Sesajen Atap Langit - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Episode Sesajen Atap Langit
Karya Bastian Tito
cerita silat online Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut 212 karya Bastian Tito

Tiga mahluk berbentuk kelelawar raksasa menguik keras. Mereka menukik ke bawah dan lenyap di balik kabut yang mulai muncul menutupi kawasan puncak Gunung Semeru, sesaat kemudian terdengar suara Penguasa Atap Langit.

“Sinuhun Merah Penghisap Arwah, terakhir kali kau datang kau membawa sesajen atap langit berupa delapan jantung bayi lelaki. Katakan padaku, kali ini sesajen atap langit apa yang kau bawa untuk delapan anak kucing jantan merah sakti peliharaan Dirga Purana!”

“Penguasa Atap Langit, sesajen yang kubawa kali ini adalah sumsum delapan bayi lelaki yang telah dicairkan menjadi susu.”


SATU

DI RUANG Segi Tiga Mayat yang terletak di dalam tanah di bawah Candi Plaosan Lor, Empu Semirang Biru mendadak saja dilanda kekawatiran. Di atas atap suara ngeongan delapan anak kucing merah semakin keras. Ruangan segi tiga bergetar keras. Delapan Sukma Merah bukan anak kucing biasa! Orang tua pembuat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ini menatap ke atas atap.

“Bagaimana kalau dua Sinuhun memiliki ilmu penangkal baru, lalu sanggup menembus masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa. Delapan anak kucing merah pasti akan menyerbu lebih dulu. Dewa Agung, lindungi kami semua yang ada di ruangan ini. Selamatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dari tangan mahluk-mahluk jahat.”

Baru saja Empu Semirang Biru membatinkan kekawatirannya tiba-tiba... braakkk!

Satu sosok terkapar di lantai ruangan. Pakaian robek-robek dipenuhi noda darah. Di wajah ada tiga guratan luka lalu di dada ada dua lagi.

“Wiro!”

Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri sama-sama terpekik. Jaka Pesolek tidak ikut menjerit tapi gadis ini melompat lebih dulu, menjatuhkan diri di samping sosok yang terbujur di lantai yang memang sosok Pendekar 212 Wiro Sableng adanya. Jaka Pesolek langsung memeluk. Tubuh Wiro terasa panas.

Untuk beberapa lama sosok Wiro diam tak bergerak. Tiba-tiba dari mulutnya keluar suara mengerang pendek. Tubuh menggeliat lalu melompat mencoba berdiri. Dia tampak mengerahkan seluruh tenaga yang ada, namun terhuyung lalu jatuh berlutut. Wiro berusaha bertahan, mengerahkan kekuatan untuk tidak ambruk hingga sekujur tubuhnya tampak bergetar. Keringat memercik. Kepala mendongak, mata terpejam, mulut terkancing. Para sahabat yang ada dalam ruangan berusaha menolong. Empat pasang tangan memegangi.

“Tubuhnya panas…” ucap Sakuntaladewi.

“Wiro! Apa yang terjadi?!” Bertanya Kunti Ambiri sambil dekatkan mulutnya ke telinga Wiro. Gadis yang selama lini lebih dikenal dengan sebutan Dewi Ular membuat dua totokan. Satu di punggung dan satu lagi di dada.

Ratu Randang alirkan hawa sakti. Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal cengkeramkan sepuluh jari berkuku jingga ke bahu kiri kanan lalu kerahkan tenaga dalam. Ratu Randang tidak tinggal diam. Dia letakkan telapak tangan di atas kepala Wiro sementara dua kaki yang menginjak lantai ruangan tampak bergetar. Nenek ini tengah menerapkan ilmu kesaktian yang disebut Tangan Langit Kaki Bumi.

Jaka Pesolek yang tidak punya kesaktian apa-apa hanya bisa memperhatikan dengan wajah tegang. Tiba-tiba mulut Wiro yang sejak tadi tertutup membuka lebar. Bukan untuk bicara menjawab pertanyaan Sakuntaladewi tapi malah muntahkan darah segar. Ratu Randang, Jaka Pesolek, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi sama-sama menjerit. Wajah Pendekar 212 tampak merah lalu dengan cepat berubah pucat putih seperti mayat. Di atas atap ruangan segi tiga suara ngeongan kucing semakin gaduh. Ujud mereka hanya terlihat samar.

“Binatang jahanam! Biar kurobek dulu mulut kalian semua!” Teriak Kunti Ambiri marah. Dia segera hendak mengerahkan serangan Sepuluh Ular Akhirat Turun Ke Bumi. Tapi cepat dicegah oleh Ratu Randang.

“Kunti, jangan perhatikan binatang-binatang celaka itu. Seperti kata Empu Semirang Biru mereka tidak akan bisa menembus masuk ke dalam sini. Lagi pula ujud mereka terlihat samar. Mereka mampu bergerak cepat. Sulit dijajagi keberadaannya secara pasti!”

“Sepuluh ular saktiku bisa mengendus dan melihat binatang itu berada dimana. Sekali menyerang mereka sudah mengunci kedudukan sasaran!”

“Dari pada mengurusi kucing lebih baik menolong Wiro lebih dulu.” Berkata Jaka Pesolek.

“Hyang Jagat Bathara! Apa yang harus kita lakukan? Aliran hawa sakti dan tenaga dalam serta totokan sepertinya tidak banyak menolong!” Kata Sakuntaladewi setengah berteriak. Diantara semua orang yang ada dalam ruangan itu memang dia yang paling merasa kawatir. Karena kalau sang pendekar sampai menemui ajal maka kaulnya untuk mendapat kesembuhan atas dua kakinya yang cacat dengan cara mengawini Wiro akan gagal selama-lamanya. Ketika dia hendak memeluk Pendekar 212, dari tempatnya duduk bersila dalam keadaan dilihat rantai besi merah, Empu Semirang Biru berkata.

“Kalian semua, dengar apa kataku. Menurut penglihatanku, dari luka yang ada di wajah dan dada pemuda berambut gondrong itu, agaknya dia telah terkena serangan Cakar Sukma Merah delapan anak kucing merah. Lukanya mengandung racun sangat jahat dan sangat mematikan. Aku bisa merasakan sebenarnya pemuda itu memiliki kekebalan terhadap racun. Selain itu ada satu senjata sakti di dalam tubuhnya. Senjata yang mampu memusnahkan segala macam racun. Namun agaknya jalur hawa sakti dan tenaga dalam yang dimilikinya telah disumbat mahluk jahat. Hingga dia tidak mampu menyelamatkan diri sendiri. Jika sampai matahari tenggelam racun dalam tubuhnya tidak bisa disembuhkan nyawanya tidak akan tertolong…”

Semua orang yang ada dalam ruangan keluarkan seruan tertahan dan saling pandang dengan wajah tegang.

“Celaka, kita berada di dalam tanah. Bagaimana tahu saatnya matahari akan tenggelam!” Kata Kunti Ambiri.

Ratu Randang berlutut di lantai, memperhatikan luka di muka dan dada Wiro. Dia ingat apa yang terjadi dengan dirinya. “Empu Semirang Biru, apa yang kau katakan pasti benar. Sebelumnya aku juga telah diserang oleh delapan ekor anak kucing merah. Tangan kananku terkena sambaran cakaran kuku berbentuk pisau. Saat itu aku hanya mengalami satu luka kecil. Pemuda ini menderita lima guratan luka. Pasti keadaannya jauh lebih berbahaya. Hanya ada satu orang yang bisa menyembuhkan. Dan hanya ada satu tempat penyembuhan bisa dilakukan! Aku kawatir…” Suara si nenek tercekat. Sepasang mata berkaca kaca.

“Nenek Ratu Randang…” Kata Sakuntaladewi sambil pegang bahu Ratu Randang. "Cepat katakan siapa orang yang bisa menyembuhkan luka bekas cakaran itu. Juga dimana racun bisa dimusnahkan!”

Ratu Randang unjukkan wajah muram. “Orangnya adalah kakek sakti berjubah dan bersorban kelabu yang telah menolongku. Dimana mencarinya aku tidak dapat mengatakan. Dia muncul dan pergi secara aneh. Siapa dia adanya aku tidak tahu. Tapi seperti yang dijelaskan Empu Semirang Biru, orang itu adalah Embah Buyut dari Kumara Gandamayana, salah seorang sahabatku, pembantu dan kepercayaan Raja. Kumara sebelumnya bergabung dengan Rauh Kalidathi dalam perjalanan menyelamatkan Raja Mataram ke satu tempat rahasia.”

“Lalu tempat penyembuhan yang kau katakan?” Kunti Ambiri yang bertanya.

“Delapan tombak di dalam lapisan tanah.” jawab Ratu Randang.

“Ratu, dari mana kau tahu hal itu?” Tanya Kunti Ambiri.

“Orang tua itu yang mengatakan waktu dia menolongku. Dia membawaku masuk ke dalam tanah sedalam delapan tombak.”

Semua orang saling pandang.

“Empu Semirang Biru, kau tahu kita di ruangan in! berada di lapisan tanah sedalam berapa tombak?” Bertanya Ratu Randang.

“Menurut taksiranku, paling dalam hanya empat tombak.”

Semua orang terdiam sampai akhirnya Jaka Pesolek memecah kesunyian.

“Kalau begitu biar aku menemui kakek bernama Kumara Gandamayana itu.” Kata Jaka Pesolek.

“Kalaupun bisa ditemui belum tentu Kumara Gandamayana punya ilmu mampu menyembuhkan pemuda itu. Selain itu belum tentu dia mengetahui dimana Embah Buyutnya berada,” berkata Empu Semirang Biru. “Kakek sakti dari alam gaib itu memang jarang muncul di luaran. Kalaupun muncul hanya beberapa saat saja. Konon dia dikabarkan selalu melakukan samadi di satu tempat yang bernama Atap Langit. Tempat itu adalah kawasan berkeliarannya orang dan mahluk halus jahat. Kemungkinan si kakek berada sedikit di luar kawasan untuk memantau keadaan.”

“Atap Langit! Dimana itu Kek?” Tanya Sakuntaladewi.

“Satu tempat rahasia di atas puncak Gunung Semeru. Kabarnya di sana ada satu kawasan yang dikuasai dan banyak berkeliaran mahluk jahat dari alam dunia maupun alam gaib. Di situ mereka mengatur segala hal yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan yang akan mereka lakukan. Sulit bagi manusia biasa masuk ke dalam kawasan itu.”

“Aku akan pergi ke sana. Mencari si Embah Buyut! Sebelum matahari tenggelam pasti sudah kembali ke sini bersama kakek sakti itu.” Kembali Jaka Pesolek berkata.

“Aku ikut bersamamu!” Kata Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal.

Tiba-tiba di luar ruangan satu cahaya kelabu berkelebat. Disusul suara orang berucap. “Kenapa mempersusah diri jauh-jauh mencariku? Aku sudah berada di dekat kalian. Bawalah pemuda malang berambut panjang itu ke hadapanku. Akan kuobati dan pasti sembuh. Semoga Para Dewa menolong den memberi berkat.”

Semua orang, termasuk Empu Semirang Biru yang berada dalam ikatan rantai besi sama-sama palingkan kepala. Di luar Ruang Segi Tiga Nyawa tampak berdiri seorang kakek bersorban dan berjubah kelabu. Wajahnya walau jernih namun menyiratkan kekawatiran.

“Dewa Agung!”Seru Empu Semirang Biru. “Kuasa Para Dewa membawa Embah Buyut Kumara Gandamayana ke tempat ini.”

Ratu Randang terlonjak kaget tapi juga gembira. Dia perhatikan orang tua di luar ruangan lalu berucap. “Memang dia. Kakek itu yang sebelumnya menolong diriku,”

“Lekaslah, waktuku tidak lama.” Embah Buyut Kumara Gandamayana berkata sambil melambaikan tangan.

Empat orang yaitu Sakuntaladewi, Ratu Randang, Jaka Pesolek dan Kunti Ambiri segera menggotong Wiro yang saat itu berada dalam keadaan masih berlutut. Empu Semirang Biru menarik nafas lega. Tiba-tiba orang tua ini mencium bau aneh. Lantai yang didudukinya terasa bergetar. Lalu ada suara mengiang di telinga kirinya. Wajah sang Empu berubah, kening mengerenyit. Dia hendak mengatakan sesuatu, tapi empat orang yang menggotong Wiro sudah berada di luar dinding Ruang Segi Tiga Nyawa sebelah kanan.

Selagi tubuhnya digotong, dalam keadaan setengah sadar Wiro mampu memaksakan membuka sedikit sepasang matanya yang sejak tadi terpicing. Walaupun samar pandangan matanya langsung membentur sosok kakek bersorban dan berjubah kelabu. Murid Sinto Gendeng kedipkan perlahan sepasang mata. Karena tidak membutuhkan kekuatan tenaga dalam yang banyak, dia masih mampu menerapkan ilmu Menembus Pandang, Mendadak saja dia menjadi tegang. Di dalam sosok si orang tua bersorban den berjubah kelabu dia melihat sosok seorang lain. Memandang menyeringai angker ke arahnya, memperlihatkan taring merah di sudut mulut!

“Gusti Allah…” Wiro mengucap.

DUA

KITA tinggalkan dulu Pendekar 212 yang tengah digotong menemui sosok kakek bersorban dan berjubah kelabu. Kita menuju ke satu kawasan sangat rahasia di puncak Gunung Semeru, kawasan aneh yang keberadaannya mengambang di udara dan disebut sebagai Atap Langit. Banyak tokoh rimba persilatan mengetahui atau mendengar nama Atap Langit namun hanya satu dua orang saja yang pernah dan mampu memasuki kawasan tersebut, Konon di Atap Langit banyak berkeliaran mahluk halus yang muncul dalam berbagai ujud, termasuk arwah sesat dan roh gentayangan.

Saat itu tengah hari tepat. Sang surya memancar terang benderang dan sangat terik. Namun d kawasan Atap Langit suasana selalu redup mendung, Sinar matahari seolah tidak mampu menembus adanya lapisan udara berkekuatan aneh yang menyungkup kawasan di arah delapan penjuru angin. Bahkan hembusan anginpun tidak pernah menyapu kawasan Atap Langit! Setiap bands yang ada di kawasan itu seperti tanah, pepohonan dan bebatuan selalu diselimuti cairan yang sesekali mengepulkan asap menebar hawa dingin mengiris tulang sumsum.

Ketika di langit sebelah utara memancar sinar kebiruan, menukik ke bumi seperti bintang jatuh, dari arah selatan lereng Gunung Semeru berkelebat satu bayangan merah. Gerakan mahluk ini cepat sekali hingga dalam waktu singkat dia sudah berada di puncak gunung, berdiri di satu tebing batu lancip licin. Ternyata mahluk ini adalah seorang kakek berjubah dan mengenakan belangkon merah.

Di sebelah depan belangkon tersemat sebuah hiasan terbuat dari suasa muda atau perunggu berbentuk bintang bersudut delapan. Dari warna sepasang mata, rambut, kumis, janggut dan cambang bawuk tipis serta sepasang alis berwarna merah sudah nyata kalau mahluk ini adalah momok arwah paling ganas dan ditakuti di Bhumi Mataram yaitu Sinuhun Merah Penghisap Arwah.

Sementara tangan kiri berkacak pinggang, di tangan kanan Sinuhun Merah Penghisap Arwah memegang sebuah piala perak yang memiliki delapan cantelan. Pada setiap cantelan tergantung sebuah cangkir perak. Sepintas dua kaki Sinuhun Merah Penghisap Arwah tampak seperti menapak batu lancip di atas tebing. Namun jika diperhatikan ternyata sepasang telapak kaki itu menggantung atau mengambang di udara, seujung kuku di atas tebing batu yang basah dan licin!

Ketika di langit sebelah utara menyala selarik sinar kuning kemerahan, Sinuhun Merah Penghisap Arwah dongakkan kepala. Lalu mulut berucap lantang. Penguasa Kawasan Atap Langit!

"Aku Sinuhun Merah Penghisap Arwah mahluk alam roh. Aku kembali datang selaku utusan seorang putra Bhumi Mataram bernama Dirga Purana yang disebut Sang Junjungan yang kesaktiannya ikut mendulang kawasan Atap Langit. Aku datang membawa Sesajen Atap Langit yang telah diramu oleh Sang Junjungan untuk delapan anak kucing jantan sakti peliharaannya. Tiga dari anak kucing itu tengah menghadapi sekarat akibat tebasan senjata berupa kapak bermata dua sakti mandraguna yang berasal dari alam delapan ratus tahun mendatang! Aku mohon nampan perak siap menerima Sesajen Atap Langit, Aku mohon Penguasa Atap Langit mau menyelamatkan nyawa tiga anak kucing merah sakti yang terluka parah. Ika Penguasa Atap Langit tidak turun tangan maka nyawa mereka tidak tertolong. Dunia arwah dan alam roh akan dilanda kegoncangan dahsyat. Langit bisa runtuh, bumi bisa tenggelam. Aku mohon Penguasa Atap Langit membawa delapan anak kucing jantan berbulu merah datang untuk menyantap, Sesajen Atap Langit. Kembalikan kesaktian mereka secara utuh sampai tiba saat pemberian Sesajen Atap Langit berikutnya. Aku mohon Penguasa Atap Langit mau membuka Pintu Gerbang Atap Langit. Izinkan aku masuk dengan segera! Mohon maaf karena waktuku tidak lama!”

Baru saja Sinuhun Merah Penghisap Arwah selesai berucap lantang tiba-tiba di langit memancar kembali sinar kuning kemerahan. Udara bergetar disusul suara dari mahluk yang ujudnya tidak kelihatan.

“Tiga Pengawal Atap Langit! Periksa dengan penciumanmu, lihat dengan matamu. Apa benar mahluk yang datang adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah dari Kerajaan Bhumi Mataram! Bukan mahluk jejadian yang menyamar untuk maksud jahat!”

Laksana petir menyambar tiga benda hitam besar berujud kelelawar raksasa entah dari mane munculnya tahu-tahu telah melayang mengitari sosok Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang tegak mengambang di atas tebing batu puncak Gunung Semeru. Tiga pasang sayap lebar mengepak menebar bau busuk. Tiga pasang mate pancarkan cahaya merah, menyapu di atas kepala den tubuh Sinuhun. Hidung menyedot dalam-dalam. Sinuhun Merah Penghisap Arwah tenang saja, Kepala masih terus mendongak.

Sebelumnya dia sudah mengalami hal seperti ini sebanyak due kali. Yaitu setiap dia mengantar Sesajen Atap Langit untuk memperpanjang kesaktian rahasia yang ada dalam tubuh delapan anak kucing merah yang dikenal dengan name Delapan Sukma Merah.

“Blaarrr! Blaarrr! Blarr!”

Tiga letusan menggelegar disertai berkiblatnya tiga larik sinar merah. Lalu sunyi sesaat. Dalam kesunyian kemudian terdengar tiga suara anch berucap bersamaan.

“Penguasa Atap Langit! Kami telah melihat. Kami Tiga Pengawal Atap Langit bersaksi bahwa kepala den tubuh itu adalah benar kepala dan tubuh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Kami telah mencium. Kami Tiga Pengawal Atap Langit bersaksi bahwa roh dalam ujud mahluk berbelangkon dan berjubah merah di puncak Gunung Semeru benar adalah roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Kami mencium! Darah arwah yang mengalir di dalam ujud mahluk. itu benar adalah darah Sinuhun Merah Penghisap Arwah.”

“Melihat belum berarti menyaksikan kebenaran. Tiga Pengawal Atap Langit lakes beri tahu aku! Aku ingin kepastian kunci! Apa kelainan yang terdapat dalam tubuh Sinuhun Merah Penghisap Arwah! ” Suara gaib yang menggetarkan udara menggelegar. Suara mahluk tak kelihatan ujud yang disebut sebagai Penguasa Kawasan Atap Langit.

“Biarr! Blaarr! Blaar!"

Tiga letusan kembali menggelegar dan tiga cahaya merah menyusul berkiblat. Lalu terdengar tiga suara aneh tadi memberikan jawaban.

“Penguasa Atap Langit! Kami Tiga Pengawal Atap Langit melihat kelainan yang ada dalam tubuh roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Jantungnya berada di sebelah kanan, bukan di sebelah kiri!”

“Pemeriksaan selesai! Tiga Pengawal Atap Langit kalian boleh kembali!”

Tiga pasang sayap mengepak keras. Bau busuk kembali menebar. Cahaya merah terang pada, tiga pasang mata meredup. Hidung menghembuskan tiupan nafas panjang. Tiga mahluk berbentuk, kelelawar raksasa menguik keras lalu berputar dua kali. Pada putaran ke tiga mereka menukik ke bawah den lenyap di balik kabut yang mulai muncul menutupi kawasan puncak Gunung Semeru. Sesaat kemudian terdengar suara Penguasa Atap Langit.

“Sinuhun Merah Penghisap Arwah, terakhir kali kau datang kau membawa Sesajen Atap Langit berupa delapan jantung bayi lelaki. Katakan padaku, kali ini Sesajen Atap Langit apa yang kau bawa untuk delapan anak kucing jantan merah sakti peliharaan Dirga Purana!”

"Penguasa Atap Langit, sesajen yang kubawa kali ini adalah sumsum delapan bayi lelaki yang telah dicairkan menjadi susu.”

“Hemmm…” Terdengar suara bergumam. Di susul ucapan keras. “Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Sebelum Pintu Gerbang Atap Langit dibuka, perlihatkan pada diriku bahwa kau tidak juga membawa Sesajen Penyanding Sesajen Atap Langit!”

Tangan kiri Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang sejak tadi berkacak pinggang bergerak ke balik jubah merah, mengeluarkan sebuah kantong kain merah bergambar bintang kuning berujung delapan pada dua sisinya.

“Penguasa Atap Langit, Sesajen Penyanding sudah ada dalam genggamanku. Mungkin ada sesuatu yang hendak kau tanyakan lagi?” Bertanya Sinuhun Merah Penghisap Arwah.

“Katakan ape isi kantong kain merah itu!” Mahluk tak kelihatan ujud bertanya.

“Lima puluh keping uang emas! Dua puluh butir permata mutu manikam! Tiga puluh lentingan rokok daun jagung yang sudah diisi dengan candu dari negeri Cina! Mohon Penguasa Atap Langit bersedia menerima!”

Di udara berkabut di puncak Gunung Semeru terdengar suara tawa bergelak disusul ucapan. “Aku bersedia menerima! Lemparkan ke udara kantong kain itu!”

Dengan cepat tangan kiri Sinuhun Merah Penghisap Arwah melemparkan kantong kain ke udara. Seperti ada kekuatan yang menyedot, kantong kain tertarik ke atas dan sekejapan saja telah lenyap dari pandangan mata. Sesaat kemudian terdengar suara berderak. Batu di bawah kaki Sinuhun Merah Penghisap Arwah bergetar.

“Wusss!”

Belasan tombak di hadapan Sinuhun Merah Penghisap Arwah muncul dua buah dinding batu yang secara cepat bergerak membuka ke samping kiri dan kanan.

“Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Pintu Gerbang Atap Langit sudah dibuka! Kau diperkenankan masuk!”

Tidak menunggu lebih lama Sinuhun Merah Penghisap Arwah segera melesat memasuki pintu batu yang dengan cepat bergerak menutup kembali. Hanya sejengkal lagi dua dinding batu akan menutup rapat tiba-tiba satu benda kelabu laksana ular besar melesat di udara, lalu dess! Bergulung mengganjal Pintu Gerbang Atap Langit. Benda itu ternyata adalah segulung sorban!

TIGA

DUA dinding batu Pintu Gerbang Atap Langit yang terganjal sorban kelabu bergetar hebat. Kabut yang menyungkup buyar bertebaran dan lenyap hingga keadaan di tempat itu kini kelihatan lebih jelas walau mendung masih terus meredupi, Udara mendadak menyentak pengap.

“Pengawal Atap Langit! Ada mahluk hendak berbuat jahat! Hancurkan benda yang mengganjal Pintu Atap Langit!” Di langit terdengar suara teriakan lantang Sang Penguasa Kawasan Atap Langit.

Kejap itu juga di udara muncul kembali tiga mahluk berbentuk kelelawar raksasa. Tiga binatang ini langsung melesat ke arah sorban kelabu. Mulut menguik keras. Dari dalam mulut meluncur keluar lidah panjang merah mengepulkan asap panas. Dua ekor burung yang terpesat melayang di udara, begitu berada satu tombak, di depan juluran tiga lidah panjang langsung terbakar musnah!

“Wuutt!”

Tiga lidah panjang menyambar sorban yang mengganjal pintu. Kobaran api berkiblat. Tapi!

“Dess! Desss! Desss!”

Tiga kelelawar besar terpental ke atas dan keluarkan suara meraung seperti lolongan anjing. Lidah mereka nampak mengepul dan berubah dari merah menjadi hitam.

“Kurang ajar!” Terdengar makian Penguasa Atap Langit. Pengawal Atap Langit! Serang benda yang mengganjal pintu dengan Panah Sukma Api! Aku akan meminta semua arwah di kawasan ini untuk membantu!”

Diatas puncak Gunung Semeru mendadak terdengar suara raungan riuh. Itu pertanda semua mahluk alam roh yang ada di Kawasan Atap Langit telah mendengar kata-kata Sang Penguasa. Tiga pasang mata merah kelelawar raksasa mencuat keluar. Begitu mata dikedipkan, enam panah dikobari api melesat ke arah gulungan sorban kelabu yang mengganjal Pintu Atap Langit. Enam dentuman keras menggelegar. Udara bergetar. Pintu Gerbang Atap Langit bergoncang.

Sorban kelabu di antara dua dinding batu tenggelam dalam kobaran api, musnah berubah jadi kepulan asap. Greekk! Pintu Gerbang Atap Langit yang tadi tidak bisa menutup akibat ganjalan sorban kelabu kini bertaut rapat dan tertutup. Di puncak timur Gunung Semeru yang barbatasan dengan Kawasan Atap Langit seorang kakek berjubah kelabu tegak tertegun sambil memegang dada.

“Hyang Jagat Bathara Dewa, mohon ampun saya bertindak terlambat. Mohon maaf ilmu kepandaian saya masih berada di bawah mereka. Yang saya kawatirkan adalah orang-orang dan benda sakti yang ada dalam Ruang Segi Tiga Mayat. Tolong mereka, lindungi mereka…”

Kakek berjubah kelabu angkat tangan kanannya, di arahkan ke Pintu Gerbang Atap Langit yang mulai tampak samar. Sebelum ujud Pintu Gerbang lenyap kakek ini dengan cepat sentakkan tangan kanan.

“Wuutt!”

Sorban yang telah musnah dibakar kobaran enam Panah Sukma Api menampakkan diri kembali, melesat ke arah si kakek, langsung bergulung diatas kepalanya. Walau mampu mendapatkan sorbannya kembali namun tak urung dua kaki si kakek tampak tertekuk goyah dan sekujur tubuh bergetar.

Siapa gerangan adanya kakek ini? Dia bukan lain orang tua sakti yang telah menolong Ratu Randang yang oleh Empu Semirang Biru disebut sebagai Embah Buyut Kumara Gandamayana. Ketika siap hendak meninggalkan tempat itu tiba-tiba di sekitarnya terdengar suara anak kucing mengeong keras tapi ujudnya tidak kelihatan. Kagetnya si kakek bukan alang kepalang karena mendadak saja dua kakinya tak bisa bergerak! Ketika dia memandang ke bawah, astaga! Dua kakinya ternyata telah dilibat gulungan rantai besi berwarna merah.

“Rantai Kepala Arwah Kaki Roh,” ucap si kakek yang rupanya mengenali dan tahu nama rantai. Rantai inilah yang telah memberangus tubuh Empu Semirang Biru hingga hanya mampu duduk bersila di dalam Ruang Segi Tiga Nyawa. “Ini pasti pekerjaan anak lelaki bernama Dirga Purana pemilik Delapan Sukma Merah delapan anak kucing itu!”

Walau darahnya berdesir namun dia tetap berlaku tenang. Dua telapak tangan dikembang ke arah bawah. Tenaga dalam den hawa sakti dialirkan hingga dari sepuluh ujung jari memancar cahaya kelabu.

“Rantai Kaki Arwah Kepala Roh!” Si kakek berteriak sengaja menyebut terbalik nama rentai merah. Agaknya ada maksud tertentu dia berucap seperti itu. Karena kemudian dia kembali berteriak. “Arwah Penangkal! Tunjukkan yang putih itu putih! Yang benar itu benar!” Dua tangan dihentakkan ke bawah.

“Dess! Dess!”

“Blaarr!”

Si kakek sanggup menggerakkan kedua kaki namun rantai besi merah masih mengikat kedua kakinya walau kini sedikit agak longgar. Tidak menunggu lebih lama dia segera melompat ke udara. Setengah jalan dia berjungkir, kaki ke atas kepala ke bawah. Lalu wuuuttt! Tubuh orang tua itu melesat ke bawah Gunung Semeru.

“Aku harus mencari pemuda dari alam delapan ratus tahun mendatang itu. Hanya dia yang memiliki kemampuan menghadang dan menghancurkan kekuatan Penguasa Atap Langit. Hanya dia yang bisa menghadapi Delapan Sukma Merah.”

Suara ngeongan anak kucing mendadak kembali terdengar. Kali ini disertai dengan melesatnya delapan ujud samar berwarna merah. Embah Buyut Kumara Gandamayana mendengus. Mulut berucap.

“Kalian belum mendapatkan Sesajen Atap Langit! Kalian tidak punya kekuatan! Kesaktian kalian mengapung di udara! Kalian sebenarnya adalah ganjalan nyawa mahluk terkutuk. Kalian tidak akan mampu menyerangku! Pergi!” Orang tua itu tanggalkan sorban kelabunya lalu dikebut ke arah delapan bayangan samar anak kucing merah.

“Wuuutt!” Satu gelombang angin memancarkan cahaya kelabu menderu.

“Ngeooong!”

Delapan sosok samar anak kucing merah mental ke udara.

* * *

Di KAWASAN Atap Langit di atas puncak Gunung Semeru, Sinuhun Merah Penghisap Arwah memaklumi sesuatu telah terjadi. “Ada mahluk yang coba menghalangi tertutupnya Pintu Gerbang Atap Langit. Pasti hendak berusaha menyusup masuk ke dalam.” Sinuhun yang sebenarnya adalah mahluk dari alam roh ini menyeringai. “Siapa yang sanggup menantang kekuatan Delapan Sukma Merah! Siapa yang mampu melawan Penguasa Atap Langit yang punya ratusan anak buah mahluk alam arwah! Tapi aku mulai meragukan kekuatan dan kesaktian Sang Penguasa.”

Laksana terbang Sinuhun Merah Penghisap Arwah melesat ke arah timur Kawasan Atap Langit. Setelah melewati sekian banyak gumpalan gumpalan awan kelabu, begitu matanya melihat hamparan sembilan batu besar hitam dan basah mengambang di bawah sane die segera menukik turun. Delapan batu tersebar begitu rupa membentuk lingkaran mengelilingi batu ke sembilan yang disebut Batu Atap Langit. Di atas batu besar ke sembilan ini terletak sebuah nampan atau baki memiliki delapan kaki berupa kaki binatang dengan cakar mencuat, terbuat dari perak putih berkilau.

Seperti diketahui saat itu siang hari dan sang surya memancarkan sinarnya yang terik. Namun di tempat itu keadaan redup temaram. Udara terasa basah dan ada hawa dingin aneh menyembur dari dalam tanah.

Begitu menjejakkan kaki di atas batu ke sembilan, Sinuhun Merah Penghisap Arwah merasa ada hawa dingin keluar dari batu, masuk ke dalam tubuh yang membuat dua kakinya bergetar. Otaknya serasa beku. Sinuhun Merah Penghisap Arwah tertegun kaget den marah.

“Kurang ajar! Bagaimana mungkin ada mahluk jahanam bisa tembus masuk ke tempat ini!”

Sinuhun Merah Penghisap Arwah memandang berkeliling. Dia melihat ada bayangan warna kebiruan di balik salah satu delapan batu yang mengelilingi batu ke sembilan. Dari arah itu datangnya hawa luar biasa dingin. Tidak tunggu lebih lama dia segera angkat kepala. Delapan benjolan merah di kening pancarkan cahaya terang siap untuk melancarkan serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit. Namun sebelum delapan cahaya merah keluar dari delapan benjolan tibatiba terdengar suara Penguasa Atap Langit.

“Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Kawasan Atap Langit adalah daerah kekuasaanku! Apapun yang terjadi tidak seorang lain boleh turun tangan. Kau tidak boleh menimbulkan kerusakan di sini! Batalkan seranganmu! Biar para Pengawal Atap Langit menangani masalahmu!”

“Penguasa Atap Langit!” Sinuhun Merah menyahuti, “Aku rasa kemampuanmu sudah jauh berkurang. Bagaimana ada mahluk lain bisa menyusup masuk ke dalam kawasan kekuasaanmu?”

“Bisa masuk tak ada artinya kalau tidak bisa keluar!” Penguasa Atap Langit lalu berteriak memanggil Pengawal. Tiga kelelawar raksasa segera muncul lalu melesat ke arah batu besar yang dibaliknya kelihatan sinar biru.

“Plaak… plaak!”

Enam sayap mengepak. Enam cahaya hitam menerpa batu besar. Saat itu juga dari balik batu memancar cahaya biru legam dibarengi suara jeritan keras. Sesosok tubuh mengapung di udara dalam keadaan gosong, sulit dikenali siapa adanya. Tiga kelelawar hitam menguik keras, berputar due kali lalu melesat lenyap.

“Penguasa Atap Langit! Aku tidak mengenali mahluk itu. Harap kau memberi tahu siapa dia adanya!”

Di udara redup terdengar suara tertawa bergelak Sang Penguasa. “Kau telah menyaksikan kehebatan para Pengawal Atap Langit. Jangan ada yang berani meragukan kekuatan den kuasa kami para mahluk Atap Langit. Siapa mahluk yang telah menemui ajal dalam keadaan gosong itu, itu bukan urusanmu. Harap kau mawas diri. Di alam nyata dan di alam gaib kau sudah terlalu banyak musuh! Kau harus bersyukur aku masih memberi kesempatan bagimu untuk melaksanakan upacara Sesajen Atap Langit! Kalau tidak nyawamu sudah terpecah di delapan penjuru angin! Sampaikan hal itu pada Junjunganmu anak lelaki bernama Dirga Purana! Aku menghormatinya tapi jangan ada anak buahnya berani menganggap rendah diriku! Atap Langit adalah Negeri kekuasaanku, Atap Langit adalah Kerajaanku! Sekarang cepat kau melaksanakan pemberian Sesajen Atap Langit, Waktumu hanya tinggal sedikit. Begitu selesai cepat tinggalkan tempat ini! Masih delapan mahluk lain yang menunggu pelaksanaan Sesajen Atap Langit!”

Rahang Sinuhun Merah Penghisap Arwah tampak menggembung. Telinganya terasa panas. Walau mulutnya ingin berteriak memaki namun dia tidak bisa berbuat apa-apa selain melakukan apa yang dikatakan Penguasa Atap Langit.

“Jahanam, inilah kesalahan Kesatria Junjungan. Dia terlalu percaya hingga Penguasa Atap Langit tahu banyak tentang diri dan kekuatanku! Kalau tiba saatnya Kawasan Atap Langit akan aku musnahkan dengan Api Delapan Sukma Dewa!”

EMPAT

Satu demi satu Sinuhun Merah Penghisap Arwah mengambil cangkir perak yang tergantung pada cantelan piala. Cangkir kemudian diletakkan diatas nampan perak, masing-masing gagang menghadap ke arah delapan batu yang mengelilingi. Setelah lebih dulu berlutut di atas batu, mahluk alam roh yang berujud serba merah ini buka penutup piala. Dari dalam piala dia kemudian menuangkan cairan putih ke dalam setiap cangkir perak.

Setelah semua cairan putih yang konon adalah sumsum belakang delapan bayi dituang dibagi rata hingga penuh sampai dua pertiga cangkir, Sinuhun Merah Penghisap Arwah lemparkan piala perak ke udara. Di satu tempat piala perak meledak, berubah jadi asap putih lalu lenyap dari pemandangan.

Sinuhun Merah Penghisap Arwah letakkan dua telapak tangan di atas dada. Dua jari tengah sengaja ditekuk sementara empat jari lain dari masing-masing tangan mengembang lurus. Kepala mendongak, mata dipejam. Perlahan-perlahan delapan jari tangan berubah merah, memancarkan cahaya. Tak selang berapa lama bagian batu dibawah delapan nampan perak diletakkan ikut memancarkan cahaya merah disertai kepulan asap. Lalu cairan sumsum di dalam cangkir menggelegak perlahan.

Bau aneh menyerupai bau kemenyan yang di bakar menebar di tempat itu. Suasana menjadi bertambah angker sewaktu di udara yang redup dan dingin di kejauhan terdengar suara panjang raungan anjing. Begitu gema suara raungan lenyap Sinuhun Merah Penghisap Arwah membuka mulut dan berseru.

“Penguasa Atap Langit!! Sesajen Atap Langit sudah disiapkan! Mohon Pintu Arwah dibuka. Izinkan Delapan Sukma Merah menyantap sesajen yang terhidang!”

Di Kawasan Atap Langit tidak pernah ada angin. Namun saat itu tiba-tiba terdengar suara menderu disertai hembusan angin keras. Jubah Merah Sinuhun Merah Penghisap Arwah berkibar-kibar. Kumis, janggut dan rambut panjang dibawah belangkon merah bergeletar. Piala dan delapan cangkir perak bergoyang goyang. Sembilan batu besar bergetar.

Tiba-tiba langit seolah terbelah. Dari celah belahan melesat turun delapan benda merah yang bukan lain adalah delapan anak kucing merah. Binatang ini melesat demikian rupa lalu melayang turun dan duduk di depan cangkir perak. Sepasang mata merah terpentang lebar menatap tak berkesip ke arah cairan di dalam cangkir. Kuku kaki depan mencuat laksana pisau. Ekor berkibas-kibas.

Telinga mencuat ke alas dan lidah menjulur tanda tidak sabaran untuk segera menjilat meneguk cairan sumsum. Jika diperhatikan, walau delapan anak kucing ini semua berbulu merah, namun tiga di antaranya memiliki bulu berwarna lebih pekat, agak kehitaman. Tiga anak kucing ini setiap mengeong keras memancarkan cairan merah dari kedua mata mereka.

Sinuhun Merah Penghisap Arwah turunkan kepalanya yang sejak tadi mendongak. Sepasang mata dibuka. Menyapu delapan anak kucing merah. Jika memperhatikan tiga anak kucing berbulu merah kehitaman, dada kanannya mendenyut sakit.

“Delapan anak kucing merah yang dengan hormat aku panggil dengan nama Delapan Sukma Merah! Penguasa Atap Langit telah membuka Pintu, Arwah! Pertanda kalian telah mendapat izin. Silahkan menikmati Sesajen Atap Langit yang telah disediakan!”

Seolah mengerti apa yang dikatakan Sinuhun Merah Penghisap Arwah, delapan anak kucing merah mendekati cangkir perak di hadapan masing-masing. Dua kaki depan mencengkeram, kepala dirundukkan lalu terdengar suara mereka menjilat dan meneguk sumsum putih. Nyaris sekejapan saja sumsum putih di dalam cangkir serta merta habis tak bersisa. Delapan anak kucing merah mengeong keras. Tubuh memancarkan cahaya merah menyilaukan.

Seolah rasa haus belum terobat, rasa lapar belum pulih tiba-tiba mereka membuka mulut lebar-lebar lalu greek… greekk … greeekkk! Delapan cangkir perak mereka kunyah seperti menyantap kerupuk!

Sinuhun Merah Penghisap Arwah terkejut. “Pertanda buruk! Tidak pernah Delapan Sukma Merah berlaku serakus ini!” Ucap sang Sinuhun dalam hati lalu cepat dia berteriak. “Delapan Sukma Merah! Sesajen Atap Langit sudah kalian dapatkan! Kesaktian kalian sudah diperpanjang! Saatnya untuk kembali menemui Satria Junjungan!”

Delapan anak kucing merah rundukkan kepala hingga dagu menempel di batu. Mulut membuka lebar dan mata membeliak. Kuku kaki depan digerus ke atas batu hingga membuat guratan-guratan dalam yang dikobari api!

“Delapan Sukma Merah! Jangan merusak apa yang ada di Kawasan Atap Langit! Aku minta agar kalian segera kembali menghadap Satria Junjungan Dirga Purana! Penguasa Atap Langit mohon Pintu Akhirat dibuka kembali!”

Seperti tadi mendadak menderu suara tiupan angin keras. Lalu di atas sana langit seolah terbelah membuka. Delapan kucing merah mengeong keras. Mereka melesat ke arah Sinuhun Merah Penghisap Arwah, satu jengkal di atas kepala. Hal Ini cukup membuat Sinuhun Merah terkejut dan cepat rundukkan kepala. Ketika dia memandang ke atas, delapan anak kucing merah telah meles memasuki celah langit.

“Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Upacara Sesajen Atap Langit telah selesai. Harap kau segera meninggalkan tempat ini!” Di udara redup menggema suara Penguasa Atap Langit.

“Penguasa Atap Langit! Aku mengucapkan terima kasih. Akan aku sampaikan pada Sang Junjungan semua kebajikan yang telah kau lakukan! Namun sebelum pergi aku mohon satu pertolongan.”

Udara di Kawasan Atap langit semakin redup.

“Sinuhun! Aku peringatkan padamu! Waktumu sebenarnya sudah habis!”

“Penguasa Atap Langit! Aku mohon dengan sepuluh jari di atas kepala!” Sinuhun Arwah Merah Penghisap Arwah susun sepuluh jari di atas kepala dan rundukkan tubuh.

“Kau benar-benar mau membuat, aku marah Sinuhun?!”

“Aku minta maaf dan aku minta ampun, Tapi aku sangat mengharap pertolongan. Aku mewakili Sang Junjungan!”

Terdengar suara bergumam marah. Lalu. “Katakan pertolongan apa yang kalian butuhkan!”

“Aku mohon agar aku bisa menembus masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa dimana Keris Kanjeng Sepuh Pelangi berada.”

Dalam ujudnya yang tidak kelihatan Penguasa Atap Langit tertawa bergelak. “Caranya mudah saja!”

“Bagaimana caranya? Tolong aku diberi tahu!”

“Musnahkan delapan benjolan yang ada di keningmu dan semua pengikutmu! Ha… ha… ha!”

“Keparat jahanam! Bagaimana mungkin aku dan yang lain-lain memusnahkan delapan benjolan yang jadi sumber kesaktian!” Sinuhun Merah Penghisap Arwah memaki dalam hati.

Seolah mendengar makian Sinuhun Merah, Penguasa Atap Langit membentak. “Sinuhun, jangan berani memaki di Negeri Atap Langit. Sekalipun dalam hati!”

Tiba-tiba saja udara bergetar dan hawa menjadi pengap. Kaget Sinuhun Merah Penghisap Arwah bukan kepalang. Buru-buru dia berkata. “Penguasa Atap Langit, aku mau pergi, harap Pintu Gerbang Atap Langit segera dibuka!”

Saat itu juga di hadapan Sinuhun Merah Penghisap Arwah muncul kembali dinding batu yang dengan cepat bagian tengahnya bergeser ke kiri dan ke kanan. Tidak tunggu lebih lama Sinuhun Merah Penghisap Arwah melesat masuk ke dalam celah. Di lain kejap dia telah berada lagi di puncak Gunung Semeru.

Namun kaget Sang Sinuhun bukan alang kepalang ketika memandang berkeliling dapatkan dirinya telah dikurung beberapa mahluk alam roh. Mahluk pertama satu sosok angker karena mulai dari kepala sampai ke kaki tertutup lapisan batu berlumut berwarna ungu.

“Jambal Ungu, mengapa kau muncul di sini?”

Sinuhun Merah menyebut nama si mahluk yang bukan lain adalah Raja Dukun Batu Berlumut. Seperti diketahui mahluk ini dulunya adalah anak buah Sang Sinuhun yang kemudian menemui ajal dibunuh oleh Ratu Randang (baca episode sebelumnya berjudul Dua Nyawa Kembar). Berpaling ke kiri Sinuhun Merah Penghisap Arwah jadi tersirap. Satu sosok buntung hanya berbentuk potongan pinggang dan kaki buntung tertatih-tatih bergerak mendekatinya.

“Ketua Jin Seratus Perut Bumi!” Ucap Sinuhun Merah. Tiba-tiba dia merasa ada sambaran angin di belakangnya. Dengan cepat dia berbalik. Sinuhun Merah terkesiap, tampang berubah, Dihadapannya, hanya terpisah dalam jarak beberapa langkah merunduk seekor anjing betina berperut besar pertanda tengah hamil berat. Sepasang mata menatap menyala.

“Sri Padmi Kameswari…” Suara Sinuhun Merah terdengar bergetar perlahan.

Anjing betina angkat kepala lalu meraung panjang. Mengenai riwayat Sri Padmi Kameswari dapat dibaca kembali pada episode awal berjudul Malam Jahanam Di Mataram dan episode lanjutan Sepasang Arwah Bisu

“Kalian bertiga ada keperluan apa muncul berada di tempat ini!” Sinuhun Merah menegur.

“Hidup di alam roh lapis kedua tidak tenteram. Kami minta kau mengembalikan kami ke dalam alam roh lapis kesatu.” Tiga mahluk di hadapan Sinuhun Merah menjawab berbarengan.

“Apa! Kalian sudah mati ya sudah! Aku tidak mungkin melakukan apa yang kalian minta!”

“Jika tidak mungkin maka kami minta rohmu sebagai pengganjal roh kami di alam roh lapis kedua!” Tiga makhluk kembali bicara secara bersamaan.

“Jangan bercanda! Kalian tahu tengah berhadapan dengan siapa!” Sinuhun Merah Penghisap Arwah mengancam. Delapan benjolan di kening pancarkan cahaya benderang.

Untuk kedua kalinya anjing betina bunting meraung. Kali ini selesai meraung terus menerjang Sinuhun Merah dengan serangan berupa dua cakaran kaki depan. Mahluk buntung Ketua Jin Seratus Perut Bumi dan Raja Dukun Batu Berlumut tidak tinggal diam. Dua mahluk alam roh yang telah jadi korban keganasan Sinuhun Merah segera pula menyerbu!

“Mahluk sesat keparat! Kalian ingin aku benamkan di lapis tanah ke delapan!” Teriak Sinuhun Merah Penghisap Arwah marah. Dia siap menyambut serangan lawan dengan pukulan tangan kiri kanan yaitu Delapan Sukma Merah.

“Sinuhun Merah! Mengapa harus repot! Biarkan aku yang memberi pelajaran pada tiga mahluk tidak tahu diri itu!” Tiba-tiba ada orang berteriak. Lalu... wusss!

Selarik sinar merah berkiblat disertai suara menggelegar seperti petir menyambar. Hawa panas menghampar di seantero tempat. Sebagian puncak Gunung Semeru tenggelam dalam kobaran api. Sinuhun Merah Penghisap Arwah cepat menghindar dengan melompat sampai delapan tombak. Tiga jeritan menggelegar lalu lenyap.

Sinuhun Merah Penghisap Arwah usap wajah sampai dua kali. Memandang ke puncak gunung di arah kiri dia melihat sosok Pangeran Matahari alias Kesatria Roh Jemputan tegak sambil memegang senjata Lentera Iblis.

“Jahanam dari alam roh delapan ratus tahun mendatang itu!” Maki Sang Sinuhun. "Dia tiba-tiba muncul di sini. Apa dia sungguhan hendak menolong aku atau punya maksud tersembunyi sebenarnya hendak menghabisiku!”

“Kesatria Roh Jemputan! Terima kasih kau telah menolong diriku! Lekas kembali ke Bhumi Mataram! Pekerjaan besar menunggu!” Sinuhun Merah akhirnya berteriak. Lalu tanpa menunggu jawaban Pangeran Matahari dia tinggalkan puncak Gunung Semeru.

* * *

LIMA

KEMBALI ke Ruang Segi Tiga Nyawa di bawah Candi Plaosan Lor. Seperti diceritakan sebelumnya dalam serial terdahulu berjudul Delapan Sukma Merah, ketika berada di halaman Candi Kalasan tiba-tiba ada sinar kuning melesat dari langit. Sinar melingkari tanah tempat Jaka Pesolek berdiri lalu naik ke atas membungkus tubuh dan kepala si gadis. Sesaat kemudian tubuh Jaka Pesolek amblas lenyap masuk ke dalam tanah.

“Ada yang menculik Jaka Pesolek!” Wiro berteriak kaget. "Ini pasti pekerjaan dua Sinuhun keparat!” Setelah berpesan pada Ratu Randang dan Dewi Ular agar jangan kemana-mana dan tetap menunggunya di tempat itu Wiro dengan mengandalkan ilmu baru yang didapat dari kakek sakti Kumara Gandamayana masuk ke dalam tanah mengejar Jaka Pesolek.

Dugaan Wiro bahwa Jaka Pesolek diculik oleh dua Sinuhun jahat ternyata keliru. Sesuai keterangan Jaka Pesolek pada Empu Semirang Biru setelah masuk ke dalam tanah, dia merasa heran karena dia merasa seperti berada di alam terbuka. Lalu dia melihat seberkas cahaya kuning disertai gema lonceng di kejauhan. Cahaya kuning bergerak ke depan. Jaka Pesolek mengikuti hingga akhirnya sampai di Ruang Segi Tiga Nyawa. Menurut Empu Semirang Biru ternyata Jaka Pesolek telah ditolong oleh anak sakti Mimba Purana yang dikenal dengan sebutan Satria Lonceng Dewa.

Wiro yang berusaha mengejar karena kawatir akan keselamatan Jaka Pesolek terpaut jauh lebih dari tiga puluh tombak di belakang si gadis. Sewaktu sayup-sayup dia mendengar suara lonceng dan bayangan samar cahaya kuning di kejauhan, karena tidak tahu di arah mana beradanya Jaka Pesolek maka Wiro mengejar ke jurusan dia mendengar suara lonceng dan melihat cahaya kuning samar.

Di satu tempat dimana lapisan tanah berubah dari coklat kehitaman menjadi merah kehitaman Wiro hentikan lari ketika mendadak dia merasa ada sambaran angin dari arah depan. Dia memperhatikan, astaga! Di hadapannya terlihat satu pemandangan aneh.

"Satu…dua…tiga…” Wiro menghitung sampai delapan. Sepasang mata tidak berkesip. “Delapan anak kucing berbulu merah! Ada benjolan di kening!” Wiro ingat sebelumnya pernah beberapa kali mendengar suara ngeongan kucing. “Apa binatang-binatang ini yang mengeong? Dari sikap mereka tampaknya mereka sengaja menghadang jalanku.”

Delapan anak kucing berbulu merah di dalam lapisan tanah di bawah kawasan Candi Plaosan Lor duduk mencangkung, berjejer dari kiri ke kanan. Delapan pasang mata menyorot tak berkedip ke arah Wiro. Perlahan lahan mulut menyeringai memperlihatkan lidah panjang serta taring runcing. Telinga panjang mencuat ke atas. Tiba-tiba didahului ngeongan keras, delapan anak kucing merah melompat menyerbu. Saat itulah Wiro melihat seluruh kuku yang dimiliki delapan anak kucing itu mencuat keluar menyerupai pisau besar, tajam dan runcing berwarna merah. Cakar Sukma Merah!

Menghadapi delapan musuh yang berbentuk manusia atau mahluk jejadian bukan hal yang menakutkan bagi Pendekar 212 Wiro Sableng. Tapi diserang delapan anak kucing baru sekali ini dialaminya seumur hidup. Dalam hati ada perasaan tidak tega untuk menyakiti apa lagi sampai membunuh binatang itu. Hal ini membuat sang pendekar berlaku ayal. Ketika delapan anak kucing semburkan cahaya merah dari benjolan di kening masing-masing, Wiro tersentak kaget. Pandangan matanya silau. Selagi dia berusaha melompat mundur, lima cakaran menyambar.

“Brett! Brettt!”

Beberapa sambaran Cakar Sukma Merah berhasil dihindari Wiro walau bajunya robek-robek. Ketika delapan cahaya merah kembali melesat dari benjolan di kening delapan anak kucing, dua sambaran Cakar Sukma Merah menyerempet dada, tiga menggores wajah!

Walau cuma luka berbentuk goresan namun racun yang dikandung benar-benar jahat. Saat itu juga Wiro merasa aliran darahnya menjadi panas, pemandangan menggelap dan dua kaki goyah lemas. Dengan langkah terhuyung-huyung dia coba berjalan ke arah cahaya, terang kemerahan jauh di depan sana. Namun delapan anak kucing kembali melancarkan serangan.

Wiro membentak keras. Tangan kanan didekatkan ke muka, telapak dikembang lalu dia meniup. Kejapan itu juga, di atas telapak tangan kanan terpampang gambar kepala harimau putih bermata, hijau. Ketika, Wiro menghantamkan tangan Kanan ke arah delapan kucing yang menyerang, didahului suara auman harimau selarik sinar putih disertai dua jalur sinar hijau menderu keras. Seantero tempat bergeletar. Tanah berguguran.

“Ngeonggg!”

Tiga ekor anak kucing terpental ke atas lalu jatuh terkapar di tanah. Anehnya mereka tidak kelihatan cidera. Hanya sepasang mata tampak mengeluarkan cairan merah dan bulu mereka yang semula merah terang kini berubah menjadi merah gelap kehitaman. Namun demikian ketiga binatang ini hanya mampu gerakkan kepala sedikit, mengeong pendek, megap-megap lalu melosoh tak berkutik.

Melihat apa yang terjadi dengan tiga kawan mereka, lima anak kucing lainnya mengeong keras lalu tiga diantaranya dengan cepat melompat dan menggigit kuduk tiga teman mereka yang cidera. Ketika Wiro memandang berkeliling dan siap hendak melepas lagi Pukulan Harimau Dewa semua anak kucing tak ada lagi di tempat itu

“Celaka, apa yang terjadi dengan diriku. Tubuhku panas, kakiku lemas. Ada racun ganas dalam tubuhku…”

Meski pandangan matanya mulai samar namun Wiro masih bisa melihat sinar terang merah di kejauhan. Yang dilihatnya itu adalah Ruang Segi Tiga Nyawa dimana Ratu Randang, Kunti Ambiri, Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi berada bersama Empu Semirang Biru. Wiro merasa heran. Kapak Naga Geni 212 yang ada dalam tubuhnya serta hawa sakti yang seharusnya mampu menumpas racun di dalam tubuhnya sepertinya tidak bekerja.

Dengan gerakan kaku dan berat Wiro totok beberapa bagian tubuhnya. Lalu terhuyung-huyung dia melangkah ke arah cahaya merah terang. Dia merasa seperti berjalan di gurun pasir dimana matahari seolah berada satu jengkal di atas kepala dan kaki laksana dipanggang. Ketika akhirnya dia berhasil mencapai cahaya merah terang dan masuk ke Ruang Segi Tiga Nyawa, Wiro langsung roboh di lantai ruangan. Tenaganya terkuras habis. Tubuh basah oleh keringat bercampur darah yang keluar dari guratan luka di wajah dan dada.

Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri yang ada dalam ruangan terpekik keras. Jaka Pesolek langsung menubruk dan memeluk tubuh Wiro. Ketika semua orang berusaha mencari jalan untuk menolong Wiro dan Jaka Pesolek serta Sakuntaladewi sama-sama bertekad untuk mencari Embah Buyut Kumara Gandamayana, tiba-tiba saja orang tua sakti itu muncul dan terlihat di luar Ruang Segi Tiga Nyawa.

“Kenapa mempersusah diri jauh-jauh mencariku! Aku sudah berada di dekat kalian. Bawalah pemuda malang berambut panjang itu ke hadapanku. Akan aku obati dan pasti sembuh. Semoga Para Dewa menolong dan memberi berkat.”

Begitu si orang tua berkata dari luar Ruang Segi Tiga Nyawa. Ketika digotong, dalam keadaan setengah sadar Pendekar 212 Wiro Sableng berusaha membuka dua matanya yang sejak tadi terpejam. Walau agak samar namun pandangan matanya ia langsung membentur sosok kakek bersorban dan berjubah kelabu di luar Ruang Segi Tiga Nyawa. Otaknya masih bisa bekerja.

Mendadak saja dia ingat peristiwa Raja Mataram jejadian yang muncul di Candi Kalasan. Kali ini dia juga merasa ada sesuatu yang tidak beres. Wiro kedipkan perlahan kedua matanya. Karena ilmu kesaktian yang hendak dikeluarkan tidak membutuhkan banyak kekuatan tenaga dalam dia masih mampu menerapkan ilmu menembus Pandang. Mendadak saja Wiro menjadi tegang. Di dalam sosok kakek bersorban dan berjubah kelabu dia melihat sosok seorang lain. Memandang menyeringai angker ke arahnya, memperlihatkan taring merah di sudut mulut!

“Gusti Allah“ Wiro mengucap. Dia berusaha melepaskan diri dari pegangan ke empat orang yang menggotongnya namun tidak punya kekuatan. Sesaat kemudian tubuhnya sudah berada di luar Ruang Segi Tiga Nyawa, lalu didudukkan orang di tanah.

“Eyang Sinto, mengapa jadi begini. Mengapa Eyang…”

Melihat raut wajah serta ucapan Wiro yang aneh, Kunti Ambiri bertanya. “Wiro, kau bicara dengan siapa?!”

ENAM

WIRO menatap lekat-lekat ke arah orang tua di depannya. Mulut berucap perlahan karena dada mulai terasa sesak. “Ka… kakek itu Dalam tubuhnya ada…”

Belum sempat Wiro menyelesaikan ucapan tiba-tiba orang tua bersorban dan berjubah kelabu melompat ke hadapan Wiro. Namun yang bergerak ke depan ternyata hanyalah pakaian yang melekat di tubuhnya yaitu sorban kelabu, jubah kelabu dan kasut putih. Begitu seluruh pakaian tanggal, tubuhnya lenyap berubah jadi asap merah. Lalu dari balik kepulan asap menyelinap keluar satu sosok tinggi kurus dan hitam berambut putih jarang riap-riapan.

Di mata Wiro, sosok itu adalah sosok gurunya Eyang Sinto Gendeng dalam ujud asli yaitu seorang nenek berkulit hitam kurus, wajah seperti tengkorak hidup karena hanya dilapisi kulit hitam tipis, batok kepala dihias empat tusuk konde perak. Pakaian lurik dan kain panjang hitam. Tubuh dan pakaian menebar bau pesing. Mulut pencong ke kanan dan ke kiri karena mengunyah susur. Namun ada kelainan pada mulut sang guru. Yaitu pada dua sudut mulut mencuat caling panjang runcing berwarna merah!

Lalu di atas kening tampak delapan benjolan yang juga berwarna merah. Rambut putih jarang riap-riapan berjingkrak di atas kepala di antara empat tusuk konde perak. Ketika si nenek menyeringai dan mengangkat dua tangannya, astaga! Wiro melihat delapan jari Eyang Sinto telah berubah berbentuk delapan pisau tajam warna merah. Jari tengah dilipat ke belakang.

Wiro tahu kalau Eyang Sinto selama ini berada di bawah kekuasaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan otaknya telah dirasuki apa yang disebut ilmu hitam Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak. Tapi dia benar-benar terkejut dan tidak menyangka begitu melihat keadaan sang guru yang seperti itu.

“Guru! Eyang… apa yang terjadi denganmu Eyang!”

Sinto Gendeng menyeringai. Lidah menjulur merah. Dua caling mencuat tambah panjang. Ketika nenek ini mengeluarkan suara, suaranya bukan suara manusia, tapi merupakan ngeong kucing yang keras menakutkan!

“Ya Tuhan!” Wiro kembali mengucap.

Kalau Wiro melihat sosok gurunya seperti itu, demikian juga yang disaksikan oleh Kunti Ambiri. Namun Jaka Pesolek, Ratu Randang dan Sakuntaladewi serta Empu Semirang Biru yang masih berada dalam Ruang Segi Tiga Nyawa yaitu semua orang yang berasal dari Bhumi Mataram melihat si nenek sebagai seorang gadis cantik bertubuh molek dan tubuh serta pakaian menebar bau wangi, bukan bau pesing!

“Wiro, hati-hati… Waktu di Bukit Batu Hangus, gurumu hendak membunuhmu!” Ratu Randang memperingatkan. Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi berjaga waspada. Dari dalam Ruang Segi Tiga Nyawa Empu Semirang Biru yang sudah melihat gelagat tidak baik berteriak keras.

“Lekas bawa masuk pemuda itu kembali ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa!”

Kunti Ambiri dan tiga orang lainnya tersentak lalu cepat bergerak menggotong Wiro kembali. Namun terlambat! Delapan cahaya merah menyembur dari delapan benjolan di kening Sinto Gendeng. Ketika semua orang tersurut kesilauan sosok Sinto Gendeng melesat ke depan. Delapan jari berbentuk pisau berkelebat.

“Dess! Reetttt!”

Ratu Randang menjerit keras. Kunti Ambiri berteriak. Jaka Pesolek tertegun dengan wajah pucat dan mulut terkancing. Hanya Sakuntaladewi yang bisa menguasai diri walau berada dalam keadaan sangat tegang. Semua terjadi dengan sangat cepat. Disaksikan sekian banyak pasang mata yang terkesiap nyaris tak percaya, delapan jari tangan Sinto Gendeng yang menyerupai pisau menggurat di tubuh Wiro mulai dari dada sampai ke pertengahan perut. Tak ada darah mengucur.

Yang terlihat tubuh Wiro terkuak mengerikan demikian rupa di sebelah dada dan perut lalu dua tangan Sinto Gendeng amblas masuk ke dalam tubuh sang murid. Pada saat keluar lagi salah satu tangan memegang sebuah benda bersinar putih berkilau yang bukan lain adalah Kapak Maut Naga Geni 212 yang selama ini memang berada di dalam badan sang pendekar yaitu sejak Kiai Gede Tapa Pamungkas memasukkan senjata sakti mandraguna itu ke dalam tubuhnya.

“Edan! Orang tua itu merampas Kapak Naga Geni Dua Satu Dua! Teriak Kunti Ambiri. Selama di alam delapan ratus tahun mendatang dia tahu banyak kesaktian dan riwayat senjata ini. Sinto Gendeng tertawa cekikikan. Mulut mengeluarkan suara mengeong. Tangan kanan yang memegang kapak sakti dibabatkan setengah lingkaran.

“Wusss!”

Cahaya putih berkiblat disertai suara seperti ribuan tawon mendengung mengamuk. Hawa panas menghampar. Ruangan Segi Tiga Nyawa bergetar. Beberapa bagian dinding tanah merah berguguran. Kunti Ambiri dan tiga orang lainnya cepat jatuhkan diri di tanah. Di dalam ruangan Empu Semirang Biru terduduk pucat, dia kirimkan serangan berupa tiupan ke arah Sinto Gendeng yang dilihatnya sebagai seorang gadis cantik. Namun jarak terlalu jauh. Selain itu dinding Ruang Segi Tiga Nyawa ikut menjadi penghalang.

Ketika semua orang di luar ruangan bangkit berdiri kembali, Sinto Gendeng bersama Kapak Naga Geni 212 telah raib. Wiro terbaring tak bergerak dengan baju robek tersingkap dan di tubuh terlihat ada guratan memanjang seperti luka bertaut yang baru sembuh. Ratu Randang dan Kunti Ambiri berusaha mengejar Sinto Gendeng namun dicegah oleh Empu Semirang Biru.

“Jangan dikejar. Kita semua telah tertipu. Yang datang tadi arwah jejadian Embah Buyut Kumara Gandamayana. Sosoknya telah disusupi mahluk lain berujud gadis cantik. Semua ini jelas pekerjaan dua Sinuhun dibantu anak bernama Dirga Purana.”

“Gadis tadi adalah guru pemuda ini.” Menerangkan Ratu Randang yang membuat Empu Semirang Biru terheran heran.

Kening Empu Semirang Biru mengerenyit, alis mencuat ke atas. “Bagaimana mungkin guru semuda usia muridnya?” Ucapnya. Namun kemudian melanjutkan. “Tapi sudahlah! Di Bhumi Mataram semakin banyak keanehan dan kita semua mungkin akan mati dalam keanehan itu!”

“Empu, aku tidak bisa membiarkan orang mencuri senjata milik sahabatku ini. Aku harus mengejar dan dapatkan senjata itu kembali.” Berkata Kunti Ambiri.

“Aku tetap melarang. Tapi terserah padamu.” Empu Semirang Biru menjawab.

“Kami bertiga juga akan ikut mengejar!” Kata Sakuntaladewi pula.

“Lalu siapa yang akan menolong pemuda itu? Lalu siapa yang akan menyelamatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang masih menancap di atas sana?”

Hanya Kunti Ambiri yang tidak perdulikan ucapan Sang Empu. Sebelum pergi dia mendekati Sakuntaladewi dan Ratu Randang serta Jaka pesolek lalu berkata setengah berbisik.

“Diantara kita harus ada yang tahu dimana guru pemuda itu berada dan kemana Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dibawa. Kalau senjata itu tidak bisa dirampas, tunggu saja riwayat senjata makan tuan! Bukan hanya Wiro yang bakal menemui ajal, tapi kita semua bakal dibantai oleh dua Sinuhun!”

Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek terdiam. Kunti Ambiri meneruskan ucapan. “Nek Ratu, aku akan menyerahkan delapan Bunga Matahari kecil padamu. Berikan pada Wiro jika dia sudah siuman…”

“Bagaimana kalau dia tidak pernah siuman tapi malah mati akibat racun jahat?!” Kata Jaka Pesolek polos-polos saja. Gadis ini langsung bungkam ketika Kunti Ambiri, Ratu Randang dan Sakuntaladewi delikkan mata menatap ke arahnya.

Kunti Ambiri lanjutkan kata katanya. “Nek, jangan lupa menyampaikan pesan Nyi Loro Jonggrang pada Wiro. Aku pergi sekarang.” Lalu gadis cantik alam roh ini keluarkan delapan Bunga Matahari kecil dari balik pakaian hijaunya dan diserahkan pada Ratu Randang. Ketika dia hendak melesat ke atas, siap untuk pergi tiba-tiba Ratu Randang memeluknya erat-erat.

“Nek, kau ini mengapa memelukku segala?” Tanya Kunti Ambiri.

“Ssttt, jangan bicara. Dengar, aku tahu kau punya ilmu bernama membalik Mata Menipu Pandang…”

Kunti Ambiri terkejut. “Eh Nek, dari mana kau tahu…”

“Wiro yang menceritakan. Katanya kau gadis hebat. Dengan ilmu itu katanya dulu kau menyelamatkan diri sewaktu hendak dibunuh Wiro…”

“Lalu apa sangkut pautnya dengan kau memelukku saat ini?” Tanya Kunti Ambiri.

“Aku akan menambah kehebatan ilmu itu. Hingga kau bisa merubah diri menjadi mahluk hidup apa saja agar selamat dari segala macam maksud jahat mahluk lain.” Menjelaskan Ratu Randang.

“Tetapi aku tidak mau sepertimu. Berubah jadi anjing lalu diperkosa…”

“Hik… hik… hik!” Si nenek tertawa. “Kita sudah bersahabat. Aku tak ingin sahabatku kena celaka. Dua Sinuhun dan bocah bernama Dirga Purana itu banyak akalnya. Semua akal, serba jahat dan licik. Apa lagi mereka dibantu pula oleh Kesatria Roh Jemputan. Yang menurut Wiro dijuluki sebagai Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak…”

“Nek, aku tidak mengira kau banyak mendapat cerita dari Wiro.”

“Sssttt …. Bukan hanya cerita. Ciuman juga banyak!” Jawab Ratu Randang lalu tertawa cekikikan dan merangkul tubuh Kunti Ambiri lebih kencang. Saat itu juga gadis alam roh ini merasa ada hawa dingin masuk ke dalam tubuhnya melalui ubun-ubun dan kedua telapak kaki. “Kau tinggal menyebut nama mahluk hidup yang kau inginkan. Setelah mahluk hidup itu terujud, tubuh kasarmu akan pindah ke tempat lain.”

“Terima kasih Nek. Biar kucium dulu dadamu yang besar montok!” Kata Kunti Ambiri pula, Lalu hidungnya disusupkan ke balik dada pakaian Ratu Randang hingga si nenek terpekik, menggeliat kegelian.

“Kalian semua! Lekas gotong pemuda itu dan cepat masuk kembali ke sini!” Tiba-tiba Empu Semirang Biru berseru. “Aku kawatir delapan ekor anak kucing merah masih berada di luar sana.”

Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek segera mengangkat Wiro dan masuk kembali ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa.

TUJUH

DI DALAM Ruang Segi Tiga Nyawa, Wiro dibaringkan di lantai, dua langkah di depan Empu Semirang Biru yang berada dalam keadaan terikat rantai merah yang disebut Rantai Kepala Arwah Kaki Roh. Ratu Randang tegak di samping Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi, memegang delapan Bunga Matahari kecil di tangan kanan.

“Ratu Randang, ketika kau terkena racun Cakar Sukma Merah, Embah Buyut Kumara Gandamayana menolongmu. Jika kau masih ingat cara orang tua gaib itu menyelamatkanmu, sebaiknya segera kau cobakan pada pemuda itu.” Berkata Sakuntaladewi.

Ratu Randang rapikan dada pakaiannya yang tersingkap akibat ciuman Kunti Ambiri tadi lalu menjawab. “Waktu itu Embah Buyut menotok ubun-ubunku lalu meremas tanganku yang luka hingga darah mengandung racun mengucur keluar. Setelah darah berhenti mengucur dia menotok dada kiriku.”

“Ditotok atau diusap Nek?” Bisik Jaka Pesolek. Gadis yang punya ilmu hebat menangkap petir ini langsung menjerit ketik perutnya disambar cubitan Ratu Randang.

Sakuntaladewi menegur. “Sahabatku Jaka Pesolek, sekarang bukan saatnya bergurau!”

Jaka Pesolek senyum cengengesan dan membungkuk-bungkuk sambil berkata. “Maafkan aku… maafkan aku.” Lalu mulut ditepuk-tepuk.

Empu Semirang Biru cepat menengahi. “Ratu, kau tahu semua apa yang dilakukan Embah Buyut. Apakah kau bisa menolong pemuda itu dengan cara yang sama?”

“Aku bisa saja melakukan seperti cara Embah Buyut. Tapi tingkat ilmuku tidak setinggi orang tua itu. Selain itu menurut Embah Buyut, orang yang kena racun Cakar Sukma Merah baru bisa diberi pertolongan kalau tubuhnya dibawa masuk delapan tombak ke dalam tanah. Nah, ini yang tidak bisa aku lakukan. Bagaimana mengukur dan menghitung masuk ke dalam tanah sejauh delapan tombak.”

Ruang Segi Tiga Nyawa menjadi sunyi karena semua orang jadi terdiam. Ratu Randang memperhatikan sosok Wiro dengan perasaan sedih sambil masih terus memegangi delapan Bunga Matahari kecil. Sakuntaladewi tampak sangat tegang hingga wajahnya pucat. Jaka Pesolek unjukkan air muka berubah ketika si nenek dilihatnya mengusap-usap delapan Bunga Matahari sambil melangkah mendekati Wiro dan berlutut di samping sosok sang pendekar. Delapan Bunga Matahari terus diusap, sesekali dicium.

“Nek, apa yang ada dalam benakmu?” Jaka Pesolek bertanya. Tengkuknya mendadak saja dingin tapi dada bergetar.

“Sttt, diam saja. Aku tengah berpikir.”

“Kalau kau berpikir mau mengobati pemuda ini dengan cara mengusapkan delapan Bunga Matahari kecil… Apa kau tidak kawatir kejadian yang lalu akan terulang kembali? Kau lupa apa yang terjadi dengan kita? Bagaimana kalau Wiro bukannya sembuh tapi malah celaka lagi seperti yang kita alami. Dirasuk hawa tidak karuan rasa…”

“Memangnya aku mau mengusap apanya?” Tukas Ratu Randang sambil delikkan mata pada Jaka Pesolek. Lalu nenek cantik ini pejamkan mata dan menarik nafas panjang beberapa kali. Kemudian dia berkata. “Waktu itu aku memang bertindak konyol ceroboh. Sekarang tidak akan aku ulangi. Delapan bunga ini bunga sakti! Berasal dari sekuntum Bunga Matahari besar. Yang melalui tangan Nyi Loro Jonggrang dirobah menjadi delapan bunga kecil. Kita hanya berusaha. Lebih baik melakukan sesuatu dari pada diam saja. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa memberkati. Kalian berdua mengapa tidak segera berdoa agar sahabat kita ini bisa selamat?”

“Nek…” Sakuntaladewi berkata.

Ratu Randang tidak menjawab. Sepasang mata dibuka kembali. Delapan Bunga Matahari kecil didekatkan ke ubun-ubun Wiro lalu diletakkan di atas kening. Dalam hati dia berdoa memohon pertolongan Yang Maha Kuasa. Perlahan-lahan delapan bunga diusap ke wajah yang ada goresan tiga luka. Usapan diteruskan ke dada dimana terdapat dua goresan luka. Gerakan tangan Ratu Randang berhenti sesaat.

Sepasang mata menatap bekas luka memanjang mulai dari dada sampai ke perut. Yaitu bekas dua tangan Sinto Gendeng merobek perut dan mengambil Kapak Naga Geni 212. Setelah menarik nafas dalam nenek ini gerakkan tangan kanan yang memegang delapan Bunga Matahari kecil. Delapan bunga menyentuh bekas luka di perut. Ketika delapan bunga bergerak mendekati pusar, Jaka Pesolek tidak tenang lagi. Cepat dia ulurkan tangan, memegang lengan si nenek.

“Cukup sampai di situ Nek. Aku tidak mau terjadi hal yang macam-macam. Kau mungkin sudah kapok berbuat konyol. Tapi kalau kebetulan ada setan lewat lalu mengusilimu?! Kalau Yang Maha Kuasa menakdirkan sahabat kita ini sembuh maka dia akan sembuh. Kalau tidak, jangan ditambah penderitaannya.”

“Jaka Pesolek benar Nek,” Kata Sakuntaladewi yang berdiri di samping kiri Ratu Randang. Gadis berkaki tunggal yang punya kaul akan mengambil Wiro jadi suaminya ulurkan tangan untuk mengambil delapan Bunga Matahari kecil dari tangan si nenek.

Pada saat itulah mendadak Ruang Segi Tiga Nyawa bergoyang keras. Atap laksana mau runtuh. Lantai seperti hendak amblas dan tiga sisi dinding seolah akan roboh! Ratu Randang, Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi berusaha mengimbangi diri agar tidak jatuh terbanting. Namun tetap saja mereka terhuyung keras lalu... braakk!

Ketiganya jatuh tergeletak di lantai ruangan. Empu Semirang Biru meniup berulang kali, menghimpun tenaga agar tidak terguling. Goncangan yang begitu keras membuat orang tua ini hampir tersandar ke salah satu dinding ruangan, dada turun naik, nafas terengah. Anehnya sosok Wiro yang terbaring di lantai sedikitpun tidak bergerak atau beranjak.

Di sebelah atas. Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang menancap di atap bergetar keras membersitkan tujuh cahaya pelangi. Sedikit demi sedikit bagian gagang yang menancap di atas bergerak ke bawah. Ada kekuatan aneh seperti menarik senjata ini agar lepas dari atap ruangan! Namun kekuatan yang menahan keris agar tetap berada di tempatnya tak kalah hebat! Akibatnya badan keris bergetar keras dan atap ruangan ikut bergoyang! Tiba-tiba di atas atap terdengar suara ngeongan kucing disusul suara cakaran berulang. kali. Wajah Empu Semirang Biru berubah.

“Ada mahluk coba menerobos masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa.” Sang Empu membatin. Lalu dia berdoa. “Hyang Jagat Bathara, lindungi ruangan yang telah Kau ciptakan untuk keselamatan ini. Lindungi keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Lindungi kami semua yang ada di sini.”

Tiba-tiba selarik sinar kuning memancar di atas atap lalu lenyap, goyangan yang mengguncang ruangan berhenti. Suara ngeongan dan cakaran kucing menggelegar lalu sirna. Suasana di Ruang Segi Tiga Nyawa berubah sunyi laksana di pekuburan. Ratu Randang yang pertama kali berdiri. Nenek cantik ini menjerit keras ketika dia memandang ke arah sosok Pendekar 212.

“Nek! Ada apa?!" Tanya Sakuntaladewi yang segera pula berdiri disusul oleh Jaka Pesolek sementara Empu Semirang Biru yang masih tersandar di dinding memperhatikan dari sudut ruangan, berusaha agar bisa duduk bersila kembali di lantai. Setelah meniup dua kali orang tua ini akhirnya mampu menggerakkan tubuh dari dinding dan duduk bersila di lantai seperti sebelumnya.

Ratu Randang tidak berani terus memandang. Dia membalikkan tubuh seraya berkata. “Kasihan. Hyang Jagatnatha! Mohon ampunMu! Aku tidak bisa menolongnya.” Si nenek tutup wajah dengan tangan kiri sambil menahan isak. Kepala disandarkan ke dinding.

Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek berpaling ke arah sosok Wiro. Keduanya sama-sama keluarkan seruan kaget. Saat itu Wiro terbujur tak bergerak. Dari ubun-ubun, liang telinga, dua lobang hidung, sudut mata serta mulut mengucur darah merah kehitaman. Wajahnya sepucat mayat. Walau takut namun Jaka Pesolek beranikan diri mendekati Wiro. Ketika dia memegang tangan sang pendekar, gadis ini terpekik, Tangan itu terasa dingin! Jaka Pesolek bersurut mundur, berpaling dan memandang ke arah Ratu Randang.

“Sang Hyang Widhi! Sudah takdir bagiku akan menerima azab cacat seumur hidup! Wahai Para Dewa di Kahyangan, mengapa tidak sekalian nyawaku diambil juga.” Sakuntaladewi meratap. Tubuhnya yang terasa lemas perlahan-lahan terkulai berlutut di lantai. Kepala tertunduk.

“Aku belum sempat belajar ilmu membuat petir padanya, kini dia sudah tiada….” Jaka Pesolek sesunggukan dan tekap wajah dengan dua tangan sambil sandarkan tubuh ke badan Ratu Randang.

Di sudut ruangan Empu Semirang Biru berkata. “Hidup dan mati seorang insan hanya Yang Maha Kuasa yang menentukan. Apa yang sudah jadi takdir-Nya tidak seorangpun bisa menolak. Kita semua harus bersyukur.”

“Empu teganya kau berkata begitu!” Ratu Randang berteriak tapi masih terus menyandarkan kening ke dinding ruangan. “Kau ajak kami mensyukuri kematian seorang sahabat. Seorang Kesatria yang diharapkan bisa menyelamatkan Bhumi Mataram!”

“Kalian dari tadi memalingkan wajah, memejamkan mata dan menundukkan kepala hingga tidak melihat apa yang terjadi. Angkat kepala kalian. Memandanglah ke arah pemuda itu. Yang Maha Kuasa telah memberikan rakhmat luar biasa berupa kehidupan, bukan kematian!” Walau Empu Semirang Biru bicara penuh semangat namun air mukanya terlihat tidak gembira.

“Orang tua ngacok!” Ucap Jaka Pesolek. “Darah keluar dari mana-mana, dada tidak bergerak. Tubuh sudah dingin kaku. Kau masih bisa bilang bukan kematian!”

DELAPAN

TIBA-TIBA dalam ruangan ada suara orang batuk. Sakuntaladewi angkat kepala. Ratu Randang dan Jaka Pesolek sama berpaling. Ketiganya memandang ke tengah ruangan dimana saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng tampak tengah berusaha bangun dan duduk di lantai. Walau mulut menyemburkan darah ketika batuk namun darah yang sebelumnya keluar dari ubun-ubun, hidung, mata dan telinga telah berhenti mengucur. Guratan luka di wajah, dada dan di tubuh yaitu luka memanjang sampai ke perut lenyap tak berbekas.

“Wiro!”

Ketiga orang itu sama sama menjerit. Empu Semirang Biru mengusap dada, mata dipejam. Sulit diduga bagaimana perasaannya saat itu. Sakuntaladewi keluarkan sehelai sapu tangan jingga. Jaka Pesolek tahu apa yang hendak dilakukan gadis berkaki satu itu. Cepat dia mengambil sapu tangan jingga seraya berkata.

“Sahabat, biar aku yang membersihkan noda darah di kepala dan wajah kekasihmu itu!”

Untuk beberapa lama Sakuntaladewi tertegun tak bergerak serasa masih tak percaya sebelum akhirnya dia kembali berteriak menyebut nama Wiro, terisak isak lalu memeluk sang pendekar. Ratu Randang berdiri menatap tak berkesip ke arah Wiro lalu perhatikan delapan Bunga Matahari kecil di tangan kanannya.

“Bunga Matahari… Apakah delapan bunga sakti ini yang memberikan kesembuhan pada Wiro?” Si nenek bertanya-tanya dalam hati lalu berlutut di samping Jaka Pesolek yang sibuk membersihkan noda darah. “Wiro, apa yang telah terjadi dengan dirimu. Kau tadi… kau tadi sepertinya sudah tidak bernafas, tahu-tahu hidup lagi.”

“Sahabat bertiga, aku melihat mata kalian pada merah tanda habis menangis. Apa betul aku tadi sudah mati? Aku jadi bingung. Kalau begitu saat ini aku sebenarnya sudah jadi hantu!” Wiro keluarkan ucapan yang membuat semua orang terperangah walau dia berkata dengan senyum-senyum dan sambil menggaruk kepala. Dia tambahkan candanya sambil memandang ke bawah. “Ah, aku belum jadi hantu. Buktinya aku berdiri, dua kaki masih menjejak lantai. Ha…ha…ha!”

“Anak muda Kesatria Panggilan.” Empu Semirang Biru menegur. “Sebaiknya kita saling memberi penjelasan. Kau memberi tahu apa yang terjadi dengan dirimu sebelumnya dan kami akan menceritakan apa yang terjadi dengan dirimu di Ruang Segi Tiga Nyawa ini. Setelah itu kita akan melakukan satu pekerjaan besar.”

“Pekerjaan apa, Kek?” Tanya Wiro setelah terlebih dulu membungkuk, memberi hormat. Dia heran melihat keadaan si kakek yang dibelit rantai merah. Empu Semirang Biru menatap ke atas atap ruangan.. “Mengambil dan menyelamatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang ada di atas sana.”

Wiro mendongak, memandang ke atas atap ruangan. Dari cahaya yang memancar mengelilingi tubuh keris yang berluk sembilan itu dia sudah bisa mengetahui kalau senjata tersebut merupakan satu senjata sakti mandraguna. Empu Semirang Biru lalu menuturkan secara singkat, riwayat senjata yang dibuatnya atas perintah Raja Mataram itu. Termasuk petir yang menyambar dari keris jika ada orang mendekati untuk mengambilnya.

“Hanya gadis bernama Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi yang sanggup mengambil senjata bertuah itu. Itu sebabnya Para Dewa telah mengatur hingga keduanya berada di tempat ini.”

“Kek, turut bicaramu ruang ini bernama Ruang Segi Tiga Nyawa. Para Dewa yang menciptakan untuk melindungi Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Kalau keris itu diambil lalu siapa yang menyimpannya? Akan dibawa ke Kotaraja untuk diserahkan pada Raja Mataram? Bukankah terlalu berbahaya bila keris berada di luaran sana dimana dua Sinuhun dan anak buahnya berkeliaran? Bukankah ruangan ini lebih memberi perlindungan pada senjata tersebut?”

“Kau benar anak muda. Tapi bagaimana kalau dua Sinuhun dengan bantuan bocah sakti bernama Dirga Purana suatu ketika mampu menembus atap atau dinding ruangan, atau menjebol lantai. Masuk ke dalam ruangan dan mengambil keris.”

“Mahluk yang akan mengambil akan hancur musnah dihantam petir yang keluar dari keris. Bukan begitu menurut cerita Empu?”

“Bukan cuma cerita, tapi kenyataan.” Kata Sakuntaladewi pula. Lalu gadis ini menceritakan apa yang terjadi ketika dia mencoba mengambil keris sakti. Kepada Wiro diperlihatkannya pakaiannya yang hangus disambar kilatan petir yang keluar dari keris sakti. Lalu Sakuntaladewi juga menerangkan sewaktu Dewi Ular alias Kunti Ambiri pergunakan sepuluh ular jejadian untuk mengambil keris. Sepuluh binatang itu musnah!

“Aku juga menaruh kawatir,” kata Empu Semirang Biru pula. ”Mungkin saja dua Sinuhun atau mahluk utusannya sudah membekal ilmu penangkal mementahkan serangan petir. Keris sakti itu merupakan satu satunya senjata yang bisa mengembalikan Sakuntaladewi pada ujud aslinya, seorang gadis berkaki dua. Tentunya setelah kau lebih dulu bersedia dijadikan suaminya. Lalu keris itu pula satu-satunya senjata saat ini yang bisa memutus rantai besi merah yang melibat sekujur tubuhku.”

Wiro terdiam, menggaruk kepala. Ucapan sang Empu bahwa kemungkinan Sinuhun Merah telah punya ilmu penangkal dan keris sakti merupakan satu satunya senjata yang bisa melenyapkan cacat di kaki Sakuntaladewi bisa diterimanya. Tapi kalau keris sampai dikeluarkan dari ruang perlindungan, ini yang tidak masuk jalan pikirannya.

“Waktu kita semakin sempit. Anak muda, harap kau mau memberi tahu apa yang terjadi dengan dirimu sebelumnya.” Kata Empu Semirang Biru pula.

Wiro lalu menceritakan kejadian ketika dia tengah mengejar Jaka Pesolek masuk ke dalam tanah mendadak dihadang delapan ekor anak kucing berbulu merah.

“Delapan Sukma Merah,” kata Empu Semirang Biru. “Kesatria Panggilan, aku sudah menduga kalau binatang peliharaan bocah bernama Dirga Purana itu yang menyerangmu.”

Ratu Randang lalu menuturkan bagaimana sebelumnya ketika berada di Candi Kalasan dia telah diserang dan hampir dibantai delapan ekor anak kucing itu. Namun bisa selamat karena ditolong oleh seorang, kakek sakti dari alam gaib yang menurut Empu Semirang Biru adalah Embah Buyut Kumara Gandamayana.

“Apakah kakek itu juga yang telah menyelamatkan diriku?” Wiro bertanya.

“Tiga sahabatmu itu yang telah menolongmu,” jawab Empu Semirang Biru.

Wiro berpaling, menatap pada tiga orang yang berada di depannya lalu berkata. “Kalau begitu aku harus mengucapkan terima kasih pada kalian bertiga!” Wiro lalu memeluk satu persatu Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek.

Jaka Pesolek pergunakan kesempatan untuk balas merangkul Wiro berlama-lama. Tersipu-sipu dia baru melepas pelukan setelah Ratu Randang menarik tangannya. Sakuntaladewi mengambil kembali sapu tangannya yang tadi dipergunakan membersihkan darah di kepala, wajah serta dada Wiro lalu disimpan di balik pakaian.

“Wiro, aku yakin kesaktian delapan Bunga Matahari kecil ini yang telah menyembuhkan dirimu. Kau ingat peristiwa ketika Nyi Loro Jonggrang memberikan sekuntum Bunga Matahari besar padamu? Bunga yang delapan ini berasal dari yang besar itu. Kami menerima amanat dari Nyi Roro Jonggrang. Bunga ini harus diserahkan padamu.” Ratu Randang dengan cepat susupkan delapan Bunga Matahari kecil ke pinggang Wiro. “Ada pesan dari Nyi Loro…”

“Nek, tunggu dulu,” Wiro memotong ucapan Ratu Randang. “Ketika berada di luar ruangan aku melihat Kunti Ambiri ada di sini…”

“Gadis itu pergi mengejar gurumu yang telah mengambil senjata berbentuk kapak yang ada dalam tubuhmu.”

Wiro tersentak kaget. Dia baru sadar dan ingat. Ketika digotong menemui kakek bersorban dan berjubah kelabu, di dalam tubuh si kakek samar-samar dia melihat sosok Eyang Sinto Gendeng. Setelah itu ada delapan cahaya merah menyilaukan menyambar ke arahnya dan dia tidak ingat apa-apa lagi. Wiro usapkan dua tangan ke dada, lalu berucap gemetar. Dia tidak merasa ada hawa hangat masuk ke dalam telapak tangannya!

“Kosong… hampa! Ya Tuhan! Kapak Naga Geni Dua Satu Dua tak ada lagi dalam tubuhku!” Wiro tersandar ke dinding ruangan. Mata menatap ke arah tiga orang di depannya dengan pandangan kosong. Mulut berucap perlahan. “Aku tak percaya! Eyang mengambil kapak sakti milikku. Bagaimana. caranya? Selain diriku hanya Kiai Gede Tapak Pamungkas yang mampu memasukkan dan mengeluarkan senjata sakti itu dari tubuhku! Tidak mungkin Eyang Sinto bisa melakukan! Karena semua adalah pekerjaan gaib.”

“Wiro, kau tahu gurumu telah dicuci otaknya oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah.” Berkata Ratu Randang.

Wiro terdiam. Dia memang sudah tahu hal itu.

“Kami bertiga menyaksikan sendiri apa yang terjadi! Juga Empu Semirang Biru!” Kata Sakuntaladewi pula. “Gurumu membelah tubuhmu di bagian dada sampai ke perut. Semua terjadi sangat cepat. Luar biasa mengerikan!”

Wiro merinding. Lalu perhatikan dan usap-usap dada serta perutnya. “Eyang Sinto membelah tubuhku? Aneh, mengapa tidak ada bekasnya!”

"Itu berkat delapan Bunga Matahari yang diusapkan nenek ini ke dada dan perutmu.” Yang menjawab Jaka Pesolek. “Sebetulnya aku mau juga mengusapkan, tapi nenek ini tak memberi kesempatan. Mungkin mengharap ciuman tambahan…”

“Husss! Ratu Randang membentak sambil pelototkan mata.

Jaka Pesolek cepat-cepat menjauh. Takut dipelintir lagi perutnya dengan cubitan.

“Aku akan ceritakan apa yang terjadi dan aku lihat,” Empu Semirang Biru berkata lalu memberitahu Wiro apa yang terjadi. Dia juga menyatakan rasa herannya bahwa guru yang dipanggil dengan sebutan Eyang itu ternyata seorang gadis cantik.

“Empu, aku tidak tahu bagaimana kejadiannya orang-orang di Bhumi Mataram melihat guruku seperti seorang gadis cantik. Sementara aku tetap melihatnya seperti apa adanya, yaitu ujud seorang nenek. Seperti kata Ratu Randang, aku yakin Eyang Sinto berbuat jahat bukan maunya. Dia telah dikuasai oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Otaknya telah dicuci dengan ilmu hitam bernama Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak Celaka, pasti semua yang terjadi sudah diatur dan dibawah kendali Sinuhun Merah. Kapak Naga Geni Dua Satu Dua pasti akan diserahkan Eyang Sinto pada mahluk jahanam itu. Kek, sahabat semua, aku harus mengejar Eyang Sinto. Mencegah agar kapak sakti tidak jatuh ke tangan Sinuhun Merah. Walau Kunti Ambiri sudah melakukan pengejaran tapi tanggung jawab senjata sakti itu ada di tanganku!”

“Aku akan menemanimu!” Kata Jaka Pesolek.

“Aku juga!” Kata Ratu Randang dan Sakuntaladewi berbarengan.

“Kesatria Panggilan, kau memang wajib membela dan menyelamatkan gurumu. Kalau dia sampai menemui ajal di tangan Sinuhun Merah dan kau tidak berbuat apa-apa, kau akan menyesal seumur hidup. Kau akan dicap sebagai murid yang tidak berbakti kepada guru. Selain itu kau juga harus mendapatkan kapak sakti milikmu itu kembali. Aku tidak akan kecewa kalau kau pergi. Tapi kuharap paling tidak Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi tetap di sini. Keris Kanjeng Sepuh Pelangi harus segara diambil dari atas atap sana!”

“Kek, keris itu cukup aman selama berada dalam ruangan ini,” kata Jaka Pesolek meniru ucapan Wiro karena dia sudah tidak betah lagi berada di tempat itu.

Wajah Empu Semirang Biru berubah. Dia berpaling dan menatap Sakuntaladewi. “Aku mohon kau dan Jaka Pesolek mementingkan senjata itu. Kalau keris sudah didapat dan kalian menyerahkannya padaku, kalian mau pergi kemana aku tidak akan perduli. Aku berkewajiban menyerahkan keris itu pada Raja Mataram karena senjata itu lenyap dari tanganku di tempat kediamanku di Gunung Bismo. Tapi sebelum kalian pergi biar aku ingin berbakti dulu yaitu agar dapat melenyapkan kutuk hitam yang selama ini telah menyengsarakan dirimu…”

Mendengar ucapan Empu Semirang Biru yang terdengar lirih itu Sakuntaladewi menjadi bimbang. Dia memandang ke arah Jaka Pesolek. Ketika dia hendak menoleh ke arah Wiro, astaga! Sang pendekar sudah tidak ada lagi di tempat itu!

“Kek! Kalaupun keris itu kita dapatkan, tapi bagaimana kau bisa mengembalikan ujudku karena Wiro tak ada lagi di sini?! Bukankah dia harus mengucapkan kata, janji atau sumpah bahwa dia akan bersedia menjadi suamiku?”

“Sakuntaladewi, hal itu tidak perlu terlalu kau kawatirkan. Jika Para Dewa telah menentukan dia bakal menjadi suamimu, maka dia akan menjadi suamimu. Jika Yang Maha Kuasa menentukan kau akan sembuh tanpa kehadiran pemuda itu maka kau akan sembuh.”

"Dewi Kaki Tunggal,” kata Jaka pesolek dengan menyebut nama julukan si gadis. “Kita harus mengejar Wiro secepatnya. Lebih baik kita segera menurut saja apa yang diminta Empu biar kita bisa pergi lebih cepat dari sini.”

“Jaka Pesolek, ternyata kau memiliki hati dan jalan pikiran yang lebih jernih. Aku berterima kasih padamu. Sahabatmu Sakuntaladewi pasti mau menolong.Bukan menolong diriku saja. Tapi yang jauh lebih penting adalah kalian akan menolong Raja Mataram dan menyelamatkan Kerajaan dari mahluk-mahluk jahat pimpinan Sinuhun Merah Penghisap Arwah.”

Merasa hiba pada sang Empu dan merasa Jaka Pesolek berucap benar maka Sakuntaladewi akhirnya anggukkan kepala. “Kek, kami berdua akan bekerjasama mengambil keris sakti itu.”

“Hyang Jagat Bathara! Aku sangat berterimakasih. Para Dewa akan memberkati kesembuhanmu wahai Sakuntaladewi.” Kata Empu Semirang Biru dengan wajah berseri. Lalu lagi-lagi dia kembali mendengar suara mengiang di telinga kiri. Tubuhnya yang duduk bersila bergerak ke atas seujung kuku lalu turun lagi ke lantai. Tidak seorangpun di dalam ruangan melihat kejadian ini.

* * *

SEMBILAN

KELUAR dari Ruang Segi Tiga Nyawa Pendekar 212 Wiro Sableng dapatkan diri berada di kawasan Candi Plaosan Lor. Saat itu mentari mulai condong ke barat namun cahayanya masih terasa sangat terik, memerihan kulit, mendenyut benak. Tidak tahu mau mencari dan mengejar Eyang Sinto Gendeng kemana, setelah memandang berkeliling memperhatikan beberapa candi yang ada di tempat itu, Wiro akhirnya mendatangi salah satu candi, duduk di bagian tangga yang terlindung dari sorotan sinar matahari. Sesekali angin bertiup kencang menerbangkan debu ke udara. Wiro perhatikan keadaan pakaiannya yang kotor dan robek. Sang pendekar goleng-goleng kepala lalu menggerutu sendiri.

“Gembel saja mungkin lebih baik keadaannya dari diriku saat ini!” Kemudian Wiro ingat pada senjatanya yang hilang. “Kalau aku tidak bisa mendapatkan Kapak Naga Geni kembali, tidak dapat menyelamatkan Eyang Sinto serta tidak bisa mencari tahu dimana beradanya Ni Gatri, rasanya celaka habis diriku ini!”

Wiro lunjurkan tubuh di atas tangga, mata dipejam, kepala digaruk. Dia coba mengingat kejadian yang baru saja dialami. “Ruang Segi Tiga Nyawa. Nama aneh. Kenapa disebut begitu? Empu Semirang Biru. Kakek yang katanya pembuat Keris Kanjeng Sepuh pelangi itu, dia juga aneh. Dari mana dia tahu kalau aku dijuluki Kesatria Panggilan? Padahal tidak ada yang memberi tahu! Wajar-wajar saja kalau dia sangat mementingkan keris sakti yang menancap di atap ruangan. Padahal selama tetap berada di dalam ruangan perlindungan Dewa senjata itu akan aman-aman saja. Tapi kelihatannya, aku merasa dia tidak suka aku berlama-lama, berada dalam ruangan itu. Dengan alasan aku harus mendapatkan kapak serta menyelamatkan Eyang Sinto dia lebih suka aku pergi. Kenapa?”

Wiro menggaruk kepala kembali lalu membatin. “Ah, sudahlah. Mengapa semua itu harus aku pikirkan. Tapi tidak dipikir memang jadi pikiran. Eh, kalau urusan keris sudah selesai, bagaimana Ratu Randang, Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi keluar dan dalam ruangan di dalam tanah itu? Apakah Empu Semirang Biru punya ilmu kesaktian untuk mengeluarkan mereka? Seharusnya aku mengajak Ratu Randang bersamaku. Mungkin dia bisa menolong mencari dimana beradanya Eyang Sinto atau membuntuti Kunti Ambiri. Nenek genit itu punya ilmu menjajagi orang. Selain itu dia pasti tahu dimana sarangnya Sinuhun Merah. Aku jadi kawatir. Tapi urusan sendiri laksana gunung batu membebani diriku…”

Wiro usap-usap bibirnya lalu tersenyum sendiri. “Nenek tukang cium. Berapa ciuman lagi yang masih bersisa? Aku tidak menghitung!”

Wiro kemudian ingat pada kuda lumping yang menjadi tumpangannya sewaktu masuk ke Bhumi Mataram alam delapan ratus tahun sebelumnya. Dimana beradanya kuda lumping itu tidak diketahui.

“Tanpa kuda lumping itu aku tidak mungkin kembali ke alam delapan ratus tahun mendatang. Juga Eyang Sinto dan Ni Gatri. Apa yang harus aku lakukan? Siapa yang bisa menolong? Jangan-jangan sudah ditakdirkan aku tidak bisa kembali. Celaka besar! Edan semua!” Wiro bantingkan kaki kanannya ke tanah lalu berdiri.

Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara jeritan panjang. Ketika Wiro memandang ke atas di udara dia melihat sebuah benda kehijauan melayang jatuh dari balik atap bangunan candi paling besar. Benda inilah yang mengeluarkan jeritan. Lalu ada cairan merah bertebaran diudara. Darah!

“Burung? Kenapa besar sekali? Kalau burung mana bisa menjerit seperti manusia? Kelihatannya sosok itu terluka.” Wiro berpikir. Sewaktu benda yang melayang jatuh itu hanya tinggal sekitar delapan tombak akan mencapai tanah kaget Pendekar 212 bukan alang kepalang ketika dia mengenali!

“Kunti Ambiri!” Teriak Wiro.

Ternyata yang melayang jatuh adalah sosok Kunti Ambiri alias Dewi Ular. Dalam kejut dan bingungnya Wiro masih bisa berpikir. Kalau dia langsung berusaha menangkap tubuh gadis alam roh itu mungkin dia akan kesulitan menahan daya berat jatuhnya tubuh. Bisa-bisa tangkapannya lepas jebol dan Kunti Ambiri tetap saja terbanting jatuh ke tanah.

Tidak menunggu lebih lama Wiro melompat satu tombak ke depan dan berdiri tepat dibawah sosok yang akan jatuh. Dua lutut ditekuk, dua tangan diangkat lalu perlahan-lahan didorong ke atas sambil merapal aji kesaktian Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih. Dua gelombang angin menderu ke udara, menghadang sosok Kunti Ambiri, membuat gerakan jatuh yang kencang tertahan seketika lalu diredam demikian rupa.

Walau tubuh kemudian masih terus melayang ke bawah namun gerakannya berubah perlahan. Sebelum menyentuh tanah Wiro dengan cepat menangkap dan merangkul tubuh si gadis lalu dibaringkan di tempat keteduhan di bawah sebatang pohon. Ketika Wiro memperhatikan keadaan sosok Kunti Ambiri, dadanya berdebar, tengkuk merinding. Tubuh itu sama sekali tidak bergerak. Mata setengah nyalang, wajah pucat pasi dan di leher ada satu luka panjang menguak. Dari luka ini mengucur darah merah kehitaman, membasahi dada dan pakaian.

“Kunti!” Wiro berteriak. Dengan kedua tangannya dia menekan dada si gadis dan alirkan tenaga dalam serta hawa sakti. Dari mulut Kunti Ambiri keluar suara erangan pendek. Wiro lipat gandakan kekuatan tenaga dalam dan hawa sakti. Lalu membuat beberapa totokan di tubuh sebelah atas serta leher si gadis. Namun darah masih terus mengucur dari luka di leher dan Kunti Ambiri masih tidak sadarkan diri.

“Cakar Sukma Merah. Pasti dia terkena serangan mengandung racun ganas itu!” Pikir Wiro. “Siapa yang melakukan? Delapan anak kucing merah yang pernah menyerang dan mencelakai diriku?”

Wiro ulurkan tangan kanan, telapak diletakkan di atas kening Kunti Ambiri lalu kembali dia mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. Tetap saja gadis itu tidak bergerak. Wiro menghela nafas dalam, tidak tahu mau berbuat apa untuk menolong Kunti Ambiri. Saat itulah dia mencium bau tidak enak. Walau pakaian tipis hijau dan tubuh Kunti Ambiri menebar bau wangi, namun bau wangi itu kalah oleh bau lain yang barusan terhendus.

“Bau pesing!” ucap Wiro perlahan. Dia kenal betul bau itu. Wiro memandang berkeliling. “Eyang Sinto, apa kau ada di sini!”

Tak ada jawaban. Wiro memperhatikan ke arah candi besar dan beberapa candi lainnya di kawasan itu, juga memperhatikan ke atas pohon. Tidak kelihatan siapapun, Wiro arahkan perhatiannya kembali pada Kunti Ambiri. Pandangannya membentur sebuah benda yang tergenggam dalam kepalan tangan kanan si gadis. Benda itu adalah robekan secarik kain hitam basah yang cukup lebar, sebagian terkepal dalam genggaman Kunti Ambiri.

“Robekan kain… Apakah mungkin…?” Wiro dekatkan hidungnya ke tangan kanan si gadis. Begitu menghendus, kepala serta merta ditarik menjauh. Tampang sang pendekar jadi mengkeret. “Betul bau pesing Eyang Sinto! Robekan kain basah itu pasti robekan pakaiannya… Bagaimana bisa berada dalam genggaman Kunti Ambiri!”

Wiro berpikir. Dia ingat keterangan Ratu Randang sewaktu berada di Ruang Segi Tiga Nyawa. Si nenek menceritakan kalau Kunti Ambiri pergi mengejar Eyang Sinto Gendeng yang telah merobek tubuhnya dan mengambil Kapak Naga Geni 212. Lalu dia ingat pula akan perubahan yang dilihatnya pada diri sang guru. Mulut bertaring, kuku jari tangan mencuat seperti pisau, suara berubah seperti kucing mengeong!

“Bukan mustahil Eyang Sinto yang telah mencelakai gadis ini!” Pikir Wiro. “Apa yang harus aku lakukan? Kalau tidak segera ditolong Kunti Ambiri pasti menemui ajal!”

Wiro berlutut di samping tubuh si gadis. Tangan kanan berulang kali mengusap kening Kunti Ambiri. Di masa lalu si gadis adalah salah satu musuhnya yang paling jahat. Tapi saat itu dia merasa sangat terpukul kalau Kunti Ambiri benar-benar menemui kematian. Apa lagi kalau si pembunuh sebenarnya memang adalah Eyang Sinto Gendeng walau si nenek berbuat diluar kesadaran. Wiro dekatkan mukanya ke wajah sebelah kiri Kunti Ambiri. Setelah mencium pipinya, dia berbisik ke telinga si gadis.

“Kunti, aku tahu kau dalam keadaan pingsan. Tapi aku juga tahu Gusti Allah akan memberi kemampuan padamu untuk mendengar. Kunti, kau dulu adalah musuhku paling jahat. Aku bahkan pernah membunuhmu! Tapi sekarang kau adalah sahabat paling dekat dan aku sayangi. Dengar Kunti, berdoalah walaupun hanya dalam hatimu. Berdoalah pada Yang Maha Kuasa mohon keselamatan. Gusti Allah pasti akan mendengar doa orang teraniaya sepertimu!”

Wiro lalu mencium kening Kunti Ambiri. Tiba-tiba dia merasa ada getaran-getaran hebat di dalam tanah di pedataran Candi Plaosan. Lapat-lapat dia juga mendengar suara seperti teriakan orang disertai bentakan bentakan. Wiro terkesiap.

“Sesuatu terjadi di bawah tanah sana. Mungkin dalam Ruang Segi Tiga Nyawa. Aku kawatir kalau-kalau…”

Mendadak di kejauhan terdengar suara tambur dan tiupan seruling. Udara berubah menjadi agak teduh.

“Dua manusia aneh. Si pemukul tambur dan peniup seruling. Kalau dia muncul biasanya…" Dua bayangan terlihat di atas bangunan Candi Plaosan paling besar. “Benar mereka! Sepasang Arwah Bisu. Kakek nenek Sakuntaladewi…” Wiro menatap tak berkesip.

SEPULUH

DI ATAS menara paling tinggi Candi Plaosan terlihat sepasang kakek nenek berselempang kain putih mengambang di udara. Sementara di kejauhan suara tambur dan suling terdengar semakin keras. Maklum kalau dua kakek nenek alam gaib itu muncul untuk satu maksud tertentu Wiro segera menjura membungkuk memberi penghormatan.

Kakek di atas bangunan candi segera menggerakan dua tangan dan jari-jari, membuat bahasa bicara orang bisu sementara si nenek menampung dua tangan seolah tengah berdoa. Wiro yang telah mendapat ilmu bicara ini dari Nyi Loro Jonggrang cukup mengerti apa yang disampaikan si kakek.

“Ketika bingung memang insan bisa menjadi linglung. Ketika dilanda ketegangan manusia bisa lupa pada Kekuatan dan Kuasa Para Dewa. Anak muda, kau membekal delapan Bunga Matahari sakti. Dengan bunga itu orang pernah menyembuhkan luka akibat Cakar Sukma Merah dan menyelamatkan jiwamu. Mengapa sekarang bunga sakti tidak dipergunakan untuk menyelamatkan sahabat yang teraniaya dan yang sebenarnya hari demi hari berlalu sangat mencintai dirimu? Kekuatan cinta yang ada di dalam dirinya merupakan sebagian kekuatan yang diberikan Yang Maha Kuasa hingga tekadnya untuk sembuh dan hidup lebih kuat dari tiupan badai di pedataran Bromo! Tolong dia dengan delapan Bunga Matahari itu. Usapkan delapan bunga Matahari ke luka di lehernya. Sekarang juga!”

Pendekar 212 Wiro Sableng melengak kaget. Bukan saja karena ucapan bahasa bisu si kakek menyadarkan dan mengingatkannya tentang delapan Bunga Matahari yang ada padanya yaitu diberikan oleh Ratu Randang ketika masih berada di Ruang Segi Tiga Nyawa, tapi lebih hebat dari itu adalah ucapan yang mengatakan bahwa Kunti Ambiri mencintai dirinya dan kekuatan cinta si gadis merupakan tekad kekuatan luar biasa hebat untuk sembuh dan bertahan hidup.

Wiro menatap sebentar ke arah Kunti Ambiri. Ketika dia memandang lagi ke bagian atas Candi Plaosan sosok dua kakek nenek telah memudar samar. Wiro cepat gerakkan dua tangan dan jari jemari menyampaikan ucapan terima kasih atas petunjuk si kakek. Di kejauhan kembali terdengar suara tambur dan suling, bayangan Sepasang Arwah Bisu lenyap dari pemandangan.

Dari balik pakaiannya yang robek dengan cepat Wiro mengeluarkan delapan kuntum Bunga Matahari kecil. Bunga dipegang erat, ditempelkan ke leher yang luka lalu perlahan lahan disapukan pulang balik dua kali berturut turut. Pada sapuan ke tiga Wiro melihat delapan Bunga Matahari bergetar, memancarkan cahaya coklat, kuning dan hijau. Di langit terdengar suara kucing mengeong riuh.

Desss!

Asap tiga warna mengepul dari leher Kunti Ambiri. Begitu pupus Wiro melihat luka di leher si gadis telah lenyap tanpa bekas sedikitpun. Kunti Ambiri mengerang pendek. Tubuh menggeliat, dalam keadaan miring dan mencoba bangkit gadis ini muntahkan darah merah kehitaman. Wiro cepat memeluk si gadis. Meletakkan delapan bunga di atas kepalanya dan berbisik,

“Kunti kau pasti sembuh! Kau pasti sembuh! Dua kakek nenek bisu terima kasih kau telah memberi petunjuk. Gusti Allah terima kasih Kau telah menolong sahabat saya.” Wiro merasa ada dua tangan merangkul punggungnya.

Ada suara mengisak disusul ucapan. “Wiro, kaukah ini?”

Wiro anggukkan kepala.

“Aku sangat berterima kasih kau menolongku…”

“Sshhh, berterima kasih pada Gusti Allah. Yang Maha Kuasa…”

Kunti Ambiri gelengkan kepala lalu sesenggukan dan memeluk Wiro lebih kencang. “Aku… aku…”

“Aku kenapa Kunti!” Tanya Wiro karena si gadis tidak meneruskan ucapan.

“Aku, apakah untuk bisa seperti sekarang ini, untuk bisa memelukmu dengan segala ketulusan hatiku aku harus menderita dulu bahkan nyaris mati.”

Wiro terdiam. Hatinya terenyuh. Dia pergunakan ujung bajunya untuk menyeka noda darah yang masih menempel di mulut dan dagu si gadis.

“Wiro, aku tidak akan melepaskan pelukan ini sampai kapanpun!”

Wiro tertawa. Dia usap-usapkan delapan Bunga Matahari ke pipi si gadis.

“Ratu Randang yang memberikan bunga ini padamu?”

Wiro mengangguk. “Bunga sakti ini yang menyembuhkan luka beracun di lehermu.” Wiro memberi tahu.

“Apa Ratu Randang juga menyampaikan pesan Nyi Loro Jonggrang?” Tanya Kunti Ambiri sambil membelai tengkuk Wiro.

“Dia sepertinya hendak mengatakan sesuatu tapi belum sempat diucapkan…”

“Aku tahu semua pesan Nyi Loro Jonggrang. Aku akan memberi tahu padamu.”

“Nanti saja. Sekarang kau butuh istirahat dulu. Tubuhmu kurasa masih panas akibat racun…”

“Racun di tubuhku sudah tiada. Kau yakin saat ini tubuhku panas karena racun itu?” Tanya Kunti Ambiri sambil menatap Wiro lalu mengedipkan sepasang matanya.

Wiro tertawa namun tawanya lenyap ketika Kunti Ambiri menempelkan pipinya ke pipi sang pendekar lalu menciumnya. Debaran di dada Wiro semakin keras.

“Kunti, aku akan membawamu ke dalam Candi. Di sana lebih teduh dan sejuk…”

“Tidak usah, aku lebih suka di sini.” Jawab sigadis. Lalu rebahkan tubuhnya di pangkuan Wiro. Mata dipejam, mulut berucap. “Aku benar-benar tidak pernah mengimpikan saat-saat seperti ini…”

Wiro jadi bingung sendiri. Dalam hati dia membatin. “Apa yang dikatakan kakek bisu itu agaknya memang kenyataan. Kalau aku mengikuti alunan perasaan gadis ini saat ini…”

“Kunti, aku ingin tahu apa yang telah terjadi. Menurut tiga sahabat di Ruang Segi Tiga Nyawa kau pergi mengejar guruku Eyang Sinto Gendeng yang telah mencuri Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dengan cara membelah dadaku.”

“Akan aku ceritakan,” jawab Kunti Ambiri lalu sandarkan punggung ke batang pohon. Setelah mengusap lehernya gadis cantik alam roh ini menuturkan…

* * *

SINAR sang surya bukan saja sangat terik memerihkan jangat tapi juga membuat silau pandangan Kunti Ambiri. Tadi sekejapan dia sempat melihat sosok Eyang Sinto Gendeng berkelebat ke arah barat. Agar pemandangan bisa lebih luas Kunti Ambiri melesat ke atas salah satu candi. Benar saja, begitu menjejakkan kaki di atas menara candi dia bisa melihat si nenek yang saat itu ternyata berada di atas atap candi Plaosan Lor paling besar. Berdiri berkacak pinggang, mulut perot mengunyah susur dan sepasang mata menatap garang ke arah si gadis.

“Nenek itu tidak meneruskan lari. Dia seperti sengaja menungguku!” Pikir Kunti Ambiri.

Tidak menunggu lebih lama si gadis segera melesat ke atas puncak candi dimana Sinto Gendeng berada. Si neriek menyambut dengan seringai angker memperlihatkan taring di sudut bibir. Delapan dari sepuluh kuku jari tangannya mencuat laksana pisau berwarna merah. Kapak Naga Geni 212 tampak terselip di balik pakaiannya. Walau tahu kalau Sinto Gendeng sudah dicuci otaknya oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah, namun Kunti Ambiri tetap menaruh hormat dan menyapa.

“Nek, salam hormat untukmu.”

“Gadis dajal alam roh! Kau sudah lama mampus! Apa mau mampus lagi dan rohmu aku cabik-cabik berani mengejar diriku?!” Sinto Gendeng membentak. Delapan benjolan merah di kepalanya memancar terang.

“Nek, maafkan aku…”

“Benar-benar dajal jahanam! Kau panggil aku nenek? Apa matamu buta?!”

Kunti Ambiri melongo heran. Kemudian dia segera ingat. Orang-orang asli Bhumi Mataram melihat ujud Sinto Gendeng seperti seorang gadis cantik bertubuh molek dan wangi. Sebaliknya dia bersama Wiro, Ni Gatri dan Pangeran Matahari yang berasal dari alam delapan ratus tahun mendatang melihat Sinto Gendeng sebagai ujud aslinya yaitu nenek angker berkulit hitam.

“Orang di depan mata, apapun ujudmu adanya, aku berdoa agar Gusti Allah memberi kesadaran, padamu. Aku mohon kau mengembalikan Kapak Naga Geni Dua Satu Dua yang sudah kau ambil dari dalam tubuh Wiro.”

Sepasang mata Sinto Gendeng seperti mau melompat keluar dari rongganya yang cekung. Nenek ini tertawa gelak-gelak. Lalu dia membentak. “Apa kau merasa kapak sakti ini milikmu hingga berani meminta?!”

“Tidak, kapak itu bukan milikku. Aku akan mengembalikan pada muridmu. Dia sangat membutuhkan senjata itu. Banyak urusan besar yang harus di hadapinya di Bhumi Mataram ini.” Jawab Kunti Ambiri.

Sinto Gendeng kembali tertawa mengakak. “Kau mau berbuat baik pada anak setan itu apa kau mengharapkan dia bakal jatuh hati padamu? Hik… hik… hik. Lekas pergi dari hadapanku dan jangan berani mengejar lagi!”

“Aku mohon, kembalikan dulu Kapak Naga Geni. Aku minta tolong, aku mohon…”

Sinto Gendeng memaki panjang pendek lalu berkata. “Melangkah ke hadapanku! Berlutut dulu dan cium ke dua kakiku. Minta ampun atas segala dosamu selama ini! Baru senjata yang kau minta aku berikan padamu!”

Kunti Ambiri terkesima. Kalau saja dia tidak telah menerima berkah Yang Maha Kuasa melalui Nyi Loro Jonggrang yang telah merubah sifat serta budi pekertinya, gadis alam roh ini saat itu juga mungkin sudah menyerbu menghajar si nenek. Kunti Ambiri malah tersenyum mendengar ucapan si nenek. Dalam hati dia berkata.

“Apa susahnya berlutut. Apa hinanya mencium kaki seorang yang jauh lebih tua dariku. Anggap saja dia ibuku. Tapi hemm, apa benar semudah itu dia hendak memberikan senjata tersebut padaku? Aku menduga dia hendak menjebakku. Apakah aku sebodoh itu? Hik… hik!”

Dengan langkah tenang Kunti Ambiri mendekati Sinto Gendeng lalu berlutut di hadapan si nenek sambil menahan nafas karena tidak tahan mencium bau pesing tubuh dan pakaian si nenek. Ketika dia membuat gerakan hendak mencium kaki Sinto Gendeng tiba tiba dia mendengar suara berdesir.

“Serrr!”

Kunti Ambiri angkat kepala, memandang ke atas. Ternyata yang berdesir adalah bunyi air kencing yang tengah dimuncratkan si nenek. Meski merasa si nenek sudah sangat keterlaluan namun Kunti Ambiri masih mengambil sikap mengalah. Cepat-cepat dia melompat menjauh tapi Sinto Gendeng mengejar sambil kirimkan tendangan berantai.

“Wuuttt! Braaakk!”

Tendangan Sinto Gendeng menghajar dinding atas candi hingga jebol karena Kunti Ambiri berhasil mengelakkan. Didahului teriakan yang mirip suara kucing mengeong si nenek kembali menyerbu. Kali ini dengan mempergunakan serangan dua tangan yang memiliki delapan kuku jari menyerupai pisau. Di dalam rimba persilatan di tanah Jawa, tingkat kepandaian Kunti Ambiri bagaimanapun juga berada di bawah si nenek.

Namun untuk mengalahkan Kunti Ambiri bukan hal mudah. Dalam tiga gebrakan pertama pertarungan tampak imbang. Jurus-jurus selanjutnya Kunti Ambiri agak terdesak karena gadis ini lebih banyak memusatkan perhatiannya untuk dapat merampas Kapak Naga Geni 212 yang terselip di pinggang Sinto Gendeng.

Sinto Gendeng menyerang Kunti Ambiri seperti kesetanan. Tubuhnya lenyap di balik cahaya delapan kuku merah berbentuk pisau. Gerakannya cepat sekali, walau menimbulkan angin tapi tidak bersuara pertanda nenek ini memiliki ilmu meringankan tubuh nyaris mencapai tingkat sempurna. Dalam satu gebrakan di jurus ke sembilan Kunti Ambiri hampir berhasil menyentuh kapak namun tangan kanan Sinto Gendeng membabat luar biasa cepat. Si gadis melompat mundur tapi kalah cepat.

“Craasss!” Salah satu kuku jari berbentuk pisau membabat leher Kunti Ambiri. Luka menguak, darah menyembur.

“Brett!”

Kunti Ambiri hanya mampu menarik robek kain panjang lurik hitam yang dikenakan Sinto Gendeng. Setelah itu tubuhnya terjatuh dari atas atap candi sewaktu berusaha menyelamatkan diri dari serangan Cakar Sukma Merah berikutnya.

* * *

KUNTI AMBIRI menyudahi ceritanya dengan ucapan. “Ketika jatuh aku coba mengimbangi diri. Tapi tak berhasil. Setelah melayang jatuh aku masih berusaha jungkir balik agar bisa melayang ke bawah, dengan dua kaki menginjak tanah lebih dulu. Tapi luka di leherku sangat parah. Selain itu racun Cakar Sukma Merah bekerja sangat cepat. Tubuhku diselimuti hawa panas. Kepala seperti mau pecah dan pemandangan berubah guram. Yang bisa aku lakukan hanya menjerit.”

“Kalau kau tidak menjerit aku tidak akan melihat sosokmu yang jatuh dari atas candi,” kata Wiro pula.

Kunti Ambiri usap pipinya lalu berkata. “Aku menyesal tidak bisa mendapatkan kapak saktimu.”

“Kita pasti akan menemukan Kapak Naga Geni kembali.”

“Kita?” Ucap Kunti Ambiri dalam hati. “Maksudnya dia dan aku bersama sama mencari senjata itu?”

Wiro berdiri menghampiri robekan pakaian Sinto Gendeng yang sejak tadi tercampak di tanah. “Robekan kain ini bisa dipergunakan untuk menjajagi dimana beradanya Eyang Sinto. Seseorang dengan ilmu kepandaiannya akan menolong kita.”

“Maksudmu Ratu Randang!” Tanya Kunti Ambiri.

Wiro mengangguk. Tiba-tiba tanah di tempat itu bergetar. Pohon besar dimana mereka berada bergoyang-goyang. Dedaunan gugur berjatuhan.

“Sesuatu terjadi di bawah sana. Di dalam tanah…”

"Ini kali kedua tanah bergetar.” Wiro memberi tahu. “Aku kawatir terjadi apa apa dengan tiga orang sahabat kita yang masih berada di dalam Ruang Segi Tiga Nyawa.”

“Sebaiknya kita segera saja menyelidik kesana.”

Wiro anggukkan kepala. Dia menolong Kunti Ambiri berdiri. Hanya sekejapan lagi kedua orang berkepandaian tinggi itu akan siap mengamblaskan diri masuk ke dalam tanah tiba-tiba terdengar suara bergemuruh. Lalu ada suara tiga jeritan keras. Tanah di samping kanan pohon terbongkar besar lalu brakkk! Tiga sosok terkapar di tanah!

Wiro melengak kaget. Kunti Ambiri menjerit. Tiga sosok itu adalah Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek! Ketiganya dalam keadaan setengah pingsan. Sekujur tubuh mulai dari kepala sampai ke kaki tertutup tanah dan debu berwarna merah.

* * *

SEBELAS

TAK berapa lama setelah Pendekar 212 Wiro Sableng meninggalkan Ruang Segi Tiga Nyawa, Empu Semirang Biru berhasil membujuk Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi agar tidak pergi menyusul Wiro.

“Sahabatku,” berbisik Sakuntaladewi.

“Ada apa?” Tanya Jaka Pesolek.

“Tidakkah kau memperhatikan…?”

“Dewi Kaki Tunggal, kau ini bicara sepotong-sepotong. Apa yang tidak aku perhatikan?”

“Sssttt, bicara pelan-pelan. Jangan sampai terdengar kakek itu. Apa kau tidak memperhatikan kalau suara sang Empu sedikit agak berubah. Pertama kali suaranya halus tapi beberapa saat belakangan ini berubah agak parau dan keras.”

Yang bicara adalah Ratu Randang dan Sakuntaladewi membenarkan ucapan si nenek dengan anggukkan kepala.

“Hal begitu saja jadi perhatianmu. Lebih baik kita cepat-cepat mengambil keris. Begitu urusan selesai kita cepat-cepat pergi dari sini.” Jaka Pesolek lalu berpaling pada Empu Semirang Biru. “Empu, kami berdua siap mengambil keris di atas atap.”

“Lakukanlah. Raja Mataram tidak akan melupakan baktimu pada Kerajaan. Aku akan melindungi usaha kalian agar tidak ada roh jahat yang menghalangi.”

Empu Semirang Biru menjawab lalu meniup ke arah kedua kakinya sendiri. Kemudian kepala diangkat sedikit. Tiupan diarahkan ke lantai ruangan, terus naik ke dinding dan terus naik lagi menuju atap dimana Keris Kanjeng Sepuh Pelangi menancap.

“Jaka, kau sudah siap?” Bertanya Sakuntaladewi.

Tidak seperti biasa selalu girang kalau akan menghadapi dan menangkap petir, sekali ini Jaka Pesolek tampak agak tegang. Gadis ini kemudian mengangguk.

“Jaka, jangan tegang. Kau pasti mampu menangkap petir yang keluar dari keris sakti. Kalau berhasil aku berikan kau sepuluh ciuman!” Ratu Randang memberi semangat tapi dengan cara bergurau. Sakuntaladewi memberi isyarat bahwa dia siap untuk melompat ke atas atap ruangan.

Tapi Jaka Pesolek balas memberi isyarat sambil berkata. “Jangan kau yang melompat lebih dulu. Biar aku yang memancing. Aku akan melompat ke atap. Begitu petir keluar dari dalam keris, aku akan membuntal dan kau akan aman pergunakan kesempatan cepat-cepat melesat ke atas mengambil keris.”

Sakuntaladewi dalam hati memuji kecerdikan Jaka Pesolek lalu memberi tanda agar gadis yang mengaku bisa jantan bisa betina itu segera melompat ke atap. Sebelum melompat Jaka Pesolek melirik ke arah Empu Semirang Biru. Orang tua ini tampak tegang. Jaka Pesolek jejakkan dua kaki ke lantai ruangan.

“Wuttt!”

Tubuh Jaka Pesolek melesat ke atas atap setinggi empat tombak. Kurang satu tombak tubuhnya melayang dalam ruangan tiba-tiba Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pancarkan cahaya sembilan warna, dikelilingi cahaya biru. Setelah itu terdengar ledakan laksana petir benar-benar menggelegar. Cahaya putih menyilaukan dan panas berkiblat menyambar ke bawah, ke arah Jaka Pesolek.

Seantero ruangan menjadi panas luar biasa! Jaka Pesolek menyambut hantaman petir dengan berteriak keras. Dua tangan dikembang! Dess! Dess! Dua tangan si gadis begitu bersentuhan dengan cahaya putih langsung membuat gerakan memiting. Cahaya putih dibuntal seperti menggulung sebuah pita raksasa lalu dia melayang turun ke lantai ruangan, membawa gulungan petir dan menghenyakkannya di salah satu sudut, menahan dengan kedua lutut.

“Petir jejadian! Mana bisa lebih hebat dari petir sungguhan ciptaan Yang Maha Kuasa! Petir jejadian jangan berani bercanda dengan aku Jaka Pesolek! Hik… hik… hik!”

Kini Jaka Pesolek bisa tertawa tawa. Buntalan petir yang tadi putih panas menyilaukan perlahan lahan berubah redup dan mengecil. Sebaliknya seluruh pakaian dan sekujur tubuh Jaka Pesolek tampak diselubungi lapisan berwarna merah, seperti bara mengepul hawa panas! Ketika Jaka Pesolek berhasil menangkap dan menggulung petir yang keluar dari tubuh Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dan mengamankan petir di sudut ruangan, secepat kilat Sakuntaladewi jejakkan kakinya yang hanya satu ke lantai ruangan.

“Wusss!”

Tubuh gadis itu melesat membal ke atas atap ruangan dimana Keris Kanjeng Seputi Pelangi menancap. Tangan kanan berkelebat cepat, menangkap badan keris lalu menarik senjata ini dari kayu keras tempatnya menancap! Ketika tangan kanannya menyentuh keris sakti, Sakuntaladewi merasa ada hawa dingin masuk ke dalam tubuhnya yang membuat tengkuknya merinding. Dengan cepat gadis ini melayang turun ke bawah Sakuntaladewi sambil membuat gerakan jungkir balik satu kali. Tubuhnya meluncur sebat dan dalam bilangan kejapan mata saja dia sudah berdiri kembali di lantai ruangan.

“Jaka! Ratu! Kita berhasil!” Teriak Sakuntaladewi girang.

Jaka Pesolek tidak menjawab karena saat itu dia tengah berusaha merontokkan lapisan merah panas yang menyelubungi dirinya sementara dua kaki masih terus menahan buntalan petir yang semakin mengecil dan akhirnya lenyap dalam bentuk kepulan asap. Ratu Randang cepat memeluk Sakuntaladewi.

“Kau gadis hebat! Sekarang lekas minta tolong pada Empu itu bagaimana caranya menyembuhkan dirimu. Mengembalikan kakimu yang satu jadi dua lagi.”

Kedua orang itu lalu mendatangi Empu Semirang Biru yang sejak tadi sudah tidak sabaran. Dari sela-sela libatan rantai besi merah dia menggerakkan tangan memberi isyarat.

“Sakuntaladewi, lekas putuskan rantai besi yang melibat diriku. Hanya Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang mampu menghancurkan Rantai Kepala Arwah Kaki Roh! Setelah aku bebas, aku akan segera akan menolong dirimu.”

Ratu Randang perhatikan sikap Empu Semirang Biru yang sama sekali tidak memperlihatkan atau memanjatkan puji syukur pada Yang Maha Kuasa atas telah didapatnya keris sakti itu. Padahal sebelumnya dia banyak mengucap. Menyebut Para Dewa, menyeru Yang Maha Kuasa. Si kakek tampaknya lebih mementingkan dan mendahulukan keselamatan diri sendiri. Diikuti Ratu Randang, Sakuntaladewi melangkah mendekati Empu Semirang Biru. Keris sesaat dipentang di depan wajah orang tua itu yang memandang dengan mata berkilat-kilat.

“Laksanakan sekarang!” Kata Empu Semirang Biru dengan suara parau bergetar.

Sakuntaladewi angkat tangannya yang memegang keris lebih tinggi. Lalu tangan itu dibabatkan ke bawah.

“Traangg!”

Bunga api merah berpijar terang. Ruang Segi Tiga Nyawa bergoncang! Rantai besi merah di bagian bahu kanan Empu Semirang Biru putus berkerontangan. Tubuh sang Empu terlonjak.

“Teruskan! Putuskan semuanya!” Teriak Empu Semirang Biru bersemangat.

Sakuntaladewi kembali membabatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi hingga dalam Ruang Segi Tiga Nyawa terdengar suara berdentrangan berulang kali disertai memijarnya percikan terang bunga api. Rantai Kepala Arwah Kaki Roh putus di enam bagian, luruh jatuh ke lantai dengan suara berkerontang dahsyat! Ruang Segi Tiga Nyawa kembali bergoncang. Kali ini disertai terdengarnya suara raung anjing dan ngeong kucing dikejauhan!

“Terima kasih… terimakasih. Aku sudah bebas sekarang!” Kata Empu Semirang Biru. Namun dia tidak berdiri, tetap saja terus duduk bersila dilantai ruangan. Malah berkata. “Sakuntaladewi, berikan senjata itu padaku. Kini giliran aku menolong membebaskanmu dari kutukan yang telah membawa sengsara dirimu selama ini.”

“Heran, Empu itu tak mau beranjak dari duduknya. Apa pantatnya sudah lengket ke lantai ruangan…?” Berkata Ratu Randang dalam hati. Lalu dia berkata yang ditujukan pada Empu Semirang Biru. “Empu, izinkan aku barang sebentar melihat dan memegang keris sakti yang luar biasa hebat mengagumkan ini!” Kata Ratu Randang dengan cepat melangkah ke hadapan Sakuntaladewi sekaligus membelakangi Empu Semirang Biru.

Tapi karena terburu-buru mungkin juga agak gugup breett! Tak sengaja ujung keris mengait dada pakaiannya hingga robek, membuat sebagian dada si nenek yang masih putih dan kencang tersembul. Saking terkejutnya keris sakti sampai terlempar ke udara. Saat itu si nenek sendiri seperti kehilangan keseimbangan, nyaris jatuh kalau tidak bersitekan dengan tangan kanan ke lantai. Dengan cepat Ratu Randang bangkit berdiri dan menyambar keris yang jatuh.

“Oala!” Ucap Ratu Randang sambil satu tangan ditekapkan ke dada. “Keris bagus! Tapi agak nakal! Bajuku dirobeknya! Hik…hik…hik!”

“Bukan keris itu yang nakal Nek. Tapi engkau yang nakal. Keris sakti dibuat mainan!” Kata Jaka Pesolek dari sudut ruangan.

Ratu Randang tersipu-sipu, cepat berbalik dan menyerahkan sendiri Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Ketika menyerahkan si nenek sengaja membungkuk sehingga dadanya tersingkap, membuyut besar dan sempat membuat darah Empu Semirang Biru berdesir, mata sampai tidak mengedip karena terkesiap. Lebih lebih ketika Ratu Randang menyusupkan keris sakti ke balik pinggang pakaiannya, dada nenek cantik itu nyaris menyentuh hidungnya!

Empu Semirang Biru raba pinggangnya untuk memastikan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ada dan tersisip di situ. Lalu masih dalam sikap keadaan bersila tubuh Empu Semirang Biru bergerak ke atas. Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek berseru kaget ketika melihat di lantai yang sejak tadi diduduki Empu Semirang Biru terdapat sebuah lobang merah sepemasukan tubuh manusia. Belum habis kejut mereka tiba-tiba Empu Semirang Biru keluarkan suara tawa bergelak.

“Selamat tinggal manusia-manusia tolol!” Tubuh, sang Empu menggeliat. Dua kaki yang terlipat bergerak lurus ke bawah lalu wuss! Sosoknya lenyap masuk ke dalam lobang disedot oleh satu kekuatan luar biasa kencang.

“Kurang ajar! Kita ditipu!” Teriak Ratu Randang. Dia melompat ke tepi lobang lalu hantamkan pukulan Tombak Dewa Memancung berhala. Selarik sinar biru menderu masuk ke dalam lobang.

Sakuntaladewi tidak tinggal diam. Gadis kaki satu ini gerakkan dua tangan dalam jurus Enam Belas Gerakan Tangan Bisu lalu wusss! Sepuluh larik sinar jingga yang mencuat dari ujung jari melabrak masuk ke dalam lobang. Dari dalam lobang terdengar suara bergemuruh. Lalu ada kilatan cahaya kuning kemerahan menyambar ke atas. Ruang Segi Tiga Nyawa bergoncang hebat. Dinding dan atap tanah merah luruh. Lalu satu ledakan menggelegar ketika pukulan sakti yang dilepas Sakuntaladewi dan Ratu Randang saling bentrok dengan sambaran cahaya kuning kemerahan. Tiga orang yang ada di dalam ruangan terlempar ke atas!

DUA BELAS

BEGITU mengenali tiga orang yang terkapar di tanah, Kunti Ambiri dan Wiro berteriak kaget. Keduanya langsung melompat.

“Nek, apa yang terjadi?!” Tanya Wiro dan buru-buru melengos lalu menjauh ketika melihat dada Ratu Randang yang tersingkap, Dia memberi isyarat pada Kunti Ambiri agar segera menolong Ratu Randang lalu cepat mendekati Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek. Seperti Ratu Randang kedua orang ini terbujur dalam keadaan setengah pingsan, megap-megap seolah kehabisan nafas.

Kunti Ambiri cepat membuhul sebisanya pakaian Ratu Randang yang robek hingga aurat si nenek tertutup. Lalu dengan mengerahkan tenaga dalam serta hawa sakti dia berhasil membuat Ratu Randang siuman. Wiro melihat kepala Jaka Pesolek miring ke kiri dan Sakuntaladewi megap megap sulit bernafas. Wiro cepat menotok kedua orang ini di tiga tempat lalu pegang pergelangan kaki masing-masing sambil menyalurkan tenaga dalam dan hawa sakti. Jaka Pesolek sadar lebih dulu. Gadis ini cepat bangkit dan duduk, memandang berkeliling. Kepala terkulai miring ke kiri.

“Jaka, setan mana yang menamparmu sampai kepalamu teleng begini rupa?!” Tanya Wiro.

“Sialan!” Jaka Pesolek memaki jengkel. Leher dan kepala ditepuk-tepuk. “Tidak ada setan yang menamparku! Aku terkena semburan cahaya kuning merah yang keluar dari lobang!”

“Lobang? Lobang apa?” Tanya Wiro pula.

Jaka Pesolek tidak menjawab. Leher dipukul-pukul. Kepala dipelintir lalu di dorong ke kanan. Kreek! Leher dan kepalanya lurus kembali tapi mulutnya berucap. “Aduh, aku mau kencing tapi tidak bisa! Ini gara-gara tiupan Empu sialan itu! Aduh, bagaimana ini!”

Sakuntaladewi mulai sadar pula. Setelah batuk-batuk dan menyeka wajahnya yang penuh debu gadis berkaki satu ini bergerak duduk. Dia cepat menyadari apa yang terjadi lalu mulai sesenggukan.

“Aku akan sengsara seumur hidup. Keris sakti itu dibawa kabur Empu Semirang Biru. Hyang Jagat Bathara mengapa buruk sekali nasib diriku…”

Wiro dan Kunti Ambiri saling pandang. Lalu Wiro berpaling pada Ratu Randang. “Nek... ceritakan apa yang terjadi. Apa betul Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dilarikan oleh Empu Semirang Biru? Rasanya tidak masuk akal…”

Ratu Randang anggukkan kepala.

“Empu celaka itu. Tidak sangka dia ternyata kaki tangan Sinuhun Merah yang menyusup masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa.” Berkata Sakuntaladewi ditengah isaknya.

“Aku tidak melihat ada benjolan merah di kening Empu itu. Apa benar dia orangnya Sinuhun Merah Penghisap Arwah?” Kata Wiro pula.

“Kalau bukan orangnya Sinuhun, perlu apa dia mencuri keris? Kami bertiga dimaki sebagai manusia-manusia tolol! Brengsek!”Jaka Pesolek mengomel. Lalu bicara lagi. “Aku ditiup disirapnya hingga tidak bisa kencing. Sekarang dia kabur! Bagaimana aku mau kencing!” Jaka Pesolek usap-usap bagian bawah perutnya.

“Aku menduga…”bBerkata Sakuntaladewi sambil mengusap wajah. “Kali ini Sinuhun Merah tidak mempergunakan orang atau mahluk yang ada benjolannya karena tidak bisa menembus masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa yang ada dalam perlindungan Para Dewa. Yang aku tidak mengerti mengapa Empu Semirang Biru, orang yang membuat Keris Kanjeng Sepuh pelangi, orang kepercayaan Raja Mataram, tega-teganya melakukan khianat! Kalau tahu dia akan menipu dan melarikan keris itu, tidak akan aku putuskan rantai yang mengikat tubuhnya!”

“Agaknya Sinuhun Merah mempergunakan cara luar biasa cerdik untuk menguasai Empu itu. Mungkin melalui lobang di lantai yang dikatakan Jaka Pesolek” Berkata Ratu Randang.

“Berarti Empu Semirang Biru dikerjai lewat pantatnya!” Kata Jaka Pesolek pula. Lalu kembali memaki. “Sial! Najis!”

“Nek, keadaan di pihak kita semakin tidak menguntungkan.” Kata Wiro pada Ratu Randang. “Kapak Naga Geni belum ditemukan. Eyang Sinto dan Ni Gatri entah berada dimana. Raja Mataram belum diketahui kabarnya, apa Rauh Kalidathi berhasil membawa Raja bersama keluarganya sampai dengan selamat di tempat rahasia. Sekarang Keris Kanjeng Sepuh Pelangi lenyap dibawa kabur orang. Agaknya kita memang harus membagi pekerjaan.”

“Membagi pekerjaan bagaimana?” Tanya Ratu Randang.

Wiro menunjuk ke arah robekan kain pakaian Eyang Sinto Gendeng yang sampai saat itu masih tergeletak di tanah. “Itu robekan kain yang dikenakan Eyang Sinto. Kau punya ilmu kepandaian. Dengan mengandalkan robekan kain itu kau bisa menjajagi dimana beradanya guruku.”

Kening Ratu randang mengerenyit. Lalu dia melangkah mendekati robekan kain. Dia membungkuk sedikit lalu cepat-cepat luruskan tubuh. “Robekan kain bau pesing ini? He… he! Apa ilmuku mampu menjajagi?”

“Kalau Ratu Randang mengejar gurumu, lalu siapa yang mencari keris?” Bertanya Sakuntaladewi.

“Aku yang akan melakukan.” Jawab Wiro.

“Aku ikut! Soalnya aku harus menemui Empu najis itu dan minta ditiup agar bisa kencing lagi!” Kata Jaka Pesolek.

“Kalau ditiup kau sembuh ya syukur-syukur. Tapi bagaimana kalau ditiup anumu yang bisa jantan bisa betina itu jadi lenyap?!” Ujar Wiro pula.

Jaka Pesolek terpekik. “Jangan bicara seperti itu! Kau membuat aku bukan saja tidak bisa kencing tapi juga tidak bisa berak!”

Sakuntaladewi tepuk-tepuk debu yang masih banyak menempel di pakaiannya lalu berkata. “Sebaiknya kita pergi dalam satu rombongan mengejar Eyang Sinto, mencari kapak dan mencari keris. Musuh yang kita hadapi selain banyak juga memiliki ilmu kesaktian tinggi. Aku mohon kita mencari keris lebih dulu.” Kata Sakuntaladewi pula.

“Ratu Randang, bagaimana menurutmu?” Bertanya Wiro.

“Soal menjajagi gurumu, mencari kapak dan mencari anak perempuan bernama Ni Gatri itu aku setuju. Tapi soal mencari keris sebaiknya kita lupakan saja.”

Sakuntaladewi langsung terlonjak mendengar ucapan Ratu Randang itu. Wajahnya tampak berubah merah dan marah namun kemudian surut kembali tanda gadis ini mampu menahan gejolak darahnya. Dengan wajah sayu dan suara lirih dia berkata.

“Kalau memang tidak ada yang mau menolong, aku pergi sendiri! Aku akan menemui kakek nenekku Sepasang Arwah Bisu. Mereka pasti tahu dimana beradanya Keris Kanjeng Sepuluh Pelangi! Mudah-mudahan mereka mau menolong. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa menunjukkan jalan.”

Wiro cepat pegang lengan Sakuntaladewi ketika gadis itu hendak menghambur pergi. Lalu pada Ratu Randang dia berkata. “Nek, sahabatku satu ini sudah cukup lama menderita. Aku harus menolongnya. Aku akan menemaninya mencari keris sakti itu agar dia bisa sembuh dari azab yang menyengsarakan.”

“Terserah kalau kau mau pergi bersamanya atau kemana saja. Tapi kalian hanya membuang-buang waktu…”

“Membuang buang waktu bagaimana maksudmu Nek?” Tanya Wiro yang mulai kesal melihat sikap Ratu Randang. Sementara Sakuntaladewi terbelalak, tidak, percaya si nenek akan berkata seperti itu.

Ratu Randang malah tampak tersenyum. “Sahabatku semua, terutama kau Sakuntaiadewi. Jangan menaruh marah atau benci padaku. Aku katakan kalian hanya membuang waktu mencari Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Karena senjata sakti itu sesungguhnya ada padaku!”

Kaget dan kejut meledak di tempat itu. Semua mulut ternganga, mata mendelik bahkan ada yang berteriak.

“Apa katamu Nek?! Jangan bergurau!” Kata Wiro pula.

Tenang saja Ratu Randang susupkan tangan kiri ke dada kanan. “Sial, dia mau membuka kutang bukan mau menunjukkan keris sakti!” Bisik Jaka Pesolek pada Wiro.

Pada keadaan lain mungkin saat itu murid Sinto Gendeng akan tertawa bergelak mendengar ucapan Jaka Pesolek. Namun dalam suasana tegang seperti itu dia hanya bisa menginjak kaki kiri Jaka Pesolek hingga gadis ini meringis kesakitan dan buru-buru menarik kaki. Tangan kiri Ratu Randang yang menyusup ke balik dada kanan perlahan-lahan keluar dari balik pakaian. Ternyata tangan itu kosong, tidak memegang apa-apa!

“Apa kataku! Nenek itu bohong. Dia tadi cuma mau mencabut bulu ketek!” Kembali Jaka pesolek membuka mulut, jengkel.

“Aku tidak punya bulu ketek! Hik… hik! Jadi tidak ada yang mau dicabut!” Jawab Ratu Randang sambil tertawa-tawa. “Aku hanya lupa menyembunyikan di sebelah mana keris sakti itu.” Lalu Ratu Randang gerakkan tangan kanan, kini menyusup ke dada kiri. Ketika tangan kanan dikeluarkan, semua orang berseru kaget!

“Lihat! Ini bukan bulu ketek ‘kan!” Ucap si nenek.

TIGA BELAS

DI TANGAN kanan Ratu Randang tergenggam sebilah keris telanjang luk sembilan tanpa gagang. Cahaya biru menyelubungi seluruh badan keris. Pada sisi kanan keris memancar kumpulan sinar sembilan warna. Dimanapun senjata ini berada sembilan cahaya selalu berada di sisi kanan. Inilah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi asli, ciptaan Empu Semirang Biru dari Gunung Bisma, yang dibuat atas perintah Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Wiro, Kunti Ambiri, Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi langsung mendekat mengerubungi Ratu Randang.

“Nek, apa benar ini Keris Kanjeng Sepuh Pelangi!” Bertanya Jaka Pesolek. Dia hendak meraba keris telanjang itu tapi si nenek menghalangi dengan tangan kiri.

“Tadi semua kalian mengatakan kalau Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dibawa kabur Empu pembuatnya yang kemudian lolos lewat sebuah lobang di lantai ruangan. Sekarang tahu-tahu kau memegang keris itu! Nek, jangan-jangan kau tengah bermain sulap atau sihir!” Yang bicara Wiro.

Kunti Ambiri tidak berkata apa-apa hanya memperhatikan keris di tangan si nenek dengan mata tidak berkedip. Dari dua cahaya yang ada di badan keris sebenarnya dia sudah punya perasaan kalau senjata itu memang Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang asli. Namun dia tidak mau berkata apa-apa karena kawatir keanehan tidak terduga bisa saja terjadi.

Sakuntaladewi unjukkan wajah gembira karena ternyata keris sakti yang bisa menyembuhkannya berada di tangan Ratu Randang. Namun hatinya masih merasa was-was. Dia melihat sendiri si nenek menyelipkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ke pinggang Empu Semirang Biru. Sekarang bagaimana mungkin senjata itu masih berada di tangan Ratu Randang?

Bisa jadi apa yang diduga Wiro benar adanya. Si nenek tengah bermain sulap atau sihir untuk sekedar menghibur hatinya. Tapi kalau itu keris palsu tidak mungkin memancarkan cahaya sakral begitu rupa. Ratu Randang tertawa, matanya yang juling dikedap-kedip.

“Ini bukan sulap bukan sihir! Aku hanya mempergunakan kecepatan gerak tangan dan tipu kampungan! Hik… hik! Syukur Empu kentut itu tidak menyadari karena matanya sudah silau melihat dadaku! Waktu keris aku selipkan ke pinggang dia tidak tahu kalau itu keris palsu! Hik… hik… hik!”

Semua orang jadi saling pandang.

“Keris palsu katamu Nek? Aku melihat kau menyusupkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ke pinggang Empu Semirang. Lalu dari mana kau mendapatkan keris palsu, apa kau sudah menyiapkan terlebih dulu” Bertanya Sakuntaladewi.

Si nenek menggeleng. “Aku tidak menyiapkan sebelumnya. Semua terpikir begitu cepat dalam benakku. Dan semua terjadi dengan kehendak Yang Maha Kuasa.” Jawab Ratu Randang pula. Latu dia menceritakan.

“Setelah keris aku torehkan ke dada pakaianku dan aku pura-pura jatuh, dengan tangan kiri aku mengambil salah satu buntungan rantai besi yang tercampak di lantai. Keris asli aku susupkan ke balik dada sambil aku merapal ilmu kesaktian menipu pandangan mahluk. Hik..hik. Yang Maha Kuasa menolong. potongan besi merah berubah jadi sebilah keris. Keris palsu ini cepat-cepat aku serahkan pada Empu semirang Biru. Aku sengaja, menyusupkan ke pinggangnya agar dia tidak melihat. Selain itu dia percaya saja karena sudah kesilauan melihat dadaku yang montok. Hik…hik…hik! Saat ini kalau dia tengah menyerahkan senjata itu pada Sinuhun Merah, pasti dia dihajar babis-habisan karena menyerahkan keris palsu! Hik…hik...hik!”

“Kalau ini benar Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang asli, berarti bisa segera dipergunakan untuk menyembuhkan sahabat Wita Dewi Kaki Tunggal.” Kata Jaka Pesolek.

“Bagaimana caranya?” Bertanya Wiro.

Ratu Randang dan Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal saling pandang. Si nenek kemudian berkata. “Waktu masih berada di Ruang Segi Tiga Nyawa, Empu itu tidak memberi tahu cara penyembuhan kaki Sakuntaladewi dengan keris ini.”

“Aku kawatir sang Empu sengaja berdusta untuk mendapatkan keris. Setelah dapat dia bawa lari.” Yang berkata Kunti Ambiri. Paras Sakuntaladewi berubah. Dia berucap perlahan. “Keris ini mampu memutus rantai merah yang melibat sekujur tubuh Empu Semirang. Berarti memang memiliki kesaktian luar biasa…”

“Jika kalian setuju sebaiknya keris ini kita bawa dan serahkan saja pada Raja Mataram karena sebenarnya dia yang memiliki.” Kata Jaka Pesolek.

“Tunggu dulu!” Kata Sakuntaladewi pula. “Kita harus menemui kakek nenekku Sepasang Arwah Bisu iebih dulu. Mungkin mereka tahu cara menyembuhkan dan memusnah kutuk atas diriku.”

“Dewi, kau belum pernah menceritakan padaku. Sebenarnya siapa yang telah berbuat jahat dan mengutukmu hingga berkeadaan seperti ini?” Bertanya Wiro.

Sakuntaladewi tak segera menjawab. Lalu sepasang matanya tampak berkaca kaca. Kunti Ambiri segera memeluk gadis itu dan berkata membujuk.

“Katakan pada kami. Kami berjanji akan memegang rahasia, tidak menceritakan pada siapapun. Kami sangat ingin menolongmu.”

Dengan ujung baju jingganya Sakuntaladewi mengusut air mata lalu berkata lirih. “Harap dimaafkan kalau selama ini aku selalu merahasiakan apa yang terjadi. Sebenarnya ini bukan kutukan. Tapi perbuatan jahat Sinuhun Muda Ghama Karadipa dibantu Sinuhun Merah Penghisap arwah dan beberapa dukun jahat. Sinuhun Muda melakukan ketika aku membuka aibnya hendak memperkosa diriku padahal dia tahu aku adalah saudara satu ayahnya. Tapi dia kemudian membuat cerita lain pada kakek nenek Sepasang Arwah Bisu.. Memfitnah bahwa aku telah merayunya untuk berbuat serong padahal aku tahu kami masih bersaudara. Kakek nenekku waktu itu lebih mempercayai Sinuhun Muda. Mereka ikut menambah kekuatan jahat yang dijatuhkan Sinuhun Muda atas diriku…”

Sebagian dari cerita Sakuntaladewi telah diketahui Kunti Ambiri sewaktu masih berhubungan dekat dengan kedua Sinuhun.

“Kalau begitu sudah saatnya Sinuhun Muda dibunuh. Kalau dia mati cacat ditubuhmu akan sembuh.” Kata Jaka Pesolek pula. Sakuntaladewi menggeleng.

“Sinuhun Muda tidak bisa dibunuh karena dia punya nyawa kembar yaitu Sinuhun Merah Penghisap Arwah.” Menerangkan si gadis.

“Kalau begitu kita harus membunuh keduanya!” Ucap Wiro pula.

“Nyawa Sinuhun Merah terpecah delapan. Masing-masing pecahan ada dalam tubuh delapan anak kucing merah yang disebut Delapan Sukma Merah. Delapan anak kucing itu adalah peliharaan bocah sakti Dirga Purana.”

“Berarti delapan anak kucing itu yang harus dihabisi lebih dulu!” Kata Wiro sambil mengepalkan tangan.

“Dewi, aku rasa kita tetap harus mencari kakek-nenekmu. Jika mereka dulu ikut menurunkan tangan jahat hingga kau cacat begini rupa, pasti mereka juga tahu cara penyembuhannya. Jika kau menerangkan kejadian sebenarnya mereka pasti percaya padamu. Selama ini mereka telah beberapa kali muncul membantu kita dan orang-orang Mataram .” Kunti Ambiri kemukakan pendapat.

“Harus mencari kemana? Kalau dicari mereka sulit ditemukan. Tapi bisa muncul secara mendadak lalu menghilang lagi. Setiap mereka muncul aku selalu mencari kesempatan untuk bicara. Tapi selalu gagal.”

“Apa kau ingat, sewaktu kedua kakek nenekmu itu meninggal dunia, apakah jazad mereka dibakar atau dikubur?” Bertanya Ratu Randang.

“Dikubur. Itu sesuai dengan pesan mereka.” Menerangkan Sakuntaladewi.

“Kau tahu dimana makam mereka?” Tanya Ratu Randang.

“Konon di satu tempat rahasia di Bukit Menoreh. Tapi itu hanya kabar yang aku dengar. Pastinya aku tidak tahu.”

“Coba kau ingat-ingat. Pasti ada orang yang tahu letak makam kedua kakek nenekmu.” Ujar Kunti Ambiri.

“Pasti ada yang tahu. Kedua orang tuamu?” Ucap Wiro menyambung kata-kata Ratu Randang.

“Mereka tewas dibunuh kaki tangan ayah Sinuhun Muda sewaktu terjadi pemberontakan beberapa tahun lalu.”

“Seingatku, setiap sepasang kakek nenek bisu itu muncul selalu didahului dan diakhiri oleh suara tambur dan tiupan seruling…”

“Astaga!” Sakuntaladewi memotong ucapan Pendekar 212. “Aku ingat sekarang. “Kedua orang itu Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik. Mereka adalah penjaga dan perawat makam kakek nenekku. Pasti mereka tahu dimana makam mereka. Tapi mencari dua mahluk aneh itu sama sulitnya dengan mencari kutu di gurun pasir.”

Wiro menggaruk kepala. “Aku punya akal. Tapi nanti saja aku katakan. Sekarang urusan paling penting kelihatannya adalah mencari sarang dua Sinuhun. Mencari tahu dimana bocah bernama Dirga Purana berada. Kita harus membunuh delapan anak kucing merah itu lebih dulu. Aku sudah pernah menghajar tiga diantara mereka.”

Wiro lalu berpaling pada Ratu Randang. “Nek, katamu kau membuat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dari potongan rantai besi yang pernah melihat tubuh Empu Semirang Biru. Apa kau bisa menjajagi dan mencari dimana beradanya orang itu berdasarkan besi yang kau pegang yang berubah menjadi keris palsu dan kini berada di tangannya?”

Ratu Randang kedipkan mata. “Mengapa tidak? Itu lebih baik dari pada aku menyiasati gurumu dengan robekan kainnya yang bau pesing itu!” Ratu Randang menunjuk ke arah robekan kain pakaian Sinto Gendeng yang masih ada di tanah, yang tadinya basah kini telah berubah kering. “Tapi aku ada usul. Sebelum kita berbagi tugas, mengapa tidak dicoba lebih dulu menyembuhkan sahabat kita Sakuntaladewi dengan delapan Bunga Matahari yang sekarang ada padamu? Mudah-mudahan Gusti Allah mu memberi berkat.”

Wiro hendak tertawa sewaktu Ratu Randang menyebut Gusti Allah. Lalu dia berpaling pada Sakuntaladewi. “Dewi, bagaimana? Tidak ada salahnya kalau kita coba.”

“Aku bersedia,” menjawab Sakuntaladewi pula.

Ratu Randang merobek ujung pakaiannya, memasukkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ke dalam lipatan robekan kain lalu menyimpan hati-hati di balik pinggang. Semua orang kemudian sama menyetujui agar mereka masuk ke dalam salah satu candi di kawasan Candi Plaosan Lor. Di situ mereka akan coba mengobati kaki Sakuntaladewi. Sambil berjalan ke arah candi terdekat Kunti Ambiri berkata pada Pendekar 212.

“Wiro, sebenarnya ada pesan dari Nyi Loro Jonggrang yang harus aku sampaikan padamu berkaitan dengan delapan Bunga Matahari itu.”

“Aku tahu dari si nenek. Nanti saja kau katakan setelah kita mencoba mengobati Dewi Kaki Tunggal,” Wiro menyahuti.

Hanya beberapa langkah lagi orang-orang itu akan mencapai tangga candi yang terdiri dari sembilan batu undakan, tiba-tiba udara mendadak redup. Di langit sekilas menyambar selarik sinar kuning bersemu merah lalu lenyap. Selagi semua orang hentikan langkah dan menduga-duga apa yang terjadi tiba-tiba di halaman candi sebelah kanan agak ke belakang terdengar suara... braak!

“Ada benda jatuh di halaman sana!” Kata Jaka Pesolek.

“Aku akan menyelidik!” Kata Ratu Randang lalu menghambur ke halaman kanan candi sebelah belakang. Sesaat kemudian terdengar pekik si nenek!

EMPAT BELAS

WIRO dan yang lain-lainnya segera berlari menuju halaman samping. Disitu mereka melihat Ratu Randang tengah berdiri sambil menutup wajah. Di hadapan si nenek, tergeletak di tanah seorang perempuan tua bermuka bulat, berwajah tanpa alis berdandan mencorong. Semua orang segera mengenali. Dia adalah Rauh Kalidathi, salah seorang pembantu kepercayaan Raja Mataram.

“Nek!” Pekik Sakuntaladewi, “Bukankah Nenek mengawal Raja Mataram dan keluarganya ke satu tempat rahasia?”

Yang ditanya tidak menjawab. Ketika semua orang hendak mendekati Rauh Kalidathi, Wiro berkata. “Tunggu! Lebih baik aku periksa dulu. Bisa saja di dalam tubuh nenek, ini ada mahluk titipan Sinuhun Merah!”

Wiro lalu terapkan ilmu Menembus Pandang. Dia tidak melihat sosok lain dalam tubuh Rauh Kalidathi. Setelah Wiro memberitahu semua orang baru mendekati si nenek yang tergeletak di tanah. Dada turun naik, nafas megap-megap. Di lehernya kelihatan menguak tiga luka memanjang. Dari sela mulut mulai mengucur darah merah kehitaman.

“Cakar Sukma Merah!” Ucap Ratu Randang. Lalu nenek ini berteriak. “Wiro, lekas keluarkan delapan Bunga Matahari!”

Wiro segera keluarkan delapan Bunga Matahari dan langsung disapukan di atas luka di leher Rauh Kalidathi.

“Anak muda, terima kasih kau mau menolongku. Sapuan bunga hanya mengurangi rasa panas yang memanggang tubuhku, hanya menunda kematianku. Lukaku terlalu parah. Racun mengindap sangat cepat dan jahat…”

“Nek, apa yang terjadi dengan Raja?” kembali Sakuntaladewi bertanya.

“Sri Baginda Raja Mataram, keluarga dan semuaorang dalam rombongan telah selamat aku antar sampai di tempat rahasia. Di sana juga ada sahabat Kumara Gandamayana. Aku diperintah Raja untuk menemui kalian. Raja berpesan agar tetap berada di kawasan Candi Plaosan ini. Karena sebelum matahari tenggelam ada seseorang yang akan menemui pemuda, yang disebut Kesatria Panggilan itu. Dalam perjalanan aku dihadang Sinuhun Muda Ghama Karadipa. Dia memaksa aku memberi tahu dimana bersembunyinya Raja Mataram dari keluarganya. Aku tidak mau menjawab. Lalu muncul seorang bocah membawa delapan anak kucing merah. Binatang-binatang setan itu disuruh menyerangku. Mereka terlalu sakti. Mereka mengoyak leherku. Aku berpura pura mati. Sinuhun Muda kemudian menendangku. Lalu datang seorang suruhannya berujud kakek buta. Sinuhun keparat itu tahu kalau kalian berada di sini. Dia menyuruh kakek buta membawa dan melemparkan tubuhku yang sekarat di tempat ini. Sinuhun dan orang-orangnya, mereka tengah merencanakan sesuatu. Mereka hendak membakar kawasan dimana mereka mencurigai beradanya Raja Mataram.”

“Jahanam kurang ajar!” Rutuk Kunti Ambiri. “Wiro, kita tidak bisa menunda lagi. Kita harus cepat mencari mahluk-mahluk jahat itu! Menghabisi mereka semua!”

Rauh Kalidathi mengangkat tangan kanan, melambai menggapai gapai ke arah Wiro. “Anak muda, tundukkan kepalamu di atas dadaku. Kau bermaksud terpuji mau menolong diriku walau tidak berhasil. Aku tetap berterima kasih atas budi baikmu. Sejak pertama melihatmu, aku sudah kagum. Aku berharap kau tetap berbakti selamanya pada Kerajaan Mataram, Aku akan memberikan satu ilmu padamu ilmu bernama Tiga Bayangan Pelindung Raga. Bagaimana cara mempergunakannya tanyakan nanti pada Ratu Randang…”

“Nek, aku tidak berani menerima…” Wiro ingin menolak.

"Jangan menampik. Lekas, ajalku hampir sampai!”

Ratu Randang dekatkan kepalanya pada Wiro dan berbisik. “Ikuti permintaan sahabatku ini. Agar dia menemui kematian dengan perasaan lega…”

Wiro akhirnya menurut juga. Kepala ditundukkan di atas dada Rauh Kalidathi. Si nenek kemudian letakkan telapak tangan kanannya di atas ubun-ubun Pendekar 212. Lalu dia menarik nafas dalam. Ketika nafas dihembuskan kembali Wiro merasakan ada hawa hangat memasuki kepalanya, menjalar sampai ke ujung kaki. Dalam keadaan seperti itu dia melihat satu pemandangan aneh. Di depan sana, dia melihat samar dirinya sendiri sebanyak tiga orang. Wiro hendak menjerit saking kagetnya tapi suara teriakan tidak keluar dari tenggorokan. Malah dia kemudian jadi tercekat ketika melihat tangan kanan Rauh Kalidathi terkulai jatuh. Sepasang mata si nenek menatap kosong ke arahnya lalu menutup. Sosok tiga dirinya lenyap dari pemandangan.

“Sahabatku sudah tidak ada,” ucap Ratu Randang lirih. “Aku akan mengurus jenazahnya lebih dulu. Aku akan mencari tempat yang baik untuk kuburnya.”

“Aku akan membantumu Nek,” kata Wiro.

“Kami juga.” Kata Kunti Ambiri dan Jaka Pesolek sementara Sakuntaladewi telah melangkah ke bawah pohon besar. Gadis ini menunjuk ke tanah, memberi tanda kalau itu tempat yang terbaik untuk menguburkan Rauh Kalidathi. Jaka Pesolek memandang berkeliling. Tidak ada alat untuk menggali.

Bagaimana mau membuat kubur? Selagi gadis ini bertanya tanya dalam hati di depan sana Wiro menggurat tanah dengan ujung kasut kaki kanan, membuat garis empat persegi panjang. Lalu tangan kanan dihantamkan ke pertengahan garis melepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah.

“Blaaarr!”

Tanah yang terkena pukulan mencuat ke atas, membuat keadaan di bawah pohon menjadi gelap. Begitu tanah luruh ke bawah, di bawah pohon terlihat sebuah lobang besar empat persegi panjang sedalam hampir satu tombak. Tanah yang terbongkar bertumpuk mengitari lobang seolah diatur tangan manusia. Kalau yang lain-lain sudah maklum akan ilmu kesaktian yang dimiliki Wiro maka Jaka Pesolek menyaksikan dengan mulut menganga melongo. Dalam hati gadis ini berkata.

“Tangannya bisa membuat petir. Bisa membongkar tanah. Kalau tangan itu sampai membelai tubuhku ihh… Apa tidak merinding!”

Jenazah Rauh Kalidathi dimasukkan ke dalam lobang. Jaka Pesolek mengeluarkan sehelai selendang putih lalu ditutupkan ke wajah si nenek. Dengan tangan masing-masing semua orang mendorong tanah di seputar lobang untuk menutup liang kubur. Wiro mengangkat beberapa batu besar yang bertebaran di sekitar candi lalu meletakkan di atas makam. Untuk beberapa lamanya semua orang berada di sekeliling kubur tegak berdiam diri. Dari semua mereka Ratu Randang adalah orang yang paling sedih.

Wiro kemudian bertanya pada Ratu Randang. “Nek, matahari sudah condong ke barat. Kita harus segera masuk ke dalam candi untuk mengobati Dewi Kaki Tunggal.”

Ratu Randang mengangguk. “Kita coba Bunga Matahari lebih dulu. Kalau tidak berhasil kita pergunakan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi.” Lalu si nenek pegang lengan Sakuntaladewi dan menggandengnya ke arah candi. Wiro siap-siap mengeluarkan delapan Bunga Matahari. kembali. Mendadak terdengar suara perempuan menyanyi.

Seorang sahabat telah pergi
Aku turut bersedih
Sekarang saatnya untuk berbagi budi
Apakah insan di bawah sana menaruh sudi


LIMA BELAS

SEMUA orang yang ada di depan candi mendongak ke atas karena suara perempuan menyanyi itu memang seolah datang dari langit. Mereka melengak heran ketika melihat satu batang pohon Beringin berdaun rimbun dan masih ada akarnya, melayang melintang perlahan di udara lalu berhenti mengambang dan perlahan lahan turun, berhenti dua tombak dari atas tanah, hanya beberapa langkah di hadapan orang-orang itu.

Pada batang pohon, duduk berjuntai seorang perempuan sangat muda, mengenakan pakaian dan kain putih berenda, sepasang kaki berbetis putih mulus mengenakan kasut hitam bertali tinggi melingkar sampai ke lutut. Kuku kaki yang tersembul dari ujung kasut kelihatan dicat merah berkilat.

“Oala cantiknya! Apakah ini yang dinamakan bidadari?” Jaka Pesolek berucap sementara yang lain menatap tertegun sambil hati bertanya tanya.

Gadis yang duduk di atas batang kayu memang cantik sekali. Wajahnya bulat telur, dihias hidung mancung, alis tebal hitam, dagu bak lebah bergantung dan bibir merah segar seperti delima merekah. Telinga yang berlekuk indah dicanteli sepasang anting anting panjang bermata mutiara. Di leher yang putih jenjang melingkar kalung yang juga terbuat dari untaian mutiara.

Di atas kepala perempuan cantik jelita itu ada sebuah mahkota yang lebih tepat dikatakan topi. Topi ini bentuknya sederhana, menyerupai atap rumah. Walau sederhana namun ternyata terbuat dari lempengan emas murni! Dibawah topi emas, tergerai rambut hitam panjang sepinggang yang melambai-lambai ditiup angin.

Kunti Ambiri pegang lengan Wiro. Sepertinya ada rasa cemburu dalam diri gadis alam roh ini. Karena semua orang seperti tertegun dan tidak ada yang menyapa, si cantik di atas batang pohon kembali bernyanyi. Sambil menyanyi mata yang bagus dilayangkan ke bawah namun jelas lebih banyak menatap ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.

Bersunyi diri berdiam hati
Mungkin maksud tidak dimengerti
Wahai para sahabat di depan candi
Tersenyumlah sedikit, unjukkan welas berseri


“Orang bicara dengan bernyanyi. Biar aku jawab dengan nyanyian juga!” Kata Jaka Pesolek. Lalu dia hendak melompat ke depan tapi cepat di pegang oleh Ratu Randang. Sambil mencekal lengan Jaka Pesolek si nenek berbisik pada Wiro.

“Apa kau sudah menerapkan ilmu untuk melihat sampai ke isi perut gadis di atas batang kayu itu?”

“Sudah Nek,” jawab Wiro. “Aku tidak melihat mahluk tersembunyi di dalam ujudnya. Tapi itu tidak berarti aman.”

“Gadis cantik yang duduk diatas batangan pohon. Siapakah gerangan dirimu adanya dan datang dari mana?”

“Terima kasih ada sahabat yang mau bertanya…” Si cantik di atas batang pohon membungkuk menyatakan hormat pada Ratu Randang yang barusan bertanya.

“Ah, ternyata dia bisa bicara biasa seperti kita. Jadi tidak terus-terusan menyanyi!” Jaka Pesolek berkata sementara mata tidak lepas dari memandang wajah cantik di atas sana.

Si cantik di atas batang pohon pangkukan kaki kiri di atas kaki kanan. “Namaku Ken Parantili. Perlu aku beritahukan kalau diriku bukan seorang gadis lagi. Aku datang dari Negeri Atap Langit. Walau Atap Langit bukan satu Kerajaan namun Penguasa di sana sudah menganggap diri seperti Raja. Raja selalu mempunyai sembilan belas orang selir. Saat ini aku adalah selir pada urutan pertama atau selir kesatu…”

“Oala!" kata Jaka Pesolek sambil menyikut pinggang Wiro. “Kalau selir paling tua begini cantik dan mulusnya bagaimana selir-selir lainnya. Pasti lebih memesona. Walau selir satu ini tidak gadis lagi tapi kalau ehem-ehem aku tidak menolak.”

Wiro menggelungkan lengannya di bahu Jaka Pesolek. “Jangan terlalu banyak bicara. Kalau ternyata si cantik itu adalah lelembut kesasar, bisa mati kau dicekiknya.”

“Tergantung dia mencekik leher yang mana!” Jawab Jaka pesolek enteng saja. “Kalau dia mencekik leherku yang bisa jantan bisa betina aku pasrah saja. Soalnya pasti mantap! He… he… he!” Habis berkata Jaka Pesolek buru-buru menjauhi Wiro, takut dipelintir dengan cubitan.

Sakuntaladewi mendekati Ratu Randang dan bertanya berbisik, “Nek, kau tahu dimana beradanya Negeri Atap Langit? Baru kali ini aku mendengar”

“Aku pernah tahu ceritanya, tapi tidak tahu berada dimana. Kabarnya itu merupakan negeri yang penghuninya paling banyak mahluk jejadian, tempat segala macam roh atau arwah liar jahat gentayangan.” Menjawab Ratu Randang.

“Bisa jadi negeri itu salah satu pemukiman Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan kaki tangannya,” kata Wiro pula. “Kunti, coba kau selidiki lagi orang yang mengaku selir Penguasa Atap Langit itu.”

“Sahabat cantik, kau datang dari negeri yang tidak kami ketahui. Pasti negerimu jauh dari sini.” Berkata Kunti Ambiri.

Si cantik di atas pohon tersenyum. Melirik ke arah Wiro lalu menjawab. “Tidak, Negeri Atap Langit tidak jauh dari sini. Dengan mengendarai pohon ini, dari Plaosan ini hanya sejengkal jauhnya ke arah matahari terbit.”

Semua orang yang ada di depan candi saling pandang. Jaka Pesolek tercengang-cengang. Wiro menggaruk kepala. “Naik batang pohon, hanya sejengkal ke arah matahari terbit. Bicara orang ini aneh. Batang pohon saja lebih dari sejengkal panjangnya. Berarti Negeri Atap Langit ada di depan jidat kita semua atau di belakang pantat kita.”

“Jangan kau bicara seperti itu,” kata Ratu Randang pula. “Apa kau tidak merasa. Dari tadi si cantik itu selalu melirik ke arahmu. Aku menduga kedatangannya ada sangkut paut dengan dirimu.”

Wiro yang merasa kalau si nenek cemburu segera menjawab. “Wah, kalau begitu tolong kau mengawasi Nek. Aku tidak mau kehilangan sisa ciumanmu yang masih terhutang buaannyaak…”

Wiro langsung menggeliat ketika cubitan si nenek cantik menyambar daging pinggangnya.

Sakuntaladewi maju selangkah, menatap ke atas lalu bertanya. “Sahabat Ken Parantili, beri tahu pada kami apa maksud kedatanganmu ke sini. Apa ada seseorang yang mengutusmu?”

“Aku datang atas kemauanku sendiri. Tidak ada yang mengutus, tapi ada seseorang memberi nasihat…” Jawab Ken Parantili, yang mengaku sebagai selir pertama Penguasa Negeri Atap Langit.

“Kalau begitu katakan maksudmu lalu siapa orang yang memberi nasihat.” Berkata Kunti Ambiri.

Sebelum menjawab lagi-lagi Ken Parantili melayangkan pandangan ke arah Wiro. “Aku datang untuk meminta pertolongan. Mudah-mudahan ada budi baik yang bisa aku terima. Penguasa Negeri Atap Langit mempunyai aturan keji dan kejam. Setiap enam purnama, dia selalu membunuh selir pada urutan paling atas atau paling tua. Saat ini sebagai selir yang ke satu aku akan dibunuh besok pagi, pada saat menjelang fajar menyingsing. Malam ini adalah malam Selasa Kliwon. Malam yang selalu dipakai Penguasa Atap Langit untuk membunuh selir-selirnya. Setelah itu Penguasa Atap Langit akan mencari selir baru pengganti diriku.”

“Gila juga Penguasa Atap Langit!” Kata Jaka pesolek setengah memaki.

“Tadi malam, seseorang menasihatkan diriku. Jika aku ingin selamat dari kekejaman Penguasa Atap Langit maka salah satu diantara sahabat dibawah sana bisa menolong. Itu sebabnya aku datang mencari kalian.”

“Siapa orang yang memberi nasihat itu?” Tanya Kunti Ambiri.

Lagi-lagi Ken Parantili melirik ke arah Wiro baru menjawab. “Seorang sakti dari pantai selatan. Namanya Nyi Roro Manggut.”

Wiro keluarkan suara tersedak. Kaki tersurut setumit. Air muka berubah. Kunti Ambiri yang tahu riwayat orang bernama Nyi Roro Manggut itu langsung berpaling ke arah Wiro.

Ratu Randang bertanya pada sang pendekar. “Kau kenal dengan orang yang barusan disebut selir itu?”

“Dia nenek sakti pembantu kepercayaan Nyi Roro Penguasa Pantai Selatan. Dia yang memberi ilmu Meraga Sukma padaku..." Jawab Wiro dengan suara tersendat.

“Dugaanku tidak meleseti” Kata Ratu Randang. “Selir itu kesini memang mencarimu!”

Wiro menggaruk kepala. “Belum tentu mencari aku Nek. Coba diminta agar dia mengatakan atau menunjuk langsung siapa orang yang dimaksudkan bisa menolong dirinya.”

“Baik, akan aku tanyakan. Kau jangan mencoba kabur dari sin!!” Jawab Ratu Randang. Lalu si nenek berseru. “Sahabat di atas sana. Siapa diantara kami di sini yang menurutmu mampu menolongmu?”

Ken Parantili membungkuk. Tangan kanan disapukan ke bawah lalu diangkat, ibu jari menunjuk ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Sahabat yang bahunya robek, berambut panjang dan menurut Nyi Roro Manggut bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua…”

“Selesai sudah!” Celetuk Jaka Pesolek sementara semua orang terdiam menatap ke arah Wiro.

“Aku tidak punya kepandaian apa-apa. Aku…” Wiro berkata gagap.

“Sudah, jangan mencari dalih. Orang sudah menunjuk dirimu karena sudah tahu kau siapa…” Kata Ratu Randang pula.

Diatas batang pohon yang mengambang di udara Ken Parantili mengangkat wajahnya sedikit, menatap ke arah langit jernih lalu mulut melantunkan nyanyian.

Dari Atap Langit ke Kaki Bumi
Perjalanan jauh terasa satu jengkal
Datang untuk memohon budi
Bukan untuk mencari tumbal
Dari Atap Langit Ke Kaki Bumi
Menyanding budi dengan balas
Kalau selamat nyawa di badan
Sebagai balas arwah jahat tentulah amblas


“Apa arti dan maksud nyanyian selir itu?” Tanya Wiro sambil menggaruk kepala.

“Aku tidak tahu. Aku tidak mau lagi bertanya. Kalau kau ingin tahu kau saja yang bertanya.” Jawab Ratu Randang.

Wiro kembali menggaruk kepala. Menatap ke atas lalu berseru. “Sahabat, aku… anu… bagaimana caranya aku menyelamatkan nyawamu dari tangan jahat Penguasa Atap Langit?”

“Sangat mudah, sangat mudah.” Jawab Ken Parantili.

“Mudah bagaimana? Apa semudah membalik telapak tangan?” Tanya Wiro lagi. “Caranya hanya dengan tidur bersamaku sejak matahari tenggelam sampai fajar menyingsing pada malam ini, malam Selasa Kliwon.”

Sementara semua orang yang ada di situ tersentak kaget terutama Wiro, Jaka Pesolek berteriak. “Oala! Kalau caranya begitu aku juga mau! Aku pasti bisa!”

“Gadis konyol! Kencing saja kau tidak bisa! Mau…!” Kunti Ambiri tidak meneruskan ucapannya tapi lantas tertawa cekikikan.

S E L E S A I

Sesajen Atap Langit

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Episode Sesajen Atap Langit
Karya Bastian Tito
cerita silat online Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut 212 karya Bastian Tito

Tiga mahluk berbentuk kelelawar raksasa menguik keras. Mereka menukik ke bawah dan lenyap di balik kabut yang mulai muncul menutupi kawasan puncak Gunung Semeru, sesaat kemudian terdengar suara Penguasa Atap Langit.

“Sinuhun Merah Penghisap Arwah, terakhir kali kau datang kau membawa sesajen atap langit berupa delapan jantung bayi lelaki. Katakan padaku, kali ini sesajen atap langit apa yang kau bawa untuk delapan anak kucing jantan merah sakti peliharaan Dirga Purana!”

“Penguasa Atap Langit, sesajen yang kubawa kali ini adalah sumsum delapan bayi lelaki yang telah dicairkan menjadi susu.”


SATU

DI RUANG Segi Tiga Mayat yang terletak di dalam tanah di bawah Candi Plaosan Lor, Empu Semirang Biru mendadak saja dilanda kekawatiran. Di atas atap suara ngeongan delapan anak kucing merah semakin keras. Ruangan segi tiga bergetar keras. Delapan Sukma Merah bukan anak kucing biasa! Orang tua pembuat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ini menatap ke atas atap.

“Bagaimana kalau dua Sinuhun memiliki ilmu penangkal baru, lalu sanggup menembus masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa. Delapan anak kucing merah pasti akan menyerbu lebih dulu. Dewa Agung, lindungi kami semua yang ada di ruangan ini. Selamatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dari tangan mahluk-mahluk jahat.”

Baru saja Empu Semirang Biru membatinkan kekawatirannya tiba-tiba... braakkk!

Satu sosok terkapar di lantai ruangan. Pakaian robek-robek dipenuhi noda darah. Di wajah ada tiga guratan luka lalu di dada ada dua lagi.

“Wiro!”

Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri sama-sama terpekik. Jaka Pesolek tidak ikut menjerit tapi gadis ini melompat lebih dulu, menjatuhkan diri di samping sosok yang terbujur di lantai yang memang sosok Pendekar 212 Wiro Sableng adanya. Jaka Pesolek langsung memeluk. Tubuh Wiro terasa panas.

Untuk beberapa lama sosok Wiro diam tak bergerak. Tiba-tiba dari mulutnya keluar suara mengerang pendek. Tubuh menggeliat lalu melompat mencoba berdiri. Dia tampak mengerahkan seluruh tenaga yang ada, namun terhuyung lalu jatuh berlutut. Wiro berusaha bertahan, mengerahkan kekuatan untuk tidak ambruk hingga sekujur tubuhnya tampak bergetar. Keringat memercik. Kepala mendongak, mata terpejam, mulut terkancing. Para sahabat yang ada dalam ruangan berusaha menolong. Empat pasang tangan memegangi.

“Tubuhnya panas…” ucap Sakuntaladewi.

“Wiro! Apa yang terjadi?!” Bertanya Kunti Ambiri sambil dekatkan mulutnya ke telinga Wiro. Gadis yang selama lini lebih dikenal dengan sebutan Dewi Ular membuat dua totokan. Satu di punggung dan satu lagi di dada.

Ratu Randang alirkan hawa sakti. Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal cengkeramkan sepuluh jari berkuku jingga ke bahu kiri kanan lalu kerahkan tenaga dalam. Ratu Randang tidak tinggal diam. Dia letakkan telapak tangan di atas kepala Wiro sementara dua kaki yang menginjak lantai ruangan tampak bergetar. Nenek ini tengah menerapkan ilmu kesaktian yang disebut Tangan Langit Kaki Bumi.

Jaka Pesolek yang tidak punya kesaktian apa-apa hanya bisa memperhatikan dengan wajah tegang. Tiba-tiba mulut Wiro yang sejak tadi tertutup membuka lebar. Bukan untuk bicara menjawab pertanyaan Sakuntaladewi tapi malah muntahkan darah segar. Ratu Randang, Jaka Pesolek, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi sama-sama menjerit. Wajah Pendekar 212 tampak merah lalu dengan cepat berubah pucat putih seperti mayat. Di atas atap ruangan segi tiga suara ngeongan kucing semakin gaduh. Ujud mereka hanya terlihat samar.

“Binatang jahanam! Biar kurobek dulu mulut kalian semua!” Teriak Kunti Ambiri marah. Dia segera hendak mengerahkan serangan Sepuluh Ular Akhirat Turun Ke Bumi. Tapi cepat dicegah oleh Ratu Randang.

“Kunti, jangan perhatikan binatang-binatang celaka itu. Seperti kata Empu Semirang Biru mereka tidak akan bisa menembus masuk ke dalam sini. Lagi pula ujud mereka terlihat samar. Mereka mampu bergerak cepat. Sulit dijajagi keberadaannya secara pasti!”

“Sepuluh ular saktiku bisa mengendus dan melihat binatang itu berada dimana. Sekali menyerang mereka sudah mengunci kedudukan sasaran!”

“Dari pada mengurusi kucing lebih baik menolong Wiro lebih dulu.” Berkata Jaka Pesolek.

“Hyang Jagat Bathara! Apa yang harus kita lakukan? Aliran hawa sakti dan tenaga dalam serta totokan sepertinya tidak banyak menolong!” Kata Sakuntaladewi setengah berteriak. Diantara semua orang yang ada dalam ruangan itu memang dia yang paling merasa kawatir. Karena kalau sang pendekar sampai menemui ajal maka kaulnya untuk mendapat kesembuhan atas dua kakinya yang cacat dengan cara mengawini Wiro akan gagal selama-lamanya. Ketika dia hendak memeluk Pendekar 212, dari tempatnya duduk bersila dalam keadaan dilihat rantai besi merah, Empu Semirang Biru berkata.

“Kalian semua, dengar apa kataku. Menurut penglihatanku, dari luka yang ada di wajah dan dada pemuda berambut gondrong itu, agaknya dia telah terkena serangan Cakar Sukma Merah delapan anak kucing merah. Lukanya mengandung racun sangat jahat dan sangat mematikan. Aku bisa merasakan sebenarnya pemuda itu memiliki kekebalan terhadap racun. Selain itu ada satu senjata sakti di dalam tubuhnya. Senjata yang mampu memusnahkan segala macam racun. Namun agaknya jalur hawa sakti dan tenaga dalam yang dimilikinya telah disumbat mahluk jahat. Hingga dia tidak mampu menyelamatkan diri sendiri. Jika sampai matahari tenggelam racun dalam tubuhnya tidak bisa disembuhkan nyawanya tidak akan tertolong…”

Semua orang yang ada dalam ruangan keluarkan seruan tertahan dan saling pandang dengan wajah tegang.

“Celaka, kita berada di dalam tanah. Bagaimana tahu saatnya matahari akan tenggelam!” Kata Kunti Ambiri.

Ratu Randang berlutut di lantai, memperhatikan luka di muka dan dada Wiro. Dia ingat apa yang terjadi dengan dirinya. “Empu Semirang Biru, apa yang kau katakan pasti benar. Sebelumnya aku juga telah diserang oleh delapan ekor anak kucing merah. Tangan kananku terkena sambaran cakaran kuku berbentuk pisau. Saat itu aku hanya mengalami satu luka kecil. Pemuda ini menderita lima guratan luka. Pasti keadaannya jauh lebih berbahaya. Hanya ada satu orang yang bisa menyembuhkan. Dan hanya ada satu tempat penyembuhan bisa dilakukan! Aku kawatir…” Suara si nenek tercekat. Sepasang mata berkaca kaca.

“Nenek Ratu Randang…” Kata Sakuntaladewi sambil pegang bahu Ratu Randang. "Cepat katakan siapa orang yang bisa menyembuhkan luka bekas cakaran itu. Juga dimana racun bisa dimusnahkan!”

Ratu Randang unjukkan wajah muram. “Orangnya adalah kakek sakti berjubah dan bersorban kelabu yang telah menolongku. Dimana mencarinya aku tidak dapat mengatakan. Dia muncul dan pergi secara aneh. Siapa dia adanya aku tidak tahu. Tapi seperti yang dijelaskan Empu Semirang Biru, orang itu adalah Embah Buyut dari Kumara Gandamayana, salah seorang sahabatku, pembantu dan kepercayaan Raja. Kumara sebelumnya bergabung dengan Rauh Kalidathi dalam perjalanan menyelamatkan Raja Mataram ke satu tempat rahasia.”

“Lalu tempat penyembuhan yang kau katakan?” Kunti Ambiri yang bertanya.

“Delapan tombak di dalam lapisan tanah.” jawab Ratu Randang.

“Ratu, dari mana kau tahu hal itu?” Tanya Kunti Ambiri.

“Orang tua itu yang mengatakan waktu dia menolongku. Dia membawaku masuk ke dalam tanah sedalam delapan tombak.”

Semua orang saling pandang.

“Empu Semirang Biru, kau tahu kita di ruangan in! berada di lapisan tanah sedalam berapa tombak?” Bertanya Ratu Randang.

“Menurut taksiranku, paling dalam hanya empat tombak.”

Semua orang terdiam sampai akhirnya Jaka Pesolek memecah kesunyian.

“Kalau begitu biar aku menemui kakek bernama Kumara Gandamayana itu.” Kata Jaka Pesolek.

“Kalaupun bisa ditemui belum tentu Kumara Gandamayana punya ilmu mampu menyembuhkan pemuda itu. Selain itu belum tentu dia mengetahui dimana Embah Buyutnya berada,” berkata Empu Semirang Biru. “Kakek sakti dari alam gaib itu memang jarang muncul di luaran. Kalaupun muncul hanya beberapa saat saja. Konon dia dikabarkan selalu melakukan samadi di satu tempat yang bernama Atap Langit. Tempat itu adalah kawasan berkeliarannya orang dan mahluk halus jahat. Kemungkinan si kakek berada sedikit di luar kawasan untuk memantau keadaan.”

“Atap Langit! Dimana itu Kek?” Tanya Sakuntaladewi.

“Satu tempat rahasia di atas puncak Gunung Semeru. Kabarnya di sana ada satu kawasan yang dikuasai dan banyak berkeliaran mahluk jahat dari alam dunia maupun alam gaib. Di situ mereka mengatur segala hal yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan yang akan mereka lakukan. Sulit bagi manusia biasa masuk ke dalam kawasan itu.”

“Aku akan pergi ke sana. Mencari si Embah Buyut! Sebelum matahari tenggelam pasti sudah kembali ke sini bersama kakek sakti itu.” Kembali Jaka Pesolek berkata.

“Aku ikut bersamamu!” Kata Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal.

Tiba-tiba di luar ruangan satu cahaya kelabu berkelebat. Disusul suara orang berucap. “Kenapa mempersusah diri jauh-jauh mencariku? Aku sudah berada di dekat kalian. Bawalah pemuda malang berambut panjang itu ke hadapanku. Akan kuobati dan pasti sembuh. Semoga Para Dewa menolong den memberi berkat.”

Semua orang, termasuk Empu Semirang Biru yang berada dalam ikatan rantai besi sama-sama palingkan kepala. Di luar Ruang Segi Tiga Nyawa tampak berdiri seorang kakek bersorban dan berjubah kelabu. Wajahnya walau jernih namun menyiratkan kekawatiran.

“Dewa Agung!”Seru Empu Semirang Biru. “Kuasa Para Dewa membawa Embah Buyut Kumara Gandamayana ke tempat ini.”

Ratu Randang terlonjak kaget tapi juga gembira. Dia perhatikan orang tua di luar ruangan lalu berucap. “Memang dia. Kakek itu yang sebelumnya menolong diriku,”

“Lekaslah, waktuku tidak lama.” Embah Buyut Kumara Gandamayana berkata sambil melambaikan tangan.

Empat orang yaitu Sakuntaladewi, Ratu Randang, Jaka Pesolek dan Kunti Ambiri segera menggotong Wiro yang saat itu berada dalam keadaan masih berlutut. Empu Semirang Biru menarik nafas lega. Tiba-tiba orang tua ini mencium bau aneh. Lantai yang didudukinya terasa bergetar. Lalu ada suara mengiang di telinga kirinya. Wajah sang Empu berubah, kening mengerenyit. Dia hendak mengatakan sesuatu, tapi empat orang yang menggotong Wiro sudah berada di luar dinding Ruang Segi Tiga Nyawa sebelah kanan.

Selagi tubuhnya digotong, dalam keadaan setengah sadar Wiro mampu memaksakan membuka sedikit sepasang matanya yang sejak tadi terpicing. Walaupun samar pandangan matanya langsung membentur sosok kakek bersorban dan berjubah kelabu. Murid Sinto Gendeng kedipkan perlahan sepasang mata. Karena tidak membutuhkan kekuatan tenaga dalam yang banyak, dia masih mampu menerapkan ilmu Menembus Pandang, Mendadak saja dia menjadi tegang. Di dalam sosok si orang tua bersorban den berjubah kelabu dia melihat sosok seorang lain. Memandang menyeringai angker ke arahnya, memperlihatkan taring merah di sudut mulut!

“Gusti Allah…” Wiro mengucap.

DUA

KITA tinggalkan dulu Pendekar 212 yang tengah digotong menemui sosok kakek bersorban dan berjubah kelabu. Kita menuju ke satu kawasan sangat rahasia di puncak Gunung Semeru, kawasan aneh yang keberadaannya mengambang di udara dan disebut sebagai Atap Langit. Banyak tokoh rimba persilatan mengetahui atau mendengar nama Atap Langit namun hanya satu dua orang saja yang pernah dan mampu memasuki kawasan tersebut, Konon di Atap Langit banyak berkeliaran mahluk halus yang muncul dalam berbagai ujud, termasuk arwah sesat dan roh gentayangan.

Saat itu tengah hari tepat. Sang surya memancar terang benderang dan sangat terik. Namun d kawasan Atap Langit suasana selalu redup mendung, Sinar matahari seolah tidak mampu menembus adanya lapisan udara berkekuatan aneh yang menyungkup kawasan di arah delapan penjuru angin. Bahkan hembusan anginpun tidak pernah menyapu kawasan Atap Langit! Setiap bands yang ada di kawasan itu seperti tanah, pepohonan dan bebatuan selalu diselimuti cairan yang sesekali mengepulkan asap menebar hawa dingin mengiris tulang sumsum.

Ketika di langit sebelah utara memancar sinar kebiruan, menukik ke bumi seperti bintang jatuh, dari arah selatan lereng Gunung Semeru berkelebat satu bayangan merah. Gerakan mahluk ini cepat sekali hingga dalam waktu singkat dia sudah berada di puncak gunung, berdiri di satu tebing batu lancip licin. Ternyata mahluk ini adalah seorang kakek berjubah dan mengenakan belangkon merah.

Di sebelah depan belangkon tersemat sebuah hiasan terbuat dari suasa muda atau perunggu berbentuk bintang bersudut delapan. Dari warna sepasang mata, rambut, kumis, janggut dan cambang bawuk tipis serta sepasang alis berwarna merah sudah nyata kalau mahluk ini adalah momok arwah paling ganas dan ditakuti di Bhumi Mataram yaitu Sinuhun Merah Penghisap Arwah.

Sementara tangan kiri berkacak pinggang, di tangan kanan Sinuhun Merah Penghisap Arwah memegang sebuah piala perak yang memiliki delapan cantelan. Pada setiap cantelan tergantung sebuah cangkir perak. Sepintas dua kaki Sinuhun Merah Penghisap Arwah tampak seperti menapak batu lancip di atas tebing. Namun jika diperhatikan ternyata sepasang telapak kaki itu menggantung atau mengambang di udara, seujung kuku di atas tebing batu yang basah dan licin!

Ketika di langit sebelah utara menyala selarik sinar kuning kemerahan, Sinuhun Merah Penghisap Arwah dongakkan kepala. Lalu mulut berucap lantang. Penguasa Kawasan Atap Langit!

"Aku Sinuhun Merah Penghisap Arwah mahluk alam roh. Aku kembali datang selaku utusan seorang putra Bhumi Mataram bernama Dirga Purana yang disebut Sang Junjungan yang kesaktiannya ikut mendulang kawasan Atap Langit. Aku datang membawa Sesajen Atap Langit yang telah diramu oleh Sang Junjungan untuk delapan anak kucing jantan sakti peliharaannya. Tiga dari anak kucing itu tengah menghadapi sekarat akibat tebasan senjata berupa kapak bermata dua sakti mandraguna yang berasal dari alam delapan ratus tahun mendatang! Aku mohon nampan perak siap menerima Sesajen Atap Langit, Aku mohon Penguasa Atap Langit mau menyelamatkan nyawa tiga anak kucing merah sakti yang terluka parah. Ika Penguasa Atap Langit tidak turun tangan maka nyawa mereka tidak tertolong. Dunia arwah dan alam roh akan dilanda kegoncangan dahsyat. Langit bisa runtuh, bumi bisa tenggelam. Aku mohon Penguasa Atap Langit membawa delapan anak kucing jantan berbulu merah datang untuk menyantap, Sesajen Atap Langit. Kembalikan kesaktian mereka secara utuh sampai tiba saat pemberian Sesajen Atap Langit berikutnya. Aku mohon Penguasa Atap Langit mau membuka Pintu Gerbang Atap Langit. Izinkan aku masuk dengan segera! Mohon maaf karena waktuku tidak lama!”

Baru saja Sinuhun Merah Penghisap Arwah selesai berucap lantang tiba-tiba di langit memancar kembali sinar kuning kemerahan. Udara bergetar disusul suara dari mahluk yang ujudnya tidak kelihatan.

“Tiga Pengawal Atap Langit! Periksa dengan penciumanmu, lihat dengan matamu. Apa benar mahluk yang datang adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah dari Kerajaan Bhumi Mataram! Bukan mahluk jejadian yang menyamar untuk maksud jahat!”

Laksana petir menyambar tiga benda hitam besar berujud kelelawar raksasa entah dari mane munculnya tahu-tahu telah melayang mengitari sosok Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang tegak mengambang di atas tebing batu puncak Gunung Semeru. Tiga pasang sayap lebar mengepak menebar bau busuk. Tiga pasang mate pancarkan cahaya merah, menyapu di atas kepala den tubuh Sinuhun. Hidung menyedot dalam-dalam. Sinuhun Merah Penghisap Arwah tenang saja, Kepala masih terus mendongak.

Sebelumnya dia sudah mengalami hal seperti ini sebanyak due kali. Yaitu setiap dia mengantar Sesajen Atap Langit untuk memperpanjang kesaktian rahasia yang ada dalam tubuh delapan anak kucing merah yang dikenal dengan name Delapan Sukma Merah.

“Blaarrr! Blaarrr! Blarr!”

Tiga letusan menggelegar disertai berkiblatnya tiga larik sinar merah. Lalu sunyi sesaat. Dalam kesunyian kemudian terdengar tiga suara anch berucap bersamaan.

“Penguasa Atap Langit! Kami telah melihat. Kami Tiga Pengawal Atap Langit bersaksi bahwa kepala den tubuh itu adalah benar kepala dan tubuh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Kami telah mencium. Kami Tiga Pengawal Atap Langit bersaksi bahwa roh dalam ujud mahluk berbelangkon dan berjubah merah di puncak Gunung Semeru benar adalah roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Kami mencium! Darah arwah yang mengalir di dalam ujud mahluk. itu benar adalah darah Sinuhun Merah Penghisap Arwah.”

“Melihat belum berarti menyaksikan kebenaran. Tiga Pengawal Atap Langit lakes beri tahu aku! Aku ingin kepastian kunci! Apa kelainan yang terdapat dalam tubuh Sinuhun Merah Penghisap Arwah! ” Suara gaib yang menggetarkan udara menggelegar. Suara mahluk tak kelihatan ujud yang disebut sebagai Penguasa Kawasan Atap Langit.

“Biarr! Blaarr! Blaar!"

Tiga letusan kembali menggelegar dan tiga cahaya merah menyusul berkiblat. Lalu terdengar tiga suara aneh tadi memberikan jawaban.

“Penguasa Atap Langit! Kami Tiga Pengawal Atap Langit melihat kelainan yang ada dalam tubuh roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Jantungnya berada di sebelah kanan, bukan di sebelah kiri!”

“Pemeriksaan selesai! Tiga Pengawal Atap Langit kalian boleh kembali!”

Tiga pasang sayap mengepak keras. Bau busuk kembali menebar. Cahaya merah terang pada, tiga pasang mata meredup. Hidung menghembuskan tiupan nafas panjang. Tiga mahluk berbentuk, kelelawar raksasa menguik keras lalu berputar dua kali. Pada putaran ke tiga mereka menukik ke bawah den lenyap di balik kabut yang mulai muncul menutupi kawasan puncak Gunung Semeru. Sesaat kemudian terdengar suara Penguasa Atap Langit.

“Sinuhun Merah Penghisap Arwah, terakhir kali kau datang kau membawa Sesajen Atap Langit berupa delapan jantung bayi lelaki. Katakan padaku, kali ini Sesajen Atap Langit apa yang kau bawa untuk delapan anak kucing jantan merah sakti peliharaan Dirga Purana!”

"Penguasa Atap Langit, sesajen yang kubawa kali ini adalah sumsum delapan bayi lelaki yang telah dicairkan menjadi susu.”

“Hemmm…” Terdengar suara bergumam. Di susul ucapan keras. “Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Sebelum Pintu Gerbang Atap Langit dibuka, perlihatkan pada diriku bahwa kau tidak juga membawa Sesajen Penyanding Sesajen Atap Langit!”

Tangan kiri Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang sejak tadi berkacak pinggang bergerak ke balik jubah merah, mengeluarkan sebuah kantong kain merah bergambar bintang kuning berujung delapan pada dua sisinya.

“Penguasa Atap Langit, Sesajen Penyanding sudah ada dalam genggamanku. Mungkin ada sesuatu yang hendak kau tanyakan lagi?” Bertanya Sinuhun Merah Penghisap Arwah.

“Katakan ape isi kantong kain merah itu!” Mahluk tak kelihatan ujud bertanya.

“Lima puluh keping uang emas! Dua puluh butir permata mutu manikam! Tiga puluh lentingan rokok daun jagung yang sudah diisi dengan candu dari negeri Cina! Mohon Penguasa Atap Langit bersedia menerima!”

Di udara berkabut di puncak Gunung Semeru terdengar suara tawa bergelak disusul ucapan. “Aku bersedia menerima! Lemparkan ke udara kantong kain itu!”

Dengan cepat tangan kiri Sinuhun Merah Penghisap Arwah melemparkan kantong kain ke udara. Seperti ada kekuatan yang menyedot, kantong kain tertarik ke atas dan sekejapan saja telah lenyap dari pandangan mata. Sesaat kemudian terdengar suara berderak. Batu di bawah kaki Sinuhun Merah Penghisap Arwah bergetar.

“Wusss!”

Belasan tombak di hadapan Sinuhun Merah Penghisap Arwah muncul dua buah dinding batu yang secara cepat bergerak membuka ke samping kiri dan kanan.

“Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Pintu Gerbang Atap Langit sudah dibuka! Kau diperkenankan masuk!”

Tidak menunggu lebih lama Sinuhun Merah Penghisap Arwah segera melesat memasuki pintu batu yang dengan cepat bergerak menutup kembali. Hanya sejengkal lagi dua dinding batu akan menutup rapat tiba-tiba satu benda kelabu laksana ular besar melesat di udara, lalu dess! Bergulung mengganjal Pintu Gerbang Atap Langit. Benda itu ternyata adalah segulung sorban!

TIGA

DUA dinding batu Pintu Gerbang Atap Langit yang terganjal sorban kelabu bergetar hebat. Kabut yang menyungkup buyar bertebaran dan lenyap hingga keadaan di tempat itu kini kelihatan lebih jelas walau mendung masih terus meredupi, Udara mendadak menyentak pengap.

“Pengawal Atap Langit! Ada mahluk hendak berbuat jahat! Hancurkan benda yang mengganjal Pintu Atap Langit!” Di langit terdengar suara teriakan lantang Sang Penguasa Kawasan Atap Langit.

Kejap itu juga di udara muncul kembali tiga mahluk berbentuk kelelawar raksasa. Tiga binatang ini langsung melesat ke arah sorban kelabu. Mulut menguik keras. Dari dalam mulut meluncur keluar lidah panjang merah mengepulkan asap panas. Dua ekor burung yang terpesat melayang di udara, begitu berada satu tombak, di depan juluran tiga lidah panjang langsung terbakar musnah!

“Wuutt!”

Tiga lidah panjang menyambar sorban yang mengganjal pintu. Kobaran api berkiblat. Tapi!

“Dess! Desss! Desss!”

Tiga kelelawar besar terpental ke atas dan keluarkan suara meraung seperti lolongan anjing. Lidah mereka nampak mengepul dan berubah dari merah menjadi hitam.

“Kurang ajar!” Terdengar makian Penguasa Atap Langit. Pengawal Atap Langit! Serang benda yang mengganjal pintu dengan Panah Sukma Api! Aku akan meminta semua arwah di kawasan ini untuk membantu!”

Diatas puncak Gunung Semeru mendadak terdengar suara raungan riuh. Itu pertanda semua mahluk alam roh yang ada di Kawasan Atap Langit telah mendengar kata-kata Sang Penguasa. Tiga pasang mata merah kelelawar raksasa mencuat keluar. Begitu mata dikedipkan, enam panah dikobari api melesat ke arah gulungan sorban kelabu yang mengganjal Pintu Atap Langit. Enam dentuman keras menggelegar. Udara bergetar. Pintu Gerbang Atap Langit bergoncang.

Sorban kelabu di antara dua dinding batu tenggelam dalam kobaran api, musnah berubah jadi kepulan asap. Greekk! Pintu Gerbang Atap Langit yang tadi tidak bisa menutup akibat ganjalan sorban kelabu kini bertaut rapat dan tertutup. Di puncak timur Gunung Semeru yang barbatasan dengan Kawasan Atap Langit seorang kakek berjubah kelabu tegak tertegun sambil memegang dada.

“Hyang Jagat Bathara Dewa, mohon ampun saya bertindak terlambat. Mohon maaf ilmu kepandaian saya masih berada di bawah mereka. Yang saya kawatirkan adalah orang-orang dan benda sakti yang ada dalam Ruang Segi Tiga Mayat. Tolong mereka, lindungi mereka…”

Kakek berjubah kelabu angkat tangan kanannya, di arahkan ke Pintu Gerbang Atap Langit yang mulai tampak samar. Sebelum ujud Pintu Gerbang lenyap kakek ini dengan cepat sentakkan tangan kanan.

“Wuutt!”

Sorban yang telah musnah dibakar kobaran enam Panah Sukma Api menampakkan diri kembali, melesat ke arah si kakek, langsung bergulung diatas kepalanya. Walau mampu mendapatkan sorbannya kembali namun tak urung dua kaki si kakek tampak tertekuk goyah dan sekujur tubuh bergetar.

Siapa gerangan adanya kakek ini? Dia bukan lain orang tua sakti yang telah menolong Ratu Randang yang oleh Empu Semirang Biru disebut sebagai Embah Buyut Kumara Gandamayana. Ketika siap hendak meninggalkan tempat itu tiba-tiba di sekitarnya terdengar suara anak kucing mengeong keras tapi ujudnya tidak kelihatan. Kagetnya si kakek bukan alang kepalang karena mendadak saja dua kakinya tak bisa bergerak! Ketika dia memandang ke bawah, astaga! Dua kakinya ternyata telah dilibat gulungan rantai besi berwarna merah.

“Rantai Kepala Arwah Kaki Roh,” ucap si kakek yang rupanya mengenali dan tahu nama rantai. Rantai inilah yang telah memberangus tubuh Empu Semirang Biru hingga hanya mampu duduk bersila di dalam Ruang Segi Tiga Nyawa. “Ini pasti pekerjaan anak lelaki bernama Dirga Purana pemilik Delapan Sukma Merah delapan anak kucing itu!”

Walau darahnya berdesir namun dia tetap berlaku tenang. Dua telapak tangan dikembang ke arah bawah. Tenaga dalam den hawa sakti dialirkan hingga dari sepuluh ujung jari memancar cahaya kelabu.

“Rantai Kaki Arwah Kepala Roh!” Si kakek berteriak sengaja menyebut terbalik nama rentai merah. Agaknya ada maksud tertentu dia berucap seperti itu. Karena kemudian dia kembali berteriak. “Arwah Penangkal! Tunjukkan yang putih itu putih! Yang benar itu benar!” Dua tangan dihentakkan ke bawah.

“Dess! Dess!”

“Blaarr!”

Si kakek sanggup menggerakkan kedua kaki namun rantai besi merah masih mengikat kedua kakinya walau kini sedikit agak longgar. Tidak menunggu lebih lama dia segera melompat ke udara. Setengah jalan dia berjungkir, kaki ke atas kepala ke bawah. Lalu wuuuttt! Tubuh orang tua itu melesat ke bawah Gunung Semeru.

“Aku harus mencari pemuda dari alam delapan ratus tahun mendatang itu. Hanya dia yang memiliki kemampuan menghadang dan menghancurkan kekuatan Penguasa Atap Langit. Hanya dia yang bisa menghadapi Delapan Sukma Merah.”

Suara ngeongan anak kucing mendadak kembali terdengar. Kali ini disertai dengan melesatnya delapan ujud samar berwarna merah. Embah Buyut Kumara Gandamayana mendengus. Mulut berucap.

“Kalian belum mendapatkan Sesajen Atap Langit! Kalian tidak punya kekuatan! Kesaktian kalian mengapung di udara! Kalian sebenarnya adalah ganjalan nyawa mahluk terkutuk. Kalian tidak akan mampu menyerangku! Pergi!” Orang tua itu tanggalkan sorban kelabunya lalu dikebut ke arah delapan bayangan samar anak kucing merah.

“Wuuutt!” Satu gelombang angin memancarkan cahaya kelabu menderu.

“Ngeooong!”

Delapan sosok samar anak kucing merah mental ke udara.

* * *

Di KAWASAN Atap Langit di atas puncak Gunung Semeru, Sinuhun Merah Penghisap Arwah memaklumi sesuatu telah terjadi. “Ada mahluk yang coba menghalangi tertutupnya Pintu Gerbang Atap Langit. Pasti hendak berusaha menyusup masuk ke dalam.” Sinuhun yang sebenarnya adalah mahluk dari alam roh ini menyeringai. “Siapa yang sanggup menantang kekuatan Delapan Sukma Merah! Siapa yang mampu melawan Penguasa Atap Langit yang punya ratusan anak buah mahluk alam arwah! Tapi aku mulai meragukan kekuatan dan kesaktian Sang Penguasa.”

Laksana terbang Sinuhun Merah Penghisap Arwah melesat ke arah timur Kawasan Atap Langit. Setelah melewati sekian banyak gumpalan gumpalan awan kelabu, begitu matanya melihat hamparan sembilan batu besar hitam dan basah mengambang di bawah sane die segera menukik turun. Delapan batu tersebar begitu rupa membentuk lingkaran mengelilingi batu ke sembilan yang disebut Batu Atap Langit. Di atas batu besar ke sembilan ini terletak sebuah nampan atau baki memiliki delapan kaki berupa kaki binatang dengan cakar mencuat, terbuat dari perak putih berkilau.

Seperti diketahui saat itu siang hari dan sang surya memancarkan sinarnya yang terik. Namun di tempat itu keadaan redup temaram. Udara terasa basah dan ada hawa dingin aneh menyembur dari dalam tanah.

Begitu menjejakkan kaki di atas batu ke sembilan, Sinuhun Merah Penghisap Arwah merasa ada hawa dingin keluar dari batu, masuk ke dalam tubuh yang membuat dua kakinya bergetar. Otaknya serasa beku. Sinuhun Merah Penghisap Arwah tertegun kaget den marah.

“Kurang ajar! Bagaimana mungkin ada mahluk jahanam bisa tembus masuk ke tempat ini!”

Sinuhun Merah Penghisap Arwah memandang berkeliling. Dia melihat ada bayangan warna kebiruan di balik salah satu delapan batu yang mengelilingi batu ke sembilan. Dari arah itu datangnya hawa luar biasa dingin. Tidak tunggu lebih lama dia segera angkat kepala. Delapan benjolan merah di kening pancarkan cahaya terang siap untuk melancarkan serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit. Namun sebelum delapan cahaya merah keluar dari delapan benjolan tibatiba terdengar suara Penguasa Atap Langit.

“Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Kawasan Atap Langit adalah daerah kekuasaanku! Apapun yang terjadi tidak seorang lain boleh turun tangan. Kau tidak boleh menimbulkan kerusakan di sini! Batalkan seranganmu! Biar para Pengawal Atap Langit menangani masalahmu!”

“Penguasa Atap Langit!” Sinuhun Merah menyahuti, “Aku rasa kemampuanmu sudah jauh berkurang. Bagaimana ada mahluk lain bisa menyusup masuk ke dalam kawasan kekuasaanmu?”

“Bisa masuk tak ada artinya kalau tidak bisa keluar!” Penguasa Atap Langit lalu berteriak memanggil Pengawal. Tiga kelelawar raksasa segera muncul lalu melesat ke arah batu besar yang dibaliknya kelihatan sinar biru.

“Plaak… plaak!”

Enam sayap mengepak. Enam cahaya hitam menerpa batu besar. Saat itu juga dari balik batu memancar cahaya biru legam dibarengi suara jeritan keras. Sesosok tubuh mengapung di udara dalam keadaan gosong, sulit dikenali siapa adanya. Tiga kelelawar hitam menguik keras, berputar due kali lalu melesat lenyap.

“Penguasa Atap Langit! Aku tidak mengenali mahluk itu. Harap kau memberi tahu siapa dia adanya!”

Di udara redup terdengar suara tertawa bergelak Sang Penguasa. “Kau telah menyaksikan kehebatan para Pengawal Atap Langit. Jangan ada yang berani meragukan kekuatan den kuasa kami para mahluk Atap Langit. Siapa mahluk yang telah menemui ajal dalam keadaan gosong itu, itu bukan urusanmu. Harap kau mawas diri. Di alam nyata dan di alam gaib kau sudah terlalu banyak musuh! Kau harus bersyukur aku masih memberi kesempatan bagimu untuk melaksanakan upacara Sesajen Atap Langit! Kalau tidak nyawamu sudah terpecah di delapan penjuru angin! Sampaikan hal itu pada Junjunganmu anak lelaki bernama Dirga Purana! Aku menghormatinya tapi jangan ada anak buahnya berani menganggap rendah diriku! Atap Langit adalah Negeri kekuasaanku, Atap Langit adalah Kerajaanku! Sekarang cepat kau melaksanakan pemberian Sesajen Atap Langit, Waktumu hanya tinggal sedikit. Begitu selesai cepat tinggalkan tempat ini! Masih delapan mahluk lain yang menunggu pelaksanaan Sesajen Atap Langit!”

Rahang Sinuhun Merah Penghisap Arwah tampak menggembung. Telinganya terasa panas. Walau mulutnya ingin berteriak memaki namun dia tidak bisa berbuat apa-apa selain melakukan apa yang dikatakan Penguasa Atap Langit.

“Jahanam, inilah kesalahan Kesatria Junjungan. Dia terlalu percaya hingga Penguasa Atap Langit tahu banyak tentang diri dan kekuatanku! Kalau tiba saatnya Kawasan Atap Langit akan aku musnahkan dengan Api Delapan Sukma Dewa!”

EMPAT

Satu demi satu Sinuhun Merah Penghisap Arwah mengambil cangkir perak yang tergantung pada cantelan piala. Cangkir kemudian diletakkan diatas nampan perak, masing-masing gagang menghadap ke arah delapan batu yang mengelilingi. Setelah lebih dulu berlutut di atas batu, mahluk alam roh yang berujud serba merah ini buka penutup piala. Dari dalam piala dia kemudian menuangkan cairan putih ke dalam setiap cangkir perak.

Setelah semua cairan putih yang konon adalah sumsum belakang delapan bayi dituang dibagi rata hingga penuh sampai dua pertiga cangkir, Sinuhun Merah Penghisap Arwah lemparkan piala perak ke udara. Di satu tempat piala perak meledak, berubah jadi asap putih lalu lenyap dari pemandangan.

Sinuhun Merah Penghisap Arwah letakkan dua telapak tangan di atas dada. Dua jari tengah sengaja ditekuk sementara empat jari lain dari masing-masing tangan mengembang lurus. Kepala mendongak, mata dipejam. Perlahan-perlahan delapan jari tangan berubah merah, memancarkan cahaya. Tak selang berapa lama bagian batu dibawah delapan nampan perak diletakkan ikut memancarkan cahaya merah disertai kepulan asap. Lalu cairan sumsum di dalam cangkir menggelegak perlahan.

Bau aneh menyerupai bau kemenyan yang di bakar menebar di tempat itu. Suasana menjadi bertambah angker sewaktu di udara yang redup dan dingin di kejauhan terdengar suara panjang raungan anjing. Begitu gema suara raungan lenyap Sinuhun Merah Penghisap Arwah membuka mulut dan berseru.

“Penguasa Atap Langit!! Sesajen Atap Langit sudah disiapkan! Mohon Pintu Arwah dibuka. Izinkan Delapan Sukma Merah menyantap sesajen yang terhidang!”

Di Kawasan Atap Langit tidak pernah ada angin. Namun saat itu tiba-tiba terdengar suara menderu disertai hembusan angin keras. Jubah Merah Sinuhun Merah Penghisap Arwah berkibar-kibar. Kumis, janggut dan rambut panjang dibawah belangkon merah bergeletar. Piala dan delapan cangkir perak bergoyang goyang. Sembilan batu besar bergetar.

Tiba-tiba langit seolah terbelah. Dari celah belahan melesat turun delapan benda merah yang bukan lain adalah delapan anak kucing merah. Binatang ini melesat demikian rupa lalu melayang turun dan duduk di depan cangkir perak. Sepasang mata merah terpentang lebar menatap tak berkesip ke arah cairan di dalam cangkir. Kuku kaki depan mencuat laksana pisau. Ekor berkibas-kibas.

Telinga mencuat ke alas dan lidah menjulur tanda tidak sabaran untuk segera menjilat meneguk cairan sumsum. Jika diperhatikan, walau delapan anak kucing ini semua berbulu merah, namun tiga di antaranya memiliki bulu berwarna lebih pekat, agak kehitaman. Tiga anak kucing ini setiap mengeong keras memancarkan cairan merah dari kedua mata mereka.

Sinuhun Merah Penghisap Arwah turunkan kepalanya yang sejak tadi mendongak. Sepasang mata dibuka. Menyapu delapan anak kucing merah. Jika memperhatikan tiga anak kucing berbulu merah kehitaman, dada kanannya mendenyut sakit.

“Delapan anak kucing merah yang dengan hormat aku panggil dengan nama Delapan Sukma Merah! Penguasa Atap Langit telah membuka Pintu, Arwah! Pertanda kalian telah mendapat izin. Silahkan menikmati Sesajen Atap Langit yang telah disediakan!”

Seolah mengerti apa yang dikatakan Sinuhun Merah Penghisap Arwah, delapan anak kucing merah mendekati cangkir perak di hadapan masing-masing. Dua kaki depan mencengkeram, kepala dirundukkan lalu terdengar suara mereka menjilat dan meneguk sumsum putih. Nyaris sekejapan saja sumsum putih di dalam cangkir serta merta habis tak bersisa. Delapan anak kucing merah mengeong keras. Tubuh memancarkan cahaya merah menyilaukan.

Seolah rasa haus belum terobat, rasa lapar belum pulih tiba-tiba mereka membuka mulut lebar-lebar lalu greek… greekk … greeekkk! Delapan cangkir perak mereka kunyah seperti menyantap kerupuk!

Sinuhun Merah Penghisap Arwah terkejut. “Pertanda buruk! Tidak pernah Delapan Sukma Merah berlaku serakus ini!” Ucap sang Sinuhun dalam hati lalu cepat dia berteriak. “Delapan Sukma Merah! Sesajen Atap Langit sudah kalian dapatkan! Kesaktian kalian sudah diperpanjang! Saatnya untuk kembali menemui Satria Junjungan!”

Delapan anak kucing merah rundukkan kepala hingga dagu menempel di batu. Mulut membuka lebar dan mata membeliak. Kuku kaki depan digerus ke atas batu hingga membuat guratan-guratan dalam yang dikobari api!

“Delapan Sukma Merah! Jangan merusak apa yang ada di Kawasan Atap Langit! Aku minta agar kalian segera kembali menghadap Satria Junjungan Dirga Purana! Penguasa Atap Langit mohon Pintu Akhirat dibuka kembali!”

Seperti tadi mendadak menderu suara tiupan angin keras. Lalu di atas sana langit seolah terbelah membuka. Delapan kucing merah mengeong keras. Mereka melesat ke arah Sinuhun Merah Penghisap Arwah, satu jengkal di atas kepala. Hal Ini cukup membuat Sinuhun Merah terkejut dan cepat rundukkan kepala. Ketika dia memandang ke atas, delapan anak kucing merah telah meles memasuki celah langit.

“Sinuhun Merah Penghisap Arwah! Upacara Sesajen Atap Langit telah selesai. Harap kau segera meninggalkan tempat ini!” Di udara redup menggema suara Penguasa Atap Langit.

“Penguasa Atap Langit! Aku mengucapkan terima kasih. Akan aku sampaikan pada Sang Junjungan semua kebajikan yang telah kau lakukan! Namun sebelum pergi aku mohon satu pertolongan.”

Udara di Kawasan Atap langit semakin redup.

“Sinuhun! Aku peringatkan padamu! Waktumu sebenarnya sudah habis!”

“Penguasa Atap Langit! Aku mohon dengan sepuluh jari di atas kepala!” Sinuhun Arwah Merah Penghisap Arwah susun sepuluh jari di atas kepala dan rundukkan tubuh.

“Kau benar-benar mau membuat, aku marah Sinuhun?!”

“Aku minta maaf dan aku minta ampun, Tapi aku sangat mengharap pertolongan. Aku mewakili Sang Junjungan!”

Terdengar suara bergumam marah. Lalu. “Katakan pertolongan apa yang kalian butuhkan!”

“Aku mohon agar aku bisa menembus masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa dimana Keris Kanjeng Sepuh Pelangi berada.”

Dalam ujudnya yang tidak kelihatan Penguasa Atap Langit tertawa bergelak. “Caranya mudah saja!”

“Bagaimana caranya? Tolong aku diberi tahu!”

“Musnahkan delapan benjolan yang ada di keningmu dan semua pengikutmu! Ha… ha… ha!”

“Keparat jahanam! Bagaimana mungkin aku dan yang lain-lain memusnahkan delapan benjolan yang jadi sumber kesaktian!” Sinuhun Merah Penghisap Arwah memaki dalam hati.

Seolah mendengar makian Sinuhun Merah, Penguasa Atap Langit membentak. “Sinuhun, jangan berani memaki di Negeri Atap Langit. Sekalipun dalam hati!”

Tiba-tiba saja udara bergetar dan hawa menjadi pengap. Kaget Sinuhun Merah Penghisap Arwah bukan kepalang. Buru-buru dia berkata. “Penguasa Atap Langit, aku mau pergi, harap Pintu Gerbang Atap Langit segera dibuka!”

Saat itu juga di hadapan Sinuhun Merah Penghisap Arwah muncul kembali dinding batu yang dengan cepat bagian tengahnya bergeser ke kiri dan ke kanan. Tidak tunggu lebih lama Sinuhun Merah Penghisap Arwah melesat masuk ke dalam celah. Di lain kejap dia telah berada lagi di puncak Gunung Semeru.

Namun kaget Sang Sinuhun bukan alang kepalang ketika memandang berkeliling dapatkan dirinya telah dikurung beberapa mahluk alam roh. Mahluk pertama satu sosok angker karena mulai dari kepala sampai ke kaki tertutup lapisan batu berlumut berwarna ungu.

“Jambal Ungu, mengapa kau muncul di sini?”

Sinuhun Merah menyebut nama si mahluk yang bukan lain adalah Raja Dukun Batu Berlumut. Seperti diketahui mahluk ini dulunya adalah anak buah Sang Sinuhun yang kemudian menemui ajal dibunuh oleh Ratu Randang (baca episode sebelumnya berjudul Dua Nyawa Kembar). Berpaling ke kiri Sinuhun Merah Penghisap Arwah jadi tersirap. Satu sosok buntung hanya berbentuk potongan pinggang dan kaki buntung tertatih-tatih bergerak mendekatinya.

“Ketua Jin Seratus Perut Bumi!” Ucap Sinuhun Merah. Tiba-tiba dia merasa ada sambaran angin di belakangnya. Dengan cepat dia berbalik. Sinuhun Merah terkesiap, tampang berubah, Dihadapannya, hanya terpisah dalam jarak beberapa langkah merunduk seekor anjing betina berperut besar pertanda tengah hamil berat. Sepasang mata menatap menyala.

“Sri Padmi Kameswari…” Suara Sinuhun Merah terdengar bergetar perlahan.

Anjing betina angkat kepala lalu meraung panjang. Mengenai riwayat Sri Padmi Kameswari dapat dibaca kembali pada episode awal berjudul Malam Jahanam Di Mataram dan episode lanjutan Sepasang Arwah Bisu

“Kalian bertiga ada keperluan apa muncul berada di tempat ini!” Sinuhun Merah menegur.

“Hidup di alam roh lapis kedua tidak tenteram. Kami minta kau mengembalikan kami ke dalam alam roh lapis kesatu.” Tiga mahluk di hadapan Sinuhun Merah menjawab berbarengan.

“Apa! Kalian sudah mati ya sudah! Aku tidak mungkin melakukan apa yang kalian minta!”

“Jika tidak mungkin maka kami minta rohmu sebagai pengganjal roh kami di alam roh lapis kedua!” Tiga makhluk kembali bicara secara bersamaan.

“Jangan bercanda! Kalian tahu tengah berhadapan dengan siapa!” Sinuhun Merah Penghisap Arwah mengancam. Delapan benjolan di kening pancarkan cahaya benderang.

Untuk kedua kalinya anjing betina bunting meraung. Kali ini selesai meraung terus menerjang Sinuhun Merah dengan serangan berupa dua cakaran kaki depan. Mahluk buntung Ketua Jin Seratus Perut Bumi dan Raja Dukun Batu Berlumut tidak tinggal diam. Dua mahluk alam roh yang telah jadi korban keganasan Sinuhun Merah segera pula menyerbu!

“Mahluk sesat keparat! Kalian ingin aku benamkan di lapis tanah ke delapan!” Teriak Sinuhun Merah Penghisap Arwah marah. Dia siap menyambut serangan lawan dengan pukulan tangan kiri kanan yaitu Delapan Sukma Merah.

“Sinuhun Merah! Mengapa harus repot! Biarkan aku yang memberi pelajaran pada tiga mahluk tidak tahu diri itu!” Tiba-tiba ada orang berteriak. Lalu... wusss!

Selarik sinar merah berkiblat disertai suara menggelegar seperti petir menyambar. Hawa panas menghampar di seantero tempat. Sebagian puncak Gunung Semeru tenggelam dalam kobaran api. Sinuhun Merah Penghisap Arwah cepat menghindar dengan melompat sampai delapan tombak. Tiga jeritan menggelegar lalu lenyap.

Sinuhun Merah Penghisap Arwah usap wajah sampai dua kali. Memandang ke puncak gunung di arah kiri dia melihat sosok Pangeran Matahari alias Kesatria Roh Jemputan tegak sambil memegang senjata Lentera Iblis.

“Jahanam dari alam roh delapan ratus tahun mendatang itu!” Maki Sang Sinuhun. "Dia tiba-tiba muncul di sini. Apa dia sungguhan hendak menolong aku atau punya maksud tersembunyi sebenarnya hendak menghabisiku!”

“Kesatria Roh Jemputan! Terima kasih kau telah menolong diriku! Lekas kembali ke Bhumi Mataram! Pekerjaan besar menunggu!” Sinuhun Merah akhirnya berteriak. Lalu tanpa menunggu jawaban Pangeran Matahari dia tinggalkan puncak Gunung Semeru.

* * *

LIMA

KEMBALI ke Ruang Segi Tiga Nyawa di bawah Candi Plaosan Lor. Seperti diceritakan sebelumnya dalam serial terdahulu berjudul Delapan Sukma Merah, ketika berada di halaman Candi Kalasan tiba-tiba ada sinar kuning melesat dari langit. Sinar melingkari tanah tempat Jaka Pesolek berdiri lalu naik ke atas membungkus tubuh dan kepala si gadis. Sesaat kemudian tubuh Jaka Pesolek amblas lenyap masuk ke dalam tanah.

“Ada yang menculik Jaka Pesolek!” Wiro berteriak kaget. "Ini pasti pekerjaan dua Sinuhun keparat!” Setelah berpesan pada Ratu Randang dan Dewi Ular agar jangan kemana-mana dan tetap menunggunya di tempat itu Wiro dengan mengandalkan ilmu baru yang didapat dari kakek sakti Kumara Gandamayana masuk ke dalam tanah mengejar Jaka Pesolek.

Dugaan Wiro bahwa Jaka Pesolek diculik oleh dua Sinuhun jahat ternyata keliru. Sesuai keterangan Jaka Pesolek pada Empu Semirang Biru setelah masuk ke dalam tanah, dia merasa heran karena dia merasa seperti berada di alam terbuka. Lalu dia melihat seberkas cahaya kuning disertai gema lonceng di kejauhan. Cahaya kuning bergerak ke depan. Jaka Pesolek mengikuti hingga akhirnya sampai di Ruang Segi Tiga Nyawa. Menurut Empu Semirang Biru ternyata Jaka Pesolek telah ditolong oleh anak sakti Mimba Purana yang dikenal dengan sebutan Satria Lonceng Dewa.

Wiro yang berusaha mengejar karena kawatir akan keselamatan Jaka Pesolek terpaut jauh lebih dari tiga puluh tombak di belakang si gadis. Sewaktu sayup-sayup dia mendengar suara lonceng dan bayangan samar cahaya kuning di kejauhan, karena tidak tahu di arah mana beradanya Jaka Pesolek maka Wiro mengejar ke jurusan dia mendengar suara lonceng dan melihat cahaya kuning samar.

Di satu tempat dimana lapisan tanah berubah dari coklat kehitaman menjadi merah kehitaman Wiro hentikan lari ketika mendadak dia merasa ada sambaran angin dari arah depan. Dia memperhatikan, astaga! Di hadapannya terlihat satu pemandangan aneh.

"Satu…dua…tiga…” Wiro menghitung sampai delapan. Sepasang mata tidak berkesip. “Delapan anak kucing berbulu merah! Ada benjolan di kening!” Wiro ingat sebelumnya pernah beberapa kali mendengar suara ngeongan kucing. “Apa binatang-binatang ini yang mengeong? Dari sikap mereka tampaknya mereka sengaja menghadang jalanku.”

Delapan anak kucing berbulu merah di dalam lapisan tanah di bawah kawasan Candi Plaosan Lor duduk mencangkung, berjejer dari kiri ke kanan. Delapan pasang mata menyorot tak berkedip ke arah Wiro. Perlahan lahan mulut menyeringai memperlihatkan lidah panjang serta taring runcing. Telinga panjang mencuat ke atas. Tiba-tiba didahului ngeongan keras, delapan anak kucing merah melompat menyerbu. Saat itulah Wiro melihat seluruh kuku yang dimiliki delapan anak kucing itu mencuat keluar menyerupai pisau besar, tajam dan runcing berwarna merah. Cakar Sukma Merah!

Menghadapi delapan musuh yang berbentuk manusia atau mahluk jejadian bukan hal yang menakutkan bagi Pendekar 212 Wiro Sableng. Tapi diserang delapan anak kucing baru sekali ini dialaminya seumur hidup. Dalam hati ada perasaan tidak tega untuk menyakiti apa lagi sampai membunuh binatang itu. Hal ini membuat sang pendekar berlaku ayal. Ketika delapan anak kucing semburkan cahaya merah dari benjolan di kening masing-masing, Wiro tersentak kaget. Pandangan matanya silau. Selagi dia berusaha melompat mundur, lima cakaran menyambar.

“Brett! Brettt!”

Beberapa sambaran Cakar Sukma Merah berhasil dihindari Wiro walau bajunya robek-robek. Ketika delapan cahaya merah kembali melesat dari benjolan di kening delapan anak kucing, dua sambaran Cakar Sukma Merah menyerempet dada, tiga menggores wajah!

Walau cuma luka berbentuk goresan namun racun yang dikandung benar-benar jahat. Saat itu juga Wiro merasa aliran darahnya menjadi panas, pemandangan menggelap dan dua kaki goyah lemas. Dengan langkah terhuyung-huyung dia coba berjalan ke arah cahaya, terang kemerahan jauh di depan sana. Namun delapan anak kucing kembali melancarkan serangan.

Wiro membentak keras. Tangan kanan didekatkan ke muka, telapak dikembang lalu dia meniup. Kejapan itu juga, di atas telapak tangan kanan terpampang gambar kepala harimau putih bermata, hijau. Ketika, Wiro menghantamkan tangan Kanan ke arah delapan kucing yang menyerang, didahului suara auman harimau selarik sinar putih disertai dua jalur sinar hijau menderu keras. Seantero tempat bergeletar. Tanah berguguran.

“Ngeonggg!”

Tiga ekor anak kucing terpental ke atas lalu jatuh terkapar di tanah. Anehnya mereka tidak kelihatan cidera. Hanya sepasang mata tampak mengeluarkan cairan merah dan bulu mereka yang semula merah terang kini berubah menjadi merah gelap kehitaman. Namun demikian ketiga binatang ini hanya mampu gerakkan kepala sedikit, mengeong pendek, megap-megap lalu melosoh tak berkutik.

Melihat apa yang terjadi dengan tiga kawan mereka, lima anak kucing lainnya mengeong keras lalu tiga diantaranya dengan cepat melompat dan menggigit kuduk tiga teman mereka yang cidera. Ketika Wiro memandang berkeliling dan siap hendak melepas lagi Pukulan Harimau Dewa semua anak kucing tak ada lagi di tempat itu

“Celaka, apa yang terjadi dengan diriku. Tubuhku panas, kakiku lemas. Ada racun ganas dalam tubuhku…”

Meski pandangan matanya mulai samar namun Wiro masih bisa melihat sinar terang merah di kejauhan. Yang dilihatnya itu adalah Ruang Segi Tiga Nyawa dimana Ratu Randang, Kunti Ambiri, Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi berada bersama Empu Semirang Biru. Wiro merasa heran. Kapak Naga Geni 212 yang ada dalam tubuhnya serta hawa sakti yang seharusnya mampu menumpas racun di dalam tubuhnya sepertinya tidak bekerja.

Dengan gerakan kaku dan berat Wiro totok beberapa bagian tubuhnya. Lalu terhuyung-huyung dia melangkah ke arah cahaya merah terang. Dia merasa seperti berjalan di gurun pasir dimana matahari seolah berada satu jengkal di atas kepala dan kaki laksana dipanggang. Ketika akhirnya dia berhasil mencapai cahaya merah terang dan masuk ke Ruang Segi Tiga Nyawa, Wiro langsung roboh di lantai ruangan. Tenaganya terkuras habis. Tubuh basah oleh keringat bercampur darah yang keluar dari guratan luka di wajah dan dada.

Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri yang ada dalam ruangan terpekik keras. Jaka Pesolek langsung menubruk dan memeluk tubuh Wiro. Ketika semua orang berusaha mencari jalan untuk menolong Wiro dan Jaka Pesolek serta Sakuntaladewi sama-sama bertekad untuk mencari Embah Buyut Kumara Gandamayana, tiba-tiba saja orang tua sakti itu muncul dan terlihat di luar Ruang Segi Tiga Nyawa.

“Kenapa mempersusah diri jauh-jauh mencariku! Aku sudah berada di dekat kalian. Bawalah pemuda malang berambut panjang itu ke hadapanku. Akan aku obati dan pasti sembuh. Semoga Para Dewa menolong dan memberi berkat.”

Begitu si orang tua berkata dari luar Ruang Segi Tiga Nyawa. Ketika digotong, dalam keadaan setengah sadar Pendekar 212 Wiro Sableng berusaha membuka dua matanya yang sejak tadi terpejam. Walau agak samar namun pandangan matanya ia langsung membentur sosok kakek bersorban dan berjubah kelabu di luar Ruang Segi Tiga Nyawa. Otaknya masih bisa bekerja.

Mendadak saja dia ingat peristiwa Raja Mataram jejadian yang muncul di Candi Kalasan. Kali ini dia juga merasa ada sesuatu yang tidak beres. Wiro kedipkan perlahan kedua matanya. Karena ilmu kesaktian yang hendak dikeluarkan tidak membutuhkan banyak kekuatan tenaga dalam dia masih mampu menerapkan ilmu menembus Pandang. Mendadak saja Wiro menjadi tegang. Di dalam sosok kakek bersorban dan berjubah kelabu dia melihat sosok seorang lain. Memandang menyeringai angker ke arahnya, memperlihatkan taring merah di sudut mulut!

“Gusti Allah“ Wiro mengucap. Dia berusaha melepaskan diri dari pegangan ke empat orang yang menggotongnya namun tidak punya kekuatan. Sesaat kemudian tubuhnya sudah berada di luar Ruang Segi Tiga Nyawa, lalu didudukkan orang di tanah.

“Eyang Sinto, mengapa jadi begini. Mengapa Eyang…”

Melihat raut wajah serta ucapan Wiro yang aneh, Kunti Ambiri bertanya. “Wiro, kau bicara dengan siapa?!”

ENAM

WIRO menatap lekat-lekat ke arah orang tua di depannya. Mulut berucap perlahan karena dada mulai terasa sesak. “Ka… kakek itu Dalam tubuhnya ada…”

Belum sempat Wiro menyelesaikan ucapan tiba-tiba orang tua bersorban dan berjubah kelabu melompat ke hadapan Wiro. Namun yang bergerak ke depan ternyata hanyalah pakaian yang melekat di tubuhnya yaitu sorban kelabu, jubah kelabu dan kasut putih. Begitu seluruh pakaian tanggal, tubuhnya lenyap berubah jadi asap merah. Lalu dari balik kepulan asap menyelinap keluar satu sosok tinggi kurus dan hitam berambut putih jarang riap-riapan.

Di mata Wiro, sosok itu adalah sosok gurunya Eyang Sinto Gendeng dalam ujud asli yaitu seorang nenek berkulit hitam kurus, wajah seperti tengkorak hidup karena hanya dilapisi kulit hitam tipis, batok kepala dihias empat tusuk konde perak. Pakaian lurik dan kain panjang hitam. Tubuh dan pakaian menebar bau pesing. Mulut pencong ke kanan dan ke kiri karena mengunyah susur. Namun ada kelainan pada mulut sang guru. Yaitu pada dua sudut mulut mencuat caling panjang runcing berwarna merah!

Lalu di atas kening tampak delapan benjolan yang juga berwarna merah. Rambut putih jarang riap-riapan berjingkrak di atas kepala di antara empat tusuk konde perak. Ketika si nenek menyeringai dan mengangkat dua tangannya, astaga! Wiro melihat delapan jari Eyang Sinto telah berubah berbentuk delapan pisau tajam warna merah. Jari tengah dilipat ke belakang.

Wiro tahu kalau Eyang Sinto selama ini berada di bawah kekuasaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan otaknya telah dirasuki apa yang disebut ilmu hitam Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak. Tapi dia benar-benar terkejut dan tidak menyangka begitu melihat keadaan sang guru yang seperti itu.

“Guru! Eyang… apa yang terjadi denganmu Eyang!”

Sinto Gendeng menyeringai. Lidah menjulur merah. Dua caling mencuat tambah panjang. Ketika nenek ini mengeluarkan suara, suaranya bukan suara manusia, tapi merupakan ngeong kucing yang keras menakutkan!

“Ya Tuhan!” Wiro kembali mengucap.

Kalau Wiro melihat sosok gurunya seperti itu, demikian juga yang disaksikan oleh Kunti Ambiri. Namun Jaka Pesolek, Ratu Randang dan Sakuntaladewi serta Empu Semirang Biru yang masih berada dalam Ruang Segi Tiga Nyawa yaitu semua orang yang berasal dari Bhumi Mataram melihat si nenek sebagai seorang gadis cantik bertubuh molek dan tubuh serta pakaian menebar bau wangi, bukan bau pesing!

“Wiro, hati-hati… Waktu di Bukit Batu Hangus, gurumu hendak membunuhmu!” Ratu Randang memperingatkan. Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi berjaga waspada. Dari dalam Ruang Segi Tiga Nyawa Empu Semirang Biru yang sudah melihat gelagat tidak baik berteriak keras.

“Lekas bawa masuk pemuda itu kembali ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa!”

Kunti Ambiri dan tiga orang lainnya tersentak lalu cepat bergerak menggotong Wiro kembali. Namun terlambat! Delapan cahaya merah menyembur dari delapan benjolan di kening Sinto Gendeng. Ketika semua orang tersurut kesilauan sosok Sinto Gendeng melesat ke depan. Delapan jari berbentuk pisau berkelebat.

“Dess! Reetttt!”

Ratu Randang menjerit keras. Kunti Ambiri berteriak. Jaka Pesolek tertegun dengan wajah pucat dan mulut terkancing. Hanya Sakuntaladewi yang bisa menguasai diri walau berada dalam keadaan sangat tegang. Semua terjadi dengan sangat cepat. Disaksikan sekian banyak pasang mata yang terkesiap nyaris tak percaya, delapan jari tangan Sinto Gendeng yang menyerupai pisau menggurat di tubuh Wiro mulai dari dada sampai ke pertengahan perut. Tak ada darah mengucur.

Yang terlihat tubuh Wiro terkuak mengerikan demikian rupa di sebelah dada dan perut lalu dua tangan Sinto Gendeng amblas masuk ke dalam tubuh sang murid. Pada saat keluar lagi salah satu tangan memegang sebuah benda bersinar putih berkilau yang bukan lain adalah Kapak Maut Naga Geni 212 yang selama ini memang berada di dalam badan sang pendekar yaitu sejak Kiai Gede Tapa Pamungkas memasukkan senjata sakti mandraguna itu ke dalam tubuhnya.

“Edan! Orang tua itu merampas Kapak Naga Geni Dua Satu Dua! Teriak Kunti Ambiri. Selama di alam delapan ratus tahun mendatang dia tahu banyak kesaktian dan riwayat senjata ini. Sinto Gendeng tertawa cekikikan. Mulut mengeluarkan suara mengeong. Tangan kanan yang memegang kapak sakti dibabatkan setengah lingkaran.

“Wusss!”

Cahaya putih berkiblat disertai suara seperti ribuan tawon mendengung mengamuk. Hawa panas menghampar. Ruangan Segi Tiga Nyawa bergetar. Beberapa bagian dinding tanah merah berguguran. Kunti Ambiri dan tiga orang lainnya cepat jatuhkan diri di tanah. Di dalam ruangan Empu Semirang Biru terduduk pucat, dia kirimkan serangan berupa tiupan ke arah Sinto Gendeng yang dilihatnya sebagai seorang gadis cantik. Namun jarak terlalu jauh. Selain itu dinding Ruang Segi Tiga Nyawa ikut menjadi penghalang.

Ketika semua orang di luar ruangan bangkit berdiri kembali, Sinto Gendeng bersama Kapak Naga Geni 212 telah raib. Wiro terbaring tak bergerak dengan baju robek tersingkap dan di tubuh terlihat ada guratan memanjang seperti luka bertaut yang baru sembuh. Ratu Randang dan Kunti Ambiri berusaha mengejar Sinto Gendeng namun dicegah oleh Empu Semirang Biru.

“Jangan dikejar. Kita semua telah tertipu. Yang datang tadi arwah jejadian Embah Buyut Kumara Gandamayana. Sosoknya telah disusupi mahluk lain berujud gadis cantik. Semua ini jelas pekerjaan dua Sinuhun dibantu anak bernama Dirga Purana.”

“Gadis tadi adalah guru pemuda ini.” Menerangkan Ratu Randang yang membuat Empu Semirang Biru terheran heran.

Kening Empu Semirang Biru mengerenyit, alis mencuat ke atas. “Bagaimana mungkin guru semuda usia muridnya?” Ucapnya. Namun kemudian melanjutkan. “Tapi sudahlah! Di Bhumi Mataram semakin banyak keanehan dan kita semua mungkin akan mati dalam keanehan itu!”

“Empu, aku tidak bisa membiarkan orang mencuri senjata milik sahabatku ini. Aku harus mengejar dan dapatkan senjata itu kembali.” Berkata Kunti Ambiri.

“Aku tetap melarang. Tapi terserah padamu.” Empu Semirang Biru menjawab.

“Kami bertiga juga akan ikut mengejar!” Kata Sakuntaladewi pula.

“Lalu siapa yang akan menolong pemuda itu? Lalu siapa yang akan menyelamatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang masih menancap di atas sana?”

Hanya Kunti Ambiri yang tidak perdulikan ucapan Sang Empu. Sebelum pergi dia mendekati Sakuntaladewi dan Ratu Randang serta Jaka pesolek lalu berkata setengah berbisik.

“Diantara kita harus ada yang tahu dimana guru pemuda itu berada dan kemana Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dibawa. Kalau senjata itu tidak bisa dirampas, tunggu saja riwayat senjata makan tuan! Bukan hanya Wiro yang bakal menemui ajal, tapi kita semua bakal dibantai oleh dua Sinuhun!”

Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek terdiam. Kunti Ambiri meneruskan ucapan. “Nek Ratu, aku akan menyerahkan delapan Bunga Matahari kecil padamu. Berikan pada Wiro jika dia sudah siuman…”

“Bagaimana kalau dia tidak pernah siuman tapi malah mati akibat racun jahat?!” Kata Jaka Pesolek polos-polos saja. Gadis ini langsung bungkam ketika Kunti Ambiri, Ratu Randang dan Sakuntaladewi delikkan mata menatap ke arahnya.

Kunti Ambiri lanjutkan kata katanya. “Nek, jangan lupa menyampaikan pesan Nyi Loro Jonggrang pada Wiro. Aku pergi sekarang.” Lalu gadis cantik alam roh ini keluarkan delapan Bunga Matahari kecil dari balik pakaian hijaunya dan diserahkan pada Ratu Randang. Ketika dia hendak melesat ke atas, siap untuk pergi tiba-tiba Ratu Randang memeluknya erat-erat.

“Nek, kau ini mengapa memelukku segala?” Tanya Kunti Ambiri.

“Ssttt, jangan bicara. Dengar, aku tahu kau punya ilmu bernama membalik Mata Menipu Pandang…”

Kunti Ambiri terkejut. “Eh Nek, dari mana kau tahu…”

“Wiro yang menceritakan. Katanya kau gadis hebat. Dengan ilmu itu katanya dulu kau menyelamatkan diri sewaktu hendak dibunuh Wiro…”

“Lalu apa sangkut pautnya dengan kau memelukku saat ini?” Tanya Kunti Ambiri.

“Aku akan menambah kehebatan ilmu itu. Hingga kau bisa merubah diri menjadi mahluk hidup apa saja agar selamat dari segala macam maksud jahat mahluk lain.” Menjelaskan Ratu Randang.

“Tetapi aku tidak mau sepertimu. Berubah jadi anjing lalu diperkosa…”

“Hik… hik… hik!” Si nenek tertawa. “Kita sudah bersahabat. Aku tak ingin sahabatku kena celaka. Dua Sinuhun dan bocah bernama Dirga Purana itu banyak akalnya. Semua akal, serba jahat dan licik. Apa lagi mereka dibantu pula oleh Kesatria Roh Jemputan. Yang menurut Wiro dijuluki sebagai Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak…”

“Nek, aku tidak mengira kau banyak mendapat cerita dari Wiro.”

“Sssttt …. Bukan hanya cerita. Ciuman juga banyak!” Jawab Ratu Randang lalu tertawa cekikikan dan merangkul tubuh Kunti Ambiri lebih kencang. Saat itu juga gadis alam roh ini merasa ada hawa dingin masuk ke dalam tubuhnya melalui ubun-ubun dan kedua telapak kaki. “Kau tinggal menyebut nama mahluk hidup yang kau inginkan. Setelah mahluk hidup itu terujud, tubuh kasarmu akan pindah ke tempat lain.”

“Terima kasih Nek. Biar kucium dulu dadamu yang besar montok!” Kata Kunti Ambiri pula, Lalu hidungnya disusupkan ke balik dada pakaian Ratu Randang hingga si nenek terpekik, menggeliat kegelian.

“Kalian semua! Lekas gotong pemuda itu dan cepat masuk kembali ke sini!” Tiba-tiba Empu Semirang Biru berseru. “Aku kawatir delapan ekor anak kucing merah masih berada di luar sana.”

Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek segera mengangkat Wiro dan masuk kembali ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa.

TUJUH

DI DALAM Ruang Segi Tiga Nyawa, Wiro dibaringkan di lantai, dua langkah di depan Empu Semirang Biru yang berada dalam keadaan terikat rantai merah yang disebut Rantai Kepala Arwah Kaki Roh. Ratu Randang tegak di samping Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi, memegang delapan Bunga Matahari kecil di tangan kanan.

“Ratu Randang, ketika kau terkena racun Cakar Sukma Merah, Embah Buyut Kumara Gandamayana menolongmu. Jika kau masih ingat cara orang tua gaib itu menyelamatkanmu, sebaiknya segera kau cobakan pada pemuda itu.” Berkata Sakuntaladewi.

Ratu Randang rapikan dada pakaiannya yang tersingkap akibat ciuman Kunti Ambiri tadi lalu menjawab. “Waktu itu Embah Buyut menotok ubun-ubunku lalu meremas tanganku yang luka hingga darah mengandung racun mengucur keluar. Setelah darah berhenti mengucur dia menotok dada kiriku.”

“Ditotok atau diusap Nek?” Bisik Jaka Pesolek. Gadis yang punya ilmu hebat menangkap petir ini langsung menjerit ketik perutnya disambar cubitan Ratu Randang.

Sakuntaladewi menegur. “Sahabatku Jaka Pesolek, sekarang bukan saatnya bergurau!”

Jaka Pesolek senyum cengengesan dan membungkuk-bungkuk sambil berkata. “Maafkan aku… maafkan aku.” Lalu mulut ditepuk-tepuk.

Empu Semirang Biru cepat menengahi. “Ratu, kau tahu semua apa yang dilakukan Embah Buyut. Apakah kau bisa menolong pemuda itu dengan cara yang sama?”

“Aku bisa saja melakukan seperti cara Embah Buyut. Tapi tingkat ilmuku tidak setinggi orang tua itu. Selain itu menurut Embah Buyut, orang yang kena racun Cakar Sukma Merah baru bisa diberi pertolongan kalau tubuhnya dibawa masuk delapan tombak ke dalam tanah. Nah, ini yang tidak bisa aku lakukan. Bagaimana mengukur dan menghitung masuk ke dalam tanah sejauh delapan tombak.”

Ruang Segi Tiga Nyawa menjadi sunyi karena semua orang jadi terdiam. Ratu Randang memperhatikan sosok Wiro dengan perasaan sedih sambil masih terus memegangi delapan Bunga Matahari kecil. Sakuntaladewi tampak sangat tegang hingga wajahnya pucat. Jaka Pesolek unjukkan air muka berubah ketika si nenek dilihatnya mengusap-usap delapan Bunga Matahari sambil melangkah mendekati Wiro dan berlutut di samping sosok sang pendekar. Delapan Bunga Matahari terus diusap, sesekali dicium.

“Nek, apa yang ada dalam benakmu?” Jaka Pesolek bertanya. Tengkuknya mendadak saja dingin tapi dada bergetar.

“Sttt, diam saja. Aku tengah berpikir.”

“Kalau kau berpikir mau mengobati pemuda ini dengan cara mengusapkan delapan Bunga Matahari kecil… Apa kau tidak kawatir kejadian yang lalu akan terulang kembali? Kau lupa apa yang terjadi dengan kita? Bagaimana kalau Wiro bukannya sembuh tapi malah celaka lagi seperti yang kita alami. Dirasuk hawa tidak karuan rasa…”

“Memangnya aku mau mengusap apanya?” Tukas Ratu Randang sambil delikkan mata pada Jaka Pesolek. Lalu nenek cantik ini pejamkan mata dan menarik nafas panjang beberapa kali. Kemudian dia berkata. “Waktu itu aku memang bertindak konyol ceroboh. Sekarang tidak akan aku ulangi. Delapan bunga ini bunga sakti! Berasal dari sekuntum Bunga Matahari besar. Yang melalui tangan Nyi Loro Jonggrang dirobah menjadi delapan bunga kecil. Kita hanya berusaha. Lebih baik melakukan sesuatu dari pada diam saja. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa memberkati. Kalian berdua mengapa tidak segera berdoa agar sahabat kita ini bisa selamat?”

“Nek…” Sakuntaladewi berkata.

Ratu Randang tidak menjawab. Sepasang mata dibuka kembali. Delapan Bunga Matahari kecil didekatkan ke ubun-ubun Wiro lalu diletakkan di atas kening. Dalam hati dia berdoa memohon pertolongan Yang Maha Kuasa. Perlahan-lahan delapan bunga diusap ke wajah yang ada goresan tiga luka. Usapan diteruskan ke dada dimana terdapat dua goresan luka. Gerakan tangan Ratu Randang berhenti sesaat.

Sepasang mata menatap bekas luka memanjang mulai dari dada sampai ke perut. Yaitu bekas dua tangan Sinto Gendeng merobek perut dan mengambil Kapak Naga Geni 212. Setelah menarik nafas dalam nenek ini gerakkan tangan kanan yang memegang delapan Bunga Matahari kecil. Delapan bunga menyentuh bekas luka di perut. Ketika delapan bunga bergerak mendekati pusar, Jaka Pesolek tidak tenang lagi. Cepat dia ulurkan tangan, memegang lengan si nenek.

“Cukup sampai di situ Nek. Aku tidak mau terjadi hal yang macam-macam. Kau mungkin sudah kapok berbuat konyol. Tapi kalau kebetulan ada setan lewat lalu mengusilimu?! Kalau Yang Maha Kuasa menakdirkan sahabat kita ini sembuh maka dia akan sembuh. Kalau tidak, jangan ditambah penderitaannya.”

“Jaka Pesolek benar Nek,” Kata Sakuntaladewi yang berdiri di samping kiri Ratu Randang. Gadis berkaki tunggal yang punya kaul akan mengambil Wiro jadi suaminya ulurkan tangan untuk mengambil delapan Bunga Matahari kecil dari tangan si nenek.

Pada saat itulah mendadak Ruang Segi Tiga Nyawa bergoyang keras. Atap laksana mau runtuh. Lantai seperti hendak amblas dan tiga sisi dinding seolah akan roboh! Ratu Randang, Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi berusaha mengimbangi diri agar tidak jatuh terbanting. Namun tetap saja mereka terhuyung keras lalu... braakk!

Ketiganya jatuh tergeletak di lantai ruangan. Empu Semirang Biru meniup berulang kali, menghimpun tenaga agar tidak terguling. Goncangan yang begitu keras membuat orang tua ini hampir tersandar ke salah satu dinding ruangan, dada turun naik, nafas terengah. Anehnya sosok Wiro yang terbaring di lantai sedikitpun tidak bergerak atau beranjak.

Di sebelah atas. Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang menancap di atap bergetar keras membersitkan tujuh cahaya pelangi. Sedikit demi sedikit bagian gagang yang menancap di atas bergerak ke bawah. Ada kekuatan aneh seperti menarik senjata ini agar lepas dari atap ruangan! Namun kekuatan yang menahan keris agar tetap berada di tempatnya tak kalah hebat! Akibatnya badan keris bergetar keras dan atap ruangan ikut bergoyang! Tiba-tiba di atas atap terdengar suara ngeongan kucing disusul suara cakaran berulang. kali. Wajah Empu Semirang Biru berubah.

“Ada mahluk coba menerobos masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa.” Sang Empu membatin. Lalu dia berdoa. “Hyang Jagat Bathara, lindungi ruangan yang telah Kau ciptakan untuk keselamatan ini. Lindungi keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Lindungi kami semua yang ada di sini.”

Tiba-tiba selarik sinar kuning memancar di atas atap lalu lenyap, goyangan yang mengguncang ruangan berhenti. Suara ngeongan dan cakaran kucing menggelegar lalu sirna. Suasana di Ruang Segi Tiga Nyawa berubah sunyi laksana di pekuburan. Ratu Randang yang pertama kali berdiri. Nenek cantik ini menjerit keras ketika dia memandang ke arah sosok Pendekar 212.

“Nek! Ada apa?!" Tanya Sakuntaladewi yang segera pula berdiri disusul oleh Jaka Pesolek sementara Empu Semirang Biru yang masih tersandar di dinding memperhatikan dari sudut ruangan, berusaha agar bisa duduk bersila kembali di lantai. Setelah meniup dua kali orang tua ini akhirnya mampu menggerakkan tubuh dari dinding dan duduk bersila di lantai seperti sebelumnya.

Ratu Randang tidak berani terus memandang. Dia membalikkan tubuh seraya berkata. “Kasihan. Hyang Jagatnatha! Mohon ampunMu! Aku tidak bisa menolongnya.” Si nenek tutup wajah dengan tangan kiri sambil menahan isak. Kepala disandarkan ke dinding.

Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek berpaling ke arah sosok Wiro. Keduanya sama-sama keluarkan seruan kaget. Saat itu Wiro terbujur tak bergerak. Dari ubun-ubun, liang telinga, dua lobang hidung, sudut mata serta mulut mengucur darah merah kehitaman. Wajahnya sepucat mayat. Walau takut namun Jaka Pesolek beranikan diri mendekati Wiro. Ketika dia memegang tangan sang pendekar, gadis ini terpekik, Tangan itu terasa dingin! Jaka Pesolek bersurut mundur, berpaling dan memandang ke arah Ratu Randang.

“Sang Hyang Widhi! Sudah takdir bagiku akan menerima azab cacat seumur hidup! Wahai Para Dewa di Kahyangan, mengapa tidak sekalian nyawaku diambil juga.” Sakuntaladewi meratap. Tubuhnya yang terasa lemas perlahan-lahan terkulai berlutut di lantai. Kepala tertunduk.

“Aku belum sempat belajar ilmu membuat petir padanya, kini dia sudah tiada….” Jaka Pesolek sesunggukan dan tekap wajah dengan dua tangan sambil sandarkan tubuh ke badan Ratu Randang.

Di sudut ruangan Empu Semirang Biru berkata. “Hidup dan mati seorang insan hanya Yang Maha Kuasa yang menentukan. Apa yang sudah jadi takdir-Nya tidak seorangpun bisa menolak. Kita semua harus bersyukur.”

“Empu teganya kau berkata begitu!” Ratu Randang berteriak tapi masih terus menyandarkan kening ke dinding ruangan. “Kau ajak kami mensyukuri kematian seorang sahabat. Seorang Kesatria yang diharapkan bisa menyelamatkan Bhumi Mataram!”

“Kalian dari tadi memalingkan wajah, memejamkan mata dan menundukkan kepala hingga tidak melihat apa yang terjadi. Angkat kepala kalian. Memandanglah ke arah pemuda itu. Yang Maha Kuasa telah memberikan rakhmat luar biasa berupa kehidupan, bukan kematian!” Walau Empu Semirang Biru bicara penuh semangat namun air mukanya terlihat tidak gembira.

“Orang tua ngacok!” Ucap Jaka Pesolek. “Darah keluar dari mana-mana, dada tidak bergerak. Tubuh sudah dingin kaku. Kau masih bisa bilang bukan kematian!”

DELAPAN

TIBA-TIBA dalam ruangan ada suara orang batuk. Sakuntaladewi angkat kepala. Ratu Randang dan Jaka Pesolek sama berpaling. Ketiganya memandang ke tengah ruangan dimana saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng tampak tengah berusaha bangun dan duduk di lantai. Walau mulut menyemburkan darah ketika batuk namun darah yang sebelumnya keluar dari ubun-ubun, hidung, mata dan telinga telah berhenti mengucur. Guratan luka di wajah, dada dan di tubuh yaitu luka memanjang sampai ke perut lenyap tak berbekas.

“Wiro!”

Ketiga orang itu sama sama menjerit. Empu Semirang Biru mengusap dada, mata dipejam. Sulit diduga bagaimana perasaannya saat itu. Sakuntaladewi keluarkan sehelai sapu tangan jingga. Jaka Pesolek tahu apa yang hendak dilakukan gadis berkaki satu itu. Cepat dia mengambil sapu tangan jingga seraya berkata.

“Sahabat, biar aku yang membersihkan noda darah di kepala dan wajah kekasihmu itu!”

Untuk beberapa lama Sakuntaladewi tertegun tak bergerak serasa masih tak percaya sebelum akhirnya dia kembali berteriak menyebut nama Wiro, terisak isak lalu memeluk sang pendekar. Ratu Randang berdiri menatap tak berkesip ke arah Wiro lalu perhatikan delapan Bunga Matahari kecil di tangan kanannya.

“Bunga Matahari… Apakah delapan bunga sakti ini yang memberikan kesembuhan pada Wiro?” Si nenek bertanya-tanya dalam hati lalu berlutut di samping Jaka Pesolek yang sibuk membersihkan noda darah. “Wiro, apa yang telah terjadi dengan dirimu. Kau tadi… kau tadi sepertinya sudah tidak bernafas, tahu-tahu hidup lagi.”

“Sahabat bertiga, aku melihat mata kalian pada merah tanda habis menangis. Apa betul aku tadi sudah mati? Aku jadi bingung. Kalau begitu saat ini aku sebenarnya sudah jadi hantu!” Wiro keluarkan ucapan yang membuat semua orang terperangah walau dia berkata dengan senyum-senyum dan sambil menggaruk kepala. Dia tambahkan candanya sambil memandang ke bawah. “Ah, aku belum jadi hantu. Buktinya aku berdiri, dua kaki masih menjejak lantai. Ha…ha…ha!”

“Anak muda Kesatria Panggilan.” Empu Semirang Biru menegur. “Sebaiknya kita saling memberi penjelasan. Kau memberi tahu apa yang terjadi dengan dirimu sebelumnya dan kami akan menceritakan apa yang terjadi dengan dirimu di Ruang Segi Tiga Nyawa ini. Setelah itu kita akan melakukan satu pekerjaan besar.”

“Pekerjaan apa, Kek?” Tanya Wiro setelah terlebih dulu membungkuk, memberi hormat. Dia heran melihat keadaan si kakek yang dibelit rantai merah. Empu Semirang Biru menatap ke atas atap ruangan.. “Mengambil dan menyelamatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang ada di atas sana.”

Wiro mendongak, memandang ke atas atap ruangan. Dari cahaya yang memancar mengelilingi tubuh keris yang berluk sembilan itu dia sudah bisa mengetahui kalau senjata tersebut merupakan satu senjata sakti mandraguna. Empu Semirang Biru lalu menuturkan secara singkat, riwayat senjata yang dibuatnya atas perintah Raja Mataram itu. Termasuk petir yang menyambar dari keris jika ada orang mendekati untuk mengambilnya.

“Hanya gadis bernama Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi yang sanggup mengambil senjata bertuah itu. Itu sebabnya Para Dewa telah mengatur hingga keduanya berada di tempat ini.”

“Kek, turut bicaramu ruang ini bernama Ruang Segi Tiga Nyawa. Para Dewa yang menciptakan untuk melindungi Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Kalau keris itu diambil lalu siapa yang menyimpannya? Akan dibawa ke Kotaraja untuk diserahkan pada Raja Mataram? Bukankah terlalu berbahaya bila keris berada di luaran sana dimana dua Sinuhun dan anak buahnya berkeliaran? Bukankah ruangan ini lebih memberi perlindungan pada senjata tersebut?”

“Kau benar anak muda. Tapi bagaimana kalau dua Sinuhun dengan bantuan bocah sakti bernama Dirga Purana suatu ketika mampu menembus atap atau dinding ruangan, atau menjebol lantai. Masuk ke dalam ruangan dan mengambil keris.”

“Mahluk yang akan mengambil akan hancur musnah dihantam petir yang keluar dari keris. Bukan begitu menurut cerita Empu?”

“Bukan cuma cerita, tapi kenyataan.” Kata Sakuntaladewi pula. Lalu gadis ini menceritakan apa yang terjadi ketika dia mencoba mengambil keris sakti. Kepada Wiro diperlihatkannya pakaiannya yang hangus disambar kilatan petir yang keluar dari keris sakti. Lalu Sakuntaladewi juga menerangkan sewaktu Dewi Ular alias Kunti Ambiri pergunakan sepuluh ular jejadian untuk mengambil keris. Sepuluh binatang itu musnah!

“Aku juga menaruh kawatir,” kata Empu Semirang Biru pula. ”Mungkin saja dua Sinuhun atau mahluk utusannya sudah membekal ilmu penangkal mementahkan serangan petir. Keris sakti itu merupakan satu satunya senjata yang bisa mengembalikan Sakuntaladewi pada ujud aslinya, seorang gadis berkaki dua. Tentunya setelah kau lebih dulu bersedia dijadikan suaminya. Lalu keris itu pula satu-satunya senjata saat ini yang bisa memutus rantai besi merah yang melibat sekujur tubuhku.”

Wiro terdiam, menggaruk kepala. Ucapan sang Empu bahwa kemungkinan Sinuhun Merah telah punya ilmu penangkal dan keris sakti merupakan satu satunya senjata yang bisa melenyapkan cacat di kaki Sakuntaladewi bisa diterimanya. Tapi kalau keris sampai dikeluarkan dari ruang perlindungan, ini yang tidak masuk jalan pikirannya.

“Waktu kita semakin sempit. Anak muda, harap kau mau memberi tahu apa yang terjadi dengan dirimu sebelumnya.” Kata Empu Semirang Biru pula.

Wiro lalu menceritakan kejadian ketika dia tengah mengejar Jaka Pesolek masuk ke dalam tanah mendadak dihadang delapan ekor anak kucing berbulu merah.

“Delapan Sukma Merah,” kata Empu Semirang Biru. “Kesatria Panggilan, aku sudah menduga kalau binatang peliharaan bocah bernama Dirga Purana itu yang menyerangmu.”

Ratu Randang lalu menuturkan bagaimana sebelumnya ketika berada di Candi Kalasan dia telah diserang dan hampir dibantai delapan ekor anak kucing itu. Namun bisa selamat karena ditolong oleh seorang, kakek sakti dari alam gaib yang menurut Empu Semirang Biru adalah Embah Buyut Kumara Gandamayana.

“Apakah kakek itu juga yang telah menyelamatkan diriku?” Wiro bertanya.

“Tiga sahabatmu itu yang telah menolongmu,” jawab Empu Semirang Biru.

Wiro berpaling, menatap pada tiga orang yang berada di depannya lalu berkata. “Kalau begitu aku harus mengucapkan terima kasih pada kalian bertiga!” Wiro lalu memeluk satu persatu Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek.

Jaka Pesolek pergunakan kesempatan untuk balas merangkul Wiro berlama-lama. Tersipu-sipu dia baru melepas pelukan setelah Ratu Randang menarik tangannya. Sakuntaladewi mengambil kembali sapu tangannya yang tadi dipergunakan membersihkan darah di kepala, wajah serta dada Wiro lalu disimpan di balik pakaian.

“Wiro, aku yakin kesaktian delapan Bunga Matahari kecil ini yang telah menyembuhkan dirimu. Kau ingat peristiwa ketika Nyi Loro Jonggrang memberikan sekuntum Bunga Matahari besar padamu? Bunga yang delapan ini berasal dari yang besar itu. Kami menerima amanat dari Nyi Roro Jonggrang. Bunga ini harus diserahkan padamu.” Ratu Randang dengan cepat susupkan delapan Bunga Matahari kecil ke pinggang Wiro. “Ada pesan dari Nyi Loro…”

“Nek, tunggu dulu,” Wiro memotong ucapan Ratu Randang. “Ketika berada di luar ruangan aku melihat Kunti Ambiri ada di sini…”

“Gadis itu pergi mengejar gurumu yang telah mengambil senjata berbentuk kapak yang ada dalam tubuhmu.”

Wiro tersentak kaget. Dia baru sadar dan ingat. Ketika digotong menemui kakek bersorban dan berjubah kelabu, di dalam tubuh si kakek samar-samar dia melihat sosok Eyang Sinto Gendeng. Setelah itu ada delapan cahaya merah menyilaukan menyambar ke arahnya dan dia tidak ingat apa-apa lagi. Wiro usapkan dua tangan ke dada, lalu berucap gemetar. Dia tidak merasa ada hawa hangat masuk ke dalam telapak tangannya!

“Kosong… hampa! Ya Tuhan! Kapak Naga Geni Dua Satu Dua tak ada lagi dalam tubuhku!” Wiro tersandar ke dinding ruangan. Mata menatap ke arah tiga orang di depannya dengan pandangan kosong. Mulut berucap perlahan. “Aku tak percaya! Eyang mengambil kapak sakti milikku. Bagaimana. caranya? Selain diriku hanya Kiai Gede Tapak Pamungkas yang mampu memasukkan dan mengeluarkan senjata sakti itu dari tubuhku! Tidak mungkin Eyang Sinto bisa melakukan! Karena semua adalah pekerjaan gaib.”

“Wiro, kau tahu gurumu telah dicuci otaknya oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah.” Berkata Ratu Randang.

Wiro terdiam. Dia memang sudah tahu hal itu.

“Kami bertiga menyaksikan sendiri apa yang terjadi! Juga Empu Semirang Biru!” Kata Sakuntaladewi pula. “Gurumu membelah tubuhmu di bagian dada sampai ke perut. Semua terjadi sangat cepat. Luar biasa mengerikan!”

Wiro merinding. Lalu perhatikan dan usap-usap dada serta perutnya. “Eyang Sinto membelah tubuhku? Aneh, mengapa tidak ada bekasnya!”

"Itu berkat delapan Bunga Matahari yang diusapkan nenek ini ke dada dan perutmu.” Yang menjawab Jaka Pesolek. “Sebetulnya aku mau juga mengusapkan, tapi nenek ini tak memberi kesempatan. Mungkin mengharap ciuman tambahan…”

“Husss! Ratu Randang membentak sambil pelototkan mata.

Jaka Pesolek cepat-cepat menjauh. Takut dipelintir lagi perutnya dengan cubitan.

“Aku akan ceritakan apa yang terjadi dan aku lihat,” Empu Semirang Biru berkata lalu memberitahu Wiro apa yang terjadi. Dia juga menyatakan rasa herannya bahwa guru yang dipanggil dengan sebutan Eyang itu ternyata seorang gadis cantik.

“Empu, aku tidak tahu bagaimana kejadiannya orang-orang di Bhumi Mataram melihat guruku seperti seorang gadis cantik. Sementara aku tetap melihatnya seperti apa adanya, yaitu ujud seorang nenek. Seperti kata Ratu Randang, aku yakin Eyang Sinto berbuat jahat bukan maunya. Dia telah dikuasai oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Otaknya telah dicuci dengan ilmu hitam bernama Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak Celaka, pasti semua yang terjadi sudah diatur dan dibawah kendali Sinuhun Merah. Kapak Naga Geni Dua Satu Dua pasti akan diserahkan Eyang Sinto pada mahluk jahanam itu. Kek, sahabat semua, aku harus mengejar Eyang Sinto. Mencegah agar kapak sakti tidak jatuh ke tangan Sinuhun Merah. Walau Kunti Ambiri sudah melakukan pengejaran tapi tanggung jawab senjata sakti itu ada di tanganku!”

“Aku akan menemanimu!” Kata Jaka Pesolek.

“Aku juga!” Kata Ratu Randang dan Sakuntaladewi berbarengan.

“Kesatria Panggilan, kau memang wajib membela dan menyelamatkan gurumu. Kalau dia sampai menemui ajal di tangan Sinuhun Merah dan kau tidak berbuat apa-apa, kau akan menyesal seumur hidup. Kau akan dicap sebagai murid yang tidak berbakti kepada guru. Selain itu kau juga harus mendapatkan kapak sakti milikmu itu kembali. Aku tidak akan kecewa kalau kau pergi. Tapi kuharap paling tidak Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi tetap di sini. Keris Kanjeng Sepuh Pelangi harus segara diambil dari atas atap sana!”

“Kek, keris itu cukup aman selama berada dalam ruangan ini,” kata Jaka Pesolek meniru ucapan Wiro karena dia sudah tidak betah lagi berada di tempat itu.

Wajah Empu Semirang Biru berubah. Dia berpaling dan menatap Sakuntaladewi. “Aku mohon kau dan Jaka Pesolek mementingkan senjata itu. Kalau keris sudah didapat dan kalian menyerahkannya padaku, kalian mau pergi kemana aku tidak akan perduli. Aku berkewajiban menyerahkan keris itu pada Raja Mataram karena senjata itu lenyap dari tanganku di tempat kediamanku di Gunung Bismo. Tapi sebelum kalian pergi biar aku ingin berbakti dulu yaitu agar dapat melenyapkan kutuk hitam yang selama ini telah menyengsarakan dirimu…”

Mendengar ucapan Empu Semirang Biru yang terdengar lirih itu Sakuntaladewi menjadi bimbang. Dia memandang ke arah Jaka Pesolek. Ketika dia hendak menoleh ke arah Wiro, astaga! Sang pendekar sudah tidak ada lagi di tempat itu!

“Kek! Kalaupun keris itu kita dapatkan, tapi bagaimana kau bisa mengembalikan ujudku karena Wiro tak ada lagi di sini?! Bukankah dia harus mengucapkan kata, janji atau sumpah bahwa dia akan bersedia menjadi suamiku?”

“Sakuntaladewi, hal itu tidak perlu terlalu kau kawatirkan. Jika Para Dewa telah menentukan dia bakal menjadi suamimu, maka dia akan menjadi suamimu. Jika Yang Maha Kuasa menentukan kau akan sembuh tanpa kehadiran pemuda itu maka kau akan sembuh.”

"Dewi Kaki Tunggal,” kata Jaka pesolek dengan menyebut nama julukan si gadis. “Kita harus mengejar Wiro secepatnya. Lebih baik kita segera menurut saja apa yang diminta Empu biar kita bisa pergi lebih cepat dari sini.”

“Jaka Pesolek, ternyata kau memiliki hati dan jalan pikiran yang lebih jernih. Aku berterima kasih padamu. Sahabatmu Sakuntaladewi pasti mau menolong.Bukan menolong diriku saja. Tapi yang jauh lebih penting adalah kalian akan menolong Raja Mataram dan menyelamatkan Kerajaan dari mahluk-mahluk jahat pimpinan Sinuhun Merah Penghisap Arwah.”

Merasa hiba pada sang Empu dan merasa Jaka Pesolek berucap benar maka Sakuntaladewi akhirnya anggukkan kepala. “Kek, kami berdua akan bekerjasama mengambil keris sakti itu.”

“Hyang Jagat Bathara! Aku sangat berterimakasih. Para Dewa akan memberkati kesembuhanmu wahai Sakuntaladewi.” Kata Empu Semirang Biru dengan wajah berseri. Lalu lagi-lagi dia kembali mendengar suara mengiang di telinga kiri. Tubuhnya yang duduk bersila bergerak ke atas seujung kuku lalu turun lagi ke lantai. Tidak seorangpun di dalam ruangan melihat kejadian ini.

* * *

SEMBILAN

KELUAR dari Ruang Segi Tiga Nyawa Pendekar 212 Wiro Sableng dapatkan diri berada di kawasan Candi Plaosan Lor. Saat itu mentari mulai condong ke barat namun cahayanya masih terasa sangat terik, memerihan kulit, mendenyut benak. Tidak tahu mau mencari dan mengejar Eyang Sinto Gendeng kemana, setelah memandang berkeliling memperhatikan beberapa candi yang ada di tempat itu, Wiro akhirnya mendatangi salah satu candi, duduk di bagian tangga yang terlindung dari sorotan sinar matahari. Sesekali angin bertiup kencang menerbangkan debu ke udara. Wiro perhatikan keadaan pakaiannya yang kotor dan robek. Sang pendekar goleng-goleng kepala lalu menggerutu sendiri.

“Gembel saja mungkin lebih baik keadaannya dari diriku saat ini!” Kemudian Wiro ingat pada senjatanya yang hilang. “Kalau aku tidak bisa mendapatkan Kapak Naga Geni kembali, tidak dapat menyelamatkan Eyang Sinto serta tidak bisa mencari tahu dimana beradanya Ni Gatri, rasanya celaka habis diriku ini!”

Wiro lunjurkan tubuh di atas tangga, mata dipejam, kepala digaruk. Dia coba mengingat kejadian yang baru saja dialami. “Ruang Segi Tiga Nyawa. Nama aneh. Kenapa disebut begitu? Empu Semirang Biru. Kakek yang katanya pembuat Keris Kanjeng Sepuh pelangi itu, dia juga aneh. Dari mana dia tahu kalau aku dijuluki Kesatria Panggilan? Padahal tidak ada yang memberi tahu! Wajar-wajar saja kalau dia sangat mementingkan keris sakti yang menancap di atap ruangan. Padahal selama tetap berada di dalam ruangan perlindungan Dewa senjata itu akan aman-aman saja. Tapi kelihatannya, aku merasa dia tidak suka aku berlama-lama, berada dalam ruangan itu. Dengan alasan aku harus mendapatkan kapak serta menyelamatkan Eyang Sinto dia lebih suka aku pergi. Kenapa?”

Wiro menggaruk kepala kembali lalu membatin. “Ah, sudahlah. Mengapa semua itu harus aku pikirkan. Tapi tidak dipikir memang jadi pikiran. Eh, kalau urusan keris sudah selesai, bagaimana Ratu Randang, Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi keluar dan dalam ruangan di dalam tanah itu? Apakah Empu Semirang Biru punya ilmu kesaktian untuk mengeluarkan mereka? Seharusnya aku mengajak Ratu Randang bersamaku. Mungkin dia bisa menolong mencari dimana beradanya Eyang Sinto atau membuntuti Kunti Ambiri. Nenek genit itu punya ilmu menjajagi orang. Selain itu dia pasti tahu dimana sarangnya Sinuhun Merah. Aku jadi kawatir. Tapi urusan sendiri laksana gunung batu membebani diriku…”

Wiro usap-usap bibirnya lalu tersenyum sendiri. “Nenek tukang cium. Berapa ciuman lagi yang masih bersisa? Aku tidak menghitung!”

Wiro kemudian ingat pada kuda lumping yang menjadi tumpangannya sewaktu masuk ke Bhumi Mataram alam delapan ratus tahun sebelumnya. Dimana beradanya kuda lumping itu tidak diketahui.

“Tanpa kuda lumping itu aku tidak mungkin kembali ke alam delapan ratus tahun mendatang. Juga Eyang Sinto dan Ni Gatri. Apa yang harus aku lakukan? Siapa yang bisa menolong? Jangan-jangan sudah ditakdirkan aku tidak bisa kembali. Celaka besar! Edan semua!” Wiro bantingkan kaki kanannya ke tanah lalu berdiri.

Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara jeritan panjang. Ketika Wiro memandang ke atas di udara dia melihat sebuah benda kehijauan melayang jatuh dari balik atap bangunan candi paling besar. Benda inilah yang mengeluarkan jeritan. Lalu ada cairan merah bertebaran diudara. Darah!

“Burung? Kenapa besar sekali? Kalau burung mana bisa menjerit seperti manusia? Kelihatannya sosok itu terluka.” Wiro berpikir. Sewaktu benda yang melayang jatuh itu hanya tinggal sekitar delapan tombak akan mencapai tanah kaget Pendekar 212 bukan alang kepalang ketika dia mengenali!

“Kunti Ambiri!” Teriak Wiro.

Ternyata yang melayang jatuh adalah sosok Kunti Ambiri alias Dewi Ular. Dalam kejut dan bingungnya Wiro masih bisa berpikir. Kalau dia langsung berusaha menangkap tubuh gadis alam roh itu mungkin dia akan kesulitan menahan daya berat jatuhnya tubuh. Bisa-bisa tangkapannya lepas jebol dan Kunti Ambiri tetap saja terbanting jatuh ke tanah.

Tidak menunggu lebih lama Wiro melompat satu tombak ke depan dan berdiri tepat dibawah sosok yang akan jatuh. Dua lutut ditekuk, dua tangan diangkat lalu perlahan-lahan didorong ke atas sambil merapal aji kesaktian Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih. Dua gelombang angin menderu ke udara, menghadang sosok Kunti Ambiri, membuat gerakan jatuh yang kencang tertahan seketika lalu diredam demikian rupa.

Walau tubuh kemudian masih terus melayang ke bawah namun gerakannya berubah perlahan. Sebelum menyentuh tanah Wiro dengan cepat menangkap dan merangkul tubuh si gadis lalu dibaringkan di tempat keteduhan di bawah sebatang pohon. Ketika Wiro memperhatikan keadaan sosok Kunti Ambiri, dadanya berdebar, tengkuk merinding. Tubuh itu sama sekali tidak bergerak. Mata setengah nyalang, wajah pucat pasi dan di leher ada satu luka panjang menguak. Dari luka ini mengucur darah merah kehitaman, membasahi dada dan pakaian.

“Kunti!” Wiro berteriak. Dengan kedua tangannya dia menekan dada si gadis dan alirkan tenaga dalam serta hawa sakti. Dari mulut Kunti Ambiri keluar suara erangan pendek. Wiro lipat gandakan kekuatan tenaga dalam dan hawa sakti. Lalu membuat beberapa totokan di tubuh sebelah atas serta leher si gadis. Namun darah masih terus mengucur dari luka di leher dan Kunti Ambiri masih tidak sadarkan diri.

“Cakar Sukma Merah. Pasti dia terkena serangan mengandung racun ganas itu!” Pikir Wiro. “Siapa yang melakukan? Delapan anak kucing merah yang pernah menyerang dan mencelakai diriku?”

Wiro ulurkan tangan kanan, telapak diletakkan di atas kening Kunti Ambiri lalu kembali dia mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. Tetap saja gadis itu tidak bergerak. Wiro menghela nafas dalam, tidak tahu mau berbuat apa untuk menolong Kunti Ambiri. Saat itulah dia mencium bau tidak enak. Walau pakaian tipis hijau dan tubuh Kunti Ambiri menebar bau wangi, namun bau wangi itu kalah oleh bau lain yang barusan terhendus.

“Bau pesing!” ucap Wiro perlahan. Dia kenal betul bau itu. Wiro memandang berkeliling. “Eyang Sinto, apa kau ada di sini!”

Tak ada jawaban. Wiro memperhatikan ke arah candi besar dan beberapa candi lainnya di kawasan itu, juga memperhatikan ke atas pohon. Tidak kelihatan siapapun, Wiro arahkan perhatiannya kembali pada Kunti Ambiri. Pandangannya membentur sebuah benda yang tergenggam dalam kepalan tangan kanan si gadis. Benda itu adalah robekan secarik kain hitam basah yang cukup lebar, sebagian terkepal dalam genggaman Kunti Ambiri.

“Robekan kain… Apakah mungkin…?” Wiro dekatkan hidungnya ke tangan kanan si gadis. Begitu menghendus, kepala serta merta ditarik menjauh. Tampang sang pendekar jadi mengkeret. “Betul bau pesing Eyang Sinto! Robekan kain basah itu pasti robekan pakaiannya… Bagaimana bisa berada dalam genggaman Kunti Ambiri!”

Wiro berpikir. Dia ingat keterangan Ratu Randang sewaktu berada di Ruang Segi Tiga Nyawa. Si nenek menceritakan kalau Kunti Ambiri pergi mengejar Eyang Sinto Gendeng yang telah merobek tubuhnya dan mengambil Kapak Naga Geni 212. Lalu dia ingat pula akan perubahan yang dilihatnya pada diri sang guru. Mulut bertaring, kuku jari tangan mencuat seperti pisau, suara berubah seperti kucing mengeong!

“Bukan mustahil Eyang Sinto yang telah mencelakai gadis ini!” Pikir Wiro. “Apa yang harus aku lakukan? Kalau tidak segera ditolong Kunti Ambiri pasti menemui ajal!”

Wiro berlutut di samping tubuh si gadis. Tangan kanan berulang kali mengusap kening Kunti Ambiri. Di masa lalu si gadis adalah salah satu musuhnya yang paling jahat. Tapi saat itu dia merasa sangat terpukul kalau Kunti Ambiri benar-benar menemui kematian. Apa lagi kalau si pembunuh sebenarnya memang adalah Eyang Sinto Gendeng walau si nenek berbuat diluar kesadaran. Wiro dekatkan mukanya ke wajah sebelah kiri Kunti Ambiri. Setelah mencium pipinya, dia berbisik ke telinga si gadis.

“Kunti, aku tahu kau dalam keadaan pingsan. Tapi aku juga tahu Gusti Allah akan memberi kemampuan padamu untuk mendengar. Kunti, kau dulu adalah musuhku paling jahat. Aku bahkan pernah membunuhmu! Tapi sekarang kau adalah sahabat paling dekat dan aku sayangi. Dengar Kunti, berdoalah walaupun hanya dalam hatimu. Berdoalah pada Yang Maha Kuasa mohon keselamatan. Gusti Allah pasti akan mendengar doa orang teraniaya sepertimu!”

Wiro lalu mencium kening Kunti Ambiri. Tiba-tiba dia merasa ada getaran-getaran hebat di dalam tanah di pedataran Candi Plaosan. Lapat-lapat dia juga mendengar suara seperti teriakan orang disertai bentakan bentakan. Wiro terkesiap.

“Sesuatu terjadi di bawah tanah sana. Mungkin dalam Ruang Segi Tiga Nyawa. Aku kawatir kalau-kalau…”

Mendadak di kejauhan terdengar suara tambur dan tiupan seruling. Udara berubah menjadi agak teduh.

“Dua manusia aneh. Si pemukul tambur dan peniup seruling. Kalau dia muncul biasanya…" Dua bayangan terlihat di atas bangunan Candi Plaosan paling besar. “Benar mereka! Sepasang Arwah Bisu. Kakek nenek Sakuntaladewi…” Wiro menatap tak berkesip.

SEPULUH

DI ATAS menara paling tinggi Candi Plaosan terlihat sepasang kakek nenek berselempang kain putih mengambang di udara. Sementara di kejauhan suara tambur dan suling terdengar semakin keras. Maklum kalau dua kakek nenek alam gaib itu muncul untuk satu maksud tertentu Wiro segera menjura membungkuk memberi penghormatan.

Kakek di atas bangunan candi segera menggerakan dua tangan dan jari-jari, membuat bahasa bicara orang bisu sementara si nenek menampung dua tangan seolah tengah berdoa. Wiro yang telah mendapat ilmu bicara ini dari Nyi Loro Jonggrang cukup mengerti apa yang disampaikan si kakek.

“Ketika bingung memang insan bisa menjadi linglung. Ketika dilanda ketegangan manusia bisa lupa pada Kekuatan dan Kuasa Para Dewa. Anak muda, kau membekal delapan Bunga Matahari sakti. Dengan bunga itu orang pernah menyembuhkan luka akibat Cakar Sukma Merah dan menyelamatkan jiwamu. Mengapa sekarang bunga sakti tidak dipergunakan untuk menyelamatkan sahabat yang teraniaya dan yang sebenarnya hari demi hari berlalu sangat mencintai dirimu? Kekuatan cinta yang ada di dalam dirinya merupakan sebagian kekuatan yang diberikan Yang Maha Kuasa hingga tekadnya untuk sembuh dan hidup lebih kuat dari tiupan badai di pedataran Bromo! Tolong dia dengan delapan Bunga Matahari itu. Usapkan delapan bunga Matahari ke luka di lehernya. Sekarang juga!”

Pendekar 212 Wiro Sableng melengak kaget. Bukan saja karena ucapan bahasa bisu si kakek menyadarkan dan mengingatkannya tentang delapan Bunga Matahari yang ada padanya yaitu diberikan oleh Ratu Randang ketika masih berada di Ruang Segi Tiga Nyawa, tapi lebih hebat dari itu adalah ucapan yang mengatakan bahwa Kunti Ambiri mencintai dirinya dan kekuatan cinta si gadis merupakan tekad kekuatan luar biasa hebat untuk sembuh dan bertahan hidup.

Wiro menatap sebentar ke arah Kunti Ambiri. Ketika dia memandang lagi ke bagian atas Candi Plaosan sosok dua kakek nenek telah memudar samar. Wiro cepat gerakkan dua tangan dan jari jemari menyampaikan ucapan terima kasih atas petunjuk si kakek. Di kejauhan kembali terdengar suara tambur dan suling, bayangan Sepasang Arwah Bisu lenyap dari pemandangan.

Dari balik pakaiannya yang robek dengan cepat Wiro mengeluarkan delapan kuntum Bunga Matahari kecil. Bunga dipegang erat, ditempelkan ke leher yang luka lalu perlahan lahan disapukan pulang balik dua kali berturut turut. Pada sapuan ke tiga Wiro melihat delapan Bunga Matahari bergetar, memancarkan cahaya coklat, kuning dan hijau. Di langit terdengar suara kucing mengeong riuh.

Desss!

Asap tiga warna mengepul dari leher Kunti Ambiri. Begitu pupus Wiro melihat luka di leher si gadis telah lenyap tanpa bekas sedikitpun. Kunti Ambiri mengerang pendek. Tubuh menggeliat, dalam keadaan miring dan mencoba bangkit gadis ini muntahkan darah merah kehitaman. Wiro cepat memeluk si gadis. Meletakkan delapan bunga di atas kepalanya dan berbisik,

“Kunti kau pasti sembuh! Kau pasti sembuh! Dua kakek nenek bisu terima kasih kau telah memberi petunjuk. Gusti Allah terima kasih Kau telah menolong sahabat saya.” Wiro merasa ada dua tangan merangkul punggungnya.

Ada suara mengisak disusul ucapan. “Wiro, kaukah ini?”

Wiro anggukkan kepala.

“Aku sangat berterima kasih kau menolongku…”

“Sshhh, berterima kasih pada Gusti Allah. Yang Maha Kuasa…”

Kunti Ambiri gelengkan kepala lalu sesenggukan dan memeluk Wiro lebih kencang. “Aku… aku…”

“Aku kenapa Kunti!” Tanya Wiro karena si gadis tidak meneruskan ucapan.

“Aku, apakah untuk bisa seperti sekarang ini, untuk bisa memelukmu dengan segala ketulusan hatiku aku harus menderita dulu bahkan nyaris mati.”

Wiro terdiam. Hatinya terenyuh. Dia pergunakan ujung bajunya untuk menyeka noda darah yang masih menempel di mulut dan dagu si gadis.

“Wiro, aku tidak akan melepaskan pelukan ini sampai kapanpun!”

Wiro tertawa. Dia usap-usapkan delapan Bunga Matahari ke pipi si gadis.

“Ratu Randang yang memberikan bunga ini padamu?”

Wiro mengangguk. “Bunga sakti ini yang menyembuhkan luka beracun di lehermu.” Wiro memberi tahu.

“Apa Ratu Randang juga menyampaikan pesan Nyi Loro Jonggrang?” Tanya Kunti Ambiri sambil membelai tengkuk Wiro.

“Dia sepertinya hendak mengatakan sesuatu tapi belum sempat diucapkan…”

“Aku tahu semua pesan Nyi Loro Jonggrang. Aku akan memberi tahu padamu.”

“Nanti saja. Sekarang kau butuh istirahat dulu. Tubuhmu kurasa masih panas akibat racun…”

“Racun di tubuhku sudah tiada. Kau yakin saat ini tubuhku panas karena racun itu?” Tanya Kunti Ambiri sambil menatap Wiro lalu mengedipkan sepasang matanya.

Wiro tertawa namun tawanya lenyap ketika Kunti Ambiri menempelkan pipinya ke pipi sang pendekar lalu menciumnya. Debaran di dada Wiro semakin keras.

“Kunti, aku akan membawamu ke dalam Candi. Di sana lebih teduh dan sejuk…”

“Tidak usah, aku lebih suka di sini.” Jawab sigadis. Lalu rebahkan tubuhnya di pangkuan Wiro. Mata dipejam, mulut berucap. “Aku benar-benar tidak pernah mengimpikan saat-saat seperti ini…”

Wiro jadi bingung sendiri. Dalam hati dia membatin. “Apa yang dikatakan kakek bisu itu agaknya memang kenyataan. Kalau aku mengikuti alunan perasaan gadis ini saat ini…”

“Kunti, aku ingin tahu apa yang telah terjadi. Menurut tiga sahabat di Ruang Segi Tiga Nyawa kau pergi mengejar guruku Eyang Sinto Gendeng yang telah mencuri Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dengan cara membelah dadaku.”

“Akan aku ceritakan,” jawab Kunti Ambiri lalu sandarkan punggung ke batang pohon. Setelah mengusap lehernya gadis cantik alam roh ini menuturkan…

* * *

SINAR sang surya bukan saja sangat terik memerihkan jangat tapi juga membuat silau pandangan Kunti Ambiri. Tadi sekejapan dia sempat melihat sosok Eyang Sinto Gendeng berkelebat ke arah barat. Agar pemandangan bisa lebih luas Kunti Ambiri melesat ke atas salah satu candi. Benar saja, begitu menjejakkan kaki di atas menara candi dia bisa melihat si nenek yang saat itu ternyata berada di atas atap candi Plaosan Lor paling besar. Berdiri berkacak pinggang, mulut perot mengunyah susur dan sepasang mata menatap garang ke arah si gadis.

“Nenek itu tidak meneruskan lari. Dia seperti sengaja menungguku!” Pikir Kunti Ambiri.

Tidak menunggu lebih lama si gadis segera melesat ke atas puncak candi dimana Sinto Gendeng berada. Si neriek menyambut dengan seringai angker memperlihatkan taring di sudut bibir. Delapan dari sepuluh kuku jari tangannya mencuat laksana pisau berwarna merah. Kapak Naga Geni 212 tampak terselip di balik pakaiannya. Walau tahu kalau Sinto Gendeng sudah dicuci otaknya oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah, namun Kunti Ambiri tetap menaruh hormat dan menyapa.

“Nek, salam hormat untukmu.”

“Gadis dajal alam roh! Kau sudah lama mampus! Apa mau mampus lagi dan rohmu aku cabik-cabik berani mengejar diriku?!” Sinto Gendeng membentak. Delapan benjolan merah di kepalanya memancar terang.

“Nek, maafkan aku…”

“Benar-benar dajal jahanam! Kau panggil aku nenek? Apa matamu buta?!”

Kunti Ambiri melongo heran. Kemudian dia segera ingat. Orang-orang asli Bhumi Mataram melihat ujud Sinto Gendeng seperti seorang gadis cantik bertubuh molek dan wangi. Sebaliknya dia bersama Wiro, Ni Gatri dan Pangeran Matahari yang berasal dari alam delapan ratus tahun mendatang melihat Sinto Gendeng sebagai ujud aslinya yaitu nenek angker berkulit hitam.

“Orang di depan mata, apapun ujudmu adanya, aku berdoa agar Gusti Allah memberi kesadaran, padamu. Aku mohon kau mengembalikan Kapak Naga Geni Dua Satu Dua yang sudah kau ambil dari dalam tubuh Wiro.”

Sepasang mata Sinto Gendeng seperti mau melompat keluar dari rongganya yang cekung. Nenek ini tertawa gelak-gelak. Lalu dia membentak. “Apa kau merasa kapak sakti ini milikmu hingga berani meminta?!”

“Tidak, kapak itu bukan milikku. Aku akan mengembalikan pada muridmu. Dia sangat membutuhkan senjata itu. Banyak urusan besar yang harus di hadapinya di Bhumi Mataram ini.” Jawab Kunti Ambiri.

Sinto Gendeng kembali tertawa mengakak. “Kau mau berbuat baik pada anak setan itu apa kau mengharapkan dia bakal jatuh hati padamu? Hik… hik… hik. Lekas pergi dari hadapanku dan jangan berani mengejar lagi!”

“Aku mohon, kembalikan dulu Kapak Naga Geni. Aku minta tolong, aku mohon…”

Sinto Gendeng memaki panjang pendek lalu berkata. “Melangkah ke hadapanku! Berlutut dulu dan cium ke dua kakiku. Minta ampun atas segala dosamu selama ini! Baru senjata yang kau minta aku berikan padamu!”

Kunti Ambiri terkesima. Kalau saja dia tidak telah menerima berkah Yang Maha Kuasa melalui Nyi Loro Jonggrang yang telah merubah sifat serta budi pekertinya, gadis alam roh ini saat itu juga mungkin sudah menyerbu menghajar si nenek. Kunti Ambiri malah tersenyum mendengar ucapan si nenek. Dalam hati dia berkata.

“Apa susahnya berlutut. Apa hinanya mencium kaki seorang yang jauh lebih tua dariku. Anggap saja dia ibuku. Tapi hemm, apa benar semudah itu dia hendak memberikan senjata tersebut padaku? Aku menduga dia hendak menjebakku. Apakah aku sebodoh itu? Hik… hik!”

Dengan langkah tenang Kunti Ambiri mendekati Sinto Gendeng lalu berlutut di hadapan si nenek sambil menahan nafas karena tidak tahan mencium bau pesing tubuh dan pakaian si nenek. Ketika dia membuat gerakan hendak mencium kaki Sinto Gendeng tiba tiba dia mendengar suara berdesir.

“Serrr!”

Kunti Ambiri angkat kepala, memandang ke atas. Ternyata yang berdesir adalah bunyi air kencing yang tengah dimuncratkan si nenek. Meski merasa si nenek sudah sangat keterlaluan namun Kunti Ambiri masih mengambil sikap mengalah. Cepat-cepat dia melompat menjauh tapi Sinto Gendeng mengejar sambil kirimkan tendangan berantai.

“Wuuttt! Braaakk!”

Tendangan Sinto Gendeng menghajar dinding atas candi hingga jebol karena Kunti Ambiri berhasil mengelakkan. Didahului teriakan yang mirip suara kucing mengeong si nenek kembali menyerbu. Kali ini dengan mempergunakan serangan dua tangan yang memiliki delapan kuku jari menyerupai pisau. Di dalam rimba persilatan di tanah Jawa, tingkat kepandaian Kunti Ambiri bagaimanapun juga berada di bawah si nenek.

Namun untuk mengalahkan Kunti Ambiri bukan hal mudah. Dalam tiga gebrakan pertama pertarungan tampak imbang. Jurus-jurus selanjutnya Kunti Ambiri agak terdesak karena gadis ini lebih banyak memusatkan perhatiannya untuk dapat merampas Kapak Naga Geni 212 yang terselip di pinggang Sinto Gendeng.

Sinto Gendeng menyerang Kunti Ambiri seperti kesetanan. Tubuhnya lenyap di balik cahaya delapan kuku merah berbentuk pisau. Gerakannya cepat sekali, walau menimbulkan angin tapi tidak bersuara pertanda nenek ini memiliki ilmu meringankan tubuh nyaris mencapai tingkat sempurna. Dalam satu gebrakan di jurus ke sembilan Kunti Ambiri hampir berhasil menyentuh kapak namun tangan kanan Sinto Gendeng membabat luar biasa cepat. Si gadis melompat mundur tapi kalah cepat.

“Craasss!” Salah satu kuku jari berbentuk pisau membabat leher Kunti Ambiri. Luka menguak, darah menyembur.

“Brett!”

Kunti Ambiri hanya mampu menarik robek kain panjang lurik hitam yang dikenakan Sinto Gendeng. Setelah itu tubuhnya terjatuh dari atas atap candi sewaktu berusaha menyelamatkan diri dari serangan Cakar Sukma Merah berikutnya.

* * *

KUNTI AMBIRI menyudahi ceritanya dengan ucapan. “Ketika jatuh aku coba mengimbangi diri. Tapi tak berhasil. Setelah melayang jatuh aku masih berusaha jungkir balik agar bisa melayang ke bawah, dengan dua kaki menginjak tanah lebih dulu. Tapi luka di leherku sangat parah. Selain itu racun Cakar Sukma Merah bekerja sangat cepat. Tubuhku diselimuti hawa panas. Kepala seperti mau pecah dan pemandangan berubah guram. Yang bisa aku lakukan hanya menjerit.”

“Kalau kau tidak menjerit aku tidak akan melihat sosokmu yang jatuh dari atas candi,” kata Wiro pula.

Kunti Ambiri usap pipinya lalu berkata. “Aku menyesal tidak bisa mendapatkan kapak saktimu.”

“Kita pasti akan menemukan Kapak Naga Geni kembali.”

“Kita?” Ucap Kunti Ambiri dalam hati. “Maksudnya dia dan aku bersama sama mencari senjata itu?”

Wiro berdiri menghampiri robekan pakaian Sinto Gendeng yang sejak tadi tercampak di tanah. “Robekan kain ini bisa dipergunakan untuk menjajagi dimana beradanya Eyang Sinto. Seseorang dengan ilmu kepandaiannya akan menolong kita.”

“Maksudmu Ratu Randang!” Tanya Kunti Ambiri.

Wiro mengangguk. Tiba-tiba tanah di tempat itu bergetar. Pohon besar dimana mereka berada bergoyang-goyang. Dedaunan gugur berjatuhan.

“Sesuatu terjadi di bawah sana. Di dalam tanah…”

"Ini kali kedua tanah bergetar.” Wiro memberi tahu. “Aku kawatir terjadi apa apa dengan tiga orang sahabat kita yang masih berada di dalam Ruang Segi Tiga Nyawa.”

“Sebaiknya kita segera saja menyelidik kesana.”

Wiro anggukkan kepala. Dia menolong Kunti Ambiri berdiri. Hanya sekejapan lagi kedua orang berkepandaian tinggi itu akan siap mengamblaskan diri masuk ke dalam tanah tiba-tiba terdengar suara bergemuruh. Lalu ada suara tiga jeritan keras. Tanah di samping kanan pohon terbongkar besar lalu brakkk! Tiga sosok terkapar di tanah!

Wiro melengak kaget. Kunti Ambiri menjerit. Tiga sosok itu adalah Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek! Ketiganya dalam keadaan setengah pingsan. Sekujur tubuh mulai dari kepala sampai ke kaki tertutup tanah dan debu berwarna merah.

* * *

SEBELAS

TAK berapa lama setelah Pendekar 212 Wiro Sableng meninggalkan Ruang Segi Tiga Nyawa, Empu Semirang Biru berhasil membujuk Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi agar tidak pergi menyusul Wiro.

“Sahabatku,” berbisik Sakuntaladewi.

“Ada apa?” Tanya Jaka Pesolek.

“Tidakkah kau memperhatikan…?”

“Dewi Kaki Tunggal, kau ini bicara sepotong-sepotong. Apa yang tidak aku perhatikan?”

“Sssttt, bicara pelan-pelan. Jangan sampai terdengar kakek itu. Apa kau tidak memperhatikan kalau suara sang Empu sedikit agak berubah. Pertama kali suaranya halus tapi beberapa saat belakangan ini berubah agak parau dan keras.”

Yang bicara adalah Ratu Randang dan Sakuntaladewi membenarkan ucapan si nenek dengan anggukkan kepala.

“Hal begitu saja jadi perhatianmu. Lebih baik kita cepat-cepat mengambil keris. Begitu urusan selesai kita cepat-cepat pergi dari sini.” Jaka Pesolek lalu berpaling pada Empu Semirang Biru. “Empu, kami berdua siap mengambil keris di atas atap.”

“Lakukanlah. Raja Mataram tidak akan melupakan baktimu pada Kerajaan. Aku akan melindungi usaha kalian agar tidak ada roh jahat yang menghalangi.”

Empu Semirang Biru menjawab lalu meniup ke arah kedua kakinya sendiri. Kemudian kepala diangkat sedikit. Tiupan diarahkan ke lantai ruangan, terus naik ke dinding dan terus naik lagi menuju atap dimana Keris Kanjeng Sepuh Pelangi menancap.

“Jaka, kau sudah siap?” Bertanya Sakuntaladewi.

Tidak seperti biasa selalu girang kalau akan menghadapi dan menangkap petir, sekali ini Jaka Pesolek tampak agak tegang. Gadis ini kemudian mengangguk.

“Jaka, jangan tegang. Kau pasti mampu menangkap petir yang keluar dari keris sakti. Kalau berhasil aku berikan kau sepuluh ciuman!” Ratu Randang memberi semangat tapi dengan cara bergurau. Sakuntaladewi memberi isyarat bahwa dia siap untuk melompat ke atas atap ruangan.

Tapi Jaka Pesolek balas memberi isyarat sambil berkata. “Jangan kau yang melompat lebih dulu. Biar aku yang memancing. Aku akan melompat ke atap. Begitu petir keluar dari dalam keris, aku akan membuntal dan kau akan aman pergunakan kesempatan cepat-cepat melesat ke atas mengambil keris.”

Sakuntaladewi dalam hati memuji kecerdikan Jaka Pesolek lalu memberi tanda agar gadis yang mengaku bisa jantan bisa betina itu segera melompat ke atap. Sebelum melompat Jaka Pesolek melirik ke arah Empu Semirang Biru. Orang tua ini tampak tegang. Jaka Pesolek jejakkan dua kaki ke lantai ruangan.

“Wuttt!”

Tubuh Jaka Pesolek melesat ke atas atap setinggi empat tombak. Kurang satu tombak tubuhnya melayang dalam ruangan tiba-tiba Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pancarkan cahaya sembilan warna, dikelilingi cahaya biru. Setelah itu terdengar ledakan laksana petir benar-benar menggelegar. Cahaya putih menyilaukan dan panas berkiblat menyambar ke bawah, ke arah Jaka Pesolek.

Seantero ruangan menjadi panas luar biasa! Jaka Pesolek menyambut hantaman petir dengan berteriak keras. Dua tangan dikembang! Dess! Dess! Dua tangan si gadis begitu bersentuhan dengan cahaya putih langsung membuat gerakan memiting. Cahaya putih dibuntal seperti menggulung sebuah pita raksasa lalu dia melayang turun ke lantai ruangan, membawa gulungan petir dan menghenyakkannya di salah satu sudut, menahan dengan kedua lutut.

“Petir jejadian! Mana bisa lebih hebat dari petir sungguhan ciptaan Yang Maha Kuasa! Petir jejadian jangan berani bercanda dengan aku Jaka Pesolek! Hik… hik… hik!”

Kini Jaka Pesolek bisa tertawa tawa. Buntalan petir yang tadi putih panas menyilaukan perlahan lahan berubah redup dan mengecil. Sebaliknya seluruh pakaian dan sekujur tubuh Jaka Pesolek tampak diselubungi lapisan berwarna merah, seperti bara mengepul hawa panas! Ketika Jaka Pesolek berhasil menangkap dan menggulung petir yang keluar dari tubuh Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dan mengamankan petir di sudut ruangan, secepat kilat Sakuntaladewi jejakkan kakinya yang hanya satu ke lantai ruangan.

“Wusss!”

Tubuh gadis itu melesat membal ke atas atap ruangan dimana Keris Kanjeng Seputi Pelangi menancap. Tangan kanan berkelebat cepat, menangkap badan keris lalu menarik senjata ini dari kayu keras tempatnya menancap! Ketika tangan kanannya menyentuh keris sakti, Sakuntaladewi merasa ada hawa dingin masuk ke dalam tubuhnya yang membuat tengkuknya merinding. Dengan cepat gadis ini melayang turun ke bawah Sakuntaladewi sambil membuat gerakan jungkir balik satu kali. Tubuhnya meluncur sebat dan dalam bilangan kejapan mata saja dia sudah berdiri kembali di lantai ruangan.

“Jaka! Ratu! Kita berhasil!” Teriak Sakuntaladewi girang.

Jaka Pesolek tidak menjawab karena saat itu dia tengah berusaha merontokkan lapisan merah panas yang menyelubungi dirinya sementara dua kaki masih terus menahan buntalan petir yang semakin mengecil dan akhirnya lenyap dalam bentuk kepulan asap. Ratu Randang cepat memeluk Sakuntaladewi.

“Kau gadis hebat! Sekarang lekas minta tolong pada Empu itu bagaimana caranya menyembuhkan dirimu. Mengembalikan kakimu yang satu jadi dua lagi.”

Kedua orang itu lalu mendatangi Empu Semirang Biru yang sejak tadi sudah tidak sabaran. Dari sela-sela libatan rantai besi merah dia menggerakkan tangan memberi isyarat.

“Sakuntaladewi, lekas putuskan rantai besi yang melibat diriku. Hanya Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang mampu menghancurkan Rantai Kepala Arwah Kaki Roh! Setelah aku bebas, aku akan segera akan menolong dirimu.”

Ratu Randang perhatikan sikap Empu Semirang Biru yang sama sekali tidak memperlihatkan atau memanjatkan puji syukur pada Yang Maha Kuasa atas telah didapatnya keris sakti itu. Padahal sebelumnya dia banyak mengucap. Menyebut Para Dewa, menyeru Yang Maha Kuasa. Si kakek tampaknya lebih mementingkan dan mendahulukan keselamatan diri sendiri. Diikuti Ratu Randang, Sakuntaladewi melangkah mendekati Empu Semirang Biru. Keris sesaat dipentang di depan wajah orang tua itu yang memandang dengan mata berkilat-kilat.

“Laksanakan sekarang!” Kata Empu Semirang Biru dengan suara parau bergetar.

Sakuntaladewi angkat tangannya yang memegang keris lebih tinggi. Lalu tangan itu dibabatkan ke bawah.

“Traangg!”

Bunga api merah berpijar terang. Ruang Segi Tiga Nyawa bergoncang! Rantai besi merah di bagian bahu kanan Empu Semirang Biru putus berkerontangan. Tubuh sang Empu terlonjak.

“Teruskan! Putuskan semuanya!” Teriak Empu Semirang Biru bersemangat.

Sakuntaladewi kembali membabatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi hingga dalam Ruang Segi Tiga Nyawa terdengar suara berdentrangan berulang kali disertai memijarnya percikan terang bunga api. Rantai Kepala Arwah Kaki Roh putus di enam bagian, luruh jatuh ke lantai dengan suara berkerontang dahsyat! Ruang Segi Tiga Nyawa kembali bergoncang. Kali ini disertai terdengarnya suara raung anjing dan ngeong kucing dikejauhan!

“Terima kasih… terimakasih. Aku sudah bebas sekarang!” Kata Empu Semirang Biru. Namun dia tidak berdiri, tetap saja terus duduk bersila dilantai ruangan. Malah berkata. “Sakuntaladewi, berikan senjata itu padaku. Kini giliran aku menolong membebaskanmu dari kutukan yang telah membawa sengsara dirimu selama ini.”

“Heran, Empu itu tak mau beranjak dari duduknya. Apa pantatnya sudah lengket ke lantai ruangan…?” Berkata Ratu Randang dalam hati. Lalu dia berkata yang ditujukan pada Empu Semirang Biru. “Empu, izinkan aku barang sebentar melihat dan memegang keris sakti yang luar biasa hebat mengagumkan ini!” Kata Ratu Randang dengan cepat melangkah ke hadapan Sakuntaladewi sekaligus membelakangi Empu Semirang Biru.

Tapi karena terburu-buru mungkin juga agak gugup breett! Tak sengaja ujung keris mengait dada pakaiannya hingga robek, membuat sebagian dada si nenek yang masih putih dan kencang tersembul. Saking terkejutnya keris sakti sampai terlempar ke udara. Saat itu si nenek sendiri seperti kehilangan keseimbangan, nyaris jatuh kalau tidak bersitekan dengan tangan kanan ke lantai. Dengan cepat Ratu Randang bangkit berdiri dan menyambar keris yang jatuh.

“Oala!” Ucap Ratu Randang sambil satu tangan ditekapkan ke dada. “Keris bagus! Tapi agak nakal! Bajuku dirobeknya! Hik…hik…hik!”

“Bukan keris itu yang nakal Nek. Tapi engkau yang nakal. Keris sakti dibuat mainan!” Kata Jaka Pesolek dari sudut ruangan.

Ratu Randang tersipu-sipu, cepat berbalik dan menyerahkan sendiri Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Ketika menyerahkan si nenek sengaja membungkuk sehingga dadanya tersingkap, membuyut besar dan sempat membuat darah Empu Semirang Biru berdesir, mata sampai tidak mengedip karena terkesiap. Lebih lebih ketika Ratu Randang menyusupkan keris sakti ke balik pinggang pakaiannya, dada nenek cantik itu nyaris menyentuh hidungnya!

Empu Semirang Biru raba pinggangnya untuk memastikan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ada dan tersisip di situ. Lalu masih dalam sikap keadaan bersila tubuh Empu Semirang Biru bergerak ke atas. Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek berseru kaget ketika melihat di lantai yang sejak tadi diduduki Empu Semirang Biru terdapat sebuah lobang merah sepemasukan tubuh manusia. Belum habis kejut mereka tiba-tiba Empu Semirang Biru keluarkan suara tawa bergelak.

“Selamat tinggal manusia-manusia tolol!” Tubuh, sang Empu menggeliat. Dua kaki yang terlipat bergerak lurus ke bawah lalu wuss! Sosoknya lenyap masuk ke dalam lobang disedot oleh satu kekuatan luar biasa kencang.

“Kurang ajar! Kita ditipu!” Teriak Ratu Randang. Dia melompat ke tepi lobang lalu hantamkan pukulan Tombak Dewa Memancung berhala. Selarik sinar biru menderu masuk ke dalam lobang.

Sakuntaladewi tidak tinggal diam. Gadis kaki satu ini gerakkan dua tangan dalam jurus Enam Belas Gerakan Tangan Bisu lalu wusss! Sepuluh larik sinar jingga yang mencuat dari ujung jari melabrak masuk ke dalam lobang. Dari dalam lobang terdengar suara bergemuruh. Lalu ada kilatan cahaya kuning kemerahan menyambar ke atas. Ruang Segi Tiga Nyawa bergoncang hebat. Dinding dan atap tanah merah luruh. Lalu satu ledakan menggelegar ketika pukulan sakti yang dilepas Sakuntaladewi dan Ratu Randang saling bentrok dengan sambaran cahaya kuning kemerahan. Tiga orang yang ada di dalam ruangan terlempar ke atas!

DUA BELAS

BEGITU mengenali tiga orang yang terkapar di tanah, Kunti Ambiri dan Wiro berteriak kaget. Keduanya langsung melompat.

“Nek, apa yang terjadi?!” Tanya Wiro dan buru-buru melengos lalu menjauh ketika melihat dada Ratu Randang yang tersingkap, Dia memberi isyarat pada Kunti Ambiri agar segera menolong Ratu Randang lalu cepat mendekati Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek. Seperti Ratu Randang kedua orang ini terbujur dalam keadaan setengah pingsan, megap-megap seolah kehabisan nafas.

Kunti Ambiri cepat membuhul sebisanya pakaian Ratu Randang yang robek hingga aurat si nenek tertutup. Lalu dengan mengerahkan tenaga dalam serta hawa sakti dia berhasil membuat Ratu Randang siuman. Wiro melihat kepala Jaka Pesolek miring ke kiri dan Sakuntaladewi megap megap sulit bernafas. Wiro cepat menotok kedua orang ini di tiga tempat lalu pegang pergelangan kaki masing-masing sambil menyalurkan tenaga dalam dan hawa sakti. Jaka Pesolek sadar lebih dulu. Gadis ini cepat bangkit dan duduk, memandang berkeliling. Kepala terkulai miring ke kiri.

“Jaka, setan mana yang menamparmu sampai kepalamu teleng begini rupa?!” Tanya Wiro.

“Sialan!” Jaka Pesolek memaki jengkel. Leher dan kepala ditepuk-tepuk. “Tidak ada setan yang menamparku! Aku terkena semburan cahaya kuning merah yang keluar dari lobang!”

“Lobang? Lobang apa?” Tanya Wiro pula.

Jaka Pesolek tidak menjawab. Leher dipukul-pukul. Kepala dipelintir lalu di dorong ke kanan. Kreek! Leher dan kepalanya lurus kembali tapi mulutnya berucap. “Aduh, aku mau kencing tapi tidak bisa! Ini gara-gara tiupan Empu sialan itu! Aduh, bagaimana ini!”

Sakuntaladewi mulai sadar pula. Setelah batuk-batuk dan menyeka wajahnya yang penuh debu gadis berkaki satu ini bergerak duduk. Dia cepat menyadari apa yang terjadi lalu mulai sesenggukan.

“Aku akan sengsara seumur hidup. Keris sakti itu dibawa kabur Empu Semirang Biru. Hyang Jagat Bathara mengapa buruk sekali nasib diriku…”

Wiro dan Kunti Ambiri saling pandang. Lalu Wiro berpaling pada Ratu Randang. “Nek... ceritakan apa yang terjadi. Apa betul Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dilarikan oleh Empu Semirang Biru? Rasanya tidak masuk akal…”

Ratu Randang anggukkan kepala.

“Empu celaka itu. Tidak sangka dia ternyata kaki tangan Sinuhun Merah yang menyusup masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa.” Berkata Sakuntaladewi ditengah isaknya.

“Aku tidak melihat ada benjolan merah di kening Empu itu. Apa benar dia orangnya Sinuhun Merah Penghisap Arwah?” Kata Wiro pula.

“Kalau bukan orangnya Sinuhun, perlu apa dia mencuri keris? Kami bertiga dimaki sebagai manusia-manusia tolol! Brengsek!”Jaka Pesolek mengomel. Lalu bicara lagi. “Aku ditiup disirapnya hingga tidak bisa kencing. Sekarang dia kabur! Bagaimana aku mau kencing!” Jaka Pesolek usap-usap bagian bawah perutnya.

“Aku menduga…”bBerkata Sakuntaladewi sambil mengusap wajah. “Kali ini Sinuhun Merah tidak mempergunakan orang atau mahluk yang ada benjolannya karena tidak bisa menembus masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa yang ada dalam perlindungan Para Dewa. Yang aku tidak mengerti mengapa Empu Semirang Biru, orang yang membuat Keris Kanjeng Sepuh pelangi, orang kepercayaan Raja Mataram, tega-teganya melakukan khianat! Kalau tahu dia akan menipu dan melarikan keris itu, tidak akan aku putuskan rantai yang mengikat tubuhnya!”

“Agaknya Sinuhun Merah mempergunakan cara luar biasa cerdik untuk menguasai Empu itu. Mungkin melalui lobang di lantai yang dikatakan Jaka Pesolek” Berkata Ratu Randang.

“Berarti Empu Semirang Biru dikerjai lewat pantatnya!” Kata Jaka Pesolek pula. Lalu kembali memaki. “Sial! Najis!”

“Nek, keadaan di pihak kita semakin tidak menguntungkan.” Kata Wiro pada Ratu Randang. “Kapak Naga Geni belum ditemukan. Eyang Sinto dan Ni Gatri entah berada dimana. Raja Mataram belum diketahui kabarnya, apa Rauh Kalidathi berhasil membawa Raja bersama keluarganya sampai dengan selamat di tempat rahasia. Sekarang Keris Kanjeng Sepuh Pelangi lenyap dibawa kabur orang. Agaknya kita memang harus membagi pekerjaan.”

“Membagi pekerjaan bagaimana?” Tanya Ratu Randang.

Wiro menunjuk ke arah robekan kain pakaian Eyang Sinto Gendeng yang sampai saat itu masih tergeletak di tanah. “Itu robekan kain yang dikenakan Eyang Sinto. Kau punya ilmu kepandaian. Dengan mengandalkan robekan kain itu kau bisa menjajagi dimana beradanya guruku.”

Kening Ratu randang mengerenyit. Lalu dia melangkah mendekati robekan kain. Dia membungkuk sedikit lalu cepat-cepat luruskan tubuh. “Robekan kain bau pesing ini? He… he! Apa ilmuku mampu menjajagi?”

“Kalau Ratu Randang mengejar gurumu, lalu siapa yang mencari keris?” Bertanya Sakuntaladewi.

“Aku yang akan melakukan.” Jawab Wiro.

“Aku ikut! Soalnya aku harus menemui Empu najis itu dan minta ditiup agar bisa kencing lagi!” Kata Jaka Pesolek.

“Kalau ditiup kau sembuh ya syukur-syukur. Tapi bagaimana kalau ditiup anumu yang bisa jantan bisa betina itu jadi lenyap?!” Ujar Wiro pula.

Jaka Pesolek terpekik. “Jangan bicara seperti itu! Kau membuat aku bukan saja tidak bisa kencing tapi juga tidak bisa berak!”

Sakuntaladewi tepuk-tepuk debu yang masih banyak menempel di pakaiannya lalu berkata. “Sebaiknya kita pergi dalam satu rombongan mengejar Eyang Sinto, mencari kapak dan mencari keris. Musuh yang kita hadapi selain banyak juga memiliki ilmu kesaktian tinggi. Aku mohon kita mencari keris lebih dulu.” Kata Sakuntaladewi pula.

“Ratu Randang, bagaimana menurutmu?” Bertanya Wiro.

“Soal menjajagi gurumu, mencari kapak dan mencari anak perempuan bernama Ni Gatri itu aku setuju. Tapi soal mencari keris sebaiknya kita lupakan saja.”

Sakuntaladewi langsung terlonjak mendengar ucapan Ratu Randang itu. Wajahnya tampak berubah merah dan marah namun kemudian surut kembali tanda gadis ini mampu menahan gejolak darahnya. Dengan wajah sayu dan suara lirih dia berkata.

“Kalau memang tidak ada yang mau menolong, aku pergi sendiri! Aku akan menemui kakek nenekku Sepasang Arwah Bisu. Mereka pasti tahu dimana beradanya Keris Kanjeng Sepuluh Pelangi! Mudah-mudahan mereka mau menolong. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa menunjukkan jalan.”

Wiro cepat pegang lengan Sakuntaladewi ketika gadis itu hendak menghambur pergi. Lalu pada Ratu Randang dia berkata. “Nek, sahabatku satu ini sudah cukup lama menderita. Aku harus menolongnya. Aku akan menemaninya mencari keris sakti itu agar dia bisa sembuh dari azab yang menyengsarakan.”

“Terserah kalau kau mau pergi bersamanya atau kemana saja. Tapi kalian hanya membuang-buang waktu…”

“Membuang buang waktu bagaimana maksudmu Nek?” Tanya Wiro yang mulai kesal melihat sikap Ratu Randang. Sementara Sakuntaladewi terbelalak, tidak, percaya si nenek akan berkata seperti itu.

Ratu Randang malah tampak tersenyum. “Sahabatku semua, terutama kau Sakuntaiadewi. Jangan menaruh marah atau benci padaku. Aku katakan kalian hanya membuang waktu mencari Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Karena senjata sakti itu sesungguhnya ada padaku!”

Kaget dan kejut meledak di tempat itu. Semua mulut ternganga, mata mendelik bahkan ada yang berteriak.

“Apa katamu Nek?! Jangan bergurau!” Kata Wiro pula.

Tenang saja Ratu Randang susupkan tangan kiri ke dada kanan. “Sial, dia mau membuka kutang bukan mau menunjukkan keris sakti!” Bisik Jaka Pesolek pada Wiro.

Pada keadaan lain mungkin saat itu murid Sinto Gendeng akan tertawa bergelak mendengar ucapan Jaka Pesolek. Namun dalam suasana tegang seperti itu dia hanya bisa menginjak kaki kiri Jaka Pesolek hingga gadis ini meringis kesakitan dan buru-buru menarik kaki. Tangan kiri Ratu Randang yang menyusup ke balik dada kanan perlahan-lahan keluar dari balik pakaian. Ternyata tangan itu kosong, tidak memegang apa-apa!

“Apa kataku! Nenek itu bohong. Dia tadi cuma mau mencabut bulu ketek!” Kembali Jaka pesolek membuka mulut, jengkel.

“Aku tidak punya bulu ketek! Hik… hik! Jadi tidak ada yang mau dicabut!” Jawab Ratu Randang sambil tertawa-tawa. “Aku hanya lupa menyembunyikan di sebelah mana keris sakti itu.” Lalu Ratu Randang gerakkan tangan kanan, kini menyusup ke dada kiri. Ketika tangan kanan dikeluarkan, semua orang berseru kaget!

“Lihat! Ini bukan bulu ketek ‘kan!” Ucap si nenek.

TIGA BELAS

DI TANGAN kanan Ratu Randang tergenggam sebilah keris telanjang luk sembilan tanpa gagang. Cahaya biru menyelubungi seluruh badan keris. Pada sisi kanan keris memancar kumpulan sinar sembilan warna. Dimanapun senjata ini berada sembilan cahaya selalu berada di sisi kanan. Inilah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi asli, ciptaan Empu Semirang Biru dari Gunung Bisma, yang dibuat atas perintah Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Wiro, Kunti Ambiri, Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi langsung mendekat mengerubungi Ratu Randang.

“Nek, apa benar ini Keris Kanjeng Sepuh Pelangi!” Bertanya Jaka Pesolek. Dia hendak meraba keris telanjang itu tapi si nenek menghalangi dengan tangan kiri.

“Tadi semua kalian mengatakan kalau Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dibawa kabur Empu pembuatnya yang kemudian lolos lewat sebuah lobang di lantai ruangan. Sekarang tahu-tahu kau memegang keris itu! Nek, jangan-jangan kau tengah bermain sulap atau sihir!” Yang bicara Wiro.

Kunti Ambiri tidak berkata apa-apa hanya memperhatikan keris di tangan si nenek dengan mata tidak berkedip. Dari dua cahaya yang ada di badan keris sebenarnya dia sudah punya perasaan kalau senjata itu memang Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang asli. Namun dia tidak mau berkata apa-apa karena kawatir keanehan tidak terduga bisa saja terjadi.

Sakuntaladewi unjukkan wajah gembira karena ternyata keris sakti yang bisa menyembuhkannya berada di tangan Ratu Randang. Namun hatinya masih merasa was-was. Dia melihat sendiri si nenek menyelipkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ke pinggang Empu Semirang Biru. Sekarang bagaimana mungkin senjata itu masih berada di tangan Ratu Randang?

Bisa jadi apa yang diduga Wiro benar adanya. Si nenek tengah bermain sulap atau sihir untuk sekedar menghibur hatinya. Tapi kalau itu keris palsu tidak mungkin memancarkan cahaya sakral begitu rupa. Ratu Randang tertawa, matanya yang juling dikedap-kedip.

“Ini bukan sulap bukan sihir! Aku hanya mempergunakan kecepatan gerak tangan dan tipu kampungan! Hik… hik! Syukur Empu kentut itu tidak menyadari karena matanya sudah silau melihat dadaku! Waktu keris aku selipkan ke pinggang dia tidak tahu kalau itu keris palsu! Hik… hik… hik!”

Semua orang jadi saling pandang.

“Keris palsu katamu Nek? Aku melihat kau menyusupkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ke pinggang Empu Semirang. Lalu dari mana kau mendapatkan keris palsu, apa kau sudah menyiapkan terlebih dulu” Bertanya Sakuntaladewi.

Si nenek menggeleng. “Aku tidak menyiapkan sebelumnya. Semua terpikir begitu cepat dalam benakku. Dan semua terjadi dengan kehendak Yang Maha Kuasa.” Jawab Ratu Randang pula. Latu dia menceritakan.

“Setelah keris aku torehkan ke dada pakaianku dan aku pura-pura jatuh, dengan tangan kiri aku mengambil salah satu buntungan rantai besi yang tercampak di lantai. Keris asli aku susupkan ke balik dada sambil aku merapal ilmu kesaktian menipu pandangan mahluk. Hik..hik. Yang Maha Kuasa menolong. potongan besi merah berubah jadi sebilah keris. Keris palsu ini cepat-cepat aku serahkan pada Empu semirang Biru. Aku sengaja, menyusupkan ke pinggangnya agar dia tidak melihat. Selain itu dia percaya saja karena sudah kesilauan melihat dadaku yang montok. Hik…hik…hik! Saat ini kalau dia tengah menyerahkan senjata itu pada Sinuhun Merah, pasti dia dihajar babis-habisan karena menyerahkan keris palsu! Hik…hik...hik!”

“Kalau ini benar Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang asli, berarti bisa segera dipergunakan untuk menyembuhkan sahabat Wita Dewi Kaki Tunggal.” Kata Jaka Pesolek.

“Bagaimana caranya?” Bertanya Wiro.

Ratu Randang dan Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal saling pandang. Si nenek kemudian berkata. “Waktu masih berada di Ruang Segi Tiga Nyawa, Empu itu tidak memberi tahu cara penyembuhan kaki Sakuntaladewi dengan keris ini.”

“Aku kawatir sang Empu sengaja berdusta untuk mendapatkan keris. Setelah dapat dia bawa lari.” Yang berkata Kunti Ambiri. Paras Sakuntaladewi berubah. Dia berucap perlahan. “Keris ini mampu memutus rantai merah yang melibat sekujur tubuh Empu Semirang. Berarti memang memiliki kesaktian luar biasa…”

“Jika kalian setuju sebaiknya keris ini kita bawa dan serahkan saja pada Raja Mataram karena sebenarnya dia yang memiliki.” Kata Jaka Pesolek.

“Tunggu dulu!” Kata Sakuntaladewi pula. “Kita harus menemui kakek nenekku Sepasang Arwah Bisu iebih dulu. Mungkin mereka tahu cara menyembuhkan dan memusnah kutuk atas diriku.”

“Dewi, kau belum pernah menceritakan padaku. Sebenarnya siapa yang telah berbuat jahat dan mengutukmu hingga berkeadaan seperti ini?” Bertanya Wiro.

Sakuntaladewi tak segera menjawab. Lalu sepasang matanya tampak berkaca kaca. Kunti Ambiri segera memeluk gadis itu dan berkata membujuk.

“Katakan pada kami. Kami berjanji akan memegang rahasia, tidak menceritakan pada siapapun. Kami sangat ingin menolongmu.”

Dengan ujung baju jingganya Sakuntaladewi mengusut air mata lalu berkata lirih. “Harap dimaafkan kalau selama ini aku selalu merahasiakan apa yang terjadi. Sebenarnya ini bukan kutukan. Tapi perbuatan jahat Sinuhun Muda Ghama Karadipa dibantu Sinuhun Merah Penghisap arwah dan beberapa dukun jahat. Sinuhun Muda melakukan ketika aku membuka aibnya hendak memperkosa diriku padahal dia tahu aku adalah saudara satu ayahnya. Tapi dia kemudian membuat cerita lain pada kakek nenek Sepasang Arwah Bisu.. Memfitnah bahwa aku telah merayunya untuk berbuat serong padahal aku tahu kami masih bersaudara. Kakek nenekku waktu itu lebih mempercayai Sinuhun Muda. Mereka ikut menambah kekuatan jahat yang dijatuhkan Sinuhun Muda atas diriku…”

Sebagian dari cerita Sakuntaladewi telah diketahui Kunti Ambiri sewaktu masih berhubungan dekat dengan kedua Sinuhun.

“Kalau begitu sudah saatnya Sinuhun Muda dibunuh. Kalau dia mati cacat ditubuhmu akan sembuh.” Kata Jaka Pesolek pula. Sakuntaladewi menggeleng.

“Sinuhun Muda tidak bisa dibunuh karena dia punya nyawa kembar yaitu Sinuhun Merah Penghisap Arwah.” Menerangkan si gadis.

“Kalau begitu kita harus membunuh keduanya!” Ucap Wiro pula.

“Nyawa Sinuhun Merah terpecah delapan. Masing-masing pecahan ada dalam tubuh delapan anak kucing merah yang disebut Delapan Sukma Merah. Delapan anak kucing itu adalah peliharaan bocah sakti Dirga Purana.”

“Berarti delapan anak kucing itu yang harus dihabisi lebih dulu!” Kata Wiro sambil mengepalkan tangan.

“Dewi, aku rasa kita tetap harus mencari kakek-nenekmu. Jika mereka dulu ikut menurunkan tangan jahat hingga kau cacat begini rupa, pasti mereka juga tahu cara penyembuhannya. Jika kau menerangkan kejadian sebenarnya mereka pasti percaya padamu. Selama ini mereka telah beberapa kali muncul membantu kita dan orang-orang Mataram .” Kunti Ambiri kemukakan pendapat.

“Harus mencari kemana? Kalau dicari mereka sulit ditemukan. Tapi bisa muncul secara mendadak lalu menghilang lagi. Setiap mereka muncul aku selalu mencari kesempatan untuk bicara. Tapi selalu gagal.”

“Apa kau ingat, sewaktu kedua kakek nenekmu itu meninggal dunia, apakah jazad mereka dibakar atau dikubur?” Bertanya Ratu Randang.

“Dikubur. Itu sesuai dengan pesan mereka.” Menerangkan Sakuntaladewi.

“Kau tahu dimana makam mereka?” Tanya Ratu Randang.

“Konon di satu tempat rahasia di Bukit Menoreh. Tapi itu hanya kabar yang aku dengar. Pastinya aku tidak tahu.”

“Coba kau ingat-ingat. Pasti ada orang yang tahu letak makam kedua kakek nenekmu.” Ujar Kunti Ambiri.

“Pasti ada yang tahu. Kedua orang tuamu?” Ucap Wiro menyambung kata-kata Ratu Randang.

“Mereka tewas dibunuh kaki tangan ayah Sinuhun Muda sewaktu terjadi pemberontakan beberapa tahun lalu.”

“Seingatku, setiap sepasang kakek nenek bisu itu muncul selalu didahului dan diakhiri oleh suara tambur dan tiupan seruling…”

“Astaga!” Sakuntaladewi memotong ucapan Pendekar 212. “Aku ingat sekarang. “Kedua orang itu Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik. Mereka adalah penjaga dan perawat makam kakek nenekku. Pasti mereka tahu dimana makam mereka. Tapi mencari dua mahluk aneh itu sama sulitnya dengan mencari kutu di gurun pasir.”

Wiro menggaruk kepala. “Aku punya akal. Tapi nanti saja aku katakan. Sekarang urusan paling penting kelihatannya adalah mencari sarang dua Sinuhun. Mencari tahu dimana bocah bernama Dirga Purana berada. Kita harus membunuh delapan anak kucing merah itu lebih dulu. Aku sudah pernah menghajar tiga diantara mereka.”

Wiro lalu berpaling pada Ratu Randang. “Nek, katamu kau membuat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dari potongan rantai besi yang pernah melihat tubuh Empu Semirang Biru. Apa kau bisa menjajagi dan mencari dimana beradanya orang itu berdasarkan besi yang kau pegang yang berubah menjadi keris palsu dan kini berada di tangannya?”

Ratu Randang kedipkan mata. “Mengapa tidak? Itu lebih baik dari pada aku menyiasati gurumu dengan robekan kainnya yang bau pesing itu!” Ratu Randang menunjuk ke arah robekan kain pakaian Sinto Gendeng yang masih ada di tanah, yang tadinya basah kini telah berubah kering. “Tapi aku ada usul. Sebelum kita berbagi tugas, mengapa tidak dicoba lebih dulu menyembuhkan sahabat kita Sakuntaladewi dengan delapan Bunga Matahari yang sekarang ada padamu? Mudah-mudahan Gusti Allah mu memberi berkat.”

Wiro hendak tertawa sewaktu Ratu Randang menyebut Gusti Allah. Lalu dia berpaling pada Sakuntaladewi. “Dewi, bagaimana? Tidak ada salahnya kalau kita coba.”

“Aku bersedia,” menjawab Sakuntaladewi pula.

Ratu Randang merobek ujung pakaiannya, memasukkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ke dalam lipatan robekan kain lalu menyimpan hati-hati di balik pinggang. Semua orang kemudian sama menyetujui agar mereka masuk ke dalam salah satu candi di kawasan Candi Plaosan Lor. Di situ mereka akan coba mengobati kaki Sakuntaladewi. Sambil berjalan ke arah candi terdekat Kunti Ambiri berkata pada Pendekar 212.

“Wiro, sebenarnya ada pesan dari Nyi Loro Jonggrang yang harus aku sampaikan padamu berkaitan dengan delapan Bunga Matahari itu.”

“Aku tahu dari si nenek. Nanti saja kau katakan setelah kita mencoba mengobati Dewi Kaki Tunggal,” Wiro menyahuti.

Hanya beberapa langkah lagi orang-orang itu akan mencapai tangga candi yang terdiri dari sembilan batu undakan, tiba-tiba udara mendadak redup. Di langit sekilas menyambar selarik sinar kuning bersemu merah lalu lenyap. Selagi semua orang hentikan langkah dan menduga-duga apa yang terjadi tiba-tiba di halaman candi sebelah kanan agak ke belakang terdengar suara... braak!

“Ada benda jatuh di halaman sana!” Kata Jaka Pesolek.

“Aku akan menyelidik!” Kata Ratu Randang lalu menghambur ke halaman kanan candi sebelah belakang. Sesaat kemudian terdengar pekik si nenek!

EMPAT BELAS

WIRO dan yang lain-lainnya segera berlari menuju halaman samping. Disitu mereka melihat Ratu Randang tengah berdiri sambil menutup wajah. Di hadapan si nenek, tergeletak di tanah seorang perempuan tua bermuka bulat, berwajah tanpa alis berdandan mencorong. Semua orang segera mengenali. Dia adalah Rauh Kalidathi, salah seorang pembantu kepercayaan Raja Mataram.

“Nek!” Pekik Sakuntaladewi, “Bukankah Nenek mengawal Raja Mataram dan keluarganya ke satu tempat rahasia?”

Yang ditanya tidak menjawab. Ketika semua orang hendak mendekati Rauh Kalidathi, Wiro berkata. “Tunggu! Lebih baik aku periksa dulu. Bisa saja di dalam tubuh nenek, ini ada mahluk titipan Sinuhun Merah!”

Wiro lalu terapkan ilmu Menembus Pandang. Dia tidak melihat sosok lain dalam tubuh Rauh Kalidathi. Setelah Wiro memberitahu semua orang baru mendekati si nenek yang tergeletak di tanah. Dada turun naik, nafas megap-megap. Di lehernya kelihatan menguak tiga luka memanjang. Dari sela mulut mulai mengucur darah merah kehitaman.

“Cakar Sukma Merah!” Ucap Ratu Randang. Lalu nenek ini berteriak. “Wiro, lekas keluarkan delapan Bunga Matahari!”

Wiro segera keluarkan delapan Bunga Matahari dan langsung disapukan di atas luka di leher Rauh Kalidathi.

“Anak muda, terima kasih kau mau menolongku. Sapuan bunga hanya mengurangi rasa panas yang memanggang tubuhku, hanya menunda kematianku. Lukaku terlalu parah. Racun mengindap sangat cepat dan jahat…”

“Nek, apa yang terjadi dengan Raja?” kembali Sakuntaladewi bertanya.

“Sri Baginda Raja Mataram, keluarga dan semuaorang dalam rombongan telah selamat aku antar sampai di tempat rahasia. Di sana juga ada sahabat Kumara Gandamayana. Aku diperintah Raja untuk menemui kalian. Raja berpesan agar tetap berada di kawasan Candi Plaosan ini. Karena sebelum matahari tenggelam ada seseorang yang akan menemui pemuda, yang disebut Kesatria Panggilan itu. Dalam perjalanan aku dihadang Sinuhun Muda Ghama Karadipa. Dia memaksa aku memberi tahu dimana bersembunyinya Raja Mataram dari keluarganya. Aku tidak mau menjawab. Lalu muncul seorang bocah membawa delapan anak kucing merah. Binatang-binatang setan itu disuruh menyerangku. Mereka terlalu sakti. Mereka mengoyak leherku. Aku berpura pura mati. Sinuhun Muda kemudian menendangku. Lalu datang seorang suruhannya berujud kakek buta. Sinuhun keparat itu tahu kalau kalian berada di sini. Dia menyuruh kakek buta membawa dan melemparkan tubuhku yang sekarat di tempat ini. Sinuhun dan orang-orangnya, mereka tengah merencanakan sesuatu. Mereka hendak membakar kawasan dimana mereka mencurigai beradanya Raja Mataram.”

“Jahanam kurang ajar!” Rutuk Kunti Ambiri. “Wiro, kita tidak bisa menunda lagi. Kita harus cepat mencari mahluk-mahluk jahat itu! Menghabisi mereka semua!”

Rauh Kalidathi mengangkat tangan kanan, melambai menggapai gapai ke arah Wiro. “Anak muda, tundukkan kepalamu di atas dadaku. Kau bermaksud terpuji mau menolong diriku walau tidak berhasil. Aku tetap berterima kasih atas budi baikmu. Sejak pertama melihatmu, aku sudah kagum. Aku berharap kau tetap berbakti selamanya pada Kerajaan Mataram, Aku akan memberikan satu ilmu padamu ilmu bernama Tiga Bayangan Pelindung Raga. Bagaimana cara mempergunakannya tanyakan nanti pada Ratu Randang…”

“Nek, aku tidak berani menerima…” Wiro ingin menolak.

"Jangan menampik. Lekas, ajalku hampir sampai!”

Ratu Randang dekatkan kepalanya pada Wiro dan berbisik. “Ikuti permintaan sahabatku ini. Agar dia menemui kematian dengan perasaan lega…”

Wiro akhirnya menurut juga. Kepala ditundukkan di atas dada Rauh Kalidathi. Si nenek kemudian letakkan telapak tangan kanannya di atas ubun-ubun Pendekar 212. Lalu dia menarik nafas dalam. Ketika nafas dihembuskan kembali Wiro merasakan ada hawa hangat memasuki kepalanya, menjalar sampai ke ujung kaki. Dalam keadaan seperti itu dia melihat satu pemandangan aneh. Di depan sana, dia melihat samar dirinya sendiri sebanyak tiga orang. Wiro hendak menjerit saking kagetnya tapi suara teriakan tidak keluar dari tenggorokan. Malah dia kemudian jadi tercekat ketika melihat tangan kanan Rauh Kalidathi terkulai jatuh. Sepasang mata si nenek menatap kosong ke arahnya lalu menutup. Sosok tiga dirinya lenyap dari pemandangan.

“Sahabatku sudah tidak ada,” ucap Ratu Randang lirih. “Aku akan mengurus jenazahnya lebih dulu. Aku akan mencari tempat yang baik untuk kuburnya.”

“Aku akan membantumu Nek,” kata Wiro.

“Kami juga.” Kata Kunti Ambiri dan Jaka Pesolek sementara Sakuntaladewi telah melangkah ke bawah pohon besar. Gadis ini menunjuk ke tanah, memberi tanda kalau itu tempat yang terbaik untuk menguburkan Rauh Kalidathi. Jaka Pesolek memandang berkeliling. Tidak ada alat untuk menggali.

Bagaimana mau membuat kubur? Selagi gadis ini bertanya tanya dalam hati di depan sana Wiro menggurat tanah dengan ujung kasut kaki kanan, membuat garis empat persegi panjang. Lalu tangan kanan dihantamkan ke pertengahan garis melepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah.

“Blaaarr!”

Tanah yang terkena pukulan mencuat ke atas, membuat keadaan di bawah pohon menjadi gelap. Begitu tanah luruh ke bawah, di bawah pohon terlihat sebuah lobang besar empat persegi panjang sedalam hampir satu tombak. Tanah yang terbongkar bertumpuk mengitari lobang seolah diatur tangan manusia. Kalau yang lain-lain sudah maklum akan ilmu kesaktian yang dimiliki Wiro maka Jaka Pesolek menyaksikan dengan mulut menganga melongo. Dalam hati gadis ini berkata.

“Tangannya bisa membuat petir. Bisa membongkar tanah. Kalau tangan itu sampai membelai tubuhku ihh… Apa tidak merinding!”

Jenazah Rauh Kalidathi dimasukkan ke dalam lobang. Jaka Pesolek mengeluarkan sehelai selendang putih lalu ditutupkan ke wajah si nenek. Dengan tangan masing-masing semua orang mendorong tanah di seputar lobang untuk menutup liang kubur. Wiro mengangkat beberapa batu besar yang bertebaran di sekitar candi lalu meletakkan di atas makam. Untuk beberapa lamanya semua orang berada di sekeliling kubur tegak berdiam diri. Dari semua mereka Ratu Randang adalah orang yang paling sedih.

Wiro kemudian bertanya pada Ratu Randang. “Nek, matahari sudah condong ke barat. Kita harus segera masuk ke dalam candi untuk mengobati Dewi Kaki Tunggal.”

Ratu Randang mengangguk. “Kita coba Bunga Matahari lebih dulu. Kalau tidak berhasil kita pergunakan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi.” Lalu si nenek pegang lengan Sakuntaladewi dan menggandengnya ke arah candi. Wiro siap-siap mengeluarkan delapan Bunga Matahari. kembali. Mendadak terdengar suara perempuan menyanyi.

Seorang sahabat telah pergi
Aku turut bersedih
Sekarang saatnya untuk berbagi budi
Apakah insan di bawah sana menaruh sudi


LIMA BELAS

SEMUA orang yang ada di depan candi mendongak ke atas karena suara perempuan menyanyi itu memang seolah datang dari langit. Mereka melengak heran ketika melihat satu batang pohon Beringin berdaun rimbun dan masih ada akarnya, melayang melintang perlahan di udara lalu berhenti mengambang dan perlahan lahan turun, berhenti dua tombak dari atas tanah, hanya beberapa langkah di hadapan orang-orang itu.

Pada batang pohon, duduk berjuntai seorang perempuan sangat muda, mengenakan pakaian dan kain putih berenda, sepasang kaki berbetis putih mulus mengenakan kasut hitam bertali tinggi melingkar sampai ke lutut. Kuku kaki yang tersembul dari ujung kasut kelihatan dicat merah berkilat.

“Oala cantiknya! Apakah ini yang dinamakan bidadari?” Jaka Pesolek berucap sementara yang lain menatap tertegun sambil hati bertanya tanya.

Gadis yang duduk di atas batang kayu memang cantik sekali. Wajahnya bulat telur, dihias hidung mancung, alis tebal hitam, dagu bak lebah bergantung dan bibir merah segar seperti delima merekah. Telinga yang berlekuk indah dicanteli sepasang anting anting panjang bermata mutiara. Di leher yang putih jenjang melingkar kalung yang juga terbuat dari untaian mutiara.

Di atas kepala perempuan cantik jelita itu ada sebuah mahkota yang lebih tepat dikatakan topi. Topi ini bentuknya sederhana, menyerupai atap rumah. Walau sederhana namun ternyata terbuat dari lempengan emas murni! Dibawah topi emas, tergerai rambut hitam panjang sepinggang yang melambai-lambai ditiup angin.

Kunti Ambiri pegang lengan Wiro. Sepertinya ada rasa cemburu dalam diri gadis alam roh ini. Karena semua orang seperti tertegun dan tidak ada yang menyapa, si cantik di atas batang pohon kembali bernyanyi. Sambil menyanyi mata yang bagus dilayangkan ke bawah namun jelas lebih banyak menatap ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.

Bersunyi diri berdiam hati
Mungkin maksud tidak dimengerti
Wahai para sahabat di depan candi
Tersenyumlah sedikit, unjukkan welas berseri


“Orang bicara dengan bernyanyi. Biar aku jawab dengan nyanyian juga!” Kata Jaka Pesolek. Lalu dia hendak melompat ke depan tapi cepat di pegang oleh Ratu Randang. Sambil mencekal lengan Jaka Pesolek si nenek berbisik pada Wiro.

“Apa kau sudah menerapkan ilmu untuk melihat sampai ke isi perut gadis di atas batang kayu itu?”

“Sudah Nek,” jawab Wiro. “Aku tidak melihat mahluk tersembunyi di dalam ujudnya. Tapi itu tidak berarti aman.”

“Gadis cantik yang duduk diatas batangan pohon. Siapakah gerangan dirimu adanya dan datang dari mana?”

“Terima kasih ada sahabat yang mau bertanya…” Si cantik di atas batang pohon membungkuk menyatakan hormat pada Ratu Randang yang barusan bertanya.

“Ah, ternyata dia bisa bicara biasa seperti kita. Jadi tidak terus-terusan menyanyi!” Jaka Pesolek berkata sementara mata tidak lepas dari memandang wajah cantik di atas sana.

Si cantik di atas batang pohon pangkukan kaki kiri di atas kaki kanan. “Namaku Ken Parantili. Perlu aku beritahukan kalau diriku bukan seorang gadis lagi. Aku datang dari Negeri Atap Langit. Walau Atap Langit bukan satu Kerajaan namun Penguasa di sana sudah menganggap diri seperti Raja. Raja selalu mempunyai sembilan belas orang selir. Saat ini aku adalah selir pada urutan pertama atau selir kesatu…”

“Oala!" kata Jaka Pesolek sambil menyikut pinggang Wiro. “Kalau selir paling tua begini cantik dan mulusnya bagaimana selir-selir lainnya. Pasti lebih memesona. Walau selir satu ini tidak gadis lagi tapi kalau ehem-ehem aku tidak menolak.”

Wiro menggelungkan lengannya di bahu Jaka Pesolek. “Jangan terlalu banyak bicara. Kalau ternyata si cantik itu adalah lelembut kesasar, bisa mati kau dicekiknya.”

“Tergantung dia mencekik leher yang mana!” Jawab Jaka pesolek enteng saja. “Kalau dia mencekik leherku yang bisa jantan bisa betina aku pasrah saja. Soalnya pasti mantap! He… he… he!” Habis berkata Jaka Pesolek buru-buru menjauhi Wiro, takut dipelintir dengan cubitan.

Sakuntaladewi mendekati Ratu Randang dan bertanya berbisik, “Nek, kau tahu dimana beradanya Negeri Atap Langit? Baru kali ini aku mendengar”

“Aku pernah tahu ceritanya, tapi tidak tahu berada dimana. Kabarnya itu merupakan negeri yang penghuninya paling banyak mahluk jejadian, tempat segala macam roh atau arwah liar jahat gentayangan.” Menjawab Ratu Randang.

“Bisa jadi negeri itu salah satu pemukiman Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan kaki tangannya,” kata Wiro pula. “Kunti, coba kau selidiki lagi orang yang mengaku selir Penguasa Atap Langit itu.”

“Sahabat cantik, kau datang dari negeri yang tidak kami ketahui. Pasti negerimu jauh dari sini.” Berkata Kunti Ambiri.

Si cantik di atas pohon tersenyum. Melirik ke arah Wiro lalu menjawab. “Tidak, Negeri Atap Langit tidak jauh dari sini. Dengan mengendarai pohon ini, dari Plaosan ini hanya sejengkal jauhnya ke arah matahari terbit.”

Semua orang yang ada di depan candi saling pandang. Jaka Pesolek tercengang-cengang. Wiro menggaruk kepala. “Naik batang pohon, hanya sejengkal ke arah matahari terbit. Bicara orang ini aneh. Batang pohon saja lebih dari sejengkal panjangnya. Berarti Negeri Atap Langit ada di depan jidat kita semua atau di belakang pantat kita.”

“Jangan kau bicara seperti itu,” kata Ratu Randang pula. “Apa kau tidak merasa. Dari tadi si cantik itu selalu melirik ke arahmu. Aku menduga kedatangannya ada sangkut paut dengan dirimu.”

Wiro yang merasa kalau si nenek cemburu segera menjawab. “Wah, kalau begitu tolong kau mengawasi Nek. Aku tidak mau kehilangan sisa ciumanmu yang masih terhutang buaannyaak…”

Wiro langsung menggeliat ketika cubitan si nenek cantik menyambar daging pinggangnya.

Sakuntaladewi maju selangkah, menatap ke atas lalu bertanya. “Sahabat Ken Parantili, beri tahu pada kami apa maksud kedatanganmu ke sini. Apa ada seseorang yang mengutusmu?”

“Aku datang atas kemauanku sendiri. Tidak ada yang mengutus, tapi ada seseorang memberi nasihat…” Jawab Ken Parantili, yang mengaku sebagai selir pertama Penguasa Negeri Atap Langit.

“Kalau begitu katakan maksudmu lalu siapa orang yang memberi nasihat.” Berkata Kunti Ambiri.

Sebelum menjawab lagi-lagi Ken Parantili melayangkan pandangan ke arah Wiro. “Aku datang untuk meminta pertolongan. Mudah-mudahan ada budi baik yang bisa aku terima. Penguasa Negeri Atap Langit mempunyai aturan keji dan kejam. Setiap enam purnama, dia selalu membunuh selir pada urutan paling atas atau paling tua. Saat ini sebagai selir yang ke satu aku akan dibunuh besok pagi, pada saat menjelang fajar menyingsing. Malam ini adalah malam Selasa Kliwon. Malam yang selalu dipakai Penguasa Atap Langit untuk membunuh selir-selirnya. Setelah itu Penguasa Atap Langit akan mencari selir baru pengganti diriku.”

“Gila juga Penguasa Atap Langit!” Kata Jaka pesolek setengah memaki.

“Tadi malam, seseorang menasihatkan diriku. Jika aku ingin selamat dari kekejaman Penguasa Atap Langit maka salah satu diantara sahabat dibawah sana bisa menolong. Itu sebabnya aku datang mencari kalian.”

“Siapa orang yang memberi nasihat itu?” Tanya Kunti Ambiri.

Lagi-lagi Ken Parantili melirik ke arah Wiro baru menjawab. “Seorang sakti dari pantai selatan. Namanya Nyi Roro Manggut.”

Wiro keluarkan suara tersedak. Kaki tersurut setumit. Air muka berubah. Kunti Ambiri yang tahu riwayat orang bernama Nyi Roro Manggut itu langsung berpaling ke arah Wiro.

Ratu Randang bertanya pada sang pendekar. “Kau kenal dengan orang yang barusan disebut selir itu?”

“Dia nenek sakti pembantu kepercayaan Nyi Roro Penguasa Pantai Selatan. Dia yang memberi ilmu Meraga Sukma padaku..." Jawab Wiro dengan suara tersendat.

“Dugaanku tidak meleseti” Kata Ratu Randang. “Selir itu kesini memang mencarimu!”

Wiro menggaruk kepala. “Belum tentu mencari aku Nek. Coba diminta agar dia mengatakan atau menunjuk langsung siapa orang yang dimaksudkan bisa menolong dirinya.”

“Baik, akan aku tanyakan. Kau jangan mencoba kabur dari sin!!” Jawab Ratu Randang. Lalu si nenek berseru. “Sahabat di atas sana. Siapa diantara kami di sini yang menurutmu mampu menolongmu?”

Ken Parantili membungkuk. Tangan kanan disapukan ke bawah lalu diangkat, ibu jari menunjuk ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Sahabat yang bahunya robek, berambut panjang dan menurut Nyi Roro Manggut bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua…”

“Selesai sudah!” Celetuk Jaka Pesolek sementara semua orang terdiam menatap ke arah Wiro.

“Aku tidak punya kepandaian apa-apa. Aku…” Wiro berkata gagap.

“Sudah, jangan mencari dalih. Orang sudah menunjuk dirimu karena sudah tahu kau siapa…” Kata Ratu Randang pula.

Diatas batang pohon yang mengambang di udara Ken Parantili mengangkat wajahnya sedikit, menatap ke arah langit jernih lalu mulut melantunkan nyanyian.

Dari Atap Langit ke Kaki Bumi
Perjalanan jauh terasa satu jengkal
Datang untuk memohon budi
Bukan untuk mencari tumbal
Dari Atap Langit Ke Kaki Bumi
Menyanding budi dengan balas
Kalau selamat nyawa di badan
Sebagai balas arwah jahat tentulah amblas


“Apa arti dan maksud nyanyian selir itu?” Tanya Wiro sambil menggaruk kepala.

“Aku tidak tahu. Aku tidak mau lagi bertanya. Kalau kau ingin tahu kau saja yang bertanya.” Jawab Ratu Randang.

Wiro kembali menggaruk kepala. Menatap ke atas lalu berseru. “Sahabat, aku… anu… bagaimana caranya aku menyelamatkan nyawamu dari tangan jahat Penguasa Atap Langit?”

“Sangat mudah, sangat mudah.” Jawab Ken Parantili.

“Mudah bagaimana? Apa semudah membalik telapak tangan?” Tanya Wiro lagi. “Caranya hanya dengan tidur bersamaku sejak matahari tenggelam sampai fajar menyingsing pada malam ini, malam Selasa Kliwon.”

Sementara semua orang yang ada di situ tersentak kaget terutama Wiro, Jaka Pesolek berteriak. “Oala! Kalau caranya begitu aku juga mau! Aku pasti bisa!”

“Gadis konyol! Kencing saja kau tidak bisa! Mau…!” Kunti Ambiri tidak meneruskan ucapannya tapi lantas tertawa cekikikan.

S E L E S A I