Rahasia Bayi Tergantung

Sonny Ogawa

RAHASIA BAYI TERGANTUNG

SATU

Dalam rimba belantara di kaki Gunung Labatu Hitam yang biasanya diselimuti kesunyian sekali ini terdengar suara aneh berkepanjangan. Seperti ada seseorang yang tengah mengucapkan atau merapal jampi-jampi tak berkeputusan.

“Kau mendengar suara itu wahai tiga saudaraku?” bertanya sosok tinggi besar berewokan yang dua kakinya terbungkus batu besar berbentuk bola. Orang ini adalah Lakasipo, bekas Kepala negeri Latanahsilam yang kemudian dikenal dengan julukan Bola-Bola Iblis alias Hantu Kaki Batu.

Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya, berkat pertolongan Hantu Tangan Empat maka Wiro dan Naga Kuning serta si kakek berjuluk Setan Ngompol sosok tubuhnya berhasil dirubah menjadi lebih besar walau belum mencapai sebesar sosok orang-orang di Negeri Latanahsilam. Karena itulah jika sedang mengadakan perjalanan jauh Lakasipo selalu membawa ke tiga saudara angkatnya itu dengan cara menyelipkan mereka di balik sabuk besar yang melilit pinggangnya.

“Kedengarannya seperti orang membaca mantera panjang…” berkata Wiro menyahuti ucapan Lakasipo tadi.

“Mungkin dia orang yang kita cari. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab,” ikut bicara Setan Ngompol.

“Mungkin juga itu adalah suara hantu atau jin rimba yang sedang mengigau!” ucap Naga Kuning.

“Bocah sialan!” maki Setan Ngompol. “Jangan bicara yang membuat aku kaget dan kepingin beser!” Kakek ini cepat tekap bagian bawah perutnya sementara Naga Kuning usap-usap mulutnya menahan geli.

“Sebaiknya kita turun dari kuda. Menyelidik ke jurusan datangnya suara itu. Siapa tahu yang bersuara seperti orang membaca mantera adalah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang kita cari.”

“Berarti penjelasan yang diberikanTringgiling Liang Batu tidak dusta. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab itu benar-benar berada di kawasan kaki gunung ini.”

Mengenai riwayat Tringgiling Liang Batu harap baca serial Wiro Sableng berjudul Hantu Jatilandak

Lakasipo berpikir sejenak. Lalu dia anggukkan kepala. Diusapnya kuduk Laekakienam, kuda hitam besar berkaki enam yang memiliki sepasang tanduk di kepalanya. Lalu dia turun dari punggung tunggangannya itu.

“Laekakienam, jangan kemana-mana. Tunggu di sini sampai kami kembali!”

Kuda berkaki enam kedipkan dua matanya yang merah lalu menjilat tangan Lakasipo.

“Lakasipo, kau harus pergunakan kesaktianmu agar langkah kaki batumu tidak mengeluarkan suara dan menggetarkan tanah. Aku khawatir orang yang meracau akan mendengar lalu melenyapkan diri sebelum kita sampai ke tempatnya.” berkata Wiro.

“Hal itu sudah kupikirkan,” jawab Lakasipo.

Dia mulai melangkah ke jurusan datangnya suara orang meracau. Tanpa mempergunakan ilmu meringankan tubuh dan mengandalkan tenaga dalam, setiap langkah yang dibuat Lakasipo akan mengeluarkan suara duk-duk-duk dan menggetarkan tanah yang dipijaknya. Tapi kali ini setelah dia mengeluarkan kesaktian maka setiap langkah yang dibuatnya selain cepat juga tidak mengeluarkan suara atau menggetarkan tanah.

Berjalan kira-kira lima puluh tombak memasuki rimba belantara yang pepohonan serta semak belukarnya semakin rapat, suara orang yang seperti merapal mantera itu semakin keras tanda orangnya semakin dekat. Lakasipo melangkah terus. Setan Ngompol yang diam-diam merasa tegang tambah keras memegang dan menekan bagian bawah perutnya.

“Aku mendengar suara sesuatu!” Wiro berseru.

Baru saja seruannya itu berakhir tiba-tiba terdengar suara menggemuruh di belakang mereka disertai rambasnya semak belukar dan tumbangnya beberapa pohon. Lakasipo cepat berkelebat ke balik sebatang pohon besar. Sesaat kemudian hanya tiga tombak di depan mereka meluncur menggelinding sebuah benda aneh berwarna kuning.

Semak belukar rambas bermentalan. Sebatang pohon yang cukup besar patah lalu tumbang menggemuruh. Di lain kejap benda yang bergulung tadi lenyap di balik kerapatan pepohonan sementara di tanah makhluk yang menggelinding meninggalkan jejak berupa puluhan lubang-lubang dalam sebesar jari kelingking.

“Makhluk apa yang barusan lewat itu!” ujar Setan Ngompol yang sudah basah bagian bawah perutnya.

“Manusia bukan, binatang juga rasanya bukan!” menjawab Naga Kuning.

“Aku mencium baunya ketika barusan lewat. Sepertinya bau itu pernah kucium sebelumnya…” berucap Lakasipo.

Wiro garuk-garuk kepala sambil pandangi lobang-lobang di tanah lalu perhatikan batang pohon di sebelah kiri yang kulitnya retak-retak seperti digurat benda tajam. Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini lalu berkata,

“Aku menduga jangan-jangan yang barusan lewat adalah makhluk berduri dari Rimba Lahitamkelam yang bernama Hantu Jatilandak itu!”

“Wahai! Dugaanmu tidak salah Wiro. Bau yang kukatakan tadi memang bau tubuhnya!” kata Lakasipo pula.

“Mungkin dugaan kalian tidak salah. Tetapi ketika kita meninggalkan pulau kediamannya jelas Hantu Jatilandak tidak kemana-mana. Lagi pula perlu apa dia gentayangan ke tempat ini?” berkata Naga Kuning.

“Tidakkah kalian memperhatikan sesuatu?” Tiba-tiba si kakek Setan Ngompol berkata.

“Apa maksudmu Kek?” tanya Lakasipo.

“Suara orang meracau saat ini tidak terdengar lagi! Lenyap!” jawab Setan Ngompol.

“Berarti kita bisa-bisa kehilangan jejak mencarinya!” kata Lakasipo. Baru saja dia berucap begitu tiba-tiba di kejauhan terdengar suara bentakan-bentakan.

“Sesuatu terjadi di dalam hutan sana! Lakasipo! Ayo cepat melangkah ke jurusan itu!”

Mendengar kata-kata Wiro segera saja Lakasipo melangkah cepat memasuki rimba belantara ke arah terdengarnya suara-suara bentakan. Dia lupa mengeluarkan kesaktiannya. Akibatnya setiap langkah yang dibuatnya mengeluarkan suara duk-duk-duk dan tanah yang terpijak selain amblas juga menimbulkan getaran keras.

Memasuki rimba sejauh tiga puluh langkah, di satu tempat Lakasipo berhenti. Matanya mendelik besar. Tidak percaya akan apa yang disaksikannya. Wiro, Naga Kuning dan juga Setan Ngompol tak kalah heran dan kejut masing-masing.

Di hadapan ke empat orang itu, di satu bagian rimba belantara yang pohon-pohonnya bertumbangan tegak sesosok tubuh kuning tinggi kurus. Sekujur badannya, makhluk yang hanya mengenakan sehelai cawat terbuat dari kulit kayu ini ditumbuhi duri-duri panjang berwarna coklat, mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki.

“Kau benar Wiro,” bisik Setan Ngompol. “Makhluk yang tadi menggelinding melewati kita memang Hantu Jatilandak. Kini dia berada di tempat ini!”

Kalau Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol sesaat masih pandangi sosok yang ditumbuhi duri-duri panjang dan runcing itu maka lain halnya dengan Lakasipo. Dua mata lelaki ini membeliak besar melihat kuda kaki enam miliknya yang entah bagaimana tahu-tahu telah berada di tempat itu. Binatang ini tegak diam tidak berkesip tidak bergerak seolah kena sirap.

Lalu diatas punggung binatang ini duduk bersila seorang kakek mengenakancelana hitam terbuat dari kulit kayu. Bagian tubuhnya yang tidak tertutup yakni tangan, dada dan juga kulit mukanya, lalu sepasang kaki penuh dengan totol-totol hitam, dan coklat seperti bulu macan tutul.

“Lakasipo,” berkata Wiro. “Bagaimana kudamu tahu-tahu bisa berada di tempat ini dan dijadikan tunggangan oleh kakek aneh itu?!”

“Wahai! Justru itu yang jadi tanda tanya besar dalam benakku!” jawab Lakasipo dan matanya masih terus membeliak. “Sesuatu yang hebat telah terjadi! Kakek yang bertubuh seperti macan tutul itu pasti memiliki kepandaian luar biasa. Laekakienam kulihat seperti kena sirap dan berada di bawah kekuasaannya!"

“Kau tahu siapa makhluk tua bangka yang duduk di atas Laekakienam itu?” Naga Kuning bertanya.

“Tak pernah kulihat makhluk ini sebelumnya. Aku hanya bisa menduga. Pernah kudengar tentang seorang kakek berjuluk Hantu Seratus Tutul! Jangan-jangan dia orangnya. Setahuku dia bukan orang baik-baik. Sama jahatnya dengan Hantu Muka Dua!”

“Kita harus berhati-hati Lakasipo,” kata Wiro. “Kelihatannya dia sudah sengaja mencari lantaran dengan menguasai Laekakienam seperti itu!”

Seolah tidak perdulikan kehadiran Lakasipo dan tiga manusia cebol yang terikat di pinggangnya, makhluk yang tubuhnya seperti macan tutul di atas kuda hitam berkaki enam memandang tak berkesip pada Hantu Jatilandak. Lalu orang ini dongakkan kepala dan dari mulutnya keluar suara meracau panjang seperti orang merapal mantera atau jampi-jampi.

Sesaat kemudian perlahan-lahan kepalanya yang tadi mendongak diturunkan, mulutnya masih terus meracau sedang dua matanya menatap tajam ke a rah Hantu Jatilandak. Tiba-tiba racauannya putus. Dari mulutnya menyembur bentakan keras.

“Hantu Jatilandak! Takdir telah jatuh atas dirimu! Pada hari pertama kau meninggalkan pulau kediamanmu maka hari itu pula kau akan menemui kematian! Aku akan menguliti tubuhmu! Aku memerlukan kulitmu yang berduri itu untuk kujadikan sehelai mantel sakti!”

“Gila! Enak saja tua bangka bertubuh seperti macan tutul itu hendak menguliti si Jatilandak!” kata Naga Kuning.

Orang diatas kuda hitam kaki enam lalu gerakkan tangannya kiri kanan ke pinggang. Sesaat kemudian dua pisau berbentuk arit kecil tampak berkilauan dalam genggamannya.

Melihat Hantu Jatilandak hanya berdiam diri dan tidak menanggapi ucapannya, orang di atas kuda hitam kembali membentak. “Hantu Jatilandak! Kau diam saja! Agaknya kau memang sudah siap untuk ku pesiangi saat ini juga!”

Kuping lebar Hantu Jatilandak tiba-tiba bergerak mencuat kaku ke atas. Duri-duri di kepalanya berjingkrak kaku. Hantu Jatilandak meludah ke tanah. Ludahnya berwarna kuning. Dari tenggorokannya terdengar suara menggereng. Lalu mulutnya menyeringai, disusul keluarnya suara ucapan.

“Kakekku Tringgiling Liang Batu pernah bertutur. Negeri Latanahsilam penuh keanehan. Di dalam keanehan itu ada orang-orang menginginkan kematian orang lain seolah dirinya sendiri punya lebih dari satu nyawa dan tidak takut menerima balasan! Wahai makhluk bertubuh macan tutul yang duduk di atas punggung kuda milik orang lain, apakah benar kata kakekku itu bahwa kau punya dua nyawa?! Hingga kalau kau kubunuh kau masih punya nyawa cadangan?!”

Menggembunglah rahang kakek di atas kuda hitam berkaki enam. Dua matanya membeliak menyorotkan sinar kematian. Tiba-tiba dia keluarkan teriakan dahsyat. Tubuhnya lenyap dari punggung kuda, melesat ke arah pohon kayu di sebelah kanan. Dua tangannya bergerak. Dua pisau yang dipegangnya berkelebat berkilauan cepat sekali.

Sesaat kemudian ketika dia kembali melesat duduk di atas punggung kuda, batang pohon di sebelah kanan kelihatan gundul memutih. Gulungan kulit kayu yang sebelumnya membungkus pohon itu kini terhampar di kaki pohon!

Kalau Lakasipo, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol terbeliak besar melihat apa yang dilakukan Hantu Seratus Tutul, bahkan Setan Ngompol sudah kembali kucurkan air kencing maka Hantu Jatilandak tetap tenang saja malah meludah ke tanah.

“Lakasipo,” kata Pendekar 212. “Untung bukan kudamu yang dijadikannya contoh dikuliti!”

Di atas punggung kuda hitam berkaki enam Hantu Seratus Tutul tertawa gelak-gelak. “Hantu Jatilandak! Kau saksikan sendiri bagaimana aku menguliti pohon besar itu! Untuk menguliti tubuhmu waktu yang ku perlukan hanya sepertiga dari waktu menguliti pohon itu! Wahai! Bersiaplah Jatilandak! Selagi pisauku masih tajam, kau tidak akan merasa sakit sedikitpun! Kau akan menemui ajal senikmat bayi yang tidur nyenyak! Ha ha ha!”

Habis berkata dan tertawa seperti itu Hantu Seratus Tutul melesat dari atas punggung Laekakienam. Berkelebat ke arah Hantu Jatilandak dan tahu-tahu dua pisau berbentuk arit kecil di tangannya kiri kanan telah berkiblat ke arah kepala Hantu Jatilandak. Rupanya dia hendak menguliti cucu Tringgiling Liang Batu ini dari kepala lebih dulu!

Hantu Jatilandak tentu saja tidak tinggal diam. Sepasang matanya sorotkan sinar kuning. Tangan kirinya dikibaskan ke depan. Dua belas duri panjang dan lancip laksana paku-paku besi melesat kearah selusin sasaran di kepala dan tubuh Hantu Seratus Tutul. Hantu Seratus Tutul tertawa bergelak. Dia gerakkan dua tangannya yang memegang pisau. Dua larik sinar putih bertabur!

DUA

Craasss! Craaasss!”

Dua duri yang melesat ke arah kepala berhasil dibabat putus oleh sepasang pisau berbentuk arit. Dengan membungkuk dan melompat ke samping kiri Hantu Seratus Tutul berhasil mengelakkan delapan sambaran duri landak. Begitu serangan tidak mengenai sasaran secara aneh delapan duri ini berputar membalik dan kembali menancap ke tempatnya semula yakni di tangan kiri Hantu Jatilandak.

Sisa dua duri ternyata tidak sempat dielakkan si kakek. Walau tidak sampai menancap di tubuhnya namun duri-duri itu masih sempat menyerempet bahu kiri dan pinggang kanan mengakibatkan luka yang mengucurkan darah. Dari mulut Hantu Seratus Tutul melesat suara gerengan marah. Demikian hebatnya suara gerengan ini hingga menggetarkan seantero tempat.

Bersamaan dengan itu wajah si kakek mendadak sontak berubah menjadi tampang seekor macan tutul benaran. Daun telinganya yang lebar berjingkrak. Taring runcing mengerikan mencuat di sudut-sudut mulut. Di bagian bawah tubuhnya muncul ekor panjang yang menyentak-nyentak kian kemari. Lalu...

“Cleeep… Cleeppp!” Dari ujung-ujung jari tangan dan kakinya mencuat keluar kuku-kuku panjang, hitam runcing mengerikan. Si kakek kini telah berubah menjadi seekor macan tutul jejadian. Membuat Lakasipo, Wiro dan Naga Kuning tak bergeming ngeri. Setan Ngompol tak usah ditanya lagi. Saat itu juga ia sudah terkencing-kencing karena kaget dan ngeri!

Hantu Jatilandak sesaat terkesiap melihat perubahan sosok dan wajah lawannya. Dalam hati dia yakin bahwa musuh memang berniat hendak menguliti membunuhnya. Dia meludah ke tanah lalu berkata,

“Wahai! Baru hari ini aku meninggalkan hutan Lahitamkelam. Tak kenal orang tak pernah punya musuh maupun seteru. Mengapa kau ingin mencelakai diriku? Mengapa kau inginkan jiwa dan ragaku?! Siapa kau sebenarnya?!”

“Aku Hantu Seratus Tutul! Sudah kubilang hari ini adalah hari takdir kematianmu! Jadi tidak perlu berbanyak tanya!” Habis berkata begitu Hantu Seratus Tutul kembali keluarkan gerengan keras. Lalu tubuhnya berkelebat ke depan. Dua pisau siap menguliti tubuh Hantu Jatilandak sedang kuku-kuku jari mencari kesempatan merobek-robek!

Hantu Jatilandak meludah ke tanah. Duri-duri di muka dan kepalanya berjingkrak kaku. Dari sepasang matanya tiba-tiba berkiblat dua larik sinar kuning. Menghantam ke arah dada dan perut Hantu Seratus Tutul!

“Lakasipo!” Wiro berteriak. “Bagaimanapun Hantu Jatilandak telah menjadi sahabat kita! Kita harus menolongnya! Apa lagi kau tadi mengatakan Hantu Seratus Tutul sama jahatnya dengan Hantu Muka Dua! Ayo bantu Hantu Jatilandak! Tunggu apa lagi?!”

“Kurasa Hantu Jatilandak tidak akan kalah. Apa lagi Hantu SeratusTutul sudah terluka. Sebentar lagi racun duri landak akan membuatnya kelojotan. Tapi…”

“Dua pisau di tangan macan jejadian itu mungkin bukan apa-apa bagi Hantu Jatilandak. Tapi kuku-kuku tangan serta kakinya pasti sangat berbahaya. Mengandung racun jahat mematikan! Kalau kita tidak lekas menolong Hantu Jatilandak, dia akan segera menemui kematian. Lalu lawan akan menguliti tubuhnya!”

“Ucapan Wiro ada benarnya!” kata Setan Ngompol pula. “Tapi kalau kau mau berniat membantu Hantu Jatilandak, lebih dulu harap kau menurunkan aku ke tanah agar bisa mencari tempat aman!”

Lalu setelah menggeliat beberapa kali kakek ini berhasil lepaskan diri dari sabuk di pinggang Lakasipo. Sambil terkencing-kencing dia lari mencari perlindungan di balik sebatang pohon besar. Wiro dan Naga Kuning yang juga maklum besarnya bahaya jika mereka masih terikat di balik sabuk melakukan hai yang sama. Keduanya melompat turun lalu bergabung dengan Setan Ngompol.

Melihat tiga saudara angkatnya telah melepaskan diri dan lari ke balik pohon, tanpa tunggu lebih lama Lakasipo segera melompat kekalangan pertempuran sambil lepaskan tendangan yang disebut Kaki Roh Penghantar Maut. Dari batu hitam yang membungkus kakinya, didahului kepulan asap hitam maka menyambarlah satu gelombang angin yang amat dahsyat!

Hantu Seratus Tutul tersentak kaget ketika dapatkan sekujur tubuhnya seolah tertahan oleh satu tembok baja yang tidak kelihatan. Ketika dia coba memaksa, tubuhnya bergoncang keras. Dengan menggereng penuh amarah makhluk satu ini melesat dua tombak ke udara. Gelombang angin yang tadi berusaha ditahannya lewat deras di bawah kakinya lalu...

“Braakkkk!” Satu pohon yang ada dibelakangnya berderak patah dan tumbang menggemuruh!

Hantu Seratus Tutul jungkir balik dan cepat melayang turun. Begitu injakkan kaki dia membentak garang. “Ada setan alas berkaki batu dari mana yang berani ikut campur urusan orang lain!” Hantu Seratus Tutul delikkan matanya. Tiba-tiba dia berseru. “Wahai! Kalau tidak salah penglihatanku, kalau tidak meleset dugaanku, bukankah kau manusianya yang bernama Lakasipo bergelar Hantu Kaki Batu?!”

“Kalau kau sudah tahu lalu kau mau apa?!” Balik membentak Lakasipo.

“Kenapa kau tahu-tahu muncul dan membantu manusia bertubuh landak itu?!” tanya Hantu Seratus Tutul.

“Hantu Jatilandak adalah sahabatku! Sebagai sahabat aku tidak ingin dia dicelakai orang di depan mataku!”

“Ah, memang sudah kudengar. Ternyata Hantu Kaki Batu seorang berbudi tinggi berhati luhur! Tetapi mungkin kau tidak tahu wahai Hantu Kaki Batu. Antara kau dan aku ada hubungan yang lebih kuat dari tali persahabatan. Antara kita ada kaitan hubungan darah!”

Terkejutlah Lakasipo mendengar kata-kata Hantu Seratus Tutul itu. Sesaat dia tegak termangu dan bertanya-tanya. “Bertemu baru kali ini. Dia bilang ada hubungan darah antara aku dengan dirinya. Apakah bisa kupercaya?”

“Hantu Seratus Tutul! Jika ucapanmu benar maka sebagai orang bersaudara harap kau menghabisi niat jahatmu terhadap Hantu Jatilandak sampai di sini!”

“Wahai Lakasipo! Berat nian permintaanmu! Aku sudah terlanjur bersumpah untuk membunuh Hantu Jatilandak dan menjadikan kulitnya sebagai mantel sakti!”

“Kuharap kau suka melupakan sumpahmu itu dan pergilah dari sini dengan aman!”

Hantu Seratus Tutul gelengkan kepala. “Tidak mungkin! Sumpah sudah terucap! Tak mungkin ditarik kembali!”

“Biasanya orang bersumpah dengan orang lain. Dengan siapa kau bersumpah? Siapa yang menyuruhmu?!” bentak Hantu Jatilandak.

“Kau tak perlu tahu! Kau tak layak bertanya!” jawab Hantu Seratus Tutul.

“Kalau begitu kutuk sumpah akan menelan dirimu sendiri!” kata Hantu Jatilandak lalu meludah ke tanah. Dari dua matanya kembali muncul sinar kuning menggidikkan. Dia maju satu langkah.

Lakasipo cepat menengahi sambil berseru. Tapi dua orang itu agaknya tak bisa dicegah lagi. Pada saat keduanya sama-sama melesat hendak saling menyerang dan Lakasipo bermaksud hantamkan kakinya kembali ke arah Hantu Seratus Tutul, mendadak ada suara teriakan perempuan berkumandang di dalam rimba belantara itu.

“Kalian tiga makhluk menyedihkan. Mengapa mencari mati padahal masih ada kehidupan? Sebelum kalian sama menemui ajal dalam ketololan bisakah kalian menjawab beberapa pertanyaanku lebih dahulu?!”

Suara teriakan itu terdengar keras namun ada serangkum nada kelembutan pertanda orangnya memiliki rasa welas asih yang tinggi. Selain itu suara teriakan tadi datangnya dari kejauhan di sebelah timur rimba. Namun belum lagi gemanya lenyap sosok orang yang berteriak sudah muncul di tempat itu, tegak di atas batang pohon besar yang tumbang, delapan langkah di belakang Hantu Seratus Tutul.

“Astaga! Kalau bukan bidadari pasti yang muncul ini adalah Peri paling cantik di negeri Latanahsilam!” kata Setan Ngompol dari balik pohon dengan sepasang mata dibuka lebar-lebar.

Naga Kuning leletkan lidah. Murid Sinto Gendeng sendiri diam-diam harus mengakui bahwa perempuan yang tegak di atas batang pohon itu memang lebih cantik dari Luhjelita ataupun Peri Bunda, maupun Peri Angsa Putih. Namun dibalik kecantikan itu dia melihat adanya satu bayangan aneh yang saat itu tidak bisa ditebaknya apakah bayangan itu sesuatu yang baik atau sesuatu yang jahat atau hanya satu ganjalan yang terpendam di lubuk hati.

Hal yang sama terjadi juga dengan Hantu Jatilandak dan Lakasipo. Kedua orang ini sesaat jadi tegak terdiam. Sama-sama mengagumi kecantikan si gadis yang bertubuh tinggi semampai, ramping dan mengenakan sehelai kulit kayu berwarna biru sebagai pakaiannya. Di keningnya ada sebuah kembang tanjung berwarna kuning. Rambutnya hitam berkilat, tergerai jatuh sampai di pinggangnya yang langsing. Bibirnya tiada henti mengulas senyum.

Karena dia satu-satunya yang tegak membelakangi gadis cantik dibatang pohon maka Hantu Seratus Tutul segera balikkan diri. Kalau makhluk ini ikut-ikutan terpesona melihat kecantikan gadis itu sebaliknya si gadis kerenyitkan wajahnya ketika melihat tampang Hantu Seratus Tutul yang merupakan tampang macan tutul bahkan lengkap dengan ekornya segala!

“Gadis cantik! Wahai! Siapa kau?! Apakah tidak menyadari besarnya bahaya berada di tempat ini?!”

“Apa lagi kalau kau sampai berani ikut campur urusan kami! Menyingkirlah! Cari tempat yang aman sampai aku menyelesaikan mempesiangi dua orang itu! Begitu urusanku selesai kau akan kubawa ke satu tempat yang disebut Istana Kebahagiaan! Di sana kita bisa bersenang-senang. Untuk gadis secantikmu apa saja yang kau inginkan pasti menjadi kenyataan!” Hantu Seratus Tutul julurkan lidah membasahi bibir dan kedip-kedipkan mata.

TIGA

Semula semua orang yang ada di tempat itu sama menyangka si gadis akan menjadi marah mendengar ucapan yang tidak senonoh itu. Nyatanya dia malah tersenyum lalu tertawa berderai.

“Gadis aneh! Jelas manusia makhluk berupa macan jejadian itu bicara kotor, dia malah tertawa seolah senang!” kata Setan Ngompol.

“Suara tawanya terdengar merdu menyejukkan hati! Ah, aku bisa-bisa jadi jatuh cinta padanya!” kata Naga Kuning.

“Bocah amis tidak tahu diri!” semprot Setan Ngompol. “Kencing saja belum lempang! Bicara jatuh cinta segala!”

Naga Kuning jadi panas. “Tapi Kek! Kalau memilih diantara kita berdua, gadis itu pasti memilih aku! Tidak mungkin dia memilih kau yang sudah reyot dimakan rayap dan bau pesing!”

“Naga Kuning, agaknya kau lupa pada gadis bernama Luhkimkim yang kau gila-gilai itu,” Wiro ikut bicara.

“Hik hik hik!” Setan Ngompol tertawa. “Gadis cilik ingusan itu saja kau masih belum mampu mendapatkan, sekarang mau jatuh cinta pada si jelita itu! Hik hik hik! Tapi siapa tahu nasibmu bagus bocah! Kau diambilnya untuk jadi ganjalan tempat ketidurannya! Hik hik hik!”

“Kakek brengsek! Kelak akan ku buktikan gadis berpakaian biru itu lebih menyukai diriku ketimbang dirimu! Lihat saja nanti!” kata Naga Kuning dengan muka bersungut-sungut.

Gadis yang tegak di atas tumbangan batang pohon hentikan tawanya. Sepasang matanya yang bening bagus menatap Hantu Seratus Tutul. Lalu dia berucap. Suaranya lembut.

“Senang hatiku diajak ke Istana Kebahagiaan. Pasti banyak hal-hal luar biasa yang membahagiakan bakal kutemui disana. Makhluk bermuka macan, baru bertemu kau sudah bersikap baik terhadapku. Ah, sungguh hatiku sudah bahagia walau belum sampai ke Istana Kebahagiaan yang kau katakan itu. Hanya saja wahai makhluk bermuka macan. Apakah kau terlebih dulu sudi menjawab beberapa pertanyaanku?”

“Jangankan beberapa, seribu atau sejuta pertanyaanmu pun akan kujawab. Tetapi wahai gadis cantik bermata bagus. Biar aku menyelesaikan urusan dulu dengan dua cecunguk ini. Nanti kita bisa menghabiskan waktu berhari-hari untuk saling bertanya jawab…”

“Wahai, begitu tegakah hatimu menyuruh aku menunggu? Lagi pula aku tidak kuat melihat kalau nanti dirimu sampai celaka di tengah ke dua orang itu”

“Aku tidak akan celaka. Mereka berdua yang bakal menemui kematian!” kata Hantu Seratus Tutul sambil busungkan dada. “Tetapi baiklah, orang secantikmu tidak boleh dibiarkan menunggu terlalu lama. Apa lagi di tempat seperti ini. Silahkan, pertanyaan apa yang hendak kau ajukan wahai gadis cantik? Tapi wahai! Bolehkah aku bertanya dulu siapa gerangan namamu?”

“Namaku Luhcinta,” jawab si gadis.

Di balik pohon Naga Kuning langsung berkata. “Kalian dengar! Namanya saja Luhcinta! Ah, aku benar-benar jatuh cinta!”

“Bocah geblek!” kembali Setan Ngompol menyemprot.”

“Wahai, orangnya cantik namanya pun bagus!” memuji Hantu Seratus Tutul. “Aku sendiri dikenal orang dengan panggilan Hantu Seratus Tutul…”

Si gadis tertawa merdu. “Namamu pun bagus! Cocok dengan keadaanmu!”

Hantu Seratus Tutul tertawa lebar. Hidung macannya mengembang. “Sekarang kau boleh menyampaikan apa yang hendak kau tanyakan padaku wahai Luhcinta.”

“Pertanyaan pertama, apakah kau pernah mengetahui seorang lelaki bernama Latampi?”

Begitu ditanya begitu Hantu Seratus Tutul gelengkan kepala.

“Sayang kau tak bisa menjawab pertanyaan pertama. Aku beralih pada pertanyaan kedua. Apakah kau pernah mendengar riwayat seorang perempuan bernama Luhpiranti…”

“Luhpiranti… Luhpiranti…” Hantu Seratus Tutul menyebut nama itu berulang-ulang sambil pukul-pukul keningnya. “Rasa-rasanya aku memang pernah mendengar mama itu. Tapi lupa entah di mana dan kapan. Ah…”

“Pertanyaan ketiga mungkin bisa menjadi petunjuk padamu. Pernah kau mendengar seorang bernama Hantu Penjunjung Roh?”

“Pertanyaanmu yang satu ini bisa kujawab!” kata Hantu Seratus Tutul pula sambil menyeringai. “Dia adalah seorang nenek sakti yang tak punya tempat kediaman. Selalu mengembara…”

“Hanya itu yang kau ketahui?”

“Ada satu hal. Nenek sakti itu tidak bakalan panjang umurnya!”

“Wahai! Mengapa kau bisa berkata begitu?” tanya gadis bernama Luhcinta.

“Karena aku akan membunuhnya!” jawab Hantu Seratus Tutul sambil busungkan dada.

“Mengapa kau hendak membunuhnya?” tanya Luhcinta lagi.

“Karena dia tidak tunduk padaku. Tidak mau tunduk pada pimpinan tertinggi Istana Kebahagiaan!”

“Siapa gerangan pimpinan tertinggi Istana Kebahagiaan yang kau maksudkan itu?” Luhcinta memburu terus dengan pertanyaan beruntun. Setiap bertanya senyum tidak pupus dari bibirnya yang bagus.

“Hal itu tidak bisa ku terangkan saat ini,” jawab Hantu Seratus Tutul.

“Mengapa tidak bisa?”

“Karena belum saatnya!”

“Kalau begitu, kapan saatnya kau bisa memberi tahu?!” tanya gadis di atas batang kayu pula.

“Tergantung keadaan. Yang pasti kalau kita sudah sampai di Istana Kebahagiaan nanti.”

Luhcinta tersenyum. “Aku kecewa padamu wahai Hantu Seratus Tutul. Dua pertanyaanku yang pertama tidak bisa kau jawab. Pertanyaan ke tiga hanya kau jawab sedikit, malah membuatku jadi bingung. Wahai walau hatiku suka tapi kurasa tak ada gunanya aku ikut bersamamu ke Istana Kebahagiaan itu. Harap maafkan, aku tidak akan mau bicara lagi denganmu. Tak ingin aku bertanya lagi! Pergilah dari sini! Dengan begitu kau bisa menghindari malapetaka mati terbunuh di tempat ini.”

“Wahai Luhcinta…!” seru Hantu Seratus Tutul.

Namun si gadis tidak perdulikan dirinya lagi. Dia melompat dan tahu-tahu sudah berada di hadapan Hantu Jatilandak. “Makhluk aneh berkulit kuning bertubuh seperti landak! Wahai, apakah kau mempunyai nama? Mungkinkah kau bisa memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku tadi?”

Hantu Jatilandak tundukkan kepalanya sedikit seolah memberi hormat lalu menjawab. “Aku biasa dipanggil dengan nama Hantu Jatilandak. Mengenai semua pertanyaanmu tadi, harap maafmu. Aku baru saja meninggalkan rimba dan pulau kediamanku. Segala sesuatu yang terjadi di dunia luar tidak pernah kuketahui. Jadi tidak mungkin aku menjawab atau memberi keterangan.”

“Hemm… Ternyata kau berhati polos dan jujur. Aku tak ingin lagi bicara denganmu tapi kau boleh tetap berada di sini.”

Luhcinta berpaling ke arah Hantu Seratus Tutul. “Wahai, kau masih berada di sini. Apa tidak mendengar ucapanku tadi? Tinggalkan tempat ini. Agar tidak mendapat celaka.”

“Gadis, walau kau cantik dan baik budi perilaku tapi jangan terus-terusan berucap yang membuat aku jadi tidak sabaran! Tidak ada seorangpun di tempat ini yang boleh mengatur diriku!”

Luhcinta tersenyum. “Begitu…?” Gadis ini lalu memandang pada Lakasipo. Setelah menatap sejurus dia berkata. “Orang gagah, dalam rasa sukaku melihatmu aku merasakan agaknya ada satu ganjalan besar di hati sanubarimu dalam menghadapi kehidupan ini. Aku turut merasa prihatin. Kalau saja aku bisa menolong pasti aku akan lakukan. Namun demikian, apakah kau menyadari bahwa dalam kehidupanmu yang malang kau seharusnya bersyukur bahwa ada beberapa perempuan cantik diam-diam mencintaimu?”

Paras Lakasipo jadi berubah kemerahan. “Orang gagah berkaki batu, apakah kau pernah mendengar ujar-ujar. Syukurilah hidup sebelum datang kematian. Syukurilah cinta kasih sebelum berubah menjadi kebencian.”

“Ujar-ujar itu indah dan bagus sekali,” kata Lakasipo. “Artinya dalam dan banyak sekali maknanya bagiku, Akan kuingat baik-baik. Dan aku sangat berterima kasih kau telah memberi tahu ujar-ujar itu padaku.”

Gadis bernama Luhcinta tersenyum. “Sekarang kalau kau bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku tadi?!”

“Mengenai orang lelaki bernama Latampi. Puluhan tahun silam dia pernah tinggal di salah satu pelosok terpencil Negeri Latanahsilam. Kemudian dia meninggalkan negeri, mengembara mencari ilmu. Kudengar dia menemukan seorang guru sakti dan berhasil mendapatkan berbagai ilmu yang aneh-aneh. Namun dia lenyap begitu saja.”

Ketika mendengar ucapan Lakasipo itu walau bibirnya merekah senyum namun sepasang mata bening gadis bernama Luhcinta kelihatan membesar bercahaya.

“Apakah menurutmu dia sudah meninggal dunia wahai orang gagah berkaki batu?” tanya Luhcinta. Sepasang matanya yang tadi membesar bagus kini mengecil sayu seolah takut mendengar jawaban yang mengkhawatirkan.

“Tidak pernah kudengar kabar kematian dirinya. Pada masa itu ada kejadian orang-orang gagah di Negeri Latanahsilam memiliki kemampuan meninggalkan negeri ini seperti yang terjadi dengan Hantu Balak Anam. Dia lenyap dan pindah ke alam lain yang seribu dua ratus tahun lebih dahulu dari alam di sini. Namun sulit diketahui ataupun dibuktikan apakah Latampi juga ikut melenyapkan diri meninggalkan Negeri Latanahsilam, pergi ke dunia lain itu.”

“Apakah orang bernama Hantu Balak Anam itu pernah muncul kembali di negeri ini? Atau mungkin ada yang mengetahui hal ihwalnya?” tanya Luhcinta.

Lakasipo tak segera menjawab. Dia melirik pada Wiro dan kawan-kawannya sesaat. Si gadis ikut memandang ke arah yang dilirik Lakasipo. Tapi dia tidak dapat melihat Wiro, Naga Kuning ataupun Setan Ngompol karena terhalang oleh pohon besar. Lalu didengarnya ucapan Lakasipo.

“Hantu Balak Anam tak pernah datang lagi ke Latanahsilam. Juga tak banyak diketahui hal ihwalnya di negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu.”

“Keteranganmu tidak terlalu lengkap tapi sudah cukup membuat hatiku lega karena ada satu kenyataan dan kebenaran yang kini bisa kupastikan. Apakah kau juga bisa memberi tahu tentang perempuan bernama Luhpiranti?”

“Kalau aku tidak salah menduga Luhpiranti adalah istri dari Latampi. Perempuan ini juga lenyap bersama lenyapnya Latampi. Sampai pada satu ketika ditemukan sesosok mayat perempuan di dalam satu rimba belantara. Mayat itu sudah demikian rusaknya. Nyaris tinggal tulang belulang Walau banyak yang menduga tapi sulit membuktikan itu adalah jenazah Luhpiranti yang menemui kematian entah karena dibunuh entah bunuh diri…”

Wajah Luhcinta kelihatan seperti membeku. Sepasang matanya seolah berubah menjadi batu dan menatap Lakasipo tanpa berkesip. Membuat lelaki ini merasakan munculnya getaran aneh dalam dadanya.

“Lelaki berkaki batu, apakah kau bisa memberi petunjuk untuk membuktikan bahwa Luhpiranti adalah benar-benar istri Latampi?”

Lakasipo merenung sejenak. “Kedua orang tua mereka kabarnya sudah tiada. Sanak kerabat dekat mereka juga tak punya. Namun…”

“Namun apa wahai orang gagah berkaki batu?” Pertanyaan si gadis terdengar lembut tetapi juga bernada penuh harapan.

“Ada seorang yang sekarang masih hidup dan menjadi saksi upacara perkawinan mereka di Bukit Batu Kawin puluhan tahun silam…”

“Katakan siapa orangnya dan di mana aku bisa menemuinya!” kata Luhcinta seraya maju mendekat hingga jaraknya dengan Lakasipo kini hanya terpisah satu langkah.

Berada sedekat itu Lakasipo pandangi wajah cantik di depannya penuh rasa kagum. Debaran dalam dadanya semakin bergejolak. Dalam hati dia berkata. “Tak pernah aku melihat gadis secantik ini. Hatiku berdebar. Detak jantungku mengeras. Wahai perasaan apakah yang menggelora dalam diriku terhadap gadis ini?”

“Orang gagah berkaki batu. Apakah kau tidak ingin memberi tahu siapa adanya orang yang bisa memberi petunjuk kesaksian bahwa Luhpiranti benar-benar adalah istri Latampi?”

“Orang itu adalah nenek bernama Lamahila. Nenek yang biasa menjadi pimpinan upacara adat perkawinan bagi semua orang di Latanahsilam.”

“Apakah nenek itu masih ada di Latanahsilam saat ini?”

Lakasipo anggukkan kepala.

“Semua keteranganmu sangat besar artinya bagiku wahai orang gagah berkaki batu. Siapa gerangan namamu?”

“Aku bernama Lakasipo. Orang-orang menjuluki Hantu Kaki Batu.”

Luhcinta mengangguk-angguk beberapa kali lalu dia ulurkan tangannya memegang tangan Lakasipo. “Lakasipo, aku sangat berterima kasih atas semua keteranganmu. Tapi aku akan lebih berterima kasih jika kau bisa menjawab pertanyaanku yang terakhir…”

“Kau ingin menanyakan tentang nenek sakti bernama Hantu Penjunjung Roh itu…?”

Luhcinta tersenyum lebar. “Tadinya memang hendak ku tanyakan. Tapi semua jawabanmu telah bisa kucerna hingga lebih baik aku menanyakan hal lain yang lebih penting. Kau pernah mendengar seorang bernama Lajundai?”

“Kenapa kau menanyakan orang itu?!” Yang bertanya adalah Hantu Seratus tutul.

Luhcinta tersenyum dan berpaling. Lalu gadis ini geleng-gelengkan kepala. “Hantu Seratus Tutul, bukankah aku sudah memintamu agar pergi dari sini?”

“Kau tidak bisa mengatur Hantu Seratus Tutul! Kau yang harus tunduk padaku Luhcinta!”

Si gadis tersenyum. “Dari pertanyaanmu agaknya kau tahu siapa dan di mana beradanya orang bernama Lajundai itu.”

“Aku akan memberi tahu jika kau bersedia ikut aku ke istana Kebahagiaan!” jawab Hantu Seratus Tutul.

“Kalau begitu kau pergilah duluan ke istana yang kau sebutkan itu. Aku menyusul kemudian!”

“Luhcinta! Aku memang suka padamu! Kecantikan dan tubuhmu yang bagus menggairahkan darahku! Tapi jangan bersikap keras kepala berani membantah! Aku tidak segan-segan menguliti tubuhmu seperti yang akan kulakukan terhadap Hantu Jatilandak!”

“Aku sedih mendengar kata-katamu itu. Bukankah sesama manusia saling bersaudara? Mengapa kalian mengandalkan hidup pada amarah dan angkara murka? Padahal cinta dan kasih sayang jauh lebih baik bagi semua orang…”

Kalau semua orang terkesiap mendengar kata-kata si gadis maka Hantu Seratus Tutul tertawa gelak-gelak. “Angkara murka sangat cocok buat orang-orang ini. Cinta kasih paling cocok untuk kita berdua. Bukankah begitu gadis cantik Luhcinta?! Ha ha ha!”

“Ah, aku salah menduga hatimu,” berucap si gadis. Lagi-lagi sambil tersenyum. “Cinta kasih yang ada dalam dirimu ternyata sesuatu yang kotor dan keji. Tidak cocok untukku. Bahkan tidak untuk binatang sekalipun…”

Merahlah tampang macan Hantu Seratus Tutul. Tenggorokannya turun naik dan keluarkan suara menggembor. Didahului teriakan yang lebih merupakan gerengan keras manusia yang mewujudkan dirinya sebagai macan tutul jejadian ini menyergap ke depan. Dua pisau di tangannya kiri kanan berkiblat ganas. Salah satu kakinya menendang ke perut Luhcinta!

EMPAT

Gadis yang diserang tidak tinggal diam. Sekali dia jejakkan sepasang kakinya ke tanah, tubuhnya melesat dua tombak. Lalu dari atas dia membuat gerakan menggeliat seperti seorang penari. Dua tangannya didorongkan perlahan ke bawah. Melihat gerakan si gadis yang lemah-lemah saja apa lagi disertai senyum dikulum, Hantu Seratus Tutul ikut melesat ke atas. Dua pisau di tangannya kembali berkelebat.

Tapi setengah jalan tiba-tiba satu gelombang angin yang sangat sejuk menerpa batok kepala, ke dua bahu dan dadanya. Tak ampun lagi Hantu Seratus Tutul terbanting ke tanah. Kalau tidak cepat berjungkir balik pasti dia akan jatuh duduk terhenyak atau muka berkelukuran lebih dulu!

“Gadis binal! Kau membuatku marah!” teriak Hantu Seratus Tutul. Tangannya kembali berkelebat ke atas. Namun di saat yang sama tubuhnya membuat gerakan aneh. Dua kakinya melesat dan ini ternyata serangan sebenarnya sedang gerakan dua tangan tadi hanya tipuan saja.

“Sreettt!”

Luhcinta terpekik. Ujung pakaian kulit kayunya robek tersambar kuku-kuku runcing kaki kanan Hantu Seratus Tutul. Untung kulit kakinya tidak ikut tersambar.

“Wahai Hantu Seratus Tutul. Tidak ada rasa hiba di hatimu terhadap kaum perempuan sepertiku. Atau mungkin kau makhluk yang tidak punya hati? Tidak punya perasaan? Tidak punya rasa kasihan?”

“Aku akan menangkapmu hidup-hidup. Akan kubawa kau ke Istana Kebahagiaan! Di situ kau bakal tahu apa yang aku punya untukmu! Ha ha ha!” Hantu Seratus Tutul lalu kembali lancarkan serangan.

Melihat kejadian ini Lakasipo dan Hantu Jatilandak tak tinggal diam. Keduanya melompat memapasi serangan Hantu Seratus Tutul. Maka terjadilah perkelahian seru tiga lawan satu. Bagaimanapun hebat dan tingginya ilmu kepandaian Hantu Seratus Tutul namun dikeroyok tiga seperti itu dia menjadi kelabakan dan lama-lama terdesak hebat.

“Kurang ajar! Kalau aku tidak segera merat selamatkan diri nyawaku bisa kapiran!” Hantu Seratus Tutul memaki sendiri dalam hati. Dia lepaskan dua jotosan yang mengeluarkan sepuluh larik sinar coklat. Bersamaan dengan itu kuku-kuku jari kakinya mencakar ke tanah. Begitu dua kakinya ditarik keluar maka tanah dan pasir beterbangan ke udara menutupi pemandangan.

“Hantu keparat! Jangan lari!” teriak Hantu Jatilandak. Dua larik sinar kuning melesat dari matanya. Namun terlambat. Hantu Seratus Tutul telah lenyap dari tempat itu. Di tanah yang tadi dicakar dua kakinya kini kelihatan dua buah lobang besar.

“Makhluk satu ini sungguh tidak punya rasa welas asih dan berbahaya!” kata Luhcinta lalu alihkan pandangannya pada Lakasipo dan Hantu Jatilandak. “Kalau kalian berdua tidak membantu pasti aku sudah celaka. Aku mengucapkan terima kasih pada kalian berdua…”

“Ketahuilah wahai Luhcinta,” kata Lakasipo. “Manusia tadi hanya satu saja dari sekian banyak orang-orang berhati culas, jahat dan keji!”

“Ah, betapa aku harus berhati-hati menjaga diri…” kata Luhcinta pula seraya tersenyum.

“Ilmu kepandaianmu mengagumkan. Gerakanmu selembut penari tetapi mengandung tenaga dalam luar biasa. Kalau aku boleh bertanya siapa kau ini sebenarnya dan siapa gerangan gurumu?”

Luhcinta tersenyum. Dalam hati dia memuji ketajaman mata Lakasipo. Namun dengan merendah dia berkata. “Aku hanya seorang gadis tolol kesasar di Negeri Latanahsilam ini. Lagi pula kalau kuberi tahu siapa diriku, mungkin banyak kesulitan yang akan menghadang walau datangnya bukan dari kalian. Karenanya biarlah saat ini. Siapa adanya diriku tetap menjadi rahasia. Lakasipo, apakah kau bisa memberi tambahan keterangan mengenai orang bernama Lajundai itu?”

“Manusia satu itu tidak kuketahui siapa dia adanya. Tak pernah kudengar nama itu sebelumnya. Maafkan sekali ini aku tidak dapat membantu. Tapi dari ucapan-ucapan Hantu Seratus Tutul tadi jelas dia tahu banyak tentang orang itu…”

Luhcinta mengangguk. Tiba-tiba gadis ini mendengar suara orang berucap halus dari balik batang potion besar.

“Lakasipo, aku tadi ikut menyimak pembicaraan. Agaknya mengenai orang bernama Lajundai itu ada sangkut pautnya dengan Istana Kebahagiaan yang disebut-sebut Hantu Seratus Tutul. Itu sebabnya dia menggantung keterangan dengan mengajak gadis berpakaian biru itu ke Istana Kebahagiaan…”

“Hai! Aku tak melihat orangnya. Tapi aku mendengar suaranya. Halus dan kecil! Lakasipo! Siapa gerangan yang barusan bicara?” Sigadis melirik ke arah pohon besar.

“Wahai… Aku lupa memberi tahu. Aku punya tiga orang saudara angkat. Salah satu diantaranya adalah yang barusan bicara.”

“Kau punya tiga saudara angkat! Sungguh beruntung! Bolehkah aku melihat siapa mereka adanya? Suara yang tadi bicara terdengar aneh di telingaku.”

“Saudara-saudaraku, kalian bertiga keluarlah. Ada gadis cantik hendak melihat kalian!” berseru Lakasipo.

Wiro langsung mendorong Setan Ngompol hingga kakek ini terjerembab jatuh dan terkencing-kencing. Sambil senyum-senyum dan satu tangan menekap bagian bawah perutnya si kakek bangkit berdiri.

“Orang-orang memanggilku Si Setan Ngompol!”

“Setan Ngompol? Nama yang aneh?Mengapa orang menyebutmu seperti itu wahai kakek cebol?” bertanya Luhcinta.

“Anu… sebabnya…” Si kakek kelagapan tak bisa menjawab.

Naga Kuning langsung saja nyerocos. “Anunya punya penyakit…”

“Anunya… Apa anunya itu?” tanya Luhcinta yang membuat Lakasipo menutup mulut menahan ketawa sedang Wiro dan Naga Kuning sudah keburu meledak tawa masing-masing.

“Saluran kencing si kakek sudah tidak punya perasaan welas asih!” jawab Naga Kuning. “Kaget sedikit saja langsung beser! Hik hik hik! Jangan dekat-dekat dengan dia. Bau pesing! Hik hik hik!”

Si Setan Ngompol merengut lalu beser lagi. Luhcinta tertawa lebar dan berkata. “Justru kakek itu masih beruntung. Kalau dia masih bisa kencing berarti masih ada saluran welas asih. Yang repotkan kalau dia tidak bisa kencing sama sekali! Salurannya tersumbat!”

“Mampet!” kata Wiro.

“Buntu!” ujar Naga Kuning hingga semua orang yang ada di situ kembali tertawa.

“Lakasipo, saudara angkatmu ini sungguh lucu. Sudah kakek tapi tingginya hanya selutut. Pakaiannya juga aneh. Apa yang lain-lainnya juga sama tingginya? berkata Luhcinta.

Dari balik pohon menyusul keluar Naga Kuning. Bocah ini lambaikan tangannya pada Luhcinta. “Banyak sudah aku melihat gadis cantik di Negeri Latanahsilam ini. Tapi tidak ada yang secantikmu. Bahkan Peri sekalipun kalah cantik dengan dirimu!”

Luhcinta tertawa lebar. “Kau pandai memuji. Tapi aku tahu pujianmu bukan dibuat-buat atau sekedar untuk mencari perhatian. Aku suka padamu walau kau agak genit. Hik hik hik!” Luhcinta menunggu sesaat. Lalu dia memandang pada Lakasipo. “Katamu kau punya tiga saudara angkat. Yang muncul cuma dua. Mana satunya lagi?”

“Wiro, mengapa kau masih sembunyi di balik pohon? Ayo lekas keluar perkenalkan diri!” berseru Lakasipo.

Tapi Pendekar 212 Wiro Sableng tidak juga keluar dari balik pohon. Terpaksa Lakasipo ulurkan kepalanya.

“Hai apa yang kau lakukan!” tanya Lakasipo ketika dilihatnya Wiro sibuk membetulkan pakaiannya.”

“Ssttt…! Jangan keras-keras!” kata Wiro dari bawah pohon sambil membetulkan celananya yang melorot ke bawah karena putus tali pengikatnya.

Ternyata waktu dia tadi mendorong Setan Ngompol, kakek itu menarik celananya hingga tali pengikatnya putus. Kini Wiro jadi kelabakan membenahi diriagar bisa menyambung tali celananya lebih dulu. Tapi setiap disambung selalu lepas. Tidak sabar Lakasipo mendorong Wiro dari balik pohon. Terbungkuk-bungkuk sambil satu tangan memegangi pinggang celana dan satunya lagi garuk-garuk kepala Wiro terpaksa keluar dari balik pohon.

“Gadis cantik Luhcinta maafkan aku. Ada aral yang melintang hingga keadaanku jadi seperti ini! Namaku Wiro…”

“Kalau bicara dua tangan harus lepas menghormat!” kata Naga Kuning pula. Lalu dengan jahilnya dia tarik tangan kiri Wiro yang memegangi pinggang celana. Kalau tidak lekas Wiro jatuhkan diri ke tanah pasti auratnya sebelah bawah akan tersingkap tak karuan.

“Anak setan kurang ajar! Apa yang kau lakukan padaku!” sentak Wiro sementara semua orang yang ada di situ termasuk Hantu Jatilandak dan Luhcinta tertawa terpingkal-pingkal.

“Walah!” Setan Ngompol menimpali. “Kalaupun tersingkap seberapa besarnya anumu? Kecil pitit saja pakai disembunyikan segala. Pasti tidak kelihatan oleh gadis itu! Hik hik hik!”

Sambil pegangi celananya, kali ini dengan dua tangan sekaligus Wiro bangkit berdiri. “Awas kau berani jahil lagi!” kata wiro sambil delikkan mata pada naga kuning. Lalu dia mendongkak memandang ke arah Luhcinta. “Bolehkah aku menayakan sesuatu?”

“Hei… Apa yang hendak kau tanyakan wahai anak muda yang tingginya selutut?”

Sambil berkata Luhcinta perhatikan sosok Pendekar 212. Pandangannya mendekat dan membesar hingga sesaat kemudian seluruh wajah Wiro berada dalam ruang tatapan matanya. Inilah salah satu kesaktian yang dimiliki si gadis. Yaitu mampu mendekatkan pandangan matanya hingga benda yang jauh atau kecil bisa besar dalam penglihatannya. Berdebarlah dada si gadis ketika melihat bahwa sosok kecil si pemuda ternyata memiliki Wajah yang gagah walau gerak-gerik dan mimiknya kelihatah konyol.

“Wiro, orang menunggu pertanyaanmu!” berkata Lakasipo mengingatkan Wiro yang masih belum juga mengajukan pertanyaan dan masih sibuk dengan celananya yang tanggal talinya.

“Anu, begini… Namamu itu…”

“Ya, ada apa dengan namaku?” tanya si gadis.

“Namamu bagus tapi aneh. Mengapa kau diberi nama Luhcinta? Siapa yang memberi nama…”

“Pertanyaan tolol! Kata Naga Kuning Mencela. “Orang mau bernama apa, apa pedulimu Wiro. Siapa yang memberi namanya begitu apa urusanmu?”

Wiro jadi garuk-garuk kepala walau hatinya jengkel mendengar ucapan Naga Kuning itu. “Gadis berpakaian biru, kalau kau tidak suka harap tak usah menjawab pertanyaanku tadi.” kata wiro.

“Aku akan menjawab,” menyahuti Luhcinta dengan tersenyum. Namun sekali ini ada sesuatu yang membayangi senyumnya itu. “Tapi dengan satu syarat. Setelah kujawab kau tidak akan mengajukan pertanyaan susulan.”

“Syaratmu kusetujui,” jawab Wiro tanpa pikir panjang.

“Siapa yang memberi nama bukan ayah atau ibuku. Tapi seorang nenek yang kuanggap sekaligus pengganti ayah dan ibuku. Mengapa nenek itu memberiku nama Luhcinta itu adalah karena dia mempunyai satu pandangan hidup dimana segala-galanya harusberdasarkan cinta kasih. Hanya dengan cinta kasih manusia akan menemui kebahagiaan sejati dalam hidupnya…”

Wiro hendak membuka mulut tapi Luhcinta cepat mengingatkan. “Hai, ingat syarat perjanjian kita! Kau tidak akan mengajukan pertanyaan susulan!”

Wiro garuk-garuk kepala. “Aku… aku tidak bermaksud bertanya. Tapi hanya sekedar bicara memberi tahu jalan pikiranku…”

“Kalau begitu silahkan kau bicara,”kata Luhcinta pula.

“Sewaktu kau masih bayi mungkin nenekmu sudah melihat bahwa kelak kau akan menjadi seorang gadis yang sangat cantik. Kau akan menjadi gadis kecintaan puluhan bahkan mungkin ratusan pemuda. Sebaliknya kau sendiri akan menyadari bahwa kelak hanya ada satu lelaki yang kau cintai…”

Wiro tidak teruskan ucapannya. Dalam hati Pendekar 212 berkata. “Wajah gadis itu mendadak berubah. Dia menatap diriku aneh. Tidak… bukan aneh! Ada kemesraan dalam sinar bening sepasang matanya.”

Untuk beberapa lamanya tempat itu menjadi sunyi. Tak ada yang bicara tak ada yang bergerak. Akhirnya Luhcinta berkata memecah kesunyian.

“Lakasipo, semua sahabat yang ada di sini. Pertemuan dengan kalian memberi banyak kejelasan pada beberapa hal yang selama ini masih samar dalam diriku. Ucapan-ucapan kalian banyak yang baik untuk dijadikan bahan renungan. Aku sangat berterima kasih atas kebaikan kalian semua. Kalau saja ada kesempatan aku ingin sekali bertemu lagi dengan kalian…”

“Luhcinta…” menegur Setan Ngompol. “Memangnya kau mau kemana?”

“Aku terpaksa meninggalkan kalian saat ini juga. Ada urusan besar yang harus kukerjakan…”

“Kalau kami bisa membantu…” kata Wiro.

Luhcinta tersenyum. Sekilas kembali Wiro melihat bagaimana gadis itu menatapnya dengan mesra. “Terima kasih. Aku percaya ketulusan hati kalian semua. Tapi urusan ini harus aku selesaikan sendiri. Selamat tinggal para sahabat…”

Luhcinta hendak putar tubuhnya. “Tunggu dulu!” Tiba-tiba Wiro berseru. Ketika Luhcinta memandang padanya Wiro teruskan ucapannya. “Saat ini kami dalam perjalanan mencari seorang sakti bernama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Siapa tahu dia bisa memberi penjelasan tentang hal-hal yang masih gelap bagimu.”

“Terima kasih kau mengingatkan pada orang sakti itu. Sebelumnya guruku juga telah memberi tahu. Jika ada kesempatan mencari orang tua itu mungkin besar manfaatnya. Namun saat ini aku belum bisa melakukan hat itu. Masih ada urusan lebih besar, lebih pelik dan penting yang harus aku selesaikan. Aku terpaksa mendahului kalian meninggalkan tempat ini. Namun sebelum pergi ada satu hal ingin kutanyakan padamu Lakasipo. Mengenai saudara-saudara angkatmu itu. Keadaan mereka tidak beda dengan dirimu. Hanya saja, mengapa sosok mereka begitu kecil…?”

Lakasipo hendak menjawab tapi memandang dulu pada Wiro. “Tak ada salahnya. Katakan saja padanya.” ujar Wiro.

“Luhcinta, tiga saudara angkatku ini sebenarnya bukan penduduk Negeri Latanahsilam. Mereka datang tersesat dari negeri yang seribu dua ratus tahun mendatang… Keadaan sosok mereka yang begini kecil menimbulkan kesulitan. Kalau kau melihat sebelumnya mereka tidak lebih dari sejari kelingking. Saat ini, kami tengah berusaha mencari satu batu sakti agar mereka bisa kembali ke negeri mereka. Kalau batu itu tidak ditemukan maka kami harus mencari tahu siapa adanya orang pandai yang sanggup membuat mereka bisa menjadi besar seperti kita…”

“Ah, sungguh kasihan kalian bertiga…” kata Luhcinta seraya menatap sayu pada Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol. “Kalau saja aku bisa menolong…”

“Terima kasih kau memperhatikan kami,” kata Wiro. “Kau sendiri juga punya urusan lebih besar. Jangan memikirkan kami…”

Luhcinta tersenyum. Walau sekilas kembali dia menatap mesra ke arah Wiro. “Para sahabat, aku pergi sekarang.”

Sekali berkelebat gadis cantik bertubuh tinggi dan ramping itupun lenyap dari tempatitu. Setan Ngompol dan Naga Kuning jatuhkan diri ke tanah.

“Sukar dipercaya ada gadis secantik itu…” kata Lakasipo sambil terus memandang ke arah lenyapnya Luhcinta. Di sebelahnya Hantu Jatilandak juga tampak tegak termangu.

“Jangan-jangan kita semua sudah pada jatuh cinta pada gadis itu!” kata Naga Kuning perlahan.

Lakasipo akhirnya alihkan pandangan pada Hantu Jatilandak. “Sahabatku, kau meninggalkan pulau dan tahu-tahu berada dalam rimba belantara ini. Tentu ada satu urusan besar dan penting yang tengah kau telusuri.”

“Kau benar Hantu Kaki Batu. Tak lama setelah kau dan tiga sobat ini meninggalkan pulau aku bersikeras pada kakekku Tringgiling Liang Batu agar dia mengizinkan diriku pergi untuk menyelidik asal usulku. Menurut kakek, ayahku masih hidup. Bernama Lahambalang sedang ibu yang katanya bernama Luhmintari kabarnya sudah meninggal. Aku akan berusaha mencari makamnya. Kalau kalian tidak keberatan, aku ingin ikut bersama kalian mencari orang sakti bernama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab itu. Siapa tahu dia bisa menolong menyingkapkan tabir gelap asal usul diriku. Tapi jika kalian keberatan aku terpaksa menempuh jalan sendiri di negeri yang serba asing bagiku ini.”

“Hantu Jatilandak. Kau sahabat kami. Kau boleh ikut kemana kami pergi…” kata Wiro.

Hantu Jatilandak membungkuk lalu tersenyum. “Terima kasih…” katanya. Lalu tiba-tiba tangannya berkelebat menangkap sosok Wiro. Sekali tangan itu bergerak maka Wiro terlempar ke udara setinggi sepuluh tombak lebih.

“Hai! Apa yang kau lakukan ini?!” teriak Pendekar 212. Bukan saja dia gamang ketakutan tapi juga khawatir kalau Hantu Jatilandak berniat jahat terhadapnya.

Sebaliknya Hantu Jatilandak sambil tertawa-tawa ulurkan tangannya menangkap tubuh Wiro kembali. (Mengenai riwayat Hantu Jatilandak harap baca serial Wiro Sableng berjudul Hantu Jatilandak)

********************

LIMA

Sinar terik sang surya menyambut Luhcinta begitu gadis ini keluar dari rimba belantara. Di satu daerah berbatu-batu yang tanahnya mendaki gadis itu perlambat jarinya. Sayup-sayup dia mendengar suara air mengucur di sebelah depan. Rasa haus tiba-tiba saja membuat tenggorokannya seperti kering. Tepat di puncak pendakian Luhcinta hentikan langkah. Memperhatikan ke bawah dia melihat satu pemandangan sangat indah.

Di hadapannya terbentang sebuah lembah subur. Sisi sebelah kanan ditumbuhi berbagai bunga-bungaan yang sedang berkembang. Sebaliknya sisi sebelah kiri tertutup kawasan berumput di selang-seling bebatuan besar. Di sela-sela batu-batu itu ada satu aliran air menuju dasar lembah. Di dasar lembah, air ditampung oleh sebuah telaga dangkal sebelum mengalir lagi melalui celah-celah batu ke bagian yang lebih rendah.

Pemandangan itu membuat Luhcinta ingat akan lembah tempatkediaman gurunya dimana dia digembleng selama bertahun-tahunhingga menjadi seorang gadis memiliki kepandaian tinggi. Hanya saja Luhcinta hams mengakui bahwa lembah yang kini terbentang di hadapannya jauh lebih indah dari lembah tempat kediaman sang guru.

Dengan melompat dari satu batu ke batu lainnya Luhcinta menuruni lembah menuju telaga dangkal di bawah sana. Udara di lembah terasa sejuk membuat rasa hausnya berkurang. Begitu sampai di telaga jernih, si gadis celupkan kaki, masukkan ke dua tangannya ke dalam air lalu membasahi mukanya. Setelah itu ditampungnya curahan air yang mengucur di celah-celah batu dan meneguk sepuasnya.

Air telaga yang sejuk dan bersih membuat wajah Luhcinta memerah segar. Namun di balik semua kecantikan dan kesegaran wajah itu masih terlihat satu bayangan adanya ganjalan berat di lubuk hati si gadis. Hal inilah yang terlihat dan terbaca oleh Pendekar 212 sewaktu sebelumnya bertemu dengan Luhcinta di dalam rimba belantara siang tadi.

Semula ada keinginannya hendak mandi di dalam telaga itu. Namun entah mengapa niatnya diurungkan lalu dia duduk di satu tempat yang bersih, bersandar ke sebuah batu besar. Angin lembah bertiup sejuk. Membuat sepasang mata Luhcinta menjadi berat. Dalam keadaan terkantuk-kantuk gadis ini ingat akan nasib dirinya. Berulang kali Luhcinta menarik nafas panjang. Lalu terbayang wajah sang guru yang pada akhirnya membuat dia ingat akan riwayat dirinya sebagaimana dituturkan oleh si nenek.

********************

Sore itu hujan turuh lebat sekali. Cuaca gelap sesekali diterangi oleh sambaran petir. Guntur menggelegar menambah mencekamnya suasana. Dalam keadaan seperti itu kelihatan sosok seorang nenek berjalan basah kuyup terseok-seok. Di tangan kanannya dia memegang sebatang tongkat terbuat dari bambu kuning yang besarnya sepergelangan lengan dan panjang kurang dari sepuluh jengkal.

Sambil melangkah si nenek tiada hentinya keluarkan suara nyanyian. Selain itu tangannya yang memegang tongkat tak bisa, diam. Sebentar-sebentar tangan itu digerakkan untuk memukul rambas semak belukar yang menghalangi jalannya. Bahkan beberapa kali tongkat itu di ayun menggebuk batang-batang pohon hingga patah bertumbangan.

Hujan lebat begini rupa
Tubuh reyot seharusnya berada didalam goa
Membaca doa sambil hidupkan pendupa
Agar sisa hidup bisa mengurangi segala dosa.

Hujan gila begini rupa
Cuaca gelap menutup pandangan mata

Seharusnya tubuh reyot ini beradadi dalam goa
Tapi mengapa suara hati mengajak bicara
Tua bangka di dalam goa!
Keluarlah membawa langkah!
Berjalan ke arah utara!
Akan kau Temui sesuatu menusuk mata!

Tua bangka reot di dalam goa!
Keluarlah ayunkan langkah!
Pada saat sesuatu tertumbuk mata!
Itulah artinya awal perkara
Kenyataan di depan mata
Jangan lari cari selamat
Tanggung jawab di atas kepala
Agar selamat seluruh ummat


Tiba-tiba si nenek jatuhkan dirinya, duduk menjelepok di tanah becek, mendongak ke langit lalu tundukkan kepala menatap tanah di hadapannya.

“Aneh berbilang aneh. Wahai aku yang tua ini bagaimana bisa berada di tempat ini. Di bawah curahan hujan lebat, udara gelap dan dingin. Aneh dan gila! Aku bisa menyanyi… Astaga… apa yang kuucapkan tadi dalam nyanyianku? Gila! Aku tak ingat! Aku tak ingat lagi…!”

Tiba-tiba si nenek sentakkan kepalanya. Seperti tadi dia mendongak ke langit. Hujan membasahi mukanya yang keriput. Cuping hidungnya tampak bergerak-gerak.

“Aku mencium sesuatu. Bau busuk… Sangat busuk…”

Si nenek palingkan kepalanya ke arah kiri, menatap dengan sepasang mata menyorot ke arah rimba belantara di kejauhan. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Lalu melangkah ke arah sumber bau di dalam. rimba belantara. Saat itu tidak ada suara apa lagi nyanyian keluar dari mulutnya.

“Aneh, tadi aku bisa menyanyi. Sanggup keluarkan suara… Sekarang mengapa mulutku terkancing bungkam seribu bahasa. Dan bau itu… semakin menusuk…”

Si nenek ayun-ayunkan tongkatnya kian kemari hingga mengeluarkan suara menderu-deru. Di satu tempat dia hentikan langkah. Matanya berputar-putar. Telinganya sebelah kiri dielus-elus berulang kali.

“Aku belum tuli. tapi yang kudengar itu jelas suara tangisan bayi! Ada bayi menangis didalam hutan!”

Dengan langkah-langkah cepat si nenek lanjutkan perjalanan. Belum terlalu jauh dia berjalan, di bawah sebatang pohon yang tak seberapa tinggi tiba-tiba nenek ini hentikan langkahnya, Dua kakinya yang kurus seolah ditancap ke tanah becek. Matanya mendelik. Mulutnya menganga pencong!

“Demi segala Peri, demi semua Dewa dan para roh yang ada di langit dan di bumi! Wahai mataku tidak lamur apa lagi buta! Betulkah apa yang kulihat ini?!”

Di atas sana, pada cabang paling rendah pohon di hadapan si nenek, tergantung satu sosok tubuh perempuan. Seutas tambang menjirat lehernya yang mulai membusuk. Di dada perempuan ini ada sebuah kantong terbuat dari jerami. Kantong itu bergerak-gerak seolah ada sesuatu yang hidup di dalamnya. Curahan air hujan yang mengguyur sekujur tubuh mayat tergantung itu mengucur deras ke bawah, melewati kaki dan jatuh ke tanah.

Si nenek seperti beku kaku, memandang melotot, berusaha, memperhatikan wajah perempuan yang tergantung itu. Dia tersentak ketika tiba-tiba dari dalam kantong jerami melesat suara tangis bayi. Si nenek tersadar.

“Ada orok di dalam kantong itu! Wahai!” Si nenek terlonjak. Kaki kiri dibanting ke tanah. Saat itu juga tubuhnya melayang ke atas. Tongkat di tangan kanan berkelebat.

“Craasss!” Tali yang mengikat kantong jerami ke tubuhmayat putus. Mayat tergantung bergoyang-goyang. Di lain kejap si nenek sudah menjejakkan kakinya kembali di tanah. Di bawah pohon besar kantong jerami diletakkannya di tanah. Lalu dengan tangan gemetar dia buka kantong itu. “Demi para Dewa penguasa alam! Sungguh tak dapat kupercaya!” Perempuan tua itu keluarkan suara lalu jatuhkan diri berlutut. Dari dalam kantong jerami dia keluarkan satu sosok kecil yang menangis keras dan ternyata adalah satu bayi perempuan!

“Wahai anak! Berkah apa yang diturunkan para Dewa hingga aku menemuimu di tempat ini? Melihat keadaanmu usiamu belum lagi dua bulan! Siapa perempuan yang tergantung di pohon itu? Ibumu…? Kasihan… Berapa lama kau sudah tergantung di atas pohon wahai anak? Ah, bagaimana ini? Akan kubawa kemana dirimu? Akan kuapakan engkau wahai anak? Semoga para Dewa memberi petunjuk! Wahai…!”

Saat itu entah bagaimana si nenek tiba-tiba ingat kembali pada bait-bait nyanyian yang tadi dibawakannya.

“Tidak bisa tidak, ini semua pasti petunjukdan tuntutan para Dewa…”

Si nenek membatin. Diusapnya pipi dan kepala si bayi. Lalu dengan hati-hati dimasukkannya ke dalam kantong jerami kembali. Saat itulah dia melihat ada sebuah benda kecildi dalam kantong. Ketika diperhatikan ternyata sebuah batu merah berukir bentuk bunga mawar yang biasa dijadikan hiasan rambut perempuan. Si nenek masukkan batu merah itu ke dalam kantong kembali. Perlahan-lahan dia berdiri. Bayi di dalam kantong didekapnya erat-erat di tangan kiri. Sesaat sebelum berlalu dia memandang ke cabang pohon, tempat mayat tergantung.

“Wahai perempuan malang di atas pohon. Jazadmu telah membusuk tapi rohmu masih utuh dan bisa melihat serta mendengar. Jika bayiini adalah anakmu, aku akan membawanya, bukan mengambil bukan mencuri. Aku membawanya dengan satu tanggung jawab. Akan memeliharanya. Akan mengasihinya seperti anak dan cucu sendiri. Wahai roh perempuan di atas pohon, aku pergi sekarang. Relakan bayi ini berada di tanganku dan jangan kau ikuti kemana kami pergi…”

Gadis cantik berpakaian kulit kayu yang diberi jelaga warna biru tegak di atas batu besar di tengah aliran sungai kecil yang mengalir di pertengahan Lembah Laekatakhijau. Di keningnya, tepat di pertengahan menempel sekuntum kecil bunga tanjung berwarna kuning.

Di sekitarnya ratusan bahkan mungkin ribuan ekor katak hijau yang ukurannya mulai sebesar ibu jari sampai sebesar kelapa tanpa kulit mendekam tak bergerak tetapi mata binatang-binatang ini memandang tak berkesip ke arah sang dara.

“Luhcinta!” Tiba-tiba ada seruan keras. Datangnya dari atas sebuah pohon besar yang tumbuh menjulang di tepi sungai sebelah kiri. Di atas salah satu cabang pohon ini kelihatan duduk seorang nenek menampilkan satu hal yang luar biasa. Si nenek duduk di satu cabang kecil yang seekor kucing saja jika berada di atasnya akan merunduk jatuh ke bawah!

Nyatanya si nenek duduk enak-enakan malah sambil enjot-enjotkan tubuhnya. Dan cabang itu sama sekali tidak patah. Kalau dia tidak memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, tidak mungkin si nenek mampu berbuat seperti itu. Lalu hal kedua yang mungkin bisa membuat orang lain menyaksikan dengan tengkuk merinding ialah keadaan si nenek yang duduk dengan sekujur tubuh digelayuti ratusan katak hijau!

Demikian banyak dan rapatnya binatang ini menempel di kepala dan tubuh si nenek hingga hanya sepasang mata, lobang hidung dan mulut si nenek saja yang tidak tertutup katak-katak hijau itu!

Mendengar si nenek berseru menyebut namanya gadis di atas batu mendongak dan palingkan kepala sedikit.

“Apa kau sudah siap?!”

“Saya siap wahai Nenek Lembah Laekatakhijau!” Suara si gadis nyaring tetapi tidak terasa adanya sesuatu yang menggelegar yang disertai hawa kekerasan.

“Ingat Luhcinta! Kau boleh bertahan, boleh balas menyerang. Tapi tidak satupun katak-katak itu boleh cidera, apa lagi mati! Sesama makhluk hidup adalah bersaudara. Kecuali kalau takdir mengatakan Iain! Kau hanya boleh mengandalkan tangan kosong! Sumber kekuatanmu adalah cinta dan kasih sayang!”

“Saya ingat Nek! Saya perhatikan!”

Nenek di atas pohon yang disebut dengan nama Nenek Lembah Laekatakhijau acungkan tongkat bambu kuning di tangan kanannya lalu dari mulutnya keluar satu suitan keras.

Mendengar suitan itu ratusan katak yang ada di seantero tempat, termasuk yang sejak tadi menempel di tubuh si nenek melesat ke udara, menyerbu gadis tinggi semampai di atas batu di tengah sungai. Walaupun yang menyerang cuma kodok tapi gigitan dan cakarannya cukup berbahaya. Apa lagi jumlahnya demikian banyak, Bisa-bisa sekujur sosok si gadis hanya tinggal tulang-belulang sementara kulit dan dagingnya hancur dan ludes digeragot!

Anehnya gadis di atas batu di tengah sungai perlihatkan wajah penuh senyum lalu dua tangannya dikembangkan ke depan, dua telapak terbuka. Gerakan tangannya, dorongan dua telapak tangan dengan jari-jari yang bergerak tiada henti serta geseran sepasang kaki berbetis putih dan bagus, nyaris merupakan gerakan seorang penari yang penuh kelembutan. Dari dua telapak tangan yang terbuka dan mengandung tenaga dalam tinggi keluar tiupan angin yang sama sekali tidak keras, tidak beda tiupan angin lembah di pagi hari penuh kelembutan.

“Kalian semua sahabat-sahabatku. Tidurlah…!”

Terjadilah hal yang aneh, sukar dipercaya. Siuran angin lembut yang keluar dari dua telapak tengah si gadis membuat ratusan katak melayang jatuh secara perlahan-lahan. Di atas batu, di dalam air atau di tanah. Ada juga yang menyangsrang di semak belukar atau jatuh di atas pohon. Semuanya diam tak bergerak. Sepasang mata mereka terkatup. Semua binatang itu berada dalam keheningan alias benar-benar tidur! Ternyata ada beberapa ekor katak yang berhasil lolos, menyelusup dan hinggap di tubuh si gadis.

“Ah, kalian anak-anak nakal! Tidurlah!” Si gadis usap kepala katak-katak itu.

Semuanya masih menempel di tubuhnya tapi begitu diusap langsung diam tertidur. Satu demi satu sang dara ambil binatang-binatang itu lalu meletakkannya di atas batu. Di atas cabang pohon Nenek Lembah Laekatakhijau tertawa terkekeh-kekeh sambil uncang-uncang ke dua kakinya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang.

“Bagus… bagus! Tidak seekor pun katakku yang terluka. Tapi menyuruh mereka tidur terus-terusan tidak baik! Luhcinta! Lekas kau bangunkan mereka!”

“Akan saya bangunkan Nek!” jawab si gadis lagi-lagi dengan senyum menghias wajah. Lalu dia bertepuk tiga kali dan berteriak nyaring. “Wahai para sahabat! Hari sudah siang! Lekas bangun!”

Suara mengorek terdengar di mana-mana. Semua katak yang tadi diam tidur kini gerakkan kepala, kedipkan mata lalu melesatkian kemari. Puluhan di antaranya kembali hinggap di sekujur kepala dan muka si nenek!

“Bocah-bocah nakal! Kalian pergilah dulu bermain-main sambil mencari makan. Aku perlu membicarakan sesuatu dengan Luhcinta!”

Mendengar ucapan si nenek puluhan katak yang menempel di kepala dan badannya segera melesat pergi. Si nenek sendiri melompat turun dari cabang pohon. Dia memberi tanda pada si gadis lalu melangkah terbungkuk-bungkuk memasuki sebuah goa.

ENAM

Si nenek pandangi wajah gadis cantik di hadapannya dengan sepasang mata berkaca-kaca. Yang dipandang sendiri saat itu berulang kali mengusap air mata yang meluncur jatuh ke pipinya seolah tak mau berhenti.

"Wahai Nenek pemelihara dan tempat saya berlindung selama berbilang tahun. Mengapa baru pada saat saya hendak kau lepas pergi kau menuturkan riwayat hidup saya. Mengapa tidak dari dulu-dulu kau ceritakan pada saya…”

Wajah perempuan tua itu tampak tambah rawan. Bagaimanapun dia berusaha namun air mata akhirnya tumpah juga ke pipinya yang keriput. Dengan tangan kirinya dibelainya rambut si gadis.

“Wahai cucuku Luhcinta. Jangan kau bersalah duga berburuk sangka. Tidak ada maksud yang tidak baik dari semua apa yang kulakukan. Jika riwayatmu kuceritakan sejak kau masih kecil, maka berarti aku telah memberikan satu ganjalan pahit dalam jalan kehidupanmu. Dalam keadaan pikiran dan hatimu saling tumpang tindih dilanda ganjalan itu, tidak mungkin aku akan mendidik dan menempamu menjadi seorang gadis lembut sekaligus berkepandaian tinggi seperti sekarang ini. Aku sengaja memberikan nama Luhcinta padamu, karena hanya cinta kasihlah yang membuat manusia bisa tabah dan selamat menghadapi kehidupan dunia. Hanya dengan cinta kasihlah manusia bisa hidup bahagia. Dicintai dan saling mencinta. Banyak manusia, mengira bahwa kekuatan yang dahsyat adalah kekuasaan atau kesaktian. Padahal kekuatan paling dahsyat di antara, langit dan bumi adalah, cinta kasih! Kelak kau akan membuktikannya sendiri wahai cucuku Luhcinta. Aku juga sengaja memilih saat yang tepat hari ini. Saat kau akan kulepas pergi ke dunia luar. Inilah saat yang paling tepat bagimu untuk menyelidiki asal usul dirimu. Aku telah menceritakan ciri-ciri dan wajah perempuan yang tergantung di dalam hutan itu. Mungkin itu tidak terlalu, dapat menolong. Tapi ada sesuatu yang bisa kau andalkan dalam penyelidikanmu wahai cucuku…”

Si nenek lalu keluarkan sebuah benda berwarna merah. Ketika si gadis memperhatikan ternyata adalah sebuah batu merah yang diukir demikian rupa membentuk setangkai bunga mawar. Dia pernah melihat benda seperti ini sebelumnya yang biasa dijadikan hiasan pada ikatan rambut.

“Mawar merah ukiran batu ini, kutemukan, dalam kantong jerami tempat kau terbungkus. Aku yakin benda ini dapat kau pergunakan sebagai bahan petunjuk menelusuri asal usulmu. Mungkin sekali ini adalah milik perempuan yang tergantung itu. Ibumu. Dia sengaja meletakkan di dalam kantong jerami dengan satu maksud tertentu. Ambil lah wahai Luhcinta…”

Si gadis mengambil bunga mawar dari batu itu. Memperhatikan dan mengusap-usapnya beberapa lama lalu perlahan-lahan mendekatkannya ke hidung dan menciumnya. Saat itu terjadilah satu keajaiban. Di depan Luhcinta muncul satu bayangan biru yang makin lama makin jelas dan akhirnya membentuk sosok perempuan separuh baya berwajah cantik.

Di kepalanya ada sebuah mahkota kecil bertabur batu permata. Pakaiannya terbuat dari gulungan sutera biru yang panjang sekali seolah-olah bergulung sampai ke langit. Saat itu juga tempat tersebut dipenuhi oleh bau harum semerbak.

Hidung si nenek tampak kembang kempis. Dia dapat mencium bau harum itu tetapi tidak melihat sosok perempuan cantik berpakaian biru yang barusan seolah turun dari langit. Walau hatinya tergoncang melihat keanehan ini namun Luhcinta berhasil tabahkan diri. Dengan mengulas senyum di bibir dia berkata,

“Wahai perempuan cantik bermahkota! Siapa gerangan kau adanya?”

“Aku adalah Peri Bunda dari Negeri Atas Langit. Kedatanganku untuk memberi petunjuk. Jika kau tinggalkan lembah ini pergilah ke arah matahari terbit. Pada pagi hari ke dua setelah kau berada di perjalanan kau akan mendapatkan petunjuk yang kelak bakal menyingkapkan asal usul dirimu. Namun ingat baik-baik wahai gadis bernama Luhcinta. Apapun kelak yang bakal kau dapat dan ketahui dari petunjuk itu janganlah kau berpaling rasa dan duga, janganlah hatimu berontak membara bahwa tidak ada keadilan di dunia ini, bahwa cinta kasih hanya satu hal yang palsu belaka bahkan keji dan kotor. Ingat baik-baik wahai Luhcinta. Tabahkan hatimu! Jangan goyang dalam pikiran, jangan goyah di lubuk hati…. Kalau gurumu menanamkan cinta kasih dalam dirimu maka ketahuilah cinta kasih adalah sesuatu yang utuh, satu kekuatan yang ada kalanya tak bisa dibagi tapi seringkali bisa diberikan untuk semua makhluk dan berkahnya bisa untuk semua orang. Ingat baik-baik petuah gurumu dan camkan apa yang barusan aku katakan. Selamat tinggal Luhcinta…”

“Wahai Peri… Tunggu dulu! Saya ingin bertanya!” Luhcinta memburu ke mulut goa. Tapi sosok Peri Bunda telah sirna.

“Cucuku Luhcinta. Kau berlaku aneh. Kulihat kau bicara sendirian. Lalu lari ke pintu seolah mengejar seseorang. Apa yang terjadi? Kau barusan bicara dengan siapa?”

Teguran sang guru membuat Luhcinta palingkan diri. “Nek, apa kau tidak melihat…?”

“Melihat apa?”

“Seorang perempuan cantik barusan berada dalam goa ini. Dia mengaku bernama Peri Bunda…”

“Peri Bunda?” Nenek Lembah Laekatakhijau terkejut. “Kau tidak mengigau tidak bergurau Luhcinta?”

“Mana saya berani berlaku begitu Nek…”

“Ceritakan apa yang terjadi! Katakan apa yang diucapkan Peri itu padamu!”

Begitu mendengar penuturan Luhcinta, si nenek pegang kepala murid yang sudah dianggap seperti anak atau cucunya sendiri itu seraya berkata. “Luhcinta, kau telah mendapat berkah dari sang Peri. Kau telah diberi petunjuk. Lakukan apa yang dikatakannya...”

“Akan saya lakukan Nek,” jawab Luhcinta.

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Terbitnya Sang Surya pada hari kedua perjalanannya setelah meninggalkan Lembah Laekatakhijau menimbulkan rasa tegang di diri Luhcinta. Seperti yang dikatakan Peri Bunda, hari itu dia akan menemukan petunjuk yang akan menyingkapkan tabir rahasia asal usulnya. Namun kedatangan pagi kali ini justru memunculkan setumpuk pertanyaan dalam hatinya. Apa yang akan terjadi? Siapa yang akan memberi petunjuk? Di mana?

Saat itu Luhcinta berada di kaki bukit yang dikelilingi sawah luas. Sejauh mata memandang hanya padi yang masih hijau yang kelihatan. Belum kelihatan seorang petani pun berada di sawah. Luhcinta berdiri di dekat sebuah dangau. Memandang ke langit bersih, memperhatikan serombongan burung terbang ke arah selatan. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ada sambaran angin. Luhcinta cepat berpaling. Satu bayangan berkelebat tahu-tahu satu sosok telah berdiri berkacak pinggang di atas dangau!

Sebagai murid nenek sakti di Lembah Laekatak hijau, Luhcinta telah digembleng menjadi seorang gadis lembut tapi berhati tabah. Walau baru beberapa hari saja berada di dunia luar yang serba asing baginya namun kemampuan bersikap waspada membuat dia tidak merasa takut akan hal apapun. Akan tetapi saat itu si gadis merasakan tengkuknya dingin dan lututnya bergetar. Seumur hidup belum pernah dia melihat manusia memiliki dua muka di satu kepala. Dan saat itu, kejadian aneh itulah yang dialaminya!

Di atas dangau tegak bertolak pinggang seorang pemuda sangat gagah yang mukanya ada dua, satu depan satu di belakang. Wajah di sebelah depan bersih kuning sedang Wajah di sebelah belakang hitam berkilat. Dua wajahitu memandang lekat-lekat ke arah Luhcinta, mulut menyeringai, dua mata bergerak tak bisa diam.

“Makhluk aneh apakah ini adanya. Guru tak pernah menceritakan padaku. Mukanya dua, satu putih satu hitam. Bola matanya berbentuk segitiga. Keseluruhan wajahnya walau tersenyum tidak membersitkan kelembutan, malah tidak ada bayangan cinta kasih. Aku harus berhati-hati…”

“Gadis cantik berpakain biru. Pagi hari berada di tengah sawah. Dari dandanan dan gerak gerikmu jelas kau orang asing di Latanahsilam ini. Seandainya engkau tersesat biarlah aku menunjukkan arah jalan yang benar. Kemana tujuanmu wahai gadis yang menghias keningnya dengan sekuntum bunga tanjung? Bolehkah aku bertanya siapa gerangan namamu?”

Luhcinta memandang dengan tersenyum membuat orang di atas dangau yang bukan lain adalah Hantu Muka Dua tambah berkobar hasrat kejinya. Seperti diketahui Hantu Muka Dua memiliki kemampuan merubah-rubah dua wajah di kepalanya. Jika dua wajahnya muncul dalam rupa pemuda gagah maka itu berarti dia terangsang untuk bercinta.

Sambil memandang, otak Luhcinta bekerja. Dalam hati dia membatin. “Hemm…” Makhluk bermuka dua ini muncul seperti kilat yang berubah menjadi bayang-bayang. Pertanda dia memiliki kepandaian tinggi. Wajah, sikap dan cara bicaranya seolah tulus tapi aku mencium tak ada cinta kasih dibalik semua itu. Pertanyaannya banyak sekali seperti dia tengah menyelidik. Makhluk satu ini tak bisa kupercaya, tetapi jika aku hadapi dengan tenang dan kebaikan hati mungkin aku bisa memanfaatkannya. Mungkin dialah petunjuk yang diberikan Peri Bunda. Orang yang akan menyingkap tabir asal-usul diriku”

Luhcinta kembali tersenyum. “Pemuda gagah, aku Luhcinta sungguh kagum padamu. Kurasa di jagat raya ini hanya kaulah satu-satunya manusia yang memiliki dua wajah di satu kepala. Jika aku boleh bertanya siapa gerangan kau adanya. Mungkin aku bisa minta bantuanmu menjawab beberapa pertanyaan…”

Hantu Muka Dua balas senyuman si gadis dengan tawa lebar. “Aku dikenal dengan panggilan Hantu Muka Dua. Sebagai orang asing kau tentu tidak tahu siapa diriku. Tetapi kau telah berlaku tepat. Jika meminta bantuan akulah orang satu-satunya yang bisa menolongmu. Apa lagi kalau hanya bantuan berupa menjawab pertanyaan…”

“Wahai Hantu Muka Dua, apakah kau pernah mendengar riwayat seorang perempuan yang menemui ajal, bunuh diri dengan cara menggantung diri di sebuah rimba belantara. Kejadiannya sudah cukup lama, berbilang tahun yang silam…”

Empat alis Hantu Muka Dua di dua wajahnya menjungkat ke atas. Satu pertanda bagi Luhcinta bahwa makhluk itu mengetahui sesuatu tentang kejadian yang ditanyakannya. Terlebih ketika dilihatnya empat mata aneh Hantu Muka Dua menatapnya lekat-lekat.

“Wahai… Aku ingat sekarang. Wajah gadis ini sama nian dengan wajah perempuan itu… Ah! Mungkinkah?!” Kata-kata itu menyeruak dalam hati Hantu Muka Dua. “Wahai gadis bernama Luhcinta, memang pernah aku mendengar kejadian itu. Peristiwanya telah lama sekali. Mengapa kau bertanyakan hal itu. Apa dirimu ada sangkut paut dengan peristiwa itu?”

“Seseorang mengatakan diriku memang punya hubungan darah dengan perempuan yang mati menggantung diri itu…” menerangkan Luhcinta.

“Melihat kepada usiamu, kau tentulah anak perempuan yang malang itu.”

Luhcinta tersurut satu langkah. “Bagaimana kau bisa menduga seperti itu?”

Hantu Muka Dua melompat turun dari atas dangau. “Dengar wahai gadis cantik. Dirimu rupanya menyimpan satu rahasia hidup maha besar. Aku Hantu Muka Dua kebetulan banyak tahu tentang riwayat perempuan tergantung itu. Tapi di sini bukan tempat yang tepat untuk menuturkan semuanya padamu. Harap kau suka ikut aku ke tempat kediamanku. Tak jauh dari sini. Di situ aku akan terangkan semuanya padamu. Aku yakin kau memang adalah anak perempuan yang bunuh diri itu!”

“Hantu Muka Dua, kau baik sekali. Bagaimana kalau semua riwayat yang kau ketahui kau ceritakan saja langsung di sini? Budimu pasti tidak akan kulupakan.”

Hantu Muka Dua menyeringai. “Aku merasa kau tidak percaya pada diriku. Sosokku memang menakutkan. Kepalaku memiliki dua wajah yang mengerikan. Mana ada manusia yang mau menganggap aku orang baik-baik…”

“Aku percaya padamu wahai Hantu Muka Dua. Buruk rupa seseorang bukan jaminan bahwa dia tidak memiliki perilaku yang baik. Bukan jaminan bahwa dia tidak mempunyai cinta kasih...”

“Dengar wahai Luhcinta,” Perempuan yang mati tergantung itu adalah Luhpiranti. Dia memiliki seorang suami bernama Latampi. Apa kau masih tidak percaya bahwa aku benar-benar mengetahui kejadian hebat di masalalu itu?”

“Luhpiranti… Latampi…” Si gadis mengulang menyebut nama-nama itu. “Guru sendiri tidak pernah tahu siapa nama ayah dan ibuku…”Luhcinta menatap Hantu Muka Dua sejurus lalu berkata. “Aku percaya padamu wahai Hantu Muka Dua. Aku bersedia ikut ke tempat kediamanmu…”

“Kau gadis berotak jernih. Kita berangkat sekarang!” kata Hantu Muka Dua sambil menyeringai lebardan usap-usap telapak tangannya satu dengan lainnya.

********************

TUJUH

Seperti pernah dituturkan diepisode Peri Angsa Putih diketahui bahwa Hantu Muka Dua memiliki satu tempat kediaman rahasia terletak di bawah Telaga Lasituhitam. Pada kejadian dia membawa Luhcinta ke tempat itu belum ada ruangan yang disebut Ruangan Obor Tunggal yaitu ruang penyiksaan terkutuk bagi perempuan-perempuan yang dibencinya. Yang ada barulah Ruang Dua Belas Obor yakni satu ruangan batu diterangi dua belas obor dan menjadi tempat ketiduran Hantu Muka Dua.

Hantu Muka Dua langsung membawa murid Nenek Lembah Laekatakhijau itu ke dalam Ruang Dua Belas Obor. Saat itu di dalam ruangan terdapat tiga orang gadis yang rata-rata berpakaian seronok nyaris bugil. Pemandangan ini membuat Luhcinta serta merta menjadi tidak enak, khawatir serta curiga. Apa lagi di situ tidak ada bangku atau kursi. Yang ada hanya sebuah batu besar dialasi anyaman rumput kering dan dijadikan ranjang tempat tidur. Walaupun hatinya tidak enak namun Luhcinta tetap saja memoles senyum di bibirnya yang bagus.

“Jangan perhatikan mereka wahai Luhcinta. Tiga gadis ini adalah pembantu yang mengurus dan menjaga tempat kediamanku jika aku pergi.”

Lalu pada tiga gadis di dalam ruangan Hantu Muka Dua segera berkata. “Lekas kalian memberi hormat pada tamuku! Kalau sudah memberi hormat segera siapkan hidangan dan minuman. Kami lapar! Setelah itu kalian Semua boleh pergi! Kami haus! Berikan minuman lebih dulu!”

Tiga gadis di dalam Ruang Dua Belas Obor segera berdiri lalu menjura memberi hormat pada Luhcinta. Sebelum sempat si gadis membalas penghormatan itu ketiganya telah meninggalkan ruangan.

“Wahai Hantu Muka Dua, kita telah berada di tempat kediamanmu. Apakah kau bisa segera mulai memberi keterangan tentang orang-orang bernama Latampi dan Luhpiranti itu…?”

“Luhcinta gadis cantik dan cerdik! Mengapa terburu-buru. Kau perlu istirahat barang sebentar. Lagi pula apa salahnya menunggu sampai pembantuku datang membawakan minuman untuk kita…”

“Kalau begitu katamu aku menurut.saja. Tetapi begitu kau selesai minum harap kau suka memberi keterangan…”

“Jangan khawatir wahai Luhcinta. Sejuta keterangan akan kuberikan padamu walaupun mulutku harus bicara sampai pagi besok dan pagi besoknya lagi… Lelaki mana yang tidak mau bertutur cakap dengan gadis secantikmu walau tidak tidur sekalipun sampai berhari-hari…”

Luhcinta tersenyum. Salah satu dari tiga gadis tadi muncul dan masuk ke dalam Ruang Dua Belas Obor. Dia membawa satu nampan kayu di atas mana terletak dua cangkir tanah berisi minuman yang mengepulkan asap dan bau enak segar. Dua gelas tanah itu diletakkannya di atas ranjang batu. Ketika Luhcinta memandang kepadanya gadis ini kedipkan matanya tiga kali berturut-turut.

“Wahai, apa arti kedipan mata gadis itu…” pikir Luhcinta.

“Lekas keluar kau dari sini!” Hantu Muka Dua membentak.

Gadis pembawa minuman serta merta menghambur pergi. Sambil tersenyum Hantu Muka Dua kemudian berkata pada Luhcinta.

“Ini minumanmu, teguk sampai habis. Kau tentu haus dan letih…”

Hantu Muka Dua lalu ambil salah satu gelas tanah dan memberikannya pada Luhcinta. Dia sendiri mengambil gelas kedua langsung meneguk isinya sampai habis. Dua pasang matanya kelihatan membersitkan sinar aneh. Dua wajahnya kelihatan merah. Di dalam tubuhnya darahnya mengalir makin cepat dan tambah panas. Hal itu disebabkan di dalam minuman yang diberikan si pembantu untuknya sesuai dengan kebiasaannya Hantu Muka Dua mempergunakan sejenis bubuk yang dapat memberi kekuatan seperti kuda setan pada dirinya.

Secara diam-diam dia juga telah memerintahkan para pembantu untuk membubuhi sejenis serbuk perangsang di dalam minuman yang disuguhkan pada tamu perempuan. Pembantu yang membawa minuman tadi dan mengetahui hal itu serta hiba hati melihat Luhcinta yang kelak bakal menerima perbuatan aib dari Hantu Muka Dua berusaha memberi peringatan dengan kedipan mata tadi. Hanya sayang Luhcinta tidak mengetahui apa arti isyarat tersebut!

“Harap kau suka meneguk minuman yang disuguhkan. Sebagai tanda penghormatan padaku selaku tuan rumah…”

“Kau tuan rumah yang baik,” kata Luhcinta. “Sebentar lagi akan ku minum. Saat ini aku belum begitu haus… Sementara itu apakah kau bisa memberi keterangan yang kau janjikan?”

“Teguk habis dulu minumanmu, baru aku memberi keterangan,” jawab Hantu Muka Dua. Suaranya mulai kasar dan tampangnya agak beringas. Kulit mukanya sebelah depan tambah merah sedang sebelah belakang tambah menghitam.

“Wahai, aku tidak haus. Sebentar lagi pasti ku minum…”

“Kalau kau tak suka meneguk minuman itu, serahkan gelas minuman itu padaku!” kata Hantu Muka Dua pula. Lalu gelas tanah dirampasnya dari tangan Luhcinta. “Gadis cantik… Kau datang ke tempat yang salah! Ha ha ha.”

“Wahai! Apa maksudmu Hantu Muka Dua?” tanya Luhcinta.

“Maksudku ini!” Hantu Muka Dua gerakkan tangannya yang memegang gelas tanah. Minuman yang ada di dalam gelas tanah itu melesat ke muka Luhcinta. Sebagian di antaranya ada yang masuk ke dalam mulutnya tapi tidak sampai tertelan.

“Hantu Muka Dua, mengapa kau berlaku kasar!” Berseru Luhcinta. Pada saat itu Hantu Muka Dua sudah mendobraknya. Memeluk penuh nafsu dan menciumi wajahnya dengan beringas.

“Wahai! Ternyata dirimu begini adanya!” seru Luhcinta yang kini sadar kalau dirinya telah terjebak. Dengan kanannya bergerak. Telapak menempel di perut Hantu Muka Dua. Begitu dia mendorong terpekiklah Hantu Muka Dua. Tubuhnya terpental dan terbanting ke dinding batu!

“Pukulan kasih Mendorong Bumi!” seru Hantu Muka Dua dengan wajah kaget dan dua muka di kepalanya langsung berubah menjadi wajah kakek-kakek pucat pasi. Sambil pegangi perutnya yangmendenyut sakit sementara tulang punggungnya serasa hancur, kemarahan meluap dalam diri Hantu Muka Dua. Saat itu juga dua mukanya kembali berubah. Kali ini berupa dua muka raksasa mengerikan.

“Pukulan itu hanya dimiliki nenek keparat di lembah Katak. Berarti kau adalah muridnya Nenek Lembah Laekatakhijau!”

Dua kali Luhcinta terkejut. Pertama ketika Hantu Muka Dua mengetahui pukulan yang barusan dilepaskannya. Kedua sewaktu Hantu Muka Dua mengetahui siapa gurunya.

“Ha ha ha! Nenek satu ini memang sudah lama kucari untuk kujadikan makhluk pertama percobaan ruang penyiksaan yang kuberi nama Ruang Obor Tunggal! Sekarang rejeki besar di depan mata. Tidak tahu kau muridnya si Laekatakhijau! Dendam karatanku selama ini akan kesampaian…!”

“Wahai… Pembicaraan kita mengapa jadi berubah Hantu Muka Dua? Bukankah kau berkata hendak memberi tahu riwayat dua orang bernama Latampi dari Luhpiranti itu? Sekarang kau bicara hal-hai yang aku tidak mengerti…”

“Kau tidak perlu mengerti. Yang kau harus mengerti adalah melayani diriku sampai puas! Ha ha ha!”

Kembali Hantu Muka Dua menyergap Luhcinta. Kali ini si gadis cepat menghindar lalu berkelebat ke arah pintu ruangan. Namun dari belakang tiba-tiba melesat dua larik sinar hijau. Sinar-sinar aneh ini ternyata menyembul keluar dari sepasang mata Hantu Muka Dua sebelah depan. Luhcinta berteriak kaget ketika dua larik sinar hijau seperti dua utas tali tahu-tahu menggulung sekujur tubuhnya hingga dia tidak mampu menggerakkan kaki maupun tangan! Sekali Hantu Muka Dua menyentakkan kepalanya tubuh Luhcinta terlempar ke atas ranjang batu dan masih dalam keadaan terikat dua larik sinar hijau itu!

“Makhluk jahat! Apa yang hendak kau lakukan padaku?!” teriak Luhcinta. “Apa tidak ada rasa hiba di hatimu? Apa kau tidak punya rasa cinta kasih sesama manusia?!”

“Cinta kasih?! Ha ha ha! Justru aku akan menunjukkan rasa cinta kasihku padamu! Ini bukti pertama!”

“Breeettt!”

Pakaian Luhcinta robek besar di bagian dada. Si gadis menjerit. Dia coba menendang dan memukul. Tapi tak mampu bergerak. Dalam hati Luhcinta jadi mengeluh dan meratapi nasib sendiri.

“Wahai Peri Bunda. Karena mengikuti petunjukmu aku menemui nasib seperti ini. Tolong diriku. Insyafkan makhluk bermuka dua itu. Masukkan rasa kasih ke dalam tubuhnya hingga dia tidak berlaku jahat padaku…”

Namun permintaan si gadis seolah tidak terdengar oleh Peri Bunda. Seperti orang kemasukan setan, sambil tertawa-tawa Hantu Muka Dua yang wajahnya kini telah berubah menjadi dua muka anak muda melompat ke atas ranjang batu. Ketika dia hendak menanggalkan pakaian tiba-tiba Ruang Dua Belas Obor dilanda getaran aneh.

Bersamaan dengan itu dinding sebelah kiri jebol mengeluarkan suara bergemuruh. Pecahan batu berhamburan. Dari lobang besar di binding kiri ruangan menyeruak keluar satu sosok tubuh yang di kepalanya ada asap aneh berwarna merah, bergulung-gulung membentuk kerucut dengan bagian runcing tegak di atas batok kepalanya.

Hantu Muka Dua tersentak kaget seperti melihat setan. Cepat dia melompat ke sudut ruangan. Bersamaan dengan itu dua alur sinar merah menderu menyirami tubuh Luhcinta. Dua larik sinar hijau laksana tali yang sejak tadi mengikat sekujur tubuh Luhcinta serta merta lenyap.

DELAPAN

Hantu Penjunjung Roh! Kau…!” teriak Hantu Muka Dua yang saat itu dua wajahnya mendadak sontak telah berubah menjadi dua wajah kakek pucat keriput.

Ini satu pertanda selain terkejut dia juga tengah dicekam rasa takut. Orang yang barusan memasuki ruangan lewat dinding yang jebol tertawa mengekeh. Ternyata dia adalah seorang nenek aneh. Sekujur tubuhnya ditutupi akar-akar panjang berwarna coklat gelap. Di atas kepalanya yang ditumbuhi rambut kelabu tipis dia seperti menjulang satu pendupaan berbentuk kerucut terbalik. Kerucut aneh ini berwarna merah dan mengepulkan asap angker.

Si nenek hentikan kekehannya. Sepasang matanya memandang menyorot ke arah Hantu Muka Dua. Astaga! Ternyata dua bola mata si nenek juga berbentuk kerucut kecil berwarna merah. Bagian lancipnya menjorok keluar hampir sama rata dengan hidungnya!

“Tujuh ratus purnama aku memberi kesempatan padamu untuk bertobat! Tapi dasar otak dan hatimu sudah jadi batu! Kau tidak melakukan itu! Kau tetap gentayangan dengan wujud Hantu Muka Dual Menyebar melapetaka didelapan penjuru angin!”

“Nenek keparat! Kalau saja aku tidak punya pantangan membunuh perempuan! Pasti sudah kuhabisi dirimu saat ini!” teriak Hantu Muka Dua.

“Hik hik hik! Kau takut membunuh perempuan! Anggap saja aku ini laki-laki! Lihat diriku!”

“Wusss!!”

Asap merah di atas kepala si nenek yang berbentuk kerucut mengepul tinggi ke atas menyondak langit-langit ruangan batu. Ketika asap itu kembali ke bentuknya semula maka keadaan si nenek telah berubah menjadi seorang lelaki separuh baya, tegak berkacak pinggang.

“Aku sudah menjadi laki-laki! Apa kau masih takut membunuhku?! Hik hik hik!”

“Perempuan jahanam! Aku bersumpah akan menjebloskanmu ke ruang penyiksaan abadi!” teriak Hantu Muka Dua. Lalu tangan kanannya bergegas ke balik pakaian.

“Wusss! Dessss!”

Satu kepulan asap hijau pekat membumbung menutupi pemandangan. Sosok Hantu Muka Dua berkelebat lenyap ke arah pintu ruangan.

“Kau kira kali ini bisa lolos dari tanganku?! Tempat untuk rohmu sudah ku sediakan di atas kepalaku!” teriak Hantu Penjunjung Roh yang saat itu telah berubah pada bentuknya semula yaitu sosok seorang nenek berambut kelabu. Dia berkelebat ke pintu ruangan berusaha mengejar.

Di atas ranjang batu, Luhcinta yang sejak tadi terhenyak dalam kejut dan aneh melihat semua yang terjadi tiba-tiba melompat turun, jatuhkan diri di hadapan si nenek sehingga gerakan perempuan tua itu jadi terhalang.

“Nek, tak usah kau kejar orang jahat itu. Beri dia kesempatan untuk berpikir. Siapa tahu tidak sekarang tapi nanti cinta kasih akan masuk ke dalam tubuhnya, mengalir di dalam darahnya dan tertanam di lubuk hatinya. Hingga kelak dia mau bertobat dan menjadi orang baik…”

Mendengar kata-kata itu, si nenek yang sudah nekad hendak mengejar Hantu Muka Dua jadi hentikan gerakannya. Saat itu dia masih belum melihat jelas wajah Luhcinta karena asap hijau yang ditinggalkan Hantu Muka Dua masih mengambang dalam ruangan. Namun dengan suara perlahan si nenek berkata,

“Kau gadis berhati baik dan tulus. Agaknya ajaran kasih sayang begitu mendalam dalam hati sanubarimu. Tetapi wahai gadis tulus! Tahukah engkau bahwa begitu banyak makhluk yang menemui celaka bahkan kematian hanya karena berbuat baik secara berkelebihan?”

“Mereka mati dalam kebaikan. Dalam cinta kasih. Apakah ada kematian yang lebih indah dan” itu Nek?”

Hantu Penjunjung Ron tersurut dua langkah. Mukanya mengerenyit mendengar kata-kata Luhcinta itu. Dalam hati dia berkata. “Aneh! Seharusnya aku marah besar mendengar ucapan gadis bau kencur yang seperti mengajari diriku si tua bangka ini! Tetapi ucapannya sangat menyentuh, mendatangkan kesejukan dalam hatiku. Siapa gerangan adanya anak ini?!”

Si nenek kibaskan tangan kirinya. Asap hijau yang memenuhi ruanganserta merta lenyap. Begitu keadaan terang kembali dan si nenek bisa melihat jelas wajah Luhcinta, terpekiklah perempuan tua ini. Sepasang kakinya mundur dua langkah, mukanya yang keriputan memutih sementara kerucut asap merah di atas kepalanya naik hampir menyentuh langit-langit batu.

“Kau…!” Suara si nenek keras tapi bergetar dan seolah tercekik. “Nenek, wahai gerangan apakah yang membuatku memandang begitu rupa? Apakah salah saya telah menghalangimu mengejar Hantu Muka Dua? Atau apakah…"

“Wajahmu!” desis si nenek lagi-lagi dengan suara bergetar dan mata kerucutnya membesar, membeliak tak berkedip.

“Wajah saya…?” Luhcinta usap mukanya. “Ada apa dengan wajah saya wahai Nenek penolong diriku? Apakah wajah saya jelek, menyeramkan hingga kau seperti takut atau mungkin benci melihatku…?”

Hantu Penjunjung Ron gelengkan kepala. “Anak… Siapa namamu?!”

“Saya Luhcinta…”

“Kau… kau berasal dari mana Luhcinta?”

“Saya… saya, kata guru saya berasal dari Negeri Latanahsilam…”

Si nenek maju mendekati Luhcinta. Tiba-tiba dia ulurkan ke dua tangannya, membelai wajah si gadis. Luhcinta merasakan adanya getaran-getaran aneh pada jari-jari yang membelai itu.

“Wajahmu…” kata si nenek perlahan. “Mengapa sama benar dengan…”

“Nek!” Luhcinta pegang dua tangan si nenek. “Kau melihat wajah saya. Sama dengan wajah siapa saya ini Nek?”

“Wahai! Barusan kau menyebut guru. Katakan siapa gurumu!”

“Hantu Lembah Laekatakhijau…” jawab Luhcinta semakin jauh dibawa rasa heran melihat tindak tanduk dan ucapan si nenek yang telah menyelamatkannya dari Hantu Muka Dua.

“Demi sejuta Dewa sejuta Peri!” Si nenek berteriak. “Anak, kau ikut aku sekarang juga!”

“Ikut kemana Nek…?” tanya Luhcinta.

“Kita ke Lembah Laekatakhijau! Menemui gurumu si tua bangka sialan itu!”

“Wahai, mengapa kau memaki nenek guru saya itu?” tanya Luhcinta.

“Karena berpuluh tahun dia menjadikanmu sebagai muridnya, tapi dia tidak pernah memberi tahu padaku! Luhmasigi! Kau benar-benar tua bangka keparat!”

“Eh, siapa perempuan bernama Luhmasigi itu Nek?” tanya Luhcinta lagi.

“Itu nama asli gurumu si nenek keparat di Lembah Katak itu!” teriak Hantu Penjunjung Roh. Lalu sekali dia bergerak tahu-tahu sosok Luhcinta sudah berada di panggulan bahu kirinya.

SEMBILAN

Sepasang mata merah berbentuk kerucut aneh Hantu Penjunjung Ron memandang seputar lembah. Luhcinta yang berdiri di sebelah si nenek ikut memperhatikan berkeliling. Kemanapun mata memandang hanya katak-katak hijau yang kelihatan. Di tanah, di atas bebatuan, di dalam sungai kecil, di batang-batang dan cabang-cabang pohon bahkan sampai ke daun-daunnya dipenuhi oleh ribuan katak-katak hijau mulai dari yang sekecil ibu jari kaki sampai sebesar buah kelapa.

“Aku tidak melihat nenek sialan itu!” kata Hantu Penjunjung Roh. “Dimana dia?!”

“Saya juga tidak melihatnya Nek,” jawab Luhcinta sambil terus memperhatikan ke setiap sudut lembah.

"Di goanya dia tidak ada. “Jangan-jangan sedang pergi keluyuran! tua bangka geblek! Masih suka jual tampang!” kata Hantu Penjunjung Ron lagi. Dia luruskan tubuhnya yang bungkuk, lalu berteriak, “Luhmasigi! Nenek Hantu Lembah Laekatakhijau! Dimana kau?! Kalau ada di sini jangan sembunyi! Apa kau sedang berak atau bagaimana?! Hik hik hik!”

Luhcinta tutup mulutnya dengan tangan untuk menahan semburan tawa mendengar teriakan si nenek tadi. Suara teriakan keras itu mengejutkan ratusan katak. Banyak diantara mereka berlompatan dengan mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Sampai suara gaung teriakan Hantu Penjunjung Roh lenyap tak ada suara jawaban.

“Sialan! Aku tahu dia ada di sini! Aku tahu dia mempermainkan aku!” kata Hantu Penjunjung Roh. Asap merah berbentuk kerucut di atas kepalanya bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan. Sesekali naik ke atas lalu turun lagi. Dua matanya yang juga berbentuk kerucut lancip sejak tadi bergerak terus tak bisa diam. “Luhmasigi! Kalau kau tidak mau muncul, akan kupanggang semua katak peliharaanmu di lembah ini!”

Dua mata si nenek mendadak keluarkan sinar merah terang menggidikkan. Agaknya dia tidak main-main. Kalau dua larik sinar merah mengandung hawa panas disemburkannya maka jika benda mati yang terkena seperti batu, akan hancur lebur. Jika benda hidup akan mati seolah terpanggang!

Tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Tumpukan katak yang ada di tengah sungai kecil kelihatan bergerak. Bangkit membentuk sosok manusia yang ditempeli ratusan katak hijau. Hanya mata, hidung dan mulutnya saja yang kelihatan. Inilah dia si Nenek Hantu Lembah Laekatakhijau yang tubuhnya tertutup oleh katak-katak peliharaannya!

“Muridku Luhcinta! Wahai! Enam hari lalu kau tinggalkan lembah ini! tahu-tahu kau muncul kembali di sini! Ada apakah wahai muridku? Apa dunia luar sana tidak kau sukai atau ada sesuatu yang memaksamu kembali ke sini?!”

Hantu Penjunjung Roh yang berdiridi sebelah Luhcinta serta merta menjadi jengkel. “Jelas-jelas aku berada di sini! Tegak di samping muridnya! Masakan dia tidak melihat?! Si nenek sialan ini benar-benar melecehkan diriku!”

Luhcinta menjadi bingung untuk menjawab. Dia melirik pada Hantu Penjunjung Roh. Saat itu sambil melangkah mendekati si gadis, nenek ini berkata,

“Orang yang kita cari tak ada di lembah ini! Mari kita pergi saja. Lain waktu kita kembali lagi!”

Kali ini Hantu Lembah Laekatakhijau yang merasa dianggap seolah tidak ada di tempat itu. Tapi tidak seperti Hantu Penjunjung Roh, nenek satu ini tertawa cekikikan. Lalu berkata,

“Aku barusan berlangir! Mataku masih tertutup wewangian lulur. Harap maafkan kalau tidak melihat muridku datang membawa seorang tamu agung! Hik hik hik! Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh, sifat dan keadaanmu masih saja tidak berobah. Masih cepat naik darah lalu bicara ngaco! Puluhan tahun sampai saat ini kau masih saja menjunjung asap merah itu? Apa yang kau panggang di atas kepalamu? Daging tidak ikan pun tidak! Hik hik hik!”

Tampang Hantu Penjunjung Roh menjadi kelam membesi. Melihat hal ini Luhcinta segera mendahului bicara, memberi tahu.

“Nek, aku membawa nenek ini ke sini karena ada sangkut pautnya dengan diriku…”

“Wahai! Kau cantik, dia jelek! Bagaimana bisa ada sangkut pautnya?!” tukas Hantu Lembah Laekatakhijau lalu tertawa lagi cekikikan.

“Luhmasigi! Kau jangan kelewat menghina! Waktu masih sama-sama muda tidak ada lelaki yang suka padamu! Itu sebabnya kau memilih hidup bersama katak-katak bau itu!”

“Hai! Jangan menghina binatang peliharaanku! Jika mereka kusuruh menggerogoti dirimu, dalam tempo sekejapan mata kau bisa berubah jadi jerangkong! Katakan mengapa kau datang ke sini mengganggu aku sedang berlangir!”

“Puih! Seribu tahun kau mandi lulur tak bakal kau jadi cantik! Tidak akan kulitmu yang keriput akan menjadi padat bagus! Dengar Luhmasigi! Aku mau marah padamu!”

“Wahai! Itulah sifatmu! Selalu marah-marah tak karuan!”

“Dengar!” bentak Hantu Penjunjung Roh. “Berbilang tahun kau menggembleng seorang anak menjadi muridmu hingga dia menjadi gadis begini besar! Mengapa kau tidak pernah memberi tahu padaku?!”

“Wahai! Apa urusanmu nenek penjunjung ketiding asap!” sahut Hantu Lembah Laekatakhijau.

“Apa urusanku?! Enak saja kau bicara! Menurut gadis ini kau menemuinya di satu rimba belantara. Berada di dalam satu kantong yang terikat di dada seorang perempuan yang mati gantung diri di atas pohon!”

“Wahai! Apa sangkut pautnya peristiwa itu dengan dirimu? Apa kau mau tanya bagaimana caranya mati gantung diri? Hik hik hik!”

“Tua bangka sialan!” maki Hantu Penjunjung Roh. “Coba asah dulu otakmu! Coba kau ingat-ingat! Waktu kau menemukan mayat tergantung itu, apa kau masih ingat bagaimana wajahnya?”

“Memangnya kenapa?!”

“Sialan kau! Jawab saja pertanyaanku!” bentak Hantu Penjunjung Roh.

“Perempuan yang mati tergantung itu adalah ibu muridku ini…”

“Itu aku sudah tahu. Dia sudah cerita padaku! Jawab saja pertanyaanku tadi! Terangkan ciri-ciri perempuan itu!”

“Orangnya masih muda…”

“Sialan kau Luhmasigi! Aku tidak tanya muda atau tua! Aku ingin tahu ciri-ciri wajahnya. Bentuk rupanya…”

“Wajahnya cantik… Seperti muridku ini. Kulitnya putih. Kalau aku tidak salah ada tahi lalat di dagunya sebelah kiri...”

Hantu Penjunjung Roh tiba-tiba menjerit.

“Sialan! Kau jangan mengejutkan aku! Berteriak seperti orang kemasukan setan!” Membentak Hantu Lembah Laekatakhijau.

“Ada tahi lalat di dagu kirinya katamu!”

“Kau tidak tuli! Itu yang aku katakan tadi. Ada tahi lalat di dagu kirinya!” kata Hantu Lembah Laekatakhijau.

Hantu Penjunjung Roh kembali menjerit. Dia melompat ke hadapanLuhcinta dan memeluk gadis itu seraya menggerung. “Jangan-jangan kau ini… Wahai! Aku tidak bersangsi! Pasti! Pasti kau adalah anaknya! Kau adalah anak Luhpiranti, perempuan muda yang mati bunuh diri itu! Wajahmu sama dengan wajahnya. Tidak beda sedikitpun! Wahai anak! Kau… kau adalah cucuku!”

Luhcinta merasa seperti mendengar suara halilintar yang mengejutkan. “Nek, kau pasti akan apa yang kau ucapkan barusan? Yakin?”

“Aku pasti! Aku yakin sejuta yakin! Kau adalah puteri anakku Luhpiranti!”

Hantu Lembah Laekatakhijau melangkah keluar dari dalam sungai. “Luhcinta… Apakah kau masih menyimpan benda yang kutemukan dalam kantong gendongan itu?”

“Saya masih menyimpannya Nek,” jawab Luhcinta.

“Keluarkan dan perlihatkan padanya…”

Dengan tangan gemetar Luhcinta keluarkan batu merah yang diukir berbentuk bunga mawar lalu diperlihatkannya pada Hantu Penjunjung Roh. Untuk kesekian kalinya si nenek terpekik lalu jatuh berlutut. Sekujur tubuhnya bergeletar. Asap berbentuk kerucut terbalik yang ada di atas kepalanya mengepul , tinggi lalu turun lagi. Matanya yang merah dan juga berbentuk kerucut membesar aneh.

Luhmasigi alias Hantu Lembah Laekatakhijau mendongak ke langit. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca. Dengan suara tersendat dia menjelaskan.

“Hiasan kepala berbentuk mawar merah terbuat dari batu itu kutemukan dalam kantong gendonganmu, wahai Luhcinta. Tergantung di dada perempuan yang menggantung diri itu…”

Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh menggerung keras. “Ukiran bunga mawar batu merah itu dulunya adalah milikku. Ketika anakku Luhpiranti menginjak dewasa, hiasan rambut itu kuberikan padanya. Benda hiasan seperti itu cuma ada satu di Negeri Latanahsilam. Wahai Luhcinta. Kau… kau adalah cucuku sendiri. Luhpiranti adalah anak sekaligus muridku. Luhpiranti itu ibumu…”

Luhcinta menangis keras. Lalu peluk tubuh si nenek kuat-kuat. Ditepi sungai kecil Hantu Lembah Laekatakhijau jatuh berlutut. Memperhatikan dua orang yang berpelukan dan bertangisan di depannya dengan seribu rasa.

Luhcinta usap air mata yang membasahi pipinya kiri kanan. “Wahai Nenek Luhniknik, aku… Walau akan hancur rasanya hati ini, apakah kau mengetahui riwayat duka mengapa sampai ibuku meninggal mengenaskan begitu rupa? Apa dia benar-benar bunuh diri atau ada orang jahat yang membunuhnya?”

“Hantu Penjunjung Roh,” Hantu Lembah Laekatakhijau keluarkan ucapan. “Aku juga buta dengan latar belakang kematian perempuan yang katamu bernama Luhpiranti itu. Wahai Luhniknik, jika kau memang mengetahui riwayat hitam atau putihnya harap kau suka menuturkan pada kami berdua…”

Hantu Penjunjung Roh usap mukanya berulang kali. “Cucuku Luhcinta, aku memang tahu rahasia riwayat kematian ibumu. Tetapi apakah kau bisa tabah mendengarnya jika aku memberi tahu?”

“Saya akan tabah Nek. Ceritakan padaku semuanya…” jawab Luhcinta.

“Karena jika kau tidak tabah, tidak sanggup menerima kenyataan aku khawatir kau akan hancur dalam duka berkepanjangan atau dendam kesumat hebat mengerikan!”

“Nek, apapun nanti yang akan terjadi harap jangan jadikan alasan untuk tidak menceritakan apa yang kau ketahui. Betapapun juga itu adalah rahasia diriku. Apakah kau tega melihat diriku yang seolah sebatang kara ini tenggelam terus dalam kegelapan seumur-umur?”

Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh memandang pada Nenek Lembah Laekatakhijau. Guru yang memelihara dan menggembleng Luhcinta sejak kecil ini anggukkan kepala.

“Ceritakan semuanya pada Luhcinta. Jangan ada yang disembunyikan. Bertahun-tahun aku menggembleng dan menempanya sehingga menjadi seorang gadis kokoh jasmani maupun rohani. Muridku akan sanggup menerima kenyataan betapapun pahitnya…”

Si nenek berjuluk Hantu Penjunjung Roh menghela nafas dalam lalu anggukkan kepala. “Baiklah, akan kuceritakan semuanya…”

********************

SEPULUH

Dua mata si nenek bernama Luhniknik yang berbentuk kerucut aneh itu melesak masuk ke dalam. Kelopak mata menutup. Beberapa saat lamanya dia kelihatan duduk tak bergerak dengan mata terpejam. Sepertinya tengah berusaha. memusatkan pikiran, mungkin juga berusaha menguatkan hati. Tak lama kemudian bersamaan dengan terbukanya dua mata itu meluncurlah kata demi kata dari mulut si nenek.

“Waktu itu hujan turun cukup lebat. Namun anehnya di langit kelihatan matahari bersinar terang. Selagi aku berusaha menepekuri keanehan itu tiba-tiba muncul Luhpiranti, ibumu. Dia tampak gagah. Datang dengan menunggang seekor capung raksasa. Ini adalah aneh. Aku bertanya-tanya dari mana dia mendapatkan tunggangan aneh itu. Ibumu memang telah berbuat kesalahan.

Meninggalkan tempat kediaman lebih lama dari yang sudah kutentukan. Mungkin aku masih bisa memberi maaf. Namun ketika dia turun dari tunggangannya dan aku melihat keadaan sosok tubuhnya, rasanya tubuhku dipanggang. Darahku tersirap, nyawa seolah melayang ke langit ke tujuh. Bagaimana tidak! Kulihat ibumu dalam keadaan hamil! Aku marah besar dan langsung mendampratnya…”

********************

“Hebat!” Sungguh luar biasa! Wahai Luhpiranti! Aku memberi kesempatan enam purnama padamu wahai anakku, untuk mencari pengalaman di dunia luar. Ternyata delapan belas purnama kau menghilang tinggalkan tempat kediaman kita tanpa kabar tanpa berita! Mengembara boleh saja tapi jangan mengembara seperti orang gila. Tak ingat pulang tak ingat rumah! Dan kini sekalinya kau pulang kulihat perutmu besar! Kau hamil wahai Luhpiranti! Kau mengandung!”

Sepasang mata berbentuk kerucut merah nenek berjuluk Hantu Penjunjung Roh itu mencuat keluar dari kepalanya yang ada asap berbentuk kerucut terbalik mengepul asap merah. Dengan suara bergetar Hantu Penjunjung Roh lanjutkan ucapannya.

“Luhpiranti, dirimu yang hamil apakah karena memang kau telah bersuami atau akibat terperosok ke dalam jurang nafsu hinamu sendiri atau ada lelaki yang menodai dirimu? Lekas berucap! Katakan padaku!”

Luhpiranti jatuhkan diri. Karena perutnya yang besar dia tak bisa bersila, dia hanya berlutut saja di hadapan sang guru. Wajahnya yang cantik kelihatan merah dan sepasang matanya mulai berkaca-kaca.

“Wahai Bunda, saya sadar telah membuat banyak kesalahan besar. Saya tak tahu apakah harus memohon maaf lebih dulu atau meminta padamu untuk segera menjatuhkan hukuman! Apapun yang akan kau lakukan terhadap saya akan saya terima dengan sepuluh jari tersusun di atas kepala…” Lalu gadis hamil bernama Luhpiranti itu rapatkan dua telapak tangan di atas kepala.

Saat itu ingin sekali Hantu Penjunjung Roh menjenggut rambut muridnya. Namun melihat keadaan Luhpiranti yang hamil besar dia masih bisa menahan luapan amarah dan hanya membentak saja. “Lekas katakan apa yang terjadi Luhpiranti! Jangan kau membuat kesabaranku hilang!”

“Bunda, sewaktu masa enam purnama yang kau berikan berakhir, saya memang dalam perjalanan pulang. Namun di tengah jalan muncul satu halangan besar. Seorang yang rupanya telah lama menguntit saya unjukkan diri secara terang-terangan. Ternyata dia adalah seorang pemuda berwajah cakap bertubuh kekar. Dia mengaku bernama Lajundai.”

“Lajundai… Aku seperti pernah mendengar nama itu. Teruskan dulu ceritamu Luhpiranti…” kata Hantu Penjunjung Roh. Sang murid lanjutkan penuturannya.

“Lajundai mengaku memang telah sejak lama mengikuti saya dan meminta maaf atas perbuatannya itu. Walau saat itu dia menunjukkan sikap baik namun saya punya firasat pemuda itu membekal niat yang tidak baik. Saya katakan saya memaafkan perbuatannya dan minta agar dia tidak mengikutiku lagi. Ketika saya hendak meneruskan perjalanan dia berusaha menghalangi. Malah mengajak pergi ke satu tempat yang katanya penuh dengan pemandangan indah. Waktu saya menolak pemuda itu marah. Belangnya tersingkap. Dia berusaha melakukan hal-hal yang tidak senonoh terhadap saya. Peringatan saya tidak di perdulikannya. Antara kami akhirnya terjadi perkelahian hebat.Ternyata pemuda itu memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Melebihi apa yang saya miliki. Saya bertahan hampir seratus jurus. Setelah itu saya tidak mampu lagi menghadapinya. Dalam keadaan tak berdaya Lajundai membawa saya ke satu tempat lalu…”

“Dia memperkosamu!” kata Hantu Penjunjung Roh dengan suara bergetar, muka mengelam dan sepasang mata kerucut melesat keluar sementara di atas kepalanya yang ada kerucut aneh kepulkan asap merah.

Luhpiranti menggeleng.

“Anak yang kau kandung itu adalah anak si jahanam bernama Lajundai itu!” kata Hantu Penjunjung Roh lagi.

Kembali Luhpiranti menggeleng. “Maksud keji Lajundai mungkin akan terlaksana, malapetaka dan aib besar akan menimpa diri saya kalau saja saat itu tidak muncul secara tiba-tiba seorang pemuda gagah menolong saya. Pemuda itu menyerang Lajundai. Antara mereka terjadi perkelahian hebat selama belasan jurus. Rupanya Lajundai kalah ilmu. Dalam keadaan babak belur akhirnya dia melarikandiri. Saya mengucapkan terima kasih pada pemuda yang menolong. Mengingat dia telah menanam budi dan sikapnya sangat baik serta tulus, saya tidak menolak sewaktu dia mengatakan ingin mengantarkan saya kembali ke tempat kediaman guru. Kami sengaja mengambil jalan pintas agar bisa lekas sampai. Namun di tengah jalan kami dilanda hujan lebat yang turun terus menerus selama beberapa hari disertai banjir besar. Kami terpaksa mencari perlindungan di dalam sebuah goa di puncak bukit. Di tempat itu kami…”

Luhpiranti tersendat sesaat. Kepalanya tertunduk dan sepasang matanya menatap sayu ke tanah. “Di dalam goa kami melakukan sesuatu yang hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang telah menjadi suami istri. Kami…” Luhpiranti teteskan air mata tapi cepat diusapnya. “Begitu sadar kalau kami telah melakukan satu kesalahan dan dosa besar kami berdua menjadi sangat takut. Walau pemuda itu mengatakan akan bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya dan bersumpah tidak akan meninggalkan saya, namun saya begitu takut hingga tidak berani meneruskan perjalanan pulang. Lebih-lebih ketika saya menyadari bahwa akibat hubungan di dalam goa itu ternyata saya telah mengandung. Kami memutuskan menemui seorang nenek yang biasanya menjadi ketua adat pernikahan. Kami meminta bantuan nenek itu untuk menikahkan kami dengan beberapa orang saksi. Kami kemudian dinikahkan. Sementara itu pemuda yang telah menjadi suami saya berulang kali membujuk agar saya mau menemui guru…”

“Mengapa dia tidak membawamu menemui orang tuanya saja?!” memotong Hantu Penjunjung Roh.

“Menurutnya dia tak punya ayah lagi, ibunya pun dia tidak tahu berada dimana. Entah masih hidup atau sudah mati,” jawab Luhpiranti. “Setelah berulang kali mendesak dan membujuk akhirnya saya mau juga mengikuti permintaan suami saya. Datang menemui Bunda di sini…”

Hantu Penjunjung Roh menatap anak yang sekaligus muridnya itu beberapa saat lalu melangkah mondar-mandir. Dari mulutnya tiada henti keluar suara tak jelas karena hanya gumamnya saja yang kedengaran. Tiba-tiba dia membalik, memandang kepada anaknya. “Luhpiranti, kau belum mengatakan siapa nama pemuda suamimu itu!”

“Dia bernama Latampi wahai Bunda…”

“Siapa?!” Suara Hantu Penjunjung Roh keras luar biasa membuat Luhpiranti tersentak kaget.

Ketika Luhpiranti angkat kepalanya memandang sang ibu, dia melihat bagaimana wajah ibunya berubah pucat. “Suami saya bernama Latampi, wahai Bunda.”

Kini Luhpiranti melihat jelas bagaimana tubuh ibunya bergeletar keras dan wajahnya bertambah pucat. “Luhpiranti, kau datang dengan menunggang seekor capung sakti. Pasti binatang ini milik suamimu.” Luhpiranti membenarkan.

“Dia menyuruhmu datang bersama seekor capung! Dia sendiri tidak kemari! Tidak berani unjukkan muka! Suami macam apa dia wahai Luhpiranti? Pengecut! Tidak punya rasa tanggung jawab!”

“Bunda, sebenarnya kami datang berdua. Tapi tak jauh dari sini saya minta dia turun dari capung dan menunggu. Saya khawatir begitu langsung bertemu, Bunda akan khilaf melakukan sesuatu padanya…”

Hantu Penjunjung Roh pelototkan mata anehnya. “Aku mau marah atau tidak, aku mau menggebuknya atau tidak itu hakku!” kata Hantu Penjunjung Roh pula. “Sekarang lekas kau panggil suamimu itu! Aku mau lihat bagaimana tampangnya!”

“Bunda, kalau kau mau berjanji…”

“Setan alas! Aku tidak mau berjanji apa-apa! Kalau aku mau menghajar akan aku lakukan! Siapa yang berani menghalangi? Kau?!”

Walau bingung akhirnya Luhpiranti melangkah mendekati capung raksasa yang tadi ditungganginya. “Laecapung, pergilah temui suamiku Latampi. Bawa dia kemari…”

Capung raksasa putar kepalanya ke kiri dan ke kanan tanda mengerti. Lalu sekali binatang ini kepakkan sayap-sayapnya, tubuhnya yang raksasa membumbung ke angkasa. Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh sesaat tegak termangu. Hatinya berulang kali berkata,

“Nama bisa saja sama… nama bisa saja sama. Aku berharap… wahai!”

Tak lama menunggu Laecapung muncul kembali membawa penunggang seorang lelaki muda berwajah gagah. Begitu turun dari capung lelaki ini langsung jatuhkan diri, berlutut di depan Hantu Penjunjung Roh. Sepasang mata kerucut Hantu Penjunjung Roh yang sebenarnya bernama Luhniknik ini memandang tak berkesip, menatap wajah suami anaknya itu. Dalam hati dia berkata dengan ada penuh guncangan.

“Demi semua Dewa dan semua Peri. Wahai! Mengapa wajahnya sama benar dengan Lasegara, suami keparat itu…”

“Orang muda benar kau bernama Latampi?! Benar kau telah menikahi anakku Luhpiranti walau bunting duluan?!”

Wajah lelaki muda di hadapan Hantu Penjunjung Roh kelihatan menjadi merah. Tanpa angkat kepalanya orang ini anggukkan kepala. “Benar wahai Ibunda… Saya bernama Latampi dan Luhpiranti adalah istri saya. Saya datang untuk meminta maaf…”

“Jangan bicara segala maaf dulu! Aku ingin menyelidik perihal dirimu! Siapa nama ibumu? Dimana dia sekarang?!”

“Maafkan saya Ibunda. Saya tidak tahu siapa nama ibu saya dan dimana dia berada sekarang. Ayah tidak pernah mengatakan apa-apa.”

“Lalu siapa nama ayahmu?” tanya Luhniknik yang saat itu mendadak saja merasa dadanya sesak.

“Ayah bernama Lasegara,” jawab Latampi.

Dua kaki Hantu Penjunjung Roh tersurut dua langkah. Dari tenggorokannya keluar suara parau. Mata kerucutnya melesat keluar lalu masuk kembali. Tubuhnya huyung.

“Bunda, wajahmu pucat sekali. Apakah kau sakit wahai Bunda?” tanya Luhpiranti sambil bangkit berdiri dan memegang lengan Luhniknik.

“Aku tidak apa-apa…” ucap Luhniknik. Suaranya jelas terdengar bergetar. “Latampi, berdirilah. Putar tubuhmu! Hadapkan punggungmu ke punggungku!” Tiba-tiba Luhniknik berkata.

Walau tidak mengerti apa maksud mertuanya itu namun Latampi lakukan apa yang dikatakan. Luhniknik ulurkan tangannya.

“Breeettt!” Pakaian kulit kayu Latampi robek besar di sebelah belakang. Punggungnya tersingkap lebar. Di punggung itu ada tanda hijau sebesar telapak tangan. Melihat tanda ini Luhniknik seperti melihat setan kepala sepuluh. Dia menjerit keras sambil mundur menjauh.

“Bunda… Ada apa?!” seru Luhpiranti cepat memburu.

“Latampi… Kau… kau adalah… Wahai para Dewa! Wahai para Peri! Mengapa hal ini bisa terjadi!”

“Bunda…”

“Latampi, kau adalah anakku. Kau adalah darah dagingku! Luhpiranti yang kau jadikan istrimu ini adalah adik kandungmu…”

Habis berkata begitu Hantu Penjunjung Roh keluarkan satu teriakan dahsyat lalu roboh tak sadarkan diri. Luhpiranti dan Latampi laksana mendengar suara halilintar. Keduanya berteriak pula lalu menubruk tubuh Luhniknik.

********************

Mendengar kisah yang dituturkan si nenek, Luhcinta sang cucu langsung meratap keras dan jatuhkan diri, bersimpuh di kaki neneknya itu. Hantu Penjunjung Roh pejamkan mata sambil usap-usap kepala cucunya sementara si Nenek Hantu Lembah Laekatakhijau tegak termangu-mangu dengan mata berkaca-kaca. Ribuan katak yang ada di lembah seolah mengerti. Kalau tadi mereka mengorek keluarkan suara hiruk-pikuk, kini semuanya diam tak bergerak tak bersuara hingga hanya ratap tangis Luhcinta yang terdengar di lembah itu.

“Wahai Nenek Hantu Penjunjung Roh…” Luhcinta berucap diantara tangisnya. “Kalau benar saya ini anak Latampi dan Luhpiranti, lalu anak apa saya ini sebenarnya? Saya lebih hina dari anak haram…”

Hantu Penjunjung Roh yang berada dalam keadaan terguncang hebat tak bisa menjawab. Hantu Lembah Laekatakhijau akhirnya yang bersuara.

“Wahai muridku Luhcinta. Di dunia ini sebenarnya tidak ada yang dinamakan anak haram. Semua itu terjadi atas kehendak takdir. Jangan kau menganggap dirimu hina. Perjalanan hidup seseorang sudah ada garisnya. Dirimu sama sucinya dengan air embun yang turun dari langit…”

“Wahai dua nenek yang kukasihi. Bagaimana saya mampu hidup menanggung beban berat begini rupa. Berat gunung mungkin bisa saya pikul. Tapi berat beban batin mungkin akan menghancurkan diri saya…”

“Luhcinta! Jangan kau berkata begitu! Kau adalah muridku Hantu Lembah Laekatakhijau. Berbilang tahun aku menggembleng menjadi manusia yang kokoh jasmani dan rohani. Apakah kau akan membiarkan dirimu hancur menghadapi baru satu cobaan ini? Jangan kau membuat aku malu wahai muridku!”

Mendengar kata-kata gurunya itu Luhcinta jadi tersendat tangisnya. Dadanya menggemuruh. Jiwanya nuraninya berguncang hebat. Tak tahu apalagi yang hendak dikeluarkannya dalam ratapannya. Dia mendengar gurunya berkata pada neneknya Hantu Penjunjung Roh.

“Luhniknik, ceritamu tadi cukup panjang. Namun belum sampai ke ujung yang memberi tahu bagaimana kejadian selanjutnya dengan ibu muridku yang bernama Luhpiranti itu. Bagaimana sampai peristiwa itu bisa terjadi? Bagaimana sampai Luhpiranti tidak tahu kalau dia punya seorang kakak bernama Latampi…”

“Kau benar Luhmasigi. Akan kuceritakan pada kalian berdua…” jawab Luhniknik pula. “Ketika Latampi dan Luhpiranti masih kecil, waktu itu mereka baru berusia sekitar dua dan satu tahun. Aku dan suamiku Lasegara berpisah. Luhpiranti tetap bersamaku sedang Latampi dibawa oleh Lasegara. Selama belasan tahun sampai ke dua anak kami menjadi dewasa, kami maupun anak-anak tak pernah bertemu satu sama lainnya…”

“Kau tak pernah mengatakan padaLuhpiranti bahwa dia sebenarnya punya seorang kakak kandung bernama Latampi…” ujar Nenek Hantu Lembah Katak.

"Itulah dosa dan kesalahanku. Jadi… Jika dalam peristiwa ini ada yang bersalah maka akulah orangnya. Dan si jahanam Lasegara itu…” kata Luhniknik.

“Lalu apa yang kemudian terjadi? Luhpiranti ibu muridku ini mati gantung diri? Kau tidak tahu… Tidak berusaha mencegahnya?”

“Ketika aku sadar dari pingsan, kudapati Luhpiranti dan Latampi tak ada lagi di tempat itu. Capung sakti juga lenyap. Berarti mereka sudah kabur entah kemana. Beberapa waktu kemudian aku menyirap kabar tentang adanya mayat perempuan muda yang mati tergantung di rimba belantara. Aku tidak begitu menaruh perhatian karena tidak akan menyangka setelah melahirkan anak Luhpiranti kemudian mati menggantung diri. Saat itu waktuku lebih banyak tersita dalam menuntut ilmu kesaktian. Aku berhasil mendapatkan ilmu aneh dan langka seperti yang kalian lihat. Di kepalaku ada kerucut asap merah. Aku berhasil mendapatkan ilmu tetapi aku menelantarkan anak-anakku sendiri…”

“Sudahlah, kau tak usah terlalu menyalahi dan menyesali diri sendiri Luhniknik. Itu sebabnya aku tak pernah mau kawin. Kalau laki-laki dan perempuan sudah tahu nikmatnya bergaul satu sama lain, segala macam urusan aneh bisa muncul dan membuat diri tak karuan…”

Dua nenek itu menunggu sampai Luhcinta reda tangisnya. Lalu Luhmasigi alias Nenek Hantu Lembah Laekatakhijau bertanya.

”Muridku, aku tahu kau pasti bisa tabah menghadapi kenyataan ini. Yang aku tidak tahu apa yang bakal kau lakukan sekarang?”

“Wahai, memang itu juga yang ingin aku ketahui cucuku Luhcinta,” kata Hantu Penjunjung Roh pula.

Walau sebenarnya di dalam hatinya sudah ada tekad yang muncul namun setelah agak lama berdiam diri baru Luhcinta berkata, “Dengan izin guru dan nenek saya akan mencari jejak dimana beradanya makam ibunda Luhpiranti. Lalu saya akan mencari Latampi. Dia adalah paman, sekaligus ayah saya. Saya juga akan mencari makhluk bernama Lajundai itu. Dia pangkal sebab terjadinya peristiwa besar ini…”

“Hemmm… Kalau aku jadi engkau, aku pasti akan melakukan apa yang barusan kau katakan itu,” kata Hantu Lembah Laekatakhijau.

“Cucuku Luhcinta, kau memang harus mencari makam ibumu sampai dapat. Kau juga harus mencari ayahmu Latampi. Dalam mencari Lajundai berhati-hatilah. Puluhan tahun silam aku pernah menyirap kabar bahwa manusia itu tengah berusaha mendapatkan satu ilmu yang sangat hebat. Kalau saat ini dia masih hidup pasti dia telah menguasai ilmu itu.”

“Terima kasih atas nasihat Nenek dan Guru. Kapankah saya boleh meninggalkan tempat ini?”

“Kau boleh pergi kapan saja kau suka!” jawab Hantu Penjunjung Roh.

“Kalau begitu izinkan saya pergi sekarang juga wahai Nenek dan Guru…”

“Doaku bersamamu wahai cucuku…”ujar Hantu Penjunjung Roh.

“Doaku juga bersamamu Luhcinta!” kata Nenek Hantu Lembah Laekatakhijau.

Luhcinta berlutut dan cium tangan nenek serta gurunya. Tak lama setelah Luhcinta pergi, Hantu Penjunjung Roh berpaling pada Hantu Lembah Laekatakhijau.

“Luhmasigi, apa kau cukup memberi bekal ilmu pada cucuku? Kau tahu dunia ini penuh seribu satu macam marabahaya dan tipu daya…”

“Kau tak usah khawatir Luhniknik. Luhcinta adalah murid tunggalku. Semua ilmu yang aku miliki sudah kuwariskan padanya…”

“Jangan-jangan kau hanya mengajarkan ilmu tidur dengan katak!” ujar Hantu Penjunjung Rohsambil menyeringai.

“Wahai Luhniknik. Ada satu hal ingin aku katakan padamu. Tidur dengan katak lebih nikmat dari pada tidur dengan laki-laki. Hik hik hik!”

“Jadi itu rupanya sebab kau tidak pernah kawin dengan laki-laki! Hik hik hikkkk!”

Dua nenek itu sama-sama tertawaterkekeh-kekeh.

********************

SEBELAS

Selama perjalanan di dalam hutan sampai keluar lagi dari hutan, orang-orang itu tak banyak bicara. Mereka seolah tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Lakasipo malah lebih suka menuntun Laekakienam dari pada menunggang kuda berkaki enam itu.

“Aneh, aku tak bisa melupakan gadis itu…” bisik Naga Kuning perlahan sekali agar tidak ada yang mendengar.

Si kakek Setan Ngompol yang dibisiki pura-pura tolol. “Gadis yang mana? Luhkimkim maksudmu...?”

“Bukan! Gadis berbaju biru tadi. Itu… Yang bernama Luhcinta…”

“Hemmm… Dia memang cantik sekali. Terus terang aku juga selalu ingat-ingat dirinya,” kata Setan Ngompol sambil menyeringai.

Apa yang dibicarakan ke dua orang itu walau berbisik-bisik sebenarnya didengar oleh Wiro. tapi dia berpura-pura tidak tahu. Malah dia berkata pada Lakasipo.

“Sobatku Hantu Kaki Batu! Sejak tadi kau kulihat berjalan setengah melamun. Apa yang ada dalam benakmu?! Siapa yang kau pikirkan?!”

“Aku tidak melamun. Aku tidak memikirkan siapa-siapa!” jawab Lakasipo tetapi mukanya menjadi merah. Karena sebenarnya saat itu dia memang tengah melamun mengingat-ingat Luhcinta!

Wiro usap-usap perut Lakasipo hingga lelaki ini menggeliat kegelian. “Sobatku, jangan kau menipu diri sendiri. Aku tahu semua, kita yang ada di sini termasuk sobat kita Hantu Jatilandak pasti tengah mengingat membayang-bayang wajah cantik jelita gadis bernama Luhcinta itu… Kalian jangan ada yang berpura-pura. Benar kaan?”

Semua yang ada di situ sama-sama tertawa lebar.

“Dengar, apa kalian masih mau ketemu dengan gadis itu?”

“Tentu saja mau! Tapi kita tidak tahu dia pergi kemana!” Yang menjawab Naga Kuning.

“Kalau dia suka bertemu kita, kalau tidak bagaimana?” tanya Setan Ngompol.

“Kalau tidak suka paling-paling tidak suka padamu!” kata Naga Kuning pula. Membuat si kakek merengut marah.

“Aku bisa menduga kira-kira kemana gadis itu perginya!” kata Wiro pula seraya rangkapkan dua tangan di depan dada.

“Kemana?!” Beberapa mulut bertanya hampir berbarengan.

Wiro tersenyum. “Lakasipo, kau tahu rumah perempuan tukang mengawinkan orang di Negeri Latanahsilam itu? Siapa namanya nenek satu itu?”

“Aku tahu tempat kediamannya. Namanya Lamahila...” menerangkan Lakasipo.

“Gadis itu pasti menuju ke sana!” kata Wiro pula.

“Bagaimana kau bisa menduga begitu?” Hantu Jatilandak untuk pertama kalinya bersuara.

“Waktu dia bertanya padamu tentang apakah ada orang yang bisa memberi petunjuk kesaksian bahwa Luhpiranti benar-benar istri Latampi, bukankah kau mengatakan bahwa orang itu adalah Lamahila. Nenek tukang mengawinkan orang di Latanahsilam! Nah, jelas Luhcinta ingin membuktikan dan mengetahui dari si nenek langsung. Jelas dia akan mencari Lamahila…”

“Jelas pula kita akan menemuinya di sana!” sambung Naga Kuning.

“Kau mungkin benar sobatku Pendekar 212.”

“Bukan mungkin tapi pasti!” kata murid Sinto Gendeng pula seraya garuk kepala. “Agar lebih cepat sampai ke sana, sebaiknya kita tunggangi saja kuda kaki enammu. Eh, apa kita semua bisa naik?”

“Pasti bisa!” jawab Setan Ngompol. “Tapi sobat kita Hantu Jatilandak apa mungkin duduk di atas punggung Laekakienam dan kuda itu tidak bakalan luka tertusuk duri-durinya?!”

“Pasti bisa!” kata Hantu Jatilandak pula. Lalu dia usap bagian belakang tubuhnya sampai ke kaki. Serta merta puluhan duri-duri lancip yang menempel di tubuhnya rebah sama datar dengan kulitnya.

“Hebat juga kawan kita satu ini,” kata Naga Kuning memuji. Lalu dia berbisik pada Wiro. “Menurutmu apa duri yang ada di badan Hantu Jatilandak itu tumbuh sampai ke dalam-dalam…?”

“Dalam-dalam mana maksudmu Naga Kuning?”

“Maksudku duri itu juga tumbuh di bagian anunya…”

“Kalau itu kau tanya saja langsung kepadanya. Atau minta Lakasipo agar kau diceploskan ke balik celananya!” jawab Wiro sambil menyeringai.

“Walah! Bisa jadi saringan tubuhku!” kata Naga Kuning pula.

********************

Dugaan Wiro Sableng tidak meleset. Ternyata Luhcinta memang pergi ke Latanahsilam mencari rumah kediaman nenek bernama Lamahila itu. Walau gadis ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang sanggup membuat dia berlari sangat cepat namun Latanahsilam cukup jauh. Paling cepat menjelang malam baru dia akan sampai.

Sepanjang perjalanan dia mengingat-ingat semua pengalaman dan kejadian yang dialaminya sejak dia meninggalkan lembah tempat kediaman gurunya sampai dia ditolong oleh Hantu Penjunjung Roh yang ternyata adalah neneknya sendiri. Kemudian gadis ini teringat pada Lakasipo dan tiga kawannya.

“Tiga manusia kerdil itu. Entah mengapa aku selalu saja ingat pada yang satu. Pemuda kerdil konyol bernama Wiro itu. Kalau selesai urusanku di Latanahsilam dan aku tahu pasti bahwa aku ini anak yang dilahirkan Luhpiranti dan ayahku memang lelaki bernama Latampi, aku akan berusaha menemui Hantu Raja Obat. Mudah-mudahan saja dia bisa menolong membesarkan tiga orang kerdil itu.”

Tepat ketika sang surya menggelincir ke ufuk tenggelamnya Luhcinta dengan diantar oleh seorang anak kecil sampai di depan pintu rumah kediaman Lamahila. Setelah mengucapkan terima kasih gadis ini memperhatikan keadaan rumah kayu di tengah kawasan peladangan itu. Pohon-pohon besar tumbuh di beberapa tempat. Bayang-bayangnya membuat keadaan di depan rumah menjadi gelap. Luhcinta mengetuk pintu seraya berseru,

“Nenek Lamahila, apakah kau ada di dalam?!”

Tak ada jawaban. Luhcinta mengetuk kencang dan memanggil lebih keras.

”Siapa di luar?” Tiba-tiba terdengar suara orang di dalam rumah.

“Saya Luhcinta. Datang dari jauh untuk satu keperluan!”

“Apa kau hendak minta dikawinkan?!” Orang di dalam rumah bertanya.

Luhcinta tersenyum. “Aku datang untuk urusan lain. Ada satu hal yang ingin kutanyakan!”

“Kalau begitu masuklah wahai tamu dari jauh. Pintu tidak dikunci!”

Luhcinta mendorong daun pintu yang serta merta mengeluarkan suara berkereketan begitu terbuka. Masuk ke dalam rumah gadis ini dapatkan keadaan agak gelap. tak ada lampu minyak atau obor. Dia tegak sesaat untuk membiasakan penglihatannya. Bagian dalam dari rumah yang cukup besar itu hanya merupakan satu ruangan terbuka. Di sudut kanan dekat sebuah tempayan besar ada satu bangku terbuat dari kayu. Di atas bangku inilah Luhcinta melihat sesosok tubuh duduk terbungkuk-bungkuk membelakanginya.

“Nenek Lamahila…” tegur Luhcinta.

Yang disapa keluarkan suara bergumam lalu batuk-batuk. Luhcinta melangkah mendekati sosok yang duduk. ternyata orang ini mengenakan sehelai kerudung kulit kayu hingga hampir seluruh wajahnya tertutup. Apalagi di dalam rumah keadaannya gelap hingga dia tidak dapat melihat jelas wajah si nenek.

“Nenek Lamahila, maafkan kalau saya mengganggu dirimu. Agaknya kau dalam keadaan kurang sehat. Dengar, saya tidak akan lama. Saya…”

Luhcinta hentikan ucapannya ketika tiba-tiba si nenek keluarkan suara tawa mengekeh lalu singkapkan kerudung yang menutupi wajahnya!

Terkejutlah gadis ini begitu melihat kepala dan wajah yang tersingkap itu. Dia tidak melihat wajah seorang nenek tapi satu kepala berbentuk kepala macan tutul!

“Hantu Seratus Tutul!” seru Luhcinta dan cepat melompat mundur.

Suara kekehan sosok di atas bangku kayu berganti dengan suara seperti macan menggereng. Makhluk ini memang bukan lain adalah Hantu Seratus Tutul yang sebelumnya telah melarikan diri dari rimba belantara setelah dikeroyok oleh Lakasipo, Hantu Jatilandak dan Luhcinta.

Karena dia mendengar percakapan Lakasipo dengan Luhcinta, seperti Wiro Hantu Seratus Tutul ini bisa menduga bahwa cepat atau lambat Luhcinta akan mencari nenek bernama Lamahila itu. Maka Hantu Seratus Tutul mendahului mendatangi tempat kediaman si nenek. Pada saat mana nenek Lamahila tidak berada di rumah.

“Waktu di hutan kalian mengeroyokku. Sekarang kita berhadapan satu lawan satu wahai gadis bernama Luhcinta. Kalau kau turuti apa mauku kau tidak akan ku apa-apakan! Tapi jika kau melawan nasibmu lebih jelek. Kau akan kubunuh sampai aku merasa puas! Wahai Luhcinta, mengapa kita tidak berbaik-baik dan berbuat cinta? Kau datang kemari, bukankah sengaja mencariku?”

Luhcinta tersenyum. “Wahai Hantu Seratus Tutul! Kekejian rupanya masih ada dalam benakmu. Nafsu kotor masih mengalir dalam darahmu! Aku kemari bukan mencarimu. Tetapi mencari nenek Lamahila…”

“Orang yang kau cari tidak ada di rumah. Dia tidak akan kembali sampai besok pagi. Kau boleh menunggu. Lalu sambil menunggu bukankah kita lebih baik bersenang-senang? Di sudut sana ada sebuah ranjang. Walau terbuat dari kayu tapi alasnya jerami kering yang lembut…”

“Kalau pemilik rumah tidak ada, aku terpaksa pergi dulu. Kau boleh tinggal di sini. Seorang diri…!” Luhcinta kemudian balikkan tubuh, melangkah ke pintu.

Tapi cepat sekali kakek yang tubuhnya berbentuk macan Tutul itu menghadang langkahnya. “Jangan membuat kesabaranku hilang wahai gadis cantik. Lekas tanggalkan pakaianmu…!”

“Wahai! Kau rupanya sudah terlalu jauh dirasuk nafsu keji dan kotor. Aku minta jalan…”

“Aku minta tubuhmu!” jawab Hantu Seratus Tutul. Lalu dia menyergap.

Luhcinta segera dorongkan dua telapak tangannya. Gerakannya perlahan dan lembut. “Macan jejadian, hari sudah malam. Tidurlah…”

Dua larik angin sangat sejuk berhembus menerpa Hantu Seratus Tutul. Orang ini terkejut besar ketika merasakan tiba-tiba tubuhnya terdorong dan matanya menjadi berat. Rasa kantuk yang amat sangat menyerangnya. Perlahan-lahan tubuhnya huyung ke tanah.

“Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku!” Hantu Seratus Tutul cepat sadarkan diri. Dia segera kerahkan tenaga dalam menolak kekuatan yang laksana mau menyirap tidur dirinya. Dari mulutnya melesat auman dahsyat yang membuat rumah kayu itu berderik-derik.

Bersamaan dengan itu sosok tubuhnya berubah menjadi lima. Lima manusia berbentuk macan Tutul ini kemudian secara berbarengan menyerbu Luhcinta. Dua tangan keluarkan kuku-kuku hitam panjang. Membeset ganas kearah wajah dan badan Luhcinta.

“Wahai Hantu Seratus Tutul, jika kau inginkan aku mengapa kau dan empat macan hendak melukai diriku!” Berseru Luhcinta. Tangan kirinya didorongkan ke depan. Tangan kanan membuat gerakan mengayun dari bawah ke atas sementara dua kaki miring dengan tumit menjejak tanah. Empat rangkul angin sejuk menyambar ke depan.

“Jika kesejukan tidak mendatangkan kesabaran maka berubahlah menjadi hawa panas!”

“Wusss… wusss!”

Dua larik angin yang datang dari bawah serta merta menjadi panas luar biasa. Dua ekor macan tutul yang mendapat serangan menggereng keras lalu melompat. Yang satu sempat cidera karena sambaran angin panas. Daun telinganya sebelah kiri dan bulu-bulu kepala sekitar tengkuk kelihatan hangus mengepulkan asap! Makhluk ini meraung keras. Tanpa perdulikan rasa sakit dia kembali menyerbu Luhcinta bersama empat kawannya.

Murid nenek dari Lembah Laekatakhijau ini menghadapi semua serangan dengan tenang. Dua tangan dan dua kakinya bergerak tiada henti. Dia seperti seorang penari di atas panggung. Meliak-liuk lembut dan sesekali tiba-tiba menempelak lawan dengan pukulan yang sangat keras. Seekor lagi dari lima macan tutul itu cidera, hidungnya hancur.

Meski dua teman mereka sudah terluka namun tiga lainnya masih terus menyerbu. Malah bertambah beringas dan ganas. Luhcinta yang berkepandaian tinggi namun boleh dikatakan tidak punya pengalaman sama sekali lambat laun menjadi terdesak juga.

Ketika gadis ini bersiap-siap hendak mengeluarkan ilmu kesaktian yang disebut Tangan Dewa Merajam Bumi yang sanggup membuat para penyerang terbanting ke tanah dan lumpuh, tiba-tiba Hantu Seratus Tutul keluarkan suitan keras. Bersamaan dengan itu dia melesat ke depan seolah terbang. Empat sosok macan lainnya berguling lantai rumah.

“Seettttt!” “Dess… desss… dess… dess!”

Luhcinta terpekik. Tubuhnya terjatuh ke tanah. Sebelum dia sempat menghantam tubuhnya telah jatuh tertelentang di lantai rumah. Dua tangan dan kakinya berada di dalam cekalan empat macan jejadian hingga sulit baginya untuk melepaskan diri. Kuku-kuku macan itu mencekam demikian rupa. Kalau dia bergerak sedikit saja maka akan lukalah keempat anggota badannya.

Hantu Seratus Tutul tertawa bergelak. “Luhcinta gadis cantik tapi keras kepala! Apakah kau sudah siap untuk bercinta? Ha ha ha…?”

Kakek bermuka dan bertubuh macan ini berjongkok di samping si gadis. Sepasang matanya berkilat-kilat. Lidahnya diulur berulang kali menjilati bibirnya. Tangannya bergerak ke dada Luhcinta. Sebelum dia berhasil menyentuh tubuh si gadis, tiba-tiba terdengar satu auman dahsyat. Membuat Hantu Seratus Tutul terlonjak lalu jatuh terduduk di lantai.

Sementara empat macan lainnya dongakkan kepala dan mengaum keras. Empat buntut mereka bergerak liar kian kemari. Sepasang mata mereka kemudian memandang besar ke dinding rumah sebelah kanan yang tiba-tiba jebol. Dari jebolan dinding tiba-tiba menyeruak muncul satu kepala harimau besar berbulu putih bermata hijau!”

DUA BELAS

Ketika harimau putih melangkah kearahnya Hantu Seratus Tutul berteriak pada empat macan tutul jejadian agar segera menyerang. Empat macan tutul mengaum keras lalu melompat menyergap harimau putih. Begitu mendapat serangan, harimau putih tundukkan kepala. Dari sepasang matanya melesat dua larik sinar hijau. Dua macan tutul sebelah depan terpental melabrak dinding rumah.

Dibarengi auman keras tubuh dua binatang ini berubah menjadi asap dan akhirnya lenyap. Melihat kejadian itu dua kawan mereka segera putar tubuh siap untuk larikan diri. Kembali dua larik sinar hijau membeset. Seperti tadi dua macan tutul terpental jauh, meraung keras lalu berubah jadi asap! Bulu tengkuk Hantu Seratus Tutul merinding dingin. Sekujur tubuhhya gemetar seperti diguyur air es.

“Harimau putih bermata hijau! Kau kesasar ke tempat yang salah! Lekas tinggalkan tempat ini kalau tidak mau kubunuh!”

Harimau putih tanpa perdulikan ancaman itu mengaum dahsyat lalu melompat menyerang Hantu Seratus Tutul.

“Jangan bunuh orang itu!”

Satu suara perempuan berteriak. Ternyata Luhcinta. Gadis ini walaupun dirinya tadi hendak dinodai Hantu Seratus Tutul namun dalam keadaan seperti itu masih bisa timbul rasa kasihannya.

Saat itu tubuh Hantu Seratus Tutul sudah ada dalam gigitan harimau putih. Sekali binatang ini mengatupkan rahangnya amblaslah tubuh kakek bermuka macan itu. Nyawanya tidak tertolong lagi. Namun teriakan Luhcinta tadi membuat harimau putih menahan gerakan mulutnya. Sesaat dia menatap si gadis. Lalu kepalanya diputar ke arah dinding rumah yang jebol. Binatang ini tak bergerak seolah menunggu seseorang.

Dari luar rumah terdengar suara teriakan. “Datuk Rao Bamato Hijau! Kau dengar ucapan gadis itu. Sampai jelas apa maksudnya jangan bunuh orang dalam gigitanmu!”

“Duukkk… duukkkk… dukkkk.”

Tanah terasa bergetar. Seolah ada raksasa yang melangkah di luar sana. Sesaat kemudian masuklah Hantu Kaki Batu ke dalam rumah. Diiringi Hantu Jatilandak. Di balik sabuk yang melintang di pinggang Hantu Kaki Batu tiga sosok kecil yaitu Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol bersiap-siap melompat turun.

Luhcinta kerenyitkan kening lalu mengulas senyum di bibir. “Wahai, salah satu dari mereka pasti telah menolong diriku. Harimau besar bermata hijau ini agaknya yang bernama Datuk Rao Bamato Hijau,” katanya dalam hati. Dia sama sekali tidak menduga kalau yang jadi tuan penolongnya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.

Datuk Rao Bamato Hijau menggereng lalu campakkan sosok Hantu Seratus Tutul yang saat itu telah berubah kembali wujudnya menjadi seorang kakek-kakek. Beberapa bagian tubuhnya tampak luka mengucurkan darah akibat gigitan harimau putih. Ketika melihat siapa-siapa yang datang dia jadi bertanya-tanya mengapa ada diantara orang-orang itu mengeluarkan perintah agar dia tidak dibunuh.

“Berarti salah satu diantara mereka adalah orang sakti dan memiliki harimau putih itu…” pikir Hantu Seratus Tutul.

“Wahai Luhcinta, kami tidak mengerti mengapa kau inginkan orang yang hendak melakukan perbuatan terkutuk atas dirimu dibiarkan hidup! Yang bicara adalahLakasipo alias Hantu Kaki Batu.

Luhcinta cepat menjawab. “Membunuh orang yang tidak berdaya itu semudah membalikkan telapak tangan wahai sahabatku Lakasipo. Tetapi apakah kau tidak tahu bahwa kematian tidak selamanya jalan keluar dari satu persoalan? Kekuatan kasih jika dipergunakan mungkin lebih menguntungkan dari pada pembunuhan…”

Walau tidak memahami akan ucapan si gadis namun Lakasipo jadi terdiam. Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya.

“Tidak mengerti aku sifat gadis cantik ini. Sudah dua kali orang hendak mencelakainya. Masih saja dia unjukkan sikap sabar. Setiap ucapan dan tindakannya berdasarkan kasih. Tidak percuma dia bernama Luhcinta!”

Semua orang tak ada yang bicara. Mereka seolah menunggu dan ingin melihat apa yang hendak dilakukan Luhcinta. Gadis ini melangkah melewati Hantu Jatilandak, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol. Dihadapan Lakasipo dia berhenti sebentar dan berkata,

“Aku tidak mau orang itu dibunuh karena aku ingin mengorek keterangan lebih dulu darinya. Apa artinya kematian tak berguna dibanding keterangan penting yang bisa kudapat…”

Lakasipo hanya anggukkan kepala. Wiro garuk-garuk kepala dan melirik pada Naga Kuning serta Setan Ngompol. Sebelum melangkah mendekati Hantu Seratus Tutul yang sampai saat ini masih tergelimpang di lantai rumah, Luhcinta lebih dulu mendatangi Datuk Rao Bamato Hijau. Tanpa rasa takut diusapnya tengkuk binatang itu seraya berkata,

“Wahai Datuk Rao Bamato Hijau. Aku Luhcinta mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu tadi…”

Datuk Rao Bamato Hijau seolah senang mendengar kata-kata itu lalu menjilat-jilat lengan si gadis. Luhcinta kemudian dekati Hantu Seratus Tutul.

Mengenai harimau sakti bernama Datuk Rao Bamato Hijau harap baca serial Wiro Sableng Wasiat Iblis terdiri dari 8 Episode

“Orang tua, ini saat yang tepat kau harus menceritakan padaku siapa adanya Lajundai. Siapa penguasa Istana Kebahagiaan itu dan aku merasa kau sebenarnya adalah kaki tangan seseorang…”

“Aku punya pendapat yang sama!” Tiba-tiba Hantu Jatilandak ikut bicara. “Kau hendak membunuh dan menguliti tubuhku! Siapa yang menyuruhmu…”

“Tidak ada! Tidak ada yang menyuruhku…!” kata Hantu Seratus Tutul.

“Wahai, jika kau tidak mau bicara mungkin sekali ini aku sendiri yang akan meminta harimau sakti ini untuk membunuhmu!” kata Luhcinta. Waktu bicara suaranya tetap lembut bahkan disertai ulasan senyum di bibirnya.

“Gadis cantik…” Siapapun kau adanya aku Hantu Seratus Tutul tidak berdusta...”

Luhcinta kembali tersenyum. “Kek, apakah kau masih ingin mengajakku ke Istana Kebahagiaan? Bukankah penguasa istana itu yang menjadi majikanmu?”

Sebenarnya Luhcinta hanya menduga-duga dan memancing saja. Namun ucapannya itu ternyata membuat berubah paras Hantu Seratus Tutul. Namun orang ini masih saja mengancing mulutnya.

“Aku juga tahu, kau tahu banyak tentang manusia bernama Lajundai. Hatiku sedih kalau kau tidak mau bicara…” Luhcinta berpaling pada Datuk Rao Bamato Hijau. “Harimau sakti Datuk Bamato Hijau. Aku tak dapat menolong kakek itu lagi. Terserah kau mau berbuat apa terhadapnya!”

“Datuk Rao sahabatku! Kau telah mendengar ucapan gadis itu. Tunggu apa lagi?!” Satu suara kecil berteriak.

Luhcinta berpaling. Gadisini terkejut ketika mengetahui yang barusan bicara adalah Wiro, salah satu dari tiga orang bersosok setinggi lutut itu. Datuk Rao mengaum keras. Dua larik sinar hijau memancar dari kedua matanya. Ketika binatang ini melangkah ke arahnya, putuslah nyali si kakek.

“Jangan! Tahan!” Si kakek berteriak.

“Ah, kau akhirnya mau bicara juga…” kata Luhcinta sambil tersenyum. “Bicaralah. Tak perlu takut…”

“Memang… memang ada yang menyuruhku. Tapi bukan membunuhmu wahai gadis bernama Luhcinta. Aku hanya ditugaskan membunuh Hantu Jatilandak. Juga lelaki berkaki batu itu beserta tiga temannya manusia-manusia kerdil itu! Tapi aku tidak diperintahkan membunuhmu. Aku hanya kebetulan bertemu dengan kau di tengah jalan. Terhadapmu aku hanya hendak melampiaskan…”

“Hantu Seratus Kutul!” berteriak Wiro.

“Namaku Hantu Seratus Tutul. Bukan Kutul!”

“Persetan Tutul atau Kutul!” bentak murid Sinto Gendeng. “Katakan siapa yang menugaskanmu membunuh kami-kami ini semua?!”

Hantu Seratus Tutul terdiam. Matanya memandang melotot pada Wiro. Murid Sinto Gendeng berpaling pada harimau putih.

“Datuk Rao! Bunuh manusia tidak berguna itu!”

Harimau putih mengaum keras. Dua matanya pancarkan sinar hijau angker. Hantu Seratus Tutul jadi leleh nyalinya. Dia angkat kedua tangannya dan jatuhkan diri berlutut di hadapan Wiro yang tingginya kini sepinggangnya.

“Jangan suruh binatang itu membunuhku! Jangan… Aku akan bicara. Aku akan katakan semua…”

Wiro angkat tangan, memberi tanda pada Datuk Rao Bamato Hijau. Harimau sakti ini rundukkan kepala dan hentikan langkah.

“Yang memerintah aku membunuh gadis itu, juga semua kalian adalah…”

Belum sempat Hantu Seratus Tutul mengucapkan nama tiba-tiba berkiblat selarik sinar merah disertai deru angin laksana sambaran puting beliung. Semua orang berseru kaget dan berlompatan jauhkan diri. Hantu Seratus Tutul hanya keluarkan jeritan pendek. Lalu...

“Wuuussss!”

Pendekar 212 berseru kaget ketika melihat sinar merah itu menghantam ke jurusan tempat dia dan Hantu Seratus Tutul berada. Sambil melompat selamatkan diri Wiro pukulkan tangan kanannya. Selarik sinar putih perak menyilaukan mata menderu ke depan, berusaha menangkis hantaman cahaya merah!

“Dessss!

Wiro terguling di tanah. Dia cepat bangkit. Dadanya sesaat mendenyut sakit. Tangan kanannya seperti kesemutan. Walau tengkuknya agak dingin karena sangat tegang dan lututnya goyah namun dia gembira melihat kenyataan. Dalam keadaan tubuh yang tidak sebanding dia masih mampu melepaskan pukulan Sinar Matahari dan sanggup mendorong sinar merah hingga dirinya selamat. Tapi apakah memang dia yang hendak dihantam oleh pembokong gelap itu? Wiro memandang berkeliling. Dia tidak melihat Hantu Seratus Tutul.

Ketika semua orang memandang ke tengah rumah, termasuk Wiro, mereka jadi merinding. Sosok Hantu Seratus Tutul hanya tinggal tulang belulang. Kulit dan daging tubuhnya terkelupas mengerikan!

“Pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi!” seru Lakasipo yang mengenali pukulan yang telah menamatkan riwayat Hantu Seratus Tutul.

“Pukulan itu hanya dimiliki Hantu Muka Dual” berucap Pendekar 212. “Berarti dia barusan ada di sini. Membunuh si kakek karena tidak mau rahasianya terbuka…”

“Tunggu dulu. Menduga boleh saja. Tapi bersikap penuh selidik harus diutamakan,” Luhcinta ikut bicara. “Mungkin juga bukan kakek ini yang jadi sasaran. Tapi salah satu dari kita…” berkata Luhcinta. “Atau mungkin penyerang gelap memang inginkan nyawa si kakek, tapi sekaligus juga mengincar nyawa sahabatku bernama Wiro Sableng itu!”

Sesaat semua orang jadi terdiam. Wiro garuk-garuk kepala berulang kali.

“Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini cepat-cepat,” kata Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah perutnya yang sudah basah kuyup oleh kucuran air kencing.

“Tunggu, kita perlu bicara. Mencari kejelasan siapa kira-kira orang di belakang layar yang mengatur perintah atas diri Hantu Seratus Tutul,” kata Lakasipo.

“Juga mencari tahu siapa si pembokong sialan tadi!” kata Naga Kuning.

“Aku tetap berbesar duga si pembokong adalah Hantu Muka Dua,” berkata Lakasipo.

“Antara Hantu Seratus Tutul dan Hantu Muka Dua ada kesamaan ilmu yang mampu mengelupas atau menguliti tubuh manusia. Hanya bedanya kakek bermuka macan ini mengandalkan dua pisau kecil berbentuk arit sedang Hantu Muka Dua pukulan sakti bernama Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi. Lalu si pembunuh Hantu Seratus Tutul pasti sekali Hantu Muka Dua. Hanya dia yang memiliki kesaktian yang mengerikan itu. Jelas karena Hantu Muka Dua tidak mau rahasianya tersingkap. Tapi dibalik semua itu kurasa ada hal lain yang hendak disembunyikan Hantu Muka Dua. Yang saat ini sulit kuduga apa adanya. Dia membunuh Hantu Seratus Tutul dengan pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi. Berarti dia membiarkan atau sengaja memberitahu bahwa dialah pelakunya…”

Wiro berpaling pada Luhcinta lalu berkata. “Hantu Seratus Tutul menyebut-nyebut Istana Kebahagiaan. Jangan-jangan Hantu Muka Dualah penguasa istana itu…”

“Mungkin sekali!” kata Lakasipo. “Bukankah selama ini dia selalu mengumbar kata bahwa dia adalah Raja Di Raja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam?!”

“Selain itu!” Wiro menyambungi. “Mungkin sekali Hantu Muka Dua membunuh si kakek muka macan itu agar dia tidak memberi keterangan tentang manusia bernama Lajundai.”

“Kalau benar makhluk bernama Hantu Muka Dua itu yang jadi biang racun semua kejadian ini, sungguh dia makhluk yang sangat keji. Akupun hampir dicelakainya…”

Lalu Luhcinta menceritakan pertemuannya dengan Hantu Muka Dua yang membawanya ke tempat kediamannya di bawah Telaga Lasituhitam.

“Sahabat kami Luhcinta,” Setan Ngompol ikut bicara setelah terus-terusan berdiam diri. “Waktu bertemu pertama kali kau pernah menanyakan tentang beberapa orang. Yang masih kuingat antaranya Latampi, Luhpiranti. Jika kau mau memberi tahu siapa adanya orang-orang itu lalu juga siapa adanya Lajundai, mungkin kita bisa berbagi pikir dan akal untuk membantumu…”

“Betul, kau juga menyebut satu nama yaitu Hantu Penjunjung Bakul… Maksudku Hantu Penjunjung Roh!” kata Wiro pula.

Luhcinta tersenyum. “Panjang ceritanya. Semua menyangkut riwayat diriku. Aku tak mungkin…”

“Bagaimanapun panjangnya kami bersedia dan ingin sekali mendengar,” kata Lakasipo.

“Ya, betul. Walau sampai tujuh hari tujuh malam, kami akan mendengarkan penuturanmu!” ucap Naga Kuning pula.

Luhcinta tersenyum. Dia memandang ke arah Wiro seolah minta persetujuan. Hal ini membuat Lakasipo, Naga Kuning dan Setan Ngompol menjadi agak cemburu.

“Ada apa sebenarnya antara kau dengan gadis itu. Dari tadi kulihat dia terus-terusan memandangmu seperti kau ini kecakepan saja!” bisik Naga Kuning.

“Mengapa salahkan diriku! Dia punya mata! Boleh saja melihat siapa saja. Mungkin matanya menjadi sepat kalau melihat dirimu atau si kakek itu. Jadinya aku yang dipandang-pandang…” jawab murid Sinto Gendeng sambil menyengir.

Naga Kuning dan Setan Ngompol donggakkan kepala lalu menoel puncak hidung masing-masing dengan jari telunjuk mengejek Wiro. Wiro sendiri saat itu melangkah menghampiri Datuk Rao Bamato Hijau. Dia peluk leher harimau sakti ini dan ciumi bagian kepalanya diantara dua mata.

“Sahabat pelindungku Datuk Rao Bamato Hijau. Aku berterima kasih kau bersedia kupanggil untuk menolong gadis itu. Kalau saja kita tidak cepat bertindak tentu saat ini dirinya telah ternoda…”

Datuk Rao Bamato Hijau kedip-kedipkan matanya. Lidahnya dijulurkan menjilati tangan Wiro.

“Datuk, aku tidak boleh membiarkanmu berlama-lama di tempat ini. Sekali lagi aku dan gadis itu mengucapkan terima kasih…”

“Datuk Rao Bamato Hijau, jika aku ingat padamu dan ingin bertemu apakah bisa?” tanya Luhcinta lalu enak saja dia ikut memeluki dan menciumi wajah sang datuk.

Harimau putih itu keluarkan suara menggereng halus dan usap lengan Luhcinta dengan jilatan lidahnya. Si gadis tersenyum dan terpekik kecil kegelian.

“Selamat jalan Datuk…” kata Wiro.

Datuk Rao Bamato Hijau mengaum. Semua orang tergagau kaget. Pada saat sosok harimau putih itu lenyap Wiro dan Luhcinta yang kini hanya memeluk angin sama-sama terjerembab dan pipi mereka saling bergeseran!

“Sialan si Wiro itu! Dia pasti berpura-pura jatuh!” kata Naga Kuning berbisik pada Setan Ngompol.

“Anak itu rejekinya memang lebih besar. Kalau saja sosoknya sama besar dengan si gadis, lebih keenakan lagi dia! Lalu kita mau bilang apa?!”

Setan Ngompol mencibir lalu tertawa perlahan. “Dikata apa…?” jawab Setan Ngompol.

Dengan wajah agak kemerahan Luhcinta memandang berkeliling lalu berkata. "Kita belum lama berkenalan. Tapi begitu banyak saling menanam budi. Aku percaya pada kalian semua sahabatku. Kalau memang kalian mau tahu, aku akan ceritakan riwayat diriku. Aku mulai sejak diriku yang masih berusia dua bulan ditemukan seorang nenek sakti di dalam hutan. Di dalam satu kantong yang tergantung di badan seorang perempuan muda yang mati menggantung diri…”

Selagi semua orang terkejut mendengar kata-kata si gadis, Luhcinta melangkah meninggalkan termpat itu. Semua orang serta merta bergerak mengikuti. Di satu tempat yang sunyi yang dipilih sendiri oleh Luhcinta, gadis itu lalu menuturkan riwayat dirinya.

TIGA BELAS

Suasana hening sunyi menyelimuti tempat itu begitu Luhcinta selesai menceritakan riwayat kehidupannya. Lakasipo menatap si gadis dengan perasaan penuh haru. Wiro dan Naga Kuning serta Setan Ngompol tertunduk sedih. Bahkan kuda hitam berkaki enam milik Lakasipo yang ada tak jauh dari tempat itu tegak diam seperti termenung, seolah turut larut dalam keharuan.

Dalam keadaan seperti itu ada suara orang menahan isak dan menarik nafas panjang berulang kali. Orang ini adalah Hantu Jatilandak. Dia duduk di tanah tundukkan kepala. Wajahnya yang penuh duri berusaha ditutupinya dengan ke dua tangan.

“Hai, apa-apaan si Jatilandak itu!” bisik Naga Kuning pada Wiro dan Setan Ngompol. “Kita semua memang terharu mendengar riwayat sedih Luhcinta, tapi mengapa pakai sesenggukan segala…”

“Dia ingin diperhatikan gadis cantik itu. Kepingin disayang-sayang…” jawab Setan Ngompol seraya pencongkan mulutnya yang kempot.

Saat itu Luhcinta sendiri telah melangkah mendekati Hantu Jatilandak. Dipegangnya bahu Hantu Jatilandak lalu berkata. “Wahai sahabatku yang gagah. Rupanya kesedihanku adalah kesedihanmu juga…”

“Maafkan saya orang buruk yang berlaku bodoh ini. Wahai sahabatku Luhcinta, riwayatmu mengingatkanku pada diriku sendiri. Walau kini hatiku bahagia bahwa di dunia ini tidak aku sendiri yang bernasib malang, namun menghadapi kehidupan selanjutnya aku seperti berada di lautan kebingungan…”

“Apa yang membuatmu berperasaan seperti itu Hantu Jatilandak? Ingin aku mendengar untung perasaanmu, apakah juga sehebat derita nasib diriku…?”

“Sebenarnya aku meninggalkan pulau tempat kediaman guruku Tringgiling Liang Batu bukan untuk bersuka-suka melihat dunia luar. Tapi dalam maksud mencari ayah dan ibuku. Menurut guru kedua orang tuaku telah kejatuhan musibah berupa kutuk dari para Peri di Negeri Atas Langit. Konon ayah adalah seorang bernama Lahambalang, penduduk Latanahsilam sedang ibu adalah Peri dari Negeri Atas Langit. Antara mereka sebenarnya tidak boleh kawin. Tapi ayah dan ibu sudah demikian saling mencinta. Mereka melanggar pantang larangan. Ketika aku lahir ibu meninggal dan ayah lenyap entah kemana. Aku sendiri lahir dalam keadaan buruk mengerikan seperti ini…”

Semua orang, termasuk Naga Kuning dan Setan Ngompol yang tadi mencemooh Hantu Jatilandak jadi terdiam.

“Wahai Hantu Jatilandak, ternyata kita sama-sama mempunyai ganjalan dalam hidup ini. Aku, juga teman-teman di sini sangat ingin mendengar riwayatmu. Kalau kau bersedia menceritakan…”

Hantu Jatilandak menatap wajah Luhcinta sesaat lalu anggukkan kepala. (Mengenai riwayat Hantu Jatilandak harap baca serial Wiro Sableng berjudul Hantu Jatilandak).

Untuk ke dua kalinya semua orangyang ada di tempat itu ikut dalam haru setelah mendengar kisah yang diturunkan Hantu Jatilandak. Mereka tidak menyangka begitu hebat kisah kehidupan pemuda yang tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki ditumbuhi duri-duri menyerupai bulu landak itu.

“Wahai para sahabat,” Lakasipo akhirnya keluarkan ucapan setelah cukup lama mereka berdiam diri. “Ternyata kita semua termasuk diriku mempunyai ganjalan hidup. Rasanya sudah saatnya kita memusatkan usaha mencari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Siapa tahu dia bisa memberi petunjuk bagaimana aku bisa bebas dari dua kaki batu ini. Juga memberi petunjuk dimana beradanya ayah Luhcinta yang bernama Latampi itu. Siapa adanya Lajundai. Lalu dimana beradanya ayah Hantu Jatilandak yang bernama Lahambalang. Di mana pula makam ibunda Luhcinta serta makam ibunda Hantu Jatilandak. Juga sangat diharapkan Hantu Sejuta Tanya dan Sejuta Jawab bisa menolong tiga sahabatku ini agar bisa kembali ke dunia seribu dua ratus tahun mendatang dari mana mereka berasal. Atau menolong membuat sosok mereka bisa Sebesar kita agar keselamatan mereka tidak terus-terusan terancam. Sahabat kami Luhcinta, apakah kau akan melanjutkan perjalanan seorang diri atau bergabung bersama kami mencari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?”

Luhcinta jadi terdiam. Ditatapnya wajah Lakasipo beberapa lama lalu dia berpaling pada Wiro.

“Lihat, lagi-lagi dia memperhatikan Wiro,” bisik Naga Kuning.

“Sudah, biar saja dia mau melihat pada siapa,” jawab Setan Ngompol. “Yang penting kalau dia mau ikut bersama kita pasti asyik jadinya perjalanan kita…”

“Wahai Lakasipo dan semua sahabatku! Beruntung aku bertemu dengan kalian. Terus terang saja Negeri Latanahsilam ini sangat luas dan serba asing bagiku. Apalagi guru telah memberi ingat banyaknya hal yang bisa membahayakan diriku. Jika kalian tidak keberatan, aku mau ikut bersama kalian…”

Naga Kuning berseru gembira. Si Setan Ngompol berjingkrak-jingkrak tapi lalu pegangi bawah perutnya yang mendadak basah lagi! Wiro garuk-garuk kepala melihat kelakuan dua temannya itu. Luhcinta tersenyum-senyum. Lakasipo melangkah mendekati kuda hitamnya. Ketika semua orang bersiap hendak pergi tiba-tiba mengumandang satu seruan disertai menghamparnya bau seperti rempah-rempah direbus.

“Luhcinta sahabatku gadis tercantik di seluruh jagat! Jangan pergi dulu sebelum aku membayar hutang budi baikmu! Jangan bikin aku tidak bisa tidur tidak sedap makan! Bukan karena rindu atau jatuh hati padamu! Tapi karena ganjalan hutang piutang budi baik itu! Ha ha ha!”

Sesaat kemudian terdengar suara “beerrr… beerrr… beerrr!” Lalu muncullah seorang gemuk bermuka bulat, mengenakan pakaian panjang dan sangat gombrong terbuat dari anyaman rumput kering menyerupai jerami. Di pipinya sebelah kiri ada satu tahi lalat besar atau tompel berwarna hitam ditumbuhi bulu-bulu hitam halus. Di atas kepalanya ada segulung kain menyerupai sorban. Lalu hebatnya, di atas sorban ini dia menjunjung sebuah belanga besar terbuat dari tanah. Dari dalam belanga ini mengepul asap kecoklatan menebar bau harumnyarempah-rempah!

“Sahabatku kakek sakti berjuluk Hantu Seribu Obat!” seru Luhcinta begitu melihat siapa yang muncul ditern pat itu. “Hidup saling tolong menolong adalah satu keharusan. Itu tandanya manusia harus hidup berdasarkan kasih sayang satu sama lainnya. Mengapa kau menganggap pertolonganku menyelamatkan dirimu tempo hari sebagai hutang budi segala. Aku harap kau tidak lagi punya pikiran seperti itu…”

Yang disebut Hantu Seribu Obat tertawa lebar lalu batuk-batuk. “Wahai… Ternyata kau punya banyak sahabat di tempat ini. Tapi Luhcinta, aku sudah bersumpah tidak akan pergi dari tempat ini sebelum kau meminta satu pertolongan apa yang kau inginkan dariku! Aku bisa memberimu obat agar tetap awet muda sejuta tahun…”

Luhcinta tertawa merdu mendengar kata-kata hantu bersosok gemuk itu.

“Aku tidak main-main… Akan kuramu sekarang juga obat awet muda itu untukmu!” berkata Hantu Seribu Obat lalu usap-usap tompel di pipi kirinya sementara tangan kanannya menyelinap ke balik jubah dan tahu-tahu dia sudah memegang sebuah gelas terbuat dari tanah.

“Tunggu!” kata Luhcinta. “Terima kasih kau mau memberi obat ajaib itu untukku wahai Hantu Seribu Obat. Namun jika memang aku boleh meminta, bukan semata memenuhi permintaanmu sebagai balas budi, tapi untuk menolong orang lain. Bisakah kau memberikan obat agar tiga sahabatku yang kecil-kecil ini menjadi besar sosok mereka? Besar seperti kita-kita ini...?”

Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol tentu saja terkejut tetapi gembira sekali mendengar kata-kata Luhcinta itu.

“Ya Tuhan! Ternyata besar sekali rejeki kita malam ini! Ada orang yang mau menolong kita!” ujar Naga Kuning.

“Kalau benar si gendut bertompel besar itu bisa menolong kita, ah! sungguh bahagia hatiku! Kita tidak akan dibayangi rasa takut celaka lagi. Dan aku akan mencari nenek cantik bernama Luhlampiri itu!”

“Husss!” Wiro pelototkan matanya pada Setan Ngompol. Tapi mulutnya menyeringai. “Belum apa-apa niatmu sudah jelek saja!”

Setan Ngompol yang terkejut disentak langsung pegang bagian bawah perutnya.

“Kau punya tiga sahabat yang kecil-kecil katamu! Wahai apa mereka tiga kurcaci di dekat belukar itu?!”

“Sialan! Kita disebutnya tiga kurcaci!” maki Naga Kuning.

“Betul sekali wahai sahabatku Hantu Seribu Obat. Mereka masing-masing bernama Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol. Kalau kau bisa menolong aku sangat berterima kasih…” kata Luhcinta pula.

“Kami juga sangat berterima kasih!” menyambungi Wiro.

Hantu Raja Obat dekati ke tiga orang itu lalu jongkok di hadapan mereka. “Hee… Tidak sulit! Tidak sulit! Tapi ada syaratnya walau cuma gampang! Mereka harus sabar menunggu…”

“Walau bersiang bermalam hari, kami akan menunggu Kek!” kata Naga Kuning.

Hantu Seribu Obat menyeringai. Dia pejamkan kedua matanya. Dari mulutnya keluar suara merapal. Lama sekali dia berbuat seperti itu hingga semua yang ada di tempat itu diam-diam mulai merasa gelisah. Menjelang tengah malam dari balik jubah jeraminya Hantu Seribu Obat keluarkan sebuah gelas tanah. Lalu belanga berisi godokan rempah-rempah yang ada di atas kepalanya diturunkan.

Hawa panas menyambar ke arah semua orang yang ada di tempat itu. Tapi HantuRaja Obat enak saja memegang belanga yang panas itu dengan tengah kirinya. Perlahan-lahan sambil terus merapal dia kucurkan cairan dalam belanga ke dalam gelas tanah. Gelas tanah kemudian diletakkannya di tanah di hadapan Naga Kuning.

“Kurcaci bernama Naga Kuning, ini obat untukmu. Jangan minum sebelum kuberi tahu saatnya!”

“Terima kasih Kek. Eh Bapak…” kata Naga Kuning.

“Aku bukan kakek apalagi bapakmu!” kata Hantu Seribu Obat tapi sambil tersenyum dan kedipkan mata…”

Dari dalam jubahnya Hantu Seribu Obat keluarkan gelas tanah ke dua. Seperti tadi diiringi rupakan mantera dia tuangkan cairan dalam belanga ke gelas tanah, lalu gelas tanah diletakkannya di depan Setan Ngompol.

“Kakek bau pesing. Ini buatmu! Jangan minum sebelum kuberi tahu saatnya!”

“Hantu Seribu Obat, aku si Setan Ngompol mengucapkan ribuan terima kasih,” kata Setan Ngompol seraya menjura.

Hantu Seribu Obat tertawa lebar. Lalu dia keluarkan gelas tanah ke tiga. Sebelum menerangkan cairan godokan rempah-rempah yang harum ke dalam gelas tanah itu dia perhatikan dulu wajah Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu orang ini tersenyum.

“Anak muda, aku melihat seribu akal seribu rencana dalam benakmu. Tapi aku gembira akal dan rencana itu semua menuju kepada yang baik-baik. Bolehkah aku membisikkan sesuatu padamu?”

“Hantu Seribu Obat, aku…”

Wiro terpaksa tidak teruskan ucapannya karena saat itu Hantu Seribu Obat sudah membungkuk dan mendekatkan mulutnya ke telinganya. Lalu dengan suara sangat perlahan orang ini berkata,

“Bagaimana kalau aku meramal sesuatu tentang dirimu wahai anak muda bertampang tolol, konyol tapi berhati polos…”

“Sil… silahkan saja. Aku suka mendengar…” kata Wiro.

“Ratusan orang akan jatuh cinta pada gadis itu. Tapi hanya ada satu pemuda yang berkenan di hatinya. Kau!”

Wiro undur melangkah dan tetap wajah besar Hantu Seribu Obat. “Gadis itu… Maksudmu gadis yang mana? Siapa?”

“Anak setan! Ha ha ha! Bukankah begitu gurumu selalu memanggilmu?!”

“Astaga! Bagaimana kau bisa tahu?!” tanya Wiro dengan terkejut, mulut ternganga dan mata melotot.

Hantu Seribu Obat tertawa mengekeh hingga Wiro merasa tanah yang dipijaknya bergetar. “Sudahlah, kau tak usah tanyakan hal itu. Sekarang…”

“Tunggu dulu. Kau belum mengatakan siapa adanya gadis itu…”

“Siapa lagi kalau bukan si cantik tinggi semampai bertubuh ramping dan berwajah selagi tembus itu. Luhcinta!”

“Hantu Seribu Obat! Kau jangan bergurau…”

“Bergurau yang enak-enak apa salahnya! Lagi pula aku tidak bergurau padamu. Kau akan lihat kenyataan di kemudian hari. Bisa-bisa kau lupa jalan pulang ke negeri asalmu anak muda! Ha ha ha!”

Hantu Seribu Obat kembali jongkokdan mulai menerangkan cairan di dalam belanga ke gelas tanah ketiga. Gelas diletakkannya di depan Wiro seraya berkata. “Ini buatmu. Jangan di minum sebelum aku beritahu saatnya!”

“Terima kasih Hantu Seribu Obat,” kata Wiro seraya menjura dalam-dalam.

Hantu Seribu Obat lalu duduk bersila di tanah. Dua tangan dirangkapkan di depan dada. Matanya dipejamkan. Mulutnya komat-kamit entah merapal apa dan tanpa suara. Makin larut malam makin dingin udara di tempat itu. Secara aneh kantuk mulai menyerang semua orang yang ada di situ. Secara aneh pula mereka seperti dihantui oleh rasa ketidaksabaran.

Setan Ngompol dan Naga Kuning menatap ke arah gelas tanah di hadapan masing-masing secara terus menerus dan sesekali mereka saling pandang. Wiro juga duduk bersila di tanah, sikapnya tenang. Matanya dipejamkan seolah bersamadi. Luhcinta duduk di bawah sebatang pohon. Sesekali memperhatikan wajah Pendekar 212 dari kegelapan.

Hantu Jatilandak sebenarnya ingin Luhcinta memintakan obat bagi dirinya agar duri-duri di sekujur kepala dan tubuhnya bisa dilenyapkan. Tapi karena merasa sungkan dia memilih diam saja. Sebaliknya Lakasipo sengaja agak menjauhkan diri di satu sudut yang gelap. Sambil menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya dia selalu menatap wajah jelita Luhcinta.

Menjelang dini hari hawa dingin semakin menjadi-jadi. Rasa kantuk hampir tak dapat ditahan lagi. Hawa ketidak sabaran semakin menggila. Tiba-tiba Hantu Seribu Obat bangkit berdiri. Tanpa berkata apa-apa dia melangkah pergi dan akhirnya lenyap ditelan kegelapan. Lama ditunggu tak kunjung kembali.

“Hantu Seribu Obat pergi begitu saja! Bagaimana dengan kita? Jika dia kembali tujuh hari kemudian apa kita harus menunggu dan baru minum obat itu setelah mendapatkan tanda dari dia? Walah, tidak kukira sesulit ini urusannya…”

“Kita tunggu saja. Kalau dia tidak muncul kembali bagaimana nanti saja…” jawab Setan Ngompol.

Ketika langit di ufuk timur mulai terang dan di dalam rimba belantara ayam-ayam hutan terdengar berkokok, Hantu Seribu Obat tidak juga muncul. Hantu Jatilandak dan Lakasipo telah tertidur. Luhcinta masih tetap duduk di bawah pohon dan Wiro masih terus dalam sikap tadi yaitu bersila seperti bersemadi.

“Aku sudah tidak sabaran…” kata Naga Kuning pada Setan Ngompol.

“Aku juga. Dari tadi aku sudah enam kali ngompol. Bagaimana menurutmu?” bertanya Setan Ngompol.

“Mungkin Hantu Seribu Obat hanya mau menguji kita. Sebenarnya kita sudah boleh meneguk obat itu. Aku yakin dia tidak akan kembali…” sahut Naga Kuning.

“Kalau begitu kita teguk saja obat dalam gelas tanah itu!” berkata Setan Ngompol.

“Setuju!” jawab Naga Kuning.

Dua orang itu yakni Naga Kuning dan Setan Ngompol segera saja menyambar gelas tanah. Lalu... “gluk… gluk… gluk!” Keduanya teguk habis cairan di dalam gelas tanah yang selain harum ternyata juga masih hangat. Sesaat kemudian keduanya merasa tubuh mereka ringan dan segar sekali.

“Kakiku mulai membesar!” berseru Naga Kuning seraya pegang kaki kanannya yang saat itu memang berubah menjadi besar, tambah besar dan akhirnya mencapai ukuran kaki orang di Negeri Latanahsilam. Namun bocah ini kembali berteriak.

“Ya Tuhan! Mengapa cuma kaki kananku saja yang membesar. Bagian lain tubuhku tetap tidak berubah!”

Naga Kuning jadi kelabakan dan pegangi kepala, tubuh serta kaki kirinya. Memandang ke samping diatambah terkejut menyaksikan si kakek Setan Ngompol. Kakek ini tak kalah kaget dan bingungnya. Ternyata dari keseluruhan auratnya hanya kaki kirinya saja yang besar!

“Kau kaki kanan! Aku kaki kiri!” teriak Setan Ngompol. “Aduh! Bagaimana ini. Kaki kiriku membesar. Anuku jadi miring kejepit. Aku jadi kepingin ngompol terus-terusan! Celaka! Kalau begini jadinya menyesal aku minum obat itu!”

Tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak. Sesaat kemudian muncullah Hantu Seribu Obat di tempat itu. Lakasipo dan Hantu Jatilandak telah terbangun. Mereka kaget melihat apa yang terjadi atas diri Naga Kuning dan Setan Ngompol. Luhcinta merasa bersalah dan pucat bingung wajahnya. Hanya Pendekar 212 saja yang masih tetap duduk , bersila, diam tak bergerak dalam keadaan mata terpejam.

“Itulah akibat kalau manusia tidak menurut kata, tidak mendengar ucapan. Tidak mematuhi segala tanda dan isyarat! Itu satu pertanda bagaimana akibatnya kalau manusia tidak menunjukkan rasa setia kawan. Kalau kawanmu yang satu masih mau menunggu dan bersabar dengan segala ketenteraman hati dan ketenangan jiwa, mengapa kalian berdua mau melakukan kesalahan, melanggar apa yang aku katakan? Meneguk obat sakti sebelum aku memberi tahu saatnya? Aku kasihan padamu wahai Naga Kuning dan Setan Ngompol. Kalian harus menunggu sampai bulan purnama terbit. Pada saat itulah kalian boleh meneguk obat di dalam gelas tanah. Dan kalian akan menjadi sebesar orang-orang di Negeri Latanahsilam…”

“Tapi obat dalam gelas tanah itu sudah kami minum habis!” kata Naga Kuning.

“Ah, kau keliru. Coba lihat lagi ke dalam gelas tanah...”

Naga Kuning dan Setan Ngompol ulurkan kepala, memandang ke dalam gelas tanah di hadapan mereka. Keduanya terkejut karena ternyata mereka melihat gelas tanah itu masih berisi penuh obat berbau harum itu!

“Aneh…” kata Naga Kuning perlahan sambil memandang pada Setan Ngompol.

“Bagaimana dengan sahabat kami Wiro?” tanya Naga Kuning pula.

“Oh, dia… Karena dia patuh pada apa yang aku katakan maka dia akan menerima berkah seperti apa yang diinginkannya dan seperti apa yang dimintakan Luhcinta.” Hantu Seribu Obat berpaling pada Wiro. “Anak muda, apakah kau sudah siap meneguk obat yang kuberikan?”

Pendekar 212 Wiro Sableng buka kedua matanya, menatap ke arah Hantu Seribu Obat lalu berkata. “Dengan izinmu aku akan meneguk obat cairan sakti.”

Hantu Seribu Obat tersenyum. “Kau ku ijinkan meneguk obatmu. Aku tahu di sini kami hanya mengenal Dewa sebagai penguasa tertinggi yang serba kuasa dan penuh kasih. Di negerimu kau mengenal Tuhan Yang Maha Esa, Maha Kasih dan Maha Kuasa. Apakah kau keberatan kalau aku memohon kepada Dewa agar permintaanmu bisa dikabulkan dan di dalam hatimu kau berdoa pada Tuhanmu minta agar permohonanmu dikabulkan?”

Wiro mengangguk. Diam-diam dia merasa tegang.

“Kalau begitu mari kita sama-sama berdoa…” kata Hantu Seribu Obat pula.

Wiro pejamkan mata, berdoa dalam hati, memohon kepada Yang Maha Kuasa, Tuhan Seru Sekalian Alam.

“Kau boleh minum obatmu wahai anak muda…” Terdengar suara Hantu Seribu Obat.

Dengan tangan gemetar dan tak lupa menyebut nama Tuhan, Pendekar 212 ambil gelas tanah di hadapannya lalu meneguk cairan harum hangat di dalamnya sampai habis. Belum sempat dia meletakkan gelas tanah itu ke tempat semula, ajaib!

Tiba-tiba dia melihat tubuhnya semakin tinggi. Tanah tempat dia hendak meletakkan gelas semakin jauh. Di sekitarnya terdengar seruan Naga Kuning dan Setan Ngompol. Juga decak kaget Lakasipo, Hantu Jatilandak dan Luhcinta. Memandang berkeliling Wiro dapatkan dirinya telah sama tinggi dengan Hantu Jatilandak, Lakasipo dan Luhcinta. Wiro raba pakaiannya. Lalu dia meraba pinggang. Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada di pinggangnya ternyata juga ikut menjadi besar!

“Benar-benar ajaib…” kata Wiro dalam hati. Lalu dia ingat pada dua temannya. Di sebelah sana Naga Kuning dan Setan Ngompol tegak termiring-miring karena hanya satu kaki mereka saja yang jadi besar. Keduanya melambaikan tangan pada Wiro.

“Terima kasih Tuhan. Kau mengabulkan permintaanku,” kata Wiro. “Terima kasih Hantu Seribu Obat! Kau telah menolongku…” Wiro memandang berkeliling. Mencari-cari. Tapi Hantu Seribu Obat tak ada lagi di tempat itu.

“Dia sudah pergi…” kata satu suara lembut dan merdu di samping Wiro.

Ketika Wiro berpaling pandangan Pendekar 212 saling beradu dengan Luhcinta. “Sahabatku Luhcinta, kalau bukan kau yang meminta mungkin aku tak bisa jadi seperti ini. Aku sangat berterima kasih padamu…”

Luhcinta membuka mulut hendak menjawab. Namun sesaat dia hanya tegak terdiam. Matanya yang bening terbuka lebar. Dia berdiri seperti terpesona. Setelah keadaan Wiro menjadi sebesar dirinya, dia tidak menyangka kalau pemuda ini benar-benar memiliki wajah tampan.

“Sahabat, kau hendak mengatakan sesuatu?” tanya Wiro.

Luhcinta tersenyum. Walau agak kikuk dia membuka mulut juga. “Kasih sayang adalah sumber kekuatan di alam ini. Kasih sayang adalah bagian semua manusia. Para Dewa telah menunjukkan kasihnya padamu. Aku gembira melihat keadaan dirimu seperti sekarang ini wahai Wiro…” kata Luhcinta.

Matanya yang bagus bening menatap mesra pada Pendekar 212. Lalu dia ulurkan tangan memegang lengan si pemuda. Saat itu juga keduanya merasakan ada hawa hangat mengalir di tubuh masing-masing, mendatangkan rasa bahagia yang tiada taranya.

Si kakek Setan Ngompol unjukkan wajah cemberut. Termiring-miring dia melangkah mendekati Naga Kuning lalu berkata. “Kalau tahu akan jadi begini, lebih baik aku minta obat supaya tidak ngompol-ngompol saja pada Hantu sialan itu!”

Setan Ngompol saking kesalnya lalu tepuk-tepuk bagian bawah perutnya. “Nasibmu masih jelek buyung.” Katanya tapi apa lacur. Karena ditepuk-tepuk langsung si buyung terpancar beser...!

Bersambung...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.