Mayat Dalam Istana - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Mahesa Kelud. Mayat Dalam Istana

MAYAT DALAM ISTANA


SATU

LANGKAH, REZEKI, JODOH DAN MAUT…
Itulah empat parkara yang tidak dapat ditentukan oleh manusia. Keempatnya berada dalam kuasa dan kehendak Yang Maha Kuasa. Kekuasaan dan kehendak itulah yang menjadi dasar dari jalannya cerita, menyangkut pendekar sakti mandraguna Mahesa Kelud dan istrinya Wulansari.

Puncak Gunung Muria
Pagi itu langit tampak mendung. Angin bertiup kencang. Supitmantil berdiri di ambang pintu rumah kayu, memperhatikan Wulansari yang sejak lebih dua bulan lalu jadi istrinya berkemas-kemas. Hatinya gembira karena akhirnya hari itu Wulansari bersedia juga meninggalkan tempat kediamannya itu. Selama ini Supitmantil selalu merasa kawatir kalau-kalau Mahesa Kelud tiba-tiba muncul.

"Kita berangkat sekarang Wulan?" tanya Supitmantil.

Wulansari mengangguk. Dibetulkannya letak Pedang Dewi yang tersisip di balik punggung. Walaupun kini sudah lebih dari dua bulan dia menjadi isteri lelaki itu, namun bayangan Mahesa Kelud, suaminya yang pertama yang disangkanya benar-benar sudah mati tidak dapat pupus dari ingatannya. Dia merasa bersyukur bahwa Supitmantil ternyata seorang suami yang sangat baik, lemah lembut tutur cakapnya hingga keperihan hati akibat kehilangan Mahesa Kelud cukup terhibur meskipun dia sadar cintanya terhadap Supitmantil tidak sebesar cintanya terhadap Mahesa.

"Hai! Mendung sekali cuaca hari ini. Dan angin begini kencang. Sebentar lagi pasti turun hujan!" seru Wulansari ketika dia sampai di beranda rumah "Bagaimana kalau kita tunggu biar hujan turun lebih dulu. Begitu berhenti baru kita berangkat."

Supitmantil yang sudah tidak sabar dan ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu merangkul bahu Wulansari seraya memandang ke langit lalu berkata, "Cuaca memang agak buruk. Tapi hujan tak segera akan turun. Paling cepat setelah kita sampai di kaki gunung. Sebaiknya kita berangkat sekarang saja Wulan."

Wulansari akhirnya mengikuti juga kemauan suaminya. Untuk terakhir kali dia memandangi rumah kayu di puncak Muria itu. Hatinya terasa pilu. Dia akan meninggalkan rumah penuh kenangan. Entah kapan akan kembali lagi ke situ. Kedua matanya berkaca-kaca.

"Mari Wulan," bisik Supitmantil.

Sambil berpegangan tangan kedua orang itu menuruni serambi rumah, melangkah ke ujung kiri halaman di mana tertambat dua ekor kuda. Ketika Supitmantil hendak membantu Wulansari naik ke atas kuda, tiba-tiba terdengar satu seruan yang luar biasa mengejutkan baik Wulansari apa lagi bagi Supitmantil. Muka pemuda ini berubah sepucat kain kafan!

"Wulan! Aku datang!"

Sebelum gema saruan itu lenyap, sesosok bayangan berkelebat. Di lain kejap Mahesa Kelud tampak tegak enam langkah di depan kedua orang itu, menatap dengan pandangan mata aneh, penuh tanda tanya.

"Mahesa! Kau...!" Wulansari terpekik. Jelas ada kegembiraan pada wajahnya namun lebih banyak terlihat bayangan ketidakpercayaan akan pandangan matanya sendiri!

"Mahesa! Betul kau ini yang datang...?!"

"Wulan... Ada apa? Apakah matamu tidak melihat hingga tidak mengenali diriku lagi?" tanya Mahesa tanpa bergerak dari tempatnya. Setelah berbulan-bulan tidak berjumpa dan penuh kerinduan tentu saja saat itu ingin dia memeluk istrinya. Tapi entah mengapa dia tetap diam ditempatnya. Ada sesuatu kelainan dirasakannya di puncak gunung Muria itu.

"Aku tidak buta. Aku dapat melihatmu dangan jelas Mahesa. Tapi... Tentu Tuhan telah menyelamatkanmu dari malapetaka itu!"

Wulansari sandiri ingin lari menubruk Mahesa. Namun detik itu pula dia sadar akan keadaan dirinya yang telah menjadi istri Supitmantil. Parempuan ini merasakan tubuhnya berguncang, dadanya bergetar. Jalan nafasnya menjadi sesak. "Ya Tuhan! Bagaimana semua ini bisa terjadi...?"

Meskipun tambah heran melihat sikap dan mendengar ucapan istrinya namun Mahesa berkata: "Betul Wulan. Tuhan telah menyelamatkan sewaktu terpental masuk jurang batu. Seorang kakek sakti menolongku. Bagaimana kau bisa tahu kalau aku selamat dari malapetaka masuk jurang batu itu...?"

"Jurang batu...?" Wulansari mengulang heran.

"Ya, jurang batu!" sahut Mahesa. "Bukankah itu malapetaka yang kau maksudkan?" 

Mahesa berpaling sedikit ke arah Supitmantil. "Kulihat ada sahabatku Supitmantil di sini. Dan kalian berdua seperti bersiap-siap hendak meninggalkan tempat ini...."

Di atas mereka langit tambah mendung. Udara tambah gelap. Angin bertiup kencang menimbulkan suara bersiuran. Di kejauhan kilat menyambar. Rambut Mahesa berkibar-kibar ditiup angin. Mendadak saja dia teringat mimpinya waktu di goa dulu. Mimpi rembulan disambar petir! Guntur menggelegar menegakkan bulu roma. Puncak gunung Muria bergetar. Tapi lebih hebat lagi getaran yang ada di dada ketiga orang itu!

"Mahesa! Ya Tuhan… Kalau saja aku tahu kau masih hidup!" Wulansari menjerit setengah meratap sedang kedua matanya telah basah oleh air mata. "Bagaimana… bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi....?"

"Memangnya siapa yang mengatakan aku sudah mati Wulan?" tanya Mahesa. Ketika Wulansari tak menjawab Mahesa membentak. "Katakan! Apa arti semua ini!" Lalu dia maju mendekati Wulansari. Tapi baru satu langkah kakinya tertahan seperti dipantek ke tanah ketika mendengar keterangan Wulansari.

"Menurut Supit kau tewas dalam kecelakaan di tengah laut. Jenazahmu tak pernah ditemukan. Dia... dia...."

Wulansari berpaling kearah Supitmantil dangan mata berapi-api. "Dia yang mengatakan semua itu. Lalu dia meminta aku jadi istrinya. Karena tak ada harapan lagi bahwa kau masih hidup aku.... aku..."

"Jadi saat ini sebenarnya kau telah jadi istrinya?!" Suara Mahesa bergetar. Dadanya terasa panas seperti mau meledak. Wulansari tak bisa menjawab. Tubuhnya terasa lunglai dan meluncur ke bawah, jatuh berlutut. "Jadi, jelas dia telah menyusun cerita dusta!" Rahang Mahesa Kelud menggembung. "Aku menyesalkan kau begitu mudah percaya dan tidak menyelidik…" Dengan mata membeliak garang dan pelipis bergerak-gerak Mahesa barpaling pada Supitmantil, "Manusia keparat! Ternyata kau hanya seekor srigala berbulu domba. Pengkhianat terkutuk! Kupatahkan batang lehermu!"

Mahesa melompat ke depan. Kedua tangannya terkembang. Dari mulutnya terdengar suara menggeram seperti seekor harimau yang hendak menerkam mangsanya.

"Tunggu dulu!" seru Supitmantil seraya berkelit menghindar. "Aku akan terangkan pada kalian...."

"Keparat! Manusia penipu! Biar roh busukmu yang memberi keterangan pada setan-setan neraka!" teriak Wulansari. Tubuhnya yang tadi berlutut tiba-tiba melompat sebat. Sinar merah berkiblat. Ternyata perempuan ini telah mencabut Pedang Dewi pemberian gurunya Suara Tanpa Rupa. Tetapi dia bukan menyerang kaearah Supitmantil, melainkan memapas serangan Mahesa Kelud!

"Bagus! Kau memang patut membela suamimu!" teriak Mahesa. Di samping marah hatinya juga hancur sekali melihat kenyataan ini.

"Aku tidak membela dajal busuk itu! Aku tak ingin kau membunuhnya! Dia harus mampus di tanganku!" balas teriak Wulansari. Namun ucapannya itu tidak dapat menyurutkan amarah dan sakit hati Mahesa Kelud.

Selagi Mahesa dan Wulansari terlibat dalam pertengkaran mulut itu Supitmantil yang sudah lumer nyalinya pergunakan kesempatan untuk melompat kepunggung salah seekor dari dua kuda yang ada di situ. Akan tetapi sebelum sempat membedal binatang itu, Wulansari sudah lebih dulu berkelebat dan kirimkan satu bacokan pedang sakti yang ganas. Supitmantil cepat melompat dari punggung kuda selamatkan diri.

Sesaat kemudian terdengar ringkik binatang itu ketika Pedang Dewi di tangan Wulansari membabat lehernya, membuat luka manganga yang amat besar. Darah menyembur. Kuda yang malang ini lari menghambur, namun ambruk tarsungkur ke tanah setelah lari beberepa belas tombak, meringkik keras untuk penghabisan kali sebelum terkapar tak bernafas lagi!

Saat itu hujan mulai turun. Petir menyambar berulangkali disusul gelegar guntur. Begitu meloncat dari kuda dan lolos dari sambaran pedang Wulansari, Supitmantil selamatkan diri ke balik sebatang pohon. Maksudnya hendak terus melarikan diri di bawah hujan lebat serta kabut yang menutup pemandangan. Tetapi dua sosok tubuh lebih cepat bergerak menghadang. Di sebelah kanan Mahesa Kelud, disebelah kiri Wulansari.

"Wulan! Kau sungguhan hendak membunuhku?" tanya Supitmantil dangan suara bergetar. Dalam ketakutan yang amat sangat dia seperti berusaha menaruh seberkas harapan. Tapi dia keliru.

"Keparat terkutuk sepertimu apakah masih pantas hidup di muka bumi ini?!"

"Siapapun diriku aku adalah suamimu! Kita kawin secara sah!"

"Suami jahanam! Kau berhasil memperistrikanku karena menipuku!" teriak Wulansari lalu siap untuk membantai dengan pedang saktinya.

Namun tubuhnya tersentak dan mukanya pucat ketika tiba-tiba Supitmantil berkata. "Kalau kau membunuhku, bagaimana dangan benih bayi yang kini kau kandung?! Apa kau ingin melahirkan seorang anak tanpa ayah? Anak yang ayahnya mati di tangan ibunya sendiri?!"

Wulansari merasakan tengkuknya sedingin es. Sebaliknya Mahesa Kelud merasakan dadanya menggemuruh seperti sebuah kepundan gunung api yang siap meledak memuntahkan cairan dan lumpur panas! Jelas rupanya kedua orang itu telah melangsungkan parkawinan secara sah. Bahkan Wulansari kini tengah hamil, mungkin sekitar satu atau dua bulan. Menghamili anak hasil hubungan perkawinannya dangan Supitmantil, sahabat yang telah mengkhianatinya secara terkutuk. 

Kalau tadi dalam kemarahannya Mahesa ingin sekali membunuh Supitmantil saat itu juga, kini dia jadi bingung sendiri. Supitmantil jelas telah melakukan dosa besar karena telah menipu Wulansari untuk dapat mengawini perempuan itu. Tetapi apakah Wulansari sendiri tidak terlepas dari kasalahan? Yaitu kurang periksa dan dalam waktu singkat mau saja menerima Supitmantil jadi suaminya.

Seolah-olah kasih sayang dan kecintaannya terhadap dirinya hanya selapis kabut yang segera lenyap begitu tertiup angin dan kini hanya tinggal kenangan belaka. Lalu siapa pula yang telah mengawinkan mereka dan di mana? Jika dia membunuh Supitmantil, tegakah dia melihat Wulansari hidup menjadi janda, memelihara seorang anak tanpa ayah?

Bagaimanapun besarnya amarah Mahesa Kelud terhadap Wulansari namun jauh di lubuk hatinya masih tersemat rasa cinta kasih terhadap parempuan itu meskipun kini mungkin hanya seperti sebuah pelita kehabisan minyak. Mahesa Kelud yang tertegun dalam gelegak amarah tapi kemudian menjadi bingung sendiri, baru sadar ketika didepannya terdengar raungan Supitmantil.

Di bawah hujan lebat tampak pakaian putihnya yang basah oleh air hujan kini juga basah oleh cairan merah. Darah! Sinar pedang di tangan Wulansari menyambar tiada henti. Supitmantil tak kuasa untuk melarikan diri bahkan sama sekali tidak mampu menghindar dari serangan ganas perempuan yang selama dua bulan menjadi istrinya itu. Luka besar menganga di sekujur tubuhnya. Ketika Wulansari yang seperti gila itu menusuk bahunya sebelah kiri Supitmantil terhuyung-huyung. Luka-luka yang dideritanya menimbulkan hawa panas di sekujur tubuhnya.

"Wulan.... Aku mohon jangan bunuh aku. Aku mohon Wulan..." pinta Supitmantil meratap.

Namun saat itu tak ada belas kasihan apalagi kasih sayang di hati Wulansari. Ratapan lelaki itu malah membakar amarahnya. Pedangnya membabat, membacok dan menusuk berulang kali. Dari mulutnya tiada henti terdengar pekikan mengerikan. Supitmantil yang menjadi bulan-bulanan serangan pedang akhirnya terkapar di tanah becek dalam keadaan menggidikkan.

Tubuhnya seperti dicincang. Beberapa bagian anggota lengan dan kakinya buntung putus. Mulutnya masih tampak bergerak, megap-megap berusaha bernafas dan tampak seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Bagian hitam bola matanya lenyap. Kedua mata itu kini membeliak putih memandang ke langit yang masih terus menumpahkan air hujan.

Tiba-tiba Wulansari keluarkan pekik keras, menembus deru angin dan hujan lebat. Mukanya tampak beringas dan sepasang matanya berputar ganas. Pedang Dewi yang masih digenggam di tangan kanan ditusukkan dalam-dalam ke leher Supitmantil hingga menembus sampai ke tanah.

Wulansari tak berusaha mencabut pedang merah itu, membiarkannya sengaja menancap terus di leher lelaki yang pernah menjadi suaminya, lelaki yang semula disangkanya benar-benar mengasihinya. Tetapi kemudian ternyata Srigala berbulu domba Yang telah menipu dan menghancurkan kehidupannya.

Ketika perempuan ini membalikkan tubuh, pandangannya beradu dangan Mahesa Kelud. Keberingasan pada wajahnya langsung mengendur. Ingin sekali dia berlari memeluk Mahesa dan menangis di dada lelaki itu. Tapi dia merasakan dirinya seperti seonggok sampah kotor yang tak layak melakukan hal itu. Maka di bawah hujan lebat Wulansari lari ke rumah, menjatuhkan diri di tangga serambi depan dan menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Mahesa Kelud termangu sesaat. Apakah dia akan mendatangi Wulansari. Atau... Ternyata Mahesa Kelud kemudian melangkah mendekati mayat Supitmantil. Dicabutnya pedang yang menancap di leher lalu ditendangnya mayat lelaki itu hingga mental jauh ke lereng gunung. Pedang Dewi yang berlumuran darah itu kemudian diletakkannya di tangga serambi, di samping Wulansari.

Setelah diam sejenak lelaki ini merasa tak ada hal lain yang bisa dilakukannya selain bertekad meninggalkan tempat itu membawa segala kesengsaraan dan kehancuran lahir batin. Sebenarnya untuk terakhir kali ingin dia mengatakan sesuatu pada Wulansari. Namun bibirnya terasa berat, lidahnya kelu dan tenggorokannya terasa kering.

Dia hanya bisa memandangi perempuan yang pernah sangat dikasihinya itu dengan perasaan pilu. Ada air mata membasahi kedua matanya. Sebelum airmata itu jatuh membasahi pipinya, Mahesa segera membalikkan diri hendak pergi. Justru pada saat itu dibawah deru hujan lebat dan tiupan angin keras tiba-tiba terdengar gelegar suara seseorang.

"Murid-muridku! Tabahkan hati kalian menghadapi cobaan yang sangat besar dan maha berat ini...!"

Perlahan-lahan Wulansari turunkan kedua tangannya yang menutupi muka dan memandang ke depan. Mahesa sendiri cepat membalik.

"Guru!" seru keduanya hampir bersamaan dan cepat menjura hormat.

Di halaman di seberang sana, di bawah hujan lebat tegak seorang lelaki sangat tua. Berambut putih laksana kapas. Mukanya meski tua tapi masih licin. Janggut dan kumisnya pun putih, juga kedua alis matanya. Di atas bahu kirinya kelihatan seekor anak rusa. Orang tua ini bukan lain adalah si Suara Tanpa Rupa. Guru yang telah mewariskan sepasang pedang sakti serta ilmu Pedang Dewa dari Delapan Penjuru Angin kepada Mahesa dan Wulansari.

"Kalian berdua dengarlah…" sang guru kembali berkata. "Jika ada manusia paling bersalah dalam persoalan kalian, orang itu adalah aku si tua bangka buruk ini. Mahesa... aku telah menikahkan istrimu dengan Supitmantil tanpa melakukan penyelidikan. Aku benar benar merasa bersalah...."

Terdengar ratap tangis Wulansari meninggi. Mahesa tegak terdiam, tak tahu apa yang hendak dikatakannya.

"Aku benar-benar bersalah. Bagaimana aku harus minta maaf…" terdengar kembali suara sang guru penuh penyesalan.

Akhirnya Mahesa Kelud membuka mulut juga, berkata, "Guru tak ada yang bersalah dalam hal ini. Mungkin semua ini sudah takdir dan kehendak. Tuhan... Kita manusia hanya menerima nasib."

Tangisan Wulansari terdengar semakin memilukan. "Tak lama setelah aku menikahkan mereka!" menyambung Suara Tanpa Rupa. "Ada timbul satu kecurigaan dalam hatiku. Namun karena ada satu pekerjaan mendesak yang harus aku rampungkan, baru saat ini aku bisa muncul di sini. Ternyata kedatanganku sudah sangat terlambat!"

Di bawah hujan lebat wajah orang tua yang kelimis itu tampak pucat penuh penyesalan. Anak rusa yang ada dipundaknya memandang sayu pada Mahesa Kelud seolah mengerti kehancuran hati dan kehancuran hidup yang dihadapi pemuda itu.

"Guru…" kata Mahesa pula. "Apapun yang telah terjadi saya tetap menghormatimu." Diusapnya mukanya yang basah oleh air hujan. "Izinkan saya pergi sekarang..."

"Tunggu! Jangan pergi dulu…!" seru Suara Tanpa Rupa ketika dilihatnya muridnya hendak memutar tubuh.

Saat itu Wulansari telah berdiri sambil memegang Pedang Dewi di tangan kanan dan sarungnya di tangan kiri. Dia melangkah ke hadapan Suara Tanpa Rupa seraya berkata, "Guru, saya merasa tidak layak lagi memegang senjata sakti ini. Diriku terlalu kotor. Biarlah pedang ini saya serahkan kembali padamu..."

Suara Tanpa Rupa menggeleng. "Tidak muridku," katanya. "Apa yang telah kuberikan padamu tetap menjadi milikmu. Masukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya. Mari kita bicara di dalam rumah…"

Kini Wulansari yang balas menggeleng. Dia mengatakan sesuatu tapi suaranya terbata-bata, tak jelas apa yang diucapkannya. Matanya sesaat memandang pada Mahesa. Hatinya perih hancur luluh. Apa yang tadi diucapkan Mahesa dan keinginan lelaki itu untuk pergi jelas memberi kenyataan padanya bahwa Mahesa tidak lagi mengharapkan dirinya. Lalu apakah lagi gunanya hidup ini dengan setumpuk dosa dan kesalahan tak berampun membungkus diri? Rasa malu dan putus asa membuat perempuan ini menjadi nekad.

Segala sesuatunya kemudian terjadi cepat sekali. Baik Mahesa maupun sang guru yang berada dekat dengan Wulansari tidak mampu mencegah ketika perempuan itu tiba-tiba sekali menusukkan pedang merah sakti ke dadanya.

"Wulan!" seru Mahesa dan cepat melompat ke depan. Suara Tanpa Rupa masih sempat memegang tangan muridnya. Namun kedua orang itu tetap saja terlambat. Ujung pedang telah lebih dulu menancap, menembus sampai setengah tubuh Wulansari.

Kedua matanya menatap sayu ke arah Mahesa. Ada sekelumit senyum disudut bibirnya. Lalu pandangan mata itu mulai berbinar-binar kuyu, perlahan-lahan mengelam. Ketika Mahesa mendukung tubuhnya ke dalam rumah, sepasang mata yang dulu indah menawan itu kini terkatup dan tak akan pernah lagi terbuka. Dari langit hujan turun semakin lebat, semakin deras. Seolah-olah turut meratapi apa yang terjadi di puncak gunung Muria itu.

* * * * * * * *

Satu pemandangan baru kini tampak di puncak gunung Muria. Yaitu kehadiran sebuah kuburan bertanah merah dibawah sebatang pohon rindang di rumah kayu. Saat itu menjelang tengah hari. Hujan telah lama berhenti tapi angin masih kencang dan udara masih terasa dingin. Mahesa tampak berlutut beberapa lamanya di kepala kuburan. Kemudian pemuda ini berdiri, berpaling pada orang tua yang tegak di kaki makam dan berkata,

"Guru sudah saatnya saya pergi sekarang…"

Suara Tanpa Rupa manarik nafas dalam dan mengangguk. "Jika kau hendak pergi baiklah Mahesa. Aku tak bisa melarang. Hanya kalau aku boleh bertanya ke manakah tujuanmu...?"

"Saya sendiri tidak tahu guru. Jadi tak dapat menjawab..." sahut si pemuda.

Suara Tanpa Rupa mengulurkan Pedang Dewi yang dipegangnya. "Ambillah senjata pasangan Pedang Dewi ini. Bawalah biar lengkap perbendaharaan senjata saktimu...,"

Gelengan kapala Mahesa Kelud membuat si orang tua tercengang. "Kau tak mau menerimanya Mahesa...?"

"Tarima kasih guru. Kau baik sekali. Bukan saya tak mau menerimanya, tapi tidak berani...."

"Kenapa tidak berani?"

"Membawa Pedang Dewa saja besar tantangannya bagi murid, apalagi membawa pasangannya sekaligus. Malah kalau guru tidak keberatan, murid ingin mengembalikan Pedang Dewa ini…" Mahesa bergerak hendak mengambil pedang sakti yang tersisip di balik punggungnya.

"Jangan kau lakukan itu Mahesa!" kata Suara Tanpa Rupa dengan keras dan jelas merasa tersinggung. Namun orang tua ini kemudian menyadari muridnya sampai bertindak begitu karena tekanan perasaan yang menggejolak tinggi hampir tak tertahankan. Maka orang tua ini pun kembali berkata dengan nada sabar.

"Muridku, aku mengerti perasaanmu saat ini. Mungkin mati pun kau mau. Namun hal ini mengingatkan aku pada seorang nenek sakti sahabatku di masa lalu. Namanya Kunti Kendil. Aku tak tahu di mana dia berada sekarang. Dia punya sebuah ujar-ujar yaitu: Jangan sampai perasaan mangalahkan pikiran. Kuharap hal itu tidak akan terjadi padamu. Karena jika manusia lebih banyak bertindak berdasarkan perasaan, bukan menurut pikiran, akan celakalah dia..."

"Murid akan perhatikan kata-katamu itu guru," sahut Mahesa. "Hanya saja memang saat ini saya merasa sangat terpukul. Sejak semula hidup ini penuh sengsara dan derita agaknya masih belum berakhir. Sejak eyang Jagatnata mengambil saya jadi murid sampai saat ini saya tak pernah lagi melihat orang tua. Lalu satu-satunya orang yang saya kasihi kini telah tiada. Bagaimana mungkin melupakan hal ini…?"

"Mahesa." kata Suara Tanpa Rupa pula. "Ingat ketika pertama kali kau memegang Pedang Dewa? Mula-mula kau merasakan aliran hawa panas menjalar ke seluruh tubuhmu. Lalu hawa panas sirna, berubah dengan aliran sejuk menyegarkan yang memberikan satu kekuatan tenaga dalam padamu. Aliran panas itu masuk ke tubuhmu untuk memusnahkan segala kekotoran jasmani dan rohani yang ada di situ. Setelah semua dimusnahkan dan dirimu menjadi kosong suci maka aliran sejuk yang masuk kemudian memberikan satu kekuatan lahir batin baru. Kekuatan yang berdasarkan amalan suci, berdasarkan jalan pikiran yang sehat, bukan berdasarkan panutan perasaan sesat. Karenanya selayaknya saat ini kau tidak harus menyesali diri sendiri, menyesali kehidupanmu, apalagi sampai menjadi putus asa. Apakah kau mendengar dan mengerti Mahesa?''

"Murid mendengar dan mengerti, guru."

"Bagus. Sekarang kau boleh pergi. Jika kau tak ingin membawa serta Pedang Dewi tak jadi apa. Senjata sakti ini akan kembali kubawa ka dalam goa. Mudah-mudahan suatu saat bisa kuserahkan pada seorang pengganti Wulansari agar dia dapat muncul lagi dalam rimba belantara persilatan menjalankan tugasnya membasmi kejahatan dan kesesatan."

Mahesa Kelud menjura hormat dalam-dalam, beberapa saat dia mengusap dan mencium rusa bernama Joko Cilik itu, lalu tinggalkan puncak gunung Muria.

Suara Tanpa Rupa menghela nafas panjang. "Saatnya kita juga pergi Joko," katanya pada anak rusa di pundaknya. Lalu orang tua ini pun tinggalkan tempat tersebut.

* * * * * * * *
DUA

SEPERTI biasanya malam menjelang pagi udara selalu terasa lebih dingin. Namun karena sore sebelumnya hujan turun dengan lebat maka sejak dini hari udara dingin terasa lebih mencucuk sampai ke tulang sumsum. Di bawah udara dingin begitu rupa dan kegelepan malam yang masih memekat sesosok bayangan berkelebat cepat menuju pusat kota di mana Istana Sultan Banten terletak. Karena orang ini berpakaian serba hitam, ditambah gerakannya serba luar biasa maka dia tak ubah seperti setan malam yang berkelebat, lenyap sebelum dapat terlihat jelas.

Dalam waktu singkat dia sudah berada di luar tembok istana yang berketinggian lebih dari empat meter dan ditancapi besi-besi runcing pada sebelah atasnya. Dengan satu lompatan luar biasa orang berpakaian hitam-hitam itu mudah saja melompati tembok istana. Seperti seekor burung alap-alap dia turun di bagian dalam istana, tepat di sebuah taman besar yang terletak di bagian belakang istana.

Dua orang penjaga yang bertugas terkantuk-kantuk di tempat itu tersentak kaget dan segera memburu dangan tombak di tangan. Tiga langkah dari hadapan mereka, tiba-tiba si penyusup lambaikan lengan kanan baju hitamnya. Selarik angin menerpa deras. Perajurit di sebelah kanan keluarkan keluhan pendek. Tubuhnya terhempas di belakang lalu roboh di halaman taman. 

Kawannya yang satu lagi angkat tombaknya tinggi-tinggi, siap untuk menghujamkan senjata ini ka arah orang-orang berpakaian serba hitam, tapi belum sempat bergerak lebih jauh kembali si baju hitam lambaikan lengan pakaiannya. Hal yang sama terjadi. Prajurit kedua mencelat, roboh pingsan dekat bangku batu. Dengan mudah, tanpa banyak halangan lagi si penyusup bergerak ke ujung kiri halaman belakang di mana terletak sebuah bangunan besar dan bagus. 

Di sini terdapat beberapa kamar besar tempat ketiduran istri-istri Sultan. Masing-masing kamar tidak ubahnya seperti sebuah rumah kecil saja karena dilengkapi dengan ruang tamu dan ruang keluarga yang besar. Di tangga bangunan besar yang tampaknya sepi tiba-tiba saja orang berpakaian serba hitam itu dapatkan dirinya sudah dikurung oleh empat orang pengawal bersenjata golok. Salah seorang pengawal membentak.

"Maling tua dari mana yang malam-malam begini berani masuk istana Banten?!"

Orang yang dibentak menyeringai. Dia ternyata memang seorang tua bermata sangat cekung, berambut panjang hitam dikuncir. Tiba-tiba orang ini mambuat gerakan aneh dan luar biasa cepatnya. Dua pengawal di sebelah depan salah satu di antaranya yang tadi membentak langsung roboh begitu dada masing-masing dilabrak jotosan kaki kanan orang itu!

Melihat ini pengawal yang dua lagi tanpa banyak cerita segera bacokkan goloknya. Namun meraka pun menerima nasib sama. Dengan mudah orang tua berpakaian serba hitam itu tundukkan tubuh mengelakkan sambaran golok. Di lain saat jotosan kirinya menghantam perut pengawal sebelah kiri hingga terpuntir dan terguling pingsan.

Pengawal terakhir kena dicekal lengannya yang memegang golok. Sekali banting saja pengawal ini tersungkur ke tanah. Lehernya patah. Nyawanya lepas! Sesaat orang berpakaian hitam itu memandang berkeliling. Merasakan segala sesuatunya aman maka dia pun berkelebat menuju pintu depan bangunan besar.

* * * * * * * *

Hari masih gelap dan pagi belum datang ketika seorang perajurit memacu kudanya menuju gudang besar kediaman Patih Sumapraja. Sang patih yang sedang lelap tidur segera dibangunkan dan langsung menemui prajurit itu. Atas perintah Sultan dia diminta segara menghadap.

"Apa yang terjadi?" tanya Sumapraja.

"Mohon dimaafkan, saya tak boleh mengatakan apa-apa. Hanya diperintah agar patih segera datang ke istana…." jawab perajurit itu lalu menjura dan cepat-cepat pergi.

Penuh rasa heran patih Sumapraja segera berganti pakaian. "Apakah Sultan gering…?" pikir patih berusia setengah abad ini. Ketika dia sampai di istana bersama pengiringnya didapatinya puluhan perajurit berjaga-jaga di luar dan di dalam istana. Dia diantar ke sebuah ruangan di bagian belakang istana di mana telah duduk menunggu Sultan Hasanuddin.

Selesai mengatur sembah Sumapraja segera bertanya mengapa Sultan memanggilnya. Dilihatnya keadaan dalam istana tidak seperti biasa. Dua orang istri Sultan duduk di sebuah kursi panjang sedang di lain sudut dilihatnya beberapa pelayan perempuan yang biasa mengurusi keperluan permaisuri dan istri-istri Sultan duduk di lantai, bersimpuh sambil terisak-isak.

Sultan Hasanuddin tidak menjawab pertanyaan patih Sumapraja. Dia tegak dari duduknya lalu memegang bahu sang patih dan mengajaknya melangkah menuju rumah besar tempat kediaman para istrinya. Mereka langsung masuk ke sebuah kamar. Di situ tampak para pengawal memenuhi ruangan dengan senjata terhunus.

Di dalam kamar, di atas ranjang besar dan bagus terbaring tubuh seorang perempuan muda berparas cantik yang segera dikenali oleh patih Sumapraja sebagai Dewi Kemulansari, istri termuda Sultan. Sepintas tampaknya perempuan ini seperti tidur nyenyak.

Namun setelah lebih diperhatikan patih Sumapraja segera melihat bahwa ada tanda merah kebiruan pada leher istri ketiga Sultan itu. Bekas cekikan ganas. Dari seorang pengurus istana Sumapraja juga mendapat laporan bahwa enam orang pengawal istana ditemui pingsan, satu di antaranya malah telah menemui ajal.

Meskipun dia dihadapi dengan laporan dan kenyataan namun masih kabur bagi sang patih untuk menduga apa yang sebenarnya telah terjadi, sampai pada saat Sultan Hasanuddin membawanya ke sebuah ruangan pertemuan. Di situ telah duduk menunggu beberapa orang petinggi kerajaan. Di ruangan ini Sultan menyerahkan sehelai surat pada patih Sumapraja seraya berkata,

"Surat itu ditemui di atas tempat tidur Kemulansari. Kau bacalah paman patih." 

Sumapraja mengambil surat itu, membuka lipatannya dan membaca isinya.

Sultan Hasanuddin,
Sumpah bukannya sumpah kalau tidak menjadi kenyataan.
Sepuluh orang yang sangat kau kasihi dalam
hidupmu akan menemui ajal satu demi satu. Semua itu untuk membalas sakit hati kematian murid-muridku.
Hari ini korban pertama menemui kematiannya.
Dalam waktu dekat akan menyusul korban kedua!

Surat itu tidak ada tanda tangan ataupun nama pengirimnya. Patih Sumapraja memandang berkeliling lalu menatap langit-langit ruang pertemuan seperti merenung.

"Paman patih bisa menduga siapa penulis sekaligus pembunuh Kemulansari...?" bertanya Sultan.

"Bunyi surat ini mengingatkan saya pada kutukan seorang tokoh silat Pajajaran pada peristiwa beberapa waktu lalu Ki Balangnipa...!"

"Betul!" kata Sultan pula. "Aku yakin memang dia orangnya. Dua tahun lebih telah berlalu. Segala sesuatunya aman tenteram di dalam dan di luar istana walau sampai saat ini kita masih belum memiliki Kepala Balatentara dan Kepala Pengawal Istana. Tahu-tahu sumpah orang itu benar-benar dijalankannya...."

Pikiran Sultan dan sang patih teringat kambali pada peristiwa dua tahun yang silam. Waktu itu dalam sebuah sayembara mencari orang yang dapat dijadikan Kepala Balatentara Karajaan telah keluar sebagai pemenang seorang pemuda bernama Tirta. Sesuai dengan jabatannya maka dia diberi gelar Raden Mas. Setelah menduduki jabatan tarsebut ternyata barsama saudara seperguruannya bernama Jaka Luwak, Tirta melakukan pengkhianatan.

Dia bersekutu dengan kaki tangan Kerajaan Pajajaran untuk menghancurkan Banten di mana kelak dia dijadikan kedudukan sebagai patih Pajajaran dan sekaligus menjadi penguasa tertinggi di Banten. Namun sebelum maksud busuknya itu kesampaian, rahasia keburu bocor dan diketahui oleh Raden Mas Ekawira. Kepala Pengawal Istana Banten.

Celakanya Tirta dapat memutar balik kenyataan dan berhasil memfitnah Ekawira dengan mengatakan bahwa sebenarnya Ekawiralah yang diam-diam telah bersekutu dengan Pajajaran. Kepada Sultan, Tirta memperlihatkan sepucuk surat dari raja Pajajaran yang ditujukan pada Ekawira, padahal surat ini adalah surat palsu buatan Tirta sendiri. Akibatnya Ekawira ditangkap dan dipenjarakan.

Tapi dengan pertolongan Mahesa Kelud yang menjadi pembantu kepercayaannya Ekawira kemudian berhasil melarikan diri. Dalam pelarian, Kepala Pengawal Istana ini berhasil mencari tahu siapa sebenarnya ular kepala dua yang telah mengkhianati Banten. Dari keterangan seorang mata-mata Pajajaran yang berhasil ditangkap dan dibawa ke hadapan Sultan diketahuilah bahwa memang Raden Mas Tirta serta kakaknya seperguruannya Jaka Luwak yang hendak merebut kekuasaan di Banten dengan jalan bersekutu dengan Pajajaran.

Raden Mas Tirta terbunuh dalam suatu rimba belantara. Menemui ajal di tangan Resi Mintaraya, guru dari seorang pemuda yang bernama Unang Gondola yang sebenarnya berpeluang untuk jadi Kepala Balatentara Banten sebelum Tirta muncul dangan tiba-tiba dan mengalahkannya dalam sayembara yang sebenarnya talah ditutup. Jaka Luwak, saudara seperguruannya berhasil ditawan oleh Mahesa Kelud lalu dibawa ke Banten. 

Namun sebelum dia sempat memberi keterangan apapun pada Sultan, Ki Balangnipa muncul dan membunuh muridnya sendiri untuk menutup rahasia. Di saat itu pula Ki Balangnipa mengeluarkan sumpahnya terhadap Sultan. Yakni dia akan membunuh sepuluh orang yang paling di kasihi Sultan sebagai akibat kematian kedua orang muridnya. Resi Mintaraya sendiri kemudian juga menemui kematiannya di tangan Ki Balangnipa setelah terlibat dalam perkelahian puluhan jurus.

Sementara Ekawira yang tadinya memegang jebatan Kepala Pengawal Istana meninggalkan jabatannya meskipun Sultan telah menawarkan jabatan baru yang lebih tinggi yaitu Kepala Balatentara Kerajaan. Pemuda ini telah terlanjur sakit hati atas perlakuan Sultan. Bersama Mahesa Kelud dia meninggalkan Banten.

"Sultan...," kata patih Sumapraja, "kejadian ini mungkin salah satu kelalaian kita yang sampai saat ini masih belum mendapatkan seorang yang pantas untuk jabatan Kepala Pengawal Istana dan Kepala Balatentara Kerajaan..."

"Mungkin." jawab Sultan perlahan, "tapi kita telah berusaha mencarinya. Hanya saja belum mendapatkan calon yang tepat. Apakah harus dengan jalan mengadakan sayembara seperti dua tahun lalu? Kau tahu sendiri hasilnya paman. Salah-salah kita bisa kemasukan pengkhianat lagi. Karena itulah jabatan tersebut selama ini terpaksa kau rangkap..."

Setelah diam sesaat Sultan kembali berkata "Kelalaian atau kekeliruan itu tidak saatnya kita bicarakan dalam sidang kilat ini paman patih. Kita semua di sini sudah tahu di mana tempat kediaman Ki Balangnipa. Kau boleh membawa ratusan pasukan. Naik ke puncak Gunung Gede. Cari dan dapatkan pembunuh itu. Aku ingin melihat tubuhnya digantung di alun-alun!"

"Perintah saya jalankan Sultan!" jawab patih Sumapraja seraya berdiri. Sebelum pergi dia bertanya, "Adakah hal lain yang ingin Sultan katakan sebagai petunjuk...?"

"Sebelum pergi minta beberapa orang pajabat kita untuk menghubungi tokoh silat. Dengan adanya kejadian ini kita memerlukan bantuan mereka. Para tokoh silat istana yang ada kurasa masih belum cukup…"

"Akan saya jalankan Sultan. Cuma harap Sultan maklum. Sejak perginya Ekawira entah mengapa para tokoh silat tampak seperti menjauhkan diri dari istana..."

Sultan jadi termenung beberapa lamanya. "Apa kau tak pernah mendengar lagi tentang Ekawira? Dan juga pemuda pembantunya yang berkepandaian tinggi itu. Siapa namanya...?"

"Mahesa Kelud," jawab sang patih. Lalu dia menggelengkan kepala. "Keduanya tak pernah terdengar lagi Sultan..."

Sultan Hasanuddin menarik nafas panjang. Setelah memberi beberapa petunjuk lagi terutama yang menyangkut keamanan lingkungan istana maka sidang darurat itupun dibubarkan. Hari itu Sultan kehilangan salah satu dari orang-orang yang dikasihinya. Masih sembilan lagi akan menyusul.

* * * * * * * *
TIGA

SESAMPAI di kaki barat gunung Muria Mahesa Kelud seolah-olah menemui jalan yang buntu, tak tahu lagi dia akan menuju ke mana. Dirinya terasa kosong. Pendekar malang ini akhirnya menundukkan diri di bawah sebatang pohon waru. Apa yang akan dilakukannya dan ke mana dia harus pergi? 

Semula terlintas dalam pikirannya untuk pulang saja ke kampung halamannya di kampung Sariwangi, sebelah timur Kali Brantas. Tetapi sesampai di sana apa yang akan diperbuatnya? Kedua orang tuanya sudah tak ada lagi. Mati dibunuh Simo Gembong yang juga adalah gurunya sendiri. Sanak saudara dia pun tidak punya.

Saat itu baru disadarinya kalau dirinya sebatang kara di dunia ini. Dapatkah dia melupakan masa lalunya yang serba pahit dan getir itu? Sekilas timbul keinginannya untuk memencilkan diri di satu tempat sunyi dan jadi pertapa. Namun kemudian dia tertawa sendiri. Orang semuda dia mana mungkin tabah menjadi pertapa.

Mahesa tak sadar entah berapa lama dia merenung-renung di kaki gunung ini sementara sinar sang surya tampak mulai suram tanda hari sudah sore menjelang senja. Perlahan-lahan Mahesa Kelud berdiri dari duduknya. Tubuhnya terasa letih. Tapi keletihan batin terasa lebih menikam dari keletihan aurat.

Sesaat ketika dia hendak melangkah pergi di atas pohon di depannya dilihatnya sepasang kera coklat berlari-larian, melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lainnya. Kera betina tampak melompat-lompat sambil mendukung seekor anaknya yang mungil dan tak henti-hentinya mengeluarkan suara hiruk pikuk.

Kera yang jantan tegak di cabang pohon, memandang tepat-tepat ke arah Mahesa sambil menyeringai memperlihatkan gigi dan taringnya yang tajam. Dari tenggorokannya keluar suara seperti menggereng. Sikapnya jelas seperti bertindak waspada melindungi anak dan istrinya.

"Aku tak akan mengganggumu. Apalagi menyakitimu! Jangan kawatir. Aku bukan orang jahat!" kata Mahesa pada kera-kera itu. 

Sang anak kembali berteriak hiruk-pikuk. Induknya ikut-ikutan memekik sementara si kera jantan terus memandang beringas dan tak berkesiap pada Mahesa. Mahesa yang tidak perdulikan lagi binatang-binatang itu segera melangkah pergi. Namun tiba-tiba saja dia menghentikan langkahnya. Telinganya sebelah kiri mendadak mendenging.

Di saat itu juga teringatlah dia pada Kemaladewi, murid almarhum Dewa Tongkat yang telah melahirkan seorang bayi hasil hubungannya di masa lalu akibat ditipu diberi obat rangsangan oleh Sitaraga alias Iblis Buntung. Ah, di manakah perempuan yang malang itu kini berada dan bagaimana keadaannya. (Mengenai kejadian hubungan Mahesa dengan Kemaladewi silahkan baca: Pedang Sakti Keris Ular Emas dalam episode Noda Iblis

Lalu bagaimana pula dengan bayinya yang bernama Lutung Bawean, benarkah bayi itu hasil hubungannya dengan Mahesa, bukankah suaminya manusia bertubuh monyet yang dikenal dengan nama Lutung Gila? Lalu bagaimana pula dengan lutung raksasa yang disebut Raja Lutung itu? Langkah pendekar dari gunung Kelud ini jadi tertahan. Kembali dia duduk ke bawah pohon waru tadi sementara kera-kera di atas pohon sana telah lenyap masuk ke dalam rimba belantara.

Diam-diam Mahesa merasakan ada rasa bersalah dan berdosa dalam dirinya. Memang hubungan mesum itu terjadi antara dia dengan Kemaladewi adalah akibat kejahatan si Iblis Buntung yang sengaja memasukkan obat perangsang ke dalam minuman mereka. Yaitu ketika kedua muda-mudi itu tersesat ke dalam goa kediaman si nenek jahat. Setelah sadar apa yang terjadi Kemaladewi meminta agar Mahesa bersedia mengawininya. Sesungguhnya Kemaladewi memang sejak lama diam-diam mencintai pemuda itu.

Sebaliknya Mahesa yang sudah tertambat hatinya pada Wulansari tidak dapat memberi kata putus. Dia berjanji setelah menyelesaikan urusannya mencari pedang Samber Nyawa, dia akan kembali menemui gadis itu untuk membicarakan persoalan mereka. Namun sampai Kemaladewi melahirkan seorang anak lelaki dia tak pernah menemui perempuan itu. Malah dia dibingungkan dengan rasa curiga, apakah betul anak itu hasil hubungan mereka dulu, dan bukan dari perkawinan Kemaladewi dengan manusia aneh bernama Lutung Gila itu?

Mahesa ingat pada peristiwa sekitar dua tahun silam di Perguruan Ujung Kulon. Itulah saat terakhir kali dia melihat Kemaladewi. Dan pertemuan itu sangat mempengaruhi jiwa raganya. Kemaladewi yang dulu cantik jelita dilihatnya seperti seorang yang tidak waras lagi. Pakaian dan rambutnya kotor awut-awutan.

Saat itu Kemaladewi muncul sambil menggendong bayi. Ditemani oleh seorang lelaki berpakaian aneh, menyerupai bulu lutung menutupi sekujur tubuhnya. Selain aneh makhluk setengah manusia setengah lutung itu jelas berotak miring. Dan yang mengerikannya dalam ketidakwarasan itu Lutung Gila ternyata memiliki ilmu silat hebat luar biasa yang didapatnya dari ayah angkatnya yakni Raja Lutung. Raja Lutung yang memiliki kepandaian sukar di gambarkan, sampai di perguruan Ujung Kulon lebih dahulu.

Ketika Kemaladewi dan Lutung Gila bersama anaknya, Lutung Bawean, sampai di situ, Raja Lutung telah membantai lebih dari setengah lusin anak murid perguruan. Kemaladewi kemudian mengangkat dirinya menjadi Ketua Perguruan Ujung Kulon, bersama Lutung Gila membunuh pula beberapa orang anggota perguruan. Angka kematian bertambah menjadi lebih dari selusin. Dan dari sekian banyaknya anak murid perguruan kini hanya tinggal empat orang yang masih hidup.

Keganasan Raja Lutung, Kemaladewi dan Lutung Gila bukan saja membuat geger dunia persilatan tetapi sekaligus membuat prihatin para tokoh silat. Mereka yang tidak bisa berpangku tangan segera mendatangi Ujung Kulon. Ada yang datang dengan cara memberi peringatan dan nasihat. Ada pula yang langsung menyerbu untuk melenyapkan ketiga mahluk itu. Namun mereka semua tidak pernah kembali. Tidak pernah meninggalkan Ujung Kulon hidup-hidup. Semua menemui kematian dengan cara amat mengenaskan!

Sampai pada suatu hari, muncullah seorang tua berusia lebih dari 70 tahun, berambut putih, dan suka sekali mengucapkan kata-kata "sompret" dalam setiap perkataannya. Orang tua ini bernama Lor Munding Saksana, guru dari Empu Sora yakni ketua perguruan yang talah dibunuh oleh Lutung Gila alias Jayengrana, muridnya sendiri! Lor Munding Saksana datang bersama Udayana, seorang murid perguruan yang memang diutus untuk mencari dan menemui kakek gurunya itu guna menyelamatkan perguruan. Begitu melihat kemunculan orang tua tak dikenalnya, Kemaladewi yang sedang mendukung Lutung Bawean segera membentak.

"Orang tua buruk, kau siapa?!"

Lor Munding Saksana mendongak ke langit, mengeluarkan suara tertawa panjang. Tangannya bergerak menjangkau mematahkan ujung ranting. Ketika itu di udara melayang seekor burung. Ranting yang di tangannya dilemparkan ke atas. Burung yang terbang di udara terdengar mencicit lalu menggelepar jatuh ke bawah.

Lor Munding Saksana ulurkan tangan kirinya menyambut burung yang jatuh, lalu kelihatan tubuhnya melayang ke atas pohon pendek dan sesaat kemudian dia sudah duduk di salah satu ranting pohon itu. Kedua kakinya digoyang-goyangkan seenaknya. Dia duduk sambil menyantap burung mentah hasil "tangkapannya" tadi!

Meski diketahui Kemaladewi seperti kurang waras ingatannya namun jelas dia menunjukkan rasa terkejut amat sangat ketika menyaksikan perbuatan orang tua itu. Dia masih mampu meniru perbuatan si kakek tak dikenalnya dalam melempar burung yang terbang di udara. Tapi untuk dapat duduk ongkang-ongkang kaki di atas ranting yang begitu kecil benar-benar tak mungkin dilakukannya! Lutung Gila sekalipun tak akan sanggup!

"Ahoi...! Kau terkejut ya?! Kau heran ya?! Sompret!"

Kemaladewi menjadi marah mendengar kata-kata orang tua itu. "Tua bangka gila! Kau siapa sebenarnya? Lekas jawab! Kalau tidak jangan menyesal...!"

"Hemm... ehmmmm..." Lor Munding Saksana mengunyah daging burung mentah dalam mulutnya sambil mengeluarkan suara bergumam. Beberapa kali terdengar ciplakannya. "Aih, wajahmu boleh juga sompret! Tapi coba... ehmmmm... kau kasih keterangan dulu siapa kau adanya. Aku yang sudah tua pasti tak akan menyesal bila kau beri tahu namamu, ahoi!"

Kemaladewi marahnya bukan main. Namun dia tidak berani bertindak kesusu. Dari gerak-gerik dan dari apa yang tadi diperlihatkan orang tua itu dia maklum tengah berhadapan dangan bukan sembarang orang. "Orang tua edan! Kalau kau mau tahu akulah Ketua Perguruan Ujung Kulon yang baru!"

"Oho...? Hemmm!" Si orang tua berhenti mengunyah. Dia menatap paras Kemaladewi sejurus lalu berpaling pada Udayana, anak murid perguruan yang tadi datang bersamanya. "Hai sompret! Apa betul dia Ketua Perguruan Silat Ujung Kulon?!"

"Tidak!" jawab Udayana cepat. "Perempuan ini pasti istri Lutung Gila. Dia pasti merampas kedudukan Ketua Perguruan dangan kekerasan dan membunuh saudara-saudaraku...!"

Kemaladewi berpaling pada Udayana lalu berkata, "Hemmm... jadi kau adalah salah seorang anak murid perguruan. Kalau begitu lekas kau berlutut di hadapan ketuamu yang baru!"

"Siapa sudi!" sahut Udayana.

"Tidak sudi berarti minta mampus!" Kemaladewi maju mendekati pemuda itu.

"Sompret! Tunggu dulu!" kata Lor Munding Saksana cepat. "Jika kau mengaku Ketua Perguruan maka kaulah yang harus berlutut di hadapanku! Ayo lekas lakukan sompret!"

Paras Kemaladewi jadi beringas ganas.

"Ahoi! Jangan marah. Lekas berlutut karena aku adalah kakek guru anak-anak murid Empu Sora! Ayo berlutut sompret!"

Bahwa orang tua di hadapannya itu mengaku kakek guru murid-murid perguruan sungguh mengejutkan Kemaladewi. Namun dia sama sekali tidak merasa takut.

"Sompret! Kenapa berdiri bengong?! Ayo berlutut!" bentak Lor Munding Saksana.

"Orang tua, kalau kau datang untuk mencari mampus turunlah dari ranting itu!" balas membentak Kemaladewi. Bayi yang ada dalam gendongannya diletakkannya di atas sebuah batu besar. Waktu meletakkan bayi itu tubuh Kemaladewi membungkuk. Lor Munding Saksana kelihatan menyeringai. Tulang burung yang ada di tangannya dilemparkannya dan "pluk" jatuh tepat di pantat Kemaladewi!

"Orang tua kurang ajar! Kau benar-benar sudah bosan hidup!"

Kemaladewi putar tubuhnya. Sambil berputar kaki kanannya menendang ke muka, tangan kiri ikut memukul ke depan. Dua rangkum angin dahsyat melesat menghantam Lor Munding Saksana. Ranting yang didudukinya hancur berantakan sampai ke cabang pohon. Daun-daun pohon berguguran. Akar pohon terbongkar dan sesaat kemudian pohon itu pun tumbang! Namun si orang tua sendiri tidak cidera barang sedikitpun!

Pada saat dirinya diserang dan ranting yang didudukinya hancur orang tua itu membuat gerakan berputar seperti seorang ahli akrobat. Dia turun ke tanah dengan kedua tangan lebih dulu sedang sepasang kakinya menyentak mengirimkan tendangan jarak jauh. Kemaladewi sangat tarkejut ketika dapatkan dirinya dihantam angin deras luar biasa. Secepat kilat dia selamatkan diri dengan jalan melompat ke samping.

"Krak!" Pohon besar di belakang perempuan jelita itu patah lalu tumbang bergemuruh. Di saat yang sama Lor Munding Saksana sudah berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang.

"Sompret! Apa kau masih belum mau berlutut? Masih belum mau minta ampun padaku, sompret?!" bentak si orang tua.

Rahang Kemaldawi menggembung tanda dia marah sekali. Parasnya mengelam merah. Kedua kakinya digerakkan cepat tapi seperti tidak beraturan. Kedua tangan kelihatan seolah tambah panjang, disentakkan kian kemari. Semua gerakan ini ternyata adalah serangan yang sangat berbahaya!

Lor Munding Saksana semula terheran-heran melihat serangan dengan gerakan aneh itu. Dia menggeser kuda-kuda ke samping, siap untuk menotok urat besar di sisi kiri Kemaladewi. Namun secara aneh kembali perempuan muda itu membuat gerakan tak terduga hingga totokan si orang tua tidak menemui sasaran.

Tiba-tiba sepasang tangan Kemaladewi tahu-tahu sudah mencengkeram muka dan dada kakek guru Perguruan Silat Ujung Kulon itu. Si kakek berseru keras. Dia melompat ke belakang untuk selamatkan diri dari serangan ganas lawan. Bersamaan dengan itu mulutnya tampak mengembung, lalu meniup ke muka. Angin deras berbau busuknya mayat menyembur ke wajah Kemaladewi, membuat dia terhuyung nanar. 

Seumur hidupnya tak pernah dia mencium bau busuk sehebat itu hingga jalan pernafasannya seperti tercekik. Belum sampat dia mengimbangi tubuh tahu-tahu satu jotosan keras menghantam pertengahan dadanya. Kemaladewi menjerit. Tubuhnya jatuh tersandar di atas batu besar di mana anaknya Lutung Bawean tadi dibaringkannya.

Susah payah Kemaladewi mencoba bangkit. Dadanya sakit dan sesak. Dia berusaha mengatur jalan nafas dan peredaran darah untuk mengurangi rasa sakit. Selama mendapat pelajaran ilmu silat dari Lutung Gila dan Raja Lutung baru hari itulah seorang lawan dapat menyentuh tubuh dan memukulnya demikian hebat!

Penuh gelegak amarah Kemaladewi cabut pedang hijau dari balik punggungnya. Senjata ini adalah milik Empu Sora, pedang pusaka tumbal pertanda bahwa siapa yang memegang atau memiliki senjata tersebut maka dia adalah Ketua Perguruan Silat Ujung Kulon.

"Kau lihat pedang ini anjing tua?!"

"Eit, aku toh tidak buta sompret!"

"Bagus! Kalau begitu bersiaplah untuk mampus!"

Dengan pedang di tangan, dangan menggunakan jurus-jurus ilmu silat yang dipelajarinya dari Raja Lutung maka mengamuklah Kemaladewi dangan segala kehebatannya. Tetapi orang yang diserang hanya ganda tertawa. Padahal jika orang lain yang dihadapi Kemaladewi saat itu mungkin tubuhnya telah terkutung-kutung paling tidak jadi tiga bagian!

"Pedang pusaka sakti itu tak pantas berada di tangan manusia setengah iblis macammu sompret! Lekas berikan padaku!"

Habis membentak begitu si orang tua maju ke muka ulurkan tangan kanan menyongsong serangan Kemaladewi. Hal ini membuat Kemaladewi menjadi semakin naik pitam melihat serangannya dipapasi. Karenanya selain menggempur dengan pedang, Kemala juga hantamkan kaki kanannya. Gerakannya seperti tadi serba tak teratur dan aneh. Dalam keanehan itu terkandung bahaya ganas yakni maut!

"Serahkan pedang!"

Lor Munding Saksana berseru. Kemaladewi terpekik. Kagetnya bukan main. Bukan saja seluruh serangannya berhasil dielakkan lawan, tapi si orang tua malah berhasil merampas pedang hijau dari tangannya!
"Sompret! Bukankah tadi sudah kukatakan pedang pusaka ini tidak pantas berada di tanganmu?! Nah sompret, apa kau masih belum mau bertobat dan berlutut minta ampun?! Ayo berlutut somp….."

Buk!

Ucapan Lor Munding Saksana terputus. Tubuhnya terjajar ke kanan sampai dua tombak. Bahunya sakit bukan main. Tulang bahu itu serasa hancur! Siapakah yang telah menyerangnya dan memukul bahu kanannya dengan tiba-tiba? Barpaling ka samping kanan orang tua ini melihat sesosok tubuh seperti lutung berbulu hitam, namun berkepala manusia!

"Sompret! Kau pasti setan alasnya yang bernama Lutung Gila! Murid murtad tujuh turunan!" memaki si kakek. "Icuh! Biung! Sudah tua bangka begini rupa masih bermulut kotor! Biung. Apa kau tidak sadar kalau umur hanya tinggal sekejapan mata? Apa tidak tahu kalau liang kubur hanya tinggal sejengkal dari depan hidung?! Icuh…icuh!"

Inilah Lutung Gila yang mengaku dan menganggap diri sebagai suami Kemaladewi. Lor Munding Saksana marah bukan main. Bukan saja oleh rasa sakit akibat kena gebukan tadi, tetapi juga oleh ucapan Lutung Gila yang sengaja menghina dan mempermainkannya. 

Diputarnya pedang hijau di tangan kanan dengan sebat hingga senjata itu tak ubahnya seperti seekor ular panjang yang memancarkan sinar hijau kemilau, mengurung dan menyerang Lutung Gila serta Kemaladewi sekaligus! Demikianlah kejadiannya. Seorang tua renta berotak miring, bertempur melawan dua orang suami istri berotak tidak waras!

Sampai dua jurus di muka Lutung Gila dan Kemaladewi masih dapat mengimbangi lawan mereka bahkan ganti melancarkan serangan balasan. Namun memasuki jurus ketiga, keempat dan seterusnya keduanya mulai terdesak dan dibikin tak berdaya. Kemarahan Lor Munding Saksana sebenarnya lebih banyak tertumpah pada Lutung Gila alias Jayengrana yang sesungguhnya adalah cucu muridnya sendiri. 

Bukan saja karena Jayengrana seorang murid murtad yang telah membunuh guru dan saudara-saudaranya seperguruan tetapi juga adalah dia tadi yang menyerang dan memukul secara mendadak. Hampir seluruh serangan si kakek ditujukan pada Lutung Gila. Akibatnya Lutung Gila menjadi sibuk sekali. Betapapun lihaynya dia selama ini namun saat itu dia benar-benar ketemu batu! 

Dalam keadaan terdesak hebat dan kepepet tak berdaya akhirnya pedang pusaka Perguruan Silat Ujung Kulon mulai mencari sasaran bertubi-tubi di tubuhnya. Mula-mula dua tulang iganya terbabat putus. Lalu kulit dada robek besar sampai ke perut. Ususnya menjela-jela. Lutung Gila terhuyung megap-megap. Satu jeritan dahsyat keluar dari mulutnya. Setelah itu diapun roboh tak bergerak lagi!

"Keparat edan! Hari ini aku mengadu nyawa denganmu!" teriak Kemaladewi kalap. Dikeluarkannya tongkat rotan berkeluk pemberian gurunya dulu yakni Dewa Tongkat. Dengan senjata ini seperti kemasukan setan dia menyerbu si kakek. Udayana yang berdiri di kejauhan menyaksikan perkelahian itu diam-diam merasa lega. Jika kakek gurunya berhasil mengalahkan dan membutuh Lutung Gila, membunuh perempuan muda itu jelas akan lebih mudah.

"Perempuan sompret sontoloyo! Aku yang tua sudah berikan kesempatan bertobat dan berlutut minta ampun padamu! Tapi dasar sompret! Malah kau inginkan mampus! Nah mampuslah kau kini sompret!"

Pedang hijau di tangan Lor Munding Saksana membabat ke kiri, membalik ke kanan, memapas ke pinggang dan menusuk ke leher! Kemaladewi perlihatkan gerakan aneh untuk menghindarkan semua serangan itu. Kelihatannya dia akan berhasil. Namun apa lacur.

Serangan terakhir yakni tusukan pedang ternyata hanya tipuan lihay belaka. Karena sesaat kemudian dangan cepat pedang hijau ini membalik ke kiri lalu kembali membabat ke kanan, memapas ke pinggang untuk kemudian menusuk ke perut. Dan tutukan ini tidak dapat dielakkan lagi oleh Kemaladewi!

"Raja Lutung! Tolong aku!" jerit Kemala.

Sedetik sabelum ujung pedang menembus perut Kemaladewi maka trang! Terdengar suara beradunya senjata. Bunga api berpijar. Pedang di tangan Lor Munding Saksana terangkat ke atas dan gompal bagian tajamnya! Merasakan tangannya tergetar hebat dan kesemutan cepat-cepat orang tua ini melompat menjauh.

Si orang tua tarkejut ketika menyaksikan bahwa yang berdiri di hadapannya bukanlah seekor binatang yang dipanggil dengan sebutan Raja Lutung itu, melainkan seorang lelaki muda berparas cakap dengan potongan tubuh kakar berotot berpakaian serba putih! 

Di tangan pemuda ini ada sebilah pedang mustika yang memancarkan sinar terang merah, sinar yang membuat Lor Munding Saksana merasa kagum tetapi juga tergetar hatinya. Sinar merah pedang di tangan si pemuda membuat sinar hijau pedang di tangannya menjadi redup!

Jika orang tua itu terkejut maka Kemaladewi jauh lebih terkejut. Mata perempuan ini terbuka lebar-lebar. Mulutnya menganga, wajahnya menunjukkan ketidak-percayaan. Sesaat kemudian wajah itu tampak pucat pasi sedang sepasang matanya yang tadi beringas galak kini kelihatan berkaca-kaca.

"Mahesa..." ucap Kemaladewi antara terdengar dan tiada. "Kucari kau berbilang minggu bahkan berbilang bulan. Lebih delapan belas bulan telah berlalu, kau tak pernah kutemui. Kini kau datang. Kau selamatkan nyawaku setelah kau sia-siakan. Kakak... apakah kau datang untuk menepati janjimu dulu...." Air mata menggelinding ke pipi Kemaladewi.

Mahesa Kelud merasakan hatinya seperti disayat-sayat ketika mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang diucapkan dangan sangat perlahan, hampir berupa bisikan. Tetapi berdesing sampai ke telinga si pemuda!

"Manusia-manusia sompret!" terdengar bentakan Lor Munding Saksana. Dia memandang pada Kemaladewi lalu pada Mahesa. "Kalian berdua rupanya tengah main sandiwara ya? Gila! Pakai nangis segala! Dasar sompret! Ini bukan panggung! Kalian….."

Angin sedahsyat badai tiba-tiba menyambar dari belakang. Lor Munding Saksana terpental, hampir terjungkal kalau tidak lekas-lekas melompat ke samping. Dia cepat membalik ketika satu lengkingan sangat keras menggetarkan telinga mendebarkan dada terdengar menggeledek. Di hadapannya berdiri seekor lutung setinggi tiga meter, menyeringai memperlihatkan gigi-gigi yang besar serta taring yang panjang runcing!

"Lutung sompret! Menyerang dari belakang! Pasti kau yang dijuluki si Raja Lutung! Bagus! Berarti kau pun harus mampus menyusul muridmu! Dengan pedang hijau gompal Lor Munding Saksana menerjang binatang raksasa itu. Maka terjadilah perkelahian yang seru antara manusia berkepandaian tinggi dangan binatang yang juga memiliki ilmu luar biasa.

Tapi Kemaladewi tidak perhatikan perkelahian itu. Dia berpaling pada Mahesa dan memandang pada pemuda itu dengan mata basah. "Kakak... kau datang untuk menepati janjimu dulu? Benar?"

Kalau sebelumnya dendam Kemaladewi demikian hebat, berurat berakar terhadap Mahesa Kelud, kini sesudah berhadap-hadapan dangan lelaki itu hilang semua perasaan tersebut. Hilang lenyap tanpa bekas laksana setitik air jatuh di atas pedang pasir. Namun jawaban yang didengarnya dari Mahesa sungguh mengejutkan.

"Kemala... aku datang hanya untuk bertanya….."

"Untuk bertanya?!" mengulang Kemala. 

Mahesa mengangguk. Kening Kemaladewi mengernyit. Matanya menyipit. "Mengapa kau jadi sampai begini Kemala? Melakukan hal yang tidak dapat diterima oleh akal manusia sehat. Kau bunuh gurumu. Kau kawin dangan mahluk setengah manusia setengah lutung itu. Lalu ilmu kesaktian yang kau miliki kau pergunakan untuk membunuh tokoh-tokoh persilatan, merusak tempat kediaman dan Perguruan orang. Mengapa Kemala...?"

Perempuan itu merasakan tubuhnya lunglai. Tidak beda seperti seseorang yang dibanting dihenyakkan ke bumi. "Jadi itu rupanya maksud kedatanganmu Mahesa? Hanya untuk bertanya...?!"

"Dan juga untuk meminta agar kau menghentikan semua perbuatan ganas sesat itu!"

Kemala tampak diam sejurus. Lalu wajahnya yang tadi lembut kini berubah beringas, "Kau tanya mengapa? Baik! Aku akan jawab! Semua itu terjadi dan kulakukan karena kau! Karena kau seorang manusia yang tidak bertanggung jawab. Tidak bertanggung jawab atas apa yang telah kau lakukan! Kau lari dari tanggung jawabmu! Kau manusia paling pengecut di dunia ini! Manusia macammu harus dilenyapkan dari muka bumi agar tidak merusak gadis-gadis lainnya!"

Wajah Mahesa Kelud menjadi sangat merah dan kelam sampai ke telinga. Kata-kata yang diucapkan Kemaladewi kini bukan saja menyayat hatinya, tetapi juga membakar amarahnya. Selagi dia berusaha menahan hati di depannya dilihatnya Kemaladewi talah menyerbu dangan tongkat rotan berkeluk. Sebelumnya Mahesa telah pernah melihat ilmu tongkat yang menjadi andalan Kemala. Karenanya dia tak perlu merasa gentar.

Tetapi ketika tongkat itu berkiblat Mahesa menjadi kaget. Jurus silat yang dimainkan Kemala bukan jurus silat ajaran gurunya si Dewa Tongkat, tetapi satu jurus yang sangat aneh. Untung saja Mahesa sudah bersiap waspada hingga serangan maut yang mengarah batok kepalanya berhasil dielakkan. Namun begitu serangan pertama gagal, tongkat berkeluk itu dengan ganas membalik.

Kali ini ujungnya yang berkeluk seperti seekor ular berusaha menggelung batang leher Mahesa. Murid Embah Jagatnata dari gunung Kelud ini rundukkan kepala sambil pukulkan lengan kiri ke atas. Lengan dan tongkat beradu keras. Mahesa merasakan tangannya bergetar sedang Kemaladewi cepat melompat mundur ketika hantaman tangan Mahesa membuat tongkatnya lepas dan mental!

Bertambah pucatlah paras perempuan ini. Selagi dia menjadi murid Dewa Tongkat memang ilmunya berada di bawah Mahesa. Sesudah belajar dan mendapat ilmu tambahan yang aneh dari Lutung Gila dan Raja Lutung disangkanya akan mudah baginya untuk mangalahkan Mahesa, orang yang pernah sangat dicintainya namun kini sangat dibencinya. 

Tak di sangka Mahesa kini malah jauh lebih tinggi tingkat kepandaiannya. Dalam amarahnya Kemala memutuskan untuk kembali menyerbu dangan tangan kosong serta tendangan-tendangan dahsyat. Namun mendadak Kemala batalkan keputusan itu. Matanya berkilat-kilat memandang pedang merah di tangan Mahesa.

"Mahesa! Kau telah menghancurkan kehidupanku! Adalah lebih baik kau bunuh saja aku saat ini juga! Tusukkan pedang itu ke tubuhku biar aku mati! Biar lepas dari siksa dan derita batin! Bila aku sudah mati, kau bunuhlah anak di atas batu itu! Dia adalah anakku. Anakku dan anakmu juga! Hasil hubungan kita di goa batu dulu!"

Jika ada seekor singa atau harimau yang tiba-tiba menerkam di muka hidungnya saat itu, mungkin tidak sedemikianlah kegetnya Mahesa Kelud ketika mendengar apa yang diucapkan Kemala tadi. "Kemala! Kau... kau bilang apa?! Bayi itu... Anakku?!"

Mahesa barpaling ke batu besar di atas mana dilihatnya terbaring seorang bayi. Kulitnya masih merah tanda umurnya baru beberapa bulan saja. Mahesa melangkah menghampiri.

"Jangan dekat!" teriak Kemaladewi. "Bunuh aku, lalu bunuh bayi itu!"

Mahesa hentikan langkah. Lututnya goyah seperti mau lepas dari persendiannya. Kedua matanya memandang sayu pada Kemala namun dalam dadanya laksana ada bara api yang berkobar. "Adikku, kau tahu.... Peristiwa itu terjadi bukan mauku. Bukan pula karena kahendakmu. Semua terjadi di luar kesadaran kita. Kita telah ditipu oleh nenek jahat Iblis Buntung hingga teraniaya…"

"Aku tahu. Lebih dari tahu!" sahut Kemaladewi. "Meskipun begitu apa anak itu jadinya bukan anakmu?!"

"Bagaimana aku dapat memastikan Kemala. Karena kudengar bukankah kau kawin dengan Lutung Gila?!"

"Kami tidak kawin!" jawab Kemaledewi hampir berteriak. "Aku hanya menganggap dia sebagai suami dan dia menganggap aku sebagai istri! Kami tidak pernah satu ketiduran! Kami tidak pernah bercampur! Jangan coba berdalih Mahesa! Jangan mengambing hitamkan orang lain! Jangan kau coba-coba hendak mencuci tangan! Bayi itu adalah anakmu! Darah dagingmu! Kau dengar...?!"

"Kalau begitu serahkan dia padaku. Dan kau kembali ke jalan yang benar!" kata Mahesa pula. Kepalanya seperti dipentung-pentung ketika mandangar ucapan Kemaladewi tadi.

"Kau minta aku kembali ke jalan yang benar? Jalan yang benar bagaimana Mahesa? Macam yang telah kau perbuat terhadapku?! Tak ada tanggung jawab sama sekali?! Cis! Kau laki-laki pengecut! Dosamu terlalu besar! Tidak terampunkan! Kau lari.... Pengecut! Berani berbuat tak berani tanggung jawab!"

"Kemala...."

"Jangan sebut namaku!" potong Kemaladewi menghardik.

Mahesa terkesiap mendengar hardikan itu. "Kalau menurutmu dosaku tidak terampunkan dan jika kau katakan aku tidak bartanggung jawab, ada jalan yang sangat mudah bagimu. Ambil pedang ini! Kau pantas membunuhku!"

Habis berkata bagitu Mahesa Kelud mengangsurkan hulu pedang merah kepada Kemaladewi. Tapi perempuan ini tidak mau menyambutnya. Malah dia menyeringai sinis dan berkata,

"Tidak! Terlalu enak bagimu mati cara begitu! Kau dengar baik-baik! Kelak bayi itu, anakmu sendiri nanti di satu hari yang akan membunuhmu! Ingat itu! Anak sendiri yang akan membunuh ayahnya!"

Kemaladewi putar tubuhnya lalu lari ke arah batu besar. Lutung Bawean didukungnya. Dia berteriak pada Raja Lutung, "Raja Lutung! Mari kita tinggalkan tempat ini!"

Saat itu Raja Lutung tengah bertempur malawan Lor Munding Saksana dan berada di atas angin. Meskipun si kakek berhasil menghujani Raja Lutung dengan pukulan dan tendangan keras namun semua itu seperti tidak di rasakan oleh binatang raksasa itu.

Lama-lama Lor Munding Saksana menjadi terdesak dan terancam nyawanya. Untunglah Raja Lutung patuh pada Kemaladewi. Begitu mendengar kata-kata perempuan itu binatang ini segera tinggalkan si kakek dan lari menyusul Kemaladewi. Mahesa hendak mengejar namun kemudian membatalkan niatnya.

* * * * * * * *

Mahesa tersadar dari kenangan masa lalu itu ketika nyamuk-nyamuk hutan mulai menyerangnya dan didapatinya hari telah malam. Pendekar ini menarik nafas dalam. Dia merasa seperti tak ada gunanya lagi hidup ini. Dia berpikir-pikir mungkinkah semua derita sengsara dan cobaan besar yang dialaminya saat itu merupakan sebagian dari kutuk sumpah Kemaladewi, merupakan pembalasan dan dosa besarnya yang telah menyia-nyiakan perempuan itu?

"Anak itu..." desis Mahesa. "Saat ini tentu dia sudah berumur dua tahun.... Aku harus mencari Kemala dan minta maaf. Aku harus memelihara anak itu.... Ya Tuhan... tunjukkan aku jalanMu yang lurus agar aku dapat menghadapi semua cobaan ini!" Perlahan-lahan Mahesa berdiri lalu tinggalkan tempat itu.

* * * * * * * *
EMPAT

BEBERAPA hari setelah lewat masa perkabungan, tiga ratus perajurit Banten barangkat menuju Gunung Gede, di pimpin langsung oleh Patih Sumapraja. Setelah menempuh jalan yang sulit melewati rimba belantara, menyeberangi sungai dan mendaki bebukitan, dua minggu kemudian pasukan ini sampai di kaki gunung yang dituju.

Di sini rombongan dipecah tiga. Seratus prajurit dipimpin oleh sang patih sendiri. Seratus lainnya dipimpin oleh Tampak Ungu, seorang perajurit kepala bertubuh tinggi hampir dua meter dan memiliki kepandaian silat cukup tinggi meskipun hanya silat luar tanpa "isi". Rombongan terakhir yang juga berjumlah seratus perajurit dikepalai oleh Purajaya, keponakan Patih Sumapraja. 

Meskipun baru berusia duapuluh dua tahun tetapi pemuda ini memiliki kepandaian silat yang cukup dapat diandalkan serta ahli memainkan tombak pendek bermata tiga. Menjelang tengah hari rombongan yang terbagi tiga itu mulai mendaki gunung dari tiga jurusan berbeda. Hampir sore mereka baru berhasil mencapai sepertiga ketinggian Gunung Gede dan tidak menemukan apa-apa yang memberi petunjuk adanya orang yang mereka cari yakni Ki Balangnipa yang telah membunuh istri termuda Sultan Banten. 

Pendakian diteruskan sampai ke pertengahan lereng gunung dan saat itu hari telah mulai gelap. Tiga rombongan pasukan berhenti dan berkemah di tiga bagian lereng yang saling terpisah jauh. Keesokan paginya baru mereka kembali bergerak. Semakin ke atas semakin sulit jalan yang ditempuh. Masing-masing rombongan bergerak sangat perlahan. Satu hari untuk mereka hanya mampu mencapai ketinggian dua pertiga gunung.

Sebegitu jauh penyelidikan yang mereka lakukan masih belum membawa hasil. Berarti rombongan harus terus naik sampai ke puncak gunung karena pasti di situlah Ki Balangnipa bercokol. Siang keesokannya tiga rombongan akhirnya berhasil mencapai puncak gunung dalam waktu tak jauh barbeda. Di puncak gunung itu ditemukan sebuah bangunan kayu yang hampir roboh. 

Melihat keadaan bangunan itu, baik Patih Sumapraja maupun Tampak Ungu dan Purajaya segera maklum kalau orang yang mereka cari tak ada di situ. Sambil mengelilingi bangunan tersebut sang patih tiada hentinya mengeluarkan ucapan yang menyatakan kejengkelannya.

"Perjalanan yang sia sia...!" kata Sumapraja. "Kelihatannya orang yang kita cari itu sudah sejak lama tidak diam di sini, paman Patih." Berkata Purajaya.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?!'' tanya Tampak Ungu sembari memijat-mijat betisnya yang berbulu.

"Kita beristirahat dan bermalam di sini. Besok pagi segera kembali ke Banten. Aku menyirap firasat tidak enak..."

Purajaya segara menyatakan ketidak-setujuannya. "Paman, sebaiknya kita tidak bermalam di puncak gunung ini. Siang hari begini saja dinginnya bukan kepalang. Apalagi malam hari. Perajurit-perajurit kita yang sudah amat letih ini bisa mati kedinginan!"

Pendapat Purajaya itu masuk akal. Maka Patih Sumapraja memerintahkan seluruh rombongan untuk beristirahat seadanya kemudian menuruni gunung. Kini mereka tidak dipecah tiga seperti waktu mendaki, melainkan tetap bergabung jadi satu. Meskipun perjalanan menuruni gunung itu tidak sesulit sewaktu mendaki namun perajurit-perajurit yang sudah kecapaian itu hanya mampu bergerak sangat perlahan. Karenanya sewaktu malam tiba mereka belum mencapai setengah ketinggian gunung. Rombongan berhenti dan membangun kemah.

Setelah makan seadanya dari persediaan yang semakin menipis, perajurit-perajurit itu mencari tempat ketiduran masing-masing dan segera saja pulas, termasuk tiga pimpinan mereka. Yang kebagian tugas untuk berjaga-jaga sebagaian malah sudah ikut mendengkur!

Di dalam salah satu kemah patih Sumapraja walaupun merasakan tubuhnya sangat letih tapi sampai saat itu masih belum dapat memicingkan mata. Sejak masih di puncak gunung tadi hatinya entah mengapa merasa tidak enak. Jika saja dia tidak memimpin rombongan perajurit sedemikian banyaknya, dia lebih suka meninggalkan tempat itu terlebih dulu.

Dalam hatinya patih Banten ini juga menyesali hubungan yang tidak baik antara Sultan dengan para tokoh dunia persilatan akhir-akhir ini. Jika saja hubungan itu masih seperti tiga empat tahun silam, dia tak akan perlu bersusah payah mengadakan perjalanan sejauh itu ke puncak Gunung Gede untuk mencari Ki Balangnipa. Cukup dengan meminta bantuan dua atau tiga tokoh silat maka segala urusan pasti bisa dibereskan. Selagi sang patih merenung-renung begitu tiba-tiba di luar didengarnya suara pengawal berteriak,

"Ada orang datang!"

Patih Sumapraja cepat melompat bangun. Ketika dia keluar kemah dilihatnya Purajaya dan Tampak Ungu juga sudah keluar dari kemah masing-masing. Puluhan perajurit bersiap sedia dengan senjata ditangan. Di kejauhan terdengar suara kaki kuda. Dari suara langkah kuda yang satu-satu itu jelas penunggangnya bergerak perlahan-lahan dan hati-hati di malam gelap.

Atau mungkin juga karena keletihan dalam menempuh jalan buruk terjal dan mendaki. Kemudian tampak cahaya terang. Tak lama berselang kelihatan sosok tubuh kuda dan penunggangnya membawa obor yang hampir padam karena kehabisan minyak. Tampak Ungu memberi isyarat.

Lebih sepuluh perajurit segera bergerak menghadang dan mengurung orang yang datang. Melihat gelagat yang tidak baik, penunggang kuda cepat berseru, "Tahan! Aku Umbara utusan Sultan!"

Perajurit-perajurit yang mengurung segera turunkan senjata masing-masing. Salah seorang dari mereka bertanya, "Ada apa kau datang jauh-jauh kemari?!"

"Sesuatu telah terjadi di istana. Aku dikirim untuk memanggil Patih..."

"Sesuatu apa?" tanya perajurit yang lain.

"Aku hanya akan bicara dengan patih." jawab si penunggang kuda.

"Aku ada di sini!" terdengar suara Patih Sumapraja yang tegak di depan kemahnya. 

Umbara cepat turun dari kuda, menjura di hadapan sang patih. Sampai saat itu dia masih memegang obor yang tadi dibawanya sampai seorang perajurit mengambilnya dari tangannya.

"Katakan siapa yang mengirimmu kemari?"

"Sultan Banten. Sesuatu terjadi di Istana. Patih diharap segera kembali ke Banten!"

"Apa yang tarjadi?!" tanya Patih Sumapraja pula dengan kening berkerenyit. Rasa tidak enak yang dipendamnya sejak siang tadi agaknya akan muncul menjadi satu kenyataan. "Pemberontakan?"

"Tidak..." jawab Umbara.

"Orang-orang Pajajaran menyerang perbatasan lagi?"

"Bukan Patih. Bukan itu..."

"Sultan gering...?"

"Tidak. Seseorang telah mem..."

Ucapan Umbara mendadak terpotong oleh suara tawa bergelak yang mengumandang di dalam malam gelap dan dingin itu, mengejutkan puluhan bahkan ratusan orang yang ada di situ! Patih Sumapraja, Tampak Ungu dan Purajaya dan mereka yang ada di situ sama memalingkan kepala ke arah kanan lamping gunung yang terjal dan gelap tertutup pepohonan lebat, yakni dari mana datangnya suara tawa tadi.

"Ada orang pandai yang sengaja hendak mengganggu." kata Purajaya.

"Kita harus waspada." ujar Patih Sumapraja. Lalu dia berbisik pada Tampak Ungu agar menyiapkan para perajurit.

Namun perintahnya belum lagi selesai ketika tiba-tiba Umbara yang barusan datang membawa berita tersungkur ke tanah di hadapan mereka sambil pegangi leher. Tiga pimpinan dari Banten itu cepat membungkuk dan memeriksa. Tapi Umbara saat itu sudah tidak bernafas lagi. Lahernya berkubang darah. Sebuah senjata rahasia berbentuk bintang terbuat dari perak putih menancap di tenggorokannya.

Paras Patih Sumapraja berubah. Dia pernah melihat senjata rahasia seperti itu. Dulu, sekitar dua tahun silam. Di dalam istana Sultan Banten. Yang jadi korban saat itu adalah Jaka Luwak. Kakak seperguruan Raden Mas Tirta bekas Kepala Balatentara Banten. Yang membunuh Jaka Luwak adalah gurunya sendiri yaitu Ki Balangnipa, yang tak ingin muridnya membuka rahasia! Saat itu Umbara menemui kematian oleh senjata rahasia yang sama. Pembunuhnya pasti adalah orang yang lama pula yaitu Ki Balangnipa!

"Pengecut!" Kertak Patih Sumapraja. Lalu dia berteriak, "Ki Balangnipa! Jika kau seorang tokoh silat gagah, tunjukkan kejantananmu! Perlihatkan dirimu!"

Sebuah benda putih berdesing di kegelapan malam, melesat ke arah kepala Patih Banten. Sang patih cepat melompat ke samping sembil lepaskan satu pukulan tangan kosong seperti menampar ke bumi. Senjata rahasia yang hendak menghantamnya terpental lalu amblas ke tanah gunung! Bersamaan dengan itu terdengar suara tertawa bergelak yang kemudian menghilang di kejauhan.

"Ternyata bangsat itu berada di sekitar sini…" kata Sumapraja sambil kepalkan tinju.

"Paman, saya dan beberapa orang akan mengejarnya!" kata Purajaya.

"Jangan. Terlalu berbahaya!" mencegah Sumapraja. "Semua tetap di tempat dan mengambil sikap lebih waspada. Aku dan Tampak Ungu serta beberapa pengawal harus berangkat duluan ke Banten malam ini juga. Sesuatu telah terjadi di sana. Sayang Umbara tidak sempat memberi penjelasan..."

Beberapa ekor kuda segera disiapkan. Tak lama kemudian sang patih bersama Tampak Ungu dan beberapa orang pengawal meninggalkan tempat tersebut. Udara menjelang pagi terasa semakin dingin. Tetapi para perajurit tampak gerah dan gelisah. Jika manusia lihay bernama Ki Balangnipa itu muncul kembali dan menebar maut seenaknya celakalah mereka.

* * * * * * * *

KETIKA Patih Sumapraja dan rombongannya memasuki Kotaraja dari pintu gerbang sebelah barat segera terlihat bendera-bendera kuning terpancang di mana-mana. Itu pasti bukan bendera tanda berkabung atas kematian Dewi Kemulansari Istri termuda Sultan. Tapi deretan bendera bendera kuning itu jelas merupakan satu tanda perkabungan. Tanda perkabungan baru. Siapa yang meninggal? 

Patih Sumapraja, Tampak Ungu dan empat pengawal memacu kuda masing-masing lebih cepat. Begitu sampai di depan istana sang patih dan Tampak Ungu langsung masuk ke dalam, terus menuju ke ruang tunggu khusus. Tak lama kemudian Sultan Hasanuddin masuk ke dalam ruangan itu diiringi oleh beberapa petinggi kerajaan. Wajah Sultan tampak jauh lebih tua dari biasanya. Sosok tubuhnya nyata sekali menunjukkan rasa letih. Patih Sumapraja dan Tampak Ungu segera memberi salam dan hormat.

"Sultan, kami datang atas perintahmu. Apa yang terjadi? Kami melihat bendera kuning tanda berkabung..."

Sultan Hasanuddin tak segera menjawab. Sesaat dia berpegangan pada tepi meja, lalu perlahan-lahan duduk di atas kursi besar berukir. Setelah diam sesaat baru dia membuka mulut. "Cucuku Asih Permani meninggal dunia. Bukan meninggal biasa paman Patih. Dibunuh seseorang. Dua minggu lalu!"

Patih Sumapraja melengak kaget. Asih Permani. Cucu perempuan kesayangan Sultan yang baru berusia enam tahun itu mati dibunuh! "Ki Balangnipa...?" tanya Patih Sumapraja memberanikan diri.

"Siapa lagi..." sahut Sultan. Dia barpaling pada salah seorang petinggi Kerajaan dan berkata. "Perlihatkan surat terkutuk itu..."

Sepucuk surat yang sudah lecak diletakkan di atas meja di hadapan Sumapraja. Sang patih segera mengambil dan membacanya.

Sultan Hasanuddin,
Hari ini korban kedua jatuh sudah. Masih delapan orang menunggu giliran. Semua adalah orang-orang yang kau kasihi! Semoga kau cukup tabah menghadapi kenyataan ini. Ha ha ha...!

Jangankan Sultan, sang patih sendiripun mendidih amarahnya membaca surat itu. Benar-benar manusia pengecut. Apa dosa anak enam tahun itu maka dia harus menjadi korban balas dendam sumpah keparat?! Kesunyian di ruangan itu dipecahkan oleh suara Sultan yang terdengar bergetar karena menahan gejolak hatinya.

"Sebelum paman patih datang, aku dan beberapa petinggi telah berunding. Kita akan mengumumkan sebuah sayembara. Siapa yang bisa menangkap Ki Balangnipa hidup atau mati akan mendapatkan hadiah besar. Bagaimana menurut paman?"

Patih Sumapraja merenung sejenak lalu berkata, "Sebelum saya menjawab pertanyaan Sultan, saya akan ceritakan dulu apa yang terjadi di lereng Gunung Gede..."

Lalu patih ini menuturkan peristiwa kematian Umbara ketika Ki Balangnipa muncul sacara mendadak. Agaknya Sultan tidak tertarik akan keterangan patihnya itu, dia bertanya kembali, "Bagaimana pendapat paman mengenai rancana sayembara tadi?"

"Itu baik. Maksud kita jelas ingin menangkap manusia penebar maut tapi pengecut itu. Hanya saja, kalau saya boleh mengusulkan, bagaimana kalau kita lebih dulu menghubungi tokoh-tokoh persilatan tertentu untuk dimintakan bantuannya?"

"Bukankah paman sendiri dulu yang mengatakan bahwa mereka seperti menjauhi istana sejak peristiwa Ekawira tempo hari..." ujar Sultan.

"Betul. Tapi mencoba adalah jalan yang terbaik. Kalau mereka kita ajak bicara tentu mereka mau mendengar..."

"Yang aku takutkan paman patih, sebelum kita bisa berbuat apa-apa korban selanjutnya telah jatuh pula." Kata Sultan.

"Hal itu memang juga jadi pikiran saya. Karenanya kita harus bergerak cepat. Di samping memagari istana agar tidak kebobolan lagi."

"Lalu bagaimana kalau usaha kita tidak berhasil?"

"Mungkin kita memang harus manempuh cara sayembara yang Sultan katakan itu..."

Sultan terdiam beberapa lamanya. Kemudian berkata, "Baiklah paman, usulmu aku setujui. Siapa yang akan bertindak menghubungi para tokoh itu? Kuharap bukan kau yang pergi karena kehadiranmu diperlukan di sini..."

"Saya akan menunjuk Empu Lodaya, Jika Sultan setuju."

"Aku setuju paman patih. Jalankan semua tugas secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Sebelum malam aku perlu bicara lagi denganmu..."

* * * * * * * *
LIMA

PADA masa itu tokoh silat paling tua dan dianggap paling tinggi ilmu kepandaiannya di dearah Jawa Barat adalah seorang perempuan tua sakti bernama Eyang Sinto Weni atau lebih dikenal dengan julukan Sinto Gendeng. Dalam dunia persilatan namanya menjadi lebih beken setelah muridnya yang bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 turun gunung dan bertualang di rimba persilatan, membawa nama besar yang disegani kawan ditakuti lawan.

Satu keanehan disirap kabar bahwa Sinto Gendeng juga tinggal di puncak Gunung Gede, gunung yang diketahui adalah juga tempat kediaman Ki Balangnipa. Namun duduk cerita yang sebenarnya hanya Empu Lodayalah yang mengetahui. Kedua tokoh silat itu memang pernah sama-sama tinggal di puncak Gunung Gede.

Si nenek bernama Sinto Gendeng menetap di situ selama beberapa tahun, terutama selagi dia menggembleng muridnya Wiro Sableng. Selanjutnya bagaimana keadaan si nenek tidak diketahui orang lagi. Dia seperti lenyap dari puncak Gunung Gede. Rumah kayu bekas kediamannya kemudian ditempati oleh seorang tokoh silat lain, yang sama sekali tak ada hubungannya dengan si nenek yakni Ki Balangnipa.

(Mengenai kisah petualangan Wiro Sableng, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 silahkan baca serial Wiro Sableng).

Karena tidak tahu di mana harus mencari Sinto Gendeng maka Empu Lodaya memilih tokoh berikutnya yakni Kiai Malabar, seorang pertapa sakti yang diam di tepi sebuah danau di kaki selatan Gunung Malabar. Dengan ditemani dua orang pengiring Empu Lodaya menuju ke selatan. Tubuhnya yang sudah lanjut tidak memungkinkan sang empu dapat menunggang kuda terlalu cepat. Karenanya perjalanan ke selatan cukup memakan waktu lama.

Kiai Malabar membangun tempat kediamannya di atas air di tepi danau. Di sinilah dia bermukim hampir lebih dari separuh usianya yang kini telah mencapai 80 tahun. Empu Lodaya bersama pengiringnya sampai ke tempat itu larut malam menjelang pagi. Tetapi sang kiai tidak terkejut. Orang tua ini sebenarnya telah lama menyirap kabar atas hampir semua kejadian yang berlangsung di Banten.

Setelah saling berangkulan maka Kiai Malabar mempersilakan Empu Lodaya duduk di atas tikar sementara dua pengiring beristirahat dan menunggu di luar.

"Sahabatku Empu Lodaya, aku benar-benar mendapat kehormatan dikunjungi oleh seorang tokoh istana Banten sepertimu. Lebih dari dua windu kita tak pernah bertemu. Angin apakah yang membawamu kemari sahabatku? Kulihat kau sehat-sehat dan masih kuat, tidak rapuh sakit-sakitan sapertiku. Kehidupan istana rupanya cocok dan menyenangkanmu..."

Saat itu sehabis mengadakan perjalanan demikian jauhnya, selain letih sang empu juga merasakan tubuh dan tulang-tulangnya seperti bertanggalan. Namun dia menjawab sambil tersenyum, "Orang tua buruk yang sudah bau tanah sepertiku ini mana terkesan dengan kehidupan mewah dalam istana. Apalagi aku hanya seorang kuli yang bekerja di bengkel istana. Sehari-hari sibuk membuat pisau dapur..."

Kiai Malabar tertawa mengekeh. "Kau pandai merendahkan diri, sahabatku..." katanya. Siapa yang tidak tahu bahwa Empu Lodaya adalah seorang yang dipercayakan Sultan untuk membuat berbagai senjata sakti mandraguna. Di samping itu diapun ikut tergabung dalam kedudukan tokoh istana yang menjaga keselamatan Sultan beserta keluarganya.

"Empu Lodaya, kudengar keadaan di Banten akhir-akhir ini kurang tenteram. Apakah itu yang membawamu datang kemari...?"

Empu Lodaya hendak menjawab namun sesaat dia berdiam diri karena telinganya menangkap kecupak suara air danau di bawah bangunan di mana dia berada. "Kiai, kudengar suara air danau berkecupak keras di bawah lantai ini. Apakah kau memelihara ikan besar...?"

"Itu bukan suara ikan sahabatku. Tapi manusia juga adanya..."

Empu Lodaya tampak heran dan Kiai Malabar cepat berkata, "Nanti kau akan bertemu sendiri dangan orang itu. Sekarang katakan maksud kedatanganmu..."

Empu Lodaya lalu menceritakan apa yang terjadi di istana Banten. Dia memulai kisahnya dari kejadian lebih dua tahun lalu ketika Ki Balangnipa terpaksa membunuh muridnya sendiri yang bernama Jaka Luwak itu. Keterangannya ditutup dengan kematian cucu Sultan beberapa waktu lalu.

"Aku datang mewakili Patih Sumapraja selaku utusan Sultan," kata Empu Lodaya. "Sultan minta agar kau dan para tokoh dunia persilatan lainnya bersedia turun tangan, menangkap manusia bernama Ki Balangnipa itu, hidup atau mati..."

Kiai Malabar termenung beberapa lamanya. Dia memang sudah mendengar banyak hal runyam dalam istana Banten. Namun tidak menyangka sampai demikian buruk kejadiannya. "Mungkin kau datang ke tempat yang salah, Empu Lodaya. Orang tua jelek sepertiku ini mana ada kemampuan memenuhi permintaanmu..."

"Jangan berkata begitu Kiai. Keamanan dan ketenteraman kerajaan adalah tanggungjawab kita semua. Saat ini kita terpanggil oleh kewajiban. Sudah sepantasnya bersama-sama bahu-membahu ikut ambil bagian..."

"Kau benar Empu. Tapi harap maafkan kalau aku akan mengatakan sesuatu yang mungkin tidak sedap bagi pendengaran telingamu dan tak enak dihatimu. Ketika kerajaan aman tenteram, adakah kerajaan mengingat kami orang-orang tua buruk yang hidup terpencil? Padahal kami tidak menginginkan apa-apa. Ketika anak murid kami berusaha menegakkan kebenaran demi keagungan kerajaan, apakah yang mereka terima? Mereka diperlakukan sewenang-wenang. Bahkan banyak yang dimasukkan penjara..."

"Apa yang kau katakan itu memang benar Kiai. Tapi semua itu terjadi karena akal busuk orang-orang Pajajaran..." menyanggah Empu Lodaya.

"Orang-orang Pajajaran adalah orang-orang Pajajaran. Orang-orang Banten tetap orang-orang Banten. Inilah akibat kalau pimpinan kerajaan mudah diombang-ambingkan tipu muslihat..."

"Kiai, sampai sepuluh hari kita tak akan habis-habisnya membahas hal itu. Kedatanganku membawa maksud lain dan aku tidak punya waktu lama..."

Di kejauhan terdengar ayam berkokok. Di bawah lantai bangunan terdengar kecupak air danau semakin keras. Empu Lodaya meneruskan kata-katanya, "Bersediakan Kiai membantu kami yang sedang susah ini...?"

Kiai Malabar memegang bahu Empu Lodaya. "Tentu saja aku bersedia. Hanya saja saat ini aku terikat oleh satu pantangan..."

"Pantangan? Pantangan apa sahabatku?" tanya Empu Lodaya.

"Saat ini aku tengah menjalankan tugas. Menggembleng seorang murid. Sesuai ketentuan yang kuterima sebagai aturan dari guruku dan guruku menerimanya dari kakek guruku, maka selama tiga tahun aku dan muridku tidak boleh meninggalkan tempat kediaman melebihi jarak 1700 tombak..."

"Ah, itu satu pantangan yang amat mahal" kata Empu Lodaya. Namun orang tua ini tak dapat mengatakan apa-apa karena maklum tak bisa meminta atau memaksa Kiai Malabar untuk membantu dalam urusan Ki Balangnipa.

Di luar, tanpa terasa hari telah mulai terang. Empu Lodaya minta diri dan Kiai Malabar mengantar tamunya turun ke darat melewati tangga tinggi. Ketika sampai di tepi danau Empu Lodaya dapatkan kedua pengiringnya tertidur di bawah sebatang pohon. Namun yang menjadi perhatiannya saat itu bukanlah kedua pengiring tersebut, melainkan sosok tubuh seorang pemuda yang berada di dalam air danau, tepat di bawah lantai bangunan. Pemuda itu tengah melatih jutus-jurus pukulan dan tendangan dalam air. Setiap pukulan dan tendangan yang dilakukannya membuat air danau muncrat tinggi dan jauh serta mengeluarkan suara kecupak keras.

"Itulah yang tadi kau sangka ikan besar, sahabatku," kata Kiai Malabar sambil menggoyangkan kepalanya kearah si pemuda.

"Pemuda itu... " ujar Empu Lodaya, "Bukankah dia… bukankah dia Ekawira, bekas Kepala Pengawal Istana Banten?"

Kiai Malabar tersenyum. "Betul sekali sahabatku. Memang dia Ekawira. Pemuda yang pernah mendapat gelar Raden Mas dan pernah menjadi Kepala Pengawal Istana Sultan. Dia kuambil jadi murid sejak dua tahun lalu..."

"Terus terang Sultan masih berkenan padanya. Sultan sering menanyakannya. Jika kau mengizinkan diapun dapat membantu dalam urusan dengan Ki Balangnipa ini..."

"Aku tentu saja akan mengizinkan. Hanya ingat, kami berdua, guru dan murid terikat pantangan yang kukatakan tadi..."

Empu Lodaya menarik nafas dalam. Maklum kalau dia tidak bisa berbuat lebih banyak, maka diapun membangunkan kedua pengiringnya.

"Mungkin aku dapat membantu dengan cara lain..." kata Kiai Malabar sesaat setelah Empu Lodaya berada di punggung kuda.

"Maksudku...?"

"Apakah kau sudah mencoba menghubungi nenek aneh bernama Sinto Gendeng di puncak Gunung Gede?"

"Nenek itu lenyap begitu saja sejak beberapa tahun silam. Bahkan tempat kediamannya besar kemungkinan pernah dipakai oleh Ki Balangnipa... "menerangkan Empu Lodaya.

"Kalau begitu cobalah kau pergi ke Pamanukan di pantai utara. Temui sahabatku, sahabatmu juga, yakni Manik Aryapala. Kakek aneh berjuluk Si Penjala Sakti. Dia pasti mau menolong. Mungkin juga mau mengajak tokoh-tokoh silat lainnya untuk sama-sama membantu..."

"Terima kasih atas petunjukmu. Aku memang berencana untuk pergi ke sana," kata Empu Lodaya pula. Dengan tubuh masih sangat letih dan perut keroncongan orang tua ini bersama pengiringnya tinggalkan tempat itu. Dalam hatinya sang empu setengah mengomel. Mengadakan perjalanan sejauh itu, di pagi yang dingin tidak secangkir kopi atau teh panaspun ditawarkan sang kiai!

* * * * * * * *
ENAM

PANTAI JEPARA indah pemandangannya laut pun selalu membiru tenang. Puluhan perahu tampak di tepi pantai, mulai dari perahu pencari ikan atau nelayan sampai pada perahu-perahu kayu yang biasa memuat dan memunggah barang. Layar serta bendera-bendera perahu yang aneka warna menambah semarak keindahan pantai Jepara. 

Namun semua keindahan itu seperti tidak terlihat di mata Mahesa Kelud, tidak terasa di hati sanubarinya yang bergalau kosong. Bahkan setelah sampai di tepi pantai itu, langkahnya seperti buntu, dia tak tahu lagi mau pergi ke mana. Bayangan wajah Kemaladewi dan bayi bernama Lutung Bawean itu selalu muncul di pelupuk matanya.

Mahesa melangkah mundar-mandir di sepanjang pangkalan papan. Ketika sebuah perahu kayu bermuatan sarat meninggalkan pangkalan siap untuk mengarungi laut entah mengapa pemuda itu tiba-tiba saja langsung melompat naik. Karuan saja juragan pemilik perahu yang ada di buritan segera menghampiri dan bertanya,

"Orang muda, kau naik ke perahuku apakah hendak menumpang?"

"Ya, aku ingin menumpang," jawab Mahesa sambil memandang ke tengah lautan.

"Kalau menumpang ke manakah tujuanmu?" tanya juragan perahu kembali. Hatinya merasa tidak enak karena mendapat jawaban secara acuh tak acuh.

"Ke mana saja tujuan perahumu aku akan ikut sampai ke sana." jawab Mahesa.

Pemilik perahu semakin merasa heran. Dalam hati dia berkata. "Pemuda berbadan kokoh dan bertampang keren ini benar-benar aneh. Jangan-jangan dia berniat jahat. Hendak merampok! Apalagi kulihat dia membawa pedang di balik punggungnya.

Mahesa menatap pemilik perahu itu. Dia dapat meraba kekawatiran orang. Maka dia pun berkata. "Aku tidak berniat jahat. Aku hanya ingin berlayar. Dan aku akan bayar..." Lalu Mahesa serahkan sekeping kecil perak ke dalam genggaman pemilik perahu. Setelah menimang-nimang perak itu, pemilik perahu akhirnya mengangkat bahu. "Perahu ini berlayar menuju Merak. Sampean bermaksud ke mana?

"Sama dengan tujuan perahu." jawab Mahesa pula.

Setelah menepuk-nepuk bahu Mahesa, pemilik perahu itu kembali ka buritan dan Mahesa melangkah ke samping kanan perahu, berpegang di pagar terali, memandang ke pantai yang semakin lama semakin menjauh dan akhirnya lenyap dibatas pemandangan.

Malang tak dapat diraih, untung tak dapat ditolak. Itulah nasib perahu layar "Sinar Utara" yang ditumpangi Mahesa Kelud. Menjelang pagi hari keempat topan dahsyat melanda laut ketika perahu berada di utara Losari. Ombak menggulung tinggi menghempaskan perahu kian kemari.

Dua orang awak perahu terlempar ke tengah laut dan lenyap tak muncul lagi. Ketika angin menyapu deras, tiang layar perahu patah. Perahu oleng tajam ke kiri lalu cepat sekali miring keras. Air laut masuk laksana bah. Perahu yang malang itu hancur berantakan. Muatannya terlempar ke mana-mana. 

Mahesa masih sempat mendengar teriakan pemilik perahu, setelah itu diapun harus terjun ke air yang menggila, menyelamatkan diri. Kepandaiannya berenang tidak ada gunanya di laut yang menggila itu. Tubuhnya timbul tenggelam. Kekuatannya tersedot dengan cepat.

"Kalau aku harus mati di laut, aku akan pasrah!" kata Mahesa. Kembali wajah Kemaladewi dan Lutung Bawean muncul di pelupuk matanya. Ombak besar memukul mendera. Mahesa tanggelam sampai sedalam tujuh meter lalu muncul lagi megap-megap. Saat itu hari telah terang. Beberapa meter di samping kirinya Mahesa melihat sekeping papan bekas pecahan badan perahu. Pemuda ini tak berusaha berenang mencapai papan itu karena tekadnya sudah bulat untuk menerima kematian.

"Ini adalah pembalasan atas dosa-dosaku..." katanya dalam hati.

Tetapi ajaib. Papan yang terpisah jauh itu terombang-ambing dimainkan ombak malah seperti datang mendekatinya dan akhirnya menyentuh dadanya. Mahesa terperangah dalam nafas megap-megap. Akhirnya dipegangnya juga papan besar itu dengan kedua tangannya. Tubuhnya terbanting kian kemari setiap papan itu dihantam gelombang.

Ketika siang tiba dan matahari bersinar terik. Mahesa merasakan sekujur tubuhnya yang berada di atas air seperti dipanggang api. Kulitnya mengelupas. Setiap air laut membasahi kulit yang mengelupas itu sakitnya bukan alang kepalang. Seharian penuh terombang-ambing sambil berpegangan di atas papan Mahesa tidak pernah melihat pantai atau pulau di kejauhan.

Bahkan tak satu perahupun kelihatan di laut yang luas itu. Pemuda ini tak tahu sampai berapa lama dia dapat bertahan bersama sepotong papan itu semantara sekujur tubuhnya seperti terkelupas dipanggang, tenaganya hampir sampai di batas terakhir. Keadaannya antara sadar dan pingsan.

Ketika malam tiba matanya masih sanggup melihat ada cahaya di kejauhan. Mungkin itu cahaya lampu atau pelita dari rumah-rumah penduduk. Yang berarti dia berada di dekat pantai. Tetapi mungkin juga itu hanya ilusi palsu belaka. Dan Mahesa tidak berusaha untuk berenang ke arah cahaya di kejauhan itu. Jangankan berenang, untuk masih dapat memegang papan penyelamat itupun tenaganya sudah tidak ada lagi.

* * * * * * * *

"Kakek Penjala Sakti... apakah kau tidak turun ke laut hari ini...?"

Seruan pertanyaan itu keluar dari mulut empat orang anak laki-laki yang tegak di depan pintu sebuah rumah bilik di tepi pantai Pemanukan. Setelah beberapa kali anak-anak itu berteriak-teriak begitu, pintu rumah terbuka. Seorang tua berambut kelabu bermata jereng yang mengenakan celana hitam serta berselimut kain sarung keluar dari dalam rumah sambil menggosok-gosok matanya.

"Hai! Kek! Kau kesiangan!" kata salah seorang dari tiga anak.

Orang tua itu memandang ke tengah lautan. Cuaca dilihatnya memang cerah dan di pantai belasan perahu yang melaut malam tadi baru saja kembali memunggah hasil. Tapi rata-rata hasil yang didapat nelayan-neyalan itu tidak seberapa. Ikan-ikan yang bisa mereka dapat hanya cukup untuk dimakan sendiri dan hanya sebagian kecil dijual di pasar.

"Apa perahuku sudah kalian bersihkan?" si kakek bertanya pada ke empat anak itu. 

"Sudah" jawab anak-anak itu serentak. "Pasti ibu kalian yang menyuruh kalian kemari hah?!"

"Betul kek. Kata ibu kami hanya punya beras saja tapi tak punya ikan..."

"Ayah kalian tidak melaut...?"

"Ada, tapi hasilnya. Kau tahu sendiri kek..."

Orang tua itu tersenyum. Tiga kali dalam seminggu anak-anak itu selalu datang seperti itu. Mereka tahu, samua orang ditepi pantai itu tahu bahwa si kakek memiliki satu kepandaian yang dianggap aneh. Orang yang pergi melaut semalam suntuk kadang-kadang hanya mandapatkan ikan sedikit sekali. Tapi sekali si kakek pergi ke laut pada pagi atau siang hari dan kembali beberapa jam kemudian, dia datang membawa ikan sepenuh perahunya.

Ikan-ikan itu selalu dibagi-bagikannya pada penduduk atau nelayan yang tinggal di tepi pantai, termasuk ke empat anak lelaki itu. Sebenarnya para nelayan yang diam di situ merasa heran akan kepandaian si kakek menjala ikan. Banyak di antara mereka yang minta diberitahu. Tapi si kakek tidak pernah mau mengatakan. Setiap kali ditanya dia selalu menjawab,

"Jika kalian perlu ikan untuk dimakan atau dijual, aku akan carikan ke laut. Tapi jika kalian tanya bagaimana caranya aku menangkap ikan, itu adalah rahasia hidupku!"

"Baiklah anak-anak, aku akan mencuci muka dulu dan mengambil jala." kata orang tua berambut kelabu bermata jereng itu.

Anak-anak bersorak ramai. Tak lama kemudian si kakek yang dipanggil dengan sebutan Kakek Penjala Sakti itu tampak meninggalkan pondoknya, memanggul jala besar di bahu kirinya, melangkah terbungkuk-bungkuk menuju perahunya. Sebuah perahu tua yang dindingnya banyak tambalan di sana sini.

Si kakek masuk ke dalam perahu. Empat orang anak tadi membantu mendorong perahu sampai ke tengah lalu mereka melambai-lambaikan tangan sambil berteriak, "Ikannya tangkap yang banyak ya kek! Yang banyak ya kek!"

Si kakek balas lambaikan tangan sambil tersenyum-senyum. Sampai di tengah laut, jauh dari pantai, orang tua itu rapikan dan atur jala besarnya. Dari dalam sebuah bumbung bambu dia mengambil segenggam bubuk berwarna putih. Dengan tangan kirinya bubuk itu dilemparkan ke dalam laut. Begitu bubuk bersatu dengan air laut maka butiran bubuk bubuk yang ratusan bahkan ribuan banyaknya itu memantulkan sinar berkilau-kilau. Dalam waktu singkat ratusan ikan besar kecil muncul ke permukaan air laut, ingin melihat apa adanya butiran-butiran bercahaya yang menarik hati itu. 

Kalau sudah begini si kakek hanya tinggal mengangkat jalanya dari lantai perahu. Sekali tangannya bergerak maka jala besar itu melebar luas. Ratusan ikan terjerat di dalamnya. Sambil tertawa-tawa orang tua ini tarik jalanya. Ketika hasil tangkapan itu dimasukkannya ke dalam perahu, maka perahu kecil itu terisi sampai setengahnya!

"Sekali tangkap lagi penuhlah perahu buruk ini. Aku bisa kembali ke pantai membagi-bagikan ikan…" begitu si kakek berkata dalam hati.

Maka diapun mengayuh perahunya ke jurusan lain. Sampai di satu tempat yang dirasakannya baik diapun siap mengambil bubuk dalam bumbung bambu. Namun tiba-tiba sepasang matanya yang jereng melihat sebuah benda terapung-apung di kejauhan. Orang tua ini lindungi kedua matanya dengan telapak tangan kiri agar bisa melihat lebih jelas.

"Aneh, benda itu seperti kepala manusia…" kata si kakek. Lalu perahunya dikayuh mendekati benda di kejauhan. Begitu sampai di dekat benda tadi diapun tersirap. "Astaga, betul kepala manusia. Sudah mati atau masih hidup? Salah satu tangannya menggapai sepotong papan..."

Si Penjala Sakti cepat tebarkan jala besarnya. Sosok tubuh manusia di permukaan laut bersama papan yang dipegangnya segera masuk dalam jeratan jala. Si kakek menarik. Cukup sulit baginya menarik sosok tubuh itu ke atas perahu kecil yang setengahnya sudah penuh dengan ikan. Ternyata sosok tubuh itu adalah sosok tubuh seorang pemuda yang hampir seluruh kulitnya telah terkelupas hangus. Pakaiannya robek-robek dan ada luka-luka pada beberapa bagian tubuhnya.

Si kakek membaringkan tubuh pemuda itu di atas tumpukan ikan. Dia terkejut ketika pada pinggang pakaian si pemuda dilihatnya tersisip sebilah keris berhulu kepala ular dan keseluruhannya terbuat dari emas murni serta memancarkan warna kuning. Lebih terkejut lagi dia jadinya sewaktu menemukan sebilah pedang berwarna merah tersisip di balik punggung si pemuda.

Cepat-cepat kakek itu memutar perahunya dan mengayuh menuju ke pantai. Sampai di pantai anak-anak yang empat orang tadi telah menunggunya. Malah jumlah mereka kini tambah banyak, belum terhitung para nelayan yang juga ingin kebagian ikan. Kakek itu tidak mengacuhkan orang-orang tersebut, dengan susah payah dia mendukung tubuh pemuda yang ditamuinya di tengah laut itu sementara orang banyak tampak menyaksikan keheranan.

"Kek, siapa orang itu. Di mana kau temui...?" beberapa orang bertanya.

"Sudah, jangan banyak tanya. Ambil ikan dalam perahu. Bagi-bagilah. Tapi jangan ribut dan bertengkar...!"

Kakek Penjala Sakti mambawa tubuh pemuda yang pingsan itu ke dalam rumah biliknya, membaringkannya di tempat tidur yang terbuat dari bambu. Telinga kirinya diletakkannya di atas dada si pemuda. Lapat-lapat dia masih mendengar suara degup jantung.

"Masih hidup... Untung," katanya. Tubuh itu dibalikkannya hingga menelungkup. Lalu tangan kirinya ditekankan ke pinggang sedang tangan kanan ditekankan ke punggung. Begitu ditekan pemuda yang pingsan keluarkan suara seperti muntah. Air laut keluar mengucur dari mulutnya.

* * * * * * * *
TUJUH

EMPU LODAYA menatap paras kakek rambut kelabu. Matanya yang jereng membuat sang empu meragu apakah si kakek memandang ke jurusannya atau memperhatikan ke jurusan lain.

"Manik, kau lupa padaku...?" menegur Empu Lodaya.

"Ah!" Manik Aryapala alias Panjala Sakti pukul jidatnya sendiri. "Aku kenal tampangmu, tapi otakku yang sudah hampir pikun ini tak ingat siapa namamu. Pakaian putihmu yang berdebu, kudamu yang keletihan, serta dua pengiring yang ikut bersamamu menyatakan kau datang dari jauh dan kau tentunya orang penting..."

Empu Lodaya tersenyum. "Aku Lodaya, dari Banten!" sang empu coba mengingatnya.

"Astaga! Betul kau!" Si Penjala Sakti langsung manarik lengan Empu Lodaya hingga orang tua yang masih ada di punggung kuda itu terseret ke bawah. Tetapi Penjala Sakti tidak menariknya terus ke bawah melainkan melemparkannya ke atas hingga Empu Lodaya tampak mencelat, jungkir balik di udara. Ketika turun kedua tangannya menekan bahu Penjala Sakti. Kakek mata jereng ini cepat merunduk. Tapi tahu-tahu kedua ketiaknya terangkat ka atas.

"Hup! " seru Empu Lodaya.

Kini Si Penjala Sakti yang ganti mencelat ke atas dan jungkir balik di udara. Begitu turun keduanya berhadapan hidung dengan hidung. Dua kakek ini seperti anak kecil tertawa gelak-gelak lalu saling rangkul.

"Kurasa tiga puluh tahun telah berlalu sejak terakhir sekali aku melihat tampangmu Lodaya!" kata Si Penjala Sakti.

"Memang lama sekali kita tak pernah bertemu. Kau tetap seperti dulu. Suka bercanda. Apakah masih gemar menjala ikan di siang bolong?"

Manik Aryapala tertawa mengekeh mendengar kata-kata sahabat lamanya itu. "Aku masih ada tangkapan ikan sisa kemarin. Masih segar. Kita makan sama-sama, tapi nasinya tak ada..."

"Siapa sudi makan ikan tanpa nasi? Salah-salah aku bisa cacingan!" gurau Empu Lodaya.

"Jangan kawatir," kata Si Penjala Sakti cepat. "Aku punya tetangga-tetangga yang baik. Satu bakul nasi untukmu dan pengiringmu tidak jadi soal!"

Setelah menjamu makan minum para tamunya. Si Penjala Sakti membawa Empu Lodaya ke tepi pantai. "Sekarang katakan mengapa kau datang jauh-jauh kemari," kata kakek mata jereng itu.

"Aku perlu bantuanmu menangkap seseorang. Sebelumnya aku telah menemui Kiai Malabar. Tapi dia tak dapat menolong..." menerangkan Empu Lodaya.

"Hemmm... begitu? Bantuan untuk dirimu atau untuk kerajaan?" bertanya Penjala Sakti.

"Untuk yang terakhir..."

"Ha... ha... Rupanya kerajaan bernasib buruk akhir-akhir ini. Tak ada orang-orang pandai dunia persilatan yang mau diajak bekerja sama..."

"Apakah kau juga tidak mau bekerjasama?" tanya Empu Lodaya.

"Siapa yang diinginkan Sultanmu?"

"Ki Balangnipa." jawab Empu Lodaya pula.

"Ah... manusia satu itu..." kata si Penjala Sakti sambil geleng-geleng kepala. "Dulu dia dikenal sebagai tokoh baik. Karena teriakan hasutan orang-orang Pajajaran dia jadi berubah…."

"Mungkin kita tak dapat menyalahkan orang Pajajaran saja. Apa yang terjadi di Banten pun ikut pegang peranan."

Lalu Empu Lodaya menerangkan pangkal musabab Ki Balangnipa menaruh dendam kesumat terhadap Kerajaan dan Sultan Banten.

"Itu rupanya yang menjadikan sebab Sultanmu menginginkan Ki Balangnipa hidup atau mati. Lalu bantuan apa yang dapat kuberikan pada Sultanmu, Lodaya?"

"Mencari dan menangkap Ki Balangnipa." sahut Empu Lodaya.

Mata jereng Si Penjala Sakti tampak berputar-putar memandang ke tengah laut. Tiba-tiba meledaklah tawanya.

"Kenapa kau tertawa?" tanya Empu Lodaya heran.

"Inilah namanya dunia! Inilah namanya kehidupan di alam fana. Jika dibutuhkan dicari-cari. Jika tidak dibutuhkan tak pernah diingat-ingat. Tapi dengar sahabatku, bukan kenapa segala asalan itu aku tak dapat membantumu atau membantu Sultanmu..."

Paras Empu Lodaya berubah, "Kau lupa darah Banten dalam tubuhmu, Manik Aryapala?!"

Si Penjala Sakti menyeringai lalu tertawa hambar. "Darah Banten dalam tubuhku sudah lama membeku. Itulah sebabnya aku lebih suka memencilkan diri di pantai ini. Lebih enak jadi rakyat jelata. Tak ada pikiran tak ada kesulitan. Miskin dalam harta tapi kaya dalam kebahagiaan..."

Memandang pada wajah sang empu yang kelihatan sangat kecewa. Si Penjala Sakti berkata, "Sahabatku Lodaya, kau tak usah kecewa dan marah padaku..."

"Aku tidak marah. Hanya merasa sedih kenapa kehidupan di dunia bisa begini. Waktuku tak banyak. Aku minta diri..."

"Eee... eae... Tunggu dulu Lodaya, jangan pergi dulu!"

"Apa yang kulakukan lama-lama di sini? Bantuan pun tak akan ku dapat!" jawab Empu Lodaya.

"Benar, memang benar kau tidak mendapatkan apa-apa dariku. Kecuali nasi dan ikan bakar enak tadi. Ha... ha...ha...! Tapi dengarlah, ada seorang lain yang bisa menolong Sultanmu itu..."

"Cerita lama!" mamotong Empu Lodaya dengan kesal. "Ketika aku bertemu Kiai Malabar, dia melemparkanku padamu. Kini bertemu denganmu pada siapa lagi aku hendak kau lemparkan?!"

"Dengar, jangan kesusu jengkel," kata Si Penjala Sakti sambil tepuk-tepuk bahu sahabatnya itu. "Aku tak akan melemparkanmu pada siapa-siapa. Dengar, ada seorang lain yang lebih pantas dan lebih mampu menolong Sultanmu itu..."

"Nah, apa kataku! Ternyata kaupun hendak melemparkan aku pada orang lain itu!"

"Dengar dulu, dengar dulu Lodaya," kata Si Penjala Sakti dengan sabar. "Orangnya memang bukan berdarah Banten. Tetapi baktinya boleh dipuji. Dia lebih Banten dari orang Banten sendiri! Dan dia telah pernah membuktikan sembah baktinya itu pada Sultanmu sekitar tiga tahun yang silam..."

"Eh, siapa orang yang kau maksudkan itu?" tanya Empu Lodaya jadi tertarik.

"Kau ingat Raden Mas Ekawira...?"

"Bekas Kepala Pengawal Istana Banten itu?!"

"Betul!"

"Ah, kalau dia yang kau maksudkan tak ada gunanya. Aku telah menemuinya di tempat kediaman Kiai Malabar. Anak muda itu telah jadi murid sang kiai. Baik dia maupun gurunya tak bisa membantu. Katanya terikat oleh pantangan!"

"Mungkin memang begitu. Kau tahu sendiri. Orang-orang dalam dunia persilatan banyak aneh-aneh tingkah lakunya. Entah memang musti demikian, entah karena dibuat-buat! Tapi yang kumaksudkan bukan si Ekawira itu!"

"Lantas?!" tanya Empu Lodaya.

"Kau ingat, ketika dia jadi Kepala Pasukan Pengawal Istana, dia mampunyai seorang pembantu berbadan tinggi tegap penuh otot dan bertampang cakap itu...!"

"Aku ingat. Tapi lupa namanya. Ada apa dengan pemuda itu...?"

"Dialah yang dapat kau harapkan untuk menghadapi Ki Balangnipa!"

Empu Lodaya menarik nafas panjang. "Mengharapkan sesuatu yang sukar jadi kenyataan. Di mana pemuda itu kini berada siapa yang tahu! Pangkal hidungnya tak pernah kelihatan lagi sejak dia meninggalkan Banten tiga tahun lalu...!"

Si Penjala Sakti tersenyum-senyum. "Inilah namanya rahasia hidup, sahabatku! Segala sesuatunya menjadi rahasia Yang Satu. Apa yang terjadi dengan kita besok, mana kita tahu. Di mana kita berada besok, siapa yang bisa tahu. Perolehan apa yang bisa kita dapat besok, mana ada orang yang tahu! Semua Tuhan yang mengatur. Bukankah begitu sahabatku?"

Empu Lodaya mengangguk perlahan.

"Sebulan yang lalu, secara tak sengaja aku telah menyelamatkan pemuda itu di tengah laut. Perahu yang ditumpanginya tenggelam dilanda badai. Dia diombang-ambingkan ombak sampai ke pantai Pamanukan ini. Di tengah laut, dalam keadaan sekarat, tubuh penuh luka dan kulit terkelupas dia kutemui dan kutolong. Pemuda itu bernama Mahesa Kelud. Bukan begitu...?"

"Ya aku ingat sekarang. Namanya Mahesa Kelud. Lanjutkan kisahmu Manik," kata Empu Lodaya.

"Setelah sembuh dan menyadari bahwa dia berhutang nyawa padaku maka untuk membalas budi dia meminta aku memilih salah satu dari dua senjata mustika yang dimilikinya. Yang pertama sebilah pedang yang sarung dan badannya memancarkan sinar merah, itulah Pedang Sakti pemberian gurunya di timur sana. Senjata kedua sebilah keris terbuat dari emas yang juga merupakan senjata sakti mandraguna! Bukan aku meremehkan keahlianmu membuat senjata. Tapi jika kau coba membuat salah satu dari senjata itu, menirunya saja sampai mirip mungkin kau memerlukan waktu dua puluh tahun!"

"Kau terima permintaannya itu? Berarti kau kini memiliki senjata sakti. Eh, pedang atau keris yang kau ambil?!" tanya Empu Lodaya.

Si Penjala Sakti geleng-gelengkan kepala. "Aku bukan manusia pencari pamrih, yang berbuat sesuatu untuk mengharapkan sesuatu! Permintaannya itu kutolak. Mahesa kecewa sekali. Kemudian dia berkata, jika ada satu permintaan lain atau satu tugas yang diberikan kepadanya sebagai pembalas budi dan hutang nyawa itu maka dia akan melaksanakannya sampai berhasil. Waktu itu sulit bagiku hendak meminta atau menugaskan apa padanya. Tetapi setelah berpikir keras aku teringat akan keadaan di Banten. Lagi pula bukankah dia pernah mengabdi di Banten? Maka kataku padanya, "Telah lama aku menyirap kabar bahwa suatu malapetaka telah menimpa Sultan Banten. Pergilah ke sana. Abdikan dirimu seperti dulu kau pernah melakukannya bersama Ekawira. Dengan berbuat begitu anggaplah bahwa kau telah membalas segala hutang budi dan nyawa. Maka Mahesa pun pergi. Hanya beberapa saat sebelum kau dan dua pengiringmu sampai di sini!"

Empu Lodaya tentu saja menjadi kaget. "Menurutmu, apakah pemuda itu benar-benar akan pergi ke Banten?" tanyanya.

"Aku yakin dia bukan seorang pendekar yang pandai bermulut manis berminyak air. Kalau kau tidak percaya mengapa tidak segera saja kembali ke Banten?"

Empu Lodaya berpikir-pikir sesaat. Nasihat sahabatnya itu tak ada salahnya. Maka dia pun berkata, "Terima kasih Manik. Aku minta diri sekarang juga!"

* * * * * * * *
DELAPAN

KETIKA meninggalkan Banten sekitar satu bulan lalu Empu Lodaya mengambil jalan kearah selatan, menempuh rimba belantara dan bebukitan tinggi serta pegunungan. Jalan yang sulit menyebabkan dia dan pengiring hanya mampu bergerak perlahan. Kini dalam perjalanan kembali ke Banten dia mengambil jalan di sebelah utara yang merupakan pantai datar hingga dapat bergerak sangat cepat.

Dalam waktu satu minggu Empu Lodaya telah sampai ka Mauk. Satu hari di muka dia akan segera memasuki perbatasan kerajaan. Selama perjalanan orang tua ini menaruh khawatir kalau-kalau keterangan yang diberikan Si Penjala Sakti tidak benar dan Mahesa Kelud tidak datang ke Banten. Dalam pada itu sepanjang perjalanan dia merasakan seperti ada seseorang yang menguntit dari kejauhan.

Kekhawatiran yang terakhir ini menjadi kenyataan ketika dia bersama dua pengiringnya baru saja beristirahat di sebuah anak sungai dipertengahan lembah dan siap meneruskan perjalanan melewati bukit kecil ditumbuhi pohon-pohon jati besar berusia ratusan tahun.

Saat itu masih pagi. Sang surya bersinar lembut dan udara masih terasa segar, menyusup melalui hidung, masuk ke paru-paru. Memandang ke puncak bukit yang berada di depan mereka, salah seorang pengiring tiba-tiba berkata, "Empu ada seseorang di atas bukit. Cara tegaknya seperti sengaja menghadang kita!"

"Aku sudah melihat," jawab Empu Lodaya. Hatinya mendadak saja tidak enak namun dia berusaha bersikap tenang. Makin tinggi naik ke bukit jati itu, makin kentara adanya orang yang berdiri di depan mereka. Orang itu berpakaian serba hitam. Rambutnya yang panjang hitam dikuncir ke belakang. Sepasang matanya yang cekung membersitkan keganasan, memandang tak berkesip ke arah tiga penunggang kuda yang menaiki bukit.

Baik Empu Lodaya mau pun dua pengiringnya belum pernah melihat orang itu sebelumnya, jadi tidak mengenalinya. Semula Empu Lodaya berniat mengambil jalan memutar di lereng bukit sebelah kanan untuk menghindari lelaki berpakaian hitam itu. Namun seperti tahu maksud orang, si baju hitam melangkah ke kiri, sejajar dengan gerakan Empu Lodaya. Jelas sudah orang ini sengaja menghadang dan pasti memiliki maksud yang tidak baik.

Empu Lodaya memberi tanda pada kedua pengiringnya yang berada satu di sisi kanan satu lagi di sebelah kiri. Ketiganya sama menghentikan kuda sejarak enam tombak dari hadapan orang itu. Melihat ketiga kuda berhenti, si baju hitam pun hentikan langkahnya lalu tegak sambil berkacak pinggang.

"Empu Lodaya!" orang itu menegur. Suaranya lantang dan membahana di seantero bukit jati. "Apakah kau sudah berhasil menemukan orang gagah yang bisa menolong Sultanmu?!"

Sang Empu segera maklum kalau tengah berhadapan dengan seseorang yang memiliki kepandaian tinggi. "Kau bertanya di tempat yang tidak pantas. Caramu menghadang menjelaskan niatmu yang terselubung, dan pasti tidak baik!" menjawab Empu Lodaya.

Orang berbaju dan bercelana hitam keluarkan suara tawa bergelak. "Tidak sangka tukang bikin pisau dapur istana pandai pula mengucapkan kata-kata seperti seorang penyair! Empu Lodaya, kau hanya membuang-buang waktu sia-sia! Mengadakan perjalanan sejauh itu tanpa hasil sementara mayat demi mayat semakin bergeletakan dalam istana Sultan Banten!"

"Apa maksudmu?! Katakan siapa kau adanya!" ujar Empu Lodaya.

Orang itu menyeringai dan usap-usap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu panjang tapi jarang. "Seminggu setelah kau meninggalkan Banten, adik perempuan sepupu Sultan ditemui telah jadi mayat di tepi kolam istana. Selagi kau kasak kusuk di pantai utara, satu lagi orang terdekat dan dikasihi Sultan menemui ajal. Pangeran Artakusumah!"

Empu Lodaya dan dua pengiringnya tentu saja kaget sekali mendengar ucapan itu. Berarti empat orang sudah menemui kematian di tangan Ki Balangnipa! Berarti segala penjagaan dan pengawalan yang dilakukan untuk melindungi keselamatan keluarga Sultan sama sekali tidak berdaya menghadapi musuh tunggal itu!

Demikian hebatnyakah ketinggian ilmu Ki Balangnipa sehingga tidak ada yang dapat membendungnya. Atau memang selain hebat dia juga cerdik dan licin, mampu menembus istana tanpa banyak kesulitan.

"Orang tak dikenal! Apa maksudmu memberi tahu hal itu padaku?!" Empu Lodaya lemparkan pertanyaan. Yang ditanya kembali tertawa, tapi tidak sekeras tadi.

"Jadi kau masih belum tahu tingginya gunung dalamnya lautan. Masih belum jelas tengah berhadapan dengan siapa! Jika kau masih berumur panjang kau akan menyaksikan korban-korban kelima, keenam dan seterusnya!"

Paras Empu Lodaya jadi berubah. Juga kedua pengiringnya. Ketika orang tua ini berkata, "Jadi kau ... kau Ki Balangnipa!"

Si baju hitam tertawa lagi. "Mungkin kau perlu bukti!" katanya. Entah kapan tangan kanannya bergerak tahu-tahu kini dia telah menimang-nimang sebuah benda terbuat dari perak, berbentuk bintang!

"Ah, benar. Manusia ini adalah Ki Balangnipa!" membatin Empu Lodaya ketika dia mengenali senjata rahasia berbentuk bintang yang pernah dilihatnya menembus tubuh Jaka Luwak dan sekaligus membunuhnya dua tahun yang silam.

Si baju hitam gerakkan tangan kanannya. Senjata rahasia bintang perak itu melesat ke arah pengiring Empu Lodaya yang di sebelah kanan. Detik itu juga terdengar pekiknya. Tubuhnya jatuh dari punggung kuda, terjungkal dan melingkar di tanah. Pada keningnya menancap senjata rahasia bintang perak itu!

Tubuh Empu Lodaya bergetar. "Manusia pengecut! Beraninya hanya membunuh orang-orang tak berdaya!" teriak sang empu marah.

"Aku pun tidak segan-segan menghabisi nyawamu orang tua! Sekalipun kau bukan termasuk sepuluh orang yang berada dalam daftar mautku!" Ki Balangnipa tertawa panjang. Tangan kanannya kembali bergerak. Kembali pula senjata bintang perak melesat dengan kecepatan setan!

Melihat senjata rahasia itu menderu ke arahnya, Empu Lodaya cepat melompat dari atas kuda. Sambil melayang ke tanah dia pukulkan tangan kirinya ke depan. Serangkum angin menerpa bintang perak. Tapi dia tertipu. Senjata itu sebenarnya memang tidak ditujukan ke arahnya. Karena sesaat kemudian terdengar pekik pengiringnya yang kedua sewaktu bintang perak dengan ganas menembus tenggorokannya!

"Biadab!" kertak Empu Lodaya. Sebelum tubuh pengiringnya jatuh mencium tanah orang tua ini sudah menghantamkan satu pukulan tangan kosong dari jarak dua langkah. Deru angin pukulan yang keluar dari tangan kanan Empu Lodaya diam-diam mengejutkan Ki Balangnipa. Tetapi sambil keluarkan suara mendengus dan mengejek Ki Balangnipa cepat menghindar.

"Tukang pisau dapur! Hari ini kau akan mati sia-sia!"

Bukan main panasnya hati Empu Lodaya diejek sebagai tukang pisau dapur itu. Meskipun tugasnya memang ahli pembuat senjata kerajaan namun sebagai salah seorang yang ikut bertanggung jawab atas keselamatan Sultan serta keluarganya, orang tua ini tentu saja memiliki kepandaian silat yang tidak rendah. Buktinya begitu serangannya tadi tidak menemui sasaran, orang tua ini cepat berputar. Sekali berkelebat tendangannya menghantam ke arah batok kepala lawan!

"Tukang pisau! Jelek-jelek rupanya kau punya kepandaian juga!" kembali Ki Balangnipa mengejek. Tangan kanannya dinaikkan ke atas, melintang memayungi kepalanya dari tendangan Empu Lodaya. 

Sang Empu yang sudah naik pitam karena diejek direndahkan begitu rupa dan menganggap tangan tak bakal menang dari kaki, teruskan tendangannya bahkan lipat gandakan tanaga dalamnya.

Praak!

Pergelangan tangan beradu keras dengan tulang kering kaki. Empu Lodaya menggigit bibirnya sampai berdarah agar tidak keluarkan suara teriakan karena sakit yang bukan kepalang. Tulang kering kaki kanannya remuk. Tubuhnya melintir. Selagi orang tua ini terbungkuk-bungkuk kasakitan, Ki Balangnipa menyergapnya dengan satu jotosan ke arah perut hingga Empu Lodaya tertekuk ke depan. 

Dalam keadaan seperti ini menyusul satu tendangan dengan tepat menghantam rahangnya. Orang tua itu mencelat lalu menggeletak di tanah. Tapi tidak disangka dia mempunyai daya tahan luar biasa. Meski kaki kanan patah dan dari mulut serta hidung dan telinga kanan keluar darah mengucur, tapi dia merayap bangkit. Terbungkuk-bungkuk Empu Lodaya keluarkan suara menggeram, melangkah mendekati Ki Balangnipa. Di tangan kanannya tampak sebilah golok pendek, terbuat dari perak yang memancarkan sinar berkilau oleh pantulan sinar mentari pagi.

"Aha! Rupanya inilah pisau dapur buatanmu! Baru kali ini aku melihat pisau dapur sebesar ini!" Ki Balangnipa tertawa mengejek. Dia tegak menunggu sambil bertolak pinggang. Ketika Empu Lodaya menusukkan senjatanya ke arah perut, dengan mudah Ki Balangnipa berkelit sambil susupkan satu tendangan ke perut si orang tua.

Untuk kadua kalinya Empu Lodaya tarpental. Golok pendek terlepas dari tangannya. Ki Balangnipa cepat menyambar senjata itu. Begitu berhasil menggenggam hulu golok, dia segera membacokkannya ke kepala Empu Lodaya yang saat itu tengah mengerang megap-megap tanpa daya untuk selamatkan diri dari bacokan maut senjata miliknya sendiri! Namun justru di saat itu Ki Balangnipa mendengar suara gemerisik di belakangnya, disusul oleh suara tawa bergelak.

"Ikan besar berbaju hitam! Aih... Tentu enak kalau dipanggang!"

* * * * * * * *
SEMBILAN

KI BALANGNIPA bertindak cepat, melompat ke samping seraya lepaskan pukulan ke belakang dari arah mana barusan terdengar suara bergemerisik serta suara tawa. Tapi apa lacur. Gerakan orang jauh lebih cepat. Tokoh silat ini tahu-tahu dapatkan sekujur tubuhnya telah terperangkap dalam sebuah jala besar. Segera dia berontak dan coba renggutkan jala itu. Namun semakin keras gerak-rontanya, semakin kencang cengkaman jala!

"Keparat!" maki Ki Balangnipa. Golok yang tadi hendak dipakainya, untuk membunuh Empu Lodaya kini ditabaskan kiri kanan untuk membabat putus tali-tali jala, namun alangkah kagetnya ketika melihat kenyataan jala itu tidak sanggup diputus oleh ketajaman golok! Sambil menggereng merah Ki Balangnipa dalam keadaan terjerat putar tubuhnya.

Kira-kira delapan langkah di hadapannya tampak berdiri seorang kakek berambut kelabu, mengenakan celana hitam dan berselempangkan sarung. Kedua matanya jereng dan dia tak hentinya tertawa. Dia memegang sasuatu yang bukan lain adalah ujung jala yang membungkus tubuh Ki Balangnipa!

"Penjala keparat! Jadi kau rupanya yang berani barlaku curang! Menyerang dari belakang!" bentak Ki Balangnipa marah dan diam-diam kerahkan tenaga dalam pada kedua telapak tangannya.

"Aih! Jangan salah sangka!" menyahuti si kakek jereng yakni Manik Aryapala alias si Penjala Sakti. "Aku tidak menyerang siapa-siapa! Hanya menangkap seekor ikan hitam! Besar nian rejekiku hari ini!"

Habis berkata begitu Si Penjala Sakti tarik jalanya. Tapi orang tua ini jadi kaget ketika bagaimana pun dia mengerahkan tenaga, tubuh Ki Balangnipa yang ada di dalam jala tak bisa tertarik, bahkan bergeser pun tidak kedua kakinya! Dan Si Penjala Sakti tambah kaget sewaktu dilihatnya Ki Balangnipa menggerakkan kedua tangannya.

Bret! Bret ...! Bret...!

Jala tebal itu koyak putus-putus. Sesaat kemudian Ki Balangnipa telah melompat keluar dari bungkusan jala! Begitu ke luar langsung dia menyerang Si Penjala Sakti. Maka terjadilah perkelahian yang seru di antara kedua tokoh silat ini, sementara Empu Lodaya yang terhampar di tanah, hanya bisa menyaksikan kejadian itu sambil mengerang kesakitan.

Sepuluh jurus berlalu Si Penjala Sakti segara maklumi bahwa lawan hampir dua tingkat lebih tinggi kepandaiannya. Untung saja dia memiliki kecepatan gerak yang luar biasa hingga setiap serangan Ki Balangnipa sanggup dikelit atau dihindarinya. Berulang kali lawan berusaha untuk kontak kekuatan dengan jalan hendak memperadukan pukulan tangan atau tendangan kaki.

Si Penjala Sakti yang mengetahui lawan memiliki tenaga dalam lebih tinggi terpaksa bekerja keras untuk menghindarkan bentrokan langsung. Gemas melihat lawan sanggup mengelakkan semua serangannya Ki Balangnipa berteriak keras. Bersamaan dengan itu dia membuka baju hitamnya.

"Aih…..aih! Kenapa cuma bajumu saja yang kau buka? Mengapa tidak celanamu juga agar telanjang sekalian?!" berteriak Si Penjala Sakti. Nadanya mengejek tetapi kakek ini maklum kalau pakaian hitam milik lawan adalah merupakan satu senjata yang sangat berbahaya. Kehebatan pakaian itulah yang membuat nama Ki Balangnipa menjulang di antara para tokoh dan ditakuti di mana-mana. Si Penjala Sakti segera tutup jalan nafasnya.

"Nelayan buruk!" membentak Ki Balangnipa. "Keluarkan seluruh kepandaianmu. Kalau tidak kau akan mampus dengan tubuh lumat!"

Ki Balangnipa putar-putar pakaian hitamnya di atas kepala. Terdengar siuran angin kencang sekali. Hembusan angin yang keluar dari baju hitam itu menebar bau apek yang dapat menyesakkan jalan pernafasan. Untung saja si Penjala Sakti telah menutup penciumannya. Namun demikian kekuatan lain dari pakaian hitam itu yakni kekuatan yang sanggup melumpuhkan lawan kini mengancam si kakek mata jereng.

Untuk membuat agar sambaran angin tidak mengenai tubuhnya, Si Penjala Sakti lepaskan pukulan-pukulan tangan kosong kiri kanan susul menyusul. Mula-mula arus serangan baju hitam di tangan lawan seperti terbendung. Namun ketika Ki Balangnipa mulai berputar-putar mengelilingi lawannya. Si Penjala Sakti menjadi sibuk.

Selain hawa yang melumpuhkan yang harus dihindarinya, dia juga harus waspada karena setiap saat ujung tangan atau ujung kelepak baju hitam itu sanggup menghantam seperti sabatan golok atau tusukan pedang!

Plak! Plak!

Ujung pakaian menampar ganas ke dada dan muka Si Penjala Sakti. Kakek ini jatuhkan diri seraya menyambar jalanya yang telah koyak. Jala ini digulungnya hingga membentuk tongkat lemas dan panjang, kemudian dipergunakan untuk menghadapi baju hitam lawan. Karena jala itu juga dialiri kekuatan tenaga dalam maka perkelahian berkecamuk tambah dahsyat. Dua batang pohon jati tumbang. Pertama patah kena hantaman lengan baju hitam, satunya lagi tersambar gulungan jala!

Sepuluh jurus lagi berlalu. Bagaimana pun hebatnya perlawanan Si Penjala Sakti tetap saja Ki Balangnipa lebih unggul. Apalagi Si Penjala Sakti tak dapat menutup jalan nafasnya terus menerus. Sesekali dia harus membuka pernafasan untuk menghirup udara baru. Baru sedikit saja dia membuka penciuman, bau apek yang menebar dari pakaian hitam Ki Balangnipa langsung merambas masuk rongga hidungnya. Kakek ini tersengal dan batuk-batuk. Gerakannya tiba-tiba saja menjadi lamban.

"Celaka!" keluh Si Penjala Sakti. Dia hantamkan jalanya ke arah leher lawan. Jala ini laksana seekor ular siap menggelung leher Ki Balangnipa.

Tapi Ki Balangnipa yang sudah melihat gerakan lamban serta air muka yang berubah dari lawannya, dengan cepat sebatkan pukulannya ke atas. Salah satu lengan pakaian serta merta menggelung pertengahan jala. Sekali dia menarik maka jala itu pun lepas. Lalu lengan pakaian yang lain seperti hidup, menggelepar ke arah dada si Penjala Sakti.

Buk!

Si Penjala Sakti mengeluh tinggi. Tubuhnya mencelat. Dadanya terasa seperti dihantam batu besar. Kedua matanya yang jereng berputar nanar. Terasa ada darah panas dan asin di mulutnya. Sesaat ketika tubuhnya hendak jatuh terhempas ke tanah, orang tua ini merasa kaget karena tubuhnya mengambang di udara, tertahan oleh sesuatu. Dia jatuh dalam pelukan seseorang. Sebelum dia sempat mengetahui siapa orang yang mendukungnya itu, satu suara bertanya.

"Kek, kau terluka dan merasa sakit?"

* * * * * * * *
SEPULUH

SI PENJALA SAKTI mendongak ke atas. Ketika dia melihat wajah itu, dia pun menyeringai. Walau dadanya sakit bukan kepalang namun dia sempat tersenyum dan menjawab.

"Tidak, aku tidak apa apa….! Turunkan aku! Tak pantas sudah tua bangka begini digendong seperti anak kecil!"

Mahesa Kelud ikut tersenyum dan turunkan tubuh Si Penjala Sakti ke tanah. "Kek, siapa orang tua yang berkelahi setengah telanjang itu. Pakaiannya dikibar-kibar begitu rupa, apa dia tidak sadar bau apek?" berbisik-bisik Mahesa Kelud.

"Jangan anggap enteng iblis biang racun itu! Apa kau lupa. Dialah Ki Balangnipa, penimbul bencana di istana Sultan Banten. Itulah sebabnya kau kusuruh pergi ke Banten. Tak tahunya masih berkeliaran di tempat ini..."

"Apakah ini berarti aku telah menemui tugas yang harus kujalankan kek?"

Si Penjala Sakti mengangguk. "Hanya saja kau harus hati-hati Mahesa. Pakaian hitam si bangsat itu adalah senjata luar biasa. Bau apeknya bisa menyesakkan pernafasan dan sambaran anginnya melumpuhkan sekujur badan. Kalau kau menghadapinya, harus bertindak cepat. Kau punya dua senjata sakti. Pergunakan salah satunya."

Mahesa Kelud mengangguk, lalu maju dua langkah mendekati Ki Balangnipa. Melihat sikap pemuda ini yang jelas hendak ikut-ikutan cari perkara Ki Balangnipa segera membentak. Maksudnya hendak membuat lumer nyali orang.

"Apa maumu?! Minta digebuk?!"

Mahesa menjawab dengan balas bertanya, "Benar kau orangnya yang membuat kekacauan di istana Banten?"

"Pemuda bau kencur sepertimu tak layak menanyaiku!"

"Kalau pun kau tak mau mengaku, aku sudah tahu memang kau orangnya yang jadi biang keladi membunuh orang-orang yang tidak berdosa itu!"

Ki Balangnipa tertawa mendengar ucapan Mahesa itu. "Lagakmu seperti tuan besar yang hendak menghukum kacungmu saja!"

"Aku memang hendak menghukummu. Manusia sepertimu harus dibikin tobat seumur-umur!" jawab Mahesa pula.

Kini marahlah Ki Balangnipa. Dia mulai putar-putar baju hitamnya. Sekali gebuk saja pasti pemuda besar mulut ini akan roboh kelojotan, pikir Ki Belangnipa yang tidak memandang sebelah mata terhadap Mahesa. Padahal kalau saja dia mau memperhatikan bagaimana tadi Mahesa tiba-tiba muncul dan dengan sigap menangkap tubuh Si Penjala Sakti yang terpental, dia seharusnya dapat menilai kalau pemuda itu bukan serendah yang disangkanya. Pergelangan tangan Ki Balangnipa bergerak.

Wut! Baju hitam berputar setengah lingkaran. Bau apek menebar, menyambar ke arah muka Mahesa Kelud.

Wut! Bagian lengan pakaian menghantam ke tenggorokan pemuda itu, Mahesa mundur selangkah. Hantaman lengan pakaian tak sempat mengenai lehernya. Sebaliknya bau apek menembus pernafasannya dan sambaran angin pakaian yang aneh membuat persendian di tubuhnya seperti lunglai. Namun saat itu pula terjadilah satu keanehan. Dari pinggang kiri si pemuda, di mana terselip Keris Ular Emas merambas hawa hangat yang langsung menolak hawa busuk yang masuk lewat penciuman serta memusnahkan hawa jahat yang hendak melumpuhkan tubuhnya.

Plak!

Ujung leher pakaian hitam di tangan Ki Balangnipa menghantam dada Mahesa, tepat seperti tadi Si Penjala Sakti kena dilabrak. Mahesa terpental, jatuh duduk.

"Celaka'" keluh Si Penjala Sakti.

Tapi Mahesa cepat bangkit kembali. Membuat Ki Balangnipa terkejut. Si Penjala Sakti saja keluarkan darah dan terluka di dalam oleh hantaman pakaian saktinya. Apakah pemuda ini jauh lebih hebat dari kakek mata jereng itu?!

Sewaktu menerima pukulan baju hitam sakti itu tadi, Mahesa telah bentengi dadanya dengan aji karang sewu sehingga meskipun dorongan keras membuatnya jatuh duduk, namun tubuhnya luar dalam tidak cedera sama sekali. Sepasang mata Ki Balangnipa membeliak dan berapi-api. Seumur hidupnya tak pernah dia menemukan lawan yang bisa selamat dari hantaman baju hitamnya. 

Diselimuti rasa tak percaya bercampur marah kembali tokoh silat dari Gunung Gede itu menyerbu dengan baju saktinya. Angin menderu-deru laksana topan prahara. Daun-daun pohon jati rontok dan jatuh ke tanah. Debu pesir beterbangan. Batang-batang pohon jati yang sudah tua bergoyang-goyang. Kulit kayunya retak pecah-pecah. Si Penjala Sakti jejakkan ke dua kakinya kencang-kencang ke tanah agar tidak jatuh disambar angin dahsyat yang keluar dari baju hitam Ki Balangnipa. 

Empu Lodaya yang terkapar di tanah dan mengerang kesakitan karena sampai saat itu tak seorang pun yang datang menolong, kini terpaksa telungkupkan badan di tanah dan pejamkan kedua matanya agar tidak kemasukan debu dan pasir.

Mahesa sendiri merasakan tubuhnya bergetar keras hingga dia cepat-cepat kerahkan tenaga dalam sambil memasang kuda-kuda setengah berlutut. Ketika ujung lengan kanan baju di tangan lawan membeset ke arah kepalanya, pendekar ini cepat membungkuk. Tubuhnya miring ke belakang tapi kaki kanannya tiba-tiba menderu mencari sasaran di perut lawan. 

Ki Balangnipa berseru keras. Begitu serangannya gagal, ujung lengan baju yang satu lagi ganti menyambar, kini menghantam ke arah bahu kanan Mahesa Kelud. Tapi serangan ini pun gagal karena Mahesa saat itu sudah jatuhkan diri, berguling di tanah, sesaat bangkit berdiri dengan cepat dia dorongkan tangan kanannya ke depan.

Segulung angin bergulung menyapu ke arah Ki Balangnipa. Debu dan pasir kembali beterbangan menutupi pemandangan. Daun-daun pohon jati semakin banyak yang rontok berguguran. Inilah Pukulan "Menembus Ombak Membelah Gelombang" yang didapat Mahesa Kelud dari mendiang gurunya Embah Jagatnata alias Simo Gembong. Ki Balangnipa terkesiap ketika melihat datangnya gulungan angin deras itu.

"Pemuda tak dikenal ini, siapakah dia sebenarnya?!" membatin Ki Balangnipa. Meskipun kagum tapi juga jadi penasaran. Sambil melompat ke atas untuk menghindari sambaran angin pukulan lawan, dia kebutkan baju hitam di tangan kanannya.

Dess!

Angin dahsyat dari baju sakti saling bentrok dengan angin pukulan Mahesa Kelud. Bukit jati itu bergetar. Tanah di atas tempat beradunya dua kekuatan dahsyat muncrat mental ke atas. Di tanah itu kini kelihatan sebuah lobang yang cukup dalam. Si Penjala Sakti leletkan lidah. 

Mahesa Kelud tegak dengan sepasang lutut bergoyang keras sedang Ki Balangnipa berubah parasnya. Dia tak sempat berpikir lebih jauh karena saat itu tiba-tiba dilihatnya Mahesa Kelud melompat ke arahnya dengan kedua tangan terkembang ke samping, seperti seekor rajawali yang siap mencengkeram dan mematuk mangsanya!

Ki Balangnipa kebutkan baju hitamnya dalam gerakan aneh dan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang ada. Kini bukan debu dan pasir saja yang beterbangan, tanah pun ikut bermentalan ke udara. Dan selagi tubuh Mahesa melayang di udara Ki Balangnipa lemparkan senjata rahasianya. Lima bintang perak melesat ganas ke arah Mahesa Kelud.

"Pengecut curang!" teriak Si Penjala Sakti ketika sempat melihat apa yang dilakukan Ki Balangnipa. Dengan jalanya yang sudah rusak sembrawutan dia menghantam ke udara. Dua bintang perak mental. Tapi tiga lainnya terus menerjang Mahesa Kelud.

"Celaka!" seru Si Penjala Sakti. Dia tak berdaya lagi untuk menolong. Tetapi Mahesa Kelud memang tidak perlu pertolongan lebih lanjut. Selarik sinar merah berkiblat di udara dibarengi suara deru seperti tawon mengamuk. Terdengar tiga kali suara berdentringan. Tiga bintang perak senjata rahasia Ki Balangnipa mental dan hancur. Sinar merah menukik membelah udara.

Bret! Bret!

Baju hitam di tangan Ki Balangnipa kini berubah menjadi tiga potong. Dua potong jatuh ke tanah, sisanya yang sepotong lagi masih tergenggam di tangannya. Dengan muka pucat pasi Ki Balangnipa melompat mundur. Mulutnya tergagap ketika dia berkata, "Pe... pedang Dewa!" Rupanya Ki Balangnipa sudah mengetahui senjata apa yang ada di tangan lawannya.

"Jadi... kau muridnya... muridnya Suara Tanpa Rupa!" seru Ki Balangnipa.

Mahesa tak menjawab. Justru yang membuka mulut adalah Si Penjala Sakti. "Siapa pemuda itu adanya bukan urusanmu! Balangnipa, apapun kepandaianmu kau tak bakal dapat mengalahkannya! Menyerahlah! Jika kau bertobat siapa tahu Sultan mau memperingan hukuman atasmu!"

Ki Balangnipa meludah ke tanah. Meskipun tengkuknya memang bergeming dingin karena tahu kehebatan Pedang Dewa yang memancarkan sinar merah angker di tangan lawan, namun dia tidak bisa percaya akan kalah begitu saja di tangan pemuda tak bernama itu.

Menyerah sudah barang tentu tak bakal dilakukannya! Dia lebih baik bunuh diri dari pada diadili di Banten. Dia yakin tak ada keringanan hukuman baginya. Satu-satunya yang bakal menyambutnya di Banten jika dia sampai tertangkap hidup-hidup adalah tiang gantungan atau papan pemancungan!

Ki Balangnipa keluarkan bentakan garang. Kaki kanannya menderu ke perut Mahesa Kelud. Melihat lawan kini tidak memegang senjata apa-apa, jiwa ksatrianya membuat Mahesa segera memasukkan Pedang Dewa kembali ke sarungnya. Melihat hal ini diam-diam Ki Balangnipa merasa lega. Tapi dia kecele kalau merasa tanpa pedang sakti di tangan dia akan mudah merobohkan si pemuda.

Dia menggereng ketika tendangannya luput lalu berjingkrak ke udara. Tiba-tiba tubuh Ki Balangnipa tampak berputar seperti gasing. Tangan dan kakinya terkembang. Dua batang pohon yang kena hantaman kaki dan tangannya patah dan tumbang. Inilah jurus silat langka yang sangat berbahaya bernama "kitiran maut"!

Apa saja yang terkena sambaran kaki atau tangan akan terbabat putus atau dihantam hancur. Kitiran maut bukan saja merupakan jurus serangan yang dahsyat tapi sekaligus juga merupakan jurus bertahan yang kokoh.

Mahesa Kelud melompat mundur untuk meneliti gerakan serangan aneh ini lalu coba susupkan satu jotosan ke kepala Ki Balangnipa yang ikut berputar. Tapi pemuda ini cepat tarik pulang serangannya ketika salah satu kaki dan tangan lawan mendadak melesat ke arah tenggorokan dan selangkangannya. Selagi dia melompat untuk menghindari serangan susulan, tubuh Ki Balangnipa yang berputar itu cepat sekali melesat ke arahnya.

Dari tempatnya berdiri menyaksikan jalannya perkelahian Si Penjala Sakti geleng-geleng kepala. Dia tahu betul, itu adalah ilmu simpanan Ki Balangnipa yang terakhir. Meskipun dia tadinya yakin si orang tua tak bakal dapat mengalahkan pemuda itu, tapi kini hati kecilnya diliputi rasa was-was.

Ketika tubuh berputar datang mengejar Mahesa Kelud segera lafatkan aji karang sewu, dan salurkan tenaga dalamnya ke empat anggota badan yakni sepasang tangan dan kedua kaki. Sesaat lagi tubuh lawan datang menghantam Mahesa langsung menyongsong sambil susupkan jurus "menembus ombak membelah gelombang"

Buk! Buk!

Praak! Dua sosok tubuh saling beradu keras lalu sama-sama tarpental. Satu langsung terkapar tak berkutik lagi, satunya lagi masih bisa tegak walau terhuyung-huyung!

Mahesa tegak bersandar ke batang pohon jati sambil pegangi dadanya yang mendenyut sakit. Lututnya masih tergetar dan seperti ditusuk-tusuk. Ketika terjadi bentrokan tadi, tinju Ki Balangnipa manghantam dadanya sedang tendangan kaki mendarat di lututnya. Kalau saja dia tidak membentengi diri dengan aji karang sewu pasti dada dan tulang lututnya sudah remuk.

Pemuda ini atur jalan nafas dan peredaran darahnya. Dia maklum kalau dadanya sebelah dalam menderita cidera walau tak sampai membahayakan jiwanya. Beberapa langkah di hadapannya tubuh Ki Balangnipa terkapar di tanah tanpa nafas lagi. Kepalanya sebelah kiri remuk hancur akibat pukulan karang sewu yang dilepaskan Mahesa dengan tangan kanannya.

"Semua berakhir sudah! Semua berakhir sudah!" terdengar suara Si Penjala Sakti seraya melangkah mendekati Mahesa dan menepuk-nepuk bahu pemuda itu.

"Kakek, apakah ini berarti aku telah menjalankan tugas yang kau berikan dan membayar impas hutang piutang budi dan nyawa di antara kita?" tanya Mahesa Kelud.

Si kakek tertawa. "Tak ada hutang piutang!" katanya. "Menjadi kewajiban kita untuk menyingkirkan manusia-manusia jahat dan sesat seperti yang satu itu!"

"Kalau begitu aku tak perlu lagi pergi ke Banten," kata Mahesa karena sejak lama dia ingin segera pergi ke timur.

"Siapa bilang tidak perlu!" satu suara menyahuti. "Aduh, tolong aku.....!"

Mahesa dan Si Penjala Sakti baru ingat pada Empu Lodaya. Keduanya segera menolong orang tua itu. Sang empu memandang sejurus pada Mahesa. Sambil menyeka sudut bibirnya dia berkata,

"Anak muda, bukankah kau yang bernama Mahesa, yang dulu menjadi pembantu Ekawira, pernah ikut mengabdi pada kesultanan Banten...?"

Mahesa hanya mengangguk perlahan.

"Kau harus ikut aku ke Banten! Kau harus menghadap Sultan!"kata Empu Lodaya.

"Eh, kenapa begitu?" tanya Mahesa.

"Jangan banyak tanya! Apa kau tidak menyadari bahwa kau baru saja menyelamatkan kerajaan dari malapetaka besar yang disebabkan oleh manusia bernama Ki Balangnipa itu? Apa kau tidak tahu bahwa kau baru saja menyelamatkan enam nyawa dari orang-orang yang dikasihi Sultan?"

Mahesa angkat bahu. Empu Lodaya menarik bahu pakaian si pemuda. "Kau harus ke Banten menghadap Sultan! Aku percaya kau akan diangkatnya jadi Kepala Balatentara Banten."

Si Penjala Sakti tersenyum-senyum. "Wah, rejekimu besar nian Mahesa," katanya. Tapi dia sudah tahu apa bakal jawab pemuda itu.

"Orang tua, siapa pun kau adanya aku berterima kasih atas maksud baikmu membawaku ke Banten," kata Mahesa. "Hanya saja aku tidak ingin mendapatkan balas jasa apa-apa. Semua kulakukan karena kakekku ini!"

"Tidak bisa!" sahut Empu Lodaya. Pegangannya pada Mahesa semakin diperkencang.

"Kalau begitu maumu, baiklah. Mengingat kau terluka cukup parah, maka berangkatlah dulu naik kuda. Aku menyusul kemudian..." kata Mahesa pula.

"Aku akan mendampinginya sampai di pintu gerbang Kotaraja.'' berkata Si Penjala Sakti. Lalu kakek ini cepat-cepat menaikkan Empu Lodaya ke atas kuda. Keduanya meninggalkan tempat itu. Empu Lodaya sesekali menoleh ke belakang, ke arah Mahesa Kelud yang masih tegak di puncak bukit jati itu.

"Aku kawatir, dia tidak menepati janjinya," kata Empu Lodaya.

"Dia tak akan menyusul kita ke Banten..." Si Penjala Sakti menyeringai. "Kau tahu pasti hal itu sahabatku. Apa pun yang diberikan Sultan Banten padanya dia tak akan mau menerima. Pendekar sejati seperti dia tak pernah mengharapkan balas jasa. Bertindak tanpa pamrih…."

"Sayang.... sayang. Sultan dan rakyat Banten benar-benar berterima kasih padanya," ujar Empu Lodaya. Lalu menambahkan. "Kalau saja aku punya anak gadis. Pasti kujodohkan dengan pemuda itu. Dia sangat tampan. Ilmunya tinggi pula…"

Si Penjala Sakti tertawa mengekeh.

"Kenapa kau tertawa?!" tanya Empu Lodaya seraya pegangi pipinya yang mendenyut sakit.

"Mana mungkin kau punya anak gadis! Sampai setua ini kawin saja pun kau belum...!" sahut Si Penjala Sakti.

Kedua tua renta itu kemudian sama-sama tertawa terpingkal-pingkal.
                           
                       Kolam Iblis

Mayat Dalam Istana

Mahesa Kelud. Mayat Dalam Istana

MAYAT DALAM ISTANA


SATU

LANGKAH, REZEKI, JODOH DAN MAUT…
Itulah empat parkara yang tidak dapat ditentukan oleh manusia. Keempatnya berada dalam kuasa dan kehendak Yang Maha Kuasa. Kekuasaan dan kehendak itulah yang menjadi dasar dari jalannya cerita, menyangkut pendekar sakti mandraguna Mahesa Kelud dan istrinya Wulansari.

Puncak Gunung Muria
Pagi itu langit tampak mendung. Angin bertiup kencang. Supitmantil berdiri di ambang pintu rumah kayu, memperhatikan Wulansari yang sejak lebih dua bulan lalu jadi istrinya berkemas-kemas. Hatinya gembira karena akhirnya hari itu Wulansari bersedia juga meninggalkan tempat kediamannya itu. Selama ini Supitmantil selalu merasa kawatir kalau-kalau Mahesa Kelud tiba-tiba muncul.

"Kita berangkat sekarang Wulan?" tanya Supitmantil.

Wulansari mengangguk. Dibetulkannya letak Pedang Dewi yang tersisip di balik punggung. Walaupun kini sudah lebih dari dua bulan dia menjadi isteri lelaki itu, namun bayangan Mahesa Kelud, suaminya yang pertama yang disangkanya benar-benar sudah mati tidak dapat pupus dari ingatannya. Dia merasa bersyukur bahwa Supitmantil ternyata seorang suami yang sangat baik, lemah lembut tutur cakapnya hingga keperihan hati akibat kehilangan Mahesa Kelud cukup terhibur meskipun dia sadar cintanya terhadap Supitmantil tidak sebesar cintanya terhadap Mahesa.

"Hai! Mendung sekali cuaca hari ini. Dan angin begini kencang. Sebentar lagi pasti turun hujan!" seru Wulansari ketika dia sampai di beranda rumah "Bagaimana kalau kita tunggu biar hujan turun lebih dulu. Begitu berhenti baru kita berangkat."

Supitmantil yang sudah tidak sabar dan ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu merangkul bahu Wulansari seraya memandang ke langit lalu berkata, "Cuaca memang agak buruk. Tapi hujan tak segera akan turun. Paling cepat setelah kita sampai di kaki gunung. Sebaiknya kita berangkat sekarang saja Wulan."

Wulansari akhirnya mengikuti juga kemauan suaminya. Untuk terakhir kali dia memandangi rumah kayu di puncak Muria itu. Hatinya terasa pilu. Dia akan meninggalkan rumah penuh kenangan. Entah kapan akan kembali lagi ke situ. Kedua matanya berkaca-kaca.

"Mari Wulan," bisik Supitmantil.

Sambil berpegangan tangan kedua orang itu menuruni serambi rumah, melangkah ke ujung kiri halaman di mana tertambat dua ekor kuda. Ketika Supitmantil hendak membantu Wulansari naik ke atas kuda, tiba-tiba terdengar satu seruan yang luar biasa mengejutkan baik Wulansari apa lagi bagi Supitmantil. Muka pemuda ini berubah sepucat kain kafan!

"Wulan! Aku datang!"

Sebelum gema saruan itu lenyap, sesosok bayangan berkelebat. Di lain kejap Mahesa Kelud tampak tegak enam langkah di depan kedua orang itu, menatap dengan pandangan mata aneh, penuh tanda tanya.

"Mahesa! Kau...!" Wulansari terpekik. Jelas ada kegembiraan pada wajahnya namun lebih banyak terlihat bayangan ketidakpercayaan akan pandangan matanya sendiri!

"Mahesa! Betul kau ini yang datang...?!"

"Wulan... Ada apa? Apakah matamu tidak melihat hingga tidak mengenali diriku lagi?" tanya Mahesa tanpa bergerak dari tempatnya. Setelah berbulan-bulan tidak berjumpa dan penuh kerinduan tentu saja saat itu ingin dia memeluk istrinya. Tapi entah mengapa dia tetap diam ditempatnya. Ada sesuatu kelainan dirasakannya di puncak gunung Muria itu.

"Aku tidak buta. Aku dapat melihatmu dangan jelas Mahesa. Tapi... Tentu Tuhan telah menyelamatkanmu dari malapetaka itu!"

Wulansari sandiri ingin lari menubruk Mahesa. Namun detik itu pula dia sadar akan keadaan dirinya yang telah menjadi istri Supitmantil. Parempuan ini merasakan tubuhnya berguncang, dadanya bergetar. Jalan nafasnya menjadi sesak. "Ya Tuhan! Bagaimana semua ini bisa terjadi...?"

Meskipun tambah heran melihat sikap dan mendengar ucapan istrinya namun Mahesa berkata: "Betul Wulan. Tuhan telah menyelamatkan sewaktu terpental masuk jurang batu. Seorang kakek sakti menolongku. Bagaimana kau bisa tahu kalau aku selamat dari malapetaka masuk jurang batu itu...?"

"Jurang batu...?" Wulansari mengulang heran.

"Ya, jurang batu!" sahut Mahesa. "Bukankah itu malapetaka yang kau maksudkan?" 

Mahesa berpaling sedikit ke arah Supitmantil. "Kulihat ada sahabatku Supitmantil di sini. Dan kalian berdua seperti bersiap-siap hendak meninggalkan tempat ini...."

Di atas mereka langit tambah mendung. Udara tambah gelap. Angin bertiup kencang menimbulkan suara bersiuran. Di kejauhan kilat menyambar. Rambut Mahesa berkibar-kibar ditiup angin. Mendadak saja dia teringat mimpinya waktu di goa dulu. Mimpi rembulan disambar petir! Guntur menggelegar menegakkan bulu roma. Puncak gunung Muria bergetar. Tapi lebih hebat lagi getaran yang ada di dada ketiga orang itu!

"Mahesa! Ya Tuhan… Kalau saja aku tahu kau masih hidup!" Wulansari menjerit setengah meratap sedang kedua matanya telah basah oleh air mata. "Bagaimana… bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi....?"

"Memangnya siapa yang mengatakan aku sudah mati Wulan?" tanya Mahesa. Ketika Wulansari tak menjawab Mahesa membentak. "Katakan! Apa arti semua ini!" Lalu dia maju mendekati Wulansari. Tapi baru satu langkah kakinya tertahan seperti dipantek ke tanah ketika mendengar keterangan Wulansari.

"Menurut Supit kau tewas dalam kecelakaan di tengah laut. Jenazahmu tak pernah ditemukan. Dia... dia...."

Wulansari berpaling kearah Supitmantil dangan mata berapi-api. "Dia yang mengatakan semua itu. Lalu dia meminta aku jadi istrinya. Karena tak ada harapan lagi bahwa kau masih hidup aku.... aku..."

"Jadi saat ini sebenarnya kau telah jadi istrinya?!" Suara Mahesa bergetar. Dadanya terasa panas seperti mau meledak. Wulansari tak bisa menjawab. Tubuhnya terasa lunglai dan meluncur ke bawah, jatuh berlutut. "Jadi, jelas dia telah menyusun cerita dusta!" Rahang Mahesa Kelud menggembung. "Aku menyesalkan kau begitu mudah percaya dan tidak menyelidik…" Dengan mata membeliak garang dan pelipis bergerak-gerak Mahesa barpaling pada Supitmantil, "Manusia keparat! Ternyata kau hanya seekor srigala berbulu domba. Pengkhianat terkutuk! Kupatahkan batang lehermu!"

Mahesa melompat ke depan. Kedua tangannya terkembang. Dari mulutnya terdengar suara menggeram seperti seekor harimau yang hendak menerkam mangsanya.

"Tunggu dulu!" seru Supitmantil seraya berkelit menghindar. "Aku akan terangkan pada kalian...."

"Keparat! Manusia penipu! Biar roh busukmu yang memberi keterangan pada setan-setan neraka!" teriak Wulansari. Tubuhnya yang tadi berlutut tiba-tiba melompat sebat. Sinar merah berkiblat. Ternyata perempuan ini telah mencabut Pedang Dewi pemberian gurunya Suara Tanpa Rupa. Tetapi dia bukan menyerang kaearah Supitmantil, melainkan memapas serangan Mahesa Kelud!

"Bagus! Kau memang patut membela suamimu!" teriak Mahesa. Di samping marah hatinya juga hancur sekali melihat kenyataan ini.

"Aku tidak membela dajal busuk itu! Aku tak ingin kau membunuhnya! Dia harus mampus di tanganku!" balas teriak Wulansari. Namun ucapannya itu tidak dapat menyurutkan amarah dan sakit hati Mahesa Kelud.

Selagi Mahesa dan Wulansari terlibat dalam pertengkaran mulut itu Supitmantil yang sudah lumer nyalinya pergunakan kesempatan untuk melompat kepunggung salah seekor dari dua kuda yang ada di situ. Akan tetapi sebelum sempat membedal binatang itu, Wulansari sudah lebih dulu berkelebat dan kirimkan satu bacokan pedang sakti yang ganas. Supitmantil cepat melompat dari punggung kuda selamatkan diri.

Sesaat kemudian terdengar ringkik binatang itu ketika Pedang Dewi di tangan Wulansari membabat lehernya, membuat luka manganga yang amat besar. Darah menyembur. Kuda yang malang ini lari menghambur, namun ambruk tarsungkur ke tanah setelah lari beberepa belas tombak, meringkik keras untuk penghabisan kali sebelum terkapar tak bernafas lagi!

Saat itu hujan mulai turun. Petir menyambar berulangkali disusul gelegar guntur. Begitu meloncat dari kuda dan lolos dari sambaran pedang Wulansari, Supitmantil selamatkan diri ke balik sebatang pohon. Maksudnya hendak terus melarikan diri di bawah hujan lebat serta kabut yang menutup pemandangan. Tetapi dua sosok tubuh lebih cepat bergerak menghadang. Di sebelah kanan Mahesa Kelud, disebelah kiri Wulansari.

"Wulan! Kau sungguhan hendak membunuhku?" tanya Supitmantil dangan suara bergetar. Dalam ketakutan yang amat sangat dia seperti berusaha menaruh seberkas harapan. Tapi dia keliru.

"Keparat terkutuk sepertimu apakah masih pantas hidup di muka bumi ini?!"

"Siapapun diriku aku adalah suamimu! Kita kawin secara sah!"

"Suami jahanam! Kau berhasil memperistrikanku karena menipuku!" teriak Wulansari lalu siap untuk membantai dengan pedang saktinya.

Namun tubuhnya tersentak dan mukanya pucat ketika tiba-tiba Supitmantil berkata. "Kalau kau membunuhku, bagaimana dangan benih bayi yang kini kau kandung?! Apa kau ingin melahirkan seorang anak tanpa ayah? Anak yang ayahnya mati di tangan ibunya sendiri?!"

Wulansari merasakan tengkuknya sedingin es. Sebaliknya Mahesa Kelud merasakan dadanya menggemuruh seperti sebuah kepundan gunung api yang siap meledak memuntahkan cairan dan lumpur panas! Jelas rupanya kedua orang itu telah melangsungkan parkawinan secara sah. Bahkan Wulansari kini tengah hamil, mungkin sekitar satu atau dua bulan. Menghamili anak hasil hubungan perkawinannya dangan Supitmantil, sahabat yang telah mengkhianatinya secara terkutuk. 

Kalau tadi dalam kemarahannya Mahesa ingin sekali membunuh Supitmantil saat itu juga, kini dia jadi bingung sendiri. Supitmantil jelas telah melakukan dosa besar karena telah menipu Wulansari untuk dapat mengawini perempuan itu. Tetapi apakah Wulansari sendiri tidak terlepas dari kasalahan? Yaitu kurang periksa dan dalam waktu singkat mau saja menerima Supitmantil jadi suaminya.

Seolah-olah kasih sayang dan kecintaannya terhadap dirinya hanya selapis kabut yang segera lenyap begitu tertiup angin dan kini hanya tinggal kenangan belaka. Lalu siapa pula yang telah mengawinkan mereka dan di mana? Jika dia membunuh Supitmantil, tegakah dia melihat Wulansari hidup menjadi janda, memelihara seorang anak tanpa ayah?

Bagaimanapun besarnya amarah Mahesa Kelud terhadap Wulansari namun jauh di lubuk hatinya masih tersemat rasa cinta kasih terhadap parempuan itu meskipun kini mungkin hanya seperti sebuah pelita kehabisan minyak. Mahesa Kelud yang tertegun dalam gelegak amarah tapi kemudian menjadi bingung sendiri, baru sadar ketika didepannya terdengar raungan Supitmantil.

Di bawah hujan lebat tampak pakaian putihnya yang basah oleh air hujan kini juga basah oleh cairan merah. Darah! Sinar pedang di tangan Wulansari menyambar tiada henti. Supitmantil tak kuasa untuk melarikan diri bahkan sama sekali tidak mampu menghindar dari serangan ganas perempuan yang selama dua bulan menjadi istrinya itu. Luka besar menganga di sekujur tubuhnya. Ketika Wulansari yang seperti gila itu menusuk bahunya sebelah kiri Supitmantil terhuyung-huyung. Luka-luka yang dideritanya menimbulkan hawa panas di sekujur tubuhnya.

"Wulan.... Aku mohon jangan bunuh aku. Aku mohon Wulan..." pinta Supitmantil meratap.

Namun saat itu tak ada belas kasihan apalagi kasih sayang di hati Wulansari. Ratapan lelaki itu malah membakar amarahnya. Pedangnya membabat, membacok dan menusuk berulang kali. Dari mulutnya tiada henti terdengar pekikan mengerikan. Supitmantil yang menjadi bulan-bulanan serangan pedang akhirnya terkapar di tanah becek dalam keadaan menggidikkan.

Tubuhnya seperti dicincang. Beberapa bagian anggota lengan dan kakinya buntung putus. Mulutnya masih tampak bergerak, megap-megap berusaha bernafas dan tampak seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Bagian hitam bola matanya lenyap. Kedua mata itu kini membeliak putih memandang ke langit yang masih terus menumpahkan air hujan.

Tiba-tiba Wulansari keluarkan pekik keras, menembus deru angin dan hujan lebat. Mukanya tampak beringas dan sepasang matanya berputar ganas. Pedang Dewi yang masih digenggam di tangan kanan ditusukkan dalam-dalam ke leher Supitmantil hingga menembus sampai ke tanah.

Wulansari tak berusaha mencabut pedang merah itu, membiarkannya sengaja menancap terus di leher lelaki yang pernah menjadi suaminya, lelaki yang semula disangkanya benar-benar mengasihinya. Tetapi kemudian ternyata Srigala berbulu domba Yang telah menipu dan menghancurkan kehidupannya.

Ketika perempuan ini membalikkan tubuh, pandangannya beradu dangan Mahesa Kelud. Keberingasan pada wajahnya langsung mengendur. Ingin sekali dia berlari memeluk Mahesa dan menangis di dada lelaki itu. Tapi dia merasakan dirinya seperti seonggok sampah kotor yang tak layak melakukan hal itu. Maka di bawah hujan lebat Wulansari lari ke rumah, menjatuhkan diri di tangga serambi depan dan menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Mahesa Kelud termangu sesaat. Apakah dia akan mendatangi Wulansari. Atau... Ternyata Mahesa Kelud kemudian melangkah mendekati mayat Supitmantil. Dicabutnya pedang yang menancap di leher lalu ditendangnya mayat lelaki itu hingga mental jauh ke lereng gunung. Pedang Dewi yang berlumuran darah itu kemudian diletakkannya di tangga serambi, di samping Wulansari.

Setelah diam sejenak lelaki ini merasa tak ada hal lain yang bisa dilakukannya selain bertekad meninggalkan tempat itu membawa segala kesengsaraan dan kehancuran lahir batin. Sebenarnya untuk terakhir kali ingin dia mengatakan sesuatu pada Wulansari. Namun bibirnya terasa berat, lidahnya kelu dan tenggorokannya terasa kering.

Dia hanya bisa memandangi perempuan yang pernah sangat dikasihinya itu dengan perasaan pilu. Ada air mata membasahi kedua matanya. Sebelum airmata itu jatuh membasahi pipinya, Mahesa segera membalikkan diri hendak pergi. Justru pada saat itu dibawah deru hujan lebat dan tiupan angin keras tiba-tiba terdengar gelegar suara seseorang.

"Murid-muridku! Tabahkan hati kalian menghadapi cobaan yang sangat besar dan maha berat ini...!"

Perlahan-lahan Wulansari turunkan kedua tangannya yang menutupi muka dan memandang ke depan. Mahesa sendiri cepat membalik.

"Guru!" seru keduanya hampir bersamaan dan cepat menjura hormat.

Di halaman di seberang sana, di bawah hujan lebat tegak seorang lelaki sangat tua. Berambut putih laksana kapas. Mukanya meski tua tapi masih licin. Janggut dan kumisnya pun putih, juga kedua alis matanya. Di atas bahu kirinya kelihatan seekor anak rusa. Orang tua ini bukan lain adalah si Suara Tanpa Rupa. Guru yang telah mewariskan sepasang pedang sakti serta ilmu Pedang Dewa dari Delapan Penjuru Angin kepada Mahesa dan Wulansari.

"Kalian berdua dengarlah…" sang guru kembali berkata. "Jika ada manusia paling bersalah dalam persoalan kalian, orang itu adalah aku si tua bangka buruk ini. Mahesa... aku telah menikahkan istrimu dengan Supitmantil tanpa melakukan penyelidikan. Aku benar benar merasa bersalah...."

Terdengar ratap tangis Wulansari meninggi. Mahesa tegak terdiam, tak tahu apa yang hendak dikatakannya.

"Aku benar-benar bersalah. Bagaimana aku harus minta maaf…" terdengar kembali suara sang guru penuh penyesalan.

Akhirnya Mahesa Kelud membuka mulut juga, berkata, "Guru tak ada yang bersalah dalam hal ini. Mungkin semua ini sudah takdir dan kehendak. Tuhan... Kita manusia hanya menerima nasib."

Tangisan Wulansari terdengar semakin memilukan. "Tak lama setelah aku menikahkan mereka!" menyambung Suara Tanpa Rupa. "Ada timbul satu kecurigaan dalam hatiku. Namun karena ada satu pekerjaan mendesak yang harus aku rampungkan, baru saat ini aku bisa muncul di sini. Ternyata kedatanganku sudah sangat terlambat!"

Di bawah hujan lebat wajah orang tua yang kelimis itu tampak pucat penuh penyesalan. Anak rusa yang ada dipundaknya memandang sayu pada Mahesa Kelud seolah mengerti kehancuran hati dan kehancuran hidup yang dihadapi pemuda itu.

"Guru…" kata Mahesa pula. "Apapun yang telah terjadi saya tetap menghormatimu." Diusapnya mukanya yang basah oleh air hujan. "Izinkan saya pergi sekarang..."

"Tunggu! Jangan pergi dulu…!" seru Suara Tanpa Rupa ketika dilihatnya muridnya hendak memutar tubuh.

Saat itu Wulansari telah berdiri sambil memegang Pedang Dewi di tangan kanan dan sarungnya di tangan kiri. Dia melangkah ke hadapan Suara Tanpa Rupa seraya berkata, "Guru, saya merasa tidak layak lagi memegang senjata sakti ini. Diriku terlalu kotor. Biarlah pedang ini saya serahkan kembali padamu..."

Suara Tanpa Rupa menggeleng. "Tidak muridku," katanya. "Apa yang telah kuberikan padamu tetap menjadi milikmu. Masukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya. Mari kita bicara di dalam rumah…"

Kini Wulansari yang balas menggeleng. Dia mengatakan sesuatu tapi suaranya terbata-bata, tak jelas apa yang diucapkannya. Matanya sesaat memandang pada Mahesa. Hatinya perih hancur luluh. Apa yang tadi diucapkan Mahesa dan keinginan lelaki itu untuk pergi jelas memberi kenyataan padanya bahwa Mahesa tidak lagi mengharapkan dirinya. Lalu apakah lagi gunanya hidup ini dengan setumpuk dosa dan kesalahan tak berampun membungkus diri? Rasa malu dan putus asa membuat perempuan ini menjadi nekad.

Segala sesuatunya kemudian terjadi cepat sekali. Baik Mahesa maupun sang guru yang berada dekat dengan Wulansari tidak mampu mencegah ketika perempuan itu tiba-tiba sekali menusukkan pedang merah sakti ke dadanya.

"Wulan!" seru Mahesa dan cepat melompat ke depan. Suara Tanpa Rupa masih sempat memegang tangan muridnya. Namun kedua orang itu tetap saja terlambat. Ujung pedang telah lebih dulu menancap, menembus sampai setengah tubuh Wulansari.

Kedua matanya menatap sayu ke arah Mahesa. Ada sekelumit senyum disudut bibirnya. Lalu pandangan mata itu mulai berbinar-binar kuyu, perlahan-lahan mengelam. Ketika Mahesa mendukung tubuhnya ke dalam rumah, sepasang mata yang dulu indah menawan itu kini terkatup dan tak akan pernah lagi terbuka. Dari langit hujan turun semakin lebat, semakin deras. Seolah-olah turut meratapi apa yang terjadi di puncak gunung Muria itu.

* * * * * * * *

Satu pemandangan baru kini tampak di puncak gunung Muria. Yaitu kehadiran sebuah kuburan bertanah merah dibawah sebatang pohon rindang di rumah kayu. Saat itu menjelang tengah hari. Hujan telah lama berhenti tapi angin masih kencang dan udara masih terasa dingin. Mahesa tampak berlutut beberapa lamanya di kepala kuburan. Kemudian pemuda ini berdiri, berpaling pada orang tua yang tegak di kaki makam dan berkata,

"Guru sudah saatnya saya pergi sekarang…"

Suara Tanpa Rupa manarik nafas dalam dan mengangguk. "Jika kau hendak pergi baiklah Mahesa. Aku tak bisa melarang. Hanya kalau aku boleh bertanya ke manakah tujuanmu...?"

"Saya sendiri tidak tahu guru. Jadi tak dapat menjawab..." sahut si pemuda.

Suara Tanpa Rupa mengulurkan Pedang Dewi yang dipegangnya. "Ambillah senjata pasangan Pedang Dewi ini. Bawalah biar lengkap perbendaharaan senjata saktimu...,"

Gelengan kapala Mahesa Kelud membuat si orang tua tercengang. "Kau tak mau menerimanya Mahesa...?"

"Tarima kasih guru. Kau baik sekali. Bukan saya tak mau menerimanya, tapi tidak berani...."

"Kenapa tidak berani?"

"Membawa Pedang Dewa saja besar tantangannya bagi murid, apalagi membawa pasangannya sekaligus. Malah kalau guru tidak keberatan, murid ingin mengembalikan Pedang Dewa ini…" Mahesa bergerak hendak mengambil pedang sakti yang tersisip di balik punggungnya.

"Jangan kau lakukan itu Mahesa!" kata Suara Tanpa Rupa dengan keras dan jelas merasa tersinggung. Namun orang tua ini kemudian menyadari muridnya sampai bertindak begitu karena tekanan perasaan yang menggejolak tinggi hampir tak tertahankan. Maka orang tua ini pun kembali berkata dengan nada sabar.

"Muridku, aku mengerti perasaanmu saat ini. Mungkin mati pun kau mau. Namun hal ini mengingatkan aku pada seorang nenek sakti sahabatku di masa lalu. Namanya Kunti Kendil. Aku tak tahu di mana dia berada sekarang. Dia punya sebuah ujar-ujar yaitu: Jangan sampai perasaan mangalahkan pikiran. Kuharap hal itu tidak akan terjadi padamu. Karena jika manusia lebih banyak bertindak berdasarkan perasaan, bukan menurut pikiran, akan celakalah dia..."

"Murid akan perhatikan kata-katamu itu guru," sahut Mahesa. "Hanya saja memang saat ini saya merasa sangat terpukul. Sejak semula hidup ini penuh sengsara dan derita agaknya masih belum berakhir. Sejak eyang Jagatnata mengambil saya jadi murid sampai saat ini saya tak pernah lagi melihat orang tua. Lalu satu-satunya orang yang saya kasihi kini telah tiada. Bagaimana mungkin melupakan hal ini…?"

"Mahesa." kata Suara Tanpa Rupa pula. "Ingat ketika pertama kali kau memegang Pedang Dewa? Mula-mula kau merasakan aliran hawa panas menjalar ke seluruh tubuhmu. Lalu hawa panas sirna, berubah dengan aliran sejuk menyegarkan yang memberikan satu kekuatan tenaga dalam padamu. Aliran panas itu masuk ke tubuhmu untuk memusnahkan segala kekotoran jasmani dan rohani yang ada di situ. Setelah semua dimusnahkan dan dirimu menjadi kosong suci maka aliran sejuk yang masuk kemudian memberikan satu kekuatan lahir batin baru. Kekuatan yang berdasarkan amalan suci, berdasarkan jalan pikiran yang sehat, bukan berdasarkan panutan perasaan sesat. Karenanya selayaknya saat ini kau tidak harus menyesali diri sendiri, menyesali kehidupanmu, apalagi sampai menjadi putus asa. Apakah kau mendengar dan mengerti Mahesa?''

"Murid mendengar dan mengerti, guru."

"Bagus. Sekarang kau boleh pergi. Jika kau tak ingin membawa serta Pedang Dewi tak jadi apa. Senjata sakti ini akan kembali kubawa ka dalam goa. Mudah-mudahan suatu saat bisa kuserahkan pada seorang pengganti Wulansari agar dia dapat muncul lagi dalam rimba belantara persilatan menjalankan tugasnya membasmi kejahatan dan kesesatan."

Mahesa Kelud menjura hormat dalam-dalam, beberapa saat dia mengusap dan mencium rusa bernama Joko Cilik itu, lalu tinggalkan puncak gunung Muria.

Suara Tanpa Rupa menghela nafas panjang. "Saatnya kita juga pergi Joko," katanya pada anak rusa di pundaknya. Lalu orang tua ini pun tinggalkan tempat tersebut.

* * * * * * * *
DUA

SEPERTI biasanya malam menjelang pagi udara selalu terasa lebih dingin. Namun karena sore sebelumnya hujan turun dengan lebat maka sejak dini hari udara dingin terasa lebih mencucuk sampai ke tulang sumsum. Di bawah udara dingin begitu rupa dan kegelepan malam yang masih memekat sesosok bayangan berkelebat cepat menuju pusat kota di mana Istana Sultan Banten terletak. Karena orang ini berpakaian serba hitam, ditambah gerakannya serba luar biasa maka dia tak ubah seperti setan malam yang berkelebat, lenyap sebelum dapat terlihat jelas.

Dalam waktu singkat dia sudah berada di luar tembok istana yang berketinggian lebih dari empat meter dan ditancapi besi-besi runcing pada sebelah atasnya. Dengan satu lompatan luar biasa orang berpakaian hitam-hitam itu mudah saja melompati tembok istana. Seperti seekor burung alap-alap dia turun di bagian dalam istana, tepat di sebuah taman besar yang terletak di bagian belakang istana.

Dua orang penjaga yang bertugas terkantuk-kantuk di tempat itu tersentak kaget dan segera memburu dangan tombak di tangan. Tiga langkah dari hadapan mereka, tiba-tiba si penyusup lambaikan lengan kanan baju hitamnya. Selarik angin menerpa deras. Perajurit di sebelah kanan keluarkan keluhan pendek. Tubuhnya terhempas di belakang lalu roboh di halaman taman. 

Kawannya yang satu lagi angkat tombaknya tinggi-tinggi, siap untuk menghujamkan senjata ini ka arah orang-orang berpakaian serba hitam, tapi belum sempat bergerak lebih jauh kembali si baju hitam lambaikan lengan pakaiannya. Hal yang sama terjadi. Prajurit kedua mencelat, roboh pingsan dekat bangku batu. Dengan mudah, tanpa banyak halangan lagi si penyusup bergerak ke ujung kiri halaman belakang di mana terletak sebuah bangunan besar dan bagus. 

Di sini terdapat beberapa kamar besar tempat ketiduran istri-istri Sultan. Masing-masing kamar tidak ubahnya seperti sebuah rumah kecil saja karena dilengkapi dengan ruang tamu dan ruang keluarga yang besar. Di tangga bangunan besar yang tampaknya sepi tiba-tiba saja orang berpakaian serba hitam itu dapatkan dirinya sudah dikurung oleh empat orang pengawal bersenjata golok. Salah seorang pengawal membentak.

"Maling tua dari mana yang malam-malam begini berani masuk istana Banten?!"

Orang yang dibentak menyeringai. Dia ternyata memang seorang tua bermata sangat cekung, berambut panjang hitam dikuncir. Tiba-tiba orang ini mambuat gerakan aneh dan luar biasa cepatnya. Dua pengawal di sebelah depan salah satu di antaranya yang tadi membentak langsung roboh begitu dada masing-masing dilabrak jotosan kaki kanan orang itu!

Melihat ini pengawal yang dua lagi tanpa banyak cerita segera bacokkan goloknya. Namun meraka pun menerima nasib sama. Dengan mudah orang tua berpakaian serba hitam itu tundukkan tubuh mengelakkan sambaran golok. Di lain saat jotosan kirinya menghantam perut pengawal sebelah kiri hingga terpuntir dan terguling pingsan.

Pengawal terakhir kena dicekal lengannya yang memegang golok. Sekali banting saja pengawal ini tersungkur ke tanah. Lehernya patah. Nyawanya lepas! Sesaat orang berpakaian hitam itu memandang berkeliling. Merasakan segala sesuatunya aman maka dia pun berkelebat menuju pintu depan bangunan besar.

* * * * * * * *

Hari masih gelap dan pagi belum datang ketika seorang perajurit memacu kudanya menuju gudang besar kediaman Patih Sumapraja. Sang patih yang sedang lelap tidur segera dibangunkan dan langsung menemui prajurit itu. Atas perintah Sultan dia diminta segara menghadap.

"Apa yang terjadi?" tanya Sumapraja.

"Mohon dimaafkan, saya tak boleh mengatakan apa-apa. Hanya diperintah agar patih segera datang ke istana…." jawab perajurit itu lalu menjura dan cepat-cepat pergi.

Penuh rasa heran patih Sumapraja segera berganti pakaian. "Apakah Sultan gering…?" pikir patih berusia setengah abad ini. Ketika dia sampai di istana bersama pengiringnya didapatinya puluhan perajurit berjaga-jaga di luar dan di dalam istana. Dia diantar ke sebuah ruangan di bagian belakang istana di mana telah duduk menunggu Sultan Hasanuddin.

Selesai mengatur sembah Sumapraja segera bertanya mengapa Sultan memanggilnya. Dilihatnya keadaan dalam istana tidak seperti biasa. Dua orang istri Sultan duduk di sebuah kursi panjang sedang di lain sudut dilihatnya beberapa pelayan perempuan yang biasa mengurusi keperluan permaisuri dan istri-istri Sultan duduk di lantai, bersimpuh sambil terisak-isak.

Sultan Hasanuddin tidak menjawab pertanyaan patih Sumapraja. Dia tegak dari duduknya lalu memegang bahu sang patih dan mengajaknya melangkah menuju rumah besar tempat kediaman para istrinya. Mereka langsung masuk ke sebuah kamar. Di situ tampak para pengawal memenuhi ruangan dengan senjata terhunus.

Di dalam kamar, di atas ranjang besar dan bagus terbaring tubuh seorang perempuan muda berparas cantik yang segera dikenali oleh patih Sumapraja sebagai Dewi Kemulansari, istri termuda Sultan. Sepintas tampaknya perempuan ini seperti tidur nyenyak.

Namun setelah lebih diperhatikan patih Sumapraja segera melihat bahwa ada tanda merah kebiruan pada leher istri ketiga Sultan itu. Bekas cekikan ganas. Dari seorang pengurus istana Sumapraja juga mendapat laporan bahwa enam orang pengawal istana ditemui pingsan, satu di antaranya malah telah menemui ajal.

Meskipun dia dihadapi dengan laporan dan kenyataan namun masih kabur bagi sang patih untuk menduga apa yang sebenarnya telah terjadi, sampai pada saat Sultan Hasanuddin membawanya ke sebuah ruangan pertemuan. Di situ telah duduk menunggu beberapa orang petinggi kerajaan. Di ruangan ini Sultan menyerahkan sehelai surat pada patih Sumapraja seraya berkata,

"Surat itu ditemui di atas tempat tidur Kemulansari. Kau bacalah paman patih." 

Sumapraja mengambil surat itu, membuka lipatannya dan membaca isinya.

Sultan Hasanuddin,
Sumpah bukannya sumpah kalau tidak menjadi kenyataan.
Sepuluh orang yang sangat kau kasihi dalam
hidupmu akan menemui ajal satu demi satu. Semua itu untuk membalas sakit hati kematian murid-muridku.
Hari ini korban pertama menemui kematiannya.
Dalam waktu dekat akan menyusul korban kedua!

Surat itu tidak ada tanda tangan ataupun nama pengirimnya. Patih Sumapraja memandang berkeliling lalu menatap langit-langit ruang pertemuan seperti merenung.

"Paman patih bisa menduga siapa penulis sekaligus pembunuh Kemulansari...?" bertanya Sultan.

"Bunyi surat ini mengingatkan saya pada kutukan seorang tokoh silat Pajajaran pada peristiwa beberapa waktu lalu Ki Balangnipa...!"

"Betul!" kata Sultan pula. "Aku yakin memang dia orangnya. Dua tahun lebih telah berlalu. Segala sesuatunya aman tenteram di dalam dan di luar istana walau sampai saat ini kita masih belum memiliki Kepala Balatentara dan Kepala Pengawal Istana. Tahu-tahu sumpah orang itu benar-benar dijalankannya...."

Pikiran Sultan dan sang patih teringat kambali pada peristiwa dua tahun yang silam. Waktu itu dalam sebuah sayembara mencari orang yang dapat dijadikan Kepala Balatentara Karajaan telah keluar sebagai pemenang seorang pemuda bernama Tirta. Sesuai dengan jabatannya maka dia diberi gelar Raden Mas. Setelah menduduki jabatan tarsebut ternyata barsama saudara seperguruannya bernama Jaka Luwak, Tirta melakukan pengkhianatan.

Dia bersekutu dengan kaki tangan Kerajaan Pajajaran untuk menghancurkan Banten di mana kelak dia dijadikan kedudukan sebagai patih Pajajaran dan sekaligus menjadi penguasa tertinggi di Banten. Namun sebelum maksud busuknya itu kesampaian, rahasia keburu bocor dan diketahui oleh Raden Mas Ekawira. Kepala Pengawal Istana Banten.

Celakanya Tirta dapat memutar balik kenyataan dan berhasil memfitnah Ekawira dengan mengatakan bahwa sebenarnya Ekawiralah yang diam-diam telah bersekutu dengan Pajajaran. Kepada Sultan, Tirta memperlihatkan sepucuk surat dari raja Pajajaran yang ditujukan pada Ekawira, padahal surat ini adalah surat palsu buatan Tirta sendiri. Akibatnya Ekawira ditangkap dan dipenjarakan.

Tapi dengan pertolongan Mahesa Kelud yang menjadi pembantu kepercayaannya Ekawira kemudian berhasil melarikan diri. Dalam pelarian, Kepala Pengawal Istana ini berhasil mencari tahu siapa sebenarnya ular kepala dua yang telah mengkhianati Banten. Dari keterangan seorang mata-mata Pajajaran yang berhasil ditangkap dan dibawa ke hadapan Sultan diketahuilah bahwa memang Raden Mas Tirta serta kakaknya seperguruannya Jaka Luwak yang hendak merebut kekuasaan di Banten dengan jalan bersekutu dengan Pajajaran.

Raden Mas Tirta terbunuh dalam suatu rimba belantara. Menemui ajal di tangan Resi Mintaraya, guru dari seorang pemuda yang bernama Unang Gondola yang sebenarnya berpeluang untuk jadi Kepala Balatentara Banten sebelum Tirta muncul dangan tiba-tiba dan mengalahkannya dalam sayembara yang sebenarnya talah ditutup. Jaka Luwak, saudara seperguruannya berhasil ditawan oleh Mahesa Kelud lalu dibawa ke Banten. 

Namun sebelum dia sempat memberi keterangan apapun pada Sultan, Ki Balangnipa muncul dan membunuh muridnya sendiri untuk menutup rahasia. Di saat itu pula Ki Balangnipa mengeluarkan sumpahnya terhadap Sultan. Yakni dia akan membunuh sepuluh orang yang paling di kasihi Sultan sebagai akibat kematian kedua orang muridnya. Resi Mintaraya sendiri kemudian juga menemui kematiannya di tangan Ki Balangnipa setelah terlibat dalam perkelahian puluhan jurus.

Sementara Ekawira yang tadinya memegang jebatan Kepala Pengawal Istana meninggalkan jabatannya meskipun Sultan telah menawarkan jabatan baru yang lebih tinggi yaitu Kepala Balatentara Kerajaan. Pemuda ini telah terlanjur sakit hati atas perlakuan Sultan. Bersama Mahesa Kelud dia meninggalkan Banten.

"Sultan...," kata patih Sumapraja, "kejadian ini mungkin salah satu kelalaian kita yang sampai saat ini masih belum mendapatkan seorang yang pantas untuk jabatan Kepala Pengawal Istana dan Kepala Balatentara Kerajaan..."

"Mungkin." jawab Sultan perlahan, "tapi kita telah berusaha mencarinya. Hanya saja belum mendapatkan calon yang tepat. Apakah harus dengan jalan mengadakan sayembara seperti dua tahun lalu? Kau tahu sendiri hasilnya paman. Salah-salah kita bisa kemasukan pengkhianat lagi. Karena itulah jabatan tersebut selama ini terpaksa kau rangkap..."

Setelah diam sesaat Sultan kembali berkata "Kelalaian atau kekeliruan itu tidak saatnya kita bicarakan dalam sidang kilat ini paman patih. Kita semua di sini sudah tahu di mana tempat kediaman Ki Balangnipa. Kau boleh membawa ratusan pasukan. Naik ke puncak Gunung Gede. Cari dan dapatkan pembunuh itu. Aku ingin melihat tubuhnya digantung di alun-alun!"

"Perintah saya jalankan Sultan!" jawab patih Sumapraja seraya berdiri. Sebelum pergi dia bertanya, "Adakah hal lain yang ingin Sultan katakan sebagai petunjuk...?"

"Sebelum pergi minta beberapa orang pajabat kita untuk menghubungi tokoh silat. Dengan adanya kejadian ini kita memerlukan bantuan mereka. Para tokoh silat istana yang ada kurasa masih belum cukup…"

"Akan saya jalankan Sultan. Cuma harap Sultan maklum. Sejak perginya Ekawira entah mengapa para tokoh silat tampak seperti menjauhkan diri dari istana..."

Sultan jadi termenung beberapa lamanya. "Apa kau tak pernah mendengar lagi tentang Ekawira? Dan juga pemuda pembantunya yang berkepandaian tinggi itu. Siapa namanya...?"

"Mahesa Kelud," jawab sang patih. Lalu dia menggelengkan kepala. "Keduanya tak pernah terdengar lagi Sultan..."

Sultan Hasanuddin menarik nafas panjang. Setelah memberi beberapa petunjuk lagi terutama yang menyangkut keamanan lingkungan istana maka sidang darurat itupun dibubarkan. Hari itu Sultan kehilangan salah satu dari orang-orang yang dikasihinya. Masih sembilan lagi akan menyusul.

* * * * * * * *
TIGA

SESAMPAI di kaki barat gunung Muria Mahesa Kelud seolah-olah menemui jalan yang buntu, tak tahu lagi dia akan menuju ke mana. Dirinya terasa kosong. Pendekar malang ini akhirnya menundukkan diri di bawah sebatang pohon waru. Apa yang akan dilakukannya dan ke mana dia harus pergi? 

Semula terlintas dalam pikirannya untuk pulang saja ke kampung halamannya di kampung Sariwangi, sebelah timur Kali Brantas. Tetapi sesampai di sana apa yang akan diperbuatnya? Kedua orang tuanya sudah tak ada lagi. Mati dibunuh Simo Gembong yang juga adalah gurunya sendiri. Sanak saudara dia pun tidak punya.

Saat itu baru disadarinya kalau dirinya sebatang kara di dunia ini. Dapatkah dia melupakan masa lalunya yang serba pahit dan getir itu? Sekilas timbul keinginannya untuk memencilkan diri di satu tempat sunyi dan jadi pertapa. Namun kemudian dia tertawa sendiri. Orang semuda dia mana mungkin tabah menjadi pertapa.

Mahesa tak sadar entah berapa lama dia merenung-renung di kaki gunung ini sementara sinar sang surya tampak mulai suram tanda hari sudah sore menjelang senja. Perlahan-lahan Mahesa Kelud berdiri dari duduknya. Tubuhnya terasa letih. Tapi keletihan batin terasa lebih menikam dari keletihan aurat.

Sesaat ketika dia hendak melangkah pergi di atas pohon di depannya dilihatnya sepasang kera coklat berlari-larian, melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lainnya. Kera betina tampak melompat-lompat sambil mendukung seekor anaknya yang mungil dan tak henti-hentinya mengeluarkan suara hiruk pikuk.

Kera yang jantan tegak di cabang pohon, memandang tepat-tepat ke arah Mahesa sambil menyeringai memperlihatkan gigi dan taringnya yang tajam. Dari tenggorokannya keluar suara seperti menggereng. Sikapnya jelas seperti bertindak waspada melindungi anak dan istrinya.

"Aku tak akan mengganggumu. Apalagi menyakitimu! Jangan kawatir. Aku bukan orang jahat!" kata Mahesa pada kera-kera itu. 

Sang anak kembali berteriak hiruk-pikuk. Induknya ikut-ikutan memekik sementara si kera jantan terus memandang beringas dan tak berkesiap pada Mahesa. Mahesa yang tidak perdulikan lagi binatang-binatang itu segera melangkah pergi. Namun tiba-tiba saja dia menghentikan langkahnya. Telinganya sebelah kiri mendadak mendenging.

Di saat itu juga teringatlah dia pada Kemaladewi, murid almarhum Dewa Tongkat yang telah melahirkan seorang bayi hasil hubungannya di masa lalu akibat ditipu diberi obat rangsangan oleh Sitaraga alias Iblis Buntung. Ah, di manakah perempuan yang malang itu kini berada dan bagaimana keadaannya. (Mengenai kejadian hubungan Mahesa dengan Kemaladewi silahkan baca: Pedang Sakti Keris Ular Emas dalam episode Noda Iblis

Lalu bagaimana pula dengan bayinya yang bernama Lutung Bawean, benarkah bayi itu hasil hubungannya dengan Mahesa, bukankah suaminya manusia bertubuh monyet yang dikenal dengan nama Lutung Gila? Lalu bagaimana pula dengan lutung raksasa yang disebut Raja Lutung itu? Langkah pendekar dari gunung Kelud ini jadi tertahan. Kembali dia duduk ke bawah pohon waru tadi sementara kera-kera di atas pohon sana telah lenyap masuk ke dalam rimba belantara.

Diam-diam Mahesa merasakan ada rasa bersalah dan berdosa dalam dirinya. Memang hubungan mesum itu terjadi antara dia dengan Kemaladewi adalah akibat kejahatan si Iblis Buntung yang sengaja memasukkan obat perangsang ke dalam minuman mereka. Yaitu ketika kedua muda-mudi itu tersesat ke dalam goa kediaman si nenek jahat. Setelah sadar apa yang terjadi Kemaladewi meminta agar Mahesa bersedia mengawininya. Sesungguhnya Kemaladewi memang sejak lama diam-diam mencintai pemuda itu.

Sebaliknya Mahesa yang sudah tertambat hatinya pada Wulansari tidak dapat memberi kata putus. Dia berjanji setelah menyelesaikan urusannya mencari pedang Samber Nyawa, dia akan kembali menemui gadis itu untuk membicarakan persoalan mereka. Namun sampai Kemaladewi melahirkan seorang anak lelaki dia tak pernah menemui perempuan itu. Malah dia dibingungkan dengan rasa curiga, apakah betul anak itu hasil hubungan mereka dulu, dan bukan dari perkawinan Kemaladewi dengan manusia aneh bernama Lutung Gila itu?

Mahesa ingat pada peristiwa sekitar dua tahun silam di Perguruan Ujung Kulon. Itulah saat terakhir kali dia melihat Kemaladewi. Dan pertemuan itu sangat mempengaruhi jiwa raganya. Kemaladewi yang dulu cantik jelita dilihatnya seperti seorang yang tidak waras lagi. Pakaian dan rambutnya kotor awut-awutan.

Saat itu Kemaladewi muncul sambil menggendong bayi. Ditemani oleh seorang lelaki berpakaian aneh, menyerupai bulu lutung menutupi sekujur tubuhnya. Selain aneh makhluk setengah manusia setengah lutung itu jelas berotak miring. Dan yang mengerikannya dalam ketidakwarasan itu Lutung Gila ternyata memiliki ilmu silat hebat luar biasa yang didapatnya dari ayah angkatnya yakni Raja Lutung. Raja Lutung yang memiliki kepandaian sukar di gambarkan, sampai di perguruan Ujung Kulon lebih dahulu.

Ketika Kemaladewi dan Lutung Gila bersama anaknya, Lutung Bawean, sampai di situ, Raja Lutung telah membantai lebih dari setengah lusin anak murid perguruan. Kemaladewi kemudian mengangkat dirinya menjadi Ketua Perguruan Ujung Kulon, bersama Lutung Gila membunuh pula beberapa orang anggota perguruan. Angka kematian bertambah menjadi lebih dari selusin. Dan dari sekian banyaknya anak murid perguruan kini hanya tinggal empat orang yang masih hidup.

Keganasan Raja Lutung, Kemaladewi dan Lutung Gila bukan saja membuat geger dunia persilatan tetapi sekaligus membuat prihatin para tokoh silat. Mereka yang tidak bisa berpangku tangan segera mendatangi Ujung Kulon. Ada yang datang dengan cara memberi peringatan dan nasihat. Ada pula yang langsung menyerbu untuk melenyapkan ketiga mahluk itu. Namun mereka semua tidak pernah kembali. Tidak pernah meninggalkan Ujung Kulon hidup-hidup. Semua menemui kematian dengan cara amat mengenaskan!

Sampai pada suatu hari, muncullah seorang tua berusia lebih dari 70 tahun, berambut putih, dan suka sekali mengucapkan kata-kata "sompret" dalam setiap perkataannya. Orang tua ini bernama Lor Munding Saksana, guru dari Empu Sora yakni ketua perguruan yang talah dibunuh oleh Lutung Gila alias Jayengrana, muridnya sendiri! Lor Munding Saksana datang bersama Udayana, seorang murid perguruan yang memang diutus untuk mencari dan menemui kakek gurunya itu guna menyelamatkan perguruan. Begitu melihat kemunculan orang tua tak dikenalnya, Kemaladewi yang sedang mendukung Lutung Bawean segera membentak.

"Orang tua buruk, kau siapa?!"

Lor Munding Saksana mendongak ke langit, mengeluarkan suara tertawa panjang. Tangannya bergerak menjangkau mematahkan ujung ranting. Ketika itu di udara melayang seekor burung. Ranting yang di tangannya dilemparkan ke atas. Burung yang terbang di udara terdengar mencicit lalu menggelepar jatuh ke bawah.

Lor Munding Saksana ulurkan tangan kirinya menyambut burung yang jatuh, lalu kelihatan tubuhnya melayang ke atas pohon pendek dan sesaat kemudian dia sudah duduk di salah satu ranting pohon itu. Kedua kakinya digoyang-goyangkan seenaknya. Dia duduk sambil menyantap burung mentah hasil "tangkapannya" tadi!

Meski diketahui Kemaladewi seperti kurang waras ingatannya namun jelas dia menunjukkan rasa terkejut amat sangat ketika menyaksikan perbuatan orang tua itu. Dia masih mampu meniru perbuatan si kakek tak dikenalnya dalam melempar burung yang terbang di udara. Tapi untuk dapat duduk ongkang-ongkang kaki di atas ranting yang begitu kecil benar-benar tak mungkin dilakukannya! Lutung Gila sekalipun tak akan sanggup!

"Ahoi...! Kau terkejut ya?! Kau heran ya?! Sompret!"

Kemaladewi menjadi marah mendengar kata-kata orang tua itu. "Tua bangka gila! Kau siapa sebenarnya? Lekas jawab! Kalau tidak jangan menyesal...!"

"Hemm... ehmmmm..." Lor Munding Saksana mengunyah daging burung mentah dalam mulutnya sambil mengeluarkan suara bergumam. Beberapa kali terdengar ciplakannya. "Aih, wajahmu boleh juga sompret! Tapi coba... ehmmmm... kau kasih keterangan dulu siapa kau adanya. Aku yang sudah tua pasti tak akan menyesal bila kau beri tahu namamu, ahoi!"

Kemaladewi marahnya bukan main. Namun dia tidak berani bertindak kesusu. Dari gerak-gerik dan dari apa yang tadi diperlihatkan orang tua itu dia maklum tengah berhadapan dangan bukan sembarang orang. "Orang tua edan! Kalau kau mau tahu akulah Ketua Perguruan Ujung Kulon yang baru!"

"Oho...? Hemmm!" Si orang tua berhenti mengunyah. Dia menatap paras Kemaladewi sejurus lalu berpaling pada Udayana, anak murid perguruan yang tadi datang bersamanya. "Hai sompret! Apa betul dia Ketua Perguruan Silat Ujung Kulon?!"

"Tidak!" jawab Udayana cepat. "Perempuan ini pasti istri Lutung Gila. Dia pasti merampas kedudukan Ketua Perguruan dangan kekerasan dan membunuh saudara-saudaraku...!"

Kemaladewi berpaling pada Udayana lalu berkata, "Hemmm... jadi kau adalah salah seorang anak murid perguruan. Kalau begitu lekas kau berlutut di hadapan ketuamu yang baru!"

"Siapa sudi!" sahut Udayana.

"Tidak sudi berarti minta mampus!" Kemaladewi maju mendekati pemuda itu.

"Sompret! Tunggu dulu!" kata Lor Munding Saksana cepat. "Jika kau mengaku Ketua Perguruan maka kaulah yang harus berlutut di hadapanku! Ayo lekas lakukan sompret!"

Paras Kemaladewi jadi beringas ganas.

"Ahoi! Jangan marah. Lekas berlutut karena aku adalah kakek guru anak-anak murid Empu Sora! Ayo berlutut sompret!"

Bahwa orang tua di hadapannya itu mengaku kakek guru murid-murid perguruan sungguh mengejutkan Kemaladewi. Namun dia sama sekali tidak merasa takut.

"Sompret! Kenapa berdiri bengong?! Ayo berlutut!" bentak Lor Munding Saksana.

"Orang tua, kalau kau datang untuk mencari mampus turunlah dari ranting itu!" balas membentak Kemaladewi. Bayi yang ada dalam gendongannya diletakkannya di atas sebuah batu besar. Waktu meletakkan bayi itu tubuh Kemaladewi membungkuk. Lor Munding Saksana kelihatan menyeringai. Tulang burung yang ada di tangannya dilemparkannya dan "pluk" jatuh tepat di pantat Kemaladewi!

"Orang tua kurang ajar! Kau benar-benar sudah bosan hidup!"

Kemaladewi putar tubuhnya. Sambil berputar kaki kanannya menendang ke muka, tangan kiri ikut memukul ke depan. Dua rangkum angin dahsyat melesat menghantam Lor Munding Saksana. Ranting yang didudukinya hancur berantakan sampai ke cabang pohon. Daun-daun pohon berguguran. Akar pohon terbongkar dan sesaat kemudian pohon itu pun tumbang! Namun si orang tua sendiri tidak cidera barang sedikitpun!

Pada saat dirinya diserang dan ranting yang didudukinya hancur orang tua itu membuat gerakan berputar seperti seorang ahli akrobat. Dia turun ke tanah dengan kedua tangan lebih dulu sedang sepasang kakinya menyentak mengirimkan tendangan jarak jauh. Kemaladewi sangat tarkejut ketika dapatkan dirinya dihantam angin deras luar biasa. Secepat kilat dia selamatkan diri dengan jalan melompat ke samping.

"Krak!" Pohon besar di belakang perempuan jelita itu patah lalu tumbang bergemuruh. Di saat yang sama Lor Munding Saksana sudah berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang.

"Sompret! Apa kau masih belum mau berlutut? Masih belum mau minta ampun padaku, sompret?!" bentak si orang tua.

Rahang Kemaldawi menggembung tanda dia marah sekali. Parasnya mengelam merah. Kedua kakinya digerakkan cepat tapi seperti tidak beraturan. Kedua tangan kelihatan seolah tambah panjang, disentakkan kian kemari. Semua gerakan ini ternyata adalah serangan yang sangat berbahaya!

Lor Munding Saksana semula terheran-heran melihat serangan dengan gerakan aneh itu. Dia menggeser kuda-kuda ke samping, siap untuk menotok urat besar di sisi kiri Kemaladewi. Namun secara aneh kembali perempuan muda itu membuat gerakan tak terduga hingga totokan si orang tua tidak menemui sasaran.

Tiba-tiba sepasang tangan Kemaladewi tahu-tahu sudah mencengkeram muka dan dada kakek guru Perguruan Silat Ujung Kulon itu. Si kakek berseru keras. Dia melompat ke belakang untuk selamatkan diri dari serangan ganas lawan. Bersamaan dengan itu mulutnya tampak mengembung, lalu meniup ke muka. Angin deras berbau busuknya mayat menyembur ke wajah Kemaladewi, membuat dia terhuyung nanar. 

Seumur hidupnya tak pernah dia mencium bau busuk sehebat itu hingga jalan pernafasannya seperti tercekik. Belum sampat dia mengimbangi tubuh tahu-tahu satu jotosan keras menghantam pertengahan dadanya. Kemaladewi menjerit. Tubuhnya jatuh tersandar di atas batu besar di mana anaknya Lutung Bawean tadi dibaringkannya.

Susah payah Kemaladewi mencoba bangkit. Dadanya sakit dan sesak. Dia berusaha mengatur jalan nafas dan peredaran darah untuk mengurangi rasa sakit. Selama mendapat pelajaran ilmu silat dari Lutung Gila dan Raja Lutung baru hari itulah seorang lawan dapat menyentuh tubuh dan memukulnya demikian hebat!

Penuh gelegak amarah Kemaladewi cabut pedang hijau dari balik punggungnya. Senjata ini adalah milik Empu Sora, pedang pusaka tumbal pertanda bahwa siapa yang memegang atau memiliki senjata tersebut maka dia adalah Ketua Perguruan Silat Ujung Kulon.

"Kau lihat pedang ini anjing tua?!"

"Eit, aku toh tidak buta sompret!"

"Bagus! Kalau begitu bersiaplah untuk mampus!"

Dengan pedang di tangan, dangan menggunakan jurus-jurus ilmu silat yang dipelajarinya dari Raja Lutung maka mengamuklah Kemaladewi dangan segala kehebatannya. Tetapi orang yang diserang hanya ganda tertawa. Padahal jika orang lain yang dihadapi Kemaladewi saat itu mungkin tubuhnya telah terkutung-kutung paling tidak jadi tiga bagian!

"Pedang pusaka sakti itu tak pantas berada di tangan manusia setengah iblis macammu sompret! Lekas berikan padaku!"

Habis membentak begitu si orang tua maju ke muka ulurkan tangan kanan menyongsong serangan Kemaladewi. Hal ini membuat Kemaladewi menjadi semakin naik pitam melihat serangannya dipapasi. Karenanya selain menggempur dengan pedang, Kemala juga hantamkan kaki kanannya. Gerakannya seperti tadi serba tak teratur dan aneh. Dalam keanehan itu terkandung bahaya ganas yakni maut!

"Serahkan pedang!"

Lor Munding Saksana berseru. Kemaladewi terpekik. Kagetnya bukan main. Bukan saja seluruh serangannya berhasil dielakkan lawan, tapi si orang tua malah berhasil merampas pedang hijau dari tangannya!
"Sompret! Bukankah tadi sudah kukatakan pedang pusaka ini tidak pantas berada di tanganmu?! Nah sompret, apa kau masih belum mau bertobat dan berlutut minta ampun?! Ayo berlutut somp….."

Buk!

Ucapan Lor Munding Saksana terputus. Tubuhnya terjajar ke kanan sampai dua tombak. Bahunya sakit bukan main. Tulang bahu itu serasa hancur! Siapakah yang telah menyerangnya dan memukul bahu kanannya dengan tiba-tiba? Barpaling ka samping kanan orang tua ini melihat sesosok tubuh seperti lutung berbulu hitam, namun berkepala manusia!

"Sompret! Kau pasti setan alasnya yang bernama Lutung Gila! Murid murtad tujuh turunan!" memaki si kakek. "Icuh! Biung! Sudah tua bangka begini rupa masih bermulut kotor! Biung. Apa kau tidak sadar kalau umur hanya tinggal sekejapan mata? Apa tidak tahu kalau liang kubur hanya tinggal sejengkal dari depan hidung?! Icuh…icuh!"

Inilah Lutung Gila yang mengaku dan menganggap diri sebagai suami Kemaladewi. Lor Munding Saksana marah bukan main. Bukan saja oleh rasa sakit akibat kena gebukan tadi, tetapi juga oleh ucapan Lutung Gila yang sengaja menghina dan mempermainkannya. 

Diputarnya pedang hijau di tangan kanan dengan sebat hingga senjata itu tak ubahnya seperti seekor ular panjang yang memancarkan sinar hijau kemilau, mengurung dan menyerang Lutung Gila serta Kemaladewi sekaligus! Demikianlah kejadiannya. Seorang tua renta berotak miring, bertempur melawan dua orang suami istri berotak tidak waras!

Sampai dua jurus di muka Lutung Gila dan Kemaladewi masih dapat mengimbangi lawan mereka bahkan ganti melancarkan serangan balasan. Namun memasuki jurus ketiga, keempat dan seterusnya keduanya mulai terdesak dan dibikin tak berdaya. Kemarahan Lor Munding Saksana sebenarnya lebih banyak tertumpah pada Lutung Gila alias Jayengrana yang sesungguhnya adalah cucu muridnya sendiri. 

Bukan saja karena Jayengrana seorang murid murtad yang telah membunuh guru dan saudara-saudaranya seperguruan tetapi juga adalah dia tadi yang menyerang dan memukul secara mendadak. Hampir seluruh serangan si kakek ditujukan pada Lutung Gila. Akibatnya Lutung Gila menjadi sibuk sekali. Betapapun lihaynya dia selama ini namun saat itu dia benar-benar ketemu batu! 

Dalam keadaan terdesak hebat dan kepepet tak berdaya akhirnya pedang pusaka Perguruan Silat Ujung Kulon mulai mencari sasaran bertubi-tubi di tubuhnya. Mula-mula dua tulang iganya terbabat putus. Lalu kulit dada robek besar sampai ke perut. Ususnya menjela-jela. Lutung Gila terhuyung megap-megap. Satu jeritan dahsyat keluar dari mulutnya. Setelah itu diapun roboh tak bergerak lagi!

"Keparat edan! Hari ini aku mengadu nyawa denganmu!" teriak Kemaladewi kalap. Dikeluarkannya tongkat rotan berkeluk pemberian gurunya dulu yakni Dewa Tongkat. Dengan senjata ini seperti kemasukan setan dia menyerbu si kakek. Udayana yang berdiri di kejauhan menyaksikan perkelahian itu diam-diam merasa lega. Jika kakek gurunya berhasil mengalahkan dan membutuh Lutung Gila, membunuh perempuan muda itu jelas akan lebih mudah.

"Perempuan sompret sontoloyo! Aku yang tua sudah berikan kesempatan bertobat dan berlutut minta ampun padamu! Tapi dasar sompret! Malah kau inginkan mampus! Nah mampuslah kau kini sompret!"

Pedang hijau di tangan Lor Munding Saksana membabat ke kiri, membalik ke kanan, memapas ke pinggang dan menusuk ke leher! Kemaladewi perlihatkan gerakan aneh untuk menghindarkan semua serangan itu. Kelihatannya dia akan berhasil. Namun apa lacur.

Serangan terakhir yakni tusukan pedang ternyata hanya tipuan lihay belaka. Karena sesaat kemudian dangan cepat pedang hijau ini membalik ke kiri lalu kembali membabat ke kanan, memapas ke pinggang untuk kemudian menusuk ke perut. Dan tutukan ini tidak dapat dielakkan lagi oleh Kemaladewi!

"Raja Lutung! Tolong aku!" jerit Kemala.

Sedetik sabelum ujung pedang menembus perut Kemaladewi maka trang! Terdengar suara beradunya senjata. Bunga api berpijar. Pedang di tangan Lor Munding Saksana terangkat ke atas dan gompal bagian tajamnya! Merasakan tangannya tergetar hebat dan kesemutan cepat-cepat orang tua ini melompat menjauh.

Si orang tua tarkejut ketika menyaksikan bahwa yang berdiri di hadapannya bukanlah seekor binatang yang dipanggil dengan sebutan Raja Lutung itu, melainkan seorang lelaki muda berparas cakap dengan potongan tubuh kakar berotot berpakaian serba putih! 

Di tangan pemuda ini ada sebilah pedang mustika yang memancarkan sinar terang merah, sinar yang membuat Lor Munding Saksana merasa kagum tetapi juga tergetar hatinya. Sinar merah pedang di tangan si pemuda membuat sinar hijau pedang di tangannya menjadi redup!

Jika orang tua itu terkejut maka Kemaladewi jauh lebih terkejut. Mata perempuan ini terbuka lebar-lebar. Mulutnya menganga, wajahnya menunjukkan ketidak-percayaan. Sesaat kemudian wajah itu tampak pucat pasi sedang sepasang matanya yang tadi beringas galak kini kelihatan berkaca-kaca.

"Mahesa..." ucap Kemaladewi antara terdengar dan tiada. "Kucari kau berbilang minggu bahkan berbilang bulan. Lebih delapan belas bulan telah berlalu, kau tak pernah kutemui. Kini kau datang. Kau selamatkan nyawaku setelah kau sia-siakan. Kakak... apakah kau datang untuk menepati janjimu dulu...." Air mata menggelinding ke pipi Kemaladewi.

Mahesa Kelud merasakan hatinya seperti disayat-sayat ketika mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang diucapkan dangan sangat perlahan, hampir berupa bisikan. Tetapi berdesing sampai ke telinga si pemuda!

"Manusia-manusia sompret!" terdengar bentakan Lor Munding Saksana. Dia memandang pada Kemaladewi lalu pada Mahesa. "Kalian berdua rupanya tengah main sandiwara ya? Gila! Pakai nangis segala! Dasar sompret! Ini bukan panggung! Kalian….."

Angin sedahsyat badai tiba-tiba menyambar dari belakang. Lor Munding Saksana terpental, hampir terjungkal kalau tidak lekas-lekas melompat ke samping. Dia cepat membalik ketika satu lengkingan sangat keras menggetarkan telinga mendebarkan dada terdengar menggeledek. Di hadapannya berdiri seekor lutung setinggi tiga meter, menyeringai memperlihatkan gigi-gigi yang besar serta taring yang panjang runcing!

"Lutung sompret! Menyerang dari belakang! Pasti kau yang dijuluki si Raja Lutung! Bagus! Berarti kau pun harus mampus menyusul muridmu! Dengan pedang hijau gompal Lor Munding Saksana menerjang binatang raksasa itu. Maka terjadilah perkelahian yang seru antara manusia berkepandaian tinggi dangan binatang yang juga memiliki ilmu luar biasa.

Tapi Kemaladewi tidak perhatikan perkelahian itu. Dia berpaling pada Mahesa dan memandang pada pemuda itu dengan mata basah. "Kakak... kau datang untuk menepati janjimu dulu? Benar?"

Kalau sebelumnya dendam Kemaladewi demikian hebat, berurat berakar terhadap Mahesa Kelud, kini sesudah berhadap-hadapan dangan lelaki itu hilang semua perasaan tersebut. Hilang lenyap tanpa bekas laksana setitik air jatuh di atas pedang pasir. Namun jawaban yang didengarnya dari Mahesa sungguh mengejutkan.

"Kemala... aku datang hanya untuk bertanya….."

"Untuk bertanya?!" mengulang Kemala. 

Mahesa mengangguk. Kening Kemaladewi mengernyit. Matanya menyipit. "Mengapa kau jadi sampai begini Kemala? Melakukan hal yang tidak dapat diterima oleh akal manusia sehat. Kau bunuh gurumu. Kau kawin dangan mahluk setengah manusia setengah lutung itu. Lalu ilmu kesaktian yang kau miliki kau pergunakan untuk membunuh tokoh-tokoh persilatan, merusak tempat kediaman dan Perguruan orang. Mengapa Kemala...?"

Perempuan itu merasakan tubuhnya lunglai. Tidak beda seperti seseorang yang dibanting dihenyakkan ke bumi. "Jadi itu rupanya maksud kedatanganmu Mahesa? Hanya untuk bertanya...?!"

"Dan juga untuk meminta agar kau menghentikan semua perbuatan ganas sesat itu!"

Kemala tampak diam sejurus. Lalu wajahnya yang tadi lembut kini berubah beringas, "Kau tanya mengapa? Baik! Aku akan jawab! Semua itu terjadi dan kulakukan karena kau! Karena kau seorang manusia yang tidak bertanggung jawab. Tidak bertanggung jawab atas apa yang telah kau lakukan! Kau lari dari tanggung jawabmu! Kau manusia paling pengecut di dunia ini! Manusia macammu harus dilenyapkan dari muka bumi agar tidak merusak gadis-gadis lainnya!"

Wajah Mahesa Kelud menjadi sangat merah dan kelam sampai ke telinga. Kata-kata yang diucapkan Kemaladewi kini bukan saja menyayat hatinya, tetapi juga membakar amarahnya. Selagi dia berusaha menahan hati di depannya dilihatnya Kemaladewi talah menyerbu dangan tongkat rotan berkeluk. Sebelumnya Mahesa telah pernah melihat ilmu tongkat yang menjadi andalan Kemala. Karenanya dia tak perlu merasa gentar.

Tetapi ketika tongkat itu berkiblat Mahesa menjadi kaget. Jurus silat yang dimainkan Kemala bukan jurus silat ajaran gurunya si Dewa Tongkat, tetapi satu jurus yang sangat aneh. Untung saja Mahesa sudah bersiap waspada hingga serangan maut yang mengarah batok kepalanya berhasil dielakkan. Namun begitu serangan pertama gagal, tongkat berkeluk itu dengan ganas membalik.

Kali ini ujungnya yang berkeluk seperti seekor ular berusaha menggelung batang leher Mahesa. Murid Embah Jagatnata dari gunung Kelud ini rundukkan kepala sambil pukulkan lengan kiri ke atas. Lengan dan tongkat beradu keras. Mahesa merasakan tangannya bergetar sedang Kemaladewi cepat melompat mundur ketika hantaman tangan Mahesa membuat tongkatnya lepas dan mental!

Bertambah pucatlah paras perempuan ini. Selagi dia menjadi murid Dewa Tongkat memang ilmunya berada di bawah Mahesa. Sesudah belajar dan mendapat ilmu tambahan yang aneh dari Lutung Gila dan Raja Lutung disangkanya akan mudah baginya untuk mangalahkan Mahesa, orang yang pernah sangat dicintainya namun kini sangat dibencinya. 

Tak di sangka Mahesa kini malah jauh lebih tinggi tingkat kepandaiannya. Dalam amarahnya Kemala memutuskan untuk kembali menyerbu dangan tangan kosong serta tendangan-tendangan dahsyat. Namun mendadak Kemala batalkan keputusan itu. Matanya berkilat-kilat memandang pedang merah di tangan Mahesa.

"Mahesa! Kau telah menghancurkan kehidupanku! Adalah lebih baik kau bunuh saja aku saat ini juga! Tusukkan pedang itu ke tubuhku biar aku mati! Biar lepas dari siksa dan derita batin! Bila aku sudah mati, kau bunuhlah anak di atas batu itu! Dia adalah anakku. Anakku dan anakmu juga! Hasil hubungan kita di goa batu dulu!"

Jika ada seekor singa atau harimau yang tiba-tiba menerkam di muka hidungnya saat itu, mungkin tidak sedemikianlah kegetnya Mahesa Kelud ketika mendengar apa yang diucapkan Kemala tadi. "Kemala! Kau... kau bilang apa?! Bayi itu... Anakku?!"

Mahesa barpaling ke batu besar di atas mana dilihatnya terbaring seorang bayi. Kulitnya masih merah tanda umurnya baru beberapa bulan saja. Mahesa melangkah menghampiri.

"Jangan dekat!" teriak Kemaladewi. "Bunuh aku, lalu bunuh bayi itu!"

Mahesa hentikan langkah. Lututnya goyah seperti mau lepas dari persendiannya. Kedua matanya memandang sayu pada Kemala namun dalam dadanya laksana ada bara api yang berkobar. "Adikku, kau tahu.... Peristiwa itu terjadi bukan mauku. Bukan pula karena kahendakmu. Semua terjadi di luar kesadaran kita. Kita telah ditipu oleh nenek jahat Iblis Buntung hingga teraniaya…"

"Aku tahu. Lebih dari tahu!" sahut Kemaladewi. "Meskipun begitu apa anak itu jadinya bukan anakmu?!"

"Bagaimana aku dapat memastikan Kemala. Karena kudengar bukankah kau kawin dengan Lutung Gila?!"

"Kami tidak kawin!" jawab Kemaledewi hampir berteriak. "Aku hanya menganggap dia sebagai suami dan dia menganggap aku sebagai istri! Kami tidak pernah satu ketiduran! Kami tidak pernah bercampur! Jangan coba berdalih Mahesa! Jangan mengambing hitamkan orang lain! Jangan kau coba-coba hendak mencuci tangan! Bayi itu adalah anakmu! Darah dagingmu! Kau dengar...?!"

"Kalau begitu serahkan dia padaku. Dan kau kembali ke jalan yang benar!" kata Mahesa pula. Kepalanya seperti dipentung-pentung ketika mandangar ucapan Kemaladewi tadi.

"Kau minta aku kembali ke jalan yang benar? Jalan yang benar bagaimana Mahesa? Macam yang telah kau perbuat terhadapku?! Tak ada tanggung jawab sama sekali?! Cis! Kau laki-laki pengecut! Dosamu terlalu besar! Tidak terampunkan! Kau lari.... Pengecut! Berani berbuat tak berani tanggung jawab!"

"Kemala...."

"Jangan sebut namaku!" potong Kemaladewi menghardik.

Mahesa terkesiap mendengar hardikan itu. "Kalau menurutmu dosaku tidak terampunkan dan jika kau katakan aku tidak bartanggung jawab, ada jalan yang sangat mudah bagimu. Ambil pedang ini! Kau pantas membunuhku!"

Habis berkata bagitu Mahesa Kelud mengangsurkan hulu pedang merah kepada Kemaladewi. Tapi perempuan ini tidak mau menyambutnya. Malah dia menyeringai sinis dan berkata,

"Tidak! Terlalu enak bagimu mati cara begitu! Kau dengar baik-baik! Kelak bayi itu, anakmu sendiri nanti di satu hari yang akan membunuhmu! Ingat itu! Anak sendiri yang akan membunuh ayahnya!"

Kemaladewi putar tubuhnya lalu lari ke arah batu besar. Lutung Bawean didukungnya. Dia berteriak pada Raja Lutung, "Raja Lutung! Mari kita tinggalkan tempat ini!"

Saat itu Raja Lutung tengah bertempur malawan Lor Munding Saksana dan berada di atas angin. Meskipun si kakek berhasil menghujani Raja Lutung dengan pukulan dan tendangan keras namun semua itu seperti tidak di rasakan oleh binatang raksasa itu.

Lama-lama Lor Munding Saksana menjadi terdesak dan terancam nyawanya. Untunglah Raja Lutung patuh pada Kemaladewi. Begitu mendengar kata-kata perempuan itu binatang ini segera tinggalkan si kakek dan lari menyusul Kemaladewi. Mahesa hendak mengejar namun kemudian membatalkan niatnya.

* * * * * * * *

Mahesa tersadar dari kenangan masa lalu itu ketika nyamuk-nyamuk hutan mulai menyerangnya dan didapatinya hari telah malam. Pendekar ini menarik nafas dalam. Dia merasa seperti tak ada gunanya lagi hidup ini. Dia berpikir-pikir mungkinkah semua derita sengsara dan cobaan besar yang dialaminya saat itu merupakan sebagian dari kutuk sumpah Kemaladewi, merupakan pembalasan dan dosa besarnya yang telah menyia-nyiakan perempuan itu?

"Anak itu..." desis Mahesa. "Saat ini tentu dia sudah berumur dua tahun.... Aku harus mencari Kemala dan minta maaf. Aku harus memelihara anak itu.... Ya Tuhan... tunjukkan aku jalanMu yang lurus agar aku dapat menghadapi semua cobaan ini!" Perlahan-lahan Mahesa berdiri lalu tinggalkan tempat itu.

* * * * * * * *
EMPAT

BEBERAPA hari setelah lewat masa perkabungan, tiga ratus perajurit Banten barangkat menuju Gunung Gede, di pimpin langsung oleh Patih Sumapraja. Setelah menempuh jalan yang sulit melewati rimba belantara, menyeberangi sungai dan mendaki bebukitan, dua minggu kemudian pasukan ini sampai di kaki gunung yang dituju.

Di sini rombongan dipecah tiga. Seratus prajurit dipimpin oleh sang patih sendiri. Seratus lainnya dipimpin oleh Tampak Ungu, seorang perajurit kepala bertubuh tinggi hampir dua meter dan memiliki kepandaian silat cukup tinggi meskipun hanya silat luar tanpa "isi". Rombongan terakhir yang juga berjumlah seratus perajurit dikepalai oleh Purajaya, keponakan Patih Sumapraja. 

Meskipun baru berusia duapuluh dua tahun tetapi pemuda ini memiliki kepandaian silat yang cukup dapat diandalkan serta ahli memainkan tombak pendek bermata tiga. Menjelang tengah hari rombongan yang terbagi tiga itu mulai mendaki gunung dari tiga jurusan berbeda. Hampir sore mereka baru berhasil mencapai sepertiga ketinggian Gunung Gede dan tidak menemukan apa-apa yang memberi petunjuk adanya orang yang mereka cari yakni Ki Balangnipa yang telah membunuh istri termuda Sultan Banten. 

Pendakian diteruskan sampai ke pertengahan lereng gunung dan saat itu hari telah mulai gelap. Tiga rombongan pasukan berhenti dan berkemah di tiga bagian lereng yang saling terpisah jauh. Keesokan paginya baru mereka kembali bergerak. Semakin ke atas semakin sulit jalan yang ditempuh. Masing-masing rombongan bergerak sangat perlahan. Satu hari untuk mereka hanya mampu mencapai ketinggian dua pertiga gunung.

Sebegitu jauh penyelidikan yang mereka lakukan masih belum membawa hasil. Berarti rombongan harus terus naik sampai ke puncak gunung karena pasti di situlah Ki Balangnipa bercokol. Siang keesokannya tiga rombongan akhirnya berhasil mencapai puncak gunung dalam waktu tak jauh barbeda. Di puncak gunung itu ditemukan sebuah bangunan kayu yang hampir roboh. 

Melihat keadaan bangunan itu, baik Patih Sumapraja maupun Tampak Ungu dan Purajaya segera maklum kalau orang yang mereka cari tak ada di situ. Sambil mengelilingi bangunan tersebut sang patih tiada hentinya mengeluarkan ucapan yang menyatakan kejengkelannya.

"Perjalanan yang sia sia...!" kata Sumapraja. "Kelihatannya orang yang kita cari itu sudah sejak lama tidak diam di sini, paman Patih." Berkata Purajaya.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?!'' tanya Tampak Ungu sembari memijat-mijat betisnya yang berbulu.

"Kita beristirahat dan bermalam di sini. Besok pagi segera kembali ke Banten. Aku menyirap firasat tidak enak..."

Purajaya segara menyatakan ketidak-setujuannya. "Paman, sebaiknya kita tidak bermalam di puncak gunung ini. Siang hari begini saja dinginnya bukan kepalang. Apalagi malam hari. Perajurit-perajurit kita yang sudah amat letih ini bisa mati kedinginan!"

Pendapat Purajaya itu masuk akal. Maka Patih Sumapraja memerintahkan seluruh rombongan untuk beristirahat seadanya kemudian menuruni gunung. Kini mereka tidak dipecah tiga seperti waktu mendaki, melainkan tetap bergabung jadi satu. Meskipun perjalanan menuruni gunung itu tidak sesulit sewaktu mendaki namun perajurit-perajurit yang sudah kecapaian itu hanya mampu bergerak sangat perlahan. Karenanya sewaktu malam tiba mereka belum mencapai setengah ketinggian gunung. Rombongan berhenti dan membangun kemah.

Setelah makan seadanya dari persediaan yang semakin menipis, perajurit-perajurit itu mencari tempat ketiduran masing-masing dan segera saja pulas, termasuk tiga pimpinan mereka. Yang kebagian tugas untuk berjaga-jaga sebagaian malah sudah ikut mendengkur!

Di dalam salah satu kemah patih Sumapraja walaupun merasakan tubuhnya sangat letih tapi sampai saat itu masih belum dapat memicingkan mata. Sejak masih di puncak gunung tadi hatinya entah mengapa merasa tidak enak. Jika saja dia tidak memimpin rombongan perajurit sedemikian banyaknya, dia lebih suka meninggalkan tempat itu terlebih dulu.

Dalam hatinya patih Banten ini juga menyesali hubungan yang tidak baik antara Sultan dengan para tokoh dunia persilatan akhir-akhir ini. Jika saja hubungan itu masih seperti tiga empat tahun silam, dia tak akan perlu bersusah payah mengadakan perjalanan sejauh itu ke puncak Gunung Gede untuk mencari Ki Balangnipa. Cukup dengan meminta bantuan dua atau tiga tokoh silat maka segala urusan pasti bisa dibereskan. Selagi sang patih merenung-renung begitu tiba-tiba di luar didengarnya suara pengawal berteriak,

"Ada orang datang!"

Patih Sumapraja cepat melompat bangun. Ketika dia keluar kemah dilihatnya Purajaya dan Tampak Ungu juga sudah keluar dari kemah masing-masing. Puluhan perajurit bersiap sedia dengan senjata ditangan. Di kejauhan terdengar suara kaki kuda. Dari suara langkah kuda yang satu-satu itu jelas penunggangnya bergerak perlahan-lahan dan hati-hati di malam gelap.

Atau mungkin juga karena keletihan dalam menempuh jalan buruk terjal dan mendaki. Kemudian tampak cahaya terang. Tak lama berselang kelihatan sosok tubuh kuda dan penunggangnya membawa obor yang hampir padam karena kehabisan minyak. Tampak Ungu memberi isyarat.

Lebih sepuluh perajurit segera bergerak menghadang dan mengurung orang yang datang. Melihat gelagat yang tidak baik, penunggang kuda cepat berseru, "Tahan! Aku Umbara utusan Sultan!"

Perajurit-perajurit yang mengurung segera turunkan senjata masing-masing. Salah seorang dari mereka bertanya, "Ada apa kau datang jauh-jauh kemari?!"

"Sesuatu telah terjadi di istana. Aku dikirim untuk memanggil Patih..."

"Sesuatu apa?" tanya perajurit yang lain.

"Aku hanya akan bicara dengan patih." jawab si penunggang kuda.

"Aku ada di sini!" terdengar suara Patih Sumapraja yang tegak di depan kemahnya. 

Umbara cepat turun dari kuda, menjura di hadapan sang patih. Sampai saat itu dia masih memegang obor yang tadi dibawanya sampai seorang perajurit mengambilnya dari tangannya.

"Katakan siapa yang mengirimmu kemari?"

"Sultan Banten. Sesuatu terjadi di Istana. Patih diharap segera kembali ke Banten!"

"Apa yang tarjadi?!" tanya Patih Sumapraja pula dengan kening berkerenyit. Rasa tidak enak yang dipendamnya sejak siang tadi agaknya akan muncul menjadi satu kenyataan. "Pemberontakan?"

"Tidak..." jawab Umbara.

"Orang-orang Pajajaran menyerang perbatasan lagi?"

"Bukan Patih. Bukan itu..."

"Sultan gering...?"

"Tidak. Seseorang telah mem..."

Ucapan Umbara mendadak terpotong oleh suara tawa bergelak yang mengumandang di dalam malam gelap dan dingin itu, mengejutkan puluhan bahkan ratusan orang yang ada di situ! Patih Sumapraja, Tampak Ungu dan Purajaya dan mereka yang ada di situ sama memalingkan kepala ke arah kanan lamping gunung yang terjal dan gelap tertutup pepohonan lebat, yakni dari mana datangnya suara tawa tadi.

"Ada orang pandai yang sengaja hendak mengganggu." kata Purajaya.

"Kita harus waspada." ujar Patih Sumapraja. Lalu dia berbisik pada Tampak Ungu agar menyiapkan para perajurit.

Namun perintahnya belum lagi selesai ketika tiba-tiba Umbara yang barusan datang membawa berita tersungkur ke tanah di hadapan mereka sambil pegangi leher. Tiga pimpinan dari Banten itu cepat membungkuk dan memeriksa. Tapi Umbara saat itu sudah tidak bernafas lagi. Lahernya berkubang darah. Sebuah senjata rahasia berbentuk bintang terbuat dari perak putih menancap di tenggorokannya.

Paras Patih Sumapraja berubah. Dia pernah melihat senjata rahasia seperti itu. Dulu, sekitar dua tahun silam. Di dalam istana Sultan Banten. Yang jadi korban saat itu adalah Jaka Luwak. Kakak seperguruan Raden Mas Tirta bekas Kepala Balatentara Banten. Yang membunuh Jaka Luwak adalah gurunya sendiri yaitu Ki Balangnipa, yang tak ingin muridnya membuka rahasia! Saat itu Umbara menemui kematian oleh senjata rahasia yang sama. Pembunuhnya pasti adalah orang yang lama pula yaitu Ki Balangnipa!

"Pengecut!" Kertak Patih Sumapraja. Lalu dia berteriak, "Ki Balangnipa! Jika kau seorang tokoh silat gagah, tunjukkan kejantananmu! Perlihatkan dirimu!"

Sebuah benda putih berdesing di kegelapan malam, melesat ke arah kepala Patih Banten. Sang patih cepat melompat ke samping sembil lepaskan satu pukulan tangan kosong seperti menampar ke bumi. Senjata rahasia yang hendak menghantamnya terpental lalu amblas ke tanah gunung! Bersamaan dengan itu terdengar suara tertawa bergelak yang kemudian menghilang di kejauhan.

"Ternyata bangsat itu berada di sekitar sini…" kata Sumapraja sambil kepalkan tinju.

"Paman, saya dan beberapa orang akan mengejarnya!" kata Purajaya.

"Jangan. Terlalu berbahaya!" mencegah Sumapraja. "Semua tetap di tempat dan mengambil sikap lebih waspada. Aku dan Tampak Ungu serta beberapa pengawal harus berangkat duluan ke Banten malam ini juga. Sesuatu telah terjadi di sana. Sayang Umbara tidak sempat memberi penjelasan..."

Beberapa ekor kuda segera disiapkan. Tak lama kemudian sang patih bersama Tampak Ungu dan beberapa orang pengawal meninggalkan tempat tersebut. Udara menjelang pagi terasa semakin dingin. Tetapi para perajurit tampak gerah dan gelisah. Jika manusia lihay bernama Ki Balangnipa itu muncul kembali dan menebar maut seenaknya celakalah mereka.

* * * * * * * *

KETIKA Patih Sumapraja dan rombongannya memasuki Kotaraja dari pintu gerbang sebelah barat segera terlihat bendera-bendera kuning terpancang di mana-mana. Itu pasti bukan bendera tanda berkabung atas kematian Dewi Kemulansari Istri termuda Sultan. Tapi deretan bendera bendera kuning itu jelas merupakan satu tanda perkabungan. Tanda perkabungan baru. Siapa yang meninggal? 

Patih Sumapraja, Tampak Ungu dan empat pengawal memacu kuda masing-masing lebih cepat. Begitu sampai di depan istana sang patih dan Tampak Ungu langsung masuk ke dalam, terus menuju ke ruang tunggu khusus. Tak lama kemudian Sultan Hasanuddin masuk ke dalam ruangan itu diiringi oleh beberapa petinggi kerajaan. Wajah Sultan tampak jauh lebih tua dari biasanya. Sosok tubuhnya nyata sekali menunjukkan rasa letih. Patih Sumapraja dan Tampak Ungu segera memberi salam dan hormat.

"Sultan, kami datang atas perintahmu. Apa yang terjadi? Kami melihat bendera kuning tanda berkabung..."

Sultan Hasanuddin tak segera menjawab. Sesaat dia berpegangan pada tepi meja, lalu perlahan-lahan duduk di atas kursi besar berukir. Setelah diam sesaat baru dia membuka mulut. "Cucuku Asih Permani meninggal dunia. Bukan meninggal biasa paman Patih. Dibunuh seseorang. Dua minggu lalu!"

Patih Sumapraja melengak kaget. Asih Permani. Cucu perempuan kesayangan Sultan yang baru berusia enam tahun itu mati dibunuh! "Ki Balangnipa...?" tanya Patih Sumapraja memberanikan diri.

"Siapa lagi..." sahut Sultan. Dia barpaling pada salah seorang petinggi Kerajaan dan berkata. "Perlihatkan surat terkutuk itu..."

Sepucuk surat yang sudah lecak diletakkan di atas meja di hadapan Sumapraja. Sang patih segera mengambil dan membacanya.

Sultan Hasanuddin,
Hari ini korban kedua jatuh sudah. Masih delapan orang menunggu giliran. Semua adalah orang-orang yang kau kasihi! Semoga kau cukup tabah menghadapi kenyataan ini. Ha ha ha...!

Jangankan Sultan, sang patih sendiripun mendidih amarahnya membaca surat itu. Benar-benar manusia pengecut. Apa dosa anak enam tahun itu maka dia harus menjadi korban balas dendam sumpah keparat?! Kesunyian di ruangan itu dipecahkan oleh suara Sultan yang terdengar bergetar karena menahan gejolak hatinya.

"Sebelum paman patih datang, aku dan beberapa petinggi telah berunding. Kita akan mengumumkan sebuah sayembara. Siapa yang bisa menangkap Ki Balangnipa hidup atau mati akan mendapatkan hadiah besar. Bagaimana menurut paman?"

Patih Sumapraja merenung sejenak lalu berkata, "Sebelum saya menjawab pertanyaan Sultan, saya akan ceritakan dulu apa yang terjadi di lereng Gunung Gede..."

Lalu patih ini menuturkan peristiwa kematian Umbara ketika Ki Balangnipa muncul sacara mendadak. Agaknya Sultan tidak tertarik akan keterangan patihnya itu, dia bertanya kembali, "Bagaimana pendapat paman mengenai rancana sayembara tadi?"

"Itu baik. Maksud kita jelas ingin menangkap manusia penebar maut tapi pengecut itu. Hanya saja, kalau saya boleh mengusulkan, bagaimana kalau kita lebih dulu menghubungi tokoh-tokoh persilatan tertentu untuk dimintakan bantuannya?"

"Bukankah paman sendiri dulu yang mengatakan bahwa mereka seperti menjauhi istana sejak peristiwa Ekawira tempo hari..." ujar Sultan.

"Betul. Tapi mencoba adalah jalan yang terbaik. Kalau mereka kita ajak bicara tentu mereka mau mendengar..."

"Yang aku takutkan paman patih, sebelum kita bisa berbuat apa-apa korban selanjutnya telah jatuh pula." Kata Sultan.

"Hal itu memang juga jadi pikiran saya. Karenanya kita harus bergerak cepat. Di samping memagari istana agar tidak kebobolan lagi."

"Lalu bagaimana kalau usaha kita tidak berhasil?"

"Mungkin kita memang harus manempuh cara sayembara yang Sultan katakan itu..."

Sultan terdiam beberapa lamanya. Kemudian berkata, "Baiklah paman, usulmu aku setujui. Siapa yang akan bertindak menghubungi para tokoh itu? Kuharap bukan kau yang pergi karena kehadiranmu diperlukan di sini..."

"Saya akan menunjuk Empu Lodaya, Jika Sultan setuju."

"Aku setuju paman patih. Jalankan semua tugas secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Sebelum malam aku perlu bicara lagi denganmu..."

* * * * * * * *
LIMA

PADA masa itu tokoh silat paling tua dan dianggap paling tinggi ilmu kepandaiannya di dearah Jawa Barat adalah seorang perempuan tua sakti bernama Eyang Sinto Weni atau lebih dikenal dengan julukan Sinto Gendeng. Dalam dunia persilatan namanya menjadi lebih beken setelah muridnya yang bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 turun gunung dan bertualang di rimba persilatan, membawa nama besar yang disegani kawan ditakuti lawan.

Satu keanehan disirap kabar bahwa Sinto Gendeng juga tinggal di puncak Gunung Gede, gunung yang diketahui adalah juga tempat kediaman Ki Balangnipa. Namun duduk cerita yang sebenarnya hanya Empu Lodayalah yang mengetahui. Kedua tokoh silat itu memang pernah sama-sama tinggal di puncak Gunung Gede.

Si nenek bernama Sinto Gendeng menetap di situ selama beberapa tahun, terutama selagi dia menggembleng muridnya Wiro Sableng. Selanjutnya bagaimana keadaan si nenek tidak diketahui orang lagi. Dia seperti lenyap dari puncak Gunung Gede. Rumah kayu bekas kediamannya kemudian ditempati oleh seorang tokoh silat lain, yang sama sekali tak ada hubungannya dengan si nenek yakni Ki Balangnipa.

(Mengenai kisah petualangan Wiro Sableng, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 silahkan baca serial Wiro Sableng).

Karena tidak tahu di mana harus mencari Sinto Gendeng maka Empu Lodaya memilih tokoh berikutnya yakni Kiai Malabar, seorang pertapa sakti yang diam di tepi sebuah danau di kaki selatan Gunung Malabar. Dengan ditemani dua orang pengiring Empu Lodaya menuju ke selatan. Tubuhnya yang sudah lanjut tidak memungkinkan sang empu dapat menunggang kuda terlalu cepat. Karenanya perjalanan ke selatan cukup memakan waktu lama.

Kiai Malabar membangun tempat kediamannya di atas air di tepi danau. Di sinilah dia bermukim hampir lebih dari separuh usianya yang kini telah mencapai 80 tahun. Empu Lodaya bersama pengiringnya sampai ke tempat itu larut malam menjelang pagi. Tetapi sang kiai tidak terkejut. Orang tua ini sebenarnya telah lama menyirap kabar atas hampir semua kejadian yang berlangsung di Banten.

Setelah saling berangkulan maka Kiai Malabar mempersilakan Empu Lodaya duduk di atas tikar sementara dua pengiring beristirahat dan menunggu di luar.

"Sahabatku Empu Lodaya, aku benar-benar mendapat kehormatan dikunjungi oleh seorang tokoh istana Banten sepertimu. Lebih dari dua windu kita tak pernah bertemu. Angin apakah yang membawamu kemari sahabatku? Kulihat kau sehat-sehat dan masih kuat, tidak rapuh sakit-sakitan sapertiku. Kehidupan istana rupanya cocok dan menyenangkanmu..."

Saat itu sehabis mengadakan perjalanan demikian jauhnya, selain letih sang empu juga merasakan tubuh dan tulang-tulangnya seperti bertanggalan. Namun dia menjawab sambil tersenyum, "Orang tua buruk yang sudah bau tanah sepertiku ini mana terkesan dengan kehidupan mewah dalam istana. Apalagi aku hanya seorang kuli yang bekerja di bengkel istana. Sehari-hari sibuk membuat pisau dapur..."

Kiai Malabar tertawa mengekeh. "Kau pandai merendahkan diri, sahabatku..." katanya. Siapa yang tidak tahu bahwa Empu Lodaya adalah seorang yang dipercayakan Sultan untuk membuat berbagai senjata sakti mandraguna. Di samping itu diapun ikut tergabung dalam kedudukan tokoh istana yang menjaga keselamatan Sultan beserta keluarganya.

"Empu Lodaya, kudengar keadaan di Banten akhir-akhir ini kurang tenteram. Apakah itu yang membawamu datang kemari...?"

Empu Lodaya hendak menjawab namun sesaat dia berdiam diri karena telinganya menangkap kecupak suara air danau di bawah bangunan di mana dia berada. "Kiai, kudengar suara air danau berkecupak keras di bawah lantai ini. Apakah kau memelihara ikan besar...?"

"Itu bukan suara ikan sahabatku. Tapi manusia juga adanya..."

Empu Lodaya tampak heran dan Kiai Malabar cepat berkata, "Nanti kau akan bertemu sendiri dangan orang itu. Sekarang katakan maksud kedatanganmu..."

Empu Lodaya lalu menceritakan apa yang terjadi di istana Banten. Dia memulai kisahnya dari kejadian lebih dua tahun lalu ketika Ki Balangnipa terpaksa membunuh muridnya sendiri yang bernama Jaka Luwak itu. Keterangannya ditutup dengan kematian cucu Sultan beberapa waktu lalu.

"Aku datang mewakili Patih Sumapraja selaku utusan Sultan," kata Empu Lodaya. "Sultan minta agar kau dan para tokoh dunia persilatan lainnya bersedia turun tangan, menangkap manusia bernama Ki Balangnipa itu, hidup atau mati..."

Kiai Malabar termenung beberapa lamanya. Dia memang sudah mendengar banyak hal runyam dalam istana Banten. Namun tidak menyangka sampai demikian buruk kejadiannya. "Mungkin kau datang ke tempat yang salah, Empu Lodaya. Orang tua jelek sepertiku ini mana ada kemampuan memenuhi permintaanmu..."

"Jangan berkata begitu Kiai. Keamanan dan ketenteraman kerajaan adalah tanggungjawab kita semua. Saat ini kita terpanggil oleh kewajiban. Sudah sepantasnya bersama-sama bahu-membahu ikut ambil bagian..."

"Kau benar Empu. Tapi harap maafkan kalau aku akan mengatakan sesuatu yang mungkin tidak sedap bagi pendengaran telingamu dan tak enak dihatimu. Ketika kerajaan aman tenteram, adakah kerajaan mengingat kami orang-orang tua buruk yang hidup terpencil? Padahal kami tidak menginginkan apa-apa. Ketika anak murid kami berusaha menegakkan kebenaran demi keagungan kerajaan, apakah yang mereka terima? Mereka diperlakukan sewenang-wenang. Bahkan banyak yang dimasukkan penjara..."

"Apa yang kau katakan itu memang benar Kiai. Tapi semua itu terjadi karena akal busuk orang-orang Pajajaran..." menyanggah Empu Lodaya.

"Orang-orang Pajajaran adalah orang-orang Pajajaran. Orang-orang Banten tetap orang-orang Banten. Inilah akibat kalau pimpinan kerajaan mudah diombang-ambingkan tipu muslihat..."

"Kiai, sampai sepuluh hari kita tak akan habis-habisnya membahas hal itu. Kedatanganku membawa maksud lain dan aku tidak punya waktu lama..."

Di kejauhan terdengar ayam berkokok. Di bawah lantai bangunan terdengar kecupak air danau semakin keras. Empu Lodaya meneruskan kata-katanya, "Bersediakan Kiai membantu kami yang sedang susah ini...?"

Kiai Malabar memegang bahu Empu Lodaya. "Tentu saja aku bersedia. Hanya saja saat ini aku terikat oleh satu pantangan..."

"Pantangan? Pantangan apa sahabatku?" tanya Empu Lodaya.

"Saat ini aku tengah menjalankan tugas. Menggembleng seorang murid. Sesuai ketentuan yang kuterima sebagai aturan dari guruku dan guruku menerimanya dari kakek guruku, maka selama tiga tahun aku dan muridku tidak boleh meninggalkan tempat kediaman melebihi jarak 1700 tombak..."

"Ah, itu satu pantangan yang amat mahal" kata Empu Lodaya. Namun orang tua ini tak dapat mengatakan apa-apa karena maklum tak bisa meminta atau memaksa Kiai Malabar untuk membantu dalam urusan Ki Balangnipa.

Di luar, tanpa terasa hari telah mulai terang. Empu Lodaya minta diri dan Kiai Malabar mengantar tamunya turun ke darat melewati tangga tinggi. Ketika sampai di tepi danau Empu Lodaya dapatkan kedua pengiringnya tertidur di bawah sebatang pohon. Namun yang menjadi perhatiannya saat itu bukanlah kedua pengiring tersebut, melainkan sosok tubuh seorang pemuda yang berada di dalam air danau, tepat di bawah lantai bangunan. Pemuda itu tengah melatih jutus-jurus pukulan dan tendangan dalam air. Setiap pukulan dan tendangan yang dilakukannya membuat air danau muncrat tinggi dan jauh serta mengeluarkan suara kecupak keras.

"Itulah yang tadi kau sangka ikan besar, sahabatku," kata Kiai Malabar sambil menggoyangkan kepalanya kearah si pemuda.

"Pemuda itu... " ujar Empu Lodaya, "Bukankah dia… bukankah dia Ekawira, bekas Kepala Pengawal Istana Banten?"

Kiai Malabar tersenyum. "Betul sekali sahabatku. Memang dia Ekawira. Pemuda yang pernah mendapat gelar Raden Mas dan pernah menjadi Kepala Pengawal Istana Sultan. Dia kuambil jadi murid sejak dua tahun lalu..."

"Terus terang Sultan masih berkenan padanya. Sultan sering menanyakannya. Jika kau mengizinkan diapun dapat membantu dalam urusan dengan Ki Balangnipa ini..."

"Aku tentu saja akan mengizinkan. Hanya ingat, kami berdua, guru dan murid terikat pantangan yang kukatakan tadi..."

Empu Lodaya menarik nafas dalam. Maklum kalau dia tidak bisa berbuat lebih banyak, maka diapun membangunkan kedua pengiringnya.

"Mungkin aku dapat membantu dengan cara lain..." kata Kiai Malabar sesaat setelah Empu Lodaya berada di punggung kuda.

"Maksudku...?"

"Apakah kau sudah mencoba menghubungi nenek aneh bernama Sinto Gendeng di puncak Gunung Gede?"

"Nenek itu lenyap begitu saja sejak beberapa tahun silam. Bahkan tempat kediamannya besar kemungkinan pernah dipakai oleh Ki Balangnipa... "menerangkan Empu Lodaya.

"Kalau begitu cobalah kau pergi ke Pamanukan di pantai utara. Temui sahabatku, sahabatmu juga, yakni Manik Aryapala. Kakek aneh berjuluk Si Penjala Sakti. Dia pasti mau menolong. Mungkin juga mau mengajak tokoh-tokoh silat lainnya untuk sama-sama membantu..."

"Terima kasih atas petunjukmu. Aku memang berencana untuk pergi ke sana," kata Empu Lodaya pula. Dengan tubuh masih sangat letih dan perut keroncongan orang tua ini bersama pengiringnya tinggalkan tempat itu. Dalam hatinya sang empu setengah mengomel. Mengadakan perjalanan sejauh itu, di pagi yang dingin tidak secangkir kopi atau teh panaspun ditawarkan sang kiai!

* * * * * * * *
ENAM

PANTAI JEPARA indah pemandangannya laut pun selalu membiru tenang. Puluhan perahu tampak di tepi pantai, mulai dari perahu pencari ikan atau nelayan sampai pada perahu-perahu kayu yang biasa memuat dan memunggah barang. Layar serta bendera-bendera perahu yang aneka warna menambah semarak keindahan pantai Jepara. 

Namun semua keindahan itu seperti tidak terlihat di mata Mahesa Kelud, tidak terasa di hati sanubarinya yang bergalau kosong. Bahkan setelah sampai di tepi pantai itu, langkahnya seperti buntu, dia tak tahu lagi mau pergi ke mana. Bayangan wajah Kemaladewi dan bayi bernama Lutung Bawean itu selalu muncul di pelupuk matanya.

Mahesa melangkah mundar-mandir di sepanjang pangkalan papan. Ketika sebuah perahu kayu bermuatan sarat meninggalkan pangkalan siap untuk mengarungi laut entah mengapa pemuda itu tiba-tiba saja langsung melompat naik. Karuan saja juragan pemilik perahu yang ada di buritan segera menghampiri dan bertanya,

"Orang muda, kau naik ke perahuku apakah hendak menumpang?"

"Ya, aku ingin menumpang," jawab Mahesa sambil memandang ke tengah lautan.

"Kalau menumpang ke manakah tujuanmu?" tanya juragan perahu kembali. Hatinya merasa tidak enak karena mendapat jawaban secara acuh tak acuh.

"Ke mana saja tujuan perahumu aku akan ikut sampai ke sana." jawab Mahesa.

Pemilik perahu semakin merasa heran. Dalam hati dia berkata. "Pemuda berbadan kokoh dan bertampang keren ini benar-benar aneh. Jangan-jangan dia berniat jahat. Hendak merampok! Apalagi kulihat dia membawa pedang di balik punggungnya.

Mahesa menatap pemilik perahu itu. Dia dapat meraba kekawatiran orang. Maka dia pun berkata. "Aku tidak berniat jahat. Aku hanya ingin berlayar. Dan aku akan bayar..." Lalu Mahesa serahkan sekeping kecil perak ke dalam genggaman pemilik perahu. Setelah menimang-nimang perak itu, pemilik perahu akhirnya mengangkat bahu. "Perahu ini berlayar menuju Merak. Sampean bermaksud ke mana?

"Sama dengan tujuan perahu." jawab Mahesa pula.

Setelah menepuk-nepuk bahu Mahesa, pemilik perahu itu kembali ka buritan dan Mahesa melangkah ke samping kanan perahu, berpegang di pagar terali, memandang ke pantai yang semakin lama semakin menjauh dan akhirnya lenyap dibatas pemandangan.

Malang tak dapat diraih, untung tak dapat ditolak. Itulah nasib perahu layar "Sinar Utara" yang ditumpangi Mahesa Kelud. Menjelang pagi hari keempat topan dahsyat melanda laut ketika perahu berada di utara Losari. Ombak menggulung tinggi menghempaskan perahu kian kemari.

Dua orang awak perahu terlempar ke tengah laut dan lenyap tak muncul lagi. Ketika angin menyapu deras, tiang layar perahu patah. Perahu oleng tajam ke kiri lalu cepat sekali miring keras. Air laut masuk laksana bah. Perahu yang malang itu hancur berantakan. Muatannya terlempar ke mana-mana. 

Mahesa masih sempat mendengar teriakan pemilik perahu, setelah itu diapun harus terjun ke air yang menggila, menyelamatkan diri. Kepandaiannya berenang tidak ada gunanya di laut yang menggila itu. Tubuhnya timbul tenggelam. Kekuatannya tersedot dengan cepat.

"Kalau aku harus mati di laut, aku akan pasrah!" kata Mahesa. Kembali wajah Kemaladewi dan Lutung Bawean muncul di pelupuk matanya. Ombak besar memukul mendera. Mahesa tanggelam sampai sedalam tujuh meter lalu muncul lagi megap-megap. Saat itu hari telah terang. Beberapa meter di samping kirinya Mahesa melihat sekeping papan bekas pecahan badan perahu. Pemuda ini tak berusaha berenang mencapai papan itu karena tekadnya sudah bulat untuk menerima kematian.

"Ini adalah pembalasan atas dosa-dosaku..." katanya dalam hati.

Tetapi ajaib. Papan yang terpisah jauh itu terombang-ambing dimainkan ombak malah seperti datang mendekatinya dan akhirnya menyentuh dadanya. Mahesa terperangah dalam nafas megap-megap. Akhirnya dipegangnya juga papan besar itu dengan kedua tangannya. Tubuhnya terbanting kian kemari setiap papan itu dihantam gelombang.

Ketika siang tiba dan matahari bersinar terik. Mahesa merasakan sekujur tubuhnya yang berada di atas air seperti dipanggang api. Kulitnya mengelupas. Setiap air laut membasahi kulit yang mengelupas itu sakitnya bukan alang kepalang. Seharian penuh terombang-ambing sambil berpegangan di atas papan Mahesa tidak pernah melihat pantai atau pulau di kejauhan.

Bahkan tak satu perahupun kelihatan di laut yang luas itu. Pemuda ini tak tahu sampai berapa lama dia dapat bertahan bersama sepotong papan itu semantara sekujur tubuhnya seperti terkelupas dipanggang, tenaganya hampir sampai di batas terakhir. Keadaannya antara sadar dan pingsan.

Ketika malam tiba matanya masih sanggup melihat ada cahaya di kejauhan. Mungkin itu cahaya lampu atau pelita dari rumah-rumah penduduk. Yang berarti dia berada di dekat pantai. Tetapi mungkin juga itu hanya ilusi palsu belaka. Dan Mahesa tidak berusaha untuk berenang ke arah cahaya di kejauhan itu. Jangankan berenang, untuk masih dapat memegang papan penyelamat itupun tenaganya sudah tidak ada lagi.

* * * * * * * *

"Kakek Penjala Sakti... apakah kau tidak turun ke laut hari ini...?"

Seruan pertanyaan itu keluar dari mulut empat orang anak laki-laki yang tegak di depan pintu sebuah rumah bilik di tepi pantai Pemanukan. Setelah beberapa kali anak-anak itu berteriak-teriak begitu, pintu rumah terbuka. Seorang tua berambut kelabu bermata jereng yang mengenakan celana hitam serta berselimut kain sarung keluar dari dalam rumah sambil menggosok-gosok matanya.

"Hai! Kek! Kau kesiangan!" kata salah seorang dari tiga anak.

Orang tua itu memandang ke tengah lautan. Cuaca dilihatnya memang cerah dan di pantai belasan perahu yang melaut malam tadi baru saja kembali memunggah hasil. Tapi rata-rata hasil yang didapat nelayan-neyalan itu tidak seberapa. Ikan-ikan yang bisa mereka dapat hanya cukup untuk dimakan sendiri dan hanya sebagian kecil dijual di pasar.

"Apa perahuku sudah kalian bersihkan?" si kakek bertanya pada ke empat anak itu. 

"Sudah" jawab anak-anak itu serentak. "Pasti ibu kalian yang menyuruh kalian kemari hah?!"

"Betul kek. Kata ibu kami hanya punya beras saja tapi tak punya ikan..."

"Ayah kalian tidak melaut...?"

"Ada, tapi hasilnya. Kau tahu sendiri kek..."

Orang tua itu tersenyum. Tiga kali dalam seminggu anak-anak itu selalu datang seperti itu. Mereka tahu, samua orang ditepi pantai itu tahu bahwa si kakek memiliki satu kepandaian yang dianggap aneh. Orang yang pergi melaut semalam suntuk kadang-kadang hanya mandapatkan ikan sedikit sekali. Tapi sekali si kakek pergi ke laut pada pagi atau siang hari dan kembali beberapa jam kemudian, dia datang membawa ikan sepenuh perahunya.

Ikan-ikan itu selalu dibagi-bagikannya pada penduduk atau nelayan yang tinggal di tepi pantai, termasuk ke empat anak lelaki itu. Sebenarnya para nelayan yang diam di situ merasa heran akan kepandaian si kakek menjala ikan. Banyak di antara mereka yang minta diberitahu. Tapi si kakek tidak pernah mau mengatakan. Setiap kali ditanya dia selalu menjawab,

"Jika kalian perlu ikan untuk dimakan atau dijual, aku akan carikan ke laut. Tapi jika kalian tanya bagaimana caranya aku menangkap ikan, itu adalah rahasia hidupku!"

"Baiklah anak-anak, aku akan mencuci muka dulu dan mengambil jala." kata orang tua berambut kelabu bermata jereng itu.

Anak-anak bersorak ramai. Tak lama kemudian si kakek yang dipanggil dengan sebutan Kakek Penjala Sakti itu tampak meninggalkan pondoknya, memanggul jala besar di bahu kirinya, melangkah terbungkuk-bungkuk menuju perahunya. Sebuah perahu tua yang dindingnya banyak tambalan di sana sini.

Si kakek masuk ke dalam perahu. Empat orang anak tadi membantu mendorong perahu sampai ke tengah lalu mereka melambai-lambaikan tangan sambil berteriak, "Ikannya tangkap yang banyak ya kek! Yang banyak ya kek!"

Si kakek balas lambaikan tangan sambil tersenyum-senyum. Sampai di tengah laut, jauh dari pantai, orang tua itu rapikan dan atur jala besarnya. Dari dalam sebuah bumbung bambu dia mengambil segenggam bubuk berwarna putih. Dengan tangan kirinya bubuk itu dilemparkan ke dalam laut. Begitu bubuk bersatu dengan air laut maka butiran bubuk bubuk yang ratusan bahkan ribuan banyaknya itu memantulkan sinar berkilau-kilau. Dalam waktu singkat ratusan ikan besar kecil muncul ke permukaan air laut, ingin melihat apa adanya butiran-butiran bercahaya yang menarik hati itu. 

Kalau sudah begini si kakek hanya tinggal mengangkat jalanya dari lantai perahu. Sekali tangannya bergerak maka jala besar itu melebar luas. Ratusan ikan terjerat di dalamnya. Sambil tertawa-tawa orang tua ini tarik jalanya. Ketika hasil tangkapan itu dimasukkannya ke dalam perahu, maka perahu kecil itu terisi sampai setengahnya!

"Sekali tangkap lagi penuhlah perahu buruk ini. Aku bisa kembali ke pantai membagi-bagikan ikan…" begitu si kakek berkata dalam hati.

Maka diapun mengayuh perahunya ke jurusan lain. Sampai di satu tempat yang dirasakannya baik diapun siap mengambil bubuk dalam bumbung bambu. Namun tiba-tiba sepasang matanya yang jereng melihat sebuah benda terapung-apung di kejauhan. Orang tua ini lindungi kedua matanya dengan telapak tangan kiri agar bisa melihat lebih jelas.

"Aneh, benda itu seperti kepala manusia…" kata si kakek. Lalu perahunya dikayuh mendekati benda di kejauhan. Begitu sampai di dekat benda tadi diapun tersirap. "Astaga, betul kepala manusia. Sudah mati atau masih hidup? Salah satu tangannya menggapai sepotong papan..."

Si Penjala Sakti cepat tebarkan jala besarnya. Sosok tubuh manusia di permukaan laut bersama papan yang dipegangnya segera masuk dalam jeratan jala. Si kakek menarik. Cukup sulit baginya menarik sosok tubuh itu ke atas perahu kecil yang setengahnya sudah penuh dengan ikan. Ternyata sosok tubuh itu adalah sosok tubuh seorang pemuda yang hampir seluruh kulitnya telah terkelupas hangus. Pakaiannya robek-robek dan ada luka-luka pada beberapa bagian tubuhnya.

Si kakek membaringkan tubuh pemuda itu di atas tumpukan ikan. Dia terkejut ketika pada pinggang pakaian si pemuda dilihatnya tersisip sebilah keris berhulu kepala ular dan keseluruhannya terbuat dari emas murni serta memancarkan warna kuning. Lebih terkejut lagi dia jadinya sewaktu menemukan sebilah pedang berwarna merah tersisip di balik punggung si pemuda.

Cepat-cepat kakek itu memutar perahunya dan mengayuh menuju ke pantai. Sampai di pantai anak-anak yang empat orang tadi telah menunggunya. Malah jumlah mereka kini tambah banyak, belum terhitung para nelayan yang juga ingin kebagian ikan. Kakek itu tidak mengacuhkan orang-orang tersebut, dengan susah payah dia mendukung tubuh pemuda yang ditamuinya di tengah laut itu sementara orang banyak tampak menyaksikan keheranan.

"Kek, siapa orang itu. Di mana kau temui...?" beberapa orang bertanya.

"Sudah, jangan banyak tanya. Ambil ikan dalam perahu. Bagi-bagilah. Tapi jangan ribut dan bertengkar...!"

Kakek Penjala Sakti mambawa tubuh pemuda yang pingsan itu ke dalam rumah biliknya, membaringkannya di tempat tidur yang terbuat dari bambu. Telinga kirinya diletakkannya di atas dada si pemuda. Lapat-lapat dia masih mendengar suara degup jantung.

"Masih hidup... Untung," katanya. Tubuh itu dibalikkannya hingga menelungkup. Lalu tangan kirinya ditekankan ke pinggang sedang tangan kanan ditekankan ke punggung. Begitu ditekan pemuda yang pingsan keluarkan suara seperti muntah. Air laut keluar mengucur dari mulutnya.

* * * * * * * *
TUJUH

EMPU LODAYA menatap paras kakek rambut kelabu. Matanya yang jereng membuat sang empu meragu apakah si kakek memandang ke jurusannya atau memperhatikan ke jurusan lain.

"Manik, kau lupa padaku...?" menegur Empu Lodaya.

"Ah!" Manik Aryapala alias Panjala Sakti pukul jidatnya sendiri. "Aku kenal tampangmu, tapi otakku yang sudah hampir pikun ini tak ingat siapa namamu. Pakaian putihmu yang berdebu, kudamu yang keletihan, serta dua pengiring yang ikut bersamamu menyatakan kau datang dari jauh dan kau tentunya orang penting..."

Empu Lodaya tersenyum. "Aku Lodaya, dari Banten!" sang empu coba mengingatnya.

"Astaga! Betul kau!" Si Penjala Sakti langsung manarik lengan Empu Lodaya hingga orang tua yang masih ada di punggung kuda itu terseret ke bawah. Tetapi Penjala Sakti tidak menariknya terus ke bawah melainkan melemparkannya ke atas hingga Empu Lodaya tampak mencelat, jungkir balik di udara. Ketika turun kedua tangannya menekan bahu Penjala Sakti. Kakek mata jereng ini cepat merunduk. Tapi tahu-tahu kedua ketiaknya terangkat ka atas.

"Hup! " seru Empu Lodaya.

Kini Si Penjala Sakti yang ganti mencelat ke atas dan jungkir balik di udara. Begitu turun keduanya berhadapan hidung dengan hidung. Dua kakek ini seperti anak kecil tertawa gelak-gelak lalu saling rangkul.

"Kurasa tiga puluh tahun telah berlalu sejak terakhir sekali aku melihat tampangmu Lodaya!" kata Si Penjala Sakti.

"Memang lama sekali kita tak pernah bertemu. Kau tetap seperti dulu. Suka bercanda. Apakah masih gemar menjala ikan di siang bolong?"

Manik Aryapala tertawa mengekeh mendengar kata-kata sahabat lamanya itu. "Aku masih ada tangkapan ikan sisa kemarin. Masih segar. Kita makan sama-sama, tapi nasinya tak ada..."

"Siapa sudi makan ikan tanpa nasi? Salah-salah aku bisa cacingan!" gurau Empu Lodaya.

"Jangan kawatir," kata Si Penjala Sakti cepat. "Aku punya tetangga-tetangga yang baik. Satu bakul nasi untukmu dan pengiringmu tidak jadi soal!"

Setelah menjamu makan minum para tamunya. Si Penjala Sakti membawa Empu Lodaya ke tepi pantai. "Sekarang katakan mengapa kau datang jauh-jauh kemari," kata kakek mata jereng itu.

"Aku perlu bantuanmu menangkap seseorang. Sebelumnya aku telah menemui Kiai Malabar. Tapi dia tak dapat menolong..." menerangkan Empu Lodaya.

"Hemmm... begitu? Bantuan untuk dirimu atau untuk kerajaan?" bertanya Penjala Sakti.

"Untuk yang terakhir..."

"Ha... ha... Rupanya kerajaan bernasib buruk akhir-akhir ini. Tak ada orang-orang pandai dunia persilatan yang mau diajak bekerja sama..."

"Apakah kau juga tidak mau bekerjasama?" tanya Empu Lodaya.

"Siapa yang diinginkan Sultanmu?"

"Ki Balangnipa." jawab Empu Lodaya pula.

"Ah... manusia satu itu..." kata si Penjala Sakti sambil geleng-geleng kepala. "Dulu dia dikenal sebagai tokoh baik. Karena teriakan hasutan orang-orang Pajajaran dia jadi berubah…."

"Mungkin kita tak dapat menyalahkan orang Pajajaran saja. Apa yang terjadi di Banten pun ikut pegang peranan."

Lalu Empu Lodaya menerangkan pangkal musabab Ki Balangnipa menaruh dendam kesumat terhadap Kerajaan dan Sultan Banten.

"Itu rupanya yang menjadikan sebab Sultanmu menginginkan Ki Balangnipa hidup atau mati. Lalu bantuan apa yang dapat kuberikan pada Sultanmu, Lodaya?"

"Mencari dan menangkap Ki Balangnipa." sahut Empu Lodaya.

Mata jereng Si Penjala Sakti tampak berputar-putar memandang ke tengah laut. Tiba-tiba meledaklah tawanya.

"Kenapa kau tertawa?" tanya Empu Lodaya heran.

"Inilah namanya dunia! Inilah namanya kehidupan di alam fana. Jika dibutuhkan dicari-cari. Jika tidak dibutuhkan tak pernah diingat-ingat. Tapi dengar sahabatku, bukan kenapa segala asalan itu aku tak dapat membantumu atau membantu Sultanmu..."

Paras Empu Lodaya berubah, "Kau lupa darah Banten dalam tubuhmu, Manik Aryapala?!"

Si Penjala Sakti menyeringai lalu tertawa hambar. "Darah Banten dalam tubuhku sudah lama membeku. Itulah sebabnya aku lebih suka memencilkan diri di pantai ini. Lebih enak jadi rakyat jelata. Tak ada pikiran tak ada kesulitan. Miskin dalam harta tapi kaya dalam kebahagiaan..."

Memandang pada wajah sang empu yang kelihatan sangat kecewa. Si Penjala Sakti berkata, "Sahabatku Lodaya, kau tak usah kecewa dan marah padaku..."

"Aku tidak marah. Hanya merasa sedih kenapa kehidupan di dunia bisa begini. Waktuku tak banyak. Aku minta diri..."

"Eee... eae... Tunggu dulu Lodaya, jangan pergi dulu!"

"Apa yang kulakukan lama-lama di sini? Bantuan pun tak akan ku dapat!" jawab Empu Lodaya.

"Benar, memang benar kau tidak mendapatkan apa-apa dariku. Kecuali nasi dan ikan bakar enak tadi. Ha... ha...ha...! Tapi dengarlah, ada seorang lain yang bisa menolong Sultanmu itu..."

"Cerita lama!" mamotong Empu Lodaya dengan kesal. "Ketika aku bertemu Kiai Malabar, dia melemparkanku padamu. Kini bertemu denganmu pada siapa lagi aku hendak kau lemparkan?!"

"Dengar, jangan kesusu jengkel," kata Si Penjala Sakti sambil tepuk-tepuk bahu sahabatnya itu. "Aku tak akan melemparkanmu pada siapa-siapa. Dengar, ada seorang lain yang lebih pantas dan lebih mampu menolong Sultanmu itu..."

"Nah, apa kataku! Ternyata kaupun hendak melemparkan aku pada orang lain itu!"

"Dengar dulu, dengar dulu Lodaya," kata Si Penjala Sakti dengan sabar. "Orangnya memang bukan berdarah Banten. Tetapi baktinya boleh dipuji. Dia lebih Banten dari orang Banten sendiri! Dan dia telah pernah membuktikan sembah baktinya itu pada Sultanmu sekitar tiga tahun yang silam..."

"Eh, siapa orang yang kau maksudkan itu?" tanya Empu Lodaya jadi tertarik.

"Kau ingat Raden Mas Ekawira...?"

"Bekas Kepala Pengawal Istana Banten itu?!"

"Betul!"

"Ah, kalau dia yang kau maksudkan tak ada gunanya. Aku telah menemuinya di tempat kediaman Kiai Malabar. Anak muda itu telah jadi murid sang kiai. Baik dia maupun gurunya tak bisa membantu. Katanya terikat oleh pantangan!"

"Mungkin memang begitu. Kau tahu sendiri. Orang-orang dalam dunia persilatan banyak aneh-aneh tingkah lakunya. Entah memang musti demikian, entah karena dibuat-buat! Tapi yang kumaksudkan bukan si Ekawira itu!"

"Lantas?!" tanya Empu Lodaya.

"Kau ingat, ketika dia jadi Kepala Pasukan Pengawal Istana, dia mampunyai seorang pembantu berbadan tinggi tegap penuh otot dan bertampang cakap itu...!"

"Aku ingat. Tapi lupa namanya. Ada apa dengan pemuda itu...?"

"Dialah yang dapat kau harapkan untuk menghadapi Ki Balangnipa!"

Empu Lodaya menarik nafas panjang. "Mengharapkan sesuatu yang sukar jadi kenyataan. Di mana pemuda itu kini berada siapa yang tahu! Pangkal hidungnya tak pernah kelihatan lagi sejak dia meninggalkan Banten tiga tahun lalu...!"

Si Penjala Sakti tersenyum-senyum. "Inilah namanya rahasia hidup, sahabatku! Segala sesuatunya menjadi rahasia Yang Satu. Apa yang terjadi dengan kita besok, mana kita tahu. Di mana kita berada besok, siapa yang bisa tahu. Perolehan apa yang bisa kita dapat besok, mana ada orang yang tahu! Semua Tuhan yang mengatur. Bukankah begitu sahabatku?"

Empu Lodaya mengangguk perlahan.

"Sebulan yang lalu, secara tak sengaja aku telah menyelamatkan pemuda itu di tengah laut. Perahu yang ditumpanginya tenggelam dilanda badai. Dia diombang-ambingkan ombak sampai ke pantai Pamanukan ini. Di tengah laut, dalam keadaan sekarat, tubuh penuh luka dan kulit terkelupas dia kutemui dan kutolong. Pemuda itu bernama Mahesa Kelud. Bukan begitu...?"

"Ya aku ingat sekarang. Namanya Mahesa Kelud. Lanjutkan kisahmu Manik," kata Empu Lodaya.

"Setelah sembuh dan menyadari bahwa dia berhutang nyawa padaku maka untuk membalas budi dia meminta aku memilih salah satu dari dua senjata mustika yang dimilikinya. Yang pertama sebilah pedang yang sarung dan badannya memancarkan sinar merah, itulah Pedang Sakti pemberian gurunya di timur sana. Senjata kedua sebilah keris terbuat dari emas yang juga merupakan senjata sakti mandraguna! Bukan aku meremehkan keahlianmu membuat senjata. Tapi jika kau coba membuat salah satu dari senjata itu, menirunya saja sampai mirip mungkin kau memerlukan waktu dua puluh tahun!"

"Kau terima permintaannya itu? Berarti kau kini memiliki senjata sakti. Eh, pedang atau keris yang kau ambil?!" tanya Empu Lodaya.

Si Penjala Sakti geleng-gelengkan kepala. "Aku bukan manusia pencari pamrih, yang berbuat sesuatu untuk mengharapkan sesuatu! Permintaannya itu kutolak. Mahesa kecewa sekali. Kemudian dia berkata, jika ada satu permintaan lain atau satu tugas yang diberikan kepadanya sebagai pembalas budi dan hutang nyawa itu maka dia akan melaksanakannya sampai berhasil. Waktu itu sulit bagiku hendak meminta atau menugaskan apa padanya. Tetapi setelah berpikir keras aku teringat akan keadaan di Banten. Lagi pula bukankah dia pernah mengabdi di Banten? Maka kataku padanya, "Telah lama aku menyirap kabar bahwa suatu malapetaka telah menimpa Sultan Banten. Pergilah ke sana. Abdikan dirimu seperti dulu kau pernah melakukannya bersama Ekawira. Dengan berbuat begitu anggaplah bahwa kau telah membalas segala hutang budi dan nyawa. Maka Mahesa pun pergi. Hanya beberapa saat sebelum kau dan dua pengiringmu sampai di sini!"

Empu Lodaya tentu saja menjadi kaget. "Menurutmu, apakah pemuda itu benar-benar akan pergi ke Banten?" tanyanya.

"Aku yakin dia bukan seorang pendekar yang pandai bermulut manis berminyak air. Kalau kau tidak percaya mengapa tidak segera saja kembali ke Banten?"

Empu Lodaya berpikir-pikir sesaat. Nasihat sahabatnya itu tak ada salahnya. Maka dia pun berkata, "Terima kasih Manik. Aku minta diri sekarang juga!"

* * * * * * * *
DELAPAN

KETIKA meninggalkan Banten sekitar satu bulan lalu Empu Lodaya mengambil jalan kearah selatan, menempuh rimba belantara dan bebukitan tinggi serta pegunungan. Jalan yang sulit menyebabkan dia dan pengiring hanya mampu bergerak perlahan. Kini dalam perjalanan kembali ke Banten dia mengambil jalan di sebelah utara yang merupakan pantai datar hingga dapat bergerak sangat cepat.

Dalam waktu satu minggu Empu Lodaya telah sampai ka Mauk. Satu hari di muka dia akan segera memasuki perbatasan kerajaan. Selama perjalanan orang tua ini menaruh khawatir kalau-kalau keterangan yang diberikan Si Penjala Sakti tidak benar dan Mahesa Kelud tidak datang ke Banten. Dalam pada itu sepanjang perjalanan dia merasakan seperti ada seseorang yang menguntit dari kejauhan.

Kekhawatiran yang terakhir ini menjadi kenyataan ketika dia bersama dua pengiringnya baru saja beristirahat di sebuah anak sungai dipertengahan lembah dan siap meneruskan perjalanan melewati bukit kecil ditumbuhi pohon-pohon jati besar berusia ratusan tahun.

Saat itu masih pagi. Sang surya bersinar lembut dan udara masih terasa segar, menyusup melalui hidung, masuk ke paru-paru. Memandang ke puncak bukit yang berada di depan mereka, salah seorang pengiring tiba-tiba berkata, "Empu ada seseorang di atas bukit. Cara tegaknya seperti sengaja menghadang kita!"

"Aku sudah melihat," jawab Empu Lodaya. Hatinya mendadak saja tidak enak namun dia berusaha bersikap tenang. Makin tinggi naik ke bukit jati itu, makin kentara adanya orang yang berdiri di depan mereka. Orang itu berpakaian serba hitam. Rambutnya yang panjang hitam dikuncir ke belakang. Sepasang matanya yang cekung membersitkan keganasan, memandang tak berkesip ke arah tiga penunggang kuda yang menaiki bukit.

Baik Empu Lodaya mau pun dua pengiringnya belum pernah melihat orang itu sebelumnya, jadi tidak mengenalinya. Semula Empu Lodaya berniat mengambil jalan memutar di lereng bukit sebelah kanan untuk menghindari lelaki berpakaian hitam itu. Namun seperti tahu maksud orang, si baju hitam melangkah ke kiri, sejajar dengan gerakan Empu Lodaya. Jelas sudah orang ini sengaja menghadang dan pasti memiliki maksud yang tidak baik.

Empu Lodaya memberi tanda pada kedua pengiringnya yang berada satu di sisi kanan satu lagi di sebelah kiri. Ketiganya sama menghentikan kuda sejarak enam tombak dari hadapan orang itu. Melihat ketiga kuda berhenti, si baju hitam pun hentikan langkahnya lalu tegak sambil berkacak pinggang.

"Empu Lodaya!" orang itu menegur. Suaranya lantang dan membahana di seantero bukit jati. "Apakah kau sudah berhasil menemukan orang gagah yang bisa menolong Sultanmu?!"

Sang Empu segera maklum kalau tengah berhadapan dengan seseorang yang memiliki kepandaian tinggi. "Kau bertanya di tempat yang tidak pantas. Caramu menghadang menjelaskan niatmu yang terselubung, dan pasti tidak baik!" menjawab Empu Lodaya.

Orang berbaju dan bercelana hitam keluarkan suara tawa bergelak. "Tidak sangka tukang bikin pisau dapur istana pandai pula mengucapkan kata-kata seperti seorang penyair! Empu Lodaya, kau hanya membuang-buang waktu sia-sia! Mengadakan perjalanan sejauh itu tanpa hasil sementara mayat demi mayat semakin bergeletakan dalam istana Sultan Banten!"

"Apa maksudmu?! Katakan siapa kau adanya!" ujar Empu Lodaya.

Orang itu menyeringai dan usap-usap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu panjang tapi jarang. "Seminggu setelah kau meninggalkan Banten, adik perempuan sepupu Sultan ditemui telah jadi mayat di tepi kolam istana. Selagi kau kasak kusuk di pantai utara, satu lagi orang terdekat dan dikasihi Sultan menemui ajal. Pangeran Artakusumah!"

Empu Lodaya dan dua pengiringnya tentu saja kaget sekali mendengar ucapan itu. Berarti empat orang sudah menemui kematian di tangan Ki Balangnipa! Berarti segala penjagaan dan pengawalan yang dilakukan untuk melindungi keselamatan keluarga Sultan sama sekali tidak berdaya menghadapi musuh tunggal itu!

Demikian hebatnyakah ketinggian ilmu Ki Balangnipa sehingga tidak ada yang dapat membendungnya. Atau memang selain hebat dia juga cerdik dan licin, mampu menembus istana tanpa banyak kesulitan.

"Orang tak dikenal! Apa maksudmu memberi tahu hal itu padaku?!" Empu Lodaya lemparkan pertanyaan. Yang ditanya kembali tertawa, tapi tidak sekeras tadi.

"Jadi kau masih belum tahu tingginya gunung dalamnya lautan. Masih belum jelas tengah berhadapan dengan siapa! Jika kau masih berumur panjang kau akan menyaksikan korban-korban kelima, keenam dan seterusnya!"

Paras Empu Lodaya jadi berubah. Juga kedua pengiringnya. Ketika orang tua ini berkata, "Jadi kau ... kau Ki Balangnipa!"

Si baju hitam tertawa lagi. "Mungkin kau perlu bukti!" katanya. Entah kapan tangan kanannya bergerak tahu-tahu kini dia telah menimang-nimang sebuah benda terbuat dari perak, berbentuk bintang!

"Ah, benar. Manusia ini adalah Ki Balangnipa!" membatin Empu Lodaya ketika dia mengenali senjata rahasia berbentuk bintang yang pernah dilihatnya menembus tubuh Jaka Luwak dan sekaligus membunuhnya dua tahun yang silam.

Si baju hitam gerakkan tangan kanannya. Senjata rahasia bintang perak itu melesat ke arah pengiring Empu Lodaya yang di sebelah kanan. Detik itu juga terdengar pekiknya. Tubuhnya jatuh dari punggung kuda, terjungkal dan melingkar di tanah. Pada keningnya menancap senjata rahasia bintang perak itu!

Tubuh Empu Lodaya bergetar. "Manusia pengecut! Beraninya hanya membunuh orang-orang tak berdaya!" teriak sang empu marah.

"Aku pun tidak segan-segan menghabisi nyawamu orang tua! Sekalipun kau bukan termasuk sepuluh orang yang berada dalam daftar mautku!" Ki Balangnipa tertawa panjang. Tangan kanannya kembali bergerak. Kembali pula senjata bintang perak melesat dengan kecepatan setan!

Melihat senjata rahasia itu menderu ke arahnya, Empu Lodaya cepat melompat dari atas kuda. Sambil melayang ke tanah dia pukulkan tangan kirinya ke depan. Serangkum angin menerpa bintang perak. Tapi dia tertipu. Senjata itu sebenarnya memang tidak ditujukan ke arahnya. Karena sesaat kemudian terdengar pekik pengiringnya yang kedua sewaktu bintang perak dengan ganas menembus tenggorokannya!

"Biadab!" kertak Empu Lodaya. Sebelum tubuh pengiringnya jatuh mencium tanah orang tua ini sudah menghantamkan satu pukulan tangan kosong dari jarak dua langkah. Deru angin pukulan yang keluar dari tangan kanan Empu Lodaya diam-diam mengejutkan Ki Balangnipa. Tetapi sambil keluarkan suara mendengus dan mengejek Ki Balangnipa cepat menghindar.

"Tukang pisau dapur! Hari ini kau akan mati sia-sia!"

Bukan main panasnya hati Empu Lodaya diejek sebagai tukang pisau dapur itu. Meskipun tugasnya memang ahli pembuat senjata kerajaan namun sebagai salah seorang yang ikut bertanggung jawab atas keselamatan Sultan serta keluarganya, orang tua ini tentu saja memiliki kepandaian silat yang tidak rendah. Buktinya begitu serangannya tadi tidak menemui sasaran, orang tua ini cepat berputar. Sekali berkelebat tendangannya menghantam ke arah batok kepala lawan!

"Tukang pisau! Jelek-jelek rupanya kau punya kepandaian juga!" kembali Ki Balangnipa mengejek. Tangan kanannya dinaikkan ke atas, melintang memayungi kepalanya dari tendangan Empu Lodaya. 

Sang Empu yang sudah naik pitam karena diejek direndahkan begitu rupa dan menganggap tangan tak bakal menang dari kaki, teruskan tendangannya bahkan lipat gandakan tanaga dalamnya.

Praak!

Pergelangan tangan beradu keras dengan tulang kering kaki. Empu Lodaya menggigit bibirnya sampai berdarah agar tidak keluarkan suara teriakan karena sakit yang bukan kepalang. Tulang kering kaki kanannya remuk. Tubuhnya melintir. Selagi orang tua ini terbungkuk-bungkuk kasakitan, Ki Balangnipa menyergapnya dengan satu jotosan ke arah perut hingga Empu Lodaya tertekuk ke depan. 

Dalam keadaan seperti ini menyusul satu tendangan dengan tepat menghantam rahangnya. Orang tua itu mencelat lalu menggeletak di tanah. Tapi tidak disangka dia mempunyai daya tahan luar biasa. Meski kaki kanan patah dan dari mulut serta hidung dan telinga kanan keluar darah mengucur, tapi dia merayap bangkit. Terbungkuk-bungkuk Empu Lodaya keluarkan suara menggeram, melangkah mendekati Ki Balangnipa. Di tangan kanannya tampak sebilah golok pendek, terbuat dari perak yang memancarkan sinar berkilau oleh pantulan sinar mentari pagi.

"Aha! Rupanya inilah pisau dapur buatanmu! Baru kali ini aku melihat pisau dapur sebesar ini!" Ki Balangnipa tertawa mengejek. Dia tegak menunggu sambil bertolak pinggang. Ketika Empu Lodaya menusukkan senjatanya ke arah perut, dengan mudah Ki Balangnipa berkelit sambil susupkan satu tendangan ke perut si orang tua.

Untuk kadua kalinya Empu Lodaya tarpental. Golok pendek terlepas dari tangannya. Ki Balangnipa cepat menyambar senjata itu. Begitu berhasil menggenggam hulu golok, dia segera membacokkannya ke kepala Empu Lodaya yang saat itu tengah mengerang megap-megap tanpa daya untuk selamatkan diri dari bacokan maut senjata miliknya sendiri! Namun justru di saat itu Ki Balangnipa mendengar suara gemerisik di belakangnya, disusul oleh suara tawa bergelak.

"Ikan besar berbaju hitam! Aih... Tentu enak kalau dipanggang!"

* * * * * * * *
SEMBILAN

KI BALANGNIPA bertindak cepat, melompat ke samping seraya lepaskan pukulan ke belakang dari arah mana barusan terdengar suara bergemerisik serta suara tawa. Tapi apa lacur. Gerakan orang jauh lebih cepat. Tokoh silat ini tahu-tahu dapatkan sekujur tubuhnya telah terperangkap dalam sebuah jala besar. Segera dia berontak dan coba renggutkan jala itu. Namun semakin keras gerak-rontanya, semakin kencang cengkaman jala!

"Keparat!" maki Ki Balangnipa. Golok yang tadi hendak dipakainya, untuk membunuh Empu Lodaya kini ditabaskan kiri kanan untuk membabat putus tali-tali jala, namun alangkah kagetnya ketika melihat kenyataan jala itu tidak sanggup diputus oleh ketajaman golok! Sambil menggereng merah Ki Balangnipa dalam keadaan terjerat putar tubuhnya.

Kira-kira delapan langkah di hadapannya tampak berdiri seorang kakek berambut kelabu, mengenakan celana hitam dan berselempangkan sarung. Kedua matanya jereng dan dia tak hentinya tertawa. Dia memegang sasuatu yang bukan lain adalah ujung jala yang membungkus tubuh Ki Balangnipa!

"Penjala keparat! Jadi kau rupanya yang berani barlaku curang! Menyerang dari belakang!" bentak Ki Balangnipa marah dan diam-diam kerahkan tenaga dalam pada kedua telapak tangannya.

"Aih! Jangan salah sangka!" menyahuti si kakek jereng yakni Manik Aryapala alias si Penjala Sakti. "Aku tidak menyerang siapa-siapa! Hanya menangkap seekor ikan hitam! Besar nian rejekiku hari ini!"

Habis berkata begitu Si Penjala Sakti tarik jalanya. Tapi orang tua ini jadi kaget ketika bagaimana pun dia mengerahkan tenaga, tubuh Ki Balangnipa yang ada di dalam jala tak bisa tertarik, bahkan bergeser pun tidak kedua kakinya! Dan Si Penjala Sakti tambah kaget sewaktu dilihatnya Ki Balangnipa menggerakkan kedua tangannya.

Bret! Bret ...! Bret...!

Jala tebal itu koyak putus-putus. Sesaat kemudian Ki Balangnipa telah melompat keluar dari bungkusan jala! Begitu ke luar langsung dia menyerang Si Penjala Sakti. Maka terjadilah perkelahian yang seru di antara kedua tokoh silat ini, sementara Empu Lodaya yang terhampar di tanah, hanya bisa menyaksikan kejadian itu sambil mengerang kesakitan.

Sepuluh jurus berlalu Si Penjala Sakti segara maklumi bahwa lawan hampir dua tingkat lebih tinggi kepandaiannya. Untung saja dia memiliki kecepatan gerak yang luar biasa hingga setiap serangan Ki Balangnipa sanggup dikelit atau dihindarinya. Berulang kali lawan berusaha untuk kontak kekuatan dengan jalan hendak memperadukan pukulan tangan atau tendangan kaki.

Si Penjala Sakti yang mengetahui lawan memiliki tenaga dalam lebih tinggi terpaksa bekerja keras untuk menghindarkan bentrokan langsung. Gemas melihat lawan sanggup mengelakkan semua serangannya Ki Balangnipa berteriak keras. Bersamaan dengan itu dia membuka baju hitamnya.

"Aih…..aih! Kenapa cuma bajumu saja yang kau buka? Mengapa tidak celanamu juga agar telanjang sekalian?!" berteriak Si Penjala Sakti. Nadanya mengejek tetapi kakek ini maklum kalau pakaian hitam milik lawan adalah merupakan satu senjata yang sangat berbahaya. Kehebatan pakaian itulah yang membuat nama Ki Balangnipa menjulang di antara para tokoh dan ditakuti di mana-mana. Si Penjala Sakti segera tutup jalan nafasnya.

"Nelayan buruk!" membentak Ki Balangnipa. "Keluarkan seluruh kepandaianmu. Kalau tidak kau akan mampus dengan tubuh lumat!"

Ki Balangnipa putar-putar pakaian hitamnya di atas kepala. Terdengar siuran angin kencang sekali. Hembusan angin yang keluar dari baju hitam itu menebar bau apek yang dapat menyesakkan jalan pernafasan. Untung saja si Penjala Sakti telah menutup penciumannya. Namun demikian kekuatan lain dari pakaian hitam itu yakni kekuatan yang sanggup melumpuhkan lawan kini mengancam si kakek mata jereng.

Untuk membuat agar sambaran angin tidak mengenai tubuhnya, Si Penjala Sakti lepaskan pukulan-pukulan tangan kosong kiri kanan susul menyusul. Mula-mula arus serangan baju hitam di tangan lawan seperti terbendung. Namun ketika Ki Balangnipa mulai berputar-putar mengelilingi lawannya. Si Penjala Sakti menjadi sibuk.

Selain hawa yang melumpuhkan yang harus dihindarinya, dia juga harus waspada karena setiap saat ujung tangan atau ujung kelepak baju hitam itu sanggup menghantam seperti sabatan golok atau tusukan pedang!

Plak! Plak!

Ujung pakaian menampar ganas ke dada dan muka Si Penjala Sakti. Kakek ini jatuhkan diri seraya menyambar jalanya yang telah koyak. Jala ini digulungnya hingga membentuk tongkat lemas dan panjang, kemudian dipergunakan untuk menghadapi baju hitam lawan. Karena jala itu juga dialiri kekuatan tenaga dalam maka perkelahian berkecamuk tambah dahsyat. Dua batang pohon jati tumbang. Pertama patah kena hantaman lengan baju hitam, satunya lagi tersambar gulungan jala!

Sepuluh jurus lagi berlalu. Bagaimana pun hebatnya perlawanan Si Penjala Sakti tetap saja Ki Balangnipa lebih unggul. Apalagi Si Penjala Sakti tak dapat menutup jalan nafasnya terus menerus. Sesekali dia harus membuka pernafasan untuk menghirup udara baru. Baru sedikit saja dia membuka penciuman, bau apek yang menebar dari pakaian hitam Ki Balangnipa langsung merambas masuk rongga hidungnya. Kakek ini tersengal dan batuk-batuk. Gerakannya tiba-tiba saja menjadi lamban.

"Celaka!" keluh Si Penjala Sakti. Dia hantamkan jalanya ke arah leher lawan. Jala ini laksana seekor ular siap menggelung leher Ki Balangnipa.

Tapi Ki Balangnipa yang sudah melihat gerakan lamban serta air muka yang berubah dari lawannya, dengan cepat sebatkan pukulannya ke atas. Salah satu lengan pakaian serta merta menggelung pertengahan jala. Sekali dia menarik maka jala itu pun lepas. Lalu lengan pakaian yang lain seperti hidup, menggelepar ke arah dada si Penjala Sakti.

Buk!

Si Penjala Sakti mengeluh tinggi. Tubuhnya mencelat. Dadanya terasa seperti dihantam batu besar. Kedua matanya yang jereng berputar nanar. Terasa ada darah panas dan asin di mulutnya. Sesaat ketika tubuhnya hendak jatuh terhempas ke tanah, orang tua ini merasa kaget karena tubuhnya mengambang di udara, tertahan oleh sesuatu. Dia jatuh dalam pelukan seseorang. Sebelum dia sempat mengetahui siapa orang yang mendukungnya itu, satu suara bertanya.

"Kek, kau terluka dan merasa sakit?"

* * * * * * * *
SEPULUH

SI PENJALA SAKTI mendongak ke atas. Ketika dia melihat wajah itu, dia pun menyeringai. Walau dadanya sakit bukan kepalang namun dia sempat tersenyum dan menjawab.

"Tidak, aku tidak apa apa….! Turunkan aku! Tak pantas sudah tua bangka begini digendong seperti anak kecil!"

Mahesa Kelud ikut tersenyum dan turunkan tubuh Si Penjala Sakti ke tanah. "Kek, siapa orang tua yang berkelahi setengah telanjang itu. Pakaiannya dikibar-kibar begitu rupa, apa dia tidak sadar bau apek?" berbisik-bisik Mahesa Kelud.

"Jangan anggap enteng iblis biang racun itu! Apa kau lupa. Dialah Ki Balangnipa, penimbul bencana di istana Sultan Banten. Itulah sebabnya kau kusuruh pergi ke Banten. Tak tahunya masih berkeliaran di tempat ini..."

"Apakah ini berarti aku telah menemui tugas yang harus kujalankan kek?"

Si Penjala Sakti mengangguk. "Hanya saja kau harus hati-hati Mahesa. Pakaian hitam si bangsat itu adalah senjata luar biasa. Bau apeknya bisa menyesakkan pernafasan dan sambaran anginnya melumpuhkan sekujur badan. Kalau kau menghadapinya, harus bertindak cepat. Kau punya dua senjata sakti. Pergunakan salah satunya."

Mahesa Kelud mengangguk, lalu maju dua langkah mendekati Ki Balangnipa. Melihat sikap pemuda ini yang jelas hendak ikut-ikutan cari perkara Ki Balangnipa segera membentak. Maksudnya hendak membuat lumer nyali orang.

"Apa maumu?! Minta digebuk?!"

Mahesa menjawab dengan balas bertanya, "Benar kau orangnya yang membuat kekacauan di istana Banten?"

"Pemuda bau kencur sepertimu tak layak menanyaiku!"

"Kalau pun kau tak mau mengaku, aku sudah tahu memang kau orangnya yang jadi biang keladi membunuh orang-orang yang tidak berdosa itu!"

Ki Balangnipa tertawa mendengar ucapan Mahesa itu. "Lagakmu seperti tuan besar yang hendak menghukum kacungmu saja!"

"Aku memang hendak menghukummu. Manusia sepertimu harus dibikin tobat seumur-umur!" jawab Mahesa pula.

Kini marahlah Ki Balangnipa. Dia mulai putar-putar baju hitamnya. Sekali gebuk saja pasti pemuda besar mulut ini akan roboh kelojotan, pikir Ki Belangnipa yang tidak memandang sebelah mata terhadap Mahesa. Padahal kalau saja dia mau memperhatikan bagaimana tadi Mahesa tiba-tiba muncul dan dengan sigap menangkap tubuh Si Penjala Sakti yang terpental, dia seharusnya dapat menilai kalau pemuda itu bukan serendah yang disangkanya. Pergelangan tangan Ki Balangnipa bergerak.

Wut! Baju hitam berputar setengah lingkaran. Bau apek menebar, menyambar ke arah muka Mahesa Kelud.

Wut! Bagian lengan pakaian menghantam ke tenggorokan pemuda itu, Mahesa mundur selangkah. Hantaman lengan pakaian tak sempat mengenai lehernya. Sebaliknya bau apek menembus pernafasannya dan sambaran angin pakaian yang aneh membuat persendian di tubuhnya seperti lunglai. Namun saat itu pula terjadilah satu keanehan. Dari pinggang kiri si pemuda, di mana terselip Keris Ular Emas merambas hawa hangat yang langsung menolak hawa busuk yang masuk lewat penciuman serta memusnahkan hawa jahat yang hendak melumpuhkan tubuhnya.

Plak!

Ujung leher pakaian hitam di tangan Ki Balangnipa menghantam dada Mahesa, tepat seperti tadi Si Penjala Sakti kena dilabrak. Mahesa terpental, jatuh duduk.

"Celaka'" keluh Si Penjala Sakti.

Tapi Mahesa cepat bangkit kembali. Membuat Ki Balangnipa terkejut. Si Penjala Sakti saja keluarkan darah dan terluka di dalam oleh hantaman pakaian saktinya. Apakah pemuda ini jauh lebih hebat dari kakek mata jereng itu?!

Sewaktu menerima pukulan baju hitam sakti itu tadi, Mahesa telah bentengi dadanya dengan aji karang sewu sehingga meskipun dorongan keras membuatnya jatuh duduk, namun tubuhnya luar dalam tidak cedera sama sekali. Sepasang mata Ki Balangnipa membeliak dan berapi-api. Seumur hidupnya tak pernah dia menemukan lawan yang bisa selamat dari hantaman baju hitamnya. 

Diselimuti rasa tak percaya bercampur marah kembali tokoh silat dari Gunung Gede itu menyerbu dengan baju saktinya. Angin menderu-deru laksana topan prahara. Daun-daun pohon jati rontok dan jatuh ke tanah. Debu pesir beterbangan. Batang-batang pohon jati yang sudah tua bergoyang-goyang. Kulit kayunya retak pecah-pecah. Si Penjala Sakti jejakkan ke dua kakinya kencang-kencang ke tanah agar tidak jatuh disambar angin dahsyat yang keluar dari baju hitam Ki Balangnipa. 

Empu Lodaya yang terkapar di tanah dan mengerang kesakitan karena sampai saat itu tak seorang pun yang datang menolong, kini terpaksa telungkupkan badan di tanah dan pejamkan kedua matanya agar tidak kemasukan debu dan pasir.

Mahesa sendiri merasakan tubuhnya bergetar keras hingga dia cepat-cepat kerahkan tenaga dalam sambil memasang kuda-kuda setengah berlutut. Ketika ujung lengan kanan baju di tangan lawan membeset ke arah kepalanya, pendekar ini cepat membungkuk. Tubuhnya miring ke belakang tapi kaki kanannya tiba-tiba menderu mencari sasaran di perut lawan. 

Ki Balangnipa berseru keras. Begitu serangannya gagal, ujung lengan baju yang satu lagi ganti menyambar, kini menghantam ke arah bahu kanan Mahesa Kelud. Tapi serangan ini pun gagal karena Mahesa saat itu sudah jatuhkan diri, berguling di tanah, sesaat bangkit berdiri dengan cepat dia dorongkan tangan kanannya ke depan.

Segulung angin bergulung menyapu ke arah Ki Balangnipa. Debu dan pasir kembali beterbangan menutupi pemandangan. Daun-daun pohon jati semakin banyak yang rontok berguguran. Inilah Pukulan "Menembus Ombak Membelah Gelombang" yang didapat Mahesa Kelud dari mendiang gurunya Embah Jagatnata alias Simo Gembong. Ki Balangnipa terkesiap ketika melihat datangnya gulungan angin deras itu.

"Pemuda tak dikenal ini, siapakah dia sebenarnya?!" membatin Ki Balangnipa. Meskipun kagum tapi juga jadi penasaran. Sambil melompat ke atas untuk menghindari sambaran angin pukulan lawan, dia kebutkan baju hitam di tangan kanannya.

Dess!

Angin dahsyat dari baju sakti saling bentrok dengan angin pukulan Mahesa Kelud. Bukit jati itu bergetar. Tanah di atas tempat beradunya dua kekuatan dahsyat muncrat mental ke atas. Di tanah itu kini kelihatan sebuah lobang yang cukup dalam. Si Penjala Sakti leletkan lidah. 

Mahesa Kelud tegak dengan sepasang lutut bergoyang keras sedang Ki Balangnipa berubah parasnya. Dia tak sempat berpikir lebih jauh karena saat itu tiba-tiba dilihatnya Mahesa Kelud melompat ke arahnya dengan kedua tangan terkembang ke samping, seperti seekor rajawali yang siap mencengkeram dan mematuk mangsanya!

Ki Balangnipa kebutkan baju hitamnya dalam gerakan aneh dan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang ada. Kini bukan debu dan pasir saja yang beterbangan, tanah pun ikut bermentalan ke udara. Dan selagi tubuh Mahesa melayang di udara Ki Balangnipa lemparkan senjata rahasianya. Lima bintang perak melesat ganas ke arah Mahesa Kelud.

"Pengecut curang!" teriak Si Penjala Sakti ketika sempat melihat apa yang dilakukan Ki Balangnipa. Dengan jalanya yang sudah rusak sembrawutan dia menghantam ke udara. Dua bintang perak mental. Tapi tiga lainnya terus menerjang Mahesa Kelud.

"Celaka!" seru Si Penjala Sakti. Dia tak berdaya lagi untuk menolong. Tetapi Mahesa Kelud memang tidak perlu pertolongan lebih lanjut. Selarik sinar merah berkiblat di udara dibarengi suara deru seperti tawon mengamuk. Terdengar tiga kali suara berdentringan. Tiga bintang perak senjata rahasia Ki Balangnipa mental dan hancur. Sinar merah menukik membelah udara.

Bret! Bret!

Baju hitam di tangan Ki Balangnipa kini berubah menjadi tiga potong. Dua potong jatuh ke tanah, sisanya yang sepotong lagi masih tergenggam di tangannya. Dengan muka pucat pasi Ki Balangnipa melompat mundur. Mulutnya tergagap ketika dia berkata, "Pe... pedang Dewa!" Rupanya Ki Balangnipa sudah mengetahui senjata apa yang ada di tangan lawannya.

"Jadi... kau muridnya... muridnya Suara Tanpa Rupa!" seru Ki Balangnipa.

Mahesa tak menjawab. Justru yang membuka mulut adalah Si Penjala Sakti. "Siapa pemuda itu adanya bukan urusanmu! Balangnipa, apapun kepandaianmu kau tak bakal dapat mengalahkannya! Menyerahlah! Jika kau bertobat siapa tahu Sultan mau memperingan hukuman atasmu!"

Ki Balangnipa meludah ke tanah. Meskipun tengkuknya memang bergeming dingin karena tahu kehebatan Pedang Dewa yang memancarkan sinar merah angker di tangan lawan, namun dia tidak bisa percaya akan kalah begitu saja di tangan pemuda tak bernama itu.

Menyerah sudah barang tentu tak bakal dilakukannya! Dia lebih baik bunuh diri dari pada diadili di Banten. Dia yakin tak ada keringanan hukuman baginya. Satu-satunya yang bakal menyambutnya di Banten jika dia sampai tertangkap hidup-hidup adalah tiang gantungan atau papan pemancungan!

Ki Balangnipa keluarkan bentakan garang. Kaki kanannya menderu ke perut Mahesa Kelud. Melihat lawan kini tidak memegang senjata apa-apa, jiwa ksatrianya membuat Mahesa segera memasukkan Pedang Dewa kembali ke sarungnya. Melihat hal ini diam-diam Ki Balangnipa merasa lega. Tapi dia kecele kalau merasa tanpa pedang sakti di tangan dia akan mudah merobohkan si pemuda.

Dia menggereng ketika tendangannya luput lalu berjingkrak ke udara. Tiba-tiba tubuh Ki Balangnipa tampak berputar seperti gasing. Tangan dan kakinya terkembang. Dua batang pohon yang kena hantaman kaki dan tangannya patah dan tumbang. Inilah jurus silat langka yang sangat berbahaya bernama "kitiran maut"!

Apa saja yang terkena sambaran kaki atau tangan akan terbabat putus atau dihantam hancur. Kitiran maut bukan saja merupakan jurus serangan yang dahsyat tapi sekaligus juga merupakan jurus bertahan yang kokoh.

Mahesa Kelud melompat mundur untuk meneliti gerakan serangan aneh ini lalu coba susupkan satu jotosan ke kepala Ki Balangnipa yang ikut berputar. Tapi pemuda ini cepat tarik pulang serangannya ketika salah satu kaki dan tangan lawan mendadak melesat ke arah tenggorokan dan selangkangannya. Selagi dia melompat untuk menghindari serangan susulan, tubuh Ki Balangnipa yang berputar itu cepat sekali melesat ke arahnya.

Dari tempatnya berdiri menyaksikan jalannya perkelahian Si Penjala Sakti geleng-geleng kepala. Dia tahu betul, itu adalah ilmu simpanan Ki Balangnipa yang terakhir. Meskipun dia tadinya yakin si orang tua tak bakal dapat mengalahkan pemuda itu, tapi kini hati kecilnya diliputi rasa was-was.

Ketika tubuh berputar datang mengejar Mahesa Kelud segera lafatkan aji karang sewu, dan salurkan tenaga dalamnya ke empat anggota badan yakni sepasang tangan dan kedua kaki. Sesaat lagi tubuh lawan datang menghantam Mahesa langsung menyongsong sambil susupkan jurus "menembus ombak membelah gelombang"

Buk! Buk!

Praak! Dua sosok tubuh saling beradu keras lalu sama-sama tarpental. Satu langsung terkapar tak berkutik lagi, satunya lagi masih bisa tegak walau terhuyung-huyung!

Mahesa tegak bersandar ke batang pohon jati sambil pegangi dadanya yang mendenyut sakit. Lututnya masih tergetar dan seperti ditusuk-tusuk. Ketika terjadi bentrokan tadi, tinju Ki Balangnipa manghantam dadanya sedang tendangan kaki mendarat di lututnya. Kalau saja dia tidak membentengi diri dengan aji karang sewu pasti dada dan tulang lututnya sudah remuk.

Pemuda ini atur jalan nafas dan peredaran darahnya. Dia maklum kalau dadanya sebelah dalam menderita cidera walau tak sampai membahayakan jiwanya. Beberapa langkah di hadapannya tubuh Ki Balangnipa terkapar di tanah tanpa nafas lagi. Kepalanya sebelah kiri remuk hancur akibat pukulan karang sewu yang dilepaskan Mahesa dengan tangan kanannya.

"Semua berakhir sudah! Semua berakhir sudah!" terdengar suara Si Penjala Sakti seraya melangkah mendekati Mahesa dan menepuk-nepuk bahu pemuda itu.

"Kakek, apakah ini berarti aku telah menjalankan tugas yang kau berikan dan membayar impas hutang piutang budi dan nyawa di antara kita?" tanya Mahesa Kelud.

Si kakek tertawa. "Tak ada hutang piutang!" katanya. "Menjadi kewajiban kita untuk menyingkirkan manusia-manusia jahat dan sesat seperti yang satu itu!"

"Kalau begitu aku tak perlu lagi pergi ke Banten," kata Mahesa karena sejak lama dia ingin segera pergi ke timur.

"Siapa bilang tidak perlu!" satu suara menyahuti. "Aduh, tolong aku.....!"

Mahesa dan Si Penjala Sakti baru ingat pada Empu Lodaya. Keduanya segera menolong orang tua itu. Sang empu memandang sejurus pada Mahesa. Sambil menyeka sudut bibirnya dia berkata,

"Anak muda, bukankah kau yang bernama Mahesa, yang dulu menjadi pembantu Ekawira, pernah ikut mengabdi pada kesultanan Banten...?"

Mahesa hanya mengangguk perlahan.

"Kau harus ikut aku ke Banten! Kau harus menghadap Sultan!"kata Empu Lodaya.

"Eh, kenapa begitu?" tanya Mahesa.

"Jangan banyak tanya! Apa kau tidak menyadari bahwa kau baru saja menyelamatkan kerajaan dari malapetaka besar yang disebabkan oleh manusia bernama Ki Balangnipa itu? Apa kau tidak tahu bahwa kau baru saja menyelamatkan enam nyawa dari orang-orang yang dikasihi Sultan?"

Mahesa angkat bahu. Empu Lodaya menarik bahu pakaian si pemuda. "Kau harus ke Banten menghadap Sultan! Aku percaya kau akan diangkatnya jadi Kepala Balatentara Banten."

Si Penjala Sakti tersenyum-senyum. "Wah, rejekimu besar nian Mahesa," katanya. Tapi dia sudah tahu apa bakal jawab pemuda itu.

"Orang tua, siapa pun kau adanya aku berterima kasih atas maksud baikmu membawaku ke Banten," kata Mahesa. "Hanya saja aku tidak ingin mendapatkan balas jasa apa-apa. Semua kulakukan karena kakekku ini!"

"Tidak bisa!" sahut Empu Lodaya. Pegangannya pada Mahesa semakin diperkencang.

"Kalau begitu maumu, baiklah. Mengingat kau terluka cukup parah, maka berangkatlah dulu naik kuda. Aku menyusul kemudian..." kata Mahesa pula.

"Aku akan mendampinginya sampai di pintu gerbang Kotaraja.'' berkata Si Penjala Sakti. Lalu kakek ini cepat-cepat menaikkan Empu Lodaya ke atas kuda. Keduanya meninggalkan tempat itu. Empu Lodaya sesekali menoleh ke belakang, ke arah Mahesa Kelud yang masih tegak di puncak bukit jati itu.

"Aku kawatir, dia tidak menepati janjinya," kata Empu Lodaya.

"Dia tak akan menyusul kita ke Banten..." Si Penjala Sakti menyeringai. "Kau tahu pasti hal itu sahabatku. Apa pun yang diberikan Sultan Banten padanya dia tak akan mau menerima. Pendekar sejati seperti dia tak pernah mengharapkan balas jasa. Bertindak tanpa pamrih…."

"Sayang.... sayang. Sultan dan rakyat Banten benar-benar berterima kasih padanya," ujar Empu Lodaya. Lalu menambahkan. "Kalau saja aku punya anak gadis. Pasti kujodohkan dengan pemuda itu. Dia sangat tampan. Ilmunya tinggi pula…"

Si Penjala Sakti tertawa mengekeh.

"Kenapa kau tertawa?!" tanya Empu Lodaya seraya pegangi pipinya yang mendenyut sakit.

"Mana mungkin kau punya anak gadis! Sampai setua ini kawin saja pun kau belum...!" sahut Si Penjala Sakti.

Kedua tua renta itu kemudian sama-sama tertawa terpingkal-pingkal.
                           
                       Kolam Iblis