Serikat Setan Merah

Sonny Ogawa

SERIKAT SETAN MERAH

SATU

Pendekar 212 Wiro Sableng duduk seperti dihenyakkan di bangku panjang itu. Perutnya kenyang sekali dan kantuknya mendadak saja muncul tak tertahankan. Matanya terasa berat dan sebentar-sebentar dia menguap lebar.

“Aneh, kenapa aku jadi mengantuk seperti ini. Dan sekujur tubuhku terasa letih…” membatin sang pendekar, lalu dia garuk-garuk kepalanya.

Seharusnya dia sudah membayar makan dan minuman yang disantapnya sejak tadi, tetapi entah mengapa dia masih saja duduk di rumah makan besar itu. Setiap saat matanya menatap pada cangkir tanah berisi minuman. Semakin dipandangnya minuman itu semakin besar hasratnya untuk mereguk. Dan buktinya dia sudah menghabiskan tiga cangkir besar.

“Minuman apa ini. Harum, manis. Tuak aneh… Jangan-jangan minuman ini yang membuat mataku mengatuk…”

Diangkatnya cangkir tanah itu lalu didekatkannya ke hidungnya. Ketika dia mencium minuman itu dalam-dalam memang terasa seperti ada hawa aneh yang ikut masuk ke dalam hidungnya dan terus menjalar ke tenggorokan. Bersamaan dengan itu kedua matanya menjadi tambah berat. Tapi saat itu pula hasratnya untuk meneguk tuak itu tidak tertahankan.

"Glukkk-Glukkk-Glukkk...!"

Beberapa kali teguk saja minuman itu amblas ke dalam perutnya. Baru saja cengkir tanah diletakkannya di atas meja dari samping terdengar pelayan menegur.

“Tuaknya tambah den…?”

Wiro berpaling. Pelayan perempuan ini! Tadi waktu masuk tampangnya jelek, tapi kini mengapa kelihatan begitu cantik menawan? “Ini pasti pengaruh tuak keparat itu…!” ujar Wiro dalam hati. “Pasti pemilik kedai menaruh sesuatu dalam minuman ini. Bangsat…!”

Wiro memaki dalam hati. Dia memandang lagi pada pelayan disampingnya yang siap mengisi cangkir tanah dengan tuak baru. Tangan kanan sang pendekar bergerak hendak memegang tangan si pelayan. Namun murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini masih dapat menguasai diri. Dia menggeleng seraya berkata,

“Cukup. Perutku sudah kenyang dan rasa hausku sudah lepas… Sebentar lagi aku akan pergi…”

“Ah mengapa begitu buru-buru, den? Kelihatannya raden ini keletihan dan mengantuk. Jika ingin istirahat, di belakang ada kamar untuk berbaring-baring…”

“Hem… begitu?” ujar Wiro. Dalam hatinya dia mulai menduga-duga jangan-jangan rumah makan besar ini di sebelah belakangnya merangkap rumah bordil alias tempat pelacuran!

“Bagaimana, raden hendak istirahat dulu? Saya punya banyak teman yang cantik-cantik yang pandai memijat raden hingga segar bugar kembali…” berkata pelayan di samping Wiro.

“Tak meleset dugaanku…” kata Wiro dalam hati. Kembali dia menggeleng.

“Sudah, kau layani saja tamu-tamu yang lain…” Kata Wiro pula.

Ketika pelayan berlalu Wiro memandang ke kanan. Di ujung bangku panjang di sampingnya duduk seorang lelaki separuh baya berbelangkon dan berpakaian bagus. Orang ini duduk dengan satu tangan menopang dagunya. Kedua matanya setengah terpejam, kepala dan tubunya tergontai-gontai. Jelas dia juga tengah dilanda kantuk setelah makan kenyang dan minum banyak.

Pelayan yang tadi menawarkan tuak pada Wiro melangkah mendekati orang ini lalu menepuk-nepuk bahunya dengan keras hingga dia tergagap dan tersentak bangun.

“Bapak… Kalau kau sudah kenyang dan puas minum sebaiknya segera membayar dan pergi saja! Masih banyak tamu lain yang butuh tempat duduk di sini!” kata si pelayan dengan kasar.

Ditegur begitu itu orang tersebut tampak seperti sadar diri dan buru-buru mengeluarkan koceknya lalu menyerahkan sejumlah uang. Si pelayan mengambil uang itu dengan kasar. Lalu dengan muka cemberut dia berkata, “Uang sejumlah ini mana cukup membayar semua makanan dan minuman yang kau habiskan! Ayo bayar lebih banyak…”

Sang tamu seperti mau membantah. Tapi mukanya yang kuyu dan keadaanya yang mengantuk itu membuat dia seperti tak berdaya menampik. Dan ketika si pelayan enak saja menarik kocek uang itu dari tangannya, dia seperti pasrah saja. Lalu berdiri dari bangku dan dengan langkah terhuyung-huyung berjalan ke pintu diikuti pandangan galak dan tampang cemberut si pelayan. Bahkan terdengar suara memaki,

“Tamu tolol! Makan sebakul minum segentong, mau membayar seupil!” lalu pelayan itu membalikkan tubuh menuju ke sudut rumah makan di mana duduk seorang lelaki berpakaian serba hitam, berbadan gemuk dengn muka selalu berminyak tapi garang.

Kepada lelaki ini si pelayan menyerahkan kocek uang. Yang menerima tertawa lebar dan menepuk-nepuk bahu si pelayan. Lalu tampak dia memandang ke pintu dan cepat-cepat berdiri ketika melihat ada seorang tamu masuk. Sebelum meninggalkan tempatnya si baju hitam ini masih sempat berbisik pada pelayan tadi.

“Dengar, untuk tamu yang satu ini jangan kau berikan tuak yang dibubuhi obat itu. Dan jangan kau berani meminta bayaran!”

Si pelayan mengangguk tanda mengerti. Orang berpakaian hitam cepat melangkah ke pintu menyambut tamunya. Wiro berpaling mengikuti langkah si gemuk. Ahai! Ternyata tamu yang disambut oleh lelaki pemilik rumah makan itu adalah seorang dara cantik jelita berkulit putih mengenakan pakaian tingkas berwarna merah. Kepalanya diikat dengan sehelai sapu tangan kecil berwarna merah pula.

“Sungguh satu kehormatan besar dara ayu berkenan singgah dan bersantap di rumah makan saya yang buruk ini. Silahkan… silahkan masuk…”

Pemilik rumah makan itu menjura dalam-dalam. Sang dara tampak seperti kikuk menerima sambutan itu. Dua orang tamu yang duduk di sebuah meja tengah menunggu pesanan mereka tiba-tiba saja dibentak oleh pemilik kedai.

“Sampean berdua silahkan duduk di pojok sana! Ada tamu penting yang akan duduk di sini!”

“Tapi… kami sudah dulu duduk di sini. Dan sudah pesan!” sahut salah seorang tamu dengan nada marah.

“Manusia tidak tahu diri!” hardik pemilik rumah makan. “Aku tidak butuh uangmu! Kalau tidak suka silahkan keluar!” lalu pemilik kedai tangkap pinggang tamunya itu, mengangkatnya dan melemparkannya kesudut ruangan dimana terletak sebuah bangku panjang.

Melihat gelagat yang tidak baik ini orang yang satu cepat-cepat berdiri, menghampiri kawannya yang tersandar ke dinding rumah makan lalu menarik tangannya. Keduanya keluar dari tempat itu sambil menggerutu.

Dengan sehelai serbet besar pemilik kedai bersihkan meja dan kursi lalu dia berpaling pada dara berpakaian merah yang masih tertegak di ambang pintu, menjura dan berkata, “Silahkan duduk di sini rara ayu… Mari. Hidangan lezat dan minuman nikmat segera saya suruh siapkan . Silahkan duduk..”

Walaupun disambut dengan penghormatan yang membuatnya kikuk itu, tapi sang dara tampak sangat tenang. Tanpa ada perubahan pada wajahnya apalagi tersenyum, dia melangkah dan duduk di kursi yang disediakan. Pemilik rumah makan kembali menjura lalu cepat-cepat masuk ke dalam.

Wiro garuk-garuk kepalanya. Adanya 'bunga' jelita dalam rumah makan itu membuat kantuknya tiba-tiba saja lenyap. Dan dalam hati pemuda ini bertanya-tanya siapa gerangan adanya dara cantik berpakaian merah itu. Puteri seorang petinggi Kerajaan atau puteri seorang Pangeran atau anak gadis seorang hartawan? Tapi mengapa seorang diri dan caranya mengenakan pakaian ringkas seperti itu hanyalah kebiasaan orang-orang persilatan.

“Pssst…” Wiro keluarkan suara mendesis untuk menarik perhatian sang dara. Tapi si baju merah menoleh pun tidak. Wiro menyengir seraya garuk-garuk kepala. Ketika dia memandang berkeliling pemuda ini jadi keheranan karena saat itu dilihatnya satu demi satu para tamu yag ada di tempat itu meninggalkan rumah makan. Yang masih setengah makan bahkan cepat-cepat mencuci tangan lalu pergi.

Selagi berpikir-pikir apa yang sebenarnya terjadi di tempat itu Wiro melihat pelayan perempuan keluar dari ruangan dalam bersama seorang kawannya. Mereka masing-masing membawa sebuah nampan besar berisi penuh makanan dan minuman. Di belakang kedua pelayan ini berjalan si gemuk pemilik rumah makan.

“Luar biasa! Makanan yang dihidangkan begitua banyak, serba lezat dan cepat. Siapa sebenarnya gadis baju merah ini. Kalau dia salah serang kawan yang dikatakn pelayan itu sebagai gadis-gadis yang pandai memijat, hemmmm… Menyesal aku kalau tidak sempat berkenalan dengannya!”

Begitu Wiro berpikir-pikir dalam hati. Wiro memperhatikan makanan yang dihidangkan di atas meja dengan penuh hormat lalu pemilik rumah makan membungkuk-bungkuk mempersilahkan tamunya mulai bersantap.

Tanpa menoleh, tanpa perubahan pada wajahnya dara berbaju merah segera saja menyantap hidangan dimulai dengan meneguk minuman sementara pemilik rumah makan pergi duduk di sudut ruangan dan dua pelayan tegak tak jauh dari tempat itu, menunggu kalau-kalau ada yang harus dilakukan...

Wiro batuk-batuk beberapa kali. Si gemuk berpaling. Saat itulah pemilik kedai ini menyadari kalau di situ masih ada duduk seorang tamu. Serta merta dia berdiri menghampiri Wiro.

“Tamu tak tahu diri. Lekas minggat dari tempat ini. Tapi bayar dulu makanan dan minumanmu!”

Tentu saja Wiro terheran-heran diperlakukan seperti itu. “Ada keanehan terjadi di tempat ini sejak si jelita itu muncul! Siapa sih dia?!” ujar Wiro masih tetap duduk di bangku panjang malah kini kaki kanannya dinaikkan seenaknya.

Melihat hal ini pemilik rumah makan jadi marah sekali. “Bayar dan pergi!” teriaknya seraya mendorong bahu Wiro. Pendekar kita tidak melawan, karena itu waktu di dorong tubuhnya langsung jatuh terduduk di lantai rumah makan.

Berpura-pura bodoh Wiro bengkit berdiri sambil tepuk-tepuk pantat celananya. “Kalau sampeyan suruh pergi ya aku pergi,” kata Wiro pula. “Tapi aku tidak mau bayar!”

“Patah lehermu berani tak membayar!” mengancam pemilik rumah makan sambil mengulurkan kedua tangannya bersikap hendak mencekik.

Tenang dan enak saja Wiro menjawab. “Kawan yang duduk di sampingku tadi sudah membayari makanan dan minumanku. Bukankah pelayanmu itu telah merampok seluruh isi koceknya tadi?!” Lalu dia kembali duduk di bangku.

Paras si gemuk itu tampak berubah. Rahangnya menggembung dan gerahamnya terdengar bergemeletakan. “Kowe memang minta mampus!” kertaknya. Tangan kananya yang membentuk tinju langsung diayunkan ke kepala Wiro.

Tentu saja Pendekar 212 tidak mau kepalanya dijadikan bulan-bulanan jotosan lawan. Tubuhnya yang duduk dipertengahan bangku panjang tiba-tiba meluncur ke ujung kiri. Keseimbangan pada bangku lenyap dan bangku panjang itu sempat mencuat ke atas, tepat pada saat tinju pemilik rumah makan sampai.

"Bukkk...!" Tinju itu menghantam kayu bangku.

Langsung si gemuk terpekik. Tangan kanannya bengkak merah, tulang jari kelingkingnya bahkan patah! “Pemuda haram jadah!” teriak pemilik rumah makan. Kaki kanannya menendang, namun saat itu Wiro Sableng sudah melompat ke pintu dan lenyap!

Sambil mengerenyit menahan sakit pemilik kedai mendatangi dara berbaju merah, membungkuk berulang kali lalu berkata, “Mohon maaf kalau santap siangmu terganggu oleh pemuda kurang ajar tadi…”

Sesaat gadis itu melirik ke arah tangan kanan lelaki gemuk di hadapannya. Lalu tanpa berkata apa-apa dia meneruskan makan. Selesai makan dia mengeluarkan sejumlah uang dan meletakkannya di atas meja. Melihat hal ini si pemilik rumah makan cepat mendatangi. Seraya membungkuk dia berkata.

“Rara, aku Kecak Ronggo yang rendah mana berani menerima pembayaran darimu. Simpan kembali uang itu rara. Segala perlindungan yang diberikan padaku sudah cukup membuat aku berhutang budi seumur hidup. Ambil kembali uang itu rara. Saya tidak berani menerimanya…”

Gadis berbaju merah mengangkat kepalanya sedikit menatap tampang Kecak Ronggo, lalu tanpa berkata apa-apa dia berdiri dari kursinya, membalikkan tubuh dan bergegas menuju ke pintu. Sampai di luar dia langsung naik ke atas punggung seekor kuda putih.

“Ah, celaka aku! Celaka aku!” ujar Kecak Ronggo berulang kali. Uang di atas meja diambilnya lalu dia lari ke pintu sambil berteriak-teriak. “Rara, jangan! Ambil uang ini kembali…”

Tapi sampai di pintu gadis berbaju merah itu sudah memacu kudanya menuju ujung jalan. Kecak Ronggo masih terus berteriak-teriak memanggil sambil acungkan tangan kirinya yang memegang uang. Namun sang dara lenyap di kejauahn. Ketika pemilik rumah makan itu hanya bisa berdiri bengong tiba-tiba dari samping berkelebat satu tangan dan tahu-tahu uang yang ada dalam genggamannya lenyap. Ketika dia berpaling ke kiri dia mendengar satu suara siulan, di lain saat dilihatnya pemuda berambut gondrong tadi tahu-tahu sudah berada di atas kuda coklat.

“Berani kau mengambil uang itu! Pemuda rampok! Kau tak tahu siapa gadis berbaju merah itu! Orang-orangnya pasti akan mencincangmu sampai lumat!”

Dari atas punggung kuda Pendekar 212 menyeringai seraya timang-timang uang yang dirampasnya dari Kecak Ronggo. Kudanya di putar dengan cepat. Binatang itu sudah melompat dan lari jauh ketika Kecak Ronggo coba mengejar.

DUA

Kuda putih yang ditumpangi dara berpakaian merah itu larinya sebat sekali. Bagaimanapun Wiro menggebrak kuda coklatnya tetap saja dia tidak mampu mengejar. Ketika memasuki daerah berbukit -bukit yang di kiri kanannya diapit oleh rimba belantara tak begitu lebat, murid Sinto Gendeng itu mulai mencari akal. Di satu daerah ketinggian dia dapat melihat bahwa jalan yang ditempuh sang dara akan menikung di sebuah penurunan maka dia harus memotong dengan membelok ke kanan memasuki hutan.

Ketika Wiro mencapai tikungan di penurunan itu dan menunggu, dia menjadi heran karena orang yang ditunggunya tak kunjung muncul. Padahal dia sudah memperhitungkan masak-masak kalau kudanya pasti sampai lebih dulu di tempat itu karena tadi dia menempuh jalan memotong yang lebih dekat jadi lebih cepat. Pendekar kita jadi garuk-garuk kepala. Melihat kenyataan ini semakin besar hasratnya untuk mengetahui siapa adanya dara berbaju merah itu.

Wiro memutuskan menunggu lagi sampai beberapa saat. Ketika yang ditunggu tetap tak kunjung muncul denan penasaran pendekar ini akhirnya menepuk pinggul kuda coklat dan meneruskan perjalanan. Belum seratus langkah menunggangi kudanya, tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik. Wiro berpaling ke kanan, ke arah bagian bukit yang agak gundul. Di atas sebuah batu besar yang rata tampak seekor kuda putih dengan kepala mendongak ke langit dan meringkik beberapa kali.

“Itu kudanya! Tapi di mana orangnya…?” ujar Wiro. Dia memandang berkeliling, tetap saja tidak melihat sang dara berpakaian merah. “Dia pasti bersembunyi di satu tempat dan saat ini pasti memperhatikan gerak gerikku!” pikir Wiro pula.

Maka sambil bersiul-siul kecil dia mendaki bukit menuju batu besar tempat kuda putih berada. Sampai di situ kuda putih itu kembali meringkik. Wiro melompat turun dari kudanya, menghampiri kuda puih dan mengelus-elus bulu tebal di leher binatang ini.

“Tenang sobatku. Tenang. Tak ada apa-apa di tempat ini. Mana tuanmu yang cantik jelita itu…” kata Wiro seraya memandang berkeliling mencari-cari.

“Ah, disitu dia rupanya…!” Pendekar 212 Wiro Sableng akhirnya menemukan juga si gadis.

Saat itu si baju merah ini tengah membasuh kedua tangan dan mukanya di sebuah mata air jernih yang membentuk kolam kecil dengan dasar batu batuan hitam. Tidak menunggu lebih lama lagi Wiro segera menuju ke mata air itu. Pendekar kita membuka pembicaraan dengan suatu pujian.

“Saudari, kuda putihmu itu hebat sekali. Larinya kencang luar biasa!”

Yang ditegur diam saja, berpaling pun tidak. Terus saja sang gadis membasuh mukanya dengan air yang jernih dan sejuk itu. Murid Eyang Sinto Gendeng garuk-garuk kepala.

“Jangan-jangan gadis ini tuli dan bisu.” Pikirnya. “Waktu di rumah makan tadi, tak sepotong katapun keluar dari mulutnya...” memikir begitu Wiro ikut berjongkok di tepi mata air dan membasuh kedua tangan serta mukanya pula, seperti yang dilakukan si gadis.

Karena sampai sekian lama gadis itu tidak mengacuhkan kehadirannya di sana, Wiro lalu keluarkan uang logam milik si gadis yang diambilnya dari Kecak Ronggo si pemilik rumah makan. Uang logam itu diletakkannya di atas sebuah batu dekat kaki si baju merah. Sang dara hanya melirik sesaat lalu meneruskan mencuci mukanya.

Kemudian perlahan-lahan dia berdiri sambil mengeringkan wajahnya dengan sehelai sapu tangan. Wiro ambil kembali uang yang diletakkannya di atas batu, menimang-nimangnya beberapa kali lalu mendehem.

“Saudari, itu uang milikmu yang dikembalikan oleh pemilik rumah makan. Mengapa kau tak mau mengambilnya…?” bertanya Wiro.

Si gadis tidak menjawab malah melangkah menuju ke kudnya. Wiro jadi geleng-geleng kepala. Kalau orang memang tidak suka diajak bicara, apalagi berkenalan diapun tak akan memaksa. Semula uang di atas batu hendak diambilnya. Tapi karena jengkel dibiarkannya saja. Sambil melangkah menuju ke kudanya sendiri dia berkata setengah menggerendang.

“Sayang dan kasihan. Cantik-cantik begitu ternyata tuli dan bisu…!” Baru saja Wiro berkata demikian tiba-tiba terdengar suara bentakan dari samping.

“Siapa yang tuli! Siapa yang bisu?!”

“Eh!” Wiro tergagap kaget. Dia berpaling. Yang membentak adalah gadis berbaju merah itu. “Astaga!”

“Astaga apa?!” kembali si gadis menghardik dengan mata mmbeliak.

“Jadi…?”

“Jadi apa?!”

“Ternyata kau tidak tuli. Juga tidak bisu! Maafkan diriku yang menyangka keliru. Habis sejak kulihat pertama kali di rumah makan itu, tidak sepotong suarapun keluar dari mulutmu…!”

“Katakan mengapa kau mengejar dan mengikutiku?!” sang dara bertanya. Kedua matanya tidak berkedip.

“Aku tidak bermaksud buruk,” sahut Wiro pula.

“Mana mungkin!” tukas si gadis. “Kenalpun tidak, lalu mengikuti diriku. Mengejar dengan mengambil jalan memotong! Kau mau membegalku?!”

Wiro tertawa lebar dan garuk-garuk kepala. “Jangan menduga seperti itu. aku hanya ingin tahu dirimu sebenarnya. Waktu di rumah makan kulihat pemilik rumah makan menyambutmu secara istimewa. Para tamu ketakutan dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Yang tak mau pergi dilempar oleh Kecak Ronggo. Lalu kulihat hidangan luar biasa diberikan padamu. Dan waktu kau mau bayar, pemilik kedai menolaknya dengan ketakutan. Jika kau bukan seorang luar biasa pasti tidak demikian perlakuan orang. Nah itu saja yang ingin kuketahui…”

“Siapa percaya pada keteranganmu. Ada dua macam orang jahat di dunia ini…” berkata si gadis.

“Maksudmu?” tanya Wiro.

“Yang pertama, mereka yang memperlihatkan kejahatannya secara terus terang. Langsug. Misal bangsa maling dan rampok. Yang kedua yang berkedok pura-pura jadi orang baik. Kau kurasa temasuk orang yang kedua!”

Wiro menggeleng. “Dugaanmu meleset. Aku buka orang jahat. Juga bukan orang baik. Saudari, kulihat kau tidak begitu suka terhadapku. Lebih baik aku pergi saja. Maafkan kalau aku telah mengganggu diri dan waktumu…"

Si gadis melirik pada uang logam yang tadi diletakkan Wiro di atas batu. “Sebelum pergi harap kau ambil uang di atas batu itu. Paling tidak penambah bekalmu dalam perjalanan…”

Dari nada ucapan sang dara Wiro maklum kalau kata-kata itu bukan menunjukkan rasa kebaikan, tapi bermaksud menghinanya. Maka diapun menjawab. “Terima kasih. Aku tidak butuh uangmu. Berikan saja pada pengemis. Mereka lebih membutuhkan dariku…”

Habis berkata begitu Wiro lantas melangkah pergi. Baru saja dia hendak naik ke atas punggung kudanya, dari lereng bukit sebelah kiri tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Wiro berpaling. Dia melihat empat lelaki penunggang kuda mendatangi tempat dia dan si gadis berada dengan cepat.

Sesaat kemudian keempat orang ini sudah berada di depan gadis itu. keempatnya mengenakan pakaian serba merah, membekal pedang dan golok. Mereka memandang dengan curiga ke arah Wiro lalu berpaling pada si gadis dan serentak menjura memberi penghormatan.

“Tidak disangka bertemu dengan kawan segolongan di tempat ini. Apakah saudari berada di sekitar sini dalam rangka persiapan pertemuan besar di puncak Bukit Batu Merah…?"

Gadis yang ditanya diam saja kemudian mengangkat bahu dan tak beranjak dari tempatnya berdiri. Sebaliknya saat itu Wiro yang tadi hendak naik ke kudanya kini melangkah ke dekat mata air, lalu duduk di atas batu di mana masih terletak uang logam milik gadis berpakaian merah itu.

Karena yang ditanya tak menjawab, tentu saja keempat orang itu merasa tidak enak. Yang berkumis dan berjanggut pendek berpaling ke arah Wiro. Saat itu Pendekar 212 tampak duduk di atas batu sambil cengar-cengir dan menimang-nimang uang logam di tangan kanannya.

“Saudari, apakah pemuda berotak miring itu mengganggumu?” si kumis bertanya.

Dara berbaju merah melirik ke arah Wiro. Lalu tiba-tiba saja dia menjawab. “Betul! Dia sejak tadi menggangguku! Bahkan mengikuti perjalananku! Pemuda kurang ajar! Sinting tak tahu diri!”

“Eh…!” Wiro melengak kaget mendengar kata-kata si gadis.

Sebaliknya si kumis berbaju merah terdengar berkata. “Kawan, tak usah kawatir. Biar aku memberi pelajaran sopan santun pada pemuda geblek itu. kau inginkan dia hanya disiksa atau langsung dibikin mati?!”

Mendengar kata-kata itu sang dara jelas tampak agak kaget. Tapi sesaat kemudian dia menjawab. “Terserah padamu dan kawan-kawan! Saat ini aku harus melanjutkan perjalanan!”

“Silahkan melanjutkan perjalanan saudari. Kita akan berjumpa lagi di Bukit Batu Merah pada hari kelima bulan kelima! Pemuda ini serahkan padaku dan teman-teman. Selamat jalan!”

Gadis berbaju merah tertawa lebar. Dia berpaling pada Wiro. Sambil melangkah ke kudanya dia berkata. “Rasakan olehmu sekarang! Itu akibat kalau suka mengintili perempuan! Habis awakmu!” Sang dara lalu keluarkan suara tertawa dan melompat ke punggung kudanya lalu menghambur tinggalkan tempat itu.

Tinggal kini Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat ini tengah didatangi oleh lelaki berkumis dan berjanggut pendek. Orang ini melangkah dengan muka galak dan tangan kanan terkepal!

TIGA

Pendekar 212 masih saja tenang-tenang duduk di atas batu sambil menimang-nimang uang logam dengn tangan kanannya. Merasa dianggap enteng amarah lelaki berkumis dan berjanggut pendek menjadi menggelegak.

"Wuttt...!"

Kepalan tangan kanan yang keras terdengar menderu mengeluarkan angin tanda jotosan yang dilakukan penuh marah itu disertai kekuatan tenaga luar yang dahsyat. Tiga orang berpakaian serba merah yang masih berada di atas kuda masing-masing tampak heran dan kaget ketika melihat kawan mereka si kumis melintir ke kiri lalu sempoyongan hampir terbanting ke tanah!

Sementara itu pemuda yang tadi hendak dijotosnya tetap saja duduk di atas batu sambil cengar-cengir dan masih menimang-nimang uang logam!

“Keparat! Kau berani mempermainkanku!” orang berkumis membentak marah sekali.

Tiga kawannya melompat dari atas kuda, langsung mengurung murid Sinto Gendeng. Apa sebenarnya yang terjadi? Ketika si kumis melayangkan tinjunya untuk menghantam muka Wiro, pendekar kita miringkan kepalanya sedikit hingga tinju orang lewat seujung kuku di pipi kanannya. Karena pukulan yang mengerahkan tenaga luar yang keras itu tidak mengenai sasarannya, si kumis kehilangan keseimbangan oleh dorongan kekuatannya sendiri. Akibatnya tubuhnya terhuyung deras hampir terpelanting jatuh!

“Sangaji, rupanya pemuda gila ini tidak tahu kita ini siapa! Beritahu saja agar dia tidak bersikap lebih kurang ajar!” salah seorang kawan si kumis membuka mulut.

“Kau saja yang memberi tahu Galut!” jawab si kumis sambil menggulung lengan baju merahnya tanda dia siap untuk menghajar kembali si gondong di hadapannya.

Orang yang bernama Galut melangkah ke hadapan Wiro dan berkata, “Pemuda gila! Kowe tahu tengah berhadapan dengan siapa kau saat ini? Kowe tahu siapa kami ini? Dan kowe tahu siapa gadis yang tadi berani kau ganggu?!”

Wiro goleng-golengkan kepala lalu menyahut “Siapa kalian mana aku tahu! Dan aku tidak merasa mengganggu gadis tadi!” jawab Wiro polos.

Si kumis yang bernama Sangaji langsung melompat dan layangkan tinjunya. Tapi kawannya Galut cepat menahan dan berkata pada Wiro dengan suara bergetar. “Kami adalah anggota-anggota Serikat Setan Merah! Gadis itu salah satu anggota kami! Dan kau berani berlaku kurang ajar terhadap anak buah Serikat Setan Merah! Sungguh berani mati!”

“Serikat Setan Merah!” seru Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia belum pernah mendengar nama perkumpulan itu. Namun di hadapan keempat orang yang tidak dikenalnya itu dia menyahuti “Nama Serikat Setan Merah memang sudah lama kudengar! Tapi apakah kalian sadar tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!”

“Anjing kurap!” teriak Sangaji marah besar. “Katakan siapa dirimu!”

Wiro menyeringai. Dia memandangi keempat orang itu satu persatu. Tangan kanannya masih menimang-nimang mata uang. Tiba-tiba mata uang itu dilemparkannya tinggi-tinggi ke udara. Lalu ketika mata uang mulai jatuh ke bawah dia menengadahkan kepalanya. Uang logam tepat jatuh di mata kirinya. Dengan tangan kirinya Wiro usap uang logam dan matanya. Ketika tangannya diangkat uang logam itu telah lenyap dari atas mata kirinya.

"Uang logam itu telah kubikin amblas ke dalam mata kiriku!” ujar Pendekar 212 lalu tertawa gelak-gelak.

“Bangsat! Kau kira bisa menipu kami?! Uang itu kau sembunyikan dalam genggaman tangan kirimu!” salah seorang anggota Serikat Setan Merah berseru. Rupanya dia telah memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Wiro.

Wiro kembali tertawa bergelak. Dia buka tangan kirinya yang tergenggam. Ternyata uang logam itu tak ada dalam genggamannya.

“Pemuda keparat! Jangan coba mengalihkan urusan dengan ilmu sulap picisan!” teriak Sangaji.

Wiro tersenyum lebar. Lalu berkata, “Kalian kulihat begitu bangga menyebut diri sebagai anggota-anggota Serikat Setan Merah! Ilmu kalian tentu tidak rendah. Tapi di mana uang logam itu berada kalian tak mampu mengetahuinya. Sungguh memalukan! Berlagak punya nama besar tapi sebenarnya goblok!”

“Kurang ajar! Berani kau menghina kami!” teriak Galut.

“Sabar! Jangan cepat naik darah sobat!” ujar Wiro. “Uang logam itu kini berada dalam saku baju kirimu Galut!”

Meskipun sangat marah dan tidak percaya tapi Galut mengeruk juga saku bajunya. Ketika tangannya meraba ke dalam saku, astaga! Uang itu ternyata memang ada dalam saku itu dan perlahan-lahan dikeluarkannya. Tiga orang kawannya tentu saja tampak terheran-heran. Tapi Sangaji cepat berkata. “Permainan sulapmu cukup bagus! Tapi itu tidak membuat kami mengampuni segala kekurang ajaranmu!” Habis berkata begitu Sangaji melompat untuk mengirimkan jotosan ke arah jantung Wiro. Tapi lagi-lagi Galut mencegahnya.

“Orang ini tak bakalan lolos dari tangan kita Sangaji. Biarkan dulu dia kita beri kesempatan untuk menerangkan siapa dia adanya! Ayo gondrong! Lekas katakan siapa dirimu!”

Wiro masukkan uang logam ke saku pakaian lalu tegak berdiri sambil letakkan kedua tangan di pinggang. “Aku adalah Ketua Serikat Setan Putih! Ketua Serikat Setan Merah adalah adik seperguruanku! Nah, setelah tahu siapa aku, apakah masih berani berlaku kurang ajar tidak mau segera berlutut minta ampun?!”

“Penipu besar bermulut busuk! Siapa percaya omonganmu!” teriak Galut. “Ketua kami tidak pernah menerangkan kalau punya kakak seperguruan yang memimpin Serikat Setan Putih! Galut! Mari kita ganyang pemuda sedeng ini!” Maka Sangaji dan Galut langsung menyerbu Pendekar 212.

Wiro sudah maklum kalau orang-orang yang menyerangnya bukan saja memiliki tenaga luar yang hebat tapi juga membekal tenaga dalam. Maka cepat-cepat dia menyingkir dengan melompat ke kiri. Begitu turun kaki kanannya sengaja menginjak mata air hingga air muncrat dan dengan deras memercik di muka Sangaji dan Galut. Wiro tertawa gelak-gelak.

“Pemuda iblis! Aku bersumpah membunuhmu!” teriak Sangaji lalu dorongkan tangan kanannya ke depan. Inilah tanda dia tengah melancarkan pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam. Murid Sinto Gendeng cepat selamatkan diri sebelum tubuhnya tersambar angin pukulan lawan. Namun saat itu dari samping serangan Galut berupa jotosan datang menyusup dengan cepat ke bahu kiri Pendekar 212.

"Bukkk...!"

Pukulan yang tanpa kekuatan tenaga dalam itu menghantam bahu Wiro dengan keras. Pendekar 212 terjajar ke kanan. Sebaliknya saat itu terdengar pekik Galut. Orang ini tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi tangan kanannya. Jari-jari tangannya tampak gembung merah dan lecet sedang tulang pegelangan tangannya lepas dari persendian. Tangan kanan Galut sebatas lengan ke bawah tampak terguntai-guntai dan sakitnya yang bukan main membuat Galut mengeluh tinggi berulang kali.

Ketika Wiro terjajar ke kanan akibat pukulan Galut tadi, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Sangaji. Kedua tangannya di dorong ke depan. Pelipis dan rahangnya menggembung.

“Kunyuk ini mengerahkan seluruh tenaga dalamnya!” kata Wiro dalam hati. Diapun langsung menyalurkan tenaga dalam dari perut ke tangan kanan lalu angkat telapak tangan itu ke atas menyambuti serangan lawan.

Dua angin menderu menghantam ke arah Wiro tetapi tertahan begitu membentur serangkum angin yang keluar dari telapak tangan Pendekar 212. Perlahan-lahan Wio dorongkan telapak tangan kanannya ke depan. Sangaji terkejut ketika merasakan ada satu kekuatan dahsyat laksana satu tembok batu mendorong tubuhnya ke belakang. Dia coba bertahan dengan sekuat tenaga tapi kedua lututnya menjadi goyah, tubuhnya bergetar dan dadanya mendenyut sakit.

“Celaka!” keluh Sangaji. Dia berseru keras lalu melompat setinggi dua tombak menghindari gempuran kekuatan dahsyat yang seperti hendak merontokkan tulang belulangnya. Dari atas Sangaji membuat gerakan menukik, tubuhnya berkelebat ke arah Wiro. Saat itu di tangan kanannya sudah tergenggam sebilah golok. Senjata ini menderu keras, membabat ke arah leher Pendekar 212!

Serangan yang dilancarkan Sangaji memang hebat dan bagus untuk disaksikan. Tubuhnya laksana seekor burung walet menyambar mengsanya. Tapi kehebatan serangan ini tidak ditunjang oleh gerakan yang cepat, padahal gerakan cepat adalah dasar kesempurnaan setiap jurus silat.

Golok menyambar di atas kepala Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu senjata lawan lewat kedua tangan Wiro melesat ke atas. Sangaji terkejut ketika disadarinya pergelangan tangannya telah dicengkeram lawan namun tidak ada kesempatan baginya untuk melepaskan diri. Tahu-tahu tubuhnya sudah dibetot keras ke samping. Tak ampun lagi tubuh Sangaji terlempar sejauh beberapa tombak, begitu jatuh ke tanah langsung berguling-guling!

Dalam keadaan tubuh dan pakaian serta muka babak belur Sangaji berusaha berdiri. Goloknya lepas mental entah kemana. Dia berpaling pada kedua kawannya yang tegak terkesiap lalu berteriak marah.

“Kalian menunggu sampai aku dan Galut mampus dulu baru membantu?!”

Dua anggota Serikat Setan Merah yang dibentak seekan tersadar. Keduanya segera menghunus senjata masing-masing yakni golok dan pedang pendek lalu langsung menyerang Wiro. Satu dari samping kanan, satunya dari sebelah kiri.

Karena masih segar bugar belum cidera serangan dua anggota Serikat Setan Merah ini tampak sebat dan berbahaya. Wiro tak mau berlaku ayal. Dia segera berkelebat cepat untuk hindari diri. Tubuhnya bergerak ke kiri, berpindah ke kanan, membalik dan tahu-tahu kaki kanannya melesat menghantam dagu salah seorang penyerang.

Tak ampun lagi orang ini terpental, tergelimpang di tanah dalam keadaan pingsan dan mulut berdarah! Kawannya yang satu lagi nampak panik tapi masih berusaha menyerbu dengan menusukkan pedangnya ke perut Wiro.

Pendekar 212 tendang siku penyerangnya dengan kaki kiri. Terdengar suara berderak disertai jeritan setinggi langit. Pedang pendek terlepas mental ke udara. Anggota Serikat Setan Merah mundur menjauhi Wiro. Mukanya tampak mengerenyit pucat. Akhirnya dia tersandar pada sebuah lamping batu sambil pegangi tangan kanannya yang patah!

Wiro memandang berkeliling sambil bertolak pinggang. “Serikat Setan Merah!” katanya sambil mencibir. “Dari sikap dan tindak tanduk kalian aku tahu kalian bukanlah manusia-manusia dari perkumpulan baik-baik! Hari ini aku hanya memberi pelajaran secukupnya. Tapi lain kali jika kalian masih berani bertindak sewenang-wenang dengan mengandalkan nama komplotan kalian, kalian akan kuhajar babak belur lalu kutelanjangi hingga kalian bukan lagi sebagai Setan Merah tapi Setan Telanjang!” Wiro mendengus lalu melangkah mendekati kudanya.

Sebelum berlalu masih sempat didengarkannya Sangaji berteriak. “Pemuda keparat! Kami tidak akan melupakan apa yang terjadi hari ini! kami akan mencarimu untuk membuat perhitungan! Jangan harap kau akan bisa bernafas jika bertemu kami sekali lagi!”

“Manusia sombong! Urusi dulu muka dan pakaianmu yang compang camping berkelukuran tanah!” sahut Wiro pula lalu gebrakkan kuda coklatnya dan tinggalkan tempat itu.

Sesaat setelah meninggalkan bukit dimana Wiro kini harus menghadapi empat orang lelaki berseragam merah, dara penunggang kuda putih yang juga berpakaian serba merah sebenarnya merasa heran. Mengapa rombongan empat orang itu begitu menghormatinya, memanggil dirinya sebagai kawan segolongan lalu menyebut-nyebut pertemuan di Bukit Batu Merah tanggal lima bulan kelima. Apa arti semua ini? dia menghubungkan pula dengan kejadian di rumah makan sebelumnya. Lalu ingat pada pemuda gondrong berpakain putih itu.

Siapa pula pemuda ini sebenarnya. Mengapa dia mengikuti dirinya. Semua pertanyaan itu belum terjawab dan sulit akan terjawab kalau dia tidak menyelidiki sendiri. Perlahan-lahan sang dara hentikan kudanya. Dia berpikir-pikir beberapa ketika. Akhirnya dia putar kembali tunggangannya itu dan memacunya menuju bebukitan dimana tadi dia berada.

Dari balik sebuah batu yang terlindung oleh semak belukar, gadis berbaju merah ini memperhatikan apa yang terjadi. Semua yang berlangsung di situ disaksikannya dengan terheran-heran. Terlebih-lebih ketika dilihatnya begaimana Wiro memperhatikan keempat lelaki berseragam yang mengaku anggota-anggota Serikat Merah lalu menghajar mereka satu demi satu!

“Pemuda itu agaknya tidak berotak miring…” membatin sang dara. “Kepandaiannya luar biasa. Ada keanehan pada dirinya. Mungkin dia sengaja menyembunyikan kehebtan dirinya di balik sikap yang konyol seperti orang geblek begitu? Ah, peduli apa aku dengan dirinya.” Akhirnya gadis ini memutar kudanya dan tinggalkan tempat itu.

EMPAT

Kuda putih itu berlari kencang meninggalkan kepulan debu jalaan di belakangnya. Bagaimanapun dara berpakaian merah itu tidak ingin mengingat-ingat apa yang disaksikannya di bukit gundul tadi namun tetap saja apa yang terjadi terbayang di pelupuk matanya. Sesekali dia tampak tersenyum ketika ingat bagaimana pemuda berambut gondrong itu mempermainkan empat anggota Sereikat Setan Merah dengan permainan uang logamnya.

“Ah, baru tiga hari aku turun gunung, banyak keanehan yang kutemui di tengah jalan!” berkata sang dara dalam hati. Dia mengusap leher kuda tunggangannya seraya berkata. “Ayo, Putih, percepat larimu! Kita harus sampai di Solotigo sebelum matahari terbenam!”

Seakan mengerti ucapan penunggangnya kuda putih itu keluarkan suara meringkik kecil lalu percepat larinya.

“Bagus! Kau memang kuda yang baik!” memuji sang dara.

Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba binatang tunggangannya meringkik panjang lalu hentikan lari sambil angkat kedua kaki depannya tinggi- tinggi. Jika saja sang dara tidak cepat bergayut pada lehernya, pastilah dia akan jatuh terpelanting ke tanah.

“Tenang Putih! Apa yang kau takutkan…?!” ujar gadis berpakaian merah seraya mengusap-usap leher kuda putihnya.

Perlahan-lahan kudanya melangkah ke depan. Di balik sebuah tikungan pada jalan yang akan dilalui sang dara, membelintang sebuah pohonn besar. Untung saja kuda tunggangannya memiliki perasaan tajam sehingga meskipun pohon itu berada di tikungan jalan yang belum kelihatan tapi binatang ini telah mengetahui adanya bahaya dan langsung menghentikan larinya.

“Hemm… Ada yang sengaja menghadang perjalanan kita…” bisik sang dara pada kuda putihnya. Lalu dia melompat turun. Baru saja sang dara menjejakkan kedua kakinya ditanah dari balik semak belukar yang mengapit jalan tanah itu tiba-tiba berlompatan enam orang yang tak satupun dikenal oleh si gadis.

Orang pertama seorang kakek berpakain compang-camping, berambut kotor acak-acakan. Di tangan kanannya dia memegang sebatang tongkat yang terbuat dari sejenis akar pohon. Berbeda dengan keadaan si kakek, lima orang lain yang mengurung tempat itu adalah empat orang pemuda dan seorang pemudi. Mereka semua mengenakan pakaian biru muda dan rata-rata bertampang gagah sedang si gadis yang memakai baju biru tua, memiliki wajah jelita berkulit putih mulus.

Si kakek berbaju compang camping menuh tambalan tertawa mengekeh tapi di balik tawanya itu jelas dia menyimpan satu kemarahan besar karena sepasang matanya tampak berkilat-kilat.

“Anak-anak, akhirnya kita temui juga salah seorang dari mereka!” berkata si kakek. “Lekas kalian ringkus dia kemudian kita tanyai!”

“Dan jika dia tidak mau memberitahu dimana Griyati berada, habisi saja nyawanya!” Yang menimpali kata-kata si kakek adalah dara berbaju biru tua.

Lalu empat pemuda dan satu gadis yang melakukan pengurungan itu tanpa menunggu lebih lama segera menyerbu dara berbaju merah.

“Tunggu!” si baju merah berseru. “Apa-apaan ini?! Aku tidak kenal kalian. Mengapa hendak meringkus diriku?!”

Si kakek tertawa lalu mendengus. “Tiga hari lalu kalian orang-orang Serikat Setan Merah menyerbu tempat kediaman kami karena kami tidak mau bergabung dengan kalian! Lalu kalian membunuh beberapa anak muridku! Juga menculik Griyati, muridku paling muda dan paling kami sayangi! Kini kami bisa menghadangmu, apakah kami akan menyia-nyiakan kesempatan?! Kau dengar sendiri! Jika kau tidak memberitahu di mana Griyati berada, apalagi kalau sampai gadis itu mengalami cidera, kaupun akan kami cincang sebagai pembalasan dan kepalamu kami pancangkan di tengah pasar di Solotigo agar semua anggota Serikat Setan Merah mengetahui dan tidak berani lagi melakukan kejahatan seenak perutnya!”

“Orang tua, aku kasihan pada dirimu!” kata dara berpakaian merah sambil gelengkan kepala. “Tapi kau dan murid-muridmu salah sangka. Aku bukan anggota Serikat Setan Merah. Aku juga tidak tahu di mana muridmu bernama Griyati itu berada!”

Lima murid orang tua berpakaian compang-camping mendengus dan unjukkan muka berang. Si kakek sendiri tertawa perlahan. “Biasa begitu,” katanya. “Setelah terkurung dan tak bisa lolos, seseorang selalu berusaha mencari jalan menyelamatkan diri dengan mengatakan seribu kebohongan!”

“Terserah pada kalian untuk percaya atau tidak! Aku sudah bilang aku bukan anggota segala macam Serikat Setan atau Serikat Iblis. Aku tidak tahu di mana murid perempuanmu berada! Sekarang beri jalan. Orang tua harap kau perintahkan murid-muridmu menyeret pohon itu ke tepi agar aku bisa lewat!”

“Gadis setan!” teriak dara berbaju biru tua. Dia mendahului keempat saudara seperguruannya menyerang si baju merah.

Perkelahian satu lawan lima tidak terhindarkan lagi. Dalam waktu singkat si baju merah segera terdesak hebat. Tapi gadis itu tampak tenang sekali. Penuh percaya diri dia hadapi kelima pengeroyoknya dengna tabah. Gerakannya tampak lembut. Tapi di balik kelembutan itu terdapat satu kekuatan yang dahsyat. Dan kelembutan itu sendiri bisa berubah secara tiba-tiba menjadi gerakan yang sangat cepat serta tidak terduga.

Setelah lebih dari enam jurus didesak habis-habisan, si baju merah keluarkan seruan nyaring. Tubuhnya berkelebat seperti lenyap. Kini hanya bayangan pakaian merahnya saja yang tampak bergerak kian kemari.

Kakek bertongkat akar pohon terkesiap ketika dia mendengar salah seorang muridnya keluarkan jerit kesakitan lalu tampak tubuhnya terhuyung sambil pegangi perut. Tendangan dara berbaju merah rupanya telah menghantam perutnya hingga dia terpaksa keluar dari kalangan perkelahian dan duduk di tepi jalan menahan sakit.

Si kakek cepat mendatangi untuk menolong muridnya yang cidera itu tapi gerakannya tertahan ketika sekali lagi dia mendengar jeritan muridnya. Belum sempat dia berpaling memutar kepala, satu sosok tubuh mencelat ke arahnya, lalu tergelimpang di tanah sambil mengerang kesakitan. Mata kiri murid kedua yang jadi korban tampak bengkak merah. Mau tak mau orang tua itu jadi tercekat dan memandang ke arah kalanagan perkelahian.

Kalau tadi si baju merah kena didesak hebat maka kini di mana dia hanya menghadapi tiga orang pengeroyok, serangan-serangan balasannya tidak tertahankan lagi. Korban ketiga adalah murid perempuan si kakek. Si baju merah berhasil menjambak rambutnya hingga sanggulnya terlepas. Bagitu rambut gadis ini tergerai, si baju merah menariknya kuat-kuat lalu membantingkannya ke tanah.

Dara berbaju biru tua terpekik kesakitan. Masih untung dia sanggup mengimbangi tubuh hingga tidak jatuh punggung ke tanah. Degnan rambut masih terurai, penuh amarah gadis ini kembali melompat untuk menyerbu!

“Sarti!” seru si kakek. “Mundurlah. Tolong dua saudaramu yang cidera!” lalu sambil melangkah terbungkuk-bungkuk orang tua ini mendekati kelangan perkelahian. Kembali dia berseru. “Kalian berdua juga mundur! Biar aku yang menghadapi gadis binal ini!”

Dua murid si kakek yang masih berusaha menghadapi si baju merah dengan muka merah karena malu cepat-cepat melompat mundur. Salah seorang dari mereka masih sempat menjura dan berkata,

“Guru, maafkan kami tidak bisa meringkusnya!”

“Sudah, menjauh sana! Apa sih sulitnya meringkus tikus bau pesing seperti gadis ini…?!” ujar si kakek pula.

Mendengar dirinya disebut gadis binal lalu tikus bau pesing dara berbaju merah menjadi marah dan balas mendamprat. “Tua bangka bau tahi kuda! Majulah lebih dekat biar kusumpal mulutmu yang lancang itu dengan kepalan!”

Si kakek tertawa pendek. Tanpa bilang apa-apa lagi dia langsung putar tongkatnya. Gerakannya biasa-biasa saja. Tapi tahu-tahu ujung tongkat telah menusuk ke arah tengorakannya. Si gadis sampai keluarkan pekikan kaget dan buru-buru melompat mundur. Tapi tongkat si kakek kembali memburunya. Setiap kali dia melompat atau membuat gerakan mengelak. Ujung tongkat itu selalu bergerak menghadangnya. Begitu kejadian terus menerus hingga lama-lama si gadis menjadi kewalahan!

Selagi keadaan si baju merah terdesak seperti iu tiba-tiba terdengar suara orang tertawa di atas pohon. Yang tengah berkelahi tentu saja tidak berani palingkan kepala. Tapi empat murid si kakek serentak berpaling dan mendongak ke tas sebuah pohon. Di atas sebatang cabang yang tingginya sekitar tiga tombak dari tanah, tampak duduk seorang pemuda berpakaian putih tertawa-tawa sambil menggeragoti sebatang tebu.

“Perkelahian seru!” ujar pemuda di atas pohon. “Kucing tua melawan cerurut merah! Ha ha ha! Tentu saja kucing tua yang bakal menang! Tapi kalau cerurut merah mau pakai akal, pasti kucing tua itu bisa dibuat tak berdaya! Ha ha ha…!”

Kakek tua itu marah sekali dirinya disebut sebagai kucing tua. Begitu juga sang dara baju merah yang dikatakan sebagai cerurut merah. Empat murid si kakek memandang melotot penuh marah pada pemuda di atas pohon tapi mereka tidak berani melakukan sesuatu selagi guru mereka terlihat berkelahi dengna gadis berbaju merah itu.

Karena ingin menyelesaikan perkelahian dengan cepat lalu memberi pelajaran pada orang yang menyebutnya kucing tua, si kakek putar tongkat akarnya dengan cepat. Kini makin terdesaklah si baju merah.

“Hai! Tidak juga kau pergunakan akalmu cerurut merah! Atau kau memang sudah kehabisan akal! Kalau begitu biar aku memberikan petunjuk!” terdengar pemuda di atas pohon berucap. “Cerurut merah, lekas kau masuk ke balik semak belukar di tepi jalan di belakangmu! Tongkat butut kucing tua itu pasti tak akan banyak gunanya dan kau akan lebih leluasa menghadapinya!”

Meskipun tidak suka diperintah orang, namun petunjuk yang diterima dalam keadaan terdesak begitu rupa mau tak mau diikuti juga oleh si gadis berbaju merah. Dia melompat ke balik semak belukar.

Si kakek memburu. Tapi seperti yang dikatakan orang di atas pohon di dalam semak belukar yang lebat begitu rupa tongkat di tangan orang tua itu tidak bisa berbuat banyak. Setiap dia hendak memukul atau membabat, rerantingan dan semak belukar menghalangi gerakan tongkatnya. Jika dia coba menusuk. Lengan dan tangan pakaiannya tertahan oleh semak-semak!

“Kurang ajar! Siapa yang berani ikut campur urusan orang?!” bentak si kakek marah. Dia berpaling ke arah pohon di belakangnya. Begitu melihat pemuda yang duduk di cabang pohon sambil mengunyah-ngunyah tebu orang tua ini menjadi sangat jengkel. “Pemuda lancang! Kau tetap di situ! Jangan lari! Setelah gadis ini kuringkus, giliranmu akan kugebuk kuberi pelajaran!”

Pemuda di atas pohon tertawa. “Orang tua!” serunya membalas. “Mengapa berlaku tolol! Dara itu bilang dia bukan anggota Serikat Setan Merah! Juga tidak tahu di mana muridmu bernama Griyati itu berada! Mengapa masih ingin meringkusnya? Eh… jangan-jangan kau punya maksud lain! Kau naksir pada gadis itu ya? Ha ha ha! Tua bangka tak tahu diri. Seharusnya kau berkaca dulu sebelum punya pikiran seperti itu!”

“Mulutmu kotor! Aku bersumpah akan merobek mulutmu itu! Jangan lari! Aku akan selesaikan urusanku dengan gadis ini!” teriak si kakek.

“Biar kami yang menghajar pemuda lancang bermulut keji itu, guru!” kata salah seorang murid si kakek.

“Tidak, kau dan saudara-saudaramu awasi saja dia jangan sampai lari! Nanti aku sendiri yang akan menghajarnya!”

Sebenarnya si kakek itu sudah maklum siapapun adanya pemuda di atas pohon itu, kalau kehadirannya tidak seorangpun sempat mengetahui sebelumnya, pastilah dia memiliki kepandaian tinggi. Karena ada rasa kawatir dalam hatinya, itulah sebabnya si kakek memperingati kelima muridnya untuk tidak bertindak mendahului.

Ketika tadi si kakek berpaling dan bicara dengan pemuda di atas pohon, kesempatan ini dipergunakan pula oleh dara berbaju merah untuk melirik ke atas pohon. “Ah, dia rupanya!” kata sang dara dalam hati ketika mengenali siapa adanya orang di atas pohon.

Pemuda itu bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang sebelumnya ditemuinya di kedai dan beberapa waktu lalu dijebaknya hingga harus menghadapi empat orang anggota-anggota Serikat Merah!

Si kakek berpaling kembali kepada dara baju merah yang berada di balik semak belukar. Rahangnya mengembung. “Apa kau kira akan bisa berlindung terus di balik semak belukar hah?!” kertaknya.

“Kakek bau! Kau tak bakal menang menghadapiku! Bagaimana kalau kau melayani dulu kacungku yang di atas pohon sana! Kalau kau bisa mengalahkannya maka aku akan menyerahkan diri tanpa perlawanan padamu!”

“Gadis edan!” maki Wiro dengan suara tertahan dan melengak jengkel. “Enak saja dia menyebutku kacungnya! Lagi-lagi dia hendak pergunakan otak liciknya! Sebelumnya aku dijebak hingga harus berkelahi dengan empat lelaki berpakaian serba merah itu! Kini dia hendak mengadu aku dengan kakek berpakain compang camping itu! Sungguh cerdik!”

“Hemm… jadi monyet gondrong di atas pohon itu adalah kacungmu ya…?!” kakek bertongkat akar pohon manggut-manggut. “Aku lebih suka menggebuk tuannya lebih dulu, urusan dengan kacungmu itu biar kuselesaikan nanti!”

Habis berkata begitu si kakek selipkan tongkatnya di ketiak kiri lalu dia membungkuk. Apa yang dilakukan orang tua itu sungguh luar biasa! Dengan kedua tangannya dalam gerakan yang cepat dia mencabuti semak belukar yang ada di tempat itu hingga dalam waktu singkat semak belukar yang tadi menjadi perlindungan bagi sang dara kini rambas dan tempat itu jadi terbuka. Dalam marahnya rupanya si kakek merasa tak ada jalan lain untuk dapat mencapai dan mengalahkan si gadis selain harus merambas semak belukar yang ada di sekitar situ.

“Ha ha ha! Cerurut merah! Kemana kau hendak sembunyi sekarang?!”

kekeh si kakek lalu tangan kanannya bergerak dan tongkat akar kayunya kembali berkiblat. Kali ini tampaknya dia tidak mau membuang waktu lagi karena serangan tongkatnya bukan saja cepat luar biasa tapi gerakan yang dibuatnya merupakan gerakan-gerakan ganas mematikan. Rupanya orang tua ini tidak perduli apakah dia bisa meringkus sang dara dalam keadaan hidup atau mati!

Beberapa kali terdengar dara berbaju merah keluarkan suara pekikan karena tongkat lawan hampir menusuk tubuh atau memukul kepalanya. Serangan tongkat yang laksana curahan mati-matian.

"Bretttt...!"

Bahu pakaian sang dara robek. Kulit bahunya tergaris perih. Gadis ini meringis kesakitan. Tiba-tiba dia keluarkan keritan keras dan pukulkan tangan kanannya ke arah lawan. Serangkum sinar kelabu menggebubu, membuat si kakek kaget sekali dan buru-buru menyingkir. Sinar kelabu lewat di depan dadanya yang menebar hawa dingin. Kakek berpakaian compang camping itu kiblatkan tongkat kayunya ke atas. Tongkat itu tergetar keras tapi sinar kelabu langsung musnah. Di saat yang sama ujung tongkat menyambar deras dan cepat ke arah tonggorakan si baju merah.

Serangan tongkat lawan sekali ini sama sekali tidak terduga oleh sang dara baju merah. Tapi dia menyangka bahwa pukulan tangan kosongnya yang mengandung aji kesaktian yang selama ini selalu menjadi andalannya pasti akan membuat lawan roboh, paling tidak mental dan menderita cidera berat. Tapi pukulan bernama Awan Kelabu itu ternyata mampu dielakkan si kakek.

Tercekat oleh kegagalan pukulan saktinya, sang dara jadi bertindak lengah. Dan dalam kelengahan yang hanya sepersekian kejapan mata itulah ujung tongkat lawan menusuk ke arah lehernya tanpa dia mempunyai kesempatan untuk berkelit ataupun menangkis!

“Cerurut merah! Mengapa tusukan tongkat butut begitu saja kau tak sanggup mengelakkan…?!” terdengar suara Pendekar 212 dari atas pohon. Lalu sebuah benda sepanjang dua jengkal melesat ke bawah, menghantam ujung tongkat di tangan si kakek.

"Trakkk...!"

Benda yang menghanam tongkat kayu itu patah dua dan ternyata adalah batangan tebu. Tongkat di tangan si kakek sendiri tergetar keras dan si orang tua sempat terjajar satu langkah. Telapak tangannya terasa panas.

Terkejut dan marah si baju compang camping ini bukan kepalang. Terkejut karena menyadari lemparan batang tebu itu bukanlah lemparan biasa dan yang melemparkannya jelas adalah pemuda di atas pohon sana. Marah karena ujung tongkatnya yang seharusnya akan menusuk paling tidak merobek daging leher dara berbaju merah akibat lemparan tebu tadi jadi meleset sampai tiga jengkal!

“Setan alas” teriak orang tua itu sementara si baju merah cepat melompar mundur dengan wajah pucat! Saat itu dia punya kesempatan untuk melompat ke punggung kuda putihnya dan tinggalkan tempat itu. Namun hal itu tidak dilakukannya karena dia ingin melihat apa yang kini bakal terjadi antara si kakek dengan si gondrong.

LIMA

Didahului oleh suara menggembor keras seperti harimau terluka kakek berpakaian compang camping melompat ke atas cabang di mana Pendekar 212 duduk berjuntai. Tubuhnya laksana terbang. Tongkat akar kayu di tangan kanannya berputar laksana titiran, mengeluarkan angin deras sekali hingga daun-daun pohon rontok berjatuhan. Jelas kakek ini menggerakkan tongkatnya disertai tenaga dalam penuh.

"Trakkk-Trakkk-Trakkkk...!"

Cabang pohon yang diduduki Wiro patah berkeping-keping. Tapi si kakek terdengar berseru kaget. Yang diharapkannya ialah patah tulang belulang si pemuda berambut gondrong tapi yang dihantamnya ternyata hanyalah cabang pohon. Kemana pemuda itu lenyapnya?!

Sebenarnya, ketika orang tua itu melesat ke cabang pohon, Pendekar 212 sendiri justru membuat gerakan menjatuhkan diri kebawah, berjungkir balik di udara lalu melompat ke tanah dan turun tepat di samping dara berbaju merah! Dan dasar konyolnya murid Sinto Gendeng ini, ketika melompat turun dia tidak hanya sekedar melompat saja, tapi tangan kanannya secara jahil menarik celana si kakek ke bawah.

Celakanya yang punya diri tidak menyadari apa yang terjadi. Begitu mendapatkan Wiro tak ada lagi di atas pohon, dia langsung melompat turun dan ketika tegak di tanah celananya masih dalam keadaan melorot ke bawah hingga tentu saja anggota tubuhnya yang paling rahasia terpampang dengan jelas.

“Guru!” tiga orang anak murid si orang tua berseru hampir berbaregan sementara Sarti si murid perempuan berpaling dengan muka jengah!

Di lain pihak, begitu melompat ke samping si baju merah Wiro tertawa lebar dan menjura seraya menegur “Saudari, kita berjumpa lagi. Apa kabarmu saat ini…?”

Kalau sebelumnya sang dara memang tidak menyukai Wiro, kini setelah dirinya diselamatkan dari serangan maut tadi mau tak mau sikapnya jadi berubah. Apalagi dilihatnya tingkah laku dan segala perbuatan si pemuda yang konyol itu membuat tertawa geli dalam hati.

“Aku baik-baik saja, saudara!” si gadis menjawab. “Terima kasih kau telah menyelamatkan diriku!”

Wiro kembali tersenyum lebar. Sambil garuk-garuk kepalanya dia berkata, “Saudari, omong-omong apa kau ada melihat seekor burung gagak kesasar di sekitar sini...?!”

Si baju merah sebenarnya sudah tahu apa yang terjadi yaitu apa yang dilakukan oleh Wiro terhadap kakek berpakaian rombeng. Jika saat itu bukan tengah menghadapi perkelahian mungkin dia sudah tertawa terpingkal-pingkal. Sambil melengos dari pemandangan menusuk mata dihadapannya dia menjawab.

“Tak ada kulihat burung gagak kesasar di sekitar sini saudara. Yang kulihat hanya seekor burung hantu!”

Mendengar ucapan si gadis Wiro tertawa gelak-gelak. Sang dara baju merahpun tak dapat menahan tawanya lalu ikut tertawa terpingkal-pingkal. Kudanya tertawa sampai mengeluarkan air mata.

Karena orang tua itu masih belum juga sadar apa yang terjadi atas dirinya maka salah seorang muridnya melompat ke hadapan gurunya dan menunjuk ke bawah. Ketika orang tua itu menoleh ke arah yang ditunjuk pada tubuhnya di bawah perut, barulah dia sadar apa yang terjadi!

“Bangsat rendah! Manusia kurang ajar! Penghinaan ini harus kau balas dengan nyawa busukmu!” teriak kakek itu marah. Cepat-cepat dia tarik celananya ke atas lalu melompat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.

Lima orang muridnya yang merasa terhina oleh perlakuan itu ikut menyerbu. Salah seorang dari mereka berkelebat sambil berteriak,

“Guru! Izinkan kami menghancurkan tulang belulangnya!”

Kalau sebelumnya si orang tua melarang murid-muridnya untuk ikut campur, kini dalam kemarahannya yang meluap dan rasa malu yang amat sangat dia tidak perdulikan lagi. Makin cepat dia bisa menghajar si gondrong kurang ajar itu makin puas hatinya! Maka enam orang disaat yang sama serentak menyerbu Pendekar 212 Wiro Sableng.

Gerakan enam penyerang itu sebat sekali. Entah kapan murid-murid orang tua itu mengeluarkan senjata masing-masing, tahu-tahu Wiro melihat enam buah bayangan tongkat berkiblat ke arahnya, menggebuk dan menusuk ke arah enam bagian tubuh, dua diantaranya menyambar ke arah kepala! Melihat serangan yang bukan main-main ini, Pendekar 212 yang tadi masih cengar cengir, kini cepat bergerak. Sebelum dia sempat melakukan sesuatu dari samping terdengar bentakan perempuan.

“Manusia-manusia curang! Beraninya kalian main keroyok! Jaga kepala kalian!”

Bersamaan dengan itu satu bayangan merah menyambar dari arah kanan sedang dari samping kiri menderu sinar abu-abu menebar hawa dingin. Melirik ke samping Wiro saksikan bahwa yang membentak bukan lain adalah dara berbaju merah jelita itu. Di tangan kanannya dia memegang secarik kain merah yang tadinya merupakan kain ikat kepalanya. Dengan kain inilah dia memapasi serangan enam tongkat sedang dalam waktu yang bersamaan tangan kirinya ikut bekerja melepaskan pukulan sakti bernama Awan Kelabu

Dua orang pemuda yang berada di jurusan sambaran pukulan sakti sang dara cepat menghindar. Berarti dua pengeroyok tak dapat meneruskan serangannya. Ujung kain merah di tangan sang dara berkelebat menyambar ke arah kepala empat pengeroyok lainnya.

"Takk-Takk-Takk-Takk...!" terdengar suara berdetak empat kali berturut-turut ketika ujung kain beradu dengan ujung tongkat kayu di tangan lawan. Lalu menyusul suara kain robek. Kemudian suara seruan tertahan dara berbaju merah. Di saat yang bersamaan terdengar pula keluhan salah seorang penyerang.

Wiro melihat semua yang terjadi dengan cepat. Dua ujung tongkat kayu murid kakek berpakaian compang camping tampak hancur. Murid ketiga kelihatan terhuyung mundur sambil pegangi keningnya yang mengucurkan darah akibat hantaman ujung kain merah. Orang ini adalah yang sebelumnya sudah babak belur mata kirinya kena jotosan. Tapi sang dara sendiri tidak berada dalam keadaan menguntungkan.

Malah keadaan kini berbalik membahayakan dirinya. Dua ujung tongkat, satu milik si kakek dan satunya milik muridnya berhasil menjepit ujung kain merah yang jadi senjata dara berbaju merah. Ketika dua tongkat itu sama ditarik dengan keras, bukan saja kain merah menjadi robek, tapi tersentak lepas dari tangan pemiliknya. Tubuhnya terhuyung beberapa langkah.

Selagi dara baju merah terkesiap kaget sambil imbangi tubuh, tiga tongkat kayu datang menghantam. Sang dara masih bisa berkelit dari serangan tongkat di sebelah kanan, tapi yang datang dari depan yaitu tusukan tongkat si kakek dan yang menggeprak dari samping kiri tak kuasa dihindarinya. Dalam waktu sekejap saja perutnya akan tertembus tusukan tongkat yang datang dari depan sedang tongkat yang meyambar dari samping kiri sudah dapat dipastikan akan menggebuk hancur pangkal bahunya!

Dalam keadaan yang sangat berbahaya itu tiba-tiba menderu suara seperti tawon mengamuk disertai berkiblatnya sinar putih menyilaukan dan menghamparnya hawa panas!

Si kakek masih sanggup untuk menahan teriakan kekagetan, tapi wajahnya yang pucat tak dapat disembunyikan. Dia melompat mundur sambil melotot pandangi tongkat akar kayunya yang kini hanya tinggal kutungan sepanjang dua jengkal. Tangannya sendiri terasa seperti kesemutan dan ada hawa panas aneh yang membuat persendian tangan kanan itu seperti kaku.

Cepat-cepat dia menekan beberapa bagian tangannya seraya kerahkan tenaga dalam. Di samping kirinya dilihatnya salah seorang muridnya terkapar jatuh di tanah dengan muka seputih kertas. Tongkatnya patah dua dan mental entah kemana.

Dara berbaju merah yang tadi merasakan seperti sudah copot jantungnya, kini menjadi lega begitu menyadari dirinya baru saja lolos dari bahaya maut walau tengkuknya terasa dingin.

Memandang ke depan kakek dan murid-muridnya melihat pemuda gondrong berpakaian putih itu tegak dengan kaki terkembang dan kedua tangan bersilang di depan dada. Tangan yang kanan memegang sebuah senjata berupa kapak bermata dua yang memancarkan sinar menyilaukan. Pada masing-masin mata kapak jelas kelihatan tertera tiga rangkaian angka yaitu angka 212.

“Apakah benar aku berhadapan dengan orang yang menyandang gelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…?” terdengar si kakek berucap seolah-olah tidak percaya.

Lima muridnya, dua diantaranya yang mengalami cidera tampak terkejut mendengar kata-kata guru mereka, memandang dengan mata besar ke arah Wiro. Seperti juga sang guru mereka sama-sama tidak mempercayai kalau pemuda gondrong di hadapan mereka itu adalah Pendear 212 Wiro Sableng.

Wiro menyeringai. “Aku dilahirkan hanya membawa nama. Soal segala macam gelar itu adalah urusan orang-orang persilatan yang tolol!” berucap murid Sinto Gendeng itu.

“Hem… kau betul pendekar. Orang-orang rimba persilatan terkadang bersifat tolol! Satu di antaranya adalah kau sendiri! Siapa menyangka, pendekar yang selama ini punya nama besar dan dikenal sebagai tokoh dari golongan putih, pembela kebenaran penegak keadilan, penolong orang-orang yang lemah dan tertindas, tahu-tahu kini kulihat berkomplot dengan orang-orang Serikat Setan Merah!” menjawab si kakek dengan rahang menggembung dan mata membeliak.

Wiro tertawa gelak-gelak lalu berkata. “Aku tidak munafik mengakui diriku memang tolol. Tapi kupikir kau jauh lebih tolol. Juga lima muridmu yang tidak mau mempergunakan akal dan pikiran hingga mau ikut-ikutan jadi orang tolol seperti gurunya!”

Lima murid si orang tua tampak jadi beringas tapi mereka tak berani bergerak ataupun melakukan sesuatu.

“Gadis sahabatku ini sudah mengatakan sejujurnya bahwa dia bukan anggota Serikat Setan Merah, tapi kau dan murid-muridmu tetap saja menuduhnya sebagai anggota komplotan itu! Lalu menyerangnya, mengeroyok! Ingin membunuhnya! Juga hendak membunuhku! Apa itu tidak tolol?! Apakah kau bisa membuktikan bahwa dia memang anggota Serikat Setan Merah itu…?”

“Dia mengenakan pakaian dan ikat kepala seeba merah. Seragam setiap anggota Serikat Setan Merah!”

Wiro berpaling pada dara berbaju merah di sampingnya lalu geleng-gelengkan kepala. Ketika dia menggeser kedua kakinya dan menggerakkan tangan kanan yang memegang kapak, si kakek dan murid-muridnya bergerak mundur menajuhi seolah-olah bersiap-siap menjaga segala kemungkinan.

“Orang tua, harap maafkan diriku kalau aku bilang ucapanmu tadi jelas-jelas menunjukkan kebodohanmu! Jika ada kambing atau anjing diberi pakaian serba merah, menurut jalan pikiranmu yang tolol itu tentu kau akan menuduh binatang-binatang itu sebagai anggota Serikat Setan Merah…!”

Paras si kakek tampak mejadi merah di tempelak ucapan Wiro tadi. Dia berpaling pada kelima muridnya lalu berkata. “Mari kita tinggalkan tempat ini…” lalu pada Wiro dia berkata. “Apa yang terjadi hari ini akan kusampaikan pada pertemuan para tokoh silat golongan putih bulan dua belas yang akan datang! Kau tak bakal bisa lari dari hukuman yang bakal dijatuhkan, pendekar sesat!”

“Tunggu dulu!” seru Wiro ketika si kakek dan murid-muridnya hendak berlalu. “Aku dan sahabatku ini tidak mengetahui apa dan siapa adanya Serikat Setan Merah itu. dapatkan kau memberi penjelasan...?!”

“Jangan pura-pura tidak tahu!” bentak gadis berbaju biru tua bernama Sarti.

Tapi sang guru cepat menimpali. “Ada baiknya kuterangkan padamu anak muda! Serikat Setan Merah merupakan komplotan pemeras dan penganiaya rakyat. Mereka merampok dan membunuh siapa saja yang tidak mau menyerahkan uang atau harta sesuai dengan aturan yang mereka buat! Lebih keji dari itu mereka menculik istri dan anak gadis orang! Komplotan biadab ini baru muncul beberapa bulan saja! Tapi kejahatan dan angkara murka yang mereka lakukan telah lewat takaran! Selangit tembus!”

“Dan komplotan itulah yang hendak kau lindungi! Pendekar macam apa kau!” ikut membentak murid perempuan si kakek dengan wajah beringas. “Nama besarmu yang selama ini disegani di delapan penjuru angin ternyata tidak lebih dari seorang pendekar busuk! Kau menjadi kaki tangan komplotan yang membunuh saudara-saudara seperguruanku! Kau berkomplot dengan manusia-manusia laknat yang menculik Griyati, saudara seperguruanku! Sungguh rendah sekali perbuatanmu!”

Wiro menyeringai dan kedipkan mata kirinya pada si baju biru lalu berkata, “Murid dan guru sama saja tololnya!” gerendeng sang pendekar.

“Hai!” tiba-tiba dara berbaju merah berkata. “Jika kalian masih penasaran silahkan datang ke Bukit Batu Merah pada hari kelima bulan kelima. Di situ akan diadakan pertemuan rahasia para anggota Serikat Setan Merah. Kalian akan melihat apakah kami ini memang orang-orang yang kalian tuduhkan itu!”

Murid perempuan si kakek tampak mencibir, lalu dia menarik lengan gurunya. Bersama empat murid lainnya mereka bergerak tinggalkan tempat itu.

“Sebelum pergi, harap kau suka memberitahu siapa dirimu adanya, orang tua!” berkata Wiro.

Meski sangat marah dan dendam besar, kakek berpakaian compang camping menjawab juga. “Aku tua bangka buruk ini adalah Pengemis Budiman…!”

Wiro Sableng terkejut “Jadi kau! Ah…” Murid Sinto Gendeng tidak sempat meneruskan kata-katanya karena si orang tua dan lima muridnya sudah meninggalkan tempat itu.

“Kau kenal orang tua itu?” bertanya dara baju merah.

“Tidak,” wahut Wiro sambil menggeleng. “Tapi saudara tuanya aku kenal baik. Dia seorang bergelar Si Segala Tahu. Kalau pengemis tua itu sempat mengadukan tindak-tandukku, pati bisa terjadi kesalah pahaman…” Wiro berpaling pada dara jelita ini. “Tadi kau menyuruh mereka pergi ke bukit Batu Merah, apakah kau juga berniat pergi ke sana…?”

Yang ditanya mengangguk. “Aku merasa ada baiknya melakukan penyelidikan. Bagaimana caranya itu urusan nanti…”

“Aku juga berminat melakukan hal itu,” kata Wiro pula. “Namun untuk sementara kurasa kau perlu mengganti pakaian merahmu agar tidak menimbulkan urusan baru!”

“Itu soal mudah! Aku memang membekal sehelai pakaian warna kuning…”

“Sekarang kemanakah tujuanmu?” tanya Wiro.

“Solotigo,” jawab sang dara. “Apa kau bermaksud hendak mengikutiku lagi…”

Wiro tersenyum lebar. “Aku berjanji tidak akan menguntit kemana kau pergi. Asal kau mau memberitau namamu”

“Panggil aku Kemala…” jawa sang dara.

“Kemala…” mengulang Wiro. “Namamu bagus… Sebagus orangnya.”

Saat itu sang dara berbaju merah sudah melompat ke atas kuda putihnya. Wiro tak mau tertinggal, cepat-cepat dia melompat ke punggung uda coklatnya dan mengejar Kemala.

ENAM

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Saat itu matahari telah condong ke barat. Kemala memacu kuda putihnya menuju bukit kecil di sebelah timur. Gadis ini tahu bahwa di balik bukit itu terdaat sebuah sungai. Dan sepanjang sungai pada kaki bukit terletak desa Kalimukus yang terkenal sebagai desa subur. Penduduknya hidup dari mata pencaharian bercocok tanam, memelihara tambak ikan serta beternak. Kira-kira setangah hari perjalanan dari desa itu, ke arah barat terletak Solotigo, kota yang menjadi tujuan Kemala.

“Tak mungkin aku sampai di Solotigo sebelum malam tiba…” berkata Kemala dalam hati. “Agaknya lebih baik bermalam saja di Kalimukus. Besok pagi baru berangkat ke Solotigo…”

Di lereng bukit Kemala menoleh ke belakang. Kuda coklat bersama penunggangnya yaitu Wiro Sabelng masih terus mengikutinya terpisah beberapa belas tombak. Dia berusaha mencari akal bagaimana dapat meloloskan diri dari pemuda itu. Namun niatnya itu tidak dilakukannya karena ketika dia mencapai puncak bukit, di bawah sana dia melihat satu pemandangan yang mengejutkan.

Desa Kalimukus tampak hanya tinggal tumpukan malapetaka belaka. Rumah-rumah penduduk musnah dalam kobaran api. Asap mengepul hitam ke udara. Dari atas bukit tampak orang-orang berlarian di antara ternak yang berhamburan ketakutan kian kemari.

“Itu bukan kebakaran biasa! Desa itu seperti sengaja dibakar!”

Satu suara terdengar di samping Kemala. Berpaling ke kiri sang dara dapatkan Pendekar 212 Wiro Sableng bersama kuda coklatnya sudah berada di sampingnya. Kemala tak menjawab. Wiro letakkan tangan kirinya di atas kening untuk menghindarkan silaunya sinar matahari.

“Astaga! Aku melihat ada beberapa sosok tubuh tergantung! Satu di pohon. Dua lainnya di pintu rumah yang sedang terbakar!”

Wiro gebrak pinggul kudanya. Kuda coklat itu menghambur ke depan lalu berlari kencang menuruni bukit menuju desa yang dilamun api. Kemala cepat mengikuti. Begitu keduanya sampai di desa yang terbakar itu apa yang tadi mereka saksikan dari kejauhan di atas bukit, kini terpampang lebih jelas dan mengerikan.

Beberapa sosok mayat bergelimpangan di tepi jalan, di halaman rumah, di tepi kali. Tubuh mereka penuh bekas bacokan senjata tajam. Lalu di beberapa tempat terdengar suara erangan orang-orang yang tergelimpang dalam keadaan luka-luka. Suara lenguh sapi yang ketakutan dan embik kambing bercampur baur dengan gaduhnya suara ayam serta itik yang berhamburan kian kemari, jadi satu dengan jerit pekik penduduk yang berlarian dalam kekalutan. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang perempuan dan laki-laki tua serta anak-anak.

Ketika Kemala muncul bersama Wiro, beberapa orang penduduk lari menjauh ketakutan. Seorang di antaranya berteriak. “Mereka datang lagi! Mereka datang lagi! Lari! Selamatkan diri kalian! Selamatkan anak-anak…!”

Wiro kerenyitkan kening. “Kemala… Orang-orang itu ketakutan melihatmu!” ujar Wiro.

“Ada yang tidak beres!” manyahuti Kemala. Dia melompat turun dari atas kuda. Menghadang seorang laki-laki tua yag lari kebalik rumah sambil mendukung seorang anak perempuan lalu mencekal tangannya.

“Demi Tuhan! Jangan bunuh! Jangan bunuh diriku…! Jangan bunuh cucuku!” lelaki tua itu menjerit berulang kali sambil berusaha melepaskan pegangan Kemala.

“Tidak ada yang akan membunuhmu atau mengganggu cucumu! Lekas katakan apa yang terjadi…!” berseru Kemala.

Si kakek tampak melotot lalu kembali menjerit dan meronta-ronta. “Manusia macam apa kau ini!” Orang tua itu berkata dengan suara gemetar dan tubuh menggeletar. “Setelah kau dan kawan-kawanmu membunuh, merampok dan menculik masih bisa bertanya apa yang terjadi?! Mengapa kau kembali? Apa masih belum puas membakari rumah-rumah kami?! Apa masih murang jarahan yang kalian rampas?!”

“Orang tua, kami baru saja sampai di desa ini. siapa yang melakukan perampokan dan pembunuhan serta penculikan itu?!” Wiro ikut bicara.

“Ya, lekas katakan siapa yang melakuan pembakaran di tempat ini?!” menyambung Kemala.

Orang tua itu tidak menyahut. Dia mengerahkan seluruh tenaganya lalu menarik kuat-kuat hingga pegangan Kemala terlepas. “Manusia iblis! Dosamu tidak berampun! Kutukan Tuhan akan datang atas dirimu dan komplotanmu!” habis berkata begitu orang tua itu lari meninggalkan Wiro dan Kemala.

Si gadis hendak mengejar. Tapi Wiro mencegah dan memberi isyarat agar mengikutinya. Di pintu depan dua buah rumah yang terbakar mereka melihat dua sosok tubuh digantung. Salah satu di antaranya mulai dijilat kobaran api. Lalu tak berapa jauh dari tempat itu sosok tubuh ketiga tampak digantung pada cabang sebuah pohon, kaku ke atas kepala kebawah. Wajah orang yang tergantung ini tertutup lumuran darah yang masih mengucur dari luka besar di batang lehernya.

Tiab-tiba Wiro mendengar suara berdesing. Dia cepat membungkuk menyambar potongan kayu dan melemparkannya ke belakang. Terdengar suara berdentrangan. Ketika berpaling ke belakang Kemala sempat melihat bagaimana potongan kayu itu menghantam mental sebatang tombak yang semula melesat ke arah punggungnya!

“Kurang ajar! Siapa yang berani membokong?!” teriak Kemala marah. Dia melihat satu sosok berpakaian hitam berkelebat menghilang di balik reruntuhan rumah besar yang masih diamuk kobaran api. Tanpa tunggu lebih lama si gadis yang diikuti Wiro cepat mengejar.

Orang berpakaian hitam itu ternyata adalah seorang pemuda yang lengan kirinya luka parah hampir putus sedang kepalanya di bagian kening tampak koyak. Darah yang mengucur membasahi mukanya sehingga kelihatan menggidikkan.

“Kau masih bisa bertahan hidup! Tapi jika tidak segera memberi tahu mengapa kau hendak membunuhku, kupatahkan batang lehermu saat ini juga!” mengancam Kemala.

“Kau apakan diriku aku tidak takut! Kau dan orang-orangmu membunuh ayahku! Istriku kalian culik! Bunuh! Ayo bunuh!” Pemuda itu tiba-tiba berteriak seperti gila. Lalu tubuhnya tersungkur jatuh, lemah karena terlalu banyak darah yang mengucur dari luka di tangan dan keningnya.

“Siapa yang kau maksudkan dengan kalian?!” membentak Kemala.

Pemuda yang terduduk di tanah menyeringai. Dia mengeluarkan tangan hendak mencakar muka Kemala tapi tubuhnya yang terlalu lemah membuat dia tidak mampu menggerakkan tangan kanannya.

“Perempuan iblis… Kau masih bisa pura-pura bertanya. Memang belasan mayat yang kalian bunuh tidak bisa memberi kesaksian. Kepala desa dan dua pamong desa yang kalian gantung tidak bisa bicara! Tapi aku Gentolo menyaksikan sendiri apa yang kau lakukan bersama komplotanmu Serikat Setan Merah!”

“Ah!” Kemala mengeluarkan seruan tertahan sementara Wiro kepalkan tangan.

“Saudara, kau salah sangka. Kawanku ini bukan anggota komplotan Serikat Setan Merah. Hanya kebetulan saja dia mengenakan pakaian marah!” berkata Wiro.

Lalu dia menotok beberapa bagian tubuh si pemuda hingga darah berhenti mengucur. Wiro juga salurkan tenaga dalam dingin ke tubuh Gentolo. Kalau tadi pemuda malang ini merasakan tubuhnya lemah dan panas, kini ada hawa sejuk yang membuat dia sanggup bertahan.

“Saudara, mengapa orang-orang Serikat Setan Merah melakukan keganasan ini…?” bertanya Kemala.

“Tanyakn sendiri pada pimpinanmu!”sahut Gentolo. “Aku tidak percaya kau bukan anggota Serikat Setan Merah! Mengapa kau tidak membunuhku saja saat ini! Jika kau biarkan aku hidup, aku bersumpah menuntut balas! Menabas batang lehermu, mencincang mayatmu!”

“Jangan jadi orang tolol!” bentak Wiro. “Jika kawanku ini anggota komplotan biadab itu, sudah sejak tadi kepalamu menggelinding di tanah! Ayo jelaskan mengapa orang-orang Serikat Setan Merah berbuat seganas ini?!”

“Ya! Juga siapa mereka sebenarnya?!” menyambung Kemala.

Gentolo mula-mula tak mau membuka mulut. Namun akhirnya dia bicara juga. “Siapa mereka aku tidak tahu! Tidak ada seorangpun yang tahu… Yang kami tahu mereka mula-mula muncul dan bertindak selaku pelindung di desa ini. untuk itu penduduk harus membayar apa yang mereka sebut uang perlindungan. Dan bukan uang saja, mereka juga meminta harta atau ternak atau hasil ladang seenaknya. Lambat laun jumlah yang mereka minta semakin banyak hingga penduduk tidak mampu untuk memberikan. Lalu mereka mulai bertindak keras. Memaksa dan menghajar siapa saja yang tidak mau memberikan apa yang mereka minta! Ketika banyak penduduk yang mencoba melawan, mereka membunuhi orang-orang desa seperti membunuh lalat saja! Kekejian mereka bukan cuma sampai di situ! Anggota Serikat Setan Merah juga menculik anak gadis atau istri orang! Mereka melakukan kejahatan bukan cuma di desa ini saja tapi juga di banyak kampung dan desa…!”

“Sejak pertama mereka muncul mengapa kalian tidak melaporkan ke Kadipaten…?” tanya Kemala pula.

Gentolo menyeringai pahit. “Setiap yang melapor mengalami nasib mengerikan. Hari ini melapor, besok ditemui mati terkapar seperti anjing di tengah jalan. Tubuhnya penuh bacokan atau tusukan benda tajam!”

“Kemala, kau ingat pada rombongan-rombongan orang-orang berpakaian merah yang kita temui di bukit beberapa waktu lalu…?” tanya Wiro.

Kemala mengangguk. “Mereka pasti orang-orang Serikat Setan Merah! Dua di antaranya bernama Sangaji dan Galut! Kau kenal dua nama itu…?"

Gentolo menggeleng. “Mereka bisa punya seribu nama, seribu muka…”

“Ada keanehan yang tidak ku mengerti,” kata Wiro seraya garuk-garuk kepala. “Orang-orang Serikat Setan Merah berani melakukan kejahatan secara terang-terangan. Gentayangan di siang bolong! Apa betul aparat Kadipaten tidak mengetahui macam begini bahkan seharusnya sudah sampai ke Kotaraja!”

“Memang sebelumnya pernah ada dua kali serombongan pasukan dari Kotaraja melakukan pengejaran dan penyergapan. Tapi orang-orang Serikat Setan Merah cepat sekali menghilang sebelum pasukan sampai…” Menjelaskan Gentolo.

Kemala berpaling pada Wiro dan berkata. “Kita harus mengurus mayat-mayat yang malang itu, menolong penduduk yang cidera…”

“Hanya kita berdua apa kau kita bakalan sanggup melakukan itu?” ujar Wiro.

“Gentolo! Kau harus menolong memanggil penduduk yang kabur! Mereka harus kembali kemari untuk membantu kami…!” berkata Kemala. Lalu tangan lelaki muda bernama Gentolo itu ditariknya disuruhnya berdiri.

“Wiro…” Kata Kemala menyebut nama sang pendekar untuk pertama kalinya. “Salah seorang lelaki berpakaian merah yang kita temui di bukit mengatakan tentang pertemuan hari kelima bulan kelima di Bukit Batu Merah. Aku memutuskan untuk datang ke sana! Aku bersumpah untuk membasmi manusia-manusia laknat itu! Aku bersumpah menghancurkan Serikat Setan Merah sampai ke akar-akarnya!” Kemala mengepalkan tangan kanannya dan meninju-ninjukan ke telapak tangan kirinya.

“Kalau begitu, akupun ikut bersumpah sepertimu!” ujar Wiro seraya mengangkat tangan kanannya ke atas. Lalu dia melanjutkan ucapannya. “Tapi sebelum segala sumpah dilaksanakan, sebaiknya kau tukar dulu baju merahmu itu! semua orang ketakutan melihatmu karena menyangka kau anggota Serikat Setan Merah! Kecuali aku... Ha ha ha ha…! Adalah tolol kalau takut melihat gadis secantik dirimu ha ha ha…!”

********************

TUJUH

Adipati Suro Kenanga duduk mendengarkan apa yang disampaikan pembantunya bernama Martobiru itu lalu menganggukkan kepala dan berkata. “Aku membenarkan apa yang kau lakukan itu Marto. Jika tidak begitu keadaan bisa berbahaya bagi kita. Harap kau memberitahu pada kawan-kawan agar mereka memasang telinga mementang mata, menyirap kabar atau gerakan apa saja yang sewaktu-waktu bisa terjadi…”

“Akan saya lakukan Adipati. Selanjutnya perlu juga saya beritahukan…”

“Cukup sampai di sini dulu Marto. Ada orang datang…” memotong Suro Kenanga.

Martobiru berdiri dari kursi lalu meninggalkan serambi depan Kadipaten Solotigo yang berlantai batu mar-mar mengkilap itu. Sesaat sang Adipati masih tetap duduk di kursinya, memperhatikan dua penunggang kuda menambatkan tunggangan masing-masing lalu berbicara dengan seorang pengawal. Pengawal ini kemudian mengantarkan kedua tamu tersebut menuju gedung Kadipaten.

Suro Kenanga tidak mengenali kedua tamunya. Yang berjalan di sebelah depan adalah seorang gadis cantik jelita berpakaian kuning, rambutnya yang hitam berkilat dikuncir di belakang kepala. Langkahnya ringan dan gerak geriknya menjelaskan pada sang Adipati bahwa gadis ini adalah seorang dari rimba persilatan. Di belakang sang dara melangkah seorang pemuda gondrong, tampangnya seperti orang tolol dan celangak celinguk sambil sesekali menyengir.

“Gedung Kadipaten ini luar biasa bagusnya! Tak pernah aku melihat gedung sebagus ini sebelumnya!” terdengar pemuda gondrong itu berkata sambil berhenti sejenak dan memandangi bagian depan gedung mulai dari atap sampai ke tangannya yang berkilat.

Dara berpakaian kuning melangkah menaiki tangga, lalu berhenti di ujung serambi dan membungkuk pada Suro Kenanga yang duduk di kursi.

“Apakah saya berhadapan dengan Adipati Solotigo, Raden Suro Kenanga?”

Suro Kenanga bangkit dari duduknya, menatap wajah gadis yang menegurnya itu sesaat lalu menjawab, “Benar, aku Suro Kenanga, Adipati Solotigo. Siapa dirimu, apa maksud kedatanganmu ke mari?”

Sang dara tersenyum, membuat Adipati jadi terheran. “Rupanya paman lupa pada saya…?” ujar si gadis pula.

“Eh, siapa kau ini sebenarnya gadis manis. Aku seperti…” Suro Kenanga memijit-mijit keningnya. “Kau… kau…” dia menunjuk-nunjuk tapi tak berhasil mengingat atau mengenali siapa adanya gadis dihadapannya itu.

Maka si gadis langsung berkata. “Saya Kemala, anak tunggal Suro Abang, kakak kandung Adipati sendiri!”

Adipati itu seperti terlonjak dari lantai. “Astaga! Ya Tuhan! Kau rupanya! Keponakan sendiri aku sampai tidak mengenali!”

Kedua orang itu sama melangkah mendekati lalu saling rangkul. Adipati Suro kenanga mengelus dan menepuk-nepuk bahu sang dara berulang kali.

Di dekat tangga, pemuda berambut gondrong menggaruk kepalanya beberapa kali. Dalam hati dia menggerendeng. “Keponakan sih keponakan. Tapi jangan main peluk lama-lama begitu…”

“Kemala, terakhir sekali aku melihatmu sembilan, mungkin sepuluh tahun yang lalu. Ketika ayahmu mampir dalam perjalanan mengantarkanmu ke Kaliurang. Kau masih begitu kecil waktu itu. Dan sekarang sudah berubah menjadi seorang gadis cantik jelita! Jangan salahkan kalau tadi aku tidak bisa mengenalimu! Parasmu mirip ibumu. Eh, apakah kedua orang tuamu ada baik-baik, Kemala…?”

“Saya belum sempat kembali pulang, paman. Baru saja turun gunung dilepas Ki Ageng Kuncoro Bekti…”

“Ah, rupanya jadi juga kau berguru pada orang tua sakti itu! Ilmumu tentu sudah setinggi langit saat ini!” Suro Kenanga tampak gembira sekali mendengar penjelasan keponakannya itu.

“Tak ada ilmu paling tinggi di dunia ini paman, kecuali ilmunya Gusti Allah,” menyahuti Kemala.

“Bagus! Aku suka mendengar ucapanmu itu, bukan saja kau memperlihatkan kerendahan hati dan ketinggian budi. Tapi kau juga memperlihatkan rasa takwa dan iman pada Tuhan Yang Maha Kuasa! Sekarang kau akan kuajak masuk ke dalam menemui bibimu. Eh, siapa pemuda yang datang bersamamu itu…?”

“Dia sahabat saya paman. Namanya Wiro,” menerangkan Kemala.

Mendengar orang memperkenalkan dirinya, Wiro Sableng maju ke hadapan Adipati Solotigo itu dan menjura dalam-dalam. Sang Adipati membalas penghormatan itu dengan anggukkan kepala.

“Mari Kemala, kita temui bibimu…” kata Adipati kemudian setelah memberi isyarat pada Wiro agar duduk di kursi serambi depan itu.

Sambil melangkah Kemala berkata, “Dalam perjalanan kemari kami menemui malapetaka besar menimpa sebuah desa di selatan Solotigo…”

Adipati Suro Kenanga meraba dagunya dan hentikan langkah. “Malapetaka apa maksudmu? Bencana alam…?"

“Bukan paman, Desa itu, Desa Kalimukus diserbu perampok. Rumah penduduk dibakari, mereka bukan saja dijarah harta bendanya tapi juga di bunuh. Kepala desa bersama dua pembantunya digantung secara keji! Para penjahat itu juga menculik anak gadis dan istri orang…!”

“Desa Kalimukus berada dalam wilayah Kadipaten Solotigo!” ujar Suro Kenanga pula. “Bagaimana mungkin tidak ada satu orang aparatkupun yang datang memberikan laporan?! Kurang ajar! Ada yang tidak beres! Perampok-perampok memang banyak merajalela akhir-akhir ini di seluruh wilayah selatan. Malah mereka berani muncul di sekitar Kotaraja…”

“Tapi mereka bukan perampok-perampok biasa paman…”

“Maksudmu Kemala…?” tanya Suro Kenanga.

“Mereka adalah penjahat-penjahat yang selalu muncul dengan pakaian seragam merah. Mereka tergabung dalam komplotan yang dinamakan Serikat Setan Merah dan mereka berani muncul secara terang-terangan. Saya dan sahabat saya bahkan sempat bertemu dengan beberapa orang diantara mereka. Kalau saat itu saya tahu bahwa mereka adalah manusia-manusia baiadab sebuas apa yang mereka lakukan terhadap penduduk Kalimukus, saya tak akan memberi kesempatan hidup pada mereka!”

Adipati Suro Kenanga menghela nafas panjang. “Nama Serikat Setan Merah memang sudah sejak beberapa bulan ini aku dengar. Pasukan Kadipaten, bahkan serombongan dari Kotaraja pernah mengejar dan mengepung mereka. Tapi mereka berhasil meloloskan diri…!”

“Itu satu pertanda bahwa mereka mempunyai jaringan yang rapi, mempunyai mata-mata di mana-mana… Orang-orang seperti kita harus dapat menangkap pemimpinnya dan membawanya ke tiang gantungan atau mencincangnya di hadapan rakyat banyak!”

Adipati Suro Kenanga tersenyum. Sambil memegang bahu keponakannya dia berkata. “Aku bangga punya keponakan yang bicara dan punya jiwa besar sepertimu, Kemala. Darah ksatria sudah benar-benar mengalir dalam tubuhmu… Tapi ketahuilah, kedatanganmu kemari adalah untuk bergembira karena sekian tahun kita tak pernah bertemu. Selanjutnya kau harus cepat-cepat menuju Kejaten, menemui kedua orang tuamu. Sejak ayahmu mampir sembilan tahun lalu di sini, dia belum pernah datang lagi. Kau harus cepat-cepat menemui mereka. Ayah ibumu pasti sudah sangat rindu padamu…”

“Memang benar kata paman. Saya harus cepat-cepat kembali ke Kejaten. Tapi ada satu hal yang akan saya lakukan sebelum pulang…”

“Hem… apa pula itu Kemala? Apa yang hendak kau lakukan?!” bertanya Suro Kenanga.

“Ada kabar rahasia bahwa pada hari kelima bulan lima Serikat Setan Merah akan mengadakan pertemuan besar di Bukit Batu Merah. Saya dan sahabat saya itu akan muncul di sana. Saya yakin banyak para pendekar golongan putih yang juga akan muncul di sana…”

“Jika kau muncul di sana, apa yang akan kau lakukan Kemala?”

“Saya akan mengobrak abrik pertemuan itu. Menangkap pimpinan mereka. Menyerahkannya pada Kerajaan, kalau tidak mungkin menangkapnya hidup-hidup maka akan saya cincang di situ juga!”

“Anak hebat!” memuji Suro Kenanga. “Tapi kau harus berpikir panjang dan hati-hati keponakanku. Jika Serikat Setan Merah adalah satu komplotan besar berarti mereka mempunyai orang-orang cabang atas yang memiliki kepandaian tinggi. Dan jumlah mereka pasti tidak sedikit. Jika keteranganmu itu betul, biar urusan Serikat Setan Merah itu serahkan saja padaku.” Suro Kenanga lalu melirik ke arah Wiro lalu bertanya “Kemala, apakah temanmu yang seperti orang tolol dan sebentar-sebentar menggaruk kepala itu adalah juga orang persilatan…?”

Kemala mengangguk. “Tampang dan geriknya memang begitu paman. Tapi dia bukan pemuda sembarangan. Paman pernah mendengar seorang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212? Dialah orangnya!”

Paras Adipati Solotigo itu tampak berubah. Lalu dia tersenyum. “Kemala! Lupakan dulu segala macam urusan dengan Serikat Setan Merah itu. mari temui bibimu…”

DELAPAN

Karena sahabat dari Kemala maka malam itu Wiro diberikan sebuah kamar yang bagus di sebuah bangunan berbentuk joglo kecil di halam belakang gedung Kadipaten. Dasar orang rimba persilatan, pendekar itu merasa risih tidur di dalam kamar tersebut. Sepanjang malam dia tak bisa memicingkan mata. Lampu minyak dipadamkannya namun teteap saja dia tak bisa tidur. Akhirnya diam-diam sang pendekar keluar dari kamar. Keluarnyapun tidak lewat pintu melainkan melalui jendela.

Saat itu lewat tengah malam. Udara di luar dingin. Pendekar 212 duduk di sebuah bangku batu yang terletak dalam taman kecil di belakang gedung. Seluruh gedung diselimuti kesunyian dan gelap. Wiro duduk mendekam seperti patung batu. Ketika dia hendak bangkit berdiri untuk masuk kembali ke dalam kamar, saat itulah dia melihat ada dua bayangan manusia muncul dari balik tembok belakang lalu melompat masuk ke dalam halaman belakang gedung. Meskipun tempat sekitar situ gelap namun Wiro dapat melihat kedua orang yang menyelinap masuk itu mengenakan pakaian dan ikat kepala merah.

“Anggota-anggota Serikat Setan Merah!” desis Wiro tak pelak lagi. “Berani benar mereka menyusup ke tempat kediaman Adipati! Mau merampok?! Heran… mana pengawal gedung? Tak satupun kelihatan batang hidungnya! Dua bedebah ini harus dibekuk hidup-hidup biar diketahui siapa dedengkot mereka! Tapi sebelum dibekuk biar kuhajar dulu sampai babak belur!”

Wiro segera bergerak bangkit. Menyusup ke tempat yang lebih gelap, memintas gerakan dua orang di sebelah sana dari arah kiri. Tapi gerakan Pendekar 212 segera terhenti ketika dilihatnya dua orang berpakaian merah itu melangkah cepat justru ke arah kamar tidurnya. Di tangan masing-masing kini tampak terhunus sebilah golok panjang.

“Heh… apa tujuan mereka sebenarnya?” tanya Wiro dalam hati dan terus memperhatikan.

Dua penyusup itu tidak menuju ke pintu kamar melainkan menyelinap ke samping ke arah jendela kamar. Jendela yang memang tidak terkunci itu dengan mudah mereka buka. Keduanya lalu melompat masuk ke dalam kamar. Wiro bergerak cepat ke arah pintu kamar dan menunggu di sana sambil rangkapkan kedua tangan d depan dada. Di dalam kamar terdengar suara “Keparat! Kamar ini kosong!”

“Kemana perginya manusia itu?!” suara lain menyahuti.

Sesaat kemudian pintu kamar terbuka, menyusul ucapan orang yang membuka pintu itu dari dalam. “Tak mungkin dia pergi begitu saja. Pasti ada di sekitar sini…”

“Aku ada di depanmu kisanak!”

Wiro Sableng yang tegak di depan pintu membuka mulut membuat orang yang tadi bicara tersentak kaget sebelum sempat bersurut mundur satu jotosan mendera mata kanannya! Orang ini melolong kesakitan, tubuhnya seperti dibanting ke belakang lalu roboh di lantai kamar. Goloknya telah lebih dulu berdentrangan jatuh di lantai. Dia tak kuasa berdiri lagi. Matanya sebelah kanan bengkak lebam dan mengucurkan darah. Kawannya walaupun kaget tapi bisa cepat menguasai keadaan. Golok panjang di tangannya segera menderu dibabatkan ke arah kepala murid Sinto Gendeng.

"Wuttt...!"

Sambaran golok deras dan dingin. Membuat Wiro terkejut dan sadar si baju merah yang satu ini memiliki kepandaian yang tidak sembarangan. Cepat-cepat dia rundukkan kepala. Begitu senjata lewat berdesir di atas kepalanya, Wiro susupkan satu sodokan ke arah perut penyerang. Namun golok panjang itu tiba-tiba membalik ke bawah, memapas dengan ganas.

“Edan!” maki Wiro. Dia membuang diri ke samping seraya dorongkan tangan kiri, melepaskan pukulan tangan kosong yang disertai tenaga dalam.

Orang yang memegang golok tampak tergontai-gontai. Tangannya yang membacok seperti kaku, dan dia berusaha menahan diri dari dorongan keras angin pukulan yang dilepaskan Wiro. Sesaat kemudian tanagn kanannya yang tadi tampak kaku tiba-tiba mampu bergerak kembali. Kini ujung golok ditusukkan ke arah dada Wiro.

“Ah, yang satu ini tidak sembarangan!” membatin Wiro seraya menggeser kuda-kuda kedua kakinya ke samping lalu secepat kilat pukulkan tangan kiri untuk menghantam sambungan siku lawan.

Ternyata si pemegang golok tidak bodoh. Dia seperti sudah membaca gerakan Wiro. Dengan memutar kedudukan lengannya maka pukulan Wiro berhasil dikelit sebaliknya golok di tangan kanannya menggelicir ke atas. Kalau tadi menusuk ke arah dada maka kini bagian ujung dan tajam dari senjata itu melesat menyambar bahu kanan.

"Brettt! Bukkk...!"

Dua suara itu disusul dengan suara berkerontangannya golok jatuh ke lantai. Bahu kanan pakaian putih Pendekar 212 robek besar. Wiro melompat mundur dengan paras berubah. Terlambat saja dia mengatur gerakan tidak dapat tidak bahunya pasti akan putus, paling tidak luka parah. Di depannya orang berbaju merah tampak tersandar ke tiang bangunan sambil pegangi dadanya yang sesak. Dadanya sakit bukan main. Mukanya tampak pucat. Dia terbatuk dua kali, bukan ludah yang keluar tapi darah yang membersit dari mulutnya.

“Manusia jahanam…!” merutuk orang itu. tiba-tiba kaki kanan bergerak menendang goloknya yang tercampak di lantai. Ini bukan satu tendangan biasa karena begitu ditendang golok tersebut mencelat dengan bagian tajamnya melesat lebih dulu ke arah Wiro, tidak beda seperti sebilah tombak yang dilemparkan.

Wiro berseru kaget dan marah, membuat lompatan untuk selamatkan diri. Golok menderu lewat, menancap di tiang bangunan. Ketika Pendekar 212 hendak mengebrak ke depan, orang beraju merah itu ternyata sudah melarikan diri melompati tembok. Wiro lepaskan pukulan tanagn kosong Kunyuk Melempar buah. Satu gelombang angin menderu dahsyat menghantam bagian atas tembok hingga hancur berantakan. Tapi orang yang diarah berhasil meloloskan diri dan lenyap dalam kegelapan.

“Apa yang terjadi di sini?!” satu bentakan keras menggeledak terdengar.

Wiro berpaling. Yang membentak adalah Adipati Suro Kenanga yang datang bersama tiga orang pengawal. Wiro menggoyangkan kepalanya ke arah lelaki berpakaian merah yang menggeletak di lantai dengan mata kanan mengucurkan darah.

“Dua anggota Serikat Setan Merah berusaha menyusup ke sini…” menjelaskan Wiro. Lalu dia membungkuk dan menarik kaki orang itu, menyeretnya ke luar kamar yang lebih terang agar sang Adipati dapat melihat lebih jelas.

“Kurang ajar! Benar-benar berani mampus!” rutuk Suro Kenanga marah. “Manusia seperi ini tidak pantas dibiarkan hidup!” lalu tiba-tiba sekali sang Adipati merampas tombak yang berada dalam genggaman salah seorang pengawalnya.

“Tunggu! Jangan dibunuh dulu!” seru Wiro mencegah.

Tapi tombak itu sudah dihunjamkan oleh Adipati Solotigo ke dada lelaki yang terkapar di lantai. Tepat di arah jantungnya. Orang ini membeliakkan matanya besar-besar lalu nyawanya putus tiada suara keluar dari mulutnya.

“Sayang… sayang…” kata Wiro berulang kali seraya garuk-garuk kepalanya. “Kalau saja dia bisa dibiarkan hidup sesaat, pasti bisa dikorek keterangan di mana markas mereka dan siapa pemimpin mereka. Sialnya lagi, yang satu tadi sempat melarikan diri!” Pendekar 212 kembali garuk-garuk kepalanya.

********************

SEMBILAN

Bukit Batu Merah terletak di kaki timur gunung Merbabu, merupakan satu bukit tandus yang hanya ditumbuhi semak belukar liar, diselang seling oleh bebatuan berwarna merah. Pernah serombongan petani dari desa terdekat mencoba membuka semak belukar itu untuk bercocok tanam. Tapi apa yang ditanam di sana tak pernah bisa tumbuh, mati. Karena itulah tak pernah lagi ada orang yang mau pergi mendaki bukit itu.

Hari itu hari kelima di bulan lima. Kalau tadi dikatakan tidak pernah ada orang ang naik ke atas bukit maka hari itu adalah aneh, sejak pagi-pagi sekali tampak belasan orang datang dari pelbagai penjuru mendaki naik menuju puncak bukit. Ada yang berlari atau berjalan cepat. Tapi ada pula yang melangkah santai seperti tengah berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan di bawah kaki bukit dan kaki gunung.

Yang menarik perhatian ialah bahwa semua orang yang menuju puncak bukit itu mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna merah. Hari lima bulan lima. Itulah hari yang ditentukan oleh Serikat Setan Merah sebagai hari pertemuan seluruh anggota dan pimpinan mereka.

Di puncak Bukit Batu Merah sebelah timur tampak dibangun sebuah panggung kecil. Di atas panggung terdapat tiga buah kursi besar dan lima kursi keil yang dibuat dari potongan-potongan batang kelapa. Di depan panggung , diantara semak belukar liar terdapat bangku-bangku panjang dalam jumlah banyak, juga terbuat dari batang-batang kelapa. Di ujung deretan kursi-kursi itu berdiri tiga orang berpakaian merah darah, menyandang golok di pinggang. Ketiganya bertindak sebagai penerima tamu.

Setiap tamu yang datang dipersilahkan ambil tempat duduk. Yang paling dulu datang diberikan tempat di deretan bangku sebelah depan, tetapi banyak tamu yang memilih duduk di bagian tengah atau sebelah belakang.

Dari arah selatan lereng Bukit Batu Merah dua orang berpakaian merah berlari cepat menuju puncak bukit. Yang pertama seorang nenek berambut putih, bersarung tangan dan berkasut kain keras. Di ikat pinggang pakaiannya tersisip sebatang tongkat bambu kuning sebesar ibu jari sepanjang sepuluh jengkal. Mendampinginya adalah seorang kakek yang juga berambut putih.

Seperti si nenek dia juga membekal sebatang tongkat bambu kuning dengan besar dan panjang yang sama. Kedua tangan dan kakinya juga mengenakan sarung serta kasut kain keras. Dari cara berlarinya si kakek jelas bahwa salah satu kakinya pincang. Meskipun demikian larinya bukan main cepatnya hingga berulang kali si nenek tertinggal di belakang.

“Wiro!” tiba-tiba si nenek berseru. Yang diserunya tentu saja kakek pincang didepannya. Yang bukan lain memang adalah murid Sinto Gendeng, Pendekar Kapak maut Naga Geni 212 Wiro Sableng!

“Aku benar-benar jengkel dengan semua penyamaran ini! Kepalaku terasa gatal oleh jelaga berwarna putih ini. Mukaku terasa kaku oleh kanji dicampur bedak tebal! Benar-benar konyol!”

Wiro memperlambat larinya lalu menyahuti, “Lebih bagus konyol begini dari pada mati konyol! Kau tahu apa yang kita lakukan ini adalah memasuki sarang harimau! Sekali mereka mengenali kita, bisa berabe urusannya!”

“Ah, ternyata kau sepengecut itu!” ujar si nenek.

“Kemala, jangan sok jadi orang jago kalau hanya mencari penyakit!” tukas Wiro Sabelng pula. “Penyamaran ini adalah satu-satunya jalan agar kita bisa menyusup masuk ke tempat pertemuan! Wajahmu dan tampangku sudah cukup dikenal oleh beberapa orang anggota Serikat Setan Merah yang kita temui di bukit tempo hari! Kau mungkin akan disambut dengan segala penghormatan! Tapi aku, belum dipersilahkan duduk mungkin sudah mereka jegal lebih dulu! Lagi pula ada alasanku mengapa kita harus menyamar begini rupa…”

Si nenek ternyata adalah Kemala, keponakan Adipati Suro Kenanga dari Solotigo, murid Ki Ageng Kuncoro Bekti dari Ungaran!

“Katakan apa alasanmu itu.” sang dara berkata.

“Tak dapat kukatakan sekarang!”

“Hemm… Mengapa begitu?” tanya Kemala penasaran.

“Aku takut terlalu lancang menduga-duga yang tidak karuan. Tapi sejak kejadian ada orang yang hendak membunuhku malam itu, aku punya firasat, jangan-jangan…” Wiro tak meneruskan ucapannya.

Kemala tambah penasaran. “Jangan-jangan apa?!”

“Sudahlah, kita sudah sampai. Ingat, dalam segala hal aku yang akan mewakili bicara. Kau harus mengunci mulut rapat-rapat. Aku kawatir kau kesalahan omong atau keterlepasan bicara. Kedok kita bisa terbuka. Kau mengerti…?"

“Hamba mengerti Pangeran Sableng!” jawab Kemala pula.

“Kau anak bagus! Aku senang kau mau mengikuti usulku pura-pura pulang ke Kejaten dan bilang pada pamanmu bahwa kau tidak punya niat menghadiri pertemuan Serikat Setan Merah…”

Keduanya sampai di puncak buki tempat pertemuan. Tiga orang penerima tamu segera menyabut mereka. Salah seorang diantaranya segera mereka kenali yaitu si kumis dan janggut pendek bernama Sangaji. Di wajahnya masih tampak bekas-bekas hajaran Wiro tempo hari.

“Sepasang nenek dan kakek gagah! Atas nama Pimpinan, kemi mengucapkan selamat datang di Bukit Batu Merah. Tempat pertemuan yang bakal mencatat sejarah dalam dunia persilatan…” Sangaji selaku tuan rumah menyampaikan kata-kata sambutan.

Lupa pada perjanjiannya, Kemala langsung saja ajukan pertanyaan. “Siapakah pimpinan kalian…?”

Wiro cepat menginjak kaki gadis itu seraya berkata. “Maksud nenek peot pacarku ini apakah kami boleh mengambil tempat duduk. Berlari jauh mendaki bukit benar-benar sangat melelahkan…!”

“Ah, jadi nenek ini adalah pacarmu kakek gagah. Pasti kalian sudah lama berpacaran!” Sangaji berkata. Mulutnya tersenyum tapi matanya mengawasi kedua orang itu dengan tajam.

“Sudah… Memang sudah lama kami pacaran. Dan ssstttt…” Wiro melirik ke kiri dan ke kanan, seolah-olah takut ada orang lain mendengar apa yang akan dikatakannya. “Kalian mau tahu. Kami pacaran sejak masih muda hingga tua bangka begini rupa. Kami... kami bukan pacaran. Tapi juga kumpul kebo! Ha ha ha…” Wiro tertawa gelak-gelak.

“Hik hik hik!” Kemala ikut-ikutan tertawa.

Sangaji dan kawan-kawannya juga turut tertawa gelak-gelak. “Kalian kakek dan nenek hebat!” Sangaji memuji. Lalu meneruskan “Sesuai peraturan sebelum kalian mengambil tempat duduk, harap memberi tahu siapa nama atau gelar kalian!”

“Ah, sungguh kami tua bangka tidak tahu peradatan. Sudah diundang orang tapi lupa memperkenalkan diri!” menyahuti Wiro. Lalu dia memberi isyarat pada Kemala. Keduanya kemudian membungkuk dalam-dalam lalu Wiro berkata. “Kami dua tua bangka yang sudah bau tanah ini biasa dipanggil dengan gelaran Sepasang Tua Bangka Bertongkat Bambu Kuning. Lihat, senjata kami memang adalah sebatang tongkat bambu!”

Sambil berkata begitu Wiro cabut tongkat bambunya dari pinggang. Entah kapan dia menggerakkan tangan tahu-tahu tongkat itu sudah menyusup di ketiak salah seorang anggota Serikat Setan Merah yang ada di samping Sangaji. Orang ini sempat tersentak kaget. Wiro tarik kembali tongkat bambunya lalu mendekatkan ujung bambu yang tadi terselip di ketiak orang itu ke arah hidungnya.

“Hueekkk…! Ketiakmu bau amat!” kata Pendekar itu setelah lebih dulu keluarkan suara seperti orang muntah. Si nenek tertawa cekikikan lalu tarik tangan si kakek dan mencari tempat duduk di antara para tamu.

“Sepasang tua bangka gila!” maki anggota Serikat Setan Merah yang tadi ketiaknya sempat disusupi tongkat bambu.

“Mereka bukan manusia-manusia gila!” menyahuti Sangaji. “Ketika keduanya tertawa gelak-gelak, lewat mulut mereka yang terbuka aku dapat melihat barisan gigi-gigi mereka. Rapi dan utuh, tak ada satupun yang ompong! Tua bangka seumur mereka mana mungkin punya gigi seperti itu?! Beri tahu Kepala Keamanan, awasi kedua orang itu dengan ketat! Bilamana pertemuan selesai jangan izinkan keduanya pergi. Kita harus memeriksa mereka. Kalau perlu menelanjanginya!”

Anggota Serikat Setan Merah yang diperintahkan segera tinggalkan tempat itu.

Semakin tinggi baiknya sang surya semakin banyak para tamu mendatangi tempat pertemuan di Bukit Batu Merah itu. Wiro dan Kemala duduk pada deretan bangku kayu keenam di barisan sebelah kanan. Memandang berkeliling sesaat, Wiro kemudian berbisik pada Kemala.

“Aku melihat Pengemis Budiman di deretan kursi paling belakang baris sebelah kiri. Dia membawa beberapa orang muridnya. Kakek ini benar-benar berani mati, datang ke sarang macan tanpa menyamar!”

“Dia lebih menunjukkan jiwa kesatria dari pada kita!” tukas Kemala.

Wiro hendak menyahuti. Tapi terpaksa batalkan ucapannya karena tiba-tiba terdengar suara seperti bunyi gong. Keras, menggema dan menggaung panjang di seantero puncak bukit. Pada saat itu tampak seorang lelaki separuh baya, berpakaian dan berikat kepala merah darah melangkah naik ke atas panggung. Di belakangnya menyusul seorang lelaki yang juga mengenakan pakaian merah. Namun orang ini menutupi wajahnya dengan sebuah kantong kain berwarna merah yang diberi berlobang pada bagian mata dan bawah hidung.

Begitu sampai di atas panggung, orang pertama berbalik menghadap ke arah para tetamu yang duduk di bangku-bangku panjang lalu mengangkat tangan kanannya dengan telapak terkembang. Pada saat itulah Wiro segera mengenali orang ini. dia berbisik pada Kemala.

“Bangsat yang mengangkat tangan itu aku ingat betul. Dia salah seorang yang menyusup ke kamar tidurku tapi kemudian sempat melarikan diri…” Wiro masih hendak bicara panjang tapi orang di atas panggung terdengar kembali berseru.

“Saudara-saudara para tetamu orang-orang gagah yang kami hormati, selamat datang di Bukit Batu Merah, selamat dan berbahagia berada di antara kamu orang-orang Serikat Setan Merah! Sesuai dengan rencana semula, hari ini akan dijadikan bersejarah bagi dunia persilatan. Hanya sayang seribu kali sayang, pertemuan ini dicemari oleh menyusupnya tamu-tamu yang datang ke tempat ini dengan hati buruk dan maksud busuk! Menyadari suasana ini maka acara pertemuan terpaksa ditunda beberapa saat. Atas nama Pimpinan Serikat Setan Merah, para tetamu yang merasa membawa maksud jahat dan hendak menimbulkan kekacauan dipersilahkan menunjukkan diri. Pemimpin, harap sudi memberi aba-aba…”

Orang yang kepalanya ditutup kain mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi lalu berseru. “Aku memberi kesempatan sampai sepuluh hitungan! Jika di antara para tamu tak ada yang mau menyerahkan diri, terpaksa kami menurunkan tangan keras! Bahkan hukuman pancung!”

Wiro dan Kemala saling berpandangan sesaat. “Aku rasa-rasa mengenali suara orang berkedok kain itu…” bisik Kemala.

“Tunggu dulu!” tiba-tiba di bawah panggung ada orang yang berteriak seraya bangkit dari duduknya. Ternyata dia adalah Si Pengemis Budiman! “Soal pancung memancung bisa kita bicarakan kemudian. Aku minta agar kau sudi memperkenalkan diri dan memperlihatkan wajahmu yang tersembunyi di balik kantong kain itu!”

Lelaki pendamping Pemimpin Seikat Setan Merah menjawab ucapan itu dengan kata-kata. “Di tempat ini kami yang membuat peraturan! Para tetamu tidak layak menyampaikan kehendak yang bukan-bukan! Orang tua harap beritahu siapa kau adanya! Katakan nama atau gelarmu!”

“Orang memanggilku Pengemis Budiman. Beberapa waktu lalu anggota-anggota Serikat Setan Merah menyerbu perguruanku tanpa alasan tanpa lantaran! Kalian membunuh beberapa orang murid-muridku dan menculik murid perempuanku bernama Griyati!”

Langsung suasana di tempat itu menjadi gaduh. Orang di atas panggung mengangkat tangannya. Lalu dia berkata dengan suara lantang “Orang-orang kami memang sengaja melakukan itu. Karena kau dan murid-muridmu bukan saja bicara kotor tentang Serikat kami, tapi juga menolak memberikan uang perlindungan serta membangkang tak mau bergabung dengan kami!”

“Siapa sudi bergabung dengan iblis-iblis macam kalian! Aku Pengemis Budiman datang untuk menuntut balas! Hutang darah bayar darah, hutang nyawa bayar nyawa! Katakan di mana Griyati?!”

Bersamaan dengan berakhirnya ucapan orang tua itu enam orang berpakaian merah segera bangkit di kiri kanan Pengemis Budiman. Lalu secara bersamaan, dengan gerakan cepat mereka membuka pakaian merah yang mereka kenakan. Di balik pakaian merah itu kelihatanlah pakaian si kakek yang compang-camping, lalu pakaian enam muridnya yang berwarna biru muda.

“Bagus! Kalian sudah menunjukkan diri masing-masing! Sekarang atas izin Pemimpin aku akan menunjukkan jalan kematian bagi kalian bertujuh! Para tetamu dan para sahabat tolong dijaga agar tujuh pengacau itu tidak seorangpun sempat melarikan diri!”

Habis berkata begitu orang ini keluarkan suitan keras. Di sekitar panggung tiba-tiba saja muncul mengepung hampir lima puluh orang anggota Serikat Setan Merah, rata-rata bertampang liar dan buas!

“Bunuh ketujuh orang itu!” Pemimpin Serikat Setan Merah berteriak dari balik kain penutup kepalanya. Dia berpaling ke arah Wiro dan Kemala lalu sambil menunjuk dia kembali berteriak, “Bunuh juga kakek dan nenek itu!”

SEPULUH

“Celaka! Dia dan orang-orang Serikat Setan Merah sudah tahu penyamaran kita!” berbisik Kemala.

“Tenang saja!” balas berbisik Wiro lalu dia berdiri.

Kemala ikut bangkit. Terdengar suara berkerontangan ketika lima puluh pengepung tempat pertemuan sama- sama mencabut senjata masing-masing yaitu sebilah golok panjang!

“Siapkan pukulan sakti yang mengeluarkan cahaya abu-abu itu…” berkata Wiro.

“Mana mungkin kita menghadapi bangsat-bangsat bergolok sebanyak ini!”

“Tak ada yang tidak mungkin di dunia termasuk di puncak bukit ini!” sahut Wiro.

Baru saja dia berkata begitu, di atas panggung lelaki pendamping pimpinan Serikat Setan Merah berseru. “Saudara-saudara para tetamu yang terhormat! Ini saat kita menunjukkan bakti pada Perserikatan! Bantu kami menghancurkan kaum penyusup!”

Melihat hal ini Pendekar 212 Wiro Sableng kembali berbisik, “Kau tetap di sini. Aku harus membuat gebrakan!” Murid Sinto Gendeng ini kerahkan tenaga dalamnya hingga suaranya menggelegar ketika dia berteriak. “Para orang gagah rimba persilatan! Jika kalian masih menjunjung kebenaran mari bergabung bersama kami dan Pengemis Budiman untuk menghancurkan komplotan keji Setan Merah ini!”

Diantara para tamu memang hanya merupakan undangan biasa saja yang bukan merupakan anggota Serikat Merah. Meski banyak dari mereka sangat membenci segala apa yang telah dilakukan Serikat bejat itu namun sebagai tamu mereka merasa sungkan, hingga hanya ada dua orang saja yang berdiri lalu melompat ke dekat Wiro tegak.

Habis berteriak begitu Wiro melompat ke atas bangku kayu yang kosong, dari sini dia melesat ke atas panggung melewati kepala para tetamu. Di saat tubuhnya melesat di udara, terdengar suara mendengung laksana ribuan tawon mengamuk. Cahaya putih menyilaukan berkiblat disertai menyambarnya hawa panas.

Semua orang yang duduk cepat rundukkan kepala bahkan ada yang bertiarap. Beberapa diantara anggota Serikat Setan Merah yang baru bersiap-siap untuk menyerbu dan terkena sambaran cahaya panas menyilaukan itu langusng terjengkang dan roboh dengan bagian tubuh hangus melepuh!

Ketika Wiro mendarat di atas panggung, orang banyak melihat kakek itu tegak berdiri dengan kaki terpentang. Di tangan kanannya ada sebuah senjata berbentuk kapak bermata dua.

“Kapak Maut Naga Geni 212!” terdengar beberapa mulut yang mengenali berseru.

Tapi sekaligus mereka terheran-heran. Bagaimana senjata mustika dunia persilatan yang ditakuti dan diketahui milik Pendekar 212 Wiro Sableng kini berada di tangan si kakek yang tidak dikenal?!

“Tua bangka pengacau! Siapa kau sebenarnya!” bentak Pimpinan Serikat Setan Merah sementara pendampingnya bersurut keder dua langkah.

Si kakek mengumbar suara tertawa. Tangan kirinya merengut ke wajahnya beberapa kali. Kanji kering yang menutupi wajahnya terkelupas. Kini kelihatanlah mukanya yang asli.

“Kau!” teriak pemimpin Serikat Setan Merah terkejut. Dia langsung berpaling ke arah si nenek yang tegak diantara para tamu. “Jangan-jangan…”

“Semua dengar!” teriak Wiro. “Aku berusaha mencegah pertumpahan darah dan ingin menangkap manusia biang racun ini hidup-hidup. Tapi siapa ingin mencari mati silahkan maju!” Wiro melambaikan tangan kirinya ke arah Pengemis Budiman dan berseru. “Kakek sahabatku, apakah kau dan murid-muridmu sudah siap?!”

“Kami sudah siap dari tadi! Hanya saja kalau kau inginkan bangsat itu hidup-hidup, aku lebih suka mencincang tubuhnya sampai lumat!” menjawab Pengemis Budiman yang meskipun senang melihat pendekar konyol berkepandaian tinggi ini berada di pihaknya tapi diam-diam dia masih mendendam atas perbuatan Wiro tempo hari yang mempermalukannya di depan murid-muridnya sendiri yaitu menarik celananya hingga auratnya yang terlarang tersingkap jelas!

“Boronowo! Kau tunggu apa lagi! Lekas bunuh pengacau satu ini! yang lain-lain cincang pendekar Budiman bersama murid-muridnya! Bunuh siapa saja yang berani menantang Serikat Setan Merah!”

Yang berteriak adalah pemimpin Serikat Setan Merah yang sampai saat ini masih menyembunyikan kepala wajahnya di balik kain merah.

Orang di atas panggung yang bernama Boronowo, yang merupakan tangan kanan sang pemimpin dan sekaligus menjabat sebagai Kepala Keamanan Serikat Setan Merah sesaat tampak ragu. Tentu saja hatinya merasa kecut karena malam ketika dia hendak melakukan pembunuhan atas diri Wiro Sabelng, murid Sinto Gendeng itu telah menghajarnya hingga mutah darah dan terluka parah di dalam.

Sampai saat itu luka dalamnya masih belum sembuh. Dadanya kerap kali sesak dan setiap bernafas dalam dan panjang terasa mendenyut sakit. Saat itu dia lebih suka berada di tempat lain. Tapi di atas panggung dan diperintah begitu rupa mana mungkin bagi Boronowo untuk menghindar.

Maka mau tak mau dai lalu loloskan goloknya karena memang ilmu golok adalah kepandaian yang paling diandalkannya. Di samping itu untuk membentengi diri tenaga dalamnya langsung di alirkan di tangan kiri. Boronowo membuka serangan dengan satu bentakan keras sambil membabatkan senjatanya ke pinggang Pendekar 212 Wiro Sableng!

Di bagian lain, lima puluh anggota Serikat Setan Merah ditambah beberapa tokoh persilatan yang tersesat masuk bergabung dengan komplotan itu sudah bergerak pula menyerbu Pendekar Budiman dan enam muridnya yang dibantu oleh beberapa orang persilatan yang memang sengaja datang untuk membuat perhitungan dengan Serikat Setan Merah. Si 'nenek' Kemala yang ada di antara orang-orang itu tentu saja menjadi sasaran serangan pula. Tanpa tunggu lebih lama gadis ini hantamkan kedua tangannya ke depan.

"Wussss! Wussss...!"

Dua gelombang sinat abu-abu yang menghampar hawa dingin menggebu ke arah para penyerang. Empat orang anggota Serikat Setan Merah berteriak keras. Tubuh mereka terpental sampai dua tombak lalu roboh terjengkang di tanah tanpa mampu bergerak lagi. Masing-masing menjadi kaku dan sekujur tubuh terasa dingin laksana dibungkus es! Rahang mereka menggembung, geraham bergemelatakan. Akhirnya keempat orang ini menemui ajal dengan muka mengkerut dan mulut menganga.

Betapapun tingginya tingkat kepandaian Kemala, namun dikeroyok oleh lebih sepuluh orang lawan membuat gadis ini serta merta terdesak hebat. Dengan nekad dia merampas golok salah seorang anggota Serikat Setan Merah. Lalu dengan golok di tangan kanan dan tongkat bambu kuning di tangan kiri, gadis ini mengamuk. Dua orang rebah mandi darah.

Namun serangan bukannya berkurang. Empat orang lagi datang menyerbu hingga kini ada dua belas orang yang mengeroyok sang dara, kemudian di tambah lagi oleh seorang tokoh silat bertubuh bungkuk yang merangsak dengan sebuah senjata berbentuk celurit besar. Kembali murid Ki Ageng Kuncoro Bekti ini terdesak hebat.

Pendekar Budiman dan enam muridnya serta tiga tokoh silat yang ikut membantunya saat itu harus menghadapi gempuran lebih dari tiga puluh orang anggota Serikat Setan Merah. Dua diantara mereka adalah Sangaji dan Galut.

Pendekar budiman mengamuk dengan senjatanya yaitu tongkat akar pohon. Benda ini berkelebat kian kemari, menggebuk dan menusuk. Dua korban pertama segara menjadi korban si kakek. Satu pecah kepalanya, satu lagi ambrol perutnya ditembus ujung tongkat! Namun seperti juga Kemala, keadaan pendekar tua dan murid-muridnya itu segera terjepit dalam kurungan para pengeroyok.

Si kakek kertakkan rahang. Tongkatnya diputar secara aneh hingga berubah seperti sebuah titiran. Terdengar pekik di sana sini. Korban jatuh lagi di pihak anggota Serikat Setan Merah. Tapi salah seorang murid Pendekar Budiman saat itu tidak mampu loloskan diri dari satu serangan serentak yang dilancarkan tiga orang anggota komplotan serta seorang tokoh silat golongan hitam. Tubuhnya terkutung di bagian bahu kiri, roboh mandi darah. Lalu selagi dia mengerang kesakitan satu tusukan golok menembus lehernya!

Pendekar Budiman menggembor marah menyaksikan kematian muridnya itu. tongkat akar kayu terus di putar sementara tangan kirinya dengan cepat menyusup ke balik pakaian. Begitu dikeluarkan langsung dihantamkan ke depan. Terdengar suara berdesing sewaktu selusin paku halus menderu di udara. Lima anggota Serikat Setan Merah terpekik. Tujuh lainnya masih sempat melihat melesatnya senjata rahasia itu lalu cepat-cepat jatuhkan diri cari selamat.

Meski banyak dari kawan-kawan mereka sudah menemui ajal tapi anggota-anggota Serikat Setan Merah benar-benar nekad. Mereka terus merangksek dan entah darimana munculnya tahu-tahu ada sepuluh lagi orang berpakaian merah memasuki ajang pertempuran.

SEBELAS

Kembali ke atas panggung. Ketika golok lawan menyambar ke arah pinggangnya. Wiro sengaja tidak menangkis dengan Kapak Naga Geni 212. Dia hindarkan serangan orang dengan melompat ke samping. Begitu serangannya luput, Boronowo langsung susul dengan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun pengerahan tenaga dalam yang begitu besar membuat luka dalamnya yang masih belum sembuh menjadi kambuh kembali. Dadanya langsung menyesak sakit! Tapi orang ini berlaku nekad! Dalam keadaan begitu rupa dia masih berusaha lepaskan pukulan.

Angin deras menerpa ke arah Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng ini balas menangkis dengan pukulan tangan kosong yaitu tangan kiri. Sang pendekar tampak tergontai-gontai sebaliknya Boronowo terjajar beberapa langkah. Dari sela bibirnya kelihatan ada darah mengucur yang kemudian diludahkannya ke bawah panggung. Tangan kirinya diangkat memegangi dada.

“Kucing buduk!” Wiro berkata seenaknya. “Jika kau mau memerintahkan anak-anak buahmu menghentikan perkelahian, akan kuampuni selembar nyawamu!”

“Setan alas! Bangsat rendah!” menyumpah Boronowo. “Kalau malam itu aku tak dapat membunuhmu, saat ini jangan harap nyawa anjingmu bisa lolos dari tanganku!”

Lalu dia melompat ke depan. Goloknya berputar ganas dan aneh. Rupanya dia tengah mengeluarkan jurus-jurus ilmu goloknya yang paling hebat. Wiro merasa seperti ada selusin golok mencurah ke arah tubuhnya mulai dari kepala sampai ke pinggang. Murid Sinto Gendeng dipaksa harus bergerak cepat untuk selamatkan diri. Dia melompat kian kemari namun tubuhnya seperti satu magnit yang menarik senjata lawan. Golok itu terus mengikuti kemana dia bergerak.

"Brettt...! Brettt...!"

Pakaian Pendekar 212 robek besar di bagian dada dan perut. Wiro melompat jauh sambil meringis kecut. Tengkuknya terasa dingin. Baru sekali ini dia menghadapi orang memiliki ilmu golok begitu luar biasa! Karenanya ketika Boronowo kembali menyerbunya tanpa tunggu lebih lama murid Sinto Gendeng angkat tangan kanannya. Terdengar suara menggaung disertai berkilatnya sinar putih perak menyilaukan.

"Trangg...!"

Golok di tangan Boronowo patah dua dan terpental lepas dari tangannya. Bersamaan dengan itu tubuhnya jatuh duduk di lantai panggung. Tangan kanannya terasa kaku dan panas. Dia berusaha bangkit tapi belum lagi tubuhnya terangkat satu tendangan melabrak dadanya! Tubuh Boronowo tercampak ke bawah panggung, bergulingan beberapa kali lalu terhenti di depan serumpun semak belukar liar.

"Bukkk...!"

Satu pukulan keras menghajar tengkuk Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng tersungkur ke puanggung. Pangkal lehernya seperti patah dan sakitnya bukan main. Tapi kemarahan pendekar inipun bukan olah-olah. Sambil gulingkan diri ke kiri dia menyaksikan pemimpin Serikat Setan Merah siap menghujamkan sebuah senjata berbentuk tombak pendek ke arah perutnya!

“Setan Merah keparat! Beranimu membokong dari belakang! Rasakan kapak Naga Geni 212 ini!” teriak Wiro marah.

Setangah berlutut dia hantamkan senjata mustikanya ke depan, menyongsong tusukan tombak. Untuk kedua kalinya ditempat itu terdengar suara berdentrangan. Tombak di tangan pemimpin Serikat Setan Merah patah tiga dan patahannya mencelat ke udara. Pemiliknya sendiri tampak sudah melompat dengan muka pucat. Sekujur tangan kanannya terasa panas sekali!

“Sudah saatmu membuka kain penutup kepala itu! Perlihatkan tampangmu manusia setan!” ujar Wiro seraya melangkah mendekati.

Yang didekati tiba-tiba membuka tangan kirinya dan melemparkan sesuatu yang sejak tadi dipegangnya.

"Wussss...!"

Terdengar suara mendesis keras. Saat itu juga panggung itu terbungkus oleh asap tebal berwarna kebiruan, membuat pemandangan Pendekar 212 jadi terhalang, pemimpin Serikat Setan Merah ini segea melompat dari panggung, berkelebat ke arah kiri!

Kalau di atas panggung Wiro tidak dapat melihat kemana lenyapnya lawannya, lain halnya dengan orang-orang yang berada jauh di bawah panggung. Hampir semua orang diantaranya Kemala dan Pendekar Budiman, sempat melihat kearah mana kaburnya pimpinan Serikat Setan Merah itu.

Merasa tidak ada gunanya meneruskan perkelahian, apalagi dia dalam keadaan terdesak pula maka Kemala yang sampai saat itu masih berada dalam penyamaran sebagai seorang 'nenek' keluarkan bentakan keras, menghantam dengan bambu serta golok rampasan yang ada di kedua tangannya. Begitu lawan tersibak, kesempatan ini dipergunakan si gadis untuk menyelinap keluar dari kalangan perkelahian dan lari ke jurusan timur.

Sambil lari Kemala berteriak, “Wiro ikuti aku! Bangsat itu lari ke arah lereng timur!”

Dalam keadaan terbatuk-batuk keluar dari kepungan asap lalu melompat ke jurusan di mana dilihatnya Kemala berkelebat. Hal yang sama juga dilakukan Pendekar Budiman begitu mendengar teriakan Kemala. Jauh-jauh datang untuk menuntut balas malah ada anak muridnya yang sudah jadi korban maka kalau sampai kehilangan musuh besarnya itu, dia akan mati penasaran!

Di lain pihak, mengetahui bahwa pimpinan mereka melarikan diri, apalagi setelah menyaksikan matinya Boronowo, para anggoa Serikat Setan Merah menjadi patah semangat kalau tak mau dikatakan putus nyali. Semuanya memilih melarikan diri. Mereka berserabutan ke berbagai penjuru Bukit Batu Merah itu.

Ternyata pemimpin Serikat Setan Merah yang melarikan diri tidak memiliki ilmu lari yang bisa menyelamatkan dirinya. Dalam waktu sebentar saja Kemala berhasil mengejarnya, lalu Wiro dan terakhir menyusul Pendekar Budiman.

“Manusia setan! Permainanmu berakhir saat ini! cepat kau buka kain merah penutup kepalamu! Atau aku yang membukanya bersama-sama batang lehermu!” berkata Wiro sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212 di depan dada.

Sepasang mata di balik kain merah itu tampak melotot ketakutan. Dia melirik ke kiri dan ke kanan.

“Jangan harap bisa lolos dari tangan kami!” membentak Pendekar Budiman. “Lekas katakan di mana muridku Griyati kau sekap!”

“Kalau… kalau kuberi tahu di mana gadis itu berada, kalian harus berjanji untuk tidak membunuhku dan membiarkan aku pergi!” berkata pemimpin Serikat Setan Merah.

Kemala melengak kaget ketika mendengar suara pemimpin Serikat Setan Merah. Sebelumnya dia hanya mendengar dari kejauhan. Berada sedekat seperti saat itu dia seperti mengenali suara orang iu. Tiba-tiba degnan kecepatan seperti kilat Kemala melompat ke depan. Tangan kirinya menyambar dan...

“Paman Suro Kenanga!” teriak Kemala ketika kain pembunkus kepala pemimpin Serikat Setan Merah berhasil direnggutnya dan dia serta Wiro dan Pendekar Budiman kini dapat melihat jelas kepala serta wajah orang itu!

“Aku tidak bermimpi...” desis Kemala seraya menggosok-gosok kedua matanya. Ketika ingat kalau saat itu dia masih menyamar sebagai nenek, dengan tangan kirnya Kemala menanggalkan topeng kanji yang menutupi wajahnya.

“Kemala, keponakanku… Aku sudah duga. Memang kau rupanya…” Suro Kenanga merasakan lututnya seperti goyah, akhirnya dia terduduk di tanah. Wiro dan Pendekar Budiman tertegak bengong. Tapi di lain kejap orang tua berpakaian compang camping itu sudah melompat ke depan dan menekankan ujung tongkat akar kayunya ke tonggorokan adipati Solotigo itu. Sekali dia menekan menusukkan maka tertembuslah leher sang Adipati.

“Lekas katakan di mana murid perempuanku! Atau kubunuh kau saat ini juga!" mengancam Pendekar Budiman dengan suara bergetar menahan amarah dan dendam kesumat.

“Paman…!” berseru Kemala. “Bagaimana ini bisa terjadi! Benar kau menjadi pemimpin komplotan orang-orang jahat yang menamakan Serikat Setan Merah itu…?!”

“Kau melihat sendiri Kemala, memang begitu kenyataannya…” jawab Suro Kenanga dengan suara perlahan dan sekujur tubuh kuyu. “Dosaku keliwat besar! Silahkan kalian membunuhku saat ini juga!”

“Bangsat! Kau harus mengatakan lebih dulu di mana murid perempuanku!” teriak Pendekar Budiman.

“Muridmu berada dalam keadaan aman. Tidak kurang suatu apa. Tak ada yang menyentuh dirinya atau menodainya…”

“Aku tidak bisa percaya kata-katamu Adipati laknat! Sebelum aku melihat sendiri keadaan muridku!” sentak Pendekar Budiman lalu menekankan ujung kayu ke leher Suro Kenanga hingga Adipati ini meringis kesakitan.

“Aku bersumpah tidak mendustaimu. Muridmu berada di ruang bawah bangunan berbentuk candi di halaman belakang gedung Kadipaten…”

Pendekar Budiman kembali hendak membentak tetap Kemala lebih dulu membuka mulut, “Paman, saya tak habis mengerti dan sangat menyesalkan. Mengapa kau melakukan semua ini…”

Sepasang mata Suro Kenanga tampak berkaca-kaca. “Aku... aku melakukannya karena butuh sejumlah besar uang dan harta…”

“Uang dan harta…? Untuk apa paman?!” tanya Kemala.

“Aku harus menyediakan dan memberikan uang serta harta atau apa saja yang berharga pada seseorang di Kotaraja. Jumlahnya terlalu besar dan aku tak sanggup mendapatkannya kecuali melakukan pemerasan dan penindasan terhadap rakyat. Merampas dan merampok. Ketika keadaanku terancam, aku terpaksa memerintahkan orang-orangku melakukan kejahatan itu. lambat laun mereka berubah menjadi penjahat benaran. Lalu menyusup segala macam maling dan penjarah! Jumlah mereka jadi tambah banyak. Aku tak sanggup lagi mengendalikan mereka… Ah Gusti Allah. Dosaku terlalu besar dan berat!”

“Paman, kau belum mengatakan untuk apa uang dan harta itu? Lalu kepada siapa kau berikan?” bertanya Kemala.

“Uang dan harta itu sebagai suapan agar aku tetap menduduki jabatan Adipati seumur hidup. Kepada siapa aku memberikannya tak mungkin aku beri tahu. Ya Tuhan… Aku sadar aku ini gila jabatan. Gila kekuasaan…”

Wiro Sableng garuk-garuk kepala. Sebelumnya dia memang sudah bercuriga bahwa pemimpin Serikat Setan Merah itu adalah Suro Kenanga. Dia tidak mau memberi tahukannya pada Kemala. Takut kesalahan. Ternyata dugaanya tidak meleset!

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” bertanya Wiro meminta pendapat Pendekar Budiman.

Tapi orang tua itu tidak membuka mulut. Yang menjawab adalah Kemala. “Paman, kami terpaksa membawamu ke Kadipaten, terus ke Kotaraja. Tak ada jalan lain. Mudah-mudahan Sri Baginda mengurangi hukuman bagimu…”

Suro Kenanga menggelengkan kapala. “Berjalan jauh-jauh ke Kotaraja hanya untuk mendapat tiang gantungan. Kalau aku harus mati menebus dosa-dosaku, lebih baik mati di tempat ini saja. Sekarang!”

Tiba-tiba sekali Suro Kenanga menarik dan menghujamkan keras-keras ke lehernya sendiri tongkat akar kayu milik Pendekar Budiman yang sejak tadi menempel di lehernya!

Darah muncrat. Kemala berteriak. Pendekar Budiman dan Wiro terkesiap kaget. Perlahan-lahan kedua tangan yang memegang kencang tongkat kayu itu terkulai lemas dan jatuh ke samping. Pendekar Budiman tak berani menarik tongkatnya. Ketika senjata andalannya itu dilepasnya, sosok tubuh Adipati Suro Kenanga yang sudah jadi mayat itu langsung jatuh terlentang di tanah.

Lereng bukit itu sesunyi di pekuburan. Hanya suara isak tangis Kemala yang terdengar di antara siliran angin yang berhembus.

T A M A T

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.