Bintang Langit Saptuning Jagat

Wiro Sableng. Bintang Langit Saptuning jagat
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Wiro Sableng
Episode Bintang Langit Saptuning Jagat
Karya Bastian Tito
cerita silat online Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut 212 karya Bastian Tito

“Datuk Rao Basaluang Pitu lambungkan ke tujuh Saluang yang berada digengamannya ke udara, Ketujuh Saluang itupun tidak jatuh ketanah seperti yang semestinya melainkan berputaran diudara mengelilingi tubuh Datuk Rao Basaluang Pitu dan orang-orang yang berpegangan tangan mengelilingi Sang Datuk!

“Wahai tujuh Saluang Dewa yang selalu menemaniku, perkenankan aku dan para kerabatku memasuki Ruang Tanpa Batas Tanpa Daya.” ucap Datuk Rao Basaluang Pitu dengan sebelah tangan bersidekap di dada sementara tangan satunya memeluk jabang bayi dalam guci.

Tepat setelah Datuk Rao Basaluang Pitu selesai berucap, Nenek Ning Rakanini beserta yang lainnya merasakan kedua kakinya perlahan namun pasti mulai terangkat dan tidak lagi menjejak tanah!

“Kita Melayang…!” Desis sang nenek sembari memandang kearah Resi Kali Jagat dan yang lainnya yang juga menyadari akan hal ini.

Sementara itu ke tujuh Saluang terlihat bergerak berputar mengelilingi lingkaran orang-orang yang berpegangan tangan tersebut. Masing-masing Saluang berputar dengan arah yang berbeda-beda!”


SATU

Titik air hujan mulai berjatuhan membasahi dedaunan pohon Kenanga yang banyak tumbuh di areal Pekuburan Batuwungkur. Tidak seperti biasanya, titik hujan yang turun kali ini tidak disertai dengan angin yang berhembus. Air hujan yang turun dari langit juga tidak terlalu deras, boleh dibilang hanya berupa rinai-rinai kecil.

Dalam udara malam seperti ini bisa dipastikan tidak ada orang yang rela melepaskan diri dibalik kemulan selimut hangatnya, apalagi untuk sekedar berjalan-jalan di Luar rumah. Sementara itu suasana mencekam sangat terasa menggantung di sekitar kawasan Pekuburan Batuwungkur.

Pekuburan yang terletak tidak jauh dari Sleman ini, memang dianggap banyak orang sebagai salah satu tempat yang cukup angker. Jangankan malam hari, saat siang haripun hanya sedikit orang yang berani untuk menginjakkan kaki di tempat tersebut. Hal ini tidaklah mengherankan karena sudah semenjak lama Pekuburan tua ini sudah tidak dipergunakan lagi.

Para penduduk pedukuhan dan kampung-kampung sekitar kini lebih memilih untuk menguburkan sanak keluarganya ke Pekuburan Lembur Sawit yang letaknya memang agak jauh keluar dari wilayah Kadipaten Sleman. Hal ini terjadi tidaklah terlepas dari beberapa kejadian yang pernah terjadi di seputaran Kawasan Pekuburan tersebut beberapa tahun yang lalu.

Banyak cerita seram dan takhayul yang beredar di masyarakat yang menceritakan keangkeran kawasan ini sehingga orang-orang sudah tidak mau menguburkan keluarganya di pekuburan tersebut. Namun berbeda dengan malam-malam biasanya, keangkeran areal pekuburan ini semakin kental terasa manakala beberapa malam belakangan ini sering terdengar suara isak dan tangis perempuan!

Suara tangis perempuan yang terbawa angin tersebut kerap kali terdengar dari sebuah kuburan tua yang terletak disamping sebuah batu besar dan dirindangi oleh rimbunan Pohon Kenanga. Setiap kali suara tangis itu terdengar, maka suara-suara binatang malam lainnya, yang biasanya meramaikan suasana malam sontak hilang seakan tertelan oleh kesedihan yang mengalun bersama isak tangis yang terbawa oleh angin malam. Malam itu Bulan bersinar terang menyinari kawasan pekuburan Tua tersebut.

Walaupun langit masih dihiasi awan mendung yang menitikkan rinai-rinai kecil, namun hal itu tak mampu mengalahkan tebaran pesona sang ratu malam. Dibawah siraman sinar rembulan yang jatuh diatas sebuah batu disamping makam berpohon kenanga, terlihatlah sosok seorang gadis berambut panjang berkebaya putih duduk sambil memeluk kedua kakinya. Wajahnya yang pucat tidak tampak terlihat karena disembunyikan diantara kedua lututnya. Isak tangis disertai rintihan memilukan kerap terdengar dari bibirnya.

“Wiro… aku tak tahu lagi kemana aku harus pergi mencari dirimu…“ isak sang gadis perlahan, bahunya terlihat bergetar menahan kekalutan hatinya. Kembali teringat dalam kenangannya bagaimana dirinya berkasih dan bercumbu mesra dengan Pemuda yang dicintainya. Masih terbayang dipelupuk matanya bagaimana Sang Pemuda yang tanpa mempedulikan keadaannya yang telah menjadi mayat mengecup lembut bibirnya serta mengungkapkan cinta kasihnya. (Baca episode: Misteri Dewi Bunga Mayat)

“Wiro… apa yang sebenarnya menimpa dirimu… apa yang harus aku lakukan agar aku bisa berjumpa denganmu…?” isak sang gadis kembali.

Sementara itu tak jauh dari batu tempat sang gadis berkebaya putih duduk menangis, seorang gadis berpakaian kuning tampak berdiri dibalik bayang-bayang sebuah pohon randu alas. Sesekali tampak sang gadis juga mengusap air mata yang juga menetes di kedua belah pipinya.

“Aku juga merasakannya Suci… aku pun turut kehilangan dirinya!” ratap sang gadis dalam hati. “Ah… mengapa kita berdua harus bernasib sama seperti ini. Alam memisahkan kita dengan orang yang sama-sama kita cintai…” batin sang gadis kembali. “Apa aku harus menemuinya dalam keadaan seperti ini...?” batin sang gadis ragu-ragu.

Kala Sang Gadis berbaju kuning hendak beranjak mendekati Gadis berkebaya putih yang bukan lain adalah Suci gadis alam roh yang berjuluk Dewi Bunga Mayat ini, tiba-tiba terdengar gadis diatas batu membentak keras. “Siapa disitu? Ayo Keluar! Jangan sembunyi seperti pengecut!”

Gadis berbaju kuning langsung terhenyak namun buru-buru kembali ke tempatnya di balik pohon Randu Alas, kala menyadari kalau orang yang dibentak oleh Suci bukanlah dirinya melainkan orang lain.

Sementara itu gadis yang tadinya menangis diatas batu telah tegak berdiri dengan kaki terkembang, matanya yang masih basah oleh sisa-sisa air mata menatap nyalang kearah satu sosok yang berjalan mendekat kearahnya. Ketika sinar rembulan yang jatuh diatas sosok yang berjalan mendekat tidak terhalangi lagi oleh dedahanan pohon kenanga, satu pekikan terdengar dari bibir sang gadis.

“Ya Tuhan…!” Sang dara memandang seakan tidak percaya kala dihadapannya kini berdiri sosok pemuda berambut gondrong yang selama setahun lebih ini dicarinya keseluruh pelosok negeri. Pemuda yang berdiri dibalik siraman sinar rembulan tersebut tampak tersenyum dan mengembangkan kedua tangannya.

“Suci… aku datang…” ucap sang pemuda pelan.

Sang gadis menutup mulutnya dengan kedua belah tangannya, sementara matanya membeliak menatap seakan tak percaya pada pandangan matanya! Orang yang sangat dirindukannya siang dan malam kini berdiri dihadapannya!!

“Wirooo…!” jerit sang gadis keras. Suci tak mampu lagi menahan emosinya. Air mata yang masih belum mengering kembali berbuncahan di kedua pelupuk mata sang Gadis! Akal dan logika sang gadis kali ini seakan terbutakan oleh keadaan hati dan perasaannya yang sudah sekian lama memendam rindu dan nyaris putus asa. Sehingga tanpa merasa canggung lagi. Diiringi suara menggeru yang keluar dari mulut mungilnya, Suci langsung berlari dan memeluk sosok pemuda berambut gondrong yang berdiri didepannya. Dipeluknya sang pemuda dengan eratnya seakan tak mau dilepaskan lagi!

Sang Gadis tidak memperhatikan keanehan yang terlihat dalam diri sang Pendekar, tidak dilihatnya bagaimana sosok sang Pemuda yang tengah dipeluknya dengan erat memandangnya dengan pandangan yang aneh dan penuh nafsu. ”Wiro… jangan kau pergi lagi…! Jangan kau tinggalkan aku lagi…!” isak Suci sang gadis Alam Roh dalam pelukan Sang Pemuda.

Sementara itu Gadis berbaju kuning yang bersembunyi di balik pohon randu alas juga menampakkan keterkejutannya kala melihat sosok yang tiba-tiba berdiri di tengah-tengah Kawasan Pemakaman Batuwungkur. Namun tidak seperti gadis berkebaya putih, gadis berpakaian kuning ini masih bisa mengedalikan perasaannya sehingga dapat melihat keanehan yang melingkupi sosok pemuda yang disangka sebagai Pendekar dua satu dua Wiro Sableng itu. Mata sang gadis tidak bisa ditipu!

Dengan kemampuan kedua matanya yang mampu menembus segala macam tabir yang terselubung, Sang Gadis melihat satu sosok lain berujud samar dibalik wajah dan tubuh pemuda yang sedang memeluk Dewi Bunga Mayat!

“Suci…! Menjauh dari situ! Dia Bukan Pendekar Dua Satu Dua!” teriak sang gadis sembari melesat dari tempatnya berdiri.

Sementara itu Suci yang semula terbuai dalam pelukan Sang Pemuda juga merasakan satu keganjilan pada diri Sang Pendekar manakala dirasanya tangan sang Pendekar mulai kurang ajar meremas pinggulnya! “Keparat…! Kau Bukan Wiro! Siapa Kau?” bentak Suci seraya berusaha melepaskan diri dari pelukan sang pemuda yang tadinya dikira sebagai Wiro Sableng, Pemuda yang dikasihinya.

“He..he.he. akhirnya kau jatuh juga dalam pelukanku Suci! Siang dan malam aku hanya bisa memimpikanmu, kini impian itu akhirnya kesampaian juga! Marilah kau ikut denganku, kita akan bersenang-senang ditempat kediamanku yang baru!” Ucap sang Pemuda yang makin mempererat pelukannya.

“Keparat! Lancang!!! Aku bilang Lepaskan!” ronta Sang Gadis. Kemarahan sang gadis benar-benar tak bisa ditakar lagi! Dengan sekuat tenaga Suci berusaha untuk membuat bentuk tubuhnya menjadi samar agar dapat keluar dari pelukan Pemuda yang memeluknya, namun dia terkejut kala mendapati dirinya tidak mampu untuk merubah wujud kasarnya ke bentuk roh!

Sang Pemuda terkekeh geli sembari mempererat rangkulannya. “Sudahlah manis! Menyerah sajalah… tidak ada gunanya kau mencoba untuk mengeluarkan kepandaianmu…” ucap sang pemuda sambil mencium tengkuk Dewi Bunga Mayat secara kurang ajar!

“Jahanam!! Aku akan mengadu jiwa denganmu!” teriak Suci histeris. Matanya yang bening terlihat berkaca-kaca menaham amarah. Ingin sekali dicabik-cabiknya tubuh orang yang secara kurang ajarnya memeluk tubuhnya, namun entah mengapa dalam pelukan pemuda tersebut tubuh Sang Gadis alam roh semakin lama semakin lemah! Seakan-akan tubuh pemuda itu memiliki kekuatan yang mampu menghisap semangat dan tenaganya!

“Lepaskan tanganmu yang kotor itu keparat!!!” satu bayangan kuning bergerak dengan sebatnya melancarkan tendangan kearah tengkuk pemuda yang memeluk Suci.

“Hemm, satu lagi gadis alam roh datang menghantar tubuh! Rejeki ku hari ini benar-benar besar! Wajahmu juga cukup cantik! Tunggulah disitu giliranmu akan segera menyusul!” kekeh sang pemuda tanpa menghiraukan datangnya tendangan! Dan kesombongannya langsung mendapatkan ganjaran! Tubuh Pemuda kurang ajar tersebut langsung terjerembab kala tendangan yang dilancarkan oleh Gadis berbaju Kuning menghajar tengkuknya!

“Gadis keparat…!” geram sang pemuda sambil meraba tengkuknya yang terasa sakit. “Kemampuannya ternyata tidak rendah! Setan...! Aku terlalu memandang rendah urusan…! Aku harus segera angkat kaki dari sini biar sisanya nanti jadi urusan anak buah Sang Junjungan!” ucap sang pemuda dalam hati, dirinya tidak menyadari kalau tadi untuk sesaat tubuhnya berubah wujud menjadi satu sosok lain sebelum kembali kewujudnya semula.

Sementara itu Suci yang masih tergolek lemah dalam Pelukan Sang Pemuda buka matanya lebar-lebar kala sesaat melihat wujud Pemuda yang memeluknya berubah ke satu wujud lain yang dikenalnya saat terhajar tendangan oleh Gadis berbaju Kuning, namun perubahan itu hanya berlangsung cepat sebelum akhirnya wujud lain tersebut kembali ke wujudnya sebagai Wiro Sableng Pendekar Dua Satu Dua.

“Ki Kuncen Suro Bangil… Kau…!” serunya tercekat bagaimana tidak, Sosok Pemuda yang sedang memeluknya tadi walau sesaat sempat dilihatnya berubah menjadi sosok seorang kakek yang sangat dikenalnya, yaitu Ki Suro Bangil, Kuncen penjaga Pekuburan Batuwungkur!

DUA

Sang pemuda palingkan wajahnya kearah Suci saat didengarnya sang gadis menyebut nama aslinya. “Ha.ha.ha. akhirnya kau mengetahui juga siapa aku Suci, Kau memang hebat! Kau membuat aku semakin tergila-gila padamu! Tapi kita tidak bisa berdiam lebih lama di tempat ini!” ucap sang pemuda sambil mempererat pondongannya untuk kemudian berlari cepat kearah pintu keluar areal pekuburan

“Keparat! Mau lari kemana kau!” bentak gadis berpakaian kuning seraya menyentakkan kedua bahunya! Begitu menyentakkan kedua bahunya, tubuh sang gadis tiba-tiba tampak diselimuti satu sinar berupa lelatu-lelatu api berwarna biru yang kemudian langsung melesat dari dalam tubuh Sang gadis dan memotong arah lari pemuda yang membopong Dewi Bunga Mayat.

Pemuda yang menyaru sebagai Wiro Sableng itu dengan lincahnya melentingkan kakinya hingga Sinar pukulan yang datang lewat beberapa jengkal dibawah tubuhnya, namun belum lagi kakinya menginjak tanah sinar pukulan kembali datang menyusul dengan tiba-tiba!

“Setan Alas…! Biarlah lebih baik aku tidak mendapatkanmu dari pada nyawaku yang merat! Kalau aku tidak bisa mendapatkanmu maka orang lainpun takkan bisa!” geram Sang Pemuda yang mendapat serangan dari Gadis berbaju kuning. Lalu tanpa diduga sama sekali Sang Pemuda langsung melemparkan tubuh Suci memapasi datangnya sinar pukulan! Tidak hanya sampai disitu, tangannya yang secara tiba-tiba tampak dikobari api dihantamkan langsung ke punggung Dewi Bunga Mayat! Satu jeritan terdengar merobek langit.

“Suci…!” gadis berbaju kuning terpekik kala melihat tubuh Gadis berkebaya putih terhantam pukulan yang dilepasnya.

“Purnama…” desah suci kala mengenali Gadis yang berdiri didepannya sebelum tubuhnya ambruk ke bumi.

Gadis berbaju kuning yang ternyata adalah Purnama gadis dari Negeri Latanahsilam tersebut, cepat memburu kearah tubuh Suci yang tergeletak diatas tanah. “Suci Bertahanlah…!” ucap Purnama sembari memapah bangun tubuh Dewi Bunga Mayat tersebut.

“Ja… Jangan Lepaskan dia…!” Seru Suci lemah. Cairan berwarna hijau terlihat meleleh keluar dari bibirnya.

Sementara itu Pemuda yang akhirnya diketahui sebagai penjelmaan Ki Suro Bangil Kuncen Penjaga Kuburan Batuwungkur tersebut sudah melesat jauh. Sembari berlari kencang, sesekali sang Kuncen terdengar mengeluarkan sumpah serapah. Hatinya benar-benar jengkel karena tidak berhasil membawa Dewi Bunga Bangkai yang diam-diam selama ini dicintainya tersebut. Namun begitu dia tetap merasa bersyukur karena bisa terlepas dari Gadis berpakaian Kuning yang ternyata memiliki kehebatan diluar dugaannya!

“Ternyata kepandaian gadis alam roh yang satu itu juga amat tinggi! Benar-benar hebat! Suatu hari nanti aku juga harus bisa mendapatkannya! Sungguh akan menjadi suatu anugerah luar biasa jika aku bisa menikmati tubuh keduanya!” batin Sang Kuncen dalam kekotoran pikirannya. Sang Kuncen terus berlari dengan sebatnya namun tiba-tiba Sang Kuncen merasa tidak dapat menggerakan anggota tubuhnya sama sekali! Hingga akibat larinya yang terhenti seketika, tanpa ampun lagi tubuh sang kuncen langsung terjerembab mencium bumi!

“Bangsat Haram jadah! Siapa yang punya pekerjaan? Cepat lepaskan aku!” bentak Ki Kuncen Suro Bangil kala menyadari bahwa sekujur tubuhnya telah terbelit satu benang yang sangat tipis dan liat sekali! Sang Kuncen berusaha untuk melepaskan diri namun lilitan benang-benang tersebut malah melibat tubuhnya semakin erat!

“Ayo keluar kau Pengecut! Jangan hanya bisa membokong orang dari belakang…!” ucap Ki Kuncen Suro Bangil kembali masih dalam wujud Wiro Sableng.

”Kau dengar apa yang dikatakannya Panji? Dia memaki kita pengecut dan pembokong! Lucu sekali!” ucap satu suara perempuan tiba-tiba dalam kegelapan malam.

“Ya Anggini Lucu sekali! Padahal hanya pengecut yang sesungguhnya yang bisanya hanya bersembunyi menggunakan paras tubuh orang lain!” ucap satu suara pria menimpali.

“Kau benar! Dan jangan lupa dia juga sudah membokong seorang sahabat kita!” geram seorang wanita berbaju ungu yang berjalan pelan keluar dari kegelapan malam. Dibelakangnya seorang pemuda berompi putih bertubuh tegap dengan rambut tergerai berjalan pelan mengikuti.

“Siapa kalian? Berani-beraninya kalian mengikatku seperti ini apa kau tidak tahu siapa aku? Aku Pendekar Dua Satu Dua! Cepat lepaskan aku!” bentak Ki Kuncen Suro Bangil.

Ki Kuncen Suro Bangil pincingkan mata berusaha untuk mengenali kedua anak muda yang berdiri tegak di hadapannya. Setelah beberapa saat berpikir keras tiba-tiba satu tawa keras meledak diudara.

“Apa yang kau tertawakan Kuncen keparat” ujar dara berbaju ungu yang bukan lain adalah Anggini murid Dewa Tuak.

“Aku ingat sekarang! Kalian berdua pasti murid-murid Nyanyuk Amber dari Andalas! ha.ha.ha kalau aku jadi kalian, lebih baik aku mengkhawatirkan keadaan guru sendiri dari pada orang lain!” gelak Sang Kuncen masih dalam keadaan terikat.

Panji dan Anggini saling berpandangan. Keringat dingin terpercik di kening keduanya. “Keparat!! apa maksud perkataanmu? Jawab atau kupecahkan kepalamu sekarang juga!” bentak sang gadis sembari menginjak kepala Sang Kuncen!

Bukannya menjawab Sang Kuncen malah semakin tertawa terbahak-bahak membuat Sang dara semakin jengkel. Sementara itu sang Kuncen yang masih dalam keadaan terikat mendengar suara-suara aneh yang bersumber dari dasar bumi.

“Para penolong sudah tiba! Biarlah, aku ikuti saja permainan kedua bocah kecil ini…” batin Sang Kuncen sembari terus berlagak tertawa.

Saat kesabaran sang gadis hampir habis dan kakinya digerakkan untuk menginjak hancur kepala dibawahnya, satu tangan terasa memegang pundaknya.

“Sabarlah Anggini, jangan kau turuti hawa nafsumu… ada baiknya kita bawa manusia satu ini kembali ke Pekuburan Batuwungkur. Kita sebaiknya melihat keadaan Suci terlebih dahulu, Masalah guru jangan kau risaukan! Guru lebih dari sanggup menjaga dirinya sendiri...” Kata-kata Panji bagaikan air dingin yang menyiram hatinya yang terbakar kemarahan.

Sang gadis kemudian menggengam tangan yang memegang pundaknya. “Panji…” desah sang gadis saat satu tangan membelai lembut kepalanya. Sang gadis tersenyum atas apa yang dilakukan Panji. Sesaat kemudian keduanya berjalan kembali menuju pekuburan Batuwungkur sambil menyeret Ki Kuncen Suro Bangil yang masih terikat dalam lilitan Benang Kayangan. Sesampainya mereka di ereal Pekuburan tua tersebut dilihatnya Purnama sedang memeluk tubuh dewi Bunga Mayat.

“Anggini…” seru Purnama kala melihat gadis yang dikenalnya sebagai murid Dewa Tuak ini datang bersama seorang pemuda tampan yang sedang menyeret seorang yang dikenalnya sebagai orang yang tadi berusaha melarikan Suci!

“Kami datang sesuai permintaan mu beberapa purnama yang lalu…” ucap Anggini kepada Purnama. “Bagaimana keadaan Suci?” tanya sang gadis kembali sembari bersimpuh disebelah sang gadis.

Sementara itu Suci Perlahan membuka matanya kala mendengar suara murid Dewa tuak. “A... Anggini…” serunya lemah.

“Jangan dulu banyak bergerak Suci… kau masih lemah…” ujar anggini sembari menggengam tangan sahabatnya tersebut. Anggini kemudian memandang kearah Purnama. “Apakah dalam kitab seribu pengobatan ada cara untuk mengobatinya…?” tanya Anggini.

Purnama sejenak memejamkan mata memusatkan pikirannya. “Kitab Seribu Pengobatan halaman seratus lima puluh delapan, Pengobatan terhadap segala jenis makhluk alam Roh. Dikatakan jika seorang makhluk alam roh mendapat cedera dari kedua sisi tubuhnya yang berdasarkan pukulan berinti panas api, maka secepat-cepatnya sebelum tubuh makhluk malang tersebut tersentuh sinar matahari harus segera di rendam ke dasar samudera sementara kedua sisi tubuhnya yang terkena pukulan harus ditempelkan sebuah batu sakti yang terpendam selama ribuan tahun di dasar Samudera!” ucap Purnama sembari membuka matanya.

Anggini menatap tajam kearah Purnama. “Fajar akan segera menjelang! Kau harus segera membawanya ke Pantai terdekat!” ucap Sang Gadis yang dibalas anggukan oleh Purnama.

“Kalau kau harus kembali ke kerajaan laut utara maka perjalanan akan semakin jauh. Sebaiknya kau pergi ke kerajaan Laut selatan saja dan minta bantuan Ratu Duyung” sambung anggini.

“Aku juga berpikiran begitu…” ujar Purnama.

“Teman-teman… lebih baik kalian tinggalkan saja aku disini…” ucap lirih Suci sembari meneteskan airmata. Sebenarnya gadis ini bukannya tidak mau ditolong, namun dirinya sangat segan untuk bertemu dengan Ratu Duyung.

“Kami tidak akan meninggalkanmu…“ Ucap Purnama sembari membopong Sang Gadis. ”Aku tahu perasaanmu terhadap Ratu Duyung, namun percayalah, aku yakin sahabat kita itu pasti bisa mengerti pula apa yang kau rasakan…” bisik Purnama ditelinga Suci.

“Aku pergi sekarang Anggini… maafkan aku, nampaknya urusan kita harus ditunda dulu untuk beberapa waktu. Setelah aku kembali dari menolong Suci, kuharap kita bisa melanjutkan lagi pembahasan masalah yang kita hadapi bersama dengan para sahabat yang lain.” Ucap Purnama kepada Anggini. “Aku benar-benar minta maaf sudah memintamu datang jauh-jauh dari Andalas, namun kejadian yang terjadi sungguh diluar dugaan kita semua. Aku benar-benar minta maaf…” sambung Purnama Kembali.

Anggini sekilas tersenyum dan menepuk pundak Purnama. “Aku tidak menyalahkanmu, Purnama. Aku bisa mengerti keadaan yang terjadi. Aku akan menunggumu nanti untuk melanjutkan pembicaraan kita. Sekarang pergilah, jangan membuang waktu lebih lama lagi…” ucap Anggini.

“Baiklah Anggini, aku pergi sekarang. namun tolong kau urus Kuncen Keparat itu…” ujar Purnama Sembari melesat ke arah selatan.

Sementara itu Anggini dan Panji kini kembali berhadapan dengan Orang yang terikat oleh benang Kayangan. “Hai kuncen keparat! Sekali lagi aku tanyakan kepadamu apa yang kau ketahui tentang Guru kami dan mengapa kau menggunakan sosok sahabat kami Wiro Sableng!” Bentak Anggini keras, namun dirinya dan Panji terperanjat kala mendapati sosok orang yang ada dalam libatan benang kayangannya telah berubah menjadi sebuah Gedebong Pisang!

“Seorang berilmu tinggi tanpa kita sadari telah menolong Kuncen keparat itu!” seru Panji.

“Gila...! bagaimana dia bisa keluar dari jerat benang kayangan tanpa sepengetahuan kita!” sambung Anggini terheran-heran. Namun keheranannya kemudian terhenti kala mendengar gaung suara tanpa wujud dari kejauhan.

“Ha..ha..ha..! masih terlalu dini buat kalian untuk menangkap orang-orang Kerajaan Perut Bumi! Ketahuilah bahwa sahabatmu yang kupakai rupanya ini sudah mampus Delapan Ratus Tahun yang lalu di Mataram! Kini giliran kalian teman-temannya yang akan menyusul! Dan yang pertama kali akan mati adalah Gurumu! Nyanyuk Amber…!” Gaung tawa yang mereka kenali sebagai suara Ki Kuncen dari kejauhan.

Panji dan Anggini menjadi Pucat wajahnya. “Kita harus kembali ke Andalas! Guru dalam bahaya!” Ucap Murid Dewa Tuak yang dibalas anggukan oleh Panji. Sang pemuda kemudian menggandeng tangan Anggini lalu keduanyapun melesat dengan kecepatan luar biasa menuju utara.

* * *

TIGA

Datuk Rao Basaluang Pitu pandangi sosok-sosok tubuh hangus yang bergeletakan di sekeliling hutan jati. Sorot mata sang Datuk yang teduh terlihat memancarkan kesejukan. Setelah menghembuskan nafasnya sejenak, Sang Datuk kemudian terlihat mengambil sebuah saluang berwarna biru dari kantung kulit yang tergantung pada pinggangnya. Tidak terlalu lama kemudian suara saluang yang merdu terdengar mengalun terbawa angin.

Nenek Katai Ning Rakanini, Resi Kali Jagat Ampusena dan Arwah Ketua Penguasa Candi Miring beserta Lor Pengging Jumena yang kini berwujud seorang kakek bersorban kelabu berdecak kagum manakala melihat tubuh-tubuh yang bergeletakan hangus tersebut terlihat bergerak-gerak liar lalu perlahan mulai diam tenang. Namun bersamaan dengan diamnya tubuh sosok-sosok hangus tersebut terdengarlah suara seperti anak kucing mengeong!

Lalu dari tubuh masing-masing sosok yang hangus tersebut melesatlah sinar berwarna merah yang kemudian bersatu menjadi sosok lima ekor anak kucing berbulu merah! Setelah mengeong beberapa kali sosok kelima anak kucing berbulu merah itu melesat dengan cepat ke angkasa! Sementara itu lapisan arang hangus yang tadinya menutupi sekujur tubuh mereka, kini terlihat perlahan mulai berkelupasan dan berjatuhan ke tanah.

Tidak sampai sepeminuman teh kemudian sosok-sosok tubuh hangus tersebut akhirnya kembali ke wujudnya semula yakni sosok-sosok pemuda remaja. para pemuda remaja tersebut beberapa saat kemudian, sudah mulai banyak yang sadar dan saling pandang dalam keadaan bingung.

“Mengapa kita bisa berada disini…?” ucap beberapa diantaranya terheran-heran.

“Apa yang sebenarnya terjadi…?” sahut yang lainnya.

“Pulanglah kalian kedesa masing-masing! Jangan khawatir, sedikit demi sedikit kalian akan dapat mengingat kembali semua yang telah terjadi dan menimpa kalian. Tapi sebelum kalian pergi ingatlah pesanku ini, Carilah masing-masing sehelai bunga tanjung dan bawa kemanapun kalian pergi! Semoga dengan adanya bunga tersebut kejadian buruk tidak akan menimpa kalian lagi…” ucap Datuk Rao Basaluang Pitu lembut sembari menyimpan saluang birunya.

Para pemuda remaja yang kebanyakan masih bingung dan tidak mengerti apa yang terjadi tersebut, akhirnya cuma bisa mengangguk dan mulai berpencaran meninggalkan kawasan hutan jati menuju rumah mereka masing-masing.

Sang Datuk Kemudian Kembali menatap pada empat orang yang masih berlutut di hadapannya. “Kalian bangunlah, ada yang ingin ku sampaikan kepada kalian…” ucap Sang Datuk perlahan.

Nenek Ning Rakanini dan yang lainnya saling pandang sejenak, lalu kemudian mulai bangkit dari tempat masing-masing.

“Waktu Purnama Biru di langit Mataram hanya akan berlangsung sesaat lagi, namun waktu yang sesaat ini adalah waktu yang teramat kritis. Ada banyak yang harus dijelaskan dan ada banyak juga yang harus di sampaikan. Ayam jantan akan segera berkokok, sementara yang harus dikerjakan masih terlampau banyak. Hawa Kejahatan akan mencapai puncak di rembang pagi. Oleh karenanya aku harap kalian mendengar baik-baik apa yang akan kusampaikan kali ini.” Sehabis berucap Sang Datuk terlihat meraup ke tujuh macam saluang yang tergantung di pingangnya.

“Mendekatlah kepadaku dan saling berpegangan tangan satu dengan yang lain membentuk lingkaran hingga aku berada tepat ditengah-tengah.” ujar Sang Datuk.

Arwah Ketua dan yang lainnya cepat lakukan apa yang diperintahkan oleh Datuk Rao Basaluang Pitu. Setelah melihat apa yang diperintahkan olehnya telah dikerjakan, tiba-tiba Datuk Rao Basaluang Pitu melambungkan ke tujuh saluang yang berada digengamannya ke udara! Ketujuh saluang itupun tidak jatuh ketanah seperti yang semestinya melainkan berputaran diudara mengelilingi tubuh Datuk Rao Basaluang Pitu dan orang-orang yang berpegangan tangan mengelilingi Sang Datuk!

“Wahai tujuh Saluang Dewa yang selalu menemaniku, perkenankan aku dan para kerabat ini memasuki Ruang Tanpa Batas Tanpa Daya.” ucap Datuk Rao Basaluang Pitu dengan sebelah tangan bersidekap di dada sementara tangan satunya memeluk jabang bayi dalam guci. Tepat setelah Datuk Rao Basaluang Pitu selesai berucap.

Nenek Ning Rakanini beserta yang lainnya merasakan kedua kakinya perlahan namun pasti mulai terangkat dan tidak lagi menjejak tanah!

“Kita Melayang…!” Desis sang nenek sembari memandang kearah Resi Kali Jagat dan yang lainnya yang juga menyadari akan hal ini.

Sementara itu ke tujuh Saluang terlihat bergerak berputar mengelilingi lingkaran orang-orang yang berpegangan tangan tersebut. Masing-masing saluang berputar dengan arah yang berbeda-beda! Atas, bawah, ke kiri dan kekanan sehingga menimbulkan satu bentuk bola cahaya berwarna-warni yang sangat besar yang melingkupi tubuh Datuk Rao Basaluang Pitu serta yang lainnya!

Semakin lama putaran ke tujuh Saluang yang mengitari tubuh orang-orang dalam lingkaran semakin bertambah kencang, kemudian dari lubang-lubang yang terdapat pada ketujuh Saluang keluarlah suara-suara dengan nada yang beragam akibat saling bergesekan dengan udara yang berputar kencang. Namun anehnya suara yang keluar dari ke tujuh Saluang yang berputar kencang tersebut tidak berupa suara-suara yang tak beraturan melainkan merupakan satu gabungan alunan suara musik yang sempurna dan memikat!

Bersamaan dengan terbentuknya alunan musik yang merupakan satu kidung dari perpaduan ketujuh buah Saluang Dewa, Sang Datuk terlihat memalingkan wajahnya kearah Menjangan berbulu emas tunggangannya yang berada di luar lingkaran.

“Datuk Rao Pangeran Peto Alam, aku butuh bantuanmu…” ujar Datuk Rao Basaluang Pitu.

Sang menjangan terlihat menganggukan kepala seolah-olah mengerti apa yang dikatakan oleh sang majikan, kedua kaki depannya mengais-ngais tanah beberapa kali seolah menunggu perintah selanjutnya.

“Bawa kami ke kaki langit…!” ucap sang Datuk mengejutkan setiap orang yang berada dalam lingkaran, namun hal yang terjadi selanjutnya ternyata lebih mengejutkan keempat orang yang saling berpegangan tangan. Dengan mata kepala mereka sendiri mereka melihat bagaimana sosok menjangan tunggangan Datuk Rao Basaluang Pitu perlahan berubah bentuk menyerupai bentuk tubuh manusia!

Kedua kaki belakang Menjangan berbulu emas tersebut perlahan terangkat lalu tertekuk kedepan dan kemudian memanjang seukuran kaki manusia dewasa, demikian pula kedua tangan bagian depan berubah memanjang dan lebih berisi sebagaimana bentuk tangan manusia pada umumnya, hanya bagian telapak kaki dan tangan yang berbentuk ladam yang tidak berubah! Sementara itu bentuk kepala menjangan itu sendiri juga tidak berubah, masih sebagaimana mestinya.

Tiba-tiba diiringi suara geraman yang panjang yang keluar dari moncongnya, makluk berujud setengah manusia setengah menjangan yang dipanggil dengan sebutan Datuk Rao Pangeran Peto Alam tersebut langsung mengangkat bulatan lingkaran ketujuh Saluang yang menyelubungi tubuh semua orang-orang yang berada didalamnya!

Nenek Katai Ning Rakanini terpekik keras dengan sekujur tubuh bergetar hebat kala hanya dengan satu hentakan, Makhluk setengah menjangan setengah manusia tersebut melesat kencang ke angkasa sembari memikul bola lingkaran Saluang pada pundaknya!

* * *

EMPAT

Sementara itu didasar Jurang Langit Pendam atau yang lebih tepatnya terletak di dasar Kawah Gunung Salak, makhluk berujud Tengkorak hitam bertanduk yang dikenal sebagai Yang Mulia junjungan tertinggi Jenazah Simpanan menatap sosok Lamanyala dan serta Hantu Bara kaliatus yang saat itu berada dalam Papahan Lakasipo. Sesekali terlihat hembusan asap merah keluar dari kedua lubang hidungnya yang hanya berupa dua buah lubang geroakan tersebut.

Jelas makhluk berbentuk tengkorak hitam yang bukan lain adalah Lakarontang Si pengumpul Bangkai atau jenazah simpanan ini sedang menahan hawa amarah yang saat itu sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Tubuhnya yang hanya berupa jerangkong berwarna hitam terlihat memancarkan sinar redup yang perlahan-lahan menjadi semakin terang hingga akhirnya dibarengi suatu bentakan menggelegar cahaya terang tersebut berubah menjadi satu cahaya yang menyilaukan mata!

Lubang kawah didasar bumi tersebut bergetar dengan kerasnya! bersamaan dengan getaran yang melanda seisi kawah gunung salak, terdengar pula bunyi sesuatu yang jatuh ke dalam lahar.

Sementara itu tubuh-tubuh jenazah yang tergantung pada akar-akar pohon beringin raksasa hingga ke dasar bumi tersebut juga terlihat bergoyang mana kala satu getaran maha hebat menggoncang kawah gunung salak! saat getaran dan sinar yang amat menyilaukan mata tersebut mulai mereda maka nampaklah bagaimana sosok Lamanyala, Lakasipo dan hantu bara Kaliatus yang semula bersimpuh di salah satu cekungan yang tidak digenangi oleh lahar kini terlihat melesak sedalam setengah tombak pada dinding kawah.

Sementara itu perlahan-lahan dari dalam kawah yang mendidih mencuat sebentuk kepala jerangkong bertanduk, tetesan-tetesan lahar terlihat berjatuhan dari kepalanya yang plontos. Lakasipo, Lamanyala dan Hantu Bara Kaliatus yang tubuhnya terpantek pada dinding kawah memandang tak berkesip kearah sosok yang perlahan-lahan keluar dari dalam lahar.

“Selamat kepada Yang Mulia junjungan tertinggi Jenazah Simpanan, akhirnya yang mulia bisa terlepas dari Jerat Akar Beringin Sukma Dewa!” Kata Lamanyala seraya merangkapkan kedua tangan di depan dada.

Jenazah Simpanan atau yang lebih dikenal dengan nama Lakarontang palingkan wajahnya kearah Lamanyala, tubuhnya yang berupa jerangkong tampak masih mengepulkan asap tebal kala satu bentakan keluar dari mulutnya.

“Makhluk hina dina! Yang bisa kau kerjakan hanya menjilat pantat…!” bentak Lakarontak menggelegar. “Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau perbuat? Kau meninggalkan seratus Laskar Iblis yang sangat berharga yang dengan susah payah dikumpulkan oleh bawahanku dari seluruh pelosok Mataram! Dan sekarang kau coba menjilatku hanya karena aku bisa lepas dari akar-akar gombal seperti ini? Asal kau tahu saja, akulah yang menguasai seluruh bagian beringin dewa ini! Tidak seperti yang kau dan para dewa mantan atasanmu itu pikirkan selama ini!"

Wajah Lamanyala berubah hebat. “Hamba minta maaf yang sebesar-besarnya… hamba tidak tahu kalau perkataan hamba tidak menyenangkan hati yang mulia jenazah simpanan…” ucap lamanyala terbata-bata. “Mengenai perihal seratus laskar iblis yang terpaksa harus hamba tinggalkan, hamba benar-benar minta maaf. Hamba terpaksa harus memisahkan diri karena tiba-tiba muncul seorang berkepandaian amat tinggi yang mampu membuat seluruh formasi laskar iblis kacau balau dan hampir binasa sehingga hamba terpaksa harus melarikan diri… namun hamba tidak melarikan diri dengan membuta, hamba kemudian membantu Lakasipo dan Hantu Bara Kaliatus dari cecaran serangan Ksatria Panggilan.“ sahut Lamanyala dengan tangan tersusun rangkap diatas kepala.

“Panjang juga congormu membela diri wahai Lamanyala! Tidak heran para Dewa pernah menjadikanmu utusan mereka..!” balas Lakarontang membuat merah kulit tengkorak Lamanyala.

“Keparat…! Jika saja kau tidak menyekap jasadku, tidak akan aku mempermalukan diri menghamba pada makhluk terkutuk sepertimu...!” maki Lamanyala dalam hati.

Tiba­-tiba Jenazah Simpanan menggerakkan kepalanya kearah Lamanyala, lalu dari sepasang matanya keluar satu sinar panjang yang langsung melabrak tubuh Lamanyala yang masih terpantek di dinding kawah! Teriakan setinggi langit terdengar merobek perut bumi!

“Tolol kau Lamanyala! Kau pikir aku tidak dapat membaca isi pikiranmu? Selama tubuhmu berada dalam genggamanku, apapun yang kau pikirkan bahkan sukmamu pikirkan sekalipun takkan bisa kau sembunyikan dariku! Sekarang kau rasakan akibatnya!” bentak Lakarontang sembari menatap sosok Lamanyala yang menggeliat dalam kobaran api berwarna hitam!

Sementara itu di salah satu akar beringin, nampak satu tubuh yang ternyata adalah tubuh kasar dari Lamanyala juga dilamun kobaran api berwarna hitam. Setelah sekian lama, api yang membakar sosok dan tubuh kasar akhirnya padam dan hanya menyisakan seongngok abu berwarna hitam! Lakasipo dan Hantu Bara Kaliatus hanya bisa menenggak ludah kala menyaksikan apa yang terjadi pada Lamanyala.

“Aku kembali harus terpaksa mengorbankan koleksiku yang sangat berharga… namun dengan cara ini saja aku yakin bisa menjaga kesetiaan para bawahanku ini. Aku masih yakin Hantu Bara Kaliatus tidak berani macam-macam denganku, orang seperti dia tak ada bedanya dengan Resi Jingga Anthasena tapi aku tidak begitu yakin dengan Lakasipo. Sampai sejauh ini aku tidak bisa menjangkau sampai jauh kedalam pikirannya yang terdalam…” batin lakarontang sambil menatap tajam kearah Lakasipo.

“Lakasipo, apa kau berhasil mendapatkan apa yang kuperintahkan kepadamu?” ucap Lakarontang memecah lamunan Lakasipo dan Hantu bara kaliatus yang masih terhenyak karena kematian Lamanyala.

Lakasipo kemudian terlihat mencoba menggerakkan anggota tubuhnya yang terbenam dalam dinding kawah, dengan bantuan kedua kakinya yang diganduli dua bola batu dan ditambah dengan sepasang tangannya yang kekar akhirnya Lakasipo berhasil juga mengeluarkan tubuhnya dari cekungan dinding kawah.

Beberapa saat kemudian Laksipo yang juga dikenal sebagai Hantu Kaki Batu ini tampak merobek secarik kain bajunya ynag terbuat dari kulit kayu yang diberi jelaga. Sobekan kain tersebut kemudian terlihat diusapkan kearah salah satu bola batu dikakinya yang tampak terlihat bernoda kehitaman.

“Bagus…! Kau tidak terlalu mengecewakanku wahai Lakasipo...!” Seru Jenazah Simpanan kala melihat noda gelap pada sobekan kain di tangan Lakasipo. Sang Jenazah Simpanan kemudian terlihat menggerakkan tangan kanannya kearah kawah.

“Wahai Sinuhun Merah Penghisap Arwah…! Keluarlah, ada tugas terakhir yang harus kau jalankan…!“ Seru Jenazah Simpanan sembari menatap kearah Lahar yang menggelegak.

Sesaat setelah seruan Jenazah Simpanan berkumandang tampak lima larik cahaya merah melesat keluar dari dalam lahar. Bersamaan dengan itu terdengar suara anak kucing bergema didalam kawah. Cahaya merah tersebut perlahan turun dihadapan Jenazah Simpanan dan berubah menjadi sosok seorang kakek berambut dan berjanggut merah dengan keadaan tubuh tidak beraturan. Kepalanya yang mengenakan blangkon dengan hiasan berbentuk bintang yang terbuat dari logam tampak terpisah dari keempat bagian tubuh lainnya.

“Hamba menghadap Junjungan Tertinggi Yang Mulia Jenazah Simpanan…” ucap sinuhun Merah Penghisap Arwah.

Jenazah Simpanan pandangi sejenak tubuh tak beraturan dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah. “Aku ingin mengajukan satu pertanyaan padamu wahai Sinuhun…” ujar Jenazah Simpanan sembari mempermainkan kedua tangannya yang berbentuk jerangkong.

“Seberapa dalamkah keinginanmu untuk menghabisi orang yang telah membuat tubuhmu menjadi hancur sedemikian rupa...?” sambung Jenazah Simpanan.

Wajah Sinuhun Merah tampak berubah dan bergetar hebat mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Jenazah Simpanan. “Yang Mulia! Yang mulia sendiri tentunya dapat menyaksikan sendiri bagaimana sekarang keadaan tubuh hamba sekarang, keadaan tubuh hamba yang seperti ini semua adalah perbuatan si keparat Ksatria Panggilan yang didatangkan oleh Raja Mataram Itu. Pemuda itu jugalah yang telah menghancurkan semua rencana yang hamba jalankan. Jadi pastinya Yang Mulia tentu mengerti betapa dalamnya dendam hamba terhadap pemuda itu…” ucap Sinuhun Merah berapi-api.

Jenazah Simpanan pandangi kembali sosok Sinuhun Merah lalu kemudian tawanya meledak! “Ha..ha..ha. kau lucu sekali Wahai Sinuhun Merah Penghisap Arwah…! Bukankah apa yang kau terima sekarang bukan lain buah dari ketololanmu sendiri?” gelak makhluk tengkorak bernama jenazah Simpanan ini yang dibalas dengan tatapan penuh tanda tanya oleh sinuhun Merah Penghisap Arwah. “Kau tahu mengapa kau kubilang lucu dan tolol?” tanya Jenazah Simpanan masih dalam keadaan tergelak. “Kau lucu karena kau terlalu serakah…! Kau tidak mau bersabar menunggu kebangkitanku untuk menuntut sedikit ilmuku yang berharga… kau tolol karna dalam pikiranmu yang bebal itu mulai ragu kalau seandainya si penguasa kerajaan Atap Langit lebih hebat dari aku hingga kau pun mencecar ekor memohon ilmu dengan memberikan segala macam sesajen gombal..! Kau telah berlaku lancang mengkhianatiku Sinuhun…!” ucap Jenazah Simpanan setelah tawanya mereda.

Semenatara itu mendengar apa yang dikatakan oleh Jenazah Simpanan, Wajah Sinuhun Merah Penghisap Arwah tampak berubah hebat. tanpa sadar dirinya menatap onggokan abu hitam yang tergeletak di tanah. melihat hal ini Jenazah Simpanan kembali ganda tertawa.

“Jangan khawatir Sinuhun, aku tidak akan memperlakukanmu sepeti apa yang ku perbuat terhadap Lamanyala, aku masih membutuhkan kemampuanmu walaupun jujur saja, aku sudah tidak lagi membutuhkan Jenazahmu yang sudah porak poranda itu…” ucap Jenazah Simpanan sembari menunjuk kearah salah satu akar beringin tampak membelit kutungan tubuh Sinuhun Merah Penghisap Arwah!

Sinuhun Merah Penghisap Arwah sejenak pandangi kutungan tubuhnya yang tergantung diakar beringin sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Hamba mengerti yang mulia, semua memang karena ketololan dan keserakahan hamba semata. Hamba siap untuk menerima perintah maupun hukuman yang dijatuhkan pada diri hamba…” ujar Sinuhun Merah Penghisap Arwah Pelan. Sinuhun yang biasanya meledak-ledak dan tidak pernah mau menunjukan sikap takluk kepada orang lain kini tampak pasrah dan menghiba di kaki Makhluk yang disebut sebagai Junjungan Tertinggi Yang Mulia Jenazah Simpanan. Dari sini saja sudah bisa dilihat betapa berkuasanya makhluk yang bernama asli Lakarontang ini. Jenazah simpanan kemudian terlihat melambaikan kedua tangannya kearah Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan Kepada Lakasipo.

“Mendekatlah kalian berdua kemari…” serunya kepada kedua orang bawahannya tersebut.

Setelah Lakasipo dan Sinuhun Merah Penghisap Arwah mendekat kearah sosok Jenazah Simpanan yang mengambang diatas lahar, tampak Sang Jenazah Simpanan mendongkkan kepalanya menatap langit-langit goa kawah. Pandangannya tampak tertuju pada onggokan batu karang runcing yang menggantung disalah satu langit-langit goa. Adalah satu keajaiban alam dimana pada langit-langit goa yang bertanahkan lahar yang panas menggelegak bisa tergantung onggokan batu karang yang mengeluarkan hawa sejuk dingin.

Tampak tetesan-tetesan air jatuh meluncur dari ujung batu-batu karang yang runcing tersebut. Bunyi mendesis kerap terdengar saat air yang menetes jatuh menyentuh lahar panas dibawahnya. Jenazah Simpanan kemudian menggerakkan telunjuk kanannya kearah salah satu Batu karang runcing. Tampak satu sinar berwarna kehitaman meluncur deras dari jari Jenazah Simpanan langsung memapas putus salah satu karang runcing yang berwarna kebiruan. Karang runcing berukuran sejengkal itu langsung meluncur deras kebawah dan disambut oleh Jenazah Simpanan dengan menggunakan tangan kirinya.

“Kalian Berdua, dan kau juga Hantu Bara Kaliatus, harap dengarkan baik-baik perkataanku. Ilmu yang dimiliki oleh pemuda yang dipanggil dengan sebutan Ksatria Panggilan tersebut telah mencapai tingkat yang amat tinggi. Kemampuan yang dimilikinya kini telah melampaui paparan tingkatan Sukma atau batin yang tertinggi. Menurut terawang gaibku, ilmu pemuda itu sebenarnya telah memasuki paparan tingkatan ilmu Inti Roh yang dimana mampu membuatnya mengeluarkan ilmu-ilmu yang tidak disadarinya telah hampir menyamai kekuatan ilmu paparan tingkatan Dewa atau paparan Langit. Hal inilah yang membuat setiap usaha untuk membunuh pemuda itu bisa dikatakan hampir-hampir mustahil” ucap Jenazah Simpanan.

“Jika memang setinggi itu tingkatan ilmu pemuda keparat itu, lalu apa sudah tidak ada cara lain lagi yang bisa dilakukan untuk membunuhnya…?” seru Sinuhun Merah Penghisap Arwah gusar.

“Hampir mustahil bukan berarti tidak mungkin! Camkan itu baik-baik! Dan sekali lagi kau memotong ucapanku akan kubuat nasibmu jadi jauh lebih buruk dari pada nasib Lamanyala…!” bentak Jenazah Simpanan membuat Sinuhun Merah Penghisap Arwah terdiam.

“Kita hanya bisa membunuh Pemuda Keparat itu dengan bantuan Racun, namun racun biasa tidak akan berhasil melawan orang-orang dengan paparan ilmu tingkatan Inti Roh, kita mungkin bisa melumpuhkan tubuhnya namun tidak dengan rohnya! Rohnya akan dapat berpindah untuk kemudian menggunakan ilmu-ilmu yang dimiliki untuk menuntut balas! satu-satunya cara adalah menggunakan Racun Hidup atau Warangan Nyawa! Racun yang terbuat dari roh makhluk hidup ditambah darah Sang korban…!” ucap Jenasah Simpanan sembari menatap bergantian kearah Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan sobekan kain ditangan Lakasipo dengan penuh arti.

* * *

LIMA

Kesunyian yang mencekam terasa begitu kental merambat di dalam ruang tengah Keraton. Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala tampak duduk ditengah ruangan dengan kepala tertunduk sementara kakek Kumara Gandamayana tampak terlihat terpekur diam disebelahnya. Sementara itu Wiro pandangi sosok Dewi Kaki Tunggal yang terbujur kaku diatas sebuah dipan kecil berukir yang diletakan ditengah ruangan. Kepala sang pendekar tampak tertunduk kuyu sementara sepasang matanya tampak terlihat berkaca-kaca.

“Maafkan aku Sakuntaladewi… akulah yang seharusnya harus melindungimu… aku benar-benar merasa bersalah padamu… seharusnya akulah yang terbujur diatas dipan ini dan bukannya dirimu… hanya karena melindungiku kau harus sampai kehilangan jiwamu… aku benar-benar berdosa padamu…” desis Sang Pendekar dalam kesedihannya.

“Sudahlah Wiro, semua yang terjadi mungkin memang kehendak Sang Hyang Jagatnatha… manusia seperti kita tidak mungkin bisa merubah takdir yang telah tersurat oleh para dewa di khayangan…” ujar satu suara yang bukan lain adalah suara Ratu Randang memecah kesunyian.

“Wiro, hidup dan mati adalah sudah kehendak yang diatas… walaupun kematian memisahkan seseorang bukan berarti kita harus terus tenggelam dalam kesedihan… banyak hal yang harus kita urus dan masih banyak lagi masalah yang harus kita selesaikan… misalnya membalaskan kematian Sakuntaladewi… dan menyelediki sebenarnya apa yang telah terjadi…” ucap Kunti ambiri yang berdiri di samping Wiro sembari mengelus pundak Sang Pendekar pelan.

Perkataan Dewi Ular tersebut bagaikan air dingin yang menyiram kepala Sang Pendekar, kepalanya yang tertunduk lesu mulai terangkat keatas. matanya yang berkaca-kaca kini tampak bersinar.

“Kau benar Dewi, kematian Sakuntaladewi harus bisa terbalaskan! Disamping itu memang masih begitu banyak yang harus kita lakukan dan kita selidiki.” ujar Sang pendekar dengan kening berkerut. Di dalam benaknya terus berputar sosok Laksipo, Hantu Bara Kaliatus dan Lamanyala yang tidak habis dipikirkannya bisa berada di Bhumi Mataram.

Sementara itu Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala perlahan memalingkan wajahnya kearah Kakek Kumara Gandamayana yang berdiri di sampingnya. “Bagaimana menurut embah buyut? Apakah peristiwa malam ini akan kembali terulang dalam waktu dekat?”

Kakek Kumara Gandamayana terlihat mengerutkan kening nya tampak berpikir keras. “Benar-benar sulit di terka yang Mulia, memang seharusnya dengan turunnya bulan biru di mataram semua kejahatan seharusnya sudah sirna dari Bhumi Mataram. Namun yang terjadi sungguh diluar dugaan…” ujar Sang kakek seraya mengelus janggutnya.

“Embah buyut, jika kita memperhatikan kembali pada serangan terakhir, nampaknya para penyerang dan Ksatria Panggilan sepertinya sudah saling mengenal sebelumnya… apakah ada baiknya jika kita menanyakan masalah ini supaya lebih jelas?”

Kakek Kumara Gandamayana tempak mengaggukan kepala. “Kurasa hal itu harus ditanyakan Yang Mulia… mungkin dari situ kita bisa mendapatkan petunjuk yang berharga guna keselamatan Kerajaan Mataram selanjutnya.” ucap sang Kakek yang dibalas dengan anggukan oleh Sri Maharaja Mataram. Baru saja sang kakek hendak bertanya tiba-tiba dari alun-alun luar istana terdengar suara Tambur dan seruling bertalu-talu.

“Si tambur Bopeng dan Si suling burik…” desis semua orang di dalam istana.

Sementara Wiro yang juga mendengar dan memandang ke luar istana dengan cepat bergerak menuju pelataran istana diikuti semua orang. Begitu sampai di pelataran istana tubuh sang Pendekar tiba-tiba menggigil keras! Kedua lututnya tiba-tiba berguncang lemah dan akhirnya bertekuk ditanah. Air mata nampak deras menetes diwajahnya kala melihat dua sosok bercahaya yang melayang di Belakang sosok gendut pendek Si Tambur bopeng dan Si suling Burik.

“Dewi… Ni Gatri…” desis Sang Pendekar lirih.

Orang-orang yang berdiri di pelataran istana pun tampak diam membisu dengan air mata berlelehan kala melihat Wiro bertekuk lutut menangis di hadapan arwah Sakuntaladewi dan Ni gatri, sementara itu tampak si tambur bopeng, si suling burik dan sepasang kakek-nenek yang dikenal sebagai sepasang Arwah bisu berdiri diam membatu. Hati sang pendekar saat itu benar-benar terluka karena kepedihan. Sang Pendekar beranggapan dirinya tak mampu menjaga orang-orang yang dikasihinya hingga menyebabkan Ni Gatri dan Sakuntaladewi meninggal. Sementara itu tampak sosok Ni Gatri melayang dan memeluk bahu Wiro.

“Kakak… Jangan Menangis… Ni Gatri tidak menyalahkan kakak… Ni Gatri sayang kakak…” ujar gadis cilik tersebut seraya membelai rambut gondrong Sang Pendekar.

Wiro hapus air mata yang menetes di pipinya. Sang pendekar pun balas memeluk tubuh bercahaya Ni Gatri. “Maafkan kakak… adikku… kakak tidak sanggup menjagamu hingga kau jadi seperti ini…” desis sang pendekar.

“Jangan salahkan diri kakak… semua sudah takdir yang harus kakak lewati…” ujar Sang gadis lembut.

Sesaat kemudian Wiro merasakan satu tangan lembut membelai pipinya yang basah…” Wiro…” desis satu suara membuat wiro menengadahkan kepalanya.

“Dewi… maafkan aku… aku…” ucap wiro terbata.

Sakuntaladewi tampak tersenyum. “Aku tak menyalahkanmu Wiro… justru aku berterima kasih karena kau telah menyempurnakan diriku seperti ini… aku sungguh bersyukur walau sesaat aku sempat memilikimu…” ujar Sakuntaladewi dengan mata berkaca-kaca. “Kami ingin pamit wiro… kakek dan nenek akan membawa jenazahku… aku berharap kau bisa menjaga dirimu baik-baik…” ucap Sakuntaladewi sembari mengecup kening sang pendekar.

“Dewi…” ucap sang pendekar lirih.

“Kakak…! Ni gatri pergi… kakak harus jaga diri baik-baik… Ni Gatri akan selalu sayang kakak…” ucap gadis cilik dalam pelukan Wiro seraya melepaskan pelukannya.

Perlahan-lahan arwah Sakuntaladewi dan Ni gatri tampak berpendar dan melayang surut kebelakang. Wiro pun perlahan-lahan bangkit berdiri, disusutnya air mata di pipinya. Sesaat kemudian suara tambur dan suling kembali terdengar bertalu. Si tambur bopeng dan Si suling burik tampak mulai bergerak meninggalkan pelataran istana sementara di saat wiro menatap Kakek sepasang arwah bisu nampak tubuh jenazah Sakuntaladewi entah bagaimana caranya telah berada dalam pondongan sang kakek.

“Selamat tinggal suamiku…” suara Sakuntaladewi terdengar bergaung di telinga Wiro saat akhirnya bayangan Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik bersama Sepasang Arwah Bisu dan dua makhluk alam roh lainnya yaitu Sakuntaladewi dan Ni gatri hilang dari pandangan.

Kesunyian kemudian menyelimuti seluruh istana mataram. Namun belum lagi semua orang beranjak dari tempatnya, tiba-tiba satu getaran keras ditambah tiupan angin laksana topan menderu di atas Bhumi Mataram! Satu suara bentakan laksana guntur terdengar membahana di angkasa.

“Wahai kalian orang-orang raja mataram dan kau Ksatria Panggilan! bersiaplah untuk Mampus…!"

* * *

ENAM

Makhluk berujud setengah manusia setengah menjangan yang dipanggil dengan sebutan Datuk Rao Pangeran Peto Alam terus melesat menembus angkasa gelap, tepat pada satu titik diangkasa, kecepatan lesatan makhluk tunggangan Datuk Rao basaluang Pitu ini mulai berkurang hingga akhirnya berhenti sama sekali. Binatang ini kemudian terdengar melenguh pelan sebelum akhirnya tegak mematung di angkasa sembari memikul bola lingkaran bercahaya yang terbentuk dari putaran kencang ketujuh Saluang dewa!

Sementara itu didalam Lingkaran Saluang Nenek Katai Ning Rakanini beserta yang lainnya memandang takjub didalam lingkaran. Bagaimana tidak! Jika diluar lingkaran hanya ada langit gelap, namun di dalam lingkaran mereka semua melihat satu ruangan luas yang berwarna biru dengan sapuan awan putih berarak. Ruangan itu begitu luas namun yang tampak hanyalah dinding biru tak bertepi dengan hiasan awan disekelilingnya. Sementara ketujuh Saluang Dewa yang bergerak berputaran tidak terlihat lagi.

“Inilah ruang yang disebut dengan Ruang Tanpa Batas Tanpa Daya. Dalam ruangan ini waktu dan masa akan berputar teramat pelan hingga kita akan memiliki banyak waktu untuk bercakap-cakap…” ucap Datuk Rao Basaluang Pitu pelan. “Namun aku berharap kalian tetap berpegangan tangan mengelilingi diriku dan jangan sekali melepaskan pegangan tangan, aku tidak berharap salah seorang dari kalian terjatuh dan terperangkap selamanya di ruangan ini” sambung Datuk Rao Basaluang membuat semua yang mendengarkannya mengeluarkan keringat dingin.

“Ruangan ini merupakan salah satu ruang terbawah dari tujuh lapis tingkat lantai langit yang disebut Kaki Langit terbawah. Aku sengaja membawa kalian kemari karena beberapa sebab, namun sebelum aku mengutarakan sebab yang kumaksud aku ingin menceritakan satu kisah terlebih dahulu kepada kalian. Namun sebelumnya aku ingin tahu jika ada salah seorang dari kalian yang ingin mengajukan pertanyaan.” ucap Datuk Rao kembali sembari menatap orang-orang yang berpegangan tangan satu persatu.

“Datuk Rao, aku ingin mengajukan satu pertanyaan terlebih dahulu jika Datuk mengijinkan…” ucap kakek bersorban kelabu yang dikenal dengan sebutan Lor Pengging Jumena.

Datuk Rao Basaluang Pitu kemudian mempersilahkan Lor Pengging Jumena untuk mengajukan pertanyaan.

“Datuk, tadi datuk katakan bahwa dalam ruangan ini waktu dan masa akan berputar sangat pelan, apa maksudnya itu Datuk? Dan apakah ada perbedaan jika kita bicara atau berucap di ruangan atau tempat biasa?”

Dauk Rao Basaluang Pitu tersenyum mendengar pertanyaan Lor Pengging Jumena. “Aku sebenarnya ingin berbincang dengan kalian di tempat biasa, namun waktu yang terbatas tidak mengijinkan. Ketahuilah dalam waktu yang tidak berapa lama lagi sebelum rembulan biru tenggelam di Bhumi Mataram akan terjadi satu peristiwa besar yang mengancam keberadaan umat manusia di Bhumi mataram. Sementara aku yang bertugas untuk menyampaikan semua hal yang terjadi, tidak punya banyak waktu lagi untuk menceritakan semua hal tersebut sehingga terpaksa aku harus membawa kalian ketempat ini. Ketempat dimana waktu dan masa yang berputar teramat pelan, aku berharap dengan membawa kalian kemari aku masih mempunyai kesempatan melindungi Mataram melalui tangan kalian berempat.” tutup Datuk Rao Basaluang Pitu.

“Baiklah karena kita terburu waktu aku ingin kalian menyimak apa yang akan aku ceritakan baik-baik.” ucap Datuk Rao Basaluang Pitu seraya memperhatikan orang-orang disekelilingnya. Pada jaman dahulu kala saat negeri seribu pulau masih belum begitu dikenal. Terdapat empat buah negeri besar yang berdiri kala itu. Negeri yang pertama adalah negeri Latanah Silam yang kemudian akhirnya dikenal sebagai Tanah Jawa, Bali, dan Madura. Negeri yang kedua adalah Negeri Latanah tinggi yang kemudian dikenal sebagai kepulauan Andalas, kemudian ada Negeri Latanah Sesat yang kemudian dikenal sebagai Negeri Seribu Sungai serta yang terakhir adalah Negeri Latanah laut yang kemudian dikenal sebagai tanah Minahasa dan tanah Mankassar. Kisah ini berawal di Negeri Latanah silam dimana dimulai dari dua orang sakti yang menjadi utusan dewa…” ucap Datuk Rao Basaluang Pitu.

Sementara itu orang-orang yang saling berpegangan tangan tampak terkejut manakala pemandangan disekeliling mereka tampak berubah-ubah silih berganti. Di satu saat tampak dua orang pria berpakaian kain kasar terbuat dari kayu bersujud di pandang tandus sementara langit diatas mereka tampak bercahaya menyilaukan.

“Kedua orang itu adalah Lasantun dan Latumpangan dua orang sahabat yang merupakan sepasang utusan dewa, mereka berdua merupakan orang kepercayaan dewa yang mendapat tugas untuk menyimpan dua jimat pusaka dewa. Dua jimat tersebut adalah Jimat Hati Dewa yang dipercayakan kepada Latumpangan dan Jimat Hati Iblis yang kemudian di percayakan kepada Lasantun. Kedua orang tersebut kemudian akhirnya berpisah ketempat mereka masing-masing, namun diperjalanan Jimat Hati Dewa kemudian dirampas dan dimakan oleh seorang yang bernama Lasedayu, sementara Latumpangan sendiri kemudian dibunuh oleh Lasedayu.

"Perlu diketahui jimat Hati Dewa maupun Hati Iblis merupakan sepasang jimat yang mampu memberikan keabadian bagi mereka yang menggunakannya secara benar. Karena kejadian tersebut maka akhirnya Lasantun memutuskan untuk memohon satu ilmu bernama Jasad Hidup Tanpa Bentuk Tanpa Wujud kepada Dewa di Istana Langit dan Dewa pun mengabulkan permohonan Lasantun. Setelah mendapatkan ilmu Jasad hidup Tanpa Bentuk Tanpa Wujud Lasantun kemudian menyimpan Jimat Hati Iblis ke dalam raganya di satu tempat yang tersembunyi guna menghindari kejadian serupa yang menimpa kerabatnya Latumpangan.

"Lasantun sendiri kemudian mengembara keseluruh Negeri memakai nama Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Wujud.” ucap Datuk Rao Basaluang Pitu sementara pemandangan kini berubah dalam satu goa dalam air dimana satu sosok kakek berselempang kain putih tampak duduk di dalam goa. pakaian dan rambut sang kakek terlihat menjulai dipermainkan air sementara tubuh sang kakek tampak memancarkan cahaya kelabu.

“Dalam pengembaraannya Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Wujud kemudian menerima dua orang murid yakni Lakarontang dan Lanawi. Sang Datuk tak menyadari kelicikan dan kebusukan hati Lakarontang. Entah dengan cara apa akhirnya Lakarontang mengetahui perihal Jimat Hati Iblis yang disimpan sang guru termasuk letak persembunyian Jasad Sang Guru. Setelah mengetahui dan menemukan Jasad Sang Guru dengan begitu teganya Lakarontang kemudian membobol isi perut Sang Guru dan langsung memakan Jimat Hati Iblis yang semula bersemayam dalam tubuh Sang Guru” Lanjut Sang Datuk.

Sementara itu pemandangan kini terlihat bagaimana seorang pria yang tampak menyelam dalam goa bawah air merobek perut kakek berselempang kain putih guna mengeluarkan suatu benda bulat bercahaya hitam yang langsung dimakannya tanpa peduli darah yang bertetesan dari benda yang bukan lain jimat Hati Iblis tersebut. Datuk Rao Basaluang Pitu kemudian melanjutkan ceritanya.

“Setelah berhasil memakan Jimat Hati iblis Lakarontang kemudian benar-benar berubah menjadi iblis dalam arti yang sebenarnya! Lakarontang kemudian memiliki satu ketertarikan yang sangat mengerikan yakni kesukaannya mengumpulkan bangkai terutama bangkai-bangkai orang kuat dan ternama serta memperbudak roh mereka. Maka terjadilah kegegeran besar di seluruh penjuru negeri! Banyak kuburan dibongkar dan jasadnya dikumpulkan. Tidak sampai disitu, Lakarontang juga membunuh semua orang yang ditemui diseluruh negeri di Latanah silam, Latanah Tinggi, Latanah Sesat bahakan Sampai di Latanah Laut!

"Hanya beberapa orang gadis yang pernah diperkosanya saja yang tidak dibunuh olehnya. Rupanya Lakarontang mempunyai pantangan untuk membunuh orang yang habis diperkosanya.”

Sementara itu pemandangan kemudian beralih dimana terjadi pembantaian besar-besaran oleh satu manusia yang tak berperasaan. Darah terlihat membasahi seluruh tanah diantara jeritan yang melengking dimana-mana! Ning Rakanini yang melihat kejadian tersebut bahkan meringkik ngeri dan tanpa sadar menggenggam lebih kuat tangan Lor Pengging Jumena dan Arwah Ketua.

“He..he..he.. itu remes takut apa remes kepengin…?” goda Arwah Ketua yang hampir saja membuat Nenek Ning Rakanini melepaskan genggaman tangannya.

“Kakek Ceriwis…!” dengus Sang Nenek sambil mendelikkan sebelah matanya yang juling dan dibalas kekehan Arwah Ketua. Sementara itu Datuk Rao Basaluang Pitu kembali melanjutkan ceritanya.

"Tidak sampai disitu, kala ketiga pemimpin negeri yang tersisa menggunakan ilmu pamungkas mereka yang terakhir Lakarontang dengan tidak tahu malunya menggunakan jasad gurunya Datuk Tanpa bentuk Tanpa Wujud”

(Untuk lebih jelas silahkan baca episode sebelumnya: Si Pengumpul Bangkai)

Pemandangan kini berganti pada satu bukit yang dipenuhi bangkai dimana tampak tiga sosok berbentuk ulat raksasa, ribuan parang batu dan sesosok makhluk berujud hantu batu melabrak satu sosok kakek berselempang kain putih sementara dibelakangnya tampak satu sosok jerangkong hitam bertanduk terkekeh diatas udara! Datuk Rao Basaluang Pitu kemudian kembali melanjutkan ceritanya.

“Adapun saat benturan terjadi Lakarontang senang bukan main sehingga lengah dan tanpa menyadari saat satu tangan milik Hantu Labatu Rengkah menembus tubuh sang kakek malang dan dengan telak menghantam tubuh jerangkong Lakarontang dengan satu pukulan terakhir pasangan ilmu pamungkas Hantu Batu melepas Nyawa yaitu Penjara Batu Pengunci Raga. Pukulan Penjara Batu Pengunci Raga yang dilepaskan oleh Hantu Labatu Rengkah bersamaan dengan lepasnya Nyawa Sang Hantu Batu kemudian dengan menakjubkannya mengubah tubuh Lakarontang dan seluruh Lembah kecil termasuk bangkai-bangkai yang tergeletak diatasnya menjadi satu gundukan batu raksasa!

"Setelah pertarungan menegangkan tersebut yang tersisa kemudian hanyalah Lanawi dan Gurunya Datuk tanpa Bentuk Tanpa wujud. Lanawi bersama Datuk Tanpa Bentuk Tanpa wujud kemudian menyegel Hutan Lasesat Buntu sehingga tidak bisa dimasuki. Namun tak disangka beberapa ratus tahun kemudian terjadi peristiwa ledakan besar yang terjadi di satu tempat di Latanah Silam yang disebut dengan Istana Kebahagiaan.

(Untuk lebih jelas silahkan sobat membaca episode Wiro Sableng di Latanah Silam dalam episode: Istana Kebahagiaan)

"Ledakan besar yang menyebabkan beberapa tokoh Latanahsilam terpesat ke tanah jawa di masa depan ini energinya sedemikian besarnya hingga mampu membebaskan Kungkungan ilmu Penjara Batu Pengunci Raga yang mengunci tubuh Lakarontang dan bangkai-bangkainya menjadi batu! Maka dimulailah era kejahatan Lakarontang babak ke dua! Tak ada satupun kekuatan yang mampu menghalangi kekuatan Lakarontang apalagi para tokoh dari Tanah jawa sudah pergi meninggalkan Negeri Latanahsilam.

"Lakarontang semakin merajalela dengan kelakuannya bahkan dengan pongahnya Lakarontang kemudian berhasil membumi hanguskan Negeri Para Peri! Adapun keturunan Lanawi dan pemimpin-pemimpin negeri termasuk didalamnya Datuk tanpa Bentuk Tanpa wujud tak kuasa melawan kekuatan Lakarontang yang sedemikian perkasanya. Hal ini kemudian membuat marah para Dewa di Negeri Atas Langit enam orang Dewa yakni Dewa Tanah, Dewa Awan, Dewa Api, Dewa Batu, Dewa Kabut, dan Dewa Angin kemudian diutus oleh Simpul Dewa tertinggi yakni Dewa agung Penyangga Langit dan Bumi untuk membinasakan Lakarontang.

"Namun hal ini tidaklah mudah mengingat Lakarontang telah memakan Jimat Hati Iblis yang membuat dirinya nyaris abadi ditambah meditasi menghirup Asap Arwah Lembayung membuat tingkat kepandaiannya setingkat bahkan hampir melebihi tingkatan para Dewa yang diutus untuk menangkapnya! Dan kemudian terjadilah peristiwa yang tak disangka-sangka! Keenam orang Dewa yang diutus untuk meringkus lakarontang ternyata membelot dan bersama Lakarontang bersiap menyerbu Kerajaan Langit!

"Hal ini membuat murka Para Dewa termasuk simpul agung para Dewa yakni Dewa Penyangga Langit dan Bumi. Para dewa dan dewi yang masih setia kepada simpul Agung kemudian turun kebumi dan dibantu para manusia disetiap negeri bersatu Padu berperang melawan Lakarontang dan keenam Dewa yang memberontak! Maka terjadilah satu perang besar yang kemudian dikernal sebagai Perang Arwah! Keenam Dewa kemudian berhasil diringkus dan dijebloskan ke dalam penjara bernama Pelataran Arwah.”

Ucap Datuk Rao Basaluang Pitu sembari memandang kearah meraka yang bergandengan tangan yang menatap takjub peristiwa-peristiwa yang dikatakan oleh sang datuk yang nampak secara bergantian dihadapan mereka.

TUJUH

Resi Kali Jagat Ampusena untuk pertama kalinya berucap dihadapan Datuk Rao Basaluang Pitu. “Jika para Dewa yang memberontak kemudian dijebloskan dalam penjara yang disebut dengan Pelataran Arwah, lalu Bagaimana dengan nasib Lakarontang? Dan apa hubungan makhluk-makhluk berapi yang menyerang kami dengan Bayi Dalam guci beserta Datuk Sendiri?"

Datuk Rao Basaluang Pitu tersenyum menampakkan deretan giginya yang putih bersih. “Setelah para Dewa yang memberontak ditangkap, Lakarontang sendiri kemudian di tanam dibawah satu akar pohon beringin Dewa beserta semua jenazah yang dikumpulkannya kedasar Jurang Langit Pendam di Dasar gunung Salak. Karena tidak mungkin untuk membunuh Lakarontang. Maka Lakarontang dibuat tak berdaya dan dikunci kepandaiannya sampai delapan ratus tahun mendatang. Untuk mencegah bangkitnya Lakarontang maka pohon Beringin Dewa tempat dikurungnya Lakarontang di jaga oleh delapan Formasi delapan Batu Penjaga Sukma. Namun baru-baru ini terjadi hal yang diluar dugaan. Adinda Mimba Purana salah seorang anak terkasih Para dewa tanpa sadar telah membebaskan Lakarontang.” ucap Sang Datuk Pelan.

Sementara itu Ning rakanini dan teman-temannya melihat satu pemandangan di pinggir jurang dimana satu sinar berwarna keemasan menyambar pohon beringin Raksasa yang dilamun api berwarna Hitam. (untuk peristiwa ini silahkan baca Serial Wiro Sableng episode: Jenazah Simpanan)

"Serangan yang dilakukan Mimba Purana yang sebenarnya bertujuan melindungi sang Adik Yakni Dirga Purana ternyata membuat formasi delapan Batu Penjaga Sukma porak poranda dan inilah yang membuat Lakarontang mampu lepas dari Jerat Beringin Sukma Dewa yang mengkungkungnya. Lakarontang memang bisa berkeliaran bebas namun karena kepandaiannya terkunci maka dia hanya punya waktu yang sangat terbatas yakni sepanjang Bulan Biru dimataram bernaung, setelah Bulan biru berakhir maka secara otomatis Lakarontang akan kembali terkungkung dalam jerat akar beringin Dewa dan Formasi Delapan Batu Penjaga sukma yang dibuat oleh Para Dewa. Lakarontang akan bangkit sepenuhnya dengan segala Kekuatannya pada bulan biru berikutnya tepat delapan Ratus Tahun Mendatang.” tutup Datuk Rao Basaluang Pitu mengakhiri ceritanya.

Lor Pengging Jumena tampak termenung merenungi cerita yang disampaikan oleh Datuk Rao Basaluang Pitu.

“Aku mulai agak mengerti tentang apa yang terjadi, aku bisa menduga bahwa gerombolan Makhluk berapi yang menyerang kami sebelumnya pasti adalah gerombolan makhluk Piaraan si Lakarontang. bukan begitut Datuk...?” ucap arwah Ketua.

Lor Pengging jumena dan yang lainnya tampak menganggukan kepala tampak menganggukan kepalanya.

“Kau benar sekali wahai Arwah Ketua! makhluk­-makhluk berapi tersebut memang utusan dari Lakarontang untuk mengambil Bayi ini…” ujar Datuk Rao Basaluang Pitu sembari mengelus Bayi dalam guci Dekapannya.

“Maafkan kami Datuk, kalau boleh kami mengetahui siapakah sesungguhnya Datuk dan juga Bayi yang berada dalam guci itu sesungguhnya?“ Tanya Lor Pengging jumena seraya membungkukkan badan.

Pertanyaan embah buyut Kumara gandamayana ini membuat sang datuk tertawa. “Sebenarnya aku bukanlah siapa­-siapa. Aku hanyalah salah seorang cicit buyut Lanawi, Kepala Negeri Latanah tinggi yang kini berganti menjadi kepulauan Andalas. Dalam risalah Perang Arwah, Lanawi Dan Keturunannya memang mendapat tugas dari para Dewa untuk mengawasi keberadaan Lakarontang. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari hubungan Lanawi sendiri dengan Lakarontang yakni saudara seperguruan…” ucap Datuk Rao Basaluang Pitu namun terputus oleh pertanyaan Nenek ning Rakanini.

“Lalu bagaimana dengan nasib guru Lanawi dan Lakarontang yakni datuk Tanpa Bentuk Tanpa Wujud...?”

Datuk Rao basaluang pitu kembali menatap nenek katai ning Rakanini. “Sesungguhnya saat ini Sang Datuk Tanpa bentuk Tanpa Wujud sedang bersama dengan kita…” ucap sang datuk membuat Lor Pengging Jumena dan kawan-kawannya saling berpandangan.

“Karena merasa bersalah atas tindakan yang dilakukan oleh Muridnya, Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Wujud kemudian meminta para Dewa untuk menjatuhkan hukuman kepadanya. Para dewa kemudian mengubah Datuk Tanpa Bentuk tanpa wujud menjadi tujuh buah Saluang Dewa yang saat ini berputaran disekitar kita...” ujar Datuk rao Basaluang Pitu.

“Lalu kembali pada bayi itu, mengapa Lakarontang begitu bernafsu untuk merampas bayi tersebut…? Dan peristiwa besar apa gerangan yang akan menimpa Bhumi mataram datuk?” kali ini resi Kalijagat ampusena yang mengajukan pertanyaan.

“Seperti diketahui para Dewa hanya mampu mengekang Lakarontang hingga delapan ratus tahun mendatang, karena itu para dewa kemudian memutuskan untuk memilih satu dari sekian banyak anak manusia yang terlahir di bumi ini untuk dipersiapkan menghadapi kebangkitan Lakarontang dimasa yang akan datang dan anak inilah yang akhirnya dipilih oleh para dewa. Lakarontang mengetahui rencana ini sehingga berniat menghabisi nyawa anak ini selekasnya.

"Mengenai peristiwa besar yang akan terjadi sesungguhnya tidak lepas dari kebencian Lakarontang terhadap pemerintah yang ada di muka bumi. Seperti diketahui akibat ulahnya sendiri para penguasa di bumi bersatu padu melawannya hingga akhirnya dia pernah terperangkap dalam wujud batu di lembah bangkai. Hal inilah yang membuat Lakarontang membenci semua pihak penguasa.”

Baru saja Datuk Rao Basaluang Pitu berucap tiba-tiba terdengar bunyi lonceng dikejauhan. “Para penjemput sudah Datang…” ujar Sang Datuk Lirih membuat orang-orang yang saling bergenggaman tangan saling berpandangan

“Para Penjemput…?” ujar Ning Rakanini dengan kening berkerut.

“Lihat diatas sana…!” seru Arwah Ketua tiba­-tiba membuat semua orang memandang keatas dengan takjub!

Diatas sana terlihat langit biru dengan awan berarak tiba-tiba terbelah lalu terlihat cahaya putih dengan baris kekuningan dipinggirnya menyorot turun bersamaan dengan turunnya seorang wanita berbaju kuning dengan selendang yng menjela-jela dipermainkan angin. Wajah Sang wanita begitu cantik dan mengeluarkan cahaya lembut, rambutnya terurai sementara dikeningnya terlihat sepucuk bunga tanjung.

Wanita ini turun dari langit tidak sendiri melainkan bersama sorang bocah berbaju hitam merah yang mengenakan anting di telinga kirinya. Melihat kehadiran sang wanita dan sang bocah berbaju hitam, Datuk Rao Basaluang pitu tampak berlutut dan tentunya langsung diikuti Resi Kalijagat ampusena dan yang lainnya.

“Salam kepada Dewi Langit Bunga Tanjung dan adinda terkasih Mimba purana…” salam Datuk Rao Basaluang Pitu.

“Salammu kami terima Datuk, kami datang kemari untuk menjemput bayi yang akan digembleng di pelataran langit…” ujar Dewi Langit bunga tanjung dengan suara seperti bulu perindu. “Kau tentunya tahu peraturan di atas Negeri Langit, barang siapa yang hendak memasuki Negeri Langit harus mendapat nama tambahan yang harus dipakainya… sudahkah kau memberi nama tambahan itu Datuk…?” sambung Dewi Langit Bunga Tanjung sembari menatap kearah Datuk Rao Basaluang pitu yang sedang berlutut.

“Mohon beribu ampun Dewi, saya belum berani memberikan nama karena takut melangkahi wewenang… kalau Dewi sudi kiranya memberikan nama tambahan, hati hamba tentunya akan merasa berbahagia…” ujar Datuk Rao Basaluang Pitu.

“Coba kau berikan bayi itu Datuk…” ujar Sang Dewi lembut.

Sang datuk kemudian mengangkat kedua tangan yang memegang bayi dalam guci, bayi dalam guci itupun perlahan mengambang dan melayang keatas hingga sampai dalam dekapan Mimba Purana.

“Bagaimana menurutmu adinda Mimba…?” tanya Sang Dewi seraya memalingkan wajah pada bocah disebelahnya yang sedang menimang bayi dalam guci.

“Paman Datuk, bolehkan aku mengetahui nama anak ini…?” tanya sang bocah kepada Datuk Rao Basaluang Pitu.

“Anak itu terlahir dengan Nama Bintang Langit…” jawab Sang Datuk.

Sang bocah kemudian terlihat menimang bocah dalam dekapannya dengan pandangan berbinar lalu memalingkan wajah kearah wanita disebelahnya. “Kakak Dewi, bolehkah aku yang memberikan nama bagi bayi ini…? Aku benar­-benar menyukainya…!” ujar sang bocah penuh harap.

Sang Dewi pun tersenyum dan menganggukan kepalanya. “Kau boleh memberi nama bayi itu Adinda Mimba, memang tampaknya bayi itu berjodoh denganmu…”

Sang bocah terlihat sangat senang. “Terima kasih kakak Dewi…! Adik kecil, karena namamu adalah Bintang Langit maka aku akan menambahkan satu nama tambahan yang bagus untukmu, untuk selanjutnya kau tidak akan hanya dipanggil orang dengan nama Bintang Langit saja, tapi orang-orang akan memanggilmu dengan nama Bintang Langit Saptuning Jagat!” seru Mimba Purana kencang dibarengi suara guruh yang menggelegar!

Dan untuk pertama kalinya bayi dalam guci terdengar mengeluarkan suara tangisan!

S E L E S A I

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.