Senandung Kematian

Wiro Sableng. Senandung Kematian
Sonny Ogawa

SENANDUNG KEMATIAN

SINOPSIS

“Aku tahu keris pusaka itu ada padamu!” kata Wiro.

“Otakmu culas! Mulutmu busuk! Kalau kau menuduh aku memiliki keris itu, silahkan ambil sendiri!” kata Damar Wulung.

Tiba-tiba Sutri Kaliangan melompat kehadapan Damar Wulung. “Atas nama Kerajaan aku harap kau menyerahkan Keris Naga Kopek padaku!”

Damar Wulung tertawa bergelak. “Ini satu lagi gadis sesat kena tipu daya Pendekar Sableng! Aku menghormati dirimu sebagai Puteri Patih Kerajaan. Jika kau mau berlaku adil, mengapa tidak menangkap Wiro yang jelas-jelas adalah buronan Kerajaan?!”

“Aku tidak mau tahu hal dia buronan atau bukan. Serahkan Keris Naga Kopek padaku!” bentak Sutri.

“Ha ha ha! Rupanya kau termasuk di barisan para gadis cantik yang jatuh cinta pada Pendekar Geblek itu!“

“Sreett!” Sutri Kaliangan keluarkan pedangnya dari dalam sarung...


Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

BAB 1

Puncak Gunung Gede tampak berdiri gagah dan indah, hijau kebiruan di bawah siraman sinar sang surya. Walau sinar itu cukup terik tapi di atas gunung udara terasa sejuk. Dari puncak gunung kemanapun mata diarahkan, terbentang pemandangan yang indah. Namun semua keindahan itu tidak terlihat, bahkan tidak terasa oleh tiga orang gadis cantik yang saat itu di arah timur puncak gunung.

Di satu pedataran, tak jauh dari sebuah pondok kayu, tiga orang gadis duduk bersimpuh mengelilingi sebuah kubur. Hanya beberapa tombak di sebelah kiri terlihat pula sebuah makam yang masih merah tanahnya, ditancapi papan nisan bertuliskan:

DI SINI BERISTIRAHAT UNTUK SELAMANYA PENDEKAR 212 WIRO SABLENG

Tiga gadis seperti tenggelam dalam kesedihan tapi juga dendam amarah. Sebelumnya rombongan mereka berjumlah empat orang. Mereka dalam perjalanan ke Gunung Gede untuk menyelidik makam ketiga dalam usaha mencari Pendekar 212 Wiro Sableng yang mereka cintai. Di satu tempat hujan lebat turun menghalangi. Rombongan terpaksa berhenti.

Menjelang dini hari sewaktu hujan reda dan mereka siap melanjutkan perjalanan mendaki gunung, mendadak diketahui bahwa salah satu dari mereka yakni gadis jelita dari Andalas, cucu Tuga Gila yang dikenal dengan nama Puti Andini, bergelar Dewi Payung Tujuh lenyap tak diketahui ke mana perginya.

Tiga gadis yakni Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini mencari habis-habisan, bahkan kemudian menunggu sambil mengharap Puti Andini akan muncul. Tapi sampai sang mentari menyembulkan diri gadis itu tak kunjung datang. Tak mungkin menunggu dalam ketidakpastian, tak ada waktu menanti lebih lama, akhirnya tiga gadis melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Gede tanpa Puti Andini.

Di arah timur puncak gunung, Bidadari Angin Timur dan kawan-kawannya menemukan pondok kediaman Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng. Pondok kosong. Dari keadaan luar dan bagian dalam jelas pondok itu tak pernah dihuni sejak lama. Tiga gadis melanjutkan penyelidikan. Di satu pedataran tak jauh dari pondok kayu mereka menemukan sebuah makam bertanah merah.

Inilah makam ketiga yang tengah mereka cari dan selidiki. Namun mereka bukan cuma menemukan makam jahanam itu, tetapi juga satu pemadangan yang sangat keji menusuk mata. Tiga gadis sempat menjerit keras, jatuh berlutut, bertangisan. Kalau saja mereka bukan gadis-gadis gagah yang memiliki kepandaian tinggi, dalam keadaan seperti itu pasti telah roboh pingsan!

Di belakang kepala makam yang ada papan nisannya, menancap sebuah tiang besar. Di tiang inilah sosok kawan mereka Puti Andini, berada dalam keadaan terikat. Pakaiannya penuh robek, bagian tubuhnya yang tersingkap penuh luka. Darah di mana-mana, mulai dari kepala sampai kaki. Puti Andini mereka temukan dalam keadaan tak bernyawa lagi. Jenazah gadis malang itu segera diturunkan dari tiang, diurus sebisanya lalu dikuburkan di salah satu bagian halaman.

Kesunyian mencekam. Sesekali terdengar suara siuran angin dan daun-daun atau reranting yang bergesek. Untuk beberapa lamanya tiga orang gadis itu duduk bersimpuh didepan tanah merah makam Puti Andini. Tak ada yang bicara sampai akhirnya Anggini membuka mulut. Suaranya bergetar.

“Sahabatku Puti Andini. Aku bersumpah untuk mencari siapa yang telah berlaku keji terhadapmu. Aku bersumpah membalaskan sakit hati kematianmu.”

Ratu Duyung ulurkan tangan kanannya. Memegang tanah makam lalu berkata. “Aku Ratu Duyung, ikut bersumpah untuk membalaskan dendam kematian sahabat Puti Andini.”

“Membalaskan sakit hati dendam kesumat sahabat kita memang merupakan satu kewajiban. Namun kita tidak boleh larut terlalu lama.” Berkata Bidadari Angin Timur. Matanya kelihatan bengkak dan merah. Rambutnya yang pirang acak-acakan. Pakaian kotor penuh tanah. Dua temannya tidak lebih baik dari keadaannya. “Kita harus melakukan sesuatu!”

Bidadari Angin Timur berdiri, berpaling ke arah makam yang ada papan nisannya lalu berkata “Saatnya kita menyelidik. Saatnya kita membongkar makam itu. Siapkan peralatan! Apa saja! Kayu, potongan bambu, pecahan batu!”

Ratu Duyung dan Anggini segera pula berdiri. “Tidakkah kita lebih baik menunggu, siapa tahu Eyang Sinto Gendeng pemilik kawasan ini muncul? Hingga kelak nanti kita tidak dituduh berlaku gegabah melakukan sesuatu tanpa ijin di tempatnya?” yang berkata adalah Ratu Duyung sambil berpaling pada Anggini seolah minta pertimbangan atas ucapannya tadi.

“Maksudmu baik, tapi jangan lupa. Waktu kita tidak banyak,” menyahuti Bidadari Angin Timur. “Selain itu salah seorang dari kita telah jadi korban. Dan kita telah menguburkannya di tempat ini tanpa ada kemungkinan untuk meminta ijin pada pemilik kawasan ini. Kemudian, bukan mustahil, malah aku yakin saat ini diri kita juga tengah diintai bahaya! Kalau lambat bertindak kita semua bisa celaka! Selain itu kita harus segera mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi dengan Pendekar 212. Walau nenek muka seram bernama Gondoruwo Patah Hati itu bilang telah bertemu dengan Wiro yang menyatakan bahwa pendekar itu masih hidup, tapi itu tidak boleh menghambat kita untuk menghentikan penyelidikan.”

Habis berkata begitu Bidadari Angin Timur melangkah mendekati makam berpapan nisan, yakni makam ketiga dari serangkaian kejadian aneh yang dialami para gadis cantik itu sejak beberapa waktu belakangan ini.

“Kawan-kawan, apakah kalian ada menaruh duga siapa kiranya manusia durjana yang telah membunuh Puti Andini?”

Anggini, murid Dewa Tuak yang oleh sang guru pernah ingin dijodohkan dengan Wiro keluarkan ucapan. “Sebelum dibunuh, Puti Andini telah diperlakukan secara mesum…” kata Anggini dengan suara perlahan. “Aku ingin sekali mengetahui siapa manusia laknat terkutuk itu!”

Bidadari Angin Timur mendongak, pejamkan mata. Dia ingat keterangan Puti Andini apa yang telah diucapkan dan dilakukan Damar Wulung atas dirinya sewaktu mereka berada di kuil. Gadis ini usap rambutnya yang pirang, membuka matanya kembali lalu berkata.

“Dugaan bisa banyak. Tapi aku menaruh wasangka, pemuda bernama Damar Wulung itulah yang telah melakukan kekejian ini. Mungkin sekali dia masih penasaran karena tidak berhasil mencelakai Ratu Duyung. Malam tadi agaknya dia tidak memilih-milih. Siapa saja yang didapat itu yang dicelakainya. Dan Puti Andini bernasib malang. Dia yang jadi korban!”

Bidadari Angin Timur menghela nafas panjang. “Sudah, kita tak perlu banyak bicara. Saatnya membongkar makam!”

“Tunggu! Ada satu hal ingin kukatakan!” Ratu Duyung tiba-tiba berkata.

“Apa?” Bidadari Angin Timur dan Anggini bertanya hampir berbarengan.

“Sewaktu jenazah Puti Andini kita urus dan kita kebumikan, aku sempat memeriksa. Bukankah sahabat kita ini membekal sebilah pedang mustika sakti?”

“Benar!” Bidadari Angin Timur membenarkan ucapan Ratu Duyung.

“Tapi senjata itu tidak ada padanya…” berucap Ratu Duyung.

Bidadari Angin Timur terdiam, tidak menunjukkan rasa terkejut. Ini membuat heran dua gadis lainnya. Namun keganjilan itu segera tersingkap sewaktu dara berambut pirang itu berkata. “Terus terang, aku sendiri sebenarnya juga memeriksa jenazah Puti Andini. Kau benar Ratu Duyung. Pedang Naga Suci 212 tidak ada pada Puti Andini.”

“Berarti ada yang mencuri!” ujar Anggini.

“Aku yakin sekali si pencuri adalah juga si pembunuh Puti Andini. Benar-benar biadab! Sangat kurang ajar!” Bidadari Angin Timur kepalkan tinjunya. Diam sesaat dalam geram tiba-tiba Bidadari Angin Timur berkata. “Aku ingat sesuatu. Pedang sakti itu, bukankah senjata itu mempunyai satu keanehan? Tidak sembarangan orang bisa menyentuhnya. Konon hanya seorang gadis yang masih suci yang bisa memegang senjata itu. Lalu si pemegang juga harus tidak memiliki niat jahat. Ingat peristiwa beberapa waktu lalu? Eyang Sinto Gendeng pernah hendak menguasai Pedang Naga Suci 212. Tapi telapak tangannya yang memegang pedang hangus melepuh!”

“Kalau begitu yang mencuri senjata tersebut adalah seorang gadis!” kata Anggini. Pandangan matanya ditujukan berganti-ganti pada Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung.

Melihat cara memandang Anggini, Bidadari Angin Timur merasa tidak enak lalu berkata. “Sahabatku Anggini, jangan menduga yang bukan-bukan. Aku tidak mencuri pedang sakti itu!”

“Aku juga tidak!” berkata Ratu Duyung.

“Demikian pula aku!” ujar Anggini. Sambil tersenyum dia bertanya. “Lalu siapa yang mengambilnya?”

Tak ada yang menjawab. Anggini membuka mulut kembali. “Mungkin aku keliru. Tapi salah satu di antara kita telah mengambil pedang itu. Bukankah senjata sakti itu berbentuk gulungan seperti gulungan ikat pinggang. Jadi mudah saja menyembunyikannya.”

Wajah Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung menjadi merah. Dengan menahan amarah Bidadari Angin Timur berkata. “Anggini, ucapanmu sungguh lancang! Dalam keadaan seperti ini jangan sampai terjadi perpecahan di antara kita. Kau seolah menuduh salah satu dari kami berdua yang mencuri sementara kau sendiri suci dari perbuatan mencuri!”

Anggini tersenyum. Dipegangnya tangan Bidadari Angin Timur seraya berkata. “Maafkan ucapanku. Tidak ada maksud di hatiku menuduh kalian…”

“Aku tetap yakin si pencuri adalah orang yang membunuh Puti Andini,” kata Bidadari Angin Timur. “Besar kemungkinan dia seorang perempuan yang masih suci. Tapi saat ini untuk sementara kita lupakan dulu pedang mustika itu. Kita harus segera membongkar makam ketiga ini.”

Tanpa banyak bicara lagi di bawah pimpinan Bidadari Angin Timur, dengan peralatan seadanya, antara lain nisan papan bahkan tak jarang mempergunakan tangan mereka yang halus, tiga gadis itu segera membongkar makam ketiga. Ini bukan pekerjaan gampang, tapi dibanding dengan menggali kubur untuk Puti Andini tadi, membongkar makam terasa lebih gampang dan lebih cepat.

Apalagi mereka mempergunakan tenaga biasa maka dalam waktu singkat makam telah terbongkar sampai sepertiga kedalamannya. Semakin dalam digali, semakin mencekam perasaan ketiga gadis itu. Apa yang bakal mereka temukan di dalam makam ketiga ini? Apa lagi-lagi hanya secarik surat yang memberitahu bahwa mereka ditunggu di makam keempat? Mendadak Anggini hentikan gerakan tangannya menggali makam. Tubuhnya ditarik ke belakang. Matanya membesar.

“Ada apa?” bisik Ratu Duyung tegang.

“Aku merasa tanah makam bergerak. Ada sesuatu yang hidup di dalam kubur ini!” jawab Anggini dengan berbisik pula.

“Kalau begitu hati-hati. Siapkan tenaga dalam,” mengingatkan Ratu Duyung.

“Ratu, coba kau kerahkan Ilmu Menembus Pandang. Kau pasti bisa melihat benda apa yang mendekam di dalam makam ini,” bisik Bidadari Angin Timur.

Mendengar ucapan itu Ratu Duyung segera alirkan tenaga dalamnya ke mata. Mata dikedipkan dua kali. Samar-samar Ratu Duyung melihat sesuatu. Dia lipat gandakan aliran tenaga dalam ke mata. Begitu penglihatannya lebih jelas gadis ini jadi tercekat. Dia tidak bisa percaya. Maka dia kerahkan ilmu kesaktian yang disebut Menyirap Detak Jantung. Dengan ilmu ini Ratu Duyung sanggup merasakan detak jantung seseorang di kejauhan.

“Kalau mahluk di dalam makam itu memang mahluk hidup, pasti aku akan merasakan detak jantungnya. Kecuali dia setan jejadian…”

Ratu Duyung tahan nafas, pasang telinga. Sesaat kemudian dia merasakan ada debaran di dadanya. Lalu telinganya menangkap suara detakan jantung. Datangnya dari dalam makam! Serta merta Ratu Duyung berteriak.

“Cepat keluar dari kubur! Ada mahluk hidup di dalam sana!”

Sambil berteriak Ratu Duyung melesat ke atas. Berbarengan dengan itu dia cepat menarik tangan kiri Anggini dan mendorong Bidadari Angin Timur ke kanan.

BAB 2

Perempuan tua yang duduk di depan lampu minyak itu memandang dengan muka masam pada pemuda di hadapannya. Mulut komat-kamit. Dari dalam mulut itu dikeluarkannya segumpal susur. Mulutnya dipencongkan sesaat sebelum dia bertanya. Melihat susur itu si pemuda jadi ingat akan gurunya. Sang guru paling doyan mempermainkan susur sirih dan tembakau di dalam mulutnya. Kini entah di mana gurunya itu berada. Mungkin sudah saatnya dia menyambangi di tempat kediamannya.

“Anak muda,” berucap perempuan tua di hadapan si pemuda. “Aku belum pernah melihat tampangmu sebelumnya. Kau bukan penduduk sini. Kau menyusahkan orang saja. Ada keperluan apa malam-malam begini mengganggu diriku? Apakah kau tidak bisa menunggu sampai besok pagi?”

Pemuda di hadapannya menggaruk rambut lalu tersenyum. “Maafkan aku Nek. Aku datang dari jauh. Waktuku sempit. Mohon jangan marah dulu…”

Karena orang bersikap sopan dan bicara halus, perempuan tua itu kendur rasa jengkelnya. Susurnya hendak dimasukkan ke dalam mulut kembali tapi tak jadi. “Ah, aku tadi bicara agak kasar. Jangan-jangan kau datang minta tolong karena istrimu hendak melahirkan. Betul begitu?!”

Si pemuda tersentak lalu tertawa bergelak.

“Huss! Malam-malam bagini tertawa seenaknya! Kau mau mengundang setan lewat kesasar masuk ke rumahku?!”

“Nek, namaku Wiro. Aku belum punya istri! Tak ada perempuan yang hamil atau bunting! Aku datang untuk keperluan lain. Aku tahu kau memang dukun beranak. Tapi kata orang kau yang bernama Nyi Supi juga pengurus jenazah di kawasan sini. Jenazah orang-orang perempuan.”

“Hemmm… Mataku masih ngantuk. Aku mau meneruskan tidur. Bilang cepat apa keperluanmu. Apa kau datang membawa jenazah untuk aku urusi?”

“Nek, Nyi Supi, kau masih ingat peristiwa kematian Kinasih, istri Raden Mas Sura Kalimarta juru ukir Keraton? Aku mendapat keterangan kau yang mengurus dan memandikan jenazah perempuan itu.”

Muka keriput si nenek berubah mendengar disebutkan dua nama itu. “Aku tak mau mengingat-ingat kedua orang yang sudah mati itu. Apalagi Kinasih. Mengerikan sekali! Seumur hidup aku belum pernah mengurus dan memandikan jenazah seperti jenazah perempuan malang itu.” Nyi Supi diam sesaat lalu bertanya “Eh, apakah kau punya hubungan saudara dengan kedua orang itu?”

Wiro menggeleng. “Lalu kenapa tanya-tanya?” Nyi Supi kelihatan heran.

“Nyi Supi, coba kau ingat. Apa betul di kening jenazah Kinasih ada guratan angka 212?”

“Aku tidak mau mengingat-ingat lagi. Seram sekali! Sejak peristiwa itu aku sering kedatangan mimpi buruk…”

“Tolong nek, aku butuh keteranganmu. Benar ada guratan 212 di kening istri juru ukir Keraton itu?”

Nyi Supi akhirnya anggukkan kepala. “Kematian yang aneh. Tega-teganya ada orang membuat guratan seperti itu. Entah apa maksud dan artinya. Tapi bagiku itu tidak terlalu seram. Dibanding…”

“Dibanding apa?” tanya Wiro ketika si nenek hentikan ucapannya.

“Terlalu ngeri…”

“Tak usah takut Nek. Ceritakan saja,” ujar Wiro.

“Sekujur tubuh Kinasih. Penuh luka-luka terkuak. Bukan bekas sayatan atau tusukan senjata tajam. Tapi luka-luka bekas gigitan.Terutama di bagian dada. Salah satu puting susunya hampir tanggal. Darah di mana-mana. Waktu memandikan aku benar-benar tidak tega…”

“Gigitan itu, menurutmu apakah gigitan manusia atau binatang buas?” tanya Wiro pula.

“Ya pasti gigitan manusia! Gigitan orang yang merusak kehormatannya. Masakan binatang bisa menggigit dan menggurat angka! Kau ini bagaimana? Tanyanya seperti orang tolol saja!”

Wiro tertawa. “Terima kasih Nek, aku berterima kasih kau mau memberi keterangan. Kini aku baru percaya kalau di kening mayat Kinasih memang ada guratan tiga angka. Tadinya aku mengira cuma cerita yang dibuat-buat belaka. Terima kasih Nek. Aku tidak akan mengganggumu lebih lama. Aku minta diri…”

“Hemmmm…” Nyi Supi bergumam. “Sudah pergi sana. Aku mau meneruskan tidur…”

Wiro tersenyum. Dia usap-usap pipi peot si nenek seraya berkata. “Teruskan tidurmu Nek. Semoga kali ini mimpimu bagus-bagus.” Wiro melangkah pergi.

Entah usapan tadi entah karena hal lain, yang jelas si nenek tiba-tiba ingat sesuatu. “Wiro, tunggu,” Nyi Supi memanggil.

Murid Sinto Gendeng hentikan langkah, memutar tubuh. “Ya, Nek. Ada apa?”

Nyi Supi lambaikan tangan, memberi isyarat agar Wiro lebih mendekat. Begitu Wiro sampai di hadapannya perempuan tua ini berkata “Ada satu hal perlu kuceritakan. Mungkin ada artinya bagimu. Ketika jenazah Kinasih aku mandikan, tangan kanannya dalam keadaan mengepal. Karena sudah kaku, susah untuk diluruskan, apa lagi dibuka. Tapi karena di celah-celah jarinya yang mengepal kulihat ada benda seperti secarik kain hitam, aku jadi berpikir. Jangan-jangan benda dalam genggaman Kinasih itu ada sangkut pautnya dengan kematian dirinya. Dibantu seorang teman aku berhasil membuka genggaman jari-jari tangan kanan Kinasih. Benar, benda yang digenggamannya itu ternyata adalah secarik robekan kain hitam. Nah itu saja yang aku ingin sampaikan padamu…”

Wiro terdiam. Berpikir-pikir. “Nyi Supi, robekan kain hitam itu, apakah kau masih menyimpannya?”

“Ah, kejadiannya sudah cukup lama. Aku tak ingat lagi. Tapi mungkin masih ada. Tolong bawakan lampu minyak itu ke dalam…”

Di ruang dalam, di bawah penerangan lampu minyak yang dibawa oleh Wiro, Nyi Supi memeriksa di beberapa tempat. Dia tidak menemukan benda yang dicarinya.

“Mungkin kau menyimpan di kamar tidurmu,” kata Wiro.

“Tidak, benda seperti itu tidak akan pernah kusimpan di kamar tidurku!” Si nenek pejamkan mata seolah berpikir. “Di sumur!” tiba-tiba si nenek berseru. “Robekan kain itu semula ku simpan di balik setagen. Ketika mau mandi di sumur setagem kulepas. Kain hitam tercampak, kupungut lalu kusempilkan… Anak muda, ayo ikut aku ke sumur.”

Benar apa yang dikatakan Nyi Supi, robekan kain itu memang disempilkan di atas bambu melintang dinding kajang pelindung tempat mandi. Kain itu diserahkannya pada Wiro. Ketika Wiro memperhatikan, kain itu ternyata tidak cuma berwarna hitam. Tapi ada warna-warna lain yakni biru dan garis-garis merah.

“Nyi Supi, kukira robekan kain ini tidak ada gunanya bagimu. Atau kau masih mau menyimpannya?”

“Buat apa?” ujar si nenek.

Wiro masukkan robekan kain itu ke balik pakaiannya. “Sekali lagi terima kasih Nek. Aku minta diri…”

Nyi Supi menjawab dengan menguap lebar. Hari masih pagi. Gedung Kepatihan nampak sunyi. Sejak Patih Selo Kaliangan sakit berat beberapa waktu lalu suasana di Gedung Kepatihan sepi-sepi saja. Beberapa orang tabib dan ahli pengobatan kabarnya telah berdatangan berusaha mengobati sang patih.

Namun sebegitu jauh keadaannya belum menunjukkan kesembuhan. Racun yang mengidap di dalam tubuhnya baru sedikit bisa dikeluarkan. Di atas pembaringan Patih Kerajaan itu tergolek lumpuh.Tubuhnya yang tadinya besar tegap kelihatan kurus. Untungnya dia masih mampu membuka mulut untuk berkata-kata walaupun dengan suara tidak terlalu keras.

Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya Makam Ketiga terjadi penyergapan untuk kesekian kalinya oleh orang-orang Kerajaan terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng. Penyergapan itu dipimpin sendiri pleh Patih Selo Kaliangan, dibantu oleh beberapa tokoh silat Istana berkepandaian tinggi, sementara Pendekar 212 didampingi oleh nenek sakti sahabat barunya berjuluk Gondoruwo Patah Hati.

Penyergapan bukan saja gagal tetapi Patih Selo Kaliangan malah ditimpa celaka besar. Gondoruwo Patah Hati berhasil menangkap salah satu dari dua ular yang jadi senjata tokoh silat berjuluk Setan Bertongkat Ular. Binatang berbisa ini kemudian dimasukkan ke dalam celana Patih Kerajaan. Akibatnya patukan ular berbisa yang bersarang satu jengkal di bawah pusarnya, sang Patih keracunan berat. Sekujur tubuhnya diserang demam panas.

Beberapa hari kemudian dia jatuh lumpuh. Beberapa orang pandai telah berusaha menolong memberikan pengobatan. Namun sang Patih masih jauh dari kepulihan. Konon, jika penyakitnya terlambat diobati, walau kelumpuhannya bisa disembuhkan namun dia akan menderita penyakit lemah syahwat seumur hidup. Sejak peristiwa itu Pendekar 212 Wiro Sableng dan Gondoruwo Patah Hati dinyatakan sebagai buronan, harus ditangkap hidup atau mati.

Sementara Setan Bertongkat Ular karena takut melenyapkan diri entah ke mana. Di dalam kamar saat itu Patih dan pelayan tengah menunggu beberapa pelayan lain yang setiap pagi datang untuk membersihkan dan memandikan patih Selo Kaliangan. Tapi lain yang ditunggu lain yang muncul.

Dua orang pengawal yang biasa berjaga-jaga di depan pintu laksana dilabrak topan mencelat masuk ke dalam kamar, bergelundungan di lantai, mencoba bangkit, tapi tak mampu dan hanya melingkar di lantai sambil mengerang kesakitan. Yang satu pegangi perut, sedang temannya menekap hidung dan mulutnya yang berdarah.

Belum habis kejut Patih Kerajaan dan pelayan di dalam kamar, tiba-tiba seorang pemuda berpakaian serba putih, berambut gondrong berkelebat masuk dan tahu-tahu sudah berdiri di sampingketiduran Patih Kerajaan. Mata membelalak Patih Selo Kaliangan serta merta mengenali siapa adanya orang yang tegak di sampng tempat tidurnya. Langsung mulutnya berteriak.

“Kau! Buronan jahanam! Berani mati masuk ke tempat ini! Pelayan! Panggil pasukan! Tangkap orang ini! pengawal!”

Pelayan di sudut kamar yang sejak tadi sudah terlonjak kaget dan bangkit berdiri tanpa tunggu lebih lama segera lari ke pintu. Namun baru tiga langkah bergerak tubuhnya mendadak kaku. Satu totokan jarak jauh yang menusuk punggungnya membuat dia tertegun tak bergerak dan tak bersuara di samping pintu.

Amarah besar membuat tubuh Patih Selo Kaliangan menggigil. Dia berusaha bangkit, mencoba menggerakkan tangan untuk menghantam. Tapi sia-sia saja. Kelumpuhan membuat dia tetap terhenyak di atas tempat tidur. Tak ada hal lain yang bisa diperbuat Patih Kerajaan ini selain mulai berteriak minta pertolongan. Namun suara teriakannya lenyap begitu sehelai sapu tangan kotor miliknya sendiri disumpalkan pemuda berambut gondrong ke mulutnya.

Enak saja si gondrong ini duduk di tepi ranjang lalu berkata. “Patih Selo Kaliangan, aku Wiro Sableng datang menemuimu untuk membuat perjanjian. Aku akan menawarkan penyembuhan atas dirimu jika kau mau memberi tahu di mana aku bisa menemukan Iblis Kepala Batu Alis Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh. Dia telah menculik sahabatku, seorang gadis bernama Bunga dan memasukkannya ke dalam sebuah guci. Jika kau mau menolong hingga aku bisa membebaskan sahabatku itu, aku berjanji akan mengobati penyakitmu.”

Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng melepaskan sapu tangan yang disumpalkannya ke mulut Patih Kerajaan. “Kau sudah mendengar apa yang aku ucapkan. Aku ingin mendengar jawabanmu!”

“Manusia jahanam! Aku lebih baik menerima kematian sekarang juga dari pada membuat perjanjian denganmu! Umurmu tidak akan lama! Orang-orangku akan segera menangkapmu. Tiang gantungan sudah lama menunggumu!”

Murid Sinto Gendeng menyeringai. “Orang mati saja kalau bisa bicara kepingin hidup lagi. Kau yang masih hidup malah buru-buru minta mati! Kau lupa bahwa penyakitmu akan membawa kesengsaraan seumur hidup sebelum ajalmu benar-benar datang. Aku kawatir kau tak sanggup menanggung kesengsaraan. Kau bisa jadi gila! Kasihan. Tapi kalau itu pilihanmu, apa boleh buat!”

“Pembunuh terkutuk! Pencuri keris pusaka Kerajaan! Aku tidak takut mati! Aku akan mati tanpa penyesalan asalkan lebih dulu menyaksikan mayatmu kaku di tiang gantungan!”

“Patih, aku bukan pembunuh seperti yang kau tuduhkan! Aku juga bukan pencuri Keris Kiai Naga Kopek!”

Saking marahnya mendengar ucapan Wiro, Patih Selo Kaliangan membuang ludah. “Siapa percaya ucapan manusia bejat sepertimu! Kau tahu, bukan cuma dirimu yang bakal menerima hukuman berat! Kerajaan telah memutuskan untuk meminta pertanggung jawaban gurumu si Sinto Gendeng!”

Wiro terkejut mendengar ucapan Patih Selo Kaliangan itu. “Pada waktunya aku akan memberikan bukti-bukti padamu siapa sebenarnya pembunuh Kinasih dan suaminya si juru ukir. Juga siapa yang telah menjarah Keris Pusaka Keraton. Tapi satu hal aku tidak suka! Guruku Eyang Sinto Gendeng tidak ada sangkut pautnya dengan semua kejadian ini. Jika orang-orang Kerajaan sampai berani menyentuh selembar rambutnya, pembalasanku tidak tanggung-tanggung. Gedung Kepatihan ini akan kusama ratakan dengan tanah. Kalau perlu gedung bangunan Istana juga akan kubuat amblas sampai ke perut bumi!”

“Manusia sombong terkutuk! Beraninya kau mengancam!” maki Patih Selo Kaliangan. Lalu dia berteriak. “Pengawal!”

Wiro berdiri. Selagi berpikir apa yang hendak dilakukannya untuk memaksa Patih Kerajaan tiba-tiba satu bayangan kuning berkelebat. Ada angin dahsyat menyambar menebar hawa dingin. Tak mau berlaku ayal Wiro segera melompat hindarkan diri. Ketika memandang ke depan kagetlah murid Sinto Gendeng. Yang barusan menyerangnya ternyata seorang dara berwajah cantik, berambut sangat hitam di gulung di atas kepala. Di pinggangnya dara ini membekal sebilah pedang yang sarungnya berukir, ditabur batu-batu aneka warna.

BAB 3

Setelah pandangi dara cantik itu sesaat Wiro berseru “Aha! Tidak disangka Patih Kerajaan punya pengawal seorang gadis cantik! Dara jelita siapa namamu?!”

“Ayah! Siapa pemuda gondrong lancang kurang ajar ini?!” Gadis berpakaian kuning bertanya. Ternyata dia adalah puteri Patih Selo Kaliangan.

“Sutri! Hati-hati! Pemuda itu adalah Wiro Sableng, buronan Kerajaan! Lekas panggil pengawal! Siapkan pasukan! Kurung gedung Kepatihan! Jangan sampai lolos. Dia harus ditangkap hidup atau mati!” Patih Selo Kaliangan berteriak.

Sepasang mata gadis jelita membelalak. Wajahnya berubah. Tangan kanannya langsung bergerak ke pinggang menghunus pedang. Melihat hal itu, Selo Kaliangan yang tahu kalau Wiro bukan tandingan puterinya kembali berteriak agar Sutri segera meninggalkan tempat itu, memanggil para pengawal. Tetapi setelah sirap kagetnya mengetahui siapa adanya pemuda di hadapannya itu, Sutri bukannya pergi malah membentak.

“Jadi ini manusia kurang ajar yang mencelakai ayahku! Bagus! Kau datang sengaja mencari mati! Biar tanganku sendiri menjatuhkan hukuman! Lihat pedang!”

Baru selesai berucap satu sinar putih sudah bertabur di depan hidung Pendekar 212. Itulah kilapan cahaya pedang baja putih di tangan puteri sang Patih. Dari sambaran angin sewaktu pertama kali gadis ini memasuki ruangan Pendekar 212 maklum kalau puteri Patih Kerajaan itu memiliki ilmu meringankan tubuh cukup tinggi serta tenaga dalam yang dapat diandalkan.

Kini dalam jurus pertama serangan pedangnya si gadis seolah hendak membelah kepalanya mulai dari ubun-ubun sampai ke dagu! Benar-benar serangan pertama yang mematikan! Wiro cepat bergerak hindarkan serangan lawan.

“Wuuuutttt!”

Pedang baja putih melanda tempat kosong. Membuat Sutri terkejut besar. Serangan pertama yang dilancarkannya tadi itu dia sengaja mengeluarkan jurus ketiga dari ilmu pedangnya yang disebut Membelah Rembulan Di Puncak Langit. Jarang lawan bisa selamat dengan mudah. Tapi ternyata Wiro enak saja bisa menghindar padahal untuk mendalami jurus ketiga itu dia telah menghabiskan waktu lebih dari satu tahun!

Didahului jeritan melengking keras, Sutri kembali menggebrak. Pedangnya berubah menjadi taburan cahaya putih dan tebaranhawa dingin. Tubuh Pendekar 212 tenggelam dalam buntalan cahaya putih. Pakaian dan rambutnya berkibar-kibar terkena sambaran senjata lawan. Melihat kehebatan serangan lawan, apalagi si gadis kelihatannya begitu nekad, murid Sinto Gendeng tak mau berlaku ayal. Tapi melihat kecantikan sang dara muncul niat untuk mempermainkan.

Setelah lima jurus Wiro di desak habis-habisan bahkan ujung lengan kiri bajunya sempat dimakan pedang lawan, Wiro mulai bergerak aneh. Tubuhnya melompat kian kemari. Setiap lompatan selalu dilakukannya melintasi tempat tidur Patih Kerajaan terbaring. Hal ini dianggap kurang ajar dan keterlaluan oleh Sutri apa lagi oleh Patih Kerajaan. Ayah dan anak memaki habis-habisan.

Sutri mengamuk. Pedangnya menderu laksana air bah. Mengejarke mana saja Wiro berkelebat. Tapi dia harus bertindak hati-hati agar tiap tusukan atau bacokan senjatanya tidak salah arah hingga bisa mencelakai ayahnya sendiri. Gilanya, dalam melompat menghindarkan serangan pedang, tak jarang Wiro mengangkat kaki atau tangan Patih Selo Kaliangan, dipergunakan untuk menangkis serangan pedang. Sutri yang tidak mau ayahnya celaka tentu saja terpaksa menarik atau menahan serangan, penuh geram berteriak memaki.

“Pengecut tengik!” teriak Surti marah. “Jangan pergunakan tubuh ayahku sebagai tameng penangkis!”

Wiro tertawa bergelak. Lalu menyambar sebilah tombak pajangan di sudut kamar. “Aku mengikuti apa maumu!” kata Wiro seraya menyeringai dan mengacungkan tombak.

Sutri kertakkan rahang. Tanpa banyak bicara dia melompat. Tangan kanan diputar dan pedang baja putih kembali bertabur. Wiro pergunakan tombak untuk menangkis.

“Trang! Trang! Trang!”

Tiga kali terdengar suara berdentrangan. Wiro keluarkan seruan tertahan. Tombak di tangannya kini tinggal kutungan sepanjang dua jengkal. Ujung sebelah atas putus tiga kali dibabat pedang baja putih di tangan Sutri!

“Hebat! Ilmu pedangmu sungguh luar biasa!” Pendekar 212 memuji. “Sayang aku tidak punya banyak waktu melayanimu!”

“Buronan terkutuk! Kau mau lari ke mana!” bentak Sutri ketika melihat Wiro enak saja melangkah ke arah pintu. Karenanya bagitu sang pendekar lewat di hadapannya pedang di tanan kanannya langsung dibabatkan ke pinggang sang pendekar.

“Ah! Putus pinggangku!” seru Wiro seolah kaget ketakutan. Tapi sambil menyeringai. Tubuhnya meliuk ke samping. Tangan kanan cepat mencekal pergelangan si gadis, diputar demikian rupa hingga pedang terlepas dari cekalan Sutri. Lalu settt! Pedang baja putih itu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya!

Patih Kerajaan seperti tidak percaya melihat apa yang terjadi. Untuk mempelajari ilmu pedang itu puterinya digembleng oleh dua tokoh silat terkenal dan memakan waktu lebih dari lima tahun. Kini sang puteri hanya dijadikan bulanan main-mainan oleh buronan terhukum mati itu! Sutri sendiri hendak menggerung saking marah dan malunya. Di hadapannya Pendekar 212 enak saja menyeringai dan berucap.

“Gadis cantik sepertimu jangan terlalu nekad main pedang!” Konyolnya habis berkata begitu Wiro lantas mencolek dagu si gadis.

Patih Kerajaan berteriak marah. “Lancang kurang ajar!” teriak Sutri Kaliangan.

“Bukkk!” satu jotosan melanda perut Wiro. Sakitnya lumayan. Tapi bukannya mengeluh kesakitan murid Sinto gendeng malah ulurkan tangan kanan mengusap pipi Sutri Kaliangan.

“Kurang ajar!”

“Bukkkk!” Untuk kedua kalinya pukulan keras mendarat di perut Wiro. Pemuda ini menyeringai dan kembali tangannya menjahili mengusap wajah si gadis.

Marah besar Sutri kembali hendak menjotos perut pemuda itu untuk ketiga kalinya. Tapi kawatir pipinya bakal diusap lagi, pukulan ke arah perut dibatalkan, diganti kini dengan jotosan keras ke arah wajah Pendekar 212. Jotosan kali ini mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam. Jangankan kepala Wiro, kepala seekor kerbaupun bisa amblas!

Wiro tertawa bergelak. Sebelum pukulan si gadis mendarat di mukanya, dengan cepat dia merunduk, mencolek pinggang Sutri. Selagi gadis ini terpekik marah dan kegelian lalu memaki panjang pendek, sambil senyum-senyum murid Sinto Gendeng berkelebat ke pintu. Tapi gerakan Pendekar 212 tertahan. Senyum lenyap dari mulutnya. Di ambang pintu beberapa orang bertampang garang menutup jalan.

“Ah, mereka lagi!” ujar Wiro sambil menggaruk kepala. “Kalau mereka menyerbu dan aku bertahan di kamar ini, tipis harapanku untuk lolos.” Melirik ke samping dilihatnya Sutri telah menghunus pedang bajanya kembali. Wiro garuk kepala sekali lagi. Tiba-tiba dia melompat ke kepala tempat tidur Patih Selo Kaliangan.

“Jahanam kurang ajar! Apa yang kau lakukan?!” Patih Kerajaan berteriak.

Sutri memburu. Namun gadis ini dan juga semua orang yang ada di depan pintu kamar terpaksa menyingkir ketika Wiro mengangkat bagian kepala tempat tidur di mana Patih Kerajaan terbaring, lalu mendorong tempat tidur itu menerobos kurungan orang-orang di pintu.

Di luar kamar Wiro lepaskan ujung kepala tempat tidur yang dipegangnya hingga tempat tidur itu terbanting keras ke bawah. Selagi Sutri berusaha menahan tubuh ayahnya agar tidak jatuh terbanting ke lantai, Wiro pergunakan kesempatan untuk meninggalkan tempat itu. Namun lima orang berkelebat cepat dan mengurungnya dengan rapat.

Kelima orang ini merupakan musuh lama karena mereka bukan lain adalah dedengkot tokoh silat Kerajaan yakni Hantu Muka Licin Bukit Tidar, Jalak Kumboro alias Pendekar Keris Kembar, lalu Tumenggung Cokro Pambudi. Orang keempat adalah Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara dan yang kelima Ki Sepuh Item. Wiro mengira Iblis Kepala Batu Alis Empat juga berada di situ, ternyata momok yang telah memasung Bunga itu tak kelihatan.

Ki Sepuh Item berdiri paling dekat. Kakek tinggi kerempeng berkulit hitam gosong ini memandang penuh geram pada Pendekar 212. Dendamnya terhadap Wiro memang bukan alang kepalang. Bukan saja karena nyawanya hampir dilalap oleh Wiro sewaktu terjadi perkelahian hebat di puncak bukit di Karangmojo tempo hari, tapi juga karena Wiro-lah yang telah menamatkan riwayat muridnya dengan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah. Dirinya sendiri kalau tidak ditolong oleh Adisaka pasti akan mengalami kematian mengerikan dengan cara yang sama. (baca Episode Gondoruwo Patah Hati)

“Kalian berlima, tua bangka tidak tahu diri! Masih berani unjukkan diri jual tampang! Rupanya kalian memang musti digebuk sampai benar-benar tahu rasa!”

Ki Sepuh Item unjukkan wajah garang lalu bersama Hantu Muka Licin dia keluarkan suara tawa bergelak. “Nyawa sudah di ujung tenggorokan! Masih saja bersikap sombong kurang ajar!” memaki Hantu Muka Licin.

“Para tokoh!” tiba-tiba Patih Selo Kaliangan berteriak. “Tidak perlu bicara bertutur cakap dengan pemuda buronan jahanam itu! bunuh dia sekarang juga!”

Lima tokoh silat berkepandaian tinggi segera bergeak, menebar mengatur kedudukan untuk menyerang. Sutri, puteri sang Patih tak tinggal diam. Dia melompat ke samping Si Bisu, pedang baja putih melintang di depan dada.

“Bunuh!” teriak Patih Selo Kaliangan tidak sabaran.

BAB 4

Tongkat tulang putih berlubang di tangan Ki Sepuh Item menderu ke depan, mengeluarkan suara bising merobek gendang-gendang telingaserta semburan angin dingin laksana tusukan jarum yang tidak kelihatan! Kalau tangan kanan melancarkan serangan dengan tongkat tulang putih yang berbahaya, tak kalah bahayanya sikakek muka gosong ini juga pergunakan tangan kirinya.

Di tangan ini dia memiliki ilmu yang disebut Kaca Hantu. Konon tangan ini diisi sejenis susuk. Jika tenaga dalam dikerahkan maka telapak tangan akan mengeluarkan sinar berkiblat. Bila lawan terkena serangan sinar, pandangannya akan menjadi gelap buta kesilauan. Wiro sebelumnya sudah pernah menghadapi Ki Sepuh Item serta merta angkat tangan kirinya untuk melindungi mata dari ilmu Kaca Hantu itu.

Serangan yang datang berbarengan dengan hantaman tongkat dan silaunya Kaca Hantu adalah sambaran pedang baja putih di tangan Sutri Kaliangan. Gadis ini menyerbu tak kepalang tanggung. Lancarkan dua tusukan dan satu kali bacokan dalam gebrakan pertama.

Orang ketiga yang ikut menghujani Pendekar 212 dengan serangan adalah Keris Kembar Jalak Kumboro. Waktu terjadi perkelahian besar di puncak bukit teh tempo hari dia telah kehilangan satu dari dua kerisnya sementara salah satu tangannya mengalami cidera berat. Saat itu dengan tangan masih dibalut dia menyerang Wiro mempergunakan keris dan sebilah senjata berbentuk kelewang pendek yang memancarkan sinar redup kehitaman pertanda senjata ini mengidap racun jahat.

Tumenggung Cokro Pambudi sebenarnya tidak punya silang sengketa apa-apa dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun tokoh istana ini ingin berbuat pahala membalaskan sakit hati Patih dan menjalankan perintah. Di samping itu dia merasa bertanggung jawab atas lolosnya pemuda yang mencuri keris pusaka Kiai Naga Kopek. Jika dia bisa ikut membekuk Pendekar 212 paling tidak rasa kecewa Sri Baginda terhadapnya bisa berkurang. Senjata yang dipergunakan sang Tumenggung adalah sebilah golok panjang berbetuk segi empat.

Si Bisu Pencabu Nyawa Tanpa Suara, kakek aneh yang hidungnyadicanteli anting-anting, berkepala botak warna kuning keluarkan suara haha-huhu. Setelah itu dengan gerakan kilat tapi tanpa keluarkan suara sama sekali dia melompat memasuki kalangan pertempuran. Kakek ini tidak membekal senjata. Yang jadi andalannya adalah sepuluh kuku jari kakinya yang berwarna hitam panjang. Belasan lawan berkepandaian tinggi telah menjadi korban keganasan sepuluh kuku jari kakinya itu.

Karena dia mempergunakan kuku jari kaki sebagai senjata, maka gerakan silatnya tampak aneh tapi sangat berbahaya. Dia lebih banyak bergerak setengah tinggi badan, merunduk bahkan kadang-kadang berguling di tanah. Setiap serangan tidak mengeluarkan suara atau siuran angin sedikitpun. Tahu-tahu korban sudah bersimbah darah, tubuh atau muka robek besar disambar kuku jari kaki!

Orang keenam, yang paling dahsyat melancarkan serangan adalah Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Dendamnya terhadap Wiro tak akan habis-habis seumur hidup.Bukan saja karena telah dipermalukan yaitu ditelanjangi di depan orang banyak tapi juga karena penasaran tak sanggup menghabisi Wiro dengan Jarum Perontok Syaraf. Seperti diceritakan sebelumnya Bunga, gadis cantik dari alam roh telah menyelamatkan Pendekar 212 dari racun jarum maut itu. (baca Episode Roh Dalam Keraton)

Dalam Episode Gondoruwo Patah Hati diceritakan bagaimana senjata paling diandalkan oleh Hantu Muka Licin yakni rumbai-rumbai ikat pinggang kuning yang sanggup melesatkan jarum beracun telah dimusnahkan oleh Pendekar Kipas Pelangi.

Sementara dia masih belum mendapat senjata pengganti yang bisa diandalkan maka Hantu Muka Licin Bukit Tidar pergunakan kesaktian dua ujung lengan jubahnya yang bisa mengeluarkan asap kelabu mengandung racun tak kalah jahatnya dengan racun Jarum Perontok Syaraf. Sebelumnya ilmu serangan asap ini juga telah dibuat tak berdaya oleh Pendekar Kipas Pelangi.

Saat ini Pendekar 212 hanya seorang diri hingga Hantu Muka Licin Bukit Tidar merasa yakin dia dan kawan-kawan kali ini akan sanggup menghabisi Wiro. Memang dalam keadaan seperti itu sulit dibayangkan bagaimana murid Sinto Gendeng akan mampu menghadapi enam serangan maut yang datang berseribut cepat untuk membantainya!

Serangan lawan yang lebih dulu sampai adalah hantaman asap kelabu beracun yang keluar dari ujung lengan jubah Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Wiro begitu mencium bau yang tidak enak segera menutup jalan pernafasannya. Enam penyerang keluarkan seruant ertahan ketika mereka menyangka serangan masing-masing akan mencapai sasaran tiba-tiba ada cahaya terang menyilaukan berkiblat disertai suara gaungan dahsyat yang menggetarkan seantero tempat!

“Awas! Kapak Maut Naga Geni 212!” Seseorang berteriak memberitahu.

“Bukkk!” Orang yang barusan berteriak menjerit keras begitu satu jotosan tangan kiri melanda dadanya. Darah menyembur dari mulutnya dan sosoknya terpental lalu terjengkang di lantai. Orang ini adalah Tumenggung Cokro Pambudi yang sebelumnya telah menyerbu Wiro dengan satu bacokan golok, tapi berhasil dielakkan dan dia sendiri harus menerima hantaman jotosan tangan kiri di bagian dadanya.

Bersamaan dengan itu ada hawa panas melanda dan trang-trang! Dua bentrokan senjata terjadi di udara. Dua mulut terpekik keras. Satu sosok mencelat menjauhkan diri, mengerang pendek, tersandar ke dinding bangunan.

“Bunuh! Habisi pemuda keparat itu!” Patih Selo Kaliangan berteriak dari samping pilar besar di mana dia disandarkan oleh puterinya.

Saat itu Sutri telah keluar dari kalangan pertempuran dengan muka pucat pasi. Pedang baja masih tergenggam ditangannya tapi sudah buntung dan bagian yang masih berada dalam pegangannya kelihatan hitam hangus mengepulkan asap!

Orang kedua di pihak Kerajaan yang bernasib malang lagi-lagi adalah Pendekar Keris kembar Jalak Kumboro. Kerisnya yang tinggal satu mental hancur entah kemana sedang kelewang pendek masih berada dalam pegangannya tapi seperti pedang baja Sutri, senjata itu kelihatan buntung dan hangus hitam mengeluarkan asap. Jalak Kumboro sendiri tegak terhuyung-huyung dengan muka pucat, berusaha mengatur jalan darahnya yang menjadi kacau akibat kejut dan rasa ngeri yang amat sangat!

Di bagian lain Pendekar 212 Wiro Sableng tampak tegak tersandar ke dinding bangunan. Celananya robek besar di bagian paha dan ada noda darah pertanda di balik robekan ada luka cukup parah. Tubuh Wiro kelihatan bergetar seperti orang menggigil. Rahangnya menggembung dan keningnya mengerenyit menahan sakit. Apa yang terjadi?

Ketika enam serangan datang menerjang dirinya, Wiro bergerak cepat mencabut kapak sakti dan pergunakan tangan kiri untuk menghantam. Dia berhasil membuat mental Tumenggung Cokro Pambudi dengan jotosan telak di dada, membabat putus pedang baja putih di tangan Sutri lalu menghancurkan kelewang dan keris di tangan Sepasang Keris Kembar.

Selain itu Wiro juga berhasil selamatkan kepalanya dari pukulan tongkat tulang putih di tangan Ki Sepuh Item yang dihantamkan ke kepalanya. Namun bagaimanapun cepat dan hebatnya gerak Pendekar 212 menghadapi serangan enam orang lawan, tetap saja dia kebobolan.

Setelah melindungi matanya dari sambaran Kaca Hantu Ki Sepuh Item yang menyilaukan, menggebrak tiga lawan, Wiro tidak mampu menghindarkan diri dari serangan aneh yang dilancarkan Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara. Dia hanya sempat bergerak mundur setengah langkah sebelum lima kuku hitam jari kaki kanan kakek berkepala kuning botak ini menggurat robek paha celananya, membuat koyakan luka pada kedua pahanya. Darah langsung mengucur. Racun kuku mulai bekerja, membuat tubuhnya panas tapi dia sendiri merasa dingin menggigil.

Sadar bahaya yang dihadapinya, Wiro melompat menjauhi enam lawan. Dia bersandar ke dinding bangunan, menotok dua urat besar pangkal paha kiri kanan. Patih Selo Kaliangan kembali berteriak. Saat itu adalah kesempatan paling baik untuk menghabisi Pendekar 212.

“Hantu Muka Licin, Ki Sepuh Item, Bisu Pencabut Nyawa! Habisi pemuda itu!”

Seperti sang Patih, tiga orang yang diteriaki itu sama menyadari memang saat itulah kesempatan paling baik untuk membunuh Pendekar 212. Ketiganya serta merta menggebrak maju. Wiro yang sudah maklum bahaya besar yang mengancamnya, pindahkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke tangan kiri. Dengan tangan kanan dia lalu lepaskan pukulan Sinar Matahari, mengerahkan hampir seluruh kekuatan tenaga dalamnya!

Ledakan dahsyat menggelegar. Beberapa bagian bangunan Kepatihan, termasuk sebagian kamar tidur Patih Selo Kaliangan ambruk. Asap menggebubu, hawa panas menebar membakar. Ketika asap lenyap, debu hilang dan pemandangan terang kembali, kelihatan beberapa orang berkaparan di lantai di depan kamar. Yang pertama tentu saja sang Patih sendiri. Dia tergeletak di lantai. Pakaian merahnya hangus.

Tak jauh dari situ terkapar Ki Sepuh Item, mengerang menggeliat­geliat. Kulitnya yang hitam kelihatan semakin hitam. Rambut, kumis dan janggutnya yang tadinya putih kini berubah menjadi hitam. Dari mulutnya keluar suara erangan halus. Matanya setengah terpejam.

Hanya beberapa langkah di samping Ki Sepuh Item, berlutut sosok Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Mulut berkomat kamit. Jubah kelabunya hangus di bagian bahu kiri sampai ke pinggang. Mukanya pucat. Untuk beberapa lama dia berlutut tak bergeark, mengatur jalan darah dan hawa sakti dalam tubuhnya sambil matanya mengawasi ke arah Pendekar 212.

Tumenggung Cokro Pambudi tergeletak tidak sadarkan diri dekat tangga menuju ke taman. Sementara Sutri masih bisa selamatkan diri karena ketika ledakan dahsyat terjadi dia terlindung di balik satu tiang besar. Walau kemudian tiang ini roboh, si gadis masih bisa melompat selamatkan diri.

Yang paling malang lagi-lagi adalah Pendekar Keris Kembar Jalak Kumboro. Orang ini berada paling dekat dengan pusat ledakan. Tubuhnya melesat ke atas, kepala menghantam langit-langit bangunan tepat pada sanding batu yang keras. Ketika tubuhnya jatuh ke lantai dia tak berkutik lagi. Nyawanya lepas, kepala pecah!

Yang masih bertahan dan kelihatannya tidak mengalami cidera apa-apa adalah kakek botak bisu Si Bisu Pencabut NyawaTanpa Suara. Sambil keluarkan suara haha­huhu dia gulingkan tubuhnya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu terduduk bersila di lantai. Di sebelah bawah pakaiannya berlepotan darah. Di bagian atas kelihatan beberapa robekan. Darah mengucur dari sela bibir dan liang telinganya.

Dadanya mendenyut sakit! Dia bersyukur tadi ketika melancarkan pukulan Sinar Matahari dia mengerahkan hampir seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Hingga ketika lawan sama-sama menghantam dengan gempuran tenaga dalam, dia masih bisa bertahan walau saat itu rasanya nyawanya entah berada di mana. Dalam keadaaan seperti itu dia melihat Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara berguling ke arahnya sambil membabatkan kaki kanannya yang berkuku panjang.

Wiro ingin sekali pergunakan kapak saktinya untuk membabat kaki lawan. Namun dia memilih lebih baik menghindar dan mempergunakan kecerdikan karena saat itu beberapa lawan sudah mulai bangkit, bergerak ke arahnya. Wiro jatuhkan diri ke lantai. Kaki kanan Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara menderu di atas punggungnya. Selagi kakek botak kepala kuning itu bergulingan Wiro melompat ke arah Sutri. Dengan satu gerakan cepat gadis ini ditotoknya lalu dipanggul di bahu kiri. Kapak Naga Geni 212 ditempelkan ke leher putri Patih Kerajaan itu.

“Jahanam berani mati! Lepaskan puteri Patih Kerajaan!” teriak Ki Sepuh Item.

Wiro meludah ke lantai. Ludahnya bercampur darah. “Siapa yang inginkan gadis ini silahkan maju! Satu langkah ada yang berani bergerak kepala gadis ini akan menggelinding di lantai!”

Pendekar 212 mengancam. Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara dan Hantu Muka Licin tidak perduli. Keduanya siap hendak menyerbu. Tapi patih Selo Kaliangan berteriak. Bagaimanapun dia tidak ingin melihat puteri kesayangannya menemui kematian di tangan Wiro.

“Tahan serangan! Buronan jahanam! Berani kau melukai puteriku…”

“Patih Kerajaan, aku sudah memberitahu bukan aku pembunuh Kinasih dan suaminya. Juga bukan aku yang mencuri Keris Kiai Naga Kopek!”

“Tapi kau telah membunuh beberapa tokoh silat Istana! Buktinya kau lihat sendiri saat ini! Pendekar Keris Kembar Jalak Kumboro menemui ajal akibat keganasanmu!”

“Siapapun para tokoh silat Istana yang menemui ajalnya, itu semua menjadi tanggung jawabmu! Mereka terlalu tolol untuk mau mengikuti perintahmu yang keliru!” menukas Wiro. “Patih Selo Kaliangan, aku akan membawa anak gadismu! Dia akan aku jadikan jaminan sampai kau memberitahu dimana sarang kediaman Iblis Kepala Batu Pemasung Roh!”

Habis berkata begitu Wiro putar tubuhnya, melangkah menuruni tangga lalu berkelebat ke arah pintu gerbang sebelah timur gedung Kepatihan. Tak ada yang bergerak apa lagi mencegah. Patih Selo Kaliangan hanya bisa kepalkan dua tinjunya berulang kali.

“Patih, seharusnya kau biarkan kami menghajar pemuda buronan itu!” kata Ki Sepuh Item.

Patih Selo Kaliangan terdiam, lalu gelengkan kepala. “Keselamatan anakku lebih dari segala-galanya!”

“Apa dengan membiarkan dirinya diboyong begitu rupa, kau merasa yakin anak gadismu akan benar-benar selamat?” ujar Hantu Muka Licin Bukit Tidar. “Bagaimana kalau murid Sinto Gendeng keparat itu menggagahi anakmu? Memperkosanya?!”

Berubahlah wajah Patih Selo Kaliangan. Diremas-remasnya rambutnya sendiri. “Hantu Muka Licin...” kata sang Patih dengan suara bergetar. ”Kumpulkan semua tokoh silat yang ada! Kejar jahanam penculik puteriku itu! Aku ingin melihat dia kaku di tiang gantungan sebelum matahari tenggelam!” kata sang Patih setengah berteriak.

“Jangan khawatir, perintah Patih akan kami lakukan!” kata Hantu Muka Licin. “Kami bukan cuma mengejar pemuda itu seorang. Tapi juga buronan satunya. Nenek keparat berjuluk Gondoruwo Patah Hati!”

********************

BAB 5

Pendekar 212 Wiro Sableng memperlambat larinya, memasang telinga lalu menyelinap ke balik satu pohon besar. Sutri, puteri Patih Kerajaan yang ada di panggulan bahu kirinya seperti tidur karena di tengah jalan Wiro telah membungkam jalan suara gadis itu agar tidak berteriak-teriak. Sejak beberapa lama meninggalkan Kotaraja, berlari ke arah timur Wiro merasa ada yang mengikutinya di sebelah belakang.

Dia yakin saat itu para tokoh silat Kerajaan atas perintah Patih Selo Kaliangan akan melakukan pengejaran. Tapi orang yang mengikutinya saat itu agaknya bukan tokoh silat Istana. Dia seorang diri dan caranya mengikuti terasa aneh. Dekat di sebelah belakang tapi tidak mau menunjukkan diri.

Di satu tempat yang penuh ditumbuhi pohon-pohon besar Wiro menyelinap ke balik sebuah pohon, menunggu dan mengintai siapa adanya si penguntit. Lama ditunggu orang itu tak kunjung muncul. Padahal tadi jelas berada tak berapa jauh di belakangnya. Selagi Wiro berpikir apakah di akan terus menunggu, menyelidik atau meninggalkan saja tempat itu tiba-tiba terdengar suara tertawa mengekeh.

“Pendekar 212 Wiro Sableng, hendak kau apakan gadis culikan itu?!”

Wiro terkejut. Dia seperti mengenali suara yang barusan menegur. Tapi belum yakin benar. “Siapa yang barusan bertanya. Harap unjukkan diri.”

Kembali ada suara tawa mengekeh. Lalu ada sambaran angin halus di atas kepalanya. Wiro cepat mendongak. Satu sosok berpakaian serba hitam melayang turun dari atas pohon besar.

“Ning Intan Lestari! Hah! Kau rupanya yang menguntit diriku!” kata Wiro. Dia merasa gembira karena sejak pertemuannya tempo hari yaitu ketika si nenek membantu menyelamatkannya dari sergapan orang-orang Kerajaan, dia memang ingin sekali bertemu lagi dengan nenek ini. (baca Episode Makam Ketiga)

Nenek berambut kelabu bermuka seram yag berdiri di hadapan Wiro menyeringai. “Aku jadi malu sendiri mendengar kau menyebut nama asliku!” berucap si nenek. Lalu dia geleng-gelengkan kepala. “Sulit kupercaya. Tidak kusangka murid Sinto Gendeng yang tersohor alim itu kiranya suka juga menculik gadis cantik! Hendak kau apakan anak gadis orang?!” Si nenek yangl ebih dikenal dengan julukan Gondoruwo Patah Hati berkata lalutertawa cekikikan.

“Aku bukan pemuda alim Nek. Tapi aku tidak punya maksud jahat terhadap gadis ini!” jawab Wiro.

“Amboi! Amboi!” Gondoruwo Patah Hati berucap dan lagi-lagi keluarkan tawa mengikik. “Seorang pemuda menculik gadis jelita di siang bolong! Berucap tiada niat jahat! Tapi kalau setan mendekam di dalam dada, turun ke bawah perut, siapa bisa menduga apa yang akan terjadi?!”

“Nek, kau tahu siapa adanya gadis ini?” tanya Wiro.

“Tentu saja aku tahu. Karena aku sudah menguntitmu sejak kau kabur dari Kotaraja! Gadis itu adalah puteri Patih Selo Kaliangan. Kau membuat urusan tambah jadi kapiran anak muda! Perlu apa kau menculik gadis itu?”

Wiro garuk-garuk kepalanya. Ketika dia hendak bicara si nenek berikan isyarat dengan gerakan tangan. “Aku mendengar suara derap kaki kuda di kejauhan. Orang-orang Kerajaan pasti tengah melakukan pengejaran. Tidak aman berlama-lama di tempat ini. Mari ikuti aku. Ada satu tempat baik untuk bersembunyi.”

Dalam gelapnya malam. Gondoruwo Patah Hati berkelebat ke arah barat. Wiro mengikuti. Kali ini dia tidak bisa berlari terlalu cepat karena dua kakinya yang luka terasa sakit dan nafasnya cepat sesak akibat pengaruh racun kuku kaki Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara yang masih mengendap dalam aliran darahnya. Hanya beberapa saat Wiro dan Gondoruwo Patah Hati meninggalkan kawasan berpohon besar itu, serombongan pasukan berkuda dari Kotaraja melintas dengan cepat. Di depan sekali kelihatan Ki Sepuh Item dan si botak berjuluk Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara.

Tempat yang dikatakan Gondoruwo Patah Hati itu adalah sebuah tebing batu berbentuk cegukan dalam tikungan sebuah sungai, tersembunyi di balik kerimbunan pohon-pohon bambu. Wiro membaringkan Sutri di tanah yang kering. Si gadis yang tidak bisa bicara tak bisa bergerak hanya bisa memandang Wiro dengan sorotan mata garang.

“Aku perhatikan gerak-gerikmu tidak seperti biasa. Kau terluka…” si nenek bertanya sambil memandang bagian paha celana Wiro.

Pendekar 212 mengangguk. “Apa yang terjadi?"

“Aku dikeroyok habis-habisan ketika mendatangi Patih Selo Kaliangan di gedung Kepatihan. Salah seorang pengeroyok, kakek botak berjuluk Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara berhasil melukai dua pahaku dengan kuku kakinya..."

“Kuku itu beracun…”

“Aku tahu. Aku telah menotok aliran darahku, menghentikan aliran racun. Tapi rasa sakit pada luka belum lenyap. Tubuhku terasa dingin, padahal kalau dipegang rasanya panas…”

“Kau mencari penyakit. Perlu apa kau jual tampang masuk ke gedung Kepatihan?!” tanya si nenek.

“Siapa yang jual tampang?!” jawab Wiro agak kesal tapi kemudian tertawa lebar. “Ingat ceritaku tempo hari? Tentang gadis sahabatku yang dipasung dimasukkan ke dalam guci oleh Iblis Kepala Batu? Aku butuh keterangan mengenai mahluk keparat itu. Patih Kerajaan pasti tahu di mana beradanya.”

“Anak muda, kadang-kadang kau cerdik, kadang-kadang malah bodoh! Apa kau kira Patih Kerajaan akan mau begitu saja memberitahu kepadamu di mana beradanya orang yang kau cari! Padahal sang Patih mendendam setengah mati terhadapmu, terhadap kita berdua.”

“Aku katakan padanya, jika dia memberitahu dan aku bisa menyelamatkan sahabatku, aku akan menolong mengobati penyakit yang dideritanya.”

“Lagakmu! Racun ular berbisa yang mendekam dalam tubuh Patih itu sulit obatnya…”

“Aku tahu Nek, tapi dengan petunjuk Tuhan aku yakin bisa menolong. Asal sang Patih juga mau menolongku.”

Si nenek tertawa. “Kau benar-benar tolol! Apa kau kira Patih itu mau memberitahu di mana beradanya orang yang kau cari? Pasti tidak! Lantas kau malah menculik puterinya untuk dijadikan jaminan!”

“Bukan itu saja alasanku. Aku terpaksa menculik gadis itu agar bisa lolos dari gedung Kepatihan,” menerangkan Wiro. “Selain itu ada satu hal penting telah kuberitahu pada Patih Kerajaan yaitu bahwa aku bukan pembunuh Kinasih dan suaminya. Aku juga bukan orang yang mencuri keris pusaka keraton Keris Kiai Naga Kopek. Bila tiba saatnya akan kubuktikan pada Patih itu siapa orang-orang yang bertanggung jawab atas semua kejadian itu.”

Gondoruwo Patah Hati terdiam. Dia teringat pada pertemuannya dengan Adisaka, muridnya yang sesat, yang selama ini gentayangan melakukan berbagai kejahatan dengan memakai nama Damar Wulung. Sebenarnya saat itu dia ingin memberitahu pada Wiro bahwa dia telah bertemu dengan Damar Wulung dan bahwa Damar Wulung adalah muridnya.

Bahwa dia telah punya niat untuk menghukum sang murid, namun Adisaka alias Damar Wulung sempat melarikan diri. Entah mengapa mulutnya tak sampai berucap dan suara hatinya tidak pula keluar. Keterangan itu tidak disampaikannya kepada Wiro. Si nenek mengusap wajahnya, menyembunyikan perasaan.

“Apa kau telah bertemu dengan bocah bernama Naga Kuning?” Gondoruwo Patah Hati alihkan pembicaraan.

Wiro menggeleng. “Kau sendiri, apakah sudah bertemu dengan Adisaka, muridmu itu?”

Gondoruwo Patah Hati terdiam. Hatinya bimbang, apa akan diberitahu atau tidak. Seperti Wiro akhirnya dia juga gelengkan kepala. Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaian. Setelah mengerahkan tenaga dalamnya, senjata sakti itu diletakkan di atas kedua pahanya yang terluka. Seperti diketahui Kapak Maut Naga Geni 212 merupakan senjata sakti mandraguna yang memiliki kemampuan untuk memusnahkan racun jahat.

Wiro merasa ada hawa panas menjalar masuk ke dalam tubuhnya. Menyusul muncul aliran hawa dingin. Gondoruwo Patah Hati melihat apa yang terjadi di hadapannya. Mula-mula sekujur tubuh Wiro tampak bergetar. Lalu tubuh itu basah oleh keringat. Dua mata kapak sakti yang tadinya putih berkilat kini menjadi redup kehitam-hitaman.

Racun jahat dalam tubuh Pendekar 212 telah berpindah, tersedot masuk ke dalam dua mata kapak sakti. Getaran di tubuh Wiro berkurang. Dengan tangan kanannya Wiro mengangkat Kapak Naga Geni 212 lalu merapal sesuatu. Ketika dia meniup, cahaya hitam redup yang melekat di mata kapak serta merta lenyap.

“Senjata luar biasa!” si nenek memuji kagum. Dari balik pakaian hitamnya dia mengeluarkan dua butir benda putih. Diberikannya kepada Wiro. “Telan. Lukamu pasti sembuh dalam waktu satu hari…”

“Terima kasih Nek,” kata Wiro. Dia tidak segera menelan obat itu. tapi memperhatikannya beberapa ketika. “Obat apa ini, Nek? Tahi kambing?”

“Tahi kambing moyangmu! Tahi kambing mana ada yang putih!”

“Oo, mungkin ini tahi onta!” kata Wiro pula. Dia tertawa gelak-gelak lalu dua butir obat itu dimasukkannya ke dalam mulut.

Gondoruwo Patah Hati melirik pada sosok Sutri yang tergolek di tanah. Lalu dia berpaling pada Wiro. “Walau tempat ini aman, kita tidak bisa terus-terusan berada di sini. Apa yang hendak kau lakukan?”

Wiro merenung memikir jawab. Dia memandang seputar cegukan tebing batu. Begitu pandangannya sampai pada sosok Sutri, pemuda ini berucap “Aku akan membebaskan puteri Patih Kerajaan itu. Aku rasa tak ada guna aku menahannya lebih lama. Dia tidak ada sangkut paut dengan semua yang terjadi. Tidak adil kalau aku menyengsarakannya.”

Sejak tadi Sutri yang berada dalam keadaan tak bisa bergerak tak bisa bersuara telah mendengar semua percakapan Wiro dan nenek muka setan. Dia tidak mengira bakal mendengar ucapan seperti yang tadi dikeluarkan Wiro. Kalau sebelumnya dia merasa sangat benci dan marah terhadap pemuda ini, kini perasaan itu sedikit demi sedikit menjadi pupus.

Gondoruwo Patah Hati mengangguk-angguk. “Itu perbuatan ksatria. Kau masih bisa mencari cara lain untuk menolong sahabatmu gadis dari alam roh itu. sekarang ada satu hal yang ingin kuberitahu kepadamu. Beberapa waktu lalu aku bertemu dengan empat orang gadis kekasihmu!”

“Nek, kau jangan bergurau! Aku tidak punya kekasih. Apa lagi sampai empat orang!” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala. Dia lunjurkan kedua kakinya. Luka pada dua pahanya masih belum kering namun rasa sakit telah jauh berkurang.

Gondoruwo Patah Hati tertawa cekikikan. “Jangan berpura-pura. Kau tidak senang rahasiamu diketahui puteri Patih itu hah? Walah, jangan-jangan benar dugaanku. Kau telah berubah pikiran. Jatuh cinta pada gadis yang kau culik itu?! Lalu berpura-pura jadi pemuda baik-baik, belum punya kekasih! Hik hik hik!” Si nenek memandang ke arah Sutri. “Hemmmmm… Aku tidak menyalahkan kalau kau kecantol pada puteri Patih ini. Wajahnya cantik, rambut hitam, tubuh bagus mulus. Hik hik hik!”

Wajah Sutri Kaliangan menjadi merah mendengar kata-kata nenek muka setan itu sementara Wiro tertawa gelak-gelak sambil garuk-garuk kepala.

“Kau tak percaya aku bertemu dengan empat gadis cantik kekasihmu?”

“Katakan, siapa saja mereka itu Nek,” jawab Wiro.

“Yang pertama seorang dara berbadan wangi semerbak, berambut pirang. Namanya Bidadari Angin Timur. Nah… nah, kulihat dua matamu menjadi besar!” Si nenek tertawa cekikikan lalu tempelkan telapak tangan kirinya ke dada Wiro. “Nah, nah! Jantungmu berdebar lebih keras! Hik hik hik! Gadis kedua bermata biru. Pakai mahkota kecil di kepalanya. Pakaiannya ketat, tubuhnya bagus. Dia dikenal dengan sebutan Ratu Duyung! Yang ketiga, berkulit putih berbadan montok. Gadis ini kabarnya sudah dijodohkan dengan dirimu. Namanya Anggini, cucu Dewa Tuak. Kekasihmu yang keempat bernama Puti Andini, cantik tanpa dandanan, dikenal dengan julukan Dewi Payung Tujuh!”

Wiro ternganga. Garuk kepala lantas bertanya. “Di…. dimana kau bertemu dengan mereka, Nek?"

“Nah, apa kataku! Kini kau tak dapat lagi menyembunyikan perasaan! Hik hik hik!” Gondoruwo Patah Hati lalu menuturkan kisah pertemuannya dengan empat gadis itu. Dimulai dengan kejadian diculiknya Ratu Duyung. (baca Episode sebelumnya berjudul Makam Ketiga)

“Ah tidak kusangka kau telah berjasa besar menyelamatkan Ratu Duyung dari malapetaka keji. Nek, apa kau sempat mengetahui siapa manusia terkutuk yang melakukan perbuatan keji itu?”

Gondoruwo Patah Hati berdusta. Dia gelengkan kepala. “Orang itu berhasil melarikan diri. Kepandaiannya tinggi. Sayang aku tidak bisa meringkusnya…” Si nenek ucapkan kedustaan itu dengan perasaan hati penuh ganjalan.

“Mengenai empat gadis itu, kau tahu dimana mereka sekarang berada? Mungkin mereka memberitahu atau mengatakan sesuatu?” Wiro bertanya.

“Setahuku mereka tengah dalam perjalanan menuju Gunung Gede.”

Wiro terkejut mendengar jawaban si nenek. “Menuju Gunung Gede? Ada apa di sana? Apakah Eyang Guru sakit. Atau…”

“Wiro, turut apa yang aku dengar, empat gadis itu telah berusaha keras mencarimu sejak dua tahun silam. Belakangan ini terjadi satu peristiwa besar. Mereka menyirap kabar bahwa kau telah menemui kematian. Anehnya jenazahmu dimakamkan di tiga tempat. Pada dua makam pertama mereka tidak menemukan apa­-apa. Kecuali surat-surat aneh…” Si nenek lalu menuturkan apa yang diketahuinya tentang Makam Setan Pertama dan Makam Setan Kedua. “Makam Setan Ketiga ada di puncak Gunung Gede. Itu sebabnya empat gadis tadi berangkat ke sana…”

“Aneh, siapa yang menyebar kabar kalau aku sudah mati? Dikubur di salah satu makam. Tapi kepergianku ke Negeri Latanahsilam selama dua tahun memang bisa menimbulkan berbagai prasangka. Ada orang yang sengaja memanfaatkan hal ini…” Wiro membatin, menggaruk kepala lalu bertanya. “Kau tidak memberitahu bahwa kita pernah bertemu, yang menyatakan bahwa diriku masih hidup?” tanya Wiro

“Aku memberitahu. Tapi mungkin mereka tidak sepenuhnya percaya pada ucapan nenek muka setan sepertiku ini.”

“Aku punya dugaan ada seseorang mengatur semua ini. Aku punya firasat mereka berempat dalam bahaya!”

Wiro berdiri. Dia mengerenyit karena gerakan yang tiba-tiba membuat dua pahanya yang luka terasa sakit.

“Nek, aku terpaksa meninggalkanmu. Aku harus segera ke Gunung Gede.”

Si nenek berkomat kamit. Wiro mendekati sosok Sutri. Dia membungkuk lalu berkata, “Maafkan kalau aku telah menyusahkanmu. Kau boleh kembali ke Kotaraja. Walau ada urusan besar antara aku dengan ayahmu, harap tidak ada dendam di antara kita. Karena yang membuat ayahmu celaka bukan diriku, bukan juga nenek itu. tapi seekor ular berbisa! Ular itu milik tokoh silat Istana berjuluk Setan Bertongkat Ular. Orang itu melenyapkan diri begitu saja.”

Wiro tersenyum lalu jari-jari tangannya bergerak melepas totokan di tubuh si gadis. Begitu totokannya lepas Sutri Kaliangan melompat bangkit. Tangan kanannya bekerja.

“Bukkkk!”

Wiro terpental, jatuh terjengkang di tanah. Jotosan tangan kanan Sutri Kaliangan bersarang telak di dadanya. Sakitnya bukan main namun sang pendekar masih bisa tersenyum sambil usap-usap dadanya. Wiro merangkak di tanah, berpegangan pada kaki Gondoruwo Patah Hati yang ada dihadapannya lalu mencoba bangkit berdiri.

Sambil bergerak bangkit tangannya menarik sedikit bagian bawah pakaian hitam si nenek. Seperti dulu, dia melihat sepasang betis yang putih, mulus dan bagus. Bukan layaknya betis seorang nenek seusia Gondoruwo Patah Hati. Ini adalah satu keanehan yang menjadi tanda tanya besar bagi Wiro namun dalam keadaan seperti itu tidak mungkin diungkapkannya. Terbungkuk-bungkuk Wiro berkata pada Sutri yang tadi menjotos dadanya.

“Terima kasih. Aku telah menerima hukuman darimu. Apa cukup sebegitu saja atau masih ada tambahan yang lain?”

Paras cantik puteri Patih Kerajaan itu mengelam merah. Dia maju dua langkah. Tangan kanan terkepal namun pukulan tidak dilayangkan. Wiro menunggu. Si gadis tetap tidak bergerak.

“Kau gadis baik!” Wiro memuji. “Aku harap kau bisa mengerti. Silang sengketa antara aku, maksudku aku dan nenek ini dengan ayahmu adalah satu kesalah pahaman besar dari pihak Kerajaan. Aku tidak membunuh Kinasih dan suaminya. Aku juga tidak mencuri Keris Kiai Naga Kopek. Mudah-mudahan dalam waktu dekat aku bisa mengungkapkan siapa yang betanggung jawab atas semua kejadian itu.”

Wiro berpaling pada Gondoruwo Patah Hati. “Nek, aku terpaksa meninggalkanmu. Terima kasih obat tahi ontamu tadi! Mudah-mudahan mujarab!” Si nenek muka setan tertawa mengekeh.

“Tunggu!” Tba-tiba Sutri Kaliangan berteriak.

Wiro yang sudah berada di luar cegukan tebing batu hentikan langkahnya dan berpaling. Sekali melompat puteri Patih Selo Kaliangan itu telah berada di hadapan sang pendekar. Tangan kanannya yang masih membentuk tinju terpentang di depan dada.

“Ada apa? Kau belum puas menggebukku?” tanya murid Sinto Gendeng sambil berlaku waspada.

“Aku hanya mau memberitahu,” berucap si gadis dengan suara perlahan. “Tempat kediaman Iblis Kepala Batu Alis Empat di sebuah pohon besar, di dekat air terjun Jurangmungkung…”

Tentu saja Pendekar 212 WS tercengang tidak mengira si gadis akan mengeluarkan ucapan seperti itu. Kalau ayahnya, Patih Kerajaan tidak mau memberitahu mengapa kini tiba-tiba sang puteri memberitahu? Sebelumnya si gadis begitu nekad hendak membunuhnya. Kini malah menunjukkan itikad baik seperti itu. benar-benar sulit dipercaya. Wiro garuk-garuk kepala lalu tersenyum.

“Kau pasti menduga aku menipu atau menjebakmu. Terserah, mau percaya atau tidak. Aku hanya menginginkan kesembuhan ayahku!” Sutri Kaliangan rupanya bisa menerka ketidak percayaan dalam diri Wiro. Si gadis balikkan badan.

“Tunggu! Tentu saja aku percaya pada keteranganmu dan aku mengucapkan terima kasih,” kata Wiro. “Tapi air terjun Jurangmungkung yang kau katakan itu baru sekali ini aku mendengar. Di mana letaknya…?" tanya Wiro.

Dia hanya berpura-pura karena sebenarnya dia sudah tahu di mana letak air terjun Jurangmungkung itu. Wiro hanya ingin menguji karena bukan mustahil si gadis memang hendak menipu dirinya. Sebelumnya Sutri marah besar dan ingin membunuhnya. Kini mengapa sang dara berubah pikiran dan bersikapbaik padanya.

“Tempat itu tidak jauh dari Mojogedang, arah timur laut Karanganyar.” Menerangkan Sutri.

“Terima kasih. Kalau aku boleh tanya mengapa kau memberitahu? Padahal ayahmu sebelumnya tak mau mengatakan.”

“Apa pertanyaan itu perlu kujawab?” balik bertanya putri Patih itu. “Malah kini aku menagih janji. Bukankah kau berkata pada ayahku akan mengobatinya jika diberitahu tempat kediaman Iblis Kepala Batu?"

“Janji akan kupenuhi. Namun ada beberapa urusan penting yang harus aku selesaikan. Ayahmu sanggup bertahan cukup lama…”

“Kalau dia menemui kematian sebelum kau sempat menolongnya, berarti kau punya hutang nyawa. Yang cuma bisa kau lunasi dengan nyawamu sendiri…”

Wiro menggaruk kepala lalu berkata “Baik. Baik. Nenek jelek menjadi saksi ucapanku. Biar nyawaku tebusan nyawa ayahmu jika dia sampai menemui kematian.”

“Sialan. Enak saja kau bicara bilang aku nenek jelek!” kata Gondoruwo Patah Hati sambil bersungut-sungut.

Wiro tertawa. “Nek, apa kau lupa. Dulu aku pernah bilang. Wajahmu mungkin seperti setan tapi hatimu lebih baik dari bidadari.”

Si nenek membuang muka, memendang ke jurusan lain. Tapi Wiro tahu kalau si nenek berbunga-bunga hatinya dikatakan sebaik bidadari.

“Nek, aku pergi dulu. Kalau aku bertemu Naga Kuning, aku akan beritahu kau mencarinya…”

Gondoruwo Patah Hati jadi kaget. “Aku tidak mencarinya. Aku…”

“Kalau begitu, bagaimana jika aku bertemu Rana Suwarte, akan kukatakan padanya kau kangen dan ingin bertemu!”

“Kupecahkan batok kepalamu jika berani melakukan itu!” kata Genderuwo Patah Hati setengah berteriak.

Tangan kanannya yang berkuku panjang diangsurkan ke depan seolah mau mencakar si pemuda. Wiro cepat menghindar lalu sambil tertawa bergelak dia tinggalkan tempat itu. Seperti diketahui Rana Suwarte adalah kakek yang hendak dijodohkan dengan dirinya oleh ayah angkatnya Kiai Gede Tapa Pamungkas.

Tinggal berdua dengan Sutri, Gondoruwo Patah Hati tatap wajah si gadis sambil hatinya bertanya-tanya, apakah gadis ini tahu kalau dialah yang memasukkan ular berbisa ke dalam celana Patih Kerajaan hingga ayah si gadis kini menderita sakit berat.

Tiba-tiba Sutri berkata. “Aku tahu, kau yang menjadi biang sebab sakitnya ayahku. Saat ini ingin sekali aku membunuhmu! Tapi aku masih bisa bersabar. Tapi kalau Pendekar 212 Wiro Sableng tidak menepati janji, tidak mampu menyembuhkan penyakit ayahku, setelah dia maka kau akan ikut menerima kematian.”

Si nenek runcingkan mulutnya lalu bertanya. “Mengapa kau mau bersikap baik dan sabar padaku? Apa karena kau telah jatuh hati pada pemuda sahabatku tadi?"

“Mulutmu lancang sekali!” Sutri membentak dengan wajah merah.

Gondoruwo Patah Hati tertawa. “Aku pernah muda sepertimu. Aku tahu betul rasa hati orang muda. Tidak ada yang melarang seorang gadis menyukai seorang pemuda. Tapi dalam hal diriku, kau punya empat saingan berat. Empat gadis yang mencintai Pendekar 212 semua cantik-cantik!” Si nenek tertawa panjang lalu tinggalkan tempat itu.

“Tua bangka geblek. Dari julukannya saja aku tahu dia memendam banyak kepahitan di masa mudanya. Pasti gara-gara urusan cinta! Mungkin dengan orang bernama Rana Suwarte itu. Rana Suwarte adalah kakek yang ikut bergabung dengan pasukan Kerajaan dalam mencari Wiro dan nenek muka setan itu.”

Sutri memandang berkeliling. Apa yang akan dilakukannya? Ke mana dia akan pergi? Kembali ke gedung Kepatihan? Atau diam-diam mengikuti Wiro? Setelah bimbang sebentar akhirnya Sutri memilih kembali ke Kotaraja. Bagaimanapun juga gadis ini mengawatirkan sakit ayahnya.

********************

BAB 6

Kembali ke puncak Gunung Gede. Didalam liang makam ketiga yang baru setengahnya mereka gali, sambil berteriak memperingatkan bahwa ada mahluk hidup di dalam makam, Ratu Duyung melesat ke atas. Tangan kiri Anggini ditariknya sedang dengan tangan kanan sosok Bidadari Angin Timur didorongnya kuat-kuat. Apa yang kemudian terjadi sungguh tidak terduga dan mengejutkan. Makam itu bergetar lalu tanah yang belum tergali muncrat ke atas.

Bersamaan dengan itu dua tangan menyembul dari dalam liang kubur, mencuat keudara, menghantam keras. Dari tangan sebelah kanan menderu sinar kuning, hitam dan merah. Tangan sebelah kiri tidak memancarkan cahaya, namun deru sambaran angin keras dan dingin. Karena berada paling bawah di dalam kuburan maka dua pukulan itu dengan sendirinya menyambar ke arah sosok Anggini.

“Anggini awas!” tariak Ratu Duyung. Dia lipat gandakan tenaga untuk menarik lengan Anggini.

Anggini sendiri cepat kerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh, mengayunkan tubuh melesat ke atas. Namun bagaimanapun kuatnya tarikan Ratu Duyung, bagaimanapun cepatnya Anggini melompat selamatkan diri ke atas, dia hanya mampu menyelamatkan diri dari pukulan sebelah kanan yang memancarkan cahaya merah, kuning dan hitam.

“Bukkk!”

Satu jeritan merobek udara. Tubuh Anggini mencelat sampai dua tombak. Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur yang berhasil keluar selamatkan diri dari dalam makam sama-sama terpekik. Dua gadis ini serta merta menyambuti tubuh Anggini hingga tidak terbanting ke tanah. Wajah cantik cucu Dewa Tuak itu kelihatan pucat. Matanya setengah terpejam kuyu. Dari sela bibirnya mengucur darah.

Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung cepat menggotong Anggini lalu membaringkan gadis itu di samping pondok kayu. Mereka berusaha menolong namun perhatian keduanya terpecah oleh suara tawa bergelak dari arah makam ketiga. Ketika mereka sama palingkan kepala ke arah makam itu, tiba-tiba satu sosok melesat keluar. Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung memandang terbeliak.

Orang yang keluar dari dalam liang makam itu mengenakan baju dan celana hitam. Di sebelah atas dia mengenakan sehelai mantel berwarna hitam. Keningnya diikat dengan sehelai kain merah. Ketika dia berdiri dengan kaki merenggang dan berkacak pinggang, di dada pakaiannya kelihatan gambar gunung berwarna biru dengan latar belakang matahari warna merah serta garis-garis pancaran sinar yang juga berwarna merah.

“Pangeran Matahari!” Dua gadis keluarkan ucapan hampir berbarengan.

“Tapi…” ujar Bidadari Angin Timur kemudian sambil memegang lengan Ratu Duyung. Sepasang matanya terus memandangi si mantel hitam tak berkesip.

“Tapi wajahnya bukan wajah Pangeran Matahari!” kembali Bidadari Angin Timur keluarkan suara. “Orang ini mempunyai ilmu bisa mendekam di dalam tanah. Setahuku Pangeran Matahari tidak memiliki ilmu itu.”

“Aneh. Tapi siapapun dia adanya, dia pasti bangsat yang berada di belakang semua kejadian ini. Sejak dari makam pertama, makam kedua dan kini makam ketiga. Jelas dia memang punya rencana jahat. Untuk mencelakai kita!”

“Tapi mengapa kita? Kita tidak ada permusuhan dengannya!” ujar Bidadari Angin Timur.

“Musuh besarnya memang Pendekar 212. Tapi otak jahatnya punya seribu akal. Bukankah keparat satu ini yang dijuluki Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak?!”

“Jahanam betul!” rutuk Bidadari Angin Timur. “Aku akan menemui bangsat itu. Membuat perhitungan dengannya! Lekas tolong Anggini. Totok jalan darahnya. Dia cidera berat di sekitar dada. Nyawanya dalam bahaya. Kalau tidak lekas ditolong kita bisa-bisa kehilangan dirinya.”

“Aku akan menolong sebisaku. Kau hadapi orang itu. Hati-hati.” Ratu Duyung merasa kawatir. Jika orang itu benar Pangeran Matahari, sanggupkah Bidadari Angin Timur menghadapinya?

Bidadari Angin Timur mengangguk. Sekali melesat, gadis ini sudah berdiri tujuh langkah di hadapan orang bermantel hitam yang tegakdi tepi makam ketiga. “Manusia keparat! Siapa kau?!” bentak Bidadari Angin Timur.

Yang ditanya pandangi wajah cantik jelita di hadapannya sesaat lalu mendongak dan menghirup udara dalam-dalam. “Hem... Tubuh memancarkan bau wangi. Rambut pirang, wajah jelita. Kau tidak mengenali diriku. Tapi aku tahu siapa dirimu. Bukankah kau dara jelita yang tersohor di delapan penjuru angin itu? Yang bernama Bidadari Angin Timur?”

Bidadari Angin Timur terkejut ketika mengetahui orang mengenali dirinya. “Jadi kau biang racun jahanam di balik munculnya tiga makam setan! Manusia keparat! Apa maksudmu melakukan semua itu?! Apa kau terlalu pengecut memperkenalkan diri?! Ingat, kau telah mencelakai temanku! Aku tidak segan-segan membunuhmu!”

Orang bermantel hitam tertawa gelak-gelak. “Gadis cantik, yang namanya Bidadari itu selalu bersifat welas asih dan lemah lembut. Tapi kau mengapa begini galak dan malah mengancam hendak membunuhku? Ah, ingin sekali aku tahu bagaimana nikmatnya mati di tangan seorang bidadari! Ha ha ha!” Habis tertawa orang bermantel lalu meramkan mata, pasang dada seolah menunggu minta digebuk.

“Jahanam! Kau minta mati! Aku berikan kematian padamu!” teriak Bidadari Angin Timur. Gadis ini salurkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan.

Seperti diketahui Bidadari Angin Timur memiliki gerakan luar biasa cepatnya. Hampir tidak kelihatan tangan kanan yang sudah diisi tenaga dalam penuh itu, yang sanggup menjebol tembok tebal menghancurkan batu besar melesat ke arah muka orang bermantel hitam.

Yang diserang tenang-tenang saja,malah sambil tertawa bergelak dan bertolak pinggang dia sengaja menanti datangnya hantaman Bidadari Angin Timur! Hanya satu jengkal lagi jotosan Bidadari Angin Timur akan menghancurkan mukanya, tiba-tibaorang bermantel tekuk sepasang lutut, rundukkan kepala dan dua tangannya dipukulkan ke depan. Satu mengarah dada, satu mencari sasaran di perut Bidadari Angin Timur.

“Pukulan Dua Singa Berebut Matahari! Murid jahanam! Kau pernah punya niat membunuhku! Aku tidak rela kau pergunakan ilmu itu!”

Satu seruan keras menggeledek dipuncak gunung. Satu auman menggelegar dahsyat lalu satu bayangan merah berkelebat. Dua larik angin menderu, satu mendorong Bidadari Angin Timur hingga terjajar jauh ke kiri satunya lagi membuat orang bermantel hitam tersurut tiga langkah. Bidadari Angin Timur selamat dari dua pukulan maut, berdiri setengah tertegun dengan muka pucat.

Memandang ke depan dia melihat satu mahluk aneh berdiri di antara dia dengan orang bermantel hitam. Mahluk ini memiliki tubuh tinggi besar seperti manusia. Tapi kepalanya tertutup rambut merah berjingkrak. Ketika Bidadari sempat melihat sepasang matanya, gadis ini jadi merinding. Mata itu memiliki bola mata pipih berwarna kelabu, seperti mata binatang! Bidadari Angin Timur tak dapat memastikan apakah mahluk ini manusia betulan atau manusia seetengah binatang, menyerupai singa?

“Pangeran Miring! Kaukah ini?!” Tiba-tiba mahluk menyerupai singa menegur. Tapi kemudian wajahnya menunjukkan bayangan rasa heran. Dalam hati dia berkata “Sosok dan pakaiannya memang dia. Tapi mengapa wajahnya berubah? Mungkinkah dia…”

Orang bermantel hitam tampak kaget tapi hanya sebentar. Dia layangkan pandangan dingin, rahang menggembung.

“Kau tidak menjawab berarti kau memang Pangeran Miring yang kabur dari jurang di Teluk Penanjung! Akhirnya kutemui juga kau! Jangan harap bisa lolos! Saat ini juga kau harus ikut aku ke Teluk!”

Orang yang dipanggil dengan sebutan Pangeran Miring keluarkan suara mendengus. Lalu meludah ke tanah. “Singo Abang! Kau datang mencari mati! Aku akan tamatkan riwayatmu dengan ilmu yang kau ajarkan padaku! Terima kematianmu!”

Begitu ucapannya selesai orang bermantel hitam langsung hantamkan dua tangannya ke depan. Seperti tadi menyerang Bidadari Angin Timur, kembali dia keluarkan pukulan Dua Singa Berebut Matahari. Hanya kali ini pukulan maut tersebut dilancarkan dengan tenaga dalam lebih dahsyat!

Mahluk berambut merah yang diserang keluarkan suara mengaum. Lalu balas memukul. Pada saat itu pula satu bayangan putih melesat di udara. Menyusul satu bentakan.

“Apa yang terjadi di tempat ini?! Siapa berani berlaku kurang ajar mengotori puncak Gunung Gede tempat kediaman Eyang Sinto Gendeng?!”

Begitu bentakan lenyap satu gelombang angin dahsyat topan prahara melabrak tempat itu. Lalu...

"Bummm!" Tiga tenaga dalam tinggi saling bentrokan. Puncak Gunung Gede laksana mau meledak. Pasir dan debu beterbangan ke udara. Daun-daun pepohonan luruh ke tanah.

Terdengar suara mengaum. Ada yag berteriak kaget. Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung keluarkan seruan tertahan. Dalam gelapnya pemandangan akibat tebaran debu dan pasir terdengar suara mengaum lalu bentakan garang.

“Pangeran Miring! Kau mau kabur ke mana!” Satu bayangan merah berkelebat di dekat Ratu Duyung. Satu suara berucap. “Berikan obat ini pada gadis yang cidera.” Suara lenyap, bayangan merah ikut lenyap. Samar-samar kelihatan dua sosok berkelebat ke arah timur.

Ketika udara terang kembali ternyata orang yang dipanggil dengan sebutan Pangeran Miring dan sosok mahluk setengah manusia setengah singa yang tadi ada di tempat itu kini lenyap tak kelihatan lagi! Yang ada di depan sana adalah sosok seorang pemuda gagah berambut gondrong, berpakaian putih kotor,mengenakan celana robek besar dibagian paha. Dadanya tampak turun naik akibat bentrokan tenaga dalam yang hebat.

“Wiro!” Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur sama-sama berseru. Sama-sama tak percaya pada pemandangan mereka karena siapa menduga Pendekar 212 akan muncul di tempat itu.

BAB 7

Pendekar 212 Wiro Sableng melompat mendekati Bidadari Angin Timur.

“Wiro, aku seperti tak percaya…” kata si gadis. Ada rasa haru dalam kegembiraan hatinya. Saat itu ingin sekali dia memeluk orang yang selama ini dirinduinya. Kalau saja di tempat itu tidak ada Ratu Duyung dan Anggini tidak dalam keadaan cidera berat mungkin dia sudah melakukan hal itu. paling tidak memegangi tangan si pemuda.

Murid Sinto Gendeng tersenyum. Dipegangnya bahu Bidadari Angin Timur. Sentuhan tangan itu bagi si gadis merupakan satu kebahagiaanyang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Diremasnya jari-jari tangan Wiro yang memegang bahunya.

“Aku… Maksudku kami mencarimu di mana-mana. Kami mencarimu hampir di setengah tanah Jawa. Kami mendatangi dua makam aneh. Ini makam ketiga…”

“Aku sudah mendengar cerita tentang dua makam itu. Agaknya aku datang terlambat.”

Wiro memandang ke arah Ratu Duyung yang saat itu pura-pura menyibukkan diri menolong Anggini yang tergeletak di tanah. Sebenarnya hatinya tak sanggup menahan cemburu ketika melihat Wiro memegang bahu Bidadari Angin Timur dan Bidadari Angin Timur memegang jari-jari tangan pemuda itu. Dirinya merasa seperti tidak diacuhkan, seolah dia tidak ada di tempat itu. Murid Sinto Gendeng memaklumi perasaan RatuDuyung. Wiro turunkan tangannya dari bahu Bidadari Angin Timur. Diikuti sigadis dia melangkah cepat ketempat Anggini tergeletak.

“Ratu Duyung,” tegur Wiro. Dibelainya rambut gadis itu lalu duduk di sebelahnya. Kini Bidadari Angin Timur yang dirayapi rasa cemburu. “Anggini…” Wiro pegang lengan Anggini. Masih terasa denyutan nadinya walau agak lemah. Dua mata Anggini terbuka sedikit. Samar-samar dia melihat wajah sang pendekar. Ada rasa tak percaya. Dua mata terbuka membesar.

“Wiro…” hanya ucapan perlahan menyebut nama si pemuda yang keluar dari mulut Anggini. Lalu kepala cucu Dewa Tuak ini terkulai. Matanya terkatup.

Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung berseru kaget karena menyangka Anggini telah menghembuskan nafas terakhir. Dan gadis ini merangkuli tubuh Anggini. Ratu Duyung mulai sesenggukan.

“Tak perlu kawatir. Dia cuma pingsan,” kata Wiro yang masih memegang dan merasakan denyutan di lengan Anggini. Wiro lalu memeriksa keadaan Anggini dengan cepat. Ketika dia menyingkapkan sedikit pakaian si gadis di bagian dada kelihatan tanda merah kebiruan.

“Dia menderita luka dalam cukup parah.” Wiro segera menotok beberapa jalan darah di tubuh Anggini lalu kerahkan hawa sakti, dialirkan ke dalam tubuh si gadis. “Apa yang terjadi?!” tanya Wiro kemudian.

Ratu Duyung memandang pada Bidadari Angin Timur, memberi tanda dengan anggukan kepala agar Bidadari Angin Timur saja yang memberi keterangan. Bidadari Angin Timur lalu menuturkan semuakejadian sejak mereka mulai menjejakkan kaki di tempat itu.

Wiro merasakan dadanya sesak. Matanya memandang terbeliak ke arah kubur di seberang sana. “Puti Andini…” katanya serak. “Puti Andini… mati? Ya Tuhan. Apa yang terjadi? Siapa yang membunuhnya?”

Wiro berdiri, tinggalkan tiga gadis itu, melangkah menuju makam di mana Puti Andini dikubur. Dia pegangi tanah merah kuburan. Matanya dipejamkan. Sekujur tubuh bergetar.

“Tuhan, umur manusia memang kuasaMu. Tetapi aku tidak rela Puti Andini menemui kematian seperti ini. Aku bersumpah akan menghancurkan kepala manusia yang melakukan perbuatan keji biadab ini! Puti Andini… Ah…”

Saat itu semua peristiwa yang dialaminya di pelupuk mata Pendekar 212 Wiro Sableng. Sepasang mata sang pendekar kelihatan berkaca-kaca. “Puti Andini, aku banyak sekali berhutang budi padamu. Bahkan berhutang nyawa. Belum sempat aku membayar semua itu, kini kau telah tiada. Ya Tuhan, dia gadis baik… Mengapa kau panggil dia secepat ini…?"

Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung sama berlinang air mata mendengar desah ucapan Pendekar 212. Wiro berpaling pada kedua gadis itu. Suaranya serak. “Katakan siapa yang membunuh Puti Andini? Kalian tahu siapa orangnya?"

“Kami tidak dapat memastikan,” jawab Bidadari Angin Timur. “Tapi ada dugaan pelakunya adalah orang yang sebelumnya mendekam dalam makam ketiga.”

“Siapa?! Siapa orangnya? Bagaimana ciri-cirinya?!” tanya Wiro.

“Dia berpakaian serba hitam. Mengenakan mantel hitam. Ada ikat kepala kain merah di keningnya…” menjelaskan Ratu Duyung.

“Di dada bajunya ada gambar gunung biru dan matahari merah,” menambahkan Bidadari Angin Timur.

“Apa?!” Wiro tersentak kaget sampai terlonjak berdiri. Dua matanya terbeliak, tak berkesip pandangi dua gadis di depannya. “Hanya ada satu manusia yang mengenakan pakaian seperti itu. Si jahanam Pangeran Matahari!” Wiro berkata setengah berteriak. Dua tangan dikepalkan dan dua kakinya tiba-tiba melesak ke dalam tanah sampai mata kaki! “Aku akan mencari jahanam itu sampai ke neraka sekalipun!”

“Wiro,” kata Bidadari Angin Timur. “Tadinya aku dan Ratu Duyung memang mengira orang itu adalah Pangeran Matahari. Tapi cuma pakaiannya saja yang sama. Wajahnya bukan wajah Pangeran Matahari…”

“Apa?! Mana mungkin orang dengan ciri-ciri pakaian seperti itu bukan Pangeran Matahari. Aku tahu dia masih hidup! Aku menemuinya di Teluk Penanjung beberapa waktu lalu.”

“Kami berdua tak mungkin keliru. Kami pernah melihat Pangeran Matahari sebelumnya…” kata Bidadari Angin Timur.

“Suaranya yang angkuh, nada tertawanya, sama dengan Pangeran Matahari. Tapi wajahnya…” menyambung Ratu Duyung.

“Beberapa waktu lalu, aku bertemu dengan Pangeran jahanam itu di pinggir jurang di Teluk Penanjung. Malam gelap, tapi aku masih bisa mengenalinya. Dia muncul dengan muka cacat. Hidung bengkok, salah satu pipi melesak, mata kiri terbenam…”

“Orang bermantel hitam itu berwajah mulus. Tak ada cacat sedikitpun…” kata Bidadari Angin Timur. “Tapi wajah itu bukan wajah Pangeran Matahari.”

“Sewaktu di Teluk Penanjung, dia mungkin punya maksud hendak membunuhku. Tapi mendadak muncul satu mahluk berambut merah menghajarnya.”

“Aneh,” kata Ratu Duyung.

“Apa yang aneh?” tanya Wiro.

“Sewaktu orang bermantel hitam itu lancarkan serangan menghantam Bidadari Angin Timur tiba-tiba muncul seorang tinggi besar berambut merah. Sosoknya sebelah atas seperti singa. Dia mengeluarkan suara mengaum. Mahluk ini memanggil si mantel hitam dengan sebutan Pangeran Miring. Dua orang itu siap saling hantam, ketika tiba-tiba kau muncul. Entah mengapa si mantel hitam kemudian melarikan diri. Dikejar oleh si rambut merah. Keduanya kemudian lenyap.”

“Mahluk berambut merah. Tadi aku melihatnya hanya sekelebatan. Agaknya dia memang mahluk yang sama yang muncul di tepi jurang Teluk Penanjung.” Kata Wiro pula.

“Mahluk itu menyebut si mantel hitam dengan nama Pangeran Miring, murid jahanam,” berkata Bidadari Angin Timur.

“Pangeran Miring?” Wiro berpikir. “Aku yakin dia memang Pangeran Matahari.”

“Pangeran Miring menyebut mahluk berambut merah Singo Abang,” kata Ratu Duyung pula.

“Samar-samar mereka berkelebat ke arah timur. Aku rasa aku harus mengejar mereka sekarang juga…” Walau berkata begitu namun Wiro tetak tak bergerak di tempatnya. Beberapa hal muncul dalam benaknya. Dia tak mungkin meninggalkan Anggini dalam keadaan seperti itu.

Ratu Duyung mendekati Wiro, memperlihatkan satu bungkusan kain kecil lalu berkata. “Sebelum pergi, mahluk berambut merah itu memberikan benda ini padaku disertai pesan agar obat ini berikan pada Anggini.”

Wiro mengambil bungkusan itu, memeriksa isinya. Di dalam bungkusan ternyata ada bubuk warna merah. Wiro menciumnya. Bubuk itu ternyata tidak berbau. Wiro ambil sedikit lalu meletakkannya di ujung lidah. Aneh, bubuk ini tawar tidak ada rasa sama sekali namun begitu menyentuh lidah ada hawa sejuk memasuki rongga mulut Wiro lalu menyusul rasa hangat di bagian dadanya. Keraguan Wiro lenyap.

“Bidadari, di sebelah sana ada sebuah sumur tua. Pergi ke sana, ambil air sumur secukupnya. Campur bubuk ini dengan air. Sebagian minumkan pada Anggini, sisanya usapkan di bagian dadanya yang cidera.”

Mengenai orang bernama Singo Abang riwayatnya dapat dibaca dalam Episode pertama berjudul Kembali Ke Tanah Jawa Bidadari segera hendak melakukan apa yang dikatakan Wiro itu. Namun sebelum berlalu dia bertanya. “Kau sendiri mau ke mana?”

“Aku segera pergi tapi aku mau mencari sesuatu dulu di dalam pondok,” jawab Pendekar 212.

“Wiro, kau menghilang selama dua tahun. Kau ke mana saja, apa yang kau lakukan?”

“Bidadari Angin Timur, panjang ceritanya. Nanti suatu ketika akan kuceritakan pada kalian. Lekas carikan air…”

Begitu Bidadari Angin Timur berlalu, sementara Ratu Duyung menunggui Anggini, Wiro bergegas masuk ke dalam pondok kayu. Berada dalam pondok itu berbagai kenangan di masa lalu ketika dia tinggal di tempat itu bersama Eyang Sinto Gendeng terbayang dipelupuk mata Pendekar 212. Dia tersenyum, gelengkan kepala, menggaruk-garuk dan memandang berkeliling.

Perabotan di dalam pondok itu masih yang dulu-dulu juga. Balai-balai kayu beralaskan tikar butut, meja kayu miring dan sebuah kursi reot. Lalu sebuah gentong air besar dekat pintu belakang. Di atas penutup gentong ada sebuah gayung tempurung kelapa. Debu menutupi semua yang ada di dalam pondok itu. Sarang laba-laba kelihatan hampir di setiap sudut.

“Mudah-mudahan Eyang Sinto tidak memindahkan benda itu dari tempatnya yang lama…”

Wiro membatin lalu dia melangkah mendekati gentong tanah di dekatpintu. Gentong itu berisi air sampaisetengahnya. Perlahan-lahan Wiro menggeser gentong ke kiri. Lalu mengambil gayung tempurung kelapa. Dengan gagang gayung dia mulai menggali tanah bekas gentong terletak. Baru menggali sedalam satu jengkal, gagang gayung menyentuh satu benda keras.

Wiro berdebar. Dia pergunakan dua tangannya untuk menggali dan menyibakkan tanah sampai akhirnya dia menemukan sebuah kotak kayu besi hitam. Wiro keluarkan kotak itu, meletakkannya di atas balai­-balai kayu lalu membukanya.

Di dalam kotak itu kelihatan satu kitab tebal yang demikian tuanya nyaris jadi bubuk. Pada bagian atas kitab tertulis. “Seribu Macam Ilmu Pengobatan.”

Kitab ilmu pengobatan ini adalah pemberian Kiai Bangkalan yang sempat dicuri oleh seoerang tokoh jahat rimba persilatan Pulau Andalas. Karena tidak mungkin membawa kitab berharga itu ke mana-mana Wiro menyerahkannya pada Eyang Sinto Gendeng. Oleh sang guru kitab disimpan begitu rupa, dimasukkan dalam kotak kayu besi tahan air lalu ditimbun didalam pondok dan ditutup dengan gentong besar.

Mengenai riwayat kitab ilmu pengobatan itu serta kisah Kiai Bangkalan harap baca serial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah Di Tambun Tulang

“Terima kasih Tuhan, terima kasih Eyang Sinto. Ternyata kitab ini masih ada di sini.”

Wiro merasa sangat bersyukur. Dengan hati-hati dia membuka halaman demi halaman. Debu mengepul setiap dia membalik satu halaman. Lama sekali, entah berapa puluh halaman telah dibaliknya akhirnya Wiro menemukan apa yang dicarinya. Dia mulai membaca, perlahan-lahan, hati-hati, kata demi kata agar tidak ada yang terlewatkan. Dia membaca sampai tiga kali lalu kembali membalik halaman yang dicarinya. Seperti tadi Wiro membaca perlahan, hati-hati, kata demi kata, sampai tiga kali.

Setelah merenung sesaat sambil pejamkan mata Wiro menutup kitab itu. memasukkannya ke dalam kotak kayu besi hitam. Kotak ini dimasukkannya kembali ke dalam lobang di tanah, lalu lobang ditimbun. Terakhir sekali gentong tanah diletakkan di atas timbunan tanah. Murid Sinto Gendeng sama sekali tidak mengetahui kalau semua apa yang dilakukannya di dalam pondok telah diintai seseorang lewat celah dinding kajang.

Ketika Wiro keluar dari pondok, didapatnya Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung dengan mempergunakan sehelai daun tengah meminumkan bubuk merah yang telah dicampur air ke mulut Anggini. Sisa obat pemberian mahluk bernama Singo Abang itu kemudian diborehkan di dada Anggini yang cidera.

“Aku ingat sesuatu,” berucap Bidadari Angin Timur. “Sewaktu orang bermantel itu keluar dari dalam liang makam dan lancarkan dua pukulan, salah satu pukulannya memancarkan sinar hitam, merah dan kuning. Apakah itu tidak cukup menjadi pertanda bahwa dia memang Pangeran Matahari?”

“Pukulan memancarkan sinar merah, kuning dan hitam! Itu memang ciri-ciri pukulan Pangeran Matahari,” ujar Wiro. “Tunggu, apakah kalian memperhatikan jari kelingking orang itu?”

Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung sama menggeleng. “Ada apa dengan jari kelingkingnya?” bertanya Bidadari Angin Timur.

“Jari kelingking Pangeran Matahari sebelah kiri buntung. Itu akibat gigitan Dewi Merak Bungsu beberapa tahun lalu.”

Mengenai riwayat jari kelilingking Pangeran Matahari buntung, silahkan baca serial Wiro Sableng berjudul Kutunggu Di Pintu Neraka

“Sayang, kami tidak memperhatikan,” kata Ratu Duyung.

“Wiro, semua orang tahu, Pangeran Matahari adalah musuh bebuyutanmu. Tetapi mengapa dia sengaja mencelakai kami. Tidak berani menantangmu secara ksatria?”

Wiro sesaat pandangi wajah cantik Bidadari Angin Timur, lalu menjawab. “Orang-orang golongan hitam rimba persilatan punya jalan pikiran jahat seperti ini. Salah satu cara untuk menghancurkan lawan adalah dengan membunuh orang-orang yang sangat dekat dengannya atau dikasihinya. Itu sebabnya, sebelum sampai pada tujuan utamanya untuk menyingkirkan diriku, dia sengaja menjebak untuk menghabisi kalian. Aku yakin bukan cuma Anggini yang hendak dicelakainya tapi kalian semua. Puti Andini korban pertama…”

“Mengenai kematian Puti Andini memang berat dugaan kami manusia bermantel itu yang membunuhnya. Tapi sebelum sampai ke sini kami hampir menjadi korban kebejatan seorang pemuda mengaku bernama Damar Wulung.” Menerangkan Ratu Duyung. “Aku malah sempat diculiknya. Kalau seorang nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati tidak menyelamatkan diriku, mungkin saat ini aku juga sudah menemui ajal. Paling tidak ditimpa aib besar…” Secara singkat Ratu Duyung menceritakan peristiwa di kuil tempo hari.

“Damar Wulung?!” Sepasang mata Pendekar 212 membesar. “Manusia satu itu, dia tidak kalah jahat dengan Pangeran Matahari. Dialah yang telah mencuri Keris Kiai Naga Kopek, pusaka Keraton. Dia juga kuduga terlibat dalam beberapa kejahatan dan pembunuhan. Kalau urusanku dengan Pangeran Matahari selesai, aku akan mencari manusia bejat satu itu.” Wiro diam sebentar lalu melanjutkan. “Kalian tahu, aku dan nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati itu menjadi buronan Kerajaan.” Wiro lantas menuturkan rangkaian kejadian sampai Patih Kerajaan menderita sakit berat akibat patukan ular.

“Aku ingat satu hal. Nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati pernah menerangkan bahwa Damar Wulung itu hanya nama palsu belaka. Orangnya sebenarnya bernama Adisaka…”

Wiro terkejut. “Adisaka?” ulangnya sambil menatap Ratu Duyung lekat-lekat. “Kau mendengar sendiri dia berkata begitu?”

“Betul. Menurut Gondoruwo Patah Hati nama Damar Wulung sebenarnya adalah Adisaka…”

“Kalian tahu…” suara Pendekar 212 terdengar bergetar. “Nenek itu pernah mengatakan padaku kalau Adisaka adalah murid yang tengah dicari-carinya. Berarti Damar Wulung adalah muridnya!” Wiro tepuk keningnya sendiri. “Pantas! Terakhir sekali aku bertemu dengan dia, katika aku menanyakan apakah dia telah bertemu dengan Adisaka, nenek itu kelihatan seperti ada ganjalan…”

“Berarti dia sudah tahu kebejatan muridnya…”

“Ada satu hal yang menjadi pertanyaan. Orang bermantel hitam itu mampu mendekam di dalam makam. Berarti dia memiliki satu ilmu kesaktian langka. Setahuku Pangeran Matahari tidak memiliki ilmu seperti itu… Kalian berdua, Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung, aku ingin bersama kalian lebih lama di tempat ini. apa lagi Anggini sedang cidera. Namun mengejar manusia bermantel yang disebut Pangeran Miring itu lebih penting lagi. Aku yakin dia adalah Pangeran Matahari.”

Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung jadi terdiam.

“Kalian jangan kecewa. Untuk sementara tetap di sini sampai Anggini sembuh. Ada satu obat baru yang harus kalian berikan padanya. Di sebelah selatan puncak gunung ini ada lereng yang ditumbuhi alang-alang berdaun biru. Ambil akarnya, tumbuk, peras dan minumkan pada Anggini…”

Wiro membungkuk, mengusap wajah Anggini, memegang pundak Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur.

“Wiro, kalau kami ingin menemuimu, di mana kami harus mencari?” Ratu Duyung bertanya.

“Ada banyak hal yang harus aku kerjakan,” jawab Pendekar 212. “Salah satu tujuanku adalah air terjun Jurangmungkung, di dekat Mojogedang. Mungkin aku akan berada di sana sekitar dua minggu dari sekarang.”

“Kalau begitu kami akan menemuimu disana,” kata Bidadari Angin Timur.

Wiro mengangguk. “Aku pergi, jaga diri kalian baik-baik. Tolong Anggini…” Wiro membalikkan badan hendak tinggalkan tempat itu. namun gerakannya terhenti ketika tiba-tiba telinganya menangkap satu suara. Suara Anggini.

“Wiro, jangan pergi dulu…”

Wiro memutar badannya kembali lalu membungkuk. “Ada apa Anggini?” tanya Wiro sambil memegang tangan gadis itu.

Anggini susupkan jari-jari tangannya ke sela-sela jari tangan Wiro dan merasakan satu kehangatan serta kebahagiaan tiada tara. “Ada sesuatu yang harus kusampaikan padamu. Amanat seseorang…” Berucap Anggini. Tangannya ditarik dari genggaman Wiro, lalu mengambil sesuatu dari balik pakaian ungunya. Benda itu diletakkannya di atas telapak tangan Wiro lalu jari-jari tangan si pemuda digenggamnya seraya mulutnya berucap. “Pemiliknya meminta aku menyerahkan benda itu padamu…”

Perlahan-lahan Wiro tarik tangan kanannya sambil membuka genggaman jari­jarinya. Wajah Pendekar 212 langsung berubah haru. Matanya berkaca-kaca. Yang ada dalam genggamannya saat itu adalah sehelai bunga kenanga kering.

“Bunga… Suci…” bisik Wiro dalam hati.

Anggini anggukkan kepala perlahan. Wiro hendak bertanya kapan kembang kenanga itu diberikan Bunga, tapi dilihatnya Anggini sudah mengatupkan mata. Wiro menarik nafas dalam, bangkit berdiri dan tinggalkan tempat itu.

“Sebenarnya banyak hal yang perlu kita bicarakan dengan Wiro. Tapi….” Ratu Duyung menarik nafas dalam.

“Aku juga kecewa. Dua tahun dia menghilang begitu saja. Tadi dia menyebut air terjun Jurangmungkung. Setahuku itu empat angker yang jarang didatangi manusia. Ada keperluan apa Wiro ke sana.” Bidadari Angin Timur berkata sambil memandang ke arah lenyapnya Wiro.

“Aku melihat sikap gerak geriknya aneh. Entah apa yang terjadi dengan dirinya. Dia seperti menanggung banyak beban.” Kata Ratu Duyung pula.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” ujar Bidadari Angin Timur. Gadis ini pejamkan mata. “Kurasa kita juga harus meninggalkan tempat ini.”

“Kemana?” tanya Ratu Duyung.

“Mengejar Wiro. Aku ingin membunuh dengan tanganku sendiri manusia dajal Pangeran Miring itu. Paling tidak ikut menyaksikan kematiannya.”

“Lalu bagaimana dengan Anggini?” tanya Ratu Duyung. Hatinya ikut tergerak untuk mengejar Wiro.

“Kita cari dulu alang-alang biru…” Bidadari Angin Timur hentikan ucapannya. “Alang-alang biru,” katanya kemudian mengulang. “Seumur hidup aku belum pernah melihat alang-alang berwarna biru. Bagaimana kalau di lereng selatan kita tidak menemukannya?”

“Kita harus percaya pada Wiro. Dia bertahun-tahun tinggal di sini. Pasti dia tahu betul kalau di lereng selatan Gunung Gede memang ada tumbuhan itu. Dan punya khasiat untuk menyembuhkan luka dalam yang dialami Anggini.

“Ratu Duyung, kau tinggal di sini menjaga Anggini. Biar aku yang mencari alang-alang itu. Selesai mengobati Anggini kita akan buat tandu. Kita usung dia sampai ke tempat kita meninggalkan gerobak. Setelah itu kita berangkat mengejar Wiro.”

“Kawan-kawan…” Tiba-tiba terdengar suara Anggini membuat dua gadis terkejut. Mereka melihat dua mata Anggini masih terpejam namun mulutnya bicara. “Kalian berdua pergi saja. Tak apa aku sendirian di tempat ini. Satu dua hari aku bakalan sembuh. Nanti aku akan menyusul kalian.”

Ratu Duyung pegang lengan Anggini, Bidadari Angin Timur usap rambut gadis itu. “Tidak Anggini, apapun yang terjadi kita tetap bersama-sama. Apalagi dalam keadaan dirimu seperti ini.” kata Bidadari Angin Timur.

“Lagi pula Wiro telah berpesan agar kami merawatmu baik-baik. Kami akan membuatkan sebuah tandu untukmu. Kita sama-sama meninggalkan tempat ini…”

Dari mata Anggini yang terpejam itu meluncur keluar butir-butir air mata.

********************

BAB 8

Mentari jauh condong ke barat. Tak lama lagi senja akan datang. Sutri yang dalam perjalanan pulang merasa tidak perlu berlari cepat. Kotaraja hanya tinggal dekat. Paling lambat bersamaan dengan turunnya malam dia sudah sampai kembali di Gedung Kepatihan. Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara derap kaki kuda. Gadis ini segera menepi. Tapi kuda dan penunggangnya malah berhenti di depan Sutri Kaliangan.

Kuda itu berwarna coklat. Ada bagian yang berwarna putih di hidungnya. Penunggangnya seorang pemuda berbadan tegap, memiliki wajah cakap. Sesaat pemuda ini menatap wajah Sutri Kaliangan lalu turun dari kudanya, melangkah ke hadapan Sutri. Untuk beberapa lama dia masih pandangi wajah si gadis. Membuat Sutri merasa tidak senang dan hendak mendamprat. Namun tiba-tiba si pemuda membungkuk hormat seraya berkata,

“Kalau tidak salah saya menduga, bukankah saya berhadapan dengan Den Ayu Sutri Kaliangan, puteri Patih Kerajaan?”

“Aku memang Sutri Kaliangan, puteri Patih Kerajaan. Kau siapa?”

“Nama saya Damar Wulung. Harap maafkan, sebenarnya saya mengikuti Den Ayu sejak keluar dari rimba belantara tadi. Berjalan jauh seorang diri, sungguh berbahaya bagi keselamatan Den Ayu. Mengapa tidak membawa pengawal? Bahkan Den Ayu sama sekali tidak naik kereta atau menunggang kuda.”

“Kau sengaja mengikutiku. Apa ada maksud yang tidak baik?” Walau hatinya kini tertarik pada ketampanan wajah si pemuda namun Sutri bersikap hati-hati.

Si pemuda tertawa lebar. “Kalau saya berniat jahat, mengapa menunggu sampai sekian lama? Den Ayu, Kotaraja memang tidak seberapa jauh lagi. Tapi kalau saya boleh menolong…”

“Hemmmm, pertolongan apa bisa kau berikan?”

“Saya hanya memiliki kuda ini. Den Ayu boleh menungganginya sampai ke gedung Kepatihan. Saya akan mengikuti dari belakang.”

“Terima kasih. Aku tidak memerlukan kudamu.”

Damar Wulung tersenyum. “Pertolongan saya memang tidak ada artinya. Tidak saya sesalkan Den Ayu sampai menolak. Saya senang dapat bertemu dan bertutur cakap dengan Den Ayu. Saya mohon diri. Maafkan saya mendeahului Den Ayu…” Habis berkata begitu si pemuda sentakkan tali kekang kudanya.

“Tunggu, apakah kau orang Kotaraja atau penduduk sekitar sini?” sutri Kaliangan bertanya.

“Ah, saya cuma pemuda tani. Desa saya tak jauh dari sini,” jawab Damar Wulung. Ini adalah satu kedustaan belaka. “Saya dalam perjalanan menuju Kotaraja. Ingin menyambangi makam kakaknya ibu. Waktu beliau meninggal saya tidak sempat melayat.” Ini adalah kedustaan kedua.

“Siapa kakak Ibumu itu?”

“Nyi Kinasih, istri mendiang Raden Mas Sura Kalimarta, juru ukir Keraton.” Ini merupakan kedustaaan ketiga. “Keluarga kami dalam kesedihan mendalam. Kedua orang itu menemui kematian secara tidak terduga. Sama-sama mati dibunuh orang. Mungkin Den Ayu sudah mendengar peristiwanya. Konon sang pembunuh adalah seorang pendekar bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.”

Sutri Kaliangan terdiam. Dia memang telah mendengar peristiwa pembunuhan atas diri dua suami istri itu.

“Maafkan saya, apakah ucapan saya ada yang menyinggung Den Ayu?” betanya Damar Wulung ketika melihat gadis di hadapannya terdiam cukup lama.

“Tak ada ucapanmu yang menyinggung. Justru kalau aku boleh memberitahu, sore tadi aku hampir saja memecahkan kepala manusia bernama Wiro Sableng itu!”

Damar Wulung unjukkan wajah terkejut. “Den Ayu, terkejut sekali saya mendengar ucapan Den Ayu. Kalau saya boleh mendengar ceritanya…”

Sutri Kaliangan merasa tidak ada salahnya dia menceritakan apa yang telah terjadi. “Benar-benar manusia bejat kurang ajar! Dia telah mencelakai Ayahanda Den Ayu, lalu meculik Den Ayu pula! Setahu saya pasukan Kerajaan mencari pemuda itu. Tapi saya ingin membunuhnya dengan tangan saya sendiri. Sehabis dari Kotaraja, saya akan mendatangi tikungan sungai itu, mencari jejak pendekar jahanam itu!”

“Mungkin dia tak ada lagi di tempat itu. Dia mungkin sudah pergi ke satu tempat…” kata Sutri pula.

“Mungkin Den Ayu mengetahui ke mana dia pergi? Mungkin dia mengatakan pada Den Ayu?" tanya Damar Wulung.

Polos saja Sutri Kaliangan menjawab. “Air terjun Jurangmungkung, dekat Mojogedang, tak jauh di arah timur Karanganyar. Aku rasa dia tengah menuju ke sana.”

“Terima kasih Den Ayu mau memberitahu,” Damar Wulung membungkuk hormat. “Sekarang karena kita sama-sama ke Kotaraja, apakah saya tak boleh berbuat baik? Saya pinjamkan kuda coklat saya pada Den Ayu. Saya akan mengikuti dari belakang. Saya tidak tahu ilmu berlari cepat, jadi saya harap Den Ayu tidak membedal kuda itu terlalu cepat.” Si pemuda berkata sambil mengulum senyum.

Melihat orang bicara begitu sopan menunjukkan sikap baik akhirnya lembut juga hati puteri Patih Kerajaan itu. “Baiklah, aku terima kebaikanmu.”

Lalu tanpa basa basi lagi Sutri yang memang cekatan dalam menunggang kuda melompat naik ke atas punggung kuda coklat itu. Baru saja dia duduk di atas punggung kuda tiba-tiba Damar Wulung melesat dan tahu-tahu sudah duduk pula di atas kuda di belakang Sutri. Tentu saja gadis itu jadi terkejut.

“Hai! Tadi kau bilang akan mengikuti dari belakang. Kini mengapa ikutan naik?!”

“Tak usah kawatir Den Ayu. Kudaku ini cukup kuat! Dia bisa membawa kita sama-sama ke Kotaraja dengan cepat.” Tangan kiri Damar Wulung menyelinap ke depan merangkul pinggang Sutri Kaliangan.

“Pemuda kurang ajar! Akhirnya kau menunjukkan belangmu! Kau mau menipuku! Pasti punya maksud keji!”

Sutri Kaliangan hujamkan siku kanannya ke perut Damar Wulung. Ketika si pemuda bergerak mengelak, Sutri segera melompat turun. Tapi cepat sekali tangan kanan Damar Wulung mencekal pinggangnya. Lalu di saat yang sama tangan kiri menotok dua urat besar di dada dan punggung si gadis. Saat itu juga Sutri merasakan sekujur tubuhnya kaku lumpuh, tak bisa bergerak tak mampu keluarkan suara.

Damar Wulung tertawa bergelak. Sekali dia sentakkan tali kekang, kuda coklat itu menghambur ke depan namun di saat yang sama empat kuda hitam besar melompat menghadang jalan. Empat kuda kemudian menyebar, jelas mengurung kuda coklat tunggangan Damar Wulung.

“Kurang ajar! Kalian siapa?!” bentak Damar Wulung.

Empat penunggang kuda hitam yang sama-sama mengenakan pakaian serba hitam, bertampang galak, serta membekal golok besardi pinggang, keluarkan tawa bergelak. “Beberapa waktu lalu kau mengerjai, menipu dan membunuh Warok Mata Api dan kawan-kawannya. Cukup lama kami mencari, hari ini kami berhasil menemuimu. Ternyata kau membawa seorang gadis culikan! Serahkan gadis itu. Sesudah itu kau juga harus menyerahkan nyawamu! Ha ha ha!” Penunggan kuda yang barusan bicara tertawa bergelak memperlihatkan barisan gigi-gigi yang putih kilat karena dilapisi perak!

“Manusia-manusia jahanam! Kalian siapa? Apa hubungan kalian dengan Warok Mata Api?!” Damar Wulung kembali membentak.

Penunggang kuda di samping kiri sigigi perak membuka mulut. Matanya cuma satu. Rambutnya awut-awutan, cambang bawuk meranggas liar. “Sobat, orang bertanya sebaiknya diberitahu siapa kita ini adanya. Syukur-syukur dia tidak sampai kencing di celana! Ha ha ha!”

Si gigi perak menyeringai. Sambil letakkan tangan kirinya di atas dada dia berkata “Aku dikenal dengan nama Warok Gigi Perak. Di samping kiriku yang bermata satu Warok Mata Picak. Di sebelah kanan Warok Tangan Api. Di belakang sana berkepala botak Warok Kepala Besi. Kami adalah para dedengkot Alas Roban, kawan-kawan Warok Mata Api yang kau tipu dan kau bunuh beberapa waktu lalu! Kami datang untuk minta nyawamu sebagai tebusan nyawa sobat kami Warok Mata Api!”

Damar Wulung pernah mendengar nama empat Warok itu. Mereka rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Yang paling berbahaya ialah Warok Tangan Api. Walau dia tidak merasa jerih namun kalau mereka bergabung untuk membalaskan dendam, keadaan benar-benar tidak menguntungkan bagi dirinya.

Kisah penipuan dan pembunuhan atas Warok Mata Api oleh Damar Wulung bisa dibaca dalam Episode sebelumnya berjudul Roh Dalam Keraton

“Empat Warok, kalian salah menyangkal! Aku bukan pembunuh Warok Mata Api! Pembunuhnya adalah Wiro Sableng Pendekar 212! Saat ini aku justru tengah mengejar bangsat itu. Dia baru saja menculik gadis ini! Untung aku berhasil menyelamatkannya. Kalian mau tahu siapa gadis ini? Dia adalah puteri Patih Kerajaan!”

Empat Warok sama kerenyitkan kening, saling pandang lalu sama tertawa bergelak. Warok Kepala Besi usap-usap kepalanya yang botak plontos lalu berkata, “Benar apa yang dikatakan orang. Bangsat muda bernama Damar Wulung itu licin seperti belut, cerdik seperi ular! Kau kira kami mudah saja kau tipu dengan mulut busukmu?!”

Warok Mata Picak memandang liar dengan matanya yang satu, lalu ikut bicara “Kalau kau memang penyelamat gadis itu, mengapa dia berada dalam keadaan tak bisa bicara tak bisa bergerak? Siapa yang menotoknya?!”

Damar Wulung tak bisa menjawab. Warok Mata Picak kembali bersuara lantang. “Dua orang anak buahku lewat di tempat kejadian tak lama setelah kau membantai Warok Mata Api dan anak buahnya. Salah seorang anak buah Warok Mata Api ditemukan dalam keadaan sekarat, sebelum mati masih sempat memberitahu bahwa Warok Mata Api dan kawan-kawannya mati dibunuh oleh seorang pemuda bernama Damar Wulung. Dia memberitahu namamu, mengatakan bahwa kau menunggangi seekor kuda coklat yang ada warna putih di hidungnya! Manusia jahanam, apa kau masih mau berkilah mencari dalih?!”

Warok Gigi Perak menyeringai. “Damar Wulung, kami sudah lama mengintaimu. Kami tahu semua apa yang terjadi di tempat ini! Kau bisa menipu Warok Mata Api, tapi jangan mengira bisa memperdayai kami berempat! Warok Tangan Api, lekas kau rampas gadis itu!”

Mendengar ucapan Warok Gigi Perak, Warok Tangan Api gerakkan tangan kanannya.

“Wussss!” Satu kobaran lidah api menderu kearah Damar Wulung.

Kejut pemuda ini bukan kepalang. Jarak mereka terpisah sekitar dua tombak, tapi lidah api menderu laksana kilat dan tahu-tahu sudah menyambar di depan hidungnya!

BAB 9

Sambil membentak keras Damar Wulung miringkan diri ke samping lalu jatuhkan diri ke tanah. Lidah api menderu hanya satu jengkal di sisinya, panas membakar pinggang pakaian kuningnya. Dengan tangan kanannya dia menepuk-nepuk pakaiannya hingga api yang membakar serta merta padam. Didahului suara menggembor marah, begitu dua kakinya menginjak tanah dia hantamkan tangan kanan ke arah Warok Tangan Api. Dari tangan Damar Wulung memancarkan dinar biru!

Dua kuda meringkik keras. Yang pertama kuda coklat milik Damar Wulung. Binatang ini yang ketakutan melihat lidah api serangan Warok Tangan Api meringkik keras, sambil naikkan dua kaki depannya ke atas. Tak ampun Sutri yang berada dalam keadaan kaku di punggungnnya, jatuh ke samping. Saat itu Warok Gigi Perak cepat melesat dari kudanya, menyambar tubuh si gadis lalu membawanya ke tempat aman.

Kuda kedua yang meringkik kemudian jatuh tergelimpang di tanah adalah kuda milik Warok Tangan Api. Binatang ini menggeliat melejang-lejang lalu terkapar tak berkutik lagi, mati dengan kepala pecah akibat pukulan aneh yang tadi dilepaskan Damar Wulung. Bagian kepala yang hancur berwarna membiru dan mengepulkan asap. Warok Tangan Api bergidik. Kalau dia tadi tidak lekas menghambur dari kudanya, pastilah dirinyalah yang jadi korban.

“Pukulan Batunaroko!” kejut Warok Gigi Perak begitu mengenali pukulan yang membunuh kuda Warok Tangan Api tu. “Setahuku pukulan itu hanya dimiliki oleh nenek sakti berjuluk Gondoruwo Patah Hati. Salama ini si nenek tidak ada permusuhan dengan para Warok Alas Roban. Juga tidak terdengar dia pernah mempergunakan pukulan Batunaroko karena terlalu ganas. Pemuda satu ini siapa dia? Apa muridnya? Terlalu berbahaya! Kalau tidak segera dihabisi bisa menimbulkan malapetaka!”

Tiga Warok lainnya juga sama terkejut. Terutama Warok Tangan Api. Mukanya sampai pucat. Dia memberi tanda pada kawan-kawannya. Lalu berteriak. “Jaring Golok Iblis!”

Empat Warok melesat ke arah Damar Wulung.

“Srett! Srett! Srett! Srett!"

Selagi melayang di udara empat golok dihunus keluar dari sarung. Empat Warok memegang golok di tangan kiri. Ternyata mereka kidal semua. Lalu empat cahaya berkilauan disertai deru angin keras berkiblat di udara. Empat cahaya membentuk empat garis panjang yang saling besilangan seperti jaring lalu secara aneh menderu ke arah Damar Wulung. Inilah jurus ilmu golok yang disebut Jaring Golok Iblis. Jangankan seorang lawan, dua orangpun jika sampai diterjang serangan ini akan sulit selamatkan diri.

Damar Wulung belum pernah mendengar jurus maut serangan golok empat Warok Alas Roban itu. Namun dari cahaya yang keluar serta melihat bagaimana empat cahaya membetuk jaring menderu siap melibasnya Damar Wulung tak mau berlaku ayal. Secepat kilat dia menghantam. Dua cahaya biru menyambar.

“Praak! Praak! Breett! Breeettt!”

Dua jeritan merobek udara. Dua tubuh mencelat dan terjengkang tak bernyawa. Lalu ada suarakudadipacu meninggalkan tempat itu. Warok Gigi Perak tegak tertegun, perlahan-lahan memutar kepala, memandang berkeliling. Mata membelalak, tengkuk terasa dingin. Warok Mata Picak dan Warok Kepala Besi dilihatnya menggeletak di tanah dengan kepala hancur.

“Pukulan Batunaroko…” Desis Warok Gigi Perak dengan suara bergetar. Lagi-lagi menyebut namapukulan yang mengerikan itu.

Di sampingnya Warok Tangan Api berdiri tergontai-gontai sambil memandang ke arah kejauhan sementara kobaran api di tangan kanannya mengecil lalu padam. Rupanya tadi sewaktu melihat lawan melarikan diri, melesat keluar dari jaring cahaya empat golok, dia segera mengejar dengan pukulan sakti yang sanggup mengeluarkan lidah api.

Hanya sayang Damar Wulung telah melompat ke atas punggung kuda coklatnya dan menggebrak binatang itu kabur dari tempat tersebut. Warok Gigi Perak dan Warok Tangan Api setengah menggerung menyaksikan kematian dua sahabat mereka. Di bagian lain Sutri Kaliangan tak berani membuka mata karena ngeri menyaksikan apa yang terjadi hanya beberapa langkah di hadapannya.

“Warok Kepala Besi, Warok Mata Picak, kami berdua akan membalaskan kematianmu! Kami bersumpah akan mencincang pemuda bernama Damar Wulung itu…” Warok Gigi Perak berpaling pada Warok Tangan Api.

“Tak jauh dari sini ada jurang batu. Hanya itu tempat terbaik buat jenazah dua kawan kita ini.”

Warok Tangan Api mengangguk perlahan. Dia berpaling ke arah Sutri lalu bertanya. “Apa yang akan kita lakukan terhadap gadis itu?”

Sutri serta merta buka kedua matanya begitu mendengar dirinya disebut-sebut. Rasa takut membuat sekujur tubuhnya bergetar dan mukanya pucat tak berdarah. Siapa tidak takut berada di tangan para perampok hutan Roban. Apa lagi saat itu mereka baru saja mengalami kejadian hebat. Dua kawan mereka menemui ajal.

Warok Gigi Perak menyeringai lalu lepaskan dua totokan di tubuh Sutri. Begitu dirinya bebas gadis ini segera hendak melompat larikan diri tapi lengannya dicekal Warok Gigi Perak.

“Jangan! Lepaskan!” jerit Sutri.

“Jangan berteriak! Jawab pertanyaanku! Apa betul kau puteri Patih Selo Kaliangan?” tanya Warok Gigi Perak.

“Kalau sudah tahu jangan berani kurang ajar! Lepaskan tanganku!” teriak Sutri sambil meronta tapi tak sanggup lepaskan cekalan orang.

“Kami Warok Alas Roban memang kejam, membunuh orang sama dengan membunuh lalat! Tapi kami tidak menyakiti kaum perempuan. Itu satu pantangan besar! Dengar, kami tidak akan menyakitimu. Kau boleh kembali ke Kotaraja sebelum malam tiba. Tapi kami butuh keterangan…”

Warok Gigi Perak lepaskan cekalan di lengan Sutri. Puteri Patih itu hampir tak percaya mendengar ucapan sang Warok dan usap-usap lengannya yang tadi dicekal.

“Kau boleh pergunakan salah satu dari dua kuda itu untuk pulang ke Kotaraja. Tapi jawab dulu pertanyaanku. Kau tahu kira-kira ke mana bangsat bernama Damar Wulung itu melarikan diri?”

Sutri menggeleng. “Aku... aku tidak tahu. Tapi…”

“Tapi apa?” tanya Warok Tangan Api.

“Mungkin dia menuju air terjun Jurangmungkung.”

“Air terjun Jurangmungkung dekat Mojogedang?” tanya Warok Gigi Perak.

“Benar…”

“Ada keperluan apa bangsat itu kesana? Setahuku tak satu manusiapun mau datang ke situ. Itu tempat banyak roh gentayangan. Kematian bisa terjadi semudah angin beritup.”

“Pemuda itu punya permusuhan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Kemungkinan besar dia mencari Pendekar 212 di tempat itu…”

“Pendekar 212 Wiro Sableng!” ujar Warok Gigi Perak. Tiba-tiba ditangkapnya pinggang Sutri. Gadis ini lalu dilemparkannya ke atas punggung kuda milik Warok Kepala Besi. “Berangkatlah ke Kotaraja sebelum malam tiba!”

Lega dada Sutri. Dia merasa tidak percaya. Tadi dia mengira Warok bergigi perak itu hendak melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadapnya. Ternyata dia dinaikkan ke atas kuda dan disuruh pergi. Tanpa banyak menunggu lagi Sutri segera menggebrak kuda besar itu.

Tak selang berapa lama setelah lenyapnya Sutri Kaliangan dan perginya dua Warok dengan membawa mayat dua kawannya, dari balik satu gundukan tanah yang membentuk bukit kecil, muncullah seekor kuda putih. Penunggangnya seorang nenek berambut kelabu, berpakaian serba hitam dan bermuka setan. Sinenek yang bukan lain adalah Gondoruwo Patah Hati berulang kali menarik nafas dalam dan gelengkan kepala.

“Pukulan Batunaroko…” Katanya perlahan. “Ganas sekali. Kalau yang jadi korban bangsa perampok seperti dua orang tadi mungkin aku masih bisa menerima. Tapi jika yang menemui ajal adalah para pendekar golongan putih, atau orang-orang tidak bedosa? Menyesal aku telah mengajarkan ilmu itu padanya. Anak itu, apapun yang terjadi aku harus bisa membawanya kembali ke pertapaan. Kalau dia melawan aku terpaksa menguras ilmu yang dimilikinya. Berarti dia akan menderita lumpuh seumur-umur.”

Gondoruwo Patah Hati memandang ke arah kejauhan, ke arah lenyapnya Damar Wulung. “Dia menuju ke timur. Apa yang dicarinya di sana?” si nenek menghela nafas panjang sekali lagi lalu sentakkan tali kekang kuda putihnya.

********************

Di bawah sinar kuning sang surya yang hendak tenggelam Damar Wulung memacu kuda coklatnya. Baju kuningnya robek di bahu kiri dan dada kanan akibat sambaran golok. Bahu kirinya tidka cidera tapi kulit dadanya sempat digores ujung golok Warok Gigi Perak. Kaki kirinya terasa panas. Ketika dia memandang ke bawah pemuda ini merutuk. Ujung kaki celana kirinya kelihatan hangus. Kakinya sendiri kemerah-merahan sampai sebatas mata kaki.

Sewaktu ia melompat ke punggung kuda, Warok Tangan Api masih sempat mengejar denganserangan lidah api dan mengenai kaki kirinya. Untung cidera yang dialaminya ringan saja. Rasa sakit juga tak seberapa. Namun rasa dendamnya terhadap dua Warok yang masih hidup itu laksana bara menyala. Kelak jika tugas dari Dewi Ular yaitu menangkap Pendekar 212 Wiro Sableng selesai dilaksanakannya, dia akan mencari dua Warok itu dan membunuh keduanya tanpa ampun lagi!

********************

Gerobak berhenti di depan kedai besar di persimpangan jalan. Saat itu tengah hari tepat. Kedai penuh oleh pengunjung yang sedang makan.

“Biar aku yang turun,” kata Anggini. “Kedua kakiku ini seperti kaku, tiduran terus dari kemarin.”

“Tapi kau masih sakit,” ujar Bidadari Angin Timur.

“Siapa bilang. Selama perjalanan kalian berdua telah menjadi tabibku yang hebat. Memberi segala macam obat. Luka dalamku sudah mulai pulih, hanya badan masih terasa sedikit lemah. Mungkin kebanyakan tidur. Jadi itu sebabnya aku perlu jalan-jalan sedikit.”

Anggini tersenyum lalu turun dari gerobak. Pertama kali menginjak tanah dia agak terhuyung. Bidadari Angin Timur cepat memeluk bahunya.

“Tidak apa-apa, aku cukup kuat.” Kata Anggini pula. “Jadi aku harus beli apa? Tiga nasi bungkus?”

“Ratu Duyung, kau tetap di gerobak. Biar aku menemani Anggini,” berkata Bidadari Angin Timur.

Kehadiran dua gadis centik di dalam kedai yang hampir seluruh pengunjungnya adalah laki-laki tentu saja menarik perhatian. Mereka yang tengah lahap makan menunda menyuap atau menelan makanan dalam mulut, tak mau melewati pemandangan bagus itu. Namun melihat pakaian serta gerak-gerik kedua gadis itu, tak ada yang berani mengganggu. Mereka maklum dua gadis jelita itu adalah orang-orang rimba persilatan. Semua orang meneruskan makan masing-masing sambil sesekali larak lirik.

Di sudut kedai, seorang lelaki yang ada parut bekas luka di pipi kirinya dan tengah lahap menyantap makanan tiba-tiba tak bisa menelan nasi di dalam mulut. Tidak seperti yang lain-lain yang menikmati kecantikan wajah dua gadis, lelaki satu ini malah tampak ketakutan. Sambil memalingkan kepala ke jurusan lain dia cepat­-cepat meneguk minumannya.

Ketika hendak berdiri tak sengaja tangannya menyentuh gelas tanah hingga jatuh di lantai, mengeluarkan suara pecah yang menarik perhatian, termasuk Anggini dan Bidadari Angin Timur. Dua gadis ini berpaling memperhatikan. Lelaki tadi cepat-cepat menuju bagian belang kedai, lalu keluar dari pintu samping.

“Orang berpakaian hitam tadi…” bisik Anggini. “Yang mukanya ada cacat. Aku pernah melihatnya. Coba kau ingat-ingat.”

“Dia seperti ketakutan melihat kita. Aku... Aku ingat! Dia adalah salah seorang anggota rampok yang membegal kita sewaktu dalam perjalanan menuju Gunung Gede. Tapi seingatku semua anggota rampok itu termasuk pemimpin mereka yang berjuluk Sepasang Gada Besi, habis dibantai oleh pemuda jahanam bernama Damar Wulung. Bagaimana dia kini bisa hidup kembali?”

“Ini satu hal menarik. Bidadari, kau selesaikan pesanan kita. Aku akan mengejar orang itu.”

Tak banyak menunggu Anggini segera melompat ke pintu samping. Seperti terbang dara yang baru sembuh sakit, enak saja melompati meja panjang di mana banyak orang sedang menyantap makanan. Ketika Anggini sampai di halaman samping, dia jadi tertawa lebar. Di halaman itu dilihatnya Ratu Duyung tengah menjambak lelaki berpakaian hitam bermuka cacat yang tengah dikejarnya. Orang ini berteriak-teriak minta ampun.

“Jangan berteriak terlalu keras. Nanti makanan yang barusan masuk dalam perutmu keluar semua!” kata Anggini. Dia berpaling pada Ratu Duyung. ”Sahabat kau rupanya telah mengenali siapa dia.”

Ratu Duyung mengangguk. “Anak buah kelompok rampok Sepasang Gada Besi yang tempo hari menghadang kita. Mungkin juga dia kaki tangan Damar Wulung!”

“Kami kira kau sudah mati dibantai Damar Wulung saat itu. Ternyata masih hidup. Kami ingin tahu bagaimana ceritanya” tanya Anggini.

“Aku… aku berpura-pura mati. Setelah semua orang pergi aku lari selamatkan diri. Aku... ampun! Aku tidak bermaksud jahat. Damar Wulung menipu kami!”

Anggini dan Ratu Duyung saling pandang. “Menipu bagaimana?” satu suara bertanya. Ternyata Bidadari Angin Timur yang baru saja keluar dari kedai. Yang ditanya tak menjawab. Dia tampak sangat ketakutan. “Kalau kau tidak bisa membuka mulut, biar aku tolong membukakan!” kata Bidadari Angin Timur. Lalu dia cabut satu pohon kecil. Akar pohon ini disodokkannya ke mulut si muka parut. Tentu saja orang ini jadi ketakutan dan buru­-buru membuka mulut.

“Ampun, jangan! Biar aku bicara. Sebelum kami menghadangmu, Damar Wulung sudah ada perjanjian dengan pimpinan kami. Kami hanya pura-pura merampokmu, lalu Damar Wulung pura-pura menolong kalian…”

Bidadari Angin Timur berpaling pada dua sahabatnya dan berkata “Dugaanku tempo hari bahwa Damar Wulung memang berkomplot dengan kelompok rampok itu kini terbukti benar. Sayang sahabat kita Puti Andini sudah tidak ada untuk menyaksikan kebenaran dugaanku…” Bidadari Angin Timur gebukkan batang pohon ke kaki orang itu.”Sudah, pergi sana! Lain kali kupergoki kau melakukan kejahatan, kutambah cacat di mukamu!”

Terpincang-pincang kesakitan bekas anak buah rampok pimpinan Sepasang Gada Besi itu tinggalkan tempat tersebut. Sementara orang banyak mulai berkumpul untuk melihat apa yang terjadi, ketiga gadis sudah berada dalam gerobak, melanjutkan perjalanan.

********************

Pagi itu di gedung Kepatihan masih tampak sepi. Namun sepagi itu Sutri Kaliangan telah menghadap ayahnya. “Saya mendengar ayah mengirim pasukan besar dan beberapa tokoh silat Istana ke kawasan air terjun Jurangmungkung untuk menangkap Pendekar 212 Wiro Sableng.”

Di atas pembaringan, Patih Kaliangan kerenyitkan kening, menatap wajah anak gadisnya lalu berkata ”Pagi ini aku tak ingin diganggu. Pergilah, nanti saja kembali lagi ke sini.”

“Saya menyesal telah memberitahu bahwa Pendkar 212 berada di Jurangmungkung. Padahal maksud saya memberi tahu agar ayah yakin bahwa dia akan mencarikan obat penyembuh untuk sakit ayah.”

Selo Kaliangan tersenyum getir. “Dosa manusia itu dan si Gondoruwo Patah Hati sangat besar! Hanya kematian yang bisa menghapuskan kesalahan mereka. Adalah aneh kau berubah jalan pikiran. Sepertinya kau ingin membela orang yang telah mencelakai ayahmu dan menimbulkan musibah besar pada Kerajaan. Sebagai puteri Patih Kerajaan seharusnya kau membela Kerajaan. Lebih dari itu kau wajib membela aku ayahmu!”

“Bagi saya kesembuhan ayah adalah paling utama. Jika ayah berhasil disembuhkan sesuai janji Pendekar 212 pada saya, apa yang nanti ayah mau lakukan terhadapnya terserah ayah…”

“Sutri, aku tak ingin bicara lebih lama. Pergilah. Panggil ibumu…”

Sutri termenung sejurus lalu gadis ini keluar dari dalam kamar ayahnya. Bukan untuk menemui ibunya tapi pergi ke kandang kuda, menyuruh perawat kuda untuk menyiapkan kuda tunggangannnya.

“Pagi-pagi begini Den Ayu mau berkuda ke mana?” tanya orang tua perawat kuda.

“Bapak kuda, aku tidak bisa mengatakan padamu mau pergi ke mana. Aku tak ingin kau memberitahu pada ayah atau ibu. Atau siapapun. Bapak mengerti?”

“Saya mengerti Den Ayu, saya mengerti.” Orang tua itu mengangguk.

********************

BAB 10

Matahari baru saja tersembul di ufuk timur. Udara masih terasa dingin. Walau luka di kedua pahanya boleh dikatakan telah sembuh namun Pendekar 212 berlari dengan berbagai beban pikiran di benaknya. Sejak dua hari lalu dia kehilangan jejak Pangeran Matahari yang tengah dikejarnya. Selain itu pikirannya tak bisa lepasdari menolong Bunga yang dipasung oleh Iblis Kepala Batu Alis Empat dalam sebuah guci perak.

Sejak kehilangan jejak Pangeran Matahari Wiro memutuskan langsung saja menuju Mojogedang di mana terletaknya air terjun Jurangmungkung. Lalu dia juga harus mencari obat untuk penyembuhan bagi Patih Selo Kaliangan.

Dalam kesunyian pagi yang hanya ditandai suara kicau-kicau burung tiba-tiba murid Sinto Gendeng mendengar suara orang bersiul di depannya. Suara siulan itu membawakan lagu yang tak pernah didengar Wiro sebelumnya. Orang yang bersiul agaknya enar-benar menikmati lagu yang dibawakannya karena lagu itu terus diulang­-ulang. Dari lari biasa Wiro kerahkan ilmu Kaki Angin. Tak selang berapa lama dia telah dapat melihat orang yang bersiul di depannya. Orang ini mengenakan pakaian biru.

“Sepertinya aku mengenal orang itu…“ kata Wiro dalam hati.

Orang yang bersiul rupanya sudah tahu kalau dia orang berlari mendatangi dari belakang. Dia hentikan larinya dan berbalik. Ternyata dia seorang pemuda berwajah tampan, rambut berkilat disisir licin dan ada kumis kecil rapi di atas bibirnya. Wiro segera mengenali pemuda ini yang bukan lain adalah Adimesa alias Pendekar Kipas Pelangi. Kedua orang yang sudah saling mengenal itu langsungsaja bertegur sapa lalu bicara panjang lebar. Namun dalam hati Pendekar 212 saat itu ada satu ganjalan besar.

“Sahabatku Wiro, hal apakah yang membawamu jauh sampai ke sini?” bertanya Adimesa.

“Aku tengah mengejar seseorang. Ingat peristiwa yang kita alami di jurang Telung Penanjung?”

“Pangeran Matahari?”

“Tepat sekali!” Wiro lalu menceritakan apa yang telah terjadi di puncak Gunung Gede.

“Pangeran keparat itu agaknya memang sudah saatnya harus disingkirkan. Kalau tidak rimba persilatan tanah Jawa tidak akan tenteram…”

“Sayang aku kehilangan jejaknya,” kata Wiro pula. “Namun aku ada keperluan lain di Mojogedang. Kau pernah mendengar seorang tokoh silat jahat berjuluk Iblis Kepala Batu Alis Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh?”

“Manusia yang kau sebutkan itu tidak lebih baik dari Pangeran Matahari. Punya sifat aneh. Suka menggauli mahluk-mahluk dari alam gaib…”

“Kalau begitu keselamatan Bunga sangat terancam….” Ujar Wiro.

“Siapa Bunga?”

Wiro lalu menceritakan kejadia menyangkut diri Bunga, gadis cantik dari alam roh itu.

“Selama ini aku hanya mendengar segala kejahatan yang diklakukan orang itu. jika kepergianmu ke Mojogedang ada sangkut pautnya dengan kejahatan yang dilakukan orang itu, aku ingin sekali ikut bersamamu.”

“Terima kasih. Pertolonganmu tempo hari belum dapat aku balas, kini kau hendak menanam budi baru. Aku merasa malu walau sangat senang mendengar kau mau ikut bersamaku.”

Saat itu ganjalan yang ada dalam hati Pendekar 212 muncul kembali membuat dia merasa tidak enak. Wiro ingat pada keterangan Ratu Duyung sewaktu di Gunung Gede. Menurut gadis itu nenek muka setan Gondoruwo Patah Hati pernah mengatakan bahwa Damar Wulung sebenarnya bernama Adisaka. Sedangkan menurut Pendekar Kipas Pelangi yang bernama Adimesa, Adisaka itu adalah kakaknya yang selama belasan tahun tidak pernah diketahuinya lagi di mana beradanya.

Dua bersaudara itu terpisah ketika terjadi bencana alam. Mereka hampir menemui ajal dalam kebakaran hutan akibat letusan Gunung Merapi kalau tidak ditolong oleh dua orang sakti. Adimesa diselamatkan oleh kakek sakti bernama Ki Riku Pulungan. Pemuda ini kemudian muncul dalam rimba persilatan dengan julukan Pendekar Kipas Pelangi. Sedang kakaknya yaitu Adisaka diselamatkan oleh si nenek muka setan Gondoruwo Patah Hati.

Adisaka kemudian diketahui memakai nama palsu yaitu Damar Wulung dan melakukan perbagai kejahatan sebagai akibat terjebak oleh Dewi Ular. Mengenai riwayat Adimesa dan Adisaka harap baca Episode pertama berjudul Kembali Ke Tanah Jawa)

“Bagaimana aku harus mengatakan pada sahabatku ini,” kata Pendekar 212 dalam hati, “Bahwa kakaknya adalah manusia yang selama ini gentayangan berbuat kejahatan keji, merampok dan membunuh, memperkosa. Bahwa kakaknya itu adalah yang menjarah senjata pusaka Keraton yaitu Keris Kiai Naga Kopek.”

“Pendekar Kipas Pelangi, sebaiknya kita bercakap-cakap sambil melanjutkan perjalanan menuju Mojogedang.”

Pendekar Kipas Pelangi setuju. Kedua pemuda itu lalu lari berdampingan menuju ke utara. Ketika suara siulan Pendekar Kipas Pelangi menggema pagi itu, Damar Wulung alias Adisaka yang tertidur nyenyak di bawah sebuah pohon besar berbantalkan punggung kuda coklat terbangun. Dia menggosok matanya, memasang telinga lalu melompat bangun.

“Suara siulan itu. Sama dengan siulan yang kudengar malam dulu itu. Dia memandang ke timur, ke arah datangnya suara siulan itu. “Sekali ini aku harus menemukan orang itu! Dia pasti Adimesa adikku! Pasti! Tidak ada yang tahu lagu itu selain aku dan dia. Adimesa adikku! Akhirnya kutemui juga kau!”

Karena suara siulan itu terdengar tidak seberapa jauh, Damar Wulung merasa tidak perlu menunggangi kuda. Binatang itu ditinggalkannya saja di bawah pohon. Setengah berlari dia bergerak ke arah datangnya suara siulan. Tapi tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat di hadapannya. Lalu satu suara dengan nada congkak bertanya,

“Apakah ini arah jalan menuju air terjun Jurangmungkung di Mojogedang?!”

Damar Wulung merasa tersinggung. Orang sudah menghadang jalannya lalu bertaya congkak begitu rupa tanpa basa basi, tanpa menegur dengan panggilan saudara, ki sanak atau bagaimana lumrahnya. Murid Gondoruwo Patah Hati ini siap hendak mendamprat namun ketka dia memperhatikan pakaian dan wajah orang di hadapannya, Damar Wulung jadi tersentak kaget. Setelah diam sejenak dia sunggingkan seringai.

“Dunia begini luas, para pendekar begitu banyak. Tapi aku tidak buta. Bukankah kau menusianya yang berjuluk Pangeran Matahari?”

Orang berpakaian serba hitam dan berikat kepala kain merah di hadapan Damar Wulung balas menyeringai lalu dongakkan kepala. “Dunia begini luas, pendekar begitu banyak…” orang itu mengulang ucapan Damar Wulung, “Namun siapa diriku dikenal orang di mana-mana. Ha ha ha! sebaliknya, apakah aku perlu bertanya siapa kau adanya? Kurasa tidak perlu. Cepat jawab saja pertanyaanku tadi!”

“Aku tahu kalau Pangeran Matahari itu dikenal sebagai Pangeran Segala Congkak. Tapi aku beritahu padamu, jangan congkak di hadapanku! Lekas membungkuk memberi hormat! Karena sudah tiba saatnya kau membalas segala budiku di masa lalu!”

Sepasang mata orang berpakaian hitam yang memang Pangeran Matahari adanya membesar, menatap tak berkedip pandangi wajah Damar Wulung sambil menindih rasa terkejut dan juga amarah. Dari hidungnya dia keluarkan suara mendengus.

“Hari masih pagi. Tapi aku sudah bertemu orang gila hormat tak tahu juntrungan! Pangeran Matahari tidak pernah membungkuk kepada siapapun! Dan jangan berani menyebut segala macam budi! Budi apa yang pernah aku terima darimu!”

“Ingat nama Bagus Srubud?!”

Damar Wulung bertanya, membuat terkejut Pangeran Matahari dan dua matanya tampak tambah membesar. Lalu sang Pangeran membentak.

“Kau siapa?!”

“Aku tuan besar yang telah memberikan kenikmatan dan juga pertolongan padamu. Apa tidak pantas kalau aku menyuruhmu membungkuk memberi hormat?!”

“Kurang ajar! Jangan bicara berteka-teki. Lekas katakan siapa kau adanya! Aku Pangeran Matahari tidak terlalu perduli pada segala macam budi! Jadi jangan mengira aku tidak mau menggebukmu bahkan membunuhmu jika kau membuat aku sampai marah besar!”

“Tenang Pangeran, jangan kesusu, jangan lekas marah. Kesusu dan kemarahan kadang-kadang membuat orang tidak bisa berpikir, susah mengingat kejadian masa lalu. Tapi aku tahu kau juga dijuluki Pangeran Segala Cerdik. Masih ingat sorga bernama Kinasih?!”

Pangeran Matahari tercengang.

“Bagus Srubud, aku yang memberikan nama itu padamu. Sorga bernama Kinasih, aku juga yang memberikan perempuan cantik itu padamu…”

Rasa kaget Pangeran Matahari semakin bertambah-tambah. “Kau…!”

“Masih ingat seperangkat pakaian petinggi Keraton dan tiga buah topeng tipis terbuat dari getah pohon latek?! Aku yang memberikan pakaian dan topeng itu padamu. Satu dari tiga topeng itu kini sudah kau kenakan di wajahmu! Apakah tidak pantas kau membungkuk memberi hormat. Karena hari ini adalah hari di mana kau harus membalas semua budi besarku itu!”

“Aku ingat semua itu! Tapi saat itu, kau tidak menunjukkan diri. Dan aku yakin yang bicara padaku, yang memberikan pakaian serta topeng bukan kau tapi adalah guruku Si Muka Mayat alias Setan Muka Pucat!”

Damar Wulung tersenyum. “Percuma kau dijuluki Pangeran Segala Cerdik. Gurumu sudah lama mati, mana ada orang mati bisa memberikan sorga berupa perempuan cantik. Mana ada orang mati bisa memberikan pakaian bagus dan topeng untuk menutupi wajahmu yang cacat! Pangeran Matahari, aku beritahu padamu jangan kepongahan dan kecongkaan membuat otakmu jadi tumpul!”

Mengembang rahang Pangeran Matahari mendengar semua ucapan pemuda berpakaian kuning itu. “Pemuda baju kuning! Siapapun kau adanya jangan berani menghina guruku!”

“Menghina! Gurumu sudah mati. Itu kenyataan. Apa menghina kalau kukatakan dia sudah mati? Ha ha ha! Sejak kau dihantam musuh besarmu Pendekar 212 hingga jatuh masuk ke dalam jurang, kepala terbentur, muka cacat, otakmu rupanya memang jadi tidak karuan. Tidak salah kalau orang yang menolongmu yaitu Singo Abang menyebutmu Pangeran Miring! Ha ha ha!”

“Diam!” bentak Pangeran Matahari. Tangan kanannya diangkat ke atas. “Aku bisa membunuhmu semudah membalikkan telapak tangan!”

“Begitu?” Damar Wulung tersenyum. “Kau mau membunuhku dengan pukulan apa? Pukulan Gerhana Matahari? Atau Telapak Matahari, atau Merapi Meletus? Mungkin juga dengan pukulan Dua Singa Berebut Matahari?”

Kejut Pangeran Matahari bukan alang kepalang. Orang mengetahui semua pukulan andalan yang dimilikinya. Dua tangan diangkat ke atas, bergetar menahan marah dan juga karena ada tenaga dalam yang dialirkan. Suaranya ikut bergetar ketika berkata. “Lekas katakan , siapa kau adanya! Lekas!”

“Namaku Damar Wulung! Aku tidak punya waktu lama. Dengar, aku tahu kau tengah dalam perjalanan menuju air terjun Jurangmungkung. Kita punya tujuan sama. Kita juga punya musuh yang sama. Pendekar 212 Wiro Sableng. Mengapa tidak bekerja sama menghabisi manusia satu itu?!”

“Kalau aku sanggup membunuhnya dengan tangan sendiri perlu apa minta bantuan manusia culas sepertimu!”

“Kau menyebut culas pada orang yang telah menolongmu! Kau masih bercongkak diri bisa menghabisi Pendekar 212 Wiro Sableng dengan tangan sendiri. Jangan terlalu congkak Pangeran. Kau tidak tahu siapa saja yang bakal muncul di tempat itu. Selamat tinggal Pangeran congkak! Mungkin ini kali terakhir aku melihatmu dalam keadaan hidup! Ha ha ha!”

“Jahanam, buktikan dulu kemampuanmu!” teriak Pangeran Matahari marah lalu melompat ke hadapan Damar Wulung seraya lancarkan satu pukulan tangan kosong. Damar Wulung cepat menghindar sambil menangkis. Dia tahu Pangeran Matahari hendak menjajagi tenaga dalamnya.

“Bukkk!”

Dua lengan beradu keras di udara. Dua pemuda itu sama-sama keluarkan seruan tertahan. Tubuh masing-masing terlontar sampai satu tombak. Pangeran Matahari terkapar jatuh punggung. Damar Wulung terguling di tanah. Dengan cepat Pangeran Matahari bangkit berdiri. Otak cerdiknya bekerja. Sang Pangeran ulurkan tangan, membantu Damar Wulung berdiri sambil berucap,

“Kematian untuk Pendekar 212!”

“Kematian untuk Pendekar 212!” jawab Damar Wulung. Lalu dia memberi isyarat agar Pangeran Matahari mengikutinya. Dia berkelebat ke arah di mana tadi dia mendengar suara siulan.

Namun sampai di tempat itu dia tidak menemukan siapa­siapa. Anehnya dia melihat ada jejak dua orang di tanah. Damar Wulung berpaling pada Pangeran Matahari dan berkata,

“Musuh besar kita sudah dalam perjalanan menuju air terjun Jurangmungkung. Jika kita berangkat sekarang, paling lambat awal malam kita akan tiba di sana!”

Damar Wulung mengangguk.

“Tadi kau mengatakan bukan cuma Wiro Sableng yang berada di tempat itu. Sebaiknya kita memasuki kawasan air terjun setelah malam tiba. Dalam gelap kita bisa bertindak leluasa tanpa diketahui musuh…”

Damar Wulung tersenyum lalu mengambil kudanya. “Kuda ini cukup kuat membawa kita berdua sampai ke desa terdekat. Di situ kita bisa mendapatkan seekor kuda untuk tunganganmu!” Kedua orang itu lalu melompat naik ke atas kuda coklat.

********************

BAB 11

Malam merayap mendekati akhirnya. Di kawasan air terjun Juangmungkung kegelapan masih menggantung. Suara gemuruh curahan air terjun yang kemudian jatuh di atas batu-batu cadas hitam berlumut merupakan satu-satunya suara yang terdengar abadi di tempat itu. Kiri kanan tepian Kali Mungkung, menjelang air terjun ditumbuhi sederetan pohon berdaun rimbun.

Di tengah kali tampak beberapa batu hitam muncul di permukaan air membentuk sosok-sosok seperti orang mendekam menunggu sesuatu. Sampai menjelang pagi tidak kelihatan gerakan atau sesuatu terjadi. Di salah satu pohon yang tumbuh di tepi kiri Kali Mungkung, pada tiga cabang besar yang saling berdekatan, tiga orang mendekam dalam bayang-bayang gelap dan kerimbunan daun. Mereka dalah Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini.

Sementara itu di dalam rumah kayu di atas pohon besar, Pendekar 212 Wiro Sableng dan Pendekar Kipas Pelangi yang menyelinap masuk menemui rumah itu dalam keadaan kosong. Orang yang mereka cari yakni si pemilik rumah Iblis Kepala Batu Alis Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh yang telah menjebloskan Bunga ke dalam sebuah guci, tak ada di tempat kediamannya itu. Di dalam rumah hanya ada sehelai tikar butut dan belasan guci, semua terbuat dari tanah liat.

“Jahanam Iblis Kepala Batu Pemasung Roh itu. mungkin sekali dia sudah tahu kedatangan kita kesini lalu kabur lebih dahulu!” kata murid Sinto Gendeng penuh geram sambil mengepalkan tinju.

“Menurutmu, gadis bernama Bunga itu dimasukkan ke dalam guci. Di sini ada belasan guci. Mungkin...”

Wiro gelengkan kepala dan memotong ucapan Pendekar Kipas Pelangi. “Guci-guci itu semua terbuat dari tanah liat. Guci tempat Bunga disekap terbuat dari perak. Guci perak itu tak ada di sini…”

“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Pendekar Kipas Pelangi.

“Keluar dari rumah jahanam ini, menyelidik keadaan di luar,” jawab Wiro lalu menambahkan. “Sebelum keluar aku ingin menghancurkan tempat ini lebih dulu!” Lalu Pendekar 212 angkat tangan kanannya. Tangan itu sebatas sikuke atas berubah menjadi putih seperti perak. Ketika tangan itu dihantamkan berkiblatlah cahaya putih, panas penyilaukan. Itulah pukulan Sinar Matahari!

Di atas sebatang pohon di seberang kali, dua orang yang mendekam di balik kerimbunan dedaunan dan gelapnya malam menjelang pagi saling berbisik-bisik.Yang satu, yang berpenampilan sebagai seorang kakek, berkata “Aku mulai gamang. Kakiku gemeteran sejak tadi. Aku tak tahan lagi. Mau beser…”

“Sial, mau beser, mau kencing ya kencing saja!” menyahuti orang yang diajak berbisik yaitu seorang bocah berambut jabrik berpakaian hitam.

Sementaa di sebelah timur kelihatan saputan cahaya terang pertanda tak lama lagi fajar akan segera menyingsing.

“Di sini? Di pohon ini?”

“Apa kau mau turun dulu, kencing di bawah pohon lalu naik lagi ke sini? Gelo!”

“Tapi bagaimana kalau kencingku mengguyur dua orang di cabang pohon di bawah kita?!”

“Anggap saja mandi pagi. Paling tidak cuci muka! Hik hik hik!”

“Setan, jangan tertawa. Kencingku tambah tak tertahankan…”

Pada saat itulah rumah kayu di atas pohon besar hancur berantakan. Kakek di atas pohon tersentak kaget. “Celaka! Ngocor sudah kencingku! Uhh…”

Di bawah pohon orang yang keningnya kecipratan air kencing mula-mula merasa heran. Bagaimana mungkin, tak ada hujan ada air jatuh dari atas dan terasa hangat. Dirabanya keningnya, dalam gelap dia coba memperhatikan jari-jari tangannya yang basah. Lalu hidungnya mencium bau itu. Bau pesing air kencing. Kencing binatang? Apa ada binatang di atas pohon sana? Dia mendongak. Justru saat itu kembali ada air jatuh dari atas. Kali ini malah memasuki mulutnya!

“Jahanam keparat!” maki orang ini.“Ini kencing manusia, bukan binatang! Siapa berani mengencingiku! Kurang ajar!” Orang itu mengusap mulutnya lalu meludah berulang-ulang.

“Pangeran, ada apa?” tiba-tiba orang di sebelahnya bertanya.

“Ada orang mengencingiku di atas sana! Aku akan menyelidik ke atas!” jawab orang yang dipanggil dengan sebutan Pangeran yang bukan lain Pangeran Matahari adanya.

“Tunggu, jangan lakukan itu. Rencana yang sudah kita susun bisa kacau…” Kata sang teman yang adalah Damar Wulung alias Adisaka.

“Tapi mulutku dikencingi!” jawab Pangeran Matahari mata mencorong marah, rahang menggembung, pelipis bergerak-gerak.

“Pangeran, aku barusan melihat ada dua bayangan melesat turun dari rumah yang hancur. Sesuai rencana, aku siap menyanyikan senandung itu. Harap kau menahan diri!” kata Adisaka pula.

Di atas pohon yang lain Anggini berkata. “Sebentar lagi pagi akan datang. Satu malam suntuk kita berada di tempat ini. Saatnya kita menyelidik. Ratu Duyung harap kau segera menerapkan Ilmu Menembus Pandang. Ada dua orang melayang keluar dari rumah yang hancur di atas pohon. Keduanya melesat ke pohon di seberang sana. Mungkin salah seorang di antaranya Wiro?

Ratu Duyung mengangguk. Tanpa banyak menunggu gadis bermata biru ini segera saja arahkan pandangannya ke atas pohon di pinggir kali. Namun sebelum sempat Ratu Duyung mengerahkan ilmu kesaktiannya itu tiba-tiba di atas salah satu pohon diseberang kali terdengar suara orang menyanyi.

Kaliurang desa tercinta
Terletak di kaki Gunung Merapi
Di sana kami dilahirkan
Alamnya indah penduduknya ramah

Kami anak desa
Bangun pagi sudah biasa
Hawa dingin tidak terasa
Kerja di sawah membuat sehat
Kerja di ladang membuat kuat

Kami anak desa
Rajin membantu orang tua
Menolong Ibu di rumah
Membantu Ayah di sawah

Kami anak desa
Tidak lupa sembahyang mengaji
Rendah hati dan tinggi budi
Selalu unjukkan jiwa satria


Tiga gadis di atas pohon sama terkejut dan saling pandang. “Gila, siapa pula yang menyanyi pagi buta di tempat begini rupa?” berucap Bidadari Angin Timur.

“Yang menyanyi suaranya jelas orang dewasa. Tapi senandungnya adalah lagu anak-anak…” Berkata Anggini.

“Aku akan menyelidik ke arah pepohonan di seberang sana. Suara nyanyian itu datang dari situ,” kata Ratu Duyung lalu terapkan Ilmu Menembus Pandang. Tapi belum sempat dia melihat sosok orang di atas pohon terdengar pula suara orang bernyanyi. Bait-bait yang disenandungkannya sama dengan yang tadi dinyanyikan orang di atas pohon di seberang kali.

“Tambah aneh!” kata Bidadari Angin Timur. “Kini ada satu lagi orang gila menyanyikan lagu sama! Apakah ini merupakan satu tanda rahasia atau jawaban dari senandung pertama? Tapi kalau orang kedua menyanyi sebagai jawaban senandung orang pertama, mengapa kata-kata dalam setiap bait yang dinyanyikan sama?”

“Jangan dulu pecahkan keanehan itu, sahabatku!” kata Anggini. “Sebaiknya lekas kau menyelidiki siapa orang-orang itu.”

“Baik, akan segera aku lakukan,” jawab Ratu Duyung.

Tapi lagi-lagi sang Ratu terkesima, tak jadi menerapkan Ilmu Menembus Pandang karena mendadak di seberang kali ada orang berteriak. “Orang yang bernyanyi di seberang kali! Apakah kau bernama Adimesa?!”

BAB 12

Tak ada jawaban. Hanya deru air terjun yang terdengar. Namun tiba-tiba ada teriakan balasan. “Kakak Adisaka! Kaukah yang diseberang sana?!”

Dua pekik keras menggema di pagi buta itu. Lalu dari atas dua pohon yang berseberangan di kiri kanan Kali Mungkung tiba-tiba melesat dua sosok, berkelebat laksana bayangan, pertanda keduanya memiliki kepandaian tinggi.

“Adimesa! Adikku!”

“Kakak Adisaka!”

Dua orang yang berkelebat dari dau pohon berseberangan, bertemu di udara, saling rangkul. Lalu melesat di pinggiran kiri Kali Mungkung, membuat gerakan berputar dan berjungkir balik di udara, di lain saat mendarat di tepi kali, masih dalam keadaan berpelukan. Satu berpakaian serba biru, satunya berbaju kuning bercelana hitam.

“Kakak Adisaka! Benarkah ini kau?!” bertanya orang berpakaian serba biru yakni Adimesa yang dikenal dengan julukan Pendekar Kipas Pelangi. Dia seperti tak percaya. Sepasang matanya pandangi pemuda berbaju kuning dihadapannya mulai dari kepala sampai ke kaki lalu dipeluknya kembali. Matanya berkaca-kaca.

“Adikku, aku memang Adisaka! Kakakmu! Siapa yang tahu nyanyian Kami Anak Desa itu kecuali kita berdua?! Adimesa adikku. Belasan tahun kita berpisah…”

“Kakak, tadinya aku mengira tak ada harapan lagi bertemu denganmu. Namun Tuhan Maha Besar. Dengan Karunia-Nya kita akhirnya dipertemukan juga. Terima kasih Tuhan. Terima kasih Gusti Allah…”

“Seorang sahabat yang panjang akal memberitahu. Jika kau ingin menguji bahwa kau ada di tempat ini mengapa aku tidak mengeluarkan senandung yang sering ktia nyanyikan di masa kanak-kanak di desa dulu? Anjurannya itu masuk akal. Aku menyanyi keras-keras. Kau mendengar dan memberikan sambutan dengan menyanyi pula! Dan kita akhirnya bertemu!”

“Sahabatmu si panjang akal itu tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi…”

“Kau akan terkejut kalau mengetahui siapa dia! Aku akan mempertemukannya denganmu…”

Tiba-tiba untuk pertama kali Adisaka menyadari apa tujuan sebenarnya berada di tempat itu. Yaitu untuk menangkap Wiro hidup-hidup sesuai perintah Dewi Ular. Tapi saat itu dia juga ingin tahu bagaimana adiknya bisa muncul di tempat itu. “Adikku, bagaimana kau bisa berada di tempat ini?”

“Panjang ceritanya. Kalau aku boleh bertanya Kakak sendiri berada di sini bagaimana pula kisahnya?" Adimesa memandang berkeliling.

Saat itu keadaan sudah terang-terang tanah. Walau agak samar-samar namun tiga gadis di atas pohon segera mengenali salah satu dari dua pemuda yang tadi saling berpelukan itu. Bidadari Angin Timur yang membuka mulut lebih dulu.

“Pemuda berpakaian kuning itu, bukankah dia keparat bernama Damar Wulung? Asli bernama Adisaka sesuai keterangan Gondoruwo Patah Hati?!”

“Tidak salah! Dia memang jahanam keji yang menculik dan hampir menodaiku!” ucap Ratu Duyung.

“Kalau begitu kita tunggu apa lagi!” kata Anggini.

Tiga gadis cantik siap hendak melesat turun dari atas pohon di tepi kali tapi serta merta urungkan niat mereka karena tiba-tiba ada dua orang melesat dari pohon di kiri kanan Kali Mungkung. Kejut tiga gadis ini bukan alang kepalang ketika mengenali siapa adanya kedua orang itu. yang berdiri di samping Damar Wulung dengan sikap congkak pongah sambil bertolak pinggang bukan lain adalah Pangeran Miring alias Pangeran Matahari. Sedang yang tegak di sebelah Adimesa alias Pendekar Kipas Pelangi adalah Pendekar 212 Wiro Sableng!

Rasa keterkejutan bercampur heran melanda orang-orang yang ada di tempat itu. Sekaligus rasa tegang ikut menggantung di udara. Kalau Wiro terkejut dan heran melihat Pangeran Matahari muncul bersama Damar Wulung maka Damar Wulung sendiri kaget dan heran melihat adiknya Adimesa muncul bersama Pendekar 212 Wiro Sableng. Berlainan dengan Pangeran Matahari, walau hatinya sebenarnya risau namun dia tetap unjukkan sikap congkak.

Murid Sinto Gendeng perhatikan sosok berpakaian hitam dengan gambar matahari merah di dada serta mantel hitam di punggung. Pakaian itu adalah pakaian Pangeran Matahari. “Betul apa yang dikatakan tiga gadis itu. Pakaiannya jelas pakaian Pangeran Matahari. Tapi wajahnya bukan wajah pangeran keparat itu!” Wiro membatin. Lalu dengan cepat matanya bergerak memperhatikan tangan kiri orang. Pendekar 212 menyeringai. Jari tangan kiri si baju hitam ternyata buntung! “Kelainan wajah bangsat durjana ini. Dia pasti mengenakan topeng tipis!” Wiro lalu menggertak dengan suara keras.

“Pangeran Matahari! Kau boleh sembunyi di balik topeng menutupi muka cacatmu! Tapi jangan kira kau bisa menipuku! Jangan harap bisa sembunyi dan lolos dari dosa besar. Kau telah merusak kehormatan dan membunuh Puti Andini! Kau juga adalah pembunuh Kinasih, istri juru ukir Keraton!”

Pangeran Matahari berkacak pinggang, dongakkan kepala lalu tertawa bergelak. “Dasar manusia sableng. Matahari belum lagi muncul penuh, kau sudah mengigau di hadapanku!”

“Aku ada bukti robekan pakaianmu dalam genggaman tangan korban!”dari balik pakaiannya Wiro keluarkan robekan kain hitam yang didapatnya dari Nyi Supi. “Sekarang kau harus mempertanggung jawabkan semua perbuatan terkutuk itu dengan nyawamu sendiri!”

Sekilas sepasang mata Pangeran Matahari memancarkan cahaya angker. “Membuktikan pembunuhan dengan secarik kain butut! Sungguh naif! Bisa saja kau sendiri yang telah memperkosa dan membunuh perempuan itu. Lalu mencari sepotong kain yang sama dengan pakaianku dan memfitnah diriku! Busuk! Buktinya di kening Kinasih kau sengaja mengguratkan angka 212 dengan kukumu! Untuk apa? Untuk menunjukkan kehebatan yang congkak dan keji?!” Pangeran Matahari meludah ke tanah. Bertolak pinggang, mendongak ke langit yang mulai terang lalu kembali tertawa gelak-gelak.

Wiro menyeringai lalu ikut-ikutan tertawa. Suara tawanya demikian keras, menindih suara tawa Pangeran Matahari dan deru air terjun. Tanah terasa bergetar. Begitu hentikan tawanya Wiro berkata lantang. “Pangeran Matahari, kau memang dikenal sebagai Pangeran Segala Cerdik, Segala Licik, Segala Akal, Segala Congkak, Segala Ilmu! Tapi ada kalanya orang cerdik berlaku lebih goblok dari orang tolol. Ada kalanya orang licik terpeleset oleh kelicikannya sendiri. Sering orang yang panjang akal jadi pendek akal karena kehabisan akal! Ha ha ha! Banyak orang berilmu jadi bodoh dalam kecongkakannya. Dan semua itu kini terjadi dengan dirimu! Kau mengatakan ada guratan angka 212 di kening Kinasih. Bagaimana kau tahu hal itu padahal kau tidak melihat sendiri jenazahnya! Bagaimana kau tahu angka 212 itu digurat dengan kuku, kalau bukan kau sendiri yang melakukannya? Pangeran Miring, kau terjebak oleh kelicikanmu sendiri! Ha ha ha!”

Rahang Pangeran Matahari menggembung. Pelipisnya bergerak-gerak. Sekujur tubuhnya terasa panas karena sadar kalau dirinya memang terjebak. Buru-buru dia membuka mulut hendak melabrak. Tapi saat itu mendadak ada suara angin menerpa, satu bayangan kuning berkelebat disusul dengan suara orang berseru.

“Aku mewakili Patih Kerajaan! Aku menjadi saksi semua pembicaraan! Kawasan air terjun Jurangmungkung telah dikurung dua ratus perajurit!”

Semua orang yang ada di tempat itu menjadi kaget. Memandang ke arah kiri kali mereka melihat seorang gadis berpakaian ringkas warna kuning berdiri di situ. Wajah cantik, rambut hitam digulung di atas kepala. Sebilah pedang baru melintang di pinggangnya. Bagaimana puteri Patih Kerajaan itu berada di tempat tersebut?

Seperti diceritakan sebelumnya Sutri merasa kecewa besar ketika mengetahui ayahnya mengirim beberapa tokoh silat Istana dan pasukan besar untuk menangkap Wiro. Dengan menunggang kuda gadis ini tinggalkan Gedung Kepatihan, berangkat menuju Mojogedang. Karena dia sendirian dan mengambil jalan pintas. Sutri berhsail mendahului rombongan pasukan Kerajaan.

“Sutri!” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala begitu mengenali siapa adanya gadis itu. dia memandang berkeliling. Saat itu hari mulai terang. Dia tidak melihat pasukan Kerajaan sekitar tempat itu karena pasukan memang masih cukup jauh di sebelah selatan.

Sutri Kaliangan terus saja memandang ke jurusan Damar Wulung dan Pangeran Matahari. Tanpa berpaling pada Pendekar 212 gadis ini berkata “Wiro apa kau masih mau bicara? Aku mewakili Patih Kerajaan menjadi saksi semua apa yang terjadi di tempat ini!”

Wiro masih garuk-garuk kepala. Dari ucapan dan gerak-gerik si gadis agaknya puteri Patih Kerajaan ini berada di pihaknya. Di atas pohon, tiga gadis memperhatikan Sutri Kaliangan. Mereka kagum melihat sikap gagah gadis berpakaian kuning itu. Tapi begitu menyadari kecantikan sang dara, Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini diam-diam dirayapi rasa cemburu.

“Kau tahu, siapa adanya gadis itu?” berbisik Anggini.

Ratu Duyung menggeleng. “Katanya dia mewakili Patih Kerajaan. Apakah memang ada seorang dara jelita dalam jajaran pasukan Kerajaan atau pasukan Kepatihan?” ujar Bidadari Angin Timur pula. Lalu menambahkan “Dari sikap dan cara bicaranya sepertinya dia telah mengenal Wiro.”

Tiga gadis di atas pohon terdiam, hanya mata masing-masing memandang ke bawah sana. Di pinggir kali Damar Wulung rangkapkan dua tangan di depan dada. Dia merasa tidak enak. Jika Sutri, puteri Patih Kerajaan itu sampai membongkar kebejatannya maka dia bisa berabe. Gadis satu ini harus segera disingkirkan. Bagaimana caranya? Damar Wulung memutar otak. Di depannya Pendekar 212 tampak sunggingkanseringai mengejek ke arah Pangeran Matahari lalu berucap lantang.

“Pangeran comberan! Ada yang memberimu nama Pangeran Miring. Kurasa itu memang pantas! Tapi sungguh aneh. Kau juga pernah memakai nama Bagus Srubud! Mengaku petinggi dari Keraton. Keraton mana?! Ha ha ha!”

Damar Wulung terkejut ketika Wiro menyebut nama Bagus Srubud karena dia pernah memakai nama itu dan dia pula yang tempo hari menyuruh Pangeran Matahari mempergunakan nama itu. Bagaimana Wiro bisa menerka? Atau memang Wiro sudah tahu banyak? Sekilas Damar Wulung melirik ke arah Pangeran Matahari yang saat itu membuka mulut menyahuti ucapan Wiro.

“Pendekar 212, murid sableng nenek gendeng dari Gunung Gede! Selama ini kau tolol-tolol saja. Kini rupanya sudah pandai bicara! Malah bicara sombong! Belasan kali kau sesumbar hendak membunuhku! Nyatanya sampai hari ini aku masih hidup! Ha ha ha!”

Dengan cerdik, Pangeran Matahari yang sudah bisa membaca keadaan menyambung ucapannya. “Aku sendirian saja kau tak pernah sanggup menghadapi. Apalagi saat ini aku bersama Damar Wulung, murid Genderuwo Patah Hati, apakah kau masih punya nyali, bicara sombong hendak menghabisiku?!”

“Wiro! Jangan takut! Biar Pangeran keparat itu membawa selusin teman kami bertiga siap membantumu!”

Satu suara melengking keras di tempat itu. lalu tiga bayangan berkelebat dari atas pohon. Sesaat kemudian Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini telah berdiri di kiri kanan Wiro. Pendekar Kipas Pelangi Adimesa selain terkagum-kagum melihat kemunculan tiga gadis itu, juga jadi terheran-heran.

“Tiga dara cantik! Luar biasa!” Pendekar Kipas Pelangi berkata dalam hati. “Inikah para gadis yang dikabarkan mencintai Wiro?”

Pemuda berkumis rapi ini melirik pada Bidadari Angin Timur. Mungkin rambutnya yang pirang menimbulkan daya tarik terhadap sang dara dibanding dua gadis lainnya. Rasa kagum dan heran Pendekar Kipas Pelangi serta merta berubah menjadi rasa kaget ketika tiba-tiba Ratu Duyung melompat ke hadapan Adisaka, membentak sambil menuding.

“Damar Wulung manusia jahanam! Jangan jual tampang tak berdosa dihadapan kami! Kami bertiga sudah tahu kebejatanmu! Kau pernah hendak memperkosaku! Kau juga telah mencuri cermin sakti milikku! Manusia sepertimu sudah saatnya ditumpas!”

Damar Wulung terkesima sampai surut satu langkah mendapat dampratan tak terduga itu. Dia cepat buka mulut untuk berkilah, tapi saat itu gadis berbaju kuning sambil cabut pedang dan melintangkan itu di depan dada melompat ke hadapannya dan bicara keras.

“Damar Wulung! Aku Sutri Kaliangan puteri Patih Kerajaan! Memberi kesaksian bahwa kau juga pernah hendak menculik diriku secara keji!”

Anggini yang sejak tadi menahan diri melompat pula ke hadapan Pangeran Matahari. “Kau membunuh Puti Andini! Kau mencideraiku! Ditambah seribu satu kejahatan yang telah kau perbuat, hari ini pintu neraka telah terbuka lebar-lebar untukmu!”

Pangeran Matahari dengan sikap pongah rangkapkan dua tangan di depan dada lalu tertawa membahak. “Dara berpakaian ungu, aku tahu kau muridnya Dewa Tuak. Yang konon dijodohkan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng! Kasihan kalau dirimu sampai jadi pasangan pemuda edan itu. Bukankah lebih baik ikut aku saja?Ha ha ha!”

“Pangeran Miring!” bentak Wiro. “Binatang saja kalau pandai bicara pasti menolak menjadi pendampingmu! Apa lagi murid Dewa Tuak ini!”

Pangeran Matahari menyeringai. “Pendekar 212, jangan cepat cemburu! Sungguh memalukan dan pengecut sekali! Ternyata dalam kesombonganmu kau berlindung di balik tiga gadis cantik! Ha ha ha…!”

“Pangeran Miring, kau boleh mengatakan diriku pengecut. Tapi kalau aku boleh bertanya mengapa kau melindungi dirimu di balik sehelai topeng? Kau takut setan neraka mengenalimu? Atau takut karena terlalu banyak musuh?!”

“Aku Pangeran Matahari tidak pernah mengenal kata takut!” jawab Pangeran Matahari sambil bertolak pinggang. Padahal sebenarnya saat itu dia tengah menghitung-hitung kekuatan. Berdua dengan Damar Wulung apakah dia sanggup menghadapi Wiro Sableng dan tiga gadis cantik yang diketahuinya berkepandaian tinggi itu? Lalu pemuda berpakaian biru berkumis kecil bernama Adimesa berjuluk Pendekar Kipas Pelangi itu, berada di pihak manakah dia?

Sementara itu Pendekar Kipas Pelangi sendiri yang sejak tadi menahan rasa keterkejutannya mendengar semua pembicaraan yang berlangsung, mendekati Wiro dan bertanya. “Sahabat Wiro, apakah ucapan gadis bermata biru tentang kakakku benar adanya?”

“Sahabatku,” jawab Wiro. “Kau boleh tidak percaya pada ucapan Ratu Duyung. Tapi jika Sutri Kaliangan puteri Patih Kerajaan ikut bicara tentang kakakmu, apakah kau masih tidak percaya?”

Wiro tatap wajah pemuda itu sesaat sambil menduga-duga, jika pecah perkelahian hebat di tempat itu, dipihak manakah pemuda ini akan berpihak? Dia hanya seorang sahabat, tetapi Adisaka alias Damar Wulung adalah kakaknya sedarah sedaging. Wiro kemudian melanjutkan ucapannya.

“Sebenarnya sejak aku ketahui Damar Wulung adalah Adisaka, mengingat persahabatan kita, apa lagi kau pernah menyelamatkan diriku, ada satu ganjalan besar dalam hatiku. Aku tak tega memberitahu semua perbuatan jahat saudaramu itu. Kini kau sudah mengetahui sendiri dari orang lain...”

“Adimesa! Jangan pecaya mulut keji Pendekar 212!” tiba-tiba Adisaka alias Damar Wulung berteriak. “Aku justru selama ini mengejarnya untuk diseret ke hadapan arwah Dewi Ular yang telah dibunuhnya!”

“Pendekar Kipas Pelangi,” kata Wiro, “Menyesal sekali aku katakan, kakakmu itulah yang menjarah rombongan pembawa harta Keraton beberapa waktu lalu. Bukan saja jatuh beberapa korban tak berosa, tapi dia merampas Keris Kiai Naga Kopek. Aku menerima apesnya, kena dituduh sebagai pencuri keris pusaka itu!”

“Penipu busuk! Kau memutar balik kenyataan! Kaulah yang telah membunuh para perampok hutan Roban pimpinan Warok Mata Api. Kau juga yang menjarah harta perhiasan, uang emas dan Keris Kiai Naga Kopek. Kini kau tuduh aku yang melakukan!” teriak Damar Wulung menggeledek.

Wiro menggeram dan memaki dalam hati mendengar kata-kata beracun Damar Wulung itu. Kalau saja Kinasih masih hidup, dia bisa menjadi saksi atas keterlibatan langsung Damar Wulung dalam peristiwa perampokan harta bendamilik Kerajaan.

“Benar, aku tahu sekali ceritanya!” Pangeran Matahari menimpali. “Keris Kiai Naga Kopek memang dijarah oleh Pendekar 212 Wiro Sableng! Kini pasukan Kerajaan mencarinya karena sudah dicap sebagai buronan!”

“Sahabat Wiro, bagaimana ini? Mana yang benar…?” Pendekar Kipas Pelangi bertanya.

“Adimesa, aku tahu pemuda itu adalah kakakmu! Kau mungkin lebih mempercayai dirinya dari pada aku. Tapi aku akan segera membuktikan bahwa Keris Kiai Naga Kopek memang ada padanya. Saat ini senjata itu diselipkan di pinggang kiri sebelah belakang…”

“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Pendekar Kipas Pelangi.

“Aku barusan menerapkan Ilmu Menembus Pandang…”

Semakin bingung Pendekar Kipas Pelangi. Dia berpaling pada kakaknya. “Kakak Adisaka, benarkah…”

“Adimesa! Kau adikku! Kau percaya padanya atau padaku? Kau berada di pihak siapa? Lekas berdiri di sebelahku! Perlu apa kau berdampingan dengan jahanam keparat itu!”

“Kakak, aku ingin kejujuranmu. Benarkah…?”

Damar Wulung menggeram marah. Dia dorong dada adiknya hingga Adimesa terjajar hampir jatuh. Wiro cepat menahan tubuh Adimesa hingga pemuda ini tak sampai jatuhke tahah.

“Damar Wulung! Aku harap kau segera menyerahkan Keris Kiai Naga Kopek untuk aku kembalikan pada Kerajaan!”

Damar Wulung kerenyitkan kening mendengar kata-kata Wiro itu. “Kau mau jadi pahlawan kesiangan? Padahal kau sebenarnya seorang buronan! Hendak berbuat jasa pada Kerajaan agar segala dosamu diampuni? Ha ha ha!”

“Aku tahu keris pusaka itu ada padamu. Kau sisipkan di pinggang sebelah kiri belakang!” kata Wiro pula.

Sebelumnya Wiro telah menerapkan Ilmu Menembus Pandang hingga dia mampu melihat kalau senjata pusaka Keraton itu yang memang tersisip di pinggang belakang Damar Wulung. Selain itu Wiro juga melihat sebuah benda bulat berkilat terselip di bagian depan perut Damar Wulung. Benda ini adalah cermin sakti milik Ratu Duyung yang dicuri Damar Wulung sewaktu menculik gadis bermata biru itu.

“Otakmu culas! Mulutmu busuk! Kalau kau menuduh aku memiliki keris itu, silahkan ambil sendiri!” kata Damar Wulung.

“Atas nama Kerajaan aku harap kau menyerahkan Keris Naga Kopek padaku!” Tiba-tiba Sutri Kaliangan melompat ke hadapan Damar Wulung.

Damar Wulung tertawa bergelak “Ini satu lagi gadis sesat kena tipu daya Pendekar Sableng! Aku menghormati dirimu sebagai Puteri Patih Kerajaan. Jika kau mau berlaku adil, mengapa tidak menangkap Wiro yang jelas-jelas adalah buronan Kerajaan?!”

“Aku tidak mau tahu hal dia buronan atau bukan. Serahkan Keris Naga Kopek padaku!” bentak Sutri.

“Ha ha ha! Rupanya kau termasuk di barisan para gadis cantik yang jatuh cinta pada Pendekar Geblek itu!”

“Sreett!”

Sutri Kaliangan keluarkan pedangnya dari dalam sarung. Tangan kiri melintangkan pedang didepan dada sementara tangan kanan diangsurkan ke arah Damar Wulung.

“Kalau kau inginkan keris yang tak ada padaku, apakah ini berarti sebenarnya kau inginkan diriku?!” ujar Damar Wulung lalu tertawa bergelak. Pangeran Matahari ikut-ikutan tertawa.

Saat itulah satu suara membentak menggetarkan seantero tempat. “Adisaka! Serahkan Keris Kiai Naga Kopek pada puteri Patih Kerajaan. Dan kau ikut aku ke pertapaan!”

BAB 13

Belum habis kejut Damar Wulung tahu-tahu seorang nenek bermuka seram, berpakaian hitam telah berdiri di hadapannya, memandang dengan garang. Sesaat nenek ini melirik ke arah Wiro dan Ratu Duyung, dua orang yang telah dikenalnya dan pernah ditolongnya.

Di atas pohon kakek bermata jereng, berkuping lebar dan bau pesing yang bukan lain adalah Setan Ngompol tusukkan sikutnya ke pinggang bocah breambut jabrik dan berkata. “Naga Kuning, melihat nenek seram itu aku ingat ceritamu. Apa dia Gondoruwo Patah Hati, asli bernama Ning Intan Lestari?”

Naga Kuning mengangguk. Matanya memandangi si nenek tak lepas-lepas. Sambil pencongkan mulutnya Setan Ngompol kembali berkata “Kalau cuma nenek lampir seperti itu perlu apa kau sukai. Padahal masih banyak perempuan yang bisa kau gaet. Janda muda bertebaran di mana-mana…”

Naga Kuning tertawa lebar. “Dia bukan sembarang nenek. Kalau sudah kau lihat wajahnya...”

“Dari tadi aku sudah melihat wajahnya. Kurasa, maaf bicara, pantatku masih lebih bagus dari mukanya. Hik hik hik!” habis tertawa kakek ini langsung kucurkan air kencing.

“Kakek sial…” maki Naga Kuning lalu meremas paha Setan Ngompol hingga kakek ini terpekik kesakitan dan makin mancur air kencingnya.

“Guru…!” ujar Damar Wulung seraya membungkuk hormat.

“Aku tak perlu segala basa-basi sopan santun! Lakukan apa yang barusan aku katakan. Serahkan senjata pusaka Keraton pada puteri Patih Kerajaan. Setelah itu kau ikut aku! Cepat!”

“Guru, aku…”

Gondoruwo Patah Hati tampak mulai hilang kesabarannya. Saat itulah Pangeran Matahari mendekati Damar Wulung dan membisikkan sesuatu. Ketika sang guru mendatanginya, Damar Wulung cepat membungkuk seraya berkata,

“Guru, kalau memang itu maumu, aku menurut saja. Keris Kiai Naga Kopek tidak ada padaku. Aku siap menuruti perintah, mengikutimu ke pertapaan…”

“Enak betul!” berteriak Ratu Duyung. Gadis ini segera melompat ke hadapan Damar Wulung.

“Mana bisa begitu!” berseru Bidadari Angin Timur. Sekali bergerak dia sudah berada tiga langkah di hadapan pemuda yang pernah hampir menodainya.

Melihat hal ini Pangeran Matahari tak tingal diam, dia melompat mendampingi Damar Wulung. Anggini yang menaruh dendam paling besar terhadap sang Pangeran segera maju menghadang gerakan orang.

Adimesa, alias Pendekar Kipas Pelangi sesaat tampak bingung. Namun di lain saat pemuda ini cepat bergerak mendapingi kakaknya. Melihat gerakan Pendekar Kipas Pelangi, Wiro segera maju lalu berdiri di samping Gondoruwo Patah Hati, menghadap ke arah Pangeran Matahari dan Damar Wulung.

Sutri Kaliangan tak tinggal diam. Gadis ini ikut maju. Pedangnya yang telah terhunus ditukik ke tanah. Jika dikehendaki senjata ini bisa mencuat membabat ke atas, membelah tubuh Damar Wulung!

“Kalian semua dengar! Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah!” tiba­-tiba Gondoruwo Patah Hati berseru keras. Dia lalu memandang pada Ratu Duyung dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu berkata,

“Kita bersahabat. Bukan aku mengungkit segala budi pertolongan di masa lampau. Tapi apakah hal itu tidak bisa menjadi pertimbangan kalian berdua untuk menghentikan semua ini? Aku tahu muridku punya dosa dan kesalahan besar. Itu sebabnya aku membawanya kembali ke pertapaan untuk dihukum!”

Ratu Duyung memandang pada Wiro. Pendekar 212 jadi garuk-garuk kepala. “Adisaka! Jika keris pusaka Keraton itu memang tidak ada padamu, jangan banyak cingcong! Ikuti aku sekarang. Tinggalkan tempat ini!”

“Ning Intan Lestari!” tiba-tiba ada suara dari atas pohon. “Maksudmu baik. Tapi muridmu pergunakan maksudmu untuk mencari kesempatan. Meloloskan diri dari pertanggungan jawab semua kejahatan yang pernah dibuatnya!”

Gondoruwo Patah Hati tersentak kaget ada orang yang menyebut nama aslinya. Dia rasa-rasa mengenali suara itu. Ini membuat sinenek jadi bergetar dadanya. Dia ingin kepastian lalu berteriak. “Siapa yang bicara?! Mengapa tidak berani unjukkan diri?!”

Baru saja suara si nenek lenyap, dari atas sebuah pohon melayang turun sosok seorang anak kecil berambut jabrik berpakaian hitam. Di belakangnya mengikuti sosok seorang tua menebar bau pesing.

“Jahanam kurang ajar! Pasti tua bangka itu yang mengencingi mulutku!” rutuk Pangeran Matahari. Dia segera hendak mendekati Setan Ngompol namun niatnya dibatalkan ketika dilihatnya Damar Wulung memberi isyarat agar dia jangan meninggalkan tempat.

“Naga Kuning! Setan Ngompol!” seru murid Sinto Gendeng.

Naga Kuning cibirkan mulut sedang Setan Ngompol lambaikan tangan sambil senyum-senyum cengengesan. Naga Kuning memandang pada Gondoruwo Patah Hati.

“Nek, apakah ucapanku tadi salah?"

Setelah melihat siapa yang ada di hadapannya dan bicara padanya sinenek jadi salah tingkah. “Naga Kuning...” katanya perlahan. “Jadi dugaanku tidak meleset. Anak ini memang dia adanya…”

Si bocah dekati Gondoruwo Patah Hati dan berkata. “Kita sudah sama-sama tua, mengapa mencampuri urusan orang-orang muda? Biar saja mereka menyelesaikan urusan mereka.”

“Mana bisa begitu, Gunung?” ujar si nenek.

Naga Kuning tersenyum mendengar si nenek menyebut nama aslinya. “Kau masih ingat namaku itu. Cuma sayang, agaknya saat ini kita tidak berada di pihak yang sama…”

Gondoruwo Patah Hati sesaat tampak sedih.

“Intan, jika kau hanya menuruti kemauanmu sendiri, harap kau melihat sekelilingmu. Saat ini dua sisi kali sudah dikurung rapat. Kita berada di tengah-tengah.”

Gondoruwo Patah Hati terkejut mendengar ucapan Naga Kuning. Dia memandang berkeliling dan jadi lebih terkejut. Ternyata tempat itu memang telah dikurung oleh banyak sekali perajurit Kerajaan. Beberapa orang tampak menunggangi kuda besar. Mereka adalah para tokoh silat Istana.

Dua dari orang-orang berkuda ini melompat turun dari tunggangannya lalu melangkah cepat ke tempat di mana Gondoruwo Patah Hati dan yang lain-lainnya berada. Di sebelah kanan adalah Tumenggung Cokro Pambudi. Di sampingnya melangkah cepat sosok berjubah kelabu Hantu Muka Licin Bukit Tidar.

Tumenggung Cokro Pambudi, diikuti Hantu Muka Licin berhenti tepat dihadapan Damar Wulung. Melirik ke samping sang Tumenggung melihat Sutri Kaliangan, membuatnya kaget. Bagaimana gadis ini bisa berada di tempat ini, pikir Tumenggung Cokro. Lalu dia menuding ke arah Damar Wulung.

“Pemuda bernama Damar Wulung! Kau orangnya yang tempo hari datang ke tempat kediamanku membawa harta Kerajaan serta Keris Kiai Naga Kopek yang dijarah. Kau memberikan keris itu padaku seolah hendak berbuat jasa besar pada Kerajaan. Tapi ternyata senjata itu palsu! Hanya sarungnya saja yang asli! Mana keris yang asli? Serahkan padaku!”

“Tumenggung, aku tak ingat apakah aku pernah berkunjung kerumahmu,” jawab Damar Wulung licik. “Tapi jika kau mencari Keris Kiai Naga Kopek, tanyakan pada Pendekar 212. Dialah yang mencuri pusaka Keraton itu! Seharusnya dia yang segera kau tangkap. Bukankah dia buronan Kerajaan? Dan nenek ini, dia juga buronan Kerajaan!”

Gondoruwo Patah Hati kaget besar, tidak menyangka muridnya akan bicara seperti itu.

“Kurang ajar!” maki Pendekar 212 Wiro Sableng. “Aku akan perlihatkan di mana keris itu beradanya!” Lalu sekali berkelebat Wiro melompat ke arah Damar Wulung. Tangannya menyambar ke pinggang si pemuda.

“Sebelum kau sentuh tubuhku, biarku sentuh dulu kapalamu!” bentak Damar Wulung. Tangan kanannya memancarkan cahaya biru lalu dihantamkan ke arah kepala Pendekar 212.

“Pukulan Batunaroko!” seru Gondoruwo Patah Hati. “Adisaka! Aku mengharamkan kau mempergunakan pukulan itu!”

“Kalau begitu biar aku kembalikan kepadamu!” teriak Damar Wulung.

Tanagnnya sebelah kiri bergerak. Seperti tangan kanan yang dihantamkan ke kepala Wiro, tangan kiri yang dipukulkan ke kepala si nenek memancarkan sinar biru. Ini satu pertanda bahwa Damar Wulung melancarkan pukulan maut bernama Batunaroko yang sangat dahsyat. Jangankan kepala manusia, batu karangpun akan amblas hancur terkena pukulan ini!

Mengapa pemuda ini menjadi nekad dan tega hendak membunuh gurunya sendiri? Lain tidak karena dia merasa tak akan bisa lolos dari tangan si nenek. Cepat atau lambat, tidak sekarang, nanti-nanti orang tua itu pasti akan terus mengejar dan menjatuhkan hukuman atas dirinya.

Gondoruwo Patah Hati terkesiap kaget. Tidak menyangka kalau sang murid akan menjatuhkan tangan jahat terhadapnya. Hanya tinggal sejengkal pukulan itu akan menghancurkan kepalanya dia masih saja melotot diam terkesima.Tiba-tiba satu tangan menarik pinggangnya. Tubuh si nenek terbetot ke kiri.

“Bertahun-tahun kau menghabiskan waktu mencariku, berusaha menyingkapkan teka teki rasa antara kita. Kini mengapa bersikap seperti mau bunuh diri di depan mata?!” Orang yang menarik si nenek keluarkan ucapan.

Gondoruwo Patah Hati segera palingkan kepala. “Gunung… Terima kasih. Aku barusan memang berlaku ayal. Pertemuan ini, perbuatan muridku, semua membuat aku jadi kacau pikiran dan berat perasaan…”

Naga Kuning turunkan tubuh si nenek ke tanah. Sambil senyum-senyum dia berkata. “Biarkan orang-orang itu menyelesaikan urusan mereka. Kita yang tua-tua kali ini terpaksa hanya memperhatikan…”

“Gunung, bagaimana kau tahu aku Ning Intan Lestari?”

“Huss! Nanti saja kita bicarakan hal itu…” Jawab Naga Kuning.

“Tidak, aku ingin mendengar jawabanmu sekarang juga!” kata sinenek pula. Naga Kuning tertawa. “Kau masih saja seperti dulu. Tidak sabaran, keras hati dan tegas!”

“Aku memang tidak pernah berubah, Gunung.”

“Aah… Syukurlah. Baik, aku memberitahu. Sejak pertemuan kita yang pertama di Banyu anget dulu itu, Aku menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Berusaha mendapatkan keterangan. Dia tidak bicara banyak. Tapi dari sikapnya itu aku justru mengetahui kalau nenek muka setan berjuluk Gondoruwo Patah Hati itu sebenarnya memang adalah Ning Intan Lestari...”

Baru saja Naga Kuning berkata begitu tiba-tiba satu bayangan biru berkelebat disertai terdengarnya ucapan lantang. “Berdua-duaan bermesraan dikala maut gentayangan mencari kematian, sungguh perbuatan mahluk-mahluk pendek pikiran!”

Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning cepat berpaling. Di hadapan mereka berdiri seorang kakek berwajah jernih, berpakaian ringkas.

“Rana Suwarte…” ucap Naga Kuning dan si nenek hampir berbarengan. Kakek ini adalah orang yang mencintai Gondoruwo Patah Hati sejak masa muda remaja tapi si nenek tidak dapat menerima cinta Rama Suwarte karena hatinya telah tertambat pada Gunung alias Naga Kuning. Sampai-sampai Rana Suwarte meminta pertolognan Kiai Gede Tapa Pamungkas yang adalah ayah angkat si nenek, tetap saja perempuan itu tidak bisa menerima kehadiran Rana Suwarte sebagai pendamping dirinya.

Penolakan ini telah menimbulkan dendam luar biasa dalam diri Rana Suwarte terhadap Naga Kuning. Jika dia tidak bisa mendapatkan Ning Intan Lestari maka Naga Kuning juga tidak akan mendapatkan perempuan itu. Rana Suwarte menyusun rencana untuk melenyapkan Naga Kuning. Salah satu caranya ialah denan bergabung dengan orang-orang Kerajaan.

Riwayat lebih jelas mengenai Ning Intan Lestari harap baca Episode sebelumnya berjudul “ Gondoruwo Patah Hati

Sutri Kaliangan yang sudah merasa bahwa perkelahian hebat akan segera terjadi di tempat itu, berseru keras. “Atas nama Patih Kerajaan harap semua tokoh silat Istana jangan mencampuri urusan di tempat ini!”

Tumenggung Cokro Pambudi dan Hantu Muka Licin hentikan langkah mereka mendekati Damar Wulung.

“Den Ayu Sutri, saya rasa kau tidak punya wewenang mengeluarkan ucapan itu…” berkata Tumenggung Cokro Pambudi.

Dari balik pakaian kuningnya Sutri Kaliangan mengeluarkan selembar kertas dan memperlihatkannya pada Tumenggung Cokro Pambudi. Tapi kertas itu diperlihatkan hanya dari jauh.

“Ini wewenang yang diberikan oleh Patih Kerajaan padaku! Apakah Paman Tumenggung berani membantah?” Sutri menggertak. Padahal surat itu palsu belaka!

Hantu Muka Licin Bukit Tidar yang sebenarnya sudah letih mengurusi perkara seperti ini dan lebih suka bersenang-senang di Kotaraja berbisik. “Tumenggung Cokro, sebaiknya kita mengundurkan diri saja, kembali bergabung dengan pasukan. Perlu apa bersusah payah? Kalau Keris Kiai Naga Kopek itu memang ada pada pemuda bernama Damar Wulung, bukankah lebih baik kita mempergunakan tangan orang lain untuk mendapatkannya?”

Setelah berpikir cepat Tumenggung Cokro akhirnya menjawab. “Benar juga. Mari kita menjauh, kembali ke pasukan. Tapi kita tetap harus mengurung kawasan ini!”

Kalau dua tokoh Istana itu mengundurkan diri, lain halnya dengan Rana Suwarte. Kakek bermuka jernih yang dilanda cinta dibarengi dendam membara ini melesat ke arah Naga Kuning.

“Budak keparat! Salah satu di antara kita harus disingkirkan dai muka bumi ini!” Habis berkata begitu Rana Suwarte langsung lancarkan satu tendangan ke dada si bocah.

Setan Ngompol yang sejak tadi diam saja, melihat Naga Kuning diserang serta merta memotong gerakan Rana Suwarte. “Tua bangka edan! Tidak tahu malu beraninya melawan anak kecil! Aku lawanmu!” bentak Setan Ngompol lalu tertawa bergelak dan serrrr, kucurkan air kencing.

“Sobatku mata jereng bau pesing!” kata Naga Kuning. “Siapa bilang aku anak kecil? Pasang mata kalian baik-baik!”

Si bocah berambut jabrik putar-putar lehernya. Kepala digoyang-goyangkan. Tiba-tiba ada asap tipis mengepul dari batok kepala anak itu. ketika dia mengusap wajahnya satu kali, wajah itu berubah menjadi wajah seorang tua berambut putih, alis dan kumis serta janggut putih. Sosoknya juga bukan sosok anak kecil lagi tapi berubah besar menjadi sosok orang tua.

Gondoruwo Patah Hati terkesiap. Puluhan tahun dia tidak pernah melihat ujud asli orang yang dikasihinya itu. sepasang matanya berkaca-kaca. Setan Ngompol kaget bukan kepalang. Kakek ini memang sudah tahu kalau Naga Kuning sebenarnya adalah seorang tua berusia hampir seratus dua puluh tahun. Tapi selama ini dia belum pernah melihat wajah dan sosok asli sahabatnya yang selalu konyol itu.

“Gila! Kau ini mahluk jejadian atau apa…” kata Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah perutnya yang tambah gencar mengucurkan air kencing.

Lain halnya dengan Rana Suwarte. Kakek bermuka jernih ini serta merta menjadi pucat. “Kiai Paus Samudera Biru…” ucapnya dengan suara gemetar. Tendangannya jadi tertahan. Nyalinya untuk meneruskan perkelahian jadi leleh.

Selama ini dia hanya tahu kalau Naga Kuning itu ujudnya adalah seorang kakek yang jadi saingannya dalam memperebutkan cinta Ning Intan Lestari. Dia tidak mengetahui kalau si kakek sebenarnya adalah orang berjuluk Kiai Paus Samudera Biru yang memiliki kesaktian jauh di atasnya. Untuk tidak kehilangan muka Rana Suwarte buru­buru berkata,

“Tugasku sebenanya mengejar dan menangkap Pendekar 212 Wiro Sableng. Gunung, urusan kita biar diselesaikan kemudian hari saja.” Lalu Rana Suwarte tinggalkan tempat itu, kembali bergabung dengan para tokoh silat Istana lainnya.

Kiai Paus Samudera Biru hendak mengejar tapi cepat dicegah oelh Ning Intan Lestari. “Tak usah dikejar Gunung. Aku lebih suka kita cepat-cepat meninggalkan tempat ini…”

“Aku setuju saja. Dengan dua syarat,” jawab Kiai Paus Samudera Biru. “Pertama kita tunggu sahabatku Wiro menyelesaikan urusannya dengan Damar Wulung dan Pangeran Matahari. Kedua aku ingin agar kau membuka dan membuang topeng tipis yang selama ini selalu menutupi wajah aslimu yang cantik…”

“Astaga,” kejut si nenek muka setan. “Bagaimana kau tahu?”

Naga Kuning alias Kiai Paus Samudera Biru hanya tersenyum. Sambil kedipkan mata dia berkata. “Aku seorang Kiai, apa pantas berdampingan dengan setan perempuan. Padahal setan perempuan itu sebenarnya seorang perempuan secantik bidadari?”

Ning Intan Lestari menahan tawa cekikikan. Tangan kirinya menyambar mencubit lengan orang yang dicintainya tu.

BAB 14

Kembali pada perkelahian awal antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Damar Wulung. Ketika melihat tangan kanan lawan yang memukul memancarkan cahaya biru, murid Eyang Sinto Gendeng itu segera maklum kalau Damar Wulung melancarkan satu pukulan sangat berbahaya. Karena yang diincar adalah kepala, maka berarti pukulan itu sangat mematikan!

Apalagi tadi dia mendengar Gondoruwo Patah Hati berseru agar Damar Wulung tidak mempergunakan ilmu pukulan yang disebut batunaroko itu. Dengan cepat Wiro geser kuda-kuda kedua kakinya, rundukkan kepala lalu dari bawah kirimkan pukulan tangkisan. Dia sengaja memilih bagian lengan lawan yang tidak berwarna biru. Begitu terjadi bentrokan dua lengan dia akan keluarkan ilmu Koppo, yaitu ilmu menghancurkan tulang yang didapatnya dari Nenek Neko.

Mengenai kisah Wiro Sableng mendapatkan ilmu Koppo dapat dibaca dalam episode Sepasang Manusia Bonsai

“Bukkk!” Dua lengan beradu di udara mengeluarkan suara keras. Damar Wulung berseru kaget ketika dapatkan dirinya mencelat ke udara setinggi satu tombak membuat Wiro tidak bisa mengirimkan serangan lanjutan dengan ilmu Koppo. Wiro sendiri terempas ke bawah, hampir jatuh duduk di tanah kalau tidak cepat menopangkan tangan kirinya.

Bentrokan lengan itu menyadarkan Damar Wulung bahwa tenaga dalam Pendekar 212 tidak berada di bawahnya, juga tidak berada di bawah Pangeran Matahari yang telah dijajalnya sebelumnya. Walau hatinya agak tergetar tapi selama hanya Wiro yang dihadapinya dia merasa yakin akan dapat menghabisi lawan. Maka Damar Wulung keluarkan jurus-jurus ilmu silatnya yang paling hebat sementara kedua tangan sudah dipasangi aji kesaktian pukulan Batunaroko!

Lima jurus pertama Wiro masih sanggup mengimbangi lawan sambil sesekali susupkan serangan balasan. Namun dua kepalan Damar Wulung yang sangat mematikan itumembuat Wiro tidak bisa bergerak leluasa karena dia harus berlaku sangat hati-hati. Meleset perhitungan sedikit saja dan salah satu tinju lawan mengenai dirinya, celekalah dia.

Untuk membentengi diri dari serbuan Damar Wulung yang kelihatan kalap ingin cepat-cepat menghabisi dirinya, Wiro keluarkan jurus-jurus ilmu silat orang gila yang dipelajarinya dari Tua Gila, dipadu dengan jurus-jurus silat langka dari Kitab Putih Wasiat Dewa.

Jurus Tangan Dewa Menghantam Matahari, Tangan Dewa Menghantam Batu Karang, Tangan Dewa Menghantam Rembulan serta Tangan Dewa Menghantam Air Bah keluar silih berganti.

Lama-lama Damar Wulung mulai kewalahan. Dia berusaha keras agar salah satu jotosannya mampu mendarat di tubuh atau kepala lawan. Tapi usahanya sia-siasaja karena gerakan­gerakan pertahanan dan serangan lawan tidak terduga. Apalagi dia tidak mungkin mengerahkan tenaga dalam secara terus menerus pada dua tangannya karena akan menguras seluruh tenaganya.

Memasuki jurus ketiga puluh Damar Wulung terdesak hebat. Keringat membasahi pakaiannya. Tengkuknya terasa dingin. Beberapa kali serangan lawan hampir bersarang di tubuhnya. Ketika memasuki jurus tiga puluh empat, Damar Wulung robah permainan silatnya. Kalau sebelumnya dia mengandalkan dua kepalan, kini secara tak terduga sepasang kakinya ganti memegang peranan. Pada jurus ketiga puluh delapan tendangannya berhasil melanda perut Pendekar 212!

Tak ampun lagi tubuh Wiro terlipat lalu terjerembab ke depan. Saat itu tangan kanan Damar Wulung datang menderu ke arah keningnya. Tangan itu memancarkan cahaya biru terang pertanda Damar Wulung sengaja mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Wiro tak punya kesempatan untuk mengelak. Tangan kirinya memegangi perut yang terasa seperti jebol amblas!

Satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri adalah mempergunakan tangan kanan untuk menangkis. Sekali ini mungkin Wiro tidak mampu menangkis dengan memukul lengan lawan yang tidak berwarna biru. Jika hal itu sampai terjadi berarti dia akan dihantam pukulan Batunaroko!

Setan Ngompol terkencing-kencing begtu melihat dan menyadari bahaya yang dihadapi Wiro. Kakek bermata jereng ini siap melompat memasuki kalangan perkelahian dengan melancarkan jurus Setan Ngompol Mengencingi Langit. Namun sebelum maksudnya kesampaian di depan sana telah terjadi sesuatu yang hebat!

Hanya satu kejapan mata lagi dua tangan akan beradu, Pendekar 212 Wiro Sableng tiup tangan kanannya. Di permukaan telapak tangan yang terkepal serta merta muncul gambar kepala harimau putih bermata hijau. Itulah gambar harimau Datuk Rao Bamato Hijau, harimau gaib pelindung Wiro.

“Bukkk!” Dua jotosan beradu di udara. Pukulan Batunaroko yang dilancarkan Damar Wulung baku hantam dengan Pukulan Harimau Dewa yang dilepaskan Pendekar 212 Wiro Sableng.

Jeritan setinggi langit merobek deru air terjun melesat keluar dari mulut Damar Wulung. Tubuhnya terpental ke udara lalu terguling-guling di tanah. Sebuah benda bulat berkilau tersembul dari pakaiannya lalu jatuh ke tanah. Ternyata cermin sakti milik Ratu Duyung. Melihat cermin miliknya tergeletak di tanah Ratu Duyung cepat mengambilnya.

Wiro sendiri mengeluh keras, terhenyak jatuh duduk di tanah dan ketika dia memperhatikan tangan kanannya ternyata beberapa jari tangan itu telah terkelupas kulitnya dan mengepulkan asap ke biru-biruan. Sesaat tangan kanannya terasa kaku, aliran darah tak karuan dandada mendenyut sesak.

Damar Wulung sendiri tangan kanannya tidak berbentuk tangan lagi. Sampai sebatas lengan, tangan itu hancur mengerikan, mengepulkan asap kebiru-biruan.

Bagaimanapun kemarahan Gondoruwo Patah Hati terhadap muridnya itu namun si nenek tidak tega melihat cidera derita yang dialami Damar Wulung. Dia hendak memburu sang murid. Tapi Kiai Paus Samudera Biru alias Naga Kuning alias Gunung memegang lengannya seraya berkata,

“Intan, apapun yang terjadi dengan muridmu ikhlaskan saja. Mungkin semua itu merupakan hukuman atas segala perbuatannya di masa lalu…”

Begitu berdiri Wiro segera mengejar ke arah Damar Wulung yang sambil menggerung kesakitan berusaha bangun. Damar Wulung baru setengah duduk ketika Wiro sampai dan susupkan tanan kirinya ke arah pinggang pemuda itu. Tangannya menyentuh sesuatu, segera diambil. Ternyata sebilah keris bergagang emas. Keris Kiai Naga Kopek!

Ketika Wiro mengejar Damar Wulung dan gerakkan tangannya, Adimesa alias Pendekar Kipas Pelangi mengira Wiro hendak menghabisi saudaranya itu. Bagaimanapun juga, siapa orangnya yang berdiam diri saja melihat saudaranya sedarah sedaging hendak dihabisi musuh. Dengan gerakan kilat Adimesa keluarkan kipas saktinya dari balikbaju. Kipas dibuka. Sambil diarahkan pada Wiro, Adimesa masih punya hati baik untuk berteriak memberi ingat.

“Wiro! Lihat serangan!” Kipas sakti digerakkan. Tujuh sinar pelangi berkiblat.

“Wuuuuusss!”

Di depan sana Pendekar 212 yang telah memegang Keris Kiai Naga Kopek jatuhkan diri ke tanah. Sebagian tubuhnya terlindung di belakang sosok Damar Wulung. Pada saat itulah tujuh sinar pelangi datang melabrak! Tubuh Wiro dan tubuh Damar Wulung mencelat sampai dua tombak lalu jatuh bergedebukan di tanah. Kalau Wiro masih bisa bangkit berdiri walau sekujur tubuhnya terasa bergetar, namun Damar Wulung tetap terkapar di tanah. Pakaiannya hancur, sekujur badannya kelihatan memar. Dari hidung, mulut dan liang telinga darah mengucur.

Pendekar Kipas Pelangi keluarkan gerungan keras. “Kakak Adisaka!” jeritnya lalu lari dan jatuhkan diri di samping sosok saudaranya itu.

Di tempatnya berdiri Gondoruwo Patah Hati hanya bisa tundukkan kepala dan teteskan air mata.

“Kakak! Aku… aku tak bermaksud mencelakaimu! Aku… Gusti Allah, aku telah membunuh kakakku sendiri! Besar sekali dosaku!” Terisak-isak Adimesa peluki tubuh kakaknya. “Kakak… Kakak Adisaka, jangan mati Kak!” Adimesa letakkan kepala kakaknya di atas pangkuan, membelai rambut lalu mengusap darah yang membasahi wajah kakaknya.

Wiro masih tegak memegangi Keris Kiai Naga Kopek, setengah tertegun. Mukanya pucat, Sutri Kaliangan tahu-tahu berdiri di hadapannya.

“Wiro, kau berhasil membuktikan bahwa dirimu bukan pencuri keris pusaka ini…”

Wiro mengangguk perlahan. “Senjata pusaka sakti ini menyelamatkan aku dari serangan kipas sakti Pendekar Kipas Pelangi.”

Wiro memandang sesaat ke arah sosok Adisaka yang tergolek di atas pangkuan adiknya. Lalu dia ulurkan tangan, menyerahkan keris emas itu kepada Sutri.

“Aku minta bantuanmu untuk menyerahkan keris pusaka ini pada Sri Baginda di Istana. Jangan lupa menceritakan semua apa yang terjadi di tempat ini.” Sutri Kaliangan mengangguk. “Masih ada satu hutangku padamu. Mengobati sakit ayahmu. Selesai urusan gila di tempat ini aku akan berusaha melunasi hutang itu. aku sudah tahu obatnya, tinggal mencari saja.”

“Aku percaya kau tak akan ingkar janji,” kata puteri Patih Kerajaan itu. Keris Kiai Naga Kopek disimpannya di balik pakaian kuningnya lalu gadis ini menemui tiga gadis lainnya.

Pangeran Matahari menjadi kaget. Dia sedang asyik menyaksikan perkelahian antara Wiro dengan Damar Wulung ketika beberapa orang berkelebat dan tahu-tahu empat gadis cantik telah mengurung dirinya yaitu Bidadari Angin Timur, Anggini, Ratu Duyung dan Sutri Kaliangan.

Tapi dasar licik dan panjang akal, sang Pangeran sunggingkan senyum. “Empat gadis cantik, kalian mau berbuat apa? Mau bicara, mengajakku ke satu tempat untuk bersenang-senang? Hemmm… tempat ini memang kurang pantas untuk kita. Ha ha ha!”

“Pangeran keparat!” bentak Ratu Duyung. “Banyak arwah menunggumu di alam barzah!”

“Sudah mau mampus masih bicara ngaco!” damprat Bidadari Angin Timur.

Anggini tidak banyak bicara. Gadis ini loloskan selendang ungunya. Selendang ini adalah senjata andalannya. Dengan pengerahan tenaga dalam benda yang lembut ini bisa menjadi sekukuh tombak atau pentungan, bisa juga berubah setajam pedang. Sutri Kaliangan yang sejak tadi sudah memegang pedang telanjang mendatangi dari samping kiri. Ratu Duyung siap menggebrak dengan cermin saktinya.

“Wah… wah! Kalian empat gadis cantik mau mengeroyokku? Apa tidak salah tempat dan waktu? Bagaimana kalau kalian mengeroyokku di atas ranjang saja nanti?! Ha ha ha!”

“Manusia jahanam!” teriak Anggini.

“Laknat terkutuk!” teriak Sutri Kaliangan.

Pangeran Matahari masih terus tertawa-tawa. “Empat gadis mengeroyokku, sungguh luar biasa! Mari mendekat. Ayo serang! Aku ingin sekali menjamah tubuh kalian!”

Empat gadis keluarkan suara merutuk marah lalu tanpa banyak bicara lagi mereka segera menyerbu Pangeran Matahari. Ternyata yang menyerang sang Pangeran bukan cuma empat gadis itu karena tiba-tiba entah dari mana datangnya satu mahluk tinggi besar berambut merah berwajah singa telah melesat ke dalam kalangan pertempuran dan ikut menyerang. Mahluk ini bukan lain adalah Singo Abang, yang pernah menyelamatkan Pangeran Matahari dan juga mengambilnya sebagai murid.

Pangeran Matahari tahu gelagat. Empat gadis yang menyerangnya, di balik kecantikan dan keelokan lekuk tubuh mereka tersimpan ilmu silat tinggi, tersembunyi kesaktian dahsyat mematikan. Apalagi kini muncul Singo Abang, sang guru yang berubah menjadi musuh besarnya. Lalu di sebelah sana Pendekar 212 Wiro Sableng dilihatnya melangkah mendatangi.

“Pengeroyok licik! Lihat serangan!” Pangeran Matahari berteriak. Dua tangan dihantamkan ke depan, membuka serangan balasan. Dia lancarkan pukulan Dua Singa Berebut Matahari. Lalu susul dengan pukulan Gerhana Matahari. Anehnya serangan itu tidak diarahkan pada lima lawannya tapi dihantamkan ke tanah kering di pinggiran kali serta sederetan pohon.

Suara pohon tumbang menggemuruh. Daun-daun yang rontok begitu banyak, menutupi pemandangan. Ditambah dengan tanah dan pasir yang bermuncratan ke udara. Pinggiran Kali Mungkung di saat matahari baru terbit itu menjadi gelap.

“Jahanam kurang ajar!” Pendekar 212 memaki. Dia sudah tahu apa yang hendak dilakukan Pangeran Matahari. Tangan kanannya bergerak melepas pukulan Sinar Matahari. Dalam udara gelap satu cahaya putih berkiblat dan panas melabrak ke arah Pangeran Matahari.

Namun serangan Wiro agak terlambat. Sekejapan sebelum pukulan sakti itu berkiblat terdengar suara benda mencebur masuk kali. Wiro mengejar. Dia hanya sempat melihat sekilas sosok Pangeran Matahari di ujung kali, lalu lenyap dibawa arus air yang turun deras ke bawah membentuk air terjun.

Sosok Adisaka tergeletak tidak bergerak di atas pangkuan Adimesa. Matanya terbuka, tapi pandangannya kosong. Perlahan-lahana mulutnya yang sejak tadi terkancing terbuka sedikit. Matanya bergerak sayu, manatap wajah adiknya. Lalu dari mulut Adisaka keluar suara nyanyian.

Kaliurang desa tercinta
Terletak di kaki Gunung Merapi
Di sana kami dilahirkan
Alamnya indah penduduknya ramah...


Nyanyi yang disenandungkan Adisaka tidak terlalu keras, tapi cukup jelas didengar semua orang yang ada di tempat itu. ketika dia mulai menyanyikan bait kedua, Adimesa dengan air mata berlinang ikut bernyanyi bersama kakaknya.

Kami anak desa
Bangun pagi sudah biasa
Hawa dingin tidak terasa
Kerja di sawah membuat sehat
Kerja di ladang membuat kuat


Memasuki bait ketiga suara Adisaka mulai perlahan lalu lenyap sama sekali. Dia batuk-batuk beberapa kali. Dari mulutnya keluar darah segar. Dia masih memaksakan hendak meneruskan senandung yang belum selesai dinyanyikan. Namun matanya tertutup, mulut terkancing. Kepala terkulai. Suara nyanyian Adimesa ikut lenyap, berganti dengan suara tangis mengiringi kepergian sang kakak.

T A M A T

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.