Ninja Merah

Sonny Ogawa

NINJA MERAH

SATU

SAAT itu telah memasuki musim semi. Namun udara dingin masih terasa mencucuk dimana-mana. Salju tipis masih tampak menyapu puncak-puncak pepohonan, juga pada kuntum-kuntum bunga Sakura Yang pucuk-pucuknya mulai mengembang.

Jauh di sebelah Timur Kyoto terdapat sebuah bukit kecil. Saat itu baru taja lewat tengah malam. Dalam gelap dan dinginnya udara tiga sosok berpakaian dan bertutup kepala serba hitam bergerak cepat menuju puncak bukit. Di punggung masing-masing menyembul hulu ninjato.

Lalu pada pinggang mereka tergantung kusarigama. Mereka tidak mengikuti jalan batu yang berliku-liku melainkan mengendap dan berkelebat di balik semak belukar dan pepohonan.

Puncak bukit merupakan kawasan perumahan Perguruan Emerarudo atau Perguruan Zamrud. Ke tempat inilah agaknya tiga orang itu tengah menuju.

Di dalam salah satu ruangan pada sebuah bangunan di puncak bukit seorang lelaki berusia setengah abad duduk di lantai sedang tekun membaca sebuah kitab tebal. Kantuknya yang tadi sempat menyerang terpupus sirna oleh daya tarik kitab yang tengah dibacanya.

Orang ini mengenakan kimono tebal berwarna biru tua. Pada bagian dada kimono sebelah kanan tersulam gambar batu permata zamrud bewarna kuning terang, lengkap dengan garis-garis kilauan cahaya sekeliling permata. Orang ini adalah Noboru Kasai pimpinan tertinggi atau Ketua Utama Perguruan Emerarudo. Saat itu terdengar perlahan suaranya membaca.

Kebersihan aurat adalah sangat penting dalam ilmu Pengobatan. Bagaimana seseorang bisa mengobati orang lain kalau tubuhnya tidak bersih. Akan tetapi di atas semua itu kebersihan jiwa atau kebersihan batin adalah yang paling utama. Dengan batin yang bersih seseorang akan berada dalam keadaan lebih andal untuk menyalurkan hawa sakti yang dimilikinya ke dalam badan orang yang akan diobatinya. Karena itu...

Suara Noboru Kasai membaca terhenti oleh suara pintu bergesek di belakangnya. "Hisao... Kaukah itu? tanya Noboru Kasai tanpa berpaling.

Tak ada jawaban...

"Setttt-Settt-Setttt...! Teppp-Tepppp-Tepppp...!"

Malah Ketua Perguruan Emerarudo ini mendengar suara berkelebat tiga kali berturut-turut dibarengi oleh siuran angin halus. Noboru Kasai letakkan kitab di pangkuannya ke atas tatami. Lalu perlahan-lahan palingkan kepala. Sepasang mata sang Ketua terbuka lebar melihat siapa yang ada di dalam ruangan itu.

"Shinobi...!"

Shinobi adalah panggilan asli untuk ninja. Dan memang saat itu di dalam kamarnya tegak tiga sosok ninja, muncul dalam penampilan mereka yang angker. Bertubuh tinggi kukuh dibungkus pakaian serba hitam mulai dari ujung kaki sampai ke kepala. Di bagian muka hanya sepasang mata mereka yang kelihatan, memandang tak berkesip ke arah Noboru Kasai dengan pandangan sedingin salju di puncak Gunung Fuji

Di belakang punggung mereka tersembul gagang ninjato yang juga dikenal sebagai katana pendek, pedang khas para ninja. Lalu seuntai rantai yang salah satu ujungnya merupakan senjata berbentuk ganco dan ujung satu lagi diberi gandulan pemberat kelihatan melilit di pinggang.

Noboru Kasai perhatikan tangan ketiga ninja ini. Masing-masing memakai shuko yaitu cakar pemanjat yang sekaligus merupakan senjata sangat berbahaya. Dalam hati Noboru Kasai membatin,

"Pasti ke tiganya menerobos masuk dengan memanjat tembok. Jika tidak satu murid perguruan pun memergoki mereka, berarti ke tiganya adalah ninja-ninja dari tingkat sangat tinggi..." Perlahan-lahan Noboru Kasai berdiri.

"Sreettt...! Sreetttt...!"

Dua kali terdengar suara berdesir ketika dua orang ninja yang berdiri dekat pintu dan di sebelah kanan Noboru Kasai mencabut ninjato pedang pendek masing-masing. Ninja berbadan paling tinggi di sebelah tengah memberi isyarat dengan tangan kiri. Dua orang temannya yang hendak mendekati Noboru Kasai hentikan langkah. Ninja yang di tengah maju dua langkah.

"Sahabat-sahabat tak diundang. Kalian masuk secara tidak sopan..."

Ninja di dekat pintu mendengus. Mulut dibalik penutup wajahnya berucap, "Ninja tidak kenal sopan santun. Ninja hanya kenal darah dan nyawa!"

Daun telinga kiri Noboru Kasai bergerak. "Hemmm... Aku tidak mengenali suaranya. Berarti dia memang ninja asli. Bukan orang dalam..."

"Katakan apa maksud kalian masuk ke tempatku!" bentak Noboru Kasai.

Sekilas matanya melirik ke arah lantai di sebelah kiri di mana tergeletak katana miliknya. Ninja bertubuh paling tinggi dapat membaca apa yang ada dalam benak Ketua Perguruan Emerarudo itu. Dia cepat melangkah dan menginjak katana di lantai dengan kaki kanannya.

"Aku memberi waktu lima detik pada kalian agar segera keluar dari tempat ini!" Noboru Kasai beri peringatan. Kedua tangannya diturunkan ke sisi sedang sepasang kaki tegak merenggang. Apa yang terjadi kemudian berlangung sangat cepat.

Ninja di sebelah tengah hunus ninjatonya. Melihat ini dua temannya segera menggebrak maju. Tiga pedang maut berkelebat ke arah Noboru Kasai. Ketua Perguruan Emerarudo ini keluarkan suara menggembor. Dengan tangan kosong dia hadapi tiga penyerangnya.

Noboru membuat gerakan yang disebut 'Dewa Tanah mengebor bumi." Tubuhnya Menukik', jatuh ke atas lantai tatami. Tiga pedang lewat di atasnya. Lalu dia susul dengan jurus 'Penguasa Langit Membelah Angkasa'. Tangan kanannya menghantam ke atas disusul dengan tendangan kaki kiri kanan.

"Wuuttt...! Wuuttt...!"

Pukulan dan tendangan kaki kiri Noboru Kasai hanya mengenai tempat kosong. Tapi...

"Bukkkk...!

Tendangan kaki kanannya mampir dengan telak di dada salah seorang penyerang hingga ninja satu ini mencelat ke dinding. Dinding yang hanya terbuat dari kertas itu langsung jebol dan ninja itu sendiri terlempar ke luar. Untuk sesaat dia tak kuasa bangun, hanya mengerang sambil pegangi dada.

Dua orang ninja yang ada di dalam ruangan mendengus marah. Serangan pedang mereka membuntal-buntal ganas. Walau Ketua Perguruan Emerarudo menyandang nama besar dan berkepandaian tinggi namun para ninja bukanlah lawan yang mudah dihadapi. Gerakan mereka secepat setan, serangan pedang mereka seganas iblis. Apalagi saat itu Noboru Kasai bertangan kosong pula.

Setelah mengelak dua kali berturut-turut Noboru melejit ke arah kanan. Maksudnya hendak mengambil hanbo, yaitu tongkat kayu yang biasa dipakai untuk melatih murid-murid. Namun gerakannya berhasil di papas oleh ninja di sebelah kiri. Selagi dia coba menghantam penyerang ini dengan pukulan tangan kosong mengandung hawa sakti, dari samping ninja bertubuh tinggi kiblatkan ninjatonya.

"Bretttt...!"

Bahu kimono Noboru Kasai robek besar. Dia merasakan perih pada bahu kanannya lalu ada cairan panas mengucur. Darah! Meski menderita sakit bukan main dan kemarahan mendidih namun Ketua Perguruan Emerarudo ini tampak bersikap tenang.

Tapi sebaliknya dua ninja tak mau memberi kesempatan. Pedang pendek mereka kembali menggempur dengan ganas hingga Noboru Kasai terdesak ke sudut sebelah kanan.

"Brettt...Brettt...!"

Kimono sang Ketua robek lagi. Kali ini di bagian dada dan perut. Noboru Kasai terjajar ke belakang. Dia berusaha berpegangan pada sebuah rak tapi tidak terjangkau. Selagi tubuhnya tersandar ke dinding, ninja berbadan tinggi tusukkan pedangnya ke lambung Noboru Kasai. Ketua Perguruan ini keluarkan keluhan pendek lalu roboh ke lantai. Sebagian dari badannya yaitu bagian dada ke atas berada di luar kamar.

Ninja berbadan tinggi mendatangi dengan cepat dan membungkuk seraya bertanya, "Lekas katakan! Di laci nomor berapa kau simpan surat-surat penting Perguruan?"

Dalam keadaan sekarat Nobora Kasai membuka mulutnva. Suaranya tersendat perlahan. "Aku... aku seperti mengenali suaramu... Bukan kah kau...?"

"Kurang ajar!" bentak ninja bertubuh tinggi. Pedang di tangan kanannya dihunjamkan ke tenggorokan Noboru Kasai.

Sebelum maut menyergap Ketua Perguruan Emerarudo itu tiba-tiba angkat tangan kanannya. Lima jari tangannya terpentang. Tulang-tulang jari keluarkan suara berderak.

"Cleppp...!"

Pedang menembus tenggorokan Noboru Kasai. Dalam saat yang bersamaan lima ujung jari sang Ketua menghunjam di dada kiri ninja yang membunuhnya. Pakaian hitam tebal yang dikenakan ninja tembus di lima bagian. Ninja itu sendiri terjajar ke belakang. Dadanya serasa ditusuk lima paku panas! Wajahnya di balik penutup kepala sesaat jadi pucat.

"Lima jari dewa... Jadi dia memang benar-benar memiliki ilmu kepandaian itu...!" katanya dengan mata melotot memandang pada Noboru Kasai yang sudah tak bernyawa lagi. Sambil pegangi dada kirinya ninja ini melangkah mundur. Dia memberi isyarat pada ninja yang ada di dekatnya.

"Tolong kawanmu. Lari ke tembok sebelah timur. Tunggu aku di tempat pertemuan!"

Sehabis berkata begitu ninja berbadan tinggl ini melesat ke pintu. Dia berlari cepat sepanjang lorong pendek lalu menerobos masuk ke dalam sebuah ruangan sangat rahasia yang tidak sembarang orang boleh masuk ke tempat ini. Di pintu masuk ruangan berjaga-jaga seorang murid Perguruan dalam keadaan terkantuk-kantuk.

Pedang di tangan ninja berkelebat menghantam pertengahan kening murid penjaga. Murid ini tak pernah tahu apa yang menyebabkan kematiannya. Tubuhnya roboh mandi darah dengan kepala hampir terbelah.

Ninja pembunuh melompat masuk ke dalam ruangan rahasia. Sesaat dia tegak tertegun. Di dalam ruangan itu ada dua buah lemari besar merapat ke dinding. Di situ terdapat dua ratus laci-laci kecil yang diberi nomor mulai dari 1 sampai 200.

"Aku tak mungkin memeriksa semua laci celaka itu! Aku harus bisa mengingat! Harus bisa!"

Ninja itu lalu menarik laci-laci pada derstan angka mulai dari 150 sampai 160. Sementara itu diluar sana ninja yang diperintahkan menolong temannya yang terluka bertindak cepat. Sang teman rupanya menderita luka dalam yang sangat parah akibat tendangan Noboru Kasai tadi. Darah tampak mengucur dari mulutnya.

Begitu tahu kawannya tak sanggup berdiri, dengan cepat di segera memanggulnya. Akan tetapi sebelum dia sempat berkelebat pergi di sekelilingnya terdengar suara langkah-langkah kaki. Sesaat kemudian sekitar dua puluh orang murid perguruan muncul mengurung tempat itu.

Di depan sekali seorang lelaki berkimono merah darah berambut pendek berwajah beringas. Mukanya merah. Gerakannya cepat dan enteng tetapi langkah kakinya tidak tetap. Sesekali tubuhnya tampak seperti terhuyung. Bagaimanapun tinggi ilmu yang dimilikinya tapi ninja itu segera menyadari bahwa dia tak mungkin lolos dari sekian banyak orang yang mengurung.

Apalagi si kimono merah berwajah merah beringas di sebelah depan dikenalinya adalah Shigero Momochi salah seorang dari dua Wakil Ketua Perguruan. Begitu Shigero Momochi mendekat, ninja jatuhkan kawan yang dipanggulnya ke lantai. Sekali menusukkan pedangnya ke dada kawannya sendiri, ninja yang sudah terluka parah itu langsung meregang nyawa.

"Tangkap dia hidup-hidupl" teriak Shigero Momochi.

Tapi mana mungkin menangkap seorang ninja hidup-hidup. Apalagi dalam keadaan terperangkap seperti itu. Sang ninja keluarkan suara mendegus dari balik kain hitam penutup wajahnya. Dua tangan memegang gagang pedang erat-erat. Begitu kelompok anak murid Perguruan Emerarudo menyerbu dibawah pimpinan Shigero Momochi dengan berbagai macam senjata ninja ini cepat menyongsong dengan ninjatonya.

Beberapa kali terdengar suara berdentrangan beradunya senjata. Gelombang serangan anak murid Perguruan Emerarudo tidak bisa dibendung. Shigero Momochi yang masih berusaha menangkap hidup-hidup ninja itu untuk dimintai keterangan tak mampu berbuat banyak.

Setelah memukul lepas pedang ditangan ninja, dia hanya bisa menyaksikan bagaimana puluhan anak muridnya membantai sang ninja hingga akhirnya menemui ajal dengan keadaan tubuh hancur lumat mengerikan. Shigero Momochi seperti mau muntah. Dia palingkan kepala, memandang keruangan dalam bangunan.

"Ketua Noboru Kasai..." bisiknya. Secepat kilat dia lari masuk ke dalam rumah. Lututnya goyah ketika dia menemukan Noboru Kasai telah jadi mayat, tergeletak di atas tatami dengan tubuh bergelimang darah.

"Ketua..." kata Shigero Momochi sambil jatuhkan diri, berlutut di samping mayat Noboru Kasai. Dia merasa seperti ingin berteriak, tapi juga ingin menangis. Tiba-tiba telinganya mendengar suara dari arah ujung lorong pendek di luar sana dimana terletak ruangan rahasia. Sambil menggenggam pedangnya Shigero Momochi cepat berdiri.

DUA

Di dalam ruangan rahasia ninja memeriksa deretan laci bernomor 150 sampai 160. Tapi dia tidak menemukan apa yang dicarinya. Dalam hati dia memaki setengah mati.

"Aku harus ingat! Harus ingat!" katanya berulang-ulang. Pada saat itu dia mendengar suara orang berlari dari ujung lorong. Sebelumnya dia juga telah mendengar suara ramai di luar ruangan tempat Noboru Kasai terbunuh.

"Orang-orang Perguruan sudah tahu apa yang terjadi..." desis ninja. Matanya kembali memandang deretan laci-laci. Dia seperti hendak memukul kepalanya sendiri ketika tiba-tiba dia ingat. "Laci 168 katanya setengah berseru.

Segera laci nomor 166 dibukanya. Sepasang mata ninja membesar. Apa yang dicarinya akhirnya ditemui juga. Dalam laci itu kelihatan sebuah amplop besar berwarna kuning. Secepat kilat ninja menyambar amplop itu. Lalu melompat membobol dinding kiri ruangan rahasia.

Ternyata dinding ruangan ini tidak terbuat dari kertas biasa melainkan dari sejenis papan alot. Ninja terpaksa pergunakan jotosannya untuk menjebol. Baru saja dia hendak berkelebat kabur lewat lobang di dinding tiba-tiba pintu kamar rahasia terbuka. Satu bentakan menggeledek di belakangnya.

"Jangan lari...!"

Yang berteriak adalah Shigero Momochi. Wakil Ketua Perguruan ini cepat mengejar dengan pedang terhunus. Gerakannya mengejar tertahan ketika di sebelah depan ninja dilihatnya gerakkan tangan kiri. Dua buah benda berbentuk bintang melesat ke arahnya. Shigero memaki setengah mati.

"Shuriken!" teriaknya. Pedangnya di putar ke depan.

"Trangg... Trangg...!"

Dua senjata rahasia bintang besi beracun yang dilepaskan ninja mental dan menancap di dinding ruangan. Begitu Shigero memandang ke depan sang ninja sudah lenyap.

"Mahluk iblis! Kau kira kau bisa lolos dari tanganku...!" bentak Shigero Momochi lalu mengejar. Larinya tidak tetap, agak menghuyung. Sampai di taman gelap di belakang bangunan besar orang yang dikejarnya tak kelihatan lagi. Belasan murid Perguruan muncul mendatangi.

"Percuma... Ninja keparat itu berhasil melarikan diri!" kata Shigero Momochi sambil menghentakkan kakinya. "Aku bersumpah akan membalaskan kematian Ketua. Kalian lekas mengatur hubungan dengan para Ketua Ninja! Beri tahu apa yang telah terjadi. Minta mereka menyelidik dan memberi tahu siapa anggota-anggota mereka yang terlibat kejahatan keji ini! Mereka harus berani mengakui! Kalau tidak aku bersumpah akan menumpas semua ninja di negeri ini! Sejak dulu mereka hanya menimbulkan keonaran dan bencana saja! Melakukan kejahatan hanya untuk sejumlah uang! Mahluk-mahluk durjana! Pembunuh bayaran!"

"Wakil Ketua Momochi!" seorang murid Perguruan berkata sambil maju mendekati Shigero Momochi.

"Ninja bukan cuma membunuh tapi juga mencuri surat-surat penting dari ruangan rahasia.

"Aku sudah tahu! Kalian periksa surat apa yang hilang! Aku akan mengurus jenazah Ketua..." Shigero Momochi memandang berkeliling. "Siapa diantara kalian yang membawa minuman...?"

Tak ada satupun yang menjawab.

"Kalau begitu satu orang dari kalian lekas pergi kekamarku, ambil botol sake dan antarkan padaku..."

"Tapi Wakil Ketua Momochi..." kata seorang murid kepala. "Dalam keadaan seperti ini tidak sepantasnya Wakil Ketua meneguk minuman keras itu lagi..."

"Kurang ajar! Kau memerintah aku atau bagaimana... ?!" bentak Shigero Momochi dengan mata membelalang.

Semua murid Perguruan yang ada di situ unjukkan wajah tidak seneng. Satu persatu mereka tinggalkan tempat itu. Salah seorang dari mereka berbisik pada temannya.

"Seharusnya dia yang dibunuh ninja, bukan Ketua Noboru Kasai... Pimpinan tak berguna, Pemabuk, pemarah... semua yang jelek ada padanya. Mau jadi apa Perguruan kita ini kelak...!"

"Aku kawatir setelah Ketua tiada, dia yang akan menjabat jadi Ketua. Celakalah kita semua!" sahut temannya.

"Hal itu tak mungkin terjadi. Para Dewa tak bakal merestui!" kata seorang murid Perguruan lain yang ikut mendengar percakapan dua temannya tadi.

********************

Dalam dinginnya udara menjelang pagi itu sayup-sayup terdengar suara shakuhachi ditiup dalam senandung yang menyayat hati. Tiupan seruling bambu ini diikuti dengan petikan shamisen yang menghiba-hiba. Suara bebunyian ini datang dari serambi bangunan besar Perguruan Emerarudo di puncak bukit.

Di serambi rumah besar, di bawah penerangan lampu minyak redup, diatas tatami duduk dua orang perempuan. Seorang sudah agak lanjut, satunya masih gadis. Perempuan yang lebih tua duduk meramkan mata sambil meniup shakuchaki. Gadis di sebelahnya memetik shamisen. Masing-masing memainkan bebunyian itu penuh perasaan.

Sepasang mata perempuan yang lebih tua tampak berkaca-kaca sedang si gadis tak dapat menahan larutnya kesedihan hingga air mata yang tak terbendung menetes jatuh kepipinya.

Di dalam rumah besar hampir seratus anak murid Perguruan Emerarudo tegak rangkapkan tangan di atas dada. Sikap berdiri mereka tampak gagah. Namun dari kepala-kepala yang ditundukkan serta sepasang mata yang dipejamkan jelas seperti dua perempuan tadi merekapun sedang tenggelam dalam rasa duka yang mendalam.

Rasa duka cita atas tewasnya Noboru Kasai Ketua Perguruan Emerarudo membuat puncak bukit itu tenggelam dalam kesedihan. Gadis pemetik shamisen tak sanggup menahan kesedihannya akhirnya berhenti memetik bebunyian itu lalu bersujud dan menangis tersedu-sedu. Perempuan peniup seruling ikut tergugah dan tiupan sakuhachinya jadi tersendat-sendat.

Menjelang malam memasuki pagi, selagi udara terang-terang tanah tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi. Tak lama kemudian seorang lelaki separuh baya berwajah gagah muncul menunggang kuda putih. Di atas punggung kuda dia memandang seperti tidak percaya pada keadaan yang dilihatnya. Matanya menyipit ketika dia berpaling ke serambi dan melihat gadis pemetik shamisen jatuhkan diri lalu menangis keras. Orang ini melompat dari kudanya.

"Apa yang terjadi...?" Dia bertanya sambil melangkah cepat melewati berisan para murid Perguruan. Dadanya mendadak bergejolak, tapi sikap dan suaranya kelihatan lembut.

Seorang murid kepala mendatangi dan berkata. "Wakil Ketua Hisao Matsunaga syukur kau cepat kembali. Wakil Ketua Shigero Momochi ada di dalam bangunan utama. Sudah lama menunggu..."

"Tiupan shakuhachi dan petikan shamisen tadi membawakan lagu pengantar jenazah. Katakan apa yang terjadi?!" tanya orang yang barusan turun dari kuda. Ternyata dia adalah salah seorang dari Wakil Ketua Perguruan.

"Saya tidak berani menerangkan. Lebih baik Wakil Ketua menemui Wakil Ketua Shigero Momochi saja..."

Mendengar jawab murid kepala itu, seperti terbang Hisao Matsunaga melompat dan masuk ke dalam rumah besar. Di dalam ruangan dimana jenazah Noboru Kasai dibaringkan di atas selembar kasur tipis yang diberi alas kain wool tebal, Hisao Matsunaga jatuhkan diri berlutut.

Sesaat dia menatap wajah Ketua Perguruan yang sudah jadi mayat itu. Kain putih yang menutupi tubuh jenazah tampak basah oleh darah di beberapa bagian. Lalu ke dua matanya dipejamkan. Ketika mata itu dibuka kembali pandangan Hisao Matsunaga tertuju pada Shigero Momochi. Baru disadarinya kalau saat itu di ruangan itu terdapat juga beberapa orang pengurus dan tua-tua perguruan.

Lalu seorang anak lelaki berusia empat belas tahun yang duduk dengan kepala tertunduk dekat kepala jenazah. Wajah Hisao Matsunaga jelas menunjukkan keperihan ketika dia memperhatikan anak ini. Karena si anak adalah Akira Kasai, putera dan anak tunggal mendiang Ketua Noboru Kasai. Ibu Akira meninggal dunia pada saat anak ini dilahirkan.

Sejak itu Noboru Kasai tak mengambil perempuan lain pengganti istrinya ataupun memelihara gundik. Agaknya Ketua Perguruan Emerarudo ini sengaja menjauhi kehidupan duniawi sampai akhirnya kematian datang menjemput. Hisao Matsunaga berpaling kembali pada Shigero Momochi lalu berkata dengan suara perlahan,

"Shigero, ceritakan padaku bagaimana semua ini terjadi?"

"Kita bicara di kamar sebelah saja..." bisik Shigero.

Waktu bicara Hisao Matsunaga dapat mencium nafas Shigero yang berbau minuman keras. Perlahan-lahan dia bangkit mengikuti Shigero menuju sebuah ruangan yang terletak bersebelahan dengan ruangan dimana jenazah Ketua Perguruan disemayamkan.

"Aku tidak melihat sendiri bagaimana kejadiannya. Ketika aku masuk ke kamar Ketua, beliau sudah menggeletak di atas tatami dalam keadaan berlumuran darah. Sudah tidak bernafas lagi..." Lalu Shigero Momochi menuturkan apa yang diketahuinya.

"Sebelum peristiwa itu terjadi, kau berada di mana Shigero? Selama ini jangankan manusia, lalat seekorpun jika menyusup ke tempat ini pasti kau ketahui..."

"Kau betul Hisao..." jawab Shigero Momochi dengan wajah merah. "Malam tadi entah mengapa nyenyak sekali tidurku. Sampai tidak mendengar suara apa-apa. Bahkan para muridpun tidak sempat mengetahui...!"

"Aku yakin kau pasti minum banyak lagi malam tadi. Kalau tidak, mungkin peristiwa ini bisa dihindari..."

Harap maafkan aku Shigero. Bukan maksudku menyalahkanmu. Kalau Dewa sudah menakdirkan hal ini akan terjadi, pasti terjadi tanpa bisa dihalangi. Aku sendiri merasa menyesal pergi ke Kyoto walau aku kesana ditugaskan secara pribadi oleh Ketua untuk menemui seorang Shogun..."

"Sampai saat ini aku memang belum bisa menghilangkan kebiasaan minum sake keras itu..."

"Kudengar kini malah kau mencampurnya dengan wiski yang dibawa pelaut-pelaut kulit putih..." memotong Hisao Matsunaga tetap dengan suara lembut. "Kuharap saja kau bisa mawas diri dan menghenti kan kebiasaan minum."

Tampang Shigero Momochi tampak jadi beringas. Dia hendak menyemprotkan ucapan. Tapi dengan lembut Hisao Matsunaga berkata,

"Siapa diantara kita yang tidak suka meneguk sake. Tapi minum secara berlebihan bisa membawa hal-hal tak diingin bagi seseorang. Musibah ini kiranya bisa dijadikan hikmah..."

Wajah Shigero Momochi nampak menjadi merah. Sambil berdiri dia berkata. "Kalau Perguruan menganggap hal ini terjadi karena kesalahanku, aku bersedia menerima hukuman dan melakukan seppuku!" Shigero Momochi segera hendak mencabut pedangnya.

Hisao Matsunaga cepat memegang bahu Shigero dan berkata. "Bagi kita orang-orang Jepang melakukan seppuku atau harakiri adalah kematian paling terhormat. Tapi tidak jika kita sebenarnya bisa melakukan sesuatu yang jauh lebih terhormat..."

"Katakan apa yang harus aku lakukan!" kata Shigero beringas.

"Bukan kau saja Shigero. Tapi kita. Semua yang ada di Perguruan ini..."

"Ya.. ya, katakan saja apa yang harus kita lakukan?"

"Pertama, kita harus mengurus jenazah Ketua..."

"ltu memang menjadi kewajiban kita para pengurus dan murid Perguruan. Lalu...?"

"Selanjutnya kita harus menyelidik siapa pelaku pembunuhan ini..."

"Dan pelaku pencurian!" sambung Shigero Momochi.

Hisao Matsunaga tampak terkejut. "Pencurian? Apa maksudmu?"

"Ada sebuah amplop rahasia berisi surat-surat penting lenyap dari laci di ruang rahasia..."

Paras Hisao Matsunaga jadi berubah. "Berarti ini bukan pembunuhan biasa. Pasti banyak kaitannya pada hal-hal lain yang tidak terduga..."

"Aku sudah meminta beberapa orang untuk menghubungi para Ketua Ninja guna ikut menyelidik. Aku juga telah bersumpah jika mereka tidak bisa memberikan jawaban atau tidak dapat membuktikan bahwa kelompok masing-masing tidak terlibat, maka aku akan menumpas semua Ninja di negeri ini sampai habis!"

"Kesetiaanmu untuk membela kematian Ketua sangat aku hargakan Shigero. Tapi kita harus hati-hati menghadapi para ninja. Jika mereka bergabung kekuatan mereka jauh lebih besar dari kita..."

"Kita bisa memakai tangan kelompok Oda Nobunaga untuk membasmi mereka..."

"Betul, tapi ingat... Perguruan punya ketentuan untuk tidak terlibat dan melibatkan diri dengan orang-orang Pemerintahan..."

"Lalu mengapa kau sendiri pergi menemui Shogun, walau katamu itu atas perintah Ketua...."

Hisao Matsunaga mengangguk pendek. "Justru hal itu diperintahkannya agar aku memberi tahu bahwa Perguruan kita menghormati pihak angkatan perang, para Jenderal, tapi tidak mau melibatkan diri dalam urusan pemerintahan..."

"Kalau begitu kita harus punya cara sendiri untuk menghajar para ninja itu..."

"Jika benar mereka yang membunuh Ketua..."

Shigero Momochi menatap tajam dengan matanya yang merah pada Hisao Matsunaga. "Apa maksudmu dengan ucapan itu Hisao? Jelas mereka muncul di sini mengenakan seragam ninja. Membawa senjata ninja. Bahkan ada dua ninja yang sudah lumat di luar sana bisa kau lihat sendiri keadaan mereka. Dan tampaknya kau hendak meragukan bahwa kematian guru bukan disebabkan oleh para ninja keparat itu!"

"Tenang Saudaraku..." kata Hisao Matsunaga dengan suara lembut. "Sebagai perguruan besar, tidak semua orang di luar sana suka terhadap kita. Mungkin saja memang ada yang memakai tangan ninja untuk menghancurkan kita. Mungkin juga ada para tokoh silat kaki tangan pemerintah yang melakukannya karena tidak ingin melihat kita sebagai satu kekuatan yang membahayakan mereka..."

"Ah, aku orang bodoh yang tidak bisa mencerna dan berpikir sepintarmu..."

"Kau orang pandai. Otakmu cerdik. Aku tahu hal itu. Jangan terlalu merendah Shigero. Sekarang mari temani aku untuk memeriksa ruangan rahasia. Surat penting apa yang telah dicuri ninja..."

Memeriksa 200 laci di ruangan rahasia Perguruan Emerarudo bukan pekerjaan mudah dan memakan waktu lama. Mereka memang menemui sebuah laci dalam keadaan kosong yaitu laci nomor 166. Tapi baik Hisao maupun Shigero tidak dapat memastikan surat atau benda apa yang telah lenyap dicuri dari laci tersebut.

Menjelang pagi ke dua pucuk pimpinan Perguruan tersebut keluar dari ruangan rahasia, bergabung dengan pengurus Perguruan lainnya untuk mengatur persiapan upacara perabuah jenarah Noboru Kasai. Sementara itu beberapa tamu yang sudah diberi tahu atas musibah yang menimpa Perguruan telah mulai kelihatan berdatangan.

********************

Kita kembali dulu pada kejadian beberapa waktu sebelumnya setelah ninja memasuki ruangan rahasia Perguruan Emerarudo, mencuri sebuah amplop kuning lalu melarikan diri setelah lebih dulu mementahkan pengejaran yang dilakukan Shigero Momochi.

Kelihatan seorang ninja melarikan diri dan menghilang bersama kepekatan malam boleh dikatakan tak dapat ditandingi oleh siapapun. Di lereng bukit sebelah Selatan ninja yang telah membunuh Ketua Perguruan Emerarudo itu menyelinap ke balik sebatang pohon besar. Dia tegak bersandar ke batang pohon.

Tangan kanannya mendekap dada kirinya yang terasa mendenyut saki. Dada itulah yang sebelumnya mendapat serangan 'Lima Jari Dewa' yang sempat dilakukan oleh Noboru Kasai. Dalam gelap ninja membuka pakaian hitamnya. Jantungnya berdenyut keras ketika dilihatnya ada lima bintik hitam membekas di dada kirinya.

"Celaka...! Tanda ini tidak bisa hilang sekalipun kulitku dikelupas!"

Sesaat sang ninja nampak masgul. Namun bila dia ingat pada amplop kuning itu, rasa kawatirnya segera lenyap. Dengan cepat amplop kuning dikeluarkannya dari balik pakaiannya. Bagian depan amplop ada tulisan dalam huruf kanji berbunyi;

"Sangat Rahasia. Risalah Pewarisan Pimpinan Perguruan."

Amplop dibalikkan. Bagian penutup amplop di sebelah belakang selain diikat dengan benang juga disegel dengan lak tebal berwarna merah. Dengan tangan agak gemetar ninja merobek penutup amplop. Dari dalam amplop dikeluarkannya lembaran tebal kertas berwarna merah.

"Hah?!" Sang ninja berseru kaget. Sepuluh lembar kertas merah yang barusan dikeluarkannya dari dalam ampop dibolak-baliknya.

"Aneh! Mengapa semua kertas ini kosong? Tak ada tulisan, tak ada apa-apanya! Jangan-jangan aku tertipu! Siapa yang menipu? Sang Ketua...? Tak mungkin...!"

Seolah-olah tak percaya ninja memeriksa kembali kertas-kertas merah itu, melihat ke dalam amplop kalau-kalau ada kertas lain yang tertinggal. Kemudian dengan kesal amplop dan kertas merah itu diremasnya sampai lumat. Setelah itu sambil memaki panjang pendek amplop dan kertas merah itu dibantingkannya ke tanah!

"Kurang ajar! Benar-benar sialan!"

********************

TIGA

Pendekar 212 Wiro Sableng tarik kerah baju tebalnya tinggi- tinggi. Sesaat dipandanginya air sungai kecil di hadapannya yang dalam kegelapan malam seolah-olah diam tidak mengalir. Barusan dengan susah payah dia mengumpulkan beberapa potong kayu. Dalam udara lembab dan dingin begitu rupa hampir tak mungkin mendapatkan kayu kering. Dia telah menghabiskan sekotak geretan untuk membakar kayu menyalakan api.

Namun sia-sia saja. Sesekali matanya melirik ke arah sebuah batu di atas mana terbaring seekor kelinci dalam keadaan terikat keempat kakinya. Dari saku baju tebalnya Wiro keluarkan botol kaleng berisi sake. Setelah meneguk minuman keras ini dua kali dia merasa tubuhnya menjadi hangat.

"Badanku hangat tapi perutku tetap saja keroncongan." Dia memandang lagi pada kelinci di atas batu. "lngin sekali aku cepat-cepat merasakan bagaimana lezatnya daging kelinci Jepang. Tapi api sialan tak mau hidup... Apa aku harus mempergunakan senjata mustika itu hanya untuk menyalakan api?" Wiro garuk-garuk kepala.

"Kelihatannya memang tak ada jalan lain..." Murid Sinto gendeng akhirnya keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaiannya. Dia juga mengeluarkan batu hitam pasangan senjata sakti itu.

Ketika cahaya yang memancar dari dua mata kapak menerangi tempat itu, sepasang mata yang sejak tadi mengintip dibalik kerapatan serumpunan batang-batang bambu membesar karena terkejut dan juga kagum. Dalam hati orang yang bersembunyi itu berkata,

"Belum pernah aku melihat senjata seperti itu. Dari sinarnya saja jelas senjata itu memiliki hawa sakti luar biasa. Pasti inilah senjata yang dipakainya untuk membunuh Arashi si Nenek Badai. Pemuda dari negeri ribuan pulau itu... Aku harus merampas senjata itu. Batu hitamnya sekalian...!"

Di depan tumpukan kayu yang disilang-silang di tanah Wiro gosokkan keras-keras salah satu mata kapak dengan batu hitam di tangan kanannya. Bersamaan dengan itu dia kerahkan tenaga dalamnya.

"Wusss...!" Lidah api menyambar ke arah tumpukan kayu.

"Krekkkk...!" Terdengar suara berkeretakan. Kayu-kayu lembab itu berubah menjadi merah. Sesaat kemudian api pun berkobar. Ketika api padam, kayu-kayu yang tadinya basah telah berubah menjadi arang merah. Di balik batang-batang bambu, orang yang sejak tadi mengintip berdecak dalam hati.

"Benar-benar luar biasa. Bagaimanapun aku harus dapatkan senjata itu. Batu hitamnya juga..." Lalu tanpa suara dia bergeser dari balik batang-batang bambu itu.

Wiro simpan kembali kapak sakti dan batu hitam. Lalu dia melangkah ke arah kelinci. Binatang ini mencicit keras seolah tahu kalau dirinya sebentar lagi akan dipesiangi.

"Ya... ya sekarang kau boleh mencicit, berteriak sesuka mu. Asal saja jangan sudah masuk ke perutku kau nanti masih mencicit!"

Wiro mulai membuka ikatan pada keempat kaki binatang itu. Kalau tadi kelinci ini mencicit keras terus menerus, kini tiba-tiba diam.

"Eh, kenapa diam...? ujar Wiro. Dilihatnya sepasang mata kelinci itu memandang sayu dan sesekali berkedip-kedip. Telinganya bergerak-gerak, begitu juga cuping hidungnya. Dari mulutnya yang bergigi-gigi putih kecil terdengar suara desah halus. Tiba-tiba saja ada perasaan tidak enak dalam diri Pendekar 212.

"Aneh, mengapa mendadak aku jadi tidak tega membunuh binatang ini..." Wiro perhatikan lagi kelinci itu. Masih memandang padanya dengan mata sayu dan berkedip.

"Semakin kupandang semakin kasihan aku jadinya... Ah sudahlah. Biar kulepas saja..." Wiro membungkuk, letakkan kelinci itu di tanah lalu berkata,

"Kelinci, kau tentu punya emak, punya bapak. Punya saudara punya teman dan hutan belantara. Kau boleh pergi. Aku tak jadi menyantapmu. Walau perutku keroncongan kurasa aku masih bisa menahan lapar. Kau bebas. Pergilah..."

Setelah dilepas, kelinci itu tidak segera lari. Seolah-olah berterima kasih dia berpaling ke arah Wiro, mencicit beberapa kali sambil mengedipkan kedua matanya.

"Ya... ya... Pergi sana..." kata Wiro pula.

Binatang itu mencicit lagi dan mengedip dua kali lalu membuat lompatan tinggi. Namun dia tak pernah masuk lagi ke dalam hutan, bahkan setelah melompat tak sempat lagi menginjakkan kaki-kakinya di tanah. Sebuah benda melesat dari kegelapan, menyambar ke kepala kelinci itu. Binatang ini mencicit keras lalu jatuh terhempas ke tanah.

"Astaga!" Wiro berseru dan cepat melompat. Kelinci diambilnya dari tanah. Sepasang mata Pendekar 212 melotot besar. Sebuah besi lancip lebih besar dari lidi menancap tepat di kening kelinci. Pada besi ini menempel sebuah bendera berbentuk segi tiga berwarna merah. Di bagian tengah bendera, ada tulisan Kanji warna hitam berbunyi BENDERA DARAH.

"Binatang malang..." desis Wiro. "Aku segaja melepaskan mu. Sekarang ternyata ada orang jahat membunuhmu. Kalau memang nasibmu seperti ini kan lebih baik kau kupanggang dan kusantap saja tadi..."

Wiro garuk-garuk kepalanya dengan tangan kiri. Lalu diusapnya kepala kelinci itu beberapa kali. Darah yang mengucur dari kepala kelinci mengotori jari-jari tangannya. Perlahan-lahan Wiro letakkan binatang itu di tanah lalu dia tegak kembali, memandang berkeliling.

"Orang jahat! Siapa kau yang tega-teganya membunuh kelinciku? Aku tahu kau masih berada di sekitar sini! Perlihatkan dirimu!"

Dalam keheningan dan dinginnya udara malam tiba-tiba terdengar suara tertawa. Suara tawa ini melengking keras tapi pendek.

"Kurang ajar..." kertak Pendekar 212. Dia jelas mendegar suara tertawa itu. Keras dan dekat tapi anehnya dia tidak bisa mengetahui dari arah mana datangnya. "Orang itu sepertinya memiliki ilmu memindahkan suara!" pikir Wiro.

"Hemmm.... Kau tidak berani unjukkan diri ya?! Apa kau seorang pengecut atau mungkin tampangmu jelek seperti donburi basi?!"

Tetap hening. Kali ini sepertinya juga tak ada suara jawaban. Tapi tidak. Karena tiba-tiba jawaban yang diterima Wiro adalah melesatnya sebuah benda merah ke arah kaki kirinya. Sang pendekar cepat melompat.

"Settt... Cleppp... Brettt...!"

Sebuah bendera merah menancap di tanah, tepat di atas mana tadi kaki Wiro meminjak. Gerakan Wiro mengelak tadi cepat sekali. Namun sebelum menancap di tanah besi bendera masih sempat merobek ujung kaki celana putihnya!

"Bendera aneh itu lagi!" desis Wiro dengan mata mendelik.."Si pelempar jelas sengaja mencari tantangan. Bukan cuma mau membunuh kelinci tapi juga mau membunuh diriku!"

Sambil mundur mendekati sebuah pohon besar Wiro memandang berkeliling. Dia sengaja berdiri di depan pohon untuk mempersempit ruang serang musuh yang tersembunyi.

"Pembokong gelap! Apa kau masih tidak mau memperlihatkan diri?!" teriak Wiro. Baru saja dia berteriak begitu tiba-tiba...

"Settt-Settt...!"

Dua buah Bendera Darah melesat dalam gelapnya malam den menancap di batang pohon, hanya seujung kuku jari dari telinga kiri kanan sang pendekar! Walau udara dingin tapi murid Sinto Gendeng sempat keluarkan keringat dan tengkuknya jadi merinding.

Dia sadar kalau pun dia masih berdiri di sekitar situ, cepat atau lambat dirinya bakal jadi tancapan bendera aneh itu. Walau besi bendera tidak mengandung racun tapi daya bunuhnya tidak bisa dibuat main. Memikir sampai di situ Wiro keluarkan seruan keras. Kedua kakinya menjejak tanah sambil kerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Tubuhnya melesat ke atas.

"Settt-Settt-Settt-Settt...!"

Empat Bendera Darah dengan sebat mengikuti gerakan Wiro. Satu mengarah perut, satu mencari sasaran di basian dada dan dua menyambar ke arah kepala.

"Kurang ajar!" rutuk Pendekar 212. "Si pembokong benar-benar inginkan nyawaku! Siapa dia... Kaki tangan orang-orang lembah Hozu?"

(Mengenai silang sengketa Pendekar 212 dengan orang-orang Lembah Hozu, baca serial Wiro Sableng berjudul Pendekar Gunung Fuji)

Masih melayang di udara Wiro membuat gerakan jungkir balik. Ke dua tangannya serentak lepaskan pukulan tangan kosong yang menghamburkan angin deras. Empat Bendera Darah bukan saja berhasil dihindar tapi malah dibuat mental. Tetapi murid Sinto Gendeng jadi tersentak kaget ketika melihat apa yang terjadi. Empat buah Bendera Darah yang kena hantaman pukulan tangan kosongnya tadi tiba-tiba berbalik.

Dua diantaranya kelihatan robek. Empat bendera merah Empat bendera merah ini berkibar aneh. Lalu seperti didorong oleh kekuatan hebat, empat bendera itu melesat berpencaran dan kembali menyerang Wiro di empat sasaran!

"Kurang ajar! ini bukan main-main!" Wiro Cepat melompat kebalik serumpun semak belukar. Sambil melompat dia lepaskan pukulan 'Tameng Sakti Menerpa Hujan'.

Dua buah Bendera Darah robek dan menancap pada rerumpunan semak belukar. Satu diantaranya malah tepat di depan hidung Pendekar 212 hingga kembali murid Sinto Gendeng keluarkan keringat dingin. Yang dua lagi berhasil dihantam luruh ke tanah. Hebatnya meski jatuh namun dua bendera ini tidak tergeletak begitu saja melainkan jatuh dengan tetap menancap di tanah!

Di balik kerapatan batang-batang bambu di tepi sungai terdengar suara orang berdesah. Sepasang telinga Wiro menangkap suara desah itu. Tanpa Pikir panjang dia segera menghantam ke arah Pohon bambu. Pukulan yang dilepaskannya kali ini adalah dalam jurus 'Segulung Ombak Menerpa Karang'. Terdengar suara seperti ombak besar bergulung di Pantai. Lalu...

"Wusss...! Brakkkk...!"

Rumpunan batang bambu di depan sana laksana dihantam topan, hancur rambas berantakan.

"Kosong! Tak ada siapa-siapa di tempat itu!" seru Wiro dengan pandangan kaget.

Baru saja dia berseru demikian dan belum habis rasa kagetnya tiba-tiba dari atas terdengar Suara seekor berkesiuran.

"Bendera keparat!" teriak Wiro.

Tiga buah Bendera Darah melesat dengan kecepatan setan dari atas pohon besar. Membuat dia lagi-lagi dipaksa jungkir balik selamatkan diri.

"Cleppp...!" Bendera Darah pertama menancap amblas ke dalam tanah.

"Krakkk...!" Bendera Darah ke dua menghantam batu kali dan menancap di batu itu!

"Gila! Kalau benar benda itu bisa menancap di batu, kekuatannya benar-benar luar biasa! Batok kepala pasti tembus!"

Namun Wiro tidak sempat berpikir panjang. Dia merasa lututnya goyah ketika menyadari Bendera Darah ketiga menyusup di bahunya, merobek baju tebalnya lalu ada rasa sakit dikulit bahu sebelah kiri. Pertanda ada daging bahunya yang kena ditembus besi bendera.

Rasa sakit mula-mula tidak terasa karena saking cepatnya gerakan besi itu menembus. Wiro ulurkan tangan kanannya ke bahu kiri dan cabut bendera yang menancap di bahunya itu sementara baju tebalnya kelihatan merah oleh darah yang keluar dari luka.

Sambil menggenggam bendera merah yang dicabutnya dari bahu kiri Wiro mendongak ke atas. Dalam kegelapan samar-samar dilihatnya satu sosok aneh tegak di cabang terendah.

"Mahluk apa di atas pohon pikir Wiro. "Sosoknya seperti manusia... tapi tak jelas kepala tak kelihatan mukanya...! Setan alas di atas pohon! Apa kau tak berani turun ke tanah?"

Sosok di atas pohon keluarkan tawa melengking keras tapi pendek. Tubuhnya kemudian tampak melesat ke atas lalu berputar jungkir balik. Di lain kejap dia melompat ke bawah, menukik laksana seekor alap-alap menyambar mangsanya.

"Makan benderamu sendiril" bentak Wiro. Tangan kanannya yang memegang bendera merah melempar ke atas. Bendera Darah menderu ke arah Ubun-ubun kepala sosok yang saat itu melayang sebat ke bawah.

"Huh...!" Orang yang melayang turun keluarkan suara terkejut ketika melihat bendera miliknya sendiri kini dilempar orang ke arah batok kepalanya. Dalam kejutnya dia bertindak tenang sekali. Sambil miringkan tubuh ke kiri dia malah sengaja menyambut serangan bendera dengan dada kirinya.

"Cleppp...!" Bendera itu menyusup dan lenyap di tubuhnya seolah seekor burung yang melesat masuk ke sarangnya!

Rasa heran Pendekar 212 berubah jadi terkejut besar ketika sesaat kemudian dia melihat sosok Yang tegak di hadapannya. "Gila! Seumur hidup baru sekali ini aku melihat mahluk macam begini..."

EMPAT

Di hadapan Wiro saat itu tegak sesosok tubuh yang mulai dari kaki sampai ke kepala tertutup oleh puluhan, mungkin ratusan bendera-bendera kecil berwarna merah. Dari wajahnya hanya sepasang matanya saja yang kelihatan. Memandang tajam tak berkesip pada Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Aneh, mahluk ini terbungkus bendera dikaki tangan, badan sampai kepala. Apakah dia tidak mengenakan pakaian? Tak bisa kuterka apa dia lelaki atau perempuan..."

Diam-diam Wiro mencium seperti ada bau harum muncul di tempat itu bersamaan dengan kemunculan mahluk aneh ini. Untuk sesaat lamanya dua orang itu hanya berdiri . tegak saling pandang tanpa bicara.

"Hemm..." Murid Sinto Gendeng akhirnya bergumam. "Rupanya aku berhadapan dengan hantu penjual bendera!"

Diejek seperti itu sepasang mata orang yang sekujur tubuh dan mukanya tertutup bendera-bendera merah kelihatan membesar. Walau jelas marah namun dia tetap diam, tak membuat gerakan apa-apa.

"Tukang bendera! Kau membunuh kelinci itu, Kau juga menyerang dengan maksud membunuh. Padahal antara kita tidak ada silang sengketa. Bertemu pun baru kali ini! Bahkan tampang mu yang tersembunyi dibalik kain-kain popok merah itu tak pernah kulihat!"

Dari tenggorokan orang di hadapan Wiro terdengar suara menggeru. Lalu dia membentak. "Orang asing! Lagakmu sombong! Penghinaanmu keliwatan. Kau boleh menghina diriku! Tapi menghina bendera-benderaku sebagai kain popok tak dapat kuterima! Penghinaan atas Bendera Darah berarti mati!"

Wiro segara saja maklum kalau mahluk yang ada dihadapannya itu tidak bicara dengan suara aslinya tapi mempergunakan suara perut. Dia lantas ingat Akiko Bessho, murid mendiang Hiroto Yamazaki dari Gunung Fuji yang juga ahli mempergunakan ilmu suara dari perut. Wiro sendiri sempat belajar cara bicara dengan perut itu dari Akiko walaupun belum tuntas. Maka diapun rubah suaranya. kerahkan tenaga dalam ke perut dan bicara menirukan suara seperti kambing.

"Oh, jadi yang kukira kain popok itu adalah Bendera Darah! Pantas ganas amat!"

Mahluk yang terbungkus bendera jadi marah dan juga kaget. Marah karena lagi-lagi Wiro menghina Bendera Darahnya. Terkejut karena tidak menyangka pemuda asing itu juga mampu menggunakan suara perut malah meniru suara kambing!

"Dengar... Sebelum kubunuh katakan dulu dari mana kau belajar bicara dengan suara perut itu?!"

"Eh, perlu apa kau bertanya? Aku mau belajar dari hantu atau jin atau dari siapa saja apa urusanmu?!"

"Hemmm begitu... Berarti kau mempercepat saat kematianmu!" Mahluk bendera gerakkan kedua tangannya.

"Tunggu dulu!" seru Pendekar 212. "Katakan mengapa kau ingin membunuhku!"

"Sekedar untuk menebus nyawa Nenek Arashi yang kau bunuh beberapa waktu lalu..."

Wiro terkejut. "Apa hubunganmu dengan nenek jahat itu?" tanya Wiro.

"Kau bisa tanyakan sendiri padanya nanti di akhirat. Itupun kalau kau bisa ketemu dia...!" Orang itu menjawab lalu tertawa keras. Dua tangannya bergerak. Terdengar suara...

"Settt-Settt-Settt-Settt...!"

Empat kali berturut-turut. Wiro hampir tak melihat kapan orang itu mencabut bendera-bendera kecil di tubuhnya tahu-tahu empat Bendera Darah melesat ke arahnya! Murid Eyang Sinto Gendeng berseru keras. Tubuhnya berkelebat lenyap. Bersamaan dengan itu dia menghantam ke depan dengan tangan kiri. Lepaskan pukulan 'Kunyuk Melempar Buah'.

Dua buah Bendera Darah mental dan robek lalu menancap di tanah. Dua lainnya terus meluncur mengejar ke arah mana perginya sasaran. Wiro kertakkan gerahamnya ketika melihat dua Bendera Darah secara luar biasa mampu mengejar dan menyambar ke arah perut dan dadanya.

"Trangg...! Trangg...!" Terdengar dua kali suara berdentrangan. Dua kali berturut-turut bunga api memancar terang dalam kegelapan malam. Lalu...

"Wusss...! Wusss...!"

Dua Bendera Darah terbakar di udara. Begitu punah dua batang besi kecil yang jadi tiang bendera luruh ke tanah. Sekali ini tak mampu menancap seperti sebelumnya! Mahluk kendera terkesiap kaget. Dua matanya memandang tak berkesip ke arah tangan kanan Wiro dimana tergenggam batu hitam empat persegi panjang pasangan Kapak Maut Naga Geni 212. Dengan benda inilah rupanya tadi Wiro menangkis serangan dua dari empat Bendera Darah. Wiro sendiri tidak menyangka kalau batu api itu bukan saja sanggup menangkis serangan Bendera Darah tapi waktu bentrokan tadi sekaligus membakar kain bendera!

"Batu itu...?" Manusia bendera membatin. "Lalu kapaknya tadi... Aku harus mendapatkannya! Musti! Gaijn... Aku mungkin bisa melupakan pembunuhan atas diri Nenek Arashi yang kau lakukan lalu membebaskanmu dari kematian. Asal kau menerima syarat yang bakal aku katakan..."

Wiro menyeringai. "Setan alas ini rupanya punya rencana tersembunyi..." katanya dalam hati. Lalu..., "Tadinya aku memang sudah siap-siap menghadapi kematian. Sekarang kau bilang mau membebaskan diriku. Coba katakan apa syaratmu itu..."

"Serahkan batu hitam itu. Juga senjata berbentuk kapak yang kau simpan di balik pakaian..."

Wiro sesaat jadi melongo. Lalu dia tertawa gelak-gelak.

"Aku merasa tidak ada yang lucu. Mengapa harus tertawa segala? Kau harus bersyukur tak jadi kubunuh!"

Wiro tersenyum lalu berkata, "Memang tidak ada yang lucu. Tadinya kau kukira seorang penjual bendera. Ternyata kau adalah seorang perampok tengik yang ingin barang orang lain!"

"Kau memutuskan untuk tidak mau menyerahkan dua barang yang kuminta itu?" Nada suara manusia bendera mengandung ancaman.

"Kira-kira begitu..." jawab Wiro seenaknya.

"Berarti kematian sudah diambang pintu. Kasihan, datang dari jauh hanya untuk mengantar nyawa. Mayatmu pun tak akan ada yang mengurus!"

"Kalau kau kira aku memang akan mati ditanganmu, apakah kau hendak titip salam buat Nenek Arashi di akhirat?!" ejek Wiro pula.

Manusia bendera berteriak marah. Tubuhnya berkelebat. Tangannya kiri kanan bergerak. Sepuluh bendera yang menempel di tubuhnya berkelebat. Wiro tak tinggal diam. Batu hitam dibabatkan ke depan sedang tangan kiri lepaskan dua pukulan sakti berturut-turut.

"Bummm...! Bummm...!"

Manusia bendera tampak terhuyung-huyung tapi hanya sebentar. Belasan bendera yang menempel menutupi badannya tersibak akibat pukulan Wiro tadi cepat-cepat dirapikannya. Memandang ke depan empat buah Bendera Darah dilihatnya musnah terbabakar. Dua menancap di pohon, dua lenyap dalam kegelapan malam tapi dua buah lagi walau tidak tepat berhasil menancap di tubuh lawannya!

Wiro menyeringai kesakitan. Sebuah Bendera Darah menancap menyisi pinggiran paha kirinya. Darah mengucur membasahi kaki celana putih yang dikenakannya. Bendera Darah ke dua menyambar rusuk kanan, menyusup dekat tulang iga sebelah luar.

"Aku masih mau memberi kesempatan agar kau berubah pikiran! Bagaimana?" Mahluk bendera berkata.

"Mahluk edan! Biar aku kembalikan dulu dua bendera mu ini!" jawab Wiro. Dengan cepat dia cabut dua bendera yang menancap di tubuhnya. Namun sebelum dia sempat melemparkan senjata itu ke arah pemiliknya tiba-tiba manusia bendera gerakkan badannya.

Terjadilah hal yang luar biasa. Tiga puluh Bendera Darah yang menempel di badannya melesat. Dengan mengeluarkan suara menderu laksana topan menggidikkan bendera-bendera itu menyambar ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Celaka! Aku tak punya kesempatan mengelak atau menangkisl" Wiro terpaksa Iepaskan dua bendera yang dipegangnya lalu pergunakan batu api untuk menangkis sebisanya. Gerakannya untuk mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 tidak dapat tidak tetap akan kedahuluan oleh serangan tiga puluh Bendera Darah yang menyerbu laksana topan itu!

"Ah, aku benar-benar mati di tangannya!" kata Wiro. Dia masih berusaha jatuhkan diri walau sadar hal ini adalah sia-sia saja sementara puluhan Bendera Darah menderu ganas.

Tiba-tiba satu teriakan keras menggema dari arah sungai kecil. "Yori! Jangan bunuh dia!"

Mahluk bendera tersentak kaget. Saat itu di pertengahan sungai kelihatan seorang gadis berkimono biru berdiri di atas sebuah perahu kecil yang meluncur dengan cepat. Sebelum ujung perahu menyentuh pinggiran sungai gadis ini sudah melesat sambil cabut sebilah katana dan siap menyerbu kirimkan tangkisan untuk membendung serangan puluhan Bendera Darah walau dia maklum bahwa tidak seluruhnya bendera-bendera maut itu bisa diruntuhkannya. Paling tidak sebagian besar masih akan menancap di tubuh Wiro.

"Ah dia...!" kata mahluk bendera dalam hati. Kedua matanya bersinar seperti mau marah. Namun tiba-tiba saja dia menyentakkan kepala dan melambaikan kedua tangannya ke belakang seraya berseru, "Bendera kembali!"

Terjadilah hal yang luar biasa. Puluhan Bendera Darah yang menyerbu ke arah Wiro tiba-tiba tegak dan berkibar. Lalu secara aneh bendera-bendera ini berputar. Seolah-olah ditarik oleh kekuatan besi berani yang hebat, semua bendera melesat berbalik dan menyusup di antara puluhan bendera yang menempel di tubuh manusia bendera.

Gadis yang melompat dari atas perahu menginjakkan ke dua kakinya di tanah. Di saat yang sama manusia bendera membungkuk dalam-dalam sampai tiga kali lalu putar tubuhnya.

"Yori! Tunggu!" seru si gadis berkimono biru sambil berusaha mengejar. Tapi si manusia bendera itu sudah lenyap di telan kegelapan malam.

Wiro menarik nafas lega dan berpaling ke kiri. "Sahabatku nona Akiko Bessho. Syukur kau datang...!"

"Kau tak apa-apa?" tanya gadis kimono biru sambil matanya meneliti sekujur tubuh Pendekar 212.

"Ah, kau terluka di tiga tempat. Bahu, paha, dan rusuk..." Besi bendera itu tidak beracun. Tapi lukamu cepat harus dirawat. Lewat dari tiga hari luka itu akan membusuk..."

"Dan aku bisa mati...?"

Si gadis menggeleng. "Mati ya tidak. Cuma kau mungkin akan catat seumur hidup. Salah satu tangan atau kakimu bisa-bisa lumpuh..."

"Bendera-bendera merah kurang ajar. Kau tadi kudengar menyebut nama mahluk aneh itu. Dia manusia atau apa...? Lelaki atau perempuan...?"

"Maafkan aku. Aku tak bisa menerangkan siapa dirinya...!"

"Jadi kau sebenarnya kenal siapa dia adanya?" tanya Wiro.

"Lupakan dia, Yang jelas kau selamat. Aku senang bisa bertemu kau di sini..."

"Aku juga... Tapi aku merasa aneh. Kita bersahabat. Dan kau ternyata kurang percaya padaku. Tak mau menceritakan siapa adanya manusia aneh tadi. Lalu kulihat dia seperti takut padamu dan cepat-cepat berkelebat pergi...!"

"Sudahlah, lupakan saja mahluk yang kau anggap aneh itu," kata Akiko Bessho. Lalu dari sebuah kantong kain yang dikeluarkannya dari balik bajunya Akiko Bessho mengambil sebutir obat berwarna merah dan diberikannya pada Wiro. "Lekas telan. Lukamu pasti sembuh dalam tempo satu hari..."

Wiro memasukkan obat itu ke dalam mulutnya. Mendadak saja dia seperti mau muntah. Obat yang dimulutnya hampir melompat keluar.

"Tolol! Kau seperti anak kecil saja! Jangan dihisap. Itu bukan gula-gula! Langsung telan!"

"Obat apa ini! Sepahit tahi setanl" teriak Wiro.

"Ngacok! Apa kau sudah pernah makan kotoran setan?!" ujar Akiko pula menahan tawa.

Wiro cepat telan obat dalam mulutnya. Begitu obat pahit lewat ditenggorokannya dia menarik nafas lega. "Terima kasih Akiko," kata Wiro. "Coba ceritakan bagaimana kau berada di tempat ini. Bukankah kita janji bertemu bulan purnama di muka di desa Kitano di kaki gunung Mitaka? Kau sengaja mencariku. Kangen atau bagaimana...?"

Kata-kata Pendekar 212 itu membuat wajah Akiko Bessho menjadi bersemu merah. Wiro tertawa lebar dia menarik tangan Akiko mengajaknya duduk dekat perapian.

"Aku dalam perjalanan ke Kioto. Seorang sahabat mendiang Sensei meninggal dunia. Kematiannya tidak wajar. Dibunuh oleh ninja..."

"Ninja..." desis Wiro. "Aku tidak mengerti bagaimana ada manusia atau kelompok manusia seperti mereka. Melakukan apa saja demi uang! Bahkan membunuh bayi sekalipun mereka tega"

"Mereka memang ganas dan kejam. Lebih kejam dari orang-orang Lembah Hozu yang pernah kita hadapi dulu..."

"Heran, mengapa Kaisarmu tidak menumpas mereka...?"

"Sulit. Karena orang-orang atau pejabat-pejabat tinggi sendiri banyak mempergunakan tenaga mereka. Para samurai tak sanggup menumpas mereka. Selain kepandaian pendekar samurai jauh dibawah para ninja, juga adanya pejabat-pejabat tinggi tadi yang tetap menginginkan adanya ninja baik untuk kepentingan usaha dagang mereka, jabatan maupun keamanan."

"Sebetulnya aku pun tadi dalam perjalanan menuju Kioto..." kata Wiro pula.

"Kalau kau memang mau pergi sama-sama, tentu saja aku tidak keberatan. Tapi ada syarat! Jangan mencari perkara dan berbuat yang aneh-aneh. Aku ke sana untuk melayat, bukan untuk bersenang-senang..."

Wiro tersenyum. Sambil garuk kepala dia menjawab. "Bagiku, bisa pergi sama-sama tidak merupakan kesenangan tersendiri...!"

"KaIau begitu ayo kita berangkat sekarang. Kioto masih cukup jauh dan kita harus jalan kaki..."

"Bagaimana dengan ilmu pukulan matahari. Kau masih terus melatih diri?" tanya Wiro.

Akiko Bessho mengangguk. "Daya hantamku jauh lebih besar. Aku berterima kasih kau telah mengajarkan ilmu pukulan sakti itu. Lalu bagaimana dengan ilmu bicara dari Perut yang aku ajarkan padamu. Kau sudah bisa?

"Wah, aku harus banyak berlatih. Kadang-kadang Yang keluar bukan suara manusia tapi suara binatang..." jawab Wiro hingga Akiko Bessho tertawa geli.

"Sahabat gurumu yang dibunuh ninja itu, siapakah dia?" tanya Wiro sambil melangkah cepat di sa Akiko.

"Namanya Noboru Kasai. Ketua Perguruan silat Emerarudo...!" jawab Akiko sambil lebih mempercepat jalannya.

(siapa adanya gadis Jepang bernama Akiko Besso ini harap baca Serial Wiro Sableng berjudul Pendekar Gunung Fuji)

********************

LIMA

Di dalam ruangan itu berkumpul para pucuk pimpinan Perguruan Emerarudo. Hisao Matsunaga duduk bersebelahan dengan Shigero Momochi. Di hadapan mereka duduk empat orang tua-tua Perguruan mengapit seorang anak lelaki berusia 14 tahun. Anak ini adalah Akira, putera tunggal mendiang Ketua Noboru Kasai. Keheningan menggantung beberapa lamanya. Hisao Matsunaga mengusap dadanya beberapa kali lalu terdengar dia batuk-batuk.

"Wakil Ketua, kau agak kurang sehat rupanya? tanya seorang tua sesepuh Perguruan yang duduk di hadapan Hisao.

"Mungkin masuk angin. Sehabis berjalan jauh ke Kioto dua hari lalu..." jawab Hisao Matsunaga sambil mengusap dadanya lalu menarik nafas panjang. Dia melirik pada Shigero Momochi yang duduk seperti terkantuk-kantuk di sampingnya. "Orang ini pasti habis meneguk minuman keras lagi..." kata Hisao dalam hati. Lalu dia memandang pada Akira Kasai sesaat dan berkata,

"Akira-san! Kami sengaja mengikut sertakan kau dalam pembicaraan penting ini karena sebagai putera mendiang Ketua Perguruan kami menganggap kau harus tahu akan segala pembicaraan maupun rencana Perguruan..."

Akira Kasai membungkuk dalam dalam lalu menjawab. "Saya berterima kasih atas kehormatan ini!"

"Seperti kita ketahui dua hari dari sekarang jenazah Ketua Noboru Kasai akan diperabukan," kata Hisao meneruskan ucapannya tadi.

"Sesuai ketentuan Perguruan, sebelum hal itu dilakukan sudah harus ditentukan dan diumumkan siapa pengganti beliau yang akan menjabat sebagai Ketua Perguruan. Sejak puluhan tahun silam sudah ada ketentuan bahwa seorang Ketua membuat semacam surat warisan di dalam mana dia menyebutkan siapa penggantinya jika karena satu dan lain hal dia tidak lagi bisa memegang jabatan sebagai Ketua. Apapun isi surat warisan itu atau siapapun yang ditunjuk menjadi pengganti tidak ada seorangpun yang boleh membantah. Semua harus tunduk dengan isi surat warisan. Aku dan Shigero Momochi sudah memeriksa di semua tempat termasuk Ruangan Rahasia Perguruan dan kamar pribadi mendiang Ketua. Namun surat itu tak ditemukan. Kita semua tahu, malam itu tiga orang ninja menyerbu ke sini. Mereka bukan saja berniat membunuh Ketua tapi dari penyelidikan ternyata mereka juga mencuri surat penting itu. Walau yang dua terbunuh, satu-satunya yang melarikan diri agaknya telah berhasil mencuri dan melarikan surat itu. Waktu kita hanya sedikit Kurang dari dua hari. Dalam waktu yang sangat singkat itu kita harus menemukan surat itu!"

Shigem Momochi yang duduk seperti terkantuk-kantuk dikejutkan oleh pertanyaan Hisao Matsunaga.

"Shigero, apakah sudah ada kabar dari orang-orang kita yang kau suruh menghubungi para Ketua Ninja...?!"

Shigero Momochi usap mukanya. "Maafkan, aku kurang mendengar pertanyaanmu tadi Hisao..."

"Kau kelihatan sakit atau mengantuk Shigero? Tanya Hisao berusaha menahan jengkelnya.

"Dalam urusan penting begini rupa bagaimana mungkin dia tidak acuh dan malah mengantuk?!" Seorang tua sesepuh Perguruan membuka mulut.

"Wakil Ketua Hisao Matsunaga tadi menanyakan apa sudah ada kabar dari orang-orang yang disuruh untuk menghubungi para Ketua Ninja?"

"Oh itu..." Shigero usap lagi mukanya. "Belum... belum" katanya sambil menggeleng. "Mereka belum kembali..."

Hisao Matsunaga menarik nafas dalam. "Kalau sampai saat terakhir jenazah diperabukan surat itu belum ditemukan dan Perguruan belum mengangkat Ketua yang baru, apa yang harus kita lakukan?"

Salah seorang tua yang duduk di sebelah Akira Kasai membungkuk lalu menjawab. "Menurut aturan, walau ini tidak pernah terjadi sebelumnya, jabatan Ketua sementara dipegang oleh istri atau putra mendiang Ketua. Karena mendiang Ketua tidak punya istri maka jabatan itu dipercayakan pada puteranya!"

Semua mata ditujukan pada Akira Kasai.

"Aku tidak pernah melihat aturan itu secara tertulis," tiba-tiba Shigero Momochi membuka mulut. "Dan aku merasa aturan itu tidak benar. Perguruan bukan Kerajaan dimana tahta atau pucuk pimpinan diserahkan pada seorang putera jika sang raja meninggal. Aku lebih suka jika tanggung jawab Perguruan untuk sementara berada di tangan kelompok pimpinan..."

Sesaat keadaan di tempat itu menjadi hening. Tiba-tiba Akira Kasai membungkuk.

"Akira-san, kau hendak mengatakan sesuatu'" tanya Hisao Matsunaga.

"Kalau diperkenankan paman Wakil Ketua..." jawab anak lelaki itu.

"Kedudukanmu sama dengan kami. Jadi kau berhak bicara," kata Hisao Matsunaga sambil senyum.

"Kau tak usah malu apalagi merasa takut. Bicaralah..."

Setelah membungkuk sekali lagi maka anak itupun mulai bicara. "Maafkan saya karena baru saat ini menyampaikan apa yang saya ketahui... ini menyangkut surat warisan atau surat penunjukan siapa yang jadi pengganti mendiang Ayah. Surat itu ada di Puri Sanzen. Disimpan oleh seorang pendeta bernama Komo..."

Semua orang yang ada di situ tentu saja jadi terkejut karena tidak menyangka akan mendengar keterangan itu dari mulut Akira Kasai.

"Akira san..." kata Shigero Momochi dengan nada penasaran. "Kenapa baru sekarang kau bilang? Padahal kau tahu kita semua sudah kelabakan mencari surat itu!"

"Harap maafkan. Saya tak berani bicara karena takut kesalahan dan para orang tua di sini menganggap diri saya lancang"

Hampir saja Shigero Momochi hendak mendamprat anak itu. Tapi Hisao Matsunaga cepat berkata, "Bagaimana ceritanya surat itu berada di tangan pendeta Komo dan bagaimana kau mengetahui hal itu Akira-san?"

"Sekitar satu bulan lalu Ayah sendiri yang menyuruh saya mengantarkan surat itu ke Puri Sanzen dan menyerahkannya pada pendeta Komo. Agaknya Ayah seperti sudah punya firasat ada sesuatu yang bakal terjadi atas dirinya. Menurut pesan Ayah pada pendeta Komo, surat itu hanya saya yang bisa mengambil lalu menyerahkannya pada para Wakil ketua Perguruan..."

Shigero Momochi menggelengkan kepala. "Sepertinya mendiang Ketua tidak percaya pada kita semua... Aku merasa malu diperlakukan seperti itu..."

Hisao Matsunaga batuk beberapa kali sambil usap-usap dadanya. Dia berkata untuk mendinginkan suasana. "Aku rasa mendiang Ketua melakukan hal itu tentu ada sebabnya. Buktinya, kalau dia tidak berbuat begitu surat penting tersebut pasti sudah jatuh ketangan ninja"

Walau wajahnya masih menunjukkan ketidak senangan tapi Shigero Momochi diam saja.

"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya salah seorang tua.

"Aku dan beberapa murid Perguruan akan mengantar putera mendiang ketua ke Puri Sanzen. Puri itu cukup jauh dari sini. Jika berangkat malam ini dan berhenti istirahat di beberapa tempat, baru besok petang akan kembali. Mengingat pulera Ketua tak bisa menunggang kuda maka delapan orang akan bergantian menandunya. Akira-san kau lekas bersiap-siap. Aku akan mengatur segala sesuatunya"

Hisao Matsunaga segera berdiri. Sebelum melangkah ke pintu dia berpaling pada Shigero Momochi. "Shigero, selama kami pergi, semua hal di perguruan menjadi tanggung jawabmu. Yang lain supaya membantu termasuk menyambut para tamu yang datang melayat."

Shigero Momochi diam saja. Agaknya dia tidak suka akan ucapan Hisao tadi yang seolah-olah memerintah dan membuat dia berada dalam kedudukan lebih rendah.

********************

Akira Kasai memandang pada tandu yang sebentar lagi akan membawanya ke Puri Sanzen. Saat itulah seorang anak lelaki seusia Akira dan sama-sama mengenakan kimono warna merah melangkah mendekati Akira dan menegur.

"Akira, ku dengar kau mau berangkat ke Puri Sanzen..."

Akira Kasai berpaling. Dia tertawa lebar ketika melihat siapa dihadapannya. Keno teman sebaya dan sepermainan. "Betul Keno, aku harus pergi..."

"Malam-malam begini? Aku kawatir..."

"Aku ditemani paman Wakil Ketua Hisao Matsunaga. Apa yang harus dikawatirkan?Wjar Akira pula.

"Akira, aku mimpi buruk. Kau jatuh ke dalam jurang yang dasarnya penuh dengan batu-batu merah membara. Aku takut akan terjadi apa-apa dengan dirimu dalam perjalanan...!"

Akira Kasai tersenyum dan pegang bahu temannya itu. "Kau sahabat yang baik. Aku pergi cuma sebentar. Besok juga sudah kembali. Doakan saja supaya aku selamat pergi dan kembali!"

"Bagaimana kalau aku ikut bersamamu?" tanya Keno.

"Tentu saja aku suka. Tapi paman Wakil Ketua belum tentu mau mengizinkan," jawab Akira.

"Kalau begitu sebelum ada yang melihat biar aku sembunyi duluan dalam tandu..."

"Heh! Kau benar-benar konyol Keno..."

"Konyol atau apapun katamu pokoknya aku harus ikut!"

"Kalau kau memaksa terserah saja. Lekas masuk ke dalam tandu,..!" kata Akira sambil memandang berkeliling takut ada yang melihat.

ENAM

Sebetulnya Puri Sanzen terletak tidak terlalu jauh dari bukit dimana Perguruan Emerarudo berada. Hanya saja jalan menuju ke Puri itu sangat sulit, buruk dan berbatu-batu. Di samping itu pendakian dan penurunan datang silih berganti hingga rombongan yang dipimpin oleh Hisao Matsunaga tidak bisa bergerak cepat.

Menjelang dinihari ketika rombongan bergerak perlahan dan tertatih-tatih melewati sebuah pendakian curam, dari puncak pendakian tiba-tiba muncul tujuh sosok hitam.

"Shinobi!" kata Hisao Matsunaga dengan suara bergetar.

"Ninja!" teriak beberapa orang anggota rombongan hampir berbarengan.

"Eh, apa yang terjadi...?" ujar Akira Kasai di dalam tandu ketika merasakan tandu yang diusung oleh empat orang anak murid Perguruan tiba-tiba diturunkan ke tanah. Lalu mendadak pula terdengar suara beradunya pedang.

Keno yang berbaring di lantai cepat berdiri dan menyingkap tabir penutup jendela kecil di dinding tandu. Dia mengintai keluar. Suaranya bergetar ketika berpaling pada Akira dan berkata,

"Rombongan kita diserang ninja, Jumlah mereka lebih dari lima. Kelihatannya Wakil Ketua dan anak murid Perguruan berada dalam keadaan terdesak..."

"Apa yang harus kita lakukan...?" tanya Akira Kasai, Tangan kanannya meraba katana pendek yang tersisip di pinggang. Walau wajahnya tidak menunjukkan rasa takut tapi getaran suaranya cukup menjadi pertanda bahwa anak ini merasa sangat kawatir.

"Mimpiku jadi kenyataan. Ninja-ninja hitam itu pasti mengincar dirimu!"

"Mengincar diriku? Mengapa? Apa salahku...?"

"Aku juga tidak tahu. Tapi aku merasa dirimu dalam bahaya Akira. Lekas kau menyelinap keluar. Segitu sampai di luar cepat lari ke Puri Sanzen..."

"Apa maksudmu? Apa yang hendak kau lakukan?" tanya Akira.

"Sudah. Waktu kita tidak banyak. Lekas pergi..." kata Keno. Lalu dipeluknya temannya itu erat-erat!

Akira balas memeluk sambil berkata. "Aneh kau ini Keno. Kau memelukku seperti kita akan berpisah dan tidak bertemu lagi... !"

"Lekas pergi... Aku mendengar suara jeritn wakil Ketua... Dia pasti terluka. Keadaan benar-benar sangat berbahaya! Larilah! Ambil jalan rahasia yang kita temukan waktu main-main di hutan dulu. Kau ingat?!"

Akira mengangguk dengan gerakan kaku. Keno menggeser pintu dorong tandu lalu menarik lengan kawannya. Putera mendiang Noboru Kasai ini mau tak mau akhirnya keluar juga dari dalam tandu itu.

"Keno...?" ujar Akira.

Tapi Keno sudah menutup pintu dari dalam tandu. Akira Kasai memandang berkeliling. Tempat dia berdiri berada dalam bayang-bayang gelap pohon besar hingga dirinya tersamar tidak kelihatan. Kuduknya merinding ketika melihat bagaimana murid-murid Perguruan Emerarudo bertahan mati-matian terhadap serangan yang dilancarkan oleh tujuh orang ninja.

Seorang ninja berhasil dibunuh, satunya lagi tergeletak antara sadar dan pingsan. Namun seluruh rombongan orang-orang Perguruan Emerarudo sudah bergeletakan jadi mayat, kecuali Wakil Ketua Hisao Matsunaga. Orang ini tersungkur di tepi jalan, berusaha merangkak mencapai tandu.

Akira memutar kepalanya ke arah tandu dimana Keno berada. Sepasang mata anak ini terbeliak besar. Pintu tandu berada dalam keadaan terbuka lebar. Dari tempat gelap dia berdiri, anak ini dapat melihat sosok tubuh Keno. Matanya membeliak dan jantungnya seperti hendak copot ketika melihat bagaimana tubuh Keno tersandar di tempat duduk tandu. Sebilah katana menancap di dadanya!

Kalau tak cepat dia menutup mulutnya sendiri mungkin anak ini sudah berteriak karena ngeri. "Keno... Mimpimu... Ternyata kau yang mendapat celaka. Seharusnya... seharusnya aku yang menemui ajal. Keno sahabatku... Kini aku mengerti. Kau sengaja menyuruhku pergi. Kau memilih tetap berada dalam tandu. untuk menipu ninja-ninja jahat itu. Keno..."

Akira Kasai tak kuasa membendung air matanya. Di sebelah sana dilihatnya Wakil Ketua Perguruan Emerarudo merangkak di tanah terbatuk-batuk dan pegangi dada kirinya. Tiba-tiba empat orang ninja melompat mengurungnya. Masing-masing memegang ninjato berlumuran darah!

"Ninja-ninja itu... Mereka pasti membunuh Paman Hisao. Apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku menolongnya. Paman..."

Tiba-tiba terngiang di telinga Akira ucapan Keno. Mimpiku jadi kenyataan. Ninja-ninja hitam itu pasti mengincar dirimu... Aku merasa dirimu dalam bahaya Akira. Lekas menyelinap keluar. Begitu sampai di luar cepat lari ke Puri Sanzen.

"Ninja-ninja itu...apa mereka benar hendak membunuhku? Mengapa?!" Akira memperhatikan seorang ninja lagi berkelebat mengurung Hisao Matsunaga.

"Aku merasa diriku seperti seorang pengecut! Aku ingin menolongmu Paman Hisao. Tapi apa dayaku. Maafkan aku Paman...." Anak itu putar tubuhnya.

"Kraaakkk...!" Tak sengaja kaki kiri Akira menginjak sebatang kayu agak kering hingga mengeluarkan suara. Lima ninja berpaling ke arah kegelapan. Juga Paman Hisao Matsunaga. Secepat kilat Akira melompat ke balik sebuah pohon besar lalu menghilang.

Lima ninja berkelebat ke arah tandu lalu ke jurusan dimana tadi mereka mendengar suara berderak disertai berkelebatnya satu bayangan. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hisao Matsunaga untuk bangkit dan naik ke punggung seekor kuda lalu menggebrak binatang ini meninggalkan tempat itu. Lima ninja saling pandang. Sesaat kemudian ke limanya serentak berkelebat ke arah lenyapnya Akira.

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Hisao Matsunaga belum lama memacu kudanya ketika tiba-tiba dalam kegelapan malam dua penunggang kuda datang dari jurusan berlawanan. Karena jalan sempit dan Hisao Matsunaga agaknya tidak mau menghindar atau menepi maka dua penunggang kuda yang datang dari arah depan terpaksa bersibak dan menepi.

"Orang itu menunggang kuda seperti dikejar setan!" ujar penunggang kuda di kiri jalan. Dia berpakaian dan berikat kepala putih serla berambut gondrong. Melirik ke kanan dia melihat sebuah jurang batu dalam kegelapan. "Gila, sempat kaki kudaku terperosok, amblas diriku ke dalam jurang itu!"

"Wiro..."

"Ada apa Akiko? Kau kelihatannya seperti kaget."

"Penunggang kuda yang barusan lewat. Walau gelap tapi aku masih sempat melihat wajahnya. Dia Hisao Matsunaga..."

"Siapa manusia bernama naga itu?" tanya Wiro acuh saja.

"Salah satu dari dua Wakil mendiang Noboru Kasai, Ketua Perguruan Emerarudo yang hendak kita layati..."

"Eh, kalau benar berarti ada urusan penting membuat dia meninggalkan perguruan..."

"Atau tengah dikejar sesuatu..." kata Akiko pula.

"Aku... Harap kau tunggu disini. Aku coba mengejarnya untuk mencari tahu apa yang terjadi."

"Terserah padamu. Tapi kau harus tahu menunggu di tempat seperti ini tidak sama sedapnya dengan menunggu di rumah teh, ditemani oleh geisha..."

"Aku tak bakal lama!" jawab Akiko lalu cepat memutar kudanya.

Baru saja gadis itu lenyap Wiro mendadak mendengar suara orang berlari. Dia berpaling ke kiri. Tampak satu sosok kecil dalam kegelapan. Sosok ini menyibak serumpunan semak belukar di kiri jalan lalu lenyap dalam celah di antara dua buah batu besar. Pendekar 212 sesaat jadi tercengang.

"Anak kecil dalam rimba belantara malam-malam begini. Eh, apa ada tuyul di Jepang ini? Tapi kulihat kepalanya tidak botak. Atau mungkin tuyul Jepang memang pakai rambut tidak botak seperti di Jawa..."

Memikir sampai di situ Wiro turun dari kudanya dan melangkah ke arah semak belukar di mana si anak tadi dilihatnya lenyap. Baru saja dia sampai di depan semak belukar tiba-tiba lima sosok hitam berkelebat. Dua tegak mendekam di depannya di atas batu besar di kiri kanan semak-semak tiga lainnya langsung mengurung di samping dan belakang.

"Ninja!" Wiro angkat tangan kanannya sambil tertawa lebar untuk menunjukkan sikap bersahabat.

Tapi lima ninja pentang sikap garang. Di samping itu mereka merasa heran tidak mengira akan menemukan seorang pemuda asing di tempat itu. Mereka bicara cepat satu sama lain. Lalu yang berada di atas batu sebelah kanan membentak,

"Pemuda asing, dimana kau sembunyikan anak itu?!"

"Anak, anak apa?" Balik bertanya Pendekar 212.

"Anak lelaki pakai kimono merah!" kata ninja di samping kanan.

"Maksudmu tuyul gondrong itu?"

Lima ninja saling berpandangan. "Tuyul! Apa itu tuyul?!" Salah seorang dari mereka bertanya

"Ah, bagaimana ya aku menerangkannya," ujar Wiro pula sambil garuk-garuk kepala membuat lima ninja jadi tidak sabaran.

Salah seorang dari mereka berbisik pada teman disebelahnya. Yang satu ini menyampaikan pada temannya yang lain. "Pemuda asing ini mencurigakan. Dari pada jadi urusan di kemudian hari lebih baik dibereskan saja..."

"Setuju...!"

Lima ninja membuat gerakan menyerang. Tubuh mereka merunduk. Pedang ditukikkan ke bawah. Yang di atas batu melayang turun.

"Eh, apa-apaan ini?!" Tadi bertanya sekarang malah menyerang!" seru Wiro.

Lima katana mencuat ke udara. Murid Sinto gendeng berteriak keras dan cepat berkelebat hindarkan serangan. Tapi dua senjata lawan masih sempat menggurat punggung dan perutnya.

"Brettt...! Brettt...!"

Pakaian Pendekar 212 robek besar di dua tempat. Dia jadi keluarkan keringat dingin. Lima ninja putar senjata masing-masing dari bawah ke arah pinggang. Lalu untuk kedua kalinya mereka menyerang secara serentak.

"Tranggg...!"

Cahaya terang disertai suara menggaung merobek Kegelapan malam, dibarangi oleh lima kali suara beradunya senjata dan percikan bunga api. Lima ninja keluarkan suara kaget dan mundur. Sepasang mata mereka memandang tak berkesip pada kapak bermata dua yang memancarkan sinar angker di tangan Wiro.

Biasanya jika lebih dari tiga orang ninja menghantam satu serangan mereka tak akan pernah luput. Tapi jika kali ini berlima mereka tidak bisa membunuh lawan dalam satu kejapan mata saja maka ini adalah hal yang sangat luar biasa. Mereka saling melempar isyarat lalu mulai bergerak memutari Pendekar 212. Tiba-tiba tanpa bentakan ataupun aba-aba ke limanya menyerbu.

Lima katana berkiblat ke arah murid Sinto Gendeng. Wiro salurkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Hawa sakti ini terus mengalir ke senjata yang dipegangnya. Dua mata kapak memancar sinar lebih terang. Ketika senjata itu diputarnya untuk menangkis lima serangan maut pedang ninja, sinar panas menghampar. Suara yang keluar dari senjata mustika itu laksana gaungan ratusan tawon. Lima ninja berteriak keras saling memberi semangat.

"Tranggg! Tranggg...!"

Dua katana mental ke udara. Dua ninja terjengkang ke tanah sambil pegangi tangannya yang terasa seperti memegang benda panas. Ninja ke tiga di samping kiri seperti kerbau melenguh sewaktu kaki kiri Wiro menghantam perutnya. Namun gerakan murid Sinto Gendeng hanya sampai di situ. Dari samping kiri ninja ke empat berhasil menyusupkan pedangnya ke arah pinggang.

Wiro sempat melihat serangan yang bisa merobek perutnya ini. Cepat dia lepaskan satu pukulan tangan kosong. Ninja di samping kiri menjerit keras. Tubuhnya mencelat mental dan terbanting di tanah. Mati, muntah darah. Namun sebelumnya katananya masih sempat menggores paha Wiro hingga koyak dan darah mengucur deras.

Selagi Wiro terhuyung-huyung menahan sakit. Dari samping kanan dan sebelah belakang dua ninja lagi datang menyerbu. Sambil jatuhkan diri Pendekar 212 putar Kapak Maut Naga Geni 212 untuk lindungi diri. Ternyata dua ninja lainnya yang tadi dihantam Wiro hingga pedang masing-masing mental saat itu telah bangkit berdiri dan ikut menyerbu. Keduanya bukan mempergunakan pedang tetapi menyerang dengan lemparan shuriken yaitu senjata rahasia berbentuk bintang terbuat dari besi.

Putaran kapak sakti dalam jurus 'Dibalik Gunung Memukul Halilintar' yang dilancarkan Wiro memang berhasil membabat putus tangan ninja di sebelah kanan namun dirinya sendiri untuk kedua kalinya terkena serangan lawan. Salah satu dari dua shuriken menancap tepat di lengan kanannya demikian kerasnya hingga Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas dari genggamannya.

Senjata ini jatuh di tanah berbatu-batu dengan suara berkerontangan. Di saat itu pula serangan baru datang dari kiri yaitu tusukan sebilah katana. Wiro yang terbaring di tanah cepat gulingkan diri. Karena tanah sekitar situ banyak batu-batunya maka gerakannya berguling tidak bisa cepat. Malah tanpa disadari dia berguling ke arah ninja yang tangannya dibikin buntung dan berteriak kesakitan kalang kabut. Penuh dendam dan amarah ninja ini tendangkan kaki kanannya ke dada Wiro.

"Dukkk...!"

Ujung runcing sebilah katana yang seharusnya menancap di perut Wiro mengantam batu. Tendangan ninja buntung tadi menyelamatkan nyawanya dari tusukan pedang itu. Namun ini bukan berarti dia benar-benar selamat karena tendangan ninja itu membuat tubuhnya mencelat ke arah jurang batu dan tak ampun lagi melayang jatuh ke dasar jurang dalam kegelapan malam.

Wiro berusaha berjungkir balik dan mencari pegangan dalam gelapnya malam. Tapi keadaan kaki dan tangannya yang terluka membuat dia tidak mampu mencari jalan untuk selamat. Malah tubuhnya semakin deras jatuh ke dasar jurang. Siap disambut oleh batu batu keras yang berusia ratusan tahun.

********************

TUJUH

Ketika Akira sampai di Puri Sanzen rupanya sesuatu yang menggemparkan telah terjadi di tempat itu. Di sebuah ruangan pendeta Komo terbujur di atas sebuah pembaringan dikelilingi oleh belasan pendeta agama Zen. Begitu Akira masuk diantar oleh seorang pendeta muda semua yang ada di situ berpaling padanya.

Serta merta semua mereka tunjukkan wajah kaget bahkan ada yang sampai keluarkan seruan tertahan. Seorang pendeta lanjut usia, diikuti oleh yang lain-lainnya cepat mendatangi.

"Anak, aku mungkin saja lupa. Tapi bukankah kau yang bernama Akira, putera Noboru Kasai yang dikabarkan telah meninggal dunia itu...?"

"Pendeta, kau benar. Saya memang Akira..." jawab si anak lalu membungkuk memberi penghormatan pada pendeta yang menyapanya dan juga pada pendeta lain yang ada di ruangan itu.

"Jadi ternyata kau masih hidup?" ujar seorang pendeta sambil mengusap rambut Akira.

"Seseorang memberi tahu bahwa kau ikut jadi korban keganasan ninja."

"Satu melapetaka besar menimpa rombongan kami. Hanya atas kekuasaan dan perlindungan Dewa saya bisa selamat..."

"Akira, aku Pendeta Kamashaki. Menjelang dinihari tadi tiga orang ninja menyusup ke tempat ini dan membunuh Pendeta Komo..."

Kagetnya Akira bukan kepalang. Dia berpaling ke arah pembaringan ditengah ruangan dan langsung saja lari. Dari noda-noda darah yang masih melekat di wajah dan leher pendeta ini Akira segera maklum bahwa sang pendeta menemui ajal memang karena dibunuh. Disamping jenazah pendeta Komo lama Akira menundukkan kepala dan berdoa untuk arwahnya.

"Pendeta Kamashaki, siapa orangnya yang mengatakan bahwa saya telah jadi korban pembunuhan oleh ninja?' bertanya Akira Kasai sambil berpaling pada pendeta Kamashaki.

"Hisao Matsunaga, Wakil Ketua Perguruan Emerarudo..."

"Dewa Maha besar..." kata si anak pula.

"Saya malah mengira dirinya juga telah dibunuh ninja. Rupanya beliau sempat melarikan diri dan datang ke sini lebih dulu dari saya. Dia tentu mengira saya telah jadi korban. Kami datang ke sini untuk mengambil surat penting yang dulu pernah saya titipkan pada pendeta Komo..."

"Surat itu telah kami serahkan pada Hisao Matsunaga. Setelah dia memberi tahu kau tewas di tangan ninja, kami merasa memang haknya untuk mengambil surat itu. Apakah kami telah melakukan kesalahan...? tanya pendeta Kamashaki pula.

"Sebetulnya surat itu hanya saya yang boleh mengambilnya. Tapi pendeta sama sekali tidak berbuat kekeliruan. Paman Hisao berhak mengambil surat itu karena tidak tahu kalau saya masih hidup. Kalau begitu saya minta diri, mohon kembali ke perguruan sekarang juga..."

"Anak, kau tentu sangat capai. Di samping itu apa yang terjadi tentu telah membuat jiwamu tergoncang. Kau perlu istirahat dulu di sini beberapa waktu lamanya."

"Terima kasih pendeta. Tapi jika kau tidak keberatan saya memilih cepat-cepat kembali..."

"Kalau kami boleh bertanya," ujar seorang pendeta pula. "Apa isi surat penting dalam amplop kuning itu?"

"Surat pernyataan siapa yang akan menjadi pewaris jika Ayahanda berhalangan melanjutkan jabatan sebagai Ketua Perguruan..."

Pendeta Kamashaki memegang bahu Akira. "Anak," katanya. "Jika kau memang memilih pulang sekarang juga, kami tidak bisa menahan. Hanya sebelum pergi coba kau ceritakan apa yang telah terjadi di Perguruan?"

"Malam kemarin perguruan kami diserbu ninja. Ayah dibunuh..!" Akira lalu menceritakan apa yang terjadi di Perguruan Emerarudo.

"Besok jenazah Ayahanda akan diperabukan. Saya juga sedih sekali melihat bahwa pendeta Komo ikut tewas di tangan ninja. Saya menduga keras ini ada sangkut pautnya dengan surat pewarisan itu. Dan saya merasa bersyukur paman Hisao telah mendapatkannya. Mengenai sahabat saya Keno, karena puri Sanzen lebih dekat dari perguruan, apakah saya boleh minta tolong agar jenazah sahabat saya itu diurus...?"

"Kau tak usah kawatir. Kami akan mengurusnya dan menyerahkan sebagian abunya padamu..." kata seorang pendeta muda.

"Saya sangat berterima kasih," kata Akira lalu membungkuk dalam-dalam.

Pendeta Kamashaki kemudian berkata, "Hanya beberapa saat setelah Wakil Ketua Hisao Matsunaga menerima surat itu, di puri datang seorang gadis bernama Akiko Bessho. Kau kenal padanya?"

"Saya berusia sepuluh tahun ketika Ayah memperkenalkannya pada saya. Kalau tidak salah dia adalah anak murid seorang pandai yang diam di Gunung Fuji..."

"Gadis itu melihat Wakil Ketua Perguruan di perjalanan lalu mengikuti sampai ke puri. Karena dia memang dalam perjalanan menuju Perguruan untuk melayat maka Akiko Bessho meninggalkan tempat ini bersama-sama wakil Ketua Perguruan..."

"Pendeta Kamashaki, saya berterima kasih kau dan para pendeta di sini telah banyak membantu. Saya minta diri sekarang..."

"Dua orang pendeta akan mengantarkanmu. Sekaligus sebagai wakil kami untuk melayat dan menghadiri upacara perabuan..."

Akira Kasai membungkuk lalu dia memegang tangan pendeta Komo yang telah dingin itu. Setelah membungkuk sekali lagi, diantar oleh dua orang pendeta anak ini keluar dari ruangan itu.

********************

Munculnya Akira Kasai malam itu diantar oleh dua pendeta Zen dari puri Sanzen membuat geger tapi juga menggembirakan semua orang yang ada di Perguruan Emerarudo. Betapakan tidak. Semula, sesuai keterangan Wakil Ketua Hisao Matsunaga anak itu ikut jadi korban penyerangan ninja.

Satu rombongan khusus telah pula dikirim untuk mengambil jenazahnya. Ternyata dia masih hidup. Hisao Matsunaga sampai berkaca-kaca kedua matanya dan memeluk erat-erat Akira Kasai.

"Dewa Maha Besar. Kami semua mengira kau sudah tewas Akira. Aku sendiri sempat melihat mayatmu di dalam tandu walau cuma dari kejauhan. Lalu aku cepat-cepat menuju Puri Sanzen, kawatir kalau-kalau ninja menyerbu pula ke sana. Ternyata memang betul. Untung saja mereka tidak mendapatkan amplop kuning berisi surat warisan itu. Tetapi untuk itu pendeta Komo terpaksa mengorbankan nyawanya..."

"Jadi benar rupanya mereka menginginkan surat warisan itu. Tapi untuk apa...?" tanya Akira dengan suara perlahan.

"Sekarang tak usah kawatir lagi. Surat itu sudah ada di tanganku. Sebentar lagi isinya akan dibacakan di depan semua pengurus dan anggota perguruan serta para tamu yang datang melayat. Sekarang kau perlu membersihkan diri dan istirahat sebentar. Masuklah ke kamarmu..."

Ketika Akira hendak menuju kamarnya, dua pendeta Zen segera mengikuti. Tapi ditegur oleh Shigero Momochi dengan nada kasar. Salah seorang pendeta membungkuk lalu menjawab,

"Saya ditugasi oleh pendeta Kamashaki untuk menjaga dan mengawal anak itu..."

Marahlah Shigero Momochi mendengar kata-kata sang pendeta. Dengan suara lantang dia berkata, "Pendeta, kau dengar baik-baik ya! Anak itu berada di perguruan kami, di rumah sendiri. Perlu apa dikawal dan dijaga? Ini tempat aman! Jangan memandang rendah kami orang-orang Emerarudo. Tempat ini bukan Puri Sanzen dimana kalian bisa berlaku semaunya!"

Paras dua pendeta Zen itu tampak menjadi merah. Yang satu menjawab. "Kami hanya menjalankan perintah pimpinan!"

"Kalau menjalankan perintah pimpinan kalian cukup di puri kalian saja, bukan di sini! Kalian tidak punya hak dan kekuasaan apa-apa di tempat ini"

"Jika begitu harap maafkan kami..."

Hisao Matsunaga datang menghampiri. Sambil batuk-batuk dan mengusap dadanya dia berkata, "Dua sahabat dari Puri Sanzen dan Wakil Ketua Shigero Momochi, kita semua ini hanya keliru prasangka belaka. Setelah apa yang terjadi dengan rombongan kita di tengah perjalanan menuju Puri Sanzen, lalu ditambah dengan apa pula yang terjadi di puri sana, para sahabat pendeta Zen rupanya ingin ikut membantu menjaga keselamatan kita semua. Aku mewakili perguruan mengucapkan terima kasih. Namun dengan segala kerendahan hati, kami meminta agar para pendeta yang adalah tamu-tamu kami terhormat, tidak perlu mencapaikan diri ikut berjaga-jaga."

Dua pendeta Zen anggukkan kepala lalu membungkuk dan kembali ke tempat duduk yang disediakan. Hisao Matsunaga berpaling pada Akira dan memberi tanda agar anak itu melanjutkan langkah menuju kamarnya. Kemudian sambil memegang bahu Shigero Momochi dia berkata,

"Dua pendeta itu memang berlaku bodoh. Tapi kita jangan ikut-ikutan bodoh. Semua persoalan bisa diselesaikan lebih baik kalau ditangani dengan sabar dan sikap sopan..."

"Aku orang pemabokan jadi mana bisa sabar dan sopan!" sahut Shigero Momochi seraya melangkah pergi.

Hisao Matsunaga hanya bisa tersenyum lalu menghela nafas dalam sambil usap-usap dadanya. Menjelang tengah malam di hadapan para pengurus dan anggota perguruan Emerarudo serta semua tamu yang hadir, seorang sesepuh perguruan membacakan isi surat warisan yang diterima Hisao Matsunaga dari pendeta Kamashaki di Puri Sanzen.

Sesuai apa yang terlulis di surat pewarisan yang ditetapkan oleh almarhum Noboru Kasai sebagai Ketua pewaris adalah Hisao Matsunaga. Pengumuman ini diterima semua orang dengan perasaan lega dan gembira. Berarti besok upacara perabuan jenazah Noboru Kasai dapat dilaksanakan tanpa suatu halangan.

Ketika pengurus tua perguruan hendak memasukkan surat warisan itu ke dalam amplop kuning kembali Akira Kasai membuat gerakan seperli hendak berdiri dari tempat duduknya dan melangkah ke mimbar. Hisao Matsunaga yang duduk di sebelahnya cepat mendampingi.

"Akira-san, apakah ada sesuatu yang hendak kau sampaikan?"

"Paman Hisao ada sesuatu yang tidak benar..."

"Ah, hal apakah yang tidak benar itu Akira?"

"Saya tidak dapat memastikan sebelum melihat sendiri surat warisan yang barusan dibacakan itu..."

"Tentu saja kau boleh melihatnya. Aku akan meminta surat itu dari pengurus yang barusan membacanya. Begitu maumu?"

"Kalau Paman Hisao tidak keberatan..."

"Tentu saja aku tidak keberatan..." jawab Hisao Matsunaga lalu menghampiri orang tua yang membaca kan surat warisan itu dan mengambil suratnya. Hisao kembali pada Akira. Surat dalam amplop dikeluarkannya terus diserahkan pada Akira. "Silahkan dibaca sendiri Akira. Lalu tunjukkan padaku dimana kesalahannya..."

Akira Kasai membaca surat itu sampai dua kali dan menelitinya depan belakang. Dalam hati anak ini berkata, "Aku ingat betul. Waktu ayah memasukkan surat ini ke dalam amplop kuning, setetes dawat tertumpah di sudut kiri surat. Tapi di surat ini sama sekali tidak ada noda dawat itu...!" (Dawat artinya tinta)

"Akira-san, kau sudah membaca Surat itu...?"

"Sudah Paman Hisao..."

"Kau menemukan sesuatu...?"

"Maafkan saya. Saya mungkin keliru. Mungkin bukan surat ini yang saya maksudkan..."

Hisao Matsunaga tersenyum. "Akira-san, kau mungkin masih terlalu capai. Besok akan ada upacara perabuan yang panjang. Sebaiknya kau masuk ke kamar tidur dan beristirahat."

"Saya rasa memang begitu...!" kata Akira pula.

Lalu cepat-cepat anak ini meninggalkan tempat itu, menuju ke kamarnya. Di dekat sebuah jambangan besar Akira Kasai hentikan langkahnya. Di situ dilihatnya tegak seorang gadis berpakaian serba biru berwajah cantik. Agaknya gadis ini berdiri di situ sengaja menunggu Akira.

"Maafkan saya, bukankah saya berhadapan dengan nona Akiko Bessho? berucap Akira begitu sampai di hadapan si gadis. Lalu dia membungkuk memberi hormat.

"Adik Akira, kau rupanya masih ingat diriku. Aku turut berduka atas meninggalnya Ayahmu..." Akiko Bessho lalu membungkuk.

"Terima kasih! jawab Akira. Lalu dia terdiam.

"Kau seperti tengah memikirkan sesuatu atau ingin mengatakan sesuatu...?"

Dalam hati Akira membatin. "Aku tidak tahu banyak tentang gadis ini. Tapi mungkinkah dia bisa dipercaya?"

"Adik Akira! kalau tak ada yang hendak kau katakan aku akan kembali ke tempat upacara..."

"Sebetulnya memang ada. Tapi di sini saya rasa tidak aman... Temui saya setelah pembacaan doa kesembilan di samping gudang sebelah timur..."

"Saya akan menemuimu...!"

Baru saja Akiko hendak melangkah tiba-tiba dari empat penjuru kawasan perguruan terdengar dentangan lonceng.

"ltu lonceng tanda bahaya!" kata Akira.

Anak ini serta merta lari ke tempat upacara sembahyang. Akiko Bessho mengikuti. Di pelataran besar di depan meja sembahyang mereka melihat empat orang ninja tegak dengan kaki terkembang. Masing-masing mencekal katana. Dua orang diantara mereka memanggul sesosok tubuh yang agaknya sudah lama kaku alias sudah jadi mayat!

********************

DELAPAN

Pendekar 212 Wiro Sableng seolah merasa sudah putus nyawanya padahal saat itu tubuhnya masih melayang di udara dan yang pasti sesaat lagi baru akan menghantam dasar batu jurang sedalam hampir seratus kaki itu. Dalam kegelapan malam tiba-tiba entah dari mana datangnya puluhan benda berbentuk segitiga terbuat dari kain melesat ke arah Wiro.

Kain segitiga ini tak bakal mampu melesat demikian derasnya kalau tidak dicanteli setangkai besi lancip. Sang pendekar tidak tahu apa yang terjadi atas dirinya. Dia hanya mendengar suara sett... settt banyak sekali. Lalu dalam gelapnya malam samar-samar dia melihat ada benda aneh berkelebat ke arah dirinya dan tahu-tahu sekujur pakaiannya sudah disisipi puluhan kain segitiga.

Puluhan kain-kain yang menempel dipakaiannya itu membentang dan berkibar deras. Bersamaan dengan itu Wiro merasakan kecepatan jatuhnya berkurang Tubuhnya seperti melayang! Puluhan kain segitiga yang berkibar kencang seolah melawan arus menahan jatuh dirinya. Ketika dia akhirnya mencapai dasar jurang, tubuhnya memang masih terbanting sakit namun tak ada tulangnya yang patah, dan tak ada luka-luka dideritanya.

Sesaat Wiro seolah tak percaya. kalau dia masih hidup. Perlahan-lahan dia mencoba duduk. Dua buah benda runcing menyengat pantatnya hingga pemuda ini tersentak kesakitan. Dirabahnya bagian belakang tubuhnya, lalu dada dan perut. pakaiannya. Dua buah benda yang menempel di pakaiannya dicabutnya. Dalam gelapnya dasar lubang perlahan-lahan matanya mulai mampu melihat dua benda yang barusan dicabutnya.

"Bendera Darah!" seru Pendekar 212 hampir tercekat. Dia memandang berkeliling. Dinding dan dasar jurang batu kelihatan menghitam. "Tak ada gerakan, tak ada suara. Apa benar-benar tak ada manusia di sini?" Wiro menggosok kedua matanya, memandang berkeliling sekali lagi.

"Dimana mahluk itu bersembunyi? Beberapa hari lalu dia inginkan jiwaku, sekarang mengapa dia menyelamatkan diriku? Aku harus keluar dari jurang celaka ini! Tapi agaknya harus menunggu sampai pagi. Sampai terang!"

Satu persatu Wiro cabut bendera segi tiga yang menyusup di sekujur pakaiannya sambil menghitung. "Enam puluh sembilan bendera! Gila! Bagaimana mahluk itu bisa melemparkan sebanyak itu dalam waktu begitu singkat?! Luar biasa! Kalau tadi dia ingin membunuhku pasti mudah saja baginya." Wiro garuk-garuk kepalanya.

"Walau sebelumnya dia ingin membunuhku tapi saat ini aku harus berterima kasih padanya!" Wiro lalu melompat ke atas sebuah batu besar. Dari tempat ketinggian ini dia berputar, memandang kesetiap sudut jurang. Tetap saja dia tidak melihat apa-apa kecuali batu-batu menghitam.

"Manusia bendera, jika kau tidak mau muncul tak jadi apa! Aku benar-benar berterima kasih atas pertolonganmu!" Wiro berseru. Dia jadi merinding ketika suara teriakannya itu menggema di dinding dan jurang batu lalu bergaung berulang-ulang.

"Cukup sekali saja aku berteriak. Tak mau menjawab ya sudah. Terpaksa aku menunggu sampai pagi. Kalau tak ada jalan keluar dari dasar jurang berarti aku akan mati perlahan-lahan di tempat ini. Eh, jangan-jangan manusia bendera itu sengaja hendak membunuhku dengan cara begini!" Wiro garuk-garuk kepala lagi lalu duduk di batu.

Sesaat dia memperhatikan puluhan Bendera Darah yang bertebaran di depannya. Tiba-tiba dia merasa ada hembusan angin halus disampingnya. Dia berpaling. Tak ada apa-apa. Lalu ada bau harum masuk ke penciumannya. Wiro ingat bau itu.

"Pasti dia!" katanya dalam hati. Dia berpaling ke kiri, ke kanan. Lalu diputarnya tubuhnya ke belakang! Murid Shinto Gendeng ini hampir berseru kaget ketika di hadapannya kini dalam kegelapan malam tegak makhluk itu. Dia melompat bangkit dengan cepat.

Si manusia bendera! Seperti keadaannya yang dilihat Wiro tempo hari, mahluk ini sekujur tubuh mulai dari kaki sampai kepala tertutup ratusan bendera merah berbentuk segi tiga. Hanya sepasang matanya saja yang tersembul. Berhadapan begitu dekat di atas batu Wiro melihat sepasang mata bening memandang sedingin salju tepat-tepat ke arahnya. Tanpa berani berlaku lengah Wiro tundukkan kepala dan berkata,

"Tuan penolong, aku berterima kasih kau telah menyelamatkan jiwaku, kalau tidak mati konyol jatuh kedasar jurang batu ini!"

Orang yang diajak bicara tidak menjawab. Wiro membungkuk. Puluhan bendera yang bertebaran di batu diambilnya lalu diserahkannya pada mahluk di hadapannya.

"Bendera mu, ambillah. Sayang kalau dibuang begitu saja...!"

Manusia bendera keluarkan tawa mengekeh. Dua tangannya bergerak mengambil enam puluh sembilan buah bendera. Dengan kecepatan luar biasa, entah bagaimana caranya semua bendera itu disisipkannya ke pakaiannya. Diam-diam otak murid Sinto Gendeng bekerja.

"Jika makhluk ini berada di dasar jurang berarti ada jalan keluar masuk tempat ini," pikirnya. Di hadapannya mahluk bendera masih tertawa. Dengan perasaan heran dan tidak enak Wiro bertanya. "Kau masih tertawa terus. Ada apakah...?"

"Kau mengira aku telah menyelamatkan nyawa mu...? mahluk itu bertanya.

"Dia masih saja mempergunakan suara dari perut. Sengaja menyembunyikan suaranya yang asli," membatin Wiro. Lalu dia berkata.

"Kenyataannya memang begitu. Dengan bendera-benderamu kau membuat aku tidak amblas jatuh ke dasar jurang ini"

"Orang asing, aku sama sekali tidak menyelamatkan nyawamu. Aku hanya mengulur saat kematianmu!"

Wiro melengak kaget mendengar kata-kata itu. "Apa maksudmu manusia bendera?"

"Aku tidak ingin kau mati jatuh ke dalam jurang. Aku ingin membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri! Kau dengar?!"

"Aku dengar, Kalau begitu mengapa tidak kau bunuh saja aku saat ini?!" tanya Wiro

"Aku masih memandang seseorang..." jawab manusia bendera sambil memandang ke jurusan lain.

"Nona Akiko Bessho?" tanya Wiro pula.

"Kau sudah tahu. Mengapa bertanya?"

"Punya hutang budi apa kau dengan gadis itu hingga tidak segera membunuhku hanya karena memandang dirinya?"

"Urusanku dengan orang lain apa perdulimu?" jawab manusia bendera.

"Pada pertemuan pertama kau bilang ingin membunuhku karena aku membunuh nenek Arashi. Perempuan sakti itu memang nenekmu sungguhan?"

"Aku datang kemari bukan untuk ngobrol dengan mu. Tapi ada satu hal yang akan kukatakan. Kau telah membunuh seorang ninja dan membuat buntung tangan ninja lainnya. Berarti kau tak bisa lari dari kematian. Ninja akan mengejar mu sampai akhirnya mereka berhasil membunuhmu"

"Kalau begitu lebih enak mati di tangan ninja dari pada di tanganmu!"

Manusia bendera melengak dan menatap tajam pada Wiro. Lalu kembali dia tertawa mengekeh. Sambil mendongak manusia bendera berkata, "Jangan harap kau bisa mati enak di tangan ninja. Mereka akan membunuhmu secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit..." Manusia bendera tertawa panjang. Begitu hentikan tawanya dia berkata,

"Aku akan meninggalkan tempat ini. Kau mau mengikutiku...?"

"Jika kau tidak menjebak dan benar-benar ingin aku keluar dari sini tentu saja aku ikut. Tapi kenapa kau menawarkan jasa baik lni...?"

"Bukankah kau lebih suka dan memilih mati di tangan ninja dari pada di tanganku hik-hik-hik...!"

Manusia bendera tertawa lagi lalu seperti tidak acuh dia melangkah tinggalkan tempat itu. Wio gelengkan kepala, akhirnya melangkah mengikuti. Tapi dari mulutnya keluar rintihan kesakitan. Dia baru sadar kalau paha kirinya luka besar dan di lengan kanan masih menancap senjata rahasia ninja berbentuk bintang.

Manusia bendera berpaling. "Kau terluka?"

Wiro kertakkan rahang. Dia menotok urat besar di lengan kanannya sebelum mencabut shuriken yang menancap di situ. Ketika senjata rahasia itu dicabut dia memang merasa sakit yang bukan kepalang. Tetapi tak ada darah yang memancur. Dalam gelap Wiro tak dapat melihat keadaan lengannya hingga dia tak mengetahui apakah senjata rahasia itu beracun atau tidak.

Manusia bendera memperhatikan luka di paha kiri Wiro. Lalu berkata. "Aku ada obat untuk mempertautkan daging yang koyak itu. Kau mau...?"

"Kau mahluk aneh. Sebentar bicara acuh dan kejam. Sekarang malah berbaik hati mau mengobati diriku. Kalau kau memang rela masakan aku mau menolak..."

Manusia bendera cabut sebuah bendera yang tersisip di bahu kanannya. Lalu dia membungkuk dan dekatkan ujung lancip bendera ke luka di paha kiri.

"Astaga! Kau hendak menusuk lukaku!" seru Wiro sambil cepat mundur.

"Orang asing, kau terlalu curiga..."

"Siapa yang tidak curiga pada orang yang hendak membunuhku" jawab Wiro.

"Di dalam besi runcing ini ada rongga berisi obat. Ujung lancip besi ada lobangnya. Jika kutiup pangkal besi bendera, obat akan keluar..."

"Kalau begitu lakukanlah. Tapi awas kalau kau menipuku!" kata Wiro.

Ketika manusia bendera itu membungkuk dan meniupkan obat dalam besi bendera, Wiro dapat mencium bau bagian kepala orang ini yang sangat harum. Sementara itu obat yang keluar dari besi bendera terasa sangat sejuk di pahanya yang luka hingga rasa sakit serta merta hilang.

"Terima kasih. Kau menolongku untuk kesekian kalinya. Hidup ini sungguh aneh. Dibalik kebaikan ada hawa kematian. Di balik kematian ada kebaikan..."

Manusia bendera tak mau bicara lagi. Dia membalikkan badan dan siap melangkah.

"Astaga!" tiba-tiba Wiro berseru kaget. Dirabanya bagian tubuh sekitar pinggang. Apa yang dicarinya tidak ditemukan. Wajahnya menjadi sangat pucat. Manusia bendera tertawa.

"Kau mencari senjata mustika kapak bermata dua itu? Ninja telah merampasnya sebelum kau jatuh terjungkal ke dalam jurang ini..."

"Aku ingat. Kau betul! Tapi bagaimana kau bisa tahu?"

Yang ditanya tak menyahut melainkan melanjutkan langkahnya yang barusan terhenti. Berjalan kira-kira dua ratus kaki ke timur kelihatan sebuah terowongan gelap. Manusia bendera masuk ke dalam terowongan batu ini. Tak lama kemudian sekeluarnya dari terowongan pendek itu Wiro dapatkan dirinya berada dalam rimba belantara.

"Dari sini kau bisa cari jalan sendiri..." Manusia bendera berkata lalu siap berkelebat pergi.

"Tunggu dulu!" panggil Wiro.

"Ada apa?!"

"Nona Akiko Bessho memanggilmu dengan nama Yori. Apa betul itu namamu?"

"Kau bisa tanyakan sendiri padanya kalau bertemu nanti."

"Aku mencium bau wewangian di tubuhmu. Hanya orang perempuan yang pakai minyak wangi. Apakah kau..."

Manusia bendera tertawa panjang. "Jaman sekarang kaum lelaki juga banyak yang suka bersolek dan pakai segala macam wewangian...!"

Habis berkata begitu dia gerakkan kedua kakinya. Sesaat kemudian mahluk aneh itu lenyap dari hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng.

********************

SEMBILAN

Kita kembali ke ruang besar Perguruan Emerarudo, tempat pembicaraan doa pengantar jenazah menjelang diperabukan. Suara lonceng yang bertalu-talu membuat sirap suara mereka yang berdoa. Ketegangan berat menggantung di udara. Di depan meja sembahyang besar dua orang ninja yang memanggul dua sosok jenazah tiba-tiba melemparkan jenazah-jenazah itu ke atas lantai hingga mengeluarkan suara bergedebukan yang membuat orang banyak jadi merinding.

Para pengurus dan semua anggota perguruan yang ada di tempat itu sama keluarkan seruan keras ketika mereka mengenali bahwa jenazah yang dibawa dan dilemparkan ninja ke lantai ternyata adalah mayat dua orang murid perguruan tingkat atas.

Selain bekas-bekas luka bacokan, pada kening kedua orang ini menancap sebuah shuriken. Warna biru yang menggembung pada daging dan kulit kening menandakan bahwa senjata rahasia itu mengandung racun mematikan.

Enam orang pengurus perguruan secara serentak melompat dari atas tatami yang mereka duduki. Yang paling beringas adalah Wakil Ketua Shigero Momochi. Dua orang anak murid perguruan itu adalah yang disuruhnya untuk menemui pimpinan para ninja guna mencari keterangan siapa yang telah membunuh Ketua Noboru Kasai serta mengobrak-abrik ruangan rahasia. Sekarang mereka di bawa kembali dalam keadaan seperti itu oleh empat orang ninja. Apa yang telah terjadi?

"Datang membawa mayat, melemparkan di depan perjamuan sembahyang ketika orang sedang berkabung! Sungguh satu perbuatan kurang ajar dan tidak beradab! Apalagi kalau kalian yang telah membunuh mereka!"

Suara Shigero Momochi terdengar keras dan lantang. Dia bicara sambil tangan kanannya memegang hulu katana yang tergantung di pinggang. Salah seorang dari empat ninja maju satu langkah.

"Kami para ninja memang tidak mengenal sopan santun dan peradaban. Tua-tua perguruan mengirimkan orang untuk menyelidik. Hal itu sama saja dengan mencurigai dan menuduh bahwa kami terlibat dalam pembunuhan Ketua kalian! Apakah itu satu tindakan sopan?!"

Shigero Momochi mendengus. "Kau tahu apa tentang kematian Ketua kami? Serombongan ninja menyerbu kemari! Membunuh Ketua kami dan berusaha mencuri sebuah surat penting! Apa kami hanya berdiam diri?!"

"Shigero Momochi! Siapa yang tidak kenal denganmu? Pengurus Perguruan Emerarudo yang suka menenggak minuman keras. Pantat botol! Aku tahu kaulah yang memberi perintah pada ke dua orang itu untuk menyelidik! Kekurang ajaranmu tidak bisa dimaafkan hanya dengan kematian dua anak buah mu itu!"

"Ninja jahanam! Katakan apa maumu?!"

Sang ninja ganti mendengus. "Kami datang untuk meminta enam kepala anggota perguruan. Itu sebagai penutup malu. Terserah apakah kalian akan melakukan harakiri sendiri atau kami terpaksa turun tangan mengambil enam kepala itu!"

"Kau boleh punya nyali selangit! Kau tidak sadar sudah masuk ke sarang macan! Sekalipun Dewa menolong kau dan tiga kawanmu tak bakal bisa keluar hidup-hidup dari tempat ini!" Habis berkata begitu...

"Srettt...!" Shigero Momochi cabut pedangnya. Bersamaan dengan itu sepuluh orang anak buah perguruan melompat pula dengan katana terhunus.

"Tahan!" tiba-tiba terdengar satu seruan. Satu bayangan berkelebat.

Empat orang ninja di depan meja sembahyang merasakan sambaran angin keras hingga mereka cepat mundur. Yang tegak di tengah ruangan ternyata adalah Hisao Matsunaga, Ketua baru Perguruan Emerarudo.

"Semua harap menahan diri. Saat ini adalah saat duka berkabung bagi kami orang-orang perguruan. Bahkan doa pengantar jenazah ke perabuan masih belum selesai dipanjatkan. Apakah diantara kita tidak mungkin berbesar jiwa untuk tidak berbuat onar? Para ninja, kami merasa kalian berempat cukup berbaik hati untuk mau mengantar jenazah murid-murid perguruan. Aku tidak berusaha mencari tahu siapa pembunuh mereka. Aku tidak akan menuduh kalian sebagai pelaku. Aku akan melupakan segala sesuatu yang bersilang diantara kita asalkan kalian berempat sudi meninggalkan tempat ini. Aku Ketua Perguruan Emerarudo memohon dengan hormat..."

"Mana bisa seperti itu aturannya. Enak betul!" Yang berkata keras itu adalah Shigero Momochi. "Ketua, jangan merendahkan derajat kita dengan alasan kita sedang berduka! Komplotan manusia-manusia hitam durjana ini seharusnya sudah sejak lama dibasmi!"

"Shigero Momochi, ucapanmu selain menghina juga terlalu takabur! Aku harap kau mau berlutut dan minta maaf!" kata ninja yang sejak tadi bertindak sebagai juru bicara.

"Keparat kurang ajar! Kalau tidak kubuat menggelinding kepalamu rasanya tidak berguna hidup ini!"

Dari dalam saku kimononya Shigero Momochi keluarkan sebotol minuman keras. Minuman ini ditenggaknya sampai habis. Botol kaleng yang kosong kemudian dibantingkannya ke lantai ruangan. Tampangnya kini kelihatan menjadi merah beringas. Bahunya naik ke atas. Dua tangannya menggenggam katana. Sepuluh orang murid perguruan bergerak maju selangkah demi selangkah.

Empat ninja tak tinggal diam. Empat bilah pedang mereka berkilauan dibawah sorotan lampu minyak. Di saat yang sangat menegangkan itu tiba-tiba dua orang pendeta Zen berdiri dan melangkah cepat ke depan meja sembahyang.

"Kami dua orang tamu yang tak ingin melihat tuan rumah dalam saat berkabung harus turun tangan pula untuk menyelesaikan kericuhan. lzinkan kami mewakili tuan rumah..."

Pendeta Zen yang bicara berpaling pada Hisao Matsunaga lalu membungkuk. Dua pendeta ini adalah yang mengantarkan Akira kembali malam tadi ke perguruan.

"Pendeta tidak tahu diri! Pekerjaan kalian hanya menyangkut urusan keagamaan! Mengapa sekarang berlagak sepelti dua jago silat?! Kau dan kawanmu bertindak lancang! Tapi tidak apa! Kami sudah lama memperhatikan tindak tanduk para orang suci agama Zen yang sering mencampuri urusan dan kepentingan kami. Malam ini kalian rupanya mau menjadi tumbal pendahuluan mewakili kawan-kawan kalian!" bentak ninja hitam.

"Dua pendeta!" seru Hisao Matsunaga dengan cepat. "Terima kasih atas perhatian kalian. Tapi semua ini adalah urusan perguruan. Biar kami yang menyelesaikan secara baik-baik."

Mendengar ucapan Ketua pergunran itu, dua pendeta Zen segera menjura, menghaturkan permintaan maaf lalu cepat kembali ke tempat duduk masing-masing. Ninja di sebelah depan menyeringai di balik kain hitam penutup wajahnya.

"Dua pendeta Zen. Kalian berhutang nyawa pada Ketua Perguruan! Kalau tidak dia yang menolak, niscaya kalian berdua sudah terkapar jadi bangkai tak berguna!"

Dua pendeta Zen kelihatan merah wajah masing masing. Tapi ke duanya tak berkata apa-apa dan mengambil sikap menundukkan kepala.

"Mungkin ada lagi yang berbaik hati hendak mewakili tuan rumah?!" berseru ninja paling depan.

Tiba tiba terdengar suitan keras disertai berkelebatnya satu bayangan. Di lain kejap satu sosok terbungkus pakaian serba merah mulai dari kaki sampai ke kepala tegak di tengah ruangan, menghadap ke arah empat orang ninja. Dari wajahnya hanya sepasang matanya yang kelihatan, memandang tak berkesip. Sebilah katana menyembul dari balik punggungnya.

"Ninja Merahl" seruan itu keluar dari hampir semua mulut.

"Selama dunia terkembang baru sekali lni aku melihat ada ninja merah!" kata seseorang dengan mata terbelalak.

Shigero Momochi yang hendak meradang karena merasa didahului orang juga ikut terkesima. Dia berpaling pada Hisao Matsunaga. Ketua baru Perguruan Emerarudo ini sendiri tampak tegak tertegun.

"Siapa kau?" bentak ninja hitam sementara tiga kawannya tegak dengan sikap waspada penuh.

"Tadi kau bertanya siapa lagi wakil tuan rumah. Nah aku adalah wakil yang kau tanyakan itu! Aku sengaja capai-capai datang ke sini, jadi jangan kecewakan diriku"

"lni tidak masuk akal! Tak pernah ada ninja merah! Buka penutup kepalamu! Aku mau lihat tampangmu!" Ninja merah tertawa pendek.

"Apakah kau mau membuka penutup kepalamu lebih dulul"

"Kurang ajar! Bersiaplah untuk matil" bentak ninja hitam lalu dia melompat ke arah ninja merah sambil hantamkan ninjatonya.

Tangan ninja merah bergerak ke punggung. Sebilah pedang berkiblat di udara, menangkis dengan keras pedang di tangan ninja hitam. Kalau tidak merasa malu disentak lawan dalam satu kali gebrakan ninja hitam hampir mengeluarkan seruan tertahan.

Bentrokan senjata dengan ninja merah bukan saja membuat tangannya terasa pedas dan pedangnya hampir terlepas, tetapi juga menyebabkan kedua lututnya tertekuk. Dia merasa seolah ada kekuatan besar menekan tubuhnya dari atas. Kalau tidak cepat dia melompat mundur sambil memasang kuda-kuda baru, pasti dirinya jatuh terhenyak di depan meja sembahyang.

"Mahluk merah ini memiliki tenaga luar biasa. Jurus ilmu pedangnya aneh..."

Ninja ini seperti terpanggang ketika di depannya ninja merah tertawa mengekeh dan mengejek. "Ninja jelek, masih mau terus atau berlutut saja minta ampun"

"Mahluk takabur! Sekalipun kau punya tujuh kepala selusin tangan ninja tak pernah tunduk dan takut!"

Pedang di tangan ninja hitam melesat ke udara, membeset ke dada, menusuk ke perut dan merobek lagi ke dada. Serangan ninja sulit dikelit, hampir tak pernah gagal. Ninja merah berseru keras. Tubuhnya melesat ke atas, jungkir balik dan hantamkan kaki kanan ke arah kepala ninja hitam waktu melayang turun.

Meleset. Malah pedang ninja hitam membeset ke arah dada membuat ninja merah berseru kaget lalu cepat membuang diri ke samping. Begitu kakinya menginjak lantai Satu tusukan menyambar dengan ganas.

"Hah!" Hebat sekali. Ninja merah masih mampu berkelit. Tapi ketika ujung pedang mencuat dan membalik ke arah dadanya, ninja merah terlambat mengelak. Ujung pedang menyambar robek dada pakaiannya. Masih untung kulit atau daging dadanya tidak ikut tersambar. Dengan nafas agak mengengah ninja merah tegak sambil letakkan tangan kiri di pinggang. Kedua kakinya terkembang.

"Aneh..." kata Hisao Matsunaga dalam hati. "Kuda-kudanya aneh. Dia memegang katana hanya dengan sebelah tangan. Siapa ninja tunggal ini sebenarnya."

Keanehan yang dilihat oleh Hisao itu juga diketahui oleh semua orang yang ada di situ. Mereka sama bertanya-tanya dalam hati siapa adanya ninja merah ini.

"Ninja jelek, kau merasa sudah cukup atau masih mau terus?" Pertanyaan ninja merah benar-benar sangat merendahkan ninja hitam.

Di dahului suara menggembor ninja hitam menyergap dengan serangan berantai. Katana dalam genggamannya seolah lenyap. Berubah menjadi sinar keputihan yang mencuat ke berbagai bagian tubuh ninja merah. Setelah menghindar dengan sebat, ninja merah keluarkan suara suitan keras. Lalu tubuhnya berkelebat menyongoong serangan lawan.

"Trangg-Trangg-Trangg...!"

Tiga kali dua katana bentrokan di udara. Ninja hitam berseru kaget. Pedangnya lepas dari tangan. Dia cepat jatuhkan diri. Ketika bangkit sebuah kusarigama tahu-tahu sudah tergenggam di tangannya. Rantai yang ujungnya dicanteli senjata berbentuk ganco ini diputar dua kali di atas kepala lalu dengan kecepatan kilat membeset ke bawah.

"Jebol perutmu Brojol ususmu!" teriak ninja hitam.

"Perut bapakmu!" Usus Ibumu!" balas berteriak ninja merah. Pedang di tangan kanannya meluncur ke depan. Sengaja disusupkan masuk ke dalam gelungan kusarigama.

"Ha-ha-ha...! Kau menjebak diri sendiri" teriak ninja hitam.

Lalu dengan sekuat tenaga dia tarik kusarigamanya. Maksudnya hendak membetot lepas pedang di tangan lawan. Tapi alangkah terkejutnya ketika cepat sekali pedang ninja merah justru melesat terus dan tahu-tahu ujung katana itu sudah menempel di tenggorokannya, membuatnya melangkah mundur. Wajahnya yang tersembunyi di balik kain hitam pucat pasi. Jantungnya seperti mau tanggal. Langkah mundurnya tertahan ketika pinggangnya membentur meja sembahyang.

"Dasar ninja kurang ajar! Kalau mau sembahyang jangan memantati meja! Putar tubuhmu!" bentak ninja merah.

Pedangnya digerakkan secara aneh, mambuat tubuh ninja hitam jadi terputar. Dalam suasana lain mungkin semua orang akan tertawa membahak melihat kejadian yang lucu itu. Namun saat itu semua dihimpit oleh rasa tegang hingga tak ada yang bersuara ataupun bergerak. Ninja merah dekatkan kepalanya ke wajah ninja hitam. Tanpa didengar oleh orang-orang yang ada di situ, dengan suara perlahan dia berkata,

"Seorang teman kehilangan senjata berbentuk kapak bermata dua. Ada bukti senjata itu berada di tangan komplotanmu, Lekas jawab atau kugorok lehermu saat ini juga"

"Ninja tidak takut mati! Kau boleh gorok leherku" menyahuti ninja hitam.

"Kurang ajar! Nyalimu boleh juga! Aku urung menggorok lehermu! Kau akan kubiarkan hidup. Tapi kedua matamu kubuat buta lebih dulu!"

Tangan ninja merah yang memegang pedang bergerak ke atas. Ninja hitam yang masih memegang ujung rantai besi coba bertahan. Dia mengerahkan seluruh tenaganya sampai tubuhnya keringatan. Ternyata dia tak mampu melawan tenaga lawan.

"Mata kananmu lebih dulu!" kata ninja merah.

Ujung pedang bergerak ke arah mata kanan ninja merah. Tiba-tiba tangan kiri ninja hitam menyelinap ke sisi. Sesaat kemudian sebuah belati kecil yang tergenggam di tangan kiri itu menghunjam deras ke perut ninja merah.

"Belati beracun!" teriak beberapa orang.

Ninja merah tampk tenang. Dia bukannya tidak tahu apa yang dilakukan lawan. Begitu ujung belati hampir menyentuh pakaian merahnya dan siap menjebol perutnya, tangan kiri ninja merah berkelebat. Ninja hitam berteriak kesakitan ketika lengannya yang memegang pisau dicekal lawan.

Dia merasa seperti dijepit dengan jepitan besi. Ketika dia coba berontak terasa ada tekanan aneh pada urat besar di pergelangan tangan. Lalu mendadak sontak sekujur tangan kirinya menjadi kaku! Sementara itu ujung katana di tangan ninja merah sudah nempel di depan mata kanannya.

"Bagaimana, kau mau memberi keterangan atau tidak?" kertak ninja merah.

Nyali ninja hitam jadi leleh. "Aku tidak tahu menahu soal senjata yang kau tanyakan itu. Ada tiga komplotan besar ninja di daerah ini..."

"Sebutkan!"

"Ninja Nara, Ninja Iga dan Ninja Okazaki..."

"Kau dari ninja mana?"

"Nara...!"

Ninja merah tertawa perlahan. "Manusia kentut busuk! Kau kira aku bisa kau akali! Setahuku ninja Nara tidak pernah memiliki shuriken beracun seperti yang kalian pergunakan untuk membunuh dua murid perguruan itu!" Pedang di tangan ninja merah bergerak ke atas.

"Craasss...!" Ninja hitam meraung keras. Mata kirinya pecah. Darah muncrat.

"Kau masih punya kesempatan kurang dari sekejapan mata! Katakan kau gembong ninja dari mana!"

"I... Iga...!" jawab ninja hitam.

"Dasar ninja tolol kalau tadi-tadi kau beri tahu mata kananmu tak akan buta!" Tiba-tiba tiga buah senjata rahasia berbentuk bintang melesat ke arah ninja merah. Dari samping berkelebat satu bayangan. Lalu...

"Tringg-Tringg...!"

Dua buah shuriken mental ke udara dan menancap di loteng ruangan. Shuriken ke tiga ternyata melesat sangat sebat dan siap menembus dada ninja merah. Orang banyak menahan nafas.

Wajah ninja merah dibalik penutup kepala menyeringai. Tangan kirinya mencengkram bahu ninja hitam. Tangan kanan yang masih memegang pedang dan tergelung dalam rantai besi ditarik kesamping. Tubuh ninja hitam bergeser keras ke kanan. Lalu terdengar jeritnya ketika shuriken beracun menancap amblas di punggungnya, terus menembus paru-paru sebelah kiri Ninja ini langsung mati berdiri!

Ninja merah memandang pada Shigero Momochi yang berdiri di tengah ruangan sembahyang. Dialah tadi yang telah melompat dan menangkis dua buah senjata rahasia yang dilemparkan oleh kawan ninja dari lga itu.

"Terima kasih... Aku tidak melupakan bantuanmu tadi!" kata ninja merah pada Shigero Momochi.

Tiga ninja hitam yang ada di tempat itu menjadi marah dan nekad melihat kawan mereka menemui ajal mengenaskan begitu rupa. Ketiganya melompat dan langsung menyergap ninja merah dengan serangan ganas. Tiga bilah katana berkiblat di udara mengeluarkan suara berdesing mengerikan.

"Aha, selain kurang ajar kalian juga ternyata curang!" teriak ninja merah.

"Srettt...!" Dia cabut pedangnya dari gelungan rantai besi berkepala ganco. Tiga ninja yang menyerbu mengira lawan mereka akan pergunakan senjatanya untuk menangkis. Cepat-cepat mereka putar arah pedang. Tiga katana itu kini menderu ke arah tubuh sebelah bawah lawan.

Tapi mereka kecele. Ninja merah ternyata tidak pergunakan katananya untuk menangkis. Tapi tiba-tiba mengangkat tubuh ninja yang sudah mati dan memutarnya seperti titiran lalu dilempar ke arah tiga ninja yang menyerangnya.

"Craasss! Craasss! Craasss...!"

Tiga pedang menghantam tubuh mayat di tiga tempat. Lantai ruangan sembahyang lagi-lagi dikotori dengan darah! Tiga ninja hitam terkesiap kaget tidak mengira kalau pedang mereka akan menghantam tubuh kawan sendiri walaupun sudah jadi mayat.

Hisao Matsunaga usap mukanya berulang kali sementara yang lainnya tertegun menyaksikan apa yang terjadi. Tiga ninja hitam jadi tambah beringas. Mereka berteriak dahsyat lalu kembali menyerbu ninja merah. Yang diserang siap menunggu dengan pedang melintang di depan dada. Dan lagi-lagi dia memegang pedang dengan satu tangan yaitu tangan kanan tidak lazimnya cara ninja memegang senjata.

Saat itu Shigero Mamochi tidak mau tinggal diam. Begitu tiga ninja hendak mengeroyok lagi dia berkelebat masuk ke dalam kalangan pertempuran. Tapi dia jadi melongo ketika mendapatkan hanya satu lawan yang tersisa. Dua ninja lainnya telah lebih dulu menggeletak di tanah dengan perut dan dada robek. Keduanya melejang-lejang beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi.

"Maafkan! Aku hanya meninggalkan satu korban untukmu!" kata ninja merah pula pada Shigero Momochi. Lalu dia keluarkan suitan keras. Di lain kejap semua orang hanya sempat melihat orang itu berkelebat satu kali lalu lenyap di ujung ruangan sembahyang.

Shigero Momochi memandang mendelik pada satu-satunya ninja yang masih hidup. Ninja satu ini sebenarnya sudah hampir putus nyalinya. Namun dia sadar tak mungkin lolos hidup hidup dari tempat itu. Belasan anak murid perguruan dilihatnya telah mengurung tempat itu. Dengan nekad dia lalu menyerbu ke arah Shigero.

Wakil ketua perguruan yang suka mabok ini memang memiliki ilmu pedang tinggi. Namun satu lawan satu menghadapi ninja hitam itu dia sempat dibuat repot bahkan robek lengan kimononya sebelum akhirnya dia berhasil membacok pangkal leher lawan sampai tewas.

********************

Akira Kasai menghela nafas lega. Tapi wajahnya masih gelisah. Dia berpaling pda Akiko Bessho yang tegak di sebelahnya. "Ada empat ninja terbunuh di perguruan. Keadaan semakin rumit...!" kata anak itu dengan suara perlahan.

"Aku tahu..." jawab Akiko. "Kawan-kawan mereka bahkan mungkin semua komplotan ninja di negeri ini akan menyerbu. Menuntut balas! Aku sahabatmu, aku tidak akan membiarkan kalian diperlakukan semena-mena. Aku akan melakukan apa saja yang bisa membantu... Cuma saat ini aku juga punya kesulitan"

"Kesulitan apa?" tanya Akira Kasai.

"Dalam perjalanan ke sini sebenarnya aku bersama seorang kawan. Seorang pemuda asing bernama Wiro. Begitu melihat Ketua Hisao Matsunaga memacu kuda di malam buta, aku mengambil keputusan untuk mengikutinya. Pemuda asing itu aku suruh tunggu di satu tempat. Ketika aku kembalil dari puri bersama Ketua Hisao Matsunaga kawanku tak ada lagi di tempat penantian. Aku bersama Ketua menyelidik tapi tak bisa lama karena dia harus cepat-cepat kembali ke sini. Sebelum pergi aku menemukan sebuah shuriken menancap di batu. Ninja... Jangan-jangan kawanku itu telah dibunuh atau diculik oleh ninja...?"

"Kau salah nona Akiko. Aku ada di sini..." satu suara terdengar.

Seorang pemuda berpakaian dekil dan robek serta berambut gondrong muncul dari balik sebuah tiang bangunan. Akiko Bessho berpaling dan hampir berteriak ketika melihat Pendekar 212 Wiro Sableng tegak di depannya.

"Wiro! Kukira kau...?"

SEPULUH

Murid Sinto Gendeng tersenyum. Tapi tiba-tiba wajahnya kelihatan mengernyit. "Eh, kau seperti kesakitan..." kata Akiko.

"Saya lihat ada luka di paha dan lengannya," kata Akira pula.

"Aku diserang lima orang ninja. Satu berhasil kubunuh. Satunya lagi kubabat buntung tangan kanannya. Yang tiga berhasil membuatku babak belur lalu menendangku sampai jatuh ke dalam jurang batu..."

"Jatuh ke dalam jurang batu?! Saya tidak percaya! Bagaimana mungkin sekarang kau masih hidup?" kata Akira Kasai pula.

"Wiro, ini Akira Kasai, putera mendiang Ketua Noboru KasaI..." Akiko memperkenalkan.

Wiro mengangguk lalu membungkuk. Akira Kasai balas menjura lalu menutup mulutnya menahan tawa. "Sobat kecil, mengapa kau tertawa ?" tanya Wiro.

"Caramu membungkuk seperti orang menahan buang air besar" jawab Akira pula yang membuat Wiro tertawa lebar dan garuk-garuk kepala.

"Wiro, apa yang dikatakan Akira benar. Jika kau jatuh ke dalam jurang batu bagaimana kau bisa hidup dan bisa datang ke sini walau dalam keadaan masih terluka?"

"Kau mungkin tak percaya. Kawanmu bernama Yori itu yang menolongku."

"Yori...?"

"Manusia bendera..."

"Hah! Yori si Bendera Darah! Bukankah dia sebelumnya bermaksud hendak membunuhmu!?"

"Betul. Tapi agaknya dia begitu takut padamu hingga menangguhkan kematianku."

"Tak bisa kupercaya."

"Dia juga yang mengobatiku dan berkata bahwa setelah aku membunuh dan melukai seorang ninja, nyawaku akan terancam kemanapun aku pergi. Melihat apa yang terjadi di tempat ini aku merasa beruntung. Kalau saja aku datang lebih cepat pasti aku yang jadi sasaran balas dendam ninja-ninja itu. Walau aku lolos dari lobang jarum kematian namun nasibku jelek Kapak Maut Naga Geni 212 milikku dirampas kawannya ninja!"

"Ah, senjata itu bagimu sama saja dengan nyawamu," kata Akiko.

"Nona Akiko, jangan lupakan diriku. Bukan kalian saja yang punya kesulitan. Saya juga..."

"Adik Akira maatkan aku..."

"Apakah kita bisa bicara di tempat lain sekarang?"

"Baik, kita bicara di tempat aman. Kawanku ini akan ikut menemani..."

"Tunggu dulu. Saya tidak kenal pemuda asing ini sebelumnya. Apa dia bisa dipercaya?" tanya Akira Kasai.

"Kau bisa mempercayai dirinya seperti kau mempercayai diriku..."

"Terus terang saya tidak bisa mengatakan apakah saya mempercayaimu dan juga orang ini. Tapi saya tidak punya orang lain yang bisa diajak bicara..."

Lalu Akira Kasai memutar tubuhnya. Dia berjalan di depan sekali menuju ke arah timur kawasan perguruan yang luas. Di belakang sebuah bangunan yang dijadikan gudang dimana keadaan sepi dan agak gelap anak ini berhenti.

"Di sini aman. Kita bicara di sini saja..." kata Akira. Dia melirik pada Wiro sebentar seolah masih meragu. Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. "Bocah...!"

"Bocah... Apa itu?" tanya Akira.

"Di negeri ku bocah artinya anak kecil..."

"Oh..."

"Kalau kau kurang percaya padaku, biar aku pergi saja. Nanti aku kembali lagi," kata Wiro pula. Lalu dia memutar tubuh hendak melangkah pergi.

"Tunggu, saya kira saya bisa percaya padamu seperti saya percaya pada nona Akiko."

"Bagus, sekarang katakan apa yang hendak kau sampaikan padaku..."

"Ini menyangkut surat warisan pengesahan Ketua yang tadi dibaca oleh salah seseorang sesepuh perguruan..."

"Ada apa dengan surat itu?' tanya Akiko.

Anak usia 14 tahun itu memandang dulu ke kiri dan ke kanan seolah takut ada orang laln mendengar pembicaraan. Lalu dengan suara perlahan dia berkata; "Saya yakin surat yang dibacakan itu adalah surat palsu."

"Tapi saya melihat sendiri pendeta Kamashaki menyerahkannya dalam amplop kuning tertutup pada Hisao Matsunaga di Puri Sanzen..."

"ltu yang mengherankan," sahut Akira Kasai.

"Lalu apakah kau punya alasan atau bukti mengatakan surat itu palsu?" bertanya pendekar 212.

Akira Kasai mengangguk. "Saya melihat Ayah membubuhkan tanda tangan dan cap perguruan pada surat pengangkatan pewaris Ketua itu. Waktu itu setetes tinta jatuh menodai sudut kiri bawah surat. Ayah memaki dirinya sendiri karena ketotolannya itu. Namun saya lihat Ayah terus saja memasukkan surat itu ke dalam amplop kuning. Mengikatnya dengan benang, diberi lem dan diberi lak besar. Surat itu diserahkan pada saya dengan pesan agar saya bersama beberapa pembantunya menyerahkan surat itu pada pendeta Komo di Puri Sanzen..."

"Kapan hal itu tejadi?" tanya Akiko.

"Sekitar satu bulan lalu."

"Akira-san, kau banyak mengetahui kejadian pada malam waktu Ayahmu dibunuh?" bertanya Wiro.

Ketika anak itu mengangguk Wiro dan Akiko minta agar dia menceritakan. Sesaat setelah mendengar cerita Akira, Wiro lantas berkata,

"Ada kemungkinan Ayahmu karena kurang senang dengan noda tinta di surat warisan, lalu membuat surat baru mengganti surat yang kau terima?"

"Saya tidak yakin. Karena surat yang bernoda tinta itu hanya saya simpan satu malam. Besoknya langsung dikirimkan pada pendeta Komo."

"Melihat gelagat, Ayahmu seperti tidak mempercayai keamanan di perguruan..." kata Wiro.

"Saya tidak mengerti dan saya tidak tahu mengapa Ayah berbuat begitu."

"Sekarang sudah ada Ketua perguruan yang baru. Apa yang masih kau risaukan?" tanya Akiko Bessho.

"Siapa saja yang jadi Ketua saya tidak perduli. Tapi saya mengira telah terjadi kecurangan. Pemalsuan surat warisan Ketua."

"Selain Hisao Matsunaga, siapa lagi pengurus di perguruan yang berhak untuk jabatan itu?" tanya Wiro.

"Paman Shigero Momochi. Tapi syukur Ayah tidak mewariskan jabatan Ketua padanya..."

"Memangnya kenapa?' tanya Wiro lagi.

"Sifatnya kasar. Pemabok. Walau hatinya baik, mana mungkin orang seperti dia bisa diangkat jadi Ketua. Saya kira memang tepat kalau Ayah mewariskan jabatan Ketua pada paman Hisao Matsunaga. Hanya saja saya masih merasakan ada sesuatu yang tidak beres..."

"Akira-san sudahlah. Hal itu tak perlu kau pikirkan berpanjang-panjang. Perguruan sudah punya Ketua baru. Besok jenazah Ayahmu akan diperabukan..."

Akira terdiam. Baik Akiko maupun Wiro sama maklum kalau si anak masih belum puas. Agaknya belum seluruh unek-uneknya dikeluarkan.

"Adik Akira, mungkin masih ada yang hendak kau katakan?"Tanya Akiko.

Wiro menguap lebar-lebar. Selain letih luka di kaki dan di lengannya terasa berdenyut sakit. Dia lalu pergi duduk di sebuah bangku kayu dekat dinding gudang.

"Memang ada. Mungkin ini bisa dijadikan petunjuk siapa yang membunuh Ayah..."

"Kita semua tahu Ayahmu dibunuh oleh ninja. Ada tiga kelompok besar ninja di negeri ini. Tidak mudah untuk menyelidiki. Buktinya kau saksikan sendiri bagaimana mereka berani mendatangi tempat ini hanya karena tersinggung..."

Si anak tidak perdulikan ucapan gadis itu. Dia memotong. "Waktu saya melihat jenazah Ayah pertama kali, saya melihat ada kelainan pada lima jari tangan kanan beliau..."

"Kelainan bagaimana?"

"Lima jarinya berada dalam keadaan seperti habis mencengkeram. Setahu saya Ayah memang mempunyai ilmu pukulan disebut 'Lima Jari Dewa'. Untuk mendapatkan ilmu itu Ayah harus melakukan perjalanan selama tujuh bulan ke sebuah pegunungan di Tibet. ltupun belum sempurna betul. Menurut Ayah dia harus kembali lagi ke sana. Siapa saja yang terkena pukulan Lima Jari Dewa pasti menemui ajal atau cacat bertanda seumur hidup tubuhnya, tak bisa dihilangkan. Saya yakin sebelum terbunuh Ayah sempat melepaskan pukulan itu ke tubuh ninja. Kalau tidak mengapa jari-jari tangannya berada dalam keadaan mencengkeram. Saya mengerti tidak mudah mencari tahu siapa ninja yang terkena pukulan itu. Namun paling tidak kita sudah punya petunjuk..."

"Selain Ayahmu, apa ada pengurus perguruan lainnya memiliki ilmu Lima Jari Dewa itu?" bertanya Akiko.

Akira Kasai menggeleng. "Cuma Ayah satu-satunya yang menguasai ilmu itu!"

Akiko memandang pada Wiro. "Apa yang bisa kita lakukan?"

"Semua yang diceritakan anak ini dan semua yang terjadi adalah urusan dalam perguruan. Kita tak bisa mencampuri dan melibatkan diri. Aku sendiri sedang bingung karena menderita luka dan kehilangan kapak mustika. Namun mungkin semua yang terjadi di sini merupakan satu jalan bagiku untuk menyelidik ninja mana yang mencuri senjataku itu...!"

Wiro memandang pada Akira lalu berkata, "Sobatku kecil, aku akan melakukan apa saja untuk membantu menyingkap siapa pembunuh Ayahmu..."

Akira Kasai membungkuk. "Terima kasih gaijin..." katanya perlahan lalu dia berpaling pada Akiko. "Ada satu hal yang tidak saya mengerti dan ingin saya bicarakan denganmu!"

"Katakan saja..."

"lni menyangkut kejadian sewaktu rombongan kami dicegat ninja dalam perjalanan ke Puri Sanzen..."

"Apa yang tidak kau mengerti Akira!"

"Ninja berlaku ganas. Mereka menumpas hampir semua anggota rombongan. Termasuk sahabat saya Keno. Yang selamat hanya saya dan Paman Hisao. Namun waktu itu saya...!"

Akira Kasai tidak meneruskan kata-katanya. Dari balik bangunan gudang terdengar suara orang batuk. Sesaat kemudian Hisao Matsunaga yang sekarang menjadi Ketua Perguruan Emerarudo muncul di tempat itu.

"Maafkan kalau kedatanganku menggangu pembicaraan kalian. Jika memang ada urusan penting yang perlu dibicarakan, dalam bangunan besar ada beberapa ruangan bisa dipergunakan..."

"Kami kebetulan bertemu dan tidak bicara hal-hal penting," kata Akiko pula sambil tersenyum lalu membungkuk. Begitu juga Akira dan Wiro.

"Akira-san," Hisao menegur. "Kau butuh istirahat. lngat besok akan ada upacara panjang sebelum Ayahmu diperabukan. Mengapa tidak segera saja masuk kamar dan istirahat?"

"Maafkan saya paman Hisao. Selamat malam untuk kalian semua," jawab Akira. Sekali lagi anak ini membungkuk lalu cepat-cepat ditinggalkannya tempat itu.

Hisao Mastunaga perpaling pada Akiko. "Nona Akiko, bagimu telah kusediakan sebuah kamar untuk istirahat. Jika kau suka akan kuantar kesana sekarang juga..."

"Terima kasih. Ketua terlalu memperhatikan saya..."

Hisao Matsunaga kini memandang pada Wiro. Rambut gondrong, kening diikat kain putih, pakaian robek serta luka di paha dan lengan. "Nona Akiko siapa pengemis asing ini?"

Mulut Pendekar 212 sampai bergerak pencong mendengar orang menyebutnya sebagai pengemis. Dalam hati dia memaki panjang pendek. "Dia sahabat saya. Maafkan kalau keadaannya morat marit. Dia barusan dirampok orang di tengah jalan...!" dusta Akiko.

"Hemmm... Banyak uang atau hartamu yang dirampas?" tanya Hisao Matsunaga pada Wiro dengan senyum menunjukkan ketidak percayaan.

"Sedikit. Cuma lima tail emas dan lima tail perak," jawab Wiro terpaksa berdusta agar karangan Akiko cocok dengan ucapannya.

"Ck... Ck... Ck..." Hisao Matsunaga berdecak. "ltu bukan sedikit" katanya lagi-lagi dengan tersenyum tanda dia tidak percaya ucapan si gondrong tadi. "Nona Akiko, saya siap mengantarkanmu..."

"Terima kasih Ketua. Saya tak mau merepotkan orang. Biar saya bergabung dengan para tamu lainnya di ruang besar upacara sembahyang..."

"Kalau begitu kemauan Nona saya tidak bisa memaksa," kata Hisao Matsunaga pula. Lalu dia melangkah. Namun berhenti di hadapan Wiro dan berkata. "Saya menghargai kehadiranmu untuk melayat. Tapi sesuai aturan, kau hanya diperkenankan duduk di barisan paling belakang tempat upacara..."

Wiro tersenyum. "Saya sudah tahu. Tempat pengemis seperti saya memang di situ... Lagi pula saya kawatir duduk ramai-ramai di depan..."

"Apa yang kau kawatirkan?" tanya Hisao Matsunaga heran.

"Saya kawatir beberapa tail emas yang masih ada dalam kantong pakaianku disambar orang..." jawab Wiro. "Selamat malam ketua," katanya kemudian Sambil membungkuk.

Tanpa berkata apa-apa lagi Hisao Matsunaga tinggalkan tempat itu dengan cepat. Begitu orang pergi Wiro berpaling pada Akiko yang memandang padanya sambil tertawa geli.

"Nasibku buruk amat. Disangka pengemis oleh Ketua Perguruan...!"

"Sudahlah. Dia cuma salah menduga dan menilai orang," menyahuti Akiko Bessho. "Bagaimana pendapatmu mengenai Akira Kasai...?"

"Dia anak baik. Tapi aku punya firasat keselamatannya terancam." Jawab Wiro polos.

"Kalau begitu aku akan mengawasi dirinya secara diam-diam."

"Malam ini biar aku saja yang berjaga-jaga. Apa lagi tak ada gunanya aku berada di ruangan pembacaan doa. Aku mana pandai berdoa cara kalian..."

Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah ke arah bangunan di mana tadi dilihatnya Akira masuk. Dia melambaikan tangan pada Akiko Bessho lalu berkelebat naik ke atas atap bangunan lain di seberangnya.

********************

SEBELAS

Lapat-lapat dari ruang besar tempat upacara doa dilangsungkan terdengar suara orang membaca doa tak berkeputusan. Tanpa diketahui oleh orang-orang perguruan Emerarudo, dua sosok hitam berkelebat cepat di kegelapan malam. Seperti cecak, keduanya merayap cepat menaiki tembok tinggi.

Ketika dua sosok hitam itu menyelinap naik ke atas atap kamar tempat tidur Akira Kasai, di suatu bukit kecil di dalam sebuah bangunan berbentuk kuil seseorang menyalakan lilin di atas sebuah meja batu berlumut. Di atas meja terdapat sebuah bokor tembaga Di dalam bokor ini tersimpan abu jenazah seseorang.

Nyala api lilin yang menari-nari tertiup angin membuat bayang-bayang seram di dinding ruangan. Orang yang menyalakan lilin membungkuk di hadapan meja batu sampai tiga kali lalu perlahan-lahan jatuhkan diri berlutut. Sepuluh jari-jari tangannya dirangkapkan satu sama lain. Lalu diantara siliran angin malam terdengar dia berucap.

"Nenek... Cucu telah membuat kesalahan besar. Dua kali cucu berhasil menemuinya. Tapi dua kali pula cucu gagal membunuhnya. Kali pertama karena permintaan orang yang pernah menyelamatkan kehormatan cucu. Kali ke dua karena kebodohan cucu sendiri. Yaitu cucu tidak mampu, tidak tega melakukannya. Setiap cucu melihat wajahnya ada perasaan aneh dalam hati cucu. Nenek Arashi! Cucu mohon maafmu. Agaknya cucu tidak akan pernah bisa membunuhnya. Kalau ini satu dosa besar, mulai dari sekarang hukumlah diriku..."

Orang yang berucap di depan meja batu yang dijadikannya meja sembahyang itu terdiam sesaat, berusaha membendung air mata yang hendak keluar dari kedua matanya. Tiba-tiba suara hatinya seperti berontak dan di telinganya seolah mengiang kata-kata;

Cucu tidak berbudi. Mana keberanian yang kutempa selama dua belas tahun dalam dirimu! Mana kekuatan batin yang kutanamkan dalam tubuhmu! Mana hawa sakti yang mengalir dalam darah dan setiap denyut jantungmu! Jangan perasaan menguasai pikiranmu. Aku tahu kau tiba-tiba jatuh cinta padanya. Cinta! ltulah kelemahan pangkal bahala yang akan membunuhmu! Aku tidak meminta banyak padamu. Hanya satu! Bunuh pemuda asing itu! Atau arwahku akan membayangi selama hidupmu!

Orang di depan meja batu katupkan jari-jari tangannya satu sama lain hingga mengeluarkan suara berkereketan. Di kejauhan tiba-tiba terdengar suara lolongan anjing membuat dia tercekat. Laiu dia berdiri lurus-lurus memandangi bokor di atas meja batu berlumut. Setelah membungkuk tiga kali dia berkata,

"Nenek Arashi, aku harus pergi sekarang. Lain kesempatan aku akan menyambangimu lagi di sini..." Sampai di luar kuil dia tegak tertegun. Dia tidak tahu harus pergi kemana. Akhirnya dia menuruni bukit sepembawa kakinya. Angin dan udara malam yang dingin tidak diacuhkannya.

********************

Kembali ke Perguruan Emerarudo. Suara orang membaca doa masih terdengar walau kini mulai mengalun perlahan. Dua sosok hitam di alas bangunan dengan cepat menyelinap ke bawah cucuran atap.

"Srettt-srettt...!"

Mereka merobek dinding kertas dengan sebuah alat berbentuk pisau kecil. Di lain kejap tanpa ada yang mengetahui keduanya telah menyelinap masuk ke dalam kamar tidur Akira Kasai.

Saat itu putera mendiang bekas Ketua Perguruan Noboru Kasai memang telah bersiap untuk istirahat membaringkan diri di atas selembar kasur tipis. Sebelum berbaring dia merasa perlu memanjatkan doa terlebih dulu bagi arwah Ayahnya. Pada saat itulah tiba-tiba dia melihat dua sosok hitam menerobos masuk ke dalam kamar dan tanpa suara mereka menjejakkan kaki di atas tatami.

"Shinobi!" seru Akira Kasai dengan lidah kelu. Wajahnya menjadi pucat.

Ninja di sebelah kanan menganggukkan kepala. Melihat tanda ini ninja di samping kiri segera menghunus katananya. Cahaya maut berkilau dari badan pedang.

Rasa takut yang menyelubungi diri Akira tiba-tiba saja lenyap. Berubah dengan dendam kebencian. "Kalian pasti komplotan ninja yang membunuh Ayah! Saat ini kalian pasti juga hendak membunuhku! Kalian kira aku takut mati?!"

Dua ninja tak menjawab. Tiba-tiba Akira jatuhkan diri diri di lantai. Dia berguling ke kepala kasur di mana terletak pedang miliknya. Namun sebelum dia mampu menyentuh senjata itu, ninja di sebelah kanan cepat melompat lalu menginjak lengan anak ini.

Akira Kasai menjerit keras. Dengan suara bergetar karena amarah dan juga kesakitan anak ini berkata, "Aku tidak takut mati! Ayo bunuh!"

Ninja yang memegang pedang tidak tunggu lebih lama. Senjata di tangannya di tetakkan ke kepala Akira Kasai.

"Wuttt...!"

Sesaat lagi kepala anak itu akan terbelah tiba-tiba dinding kiri kamar jebol. Satu bayangan merah berkelebat dan...

"Tranggg...!" Sebilah katana melesat ke depan menangkis bacokan pedang ninja.

"Ninja merah!" teriak dua ninja hitam hampir bersamaan.

Kejut keduanya bukan olah-olah. Terutama ninja yang senjatanya kena tangkis. Lengannya bergeletar. Jari-jarinya terasa pedas panas. Selagi dia masih dilanda kaget tiba-tiba satu tusukan menderu ke dadanya. cepat ninja ini berkelit ke samping sambil menangkis. Dari samping kawannya ikut membantu.

"Trangg...!"

Tiga pedang beradu keras. Bunga api memercik terang dalam kamar. Dua pedang di tangan ninja menjepit pedang ke tiga hingga tak bisa bergerak. Namun yang punya senjata malah keluarkan suara tertawa.

"Kau inginkan pedangku silahkan ambil...!"

Pedang dilepas. Bersama dengan itu sosok ninja merah melesat ke atas. Dua ninja hitam memburu dengan pedang mereka. Dari atas ninja merah melepaskan pukulan tangan kosong. Serangkum angin dahsyat menderu. Dua ninja hitam berseru kaget begitu senjata mereka bergetar keras dan tak mampu ditusuk atau dibacokkan.

"Lepaskan senjata rahasia!" teriak ninja sebelah kanan.

Serentak dia dan kawannya gerakkan tangan kiri melepaskan senjata rahasia berbentuk bintang. Lawan yang diserang jatuhkan diri ke lantai sambil ulurkan tangan menjangkau pedang yang tadi dilepaskannya dan saat itu hampir jatuh di atas tatami. Gerakannya ini sungguh luar biasa cepatnya hingga dua buah senjata rahasia yang dilemparkan ke arahnya tak berhasil menemui sasaran, satu menembus dinding kamar terus melesat keluar satunya menancap di tiang kayu.

Ninja sebelah kanan keluarkan jeritan maut begitu pedang ninja merah menjebol perutnya. Tubuhnya langsung roboh. Darah bergenang cepat di atas tatami. Ninja satunya menggembor marah. Sekali berkelebat pedangnya menyambar ke leher ninja merah yang masih berbaring di lantai. Dalam keadaan menelentang ninja merah tangkis serangan ganas itu. Dalam waktu bersamaan kaki kanannya menendang ke atas.

"Dukkk...!"

Ninja hitam meraung keras. Pedang lepas dari tangannya. Sambil terbungkuk-bungkuk dia pegangi bagian bawah perutnya yang hancur. Matanya membeliak terbalik-balik. Mati!

Ninja merah sarungkan pedangnya. Ketika melewati tiang dimana menancap satu dari dua senjata rahasia tadi ninja merah mencabut dan memeriksanya.

"Hemm...! shuriken beracun..." gumamnya. Lalu dia cepat-cepat tinggalkan tempat itu.

Ketika orang banyak memasuki kamar ltu Akira Kasai tertunduk di alas tatami sambil pegangi lengan kanannya yang sakit. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Yang muncul di tempt itu adalah Shigero Momochi, Akiko Bessho lalu seorang tua pengurus perguruan, ditambah delapan orang murid perguruan. Akiko cepat memberikan pertolongan. Seorang ahli urut cepat dipanggil. Atas pertanyaan Shigero Momochi, Akira lalu menerangkan apa yang terjadi.

"Luar biasa malam ini. Ninja merah muncul sampai dua kali untuk menolong kita," kata orang tua yang jadi pengurus perguruan. "Pertama waktu empat ninja muncul di ruang pembacaan doa. Lalu di sini."

"Aku merasa malu. Kejadian di tempat ini menunjukkan kelemahan kita. Perguruan bisa diterobos begitu saja!" Kembali Shigero Momochi bicara.

Dia berkata sambil memandang berkeliling. Murid-murid perguruan tak ada yang berani melihat wajahnya. Ada suara batuk-batuk. Ketua Hisao Matsunaga yang telah diberi kabar apa yang terjadi segera datang ke tempat itu.

"Akira-san," katanya. "Mulai saat ini kuharap kau pindah ke bangunan tempat kediamanku. Aku minta selusin anggota perguruan menjaga kamarnya! Satu hal kalian ingat. Jangan sampai orang luar tahu apa yang terjadi di sini. Kecuali kalau kalian semua mau dianggap orang-orang tolol!"

Akira kemudian digendong, di bawa ke tempat yang dikatakan Hisao Matsunaga. Yang, lain-lain kecuali Shigero Momochi tinggalkan tempat itu.

"Ninja merah..." desis Shigero Momochi sambil usap-usap dagunya. "Siapa mahluk ini sebenarnya. Jika dia bisa muncul dalam waktu cepat berarti dia tadi masih berada di dekat-dekat sini... Mungkin seorang gagah salah satu dari para tamu...?"

Sementara Shigero Momochi melangkah menuju ruang besar tempat pembacaan doa, Akiko Bessho juga pura-pura pergi ke ruangan itu. Namun di satu tempat dia berputar, bergegas kembali. Hanya saja kali ini dia tidak menuju bangunan dimana kamar Akira Kasai terletak, tapi ke bangunan didepannya dimana yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng bersembunyi di atap.

"Aku punya dugaan. Jangan-jangan gaijin ini yang menyaru jadi ninja merah...?"

Tiba-tiba di atas atap bangunan tampak ada sosok tubuh bergerak. "Huh itu dia! Menggosok-gosok mata. Kelihatannya seperti habis bangun tidur!"

Sosok di atas atap melompat turun. "Aku melihat kelainan pada wajahmu. Ada apakah.?"

"Wiro, kau tadi berkata hendak mengawasi keselamatan Akira Kasai. Pecuma saja kau bermulut besar!"

"Eh, memangnya kenapa?" tanya Wiro.

"Dua ninja menyusup masuk hendak membunuh anak itu. Apa kau tidak lihat...?"

"Astaga!"

"Ninja merah muncul lagi menyelamatkan anak itu..."

"Astaga...!"

"Astaga! Astaga! Kau hanya bilang astaga! Apa saja kerjamu di atas atap sana?" Akiko Bessho jadi kesal.

"Maafkan diriku. Aku ketiduran. Aku benar-benar latih dan luka-luka ditubuhku membuat aku rasanya kurang enak badan... Tapi bagaimana bisa orang-orang perguruan kebobolan lagi?"

"Jangan salahkan mereka. Kau sendiri juga sudah kebobolan. Masih untung anak itu tidak mati dibunuh Hanya cidera tangan kanannya..."

"Astaga Kasihan betul..."

"Astaga lagi! Sudah tidur saja kau di atas atap sana!" saking kesalnya Akiko Bessho lalu tinggalkan Wiro.

"Ternyata bukan dia. Lalu siapa ninja merah itu? Mungkin yori...? Atau Kamashaki pendeta Zen itu?"

Selagi Akiko Bessho melangkah sambil berpikir-pikir. Dua sosok berjubah melangkah tanpa suara di belakangnya. Ternyata dua orang ini tidak mengikuti si gadis, melainkan menyelinap ke arah bangunan dimana tadi Akira Kasai dibawa.

Di ruang besar pembacaan doa Hisao Matsunaga membaca doa dengan khusuk. Kedua matanya dipejamkan. Sesekali matanya dibuka. Kali kesekian dia membuka mata dan menyapu para hadirin yang ada di ruangan itu, baru dia menyadari Sesuatu. Maka perlahan sekali dia berbisik pada Shigero Momochi yang ada di sebelahnya.

"Shigero, aku tidak melihat dua orang pendeta Zen yang datang bersama Akira itu..."

Shigero Momochi yang juga asyik membaca doa buka kedua matanya. Lalu dipejamkan kembali. Seperti tak acuh dia berkata, "Mungkin mereka sudah pulang..."

Kalau betul berarti sungguh tidak sopan perbuatan mereka. Tidak minta diri pada tuan rumah. Apalagi upacara pembacaaan doa belum selesai. Disamping itu mereka selayaknya menunggu sampai selesai upacara perabuan jenazah. Jangan-jangan mereka berkeliaran ke mana-mana?"

"Mungkin saja mereka lelah membaca doa lalu jalan melihat-lihat bangunan perguruan kita," jawab Shigero lagi.

"Melihat-lihat malam-malam begini? Hatiku merasa kurang enak." kata Hisao Matsunaga.

"Kalau begitu biar aku mencari di mana mereka berada." Shigero hendak hangkit berdiri. Padahal sebenarnya saat itu dia ingin kembali ke kamarnya untuk meneguk minuman keras. Mulutnya terasa pahit dan tenggorokannya seolah kering.

"Biar aku saja yang pergi. Kau tetap di sini," kata Hisao Matsunaga lalu mendahului berdiri.

Shigero Momochi memperhatikan kepergian sang ketua sambil berkata-kata sendiri dalam hati. "Anak itu membuat keadaan menjengkelkan. tiba-tiba saja dia menjadi sangat Penting. Mengapa ada komplotan ninja yang menginginkan nyawanya? Ninja bekerja hanya atas dasar bayaran. Kalau dibayar berarti ada yang membayar. Siapa? Mengapa?"

Dua pendeta Zen mendekam di balik sebuah pot besar Memandang ke depan, mereka melihat sekitar dua belas orang anggota perguruan berjaga-jaga di dekat bangunan di mana Akira Kasai berada. Di ruangan dalam masih ada empat orang lagi melakukan pengawalan. Sambil memandang berkeliling salah seorang pedeta Zen berbisik pada temannya,

" Aku sebetulnya tidak suka pekerjaan macam begini. Kalau bukan pendeta Kamashaki yang menyuruh aku lebih enak diam di kamarku, berdoa sambil tidur-tiduran..."

"Mendiang Ketua Noboru Kasai punya hubungan sangat baik dengan kita. Sangat pantas kalau pendeta Kamashaki meminta kita menyelamatkan anak itu, Pendeta agaknya telah punya firasat atau bisa melihat apa yang bakal dialami anak itu. Ini semua berdasar pada kenyataan bahwa Ayahnya meninggal secara tidak wajar. Seseorang telah menyuruh membunuhnya, Lalu mungkin orang yang sama pula yang menginginkan surat warisan jabatan Ketua itu..."

"Kalau aku boleh menuduh dan mohon ampun pada Dewa atas ucapan dan jalan pikiranku ini, aku punya dugaan Wakil Ketua Shigero Momochi-lah yang jadi biang keladi dibalik semua ini. Agaknya dia maklum kalau kelakuan dan tindak tanduknya selama ini tidak memungkinkan dirinya diangkat jadi Ketua. Dia berusaha mencuri surat warisan untuk mengubah isinya. Ternyata Wakil Ketua Hisao Matsunaga bertindak lebih cepat mengamankan surat itu..."

Pendeta Zen yang satu lagi terdiam sesaat. Dia memandang berkeliling sekali lagi. "Kurasa aman. Lekas kau bertindak, jangan ngomong saja. Kita tak punya waktu banyak..."

Kawannya lalu mengeruk saku jubah. Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil yang ujungnya berbentuk pipa rokok. Ujung ini didekatkannya ke mulut. Penutup kotak dibuka lalu dia meniup. Dari dalam kotak berhembus keluar asap tipis bewarna kelabu. Begitu terkena siliran angin asap ini terus menyebar dan menyungkup bangunan di depan sana cepat sekali.

Dua belas orang anak murid perguruan tiba-tiba saja merasa mengantuk. Mereka menguap berulang kali lalu satu demi satu jatuh terkapar, tertidur pulas. Di dalam bangunan empat orang pengawal lainnya menyusul tenggelam dalam kantuk yang tidak tertahankan lagi hingga akhirnya jatuh pulas. Akira Kasai yang ada dalam kamar lebih cepat tertidur. Anak ini melingkar di atas kasur tipis tak tahu apa-apa lagi.

"Sekarang..." bisik pendeta Zen di sebelah kanan. Lalu mendahului berlari ke arah bangunan. Kawannya berkelebat mengikuti. Akira Kasai yang mereka temui dalam kamar segera saja digendong. Keduanya lalu keluar dari bangunan, sengaja melewati pintu belakang. Begitu mereka sampai di tangga terbawah satu suara menegur dari tempat gelap.

"Bukan main... Dua pendeta Zen ternyata penculik-penculik busuk Hendak kalian bawa kemana anak itu?"

DUA BELAS

Dua pendeta Zen tersentak kaget. Yang berada di depan segera bergerak melindungi temannya yang membawa Akira Kasai. Orang yang menegur keluar dari kegelapan. Ternyata dia adalah Hisao Matsunaga Ketua Perguruan Emerarudo yang baru.

"Ketua Matsunaga, harap kau jangan salah paham..." kata pendeta Zen yang berdiri di sebelah depan.

"Aku tak pernah salah paham. Kalian yang salah paham! Perguruan Emerarudo selama puluhan tahun telah menggalang tali persaudaraan dengan Puri SanZen. Ternyata di antara kalian ada manusia-manusia culas. Atau mungkin pimpinan Puri yang memberi perintah...?" Hisao Matsunaga bicara dengan seringai sinis dan sebentar-sebentar tangan kanannya mengusap dada kiri.

"Ketua Matsunaga, kami hanya menjalankan tugas. Kami bukan menculik anak ini, tapi justru mau menyelamatkannya. Kau sendiri tahu bagaimana berturut-turut dia hendak dibunuh..."

Hisao Matsunaga kembali menyeringai lalu batuk-batuk beberapa kali. "Tidak disangka para pendeta pandai berdusta mencari dalih..."

"Kami tidak berdusta. Kami benar-benar ingin menyelamatkan anak ini..."

"Turunkan anak itu, letakkan di tanah!" bentak Hisao Matsunaga. Lalu dia batuk-batuk kembali. Tangan kanannya lagi-lagi dipakai untuk mengusap dada.

"Kami tidak bisa melakukannya..."

Marahlah Ketua Perguruan Emerarudo itu. Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan pendeta yang menggendong Akira. Tangan kanannya bergerak ke punggung dimana menjulur gagang pedang. "Cabut pedang kalian!"

"Kami para pendeta mana pernah membawa senjata?"

"Bagus! Kalau begitu biar kupatahkan batang lehermu dengan tangan kosong!"

Habis berkata begitu Hisao Matsunaga langsung menyerang pendeta di sebelah belakang. Tapi kawannya di sebelah depan cepat memapasi seraya berkata,

"Lekas larikan anak itu. Biar aku menghadapi Ketua Perguruan barang sejurus dua jurus"

"Pendeta kurang ajar" bentak Hisao Matsunaga lalu hantamkan tangan kanannya ke tenggorokan sang pendeta.

Perkelahian tak dapat dihindari lagi. Para pendeta di Puri Sanzen selain mendalami ilmu agama juga banyak yang memiliki ninjutsu atau kepandaian silat serta kesaktian yang cukup tinggi. Dua diantara mereka adalah yang kini berada di perguruan itu. Gerakan pendeta yang langsung menghadapi sang Ketua kelihatan lemah gemulai seperti penari.

Namun setiap gerakan yang dibuatnya mengeluarkan hawa dingin hingga Hisao Matsunaga berlaku hati-hati. Berlawanan dengan sang pendeta gerakan gerakan Hisao Matsunaga justru cepat, deras dan ganas. Hanya dalam waktu lima jurus pendeta itu dibuat terjengkang ke tanah muntah darah. Satu jotosan mengandung hawa sakti yang dihantamkan Hisao Matsunaga dengan telak mengenai dadanya.

Berhasil merobohkan pendeta satu itu Hisao Matsunaga segera mengejar pendeta satunya yang membawa kabur Akira Kasai. Sadar kalau dia tak bisa meloloskan diri pendeta ini terpaksa turunkan anak yang di gendongnya ke tanah lalu menghadapi Hisao Matsunaga. Ternyata pendeta ini kepandaiannya jauh lebih rendah dari temannya tadi. Hantaman tepi telapak tangan Hisao Matsunaga tak dapat dikelitnya.

"Krakkk...!" Lehernya patah. Nyawanya lepas sebelum tubuhnya rubuh menyentuh tanah!

Saat itu Akira Kasai telah terjaga dari tidurnya akibat sirapan asap aneh pendeta Zen tadi. Sambil mengucak-ucak kedua matanya dia memandang berkeliling dan dapatkan dirinya terbujur di atas tanah.

"Eh, di mana diriku ini?" dia bertanya sendiri lalu memandang berkeliling.

Saat itulah dia melihat Ketua Hisao Matsunaga tengah mengayunkan tangan memukul patah batang leher pendeta Zen. Dengan terkejut si anak melompat berdiri. "Paman Ketua..."

Hisao Matsunaga memandang berkeliling. Dilihatnya ada beberapa orang mendatangi dari jurusan tempat pembacaan doa. Di depan sekali Shigero Momochi.

"Lekas masuk ke kamarmu" teriak Hisao Matsunaga. Tapi untuk sesaat lamanya si anak masih tegak tertegun.

Saat itulah tiba-tiba dari salah satu atap bangunan melayang turun satu sosok merah. Hisao Matsunaga terkejut sekali karena sambil melayang orang ini lepaskan pukulan tangan kosong yang mengeluarkan suara angin menderu, membuat Ketua Perguruan ini terhuyung-huyung kalau tidak lekas melompat ke samping.

"Ninja merah!" seru Hisao Matsunaga.

Sementara itu Shigero Momochi dan beberapa orang yang mendatangi hanya tinggal belasan langkah dari tempat itu. Di antara mereka kelihatan pula Akiko Bessho.

"Hai!" teriak Shigero.

Hisao Matsunaga juga membentak keras ketika keduanya melihat bagaimana ninja merah dengan satu gerakan kilat menyambar tubuh Akira Kasai. Ketika dia hendak berkelebat pergi memboyong si anak Shigero Momochi menghadang dengan tebasan pedang. Ninja meran melompat ke kiri. Dari jurusan ini dia mendengar suara berdesir. Sebilah katana menyambar ke arah punggungnya. Serta merta ninja merah hunus pedangnya pula. Tanpa menoleh dia sapukan senjatanya ke belakang.

"Tranggg!"

Dua katana saling beradu memercikkan bunga api. Ninja merah jatuhkan diri ke tanah. Sambil mengepit tubuh Akira dia bergulingan. Tiga katana datang menyambar. Satu dari Shigero Momochi, satu dan Hisao Matsunaga dan yang ketiga dari Akiko Bessho. Tiga kali terdengar suara berdentrangan. Walau dia sanggup menangkis tiga hantaman pedang namun pedang di tangan ninja merah tergetar keras.

"Cincang bangsat ini! Selamatkan Akira-san!" teriak Hisao Matsunaga.

"Tunggu dulu!" Yang berseru adalah Shigero Momochi.

"Tahan semua serangan!"

"Shigero apa maksudmu?" tanya Hisao Matsunaga hampir berteriak dan berusaha menahan marahnya.

"Sebelumnya ninja merah ini menolong kita sewaktu empat ninja hitam muncul. Sekarang dia hendak melarikan anak itu! Aku perlu menanyai siapa dirinya sebenarnya dan mengapa dia melakukan semua ini?!"

"Si pemabok tolol!" maki Hisao dalam hati. Hati dia berkata. "Shigero, orang jelas-jelas hendak menculik putera mendiang Ketua! Kau masih hendak bicara berbaik-baik. Sungguh aneh" Dia terbatuk-batuk lagi.

"Kau benar Ketua! Justru karena semua terasa aneh aku ingin menyingkapkan tabir keanehan ini! Dua pendeta Zen juga melakukan keanehan! Apa kau tak..."

"Shigero! Kau kembali saja ke ruang pembacaan doa. Biar mahluk merah ini aku yang membereskan! Adalah tolol kalau dalam keadaan seperti ini kau mau ngobrol dengan musuh!"

Mendengar kata-kata Hisao Matsunaga itu Shigero Jadi meradang. "Kalau itu mau Ketua terserah saja!" katanya. Lalu dia membalikkan tubuh. Matanya membentur Akiko Bessho. Dia mendelik pada si gadis. "Kau juga aneh! Kau orang luar! Mengapa ikut campur urusan kami?!"

"Wakil Ketua Shigero. Maafkan kalau aku telah bertindak lancang. Tapi bagiku Akira sudah seperti adik sendiri mengingat hubungan Ayahnya dengan mendiang guruku. Lagi pula..." Si gadis tidak meneruskan ucapannya.

Saat itu dalam amarah yang tak terbendung lagi Hisao Matsunaga melompat dan menyergap ninja merah dengan satu serangan kilat. Untungnya yang diserang tidak berlaku lengah. Sekali tangan kanannya bergerak pedangnya menangkis pertengahan badan pedang Hisao hingga tangan masing-masing tergetar keras. Hisao berlaku cerdik. Begitu pedang saling menempel dengan cepat dia mendorong.

Ketua baru perguruan Emerarudo ini memang dikenal sebagai memiliki hawa sakti yang sanggup mengeluarkan tenaga luar biasa kuatnya. Tetapi alangkah kagetnya dia ketika tiba-tiba tenaga dorongannya seolah-olah berbalik menggempur dirinya sendiri. Semakin dicobanya semakin terdorong dia kebelakang.

Selagi Hisao Matsunaga berusaha mempertahankan diri dari tekanan lawan tiba-tiba ninja merah hentakkan kaki kanannya menghantam tanah. Ketua perguruan itu merasakan tanah yang dipijaknya seperti dilanda gempa. Tubuhnya terhuyung-huyung. Dia bertahan mati-matian dengan sekuat tenaga agar tidak jatuh.

Tapi bukan saja dia kalah tenaga malah dari mulutnya kelihatan ada darah meleleh! Tenaganya seolah punah. Tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa langkah. Saat itulah pedang di tangan ninja merah berkelebat. Hisao Matsunaga coba menangkis tapi meleset.

"Breettt...!"

Dada kimono Hisao Matsunaga robek besar mulai dari pertengahan perut sampai ke bahu kiri. Perut dan dadanya tersingkap lebar tubuhnya jatuh terlentang di tanah. Pedang di tangan ninja merah menyusul berkelebat mengikuti arah jatuhnya sedetik kemudian ujung pedang telah menempel di tenggorokan Hisao Matsunaga.

Saat itu Shigero Momochi sudah tak ada lagi di situ. Beberapa orang murid perguruan dan juga Aklko Besso tertegun tegang. Agaknya nyawa sang Ketua tidak tertolong lagi. Namun rupanya ninja merah tidak bermaksud membunuhnya. Karena dengan cepat dia memasukkan pedangnya ke dalam sarung lalu dengan cepat pula dia berkelebat lenyap dari tempat itu. Akira Kasai ikut lenyap bersamanya.

"Ninja merah! Tunggul" seru Akiko.

Yang diteriaki sudah lenyap dari pemandangan. Tapi si gadis dengan nekad berusaha mengejar.

TIGA BELAS

Akira Kasai merasa seperti mau tanggal jantungnya dibawa lari sekencang itu. "Nin... ninja merah... Kau mau membawa saya kemana? Kau juga mau membunuhku...? Untuk bertanya begitu anak ini berusaha menindih rasa takutnya hingga suaranya tersendat bergetar.

"Siap bilang aku mau membunuhmu. Malah aku ingin kau selamat..." ninja merah menjawab.

"Aku membawamu ke tempat aman.

"Ah, gadis itu masih saja mengikutiku!" Ninja merah membatin.

"Anak, kau tahu tempat yang baik dimana kau bisa tinggal sementara dengan aman!?"

"Eh, bagaimana ini? Kau bilang mau membawa saya ke tempat aman. Mau menyelamatkan diriku. Sekarang mengapa malah bertanya? Dan mau meninggalkan saya?"

"Kau lama tinggal di kawasan ini. Pasti tahu seluk beluk daerah ini. Aku tak ingin ada orang mendatangimu lagi dengan maksud keji mau membunuhmu. Disamping itu ada satu urusan besar yang harus aku selesaikan..."

"Kalau begitu kau turunkan saja saya di tengah jalan ini" kata Akira Kasai pula.

"Boleh saja! Tapi coba kau lihat ke belakang. Ada seseorang mengejar. Jika kau kuturunkan apa kau merasa pasti si pengejar itu tidak akan memisahkan badan dan kepalamu?!"

Mendengar hal itu Akira Kasai jadi bergeming juga. "Saya rasa lebih baik ikut kemana kau pergi saja," kata si anak kemudian.

Ninja merah tersenyum dan berlari terus. Makin lama makin kencang. Akira melihat pohon-pohon yang mereka Iewati laksana hantu-hantu hitam berkelebat. "Coba kau lihat. Apa orang yang mengejar masih ada di belakang?" ninja meminta bantuan anak yang dikepit di sisi kirinya itu.

"Masih. Malah sekarang ada dua," jawab Akira Kasai.

"Hah?! Apa katamu?!" Ninja merah berpaling. Memang benar. Di belakangnya kini ada dua orang yang mengejarnya. Tak jelas siapa satunya. Ninja merah kertakkan rahang. Kedua tumit kakinya tidak menginjak tanah lagi. Larinya benar-benar laksana kilat dan hembusan angin hingga beberapa waktu kemudian dia bisa lolos dari dua pengejar.

"lni kawasan Okaza. Tak jauh dari sini ada sungai kecil... !" tiba-tiba Akira berkata.

"Kau anak pandai," ujar ninja merah. "Kalau kita menuju ke sana apa ada tempat yang aman bagimu?"

"Sepanjang sisi sungai kawasan peladangan. Biasanya ada beberapa buah gudang sayur di sekiar situ!"

"Kita menuju ke sana! Kau tunjukkan saja jalannya!"

Ninja merah mempercepat larinya. Tak lama kemudian sungai yang dikatakan Akira Kasai kelihatan memanjang dalam ke gelapan di lamping sebuah lembah subur. Di kiri kanan sungai merupakan daerah peladangan. Memang benar di situ terlihat beberapa buah bangunan gudang tempat penimbunan sayur sebelum diambil oleh para tengkulak. Ninja membawa Akira ke sebuah gudang terdekat. Keadaan di sini sunyi dan gelap.

"Kau berani kutinggal sendiri di sini?" tanya ninja merah setelah menurunkan si anak dari kempitannya. Akira Kasai memandang berkeliling. Hatinya berdebar juga.

"Ninja merah, apa sebenarnya yang hendak kau lakukan hingga kau tega-teganya meninggalkan diri saya sendirian di sini?"

"lni bukan soal tega atau tidak," jawab ninja merah. "Aku tidak bisa membawamu justru aku kawatir jiwamu terancam!"

"Kau tidak mau mengatakan mau pergi kemana?"

"Kalau aku katakan kau pasti tidak percaya..."

"Bilang saja..."

"Aku mau menyerbu ke markas komplotan ninja Nara!"

"Apa? si anak terkejut dan melotot. "Saya melihat kau merobohkan tiga ninja. Itu hebat! Tapi kalau kau mau menyerbu markas ninja itu adalah gila!"

"Eh, gila kenapa?"

"Kau mau bunuh diri?!" tukas si anak.

"Hanya orang gila yang mau bunuh diri!" sahut ninja merah.

"Karena itu saya katakan kau gila. Kau tak bakal dapat menerobos masuk markas mereka. Kalaupun bisa, tak mungkin dapat keluar hidup-hidup"

"Kau mau taruhan?!" tantang ninja merah.

"Boleh saja! Kalau aku kalah akan kuserahkan padamu katana yang tergantung di pinggangku. Kalau kau kalah aku minta pakaian ninja merahmu!"

"Hah?!" ninja merah berseru, tidak menyangka si anak akan meminta pakaiannya. Setelah berpikir sejenak dia berkata, "Baik! Taruhan jadi!"

Akira tertawa perlahan. "Eh, kenapa kau tertawa? Ada yang lucu?!" tanya ninja merah.

"Kalau aku menang taruhan aku tak akan pernah dapat pakaian merahmu. Karena kau sudah tewas di markas ninja Nara..."

"Ah, kau betul juga. Kalau begitu menyusul saja nanti ke sana... Nah sekarang kau kutinggal dulu! Masuk ke dalam gudang! Jangan sekali-kali berani keluar apapun yang terjadi. Kalau ada petani masuk sembunyi di balik tumpukan sayuran. Mengerti?!"

"Hai!" jawab Akira Kasai. Ninja merah putar tubuhnya tapi si anak memegang lengannya.

"Tunggu dulu...!

"Apalagi? Kalau mau bicara cepatlah. Waktuku tidak banyak. Sebentar lagi pagi datang"

"Ninja merah, saya tidak tahu siapa kau sebenarnya. Tapi apakah saya bisa mempercayaimu?"

"Anak, kenapa kau bertanya begitu?"

"Soalnya ada hal penting yang harus kubicarakan. Saat ini hanya ada kau"

"Apa yang hendak kau bicarakan?"

"Banyak!"

"Waktuku sangat sedikit. Nanti saja kita bicara..."

"lni menyangkut surat warisan dan..."

"Kalau itu bisa kau bicarakan nanti dengan Ketua Perguruan"

"Justru saya tidak mau bicara dengan dia..."

"Bicara dengan wakilnya. Eh, kenapa kau tidak mau bicara dengan Hisao Matsunaga?"

"Karena saya tidak percaya padanya. Saya sangat curiga! Saya yakin dia yang jadi biang keladi kematian Ayah!"

Ninja merah terkejut mendengar kata-kata Akira Kasai itu. Dia menarik si anak ke dekat sebuah bangku panjang terbuat dari kayu dekat dinding gudang.

"Duduk. Kau bicaralah. Jika kau curiga pada orang kau harus punya bukti atau saksi."

"Saksi saya tidak punya. Tapi bukti ada!"

"ltu boleh juga..."

"Mengenai surat warisan pengangkatan Paman Hisao Matsunaga. Saya yakin surat itu palsu. Waktu Ayah membuatnya ada tinta menetes di sudut kiri bawah surat. Saya diperkenankan memeriksa surat itu. Ternyata noda tinta itu tidak ada..."

"Mmm..." ninja merah bergumam. "Mengapa hal itu tidak kau katakan terus terang pada Ketua Hisao?"

"Saya takut."

"Lanjutkan bicaramu."

"Saya yakin surat yang asli disembunyikan oleh Paman Hisao. Atau sudah dimusnahkannya. Waktu Ayah memasukkan surat ke dalam amplop, saya sempat membaca bahwa yang diangkat Ayah sebagai pewaris jabatan Ketua adalah Paman Shigero Momochi bukan Paman Hisao Matsunaga..."

"Kalau penglihatanmu betul rasanya tidak masuk akal Ayahmu melakukan hal itu. Orang pemabuk dan punya sifat kasar seperki Shigero mana mungkin dijadikan Ketua?"

"Saya juga tidak mengerti. Tapi saya yakin Ayah punya alasan berbuat begitu. Semua orang memang tahu Paman Shigero punya sifat buruk. Banyak yang tidak suka. Terus terang saja saya juga tidak suka padanya. Tapi semua orang tahu hatinya baik..."

"Kalau kau tidak bisa mendapatkan surat warisan yang asli, sulit untuk membuat urusan..."

"Siapa yang jadi Ketua sekarang bagi saya tidak soal," kata Akira Kasai. "Tapi saya juga yakin bahwa Paman Hisao adalah pelaku pembunuh Ayah saya..."

Ninja merah tersentak oleh rasa terkejut. "Bagaimana kau bisa menuduh begitu? Bukankah Ayahmu mati dibunuh oleh ninja?"

"Kelihatannya begitu. Tapi mungkin juga oleh ninja bohongan. Karena waktu Ayah meninggal, saya lihat kedudukan lima jari tangannya seperti habis melancarkan ilmu pukulan 'Lima Jari Dewa'. Itu ilmu pukulan paling hebat di Jepang saat ini. Siapa yang terkena pasti akan mati, kalaupun selamat akan cacat atau sakit-sakitan seumur hidupnya. Agaknya Ayah masih sempat melancarkan serangan itu pada pembunuhnya..."

"Lalu...?"

"Sejak malam terjadinya pembunuhan itu saya lihat Paman Hisao selalu batuk-batuk dan sering mengusap dada kirinya"

"Anak, hal itu tidak bisa kau jadikan bukti bahwa Ayahmu telah menghantamnya dengan pukulan 'Lima Jari Dewa' dan bahwa Hisao Matsunaga yang membunuh Ayahmu..."

"Saya punya bukti lain. Waktu kau merobek pakaian Paman Hisao dengan ujung pedang, saya sempat melihat dada kirinya. Saya menyaksikan ada lima titik besar berwarna merah yang membengkak di dada kirinya. Itu adalah bekas pukulan 'Lima Jari Dewa'...!"

Sepasang mata ninja merah tampak mendelik.

"Berarti Paman Hisao lah yang dipukul Ayah dengan ilmu 'Lima Jari Dewa'. Berarti dialah yang menyamar jadi ninja lalu menyerbu perguruan dan membunuh Ayah..."

"Aku ingat waktu berkelahi dengan Ketua Perguruan itu. Ada kejadian yang mengherankan. Ketika dia menggembor tenaga untuk menahan tekanan pedangku, dari mulutnya keluar darah. Pertanda dia memang terluka di dalam. Akibat pukulan Ayahmu."

"Satu lagi," menyambung si anak. "Waktu rombongan kami diserang komplotan ninja, semua anak murid perguruan mati dibunuh. Mengapa Paman Hisao bisa menyelamatkan diri padahal jelas saya lihat saat itu dia sudah dikurung oleh lima orang ninja. Tapi dia tidak dibunuh karena ninja-ninja itu memang orang bayarannya"

"Akira, aku kagum dengan kecerdikanmu berpikir..." kata ninja merah pula.

"Kagum saja tidak ada artinya. Apakah kau juga bersedia menolong mengungkapkan kekejian ini pada para pengurus Perguruan Emerarudo?"

"Aku berjanji..." jawab ninja merah.

"Terima kasih..." kata Akira Kasai.

Anak ini membungkuk dalam-dalam lalu menyelinap masuk ke dalam gudang sayur. Tak lama setelah ninja merah lenyap dalam kegelapan malam, dari atas atap gudang sayur dua sosok tubuh melayang turun ke tanah.

"Kita berbagi tugas," kata sosok di samping kanan. "Aku tetap di sini menjaga anak itu. Kau mengikuti ninja merah."

Kawannya mengangguk.

"Hati-hatilah. Komplotan ninja atau orang- orang dari Perguruan bisa muncul setiap saat di tempat ini. Sayang tadi kita tidak sempat mendengar apa yang dibicarakan anak itu dengan ninja merah..."

********************

EMPAT BELAS

Dini hari menjelang pagi. Di dua tempat. Tempat pertama adalah Perguruan Emerarudo. Upacara pembacaan doa baru saja selesai dan akan dilakukan lagi pada saat menjelang perabuan jenazah. Ketua perguruan berada dalam kamarnya. Selesai berganti pakaian dia keluar menuju ke ruangan di mana telah menunggu beberapa pengurus termasuk Shigero Momochi.

"Ketua, bagaimana keadaanmu?" tanya Shigero.

"Aku sudah minum obat. Keadaanku cukup sehat. Apakah dua orang yang kusuruh menguntit kemana larinya ninja merah sudah kembali?" tanya Hisao Matsunaga.

"Belum Ketua..."

"Kita harus menyelamatkan dan mendapatkan anak itu kembali..." kata sang Ketua sambil pegangi dada kirinya.

Di luar tiba-tiba ada suara derap kaki kuda. Tak lama kemudian dua orang anak murid perguruan yang memiliki keahlian menunggang kuda secara luar biasa masuk. Setelah membungkuk salah seorang dari mereka memberi laporan.

"Ninja merah lenyap, tak berhasil kami ketahui kemana perginya. Tapi putera mendiang Ketua Noboru Kasai kami ketahui bersembunyi di sebuah gudang sayur dekat sungai Okaza. Di dekat gudang kami lihat nona Akiko Bessho berjaga-jaga."

"Gadis murid Hiroto Yamazaki itu memang sudah kucurigai. Kecurigaan ku ternyata betul. Dia berkomplot dengan pendeta dari Puri Sanzen, berkomplot juga dengan ninja merah dalam menculik Akira Kasai! Aku akan menangani tuntas persoalan inil"

Hisao Matsunaga masuk ke dalam kamarnya. Ketika keluar dipinggangnya kelihatan tersisip sebilah katana panjang yang gagangnya ada batu-batu permatanya. Ini adalah pedang kebesaran milik Perguruan Emerarudo yang telah berumur lebih dari tiga ratus tahun.

"Ketua," tiba-tiba Shigero Momochi berkata sambil melangkah. "Kau harus tetap berada di sini. Di antara para tamu. Upacara perabuan segera akan dilakukan siang nanti. Biar aku dan anak-anak yang turun tangan"

"Tidak bisa Shigero! Aku mempunyai kewajiban untuk menyelamatkan anak itu dan menghukum Akiko Bessho. Selesai upacara perabuan jenazah aku bersumpah untuk mencari sendiri ninja merah sampai dapat"

"Tapi kau kelihatannya masih kurang sehat Ketua!"

"Siapa bilang aku kurang sehat...?" jawab Hisao Matsunaga lalu...

"Srettt..!" Pedang di pinggangnya dicabut. Sinar menyilaukan bertaburan.

"Dess-Dess-Dess...!"

Tiga buah patung yang terbuat dari batu dan terletak di atas sebuah meja panjang putus disambar pedang. Tiga kepala patung jatuh ke lantai tapi bagian bawahnya tetap berada di atas meja. llmu kendo yang dimiliki sang Ketua memang hebat.

Namun kehebatannya ini menjadi tanda tanya ketika dia bisa dirobohkan oleh ninja merah sebelumnya. Karena tak bisa dicegah Shigero Momochi akhirnya hanya bisa diam saja ketika Hisao Matsunaga dengan cepat meninggalkan perguruan lewat jalan belakang. Mereka memacu kuda masing-masing menuju kawasan Okaza. Hisao Matsunaga di depan sekali.

********************

Tempat kedua seperti biasanya setiap pagi doyo besar di markas ninja Nara selalu ramai dipergunakan untuk latihan berbagai macam senjata. Mereka hanya mengenakan celana panjang hitam tanpa baju dan penutup wajah. Tubuh mereka memiliki otot-otot kokoh. Gerakan memainkan senjata ataupun ninjutsu sangat gesit dan ringan. Setiap gerakan mengeluarkan desiran angin.

Seorang lelaki berusia setengah abad dengan inezumi bergambar naga kepala tiga di dada kanannya berjalan seputar dojo. Sesekali dia mendekati orang-orang yang berlatih untuk membetulkan kuda-kuda atau memberi tahu cara yang tepat melemparkan shuriken ataupun memainkan kusarigama dan kendo.

Orang ini adalah Shimada Kagami. Dialah pimpinan tertinggi ninja kelompok Nara, satu dari tiga kelompok ninja yang paling ditakuti pada masa itu. Di tengah ruangan tiba-tiba Shimada Kagami hentikan langkahnya. Dia memandang berkeliling lalu berseru,

"Hentikan latihan! Apakah kalian tidak merasakan ada keanehan dalam ruangan ini?"

Semua ninja yang ada dalam dojo itu hentikan latihan mereka lalu memandang pada pemimpin mereka. Salah seorang dari mereka mendongak lalu berkata,

"Memang ada keanehan. Ruangan ini terasa semakin dingin..."

Ninja yang lainnya seolah baru menyadari ikut mengiyakan. Lalu mendadak saja tubuh mereka mulai bergetar. Rahang menggembung dan geraham bergemeletukan. Hawa dingin menyerang dengan hebat. Di tengah ruangan Shimada Kagami coba bertahan. Tapi tidak sanggup.

"Pada musim dingin sekalipun tak pernah kejadian sedingin ini. Apa lagi musim dingin sudah lewat! Lekas kenakan pakaian kalian! Kembali ke tempat ini dalam hitungan ke tiga puluh!"

Serta merta dojo itu menjadi kosong. Shimada Kagami juga ikut lenyap. Tak lama kemudian dia muncul lagi dalam keadaan sudah berpakaian serba hitam mulai dari kaki sampai kepala. Ninja-ninja lainnya menyusul muncul pula. Semua lengkap dengan katana di pinggang atau di belakang punggung. Mereka tegak menyebar di ruangan latihan. Jari-jari tangan dikepal membentuk tinju. Lengan diluruskan ke depan sejajar pinggang.

"Kerahkan hawa sakti dari perut! Panaskan aliran darah!" teriak Shimada Kagami.

Semua ninja melakukan apa yang dikatakan. Tapi hawa dingin yang menyerang bukannya berkurang malah semakin bertambah hingga banyak di antara mereka tertegak diam seperti membeku. Shimada Kagami membentak keras. Tubuhnya melesat keatas langit-langit ruangan. Ada bagian atap yang bergeser.

Sesaat kemudian ketika dia melayang turun sebilah senjata yang memancarkan sinar perak menyilaukan tergenggam di tangannya. Hawa panas yang keluar dari senjata ini ternyata mampu mengurangi dinginnya udara di dalam dojo.

"Senjata luar biasa! Benar-benar luar biasa!" kata Shimada Kagami.

Senjata itu diputarnya di atas kepala. Sinar putih berkiblat ke seluruh penjuru. Suara menggema seperti ratusan tawon mengamuk memenuhi ruangan dan bersamaan dengan itu hawa panas terasa semakin santar. Pada saat inilah atap ruangan di ujung kiri tiba-tiba jebol. Satu sosok merah melayang ke bawah.

"Ninja merah...!"

Seluruh anggota kelompok ninja Nara termasuk pimpinannya menjadi geger. Semua tidak bergerak. Hanya mata masing-masing diarahkan tak berkesip pada ninja merah yang mereka lihat berdiri secara aneh. Mahluk ini tegak dengan kaki terkembang. Dua tangan diangkat ke atas, telapak mengembang. Sepasang lengannya tidak berhenti membuat gerakan berputar. Dari ke dua telapak tangan ninja merah inilah membersit keluar angin tajam sedingin es!

Semua ninja anak buah Shimada Kagami seolah-olah telah menjadi beku tak sanggup lagi menggerakkan tangan atau kaki ataupun kepala mereka. Mereka tegak seperti patung es! Dalam marah mereka hendak membentak namun yang keluar hanya suara erang orang kedinginan. Hanya sang pimpinan yang masih sanggup bertahan. Namun lama-lama diapun tak sanggup memutar senjata yang dipegangnya. Perlahan-lahan tangan kanannya jatuh terkulai kesisi.

Ninja merah melangkah maju dan berhenti kira-kira lima tindak dari hadapan Shimada Kagami. "Aku tidak mau mendengar bantahan atau kedustaan! Ucapan ninja adalah ucapan kesatria! Beberapa anak buahmu menyerang seorang pendekar asing dekat sebuah jurang batu. Mereka merampas senjata berbentuk kapak milik pendekar itu yang kini kau pegang. Serahkan senjata itu, aku akan menyerahkannya pada sang pendekar. Lalu aku akan pergi dari sini tanpa membuat urusan jadi panjang! Kalau tidak kalian semua akan aku jadikan patung es...!!"

"Ninja keparat! Kau pasti mahluk jadi-jadian! Mempergunakan ilmu sihir untuk membuat kami tidak berdaya! Pengecut"

"Kau mau serahkan kapak sakti itu atau tidak?"

"Kau boleh mengambil senjata ini sesudah melangkahi mayatku!"

"Ninja sombong! Mari kita berkelahi dengan pedang. Kalau aku kalah kau boleh bunuh diriku. Kalau kau kalah kau harus menyerahkan kapak bermata dua itu!"

Sambil berkata begitu ninja merah cabut katananya. Ujung senjata ini di usapkannya ke wajah dada dan perut Shimada Kagami. Aneh, ada hawa panas yang mengalir dari pedang terus masuk ke dalam tubuhnya hingga Shimada kini merasa hangat dan terbebas dari hawa sangat dingin yang menguasainya.

"Kau menerima perjanjian atau tidak?!" tanya ninja merah begitu dilihatnya Shimada Kagami mulai bisa menggerakkan badan.

Pimpinan ninja ini keluarkan suara mendengus. Kapak di tangan kanannya di lemparkan ke atas. Senjata ini menancap di salah satu balok penyanggah atap ruangan latihan. Lalu didahului dengan bentakan garang dia cabut katananya langsung menyerang ninja merah.

Dalam waktu singkat sepuluh jurus berlalu. Shimada Kagami yang merasa berada di atas angin menggempur terus-terusan. Pedangnya berubah menjadi bayang-bayang. Mendesak ninja merah habis-habisan hingga orang ini kelihatan pontang panting menghindar atau menangkis cari selamat.

Lima jurus lagi berlalu. Shimada Kagami jadi penasaran. Semua anak buahnya juga jadi heran melihat pimpinan mereka tak sanggup mengalahkan lawan padahal perkelahian sudah berjalan lebih dari lima belas jurus. Padahal lagi sang lawan hanya memegang katananya dengan satu tangan, cara memegang pedang yang tak pernah mereka lihat selama ini!

Shimada berteriak keras. Pedangnya menetak deras dari atas ke bawah. Dari perutnya dia alirkan tenaga dalam.

"Tranggg...!" Dua katana beradu keras. Katana di tangan ninja merah terlepas dan mencelat ke atas.

"Saatmu menerima kematian!" teriak Shimada Kagami.

Ninja merah jatuhkan diri ke lantai dojo begitu pedang membabat.

"Brettt...!"

Pinggang pakaiannya robek. Pedang di tangan Shimada menancap di lantai dojo. Selagi dia berusaha mencabutnya ninja merah gulingkan diri ke samping. Kaki kanannya berkelebat.

"Bukkk...!"

Shimada Kagami mengeluh tinggi ketika tulang kering kaki kanannya dibabat tendangan lawan. Pedangnya terlepas. Tubuhnya roboh ke lantai. Ketika dia mencoba bangun dengan cepat, gerakannya kalah cepat dengan gerakan ninja merah. Saat itu lawan sudah tegak di atasnya. Kaki kanan ninja merah menginjak anggota rahasia dibawah perutnya.

"Kalau kau tidak mengaku kalah, kuhancurkan kemaluanmu!" mengancam ninja merah. Kaki kanannya ditekankan sedikit hingga Shimada Kagami mengerenyit kesakitan. Tangan kanannya ditepukkan berkali-kali ke lantai dojo.

"Aku mengaku kalah! Kau boleh ambil kapak itu. Setelah mengambil kapak kau boleh pergi dengan aman!" kata Shimada Kagami.

Ninja merah lepaskan pijakannya di selangkangan orang. Sekali lompat saja dia melesat ke atas untuk menyambar kapak mustika yang menancap di tiang penyanggah atap. Seorang anak buah Shimada cepat mendorong pintu geser, memberi jalan keluar pada ninja merah. Ketika dia melangkah pergi tiba-tiba ada suara berdesir di belakangnya. Bersamaan dengan itu terdengar suara orang berteriak memberi ingat.

"Awas serangan pedang terbang!"

Ninja merah membalik sambil putar kapak di tangan kanan.

"Traaggg...!"

Suara berdentrangan terdengar lima kali berturut-turut. Lima katana yang dilemparkan oleh lima anak buah Shimada yang telah terlepas dari pengaruh hawa dingin mencelat berpatahan di udara.

Shimada Kagami berteriak marah pada lima anak buahnya yang telah melakukan kecurangan itu. Dia melompat sambil membabatkan katananya. Namun hukuman dari ninja merah datang lebih dulu. Tiga kali kapak bermata dua menderu di udara. Tiga ninja terkapar mandi darah di lantai dojo, dua temannya menggelepar dengan leher hampir putus! Keheningan dan ketegangan berdarah menggantung di tempat itu. Lalu terdengar suara serak Shimada Kagami.

"Kau telah menjatuhkan hukuman. Aku merelakan kematian mereka..."

Lalu pimpinan ninja kelompok Nara itu menjura dalam-dalam sampai tiga kali. Ninja merah balas membungkuk tiga kali lalu tinggalkan tempat itu. Sampai di luar bangunan dia memandang berkeliling mencari-cari. Apa yang dicarinya itu segera menunjukkan diri. Dari atas atap bangunan satu sosok merah melayang turun.

"Makhluk Bendera Darah!" ujar ninja merah. "Jadi kau tadi yang berteriak memberi peringatan. Aku berterima kasih kau telah menyelamatkanku dari serangan maut lima katana tadi. Aku heran bagaimana kau tahu aku berada di markas ninja ini?"

"Aku dan Akiko menguntitmu. Aku sulit mempercayai ilmu apa yang kau keluarkan hingga semua ninja itu termasuk pemimpinnya hampir kaku kedinginan?"

Ninja merah tersenyum. "Kau menyebut Akiko. Dimana gadis itu sekarang?"

"Di gudang di tepi sungai Okaza... Kita harus ke sana sekarang. Aku seperti punya firasat buruk..."

Ninja merah melihat dua ekor kuda dekat sebuah pohon. Dia memberi isyarat pada mahluk bendera lalu berpaling ke arah bangunan dan berteriak,

"Pimpinan ninja Nara! Kami pinjam dulu dua ekor kuda mu!"

Di dalam bangunan Shimada Kagami menjawab perlahan. "Untung kau meminjam kudaku, kalau kau meminjam nyawaku berarti aku akan menghadap Dewa Kematian!"

********************

LIMA BELAS

Ketika ninja merah dan manusia Bendera Darah sampai di gudang sayur di tepi sungai Okaza. Mereka terkejut mendapatkan Akiko Bessho tengah bertempur mati-matian melawan Hisao Matsunaga dibantu oleh enam orang murid Perguruan Emerarudo. Gadis ini telah terluka di beberapa bagian tubuhnya.

Tapi seperti seekor harimau betina dia menahan serangan lawan bahkan sesekali balas menyerang dengan sebat. Gadis ini berkelahi dengan membelakangi satu-satunya pintu gudang sayur. Dia sengaja mengambil kedudukan di pintu yang terbuka itu untuk mencegah lawan masuk ke dalam di mana bersembunyi Akira Kasai.

"Nona Akiko! Aku tidak segan-segan membunuh mu kalau kau tidak segera menyerah" teriak Hisao Matsunaga.

"Ketua Perguruan Emerarudo! Antara kita tidak ada silang sengketa! Kalau kau tidak menyembunyikan sesuatu mengapa kau begitu nekad hendak membunuh diriku! Kau juga bertindak pengecut! Mengeroyok seorang perempuan sampai tujuh orang"

Hisao Matsunaga menyeringai buruk. "Jelas-jelas kau ikut terlibat dalam penculikan putera mendiang Ketua kami! Masih bisa bilang tidak ada silang sengketa!"

"Kau salah sangka..."

"Diam!" hardik Hisao Matsunaga.

Dia putar pedangnya dengan sebat lalu kirimkan dua bacokan ganas berturut-turut. Dua kali terdengar suara berdentrangan sewaktu Akiko berusaha menangkis serangan lawan. Kali ke dua pedang di tangannya terpental lepas. Gadis ini terpekik lalu melompat mundur.

"Jangan harap aku akan mengampuni nyawamu" kertak Hisao Matsunaga lalu menyergap dengan satu tusukan.

Akiko Bessho masih sempat berkelit walau lagi-lagi ujung pedang sempat melukai bahu kirinya. Tangan gadis ini tiba-tiba terpentang mengeluarkan cahaya perak menyilaukan. Hisao Matsunaga dan enam anak murid perguruan terkejut. Serentak mereka menyerbu bersamaan. Akiko hantamkan tangan kanannya...

"Wussss....!"

Sinar putih berkiblat. Hawa sangat panas menerpa para pengeroyok. Mereka cepat melompat menjauh. Namun dua orang murid perguruan terlambat bergerak. Tubuhnya terpental sampal lima kaki lalu menggeletak mati ditanah dalam keadaan hangus!

"llmu iblis apa yang kau miliki?" teriak Hisao Matsunaga dengan wajah berubah sementara empat murid perguruan yang ada di situ menjadi pucat tak berani mendekat.

Akiko Bessho tertawa tinggi. "Kalau kau ingin tahu mendekatlah kemari...!" katanya sambil siapkan 'Pukulan Sinar Matahari' yang dipelajarinya dari Pendekar 212 Wiro Sableng. Sekali ini tidak tanggung-tanggung. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.

Ditantang begitu rupa Ketua Perguruan Emerarudo menjadi kalap. Dengan pedang terhunus dan berteriak keras dia menusukkan senjatanya kearah dada Akiko Bessho. Si gadis siap menyambut dengan 'Pukulan Sinar Matahari'.

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi dari dua arah. Dari selatan gudang menyusuri sungai adalah Shigero Momochi bersama dua orang pengurus dan tiga orang murid perguruan. Dari sebelah timur gudang muncul ninja merah dan mahluk Bendera Darah.

"Tahan serangan...!"

"Hentikan perkelahian!"

Tapi Hisao Matsunaga tidak mau perduli. Pedangnya terus ditusukkan. Akiko menghantam.

"Akiko! Jangan...!" satu teriakan terdengar begitu keras. Lalu satu sambaran cahaya menerpa ke arah pedang Hisao Matsunaga.

"Tranggg...!"

Katana milik Perguruan Emerarudo yang telah berumur ratusan tahun itu mental ke udara. Jatuh tepat ketika Shigero Momochi sampai di tempt itu. Dengan satu gerakan cekatan dia berhasil menangkapnya. Wakil Ketua perguruan ini cepat melompat turun. Sesaat dia memandang ke jurusan ninja merah yang tadi menangkis pedang Hisao Matsunaga dengan senjata berbentuk kapak mata dua. Lalu dia melirik pada manusia Bendera Darah. Setelah itu dia berpaling pada Akiko Bessho.

"Nona Akikol" bentak Shigero Momochi. "Kau jelas bersalah karena telah menculik putera mendiang Ketua kami...!"

Pintu gudang sayur tiba-tiba terbuka. Satu suara terdengar menyahuti ucapan Shigero Momochi tadi. "Paman Shigero, tak ada yang menculik diri saya. Mereka semua malah berusaha menyelamatkan saya dari tangan berdarah Paman Hisao Matsunaga!"

Dari dalam gudang keluarlah sosok Akira Kasai. Paras Hisao Matsunaga mendadak sontak berubah. Namun dia cepat menguasai diri.

"Akira! Syukur Dewa! kau dalam keadaan selamat"

Akira Kasai tidak perdulikan ucapan sang Ketua. Dia melangkah ke arah Shigero Momochi. Sampai di hadapan orang ini si anak berkata, "Paman Shigero, saya mau memberi tahu bahwa Paman Hisao telah memalsukan surat warisan. Seharusnya kaulah yang diangkat Ayah sebagai pewaris Ketua Perguruan...!"

Beberapa pasang mata tampak melotot. "Akira! Kau ini bicara apa? Berani kau memfitnah dan memberi malu Ketua kita?! ujar Shigero.

"Dia tidak memfitnah dan tidak memberi malu siapapun! Akira, katakan semua apa yang kau ketahui!" kata Akiko Bessho sambil bersandar ke dinding gudang sayur.

Akira Kasai memandang penuh kebencian pada Hisao Matsunaga lalu anak ini berkata dengan suara lantang. "Paman Hisao! Kau juga yang membunuh Ayah! Menyamar sebagai ninja. Kau juga yang membunuh sahabatku Keno!"

"Anak, kau jangan mengada-ada. Masakan aku..."

Hisao Matsunaga melangkah mendekati anak itu. Tiba-tiba cepat sekali tangannya menjambak rambut Akira. Si anak dibembengnya hingga menempel ke dadanya. Lalu sebuah pisau beracun yang tahu-tahu sudah ada di tangan kirinya diarahkan ke leher Akira.

"Siapa berani mendekat kugorok leher anak inil" kertak Hisao Matsunaga dengan wajah sebengis setan.

"Paman Shigero, saya tidak takut mati. Ada bukti tanda pukulan 'Lima Jari Dewa' yang dilepaskan ayah di dada kirinya!" berteriak Akira Kasai.

Shigero Momochi berteriak keras. "Hisao! Apa benar yang dikatakan anak ini?"

"Benar atau tidak aku tak punya waktu buat menerangkan!" jawab Hisao Matsunaga. Lalu dia mundur ke arah seekor kuda. "Awas jika ada yang berani menghalangiku!" Dia mundur lagi dan hampir sampai ke kuda yang akan dipergunakannya melarikan diri sambil menyandera Akira Kasai.

Tapi tiba-tiba sekali ninja merah melompat ke arahnya. Tangannya bergerak dua kali. Hisao Matsunaga mengeluarkan suara seperti tercekik. Mulutnya tak bisa bersuara lagi. Bersamaan dengan itu sekujur tubuhnya menjadi kaku akibat dua totokkan yang dilakukan ninja merah tadi.

Semua orang yang ada di situ kecuali Akiko Bessho jadi terkejut. Mereka memang pernah mendengar tentang ilmu totokan yang bisa membungkam suara dan melumpuhkan orang tapi seumur hidup baru sekali itu melihatnya.

Akira Kasai menggeliat. Dengan susah payah dia melepaskan diri dari rangkulan Hisao Matsunaga begitu turun di tanah anak ini hunus pedangnya. Semua orang menyangka anak ini akan menusukkan senjata itu ke tubuh Hisao Matsunaga ternyata dia hanya merobek kimononya di bagian dada kiri.

"Brettt...!" Kimono robek besar. Dada kiri Hisao Matsunaga tersingkap lebar Kelihatan lima bintilan merah di dadanya.

Shigero Momochi medatangi sang Ketua dan memperhatikan dekat-dekat dada itu. "Ini memang bekas pukulan 'Lima Jari Dewa'" katanya. "Hisao! Kau benar-benar keji!"

Shigero Momochi tampak sangat kecewa. Orang ini putar tubuhnya membelakangi Hisao Matsunaga seperti hendak melangkah pergi. Tapi tiba-tiba dia membalik. Satu cahaya putih berkiblat.

"Craasss...!"

Katana yang diayunkan Shigero Momochi membabat perut dan dada Hisao Matsunaga. Darah basahi kimononya yang robek besar. Tubuhnya huyung lalu roboh terlentang di tanah. Tak bergerak lagi, mati dengan mata melotot. Dari balik robekan pakaian tersembul sebuah benda berwarna kuning Akira Kasai tercekat. Anak ini melompat lalu mencabut benda kuning itu.

Ternyata sebuah amplop. Dengan tangan gemetar Akira membuka amplop lalu mengeluarkan sehelai kertas yang ada di dalamnya. Anak ini tidak membaca lagi apa yang tertulis di kertas itu tapi matanya langsung memperhatikan bagian sudut bawah kiri. Di situ dilihatnya noda tinta yang sangat dikenalinya.

Dengan mata berlinangan Akira Kasai melangkah mendekati Shigero Momochi. Surat yang dipegangnya diserahkan pada orang ini. Shigero Momochi membaca surat itu. Tiba-tiba tangannya tampak bergetar. Mulutnya berhenti membaca. Sepasang matanya memandang pada Akira Kasai. Seperti tidak percaya apa yang barusan dilihat dan dibacanya.

Sebaliknya Akira Kasai mengusut air matanya dan memandang padanya dengan tersenyum. "Paman Shigero, itu surat warisan asli yang dibuat Ayah. Kaulah Pewaris jabatan Ketua Perguruan Emerarudo yang syah."

Ketika dia hendak meluruskan tubuhnya. Shigero Momochi Cepat merangkulnya dan berbisik, "Aku tidak percaya. Bagaimana aku manusia kasar dan tolol ini diberi kepercayaan begitu besar oleh ayahmu..."

"Ayah tahu apa yang dilakukannya. Asal saja kau jangan suka mabok lagi Paman Shigero..."

Dua mata Shigero Momochi tampak berkata-kaca. "Soal minuman itu. Hisao Matsunaga yang mengajarkan padaku. Dia mengirimkan berbagai minuman keras ke kamarku setiap hari. Sejak lima tahun yang lalu..."

"Ah, berarti dia memang sudah mengatur jauh-jauh hari. Sengaja menjadikan kau orang jelek dimata semua orang di perguruan. Kami semua tahu kau memang jelek rupa dan jelek sifat. Namun hatimu Seputih Salju di puncak Gunung Fuji dan jiwamu bersih sebersih bunga sakura yang mulai bersemi..."

Ucapan Akira Kasai itu sangat menyentuh perasaan Shigero Momochi hingga dia memeluk anak itu erat-erat sementara air mata jatuh membasahi pipinya.

"Paman Shigero, sembunyikan air mata mu. Jangan sampai ada orang lain yang melihat. Masakan Ketua Perguruan besar menangis seperti anak kecil..."

Shigero Momochi mau tak mau jadi tersenyum. Sambil mendukung Akira dia mendatangi ninja merah, mahluk Bendera Darah dan Akiko Bessho. "Kalau tidak dengan bantuan kalian bertiga, entah apa jadinya dengan Akira dan perguruan kami. Aku atas nama Pribadi dan perguruan Emerarudo mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya..."

Lalu Shigero Momochi membungkuk tiga kali. Setelah itu dia berpaling pada Akiko Bessho. "Nona Akiko, kami harap kau suka ikut ke perguruan untuk mengobati luka-lukamu. Kau kelihatan pucat. Tubuh mu tentu lemas karena banyak mengeluarkan darah!"

Lalu Shigero berkata pada Bendera Darah dan ninja merah. "Aku juga mengundang kalian berdua kembali ke perguruan..."

"Sepantasnya aku menerima undangan kehormatan dan pengobatan itu. Hanya dua temanku ini mungkin akan menyusul kemudian. Ada urusan penting yang harus mereka selesaikan..."

Habis berkata begitu Akiko Bessho naik ke atas punggung seekor kuda dibantu oleh ninja merah Shigero juga naik ke atas kudanya sambil terus menggendong Akira.

"Nona Akiko! Urusan apa maksudmu...?" Ninja merah tiba-tiba bertanya. "Aku tidak merasa ada urusan apa-apa dengan makhluk aneh ini!"

Akiko Bessho tertawa lebar. Dia dekatkan kudanya pada ninja merah lalu membungkuk berbisik, "Dia mencintaimu. Jangan kecewakan hatinya..."

"Kau gila... Masakan aku... Lelaki atau perempuannya pun aku tidak tahu...?!"

Ninja merah tak bisa meneruskan ucapannya karena saat itu Akiko Bessho sudah menggebrak kudanya dan tinggalkan tempat itu. Tiba-tiba kelihatan kuda yang membawa Shigero Momochi dan Akira berbalik mendatangi.

"Ada apakah?" tanya ninja merah.

Dari atas punggung kuda Akira Kasai meluncur turun. Dia menanggalkan katana yang tergantung di pinggangnya lalu menyerahkan pada ninja merah seraya berkata, "Aku kalah taruhan. Kau boleh ambil pedang ini...!"

"Heh... Aku tidak sungguhan..." jawab ninja merah agak sungkan menerima senjata itu.

"Sungguhan atau tidak terimalah sebagai tanda terima kasih saya..."

Ninja merah mau tidak mau mengambil pedang itu. Akira Kasai membungkuk lalu dibantu Shigero anak ini naik kembali ke atas kuda.

Di saat hari mulai terang-terang tanah kini di tempat itu hanya tinggal ninja merah dan manusia Bendera Darah berdua saja yang tegak saling berhadap-hadapan.

"Gadis itu mencintaimu..." Tiba-tiba meluncur ucapan itu dari mulut Bendera Darah.

"A... apa?" Paras di balik penutup wajah ninja merah jadi bersemu merah. "Justru tadi dia bilang kau mencintai ku!"

Kini wajah yang tersembunyi dibalik bendera-bendera merah itu yang jadi jengah kemerahan.

"Kau ini... siapa kau sebenarnya?" tanya ninja merah. "Wajah dan sekujur tubuhmu tersembunyi di balik ratusan bendera."

"Kau sendiri siapa? Bukankah kau Pendekar 212 Wiro Sableng? Gaijin itu...?" balik berucap mahluk Bendera Darah.

"Aku tak kenal orang yang kau sebutkan itu!"

"Jangan berdusta! Coba buka penutup kepalamu! Perlihatkan wajahmu! Jika kau memang seorang ninja kesatria"

"Aku tidak keberatan memperlihatkan diri," jawab ninja merah. Lalu dengan tangan kanannya dibukanya kain merah yang menutupi kepala dan wajahnya.

Melihat wajah yang kini terpampang di depannya, makhluk Bendera Darah keluarkan seruan tertahan. "Bukan dia! Jadi kau memang bukan pendekar asing bernama Wiro itu...?"

"Kau kecewa...?" tanya ninja merah.

Mahluk bendera Darah tidak menjawab. Seolah pada dirinya sendiri terdengar dia berkata perlahan. "Lalu... lalu kemana perginya pemuda itu...?"

Orang di depan Bendera Darah tertawa lebar. "Jika kau mau memperlihatkan dirimu sendiri aku bersedia memberi tahu dimana pemuda itu berada!"

"Aku tidak percaya..."

"Kalau begitu kau tidak ingin bertemu dengannya?"

Bendera Darah tampak meragu. Dia menyerah. "Baiklah, kau boleh melihat diriku..."

Lalu dia membuat gerakan cepat sekali seperti orang membuka penutup kepala dan pakaian. Ternyata ratusan bendera merah yang menancap ditubuhnya itu tersisip pada sebuah jubah tebal. Ketika jubah dibuka kelihatanlah wajah dan tubuhnya.

Ninja merah sampai ternganga terkesiap begitu melihat siapa yang tegak di depannya. Seorang gadis cantik berambut coklat, mengenakan sehelai pakaian kuning tipis sehingga lekuk tubuhnya yang bagus membayang.

"Nama mu Yori. Benar..?" ninja merah bertanya.

Gadis cantik dihadapan Ninja Merah mengangguk. "Sekarang tepati janjimu. Katakan dimana aku bisa menemui gaijin bernama Wiro itu..."

"Dia ada di dekat mu," jawab ninja merah.

Ketika si gadis memandang berkeliling mencari-cari ninja merah cepat-cepat lepaskan topeng tipis yang menutupi kepala dan mukanya.

"Tak ada siapa-siapa di sini. Kau berdusta!" kata si gadis seraya balik memandang ke depan kembali. Lalu berubahlah parasnya. Merah terkejut tapi disusul dengan senyum gembira.

"Kau...!" katanya dengan lidah seperti kelu. "Jadi selama ini kau menyamar menjadi ninja merah...?"

Ninja merah garuk-garuk kepalanya. "Aku hanya menuruti nasihat mu tempo hari. Katamu setelah aku membunuh ninja maka kemana pun aku akan dikejar sampai mereka bisa membunuhku! Apakah sekarang setelah tahu siapa diriku kau akan memberitahu ninja? Atau mungkin kau sendiri yang hendak membunuhku karena masih dendam atas kematian nenek Arashi?"

Si gadis geleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa. "Wiro," katanya. "Apakah kau akan cepat-cepat pergi ke Perguruan Emerarudo memenuhi undangan Shigero Momochi tadi...?"

"Bersamaku saat ini ada seorang gadis cantik jelita. Adalah tolol kalau aku malah pergi melihat orang mati..."

Yori alias gadis Bendera Darah tertawa cekikikan. Wiro mengembangkan ke dua tangannya. Tanpa ragu-ragu si gadis menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan pemuda itu. Ke duanya saling peluk dan masih terus bercumbu berangkulan walaupun hari mulai terang tanda malam telah berganti siang...

T A M A T

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.