus sosok tubuh hitam bercaping lebar itu.

Martalaya menggumam tidak jelas. Kepalanya sedikit dimiringkan ke kanan dan agak mendongak ke atas. Sepertinya sedang berusaha menebak-nebak siapa orang di depannya ini. Suaranya terdengar dibuat-buat, dan sepertinya hendak menyembunyikan keadaan dirinya. Sukar bagi Martalaya untuk memastikan apakah orang itu laki-laki atau perempuan. Bentuk tubuhnya memang terlihat ramping, namun sangat tegap dan padat berisi.

Tangannya yang hanya terlihat sampai pergelangan saja, memang berkulit putih halus bagai tangan seorang wanita. Juga kakinya yang berbentuk indah. Dilihat dari bentuk tubuhnya, Martalaya menduga kalau orang itu adalah perempuan. Terlebih lagi dengan adanya gundukan kembar pada dadanya yang tertutup baju hitam yang rapat sampai menutupi leher.

"Nisanak, aku tidak kenal siapa kau. Dan aku juga tidak tahu maksud kata-katamu. Tolong berikan penjelasan, dan seandainya kami berbuat kesalahan, aku mohon maaf," ucap Martalaya sopan.

Sosok tubuh hitam bercaping lebar itu tidak menyahuti. Namun tiba-tiba saja dia melompat cepat bagaikan kilat disertai pukulan beruntun sebanyak tiga kali. Martalaya tersentak kaget. Buru-buru dia melompat mundur menghindari terjangan gadis itu. Tubuhnya dimiringkan ke kiri dan ke kanan dengan cepat, lalu dibalasnya serangan mendadak itu dengan melayangkan satu tendangan cepat menggeledek.

"Hait...!"

Tapi sosok tubuh yang bentuknya seperti wanita muda itu lebih cepat lagi berkelit dengan melentingkan tubuhnya ke atas. Dan pada saat rubuhnya melayang di udara, tanpa diduga sama sekali dihantamnya kepala Martalaya dengan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi!

"Akh...!" Martalaya memekik tertahan. Laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun itu terpental ke samping. Tubuhnya jatuh dan bergulingan beberapa kali. Tapi belum lagi tubuh laki-laki itu berhenti berguling, tubuh hitam bercaping lebar itu sudah meluruk deras ke arahnya. Kembali dilepaskannya satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.

"Hiyaaat..!"

Tapi belum juga orang itu bisa melaksanakan maksudnya, Randu Watung sudah melompat cepat memotong arus terjangan orang berbaju serba hitam itu. Randu Watung menghentakkan tangan kanannya ke arah perut. Tapi rupanya orang berbaju hitam itu tidak bisa dianggap enteng. Diegoskan tubuhnya sedikit ke kanan, dan sodokan tangan Randu Watung pun meleset dari sasaran. Dan belum lagi Randu Watung bisa menarik pulang tangannya, tiba-tiba....

Des!

"Akh...!" Randu Watung memekik keras. Tanpa dapat dihindari lagi, satu pukulan telak mendarat di dada pemuda itu. Tubuh Randu Watung pun langsung terjengkang ke belakang, dan punggungnya menghantam pohon dengan keras hingga tumbang!

"Mampus kau! Hiyaaa...!" teriak sosok tubuh berbaju hitam pekat itu.

Ia langsung melompat ke arah Randu Watung yang saat itu sedang berusaha bangkit berdiri. Dari udut bibir pemuda itu mengucurkan darah kental agak kehitaman. Randu Watung terkesiap begitu melihat orang berbaju hitam yang tidak banyak bicara itu sudah melompat hendak menyerang kembali. Tapi belum juga Randu Watung bisa melakukan sesuatu, mendadak Martalaya melompat memapak serangan itu.

"Hait..!"

Dug!

"Akh...!"

Sungguh luar biasa! Pukulan Martalaya yang disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi itu, malah berbalik menghantam dirinya sendiri. Dan akibatnya tubuh laki-laki setengah baya itu terpental deras ke belakang. Sedangkan orang berbaju hitam dan bercaping lebar itu hanya terdorong satu langkah saja, padahal pukulan Matalaya tadi tepat bersarang di dadanya.

"Phuih! Rupanya kau ingin lebih dulu ke neraka!" dengus orang berbaju serba hitam itu.

Karena marahnya, dia lupa mempergunakan ilmu yang bisa merubah suara. Sehingga terdengar suara merdu seorang wanita. Tapi semua itu tidak sempat diperhatikan Martalaya, karena orang bercaping itu sudah melompat cepat bagaikan kilat ke arah laki laki setengah tua yang sedang berusaha bangkit berdiri itu.

"Paman, awas...!" teriak Randu Watung keras.

Tapi peringatan pemuda itu terlambat, karena satu pukulan keras bertenaga dalam sangat tinggi sudah bersarang di dada Martalaya, sehingga tubuh laki-laki. setengah baya itu kembali terpental ke belakang sambil menjerit keras melengking tinggi. Dua pohon besar langsung tumbang terlanda tubuhnya.

Tapi Martalaya masih juga bisa bangkit berdiri, meskipun agak limbung. Laki-laki setengah baya itu mencabut pedang yang berwarna keperakan dan segera disilangkan di depan dadanya. Tatapan matanya begitu tajam, dan bibirnya terkatup rapat. Tapi tidak bisa mencegah darah yang merembes dari sudut bibirnya.

"Randu, cepat pergi! Dia bukan lawanmu!" seru Martalaya keras.

"Paman...."

"Jangan hiraukan aku, cepat pergi!" bentak Martalaya.

Randu Watung kelihatan ragu-ragu. Hatinya tidak bisa membiarkan Martalaya dalam keadaan seperti itu sendirian. Tapi mengingat dirinya yang terluka dalam cukup parah, Randu Watung tidak punya pilihan lain. Bisa dimengerti, kenapa orang tua itu menyuruh pergi secepatnya.

Sementara Randu Watung masih diliputi kebimbangan, orang bercaping lebar itu sudah kembali melompat cepat bagaikan kilat, disertai teriakan keras melengking tinggi. Serangan yang begitu cepat dan sukar diikuti pandangan mata biasa itu, membuat Martalaya sedikit gugup. Namun dengan cepat dia melompat ke samping seraya mengibaskan pedangnya.

"Randu, cepat pergi...!" seru Martalaya keras.

Perintah yang keras dan bernada tegas itu membuat Randu Watung tersentak. Kemudian setelah agak lama berpikir, dia langsung melompat cepat meninggalkan tempat itu. Meskipun dalam keadaan terluka cukup parah, namun Randu Watung masih juga bisa mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Meskipun tidak sebaik ketika tubuhnya dalam keadaan normal.

"Keparat..!" geram orang bercaping lebar itu.

Menyadari tidak mungkin lagi mengejar Randu Watung, orang berbaju serba hitam yang kepalanya tertutup caping lebar itu jadi geram setengah mati. Dia berteriak keras, dan langsung menyerang Martalaya dengan ganas. Serangan yang demikian cepat disertai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi itu, membuat Martalaya kewalahan juga sehingga jatuh bangun menghindari serangan yang beruntun itu.

"Hiya...! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras, orang berbaju serba hitam itu melompat ke depan, dan kakinya menendang cepat ke arah kepala Martalaya. Tapi laki-laki tua itu masih bisa menghindar dengan merundukkan tubuhnya sedikit. Namun untuk serangan kedua yang dilancarkan lebih cepat, Martalaya tidak sanggup lagi menghindar. Dalam keadaan tubuh masih di udara, orang bercaping itu mampu melemparkan dua buah pisau kecil yang tipis. Kedua pisau itu tidak bisa dielakkan oleh Martalaya, dan langsung menghunjam dalam hingga ke pangkal gagangnya.

"Aaa...!" Martalaya menjerit melengking tinggi.

Tubuh Martalaya langsung limbung, dan darah merembes keluar dari dadanya yang tertembus dua pisau bergagang segitiga seperti sebuah caping. Pada saat tubuh Martalaya limbung, orang bercaping lebar itu melayangkan satu tendangan keras, disusul dengan pukulan geledek bertenaga dalam cukup tinggi ke arah kepala. Kembali Martalaya menjerit keras melengking. Pedang di tangannya terlepas dan jatuh ke tanah. Dipegangi kepalanya yang retak berlumuran darah segar.

"Mampus! Hih...!"

Satu pukulan menggeledek kembali mendarat di dada Martalaya. Untuk ke sekian kalinya, laki-laki setengah baya itu menjerit. Tubuhnya terlontar deras dan menabrak sebongkah batu besar hingga hancur berantakan! Tubuh tegap itu pun langsung menggelosor ke tanah. Belum juga puas melihat lawannya masih bernapas, orang bercaping lebar itu lalu mengambil sebongkah batu besar berwarna hitam dan berlumut.

"Hiyaaa...!"

Tubuh ramping terbungkus baju hitam itu melenting tinggi ke udara, lalu dengan derasnya meluncur turun. Dan tangannya dihentakkan cepat ke bawah. Batu yang berada di dalam cengkeraman jari-jari lentik itu, langsung dihempaskan ke kepala Martalaya.

"Aaa...!" Darah langsung muncrat begitu kepala Martalaya hancur berantakan tertimpa batu yang hampir sebesar kepala kerbau itu. Hanya sebentar Martalaya mampu bergerak, kemudian tubuhnya mengejang dan tidak bergerak-gerak lagi. Orang berbaju hitam itu berdiri tegak memandangi mayat yang kepalanya sudah tak berbentuk lagi itu.

"Huh! Satu lolos...!" dengus orang itu kesal. Di layangkan pandangannya ke arah Randu Watung tadi melesat pergi. Malam yang gelap dan pekat, menghalangi pandangan matanya. Terlebih lagi saat itu udara dipenuhi kabut tebal. Lagi-lagi orang bercaping lebar itu menggerutu dan kakinya menghentak ke tanah karena kesal.

"Randu Watung.... Hm..., namamu Randu Watung. Huh! Kau tidak akan bisa lolos dariku, Randu Watung. Tidak ada seorang pun yang boleh mencampuri urusanku. Huh!"

Sambil bersungut-sungut kesal, orang bercaping lebar itu langsung melesat cepat meninggalkan tempat itu. Lesatannya sungguh cepat luar biasa, sehingga bagaikan hilang saja! Kini keadaan di sekitar tempat itu menjadi sunyi senyap bagai tidak pernah terjadi sesuatu. Hanya sosok tubuh dengan kepala pecah saja yang menjadi saksi bahwa di tempat itu tadi, berlangsung suatu pertempuran yang cukup dahsyat. Pertempuran yang meminta korban nyawa seorang laki-laki setengah baya.

Beberapa saat lamanya setelah orang berbaju hitam dan bercaping lebar itu lenyap, muncul Randu Watung dari balik semak belukar. Pemuda itu terseok-seok mendekati mayat Martalaya. Langsung ditubruk dan dipeluknya tubuh yang berlumuran darah itu.

"Paman, kenapa kau korbankan nyawamu hanya untuk menyelamatkanku...?" rintih Randu Watung! "Paman, aku berjanji di depan jasadmu. Akan kubalas kematianmu, dan kubunuh orang itu. Aku juga berjanji akan menemukan si Mata Iblis. Dendammu akan kubalaskan, Paman. Aku janji...!"

********************

DUA

Siang itu langit tampak cerah. Awan tipis berarak mengikuti hembusan angin yang datang semilir menyejukkan. Matahari bersinar indah, membawa makna kehidupan bagi seluruh makhluk di permukaan bumi ini. Namun semua keindahan itu seperti tidak dinikmati oleh seorang pemuda berbaju biru tua yang berjalan terseok-seok sambil menekan dadanya dengan tangan kanan. Sesekali bibirnya meringis merasakan sakit pada rongga dadanya.

"Hoek...!"

Pemuda itu memuntahkan darah kental kehitaman. Kemudian tubuhnya limbung, dan tiba-tiba ambruk ke tanah berumput basah. Pemuda itu berusaha bangkit berdiri, tapi tenaganya tidak mampu lagi menahan berat tubuhnya. Tubuhnya kembali ambruk, dan memuntahkan darah kental kehitaman. Pemuda itu berusaha merayap, menggapai-gapai mendekati sebuah sungai kecil yang berair jernih di depannya.

"Oh...," rintihnya lirih. Bibirnya semakin lebar meringis. Pandangannya berkunang-kunang, dan kepalanya terasa berat, bagai terbebani batu yang sangat besar.

Dengan sekuat tenaga, pemuda berbaju biru tua itu berusaha mengangkat kepalanya. Kelopak matanya disipitkan. Samar-samar dilihatnya bayangan seseorang yang berdiri tidak jauh di seberang sungai kecil itu. Pemuda itu berusaha menajamkan penglihatannya yang semakin berkurang, dan belum lagi dapat melihal jelas, penglihatannya sudah menghilang sama sekali, lalu terkulai tidak sadarkan diri.

Seorang laki-laki muda berwajah cukup tampan, melompat indah menyeberangi sungai kecil itu. Dia langsung mendarat tepat di dekat pemuda berbaju biru yang tergeletak tidak sadarkan diri lagi. Pemuda itu kemudian duduk bertumpu pada lututnya di tanah, sebentar diperiksanya tubuh yang tergeletak itu, kemudian kepalanya terangguk-angguk.

Setelah mengedarkan pandangannya ke sekeliling, pemuda berwajah cukup tampan dengan garis-garis kekerasan itu, mengangkat tubuh yang tergeletak pingsan. Lalu dibawanya ke tempat yang teduh dan terlindung dari sengatan matahari. Dibaringkannya tubuh pemuda berbaju biru tua itu di bawah pohon yang berumput tebal.

"Hm...., lukanya cukup parah. Harus kukeluarkan racun di dalam tubuhnya dulu," gumam pemuda berbaju kulit harimau itu pelahan.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berbaju kulit harimau itu duduk bersila. Kedua telapak tangannya merapat di depan dada dan matanya terpejam. Tidak lama kemudian matanya terbuka, dan tangannya langsung dihentakkan ke depan. Erat sekali kedua telapak tangannya menempel di dada pemuda yang menggeletak tidak sadarkan diri itu. Tampak asap tipis mengepul dari sela-sela jari tangan pemuda berbaju kulit harimau itu. Dan wajahnya mulai memerah, pertanda dia tengah berusaha menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh pemuda berbaju biru tua itu

"Uh...." Dengan satu keluhan pendek, dilepaskan tangannya dari dada bidang yang terbuka itu. Kemudian ditempelkan kembali telapak tangannya erat-erat setelah menggerak-gerakkannya sesaat. Kembali asap tipis mengepul dari sela-sela jarinya yang bergetar. Tampak dari seluruh pori-pori tubuh pemuda berbaju biru itu merembes darah. Dari mulut dan hidungnya juga mengeluarkan darah agak kehitaman. Semakin lama darah yang keluar dari mulutnya semakin banyak. Sedikit demi sedikit darah kehitaman itu berubah merah dan segar.

"Hhh...!" pemuda berbaju kulit harimau itu menarik napas panjang. Pelahan-lahan dilepaskan tangannya dari dada yang terbuka lebar. Kemudian jari-jari tangannya bergerak lincah menotok beberapa bagian tubuh pemuda yang menggeletak pingsan di depannya. Kembali ditariknya napas panjang, lalu digeser duduknya agak menjauh. Kedua tangannya bergerak-gerak di depan dada, kemudian pelahan turun ke bawah, dan berhenti tepat di lututnya yang tertekuk.

"Hsss...!" Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya sebentar menghimpun kembali tenaga dalam dan hawa murni yang terkuras akibat berusaha mengeluarkan racun dalam tubuh pemuda berbaju biru tua itu. Bersama dengan tersadarnya pemuda berbaju biru itu, dia juga membuka matanya.

"Ohhh...," rintih pemuda berbaju biru itu lirih.

"Jangan banyak bergerak dulu. Racun di tubuh belum semuanya terbuang," ujar pemuda itu seraya mendekati.

"Oh..., siapa kau?" tanya pemuda itu seraya berusaha bangkit. Tapi keburu ditahan, sehingga dia rebah lagi.

"Namaku Bayu," sahut pemuda berbaju kulit harimau itu memperkenalkan diri.

"Bayu.... Sepertinya aku belum mengenalmu."

"Memang, kita belum saling mengenal. Aku menemukanmu dalam keadaan pingsan dan terluka cukup parah."

"Terima kasih."

"Siapa namamu?" tanya Bayu.

"Randu Watung."

"Siapa yang melukaimu?" tanya Bayu lagi.

Randu Watung tidak langsung menjawab, menarik napas panjang dan berat. Terlalu sukar untuk menjawab pertanyaan Bayu Hanggara yang lebih kenal dengan panggilan Pendekar Pulau Neraka. Masalahnya, dia sendiri tidak tahu siapa yang melukai dan membunuh pamannya. Orang itu sukar dikenali. Seluruh wajahnya tertutup caping lebar dan pakaiannya serba hitam.

"Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir dulu. Sebaiknya kau beristirahat," ujar Bayu memaklumi.

"Ya, dadaku masih terasa sakit," pelan suara Randu Watung.

"Hm...."

Randu Watung memejamkan matanya kembali. Dia berusaha menghimpun hawa murni untuk membantu mempercepat pemulihan tubuhnya. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka duduk bersila di sampingnya, tidak ada lagi yang dibicarakan. Tapi dilihat dari kening Bayu yang berkerut, sudah bisa ditebak kalau ia memikirkan sesuatu. Entah apa yang dipikirkannya, yang jelas beberapa kali diliriknya Randu Watung yang masih terpejam.

********************

Randu Watung melangkah pelahan-lahan di samping Pendekar Pulau Neraka. Saat itu matahari sudah condong ke arah Barat. Sinarnya mulai redup, tidak lagi terik seperti semula. Mereka berhenti melangkah dan memandang lurus tidak berkedip ke depan. Tampak sebuah perkampungan kumuh yang letak rumah-rumahnya tidak teratur, dan jalanannya becek berlumpur. Randu Watung menoleh pada Pendekar Pulau Neraka. Tangan kanannya masih memegangi dadanya yang belum hilang rasa sakitnya.

"Kau perlu tempat untuk menyembuhkan luka dalammu, Randu Watung," kata Bayu, seakan mengerti maksud pandangan pemuda berbaju biru itu.

"Apa penduduk desa itu akan menerima kita? tanya Randu Watung.

"Mudah-mudahan saja," sahut Bayu agak mendesah.

"Tunggu sebentar, Bayu!" cegah Randu Watung melihat Bayu akan melangkah.

Pendekar Pulau Neraka itu menghentikan langkahnya. Ditatapnya pemuda di sampingnya.

"Aku merasa ada yang aneh di desa itu, Bayu, kata Randu Watung pelan.

Bayu mengerutkan keningnya. Kemudian menoleh kembali menatap ke arah desa yang terlihat di depannya. Semakin dalam kerutan di keningnya. Memang tidak seperti desa-desa lainnya. Desa di depan itu sungguh tidak sedap dipandang mata. Kadaannya tidak teratur dan berantakan sekali. Bahkan terlihat ada sekitar lima rumah hancur berantakan hampir rubuh. Juga tidak terlihat seorang pun penduduk di sana. Suasananya sunyi sepi seperti tidak berpenduduk sama sekali.

Dan belum jauh Pendekar Pulau Neraka itu berpikir lebih lama, tiba-tiba di sekitar mereka bermunculan orang-orang bertampang beringas menghunus senjata tajam. Bayu menggeser kakinya mendekati Randu Watung. Sebentar saja mereka sudah dikepung tidak kurang dari sepuluh orang bersenjata terhunus. Mereka semuanya memakai ikat kepala berwarna merah tua dengan bulatan hitam pada keningnya

"Si Mata Iblis...," desis Randu Warung pelan begitu pelannya sehingga hampir tidak terdengar oleh Pendekar Pulau Neraka.

"Hm...., kau kenal mereka, Randu Watung?" tanya Bayu setengah bergumam.

"Ya, mereka anak buahnya si Mata Iblis," sahut Randu Watung.

"Si Mata Iblis?! Siapa dia?" tanya Bayu lagi.

Belum sempat Randu Watung menjawab, tiba-tiba dua orang dari pengepung itu melompat sambil berteriak nyaring. Golok mereka yang tajam berkilat, berkelebatan cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh Bayu dan Randu Watung yang mematikan. Namun gerakan Pendekar Pulau Neraka itu lebih cepat dari dua orang penyerang itu. Dan sekali gebrak saja, mereka terpelanting seraya memekik keras!

Tubuh mereka bergulingan di tanah, namun segera bangkit kembali dan menyilangkan goloknya di depan dada. Sementara Bayu sudah siap, dan berusaha agar Randu Watung tidak banyak bergerak, karena luka dalamnya belum sembuh benar. Gerakan-gerakan yang dipaksakan, akan menambah parah luka dalamnya.

"Jangan bertindak kalau tidak terpaksa, Randu," pesan Bayu.

"Seraaang...!" tiba-tiba terdengar sebuah seruan keras.

Seketika itu juga, sepuluh orang bersenjata golok dengan ikat kepala merah itu bergerak berlompatan menyerang. Mereka berteriak memekakkan telinga seraya mengelebatkan golok-goloknya cepat mengincar bagian tubuh yang mematikan. Namun mereka tidak menyadari kalau berhadapan dengan seorang pendekar yang tangguh dan pilih tanding. Seorang pendekar muda yang sudah malang-melintang di rimba persilatan.

Meskipun harus melindungi seseorang yang sedang mengalami luka dalam cukup parah, Pendekar Pulau Neraka masih mampu menghadapi sepuluh orang pengeroyoknya. Bahkan satu persatu mereka terbanting keras ke tanah. Pekik pertempuran yang tadinya menggelegar, kini berganti jerit melengking kesakitan. Beberapa kali Bayu harus menangkis senjata mereka dengan pergelangan tangannya yang terdapat sebuah cakra perak.

Tring!

Sebuah golok hampir menebas kepala Pendekar Pulau Neraka itu, namun manis sekali ditangkisnya dengan tangan. Bahkan golok itu terbelah dua ketika membentur cakra yang menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu! Dan satu tendangan menggeledek dilepaskan Bayu, sehingga lawannya menjerit keras, terpental jauh ke belakang.

"Hiyaaa...!" teriak Bayu keras.

Seketika itu juga direndahkan tubuhnya ke samping agak terbungkuk. Lalu dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, dari pergelangan tangan kanannya melesat seberkas cahaya keperakan. Cakra Maut, senjata dahsyat andalan Pendekar Pulau Neraka ttu melesat cepat, dan seketika itu juga terdengar jeritan-jeritan melengking saling sambut. Disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh yang bersimbah darah.

"Hap...!"

Tiba-tiba Pendekar Pulau Neraka melompat, dan tangan kanannya terangkat ke atas. Cakra Maut pun kembali menempel di pergelangan tangan kanannya. Lalu begitu kakinya mendarat di tanah, cepat dilepaskan kembali senjatanya. Kembali berturut-turut terdengar jeritan menyayat hati. Cakra Maut kembali melesat balik setelah merobohkan tiga orang sekaligus. Bayu berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada.

Hanya dua kali saja dilepaskan senjatanya, enam orang menggeletak bersimbah darah tidak bernyawa lagi! Sedangkan yang empat orang lagi jadi tertegun dengan wajah pucat pasi saling berpandangan. Kemudian, tanpa berkata-kata lagi keempat orang itu melarikan diri tunggang-langgang. Bayu menarik napas panjang. Ditolehkan kepalanya pada Randu Watung yang tidak bergeming sedikit pun di tempatnya. Pemuda berbaju biru tua itu melangkah mendekati.

"Sebaiknya kita cepat pergi, Bayu," usul Randu Watung.

"Hm, baiklah," sahut Bayu, seraya menyipitkan matanya.

Randu Watung bergegas melangkah menuju desa itu, diikuti Bayu. Mereka berjalan cepat meninggalkan enam mayat yang bergelimpangan bersimbah darah. Sementara matahari semakin tenggelam di ufuk Barat! Rona merah menyemburat indah bagai kobaran api yang membakar permukaan bumi. Sedangkan kedua pemuda yang baru berkenalan itu mulai memasuki desa yang kumuh seperti tak berpenghuni itu.

********************

Bayu memilih sebuah rumah yang kosong Keadaannya sungguh kotor dan berantakan. Meja, kursi, dan dipan bambu sudah tidak berbentuk lagi. Pendekar Pulau Neraka itu membereskan sebuah kamar yang masih terdapat dipan bambu. Dia meminta agar Randu Warung beristirahat di kamar itu, sementara dia sendiri memeriksa keadaan rumah itu.

"Ada orangnya?" tanya Randu Warung, ketika Bayu kembali masuk ke dalam kamar itu. Randu Watung duduk bersila dengan tangan menempel pada lutut.

"Tidak," sahut Bayu singkat seraya duduk di tepi pembaringan yang hanya beralaskan tikar rombeng.

"Pasti telah terjadi sesuatu di sini...," gumam Randu Warung seperti bicara untuk dirinya sendiri.

Bayu hanya diam saja. Namun pandangannya begitu dalam menatap wajah pemuda berbaju biru tua itu. Dalam hatinya dia menduga ada sesuatu yang dirahasiakan, sehingga membuat Randu Watung kini termenung menatap kosong ke depan. Begitu jauh pandangannya, sehingga menerobos jendela yang sudah tidak memiliki daun lagi.

Sementara suasana mulai gelap. Matahari sudah tenggelam di balik peraduannya, digantikan cahaya bulan dan bintang yang indah gemerlapan. Meskipun cahaya bulan dan api unggun sudah membuat terang di dalam kamar ini, namun semua itu tidak mampu mengurangi dinginnya udara malam yang serasa menusuk tulang.

"Kau seperti memikirkan sesuatu, Randu," tegur Bayu. Tidak enak rasanya menduga terus-menerus.

"Entahlah...," desah Randu Watung seraya menghembuskan napas panjang dan berat.

"Kau belum menceritakan penyebab lukamu, Randu," kata Bayu masih diliputi penasaran. Sebab dia tahu kalau luka dalam yang diderita Randu Watung cukup parah. Dan dia tidak bisa mengeluarkan semua racun yang mengendap didalam tubuhnya. Sewaktu-waktu racun itu bisa membunuhnya secara pelahan-lahan.

"Hhh...! Aku sendiri tidak mengerti, kenapa dia menyerang dan membunuh pamanku. Padahal aku tidak mengenal, dan juga tidak tahu permasalahannya. Tiba-tiba dia datang dan menyerang tanpa berkata-kata lagi," Randu Watung mencoba menceritakan peristiwa pahit yang dialaminya.

"Hm..., aneh," gumam Bayu setengah tidak percaya.

"Memang sukar dipercaya, Bayu. Tapi memang itulah kenyataannya. Sayang paman telah tewas."

"Sama sekali kau tidak bisa mengenalinya?" tanya Bayu.

"Tidak. Dia berbaju serba hitam dan memakai caping lebar sehingga menutupi seluruh kepalanya. Gerakannya begitu cepat, dan ilmunya sungguh luai biasa!"

"Randu, kelihatannya kau kenal dengan orang-orang yang tadi mengeroyok kita. Siapa mereka?" tanya Bayu lagi.

"Mereka anak buahnya si Mata Iblis. Bisa dikenali dari ikat kepalanya," sahut Randu Watung.

"Tampaknya mereka sengaja hendak menyerangmu. Bisa kulihat dari pola serangannya yang selalu mengarah padamu," kata Bayu bernada curiga dan ingin tahu.

"Memang. Mereka memang hendak membunuhku," sahut Randu Warung berterus terang

"Kenapa?"

Randu Watung tidak langsung menjawab. Ditariknya napas panjang, tapi langsung meringis, karena dadanya tiba-tiba jadi terasa nyeri. Setiap kali ditariknya napas panjang, dadanya selalu saja seperti tertusuk ribuan jarum berbisa. Sungguh menyakitkan!

"Masih terasa sakit?" tanya Bayu yang sejak tadi memperhatikan.

"Dadaku ini..., ugh!" Randu Warung mengeluh
pendek.

"Luka dalammu cukup parah, Randu. Hanya Seorang tabib ahli saja yang dapat menyembuhkan lukamu. Terlebih lagi racun di dalam tubuhmu belum semuanya ke luar. Meskipun tidak begitu berbahaya, tapi...."

"Aku tahu, Bayu. Nyawaku memang terancam. Dan aku tidak boleh banyak bergerak, terlebih lagi mengerahkan tenaga dalam," potong Randu Watung cepat

Bayu hanya menarik napas panjang. Ada sedikit kekaguman di dalam hatinya melihat ketabahan pemuda itu. "Masih sanggup untuk bicara, Randu?" tanya Bayu.

Randu Watung tersenyum dan mengangguk.

"Kenapa si Mata Iblis hendak membunuhmu?" tanya Bayu.

"Bayu, sebenarnya Ayahku adalah seorang Adipati di Sangkal Putung. Bermula dari sekelompok orang yang memberontak pada kerajaan, dan Kadipaten Sangkal Putung menjadi sasaran pertama. Meskipun seluruh prajurit kadipaten sudah dikerahkan, tapi tetap tidak mampu mengusir para pemberontak itu. Mereka berhasil memukul mundur para prajurit, dan memaksa Ayah melarikan diri. Memang tadinya ada beberapa prajurit dan keluarga yang ikut. Tapi mereka semua tewas terbunuh dalam pelarian. Tinggal aku dan Paman yang masih bisa sampai ke hutan itu. Tapi, yaaah..., akhirnya Paman tewas juga di tangan orang yang tidak kukenali," Randu Watung menceritakan tentang dirinya.

"Hm..., lalu ke mana tujuanmu sekarang?" tanya Bayu.

"Aku tidak tahu, kabar terakhir yang kudengar kerajaan juga sedang berperang. Aku tidak mungkin datang ke sana dan melaporkan kejadian di Kadipaten Sangkal Putung."

"Apakah pihak kerajaan berperang melawan para pemberontak itu juga?" tebak Bayu.

"Bukan, tapi dengan kerajaan lain."

"Hm..., jadi mereka mengambil kesempatan...," gumam Bayu mulai mengerti.

"Begitulah."

"Lalu, siapa sebenarnya si Mata Iblis itu. Apa dia pemimpin pemberontakan itu?" tanya Bayu lagi.

"Aku tidak tahu," sahut Randu Watung.

"Lho...?!" Bayu terkejut mendengar jawaban itu. "Kau bisa mengenali mereka, tapi kau tidak tahu siapa si Mata Iblis itu. Aku tidak mengerti maksudmu, Randu...?"

"Aku memang tidak pernah tahu siapa itu si Mata Iblis. Aku hanya pernah mendengar dan mengetahui ciri-cirinya saja. Aku juga tidak tahu, kenapa anak buah si Mata Iblis selalu mengejar-ngejar kami berdua," Randu Warung berusaha menjelaskan.

Meskipun demikian, Bayu bisa menangkap adanya nada lain pada suara Randu Watung. Nada suara yang lain dan agak tertekan. Bayu menduga kalau Randu Watung menyimpan sesuatu rahasia yang tidak ingin diketahui orang lain. Dan rahasia itu nampaknya berhubungan dengan anak buah si Mata Iblis yang sore tadi mengeroyok.

"Randu, aku tidak mau mengetahui urusan pribadimu. Kau akan kubawa kepada seorang tabib yang dapat mengobati luka-lukamu. Aku tahu seorang tabib yang sangat pandai...," kata Bayu, terputus suaranya.

"Terima kasih," ucap Randu Warung pelan.

"Sekarang istirahatlah, biar aku yang berjaga-jaga malam ini."

"Tidak akan kulupakan pertolonganmu ini, Bayu."

Pendekar Pulau Neraka itu hanya tersenyum saja. Kemudian bangkit dari pembaringan, dan melangkah keluar kamar. Sedangkan Randu Watung masih duduk bersila dengan mata setengah terpejam. Hawa murni terus dialirkan untuk mengurangi rasa sakit dan menghambat penyebaran racun di dalam tubuhnya. Sementara malam terus beranjak semakin larut. Udara pun semakin dingin serasa menggigit tulang. Api unggun di dalam kamar itu tak mampu mengurangi hawa dingin yang menggigilkan itu. Suasana kembali sepi, sesekali terdengar suara binatang malam yang memecah kesunyian dimalam itu.

TIGA

"Masih jauh tempatnya, Bayu?" tanya Randu Warung sambil menyeka keringatnya.

"Tidak," sahut Bayu tanpa menghentikan langkahnya.

Tapi langkah kaki Pendekar Pulau Neraka akhirnya terhenti juga karena tidak mendengar lagi suara langkah kaki di belakangnya. Dia menoleh, da langsung terkejut begitu dilihatnya Randu Watung menggeletak tengkurap! Bayu bergegas menghampiri dan membalikkan tubuh pemuda berbaju biru yang tak bergerak sedikit pun. Seluruh wajahnya basah oleh keringat. Hampir tiga hari penuh mereka berjalan merambah hutan, dan itu membuat Randu Watung terpaksa menguras tenaganya. Bayu memeriksa urat nadi di pergelangan tangan Randu Watung.

"Hhh...! Terlalu banyak tenaga yang dikeluarkannya," desah Bayu.

Pendekar Pulau Neraka itu mengangkat rubuh Randu Watung, dan kembali melangkah seraya membopong tubuh pemuda itu di pundaknya. Dikerahkan ilmu meringankan tubuh, sehingga dengan cepat dia bisa berjalan melebihi orang berlari sekuat tenaga! Begitu cepat langkahnya, seolah-olah tidak menapak tanah!

Cukup sulit perjalanan yang ditempuh Pendekar Pulau Neraka itu, karena hutan yang semakin rapat dan jalan yang mendaki. Namun dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, tidak sulit baginya untuk cepat sampai di tempat tujuan.

Dan belum lagi matahari berada tepat di atas kepala, Pendekar Pulau Neraka itu sudah tiba di sebuah tempat yang berbatu dan dipenuhi pohon-pohon besar dan kecil. Di antara bongkahan batu sebesar kerbau, dan tiga buah pohon beringin, terlihat sebuah gubuk kecil yang kumuh. Bayu mengayunkan kakinya mendekati gubuk reyot itu.

"Masuklah, Bayu. Pintu tidak terkunci...!" terdengar suara serak dan bergetar dari dalam gubuk reyot itu.

Bayu langsung saja menerobos pintu yang setengah terbuka itu. Tampak di dalam ruangan yang sempit dan pengap, duduk bersila seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering. Hanya selembar kain lusuh yang melilit tubuhnya. Kain yang tadinya berwarna putih itu sudah pudar. Bayu segera meletakkan tubuh Randu Watung di atas selembar tikar lusuh di depan laki-laki tua itu.

"Siapa dia, Bayu?" tanya laki-laki tua kurus itu sambil mengelus-elus janggutnya yang panjang dan putih.

"Randu Watung. Lukanya cukup parah, dan sudah tiga kali pingsan, Eyang Puger," sahut Bayu yang sudah duduk bersila.

"Temanmu?" tanya laki-laki tua yang dipanggil Eyang Puger itu.

"Bukan. Ia tergeletak pingsan ketika kutemukan di tepi sungai."

"Hm...," gumam Eyang Puger pelahan. Laki-laki tua kurus kering itu memeriksa sebentar tubuh Randu Watung. Kemudian kepalanya terangguk-angguk sambil bergumam. Ditatapnya Pendeka Pulau Neraka yang hanya memperhatikan saja. Matanya yang cekung, serasa begitu tajam menusuk ke bola mata Bayu.

"Bagaimana dia bisa terluka seperti ini, Bayu?" tanya Eyang Puger.

"Aku tidak tahu pasti. Dia hanya bercerita bahwa dirinya diserang oleh orang tidak dikenal. Sedangkan pamannya tewas oleh orang itu," sahut Bayu.

"Hm..., kau tahu siapa dia?"

Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Alisnya berkerut sehingga hampir menyatu. Sedangkan Eyang Puger semakin tajam menatap padanya.

"Eyang kenal dengannya?" tanya Bayu penasaran.

"Entahlah, aku kurang yakin," sahut Eyang Puger. "Tapi aku harus menyembuhkannya. Luka dalam yang dideritanya cukup parah. Belum lagi harus mengeluarkan racun yang bersemayam di tubuhnya. Hm..., mungkin dia tidak sadarkan diri selama tiga hari,"

"Sembuhkan dia, Eyang. Tampaknya ada sesuatu yang disembunyikannya. Aku merasakan ketertutupan pada dirinya," kata Bayu berharap.

"Keluar dulu, Bayu," kata Eyang Puger.

Bayu bangkit berdiri, kemudian berbalik dan melangkah ke luar. Dihenyakkan tubuhnya di balai-balai bambu yang berada di samping pintu. Pendekar Pulau Neraka itu berbaring dengan kepala bertumpu pada kedua tangannya.

"Hm..., tampaknya Eyang Puger mengenali Randu Watung. Tidak biasanya dia begitu...," gumam Bayu dalam hati.

Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu jauh menerawang ke langit-langit beranda yang hitam dipenuhi sarang laba-laba. Dia teringat kembali awal pertemuannya dengan Eyang Puger. Pertemuan yang tidak disengaja. Desahan napas panjang terdengar berat dari hidung Pendekar Pulau Neraka itu. Kemudian dia bangkit berdiri, dan melangkah ke samping pondok ini. Langkah Bayu langsung terhenti ketika di ujung kakinya terdapat gundukan tanah berumput dikelilingi batu-batu. Dia berlutut di sisi gundukan tanah itu. Tangannya bertumpu pada batu nisan di sebelah kanannya.

"Hhh..., seharusnya kau tidak perlu berbuat nekad begitu, Wurati". Tapi aku kagum padamu. Cintamu begitu tulus dan murni, meskipun tahu suamimu seorang perampok besar. Hhh..., sayang kau terlalu cepat mengambil keputusan mengakhiri hidupmu," pelan suara Bayu.

"Ehm, ehm...!"

Bayu kaget dan langsung menoleh ketika mendengar suara mendehem di belakangnya. Tampak Eyang Puger sudah berdiri di belakangnya. Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri, dan berbalik menghadap laki laki tua kurus kering itu. Sebatang tongkat yang tidak beraturan bentuknya tergenggam di tangan yang kurus bagai tulang terbalut kulit.

"Kau sudah menemukan si jahanam itu, Bayu?" tanya Eyang Puger, agak tertekan nada suaranya.

"Sudah," sahut Bayu. "Tapi hanya sekali, karena dia berhasil lari dan mengorbankan banyak anak buahnya."

"Hhh...! Seandainya aku lebih memperdalam ilmu olah kanuragan, tentu tidak akan begini jadinya. Wurati cucuku satu-satunya. Aku. terlalu mencintainya sehingga tidak bisa melarangnya mencintai si jahanam itu," keluh Eyang Puger bernada menyesali diri.

"Eyang tidak salah, Wurati juga tidak. Tapi si jahanam itu memang harus membayar semua yang diperbuatnya. Aku janji, Eyang. Jika dia kutemukan, akan kubalaskan sakit hatimu. Aku berhutang nyawa padamu, Eyang," janji Bayu teringat pertolongan Eyang Puger yang menyembuhkan dirinya dari keracunan akibat bertarung melawan seorang yang tangguh dan memiliki ilmu racun yang sangat dahsyat.

"Aku percaya padamu, Bayu. Selama si Balaga masih hidup, jiwaku selalu bersamamu. Kau harus membunuhnya, Bayu. Kalau tidak, akan lebih banyak lagi gadis-gadis terpedaya dan tewas di tangannya. Biarlah cucuku menjadi tumbal," kata Eyang Puger pelan.

"Aku janji, Eyang," ucap Bayu tegas.

Eyang Puger menepuk-nepuk pundak Pendekar Pulau Neraka itu. Kemudian berbalik dan berjalan ke depan pondok diikuti Bayu. Mereka kemudian duduk bersisian di balai-balai bambu reyot yang hanya beralaskan tikar daun pandan lusuh dan robek-robek. Sesaat lamanya tidak ada yang berbicara. Seakan-akan sedang mengenang masa-masa lalu. Masa-masa yang teramat pahit bagi laki-laki tua itu.

"Bagaimana keadaan Randu Watung, Eyang?" tanya Bayu teringat pada pemuda yang ditolongnya.

"Tunggu sampai dia sadar dulu. Tapi aku sudah memberinya penahan rasa," sahut Eyang Puger.

"Kapan dia akan sembuh?"

"Tergantung dari daya tahan tubuhnya. Tapi kulihat otot-ototnya terlatih baik. Mungkin tidak lama."

Bayu kembali diam. Dan Eyang Puger pun terdiam. Mereka kembali sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tak ada lagi yang berbicara. Mereka hanya menatap alam yang tidak begitu sedap dipandang mata.

********************

Sudah dua hari Bayu tinggal di pondok kecil Eyang Puger. Dan selama itu Randu Watung belum juga sadarkan diri Randu Watung masih tetap dirawat oleh Eyang Puger, seorang tua yang ahli dalam ilmu pengobatan. Siang itu Bayu menemani Eyang Puger menunggui Randu Watung, tapi pemuda itu tetap seperti tidur nyenyak. Tidak bergeming sedikit pun.

"Hm...," gumam Eyang Puger pelan.

"Ada apa, Eyang?" tanya Bayu.

"Tampaknya aku kedatangan tamu," sahut Eyang Puger.

Bayu bangkit berdiri, dan pada saat itu sebatang anak panah melesat masuk menerobos pintu yang terbuka. Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka itu menggerakkan tangannya, dan menangkap anak panah yang tertuju ke arah Eyang Puger.

"Hup...!"

Bayu langsung melompat ke luar bagaikan kilat, seraya melemparkan anak panah di tangannya ke arah datangnya tadi. Begitu besar dan sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga anak panah itu melesat cepat melebihi dari yang tadi. Anak panah itu langsung menerobos semak belukar.

"Aaa...!"

Belum hilang suara jeritan panjang melengking, muncul sesosok tubuh dari semak itu. Tampak sebatang anak panah tertanam dalam di lehernya! Pada saat tubuh itu ambruk ke tanah, Bayu sudah mendarat lunak di halaman depan pondok Eyang Puger. Bersamaan dengan itu, dari balik pepohonan bermunculan sekitar dua puluh orang mengenakan ikat kepala merah dengan bulatan hitam tepat di keningnya. Mereka semua bersenjata golok. Tapi ada seorang yang memegang tombak bercabang dua pada ujung atasnya. Seorang laki-laki setengah baya mengenakan baju merah menyala yang di dadanya terdapat tiga lingkaran hitam. Seperti yang lainnya, dia juga mengenakan ikat kepala yang sama.

"Anak muda, serahkan Randu Watung padaku!" berat suara laki-laki setengah baya yang memegang tombak bercabang dua pada ujungnya itu.

"Hm..., aku tidak mengenalmu. Dan ada urusan apa kau meminta Randu Watung?" tanya Bayu dingin.

"Anak muda, aku peringatkan! Sebaiknya jangan berurusan dengan Partai Mata Iblis!"

"O..., jadi kau si Mata Iblis itu?" tebak Bayu.

"Bukan! Aku Nyakra, wakil ketiga dari si Mata Iblis! Sudahlah, Anak Muda. Jangan terlalu banyak tanya. Di mana kau sembunyikan Randu Watung?" agak kesal nada suara laki-laki setengah baya itu yang mengaku bernama Nyakra.

"Dia tidak ada bersamaku!" sahut Bayu tegas.

"Hm...," Nyakra menggumam tidak percaya. Matanya tajam melihat langsung ke dalam pondok yang pintunya terbuka lebar.

Bayu juga sempat melirik ke arah pondok itu. Tampak gelap di dalam sana. Tidak terlihat sesuatu pun. Pondok itu memang selalu gelap di dalamnya, Tidak ada jendela, hanya ada satu pintu di depan. Tapi biasanya keadaannya tidak segelap itu, karena ini siang hari, dan pintunya terbuka lebar. Lagi pula di dalam pondok itu terdapat api abadi yang selalu menyala terang kalau tidak ditutupi batu di atas tungkunya.

"Geledah rumah itu!" perintah Nyakra.

"Hey..., tunggu!" sentak Bayu terkejut.

Tapi dua orang sudah melompat cepat ke pondok itu. Dan Bayu yang berada cukup jauh, tidak mungkin bisa mengejar lagi. Pendekar Pulau Neraka itu mendepak dua buah kerikil yang berada di ujung kakinya, dan langsung melesat cepat bagai kilat. Kerikil itu pun segera menghantam kepala kedua orang yang hampir sampai ke pintu pondok!

"Akh!"

"Aaa...!"

Jeritan melengking dan tertahan terdengar hampir bersamaan. Dua orang itu pun langsung ambruk dengan kepala pecah tertimpa batu kerikil yang disepak dengan kekuatan tenaga dalam sangat sempurna sekali. Dua orang itu langsung tewas seketika! Bayu bergegas melompat ke pintu, dan berdiri tegak seraya melipat tangan di depan dada. Pandangan matanya begitu tajam menusuk, merayapi orang-orang di depannya.

"Tidak semudah itu kalian bisa masuk ke pondok ini!" dengus Bayu tandas.

"Anak muda, apa kau sadar dengan tindakanmu itu? Kau akan berhadapan dengan Partai Mata Iblis!" agak keras suara Nyakra.

"Siapa pun kalian, enyahlah dari sini!" bentak Bayu.

"Hm..., rupanya kau tidak bisa diajak lunak. Anak Muda. Baiklah, rasakan akibatnya!"

Nyakra menjentikkan jari tangannya. Dan enam orang bersenjata golok, langsung melangkah ke depan. Pendekar Pulau Neraka menggeser kakinya sedikit ke samping. Diliriknya bagian dalam pondok itu. Tidak ada seorang pun di sana. Meskipun benaknya masih bertanya-tanya, tapi harus dihadapinya enam orang lawan yang berlompatan menyerang.

"Hiyaaa...!"

"Yeaaah...!"

Dengan satu gerakan kilat, Bayu melompat dan mengirimkan pukulan serta tendangan beruntun ke arah enam orang itu. Gerakannya sungguh luar biasa cepat, dan setiap pukulan maupun tendangannya mengandung tenaga dalam sangat sempurna! Tak pelak lagi, sebelum enam orang itu berhasil menyarangkan serangannya, mereka harus menerima hajaran Pendekar Pulau Neraka.

Jerit dan pekik kesakitan terdengar saling susul. Enam orang bersenjata golok terpental ke belakang, dan jatuh bergulingan di tanah. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu golok mereka sudah berpindah tangan! Sedangkan Bayu hanya berdiri tegak menatap enam orang yang menggeletak tidak bergerak gerak lagi. Tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka memang sangat dahsyat, sehingga hanya sekali pukul saja, orang yang memiliki kepandaian rendah akan tewas seketika.

"Hih!" Bayu melemparkan golok rampasannya. Golok itu melayang cepat, dan menancap dalam di ujung kaki Nyakra. Golok berjumlah enam buah itu berjajar rapi mengelilingi wakil ketiga dari si Mata Iblis.

"Pergilah, sebelum aku bertindak lebih kejam lagi!" kata Bayu tegas.

Nyakra diam saja seraya menatap tajam. Gerahamnya bergemeletuk menahan amarah yang luar biasa. Tapi sudah dua kali di mencoba, dan delapan orang anak buahnya tewas hanya dengan satu kali gebrakan saja!

"Heh...!" Nyakra mengegoskan kepalanya disertai suara mendengus bagai sapi melenguh minta makan. Sisa anak buahnya segera melangkah mundur. Beberapa orang menggotong mayat teman mereka. Tanpa berkata apa-apa lagi, orang-orang dari Partai Mata Iblis segera meninggalkan tempat itu. Tapi Nyakra masih sempat menyemburkan ludah ke arah Pendekar Pulau Neraka.

Bayu hanya menarik napas panjang. Ditolehkan kepalanya ke arah kiri. Tampak Eyang Puger sudah berdiri di ambang pintu. Dan Bayu jadi terkejut, karena dilihatnya Randu Watung terbujur pingsan di dalam pondok itu Eyang Puger kemudian melangkah mendekati.

"Kau harus hati-hati, Bayu. Kelihatannya mereka tidak main-main," ujar Eyang Puger seraya menepuk pundak Pendekar Pulau Neraka itu.

"Ya," sahut Bayu mendesah.

Bayu melirik ke dalam pondok, dan Eyang Puger tersenyum. Dia bisa menebak apa yang dipikirkan pendekar muda itu. Ditepuknya pundak pemuda berbaju kulit harimau itu sekali lagi, dan diajaknya duduk di beranda.

"Aku tadi terpaksa menggunakan aji 'Halimun', kata Eyang Puger memberitahu tanpa diminta.

"O...?!" Bayu terkejut tidak mengerti.

"Aku menutupi pondok dengan kabut hitam agar tidak terlihat dari luar. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan diri. Aku khawatir melihat jumlah mereka yang banyak."

"Eyang bertindak tepat," puji Bayu tulus.

"Hanya untuk menjaga diri, Bayu. Ilmu itu tidak bisa digunakan untuk bertarung. Hanya untuk menyembunyikan diri saja. Ilmu pengecut!" Eyang Puger merendahkan diri.

"Tidak, Eyang. Pada dasarnya semua ilmu itu baik. Hanya manusianya saja yang membedakan baik buruknya ilmu itu."

"Kau bijaksana sekali, Bayu."

"Hanya sekadar mengingatkan, mungkin Eyang lupa."

"Ha ha ha.... Aku semakin yakin kalau kau orang yang berbudi luhur dan berhati emas. Meskipun...," Eyang Puger menghentikan kata katanya.

"Teruskan, Eyang," pinta Bayu.

"Kadang-kadang tindakanmu terlalu...," lagi-lagi yang Puger memutus kalimatnya.

"Kejam...," sambung Bayu langsung menebak.

"Aku tidak mengatakan begitu, Bayu. Aku yakin, kau masih bisa merubahnya."

"Terima kasih, Eyang," ucap Bayu tanpa ada perasaan tersinggung.

Bayu memang menyadari kalau setiap tindakannya selalu dikatakan kejam. Bahkan tokoh-tokoh rimba persilatan pun tidak bisa memasukkannya ke dalam golongan hitam atau putih. Sampai saat ini Pendekar Pulau Neraka tidak mempedulikan lawan yang bakal dihadapinya. Tidak peduli dari golongan mana. Terlebih lagi kalau orang itu tersangkut dengan pembunuhan keluarganya. Hingga saat ini tidak diketahui nasib ibunya, apakah sudah meninggal atau masih hidup. Hanya pusara ayahnya dan murid-murid ayahnya saja yang ditemukannya.

Bayu sadar, kalau sifatnya tidak akan bisa berubah sebelum menemukan ibunya. Dua puluh tahun lebih tidak pernah berjumpa. Bahkan wajah ibunya pun tidak pernah diketahuinya, karena terpisah sejak masih lahir. Belum tahu apa-apa, dan ayahnya saja baru memberinya sepotong nama ketika kerusuhan itu terjadi. (Baca Serial Pendekar Pulau Neraka, dalam kisah "Geger Rimba Persilatan")

"Kau melamun, Bayu?" tegur Eyang Puger.

"Oh!" Bayu tersentak dari lamunannya.

"Ada yang kau pikirkan?" tanya Eyang Puger lembut

"Tidak," sahut Bayu cepat. "Oh, ya. Sebaiknya kita lihat keadaan Randu Watung," Bayu mengalihkan perhatian.

Eyang Puger mengangguk dan tersenyum. Kemudian bangkit berdiri dan melangkah masuk ke dalam pondoknya. Sesaat Bayu masih duduk, kemudian ikut masuk ke dalam pondok kecil yang hampir rubuh itu. Kalau saja tidak ditunjang oleh batu dan pohon beringin, mungkin sudah lama pondok kecil ini hancur terhempas angin.

********************

Tepat seperti yang diramalkan Eyang Puger. Setelah tiga hari, Randu Watung baru bisa sadarkan dan itu pun keadaannya masih sangat lemah sekali, dia belum bisa diajak bicara. Eyang Puger merawatnya dengan sabar. Setiap saat laki-laki tua kurus itu mengeluarkan racun di dalam tubuh Randu Watung dan sedikit demi sedikit kesehatan pemuda itu pun pulih kembali. Memang tidak hanya satu hari untuk dapat bangkit dari pembaringan.

Setelah satu pekan pulih dari kesadarannya, Randu Watung baru bisa berlatih ringan. Tenaganya belum pulih benar, dan Eyang Puger juga masih berusaha memulihkannya seperti sediakala. Terlalu berat luka dalam yang diderita pemuda itu. Sehingga harus menjalani beberapa tahap penyembuhan. Dan tampaknya Randu Watung menyadari hal itu, dia selalu sabar dan mematuhi setiap kata yang diucapkan Eyang Puger.

"Kau berlatih cukup keras hari ini, Randu," kata Eyang Puger pada hari ke sepuluh Randu Warung melatih jurus-jurusnya kembali.

"Aku hanya berlatih ringan saja, Eyang," sahut Randu Watung.

"Nampaknya keadaanmu sudah pulih benar. Kau sudah bisa mengerahkan kekuatan tenaga dalammu kembali. Mudah-mudahan tidak berkurang," ujar Eyang Puger.

"Sudah kucoba, Eyang Tidak ada perubahan sama sekali."

"O..., syukurlah," desah Eyang Puger tersenyum senang.

Percakapan mereka terhenti ketika Bayu datang membawa seikat kayu bakar. Pendekar Pulau Neraka itu meletakkan kayu bakar di samping pondok, kemudian dihampirinya Eyang Puger dan Randu Watung yang duduk di bawah pohon beringin di depan pondok agak menyamping. Bayu duduk di samping laki-laki tua kurus berjubah putih kekuningan itu.

"Kelihatannya serius sekali," kata Bayu seraya memandangi mereka.

"Tidak," sahut Eyang Puger.

"Hm ... bagaimana keadaanmu, Randu?" tanya Bayu.

"Baik," sahut Randu Watung. "Tenagaku sudah pulih kembali, dan ini berkat perawatan Eyang Puger."

"Syukurlah kalau begitu. Dan berarti aku tidak bisa terus tinggal di sini. Harus kulanjutkan perjalanan kembali," ucap Bayu langsung tanpa basa-basi lagi.

"Bayu..," agak tertahan suara Randu Watung Dia merasa tidak enak.

"Ada yang harus kukerjakan, Randu. Dan aku sudah berjanji pada Eyang Puger," potong Bayu cepat.

"Bayu, sebaiknya kau tunda dulu urusan itu. Nampaknya Randu lebih penting dan harus didahulukan. Sudah tiga kali mereka datang ke sini. Kau tidak akan membiarkannya sendirian, kan?" lembut dan berwibawa nada suara Eyang Puger.

"Terus terang, Eyang. Aku tidak bisa terus-menerus menghadapi mereka tanpa tahu permasalahannya," kata Bayu seraya melirik Randu Watung.

"Maaf, kalau aku lupa menjelaskannya padamu, Bayu," ucap Randu Watung menyesal.

"Baru sedikit. Yang aku tidak ketahui, siapa sebenarnya si Mata Iblis itu? Dan mengapa ia selalu mengejar, bahkan ingin membunuhmu?" tanya Bayu langsung.

"Sebenarnya aku tidak ingin melibatkan orang lain dalam urusan pribadiku ini. Aku telah begitu banyak merepotkan kalian berdua. Seharusnya urusan ini kuselesaikan sendiri," kata Randu Watung, semakin tidak enak hatinya.

"Kau jangan berkata begitu, Randu. Sejak kau kutemukan tergeletak pingsan, mau tidak mau aku sudah terlibat. Apalagi sudah lebih dari sepuluh orang tewas di tanganku. Mereka tentu tidak akan melupakanku begitu saja," potong Bayu cepat.

"Aku menyesal telah melibatkanmu, Bayu," desah Randu Watung pelan.

"Ah, sudahlah. Ceritakan saja, apa masalahmu sehingga orang-orang Partai Mata Iblis mau membunuhmu?" desak Bayu tidak sabar.

Randu Watung menarik napas panjang. Tapi belum juga pemuda berbaju biru tua itu membuka mulutnya, mendadak....

"Awas...!" seru Bayu tiba-tiba.

EMPAT

Pendekar Pulau Neraka langsung melentingkan tubuhnya ketika seleret cahaya keperakan meluncur deras dari arah depan. Tubuhnya berputaran dua kali di udara, dan mendadak cahaya keperakan itu pun lenyap di dalam gulungan putaran tubuhnya. Begitu kakinya mendarat di tanah, terlihat sebilah pisau kecil' dan tipis berwarna keperakan terjepit di antara kedua jari tangan kanannya.

Belum lagi Bayu bisa menarik napas, datang lagi dua cahaya keperakan ke arah dirinya. Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka itu menggerakkan tangannya, dan mulutnya menangkap salah satu pisau kecil itu. Satunya lagi berhasil dijepit oleh jari tangan kiri.

"Hiyaaa.!"

Sambil berteriak keras, Bayu melemparkan dua pisau di tangannya sekaligus ke arah datangnya tadi. Dan sambil memutar tubuh, diambilnya pisau kecil yang berada di mulutnya, lalu dilontarkan ke atas sebuah pohon yang cukup tinggi dan rimbun.

"Akh!"

"Aaa...!"

Bersamaan dengan munculnya seseorang dari balik semak dengan dua pisau tertancap di leher, dari atas pohon meluncur jatuh seorang lagi dengan pisau menancap tembus di lehernya. Belum lagi hilang suara jeritan itu, tiba-tiba berlompatan beberapa orang yang langsung mengepung Bayu, Randu Watung dan Eyang Puger.

Ada sekitar tiga puluh orang mengenakan ikat kepala merah dengan bulatan hitam di bagian kening. Mereka semua sudah menghunus golok masing-masing. Dan belum lagi ada yang membuka suara, dari atas pohon meluncur turun sebuah bayangan hitam. Tahu tahu di depan Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri seorang berbaju hitam yang kepalanya hampir tertutup caping bambu yang lebar. Dari bentuk tubuh, kulit tangan serta kaki yang putih, dapat diketahui kalau orang itu adalah wanita.

"Caping Maut...," desis Eyang Puger pelahan, hampir tidak terdengar suaranya.

Tapi Bayu mendengar desisan itu dan diliriknya laki-laki tua berjubah kumal dan bertubuh kurus kering itu. Bayu menggeser kakinya mendekati Eyang Puger. Sedangkan Randu Watung nampak agak pucat menatap tidak berkedip pada orang berbaju hitam bercaping lebar yang menutupi hampir seluruh wajahnya itu. Perubahan wajah Randu Watung itu dapat dilihat Bayu, meskipun perubahan itu hanya sesaat, dan hampir tidak terlihat sama sekali.

"Randu Watung! Sebaiknya kau tidak melakukan perlawanan sama sekali. Kau tinggal sendiri, tidak mungkin bisa meneruskan rencana gila ayahmu," lantang kata-kata orang bercaping bambu itu. Meskipun nada suaranya dibuat-buat, tapi masih dapat diketahui kalau dia seorang wanita. "Dan kalian berdua, sebaiknya tidak ikut campur dalam urusan ini

"Randu, siapa dia?" tanya Bayu setengah berbisik.

"Aku tidak tahu. Dialah yang membunuh pamanku dan melukaiku," sahut Randu Watung jujur,

"Dia berjuluk si Caping Maut. Tapi...," celetuk Eyang Puger terdengar bergumam seperti untuk dirinya sendiri.

"Hm..., rupanya kau tahu banyak tentang diriku, Orang Tua. Tapi sayang, kau salah menilai!" celetuk si Caping Maut dingin.

"Siapa kau sebenarnya? Kenapa berlindung dibalik nama Caping Maut?" tanya Eyang Puger keras.

"Ha ha ha...! Akulah si Caping Maut!" si Caping Maut tertawa terbahak-bahak.

"Aku kenal si Caping Maut. Dia tidak punya ilmu pukulan beracun. Dan ilmu yang kau gunakan pada Randu Watung adalah jurus 'Dewa Maut Menyebar Racun'," lantang suara Eyang Puger.

"Orang tua! Sebaiknya jangan banyak bicara. Urusanku dengan bocah itu, bukan denganmu!" bentak si Caping Maut geram.

"Hhh! Sebaiknya kau buka saja tudungmu, Nisanak. Kalau bukan si Ratu Iblis, pasti kau adalah muridnya. Atau kau seorang pencuri ilmu? kata-kata Eyang Puger.

"Keparat! Kau terlalu banyak omong, tua bangka!" geram si Caping Maut.

Kalau saja wajahnya tidak tertutup caping yang lebar itu, pasti wajahnya sudah memerah bagai udang rebus. Dan orang berbaju serba hitam itu menjentikkan jarinya. Seketika itu juga sepuluh orang bersenjata golok berlompatan menyerang. Tujuan mereka sudah jelas, membunuh Eyang Puger yang membuat murka si Caping Maut.

Saat itu juga Bayu tidak bisa tinggal diam. Dia tidak ingin Eyang Puger celaka. Karena Pendekar Pulau Neraka itu tahu kalau Eyang Puger hanya bisa sedikit ilmu olah kanuragan, meskipun ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tahap kesempurnaan. Pendekar Pulau Neraka itu cepat melompat menghadang terjangan sepuluh orang itu. Bahkan Randu Watung yang merasa berhutang nyawa pada Eyang Puger, tidak mau tinggal diam. Langsung diloloskan pedangnya, dan bergerak cepat menghadang serangan sepuluh orang itu. Sedangkan Eyang Puger hanya berdiri saja di antara dua pemuda yang berusaha menghalau penyerang-penyerang itu.

Si Caping Maut memberi isyarat lagi ketika dilihatnya dalam sebentar saja sudah enam orang tewas bersimbah darah. Dan semua orang yang dibawanya, langsung bergerak maju mengeroyok Randu Watung dan Pendekar Pulau Neraka. Menghadapi keroyokan yang demikian banyaknya, Bayu sukar melepaskan senjata andalannya, Cakra Maut. Dia terpaksa menggunakan senjata itu digenggam. Namun begitu, keampuhannya tidak berkurang Golok yang beradu dengan Cakra Maut, langsung terpotong jadi dua bagian!

Denting senjata beradu dan pekik pertempura berbaur menjadi satu. Tubuh-tubuh bergelimpangan semakin bertambah. Bau anyir darah pun mulai tercium menyengat hidung. Tapi orang-orang Mata Iblis seakan tidak mengenal rasa takut. Meskipun sudah banyak yang tewas, tetap saja mereka merangsek.

"Hup! Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja si Caping Maut melompat cepat bagaikan kilat menyambar Eyang Puger, dan langsung dibawanya pergi. Bayu yang melihat itu, berusaha mengejar, namun orang orang Mata Iblis menghalanginya. Pendekar Pulau Neraka itu jadi geram setengah mati. Dia mengamuk bagai banteng terluka! Jerit pekik kematian pun menggema saling susul dibarengi terjungkalnya tubuh-tubuh yang tak bernyawa lagi!

Sementara itu bayangan si Caping Maut sudah tidak terlihat lagi. Dan orang-orang dari Partai Mata Iblis, langsung berlompatan mundur melarikan diri. Jumlah mereka sudah berkurang lebih dari setengahnya. Bayu berusaha mengejar, tapi beberapa pisau kecil beterbangan ke arahnya. Pendekar Pulau Neraka itu terpaksa berjumpalitan menghindari terjangan pisau-pisau kecil dan tipis berwarna keperakan itu. Dan begitu tidak ada lagi serangan yang datang, semua orang yang mengeroyoknya tadi sudah tidak terlihat lagi. Lenyap bagai ditelan bumi

"Huh!" dengus Bayu kesal. Dibalikkan badannya menghadap Randu Watung yang baru saja memasukkan pedang ke dalam sarungnya di pinggang.

Randu Watung menatap penuh penyesalan atas kejadian ini, karena harus melibatkan orang-orang yang telah berjasa menyelamatkan nyawanya dari maut. Bukan keinginannya untuk melibatkan Pendekar Pulau Neraka dan Eyang Puger. Tapi keadaanlah yang memaksa. Semua sudah terjadi, tidak ada gunanya penyesalan dihati. Sekarang ini keselamatan Eyang Puger menjadi perhatian utama.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Bayu?" tanya Randu Warung seperti orang kehilangan akal.

"Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu!" sentak Bayu kesal.

"Maaf, aku...," Randu Watung menjadi bergetar.

"Ah, sudahlah...!" potong Bayu cepat. Paling tidak disukainya mendengar kata-kata penyesalan. Baginya segala sesuatu yang telah terjadi tidak perlu disesalkan, tapi harus dihadapi. Baginya kata-kata penyesalan bukan satu hal untuk menyelesaikan persoalan.

Randu Warung langsung terdiam. Dari sorot matanya jelas terlihat kalau dia begitu menyesali semua yang telah terjadi. Tapi melihat sikap Pendekar Pulau Neraka yang tampaknya berang, dia tidak bisa berkata-kata lagi. Hanya diam yang bisa dilakukannya saat ini.

"Kau tahu, di mana sarang mereka?" tanya Bayu tajam

"Aku tidak tahu," sahut Randu Watung.

"Tidak tahu...?!" Bayu jadi mendelik. "Mereka selalu berusaha mencarimu. Dan kau mengakui kalau ada urusan dengan mereka, tapi sekarang kau bilang tidak tahu di mana mereka berada. Ini bukan saatnya main-main, Randu Watung! Kesabaranku bisa hilang, tahu!" keras nada suara Bayu.

"Sungguh, Bayu. Aku tidak tahu tempat tinggal mereka," kata Randu Watung berusaha meyakinkan.

"Randu apa sebenarnya masalahmu dengan mereka?" tanya Bayu setelah menarik napas panjang.

Randu Warung tidak langsung menjawab, meskipun nada suara Pendekar Pulau Neraka itu sudah terdengar sedikit lunak. Pemuda berbaju biru tua itu menghembuskan napas panjang, seakan-akan berat untuk menjawab pertanyaan itu. Melihat hal itu, Bayu tampak kesal. Digeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan mata sukar untuk diartikan.

"Baik...! Kau tunggu di sini sampai aku kembali bersama Eyang Puger. Tapi kalau terjadi apa-apa padanya, kau yang pertama harus bertanggung jawab," kata Bayu tegas.

Setelah berkata demikian, Bayu langsung berbalik dan melangkah lebar-lebar. Sejenak Randu Watung hanya diam mematung dengan mulut terbuka lebar Kemudian dia berlari mengejar Pendekar Pulau Neral itu.

"Bayu, tunggu...!"

Tapi Bayu tetap berjalan cepat. Tapi dia tidak mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga Randu Watung dengan mudah bisa mengejar, dan mensejajarkan langkahnya di samping pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Bayu, aku minta maaf. Bukan maksudku untuk mempermainkan dirimu. Sungguh, aku tidak menghendaki semua ini terjadi...," kata Randu Watung dengan nada suara bersungguh-sungguh.

Namun Bayu tetap diam. Dan langkahnya juga tidak berhenti setindak pun. Bahkan semakin cepat saja diayunkan kakinya.

"Dengar dulu, Bayu. Dengar penjelasanku...," desak Randu Warung.

"Tidak perlu, dan kau sebaiknya tunggu di pondok sampai aku kembali! Jangan paksa aku berubah pikiran, Randu!" tegas kata-kata Bayu.

"Tapi kau tidak akan bisa ke sana sendirian, Bayu!"

Seketika itu juga langkah kaki Pendekar Pulau Neraka terhenti. Tatapan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata Randu Warung. Sedangkan yang ditatap jadi gelisah. Baru disadari kalau sudah keterlepasan bicara tadi.

"Yah..., memang seharusnya aku berterus terang padamu. Bayu. Bagaimanapun juga kau sudah terlibat. Dan sekarang keselamatan Eyang Puger terancam di tangan mereka. Aku memang bersalah tidak mau berterus terang sejak semula. Tapi bukan maksudku untuk mempermainkan atau bermaksud buruk. Aku hanya tidak ingin ada orang lain yang terlibat dalam masalah ini Sungguh, Bayu. Aku berkata jujur dari hati nuraniku sendiri. Aku hanya tidak ingin ada yang celaka Sudah terlalu banyak korban yang jatuh," terdengar serius kata-kata Randu Watung.

"Kau sudah melibatkan aku, Randu. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, aku sudah tedibat. Dan sekarang nyawa Eyang Puger terancam. Bagaimanapun juga aku turut bersalah karena keterlibatan Eyang Puger karenaku juga," kata Bayu, mulai lunak suaranya.

"Bayu, memang ada beberapa ceritaku yang tidak benar. Tapi tidak semuanya bohong...," kata Randu Watung mulai terbuka.

"Di mana kebohonganmu?" tanya Bayu dingin. Kekesalannya mulai kambuh mendengar dirinya dibohongi.

"Aku sebenarnya bukan anak adipati, dan ayahku juga bukan seorang adipati. Semua itu tidak benar. Tapi memang ada pemberontakan di Kadipaten...."

"Siapa kau sebenarnya?" potong Bayu cepat sebelum Randu Watung selesai berbicara.

"Aku memang berasal dari sana. Juga seluruh keluargaku. Ayahku adalah seorang pejabat tinggi di sana, Tapi Ayah selalu menentang tindakan Gusti Adipati yang bertangan besi dan selalu menyengsarakan rakyat. Sebenarnya ayah lah yang memimpin pemberontakan. Tapi gagal, karena Gusti Adipati dibantu oleh orang dari Partai Mata Iblis. Mereka membunuh semua keluargaku, membakar hangus seluruh desa kelahiran keluargaku. Mereka belum puas kalau seluruh keturunan ayahku dan semua keluargaku belum lenyap," cerita Randu Watung.

"Hm.... Benar itu, Randu?" tanya Bayu setengah tidak percaya.

"Kali ini aku mengatakan yang sebenarnya, Bayu," sahut Randu Warung sungguh-sungguh.

"Teruskan," pinta Bayu.

Randu Warung menceritakan keadaan di Kadipaten Sangkal Putung sambil berjalan pelahan-lahan. Saat itu senja mulai merayap turun, tapi mereka tetap saja berjalan tanpa mempedulikan sang waktu. Sementara Bayu yang berjalan di sampingnya, hanya sesekali saja membuka suara. Itu pun dia bertanya kalau ada yang kurang jelas.

"Hm.... Rasanya sukar dipercaya kalau kau tidak tahu-menahu sama sekali tentang si Mata Iblis. Kau bisa mengenali orang-orangnya, tapi tidak tahu pemimpinnya," kata Bayu setengah bergumam.

"Mereka tiba-tiba saja muncul, dan menghancurkan semua rencana yang sudah disusun matang ayahku. Tidak ada yang tahu tentang mereka, kecuali adipati sendiri," sahut Randu Watung.

"Kau juga tidak tahu tentang si Caping Maut?" tanya Bayu bernada enggan. Karena sudah bisa ditebak jawaban Randu Watung.

"Tidak," sahut Randu Warung singkat

Bayu tersenyum tipis. Jawaban itulah yang sudah diduganya sejak semula.

"Kau pasti tidak percaya, Bayu," Randu Watung merasakan ada kekecewaan di balik senyuman tipis pendekar muda itu.

"Percaya. Hanya saja terasa aneh bagiku. Bagaimana mungkin kau akan membalaskan kematian pamanmu, kalau kau tidak tahu siapa yang melakukan semua itu. Sedangkan baru menghadapi si Caping Maut saja sudah tidak mampu. Bukannya aku meremehkanmu, Randu. Tapi..., ah, sudahlah!" Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Aku rasa semua jawabannya akan didapat di Kadipaten Sangkal Putung, Bayu," kata Randu Watung pelan. Nada suaranya terdengar ragu-ragu.

"Kau yakin?"

"Entahlah," sahut Randu Watung ragu-ragu.

"Tapi semua persoalannya berawal dari sana."

"Dan kau pasti tidak berani masuk ke sana."

"Bayu, demi Eyang Puger, aku rela mati. Aku berhutang nyawa padanya. Juga padamu. Aku tidak bisa lagi berbuat lain. Aku perlu pertolonganmu, Bayu," kata Randu Watung memohon.

Bayu hanya diam saja.

"Aku memang anak seorang pemberontak, Bayu. Tapi semua yang dilakukan oleh keluargaku demi kemanusiaan. Memerangi keangkaramurkaan yang merajalela di Kadipaten Sangkal Putung. Tidak ada maksud lain tersirat di hatiku, juga di hati ayahku selain membebaskan rakyat dari penderitaan dan tekanan yang mencekik leher. Kau bisa melihat penderitaan mereka nanti di sana, Bayu. Kau bisa saksikan, betapa menderitanya mereka. Bumi yang subur dan banyak menjanjikan kemakmuran terasa bagai neraka bagi mereka," kata Randu Watung serius.

"Aku sering melihat orang-orang yang menderita, tertekan, bergelimang dalam kemiskinan. Bukan hanya di tanah kelahiranmu, tapi juga di seluruh pelosok mayapada ini. Semua itu tidak akan bisa terhapus sampai dunia ini hancur sekalipun. Penderitaan bukan untuk disesali dan dikasihani. Tapi harus dilawan sebatas kemampuan. Kau, atau siapa pun juga tidak akan bisa merubah nasib mereka, Randu. Semua itu bisa hilang dari diri sendiri. Seorang yang kelihatannya tidak memiliki apa-apa, belum tentu dia miskin, dan sebaliknya. Semua bisa diukur dari jiwa, bukan dari berlimpahnya harta, kedudukan ataupun kekuasaan," kata Bayu panjang lebar menguraikan arti kehidupan.

"Kau bijaksana sekali, Bayu. Tidak heran kalau Eyang Puger selalu menyanjungmu," ucap Randu Watung tulus.

Kata-kata Pendekar Pulau Neraka itu sungguh meresap ke dalam sanubari Randu Watung. Dan semakin diresapi, semakin nyata kebenarannya. Kemiskinan dan penderitaan memang tidak bisa diukur dengan berlimpahnya harta, pangkat, kedudukan dan kekuasaan. Tapi semua hanya dapat dirasakan oleh masing-masing. Oleh jiwa seseorang.

"Randu, kita ke Kadipaten Sangkal Putung. Tapi ingat, bukan untuk merubah nasib rakyatnya, melainkan meringankan beban penderitaan mereka. Itu pun kalau memang benar apa yang kau ceritakan. Tapi kalau ternyata hanya karanganmu saja, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kau sendiri yang harus menentukannya," kata Bayu setengah mengancam.

"Nyawaku taruhannya, Bayu," janji Randu Watung.
"Terserah kau."

Pendekar Pulau Neraka itu memang sudah tidak mudah lagi percaya, karena Randu Watung pernah membohonginya. Sekali saja dirinya merasa dipermainkan, tidak ada ampun lagi. Bayu memang tegas, tapi mudah jatuh belas kasih. Hanya saja dia tidak bisa dikhianati sedikit pun. Sekali saja orang mendustainya, sukar baginya untuk bisa mempercayai kembali. Tapi melihat adanya kesungguhan di hari Randu Watung, Bayu mau juga ke Kadipaten Sangkal Putung. Tapi yang menjadi tujuan utamanya adalah menyelamatkan Eyang Puger dari cengkeraman orang yang berjuluk si Caping Maut itu.

********************

LIMA

Sementara itu, di suatu tempat tidak jauh dari Kadipaten Sangkal Putung, tepatnya di Bukit Kedaung, Eyang Puger duduk bersila di tanah yang tertutup jerami kering. Dinding dinding batu yang melingkarinya sangat tinggi, hitam dan berlumut tebal. Tidak ada sedikit pun lubang. Ruangan kecil ini terasa lembab. Hanya sebuah pelita kecil yang meneranginya dari luar pintu besi yang kokoh. Pintu itu hanya terdapat lubang kotak kecil yang tidak bisa dimasuki tangan.

Eyang Puger mengangkat kepalanya ketika mendengar suara pintu terbuka. Cahaya pelita langsung menerobos masuk, bersamaan dengan masuknya dua orang bertubuh kekar dengan golok terselip di pinggang. Dua orang berwajah beringas dan kasar itu kemudian mengangkat tubuh Eyang Puger, dan memaksanya berdiri. Lalu dengan kasar salah seorang mendorongnya keluar.

"Cepat, jalan!" bentaknya kasar.

Eyang Puger melangkah tertatih-tatih keluar dari ruangan sempit berdinding batu itu. Dia terus berjalan menyusuri lorong batu yang cukup panjang dan berliku diiringi dua orang di belakangnya. Laki-laki tua kurus kering itu berhenti tepat di depan sebuah pintu yang terbuat dari besi baja yang kokoh dan rapat. Salah seorang mengetuk pintu itu, yang langsung terbuka lebar. Cahaya matahari seketika menerobos masuk, membuat mata Eyang Puger mengerjap-ngerjap karena silau.

Salah seorang mendorong punggungnya, dan Eyang Puger kembali melangkah ke luar. Sejenak dipandanginya keadaan di luar. Tampak sebuah bangunan besar dan megah bagai sebuah istana kecil, berdiri megah di depan pintu penjara bawah tanah ini. Beberapa orang bersenjata, tampak menjaga bangunan itu. Eyang Puger melangkah menuju ke bangunan besar itu, mengikuti salah seorang yang membawanya. Sedangkan seorang lagi berjalan di belakang.

Lantai marmer yang putih, halus dan licin terasa dingin begitu kaki kurus laki-laki tua itu menginjaknya. Eyang Puger terus dibawa masuk ke dalam bangunan besar dan megah itu. Sebuah tangan kasar mendorongnya dengan keras, sehingga laki-laki tua itu jatuh tersungkur ke lantai. Pelahan-lahan Eyang Puger mengangkat kepalanya, dan matanya langsung membeliak lebar begitu melihat seorang laki-laki muda berwajah tegang dengan garis-garis kekerasan, berdiri tegak berkacak pinggang di depannya. Di belakangnya terlihat sebuah singgasana yang indah.

Ada empat orang di sebelah kiri pemuda berbaju indah dari bahan sutra halus berwarna hijau muda itu. Di sebelah kanannya juga terdapat empat orang. lalu dibelakangnya, di samping singgasana duduk seorang berpakaian hitam dengan wajah tertutup cadar hitam yang tipis. Juga ada seorang wanita berwajah cantik mengenakan baju gemeriapan yang ketat sehingga membentuk tubuhnya yang indah. Di punggungnya tersandang sebilah pedang yang gagangnya dihiasi batu mutiara. Yang membuat Eyang Puger terbeliak, justru laki-laki muda berwajah keras itu.

"Balaga...," desis Eyang Puger, agak tertahan suaranya.

"Selamat datang di istanaku, Ayah," ucap laki-laki yang dikenali Eyang Puger bernama Balaga itu.

"Phuih! Tidak pantas kau menyebut ayah padaku, Balaga!" dengus Eyang Puger ketus.

"Bagaimanapun juga kau adalah mertuaku."

"Siapa sudi punya menantu sepertimu? Cucuku bunuh diri gara-gara kau, Manusia iblis!"

"Ah, sayang sekali. Seharusnya dia bisa menunggu. Tapi sudahlah, itu memang kemauannya."

"Iblis kau, Balaga! Kubunuh kau...!" geram Eyang Puger memuncak amarahnya.

Tapi belum juga laki-laki tua itu bergerak, sebilah golok sudah menempel di lehernya. Laki-laki yang membawanya dari dalam penjara bawah tanah menatapnya tajam seraya menempelkan goloknya di leher laki-laki tua itu.

Golok itu menjauh setelah Balaga memberi isyarat dengan tangannya. Tapi Eyang Puger tidak bisa berbuat apa apa lagi. Dua orang bersenjata golok kini telah mengapitnya, dan menekannya agar tetap duduk di lantai

"Ketahuilah, Eyang Puger. Aku membawamu ke sini agar kau tidak terlibat dengan si pemberontak keparat itu. Dia pelarian, dan aku harus menyerahkan kepalanya pada Gusti Adipati. Tapi sayang, dia juga bermaksud buruk padaku. Terpaksa nyawanya harus melayang," ringan sekali kata-kata Balaga.

Eyang Puger hanya diam dengan geraham bergelemetuk menahan geram.

"Aku juga tidak akan segan-segan memenggal kepalamu jika kau tetap keras kepala!" kali ini terasa dingin nada suara Balaga.

"Kau pikir aku takut mendengar ancamanmu, bocah setan!" dengus Eyang Puger sinis.

"Jelas kau tidak takut mati, karena kau memang sudah bau tanah! Tapi bukan itu yang kuinginkan..."

"Bicaramu berbelit-belit, tapi hatimu tetap busuk!" ucap Eyang Puger geram.

"Ha ha ha...! Kau tidak akan berkata begitu kalau tahu siapa yang membawamu ke sini, Eyang Puger," kata Balaga seraya tertawa terbahak-bahak.

Eyang Puger menatap orang yang berbaju serba hitam dan memakai cadar hitam pula. Masih memperdengarkan suara tawanya, Balaga berbalik dan melangkah menghampiri orang yang duduk di samping singgasana itu. Ditepuk-tepuknya bahu orang itu yang ramping. Dan pelahan-lahan orang itu mengangkat cadar yang menutupi seluruh wajahnya.

"Kau...!" Eyang Puger terbeliak begitu melihat wajah orang itu.

"Ha ha ha...!"

********************

Sementara itu di tempat lain yang cukup jauh dari Kadipaten Sangkal Putung, Bayu Hanggara dan Randu Watung masih terus berjalan menuju kadipaten itu. Mereka berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Menurut Randu Watung, setelah melewati sebuah sungai yang besar, mereka akan sampai diwilayah Kadipaten Sangkal Putung.

Sekarang sungai besar yang airnya mengalir deras itu sudah terlihat Tampak sebuah rakit bersandar di tepi sungai. Di dalamnya duduk seorang tukang rakit menunggu penumpang. Bayu bergegas menuju rakit itu, karena dilihatnya di seberang sungai sana juga ada beberapa orang hendak menyeberang.

"Tukang rakit, tunggu...!" teriak Bayu saat melihat tukang rakit itu hendak menuju ke seberang.

Tukang rakit itu menoleh, dan menunggu. Bayu bergegas melompat naik diikuti Randu Watung. Rakit dari bambu itu bergerak pelahan menuju ke seberang sungai. Bayu berdiri paling ujung di depan. Pandangannya lurus tidak berkedip ke depan. Di belakangnya berdiri Randu Watung. Wajah pemuda itu kelihatan gelisah. Seberang sungai sana adalah wilayah Kadipaten Sangkal Putung. Itu berarti dia harus siap menyabung nyawa di tanah kelahirannya sendiri.

Tidak berapa lama kemudian, rakit itu pun merapat ke tepi, Bayu bergegas melompat diikuti Randu Watung. Pendekar Pulau Neraka itu melemparkan sekeping uang perak yang langsung ditangkap tukang rakit dengan tangkas. Kedua bola matanya membeliak lebar begitu melihat uang di dalam genggamannya. Hampir tidak dipercayainya dengan apa yang dilihatnya ini. Sungguh besar sekali pembayaran yang diterimanya. Bisa dua bulan penuh tidak akan habis uang ini meskipun dia tidak lagi mengayuh rakit menyeberangkan orang di sungai ini. Sementara orang-orang yang menunggu akan menyeberang, sudah naik ke rakit itu.

"Yihuiii...!" si tukang rakit berteriak gembira seraya berjingkrakan bagai anak kecil.

Tidak dipedulikannya lagi orang-orang yang akan menyeberang. Dengan cepat dia melompat dari rakitnya dan berlari kencang. Tinggal orang-orang yang sudah menunggu terbengong-bengong keheranan. Tukang rakit itu berlari-lari berjingkrakan sambil berteriak teriak gembira.

"Kenapa dia?"

"Sudah gila, barangkali."

"Terus, rakit ini...?"

Enam orang di atas rakit saling berpandangan.

"Hei...! Tukang rakit...!" teriak salah seorang memanggil.

"Buat kalian saja rakitnya...!" teriak si tukang rakit keras. "Aku tidak jadi tukang rakit lagi! Aku sudah kaya...! Ha ha ha...!"

"Beleguk!"

"Dasar edan...!"

Orang-orang yang sudah berada di atas rakit mengumpat kesal melihat tingkah orang yang selalu berada di sungai menjual jasa itu. Sebentar mereka saling berpandangan, lalu salah seorang mengambil kayuh, dan mulai mengayuh rakit itu ke seberang. Tidak ada lagi yang mempedulikan si tukang rakit yang dianggap sudah gila itu.

Sementara Pendekar Pulau Neraka dan Randu Watung sudah demikian jauh meninggalkan sungai. Mereka terus berjalan cepat melintasi hutan kecil yang menjadi pembatas kota kadipaten dengan perbatasan sungai besar itu. Bayu menghentikan langkahnya sekitar beberapa tombak lagi jaraknya memasuki pintu gerbang kota kadipaten. Randu Watung juga ikut berhenti melangkah. Mereka memandang pintu gerbang perbatasan yang dijaga dua orang prajurit kadipaten.

"Kau ragu-ragu, Randu?" Bayu menoleh menatap Randu Warung.

"Aku merasa ada yang aneh, Bayu. Tidak biasanya gerbang Utara ini dijaga," kata Randu Watung setengah bergumam.

Bayu kembali mengalihkan pandangannya. Saat itu seorang penjaga sudah berjalan menghampiri., Tombak panjang tergenggam erat di tangan kanannya. Dia berhenti setelah jaraknya tinggal beberapa langkah lagi Dan begitu melihat Randu Watung, langsung membungkuk memberi hormat.

"Raden...," ucap penjaga itu, agak tersendat suaranya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti takut ada orang lain yang melihatnya.

"Kenapa Raden kembali?"

"Siapa yang menugaskanmu di sini?" Randu Watung malah balik bertanya.

"Gusti Mata Iblis, perintah langsung dari si Caping Maut," sahut prajurit penjaga itu.

"Bukan Gusti Adipati?"

"Gusti Adipati sudah tiada, Raden. Sekarang ini istana kadipaten dalam keadaan kosong. Kami semua mengharapkan Raden, tapi tidak bisa berharap terlalu banyak. Bahkan seharusnya Raden tidak kembali pada saat seperti ini. Terlalu berbahaya, Raden...."

Randu Watung menatap Pendekar Pulau Neraka yang hanya diam saja dengan kening agak berkerut. Randu Watung bisa mengetahui kalau Bayu minta penjelasan tentang sikap prajurit penjaga itu. Tapi sekarang ini tidak ada waktu untuk menjelaskan.

"Prajurit kau harus melupakan pertemuan ini. Jangan katakan pada siapa pun kalau aku sudah kembali. Percayalah, Kadipaten Sangkal Putung. Sebentar lagi akan kembali seperti semula," pesan Randu Watung.

"Baik, Raden," sahut prajurit itu seraya membungkuk hormat.

"Kembalilah ke tempatmu, katakan pada temanmu itu. Jaga rahasia ini."

"Hamba laksanakan, Raden."

Saat prajurit itu berbalik, Randu Watung mencolek tangan Bayu. Dan secepat kilat mereka melompat melewati kepala prajurit penjaga itu, langsung menerobos pintu gerbang memasuki kota kadipaten. Begitu cepatnya mereka bergerak, sehingga dua orang prajurit itu hanya bisa bengong terlolong dengan mulut terbuka lebar.

Bayu dan Randu Watung terus berlari cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh. Kalau mau, sebenarnya Pendekar Pulau Neraka itu bisa jauh meninggalkan Randu Watung. Tapi hal itu tidak dilakukannya karena dia tidak tahu seluk-beluk kadipaten ini. Dan sikap penjaga gerbang Utara itu masih menjadi bahan pemikirannya. Tidak mungkin penjaga itu membungkuk hormat kalau Randu Watung bukan seorang putra yang disegani. Terlebih lagi penjaga itu menyebutnya Raden.

"Randu, sebaiknya jangan sekarang. Tunggu sampai malam," kata Bayu seraya menghentikan langkah kakinya.

Randu Watung menghentikan langkahnya. Sebentar ditatapnya Pendekar Pulau Neraka itu. Kemudian ditolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, lalu mengajak Bayu pergi, mencari tempat yang aman. Kedua pemuda itu melangkah cepat menembus pepohonan yang sangat rapat

********************

Malam sudah merambat jatuh ke dalam pelukan bumi. Seluruh permukaan Bukit Kedaung terselimut kegelapan. Tapi di salah satu tempat tampak terang oleh cahaya obor dan pelita. Tempat yang sangat indah dengan bangunan megah bagai sebuah istana kecil di puncak bukit.

Pintu gerbang benteng yang tinggi dan kokoh, terkuak memperdengarkan suara berderit dari engsel berkarat Terlihat seorang laki-laki tua berjubah putih kumal berjalan tertatih-tatih keluar dari gerbang benteng istana itu. Pintu yang terbuat dari kayu jati tebal, kembali tertutup. Orang tua berambut putih semua itu berhenti sebentar. Dipalingkan wajahnya memandang bangunan yang megah di belakangnya. Kemudian pelahan-lahan kakinya kembari terseret melangkah pergi. Tongkat kayu tanpa bentuk membantu langkahnya yang terseret lesu.

Tanpa disadari, dua pasang mata mengamati sejak laki-laki tua itu keluar dari pintu gerbang benteng bangunan megah itu. Dua pasang mata itu terus mengikuti sampai jauh meninggalkan bangunan tersebut Dan tiba-tiba mereka muncul di depan, sehingga membuat laki-laki tua itu terkejut setengah mati.

"Eyang, ini aku..., Bayu."

"Oh...," laki-laki tua yang ternyata Eyang Puger mendesah panjang.

Orang yang mengamati sejak tadi ternyata memang Bayu dan Randu Watung. Keduanya langsung mendekati dan menuntun Eyang Puger menjauhi tempat yang terbuka itu. Mereka berhenti di depan sebuah mulut goa yang tidak begitu besar. Kemudian masuk ke dalam goa itu dengan tubuh agak membungkuk. Randu Watung menyalakan pelita dari buah jarak. Keadaan goa yang tadinya gelap gulita, seketika jadi terang.

"Eyang tidak apa-apa?" tanya Bayu sambil membawa orang tua itu duduk di atas jerami kering.

"Tidak," sahut Eyang Puger seraya menarik napas panjang.

Randu Warung duduk bersila di depan laki-laki tua kurus itu. Sedangkan Bayu duduk di dekat mulut goa. Sesekali matanya memandang ke luar, mengamati keadaan di luar sana. Nyala lampu pelita yang kecil, cukup menerangi goa meskipun samar-samar. Bayu memperhatikan wajah Eyang Puger yang murung dengan pandangan mata kosong menekun lantai goa.

"Mereka menyakitimu, Eyang?" tegur Bayu.

Eyang Puger hanya menggeleng lemah. Pandangannya sayu mengarah pada Pendekar Pulau Neraka yang duduk dekat mulut goa.

"Randu, kau bisa menjaga di luar?"

Randu Watung menoleh sebentar pada Bayu kemudian bangkit berdiri. Dia tahu kalau ada sesuatu yang tidak boleh diketahuinya. Pemuda itu melangkah ke luar goa. Bayu menggeser duduknya mendekati Eyang Puger. Dia merasa ada sesuatu yang hendak diungkapkan laki-laki tua itu, tapi begitu berat untuk mengucapkannya.

"Eyang, aku tahu ada yang ingin kau katakan," kata Bayu selembut mungkin.

"Sulit, Bayu. Sepertinya aku sudah mati...," keluh Eyang Puger sendu.

"Ada apa sebenarnya, Eyang? Apa yang mereka lakukan padamu?" tanya Bayu mendesak.

Eyang Puger terdiam seraya menundukkan kepalanya menekun lantai goa yang lembab. Jelas sekali kalau ada sesuatu yang terasa berat untuk diucapkan. Hal ini membuat Bayu semakin penasaran. Pendekar Pulau Neraka itu menggeser duduknya semakin mendekat. Sementara cahaya pelita bertambah suram nyalanya.

"Eyang...," lembut suara Bayu. Digenggamnya jari-jari tangan orang tua itu yang kurus kering.

"Bayu, waktu kau menemukan mayat Wurati, apa kau yakin dia itu...," suara Eyang Puger terputus. Kepalanya menggeleng-geleng beberapa kali, sepertinya tidak sanggup untuk berkata-kata lagi.

"Eyang, apa maksudmu berkata begitu? Aku menemukan Wurati saat dia mau terjun ke jurang. Aku berusaha mencegahnya, tapi dia tetap nekad melompat ke jurang. Kepalanya pecah, wajahnya hancur. Sukar untuk dikenali lagi. Tapi aku yakin kalau dia Wurati, cucumu Eyang. Aku sempat bicara padanya," kata Bayu meyakinkan.

"Kau tidak mengatakan itu padaku, Bayu," nada suara Eyang Puger agak menyesali.

"Maaf, Eyang. Saat itu kau terpukul sekali. Aku tidak sanggup mengatakannya," ujar Bayu.

Eyang Puger menarik napas panjang. Ditatapnya dalam-dalam wajah Pendekar Pulau Neraka. Kemudian digenggamnya erat erat tangan pemuda itu, seolah-olah hendak mencari kekuatan pada diri Bayu.

"Bayu, kau tahu bahwa Wurati sebenarnya bukan cucuku asli. Dia datang padaku dalam keadaan yang mengenaskan sekali. Aku menerimanya, mengasihi dan menganggapnya sebagai cucuku sendiri. Dia begitu baik, penurut, dan rajin. Aku mencintainya, Bayu. Tapi...," kembali suara laki-laki tua itu terputus. Ada sedikit isakan di sela kata-katanya.

"Tapi kenapa, Eyang?"

"Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi, Bayu. Aku...."

Belum habis Eyang Puger berkata, tiba-tiba muncul Randu Watung dengan tergopoh-gopoh. Bayu langsung menggelinjang bangkit dan menghampiri Randu Watung.

"Celaka! Mereka menuju ke sini...!" kata Randu Watung sebelum ada yang bertanya.

"Mereka siapa?" Tanya Bayu.

"Orang-orang si Mata Iblis."

Jagat Dewa Batara" keluh Eyang Puger lirih.

ENAM

Bayu tidak sempat lagi bersuara, karena di depan goa sudah terdengar teriakan keras menggelegar menyuruh Randu Watung dan Eyang Puger ke luar. Kedua orang yang disebut namanya itu saling berpandangan. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka sudah merapat di bibir goa. Diperhatikannya sekeliling mulut goa. Agak terkejut juga begitu dilihatnya goa ini sudah dikepung puluhan orang bersenjata terhunus.

"Aku tahu kau di dalam Randu. Keluarlah, sebelum goa itu hancur!" teriakan keras dari luar goa terdengar lagi.

"Bagaimana, Bayu?" tanya Randu Watung.

"Kau tetap di sini, jaga Eyang Puger," kata Bayu tenang.

"Kau sendiri?"

"Aku akan ke luar. Mudah-mudahan mereka bisa pergi tanpa kekerasan," sahut Bayu tetap tenang.

"Jangan, Bayu. Berbahaya. Jumlah mereka terlalu banyak. Mereka orang-orang kejam," cegah Randu Watung.

"Jaga saja Eyang Puger. Keselamatannya ada ditanganmu,"

Bayu tidak menghiraukan cegahan itu. Belum sempat Randu Watung berkata, Pendekar Pulau Neraka itu sudah melompat cepat ke luar. Randu Watung bergegas berlari mendekati mulut goa. Dari balik batu, dia mengintip ke luar. Tampak Bayu berdiri tegak seraya melipat tangan di depan dada. Tidak jauh di depannya berdiri seorang laki-laki muda berbaju indah. Namun garis garis kekerasan terlihat jelas di wajahnya. Di sekeliling Pendekar Pulau Neraka itu sudah mengepung puluhan orang bersenjata golok terhunus. Mereka semua mengenakan ikat kepala berwarna merah dengan bulatan hitam pada keningnya.

"Balaga...," desis Bayu tertahan begitu mengenali laki-laki di depannya.

Bayu mengenali orang itu, karena memang laki-laki itulah yang dicarinya. Orang itu harus dibunuhnya untuk membalas budi pada Eyang Puger yang telah menolongnya dari luka-luka yang dideritanya ketika bertarung. Dan Balaga adalah cucu menantu, seorang kepala perampok berhati kejam.

Dengan memperalat istrinya, dia berhasil mencuri kitab berharga milik Eyang Puger. Kitab yang berisi ramu-ramuan obat-obatan dan segala jenis racun. Serta ilmu-ilmu pukulan beracun yang sangat dahsyat dan mematikan. Balaga menikahi Wurati, memang punya maksud tertentu untuk menguasai kitab itu. Untung saja minuman untuk Eyang Puger yang diberi bubuk racun, tidak mematikan laki-laki tua itu, hanya membuat tubuhnya habis seperti tinggal tulang saja.

Kalau saja Eyang Puger tidak memiliki pengetahuan tentang racun mungkin sekarang sudah tidak ada lagi. Dan Wurati sendiri setelah menyadari kesalahannya mengambil keputusan yang nekad. Bunuh diri dengan menceburkan dirinya ke dalam jurang berbatu cadas. Semua itu diketahui Bayu, bahkan saat Wurati bunuh diri pun Pendekar Pulau Neraka itu melihatnya. Bahkan berusaha mencegahnya.

"Sudah kuduga, kau pasti bersama monyet-monyet busuk itu, Bayu," dingin nada suara Balaga.

"Aku memang sengaja mencarimu, Balaga," ujar Bayu tidak kalah dinginnya.

"Ha ha ha...! Dulu kau boleh menang, Bayu. Tapi sekarang.... Kepandaianmu tidak ada artinya bagiku!" kata Balaga jumawa.

"Hm..., tidak kusangka kau bisa cepat menguasai isi kitab itu," sahut Bayu sinis.

"Ha ha ha...!" Balaga tertawa congkak.

"Kau harus mengembalikan kitab itu, Balaga!" dengus Bayu dingin.

"Sudah kubakar!" sahut Balaga lantang.

"Keparat! Manusia macam kau tidak patut lagi hidup lebih lama!" ujar Bayu tidak bisa lagi menahan amarahnya. Tapi tetap berusaha untuk tidak terpancing, meskipun darahnya sudah mendidih sampai ke kepala.

"Kau lihat, Bayu. Orang-orangku yang akan mencincangmu!"

Setelah berkata begitu, Balaga langsung menjentikkan jarinya. Dan seketika itu juga orang-orang bersenjata golok terhunus berlompatan menerjang Pendekar Pulau Neraka. Namun Bayu yang sudah siap sejak tadi, tidak bisa menahan diri. Langsung digunakannya jurus 'Kelelawar Maut'. Satu jurus yang dahsyat

"Hiya! Hiya...!"

Pendekar Pulau Neraka berlompatan cepat bagai kilat Tangannya berkelebatan menghajar setiap penyerang yang mencoba mendekatinya. Sungguh luar biasa pukulan Pendekar Pulau Neraka itu. Kepala dan dada hancur terkena pukulan mautnya! Belum lagi jari-jari tangannya yang setajam mata pisau, mampu mengoyak tubuh manusia hingga berkelojotan meregang nyawa.

Setiap pukulan, sabetan tangan Pendekar Pulau Neraka dari jurus 'Kelelawar Maut' mengandung racun yang langsung mematikan. Jurus-jurus pukulan Bayu memang sudah lebih disempurnakan lagi dalam pengembaraannya, sehingga terasa dahsyat akibatnya. Tidak ada seorang pun yang mampu bangkit lagi jika terkena pukulannya.

Dalam waktu tidak berapa lama saja, terlihat sudah lebih dari dua puluh orang menggeletak tidak bernyawa lagi. Dan mereka yang masih hidup, jadi gentar. Serangan-serangannya kacau, tidak beraturan lagi. Dan ini membuat Bayu semakin ganas.

Melihat orang-orangnya banyak yang tewas, Balaga jadi geram setengah mati. "Mundur...!" teriak Balaga keras.

Seketika itu juga orang-orangnya berlompatan mundur. Jumlah mereka yang semula ada sekitar tujuh puluh orang, kini tinggal sekitar empat puluh orang lagi. Mayat mayat bergelimpangan bersimbah darah. Sedangkan Bayu berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada.

"Hup...!" Balaga melompat cepat, dan mendarat di depan Pendekar Pulau Neraka sekitar satu batang tombak jauhnya. Dia menyepak salah satu tubuh di dekat kakinya, sehingga tubuh tak bernyawa lagi itu menggelinding menjauh.

"Kau harus mati malam ini, Bayu. Dulu kau hampir menggagalkan aku menguasai kitab itu. Dan sekarang kau juga akan menggagalkan aku menguasai Kadipaten Sangkal Putung. Phuih! Kau bermimpi bisa menghalangiku, Bayu!" kata Balaga dingin.

"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil saja. Namun tatapan matanya begitu tajam menusuk.

"Bersiaplah untuk mati, Pendekar Pulau Neraka! Hiyaaa...!" Bagaikan kilat Balaga melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Jari-jari tangannya mengembang kaku, siap menerkam tubuh Bayu.

Namun pemuda berbaju kulit harimau itu sudah siap sejak tadi. Bergegas dimiringkan tubuhnya ke kanan seraya menekuk lutut sedikit. Serangan Balaga luput dari sasaran. Namun dia kembali menyerang lebih cepat dan dahsyat. Bayu terpaksa berlompatan menghindari serangan-serangan itu. Dan memang sepertinya Balaga tidak memberi kesempatan pada Pendekar Pulau Neraka itu untuk balas menyerang. Mengambil napas saja tidak diberi kesempatan lagi. Namun sampai beberapa jurus berganti, belum juga Balaga mendesak. Bahkan sepertinya Bayu sengaja mempermainkan dengan lompatan menghindar dan berkelit saja tanpa balas menyerang.

"Setan keparat! Kau mau mempermainkan aku, heh...!" dengus Balaga menyadari kalau Bayu tidak pernah balas menyerang sekali pun.

"Ada orang yang lebih berhak menghukummu, Balaga," kata Bayu tenang seraya menghindari satu pukulan cepat menggeledek.

"Huh, sombong! Mampus kau! Hiyaaat...!"

Balaga semakin memperhebat serangan-serangannya. Dan Bayu memang mengakui kalau Balaga mengalami kemajuan yang pesat sekali. Angin pukulannya mengandung racun yang dahsyat dan keras luar biasa. Bayu terpaksa harus menahan napas, dan memindahkannya melalui pernapasan pusar. Dia tidak ingin menghirup udara yang sudah tersebar racun dari serangan-serangan Balaga.

"Ha ha ha...!" Balaga tertawa terbahak-bahak begitu melihat Bayu mulai limbung menghindari serangan dahsyatnya.

"Sebentar lagi kau akan mampus, Pendekar Pulau Neraka!"

"Hm..., bicaralah sepuasmu, Balaga!" dengus Bayu dalam hati.

Pendekar Pulau Neraka itu tidak berani membuka suara. Sekali saja bersuara, maka udara penuh racun di sekitar pertarungan akan terhisap ke dalam tubuhnya. Dan ini bisa membahayakan dirinya. Bayu memang sengaja menggunakan jurus 'Dewa Mabok'. Satu jurus yang sungguh aneh gerakan-gerakannya. Tubuhnya seperti sudah tidak berdaya lagi. Dan beberapa kali hampir jatuh tersuruk, tapi semua itu memang merupakan jurusnya yang ganjil dan baru sekali ini dikeluarkan dalam pengembaraannya mengarungi rimba persilatan.

Wajah Balaga yang semula gembira, jadi berkerut karena dia tidak bisa memasukkan salah satu pukulannya. Meskipun kelihatannya Bayu sudah limbung, namun masih sukar baginya menjatuhkan Pendekar Pulau Neraka itu. Bahkan beberapa kali Bayu mulai membalas serangan-serangan Balaga. Dan setiap serangan balasan itu terlontar, Balaga jadi jumpalitan menghindarinya.

"Kadal...!" dengus Balaga menggeram.

Pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka melawan Balaga masih berlangsung sengit. Sudah beberapa kali Bayu memberikan serangan balasan. Dan entah berapa kali pukulannya berhasil disarangkan di tubuh lawannya. Tapi pukulan itu tidak disertai pengerahan tenaga dalam secara penuh, sehingga tidak membuat Balaga terluka parah.

Selagi bertarung, Pendekar Pulau Neraka itu sempat melirik ke arah goa. Tampak Eyang Puger dan Randu Watung berdiri di depan mulut goa. Mereka menyaksikan pertarungan itu dengan serius. Sedangkan orang-orang dari Partai Mata Iblis berada cukup jauh. Tidak ada seorang pun yang berani mendekat, karena mereka tahu kalau Balaga mempergunakan jurus-jurus yang mengandung racun. Dan sudah jelas udara disekitar pertarungan itu sudah tersebar racun yang sangat mematikan.

"Eyang, tampaknya Bayu tidak bersungguh-sungguh," kata Randu Watung setengah berbisik

"Hm.... Aku tidak tahu, apa maksudnya," gumam Eyang Puger.

"Mungkin dia ingin menyerahkan Balaga hidup-hidup padamu, Eyang."

Eyang Puger menatap pemuda di sampingnya.

"Sedikit aku mengetahui tentang dirimu dan persoalanmu pada Balaga. Itulah sebabnya mengapa aku mengajak Bayu ke sini, karena aku tahu kalau Balaga adalah wakil utama dari Ketua Partai Mata Iblis," kata Randu Watung bisa menangkap arti pandangan laki-laki tua ahli pengobatan dan racun itu.

"Dari mana kau tahu?" tanya Eyang Puger.

"Secara tidak sengaja pernah kudengar pembicaraanmu dengan Bayu. Maaf, bukannya aku mau menguping. Aku tidak sengaja mendengarnya," sahut Randu Watung.

Eyang Puger memalingkan wajahnya kembali, melihat pertarungan antara Bayu dan Balaga. Dan Randu Watung juga sudah serius lagi memperhatikan pertarungan itu. Tampak kalau kini keadaan telah berubah jauh. Kali ini Balaga terpaksa jatuh bangun berusaha menghindari serangan-serangan Pendekar Pulau Neraka itu. Beberapa kali pukulan dan tendangan Bayu masuk telak di tubuhnya. Tapi semua itu tidak mengandung tenaga dalam penuh, sehingga Balaga masih bisa bertahan, meskipun darah sudah mengucur dari mulut dan hidungnya.

"Eyang! Beri dia hukuman yang pantas...!" teriak Bayu tiba-tiba.

Dan belum lagi hilang suara teriakan itu, tiba-tiba saja Bayu bergerak cepat memutari tubuh Balaga, dan tahu-tahu satu tendangan keras menghantam tubuh orang itu, hingga terjungkal jatuh, ambruk mencium tanah tepat di depan kaki Eyang Puger. Balaga berusaha bangkit berdiri, tapi Randu Watung sudah cepat mencabut pedangnya. Ujung pedang itu langsung ditekankan pada leher Balaga. Tentu saja hal ini membuat Balaga tidak bisa berkutik lagi. Dia hanya dapat memandang Eyang Puger dengan mata berapi-api.

Melihat pemimpinnya tidak berdaya lagi di bawah ujung pedang, orang-orang Partai Mata Iblis langsung berlarian meninggalkan tempat itu. Dan Bayu memang enggan mengejar. Kemudian dilangkahkan kakinya menghampiri Eyang Puger yang masih memandangi Balaga yang terlentang dengan ujung pedang berada di tenggokannya.

"Orang seperti dia tidak pantas dibiarkan hidup, Eyang," kata Randu Watung dingin.

"Balaga, aku akan memaafkanmu kalau kau mau berkata terus terang," kata Eyang Puger tidak menghiraukan kata-kata Randu Watung.

"Huh!" Balaga mendengus.

"Siapa orang yang mirip Wurati itu?" tanya Eyang Puger.

"Kau bisa tanya sendiri padanya, tua bangka!"' jawab Balaga ketus.

"Aku tidak main-main, Balaga. Kau boleh pergi dengan jaminanku kalau kau berkata jujur," kata Eyang Puger, agak tertahan nada suaranya.

"Kau pikir aku bodoh? Begitu aku bilang, pedang ini pun akan langsung memanggang leherku!

"Randu...," Eyang Puger menatap Randu Watung.

Dengan perasaan terpaksa, Randu Watung menyingkirkan pedangnya, dan memasukkan kembali ke dalam sarungnya. Balaga bergegas bangkit berdiri. Ditatapnya Randu Watung dan Bayu dengan pandangan yang tajam menusuk. Sinar matanya memancarkan kebencian dan dendam yang membara. Kemudian ditatapnya Eyang Puger. Pelahan kakinya bergerak mundur tiga langkah.

"Siapa, Balaga?" desak Eyang Puger mengulangi pertanyaan yang belum terjawab. Nada suaranya begitu berharap sekali.

"Dia itu Wurati yang asli! Aku sengaja menyusupkannya ke dalam kehidupanmu," kata Balaga datar.

"Lalu, siapa wanita yang bunuh diri itu?" tanya Eyang Puger, semakin tertahan suaranya.

"Perempuan bodoh yang kubuat gila dan kurubah wajahnya agar mirip Wurati. Ha ha ha...!"

"Kau bohong, Balaga!" geram Eyang Puger.

"Aku tahu kau tidak memiliki kepandaian merubah wajah seseorang. Siapa orang yang kau bunuh itu?"

"Tanyakan saja pada Wurati!" sahut Balaga seraya melompat. Dan secepat kilat tangannya mengibas ke arah Eyang Puger. Seleret cahaya hijau meluncur deras dari tangan itu.

Eyang Puger terkesiap. Namun belum sempat cahaya hijau dari sebilah pisau kecil itu bisa menyambar tubuh Eyang Puger, Bayu sudah bertindak cepat.

"Hiyaaa...!"

Wut!

Begitu tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu mengibas, Cakra Maut berwarna keperakan pun melesat cepat, dan menghantam pisau hijau yang dilepaskan Balaga. Bayu menghentakkan tangannya kembali begitu cakra berwarna perak itu kembali melesat cepat ke udara, dan langsung menancap dalam di dada Balaga yang masih berada di udara.

"Aaakh...!" Balaga menjerit melengking. Tubuhnya langsung meluruk deras jatuh ke tanah.

Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala, dan Cakra Maut melesat keluar dari tubuh Balaga, langsung menempel kembali di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu. Sesaat Balaga menggelepar dengan dada mengucurkan darah segar. Kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Kejadian yang begitu cepat, dan sukar diikuti pandangan mata biasa.

"Tamat sudah riwayatmu, Balaga...," desah Bayu pelahan. Bayu menatap Eyang Puger yang hanya diam mematung dengan pandangan kosong. Pendekar Pulau Neraka itu menghampiri dan mengambil tangannya, lalu digenggamnya erat-erat. Eyang Puger menatap Pendekar Pulau Neraka itu dalam-dalam.

"Bayu, aku mohon padamu. Cari tahu, apakah Wurati masih hidup atau memang sudah mati. Aku melihatnya di istana di Bukit Kedaung," kata Eyang Puger lirih. Setelah berkata begitu, Eyang Puger melangkahi pergi tertatih-tatih.

Sebentar Bayu memandangi, kemudian berjalan cepat mengejar Randu Watung mengikuti dari belakang. "Eyang mau ke mana?" tanya Bayu.

"Pulang. Tidak ada gunanya aku berada di sini. Bayu, kuharap kau mau membunuhnya kalau memang Wurati bermaksud buruk padaku, dan berkomplot dengan Balaga. Tapi kalau dia seorang yang baik, suruh dia kembali padaku," kata Eyang Puger tanpa menghentikan ayunan kakinya.

"Kita harus secepatnya ke sana, Bayu. Bangunan itu tempat peristirahatan...," Randu Watung menghentikan kalimatnya.

"Kau harus berterus terang pada Bayu, Randu. Katakan dirimu yang sebenarnya, dan tujuanmu berada di Kadipaten Sangkal Putung ini. Kuharap kau bisa menyelesaikan tugasmu dengan baik," ujar Eyang Puger.

"Sampaikan salam maafku pada ayahmu karena aku tidak menyambut dan mengenalimu dengan baik."

"Ada apa lagi ini...?!" sentak Bayu semakin kebingungan tidak mengerti. Dipandanginya Randu Watung dan Eyang Puger bergantian.

"Kau bisa menjelaskannya, Randu. Aku pergi dulu. Kuharap kalian berdua bisa memberantas mereka," kata Eyang Puger.

"Eyang...!" sentak Bayu.

Tapi Eyang Puger sudah lebih cepat melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Bayu menatap Randu Watung yang hanya diam saja dengan wajah yang sukar diartikan.

"Kau masih juga mendustaiku, Randu...?!" dingin nada suara Bayu.

"Maaf, Bayu. Aku terpaksa. Semua ini kulakukan demi tugasku yang teramat berat," kata Randu Watung meminta pengertian Pendekar Pulau Neraka itu.

"Siapa kau sebenarnya?" desak Bayu, tetap dingin nada suaranya.

"Aku sebenarnya Putra Mahkota Kerajaan Mandureja. Kadipaten Sangkal Putung termasuk wilayah Kerajaan Mandureja. Ayahanda Prabu menugaskanku untuk menghentikan pemberontakan orang-orang dari Partai Mata Iblis yang ingin menguasai Kadipaten Sangkal Putung ini. Bahkan mungkin akan menyebar ke kadipaten-kadipaten lainnya," ungkap Randu Watung mulai berterus terang.

"Bisa kupercaya ceritamu itu, Randu Watung?" Bayu masih sukar mempercayainya. Meskipun dia teringat dengan penjaga perbatasan yang begitu hormat dan memanggil Raden pada Randu Watung.

"Kali ini aku berkata terus terang, Bayu," Randu Watung meyakinkan.

"Dua kali kau berkata begitu padaku. Dan ini yang ketiga kalinya. Kalau kau tetap berdusta juga, aku tidak segan-segan memenggal kepalamu!" ancam Bayu tidak main-main.

"Kau boleh memenggal kepalaku, bahkan mencincang seluruh tubuhku, Bayu. Aku akan membawamu ke istana kalau persoalan ini sudah selesai. Akan kuceritakan jasamu, dan meminta Ayahanda Prabu agar kau menjadi saudara tuaku," nada suara Randu Watung terdengar serius kali ini.

"Aku tidak mengharapkan semua itu. Aku cukup puas jika kau tidak membiasakan diri mendustai orang!" tegas kata-kata Bayu.

"Bagaimanapun juga kau telah berjasa banyak, dan aku tidak akan melupakan jasa-jasamu."

Bayu terdiam. Kembali dilangkahkan kakinya perlahan-lahan. Meskipun nada suara Randu Watung terdengar serius, tapi Pendekar Pulau Neraka itu belum bisa percaya penuh. Sudah dua kali Randu Warung bercerita bohong padanya. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk tidak bisa langsung percaya lagi. Tapi Bayu masih tetap membiarkan pemuda berbaju biru itu mengikutinya, karena mereka punya tujuan yang sama, meskipun dengan maksud yang berbeda. Bayu belum bisa meninggalkan tempat ini, sebelum pesan Eyang Puger terlaksana seluruhnya. Dia harus mencari tahu apakah Wurati masih hidup, atau sudah mati.

"Kau marah padaku, Bayu?" tegur Randu Watung merasa tidak enak, karena Bayu diam saja.

"Tergantung dari sikap dan pembicaraanmu," sahut Bayu datar.

"Aku minta maaf," ucap Randu Warung.

"Maafmu bisa kau ucapkan nanti."

"Aku senang kalau kau mau memaafkanku."

"Sudahlah, sebaiknya kita cepat ke Bukit Kedaung," ujar Bayu enggan bicara lagi.

"Sebaiknya jangan sekarang."

"Kenapa?"

"Mereka pasti melipatgandakan penjagaan. Ayolah, kau ikuti saja kata-kataku. Kita tunggu saja laporan telik sandiku Setelah yakin, baru kita gempur mereka," kata Randu Watung.

"Hm .., mungkin kau benar. Tapi itu bukan berarti aku mulai percaya padamu."

Randu Warung tersenyum lebar. Hatinya kembali senang karena Bayu mau mengikuti kata-katanya, meskipun di hati Pendekar Pulau Neraka itu masih tersimpan ketidakpercayaan. Tapi kesediaan Bayu mengikutinya sudah cukup baginya.

********************

TUJUH

Rumah yang ditempati mereka tidak begitu besar. Tapi Bayu mendapatkan sebuah kamar yang cukup indah, bagai kamar seorang pembesar kerajaan. Bayu jadi berpikir juga, karena dirumah ini selalu saja ada orang-orang yang datang secara sembunyi-sembunyi. Dan di bagian depan terdapat kedai minum yang selalu sepi dari pengunjung. Bahkan Bayu bisa melihat kalau laki-laki tua yang katanya pemilik kedai dan rumah penginapan ini sikapnya begitu kaku melayani pengunjung. Bahkan buku-buku tangannya nampak halus, seperti tidak pernah bekerja berat. Juga pelayan-pelayan lainnya sangat canggung membawa baki.

Bayu menggeliat bangun dari pembaringannya. Dia tersentak kaget, dan langsung menggelinjang bangun begitu melihat Randu Watung sudah duduk di kursi dekat jendela kamar ini. Sedangkan pintu masih tertutup rapat. Randu Watung tersenyum. Pakaiannya sangat indah berhiaskan sulaman dari benang emas. Pemuda itu sangat tampan, persis seorang putra mahkota. Bayu duduk di tepi pembaringan. Disambarnya cawan berisi arak manis, dan langsung menenggaknya hingga tandas.

"Tidurmu nyenyak sekali," ucap Randu Watung tidak terlepas dari senyumannya.

"Ya, sampai kesiangan bangun," sahut Bayu.

"Kau tidur terlalu larut, bahkan menjelang pagi."

Bayu tersentak kaget. Ditatapnya lekat-lekat wajah Randu Watung yang masih juga tersenyum. Pemuda yang bajunya dari sutra berwarna biru itu memain-mainkan cawan perak di tangannya. Sudah tiga hari ini, Randu Watung selalu memakai baju dengan warna yang sama. Kalau tidak biru tua, selalu biru muda.

"Memang tidak ada perlunya aku mengetahui setiap kegiatanmu, Bayu. Tapi dengan ke luar setiap malam secara diam-diam, itu bisa membahayakan dirimu sendiri," kata Randu Watung dengan nada yang sangat lain dari biasanya. Suaranya begitu empuk dan mengandung kewibawaan yang sangat besar. Bayu sendiri hampir tidak percaya dengan pendengarannya.

Sepertinya Bayu tidak menghadapi Randu Watung yang dianggapnya sebagai pembual, pengarang cerita saja. Seolah-olah Bayu berhadapan dengan orang lain yang belum dikenalnya sama sekali. Sungguh sangat berbeda sekali, jauh dari yang selama ini dikenalnya.

"Aku berterima kasih sekali padamu, karena selama tiga hari ini telah mengurangi separuh dari jumlah mereka. Beberapa telik sandiku melaporkan bahwa jumlah anggota Partai Mata Iblis sudah berkurang lebih dari setengahnya. Dan itu berarti mengurangi kekuatan mereka, meskipun masih ada yang tangguh. Terutama pemimpinnya," lanjut Randu Warung.

"Jangan membuatku bingung, Randu Watung. Aku tidak mengerti dengan semua yang kau bicarakan," selak Bayu.

"Memang sukar menyelami jiwa seorang pendekar," kata Randu Warung kembali tersenyum lebar.

"Randu Watung, setiap malam aku memang ke luar. Aku ingin menyelidiki sendiri keadaan dan kekuatan mereka. Tapi tidak pernah bentrok dengan mereka, apalagi sampai membunuh begitu banyak anggota Partai Mata Iblis. Tidak sekali pun aku bentrok dengan mereka!" kata Bayu tegas.

"Kau terlalu merendah, Bayu."

"Aku berkata yang sebenarnya, Randu. Tidak seperti kau, yang selalu membual!" dengus Bayu sedikit kesal juga

"Hm...," gumam Randu Watung pelan.

Sedangkan Bayu hanya diam menatap tajam, langsung menusuk ke bola mata pemuda tampan di depannya.

"Kalau bukan kau yang mengurangi jumlah mereka, lalu siapa...?" Randu Watung seperti bertanya untuk dirinya sendiri.

"Belum pernah aku bermain seperti itu. Bagiku, menyerang, lalu menghilang tanpa jejak bukan sifat seorang ksatria. Aku lebih suka bertarung secara terbuka!" kata Bayu tegas.

"Kalau bukan kau, tentu ada orang lain," gumam Randu Watung pelan.

"Huh! Seharusnya aku tidak bertemu denganmu, Randu. Persoalan ini semakin bertambah rumit saja!" keluh Bayu bersungut-sungut.

"Bukan kita yang menginginkannya, tapi Dewata,"! ucap Randu Warung.

"Ah, sudahlah. Apa pun katamu, yang jelas aku tidak pernah membantai mereka. Aku sendiri heran dengan jumlah mereka yang semakin berkurang," potong Bayu cepat.

"Aku percaya padamu, Bayu. Tapi siapa pun orangnya, dia pasti punya tujuan yang sama, meskipun dengan jalan berbeda. Atau mungkin juga punya tujuan lain yang kita tidak tahu," kata Randu Watung tetap lembut nada suaranya, meskipun Bayu bernada sengit setiap kali berbicara dengannya. Dan Randu Watung bisa memakluminya. Tidak ada seorang pun yang rela dirinya didustai sampai dua kali berturut-turut.

Randu Watung bangkit berdiri, dan melangkah mendekati pintu. Dibukanya pintu itu, tapi belum juga kakinya melangkah ke luar, dia sudah berbalik lagi dengan pintu tetap terbuka lebar. Sedangkan Bayu masih tetap duduk di tepi pembaringannya.

"Kau mau makan di sini, atau di depan?" tanya Randu Warung.

"Nanti saja, aku belum lapar," sahut Bayu seraya bangkit berdiri.

"Aku tunggu kau di kedai depan, Bayu."

"Hm...."

Randu Watung melangkah ke luar, dan menutup kembali pintu kamar itu. Sementara Bayu melangkah ke jendela, dan membukanya lebar-lebar. Sebentar ditatapnya keadaan di luar, kemudian berbalik dan melangkah ke pintu. Tangannya membuka pintu, kemudian melangkah ke luar dari kamar ini. Dibiarkannya saja pintu itu tetap terbuka.

********************

Sejak matahari tenggelam, Bayu sudah berada tidak jauh dari bangunan megah dikelilingi tembok benteng yang tinggi dan kokoh, di Puncak Bukit Kedaung. Pendekar Pulau Neraka itu berada cukup terlindung dari penglihatan orang. Tatapan matanya sangat tajam, dan tidak berkedip mengamati sekitar bangunan megah itu. Seperti seekor burung, dia duduk di atas dahan yang cukup besar dengan daun-daun rimbun hampir menutupi tubuhnya.

Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu tertuju langsung ke bagian Timur gedung megah itu. Tampak sebuah bayangan berkelebatan menyelinap di antara pepohonan dan tembok batu benteng gedung itu. Cukup jauh jaraknya, sehingga Bayu tidak bisa melihat jelas. Tapi mendadak saja, Pendekar Pulau Neraka itu dikejutkan oleh sebuah suara melengking tinggi.

Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak di bagian Timur bangunan itu, terlihat beberapa tubuh berpentalan di udara. Jerit pekik menyayat terdengar saling susul. Bayu dapat melihat kalau bayangan itu bergerak cepat membantai orang-orang dari Partai Mata Iblis. Juga dilihatnya puluhan orang berlarian keluar dari dalam bangunan itu. Dan bayangan itu langsung berkelebat cepat melompati tembok benteng langsung lenyap di dalam hutan.

"Aku harus tahu, siapa dia!" gumam Bayu dalam hati. "Hup!"

Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka melesat cepat ke arah bayangan itu lenyap. Ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai taraf kesempurnaan, sehingga yang terlihat hanya bayangan kuning berkelebatan di antara pepohonan. Sementara di dalam benteng bangunan megah itu terjadi keributan besar, karena tidak kurang dari dua puluh orang tewas diserang orang yang tidak jelas tadi.

Dengan tatapan mata yang setajam mata elang, Pendekar Pulau Neraka mampu melihat di kegelapan malam. Cepat sekali dapat dilihatnya bayangan putih berkelebatan menyelinap diantara pepohonan. Bayu menggenjot tubuhnya, melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali. Lalu indah sekali kakinya menotok sebuah dahan, lalu melesat kembali dengan kecepatan yang sangat sukar diikuti pandangan mata biasa.

"Hap...!" Manis sekali Pendekar Pulau Neraka hinggap di dahan pohon setelah melewati orang yang dikejarnya. Dan dia memandangi terus, mengikuti arah larinya orang itu. Lalu....

"Berhenti...!" Sambil berteriak keras, Pendekar Pulau Neraka melompat turun, langsung di depan orang berbaju putih longgar. Bayu terkesiap begitu mengenali orang tersebut. Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka itu hanya bisa terdiam dengan mulut sedikit terbuka.

Sedangkan didepannya berdiri seorang laki-laki tua yang rambut dan janggutnya memutih semua. Jubahnya yang panjang putih, sudah kumal agak kekuningan. Tangan kanannya menggenggam sebatang tongkat yang tidak karuan bentuknya. Dia juga terkejut begitu tiba-tiba di depannya menghadang seorang pemuda berbaju kulit harimau.

"Eyang Puger...," desis Bayu setengah tidak percaya.

"Apa yang kau lakukan di sini, Bayu?" tanya Eyang Puger setelah hilang dari rasa keterkejutannya.

"Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu, Eyang. Untuk apa kau lakukan semua ini? Membantai mereka, lalu menghilang seperti musang," ujar Bayu seraya melangkah menghampiri laki-laki tua kurus kering itu.

"Aku tidak perlu menjelaskan lagi, Bayu. Kau pasti sudah tahu, kenapa aku begitu dendam pada mereka. Bagiku, dendam ini tidak akan pupus sebelum mereka musnah dari muka bumi," datar nada suara Eyang Puger.

"Aku mengerti, Eyang. Mereka memang orang-orang berhati iblis. Tapi dengan caramu seperti itu akan membuat kesulitan bagi dirimu sendiri," kata Bayu.

"Aku sudah tua, Bayu. Mati pun aku tidak menyesal kalau manusia keparat itu sudah mampus! Sampai ke neraka sekalipun aku tidak akan bisa mengampuninya. Dia telah menyakiti hatiku, Bayu. Belum pernah aku merasa terpedaya seperti kerbau begini. Aku malu, sakit hati...!" agak tertahan suara Eyang Puger.

"Eyang, apa sebenarnya yang telah terjadi padamu?" tanya Bayu tidak mengerti.

"Kau terlalu baik, Bayu. Sudah banyak aku menyusahkanmu. Rasanya tidak pantas kalau kukatakan hal ini padamu," terdengar pelan suara Eyang Puger.

"Katakan, Eyang. Mungkin akan membantu meringankan beban batinmu. Kau perlu seseorang yang bisa diajak bicara. Aku bersedia mendengar semua keluhanmu," desak Bayu.

"Bayu, kau ingat kata-kata Balaga waktu itu?"

"Ya," Bayu mengangguk.

"Apa yang dikatakannya, sebagian memang benar. Aku sengaja tidak kembali, karena aku penasaran dan ingin tahu kebenarannya. Tiga hari ini aku selalu menyelidiki mereka, mengurangi jumlah mereka agar Raden Randu Watung mudah menyelesaikan tugas beratnya. Oh.... Sungguh memalukan!" Eyang Puger menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Hm...!" kening Bayu berkerut

"Aku benar-benar malu pada diriku sendiri, Bayu. Kalau si keparat itu belum mati, tidak bakalan aku berani hidup di dunia ramai. Sungguh memalukan!"

"Begitu jauhkah?" Bayu masih kurang mengerti kata-kata Eyang Puger yang berbelit-belit menyesali dirinya.

"Kau tidak akan berkata begitu kalau sudah melihatnya sendiri, Bayu."

"Melihatnya? Melihat apa?" tanya Bayu.

"Wurati. Dia masih hidup dan sekarang ada di bangunan benteng itu."

"Apa...!?"

"Itulah yang ingin kuselidiki kebenarannya. Dan semakin jauh kuketahui, semakin sakit rasa hatiku. Kau pasti tidak akan percaya kalau Wurati benar-benar belum mati."

"Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi, Eyang?" tanya Bayu masih belum percaya. "Jelas aku melihatnya sendiri, bahkan sempat membujuknya agar tidak bunuh diri. Mustahil kalau dia masih hidup!"

"Kenyataannya begitu, Bayu. Wurati sengaja datang padaku dengan satu maksud buruk. Sebenarnya dia adalah istri Balaga. Mereka memang punya maksud untuk menguasai kitabku. Kau pasti tahu bagaimana pentingnya kitab itu bagiku. Perlu dua puluh tahun menyusunnya kembali. Mereka kini menguasainya, dan sudah mempelajarinya. Kitab itu sudah dibakar," ada nada keluhan pada kata-kata terakhirnya. "Wurati harus mati, Bayu. Dia telah menghancurkan seluruh kehidupanku. Semua yang kulakukan selama hidupku. Semuanya hancur...!"

Bayu diam saja. Masih belum bisa dipahami dan dipercayainya kalau Wurati belum mati. Memang sebelumnya Eyang Puger sudah memberitahu, agar dia menyelidiki kebenaran dari kematian Wurati. Tapi belum bisa berbuat banyak. Dan sekarang Eyang Puger bertindak sendiri, bahkan begitu yakin kalau Wurati masih hidup.

"Hi hi hi...!" tiba-tiba saja terdengar suara tawa mengikik.

Belum lagi Bayu bisa menghilangkan rasa keterkejutannya, tiba-tiba sebuah bayangan hitam berkelebat cepat, langsung menyerang Eyang Puger. Laki-laki tua renta itu berusaha menghindar seraya membanting tubuhnya ke tanah. Tapi gerakannya begitu lamban, dan entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu tubuh kurus kering itu terpental.

"Aaa...!" Eyang Puger menjerit keras melengking. Tubuh kurus kering itu membentur sebongkah batu sebesar kerbau. Dan batu itu pun hancur berkeping-keping memperdengarkan suara ledakan menggemuruh. Eyang Puger berusaha bangkit berdiri, namun bayangan hitam itu sudah berbalik dan hendak menyerang kembali. Namun pada saat bayangan hitam itu meluruk deras, secepat kilat Bayu mengebutkan tangannya, dan dia sendiri juga melesat ke arah Eyang Puger.

"Hiaaat...!"

"Hop!"

Seleret cahaya perak mendesing bagai kilat menyambar ke arah sosok tubuh hitam yang melesat di udara. Untungnya dia cepat-cepat memutar tubuhnya, sehingga Cakra Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka tidak sampai mengoyak tubuhnya. Dan pada saat yang bersamaan, Bayu menubruk Eyang Puger. Secepat itu pula seberkas sinar merah meluncur bagai kilat menghantam tanah di mana Eyang Puger tadi berdiri. Satu ledakan keras menggelegar menghantam tanah yang merekah berhamburan ke sekitarnya.

"Tunggu di sini, Eyang," kata Bayu setelah menempatkan Eyang Puger di tempat yang cukup aman.

"Hati-hati, Bayu," ujar Eyang Puger.

Bayu hanya menggumam kecil. Kemudian melompat menghadapi orang berbaju serba hitam mengenakan caping besar yang menutupi seluruh kepalanya. Belum sempat Pendekar Pulau Neraka itu membuka suara, mendadak saja disekeliling mereka bermunculan orang-orang berikat kepala merah dengan senjata terhunus. Jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang.

Tampak di antara mereka terdapat Nyakra, dan seorang perempuan muda dan cantik dengan pedang bertengger di punggungnya. Wanita cantik itu mendekati orang berbaju hitam dengan caping bambu yang lebar bertengger di kepalanya Sedangkan Nyakra menggerakkan tangannya, memberi isyarat pada semua orang pengikutnya untuk bersiaga. Bayu memperhatikan dengan mata tidak berkedip.

"Kalau hanya satu orang, tidak perlu mengerahkan banyak anggota, Caping Maut," kata wanita itu setengah berbisik.

"Dia bukan orang sembarangan, Kaniten. Kepandaiannya sangat tinggi," sahut si Caping Maut.

"Hm...," wanita yang dipanggil Kaniten melirik pemuda berbaju kulit harimau. "Boleh aku coba, Caping Maut?"

"Hati-hatilah! Terutama dengan senjatanya."

"Senjatanya...? Aku tidak melihat dia membawa senjata."

"Kau lihat pergelangan tangan kanannya, Kaniten?"

"Ya."

"Cakra itulah senjata mautnya."


Kaniten tertawa mendengar penjelasan si Caping Maut. Sama sekali dia tidak memandang sebelah mata pada Pendekar Pulau Neraka. Sementara Bayu yang mendengar semua pembicaraan itu hanya diam saja. Sempat diliriknya Eyang Puger yang berada di atas pohon yang cukup tinggi, dan terlindung tempatnya. Entah mereka tahu atau tidak, yang jelas tidak ada seorang pun yang memperhatikan Eyang Puger. Semua perhatian mereka tercurah pada Pendekar Pulau Neraka.

"Aku mau tahu, seperti apa kehebatan senjata yang kau takutkan itu, Ketua," kata Kaniten, nada suaranya sinis mengejek.

"Aku lebih tahu daripadamu, Kaniten. Beberapa kali aku bentrok dengannya. Kau akan menyesal tidak menghiraukan peringatanku," kata si Caping Maut agak tersinggung.

"Kita lihat saja. Kalau aku berhasil mengalahkannya, kau harus mundur dari jabatanmu sebagai Ketua Partai Mata Iblis!" kata Kaniten tandas.

"Kuharap kau bisa menyadari kepongahanmu, Kaniten."

Wanita cantik yang menyandang pedang di punggungnya itu, hanya mendengus mencibirkan si Caping Maut. Sama sekali tidak dihiraukan peringatan Ketua Partai Mata Iblis itu. Dengan sikap seenaknya, dia melangkah maju mendekati Bayu. Bibirnya masih menyunggingkan senyuman meremehkan.

Sedangkan Pendekar Pulau Neraka memperhatikan dengan mata tidak berkedip. Dia sudah malang-melintang di dalam rimba persilatan, dan sudah banyak bertemu dengan tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Sikap Kaniten yang meremehkannya, sama sekali tidak dipandang enteng.

"Enggan aku berkata banyak. Bersiaplah, Kisanak!" kata Kaniten langsung membuka jurus.

Bayu masih berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada. Namun tatapan matanya begitu tajam memperhatikan gerak-gerak kaki dan tangan Kaniten yang membuka jurus-jurus kembangan untuk memulai pertarungan.

"Tahan seranganku! Hiyaaat...!" Cepat sekali Kaniten melompat sambil melontarkan dua pukulan sekaligus.

Namun Bayu hanya sedikit memiringkan tubuhnya, sehingga serangan wanita itu berhasil dielakkan dengan mudah. Bahkan kakinya tidak dipindahkan sedikit pun. Dan Kaniten terus menyerang dengan cepat dan dahsyat


"Hup!"

Bayu terpaksa melompat ketika satu sepakan kaki Kaniten mengarah ke kakinya. Dan pada waktu Pendekar Pulau Neraka berada di udara, Kaniten dengan cepat mencabut pedangnya, dan langsung dikibaskan ke arah perut. Bayu terkesiap sesaat, tidak menyangka kalau Kaniten akan menyerang dengan pedangnya secepat itu. Tidak ada waktu lagi untuk berkelit. Cepat sekali Bayu menghentakkan tangan kanannya, memapak tebasan pedang itu.

Tring!

"Ikh!" Kaniten memekik kaget. Buru-buru ditarik pulang pedangnya. Wajah wanita itu jadi memerah, bibirnya meringis merasakan nyeri pada jari-jari tangannya. Sungguh tidak diduga kalau tenaga dalam Pendekar Pulau Neraka begitu dahsyat, dan pedangnya tadi hampir saja terpental ketika membentur Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau itu.

DELAPAN

Dua kali Kaniten melangkah mundur. Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung ke pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Sementara itu Bayu sudah berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada tidak jauh dan arena pertarungan itu, tampak si Caping Maut tersenyum. Diangkatnya sedikit caping yang menutupi wajahnya, sehingga bagian bibirnya dapat terlihat.

"Sudah kubilang, hati-hati dengan senjatanya, Kaniten'" seru si Caping Maut

"Huh!" dengus Kaniten kesal. Wanita cantik itu kembali menggerakkan pedangnya di depan dada. Lalu sambil berteriak keras, dia melompat mengibaskan pedangnya beberapa kali, mengarah pada bagian-bagian tubuh Pendekar Pulau Neraka yang mematikan.

Namun gesit sekali Bayu berkelit menghindari serangan-serangan yang cepat dan dahsyat itu. Bahkan dia masih mampu membalas dengan tidak kalah dahsyatnya. Pertarungan semakin meningkat. Tampak sekali kalau Kaniten sudah mengeluarkan jurus-jurusnya yang ampuh dan sangat berbahaya. Sedangkan sampai saat ini, Bayu belum punya kesempatan menggunakan senjata mautnya. Dia tidak punya jarak yang cukup untuk melontarkannya. Kaniten seperti sudah tahu saja, dia bertarung rapat tanpa memberi kesempatan pada Pendekar Pulau Neraka untuk merenggangkan jarak.

"Pecah kepalamu, keparat!" bentak Kaniten tiba-tiba. "Hiat..!"

Cepat sekali Kaniten mengibaskan pedangnya ke kepala Pendekar Pulau Neraka. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan begitu saja. Dengan cepat Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas, melindungi kepalanya dari tebasan pedang itu.

Tring!

"Hait...!"

Begitu dua senjata beradu, cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke belakang, dan secepat kilat dikebutkan tangan kanannya. Secercah cahaya keperakan melesat cepat bagai kilat dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Saat itu Kaniten terperangah, namun secepat kilat dikebutkan pedangnya menghalau Cakra Maut yang meluncur deras mengancam tubuhnya.

Tring!

"Akh...!" Kaniten memekik tertahan. Pedang di tangannya terpental ke udara begitu membentur Cakra Maut yang dilepaskan Bayu. Pada saat itu, Bayu cepat melompat sambil menghunjamkan satu pukulan bertenaga dalam sangat sempurna. Serangan yang cepat itu tidak dapat dihindarkan lagi, sehingga....

"Aaa...!" Kaniten menjerit keras melengking. Tubuh ramping itu terpental jauh ke belakang terkena pukulan keras bertenaga dalam sangat sempurna. Dan sebelum tubuh Kaniten jatuh ke tanah, Pendekar Pulau Neraka sudah menghentakkan tangan kanannya secara keras ke depan. Senjata cakra yang baru saja mau balik menempel, langsung melesat kembali, dan....

"Aaahk!" Untuk kedua kalinya Kaniten menjerit melengking tinggi. Tampak Cakra Maut menghunjam dalam di dada yang membusung indah itu. Kaniten menggelepar di tanah Darah mengucur deras dari dadanya begitu Cakra Maut kembali menghentak balik pada pemiliknya. Hanya sebentar wanita itu mampu bergerak, sesaat kemudian diam dengan nyawa melayang dari tubuhnya.

Gumaman-gumaman tertahan terdengar dari orang-orang anggota Partai Mata Iblis. Mereka semua tahu kalau Kaniten memiliki kepandaian yang sukar dicari tandingannya. Tapi sekarang menggeletak tidak bernyawa di tangan seorang pemuda berbaju kulit harimau. Pemuda yang belum dikenal, meskipun sudah malang-melintang di dalam rimba persilatan.

"Seraaang...!" tiba-tiba Nyakra berteriak keras.

Belum lagi hilang suara Nyakra, seketika itu juga terdengar seruan-seruan keras, disusul berlompatannya orang-orang bersenjata golok memakai ikat kepala merah dengan bulatan hitam pada keningnya. Mereka berlompatan menyerbu Pendekar Pulau Neraka. Hampir semua anggota Partai Mata Iblis berlompatan menyerang dengan golok terhunus berkelebatan.

Bayu tidak punya pilihan lain lagi. Dia belum mau mati tercincang sia-sia. Dengan mengerahkan jurus 'Kelelawar Sakti', Pendekar Pulau Neraka itu mengamuk bagai banteng terluka! Paling tidak disukainya menghadapi keroyokan seperti ini. Terlebih lagi para penyerangnya bertarung serabutan tidak pakai aturan sama sekali. Memang menguntungkan, tapi Bayu sendiri jadi sukar untuk menghadapinya.

Satu orang bisa terhajar, tiga atau lima orang menyerang serentak dari segala jurusan. Pekik pertempuran berbaur menjadi satu dengan jeritan kematian. Setiap pukulan dan tendangan Pendekar Pulau Neraka, selalu membawa korban. Tapi Bayu tidak terlalu sering menyerang, karena sudah disibukkan dengan serangan yang beruntun, sehingga harus lebih banyak terpusat pada penghindaran.

Sungguh suatu keadaan yang tidak menguntungkan bagi Pendekar Pulau Neraka. Untuk bisa lolos saja rasanya sudah tidak mungkin lagi. Pengepungan pada dirinya begitu rapat. Bahkan mereka seperti orang kemasukan setan, tidak lagi takut mati. Terus merangsek meskipun sudah banyak yang tewas berlumuran darah. Malam yang seharusnya hening, kini jadi hiruk-pikuk oleh pertempuran yang tidak seimbang

"Huh! Kalau begini terus, bisa habis napasku!" dengus Bayu menggerutu dalam hati.

Tapi Pendekar Pulau Neraka itu tidak punya kesempatan lagi untuk keluar dari keroyokan ini. Jumlah mereka tadi terlihat hanya sekitar lima puluh orang. Tapi entah dari mana datangnya, tahu-tahu jumlah mereka jadi tiga kali lipat banyaknya. Namun demikian, Bayu masih sempat melirik ke tempat Eyang Puger tadi berada. Dan hatinya jadi terkesiap, karena di sana tidak lagi dilihatnya laki-laki tua itu. Bayu jadi cemas, begitu diketahuinya kalau Eyang Puger tengah jungkir balik, jatuh bangun menghadang serangan si Caping Maut.

Bayu jadi geram melihat keadaan seperti ini. Dan begitu ada kesempatan, dilontarkan Cakra Maut-nya dengan cepat Senjata berbentuk bintang yang ujung-ujungnya bengkok itu melesat cepat memutar, membabat orang orang yang berada di sekitar Pendekar Pulau Neraka itu. Secepat kilat, Pendekar Pulau Neraka itu melompat melewati beberapa kepala. Namun belum jauh melompat, puluhan batang tombak sudah beterbangan menghujani tubuhnya.

"Kampret!" Bayu mengumpat geram. Terpaksa Bayu harus berjumpalitan di udara menghindari terjangan tombak-tombak itu. Dan berhasil ditangkapnya satu tombak. Dengan tombak di tangan, Pendekar Pulau Neraka itu meluruk turun, lalu mengamuk membuka jalan mendekati pertarungan antara Eyang Puger melawan si Caping Maut. Sementara senjata Cakra Maut terus bergerak beterbangan bagai seekor burung. Menghantam orang-orang Partai Mata Iblis yang jadi panik, menghadapi senjata yang bisa bergerak sendiri dengan kecepatan bagai kilat

Tiba-tiba saja di bagian lain terjadi kegaduhan. Tampak Randu Watung beserta orang-orang berjumlah lebih dari seratus orang menyerbu masuk ke dalam kancah pertarungan. Mereka semua mengenakan seragam prajurit dengan senjata pedang dan tombak panjang. Tampak orang-orang dari Partai Mata Iblis kocar-kacir tidak beraturan.

"Hap!" Bayu langsung melompat sambil menghentakkan tangannya ke atas. Dan Cakra Maut pun melesat bagai kilat menempel kembali di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu. Bagaikan seekor burung walet Pendekar Pulau Neraka melesat cepat ke arah Eyang Puger.

"Eyang! Mundur...!" seru Bayu keras.

Pada saat itu, satu pukulan telak dari si Caping Maut bersarang di dada yang kurus kering itu. Eyang Puger memekik keras, tubuhnya terlontar jauh ke belakang seraya memuntahkan darah segar dari mulutnya. Bayu langsung meluruk ke arah laki-laki tua itu dan menyangganya sebelum Eyang Puger jatuh ke tanah.

"Eyang...," nada suara Bayu terdengar cemas.

"Aku tidak apa-apa..., uhk!" kembali Eyang Puger memuntahkan darah kental kehitaman.

"Kau terkena racun, Eyang," kata Bayu semakin cemas.

Pada saat itu, si Caping Maut sudah melompat menerjang sambil melepaskan satu pukulan yang mengandung hawa panas menyengat. Serangan yang sangat cepat, dan tidak mungkin dihindari lagi! Namun tanpa diduga sama sekali, Eyang Puger nekad melompat menghadang serangan itu. Tak pelak lagi, pukulan itu bersarang di dada laki-laki tua itu.

Dug!

"Akh...!" Eyang Puger memekik keras.

"Eyang...!" seru Bayu terkejut. Bergegas Pendekar Pulau Neraka itu melompat, dan menghambur menangkap tubuh kurus kering yang melayang di udara. Lalu dia mendarat lunak, dan membaringkan Eyang Puger di bawah pohon. Tampak dari mulut, hidung dan telinga Eyang Puger mengucurkan darah. Napasnya tersendat, dan matanya setengah terpejam.

"Eyang...."

"Hati-hati menghadapinya, Bayu. Dia punya pukulan beracun yang sangat langka dan dahsyat," kata Eyang Puger lemah.

Bayu menggeram marah. Sementara si Caping Maut berdiri bertolak pinggang dengan angkuhnya. Caping bambu yang lebar masih menutupi sebagian wajahnya. Terlihat bibirnya yang merah menyunggingkan senyuman tipis mengejek.

"Bayu..., dia itu Wurati. Dia tidak mati di dasar jurang. Itu memang sudah direncanakan bersama Balaga.... Dia sengaja melompat ke dalam jurang sementara Balaga menunggu dengan mayat perempuan yang memakai baju sama persis dengan Wurati. Mereka sengaja merusak wajahnya agar tidak dikenali... uhk uhk!" kata-kata Eyang Puger tersendat-sendat Dan dia terbatuk-batuk disertai muntahan darah kental kehitaman.

"Lenyapkan dia, Bayu. Dia sangat berbahaya kalau sudah menguasai seluruh kitabku. Rebut kembali kitab itu dari tangannya...uhk!" lanjut Eyang Puger.

"Eyang...!"

Eyang Puger terkulai lemah. Matanya terpejam. Namun dadanya masih bergerak gerak, meskipun sangat sedikit dan satu-satu. Bayu membaringkan tubuh tua itu, kemudian berdiri dan melangkah maju beberapa tindak. Tatapan matanya tajam, menusuk langsung pada tubuh berbaju hitam dengan caping bambu yang lebar menutupi wajahnya.

"Tidak perlu kau menutupi wajahmu, Wurati!" dengus Bayu.

"Bagus! Rupanya si tua bangka bodoh itu sudah bercerita banyak padamu!" sahut wanita berbaju hitam itu sambil tetap berdiri tenang. Bibirnya yang merah selalu menyunggingkan senyuman tipis bernada mengejek.

Bayu menggeser kakinya lebih mendekat Dan baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi. Sementara itu para prajurit Kadipaten Sangkal Putung di bawah pimpinan Randu Watung, masih bertarung sengit melawan orang-orang Partai Mata Iblis.

Bayu sempat melirik Randu Watung yang bertarung sengit melawan Nyakra. Dan orang-orang dari Partai Mata Iblis sudah kelihatan terdesak. Bahkan beberapa di antaranya sudah berhasil melarikan diri. Sementara si Caping Maut yang kini menjadi pimpinan Partai Mata Iblis, menggantikan Balaga, sudah bersiap-siap melakukan penyerangan.

"Hiyaaat..!" si Caping Maut berteriak keras seraya melompat menerjang.

"Hait!" Seketika itu juga Bayu melesat ke atas, dan tangannya menghentak ke depan dengan jari-jari tangan terbuka lebar. Tanpa dapat dicegah lagi, dua tangan saling berbenturan di udara dengan kerasnya, sehingga menimbulkan satu ledakan keras menggelegar! Dua orang itu terpental ke belakang dan sama-sama jatuh bergulingan di tanah.

"Hup!" Namun Bayu langsung mampu melompat bangkit berdiri.

Sedangkan si Caping Maut memuntahkan darah segar dua kali. Dengan agak terhuyung, Wurati bangkit berdiri. Tangan kirinya menekap dada, dengan bibir meringis.

"Kematianmu sudah dekat, Wurati!" dengus Bayu dingin.

"Phuih! Kau pikir aku mudah kalah begitu saja? Lihat ini!" bentak Wurati tidak kalah dinginnya. Cepat sekali wanita berbaju hitam itu melepaskan caping bambu yang selama ini menutupi seluruh kepalanya. Dan bagaikan kilat dilemparkannya caping itu ke arah Pendekar Pulau Neraka.

Wut!

"Hiyaaa...!" Seketika itu juga Bayu mengecutkan tangannya ke atas, dan dari pergelangan tangannya melesat secercah sinar keperakan dari senjata Cakra Maut.

Dua benda yang meluncur deras itu langsung berbenturan di udara. Kembali satu ledakan keras terdengar menggelegar. Kali ini ledakannya sangat dahsyat sekali, sehingga menimbulkan getaran yang hebat, disertai hempasan angin yang keras dan percikan bunga api. Beberapa orang yang terkena percikan api, langsung menjerit keras. Tubuh mereka seketika hangus terbakar!

"Setan!" rutuk Wurati begitu melihat capingnya hancur berkeping-keping.

Sedangkan Cakra Maut, senjata andalan Pendekar Pulau Neraka kembali melesat balik pada pemiliknya. Bayu mengangkat tangan kanannya, dan senjata kebanggaannya itu kembali menempel erat di pergelangan tangan kanannya. Wurati bersungut-sungut memaki, dan menyumpah habis-habisan. Caping kebanggaannya itu bukan saja untuk pelengkap, tapi juga sebagai senjata yang sangat dahsyat. Tapi melawan Cakra Maut, caping itu hancur berantakan!

"Kau harus membayar mahal Caping Sakti ku, Pendekar Pulau Neraka!" geram Wurati memuncak amarahnya.

"Hhh! Caping seperti itu, terlalu banyak dijual di pasaran, Wurati," ejak Bayu sinis.

"Kadal buduk! Kubunuh kau, keparat!

Hiyaaa...!" Wurati tidak dapat lagi menahan amarahnya. Dia melompat seraya melontarkan beberapa pukulan dahsyat mengandung tenaga dalam yang sangat tinggi. Pukulannya mengandung hawa panas menyengat. Dan dari hawa itu tercium bau racun yang kuat dan mematikan.

Bayu cepat-cepat melompat mundur, lalu seketika itu juga dikebutkan tangan kanannya ke depan.

Wut!

"Eh...!" Wurati tersentak kaget. Buru-buru gadis itu membanting tubuhnya ke tanah. Namun gerakannya terlambat sedikit, dan ujung cakra yang melengkung, berhasil merobek bahu kiri wanita berbaju serba hitam itu. Darah segar pun langsung merembes ke luar. Wurati bergegas melompat bangkit kembali, tidak dipedulikan luka di bahunya. Dia kembali melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka.

Tapi baru saja melompat, tahu-tahu dari arah belakang terdengar suara mendesing yang keras mengagetkan. Wurati langsung menoleh. Bukan main terkejutnya dia begitu melihat Cakra Maut berbalik bagaikan kilat menyerangnya kembali. Mau tidak mau, secepat kilat si Caping Maut itu melentingkan tubuhnya berputaran di udara menghindari terjangan senjata dahsyat itu.

"Hiya...!"

Secepat Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangannya, secepat itu pula Bayu melompat mengirimkan satu tendangan menggeledek ke tubuh si Caping Maut. Serangan yang tidak terduga sama sekali, terlebih lagi pada saat itu keseimbangan tubuh si Caping Maut belum sempurna akibat berusaha menghindari terjangan Cakra Maut senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu.

Dug!

"Akh...!" Wurati menjerit keras. Tubuh ramping terbungkus baju hitam itu meluncur deras ke tanah. Bersamaan dengan terbantingnya tubuh si Caping maut Pendekar Pulau Neraka juga mendarat di tanah, dan secepat itu pula dihentakkan tangannya ke depan seraya membungkukkan tubuhnya sedikit.

"Hiaaat..!"

Wut!

"Aaa...!" Jeritan melengking tinggi terdengar menyayat. Tampak Wurati yang baru bisa bangkit berdiri tegak dengan mata membeliak lebar. Sesaat kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah dengan kepala menggelinding terpisah dari lehernya! Darah segar pun membasahi tanah.

Bayu mengangkat tangan kanannya, dan Cakra Maut pun kembali menempel pada tempatnya semula. Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu memandangi mayat Wurati atau si Caping Maut yang menjadi Ketua Partai Mata Iblis. Kemudian dihampiri dan diperiksanya tubuh wanita itu. Dari balik lipatan baju pada bagian dadanya, Pendekar Pulau Neraka itu menemukan sebuah kitab bersampul biru tua yang cukup tebal. Bayu tahu kalau kitab itu milik Eyang Puger. Kemudian Bayu bergegas berbalik dan menghampiri Eyang Puger yang masih menggeletak tidak sadarkan diri. Diselipkan kitab itu di balik sabuk pinggang Eyang Puger, kemudian diangkat dan dipondongnya tubuh kurus itu.

"Bayu...!"

Bayu yang hendak melangkah pergi, jadi tertahan langkahnya ketika mendengar suara panggilan dari arah belakang. Pendekar Pulau Neraka itu berbalik, dan tampaklah Randu Watung sedang berlari-lari kecil menghampirnya. Bayu sempat melihat Nyakra menggeletak dengan leher hampir buntung. Rupanya Randu Watung berhasil menghentikan perlawanan wakil ketua tiga Partai Mata Iblis itu. Randu Watung berdiri setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di depan Bayu. Sementara itu pertarungan sudah berhenti. Sisa-sisa anggota Partai Mata Iblis yang masih hidup sudah menyerah. Dan memang tidak sedikit yang berhasil kabur.

"Kenapa Eyang Puger?" tanya Randu Watung bernada cemas.

"Terluka, aku harus segera membawanya pulang," sahut Bayu.

"Perjalanan ke sana cukup jauh, dan memerlukan waktu tiga atau empat hari, Bayu. Sebaiknya kau bawa Eyang Puger ke istana kadipaten. Ada tabib ahli yang mungkin bisa mengobati lukanya," kata Randu Watung.

Belum lagi Bayu bisa menjawab untuk menolak, Randu Watung sudah memanggil seorang patih. Bayu sendiri tidak mengerti, karena seorang laki-laki setengah baya bertubuh tinggi tegap membungkuk hormat pada Randu Watung.

"Siapkan kuda secepatnya. Kemudian kirim utusan ke istana kadipaten untuk menyiapkan kamar dan tabib," perintah Randu Watung. Nada suaranya tegas berwibawa.

"Baik, Raden. Segera hamba laksanakan," sahut laki-laki setengah baya yang dipanggil patih itu.

"Cepat, jangan buang-buang waktu!"

Patih itu bergegas pergi. Bayu masih bengong. Sedangkan tidak lama patih itu sudah kembali bersama tiga orang prajurit berpangkat punggawa membawa kuda. Randu Watung langsung melompat ke salah satu kuda.

"Ayo, Bayu! Jangan buang-buang waktu!" kata Randu Watung.

Bayu masih diam memondong tubuh Eyang Puger. Tapi kemudian dilangkahkan kakinya mendekati patih itu, dan diberikannya tubuh laki-laki tua itu. Patih itu memondongnya dengan sikap ragu-ragu. Bayu melangkah mundur setelah Eyang Puger sudah berpindah tangan.

"Aku harus pergi, salamkan saja pada Eyang Puger," kata Bayu.

"Hey! Kau mau ke mana?" sentak Randu Watung seraya melompat turun dari kudanya. Dia sangat terkejut sekali dengan kata-kata Bayu tadi.

"Masih banyak yang harus kukerjakan. Satu saat nanti aku akan datang menjenguk Eyang Puger," kata Bayu pelan.

"Kau harus ikut, Bayu. Aku akan memperkenalkanmu pada Ayahanda Prabu. Itu sudah janjiku!" kata Randu Watung tegas.

"Terima kasih, bukannya aku menolak. Rasanya tidak pantas jika kuterima anugerah sebesar itu. Sekali lagi, aku mohon maaf, Raden," ucap Bayu seraya membungkuk memberi hormat. "Aku percaya kau seorang putra mahkota. Maaf atas kekasaranku beberapa hari ini," ucap Bayu lagi.

"Edan! Kau bicara apa?" sentak Randu Watung tidak suka.

"Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi, Raden. Sampaikan salamku pada Eyang Puger," ucap Bayu seraya melompat cepat bagaikan kilat.

"Bayu !" seru Randu Watung keras, tapi bayangan Pendekar Pulau Neraka sudah tidak terlihat lagi. Randu Watung berdiri mematung memandangi arah kepergian Bayu. Entah apa yang ada di dalam benaknya saat ini. Yang jelas dia merasa kehilangan seorang sahabat sejati. Tidak akan mungkin dia bisa melupakan pertemuannya dengan Pendekar Pulau Neraka.

"Raden...," tegur laki-laki setengah baya yang memondong Eyang Puger.

"Kau naik kuda bersama Eyang Puger. Bawa secepatnya ke istana kadipaten!" perintah Randu Watung tegas.

"Baik, Raden."

Randu Watung juga bergegas melompat naik ke punggung kudanya. Dan begitu patih itu melompat naik sambil membawa Eyang Puger, Randu Watung menggebah kudanya cepat cepat. Diikuti patih yang masih memondong Eyang Puger di atas punggung kuda. Sekitar seratus prajurit mengikutinya dari belakang. Mereka juga menunggang kuda. Sedangkan ada sekitar lima puluh prajurit lagi berjalan kaki membawa tawanan.

Randu Watung memacu kudanya dengan cepat di depan. Pikirannya masih tertuju pada Pendekar Pulau Neraka. Rasanya belum tenang kalau tidak memberikan sesuatu pada pendekar yang sudah begitu banyak jasanya. Randu Watung bertekad di dalam hatinya untuk mencari tahu di mana Pendekar Pulau Neraka berada.

"Randu, kitab pada Eyang Puger bisa menjadi petunjuk untuk mengobati lukanya...!" tiba-tiba terdengar suara Bayu yang menggema.

"Heh!" Randu Watung terkejut, langsung dihentikan langkah kaki kudanya. Begitu juga dengan yang lainnya. Mereka semua terkejut mendengar suara tanpa ujud itu.

"Bayu! Di mana kau...?" teriak Randu Watung keras.

Sunyi, tidak ada seorang pun yang terlihat. Randu Watung mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Juga dipasang telinganya tajam tajam. Tetap saja sunyi, tidak ada Bayu di dekat tempat itu. Randu Watung memerintahkan pada patihnya untuk membawa Eyang Puger secepatnya ke istana bersama sebagian prajurit.

Dia sendiri masih belum beranjak meskipun patih itu bersama sebagian prajurit sudah menggebah kudanya. Agak lama juga Randu Watung menunggu, tapi Bayu tidak juga muncul. Pemuda yang ternyata putra mahkota itu mendesah panjang dan berat. Kemudian digebah kudanya pelahan-lahan meninggalkan tempat itu.

S E L E S A I