Ku Tunggu Di Pintu Neraka

Sonny Ogawa

KU TUNGGU DI PINTU NERAKA

SATU

DUA sosok bayangan hitam berkelebat dalam gelapnya malam. Pada waku siang saja hutan belantara itu selalu diselimuti kegelapan dan dicengkam kesunyian. Apalagi di malam buta seperti itu. Hingga dua sosok yang bergerak tadi tidak ubahnya seperti dua hantu tengah gentayangan.

“Kita sudah dekat…” bisik bayangan di sebelah kanan. Ternyata dia manusia juga adanya.

“Betul, aku sudah dapat mencium baunya,” menyahuti bayangan satunya. Keduanya terus lari ke arah Timur rimba belantara. Tak selang berapa lama mereka sampai di bagian hutan yang banyak ditumbuhi semak belukar setinggi dada.

Di sini mereka hentikan lari. Tegak tak bergerak dan juga tidak bersuara. Hanya sepasang mata masing-masing memandang tak berkedip ke depan. Di atas serumpun semak belukar lebar terletak sebuah batu lebar berbentuk hampir pipih. Di atas batu ini duduk seorang lelaki berpakaian rombeng penuh tambalan seperti pengemis. Dia mengenakan sebuah caping bamboo. Bagian depan caping ini turun ke bawah hingga dari wajahnya hanya dagunya yang ditumbuhi bulubulu kasar saja yang kelihatan.

Bau aneh seperti bau bunga kamboja busuk datang dari orang yang duduk bersila di atas batu ini. Entah berasal dari tubuhnya atau dari pakaiannya yang dekil kotor.

Otak dua orang yang barusan datang cepat bekerja. Batu pipih itu beratnya paling tidak 30 sampai 40 kati. Tetapi mengapa semak belukar setinggi dada itu sanggup menahannya? Lalu ditambah pula dengan berat badan orang bercaping yang duduk bersila di atas batu. Semak belukar tetap berdiri tegak! Akal manusia mana yang bisa menerima kenyataan ini?!

“Aku tak menyangka dia memiliki ilmu setinggi ini,” bisik orang di sebelah kiri.

“Dia sanggup membuat tubuh dan batu yang didudukinya seringan kapas,”

balas orang di sebelah kanan. “Tapi kalau cuma ilmu meringankan tubuhnya saja yang hebat, kenapa kita musti takut?”

“Lalu bagaimana? Kita teruskan?” tanya orang yang pertama tadi.

“Seharusnya kau tak usah bertanya begitu. Ucapanmu menandakan keraguan hati. Kau kecut, bahkan mungkin takut. Padahal, bukankah kita sudah bersumpah untuk menangkapnya hidup atau mati?” kata orang kedua pula dengan nada sengit.

Lalu cepat dia menyambung. “Kau dari sebelah kiri. Aku dari kanan. Sekarang!”

Dua orang itu bergerak. Satu ke kiri, satu ke kanan. Tiba-tiba secara serempak mereka menyergap ke arah orang yang duduk di atas batu. Dari gerakan-gerakan mereka yang mengeluarkan suara angin bersiuran jelas dua orang ini bukan hanya melancarkan serangan biasa, tetapi serangan-serangan dahsyat yang bisa meremuk dada dan merengkahkan kepala!

Orang bercaping di atas batu kelihatan tidak bergerak sedikitpun. Seolah sama sekali tidak menyadari kalau dirinya tengah diancam bahaya maut. Sesaat lagi jotosan dari kanan akan menghantam caping di atas kepalanya dan jotosan dari kiri akan menghancurkan tulang dadanya, tiba-tiba dalam satu gerakan kilat yang hampir tidak terlihat oleh mata telanjang, orang bercaping di atas batu angkat kedua tangannya.

“Wutt! Setttt! Wutt Setttt!”

Dua penyerang sama berteriak kaget ketika dapatkan lengan kanan masingmasing yang mereka pergunakan untuk memukul tahu-tahu kena cekal orang! Mereka cepat menyentak untuk bebaskan diri. Namun ceklan itu laksana japitan besi yang tak dapat digoyahkan. Terpaksa keduanya pergunakan tangan kiri untuk menghantam. Sayang gerakan mereka kalah cepat. Tubuh keduanya tampak terangkat ke atas. Lalu dalam gerakan kilat yang ditunjang dengan kekuatan luar biasa tubuh itu diadu satu sama lain!

“Praaakkk!”

Dua kepala berbentur keras. Perlahan-lahan orang di atas batu lepaskan cekalannya. Dua orang yang tadi menyerangnya dan kini talah menjadi mayat roboh di bawah, terkapar di tanah rimba belantara lembab. Keadaan yang tadi sempat berisik kini kembali diliputi kesunyian. Orang di atas batu duduk tak bergerak seolah tidak terjadi apa-apa!

Sementara itu di atas sebuah pohon tinggi, dalam kegelapan malam, sulit terlihat oleh mata telanjang, seorang kakek bermuka kuning mengenakan pakaian selempang kain putih seperti seorang resi, duduk di atas salah satu cabang pohon. Di tangan kanannya dia memegang sebatang joran atau bambu pemancing. Pada ujung benang di mana terdapat mata kail yang dibalut sejenis getah, berbagai binatang hutan yaitu serangga terbang, kunang-kunang, nyamuk dan sebagainya telah menjadi korban. Mati menempel di mata kail.

Sungguh aneh keadaan orang tua ini. Apakah dia menganggap dirinya tengah memancing? Walaupun dia tidak bergerak atau bersuara namun apa yang terjadi di bawah sana yaitu kematian mengerikan dua orang yang menyerang, sama sekali tidak luput dari pandangannya. Malah sewaktu dua orang itu jatuh bergedebukan di tanah tanpa nyawa dan kepala rengkah, dalam hatinya orang tua di atas pohon mengejek.

“Manusia-manusia tolol! Kalau ilmu cuma sejengkal mengapa berani datang ke tempat ini! Mencari perkara mencari mati!”

Kesunyian di tempat itu ternyata tidak berlangsung jauh. Karena tak selang berapa lama kemudian entah dari mana datangnya sesosok tubuh renta bungkuk dengan punuk di tengkuknya tahu-tahu muncul di tempat itu lalu duduk sejarak lima langkah dari hadapan semak belukar di atas mana ada batu dan duduk orang bercaping. Orang yang baru darang ini berambut kelabu dan di tangan kanannya ada sebatang tongkat hitam.

Dua mata orang tua berambut kelabu ini kecil dan selalu berputar liar, melirik ke kiri dan ke kanan. Sekilas dia memperhatikan orang di atas batu, lalu memperhati-kan dua sosok yang sudah jadi mayat, lalu kembali lagi memperhatikan orang bercaping. Kemudian kelihatan dia geleng-gelengkan kepala.

“Anak-anak manusia malang! Kalian mampus percuma. Akibat meminta lebih dari kemampuan!” Si rambut kelabu membuka mulut. Lalu dia ketukkan tongkat hitamnya ke tanah.

“Dukkk! Dukkk! Dukkk!”

Hebat sekali! Ketukan tongkat itu bukan saja mengeluarkan suara aneh jauh ke dalam tanah tetapi juga menyebabkan semak belukar di hadapannya bergoyang-goyang. Goyangan ini membuat batu hitam di atas semak-semak itu bergetar. Namun orang bercaping yang duduk di atasnya seolah tidak merasakan apa lagi terganggu.

Di atas pohon orang tua bermuka kuning dan berpakaian seperti resi usap-usap joran bambunya. “Si bungkuk itu… Hemm…” katanya dan bergumam dalam hati. “Boleh juga dia. Kepandaiannya jauh meningkat. Ketukan tongkatnya membuat pohon yang kududuki bergetar. Bahkan pantatku terasa seperti kesemutan.”

“Ck… Ck… Ck.”

“Tapi aku kurang yakin dia mampu melaksanakan niatnya. Biar kutunggu saja sambil memancing… Ah, mengapa sedikit sekali hasil pancinganku malam ini.”

Orang tua berpunuk berhenti mengetuk-ngetukkan tongkat hitamnya. Dia maju dua langkah. Mulutnya tampak dipencongkan. Sesaat kemudian terdengar dia berucap.

“Kebo Pradah. Kau boleh menyamar seribu samaran. Sebagai resi, sebagai nelayan atasu sebaga petani. Juga sebgai pengemis seperi kau lakukan saat ini. Tapi kau tak bisa lari dari aku. Mata tua ini tak bisa ditipu. Aku datang menjemputmu! Apa jawabmu?!”

Orang di atas batu tidak bergerak. Juga tidak ada suara jawaban. Orang tua berambut kelabu di depan semak belukar menyeringai. Tangan kirinya mengusap-usap rambutnya beberapa kali lalu tangan kanannya yang memegang tongkat bergerak.

Ujung tongkat kayu hitam itu tiba-tiba menyusup ke bawah caping. Di depan mata kiri ujung tongkat berhenti seolah hendak menusuk. Ternyata tidak. Tongkat itu bergerak ke bawah lalu berhenti tepat pada cegukan di pangkal leher. Agaknya bagian inilah yang akan ditusuk. Jelas tusukan membawa kematian!

“Aku bertanya sekali lagi Kebo Pradah! Kau bersedia ikut aku atau bermaksud membangkang?!”

Orang tua berpunuk menunggu. Yakin bahwa dia tak bakal mendapat jawaban maka diapun keluarkan suara tawa mengekeh. Tiba-tiba kekehannya lenyap laksana direngut setan. Pergelangan tangan kanannya bergerak. Ujung tongkat benar-benar menusuk!

“Trakkk!”

Orang tua berpunuk berseru kaget lalu melompat mundur sampai tiga langkah. Dua matanya mendelik, memandang liar berganti-ganti ke arah orang di atas batu dan tongkat kayu hitamnya yang patah. Dia tidak dapat melihat kapan orang di atas batu itu menggerakkan tangannya. Yang jelas gerakan orang itu jauh lebih cepat dari tusukan tongkatnya tadi.

Di atas pohon yang gelap, kakek bermuka kuning yang memegang joran geleng-gelengkan kepalanya. Dalam hati dia berkata. “Tua bangka bungkuk berpunuk itu ternyata cuma bermulut besar. Kalau otaknya waras apa yang terjadi sudah cukup menjadi peringatan. Sebaiknya dia lekas saja angkat aki dari tempat ini!”

Namun lain kata hati si kakek di atas pohon, lain pula ucapan orang tua berpunuk. “Bagus Kebo Pradah! Bagus sekali! Kau menunjukkan keperkasaanmu tanda kau memang pantas kuajak pergi. Tapi dari sikapmu tadi jelas kau memutuskan untuk ikut aku tanpa nyawa di badan!”

Si bungkuk berpunuk lemparkan patahan tongkat ke tanah. Dari mulutnya keluar suara lengkingan keras. Di lain kejap tubuhnya melesat ke depan. Ketika kedua tangannya dihantamkan, ada deru angin yang dahsyat mendahului serangannya. Orang di atas batu maklum dia kini tidak bisa bertindak gegabah. Dengan cepat dia angkat kedua tangannya menangkis.

Dua pasang lengan saling bentrokan keras. Tapi anehnya sama sekali hampir tidak terdengar suara bergedebukan. Ini satu pertanda bahwa kedua orang itu sama-sama memiliki tenaga dalam yang tingginya sulit dijajagi. Terbukti dengan apa yang terjadi setelah bentrokan lengan itu. batu di atas semak belukar kelihatan retak. Beberapa bagiannya malah hancur berkeping-keping.

Asap mengepul dari batu. Orang bercaping yang tadi duduk di atasnya lenyap entah kemana! Sebaliknya si bungkuk berpunuk tampak berlutut enam langkah dari depan semak belukar dengan sekujur tubuh bergetar. Punuknya seolah bertambah besar tiba-tiba.

“Desss!”

Punuk itu meletus pecah! Darah muncrat mengerikan!

DUA

Orang tua bermuka kuning di atas pohon leletkan lidahnya. “Si bungkuk itu tak bakal lama nyawanya,” katanya dalam hati. “Kebo Pradah pasti tidak lepas dari hantaman tenaga dalam lawan. Tapi dia berlaku cerdik. Tenaga sakti lawan diteruskannya ke atas batu yang tadi didudukinya. Karuan saja batu itu jadi retak bahkan pecah berkeping-keping!”

Si bungkuk berambut kelabu berusaha menahan sakit dengan mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Namun tak urung suara erangan terdengar juga keluar dari mulutnya. Tangan kirinya diulurkan ke belakang. Begitu dia berhasil memegang punuknya yang pecah, orang ini menekan kuat-kuat. Sungguh luar biasa. Darah yang seperti memancur dari pecahan punuk serta merta berhenti mengalir. Dengan mengumpulkan seluruh tenaga perlahan-lahan orang ini bangkit berdiri.

“Kebo Pradah! Dimana kau?! Jangan bersembunyi pengecut! Aku akan mengadu jiwa denganmu!”

Si bungkuk memandang kian kemari. Orang bercaping itu tidak kelihatan. Dia membalik! Tahu-tahu Kebo Pradah sudah ada didepannya! Si bungkuk keluarkan suara menggembor. Kedua tangan diulurkan ke depan. Didahului bentakan keras dia melompat. Dua tangannya siap untuk mencekal dan mematahkan leher Kebo Pradah. Namun tindakan nekadnya itu tidak membawa hasil. Sebelum dia sempat menyentuh leher yang jadi sasaran, orang bercaping gerakkan tangan kanannya.

“Prakkk!”

Kening si bungkuk pecah besar. Tubuhnya terjengkang. Jeritannya terdengar singkat karena maut keburu merenggut nyawanya! Di atas pohon orang tua bermuka kuning menghela nafas panjang. “Kasihan, satu korban lagi jatuh. Apa masih ada lagi manusia tolol akan muncul mencari mati di tempat ini?”

Di bawah pohon Kebo Pradah terdengar mendengus. “Tak jelas apa maunya manusia-manusia itu. Mereka memburuku sejak tiga puluh hari lalu. Hampir tidak memberi kesempatan bagiku untuk bernafas lega. Pintu Neraka… Kudengar ada di antara mereka menyebut-nyebut nama itu. Apa betul ada Pintu Neraka? Di mana itu…?” orang ini membetulkan letak capingnya lalu memandang berkeliling sambil mengusap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu kasar. Tiba-tiba Kebo Pradah berseru.

“Orang di atas pohon! Sudah saatnya kau turun. Aku mau lihat tampangmu biar jelas dan apa kepentinganmu di tempat ini, mendekam sejak tadi di atas pohon!”

Orang tua bermuka kuning di atas pohon tersentak kaget. Jorannya sampai bergoyang-goyang. “Astaga, rupanya dia tahu sejak tadi kalau aku nongkrong di sini! Ah, bagaimana ini. Mau tak mau aku harus turun juga! Mungkin sudah saatnya aku jarus memberi tahu padanya…”

Orang tua ini gulung tali kailnya. Baru saja dia hendak melompat turun tiba-tiba terdengar suara aneh di kejauhan. Kakek muka kuning dan Kebo Pradah sama-sama tercekat dan saling dongakkan kepala. Suara aneh itu terdengar semakin keras tanda bertambah dekat.

“Hem…” si muka kuning bergumam. “Itu suara kerontang kaleng . Hanya ada satu manusia yang membawa kaleng rombeng ke mana-mana. Kakek Segala Tahu… Kalau tidak ada apa-apa tidak akan dia muncul di tempat ini. Jangan-jangan dia punya maksud yang sama… Wah, apakah aku harus bentrokan dengan orang satu golongan…? Sebaiknya aku menunggu saja. Biar dia muncul dulu di tempat ini… Tapi Kebo Pradah pasti tidak sabar!” Orang tua ini berpikir sesaat.

Sementara itu suara kerontang kaleng terdengar seperti menjauh dan akhirnya lenyap sama sekali.

“Mudah-mudahan dugaanku salah. Kakek Segala Tahu mungkin hanya kebetulan saja tersesat ke kawasan ini. Sudahlah, biar aku turun saja menemui Kebo Pradah…”

Sekali dia menggoyangkan tubuhnya, orang tua bermuka kuning itu melesat ke bawah dan mejejakkan kedua kakinya di tanah tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Dia tegak dengan muka menyeringai, joran bambu dimelintangkan di bahu kiri sementara tangan kiri berkacak pinggang.

“Ah, Si Pengail Sakti Bermuka Kuning rupanya!” kata Kebo Pradah begitu dia melihat siapa orang yang tegak lima langkah di hadapannya itu. “Apakah banyak hasil kailmu malam ini?”

“Cuma nyamuk dan serangga tak berguna. Ada beberapa ekor kunang-kunang. Lumayan dari pada tidak dapat apa-apa sama sekali…” jawab kakek bermuka kuning lalu tertawa gelak-gelak.

Kebo Pradah menunggu. Setelah Si Pengail Sakti hentikan tawanya dia cepat berkata. “Sekarang katakan apa maksud kehadiranmu di tempat ini Pengail Sakti. Apa sama dengan orang-orang yang sudah jadi mayat ini?!”

Si Pengail Sakti usap muka kuningnya dua kali lalu batuk-batuk beberapa kali. Setelah itu dia rapikan pakaian putihnya yang seperti pakaian seorang resi, membuat Kebo Pradah jadi tidak sabaran.

“Aku menunggu jawabmu Pengail Sakti. Jangan terlalu petantang petenteng di hadapanku. Atau sebaiknya kau lekas menyingkir saja dari tempat ini?!” Kebo Pradah akhirnya bicara dengan suara keras.

“Kebo Pradah, usiamu belum sampai setengah umurku yang sudah seratus dua puluh tahun ini. Jadi tak pantas bicara kasar padaku…”

“Aku tidak mau tahu berapa umurmu! Jawab saja pertanyaanku tadi!” hardik Kebo Pradah.

“Kalau begitu maumu baiklah. Aku datang ke sini sebenarnya hendak memberitahu bahwa dirimu terancam bahaya besar…”

“Hem begitu? Baik sekali hatimu padaku. Tetapi mengapa ku hanya mendekam di atas pohon, tidak langsung menemuiku dan memberi tahu?!”

“Begini, setiap aku hendak turun menemuimu, aku selalu kedahuluan oleh orang-orang yang muncul mencari urusan denganmu. Aku pikir sebaiknya aku menunggu saja sampai urusan kalian selesai…”

“Berarti kau sengaja membiarkan aku dalam bahaya!”

“Tidak begitu. Karena aku tahu kau bakal dapat menyelesaikan urusan itu, maka sebaiknya aku tidak ikut campur. Buktinya kau bisa membereskan orang-orang itu!”

“Katakan bahaya besar apa yang mengancam diriku…”

Pengail Sakti memandang dulu berkeliling seolah kawatir orang lain di tempa itu mendengarkan apa yang bakal dikatakannya. Lalu dia maju dua langkah mendekati Kebo Pradah.

“Ada hal luar biasa dalam dunia persilatan terjadi sejak beberapa waktu lalu. Jika hal ini dibiarkan dunia persilatan akan ambruk!”

“Katakan saja langsung apa yang kau maksud dengan hal luar biasa itu!” kata Kebo Pradah pula.

“Beberapa tokoh silat golongan putih lenyap secara aneh. Beberapa tokoh mengadakan penyelidikan. Ternyata satu kekuatan hitam telah mencullik mereka lalu disekap disebuah tempat yang tak mungkin bisa dimasuki oleh manusia biasa. Jika hal ini dibiarkan terus bukankah bisa membuat kiamat dunia persilatan? Lagi pula…”

“Tunggu dulu! Apa hubungan peristiwa itu dengan diriku…” memotong Kebo Pradah.

“Seorang pakar dunia persilatn dari golongan putih yang aku tidak jelas siapa adanya mengatakan bahwa hanya kau yang bisa menolong menyingkap tabir peristiwa ini. Menyelamatkan tokoh-tokoh silat yang diculik itu, mengeluarkan dari sekapan dunia hitam…”

Kebo Pradah tertawa. “Selama ini orang-orang persilatan mana pernah memperhatikan diriku. Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan mereka. Mereka membuat berbagai macam urusan. Mereka sendiri yang harus menyelesaikan. Soal segala yang terjadi, dunia hitam dan kegaiban yang kau katakan itu, aku tidak perduli…”

“Dengar dulu Kebo Pradah. Beberapa orang sakti siap untuk masuk ke dalam dunia hitam makhluk-makhluk gaib sesat itu. Namun mereka tidak bisa tembus. Mereka tahu daerahnya tapi tidak tahu bagaimana caranya bisa masuk ke alam gaib itu. Hanya mereka katakan kau yang bisa melakukannya. Kau punya kekuatan dan kemampuan yang tidak dimiliki orang lain...”

“Kau sudah cerita banyak. Tapi belum mengatakan apa kepentinganmu sendiri datang ke sini. Hanya untuk memberitahu aku dalam bahaya dan bahwa aku yang bisa menolong menyingkap tabir aneh itu? Aku tidak percaya. Kau pasti punya kepentingan sendiri!”

Pengail Sakti tersenyum. Dia memandang lagi berkeliling. Lalu dengan suara perlahan dia berkata. “Di alam gaib itu diketahui terdapat timbunan harta perhiasan. Kalau kita bisa masuk ke dalamnya kita bukan saja bisa menolong para sahabat tetapi sekaligus bisa mendapatkan harta kekayaan itu! kita akan jadi orang-orang maha kaya di dunia ini!”

“Aku tidak tertarik untuk jadi orang kaya. Sekarang kau boleh pergi…”

“Tunggu dulu Kebo Pradah. Jika kau tidak tertarik pada kekayaan itu tak jadi apa. Tapi kuminta kau mau menolong menyingkap tabir alam gaib itu. hanya kau satu-satunya di dunia ini yang bisa menolongnya!”

Kebo Pradah menyeringai. “Banyak orang lain memiliki kemampuan lebih hebat dariku. Kau bisa mencari mereka…”

“Kau betul, banyak orang lain yang lebih hebat dan memiliki kemampuan serta kesaktian jauh di atasmu. Tapi bukan itu masalahnya!”

“Lalu?!”

“Seperti yang tadi aku bilang. Hanya kau yang memiliki kunci kekuatan untuk dapat masuk ke alam gaib iu!” kata Pengail Sakti pula.

“Kunci kekuatan…? Aku tidak mengerti Pengail Sakti…”

“Kalau begitu biar aku membuktikannya dulu. Apa betul kau orangnya…” Pengail Sakti mengulur tali jorannya sambil memutar-mutar mata kail yang ditempel dengan sejenis getah perekat.

“Eh, apa yang hendak kau lakukan?!” tanya Kebo Pradah heran tapi segera saja bersikap waspada.

Tangan kanan Pengail Sakti bergerak. Joran bambu yang dipeganginya menderu ke kiri. Mata kail yang diselubungi getah menyambar ke bagian perut Kebo Pradah. Mendapat serangan ini Kebo Pradah jadi marah.

“Muka kuning! Kau berkedok hendak menolong orang. Ternyata kau sama saja dengan orang-orang lainnya hendak mencelakai diriku!”

Habis berkata begitu Kebo Pradah berkelebat ke kiri. Tangan kanannya menyambar kearah mata kail. Pengail Sakti kedutkan jorannya agar kailnya tidak sampai disambar lawan. Namun bersamaan dengan itu tangan kanan Kebo Pradah memukul ke depan.

“Bagus!” seru Pengail Sakti. Joran bambu di tangan kanannya bergerak aneh.

“Sreettt! Sretttt! Betttt! Bettttt!”

Kebo Pradah terperangah kaget ketika tahu-tahu kedua tangannya telah terlibat tali kail sementara mata kail yang bergetah menempel di bagian dada baju rombengnya. Si Pengail Sakti tertawa mengekeh. Sekali menyentak saja maka Kebo Pradah terbetot ke depan.

“Breettt!” Baju Kebo Pradah robek di bagian dada.

“Sialan! Robekannya kurang besar!” kata Pengail Sakti dalam hati. Joran bambunya kembali disentakkan.

Namun sekali ini Kebo Pradah sudah dapat membaca apa yang hendak dilakukan kakek bermuka kuning itu. Dia cepat mendahului. Bukan saja dia mengikuti tarikan lawan tapi malah mendahului bergerak. Sesaat lagi tubuhnya dan tubuh Si Pengail Sakti akan saling beradu, tiba-tiba Kebo Pradah berkelebat ke kiri. Dua tangannya yang dilibat tali kail diangkat ke atas. Lalu dia membuat gerakan berputar beberapa kali.

Pengail Sakti berseru tegang ketika melihat tali kailnya melibat lehernya sendiri. Dia berusaha meloloskan diri dari libatan sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat. Naumn terlambat. Libatan tali kail di lehernya semakin kencang.

“Trekkk! Trekkk! Trekkk!”

Terdengar suara berkereketan tiga kali berturut-turut. Tulang leher Pengail Sakti patah di tiga tempat! Lidahnya menjulur ke luar dan kedua matanya membaliak mengerikan! Untuk meyakinkan bahwa orang tua bermuka kunig itu benar-benar mati, Kebo Pradah sentakkan kedua tangannya yang terikat dengan keras. Tak ampun lagi tubuh Pengail Sakti terbanting ke bawah. Mukanya menghantam tanah lebih dulu. Remuk tak karuan rupa! Dengan tenang Kebo Pradah kemudian membuka libatan tali kail di kedua tangannya.

“Aku harus buru-buru meninggalkan tempat celaka ini!” kata Kebo Pradah membatin. “Kalau tidak, sulit bagiku melakukan samadi…”

Kebo Prradah rapikan letak capingnya. Sesaat kakinya hendak melangkah, satu bayangan berkelebat. Angin bayangan yang menyambar ini membuat capingnya bergeser ke kiri. Baju rombengnya yang robek berkibar-kibar dan tubuhnya terasa dingin. Kebo Pradah cepat membalik. Benar saja, bayangan yang barusan berkelebat tau-tahu sudah berada di belakangnya. Berubahlah paras Kebo Pradah ketika dia mengenali siapa adanya mahluk di depannya itu!

********************

TIGA

Hutan Tapak Halimun di kaki selatan Gunung Merapi terkenal angker. Itu sebabnya tak pernah ada penduduk sekitar situ berani mendekati apa lagi masuk ke dalamnya. Jangankan manusia, binatangpun boleh dikatakan jarang kelihtan berkeliaran di sekitar situ. Kata orang hutan Tapak Halimun adalah sarang segalam macam mahluk halus.

Pada siang hari di kawasan hutan yang selalu redup itu sering terdengar suara lolongan anjing, bernada aneh panjang menggidikkan. Terkadang ada suara tawa cekikikan membaut siapa saja yang mendengarnya bisa lari lintang pukang. Ada pula yang mengatakan bahwa dalam rimba belantara itu sering terdengar suara jeritan-jeritan seperti orang disiksa. Lalu juga ada tangisan orok! Malam hari tentu saja keangkeran di tempat itu jangan disebut lagi.

Saat itu tepat tengah hari. Di langit sang surya memancarkan sinarnya yang terik. Namun di kawasan hutan yang ditumbuhi berbagai pohon besar berdaun rimbun suasana tampak redup. Sinar matahari seolah tak sanggup menembus kelebatan rimba belantara Tapakhalimun. Sewaktu lapat-lapat terdengar suara lolongan anjing dari dalam hutan, tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih. Setan? Bukan. Ternyata dia manusia. Seorang pemuda berpakaian dan ikat kepala putih dengan rambut gondrong acak-acakan. Sesaat dia memandang berkeliling.

“Sepi…” Katanya dalam hati. Baru saja dia berucap begitu mendadak dari dalam hutan terdengar suara lolongan anjing, membuat pemuda ini tergagap kaget dan merutuk dalam hati.

“Sialan! Kalau binatang itu ada di hadapanku pasti kutendang!” Dia memandang lagi berkeliling sambil memasang telinga. “Eh, apakah aku ini sudah sampai di hutan Tapak Halimun…? Keadaan di sini serba aneh. Udara redup dan hawanya pengap. Tapi mengapa aku mendadak keluarkan keringat dingin? Ada bau seperti kebang busuk. Tapi kulihat tak satu pohonpun ada bunganya! Pohon-pohon besar itu tumbuhnya aneh. Berjajar dekat-dekat seperti pagar…”

Selagi pemuda ini membatin tiba-tiba kesunyian dirobek oleh suara jeritan-jeritan mengerikan. Kembali pemuda ini terkejut dan memaki habis-habisan.

“Gila! Siapa yang menjerit seperti itu? Datangnya dari kejauhan di sebelah sana. Sepertinya lebih dari satu orang. Jangan-jangan itu bukan jeritan manusia tapi…”

Pemuda ini tidak teruskan ucapannya. Dia melangkah sepanjang deretan pohon-pohon besar yang membentuk pagar. Di setiap celah antara dua pohon dia coba memeperhatikan.

“Aku seperti melihat ada bayangan berkelebat di sebelah sana. Jelas bukan bayangan binatang… Apa yang harus aku lakukan? Aku harus melihat bagaimana keadaannya sekarang…”

Cepat-cepat dari dalam saku pakaiannya pemuda ini mengeluarkan sebuah benda yang ternyata adalah sekuntum bunga kenanga aneh. Aneh karena bunga ini tak pernah layu dan jika dikeluarkan selalu menebar bau harum. Selain itu kembang kenanga ini berasal-usul dari satu kejadian yang sulit diterima akal manusia.

Beberapa waktu lalu dia pernah mengenal bahkan bercinta dengan seorang dara cantik yang dipanggilnya dengan nama Bunga. Gadis ini sebenarnya adalah penjelmaan dari seorang gadis yang telah meninggal dunia karena diracun oleh kekasihnya sendiri yang mengkhianati cintanya. Satu kekuatan yang menguasai Bunga membuat gadis ini mampu meninggalkan alam gaibnya dan hidup seperti mahluk halus bahkan menjelma atau memperlihatkan diri sebagaimana keadaannya sebelum meninggal dunia dulu.

(untuk jelasnya baca serial Wiro Sableng berjudul Misteri Dewi Bunga Mayat).

Setelah menatap kembang kenanga itu sesaat, perlahan-lahan si pemuda mendekatkan bunga tadi ke hidungnya. Perlahan-lahan pula, penuh kekhusukan sambil memejamkan kedua matanya dia mencium bunga itu. Hawa harum dan sejuk masuk ke dalam hidungnya terus ke rongga pernafasan. Rasa sejuk menyeruak ke rongga dadanya.

“Bunga… Datanglah. Aku ingin melihatmu…” Si pemuda berbisik dengan suara bergetar. Dia menunggu. Tak terjadi apa-apa. Dia menunggu lagi.

“Aneh,” kata pemuda ini dalam hati. “Biasanya tidak selama ini. Sekali panggil saja dia sudah muncul memperlihatakn diri… Jangan-jangan…”

Si pemuda tampak khawatir. Diciumnya kembang kenanga itu sekali lagi. Lebih lama dari tadi seraya berbisik. “Bunga, aku ingin melihat. Bagaimana keadaanmu sekarang. Perlihatkan dirimu Bunga…”

Tetap saja tak ada yang terjadi. Hati si pemuda jadi semakin tidak tenang. “Kalau dia mati dan aku tidak bisa menolongnya. Aku akan menyesal seumur hidup. Tapi bukankah sebenarnya dia sudah mati? Apakah ada mahluk hidup mati sampai dua kali?” Si pemuda termenung sesaat. “Biar kucoba sekali lagi…” katanya.

Bunga kenanga itu diusap-usapnya beberapa kali. Lalu didekatkannya ke hidungnya. Kemudian diciumnya. “Bunga… Jika kau masih ada di alammu, datanglah Bunga. Perlihatkan dirimu…”

Pemuda itu hampir putus asa ketika menunggu sekian lama apa yang dharapkannya tak kunjung terjadi. Namun tiba-tiba, perlahan sekali ada suara berdesis. Serta merta udara pengap di tempat itu dipenuhi oleh bau bunga kenanga. “Dia datang…” desis si pemuda.

Kedua matanya memandang tak berkedip ke arah datangnya suara berdesir itu. dari arah itu tampak satu sinar terang. Hanya sesaat. Begitu sinar terang lenyap muncullah bayangan sosok tubuh seorang gadis mengenakan kebaya putih berkancing-kancing besar. Rambutnya tergerai lepas. Bayangan ini makin lama makin jelas.

“Bunga!” pekik si pemuda begitu melihat keadaan gadis yang muncul secara aneh itu. pakaian putihnya ternyata penuh dengan darah. Wajahnya yang cantik tapi pucat digelimangi darah yang keluar dari kedua matanya, hidung, telinga dan mulut. Wajah itu memperlihatkan rasa takut yang amat sangat. Si gadis berada dalam keadaan terikat kedua tangan dan kakinya pada sebuah tonggak kayu.

“Bunga!” teriak pemuda tadi kembali seraya memburu.

Namun baru sedikit saja dia bergerak tiba-tiba muncul dua mahluk menyeramkan yang tubuhnya meliuk-liuk seperti asap. Setiap menyeringai dua mahluk ini memperlihatkan barisan gigi-giginya yang panjang-panjang dan runcing. Mulutnya, mulai dari bibir sampai gigi dan lidah bergelimang darah. Dengan jari-jari tangannya yang berkuku panjang dan sebesar pisang tanduk, dua mahluk seram ini menarik tubuh si gadis ke arah satu tempat yang hitam dan gelap sehingga akhirnya lenyap dari pemandangan.

Bersamaan dengan lenyapnya sosok tubuh itu terdengar suara jertan-jeritan keras, membuat pemuda itu hampir jatuh duduk saking kaget dan ngerinya. Suara jeritan semakin keras. Si pemuda kerahkan tenaga dalam untuk menutup jalan pendengarannya. Tetapi tembus! Terpaksa dia dekap kuat-kuat kedua telinganya. Lalu jatuhkan diri berlutut. Untuk beberapa lamanya suara jeritan itu masih terus menggema bahkan kini sesekali diiringi oleh lolongan anjing!

“Ya Tuhan! Apa sebenarnya yang terjadi dengan dirinya!” Pemuda berpakaian putih membatin sambil gigit bibirnya sendiri. “Terakhir sekali dia muncul tidak seperti itu. Masih bisa bicara. Tapi kini mengapa begitu sengsara keadaannya. Tuhan! Beri aku kemampuan dan kekuatan untuk menolongnya!”

Baru saja pemuda ini mengucapkan doa itu suara jerit dan lolongan anjing tadi kini malah diikuti oleh suara tawa cekikikan riuh sekali. Mau tak mau kuduk si pemuda menjadi dingin. Mukanya keringatan. Nafasnya mengengah-engah. Dia melompat. Kerahkan tenaga dalam lalu berteriak sekerasnya yang bisa dilakukannya. Dalam kengeriannya dia sengaja berteriak untuk melawan suara-suara menggidikkan itu. tapi percuma. Suara jerit, tawa cekikikan dan lolongan anjing tetap saja memenuhi tempat itu.

“Aku harus meninggalkan tempat ini sebelum terjadi sesuatu dengan diriku!” kata si pemuda yang memasukkan kembang kenanga ke dalam sakunya. Dia cepat berdiri. “Tapi…” Hatinya ragu. “Aku datang kemari bukankah untuk mencari hutan Tapak Halimun? Aku yakin aku sudah sampai di hutan itu. Bunga… Tadi dia muncul lalu dilarikan oleh mahluk-mahluk mengerikan. Berarti seperti katanya dalam mimpi, dia memang telah dilarikan ke satu sarang mahluk-mahluk halus yang punya kekuasaan dan kekuatan tidak terbatas! Buktinya Bunga sendiri yang merupakan mahluk gaib, tidak mampu membebaskan diri dan minta tolong padaku. Kalau begitu apapun yang terjadi aku tidak boleh meninggalkan tempat itu. Sarang mahluk-mahluk jahat itu rasanya tidak jauh dari sini! Dan aku harus menemukannya! Aku harus segera membebaskan Bunga. Keadaannya gawat sekali…”

Suara tawa dan jerit serta lolongan anjing perlahan-lahan mulai berhenti dan akhirnya lenyap sama sekali. Namun hal ini tidak membuat si pemuda bebas dari rasa ngeri dan tegang. Kedua matanya kembali menyapu ke arah deretan pohon-pohon besar.

“Aku yakin suara-suara jerit dan tawa serta lolongan anjing tadi datang dari balik pohon-pohon besar itu. Aku harus menyelidiki ke sana…” Si pemuda mendekati deretan pohon-pohon besar lalu melompat di celah kosong antara dua batang pohon.

“Dukkkk!”

Pemuda berambut gondrong itu berteriak keras. Bukan hanya karena kesakitan tapi terlebih lagi dan terutama oleh rasa kejut yang bukan alang-kepalang. Saat itu pula terdengar suara tawa cekikikan riuh rendah. Waktu pemuda itu tadi melangkah untuk lewat di antara celah dua buah pohon, kaki dan kepalanya menabrak sesuatu yang tidak kelihatan hingga tubuhnya terhempas ke belakang.

“Gila! Aku tidak melihat apa-apa. Mengapa langkahku seperti ada yang menghalangi? Apa yang barusan kutabrak?!” lalu pemuda ini kembali melangkah maju. Kali ini gerakannya lebih cepat dan lebih sebat.

“Dukkkk!”

Untuk kedua kalinya dia menabrak sesuatu hingga langkahnya bukan saja tertahan tapi tubuhnya jatuh terjengkang di tanah! Saat itu pula terdengar suara tawa cekikikan disertai lolongan anjing di kejauhan.

“Tembok tanpa ujud!” desisnya dengan mata melotot memandang ke depan.

“Tak bisa kupercaya!” Dia melompat berdiri. Tangan kirinya diulurkan ke depan, membuat gerakan meraba dan mengusap. “Aneh! Tak ada apa-apa di sini!” katanya terheran-heran. “Lalu tadi apa yang menahan langkahku? Mengapa aku tidak bisa berjalan ke arah celah pohon?” Pemuda ini berpikir sejenak. “Coba aku melangkah melewati celah yang lainnya…” Lalu dia melangkah ke delah antara dua pohon di sebelah kiri. Tak terjadi apa-apa. “Nah, kali ini aku bisa lewat…” Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba.

“Dukkk! Dukkkk!” kaki kanan dan keningnya lagi-lagi menabrak benda keras yang tidak kelihatan.

“Edan!” maki pemuda itu. lalu dia tersentak oleh suara tawa bergelak, jeritan aneh dan lolongan anjing. “Keparat! Mahluk apapun kalian adanya, apa kau kira aku takut pada kalian!” Pemuda itu kepalkan tangan kanannya lalu menghantam ke depan.

“Dukkk!”

Jeritan keras keluar dari mulut si pemuda. Tangan kanannya dikibas-kibaskan. Ketika diperhatikan ternyata ruas-ruas jarinya lecet bahkan ada kulitnya yang terkelupas.

“Tempat celaka apa ini?!” kertak pemuda itu. Amarahnya menggelegak. Dalam keadaan seperti itu tanpa pikir panjang lagi dia kerahkan tenaga dalam. Kini dengan tangan kirinya dia lepaskan pukulan sakti. Gelombang angin laksana topan prahara menghampar deras.

“Bummmmm!”

Pukulan sakti itu melanda sesuatu mengeluarkan suara letusan keras. Angin pukulan membalik dahsyat, menghantam orang yang melepaskannya. Senjata makan tuan! Tak ampun lagi tubuh pemuda itu mencelat mental. Terlempar dan terguling-guling sampai bebrapa tombak. Untuk beberapa lamanya dia terkapar di tanah. Sekujur tubuhnya laksana remuk. Dari hidungnya meleleh darah. Dadanya berdenyut sakit. Perlahan-lahan dia coba berdiri. Saat itu pula terdengar suara tawa riuh rendah dan jeritan panjang pendek.

“Iblis! Aku mau lihat sampai di mana kehebatan kalian!” teriak si pemuda. Tangan kanannya diangkat ke atas. Saat itu juga tampak tangan itu berubah putih dan mengeluarkan sinar perak menyilaukan. “Makan ini! Masakan tidak jebol!” berseru si pemuda. Lalu dia menghantam ke depan.

Sinar putih panas dan menyilaukan mata berkiblat. Bersamaan dengan itu si pemuda melompat ke atas. Hal ini dilakukannya untuk lebih dulu menyelamatkan diri kalau pukulan sakti yang barusan dilepaskannya seperti tadi berbalik kembali menghantam tubuhnya!

“Wuuuttt! Bummmmm! Wuutttt!”

Benar saja. Pukulan sakti yang mengeluarkan hawa sangat panas itu ternyata benar-benar membalik. Kalau saja pemuda itu tidak melompat ke udara pasti sinar saktiitu akan menghantam dirinya.

“Wusss! Braaaakkkk!”

Sinar menyilaukan menyambar semak belukat dan beberapa pohon di seberang sana. Semak belukar langsung terbakar sedang batang-batang pohon hangus, satu di antaranya roboh tumbang. Si pemuda melayang turun ke tanah. Wajahnya berubah.

“Aneh… Benar-benar aneh… Apa sebenarnya yang ada di depan deretan pohon-pohon besar itu? Tembok sakti tak berwujud. Dinding gaib? Mustahil tak bisa dijebol! Tak dapat ditembus! Padahal Bunga yang hendak kuselamatkan aku yakin berada di balik deretan pohon-pohon itu! Tak bisa kupercaya!”

Pemuda ini usap-usap dagunya. Tangan kanannya bergerak ke pinggang. “Aku tak akan menyerah! Dengan senjata mustika ini masakan tak bisa jebol!”

Sinar menyilaukan memancar di tempat yang redup itu. sebuah senjata berupa kapak bermata dua tergenggam di tangan si pemuda. Inilah Kapak Maut Naga Geni 212. Milik nenek sakti mandraguna di Gunung Gede yang kemudian diwariskan pada muridnya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng.

EMPAT

Wiro pegang Kapak Maut Naga Geni 212 erat-erat. Tahangnya dikatupkan kuat-kuat.

“Ciaaattt!”

Didahului dengan teriakan keras Wiro babatkan senjata mustikanya ke depan. Sinar putih perak meyambar disertai suara laksana seribu tawon mengamuk. Hawa panas menghampar.

“Braaakkkk!”

Kapak Maut Naga Geni 212 menghantam sebuah benda yang tidak kelihatan. Terdengar suara seperti sesuatu hancur berantakan. Tetapi benda atau apa yang hancur itu sama sekali tidak terlihat oleh mata. Tanah terasa bergetar. Pohon-pohon bergoyang. Semak belukar berserabutan. Sebaliknya Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas mental dari tangan Wiro, tercampak di tanah. Wiro merasakan tangannya seperti memegang bara panas. Jari-jarinya digerak-gerakkan sambil meniup termonyong-monyong.

“Gila betul! Tapi jebol juga akhirnya!” kata Wiro. Senjata mustika yang tercampak di tanah cepat diambilnya lalu diperiksa. “Untung tak ada yang gompal,” kata Wito lega. Kapak Maut Naga Geni 212 cepat disimpannya di balik pakaian.

“Sekarang pasti aku bisa masuk ke hutan itu tanpa kesulitan!” berucap Wiro. Dia membuat langkah-langkah besar, berjalan ke arah salah satu celah pohon di bagian mana diperkirakannya tadi telah menjebol dinding atau tembok yang tidak berwujud itu.

“Duukkkkkk!”

“Jahanam!” rutuk Pendekar 212. Ternyata dugaannya salah. Tembok yang tak kelihatan itu sama sekali tidak jebol. Kaki dan kepalanya kembali terantuk. Selagi dia tertegun tiba-tiba dekat sekali di depannya terdengar suara tawa cekikikan sedang di kejauhan kembali ada suara lolongan anjing, panjang menggidikkan.

Pendekar 212 bersurut beberapa langkah. Langkahnya terhenti ketika punggung-nya membentur sesuatu. Dia sempat tergagau dan cepat berpaling. Kalau tadi cuma tergagau kini dari mulutnya keluar seruan tertahan. Tampangnya seputih kertas. Apa yang menyebabkan sang pendekar sampai berseru dan berubah wajahnya begitu rupa? Apa pula yang barusan telah dibenturnya?

Di hadapan Wiro saat itu ada satu sosok menyeramkan tegak setengah membung-kuk seolah hendak melompat menerkamnya. Sosok ini adalah sosok seorang tua berkepala panjang. Dia hanya mengenakan sehelai kancut. Sekujur tubuhnya penuh dengan luka-luka bekas siksaan. Darah bergelimang di mana-mana.

Sepasang bola matanya memberojol keluar, bergelayutan di atas pipi seolah hendak copot! Telinganya lancip ke atas. Dagunya berbentuk segitiga. Di atas dagu terlihat satu mulut yang hancur dan selalu mengucurkan darah. Pada lidahnya yang terjulur panjang menancap sepotong besi lancip. Sepotong besi lagi menancap membelintang dari telinga kiri ke telinga kanan. Pada pangakal lehernya kelihatan lobang luka besar.

Dari lobang ini mengucur darah berwarna hitam. Baik tangan maupun kaki mahluk ini diikat dengan rantai besar merah menyala. Agaknya dia tidak mampu bergerak sedikitpun. Kalau dia mencoba menggerakkan tangan dan kakinya maka rantai panas akan melumerkan daging bahkan tulangnya!

Pendekar 212 bersurut beberapa langkah. Sumur hidup belum pernah dia meliha mahluk mengerikan seperti ini. “Hantu atau apa yang ada di depanku ini…” pikir Wiro.

“Grokkk! Grokkkk! Grokkkkk...!”

Dari tenggorokan mahluk dahsyat itu tiba-tiba keluar suara aneh, hampir seperi suara orang mengorok. Dari lobang luka di tenggorokannya terus mengucur darah hitam.

“Agaknya dia hendak mengatakan sesuatu…” Pikir Wiro dengan tampang mengerenyit memperhatikan.

“Grokkk! Grokkkk! Grokkk...!”

“Ah, betul. Dia hendak bicara tapi suaranya seperti itu. Mana aku bisa mengerti…” Wiro mundur lagi dua langkah. “Kau… Kau mau bilang apa…?” Wiro ajukan pertanyaan.

Mahluk itu anggukkan kepala. Perlahan sekali. Dua bola matanya yang bergelantungan tampak bergoyang-goyang. Darah mengucur dari dua rongga matanya.

“Kau… kau penghuni rimba belantara ini?” tanya Wiro lagi.

Si mahluk mengangguk.

“Kau mengerti omonganku. Kau ini manusia atau apa…?”

Kali ini tak ada anggukan. Mahluk itu diam saja.

“Apakah kawasan di belakang pohon-pohon besar itu hutan Tapak Halimun…?” Tanya Wiro selanjutnya.

Kepala mahluk menyeramkan mengangguk sedikit. Baru saja dia mengangguk tiba-tiba ada suara letupan disertai kepulan asap di depan deretan pohon-pohon besar. Lalu dua sosok sangat besar muncul. Ternyata yang muncul ini adalah dua orang perempuan gemuk luar biasa, berwajah galak, memiliki lidah menjulur panjang sampai ke dada. Dua mahluk ini hanya mengenakan cawat.

Payudaranya yang besar bergundal-gandil kian kemari. Rambutnya hitam dan panjang sempai ke betis. Wiro yang memperhatikan tersentak mundur dan merinding. Di celah-celah rambut panjang dua perempuan gemuk itu kelihatan bergelantungan ular-ular sepanjang tiga jengkal, berwarna hitam berbelang kuning! Masing-masing mereka memegang sebilah golok merah yang menyala.

“Aku tidak bermimpi! Tapi bagaimana ada mahluk-mahluk mengerikan seperti ini…”

Dua mahluk perempuan itu tiba-tiba keluarkan suara pekikan keras. Lalu mereka memburu ke arah mahluk yang tegak terbungkuk dan terikat rantai panas membara tangan serta kakinya dan kini tampak sangat ketakutan. Dua golok diacungkan lurus-lurus diarahkan pada perut mahluk yang terikat tadi.

“Cleeppp! Cleepp! Ceesss! Cesss!”

Tak ampun lagi perut mahluk itu ambrol di dua tempat. Asap mengepul dari perut yang jebol dan dua golok yang membara. Begitu dua golok ditarik isi perut si mahluk laksana dibedol keluar. Wiro seperti mau muntah melihat hal luar biasa mengerikan itu. Si mahluk sendiri keluarkan suara lolongan aneh sementara dua mahluk perempuan tadi kembali memekik-mekik marah. Puluhan ular yang ada di kepala mereka berjingkrak meliuk-liuk seolah-olah iku marah.

Tiba-tiba mahluk berkepala panjang yang terikat rantai membara kaki dan tangannya itu melompat ke depan, berusaha menubrukkan kepalanya pada salah satu mahluk perempuan. Yang hendak ditubruk menjerit keras. Golok panas merah menyala di tangannya dibacokkan ke arah kepala panjang si mahluk.

“Grokkkkk!”

Mahluk berkepala panjang itu keluarkan suara menggmbor keras lalu angkat dua tangannya yang terikat besi panas untuk melindungi kepala.

“Craassss!” Dua lengan putus. Dua tangan yang masih dalam keadaan terikat rantai panas jatuh ke tanah.

“Grokkkk...!” mahluk berkepala panjang menggembor keras sementara darah mancur dari dua tangannya yang kini buntung.

Salah seorang dari mahluk perempuan tadi cekal leher si kepala panjang lalu menyeretnya ke arah pepohonan. Kawannya tak segera mengikuti tapi memandang ke arah Wiro Sableng. Karuan saja murid Sinto Gendeng ini merasa seperti mau lumer sekujur tubuhnya. Dalam takutnya dia siapkan pukulan sakti Sinar Matahari di tangan kanan.

Mahluk perempuan yang tadi memandang pada Wiro keluarkan pekikan, berpaling pada kawannya yang tengah menyeret mahluk lelaki yang isi perutnya manjela-jela sampai ke tanah. Mahluk perempuan yang satu ini gelengkan kepalanya. Kawannya yang tegak di hadapan Wiro tampak kecewa. Tiba-tiba lidahnya yang panjang menjulur bertambah panjang.

“Wuttt!”

Lidah itu melesat ke arah bawah perut Pendekar 212. Wiro merasakan selangakangannya seperti disambar api. Tubuhnya terlonjak mental sampai satu tombak ke belakang.

“Uhhh… mati aku!” katanya sambil menekap bagian bawah perutnya. Di depannya dilihatnya dua mahluk perempuan itu melangkah ke deretan pohon-pohon sambil satunya menyeret mahluk lelaki tadi. Begitu melewati barisan pohon keduanya, juga mahluk lelaki yang diseret tiba-tiba lenyap laksana ditelan bumi!

Murid Sinto Gendeng raba-raba bagian bawah perutnya yang tadi disentuh lidah mahluk perempuan itu. “Astaga!” wajahnya jadi pucat. Ikat pinggang celananya dilonggarkan lalu dia mengintip ke bawah. Sang pendekar menjadi lega. “Masih ada… Tadi kenapa seperti amblas lenyap…”

Wiro memandang ke jurusan lenyapnya tiga mahluk menyeramkan tadi. “Aku melihat mereka melangkah ke arah pohon. Lewat di antara dua pohon di sebelah sana dan lenyap. Berarti sebenarnya tidak ada penghalang apapun di tempat itu.” Berpikir seperti itu murid Sinto Gendeng lalu melangkah ke jurusan tiga mahluk tadi berjalan dan lenyap. Satu langkah lagi dari hadapan celah dua buah pohon yang hendak dilewatinya tiba-tiba.

“Dukkkk!”

“Setan alas!” maki Pendekar 212 sambil pegangi keningnya sedang kaki kanannya dijingkat-jingkatkan menahan sakit. “Tak bisa ditembus! Kalau begitu mereka tadi adalah pasti mahluk-mahluk halus. Berarti tak ada gunanya aku mencoba masuk! Sampai kiamat pun tak akan tembus! Lalu bagaimana dengan Bunga…?”

Wiro gelengkan kepala dan garuk-garuk keningnya yang masih mendenyut sakit. “Tak ada gunanya aku berlama-lama di tempat ini. Aku harus cepat mencari bantuan agar bisa menyelamatkan Bunga. Tapi mencari bantuan pada siapa…?”

Murid Sinto Gendeng jadi bingung dan garuk-garuk kepala lagi sambil memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur sesuatu di tanah. Seperti tulisan. Samar-samar dan apa yang tertulis tidak rampung. Dengan susah payah Wiro coba membacanya. Dia harus menglilingi tulisan di tanah itu berulang kali sebelum bisa membaca dengan jelas.

“Tulisan aneh ini dibuat dengan darah. Darah siapa…?” Wiro coba berpikir. “Mahluk yang perutnya jebol itu. Jangan-jangan dia… Dia menulis dengan darah yang mengucur dari salah satu tangannya yang buntung. Sebelum selesai tubuhnya sudah keburu diseret ke balik pepohonan…”

Wiro berputar sekali lagi. Kali yang keenam akhirnya dia bisa juga membaca tulisan itu. “Kakek Segal… Kakek Segal… Kakek Segal…” Wiro mengulang-ulang memaca tulisan itu di dalam hati. “Astaga! Yang dimaksudnya pasti Kakek Segala Tahu! Aku tolol! Mengapa aku tidak ingat orang tua itu! Kalau tidak diingatkan oleh mahluk itu… Aku harus segera pergi. Tidak mudah mencari tua bangka aneh itu. kalau nasibku jelek, satu tahun pun berkeliling tak bakal bisa menemukannya.”

********************

LIMA

Hari pasar di Kotobarang sekali ini bukan main ramainya. Penyebabnya karena hari ini seorang akrobat ulung akan mempertunjukkan kehebatannya di tengah pasar. Maka penduduk Kutobarang bahkan mereka yang tinggal jauh di pedalamn datang berbondong-bongdong. Pertunjukkan diadakan di sebuah pedataran yang bagian teganhnya membentuk bukit kecil.

Sejak pagi tempat itu telah dipenuhi orang banyak. Tak lama kemudian akrobat ulung yang ditungg-tunggu muncul. Ternyata dia seorang kakek bungkuk berpakaian compang-camping, kotor penuh tambalan. Di bahunya membekal buntalan dekil. Di kepalanya bertengger sebuah caping bambu. Sebuah tongkat kayu tergenggam di tangan kanan.

“Sialan! Cuma seorang jembel! Apa kemampuannya?!” sungut seorang lelaki yang sejak pagi berada di situ.

“Tua bangka itu menipu kita! Berjalan saja susah! Masakan dia pandai main akrobat?!” tukas seorang lainnya.

“Jangan-jangan dia datang ke sini hanya mau mengemis! Minta sedekah! Lihat! Kedua matanya putih! Gila! Dia buta!”

Di antara kekecewaan yang terlontar di mulut orang banyak ada seorang berkata seperti membela. “Di beberapa desa sebelumnya aku dengar dia mampu memperlihatkan akrobat mengagumkan luar biasa!”

“Uh! Siapa percaya pada pengemis!” seseorang menyeletuk.

Di tempatnya berdiri, orang tua bercaping tegak sambil senyum-senyum.

“Uhhhhh! Lihat dia cengengesan! Membuat aku muak!” ujar seorang di pinggir lapangan. “Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini. Seekor monyet tua mampu mempertunjukkan apa?!”

“Kau betul kawan. Baru sekali saja dia meliukkan tubuhnya tulang pinggangnya akan patah!”

Perlahan-lahan orang tua di atas bukit kecil membuka capingnya. Begitu caping bambu tanggal dari kepalanya tiba-tiba seekor burung merpati keluar dari dalam caping, terbang berputar-putar di atas kepalanya beberapa kali lalu melesat lenyap ke arah Timur.

Kini orang banyak jadi terdiam dalam heran. Segala ejek cemooh tidak terdengar lagi. Semua mata memandang pada pengemis buta di atas tanah berbukit. Si kakek sendiri usap-usap kedua tangannya satu sama lain. Lalu dia mencabut tongkat kayu butut yang dikepit di ketiak kiri. Sambil membolang-balingkan tongkat kayu itu dia melangkah berputar-putar mengelilingi buntalan kainnya yang terletak di tanah.

Tiba-tiba dia mengetuk buntalan itu dengan ujung tongkat. Terdengar suara denyit keras lalu seekor monyet coklat keluar dari dalam buntalan meloncat-loncat kian kemari. Si kakek acungkan tongkat kayunya lurus-lurus ke atas lalu jentikkan jari tangan kiri. Monyet coklat melompat tinggi lalu hup! Cekatan sekali dia naik dan berdiri di ujung tongkat si kakek. Di ujung tongkat binatang ini tidak hanya berdiri diam tapi berjingkrak-jingkrak malah melompat jungkir balik beberapa kali. Orang banyak berseru kagum.

Perlahan-lahan si kakek letakkan tongkat di atas capingnya. Lalu dia melangkah berputar-putar membuat gerakan seperti orang menari. Di ujung tongkat si monyet kembali melompat jungkir balik. Orang banyak bertepuk riuh penuh kagum. Sayang tak ada tetabuhan. Kalau tidak pasti pertunjukkan itu lebih semarak.

Setelah membiarkan monyetnya melompat-lompat beberapa lama si kakek angkat capingnya dengan tangan kanan sedang tangan kiri memegang tongkat. Caping lalu diputar-putar dengan sebat. Dalam keadaan berputar caping bambu ini dilemparkannya ke atas. Lalu dia bersuit memberi tanda. Mendengar suitan ini monyet yang ada di ujung tongkat melompat ke atas caping dan ikut berputar.

Sebelum caping melayang turun si kakek cepat menunjang dengan tongkatnya lalu memutar caping itu lebih cepat sehingga caping dan monyet di atasnya terlihat seperti bayang-bayang. Perlahan-lahan ujung tongkat dipindahkannya ke atas ubun-ubun kepalanya. Sambil menggoyang-goyangkan kepala agar caping dan monyet terus berputar, orang tua itu keluarkan dua tiga biah benda dari balik pakaian rombengnya.

Ternyata benda-benda itu adalah tiga buah bola terbuat dari rotan. Sementara kepalanya menjunjung tongkat dan di ujung tongkat terus berputar caping dan monyet, si kakek mulai melambung-lambungkan tiga buah bola itu. Dilempar, ditangkap lalu dilempar lagi terus menerus.

“Luar biasa!”

“Hebat!”

“Tidak disangka gembel buta tua itu ternyata memang pandai main akrobat!” Berbagai pujian keluar dari mulut orang banyak.

Setelah puas dengan pertunjukan itu si orang tua mengambil kantong kain dan menyandangnya di bahu kiri. Lalu dia melangkah mendekati sebuah pohon bercabang besar yang terletak di tepi lapangan. Waktu memungut buntalan dan berjalan, tongkat, caping dan monyet masih terus berada di atas kepalanya sementara tiga buah bola terus dimainkannya dengan cekatan. Begitu sampai di bawah cabang pohon besar dia keluarkan suitan keras. Lalu membuat beberapa gerakan berturut-turut secara cepat.

Pertama dia menyimpan kembali tiga buah bola rotan di balik pakaian rombengnya. Selanjutnya dia melompat ke atas lalu jungkir balik. Di lain kejap dia tampak bergelantungan pada cabang pohon. Kedua kakinya dicantelkan ke dahan kayu, tubuh serta kepalanya tergantung ke bawah tidak beda seperti seekor kelelawar.

Di saat yang sama pula dia ulurkan tangan kiri untuk memegang tongkat. Perlahan-lahan tongkat diturunkannya ke bawah. Caping dan monyet yang ada di ujung tongkat ikut turun. Lalu dengan kecepatan luar biasa tongkat dikepitnya di ketiak kiri, caping dipegang di tangan kanan. Karena tak ada tempat berpijak tentu saja monyet yang ada di atas caping jadi jatuh ke bawah. Dengan tangan kirinya si kakek cepat menangkap salah satu tangan binatang itu lalu dilemparkannya ke atas. Monyet itu melesat ke udara. Si kakek keluarkan suitan keras. Tubuhnya tiba-tiba bergerak memutari dahan.

Dua kali putaran monyet yang dilempar ke atas kembali jatuh. Si kakek cepat menangkap tangan binatang ini lalu dilempar kembali ke atas. Demikian terjadi berulang-ulang. Makin lama putaran tubuh si kakek semakin cepat dan monyet coklat dilempar semakin tinggi. Orang banyak sesaat tercekat melihat hal yang luar biasa itu. Sedikit saja meleset dan sikakek tidak dapat menangkap tangan monyet, binatang itu pasti akan hancur ke tanah. Pada putaran kedua belas kembali kakek itu keluarkan suitan panjang. Monyet yang ditangkapnya di tangan kiri dilemparkannya ke udara tinggi-tinggi.

“Hai! Binatang itu lenyap di udara!” teriak seseorang.

“Jangan-jangan dilempar menembus langit!” seru seorang lainnya.

Ketika si kakek berhenti berputar-putar di cabang pohon dan melompat turun ke tanah, orang-orang banyak segera mendatangi.

“Kek, akrobatmu hebat sekali. Tapi bagaimana dengan monyetmu. Binatang itu lenyap seperti ditelan langit!” kata seseorang diantara kerumunan orang banyak.

Orang tua itu tersenyum. “Binatang itu tidak lenyap. Juga tidak ditelan langit,” katanya. “Monyet itu aku kembalikan ke tempat asalnya semula. Ke dalam rimba belantara.”

“Berarti kau tak akan bisa lagi main akrobat!”

“Mengapa tidak? Aku bisa mencari monyet lain atau binatang lain. Saudara-saudara pertunjukkanku sudah selesai. Kalau ada umur panjang lain waktu aku akan ke Kutobarang lagi. Sekarang jika kalian mau berbelas kasihan dan jika aku ada sedikit rejeki, aku mohon sedekah. Yang sanggup memberi silahkan, yang tidak mampu tidak apa-apa. Aku hanya minta sekedar pembeli nasi untuk hari ini…”

Lalu pengemis itu turunkan capingnya. Benda ini dibalikannya dan melangkah berkeliling. Orang banyak memberi sedekah semampu yang bisa mereka berikan. Di antara kerumunan orang banyak menyeruak seorang lelaki tinggi besar berikat kapala dan berpakaian hitam. Mukanya tertutup berewok. Pada pipi kirinya ada cacat bekas luka yang dalam. Di belakangnya ada tiga orang lelaki bermuka sangar, berpakaian serba hitam yang rupanya adalah kawan-kawan dari lelaki di sebelah depan.

Orang ini mengulurkan tangannya memasukkan sedekah ke dalam caping. Namun yang diletakkannya dalam caping bambu itu bukannya uang melainkan sebuah batu sebesar kepalan tangan. Habis meletakkan batu itu dia tertawa gelak-gelak. Tiga kawannya ikut tertawa.

Orang banyak yang ada di tempat itu merasa tidak senang dengan perlakuan senda gurau kurang ajar itu. namun mereka tidak berani berbuat apa-apa setelah melihat siapa adanya empat orang itu. Malah perlahan-lahan orang banyak satu demi satu menyingkir dari tempat itu.

Sebaliknya si kakek berpakaian rombeng cuma senyum-senyum. “Terima kasih,” katanya pada lelaki tinggi besar sambil usap-usap batu itu. “Kau memberikan sedekah yang tidak ternilai. Tidak sangka rejekiku begini besar hari ini. Semoga Tuhan membalas budi baikmu ini. Aku doakan agar rejekimu berlipat ganda!” si orang tua mengambil batu itu. dengan tangan kirinya benda itu digenggamnya sesaat lalu ditimang-timangnya.

Sepasang mata si tinggi besar, juga tiga kawannya dan banyak orang yang masih ada di sekitar situ sama-sama membeliak. Yang kini ditimang-timang si pengemis bukannya batu melainkan benda kuning berkilauan ditimpa sinar matahari. Emas!

ENAM

Salah seorang berpakaian hitam yang tak percaya pada apa yang dilihatnya berbisik pada si tinggi besar. “Ganang! Kau sudah gila memberi emas pada jembel buruk itu?!”

Ganang Culo di tinggi besar pelototkan matanya. “Kau yang gila! Masakan aku mau memberikan emas sebesar itu padanya. Lagi pula punya pun tidak! Kau lihat sendiri. Yang kuberikan tadi batu!”

“Lalu bagaimana sekarang jembel itu memegang sebongkah besar emas begitu rupa?!” ujar kawan Ganang Culo di sebelah kiri.

“Terima kasih… Terima kasih,” kata kakek gembel sambil membungkukkan tubuhnya berulang kali. “Kau baik sekali. Sekarang izinkan aku meninggalkan tempat ini…” Si orang tua lalu masukkan uang yang didapatkannya ke dalam saku besar di samping kiri pakaiannya. Ketika dia hendak memasukkan emas sebesar kepalan tangan itu, Ganang Culo berkata.

“Tunggu dulu!”

“Ada apakah orang baik hati?” tanya si kakek.

“Aku salah memberi. Kembalikan emas itu padaku…!”

“Ah, rupanya kau ragu. Bersedekah tidak sepenuh hati,” kata kakek sambil tersenyum. “Tak jadi apa. Rejekiku rupanya berobah. Ini kukembalikan padamu emasnya…”

Lalu orang tua itu menyerahkan emas sebesar kepalan pada Ganang Culo. Begitu menerima benda sangat berharga itu Ganang Culo memberi isyarat pada tiga orang temannya. Keempat orang itu lalu cepat-cepat tinggalkan lapangan menuju tempat mereka menambatkan kuda.

“Orang tua, orang sudah memberi. Mengapa kau menyerahkan emas itu kembali?!” seseorang bertanya.

Si kakek cuma tertawa. “Emas itu belum ditakdirkan jadi punyaku. Pemiliknya meminta kembali. Mana mungkin aku menolak. Nah saudara-saudara aku minta diri sekarang…”

Kakek gembel kenakan caping bambunya. Lalu terbungkuk-bungkuk dia tinggalkan tempat itu diikuti pandangan banyak orang. Kehebatannya bermain akrobat kini dibumbui dengan cerita sebuah batu yang berubah jadi emas itu dan diserahkan kembali pada Ganang Culo, yang mereka ketahui adalah penjahat kepala rampok ganas di kawasan Selatan. Tapi apakah si kakek mengetahui siapakah Ganang Culo dan kawan-kawannya?

Kita ikuti dulu kemana perginya para penjahat itu. Ganang Culo membedal kudanya diikuti tiga orang temannya ke arah Tenggara. Di satu tempat salah satu dari tiga orang itu rupanya sudah tidak tahan, tiba-tiba berseru,

“Ganang! Kita berhenti dulu! Emas besar harus kita bagi empat!”

Dua temannya mengiyakan tanda setuju. Ganang Culo hentikan kudanya, memandang beringas pada ketiga temannya. “Rupanya kalian tidak percaya padaku? Apa kalian kira aku mau makan sendiri emas ini?!” katanya setengah berteriak.

Dari saku pakaian hitamnya dikeluarkannya emas besar itu. lalu tangan kirinya bergerak mencabut golok besar tanda dia memang benar-benar siap untuk membagi empat emas besar itu. Tetapi ketika bongkahan emas itu keluar dari saku dan diperlihatkan pada tiga orang itu, semua mereka termasuk Ganang Culo sendiri berseru kaget. Benda yang di dalam genggamannya ternyata bukan emas kuning berkilat melainkan sebuah batu besar.

“Eh, apa yang terjadi? Bagaimana emas itu kini berubah lagi menjadi batu?!” kata Ganang Culo hampir berteriak sedang kedua matanya laksana mau melompat dari sarangnya.

Tiga kawannya saling pandang. Salah seorang dari mereka berkata. “Aku lihat sendiri emas sebesar kepalan itu tadi kau masukkan ke dalam saku pakaianmu. Adalah aneh kalau emas itu tahu-tahu berubah menjadi batu…”

“Tapi, kalian juga tahu dan melihat. Waktu aku memasukkan sedekah ke dalam caping gembel tua itu, yang kuberikan adalah sebuah batu besar, bukan emas!” tukas Ganang Culo.

“Memang benar. Orang tua aneh itu merubahnya jadi emas. Emas itu kau masukkan dalam sakumu, kau bawa sampai ke sini. Lalu tiba-tiba saja emas berubah jadi batu. Jangan-jangan kau tukar dengan batu sungguhan. Emas asli kau sembunyikan!”

“Kurang ajar kau Rantana!” kata Ganang Culo hampir berteriak marah.

Tangannya bergerak hendak menampar muka kawannya itu. Tapi kawan disebelahnya cepat memegang tangannya. Orang ini bernama Janger Kawala. Dia adalah yang paling tua diantara mereka.

“Tak ada gunanya kita bersikeras satu sama lain. Menurutku kakek ahli akrobat itu adalah seorang tukang sihir. Dia berani mempermainkan kita. Berani menipu! Kita harus mencarinya. Merampok uang hasil pertunjukkan akrobatnya lalu menghajarnya sampai mampus!”

“Kau betul,” kata penjahat bernama Tumara Akun. “Aku sempat melihat gembel sialan itu pergi ke arah Timur. Dia jalan kaki. Kita pasti bisa mengejarnya!”

Keempat penjahat itu segera memutar kuda masing-masing lalu bergerak menuju ke Timur dengan cepat. Kakek berpakaian rombeng berjalan seorang diri sambil membolang-balingkan tongkat kayunya. Agaknya dia dalam keadaan girang karena hari itu banyak sumbangan uang atau sedekah dari penduduk Kutobarang. Saat itu dia berada jauh di Timur Kota, melangkah di pinggir pedataran yang banyak ditumbuhi alang-alang.

Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara derap kaki kuda mendatangi. Karena jalan sempit dan dia tidak mau diterjang kuda maka cepat-cepat orang tua ini menepi sambil pegangi pinggiran capingnya, di bawah mana dia menyimpan seluruh uang logam hasil pertunjukan akrobatnya.

“Ini dia penipu keparat itu!” satu suara membentak menggeledek di belakangnya bersamaan degnan berhentinya derap kaki-kaki kuda.

“Tua bangka tukang sihir! Jangan harap kau bisa melarikan diri! Kami akan menghajarmu sampai mati!” bentakan kedua terdengar. Belum sempat orang tua itu berpaling, satu tendangan menghantam bahu kanannya.

“Bukkk!”

Tak ampun lagi orang tua itu tersungkur ke tanah. Tapi anehnya capingnya masih menempel di kepalanya, tongkat bututnya juga masih tergenggam di tangan kanan. Perlahan-lahan dia berdiri, menatap pada empat orang penunggang kuda berpakaian serba hitam.

“Aneh, meskipun tersungkur tapi tua bangka ini mampu menahan tendanganku! Dia tidak kelihatan cidera. Bahkan kerenyit kesakitan pun tidak tampak di wajahnya yang keriput,” begitu Rantana berkata dalam hati. Dialah tadi yang menendang gembel tua itu.

“Eh, kalian berempat bukankah dermawan yang memberikan aku sebongkah emas di Kutobarang, tapi lalu diambil lagi?” kata pengemis tua itu. “Sekarang kalian muncul lagi. Menendangku! Apa salahku?”

“Tua bangka penipu! Pengemis buta tukang sihir sialan!” bentak Ganang Culo. Dari dalam saku pakaian dikeluarkannya sebuah batu sebesar kepalan tangan. “Ini emas yang kau berikan itu!” teriaknya dengan mata mendelik. “Kau boleh ambil kembali!” Lalu Ganang Culo lemparkan batu itu ke arah si pengemis.

“Plukkk!”

Batu sebesar kepalan mendarat tepat di dagu orang tua itu. Lagi-lagi aneh. Dagu yang dihantam batu tampak merah. Namun si orang tua jangankan bergeming, menunjukkan rasa sakit sedikit sajapun tidak!

“Tua bangka jahanam! Rupanya kau punya ilmu juga hah! Lalu mau jual lagak dihadapanku! Baik! Aku mau lihat sampai di mana kehebatanmu. Kau bisa merobah batu jadi emas lalu mengembalikannya jadi batu. Aku juga punya kemampuan merobah tubuhmu jadi daging cincang dan potongan tulang belulang!” Ganang Culo cabut goloknya. Sekali lompat saja tubuhnya melayang di udara. Golok berkelebat ke arah kepala pengemis tua.

“Ooo ladalah! Walau sudah tua bangka begini aku masih ingin hidup lama di dunia!” teriak si pengemis tua lalu tangan kanannya yang memegang tongkat bergerak. Ujung tongkat melesat ke arah badan golok.

“Treek…”

Walau tongkat kayu itu memukul badan golok perlahan saja namun Ganang Culo merasa seolah senjatanya dihantam balok besar. Tak ampun golok terlepas mental. Tiga teman Ganang Culo terkesiap kaget melihat apa yang terjadi. Sebaliknya rasa malu dihajar hanya satu kali gebrakan saja membuat dirinya marah sekali. Masih melayang di udara dia membentak sambil membuat gerakan jungkir balik. Tahu-tahu kaki kanannya melesat ke arah rahang kiri kakek berpakaian rombeng.

Namun tendangan itu tak pernah sampai. Ujung tongkat di tangan si kakek lebih dulu menyentuh perutnya. Lalu entah bagaimana caranya, entah gerakan apa yang dilakukan orang tua ini tubuh Ganang Culo kelihatan naik ke atas kemudian berputar-putar seperti baling-baling. Makin lama makin kencang. Rasa sakit pada perutnya, gamang oleh putaran yang cepat ditambah dengan amarah membuat Ganang Culo berteriak habis-habisan.

Dia berusaha melepaskan pukulan tangan kosong mengandung enaga dalam ke arah si kakek. Tapi selalu luput karena tubuhnya terus berputar. Malah beberapa pukulannya hampir mengenai teman-temannya sendiri. Orang tua bercaping tertawa mengekeh. Tiba-tiba dia menarik tangannya yang memegang tongkat.

Untuk seketika tubuh Ganang Culo masih melayang berputar di udara. Namun sesaat kemudian tubuh tinggi besar itu ambruk jatuh bergedebuk di tanah. Ganang Culo menjeri kesakitan. Tulang pinggulnya sebelah kiri remuk. Dari mulutnya keluar caci maki. Dia berusaha berdiri tapi rubuh kembali. Akhirnya makiannya ditujukan pada tiga temannya.

“Kalian keparat semua! Tua bangka gila itu memperlakukan aku seperti ini! kalian cuma berdiri seperti patung!”

“Srettt! Srettt! Srettt!”

Tiga golok besar dicabut. Rantana, Tumara Akun dan Janger Kawala cabut golok masing-masing lalu mengurung pengemis bercaping. Ketika Rantana dan Tumara Akun siap menyerang, Janger Kawala yaitu penjahat paling tua diantara mereka mengangkat tangannya.

“Tunggu dulu,” katanya. “Kita bertiga. Membunuh jembel busuk ini semudah membalikkan telapak tangan. Sebelum dia kita cincang, biar aku menanyakan emas sebesar kepalan itu padanya…” Janger Kawala maju satu langkah. “Dimana kau sembunyikan emas itu! Lekas keluarkan dan srahkan padaku!”

“Ah, kalian masih saja bicara dan meminta emas itu. Bukankah tadi kawanmu yang melongsor di sana itu sudah membuangnya dan melemparkannya padaku?”

“Coba buka capingmu!” bentak Tumara Akun.

Seperti patuh orang tua itu buka capingnya. “Mendekat ke sini! Aku mau lihat apa saja isinya!”

Yang diperintah melangkah mendekati Tumara Akun lalu mengangsurkan capingnya. Dalam caping bambu ada sebuah kantong kain butut.

“Apa isi kantong itu?!” tanya Tumara Akun.

“Uang sedekah orang-orang di Kutobarang,” jawab si orang tua.

“Kalau begitu serahkan padaku!” sekali rengut saja kantong berisi uang logam itu berpindah ke tangan si penjahat.

“Mana emasnya?!” tanya Janger Kawala.

“Tak ada padaku…”

Mata Janger Kawala perhatikan buntalan di bahu si kakek. “Apa isi buntalan itu?!”

“Barang-barang rongsokan. Pakaian rombeng…”

Janger Kawala menyeringai. “Biar aku periksa sendiri!” katanya. Sekali lagi tangan kiri Janger Kawala berkelebat. Buntalan di bahu si kakek berhasil dibetotnya lalu dibukanya dengan cepat. Isinya ternyata memang pakaian-pakaian rombeng. Lalu ada sebuah kaleng butut yang sudah penyok-penyok.

“Apa ini?!” tanya Janger Kawala.

“Kau lihat sendiri. Kaleng butut penyok…”

Janger Kawala goyang-goyangkan kaleng itu beberapa kali. Suara berisik berkerontang memenuhi tempat itu.

“Eh, apa isi kaleng ini?!” tanya Rantana saling pandang dengan Janger kawala.

Si kakek tertawa perlahan. “Kalian pasti menyangka aku menyembunyikan potongan-potongan emas dalam kaleng ini. Kalau mau tahu kaleng ini isinya batu-batu kerikil…”

Rantana berpikir, “Kalau cuma batu-batu kerikil buat apa tua bangka gila ini memasukkannya ke dalam kaleng. Dia berdusta. Aku harus membongkar kaleng ini!”

Namun maksud Rantana itu urung karena saat itu Janger Kawala berkata, “Tumara, Rantana! Geledah tua bangka penipu ini!”

“Eh, kalian ini mau apa? Jangan pegang. Aku ini penggeli!” kata si kakek seraya melangkah mundur begitu Tumara Akun dan Rantana bergerak mendekatinya.

“Kalau dia tak mau digeledah berari emas itu memang ada padanya. Di sembunyikan di salah satu bagian pakaiannya!” Yang berkata adalah Ganang Culo yang saat itu masih tergeletak di tanah. “Buat apa bersusah payah! Bereskan saja dia. Habis perkara!”

“Ganang Culo betul! Saatnya kita mencincang bajingan tengik tua bangka ini!” kata Rantana yang rupanya sudah habis kesabaran. Lalu dia melompat mendahului dua kawannya. Golok di tangannya dipancungkan ke arah batok kepala si kakek.

“Celaka! Kalian hendak menjagalku!” teriak pengemis tua. Cepat dia mengenakan capingnya kembali. Tangan kirinya bergerak menyambar kaleng penyok di dalam buntalan. Tangan itu bergoyang. Batu-batu kerikil di dalamnya memukul badan kaleng.

Terdengar suara berkerontang yang menyengat telinga, membuat tiga penyerang bahkan Ganang Culo yang berada labih jauh merasa sakit dan bergetar gendang-gendang telinga masing-masing. Sebenarnya apa yang telah dilakukan gembel tua itu terhadap Ganang Culo cukup membuat Janger Kawala dan dua kawannya sadar bahwa mereka tengah menantang gunung di depan mata.

Namun amarah merasa ditipu dan dipermainkan serta keserakahan hendak mendapatkan emas sebesar kepalan itu kembali membuat mereka seperti buta. Golok Rantana menderu keras. Menyusul golok Janger Kawala dan Tumara Akun. Ganang Culo menyeringai di kejauhan.

Sesaat lagi tubuh pengemis itu akan lumat dicincang golok tiga kawannya. Orang tua yang diserang sekali lagi kerontangkan kalengnya. Tongkat kayu butut di tangan kanannya melesat membuat alur setengah lingkaran. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara seruan.

“Kakek Segala Tahu! Serahkan tiga ekor tikus hutan ini padaku!” Satu bayangan putih berkelebat. Lalu...

“Plakkk! Bukkk! Dukkk!”

TUJUH

Janger Kawala meraung kesakitan. Tiga giginya tanggal. Darah bercucuran dari mulutnya. Goloknya mental entah kemana. Di sebelahnya Tumara Akun terjengkang jatuh duduk di tanah. Tulang dadanya remuk. Dalam keadaan megap-megap sulit bernafas akhirnya dia roboh terguling. Dari mulutnya keluar darah kental. Rantana yang paling parah. Mata kirinya hancur. Darah membasahi sebagian mukanya. Suara jeritannya seperti mau menembus langit! Di antara raung kesakitan itu pengemis berpakaian rombeng tertawa mengekeh. Lalu dia berucap.

“Anak sableng! Untung kau datang hingga si tua Bangka ini tak perlu susah-payah!”

Pemuda berambut gondrong, berpakaian putih yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng dan yang barusan menghajar tiga penjahat itu membungkuk memberi hormat.

“Kek, syukur aku bisa menemuimu! Kalau tidak ketemu entah bagaimana jadinya?!”

“Bah! Rupanya kau datang membawa perkara! Bukan khusus muncul menolongku!” orang tua yang dipanggil dengan sebutan Kakek Segala Tahu itu merengut. “Perkaramu bisa dibicarakan nanti. Coba kau urus dulu penjahat jelek yang satu itu. Kudengar dia hendak merayap kabur!”

Yang dimaksud Kakek Segala Tahu adalah Ganang Culo. Sungguh luar biasa pendengarannya hingga merupakan sepasang mata yang tak kalah tajamnya dengan mata biasa.

Penjahat itu benar-benar putus nyalinya melihat apa yang terjadi dengan tiga orang temannya. Meski saat itu tulang pinggulnya sebelah kiri remuk dan sakit bukan kepalang namun rasa takut mendapat hajaran lagi membuat penjahat ini kumpulkan tenaga untuk bisa bangkit lalu melarikan diri. Tapi usahanya sia-sia saja. Dia hanya mampu merayap. Ketika mencoba berdiri tubuhnya ambruk. Saat itu justru Pendekar 212 Wiro Sableng sampai di hadapannya.

“Jangan… Jangan…” suara Ganang Culo setengah meratap.

“Kek, kau mau aku apakan kampret ini?” tanya Wiro.

“Ampun! Jangan!” jerit Ganang Culo.

Kakek Segala Tau kerontangkan kaleng rombengnya. Lalu berkata, “Selama ini, kampret itu gentayangan melakukan kejahatan dimana-mana. Dari tubuhnya yang paling banyak berbuat jahat adalah tangan kanannya. Kurasa ada baiknya kalau kau patahkan jari-jari tangan kanannya barang beberapa buah!”

“Aku menurut saja apa yang kau perintahkan Kek,” jawab Wiro.

“Tobat! Ampun! Jangan patahkan tanganku!” teriak Ganang Culo

Wiro melangkah mendekat. “Kurasa itu hukuman paling ringan bagimu kampret! Masih untung dia tidak meminta aku mematahkan batang leher jalan nafasmu!”

“Aku benar-benar bertobat!” teriak Ganang Culo.

“Ah, soal tobat-tobatan itu urusanmu dengan Tuhan! Aku tidak menampung urusan tobat-tobatan!” kata Pendekar 212 pula. Lalu dia membungkuk menyambar tangan kanan Ganang Culo. Penjahat ini cepat tarik lengannya. Namun saat itu Wiro sudah meremas telapak tangan kanannya.

“Krakkk! Krakkk! Krakkk…!”

Tiga jari tangan kanan Ganang Culo dan juga sebagian tulang telapak tangannya remuk. Penjahat ini melolong setinggi langit lalu bergulingan di tanah. Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya lalu tertawa mengekeh. Tongkat kayu di bolang-baling. Dia melangkah mendekati Janger Kawala.

“Setttt!” ujung tongkat si kakek melesat ke arah leher pakaian penjahat yang tiga giginya rontok itu. terjadilah satu hal luar biasa ketika Kakek Segala Tahu menyentakkan tongkat. Tubuh Janger Kawala melayang ke udara, jatuh tepat di atas tubuh Ganang Culo uang saat itu masih menjerit-jerit kesakitan. Si kakek kemudian melangkah ke arah Tumara Akun.

Orang yang dadanya remuk ini dan mengeluarkan darah dari mulut berusaha menghindar sewaktu dilihatnya kakek bercaping itu mendatangi. Namun terlambat. Ujung tongkat Kakek Segala Tahu sudah menyambar leher pakaiannya. Tubuhnya terangkat ke atas. Dia coba memukul tongkat dengan tangan kiri. Berhasil.

“Bukkk!”

Tapi justru dari mulutnya keluar jerit kesakitan. Darah ikut muncrat. Dia seperti memukul besi, bukan tongkat kayu. Sebelum dia bisa berbuat yang lain, tubuhnya tahu-tahu sudah terlempar ke udara. Seperti Janger Kawala tadi, Tumara Akun pun jatuh menimpa tubuh Ganang Culo hingga ketiganya saling tumpang tindih.

Lain halnya dengan Rantana yang mata kirinya hancur dan masih terus mengu-curkan darah. Dalam keadaan mengerang penjahat satu ini hanya pasrah saja meli-hat apa yang akan dilakukan oleh si kakek. Ujung tongkat melesat. Rantana merasakan tubuhnya terangkat lalu seperti dilempar dirinya melesat ke udara. Dia berusaha berjungkir balik untuk menghindarkan jatuh menimpa tiga kawannya yang tumpang tindih babak belur. Tapi gagal. Dia jatuh lebih dulu dengan kepala menghantam dagu Tumara hingga tak ampun lagi Tumara Akun terlonjak kesakitan lalu diam tak berkutik, pingsan!

Sambil membolang-balingkan tongkat dan mengoyang-goyangkan kaleng rombengnya Kakek Segala Tahu membalikkan tubuh ke arah Wiro. “Ayo kita pergi dari sini. Empat kampret itu sudah cukup menerima pelajaran. Kalau mereka masih meneruskan hidup sebagai penjahat, lain kali bertemu pasti akan kulipat jalan nafasnya!” Si kakek ambil kantong uang dan buntalan miliknya yang tercampak di tanah.

Pendekar 212 segera mengikuti Kakek Segala Tahu. Tongkat dan sepasang telinganya menjadi pengganti matanya. Di satu tempat, karena tidak tahan lagi dan ingin cepat-cepat bicara, pemuda itu berkata,

“Kek, ada satu hal penting yang aku ingin minta bantuanmu.”

“Hemm...” Si kakek menjawab dengan gumaman lalu kerontangkan kalengnya dan terus saja berjalan.

Walau hati kecilnya kecewa melihat sikap si kakek namun karena maklum kalau orang tua itu memang sering bersikap aneh maka dia hanya bisa diam dan terus mengikuti. Di sebuah tikungan jalan di mana terdapat satu batu besar Kakek Segala Tahu hentikan langkahnya lalu duduk di atas batu itu. Sesaat dia memandang pada pemuda di hadapannya itu, kerontangkan kalengnya beberapa kali lalu berkata,

“Beberapa orang tokoh persilatan dikabarkan menghilang secara aneh tanpa diketahui ke mana perginya. Apakah hal penting yang hendak kau katakan itu ada sangkut pautnya dengan diri mereka?”

“Aku kurang mengetahui mengenai menghilangnya tokoh-tokoh silat itu. Saat ini aku butuh pertolonganmu. Seorang sahabatku terancam keselamatannya. Dia disekap dan disiksa di alam gaib. Alam siluman. Aku berhasil mengetahui letak kawasan gaib itu. Di kaki Selatan Gunung Merapi. Di satu rimba belantara bernama Tapak Halimun…”

Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya lalu berkata. “Sahabatmu yang kau katakan itu pasti seorang perempuan cantik…”

“Bagaimana kau tahu Kek?” tanya Wiro.

Orang tua itu menyeringai dan buka capingnya. “Pemuda sepertimu, kalau bukan urusan perempuan cantik mana mungkin kau mau mencari urusan. Mencariku segala…! Siapa nama si cantik itu?”

Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. “Namanya Suci. Aku biasa memanggilnya Bunga. Dia disekap di kawasan siluman hutan Tapak Halimun.”

“Bagaimana kau bisa tahu dia disekap. Di hutan Tapakhalimun?”

“Mula-mula aku mendapat petunjuk dari mimpi…”

“Mimpi? Itu petunjuk gila. Bisa betul bisa menipu!”

“Tapi Kek, kemudian aku coba memanggilnya dari alam gaib…”

“Pendekar 212, aku baru tahu kalau kau punya ilmu baru. Pandai memanggil orang dari alam gaib. Lalu apakah sahabatmu itu sebangsa dedemit atau hantu kuburan?!” tanya Kakek Segala Tahu sambil kerontangkan kalengnya.

“Sebaiknya aku ceritakan saja padamu asal-usul aku mengenal Bunga,” kata Wiro pula. Lalu diceritakannya semua kejadian di masa lalu yang telah dialaminya.

“Kau tidak berdusta…?” Tanya Kakek Segala Tahu begitu Wiro mengakhiri kisahnya.

Murid Sinto Gendeng menggeleng. “Aku tidak berdusta. Juga tidak bergurau. Aku tidak main-main Kek. Keselamatan gadis itu terancam…”

Kakek buta itu balas gelengkan kepala. “Menolong orang yang sudah mati dari kematian. Benar-benar tak bisa dipercaya. Sudah jadi apa dunia ini sebenarnya? Kalau tidak mendengar dari mulutmu sendiri, sulit aku bisa percaya!”

“Kau punya ilmu. Punya kesaktian untuk melihat segala sesuatu. Itu sebabnya kau digelari Kakek Segala Tahu…”

Orang tua itu tertawa mengekeh. “Yang namanya manusia itu bagaimanapun tinggi ilmu selalu ada keterbatasan. Ingat hal itu Wiro! Mengenai hutan Tapak Halimun itu memang sudah lama aku dengar keangkerannya. Kata orang dulu di situ ada satu kerajaan kecil yang makmur. Rajanya tersesat dalam ilmu-ilmu gaib mengerikan. Seisi istana dan semua orang di kerajaan berubah menjadi siluman. Rupanya mereka masih bercokol di sana…”

“Lalu yang aku tidak mengerti, mengapa siluman-siluman hutan Tapak Halimun itu menculik Bunga dari alam gaibnya. Menyekap dan menyiksanya… Kita harus menolong dia Kek!”

“Menolong orang yang sudah mati dan gentayangan di alam gaib. Jangan kau marah kalau kukatakan sebenarnya gadis itu juga sudah jadi siluman. Bedanya dia siluman baik-baik dan cantik hingga kau mau menyabung jiwa untuk menyelamatkannya…”

“Terserah kau mau menyebutnya siluman, hantu atau apa! Yang penting dia harus diselamatkan…”

Kakek Segala Tahu menghela nafas panjang. Dia mendongak. Matanya yang putih buta menatap langit. Lalu kaleng di tangan kirinya dikerontangkannya beberapa kali. “Katamu kau mampu memanggilnya melalui bunga kenanga itu. cobalah aku ingin melihat…”

Dalam hati Pendekar 212 menggerutu. “Kedua matanya jelas-jelas buta. Apa yang bisa dilihatnya?”

Namun untuk tidak mengecewakan orang tua itu Wiro keluarkan juga bunga kenanga pemberian Suci dari dalam saku bajunya. Sambil memejamkan mata bunga itu diletakkannya di depan hidung lalu diciumnya dalam-dalam. Hawa segar dan harum menyeruak masuk kedalam tubuhnya. Tak segera terjadi apa-apa. Wiro menunggu. Tetap saja tidak ada tanda-tanda Bunga akan muncul.

“Mungkin jarak dari sini ke hutan Tapak Halimun itu terlalu jauh Kek. Aku tak bisa menghubunginya…” Kata Wiro.

“Coba sekali lagi,” ujar Kakek Segala Tahu seaya memegang bahu Wiro.

Pemuda itu merasakan ada satu hawa aneh masuk ke dalam tubuhnya yang dipegang. Dia maklun kalau si kakek kini menyalurkan kekuatan saktinya ke dalam dirinya untuk membantu memberi kekautan. Wiro dekatkan lagi bunga kenanga itu ke hidungnya dan menghirup dalam-dalam. Sunyi. Tak ada suara tak ada bayangan yang muncul. Namun sesaat kemudian terdengar suara lolongan anjing di kejauhan disertai jeritan-jeritan mengerikan. Setelah itu samar-samar nampak satu sosok berpakaian putih muncul dalam keadaan terikat pada sebuah tonggak kayu.

“Bunga…” bisik Wiro memperhatikan.

Keadaan gadis itu tidak beda seperti yang dilihatnya sebelumnya. Pakaiannya putih penuh darah begitu juga wajahnya. Kedua matanya terpejam. Di kiri kanan dua mahluk seram seperti asap, meliuk-liuk menjaga. Tiba-tiba Bunga membuka kedua matanya. Dari mulutnya keluar jeritan menggidikkan. Suara jeritan itu menggema laksana menggelegar dalam juran batu yang dalam. Bersamaan dengan lenyapnya gema jeritan, sirna pula sosok tubuh Bunga dan dua mahluk seram itu.

Wiro simpan kembali bunga kenanga dalam saku bajunya. Dia berpaling pada Kakek Segala Tahu dan bertanya. “Apa yang kau lihat Kek?”

Orang tua itu mendongak. “Aku memang tidak melihat apa-apa. Tapi aku bisa mendengar dan merasakan. Bencana yang menimpa sahabatmu itu memang luar biasa. Jika mahluk yang berasal dari alam lain tidak mampu melawan kekuatan hitam itu, apalagi kita manusia biasa!”

“Lalu apa yang harus kita lakukan?’ tanya Wiro.

Kakek Segala Tahu mendongak dan kerontangkan kalengnya. “Kita harus segera meninggalkan tempat ini. di tengah jalan siapa tahu aku bisa mendapatkan petunjuk.”

“Kita harus mencari kuda. Sebelum dapat biar kau kugendong dulu!” kata Wiro yang sudah tidak sabaran. Lalu cepat saja si kakek didukungnya di belakang punggung, terus lari ke arah Timur.

“Eh, kau ini mau membawa aku ke mana?” tanya Kakek Segala Tahu.

“Ke mana lagi kalau bukan ke hutan Tapak Halimun?!” sahut Wiro.

“Percuma ke sana. Kau sudah coba menembus tabir alam siluman itu. Tak berhasil. Aku pun rasa-rasanya tidak sanggup.”

“Celaka kalau begitu!” ujar Wiro seraya hentikan langkahnya. Si kakek diturunkan-nya dari punggungnya. Nafasnya memburu dan dadanya turun naik.

“Jangan lekas putus asa anak muda,” kata orang tua itu sambil kerontangkan kalengnya. “Di dunia ini segala urusan ada jawabannya. Hanya untuk mencari jawaban itu manusia harus memutar otak. Beberapa waktu lalu aku menyirap kabar ada tokoh-tokoh persilatan tengah mengejar sorang sakti bernama Kebo Pradah…”

“Aku tidak tertarik mendengar ceritamu. Apa hubungan kejadian yang tengah kualami dengan Kebo atau Sapi Pradah itu?!”

Si kakek tertawa bergelak. “Sudah kubilang segala urusan bisa diselesaikan jika manusia mau memutar otak mempergunakan akal. Jangan seradak-seruduk tak tahu juntrungan seperti yang sudah kau lakukan. Kebo Pradah bukan orang sembarangan. Jika para tokoh memburunya berarti ada satu urusan luar biasa yang tengah mereka hadapi. Kabar yang aku sirap mengatakan para tokoh itu mengejar Kebo Pradah sehubungan dengan lenyapnya beberapa tokoh silat secara aneh. Siapa-siapa yang lenyap masih belum diketahui dengan jelas. Si Kebo Pradah ini mempunyai peran penentu. Kabarnya dia satu-satunya manusia yang punya kekuatan untuk menyingkap tabir gaib dan untuk dapat menembus ke dalam kawasan alam siluman di hutan Tapak Halimun itu. Tanpa dia masalah ini tak akan terpecahkan…”

“Kalau memang begitu masalahnya di mana kita bisa mencari Kebo Pradah?”

“Itu sulitnya. Karena dia diburu-buru dengan sendirinya dia selalu kabur menyembunyikan diri. Terakhir aku dengar dia berada di sebuah hutan kecil di Barat Gunung Merbabu. Kalau saja kita tidak kedahuluan oleh para tokoh itu mungkin kita bisa minta bantuannya…”

Wiro melompat. Mendukung Kakek Segala Tahu di punggungnya lalu lari sekencang-kencangnya.

“Eh, ke mana tujuan kita kali ini?!” tanya Kakek Segala Tahu.

“Apa perlu kau tanyakan lagi Kek? Sudah pasti ke kawasan di Barat Gunung Merbabu!” jawab Wiro.

“Ah! terserah kaulah! Aku hanya membonceng di punggungmu!” kata Kakek Segala Tahu pula lalu kerontangkan kaleng rombengnya.

********************

DELAPAN

Orang yang berdiri di depan Kebo Pradah adalah seorang perempuan separuh baya bertubuh tinggi. Wajahnya sebenarnya cantik namun jadi tampak lucu karena dandanannya yang tebal. Bibir dan pipinya merah mencorong. Alisnya hitam panjang dengan kedua ujung mencuat ke atas. Sepasang matanya memiliki pandangan taja dingin. Walaupun kepekatan malam membungkus tempat itu namun karena berhadapan begitu dekat Kebo Pradah dapat melihat seluruh sosok orang ini dengan jelas.

Perempuan ini mengenakan jubah berbentuk aneh. Bagian dadanya sangat ketat berpotongan rendah sehingga lebih dari separuh payudaranya menyembul besar keluar. Di bawah pinggangnya yang sangat ramping jubah berbunga-bunga itu menggembung besar seperti ada ganjalannya. Di belakang rambutnya yang dikonde tinggi ada tujuh helai bulu burung merak warna-warni yang dijadikan hiasan seperti sebarisan tusuk konde. Untuk sesaat lamanya Kebo Pradah tak bisa berkata apa-apa, hanya tegak memandang denan mulut terkancing.

“Kebo Pradah, kau membisu karena kaget tak menyangka pertemuan ini atau terpesona melihat buah dadaku yang besar?"

Paras Kebo Pradah kelihatan merah padam. Perempuan cantik berdandan menor dan punya suara merdu itu tertawa panjang lalu melanjutkan ucapannya, “Dulu kau pernah bersenang-senang menikmati keindahan bauh dadaku. Tapi setelah kau puas kau kabur begitu saja. Sekarang apakah kau masih ingin mengelus dan menciumnya?!”

“Dewi Merak Bungsu…”

“Ah, itu gelaranku. Kau biasanya memanggil nama asliku. Kuntini Arimurti. Kenapa sekarang kau tidak memanggilku denagn nama asli?"

“Kuntini, terus terang tentu saja aku gembira dengan pertemuan ini…”

“Kalau begitu kita bisa bersenang-senang lagi seperti dulu? Mandi berdua di danau Rawapening, bercanda di atas tanjang atau bergurau di pedataran di bawah bulan purnama?”

“Kuntini, apa yang terjadi di masa lalu untuk apa diungkit lagi. Kita tak berjodoh jadi suami istri. Umur kita terpaut jauh. Hampir dua puluh tahun…”

“Alangkah enaknya kau bicara seperti itu. Untung saja hubungan gila itu tidak membuatku hamil. Kalau sampai aku melahirkan anak, kau akan kubunuh di hadapan bayimu sendiri!”

Kebo Pradah terdiam. Dewi Merak Bungsu alias Kuntini Arimurti terus menatap orang itu dengan pandangan lekat dingin tak berkedip.

“Aku kasihan meihat keadaan dirimu Kebo Pradah, kau kabur kian kemari. Sembunyi di sana-sini. Menyamar jadi resi, jadi petani. Sekarang kulihat kau menyamar jadi seorang pengemis. Apa enaknya hidup seperti itu?”

“Soal enak atau tidak biar aku yang menanggung sendiri. Aku berbuat seperti ini bukan untuk menghindar atau mencoba sembunyi darimu. Tapi karena dikejar-kejar oleh tokoh-tokoh silat dengan alasan gila tak masuk akal!”

“Ohhh, begitu rupanya…” kata Dewi Merak Bungsu sambil sunnggingkan senyum sinis.

“Lalu apakah kemunculanmu untuk menghukum perbuatanku di masa lalu?” tanya Kebo Pradah.

“Soal hukum menghukum biar kita serahkan pada yang Kuasa. Bukan aku, kelak bakal ada orang lain yang menghukummu. Kalaupun tidak ada yang menghukummu di dunia ini, Gusti Allah akan menghukummu di akhirat. Lagi pula kedatanganku ke sini bukan mengungkit masa lalu. Aku buka anak kecil atau seorang pengemis yang minta belas kasihanmu. Aku perlu pertolonganmu. Hanya dengan memberi pertolongan padaku kau bisa menebus dosa di masa lalu.”

“Ah, dia masih pandai bicara seperti dulu. Otaknya cerdik seolah ada sepuluh otak dalam kepalanya,” kata Kebo Pradah dalam hati.

“Pertolongan apa yang hendak kau harapkan dariku. Katakan cepat karena aku tak ada waktu lama…”

“Kenapa terburu-buru Kebo Pradah. Takut akan muncul lagi orang-orang pandai? Saat ini hanya kita berdua di sini. Tak usah kawatir. Yang aku inginkan ialah agar kau membantu aku membuka tabir Pintu Neraka di hutan Tapakhalimun…”

“Ternyata maksud kedatanganmu tidak beda dengan orang-orang yang lebih dulu muncul di tempat ini!”

“Oh, begitu?” ujar Dewi Merak Bungsu sambil menyeringai dan memandang berkeliling. “Hem... Pasti kau menolak permintaan mereka lalu membunuh mereka. Memang banyak kulihat yang sudah jadi korbanmu. Dua bersaudara Cengkir Lesmana. Lalu ada tua bangka berpunuk. Kemudian satu lagi si Pengail Sakti Muka Kuning. Mereka bukan orang-orang sembarangan. Jika kau mampu membunuh mereka dengan mudah berarti kepandaianmu sudah jauh meningkat…”

“Terserah kau mau menilainya bagaimana. Yang jelas aku tidak mau bentrokan denganmu. Itu saja…”

“Bagus. Baik sekali hatimu. Berarti kau akan meluluskan permintaanku minta tolong tadi…”

“Aku tidak mau mendengar urusan gila itu lagi. Aku tak akan menolongmu atau siapapun!”

“Ah, kalau begitu lain ucapan lain kenyataan!” tukas Dewi Merak Bungsu.

“Kita habisi pembicaraan sampai di sini Kuntini. Lain kesempatan jika bertemu lagi kita bisa bicara panjang lebar. Sebentar lagi pagi akan datang.”

“Tunggu dulu Kebo Pradah!” kata Dewi Merak Bungsu. Ketika melihat Kebo Pradah hendak meninggalkan tempat itu. “Bagiku kesempatan hanya ada satu kali. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan. Kuharap kau juga berbuat sama…?”

“Lalu maumu apa?” Kebo Pradah kelihatan mulai jengkel. Kentara dari nada suaranya.

“Ikut aku ke hutan Tapak Halimun!”

“Kalau aku tidak mau?!”

Dewi Merak Bungsu tertawa panjang hingga buah dadanya yang menyembul besar kelihatan bergoyang-goyang membuat Kebo Pradah sesaat jadi menahan nafas.

“Kalau kau tidak mau apa dayaku…” Kata Dewi Merak Bungsu pula seolah-olah pasrah membuat Kebo Pradah menjadi lega. Tapi cuma sesaat karena dilain ketika perempuan itu meneruskan ucapannya. “Dirimu sangat berharga Kebo Pradah. Sehingga sosokmu tanpa nyawapun masih mampu menyingkap tabir gaib alam siluman di kaki Gunung Merapi itu. Jadi terserah padamu. Mau pergi ke sana hidup-hidup atau dalam keadaan jadi mayat!”

Rahang Kebo Pradah menggembung. Tampangnya membesi. Dalam hati orang ini berkata. “Jelas dia bukan lawanku. Dulu saja ilmunya hampir dua tingkat di atasku. Dia tidak membunuhku di masa lalu karena mencintaiku dan berharap bisa kuambil jadi istri. Tapi sekarang keadaan sudah berubah. Sebaiknya aku berpura-pura ikut saja. Kalau dia lengah kuhabisi dirinya!”

“Baiklah Kuntini. Aku bersedia ikut bersamamu ke hutan Tapak Halimun. Tapi sesudah tabir itu tersingkap kita berpisah. Tak ada lagi urusan di antara kita…”

“Terima kasih kau mau menolong. Hanya saja tiba-tiba saja kau berubah pikiran. Membuatku jadi curiga. Karenanya aku terpaksa merubah rencana. Aku terpaksa membunuhmu. Tubuh hidupmu dengan mayatmu sama saja artinya! Mengapa aku susah-susah harus mempercayaimu?!”

“Rupanya dia dapat membaca jalan pikiranku!” membatin Kebo Pradah. Lalu dia berkata, “Kau memang perempuan culas! Bukan cuma culas! Tapi juga bangsat!” teriak Kebo Pradah marah. “Kau mungkin bisa membunuhku! Tapi aku bersumpah untuk membuat dirimu cacat seumur hidup!” teriak Kebo Pradah lagi. Lalu dari balik pakaiannya dikeluarkan sebuah tabung bambu. Ketika tabung itu dibuka terdengar letupan kecil disertai kepulan asap biru kelabu.

“Cairan pengerut tubuh!” seru Dewi Merak Bungsu terkejut.

Kebo Pradah mengekeh. “Kau mau bunuh aku silahkan! Tapi wajah dan tubuhmu akan kubuat cacat! Akan kubuat mengkerut hingga setanpun akan takut malihat dirimu!”

Habis berkata begitu Kebo Pradah gerakkan tangannya yang memegang tabung bambu. Sejenis cairan yang disertai semburan asap muncrat ke luar ke arah tubuh Dewi Merak Bungsu. Perempuan ini menjerit keras kerakutan dan cepat melompat muncur ke belakang serumpunan semak belukar. Untungnya semak belukar itu diselingi oleh tetumbuhan berdaun lebar. Kalau tidak beberapa bagian dari tanagn dan tubuh Dewi Merak Bungsu akan tersiram cairan dahsyat itu.

Daun-daun yang terkena siraman cairan dahsyat itu. daun-daun yang terkena siraman cairan itu tampak mengepulkan asap dan berlobang besar. Paras Dewi Merak Bungsu tampak pucat pasi. Di seberang sana dilihatnya Kebo Pradah tengah memperhatikan tabung bambunya. Lalu terdengar dia memaki

“Setan! Isinya Habis!”

Dewi Merak Bungsu melihat ini kesempatan paling tepat untuk keluar dari balik semak belukar langsung menyerang Kebo Pradah. Maka tanpa pikir panjang lagi dia segera melompat dari balik semak belukar, menggebrak Kebo Pradah dengan satu jotosan keras di bagian kepala orang itu. Kebo Pradah tiba-tiba tertawa mengekeh.

“Perempuan culas! Kau tertipu! Tamat riwayatmu sekarang!” Kebo Pradah angkat tabung bambu tinggi-tinggi. Ternyata dalam tabung itu masih terdapat banyak cairan dahsayat pengerut tubuh.

“Seerrr! Seerrr! Seerrr!”

Cairan ganas itu muncrat keluar. Dewi Merak Bungsu terpekik. Dia sama sekali tidak menyangka. Saat itu tak ada kesempatan untuk mengelak. Kalaupun dia mampu menghindar tetap saja sebagian wajah dan bahu kirinya akan kena tersiram cairan!

Pada saat yang genting itu tiba-tiba dari balik sebatang pohon besar menderu sambaran angin sedahsyat topan. Dewi Merak Bungsu terpelanting ke kiri dan jatuh ke tanah. Beberapa tetes cairan pengerut lewat di atas kepalanya. Di sebelah sana Kebo Pradah berseru kaget ketika air pengerut yang disiramkannya ke arah Kuntini tiba-tiba membalik menghantam dirinya.

Sebelum dia terseret oleh sambaran angin keras itu air pengerut tubuh telah lebih dulu memercik di wajahnya, dada dan tangan kanannya. Kebo Pradah meraung keras. Sebagian mukanya tenggelam dalam kepulan asap. Ketika kepulan asap lenyap kelihatanlah hal yang mengerikan. Wajah Kebo Pradah seolah berubah jadi hantu menakutkan. Pipi kanan dan mulut mengkerut.

Hidungnya kini hanya merupakan rongga besar menjijikkan dan mengerikan karena dari situ bisa terlihat lidah dan rongga tenggorokannya yang juga telah mengkerut. Mata kanannya hanya tinggal rongga besar. Bola matanya yang mengkerut mengecil dan telah jadi buta terbenam di rongga yang mengerikan itu! Tangan dan dadanya juga mengalami cacat menggidikkan.

“Anak setan! Sudah ku bilang kau jangan ikut campur urusan orang!” satu suara terdengar membentak di balik pohon besar.

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

SEMBILAN

Ketika Pengail Sakti Muka Kuning hendak melompat turun dari pohon, seperti telah dituturkan sebelumnya orang tua sakti ini maupun Kebo Pradah sama-sama mendengar suara kerontangan kaleng di kejauhan malam. Mereka sama-sama terkesiap dan curiga bahwa seorang kakek sakti yang mereka kenal dengan nama Kakek Segala Tahu segera akan muncul di tempat itu untuk urusan yang sama.

Namun suara kerontangan kaleng terdengar semakin jauh dan akhirnya lenyap sama sekali. Apakah sebenarnya yang terjadi? Saat itu sebenarnya Pendekar 212 dan Kakek Segala Tahu memang hendak menuju ke tempat di mana kedua orang itu berada. Namun si kakek buta ini turun dari kudanya lalu tegak dengan mendongak.

“Aku tidak tahu apakah kita datang terlambat atau bagaimana,” katanya pada Wiro. “Tapi yang jelas jauh di sebelah sana Kebo Pradah tidak sendirian. Sebaiknya kita tinggalkan kuda. Dengan jalan kaki kita pura-pura menjauh. Mereka menyangka kita sudah pergi. Lalu diam-diam kita kembali mendekati tempat mereka…”

“Aku setuju saja dengan pendapatmu Kek,” kata Wiro walau hati kecilnya dia lebih suka untuk langsung mendatangi tempat di mana Kebo Pradah berada. Wiro lalu turun pula dari kudanya dan mengikuti si kakek mengambil jalan berputar. Menjauh untuk kemudian mendekat kembali dari jurudan lain.

Ketika mereka sampai di tempat itu, dari balik pepohonan rapat Wiro dan Kakek Segala Tahu sempat mendengar pembicaraan Kebo Pradah dengan orang bermuka kuning.

“Coba kau katakan ciri-ciri orang yang berbicara dengan Kebo Pradah itu. juga pakaiannya…” Bisik Kakek Segala Tahu pada Wiro.

Pendekar 212 segera menerangkan. “Hem... tak ada orang lain. Dia pasti Pengail Sakti Muka Kuning. kalau dia berani bertindak keras terhadap Kebo Pradah, dia bakal celaka. Ilmunya masih di bawah Kebo Pradah…”

“Kalau begitu kita harus membantu si muka kuning itu. Biar Kebo Pradah bisa ditangkap hidup-hidup lalu kita bawa ke hutan Tapakhalimun…”

“Tidak perlu. Biar mereka membuat urusan dan menyelesaikannya sendiri. Biarkan mereka bicara panjang lebar. Berarti kita bisa mendengar keterangan-keterangan berharga. Menurut kabar yang aku sirap si Kebo Pradah ini biar hidup atau pun mati kemampuannya tetap saja sama untuk dapat membuka tabir gaib di hutan siluman itu…” jawab Kakek Segala Tahu. Lalu dia hampir saja hendak mengerontangkan kaleng bututnya kalau tidak cepat kaleng itu diambil oleh Wiro!

Seperti diketahui setelah terjadi pertengkaran antara Kebo Pradah dan Pengail Sakti Muka Kuning maka perkelahianpun tak dapat dihindari yang akhirnya membawa kematian bagi Pengail Sakti. Saat itulah sebenarnya Kakek Segala Tahu dan Wiro hendak keluar dari tempat persembunyian mereka guna menemui Kebo Pradah. Namun dalam gelapnya malam satu sosok berkelebat. Mereka kedahuluan orang lain.

Yang muncul ternyata adalah perempuan muda berpakaian semarak aneh dan berwajah cantik tertutup dandanan tebal mencorong. Wiro cepat memberitahu kakek di sebelahnya. Juga diceritakan ciri-ciri perempuan yang barusan muncul itu. “Walah Kek, bajunya sebelah atas terbuka lebar. Payudaranya menyembul sebesar kelapa.

Putih berkilat walau dalam gelap…”

“Setan kau!” maki Kakek Segala Tahu yang tak bisa melihat. “Kau sengaja membuat aku jadi blingsatan…”

“Kau kira-kira kenal siapa perempuan ini Kek?”

“Banyak sekali perempuan berdandan seperti celepuk. Tapi kalau dia memang memakai tujuh lembar tusuk konde terbuat dari bulu burung merak, aku sudah bisa menduga. Dan dugaanku tak bakal meleset. Dia adalah Kuntini, berjuluk Dewi Merak Bungsu. Sebenarnya dia punya saudara kembar berjuluk Dewi Merak Sulung. Tapi sang kakak meninggal karena sakit berat beberapa tahun silam. Si bungsu ini kalau aku tidak salah adalah kekasih Kebo Pradah…”

“Wah, kalau begitu sebentar lagi aku bakal menyaksikan dua orang bercumbu-cumbuan di tempat ini…”

“Husss! Otakmu selalu kotor. Lihat saja apa yang terjadi. Setahuku dua orang ini sudah berseteru sejak lama. Dengar saja apa yang mereka bicarakan. Tunggu apa yang bakal terjadi. Dan ingat! Jangan ikut campur! Yang perempuan itu ilmunya lebih tinggi dari si Kebo. Aku punya firasat kita bisa menangguk keuntungan dari pertemuan dua orang ini…”

“Keuntungan macam apa?” tanya Wiro.

“Sudah! Jangan banyak tanya. Kudengar mereka sudah mulai bicara…”

Dari balik deretan pohon-pohon besar Wiro dan Kakek Segala Tahu diam-diam mendengarkan pembicaaan antara Kebo Pradah den Dewi Merak Bungsu. Mula-mula keduanya bicara biasa-biasa saja sedikit berbasa-basi. Namun pembicaraan berubah begitu Dewi Merak Bungsu meminta Kebo Pradah ikut ke hutan Tapak Halimun di kaki Gunung Merapi. Perkelahian tak dapat dicegah.

Kebo Pradah yang tahu bahwa dia tak bakal menang menghadapi bekas kekasihnya itu dengan licik keluarkan sejenis cairan yang bisa merusak daging manusia. Dewi Merak Bungsu hampir saja celaka kalau tidak dibantu oleh Pendekar 212 yang tiba-tiba melepaskan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera dengan tangan kanan dan Kunyuk Melempar Buah dengan tangan kiri.

Akibat dua serangan dahsyat itu Kebo Pradah bukan saja terpelanting jatuh. Air pengerut tubuh yang tadi hendak disiramkannya pada Dewi Merak Bungsu kini justru membalik ke arahnya tanpa dia bisa mengelak. Akibatnya tubuhnya menjadi cacat mengerikan seperti yang diceritakan sebelumnya.

“Anak setan! Sudah kubilang kau jangan ikut campur urusan orang!” Kakek Segala Tahu membentak marah ketika telinganya menangkap suara raungan Kebo Pradah. Sebelumnya dia sudah merasakan gerakan yang dibuat Wiro dan menyusul menderunya dua larik angin dahsyat. “Edan! Edan! Rusak segala rencanaku jadinya!”

“Tapi Kek, kalau tidak kutolong perempuan itu pasti celaka!” kata Wiro membela diri. “Saat ini aku menyaksikan muka Kebo Pradah menjadi cacat mengerikan…”

“Lalu apa keuntunganmu?!” bentak Kakek Segala Tahu. “Kau tertarik pada perempuan muda itu ya? Kau terangsang melihat payudaranya yang besar hah?!”

Wiro hanya bisa mesem sambil garuk-garuk kepala. Memandang ke depan dilihatnya perempuan yang barusan diselamatkannya melompat keluar dari balik rerumpunan semak belukar, bergerak ke arah Kebo Pradah yang terkapar di tanah masih meraung-raung. Dewi Merak Bungsu tak dapat bayangkan kengerian kalau apa yang terjadi dengan lelaki itu menimpa dirinya sendiri.

“Demi Tuhan! Aku minta kau segera membunuhku saat ini juga Kuntini! Bunuh! Bunuh aku! Tobat! Aku tak tahan sakitnya! Bunuh aku Kuntini. Sekarang juga!”

“Kau minta mati! Aku akan memberi. Hitung-hitung sebagai penyelesaian hutang piutang atas kematian Merak Sulung!”

“Perempuan bangsat! Apa maksudmu?!”

“Kau ikut bertanggung jawab atas kematian kakak kembarku itu!”

“Setan alas! Semua orang tahu kakakmu mati karena sakit! Ayo bunuh aku! Sekarangggg!”

“Apa yang semua orang tahu tidak sama dengan apa yang aku tahu. Kakakku memang mati karena sakit. Tapi bukan sakit biasa. Mati karena kau masukkan sejenis racun dalam makanannya…”

“Perempuan iblis! Dalam keadaan seperti ini kau masih mau menuduh dan memfitnahku!” teriak Kebo Pradah. Laksana mendapatkan kekuatan hebat lelaki ini melompat. Kedua tangannya diulurkan untuk mencekik batang leher Dewi Merak Bungsu. Tapi perempuan itu lebih cepat. Tangan kanannya melesat di antara dua lengan Kebo Pradah.

“Praakkk!”

Kening Kebo Pradah rengkah. Tubuhnya terbanting ke tanah. Kali ini tak berkutik lagi untuk selama-lamanya. Sesaat perempuan itu pandangi mayat Kebo Pradah. Tak ada rasa kasihan ataupun penyesalan dalam dirinya. Lalu perlahan-lahan dia memutar tubuh. Memandang ke arah deretan pohon-pohon besar di kegelapan.

“Orang yang telah menolongku, harap keluar unjukkan diri agar aku bisa mengenali dan berterima kasih!” Tiba-tiba Dewi Merak Bungsu keluarkan ucapan.

Di balik pohon Kakek Segala Tahu berpaling pada Wiro. “Ayo, kau tunggu apa lagi? Bukankah kau sudah menolongnya? Jadi lekas keluar! Temui dia!”

“Kau saja yang keluar Kek,” kata Wiro.

“Lah! Kenapa aku?! Bukankah kau tertarik padanya? Kalau kau berada lebih dekat dengan dia, pasti kau bisa melihat dadanya lebih puas…! Enakkan?!”

Pendekar 212 menyeringai. Tiba-tiba dia kerontangkan kaleng rombeng milik Kakek Segala Tahu yang sejak tadi dipegangnya.

“Ah, rupanya yang menolongku seorang tokoh sakti yang kalau aku tidak salah mengucap dipanggil dengan sebutan Kakek Segala Tahu!” kata Dewi Merak Bungsu. “Kakek Segala Tahu keluarlah. Aku sudah sejak lama mendengar nama besarmu. Satu kehormatan kini kau muncul di sini malah jadi tuan penolongku.”

Di balik pohon Kakek Segala Tahu mengomel penjang pendek. “Dasar anak setan!” makinya. Kaleng rombeng dirampasnya dari tangan Wiro. Lalu mau tak mau dia melangkah keluar dari balik pohon.

Begitu si kakek sampai di hadapannya Dewi Merak Bungsu segera membungkuk memberi hormat. “Kakek Segala Tahu, aku sangat berterima kasih. Kalau kau tidak menolongku entah bagaimana jadinya diriku. Rasanya memang lebih baik mati dari pada cacat seperti yang dialami Kebo Pradah…”

“Anak setan itu...”

“Kau mengatakan sesuatu Kek…?”

Kakek Segala Tahu batuk-batuk beberapa kali. “Anu maksudku… Sebetulnya bukan aku yang tadi menolongmu…”

Sepasang alis mata Dewi Merak Bungsu naik ke atas. Keningnya mengerenyit. “Lalu siapa yang telah menolongku?”

“Seorang pemuda sahabatku. Rasa-rasanya dia tertarik padamu. Tapi entah mengapa kemudian dia malu-malu memperlihatkan diri…”

“Aneh. Tapi dia bukan banci kan?”

Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh.

“Siapa namanya?"

“Biar dia saja yang memberitahu. Aku akan panggil dia ke sini.” Lalu Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya. Sesaat kemudian Pendekar 212 Wiro Sableng ke luar dari balik pohon dan melangkah ke arah kedua orang itu.

Sesaat Dewi Merak Bungsu menatap pemuda berambut gondrong itu. Lalu dia tersenyum. “Ternyata kau memang bukan banci,” katanya. Dia menjura lalu berkata. “Tuan penolong, aku sangat berterima kasih, merasa berhutang budi dan nyawa. Kalau aku boleh tahu siapa namamu, pasti akan kukenang seumur hidupku…”

Wiro melirik pada Kakek Segala Tahu. Orang tua buta itu tampak tenang-tenang saja. “Namaku Wiro…”

“Wiro… hemmmm aku rasa-rasa pernah mendengar nama itu…” kata Dewi Merak Bungsu. Dia melangkah mendekati. Kedua matanya memandang ke arah dada si pemuda yang terbuka karena bajunya sebelah atas tersibak. Perempuan muda itu melihat rajah tiga angka di dada si pemuda. Berubahlah parasnya. “Sungguh tidak terduga kalau malam ini aku bisa bertemu sekaligus dengan dua orang tokoh silat tingkat atas! Satu di antaranya menjadi tuan penolongku. Pendekar 212…”

Perempuan itu tidak meneruskan ucapannya. Dia hanya bisa geleng-gelengkan kepala, dalam hati membatin. “Nama besar pemuda ini sudah lama aku dengar. Tadinya kukira usianya paling tidak 50 tahun. Tidak sangka ternyata begini muda. Lebih muda dariku…” Sehabis membatin begitu perempuan muda ini bertanya, “Kakek Segala Tahu dan Pendekar 212, kalau aku boleh tanya mengapa kalian berdua bisa muncul berbarengan di tempat ini?”

Orang tua itu tidak menjawab. Wiro juga berdiam diri.

“Ah, kalau kalian punya suatu yang bersifat rahasia kalian tak usah menjawab pertanyaanku tadi,” kata perempuan muda itu sambil mengerling pada Pendekar 212.

“Kek, bagaimana ini,” berbisik Wiro. “apa kita beritahukan saja? Kita sudah mendengar kalau dia hendak ke kaki Gunung Merapi. Tujuannya sama dengan tujuan kita. Rasa-rasaya masalah yang kita hadapi juga sama… Aku minta petunjukmu.”

“Kukira tak ada salahnya kau terangkan saja,” jawab Kakek Segala Tahu. Saat itu Dewi Merak Bungsu telah melangkah mendekati mayat Kebo pradah.

“Dewi…” Wiro memanggil.

Perempuan itu membalik. “Namaku Kuntini…”

“Begini… Kurasa antara kita tak perlu ada rahasia. Kami sudah mendengar maksudmu membawa Kebo Pradah ke kawasan hutan Tapak Halimun. Kami pun sebenarnya hendak menuju ke sana. Kebo Pradah merupakan satu-satunya kunci yang mampu menyingkap tabir hutan siluman itu. Dalam keadaan mati maupun hidup…”

“Eh, dari mana kau mengetahui hal itu Pendekar 212?” tanya Dewi Merak Bungsu.

“Panggil aku Wiro saja…” jawab murid Sinto Gendeng. “Sebelumnya kami memang sudah menyirap kabar bahwa Kebo Pradah adalah satu-satunya orang yang bisa menolong kami untuk menembus masuk ke dalam alam siluman di kaki Gunung Merapi itu. Waktu kami sampai di sini, diam-diam kami telah mendengar pembicaraan antara Kebo Pradah dengan Pengail Sakti Muka Kuning. Lalu hal itu lebih jelas lagi setelah kami mendengar pembicaraanmu dengan Kebo Pradah tadi…”

Kuntini yang bergelar Dewi Merak Bungsu itu terdiam sesaat. Dia melirik pada Kakek Segala Tahu. “Mengapa kalian ingin masuk ke dalam alam siluman di hutan Tapak Halimun itu?” tanya kemudian.

“Aku ingin menolong seorang sahabat. Dia disekap dan disiksa di tempat itu…” jawab Wiro. “Di samping itu kami ketahui ada beberapa tokoh persilatan telah diculik secara aneh. Kami belum tahu siapa-siapa mereka adanya. Namun kami yakin mereka juga telah jadi korban mahluk-mahluk jahat hutan siluman itu.”

“Siapa sahabatmu itu?”

“Namanya Bunga. Sebenarnya dia juga sudah mati dan hidup di alam gaib…”

Sepasang mata Dewi Merak Bungsu membesar. Keningnya mengerenyit. “Aku tidak mengerti. Sahabatmu itu manusia atau apa…?”

“Kita tidak punya waktu banyak. Kita harus cepat-cepat ke kaki Gunung Merapi. Nanti saja aku menerangkan padamu mengenai sahabatku itu…”

Dewi Merak Bungsu angkat bahunya. “Kalian ke sini membawa kuda?”

“Ada. Kami tinggalkan agak jauh dari sini,” jawab Wiro.

“Aku juga membawa kuda. Aku yakin kakek muka kuning ini datang kemari juga membawa kuda. Binatang itu bisa dipakai untuk membawa mayat Kebo Pradah…”

Kakek Segala Tahu batuk-batuk beberapa kali. “Sebelum pergi, ada dua hal yang ingin kutanyakan padamu Kuntini. Kau boleh menjawab boleh tidak.”

“Ya, tanyakan saja,” kata perempuan muda berdandan mencorong itu. Si kakek kerontangkan dulu kaleng rombengnya membuat Dewi Merak Bungsu terpaksa menutupkan kedua tangannya di telinga kiri dan kanan saking bisingnya. “Mengapa kau ingin masuk ke dalam kawasan hutan siluman itu?” Kakek Segala Tahu ajukan pertanyaannya.

“Aku mencari seseorang. Dia juga jadi korban kebuasan mahluk-mahluk siluman. Apa hal kedua yang ingin kau tanyakan?”

“Kita, maksudku engaku sudah menguasai Kebo Pradah yang katanya merupakan satu-satunya manusia yang bisa membuka tabir dan menembus masuk ke dalam hutan Tapak Halimun. Yang aku ingin tanyakan bagaimana caranya mayat itu nanti bisa melakukan hal itu…?”

“Betul Kuntini,” menyambung Wiro. “Walau kau sudah dapat Kebo Pradah, apakah kau tahu cara memanfaatkan dirinya untuk menembus dan masuk ke dalam hutan siluman itu?”

“Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Tunggu saja setelah kita sampai di kaki Gunung Merapi,” jawab Dewi Merak Bungsu pula.

Kakek Segala Tahu teridam. Wiro pun tak bersuara. Kedua orang itu diam-diam memaklumi kalau Dewi Merak Bungsu masih belum dapat mempercayai mereka.

“Sebaiknya kita berangkat sekarang. Sebentar lagi malam akan berganti siang. Kita tidak bisa melewati jalan biasa. Terlalu menarik perhatian orang karena kita membawa sesosok mayat…” kata Kuntini dan melangkah mendekati mayat Kebo Pradah.

“Biar aku yang menggotongnya. Kau cari saja dulu kudamu,” kata Wiro. Perempuan muda itu mantap Pendekar 212 sesaat lalu tersenyum. “Terima kasih. Kau baik sekali…” Katanya.

********************

SEPULUH

Rombongan Dewi Merak Bungsu sampai di kaki Selatan Gunung Merapi dua hari kemudian. Saat itu matahari baru saja tersembul di permukaan bumi.

“Di sini tempo hari aku coba menembus masuk ke dalam hutan Tapak Halimun,” menerangkan Wiro.

Dewi Merak Bungsu diam saja seolah tidak mendengar. Wiro berpaling pada Kakek Segala Tahu. “Kek,” Wiro berbisik pada orang tua itu. “Kita sudah sampai. Kau tahu kira-kira yang akan dilakukan Kuntini dengan mayat Kebo Pradah agar bisa menembus masuk ke dalam kawasan hutan siluman?”

“Tak bisa kuduga. Baiknya kita menunggu saja,” jawab orang tua itu. Dia membuka capingnya lalu turun dari atas kuda.

Saat itu Dewi Merak Bungsu sudah lebih dulu menjejakkan kaki di tanah. Dia memandang berkeliling. “Hem... Pohon-pohon besar itu tumbuh rapat secara aneh,” katanya dalam hati.

Wiro melompat pula dari kudanya. Dia segera mendekati perempuan itu dan berkata. “Di balik deretan pohon-pohon besar itulah hutan Tapak Halimun. Beberapa waktu yang lalu aku coba melangkah melewati pepohonan itu. tapi aku tertahan oleh satu tembok yang tidak kelihatan. Tembok gaib tak mempan dipukul atau dijebol dengan senjata…”

Dewi Merak Bungsu gigit bibirnya sebelah bawah. “Aku memang sudah mendengar hal itu. tapi belum yakin kalau tidak membuktikan dan melihatnya sendiri!” katanya.

Tangan kanannya bergerak mencabut salah satu dari tujuh lembar bulu burung merak yang menancap di kepalanya. Sesaat benda itu digoyang-goyangkannya di depan wajahnya yang cantik tapi berdandan terlalu tebal. Tiba-tiba didahului suara pekikan nyaring perempuan muda itu lemparkan bulu burung merak itu ke arah pohon terdekat. Bulu burung itu melesat laksana sebilah pisau terbang.

Sesaat lagi bulu itu akan menghantam pohon tiba-tiba terdengar satu ledakan keras. Tiga buah pohon terdekat bergoyang-goyang. Ranting-rantingnya berpatahan. Daun-daun berguguran. Kakek Segala Tahu dan Pendekar 212 Wiro Sableng merasakan tanah yang mereka pijak bergetar. Dari belakang deretan pohon-pohon terdengar suara pekik jerit mengerikan dibarengi oleh suara lolongan anjing panjang sekali.

Empat ekor kuda yang ada di tempat itu meringkik keras dan tampak menjadi liar. Tubuh mayat Kebo Pradah yang ada di atas salah satu seekor kuda itu jatuh bergedebuk ke tanah. Bersamaan degan itu dari arah depan terdengar suara deru angin sedahsyat topan prahara. Bulu burung mreak yang tadi dilemparkan hancur berantakan dan beterbangan di udara menjadi serpihan-serpihan halus.

“Semua tiarap!” teriak Dewi Merak Bungsu lalu jatihkan diri ke tanah. Wiro tarik tangan Kakek Segala Tahu. Keduanya lalu sama-sama mencium tanah.

“Wuusss!!”

Gelombang angin dahsyat yang bersumber pada bulu burung merak yang tadi dilemparkan Dewi Merak Bungsu, kini membalik ke arah tiga orang itu membawa hawa sedingin es! Sapuan angin dingin lewat di atas mereka. Terus menghantam semak belukar serta pepohonan di sebelah sana. Terdengar suara bergemuruh ketika empat pohon besar tumbang sekaligus dan semak belukar berterbangan ke udara dalam keadaan hancur luluh.

“Luar biasa…” Kata Wiro.

“Aku tidak melihat. Tapi aku yakin perempuan itu telah melemparkan satu dari tujuh tusuk konde bulu burung meraknya ke arah dinding gaib kawasan hutan siluman,” kata Kakek Segala Tahu. “Dia bukan hanya merubah bulu burung itu seolah menjadi sebuah senjata, tapi sekaligus melepaskan pukulan sakti dan mengalirkan-nya pada bulu burung. Kalau aku tak salah pukulannya tadi bernama pukulan ratu merak membelah jagat…”

“Aneh juga nama pukulan itu. Ratunya pasti cantik…” Kata Wiro masih bisa berseloroh. Lalu ketika dilihatnya Dewi Merak Bungsu berdiri, dia pun ikut berdiri sambil memegangi tangan Kakek Segala Tahu. Sewaktu memandang berkeliling kagetlah Pendekar 212.

“Eh… aku merasakan tanganmu bergetar. Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Kakek Segala Tahu.

“Empat ekor kuda itu…” jawab Wiro seperlahan mungkin. “Binatang-binatang itu berkaparan di tanah dalam keadaan hancur luluh mengerikan. Dapat kau bayangkan kalau tubuh kita tadi yang kena dihantam angin pukulan ratu merak nekad tadi itu…”

Kakek Segala Tahu tersenyum lalu kerontangkan kalengnya. Ketika dirasakan Dewi Merak Bungsu berpaling ke arahnya si kakek segera berkata, “Kuntini, kita sudah sampai di tempat yang berbatasan dengan hutan Tapak Halimun. Kebo Pradah yang menjadi kunci penyingkap tabir gaib juga ada di sini, di bawah kekuasaanmu. Kalau boleh aku bertanya apa yang akan kau lakukan sekarang?”

“Aku dan juga kalian berdua kalau suka, akan masuk ke dalam hutan siluman itu.”

“Caranya?” tanya Wiro. “Tadi kau telah coba menghantam dengan pukulan Ratu Merak Membelah Jagat tapi gagal.”

“Eh, bagaimana kau tahu nama pukulan itu?” tanya Dewi Merak Bungsu agak kaget.

“Aku menceritakan kehebatan tusuk konde berbentuk bulu burung yang disertai angin pukulan begitu dahsyat. Kakek ini lalu memberitahu padaku nama pukulan itu…”

Dewi Merak Bungsu memandang sesaat pada Kakek Segala Tahu. Tanpa berkata apa-apa dia melangkah mendekati Kebo Pradah. Dengan tangan kirinya dijambaknya rambut mayat lalu mayat yang mengerikan itu dibuatnya tegak. Dengan gerakan cepat Dewi Merak Bungsu kemudian menotok lima bagian tubuh mayat. Setiap totokan mengeluarkan suara.

“Trakkk! Trakkk!” Pertanda bahwa totokan itu menembus daging dan menghancurkan tulang di belakangnya!

“Totokan gila apa pula ini…?” kata Wiro dalam hati keheranan.

Ketika Dewi Merak Bungsu melepaskan jambakannya pada rambut Kebo Pradah, ternyata mayat itu mampu berdiri laksana orang hidup yang tegak dalam keadaan tertotok!

Kakek Segala Tahu dongakkan kepala ke langit sedang Pendekar 212 hanya bisa melongo saking kagumnya. Menotok manusia hidup hingga kaku tegang merupakan satu hal biasa. Tetapi jika perempuan cantik itu mampu menotok orang yang sudah jadi mayat dan membuatnya kaku tegak seperti itu benar-benar luar biasa.

Diam-diam murid Sinto Gendeng menyadari bahwa di dunia ini banyak sekali orang berilmu tinggi yang kepadaiannya jauh di atas dirinya. Selagi Wiro terkagum-kagum seperti itu. Dewi Merak Bungsu ulurkan tangan kanannya mencengkeram dada pakaian Kebo Pradah yang robek. Tangan kirinya diangkat tinggi-tinggi ke atas dengan telapak tangan terkembang. Kedua matanya memandang ke depan tanpa berkedip, ke arah deretan pohon-pohon besar. Lalu dari mulutnya terdengar ucapan lantang.

“Penguasa dan penghuni hutan siluman Tapakhalimun! Aku datang membawa anak manusia berpusar dua. Dia adalah kunci segala kunci. Karena itu harap bukakan pintu! Jangan berani melawan kehendak gaib di atas gaib!” Habis berkata begitu tangan kanan Dewi Merak Bungsu bergerak membetot pakaian Kebo Pradah.

“Brettt!” Baju Kebo Pradah robek besar hingga seluruh dada dan perutnya tersingkap lebar. Wiro pelototkan mata memandang ke arah perut Kebo Pradah. Apa yang tadi diucapkan Dewi Merak Bungsu memang benar. Tidak seperti manusia biasa, Kebo Pradah ternyata memiliki dua buah pusar!

Begitu perut Kebo Pradah tersingkap, dari balik deretan pohon-pohon terdengar suara pekik bersahut-sahutan. Lolongan anjing muncul di mana-mana. Menyusul suara seperti orang mengerang dan di kejauhan ada pula suara tawa orang meringkik seperti kuda!

Tiba-tiba ada dua cahaya biru menyambar ke arah perut Kebo Pradah disertai suara gelegar keras. Begitu menyentuh dua buah pusar terdengar letupan keras dua kali berturut-turut. Asap biru menggebu membungkus tempat itu.

“Kunci segala kunci! Bukakan pintu masuk ke hutan siluman!” terdengar Dewi Merak Bungsu berteriak dalam asap biru yang menutupi sekujur badannya.

Wiro yang merasa kawatir akan terjadi apa-apa yang bisa membahayakan keselamatan dirinya dan si kakek, bertindak waspada. Kedua tangannya siap melepaskan dua pukulan sakti. Kakek Segala Tahu tampaknya tenang-tenang saja seolah tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi saat itu. Malah dalam asap biru dia kerontangkan kalengnya berulang kali hingga suasana jadi tampak tegang mencekam.

Tiba-tiba ada suara menggemuruh. Mula-mula perlahan, makin lama makin keras. Pada puncaknya suara menggemuruh itu tidak beda dengan suara runtuhnya sebuah gunung! Tanah yang dipijak orang-orang itu oleng keras membuat mereka bertiga terpelanting jatuh. Namun anehnya sosok mayat kaku Kebo Pradah tetap saja tegak di tempatnya!

Asap biru yang membungkus tempat itu perlahan-lahan lenyap. Tapi suara teriakan, pekik jerit, lolongan anjing serta suara tawa menggidikkan semakin keras. Sewaktu asap biru benar-benar pupus dua larik cahaya biru masih tetap tinggal, membersit ke arah dua buah pusar di perut Kebo Pradah tampak bergetar keras. Mukanya yang cacat mengkerut seperti menyeringai. Lehernya seolah-olah menjadi panjang. Lalu yang lebih mengerikan mulutnya yang rusak itu keluarkan suara jeritan keras.

Bersamaan dengan itu dua buah cahaya biru yang membersit ke perutnya laksana ditolak oleh satu kekuatan dahsyat membalik ke arah asalnya. Lalu terdengar suara letusan keras. Tubuh Kebo Pradah mental ke udara. Bukan dalam keadaan tercabik-cabik. Darahnya muncrat ke mana-mana, menyiprat ke pakaian Dewi Merak Bungsu, Wiro dan caping Kakek Segala Tahu.

Begitu letusan suara pupus keadaan di tempat itu sunyi senyap seperti di pekuburan. Namun kesunyian ini justru membuat ketegangan yang mengantung di udara menjadi tambah mencekam. Tiba-tiba terdengar suara orang menangis terisak-isak.

“Heh… Siapa yang menangis?” tanya Kakek Segala Tahu celingukan.

“Hanya suara Kek, orangnya tak kelihatan,” jawab Wiro. “Aku…” Murid Sinto Gendeng tidak meneruskan kata-katanya.

Saat itu terdengar suara aneh. Suara seperti sebuah benda berat bergeser ke kiri dan ke kanan. Wiro memandang berkeliling. Astaga! Dia terkejut besar. Pohon-pohon yang banyak berderet-deret seperti membentengi hutan Tapakhalimun lenyap entah ke mana! Kini mereka berada di satu tempat kosong yang serba putih. Tak ada peohonan, semak belukar atau langit. Bahkan mereka tidak tahu tengah berpijak di mana saat itu karena semuanya sebar putih.

Suara gesekan semakin keras. Begitu juga suara tangisan. Dewi Merak Bungsu melirik ke arah Wiro. Perempuan cantik ini tampak berusaha menahan rasa tegang. Tangan kanannya didekatkan ke kepala. Siap untuk mencabut tusuk konde berupa bulu burung merak yang kini tinggal enam lembar. Tiba-tiba...

“Bummmm!”

Satu ledakan menggelegar mengejutkan ketiga orang itu. Tabir putih di hadapan mereka seperti terbelah. Yang sebelah kanan bergeser ke kanan dan yang kiri ke kiri. Dari depan terdengar suara siuran angin. Bukan meniup ke arah tiga orang itu justru menyedot dengan dahsyatnya hingga tak ampun lagi Dewi Merak Bungsu di sebelah depan, menyusul Wiro lalu si Kakek Segala Tahu tersedot, laksana amblas ke satu terowongan yang tidak kelihatan. Ketiganya kelihatan jungkir balik.

Karena mengenakan jubah panjang yang menggelembung, sewaktu tubuhnya melayang di udara sedotan atas tubuh perempuan itu agak tertahan. Wiro yang tadi ada di belakang dan tersedot lebih cepat langsung saja masuk ke dalam jubah itu!

“Manusia kurang ajar! Apa yang kau lakukan ini!” teriak Dewi Merak Bungsu marah sekali.

Kepala Pendekar 212 menyelip di antara kedua pangkal pahanya. Dari dalam jubah terdengar suara Wiro menyahut tapi tidak jelas mengatakan apa. Dewi Merak Bungsu berusaha menendang tubuh Wiro keluar dari dalam pakaiannya namun tidak mudah. Sebelum berhasil tubuhnya bersama tubuh Wiro, menyusul tubuh si kakek tiba-tiba terbanting ke bawah!

“Pemuda kurang ajar! Rasakan ini!” teriak perempuan itu sambil menarik jubahnya ke atas lalu hantamkan lututnya.

Wiro mengeluh tinggi. Perutnya yang kena sodokan lutut seperti mau pecah. Terhuyung-huyung dia keluar dari dalam jubah sambil pegangi perut.

“Ini lagi!” teriak Dewi Merak Bungsu. Kali ini masih dalam keadaan terlentang kaki kanannya di tendangkan ke kepala Pendekar 212. Wiro cepat menangkap betis sang Dewi.

“Aduh mulus dan putihnya. Lembut sekali…” Kata Wiro dalam hati.

“Benar-benar kurang ajar!” teriak Dewi Merak Bungsu. Dia hendak mencabut selembar tusuk konde bulu meraknya. Ketika mau dilemparkan tiba-tiba terdengar bentakan Kakek Segala Tahu.

“Kalian berdua jangan seperti anjing dan kucing! Coba lihat kita berada di mana!”

Wiro melepaskan pegangannya pada betis Dewi Merak Bungsu. Perempuan itu cepat menggulingkan diri. Ketika keduanya memandang berkeliling mereka sama-sama tersentak. Di hadapan mereka ada sebuah bangunan batu berbentuk pintu gerbang. Di sebelah atas pintu gerbang ini ada tulisan berbunyi PINTU NERAKA. Apa yang ada di pintu itu dan sekitarnya membuat Dewi Merak Bungsu dan Wiro jadi merinding.

SEBELAS

Pada dua buah pilar Pintu Neraka bergelantungan belasan ular besar berwarna hitam kelabu. Tubuhnya berupa ular namun kepalanya berwujud kepala setan mengerikan. Di tiang kiri kanan tegak dua mahluk bertubuh tinggi besar dengan tampang angker. Keduanya berkepala botak yang dibasahi dengan darah. Masing-masing memegang sebilah golok api berwarna merah. Sekujur tubuh mahluk yang hanya mengenakan cawat ini penuh dengan kalajengking yang menjalar kian kemari.

Di atas Pintu Neraka duduk berjuntai enam jerangkong. Yang aneh dan mengerikan kepala jerangkong berupa tengkorak ini memiliki sepasang mata merah yang selalu berputar-putar kian kemari. Lalu dari rongga mulutnya mencelat keluar sebuah lidah berwarna merah, sangat panjang dan ujungnya berupa kepala ular!

“Ya Tuhan, apakah kita benar-benar sudah masuk di neraka…?” desis Pendekar 212

“Ceritakan apa yang kau lihat!” kata Kakek Segala Tahu. Wiro segera menerangkan dengan cepat.

“Kita memang sudah berada di jalan menuju kawasan hutan siluman. Kita harus melewati Pintu Neraka itu…”

“Celaka…” bisik Wiro yang masih berada dalam kengerian.

“Apa yang celaka?!” tanya Kakek Segala Tahu. Lalu enaknya saja dia kerontangkan kalengnya. Tapi dia jadi melengak kaget. Bagaimanapun dia mengguncang kaleng rombeng itu dan merasa batu-batu kerikil di dalamnya memukul dinding kaleng, tapi sama sekali tidak ada suara yang keluar! “Kekuatan siluman sungguh luar biasa. Kalengku tak bisa berkerontang…” kata si kakek. Lalu dia berpaling pada Wiro. “Ada apa dengan kau?”

“Baru berada di ambang pintu saja aku sudah mau terkencing-kencing. Bagaimana kalau sampai masuk…”

“Tak ada jalan mundur! Kita harus melewati Pintu Neraka ini!” kata Dewi Merak Bungsu walau nyalinya juga hampir leleh oleh rasa ngeri terutama melihat mahluk ular berkepala manusia yang menyeramkan itu. ketika hendak melangkah, gerakanya tertahan. Dia berpaling pada Wiro dan Kakek Segala Tahu. “Siapa yang masuk duluan…?” Tanyanya.

“Kau saja!” jawab Wiro.

“Sebaiknya kau!” kata sang Dewi.

“Sudah, jangan saling tolak-tolakan. Biar aku yang masuk duluan! Siluman itu pasti tidak tertarik melihat tampang dan keadaanku. Mudah-mudahan mereka tidak menggangguku. Yang disebelah belakangnya biasanya jadi incaran…”

“Kalau begitu biar aku yang masuk duluan!” kata Wiro.

Kakek Segala Tahu mengekeh. Dewi Merak Bungsu membentak halus. “Ini bukan tempat bersuka ria tertawa segala! Kita bertiga bisa mampus kaki ke atas kepala ke bawah!” dia berpaling pada Wiro. “Kau bilang mau jalan duluan. Ayo, tunggu apa lagi?!”

Wiro garuk kepalanya dengan tangan kiri. Tangan kanan mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Sinar terang benderang memenuhi tempat itu. Lalu dengan segala ketabahan dia mendekati tangga Pintu Neraka yang terdiri dari tujuh undakan.

Pada saat kaki kanannya menginjak undakan pertama belasan ular berkepala manusia yang ada pada pilar pintu keluarkan desisan keras lalu berganti dengan teriakan mengerikan. Dari mulut mahluk ini menetes-netes darah kental. Langkah Pendekar 212 tertahan.

Dua mahluk berkepala botak angkat tangannya yang memegang pedang merah. Di atas Pintu Neraka enam jerangkong menggoyang-goyangkan tubuhnya mengeluarkan suara berkeresekan. Kedua tangan diangkat-angkat ke atas, mata berputar liar dan dari mulut yang menyemburkan darah terdengar pekik-pekik melengking tinggi. Sesekali lidah mereka yang panjang dan berbentuk kepala ular itu menjulur ke bawah seperti hendak mematuk Wiro.

“Jalan terus, tak ada yang perlu ditakutkan!” kata Dewi Merak Bungsu seraya mendorong punggung Pendekar 212.

Murid Sinto Gendeng melintangkan senjata mustikanya di depan dada lalu naik ke anak tangga kedua. Tidak terjadi apa-apa. Begitu kakinya menginjak anak tangga ketiga, dua mahluk bercawat melompat ke arahnya sambil menusukkan pedang merah. Luar biasa. Pedang masih belum sampai sinarnya telah melesat ke arah tenggorokan dan dada Wiro.

Pendekar 212 segera lindingi diri dengan menyabatkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke depan. Sinar putih menyilaukan berkiblat disertai deru laksana ribuan tawon mengamuk. Hawa panas yang menampar ke luar dari senjata mustika itu membuat dua mahluk bercawat dan berkepala botak dan berlumuran darah tersurut mundur sambil mengeluarkan teriakan marah. Sepasang mata mereka melompat keluar lalu masuk lagi!

Walau ngeri melihat dua mahluk siluman yang ganas ini tapi Wiro sudah bisa meraba bahwa mereka pun takut melihat serangan kapaknya. Maka dia cepat melompat ke anak tangga keempat. Tidak terjadi apa-apa.

“Tangga berikutnya tangga kelima...” Kata Wiro membatin. “Mahluk-mahluk penjaga Pintu Neraka ini baru bertindak setiap aku menginjakkan kaki di anak tangga ganjil. Jadi aku harus hati-hati…”

Benar saja. Begitu kaki Wiro menyentuh anak tangga kelima, enam jerangkong di atas pintu keluarkan pekikan keras. Lalu keenamnya berlompatan. Dua ke arah Wiro. Dua lainnya mengincar Dewi Merak Bungsu dan dua terakhir melesat ke arah Kakek Segala Tahu! Kembali Kapak Maut Naga Geni 212 membeset udara. Sinar putih berkiblat.

“Wuttt! Wuttt!”

Senjata mustika itu jelas-jelas membabat tubuh dua jerangkong. Tapi sambaran mata kapak seolah menghantam udara kosong, lewat begitu saja. Di kejauhan terdengar suara tawa cekikikan. Dua jerangkong membuat gerakan jumpalitan lalu tiba-tiba sekali melesat kembali menyerang Wiro. Agak gugup Wiro lepaskan pukulan sakti dengan tangan kiri. Jerangkong yang sebelah kiri terangkat ke atas, hancur berantakan di udara dan lenyap.

Saat itu pula serangan jerangkong sebelah kanan sampai. Wiro berteriak keras ketika ujung lidah jerangkong yang berbentuk ular itu mematuk bahu kanannya. Dia merasa seperti ditusuk besi panas. Kapak Maut Naga Geni 212 hampir terlepas dari genggamannya. Darah membasahi bahu baju putihnya.

Dengan terhuyung dia menindak menaiki anak tangga keenam. Aman. Terus pada anak tangga ketujuh yaitu yang terakhir. Sementara itu dua jerangkong yang menyerang Dewi Merak Bungsu disambut perempuan ini dengan mendorongkan kedua telapak tangannya ke atas.

“Wuusss! Wuuss!”

Dua angin deras menyambar ke atas. Dua jerangkong menjerit keras. Keduanya mental berantakan lalu berubah manjadi kepulan asap dan akhirnya sirna. Perempuan ini menarik nafas lega sesaat lalu mengikuti Wiro menaiki tangga ke enam.

“Ada darah di bahumu…” Kata Dewi Merak Bungsu.

“Lidah ular salah satu jerangkong itu sempat mematukku,” jawab Wiro.

Wajahnya pucat. Agak limbung dia menaiki anak tangga ketujuh yakni anak tangga terakhir dari Pintu Neraka. Di atas sana terdengar suitan keras. Satu jerangkong siluman yang tadi menyerangnya kini kembali menyerbu. Wiro segara hendak menghantam dengan Kapak Maut Naga Geni 212.

Di bagian bawah tangga Kakek Segala tahu yang berada paling belakang dan mendapat serangan dua jerangkong dongakkan kepala. Telinganya menangkap suara mendesir. Dia cepat menghantam ke atas dengan tongkatnya. Ujung tongkat menyambar ganas dan dengan tepat mengenai sosok dua jerangkong itu. Namun seperti sewaktu Wiro membabat dengan kapak mustikanya ternyata si kakek juga seolah mengenai udara kosong. Dengan berteriak-teriak sambil menjulurkan lidahnya yang berbentuk kepala ular dua jerangkong kembali menyerbu.

“Oladalah!” seru Kakek Segala Tahu yang maklum kalau serangan tongkatnya gagal dan kini dia jerangkong itu kembali menyerangnya.

Dengan cepat dia tanggalkan caping bambunya. Sekali dia mengibaskan caping itu, satu gelombang angin menderu laksana air bah. Dua jerangkong yang hendak menghujamkan lidah ularnya mencelat mental ke atas. Di udara dua jerangkong ini hancur bercerai berai, mengepulkan asap dan sirna. Kembali pada Pendekar 212 yang mendapat serangan dari sisa jerangkong di tangga ketujuh.

“Jangan pakai senjata!” teriak Dewi Merak Bungsu. “Hantam dengan pukulan tangan kosong!”

Sesaat Wiro terkesiap. “Apa yang dikatakan Kuntini itu agaknya betul. Tadi aku membabat dengan Kapak Maut Naga Geni tidak mempan. Sewaktu kuhantam dengan pukulan benteng topan melanda samudera salah satu dari dua jerangkong itu ambruk…”

Memikir sampai di sini maka murid Eyang Sinto Gendeng segera lepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Satu gelombang angin laksana gulungan batu besar menderu. Jerangkong yang menyerang dari atas seolah tahu kalau dia tak akan mampu menghadapi pukulan sakti itu menjerit keras lal berbalik dan melesat pergi.

Di anak tangga ketujuh Dewi Merak Bungsu memberitahu pada Kakek Segaal Tahu bahwa Wiro terluka bahu kanannya akibat pukulan lidah ular jerangkong siluman. Paras orang tua itu tampak berubah. Dia meraba-raba sekitar ujung capingnya.

“Dia untung. Obat ini masih tersisa satu. Bisa ular siluman seratus kali lebih jahat dari bisa ular biasa… Berikan obat ini padanya dan suruh dia segera menelannya!”

Perempuan itu mengambil obat yang diberikan lalu menyerahkan pada Wiro. Belum sempat obat berbentuk bulat sebesar ujung kelingking itu berpindah tangan, tiba-tiba seekor ular besar berkepala setan yang melilit di pilat pintu sebelah kanan melesat dan berusaha mematuk. Dewi Merak Bungsu terpekik. Saking kagetnya obat itu terlepas dari tangannya, jatuh tepat di tangga ketujuh!

“Wiro lekas ambil!” teriak Dewi Merak Bungsu.

Wiro jatuhkan diri mengambil satu-satunya obat yang bisa menyelamatkan jiwanya itu. namun ular berkepala manusia tadi meluncur lebih cepat. Pada saat Wiro berhasil memegang obat , pada detik itu pula ular siluman membuka mulutnya besar-besar.

Kepala Pendekar 212 hanya setengah jengkal saja dari hadapannya. Dalam keadaan genting begitu rupa, sebelum kepala Wiro sempat dilahap ular siluman, ujung tongkat Kakek Segala Tahu dengan keras memukul putus ujung ekor binatang ini. Ular siluman keluarkan jeritan seperti raungan anjing di malam buta. Dia sabatkan ekornya ke arah si kakek.

Orang tua ini cepat rundukkan kepala. Tongkatnya kembali berkelebat. Terdengar lagi raungan seperti anjing itu. Ujung tongkat Kakek Segala Tahu menancap tepat di leher ular siluman. Darah menyembur. Si kakek menghindar agar tidak kecipratan. Ular siluman itu bergelimang darah menyentak-nyentak di atas tangga Pintu Neraka. Wiro berguling memasuki Pintu Neraka sambil menelan obat yang berhasil diambilnya sementara Dewi Merak Bungsu cepat menarik tangan Kakek Segala Tahu lalu keduanya melompat melewati Pintu Neraka.

DUA BELAS

Selewatnya Pintu Neraka ketiga orang itu berada di satu rimba belantara ditumbuhi pohon-poon besar dan semak belukar aneh. Keadaanya redup sekali dan udara terasa dingin. Kesunyian yang mencekam justru menimbulkan suasana tambah menggidikkan.

Kakek Segala Tahu mendongak. “Aneh…” katanya. “Tak ada suara barang sedikitpun. Bahkan suara siliran angin tidak terdengar. Kita harus berhati-hati… Mungkin kita akan berkubur di sini atau mati dan ikut jadi siluman…”

Wiro dan Kuntini saling berpandangan dengan wajah tegang. “Apa yang kalian lihat?” si kakek bertanya.

“Pohon-pohon besar di mana-mana. Semak belukar setinggi langit seperti jaring. Batu-batu besar menyerupai binatang purba…” Yang menjawab Dewi Merak Bungsu.

“Apa lagi?” tanya Kakek Segala Tahu.

“Hanya itu…” sahut Wiro.

“Tak ada hantu atau siluman yang muncul?”

“Tidak,” jawab Wiro dan Kuntini berbarengan.

Kakek Segala Tahu coba kerontangkan kalengnya. Tetap tak mau berbunyi. “Hem... Keadaan di tempat ini benar-benar berbahaya. Hati-hatilah. Kita bisa mati mendadak di sini. Satu hal harus kalian ingat. Kita harus tetap bersama. Jangan sampai tercerai…” Baru saja orang tua ini berkata begitu tiba-tiba terdengar suara.

“Wusss!”

Disusul dengan munculnya sinar merah benderang. Wiro dan Kuntini keluarkan seruan tertahan.

“Ada apa…?” Tanya Kakek Segala Tahu sambil melintangkan tongkat kayu di depan dada.

“Satu pohon besar tiba-tiba saja terbakar. Gejolak apinya laksana menjulang langit…” Menerangkan Dewi Merak Bungsu.

“Tak dapat kuketahui apa artinya ini…” kara si kakek pula dan berusaha berpikir memecahkan arti keanehan itu.

“Ada bayangan orang di atas pohon. Di dalam api!” teriak Dewi Merak Bungsu.

“Astaga! Itu Bunga sahabatku!” teriak Wiro seraya lari ke arah pohon. Si kakek dan Kuntini segera mengikuti.

Di atas salah satu cabang pohon besar yang dilamun api itu kelihatan sosok tubuh seorang perempuan berambut panjang. Wajahnya cantik tapi sangat pucat dan pakaiannya penuh darah. Seperti yang dilihat Wiro sebelumnya gadis ini berada dalam keadaan terikat. Namun tonggak kayu di mana dia diikatkan tidak kelihatan lagi.

Sepasang mata Bunga tampak sangat ketakutan. Mulutnya terbuka. “Wiro... Wiro…”

“Bunga!” teriak Pendekar 212. Seperti kalap pendekar ini hendak memanjat pohon. Tapi begitu hawa panas menyengat sekujur tubuhnya dia jadi tak berdaya dan terpaksa melangkah mundur.

Di atas pohon kembali terdengar suara Bunga memanggil memelas. “Wiro... Tolong… Aku tak tahan lagi…”

Pendekar 212 bantingkan kakinya. Kapak Maut Naga Geni 212 digenggamnya erat-erat. Tapi senjata itu tak akan ada gunanya.

“Wiro, kita tak dapat menolong sahabatmu itu. Api di pohon besar sekali…” Kakek Segala Tahu yang diam-diam sudah dapat membaca keadaan bertanya.

“Api di pohon, apakah membakar tubuh, rambut atau pakaian sahabatmu itu…?”

“Ti… Tidak. Memang tidak…” Jawab Wiro melotot.

“Berarti dia bukan sahabatmu sungguhan!” juar Kakek Segala Tahu.

“Dia siluman!” kata Dewi Merak Bungsu pula.

“Aku tidak percaya. Aku sudah melihat keadaannya seperti itu sebelumnya…” Jawab Wiro. Dengan nekad dia maju beberapa langkah lalu berteriak. “Bunga! Jatuhkan dirimu dari atas pohon! Jatuhkan dirimu! Aku akan menangkapmu di bawah sini!”

“Tolong… Tolong aku Wiro…”

“Jatuhkan dirimu!” teriak Wiro lagi.

“Sambut aku Wiro… Aku akan jatuhkan diri…” Kata Bunga dari atas pohon.

Lalu tampak gadis itu menggeliatkan tubuhnya. Begitu kedua kakinya bergeswe dari cabang pohon yang dipijaknya tubuhnya langsung melayang jatuh ke bawah! Pendekar 212 Wiro Sableng rentangkan tangan mengatur tempat tegaknya agar bisa menyambut tubuh Bunga yang jatuh itu dengan tepat.

“Blukkk!” Tubuh Bunga jatuh tepat dalam pelukan Wiro.

“Syukur…” Kata Wiro lega. “Kau selamat Bunga. Aku akan membawa kau keluar dari tempat jahanam ini!”

Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara raungan anjing. Bersamaan dengan itu keadaan menjadi tambah redup. Lalu menyusul suara tawa cekikikan menggidikkan. Dewi Merak Bungsu diam-diam merasa cemburu melihat Pendekar 212 memeluk gadis cantik itu tiba-tiba berseru kaget ketika melihat gadis yang dipeluk Wiro berubah menjadi sosok raksesi. Menyeringai mengerikan mencuat keluar, bergelimang darah.

“Wiro! Lemparkan gadis itu! Dia bukan sahabatmu!” teriak Dewi Merak Bungsu.

Tapi terlambat. Raksesi dalam pelukan Wiro gerakkan kepalanya. Mulutnya ditempelkan ke leher Pendekar 212. Murid Eyang Sinto Gendeng menjerit keras. Darah muncrat dari lehernya. Tubuh yang dipeluknya langsug dibantingkan ke tanah.

“Hik Hik Hik…!” Raksesi cepat bangkit berdiri dan julurkan lidahnya yang bergelimang darah.

Darah itu disemburkannya ke arah Kuntini lalu didahului dengan raungan panjang dia melompat ke arah Wiro. Kedua tangannya berkelebat lebih dulu. Ternyata dua tangan raksesi ini memiliki jari sebesar pisang dengan kuku-kukunya hitam panjang sekali. Dalam keadaan masih tegang oleh rasa kaget serta luka di leher dan sebelumnya di bahu, Wiro seperti tak berdaya dan bertindak lamban. Saat itu pula jari tangan berkuku panjang menyambar ke lehernya!

Dalam keadaan gawat seperti itu di mana nyawa Pendekar 212 hanya tinggal seujung rambut tiba-tiba dari samping melesat sebuah benda memancarkan sinar aneka warna disertai suara menggemuruh. Bulu merak sakti!

Raksesi yang hendak mencengkeram leher Pendekar 212 keluarkan jeritan tinggi dan berusaha menghindar. Namun bagian tajam dari bulu burung merak yang dilemparkan Dewi Merak Bungsu keburu menghantam keningnya! Kepala raksesi itu hancur berkeping-keping. Hancurnya menyiprat ke muka dan tubuh Pendekar 212. Sebelum tubuh raksesi siluman itu lenyap terlebih dulu terdengar suara raungan disertai suara lolongan anjing di kejauhan.

Wiro usap mukanya. Kedua kakinya goyah. Dia jatuh berlutut. Wajahnya tampak pucat. Dia memandang pada Dewi Merak Bungsu. “Kuntini… Terima kasih. Kau menyelamatkan jiwaku…”

“Kau belum lolos dari kematian…” Jawab Dewi Merak Bungsu.

“Apa maksudmu?”

“Luka di lehermu bekas gigitan mahluk siluman itu cukup parah…”

“Mari kuperiksa lukamu…” Kata Kakek Segala Tahu yang tadi ikut hanyut dalam ketegangan. Dengan ujung tongkatnya diraba dan ditusuk-tusuknya luka bekas gigitan di leher Pendekar 212 hingga pemuda ini menjerit kesakitan.

“Hem... Untung tak ada urat yang putus. Lebih untung lagi gigitan itu tidak beracun. Biar kutotok agar darahnya berhenti!”

Kakek Segala Tahu tusukkan ujung tongkatnya dua kali berturut-turut. Wiro meringis kesakitan. Luka di lehernya seperti bertaut kembali dan darah berhenti mengucur. Dewi Merak Bungsu ulurkan tangan kirinya menolong Wiro berdiri. Sambil pegangi lehernya Wiro berkata,

“Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kau mungkin benar Kek, kita akan mati di sini dan ikut jadi siluman…”

Baru saja ucapan Wiro berakhir tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak laksana guntur mengguncang bumi. Suara tawa itu menggema panjang mengerikan.

“Pendekar 212 Wiro Sableng… Kau dan dua kawanmu telah memasuki Pintu Neraka Kerajaan Siluman! Sekali masuk tak ada jalan keluar… Ha ha ha!”

“Heh… Siapa yang tertawa dan bicara itu?” tanya Kakek Segala Tahu.

“Orangnya tak kelihatan. Dari mana arahnya pun sulit dicari….” jawab Wiro.

“Pendekar 212! Membunuhmu saat ini semudah membalik telapak tangan! Tapi aku ingin menyiksa kau lebih dulu sampai puas! Ha Ha ha!”

“Keparat! Siapa kau! Coba unjukkan diri!” berntak Wiro.

Jawaban hanyalah suara tertawa. “Ha ha ha!”

“Mahluk pengecut! Tak berani memperlihatkan diri! Siluman keparat!” teriak Wiro.

“Ha ha ha! Aku berada di dekatmu Wiro! Dekat sekali! Dari tahta Kerajaan Siluman aku akan menyaksikan dirimu tersiksa dalam ketakutan. Lalu.

“Blammm! baru kubunuh dirimu! Ha ha ha…!” Suara tawa lenyap. Tempat itu kembali sunyi.

“Kau tidak mengenali suara orang tadi yang bicara dan tertawa itu?” bertanya Dewi Merak Bungsu.

“Sulit sekali. Suara gemanya terlalu tinggi dan panjang…” Jawab Wiro.

“Itu tantangan jadi seorang pendekar dalam dunia persilatan…” Terdengar Kakek Segala Tahu berkata. “Kita akan punya banyak musuh. Begitu banyaknya hingga kita tidak mengenali lagi suaranya. Bahkan kalau ketemu muka mungkin kita lupa. Setelah dibokong dan sekarat meregang nyawa baru kita ingat. Tapi sudah terlambat…” Ucapan Kakek Segala Tahu terputus. Di belakang mereka terdengar suara menggemuruh seperti ada ombak menggulung menyerbu. Tiga orang itu cepat membalik.

“Ada gelombang air menyerbu ke jurusan kita!” seru Wiro.

“Cairan berwarna merah…!” Pekik Dewi Merak Bungsu.

“Aku mencium amisnya bau darah!” teriak Kakek Segala Tahu tegang.

“Gelombang air itu! Astaga. Itu memang darah!” teriak Wiro.

“Darah mendidih!” jerit Dewi Merak Bungsu. “Kita harus selamatkan diri!”

“Cari tempat ketinggian!” teriak Kakek Segala Tahu.

Wiro dan Dewi Merak Bungsu memandang berkeliling.

“Di sebelah sana ada kawasan berbatu-batu. Tapi letaknya tak lebih tinggi dari tempat ini… Celaka!” seru Dewi Merak Bungsu.

“Kita naik saja ke atas pohon!” teriak Kakek Segala Tahu dan siap-siap hendak melompat.

“Lebih celaka!” seru Wiro.

“Apa yang lebih celaka?!”

“Semua pohon kini dipenuhi puluhan ular siluman. Bahkan ratusan kalajengking…”

“Ah, kalau begitu kita pasrah saja. Kematian sudah di ambang mata!” kata Kakek Segala Tahu.

“Jangan pasrah macam orang tolol!” teriak Wiro. “Ayo lari dari sini. Jauhi gelombang darah mendidih itu…!”

Tiba-tiba terdengar suara. “Grokkk! Grokkk! Gokkk!”

“Heh… suara malaikat mautkah itu?” ujar Kakek Segala Tahu yang membuat Wiro dan Dewi Merak Bungsu mau rasanya memaki panjang pendek.

Di hadapan ketiga orang itu melayang satu sosok siluman. Mahluk satu ini hanya mengenakan cawat. Tua dan berkepala panjang seperti pepaya. Sekujur tubuhnya penuh luka-luka. Darah membasahi badannya. Kedua matanya memberojol keluar sperti mau tanggal. Sepasang telinganya lancip mencuat ke atas. Lidahnya terjulur panjang dan pada lidah ini menancap sepotong besi runsing. Potongan besi kedua menyatai telinganya dari kiri ke kanan. Di lehernya ada sebuah lobang besar yang terus menerus mengucurkan darah.

Dari lobang ini keluar suara grookk... grokkk. Itu! Kedua tangan dan kakinya terikat dengan rantai besi panas membara. Ketika mahluk ini hendak mendekati Dewi Merak Bungsu, perempuan ini cepat cabut bulu merak yang dijadikannya tusuk konde dan merupakan senjata sakti luar biasa. Begitu dia hendak menghantam Wiro dengan cepat mencegah.

“Jangan!”

“Heh! Kau sudah gila! Siluman ini hendak membunuhku dan kau menghalangi!”

“Dia bukan siluman jahat! Mahluk ini yang dulu menolongku. Memberi petunjuk agar mencari Kakek Segala Tahu. Dia tidak bisa bicara. Dia menuliskan pesan dengan darahnya! Hanya heran. Kenapa sekarang tangannya tidak buntung?!”

“Kau tidak bergurau!”

“Edan! Masakan dalam keadaan seperti ini aku mau bergurau!” teriak Wiro.

Mahluk siluman masih terus berputar-putar mengelilingi mereka sambil mengeluarkan suara “grokkk... grokkk!” sementara gelombang air bah cairan darah mendidih dan berbau sangat busuk semakin dekat. Tiba-tiba mahluk siluman itu melesat ke kiri. Di sini dia berputar dua kali, lalu melesat lagi. Demikian dilakukannya berkali-kali.

“Aku tahu! Mahluk itu memberi isyarat agar kita mengikutinya!” teriak Wiro.

“Ayo! Tunggu apa lagi!” Wiro pegang tangan Kakek Segala Tahu dan Dewi Merak Bungsu.

“Jangan-jangan mahluk itu hendak menjebak kita! Di tempat ini kita tidak tahu mana kawan mana siluman!” kata Dewi Merak Bungsu bimbang. Namun ketika dilihatnya gelombang darah mendidih semakin dekat, mau tak mau perempuan ini akhirnya lari juga mengikuti Wiro dan Kakek Segala Tahu.

TIGA BELAS

Mahluk siluman itu melayang ke arah deretan tujuh buah pohon besar yang batang dan cabang-cabangnya hampir tertutup oleh akar-akar gantung. Tiga orang di belakangnya mengikuti dengan rasa takut dan juga bimbang. Bukan mustahil seperti yang dikatakan Dewi Merak Bungsu tadi mahluk ini hendak menjebak mereka menuju maut.

Di balik deretan tujuh pohon besar kelihatan sebuah daerah berbatu-batu yang makin ke sebelah sana semakin tinggi. Lalu di puncak bebatuan ini terdapat beberapa buah gundukan batu besar. Seperti terbang mahluk siluman itu melesat ke arah salah satu gundukan batu.

“Lihat! Di atas sana ada gundukan batu membentuk goa!” seru Wiro. “Mahluk itu memberi isyarat aga kita lari menuju goa itu!”

Di belakang mereka suara gelombang cairan darah terdengar menggemuruh sewaktu melewati celah-celah tujuh pohon besar.

“Lekas naik ke bukit batu!” teirak Wiro. Kakek Segala Tahu lepaskan pegangannya dari tangan Wiro. Walaupun kedua matanya buta tapi dengan cekatan orang tua sakti ini melompat enteng dan sebat hingga akhirnya dia sampai di puncak gundukan batu dan masuk ke dalam goa lebih dulu. Baru menyusul Wiro dan Dewi Merak Bungsu.

“Grokkk-Grokkk-Grokkkk!”

Mahluk siluman yang menolong tegak di atap goa. Tiba-tiba di kejauhan kelihatan dua sosok besar melayang di udara. Ternyata mereka adalah mahluk siluman perempuan yang hanya mengenakan cawat. Payudara mereka gundal-gandil kian kemari. Rambutnya riap-riapan penuh dengan ular-ular kecil. Di tangan masing-masing ada sebilah golok merah menyala. Pendekar 212 cepa menarik sebuah batu besar dan menutupi mulut goa.

“Bantu aku… Tarik batu-batu itu…” katanya pada Dewi Merak Bungsu. Di atas atap goa, begitu melihat dua siluman perempuan telanjang itu mendatangi, siluman penolong keluarkan suara seperti meratap lalu cepat-cepat berkelebat dan menghilang.

“Hak-huk-Hak-huk!” Dua siluman perempuan sampai di depan goa mengeluarkan suara aneh. Keduanya tampak seperti memeriksa tempat itu. Wiro dan Dewi Merak bungsu serta Kakek Segala Tahu yang berada di sebelah dalam goa menjatuhkan diri sama rata dengan lantai goa.

“Hak-huk-Hak-huk!” Dua siluman perempuan itu masih melayang-layang diatas goa.

“Celaka! Kalau mereka sampai mengetahui kita ada di sini, tamat riwayat kita!” bisik Wiro pada Dewi Merak Bungsu.

“Aku tidak mengerti. Mengapa siluman yang lidahnya ditancap besi itu menolong kita. Lalu siapa pula dua siluman perempuan telanjang ini…”

“Kelihatannya mereka seperti pengawal. Mereka yang dulu menambus siluman penolong itu dengan pedang menyala. Sampai isi perutnya berojol keluar…”

“Aku tidak mengerti…”

“Nanti saja aku ceritakan,” kata Wiro.

Di luar goa masih terdengar suara hak huk hak huk dua siluman perempuan itu. tak lama kemudian keduanya tampak berkelebat di udara lalu lenyap. Di bawah sana gelombang banjir darah mendidih telah mencapai kaki bebatuan. Makin lama makin tinggi. Bergerak mendekati goa di mana tiga orang itu berada. Wiro coba mengintip diantara celah-celah batu. Dewi Merak Bungsu melihat perubahan wajah pemuda ini dan bertanya.

“Ada apa…?”

“Air darah. Naik semakin tinggi. Hanya tinggal beberapa jengkal saja dari mulut goa…”

“Kalau begitu kita harus keluar dari sini. Apa kataku! Siluman yang kau katakan sebagai penolong itu ternyata menjebak kita ditempat ini!” Dewi Merak Bungsu bergerak hendak berdiri.

“Tunggu!” kata Kakek Segala Tahu. “Telingaku menangkap suara gelombang air darah mendidih berhenti di arah hulu. Berarti tak ada lagi cairan yang akan mengalir ke sini…”

Wiro dan sang Dewi sama-sama mengintip. Memang benar. Ternyata cairan darah tidak bertambah tinggi. Gelombangnya pun menyurut. “Aku tak bisa tenang. Kita tak bisa terus menerus berada di sini…”

“Mau tak mau. Kita terpaksa menunggu sampai air darah surut…” Kata Wiro.

“Aku mengantuk…” Kata Kakek Segala Tahu lalu menguap. “Jangan-jangan sekarang sudah malam.”

“Di Kerajaan siluman tak pernah ada malam hari…” jawab Dewi Merak Bungsu. Tapi saat itu dia sendiri sebenarnya juga sudah mengantuk selain letih. Dia mengerling pada Wiro. “Kau mengantuk…?” Bisiknya bertanya sementara di belakang mereka di bagian goa sebelah dalam si kakek terdengar sudah mendengkur.

“Kalau kau mengantuk, aku sebenarnya juga ingin tidur. Tapi kupikir-pikir rugi kalau dalam keadaan seperti ini, berada dekat orang cantik sepertimu aku harus tidur segala…” Jawab Wiro sambil senyum-senyum.

“Aku memang sudah dengar tentang kekonyolanmu. Tapi ternyata kau bukan cuma konyol, malah juga sableng seperti namamu. Bagaimana mungkin dalam keadaan dijepit maut seperti ini, di kawasan hutan siluman begini rupa kau masih bisa bicara tidak karuan seperti itu…”

“Jadi kau mau tidur ngorok seperti kakek itu. aku juga tidur nyenyak. Lalu kalau siluman yang datang menyerbu kita mati semua. Enak juga ya mati konyol seperti itu…!”

Dewi Merak Bungsu terdiam.

“Heiiiii…” bisik Wiro.

“Apa lagi?”

“Kau tahu, wajahmu cantik sekali. Apa perlunya berdandan tebal-tebal seperti ini?”

Paras perempuan muda itu menjadi sangat merah karena jengah. “Apa… Apa betul aku cantik…?”

Wiro mengangguk. Anggukannya ini membuat hidungnya mengusap pipi Dewi Merak Bungsu. “Dingin sekali dalam goa ini…” kata perempuan itu.

Wiro menggeser tubuhnya lebih rapat. Tangannya diletakkan di punggung Dewi Merak Bungsu. Perempuan itu diam saja. Lalu terdengar dia bertanya. “Gadis yang hendak kau tolong itu… Dia kekasihmu atau apa…?”

“Sulit mengatakan. Mungkin ya, mungkin juga tidak.”

“Mengapa kau bilang begitu?"

“Soalnya dia sebenarnya sudah mati. Diracun oleh calon suaminya sendiri. Kini dia hidup dalam alam lain…”

“Keanehan yang aku tidak mengerti…”

“Lalu kau sendiri yang kau cari di Kerajaan Siluman ini?”

“Seseorang. Aku tak ingin membicarakannya sekarang…”

Dewi Merak Bungsu balikkan badannya. Dadanya yang membusung tersingkap lebar. Wiro merasa seperti kesilauan. Dilihatnya perempuan itu memejamkan kedua matanya.

“Gila, dia seperti memberikan kesempatan. Apakah aku harus menyia-nyiakan…?”

Perlahan-lahan Wiro turunkan kepalanya. Hidungnya menyentuh buah dada perempuan muda itu. Nafasnya menghangati permukaan dada Dewi Merak Bungsu.

“Wiro, apakah kita bisa keluar dari tempat celaka ini?”

“Aku tak tahu Kuntini. Hanya Tuhan yang bisa menolong kita.”

“Aku tengah berdoa…” bisik perempuan itu.

“Apa doamu?” tanya Wiro.

“Selain minta selamat aku juga berdoa kalau berhasil keluar dari tempat ini aku ingin bersamamu…”

Wiro mengangkat kepalanya dan menatap paras Dewi Merak Bungsu dengan pandangan heran. Saat itu dirasakannya degupan jantung perempuan itu mengeras. Lalu tangan kanan Dewi Merak Bungsu mengelus kepalanya, mendorong ke bawah hingga kembali wajah Pendekar 212 menyentuh dadanya.

Ketika Wiro dan Dewi Merak Bungsu terbangun Kakek Segala tahu masih mengorok. Mereka tak tahu entah berapa lama mereka tertidur dalam goa itu. Dewi merak Bungsu merapikan pakaiannya. Lalu membalikkan tubuhnya dan merangkul Pendekar 212. Dia berbisik hangat.

“Tak pernah aku merasakan sebahagia ini…”

Di dalam goa terdengar suara terbatuk-batuk.

“Kek, kau sudah bangun?” tanya Wiro.

“Ya… Ya aku sudah bangun. Aku terbangun oleh suara-suara getaran pada batu goa. Coba kalian mengintai keluar. Aku curiga sesuatu tengah terjadi di luar sana…”

Tiba-tiba di luar terdengar suara mengggelegar keras laksana suara guntur. Goa di mana mereka berada terasa goyang. Lalu ada suara teriakan-teriakan mengerikan dibarengi suara raungan anjing serta tawa cekikikan yang menegakkan bulu roma. Mendadak semua suara itu sirap. Yang terdengar kini adalah suara orang berucap, menggelegar dan menggema panjang.

“Tiga manusia dalam goa keluarlah! Kalian sudah terkurung. Tak mungkin terus bersembunyi! Tak mungkin keluar hidup-hidup dari dalam Kerajaan Siluman Tapak Halimun!”

“Suara itu sama dengan suara orang beberapa waktu lalu…!” Kata Dewi Merak Bungsu sambil memegang jari-jari tangan Pendekar 212. Keduanya lalu menggeser batu-batu besar yang menutupi mulut goa.

“Astaga…” Dewi Merak Bungsu terpekik kecil.

“Apa yang kalian lihat?” tanya Kakek Segala Tahu.

“Kek, agaknya kita memang akan sama-sama mati di tempat ini. Seluruh kawasan telah dikurung ratusan siluman berbagai bentuk. Mereka berdiri di puncak-puncak batu, di atas pohon, di seluruh tempat!” suara Wiro bergetar.

Kakek Segala Tahu menyeruak ke mulut goa. “Apa lagi yang kalian lihat?!” tanyanya kemudian.

“Cairan darah mendidih itu lenyap. Tepat di depan kita ada sebuah bukit batu. Di puncak bukit ada sebuah tempat duduk memancarkan sinar kuning menyilaukan. Agaknya terbuat dari emas. Di atas kursi emas itu duduk seorang berjubah hijau…”

“Kau mengenali siapa dia…?” tanya Kakek Segala Tahu.

“Selain jauh, dia mengenakan caping. Bagian bawah caping sebelah depan diberi lindungan kain jarang…” Wiro hentikan ucapannya.

Dewi Merak Bungsu ganti memberitahu. “Di sekeliling orang yang duduk di kursi emas itu terdapat enam ekor anjing besar bertaring panjang. Lalu ada dua belas siluman bersikap sebagai pengawal. Enam diantaranya siluman perempuan tanpa pakaian, hanya mengenakan cawat…”

“Sayang mataku buta! Hingga tak dapat menyaksikan pemandangan bagus itu!” kata Kakek Segala Tahu. Lalu dia berkata. “Jika ada seorang duduk di kursi emas. Dikelilingi pengawal binatang dan siluman berarti dialah Raja Siluman, penguasa di tempat jahanam ini! kalian ingat apa ucapannya beberapa waktu lalu? Dari tahta Kerajaan Siluman aku akan menyaksikan dirimu tersiksa dalam ketakutan. Lalu blaaam! Baru kubunuh dirimu! Jadi jelas dia memang Raja penguasa hutan siluman ini!”

“Berarti satu-satunya jalan untuk selamat adalah kita harus membunuh Raja Siluman itu!” kata Dewi Merak Bungsu.

“Belum tentu,” jawab Kakek Segala Tahu.”Siluman tak bisa dibunuh. Mereka bisa dihancur leburkan tapi kelak akan muncul lagi dalam bentuk semula atau berubah bentuk. Coba kalian perhatikan orang yang duduk di atas kursi emas itu, apakah kedua kakinya menginjak batu di bawahnya atau melayang?!”

Wiro dan Dewi Merak Bungau membuka mata lebar-lebar. “Kedua kakinya memakai kasut. Kasut itu menempel di batu!” menerangkan Wiro atas apa yang dilihatnya.

“Berarti dia bukan siluman. Bukan hantu atau setan. Tapi manusia seperti kita juga! Berarti dia memiliki satu kekuatan sakti luar biasa yang mampu menguasai kawasan hutan Tapak Halimun serta seluruh isinya…”

Di luar sana orang berjubah hijau dan duduk di atas kursi keluarkan suara mendengus. “Keparat, mereka masih berusaha bertahan di dalam goa itu. Aku akan berteriak lagi. Kalau mereka tidak keluar juga akan kulepaskan anjing-anjing siluman!” Lalu orang ini kempeskan perutnya tanda dia mengerahkan tenaga dalam. Sesaat kemudian terdengar suaranya menggelegar.

“Pendekar 212! Saatmu habis! Kalau kau dan dua kawanmu tidak segera keluar, kami akan datang menjemput!”

“Sebaiknya kita keluar saja… Wiro kalau kita mendekat ke tempat penguasa keparat itu, beritahu padaku setiap apa saja yang kau lihat. Terutama yang ada pada dirinya,” kata Kakek Segala Tahu. Lalu dia mendahului melangkah ke mulut goa. Wiro dan Dewi Merak Bungsu saling pandang.

“Kalau aku mati, aku ingin mati bersamamu…” bisik perempuan muda itu.

“Kita tidak akan mati. Tuhan akan menolong kita…” Jawab Wiro.

“Setelah kita berbuat dosa di goa ini…?” ujar Dewi Merak Bungsu pula.

“Sssstttt… Jangan keras-keras. Nanti terdengar oleh orang tua itu,” kata Wiro. Lalu ditariknya tangan Dewi Merak Bungsu.

Di atas kursi emasnya, penguasa hutan siluman rupanya tidak sabaran. Dia menjentikkan jari-jari tangannya tiga kali berturut-turut. “Jemput mereka! Bawa ke hadapanku!”

EMPAT BELAS

Tiga ekor anjing siluman yang perawakannya seram hampir sebesar anak kerbau meraung keras lalu melompat dan melesat menuruni bukit batu. Hanya dalam beberapa kejapan saja tiga binatang ini sudah berada di puncak bukit batu di mana goa terletak dan tiga orang itu baru saja bergeak ke luar.

“Awas anjing siluman!” teriak Dewi Mreak Bungsu.

Namun terlambat. Sebelum mereka sempat melakukan sesuatu tiga ekor anjing siluman itu telah menggigit leher pakaian mereka lalu laksana terbang binatang-binatang siluman ini melarikan kereka ke arah bukit batu. Sepuluh langkah dari kursi emas tempat si penguasa duduk ketiga orang iu dijatuhkan di atas batu.

“Ha ha ha! Tidak kusangka satu di antara kalian ternyata adalah seorang perempuan cantik!” seru Raja Siluman. “Siapa namamu? Mengapa tersesat ikut pemuda tolol ini kesini?”

“Aku Dewi Merak Bungsu! Aku ke mari mencari seorang bernama Singa Lodra… Kau telah menculik dan menyekapnya ditempat celaka ini!”

Enam ekor anjing siluman menyalak keras. Puluhan siluman lainnya keluarkan jeritan. Rupanya mereka tidak senang mendengar Dewi Merak Bungsu menyebut tempat itu sebagai tempat celaka. Orang di atas kursi tertawa lebar.

“Di sini banyak sekali tawanan. Aku tidak ingat lagi yang mana bernama Singa Lodra. Apa hubunganmu dengan orang ini?!”

“Dia kakakku!”

“Ah! Kalau dia kakakmu, aku pasti akan melepaskannya. Asal kau mau mengikuti segala kemauanku!”

“Cis! Siapa sudi turut kemauan siluman macammu! Lekas katakan di mana kau sekap kakakku itu! juga para tokoh silat lainnya!”

Orang di atas kursi tertawa bergelak. Sewaktu orang itu bicara dengan Dewi Merak Bungsu, diam-diam Wiro berbisik pada Kakek Segala Tahu. Menceritakan apa yang dilihatnya.

“Aku masih belum bisa melihat tampang keparat itu, Kek. Tapi suaranya aku rasa-rasa pernah mendengar. Dia mengenakan jubah hijau. Aku yakin di balik jubah ini dia mengenakan jubah lain…”

“Dengar…” Balas berbisik Kakek Segala Tahu. “Mata butaku menangkap kilapan sinar putih berasal dari orang itu. Coba kau perhatikan. Mungkin di pinggangnya dia menyelipkan senjata mustika, atau memakai kalung permata. Apa saja. Perhiasan, batu permata…”

Wiro memperhatikan dengan teliti. Tak ada kalung, tak ada senjata mustika, juga tak ada gelang. Tapi! “Kek, aku melihat ada sebentuk cincin aneh di kelingking jari tangan kanannya. Aku seperti pernah melihat benda ini sebelumnya. Astaga! Ya Tuhan… Mana mungkin!”

“Kau mengenali cincin itu?” tanya Kakek Segala Tahu.

“Aku tidak salah lihat! Benda itu dikenal dengan nama Cincin Warisan Setan. Terbuat dari baja putih berbentuk kepala ular sendok!”

“Oladalah! Cincin maha sakti itu! Kau tak salah lihat?!”

“Tidak Kek. Aku merasa pasti. Itu benar-benar Cincin Warisan Setan.”

Si kakek gelengkan kepala. “Kau ingat waktu dulu kita merampas cincin bahala itu dari tangan Randu Ireng sehabis dia diakali oleh Ratu Mesum. Lalu aku sendiri yang membuang cincin pembawa malapetaka itu ke dalam laut di pantai Selatan. Kenapa kini muncul dan tahu-tahu berada di tangan orang tak dikenal itu?! Berarti cincin itulah yang menjadi kekuatan dirinya untuk menguasai kawasan hutan siluman ini. Apapun yang terjadi kau harus merampas cincin itu Wiro!” (Mengenai riwayat cincin ini dapat diikuti dalam serial Wiro Sableng berjudul Cincin Warisan Setan)

“Aku akan melakukannya sekalipun harus mati! Tapi mengapa aku tidak melihat Bunga dan para tokoh yang katanya disekap di tempat ini?"

“Jangan bodoh! Penguasa hutan siluman itu tentu saja menyembunyikan mereka agar tidak mudah dirampas diselamatkan. Lekas kau bisikkan pada kekasih barumu itu agar dia ikut bantu merampas cincin itu…”

“Siapa kau bilang Kek? Kekasih baruku?” ujar Wiro heran.

“Jangan pura-pura. Kau kira aku tidak tahu kau dan Kuntini saling bercumbuan di dalam goa?!”

Paras Pendekar 212 jadi berubah. “Waktu itu bukankah kau sedang tidur ngorok?!”

“Mulutku yang ngorok tapi telingaku tidak ikut tidur!” jawab Kakek Segala Tahu. “Sudahlah! Sekarang lekas kau katakan pada Kuntini hal itu. Aku berusaha menghantam lepas caping dan pelindung muka di kepalanya. Aku kepingin tahu siapa adanya manusia celaka ini!”

Terhuyung-huyung Wiro mendekati Dewi Merak Bungsu yang masih bicara dengan orang yang duduk di atas kursi emas. Lalu dia pura-pura terjatuh dan berpegangan pada Dewi Merak Bungsu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro untuk berbisik.

“Kuntini, usahakan agar kau bisa merampas cincin baja putih di jari kelingking orang itu…”

“Aha! Pendekar 212! Datang mencari mati. Cukup lama aku menunggumu di Pintu Neraka ini. Akhirnya kau muncul juga. Bertahun-tahun mengincarmu, sekarang baru berahasil! Kecuali kau punya nyawa rangkap maka kau tak akan bisa lolos dari tempat ini. Juga kawanmu tua bangka berbaju rombeng itu!”

“Bagaimana dengan perempuan ini?!” tanya Wiro.

“Itu urusanku!”

“Dengar, Aku serahkan dia padamu. Kau boleh berbuat apa saja asal kau lepaskan Bunga dan biarkan kami meninggalkan tempat ini!”

“Wiro!” teriak Dewi Merak Bungsu. Di belakang Wiro kakek Segala Tahu juga terdengar memaki. “Aku tidak menyangka seculas itu hatimu! Pendekar jahat! Kalau begitu perbuatanmu lebih baik aku menyerahkan diri sendiri padanya…”

Lalu Dewi Merak Bungsu jatuhkan diri berlutut di hadapan orang bercaping di atas kurisi emas. Karena keadaanya yang lebih rendah dan tubuhnya agak membungkuk maka keseluruhan payudaranya yang menggembung besar terlihat jelas. Orang di atas kursi merasakan jantungnya seperti berhenti berdetak.

“Dewi Merak Bungsu, berdirilah…” Kata orang di atas kursi emas. Tangan kirinya memegang bahu perempuan muda itu. ibu jarinya mengusap pangkal payudaranya. Sedang tangan kanan mengusap wajah perempuan yang cantik.

Dewi Merak Bungsu usap jari-jari tangan orang itu, menekapnya dengan kedua tangannya sambil pejamkan mata seolah-olah menikmati tangan kukuh dan hangat itu. Lalu mendekatkan tangan itu kewajahnya, diusapkan berulang kali di wajahnya yang cantik itu. kemudian perlahan-lahan didekatkannya ke hidungnya seperti orang hendak mencium tangan itu dengan mesra.

Orang di atas kursi yang terangsang oleh kemesraan itu sama sekali tidak menyangka apa yang sebentar lagi akan terjadi. Tiba-tiba Dewi Merak Bungsu memasukkan jari tangan kelingking orang itu ke dalam mulutnya.

“Hai!” teriak orang di atas kursi kaget dan terlonjak dari tempat duduknya.

“Craasss!”

Jari kelingking orang berjubah hijau putus dan masuk ke dalam mulut Dewi Merak Bungsu bersama cincin Warisan Setan yang terbuat dari baja putih itu!

“Perempuan jahanam! Muntahkan cincin itu atau kau akan mampus!” teriak orang berjubah. Tangan kirinya yang berlumuran darah dengan cepat memencet kedua pipi Dewi Merak Bungsu hingga mulut perempuan ini terbuka dan cincin serta potongan jari yang ada dalam mulutnya hampir tersembul ke luar. Namun sebelum orang itu bisa mengambil cincin dalam mulut, Wiro dan Kakek Segala Tahu sudah menggebrak.

Si kakek lemparkan capingnya ke arah kepala orang yang tengah mencekal Dewi Merak Bungsu. Di saat yang sama Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada di tangan Wiro menderu laksana ribuan tawon mengamuk, menghantam ke arah pinggang orang berjubah hijau. Sinar putih panas berkilat!

“Kurang ajar!” teriak si jubah hijau. Dia segera berteriak! “Semua mahluk di Kerajaan Siluman! Lekas bunuh ketiga orang ini!”

Biasanya, sekali memerintah saja semua siluman yang ada di tempat itu akan melesat terbang melakukan apa yang dikatakannya. Tapi aneh. Saat itu semua makhluk menyeramkan itu tetap diam di tempat masing-masing, hanya mengeluarkan suara halus seperti orang merintih. Di kejauhan secara aneh terdengar suara orang menangis.

“Cincin itu! aku tak mampu menguasai mereka lagi tanpa cincin itu!” Orang berjubah sadar apa yang terjadi. Sekali lagi dia masih berusaha mengambil cincin baja putih dari dalam mulut Dewi Merak Bungsu. Tapi tak berhasil. Dalam pada itu dua serangan datang menyambar. Tak ada kesempatan lagi. Dia harus melepaskan Dewi Merak Bungsu lalu memilih apakah akan menghidari sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 atau menyelamatkan kepalanya dari hantaman caping yang dilemparkan Kakek Segala Tahu. Orang ini memilih selamat dari serangan pertama.

Sambil melepaskan cengkeramannya dari muka Dewi Merak Bungsu dan melompat menghidari sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 si jubah hijau ini balas menghantam ke arah Kakek Segala Tahu.

“Braaaakkk!”

Caping yang dilemparkan Kakek Segala Tahu menghantam caping di atas kepala orang itu. hingga kepala dan wajahnya tersingkap. Sebaliknya pukulan yang dilepaskannya membuat udara menjadi redup, lalu tiga larik sinar kuning, hitam dan merah menyambar ganas ke arah Kakek Segala Tahu.

“Pangeran Matahari!” teriak Pendekar 212 ketika dia mengenali wajah orang berjubah hijau di hadapannya. “Jahanam! Kau rupanya!” Murid Eyang Sinto Gendeng melompat ke depan.

Kakek Segala Tahu sewaktu mendapatkan serangan pukulan Gerhana Matahari dari orang berjubah yang bukan lain adalah Pangeran Matahari, musuh bebuyutan Pendekar 212 Wiro Sableng, cepat melompat mundur dan kibaskan tongkat kayu bututnya dalam gerakan setengah lingkaran.

“Kraaakkk!”

Tongkat kayu itu patah dan hancur berkeping-keping. Tapi si kakek selamat dari pukulan sakti yang sangat mematikan itu! Menyadari siapa yang tengah dihadapi Wiro, orang tua ini segera bergabung menyerbu manusia durjana terlahir bernama Pangeran Anom, berjuluk Pangeran Matahari itu.

“Kurang ajar! Tak mungkin aku menghadapi mereka berdua sekaligus!” rutuk Pangeran Matahari dalam hati. Lalu berteriak. “Pendekar 212! Kali ini aku gagal lagi! Tapi ingat! Aku akan terus memburumu! Mengincar nyawamu!” habis berkata begitu Pangeran Matahari lemparkan sebuah benda ke tanah.

“Wussss!”

Asap hitam pekat membumbung ke udara menutup pemandangan. Ketika asap itu lenyap, Pangeran Matahari tidak kelihatan lagi. Dewi Merak Bungsu keluarkan potongan jari kelingking dan Cincin Warisan Setan dari mulutnya. Dia meludah berulang kali dan keluarkan suara seperti orang mau muntah. Cincin yang ada dalam genggaman tangan kirinya diserahkan pada Kakek Segala Tahu.

“Benda pembawa malapetaka…” kata si kakek.

Ketiga orang itu memandang berkeliling. Semua siluman hutan Tapakhalimun tak satupun beranjak di empat masing-masing. Mereka merundukkan kepala dan keluarkan suara seperti orang merintih.

“Kek…” kata Wiro. “Kalau memang cincin itu yang dipergunakan Pangeran Matahari untuk menguasai mereka, berarti kau juga bisa mempergunakannya untuk melakukan sesuatu…”

“Apa yang akan kulakukan? Menjadi Raja di Kerajaan Siluman ini?”

“Aku tidak melihat Bunga…”

“Kakakku Singa Lodra juga tak nampak. Jangan-jangan mereka semua sudah dibunuh…” Kata Dewi Merak Bungsu.

Kakek Segala Tahu tanggalkan cincin baja berbentuk kepala ular sendok itu dari potongan jari Pangeran Matahari. Lalu diusap-usapnya beberapa kali. Dia berkata perlahan.

“Cincin sakti. Kalau kau memang mempunyai kekuatan untuk menguasai hutan siluman dan seluruh isinya, tunjukkan padaku!” Si kakek lalu memandang berkeliling. “Siluman hutan Tapak Halimun! Kalian semua berada dalam kekuasaanku! Lekas tunjukkan di mana para tahanan disekap. Bawa mereka semua ke mari!”

Semua siluman menyeramkan berbagai bentuk yang ada di tempat itu keluarkan suara jeritan keras. Enam anjing siluman menyalak panjang. Mereka lalu berkelebat lenyap. Tak lama kemudian kembali muncul membawa sembilan sosok tubuh yang kesemuanya berada dalam keadaan terikat tangan dan kakinya.

“Bunga!” teriak Pendekar 212 ketika dia mengenali Bunga, gadis yang selama ini hidup dalam alam gaib tapi tak berdaya di bawah kekuasaan siluman. Pemuda ini memburu dan berusaha membuka ikatan di tubuh Bunga. Tapi tak bisa.

Dewi Merak Bungsu memandang berkeliling, mencari-cari. Lalu dilihatnya Singa Lodra. “Kakak!” jerit gadis ini seraya lari lalu menjatuhkan diri di atas tubuh seorang lelaki paruh baya bertelanjang dada dan tubuhnya penuh bekas cambukan. Perempuan ini juga tak mampu membuka ikatan di tangan dan kaki kakaknya.

“Kek, pergunakan kekuatan cincin itu! perintahkan siluman untuk membuka tali-tali ikatan para tawanan!” teriak Wiro.

“Kalian dengan ucapan itu! lakukan perintah! Buka ikatan para tawanan!” kata Kakek Segala Tahu.

Lebih dari dua belas siluman segera bergerak membuka ikatan yang mengikat tangan serta kaki sembilan tawanan. Begitu ikatannya terlepas, Bunga segera memeluk Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Kau datang juga akhirnya Wiro… Aku sudah putus asa. Mengira tak akan bisa keluar dari hutan siluman ini. Tak bisa kembali ke alamku. Terima kasih Wiro. Aku tak apa-apa. Darah ini hanya darah yang disemburkan mahluk-mahluk itu sewaktu menakuti diriku. Pangeran Matahari sengaja tidak mencelakaiku untuk memancing dirimu masuk ke tempat ini. Terima kasih Wiro…”

“Berterima kasih pada dua sahabatku itu. Kakek Segala Tahu dan Dewi Merak Bungsu…”

Kata Wiro sambil melepaskan pelukannya karena saat itu dia melihat beberapa orang yang dikenalinya diantara tokoh-tokoh silat yang jadi tawanan. Datuk Harimau Gunung Merapi, Dewa Pedang dari Timur. Lalu Pendekar Tongkat Gading dan tiba-tiba matanya membentur sosok tubuh yang luar biasa besarnya itu.

“Raja Penidur!” teriak Wiro lalu dia melompat ke arah orang tua berbobot lebih dari 200 kati. Manusia gemuk luar biasa ini adalah seorang tokoh silat paling dihormati dalam usianya yang lebih dari 160 tahun.

Raja Penidur menggosok-gosok matanya. “Hah, kau rupanya. Murid si nenek jelek dari puncak Gunung Gede itu!” kata Raja Penidur sambil ucak-ucak kedua matanya lalu menguap lebar-lebar. “Heh… Aku rasanya kenal pada kakek jelek berbaju tambalan di sampingmu ini. Bukankan dia manusia yang dijuluki si Segala Tahu itu?”

Kakek Segala Tahu membungkuk lalu tertawa mengekeh sambil membetulkan capingnya yang jebol akibat dipakai untuk menghantam caping Pangeran Matahari tadi.

“Mereka mengambil pipaku! Tolong kalian carikan pipaku! Sementara aku mau tidur dulu! Awas kalau ada yang berani membangunkan!” Raja Penidur menguap lebar-lebar. Kedua matanya dipejamkan. Sesaat kemudian terdengar suaranya mengorok.

Wiro tiba-tiba ingat sesuatu lalu ia berteriak. “Ada satu siluman menolongku dua kali! Aku tidak melihat dia di antara kalian! Bawa dia kemari cepat!” Sambil berteriak Wiro ikut memegang cincin baja di tangan Kakek Segala Tahu.

Beberapa siluman kelihatan sibuk dan lenyap. Tak lama kemudian mereka muncul lagi membawa siluman yang dimaksudkan oleh Wiro itu. telinga dan lidahnya masih ditancapi besi runcing. Kedua kakinya diikat dengan besi panas. Dewi Merak Bungsu dan Bunga mengerenyit ngeri melihat keadaan siluman satu ini. Apa lagi lehernya bolong dan kedua matanya hampir copot!

“Aku mengerti, mungkin dia punya kesalahan hingga kalian menghukumnya seperti ini! tapi sejak saat ini kalian harus membebaskan dirinya! Siapa berani menyiksanya aku sate tubuhnya dengan besi panas dari pantat sampai ke mulut!”

Dua orang siluman bertubuh tinggi besar mendekati siluman yang satu itu. Mereka segera mencabut besi runcing dari lidah dan kepalanya. Lalu juga memutus rantai besi panas. Begitu bebas siluman satu itu lantas menjatuhkan diri dan berlutut di hadapan Wiro.

“Bagaimana kita harus keluar dari tempat ini?!” terdengar Dewi Merak Bungsu bertanya sambil memapah kakaknya.

“Pergunakan kekuatan Cincin itu!” kata Bunga seraya melangkah mendekati Wiro dan memeluk sang pendekar.

“Ah, kau betul!” kata Kakek Segala Tahu. Lalu diusapnya cincin berbentuk kepala ulat sendok itu. “Siluman hutan Tapak Halimun! Kami tak mau diganggu dan juga tak ingin mengganggu kalian. Kami ingin keluar dari tempat kalian. Bawa kami keluar sampai di depan Pintu Neraka!”

Semua siluman yang ada di tempat itu bersorak keras. Lalu mereka melayang kian kemari. Tahu-tahu semua orang yang ada di tempat itu telah melayang di udara, digotong beramai-ramai. Kakek Segala Tahu di depan sekali, menyusul si gemuk Raja Penidur dan beberapa tokoh silat lainnya. Setelah itu Bunga, lalu Dewi Merak Bungsu dan kakak lelakinya dan terakhir sekali Pendekar 212 Wiro Sableng.

Yang menggotong dan membawa Wiro melayang justru adalah enam orang siluman perempuan yang hanya mengenakan cawat. Payudara mereka yang sebesar buah kelapa bergundal-gadil kian kemari. Ada yang sempat menampar dan menyapu wajah atau tubuh murid Sinto Gendeng itu. Masih melayang di udara tiba-tiba Wiro berteriak.

“Kurang ajar! Siapa yang meraba selangkangan ku!”

Enam siluman perempuan itu menyeringai lalu bersorak ramai.

“Ah, sudahlah. Lebih baik memberi sedekah sedikit sekarang dari pada kemudian hari mereka gentayangan mencariku!” kata Pendekar 212 dalam hati lalu pejamkan kedua matanya.

T A M A T

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.