Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin

Cerita Silat Indonesia Serial Mahesa Kelud episode Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin karya Bastian Tito
Sonny Ogawa

Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin


SATU

Hari masih pagi, matahari belum naik tinggi, butiran-butiran embun pada dedaunan masih kelihatan di sana sini, berkilau-kilauan laksana intan berlian karena sorotan sang surya. Mahesa Kelud berdiri di ambang pintu belakang rumah di hutan Bangil itu.

"Wulan," katanya memanggil. Gadis yang dipanggil datang dan berdiri disampingnya. Tidak seperti biasanya kali ini si gadis berdiri dengan agak kikuk. Mungkin karena teringat pada peristiwa kemarin malam yaitu saat dimana mereka berkasih mesra bercumbu-cumbuan.

"Pagi yang indah bukan, Wulan?"

Si Gadis anggukkan kepala.

"Bagaimana kalau kita berlatih memperdalam ilmu pedang yang diajarkan oleh mendiang kakekmu?"

"Baiklah, Mahesa. Aku akan ambil pedangku," kata si gadis dan masuk ke dalam. 

Mahesa yang berdiri menunggu di ambang pintu belakang memasang telinganya. Lapat-lapat didengarnya suara krasak krisik di kejauhan. Detik demi detik suara itu semakin jelas tanda semakin dekat. Mahesa tahu benar bahwa suara yang didengarnya itu adalah suara semak belukar dan tanaman-tanaman rendah disibakkan orang. Dan benar saja, ketika dia putar kepala ke sebelah kirinya maka terlihatlah semak belukar lebat di sebelah sana tersingkap dan muncullah satu kepala berkuncir. 

Manusia ini memakai jubah hitam dan di belakangnya menyusul beberapa orang yang memakai jubah putih dan berkepala botak! Mahesa Kelud terkejutnya bukan main ketika melihat keenam manusia yang muncul dari balik semak-semak itu. Dia serasa tidak percaya. Mereka tak lain adalah Resi Waranganaya dan Lima Brahmana sesat. Cepat-cepat Mahesa berlindung ke balik dinding dekat pintu. Tapi Waranganaya Toteng keburu melihatnya. 

Dan berserulah resi itu, "Kawan-kawan! Kita berhasil menemui mereka! Aku barusan lihat bangsat yang laki-laki tadi di ambang pintu rumah itu! Mari kita bereskan mereka sebelum keduanya kabur!"

Di dalam rumah... "Wulan!"

"Ya, Mahesa...." Wulansari keluar dari dalam kamar dengan pedang di tangan. Melihat air muka pemuda itu dia jadi terkejut. 

"Ada apa?" tanyanya.

"Tinggalkan rumah ini cepat! Resi bangsat dan Lima Brahmana itu datang ke sini! Mereka berhasil mengetahui tempat kita! Kita tak akan sanggup melawan mereka. Mari lari sebelum terlambat!"

Kedua orang itu kemudian meninggalkan rumah, lari lewat pintu muka. Waranganaya dan kawan-kawannya yang baru saja hendak mengurung rumah, begitu melihat kedua orang tersebut melarikan diri segera mengejar sambil berteriak,

"Manusia-manusia ingusan! Menyerahlah dan berlutut di hadapan kami! Kalian tidak akan bisa lari jauh!"

Mahesa Kelud dan Wulansari tidak mengacuhkan peringatan itu. Mereka mempercepat lari masing-masing sambil bergandengan tangan. Keenam pengejar berhasil mereka tinggalkan jauh di belakang. Sebenarnya bukan ilmu lari kedua anak muda ini yang membuat mereka bisa meninggalkan jauh para pengejarnya tapi adalah karena mereka tahu seluk beluk keadaan dalam hutan belantara itu sehingga sementara Waranganaya dan Lima Brahmana masih sibuk menyibak-nyibakkan semak belukar yang menghalang dalam pengejaran mereka.

Wulan dan Mahesa sudah jauh di depan mereka. Tapi kedua murid Pendekar Budiman ini tidak bisa lama meninggalkan musuh-musuh mereka. Begitu mereka keluar dari hutan belantara maka membentanglah sebuah lembah terbuka yang menurun.

"Celaka!" kata Mahesa Kelud. "Di tempat terbuka ini mereka pasti bisa menyusul kita! Percepat larimu, Wulan!"

Benar saja, ketika keduanya baru menuruni bagian leguk dari lembah itu maka keenam pengejarnya keluar dari dalam hutan. Waranganaya Toteng berada paling depan sekali. Ini membuktikan bahwa ilmu larinya lebih tinggi dari pada kelima Brahmana yang menyusul di belakangnya. Lima Brahmana itu segera mengeluarkan senjata rahasia mereka yaitu berupa pisau-pisau pendek berkeluk serta mengandung racun mematikan. Lima pisau kemudian meluncur pesat kearah kedua muda mudi yang lari menyelamatkan diri itu. 

Mahesa Kelud dan Wulansari mencabut pedang masing-masing dan sambil lari mereka memutar senjata itu di belakang punggung. Kelima pisau berkeluk kena tertangkis tapi anehnya begitu kena benturan pedang segera berbalik dan menyerang kembali! Inilah kehebatan senjata rahasia Lima Brahmana itu! 

Kedua muda mudi ini terkejut bukan main. Dengan serta merta mereka jatuhkan diri dan bergulingan di lembah yang menurun itu! Untung saja lembah itu menurun sehingga dengan bergulingan menyelamatkan diri dari lima senjata rahasia itu mereka sekaligus berhasil memperjauh diri dari para pengejarnya.

Melihat kelima kambratnya sudah keluarkan senjata rahasia maka Waranganaya Toteng tidak tinggal diam. Dia segera kebutkan ujung-ujung berumbai ikat pinggang jubah hitamnya. Meskipun Mahesa Kelud dan Wulansari berada lebih dari seratus langkah di mukanya namun kedua orang ini terpaksa harus menghindarkan diri dengan cepat karena angin pukulan berbahaya yang keluar dari rumbai-rumbai itu berhasil mencapai mereka dan terasa panas.

"Celaka Wulan! Cepat atau lambat kita pasti tertawan oleh mereka!" kata Mahesa sambil terus lari dengan terhuyung-huyung.

"Tuhan! Embah Jagatnata tolong kami...!" teriak Mahesa Kelud menyebut nama Tuhan dan nama gurunya.

"Ayah! Tolonglah anakmu ini! Tolong kami,"seru Wulansari.

Dan pada saat itu terjadilah sesuatu keanehan yang luar biasa! Entah dari mana datangnya tahu-tahu muncullah seekor anak rusa. Binatang ini berlari cepat sambil melompat-lompat dan menghalang-halangi larinya keenam pengejar itu.

"Binatang keparat!" maki Waranganaya dengan geram sambil menendang binatang itu dengan kaki kanannya. 

Tapi dengan gerakan melompat yang lucu jenaka, anak rusa itu berhasil menghindarkan tendangan maut sang resi. Binatang itu kemudian melompat-lompat pula di hadapan kelima Brahmana sehingga lari keenam orang itu menjadi kacau balau dibuatnya. Sambil terus mengejar, keenam orang itu terpaksa sibuk menyingkirkan anak rusa yang senantiasa menghalangi lari mereka. 

Tapi binatang kecil ini terus lompat sradak sruduk kian kemari sampai akhirnya karena gemas, salah seorang dari kelima Brahmana cabut goloknya dan memapasi tubuh si rusa. Binatang ini berkelit lucu lalu menyerempet kaki si Brahmana sampai Brahmana itu hampir saja jatuh terserimpung. 

Sementara itu Mahesa dan Wulansari sudah jauh di ujung lembah dan mereka sama menghentikan lari ketika dari jauh melihat bagaimana keenam pengejar mereka lompat sana lompat sini karena lari mereka selalu dihalang dan diserimpung oleh seekor anak rusa. Mahesa dan Wulan saling berpandangan. 

Tiba-tiba pemuda itu berseru. "Lihat! Binatang itu lari ke sini!"

Benar saja. Rusa itu lebih cepat larinya dari pada Waranganaya dan Lima Brahmana yang saat itu kembali mengejar Mahesa dan Wulansari. Boleh dikatakan dalam beberapa kejapan mata saja anak rusa itu sudah berada di hadapan kedua muda mudi ini. Binatang ini melompat-lompat lalu lari masuk ke dalam hutan! Melihat bagaimana binatang kecil ini tadi sanggup menghalangi larinya keenam orang-orang sakti itu bahkan mempermainkan mereka maka baik Mahesa maupun Wulan sama-sama memaklumi bahwa ada suatu keanehan pada binatang ini yang menyatakan bahwa dia bukanlah binatang sembarangan. 

Karenanya tanpa ragu-ragu ketika anak rusa itu melompat ke kiri dan lari masuk hutan kedua orang tersebut segera mengikutinya. Tiba-tiba anak rusa itu menyelinap di antara semak-semak yang lebat, dan menghilang. Mahesa Kelud serta Wulansari berdiri di hadapan semak-semak itu kebingungan dan saling pandang. Di belakang mereka sementara itu Waranganaya Toteng dan Lima Brahmana sudah dekat pula. Dengan ujung pedangnya Wulansari menyibakkan rerumputan semak belukar itu dan satu seruan terdengar keluar dari mulut gadis ini.

"Mahesa, lihat!"

Tak terduga sama sekali di hadapan mereka saat itu, begitu semak belukar disibakkan terlihatlah mulut sebuah gua! Mahesa Kelud berpaling ke belakang. Waranganaya Toteng dan Lima Brahmana tambah dekat. Tanpa pikir panjang Mahesa Kelud segera tarik lengan Wulansari dan keduanya masuk ke dalam gua yang gelap itu.

"Kalau kita harus mati di dalam gua ini, biarlah kita mati bersama!" ujar Mahesa Kelud. 

Bersama Wulansari dia melangkah mengendap-endap. Ternyata gua itu semakin ke dalam semakin besar dan anehnya tambah ke dalam tambah terang. Tahu-tahu mereka sampai di satu ruangan berdinding batu karang empat persegi. Ruangan ini bersih sekali. Di sini tidak terdapat nyala api ataupun pelita atau sinar matahari yang masuk dari luar tapi anehnya ruangan tersebut terang benderang! Dan lebih aneh lagi karena disudut sana, di atas sebuah batu karang yang putih bersih, duduklah anak rusa tadi sambil memandang kepada mereka dan kedip-kedipkan matanya yang kecil jernih.

"Mahesa..." bisik Wulansari sambil memegang lengan pemuda disampingnya. "Kurasa binatang ini bukan binatang sungguhan, tapi binatang jadi-jadian. Mungkin...."

Suara si gadis terpotong dengan serta merta ketika di luar sana, dari mulut gua terdengar suara yang keras. "Anak cucu pemberontak! Kalian keluarlah baik-baik. Kalau tidak kalian akan berkubur di dalam gua ini!" Yang berteriak ini adalah Waranganaya Toteng.

"Celaka! Mereka berhasil mengetahui persembunyian kita, Mahesa...."

"Diamlah," bisik Mahesa. "Siapa tahu mereka tidak benar-benar pasti bahwa kita berada disini."

"Bangsat-bangsat kecil!" terdengar lagi suara Waranganaya Toteng. "Jangan bikin kami orang menjadi tidak sabar! Keluar dengan aman, kalian akan selamat! Cepatlah!"

Mahesa dan Wulansari tegak di tempat masing-masing tanpa bergerak. Kemudian dari mulut gua terdengar suara bersiuran seperti capung terbang. Sebuah pisau melayang ke jurusan mereka. Mahesa Kelud pergunakan pedangnya untuk menyampok senjata rahasia itu. Tapi begitu disampok segera pisau berkeluk ini berputar dan kali ini melakukan serangan kedua. Wulansari babatkan pedangnya dan pisau itu mental kesamping. Sunyi seketika. Anak rusa itu masih saja duduk di tempatnya tadi yaitu di atas batu karang putih dengan tenang sambil menjilat-jilat kakinya.

Di luar gua resi Waranganaya Toteng menjadi geram karena kedua anak muda itu masih juga belum mau keluar. Dia segera genggam ujung ikat pinggang jubahnya dan kebutkan kedalam gua. Angin pukulan yang keras dan panas melesat bersiuran. Di dalam gua, di ruangan batu karang empat segi Mahesa Kelud serta Wulansari dengan cepat melompat ke samping menghindarkan pukulan tenaga dalam yang dahsyat itu. Karena pukulan tersebut tidak mengenai sasarannya maka terus menyambar ke pojok ruangan dimana anak rusa itu duduk.

"Hai, awas!" teriak Mahesa Kelud memberi ingat pada sang rusa. Jangankan seekor rusa, seorang manusiapun bila terkena sambaran angin pukulan ujung rumbai-rumbai ikat pinggang jubah tersebut bisa mati, dan buktinya sudah dilihat oleh Mahesa atas diri Pendekar Budiman alias Sentot Bangil. Tapi inilah suatu kejadian aneh yang hampir tak dapat dipercaya oleh kedua orang tersebut. 

Ketika angin pukulan yang dahsyat itu menyambar ke arahnya, tiba-tiba si anak rusa berdiri di atas batu karang putih dan melompat-lompat kian kemari. Lompatannya itu tidak beda dengan lagak sikap lompatan seekor anak rusa biasa tapi yang anehnya ialah bagaimana dari gerakan lompatannya itu melesat keluar satu kekuatan tenaga yang sangat dahsyat, berputar-putar bergelombang dan memukul kembali angin pukulan rumbai-rumbai ikat pinggang Waranganaya Toteng! 

Di kejauhan di mulut gua terdengar suara seruan-seruan tertahan. Baik kelima Brahmana maupun Waranganaya Toteng sendiri sama-sama meloncat menghindar kesamping gua, tidak mau ambil resiko terluka oleh angin pukulannya sendiri yang dikembalikan!

Butiran-butiran keringat dingin bepercikan di kening Waranganaya Toteng. Disamping terkejut dia juga menjadi sangat heran. Ada apakah didalam gua itu sampai tenaga pukulannya yang dahsyat yang tak pernah satu orang pun sebelumnya sanggup menahan kini dikembalikan sedemikian rupa bahkan hampir saja mencelakainya? Dengan rasa tak percaya sang resi berdiri kembali di depan gua dan kebutkan rumbai-rumbai. Ikatan jubah hitamnya. Hal yang sama terjadi lagi! 

Dari dalam gua keluar sambaran angin sangat keras. Sang resi cepat menghindar kesamping tapi tak urung jubah hitamnya masih kena serempetan angin dahsyat itu dan robek! Muka Waranganaya Toteng pucat pasi seperti mayat. Bulu tengkuknya meremang dan keringat dingin membasahi sekujur badannya. Melihat ini salah seorang dari Lima Brahmana segera bertanya,

"Ada apakah Waranganaya? Parasmu pucat sekali!"

Sebagai orang yang sudah berilmu tinggi dan ditakuti lawan serta disegani kawan maka tentu saja Waranganaya Toteng merasa malu untuk menerangkan hal yang sebenarnya. Maka menjawablah dia,

"Tidak ada apa-apa. Kedua bangsat kecil itu tentu sudah mampus dan berkubur di dalam gua. Mari kita tinggalkan tempat ini!"


***
DUA

DI DALAM gua.... Mahesa Kelud dan Wulansari kini menjadi benar-benar yakin bahwa anak rusa itu bukan binatang biasa, mungkin malaikat atau seorang sakti luar biasa yang merubah diri menjadi seekor anak rusa. Mengingat pula bahwa binatang kecil itulah yang telah me-nyelamatkan nyawa mereka dari serangan Waranganaya Toteng maka tanpa ragu-ragu keduanya segera menjura dan berlutut di hadapan anak rusa itu.

Pada saat itulah terdengar satu suara menggema dan menggetarkan empat dinding karang di ruangan itu. "Berdiri... berdirilah anak-anak muda! Jangan menyembah pada rusa itu, pun jangan menyembah pada manusia atau malaikat karena hanya Tuhanlah satu-satunya kepada siapa seluruh umat menyembah. Berdiri!"

Mahesa Kelud dan Wulansari berdiri dengan cepat. Suara yang mereka dengar adalah suara seorang laki-laki tapi orangnya sama sekali tidak terlihat. Kedua anak muda ini memandang berkeliling. Di ruangan yang terang itu hanya mereka dan sang anak rusa saja yang ada dan binatang ini tampak duduk sambil menjilat-jilat kakinya. Di ruangan itu juga tidak terdapat celah-celah yang memungkinkan timbulnya dugaan bahwa suara tersebut keluar dari celah-celah itu. Kedua orang ini menjadi bingung.

"Jangan khawatir anak-anak muda... jangan takut. Kalian berada di tempat yang aman. Aku sudah lama menunggu kalian. Syukur kalian datang saat ini, syukur sekali!"

Mahesa memandang berkeliling tapi orang yang bicara tetap tidak kelihatan. Mungkin rusa itu yang bicara, pikirnya, tapi ketika diperhatikan si binatang masih tetap duduk di atas batu karang putih seraya menjilat-jilat kakinya.

"Suara tanpa rupa, siapakah engkau? Mengapa tidak mau memperlihatkan diri?" tanya Mahesa.

"Belum saatnya kau harus tahu siapa aku, anak muda. Belum saatnya aku memperlihatkan diri..." terdengar suara jawaban menggema di dalam ruangan batu karang yang terang dan bersih itu.

"Apakah engkau malaikat, suara tanpa rupa?" tanya Wulansari. 

Terdengar suara tertawa bergelak. "Tidak... aku bukan malaikat, aku bukan setan ataupun jin. Aku adalah manusia juga, manusia biasa tak beda dengan kalian...."

Mahesa berpikir, kalau yang bicara ini memang benar manusia adanya maka pasti dia adalah seorang sakti luar biasa. Mahesa Kelud ingat waktu dia dipenjarakan di gua batu karang si Nenek Iblis. Saat itu dia bersebelahan tempat dengan Karang Sewu. Mereka dipisahkan oleh dinding karang yang tebal seperti dinding karang yang ada di hadapannya kini. 

Pada saat Karang Sewu bicara padanya, suara orang sakti itu hanya terdengar perlahan tapi kini suara yang didengarnya sangat jelas, menggema bahkan menggetarkan ruangan itu. Inilah suatu tanda bahwa orang yang berbicara kesaktiannya luar biasa dan jauh lebih tinggi dari kesaktian Karang Sewu!

Mahesa menjura dan berkata, "Suara tanpa rupa, kau telah menolong kami dari bahaya maut. Kami yang rendah ini menghaturkan ribuan terima kasih...."

Terdengar lagi suara tertawa. "Jangan ucapkan terima kasih padaku. Anak rusa itulah yang telah menolongmu, bukan aku...."

Mahesa dan Wulansari memandang pada binatang yang duduk di atas batu karang putih. Rusa ini memandang pula pada mereka dan mengedip-ngedipkan matanya. Mahesa dan si gadis tersenyum lalu anggukkan kepala. Binatang itu seperti seorang anak kecil yang kegirangan melompat-lompat di atas batu karang lalu duduk lagi seperti semula.

"Suara tanpa rupa," kata Mahesa, "Kami rasa kau cukup maklum apa yang telah terjadi atas diri kami sehingga kami terpaksa berani-beranian datang mengotori tempatmu yang suci ini."

"Tidak apa... tidak apa. Aku memang suruh anak rusa peliharaanku itu untuk membawa kalian masuk ke sini. Kalau kalian merasa letih, kalian duduklah!"

Mahesa menggamit tangan Wulansari dan kedua orang itu lantas duduk di atas lantai batu karang yang putih bersih. Maka sesudah itu terdengar pula suara menggema dari orang sakti yang tidak terlihat itu.

"Anak-anak muda, aku sudah lama menunggu kedatangan kalian di sini. Siapakah nama kalian?"

"Aku Mahesa Kelud," menerangkan si pemuda. Terdengar suara tertawa, "Suara tanpa rupa, ada apakah kau tertawa?" bertanya Mahesa Kelud.

"Tidak apa-apa, aku cuma tertawa mendengar nama yang kau sebutkan itu...."

Si pemuda merasa gelisah. Apakah orang sakti itu mengetahui namaku yang sebenarnya, pikir Mahesa.

"Anak gadis, kau sendiri namamu siapa?"

"Aku Wulansari, suara tanpa rupa...."

"Bagus, bagus. Nama kalian gagah-gagah. Sesuai dengan rupa dan budi kalian, kalian pantas menjadi muridku. Itulah sebabnya kutunggu-tunggu kalian...."

Mendengar kata-kata itu Mahesa Kelud dan Wulansari gembiranya bukan main. Betapakan tidak karena mereka akan diangkat menjadi murid oleh seorang sakti luar biasa! Segera keduanya menjura memberi hormat.

"Terima kasih, guru. Kami berdua menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya..." kata Mahesa.

Sang guru yang tidak kelihatan itu mengeluarkan suara tertawa. "Kalian berdua jangan cepat-cepat menjadi gembira. Untuk dapat menjadi muridku sebelumnya kalian harus kucoba lebih dahulu! Aku ingin tahu sampai di mana ketinggian ilmu yang kau dapat dari guru-gurumu sebelumnya! Berdirilah!"

Mahesa dan Wulansari berdiri dengan patuh. Keduanya berpandang-pandangan dan bertanya-tanya dalam hati. Kalau orang sakti itu hendak menguji mereka, bagaimanakah caranya? Dia sendiri tidak kelihatan. Kedua orang ini menunggu dengan hati berdebar. Kemudian terdengar suara,

"Joko Cilik! Kau ujilah mereka!"

Mahesa dan Wulansari sama-sama terkejut. Mereka menyangka bahwa saat itu ke dalam gua telah masuk seorang lain bernama Joko Cilik yang akan menguji mereka. Tapi sampai saat itu mereka berdua serta anak rusa tersebut yang ada di sana. Tiba-tiba anak rusa di atas batu karang putih melompat ke hadapan Mahesa Kelud. Kaki mukanya yang sebelah kanan memanjang lurus ke samping. 

Pemuda ini terkejut karena sambaran kaki binatang itu, meskipun kecil, tapi mengeluarkan angin dingin yang tajam dan deras. Cepat-cepat Mahesa berkelit ke samping. Sedang si anak rusa pada saat itu kelihatan meliukkan tubuhnya dan kini dia melesat ke hadapan Wulansari. Gadis ini yang tidak kalah terkejutnya cepat-cepat melompat mundur. Hampir saja pakaiannya kena disambar ujung kaki anak rusa itu!

Begitu dua kaki mukanya menginjak lantai gua, anak rusa tersebut segera memutar tubuh. Lalu dengan mengandalkan kekuatan kaki belakang dia melompat kembali ke arah Mahesa Kelud. Lompatannya ini seperti tadi juga merupakan satu serangan hebat. Cepat-cepat si pemuda berkelit.

"Mahesa, Wulansari..." terdengar suara menggema dalam gua. "Mengapa kalian diam saja? Layanilah Joko Cilik, anak rusa peliharaanku itu!"

Mahesa dan Wulansari sama terkejut dan saling pandang karena tidak menyangka sama sekali bahwa si anak rusa itulah yang bernama Joko Cilik dan lebih tidak percaya lagi kalau binatang kecil inilah yang harus mereka hadapi sebagai ujian dari orang sakti yang akan mengangkat mereka menjadi murid! 

Maka ketika binatang itu menyerang kembali, Mahesa Kelud dan Wulansari segera bersiap-siap. Untuk lima jurus lamanya kedua muda mudi itu terus-terusan bersikap bertahan. Karena walaupun mereka tahu bahwa anak rusa itu bukan binatang sembarangan, tapi untuk turun tangan melancarkan serangan, mereka tidak sampai hati dan ragu-ragu.

"Ayo, anak-anak muda! Mengapa kalian mengelak terus?! Jangan ragu-ragu, layani Joko Cilik sebagaimana mestinya!" terdengar suara memerintah. 

Kini Mahesa dan Wulansari tidak ragu-ragu lagi. Kedua orang itu segera melancarkan serangan dengan ilmu silat tangan kosong. Sungguh lucu kelihatannya, dua orang anak muda berkepandaian tinggi berkelahi mengeroyok seekor anak rusa yang berkelebat ke sana sini mengelakkan setiap serangan mereka. Tahu-tahu dua puluh jurus sudah berlalu dan sampai saat itu baik Mahesa Kelud maupun Wulansari masih belum berhasil "menyentuh" tubuh Joko Cilik barang satu kalipun! Benar-benar binatang luar biasa anak rusa ini.

"Bagus Joko Cilik! Tak sia-sia kau jadi binatang piaraanku. Mahesa, Wulansari cabut pedang kalian!"

Mendengar perintah itu, kedua anak muda tersebut segera menghunus pedang masing-masing. Tubuh mereka berkelebat cepat, dua pedang bersiuran bergulung-gulung menyerang dan mengurung si anak rusa dari segala penjuru. Tapi jangankan untuk melukainya, bahkan pedang itu tidak berhasil menyentuh sedikitpun tubuh anak rusa ini.

Padahal Mahesa dan Wulansari sudah kerahkan semua ilmu kepandaian bahkan tak jarang serangan-serangan pedang mereka dibarengi dengan pukulan-pukulan tangan kiri berisi tenaga dalam yang tinggi. Tapi laksana seorang yang tengah "akrobat", anak rusa itu melompat kian kemari, jungkir sana jungkir sini, menyeruduk dan menyelinap di antara kedua penyerangnya bahkan tak jarang melesat tinggi melancarkan serangan dahsyat dari atas ke kepala kedua orang itu!

"Cukup Joko Cilik!"

Anak rusa itu melompat tinggi mengelakkan sambaran pedang Mahesa Kelud dan tahu-tahu... beberapa saat kemudian dia sudah duduk kembali di atas batu karang putih di seberang sana dan mulai menjilat-jilat kakinya!

Mahesa Kelud dan Wulansari berdiri dengan tubuh keringatan. Hati mereka sangat kecewa dan malu karena lebih dari lima puluh jurus mereka mengeroyok binatang kecil itu tapi jangankan untuk mengalahkannya, menghadiahkan satu pukulanpun mereka tidak sanggup! 

Bagaimana pula nanti mereka akan menghadapi jago-jago Kadipaten Madiun musuh besar mereka?! Mengingat sampai ke sini Wulansari menjadi putus asa dan rasanya mau saja dia melemparkan pedangnya ke arah anak rusa yang duduk di atas batu karang itu.

"Anak-anak muda," terdengar suara yang menggetarkan ruangan. "Kalau kalian tidak berhasil mengalahkan Joko Cilik, itu bukan berarti bahwa ilmu yang kalian miliki masih rendah dan tak ada artinya! Tidak sekali-sekali. Sebelum kalian, pernah seorang pertapa sakti tersesat ke sini dan berhadapan dengan Joko Cilik. Mereka bertempur seru, sesudah dua puluh jurus dan pertapa itu tidak sanggup mengalahkan Joko Cilik, dia lantas menjura lalu meninggalkan tempat ini dengan sangat malu. Mahesa, Wulansari.... Kalian tak usah kecewa. Ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedang kalian memang belum mencapai tingkat yang tinggi, tapi itu sudah cukup untuk menjadi dasar bagiku dalam menggembleng kalian...!"

Mendengar itu maka senanglah hati kedua muda mudi tersebut. Ruangan batu karang empat persegi itu bergema kembali oleh suara si orang sakti yang berupa perintah pada anak rusa peliharaannya.

"Joko Cilik, untuk sementara tugasmu sudah selesai. Kau kembalilah ke dalam hutan!"

Binatang kecil itu berdiri lurus-lurus dengan hanya mempergunakan kedua kaki belakangnya di atas batu karang putih. Lalu tak ubahnya seperti seorang manusia dia membentangkan dua kaki mukanya ke samping dan merunduk, lantas turun dari atas batu itu dan melompat-lompat di hadapan Mahesa serta Wulansari untuk akhirnya lari dengan cepat meninggalkan gua. Wulansari senyum-senyum melihat kejenakaan binatang itu.

"Mahesa Kelud, Wulansari... kalian duduklah di kiri kanan batu karang putih yang licin itu. Dan dengarlah apa yang aku akan katakan selanjutnya...." 

Setelah Mahesa Kelud dan Wulansari duduk di tempat yang diperintahkan maka suara tanpa rupa itu terdengar pula. 

"Anak-anak muda, aku adalah manusia biasa tak ubahnya seperti kalian. Untuk sementara aku tidak bisa memperlihatkan diri pada kalian. Aku tidak mempunyai nama karena memang ketika aku dilahirkan ke dunia ini aku masih belum diberi nama oleh kedua orang tuaku sedangkan mereka keburu meninggal dunia. Meskipun begitu, aku tidak keberatan jika kalian memanggilku seperti yang kalian sebut tadi yaitu Suara Tanpa Rupa. Mulai hari ini aku angkat kalian menjadi murid-muridku. Aku tidak mempunyai ilmu apa-apa dan tidak akan mengajarkan kepandaian apa-apa kepada kalian. Tapi padaku, di gua batu karang ini, ada sepasang pedang sakti. Senjata-senjata ini akan aku berikan kepada kalian dan senjata-senjata inilah yang akan memberi pelajaran pada kalian masing-masing tanpa dituntun, tanpa diajar, sampai akhirnya kalian berdua memiliki ilmu pedang yang bernama "Dewa-Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin". Sepasang pedang itulah yang akan membimbing kalian untuk memiliki kepandaian tersebut dan juga memberikan tambahan tenaga dalam yang ampuh. Dan seandainya kalian sudah berhasil memiliki ilmu pedang yang hebat itu nanti, beberapa hal harus kalian ingat betul-betul. Pertama, jangan menjadi sombong atau congkak dengan ilmu yang kalian miliki. Kedua, ketahuilah bahwa di atas langit ada lagi langit yang lebih tinggi, di atas setiap orang yang pandai akan selalu ada lagi seorang lain yang lebih pandai, demikianlah seterusnya. Ketiga atau yang terakhir, pergunakanlah ilmu tersebut untuk kebaikan karena bilamana dipakai untuk kejahatan ilmu itu sendiri yang akan menyerang kalian! Kalian dengar pesanku itu...?"

"Dengar, guru..." kata Mahesa Kelud dan Wulansari hampir bersamaan.

"Bagus. Mahesa, kau angkatlah batu karang putih dan licin di sampingmu."

Pemuda itu berdiri dan melangkah ke hadapan batu karang putih di mana anak rusa tadi sebelumnya duduk. Batu ini diangkatnya, beratnya bukan main. Dengan mengerahkan tenaga dalamnya baru dia berhasil mengangkatnya ke samping. Pada dasar batu karang itu kelihatanlah tumpukan pasir halus berwarna sangat merah. Sampai di situ maka terdengarlah suara si orang sakti. 

"Mahesa dan Wulansari, dengar dahulu. Bilamana kalian sudah menguasai ilmu Dewa Pedang Delapan Penjuru Angin, ambillah pasir merah tersebut, masukkan dalam dua buah kantong kulit dan kalian bisa mempergunakannya sebagai senjata rahasia bernama Pasir Terbang. Nah Mahesa kini kau galilah pasir merah tersebut, singkirkan baik-baik ke tepi. Gali sampai akhirnya kau menemui sesuatu...."

Dengan mempergunakan sepuluh jari-jari tangannya Mahesa Kelud menggali pasir merah itu. Makin ke dalam digalinya pasir galian semakin merah sedang lubang galian terang benderang oleh pancaran sinar merah aneh yang keluar dari dasar pasir merah. Akhirnya jari-jari tangan pemuda itu menyentuh sesuatu yang runcing lancip dan memancarkan sinar merah.

"Guru, saya menemukan sesuatu benda berujung lancip dan mengeluarkan sinar merah," menerangkan Mahesa.

"Bagus, kau tariklah benda itu keluar!"

Mula-mula Mahesa Kelud mempergunakan tangan kanannya untuk menarik benda itu, tapi tak berhasil. Dengan bantuan tangan kiri dan dengan mengerahkan seluruh kekuatannya akhirnya pemuda itu berhasil juga menarik keluar benda tersebut. Begitu benda ini keluar dari dalam lobang pasir maka memancarlah sinar merah yang menyilaukan mata! Ternyata yang berada di tangan Mahesa Kelud saat itu adalah sebilah pedang panjang yang dari ujungnya yang lancip sampai ke gagangnya yang berukir indah berwarna memancarkan sinar merah menyilaukan.

"Sudah Mahesa...?" terdengar Suara Tanpa Rupa bertanya.

"Sudah, guru."

"Apa kini yang tergenggam di tanganmu?"

"Sebilah pedang mustika berwarna merah," jawab Mahesa Kelud.

"Bagus! Kau memang berjodoh untuk memiliki Pedang Dewa itu. Coba kau pegang pada bagian hulunya."

Mahesa pegang gagang pedang merah itu dengan tangan kanannya. Mendadak terasa satu hawa panas mengalir ke tangannya, terus menjalar ke seluruh tubuh mulai dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Demikian panasnya hawa aneh ini sampai Mahesa hampir-hampir tak sanggup memegang terus pedang sakti itu.

"Apa kau merasa adanya aliran hawa panas menjalar ke seluruh tubuhmu Mahesa?" Suara Tanpa Rupa bertanya.

"Benar guru. Saya hampir tak sanggup bertahan. Panas sekali. Tangan saya seperti dipanggang," menjelaskan Mahesa Kelud.

"Jangan dilepas. Bertahan terus. Sebentar lagi hawa panas akan berganti dengan hawa sejuk...."

Mendengar ucapan sang guru Mahesa kuatkan diri, bertahan sampai sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Ternyata betul. Perlahan-lahan hawa panas meredup lalu sirna. Kini terasa ada aliran hawa sejuk masuk ke tubuhnya.

"Kurasa sekarang ada hawa sejuk memasuki tubuhmu...."

"Benar guru," jawab Mahesa. Saat itu dirasakannya secara aneh tubuhnya menjadi segar bugar. Otot-otot dan urat-uratnya bergetar kencang. Satu kekuatan aneh yang dahsyat kini mendekam dalam tubuhnya!

"Mahesa muridku," terdengar Suara Tanpa Rupa berucap. "Ketahuilah, aliran panas tadi masuk ke tubuhmu untuk memusnahkan segala kekotoran jasmani dan rohani yang masih bersarang dalam dirimu. Sesudah semua itu disingkirkan dan dirimu seolah menjadi kosong maka masuklah aliran sejuk ke dalam tubuhmu. Ini adalah aliran yang membawa kekuatan lahir batin serta kekuatan tenaga dalam yang sangat ampuh. Mahesa sekarang coba masukkan ujung pedang ke dalam lobang sampai batas gagangnya. Tunggu seketika kemudian tarik ke atas..."

Mahesa menurut. Ketika pedang itu ditariknya kembali ternyata senjata ini sudah memiliki sarung merah berukir indah!

"Nah, kau minggirlah Mahesa. Wulan, kini giliranmu. Gali pasir merah itu selanjutnya sampai kau juga menemui ujung runcing sebatang pedang merah."

Seperti Mahesa Kelud tadi maka Wulansari melakukan apa yang diperintahkan gurunya. Belum lama menggali ditemui ujung sebilah pedang lancip. Dengan kedua tangannya si gadis menarik senjata itu ke atas. Ternyata pedang ini juga berwarna merah dan bentuknya tiada beda dengan yang sudah menjadi milik Mahesa. Waktu dipegang pada gagangnya terasa hawa panas mengalir yang disusul oleh hawa dingin sejuk. Kemudian Suara Tanpa Rupa menyuruh Wulansari memasukkan ujung pedang ke dalam lubang dan ketika dicabut senjata itu sudah bersarung.

"Murid-muridku," terdengar suara si orang sakti. "Keluarkan pedang yang tadi kalian bawa ke sini dan masukkan ke dalam lubang lalu timbun dengan pasir merah itu. Senjata itu tidak kalian pergunakan lagi dan biarlah dia hancur di dalam tanah...."

Mahesa mencabut pedang Naga Kuning sedang Wulan mengeluarkan pedang putih warisan gurunya. Kedua senjata itu satu demi satu dimasukkan ke dalam lubang lalu ditimbun dengan pasir dan ditutup dengan batu karang licin seperti sediakala. Selesai mereka mengerjakan itu maka terdengar pula suara sang guru.

"Murid-muridku, sekarang dua pedang mustika sakti itu sudah berada di tangan kalian dan menjadi milik kalian. Sepintas lalu kedua pedang itu bentuknya sama tiada beda. Tapi yang menjadi milik Wulansari yaitu Pedang Dewi, adalah satu jari lebih pendek dari milikmu, Mahesa. Dengan berlatih serta mempergunakan pedang itu, maka setingkat demi setingkat kalian akan memiliki ilmu pedang yang hebat sampai akhirnya mencapai tingkat teratas yaitu yang kunamakan Dewa-Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin. Ilmu pedang itu, bila kalian pergunakan bersama-sama menghadapi musuh, niscaya sukar dicari tandingannya. Tapi bila dipergunakan sendiri-sendiri juga tidak kalah hebatnya dan khusus untukmu, Wulan, kau boleh ganti nama ilmu pedang itu menjadi Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin. Kemudian satu pantangan harus kalian ingat baik-baik yaitu selama kalian belajar di sini sekali-sekali tidak boleh meninggalkan gua!"

"Tapi guru..." kata Wulansari sambil memandang berkeliling, "Jika kami tidak diperkenankan keluar dari gua ini, bagaimana kami makan?"

"Wulan, ingatanmu ke perut saja!" kata Suara Tanpa Rupa dengan tertawa bergelak. "Tapi muridku, kalian tak usah khawatir. Joko Cilik akan datang ke sini setiap hari membawakan buah-buahan segar untuk kalian. Nah sekarang kau tak perlu bicara panjang lebar lagi. Kalian berdirilah berhadap-hadapan untuk mulai melatih diri!"

Meskipun guru mereka itu tidak kelihatan sama sekali tapi Mahesa dan Wulansari sama-sama menjura memberi hormat lalu mencabut pedang masing-masing. Anehnya pedang itu kini terasa sangat enteng. Dan bukan itu saja, bahkan tubuh serta tindakan kaki mereka juga menjadi enteng pula. Dan ketika mereka sama-sama mengangkat pedang suatu kekuatan gaib yang dahsyat seakan-akan membimbing tangan mereka. 

Sesaat kemudian kedua murid Suara Tanpa Rupa itupun bertempurlah memulai latihan yang pertama. Tubuh mereka berkelebat laksana bayang-bayang. Pedang mereka mengeluarkan sinar merah bergulung-gulung dan menimbulkan angin keras sehingga di dalam gua itu kedengarannya seperti ada ribuan tawon yang mendengung!


***
TIGA

TAK terasa lagi satu tahun berlalu. Mahesa Kelud dan Wulansari sudah sama-sama menguasai ilmu pedang yang hebat itu. Suatu hari masuklah Joko Cilik ke dalam gua. Saat itu Mahesa dan Wulansari tengah berlatih ilmu pedang. Anak rusa itu masuk ke dalam dengan berlari cepat tetapi kaki belakangnya sebelah kiri pincang. Kedua murid Suara Tanpa Rupa menghentikan latihan mereka dan berlari mendapatkan Joko Cilik yang duduk di atas batu karang licin dan menjilat-jilat kakinya yang pincang.

"Joko Cilik! Apa yang terjadi dengan kau?!" seru Mahesa. Ketika diperhatikannya kaki kiri sebelah belakang anak rusa itu ternyata terlepas persendian tulangnya.

"Pasti ada manusia-manusia jahat mencederainya!" kata Wulansari. Gadis ini berlutut. Dengan jari-jarinya yang halus dipertemukannya kembali persendian kaki yang terlepas itu. Joko Cilik menjilat-jilat lengan Wulansari tanda mengucapkan rasa terima kasihnya. 

Sementara itu Mahesa Kelud yang memang merasa yakin akan kata-kata Wulansari tadi yaitu bahwa ada manusia yang mencelakai binatang peliharaan gurunya segera meninggalkan ruangan empat persegi dan berlari ke mulut gua. Dia lupa akan pantangan gurunya yaitu selama berada di dalam gua sekali-kali tidak boleh keluar!

Dan benar saja. Begitu Mahesa sampai di mulut gua maka kelihatanlah belasan manusia tengah menyibakkan semak belukar lebat yang menutupi mulut gua. Orang-orang ini terkejutnya bukan main. Salah seorang yang bertampang keren membuka mulutnya.

"Eh... eh... kita mencari anak rusa tahu-tahu yang muncul manusia. Lucu! Hai orang muda, kau manusia sungguh atau jin siluman?!"

Orang ini adalah Braja Kunto, kepala pasukan pengawal Kadipaten Madiun dan dia adalah anak murid Waranganaya Toteng, si resi jahat yang dulu bersama Lima Brahmana pernah berurusan dengan Mahesa serta Wulansari sampai kedua anak muda tersebut yang masa itu masih belum mempunyai ilmu yang cukup tinggi untuk menghadapi mereka terpaksa lari menyelamatkan diri. Mahesa sendiri tidak tahu kalau dia berhadapan dengan murid musuh besarnya. Dia cuma tahu dari pakaian orang-orang yang dihadapan itu bahwa mereka adalah pengawal-pengawal Kadipaten. 

"Setan busuk kesasar!" semprot Mahesa Kelud pada Braja Kunto. "Kalau bicara jangan seenak perutmu! Kalian datang ke sini mau apa?"

Dengan sikap gagah Braja Kunto lipatkan tangan di muka dada dan renggangkan kaki. "Siluman bermulut besar, kami datang ke sini untuk mencari seekor anak rusa buruan! Tapi kalau anak rusa itu sudah lari, kami rasa kau pun cukup enak dagingnya untuk dipanggang!"

"Manusia rendah! Jadi kalian yang mencelakai anak rusa itu?!"

Saat itu Wulansari sudah berada pula di mulut gua. Dia terkejut melihat Mahesa Kelud tengah berhadap-hadapan dengan belasan orang berpakaian prajurit. Di lain pihak, Braja Kunto dan kawan-kawannya tidak pula kurang terkejutnya ketika melihat ada seorang gadis jelita berdiri dihadapan mereka. Kunto mengulum senyum. 

"Tak sangka ada gadis cantik diam di gua ini! Sayang sekali, mengapa tidak tinggal di kota? Aku bersedia memberikan satu kamar dengan tempat tidur yang empuk dalam rumahku untukmu gadis manis!"

"Manusia rendah! Jangan kau bicara sembarangan terhadap adikku!" memperingatkan Mahesa Kelud. Sebegitu jauh pemuda ini masih bisa menahan kesabarannya.

"Ho... ho! Jadi gadis ini adikmu? Bagus sekali kalau begitu sehingga aku tak perlu susah-susah mencari walinya untuk mengajukan lamaran!" Semua orang tertawa kecuali Mahesa dan Wulan. Si gadis sendiri menjadi merah mukanya ketika mendengar kata-kata Braja Kunto itu.

"Manusia tidak tahu peradatan, berlalulah dari sini sebelum aku naik darah!" memperingatkan Mahesa Kelud.

"He... he, kunyuk ini terlalu banyak mulut! Kau masuklah kembali ke dalam gua dan cuci kaki, tidur!" kata Braja Kunto mengejek. Bersamaan itu tangan kirinya dipakai mendorong Mahesa Kelud ke dalam gua. Dia mendorong sambil kerahkan tenaga dalam yang tinggi, maksudnya dengan sekali dorong saja pemuda itu akan mental terguling masuk ke dalam gua. 

Tapi alangkah terkejutnya murid Waranganaya Toteng ini, ketika dengan kecepatan luar biasa Mahesa Kelud berkelit ke samping dan mengirimkan jotosan yang keras ke bawah ketiak laki-laki itu. Cepat-cepat Braja Kunto tarik pulang tangannya. Dari angin pukulan lawan, kepala pasukan Kadipaten ini segera maklum bahwa lawannya memiliki tenaga dalam yang jauh lebih tinggi dari padanya dan yang tak akan mungkin bisa dihadapinya dengan seorang diri. Maka berteriaklah anak murid Waranganaya Toteng ini.

"Kawan-kawan! Keroyok!"

Serentak dengan itu belasan pengawal-pengawal Kadipaten segera menyerbu kedua murid Suara Tanpa Rupa itu. Braja Kunto dan anak-anak buahnya terlalu sombong dan menyangka bahwa hanya Mahesa Kelud sendirilah yang berilmu tinggi, tapi tak dinyana tak diduga ketika melihat Wulansari berkelebat cepat dan dalam satu gebrakan saja berhasil membikin mental roboh seorang prajurit, mereka menjadi hati-hati dan segera mengeluarkan senjata. 

Mahesa Kelud setahun yang lalu tidak sama dengan Mahesa Kelud sesudah digembleng oleh si orang tua sakti tanpa nama. Dengan satu bentakan keras dia kirimkan sebuah jotosan yang tak terelakkan ke dada Braja Kunto. Kepala pasukan Kadipaten ini menjerit keras dan terlempar jauh. Dadanya sesak. Cepat-cepat dia alirkan tenaga dalamnya ke bagian yang terpukul. 

Prajurit-prajurit anak buahnya menjadi panik dan ngeri. Golok-golok maut di tangan mereka menderu kian kemari mencari sasaran di tubuh kedua lawan tapi tak satupun yang berhasil. Sementara itu Mahesa dan Wulansari berhasil membuat dua orang pengeroyoknya menggeletak di tanah bahkan si gadis yang meskipun saat itu membawa pedang mustika di punggungnya tapi belum mau mempergunakannya berhasil merampas pedang salah satu pengeroyok. 

Dengan pedang di tangan maka mengamuklah gadis ini. Nyali Braja Kunto menjadi lumer. Menghadapi lawan yang bertangan kosong dia dan kawan-kawan sudah dibikin sibuk serta panik bahkan telah banyak jatuh korban, apalagi kini melihat Wulansari mempergunakan pedang pula! Gadis ini tidak tanggung-tanggung. Meskipun pedangnya bukan pedang mustika namun waktu dia mengeluarkan ilmu pedang yang diajarkan oleh gurunya si Suara Tanpa Rupa maka berpekikanlah beberapa orang pengeroyoknya yang kena tersambar pedang!

Untuk memberi aba-aba lari. Braja Kunto merasa malu terhadap anak buahnya sendiri. Apalagi mengingat dia adalah anak murid seorang resi berilmu tinggi dan ditakuti! Namun untuk melawan terus kedua pendekar muda yang berkepandaian jauh lebih tinggi itu, dia sudah tidak punya nyali tak punya harapan. Akhirnya dia mendapat akal juga. Dia berseru,

"Tahan!" dan bersamaan itu melompat keluar dari kalangan pertempuran, anak-anak buahnya mengikuti. 

Mahesa dan Wulansari yang tahu tata cara persilatan segera pula menghentikan gerakan mereka tapi mereka menanti dengan waspada. Mereka maklum bahwa bangsat-bangsat Kadipaten itu punya seribu satu macam akal dan tipuan yang busuk!

Braja Kunto maju satu langkah ke hadapan Mahesa Kelud dan menjura hormat. "Saudara-saudara yang gagah," katanya, "Harap maafkan kami. Terus terang kami akui kesalahan dan tidak tahu diri sampai berani turun tangan terhadap saudara-saudara yang gagah. Sekali lagi maaf. Dan bila saudara-saudara tidak keberatan sudilah memberitahukan nama saudara-saudara berdua kepada kami."

Wulansari menyeringai mengejek. "Huh, tidak perlu kami kasih tahu nama pada manusia-manusia macam kalian! Berlalulah cepat dari hadapanku!"

Braja Kunto geramnya bukan main. Tapi dia tidak berani bertindak gegabah lagi. Dia memberi isyarat pada anak-anak buahnya. Dengan membawa kawan-kawan mereka yang luka-luka parah maka berlalulah pasukan pengawal Kadipaten itu di bawah pimpinan Braja Kunto. Mahesa memegang lengan Wulansari dan kedua orang itu kemudian masuk ke dalam gua kembali. Begitu mereka sampai di ruang batu karang empat persegi maka terdengarlah suara guru mereka menggema.

"Sayang... sayang sekali... sayang sekali"

Mahesa Kelud dan Wulansari saling pandang tak mengerti. Keduanya masih belum sadar kalau mereka sudah melanggar pantangan sang guru. 

"Murid-muridku, sayang sekali.... Kalian baru satu tahun berada di sini tapi kalian sudah melanggar laranganku, padahal ilmu pedang kalian belum mencapai tingkat kesempurnaan, padahal ilmu dalam dan batin kalian belum mencapai tingkat teratas! Sayang... sayang sekali murid-muridku...."

Terkejutlah kedua orang itu. Mereka segera menjura. "Guru!" seru Mahesa. "Harap maafkan kami karena telah keluar dari gua dan melanggar larangan guru! Sebenarnya kami tidak punya maksud demikian. Tapi Joko Cilik dikejar-kejar bahkan dicelakai oleh bangsat-bangsat Kadipaten! Kami tak senang kalau tidak turun tangan...!"

"Itu bukan alasan.... Itu bukan alasan murid-muridku. Kenyataannya kalian sudah melanggar larangan...."

"Guru, ampunilah kesalahan kami," kata Wulansari seraya tundukkan kepala dengan air mata berlinang-linang.

"Tidak ada kesalahan yang harus diampuni, muridku," jawab Suara Tanpa Rupa. "Yang ada hanyalah larangan yang telah dilanggar. Manusia luaran telah melihat kalian berdua. Dan dalam tempo yang singkat puluhan kaki-kaki tangan Kadipaten berilmu tinggi akan datang ke sini mencari kalian. Karena itu sebelum terlambat kalian pergilah dari sini...."

"Guru," kata Mahesa, "demi kesalahan yang kami telah buat, kami berani mengadu nyawa untuk menghadapi mereka."

"Tidak Mahesa, ini belum lagi saatnya. Kalau kataku kalian harus pergi, kalian lakukan! Kau Wulansari, pergilah ke timur dan kau Mahesa, pergilah ke barat. Satu tahun kemudian baru kalian datang lagi ke sini. Dan selama waktu itu kalian sekali-kali jangan bikin urusan dengan Adipati Suto Nyamat ataupun kaki-kaki tangannya. Jauhi mereka untuk sementara."

"Tapi guru, mereka adalah musuh besar kami," kata Wulansari.

"Tak perduli siapapun mereka adanya!" jawab Suara Tanpa Rupa. 

Mahesa dan Wulansari segera maklum bahwa guru mereka sangat kecewa karena mereka telah melanggar larangan. "Guru," kata Mahesa, "sebelum pergi murid inginkan beberapa penjelasan. Mudah-mudahan guru sudi menerangkannya. Apakah guru pernah kenal atau dengar tentang manusia bernama Simo Gembong...?"

"Aku tidak suruh kau bertanya, Mahesa. Tapi suruh kau dan Wulansari segera berangkat dari sini. Pertanyaanmu lain kali kujawab! Nah, pergilah...!"

"Harap maafkan, guru. Kami pergi sekarang," kata Mahesa. 

Kedua murid Suara Tanpa Rupa itu menjura sekali lagi, menganggukkan kepala pada Joko Cilik yang berbaring di atas batu karang licin lalu keluar. Sampai di luar gua, kedua orang itu berdiri berhadap-hadapan dan untuk beberapa lamanya tidak bisa berkata apa-apa. Mahesa melihat bagaimana kedua mata Wulansari berkaca-kaca. Pemuda itu maju satu langkah dan memegang bahu si gadis. 

"Wulan, tak usah menangis. Mari sama kita tabahkan hati dan kuatkan jiwa. Ini adalah kesalahan yang kita harus tanggung. Kau dalam pengembaraan hati-hatilah. Kalau kau sampai ke sini lebih dahulu nantikan aku...."

Butiran-butiran air mata jatuh berderai membasahi pipi merah Wulansari. Gadis ini memeluk tubuh Mahesa dan menyandarkan kepalanya ke dada si pemuda yang bidang. "Tapi Mahesa..." katanya perlahan dan sayu, "satu tahun itu lama sekali. Aku tak sanggup berpisah sekian lama denganmu. Aku... aku mencintaimu, Mahesa...."

Berdebar dada si pemuda ketika mendengar pengakuan terus terang dari gadis yang dipeluknya itu. Selama berhubungan mereka memang sudah sama-sama merasakan satu perasaan mesra, yang tak sanggup mereka utarakan satu sama lain. Tapi di saat perpisahan itu, semua barulah diucapkan, diiringi dengan seseduan serta air mata.

"Tidak, Wulan... satu tahun tidak lama. Kau harus sanggup. Satu tahun berpisah untuk bertemu lagi di sini. Aku juga mencintaimu, Wulan..." bisik Mahesa Kelud. 

Gadis itu menengadah. Air matanya berderaian. Mahesa dengan hati penuh haru menyeka butiran-butiran air mata yang membasahi pipi Wulansari dan mencium kedua matanya. "Mahesa, benarkah...? Benarkah kau juga mencintaiku...?"

"Ya, Wulan. Aku sangat mencintaimu. Sudah lama ini kurasakan tapi baru sekarang, disaat berpisah ini kusampaikan padamu. Semoga cinta kita masing-masing memberikan ketabahan dalam pengembaraan kita selama satu tahun mendatang...."

Mendengar itu Wulansari memeluk tubuh Mahesa Kelud erat-erat, seakan-akan tak hendak dilepaskannya lagi pemuda itu. Mahesa mencium rambut si gadis berulang-ulang dan kemesraan itu dilanjutkan dengan sepasang bibir yang saling kecup penuh kehangatan.

"Wulan...."

"Ya, Mahesa...."

"Aku harus pergi sekarang adikku...." 

Wulansari melepaskan pelukannya. "Kuatkan hatimu, Wulan. Sampai bertemu kekasih...." Mahesa memutar tubuhnya, dan sekali dia berkelebat maka dia sudah berada jauh. 

Wulansari membetulkan letak rambutnya. Dipandanginya tubuh orang yang dikasihinya itu di kejauhan untuk penghabisan kalinya, lalu dengan penuh ketabahan dia berkelebat pula meninggalkan tempat itu.


***
EMPAT
 
DI ANTARA sekian banyaknya daerah di kadipatenan yang berada di bawah kuasa Raja Pajang, salah satu di antaranya ialah Magetan. Magetan hanya sebuah kota kecil, tapi apa yang membuat kota kecil ini lebih menonjol dan terkenal namanya ialah karena daerahnya yang subur, penduduknya yang rajin serta ramah baik budi dan hasil alamnya yang tumpah ruah. Boleh dikatakan tidak ada seorang petani miskin pun di sana. Tukang minta-minta jarang terlihat, kalau pun ada maka biasanya adalah pendatang dari daerah-daerah lain di sekitar Magetan. 

Hasil upeti yang diterima Raja Pajang setahun sekali dari Magetan, jika dibandingkan dengan tiga daerah kadipaten lainnya yang dijumlahkan sekaligus maka masih lebih tinggi dan lebih banyak upeti dari Magetan, demikianlah kayanya daerah itu. Kemudian ada pula hal lain yang menggembirakan. Yaitu bahwa Bupati Magetan yang bernama Lor Bentulan adalah seorang Bupati yang cakap, baik serta ramah. 

Seluruh penduduk Magetan suka pada Bupati ini. Justru kejujuran dan bimbingan yang tak segan-segan diberikan oleh Lor Bentulanlah yang menambah tumpah ruahnya segala hasil kekayaan yang ada di Magetan. Dan bukan rahasia lagi kalau banyak Bupati-Bupati lain yang diam-diam merasa iri terhadap kecakapan Lor Bentulan ini, padahal kalau dilihat kepada umur, Lor Bentulan belum lagi mencapai empat puluh tahun tapi sudah pandai mengatur demikian rupa sehingga tingkat kehidupan rakyat yang berada di bawahnya menjadi tinggi, rakyat hidup aman makmur tenteram sejahtera.

Suatu malam yang gelap tanpa bulan tanpa bintang, di ruang tengah Kadipaten yang besar dan terang duduklah Adipati Lor Bentulan bersama isteri dan anak tunggal mereka, seorang gadis cilik berumur sembilan tahun. Mereka tengah asyik bercakap-cakap ketika tiba-tiba saja ke ruangan itu melompat enam orang berewokan, bertampang buas. 

Yang lima, bertubuh besar-besar dan tegap, mereka segera mengurung ketiga beranak itu. Salah satu diantaranya dengan kecepatan luar biasa tahu-tahu sudah melintangkan bagian goloknya yang tajam ke batang leher Adipati Lor Bentulan! Isteri sang Adipati yang hendak berteriak segera ditekap mulutnya demikian juga anak tunggalnya.

Orang yang keenam berdiri dekat pintu. Tangan kanannya menekan hulu golok panjang yang tersisip di pinggang. Tangan kirinya ternyata buntung. Berbeda dengan lima orang lainnya maka yang satu ini bertubuh pendek kate serta botak. Tapi melihat kepada sikapnya berdiri di pintu itu maka tahulah kita bahwa dialah yang menjadi pemimpin dari kelima manusia-manusia tinggi besar gondrong dan berewokan. Kemudian melihat pula kepada tampang-tampang mereka dapat diduga bahwa mereka bukan orang baik-baik dan tentu pula datang bukan dengan maksud baik!

Orang yang bertangan buntung, berkepala botak serta berbadan pendek kate maju ke muka, ke hadapan Adipati Lor Bentulan. Di bibirnya yang tebal tersungging satu seringai mengejek. Manusia kate ini tak lain adalah Warok Kate, kepala rampok dari bukit Jatiluwak yang telah membunuh si Cakar Setan yaitu guru Wulansari dalam memperebutkan surat rahasia. 

Meskipun tahu bahwa dia tengah berhadapan dengan satu gerombolan orang-orang jahat, namun dengan menguasai dirinya sedapat mungkin, Lor Bentulan bertanya tenang, "Saudara-saudara, kalian siapa dan punya maksud apa datang ke tempatku ini?"

Seringai di mulut Warok Kate semakin memburuk. "Adipati Lor Bentulan, aku senang melihat kau masih mau bicara pakai peradatan dan juga senang karena kau ingin tahu siapa kami adanya. Aku Warok Kate dari bukit Jatiluwak...." 

Kepala rampok menyeringai kembali ketika melihat bagaimana air muka Lor Bentulan menjadi berubah terkejut ketika mendengar namanya. Dia menggoyangkan kepalanya kepada kelima orang di sekelilingnya dan berkata, "Mereka adalah anak-anak buahku yang juga menjadi murid-muridku."

"Kalian datang untuk maksud apa...?" tanya Lor Bentulan meskipun sembilan di antara sepuluh dia sudah yakin apa tujuan keenam orang itu datang ke tempatnya.

"Sebelum aku beri tahu maksud kedatangan kami terlebih dahulu kau harus ingat satu hal baik-baik, Adipati. Jika kau berani membantah atau menolak segala apa yang aku kata dan perintahkan, ketahuilah bahwa aku Warok Kate, kepala rampok dari Jatiluwak tidak segan-segan untuk pisahkan kepalamu dengan badan!"

Menggigillah tubuh Lor Bentulan ketika mendengar itu, isteri serta anaknya terlebih lagi. "Kalau kalian datang untuk merampok segala uang dan harta kekayaan yang ada silahkan. Ambil semua yang ada, aku tidak akan melawan! Tapi kalian harus ingat pula, sekali aku berteriak memanggil pengawal, kalian semua akan tertangkap hidup-hidup atau mati konyol di ruangan ini!"

Warok Kate tertawa bergelak. "Berteriaklah sampai kau muntah darah! Pasti tak ada satu orang pengawalmu pun yang muncul. Anak-anak buahku sudah membereskan mereka terlebih dahulu!"

Terkejutlah Lor Bentulan. Mukanya menjadi pucat pasi. Dia tak bisa berkata apa-apa. Warok Kate meletakkan tangan kanannya di atas bahu kiri Adipati itu sambil kerahkan tenaga dalam. Lor Bentulan merasakan betapa bahunya seperti ditekan oleh satu karung berat ratusan kati dan tubuhnya menjadi terhuyung. 

Sebagai seorang bangsawan yang baik serta jujur, Lor Bentulan tidak pernah belajar ilmu silat atau pun ilmu-ilmu kebathinan. Selama dia hidup baik dan jujur serta ramah kepada semua orang, dia merasa dirinya aman, tak punya musuh, sehingga dia merasa pula tidak perlu menuntut atau mempelajari segala macam ilmu kepandaian. Menghadapi kejadian saat itu, diam-diam Bupati Magetan ini menyesali diri.

"Warok Kate, kalau kau dan anak buahmu hendak merampok, lakukanlah. Sesudah itu berlalu dengan cepat. Jangan ganggu kami lebih lama..." kata Lor Bentulan.

Warok Kate melepaskan pegangannya. Tangan kanannya kembali menekan hulu golok. "Lor Bentulan dengarlah! Aku datang ke sini bukan untuk merampok...!"

Bupati itu menjadi heran. "Lalu...?" tanyanya sambil mengerling kepada isteri dan anaknya. Hatinya menjadi gentar ketika terpikir olehnya mungkin rampok-rampok itu datang untuk menculik isterinya atau anaknya lalu memeras.

"Kami datang untuk membuat perjanjian dengan kau, begitulah secara halusnya! Atau kalau kau tidak mengerti bahasa halus baiklah kujelaskan. Mulai saat ini ke atas, kau harus turut segala ketentuan yang aku perintahkan, kau harus lakukan demi nyawamu dan nyawa anak isterimu...."

"Ketentuan atau perintah apakah yang aku harus jalankan?" tanya Lor Bentulan.

"Daerah Magetan ini daerah yang kaya raya, bukan?"

Lor Bentulan tidak mengerti apa maksud pertanyaan ini. Tapi dia mengangguk perlahan.

"Bagus," ujar Warok Kate. "Petani-petani dan semua penduduk di sini juga semua orang-orang kaya, bukan?"

Lor Bentulan mengangguk lagi. Warok Kate tertawa senang. "Nah, sekarang kau dengar baik-baik. Mulai besok terhadap semua penduduk di sini, terutama petani-petani serta pedagang-pedagang kaya kau harus tarik pajak penghasilan sepuluh kali lipat dari yang sudah-sudah! Kau dengar...?"

"Warok Kate...?"

"Sialan!" maki kepala rampok berkepala botak itu. "Aku tanya kau dengar apa tidak malahan bicara seenaknya. Kau dengar...?"

"Dengar. Tapi...."

"Tapi apa?!" bentak Warok Kate.

"Tapi ini adalah pemerasan, aku...."

"Tak perduli pemerasan atau apapun yang kau namakan. Aku ingin tahu, kau mau laksanakan perintahku itu atau tidak?"

"Tidak mungkin Warok. Tidak mungkin. Ini adalah pemerasan dan melanggar aturan pajak kerajaan yang sudah ditentukan Sri Baginda...."

"Persetan dengan peraturan Sri Baginda. Sekalipun setan yang bikin peraturan harus tunduk pada peraturanku! Mengerti?!"

"Aku mengerti Warok, tapi tak mungkin aku laksanakan. Tak bisa...."

"Apa yang tidak bisa?!"

"Semua orang, seluruh rakyat Magetan ini akan mencap aku sebagai Bupati tukang peras. Bupati jahat dan tidak jujur! Daripada dicap orang macam begituan lebih baik mati!"

"Hem...." gumam Warok Kate. "Jadi kau tidak takut mati, Lor Bentulan?!"

"Tidak, bunuhlah!"

Warok Kate menyeringai. Golok Besar di tangan anak buahnya yang saat itu masih melintang di leher Lor Bentulan ditekannya dengan tangan kanannya sedikit. Bagian yang tajam dari senjata ini mengiris kulit leher sang Adipati, membuat dia meringis kesakitan. Tapi dengan tabah dia berkata,

"Teruskan Warok aku sudah bilang aku tidak takut mati!"

Kepala rampok itu mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berkata: "Kau memang mungkin tidak takut mati, Lor Bentulan. Tapi kami punya cara lain untuk memaksamu tunduk! Coba kau lihat pertunjukan ini sebentar...."

Warok Kate melangkah ke hadapan anak perempuan Lor Bentulan. Dijambaknya rambut anak itu lalu ditamparnya. Gadis cilik umur sembilan tahun ini tentu saja menjerit kesakitan dan menangis. Melihat anaknya diperlakukan demikian, naiklah darah Lor Bentulan. Dikibaskannya tangan anak buah Warok Kate yang memegang golok. Dia melompat ke muka.

"Rampok keparat! Jangan sakiti anakku!"

Tapi lompatan Adipati ini baru setengah saja ketika anak buah Warok Kate yang tadi tangannya dikibaskan menghantam dadanya dengan satu jotosan keras. Bupati Magetan itu terbanting kembali ke kursinya. Dadanya sakit dan napasnya sesak. "Sekali lagi kau berani memaki pemimpin kami, kucincang anak dan isterimu di depan kau punya mata!"

Mendidihlah amarah Lor Bentulan. Tapi apa daya, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Baginya untuk mati di tangan rampok-rampok itu bukan apa-apa, tapi kalau anak isterinya harus pula menjadi korban, dia harus berpikir dua kali!

"Bagaimana Adipati, masih coba hendak melawan?" tanya Warok Kate mengejek. Sang Adipati tidak menyahut. "Nah, kalau kau tak ingin anak isterimu mampus, sebaiknya dengar kata-kataku. Mulai besok kau harus ambil pajak sepuluh kali lipat atas semua penduduk di daerah ini! Sesudah hasilnya terkumpul, kau boleh sisihkan bagian yang harus kau serahkan pada raja sedang lebihnya, tidak kurang satu peser pun harus kau berikan kepada kami! Dengar?"

Lor Bentulan mengangguk. Kini dia maklum, kalau Warok Kate dan anak-anak buahnya datang untuk merampok, harta kekayaannya yang banyak memang masih belum berarti apa-apa dibandingkan dengan hasil pemerasan pajak yang diperintahkannya! Bupati ini mengutuk dalam hati.

"Dan pajak itu. Adipati..." terdengar kembali suara Warok Kate, "Kau harus pungut dua kali dalam satu bulan!"

"Warok Kate, kau keterlaluan! Untuk pajak yang sebesar itu satu kali dalam sebulan belum tentu rakyat Magetan sanggup membayarnya, apalagi sampai dua kali!" kata Lor Bentulan.

"Aku tidak tanyakan sanggup atau tidaknya, Adipati! Tapi aku perintahkan kau untuk melaksanakannya!"

"Gila!"


***
LIMA

RAMPOK yang memegang golok hendak meninju Adipati itu dengan tangan kirinya tapi dicegah oleh Warok Kate. Kepala rampok ini membuka mulut kembali. "Sebagai jaminan bahwa kau akan mengikuti perintahku, kelima anak buahku ini kutempatkan di sini! Kepada setiap orang yang bertanya kau harus terangkan bahwa mereka adalah pengawal-pengawal tambahan yang didatangkan dari kotaraja! Dan untuk jaminan bahwa kau tidak akan melaporkan hal ini kepada orang-orang di kotaraja, maka anak perempuanmu kubawa ke bukit Jatiluwak!"

"Tidak bisa, Warok! Anak itu harus tetap berada di sini bersamaku!" tutur Lor Bentulan.

"Tidak ada satu orang pun boleh membantah kehendakku, Adipati. Jika kau ingin anakmu selamat, lakukan apa yang kukatakan. Dan selama kau patuh serta tunduk kepada kami tak usah khawatir tentang dia! Pungut pajak itu mulai besok. Hasil yang pertama selambat-lambatnya harus sudah kuterima minggu depan! Ada yang kurang jelas bagimu?"

Lor Bentulan tidak bisa menjawab saking cemas dan geram. Cemas terhadap keselamatan anak perempuannya dan geram terhadap perbuatan terkutuk rampok-rampok bejat itu. Dengan satu gerakan cepat kemudian Warok Kate tahu-tahu telah menotok jalan darah di leher anak perempuan Lor Bentulan lalu anak yang sudah kejang tak sadarkan diri itu diletakkannya di bahu kirinya. Dia memandang berkeliling pada kelima anak buahnya dan berkata,

"Kerjakan tugasmu dengan baik. Siapa saja yang bertindak mencurigakan atau berani berlaku gegabah, jangan ragu-ragu untuk menggorok batang lehernya!"

Kelima anak buah Warok Kate menjura dan kepala rampok itu kemudian melompat lewat jendela, menghilang dalam kegelapan malam. Tak lama sesudah Warok Kate pergi, lima orang prajurit pengawal Kadipaten segera siuman dari pingsan masing-masing. Mereka sama terkejut ketika mendapati diri mereka terbujur di halaman muka Kadipaten. Mereka kemudian ingat bahwa malam itu waktu mengadakan pengawalan tahu-tahu datanglah lima orang bertubuh besar menyerang mereka. Dalam beberapa gebrakan saja mereka semua kena dirobohkan! 

Kelima pengawal itu segera berdiri dan masuk ke dalam gedung Kadipaten karena mereka khawatir kalau terjadi apa-apa. Betapa terkejutnya para pengawal ini ketika melihat di ruangan tengah kadipaten lima orang berbadan besar, berewokan dan bermuka kejam buas yang berdiri dalam satu lingkaran mengurung Adipati Lor Bentulan.

"Manusia-manusia siluman kotor!" bentak salah seorang dari mereka yang menjadi kepala pengawal, "Kalian bikin apa di sini?!"

"Anjing Kadipaten, jangan bicara besar! Kurobek mulutmu nanti!" balas membentak anak buah Warok Kate. 

Kepala pengawal menjadi geram dihinakan seperti itu. Dia memberi isyarat pada keempat kawannya. Kelimanya kemudian segera menyerbu. Terjadilah pertempuran seru. Meskipun pengawal-pengawal tersebut sama memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, terutama kepala pengawal, tapi menghadapi murid-murid Warok Kate mereka tidak bisa berkutik. Mereka hanya bisa bertahan sepuluh jurus. Sesudah itu satu demi satu mereka roboh ke lantai menjadi korban sambaran golok perampok-perampok. Ketika korban ketiga jatuh maka berteriaklah Lor Bentulan, 

"Tahan!" Tadinya dia sengaja berdiam diri karena mengharap bahwa para pengawalnya akan sanggup menghajar manusia-manusia jahat itu tapi kenyataannya adalah kebalikannya.

Dua orang pengawal yang masih hidup yang memang sudah tidak punya nyali untuk meneruskan perkelahian itu karena tahu bahwa lawan-lawan mereka lebih tinggi kepandaiannya, ditambah lagi saat itu mereka hanya tinggal berdua, segera melompat mundur.

"Adipati, suruh pengawal-pengawalmu yang masih hidup itu keluar dari sini..." perintah seorang rampok.

Lor Bentulan segera memberi isyarat pada kedua pengawal. "Tunggu dulu!" kata seorang rampok yang lain. "Seret ketiga mayat kawan-kawanmu itu keluar dari sini!" Maka mayat tiga pengawal yang telah menjadi korban itu pun dibawa keluar. 

Keesokan harinya, pagi-pagi, Adipati Lor Bentulan diiringi oleh lima anak buah Warok Kate yang saat itu memakai pakaian-pakaian keprajuritan pengawal Kadipaten menuju ke alun-alun Magetan. Di sini, karena sebelumnya sudah disiarkan dari mulut ke mulut, maka berkumpullah penduduk Magetan, terutama kaum tani dan pedagang. Sebelumnya memang rakyat Magetan sudah sering disuruh berkumpul di alun-alun untuk mendengarkan pengumuman-pengumuman atau penerangan-penerangan. Karenanya tak ada terpikir di dalam benak mereka bahwa mereka akan mendengar kabar yang mengejutkan!

Mula-mula alun-alun yang penuh oleh manusia itu menjadi sunyi senyap ketika Lor Bentulan menjelaskan bahwa mulai hari itu akan ditarik pajak yang besarnya sepuluh kali lipat dari yang sebelumnya dan harus dibayar dua kali dalam sebulan! Tapi sesaat kemudian maka ramailah alun-alun Magetan oleh ratusan suara manusia. Semua orang menjadi terkejut dan tidak percaya akan putusan itu. Setengahnya menggerutu memaki bahkan ada pula yang mulai mencap bahwa Adipati Lor Bentulan seorang pemimpin pemeras rakyat! 

Di kalangan rakyat, walaupun berbagai tanggapan mereka, namun satu hal yang tidak bisa mereka mengerti ialah bagaimana dan mengapa sampai Adipati Lor Bentulan yang selama ini merupakan seorang yang jujur dan baik serta bijaksana bahkan tak jarang turun tangan untuk membantu rakyat kecil kini mengambil tindakan sewenang-wenang, menindas rakyat dengan pajak yang begitu tinggi?! 

Namun terpikir pula oleh rakyat banyak itu bahwa di dunia ini segala sesuatu tidak bersifat kekal, semuanya suatu waktu pasti mengalami perubahan. Demikian juga dengan sifat diri manusia, seorang pemimpin! Kalau dulu seorang pemimpin berhati jujur, maka suatu saat bisa berubah menjadi jahat busuk, kalau dulu seorang pemimpin baik hati dan pemurah, maka suatu ketika bisa menjadi penindas dan pemeras rakyat.

Empat bulan kemudian, seperti siang dengan malam, seperti hitam di atas putih, terbalik seratus delapan puluh derajat demikianlah terjadinya perbedaan di daerah Magetan. Petani-petani kaya jatuh miskin. Jangankan untuk menjual hasil sawah ladang mereka ke pasar, untuk dimakan sendiripun sudah tidak mencukupi. Pedagang-pedagang menutup kedai mereka karena tak ada lagi barang yang bisa dijual. 

Rakyat yang dulu hidup sederhana dan bahagia kini menjadi sangat tertekan. Sawah ladang berubah menjadi padang rumput dan alang-alang. Pasar menjadi sunyi senyap. Magetan kini diliputi oleh seribu satu macam kemiskinan. Kemiskinan lahir dan kemiskinan bathin! Ini disebabkan tak lain adalah akibat penarikan pajak yang tinggi dan sewenang-wenang oleh Adipati Lor Bentulan. Dan selama itu tidak satu orang pun yang tahu kalau sang Adipati melakukan itu semua adalah karena terpaksa, dibawah ancaman golok maut kelima anak buah Warok Kate. 

Rakyat cuma tahu bahwa Lor Bentulan kini adalah seorang Adipati jahat, pemimpin busuk tukang tindas rakyat! Semua itu diterima Lor Bentulan dengan hati hancur. Kalau tidak kurang-kurang iman mungkin dia dan isterinya sudah menjadi gila memikirkan semua persoalan, terutama keselamatan anak mereka yang dibawa oleh Warok Kate.

Keadaan tubuh kedua suami isteri itu semakin hari semakin kurus dan kuyu. Lor Bentulan kalau tidak perlu tak pernah keluar dari gedung Kadipaten. Bagaimana dia bisa melihat nasib kehidupan rakyatnya yang kini sangat menderita sengsara itu. Bahkan tidak jarang kalau dia berpapasan di tengah jalan dengan seorang penduduk, penduduk tersebut memalingkan kepala membuang muka! 

Dan ini masih untung, karena ada pula yang sampai tidak segan-segan untuk meludah di hadapannya. Ya, seluruh isi Magetan sudah menjadi sangat benci pada Adipati yang dulu mereka hormati dan mereka sanjung-sanjung itu!


***
ENAM

SEKARANG marilah kita ikuti perjalanan Wulansari setelah dilepas oleh gurunya si Suara Tanpa Rupa karena gadis ini bersama saudara seperguruannya yaitu Mahesa Kelud telah melanggar pantangan. Karena Magetan adalah kota yang terdekat maka kota ini menjadi tujuannya pertama. Sekeluarnya dia dari hutan belukar yang lebat maka di hadapannya terbentang sawah-sawah luas tapi yang kini hanya merupakan dataran-dataran kering bertanah keras retak-retak serta di sana sini ditumbuhi rumput dan alang-alang liar. 

Gadis ini menjadi heran. Saat itu adalah menjelang musim hujan dimana seharusnya para petani mulai menyebar bibit menanam padi baru. Dan ketika dia memasuki pinggiran kota, dia jadi heran lagi karena ladang dan kebun-kebun yang mustinya sarat dengan sayur mayur kini tertutup oleh semak belukar.

"Apakah orang-orang di sini pemalas semua...?" pikir Wulansari sambil terus berlari menuju ke pusat kota. 

Di sepanjang jalan dilihatnya gubuk-gubuk reyot beratap rumbia. Untuk tidak menarik perhatian orang-orang, gadis ini menghentikan larinya dan berjalan biasa. Setiap orang yang ditemuinya laki perempuan dan anak-anak, rata-rata bertubuh kurus berparas cekung memucat. Orang-orang itu memandang memperhatikannya dengan sepasang mata mereka yang kuyu tiada bercahaya. Wulan melewati sebuah tanah lapang yang di tepi-tepinya terdapat kedai-kedai buruk.

"Mungkin ini dulunya adalah pasar," pikir si gadis. "Tetapi mengapa tidak satu pedagang pun yang kelihatan? Kedai-kedai kosong melompong bahkan pasar sunyi senyap...."

Saat dia mencapai tepi kota, hari sudah senja. Begitu dia masuk kota maka malam yang gelap menyambut kedatangannya dan seluruh pelosok kota sunyi sepi. Tidak sepotong manusia pun yang kelihatan! Keheranan Wulansari semakin menjadi-jadi sementara itu perutnya yang sejak pagi tadi baru berisi beberapa buah-buahan yang dipetiknya di dalam hutan kini terasa sakit memilin minta diisi. Tapi seperti sudah disaksikannya tidak ada satu kedai pun yang dibuka. Tiba-tiba dari tikungan jalan di depannya kelihatan berlari seorang laki-laki separuh baya. Begitu berhadapan Wulansari segera menegur,

"Bapak, ada apakah kau berlari seperti seseorang yang dikejar-kejar...?"

Laki-laki itu ketika melihat yang bertanya adalah seorang gadis cantik jelita segera berhenti. Matanya melirik ke hulu pedang yang tersembul di balik punggung Wulansari lalu menjawab,

"Nak, aku lari bukan karena dikejar-kejar, tapi karena barusan menjumpai mayat yang sudah rusak di tepi kota sebelah sana! Di dalam hutan!"

Wulansari terkejut. "Mayat? Mayat siapa?" tanyanya.

"Mayat Sukropringgo...."

"Sukropringgo itu siapa...?"

Laki-laki itu hendak mengomel karena ditanya terus-terusan seperti itu sedang napasnya yang megap-megap karena berlari masih belum teratur. Tapi melihat bahwa Wulansari adalah seorang gadis asing, dia dapat memaklumi lalu menjawab,

"Sukro adalah seorang pemuda yang telah bertekad bulat hendak pergi ke kotaraja guna melaporkan segala penindasan yang terjadi di sini. Kenyataannya, sebelum pergi dia sudah dibunuh di tengah jalan. Pasti ini pekerjaannya Adipati Lor Ben...." 

Mendadak sampai di situ orang tersebut menghentikan keterangannya. Dia memandang berkeliling dengan paras pucat, seperti orang yang takut kalau-kalau ada orang lain yang mendengar keterangannya itu tadi. Dia berpaling kepada Wulansari. 

"Anak, aku tak bisa memberi keterangan lebih lanjut. Kalau anak buah Lor Bentulan mengetahuinya pasti aku bisa celaka...!" 

Cepat-cepat laki-laki itu memutar tubuh dan meninggalkan tempat itu. Wulansari yang berseru memanggil-manggilnya tidak diacuhkan. Gadis ini mengangkat bahu lalu meneruskan perjalanannya. Perutnya terasa sakit lagi. Di hadapan sebuah rumah panjang gadis ini berhenti. Melihat kepada bentuk bangunannya, mungkin ini adalah rumah sewaan atau penginapan. Wulansari segera mengetuk pintu depan. Tak lama kemudian seorang laki-laki tua keluar membukakan pintu. Digosoknya matanya. Ditatapnya gadis yang di hadapannya lalu bertanya.

"Anak, kau ada keperluan apa...?"

"Kalau aku tidak salah duga bukankah ini rumah penginapan?" tanya Wulansari.

"Benar, Nak. Tapi sudah sejak empat bulan yang lewat tidak dibuka lagi," jawab si orang tua.

"Memangnya ada apa?"

"Kami tidak sanggup membayar pajak..,."

"Tapi daripada kosong saja bukankah lebih baik disewakan satu kamar padaku. Besok pagi aku akan meneruskan perjalanan...."

Orang tua itu tertawa. Tertawa getir yang menyatakan kepahitan hidup. "Kata-katamu memang betul daripada kosong lebih baik disewakan. Tapi sewa yang aku terima hanyalah sepersepuluh daripada pajak yang harus aku bayarkan nanti kepada Bupati di sini!"

Terkejutlah Wulansari mendengar keterangan itu. "Orang tua... kalau kau bisa memberikan keterangan yang lebih lengkap atas apa yang sudah terjadi di kota ini...."

Pemilik penginapan yang bangkrut itu menggelengkan kepala. "Bukan aku tidak bisa... tapi tidak berani. Kau carilah keterangan pada orang lain. Tapi kurasa tidak ada satu orang pun yang berani. Sekali kaki tangan Lor Bentulan mengetahuinya, pasti celaka...." 

Sampai disitu orang tua itu menutupkan pintu cepat-cepat dan menghilang. Wulansari teringat pada mayat Sukropringgo lalu dengan perut yang masih keroncongan dia berlalu dari situ. Dia mendatangi beberapa rumah penduduk untuk menumpang menginap. Tapi tidak satu orang pun yang menerimanya. 

Bukan karena mereka tidak mau menolong atau tidak kasihan pada gadis itu tapi adalah karena mereka takut ketahuan oleh kaki-kaki tangan Lor Bentulan. Adipati Magetan yang mereka cap sebagai Adipati bejat tukang tindas! Jangankan untuk minta menumpang, bicara panjang pun memberi keterangan tidak ada yang berani. Wulan meneruskan lagi perjalanannya dan tahu-tahu dia sudah berada di pinggiran kota.

"Celaka, di mana aku menginap?" Dia memandang berkeliling. Di situ banyak pohon-pohon besar dengan cabang-cabangnya besar pula. Satu akal didapatnya. Tentang mau di mana tidur kini dia tidak khawatir. Kalaupun tak ada yang mau memberinya menumpang bermalam dia bisa tidur di cabang pohon yang besar itu. Tapi bagaimana dengan perutnya yang keroncongan dan makin lama makin memilin?

Tengah dia berdiri kebingungan ini tiba-tiba dilihatnya seorang laki-laki tua berjalan terbungkuk-bungkuk dengan pertolongan sebuah tongkat. Di bahunya yang kurus tersandang sebuah bungkusan. Pakaiannya penuh dengan tambalan-tambalan. Tambalan-tambalan ini tidak cukup untuk menutupi robekan-robekan yang masih banyak terdapat di sana sini.

"Orang tua," tegur Wulansari, "Kau mau ke mana?"

Orang tua bongkok itu memutar kepalanya dengan perlahan. Mukanya keriputan dan cekung. Kedua matanya yang sipit memandang sayu tapi agak membesar sedikit ketika melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Dia balik bertanya, "Gadis cantik, kau siapakah dan dari mana malam-malam begini berada di sini?"

"Aku orang asing yang kemalaman dalam perjalanan dan tengah mencari tempat menginap...."

Orang tua bongkok itu menggelengkan kepalanya. "Susah, nak. Susah.... Masa ini susah bagimu untuk menginap. Rumah penginapan di kota sudah lama ditutup karena pemiliknya tidak sanggup bayar pajak. Penduduk bukan tidak mau menolongmu, tapi kehidupan mereka demikian menyedihkan ditambah lagi dengan kejahatan orang-orang Kadipaten...."

"Itulah sebabnya, orang tua, mengapa aku berdiri bingung di sini karena tidak tahu ke mana aku harus pergi sedangkan perutku sejak pagi boleh dikatakan belum masuk apa-apa...."

"Kasihan... kasihan nasibmu, Nak," kata si orang tua sambil meneliti Wulansari dari ujung rambut sampai ke kaki. "Tapi nak, bila kau tak keberatan bermalam di gubukku, kau boleh ikut sama-sama...."

Wulansari menjura. "Terima kasih, tapi kalau akan menimbulkan kesusahan biarlah tidak, orang tua...."

"Tidak, tak apa-apa. Hari sudah malam, kau seorang gadis pula. Gubukku memang sempit, biar kalau kau mau tidur bersempit-sempit."

"Terima kasih, Bapak Tua," kata Wulansari dengan sangat gembira.


***
TUJUH

GUBUK orang tua itu kecil dan reyot. Dinding kajangnya sudah bolong-bolong demikian pula atapnya yang dari rumbia sehingga bintang-bintang di langit dapat dilihat dengan jelas. Wulansari duduk di atas sebuah kursi tua sedang si orang tua duduk di atas balai-balai bambu yang dialasi dengan tikar pandan yang sudah robek-robek. Di sampingnya duduk pula seorang perempuan tua, isterinya.

"Anak, siapakah namamu?" bertanya si perempuan tua.

Gadis itu memberitahukan namanya, lalu tanpa diminta dia memberi keterangan mengapa sampai dia berada di Magetan. Laki-laki tua mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Pantas..." katanya. "Mula-mula aku merasa heran mengapa gadis secantikmu ini malam-malam berada di tengah jalan yang gelap dan sunyi. Tak tahunya kau seorang gadis persilatan yang tengah diberi tugas mengembara oleh gurumu." 

Si orang tua kemudian menerangkan bahwa dulunya dia adalah seorang petani yang hidup sederhana dan bahagia tapi kemudian jatuh miskin bersama ratusan penduduk Magetan lainnya akibat pemerasan yang dilakukan oleh Adipati Lor Bentulan, serta pembantu-pembantunya. Karena tak ada mata pencaharian yang bisa didapat maka terpaksa menjadi pengemis, mengharapkan belas kasih orang lain. Si orang tua mengakhiri keterangannya dengan kalimat: 

"Ketika kau bertemu dengan aku di tengah jalan tadi, aku barusan habis dari desa terdekat, pulang mengemis. Sial sekali hari ini, uang sepeser pun tidak dapat, Cuma dua kaleng beras itu pun beras menir pula sedang berjalan dari pagi sampai malam. Tapi itu sudah lebih dari cukup, sudah syukur Tuhan masih memberi rezeki...."

"Tapi Pak Tua," ujar Wulansari, "Kalau harus mengemis mengapa jauh-jauh ke desa lain? Di sini kurasa masih bisa diharapkan belas kasihan orang lain."

Si orang tua tertawa. "Sebagaimana yang kuterangkan padamu yaitu semua orang di sini sudah pada sangat miskin. Juga karena memikirkan nasib sendiri-sendiri dan keluarga, mana mungkin harus kasihan dan memikirkan hendak menolong orang lain...?"

Wulansari menarik napas dalam. "Apakah sebabnya Bupati daerah ini sampai bertindak sewenang-wenang memungut pajak tinggi semena-mena?"

"Itulah satu pertanyaan yang tak kunjung bisa didapatkan jawaban oleh setiap penduduk di sini," sahut si orang tua. "Tapi Wulan, apa yang tidak mungkin berubah di atas dunia ini? Bila kehendak Tuhan berlaku, orang yang kemarin baik hari ini bisa menjadi jahat. Orang yang malam ini jujur, besok bisa menjadi tukang tipu, pemimpin yang dulu dipercaya dan disanjung-sanjung bisa menjadi tukang tindas dan tukang peras...."

"Kata-katamu itu benar belaka, Pak...." kata Wulansari pula.

Si orang tua berpaling pada isterinya. "Bu, tamu kita ini sangat lapar. Masaklah beras menir yang dua kaleng itu, biar kita bisa makan sama-sama...." Si orang tua berpaling pada Wulansari dan meneruskan, "Tapi maaf saja Wulan, kami tidak punya apa-apa selain sambal...."

"Itu pun sudah ribuan terima kasih, Bapak. Dan kalau tidak keberatan, biarlah aku yang tolong memasakkan."

"Oh, jangan Nak. Sebagai tamu walau bagaimanapun kami harus hormati kau," kata si perempuan tua. Sebelum perempuan itu masuk ke dalam suaminya bertanya, "Kemana anak kita, bu?"

Sang isteri yang sudah berdiri duduk kembali di ujung balai-balai. "Itulah pak. Sukropringgo tak bisa lagi menahan hati. Sudah bulat tekadnya untuk melaporkan apa-apa yang terjadi di sini ke kotaraja. Dia pergi pagi tadi...."

Sang suami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Besar bahayanya, terlalu besar! Tapi memang bila perbuatan-perbuatan Adipati Lor Bentulan didiamkan saja tidak dilaporkan ke kotaraja akan lebih menambah penderitaan lagi. Biarlah Bu, kita doakan saja semoga berhasil. Aku bangga punya anak seperti dia...."

Ketika mendengar perempuan tua itu menyebut-nyebut nama Sukropringgo, terkejutlah Wulansari. Bukankah Sukropringgo pemuda yang mayatnya ditemui di dalam hutan sebagaimana diterangkan oleh laki-laki separuh baya yang berpapasan di tengah jalan waktu baru saja memasuki Magetan?

"Pak Tua," kata Wulansari, "Apakah pemuda yang bernama Sukropringgo itu anakmu?"

"Benar sekali. Rupanya kau kenal dengan dia?"

"Tidak Pak Tua, tapi...."

"Tapi apa wulan...?" tanya laki-laki tua itu dengan gelisah ketika melihat air muka si gadis berubah.

"Tapi..." dan Wulansari menerangkan bagaimana dia tadi ketika baru memasuki kota telah bertemu dengan seorang laki-laki yang membawa kabar tentang mayat seorang pemuda bernama Sukropringgo yang ditemui di dalam hutan. 

Mendengar itu maka menjeritlah si perempuan tua dan rubuh pingsan. Kalau tidak lekas Wulansari melompat niscaya perempuan itu terguling ke tanah. Wulansari membaringkannya di atas balai-balai. Tubuh Pak Sukropinggo sendiri bergetar. Kedua matanya yang sipit berkaca-kaca dan menangislah orang tua itu sambil tiada henti-hentinya menyebut-nyebut nama anaknya. 

Tiba-tiba dia berdiri. Pandangan matanya liar dan galak. Di dinding tersisip sebuah parang. Benda ini segera diambilnya dan melangkah ke pintu. Amarahnya yang mendidih membuat dia lupa bahwa di hadapannya saat itu ada Wulansari.

"Bapak, kau mau ke mana?!" tanya Wulansari sambil menghadang di ambang pintu.

"Minggir! Minggirlah Wulan! Biar aku cincang kepala Adipati Lor Bentulan itu sampai lumat! Pasti dia yang membunuh anakku, sekurang-kurangnya yang kasih perintah!"

Dengan tangan kirinya Wulansari memegang lengan orang tua itu sambil alirkan tenaga dalamnya agar si orang tua tenang dan dapat menguasai diri. "Dengar pak tua, kejantananmu sebagai laki-laki sangat aku kagumi. Tetapi sadarlah, dengan seorang diri dan bersenjatakan parang mana mungkin kau bisa melampiaskan amarahmu terhadap Adipati keparat itu. Apalagi di sana terdapat pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi!"

Sesaat kemudian si orang tua sadar dan mengerti bahwa apa yang dikatakan oleh Wulansari adalah benar. Perlahan-lahan dia mundur dan duduk di balai-balai. Kembali seperti tadi dia menangis tersedu-sedu. "Ya Tuhan... apa yang harus aku lakukan? Anakku dibunuh orang! Tuhan, turunkanlah kutuk dan hukumanmu atas manusia-manusia keparat itu!"

Terharu sekali Wulansari mendengar kata-kata orang tersebut. Dia ingat bagaimana dia sendiri juga kehilangan ayah, kehilangan ibu, kakek dan gurunya. Semua orang yang dikasihi itu mati dibunuh orang. Tapi kematian seorang anak kandung tentu akan lebih parah lagi deritanya. Tak terasa kedua mata si gadis jadi berkaca-kaca. Dia melangkah ke hadapan si orang tua dan berkata,

"Pak tua, mengenai urusanmu dengan Adipati keparat itu biar aku yang selesaikan. Sebaiknya kau segeralah minta bantuan tetangga untuk mengambil dan mengurus mayat anakmu yang kini berada di dalam hutan di tepi kota."

Mendengar itu si orang tua menghentikan tangisnya. Dipandangnya Wulansari dengan sikap seolah-olah baru kali itulah dia melihatnya. "Wulan.. anak, aku percaya bahwa kau bukan gadis sembarangan. Aku bersyukur kalau kau bisa membalaskan sakit hatiku pada Adipati keparat itu. Tapi Nak, kau masih belum makan...."

Saat itu, sesudah mengetahui apa yang terjadi di Magetan serta nasib malang yang menimpa seorang tua, rasa lapar di diri Wulansari serta merta menjadi hilang lenyap. Sebagai seorang manusia yang mempunyai kepandaian silat, yang menuntut ilmu tinggi demi untuk menolong yang lemah dan membasmi kaum durjana penimbul malapetaka maka dia merasa semua persoalan yang terjadi di Magetan adalah menjadi tanggung jawabnya untuk diselesaikan!

"Pak Tua, aku pergi sekarang," kata Wulansari. Dan gadis ini segera melompat menuju ke pintu. 

Pintu gerbang Kadipaten yang besar dan tertutup dijaga oleh dua orang pengawal. Pengawal yang dua ini adalah sisa pengawal-pengawal yang tempo hari dibunuh oleh kelima anak buah Warok Kate. Keduanya segera memalangkan tombak masing-masing ketika Wulansari muncul di hadapan mereka. Melihat kepada tampang-tampang mereka yang licin dan kurus itu, tak percaya si gadis bahwa mereka adalah kaki-kaki tangan yang kejam dan berhati busuk dari Adipati Lor Bentulan. 

Dan justru rasa tidak percaya inilah yang menyelamatkan jiwa kedua pengawal tersebut. Dengan satu gerakan yang hampir tidak kelihatan karena demikian cepatnya, Wulansari telah menotok jalan darah di leher dan di dada mereka sehingga mereka kini menjadi berdiri dengan tubuh kaku tegang serta gagu. Kalau tidak diperhatikan secara teliti mereka tak ubahnya seperti pengawal yang tengah melakukan tugas, padahal mereka sudah kaku tak pandai bergerak dan bisu!

Dengan mudah Wulansari membuka pintu gerbang lalu terus ke dalam. Pintu gedung Kadipaten ternyata tertutup. Wulansari coba mendorong tapi rupanya pintu itu dikunci dari dalam. Segera si gadis mengetuk beberapa kali. Tak lama kemudian pintu itu terbuka dan muncul satu kepala berambut gondrong, berkumis melintang, be rewokan dan bertampang buruk serta kejam buas. 

Orang ini bertubuh tinggi besar memakai pakaian keprajuritan dan begitu membuka pintu segera hendak membentak, tapi ketika melihat ternyata seorang dara jelita yang berdiri di tangga Kadipaten, maka dia segera tersenyum simpul. Meskipun sudah tersenyum namun parasnya tetap saja buruk dan membayangkan kekejaman!

"E... e... eee, gadis cantik. Kau siapa malam-malam begini datang ke Kadipaten? Manusia jadi-jadiankah atau bidadari yang turun dari kayangan...?"

Meskipun hatinya gemas mendengar pertanyaan itu namun Wulansari menjawab dengan tenang dan sabar: "Pengawal, aku ingin bertemu dengan Adipati Lor Bentulan...."

"Hendak bertemu dengan Adipati Lor Bentulan? Malam-malam begini...? Ada maksud apakah?!"

"Satu urusan penting yang hanya bisa dikatakan langsung kepadanya," jawab Wulansari.

"Hemm..." menggumam prajurit pengawal itu yang tak lain daripada salah seorang anak buah Warok Kate adanya. "Gadis cantik, kau tunggulah di sini sebentar. Aku akan beritahu kedatanganmu pada Adipati dan menanyakan apakah dia bisa menerimamu atau tidak."

Pintu tertutup. Tak lama kemudian terbuka kembali dan si manusia tinggi besar bertampang buruk muncul sambil berkata cengar cengir,

"Adipati bersedia menerimamu. Silahkan masuk." 

Pintu dibukakan lebar-lebar dan Wulansari masuk ke dalam gedung. Mereka sampai ke sebuah ruang tengah yang terang benderang oleh lampu. Di atas sebuah kursi kayu jati berukir Indah duduklah seorang laki-laki berpakaian rapi dan bagus. Tubuhnya kurus, pakaian bagus yang dipakainya itu nyata sekali agak kebesaran untuknya. 

Wulansari tahu bahwa orang ini belum lagi mencapai umur lima puluh tapi raut wajahnya yang pucat tiada cahaya itu menjadikan parasnya seperti orang sudah berumur lebih dari setengah abad. Dengan sepasang matanya yang cekung kuyu dia memandang kepada Wulansari. Kalau diambil perumpamaan maka laki-laki ini tak ubahnya seperti sebuah pelita yang menyala tapi hampir kehabisan minyak!

Tiba-tiba paras laki-laki itu mendadak berubah menjadi kasar dan garang. Matanya yang cekung melotot keluar dan rahang-rahangnya bertonjolan. Ini suatu hal yang tak bisa dimengerti oleh si gadis.

"Gadis asing! Kau siapakah yang datang malam-malam begini menggangguku?!" tanyanya dengan suara keras.

"Harap dimaafkan kalau kedatanganku mengganggu ketenteraman serta mengotori gedungmu yang indah mewah ini, Adipati. Aku memang orang asing di sini dan justru hal-hal yang serba asinglah yang membawa aku sampai ke gedungmu ini!"

Adipati Lor Bentulan mengerenyitkan keningnya. "Katakan kau punya maksud apa!"

"Aku datang untuk bertanyakan apakah tanggung jawabmu sebagai Adipati atau sebagai pemimpin di sini atas kehidupan, keamanan dan kesejahteraan rakyat daerah ini?!"

Mendadak terjadi lagi perubahan pada air muka Lor Bentulan. Seperti yang mula-mula dilihat Wulansari maka kini kembali paras laki-laki itu menjadi pucat pasi sedang pandangan matanya yang tadi garang kembali menjadi kuyu! Kini tahulah si gadis kalau perubahan sikap dan air muka tadi hanyalah satu kepura-puraan belaka.

"Gadis aneh! Kau manusia atau siluman?!"

"Aku sama dengan kau, Adipati. Sama-sama manusia! Cuma kau seorang manusia berhati kejam dan tukang tindas rakyat!"

"Gadis asing! Sebelum aku menjadi marah sebaiknya kau berlalu dari hadapanku!" memperingatkan Lor Bentulan.

Wulansari mengeluarkan suara mendengus. "Aku baru mau pergi bila kau berjanji untuk merubah aturan-aturan pajakmu menjadi seperti empat bulan yang lalu, dan memperhatikan kehidupan rakyat Magetan yang kini sangat menderita sengsara karena diperas dan disedot darahnya olehmu!"

"Jangan bicara sebagai seorang pahlawan di hadapanku!" bentak Adipati itu dengan geramnya. "Apapun yang kulakukan bukan menjadi urusanmu! Kau orang lain mengapa ikut campur?!"

Si gadis tertawa mengejek. "Adipati, apakah kau buta dengan keadaan hidup rakyatmu yang menderita sengsara dewasa ini? Apakah kau tidak mendengar bagaimana kaum ibu meratap dan anak-anak bertangisan karena perut mereka merintih kelaparan? Apakah kau lupa bahwa kau juga dulunya berasal dari seorang rakyat? Apakah kau lupa bahwa kalau bukan karena rakyat tidak mungkin kau akan enak-enakan duduk ongkang-ongkang di kursi kebesaranmu itu, menikmati hidup mewah dari hasil memeras dan menindas...."

"Sudah! Cukup!" teriak sang Adipati seraya berdiri dari kursinya. "Kau keluarlah baik-baik dari sini atau kusuruh para pengawal menyeretmu!"

Dengan sepasang matanya yang tajam Wulansari menatap kedua mata laki-laki itu. Merasakan sorotan mata tersebut Lor Bentulan menjadi bergidik dan bungkam. "Perbuatanmu sudah keterlaluan, Adipati. Kekejamanmu sudah melampaui batas. Bukan saja kau tindas rakyat banyak, kau suruh mereka mati kelaparan tapi bahkan juga kau bunuh seorang pemuda yang hendak melaporkan kejahatan dan kebusukanmu kepada Sri Baginda di kotaraja!"

"Apa...? Apa?!" tanya Adipati itu dengan sangat terkejut.

"Ah, tak usah pura-pura terkejut Lor Bentulan! Bukankah kau yang membunuh Sukropringgo?!"

"Sukropringgo, pemuda itu?! Tidak, demi Tuhan aku tidak membunuhnya!"

"Baik, kalau kau bilang bukan kau yang membunuhnya. Tapi jangan mungkir bahwa kaulah yang menyuruh bunuh pemuda tersebut dan itu adalah sama saja. Tanganmu tetap berlumur dosa dan darah!"

"Itu pun tidak! Aku tak pernah menyuruh siapa-siapa untuk membunuhnya! Sukropringgo memang pernah datang kepadaku. Tapi aku Cuma peringatkan agar dia jangan membuat-buat urusan. Hanya itu! Hanya itu yang kulakukan! Kau pasti dusta!"

"Aku bukan manusia pendusta atau penipu macam kau! Seorang yang telah melihat mayat pemuda itu dengan mata kepalanya sendiri telah menerangkan padaku!"

Air muka Lor Bentulan semakin pucat.

"Akuilah terus terang, Adipati...."

Pada saat itu dari pintu yang terbuka secara tiba-tiba di ruang tengah itu berloncatanlah keluar lima orang laki-laki bertubuh tinggi besar, bertampang galak, berewokan serta berambut gondrong. Mereka berpakaian prajurit pengawal Kadipaten tetapi sebenarnya tak lain daripada anak-anak buah kepala rampok Warok Kate. Di tangan masing-masing tergenggam golok besar.

"Adipati! Mengapa bicara panjang lebar dengan gadis iblis ini?! Biar kami bereskan dia!" kata salah seorang dari mereka. 

Adipati Lor Bentulan berdiri dengan lutut goyah tubuh menggigil. Suaranya gemetar ketika bertanya pada orang yang bicara tadi, "Rampung, kau... kau apakan Sukropringgo...?"

Anak buah Warok Kate yang bernama Rampung menyeringai buruk. "Ah itu urusan yang bisa kita bicarakan kemudian, Adipati. Yang penting sekarang membereskan gadis ini!"

"Tidak bisa! Katakan dulu Rampung, kalian yang membunuh Sukropringgo?! Kalian sudah melampaui batas! Kalian sudah sangat keterlaluan. Kalian rampok-rampok hina dina tukang peras! Bunuhlah aku! Aku sudah tidak sanggup lagi... tidak sanggup!"

"Adipati edan! Kau lupa bahwa kau Cuma punya satu nyawa!" Rampung melompat ke hadapan Lor Bentulan. "Mampuslah!" bentaknya seraya membabatkan golok besarnya ke kepala Adipati Magetan itu.

Tapi dengan lompatan yang lebih cepat dan lihay, Wulansari mendorong bahu Lor Bentulan. Meskipun dorongan yang dilakukannya kelihatan lemah saja tapi tubuh Adipati itu mental terguling ke samping kursinya. Kepalanya selamat dari hantaman golok besar. Senjata itu mendarat di kursi kayu jati yang menjadi hancur berkepingan!

Ketika Rampung hendak memburu Adipati itu maka Wulansari sudah berdiri di hadapannya. "Gadis siluman! Minggir kalau tidak mau mampus!"

Wulansari menyeringai. "Jadi kalian rupanya tidak lain daripada rampok-rampok tukang peras berpakaian pengawal?! Srigala-srigala jahat berbulu domba?! Jangan kira kalian bisa angkat kaki dari sini hidup-hidup!"

Rampung tolakkan tangan kirinya di pinggang. "Nyalimu terlalu besar, gadis rendah! Kau terimalah ini!" Rampung itu menyerang dengan golok besarnya.

"Nak, kau hati-hatilah," terdengar suara Adipati Lor Bentulan yang saat itu sudah berdiri dan menghindar ke sudut ruangan. "Mereka rampok jahat berkepandaian tinggi!"

Dengan memiringkan tubuhnya sedikit Wulansari berhasil mengelakkan sambaran golok Rampung. Salah seorang kawan rampok ini kemudian berseru; "Rampung, untuk menghadapi gadis seperti dia mengapa pakai golok segala? Tangkap dia hidup-hidup agar bisa kita pakai bergantian!"

Mendengar ini Rampung menghentikan serangannya. Dia tertawa bekakakan lalu sambil masukkan goloknya kembali ke sarungnya dia berkata: "Benar kau benar! Memang sayang kalau kulitnya yang halus mulus itu sampai terluka!"

Dengan tangan kosong Rampung maju ke muka. Saat itu Wulansari kelihatan berkelebat. Rampung terkejut dan melompat mundur, untung saja dia berlaku hati-hati kalau tidak tentu perutnya sudah kena tendangan si gadis! Namun serangan yang dilakukan oleh Wulansari sebenarnya adalah serangan sambilan saja karena yang ditujunya adalah rampok yang tadi bicara kurang ajar!

"Bukk!"

Suatu pukulan yang keras itu disusul oleh suara jeritan melengking. Rampok yang bermulut kotor rebah ke lantai dengan kepala pecah! Semua orang jadi terkejut!

"Gadis jahanam!" teriak Rampung dengan geram. Tapi hatinya bergidik juga melihat kehebatan Wulansari. "Kau benar-benar minta dicincang!" 

Rampok ini mencabut goloknya kembali dan menyerang dengan ganas ke arah si gadis. Dengan cekatan Wulansari mengelak. Golok Rampung mengenai tempat kosong. Dengan geram dan penasaran rampok ini mengirimkan serangan beruntun. Golok besarnya menderu dan berkilauan ditimpa sinar lampu. Rupanya nama Warok Kate sebagai kepala rampok yang menggetarkan di daerah selatan bukan nama kosong belaka. Permainan golok muridnya tinggi dan lihay. 

Meskipun senjata itu besar namun gerakan-gerakan serangan yang dilakukan Rampung enteng dan cepat serta bertubi-tubi. Ini sekaligus membuktikan bahwa tenaga dalam rampok ini sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi. Sinar goloknya seakan mengurung Wulansari dari pelbagai jurusan. 

Tapi baik Rampung maupun kawan-kawannya tidak tahu dengan gadis mana mereka berhadapan. Dengan bertangan kosong Wulansari berkelebat kian kemari dan tahu-tahu satu jotosannya menghantam dada Rampung membuat rampok ini melintir dan jatuh duduk di lantai. 

Rampung cepat bergulingan untuk menjaga diri dari serangan lawan yang mungkin akan dilancarkan. Setelah berdiri kembali cepat-cepat dia mengatur jalan napas dan darahnya. Tenaga dalamnya dialirkan ke dadanya yang kena dipukul. Sesudah sakit di dadanya pulih kembali dengan cepat dia berteriak, "Kawan-kawan! Mari kita keroyok perempuan iblis ini!"

Bersamaan dengan itu tiga golok besar keluar dari sarungnya. Kini empat rampok bertubuh tinggi besar dengan golok maut di tangan melompat ke muka mengurung Wulansari dalam kedudukan setengah lingkaran. Menghadapi salah seorang dari rampok-rampok yang mempunyai Ilmu golok tinggi dengan tangan kosong cukup berbahaya bagi si gadis, apalagi kalau dia dikeroyok empat orang. Namun demikian Wulansari tetap tenang dan waspada sementara Lor Bentulan berkali-kali berteriak memberi peringatan agar dia berhati-hati.

"Gadis rendah!" bentak Rampung. 
"Keluarkanlah senjatamu!"

"Untuk menghadapi bangsat rendah macam kalian tidak perlu pakai senjata segala. Majulah!" 

Dihina seperti itu keempat rampok tersebut menjadi marah! Mereka serentak melancarkan serangan gencar. Dari samping kiri, samping kanan dan dua orang dari muka. Sekali saja tubuh gadis itu berkelebat maka terdengarlah jerit seorang pengeroyoknya. Rampok Ini melompat mundur sambil tiada henti-hentinya mengeluh kesakitan karena sambungan siku tangan kanannya telah kena dihantam oleh lawan sampai putus!

Rampung dan dua kawannya kertakkan gigi. Mereka memutar golok masing-masing dengan cepat dan mengeluarkan ilmu golok tingkat tertinggi yang mereka warisi dari guru mereka si Warok Kate. Dengan bentakan keras maka menerjanglah Rampung ke muka. Golok besarnya menyambar deras ke dada Wulansari. Si gadis melompat ke samping. Serangan lawan mengenai tempat kosong. 

Wulansari menggeser kaki kanannya dan serentak dengan itu kaki kirinya menendang ke arah Rampung. Rampok ini tidak menangkis melainkan melompat mundur dan bersamaan dengan itu kawannya yang di belakang memapaskan goloknya ke kaki si gadis. Terpaksa gadis ini menarik pulang kakinya dengan cepat. Tapi dari samping kiri kemudian melompat rampok ketiga mengirimkan serangan golok ke pinggang!

Wulansari berkelit ke kanan. Tangan kanannya memukul ke muka. Meskipun jotosannya ini berhasil dielakkan tapi tak urung angin pukulan membuat kedua mata rampok yang diserang menjadi perih. Cepat-cepat dia menghindar dan dua kawannya yang lain kini memapaki Wulansari dari samping kiri dan samping kanan. Sambil mengirim tinju kiri kanan ke arah lawannya, gadis itu melompat ke muka tapi saat itu rampok ketiga tadi sudah membabat pula dengan goloknya dari jurusan ini. 

Agaknya disinilah kehebatan permainan "golok ular" yang diandalkan mereka. Dengan teriakan melengking Wulansari berkelebat di udara di antara ketiga lawannya. Rampok-rampok itu mengira bahwa golok mereka masing-masing sudah sama-sama membacok tubuh si gadis. Tapi alangkah terkejutnya mereka ketika "trang"! Senjata mereka sendiri yang saling beradu dengan senjata kawan! 

Sebelum mereka habis dari terkejutnya tiba-tiba "buk"! salah seorang dari rampok-rampok itu terguling ke tanah karena dalam lengahnya telah kena pukul bahu kirinya oleh Wulansari! Untung saja rampok ini memiliki tenaga dalam yang cukup lumayan. Kalau tidak tentu saat itu tulang bahunya sudah patah atau terluka berat di dalam. Meskipun dengan tubuh miring dia masih dapat bangkit berdiri.

Ketiga orang itu membentuk barisan "golok ular" kembali. Kini mereka sama mempercepat gerakan sehingga tubuh mereka benar-benar tak ubahnya seperti seekor ular yang meliuk-liuk kian kemari. Sayang mereka cuma bertiga. Kalau berlima tentu kehebatan permainan golok ciptaan guru mereka tersebut tidak mengecewakan.


***
DELAPAN

SAMPAI saat itu Wulansari dengan gerakan-gerakannya yang gesit masih saja menghadapi lawan-lawannya dengan tangan kosong! Disamping ini menimbulkan kegeraman di hati Rampung dan kawan-kawannya mereka juga menjadi penasaran. Sebelumnya jika mereka mengeroyok lawan, sekurang-kurangnya dalam lima jurus mereka sudah sanggup merobohkannya. 

Tapi saat ini jangankan merobohkan, membuat segores luka pun mereka tidak sanggup bahkan untuk mendesak saja tidak bisa. Apalagi mengingat lawan mereka saat itu adalah seorang gadis pula, seorang perempuan! Tubuh Wulansari seperti bayang-bayang di antara sambaran-sambaran golok ketiga lawannya. 

Tiba-tiba 'breet!" Suara ini disusul oleh suara keluhan kesakitan. Rampung melompat ke belakang. Mukanya memutih pucat. Pakaiannya di bagian dada robek besar sedang pada kulit dadanya terlihat lima guratan luka! Inilah ilmu cakaran Wulansari yang dinamai "cakar setan" yang dipelajari dari gurunya. Meski belum mencapai tingkat kesempurnaan tapi akibatnya cukup berbahaya. Rampung merasa perih dan gatal-gatal. Cepat-cepat dikerahkannya tenaga dalamnya ke bagian yang terluka, tapi malahan luka cakaran itu semakin bertambah gatal!

"Iblis betina!" bentak Rampung dengan amarah mendidih. "Hari ini aku mengadu jiwa dengan kau!" Tubuhnya melesat ke muka dan golok besar di tangannya berputar dahsyat. Ini adalah permainan golok tunggal yang mempunyai jurus-jurus aneh yang juga dipelajarinya dari gurunya si Warok Kate. 

Melihat kawan mereka mengeluarkan ilmu tersebut rampok yang dua lagi segera menyerbu pula. Dalam mengirimkan serangan-serangan dahsyat itu. Rampung tiada henti-hentinya mempergunakan tangan kirinya untuk dipakai menggaruk lukanya yang gatal-gatal. Jika seandainya yang mereka layani hanyalah seorang musuh enteng, maka dapat dipastikan bahwa ketiga rampok itu akan merobohkan lawan mereka dalam beberapa gebrakan saja. 

Tapi kini mereka berhadapan dengan murid si Cakar Setan yang juga pernah mendapat gemblengan dari seorang sakti bernama Suara Tanpa Rupa sehingga ketiganya jadi mati kutu. Di satu jurus, ketiga rampok itu menyerang secara bersamaan. Golok Rampung berkelebat ke arah leher. Kawannya yang seorang lagi membabatkan senjatanya ke pinggang sedang yang ketiga dengan membungkuk memapas ke arah kedua kaki Wulansari!

Jika serangan mereka ini berhasil dapatlah dibayangkan betapa tubuh gadis cantik jelita itu akan terpotong menjadi empat bagian. Tapi percuma saja Wulansari menjadi murid si Cakar Setan, percuma dia mengeram di gua batu karang selama satu tahun berguru pada si orang tua aneh Suara Tanpa Rupa kalau serangan ini tidak bisa dielakkannya! 

Untuk menghindarkan kedua kakinya dari serangan golok lawan yang merunduk gadis ini melompat ke atas. Bersamaan dengan lompatan itu dia membuang diri ke belakang. Gerakannya ini membuat lehernya selamat dari tebasan golok Rampung sedang dengan mempergunakan kaki kanannya untuk menendang sambungan siku rampok ketiga yang menyerang ke arah pinggang, dia berhasil pula menghancurkan serangan tersebut karena lawannya cepat-cepat menarik tangan yang memegang golok. 

Rampok ini maklum kehebatan tendangan itu dan tak mau ambil resiko. Di sudut ruangan sementara itu Adipati Lor Bentulan berdiri dengan mata terbuka lebar hampir tidak pernah berkesip-kesip melihat perkelahian yang luar biasa hebatnya itu. Begitu kedua kakinya menyentuh lantai kembali, Wulansari melompat ke samping dan merunduk menjangkau golok besar milik rampok yang pertama kali dirobohkannya yaitu yang tadi bicara kurang ajar. 

Sebenarnya dengan tangan kosong pun Wulansari bisa melayani ketiga rampok-rampok bejat itu. Tapi dia sudah muak dan tak mau main-main lebih lama. Dia ingin sekali mencoba keampuhan pedang mustika pemberian gurunya Suara Tanpa Rupa yang kini tersisip di balik punggungnya. Tapi dia ingat pula pesan orang tua itu yakni bahwa pedang sakti tersebut tidak boleh dipakai sembarangan dan baru dikeluarkan dalam menghadapi musuh yang benar-benar tangguh serta dalam keadaan jiwa terancam.

Melihat si gadis kini berdiri dengan golok di tangan, ketiga rampok itu menjadi bergidik. Dengan tangan kosong saja mereka tidak sanggup melayani si jelita itu, apalagi kini dengan bersenjatakan golok! Rampung memberi isyarat kedipan mata pada kedua temannya. Dengan serentak ketiga rampok itu berlompatan ke jendela. Terdengar suara tertawa meninggi Wulansari. 

"Manusia-manusia bedebah! Kalian mau lari ke mana?!" 

Sekali gadis ini berkelebat maka menderulah golok di tangannya dan terdengar tiga suara jeritan kesakitan seolah menjadi satu. Rampung terjungkal ke belakang. Lehernya hampir putus terbabat golok di tangan Wulansari. Darah menyembur keluar. Rampok kedua terhuyung sambil memegangi dadanya yang terluka berat kena disambar ujung golok yang terus menembus jantungnya. 

Tubuh rampok ini kemudian terguling di lantai tanpa nyawa. Rampok ketiga berdiri berputar-putar seperti babi celeng dengan memegangi perutnya yang robek besar dengan usus berbusai mengerikan akibat tendangan kaki kanan Wulansari yang jari-jarinya berkuku panjang!

Wulansari memandang pada empat sosok tubuh tanpa nyawa yang bergelimpangan di lantai yang penuh dengan darah berbau amis. Tiba-tiba dia teringat bahwa jumlah lawannya tadi adalah lima orang. Kemana yang satu lagi? Dia memandang berkeliling. Pada saat itu Lor Bentulan melangkah ke hadapannya dan berlutut.

"Gadis cantik... kau malaikat atau...."

"Berdirilah Adipati," kata Wulansari dengan cepat. "Kemana bangsat yang seorang lagi?"

"Dia telah melarikan diri lewat pintu belakang," menerangkan Lor Bentulan dengan masih berlutut. Parasnya masih tetap pucat ketakutan.

"Berdirilah Adipati. Aku...."

Tiba-tiba pintu di sebelah sana terbuka lebar dan puluhan manusia yang membawa berbagai macam senjata di tangan, mulai dari kayu pentungan sampai ke pedang, mulai dari pisau sampai ke golok, masuk menyerbu dengan berteriak-teriak. Mereka tak lain adalah penduduk Magetan yang ketika mendengar suara hiruk pikuk di dalam gedung Kadipaten segera mengetahui bahwa tengah terjadi perkelahian di sana. 

Seseorang mengintip melalui celah pintu setelah terlebih dahulu terheran-heran melihat dua pengawal pintu gerbang yang berdiri kaku bisu! Orang ini menyaksikan bagaimana seorang gadis cantik jelita dengan tangan kosong tengah berkelahi melayani empat pengawal Kadipaten, bahkan salah seorang diantaranya sudah rebah di lantai! 

Nyata bahwa gadis ini seorang yang gagah. Maka orang tadi segera menerangkan kejadian itu pada seluruh penduduk dan akhirnya beramai-ramai penduduk Magetan segera menyerbu ke gedung Kadipaten karena memang sudah sejak lama mereka menahan dendam dan sakit hati yang berkaratan terhadap Adipati Lor Bentulan dan anak-anak buahnya.

Ketika mereka menyerbu masuk, orang-orang itu melihat bagaimana Lor Bentulan dengan muka pucat pasi berlutut di hadapan Wulansari yang menggenggam sebilah golok besar di tangan. Mereka menyangka bahwa Adipati penindas rakyat itu tengah berlutut minta ampun! Salah seorang dari mereka, yang paling depan sekali berteriak,

"Gadis gagah! Serahkan Adipati laknat itu pada kami! Dia harus mampus di tangan kami!"

"Kami akan cincang dia sampai lumat!" teriak yang lain.

Lor Bentulan melompat bangun dengan ketakutan. Dia berdiri di belakang Wulansari. "Gadis gagah, tolonglah aku! Orang-orang itu pastiakan membunuh aku! Mereka tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi atas diriku...."

"Adipati tukang peras! Jangan sembunyi di balik gadis itu, pengecut!" teriak seorang penduduk yang memegang kelewang.

Wulansari cepat maju ke muka. "Saudara-saudara," katanya dengan suara keras serta mempergunakan tenaga dalam agar dapat mempengaruhi dan menguasai orang banyak yang ada di ruangan itu. "Kalian memang pantas membalas dendam membalaskan sakit hati kalian yang dipendam selama berbulan-bulan. Tapi ketahuilah bahwa semua kesalahan yang dilakukan oleh Adipati itu adalah di luar kemampuannya, karena terpaksa...."

Orang yang memegang kelewang memotong dengan suara lantang, "Gadis gagah, kau orang asing di sini sehingga tidak tahu siapa adanya bangsat yang berdiri di belakangmu itu! Tukang peras! Tukang tindas! Biang racun penyebab penderitaan kami penduduk Magetan! Pembunuh...!"

Seorang penduduk maju. Di tangannya tergenggam sebuah tombak. Dia menatap paras si gadis dengan beringasan. "Orang asing, sebaiknya minggirlah! Kalau kau coba-coba untuk melindungi Adipati itu, kami yang ada di sini tidak segan-segan turun tangan!"

"Turun tangan soal mudah, saudara," sahut Wulansari. "Tapi sebelumnya, yang penting adalah kalian harus mendengar dan mengetahui dulu kenyataan yang ada agar kalian tidak kesalahan tangan!" Gadis ini berpaling pada Lor Bentulan lalu berkata: "Terangkan semuanya kepada mereka. Aku sendiri juga belum mengerti jelas persoalannya...."

Mula-mula melihat kepada paras penduduk yang galak beringas dan mata-mata mereka yang buas menyorot, serta melihat pula kepada berbagai senjata yang mereka pegang Adipati Lor Bentulan merasa bimbang karena dia takut akan diserang dengan tiba-tiba. Tapi nyawanya tergantung pada apa yang harus diterangkannya itu. Lagi pula dia percaya bahwa gadis yang ada di dekatnya akan melindunginya. Ditabahkannya hatinya. Dan melangkahlah Adipati ini ke muka. Suaranya gemetar ketika berbicara.

"Saudara-saudara.... Kalau kalian menganggap aku sebagai tukang peras dan tukang tindas...."

"Bukan menganggap, tapi memang kenyataan kau Adipati tukang tindas dan tukang peras!" teriak seorang penduduk dari sudut ruangan. 

Merahlah air muka Lor Bentulan mendengar ucapan itu. Jakun-jakunnya turun naik beberapa kali lalu dibukanya mulutnya kembali. "Aku tidak menyalahkan kalian kalau kalian menuduhkan demikian karena begitulah yang kalian lihat dengan mata serta kepala kalian. Tapi apa sesungguhnya yang menjadi latar belakang mengapa aku berbuat begitu tidak seorang pun di antara kalian yang tahu...."

"Ah! Kami lebih dari tahu!" tukas seorang penduduk.

Tanpa mengacuhkan ejekan itu Adipati Lor Bentulan berkata, "Kalian lihat empat pengawal yang menggeletak di lantai ini? Apakah kalian tahu bahwa mereka sesungguhnya bukanlah pengawal-pengawal tambahan sebagaimana yang pernah kuterangkan dulu, yang didatangkan dari Kotaraja?" 

Tidak ada seorang pun membuka suara karena masing-masing penduduk menjadi terheran dan bertanya-tanya siapa adanya kalau begitu keempat manusia tersebut. Lor Bentulan melanjutkan, 

"Sesungguhnya mereka adalah rampok-rampok bejat yang memerasku untuk melakukan segala penindasan di Magetan ini!"

Mendengar itu maka hebohlah orang-orang yang ada di ruangan Kadipaten yang besar tersebut. "Tapi kau mungkin dusta, Lor Bentulan!" teriak seorang tua.

Sang Adipati gelengkan kepala. "Suatu malam mereka datang berlima ke sini, berenam dengan pemimpin mereka, seorang manusia kate berilmu tinggi bernama Warok Kate dari bukit Jatiluwak...."

Membeliak kedua mata Wulansari karena terkejut mendengar nama tersebut. "Siapa?! Warok Kate katamu, Adipati...?"

Adipati Magetan itu berpaling pada si gadis. "Ya, namanya Warok Kate, seorang kepala rampok yang buas serta lihay. Agaknya kau kenal bangsat itu?"

"Aku cuma kenal nama tak kenal muka. Warok Kate adalah manusia terkutuk yang membunuh guruku!" 

Terkejutlah semua orang, terutama Lor Bentulan. Wulansari mengepalkan tinju kirinya. Sebagaimana yang diceritakan sebelumnya, Warok Kate adalah pembunuh si Cakar Setan guru Wulansari. "Teruskan keteranganmu, Adipati."

Lor Bentulan meneruskan. Diterangkannya bagaimana Warok Kate memerintahkan kepadanya agar menarik pajak sepuluh kali lipat dari yang sudah-sudah dan hasil dari pajak tersebut harus diserahkan kepadanya dua kali dalam sebulan. Bilamana dia tidak menjalan perintah itu maka nyawanya, nyawa isteri dan anaknya akan dikirim ke neraka! 

Disamping dia tidak berdaya apa-apa karena memang tidak punya ilmu kepandaian silat maka dia juga tidak bisa mengirimkan laporan ke Kotaraja demi keselamatan anak isterinya. Satu-satunya jalan mau tak mau ialah menuruti apa yang diperintahkan Warok Kate kepadanya. Tak lupa Lor Bentulan menerangkan bahwa rampok-rampok itulah yang membunuh Sukropringgo di dalam hutan karena pemuda tersebut bermaksud melaporkan ke Kotaraja atas apa-apa yang terjadi di Magetan. 

Sewaktu sang Adipati menerangkan itu, suasana dalam gedung sunyi sepi diselimuti oleh keharuan. Kalau tadi masih ada diantara penduduk yang berteriak dan mengejek, kini masing-masing sama menutup mulut. Dalam hati mereka timbullah rasa menyesal dan kasihan terhadap Adipati itu. Lor Bentulan menutup keterangannya dengan kata-kata,

"Keempat rampok ini sudah menemui ajalnya, seorang lolos dan kalian tahu apa artinya ini. Dia pasti lari ke tempat gurunya si Warok Kate sedang anak perempuanku sampai saat ini berada di tangan kepala rampok itu! Pasti kepala anakku sudah ditebas!" Lor Bentulan menutup muka dengan kedua tangannya.

Wulansari merasa sangat terharu. "Adipati," katanya. "Tentang nasib anakmu tak usah khawatir. Aku akan tolong dia sekalian menyelesaikan urusan dengan Warok Kate!"

Lor Bentulan menurunkan kedua tangannya dan memandang pada si gadis. "Terima kasih, aku percaya kau mau menolong, gadis gagah. Tapi, sudah terlambat. Sudah kasip! Rampok yang seorang itu sudah keburu lari dan memberitahukan pada Warok Kate apa yang terjadi di sini...."

"Jangan pikirkan itu. Mudah-mudahan aku bisa menyusulnya ke bukit Jatiluwak," ujar Wulansari. Gadis ini tersenyum dan menganggukkan kepalanya ke arah orang banyak, lalu sekali tubuhnya berkelebat ke arah jendela maka lenyaplah dia!

Selama beberapa saat ruangan besar itu tenggelam dalam kesunyian bahkan tidak satu orang pun yang bergerak. Kemudian kelihatanlah penduduk yang memegang kelewang maju ke hadapan Lor Bentulan.

"Adipati," katanya. "Harap dimaafkan karena kami semuanya telah menuduh demikian jahatnya terhadapmu dan harap dimaklumi. Segala apa yang terjadi mungkin sudah kehendak Tuhan. Mudah-mudahan gadis gagah itu berhasil membawa anakmu kembali ke sini. Dan meskipun sudah terlambat, kau izinkanlah kami untuk melepaskan sakit hati kami selama ini!"

Laki-laki itu memutar tubuhnya dan melangkah ke mayat perampok yang terdekat. Kelewang di tangannya bergerak beberapa kali, bertubi-tubi membacok tubuh rampok itu. Melihat itu, semua penduduk kota yang hadir di sana seperti dirasuk oleh satu kekuatan gaib, kekuatan yang timbul dari sakit hati dan dendam yang berbulan-bulan, dengan senjata masing-masing segera membacok, menikam, menusuk, mementung, menginjak-injak keempat mayat rampok tersebut sampai akhirnya tubuh mereka dari kepala sampai kaki tak tentu rupa lagi, hancur luluh dan lumat! Darah membasahi lantai ruangan tersebut bau amis menusuk hidung!


***
SEMBILAN

SEPERTI orang dikejar setan, rampok yang seorang ini berlari pontang panting di malam gelap gulita. Sebentar saja dia sudah jauh meninggalkan Magetan. Namun demikian rasa khawatirnya tak mau hilang, sekali-sekali dia menoleh kebelakang, takut kalau-kalau gadis itu mengejarnya. 

Disamping itu, sambil lari tiada henti-hentinya dia merintih kesakitan karena sambungan sikunya yang terlepas kena jotosan lawan. Dia lari terus dan ketika dinihari baru berhenti. Inipun karena napasnya sudah megap-megap sedang lututnya goyah kelelahan. Pakaiannya basah oleh keringat.

Dia duduk menjelepok di tanah bersandar ke sebatang pohon coba mengatur jalan napasnya kembali. Diperhatikannya siku kanannya. Daging di bagian siku itu kelihatan bengkak menggembung dan sakitnya bukan main. Ketika fajar mulai menyingsing cepat-cepat dia berdiri dan lari lagi meneruskan perjalanannya. Bukit Jatiluwak terletak jauh di utara gunung Lawu. Dua hari dua malam baru dia sampai ke sana. Tenaganya boleh dikatakan sudah mendekati titik akhir. 

Bukit yang ditumbuhi pohon-pohon jati yang rapat itu didakinya dengan merangkak. Ini pun dilakukannya dengan susah payah karena tangan kanannya yang sakit tidak bisa dipergunakan sama sekali. Hanya kekerasan hati dan juga ingin cepat-cepat mengadu kepada gurunyalah maka dia akhirnya sampai juga ke pondok papan itu.

Pintu didorongnya, ternyata tidak dikunci. Dia masuk ke dalam. Manusia kate berkepala botak dan berewokan yang tengah duduk di atas sebuah bantalan yang tak lain dari Warok Kate adanya menjadi terkejut ketika melihat seseorang masuk ke tempatnya dan merangkak seperti seekor anjing pincang kaki mukanya. Dan rasa terkejut kepala rampok ini menjadi tambah lagi ketika mengetahui manusia yang merangkak itu adalah muridnya sendiri!

"Sangkrong!" seru Warok Kate seraya melompat dari duduknya. "Apa yang terjadi dengan dirimu. Mengapa kau merangkak seperti anjing...."

Tiba-tiba "bruk!" Tubuh anak buahnya itu jatuh tergelimpang di hadapannya karena kehabisan napas dan kelelahan. Lidahnya terjulur ke muka.

"Kurang ajar! Pekerjaan siapa itu huh?!" kata Warok Kate ketika melihat siku kanan anak buahnya yang bengkak. Dia berlutut dengan cepat dan dengan beberapa kali meraba saja dia sudah memaklumi bahwa sambungan siku muridnya itu telah terlepas. Warok Kate menotok urat darah Sangkrong di beberapa bagian lalu dengan cekatan mempertemukan kembali sambungan siku kanan Sangkrong yang sebelumnya terlepas. Setelah bantu mengalirkan tenaga dalamnya ke tubuh sang murid maka siumanlah Sangkrong.

"Sangkrong! Cepat duduk dan atur jalan napas serta darahmu," perintah Warok Kate.

Si murid yang menyadari bahwa dirinya habis mendapat cedera segera mengerjakan apa yang diperintahkan gurunya. Dia duduk di lantai pondok dengan bersila, mengatur jalan napas dan darah serta mengalirkan hawa tenaga dalamnya ke lengan kanan. Beberapa saat kemudian rampok ini merasakan kesehatannya pulih kembali, cuma daging bekas pukulan di sekitar siku tangan kanannya masih agak kemerahan tapi sudah tidak sakit lagi. Kemudian rampok Ini cepat-cepat berlutut di depan pemimpin atau gurunya itu seraya berkata,

"Guru, harap dimaafkan kalau murid terpaksa datang ke sini...."

"Sudah, sudah!" memotong Warok Kate. "Katakan cepat mengapa kau datang ke sini dan siapa yang mencelakaimu!"

"Guru, Kadipaten Magetan kedatangan seorang gadis liar berilmu tinggi. Saya dan kawan-kawan tidak sanggup melawannya. Masih untung saya bisa melarikan diri, kawan-kawan yang lain mati semua di tangan gadis itu...."

Bukan main terkejutnya si kepala rampok itu. "Apa Sangkrong?! Kawan-kawanmu mati semua? Mati di tangan seorang gadis?" Tak percaya Warok Kate akan keterangan muridnya itu. "Sangkrong! Kau bicara edan atau sinting?!"

"Ampun guru, murid tidak edan dan tidak pula sinting. Murid tidak dusta...." Sangkrong kemudian menerangkan apa yang terjadi di Kadipaten Magetan dua hari yang lalu.

"Kurang ajar! Benar-benar kurang ajar!" rutuk Warok Kate. "Masakan empat orang muridku yang berilmu tinggi sampai dapat dikalahkan bahkan dibunuh oleh seorang lawan, oleh seorang gadis pula! Percuma! Benar-benar bikin aku malu! Percuma jadi murid-muridku. Kau juga percuma Sangkrong!" Bersamaan dengan itu melayanglah kaki kanan Warok Kate menendang Sangkrong sampai si murid terhantar di lantai.

"Ampun guru," kata si murid sambil berlutut kembali. "Bukan kami hendak merendahkan kepandaian yang guru ajarkan kepada kami, tapi gadis itu tinggi ilmunya, sangat hebat."

"Tutup mulutmu monyet!" bentak Warok Kate. Dia masuk ke dalam sebuah kamar dan ketika keluar dikempitannya terdapat seorang anak perempuan berumur sembilan tahun, anak tunggal Adipati Magetan.

"Sangkrong kau ikut aku! Kita ke Magetan sekarang juga. Kita cari gadis liar itu sekalian menebas batang leher Lor Bentulan!"

Warok Kate melangkah menuju ke pintu dan muridnya mengikut di belakang. Mendadak pintu di muka mereka terbuka lebar dan sesosok tubuh masuk. Si kepala rampok, lebih-lebih Sangkrong, kagetnya bukan main.

"Warok Kate, kau tak usah susah-susah pergi ke Magetan. Aku sudah berdiri di hadapanmu. Bukankah kau barusan bilang hendak mencari aku?"

"Guru!" seru Sangkrong dengan suara gemetar. "Inilah dia iblis betina itu!"

Kedua mata Warok Kate memandang melotot. Hampir tak dapat dipercaya kalau gadis yang masih muda belia serta cantik jelita inilah yang telah membunuh keempat orang anak buahnya yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tidak rendah! Tiba-tiba meledaklah tawa manusia kate berkepala botak itu. 

"Jadi inikah manusianya yang telah membunuh murid-muridku? Benar-benar membuat aku jadi kepingin jatuh cinta! Ha... ha... ha...!"

"Manusia rendah!" bentak Wulansari. "Tidak tahu ajal sudah di depan mata masih bicara besar!"

"Aduh, memang benar galak rupanya," kata Warok Kate dengan menyeringai. "Gadis jelita, kau berlututlah di hadapanku dan katakan bahwa kau bersedia menjadi isteriku! Dengan demikian aku bersedia memberi ampun padamu!"

"Bedebah! Kurobek mulutmu!" bentak Wulansari dengan geram. Tubuhnya melesat ke muka dan tangan kanannya yang berkuku panjang menyambar ke mulut Warok Kate.

Kepala rampok ini terkejut melihat serangan dahsyat yang disertai angin pukulan keras. Cepat-cepat dia melompat jauh ke belakang. Kini dia maklum bahwa keterangan Sangkrong tidak kosong belaka. Matanya melirik ke arah jari-jari tangan si gadis. Dia lupa-lupa ingat bahwa dulu pernah seorang lawan menyerangnya dengan cara seperti itu. 

Kuku-kuku yang rapi tapi panjang dari Wulansari mengingatkan Warok Kate pada orang itu, tapi dia masih belum merasa pasti. Anak perempuan yang ada dalam kempitannya dilemparkannya ke pojok pondok. Anak itu bergerak tidak merintih pun tidak. Wulansari menjadi cemas karena dia yakin anak tersebut adalah anak Adipati Lor Bentulan. Apakah sudah mati, pikir Wulansari.

"Sangkrong!" terdengar suara Warok Kate menyebut nama muridnya dengan cepat karena saat itu dilihatnya Wulansari bersiap-siap hendak melancarkan serangan kedua. "Coba kau layani gadis liar ini beberapa jurus! Aku ingin lihat sampai di mana kepandaiannya!" 

Sebenarnya Warok Kate menyuruh muridnya menghadapi Wulansari diam-diam dia mempunyai maksud tertentu. Dalam beberapa jurus bertempur dia ingin melihat gerakan-gerakan ilmu silat gadis itu, apakah sama gerakannya dengan ilmu silat orang yang dimaksudkannya. 

Sangkrong jadi terkejut mendengar kata-kata gurunya tadi. Dia sudah lihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kawan-kawannya yang empat orang mati konyol di tangan gadis itu, bahkan dia sudah merasa sendiri bagaimana sambungan sikunya dijotos dibikin terlepas, kini dia disuruh melawan, dengan seorang diri pula!

Berdiri bulu tengkuk rampok Ini. Tapi kalau tidak dipatuhinya kata-kata Warok Kate yang berupa perintah guru kepada seorang murid, dia lebih celaka lagi! Dengan tangan gemetar Sangkrong mencabut golok besarnya. Senjata itu diputar-putarnya di atas kepala dan sesaat kemudian dia melompat ke muka melancarkan serangan hebat.

"Warok Kate pengecut! Mengapa suruh anak buahmu melayaniku?! Aku tidak ada urusan dengan dia!" hardik Wulansari. Tubuhnya berkelebat dan "buk!" Sangkrong menjerit setinggi langit. Tubuhnya mental, melingkar di lantai dan mati di situ juga karena tulang dadanya hancur dan melesak ke dalam kena tendangan tumit kaki kanan si gadis yang bergerak saking cepatnya hampir tidak kelihatan!

Berubahlah air muka Warok Kate melihat kematian muridnya yang cuma dalam satu gebrakan saja. Tangan kanannya menekan hulu golok panjang yang tersisip di pinggangnya. "Gadis keparat! Kau cepatlah berlutut minta ampun, sebelum aku merubah niat memisahkan kepalamu dari badanmu yang indah mulus itu!"

"Bangsat rendah! Kau yang harus berlutut di hadapanku agar lebih mudah kuhancurkan batok kepalamu!"

"Jangan bicara sombong gadis sinting!"

"Kau yang bermulut besar harus serahkan nyawamu padaku hari ini. Kau membunuh guruku si Cakar Setan!"

Warok Kate mundur selangkah. Apa yang diduganya benar! Ternyata gadis itu memang murid si Cakar Setan. "Hm... jadi kau muridnya si Cakar Setan?! Bagus! Kalau kau memang ingin menyusul gurumu itu di neraka, aku tidak segan-segan menunjukkan jalan ke neraka!"

"Srett!" Warok Kate mencabut golok panjangnya. "Kau lihat senjata ini?" katanya menyeringai. "Dengan inilah gurumu kubikin konyol! Dan kau muridnya sekarang juga minta cepat-cepat mampus!" Kepala rampok ini dengan ganas mengirimkan serangan berupa tusukan ujung golok yang deras ke dada Wulansari. 

Gadis ini menggerakkan tubuhnya ke samping dengan cepat. Ujung golok berputar arah kini menusuk ke pinggang. Wulansari miringkan tubuh namun golok yang di tangan lawannya kini menebas ke arah kedua kaki dengan sangat cepatnya! Sebagai seorang kepala rampok yang ditakuti ternyata ketinggian ilmu Warok Kate bukan suatu hal yang kosong belaka. Kalau dia sanggup membunuh si Cakar Setan, guru Wulansari, maka dapat diukur tingkat ketinggian ilmu silatnya!

Dengan serangan berantai susul menyusul itu Warok Kate bermaksud akan merobohkan lawannya dalam sekali gebrakan saja tapi dia jadi terkejut ketika dengan gerakan-gerakan gesit lawannya berhasil mengelakkan semua serangan itu. Warok Kate memutar goloknya lebih cepat. Angin deras bersiuran. Tubuhnya bergerak kian kemari dan golok panjangnya membabat simpang siur. Sungguh hebat permainan golok manusia kate ini, 

Wulansari terpaksa harus berkelebat cepat jika tidak mau tubuhnya tersambar senjata lawan yang ganas. Kedua orang ini tak ubahnya seperti dua bayang-bayang saja. Dua puluh jurus lewat tak terasa. Dengan penasaran Warok Kate merubah permainan goloknya. Gerakan-gerakan dan serangan-serangan senjatanya kini berubah aneh dan sangat membahayakan Wulansari karena setiap saat dia mengelak, senjata lawan senantiasa mengikuti arah geraknya pula! Gulungan sinar golok Warok Kate mengurung gadis belia ini dari segenap penjuru dan mau tak mau membuat dia mulai terdesak!

Ketika si gadis melompat untuk mengelakkan serangan dahsyat yang mengarah ke dadanya, celakanya kaki kirinya menginjak mayat Sangkrong sehingga tak ampun lagi tubuhnya terjungkal ke muka. Dan pada saat yang sama pula golok Warok Kate menyambar dari muka!

"Mampuslah kau!" teriak Warok Kate gembira karena dia maklum bahwa serangannya itu pasti akan menebas batang leher lawannya, atau paling kurang goloknya akan membabat dada! Namun semua yang di luar dugaan kepala rampok ini terjadi!

Melihat bahaya besar mengancam nyawanya dengan mengerahkan tenaga dalamnya ke kaki kiri yang masih memijak lantai, Wulansari menjatuhkan dirinya ke lantai sambil mempergunakan tekanan kaki kiri untuk melesat ke muka. Golok lawan lewat kurang dari setengah jengkal diatas kepalanya. Sebelum Warok Kate habis terkejutnya dan sebelum kepala rampok ini sempat melancarkan serangan susulan maka Wulansari menggulingkan tubuhnya ke arah kaki lawan.

"Bret!" Bersamaan dengan terdengarnya suara robekan pakaian itu maka tubuh si manusia kate mental ke atas! Waktu bergulingan tadi, dengan kecepatan luar biasa Wulansari telah mempergunakan kuku-kuku jari tangan kirinya untuk mencakar betis lawannya sedang tangan kanan menghantam ke kaki Warok Kate yang lain dan kedua serangan ini berhasil baik! 

Kaki celana hitam kepala rampok itu robek besar menjela-jela ke lantai sedang kulit betisnya terluka oleh tiga cakaran jari-jari tangan. Luka itu terasa perih dan gatal-gatal. Namun dengan mengerahkan tenaga dalamnya yang tinggi maka rasa sakit dan gatal-gatal itu dalam sekejapan mata bisa dikuasainya lalu hilang.

"Bangsat hina dina!" maki kepala rampok itu dengan tampang beringas. Kedua matanya kelihatan merah menyorot. Dia sangat terkejut melihat kehebatan gadis ini dan menjadi ragu-ragu apakah benar Wulansari murid si Cakar Setan. Kalau benar, bagaimana mungkin muridnya sampai sehebat ini sedang gurunya si Cakar Setan berhasil dibunuhnya?! Dan lebih gila lagi karena sampai saat itu Wulansari masih melayaninya dengan tangan kosong! "Gadis iblis! Kau murid siapa sebenarnya?!"

"Di saat ajalmu hendak minggat ke neraka tak usah banyak tanya, manusia rendah!" bentak Wulansari. 

Mendidih amarah Warok Kate. Dia melompat ke muka dan mulailah dia mengeluarkan segala ilmu simpanannya yang paling diandalkan dengan jurus-jurus serangan yang mematikan! Wulansari dibikin sibuk kini! Tubuh gadis ini berkelebat kian kemari namun bahaya terkena sambaran senjata lawan sangat besar. Ketika dia kepepet ke pojok pondok, gadis ini segera mengeluarkan selendang kuningnya.

"Ha... ha! Kau punya senjata simpanan juga rupanya!" ejek Warok Kate dengan tertawa lebar waktu melihat lawannya mengeluarkan senjata yang hanya berupa sebuah selendang terbuat dari kain halus berwarna kuning. "Maju, majulah iblis betina biar kutebas ujung selendang itu sedikit demi sedikit!"

Jawaban dari Wulansari adalah kebutan selendang di tangan kirinya yang menyerang kepala Warok Kate. Kepala rampok yang tadi menganggap remeh senjata lawan jadi terkejut karena dia dapat merasakan angin pukulan yang dingin tajam dari selendang itu. Dengan memutarkan golok di muka kepala dia melompat ke samping. Kini dia tidak mau main-main lagi, dan segera mengirimkan serangan beruntun! 

Kedua orang itu mengeluarkan segala kepandaiannya untuk merobohkan lawan. Golok panjang di tangan kanan Warok Kate bergulung-gulung dan mengirimkan serangan-serangan ganas mematikan sedang selendang di tangan kiri Wulansari mengebut kian kemari seperti seekor ular kuning yang senantiasa memapaki serangan lawan. 

Satu kali selendang itu dengan lihaynya berhasil membelit ujung pedang laksana satu jepitan besi sehingga pedang itu tidak akan mungkin lagi terlepas! Dengan mengerahkan tenaga dalamnya yang tinggi, Warok Kate bermaksud hendak merobohkan lawan sampai terluka berat bagian tubuh sebelah dalamnya dan bersamaan dengan itu menarik goloknya dari lilitan selendang! 

Tapi terkejutnya kepala rampok itu bukan main ketika dirasakannya bagaimana tenaga dalamnya terpukul mundur oleh tenaga dalam lawan. Celaka, pikir Warok Kate. Tidak dinyana tenaga dalam gadis muda belia itu lebih tinggi dari yang dimilikinya! Tapi Warok Kate tidak mau menyerah demikian saja, apalagi kalau harus kehilangan goloknya, kena dirampas lawan.

Dengan mempergunakan tenaga dalam lawannya yang ada dalam lilitan selendang untuk menahan berat tubuhnya maka dengan satu bentakan menggeledek kepala rampok itu mengayunkan kedua kakinya ke muka. Kaki kiri ke arah tenggorokan sedang kaki kanan ke pusar Wulansari! Melihat ini si gadis cepat mengelak ke samping dan terpaksa melepaskan selendangnya yang melilit golok. Meskipun tadinya dia akan berhasil merampas senjata lawan tapi menghindarkan dua tendangan yang berbahaya itu adalah lebih penting lagi.

Merasakan goloknya terlepas dari lilitan selendang, dengan jungkir balik di udara kepala rampok itu membebatkan senjatanya ke perut Wulansari membuat gadis ini terpaksa membatalkan serangan selendang yang tadi hendak dilancarkannya. Warok Kate mengamuk hebat. Wulansari tidak mau kalah, tubuhnya berkelebat cepat dan selendang kuningnya senantiasa menyerang bagian-bagian tubuh yang lemah dari lawan sedang tangan kanannya tiada henti-hentinya mengirimkan pukulan-pukulan jarak jauh yang ampuh atau kadang-kadang serangan berupa cakaran burung elang! 

Meskipun setiap serangan selendang yang mengarah kepalanya dapat dielakkan oleh Warok Kate tapi tak urung kedua matanya lama-lama menjadi sakit juga oleh sambaran angin selendang itu. Untung saja kepala rampok ini sudah tinggi ilmu dalamnya sehingga dia masih sanggup menahan rasa perih itu.

Entah berapa puluh jurus pula sudah berlalu. Dan mulailah kelihatan bahwa Warok Kate berada di atas angin kini. Untuk beberapa lamanya Wulansari hanya sanggup bertahan, tidak berdaya untuk balas menyerang. Dari bertahan akhirnya gadis ini mulai didesak. Ujung selendangnya sudah beberapa kali kena dipapas senjata lawan! Melihat ini, tanpa menunggu lebih lama Wulansari segera mengeluarkan pedang mustika pemberian gurunya si orang tua sakti Suara Tanpa Rupa! 

Si kepala rampok bertubuh kate itu jadi terkejut ketika melihat gulungan sinar merah menyambar dahsyat ke arahnya. Dia melompat mundur beberapa langkah dan jadi bergidik ketika melihat bagaimana lawannya kini menggenggam sebuah pedang mustika berwarna merah yang sinarnya menyilaukan mata! Tapi dia tak bisa meneliti senjata itu lebih lama karena dengan sangat tiba-tiba si gadis sudah menyerangnya. 

Dengan pedang Dewi di tangan Wulansari maka kini keadaan pertempuran jadi berbalik seratus delapan puluh derajat! Meremang bulu tengkuk Warok Kate melihat sambaran-sambaran pedang yang mengeluarkan angin panas bersiuran. Keringat dingin kelihatan jelas membasahi kepalanya yang botak itu! Dia terdesak hebat. 

Setiap dia mengelak, setiap kali pula lawannya mengirimkan serangan yang tiada terduga dengan sangat cepatnya. Permainan golok Warok Kate jadi kacau balau. Di samping itu dia tidak berani menangkis senjata lawan dengan goloknya karena maklum bahwa pedang di tangan si gadis adalah sebuah pedang mustika sakti yang tajamnya bukan main!

Namun ketika pedang merah itu menyambar sangat dekat dan deras ke arah lehernya, tiada jalan lain bagi Warok Kate dia terpaksa mempergunakan goloknya untuk dipakai menangkis.

"Trang!"

Warok Kate mengeluarkan seruan tertahan. Goloknya terbabat puntung, ujungnya menancap di dinding papan. Dengan masih menggenggam goloknya yang sumpung kepala rampok ini melompat menjauhi lawan. Mukanya pucat pasi seperti mayat.

"Ayo monyet botak! Mengapa menjauh? Apa kau takut mampus?!" ejek Wulansari.

Dengan darah mendidih Warok Kate melemparkan senjatanya yang sumpung ke arah si gadis. Lemparan ini bukan lemparan biasa saja karena disertai hantaman tenaga dalam. Ujung yang puntung dari golok melesat deras ke arah batang leher Wulansari. 

Sekali saja gadis ini menggerakkan pedang merahnya maka golok yang dilemparkan kepadanya patah dua dan luar biasanya, patahan golok ini kini berbalik menyerang Warok Kate! Kepala rampok itu jadi terkesiap. Tapi menyadari bahaya yang mengancamnya, cepat-cepat dia melompat ke samping dan dia selamat dari serangan patahan goloknya sendiri!


***
SEPULUH

MELIHAT lawannya kini tidak bersenjata lagi, Wulansari segera hendak menyarungkan pedangnya kembali, tapi niatnya ini dibatalkan ketika dengan tiba-tiba Warok Kate dilihatnya menggerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu di tangan itu kini tergenggam sebilah keris berwarna hijau gelap. Dari warna keris di tangan lawan ini Wulansari maklum bahwa senjata itu mengandung racun jahat mematikan! 

Oleh Warok Kate sendiri keris hijau itu sangat diandalkan sekali karena merupakan warisan gurunya yang masa itu masih hidup dan diam di gunung Karang. Sebelumnya tidak pernah satu lawan pun sanggup menghadapi keampuhan keris tersebut. Kalau tidak mati pasti menderita luka di dalam yang hebat dan sukar dicari obatnya. 

Kini dengan memegang keris hijau tersebut di tangan kanan, nyali kepala rampok ini menjadi besar dan dia yakin akan dapat merobohkan Wulansari dalam beberapa jurus saja meskipun gadis ini memiliki pedang mustika sakti!

Dengan penuh keyakinan akan menang, Warok Kate menyerbu ke muka. Kerisnya menyambar mengeluarkan cahaya hijau dan angin dingin. Wulansari tidak tinggal diam. Segera pedang merah di tangannya diputar bergulung-gulung untuk memapaki senjata dan serangan lawan. Untuk beberapa jurus lamanya keris ditangan Warok Kate masih dapat melayani pedang pusaka di tangan si gadis. 

Namun kemudian kelihatanlah bagaimana gulungan sinar merah mengurung sinar hijau. Dan dalam beberapa kali bentrokan senjata yang menimbulkan bunga api keris hijau itu menjadi gompal-gompal sedang Warok Kate merasakan tangannya tergetar keras dan panas! Maklumlah dia kini bahwa keris hijaunya sama sekali tidak sanggup menandingi pedang lawan. Karenanya dia tidak berani lagi untuk bentrokan senjata.

Namun dalam keadaan terdesak hebat, dari pada kehilangan nyawa, terpaksa dia mempergunakan keris pusaka gurunya itu untuk dipakai menangkis pedang lawan. Sedikit demi sedikit keris hijau itu menjadi pendek dan dalam satu bentrokan hebat, menjadi patah dua! Untuk kedua kalinya tampang kepala rampok ini menjadi pucat pasi. 
Dia cepat melompat ke belakang namun terlambat. Lebih cepat dari gerakannya itu, pedang merah di tangan Wulansari yang tadi membuat keris hijaunya patah dua kini membalik deras. 

Warok Kate berusaha menangkis dengan patahan keris tapi tangannya diangkat terlalu tinggi. Maka terdengarlah jeritan setinggi langit dari kepala rampok itu dan tiga benda mental ke udara. Benda pertama adalah tangan kanan Warok Kate yang terbabat puntung sebatas lengan, benda kedua keris hijaunya yang sudah puntung dan benda ketiga adalah kepalanya yang botak seperti bola itu, yang terpisah dari badannya karena pedang Wulansari begitu memapas lengan terus membabat ke leher Warok Kate!

Seperti sebuah bola saja layaknya, kepala Warok Kate menggelinding di lantai menghamburkan darah kental. Wulansari memasukkan pedang pusaka itu kembali ke sarungnya. Dia boleh merasa bangga dalam hatinya. Dengan mempergunakan pedang sakti itu dan memainkan jurus-jurus rendah saja dari ilmu "Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin", dia berhasil merobohkan lawannya. Gadis ini kemudian berlutut dan memandang ke utara lalu berkata perlahan,

"Guru, manusia yang telah membunuhmu telah meregang nyawa hari ini! Sakit hati guru terbalas sudah, semoga arwahmu berada dalam ketenangan di alam baka."

Habis berkata demikian Wulansari berdiri dan cepat-cepat melangkah ke pojok pondok dimana anak perempuan Adipati Lor Bentulan terbujur. Wulan berlutut dan meneliti. Ternyata anak perempuan itu cuma ditotok jalan darahnya sehingga tubuhnya kaku tak sadarkan diri. Segera si gadis mempergunakan jari-jari tangannya untuk melepaskan totokan itu. Si anak perempuan siuman. Mula-mula ia merintih lalu membuka matanya.

"Ibu..." katanya hampir tidak kedengaran. Kasihan anak ini. Wulansari yang berlutut disampingnya disangka ibunya. Tubuh anak ini kurus dan parasnya pucat. Rupanya tidak dirawat oleh Warok Kate sebagaimana mestinya, maklumlah merawat seorang anak yang tak lebih dari pada tawanan belaka! Wulansari mendudukkan anak itu di lantai. Dia tersenyum dan mengusap rambutnya.

"Adik kecil, tak usah takut. Namamu siapa?" tanya Wulansari sambil senyum dan mengusap kepala anak perempuan itu. 

Si anak tak segera menjawab. Ditatapnya paras Wulansari lama sekali. Kemudian dia memandang berkeliling. Wulansari sengaja berlutut merapat ke tubuh anak itu hingga dia tidak dapat melihat mayat-mayat yang bergelimpangan dalam ruangan. Kemudian terdengar si anak mulai menangis terisak-isak.

"Ah, kau anak manis mengapa menangis? Kan sudah besar. Mari kita pergi dari sini. Aku akan antarkan kau kembali ke rumahmu di Magetan...." 

Wulan menarik tangan anak itu lalu mendukungnya. Sekali dia menggerakkan ke dua kakinya maka dia sudah melesat keluar dari pondok. Mula-mula anak Adipati Lor Bentulan itu merasa takut dan gamang dibawa berlari sedemikian cepatnya. Pohon-pohon yang dilewati seolah-olah terbang. Namun lama-lama sesudah biasa, dia mulai merasa enak malah tertawa-tawa. Setiap dia melewati tempat berpemandangan indah anak ini merasa gembira sekali. Dia seperti bertamasya dengan menunggang seekor kuda.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.