Ratu Mesum Bukit Kemukus

RATU MESUM BUKIT KEMUKUS

SATU

DESA Kenconowengi yang malam itu sebelumnya tenggelam dalam udara sejuk dan kesunyi-senyapan mendadak saja berubah menjadi hingar bingar. Di sebelah utara tampak kobaran api membakar dua buah rumah. Di sebelah timur terdengar pekik jerit orang-orang yang ketakutan. Lalu ada suara derap kaki kuda. Terdengar suara kentongan bersahutan beberapa kali lalu senyap. Di jurusan lain terengar teriakan-teriakan orang sambil berlarian bercampur aduk dengan jerit tangis anak-anak dan orang-orang perempuan.

“Lari! Lari! Gerombolan Warok Ijo menyerbu! Selamatkan diri ke lembah! Lari…!”

Derap kaki kuda datang menyerbu. Dua bilah golok panjang berkelebat. Dua orang penduduk yang barusan berteriak roboh ke tanah. Darah muncrat dari tubuh keduanya. Yang pertama langsung meregang nyawa dangan leher hampir putus. Kawannya yang terkapar di sebelahnya, sesaat masih tampak menggeliat sambil pegangi dadanya yang robek besar, lalu diam tak berkutik lagi tanda nyawanya pun sudah putus.

Gender Kumboro, kepala desa Kenconowengi yang tengah terbaring sakit diserang demam panas, dengan susah payah turun dari ranjang ketika dua orang petugas desa masuk memberi tahu apa yang terjadi.

“Gerombolan ganas itu…” berucap Gender Kumboro sambil bersandar ke dinding, “sudah lama aku mendengar sepak terjang biadab mereka. Ternyata akhirnya meraka datang juga mengganas di desa kita ini…!”

Dengan terhuyung-huyung kepala desa yang hidup sendirian tanpa anak sejak istrinya meninggal dua puluh tahun lalu itu, melangkah mengambil parang yang tergantung di dinding kamar, lalu melangkah keluar.

“Kepala desa! Apa yang hendak kau lakukan?!” bertanya salah seorang anak buahnya.

Tanpa berpaling Gender Kumboro menjawab, “Kalian berdua bantu penduduk mengungsi. Selamatkan anak-anak dan orang-orang perempuan. Aku akan menghadang gerombolan biadab itu!”

“Jangan lakukan itu! Mereka berjumlah lebih dari sepuluh orang! Tiga orang petugas desa sudah mereka bunuh! Dan kau sedang sakit pula!”

Gender Kumboro terus melangkah ke pintu seraya berkata, “Aku merasa lebih baik mati di tangan gerombolan itu daripada mati karena sakit di atas tempat tidur!”

Walaupun saat itu tubuhnya terasa panas, tapi kepala desa ini mendadak merasakan ada satu kekuatan di dalam dirinya yang memberinya semangat untuk melakukan niatnya.

Dua orang petugas desa tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka lari ke arah barisan penduduk yang tengah mengungsi menuju lembah sementara beberapa buah rumah lagi tampak dibakar oleh gerombolan penjahat Warok Ijo.

Di satu kelokan jalan, Gender Kumboro berpapasan dengan dua orang penunggang kuda berpakaian dan bertutup kepala serba hitam. Mereka tampak membawa buntalan besar berisi harta benda hasil rampokan.

“Ini dua diantara bangsat-bangsat durjana itu…” kata Gender Kumboro menggeram. Cepat dia menyelinap di balik serumpunan pohon bambu di tepi jalan. Ketika penunggang kuda pertama lewat, Gender Kumboro serta merta membabatkan parangnya.

Terdengar jeritan keras si penunggang kuda ketika parang merobek perutnya. Tubuhnya terpelanting ke kiri lalu jatuh ke tanah. Kuda tunggangannya meringkik keras dan menghambur kabur dalam kegelapan malam.

Penunggang kuda kedua tersentak kaget dan hentikan kudanya. Tangan kanannya segera menghunus golok lalu sambil membentak dia melompat ke tanah. “Bangsat dari mana yang berani membokong anak buah Warok Ijo…?”

Belum selesai ucapannya itu, sebuah parang berkelebat di depan kepalanya. Anggota gerombolan Warok Ijo ini angkat tangan kanan, menangkis dengan goloknya.

“Trangg!"

Dua senjata beradu dalam kegelapan malam. Gender Kumboro merasakan tangannya pedas kesemutan. Gagang parang hampir terlepas dari gengggamannya. Cepat-cepat kepala desa ini mengatur kedua kakinya agar tidak terhuyung limbung. Justru saat itu orang berpakaian serba hitam di depannya keluarkan suara memaki dan menusukkan senjatanya ke arah perut Gender Kumboro. Orang tua yang dalam keadaan sakit panas ini melompat ke kiri. Dia berhasil mengelakkan tusukan lawan lalu secepat kilat membacok ke arah leher anggota gerombolan itu.

Akan tetapi lawannya bertindak lebih cepat lagi. Begitu tusukannya luput, goloknya dibabatkan membalik, langsung membacok ke arah barisan tulang iga kanan Gender Kumboro.

Kepala desa itu menjerit. Tubuhnya disebelah kanan luka besar. Dua tulang iganya nyaris putus. Parangnya tercampak ke tanah. Dia sendiri langsung roboh.

Menyangka orang sudah mati, gerombolan rampok itu melompat ke punggung kudanya kembali dan tinggalkan tempat itu tanpa mempedulikan kawannya yang tergeletak dekat rumpun bambu dalam keadaan sekarat.

Gender Kumboro kumpulkan sisa-sisa tenaganya yang ada dan dengan susah payah dia berusaha berdiri. Sesaat dia tertegak nanar sambil berpegangan pada batang bambu. Lalu dengan darah masih mengucur dari lukanya kepala desa ini melangkah tertatih-tatih. Belum jauh dia melangkah sosok tubuhnya yang kehabisan darah dan tenaga itu jatuh tergelimpang. Di saat yang sama seorang penduduk yang tengah berlari melewati tempat itu dan mengenali kepala desanya segera mendatangi unntuk memberikan pertolongan.

Tapi Gender Kumboro yang sadar bahwa nyawanya tak akan lama segera berkata terputus-putus. “Ja… jangan perdulikan diriku. Lekas kau te… temui Jarotomo. Ha... hanya pemuda itu yang da… dapat menyelamatkan desa dan pen… penduduk. Ha… hanya dia yang… yang mampu menghadapi ger… gerombolan Warok Ijo…”

“Tapi bagaimana pun kau harus kuselamatkan lebih dahulu kepala desa!”

“Jangan tolol! Cari Jarotomo! Pemuda itu baru saja mewa… mewarisi ilmu… ilmu kesaktian dari Ratu Kemukus. Hanya di… dia yang mampu menghadapi gerombolan Warok Ijo. Lekas pergi… Cari dia!” Habis berkata begitu kepala Gender Kumboro terkulai.

Sadar dia tidak bisa menolong lagi, penduduk tadi segera tinggalkan tempat itu dan lari sekencang yang bisa dilakukannya menuju ke selatan, melewati kebun kelapa. Dan di ujung kebun itu tampak sebuah gubuk kecil dalam kegelapan malam.

“Jarot! Jarotomo! Kau ada di rumah?!”

Tak ada jawaban. Tapi orang ini mendengar suara mendengkur di dalam gubuk. Tidak sabaran dia mendorong pintu kuat-kuat lalu masuk ke dalam gubuk. Sesaat setelah matanya terbiasa dengan kegelapan di tempat itu, orang ini melihat pemuda yang dicarinya di sudut sebelah dalam, terbaring tidur dengan mengeluarkan suara mengorok.

“Jarot! Bangun! Desa kita diserbu gerombolan Warok Ijo! Jarot ayo bangun!”

Pemuda yang sedang tidur tampak menggeliat lalu membuka matanya. “Apa-apaan ini…?!”

“Jarot! Desa kita diserbu gerombolan Warok Ijo. Mereka merampok dan membunuh! Menurut kepala desa hanya kau yang mampu menghadapi penjahat-penjahat itu!”

“Mana kepala desa…?”

“Dia sudah mati dibunuh gerombolan! Ayo bangun Jarot! Pergunakan ilmu yang kau dapat dari Ratu Kemukus!”

Pemuda bernama Jarotomo segera berdiri. Dia mengusap muka dan rambutnya yang gondrong berulang kali. Sesaat dia memandang orang di depannya dengan ragu.

“Apakah… apakah ilmu yang kudapat dari sang Ratu benar-benar bisa dipakai mengahadapi orang-orang jahat itu…?” katanya seolah-olah bertanya pada diri sendiri.

“Lekas Jarot! Kau harus mencegah mereka. Kalau tidak akan banyak lagi korban yang mereka bunuh! Akan banyak harta penduduk yang mereka jarah!” Lalu orang itu menarik lengan Jarotomo.

DUA

Ketika Jarotomo sampai di desa, tiga orang anggota Warok Ijo tampak tengah menggiring beberapa ekor lembu. Lalu di arah lain seorang penjahat memanggul tubuh seorang gadis tanggung yang menjerit dan meronta-ronta coba melepaskan diri.

Jarotomo kepalkan kedua tangannya. Dadanya berdebar. Sepasang matanya memandang ke arah empat penjahat yang bertampang garang itu. Mereka semua membekal golok sedang dia hanya bertangan kosong.

“Ilmu Ratu Kemukus… Apakah aku sanggup menghadapi menusia-manusia jahat ini dengan ilmuku itu…?” Sesaat Jarotomo merasa ragu. Lalu didengarnya orang di sebelahnya berkata.

“Ayo! Apa yang kau tunggu Jarot! Hajar mereka! Bunuh mereka!”

Jarotomo mengigit bibirnya sendiri. Tiga penjahat yang menggiring lembu-lembu hasil rampokan lewat di depannya. Pemuda itu seperti tidak acuh bahkan tidak bergerak. Namun kepalanya berpaling ke jurusan penjahat yang memanggul anak gadis orang. Tiba-tiba Jarotomo berteriak.

“Manusia bangsat! Lepaskan gadis itu!” Lalu Jarotomo lari mengejar. Anggota gerombolan yang mengetahui kalau ada orang berteriak dan mengejarnya menoleh ke belakang.

“Eh, ada juga penduduk yang punya nyali berani mengejar!” pikir anggota gerombolan ini. Dia hentikan langkahnya kemudian tegak menunggu. Ketika Jarotomo sampai dihadapannya dia lalu membentak.

“Apa maumu pemuda tolol?! Ingin mampus berani meneriaki dan mengejarku?!”

Sesaat Jarotomo terkesiap. Gerombolan yang menculik anak gadis orang itu ternyata memiliki tampang seangker setan. Mukanya yang hitam itu memiliki satu mata, serta cacat bekas tikaman senjata tajam di pipinya sebelah kanan. Kumis dan cambang bawuknya meranggas. Tergetar juga hati Jarotomo. Belum pernah dia melihat manusia seseram yang di hadapannya itu.

Melihat orang terkesiap, anggota gerombolan Warok Ijo bermaa satu tertawa bergelak. “Baru melihat tampangku saja kau sudah kencing di celana. Pergi sana!” Penjahat ini hantamkan kaki kanannya menendang perut Jarotomo.

Yang ditendang langsung terpental dan jatuh ke tanah. Tapi anehnya Jarotomo sama sekali tidak merasa sakit! “Aku kebal pukulan!” desis si pemuda sambil pegangi perutnya seperti tidak percaya. Cepat dia berdiri dan menghadang penjahat yang siap hendak tinggalkan tempat itu.

Yang dihadang tentu saja terkejut karena menyangka pemuda itu paling tidak telah jatuh pingsan dihantam tendangannya itu. “Keparat! Kau benar-benar minta mampus!”

Dengan tangan kanannya si muka setan itu cabut golok. Begitu senjata keluar dari sarung, golok itu langsung dibabatkannya ke pinggang Jarotomo. Si pemuda yang tidak menyangka bakal diserang begitu rupa terlambat berkelit selamatkan diri. Mata golok menghantam pinggang kirinya dengan deras.

"Buukkk...!"

Tubuh Jarotomo terbanting ke kanan. Bajunya robek dimakan mata golok. Tapi tubuhnya sedikitpun tidak luka! Melihat dirinya ternyata juga tidak mempan hantaman senjata tajam berkat ilmu yang didapatnya dari Ratu Kemukus, keberanian pemuda itu jadi berkobar. Selagi anggota rombongan Warok Ijo tertegun tidak percaya melihat si pemuda tidak mempan dibacok, Jarotomo sudah meloncatinya dan melayangkan jotosan tepat ke satu-satunya mata yang masih utuh, yaitu mata kanannya.

Anggota gerombolan ini meraung kesakitan. Gadis yang dipanggulnya diturunkan lalu dengan golok di tangan dia menyerbu Jarotomo. Senjata itu berkelebat kian kemari. Jarotomo yang memang tidak memiliki kepandaian silat sulit untuk dapat mengelak. Beberapa kali golok lawan menghantam tubuhnya dengan suara bergedubukan. Namun seperti tadi tidak satu bacokan atau tusukanpun yang mempu melukai kulitnya.

“Eh, pemuda setan alas ini punya ilmu apa sampai golok tidak mempan?!” ujar anggota gerombolan sulit untuk percaya, lalu hentikan serangannya dan melompat mundur dengan nafas mengengah. Tengkuknya mulai terasa dingin oleh rasa takut sedang mata kanannnya yang lebam tak mampu membeliak.

“Anak muda! Siapa kau?!”

Jarotomo tidak menjawab. Tangan kanannya dihantamkan ke arah tenggorokan lawan. Anggota rampok itu kembali babatkan goloknya. Lagi-lagi terdengar suara bergedebuk, dan seperti tadi tangan itupuntak mempan dibacok!

Sadar kalau pemuda di hadapannya itu memiliki ilmu kepandaian luar biasa, anggota gerombolan Warok Ijo itu jadi putus nyalinya. Tanpa tunggu lebih lama dia segera putar tubuh untuk melarikan diri. Namun Jarotomo sempat mencekal leher pakaian penjahat ini lalu ditariknya kuat-kuat hingga orang ini tersungkur ke tanah. Sebelum dia sempat bangkit, Jarotomo injak lehernya keras-keras. Terdengar suara berderak. Anggota gerombolan itu mati dengan lidah terjulur!

Jarotomo cepat melangkah mendekati gadis yang tadi diculik. Gadis ini kini terbaring ketakutan dekat kandang itik. Mukanya pucat pasi. Namun belum sempat mendekati lebih dekat tiba-tiba tiga orang berkelebat mengurung si pemuda. Lalu tendangan menghajar pinggulnya disusul satu jotosan melanda pipinya. Jarotomo langsung terkapar di tanah!

“Kawan-kawan ayo cincang pemuda keparat ini! Dia telah membunuh teman kita Kaimin!” satu suara keras terdengar.

Kemudian tiga batang golok berkelebat mencari sasaran di tiga bagian tubuh Jarotomo yaitu kepala, leher dan dada.

"Bukkk! Bukkk! Bukkk!"

Terdengar suara bergedebukan tiga kali sewaktu tiga bilah golok besar dan tajam itu mendarat di kepala, leher serta tubuh Jarotomo. Namun seperti kehebatan yang ditunjukkan pemuda ini sebelumnya, tak satupun hantaman golok para penjahat mampu melukai dirinya, hanya pakaiannya saja di bagian punggung yang tampak robek.

Tiga pasang mata anggota gerombolan Warok Ijo terbeliak besar. Salah seorang dari penjahat itu cepat berbisik pada teman di sebelahnya. “Manusia ini punya kepandaian tinggi. Dia kebal senjata tajam dan pukulan…” salah seorang anggota gerombolan berbisik.

“Apa yang harus kita lakukan?” temannya bertanya.

“Kalian berdua tetap di sini. Jangan bangsat ini sampai lolos. Aku akan memberi tahu Warok Ijo kita menemukan kesulitan!”

Orang yang berbisik cepat berkelebat tanpa menunggu jawaban temannya. Dengan golok tergenggam erat di tangan, dua anggota gerombolan Warok Ijo itu memperhatikan Jarotomo perlahan-perlahan berdiri. Hendak menyerang mereka merasa ragu. Tetapi sewaktu Jarotomo maju menerjang, mau tak mau keduanya pergunakan golok untuk menghantam.

Dua bacokan menghantam tubuhnya. Jarotomo merangsak terus. Karena mulai ketakutan dua penyerang maelangkah mundur.

“Ayo bacok terus! Mengapa berhenti dan mundur?!” ejek Jarotomo.

“Anak muda! Kalau kau mau mengajarkan kepandaianmu pada Warok Ijo, pemimpin kami itu pasti mengambilmu menjadi wakilnya!” salah seorang anggota gerombolan berkata.

“Ha ha ha!” terdengar suara tawa bergelak. “Aku mau lihat tampang orang yang hendak kalian jadikan wakilku itu! Anak muda berambut gondrong! Putar tubuhmu! Lihat kemari!”

TIGA

Perlahan-lahan Jarotomo putar tubuhnya. Lima langkah di hadapannya, diatas seekor kuda coklat, dikelilingi oleh enam lelaki berwajah ganas yang juga menunggang kuda dilihatnya seorang lelaki berpakaian serba hijau berwajah dan berkepala aneh. Kepalanya botak plontos dan berwarna hijau samapi ke mukanya yang bermata sipit.

“Hemm, ini rupanya kepala gerobolan yang dipanggil dengan sebutan Warok Ijo itu…” kata Jaratomo dalam hati.

“Ha ha ha! Jadi ini tampangnya tikus cecurut bau pesing yang sesumbar hendak menjadi wakilku! Ha ha ha!” Warok Ijo tertawa mengekeh. Barisan gigi-giginya besar dan hitam. Sambil usap dagunya yang ditumbuhi janggut lebat, Warok Ijo bertanya, “Gondrong! Kau yang barusan membunuh Kimin anak buahku?!”

“Aku tidak membunuhnya!” jawab Jarotomo seenaknya.

“Lantas…?!” Warok Ijo mengerenyitkan kening mendengar jawabanitu.

“Dia sendiri yang minta mampus! Kalian semua juga ingin mencari mati!”

Sepasang mata sipit Warok Ijo membesar sedikit. Lalu terdengar kembali suara tawanya berkekehan. “Anak muda bau tengik! Lagak bicaramu seperti raja diraja dunia persilatan! Aku mau lihat apa betul kau tidak mempan senjata tidak mempan pukulan!”

Habis berkata begitu Warok Ijo berkata pada anak buah di sebelahnya. “Berikan belati besarmu padaku!”

Anak buah Warok Ijo segera cabut sebilah belati besar yang tersisip di pinggangnya lalu diserahkan pada Warok Ijo. Kepala gerombolan ini menimang-nimang pisau besar itu beberapa saat, kedua matanya memandang tak berkesip ke arah Jarotomo. Tiba-tiba dari mulutnya terdengar teriakan keras.

“Hiaattt...!”

Belati di tangan Wiro Ijo melesat di udara. Dalam jarak hanya terpisah lima langkah, senjata itu menderu ke arah batang leher Jarotomo. Bagian tajamnya tepat menghantam leher pemuda itu, seperti hendak menancap. Tapi tidak! Belati besar itu terpental begitu mengenai leher si pemuda lalu jatuh ke tanah!

Paras hijau sang Warok berubah. “Ilmu kebal apa yang dimilki setan ini!” gumam Warok Ijo. Pelipisnya bergerak-gerak. Rahangnya menggembung. “Kebal senjata dan pukulan belum tentu kebal pukulan sakti beracun! Akan aku lihat sampai di mana kehebatan ilmu kebalnya!”

“Anak muda! Jangan bergerak dari tempatmu! Aku mau lihat apakah kau juga sanggup menerima pukulan saktiku!”

Warok Ijo angkat tangan kanannya ke atas perlahan-lahan. Mulutnya berkomat-kamit tanda dia tengah merapal aji kesaktian. Seperti wajahnya, tangan kanannya mulai dari ujung jari sampai pergelangan kelihatan berubah menjadi sangat hijau.

“Mampus!” teriak Warok Ijo dan tangan kanannya dihantamkan ke depan. Ada angin deras menggebu disertai berkiblatnya sinar hijau.

Seperti ada petir menyambar, begitulah terdengar letupan keras sewaktu pukulan sakti dan beracun Kelabang Ijo yang dilepaskan sang warok menghantam dada Jarotomo dangan tepat! Dua ekor kuda meringkik. Dua jeritan merobek kegelapan malam dan dua sosok tubuh erjungkal jatuh dari punggung kuda!

Pemuda desa itu keluarkan seruan keras ketika tubuhnya laksana dibantingkan amblas ke tanah! Dadanya terasa bergetar. Pakaiannya di bagian dada tampak robek besar dan berwarna kehijauan. Dia sendiri tak kurang suatu apa. Begitu debaran dadanya lenyap, perlahan-lahan dia tegak berdiri sambil memandang menyeringai ke arah Warok Ijo.

Kepala gerombolan itu jadi leleh nyalinya. Bukan saja karena menyaksikan sendiri bagaimana ilmu kesaktiannya yang sangat diandalkan tidak mampu menciderai pemuda berambut gondrong itu, tetapi lebih dari itu sinar pukulannya yang mengandung racun jahat beitu menghantam tubuh si pemuda, mental membalik dan menyambar dua orang anak buahnya hingga terpental dari punggung kuda dan menemui ajalnya secara mengerikan! Tubuh mereka kelihatan hijau kehitaman dan mengebulkan asap!

“Anak-anak! Keroyok dan cincang cacing tanah ini sampai lumat!” teriak Warok Ijo.

Lalu dia sendiri cepat memutar kudanya dan tinggalkan tempat itu. Melihat pimpinan mereka kabur seperti itu, beberapa anak buah Warok Ijo yang ada di situ serta merta mengikuti apa yang dilakukan sang Warok. Tanpa pikir panjang merekapun menggebrak kuda dan tinggalkan tempat itu. Namun dua orang masih sempat ditarik kakinya oleh Jarotomo hingga jatuh terbanting di tanah. Sebelum keduanya sempat bangun Jarot sudah menghantam kedua penjahat itu dengan sebatang golok yang dipungutnya dari tanah.

********************

Di sarangnya di tengah sebuah rimba belantara, pada suatu pagi dua hari setelah penyerbuan ke desa Kenconowengi, Warok Ijo tampak duduk di depan rumah kayunya ditemani seorang anak buah kepercayaannya. Di hadapan mereka, di atas sebuah meja kayu kasar ada dua cangkir besar kopi hangat dan beberapa butir ubi rebus.

“Aku masih tak habis pikir penyerbuan sial ke Kenconowengi itu…” berkata Warok Ijo.

“Ah, Warok masih saja mengingat-ingat kejadian itu,” menyahuti anak buah Warok Ijo bernama Tunggoro.

“Mengapa tidak?! Belum pernah anak buahku menemui kematian begitu banyak!”

“Tapi hasil jarahan kita juga banyak…!”

“Kau mau mengatakan bahwa nyawa teman-temanmu sama nilainya dengan sapi-sapi buduk dan harta serta uang yang berhasil dirampas itu, Tunggoro!”

“Tentu saja tidak Warok. Sepertimu. Aku dan teman-teman tentu saja merasa kehilangan mereka…!” jawab Tunggoro pula tak berani menantang.

“Kematian teman-temanmu itu harus dibayar dengan nyawa dan darh pemuda berambut gondrong itu! Kau ingat siapa nama pemuda itu, Tunggoro?!”

“Jarotomo, namanya Jarotomo warok…”

Warok Ijo pegang bahu anak buahnya itu lalu berkata. “Selidiki bangsat itu. Menyamarlah dan pergi ke Kenconowengi. Siapapun adanya pemuda keparat itu, aku ingin mematahkan batang lehernya dengan tanganku sendiri!”

“Akan saya lakukan warok. Beri saya waktu satu minggu…”

“Sati minggu?! Aku tidak menyuruh kau pergi berjalan-jalan Tunggoro! Kau sudah harus kembali dalam tempo tiga hari!” Kau dengar itu Tunggoro…?!”

“Saya dengar warok. Saya minta diri sekarang juga,” jawab Tunggoro. Lalu orang ini meneguk kopi hangatnya sampai habis. Sebelum pergi diambilnya dua buah ubi rebus.

Warok Ijo berdiri dari kursi kayu yang didudukinya. Sambil memukul-mukul tinju kanannya ke telapak tangan kiri kepala gerombolan rampok ini tiada hentinya menggeram.

“Awas kau Jarotomo! Akan kau rasakan pembalasan Warok Ijo! Akan kupuntir kepalamu sampai tanggal!”

Warok Ijo meludah beberapa kali lalu masuk ke dalam rumah, langsung menuju sebuah kamar. Di situ tampak seorang perempuan muda bertubuh putih sintal tengah duduk di tepi ranjang sambil menyisir rambut.

“Perempuan tolol!” hardik Warok Ijo seraya menutup pintu kamar. “Sudah berapa kali aku bilang! Jika aku masuk ke dalam kamar ini, aku tidak suka melihat kau berpakaian! Lekas tanggalkan baju dan kainmu!"

“Maafkan saya Warok,” jawab perempuan muda itu sambil cepat-cepat membuka bajunya. “Saya tidak tahu kalau pagi ini giliran saya lagi. Dua hari yang lalu warok baru saja kemari…”

“Soal giliran itu menurut kemauanku! Bukan menurut perhitunganmu!” jawab Warok Ijo.

Tak sabaran menunggu perempuan itu membuka pakaiannya, Warok Ijo langsung saja membetot dan merobek baju yang belum sempat ditanggalkan seluruhnya. Di rumah kayu di tengah hutan itu, ada empat bauh kamar. Di dalamnya masing-masing kamar ada seorang perempuan muda yang harus selalu siap melayani Warok Ijo setiap saat yang diingininya.

********************

EMPAT

Selama enam hari enam malam bukit itu diselimuti kesunyian. Lalu malam ketujuh yakni setiap malam Jum’at keadaan berubah sama sekali. Puluhan orang lelaki nampak naik ke atas bukit sejak matahari tenggelam. Hanya ada satu jalan masuk menuju ke atas bukit dan pada ujung jalan masuk ini selalu ada empat orang lelaki bertubuh tinggi besar, berpakaian merah-merah dan bertampang galak.

Mereka mengutip sejumlah uang tertentu pada setiap pengunjung dan setiap orang yang datang harus memperlihatkan sebuah kertas berisi tanda-tanda rahasia yang hanya bisa dimengerti oleh ke empat penjaga pintu masuk itu. Seorang pemuda berpakaian putih, berambut gondrong sambil bersiul-siul kecil melangkah menuju pintu masuk.

“Pemuda gondrong muka tolol! Jangan petantang-petenteng jual lagak di sini! Mana kertas pengenalmu?!” salah seorang penjaga membentak.

“Kertas pengenal? Aku belum punya!” jawab si gondrong.

“Jadi kau baru pertama ini datang kemari!”

“Betul!”

“Kau bermaksud bersenang-senang saja atau meminta ilmu?!”

“Dua-duanya!”

“Kalau begitu lekas bayar dua keping perak!”

“Wah! mahal amat! Bagaimana kalau aku tawar satu keping saja sobat!”

“Aku bukan sobatmu! Bayar dua keping atau angkat kaki dari sini! Masih banyak orang lain yang punya duit yang harus kami layani!”

“Tunggu, bagaimana aku bayar satu keping dulu, sisanya kalau aku kembali kemari!”

Kawan penjaga pintu yang sejak tadi memperhatikan, dengan jengkel maju ke hadapan pemuda itu dan mendorong dadanya.

“Tidak ada awar menawar! Ikuti aturan atau minggat dari sini! Kami tidak perlu manusia kera semacam kau!”

Si gondrong menyeringai. Sambil garuk-garuk kepala dia keluarkan dua keping perak dari saku pakaiannya lalu menyerahkan benda itu pada penjaga jalan masuk seraya berkata, “ Kalian jangan galak-galak. Kalau memang harus bayar dua keping perak, ya ambillah ini!”

Dua keping perak itu dimasukkan ke dalam sebuah kantong lain yang masih baru. Habis memasukkan uang pemuda itu buru-buru hendak melangkah. Tapi bahunya dipegang oleh penjaga lain.

“Apa kau sudah tahu segala aturan di bukit Kemukus ini, anak muda?!”

“Belum. Tolong terangkan apa aturannya…”

“Pertama, ambil dulu lembaran kertas biru ini. Di sini ada dua macam kertas. Warna merah berarti kamu hanya boleh bersenang-senang. Warna biru tanda bahwa selain mencari hiburan tamu juga punya niat khusus yaitu mendapatkan ilmu dari Ratu. Untuk pemegang kertas warna biru harus datang sebanyak dua puluh satu kali malam Jum’at. Pada malam pertama datang, kau harus mencari pasangan yang kau sukai. Lalu setiap malam-malam selanjutnya kau harus selalu menemui dan tidur dengan perempuan yang sama. Sekali saja kau tidak berhasil menemui perempuan itu, atau tertarik dengan perempuan lain maka niatmu jadi batal dan harus diulang dari awal. Kalau kau selesai menuruti aturan sampai malam ke dua puluh, maka pada malam ke dua puluh satu setelah kau meniduri pasanganmu, kau harus pergi mandi diair pancuran di atas bukit. Setelah itu kau menunggu sampai ada seseorang mengantarkanmu menemui Ratu di Istana kediamannya! Nah ambil kertas ini!"

Si penjaga menyerahkan selembar kertas biru pada pemuda gondrong itu seraya berkata, “Setiap kau habis meniduri pasanganmu, perempuan itu akan memberi tanda pada kertas ini. Jangan lupa hal itu anak muda!”

Si gondrong mengangguk. Dia hendak melangkah pergi. Tapi kembali bahunya dipegang orang. Kali ini oleh penjaga yang lain.

“Ada satu aturan di bukit Kemukus ini, anak muda! Aturan yang harus kau ingat baik-baik…”

“Hemm… Aturan apalagi?!” si pemuda tampak mulai kesal.

“Jangan berani berbuat yang bukan-bukan di kawasan bukit Kemukus. Apalagi sampai melakukan keonaran. Lalu jika kau selalu masuk lewat jalan ini, tetap datang dan kembali lewat jalan ini. Jangan coba-coba mencari jalan masuk atau keluar sendiri seenaknya. Kau dengar anak muda?!”

Si gondrong mengengguk. “Bagaimana kalau aku melanggar segala aturan itu…?”

“Jawabnya sederhana saja anak muda,” shut si penjaga. “Tubuhmu akan jadi umpan santapan anjing-anjing hutan raksasa peliharaan Ratu…”

“Ah, hebat dan seram kedengarannya!” ujar si gondrong.

“Memang! Sudah lebih dari enam puluh lelaki konyol disantap anjing-anjing hutan itu!” kata si penjaga pula lalu tertawa mengekeh dan mendorong si pemuda agar segera berlalu. Baru empat langkah berjalan, muncul penjaga yang keempat.

“Nah apa lagi ini…?!” tanya tamu muda itu.

“Demi keamanan. Aku bertugas mencatat nama setiap tamu. Lekas katakan siapa namamu!” Penjaga itu keluarkan secarik kertas lebar dan pegang sebatang alat tulis.

“Namaku Wiro…” menerangkan si pemuda. Si penjaga mencatat lalu berkata “Ada banyak Wiro di kolong langit ini. Terangkan dari mana asalmu!”

“Aku dari pekuburan Kalimangi…”

“Jangan bergurau!” si penjaga merasa dipermainkan.

“Siapa bergurau! Aku memang tinggal dekat pekuburan itu. Ayahku kuncen di sana!”

“Hemmm, begitu?!”

“Begitu!”

Setelah mencatat, penjaga itu mempersilahkan si pemuda memasuki jalan yang menuju ke atas bukit. Si pemuda yang ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah tersenyum-senyum.

“Galak tapi tolol. Apa tidak tahu kalau tidak ada pekuburan Kalimengi di dunia ini! Kalimengi justru nama tempat pelesiran di pantai selatan!”

Semakin tingi ke atas bukit semakin dingin terasa udara. Dalam jarak belasan tombak terdapat sebuah obor untuk menerangi jalan kecil yang mendaki itu. Sepanjang jalan terdengar suara binatang malam dan lapat-lapat di kejauhan terdengar suara salakan anjing.

“Pasti itu salakan anjing-anjing hutan peliharaan sang Ratu…” Membatin Wiro.

Sampai di bagian atas bukit, kadaannya berubah sekali. Sebuah tempat berukuran puluhan bahkan mungkin ratusan tombak persegi diterangi dengan obor serta lampu-lampu lampion. Puluhan perempuan yang rata-rata masih muda-muda bertebaran di mana-mana. Ada yang duduk-duduk berkelompok-kelompok menunggu tamu yang akan mengambilnya. Ada yang berjalan-jalan berkawan-kawan. Bau wewangian menebar hampir di seluruh pelosok, termasuk wewangian yang dipakai oleh orang-orang perempuan itu.

Wiro melangkah pelahan-lahan sambil memandang berkeliling. Di satu tempat ketinggian dilihatnya ada sebuah pancuran bambu. Dua orang lelaki dalam keadaan telanjang bulat tampak tengah mandi di bawah pancuran itu. Wiro berjalan terus. Hampir di setiap sudut dilihatnya bangunan-bangunan kecil tanpa atap berdinding setinggi bahu.

Murid Sinto Gendeng yang ingin tahu mendekati salah satu bangunan ini. Dari arah bangunan terdengar suara perempuan tertawa cekikikan. Penuh rasa ingin tahu Wiro menjenguk ke balik dinding kajang.

Astaga! Yang dilihatnya adalah sepasang lelaki dan perempuan tanpa pakaian saling tindih menindih. Pendekar 212 cepat-cepat tarik kepalanya sambil menggaruk rambut.

“Edan! Kalau tidak datang sendiri tidak percaya aku tempat maksiat seperti ini benar-benar ada di dunia ini!” Wiro memandang berkeliling. Paling tidak ada sekitar tiga puluh bangunan mesum tersebar di tempat itu!

Di kejauhan, di puncak bukit bagian paling atas kelihatan sebuah bangunan aneh dengan atap tinggi lancip. Bagian bawah bangunan tampak gelap tapi di sebelah atas kelihatan ada nyala terang.

“Bangunan itu… Apakah itu Istana Ratu Kemukus…?” Menduga Wiro Sableng.

Ketika Wiro hendak melangkah pergi satu tangan yang hangat memegang lengannya. Bau harum menyambar hidungnya. Wiro berpaling. Seorang perempuan muda berwajah bulat dengan tahi lalat kecil di pipi kirinya tersenyum padanya. Dada kebaya birunya sangat terbuka ingga bagian atas payudaranya yang putih dan menggembung terlihat jelas.

“Kau masih belum menemui pasanganmu, pemuda tampan?” perempuan cantik itu menegur lalu kedipkan mata kirinya antara genit dan manja.

“Hem… Aku barusan datang. Masih melihat-lihat dulu…” Jawab Wiro.

“Masih melihat-lihat. Waktu berjalan dengan cepat di Bukit Kemukus ini. Kau haus menemukan pasanganmu dengan cepat…”

“Aku baru sekali ini kemari…”

“Ah, nasib baik bagiku…!” kata perempuan itu lalu memeluk tubuh Pendekar 212 kencang-kencang hingga dadanya yang besar menempel hangat di dada sang pendekar. “Ambil aku sebagai pasanganmu. Kau pasti tidak akan kecewa. Kalau kau suka, pada malam-malam tertentu selain malam Jum’at kita bisa bertemu di satu tempat di kota… Aku suka padamu. Tubuhmu tampak kukuh. Kau pasti kuat…”

Wiro tersenyum. “Kau memegang kertas merah atau biru…?”

“Biru…” jawab Wiro.

“Ah, Ratu pasti akan senang bertemu dengan pemuda setampan ini. Namaku Sawitri. Kau mau mengambilku sebagai pasananmu bukan...?”

Wiro tak bisa menjawab. “Jangan khawatir. Langananku setiap malam Jum’at hanya tiga orang. Aku bersedia mengambil dan melayanimu pertama kali. Ayo mari kita cari tempat yang kosong…”

“Tunggu, aku ingin melihat-lihat bukit ini lebih dulu…”

“Ah, ucapan itu seharusnya aku dengar dari orang-orang tua yang mulai uzur. Mereka selalu begitu. Terlalu banyak bicara dan melihat-lihat. Tak pernah langsung ke tujuan. Hik Hik hik!”

“Kau mau mengantarkan aku melihat-lihat perbukitan ini…?” tanya Wiro.

“Baiklah. Tapi tak bisa terlalu lama. Tiga langgananku bisa mati kedinginan menungguku…”

LIMA

Sambil berangkulan Wiro dan Sawitri melangkah melihat-lihat suasana di bukit Kemukus. Setiap langkah yang mereka buat saling berselisih jalan dengan pasangan-pasangan lain yang juga saling berpelukan, lalu satu demi satu memisahkan diri memasuki bangunan-bangunan kecil tanpa atap berdinding kajang.

“Sorga dunia yang sulit dipercaya…” kata Wiro sambil memeluk lebih erat perempuan di sebelahnya. Sawitri balas merangkul.

“Sorga dunia yang kau katakan itu bisa berubah menjadi neraka dunia.”

“Eh, maksudmu?” bertanya Pendekar 212.

“Lihat ke depan…”

Wiro mengikuti apa yang dikatakn Sawitri. Di sebelah depan seorang penunggang kuda berpakaian merah tampak menyeret sosok tubuh seorang lelaki. Seluruh tubuh dan mukanya terkelupas berkelukuran. Agaknya orang ini sudah lama mati. Karena sama sekali tidak terdengar rintihan.

“Apa yang terjadi…? tanya Wiro. Mengapa orang itu dibunuh secara kejam begitu rupa?!”

“Dia pasti tamu yang membuat kesalahan. Mungkin sekali dia berganti-ganti pasangan melanggar peraturan. Kau baru melihat sekali ini. Aku sudah belasan kali…” Penunggang kuda dan orang yang diseret lewat di depan Wiro dan Sawitri.

“Manusia malang. Ingin sorga dapatkan neraka!” ujar Sawitri.

“Aku tidak mengerti . Untuk kesalahan seperti itu saja apa dia memang layak dibunuh secara biadab seperti itu?”

Perempuan yang dipeluk Wiro tertawa pendek. “Hukum Ratu keras sekali. Bahkan sudah begitu masih saja ada yang berani melanggar…”

“Ratu… Siapa sebenarnya ratumu itu?”

Sawitri hentikan langkah dan memandang lekat-lekat ke wajah Pendekar 212. “Eh, ada apa? Caramu memandangku aneh sekali. Seperti aku ini punya tiga mata, dua hidung dan empat telinga!” ujar Wiro pula.

“Tujuanmu kemari… Apakah hendk menyelidiki ratu kami?!”

Wiro cepat gelengkan kepala. “Aku hanya bertanya. Namanya begitu dihormati. Hukumnya ditakuti. Kawasan bukit Kemukus ini tidak beda seperti satu Kerajaan!”

“Aku tidak suka mendengar ucapanmu itu. Kalau ada yang sempat mendengar, kau bakal dapat susah…” Kata Sawitri pula. “Sebaiknya kita pergi mencari tempat yang kosong saja. Malam semakin dingin. Tiga langgananku pasti sudah mencari-cari…”

“Sebentar Sawitri,” ujar Wiro seraya memegang lengan perempuan itu. Lalu dia menunjuk ke arah bangunan beratap lancip di puncak bukit yang saat itu setengah tertutup oleh kabut malam. “Bangunan itu. Siapa yang tinggal di sana…?”

“Itu adalah Istana tempat kediaman ratu. Apa yang ada di benakmu?”

“Aku ingin sekali datang ke sana. Bertemu dangan ratu dan…”

Kau memegang kertas biru. Berarti pada akhir kunjunganmu ke sini yaitu malam Jum’at yang kedua puluh satu kau akan bertemu dengan ratu. Penjaga di jalan masuk pasti sudah menerangkan padamu. Mengapa tiba-tiba saja kini kau berkata ingin bertemu dengan ratu?”

“Ah, itu kalau bisa. Kalau tidak akupun sanggup bersabar sampai dua puluh satu minggu. Mari, antarkan aku lebih dekat ke istana ratumu itu.”

“Aku tidak mau. Jika kau tidak ingin mencari tempat, sebaiknya aku pergi menemui tiga langgananku. Dan kau harus menunggu samapi sekitar dini hari…”

“Tidak. Kau harus mengantarku sedekat mungkin dengan istana itu!” sahut Wiro. Lalu ditariknya tangan Sawitri.

Mau tak mau perempuan itu terpaksa mengikut. Keduanya mendaki jalan menanjak. Kira-kira dua puluh tombak dari pagar bangunan, di balik serumpunan semak belukar, Sawitri berhenti.

“Aku hanya mengantarmu sampai di sini. Kau bunuhpun aku tak akan mau maju satu langkah sekalipun! Ini sudah termasuk daerah terlarang. Kalau ada penjaga yang melihat celakalah kita…” Sawitri menunjuk pada sebuah papan besar yang bertuliskan, KAWASAN TERLARANG. DILARANG BERADA DISINI BAGI SIAPAPUN.

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi.

“Lekas sembunyi!” bisik Sawitri. Dia menarik lengan Wiro. Kedua orang ini cepat merunduk di balik semak belukar. Dua penunggang kuda berpakaian merah lewat dengan cepat. Salah seorang diantaranya hentikan kudanya tak jauh dari semak belukar dimana Wiro dan Sawitri mendekam. Kawannya berbalik mendatangi.

“Kau pasti tidak melihat bayangan orang di sekitar tempat ini?” bertanya penungggang kuda pada kawannya yang mendatangi.

“Kukira kau salah penglihatan sejak di bawah tadi. Mari kita teruskan perondaan ke arah timur bukit!”

Begitu kedua petugas bukti Kemukus berlalu, Sawitri menarik nafas lega. “Hampir celaka. Kalau mereka sampai melihat kita di daerah terlarang ini, celakalah kita berdua. Ayo cepat tinggalkan tempa ini…”

Mengendap-endap kedua orang iu bergerak menuruni bukit. Tapi baru jalan beberapa langkah tiba-tiba dari arah bangunan beratap lancip terdengar suara salakan anjing riuh sekali. Wiro menarik Sawitri kebalik sebatang pohon besar dan memandang ke arah istana ratu.

“Apa yang terjadi…?” Tanya Pendekar 212

“Anjing-anjing itu mengejar seseorang. Demi Tuhan, aku harap bukan kita yang mereka kejar!” sahut Sawitri dengan suara gemetar.

Sesaat kemudian tampak empat ekor anjing raksasa berlari sambil menggonggong, mengejar seorang lelaki yang berusaha menyelamatkan diri melompati pagar istana Ratu Kemukus. Namun sebelum mencapai pagar, empat anjing itu telah berhasil mengejarnya. Tak ada jalan lain. Orang yang dikejar tampak mencabut sebilah golok lalu membacok anjing pertama yang menyerangnya.

Namun binatang yang bertubuh hampir sebesar harimau itu bukan lawan manusia sekalipun bersenjata. Apalagi ada empat ekor anjing yang harus dihadapi. Orang bergolok hanya sempat keluarkan suara raungan menggidikkan sebelum tubuhnya dicabik-cabik!

“Manusia tolol!” desis Sawitri.

“Siapa yang tolol?!” bertanya Pendekar 212.

“Orang yang barusan dicabik anjing-anjing hutan penjaga ratu! Dia pasti nekad mencoba bertemu dengan ratu tanpa izin…”

“Dia tentunya punya alasan mengapa ingin menemui ratu.”

“Alasan apalagi kalau bukan bermaksud dijadikan lelaki penghibur ratu. Ada semacam sayembara yang dibuat oleh Ratu Kemukus. Siapa saja laki-laki yang sanggup masuk ke dalam istana ratu, dirinya akan dijadikan teman dan penghibur ratu seumur hidup. Kabarnya sudah puluhan jago dan orang berkepandaian tinggi mencoba. Namun mereka tidak sanggup melewati empat anjing hutan itu. Nah, apakah kau juga mau nekad…?”

Wiro garuk-garuk kepalanya. Lalu bersama Sawitri dia segera tinggalkan tempat itu sambil memaki. “Gila! Tempat ini benar-benar gila! Aku tak mengerti bagaimana perempuan sepertimu betah berada di tempat ini!”

“Aku dan teman-teman memang tidak betah. Tapi untuk lari sama saja mencari mati. Kami semua sudah pasrah!” menyahuti Sawitri.

Mereka sampai di hadapan sebuah bangunan tanpa atap yang berada dalam keadaan kosong. Sawitri langsung menarik Wiro Sableng masuk ke dalam bangunan itu. Begitu sampai di dalam perempuan muda bertubuh sintal dan putih ini terus saja membuka baju dan angkin yang membelit pinggangnya.

Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede jadi terperangah ketika dilain kejap dia dapatkan Sawitri sudah dalam keadaan tidak berpakaian lagi. Lalu enak saja perempuan ini menelentangkan tubuhnya di atas hamparan baju dan kain panjangnya.

Hai! Tunggu apa lagi?! Sudah hampir tengah malam. Tiga orang langgananku masih menunggu. Ayo cepatlah. Tanggalkan pakaianmu…”

“Hemm…” Wiro bergumam dan garuk kepala. “Tadinya aku memang sangat berhasrat padamu Sawitri. Tapi begitu menyaksikan empat ekor anjing raksasa tadi mencabik-cabik tubuh lelaki itu, nafsuku jadi lenyap! Percuma saja. Malam Jum’at depan saja aku kemari lagi. Sekarang biar aku pulang saja…”

Sawitri tampak jengkel. Dengan gemas dia berdiri dan memeluk Pendekar 212. Dia merasakan ada sesuatu yang menyembul di pinggang pemuda itu. Senjata!

Wiro keluarkan satu kepingan kecil perak lalu menyelipkannya di belahan payudara Sawitri. “Ini untukmu sekarang beri tanda pada kertas biru ini…” Wiro keluarkan kertas biru yang didapatnya dari penjaga di jalan masuk.

“Kau tidak meniduriku. Bagaimana mungkin aku memberi tanda?” Sawitri menolak.

“Kalau begitu biar kuambil kembali perak itu...” Wiro pura-pura hendak mengambil kembali kepingan perak yang masih tersepit di celah antara payudara Sawitri.

“Belum pernah aku menerima tamu seanehmu! Kertas biru itu pertanda bahwa kau datang untuk bersenang-senang dan meminta ilmu. Sekarang tidurpun tidak malah memberi aku hadiah. Lalu kau minta aku memberi tanda pada kertas itu seolah-olah kau sudah meniduriku! Katakan apa sebenarnya maksud kedatanganmu ke bukit Kemukus ini?”

“Kau seperti curiga saja terhadapku…”

“Kami anak buah ratu bukit Kemukus wajib menjaga keamanan di kawasan ini!” jawab Sawitri tegas.

Wiro garuk-garuk kepalanya. “Kau tak perlu curiga padaku Sawitri. Ketahuilah, aku seorang pemuda yang tengah mencari pasangan hidup….” berdusta Pendekar 212. “Kurasa aku ingin memilihmu jadi istriku. Itu jika kau suka…”

Paras Sawitri berubah. Tubuhnya yang telanjang kembali ditempelkannya pada Wiro. Dia menengadah bertanya tak percaya, “Betulkah kata-katamu itu?”

“Jika tiba saatnya, tidak mudah meminta izin ratumu, bukan….?”

“Aku tak tahu. Hal seperti ini belum pernah kejadian… Mengapa kau tidak mau kulayani saat ini…?”

“Seorang calon suami yang baik tidak mau melakukan hubungan sebelum nikah secara resmi” ujar Wiro gombal.

“Tapi aku bukan perempuan baik- baik. Aku hanya seorang pelacur hina. Walaupun karena dipaksa…” Ujar Sawitri pula dengan suara sayu pertanda hatinya mulai tersentuh dengan ucapan-ucapan sang pemuda.

“Aku tidak mempermasalahkan masa lalumu Sawitri,” bisik Wiro. Aku juga rela kau menjalankan tugasmu sebagaimana biasa. Aku harap kau bisa bersabar sampai malam Jum’at yang kedua puluh satu”

Perempuan muda itu mengangguk. Wiro memungut pakaian yang bercampakan di lantai lalu menyuruh Sawitri mengenakannya. Selesai perempuan itu berpakaian Wiro menyodorkan kembali kertas biru itu. Kali ini Sawitri tidak menolak. Dia mencabut sebuah benda kecil berbentuk paku hitam dari sanggulnya. Dengan benda ini dia membuat tulisan aneh di kertas biru sebelah atas.

"Terima kasih. Aku akan menemuimu lagi malam Jum’at depan,” kata Wiro seraya melipat lembaran kertas biru dan menyimpannya di saku baju putihnya. “Aku pergi sekarang…”

“Tunggu!” Sawitri memegang lengan pemuda itu. Ada tanda lain yan harus kuberikan sebagai tanda kau telah meniduriku.” Dari balik bajunya Sawitri mengeluarkan sebuah tabung kecil terbuat dari bambu. Ketika penutup tabung itu dibuka, menghamburlah bau harum yang sangat tajam. Cairan wangi yang ada dalam tabung bambu itu dioleskan Sawitri kepakaian Pendekar 212.

“Nah, kau boleh pergi sekarang. Tanda-tandamu sudah lengkap. Tak ada petugas ratu yang akan menahanmu!”

“Kau calon istri yang baik!” ujar Wiro sambil mengedipkan mata lalu mencium belahan dada Sawitri hingga perempuan ini menggelinyang kegelian.

********************

ENAM

Warok ijio mengusap wajahnya yang berwarna hijau, menyedot roko kawung besarnya dalam-dalam. Setelah menghembuskan asapnya jauh-jauh dia baru berpaling pada anak buahnya yang berdiri di hadapannya.

“Ceritakan bagaimana hasi penyelidikanmu Tunggoro!”

“Saya menyamar masuk ke desa Kenconowengi. Berpura-pura sebagai pedagang keliling. Bahkan sempat berhadapan muka dengan Jarotomo…”

“Hebat!” memuji Warok Ijo. “Teruskan ceritamu…”

“Pemuda itu ternyata sudah diangkat menjadi kepala desa, menggantikan kepala desa yang kita bunuh tempo hari!”

“Hemmm besar juga rejekinya anak muda itu. Tapi kematiannya akan jadi tambah dekat. Apa kau berhasil menyelidiki ilmu kebal yang dimilikinya?”

“Saya berhasil Warok. Ternyata dia mendapatkan kepandaian itu dari Ratu Bukit Kemukus…”

Warok Ijo terkesiap sesaat. Dicampakkannya rokok kawung yang dipegangnya lalu berdiri dan mundar-mandir beberapa kali sambil tiada hentinya memegangi kepalanya yang botak dan berwarna hijau itu.

“Ratu Bukit Kemukus! Apakah cerita isapan jempol itu benar-benar ada?! Apa bukit maksiat yang jadi wilayah kekuasaan perempuan mesum dan dipanggil dengan sebutan Ratu Kemukus itu betul-betul ada?!”

“Saya coba menyelidikinya Warok. Tapi tak punya waktu banyak karena harus kembali cepat-cepat kemari sesuai perintah Warok. Hanya ada satu petunjuk yang saya dapat dari seorang alim di desa itu yatiu bahwa segala ilmu yang diberikan oleh Ratu Bukit Kemukus bersifat tipuan belaka. Hanya bisa bertahan selama dua puluh satu hari. Setelah itu ilmunya akan hilang sendirinya…”

Warok Ijo menatap Tunggoro beberapa ketika lalu bertanya, “Kau tahu sudah berapa lama Jarotomo memiliki ilmu kebal itu…?”

“Saya tidak tahu Warok. Tapi dugaan saya paling lama baru beberapa hari sebelum kita menjarah desa itu”

Warok Ijo coba menghitung-hitung. “Kalau begitu, paling lama bangsat itu masih akan menguasai ilmu kebalnya sampai satu minggu dimuka. Setelah itu…”

Warok Ijo sapukan jari telunjuknya di atas leher sebagai tanda penyembelihan! Lalu dia tertawa gelak-gelak. “Tunggoro, minggu dimuka kau dan adikmu Tunggiri ikut aku. Kita akan menyelinap ke tempat kediaman kepala desa. Kalian akan saksikan apa yang akan kulakukan terhadap bangsat bernama Jarotomo itu!

Tiga ekor kuda yang dipacu kencang hampir saja melabrak Pendekar 212 Wiro Sableng yang tengah berjalan memasuki desa Kenconowengi. Pendekar ini memaki habis-habisan.

“Malam-malam buta begini, tiga orang menunggang kuda seperti dikejar setan. Aku menaruh curiga. Jangan-jangan mereka orang-orang yang hendak berbuat kejahatan… Apa salahnya kalau aku coba menguntit…”

Berpikir sampai disitu, Wiro segera kerahkan ilmu lari Kaki Angin yang didapatnya dari sang guru Eyang Sinto Gendeng di puncak Gunung Gede. Meskipun tak mungkin baginya untuk lari menyamai kecepatan kuda namun tiga penunggang kuda itu masih sanggup dikuntitnya dari jarak tertentu dan tak akan lepas dari pengejarannya. Ternyata orang-orang itu menuju ke pinggiran desa sebelah timur, melewati perkebunan kelapa hingga akhirnya sampai di sebuah gubuk.

“Ini rumah keparat itu?!” tanya penunggang kuda sebelah depan yang bukan lain adalah Warok Ijo.

Tunggoro mengangguk. “Jebol pintu depannya, suruh Jarotomo keluar. Jika dia tidak mau keluar bakar gubuk itu!”

Tunggoro memberi isyarat pada adiknya yaitu Tunggiri agar mengikuti. Adik kakak ini begitu turun dari kudanya segera melangkah cepat mendekati gubuk yang dari luar tampak sunyi dan gelap.

“Jarotomo! Kepala desa Kenconowengi kepaat! Lekas keluar! Kami orang-orang Warok Ijo ingin bicara denganmu!” berteriak Tunggoro.

Tak ada yang menjawab. Tak ada suara apapun dari dalam gubuk. Tunggoro berpaling pada Warok Ijo. Sang Warok anggukkan kepala. Melihat anggukan ini Tunggoro langsung menendang pintu gubuk sehingga hancur berantakan. Bersama adiknya dia menyelidiki ke dalam. Tak selang berapa lama Tunggiri muncul di pintu, memberi tanda pada Warok Ijo bahwa orang yang mereka cari tidak ada di gubuk itu.

“Bakar gubuk busuk itu!” berteriak Warok Ijo.

Tunggiri yang memang sudah menyiapkan sebuah obor segera menyalakan obor itu lalu melemparkannya ke atas atap gubuk. Karena atap gubuk terbuat dari rumbia yang sudah sangat kering dan lapuk, maka dalam sekejap saja gubuk kecil itu sudah dilamun api. Dalam waktu singkat bangunan itu telah berubah jadi reruntuhan hitam yang nyaris hampir rata dengan tanah!

“Bagus! Sekarang keparat itu akan keleleran di jalan-jalan. Akan lebih mudah bagi kita menemukannya! Anak-anak tinggalkan tempat ini!” berseru Warok Ijo.

Tunggoro dan Tunggiri segera melangkah kembali ke kuda masing-masing, namun sebelum keduanya sempat naik ke atas kuda masing-masing, satu suara menegur dari kegelapan.

“Kalian telah membakar gubukku! Apa kalian sangka bisa pergi seenaknya?! Tinggalkan lengan kanan masing-masing di tempat ini!”

Tunggoro dan adiknya tersentak kaget, cepat berpaling ke kiri. Sesosok tubuh melangkah keluar dari gelap bayangan pohon. Ternyata adalah Jarotomo, pemuda berambut gondrong yang kini jadi kepala desa Kenconowengi.

Melihat siapa yang muncul ini Warok Ijo segera melompat turun dari kudanya. “Jadi inilah kepala desa Kenconowengi yang baru! Luar biasa. Masih beini muda, berilmu tinggi tapi nyawa hanya tinggal sejengkal! Ha ha ha…! Kau tahu, kami sengaja membakar gubuk busuk itu karena tidak pantas untuk tempat kediaman seorang kepala desa sepertimu! Kami akan memberikan tempat kediaman baru bagimu Jarotomo! Yaitu liang kubur!” Warok Ijo dan dua anak buahnya tertawa gelak-gelak.

“Pelajaranku tempo hari rupanya masih belum cukup. Majulah lebih dekat jika ingin pelajaran tambahan!” berkata Jarotomo penuh percaya diri.

Warok Ijo meludah ke tanah. “Pemuda takabur! Sudah mau mampus masih bicara sombong!” Warok Ijo yang masih menyangsikan apakah ilmu kebal pemuda itu benar-benar sudah lenyap karena telah lewat dua puluh satu hari tidak mau turun tangan lebih dahulu. Karena itu dia memberi isyarat pada kedua anak buahnya agar segera menyerang Jarotomo.

Tunggoro dan Tunggiri, sesuai dengan yang telah diatur sebelumnya melancarkan serangan dengan mengandalkan tangan kosong. Dua adik kakak ini menghantam dangan jotosan tangan kanan, satu mengarah ke muka pemuda yang baru saja diangkat jadi kepala desa itu sedang saunya lagi menggebuk ke arah perut. Jarotomo menyeringai. Dia tegak tak bergerak penuh percaya diri akan ilmu kebal yang dimilikinya, sengaja menunggu datangnya serangan.

"Buukkk! Buukkk...!"

Dua jotosan mendarat di sasaran masing-masing dengan telak! Terjadilah hal yang tidak dapat dipercaya oleh Jarotomo. Pemuda ini menjerit kesakitan. Kepalanya terbanting ke belakang begitu jotosan Tunggoro mendarat di pipi kanannya. Selagi terjajar, perutnya sudah dilabrak tinju Tunggiri hingga kalau tadi tubuhnya terhuyung ke belakang, kini malah terlipat ke depan!

Rasa sakit dua jotosan itu mungkin masih sanggup ditahan oleh Jarotomo walaupun dia sempat keluarkan suara jeritan. Namun yang membuatnya jadi kucurkan keringat dingin adalah mendapatkan kenyataan bahwa ilmu kebalnya tidak bekerja hingga muka dan perutnya berhasil dihantam lawan! Tidak percaya kalau ilmu kebalnya memang tidak ada lagi, Jarotomo melompat ke depan mendahului menyerang lawan.

Yang diarahnya adalah Tunggiri. Kepalannya mendesing ke arah kepala anak buah Warok Ijo tiu. Namun setengah jalan serangannya itu dapat ditangkis, malah kini untuk ke iga kalinya jotosan balasan menyodok ulu hatinya hingga Jarotomo keluarkan suara seperi orang muntah dan kembali tubuhnya terjajar!

Pucatlah paras Jarotomo. “Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku?! Mengapa ilmu kebalku tidak bekerja?! Aku tidak merasa melanggar pantangan!”

Di hadapannya Tunggoro dan Tunggiri sudah siap untuk menyerbu. Saat itu Warok Ijo telah melompat turun dari kudanya seraya berkata “Anak-anak! Mundur! Biar aku yang membereskan cecurut satu ini!”

"Srettt...!"

Belum apa-apa Warok Ijo sudah cabut goloknya, pertanda bahwa dia memang ingin membunuh Jarotomo secepat yang bisa dilakukannya!

TUJUH

Warok Ijo melangkah maju mendekati pemuda yang bakal dijadikan mangsa golok besarnya sementara Jarotomo mundur dengan ketakutan. Pemuda ini sudah bersiap-siap utnuk melarikan diri. Namun belum sempat dia memutar tubuh, kepala gerombolan itu sudah menggerakkan tangan kanannya. Golok besar berkelebat ke arah pinggang.

Jarotomo berteriak “Jangan! Jangan bunuh aku! Aku mohon ampunmu Warok Ijo!”

Rupanya Warok Ijo kini sengaja hendak mempermaikan calon korbannya lebih dahulu. Sambil menyeringai dia berkata, “Manusia jagoan! Ayo perlihatkan kehebatan ilmumu pada Warok Ijo! Kenapa takut?! Bukankah kau punya ilmu kebal?!”

“Ampun Warok! Aku tidak puinya ilmu apa-apa…!”

Warok Ijo tertawa mengekeh. “Kalau kau memang minta ampun ulurkan ke dua tanganmu dan berlututlah di hadapanku!”

Percaya bahwa orang memang hendak mengampuninya, dengan tubuh menggigil dan kuyup oleh keringat dingin, Jarotomo jauhkan diri berlutut lalu ulurkan kedua tangan seperti sikap orang sendang menyembah.

“Bagus! Ini pengampunan untukmu!”

"Crass...!"

Jarotomo menjerit setinggi langit ketika pergelangan tangan kanannya dibabat putus. Darah menyembur dari kutungan tangan itu! Warok Ijo tertawa gelak-gelak.

“Ulurkan tangamu satu lagi Jarotomo!”

“Tidak! Jangan Warok! Jangan…!”

“Kalau kau tak mau berikan tangan, lehermu gantinya! Pembalasanku tidak tanggung-tanggung! Kau telah membunuh beberpa anak buahku!” ujar Warok Ijo.

Rahangnya mengggembung. Goloknya kini dibabatkan ke arah batang leher Jarotomo. Pemuda tak berdaya ini coba mengelakkan sambaran golok dengan jatuhkan diri ke tanah. Dia berhasil lolos dari sambaran senjata kepala gerombolan itu, namun begitu jatuhnya di tanah tendangan kaki kanan sang Warok menghantam bahunya. Terdengar suara kraak tanda patahnya tulang bahu kepala desa Kenconowengi itu.

Jarotomo terkapar dan menggerung kesakitan. Dia tak bisa berbuat apapun ketika kemudian Warok Ijo mendatangi dan menginjak dadanya. Dia melihat ujung golok ditusukkan dengan deras ke arah perutnya. Jarotomo hanya mampu menjerit. Lalu...

"Crass...!"

Golok di tangan Warok Ijo menembus perut. Tapi bukan perut Jarotomo. Melainkan perut sesosok tubuh yang tiba-tiba saja melayang dari arah kegelapan seperti dilemparkan. Lalu terdengar suara jeritan. Jeritan itu adalah jeritan Tunggoro!

Di atas tubuh Jarotomo kini menggeletak membelintang sosok tubuh Tunggoro. Perutnya ambrol, darah mengucur dan ususnya melembung keluar! Jarotomo menjerit ngeri ketika darah anggota rampok itu panas dan amis membasahi tubuhnya yang terhimpit di sebelah bawah. Akan halnya Warok Ijo sendiri kagetnya bukan olah-olah!

“Bangsat keparat! Apa yang terjadi ini!” teriaknya memaki.

“Tunggoro! Kau…!”

Warok Ijo tarik tangan kiri Tunggoro hingga orang itu kini terbujur di tanah. Tunggiri saat itu telah menubruk kakaknya dan keluarkan teriakan tegang!

“Warok! Kenapa kau membunuh anak buah sendiri?! Mengapa kau bunuh kakakku?!” Tunggiri berteriak dan tampak kalap. Dia melompat hendak mencekik Warok Ijo. Kepala gerombolan ini tentu saja jadi naik pitam dan hantamkan gagang goloknya ke kepala Tunggiri hingga anak buahnya ini melintir dan roboh ke tanah.

“Tunggoro!” bentak Warok Ijo. “Sebelum kau mampus lekas katakan mengapa kau berusaha menolong pemuda keparat itu hingga tubuhmu yang tertambus golokku!”

“A... aku… Aduh! A… aku bukan men… menolong. Seseorang melemparkanku ke arahmu. Tep… Tepat pada saat kau men... menusukkan golok. Aku…” Ucapan Tunggoro terputus samapi di situ. Nyawanya lepas sudah!

“Seseorang melemparkanmu katamu, Tunggoro?!” mengulang Warok Ijo. Perlahan-lahan dia memandang berkeliling, lalu berpaling ke jurusan dari mana tadi tubuh anak buahnya itu melesat. Dalam gelap, dibawah bayang-bayang pepohonan dia melihat sesosok tubuh berpakaian dan berikat kepala putih tegak tak bergerak sambil rangkapkan kedua tangannya di depan dada.

“Hem… Ini setan alasnya yang melemparkan Tunggoro hingga jadi korban? Kelihatannya masih muda…” Berucap Warok Ijo dalam hati. Lalu dia membenta, “Bangsat dalam gelap! Maju ke hadapanku, perlihatkan ampangmu!”

Orang yang dibentak keluarkan suara tertawa lalu melangkah dan berhenti empat langkah di hadapan Warok Ijo. Kedua tangannya masih mendekap di depan dada. Sikapnya yang cengar-cengir seperi mengejek dan tidak memandang sebelah mata kepada kepala gerombolan rampok yang ditakuti itu.

“Kau yang melemparkan anak buahku hingga tertambus golokku sendiri?!” tanya Warok Ijo.

“Betul!” jawab orang yang ditanya. “Apa menurutmu itu masih kurang! Apa anak buahmu yang satu lagi itu mau kulemparkan juga?!”

“Setan alas!” mendidih amarah Warok Ijo. Tangan kanannya bergerak. Golok tajam berkelebat mengeluarkan suara mendesing, menyambar ke arah batang leher pemuda yang tegak empat langkah di hadapannya.

Yang diserang membuat gerakan ringan dan mampu mengelakkan serangan maut itu. Tentu saja semakin menggelegak amarah Warok Ijo. Didahului teriakan keras dia menyerbu dangan serangan berantai. Goloknya tidak kelihatan lagi dalam kegelapan, hanya suaranya saja yang terdengar berdesign-desing mengerikan.

Orang yang diserang, yaitu si rambut gondrong Wiro Sableng, membuat gerakan aneh. Dia seperti berjingkrak- jingkrak seenaknya namun gerakannya itu mampu mengelakkan serangan-serangan ganas golok Warok Ijo sehingga penjahat ini akhirnya hentikan serangan dengan nafas mengengah. Kedua matanya yang sipit mendelik. Keringat membasahi muka berwarna hijau itu sampai ke kepalanya yang botak.

“Anjing kurap! Aku mau lihat sampai di mana kehebatan ilmumu! Tapi aku mau tanya dulu! Katakan siapa dirimu dan apa sangkut pautmu dengan kepala desa itu hingga enak daja turun tangan mencampuri urusan orang?!”

Dipanggil anjing kurap Pendekar 212 hanya menyeringai. Lalu membalas, “Anjing buduk kepala hijau! Lebih satu tahun kau dan anak buahmu malang melintang menebar kejahatan. Merampok dan membunuh, menculik dan memperkosa. Malam ini semua itu akan berakhir, anjing buduk. Kau aka kukirim ke liang kubur untuk makan tulang belulang anak buahmu sendiri!”

“Bagus! Kau ternyata punya nyali! Aku mau lihat apa kau juga punya kesanggupan menerima pukulanku ini!”

Habis berkata begitu Warok Ijo merapal aji kesaktiannya lelu tangan kanannya yang telah berubah menjadi hijau dihantamkan ke arah Pendekar 212!

"Wuttt...!"

Sinar hijau menyambar mengeluarkan suara menderu. Inilah pukulan sakti “kelabang ijo” yang mengandung racun mematikan. Beberapa waktu lalu pukulan sakti ini ternyata tidak mempan terhadap Jarotomo yang saat itu masih memiliki ilmu kebal yang didapatnya dari Ratu Bukit Kemukus. Kecuali pemuda yang diserangnya ini juga memiliki ilmu kebal itu maka jangan harap dia bisa lolos dari rengutan maut.

Dari sinar pukulan lawan, murid Sinto Gendeng sudah dapat menduga keganasan pukulan sakti lawan. Maka cepat-cepat dia menyingkir dangan melompat ke kiri. Berbarengan dengan itu dia lancarkan serangan balasan dengan menghantamkan pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan. Dua pukulan sakti mengeluarkan suara berdentum ketika saling beradu di udara.

Warok Ijo merasakan kedua kakinya bergetar keras membuatnya hampir jatuh kalau tidak cepat-cepat mengimbangi diri. Di seberang sana Wiro Sableng tak kalah kagetnya. Dia memang berhasil menghantam musnah pukulan sakti lawan, tapi pukulannya sendiri ikut berantakan. Disamping itu dadanya terasa sesak dan mendenyut sakit.

Cepat-cepat Wiro kerahkan tenaga dalam, atur jalan nafas dan peredaran darah. Selagi dia melakukan hal itu Warok Ijo kembali menggempur dengan serangan yang sama tapi kali ini dengan kekuatan tenaga dalam penuh!

********************

DELAPAN

Pendekar 212 Wiro Sableng jatuhkan dirinya sama rata dengan tanah. Tak urung punggungnya masih sempat tersambar angin pukulan lawan. Wiro merasakan punggungnya perih dan panas. Di depan sana dilihatnya Warok Ijo kembali hendak melepaskan pukulan Kelabang Ijo. Kali ini tanpa pikir panjang lagi Wiro segera bangun dan dalam keadaan setengah berlutut dia langsung lepaskan pukulan Sinar matahari!

Sinar hijau pukulan sakti Warok Ijo dan sinar putih pukulan sakti Pendekar 212 saling baku hantam di udara. Terdengar dentuman dahsyat disertai getaran di tanah seperti ada lindu. Pendekar 212 jatuh duduk terjengkang, sesaat merasakan tubuhnya seperti tergontai-gontai. Di depan sana sosok Warok Ijo tampak masih tegak, tetapi pakaian hijaunya telah berubah gosong dan mengepulkan asap.

Sekujur kulit tubuhnya dari kaki sampai ke kepalanya yang botak telah berubah warna menjadi merah melepuh. Kepala penjahat ini maju dua langkah. Pada langkah ketiga kedua kakinya menekuk. Dilain saat tubuh yang hangus itu tergelimpang roboh. Terdengar satu keluhan pendek keluar dari mulut Warok Ijo. Setelah itu tubuhnya tak berkutik lagi!

Wiro memandang ke sebelah kiri. Ada orang yang tergelimpang di tanah. Ternyata Tunggiri yang telah menjadi mayat akibat tersapu oleh dua kekuatan sakti yang meledak dahsyat.

Di bagian lain Jarotomo lebih beruntung. Sewaktu terjadi adu kekuatan pukulan sakti tadi, sebelumnya dia telah berusaha merangkak dan berlindung di balik sebatang pohon hingga dirinya selamat. Wiro dekati pemuda ini. Dilihatnya wajah Jarotomo seputih kertas. Darah masih mengucur dari tangan kanannya yang buntung. Cepat Wiro menotok jalan darah urat besar di tangan kanan pemuda malang itu. Kucuran darah segera berhenti.

“Sahabat, aku tidak punya banyak waktu lama. Aku butuh beberapa keterangan darimu…” berkata Wiro.

Jarotomo mengangguk. “Terima kasih. Kau telah menyelamatkan jiwaku, kisanak…”

“Apa benar kau pernah mendapatkan ilmu kesaktian dari Ratu Bukit Kemukus…?”

“Ah… jangan tanyakan hal itu… Aku tidak tahu apakah aku benar-benar pernah mendapatkna ilmu itu atau tidak. Nyatanya aku tak sanggup menghadapi para penjahat itu. Tanganku bahkan dibacok putus. Padahal masih beberapa hari yang lalu aku tak mempan dipukul, tak mempan senjata tajam, bahkan tak mempan pukulan sakti. Nyatanya kini…”

"Tapi kau pernah meminta ilmu kepandaian ke bukit Kemukus dan mendapatkannya dari ratu sana…?”

Jarotomo mengangguk. “Aku diberikan ilmu kebal. Tapi ternyata kini aku tidak kebal lagi…”

“Jadi kau pernah beremu muka dengan sang ratu?” tanya Wiro lagi.

“Ya…”

“Dapat kau menceritakan ciri-ciri perempuan itu?”

“Dia masih muda. Cantik sekali. Tetapi hatinya lebih jahat dari iblis. Jika dia tidak berkenan atau tidak suka pada seseorang, dia bisa saja membunuh orang itu semudah dia menjetikkan jarinya… Eh, kisanak. Mengapa kau menanyakan ratu Kemukus. Apakah kau berniat hendak pergi ke bukit itu…?!”

“Aku tengah mencari seseorang...” Jawab Wiro pula. “Namun ciri-cirinya jauh berbeda dengan yang kau katakan. Mungkin bukan dia orangnya…”

“Dia siapa? Maksudmu sang ratu?” tanya Jarotomo.

“Yang kucari seorang nenek keriput. Dia telah mencuri sebuah tusuk kundai milik guruku, bahkan nyaris membunuh guru…” Wiro berdiam sejenak. Lalu bertanya kembali. “Waktu kau bertemu ratu Kemukus, apa saja yang dilakukannya terhadapmu…?”

Paras pucat Jarotomo tampak merah sekejapan. “Aku malu mengatakannya padamu kisanak.”

Wiro tertawa lebar. “Kita sama-sama lelaki. Mengapa harus malu? Aku yakin perempuan itu terpikat padamu…”

Jarotomo menarik nafas dalam. “Aku… Waktu itu aku harus melayani nafsu terkutuknya. Selama satu minggu aku dikurung dalam sebuah kamar….”

“Kamar itu pasti terletak di rumah berbentuk aneh di puncak bukit Kemukus!” memotong Wiro

“Eh, bagaimana kau bisa tahu. Berarti kau pernah ke sana…”

Wiro tertawa dan manganggukkan kepala.

“Kisanak hati-hatilah jika kau berada di kawasan bukit Kemukus. Nyawamu bisa terancam walau di sekitarmu kau melihat sorga dunia yang disuguhkan oleh orang-orang sang ratu…”

“Satu lagi pertanyaanku. Selama satu minggu kau selalu bersama-sama sang ratu. Apakah kau melihat kelainan atau cacat pada lengan kanannya?”

Jarotomo menggeleng. “Sekujur tubuhnya mulus… Sama sekali tak ada cacat sedikitpun…”

“Kalau begitu memang bukan dia rupanya. Tapi aku tetap harus datang lagi malam Jum’at depan. Segala sesuatanya bisa terjadi secara tidak terduga.” Setelah membatin begitu Wiro berkata pada Jarotomo bahwa dia harus pergi saat itu juga.

“Aku berterima kasih padamu kisanak. Kalau umur sama panjang aku ingin bertemu lagi denganmu…”

Wiro tersenyum mendengar kata-kata Jarotomo itu. Ditepuknya bahu si pemuda lalu memutar tubuh hendak tinggalkan tampat itu. Baru satu langkah menindak Wiro mengerenyit. Punggungnya terasa sakit sekali seperti ada ratusan jarum yang menusuk!

Di belakangnya tiba-tiba terdengar seruan Jarotomo. “Kisanak, kau keracunan!”

Wiro membalik sambil meraba punggungnya. Astaga! Bajunya di bagian punggung ternyata telah robek besar dan kulit punggungnya terasa panas! Angin pukulan Kelabang Ijo! Pasti pukulan yang tadi dilepaskan oleh Warok Ijo itulah yang menyebabkan.

“Punggungmu tampak hijau dan ada bintik-bintik hitam…” berkata Jarotomo.

Murid Sinto Gendeng segera keluarkan senjata mustikanya. Jarotomo terkesiap melihat senjata berbentuk kapak dan mengeluarkan cahaya itu.

“Senjatamu luar biasa sekali!” kata Jarotomo penuh kagum.

Wiro ulurkan Kapak Maut Naga Geni 212 kepada Jarotomo seraya berkata, “Tolong kau sapukan mata kapak ini ke bagian punggungku yang berwarna hijau…”

Wiro buka pakaiannya yang telah koyak lalu duduk membelakangi Jarotomo. Seperti yang dikatakan Wiro, dengan tangan gemetar Jarotomo sapukan mata kapak ke punggung yang berwarna kehijauan akibat pukulan beracun Warok Ijo. Begitu mata kapak menyentuh punggungnya, Wiro merasakan dagingnya terasa dibetot dan sakit bukan kepalang hingga dia menggigit bibir menahan sakit.

“Luar biasa!” tedengar Jarotomo berseru.

“Apa yang terjadi? Apa yang kau lihat Jarot?” tanya Wiro sementara keringat membasahi keningnya karena diam-diam dia harus mengerahkan tenaga dalam untuk terlepas dari bahaya racun yang bisa mencelakai bahkan dapat membunuhnya.

“Warna hijau di punggungmu lenyap perlahan-lahan. Juga bintik-bintiknya. Kini kedua mata kapak yang tampak berubah kehijauan…”

Wiro menjadi lega mendengar keterangan itu. Kalau mata kapak kini yang berwarna hijau berarti senjata mustika itu telah berhasil menyedot racun jahat yang ada di tubuhnya.

“Jika warna hijau dan bintik-bintik di punggungku sudah hilang, hentikan usapkan senjata itu…”

“Sedikit lagi, sedikit lagi kisanak…” terdengar suara Jarotomo bergetar.

Perubahan suara yang tengah menolongnya itu memberi isyarat tidak enak pada Pendekar 212. Lalu dirasakannya mata kapak tidak lagi menempel dan menyapu di pungungnya. Dia menoleh ke belakang. Tepat saat itu dilihatnya tangan kiri Jarotomo yang memegang senjata tengah mengayunkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke kepalanya!

"Wuttt...!"

Senjata itu mendesing seperti suara ratusan tawon mengamuk. Sinar menyilaukan berkiblat. Wiro merasakan ada hawa panas dari senjata mustika itu membersit ke arahnya! Gila! Senjatanya sendiri hendak dipakai membunhnya!

Sambil berteriak marah Pendekar 212 jatuhkan dirinya ke tanah lalu berguling. Kapak Naga Geni 212 menderu dua jengkal di atas kepalanya. Begitu jatuh di tanah Wiro berguling ke kiri dan bersamaan dengan itu kaki kanannya menendang ke arah dada Jarotomo!

Terdengar pekik pemuda kepala desa Kenconowengi itu. Tubuhnya mencelat samapi dua tombak. Kapak Naga Geni 212 terlepas dari tangannya.Wiro usap keringat dinginnya dan cepat ambil senjata mustika yang tercampak di tanah lalu melompat ke hadapan Jarotomo.

“Manusia tak kenal budi!” bentak Wiro. “Mengapa kau hendak membunuhku?!”

Jarotomo tampak sulit hendak menjawab. Tulang dadanya melesak hancur. Beberapa tulang iganya patah dan dari sela bibirnya tampak ada darah meleleh. Nafasnya keluar dari hidungnya terdengar menyengal.

“Bangsat! Jawab pertanyaanku!” teriak Wiro.

“Aku… entah mengapa… tiba-tiba saja ingin memiliki senjatamu itu… maafkan aku kisanak…”

“Manusia tolol!” maki Wiro. Dia tahu kalau umur pemuda itu tak bakal lama. Tanpa perduli lagi Wiro tinggalkan orang yang sedang sekarat itu.

********************

SEMBILAN

Begitu pintu besar itu terbuka, muncullah sebuah kepala perempuan tua berwajah buruk.

“Hemmmm… kau! Kowe ada keperluan apa Sawitri?”

“Ada hal penting yang harus saya laporkan pada Ratu…”

“Ratu sedang sibuk. Laporkan saja padaku, nenti kusampaikan padanya!” berkata perempuan tua berwajah angker itu.

“Harap maafkan diriku Nenek Agung. Laporan ini harus saya sampaikan sendiri pada ratu.”

“Begitu…?” Si nenek berwajah angker perlihatkan wajah sinis. “Kau tunggulah sebentar. Akan kuberi tahu kedatanganmu. Jika ratu berkenan menerimamu kau bisa bertemu dengan dia. Tapi jika ratu marah karena merasa diganggu, apakah kau sudah siap untuk mati?!”

Sesaat paras Sawitri menjadi pucat. “Tapi…”

“Tapi apa?!” sentak si perempuan tua yang dipanggil dengan sebutan Nenek Agung itu.

“Justru yang hendak aku laporkan ini menyangkut keselamatan bukit Kemukus, termasuk keselamatan ratu kita!”

“Hemm begitu? Kau tunggu di sini. Jangan pergi sampai aku datang lagi!” Si Nenek Agung berkata lalu menghilang di balik pintu yang ditutupkan.

Tak lama kemudian pintu kayu itu terbuka kembali. Nenek Agung muncul menyeringai. “Nasibmu mujur. Kau boleh masuk. Langsung menuju ruangan tamu. Tunggu ratu di sana…”

Sawitri masuk. Sperti yang dikatakan perempuan tua tadi dia langsung menuju ke sebuah ruangan tamu yakni sebuah ruangan besar beralaskan permadani lebar dan tebal. Tak ada perabotan di ruangan itu, kecuali bantal-bantal besar yang bertebaran di mana-mana.

Pada salah satu dinding ruangan terpampang lukisan besar orang perempuan berparas cantik jelita, berdiri tegak dipuncak bukit, mengenakan pakaian biru muda sangat tipis yang tampak seperti berkibar-kibar ditiup angin. Di bawah pakaian tipis itu dia tidak mengenakan apa-apa hingga sekujur auratnya kelihatan hampir telanjang. Itulah lukisan Ratu Bukit Kemukus.

Perlahan-lahan, dengan hati-hati sawitri duduk di salah satu bantalan. Dia menunggu cukup lama ketika akhirnya sang ratu muncul diiringi Nenek Agung. Ternyata perempuan yang muncul ini memiliki wajah yang jauh lebih cantik dari lukisan dinding. Tubuhnya yang semampai terbalut oleh pakaian berwarna hijau muda yang tembus pandang memperagakan auratnya yang bagus dan memutih kencang. Sawitri cepat berdiri dan membungkuk hormat.

“Menurut Nenek Agung kau datang untuk melaporkan sesuatu yang menyangkut keselamatan diriku dan bukit Kemukus. Betul…?” Ratu Bukit Kemukus menegur. Suaranya mengalun lembut tetapi penuh kharisma.

“Betul sekali ratu. Mohon maafmu kalau…”

“Langsung saja katakan apa yang hendak kau sampaikan!” memotong sang ratu.

“Sejak tiga minggu belakangan ini saya kedatangan tamu muda aneh dan mencurigakan…”

“Aneh dan mencurigakan bagaiman?”

“Dia memiliki kertas biru. Tapi samapi tiga kali datang kemari dia tidak pernah melakukan hubungan badan. Dia banyak bertanya mengenai ratu. Setiap datang dia selalu berkeliling seolah-olah tengah melakukan penyelidikan. Pling sering dia mendekati bangunan ini dan memperhatikan lama sekali…”

“Aku belum melihat keanehan dan kecurigaan!” berkata Ratu Bukit Kemukus.

Mendengar kata-kata ratunya itu Sawitri meneruskan. “Setiap datang pemuda itu selalu minta saya membubuhi tanda di kertas biru. Dia juga minta bajunya dibubuhi minyak wangi. Jelas dia bermaksud mengelabui para penjaga di jalan masuk dan jalan keluar…”

“Penjagaan oleh petugas-petugas berpakaian seragam dan berpakaian biasa di bukit ini tak memungkinkan siapa saja bisa berbuat sesuatu yang tidak diingini. Apa yang kau sampaikan bagiku tetap tak ada artinya…” Sang ratu memutar tubuh hendak meninggalkan tempat itu. Nenek Agung perlihatkan tampang cemberut pada Sawitri.

“Ada satu hal lagi ratu…” Sawitri tiba-tiba membuka mulut lagi.

Ratu Bukit Kemukus hentikan langkah. Tapi dia sama sekali tidak berpaling. Tegak menunggu.

“Pemuda itu membekal sebuah senjata aneh, ratu!”

“Bagaimana kau bisa tahu?!” tanya Ratu Bukit Kemukus pula.

“Ketika dia memeluk saya, terasa ada benjolan di bagian perutnya…”

Ratu Bukit Kemukus berpaling lalu tertawa panjang. “Tentu saja dia membekal senjata seperti itu! Senjata yang dibawanya sejak lahir! Nenek Agung, suruh dia pergi! Dia hanya menghabiskan waktuku saja!”

Nenek Agung melangkah mendekati Sawitri. Sebelum ditarik pergi Sawitri masih berusaha meyakinkan ratunya. “Pemuda itu bukan membekal golok atau keris, ratu. Tapi sebilah senjata aneh…”

“Kau tidak melihatnya. Bagaimana bisa mengatakan senjata aneh?”

“Karena ketika senjata di balik pakaian itu menyentuh diri saya, tubuh saya terasa bergetar aneh…”

“Apakah pemuda itu bertampang gagah?” Ratu Bukit Kemukus bertanya.

“Terus terang, walau lagaknya sering kali konyol dan suka bergurau, tapi wajahnya memang cakap. Rambutnya gondrong sebahu dan tubuhnya...”

“Siapa nama pemuda itu?”

“Harap maafkan saya . Sampai kedatangannya yang ketiga dia tidak memberitahu namanya…”

“Itu satu kelalaian Sawitri!” yang bicara adalah Nenek Agung. “Kau harus tahu nama setiap tamumu. Apalagi dia akan menidurimu sebanyak dua puluh satu kali!”

“Tapi pemuda gagah itu tidak melakukannya terhadapku…” sahut Sawitri.

“Kalau begitu…” terdengar sang ratu berucap. “coba panggil penjaga jalan masuk yang bertugas melakukan pencatatan nama-nama para tetamu.” Sang ratu anggukkan kepalanya kepada Nenek Agung.

Perempuan tua itu mengerling jengkel ke arah Sawitri namun dia cepat meninggalkan ruangan itu. Tak lama kemudain dia kembali bersama seorang lelaki bertubuh tinggi besar, mengenakan pakaian merah dan bertampang galak. Tapi di hadapan sang ratu kegalakannya lenyap, dia berubah menjadi seekor kucing kuyu.

“Kau yang bertugas mencatat nama-nama para tetamu di jalan masuk?”

“Betul ratu” jawab petugas itu sambil membungkuk dalam.

“Coba kau ingat-ingat nama seorang pengunjung. Masih muda berambut gondrong sebahu. Berpakaian warna... Sawitri, apa warna pakaian pemuda itu?" bertanya Ratu Bukit Kemukus.

“Dia selalu mengenakan pakaian dan ikat kepala putih…” Menjelaskan Sawitri.

Penjaga jalan masuk itu mengingat-ingat sebentar, lalu memeriksa kertas berisi nama-nama para pengunjung. Sesaat kemudian terdengar dia berkata. “Mungkin yang ini orangnya. Namanya Wiro…”

“Siapa?!” tanya sang ratu.

“Namanya Wiro.” Mengulang petugas berpakaian merah itu.

Tampak perubahan pada paras Ratu Bukit Kemukus. Ketika dia bertanya lagi jelas suaanya agak bergetar. “Wiro apa…?”

“Hanya Wiro saja, ratu…” jawab si petugas seraya membunkuk.

Ratu Bukit Kemukus merenung sesaat. Lalu, “Apakah pemuda itu mempunyai kebiasaan suka menggaruk-garuk kepala atau rambutnya?”

“Betul sekali ratu…” jawab Sawitri dan si penjaga berbarengan.

“Kalian semua boleh pergi!”

“Saya juga ratu?” tanya Nenek Agung.

“Semua kataku!” sentak Ratu Bukit Kemukus.

Ketiga orang itu mejura dalam-dalam lalu cepat-cepat tinggalkan ruang tamu itu. Setelah berada sendirian, Ratu Bukit Kemukus melangkah mundar-mandir.

“Celaka. Kalau benar dia yang muncul urusan bisa berabe…” membatin sang ratu. Kedua tangannya diusapkan kemuka. Dia tersentak ketika merasakan bagaimana kulit wajahnya yang jelita itu mengendur. Diangkatnya tangan kanannya dan diperhatikannya lekat-lekat lengannya.

“Ah… cacat bekas luka itu sudah muncul lagi. Aku harus berangkat ke Kotaraja malam ini juga!” Cepat-cepat sang ratu tinggalkan ruangan tamu itu. Setiap langkah yang dibuatnya menyebabkan pakaian halusnya mengeluarkan suara berdesir. Setiap goyangan pada tubuhnya menebar bau harumnya wewangian yang dipakainya.

********************

SEPULUH

Tumenggung Sundorojati turun dari ranjang kamarnya di tingkat atas. Disingkapnya tirai jendela. Angin malam yang dingin menyapu wajahnya. Dia memandang ke arah pintu halaman. Mneungu. Di kejauhan terdengar suara derap kaki kuda mendatangi.

“Pasti dia…” Kata tumenggung ini dalam hati. Apa yang diduganya tidak meleset.

Hanya sesaat kemudian tampak seorang berpakaian serba hitam, mengenakan cadar dan menunggangi kuda coklat memasuki pintu halaman. Seperti sudah biasa, penunggang kuda coklat ini lagsung menuju halaman belakang. Setelah manambatkan kudanya di sebuah tiang, orang ini bergegas menuju serambi belakang. Dia memandang berkeliling.

Seorang pegawai bersenjatakan tomabak pendek muncul dari kegelapan. Tapi ketika mengenali orang bercada itu segera saja dia menjura lalu mengundurkan diri dan lenyap di halaman samping. Orang bercadar melangkah cepat menaiki tangga batu yang menuju tingkat atas bangunan di mana kamar Tumenggung Sundorojati terletak.

Pintu kamar terbuka ketika orang bercadar samapaai pada anak tangga teratas. Tumenggung Sundorojati memberi isyarat. Tamu larut malam itu segera menyelinap masuk.

“Aku kira kau lupa akan jadwal kunjunganmu, Darmini. Seharusnya kau datang kemarin.” Berkata Tumenggung Sundorojati, sorang lelaki yang berusia hampir enam puluh tahun. Tubuhnya kurus tinggi, seluruh rambut di kepalanya telah berwarna putih.

“Banyak masalah di bukit…” Jawab tamu yang barusan datang. Ternyata suaranya suara perempuan. Dia duduk di sebuah kursi. Dari balik pakaian hitamnya dia mengeluarkan sebuah kantong kain yang kemudian diletakkannya di atas meja di sampingnya.

Tumenggung Sundorojati segera menyambar kantong kain itu dan melemparkannya ke sebuah guci di sudut kamar dekat tempat tidur.

“Kau tidak menghitung jumlah uang dan kepingan perak di dalamnya Tumenggung?”

“Tidak perlu. Dari besar dan beratnya sudah kuduga. Sama dengan bulan-bulan sebelumnya. Ada kabar kurang baik untukmu Darmini. Atasanku minta upeti dilipat gandakan!”

“Dilipat gandakan?!” Tamu bercadar tersentak dan sesaat tertegak dari kursinya. “Akhir-akhir ini tamu jauh berkurang dan banyak masalah terjadi di bukit. Bagaimana mungkin aku bisa memenuhi upeti yang dinaikkan sampai dua kali lipat begitu? Aku harus menemui atasanmu Tumenggung!”

“Sudah kubilang sejak dulu. Dia tak mau ditemui. Segala urusan harus dilakukan melaluiku…”

“Kalau begitu kau sampaikan padanya rasa keberatanku!” ujar sang tamu pula.

“Akan kusampaikan. Nah sekarang, apakah kau tidak akan menanggalkan pakaian luarmu dan membuka cadarmu? Aku sudah rindu pada wajah dan tubuhmu…”

Tamu yang duduk di kursi berdiri dan perlahan-lahan tanggalkan pakaian luar yang dikenakannya. Ternyata pakaian ini hanya berupa mantel saja untuk menahan hawa dingin. Di bawah mantel orang itu mengenakan pakaian panjang berwarna biru tipis.

Tumenggung Sundorojati memperbesar cahaya lampu dalam kamar hingga kini sepasang matanya dapat lebih jelas menembus ketipisan pakaian orang di hadapannya.

Perlahan-lahan tetamu itu kemudian membuka cadar yang sejak tadi menutupi wajahnya. Begitu cadar terbuka kelihatanlah wajahnya. Ternyata sang tetamu yang disebut dengan nama Darmini itu bukan lain adalah Ratu Bukit Kemukus.

“Ah… Wajahmu tetap cantik. Namun kulit mukamu tampa mengendur…” berkata Tumenggung Sundorojati seraya melangkah mendekati lalu merangkul tubuh perempuan itu kuat-kuat. Tangannya menjelajah kebawah.

“Berikan obat itu lebih dahulu Tumenggung. Baru nannti kita berpuas-puas…” bisik Ratu Bukir Kemukus.

“Tentu… tentu...” sahut sang Tumenggung. Dirabanya wajah Ratu Bukit Kemukus lalu diperhatikannya lengan kanan perempuan itu. Luka bekas cacat yang ada di lengan itu mulai nampak menjelas sedang kulit lengan terasa mengendur. “Aku sudah merasa kau bakal datang. Karena itu aku sudah menyiapkan air putih untuk obatmu.”

Tumenggung Sundorojati masuk ke sebuah kamar di samping kamar tidurnya. Sesaat kemudian di akeluar lagi membawa sebuah tempurung berisi air putih. Tempurung itu diletakkannya di atas meja sementara Ratu Bukit Kemukus duduk memperhatikan dengan mata tak berkesip. Dari dalam saku pakaiannya sang tumenggung kemudian mengeluarkan sebuah kantong kain berwarna hitam. Dari kantong ini menyembullah sebuah batu cincin sebesar telur burung, berwarna biru gelap yang memantulkan cahay aneh ketika tertimpa sinar lampu kamar.

Oleh Tumenggung Sundorojati, batu biru itu tadi dimasukkannya ke dalam air putih di dalam tempurung kelapa. Serta merta air itu menjadi kebiru-biruan. Ratu Bukit Kemukus ulurkan tangan kanannya hendak menjangkau tempurung itu. Tumenggung Sundorojati tersenyum dan bantu mendahului mengambil tempurung lalu menyerahkannya pada Ratu Bukit Kemukus.

“Kau tak sabaran sekali tampaknya Darmini…”

“Saat-saat seperti ini aku selalu diburu rasa takut. Sekali aku terlambat calakalah sisa hidupku...” sahut perempuan itu.

Sambil membelai rambut Darmini, tumenggung Sundorojati berkata “ Selama batu itu masih di tanganku, kau tak bakal celaka. Sisa hidupmu tidak akan berubah. Kau akan tetap muda dan cantik. Tubuhmu akan tetap kencang dan menarik. Nah, minumlah…”

Ratu Bukit Kemukus cepat meneguk air biru dalam tempurung sampai habis. Kemudian seperti orang lelah berat dia duduk tersandar di kursi dan menengadah ke atas. Kedua matanya dipejamkan. Nafasnya terasa memburu. Sesaat kemudian seperti ada kabut tipis yang menutupi wajah dan sekitar tubuhnya. Ketika kabut tipis itu lenyap maka wajah perrempuan itu tampak seperti bersinar, menjadi jauh lebih muda. Kulit muka dan tubuhnya yang tadi mengendur kini tampak kencang segar!

Tumenggung Sundorojati mengambil tempurung dari tangan Ratu Bukit Kemukus lalu menyimpan batu cincin biru ke tempatnya semula di dalam kantong kecil. Kantong dan batu ini kemudian dimasukkannya ke saku pakaiannya.

Perlahan-lahan Ratu Bukit Kemukus buka kedua matanya. Lalu dia berdiri dan melangkah ke arah kaca yang tergantung di dinding kamar. Matanya tampak gembira bercahaya ketika melihat bahwa wajahnya telah kembali muda, tak ada kulit yang kendur, tak ada garis-garis ketuaan. Dari belakang Tumenggung Sundorojati datang merangkul dan berbisik “Aku minta bagianku sekarang, Darmini…”

“Ah, kini kau yang kelihatannya tidak sabaran…”

Lelaki itu tersenyum. “Menunggumu empat puluh hari bukan pekerjaan mudah. Kalau atasanku minta upeti dilipat gandakan, mengapa aku tidak minta jatahku menjadi dua kali lipat dalam empat puluh hari…?”

Darmini alias Ratu Bukit Kemukus tersenyum. Dia merebahkan tubuhnya di atas ranjang seraya berkata “Itu bisa diatur tumenggung. Jika kau minta diriku dua kali, akupun minta pengobatan dua kali dalam empat puluh hari…”

“Kau memang perempuan cerdik. Biar urusan itu kita bicarakan kemudian. Sekarang kita bersenang-senang dulu…” lalu lelaki tua itu tanggalkan pakaiannya kemudian melompat ke atas ranjang.

Begitu tubuhnya menyentuh ranjang terdengar suara pekiknya kesakitan. Lalu menyusul suar makiannya. “Perempuan laknat! Jahat terkutuk…!”

Ratu Bukit Kemukus tertawa panjang dan cabut pisau besar yang barusan dihujamkannya di perut Tumenggung Sundorojati. Darah mengucur membasahi ranjang. Terhuyung-huyung, sambil pegangi perutnya lalaki itu ulurkan tangan hendak menjambak rambut Ratu Bukit Kemukus. Tapi satu tususkan lagi pada tenggorokannya membuat Tumenggung Sundorojati jatuh terkapar. Kedua kakinya melejang-melejang beberapa kali, lalu diam tak berkutik. Lagi.

“Tua bangka tak tahu diri! Kalau saja aku tidak tergantung pad batu mukjizat mu tak akan sudi aku kau sentuh!” lalu dengan cepat perempuan ini menggeledah baju sang tumenggung. Batu cicin biru ditemukannya di salah satu saku pakaian itu. Cepat-cepat dimasukkannya ke balik pakaiannya. “Sekarang aku tidak tergantung pada siapapun lagi! Seumur hidup aku akan tetap muda! Ha Ha ha!”

Tiga kali lompatan saja Ratu Bukit Kemukus sudah sampai di ujung tangga sebelah bawah. Saat itu justru ada orang tiba-tiba menghadangnya . Ternyata penjaga tadi.

“Saya mendengar tumenggung menjerit. Ada apakah…?”

“Tidak ada apa-apa,” jawab Ratu Bukit Kemukus. Dia bersikap seperti hendak berlalu. Tapi tiba-tiba tangan kirinya berkelebat menjambak rambut pengawal itu. lalu kepala si pengawal dibantingkannya ke tembok rumah hingga mengeluarkan suara berderak. Ketika jambakannya dilepas, pengawal itu langsung roboh tanpa nyawa lagi!

********************

SEBELAS

Pendekar 212 Wiro Sableng memandang berkeliling. Lalu melirik pada Sawitri yang duduk di sebelahnya.

“Malam ini adalah malam terakhirmu. Kau sudah berada di sini sebanyak dua puluh satu kali. Tapi kau tak kelihatan gembira. Padahal bukankah setelah mandi di pancuran sana kau akan segera bertemu sang ratu. Mendapatkan ilmu kebal dan lebih dari itu aku yakin ratu akan terpikat pada kegagahan tampangmu serta kekukuhan tubuhmu…”

Wiro tertawa lebar dan mendehem beberapa kali. “Tentu saja aku gembira. Setelah menunggu dua puluh satu minggu akhirnya aku akan segera bertemu muka dengan ratumu. Hanya saja aku punya rasa was-was…”

“Maksudmu…?” tanya Sawitri.

“Sejak minggu keempat dulu aku merasa gerak gerikku berada di bawah pengawasan orang-orang bukit Kemukus ini. Tindak tandukku seperti diintai...”

Sawitri keluarkan suara tertawa panjang. “Memang ada yang mengawasi dan mengintaimu. Yaitu kawan-kawanku yang rata-rata naksir padamu…” ujar Sawitri pula. “Tapi kalau mereka tahu bahwa kau selama ini tidak pernah meniduriku. Hemm... mungkin mereka bisa menduga yang bukan-bukan terhadapmu. Mungkin kau dikira banci. Atau tidak memiliki kejantanan…”

Di kejauhan terdengar suara dua kali berturut-turut. Sawitri memegang lengan Wiro lalu berkata, “Saatnya kau kuantar mandi ke pancuran.”

Wiro berdiri. Melangkah mengikuti perempuan muda bertubuh sintal itu. Setiap langkah yang dibuat Sawitri membuat kain panjangnya tersibak hingga betisnya yang putih dan bagus tersembul di depan mata sang pendekar.

Berjalan menuju puncak bukit sekali ini terasa lama sekali bagi Wiro Sableng. Dia melangkah dengan kepala mengarah ke depan. Tetapi sudut matanya yang tajam tak dapat ditipu. Dia melihat petugas-petugas berpakaian merah bersembunyi mengawasinya di sepanjang jalan mendaki yang dilaluinya. Ada yang mendekamdi balik semak belukar, ada yang mengawasi dari balik pepohonan, ada juga yang mengintai dari balik batu-batu besar.

Kedua orang itu akhirnya sampai di bagian puncak bukit dimana terdapat sebuah pancuran berair sangat dingin. Di sebelah bawah pancuran ada sebuah kolam dangkal yang pinggiran dan dasarnya terbentuk dari batu-batu gunung berwarna hitam.

“Saatnya kau mandi…” Memberi tahu Sawitri. “Tanggalkan seluruh pakaianmu…”

Wiro terkejut. “A… apa?!”

“Tanggalkan pakaianmu, aku akan memandikanmu disaksikan oleh tujuh orang pengawal kepercayaan ratu! Ayo lekas! Para pengawal itu sudah muncul!”

Wiro memandang ke jurusan kanan. Dia melihat tujuh orang perempuan melangkah dari arah bangunan beratap lancip. Cepat sekali tahu-tahu ketujuhnya sudah berada di sekeliling pancuran. Yang enam perempuan-perempuan muda yang rata-rata berwajah jelita sedang yang satunya seorang nenek berwajah angker. Dia bukan lain adalah Nenek Agung.

“Sawitri! Pasanganmu ini tunggu apa lagi?! Kulihat dia masih belum menanggalkan pakaian. Apa perlu kami yang melakukannnya?!” Nenek Agung membuka mulut.

“Tunggu… sebentar!” ujar Wiro. Dia melihat tidak ada jalan lain. Kalau dia ingin menemui sang ratu secara jalan pintas yaitu dengan jalan kekerasan, seharusnya sudah dulu-dulu dilakukannya. Maka dengan muka terasa panas karena jengah, murid Sinto Gendeng ini akhirnya loloskan seluruh pakaiannya. Ketika membuka baju dengan cerdik Wiro berhasil menyembunyikan Kapak Maut Naga Geni 212 dalam buntalan bajunya.

“Hemmm…” Nenek Agung bergumam. “Menurut Sawitri pemuda gagah ini membekal senjata, tapi aku tidak melihat dia membawa apa-apa…”

Dalam keadaan tanpa pakaian Wiro masuk ke dalam kolam yang airnya dingin luar biasa. Tubuhnya teras menggigil. Apalagi ketika kepalanya tersiram air pancuran. Saat itu dilihatnya Sawitri menyusul masuk ke dalam kolam. Perempuan ini ternyata juga telah mencopot seluruh pakaiannya. Di tangan kanannya dia memegang air akan mengeluarkan busah dan menebar bau harum.

Nenek Agung di pinggir kolam mengeluarkan seruan. Enam perempuan muda di sekitar kolam kemudian melemparkan tujuh macam bunga ke arah Wiro. Bersamaan dengan itu Sawitri mulai menggosoki badan pemuda itu denga buah berbusah.

Enam perempuan muda dan si nenek menyaksikan upacara pemandian itu dengan dada sesak dan darah mengalir lebih cepat. Bagaimanapun mereka adalah manusia-manusia biasa yang setiap saat bisa terangsang nafsu lahir maupun batinnya. Hanya saja kalau enam perempuan muda sulit untuk menguasai diri maka si nenek masih mampu mengatur rangsangan lewat jalan pikiran yang jauh lebih berpengalaman.

Sepasang mata si nenek menembus dalam kegelapan malam, memandang ke tengah kolan dimana Wiro tengah dimandikan di bawah pancuran. Sesaat kemudian si nenek jadi tercekat ketika pandangan matanya mampir di dada si pemuda dan melihat deretan rajah angka 212.

“Jadi apa yang diduga ratu benar adanya. Pemuda ini pasti Pendekar 212 dari puncak Gunung Gede. Aku harus segera kembali menemui ratu dan memberi tahu…” membatin Nenek Agung.

“Cepat sedikit, aku tidak tahan kedinginan…” bisik Wiro di bawah pancuran pada Sawitri.

Ucapannya itu rupanya terdenga oleh Nenek Agung. “Anak muda, kau tidak tahan dingin atau tak tahan menguasai nafsu… Aku melihat bagian-bagian tubuhmu mulai menunjukkan kelainan…!”

Wiro tak menyahuti ucapan orang tetapi dalam hati dia memaki habis-habisan. Sesaat kemudian upacara pemandian itupun selesailah. Wiro disuruh mengenakan pakaiannya kembali. Nenek Agung melangkah ke tepi kolam. Kepalanya dijulurkan dan hidungnya kembang kempis seperti membaui sesuatu.

“Ada bau pesing! Kolam ini telah tercemar kencing manusia!” Dengan mata mendelik si nenek berpaling ke arah Wiro. “Anak muda, kau tadi kencing di kolam ya?!”

“Aku sudah bilang tak tahan dingin. Sudah terdesak mau dibuang dimana lagi…?!”

“Pemuda kurang ajar! Kalau ratu sampai tahu pasti kau akan menerima hukuman berat!”

“Ah, cukup kau saja yang tahu…” ujar Wiro pada si nenek lalu kedipkan mata kirinya dua kali. Karuan saja si nenek jadi salah tingkah dan diam-diam merasa dirinya muda kembali. Wajahnya yang keriputan bersemu merah. Dia mengerling pada enam anak buahnya. Untung tak satupun dari mereka yang memperhatikan. Ketika dia meoleh kepada Wiro, kembali dilhatnya pemuda itu kedipkan matanya, kali ini sampai tiga kali.

“Ah, anu… Saatnya membawa pemuda ini kehadapan ratu!” berseru Nenek Agung agak gagap.

Wiro berpaling pada Sawitri. Sebelum melangkah pergi dia mendekati perempuan yang tengah sibuk mengenakan pakaiannya itu dan berbisik, “Jika aku mendapat hadiah besar dari sang ratu maka kaupun bakal mendapat bagian. Tapi jika aku menemukan kesulitan karena pengaduanmu, kau pasti akan menemui kesulitan pula Sawitri…” Paras Sawitri berubah pucat.

“Bagaimana… bagaimana dia mengetahui kalau aku telah mengadukan dirinya pada ratu…? Ah!” Perempuan ini balikkan tubuhnya dan cepat-cepat tinggalkan tempat itu.

********************

DUA BELAS

Karena jalan jauh di depan, Nenek Agung sampai lebih dahulu di istana kediaman Ratu Bukit Kemukus dan langsung menemui sang ratu.

“Pemuda itu sebentar lagi akan sampai disini, ratu…” meberitahu Nenek Agung.

“Bagus. Aku melihatnya lebih dekat. Akan kujadikan budakku sampai aku puas. Setelah itu…!” Ratu Bukit Kemukus gesekkan tepi telapak tangannya di atas leher.

“Ada satu hal yang perlu saya beritahu padamu, ratu.”

“Hem… apa itu?” tanya Ratu Bukit Kemukus sambil membubuhi bagian belakang kedua telingannya dengan minyak wewangian.

“Ketika mandi di pancuran, saya melihat ada rajah tiga angka di dada pemuda bernama Wiro itu. Angka 212…”

“Berarti tidak salah lagi ia memang murid Sinto Gendeng! Nenek Agung, siapkan empat ekor anjing hutan itu. Aku akan memberi tanda bilamana ada yang tidak beres. Sekarang pergilah sambut kedatangannya. Bawa dia langsung ke kamar tidurku. Ingat, jangan membuat hal-hal yang mencurigakan…”

Nenek Agung putar tubuh untuk pergi. Namun sebelum mencapai pintu dia berbalik. “Ratu, saya ada permintaan…”

“Katakan!”

“Sebelum pemuda itu kita bunuh, apakah aku boleh merasakan sedikit kesenangan bersamanya…?”

Ratu Bukit Kemukus terkesiap mendengar pertanyaan pembantu kepercayaannya itu. Kemudian terdengar tawanya cekikikan.

“Bagiku tak ada alasan untuk menolak. Tapi, dengan kadaan tubuh dan wajahmu seperti ini apakah dia mau kau dekati…?”

“Untuk itu saya minta bantuan ratu. Bolehkah saya mendapatkan air putih yang dicelup dengan batu keramat berwarna biru itu?!”

Ratu Bukit Kemukus geleng-gelengkan kepalanya. “Nenek Agung, kau pergilah. Aku akan menyiapkan obat yang kau minta itu…”

“Terima kasih ratu. Terima kasih…” kata si nenek sambil membungkuk berulang kali.

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Pendekar 212 Wiro Sableng tercengang-cengang melihat kebagusan kamar tidur yang besar itu. Bau harum merasuk segar ke dalam jalan pernafasannya, terus ke paru-paru. Mendadak dia ingat sesuatu. Tadi ketika masuk jelas-jelas dia melwati sebuah pintu. Tapi kini setelah dia berada di dalam kamar itu sama sekali tidak melihat lagi pintu itu. Semuanya hanya berupa dinding polos berwarna merah muda! Juga sama sekali tidak ada jendela di tempat itu.

“Ruangan maha bagus tapi diselimuti keanehan…” membatin Wiro.

Selagi di mencari-cari dimana kira-kira pintu yang tadi dilewatinya tiba-tiba dinding di sebelah kiri terbuka. Dan saat itu juga masuklah sosok tubuh Ratu Bukit Kemukus. Pendekar 212 terkesiap menyaksikan wajah dan tubuh sang ratu. Belum pernah dia melihat perempuan secantik ini dengan bentuk tubuh yang sangat mengairahkan. Apalagi pakaian yang dikenakannya terbuat dari sutera tipis sehingga boleh dikatakan hampir tak ada bagian tubuhnya yang terlindung dari pandangan mata!

Untuk beberapa lama kedua itu saling berpandangan. Kalau Wiro terpesona kagum akan kecantikan da kebagusan tubuh sang ratu, maka Ratu Bukit Kemukus sendiri diam-diam merasa kagum akan ketampanan wajah sang pendekar. Ada bayangan sifat konyol di wajah itu dan justru inilah yang membuat sang ratu lebih tertarik.

Wiro membungkuk dalam-dalam lalu berkata, “Saya berhadapan dengan ratu, kepada siapa saya menghaturkan banyak terima kasih karena telah diberi kesempatan untuk bertemu…”

“Itu peraturan di bukit ini. Siapa yang selesai melewati dua puluh satu minggu dan memang inginkan ilmu dariku, pasti akan mendapatkan apa yang dimasksud!” menjawab Ratu Bukit Kemukus.

“Terima kasih ratu…” kata Wiro lalu kembali membungkuk. Dalam hati dia bertanya-tanya, apa benar ini orangnya yang telah mencuri tusuk kundai keramat milik gurunya dan hampir sempat membunuh Eyang Sinto Gendeng?

Menurut sahabatnya Kakek Segala Tahu penguasa bukit inilah yang telah melakukan hal itu. Setahu Wiro si pelaku adalah seorang tokoh persilatan berjuluk Hantu Perempuan Bertangan Empat, seorang nenek yang hanya berbeda umur sedikit dengan gurunya. Tetapi mengapa kini dia berhadapan dengan seorang perempuan muda yang begitu cantik? Wiro memandang ke aah lengan kanan yang tersembul di balik baju sutera sang ratu. Di situ tak ada tanda-tanda bekas luka akibat guratan tusuk kundai Sinto Gendeng ketika terjadi perkelahian.

“Orang muda, apa betul kau orangnya yang bernama Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?”

Pertanyaan sang ratu membuat Wiro terkejut sekaligus mengingatkannya agar berwaspada. “Penglihatan dan pendengaran sang ratu sungguh tajam. Saya tak berani mengelak bahwa memang itul nama saya…”

“Ah, kau berlaku jujur padaku,” sang ratu kelihatan senang akan jawaban itu. “Sebagai seorang pendekar sakti mandraguna yang sudah terkenal di delapan penjuru angin kau tentu sudah memiliki segala macam ilmu kepandaian. Mengapa mau bersusah-susah datang kemari?”

“Saya mendengar bahwa ratu bisa memberikan semacam ilmu kebal. Ilmu itu tidak saya miliki. Saya harap ratu berkenan memberikannya…”

“Itu sudah menjadi ketentuan. Siapa saja yang dapat menyelesaikan kunjungan sampai dua puluh satu kali pasti akan mendapatkan ilmu itu. Namun masih ada satu syarat lain yang harus dijalani…”

“Kalau ratu mau mengatakannya…” ujar Wiro pula.

Ratu Bukit Kemukus melangkah ke sebuah meja dimana terdapat guci-guci kecil terbuat dari tanah berisi berbagai macam minuman. Dia menuangkan sejenis minuman yang harum ke dalam dua cangkir tanah, lalu memberikan salah satunya kepada Wiro.

“Minumlah. Tuak harum itu didatangkan dari negeri jauh. Kau tak usah kawatir. Minuman itu tidak beracun…” Lalu sang ratu meneguk habis minumannya.

Tanpa ragu Pendekar 21 meneguk pula minumannya. Tubuhnya terasa segar dan pandangan matanya terasa lebih tajam. “Ratu belum memberi tahukan syarat yang harus saya lakukan untuk mendapatkan ilmu kebal itu…” Wiro berkata sambil meletakkan cangkir tanah diatas meja.

“Syaratnya mudah saja. Malah sangat menyenangkan. Kau harus tinggal bersamaku di tempat ini. Paling tidak se;ama satu minggu… Mungkin juga selama-lamanya!”

Wiro terdiam sesaat, garuk kepalanya baru menjawab. “Saya tidak mengerti maksud ratu…”

Ratu Bukit Kemukus tertawa. Dia melangkah dan duduk di tepi tempat tidur besar. Dia menggerakkan bahunya sedikit maka baju sutera yang dikenakannya melorot ke bawah, tertahan sebentar di lekukan atas sepasang payudaranya yang kencang, baru melorot jatuh ke bawah. Pendekar 212 merasakan matanya seperti silau melihat pemandanagan yang luar biasa itu.

“Kita hanya berdua di sini. Apa yang kau tunggu lagi Pendekar 212…?”

Wiro hampir tak bisa mnejawab pertanyaan itu. Kedua matanya sesaat memandang berkeliling. Dadanya mendadak berdebar ketika disalah satu sudut kamar dimana terletak lukisan yang terbuat dari susunan batang padi dia melihat tergantung sebuah tusuk kundai terbuat dari perak. Dia kenal dan pasti betul, itu adalah tusuk kundai milik gurunya yang telah dicuri orang! Ratu Bukit Kemukus yang muda dan cantik jelita inikah yang telah mencuri dan mencari perkara dengan Eyang Sinto Gendeng? Sulit diduga. Tapi kalau bukan dia yang mencuri, mengapa tusuk kundai itu berada di kamar tidurnya ini?

Di atas ranjang sang ratu telah merebahkan diri. Salah satu kakinya terjuntai ke lantai sehingga pinggul sampai ujung kaki kirinya terbuka polos, putih dan menantang.

“Pendekar 212 ketahuilah. Salah satu syarat untuk mendapatkan ilmu kebal itu ialah melayaniku paling tidak selama satu minggu. Jika kau menolak berarti satu penghinaan. Dan penghinaan terhadap ratu adalah kematian!”

“Mana berani saya menghina ratu,” menjawab Wiro. “Namun saya ada satu pertanyaan. Mungkin ratu bisa menjawab atau memberikan keterangan…”

“Untukmu aku akan menjawab jika bisa. Ajukan pertanyaanmu” sahut sang ratu pula.

“Sebenarnya saya tengah mencari seorang tokoh persilatan yang telah mencuri tusuk kundai pusaka milik Eyang Sinto Gendeng dan hampir membunuh guruku itu. Apakah ratu pernah mendengar tentang seorang nenek sakti berjuluk Hantu Perempuan Bertangan Empat…?”

“Tak pernah kudengar perihal nenek sakti itu.” sang ratu menjawab. Lalu sambungnya “Nah, pertanyaanmu sudah kujawab. Sekarang naiklah ke atas tempat tidur ini!”

“Pertanyaan saya belum selesai, ratu…” Kata Wiro pula.

Di atas ranjang tiba-tiba sang ratu melompat turun. Seluruh pakaiannya merosot jatuh ke lantai. “Aku hanya bersedia menjawab satu pertanyaan. Dan pertanyaanmu tadi sudah kujawab. Aku tak sudi mendengar pertanyaan lain. Ini bukan waktunya bertanya jawab. Kemarilah Wiro…”

Pendekar 212 melangkah maju. Ratu Bukti Kemukus tersenyum dan ulurkan kedua tangannya, siap untuk merangkul tubuh sang pendekar. Tapi ketika hanya tinggal setengah langkah lagi dari rangkulan sang ratu tiba-tiba Wiro melompat ke dinding kiri, langsung menyambar tusuk kundai yang tegantung di atas lukisan.

“Ini tusuk kundai guruku! Ratu Bukit Kemukus, katakan bagaimana perhiasan ini bisa berada di sini!”

Ratu Bukit Kemukus yang tidak menyangka hal itu akan terjadi dan tidak menyadari kalau tusuk kundai berada dalam kamar itu tampak gugup dan berubah parasnya. Untuk beberapa lama dia hanya tertegun memandang ke arah Pendekar 212.

“Ada satu keanehan di tempat ini, ratu!” kata Wiro. “Dan kalau kau tidak bersedia mengungkapkan keanehan itu…”

Sang ratu tiba-tiba keluarkan suara tawa meninggi. “Orang muda... bertahun-tahun hidup di bukit Kemukus ini, tak seorangpun pernah berani bicara mengancam!”

“Aku tidak mengancam siapapun!” jawab Wiro mulai kasar. “Aku hanya ingin penjelasan bagaimana tusuk kundai guru yang hilang bisa berada di tempat ini! Mustahil hantu atau jin pelayangan yang membawanya kemari lalu meletakkannya secara baik-baik dekat lukisan itu!”

Kembali sang ratu keluarkan suara tawa mengikik. Sepasang teling Pendekar 212 Wiro Sableng mendenging. Dadanya berdebar. Dia mencium dan meraba sesuatu!

“Ratu… suara tawamu jelas bukan suara tawa perempuan muda! Siapa kau sebenarnya?!” Wiro membentak.

Serta merta suara tawa Ratu Bukit Kemukus berhenti. Sepasang matanya yang bagus mendadak menyorotkan pandangan buas dan wajahnya yang jelita membersitkan kebengisan. Perlahan-lahan dia mengulurkan tangannya ke samping, ke arah kepala tempat tidur dimana tergantung sehelai tali berwarna merah berhias rumbai-rumbai biru. Begitu tali ditarik, maka dinding di sebelah kanan tampak bergeser dan di luar sana terdengar salak dahsyat binatang.

Pendekar 212 tahu betul. Itu adalah salakan anjing-anjing hutan yang sudah terlatih untuk mencabik-cabik tubuh manusia! Wiro tak menunggu lama. Empat ekor anjing hutan raksasa, dengan lidah terjulur dan mulut terbuka lebar memperlihatkan taring besar dan tajam melompat masuk. Di belakang ke empat binatang ini tampak si Nenek Agung!

********************

TIGA BELAS

Sebelumnya Wiro telah menyaksikan bagaimana empat ekor anjing hutan bertubuh raksasa itu mencabik-cabik tubuh manusia. Karenanya dia tidak berlaku ayal. Begitu empat ekor anjing menggembor dan melompat ke arahnya, murid Sinto Gendeng segera keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212!

Sinar menyilaukan memancar. Suara sperti tawon mengamuk menderu. Kapak sakti berkiblat. Terdengar raung anjing hutan di samping kiri. Tubuhny terkapar di lantai kamar dengan leher hampir putus!

“Bunuh! Bunuh!“ teriak Ratu Bukit Kemukus. “Nenek Agung jangan menonton saja!”

Walau hati kecilnya masih mengharapkan untuk dapat bersenang-senang dengan pemuda itu, namun si nenek mana berani membantah perintah sang ratu. Maka dengan mengandalkan tangan kosong Nenek Agung ikut menyerbu bersama tiga anjing yang sudah lebih dulu mengonggong dan melompat ke arah Wiro.

Kapak Maut Naga Geni 212 kembali berkiblat. Seekor lagi dari tiga binatang itu menyalak panjang dan jatuh bergedebuk. Yang satu ini robek perutnya. Dua kawannya menyalak ganas. Salah seekor diantaranya sempat mencakar bahu kiri Wiro hingga bajunya robek besar dan sebagian daging bahunya terkoyak luka!

Darah yang mengalir dari luka di bahu itu membuat du ekor anjing hutan seperti terangsang. Keduanya menyalak keras lalu kembali melompati mangsanya. Kali ini Wiro tidak memberi kesempatan. Dengan tangan kiri dia hantamkan satu pukulan sakti.

“Pukulan Sinar Matahari!” teriak Nenek Agung begitu mengenali pukulan sakti tersebut.

Kamar besar itu berguncang. Sinar panas menyilaukan menghampar. Ratu Bukit Kemukus berseru keras dan menyingkir ke sudut kamar. Nenek Agung jatuhkan diri sama rata dengan lantai. Hanya dua ekor anjing yang tidak mengerti kalau mereka tengah menghadapi pukulan maut, terus saja melompat.

Lalu terdengar sura raung kedua binatang ini ketika dihantam pukulan sakti mengandung hawa panas luar biasa itu. Keduanya tewas tergeletak saling tindih. Sekujur tubuh tampak hangus dan menebar bau daing terpanggang yang menggidikkan!

Dari sebelah depan Nenek Agung keluarkan teriakan keras lalu menghantam dengan tangan kanannya. Terdengar deru angin disertai menyambarnya hawa panas. Tapi sang ratu jelas melihat bahwa pukulan itu dilakukan tidak sepenuh hati. Dia tahu apa sebabnya. Maka marahlan dia. Apalagi setelah menyaksikan bagaimana empat ekor anjing peliharaannya tewas ditanganPendekar 212!

“Nenek Agung mundur kau! Biar para pengawal yang mencincang pemuda yang kau taksir itu!”

Paras si nenek tampak mengkerut jengah. Dia melompat keluar dari kalangan pertempuran. Sang ratu sendiri saat itu telah keluarkan satu suitan keras. Hanya beberapa saat setelah itu maka muncullah selusin pengawal berseragam merah, bertubuh rata-rata tinggi besar dan masing-masing mencekal senjata berbentuk celurit besar!

“Bunuh pemuda itu!” perintah Ratu Bukit Kemukus. Saat itu dia telah mengenakan pakaian tipisnya kembali.

Dua belas pengawal yang taat akan perintah segera bergerak mengurung walau hati masing-masing merasa beimbang setelh menyaksikan kematian empat ekor anjing hutan di dalam ruangan itu. Sebelumnya mereka memang telah diperintahkan mengawasi pemuda yang dianggap berbahaya itu.

Mereka tidak pernah menyangka kalau si gondrong ini memiliki kepandaian luar biasa. Membunuh salah seekor saja dari anjing hutan itu bukan pekerjaasn mudah. Si pemuda malah telah membunuh keempatnya! Nyali siapa yang tidak jadi lumer kalau disuruh menghadapi pendekar ini. Dan senjata berbentuk kapak yang digenggamnya turut membuat ke dua belas orang itu menjadi tambah ngeri.

“Serang!” teriak Ratu Bukit Kemukus tidak sabaran melihat para pengawal masih berputar-putar mengelilingi lawan.

Mendengar itu selusin pengawal segera menyerbu. Pendekar 212 menunggu sesaat. Di dahului suara bentakan keras, ketika dua belas orang pengeroyok berserabutan maju sambil hantamkan clurit, Wiro melompat satu tombak ke udara. Salah satu kakinya berhasil menginjak kepala seorang pengawal hingga orang ini terjengkang dengan leher patah.

Masih melayang di dalam ruangan Wiro babatkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke bawah. Memang tak ada yang terkena langsung hantaman senjata mustika itu. Namun hawa panas yang berkiblat membuat lima dari dua belas pengeroyok menjerit dan jatuh bergelimpang. Dua orang mati dengan sebagian dada hangus. Tiga lainnya luka parah terkena sambaran tak sengaja dari senjata kawan-kawan sendiri!

“Gila! Pemuda ini luar biasa sekali!” kata Ratu Bukit Kemukus begitu menyaksikan apa yang terjadi.

“Mundur semua!” teriak sang ratu. Para pengawal yang memang sudah tak punya keberanian lagi untuk menyerbu serta merta melompat mundur. Tinggal kini sang ratu berhadap-hadapan dengan Wiro di antara tebaran mayat manusia dan binatang serta genangan darah dimana-mana!

“Pendekar 212, sekarang aku tidak akan menyembunyikan apa-apa lagi! Memang aku yang menyerbu tempat kediaman gurumu. Aku berhasil melukainya dan merampas salah satu tusuk kundainya! Nah sekarang apa kau puas mendengar pengakuanku…?!”

“Belum!” sahut Wiro sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212 di depan dada. “Menurut guru yang berbuat jahat terhadapnya adalah seorang nenek, seorang tokoh silah bergelar Hantu Perempuan Bertangan Empat…”

“Lalu mengapa kau menuduh aku yang telah mencuri tusuk kundai itu?!” bentak Ratu Bukit Kemukus.

Wiro menyeringai. “Aku yakin memang kau yang mencuri dan menciderai guru. Hanya saja untuk membuktikan hal itu, seperti kataku tadi ada keanehan yang belum dapat kutembus!”

“Kau tak akan pernah mengungkapkan keanehan itu Pendekar 212! Karena nyawamu hanya tinggal beberapa kejapan saja!”

“Ah! Kalau begitu aku memilih mati sama-sama denganmu. Paling tidak tubuhmu yang bagus itu bisa kujadikan bantalan di liang kubur!” ujar Wiro lalu tertawa gelak-gelak.

Marahlah Ratu Bukit Kemukus mendengar ejekan itu. Di dahului satu teriakan keras dia melompat menyerbu Wiro. Tangannya kiri kanan melancarkan serangan hebat. Wiro yang sudah naik pitam tak perduli lagi apakah lawan mengandalkan senjata atau tidak, terus saja dia menghantamkan Kapak Naga Geni 212!

"Bukkk...!"

Terdengar suara bergedebuk ketika mata kapak mengahntam bahu kanan Ratu Bukit Kemukus dengan keras. Sang ratu terpental ke kiri, tersandar keras ke dinding. Tetapi astaga! Dia sama sekali tidak terluka sedikitpun! Hanya baju suteranya tampak robek dan hangus!

Pendekar 212 terbeliak menyaksikan hal ini. “Ilmu kebal perempuan ini benar-benar luar biasa!” kata Wiro dalam hati. Itulah seumur hidup dia melihat bagaimana senjata mustika pemberian gurunya tidak mampu melukai lawan, apalagi membunuhnya!

Ratu Bukit Kemukus berkacak pinggang lalu tertawa panjang. Lalu katanya mengejek. “Kalau kau mau tunduk padaku, nyawamu masih bisa kuselamatkan Pendekar 212!”

Wiro menyeringai “Hei, bukankah kita sudah bertekad untuk mati berdua saling tumpang tindih…?!”

Paras Ratu Bukit Kemukus tampak merah padam. “Ketinggian ilmu yang kau miliki membuat dirimu sombong dan melecehkan setiap orang seenaknya. Tapi sebentar lagi kau akan tahu siapa aku! Kau akan bertekuk lutut menyembahku sebelum nyawamu kucabut!”

“Kau yang sebenarnya sombong! Menyebut dirimu sebagai ratu! Padahal kerjamu mencari uang dan harta secara mesum! Wajahmu yang cantik dan tubuhmu yang bagus sebenarnya penuh lumur dosa maksiat!”

“Kau pendekar mesum yang berlagak alim dan suci! Jika kau memang punya ilmu keluarkanlah! Aku tidak takut! Serang dan pilih bagian tubuhku yang paling empuk!”

“Manusia takabur!” teriak Wiro. Kapak ditangan kanannya dipindahkan ke tangan kiri. Lalu tangan kanan itu tampak berkilat-kilat tanda Wiro sudah siap menghantamkan satu pukulan sakti.

Menghadapi hal itu Ratu Bukit Kemukus hanya ganda tertawa. “Kerahkan seluruh tenaga dalammu! Ayo lepaskan pukulan sinar mataharimu yang terkenal itu! Kau akan melihat bahwa pukulan saktimu itu tak lebih dar satu hembusan angin belaka!”

Jengkel oleh ucapan sombong sang ratu Pendekar 212 langsung saja hantamkan pukulan Sinar Matahari ke arah perempuan itu. Gilanya sang ratu sama sekali tidak berusaha menghindar.

"Bummm...!"

Pukulan sakti itu melabrak tubuh Ratu Bukit Kemukus. Perempuan ini jatuh terbanting ke lantai, tapi segera bangkit lagi tanpa cidera sedikitpun kecuali sekujur baju tipisnya kelihatan hangus hingga kini keadaannya sama saja dengan bertelanjang!

Pendekar 212 merasa seperti tersengat. “Kalau kapakku tak mempan dan pukulan sinar matahari tak mampu menghancurkannya, apa yang harus kulakukan…” begitu Wiro membatin.

Saat itu Ratu Bukit Kemukus mulai bergerak, melangkah mendatangi. Wajahnya melemparkan senyum aneh. Setiap langkah yang dibuatnya mengeluarkan suara bergemerisik. Tiba-tiba Wiro menyaksikan keanehan terjadi atas diri perempuan itu. Tangannya yang tadi berjumlah dua kini mendadak menjadi empat!

“Berarti memang dia bangsatnya yang berjuluk Hantu Perempuan Bertangan Empat!”

“Ha ha ha! Kau sekarang tahu siapa diriku Pendekar 212! Bersiaplah untuk mampus!” Ratu Bukit Kemukus tertawa mengekeh.

Wiro kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Lalu mendahului menyerbu. Kapak Naga Geni 212 menderu-deru di udara. Sinar putih menyilaukan berkiblat kian kemari disertai suara menggemuruh. Hawa panas menghampar membuat Nenek Agung dan sisa-sisa pengawal yang masih hidup menyingkir menjauhi.

Suara bukk... bukkk terdengar berulang kali setiap saat senjata sakti di tangan Wiro menghantam tubuh atau kepala Ratu Bukit Kemukus. Tetapi tak satupun senjata itu sanggup melukai sasarannya. Sang ratu hanya tergontai-gontai.

Penasaran murid Sinto Gendeng lepaskan beberapa pukulan sakti berturut-turut yaitu pukulan Benteng Topan Melanda Samudera, Kunyuk Melempar Buah, Dewa Topan Menggusur Gunung lalu Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih bahkan akhirnya pukulan Angin Es! Namun semua itu tidak sanggup merobohkan sang ratu. Hanya keadaan kamar tidur besar itu kini jadi porak poranda.

Ratu Bukit Kemukus tertawa panjang. Wiro jadi tertegun terkesiap. “Celaka! Apa lagi yang harus kulakukan!” pikir Pendekar 212 dan tengkuknya terasa dingin.

“Hai! Mengapa berhenti?! Apa tidak ada lagi ilmu simpanannmu?!” mengejek sang ratu.

Wiro tiba-tiba ingat pada batu hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni 212 yang tersimpan di pinggang kirinya. “Dengan api masakan tubuhnya tidak akan leleh!” begitu Wiro memikir. Batu hitam di tangan kiri, kapak mustika di tangan kanan. Wiro merapal bacaan sakti lalu batu dan mata kapak diadukannya satu sama lain. Satu lidah api menggemuruh, menyamba ke arah Ratu Bukit Kemukus.

Yang mendapat serangan hebat itu kembali keluarkan suara tertawa. Lidah api membungkus tubuhnya tetapi sama sekali tidak sanggup membakar. Perempuan itu seolah-olah seperti dibelai oleh tiupan angin sejuk, bukan oleh kobaran api. Dan dia melangkah terus. Tiba-tiba salah satu dari empat tangan memukul ke depan.

Wiro berteriak keras ketika dapatkan dirinya tak sanggup menahan gelombang angin aneh yang keluar dari tangan sang ratu. Tubuhnya terpental menghantam dinding. Dinding itu jebol dan Wiro dapatkan dirinya berada di halaman samping bangunan. Udara malam dingin dan gelap. Selagi dia berusaha untuk berdiri dengan sekujur tubuh terasa sakit, Ratu Bukit Kemukus sudah sampai di hadapannya. Empat tangannya yang aneh bergerak mengeluarkan suara berderak-derak.

Kembali Wiro berseru ketika Kapak Naga Geni 212 miliknya berhasil dirampas lawan! Dengan satu dari empat tangannya memegang senjata sakti itu, Ratu Bukit Kemukus kembali maju mendekat. Pendekar 212 beringsut di tanah, mencoba mundur dan mundur. Kedua kakinya tak sanggup lagi berdiri. Kekuatannya laksana punah!

“Gusti Allah! Tak pernah kusangka akan menemui kematian oleh senjata milikku sendiri!” mengeluh Wiro sambil menyebut nama Tuhan.

Satu-satunya benda yang masih dipegangnya adalah batu api di tangan kirinya. Ketika sang ratu semakin dekat, penuh putus asa Wiro lemparkan batu itu ke arah lawan. Batu menghantam tepat di kening Ratu Bukit Kemukus dan mental lalu jatuh ke tanah. Kening yang dihantam tidak cidera sedikitpun!

“Ah, aku betul-betul menemui ajal hari ini!” Disaat yang sangat menentukan itu terbayang wajah gurunya.

Tiba-tiba saja Wiro ingat pada tusuk kundai sang guru yang tadi ditemuinya di dalam kamar Ratu Bukit Kemukus. Itu satu-satunya benda terakhir yang bisa dijadikannya senjata. Tapi sanggupkah benda itu menjebol kehebatan ilmu kebal sang ratu? Wiro keluarkan tusuk kundai perak itu dari balik pakaiannya sambil beringsut mencoba menjauhi lawan yang terus mendesak.

“Ha ha ha... Kau sudah kehabisan pukulan dan senjata!” Ratu Bukit Kemukus keluarkan tawa dan seruan mengejek. “Aku mau lihat apa yang bisa kau lakukan dengan tusuk kundai yang kabarnya juga sakti itu! Ha ha ha…!”

Wiro tiba-tiba gulingkan dirinya. Dengan sisa tenaga yang ada, dengan kecepaan luar biasa dia berhasil menusukkan tusuk kundai ke betis kanan lawan. Tapi sang ratu hanya merasa seperti digigit semut dan kembali perdengarkan suara tertawa panjang! Tusuk kundai Eyang Sinto Gendeng ternyata juga tidak mempan!

“Waktumu sudah habis Pendekar 212. Kematianmu sudah di depan mata!” Ratu Bukit Kemukus hentakkan kaki kanannya.

Wiro merasakan tanah bergetar dan tubuhnya terpental ke atas. Bersamaan dengan itu tangan yang memegang Kapak Maut Naga Geni 21 dari sang ratu membacok ke bawah! Pendekar 212 tak mampu mengelak ataupun menangkis!

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara berseru. “Wiro! Tusukkan tusuk kundai itu ke kemaluannya! Arahkan ke kemaluannya! Itu titik kelemahan lawanmu!”

Yang berteriak adalah Nenek Agung! Ratu Bukti Kemukus terkejut besar. Dia menoleh pada perempuan tua yang tegak terpisah beberapa langkah. Justru ini adalah kesalahan besar yang tak bakal dapat ditebusnya. Wiro tak kalah kagetnya tapi otaknya cepat menangkap.

“Nenek keparat! Kau akan kubunuh! Bangsat!” Ratu Bukit Kemukus berteriak marah.

Lalu kembali berpaling ke arah Wiro. Saat itu sesuai petunjuk si nenek Pendekar 212 sudah tusukkan tusuk kundai di tangan kanannya ke bawah perut sang ratu! Penguasa bukit kemukus itu berteriak dahsyat. Dari kemaluannya yang ditembus tusuk kundai terdengar suara letupan keras menyusul kepulan asap hitam berbau busuk!

“Keparat! Perempuan tua keparat…” sang ratu masih menyumpahi anak buahnya itu.

Namun tubuhnya sendiri limbung. Kapak Naga Geni 212 terlepas jatuh dari genggamannya. Kedua tangannya memegangi bagian bawah perutnya dimana tampak darah merah kehitaman mengucur menjijikan!

Pendekar 212 merasakan nafasnya megap-megap. Dengan tersengal-sengal dia coba berdiri. Saat itu dilihatnya si Nenek Agung berlari memasuki kamar sang ratu yang telah hancur berantakan. Dia menggeratak ke dalam sebuah lemari dan menemukan benda yang dicarinya yaitu batu cincin biru sebesar telur burung yang memiliki kekuatan aneh, yaitu bisa membuat seseorang menjadi muda. Setelah mendapatkan batu mustika itu si nenek cepat lari mencari air.

Wiro tegak bersandar ke sebuah tiang di halaman samping. Sepasang matanya mengerenyit ketika melihat apa yang terjadi dengan sosok tubuh Ratu Bukit Kemukus yang kini menggeletak di tanah sambil mengerang menuju saat-saat kematiannya. Ketika nyawanya lepas meninggalkan jasadnya pelahan-lahan wajah cantik sang ratu berubah menjadi satu wajah sangat tua, keriputan dan mengerikan seperti muka hantu.

Rambutnya yang hitam berubah menjadi putih. Dan tubuhnya yang telanjang, yang sebelumnya bagus mulus dan menggairahkan kini berubah menjadi sosok kurus kering tinggal kulit pembalut tulang. Tangan anehnya yang tadi empat kini tampak kembali pada bentuk semula yaitu tinggal dua. Pada lengan kanan tampak cacat bekas guratan luka.

Wiro memandang berkeliling. Para pengawal berseragam merah yang masih hidup ternyata sudah menghambur kabur dari tempat itu. Diambilnya batu hitam dan Kapak Naga Geni 212 yang tercampak di tanah. Ketika dia hendak melangkah pergi, pemuda ini ingat akan tusuk kundai milik gurunya itu. Dia kembali mendekati mayat Ratu Bukit Kemukus. Tusuk kundai itu masih menancap di bawah perut sang ratu.

Wiro segera mencabutnya, memperhatikan sesaat dengan muka mengerenyit dan dalam hati dia berkata. “Apa yang akan dikatakan Eyang Sinto Gendeng kalau dia tahu tusuk kundainya ini pernah menancap di…” Wiro tidak teruskan ucapan hatinya itu.

Sambil menyeringai tusuk kundai itu disekakannya ke bajunya lalu didekatkannya ke hidungnya. Sepasang mata Pendekar 212 terbalik jereng ketika mencium bau yang masih menempel di tusuk kundai itu. Kembali disekakannya benda itu berulang kali ke bajunya lalu cepat-cepat disimpannya di pinggang celananya tanpa mau lagi menciumnya!

Udara malam yang menuju pagi terasa mencucuk dingin. Pendekar 212 melangkah sepanjang kjalan menurun menuju kaki bukit Kemukus. Dia sampai di pintu masuk dimana biasanya selalu berjaga-jaga beberapa pengawal bertampang galak. Saat itu tak satupun diantara mereka yang kelihatan. Wiro melangkah terus.

Tiba-tiba dia melihat ada seseorang menyelinap di balik pohon dekat pintu keluar. Pendekar 212 segera siapkan pukulan tangan kosong. Ketika orang dibalik pohon kemudian keluar menghadangnya Wiro angkat tangan kanan, segera hendak menghantam. Tapi gerakannya dibatalkan dan tangan kanannya perlahan-lahan diturunkan walau dia tetap berlaku waspada.

“Siapa kau? Apa maksudmu menghadang di tempat ini?!” Wiro bertanya.

Yang tegak di hadapannya adalah seorang perempuan muda berwajah bujur telur yang kecantikannya tidak kalah dengan kecantikan Ratu Bukit Kamukus!

“Tidak salah kalau tidak mengenali diriku…” Perempuan jelita itu menjawab sambil tersenyum.

Wiro mengenali sura itu. Hampir tak percaya dia berkata “Eh, bukankah…? Suaramu seperti suara Nenek Agung! Ya betul! Suara Nenek Agung! Kau…”

“Aku memang Nenek Agung. Tapi kenenekanku sudah berlalu. Sekarang aku telah menjadi seorang seperti yang kau lihat…” Bagaimana mungkin? Jangan-jangan kau mahluk jadi-jadian atau bukan mustahil penjelmaan sang ratu!”

Perempuan di hadapan Wiro tertawa. “Aku berhasil mendapatkan mukjizat keanehan yang membuat diriku bisa berubah muda. Aku malu menceritakannya padamu. Jangan panggil aku lagi dengan nama Nenek Agung itu. Namaku adalah Mayasuri…”

Wiro geleng-geleng kepala. Dia meneliti si jelita di hadapannya itu penuh rasa tak percaya. Akhirnya pemuda ini bertanya. “Kalau kau memang penjelmaan aneh dari perempuan tua yang telah menolongku itu, aku pantas saat ini mengucapkan terima ksih setinggi langit padamu! Kalau kau tak memberi petunjuk, aku tentu sudah jadi mayat saat ini!”

Mayasuri mengangguk. “Dunia penuh keanehan. Dalam keanehan itu manusia hidup tolong menolong agar mampu melupakan segala keburukan dan kepahitan di masa lalu…”

“Aku setuju dengan ucapanmu itu. Tidak disangka kau rupanya juga seorang penyair!”

Mayasuri tersipu mendengar kata-kata sang pendekar. “Sekarang apa yang hendak kau lakukan? Membawa aku kembali ke puncak bukit Kemukus?”

“Aku bersumpah untuk tidak menginjak lagi tempat ini!” sahut Mayasuri.

“Lalu…”

“Aku ingin ikut bersamamu. Kita sama-sama seperjalanan meninggalkan bukit celaka ini!”

Wiro garuk-garuk kepalanya. “Ah, ini alamat urusan tidak beres lagi!” katanya dalam hati. Tapi ingat akan budi besar orang yang telah menyelamatkannya, Wiro ulurkan tangan kanannya. Mayasuri rangkulkan lengannya ke tangan sang pendekar. Lalu keduanya meneruskan perjalanan saling bergandengan.

Sambil melangkah dalam hati murid Sinto Gendeng itu berkata “Ya Tuhan, beri hambamu ini petunjuk. Saat ini aku tengah berjalan dengan seorang perempuan cantik atau seorang nenek keriput…”

T A M A T

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.