Kupu Kupu Mata Dewa

Wiro Sableng. Kupu kupu mata dewa

Kupu Kupu Mata Dewa


“Tuanku Laras, dengarkan saya. Ada yang hendak saya katakan. Ada satu hal yang sangat saya takutkan…”

Tuanku Laras angkat kepalanya dari dada Chia Swie Kim.Tapi dua tangan kini turun memegang paha Si gadis. “Puti Mata Dewa, kekasihku… Katakan, hal apa yang kau takutkan?”

“Tuanku Laras, ketahuilah, saya sudah tidak gadis lagi. Saya tidak perawan lagi…”

Sepasang mata Tuanku Laras membeliak. Bulu hitam putih yang menutupi wajah berdiri meranggas. “Puti Mata Dewa, apa maksudmu? Bicara yang jelas.”

“Tuanku Laras, ketika berada di goa kediaman Datuk Marajo Sati, Datuk itu telah merampas kehormatan saya. Dia meniduri saya sampai berulang kali…”


Habis berkata begitu Chia Swie Kim lalu menangis sesenggukan. Apa yang diucapkan Si gadis seperti gelegar petir terdengarnya di telinga Tuanku Laras.

“Srett!” Tiba-tiba Tuanku Laras cabut pedang Al Kausar.


cerita silat online Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut 212 karya Bastian Tito

BAB SATU

BUKIT Batu Patah di Gudam, ranah Minangkabau, malam bulan sabit hari ke tiga. Kawasan yang selama ini diselimuti kesunyian dan dipalut kegelapan di malam hari, kini keadaannya sangat berbeda. Dua buah obor tiba-tiba melayang di udara. Entah Siapa yang melemparkan. Hebatnya, dua obor itu kemudian menukik ke tanah lalu...

"Clep… clep! Menancap dihalaman Rumah Gadang Nan Sambilan Ruang yang merupakan bangunan bekas Istana Kerajaan Pagaruyung. Sebagian halaman luas diujung rumah kini menjadi terang oleh cahaya api obor. Di antara dua batang obor, di tanah terlihat enam buah batu datar bulat menebar membentuk lingkaran cukup lebar. Sebelum kemunculan dua buah obor dan lima batu bulat datar secara aneh itu, di Bukit Batu Patah telah berdatangan beberapa orang.

Yang pertama Pakih Jauhari, kekasih Gadih Putih Seruni yang telah menjadi Istri Datuk Marajo Sati. Pemuda ini muncul setelah memaksakan janji agar sang kekasih datang menemuinya di Istana Bukit Batu Patah dimana kemudian mereka merencanakan akan melarikan diri menyeberang ke tanah Jawa.

Meski saat ditemui Gadih Putih Seruni menolak permintaan Pakih Jauhari namun Si pemuda tetap pergi ke Bukit Batu Patah, seolah dia telah yakin Gadih Puti Seruni akan datang. Ketika sampai di bekas bangunan Istana Kerajaan Pagaruyung itu, Pakih Jauhari segera mencari Mamaknya, Jambek Magang. Namun sang paman ditemui dalam keadaan meregang nyawa, luka parah bergelimang darah, tergeletak di dekat lumbung padi di halaman depan rumah gadang.

Sebelum menghembuskan nafas terakhir Jambek Magang masih sempat memberi tahu bahwa orang yang membunuhnya bersenjata pedang, memiliki wajah tertutup bulu putih dan hitam. Tidak terduga di saat itu pula orang yang disebut memunculkan diri dan segera dikenali oleh Pakih Jauhari bukan lain adalah Tuanku Laras Muko Balang. Dalam marahnya Si pemuda segera menyerang Tuanku Laras.

Pakih Jauhari yang hanya memiliki ilmu silat kampung tentu saja dengan mudah dihajar oleh Tuanku Laras. Setelah menggebuk muka Si pemuda hingga berkelukuran, Tuanku Laras mencekik lehernya, mengangkatnya ke udara seraya membentak menanyakan dimana satu peti batangan emas disembunyikan.

Karena memang tidak tahu apa-apa tentang barang yang ditanyakan. Pakih Jauhari tidak bisa menjawab. Tuanku Laras membanting pemuda itu ke tanah lalu menghunus pedang sakti Al Kausar. Dia mengancam kalau Pakih Jauhari tetap tidak mau memberi tahu keberadaan barang yang ditanyakan maka dia akan dihabiSi sebagaimana yang telah terjadi dengan pamannya.

Sekejapan lagi pedang di tangan Tuanku Laras Muko Balang benar-benar akan menamatkan riwayat Pakih Jauhari tiba-tiba muncul Ki Bonang Talang Ijo bersama Perwira Muda Teng Sien dan Pendeka Bumi Langit Dari Sumanik. Ki Bonang datang ke bekas bangunan Istana Kerajaan Pagaruyung di Bukit Batu Patah untuk menyelidiki keberadaan satu peti batangan emas yang memang pernah disembunyikannya di tempat itu bersama Perwira Muda Teng Sien.

Emas di dalam peti itu direncanakan sebagai hadiah tambahan jika gadis Cina yang dicari berhaSil ditemukan. Sebenarnya Teng Sien merasa lebih penting mencari dan mendapatkan Chia Swie Kim, gadis Cina puteri Pangeran Tiongkok yang dijuluki Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok itu terlebih dulu karena di dalam tubuhnya terdapat satu batu Giok yang disebut Kupu Kupu Mata Dewa dan merupakan salah satu Pusaka Utama Kerajaan Tiongkok bagi syahnya kekuasaan Raja yang bertahta.

Namun Teng Sien terpaksa mengalah atas kemauan Ki Bonang karena sejak semula mulai dari Jawa tokoh silat ini memang telah dipercayakannya sebagai pemimpin rombongan pengejar dan mencari Chia Swie Kim. Ki Bonang dan Teng Sien tentu saja terkejut melihat Tuanku Laras Muko Balang berada di tempat itu. Apa lagi mereka sempat mendengar Tuanku Laras membentak Pakih Jauhari memaksa memberi tahu dimana disembunyikan satu peti batangan emas. Berarti rahasia keberadaan satu peti batangan emas itu telah bocor.

Teng Sien yang sudah sejak lama curiga dan muak melihat Tuanku Laras segera hendak mencabut golok Siap untuk menyerang manuSia berbulu hitam putih ini. Tapi dicegah oleh Ki Bonang. Tokoh silat dari tanah Jawa ini meminta Tuanku Laras melupakan dulu perihal emas satu peti agar jangan sampai terjadi sengketa diantara mereka.

Hal ini dikarenakan, sewaktu menuju ke Bukit Batu Patah, di tengah perjalanan Ki Bonang dan kawan-kawan melihat sebuah kereta dikawal oleh belasan perajurit istana Baso di Pagaruyung tengah bergerak cepat di kawasan itu mengarah keBukit Batu Patah. Ini menjadi satu pertanyaan. Kalau tidak ada satu perkara besar mana mungkin ada orang Kerajaan datang ke tempat itu, malam hari pula. Dan orang di atas kereta, walau tidak jelas siapa adanya pastilah seorang tokoh penting. Mungkin pula pihak Kerajaan sudah mengetahui keberadaan emas yang satu peti itu?!

Dalam kawatirnya Teng Sien sempat berbiSik pada Ki Bonang. “Jahanam berhati culas itu datang sendiri. Dimana Chia Swie Kim ditinggal disembunyikan? Kita harus cepat mencari tahu!”

Tuanku Laras tidak perduli keterangan Ki Bonang. Orang bermuka belang putih hitam ini ingin menyelesaikan perkara malamitu juga yaitu dengan cara kekerasan. Dia meminta Pandeka Bumi Langit segera bergabung namun sang Pandeka menolak karena sebelumnya dia sudah tahuTuanku Laras berniat licik dan keji terhadapnya. (Baca serial terdahulu Bulan Sabit Di Bukit Patah)

Amarah Tuanku Laras Muko Balang bukan alang kepalang. “Keparat! Musuh dalam selimut kau rupanya! Tamat riwayatmu malam ini juga!” Teriak Tuanku Laras Muko Balang. Lalu segera menyerbu Pandeka Bumi Langit dengan pedang Al Kausar.

Teng Sien berusaha menolong dengan melemparkan golok besar ke arah Tuanku Laras. Namun dengan mempergunakan sarung pedang, golok ditangkis mental sementara pedang Al Kausar terus membabat ke arah bahu Pandeka Bumi Langit.Teng Sien memaki panjang pendek.Selain marah dia juga sangat mengawatirkan diri Chia Swie Kim.

Hanya sekejapan mata lagi senjata sakti itu akan membabat putus tangan kiri Pandeka Bumi Langit tiba-tiba satu gulungan kain putih panjang melesat di udara demikian rupa lalu membuntal membungkus pedang Al Kausar. Walau pedang sakti itu kemudian masih sempat menghajar tangan Pandeka Bumi Langit namun akibat tertahan gulungan kain putih tangan itu hanya berderak patah, tidak jadi tertabas buntung.

Belum habis kejut semua orang terutama sekali Tuanku Laras Muko Balang tentunya, dua orang berkelebat dari kegelapan dan berdiri di tempat itu. Keduanya adalah Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai, ditemani pemuda berpeci hitam, berambut panjang seperti padusi yang bukan lain Pendekar 212 Wiro Sableng. Nenek inilah tadi yang melemparkan kain putih panjang.

Seperti diceritakan sebelumnya kain itu pernah dipergunakan untuk membungkus pedang Al Kausar. Dengan ilmu kesaktiannya dan mengandalkan kain putih itu Si nenek berhasil menjajagi pedang Al Kausar yang berarti sekaligus menunjukkan dimana beradanya Tuanku Laras Muko Balang. Secara kebetulan hal terjadi di malam bulan sabit hari ketiga. (padusi = perempuan)

Amarah Tuanku Laras semakin menggelegak. Destar hitam di atas kepalanya bergerak naik oleh tekanan hawa panas yang memancar keluar dari batok setengah kepala. Dia membentak tokoh silat tua dari tanah Jawa dihadapannya.

“Ki Bonang! Tadi kau mengatakan ada rombongan orang-orang Kerajaan menuju ke sini! Ternyata yang datang adalah kapuyuak muda dan cigak gaek ini! (kapuyuak=kecoak, cigak gaek=monyet tua)

Meski tahu kalau yang disebut sebagai kecoak dan monyet tua itu adalah diri mereka namun Pendekar 212 Wiro Sableng dan Si Kamba Mancuang tenang-tenang saja bahkan tampak cengar-cengir. Si nenek malah berbisik pada Wiro.

“Si Muko Balang itu sudah kita temukan. Tiga setan alas temannya juga ada disini, Bagaimana kalau kita…”

“Nek, Jangan bertindak tergesa-gesa. Aku menduga sesuatu akan terjadi di bukit ini...”

“Ah, kau ini selalu saja menghalangi…”

“Bukan menghalangi, Nek. Percaya padaku…” Jawab Wiro sambil mengusap lalu memegang lengan Si nenek.

Hal ini sempat dilihat oleh Tuanku Laras. Manusia muka belang ini langsung tertawa bergelak sambil menunjuk ke arah Wiro dan Si Kamba Mancuang. “Pantas… pantas! Sudah bergendak kalian berdua rupanya. Kalau mau berbuat mesum pergi ke tanah Jawa sana! Jangan mengotori tanah Minang ini!”

Si Kamba mancuang hendak mendamprat marah. Namun mendadak di kejauhan terdengar deru suara detak roda kereta dan hentakkan kaki-kaki kuda. Lalu ada suara orang berteriak menyahuti ucapan Tuanku Laras tadi.

“Siamang bermuka belang! Bersabarlah sedikit! Orang yang hendak diadili belum kelihatan di tempat ini. Perlu apa terburu-buru! Urusan kita yang harus diselesaikan lebih dulu!” (Siamang = Monyet besar/orang hutan, biasanya berbulu hitam polos) Seruan itu disusul menggembor marah.

Disebut Siamang tentu saja Tuanku Laras jadi berkobar amarahnya. Rahang menggembung. Bulu yang menutupi muka berjingkrak kaku. Tangan kanan yang memegang pedang disentakkan dua kali. Kain putih pembungkus senjata itu bergulung membuka, Jatuh tercampak di tanah.

“Pedang sakti! Coba berikan sambutan selamat datang pada orang bermulut besar itu!”

“Wuuttt!” Tuanku Laras Muko Balang lemparkan pedang Al Kausar ke udara. Senjata sakti itu berputar-putar mengeluarkan suara deru dahsyat disertai kilauan cahaya lalu melesat ke arah datangnya suara orang yang tadi memaki dan saat itu masih keluarkan suara tertawa.

Mendadak sontak suara tawa lenyap, terputus oleh seruan kaget dan suara seperti orang tercekik. Hanya beberapa saat kemudian, pedang Al Kausar kelihatan kembali, melayang di udara menuju ke arah Tuanku Laras yang tegak berkacak pinggang. Namun keadaan pedang kini tidak panjang lurus melainkan bergelung membentuk lingkaran. Dan di tengah lingkaran mata pedang ada batang leher seorang kakek bersorban dan berjubah putih!

Karena pedang Al Kausar bergerak melayang di udara, orang tua ini mau tak mau berjingkat-jingkat setengah berlari mengikuti kemana gerakan pedang. Kalau dia tidak berbuat begitu maka dari tadi-tadi lehernya pasti sudah putus ditabas senjata sakti itu! Si orang tua pergunakan dua tangan untuk mencekal pedang.

Namun walaupun dia bisa memegang senjata itu, dia tidak mampu membuka gelungannya, sementara kulit leher sebelah belakang telah mulai luka dan mengucurkan darah! Orang tua ini akhirnya Jatuh tersungkur dihadapan Tuanku Laras Muko Balang. Sorban jatuh ke tanah, menggelinding di bawah rangkiang (lumbung padi) di halaman depan Rumah Gadang Sambilan Ruang.

Melihat kehebatan senjata sakti milik Tuanku Laras itu semua orang yang ada di tempat tersebut jadi tercekat. Ki Bonang sampai melotot tak berkeSip. Hati kecilnya membatin. “Mungkin apa yang di katakan Teng Sien benar. Manusia satu ini harus cepat-cepat disingkirkan. Senjatanya sangat sakti, sangat berbahaya...”

Dari tempatnya berdiri Wiro bertanya pada Si Kamba Mancuang. “Nek, kau tahu Siapa orang tua berjubah putih itu?”

BAB DUA

BELUM sempat Si nenek menjawab, seperti yang dituturkan pada permulaan cerita tiba-tiba dua buah obor melayang di udara, menancap di halaman, tepat di anjungan Rumah Gading Nan Sambilan Ruang. Begitu dua nyala api obor menerangi seantero tempat, di tanah terlihat enam buah batu bulat datar, menebar membentuk lingkaran.

Untuk seketika Tuanku Laras melirik pada dua obor dan enam batu. Lalu dengan cepat dia melangkah ke hadapan orang berjubah putih yang tersungkur di tanah. Tangan kanan dikembang. Telapak menghadap ke atas. Sambil tangan digerakkan mulut berucap.

“Naik… naik. Berdiri… Aku ingin melihat wajahmu lebih jelas,”

Pedang Al Kausar bergerak naik keatas. Orang tua jubah putih meringis kesakitan, terpaksa berdiri mengikuti gerakan pedang yang masih melingkar menggelung lehernya. Begitu orang tua ini berdiri lurus di hadapannya. Tuanku Laras menyeringai. Kepala digeleng-geleng Mulut dipencong mengejek, lalu berucap dengan suara sengaja dikeraskan.

“Aaahh… Sutan Manjinjing Langit! Kau rupanya !”

Orang tua berjubah putih yang dipanggil Sutan Manjinjing Langit megap-megap, pegang gelungan pedang di leher. Mulut terbuka tapi suara tidak keluar.

“Astaga! Tololnya diriku ini! Tentu saja kau tidak bisa bicara!”

Tuanku Laras rapatkan jari tengah dan ibu jari tangan kanannya lalu dijentikkan hingga mengeluarkan suara klik! Luar biasa! Saat itu juga pedang yang melingkar di leher Si orang tua pancarkan cahaya berpijar lalu gelungannya terbuka. Pedang melayang di udara, lalu masuk dengan sendirinya ke dalam sarung yang tergenggam di tangan kiri Tuanku Laras.

Begitu lehernya lepas dari gelungan pedang Si orang tua langsung berteriak. “ManuSia jahanam! Kau salah seorang pembunuh adikku Sutan Panduko Alam!” Sambil berteriak orang tua itu menerjang. Tubuh merunduk, mulut menggeram seperti harimau bergumam.

“Bett! Bettt!” Tangan kiri menyambar ke dada, tangan kanan melesat ke bagian bawah perut! Inilah jurus serangan yang benar-benar mematikan bernama Di Ateh Hancuah Di Bawah Ramuak. (Di Atas Hancur Di Bawah Remuk)

Seperti dituturkan dalam permulaan serial Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok ketika dikejar oleh Ki Bonang, Teng Sien, Tuanku Laras dan beberapa orang lainnya, Chia Swie Kim dalam keadaan berbentuk kupu-kupu besar menyelamatkan diri masuk ke dalam rumah kediaman Sutan Panduko Alam di Bukit Malintang pesisir barat pulau Andalas. Walau orang tua itu berhasil menyelamatkan sang kupu-kupu namun dirinya sendiri tewas dibantai Ki Bonang dan anggota rombongannya.

Dapatkan dirinya diserang secara tak terduga, Tuanku Laras tersentak kaget. Kalau tidak cepat dia melompat mundur, salah satu serangan pasti akan menjebol jantung atau kemaluannya. “Sutan kalera! Seharusnya tadi sudah kutebas batang lehermu. Tapi masih belum terlambat!” (kalera = makian kotor)

“Srett!” Tuanku Laras cabut pedang Al Kausar. Namun baru setengah senjata itu keluar dari sarung tiba-tiba ada sesiur angin menyambar, membuat tangan Si muka belang ini menjadi ngilu kesemutan hingga tidak mampu meneruskan mencabut pedang.

Bersamaan dengan itu muncul sebuah kereta ditarik seekor kuda hitam, dikusiri seorang lelaki muda berdestar yang tegak berdiri gagah dan berpakaian hitam lalu berhenti di halaman kiri Rumah Gadang Nan Sambilan Ruang. Di kiri kanan bagian depan kereta terdapat bendera hijau dan merah, bergambar kaligafi tulisan Arab. Dua belas penunggang kuda berpakaian perajurit Kerajaan Pagaruyung bertubuh rata-rata besar berotot, menebar mengelilingi kereta.

Sambaran angin yang membuat gerakan tangan kanan Tuanku Laras tertahan tidak bisa meneruskan mencabut pedang datang dari arah kereta. “Kurang ajar!” rutuk Tuanku Laras. Mata menatap geram berkilat ke arah kereta. “Kusirnya kurasa tidak. Pasti pelakunya kakek jahanam yang duduk di belakang kusir! Agaknya dia juga yang tadi melempar obor dan enam batu bulat!”

Tanpa memperhatikan lebih seksama Siapa adanya kakek di atas kereta. Tuanku Laras kerahkan tenaga dalam penuh ke tangan kanan hingga sekujur lengan sampai ke ujung jari bergetar keras dan memancarkan cahaya kelabu. Tangan disentakkan sambil membentak garang. Cahaya kelabu menyambar ke arah kereta.

Ki Bonang sebelumnya tidak menyangka kalau Tuanku Laras memiliki ilmu kesaktian tinggi. Selama ini dia hanya mengagumi kehebatan pedang Al Kausar yang dimilikinya. Orang tua dari Jawa ini berbisik pada Pandeka Bumi Langit yang berdiri di sebelah kirinya.

“Sahabat Pandeka Bumi Langit, kau tak pernah memberi tahu. Ternyata Tuanku Laras memiliki kesaktian tinggi…”

“Selama ini dia sengaja menyembunyikan ilmu kepandaiannya. Menurut saya selain pedang dan ilmu kesaktian, yang paling berbahaya dari orang ini adalah Sifat culasnya. Sejak saya mendengar ucapannya di goa di Bukit Siangok, cepat atau lambat satu ketika dia pasti akan menghabisi kita semua karena temahak ingin mendapatkan satu peti emas lalu ingin pula mendapatkan gadis Cina itu.”

Selesai bicara Pandeka Bumi Langit meringis kesakitan memegangi tangan kirinya yang remuk dihajar pedang Al Kausar. “Ki Bonang, aku ikut kau dan teman-teman cukup sampai di sini saja. Aku tidak mau mencari celaka lebih parah…”

“Pandeka, jangan pergi. Kita harus menyelesaikan dulu urusan dengan Tuanku Laras. Aku butuh bantuanmu…”

Pandeka Bumi Langit gelengkan kepala. Dia memutar tubuh tetap hendak meninggalkan tempat itu. Teng Sien yang walau tidak mengerti apa yang dibicarakan namun melihat gelagat sudah tahu kalau Pandeka Bumi Langit hendak pergi. Dia cepat berkata pada Ki Bonang agar mencegah. Tapi Pandeka Bumi Langit tetap saja pergi malah mempercepat langkah.

Teng Sien yang sejak lama sudah jengkel terhadap orang-orang yang dianggapnya tidak mau membantu, hanya ingin menyerakahi hadiah emas tidak tunggu lebih lama dari balik pakaiannya segera mencabut sebilah pisau besar. Secepat kilat senjata ini dilemparkan ke arah Pandeka Bumi Langit yang berjalan membelakangi. Pisau ini bernama Naga Kecil Dari Syantung, bukan senjata sembarangan. Kecepatannya melayang laksana kilat. Selain itu pada saat melayang di udara tidak mengeluarkan suara sedikitpun.

Menyaksikan kejadian ini Pendekar 212 segera angkat tangan kanan untuk melepas pukulan Kunyuk Melempar Buah yang bisa membuat mental pisau. Bagaimanapun dia tidak suka melihat orang diserang secara curang dari belakang. Namun justru saat itu di telinga kanannya mengiang suara.

“Apa yang bukan menjadi urusanmu tidak perlu ikut campur! Apa yang sudah menjadi suratan jangan di tantang!”

“Sial, Siapa yang barusan mengirim ucapan padaku… ” Wiro menggerendeng dalam hati. Mata melirik ke arah orang tua di atas kereta. “Ah, pasti dia!” Akhirnya Wiro turunkan tangan kanannya.

Di lain kejap terdengar pekik Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Karena tidak ada suara tidak merasa ada sambaran angin, pisau panjang yang dilempar Perwira Muda Teng Sien menancap telak dan dalam di punggung kirinya, menembus bagian bawah jantung. Tubuh tersungkur menelungkup di tanah. Orang menyangka dia sudah menemui ajal. Pandeka Bumi Langit kerahkan tenaga dalam dan seluruh kesaktiannya untuk bertahan hidup.

Untuk beberapa saat tempat itu diselimuti kesunyian. Dalam keadaan seperti itu Teng Sien melompat ke arah sosok Pandeka Bumi Langit yang disangkanya sudah mati. Dengan cepat dia menggeledah. Begitu menemukan tiga batang emas di balik pakaian orang Teng Sien cepat mengambil dan memasukkannya ke dalam sebuah rompi yang melintang di dadanya.

Semua mata orang yang ada di tempat itu terbeliak. Bukan saja terkesiap menyaksikan apa yang terjadi dengan Pandeka Bumi Langit, tapi juga sewaktu melihat tiga batang emas yang berkilauan terkena cahaya nyala api dua buah obor! Yang tidak tahu ceritanya menduga-duga bagaimana Pandeka Bumi Langit bisa memiliki tiga batang emas lalu mengapa enak saja orang Cina itu mengambilnya! Apakah ini satu perempasan?!

Walau tidak tahu sebab musababnya, dua belas perajurit berkuda yang mengelilingi kereta bagaimanapun juga merasa tidak senang menyaksikan ada orang asing membunuh Pandeka Bumi Langit. Untuk menghindarkan tuduhan yang bisa menimbulkan keributan Ki Bonang cepat berseru. Tiga batangan emas adalah milik perwira Cina ini! Dia bukan mencuri bukan merampas...”

“Tapi dia membunuh orang di negeri ini!” Yang menyahuti adalah Penghulu Sangkalo Si kusir kereta. “Orang tua, kau sendiri orang pendatang. Apa kepantinganmu di negeri kami…”

Suasana karuan saja menjadi agak panas dan tegang. Teng Sien berbisik pada Ki Bonang agar segera saja meninggalkan tempat itu.

Sementara itu di atas kereta, melihat datangnya cahaya kelabu menyerang, kusir kereta terpaksa putus ucapan kerasnya tadi. Dia berteriak marah lalu melesat ke atas, jungkir balik satu kali di udara. Begitu menjejakkan dua kaki di tanah orang ini siap hendak menyerang Tuanku Laras. Tangan bergerak ke pinggang mencabut dua bilah badik. Senjata ini berlapis racun jahat yang bisa membunuh seekor kerbau besar hanya dalam beberapa kejapan mata, apa lagi manusia!

Dua belas parajurit yang mengelilingi kereta juga tidak tinggal diam. Mereka mengambil ancang-ancang. Enam bergerak melindungi kereta, enam lagi siap menyerang.

“Penghulu Sangkalo! Para perajurit Pagaruyung!” Orang tua di atas kereta segera menegur kusir kereta yang rupanya bukan orang sembarangan. Sebutan Penghulu menyatakan bahwa dia adalah seorang terkemuka atau pimpinan satu kelompok besar atau kaum yang disegani di tanah Minang. “Kita diutus Raja bukan untuk berbuat keonaran tapi mencari kebenaran. Jangan menyerang!”

Meskipun kemarahannya belum mengendur terhadap Tuanku Laras, namun mendengar ucapan si kakek di atas kereta, kusir yang bernama Sangkalo dengan patuh ikuti ucapan orang. Maka dia undur satu langkah sambil menyimpan dua bilah badik, diam tak bergerak, dua kaki dikembang, dua tangan disilang di atas dada pertanda setiap saat jika ada bahaya dia telah memiliki kuda-kuda bertahan sekaligus balas menyerang. Enam perajurit yang tadi siap menyerang kini mengambil sikap mengalah, tetap duduk di atas kuda masing-masing.

Sementara itu orang tua yang duduk di atas kereta walau hanya sekejapan, terpaan cahaya kelabu serangan Tuanku Laras membuatnya terangguk-angguk seperti orang mengantuk. Mulut merangkum senyum, kepala ditundukkan ke arah cahaya kelabu yang datang menyambar. Padahal yang dihadapinya adalah serangan maut mematikan! Malah tiba-tiba orang tua ini buka mulutnya lebar-lebar. Lalu...

"Wuutt! Cahaya kelabu serangan Tuanku Laras lenyap masuk ke dalam mulut. Sepasang mata si orang tua tampak merem melek dalam rongganya yang cekung. Mulut berkomat-kamit, kepala ditengadah. Dari tenggorokan kemudian jelas sekali terdengar suara gluk… gluk… gluk! Sikapnya tidak beda seperti orang kehausan tengah meneguk lahap minuman sejuk lezat!

BAB TIGA

SELAGI semua orang yang ada di tempat itu melengak kaget, mulut ternganga mata mendelik, si orang tua di atas kereta tertawa mengekeh. Pendekar 212 angkat kopiah hitamnya dan menggaruk kepala berulang kali. Mulut seringaikan senyum. Si Kamba Mancuang pegang lengan Wiro lalu berbisik.

“Kau tidak terkejut melihat kehebatan orang tua itu. Malah menggaruk kepala seperti orang belum mandi tujuh hari. Heh, aku rasa kau pasti kenal padanya. Katakan padaku…”

Si nenek tidak sempat meneruskan ucapan karena orang tua di atas kereta tiba-tiba membuka mulut lebar-lebar. Saat itu juga cahaya kelabu yang tadi seolah ditelannya kini melesat keluar, menyambar kearah Tuanku Laras yang masih tertegun terkesiap melihat apa yang barusan dilakukan si kakek.

“Cahayo Ganto Bisu ditelan lalu disemburkan kembali! sabana gilo!” (Sabana gilo=Benar-benar gila) Tuanku Laras menggeram dalam hati. Serangannya tadi bernama Cahaya Genta Bisu karena sewaktu menyambar sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikitpun dan ini sangat berbahaya bagi lawan yang berlaku lengah atau tidak sempat melihat datangnya serangan.

Melihat ilmu kesaktiannya dibuat mainan dan kini malah dipakai orang untuk menyerang dirinya sendiri, kejut Tuanku Laras seperti melihat setan kepala tujuh! Sambil menyumpah dia cepat melompat mundur, sekaligus cabut pedang Al Kausar. Pedang dibabatkan ke depan. Cahaya putih menebar di udara.

“Trang!” Luar biasa! Beradunya cahaya kelabu dan sinar pedang mengeluarkan suara seolah dua senjata terbuat dari logam keras saling beradu di udara!

Kalau orang tua di atas kereta unjukkan sikap tenang dan usap-usap janggut putihnya sebaliknya Tuanku Laras berseru tegang. Bentrokan dua cahaya menimbulkan angin deras membuat dua lututnya menjadi goyah dan tubuh terjajar ke belakang sampai dua langkah sementara dada mendenyut sakit.

Kalau saja mukanya tidak terlindung bulu hitam putih, akan terlihat jelas betapa kulit wajah itu telah menjadi pucat pasi! Mau tak mau nyali Tuanku Laras jadi menciut leleh. Jika diperturutkan amarahnya dia siap untuk menyerang kembali karena merasa masih memiliki beberapa ilmu simpanan. Tetapi manusia cerdik ini pandai membaca keadaan.

Orang tua di atas kereta keluarkan suara tertawa pendek lalu melesat ke udara. Sesaat kemudian dia sudah menjejakkan kaki di salah satu dari enam batu bulat datar yang bertebar di halaman membentuk lingkaran. Nyala dua api obor yang menerangi dirinya membuat Tuanku Laras dan semua orang yang ada di situ kini dapat melihat wajahnya lebih jelas dan mereka semua sama-sama merasa merinding.

Ki Bonang dan Teng Sien sama sekali tidak mengenal siapa adanya orang ini. Begitu juga Si Kamba Mancuang. Sutan Menjinjing Langit tegak tertegun-tegun, berusaha mengingat-ingat. Pendekar 212 Wiro Sableng sendiri memandang dengan mulut ternganga walau sejak tadi dia sudah bisa menduga siapa adanya orang tua itu.

Ketika Wiro hendak mengeluarkan suara orang tua yang tegak di atas batu bulat datar kedipkan dua mata yang cekung lalu jari telunjuk tangan kiri dipalang di atas bibir. Memberi tanda agar murid Sinto Gandeng tidak mengeluarkan suara, tidak membuka mulut.

Melihat sikap Wiro serta apa yang barusan dilakukan orang di atas batu, Si Kamba Mancung mengorek pinggang Pendekar 212. “Aku tak pelak lagi. Kau memang kenal kakek itu, dia kenal dirimu! siapa dia…?”

“Sabar Nek, tenang saja. Nanti juga ketahuan siapa dia. Atau heh, kau tertarik padanya?!”

Dijawab seperti itu si nenek unjukkan wajah cemberut lalu cubit pinggang sang pendekar hingga Wiro menggeliat antara kesakitan dan kegelian. Akan halnya Tuanku Laras, orang bermuka belang Ini berusaha menduga-duga siapa adanya kakek yang tegak di atas batu bulat datar. Mengapa kakek ini tadi mengedipkan mata dan memalangkan jari tangan di atas bibir dan ditujukan ke arah pemuda berkopiah hitam dan berambut panjang itu. Apa hubungan antara keduanya. Tuanku Laras tidak mau memikir berlama-lama. Dia harus bertindak cepat.

“Sebaiknya aku tidak membuat urusan di tempat ini. Emas celaka itu bisa aku cari kemudian. Orang tua yang tidak aku kenal ini agaknya memiliki ilmu kesaktian tinggi. Mengapa aku tidak pernah melihat atau mendengar dirinya sebelumnya. Apakah dia orangnya Raja di Pagaruyung…?”

Tuanku Laras bukan Tuanku Laras Muko Balang namanya kalau dia tidak berlaku cerdik dan licik. Untuk mengalihkan perhatian orang tiba-tiba dia berpaling pada Sutan Manjinjing Langit yang karena kemunculan kakek berkereta terpaksa menunda serangannya.

“Sutan Manjinjing Langit! Kalau kau ingin tahu siapa yang membunuh adikmu Sutan Panduko Alam, orangnya adalah tua bangka berjubah hijau yang mata dan sebagian kepalanya diikat kain! Namanya Ki Bonang! Dia berasal dari tanah Jawa. Datang ke sini bersama komplotannya memang sengaja hendak mengacau!” Sambil berteriak Tuanku Laras menunjuk tepat-tepat ke arah Ki Bonang Talang Ijo. Lalu dia meneruskan teriakannya. “Kalau kau tidak percaya lihat saja! Tasbih batu pualam hitam milik adikmu dikalung dilehemya!”

Seperti yang kejadian sewaktu Ki Bonang dan kawan-kawan menyerbu ke tempat kediaman Sutan Panduko Alam di Bukit Malintang, sebelum pergi dia mengambil tasbih hitam milik korban yang tercampak di tanah. (Baca Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok).

Tasbih itu kini memang dikalungkan di leher, menjulai di dada di atas Jubah hijau. Mau tak mau semua kepala dipalingkan dan semua mata memandang tepat-tepat ke arah Ki Bonang Talang Ijo. Mereka memang melihat ada tasbih hitam melingkar di leher. Tuanku Laras dengan cerdiknya kemudian menambah ucapannya.

“Nenek berjubah putih Si Kamba Mancuang, orang Cina berpakaian perang bernama Teng Sien, mereka berdua termasuk Pandeka Bumi Langit yang sudah mati ikut terlibat membantai adikmu! Balaskan dendammu pada mereka semua! Baru nanti kita bicara lagi!”

Habis berteriak lantang begitu rupa Tuanku Laras memutar tubuh. Pedang Al Kausar dicabut dan ditudingkan ke depan. Dengan kesaktiannya pedang ini bukan saja mampu mengangkat tubuh Tuanku Laras, namun juga membawanya melayang di udara hingga kejapan itu juga sosoknya tak kelihatan lagi, lenyap ditelan kegelapan malam.

BAB EMPAT

UCAPAN Tuanku Laras membuat geger semua orang yang ada di situ. Dalam marah tetapi juga bingung Sutan Manjinjing Langit menatap ke arah tiga orang yang ada dihadapannya. Apakah ucapanTuanku Laras tadi bisa dipercaya yang berarti dia saat itu juga harus membuat perhitungan dengan Ki Bonang, Teng Sien dan Si Kamba Mancuang. Atau dia akan mengejar Tuanku Laras terlebih dulu.

Sementara itu Ki Bonang dan Teng Sien berunding saling berbisik Mereka memutuskan untuk tidak akan melayani Sutan Menjinjing Langit, apapun yang akan dilakukan kakak Sutan Panduko Alam itu. Mereka merasa lebih penting mengejar Tuanku Laras karena si muka belang ini pasti akan pergi ke tempat dimana dia meninggalkan dan menyembunyikan Chia Swie Kim alias Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok alias Kupu Kupu Mata Dewa. Soal emas yang satu peti keduanya yakin tidak ada yang mengusik dan masih tetap berada di tempat yang mereka sembunyikan.

Sebelum pergi Ki Bonang tanggalkan dari leher tasbih milik Sutan Panduko Alam lalu dilemparkan ke arah Sutan Manjinjing Langit. Setelah Ki Bonang dan Teng Sien berkelebat ke arah lenyapnya Tuanku Laras, Sutan Manjinjing Langit jadi tambah bingung. Dia menatap ke arah Si Kamba Mancuang, satu-satunya orang yang masih tinggal dan terlibat dalam pembunuhan adiknya di Bukit Malintang.

Melihat Sikap dan cara menatap Sutan Manjinjing Langit, Wiro cepat membuka mulut. “Nenek sahabat saya ini mengaku salah dan bertobat atas apa yang telah dilakukannya. Dia juga telah menerima balasan setimpal yaitu kematian yang dialami saudara kembarnya Si Kamba Pesek. Nenek itu mati dibunuh Ki Bonang dan kawan-kawannya. Saya sendiri yang menyaksikan. Harap persoalan antara Sutan dan nenek ini dihabisi sampai disini saja…”

Wiro berpaling pada Si Kamba Mancuang. “Nek, ambil kain putih bekas penggulung pedang itu. Kita harus cepat-cepat mengejar Ki Bonang. Dia tidak muncul dengan gadis Cina itu, pertanda Si gadis disembunyikan di satu tempat Kita bisa pergunakan kain putih panjang itu untuk menguntitnya…”

“Pendekar Dua Satu Dua! Kau tetap di sini karena akan menjadi saksi. Nenek rambut putih bergigi perak kau juga jangan beranjak dari tempatmu. Kau juga akan kujadikan saksi. Sutan Manjinjing Langit, kalau kau tidak akan membalaskan sakit hati dendam kesumat kematian adikmu terhadap nenek rambut putih bergigi perak itu, aku persilahkan cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Kau tidak punya kepentingan disini…“

Sutan Menjinjing Langit tertegun sejenak. Akhirnya dia memutar tubuh. Namun sebelum pergi dia bertanya. “Orang gagah berjanggut putih, mohon kiranya diberi tahu. Siapa dusanak ini sebenarnya. Dusanak datang diantar dan dikawal orang-orang Kerajaan. Tapi seingat saya, saya belum pernah melihat dusanak di Pagaruyung.” (Dusanak=Saudara)

Orang tua yang tegak di atas batu bulat datar tersenyum. Dia hanya mengusap-usap janggut putih panjangnya. Maklum orang tidak akan memberi tahu siapa dirinya, Sutan Menjinjing Langit segera saja tinggalkan tempat itu.

Bagaimana dengan Pakih Jauhari, pemuda kekasih Gadih Puti Seruni, orang yang pertama sekali datang ke Bukit Batu Patah malam itu? Setelah selamat dari tebasan pedang Tuanku Laras dia terpaksa meninggalkan jenazah pamannya dengan cepat menyelinap ke kolong rumah gadang, bersembunyi di bagian yang gelap dan menyaksikan apa yang terjadi. Selain itu dia mengawartirkan Gadih Putih Seruni yang sampai saat itu belum juga muncul.

Yang tadi keluarkan ucapan dan meminta Sutan Menjinjing Langit meninggalkan tempat itu adalah orang tua yang tegak di atas batu bulat datar. Orang tua ini berambut putih panjang, berkumis dan berjanggut yang juga berwarna putih. Pakaiannya sehelai kain putih diselempang di sekujur tubuh mulai dari bahu sampai ke mata kaki. Yang membuat orang merasa angker setiap melihatnya adalah wajahnya yang hanya tinggal kulit pelapis tulang tidak beda seperti tengkorak. Sepasang mata besar tapi cekung menggidikkan.

Wiro dan Si Kamba Mancuang hanya bisa saling pandang. Tiba-tiba sang pendekar ingat. Astaga! Saat itu huga dengan cepat Wiro melangkah ke hadapan Si orang tua, membungkuk dalam-dalam, mengambil tangan kanannya lalu mencium seraya berkata,

“Kek maafkan kalau sejak tadi saya tidak buru-buru menemui dan menyalamimu. Terima salam hormatku Kek…” Wiro lalu mencium tangan si orang tua sekali lagi, disaksikan Si Kamba Mancuang dengan terheran-heran.

“Hemmm…”Si orang tua bergumam. Lalu menegur. “Anak setan, sudah berapa lama kau berada di negeri ini…?”

“Cukup lama Kek. Maaf kalau saya belum menyambangimu di Gunung Kerinci…”

“Apa urusan dan keperluanmu di tanah Minang ini? Membuat keonaran? Mau membunuhi orang jahat seenaknya saja seperti yang kau lakukan di tanah Jawa…?”

“Tidak Kek, anu… Saya diminta seseorang datang ke sini…”

Si orang tua sudah bisa menduga orang yang dimaksudkan Wiro. Dia melirik pada Si nenek. Sambil senyum-senyum berkata. “Pemuda gatal, kau sudah kehabisan anak gadis cantik di negeri ini hingga menjadikan nenek itu sebagai kekasihmu?!”

Wiro melengak. Tidak menyangka sang guru akan berkata begitu.

“Tua bengka bermulut kotor. Enak saja kau bicara…!” Si Kamba Mancuang menyemprot marah.

Orang tua berselempang kain putih malah tertawa sambil kedipken mata cekungnya ke arah Si nenek. Lalu dia dekatkan mulutnya ke telinga Wiro dan bertanya berbisik. “Anak setan, sudah berapa kali kau mencium nenek itu. Ha ha ha!”

Tampang murid Sinto Gendeng jadi bersemu merah. Kopiah hitam diangkat, kepala digaruk. Si kakek tertawa geli. “Ayo jawab. Mengaku saja…”

Wiro terpaksa menjawab polos. “Baru dua kali Kek. Tadi dia menanyakan dirimu. Saya kira dia suka padamu. Jika kau suka padanya akan saya beri tahu sekarang juga…”

“Aku tidak akan memotongmu!” Jawab Si kakek sambil tertawa lebar. “Kulihat giginya berlapis perak. Pasti enak waktu kau berciuman dengannya!” Si kakek tertawa mengekeh.

Wiro ikutan tertawa. Penghulu Sangkalo dan dua belas perajurit, begitu juga Si Kamba Mancuang hanya terheran-heran melihat kelakuan kedua orang itu.

“Anak setan…" Orang tua itu tadi memanggil Wiro dengan sebutan anak setan Aneh! Siapa sebenarnya pemuda ini? Setan yang menyaru? Siapa pula kakek aneh bermuka tengkorak yang ilmu kesaktiannya sungguh luar biasa ini?” Si Kamba Mancuang bertanyatanya dalam hati.

Si kakek yang datang berkereta dikusiri Penghulu Sangkalo dan dikawal dua belas perajurit Kerajaan Pagaruyung bukan lain adalah Tua Gila yang dalam rimba persilatan di pulau Andalas dan tanah Jawa juga dikenal dengan Julukan Pendekar Gila Patah Hati atau Iblis Gila Pencabut Nyawa.

Seperti yang diriwayatkan, Wiro pernah berguru pada Tua Gila yang bernama asli Sukat Tandika sedang dimasa mudanya Tua Gila pernah menjalin tali kaSih, bercinta dengan Sinto Weni alias Sinto Gendeng yang merupakan guru Pendekar 212 yang pertama. Dimasa tuanya, setelah peristiwa berdarah di Gajah mungkur, Tua Gila mengasingkan diri di puncak Gunung Kerinci bersama Sabai Nan Rancak yang kemudian diperstrikannya.

Tua Gila pegang bahu Pendekar 212 lalu kembali berbisik. “Jika aku masih muda atau saat ini aku berada di tanah Jawa, mungkin kau tak perlu bertanya apakah aku suka atau tidak pada nenek bergigi perak itu. Pasti sudah aku sambar! Ha ha ha..! Anak setan, apakah kau sudah tahu kalau perujudan nenek itu bukan bentuknya yang asli?”

Wiro terkesiap mendengar pertanyaan sang guru. Rupanya walau sekali bertemu Tua Gila yang memiliki kesaktian begitu tinggi mengetahui keadaan diri Si Kamba Mancuang. “Saya tahu Kek, tapi belum bisa jelas. Apakah Kakek bisa…”

“Aku tidak tahu mengapa kejadian dirinya sampai seperti itu. Tapi ada satu hal yang bisa aku kira-kira. Dengar baik-baik. Kalau perak yang melapisi giginya bisa ditanggalkan, maka mungkin dia akan kembali ke ujud semula. Seorang gadis cantik luar biasa. Weleh… pokoknya putus semua gadis yang pernah kau pacari! Ha ha ha…”

“Terima kasih Kek. Sekarang saya kepingin tahu mengapa malam-malam begini Kakek muncul di sini. Naik kereta, dikawal pula seperti seorang Raja… ”

“Aku tidak akan menjawab. Kau lihat saja apa yang bakal terjadi sebentar lagi. Seperti kataku tadi kau dan nenek bergigi perak itu akan jadi saksi. Sekarang menjauhlah dulu…”

Begitu Wiro melangkah mundur, Si kamba Mancuang cepat meremas dan menarik baju hitamnya. “Aku tidak tahu siapa yang gilo. Kakek itu atau kau. Mengapa dia memanggglimu anak setan. Apa bapak ibumu memang setan atau bagaimana…?”

“Nek, kakek itu memang orang gila. Namanya saja Tua Gila. Tapi dia adalah guruku nek… ”

Si Kamba Mancuang terkejut dan tercengang. Matanya memandang bulak balik ke arah si kakek lalu kembali ke Wiro. “Kau tidak bergurau?” Wiro menggeleng. "Tua Gila… aku rasa-rasa pernah mendengar nama itu. Aku masih belum mengerti. Katamu kau orang Jawa. Bagaimana mungkin punya seorang guru yang diam di pulau Andalas ini ?”

“Panjang ceritanya Nek. Kalau ada kesempatan akan aku ceritakan padamu...”

Si nenek belum puas. “Eh, apa yang tadi kalian bicarakan berbisik-bisik malah tertawa tawa seenaknya?!”

“Guruku memang suka bergurau. Tadi dia hanya melucu saja Nek,” Jawab Wiro.

“Kau pasti ngibul… Eh, betul seperti katamu. Ngibul kalau di tanah Jawa artinya bohong, dusta? Pinduto?” (Pinduto = orang yang berbohong)

Wiro tertawa lalu anggukkan kepala.

Di langit bulan sabit malam ke tiga tampak jelas karena saat itu langit dalam keadaan berSih tidak berawan. Di kolong rumah gadang Pakih Jauhari semakin gelisah. Di atas batu bulat datar Tua Gila tegak sambil rangkapkan dua tangan di depan dada. Kepala ditengadahkan dan sedikit dimiringkan ke kiri seperti Sikap orang tengah memasang telinga. Sesaat kemudian orang tua berkepandaian sangat tinggi ini lepaskan nafas lega.

“Dua orang yang ditunggu sudah datang…” ucap Tua Gila dalam hati.

Saat itu juga di langit tampak dua orang berpakaian hitam menunggang dua harimau besar yang laksana terbang melesat di udara. Dua kali binatang sakti tunggangan itu mengaum keras hingga getaran udara terasa sampai di tanah. Ketika dua ekor harimau menukik dan melayang turun di halaman Rumah Gadang Sambilan Ruang, Wiro dan Si Kamba Mancuang segera mengenali. Dua orang gagah berwibawa yang menunggangi harimau-harimau hitam belang kuning itu adalah Datuk Bandaro Putih, pimpinan Luhak Limapuluh Kota dan Datuk Kuning Nan Sabatang, penguasa Luhak Agam.

BAB LIMA

SEBELUM turun dari tunggangan masing-masing dua Datuk tampak terpana karena tidak menyangka akan menemui dan berhadapan dengan kakek sakti dari Gunung Kerinci yang dikenal dengan nama Tua Gila. Seumur hidup dua Datuk baru satu kali melihat orang tua itu yakni sekitar lima tahun silam ketika ada pertemuan besar di Pariangan antara para tokoh silat dan cerdik pandai di pulau Andalas bagian tengah.

Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang memperhatikan Penghulu Sangkalo, kereta serta dua belas perajurit Kerajaan yang saat itu sudah turun dari kuda masing-masing. Dua Datuk turun dari atas punggung harimau dan langsung sama-sama menemui Tua Gila. Dua Datuk membungkuk hormat seraya sama berucap.

“Inyiek Sukat Tandika, salam hormat dari kami berdua untuk saudara tua yang datang dari jauh…”

Rupanya di tanah Minang Tua Gila yang bernama asli Sukat Tandika dipanggil orang dengan sebutan Inyiek. Inyiek artinya orang tua yang disegani dan dihormati bukan saja karena usia tapi juga karena ketinggian tingkat ilmu yang dimilikinya. Tua Gila membalas penghormatan dengan membungkuk pula, tersenyum sedikit tapi belum mengeluarkan suara.

“Inyiek,” kata Datuk Bandaro Putih yang bertubuh tinggi besar. Walau kumis tebal melintang namun air mukanya tampak jernih. “Maafkan kalau kami berdua lancang bertanya. Apakah Inyiek orang yang dipercayakan Sri Baginda Raja di Pagaruyung untuk menangani masalah besar yang tengah dihadapi kami para Datuk Luhak Nan Tigo?”

“Seperti yang Datuk berdua lihat sendiri. Begitulah kepercayaan yang diberikan, begitu pula yang kejadian.” jawab Tua Gila. “Datuk berdua, aku senang Datuk berdua sudah datang. Makin cepat urusan ini diselesaikan makin baik. Kini kita tinggal menunggu kehadiran orang yang paling penting dalam urusan Ini. Yaitu Datuk Marajo Sati...”

Datuk Kuning Nan Sabatang berpaling pada Wiro dan Si Kamba Mancuang. Lalu bertanya. “Kehadiran kedua orang itu, apakah ada sangkut pautnya dengan perkara yang hendak Inyiek tangani?”

“Keduanya akan kita jadikan saksi. Mungkin masih ada tambahan saksi yang lain. Namun saat ini yang ada baru mereka berdua…” Jawab Tua Gila pula.

“Mohon maaf Inyiek. Kedua orang itu kami ketahui adalah orang-orang yang memperkeruh suasana. Nenek bernama Si Kamba Mancuang terlibat dalam pembunuhan Sutan Panduko Alam dan Datuk Panglimo Kayu dari Luhak Tanah Datar. Pemuda yang konon berasal dari Jawa itu kami curigai sebagai kaki tangan Datuk Marajo Sati. Selain itu dia juga membuat keonaran di beberapa tempat. Malah ada kabar bahwa dia membunuh salah seorang dari dua bersaudara Duo Hantu Gunung Sago yaitu Si Kalam Langit…” Yang bicara adalah Datuk Kuning Nan Sabatang.

Tua Gila menatap ke arah Pendekar 212 dan Si Kamba Mancuang. Saat itu Wiro tengah memencongkan mulut mengejek Datuk Kuning Nan Sabatang. Si Kamba Mancuang malah mencibir.

“Begitu…?” Ujar Tua Gila setelah mendengar ucapan Datuk Kuning Nan Sabatang. “Jika nanti keduanya memang diketahui bersalah, mereka pasti tidak akan lolos dari hukum Kerajaan…”

Si Kamba Mancuang yang memang penasaran terhadap dua Datuk sejak peristiwa di sekitar Bukit Siangok tempo hari menggerendeng. “Manusia-manusia tidak tahu diuntung, kalau bukan kau yang menolong keduanya beberapa hari lalu, mereka berdua pasti sudah hancur luluh ditelan tanah, dihisap ilmu Tanah Tabalah Azab Manimpo yang dikeluarkan Datuk Marajo Sati…”

Dua Datuk merasa tidak senang mendengar ucapan Tua Gila. Aneh, mengapa orang tua itu seperti membela pemuda berambut panjang dan Si nenek bergigi perak. Datuk Bandaro Putih kemudian berkata. “Inyiek, menurut Inyiek apakah Datuk Marajo Sati akan datang ke tempat ini? Bagaimana kalau dia tidak berani muncul? Berarti perkara tidak akan bisa diselesaikan. ”

Tiba-tiba ada suara angin bersiur disusul seruan lantang. “Aku Datuk Marajo Sati! Siapa bermulut besar mengatakan aku tidak berani datang!”

Satu sosok berjubah putih berkelebat. Di lain kejap di tempat itu telah berdiri Datuk Marajo Sati tanpa mengenakan sorban Di sebelah atas kepala setengah botak, dikuduk rambut menjulai panjang sampai di belakang telinga. Wajah tampak garang walau tidak dapat menyembunyikan rasa keletihan. Sang Datuk berdiri langsung di atas salah satu batu bulat besar dan tepat dihadapan Tua Gila yang berarti membelakangi Dua Datuk yang telah datang terlebih dulu. Agaknya Datuk Marajo Sati sengaja memilih batu tempat tegak yang membelakangi kedua orang itu sebagai pertanda rasa bencinya terhadap mereka.

Tua Gila tersenyum, membungkuk sedikit lalu berucap. “Terima kasih Datuk Marajo Sati telah datang. Memang tinggal Datuk seorang yang kami tunggu-tunggu...” Kata Tua Gila pula.

Di kolong gelap rumah gadang Pakih Jauhari merasakan dadanya sesak. “Datuk Marajo muncul. Apa sebenarnya yang hendak terjadi ditempat ini. Bagaimana Seruni…? Kalau dia sampai muncul bisa celaka anak itu…”

Memikir sampai di situ dan merasa sangat kawatir Pakih Jauhari segera hendak melompat keluar dari tempat gelap, menyeruak ke bagian belakang rumah gadang lalu dia akan berusaha menunggu kedatangan Seruni di satu-satunya jalan yang menuju ke Bukit Batu Patah. Namun pemuda ini nyaris berteriak kaget ketika dia merasakan dua kakinya lemas tak bisa digerakkan apa lagi dipakai melangkah. Perlahan-lahan tubuhnya jatuh terduduk di tanah.

“Celaka! Hantu apa yang masuk ketubuhku hingga aku tak bisa menggerakkan kaki?!”

Setelah menegur Datuk Marajo Sati, Tua Gila mempersilahkan dua Datuk berdiri di atas batu bulat bundar di kiri kanannya hingga mereka kini tegak berhadap-hadapan dengan Datuk Marajo Sati. Setelah itu Tua Gila juga meminta Wiro dan Si Kamba Mancuang berdiri di atas batu, satu di samping kanan satu lagi di sebelah kiri Datuk Marajo Sati.

Datuk Marajo Sati delikkan mata pada Wiro yang berdiri di samping kanannya. “Pemuda jahanam! Kau mencuri sorbanku. Kau kemanakan sorban itu sekarang? Kalau sampai tidak kau kembalikan aku pecahkan kepalamu!”

Tadinya Wiro tidak mau menjawab. Namun dimaki jahanam murid Sinto Gendeng membuka mulut juga. “Sorban Datuk sudah dibenamkan ke dalam tanah oleh Tuanku Laras Muko Balang. Kalau Datuk mau mencarinya, saya bisa menunjukkan tempatnya. Atau ada baiknya Datuk berurusan saja langsung dengan Tuanku Laras…”

Datuk Marajo Sati jadi beringas. Ketika dia hendak mendamprat kembali bahkan siap mengangkat tangan hendak menggebuk Wiro, Tua Gila segera menengahi.

“Harap semua yang hadir di sini mengerti. Pertemuan ini bukan untuk membicarakan soal sorban. Aku mohon masing-masing pihak bisa menahan diri. Setiap masalah hanya bisa diselesaikan kalau ditangani dengan hati jernih, kepala dingin, ucapan sejuk serta kerendahan hati dan kebesaran jiwa. Di hadapan hukum semua orang sama, tidak ada bedanya satu sama lain.”

Datuk Marajo Sati ternyata masih menyimpan kekesalan karena sewaktu dia menemui Tua Gila di puncak Gunung Kerinci tempo hari dan pulangnya dia dikerjai oleh orang tua sakti itu hingga sulit kencing. Akibatnya dia terpaksa mencebur masuk ke dalam sungai dan air kencingnya aur-auran membasahi jubah putihnya! (Baca Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok)

“Inyiek Sukat Tandika. Saya pernah mengunjungi Inyiek di Gunung Kerinci. Kalau saja Inyiek mau mendengar semua penjelasan saya saat itu tentang pemuda berambut seperti perempuan ini, niscaya tidak akan terjadi semua perkara gila ini!”

Kesal mendengar ucapan orang, Wiro menjawab dengan suara mengejek. “Datuk, yang tengah kita hadapi saat ini bukan perkara gila. Tapi orang-orang gila!”

“Sahabatku, kau betul! Memang banyak orang gila tidak karuan di tempat ini! Hendak ditolong malah menggolong. Sudah itu menggonggong pula! Seperti anj… anj… Hik hik hik…!” Si Kamba Mancuang sambuti ucapan Wiro lalu tertawa cekikikan.

BAB ENAM

“DIAM! Tua bangka tidak tahu diri! Perempuan setan!” Bentak Datuk Marajo Sati yang tahu kalau dirinya diejek dipermainkan oleh Wiro dan Si Kamba Mancuang.

Tua Gila batuk-batuk beberapa kali. “Sudah saatnya kita memulai pembicaraan. Datuk Marajo Sati apakah Datuk sudah menerima dan membaca Surat Perintah Raja di Pagaruyung yang disampaikan Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang?”

Sebagai jawaban Datuk Marajo Sati mengeruk saku kanan jubah putihnya. Ketika tangan itu ditarik, ikut keluar sepotong bambu yang sudah hangus serta bubuk hitam yang berasal dari hancuran hangus kain. Seperti diceritakan sebelumnya selesai membaca Surat Perintah Raja Pagaruyung yang ditulis di atas secarik kain putih dan digelungkan pada sebatang bambu, Datuk Marajo Sakti dengan ilmu kesaktiannya, dalam marahnya telah meremas Surat Perintah itu hingga terbakar dan berubah menjadi bambu hangus dan debu hitam. Dengan Sikap sombong Datuk Marajo Sati berkata.

“Inyiek, saya tidak tahu, apakah ini Surat Perintah yang Inyiek maksudkan?”

Dua Datuk disamping Tua Gila tampak kerutkan alis dan dalam hati merutuk sikap yang diperlihatkan Datuk Marajo Sati. Sebaliknya Tua Gila tampak tenang-tenang saja, malah mukanya yang angker menggidikkan itu masih bisa tersenyum namun mulutnya berucap ketus.

“Tidak seharusnya kita menghina Kerajaan. Tidak seharusnya kita mempermalukan Raja Negeri sendiri. Mudah-mudahan aku bisa melakukan sesuatu…”

Ketika Datuk Marajo Sati hendak menjatuhkan potongan bambu dan bubuk hangus ke tanah, Tua Gila cepat maju mendekat. Selempang kain putih ditarik dan ditodongkan sambil berucap. “Jangan dibuang. Mungkin aku masih bisa membacanya agar dapat kita simak bersama…”

Potongan bambu dan bubuk abu hangus yang ditampung di atas pakaian putihnya beberapa kali digoyang-goyangkan oleh Tua Gila seperti laiknya orang menampi beras. Tiba-tiba ada kepulan asap hitam. Ketika asap lenyap, di pakaian putih Tua Gila terlihat sederetan panjang tulisan.

Datuk Mararjo Sati memperhatikan, ternyata apa yang tertera di pakaian Tua Gila sama dengan yang tertulis dalam Surat Perintah Raja Pagaruyung yang pernah dibaca dan telah dimusnahkannya! Seharusnya ilmu kepandaian luar biasa dari Tua Gila membuat Datuk Marajo Sati tidak berlaku sombong lagi. Namun tidak demikian adanya.

“Jelas sekali… Jelas sekali apa yang tertulis di atas selempang kain putih pakaianku ini. Aku yakin Datuk bertiga sudah membaca dan mengetahui isi Surat Perintah ini. Karenanya aku tidak perlu bacakan lagi. Tapi mungkin aku perlu menegaskan salah satu bagian…”

Lalu Tua Gila alias Inyiek Sukat Tandika dengan suara keras membacakan salah satu bagian Surat Perintah itu. “…Kami memerintahkan agar Datuk Marajo Sati datang ke bekas Istana lama Kerajaan Pagaruyung di Bukit Batu Patah untuk memberi kesaksian pada utusan yang telah kami percaya…”

Tua Gila angkat kepalanya sedikit lalu berkata. “Agar jelas bagi semua pihak yang ada di tempat ini utusan yang dimaksud Sri Baginda Raja di Pagaruyung dalam Surat Perintah ini adalah diriku. Dan agar jelas bagi Datuk Marajo Sakti, saat ini kedudukan Datuk adalah sebagai saksi yang ditanyakan. Bukan tertuduh, bukan pula pesakitan…”

Setelah berkata Tua Gila goyang-goyangkan kembali pakaian selempang kain putihnya. Asap hitam sekali lagi tampak mengepul. Begitu asap sirna, tulisan di atas kain putihpun ikut lenyap! Potongan bambu hangus dan debu hitam jatuh ke tanah.

“Sekarang semua yang hadir, apakah pembicaraan bisa kita mulai?” Tanya Tua Gila kemudian.

“Saya tidak suka hal ini!” Kata Datuk Marajo Sati dengan suara keras meradang. Sikapnya masih saja sombong, membuat semua orang merasa jadi tidak senang dan sebal.

“Datuk Marajo, harap Datuk menjelaskan hal apa yang Datuk tidak suka...” Menyahuti Tua Gila.

“Pertama, Inyiek bukan orang yang berasal dari salah satu nagari di tanah Minang ini. Bagaimana Inyiek tahu persoalan yang akan dibicarakan. Apa lagi mau menyelesaikan perkara! Kedua, Inyiek bukan orang di sini, hak apa maka Inyiek menangani perkara ini?! Saya ingin Inyiek menjawab pertanyaan saya. Jika jawaban Inyiek tidak memuaskan, saya lebih baik angkat kaki dari sini. Kalau perlu biar urusan ini diselesaikan dengan darah dan nyawa!”

“Aahh...“ Tua Gila angguk-anggukkan kepala. “Darah mudah tertumpah, nyawa mudah melayang. Tapi selama masih ada jalan dan cara baik yang bisa ditempuh, apakah kita anak manusia yang sebenarnya lemah ini mau menujukkan kekuatan dan kehebatan yang memalukan di hadapan Tuhan, mau memakai cara-cara kekerasan…?”

“Inyiek, dalam persoalan ini saya harap jangan membawa-bawa nama Tuhan! Allah benci pada mereka yang mempergunakan agama dan memakai nama-Nya untuk memutar balik kenyataan untuk kepentingan sendiri karena mau menang sendiri!”

Sepasang mata besar cekung Tua Gila bergerak-gerak, menatap tak berkesip ke arah Datuk Marajo Sati yang barusan keluarkan ucapan, sementara mulut dipencong ke kiri. “Datuk Marajo Sati, aku ingat pada ujar-ujar yang mengatakan bahwasannya lidah tidak bertulang, ucapan Datuk sungguh benar sekali. Tapi siapa saja yang merasa dirinya orang Minangkabau tentu tidak lupa pada kata-kata indah. Bahwasannya di negeri ini Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah! Atau apakah saat ini aku bukan berhadapan dengan pemuka tanah Minangkabau, tapi berhadapan dengan beruk-beruk liar yang tersesat dari Pulau Cingkuk?!”

Sekilas terlihat air muka Datuk Marajo Sati bersemu merah dan pelipis bergerak-gerak sementara rahang menggembung. Tua Gila tersenyum. Wiro diam-diam merasa gemas melihat sikap sang guru. Kalau hal ini terjadi dimasa dulu-dulu sudah dapat dipastikan Tua Gila akan menghajar habis Datuk Marajo Sati saat itu juga. Selain itu setelah mendengar cerita Si Kamba Mancuang mengenai gadis Cina yang dijuluki Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok saat itu dia merasa kawatir.

“Nek, terus terang aku tidak suka berada di tempat ini. Bukankah lebih baik kalau kita berusaha menolong gadis Cina itu?”

Si Kamba Mancuang hanya menjawab dengan anggukan kepala. Dihadapan mereka kembali Tua Gila angkat bicara.

“Datuk Marajo Sati, kau telah bertanya maka wajib aku menjawab. Pertama, memang benar aku ini bukan orang di negeri ini. Tapi mengenai perkara yang hendak kita bicarakan, berarti semua kejadian yang sudah berlangsung, mudah-mudahan aku telah mengetahui secara lengkap. Hal kedua, Sri Baginda Raja Pagaruyung sengaja menunjuk diriku orang dari luar sebagai utusan sekaligus menjadi penengah dan pemutus perkara ini, karena jika diambil orang dari negeri ini, dari tanah Minang ini, dikawatirkan orang tersebut akan berat sebelah dan condong ke salah satu pihak, yang berarti akan merugikan pihak lain. Bukankah dalam hal ini Raja di Pagaruyung telah bertindak sangat bijaksana dan sangat adil? Tetapi jika maksud baik diriku Si tua buruk ini, jika kebijaksanaan dan sikap adil Sri Baginda Raja tidak dapat diterima maka jika kekerasan yang diinginkan maka halaman rumah gadang ini cukup luas untuk dijadikan kubangan darah. Lihat saja, sebelum para Datuk datang ke sini sudah ada dua orang yang jadi korban. Pertama, Jambak Magang penjaga Rumah Gadang Sambilan Ruang. Kedua Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Apakah ada yang mau segera menyusul menjadi korban kedua, ketiga dan seterusnya…? Aku yang tua bangka ini saja kalau bisa masih ingin hidup berlama-lama…”

Halaman luas di depan rumah gadang itu kini tenggelam dalam Kesunyian. Tidak ada satu orangpun yang bicara.

“Inyiek, sebaiknya pembicaraan dimulai saja,” berkata Datuk Bandaro Putih.

Tua Gila anggukkan kepala, menatap Datuk Marajo Sati lalu mulai bicara. “Semua yang hadir disini harap berkata kalau benar katakan benar, kalau salah katakan salah walaupun pahit Datuk Marajo Sati, ada dua perkara besar menyangkut dirimu. Pertama Datuk dikabarkan telah membunuh Datuk Panglimo Kayo, Datuk Penghulu di Luhak Tanah Datar. Apa yang hendak Datuk katakan sebagai jawaban?”

“Kabar itu adalah fitnah busuk belaka. Aden tidak membunuh Datuk Panglimo Kayo yang adalah sahabat, bawahan bahkan aden anggap masih mertua saya! Sekalipun aden dalam keadaan gila, otak miring, aden tidak akan pernah membunuh Datuk Panglimo Kayo! Tidak mungkin!” Menjawab Datuk Marajo Sati dengan suara lantang dan tegas. (Aden=Aku, bahasa kasar. Diucapkan Datuk Marajo Sati saking marahnya)

“Terima kasih Datuk mau menjawab...” Kata Tua Gila pula. “Sewaktu jenazah Datuk Panglimo Kayo sampai di rumah gadang di Batu Sangkar, dalam genggaman tangan almarhum terdapat robekan ujung sorban milik Datuk. Banyak orang yang menyaksikan hal itu. termasuk Datuk Bandara Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang yang saat ini hadir di sini. Tersirat dugaan bahwa sorban itu adalah milik sang pembunuh yang berhasil direnggut cabik oleh Datuk Panglimo Kayo sebelum dia dibunuh. Apa jawab Datuk Marajo Sati?”

BAB TUJUH

RAHANG Datuk Marajo Sati menggembung. Dari hidungnya membersit suara mendengus. Lalu mulutnya berucap. “Justru disitulah titik tolak tuduhan dan fitnah terhadap diriku! Ada orang yang sengaja menggenggamkan robekan sorban milik saya ke dalam tangan mayat Datuk Panglimo Kayo…”

“Apakah Datuk Marajo tahu atau bisa mengira-ngira siapa pelakunya?” Tanya Tua Gila sang utusan yang mewakili Sri Baginda Raja di Pagaruyung.

Datuk Marajo Sati menggeleng. “Saya tidak berani menuduh sembarangan, tidak mau memfitnah orang lain. Sangat besar dosanya!”

“Apakah Datuk Marajo punya syakwasangka terhadap salah satu atau sekaligus pada kedua Datuk yang ada di sini?”

Datuk Marajo Sati menatap dengan mata besar pada Datuk Kuning Nan Sabatang dan Datuk Bandara Putih. Lalu berkata. “Coba Inyiek Sukat Tandika saja yang menanyakan pada mereka! Kalau mereka jujur mereka akan mengakui”

“Datuk Marajo Sati! Jangan menuduh tanpa bukti!” Datuk Kuning Nan Sabatang menegur.

Datuk Marajo Sati kembali mendengus. Dengan mata dimendelikkan dia berkata. “Kalian yang membawa perkara! Kalian harus ikut bertanggung jawab!”

Inyiek Sukat Tandika alias Tua Gila angkat tangan kirinya lalu berkata. “Datuk Marajo, jika ditanya mereka pasti akan menjawab tidak. Bukankah begitu Datuk Kuning dan Datuk Bandara.

Dua orang Datuk yang diajak bicara sama-sama anggukkan kepala. Panaslah dada Datuk Marajo Sati. Wajah kaku membesi lalu sunggingkan tawa buruk.

“Selaku utusan ternyata Inyiek berlaku berat sebelah. Inyiek belum bertanya tapi sudah menjawab sendiri!”

"Tenang Datuk, jangan keburu menduga salah,” kata Tua Gila pula.

Datuk Marajo Sati kembali menyemprot. “Kalau Inyiek tidak bisa membuktikan mereka sebagai pelaku yang menyusupkan cabikan sorban saya ke dalam tangan mayat Datuk Panglimo Kayo, berarti sama saja Inyiek juga tidak bisa membuktikan saya yang telah membunuh Datuk Luhak Tanah Datar itu!”

Tua Gila tersenyum. “Untuk jawaban yang Datuk berikan, apakah Datuk berani bersumpah bahwa Datuk benar-benar tidak membunuh Datuk Panglimo Kayo?”

“Saya orang yang difitnah saya orang yang teraniaya. Mengapa saya tidak berani mengangkat sumpah. Sesungguhnya Allah semata yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui!”

Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang sama-sama tertawa sinis mendengar ucapan Datuk Marajo Sati. “Kalau begitu baiklah...“

Tua Gila lalu memberi tanda pada Penghulu Sangkalo. Kusir kereta ini lalu melangkah ke hadapan Tua Gila. Dari satu kantong kain berwarna putih dia mengeluarkan sebuah kitab tebal berkulit hijau yang ternyata adalah kitab suci Al Qur’an. Belum disuruh Datuk Marajo Sati segera saja mengambil kitab suci itu, menjunjung di atas kepala seraya mulut mengucapkan sumpah bahwa dia tidak membunuh Datuk Panglimo Kayo. Habis mengucapkan sumpah Datuk Marajo Sati mengembalikan Al Qur'an pada Penghulu Sangkalo dan berkata pada Tua Gila.

“Saya harap Inyiek meminta dua Datuk itu bersumpah bahwa mereka bukan orang-orang yang berbuat keji telah menyusupkan cabikan sorban saya ke dalam genggaman tangan almarhum Datuk Panglimo Kayo!”

Tua Gila memberi isyarat pada Penghulu Sangkalo. Orang ini kemudian menyerahkan kitab suci pada dua Datuk. Seorang demi seorang mereka kemudian mengangkat sumpah bahwa mereka tidak pernah menyusupkan robekan kain sorban Datuk Marajo Sati ke dalam genggaman tangan mayat almarhum Datuk Panglimo Kayo.

Dengan tersenyum simpul Tua Gila menggosok-gosok dua telapak tangannya satu sama lain lalu berkata. “Tiga Datuk dan semua yang hadir di sini. Perkara pertama sudah kita selesaikan dengan baik dan cepat. Datuk Bandara Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang telah bersumpah di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan Maha Melihat. Bahwa mereka tidak pernah menyusupkan cabikan sorban milik Datuk Marajo Sati ke dalam genggaman tangan mayat Datuk Panglimo Kayo. Berarti ada orang lain yang melakukan hal itu dengan maksud melancarkan fitnah! Siapa orang ini belum diketahui. Tapi cepat atau lambat pasti akan terungkap.”

Setelah diam sebentar baru Tua Gila meneruskan ucapan. ”Datuk Marajo Sati telah bersumpah pula di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan MahaMelihat. Kitab suci Al Qur’an dijunjung di atas kepala. Bahwa dia tidak membunuh Datuk Panglimo Kayo! Berarti ada orang lain yang membunuh Datuk itu. Siapa orangnya kita belum tahu. Tapi Tuhan pasti akan memberi petunjuk. Siapa pelakunya niscaya akan terungkap…”

Tiba-tiba ada orang berucap dengan suara tersendat dan gemetaran disertai desah tarikan nafas dalam berulang kali. Suara itu tidak begitu keras namun cukup dapat didengar oleh semua orang yang ada di tempat itu.

“Pembunuh Datuk Panglimo Kayo… adalah… Tuanku Laras, dibantu… orang Jawa bernama Ki Bonang, orang Cina bernama Teng Sien. Tuanku Laras pula yang kemudian… menggenggamkan robekan sorban Datuk Marajo Sati ke dalam tangan Datuk Panglimo Kayo. Tuanku Laras kemudian mengirim mayat Datuk Panglimo Kayo dengan sebuah pedati ke Batu Sangkar…”

Keadaan di halaman depan Rumah Gadang Sambilan Ruang untuk beberapa lamanya tenggelam dalam kesunyian. Semua pandangan tercekat ditujukan dengan perasaan tidak percaya pada Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik yang terkapar di tanah. Dialah tadi yang bicara. Tiba-tiba Datuk Marajo Sati menggembor keras. Sekali lompat saja dia sudah berada di samping Pandeka Bumi Langit

“Pandeka keparat! Ternyata kau belum mati! Kalau Datuk Panglima Kayo dibantai oleh Tuanku Laras dan kawan-kawannya berarti kau juga turut terlibat dalam perbuatan durjana itu! Kau pula yang telah membunuh burung Alang peliharaanku!” Kaki kanan batuk Marajo Sati bergerak.

“Praak!” Tubuh Pandeka Langit Bumi mencelat menghantam batang pohon besar. Lalu jatuh menggelepar di tanah dengan kepala pecah! Sekali ini nyawanya benar-benar lepas sudah!

Melihat apa yang terjadi Si Kamba Mancuang cepat melompat mendekati Wiro lalu berbisik. “Pandeka Bumi Langit menyimpan tiga batang emas hadiah dari Teng Sien. Pasti ada di balik pakaiannya…”

Wiro yang tahu maksud Si nenek cepat berkata. “Biarkan saja. Jangan diambil dulu terlalu banyak mata di tempat ini…”

“Aku mengerti,” jawab Si nenek lalu kembali ke tempat tegaknya semula yaitu di sebelah kiri Datuk Marajo Sati.

Dari tempatnya berdiri Datuk Marajo Sati tegak berkacak pinggang. Dengan suara keras bergetar dia berkata. “Semua sudah mendengar apa yang diucapkan Pandeka Bumi Langit. Apa masih ada yang menaruh syak wasangka terhadap diriku?!”

Inyiek Sukat Tandika alias Tua Gila angkat kedua tangannya ke udara. Lalu berkata. “Saksi telah berucap. Kenyataan yang benar telah terungkap. Datuk Marajo Sati, aku selaku utusan yang dipercaya Sri Baginda Raja Pagaruyung menyatakan bahwa Datuk tidak terbukti membunuh Datuk Panglimo Kayo. Sekarang harap kau kembali berdiri di atas batu bulat. Karena masih ada satu perkara lagi yang harus mendapat kejelasan darimu…”

Setelah mengusap janggutnya Inyiek Sukat Tandika meneruskan ucapan. “Datuk Marajo Sati bukan saja di Luhak Nan Tigo, tapi hampir seluruh tanah Minangkabau ini telah dilanda kehebohan. Berita sampai pula kepada Sri Baginda Raja di Pagaruyung. Karena ini menyangkut aib luar biasa besar maka itu sebabnya Sri Baginda Raja sangat perlu untuk mendapat kebenaran hingga jika hukum kelak dijatuhkan dapat dilakukan dengan seadil-adilnya...”

“Inyiek, saya sudah tahu perkara apa yang hendak Inyiek sampaikan. Tidak usah berpanjang-panjang. Langsung saja pada persoalannya!” Kata Datuk Marajo Sati pula dengan wajah beringas dan pelipis bergerak-gerak.

Tua Gila angguk-anggukkan kepala. “Datuk Marajo Sati, seperti kabar yang tersiar di delapan penjuru angin ranah Minang, Datuk dikatakan selama beberapa hari telah menyembunyikan seorang gadis Cina di goa kediaman Datuk di Ngarai Sianok. Kabar yang bergulir bukan saja Datuk dikatakan hanya sekedar menyembunyikan, tapi juga telah berbuat yang tadi baik. Datuk dikabarkan telah berbuat mesum dengan gadis itu. Padahal Datuk adalah Datuk Pucuk dari semua Datuk di Luhak Nan Tigo yang selama ini menjadi panutan. Tahu diadat taat beragama. Apa tanggapan Datuk Marajo atas kejadian ini?”

BAB DELAPAN

SETELAH menarik-narik janggut tebalnya pertanda sangat kesal. Datuk Marajo Sati menjawab. “Mulut manusia bisa seperti seratus mulut ular berbisa. Tuduhan punya seribu muka! Fitnah punya sejuta bencana! Inyiek pandai bicara begini begitu. Semua hanya berdasarkan kabar. Kabar yang tentunya berasal dari mulut para pemfitnah. Kalau Inyiek ingin meneruskan perkara ini saya minta Inyiek menghadirkan gadis Cina yang Inyiek maksudkan itu! Kapanpun Inyiek bisa menghadirkannya akan saya tunggu! Saat ini saya merasa tidak punya kepentingan lagi di tempat ini!” Habis berkata begitu Datuk Marajo Sati segera turun dari atas batu bulat datar lalu membalikkan diri siap untuk pergi.

"Tunggu! Tidak semudah itu Datuk pergi begitu saja!” Tiba-tiba Datuk Kuning Nan Sabatang berteriak sementara Datuk Bandaro Putih sudah turun dari batu bulat, sikapnya jelas hendak menghadang.

Melihat hal ini naiklah amarah Datuk Marajo Sati. “Apa mau kalian berdua?! Datuk keparat tukang fitnah!”

“Datuk Marajo Sati! Jaga mulutmu!” Datuk Kuning Nan Sabatang segera pula turun dari atas batu. “Kami tidak pernah memfitnah. Kabar perbuatan mesum Datuk sudah tersiar kemana-mana dan bukan berasal dari mulut kami berdua! Kami hanya menyelidik, mencari kebenaran. Negeri ini perlu dibersihkan dari manusia-manusia bejat dan kami menemukan bukti-bukti yang tidak mungkin Datuk ingkari!”

“Bukti…?” Datuk Marajo Sakti delikkan mata. Lalu tertawa gelak-gelak. “Kalau tidak menghormati Inyiek Sukat Tandika selaku utusan Raja Pagaruyung sudah tadi-tadi aku robek mulut kalian berdua!”

“Inyiek! Kami minta izin untuk memberi pelajaran pada manusia busuk ini!” Kata Datuk Kuning Nan Sabatang yang rupanya sudah tidak bisa bersabar diri lagi. Lalu tidak menunggu jawaban Tua Gila Datuk Kuning Nan Sabatang segera menerjang. Tubuh merunduk seperti harimau hendak menerkam. Tapi tangan kanan tiba-tiba melesat ke atas, ke arah mulut Datuk Marajo Sati. Lima jari terpentang. Hebatnya, lima kuku pada jari tangan itu mendadak sontak mencuat panjang dan berwarna merah!

Inilah jurus dari ilmu yang disebut Jari Hantu Gunung Pangilun. Rupanya Datuk Kuning Nan Sabatang benar-benar ingin merobek mulut Datuk Marajo Sati. Namun serangan ganas ini tidak menemui sasaran karena Datuk Marajo cepat melompat mundur sambil menendang ke arah perut lawan dalam Jurus Dongkak Kilek Nan Tongga. (Tendangan Kilat Tungal)

Datuk Bandaro Putih tidak tinggal diam. Dia berteriak. “Inyiek, Datuk Pucuk harus ditangkap lebih dulu. Baru nanti di adili. Kalau dibiarkan pergi dia bisa melarikan diri!” Lalu Datuk Bandaro Putih berkelebat pula memasuki kalangan pertarungan.

Tua Gila goleng-goleng kepala. Wiro dan Si Kamba Mancuang hanya tegak diam memperhatikan jalannya pertarungan dua lawan satu itu tanpa ada rasa kawatir. Setelah lima jurus berlalu dan tidak mampu menjatuhkan Datuk Marajo Sati, dua Datuk lipat gandakan tenaga dalam dan hawa sakti pada setiap serangan mereka. Kini keadaan berubah. Datuk Marajo Sati harus berhati-hati agar tidak terdesak. Maka dia segera pula mengeluarkan ilmu kesaktiannya. Dapat dipastikan bahwa cepat atau lambat bakal ada yang mengalami cidera bahkan bisa-bisa menemui ajal.

“Awas Datuk!” Murid Sinto Gendeng berseru ketika gempuran hebat Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang membuat Datuk Marajo Sati mundur terhuyung huyung.

Sebelum dia sempat mengimbangi diri tangan kanan Datuk Kuning Nan Sabatang menyelinap dari bawah, melesat ke arah dagu lawan. Dari deru angin serta hawa aneh yang mendahului pukulan itu dapat dipastikan serangan yang dilancarkan Datuk Kuning Nan Sabatang merupakan serangan mematikan. Sambil berseru Wiro pura-pura hendak menahan tubuh Datuk Marajo Sati yang nyaris jatuh. Namun di saat yang sama dia juga majukan bahu kirinya menahan serangan Datuk Kuning Nan Sabatang.

“Bukk!” Hantaman keras mendarat di bahu kiri Pendekar 212 hingga mengeluarkan suara keras bergedebuk. Wiro melintir lalu terbanting ke tanah. Pura-pura menjerit sakit Padahal sebenarnya dia sudah terlebih dulu melindungi diri dengan tenaga dalam tinggi dan hawa sakti yang memancar dari Kapak Naga Geni 212 yang ada dalam tubuhnya hingga dia tidak sampai mengalami cidera tapihanya menderita sakit di sebelah luar.

Ketika mengerenyit pura-pura kesakitan tak sengaja Wiro memandang ke bagian kolong rumah gadang. Di bagian kolong rumah yang gelap dia melihat ada seseorang mendekam bersembunyi. Dia kerahkan Ilmu Menembus Pandang yang membuat dia bisa melihat lebih jelas. Orang yang sembunyi di bawah rumah itu ternyata adalah seorang pemuda berpakaian biru.

“Datuk! Mengapa Datuk memukul saya? Apa salah saya?!” Teriak Wiro pada Datuk Kuning Nan Sabatang tapi kedipkan mata ke arah Si Kamba Mancuang.

“Pemuda jahanam! Kau melindungi Datuk itu, sengaja memasang badan!” Yang menjawab Datuk Bandaro Putih karena dari samping tadi dia melihat jelas gerakan Wiro.

“Pemuda sombong! Aku mau tahu sampai dimana kehebatan ilmumu!” Maka Datuk Bandaro Putih langsung saja menyerang Wiro.

“Datuk Bandaro Putih!” Si Kamba Mancuang melompat menghadang gerakan Datuk Luhak Lima puluh Kota itu. “Sungguh tidak berbudi. Pemuda ini adalah tamu dari jauh yang patut dihormati. Mengapa Datuk menyerangnya tanpa lantaran?”

“Tua bangka busuk! Aku tahu kau sudah bergendak dengan pemuda itu! Tidak heran kalau kau membelanya!”

Kalau tadi Datuk Bandaro Putih mengarahkan serangan pada Wiro maka kini dia menyerbu Si Kamba Mancuang. Si nenek bergigi perak sambut serangan lawan dengan menyilangkan dua tangannya yangpanjang ke depan.

“Wuutt! Wuuttt!”

Datuk Bandaro Putih terkejut ketika tahu-tahu dua tangan Si Kamba Mancuang dengan cepat menyambar ke pinggang, satu lagi bergulung hendak menelikung lehernya! itulah jurus serangan bernama Manyapo Puncak Gunung Merapi. (Menyapa Puncak Gunung Merapi) Walau namanya “menyapa”tapi “sapaan” ini bisa mendatangkan malapetaka!

Datuk Bandaro Putih tahu benar kehebatan dua tangan Si Kamba Mancuang. Pinggangnya bisa remuk, leher bisa hancur! Karena tidak sempat menghindar menyelamatkan diri maka Datuk Bandaro Putih tanpa perasaan malu segera cabut keris besar Nago Gunung Singgalang dari pinggang. Sinar biru berkiblat, menyambar ke arah Si Kamba Mancuang. Selagi Si nenek berusaha menghindar, tahu-tahu ujung keris telah membabat

“Breett!” Jubah putih Si Kamba Mancuang robek di bagian bahu kiri. Untung dagingnya tidak ikut tersayat.

Melihat kejadian ini Wiro jadi mengkelap. “Datuk pengecut! Berani menyerang perempuan! Dengan senjata pula! Teriak murid Sinto Gendeng lalu menggebrak ke arah sang Datuk dalam Jurus Dewa Topan Menggusur Gunung. Dari telapak tangan kanan murid Sinto Gendeng menyembur angin dahsyat disertai suara menderu seperti topan menggila. Sesuai dengan nama jurus yang dilancarkan. Jangankan manusia, lereng gunungpun bisa dibuat ambruk.

Kejut Datuk Bandaro Putih mendapat serangan itu bukan olah-olah. Namun keterkejutan ini bukan saja karena kehebatannya melainkan juga karena dia mengenali jurus serangan itu. “Dewa Topan Menggusur Gunung!” Teriak Datuk Bandaro Putih sambil melompat jauh dan melintangkan keris sakti di depan dada. Matanya yang mendelik diarahkan sekilas pada Inyiek Sukat Tandika alias Tua Gila. “Pemuda keparat! Dari mana kau mendapat ilmu pukulan itu. Apa hubunganmu dengan Inyiek Sukat Tandika?!”

“Hik hik hik!” Si Kamba Mancuang tertawa cekikikan. “Datuk Bandaro Putih, belum tahu kau rupanya kalau sobatku ini adalah murid Inyiek Sukat Tandika!”

Di tempatnya berdiri di atas batu bulat datar Tua Gila mengomel sendiri. “Anak setan! Mengapa dia mengeluarkan jurus serangan itu! Apa tidak ada jurus serangan yang lain?! Lalu nenek bergigi perak itu, mulutnya seperti ember!”

Datuk Bandaro Putih tentu saja terkejut sekali mendengar ucapan Si Kamba Mancuang. Untuk beberapa ketika dia memandang ke arah Tua Gila dan Wiro ganti berganti dengan rasa tidak percaya. Akan halnya Datuk Kuning Nan Sabatang yang saat itu tengah menggempur habis Detuk Marajo Sati dan berusaha merobohkan lawan dengan beberapa pukulan kilat, mau tak mau ikut terpengaruh mendengar teriakan Datuk Bandaro Putih tadi.

Sebaliknya Datuk Marajo Sati yang memang sudah tahu siapa adanya Pendekar 212 yaitu murid Inyiek Sukat Tandika alias Tua Gila, tidak mensia-siakan kesempatan. Selagi lawan agak terpana dengan cepat dia susupkan jurus serangan bernama Tangan Sakti Menggapai Puncak Singgalang. Tangan kanan yang menyerang berubah panjang dan melesat ke arah kening Datuk Kuning Nan Sabatang didahului sambaran cahaya hitam pekat!

BAB SEMBILAN

“GILA SEMUA! Kalian gila semua! Kalau memang sudah ingin mencari mati aku akan buatkan liang kubur buat kalian seorang satu!”

Di tengah membuncahnya pertarungan antara Datuk Kuning Nan Sabatang melawan Datuk Marajo Sati dan Datuk Bandaro Putih menghadapi Pendekar 212 tiba-tiba di tempat itu berkiblat cahaya putih, enam kali berturut-turut, luar biasa cepatnya.

“Bumm… bumm… bumm… bumm… bumm… bumm”

Enam letusan dahsyat menggelegar di Bukit Batu Patah. Rumah Gadang Sambilan Ruang bergoyang berderak-derak. Tanah bergetar. Kuda penarik kereta meringkik keras. Penghulu Sangkalo cepat melompat ke atas kereta, menahan tali kekang agar kuda tidak menghambur lari. Dua belas perajurit Kerajaan Pagaruyung berseru kaget ketika dapatkan tubuh masing-masing terlempar ke udara lalu jatuh terbanting ke tanah! Serta merta mereka berdiri sambil mencabut lading besar di pinggang (lading=golok). Di kolong rumah gadang Pakih Jauhari tersungkur ke tanah. Kepalanya terantuk salah satu tiang rumah hingga benjut.

Di beberapa tempat udara mendadak gelap tertutup lapisan tanah dan debu yang bermuncratan ke udara. Begitu muncratan tanah dan debu luruh maka di halaman rumah gadang terlihat menganga enam buah lobang. Ukurannya memang cukup besar untuk menjadi liang kubur!

Empat orang yang sedang bertarung tampak terhuyung-huyung. Gerakan mereka terhenti dan mata sama dipalingkan ke arah Inyiek Sukat Tandika yang saat itu tegak menatap dengan mata cekung membeliak dan tampang angker.

“Kalian tua bangka tolol semua!” Mendamprat Inyiek Sukat Tandika. “Semua cepat kembali tegak di atas batu semula. Semua persoalan harus selesai malam ini! Kalau tidak mau aku selesaikan maka silahkan melanjutkan saling bunuh! Jangan kira aku tidak senang melihat darah! Nanti satu persatu mayat kalian aku tendang masuk ke dalam lobang! Ha ha ha!”

Tua Gila tutup ucapannya dengan suara tawa mengekeh. Ucapan Tua Gila bahwa dia senang melihat darah bukan asal bicara. Karena konon dimasa muda dia diketahui telah membunuh hampir tiga ratus orang yang dianggapnya sebagai musuh!

Dengan terengah-engah karena lebih banyak menahan amarah Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang bersurut mundur, kembali berdiri di atas batu bundar di kiri kanan Inyiek Sukat Tandika.

Di bagian lain sebelum naik ke atas batu bulat, Datuk Marajo Sati memandang Wiro sesaat. Lalu berkata. “Aku tahu kau tadi menyelamatkan kepalaku dari serangan Datuk Kuning Nan Sabatang. Tapi jangan harap aku akan berterima kasih… ”

“Datuk tidak tahu diuntung!” Si Kamba Mancuang memaki dalam hati mendengar ucapan Datuk Marajo Sati itu.

Sebaliknya dengan tenang Wiro menanggapi. “Datuk, saya memang tidak perlu terima kasih Datuk,” jawab Wiro. “Pukulan lawan tadi bisa menghancurkan muka Datuk. Saya menolong bukan kasihan pada Datuk, tapi cuma menaruh sedih pada orang di rumah…”

“Orang di rumah siapa maksudmu?!” Bentak Datuk Marajo Sati dengan mata berkilat.

Wiro menyeringai. “Ah, rupanya Datuk terlalu lama tinggal di goa di Ngarai Sianok hingga lupa padusi di rumah! Siapa lagi yang saya maksud dengan orang di rumah kalau bukan istri Datuk yang masih muda belia itu! Apa tidak kasihan melihat dia nanti masih muda sudah jadi janda? Selain itu arwah Datuk pasti tidak tenteram kalau nanti dia kawin lagi dengan orang lain. Mungkin kawin dengan pemuda yang pernah jadi kekasihnya dulu. Apa lagi kalau sampai kawin dengan diriku! Eh, Siapa namanya istri Datuk yang konon setengah abad lebih muda dari Datuk itu…?” Habis berkata Wiro tertawa keras.

Mendengar ucapan Wiro menggelegak amarah Datuk Marajo Sati. Kaki kanannya diinjakkan ke kaki kiri Wiro. Sekeli injak pasti hancur kaki Si gondrong ini. Dengan cepat Wiro melompat selamatkan kaki kirinya.

“Braakk! Desss!”

Batu bulat datar hancur berkeping-keping, mengepulkan asap. Akibatnya kalau semua orang telah berdiri di atas batu bulat masing-masing, kini hanya Wiro seorang yang tegak di atas tanah. Pakaian hitamnya kotor oleh debu hancuran batu. Si Kamba Mancuang berteriak marah dan siap bergerak hendak melakukan sesuatu. Tapi Wiro cepat memberi isyarat agar Si nenek tidak melakukan apa-apa. Ini membuat Si Kamba Mancuang jadi gemas geregetan.

Setelah membersihkan pakaian hitamnya yang berselomotan tanah dan debu. Datuk Bandaro Putih menatap ke arah Datuk Kuning Nan Sebatang. Yang ditatap memberi isyarat dengan anggukan kepala. Maka Datuk Bandaro Putih berpaling pada Tua Gila.

“Inyiek Sukat Tandika. Sebelum pembicaraan dilanjutkan, saya dan Datuk Kuning Nan Sabatang ingin mengajukan pertanyaan…”

“Aku tidak keberatan. Tapi cepat dan jangan bertele-tele!”Jawab Tua Gila sambil menatap ke langit. Saat itu di langit dari arah timur nampak gumpalan awan hitam bergerak ke arah barat. Sementara angin bertiup agak kencang. Pertanda mungkin malam itu akan turun hujan.

“Setelah kami tahu kalau pemuda Jawa itu adalah murid Inyiek, untuk selanjutnya, dalam perkara yang dipercayakan Raja pada Inyiek apakah Inyiek bisa bertindak adil?”

“Datuk Bandaro Putih, aku tahu maksud pertanyaanmu. Bicara soal keadilan bagiku dan bagi Sri Baginda Raja dan bagi Kerajaan Pagaruyung bukan berarti siapa orangnya, tapi apa perbuatannya. Kalau muridku aku jadikan saksi dan ternyata dia bersaksi palsu, aku akan cabut lidahnya seperti ini!” Habis berkata begitu Tua Gila lalu buka mulutnya lebar-lebar. Tangan kiri dimasukkan ke dalam mulut lalu dipelintir dan disentakkan.

“Kreekk!” Dari dalam mulut keluar sebuah benda merah sepanjang tiga perempat jengkal. Oleh Tua Gila benda ini dilemparkan ke tanah, tepat di hadapan kaki Datuk Bandaro Putih. Di atas tanah benda ini bergerak-gerak seolah hidup. Benda itu ternyata adalah lidah sang Inyiek. Semua mata membelalak. Semua tengkuk jadi merinding dingin. Sang murid, yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng walau kaget tapi tetap tenang dan berucap dalam hati.

“Setahuku kakek Tua Gila tidak punya ilmu seperti ini. Aneh. Hampir menyerupai Ilmu Menahan Darah Memindah Jazad yang aku dapat dari negeri Latanahsilam...”

Tua Gila ulurkan tangan kanannya. Lidah yang ditanah melesat ke atas, cepat ditangkap lalu dimasukkan kembali ke dalam mulut. “Ada lagi yang hendak bicara atau mau bertanya?”

Tak ada yang bersuara. Tak ada yang berani menjawab pertanyaan sang inyiek utusan Kerajaan Pagaruyung itu. Si Kamba Mancuang berdiri sambil mengusapi pangkal lehernya. Selain ngeri nenek satu ini juga merasa jijik hingga dia megap-megap menahan muntah.

“Kalau begitu kita teruskan pembicaraan,” kata Tua Gila pula. Matanya yang cekung angker menatap ke arah Datuk Marajo Sati yang berdiri di atas batu antara Wiro dan Si Kamba Mancuang. “Datuk Marajo Sati, kembali pada perkara kedua menyangkut diri Datuk dan gadis Cina itu. Tadi Datuk meminta agar aku menghadirkan gadis Cina itu sebagai saksi. Saat ini hal itu tidak bisa dilakukan. Karena turut kabar yang aku dengar dari Penghulu Sangkalo bukankah gadis itu telah dilarikan oleh Tuanku Laras yang tadi ada di sini, lalu kabur melarikan diri!”

“Inyiek Sukat Tandika. Perihal bagaimana dan dimana beradanya gadis itu, saya tidak mau perduli. Jika Inyiek ingin mencari kebenaran dan mau berlaku adil, hanya gadis itu satu-satunya yang bisa memberi kesaksian nyata dan benar. Bahwa saya dan dia tidak melakukan perbuatan mesum! Tidak melakukan zinah!”

“Perkara ini memang sulit. Tapi bukan berarti perlu dipersulit…” Ucap Tua Gila pula. “Gadis Cina itu tidak bisa, dihadirkan sebagai saksi. Bagaimana, kalau kita memeriksa dulu saksi yang lain?”

Semua orang bertanya-tanya siapa saksi yang dimaksud oleh sang utusan Sri Baginda Raja itu. Tua Gila menatap ke arah muridnya. Pasti muridnya sendiri, pemuda jawa berambut panjang sebahu itu!

“Pendekar Dua Satu Dua…“ berkata Tua Gila. “Bukankah sejak tadi kau melihat ada seseorang bersembunyi di bawah kolong rumah gadang?”

Wiro terkejut tapi cepat-cepat mengiyakan ucapan Tua Gila.

“Temui orang itu. Bawa dia ke hadapanku. Jika dia menolak kau boleh menggebuk dan menyeretnya kesini!”

Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang memutar tubuh sama berpaling, membungkuk sedikit dan memandang ke bawah kolong rumah gadang. Begitu juga Si Kamba Mancuang, kusir kereta Penghulu Sangkalo dan dua belas perajurit Kerajaan. Semua memperhatikan ke kolong gelap rumah gadang. Ingin mengetahui siapa adanya orang yang sembunyi di bawah kolong rumah. Datuk Marajo Sati sendiri tetap tak bergerak dari tempatnya. Sikapnya acuh saja.

Saat itu Wiro sudah masuk ke bawah rumah gadang. Tak lama kemudian dari bawah rumah gadang terdengar suara jeritan seseorang minta ampun dan minta agar dirinya dilepaskan. Wiro keluar dari kolong rumah gadang. Datuk Marajo Sati baru tersentak ketika melihat siapa adanya pemuda yang diseret Wiro ke hadapan Inyiek Sukat Tandika itu.

“Jahanam Pakih Jauhari!” rutuk Datuk Marajo Sati. “Mengapa keparat ini berada di sini. Apa yang dilakukannya!” Dengan geram Datuk Marajo Sati melangkah cepat mendekati Pakih Jauhari. Tangan kanan diangkat tinggi-tinggi lalu secepat kilat dihantamkan ke batok kepala pemuda yang berasal dari Biaro itu.

Sekejapan lagi kepala Pakih Jauhari akan remuk dihantam pukulan, tanpa bergerak dari batu bulat yang dipijaknya Tua Gila kebutkan selempang kain putih yang jadi pakaiannya.
Selarik angin menderu dan wuuttt!

Datuk Marajo Sati terhuyung-huyung satu langkah. Tapi dengan sebat orang ini sanggup imbangi diri dan lanjutkan serangan ke arah Pakih Jauhari. Yang dituju masih tetap kepala pemuda itu pertanda Datuk Marajo Sati memang sangat mendendam dan ingin membunuhnya!

“Datuk sadar! Jangan!” teriak Wiro berusaha mencegah. Tapi Datuk Marajo Seti tidak bergeming.

Melihat hal ini Wiro segera dorong tubuh Pakih Jauhari hingga pemuda ini jatuh terguling di tanah. Pukulan maut Datuk Marajo Sati menghantam tempat kosong. Ini membuat sang Datuk menjadi marah setengah mati. Dua kaki diputar cepat. Tangan kanan kembali berkelebat. Kali ini yang dituju adalah kepala Pendekar 212!

BAB SEPULUH

SEPASANG mata Pendekar 212 terbelalak. “Datuk! Apa yang kau lakukan ini! Mengapa menyerangku!” Teriak Wiro.

Datuk Marajo Sati tidak perduli. Malah mulutnya berucap. “Kau dan pemuda itu sama keparatnya! Aku tidak akan pernah menyesal membunuhmu!”

Di tempatnya berdiri Tua Gila menjadi marah melihat apa yang dilakukan serta barusan diucapkan Datuk Marajo Sati. Kehadirannya disitu seolah tidak dipandang sebelah mata. Maka orang tua ini segera kirimkan suara mengiang ke telinga muridnya.

“Anak setan, coba kau beri pelajaran pada Datuk Sialan itu!”

Wiro yang semula hanya berniat akan menghindarkan diri dari serangan Datuk Marajo Sati, namun begitu mendengar ucapan sang guru dengan cepat alirkan tenaga dalam ke tangan kiri. Lalu menangkis pukulan Datuk Marajo Sati dengan Jurus Tangan Dewa Menghantam Matahari. Jurus pukulan ini adalah jurus pertama dari enam pukulan sakti yang bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa pemberian Datuk Rao Basaluang Ameh, tokoh silat yang kesaktiannya dianggap setengah Dewa, diam di Danau Meninjau.

Datuk Rao Basaluang Ameh seperti diketahui adalah salah seorang guru Pendekar 212 Wiro Sableng dan orang tua inilah yang konon dikabarkan telah meninggal dunia sekitar seratus tahun silam yang meminta Wiro untuk datang ke tanah Minangkabau. Orang tua sakti itu agaknya sudah mengetahui bahwa satu peristiwa besar akan terjadi di negeri tempat kediamannya.

Wiro diharapkan akan dapat mencegah berlarut-larutnya hal-hal yang takdiingini di negeri itu. Namun sepertiyang dituturkan Wiro malah menjadi bulan-bulanan tuduhan dan dianggap sebagai biang keladi pembuat keonaran serta kekacauan termasuk tewasnya beberapa tokoh rimba persilatan tanah Minang.

“Bukk!” Dua lengan beradu keras. Wiro merasa tanah yang dipijaknya seperti melesak. Dua lutut menekuk. Sebelum tubuhnya terbanting jatuh duduk di tanah, Wiro cepat kerahkan ilmu meringankan tubuh. Sambil berseru keras dia melesat ke atas. Di udara Wiro jungkir balik satu kali.

Beradunya dua tangan tadi membuat Datuk Marajo Sati terlempar hampir satu tombak ke udara. Tangan kanan sakit luar biasa seolah saat itu tangannya sudah putus! Getaran rasa sakit menjalar sampai ke dada! Di saat yang sama Wiro yang tengah melayang turun pergunakan bahu kiri kanan sang Datuk sebagai tumpuan sebelum akhirnya menjejakkan kaki berdiri di tanah sambil cengar-cengir padahal lengan kirinya tampak menggembung bengkak biru kehitaman!

Ketika kaki Wiro mendarat di bahunya kiri kanan, Datuk Marajo Sati merasa seperti tubuhnya dihimpit dua batu besar. Bagaimanapun dia kerahkan tenaga sampai rambut, kumis dan janggut pendeknya berjingkrak tetap saja dia tidak mampu bertahan. Tubuh besar berjubah putih ini akhirnya jatuh terduduk di tanah. Mukanya tampak agak pucat dan penuh keringat. Seumur hidup baru sekali ini Datuk Marajo Sati dibuat seperti itu oleh lawan bertarung.

“Tenaga dalamnya luar biasa. Kalau dia berniat jahat saat ini aku pasti sudah muntah darah!” Membatin Datuk Pucuk Luhak Nan Tigo itu.

Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang saling pandang satu sama lain. Keduanya maklum kalau pemuda yang selama ini dianggap remeh ternyata memiliki tenaga dalam yang jauh melebihi apa yang dimiliki Datuk Marajo Sati. Ini berarti melebihi pula tingkat kepandaian mereka berdua!

Wiro cepat dekati Datuk Marajo Sati, mengambil tangannya dan membantu berdiri seraya berkata. “Datuk, maafkan saya. Saya tahu kita berdua tidak ada maksud jahat terhadap satu sama lainnya.”

Mendengar ucapan Wiro Datuk Marajo Sati termenung dan pejamkan mata. Mulutnya ingin menyemburkan carut marut. Namun hatinya tak kuasa melakukan. Di langit awan tebal semakin banyak. Bergerak mulai menutupi bulan sabit hari ke tiga. Dari tempatnya berdiri di atas batu bulat datar Tua Gila berkata.

“Datuk, saya harap Datuk kembali ke tempat semula. Saya mengerti Datuk sangat benci dan dendam pada pemuda bernama Pakih Jauhari itu. Saya harap hal itu dilupakan dulu. Yang lebih penting adalah mencari kebenaran!”

“Inyiek, pemuda ini pangkal bahala dari semua fitnah yang terjadi atas diri saya. Hidup saya jadi begini karena dia!” Kata Datuk Marajo Sati. Suaranya masih keras tapi tidak lagi terdengar garang.

“Aku tahu Datuk. Untuk itulah kita akan menanyainya. Mudah-mudah yang hitam akan tersingkap hitam, yang putih akan tetap terlihat putih.”

Tua Gila memberi isyarat. Dua orang perajurit membawa Pakih Jauhari ke hadapan sang utusan Raja. Pakih Jauhari ketakutan setengah mati. iBeberapa kali dia berteriak minta ampun sambil berlutut memegangi kaki Tua Gila dan minta diperkenankan meninggalkan tempat itu.

“Anak muda, berdirilah dihadapanku! Jangan berteriak seperti orang gila. Berdiri lurus lurus atau aku patahkan kedua kakimu!”

Diancam Tua Gila seperti itu Si pemuda segera berdiri. Kepala ditundukkan, tapi mata sesekali melirik ke arah Datuk Marajo Sati. Kawatir sang Datuk akan menghajarnya dari belakang.

“Anak muda, Siapa namamu?” bertanya Tua Gila.

Pakih Jauhari menjawab memberi tahu namanya.

“Menurut kabar, juga seperti yang dikatakan Datuk Marajo Sati tadi, apa benar kau yang membuat cerita bahwa Datuk Marajo Sati telah menyekap seorang anak gadis di dalam goa di Ngarai Sianok dan melakukan perbuatan aib. Kabar buruk itu telah membuat buncah seluruh nagari. Telah pula sampai ke telinga istri Datuk Marajo Sati di Batu sangkar. Bahkan beberapa orang telah tewas menemui ajal oleh ulah perbuatanmu! Apa Jawabmu?!”

“Inyiek, saya…” Pakih Jauhari jatuhkan diri. “Saya minta ampun…”

“Berdiri!” Bentak Tua Gila. “Jawab saja apa yang aku tanya!”

Pakih Jauhari berdiri. “Inyiek. semua orang yang ada di sini. Saya minta ampun. Mohon saya jangan diapa apakan...” Lalu pemuda yang dilanda ketakutan ini meraung-raung.

“Plaakk!” Datuk Kuning Nan Sabatang yang berdiri di sebelah Tua Gila jadi kesal, hilang sabarnya. Langsung saja tangan kanannya melayang menampar Pakih Jauhari hingga pemuda ini menjerit keras dan darah meleleh dari sudut bibirnya yang luka.

“Kalau kau masih meraung aku patahkan batang lehermu!” Mengancam Datuk Kuning Nan sabatang.

“Ampun Datuk… ampun beribu ampun. Saya akan menjawab. Saya akan bicara… Apa yang tadi Inyiek tanyakan...”

Dengan kesal Tua Gila mengulang ucapannya. “Kau dituduh menyebar cerita bahwa Datuk Marajo Sati telah berbuat aib dengan seorang gadis Cina di goanya di Ngarai Sianok. Akibat perbuatanmu itu orang seranah Minang menjadi buncah. Kabar itu telah sampai pula ke telinga istri Datuk Marajo Sati di Batu sangkar. Apa kau sengaja hendak menghancurkan rumah tangga orang?! Kau juga diketahui mengumpulkan orang banyak dari beberapa dusun. Menghasut untuk menghujat dan menyerang Datuk Marajo Sati. Kau juga diduga membawa-bawa Datuk Luhak Nan Tigo ikut terlibat dalam perkara. Jika apa yang kau ceritakan adalah dusta maka berarti kau menyebar fitnah. Jika kau merasa benar apakah kau memiliki bukti?”

Sebelum Pakih Jauhari menjawab Datuk Kuning Nan Sabatang mendahului. “Inyiek, izinkan saya bicara. Saya dan Datuk Bandaro Putih pernah menyelidik ke dalam goa kediaman Datuk Marajo Sati. Maaf bicara disana kami menemukan bukti, berupa tanda tanda nyata keberadaan seorang perempuan…”

“Apa yang Datuk temukan…” tanya Tua Gila.

“Pakaian luar perempuan, peralatan untuk berhias seperti pupur. Lalu, maaf inyiek. Kami juga menemukan celana dalam perempuan…”

Sampai disitu entah sadar entah tidak Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. Si Kamba Mancuang satu tangan memegang perut satu lagi menekap mulut menahan tawa cekikikan yang menyembur. Sementara itu Datuk Marajo Sati tampak kelam membesi wajahnya. Mulut berkomat kamit tapi tidak ada suara yang keluar.

“Diam semua!” Inyiek Sukat Tandika membentak. “Apa kalian kira ini panggung sandiwara lucu-lucuan?!”

Wiro dan Si Kamba Mancuang segera hentikan tawa. Namun ditempatnya berdiri wajah sang inyiek sekilas tampak tersenyum.

BAB SEBELAS

UNTUK beberapa ketika halaman rumah gadang tenggelam dalam kesunyian, inyiek Sukat Tandika memandang pada Pakih Jauhari. “Kau sudah Siap menjawab semua apa yang aku katakan tadi?!”

Pakih Jauhari mengangguk. Sebelum bicara dia kembali meratap minta ampun. “inyiek, saya orang berdosa. Saya mengaku salah. Memang benar saya ketahui Datuk Marajo Sati berdua-dua dengan seorang gadis Cina di goanya di Ngarai Sianok selama beberapa hari. Tapi cerita bahwa Datuk telah berbuat aib, semua itu hanyalah karangan saya belaka…”

“Kau mengaku telah menyebar fitnah?” Tanya Tua Gila.

“Saya mengaku dan saya minta ampun, minta maaf. Mengenai beberapa orang yang tewas, tidak ada sangkut pautnya dengan diri saya. Tiga Datuk dari Luhak Nan Tigo sama sekali tidak terlibat dalam urusan ini. Pada pagi hari sewaktu saya membawa penduduk ke Ngarai Sianok, sayalah yang menghasut, saya pula yang menancapkan tiga bendera lambang Luhak Nan Tigo. Kedatangan Para Datuk Luhak NanTigo di Ngarai Sianok hanyalah satu kebetulan saja. Saya mohon maaf pada semua Datuk…”

“Pemuda keparat! Karena mulut beracun mu Datuk Panglimo Kayo sampai menemui ajal!” Teriak Datuk Bandaro Putih.

“Saya mohon ampun, minta maaf. Kematian Datuk Panglimo Kayo tidak ada sangkut pautnya dengan diri saya. Datuk Panglimo Kayo adalah korban kejahatan seorang yang datang dari Jawa. Orang itu membawa seorang tentara Cina. Dia dibantu oleh beberapa orang tokoh di negeri ini. Semua yang berkomplot dengan dia diberi hadiah batangan emas…”

“Hemmm…” Tua Gila bergumam sambil usap-usap janggut putihnya. “Sekarang jelaskan padaku dan semua orang yang ada di sini. Mengapa kau berbuat jahat mengarang cerita menebar fitnah atas diri Datuk Marajo Sati…”

Pakih Jauhari tampak ragu juga takut. Tapi akhirnya membuka mulut juga. “Inyiek… banyak orang diLuhak Nan Tigo mengetahui, termasuk keluarga besar Datuk Panglimo Kayo di Tanah Datar bahwa saya dan Gadih Puti Seruni sudah lama menjalin hubungan dan kami berniat hendak naik ke pelaminan. Namun semua rencana gagal karena Gadih Puti Seruni yang kemenakan Datuk Panglimo Kayo itu dijodohkan dengen Datuk Marajo Sati. Suatu hari saya memberanikan diri menemui Datuk Marajo Sati memohon agar beliau membatalkan pernikahannya dengan gadis yang saya cintai itu. Tapi saya dihajar sampai setengah mati. Selama puluhan hari saya terbaring menderita sakit di tempat tidur. Ajal saja yang belum sampai...”

“Datuk Marajo Sati, apa betul yang dikatakan anak muda ini? Kau menghajarnya sampai setengah mati?”

Datuk Marajo Sati anggukkan kepala. “Rupanya telah terjadi apa yang dinamakan hukum sebab akibat…” kata Inyiek Sukat Tandika pula. “Pakih Jauhari, ceritamu bisa diterima. Tetapi kalau apa yang terjadi kau buat alasan untuk menebar fitnah, itu perbuatan salah dan tercela. Kau mungkin tidak berjodoh dengan gadis yang kau cintai. Apa kau lupa ajaran agama kita kalau langkah, rezeki, pertemuan atau jodoh dan maut itu semua adalah kehendak dan kuasaNya Allah?”

“Saya sadar Inyiek. Saya mengerti.Saya minta ampun…”

Sang Inyiek berpaling pada Datuk Marajo Sati. “Datuk Marajo Sati, aku gembira kau mau mengakui perbuatanmu terhadap pemuda ini. Sekarang dihadapan semua orang kau harus menuturkan apa sebenarnya yang telah terjadi antara dirimu dengan gadis Cina itu yang aku dengar punya beberapa nama elok. Puti Bungo Sekuntum, Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok. Konon dia juga disebut Kupu Kupu Mata Dewa…”

Datuk Marajo Sati memulai penuturannya dari kedatangan Chia Swie Kim dalam ujud seekor kupu kupu besar. Yang terpesat ke dalam goanya di Ngarai Sianok dalam gulungan sorban milik Sutan Panduko Alam.

“Dia minta perlindungan pada saya karena dirinya dalam keadaan dikejar serombongan orang. Dia menceritakan bahwa dirinya berasal dari negeri Cina. Ujudnya sebenarnya adalah sebuah kupu kupu batu giok bernama Kupu Kupu Mata Dewa yang merupakan satu benda pusaka milik Kerajaan Cina dan harus berada di tangan Kaisar Cina sebagai tanda syahnya dia menduduki tahta. Sebelum dirinya masuk ke dalam Kupu Kupu Mata Dewa gadis itu adalah puteri seorang Pangeran yang melarikan diri karena dituduh telah berbuat zinah dengan seorang pemuda. Pemuda itu sendiri telah dibunuh. Yang Maha Kuasa masih menolong Si gadis. Dia berubah menjadi angin dan masuk ke dalam Kupu Kupu Mata Dewa. Selanjutnya dia mampu merubah diri menjadi seekor kupu kupu besar dan hidup. Untuk menyelamatkan diri dari hukuman pancung oleh ayahnya sendiri kupu kupu itu melarikan diri dan terpesat masuk ke dalam sebuah kapal. Ayah gadis Cina itu kemudian mengirim seorang Perwira Muda bernama Teng Sien untuk melakukan pengejaran. Ketika sampai ditanah Jawa, Teng Sien minta bantuan seorang sakti bernama Ki Bonang Talang Ijo. Kupu kupu hampir tertangkap namun masih bisa menyembunyikan diri di dalam sebuah kapal yang kemudian membawanya terpesat ke tempat kediaman Sutan Panduko Alam di Pesisir Barat. Menurut gadis yang menjelma, sebagai kupu-kupu itu Sutan Panduko Alam berusaha menolongnya dari kejaran Ki Bonang dan kawan-kawan. Namun jumlah lawan yang harus dihadapi Sutan Panduko Alam terlalu banyak. Meski dia berhasil menewaskan salah satu dari mereka dan menyelamatkan kupu kupu itu di dalam sorbannya, namun Sutan Panduko Alam sendiri akhirnya menemui ajal, dibantai beramai-ramai. Gadis itu menerangkan bahwa namanya adalah Chia Swie Kim. Dalam perasaan tidak percaya saya, saya uji dia untuk memperlihatkan ujud sebenarnya. Maka dia merubah diri kedalam ujud manusia, ujud seorang gadis Cina…”

“Luar biasa! Sulit dipercayai Inyiek, ada satu hal yang tidak masuk akal tiba-tiba Datuk Kuning Nan Sabatang memotong cerita Datuk Marajo Sati. “Seekor kupu kupu bisa bicara bahasa manusia, itu adalah ajaib. Lalu jika dia bisa memperlihatkan diri dengan ujud sebagai seorang gadis, ketika bicara bahasa apa yang dipakainya. Bukankah Datuk Marajo Sati tidak tahu bahasa Cina?”

Tua Gila berpaling pada Datuk Marajo Sati. Datuk ini segera berkata. “Keajaiban adalah kuasaNya Allah. Gadis itu mampu bicara bahasa Minang. Kepada gadis itu saya bertanya, bagaimana mungkin dia bisa bicara bahasa anak negeri ini. Dia menerangkan dalam pelariannya, suatu malam, masih dalam ujud seekor kupu-kupu dia hinggap di atas sebuah rumah di pesisir barat Di rumah itu tengah terjadi musibah. Seorang anak gadis penghuni rumah meninggal dunia. Secara aneh dari tubuh gadis yang sudah meninggal keluar cahaya putih yang kemudian masuk ke dalam tubuh Chai Swie Kim. Sejak saat itu dia mengerti dan mampu bicara dalam bahasa Minang. Namun dia tidak bisa lagi bicara dalam bahasa leluhurnya walau dia masih mengerti apa yang diucapkan orang. Saya kemudian memberinya nama Puti Bungo Sekuntum disertai julukan Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok”

“Datuk Marajo Sati…” Tua Gila berkata. “Selama beberapa hari gadis Cina itu berada di dalam goa kediamanmu, apa yang telah terjadi? Harap Datuk menjawab dengan jujur. Kalau perlu akan kusumpah lagi dengan menjunjung kitab suci Al Qur’an di atas kepala.”

“Jangankan berbuat aib, menyentuh gadis itupun saya tidak pernah. Niat saya hanya ingin menolong karena Lillahi Ta'Allah…“

Datuk Bandaro Putih menyeringai. “Saya ingat ajaran agama kita. Jika ada seorang lelaki dan seorang perempuan di satu ruangan, maka di ruangan itu akanada pula orang ke tiga. Orang ketiga itu adalah setan!”

“Saya tidak pernah menjadi setan dan tidak ingin menjadi setan. Saya cukup mampu berlindung pada Allah Yang Maha Kuasa hingga tidak berbuat aib seperti yang difitnahkan kepada saya...” Kata Datuk Marajo Sati pula.

“Tapi tidak ada saksi yang menguatkan keterangan Datuk,” kata Datuk Kuning Nan Sabatang pula.

“Saksi saya adalah Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat…” Jawab Datuk Marajo Sati.

Tiba-tiba Pendekar 212 maju selangkah. “Inyiek, bolehkan saya memberi kesaksian?” tanya sang pendekar pada Tua Gila.

“Memang itu gunanya kau berada di sini,” Jawab Tua Gila. “Apa yang hendak kau katakan?”

Datuk Marajo Sati menjadi agak tegang sementara dua Datuk lainnya tampak menyeringai senang karena mengira Wiro akan memberi kesaksian yang akan mengungkap perbuatan busuk Datuk Marajo Sati. Wiro angkat kopiah hitamnya, garuk-garuk kepala baru keluarkan ucapan.

“Pada malam yang sama masuknya kupu kupu besar ke dalam goa kediaman Datuk Marajo Sati saya juga terpesat masuk ke dalam goa itu. Tidak ada maksud jahat, semata-mata karena rasa ingin tahu saja yaitu gara-gara saya melihat ada seekor burung masuk ke dalam goa. Di dalam goa, saya mendengar semua pembicaraan gadis kupu kupu itu dengan Datuk Marajo Sati. Apa yang dikatakan Datuk Marajo Sati tadi sedikitpun tidak berbeda dengan apa yang saya dengar. Datuk Marajo Sati tidak berdusta…”

Kalau Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang terheran-heran mendengar penjelasan Wiro maka Datuk Marajo Sati sampai terpana saking tidak percayanya kalau pemuda yang selama ini dibenci dan malah hendak dibunuhnya itu ternyata kini membela dirinya.

“Datuk Marajo Sati, apakah Datuk bersedia mengangkat sumpah atas semua yang tadi Datuk ceritakan?” Bertanya Tua Gila.

Sebagai jawaban Datuk Marajo Sati berpaling ke arah Penghulu Sangkalo. Kusir kereta ini segera mengeluarkan kitab suci Al Qur’an dari dalam kantong putih dan menyerahkan kepada Datuk Marajo Sati. Datuk Marajo letakkan kitab suci itu di atas kepala lalu mengucap sumpah. Begitu sumpah diucapkan tiba-tiba di langit sebelah utara kilat menyabung disusul gelegar suara guntur. Angin bertiup kencang. Hujan mulai turun. Tua Gila angkat dua tangannya ke udara.

“Saksi sudah berucap. Sumpah sudah disampaikan! Aku utusan Raja Pagaruyung menyatakan bahwa untuk saat ini Datuk Marajo Sati tidak terbukti telah melakukan perbuatan mesum dengan gadis Cina itu. Namun agar lebih ada kejelasan, gadis Cina itu harus ditemukan untuk diminta kesaksiannya. Itu menjadi tugas Datuk Marajo Sati kalau memang benar-benar ingin membersihkan diri dari lumpur fitnah. Muridku Pendekar Dua Satu Dua dan nenek bernama Si Kamba Mancuang itu mungkin bisa membantu. Aku akan berada di Pagaruyung selama beberapa hari. Mudah-mudahan dalam waktu singkat Datuk Marajo Sati bisa menemukan gadis Cina itu dan membawanya ke Istana di Pagaruyung. Bukankah dia telah diculik oleh Tuanku Laras Muko Balang?”

Baru saja Tua Gila selesai berucap hujan turun dengan lebatnya. Dua obor di halaman serta merta padam. Halaman rumah gadang diselimuti kegelapan. Tua Gila melesat naik ke atas kereta diikuti Penghulu Sangkalo. Dua belas perajurit serentak naik ke atas tunggangan masing-masing. Sesaat kemudian rombongan dari Pagaruyung itu telah bergerak pergi dengan cepat. Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang melompat ke atas harimau besar tunggangan masing-masing. Pakih Jauhari lenyap entah kemana.

Wiro menekan kopiah hitamnya sampai ke alis. Sekujur tubuhnya basah kuyup. “Uhh dingin Nek,” kata Wiro pada Si Kamba Mancuang.

“He he! Jangan mencari akal! Awas kalau kau berani memelukku!” Kata Si nenek cepat tanggap.

Wiro tertawa gelak-gelak. Si nenek ikut-ikutan tertawa cekikikan. Saat itu tiba-tiba Wiro mendengar suara ngiangan Tua Gila.

“Anak setan! Kalau kau tidak mampu menemukan gadis Cina itu lebih baik kau pulang kampung saja. Apakah kau tidak ingin melihat wajahnya? Apa benar dia cantik? Ha ha ha. Awas kalau kau sampai kepincut, Nenek bergigi perak itu pasti akan meremas kantong menyanmu sampai hancur dan dibuatnya dendeng balado! Ha ha ha!” (dendeng balado=dendeng bumbu cabe. Makanan khas orang Minang)

Wiro senyum-senyum mendengar suara ngiangan sang guru. Lalu dia mengambil kain putih yang tercampak di tanah. “Nek!” katanya pada Si Kamba Mancuang. “Dengan kesaktianmu kita bisa mempergunakan kain ini untuk kembali menjajagi dimana beradanya Tuanku Laras Muko Balang. Kita harus mengejar dan menemukannya secepat mungkin!”

Mengerti apa yang dimaksudkan Wiro maka Si Kamba Mancuang segera ambil kain putih yang tercampak di tanah lalu dililitkan dipinggang. Hujan lebat membuat enam lobang di tanah tergenang air, berubah menjadi kolam. Sebelum pergi Si Kamba Mancuang lari ke arah mayat Pandeka Bumi Langit yang tergeletak tak jauh dari salah satu lobang besar yang telah digenangi air hujan. Dengan cepat dia berhasil menemukan tiga batang emas di balik pakaian lelaki itu.

“Nek, kau rupanya tidak lupa harta itu,” tegur Wiro.

“Bukan untuk diriku. Kelak akan aku sedekahkan pada fakir miskin.” Jawab Si nenek bergigi perak.

Sebelum berkelebat pergi di bawah hujan lebat Pendekar 212 berseru pada Datuk Marajo Sati. “Datuk, apa Datuk mau berhujan-hujan dan kedinginan sendirian di tempat ini? Lekas ikut bersama kami! Bukankah kita punya kepentingan yang sama? Mencari Tuanku Laras, menyelamatkan gadis Cina bernama Puti Bungo Sekuntum itu?!”

Datuk Marajo Sati terkesima. Tidak menyangka Wiro akan berkata seperti itu. Sadar kalau dia punya tanggung jawab dan memang harus ikut bergabung menyelamatkan gadis Cina itu maka sang Datuk berseru. Tunggu!”

Wiro dan Si Kamba Mancuang hentikan lari. Datuk Marajo Sati perhatikan kain putih yang melilit di pinggang Si nenek. “Kamba Mancuang, kau memiliki ilmu Sapanjang Jalan Mangaja Raso?” (Sapanjang Jalan Mangaja Raso=Sepanjang Jalan Mengejar Rasa)

Si nenek terkejut mendengar Datuk Marajo Sati mengetahui ilmu pemberian gurunya Inyiek Susu Tigo. Memang dengan ilmu kesaktian. yang tadi disebutkan Datuk Marajo Sati dengan mengandalkan kain putih yang telah bersentuhan dengan pedang Al Kausar dia akan mampu mencari dimana beradanya Tuanku Laras seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Sambil tersenyum Si nenek menjawab.

“Ah, Datuk sudah tahu ilmu itu rupanya...”

“Bagus, dimanapun Tuanku Laras berada kita sudah punya kepastian akan dapat mengetahui dan mendatanginya. Tapi kita harus bertindak cepat. Aku kawatir terjadi sesuatu dengan gadis Cina itu...”

Datuk Marajo Sati lalu susun sepuluh jari di atas kepala. Mulutnya berucap perlahan. “Inyiek Harimau Nan Tongga, Jika kau sudah sembuh datanglah. Aku Datuk Marajo Sati sangat membutuhkan pertolonganmu!”

Dalam gelapnya malam, di bawah hujan lebat dan deru angin luar biasa kencang tiba tiba tanah menggeletar oleh suara auman dahsyat. Sesaat kemudian sebuah benda besar melayang turun dari langit. Ketika ujudnya nampak nyata ternyata benda itu adalah seekor harimau kuning belang hitam. Sepasang matanya yang kebiru-biruan seperti menyala dalam gelap. Ekor menyentak-nyentak mendera air hujan.

“Alhamdulillah… Aku bersyukur pada Allah...”

Mengucap Datuk Marajo Sati. Seperti, diketahui sebelumnya harimau sakti itu pernah mengalami cidera keracunan dan sakit akibat serangan Ilmu Santuang Panyasek yang dilancarkan Tuanku Laras. Ingat akan hal itu muncul rasa kawatir dalam diri Datuk Marajo Sati. Bukan tidak mungkin kalau tahu dirinya dikejar Tuanku Laras kembali akan melancarkan serangan yang sama, malah bisa saja lebih dahsyat yang bisa membunuh harimau peliharaannya.

“Datuk, ada sesuatu yang merisaukan Datuk?” Bertanya Wiro.

Datuk Marajo Sati lalu menceritakan apa yang pernah dialami harimau tunggangannya itu.

“Kalau cuma Ilmu Santuang Panyasek, mudah menangkalnya!"

Si Kamba Mancuang berkata. Lalu dari balik pakaiannya dia mengeluarkan satu kantong kecil. Dari dalam kantong dia mengambil sebuah cermin kecil. Bagian belakang cermin dijilatnya diberi ludah. Lalu cermin itu ditempelkan ke kening harimau peliharaan sang Datuk.

”Beres Datuk. Segala ilmu setan panyasek apapun tidak akan tembus!”

“Kau hebat Nek,” memuji Datuk Marajo Sati. “Kita berangkat sekarang.”

Ketiga orang itu lalu naik ke punggung harimau besar Inyiek Nan Tongga.

********************

BAB DUA BELAS

PENDERITAAN gadis Cina Chia SwieKim Si Kupu Kupu Mata Dewa yang oleh Datuk Marajo Sati diberi nama Puti Bungo Sekuntum dan dijuluki Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok serasa tidak tertahankan lagi. Selama dirinya dalam penculikan gadis ini senantiasa dihantui rasa takut. Siang tadi yaitu sejak Tuanku Laras Muko Balang meninggalkannya dia tergolek miring di lantai batu yang dingin. Dia Ingin berteriak namun mulut tak bisa bersuara. Tenggorokan terkancing akibat totokan yang dilakukan Tuanku Laras.

Selain tak bisa bersuara gadis ini juga tidak mampu menggerakkan kepala, badan, tangan ataupun kaki. Dia tidak tahu kemana perginya Tuanku Laras. Sebelum pergi Tuanku Laras menyalakan sebuah pelita kecil yang ada di dalam ruangan. Ini satu pertanda bagi Chia Swie Kim kalau orang yang menculiknya itu akan pergi cukup lama dan baru kembali pada malam hari. Yang jelas cepat atau lambat Tuanku Laras pasti akan datang kembali.

Dalam derita sengsara seperti itu Chia Swie Kim tiada hentinya berdoa mohon keselamatan pada Thian Yang Maha Kuasa. Dengan air mata berderai dia memohon agar dirinya diberi perlindungan dan diselamatkan dari segala maksud jahat Tuanku Laras. (Thian=Tuhan)

Tiba-tiba terdengar suara berdesir disertai kilauan cahaya pulih. Sesaat kemudian seseorang melayang masuk, terbang bergayut pada sebilah pedang. Meskipun tidak bisa melihat, karena dirinya tergolek miring membelakangi namun Chia Swie Kim sudah maklum siapa yang datang. Orang itu membungkuk di belakangnya, membalikkan tubuhnya hingga tertelentang. Karena ada dua kancing bajunya yang lepas, ketika tertelentang sebagian dada gadis itu jadi tersingkap.

Tuanku Laras melirik sebentar. Tubuhnya bergetar melihat pemandangan itu. Seperti diketahui dia sudah memiliki tiga orang istri. Dua diantaranya masih muda-muda, hampir sebaya gadis Cina ini. Namun kecantikan serta keelokan tubuh Chia Swie Kim tidak dapat tertandingi oleh istri-istrinya itu. Tuanku Laras lalu melepas totokandi leher Chia Swie Kim hingga Si gadis bisa membuka mulut dan bicara kembali.

“Sebentar lagi fajar menyingsing. Kita harus segera pergi dari sini…” Berkata Tuanku Laras.

“Tuanku Laras, saya mohon lepaskan saya…”

“Aku tidak bermaksud jahat padamu. Bukankah sudah pernah aku katakan bahwa aku akan mengawinimu secara baik-baik? Kita akan berangkat ke Periangan Padang Panjang. Besok pagi-pagi sekali sudah ada seorang ulama yang akan menikahkan kita. Kau akan aku panggil dengan nama Puti Mata Dewa. Bukankah nama itu lebih bagus dari Puti Bungo Sekuntum pemberian keparat Datuk Marajo Sati itu?”

Mendengar ucapan Tuanku Laras yang hendak mengawininya walaupun secara baik baik Chia Swie Kim merasa nyawanya seperti terbang. Dia terdiam beberapa lama lalu berkata. “Tuanku Laras, terus terang saya tidak pernah berniat dan mau jadi istri Tuanku Laras. Tapi kalau ini memang sudah takdir saya hanya bisa berpasrah diri. Saya mohon Tuanku Laras tidak menotok jalan suara saya kembali…”

Mendengar ucapan Si gadis Tuanku Laras tersenyum. Dia merasa ada perubahan pada diri Chia Swie Kim. “Jadi kau suka aku nikahi?” Tanyanya sambil memegang bahu Si gadis sementara sepasang mata kembali melirik ke dada yang tersingkap.

“Tuanku Laras, tadinya saya memang sangat membencimu. Namun setelah saya berpikir dengan jernih. Agaknya tidak ada pilihan lain. Mungkin ini sudah takdir Yang Maha Kuasa saya harus kawin dengan Tuanku Laras…”

Mendengar kata-kata Chia Swie Kim Tuanku Laras jadi luar biasa gembira. Dia membungkuk lalu menciumi wajah Si gadis. Ciumannya kemudian turun ke dada. Dalam keadaan tertotok seperti itu Chia Swie Kim tidak mampu berbuat apa-apa selain meratap, memohon.

“Tuanku Laras, jangan perlakukan saya seperti ini! Saya belum jadi istrimu!” Kata Chia Swie Kira setengah berteriak.

Tuanku Laras diam saja. Mukanya yang berbulu masih terus berada di atas dada Si gadis. Nafas mengengah, dada turun naik. Sebelum Tuanku Laras mengumbar nafsunya lebih jauh, gadis Cina ini berkata.

“Tuanku Laras, dengarkan saya. Ada yang hendak saya katakan. Ada satu hal yang sangat saya takutkan…”

Tuanku Laras angkat kepalanya dari dada Chia Swie Kim. “Puti Mata Dewa, kekasihku… Katakan, hal apa yang kau takutkan?”

“Saya malu, saya tak berani menyampaikan pada Tuanku Laras.” Menjawab Chia Swie Kim.

"Tadi kau mengatakan takut, sekarang malu. Aku tidak mengerti. Apa yang kau takutkan, apa yang membuatmu malu?”

“Saya malu pada diri sendiri dan saya takut pada Tuanku Laras. Saya takut apakah Tuanku Laras masih mau menerima saya dalam keadaan seperti ini…”

“Puti Mata Dewa, mengapa kau berkata begitu. Memangnya ada apa dengan dirimu. Kau cantik dan kau tahu aku sangat menyukaimu…“

Wajah gadis puteri Pangeran Tiongkok itu tampak berubah muram. Suaranya berucap sedikit tersendat tapi cukup jelas sampai ke telinga Tuanku Laras. “Tuanku Laras, ketahuilah, saya sudah tidak gadis lagi. Saya tidak perawan lagi…”

Sepasang mata Tuanku Laras membeliak. Bulu hitam putih yang menutupi wajah berdiri meranggas. "Puti Mata Dewa… apa maksudmu? Bicara yang jelas…”

“Tuanku Laras, ketika berada di goa kediaman Datuk Marajo Sati, Datuk itu telah merampas kehormatan saya. Dia meniduri saya sampai berulang kali…” Habis berkata begitu Chia Swie Kim lalu menangis sesenggukan.

Apa yang diucapkan Si gadis seperti sambaran petir terdengarnya di telinga Tuanku Laras. “Apa?! Datuk keparat itu telah menidurimu?! Dia telah merampas kegadisanmu? Jadi sekarang kau tidak perawan lagi? Kalera! Jahanam kurang ajar! Apa yang dikatakan orang rupanya benar! Datuk mesum!” (Kalera=makian kasar/jahanam) Tuanku Laras berteriak keras seperti orang kemasukan setan.

“Saya mengerti Tuanku Laras sangat kecewa setelah tahu saya tidak gadis lagi. Saya mohon kalau bisa Tuanku Laras membalaskan sakit hati saya pada Datuk jahanam itu. Saya sebenarnya lebih baik mati dari pada menerima aib seperti ini. Apa lagi kalau saya sampai berbadan dua…“ Senggukan Chia Swie Kim semakin keras.

Tuanku Laras melompat bangkit. Beberapa lama dia melangkah mundar-mandir di dalam ruangan batu sambil mulut menyumpah tiada henti. Beberapa kali saking marahnya dia menendang hingga dinding batu hancur berlubang-lubang.

“Tuanku Laras, saya sudah dinodai orang. Tak pantas rasanya saya jadi istri Tuanku Laras…”

Tuanku Laras berhenti mundar-mandir. Darah dalam tubuhnya mengalir seperti bara cair! “Srett!” Tiba-tiba Tuanku Laras cabut pedang Al Kausar dari sarungnya. Senjata itu walaupun di dalam ruangan agak gelap tetap saja memancarkan cahaya berkilauan.

“Tuanku Laras, jangan!” Chia Swie Kim berteriak keras. Mata terbeliak ketika melihat bagaimana pedang berkilat dihunjamkan.

BAB TIGA BELAS

TUANKU Laras keluarkan suara menggembor. Pedang Al Kausar ditusukkan ke bawah! Cahaya berkilau memancar pertanda dia mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki! Chia Swie KIm kembali menjerit.

“Traangg!” Pedang sakti berkerontang ketika menembus lantai batu sampai sepertiganya. Lantai batu bergetar. Pedang Al Kausar bergoyang-goyang memancarkan cahaya terang menyilaukan.

“Pedang sakti pedang Al Kausar. Keluar dari sini. Pagari tempat ini dengan Ilmu Salapan Panjuru Bumi Manulak Bahalo!” (Salapan Panjuru Bumi Manulak Bahalo=Delapan Penjuru Bumi Menolak Bahala)

Begitu Tuanku Laras berteriak, pedang Al Kausar yang menancap di lantai batu pancarkan delapan cahaya putih gemerlap yang kemudian membentuk delapan buah pedang yang sangat sama dengan aslinya. Delapan pedang ini kemudian melesat keluar ruangan.

Chia Swie Kim tidak sempat memperhatikan apa yang kemudian terjadi, karena begitu delapan pedang jejadian melesat keluar, saat itu pula Tuanku Laras jatuhkan diri ke lantai lalu menghimpit tubuhnya. Dua tangan meraba kian kemari. Chia Swie Kim menjerit keras tiada henti hingga suaranya jadi parau.

“Kau memang tidak layak jadi Istriku! Tapi cukup layak melayaniku seberapa lama aku suka!” Ucap Tuanku Laras penuh nafsu.

“Jangan! Kasihani saya!” Chia Swie Kim berteriak memohon ketika Tuanku Laras mulai membuka paksa pakaian birunya.

********************

CERMIN milik Si Kamba Mancuang yang ditempelkan di kening harimau Inyiek Nan Tongga ternyata ampuh menangkal ilmu Santuang Panyasek Tuanku Laras Muko Balang. Ternyata bukan saja penangkal itu berhasil menembus kesaktian Tuanku Laras dan membuat Datuk Marajo Sati, Wiro serta Si Kamba Mancuang yang menunggang harimau sakti berhasil mengejar dan mengetahui dimana beradanya manusia bermuka belang itu, tapi Ki Bonang Talang Ijo serta Teng Sien yang juga mengejar Tuanku Laras kebagian untungnya. Karena kendala sudah ditumpas, kedua orang ini juga bisa melakukan pengejaran tanpa halangan walau agak ketinggalan di belakang.

Setelah beberapa lama melayang diudara malam yang dingin, dengan matanya yang tajam karena dialiri hawa sakti Si Kamba Mancuang memandang ke bawah lalu berkata pada Datuk Marajo Sati.

“Datuk, kau lebih tahu dari saya. Saat ini bukankah kita berada di atas kawasan Air Terjun Akar Berayun di Luhak Lima Puluh Kota?”

“Rasanya kau tidak keliru. Aku dari tadi memang mendengar suara deru air terjun itu,” jawab Datuk Marajo Sati.

Baru saja dia berucap tiba-tiba harimau yang ditunggangi menukik ke bawah. “Aku ingat” kata Datuk Marajo Sati setengah berteriak. “Air terjun Akar Berayun terletak di Lembah Hantu. Di sekitar lembah banyak relung batu membentuk goa besar yang bisa dijadikan tempat persembunyian.”

Tak selang berapa lama harimau Nan Tongga sudah menjejakkan kaki di tanah. Ke tiga orang itu memandang berkeliling. Si Kamba Mancuang angkat ujung kain putih yang digulung di pinggang. Ujung kain ini seperti ular hidup bergerak-gerak ke arah depan dimana terdapat dinding lembah yang memiliki banyak relung atau goa besar. Pendekar 212 segera terapkan Ilmu Menembus Pandang pemberian Ratu Duyung, gadis cantik bermata biru kepercayaan Nyi Roro Kidul, Penguasa Laut Selatan.

“Datuk, saya melihat ada cahaya api kecil. Mungkin lampu minyak. Di arah sana…” Wiro menunjuk ke depan, ke arah salah satu relungan di dinding lembah.

Tiba-tiba Datuk Marajo Sati dan juga Wiro serta Si nenek mendengar suara Jeritan perempuan. "Itu suara Puti Bungo sekuntum!” Teriak Datuk Marajo Sati. “Aku yakin!”

Saat itu sang Datuk dan Si nenek sudah dapat melihat nyala api pelita yang ada di dalam salah satu relung di dinding lembah. Tidak menunggu lebih lama ke tiga orang itu segera melesat ke arah nyala api. Harimau Inyiek Nan Tongga melompat lebih dahulu, menyusul Wiro. Ketika hanya tinggal sepuluh langkah dari mulut goa dimana ada nyala api dan terdengar suara jeritan perempuan tiba-tiba dari dalam tanah lembah yang banyak ditumbuhi semak belukar mencuat keluar delapan cahaya terang menyilaukan, membeset ke udara.

Harimau besar Inyiek Nan Tongga mengaum keras ketika salah satu cahaya mencuat menembus tubuhnya. Binatang ini mencelat sampai satu tombak lalu terbanting jatuh ke tanah. Datuk Marajo Sati berteriak kaget. Cepat melompat ke arah harimau peliharannya sambil melepas satu pukulan tangan kosong mengandung hawa sakti.

Namun terlambat Inyiek Nan Tongga tergeletak di tanah. Tubuhnya sebelah bawah terbelah mulai dari dada sampai ke bawah perut Sebuah senjata aneh menyerupai pedang Al Kausar menancap di tubuh binatang ini lalu berubah jadiasap dan lenyap.
Tujuh cahaya yang juga menyerupai pedang Al Kausar jejadian laksana terbang menderu ke arah Wiro, Datuk Marajo Sati dan Si Kamba Mancuang. Tiga membabat dua membacok dan dua lagi menusuk.

“Tuanku Laras keparat! Dia mempergunakan ilmu Salapan Panjuru Bumi Manulak Bahayo!” Berteriak Si Kamba Mancuang yang rupanya mengetahui ilmu gaib sakti yang dimiliki Tuanku Laras. Lalu Si nenek dorong tubuh Wiro dan Datuk Marajo Sati. Ketiganya jatuh sama rata di tanah. Tujuh pedang ganas lewat hanya dua jengkal di atas mereka!

“Kalau itu memang ilmunya Tuanku Laras, berarti manusia keparat itu ada di dalam goa sana!”

Sang Datuk bergerak hendak masuk ke dalam goa. Tapi Si Kamba Mancuang cepat menarik kaki Datuk Marajo Sati hingga orang bertubuh tinggi besar ini jatuh tergelimpang menelungkup. Di saat yang sama tujuh pedang gaib kembali menderu, kini hanya satu jengkal di atas kepala! Datuk Marajo Sati merasa tengkuknya dingin.

“Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku,” kata Datuk Marajo Sati yang disambut Si nenek dengan senyum-senyum.

Sementara itu tujuh pedang kembaran Pedang Al Kausar berputar di udara lalu kembali hendak menyerang. Wiro segera lepaskan pukulan sakti sekaligus dengan dua tangan. Yang kiri melepas pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung, yang kanan melancarkan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang.

Datuk Marajo Sati lepaskan pukulan yang memancarkan cahaya kebiruan, menebar membentuk kipas. Inilah jurus pukulan sakti bernama Manjajak Bumi Mangapuang Langlek (Menjejak Bumi Mengepung Langit) yang sangat jarang dipergunakan oleh sang Datuk. Si Kamba Mancuang tak mau ketinggalan. Dia menghantam dengan ilmu Angin Merapi Merambah Bumi. Sekali dia mengangakan mulut maka dua cahaya putih mengandung hawa panas melesat keluar dari dua deretan gigi perak.

Empat dentuman keras disertai taburan cahaya berkilauan menggelegar di Lembah Harau Langit seperti hendak runtuh. Bumi serasa tenggelam amblas! Dan hebatnya, yang membuat tiga orang itu kaget luar biasa adalah ketika getaran dentuman serta taburan cahaya lenyap, di udara tampak kembali pedang Al Kausar jejadian, tapi kini jumlahnya bukan cuma tujuh melainkan menjadi empat belas!

“Nek, celaka kita!” Teriak Wiro.

“Datuk! Cepat keluarkan ilmu Bumi Tabalah Azab Manimpo! Semua pedang jahanam itu harus dimusnahkan! Cepat!” Teriak Si Kamba Mancuang.

Mendengar teriakan itu serta merta Datuk Marajo Sakti kerahkan ilmu yang dikatakan Si nenek. Wiro tidak mau ketinggalan. Murid Sinto Gendeng ini dengan cepat keluarkan Ilmu kesaktian yang sama tapi berlainan nama yaitu Membelah Bumi Menyedot Arwah, yang didapatnya dari negeri Latanahsilam.

Lembah Harau bergemuruh ketika tanah lembah menguak terbelah didua tempat. Empat belas pedang AlKausar jejadian yang melayang di udara tak ampun lagi terhisap ke bawah. Begitu dua tanah yang terbelah merapat kembali, empat belas pedang amblas tersedot lenyap tak kelihatan lagi!

Di dalam relung di dinding lembah Tuanku Laras yang baru saja hendak membuka pakaian hitamnya berteriak kaget ketika suara empat dentuman di luar sana membuat tubuhnya terhuyung-huyung hampir jatuh. Kilau pedang Al Kausar yang menancap di lantai batu tampak meredup, getarannya yang tadi angker kini berubah perlahan. Tiba-tiba dilihatnya pedang itu amblas ke dalam batu sampai ke batas gagang. Ujung gagang mengepulkan asap kehitaman.

“Jahanam kurang ajar! Apa yang terjadi!” Teriak Tuanku Laras Muko Balang. Dengan cepat dia melompat mencabut pedang dari dalam batu. Saat itulah kiri kanan dinding relung batu menggelegar lalu hancur berkeping-keping. Pelita di dalam ruangan padam!

Apa yang terjadi? Setelah memusnahkan empat belas pedang jejadian, Wiro dan Datuk Marajo Sati kembali melancarkan serangan. Kali ini ditujukan pada dinding kiri kanan goa batu dimana Tuanku Laras berada. Wiro menghantam dengan Pukulan Harimau Dewa pemberian Datuk Rao Basaluang Amen, salah seorang tokoh yang dianggap paling sakti di Pulau Andalas yang tinggal di dasar Danau Maninjau.

Datuk Marajo Sati cabut keris Rajo Kaluak Sambilan lalu ditusukkan ke depan. Sembilan larik sinar biru bergulung dahsyat membentuk ujung tombak, menghajar dinding batu sebelah kanan, inilah ilmu kesaktian yang disebut Tombak Dewa Turun Ke Bumi. Dinding goa kiri kanan runtuh. Asap bercampur kepingan batu dan debu mencelat tinggi sampai lima tombak.

Lembah Harau kembali dilanda dentuman keras ketika Pukulan Harimau Dewa yang dilepas Pendekar 212 dan Tombak Dewa Turun Ke Bumi gulungan sinar biru yang memancar dari keris sakti di tangan Datuk Marajo Sati menghantam kiri kanan dinding goabatu hingga runtuh, asap bercampur kepingan batu dan debu mencelat tinggi sampai lima tombak.

“Aku kawatir serangan kita mencelakai gadis Cina itu!” Kata Datuk Marajo Sati agak kawatir. Tiba-tiba dibalik debu dan asap, dari dalam goa kelihatan seorang lelaki keluar sambil memanggul perempuan berpakaian biru.

“Lihat! Itu dia ! Jahanam itu mencoba lari!” Teriak Datuk Marajo Sati. Dengan tangan masih memegang keris sakti serta merta melompat hendak mengejar.

Namun Wiro memegang bahunya seraya berkata. “Kita jangan sampai tertipu. Setahu saya Tuanku Laras punya Ilmu bernama Bayangan Menipu Mata! Bukan mustahil yang kita lihat adalah jejadian untuk memperdayai! Kita sembunyi dan mengintai dulu dibalik belukar...”

Apa yang dikatakan murid Sinto Gendeng ternyata memang benar. Beberapa saat setelah dua sosok yang terlihat lenyap ke arah timur dimana saat itu fajar mulai menyingsing dan keadaan di Lembah Harau mulai terang, dari balik semak belukar tiba tiba ketiga orang itu melihat sosok Tuanku Laras keluar dari dalam goa yang masih dikepuli asap. Di bahu kiri diamemanggul seorang perempuan berpakaian biru yang bukan lain adalah Chia Swie Kim. Gadis ini tidak bersuara tidak pula meronta. Agaknya Tuanku Laras telah menotoknya kembali.

Tuanku Laras acungkan tangan kanan yang memegang pedang tinggi-tinggi di atas kepala. Pedang Al Kausar melesat ke udara, menerbangkan Tuanku Laras dan Chia Swie Kim.

“Kurang ajari Si muka belang itu melarikan diri dengan terbang ke udara mengandalkan kesaktian Pedang Al Kausar!” Berseru Si Kamba Mancuang.

Datuk Marajo Sati melompat keluar dari balik semak belukar. Wiro dan Si Kamba Mancuang juga segera mengejar.

“Celaka! Kita tidak mungkin mengejar! Sorbanku telah tiada! Harimau tungganganku telah tewas!” Datuk Marajo Sati berteriak marah dan putus asa. Dia coba menyerang dengan keris sakti namun tak jadi karena takut akan mencelakai Chia Swie Kim.

Di udara. Sambil melayang terbang Tuanku Laras memandang ke arah ke tiga orang itu lalu tertawa gelak-gelak. “Datuk keparat! Kau telah merusak kehormatan calon istriku! Dia mengaku sendiri! Kalau kau masih menginginkan dirinya aku akan mengirimkan bangkainya ke Ngarai Sianok! Ha ha ha!“ Tiba-tiba suara tawa Tuanku Larasterputus.

BAB EMPAT BELAS

KETIKA sosok Tuanku Laras melayang di udara melewati bagian atas sebuah pohon besar tiba-tiba dari balik kerimbunan dedaunan melesat seutas benang putih yang demikian halusnya hingga sulit terlihat mata. Benang itu dengan cepat melibat pedang Al Kausar terus bergulung ke tangan kanan Tuanku Laras Muko Balang dan selanjutnya membuntal seluruh tubuhnya. Anehnya benang sama sekali tidak melibat tubuh Chia Swie Kim yang ada di panggulan Tuanku Laras.

Manusia bermuka belang hitam putih itu tersentak kaget. Menyumpah marah dan berusaha dengan segala cara untuk melepaskan libatan benang putih aneh. Namun sia-sia saja. Malah saat itu tubuhnya seperti dikerek melayang turun ke bawah hingga akhirnya jatuh terguling di tanah Lembah Harau, tak jauh dari air terjun Akar Berayun. Tubuh Chia Swie Kim yang tidak terlibat benang aneh, jatuh dari bahunya dan terbaring di tanah.

Melihat apa yang terjadi, dalam perasaan heran Datuk Marajo Sati,Wiro dan Si Kamba Mancuang segera memburu ke tempat jatuhnya Tuanku Laras Muko Balang. Dari arah lain mendadak muncul dua orang. Mereka ternyata adalah Ki Bonang Talang Ijo dan Perwira Muda Teng Sien. Di saat itu pula tiba-tiba di atas pohon besar terdengar suara tawa mengekeh. Lalu seorang berpakaian serba putih melayang turun.

“Guru!” Seru Wiro.

Ternyata orang yang turun dari atas pohon adalah kakek muka tengkorak Inyiek Sukat Tandika alias Tua Gila! Dialah tadi yang menjirat Tuanku Laras Muko Balang dengan senjata yang dikenal bernama benang sakti Benang Kayangan yang selama ini tidak satu kekuatan atau senjata apapun bisa memutusnya! Sambil masih tertawa mengekeh Tua Gila sentakkan benang sakti.

“Wuttt” Serta merta pedang Al Kausar yang masih tergenggam di tangan kanan Tuanku Laras Muko Balang berikut sarungnya yang terselip dipinggang melesat ke udara. Tua Gila angkat tangan kiri. Sarung pedang menancap lebih dulu ke tanah. Pedang telanjang menyusul jatuh dan langsung masuk ke dalam sarung!

Si Kamba Mancuang cepat mendatangi Chia Swie Kim dan menolong gadis ini setelah lebih dulu melepas totokannya. Dari balik pakaiannya Si nenek keluarkan sehelai jubah putih lalu dikenakan ke tubuh Chia Swie Kim hingga auratnya yang nyaris telanjang kini tertutup. Datuk Marajo Sati mendatangi Tuanku Laras lebih dulu dari Ki Bonang dan Teng Sien. Wiro dan Si Kamba Mancuang berjaga-jaga agar kedua orang itu tidak terlalu dekat dengan Chia Swie Kim.

“Inyiek Sukat Tandika, terima kasih telah tolong meringkus jahanam gadang bermuka belang ini! Mohon Inyiek melepaskan libatan benang sakti. Biarkan kami bertarung satu lawan satu!” Berkata Datuk Marajo Sati.

Dari samping kiri Ki Bonang Talang Ijo membuka mulut. “Orang tua yang dipanggil Inyiek. Saya mohon gadis itu diserahkan pada Perwira Muda dari Tiongkok ini. Dia bertanggung jawab untuk membawanya kembali ke negeri Cina!”

Datuk Marajo Sati mendengus lalu keluarkan ucapan mengancam. “Siapa saja yang menginginkan gadis itu harus melangkahi mayatku lebih dulu!”

Tua Gila tertawa. Dia tidak mengacuhkan permintaan Ki Bonang. Sementara di tanah Tuanku Laras masih mencoba melepaskan diri dari libatan Benang Kayangan. Namun tetap tidak berhasil. Kini dia mulai berteriak-teriak dan memaki.

“Inyiek! Lepaskan diriku! Apa kau kira aku takut berkelahi melawan Datuk mesum itu?!”

“Bukkk!” Dimaki Datuk mesum Datuk Marajo Sati segera saja tendang dada Tuanku Laras Muko Balang hingga orang ini terpental dan muntahkan darah kental!

“Datuk Marajo Sati, harap kau mau bersabar. Ini kesempatan baik kita dapat meneruskan pembicaraan di Bukit Batu Patah tadi malam. Gadis yang diharapkan akan menjadi saksi sudah ada di sini. Aku akan menanyainya…”

Tua Gila berpaling ke arah Chia Swie Kim. Gadis ini tampak ketakutan. “Gadis berambut panjang hitam, tidak usah takut. Siapa namamu?” Tua Gila menyapa dengan menanyakan nama.

Mula-mula Chia Swie Kim tak mau bicara. Namun dibujuk oleh Si Kamba Mancuang. Si gadis jadi heran. Dia ingat dulu nenek seram bertangan sangat panjang dan bergigi perak ini adalah salah seorang anggota rombongan Teng Sien yang mengejarnya sampai di Bukit Melintang. Sekarang mengapa berbuat baik menolongnya?

“Anak gadis, kau tak usah takut. Tidak akan ada seorangpun yang bakal menyakitimu…” Berkata Tua Gila. “Harap kau mau menjawab semua pertanyaanku...”

Akhirnya Si gadis membuka mulut juga. “Saya terlahir dengan nama Chia Swie Kim. Datuk Marajo Sati memberi saya nama Puti Bungo Sekuntum. Datuk Juga menggelari saya Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok…”

“Apa benar kau puteri seorang Pangeran di negeri Cina? Melarikan diri ke negeri ini karena dituduh berbuat zinah dengan kekasihmu?”

“Bahwa saya seorang puteri Pangeran itu adalah benar. Namun tuduhan bahwa saya berbuat zinah adalah fitnah belaka. Saya melarikan diri ke negeri ini atas petunjuk Yang Maha Kuasa. Saya dimasukkan ke dalam sebuah batu giok keramat berbentuk kupu-kupu bernama Kupu Kupu Mata Dewa, milik Kaisar Tiongkok…”

“Berarti dalam tubuhmu terdapat tiga unsur. Tubuh atau dirimu yang asli sebagai Chia Swie Kim, lalu ujud asli Kupu Kupu Mata Dewa dan yang ke tiga ada roh anak gadis di negeri ini yang masuk ke dalam dirimu hingga kau bisa bicara bahasa orang di sini…”

Chia Swie Kim mengiyakan dengan mengangguk perlahan.

“Anak gadis, benarkah Datuk Marajo Sati telah menolongmu ketika kau dalam ujud kupu-kupu besar diterbangkan sorban sakti milik Sutan Panduko Alam ke goa kediaman Datuk di Ngarai Sianok?”

Chia Swie Kim menatap ke arah Datuk Marajo Sati. Hatinya hiba melihat orang ini. Lalu dia anggukkan kepala dan menjawab. “Benar sekali. Datuk telah menyelamatkan saya, menolong saya sebelum Perwira Muda Teng Sien dan rombongannya menculik saya…”

“Selama berada di dalam goa bersama Datuk Marajo Sati, apakah Datuk memperlakukanmu dengan baik…”

Chia Swie Kim mengangguk lagi. “Datuk sangat memperhatikan dan menjaga keselamatan saya. Datuk punya seekor burung elang besar yang selalu ikut berjaga-jaga di luar goa...”

“Apakah selama berada di goa Datuk Marajo Sati pernah melakukan perbuatan yang tidak senonoh terhadap dirimu?” Bertanya Tua Gila.

“Tidak pernah inyiek. Datuk menganggap saya sebagai anak dan saya menganggap Datuk sebagai ayah sendiri…” Jawab ChiaSwie Kim.

“Apakah kau berkata jujur wahai anak gadis?” tanya tua Gila.

“Saya tidak berdusta Inyiek. Saya berani bersumpah bahwa saya mengatakan hal yang benar.”

“Perempuan Jahanam culas! Pendusta besar!” Tiba-tiba Tuanku Laras Muko Balang berteriak. “Ketika berada dalam goa di Lembah Harau kau menceritakan padaku bahwa Datuk keparat itu telah merampas kehormatanmu! Keperawanmu! Kau katakan Datuk celaka itu telah menidurimu berulang kali! Kau ketakutan kalau sampai berbadan dua!”

Semua orang yang ada di tempat itu jadi tersentak kaget! Semua mata ditujukan pada Datuk Marajo Sati.

“Puti Bungo Sekuntum… Bagaimana mungkin kau…” Suara Datuk Marajo Sati bergetar.

Chia Swie Kim lari dan jatuhkan diri di hadapan Datuk Marajo Sati. Dengan air mata berlinang dia berkata. “Datuk, saya tahu Datuk tidak pernah berlaku keji terhadap diri saya. Saya menceritakan kedustaan itu pada Tuanku Laras untuk membuat dia marah. Saya lebih suka dalam kemarahannya dia membunuh saya dari pada kemudian melakukan perbuatan terkutuk. Kalau saja Datuk dan kawan-kawan tidak cepat datang menyelamatkan saya, Tuanku Laras pastilah sudah melakukan perbuatan terkutuk itu. Tadi sebelum diberi pakaian oleh nenek itu. Datuk melihat sendiri pakaian saya yang robek-robek karena hendak ditanggalkan secara paksa…”

Datuk Marajo Sati menggembor marah. Kembali kakinya hendak menendang. Kali ini ditujukan ke kepala Tuanku Laras Muko Balang. Namun Inyiek Sukat Tandika cepat menghalangi dengan membelintangkan Benang Kayangan di hadapan sang Datuk.

“Datuk Marajo Sati. Jangan perturutkan hawa amarah. Datuk harus bersyukur bahwa kebenaran telah tersingkap. Apa yang selama ini dituduhkan padamu ternyata hanya fitnah belaka. Datuk bersih, tiada dosa, tidak ada perbuatan mesum dan kekejian yang telah Datuk lakukan. Bahkan semoga Allah memberikan rakhmat pada Datuk karena Datuk memang menolong gadis bernama Chia Swie Kim itu demi Allah semata, Lillahi Ta'ala, bukan dengan maksud lain yang tersembunyi. Gadis itu telah bersaksi bahkan mau bersumpah bahwa dia tidak berdusta…”

“Inyiek, kalau begitu bebaskan manusia durjana ini dari libatan benang sakti. Biar kami bertarung sampai salah satu dari kami menemui ajal kematian!”

“Datuk, seperti kataku di Bukit Batu Patah, aku kemari bukan untuk membuat onar atau ingin melihat keonaran. Biarlah hukuman Kerajaan yang akan berlaku terhadap Tuanku Laras…”

Walau dendam kesumatnya terhadap Tuanku Laras tidak akan habis sampai ke liang kubur namun saat itu Datuk Marajo Sati terpaksa mengikuti ucapan Tua Giia. Dia bertanya. “Lalu bagaimana dengan orangtua dari Jawa dan Perwira dari Cina ini? Mereka harus bertanggung jawab atas kematian beberapa tokoh di negeri ini. Termasuk kematian Sutan Panduko Alam dan Datuk Panglimo Kayo. Orang Cina ini, saya melihat sendiri dia membunuh Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik…”

“Datuk, semua itu terjadi karena hukum sebab akibat. Tapi biar kita serahkan perkara mereka pada kebijaksanaan Sri Baginda Raja di Pagaruyung...”

“Ini sungguh sangat tidak adil!” Tiba-tiba Ki Bonang Talang Ijo berteriak marah.

“Tua bangka tidak tahu diri! Inyiek sudah memberi kesempatan dan perlindungan padamu! Kalau kau ingin keadilan aku bersedia memberikan!”

Yang berkata keras adalah Si Kamba Mancuang. Begitu mengakhiri ucapan nenek ini pentang kedua tangannya. Dua tangan melesat panjang, melibat sekujur tubuh Ki Bonang mulai dari dada sampai ke kaki. Meskipun Ki Bonang berilmu kepandaian tinggi namun diserang mendadak begitu rupa membuat dia lengah. Apa lagi luka di kening dan matanya belum sembuh. Tulang-tulang tubuhnya mulai berkeretakan. Selagi dia berusaha melepaskan diri, Si Kamba Mancung berteriak.

“Ini pembalasan atas kematian saudara kembarku!”

Dari mulut Si nenek menyembur dua larik cahaya putih perak panas. Ki Bonang hanya sempat keluarkan keluhan pendek. Kepalanya yang terkena semburan ilmu Angin Merapi Merambah Bumi berubah hitam gosong dan mengepulkan asap. Begitu dua tangan yang membelit tubuhnya dilepas, orang tua ini langsung roboh ke tanah tanpa nyawa lagi Teng Sien berteriak marah tapi dia tidak melakukan apa-apa. Dia juga tidak melawan sewaktu Tua Gila mengikat tubuhnya dengan Benang Kayangan.

Pendekar 212 Wiro Sableng memberi isyarat pada Si Kamba Mancuang. Lalu pada gurunya dia berkata. “Kek, rasanya urusan sudah selesai, saya dan nenek ini mohon diberi izin untuk meninggalkan tempat ini. Saya berjanji mengunjungi Kakek di Gunung Kerinci...”

Tua Gila tersenyum. Dia tidak menjawab. Namun saat itu Wiro mendengar suara mengiang di telinganya. “Rupanya kau lebih suka pada nenek peot di sebelahmu dari pada gadis Cina itu. He he… Ingat ucapanku tadi malam, ujud asli nenek itu sebenarnya adalah seorang gadis cantik sekali. Kalau kau ingin dia kembali kepada ujudnya semula kau harus mencari tiga buah Jambak yang alur putih dan alur merahnya masing-masing berjumlah tujuh. Sebelum memakan tiga buah itu, suruh dia membaca Ayat Kursi tujuh kali. Setelah itu kau akan melihat kekuasaan Tuhan, apa yang akan terjadi atas dirinya. Bisa-bisa kau tidak ingat lagi pulang ke tanah Jawa! Ha ha ha!” (Buah Jambak=Jambu Bol)

“Terima kasih Kek, terima kasih. Izinkan kami pergi…” Wiro membungkuk dalam dalam. Wiro lalu menarik tangan Si Kamba Mancuang.

Nenek ini meski bingung mengikut saja. Di tengah jalan dia bertanya. “Wiro, aku tidak mendengar gurumu bicara apa-apa. Mengapa kau berulang kali mengucapkan terima kasih…”

Wiro membuka kopiah hitam pemberian Si nenek lalu menggaruk kepala. “Jambu Bol, Nek,” kata sang pendekar.

“Jambu Bol? Apa itu?” tanya Si nenek pula.

Sambil tertawa-tawa Wiro berkata. “Nek, aku dan guruku sudah tahu siapa kau sebenarnya. Beliau memberi tahu cara untuk mengembalikan ujudmu…”

Wajah Si Kamba Mancuang berubah memucat. “Kau jangan bergurau. Hanya guruku Inyiek Susu Tigo yang tahu keadaan diriku dan satu-satunya orang bisa mengembalikan keadaan diriku dengan mantera Pelangi Turun Ke Bumi...”

“Gurumu baru punya susu tigo. Aku punya susu empat! Apa aku tidak lebih hebat. Kau mau lihat susuku yang dua lagi?” lalu Wiro pura-pura hendak membuka celana hitam yang dikenakannya! Karuan saja Si nenek jadi terpekik dan lari meninggalkan Wiro.

********************

BAB LIMA BELAS

PAGI itu juga Tuanku Laras dan Perwira Muda Teng Sien dalam keadaan diikat Benang Kayangan dibawa ke Pagaruyung. Sehari kemudian setelah Sri Baginda memimpin pertemuan dengan para tokoh cerdik pandai di Kerajaan diambil keputusan. Tuanku Laras Muko Balang dijatuhi hukuman penjara selama dua belas tahun. Pedang Al Kausar disita dan disimpan di dalam satu ruang rahasia. Selain itu untuk menjaga hal-hal yang tidak diingini seorang sakti menguras habis seluruh ilmu kepandaian dan kesaktian orang ini.

Namun ada satu ilmu terlupa dimusnahkan yaitu Ilmu Bayangan Menipu Mata. Baru beberapa lama manusia bermuka belang ini mendekam dalam penjara yang terletak di pinggir timur Pagaruyung, pada saat siang berganti malam terjadi kegegeran. Tuanku Laras lenyap, pengawal yang memegang kunci penjara ditemui tewas. Pedang Al Kausar hilang tak berbekas dari dalam ruang penyimpanan! Apa yang telah terjadi?

Dengan mempergunakan Ilmu Bayangan Menipu Mata, pada saat matahari terbenam Tuanku Laras merubah diri menjadi menyerupai Penghulu Sangkalo kusir kereta yang membawa Tua Gila ke Bukit Batu Patah. Dia berteriak-teriak minta dikeluarkan. Meskipun tak mengerti bagaimana sang Penghulu ada di dalam penjara, pengawal membuka juga pintu ruang tahanan.

Begitu keluar Tuanku Laras langsung membunuh pengawal itu lalu masih dalam ujud Penghulu Sangkalo dia menyelinap masuk ke dalam Istana dan berhasil menemukan tempat penyimpanan Pedang Al Kausar. Begitu menggenggam gagang pedang, seluruh ilmu kesaktian Tuanku Laras yang sudah dikuras kembali pulih dan berada lagi dalam tubuhnya.

********************

HANYA beberapa waktu setelah kaburnya Tuanku Laras dari penjara dan lenyapnya Pedang Al Kausar, Pendekar 212 Wiro Sableng bersama Si Kamba Mancuang tengah dalam perjalanan menuju Pagaruyung. Tiba-tiba dikejauhan terdengar suara beduk dipukul orang tiada henti.

“Tabuh Larangan ditabuh orang. Ada satu perkara besar terjadi di Pagaruyung,” kata Si Kamba Mancuang.

Baru saja nenek ini berucap tiba-tiba dari balik kerapatan pepohonan di samping kiri mereka terdengar suara dua orang saling membentak dan suara beradunya senjata. Lalu tampak cahaya putih berkelebat beberapa kali disertai suara deru keras. Ujung kain putih yang melingkar di pinggang Si Kamba Mancuang mendadak mencuat naik ke udara. Kain putih ini adalah kain yang pernah dipakai untuk membungkus Pedang Al Kausar. Si nenek keluarkan seruan tertahan.

“Ada apa Nek?” tanya Wiro.

“Pedang Al Kausar… senjata itu ada di dekat sini!” Jawab Si Kamba Mancuang. Dia menatap ke arah pepohonan. “Aku kira…”

Dari balik pepohonan terdengar suara orang menjerit disusul suara orang tertawa. Wiro tidak menunggu si nenek menyelesaikan ucapan. Sekali lompat saja dia sudah berada di balik deretan pepohonan. Si Kamba Mancuang mengikuti. Walau keadaan di tempat itu mulai gelap, tapi cukup mudah bagi Wiro dan Si nenek mengenali siapa adanya dua orang yang tengah bertarung.

Yang di sebelah kanan bukan lain adalah Tuanku Laras Muko Balang, memegang Pedang Al Kausar. Di hadapannya berdiri Sutan Manjinjing Langit. Jubah putihnya di bagian dada robek besar dan ada noda darah. Di tanah tergeletak sebilah lading (golok). Saat itu Pedang Al Kausar ditangan Tuanku Laras tengah membabat ke arah leher Sutan Manjinjing Langit. Bagaimana kedua orang itu bisa berada di tempat itu dan terlibat dalam pertarungan?

Seperti dituturkan sebelumnya walau Sutan Manjinjing Langit meninggalkan Bukit Batu Patah atas permintaan Tua Gila, namun orang tua yang sangat mendendam terhadap Tuanku Laras ini sambil mencari akal bagaimana caranya dapat menuntut balas, diam-diam mengikuti rombongan Tua Gila ke Pagaruyung. Sewaktu Tuanku Laras melarikan diri dari penjara dan mencuri Pedang Al Kausar dari Istana Pagaruyung, kakak Sutan Panduko Langit yang menemui ajal di tangan Ki Bonang dan kawan-kawan termasuk Tuanku Laras ini melakukan penguntitan.

Saat itu Tuanku Laras telah kembali ke ujudnya yang asli. Sadar kalau ilmu silat dan kesaktiannya berada jauh dibawah Tuanku Laras maka untuk beberapa lama Sutan Menjinjing Langit hanya mengikuti, tidak berani menghadang atau menyerang. Rupanya Tuanku Laras tahu kalau dirinya tengah diikuti orang. Semula dia menyangka orang Istana yang menguntit. Padahal saat itu dia tengah bersiap untuk melayang terbang dengan mengandalkan pedang sakti.

Dia jadi terkejut dan marah besar ketika melihat ternyata Si penguntit adalah Sutan Manjinjing Langit. Tanpa banyak bicara lagi Tuanku Laras pergunakan Pedang Al Kausar untuk menyerang Sutan Menjinjing Langit. Yang diserang keluarkan landing (golok) besar. Namun sekali bentrokan saja senjata Sutan Menjinjing Langit terpental patah sedang ujung pedang Tuanku Laras berhasil melukai dadanya.

Serangan berikutnya Tuanku Laras babatkan pedang ke arah leher Sutan Manjinjing Langit yang dalam keadaan terluka dan tidak bersenjata tidak berdaya lagi untuk menyelamatkan diri. Hanya sekejapan lagi Pedang Al Kausar akan menabas putus leher Sutan Manjinjing Langit, tiba-tiba selarik kain putih panjang berkelebat di udara, ujungnya memukul badan pedang hingga terpental.

“Jahanam kurang ajar! Siapa…?!” Bentakan Tuanku Laras terputus ketika dia melihat dua orang yang berdiri di hadapannya. Pemuda berambut panjang dan Si nenek bergigi perak. Si pemuda berdiri dengan tangan kiri bertolak pinggang sementara di tangan kanan memegang kain putih panjang.

“Kalian! Jahanam kalera! Aku memang sudah lama ingin membantai kalian berdua!” Tuanku Laras berteriak penuh marah. Secepat kilat dia melompat sembari membabatkan pedang sakti di tangan kanan. Cahaya putih berkilau bertabur, melanda ke arah Wiro dan Si Kamba Mancuang!

Kedua orang yang diserang begitu merasa sekujur tubuh bergetar oleh sambaran angin senjata lawan dengan cepat bergerak mundur sambil lepaskan dua pukulan tangan kosong bertenaga dalam tinggi yang membuat lawan tergontai-gontai. Tuanku Laras cepat melompat setengah tombak sambil tangan kiri balas menghantam, melepas pukulan sakti bernama Cahayo Ganto Bisu. Selarik Sinar kelabu tanpa suara berkiblat Tuanku Laras lipat gandakan kekuatan pukulannya dengan cara mendorong badan pedang ke depan.

“Dess! Desss!”

Si Kamba Mancuang terpekik ketika tubuhnya terpental sampai empat langkah akibat sambaran sinar kelabu. Dada sesak. Di sela bibir kelihatan lelehan darah! Wiro sendiri terhuyung-huyung, dada dan kepala mendenyut nyeri. Dalam keadaan seperti itu Tuanku Laras tidak mensia-siakan kesempatan. Kembali dia menyerbu. Pedang Al Kausar berpijar terang di dalam gelapnya malam pertanda Tuanku Laras dalam menyerang mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.

Tuanku Laras berlaku cerdik. Dia tahu diantara kedua lawannya Si nenek lebih rendah ilmu kepandaiannya dibanding Wiro. Maka serangannya kali ini diarahkan telak-telak pada Si Kamba Mancuang. Si nenek yang tengah mengalami sakit akibat luka di dalam ternyata memang agak lalai menghadapi serangan kali ini.

“Nek, awas pedang!” Teriak Wiro. Tangan kiri didorong ke arah Si Kamba Mancuang.

Sesiur angin deras membuat tubuh Si nenek terjengkang menjauhi pedang sampai dua langkah hingga selamat dari ujung pedang. Namun hebatnya Pedang Al Kausar, begitu serangan menghantam tempat kosong, senjata sakti ini terus mengejar. Tubuh Tuanku Laras ikut terangkat ke udara. Ujung pedang bergetar berubah menjadi dua belas. Si Kamba Mancuang sulit mengetahui mana ujung pedang yang asli mana yang hanya bayangan. Dia meniup, menangkis dengan Ilmu Angin Merapi Merambah Bumi. Dua larik Sinar putih panas menghambur dari dua deretan gigi perak. Namun Pedang Al Kausar terus melaju, menembus dua larik sinar putih.

“Bett!” Si nenek terpekik ketika segumpal rambut putihnya putus dibabat mata pedang. Selagi dia berusaha menjauhi lawan, Pedang Al Kausar dengan kecepatan kilat berbalik menyambar ke arah pinggang. Kali ini sama sekali tidak ada kemungkinan bagi Si Kamba Mancuang untuk menyelamatkan diri. Sekejapan lagi tubuhnya akan terkutung dua tiba tiba satu teriakan lantang menggelegar.

“Kapak Naga Geni Dua Satu Dua!” Cahaya luar biasa terang yang menindih terangnya cahaya Pedang Al Kausar berkiblat di udara disertai suara mengaung laksana ratusan tawon mengamuk. Hawa panas menghampar!

“Trang!” Tuanku Laras berseru kaget Pedang Al Kausar gompal dan terlepas mental dari genggaman tangan kanan. Dia tidak sempat mengetahui senjata apa yang menghantam mental Pedang Al Kausar karena saat itu juga benda bercahaya putih dan menebar panas telah menyambar ke arah wajahnya. Tuanku Laras berteriak keras.

“Craas! Kraaak!” Suara teriakan Tuanku Laras putus. Sosoknya seperti dihantam angin prahara, mencelat sejauh tiga tombak, terbanting ke tanah. Kepala hangus dan terbelah mengerikan!

Si Kamba Mancuang dan Sutan Menjinjing Langit terbeliak tak percaya ketika menyaksikan benda yang merenggut nyawa Tuanku Laras itu ternyata adalah sebuah kapak bermata dua terang menyilaukan. Keduanya sampai-sampai berseru karena tercekat kagum ketika melihat bagaimana senjata itu kemudian masuk dan lenyap di dalam dada Pendekar 212 Wiro Sableng!

“Nek, jangan bengong saja! Lekas ambil pedang itu!” Kata Wiro pada Si Kamba Mancuang sambil menunjuk pada Pedang Al Kausar yang tercampak ditanah.

“Persetan dengan pedang itu...” Jawab Si nenek. “Aku mau tanya dulu. Kau ini memiliki ilmu setan atau apa. Gila! Bagaimana kapak sebesar itu bisa keluar masuk tubuhmu! Ah… pantas… pantas Inyiek Tandika memanggilmu Anak Setan!”

Wiro cuma bisa menyengir. Tiba-tiba di kejauhan kelihatan puluhan penunggang kuda membawa obor mendatangi. “Orang-orang Kerajaan Pagaruyung. Nek, ayo kita cepat pergi dari sini…”

Wiro tarik lengan Si nenek. Keduanya lenyap dalam kegelapan malam meninggalkan Sutan Manjinjing Langit yang terluka yang dalam sakitnya tercengang-cengang menyaksikan apa yang telah terjadi.

********************

BAGAIMANA dengan Teng Sien? Perwira Muda Kerajaan Tiongkok ini dihukum sepuluh tahun penjara. Tiga batang emas yang ditemui dibalik pakaian Ki Bonang dan Tuanku Laras disita oleh Kerajaan dan kelak dipergunakan untuk kesejahteraan negeri dan rakyat. Akan halnya rahasia satu peti batangan emas yang disembunyikan oleh Ki Bonang dan Teng Sien tidak pernah diketahui orang dan tidak pernah terungkap.

Pada pertengahan tahun kedua hukuman yang dijalani Teng Sien, dua orang utusan tingkat tinggi dari Kerajaan Tiongkok menemui Sri Baginda Raja Pagaruyung. Mengingat persahabatan yang telah terjalin lama antara dua Kerajaan serta demi hubungan masa depan yang lebih baik Sri Baginda Raja kemudian membebaskan Teng Sien. Sebagai imbalan Kerajaan Tiongkok membeli banyak sekali rempah-rempah serta menghadiahkan berbagai barang seperti pecah belah dan cita serta perhiasan. Beberapa orang pandai di Pagaruyung dikirim ke Tiongkok untuk mempelajari berbagai macam ilmu pengobatan.

Sementara itu Datuk Marajo Sati menceraikan istrinya Gadih Puti Seruni lalu memencilkan diri bertapa lebih mendekatkan diri kepada Tuhan di puncak Gunung Merapi. Tak lama sesudah itu terbetik kabar bahwa Gadih Putih Seruni melangsungkan pernikahan dengan Pakih Jauhari. Keduanya kemudian meninggalkan tanah Minang pergi ke pulau Jawa. Kepada Pakih Jauhari Puti Seruni memberi tahu bahwa sekian lama kawin dengan Datuk Marajo Sati, sang Datuk belum pernah menyentuh dirinya. Tentu saja Pakih Jauhari merasa sangat bahagia mendapatkan istrinya masih seorang anak perawan suci.

Akan halnya Chia Swie Kim, gadis Cina ini tidak mau kembali ke negerinya. Dia memilih tetap berada di tanah Minang dan tinggal di satu tempat sunyi tapi indah di lereng Gunung Singgalang. Dia memakai nama Puti Bungo Sekuntum yaitu nama yang diberikan Datuk Marajo Sati. Sesekali dia menemui ayah angkatnya Datuk Marajo Sati di Gunung Merapi. Dari sang Datuk gadis ini mendapat banyak sekali ilmu kesaktian.

Sebelum meninggalkan Minangkabau, Teng Sien dengan dikawal beberapa orang berkepandaian tinggi dari Kerajaan Pagaruyung diizinkan menemui Puti Bungo Sekuntum di Gunung Singgalang. Atas permintaan Teng Sien, disaksikan orang banyak Puti Bungo Sekuntum dibantu dengan kesaktian yang didapatnya dari Datuk Marajo Sati merubah diri menjadi kupu kupu besar, lalu kupu-kupu ini berubah ke dalam ujud kupu kupu batu giok bermata biru menyala, Kupu Kupu Mata Dewa.

Teng Sien merasa gembira. Walau tidak bisa membawa Chia Swie Kim kehadapan Pangeran di Tiongkok, tapi dia berhasil mendapatkan kembali Kupu Kupu Mata Dewa yang keramat, pusaka utama Kerajaan dan menyerahkan pada Kaisar. Untuk keberhasilannya ini Teng Sien dinaikkan pangkatnya dua tingkat menjadi Perwira Tinggi.

Akan halnya Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang tidak terdengar kabar beritanya. Pengganti almarhum Datuk Panglimo Kayo selaku Penghulu di Luhak Tanah Datar untuk beberapa lama tidak pernah diangkat. Sedang jabatan Datuk Pucuk Luhak Nan Tigo yang dulu dipangku Datuk Marajo Sati dihapuskan.

Bagaimana dengan Si Kamba Mancuang? Apakah sesuai petunjuk Tua Gila Wiro berhasil mengembalikan ujud nenek itu kebentuknya semula yaitu seorang gadis cantik jelita?

Lalu bagaimana pula ceritanya dengan Denok Tuba Biru yang dikejar-kejar oleh Inyiek Susu Tigo yang telah menganggapnya sebagai Istri? Nantikan kelanjutan kisah riwayat orang-orang tersebut dalam serial khusus.

T A M A T

Ikuti kisah petualangan Pendekar 212 Wiro Sableng selanjutnya dalam judul:


Bumi Mataram dilanda malapetaka mengerikan akibat perbuatan dukun-dukun jahat peliharaan orang-orang yang hendak merebut tahta Kerajaan. Orang-orang sakti berkepandaian tinggi yang ada di Mataram tidak mampu menumpas. Mimba yang dikenal dengan julukan SATRIA LONCENG DEWA hampir berhasil menyelamatkan Kerajaan namun harus menghadapi 100 Jin Perut Bumi yang sangat ganas.

Satria belia ini memohon pertolongan Dewa di Kahyangan, mendapat petunjuk satu-satunya orang yang diharapkan bisa menyelamatkan Bumi Mataram adalah seorang pendekar muda yang didalam tubuhnya tersimpan sebuah senjata sakti mandraguna. Sayangnya sang pendekar itu hidup di masa 800 tahun yang akan datang. Mungkinkah dalam keberadaannya yang masih tiada itu dia bisa didatangkan untuk menyelamatkan rakyat dan Kerajaan Mataram? Siapakah gerangan adanya pendekar dalam petunjuk para Dewa tersebut?
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.