Sabda Pandita Ratu

Wiro Sableng. Sabda Pandita ratu

SABDA PANDITA RATU

PROLOG

Adalah suatu kebetulan yang mana tusukan karang yang dilancarkan kearah jantung Wiro meleset karena terhantam batu hitam sakti yang tak sempat diambil oleh sinto gendeng dan masih berada dalam tubuh Wiro. Namun Walaupun karang runcing tersebut tak mengenai jantung sang pendekar, tentu saja hal ini tidak membuat keadaan menjadi lebih baik. Maka sebelum kehilangan kesadarannya, sang pendekar dengan mulut berbusahan masih sempat mengucapkan Basmalah tiga kali sebelum menutupnya dengan mengucapkan ajian Meraga Sukma!

Sementara itu saat kepala sang pendekar terkulai jatuh, tanpa diketahui oleh orang-orang mataram yang saat itu sedang bertarung, dibalik semak belukar dan kerapatan kabut di empat penjuru, terlihat empat orang berkerudung dan berjubah hitam sama-sama mengepalkan tinjunya dan langsung menghantamkan kepalannya ketanah!

Lalu dari tanah retakan hasil pukulan keempat orang berjubah dan berkerudung hitam tersebut tiba-tiba munculah dinding angin yang berputaran dari empat penjuru yang langsung menutupi wilayah sejauh seratus tombak dimana Wiro dan orang yang membokongnya berada! Dinding angin inilah yang membuat Ratu Randang bertiga terjengkang saat hendak menolong Wiro...!

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

SATU

SEPERTI dikisahkan sebelumnya dalam episode Kematian Sang Pendekar. Datuk Rao Pangeran Peto Alam yang merupakan tunggangan Datuk Rao Basaluang Pitu mengalami serangan bertubi-tubi dari seekor Kelelawar Hitam Raksasa dibantu Ratusan jin berjubah dan bermuka hitam serta Jin-jin Lainnya yang berjubah dan bermuka putih.

Pertarungan yang tidak seimbang tersebut memaksa Datuk Rao Basaluang Pitu dan yang lainnya yang saat itu berada dalam Bola Lingkaran Saluang harus keluar dari Ruangan Tanpa Batas Tanpa Daya. Begitu keluar dari Ruang Tanpa Batas Tanpa Daya, kelima orang yang saat itu berada di angkasa terbuka kontan jatuh meluncur kebumi!

Namun dengan kesaktian yang dimiliki Saluang Dewa, Ning Rakanini dan kawan-kawannya yang melesat jatuh akhirnya bisa diselamatkan. Datuk Rao Basaluang Pitu juga kemudian berhasil menundukkan Kelelawar Hantu dan Para Pengawal Istana Langit dengan menggunakan tembang yang tertulis dalam Kitab Aksara Kidung Langgeng Smaradhana.

Kelelawar Hantu sendiri pada dasarnya sudah semenjak lama keluar dari kerajaan atap langit bersama para Pengawal Istana Langit untuk mencari Penguasa Istana Atap Langit dan Ken Parantili. Namun jejak Penguasa Atap Langit maupun Ken Parantili seakan-akan hilang ditelan bumi. Terakhir kalinya Kelelawar Hantu mengetahui jejak Ken Parantili adalah saat Selir Istana Atap Langit ini melahirkan bayinya ditemani oleh Jaka Pesolek.

Sang Kelelawar juga sempat melindungi bayi dalam guci tersebut kala beberapa ekor anjing jelmaan Delapan Sukma Merah berusaha merebut bayi dalam guci tersebut dari tangan Resi Kalijagat Ampusena di hutan jati tempat kediaman Nenek Katai Ning Rakanini Penguasa Rumah Ketentraman dan Keselamatan. (silahkan membaca episode Jabang Bayi Dalam Guci)

Pada saat itu sebenarnya Kelelawar Hantu ingin merebut bayi dalam guci tersebut guna dibawa ke istana atap langit di puncak Semeru, Namun kemunculan Dirga Purana di tempat itu cukup membuat Penjaga Istana atap Langit ini harus berpikir panjang sehingga membiarkan bayi Ken Parantili untuk sementara berada di tangan Resi Kali Jagat Ampusena.

Setelah beberapa lama Kelelawar Hantu akhirnya menyirap kabar bahwa bayi tersebut sudah berada di tangan orang lain, saat Kelelawar Hantu datang bersama rombongan jin Pengawal Hitam-Putih, Bayi tersebut ternyata sudah dibawa oleh Datuk Rao Basaluang Pitu dan yang lainnya kedalam Ruang Tanpa Batas Tanpa Daya untuk selanjutnya diserahkan pada Dewi Langit Bunga Tanjung dan Mimba Purana!

Kelelawar Hantu dan Jin Hitam-putih yang datang terlambat akhirnya melampiaskan kemarahannya pada Datuk Rao Pangeran Peto Alam yang saat itu sedang memikul bola Lingkaran Saluang yang berisi Datuk Rao Basaluang Pitu dan yang lainnya. Datuk Rao Basaluang Pitu akhirnya bisa mengatasi Serangan Kelewar Hantu dan para jin Pengawal Istana Atap Langit sekaligus memberi pengertian bahwa bayi Penerus istana atap Langit tersebut sesungguhnya dibawa ke Istana Langit untuk digembleng dengan ilmu kesaktian dan kepandaian tingkat tinggi.

Akhirnya setelah berhasil memberi pengertian kepada Para Penghuni Istana Atap Langit ini, Datuk Rao Basaluang Pitu lalu mengajak mereka semua yang saat itu masih berada diangkasa untuk segera turun guna membantu Sri MahaRaja Mataram dan Ksatria Panggilan menghadapi Jenazah Simpanan dan para Laskarnya.

Kedatangan kelima orang tersebut bersama dengan Kelelawar Hantu dan para Jin Pengawal Istana Atap Langit tentu saja memberikan bantuan yang amat besar terhadap Ratu Randang dan kawan-kawannya yang sudah kepayahan karena bertempur habis-habisan.

Sementara itu Wiro yang turun dari langit bersamaan dengan turunnya Kelelawar hantu dan rombongan Datuk Rao Basaluang Pitu langsung menyusup ke dalam tanah dengan menggunakan ilmu yang diberikan oleh Kakek Kumara Gandamayana guna menolong Raja Mataram yang ditarik kedalam tanah oleh Dirga Purana dan Hantu Bara Kaliatus dengan menggunakan Ilmu Tangan Dewa Menghantam Api dan Pukulan Dibalik Bukit Memukul Halilintar, Sang Pendekar akhirnya bisa menghalau Dirga Purana dan Hantu Bara Kaliatus dan membawa Raja Mataram kembali ke permukaan.

Sesampainya diatas tanah dilihatnya Ratu Randang dan kawan-kawan lainnya sedang bertempur bersama Kelelawar Hantu dan para Pengawal Istana Atap Langit melawan Lakarontang dan anak buahnya dilihatnya juga empat orang yang turun bersama dengan Arwah Ketua dan Kelelawar Hantu tampak turut serta menggempur kekuatan Laskar Lakarontang!

Sang Pendekar kemudian memapah Sri Maha Raja Mataram kedekat Kumara Gandamayana yang nampak memejamkan mata. "Bagaimana keadaan Yang Mulia? Apakah Yang Mulia terluka...?" tanya Sang Pendekar sembari memperhatikan Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala yang nampak terbatuk-batuk.

"Aku tidak apa-apa Ksatria Panggilan. Nnafasku hanya sedikit sesak akibat cekikan makhluk keparat itu! Sebentar lagi aku akan segera bergabung dengan kalian. Cepatlah pergi bantu kawan-kawanmu, biarkan aku beristirahat sebentar disini..." ucap Sang Raja seraya menyandarkan punggungnya ke dinding keraton.

Wiro memandang suasana pertempuran yang berlangsung. Dilihatnya kawan-kawannya beserta Kelelawar Hantu dan laskar Pengawal Atap langit dibantu Lima orang yang lainnya perlahan-lahan mampu menekan bahkan mendesak Lakarontang dan Laskarnya. Sang Pendekar memalingkan wajahnya kearah Sang Raja.

"Aku harus membalas kematian Sakuntala Dewi dan Ni Gatri Yang Mulia..." desis Sang Pendekar.

Sang Raja tampak mengagukkan kepalanya. "Keadaan sudah agak membaik, memang sudah seharusnya kau membunuh kedua orang itu Ksatria Panggilan..." ucap Sang Raja.

Sang Pendekar pun langsung melesat menyelusup kedalam tanah dengan menggunakan ilmu yang diberikan Kumara Gandamayana. Namun sejauh yang dapat ditembusnya tidak dilihatnya bayangan Dirga Purana maupun Hantu Bara Kaliatus. Sang Pendekar pun mengerahkan ilmu menembus pandang pemberian Ratu Duyung namun keberadaan Dirga Purana dan Hantu Bara Kaliatus tetap tidak dapat ditemukannya.

Sang Pendekar menggeram kesal lalu segera melesat keatas. Namun saat tubuhnya baru melesat keluar dari dalam tanah, tiba-tiba didengarnya Jaka Pesolek berteriak keras kearahnya.

"Sang Hyang Jagatnatha...!"

Sementara itu Sang Pendekar pun melihat Ratu Randang, Kunti Ambiri serta Raja Mataram memandang dirinya dengan pandangan terpana!

"Wiro...!" teriak mereka bersamaan seraya berlari memburu kearahnya. Sang Pendekar mengkerutkan kening saat melihat kelakuan mereka yang dianggapnya aneh. Wiro hendak berucap namun dirasanya mulutnya terasa penuh. Rasa asin bercampur asam terasa memenuhi mulutnya hingga tanpa sadar Sang Pendekar tersedak.

"Darah...!" desis Sang Pendekar seraya menyeka mulutnya yang belepotan. Wiro tiba-tiba merasakan sesuatu mengalir dalam tubuhnya. Sesuatu yang hidup! Saat Sang Pendekar menundukkan wajahnya kebawah, dilihatnya ujung runcing sebuah karang tajam berwarna kebiruan yang anehnya memancarkan warna merah berpendar terhujam keluar menembus ulu hatinya!

"Gusti Allah...!" desis Sang Pendekar menyebut Nama Sang Khalik! Pada detik tersebut Wiro baru menyadari bahwa seseorang telah membokongnya dari belakang!

Dengan tangan bergetar Wiro berusaha memegang ujung karang runcing yang menyembul keluar dari ulu hatinya namun tangannya sontak terkulai! Mata sang pendekar pun tiba-tiba tampak mulai membeliak keatas diiringi perubahan warna kulit yang mulai berubah merah membara serta mengepulkan asap tipis!

"Wiro...!" teriak Kunti Ambiri dan yang lainnya kala melihat tubuh Wiro nampak bergetar keras, Dari mulutnya yang tampak berbusa nampak bibir Wiro bergerak-gerak lemah sebelum akhirnya kepala sang pendekar terkulai kebawah!

Melihat keadaan Wiro yang mengenaskan, Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Jaka Pesolek segera berlarian meninggalkan musuh masing-masing guna mendekati Wiro. Namun belum lagi mereka berhasil mendekati Sang Pendekar, serangkum angin berkekuatan dahsyat membuat mereka bertiga terjengkang!

Sebenarnya apa yang terjadi? Kiranya saat ketiga orang sahabat Wiro ini bergerak berusaha mendekati Wiro, tiba-tiba saja muncul angin berputar yang entah datang darimana langsung menutupi wilayah dimana Sang Pendekar berada sejauh seratus tombak! Ratu Randang bergerak memapah bangun Jaka Pesolek.

"Apa yang terjadi Kunti? Darimana datangnya dinding angin aneh ini?" Tanya Ratu Randang kepada Kunti Ambiri yang juga telah beranjak bangkit.

"Entahlah Ratu, kita terlalu mengkhawatirkan Wiro sehingga tidak memperhatikan keadaan sekitar..." ucap Kunti Ambiri alias Dewi ular sembari memperhatikan pusaran angin aneh yang menutupi wilayah seputar Wiro berada. Pusaran angin tersebut cukup menghalangi pandangan sehingga membuat mereka tidak bisa melihat dengan jelas keadaan Wiro saat itu.

"Angin sialan! Aku tidak bisa melihat jelas siapa yang membokong Wiro dari belakang! Angin ini terlalu kencang..." Keluh Jaka Pesolek.

Angin yang berhembus di sekeliling tubuh sang pendekar memang berputar sedemikian kencangnya sehingga tubuh sang pendekar hanya terlihat samar. Jika diperhatikan keadaan Wiro saat itu sang pendekar tidak ubahnya berada di tengah poros badai! Sementara itu nampak Sri mahaRaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala beranjak mendekati ketiga sahabat Wiro tersebut.

"Bagaimana keadaan kalian, apakah kalian terluka?" Tanya sang raja.

"Kami tidak apa-apa yang mulia, bagaimana dengan yang mulia sendiri?" balas Ratu Randang.

Raja Mataram nampak menarik nafas berat. "Jika saja Ksatria Panggilan tidak menolongku keluar dari dalam tanah mungkin aku tidak akan bisa tertolong lagi" ucap sang raja dengan berat.

"Keadaan Wiro saat ini amat mencemaskan! kita harus bisa menembus pusaran angin tersebut dan menolong Wiro!" seru Jaka Pesolek khawatir.

"Mari kita coba membobol dinding angin itu dengan pukulan sakti! Aku tak percaya dinding angin ini tidak bisa ditembus!" geram Ratu Randang sembari memberi kode dengan lirikan mata kepada Kunti Ambiri.

Kunti Ambiri yang mengerti arti pandangan Ratu Randang segera persiapkan satu pukulan sakti guna bersama-sama Ratu Randang menggempur dinding angin yang mengurung Wiro! Sesaat lagi kedua perempuan sakti tersebut hendak melepaskan pukulan sakti masing-masing, tiba-tiba saja Raja Mataram menahan kedua pundak Ratu Randang dan Kunti Ambiri.

"Tahan Pukulan Kalian! Lihat sesuatu terjadi dalam pusaran angin!"

kedua orang wanita yang bersiap melepaskan pukulan sakti tersebut dengan gemas terpaksa menarik ilmu pukulan sakti yang sekiranya akan segera dilepaskan kearah Pusaran angin. Keduanya kemudian memperhatikan pusaran angin dengan seksama. Pusaran angin yang berputaran kencang memang tidak bertambah pelan, namun akibat kecepatan yang semakin bertambah pemandangan dalam poros angin mulai terlihat samar-samar.

"Astaga...! Bukankah orang yang sedang bertarung dalam pusaran badai itu Wiro. Tapi bagaimana mungkin bisa ada dua orang Wiro?" desis Kunti Ambiri terkejut.

"Tidak mungkin! Lihat siapa orang yang dilawan Wiro!" teriak Ratu Randang kencang!

"Sang Hyang Jagatnatha! Bukankah itu makhluk tengkorak yang mengaku bernama Jenazah Simpanan! tapi bagaimana bisa dia berada dalam pusaran angin bersama Wiro? Bukankah kita sudah menghantamnya dengan telak?" teriak Jaka Pesolek terheran-heran.

Sri Maha Raja Mataram, Ratu Randang dan yang lainnya sontak memandang balik kearah sosok Sangkala Darupadha yang terbujur diatas tanah. Namun yang dilihat mereka hanyalah sosok besar raja jin hutan roban yang saat itu sedang ditunggui oleh Arwah Ketua, sementara sosok Lakarontang sendiri telah lenyap!

********************

DUA

Sebenarnya apa yang terjadi dalam pusaran angin? Siapakah sebenarnya orang yang membokong Wiro dari belakang? Bagaimana bisa Lakarontang yang sudah dihantam dengan pukulan dahsyat hasil gabungan tiga pukulan sakti yang dibungkus oleh Jaka Pesolek tiba-tiba berada dalam pusaran angin dan mampu bertarung melawan Wiro? Lalu siapa orang yang melepas tabir pelindung berupa dinding angin?

Sebelum Teka-teki ini terjawab, ada baiknya kita menengok dulu jalannya pertarungan yang dialami oleh rombongan Resi Kali Jagat Ampusena dan yang lainnya. Begitu turun dari langit Resi Kali Jagat Ampusena dan Si Segala Tahu langsung melabrak gerombolan orang yang memapak maju bersamaan dengan turunnya lakarontang ke tengah gelanggang.

Adapun Nenek Katai Ning rakanini dan Arwah Ketua juga langsung turun tangan membantu Kunti Ambiri dan Ratu Randang yang kala itu sedang kewalahan melawan beberapa orang tokoh sakti termasuk didalamnya menghadapi Sinto Gendeng guru Ksatria Panggilan. Arwah Ketua yang kala itu sudah kembali ke sosok aslinya yaitu sosok makhluk raksasa bertanduk berpendar terlihat mengamuk membabi buta!

Kemarahannya benar-benar memuncak kala melihat Sahabatnya yaitu Sangkala Darupadha dan anak buahnya diperlakukan sedemikan rupa oleh Lakarontang dan laskar mayat hidupnya. Sementara itu Nenek Katai Ning Rakanini secara kebetulan langsung berhadapan dengan Sinto Gendeng!

Sinto gendeng sendiri kala melihat dihadapannya berdiri seorang nenek katai dengan penampilan aneh serentak menyerbu dengan ganas, Kapak Maut naga geni dua satu dua ditangannya langsung dikebutkan kearah Penghuni rumah ketentraman dan keselamatan ini.

Ning Rakanini sendiri kala mendengar suara dengungan laksana suara Seribu tawon mengamuk tidak berani berlaku ayal lagi, sang nenek kemudian melengos menghindari babatan kapak sakti dengan mengunakan langkah yang benar-benar aneh dan ajaib!

Kedua kakinya yang pendek bergerak cepat membentuk sudut dan bentuk segi ruang yang rumit dan pelik. Kemanapun kapak maut naga geni bersarang selalu dapat dihindarkan oleh Sang nenek hanya terpaut seujung rambut!

"Nenek keparat! Jangan hanya bisa menghindar! Coba kau balas seranganku ini!" teriak Sinto Gendeng geram karena belum bisa menjatuhkan sang nenek katai, padahal sang nenek sama sekali tidak menggunakan senjata apapun melawan dirinya yang bersenjatakan kapak!

Sementara itu Ning Rakanini masih terus menggunakan ilmu langkah ajaibnya guna menghindari serangan kapak maut yang dilayangkan oleh Sinto Gendeng. Saat dilihatnya Sinto Gendeng mengacungkan gagang kapak yang berbentuk kepala naga, sang nenek katai langsung bersiaga dan menanti dengan pandangan tajam dan benar saja, kala dilihatnya sang nenek menekan salah satu mata naga didengarnya suara halus berkesiutan menderu kearahnya.

Sang nenek pun langsung menyadari bahwa didalam gagang kapak pastilah tersimpan senjata rahasia berbentuk jarum yang bisa dilepaskan jika salah satu mata naga ditekan. Melihat hal ini Sang nenek bermata jereng tiba-tiba memutar tubuhnya dengan gerakan yang aneh, kedua tangannya yang pendek terlihat berputar aneh membentuk sudut-sudut segitiga lalu dari kedua tangan tersebut menderu cahaya berwarna merah yang melesat membentuk satu dinding yang langsung menghantam puluhan jarum yang dilepaskan sinto gendeng.

Apa yang dilakukan oleh nenek katai ini benar-benar mengagumkan! Dengan menggunakan Langkah Sakti Orang Katai dan Pukulan Orang Katai Menyembah Berhala, dari Ilmu silat Orang Katai yang dikuasainya, Nenek Ning Rakanini ternyata mampu menghadapi guru Wiro Sableng ini sama kuat!

Sinto gendeng benar-benar marah dibuatnya, sekaligus serangan kapak maut dan jarum sakti dapat dipatahkan oleh nenek bertampang aneh didepannya. Sang nenek sesaat bersiap mengeluarkan pukulan matahari untuk menghantam nenek didepannya, namun selintas pikiran terlitas dalam benaknya yang masih dalam pengaruh Ilmu Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak.

Sang nenek tiba-tiba mendekatkan gagang kapak yang berbentuk kepala naga dan langsung meniup. Dari Kapak kemudian keluar bunyi suara lengkingan yang memekakkan telinga! Sang nenek rupanya beranggapan jika serangan kapak maupun serangan jarum tidak mempan menghadapi nenek katai didepannya, mungkin serangan suara bisa memberikan hasil yang gemilang Dan benar saja!

Didepan sana Nenek ning rakanini terlihat berlutut sembari menutup kedua telinganya dengan sepasang tangan, wajah sang nenek nampak berkerut menahan sakit yang amat sangat!

Sinto gendeng amat senang dengan hasil yang dicapainya, untuk segera menghabisi lawannya Sinto Gendeng kemudian meningkatkan tenaga tiupannya, alhasil di depan sana Nenek Katai Ning rakanini terlihat bergulingan hampir semaput dibuatnya, darah kental nampak mulai meleleh dari kedua tangannya yang sedang membekap kedua telinganya.

Sinto Gendeng tersenyum sembari bersorak dalam hati. "Mampus kau nenek edan!" namun tiba-tiba senyumnya seakan direnggut setan kala didengarnya satu suara merdu mengandung tenaga dalam maha dahsyat mencoba menindih tiupan suling kapaknya.

Jika saja suara yang ditiup oleh Sinto Gendeng hanya berupa lengkingan tak beraturan, maka suara yang terdengar kali ini adalah satu suara yang benar-benar merdu dan harmonis. Tinggi rendahnya nada yang keluar bagaikan gelombang pasang yang menderu menyerang Sinto Gendeng!

Sang nenek memandang kian kemari mencari asal suara lalu tidak jauh disebrang sana dilihatnya seorang kakek berambut dan berjubah putih panjang nampak duduk dipunggung seekor menjangan sembari meniup sebuah saluang. Jelas kakek inilah yang telah membendung serangan suaranya dengan menyerang balik menggunakan suara tiupan saluangnya!

Tampang Sinto Gendeng berubah mengelam, kembali ditingkatkannya tenaga tiupannya guna menindih suara saluang namun suara saluang yang keluar dari bibir sang kakek malah terdengar semakin hebat! Keringat dingin memercik dari kening sang nenek, namun sang nenek tetap keraskan hati tidak mau mengalah.

Kembali ditingkatkan suara tiupan suling pada gagang kapak maut naga geni dua satu dua dengan harapan dapat mampu menandingi tiupan sang kakek, namun kembali sang nenek terhenyak kala merasakan gelombang suara yang menyerangnya kini bertambah dua kali lipat!

Saat sang nenek memperhatikan lebih seksama ternyata didepan sana telah bertambah lagi sosok kakek berambut dan berjubah putih! Kakek satu ini juga terlihat memainkan sebuah saluang sembari berdiri disamping menjangan, sosok kakek satu ini benar-benar seperti pinang dibelah dua dengan kakek yang duduk diatas menjangan, hanya saluang yang ditiupnya saja yang membedakan dirinya dengan kakek satunya.

Jika kakek diatas menjangan meniup saluang berwarna putih maka kakek yang sedang berdiri meniup saluang berwarna hitam. Selebihnya semuanya persis sama! Rupanya selain menguasai Ilmu yang bersumber dari kitab Aksara Kidung Langgeng Smaradhana, Sang Datuk juga menguasai satu ilmu langka bernama Seribu Raga Seribu Sukma. Dengan ilmu ini Sang Datuk mampu membelah tubuhnya menjadi berapapun sosok yang dia mau dan semuanya adalah sosok asli dengan kekuatan tenaga dalam dan kepandaian yang tidak berubah!

Kali ini sinto gendeng benar-benar kepayahan, sekujur tubuh perlahan merosot ketanah dalam keadaan bergetar hebat! Tiupan sulingnya pun mulai terdengar kacau tak beraturan sementara perlahan darah mulai nampak merembes keluar dari kedua telinga dan kedua lubang hidungnya! Saat seorang kakek kembali terlihat muncul sembari meniup saluang berwarna merah, sang nenek sontak menjerit keras!

Anehnya bukan hanya sinto gendeng yang menjerit keras, Ning Rakanini yang kala itu masih dalam kondisi berlutut di tanah juga keluarkan teriakan setingi langit! Nampak kelima tusuk kundai yang dipakai oleh Sinto Gendeng maupun ning rakanini bergetar dan memancarkan warna terang menyilaukan!

Sebenarnya apa yang terjadi? Ternyata jika diibaratkan layaknya sebuah garpu tala yang akan bergetar jika mendapatkan resonansi getaran suara yang turun naik, maka kesepuluh tusuk kundai yang sebenarnya masih satu wujud namun beda jaman ini mengalami hal yang sama kala mendapatkan getaran suara dari bunyi saluang ketiga kakek perwujudan Datuk Rao Basaluang Pitu.

kelima tusuk kundai nampak bergetar keras dikepala Ning Rakanini dan Sinto Gendeng, lalu tiba-tiba masing-masing tusuk kundai tersebut serempak tercabut dan melesat dari kepala kedua nenek sakti tersebut! Diudara kesepuluh tusuk kundai tiba-tiba terlihat menyatu menjadi lima buah tusuk kundai dan memancarkan cahaya yang menyilaukan!

Bersamaan dengan bersatunya kesepuluh tusuk kundai, ketiga sosok Datuk Rao Basaluang Pitu juga nampak terangkat dan melayang mengitari lima tusuk kundai tersebut, dari masing-masing saluang yang ditiup tiga kakek tersebut terdengar kembali lantunan tembang yang pernah disenandungkan di hutan jati tempat tinggal ning rakanini yakni Tembang Mulih Smaradhana!

Beberapa saat kemudian, kelima tusuk kundai perak terlihat memisahkan diri diudara. Ketiga orang kembaran Datuk Rao Basaluang Pitu juga perlahan menyatu dan kembali keatas menjangan tunggangannya. akhirnya Setelah beberapa saat melayang diudara, kesepuluh tusuk kundai tampak kembali mengeluarkan cahaya menyilaukan sebelum kembali melesat dan menancap ke kepala Sinto Gendeng dan ning rakanini!

Satu suara kembali terdengar melengking membahana namun kali ini suara teriakan yang terdengar hanya keluar dari mulut sinto gendeng. Ning rakanini sendiri keburu pingsan kala tusuk kundai perak miliknya menancap kembali ke kepalanya.

Sinto Gendeng sendiri berteriak keras bukan karena kesakitan akibat tertusuk tusuk kundainya, melainkan menjerit karena bersamaan dengan menancapnya tusuk kundai dikepalanya, ketiga benjolan sebesar telur buyung puyuh dikepalanya tiba-tiba meledak! Lalu dari ledakan ketiga benjolan tersebut menyeruak asap merah berbau amat busuk. Sinto Gendeng sendiri akhirnya langsung menggeletak tak sadarkan diri.

Kita tinggalkan dulu Sinto Gendeng yang pada saat itu telah kehilangan kesadarannya, dilain tempat pertarungan yang terjadi antara Resi Kali Jagat Ampusena beserta Si Segala Tahu melawan Laskar Lakarontang juga berlangsung cukup seru, dengan dibantu oleh beberapa orang Jin Putih Muka Rata peliharaan Raja Jin Hutan Roban, kedua orang ini terlihat mampu mendesak arus serangan yang datangnya bagaikan air bah.

Pada satu kesempatan, Si Segala Tahu yang telah melepas sorbannya dan menggantinya dengan caping bambu terlihat bersalto diatas udara dan menyambar jatuh seorang kakek yang mengenakan cawat terbuat kulit kayu dari punggung jin putih muka rata yang dinaikinya, dilain tempat Resi Kali Jagat Ampusena juga berhasil menjatuhkan dua orang pria yang mengenakan pakaian patih kerajaan dengan menggunakan ujung jubahnya yang menjuntai.

Setelah terjatuh ketanah, kakek dan dua orang pria tersebut langsung merasakan satu himpitan tembok yang tak terlihat yang menekannya dari atas, sementara dari bumi yang dipijak bergetar satu kekuatan yang menekannya keatas! tidak jauh dari situ terlihat dua orang anak buah Raja Jin Hutan Roban melesat keatas sembari meratap, sementara dua orang lainnya terlihat menjatuhkan diri ke bumi sembari menangis mengerung-gerung.

Dua orang diatas mendorongkan telapak tangan kebawah, sementara dua lainnya mendorongkan telapak tangan keatas! rupanya empat orang Jin Putih Muka Rata ini telah mengeluarkan kembali ilmu dahsyat yang bernama Jin Langit Meratap jin Bumi Menangis! serangan hebat ini sontak membuat kakek bercawat kulit kayu dan kedua orang pria tersebut merasakan sakit yang amat sangat akibat tekanan yang mendera.

Sedetik lagi tubuh mereka bertiga akan hancur tak karuan mendadak secara mengagumkan ketiga orang ini melakukan hal yang pernah dialami oleh rekan mereka yaitu dua makhluk api kala menghadapi ilmu aneh ini (silahkan baca episode Jabang Bayi Dalam Guci) tubuh ketiga orang ini tiba-tiba mengambang melintang keudara! lalu dari masing-masing telapak tangan melesat satu larik cahaya hitam mengidikkan.

Enam larik cahaya hitam yang melesat dari sepasang tangan ketiga orang tersebut langsung hendak melibat keempat makhluk jin anak buah Raja Jin Hutan Roban! Sedetik lagi sinar tali hitam yang mampu menebas putus anggota badan itu menjirat keempat anak buah Sangkala Darupadha, tiba-tiba melesat satu bayangan biru raksasa yang dengan cepatnya menyambar keenam tali hitam lalu merenggutnya dengan kasar!

Akibat tarikan secara tiba-tiba tersebut tubuh ketiga orang anak buah lakarontang sontak berputar kembali tegak menghadap keatas dan bertepatan dengan itu pula sepasang tangan dua Jin Putih Muka Rata yang berada diatas dan sepasang Jin Putih Muka Rata yang berada dibawah menyatu! Maka dibarengi suara ledakan yang cukup keras, tubuh ketiga orang mayat hidup anak buah Lakarontang tersebut langsung meledak berkeping-keping!

Bayangan biru raksasa yang bukan lain adalah Arwah Ketua mendengus keras sembari mencampakan tali sinar hitam ketanah. Bersamaan dengan di campakkannya tali hitam tersebut ke tanah, satu dentuman besar terdengar menggelegar kala sosok Lakarontang dan Sangkala Darupadha terhantam tiga pukulan sakti yang dibungkus dan dilepaskan kembali oleh Jaka Pesolek!

********************

TIGA

Marilah kita menengok apa yang sebenarnya terjadi pada diri pendekar dua satu dua. Rupanya sesaat setelah keluar dari dalam tanah menggunakan ilmu yang diberikan oleh kumara gandamayana, Wiro tak menyadari kalau pada saat itu seseorang dengan bersenjatakan batu karang runcing sedang menunggunya dari balik kepekatan kabut. Dan pada saat yang tepat orang tersebut dengan gerakan amat cepat langsung menikamkan karang runcing biru berpendar merah yang digenggamnya ke punggung sang pendekar!

Wiro terkesiap seraya menyebut nama Sang Pencipta! Pada detik itu juga Wiro merasakan sesuatu seperti makhluk hidup seakan mengalir berkejaran disetiap nadi dan jalan darahnya! perlahan Wiro mulai menyadari keadaan dirinya yang amat berbahaya saat merasakan seluruh tubuhnya mulai berubah berwarna merah dan mengepulkan asap akibat racun warangan nyawa yang memasuki tubuhnya.

Adalah suatu kebetulan yang mana tusukan karang yang dilancarkan kearah jantung Wiro meleset karena terhantam batu hitam sakti yang tak sempat diambil oleh sinto gendeng dan masih berada dalam tubuh Wiro. Walaupun karang runcing tersebut tak mengenai jantung sang pendekar, Namun tentu saja hal ini tidak membuat keadaan menjadi lebih baik.

Maka sebelum kehilangan kesadarannya, Sang pendekar dengan mulut berbusahan masih sempat mengucapkan basmalah tiga kali sebelum menutupnya dengan mengucapkan ajian Meraga Sukma!

Sementara itu saat kepala sang pendekar terkulai jatuh, tanpa diketahui oleh orang-orang mataram yang saat itu sedang bertarung, dibalik semak belukar dan kerapatan kabut di empat penjuru, terlihat empat orang berkerudung dan berjubah hitam sama-sama mengepalkan tinjunya dan langsung menghantamkan kepalannya ketanah!

Lalu dari tanah retakan hasil pukulan keempat orang berjubah dan berkerudung hitam tersebut tiba-tiba munculah dinding angin yang berputaran dari empat penjuru yang langsung menutupi wilayah sejauh seratus tombak dimana Wiro dan orang yang membokongnya berada! Dinding angin inilah yang membuat Ratu Randang bertiga terjengkang saat hendak menolong Wiro!

Sementara itu didalam pusaran angin, orang yang membokong Wiro terdiam membisu sembari memegang karang yang menembusi tubuh sang pendekar dari belakang. Tangan tersebut terlihat bergetar, setitik air mata juga nampak menetes di sudut mata pria bercambang dan berambut awut-awutan tersebut.

Dirinya tak menyadari kala satu bayangan putih perlahan muncul dibalik punggungnya seraya mengarahkan tangannya yang berwarna keperakan kepunggung pria tersebut!

"Sampai sejauh ini aku masih terus menganggapmu sebagai seorang saudara. Namun entah mengapa kau tega melakukan hal seperti ini kepadaku! Apa yang sebenarnya telah terjadi pada dirimu wahai Lakasipo...?" ujar bayangan dibelakang orang yang akhirnya diketahui sebagai Lakasipo si hantu kaki batu!

Tubuh Lakasipo terlihat bergetar kala mendengar suara pria dibelakangnya. Kepala Lakasipo perlahan terangkat bersamaan dengan terlepasnya genggamannya pada batu karang dalam gengamannya. Begitu karang yang menembus punggung Wiro terlepas dari genggaman lakasipo maka tanpa ampun lagi tubuh Sang Pendekar ambruk ke bumi!

Suasana di tengah pusaran angin terasa amat mencekam, sosok Lakasipo terlihat diam membisu membelakangi bayangan yang bukan lain adalah sukma Wiro tersebut. Setelah beberapa lama tenggelam didalam kesunyian perlahan terdengar suara keluar dari bibir Lakasipo.

"Aku tak punya pilihan lain...!"

Wiro perlahan menurunkan tangannya yang masih dilembari ajian pukulan Sinar Matahari. "Apa maksudmu kau tak punya pilihan lain. Sekian lama kita tak bertemu apakah hal itu bisa memupuskan tali persaudaraan kita? Sesungguhnya pilihan apa yang memaksamu untuk tunduk dan menuruti segala perintah makhluk tengkorak itu?" tanya Wiro berat.

Suasana kembali diselimuti kesunyian yang mencekam, tidak ada suara yang terdengar selain deru angin dan nafas lakasipo yang terdengar memburu. Setelah beberapa saat terdiam akhirnya Lakasipo membuka suaranya.

"Lakarontang menyekap roh Istriku Luhrinjani! Dan bukan hanya itu saja! Dia pun menahan dan memperbudak Latandai serta Luhsantini istrinya! Kau lihat sendiri bukan? Aku benar-benar tak punya pilihan lain selain mengabdi padanya!"Ujar Lakasipo akhirnya dengan suara bergetar.

Apa yang dikatakan Lakasipo membuat sang pendekar terhenyak. "Aku benar-benar tak pernah berniat mencelakakanmu wahai saudaraku..." Lanjut Lakasipo dengan suara tersendat.

"Budak hina Keparat! Bagus sekali! Baru sekarang kau tunjukkan isi hatimu! Sungguh hebat kepandaianmu membendung pikiran. Aku benar-benar tak menyangka..!" seru satu suara mengejutkan Wiro dan Lakasipo!

Lakasipo sendiri yang kala itu berada dihadapan Wiro tiba-tiba saja mengeluarkan teriakan keras! sepasang mata lakasipo terlihat membeliak besar menahan sakit sementara Kedua lututnya serentak tertekuk hingga menyentuh tanah manakala dirasakannya sesuatu terasa memaksa keluar dari dalam punggungnya!

"Lakasipo...!" lalu Perlahan namun pasti dari punggung Lakasipo terlihat keluar satu sosok jerangkong berwarna hitam dengan sepasang tanduk pada pelipisnya. Siapa lagi kalau bukan Lakarontang Si Jenazah Simpanan!

Makhluk ini kembali mempergunakan ilmunya yang pernah digunakan pada Raja Jin Hutan roban untuk menyatu dalam tubuh Lakasipo laksana benalu! Lakarontang terlihat pandangi sekeliling sebelum pandangannya membentur sosok sukma Wiro.

"Kalian berempat lebih baik tunjukkan diri sekarang juga! Aku sudah lama mengetahui kehadiran kalian, keluarlah sekarang juga agar aku bisa lebih gampang menghabisi kalian semua!" seru lakarontang keras.

Sementara itu demi mendengar ucapan lakarontang, tiba-tiba laksana air tersibak. Dari keempat penjuru dinding angin muncul empat orang berjubah dan berkerudung hitam yang langsung mengepung Wiro dan lakarontang dari empat arah! Dua dari Keempat sosok berjubah dan berkerudung hitam ini memiliki badan tinggi besar, Dua diantaranya lagi terlihat membopong dua orang yang terlihat tak sadarkan diri.

Sosok orang yang pertama yang dipanggul bukan lain adalah Latandai alias hantu bara kaliatus sementara satunya lagi adalah sosok seorang wanita yang wajahnya tertutup oleh rambutnya yang panjang. Dua orang berjubah hitam lainnya Seorang diantaranya terlihat membawa sebuah guci kecil dari kuningan yang diikatkan kepinggang, sedangkan yang satunya terlihat membawa sebuah belanga obat yang masih terlihat mengepulkan asap! Wajah keempatnya tidak terlihat jelas karena terhalang kerudung yang dikenakan.

"Hebat juga kalian mampu menyusup dan mengambil barang kepunyaanku saat aku lengah...!" jengek Lakarontang seraya menatap kearah dua orang yang dibopong oleh kawanan orang berjubah hitam.

"Mereka bukan barang permainan makhluk keparat!" ucap si jubah hitam yang memondong wanita dipundaknya dengan gusar.

"Ha ha ha...! Buatku mereka semua memang hanyalah barang permainan! jadi Untuk apa kalian ribut-ribut? Selain itu walaupun kalian menutupi diri kalian dengan kerudung hitam, tapi aku tahu siapa kalian sebenarnya! Kalian datang untuk dia bukan?" sentak lakarontang seraya meremas leher lakasipo dengan sebelah tangannya.

"Lepaskan dia makhluk jahanam!" teriak Wiro marah melihat lakasipo diperlakukan seperti itu.

"Tolong bebaskan orang itu lakarontang..." ucap sosok berjubah yang membawa guci kecil dari kuningan.

"Bagaimana jika aku tidak ingin membebaskannya?" ejek Lakarontang kepada Wiro dan keempat orang berjubah hitam. Suara dengusan terdengar keluar dari balik kerudung empat orang berjubah hitam.

Keempatnya nampak bersiap untuk bergebrak namun baru saja selangkah kaki mereka bergerak, Lakasipo tiba-tiba meraung panjang! Keempat orang berjubah hitam termasuk Wiro terkejut besar kala melihat Lakarontang menembus dada Lakasipo dan menarik keluar sebuah benda merah berdenyut!

"Lakasipo...!" teriak Wiro dan orang-orang berjubah hitam bersamaan.

"Ha ha ha...!" berani kalian mendekat? Akan kuremas hancur jantung pengkhianat ini...!" ucap Lakarontang seraya mengangkat tingi-tinggi jantung Lakasipo!

Semua orang benar-benar gusar dibuatnya! Tak satupun orang berani bergerak karena khawatir akan keselamatan Lakasipo.

"Aku sebenarnya sudah menduga akan pengkhianatanmu ini Lakasipo! Tapi aku benar-benar tidak menyangka kau berani memalsukan darah Ksatria Panggilan yang terdapat pada karang runcing warangan nyawa.. Aku benar-benar kecolongan..." dengus Jenazah Simpanan sembari memandang kearah Lakasipo dan pendekar dua satu dua secara bergantian. "Kau benar-benar beruntung Ksatria Panggilan! Jika saja makhluk keparat ini tidak memalsukan darahmu apa kau pikir kau masih bisa memandangku dengan cara seperti itu?"

Wiro pandangi Lakarontang dengan mata membara! "Mati dan hidupku bukan berada ditanganmu makhluk kapiran! Hanya Gusti Allah yang berhak mencabut dan menghadirkan nyawaku serta seluruh makhluk di muka bumi ini" ucap sang pendekar berapi-api.

Lakarontang tertawa tergelak mendengar apa yang dikatakan oleh Pendekar dua satu dua. "Segala buntalan kentut! sekarang coba minta Gusti Allah mu membebaskan saudara angkatmu ini...!" ejek lakarontang sembari hendak meremas Jantung Lakasipo!

Sedetik lagi jantung merah itu hancur di tangan lakarontang, tiba-tiba makhluk ratusan tahun ini merasakan satu sambaran angin dingin pada tangannya yang memegang jantung Lakasipo! Saat makhluk ini melihat kearah telapak tangannya, dirinya langsung terhenyak! Tangannya ternyata hanya memegang angin! Jantung tersebut telah berhasil direbut orang!

Bersamaan dengan sambaran angin ditangannya, makhluk tengkorak ini juga tiba-tiba merasakan satu kekuatan besar menariknya keluar dari tubuh Lakasipo lalu menghempasnya sejauh puluhan tombak dan langsung menabrak dinding angin! Lakarontang terkejut besar!

Tak disangkanya ada orang yang mampu mempecundanginya seperti itu! Kala melihat kedepan dilihatnya Pendekar dua satu dua tersenyum sinis penuh ejekan! Sementara saat lakarontang menatap kearah lakasipo dirinya semakin bertambah terkejut kala melihat ada lagi satu sosok Wiro namun berwujud tiga kali lebih besar dari aslinya terlihat sedang memasukkan jantung Lakasipo kedalam dadanya!

Sebenarnya apa yang terjadi? Ternyata pada detik-detik yang menegangkan dimana sesaat lagi jantung lakasipo hancur dalam remasan tangan jenazah simpanan, sukma Wiro diam-diam kembali mengeluarkan ilmu kesaktian yang diberikan oleh nenek sakti Rauh Kalidathi yakni Tiga Bayangan Pelindung Raga! kemudian dengan gerakan secepat angin satu diantara sosok bayangan sukma Wiro merebut jantung di tangan lakarontang dengan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad!

Sementara itu dua bayangan sukma Wiro lainnya juga dengan menggunakan ilmu yang sama menarik lepas dan menghempaskan tubuh Lakarontang dari tubuh Lakasipo! Setelah berhasil merebut jantung dan membebaskan lakasipo dari cengkraman Lakarontang, Ketiga bayangan sukma Wiro akhirnya kembali memasuki sosok sukma sang pendekar. Wiro kemudian mengeluarkan bunga matahari kecil dari balik pinggangnya seraya berucap,

"Wahai bunga matahari sakti, aku mohon kalian sembuhkan luka saudaraku ini..." ucap sang pendekar seraya mengelus bunga tersebut ke punggung dan dada Lakasipo.

"Wahai pendekar, ini adalah pertolongan kami yang terakhir... jika kami menuruti perintahmu kali ini, maka kami tidak akan bisa menemanimu lagi dan tidak bisa membantumu menyembuhkan gurumu dari penyakitnya. Apakah dirimu bisa menerimanya?" ucap suara kecil yang terdengar mengiang di telinga sang pendekar.

Wiro yang mengetahui bahwa suara tersebut berasal dari bunga matahari kecil penjelmaan delapan pocong gadis cantik tersebut hanya bisa tersenyum pasrah. "Sembuhkanlah saja diri saudaraku ini. Mengenai penyakit eyang sinto aku masih percaya pada gusti Allah. Gusti allah pasti akan menunjukan jalan lain bagiku guna menolong eyang guruku itu...!" ucap sang pendekar seraya kembali mengusap punggung dan dada lakasipo bolak balik dengan menggunakan delapan kuntum bunga matahari kecil.

Sementara itu diseberang sana, lakarontang menyaksikan apa yang dilakukan oleh sang pendekar dengan kemarahan yang tak terhingga! Dirinya benar-benar tak bisa terima kena dipecundangi oleh Wiro, dalam kemarahan yang menggelora. Sosoknya tiba-tiba terlihat berubah merah membara dan mengepulkan asap! Perlahan namun pasti lakarontang berjalan kearah Sang pendekar, langkahnya yang mantap meninggalkan jejak berapi diatas tanah!

EMPAT

Delapan bunga matahari kecil perlahan sirna begitu luka di punggung dan didada lakasipo bertaut kembali, "Selamat tinggal wahai pendekar. Terima kasih sudah menjaga kami selama ini..." kembali terdengar suara di telinga Wiro.

Wiro memperhatikan delapan bunga matahari yang perlahan memudar sirna ditangannya, sebelum sirna keseluruhan sang pendekar masih menyempatkan diri menciumi kedelapan bunga matahari kecil tersebut.

"Sampai jumpa lagi sahabat-sahabatku... sampaikan rasa terima kasihku pada Nyi Loro Jonggrang..." ucap sang pendekar kala bunga terakhir terlihat menghilang.

Wiro lalu kemudian memapah lakasipo dan menyerahkannya pada salah seorang dari keempat orang berjubah hitam yang membawa guci kecil di pinggangnya. Orang tersebut langsung menerima dan menaruh Lakasipo yang masih pingsan keatas pundaknya.

"Lekaslah kalian membawa lakasipo keluar dari sini. Biar aku saja yang menghadapi makhluk salah ujud itu..." Ucap sang pendekar kala melihat Lakarontang beranjak mendekat kearah mereka.

Keempat orang berjubah hitam saling pandang seketika sebelum akhirnya menganggukan kepalanya serempak. Wiro terkejut manakala dirasanya keempat orang berjubah hitam tersebut bersamaan meletakkan telapak tangan mereka masing-masing kepundak dan punggungnya.

"Apa-apaan kalian ini?" seru sang pendekar.

"Tenanglah Wiro, kami hanya ingin menitip empat pukulan sakti kepadamu untuk kau pergunakan menghadapi makhluk tersebut. Harap kau bersiap-siap!"

Wiro terkejut kala seorang dari keempat orang berjubah hitam ini menyebut namanya. Sang pendekar baru hendak membuka suara namun sontak dibatalkan saat dirasakan dari keempat pasang tangan yang menempel di punggungnya mengalir empat arus gelombang tenaga yang mencurah laksana banjir kedalam tubuhnya!

Wiro pejamkan mata untuk mengalirkan empat arus tenaga yang berbeda itu kearah pusarnya. Saat Wiro berkonsentrasi untuk mengatur keempat arus tenaga pukulan di dalam tubuhnya, wajah sang pendekar tiba-tiba terlihat berubah kala mendengar suara bisikan lirih di telinganya. Begitu dirasakannya keempat pasang tangan sudah tidak lagi menyentuh pundaknya, sang pendekar sontak membuka sepasang matanya dan memandang ke sekelilingnya namun keempat orang berjubah hitam itu sudah tidak terlihat lagi di belakangnya.

"Ternyata mereka masih hidup. Gusti Allah Maha Besar! Aku benar-benar tidak menyangka!" ucap Wiro terkejut dan unjukan wajah senang.

Namun kegembiraan Wiro hanya berlangsung sesaat kala dilihatnya dari lima penjuru memapak dinding api berwarna biru hendak meluluh lantakkan tubuhnya! Wiro mengerutkan kening sembari memikirkan cara melawan pukulan yang dilancarkan dari keempat penjuru dan dari atas kepalanya tersebut, sang pendekar tiba-tiba teringat pada satu pukulan dari keempat pukulan yang diberikan oleh salah satu orang berjubah hitam tersebut, mengingat hal tersebut Wiro kemudian mengerahkan tangan kanannya sembari mengepal dan menghantam keatas!

Dari kepalan Wiro kemudian keluar satu sinar kelabu yang memancar berbentuk gulungan angin yang tiba-tiba memencar menjadi lima jalur pukulan sinar kelabu yang dibalut gulungan angin raksasa melesat dan menghantam dinding api biru yang dilepaskan oleh Lakarontang! Sang pendekar telah mengeluarkan salah satu pukulan langka bernama Badai Lima Penjuru!

Begitu kelima jalur pukulan Badai Lima Penjuru menghantam kelima dinding api biru yang dilepaskan oleh Lakarontang maka terdengarlah lima letusan besar di udara kala sepuluh jalur pukulan saling bentrok dan menghantam tabir angin, udara di dalam pusaran angin terasa panas menyesakkan!

Hal inilah yang menyebabkan tabir angin bertiup semakin kencang hingga akhirnya Ratu Randang dan kawan-kawan yang berada diluar dapat menyaksikan pertarungan yang terjadi antara Wiro dan lakarontang. Akan halnya dengan lakarontang kala melihat kelima pukulan Dinding Geni Sewu miliknya berhasil dipatahkan oleh Wiro menggunakan salah satu pukulan milik orang-orang berjubah hitam, makhluk tengkorak ini semakin tak mampu mengendalikan amarahnya!

Tubuhnya yang berbentuk jerangkong kini terlihat membara dan diselimuti kobaran api berwarna biru! "Pemuda Keparat! kau benar-benar membuatku marah! Peduli setan dengan tubuhmu! Aku masih bisa mendapatkan tubuh lain yang sepuluh kali lebih baik dari tubuhmu! terima kematianmu!" seru lakarontang sembari menghentakkan kakinya ke dalam tanah, lalu dari tanah hentakan kaki lakarontang terlihat belahan tanah yang memancarkan lidah api berwarna biru bergerak kearah Wiro dengan cepatnya!

Sang pendekar nampak terkejut kala melihat pukulan yang dikeluarkan oleh lakarontang ini namun sang pendekar masih bisa berpikir jernih, dengan menggunakan pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah Wiro berhasil membuat rengkahan tanah yang mengejarnya buyar porak poranda. Namun kembali sang pendekar dibuat terkejut manakala dari dalam rengkahan tanah melesat puluhan sosok kecil yang menerjang kearah dirinya dengan berbagai senjata terhunus!

"Terkutuk dirimu wahai lakarontang...!" bentak Wiro dengan gusar kala melihat sosok-sosok bayangan kecil yang menyerangnya ternyata adalah sosok mayat hidup dari puluhan bayi dan anak kecil!

Dengan hati gundah Sang pendekar kemudian mengeluarkan pukulan Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih untuk menghalau serangan yang dilancarkan gerombolan mayat hidup kecil tersebut, tubuh puluhan mayat hidup malang tersebut terlihat berpelantingan terkena hantaman angin pukulan yang dilancarkan oleh sukma Wiro.

Kemarahan Wiro tidak hanya sampai disitu, sang pendekar kemudian terlihat meloncat keatas sejauh sepuluh tombak untuk kemudian laksana rajawali melesat sang pendekar dengan kedua kaki terkembang melancarkan tendangan yang memancarkan cahaya hitam redup mengarah tubuh Lakarontang!

Sang pendekar kembali mengeluarkan ilmu yang dititipkan kepadanya oleh salah satu dari keempat orang berjubah dan berkerudung hitam. Sesunguhnya ilmu tendangan ini bukanlah ilmu yang asing bagi sang pendekar karena konon saat masih di negeri Latanahsilam dulu, ilmu tendangan yang dikenal dengan sebutan Tendangan Racun Tujuh ini pernah hampir merenggut nyawanya. (Baca episode Hantu Santet Laknat)

Sementara itu diluar pusaran angin, pertempuran yang terjadi antara Raja Mataram dan rombongan Arwah Ketua dan yang lainnya melawan sisa-sisa laskar lakarontang telah mencapai puncaknya manakala laskar terakhir Lakarontang tumbang dari tunggangannya. Sorak-sorai terdengar bergemuruh keluar dari mulut para penjaga istana atap langit dan sisa-sisa anak buah Sangkala Darupadha yang berhasil terbebas dari Cengkraman kendali Lakarontang dan anak buahnya.

Terlihat Datuk Rao Basaluang Pitu berjalan bersama dengan rombongan resi kali jagat ampusena menuju tempat dimana Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala Berada. Sang raja yang melihat kedatangan rombongan orang-orang yang tadi dilihatnya turun dari langit bersama Ksatria Panggilan dan langsung bergabung menggempur lakarontang dan laskarnya segera merangkapkan tangan didepan dada.

"Saya selaku Raja Mataram menghaturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan yang ki sanak dan ni sanak berikan. Tanpa bantuan kalian semua, rasanya sukar untuk dapat mengalahkan seluruh Laskar mayat hidup ciptaan Makhluk tengkorak itu!" ucap sang raja.

"Yang mulia tidak perlu merendahkan diri seperti itu. Memang sudah kewajiban kita semua selaku manusia untuk membantu sesama dan menghancurkan semua bentuk kejahatan...!" ucap Datuk Rao Basaluang Pitu sembari membalas penghormatan yang diberikan oleh Raja Mataram.

Sang Datuk kemudian memperkenalkan dirinya beserta rombongan Arwah Ketua kepada Raja Mataram. Saat giliran Si segala tahu memperkenalkan diri, sang raja terlihat mengerutkan keningnya. "Kalau saya tidak salah bukankah anda adalah Lor Pengging Jumena, eyang buyut Kumara Gandamayana..." ucap sang raja.

Si segala tahu terlihat terkekeh sebelum mengoyang kaleng rombengnya dengan keras. "Maafkan ketidak-sopanan saya yang mulia. Memang benar saya dulu bernama Lor Pengging Jumena. Namun saya berharap yang mulia memanggil nama saya yang sekarang yakni si segala tahu..."

Sang raja terlihat menganggukan kepalanya dengan sedih. "Aku benar-benar seorang raja yang tidak berguna. Aku tidak mampu melindungi semua orang kepercayaanku hingga akhirnya mereka semua menemui kematian..." desah sang raja sembari menatap tubuh kaku kumara gandamayana yang terbujur kaku di salah satu pilar penyangga keraton.

"Yang mulia, jodoh, nasib, ajal dan rejeki merupakan rahasia sang hyang jagatnatha! Mereka yang mati dalam membela kebenaran niscaya mendapat tempat yang terindah di swargaloka. Jadi janganlah yang mulia menyesali nasib dan mempersalahkan diri sendiri..." ucap si segala tahu sembari kembali membunyikan kaleng rombengnya.

Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala nampak tersenyum mendengar apa yang diucapkan oleh si segala tahu. Saat sang raja hendak membalas ucapan si segala tahu, tiba-tiba saja kembali terdengar suara dentuman dari balik dinding angin. Maka nampaklah secara samar dari luar pusaran angin Wiro yang tadinya menyerang lakarontang dengan serangan tendangan racun tujuh terlihat terjengkang akibat hempasan pukulan yang dilancarkan oleh lakarontang guna memapak tendangan beracun yang dilancarkan sang pendekar.

"Celaka...! Bagaimana ini datuk? Kita harus bergegas menolong Wiro secepatnya! Wiro tampaknya sudah kepayahan..." ucap Jaka Pesolek dengan cemas manakala dilihatnya sang pendekar kembali terlihat bangkit dan kini tampak sedang mengadu tenaga dalam melawan lakarontang sijenazah simpanan.

Datuk Rao Basaluang Pitu terlihat mengngagukan kepalanya. Jemari tangannya terlihat bergerak kian kemari seakan menghitung sesuatu. "Baiklah, waktunya memang tinggal sebentar lagi. Aku akan mencoba untuk melenyapkan dinding angin ini, namun aku membutuhkan bantuan kalian semua..." ucap Sang Datuk masih terlihat menghitung dengan jemarinya.

"Pada saat aku berhasil melenyapkan dinding angin ini, dengan mengikuti seruan ku, kalian semua harus segera mengeluarkan ilmu pukulan kalian dan menghantam secara bersamaan kearah makhluk tengkorak didalam sana. Apa kalian mengerti?" sambung Sang Datuk.

Kami semua mengerti datuk, kami akan menghantam lakarontang dengan ilmu terbaik kami bertepatan dengan aba-aba dari datuk..." ucap Raja Mataram.

Datuk Rao Basaluang Pitu kemudian terlihat berjalan mendekat kearah dinding angin. Begitu sampai dihadapan dinding angin nampak Datuk Rao Basaluang Pitu mengeluarkan sebuah saluangnya dan menusuk saluang tersebut kedalam dinding angin! Satu suara rendah terdengar keluar dari saluang Sang Datuk. Tidak sampai disini tiba-tiba saja dari tubuh Sang Datuk keluar enam sosok lainnya yang sama dan menyerupai Sang Datuk sembari memegang enam buah saluang yang berbeda warna.

Keenam kembaran datuk rao ini kemudian terlihat melakukan hal seperti yang dilakukan oleh datuk rao basalaung pitu yang pertama yaitu menusuk saluang ditangan masing-masing kedalam dinding angin! Beberapa saat kemudian terdengarlah suara melodi yang keluar dari ketujuh saluang! Dan benar-benar ajaib! Keseluruhan dinding angin laksana tersedot kedalam saluang dan keluar lagi dari dalam saluang dalam bentuk sebuah tembang atau gending yang merdu namun aneh!

Sementara itu berbarengan dengan musnahnya dinding angin, Sang Datuk terdengar berseru dengan keras. "Sekarang...!"

Berbarengan dengan seruan Sang Datuk, semua orang yang berada di tempat itu termasuk sisa-sisa anak buah Sangkala Darupadha dan para penjaga Istana Atap Langit secara berbarengan melepaskan pukulan sakti yang mereka miliki kearah Lakarontang!

Raja Mataram nampak mengeluarkan pukulan andalannya yaitu Dewa Kembar Menggusur Gunung, sementara Kunti Ambiri mengeluarkan pukulan Kobra karang Penghancur tulang. Dengan kata lain, semua orang yang berada di tempat itu secara bersamaan serentak mengeluarkan ilmu andalan masing-masing yang sulit untuk disebut satu persatu termasuk rombongan Datuk Rao Basaluang Pitu.

Maka dapat dibayangkan bagaimana dahsyatnya serangan yang dilancarkan oleh ratusan orang berkepandaian tinggi ini. Langit mataram yang masih diselimuti kegelapan terlihat terang benderang laksana muncul mentari kedua kala ratusan jalur pukulan sakti menghantam tubuh tengkorak lakarontang!

Lakarontang berteriak setinggi langit! Segenap tulang dan organ dalam tubuhnya yang kelihatan terlihat bergetar keras! Bara api yang menyelimuti tubuhnya sontak menciut padam. Namun makhluk tengkorak ini memang benar-benar luar biasa, Ratusan pukulan sakti yang dilepaskan kearahnya sama sekali tidak membuatnya terluka. Hanya membuat api ditubuhnya padam.

"Ah, dengan cara apa kita bisa menghabisi riwayat makhluk satu ini. Semua pukulan sakti nampaknya tidak dapat menjamah tubuhnya!" keluh Raja Mataram.

"Bersabarlah yang mulia, kebenaran pasti akan selalu berada diatas kejahatan. Lihatlah keatas! Tanda-tanda kekuasaan Sang Hyang Jagatnatha telah menunjukkan kebesarannya!" ucap Sang Datuk seraya menunjuk keangkasa.

LIMA

Semua orang yang mendengar ucapan Datuk Rao Basaluang Pitu sontak memalingkan wajah menatap keatas, dilangit angkasa nampaklah ketujuh rasi bintang yang terlihat menaungi langit mataram tiba-tiba bercahaya lebih terang, lalu nampak satu cahaya biru berbentuk bintang berekor melesat membelah angkasa menuju kearah Lakarontang!

"Ekor Bintang Menghujam Latinggimeru...!" teriak Lakarontang ketakutan.

Bagaimana tidak! Pukulan langka milik Gurunya yakni Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Wujud ini adalah satu-satunya pukulan yang paling ditakutinya karena pernah hampir menamatkan riwayatnya dulu kala dilepas oleh Luh Pingkanmatindas gadis kepala negeri Latanahlaut. (silahkan baca episode Si Pengumpul Bangkai) Lakarontang berusaha untuk bergerak menghindar, namun tubuhnya terasa kaku akibat hantaman ratusan jalur pukulan sakti yang menghantam tubuhnya.

"Jahanaaaam...!" Teriak lakarontang keras kala melihat sinar benderang yang turun dari langit dan tak dapat dihindarkan lagi tersebut. maka detik itu juga tanpa mampu menghindar atau menangkis lagi tubuh sang jenazah simpanan langsung terhempas dihantam pukulan sakti berbentuk bintang jatuh yang turun dari langit!

Satu ledakan keras terdengar seketika dibarengi hamparan sinar yang menyeruak kesegala arah! Sukma Wiro yang berada paling dekat dengan lakarontang pun merasakan dampaknya. Mata sang pendekar terlihat terkatup rapat mencoba menahan getaran yang menyerang jantungnya. Adapun tubuh kasarnya yang tergeletak di tanah terlihat terlempar keras menghantam sebatang pohon.

"Wiro...!" teriak Ratu Randang keras seraya memburu kearah tubuh sang pendekar yang menghempas pohon.

"Jangan sentuh!" teriak si segala tahu namun usahanya sia-sia kala didengarnya Ratu Randang menjerit seraya memegangi tangan kanannya yang terlihat melepuh akibat menyentuh tubuh Wiro yang merah membara!

Sementara itu hanya sesaat setelah tubuh lakarontang terhempas pukulan Ekor Bintang Menghujam Latinggimeru. Tiba-tiba dari angkasa kembali terlihat sebuah benda raksasa yang melayang jatuh. Setelah diperhatikan secara seksama benda hitam raksasa yang melayang tersebut ternyata adalah sosok sebatang pohon beringin raksasa!

Pohon beringin raksasa ini terlihat terbang melayang dengan diiringi delapan buah batu merah yang dibungkus dengan kain bermotif catur yang terlihat melayang mengitari pohon beringin raksasa tersebut.

"Akhirnya datang juga...! desah Datuk Rao Basaluang Pitu lega.

Pohon beringin raksasa tersebut kemudian mengikuti jejak bintang berekor yang jatuh dari langit, jatuh ketanah tepat di tempat semula lakarontang berdiri. Suara dentuman keras kembali terdengar berbarengan dengan kepulan debu dan tanah yang berterbangan.

Setelah kepulan debu mulai menghilang dari pandangan maka nampaklah bahwa semua orang yang berada disitu sama-sama terduduk ditanah tidak terkecuali Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala! Hanya Datuk Rao Basaluang Pitu yang nampak masih tetap berada diatas menjangan tunggangannya.

"Sinar apa itu tadi kunti? Wujudnya kok seperti bintang jatuh...!" ucap Jaka Pesolek sembari menarik kaki celana Kunti Ambiri yang berada disebelahnya.

Kunti Ambiri yang merasa jengkel karena kain celananya ditarik hingga hampir melorot kontan menjitak kepala Jaka Pesolek. "Nanya sih kira-kira! Tapi jangan main tarik celana orang!" sewot Kunti Ambiri.

Sementara itu setelah pandangan sudah tidak terhalang lagi maka nampaklah di tengah alun-alun keraton berdiri sebuah pohon beringin raksasa dengan dikelilingi delapan buah batu yang terbungkus kain bermotif catur. Nampak seorang pria setengah baya mengenakan pakaian hitam bermotif bunga tanjung berdiri dengan gagah di bawah pohon beringin tersebut.

"Malam hormat guru, semoga guru sehat-sehat selalu. Maafkan keterlambatan saya..." ucap pemuda tersebut sembari menjura hormat kepada Datuk Rao Basaluang Pitu.

"Kau sudah menjalankan tugasmu dengan baik, aku benar-benar bangga akan dirimu. Namun aku masih mempunyai satu permintaan lagi, entah apa aku boleh merepotkanmu sekali lagi..." ucap Datuk Rao Basaluang Pitu terdengar sedih.

Sang pemuda yang mendengar nada suara Sang Datuk tertawa perlahan. "Guru, jika guru masih ada permohonan guru tinggal menyebutkan saja aku pasti dengan sukarela menjalankannya. Masalah Kitab Jagat Pusaka Dewa yang guru katakan tidak berjodoh denganku sudah tidak menjadi beban pikiranku lagi..." ucap sang pria ringan.

"Anak bagus! anak baik, aku memang tidak salah menilai dirimu..." ucap Sang Datuk sembari memandang pria dihadapannya dengan pandangan berbinar. "Aku memang ingin meminta sesuatu untuk kau kerjakan, namun ada baiknya jika kita melihat dulu keadaan Ksatria panggilan, coba kau tolong bantu aku untuk menyadarkan sukmanya..." ucap Sang Datuk seraya menunjuk sukma Wiro yang tergeletak diatas tanah.

Pria yang diketahui sebagai murid Datuk Rao Basaluang Pitu ini kemudian terlihat menggerakkan tangan membelai wajah sang pendekar dari kejauhan. Sukma Wiro perlahan membuka sepasang matanya yang sedari beberapa saat sebelumnya terkatup rapat karena menahan getaran yang terjadi akibat bentrokan dahsyat yang terjadi manakala ratusan pukulan sakti ditambah serangan luar biasa berbentuk sinar dari angkasa menghantam tubuh Lakarontang.

Saat sang pendekar membuka matanya, sosok yang pertama dilihatnya adalah sosok seorang pemuda tegap berkumis dan bercambang tipis yang mengenakan pakaian hitam bersulam bunga tanjung di dada dan sepanjang garis celananya.

"Suma Mahendra...!" seru Wiro kaget bukan kepalang!

(mengenai perihal Suma Mahendra silahkan baca episode Topan Gurun Tengger)

Pemuda yang dipanggil dengan sebutan Suma Mahendra hanya tersenyum saat melihat Wiro yang nampak terkejut kala melihat wajahnya. "Sahabat kau keliru, Namaku adalah Mahendra Yudha. Ayah Suma Mahendra, orang yang kau sebut tadi...!" Ucap sang pemuda sembari tersenyum.

Kunti Ambiri yang berada paling dekat dengan Wiro langsung menukas. "Pemuda ini adalah orang yang menyegel makhluk tengkorak yang tadi kau lawan. Dia adalah murid dari kakek yang berdiri dekat menjangan berbulu emas. Namanya Datuk Rao Basaluang Pitu..."

Wiro memandang wajah Kunti Ambiri dan wajah kakek yang disebut oleh Kunti Ambiri pulang balik. "Kau bilang Datuk Rao Basaluang Pitu?" Tanya Wiro yang dibalas dengan anggukan oleh Kunti Ambiri.

Datuk Rao Basaluang Pitu yang mendengar percakapan antara Wiro dan Kunti Ambiri terlihat tersenyum. "Apa yang diucapkan oleh gadis sahabatmu adalah benar ksatria panggilan. Orang-orang biasa memanggilku dengan sebutan Datuk Rao Basaluang Pitu..."

Mendengar apa yang diucapkan oleh Sang Datuk Wiro perlahan berjalan mendekat dan mencium tangan sang kakek. "Maafkan kelancangan saya datuk, namun bolehkan saya mengetahui hubungan datuk dengan Datuk Rao Basaluang Ameh..." ucap Wiro dengan hormat.

Mendengar apa yang dikatakan oleh Wiro, senyum cerah terlihat diwajah Sang Datuk. "Ah dia adalah cicitku yang paling kecil. Saat ini masih berada bersama mamaknya di Danau Maninjau!" ucap Sang Datuk ringan namun apa yang diucapkan oleh Sang Datuk tersebut laksana petir menggelegar di telinga sang pendekar!

Tubuh Wiro bergetar dan sontak terduduk berlutut hormat. Kakek yang berada didepannya ternyata adalah kakek buyut gurunya di tanah Andalas. Datuk Rao Basaluang Ameh! "Maafkan kelancangan saya datuk. Tadi saya tidak mengetahui dan mengenal diri datuk...!"

Datuk Rao Basaluang Pitu terlihat tertawa lepas sambil mengelus rambut gondrong sukma sang pendekar. "Dasar anak bodoh! Tentu saja kau tidak akan mengenali diriku! Sedang cicitku yang akan menjadi gurumu nantinya saja saat ini masih menyusui dan belum mengenal diriku apalagi kamu yang seharusnya belum dilahirkan...!" ucap Sang Datuk sambil memapah sang pendekar untuk bangkit berdiri. "Bangunlah cucuku, mari kuperkenalkan kepada muridku dan yang lainnya..."

Wiro pun kemudian berdiri dan memandang orang-orang disekitarnya satu persatu. "Seperti yang dikatakannya barusan, lelaki didepanmu ini adalah Mahendra Yudha, salah seorang muridku. Dialah orang yang tadi menggunakan ilmu Ekor Bintang Menghujam Latinggimeru untuk melumpuhkan Lakarontang serta membawa Pohon Beringin Dewa kemari..." Ucap Sang Datuk.

Semua orang sontak memandang Mahendra yudha dengan pandangan kagum. "Sudah ganteng, ilmunya tinggi pula! Kayaknya aku jatuh cinta..." bisik Jaka Pesolek sembari mengedip-ngedipkan matanya.

Sementara itu Wiro nampak menjura hormat kearah Mahendra Yudha. "Buah yang baik ternyata memang berasal dari pohon yang baik pula. Saya senang bisa mengenal Anda..." ucap sang pendekar.

Mahendra yudha nampak tersenyum seraya menepuk pundak Wiro. "Kau anak baik. Restuku akan selalu bersertamu..." ucap Mahendra Yudha dengan ramah.

Sang datuk pun kemudian memperkenalkan Resi Kali Jagat Ampusena dan yang lainnya kepada Wiro. dan saat sang pendekar diperkenalkan kepada si segala tahu sang pendekar pun kembali terhenyak.

"Kakek Segala Tahu! Bagaimana kakek bisa berada disini?" seru sang pendeakr dengan gembira seraya menguncang-guncang tangan sang kakek.

"He he he...! lagi-lagi kau salah mengenali orang. Namaku adalah si segala tahu bukan kakek segala tahu!" ucap sang kakek sambil menggoyangkan kaleng ditangannya dengan keras.

Wiro pandangi seluruh tubuh sang kakek seakan tidak percaya. Tongkat sang kakek, caping sang kakek, kaleng bahkan sepasang matanya yang putih ditatapnya dengan baik-baik.

"Kau benar kek, kau memang bukan kakek segala tahu. Hanya penampilan kalian berdua yang benar-benar mirip..." ujar sang pendekar masih terus memperhatikan tubuh si segala tahu dari atas ke bawah.

Sementara itu ratu randang terlihat berjalan membopong sinto gendeng dan menyerahkannya ke pada sukma Wiro.

"Nek! Gusti Allah! Apa yang terjadi dengan Eyang Sinto?" Ucap sang pendekar seraya mendekap tubuh eyang gurunya tersebut.

"Gurumu tidak apa-apa! dirinya hanya tidak sadarkan diri untuk sementara waktu akibat meletusnya benjolan dikeningnya. Janganlah kau terlalu kuatir..." ucap Si Segala Tahu sembari menepuk pundak Sukma Wiro.

Sang Pendekar tidak menyahut ucapan Si Segala Tahu, wajahnya terlihat sangat sedih. "Yang mulia pimpinan, tugas kami di sini sudah selesai. Ijinkanlah kami kembali ke istana atap langit..." ucap Kelelawar hantu yang sedang bertengger diatas pohon dimana rombongan Wiro bediri.

Sang pendekar terlihat menatap keatas pohon. "Aku berterima kasih atas bantuanmu, Kelelawar hantu. Aku berharap kita bisa berjumpa di suatu waktu nanti..." ucap sang pendekar lirih.

Sang kelelawar terlihat menganggukkan kepalanya sebelum akhirnya terlihat terbang melayang bersama rombongan makhluk berjubah hitamm putih.

"Selamat tinggal yang mulia pimpinan...!" seru sang kelelawar dari kejauhan.

Sementara itu tidak jauh dari situ nampak Arwah Ketua juga melepas kepergian sisa-sisa anak buah Sangkala Darupadha sang Raja Jin Hutan Roban yang tewas di tangan Lakarontang.

Setelelah beberapa saat larut dalam kesunyian, Datuk Rao Basaluang Pitu nampak berujar kepada Mahendra Yudha. "Muridku, seperti yang kusampaikan sebelumnya, aku punya permintaan terakhir yang ku harap bisa kau laksanakan..."

Mahendra Yudha nampak membungkuk memberi hormat. "Permintaan guru adalah suatu kehormatan bagi diri saya. Silahkan guru memberikan perintah, saya akan berusaha menjalankannya sebaik mungkin..." ucap Mahendra Yudha.

"Mahendra, walaupun Lakarontang sudah berhasil kita kunci di dalam Beringin Dewa dan tersegel oleh delapan batu formasi penjaga namun aku khawatir kejadian yang terjadi akibat kesalahan Mimba Purana terulang kembali. Oleh karenanya aku berharap kamu mau melanjutkan tapamu didalam pohon ini menggantikan tapamu di pohon tanjung di Singosari sana. Harus ada seseorang yang menahan Lakarontang dalam tempat penahanannya..." tutup sang datuk.

Mahendra Yudha nampak membungkuk hormat, "Perintah datuk akan saya laksanakan, sekarang ijinkanlah saya melaksanakan perintah..." ucap sang pria sembari berjalan mendekat kearah pohon Beringin Dewa.

Sang datuk terlihat berkaca-kaca saat melihat punggung sang murid. Sementara itu Mahendra Yudha nampak menempelkan kedua tangannya ke pohon beringin dewa. perlahan namun pasti pohon beringin dewa yang dipegang oleh Mahendra Yudha termasuk kedelapan batu nampak mulai samar hingga akhirnya lenyap sama sekali. Tubuh Murid Datuk Rao Basaluang Pitu tersebut juga tampak perlahan menghilang bersamaan dengan menghilangnya beringin dewa dari pandangan semua orang.

ENAM

Selepas menghilangnya Beringin Dewa yang dijaga oleh Mahendra Yudha, Datuk Rao Basaluang Pitu menepuk pundak Sukma Wiro perlahan. "Anak baik, kau sudah berusaha sekuat mungkin... janganlah terlalu bersedih hati...!"

Wiro yang masih memeluk tubuh sinto gendeng yang tak sadarkan diri menatap kearah Datuk Rao Basaluang Pitu. "Bagaimana saya tidak bersedih datuk? Sampai saat ini eyang guru belum juga sadar. Saya juga tidak tahu bagaimana caranya membawa eyang balik ke tanah jawa dengan keadaan seperti ini..." ucap sukma Wiro sedih sembari menatap kearah tubuhnya yang terlihat dijagai oleh sahabat-sahabatnya.

Datuk Rao Basaluang Pitu memberikan tanda kepada Wiro untuk berjalan bersamanya. Sukma Wiro kemudian bangkit seraya membopong tubuh sinto gendeng dan berjalan bersama Sang Datuk kearah tubuhnya yang tergeletak. Ratu Randang dan kawan-kawannya beserta Raja Mataram terlihat memberi jalan kepada Datuk Rao Basaluang Pitu dan sukma Wiro.

"Wiro, biar aku menggendong gurumu..." ucap Kunti Ambiri pelan sembari mengangsurkan kedua tangannya.

Wiro tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. Datuk rao pandangi sukma Sang Pendekar dan berujar. "Ada baiknya kau lakukan apa yang dikatakan sahabatmu itu. Janganlah terlalu kuatir terhadap gurumu, sekarang ini keadaanmulah yang terpenting..." ucap Sang Datuk.

Wiro walaupun merasa berat akhirnya perlahan menyerahkan tubuh sinto gendeng yang terkulai pingsan kedalam pondongan Dewi ular. "Buat saya keadaan saya bukanlah suatu hal yang harus terlalu dipikirkan, saya hanya memikirkan keadaan eyang guru..." uucap sukma Wiro sedih.

"Kau memang anak yang berbakti. Jangan kuatirkan keselamatan gurumu itu, Dia akan baik-baik saja..." ucap Sang Datuk. Datuk Rao Basaluang Pitu kemudian terlihat memandang langit yang mulai terang diufuk timur lalu memandang kearah Jaka Pesolek.

"Anak baik, mungkin diantara semua yang ada disini hanya kau seorang yang mampu memegang dan menyentuh tubuh Ksatria Panggilan. Disamping itu hanya kau seorang yang mempunyai kecepatan paling tinggi diantara kami semua. Oleh karenanya demi nyawa sahabatmu itu maukah kau menolongnya sekali ini?"

Jaka Pesolek yang ditanya langsung mengaggukan kepalanya. "Datuk jangan kan sekali walaupun harus berkali-kali aku pasti akan menolong sahabatku ini! Katakan sajalah datuk apa yang harus aku lakukan! maka Akan aku lakukan sekarang juga!" ucap gadis ini membuat sukma Wiro terharu.

"Kau harus membawa tubuh Ksatria Panggilan kedalam candi prambanan sebelum sinar mentari pagi menyinari tubuhnya dan membuat racun warangan nyawa dalam tubuhnya membakar tubuh Ksatria Panggilan dari dalam! Ingatlah wahai Jaka Pesolek sebelum sinar mentari mengenai tubuh Ksatria Panggilan dan sebelum sinar mentari mencapai titik puncak tertinggi candi prambanan kau harus sudah berada didalam candi dan meletakan tubuh Ksatria Panggilan dihadapan patung Nyi Loro Jonggrang! Hanya itulah satu-satunya kesempatan untuk menyelamatkan nyawa sahabatmu ini..." ucap Sang Datuk.

Sementara itu setelah Sang Datuk selesai berucap langit, diufuk timur semburat mentari mulai menampakkan wujudnya, pucuk-pucuk pepohonan kini mulai terlihat jelas.

"Celaka! Pagi sudah menjelang! Aku harus bergegas kalau begitu..." ucap sang gadis terkejut.

Secepatnya sang gadis lalu mengangkat tubuh Wiro lalu dibopongnya tubuh sang pendekar dalam rangkulannya. Tidak seperti Ratu Randang yang tangannya terluka melepuh akibat menyentuh tubuh Wiro, tangan sang gadis sama sekali tidak terluka sedikitpun!

"Aku pergi dulu Wiro...!" ucap sang gadis kearah sukma Wiro yang dibalas dengan anggukan kepala oleh sukma sang pendekar.

Jaka Pesolek kemudian terlihat melesat cepat kearah candi prambanan berada sementara sinar matahari terlihat seolah-olah berkejaran dibelakang punggungnya! Benar-benar menakjubkan kecepatan gadis yang bisa laki bisa perempuan tersebut! Sementara itu setelah kepergian Jaka Pesolek. Datuk Rao Basaluang Pitu terlihat menjura kearah Sri Maha Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.

"Yang Mulia untuk dapat mengeluarkan racun warangan nyawa yang terendap di dalam tubuh Ksatria Panggilan mungkin bukanlah suatu hal yang mudah, mengingat racun warangan nyawa yang masuk kedalam darah dan nadi Ksatria Panggilan adalah penjelmaan satu mahluk hidup yang amat jahat. Dalam hal ini mungkin akan kembali menyusahkan diri Yang Mulia..."

Raja Mataram memandang kearah Datuk Rao Basaluang Pitu. "Janganlah sungkan wahai Datuk, selama ini Ksatria Panggilan sudah terlalu banyak melimpahkan budi kepada diriku dan seluruh rakyat mataram. Apa yang terjadi pada dirinya dan pada gurunya tentu saja sudah merupakan salah satu kewajibanku karena akulah yang mengundangnya hadir kenegeri ini. Oleh karenanya jika aku bisa membantu mengobati atau setidaknya meringankan beban yang diderita oleh Ksatria Panggilan sungguh merupakan satu kehormatan bagiku...!"

Datuk Rao Basaluang Pitu mengelus janggutnya yang berwarna putih keperakan lalu Sang Datuk terdengar mendendangkan sebuah senandung.

Jalan terang menuju kehidupan
Jalan gelap menuju kematian
Entah mengapa banyak orang berjalan dibalik kegelapan
Dibalik kesenangan tersimpan derita dan nestapa
Berbuat kebajikan sebelum kembali ke asal
Dari tanah menjadi tanah
Biarlah raga menjadi batu
Ketimbang hati berkalang tanah
Hati bersih jiwa terang


Raja Mataram dan yang lainnya mendengarkan senandung yang didendangkan oleh Datuk Rao Basaluang Pitu dengan alam pikiran masing-masing.

"Racun warangan yang merasuk kedalam tubuh Ksatria pangilan berbeda dengan semua racun yang ada dimuka bumi! Racun warangan nyawa sama sekali tidak memiliki penangkal! Satu-satunya cara mengatasi racun warangan nyawa adalah dengan membunuh makhluk yang menjadi cikal perwujudan racun tersebut sebelum mencapai jantung sang korban..." ucap Datuk Rao Basaluang Pitu sesaat setelah mengakhiri nyanyiannya.

"Maafkan saya menyela Datuk, namun bagaimana caranya membunuh makhluk yang hidup dan berkeliaran didalam jalur darah dan nadi makhluk hidup lainnya?" potong Ratu Randang.

Datuk Rao Basaluang Pitu menghela nafas berat. "Itulah masalahnya! Makhluk yang mengeram didalam darah dan nadi hanya bisa dihancurkan dan dibunuh dengan kekuatan empat orang manusia sakti yang memiliki gabungan kekuatan tenaga dalam inti api dan inti es yang sudah mencapai puncaknya!" ucap Sang Datuk.

"Apakah ditanah Mataram ini kalian mengenal orang-orang yang memiliki kekuatan tenaga dalam seperti yang kusebutkan tadi?" sambung Datuk Rao Basaluang Pitu sembari memandang kearah Raja Mataram dan Ratu Randang.

Keduanya saling bertatapan lalu menggeleng kepala perlahan.

"Bagaimana dengan dirimu sendiri Ksatria Panggilan? Apakah dijamanmu kau memiliki kenalan yang memiliki kekuatan tenaga dalam inti api ataupun inti es?"

Wiro terlihat berpikir keras mendengar pertanyaan yang dilontarkan Datuk Rao Basaluang Pitu. "Aku memang memiliki beberapa sahabat yang memiliki kekuatan tenaga dalam inti es yang sangat tinggi. Santiko Si Bujang Gila Tapak Sakti, dan Pandu sahabatku Si Malaikat Maut Berambut salju..." ucap Wiro sembari mengkerutkan keningnya.

"Lalu bagaimana dengan mereka yang memiliki kekuatan inti api?" sambung Kunti Ambiri seraya menatap kearah Wiro.

"Kurasa Ki Gede Tapa Pamungkas dan Eyang Sinto merupakan dua orang tokoh yang memiliki kekuatan inti api yang cukup tinggi..." ujar sang pendekar sembari menatap gurunya yang berada dalam pondongan Dewi ular.

Datuk Rao Basaluang Pitu menatap ke angkasa sembari bergumam. "Satu-satunya cara untuk menyembuhkan Ksatria Panggilan rupanya hanya ada di masa depan!"

Arwah Ketua yang dari tadi hanya berdiam diri tiba-tiba langsung memotong ucapan Datuk Rao Basaluang Pitu. "Kalau itu jalan keluar satu-satunya maka kenapa datuk tidak membawa saja Ksatria Panggilan dan gurunya kembali ke masa depan dan mencari pengobatan disana? Bukankah tanah jawa di masa delapan ratus tahun mendatang seperti yang dikatakan oleh Ksatria Panggilan memiliki banyak tokoh-tokoh yang sakti dan mumpuni?"

Belum selesai Arwah Ketua selesai berbicara, suara kaleng rombeng terdengar memekakkan telinga. "Tidak segampang itu wahai Arwah Ketua, Perjalanan menembus waktu bukanlah hal yang mudah dan bisa dilakukan seenaknya dan kapan saja. Semua makhluk di dunia ini pastinya memilki keterbatasan begitu juga dengan Datuk Rao Basaluang Pitu. Selain itu menurut penglihatanku jika tidak ditangani secepatnya maka tubuh dan sukma Ksatria Panggilan ini tidak akan bisa ditolong lagi!" sahut Si segala Tahu sembari kembali menggoyang-goyangkan kaleng rombengnya.

"Benar-benar mirip dengan kakek segala tahu!" batin sukma Wiro sembari memperhatikan si segala tahu dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Benar apa yang dikatakan oleh si Segala Tahu, pada saat ini kita hanya punya waktu yang amat terbatas untuk menolong dan menyelamatkan tubuh Ksatria Panggilan, oleh karenanya tadi aku menyuruh adinda Jaka Pesolek untuk membawa tubuh Ksatria Panggilan ke candi prambanan guna menyelamatkan tubuh Ksatria Panggilan untuk sementara waktu. Namun apa yang dilakukan oleh adinda Jaka Pesolek tidaklah cukup hanya sampai disitu saja, Ksatria Panggilan masih membutuhkan uluran tangan dan bantuan yang mulia..." ucap Datuk Rao Basaluang Pitu sembari menjura hormat kepada Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.

"Katakanlah datuk apa yang harus aku lakukan, aku pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu Ksatria Panggilan..." Ucap sang raja kepada Datuk Rao Basaluang Pitu.

Sang Datuk terlihat terdiam sesaat sebelum kemudian terlihat melepaskan kasut putih yang dikenakannya. "Yang mulia raja, hamba belum berani menyebutkan dengan jelas bantuan apa yang kiranya bisa yang mulia berikan kepada Ksatria Panggilan. Namun yang jelas yang mulia harus selekasnya menuju ke prambanan menyusul adinda Jaka Pesolek. Oleh karenanya saya berharap yang mulia raja sudi memakai kasut buruk milik hamba ini..." ucap Sang Datuk seraya menghaturkan sepasang kasut miiliknya ke hadapan sang Raja Mataram.

TUJUH

Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala langsung menerima dan memakai kasut putih yang diberikan oleh Datuk Rao Basaluang Pitu tersebut kekakinya. Begitu sepasang kasut menginjak tanah sang raja langsung merasakan tubuhnya menjadi ringan seakan melayang tidak menginjak bumi. Datuk Rao Basaluang Pitu kemudian memalingkan wajah kearah Ratu Randang dan yang lainnya.

"Walaupun bahaya yang ditimbulkan oleh Jenazah simpanan untuk sementara sudah bisa diatasi namun aku masih menyimpan perasaan khawatir akan perjalanan yang akan dilakukan oleh Raja Mataram menuju prambanan. Oleh karenanya aku berharap kalian bisa menemani sang raja dalam perjalanan kali ini. Agar kalian bisa sampai dengan cepat biarlah kalian menaiki sahabat tungganganku Datuk Rao Pangeran Peto Alam!" ucap Sang Datuk sambil mengelus janggutnya.

"Datuk saya Protes! Menjangan tunggangan Datuk kan Cuma satu, masakkan kita harus berjejalan himpit-himpitan jadi satu! Yang benar saja datuk! Saya tidak naik saja! Saya juga bisa pergi dengan cepat ke prambanan..." sungut Arwah Ketua.

Ning rakanini yang masih sebal terhadap Arwah Ketua ikut menyambung. "Benar Datuk! Untuk apa kita harus berdesak-desakan sama makhluk tukang ngompol ini? Rasanya dengan kepandaian kami, kami juga bisa melesat ke prambanan dengan cepat, tidak memerlukan tunggangan Datuk. Selain itu jika kami menaiki tunggangan Datuk, nantinya Datuk akan menunggangi apa?"

Arwah Ketua yang disebut makhluk tukang ngompol langsung menukas. "Ya menunggangi kamu... he he he!"

Ning rakanini langsung meradang. "Arwah ngompol! jaga mulutmu! atau jangan salahkan kalau kusobek-sobek nanti!" maki si nenek sembari mendelikkan matanya gusar kearah Arwah Ketua.

Sebelum pertengkaran akhirnya meluas tiba-tiba terdengar suara kaleng dibunyikan. "Sudahlah kalian berdua, Datuk sengaja memberikan tunggangannya kepada kita tentunya memiliki maksud tersendiri selain itu janganlah kalian khawatir tidak kebagian tempat. Coba kalian perhatikan kearah pedataran rumput di sana..." ucap Si segala tahu sembari menunjuk kearah pedataran rumput yang terletak disebelah barat keraton.

Semua orang termasuk Arwah Ketua dan Nenek katai Ning rakanini sontak memalingkan wajah dan mendapati dipedataran rumput sana sedang merumput dengan asyiknya tidak kurang dari enam ekor menjangan berbulu keemasan yang serupa benar dengan menjangan tunggangan Datuk Rao Basaluang Pitu!

Sang Datuk kemudian mengeluarkan suitan keras, mendengar suitan tersebut keenam kepala menjangan yang sedang merumput tersebut terlihat mendongak keatas dan memandang kearah Sang Datuk dan perlahan berjalan mendekat.

"Bukan main...! Bahkan tunggangannya pun memiliki ilmu membelah diri. Mampaknya kakek ini sudah mempersiapkan dan memikirkan segalanya jauh hari sebelumnya..." puji Kunti Ambiri sambil memandang kearah enam ekor manjangan emas yang berjalan mendekat.

Sang Datuk terlihat mengelus salah satu menjangan yang berdiri didekatnya. "Tolong antarkan mereka menemani sang Raja Mataram menuju prambanan, setelah itu kau boleh kembali ke tetirahan..." ucap Sang Datuk sembari mengelus satu persatu kepala tunggangannya yang kini berjumlah enam ekor tersebut.

Suara lenguhan terdengar keluar dari moncong keenam ekor menjangan.

"Datuk apakah kita tidak akan menemani mereka ke prambanan?" Tanya sukma Wiro.

Datuk Rao Basaluang Pitu terlihat menggeleng lemah. "Aku akan membawamu ke satu tempat, dan dari tempat tersebut perjalananmu yang sesungguhnya baru akan dimulai...!"

Sukma Wiro terlihat mengerutkan keningnya. "Tempat apa yang datuk maksudkan? Lalu bagaimana dengan Eyang Sinto? Apa Eyang Sinto akan pergi bersama-sama dengan kita?"

Datuk Rao tidak menjawab pertanyaan sang pendekar, sebagai gantinya Sang Datuk kembali mengeluarkan suitan keras, lalu dari arah pedataran rumput kembali terdengar suara lenguhan. Semua orang kembali memandang kerah pedataran rumput. Seekor menjangan berbulu keemasan kembali terlihat berjalan mendatangi. Datuk Rao kemudian berjalan kearah Kunti Ambiri yang masih membopong Sinto Gendeng.

Sang Datuk kemudian terlihat mengambil ketujuh saluang di dalam kantung kulit dipinggangnya. Ketujuh saluang sakti tersbut kemudian nampak diusapkan kekening Sinto Gendeng yang terdapat luka bekas ledakan tiga benjolan ungu. Dan ajaib! Begitu ketujuh saluang menyentuh kulit kening yang terluka nampak asap tipis menyelimuti wajah dan kening Sinto Gendeng.

Begitu asap tipis tersebut sirna, semua orang mengeluarkan suara tercekat. Tubuh sinto gendeng yang sebelumnya nampak berujud seorang gadis remaja hitam manis kini nampak dalam wujud aslinya yaitu seorang nenek dengan dandanan coreng moreng! Namun walaupun begitu luka bekas ledakan tidak lagi terlihat dikeningnya yang hitam penuh kerutan!

Sang Datuk kemudian terlihat mengangkat tubuh Sinto Gendeng yang masih belum sadar dan masih berada dalam pelukan Kunti Ambiri lalu menaruh nenek guru Wiro sableng ini ke punggung menjangan berbulu emas yang terakhir di panggilnya.

"Yang mulia, saya rasa sudah waktunya yang mulia dan yang lainnya pergi menyusul kepergian adinda Jaka Pesolek ke Prambanan. Waktu hamba dan Ksatria Panggilan juga sudah tidak lama lagi. Kami berdua juga harus pergi sekarang..." ucap Datuk Rao Basaluang Pitu sembari menjura kearah Raja Mataram dan yang lainnya yang langsung dibalas oleh sang raja.

"Datuk, bolehkan saya meminta waktu sejenak untuk berbicara dengan raja dan kawan-kawan lainnya?" ucap sukma Wiro kepada Sang Datuk.

Datuk Rao terlihat menganggukan kepalanya. "Baiklah kalau kau ingin berbincang sebentar. Tapi jangan lama-lama! Aku akan menunggumu di pedataran rumput sebelah sana..." ucap Sang Datuk.

Setelah kembali menjura hormat Sang Datuk kemudian berbalik dan berjalan perlahan sembari menuntun menjangan yang membawa sinto gendeng. Sementara itu sukma Wiro terlihat membalikkan tubuh dan memandang Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala dan yang lainnya. Sang pendekar ingin berucap namun entah mengapa lidahnya terasa kelu dan berat.

"Ksatria Panggilan! Aku mengerti apa yang kau rasakan. Janganlah kau terlalu banyak memikirkan persoalan ini. Aku akan berusaha semampu ku..." ucap sang raja sembari merangkapkan tangan memberi hormat, sesaat kemudian sang raja nampak membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi.

Sang raja terlihat hanya berjalan biasa namun ajaibnya hanya beberapa kejapan saja tubuh sang raja sudah tak dapat terlihat lagi. Setelah Raja Mataram beranjak pergi rombongan Arwah Ketua dan yang lainnya juga terlihat beranjak pergi sembari menunggangi menjangan menuju arah perginya sang raja. Yang tersisa kemudian hanyalah Kunti Ambiri dan Ratu Randang.

"Ratu! Kunti! Aku benar-benar berat untuk berpisah dengan kalian...!" ucap sang pendekar pelan.

Ucapan sang pendekar tersebut sontak saja membuat Ratu Randang dan Kunti Ambiri bergerak memburu dan memeluk sukma sang pendekar. Wiro pun membalas pelukan mereka berdua.

"Jaga diri kalian masing-masing. Aku akan selalu merindukan kalian..." bisik sang pendekar ditelinga keduanya.

"Kau masih hutang beberapa puluh ciuman..." ucap Ratu Randang dengan air mata berlinang.

Wiro tertawa mendengarnya dan langsung mencium kening sang nenek.

"Wiro, aku juga berjanji akan mencarimu. Aku akan mencari jalan untuk kembali ke tanah jawa..." ucap Kunti Ambiri sembari terisak dalam dekapan sang pendekar.

Sang pendekar kembali mengelus rambut Kunti Ambiri dan Ratu Randang. Sebelum berucap pelan. "Jaga diri kalian baik-baik. Sampai kapanpun aku akan selalu mengingat dan merindukan kalian berdua dimanapun aku berada. Selamat tinggal... semoga Gusti Allah menyertai kalian berdua..." ucap san pendekar sebelum sukma sang pendekar terlihat menghilang dihembus angin pagi.

Ratu Randang dan Kunti Arimbi terlihat sama-sama terisak lalu perlahan menaiki menjangan masing-masing. Sebelum beranjak mengikuti rombongan raja, keduanya masih sempat melambaikan tangan kearah sukma Wiro yang kini terlihat berada dipedataran rumput bersama dengan Datuk Rao Basaluang Pitu.

Wiro pun terlihat membalas lambaian tangan kedua wanita tersebut. Sementara itu Wiro kini terlihat berjalan pelan bersama Datuk Rao Basaluang Pitu dan datuk kembaran datuk rao pangeran peto alam yang mendukung sinto gendeng.

"Datuk apakah saya boleh mengajukan pertanyaan...?" ucap sang pendekar memecah keheningan.

"Silahkan saja ksatria panggilan..." ucap Sang Datuk sembari tersenyum.

"Saya mohon maaf jika pertanyaan saya dianggap lancang, saya agak heran mendengar nama panggilan Datuk yang sebagian berbau minang namun sebagian berbau jawa. Apakah saya boleh mengetahui nama asli Datuk?"

"Tentu saja jika Datuk tidak keberatan..."

Mendengar pertanyaan ini Sang Datuk terdengar tertawa riang. "Pertanyaanmu sesungguhnya adalah pertanyaan umum yang diajukan setiap orang kepadaku setiap aku memperkenalkan diri. Sebenarnya kalau dipikir-pikir nama sebutan Datuk Rao Basaluang Pitu sesungguhnya tidaklah terlepas dari peran serta dirimu sendiri..." ucap Sang Datuk tersenyum.

Wiro yang mendengar apa yang diucapkan oleh Sang Datuk nampak terkejut. "Maksud datuk? Saya benar-benar tidak mengerti!" ucap Wiro dengan penasaran.

Sang Datuk kemudian kembali terlihat mengambil ketujuh saluang dari dalam kantung kulitnya. "Aku terlahir ditanah Andalas dengan nama Kalam Pandika. Nama Datuk Rao Basaluang Pitu sendiri adalah pemberian orang berdasarkan nama ketujuh saluang dewa ini..." ucap Sang Datuk seraya melambungkan ketujuh saluang ke udara!

Saluang dewa tersebut kembali terlihat berputar-putar membentuk satu mulut lorong yang bercahaya dihadapan Wiro, Datuk Rao Basaluang Pitu serta datuk rao pangeran peto alam.

"Ketujuh Saluang Dewa ini sesungguhnya adalah penjelmaan salah seorang tokoh sakti di negeri Latanahsilam. Tokoh tersebut meminta kepada dewa untuk menjatuhi hukuman atas dirinya. Para dewa pun kemudian akhirnya mengabulkan permintaan tokoh tersebut dan mengubah dirinya menjadi ketujuh saluang dewa ini. Atas permintaan terakhirnya tokoh tersebut meminta untuk menamakan ketujuh saluang dewa ini dengan menggunakan nama dari tanah jawa. Tanah kelahiran dirimu. Ketujuh saluang tersebut akhirnya kemudian diberi nama Saluang Pitu Dewa. Mulai dari Saluang Siji Bhuana yang berwana Putih hingga Saluang Pitu Chandrasa yang berwarna hitam...!" tutup Sang Datuk sembari menunjuk ketujuh saluang yang berputaran.

Wiro yang masih penasaran terlihat memegang tangan Sang Datuk. "Datuk, Aku masih belum mengerti. Tolong jelaskan lagi siapakah nama tokoh Latanahsilam yang tadi Datuk maksudkan?"

Datuk Rao Basaluang Pitu terlihat hanya tersenyum sekilas. "Aku akan menjelaskannya padamu diperjalanan sekarang terima dulu senjatamu dan jaga baik-baik...!" ucap Sang Datuk sambil menyerahkan sesuatu kepada Sang Pendekar yang ternyata adalah Kapak Maut Naga Geni dua satu dua yang sebelumnya dipegang oleh Sinto Gendeng.

Wiro cepat-cepat menyambut senjatanya yang sudah sekian lama terpisah dari dirinya tersebut. Saat sang pendekar hendak membuka suara hendak menanyakan perihal senjatanya tersebut dilihatnya Sang Datuk sudah berjalan memasuki lorong yang terbentuk dari putaran ketujuh saluang.

"Datuk tunggu dulu!" seru sang pendekar sembari berlari mengejar Sang Datuk.

********************

DELAPAN

Sementara itu ditempat lain terlihat satu bayangan berlarian sipat kuping secepat angin membelah udara pagi. Bayangan yang bukan lain adalah Jaka Pesolek ini nampak berlari laksana kesetanan.

"Aku harus bisa. Aku harus bisa! Aku pasti bisa...!" ucap sang gadis dengan nafas memburu.

Setelah sekian lama berlari bayangan candi prambanan akhirnya sudah semakin jelas terlihat. Jaka Pesolek semakin mempercepat laju larinya. Keringat terlihat berlelehan membasahi wajah dan pakaiannya.

"Aku harus bisa! Aku harus bisa! Aku pasti bisa...!" kata-kata tersebut kembali terulang dari bibir sang gadis.

Kala itu sinar mentari pagi sudah bergerak cepat merambati pucuk-pucuk pepohonan. Semakin lama sinar matahari bahkan semakin cepat bergerak dan bahkan kini mulai mengejar dibelakang punggung Jaka Pesolek! Sementara itu mulut candi utama sudah terlihat jelas. Sinar matahari pun terlihat mulai merambati kepundan puncak candi.

"Aku harus bisa! Aku harus bisa! Pokoknya aku harus... celaka...! Aku tidak bisa...!" teriak sang gadis kala merasa tengkuknya sudah mulai terasa panas!

Sang gadis memandang tubuh Wiro yang nampak membara, untung saja tubuh sang pendekar masih terhalang punggung sang gadis sehingga belum terkena sinar mentari. Sang gadis terlihat panik! Apalagi dilihatnya sinar matahari saat itu hanya tinggal sejengkal lagi menutupi puncak kepundan candi. Jaka Pesolek nekat! Tanpa pikir panjang dilemparnya tubuh Wiro dengan sekuat tenaga kedalam mulut pintu candi!

Terdengar suara bergubrakan dari dalam candi sementara Jaka Pesolek sendiri begitu melempar tubuh Wiro kedalam candi, tubuhnya sendiri langsung tersurut terguling-guling dari anak tangga. Dalam kondisi terguling tersebut sang gadis masih sempat meraih tubuh arca batara kala.

Namun malang nian, arca tersebut ikut terguling jatuh dan bergulingan dari anak tangga masih dengan Jaka Pesolek dalam posisi memeluk tubuh sang arca!

Tubuh sang gadis terus meluruk kebawah hingga akhirnya terhenti kala membentur sebatang pohon Trembesi yang memang banyak tumbuh di kawasan candi tersebut.

"Aduh biyung tobaaaaat...!" teriak sang gadis keras.

Teriakan ini bukan karena jidatnya yang benjol terbentur batang pohon atau kulit tubuhnya yang lebam dan lecet akibat terguling-guling bersama arca batu. Teriakan sang gadis keluar karena posisi hidung sang arca kala itu tepat dan sukses menggencet perabotannya!

Setiap kali sang gadis mencoba untuk mengangkat arca yang memiliki berat ratusan kati dari atas tubuhnya tersebut, hidung sang arca yang (konon) lumayan besar dan panjang itu otomatis menekan perabotannya semakin kuat.

"Duh Gusti...!" keluh sang gadis yang bawah laki atas perempuan ini sembari meneteskan air mata. Sungguh air mata yang murni tanpa kepalsuan! Air mata seorang wanita yang terdzalimi!

Sementara itu beberapa saat setelah Jaka Pesolek melempar tubuh Wiro kedalam candi, sesosok bayangan diikuti beberapa orang yang mengendarai menjangan berbulu keemasan nampak mendekati kawasan candi prambanan. Bayangan yang bukan lain adalah bayangan Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala ini terlihat berjalan cepat memasuki candi utama dimana patung Nyi Loro Jonggrang berada.

Sementara itu ketika Jaka Pesolek melihat bayangan keenam menjangan yang mendekat kearah pintu candi utama, sang gadis perdengarkan suara rintihan. "Tolooong...!"

Ratu Randang yang kebetulan berada paling dekat dengan pohon trembesi langsung terhenyak dan bergegas turun dari menjangan tunggangannya. "Astaga Jaka Pesolek! Apa yang kau lakukan dibawah sana?" kejut sang nenek kala melihat Jaka Pesolek sedang tertindih arca batu batara kala sementara kedua kakinya terlihat terkangkang keatas.

"Ya ampun Jaka Pesolek! Aku tak menyangka seleramu yang seperti ini...?" sambung Kunti Ambiri seraya berjalan mendekat.

Jaka Pesolek yang mendengar celoteh keduanya hanya bisa mesem dengan wajah menahan sakit. Sementara itu Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala yang telah sampai kedalam candi memandang dengan kening berkerut kearah tubuh ksatria panggilan yang terlihat menjuplak di lantai candi sementara bayangan Jaka Pesolek sama sekali tidak dilihatnya.

"Selamat datang di candi kediaman saya yang mulia raja, maafkan jika saya tidak bisa memberikan penghormatan yang selayaknya...!"

Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala terkejut kala mendengar suara yang tidak dilihat wujudnya tersebut.

"Aku adalah patung yang berdiri dihadapanmu yang mulia raja...!" sambung suara tersebut kembali.

Raja Mataram akhirnya melihat patung Nyi Loro Jonggrang yang sebelumnya tidak dilihatnya karena keremangan cuaca di dalam candi. Sang raja kemudian terlihat merangkapkan tangan menjura kearah patung batu.

"Maafkan kelancangan saya Dewi, saya tadi tidak memperhatikan kehadiran Dewi. Maksud saya datang kesini sebenarnya untuk mencari petunjuk kepada Dewi perihal keselamatan pemuda didepan ini..." ucap sang raja sembari menunjuk kearah tubuh Wiro.

Patung Nyi Loro Jonggrang kemudian terlihat bergetar halus, lalu dari tubuh sang patung tepatnya dibagian dahi tepat diarah cakra mahkota keluar satu sinar biru yang langsung membungkus tubuh sang pendekar! Tubuh Wiro yang sebelumnya tergelimpang dilantai perlahan terlihat bergerak hingga akhirnya posisinya kini terlihat dalam posisi bersila seakan sedang bersemadi. Sinar biru perlahan mulai pupus.

"Aku tahu maksud kedatanganmu yang mulia raja. satu-satunya yang bisa kita lakukan dengan tubuh pemuda ini adalah merubahnya menjadi batu!" ucapan sang patung membuat sang raja terkejut bukan kepalang.

"Apa maksud perkataan Dewi? Mengapa kita harus merubah tubuh ksatria pangilan menjadi batu? Lalu dengan apa kita menjadikan tubuh ksatria panggilan menjadi batu? Saya benar-benar tidak mengerti!" Tanya sang raja.

"Tubuh ksatria panggilan hanya bisa diselamatkan dengan menggunakan kekuatan empat orang yang memiliki kekuatan tenaga dalam inti api dan inti es. Sementara di jaman ini bisa dibilang tidak ada orang yang memiliki kemampuan seperti itu. Selain itu jikalau ada keberadaannya pun sama sekali tidak diketahui. Oleh karena itu jalan satu-satunya untuk menyelamatkan pemuda ini adalah merubah tubuhnya menjadi batu dan berharap di masa depan akan ada orang yang mempu menghidupkannya kembali dengan bantuan keempat orang yang bisa mennyembuhkan penyakitnya tersebut..."

Sang raja terlihat menganggukan kepalanya. "Baiklah Dewi, aku sudah mengerti namun bagaimana caranya kita merubah tubuh Ksatria Panggilan menjadi batu?" ucap sang raja sembari menatap kearah patung didepannya.

"Tubuh Ksatria Panggilan hanya dapat dijadikan batu dengan menggunakan Sabda Pandita Ratu yang melekat didalam aliran darah dan nafas yang mulia raja!" jawab patung Nyi Loro Jonggrang.

Jantung sang raja berdegup dengan kencang mendengar penuturan patung Nyi Loro Jonggrang. "Jadi ini bentuk pertolongan yang dimaksud oleh Datuk Rao Basaluang Pitu? Sungguh benar-benar hebat datuk tersebut hingga dapat memikirkan cara seperti ini...! batin sang raja dalam hati.

Setelah menghela nafas sesaat raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala nampak menganggukan kepalanya. "Saya sudah mengerti apa yang harus saya lakukan... saya berharap Dewi mau menyambung pati dengan saya dan membantu saya mempersiapkan segalanya..."

Sepasang tangan batu milik patung Nyi Loro Jonggrang terlihat merangkap didepan dada. "Baiklah yang mulia, saya akan membantu yang mulia untuk menyambung pati dalam pencapaian sabda puncak tertinggi. Harap yang mulia kosongkan hati dan bersihkan jiwa serta pikiran. Biarlah segalanya kita serahkan kepada Sang Hyang Jagatnatha...!" ucap patung Nyi Loro Jonggrang yang perlahan namun pasti terlihat terangkat mengapung diudara!

Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala lalu merangkapkan tangan didepan dada, perlahan namun pasti sepasang telapak kaki sang raja yang masih memakai kasut putih pemberian Datuk Rao Basaluang Pitu juga tampak mulai terangkat dari lantai candi bersamaan dengan terangkatnya patung Nyi Loro Jonggrang dari tempat peraduannya.

Beberapa saat Kemudian tubuh Raja Mataram dan patung Nyi Loro Jonggrang terlihat mulai berputar mengelilingi tubuh kasar Wiro yang sedang bersila diatas lantai candi.

Sementara itu rombongan Arwah Ketua yang berada di luar candi merasakan getaran yang keras pada lantai yang mereka pijak. "Lihat di atas sana...!" seru Jaka Pesolek tiba-tiba seraya menunjuk kearah kepundan candi.

Seruan Jaka Pesolek ini kontan membuat semua orang yang berada di pelataran candi sontak menengok keatas dan nampaklah dalam pandangan mereka tepat diatas kepundan candi terlihat awan bergulung berwarna kuning kemerahan membentuk bayangan seekor naga raksasa! Sementara itu didalam candi Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala dan patung Nyi Loro Jonggrang masih terlihat bergerak berputar mengelilingi tubuh pendekar dua satu dua.

Setelah berputar masing-masing sebanyak tujuh kali putaran, tiba-tiba dari lantai candi menyeruak cahaya berwarna kuning keemasan yang terus bergerak naik hingga sampai kedinding candi. Begitu berada tepat didinding candi, cahaya berwarna keemasan tersebut perlahan berpendar dan berubah menjadi huruf-huruf jawa kuna yang berpendar keemasan dan berputaran disepanjang dinding candi!

Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala perlahan membuka kedua matanya, wajahnya yang bersih nampak menampilkan cahaya terang berwarna putih terang, lalu seakan sudah bersepakat sebelumnya dari bibir sang raja dan patung Nyi Loro Jonggrang terdengar untaian kata yang merupakan isi dari tulisan keemasan yang terpapar di dinding candi.

Sabda Pandhita Ratu
Tan kena wola-wali
Berbudi Bhawalaksana
Titah Raja takkan terulang
Teguh laksana karang
Deras bagaikan ombak
Satu kata terucap satu janji terikat
Sabda Pandhita Ratu
Tan Kena wola-wali
Berbudi Bhawalaksana!


Begitu tulisan keemasan di dinding selesai terbaca, tiba-tiba dengan suara menggelegar laksana guntur, Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala dengan telunjuk kanannya mengacung keatas terdengar mengeluarkan Sabdanya.

"Wahai Ksatria Panggilan! Atas nama Dewa dan Rakyat Mataram! Kurestui dirimu Manunggaling Bhumi Bayu Watu Laksana!"

Begitu titah dari sang raja terdengar, kilat terdengar sabung menyabung diangkasa, awan merah berbentuk naga raksasa terlihat bergulung semakin kencang dan memancarkan sinar yang sangat terang!

Begitu sabda dari sang raja dikeluarkan atas diri Wiro, maka terlihatlah satu perubahan pada tubuh Ksatria Panggilan yang duduk bersila diatas lantai candi. perlahan namun pasti tubuh Wiro yang berwarna merah membara dan diselimuti kabut tipis mulai mengeras dan berubah warna menjadi kelabu!

Sosok Wiro telah berubah menjadi sebuah arca batu! Sementara itu tubuh Raja Mataram dan patung Nyi Loro Jonggrang yang berputaran mengelilingi arca pendekar dua satu dua mulai kembali ketempat masing-masing.

"Saya haturkan banyak terima kasih kepada Dewi yang telah membantu saya untuk menolong Ksatria Panggilan. Untuk itu saya hanya bisa haturkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya pada Dewi...!" ucap Raja Mataram sembari masih rangkapkan kedua tangan.

"Yang Mulia, sudah merupakan kewajibanku untuk menolong sesama terlebih khusus menolong Ksatria Panggilan. Disamping itu orang yang sebenarnya menjadikan Ksatria Panggilan menjadi batu adalah yang mulia dengan menggunakan Sabda Pandita Ratu yang melekat dalam diri yang mulia. Sabda yang sama yang juga menjadikan saya menjadi arca batu sekian ratus tahun yang lalu...!" tutup Patung Nyi Loro Jonggrang perlahan.

Mendengar ucapan sang patung, hati Raja Mataram yang lembut langsung tersentuh. Sang raja memang mengetahui perihal kisah Nyi Loro Jonggrang yang dirubah menjadi batu oleh Sabda Pandita Ratu milik Bandung Bondowoso kakek leluhurnya.

"Dewi, mungkin dengan restu para dewa aku bisa menjadikanmu kembali hidup layaknya manusia biasa. Ijinkan aku mencobanya..." ucap sang raja.

Namun dilihatnya patung cantik tersebut menggeleng pelan. "Aku sangat menghargai kepedulianmu yang mulia, namun biarlah keadaanku tetap seperti ini. Jika aku kembali hidup pastinya nanti akan kembali timbul huru-hara dan perkara seperti yang pernah terjadi atas diri kakek leluhurmu dulu. Selain itu masih banyak orang yang membutuhkan bantuan dan tenagaku. Mereka yang ingin membangkitkan Ksatria Panggilan di masa depan juga masih membutuhkan diriku untuk menyambung Pati Sabda Pandita Ratu milik keturunan yang mulia nantinya...!"

Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala terlihat membungkukkan badannya. "Dewi benar-benar berbudi luhur, saya benar-benar harus belajar lebih banyak dari Dewi..."

Patung Nyi Loro Jonggrang terlihat tersenyum. "Hari sudah terang tanah, ada baiknya jika yang mulia membawa arca Ksatria Panggilan dan menempatkannya di tempat yang aman agar tidak terusik sampai hari kebangkitannya nanti..."

Sang raja terlihat menganggukan kepalanya. "Itulah yang menjadi pikiranku Dewi, aku masih belum tahu tempat yang tepat untuk menyimpan arca Ksatria Panggilan. Jika saja Datuk Rao Basaluang Pitu masih ada disini mungkin beliau bisa memberikan petunjuk...!"

Belum selesai berucap tiba-tiba terlihat asap merah mengepul dari luar candi dan langsung memasuki ruangan dalam candi, asap itu kemudian terlihat bergulung dan membentuk sosok seorang kakek bertanduk tunggal. Sosok Arwah Ketua!

"Yang mulia tak perlu kuatir! Biar urusan menyimpan arca Ksatria Panggilan menjadi tanggung jawab saya...!" seru Sang Arwah.

Patung Nyi Loro Jonggrang terlihat pancarkan cahaya lembut. "Nampaknya persoalan sudah mendapatkan jalan pemecahannya. Yang mulia tidak perlu khawatir lagi akan masalah Ksatria Panggilan. Sekarang yang harus yang mulia lakukan adalah membangun kembali mataram seperti sedia kala. Rakyat mataram masih menanti uluran dan bantuan yang mulia untuk membangun dan menata kembali kerajaan yang porak-poranda...!"

Raja Rakai Kayuwangi dan Arwah Ketua terlihat membungkukan badan masing-masing.

"Kalau begitu kami berdua pamit undur diri. Sekali lagi kami haturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Dewi!" ucap sang Raja sebelum beranjak keluar diiringi senyum patung Nyi Loro Jonggrang.

Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala lalu berjalan keluar diiringi oleh Arwah Ketua yang memanggul arca batu Pendekar Dua Satu Dua. Sinar mentari yang hangat menyambut keduanya. Awan berbentuk naga bergulung yang menutupi kawasan prambanan sudah lama menghilang berganti dengan arakan awan tipis dikejauhan.

"Awal yang baru buat mataram...!" ujar sang raja pelan sembari menarik nafas merasakan kesegaran udara pagi di Candi Prambanan.

T A M A T

Bagaimana Kisah Pendekar kita selanjutnya? Siapakah sebenarnya empat tokoh berjubah dan berkerudung hitam yang membawa pergi Lakasipo? Mampukah Wiro bangkit kembali dari kematiannya?

Ikuti petualangan seru setan ngompol dan kawan-kawannya dalam usaha membangkitkan Wiro serta melawan kerajaan perut bumi pada episode-episode berikutnya...!

Cuplikan episode Jabrik Sakti Wanara

Tubuh bocah cilik tersebut bergetar keras akibat betotan tangan ki Buyut Pocong Mayit dan Merak Jingga yang saling berebut menarik kedua tangannya. Kedua tokoh tersebut tidak mempedulikan keadaan sang bocah yang mengenaskan. Mereka baru tersadar kala satu kekuatan dahsyat yang dibarengi auman harimau dikejauhan melempar keduanya masuk kedalam tegalan sawah!

Mata kedua tokoh hitam ini terbeliak tak percaya kala melihat bocah yang diperebutkan tersebut nampak melayang diudara dengan sepasang mata tampak memutih menakutkan sementara di dada sang bocah yang kurus telanjang tampak bercahaya tiga guratan angka, angka dua satu dua!

"Astaga! Apa tidak salah mataku ini? Apa benar itu Wiro? Tapi kenapa...? seru Setan Ngompol sembari delikkan kedua mata kearah sosok bayangan yang berdiri mengambang di punggung bocah kurus berambut jabrik yang dipanggil dengan sebutan Jabrik Sakti Wanara itu.

Apa yang dilihat oleh Setan Ngompol juga dilihat oleh Mahesa Edan, Naga kuning dan Panji Ateleng. Dibalik sosok melayang Jabrik Sakti Wanara berdiri mengambang satu sosok seorang kakek berbaju dan berdestar putih. Rambut dan janggutnya terlihat melambai berwarna putih keperakan sementara ditangan sang kakek tergenggam sebuah senjata yang amat ditakuti oleh para tokoh golongan hitam. Kapak Maut Naga Geni 212!

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.