Kiamat Di Pangandaran

KIAMAT DI PANGANDARAN

SATU

LANGIT di atas teluk Penanjung di Pangandaran tampak bersih tak berawan sedikit pun. Sinar sang surya yang tidak terhalang terasa semakin terik begitu sang penerang jagat ini merayap semakin mendekati titik tertingginya. Di puncak bukit karang sebelah timur Ratu Duyung yang merupakan tokoh silat golongan putih pertama yang muncul di tempat itu, masih tegak terheran-heran ketika dia melihat lblis Pemabuk berada di bukit sebelah barat.

"Manusia satu ini sulit diduga jalan pikirannya. Ketika bertamu ke tempatku jelas dia menunjukkan sikap berbaik-baik dengan orang-orang golongan putih. Sekarang tahu-tahu dia berada di pihak sana. Hemmm… Jangan-jangan si gendut buruk itu sudah termakan rayuan manis Pangeran Matahari dan tipuan busuk minuman keras. Aku melihat ada lima gentong raksasa di bukit sana. Pasti berisi minuman keras kesukaannya… Manusia kalau sudah jadi budak minuman dirinya pun akan dijualnya. Sayang… sayang sekali…"

Selagi sang Ratu membatin seperti itu, tiba-tiba satu bayangan berkelebat dan di lain kejap sudah tegak di depannya. Dua orang anak buah Ratu Duyung cepat melompat ke depan sambil melintangkan senjata berupa tongkat besi yang ujungnya memancarkan sinar biru menggidikkan.

Sambil menekan rasa terkejutnya Ratu Duyung memberi isyarat pada ke dua anak buahnya untuk mundur. Lalu dia memandang pada orang yang tegak di hadapannya. Seorang tua berpakaian rombeng. Selapis kulit tipis yang menutupi wajahnya berwarna sangat pucat. Rambutnya yang putih panjang melambai-lambai ditiup angin.

"Orang tua, apakah kau tidak tersesat datang ke bukit ini? Bukankah kau yang dijuluki Si Muka Mayat alias Si Muka Bangkai, guru Pangeran Matahari...?" Ratu Duyung menegur. Cermin bulat dalam genggamannya ditempelkan ke dada.

Orang tua bungkuk berpakaian rombeng yang memang guru Pangeran Matahari adanya tertawa mengekeh. "Ratu Duyung, Ratu maha sakti maha cantik… Bagus dan syukur sekali kau telah mengenali diriku hingga aku yang tua ini tidak perlu repot-repot menerangkan siapa diriku!"

Ratu Duyung tersenyum. "Pujian bisa menyesatkan. Kau yakin tidak tersesat datang ke bukit ini?"

"Tentu saja tidak," sahut Si Muka Mayat. "Aku datang ke sini untuk membincangkan satu hal sangat penting yang bakal menguntungkan dirimu…"

"Hemmm... Jika seorang musuh menawarkan satu keuntungan ini adalah satu hal yang patut ditanyakan dan dicurigai..."

Si Muka Bangkai tertawa panjang. "Ratu Duyung, waktuku tidak banyak. Sebelum kawan-kawanmu berdatangan aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Maksudku lebih jelas adalah menawarkan sesuatu padamu. Sesuatu yang menyangkut keadaan dirimu dan masa depanmu!"

"Orang tua, ucapanmu menarik sekali. Harap kau suka meneruskan dengan cepat karena aku pun tidak suka berbincang berlama-lama denganmu!" kata Ratu Duyung pula.

"Aku sanggup mencarikan seorang perjaka yang bisa menyembuhkan dirimu dan memusnahkan kutukan yang selama ini menyiksa dirimu..."

Paras Ratu Duyung kelihatan berubah. "Apa kau menawarkan dirimu atau muridmu Pangeran Matahari?!"

Si Muka Mayat tertawa bergelak. "Aku yang sudah tua bangka reot begini mana mungkin masih perjaka. Muridku si Pangeran Matahari itu jelas sudah tidak perjaka lagi. Yang ingin kutawarkan padamu adalah seorang Pangeran dari Surokerto yang aku kenal baik. Orangnya gagah. Kau pasti tidak kecewa. Jika kau suka silahkan kau mengatur pertemuan..."

Ratu Duyung walaupun sangat marah saat itu namun masih bisa tersenyum. "Sayang aku tidak suka pada tawaranmu itu. Juga tidak suka pada Pangeran yang kau sebutkan itu..." Habis berkata begitu Ratu Duyung menatap ke langit. "Matahari sudah tinggi, selagi kau masih ada kesempatan untuk kembali ke bukit di sebelah barat sana, sebaiknya lekas-lekas kau angkat kaki. Kawan-kawanmu akan kecewa kalau kau sampai menemui ajal lebih dulu di sarang musuh!"

Si Muka Bangkai menggeram dalam hati. "Aku tahu kehebatan para tokoh silat golongan putih, termasuk dirimu. Tapi jika aku tidak punya nyali mana aku akan menjejakkan kaki di tempat ini?”

Saking geramnya setelah mengeluarkan kata kata itu. Si Muka Bangkai pergunakan tangan kirinya untuk mencengkeram ujung runcing batu karang yang ada di dekatnya. Batu karang itu serta merta berubah menjadi hitam dan mengepul tanda di selimuti hawa panas luar biasa. Ketika si orang tua menjentikkan jari-jari tangannya batu karang itu langsung bertaburan ke udara, berubah menjadi debu hitam yang sangat halus!

"Orang tua, mengapa kau tidak lekas angkat kaki?! Apa kau kira kami di sini perlu tukang sulap sepertimu?" ujar Ratu Duyung.

Lalu dia gerakkan tangannya yang memegang cermin bulat. Sinar putih menyilaukan berkiblat ke arah taburan halus debu karang. Serta merta debu-debu halus itu berubah menjadi merah membara. Ratu Duyung gerakkan lagi cerminnya. Ribuan bahkan mungkin jutaan debu merah bergerak laksana sebuah tabir kearah Si Muka Bangkai.

Orang tua yang memiliki ilmu kebal segala benda panas ini ganda tertawa ketika dapatkan dirinya diserang oleh debu-debu merah membara itu. Dia sengaja tegak terbungkuk-bungkuk sambil bertolak pinggang menuju datangnya serangan dinding debu.

Tapi Ratu Duyung yang sudah pernah mendengar kehebatan Si Muka Bangkai ini berlaku cerdik. Sekali agi cermin bulatnya digerakkan. Dinding debu bertabur ke udara. Kini jutaan debu menyambar ke arah si orang tua dari ratusan arah.

Si Muka Bangkai dorongkan kedua tangannya ke depan. Sebagian debu panas merah tersapu mental dan lenyap namun sebagiannya lagi lolos dan menyerang ke arah setiap lobang yang ada di tubuhnya. Orang tua ini terbatuk-batuk. Matanya jadi perih dan telinganya seperti mengiang.

Sebelum nafasnya menjadi sesak cepat-cepat dia melompat mundur seraya kirimkan satu pukulan sakti ke arah Ratu Duyung. Sang Ratu menyambut dengan kerlipan cahaya dari cermin bulatnya. Dua kekuatan tenaga dalam saling beradu di udara.

"Dess! Dess...!"

Si Muka Bangkai merasakan tangannya kesemutan dan denyut darah dalam urat-urat besar di tubuhnya menjadi kacau. Cepat-cepat dia menyeIinap ke balik batu karang besar lalu melompat jauh dan turun dari bukit, kembali ke bukit sebelah barat, Ratu Duyung sendiri sesaat tampak tergontai-gontai namun segera dapat menguasai dirinya kembali.

Belum sempat Si Muka Bangkai memberi tahu kegagalan pertemuannya dengan Ratu Duyung di bukit sebelah timur yang hanya dipisahkan oleh satu pedataran pasir berbatu-batu selebar lima tombak, tiba-tiba terdengar suara seperti cambukan cemeti yang menyakitkan telinga. Suara cemeti ini sesekali diseling oleh suara tawa membahana disertai maki-makian. Orang-orang di bukit sebelah barat termasuk Si Muka Bangkai yang baru saja kembali dari bukit timur jadi melengak dan memperhatikan dengan mata dibesarkan.

"Ha ha ha...! Lihat keledai dungu! Tolol bodoh! Mendaki bukit jelek begini saja tidak mampu! Ayo jalan! Lari! Lari atau kupecut bokongmu! Ha ha ha!" Lalu terdengar suara cemeti berkelebat berulang kali. Tak lama kemudian semua mata sama menyaksikan bagaimana seorang bertubuh sangat gemuk, berbobot sekitar 200 kati mendaki menuju puncak bukit karang dengan menunggang seekor keledai kecil kurus!

Tapi jika diperhatikan temyata si gemuk ini bukannya menunggang karena walau pantatnya berada di atas punggung keledai tapi ke dua kakinya menjejak tanah dan berjalan mengikuti langkah empat kaki keledai! Selain itu setiap dia memecutkan cemetinya, bukan tubuh keledai itu yang dihantamnya tapi pahanya sendiri yang dideranya hingga celana hitamnya robek di sana-sini.

"Perjalanan gila yang melelahkan! Ha ha ha!" kata si gendut begitu sampai di puncak bukit karang. "Ada apa sebenarnya di tempat ini? Hari sepuluh bulan sepuluh! Kukira ada pesta makan besar. Yang kulihat cuma manusia-manusia tegak berdiam diri. Entah sedang kebingungan entah lagi tegang! Kalau lagi bingung apa yang dibingungkan! Kalau lagi tegang apanya yang tegang! Ha ha ha ha…!"

Si gendut terus mengumbar tawa mengekeh. Ketika tawanya sekonyong-konyong lenyap dia lalu sorongkan kepalanya ke depan. Tangan kirinya diletakkan di atas kening. Tangan kanan menunjuk kebukit di seberangnya ke arah Dewa Sedih yang sedang menangis tersedu-sedu.

"Anak cengeng itu! Mengapa dia bisa kesasar ke sana?!" ujar si gendut. Lalu dia berteriak. "Hai Dewa Sedih. Kalau mau nangis mengapa jauh-jauh sampai ke sini! Ha ha ha! Anak brengsek! Seumur hidup bisanya cuma mengeluarkan air mata! Ha ha ha!"

Di bukit seberang sana Dewa Sedih bangkit berdiri dari atas batu karang lalu mengepalkan tinjunya ke arah si kakek gendut. Walau dia sangat marah saat itu tapi wajahnya tetap saja ditekuk sedih.

"Orang sombong selalu tertawa! Dewa Ketawa! Kau selalu mencampuri urusanku! Kau selalu mengintili ke mana aku pergi! Hik hik hik! Aku kakakmu memerintahkan agar kau segera minggat dari tempat itu. Hik hik hik!" Habis mengancam Dewa Sedih menangis sejadi-jadinya.

Ternyata orang gendut yang datang menunggang keledai adalah Dewa Ketawa, adiknya sendiri.

"Kau boleh saja memerintah! Tapi hari ini bukan urusan kakak dengan adik! Tapi urusan dengan orang-orang yang kepingin cepat-cepat mati! Ha ha ha!" Menjawab Dewa Ketawa dari seberang bukit.

Dewa Sedih banting-bantingkan kakinya ke batu bukit lalu kembali ke tempat duduknya di gundukan batu dan meneruskan tangisnya. Pangeran Matahari mendekati Dewa Sedih dan berkata,

"Kau harus membunuh adikmu itu. Kau dengar!"

"Hatiku sedih... Hatiku sedih!" jawab Dewa Sedih lalu menangis lagi.

”Jahanam!" maki Pangeran Matahari. Baru saja dia menyumpah seperti itu di bukit sebelah timur kembali terjadi satu hal yang menarik perhatian. Di antara suara tawa Dewa Ketawa tiba-tiba terdengar suara kerontangan kaleng yang keras sekali, membuat gendang-gendang telinga serasa ditusuk.

Si Muka Bangkai tampak tercekat sementara Delapan Tokoh Kembar di lereng bukit kelihatan termangu-mangu, memandang tak berkesip ke arah bukit di hadapan mereka. Seorang kakek bercaping, berpakaian compang camping, membekal sebuah buntalan butut dan membawa sebuah tongkat buruk berjalan melenggang lenggok sambil menggoyang-goyangkan sebuah kaleng rombeng di tangan kanannya!

Begitu sampai di puncak bukit langsung saja dia melompat ke atas kereta dan duduk uncang-uncang kaki sambil kerontangkan kaleng rombengnya tiada henti. Ketika Ratu Duyung melirik padanya dia menjura sambil angkatcapingnya dan berkata,

"Cucuku bermata biru nan cantik jelita! Jangan marahi aku ya, kalau aku kurang ajar duduk di atap keretamu! Seumur hidup aku belum pernah naik kereta sebagus ini. Jadi duduk di atapnya saja sudah seperti di sorga rasanya! Harap kau maklum! Sekian tak lebih tak kurang dan terima kasih!"

Ratu Duyung cuma bisa tersenyum. Dia lalu memandang ke arah utara. Hatinya saat itu kurang tenteram. Ada satu hal yang menjadi pikirannya. Kalau Pendekar 212 Wiro Sableng tidak muncul di tempat itu sia-sialah perjalanan jauhnya dari laut selatan sampai ke puncak bukit itu!

"Kakek Segala Tahu!" berbisik Si Muka Bangkai pada muridnya ketika dia mengenali siapa adanya kakek bercaping dan membawa kaleng rombeng yang barusan datang.

"Aku sudah tahu," jawab sang murid. "Aku tidak perduli mereka semua. Musuh besarku masih belum kelihatan! Gurunya si nenek keparat bernama Sinto gendeng itu juga tidak tampak mata hidungnya! Dia akan menyesal kalau tidak menghadiri kematian muridnya di Pangandaran ini!"

Belum lagi perhatian orang terhadap Kakek Segala Tahu sirap tiba-tiba dua sosok aneh berkelebat di puncak bukit karang sebelah timur. Mereka adalah orang-orang yang menyelubungi tubuh mereka dengan kain putih. Di bagian kepala kain putih Itu diikat begitu rupa hingga menyerupai pocong! Dari kedua orang ini yang kelihatan hanyalah sepasang mata mereka di bagian kain yang sengaja dilubangi.

"Mayat hidup dari mana yang kesasar ke sini? berseru Dewa Ketawa lalu si gemuk ini tertawa gelak-gelak. Kakek Segala Tahu tenang-tenang saja seolah tak perduli dengan kemunculan dua orang berselubung kain putih itu. Apalagi mereka sengaja tegak agak jauh dan kelihatannya tengah berbisik-bisik.

"Aku belum melihat mata hidungnya!" kata orang berselubung di sebelah kanan.

"Aku tidak heran kalau dia tidak sampai datang ke sini! Soalnya aku meragukan otaknya masih waras atau tidak!"

"Setan kau! Jangan kau berani menghinanya… Aku tahu kau beberapa kali berusaha menjebaknya!"

"Hik hik hik! Aku tidak sungguhan dan tidak berniat sejauh itu. Hanya hal satu itu yang aku pantas memujinya! Hik hik hik!"

"ltu katamu sekarang! Kalau dulu kau memang berhasil. Hemmm... Kubembeng usus besarmu sampai ke ujung dunia!"

"Hik hik hik!"

"Sudah! Jangan tertawa lagi. Apa kau masih punya persediaan minyak wangi? Tubuhku sudah keringatan. Aku kawatir nanti dia mengenaliku..."

Dari balik pakaian anehnya orang disebelah kanan mengulurkan tangan menyerahkan sebuah tabung kecil terbuat dari bambu. "lni yang terakhir. Setelah itu jangan harap aku akan memberikan lagi padamu!"

"Kurasa ini kali yang penghabisan aku meminta minyak wangi padamu! Setelah persoalan gila di tempat ini selesai, aku tidak butuh lagi…!"

"Berarti kau akan kembali ke bau badanmu semulal Hik hik hik!"

"Diam! Jangan tertawa tidak karuan di tempat seperti ini!" kata orang berselubung sambil menyirami tubuhnya dengan minyak wangi. Dia memandang ke lereng bukit di depannya lalu berkata,

"Coba kau lihat ke sana. Aku hampir tak percaya. Delapan Tokoh Kembar mau-mauan datang ke sini jadi kaki tangan membantu Pangeran Matahari!"

"Astaga! Setahuku mereka adalah orang-orang yang tidak terlalu usil. Meskipun brengsek namun tidak mau membuat bentrokan dengan kita orang-orang golongan putih..."

"Hemmm… Aku bisa mengira jalan ceritanya. Rata-rata Delapan Tokoh Kembar itu tidak punya iman teguh. Gampang tergoda, terutama oleh harga dan perempuan. Aku melihat ada seorang gadis cantik berbaju biru mendampingi mereka. Pasti ini penyebabnya!"

"Celakal Kalau Delapan Tokoh Kembar menyerbu berbarengan langit pun bisa diruntuhkannya. Kita harus mencari akal!"

"Tak usah kawatir. Serahkan mereka padaku. Tapi aku perlu bantuan beberapa orang lagi. Hmm... Hik hik hik!"

"Sialan kau! Masih saja tertawa tidak karuan. Apa Kamu tidak mendengar ada satu orang gila lagi tengah berlari mendaki bukit menuju ke mari?!"

DUA

Dipuncak bukit karang sebelah timur tiba-tiba terdengar suara orang berlari sambil bernyanyi-nyanyi. Hanya sesaat kemudian berkelebatlah satu bayangan putih. Orang ini temyata seorang kakek berambut putih jarang, memelihara kumis dan janggut panjang putih. Matanya yang sangat lebar terpuruk dalam pipi dan rongga cekung. Mukanya hampir tidak berdaging. Sekilas tampang manusia satu ini hampir sama dengan Si Muka Bangkai. Bedanya Si Muka Bangkai sudah bungkuk sedang yang satu ini masih kelihatan gagah.

"Astaga! Dia rupanya!" Salah seorang berselubung kain putih keluarkan seruan kaget. Ada kilatan cahaya aneh pada sepasang matanya. "Keadaannya masih gagah, sikapnya masih ceria. Tapi pada sepasang matanya terbayang banyak penderitaan hidup..."

"Eh sobatku, kau kenal orang gila itu?!" bertanya sang teman di sebelahnya. "Aku dengar kau bergumam seperti bicara sendirian!"

"Lebih dari kenal! Dia..."

"Kau tak bisa meneruskan ucapan. Aku dengar suara seperti keselekan di tenggorokanmu! Ah! Aku ingat sekarang! Kau punya hubungan mesra dengan kakek itu di masa muda puluhan tahun silam. Dan aku juga ingat. Si Muka jerangkong itu adalah Tua Gila dari Pulau Andalas!"

"Ssttt! Jangan keras-keras bicara! Nanti setan alas itu mendengar dan mengenali diriku!"

"Hik hik hik! Kau berlagak malu tak mau dikenali, tak mau ditemui. Padahal aku tahu betul hatimu saat ini sedang berbunga-bunga melihat dirinya!"

"Jangan meracau tak karuan!"

"Hik hik hik!"

Orang tua yang baru datang dan bukan lain adalah Tua Gila adanya hentikan nyanyiannya yang tak karuan. Dia memandang berkeliling. Lalu berseru, "Onde... Onde! Betul ruponyo! Hari sapuluah Bulan sapuluah! Banyak urang-urang gilo bakumpual Di siko! Ha ha ha!"

"Si tua bangka itu kumat gilanya! Bicara memakai bahasa sendiri! Dikira saat ini dia berada di kampungnya!" Salah satu orang berselubung kain putih keluarkan suara mengomel.

Sementara di bagian yang lain Dewa Ketawa kembali tertawa gelak-gelak. Tua Gila lanjutkan ocehannya. Seolah mendengar omelan orang dia tidak lagi menggunakan bahasa daerahnya. "Kalian semua adalah teman-teman yang tidak pernah aku jumpa selama puluhan tahun, salam Hormatku untuk kalian..." Lalu Tua Gila membungkuk memberi hormat pada orang-orang di depannya sambil menyebut nama. "Dewa Ketawa... kakek Segala Tahu… Ah, yang dua itu bersembunyi di balik kain kafan, aku tak bisa mengenali! Ha ha ha! Tapi biar aku memberi hormat juga pada dua hantu kuburan ini! Ha ha ha!"

Lalu Tua Gila membungkuk memberi hormat pada dua sosok yang berselubungkan kain putih. Salah satu dari dua orang berselubung tampak salah tingkah.Untung saja tubuh dan wajahnya tertutup kain putih. Tua Gila memandang ke jurusan Ratu Duyung. Sambil membungkuk dia berkata,

"Mataku sudah lamur, pendengaranku kurang tajam. Sahabat muda yang cantik jelita ini belum kukenal belum pernah kudengar. Hormatku untukmu…"

Ratu Duyung membalas penghormatan itu dengan menjura tapi membatalkan niatnya ketika didengarnya Tua Gila berkata,

"Gadis cantik, mudah-mudahan kau segera mendapatkan jodoh! Aku turut berdoa untukmu! Ha ha ha!" Tua Gila lantas kedap-kedipkan matanya beberapa kali.

Paras Ratu Duyung kelihatan menjadi merah. Ada satu getaran aneh terjadi dalam tubuhnya. "Apa maksud orang tua ini dengan ucapannya tadi? Aku akan mendapatkan jodoh? Siapa?" Ah, hanya seorang tua gila mengapa aku harus memikirkan segala ucapannya!" Ratu Duyung membatin.

"Sepi sekali di sini. Semua kulihat pada tegang, untuk melenyapkan kesunyian dan ketegangan biar aku menyanyi!"

Di atas kereta Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Di sebelah sana Dewa Ketawa kumat penyakitnya dan mulai mengumbar tawa. Tua Gila buka mulutnya lebar-lebar seperti benar-benar mau menyanyi. Tapi ternyata tidak. Karena tiba-tiba dia palingkan kepalanya ke arah utara lalu berseru,

"Teman-teman! Apa kalian tidak mencium bau sesuatu yang harum…?" Tua Gila mendongak dan menghirup udara dalam-dalam. Yang lain-lain jadi ikut-ikutan.

Baru satu kali orang-orang di bukit itu mengendus tahu-tahu seorang tua berpakaian selempangkaln biru sudah berada di situ. Dia memanggul sebuah bumbung bambu di bahu kiri kanan. Dia layangkan pandangan pada semua orang yang ada disitu sambil elus-elus janggutnya yang putih sedada. Salah seorang dari dua sosok berselubung kain putih keluarkan suara mendesah halus dan tangan kanannya ditekapkan ke dada seolah menahan degup jantungnya yang tiba-tiba bergoncang.

"Eh, ada apa? kawan di sebelahnya bertanya. "Kau seperti kaget melihat si tua gagah itu. Kau memegangi dada. Apa jantungmu mau copot?!"

"Tidak... Aku tidak apa-apa. Hanya nafasku terasa sesak, karena terus-terusan berada di balik selubung ini!"

Kawan orang berselubung ini keluarkan tawa perlahan lalu setengah berbisik dia berkata. "Tadi kau menggodaku! Sekarang giliranku! Jangan kau kira aku tidak tahu hubunganmu di masa muda dengan si tukang minum itu. Hik hik hik!"

"Kita sama-sama kena batunya. Jadi harap berhenti"

Orang tua berjanggut putih terus layangkan pandangan. Nampaknya dia seperti mencari-cari seseorang. "Anak setan itu pasti telah mendustaiku. Orang yang dikatakannya tak ada di sini!" Beberapa saat lamanya dia pandangi dua sosok berselubung kain putih. Lalu dia berpaling ke kiri. Pandangannya terbentur wajah dan sosok Ratu Duyung. Tidak berkesip mata itu memperhatikan dari rambut sampai ke kaki lalu dia gelengkan kepala berulang kali!

"Gluk-Gluk-Gluk!" Terdengar suara tenggorakannya meneguk lahap tuak wangi mumi yang dikenal dengan nama tuak kayangan.

Dewa ketawa meledak tawanya ketika dia melihat orang tua ini. Dia menunjuk lalu mulutnya menyerocos. “kita sama-sama dipanggil orang dewa. Tapi mengapa minum sendiri saja tidak membagi bagi! sungguh tidak sopan! Ha ha ha…!”

Orang tua yanq membawa tuak berpaling lalu menjawab ”Anak kecil berapa sih usiamu? Kalau kuberi tuak kayangan ini nanti kau bisa mabok! Syukur-sukur kalau kau Cuma ngompol”

"Ah, sudah tua nyatanya mulutmu masih suka Bicara jorok" kata Dewa Kelawa. Dia tertawa dulu sebentar baru melanjutkan ucapannya. "Kau pasti tahu, lelaki mana ada yang suka ngompal! Ngompol itu kan penyakitnya perempuan!" Dewa Ketawa kembali tertawa terpingkal-pingkal.

"Si Dewa Ketawa sialan itu, apa kau kira dia merasani diriku?"

"Hik hik hik! Perlu apa dipikiran ucapan orang-orang gila!" jawab si teman. "Yang musti kau pikir dan doakan adalah orang yang kita tunggu"

"Seumur hidup aku tidak pernah mendoakannya. Kalau dia sampai tidak datang, berarti mencari sengsara sendiri! Atau mungkin dia masih dikepung pikiran takut karena kitab itu tidak ada lagi padanya?!"

Diatas atap kakek segala tahu goyang-goyangkan tangan kanananya tiada henti. Suara berisik membuncah puncak bukit itu, terdengar jelas sampai kebukit diseberangnya. Saat itu orang tua ini sebenarnya sedang risau, dia mendongak kelangit.

”matahari memang sudah tinggi, tapi tengah hari masih lama, kalau anak itu datang terlalu cepat dan setan iblis dibukit sana keburu menyerbu, urusan bisa kapiran! Hmmmm… aku mesti melakukan apa?”

********************

TIGA

Kita kembali beberapa saat sewaktu dewa tuak tengah berlari cepat menuju teluk penanjung di pangandaran. Di satu tempat dia hentikan larinya dan memamdang kearah kejauhan, desisnya. ”Yang dibarat ditancapi bendera hitam yang di timur ditancapi bendera putih diatas sebuah kereta! Hmmm... tanda-tanda apa ini?” Selagi dia berkata-kata sendirian, seperti itu, dari Balik lamping batu karang terdengar suara.

”Ssssttt… Suro Lesmono ! sedang apa kau disitu?"

Paras Dewa Tuak berubah. Dia berpaling ke arah Batu karang dan dengan cepat pegang tabung bambu di sebelah kanan. "Sekian puluh tahun dunia terkembang! Puluhan tahun malang melintang! Tidak banyak yang tahu nama asliku” Lalu orang tua Ini berteriak, "Orang di balik karang. Lekas unjukkan dirimu! "

Tak ada gerakan, tak ada jawaban.

"Bagus. Kau minta aku hancurkan rupanya!" Dewa Tuak menggeram. Tabung bambu yang sudah dipegangnya didekatkan ke bibir lalu... "gluk. .. gluk … gluk!"

Minuman keras itu diteguknya beberapa kali. Begitu mulutnya penuh tuak, minuman keras itu lalu disemburkannya ke arah batu karang. Terjadilah satu hal yang hebat. Batu karang kukuh atos itu pecah di beberapa bagian. Kepingan-kepingannya berpelan-tingan ke udara.

Sekali lagi Dewa Tuak meneguk Tuak dalam bambu. Ketika dia hendak menyembur untuk ke dua kalinya dengan mengerahkan tenaga dalam dua kali lipat dari yang tadi, dari balik batu karang yang hancur itu menghambur sesosok tubuh berpakaian hitam disertai seruan,

"Dewa tuak tahan!”

"Anak setan?" Kau rupanya!" DewaTuak mendamprat begitu melihat yang berdiri didepannya adalah pendekar 212 Wiro sableng ”lama tidak bertemu, sekali bertemu kau kurang ajar! Cepat Kau katakan dari siapa kau tahu namaku hah!”

”Jangan marah dulu kek!” kata wiro sambil tersenyum-senyum yang membuat dewa tuak jadi tambah jengkel. ”Ada satu orang yang memberi tahu namamu itu. Dia juga bertitip pesan ingin sekali bertemu denganmu, kurasa dia sudah ada dipuncak bukit sana menunggumu!”

”Orang itu lelaki atau peerempuan?" lalu seka mulutnya yang penuh dengan tuak.

”Perempuan!”

“Masih muda ataukah sudah tua?” tanya dewa tuak lagi.

“Bisa muda bisa tua!” jawab murid sinto gendeng.

"Anak kurang ajar. Jangan kau berani main-main padaku!"

"Aku tidak main-main"

Dewa Tuak dekatkan lagi tabung bambu kebibimya lalu meneguknya tuaknya banyak sekali sampai mukanya merah laksana udang rebus. "Kau tahu bama perempuan itu’? tanyanya kemudian.

"Namanya aku tidak tahu. Tapi gelarnya tahu...!"

"Sialan! Sebutkan saja gelarnya!" kata Dewa Tuak lalu meneguk tuaknya dari bumbung bambu.

"lblis Putih Ratu Pesolek!"

Tenggorokan dewa Tuak tercekik mendengar Julukan yang disebutkan pendekar 212. Air mukanya yang merah sesaat tampak memutih. Dihadapannya dilihatnya wiro senyum-senyum

"Setan alas ini tahu apa hubunganku dengan perempuan itu...!" Dewa tuak berpikir-pikir.

”Kek, kau tunggu apa Iagi! lekas naik ke bukit! Dia pasti sudah menunggumu...!"

"Anak setan! Jangan kau berani menggodaku, kau sendiri mengapa berada disini bukannya naik ke bukit! Aku lihat dibukit sana musuh-musuhmu sudah lengkap menunggumu, siap membunuhmu sampai lumat!”

Wiro menyeringai "kau pergi saja duluan kek, aku masih ada dua hal yang harus kukerjakan…”

”Hmmmm apa saja pekerjaan itu?”

”Menunggu seseorang dan memeriksa keadaan dikawasan ini! Kau tahu Pangeran matahari adalah manusia keji licik, bukan mustahil dia hendak menyiasati kita!”

"Siapa orang yang kau tunggu?”

”Pasti seorang gadis!"

"Ah... kau memang betul. Aku…"

"Orangnya si Bidadari Angin Timur itu?!"

"Et, bagaimana kau bisa tahu Kek?" ujar Wiro terbelalak.

"Ha ha ha! Dewa Tuak teguk dulu tuak harumnya baru menjawab. "Kau tengah menghadapi satu teka-teki besar anak muda… Kau pecahkanlah sendiri!" Setelah meneguk tuaknya sekali lagi Dewa tuak meninggalkan tempat itu.

Pendekar 212 Wiro sableng garuk-garuk kepala. Dia menatap ke langit. "Masih lama datangnya tengah hari, Masih ada kesempatan untuk bertanya pada kakek segala tahu, aku sudah mendengar suara kerontangan kaleng bututnya dipuncak bukit sana! Selain itu aku perlu menyelidiki keadaan dikawasan ini”

Lalu Wiro mencari tempat yang agak tinggi. Dengan mengerahkan ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari ratu duyung dia mulai menyapu daerah sekitar situ dengan pandangan matanya yang sanggup melihat benda-benda walaupun terhalang oleh benda lain. Ternyata banyak hal yang membuat murid sinto gendeng ini menjadi kaget.

Pertama ketika dia memandang kebukit sebelah barat, dibukit itu dimana berkumpul para tokoh silat golongan putih banyak tersembunyi berbagai peralatan dan senjata rahasia yang sulit terlihat oleh mata biasa, mulai dari panah beracun dan pisau terbang sampai pada bola-bola hitam berisi bahan peledak. Lima bahan peledak ini juga ditanam dijalan masuk menuju keteluk yang diapit oleh dua buah bukit.

Semua peralatan rahasia yang dipasang di bukit timur dihubungkan pada satu peralatan berupa kawat yang dapat mengatur hidup matinya peralatan-peralatan maut itu. Tapi untuk bahan peledak yang ditanam di antara dua bukit sama sekali tidak dihubungkan dengan alat pengatur tersebut. Berarti siapa saja yang menginjaknya akan membuat bahan itu meledak. Tubuh Si penginjak akan hancur Berkeping-keping

”Jahanam keji Licik!" rutuk Pendekar 212 dalam hati. "Pasti pangeran keparat itu yang mendalangi perbuatan ini! Semua yang di bukit timur berada dalam bahaya besar. Aku harus segera melakukan sesuatu! Aneh, mengaparatu duyung tidak mengetahui hal ini. Padahal dengan ilmu Menembus Pandang yang dimilikinya dia pasti bisa melihat lebih jelas semua yang tersembunyi di tempat itu!”

Murid sinto gendeng sama sekali tidak mengetahui bahwa setelah ratu duyung memberikan ilmu Menembus Pandang itu padanya maka ilmu yang dimiliki sang ratu sendiri akan lenyap selama 777 hari. Ilmu itu akan muncul dan dikuasainya kembali selewat jangka waktu tersebut.

”Aku harus cepat melakukan sesuatu!” pikir wiro. Hal kedua yang mengejukan wiro ialah ketika dia melihat sosok Bidadari Angin timur di bukit barat, berada di antara delapan lelaki berjubah merah berkepala botak kuning.

”Ditunggu-tunggu ternyata dia ada di situ? Jahanam! Terbuka sudah kedoknya. Jadi kaki tangan Pangeran Matahari dia rupanya! Mereka pasti punya huhungan tertentut. Aku benar-benar tertipu. Tak pelak lagi pasti kitab putih wasiat dewa sudah diberikannya pada pangeran keparat itu!”

Wiro lantas ingat pertemuannya dengan bidadari angin timur belum lama berselang. ”Tapi bagaimana kalau betul gadis itu punya kembaran?” wiro jadi garuk kepala sendiri. ”yang ada dibukit barat itu yang mana adanya? Yang dulu pernah menampar pipiku atau yang menipu dan melarikan kitab sakti itu? atau mungkin sebenarnya memang cuma satu Bidadari Angin Timur?!”

Dalam bingung wiro teruskan menyusuri bukit sebelah barat dengan ilmu Menembus Pandangnya. Kembali dia terkejut ketika Iblis Pemabuk dan Dewi Payung Tujuh juga berada di sana.

”Iblis Pemabuk, seperti manusia tidak punya pegangan. Sekarang menjadi antek pangeran matahari, lalu gadis sialan dari tanah seberang itu! Kalau tidak mengharapkan sesuatu pasti dia tidak akan bergabung dengan manusia manusia sesat itu. Dia mengincar kitab putih wasiat dewa. Agaknya dia sudah tahu kalau kitab itu kini berada disana. Lalu ditambah dendamnya terhadapku tempo hari!”

Wiro sadar sudah terlalu lama dia berada di tempat itu. “aku harus segera bergabung dengan para tokoh”

Dia memandang kelangit sang surya masih cukup jauh dari titik tertingginya. Dengan ilmu Menembus Pandang Wiro mampu melihat siapa saja yang berada dibukit sebelah timur. Mula-mula dilihatnya kakek segala tahu.

“Aku harus cepat menemui kakek itu , mungkin dia bisa memecahkan teka-teki rahasia kelemahan Tiga Bayangan Setan, tepat tengah hari bolong, pilih yang ditengah!”

Dada pendekar 212 berdebar ketika dia melihat Ratu Duyung. Lama murid Sinto Gendeng menatap wajah sang ratu dengan berbagai perasaan menyelimuti hatinya. Kasihan ada sayang pun ada sedang rasa berhutang budi dan nyawa tentu saja tidak pernah dilupakannya. Murid Sindo Gendeng palingkan kepala ke jurusan lain. Dia tersenyum ketika pandangannya sampai pada sosok Dewa Ketawa dan Dewa Tuak. Lalu terlihat dua sosok tubuh mengenakan pakaian aneh berselubung kain putih.

"Seumur hidup tidak pernah aku ketahui ada dua tokoh golongan putih punya dandanan seperti itu. Dua pocong hidup itu siapa mereka adanya?”

Wiro kerahkan tenaga dalamnya yang ada dikepala. Bagaimanapun dicobanya dia tidak mampu menembus kain putih yang jadi pakaian dua orang itu. ”Aneh mengapa tidak bisa tembus?” pikir Wiro. Dia berpaling kearah Ratu Duyung. ”Akan kucoba yang satu ini” kata wiro dalam hati. Tenaga dalamnya dilipat gandakan, namun tetap saja dia tidak bisa menembus kebalik pakaian orang.

Wiro garuk-garuk kepala ” batu, pohon air dan dinding bisa kutembus, mengapa pakaian tidak bisa? Ah, jangan-jangan ilmu ini memang tidak untuk dipergunakan untuk berkurang ajar!” Wiro tertawa sendiri. ”Aku harus segera menuju puncak bukit sebelah timur sebelum pergi pedataran pasir antara dua ukit karang aku bersihkan dulu!”

”Braaakkk!” Wiro hantam batu disampingnya dengan pukulan bertenaga dalam tinggi. Batu karang hancur menjadi sembilan keping. Dia memilih lima keping yang besar-besar lalu bersiap melemparkan batu itu satu persatu kearah pedataran dimana tersembunyi lima bola maut yang bisa meledak! Tapi gerakan sang pendekar tertahan ketika dia melihat tiba-tiba ada yang datang dari utara, berlari secepat angin!

”Eh binatang atau setan yang datang ini!” ujar Wiro.

EMPAT

Seorang lelaki bertubuh gemuk luar biasa, berkopiah hitam kupluk, mengenakan baju terbalik dan kesempitan muncul dari arah utara. Melihat kepada bobotnya yang begitu besar sulit dipercaya dia mampu berlari laksana angin. Apalagi sambil berlari dia menjunjung sebuah keranjang rotan raksasa.

Di dalam keranjang itu, bergelung di atas tumpukan jerami kering kelihatan sosok manusia gendut, lebih gendut dari lelaki yang menjunjungnya. Dari suara mengorok yang keluar dari mulutnya jelas si gemuk ini tengah tertidur nyenyak. Tetapi dibilang tidur mengapa ada sebuah pipa panjang yang menyala dan menebar bau tembakau mencantel di sela bibimya?

Hebatnya lagi, si gemuk yang menjunjung keranjang berisi manusia raksasa itu berlari sambil tangan kirinya memegang kipas kertas yang tiada henti-hentinya dikipaskan pada wajahnya yang selalu keringatan!

"Bujang Gila Tapak Sakti!" seru Wiro. Walau dia gembira tapi tiba-tiba dia menjadi merinding. Si gemuk yang dipanggilnya dengan sebutan Bujang Gila Tapak Sakti itu ternyata berlari memasuki pedataran pasir berbatu-batu yang diapit oleh dua bukit karang. Padahal lima bahan peledak telah ditanamkan musuh di tempat itu!

Jangankan si gendut berpeci kupluk itu, seekor tikus saja jika menginjak bola-bola maut yang ditimbun di bawah pasir pastilah akan meledak dan menghancurkan tubuhnya sampai berkeping-keping! Apalagi si gendut ini membawa beban pula yaitu seorang manusia raksasa berbobot ratusan kati! Orang di dalam keranjang rotan besar itu bukan lain adalah salah satu tokoh silat paling aneh dirimba persilatan yang dikenal dengan julukan Si Raja Penidur!

"Bujang Gila Tapak Sakti!" seru Wiro dengan suara menggelegar karena dia kerahkan tenaga dalamnya.

"Berhenti! Tahan larimu! Jangan melewati pedataran pasir!" Orang yang diteriaki menoleh sekilas pada Wiro. Dia lambaikan kipasnya tapi terus saja berlari kencang.

"Kerbau tolol itu apa dia tuli tidak mendengar teriakanku?! Celaka! Bagaimana aku harus mencegahnya!"

Wiro masih berpikir untuk menyelamatkan orang dari bahaya bola-bola maut yang ditanam musuh justru saat itu si gendut Bujang Gila Tapak Sakti sudah jauh memasuki pedataran diantara dua bukit. Murid Sinto Gendeng terbelalak. Ternyata tidak satu pun bola maut itu yang meledak walau ada dua dari lima bola yang sempat terpijak kaki si gendut!

"Gila! Luar biasa! llmu meringankan tubuhnya hebat luar biasa! Bagaimana dia bisa meredam beratnya tubuh Si Raja Penidur yang ada di dalam keranjang besar?!"

Selagi Wiro garuk-garuk kepala Bujang Gila Tapak Sakti dan Si Raja Penidur sudah berada di puncak bukit batu karang sebelah timur. Kemunculan Bujang Gila Tapak Sakti yang juga adalah kemenakan Dewa Ketawa disambut dengan penuh rasa kagum oleh semua orang yang adadi situ. Dewa Ketawa tertawa mengekeh. Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Sambil menunjuk-nunjuk ke arah Si Raja Penidur dan Dewa Ketawa yang bertubuh sama-sama gendut Tua Gila berseru,

"Sekarang ada tiga gajah bengkak di tempat ini! Uhhhh! Anak tolol! Apa perlunya kau bawa-bawa gajah ngorok itu ke sini. Kau hanya membuat sempit tempat orang bernafas saja!"

Bujang Gila menyeringai. Dia berkipas-kipas beberapa kali lalu goyangkan kepalanya. Keranjang rotan besar di atas kepalanya bergeser ke samping, perlahan-lahan melayang turun ke bawah. Raja Penidur sendiri seperti tidak terganggu terus saja tidur mendengkur!

Kalau kedatangan Bujang Gila Tapak Sakti dan Si Raja Penidur disambut dengan rasa kagum serta gembira di bukit timur, maka di bukit sebelah barat justru hal itu membuat para tokoh golongan hitam menjadi geger dan tegang. Pangeran Matahari yang tahu gelagat tidak baik cepat berkata memberi semangat.

"Hanya dua kerbau tak berguna! Tidak ada yang harus ditakutkan! Kitab Wasiat lblis ada di tanganku! Jangankan dua makhluk bengkak itu. Semua mereka bisa kubuat mampus!"

Habis berkata begitu Pangeran Matahari segera mendekati Makhluk Pembawa Bala dan berbisik. "Kau lihat sendiri. Lima bola maut yang kau tanam di pedataran sana tidak satu pun yang meledak ketika dilewati si gendut keparat itu. Aku tidak ingin ada yang tidak beres! Lekas kau pergi ke tempat pengendali. Langsung hidupkan alat pengendali. Aku dan yang lain-lainnya akan menuruni bukit sejauh mungkin. Berjaga-jaga agar kalau bukit di sana meletus tidak ada yang bisa lolos!"

Ketika semua orang di puncak bukit karang sebelah barat bergerak menuju kaki bukit dan berhenti di tepi pedataran pasir. lblis Pemabuk satu-satunya yang masih tetap berada di puncak bukit. Pangeran Matahari berpaling. Melihat tokoh gemuk pendek itu masih berada di atas bukit dia berteriak agar lblis Pemabuk segera turun. Mendengar dirinya dipanggil sambil terhuyung-huyung lblis Pemabuk goyang-goyangkan tangannya lalu berteriak.

"Aku memilih tetap di atas sini saja! Kecuali ada yang mau membantu menurunkan lima gentong tuak ini ke bawah sana!"

Rahang Pangeran Matahari menggembung. Di sebelahnya, gurunya Si Muka Bangkai berbisik."Jangan perdulikan dia. Nanti akan kuhancurkan lima gentong itu. Kalau sudah tidak ada lagi tuak di atas masakan dia mau bertahan disana!"

"Aku kawatir kemunculannya di sini bukan membantu kita tapi membuat kekacauan saja!" jawab Pangeran Matahari.

"Kita lihat saja. Kalau dia nanti masih banyak cingcong biar tubuhnya kubuat tuak!" kata Si Muka Bangkai.

Melihat gerakan orang-orang di bukit sebelah barat, orang-orang di bukit sebelah timur tidak tinggal diam. Mereka segera menuruni bukit untuk menyongsong kedatangan lawan dan berhenti di tepi pedataran pasir tepat di seberang kelompok Pangeran Matahari!

Dua kelompok para tokoh dunia persilatan golongan putih dan golongan hitam kini saling berhadap-hadapan dan hanya terpisah lima tombak satu sama lainnya! Sementara itu di langit matahari merayap mendekati titik tertingginya.

"Makhluk Pembawa Bala keparat! Apa yang dilakukannya? Mengapa peralatan rahasia masih belum bekerja! Mengapa masih belum terjadi ledakan! Padahal orang-orang di bukit karang sebelah barat telah mulai turun! Jahanam betul si Makhluk Pembawa Bala itu Kelak akan aku tambahkan tusukan kayu di batok kepalanya!"

Baru saja sang Pangeran memaki begitu, tiba-tiba ledakan dahsyat mendera kawasan teluk lima kali berturut-turut! Dua kelompok para tokoh di kaki bukit barat dan timur menjadi terkejut besar.

"Jahanam! Apakah bumi sudah kiamat?!" Seseorang terdengar berteriak.

Pasir dan hancuran batu-batu beterbangan ke udara membuat pemandangan menjadi gelap. Tanah bergoncang hebat. Dua bukit bergetar seperti hendakroboh. Air laut menggelombang membentuk ombak besar yang kemudian menghempas di teluk. Di kaki bukit sebelah barat terdengar raungan meratap Dewa Sedih. Sebaliknya di kaki bukit sebelah timur Dewa Ketawa tertawa keras ditimpali suara kerontangan kaleng!

"Tiarap! Cari perlindungan!" terdengar ada yang berteriak.

Ketika pasir dan bebatuan runtuh ke tanah dan pemandangan menjadi terang kembali kelihatanlah satu pemandangan yang mendebarkan. Di jalan masuk menuju ke teluk, di ujung dua kaki bukit, tampak lima lobang raksasa menguak tanah!

Para tokoh yang tadi berlindung dibalik batu-batu besar di kaki buki tdan ada yang bertiarap perlahan-lahan keluar unjukkan diri. Ada yang terdengar memaki sambil bersihkan pakaian dan rambut mereka yang terkena hamburan pasir akibat ledakan. Muka mereka yang tadi pucat pasi kini berdarah kembali.

"Setan edan! Apa yang terjadi! Habis kotor pakaian putihku! Untung dandananku tidak rusak!" Salah seorang dari dua sosok berselubung kai n putih memaki. Lalu di balik kerudung kain putihnya dia mengeluarkan alat-alat rias dan merias wajahnya kembali!

"Aku yakin! Ada jahanam menanam alat peledak di tempat ini!" teriak seseorang.

"Pasti itu pekerjaaan busuk si licik keji Pangeran Matahari!" menyahuti seorang lainnya.

Di kaki bukit sebelah barat rahang Pangeran Matahari menggembung. Pelipisnya bergerak-gerak tanda dia tengah marah besar. Dia berpaling ke bukit di atasnya. "Jahanam! Apa yang dikerjakan makhluk keparat itu! Mengapa yang meledak justru bola-bola maut di tempat lain! Mengapa yang di bukit timur tidak meledak! Pisau dan panah beracun mengapa belum bekerja! Makhluk Pembawa Balal Di mana kau?! Keparat tolol!"

Pangeran Matahari berpaling pada Elang Setan lalu berkata. "Lekas kau pergi menyelidik ke tempat pengendalian alat rahasia. Kalau Makhluk Pembawa Bala berkhianat segera saja kau habisi!"

Mendengar perintah itu dan merasa mendapat kepercayaan Elang Setan segera berkelebat. Dari kaki bukit sebelah timur tiba-tiba ada yang berseru,

"lblis Pemabuk! Tidak sangka kau rupanya sudah jadi kaki tangan orang-orang jahat!"

Di atas bukit barat lblis Pemabuk bantingkan kendi berisi tuak yang sedang diteguknya hingga pecah berkeping-keping. Dengan tubuh menghuyung dia maju satu langkah. "Setan alas dari mana yang berani bicara kurang ajar padaku!"

"Aku sahabat lamamu Dewa Tuak!" jawab orang di kaki bukit timur. "Tapi sekarang kita tidak bersahabat lagi! Kau memilih berkumpul dengan orang-orang sesat. Aku mana mau meniru perbuatanmu! Najis!" Dewa Tuak lalu angkat tabung bambunya ke bibir dan meneguk tuak mumi itu dengan lahap.

"DewaTuak! Kau tidak lebih baik dari diriku. Kalaupun aku berada di tempatmu, apa yang bisa kau berikan? Di sini aku bisa berpesta dengan lima gentong tuak sedap!"

"Dasar tolol!" teriak Dewa Tuak.

"Jahanam! Kau berani memakiku!"

Dari atas bukit lblis Pemabuk tanggalkan dua kendi yang terikat di pinggangnya. Dua kendi ini lalu dilemparkannya ke bawah ke arah Dewa Tuak. Lemparan ini bukan lemparan sembarangan karena disertai tenaga dalam tinggi. Dua kendi itu sanggup memecahkan kepala serta menjebol tubuh Dewa Tuak. Belum lagi tuak yang menyembur keluar dari dalamnya yang dapat menembus daging dan tulang manusia!

"Ha ha ha! Apakah kegegeran hari sepuluh bulan sepuluh sudah dimulai di Pangandaran ini?!" seru Dewa Tuak.

Tua Gila dan Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak. Dewa Sedih kembali terdengar meratap. Dewa Tuak lemparkan tabung bambunya ke udara menyambut datangnya serangan dua kendi. Bumbung bambu dan dua kendi dari tanah bertemu di udara.

"Traakkk! Traakkk!"

Tuak kayangan di dalam bumbung bambu dan tuak keras di dalam dua kendi bermuncratan ke seantero tempat. Bumbung bambu patah dua sedang dua kendi tanah hancur berantakan. Di atas bukit lblis Pemabuk terhuyung-huyung. Kalau dia tidak Iekas berpegangan pada gentong besar di dekatnya niscaya dia akan jatuh terjengkang.

Di lain pihak, di kaki bukit Dewa Tuak usap-usap dadanya yang mendenyut sakit. Orang tua ini terbatuk-batuk beberapa kali dan cepat atur jalan darah serta tenaga dalamnya. Rupanya walau bentrokan tabung bambu dan dua kendi tanah terjadi di udara namun tenaga dalam ke dua orang tokoh silat itu saling memukul dengan hebatnya.

"Gusti Allah! Hancur bumbung tuakku!" Teriak Dewa Tuak sambil memandang ke udara. "Tuakku tumpah semua! Jahanam kau lblis Pemabuk!"

Orang tua berpakaian selempang kain biru itu melompat satu tombak. Mulutnya dibuka lebar-lebar. Lalu terjadilah satu pemandangan yang sulit dipercaya. Tuak kayangan yang berhamburan dari bumbungnya yang patah laksana tersedot mengalir masuk ke dalam mulut Dewa Tuak. Walau banyak yang terbuang tapi sebagian besar masih sempat masuk ke dalam tenggorokannya.

"Ah, untung masih ada yang bisa kutenggak! Sialan kau lblis Pemabuk!" Perlahan-lahan Dewa Tuak turun ke tanah.

"Dewa Tuak! Kasihan kau kehilangan satu tabung!" Di atas bukit sebelah barat lblis Pemabuk berseru lalu tertawa gelak-gelak. "Jangan khawatir, aku punya lima gentong tuak keras. Aku akan hadiahkan satu gentong padamu! Ha ha ha!"

"Terima kasih! Siapa suka minuman yang sudah dicampur dengan air kencing!" teriak Dewa Tuak lalu tertawa mengekeh diikuti oleh semua orang yang ada di kaki bukit sebelah timur itu sementara Si Raja Penidur masih enak-enakan ngorok.

"Jahanam! Apa maksudmu!" teriak lblis Pemabuk dengan mata melotot.

"Ha ha ha! Dasar orang tolol! Kerjamu mabuk saja hingga tidak tahu orang sudah mengerjaimu!"

"Jahanam! Kalau kau tidak segera menjelaskan aku hancurkan tabungmu yang satunya!"

"Masih saja tolol!" seru Dewa Tuak. "Tuak keras dalam lima gentong yang kau minum itu sebelumnya sudah dikencingi Pangeran Matahari dan gurunya Si Muka Bangkai! Ha ha ha!"

Berubahlah tampang lblis Pemabuk.Dia memandang ke arah Pangeran Matahari dan Si Muka Bangkai. Dua orang ini segera berteriak berbarengan.

"Dusta!"

Tapi lblis Pemabuk sudah termakan ucapan Dewa Tuak.

"Kalau kau masih mau bersahabat dan inginkan tuak yang harum sedap, aku masih ada satu bumbung penuh!" teriak Dewa Tuak pula.

"Dewa Tuak! Siapa bilang aku memutuskan persahabatan denganmu!" teriak lblis Pemabuk. Lalu dia menyambar ke kanan. Ketika dia melompat turun dari atas bukit semua orang yang ada di tempat itu menjadi terkesiap kagum. lblis Pemabuk melayang ke bawah bukit sambil memanggul salah satu dari lima gentong besar berisi tuak keras yang beratnya ratusan kati. Dari atas lblis Pemabuk lalu lemparkan gentong itu ke arah Si Muka Bangkai.

"Pengkhianat keparat!" teriak Si Muka Bangkai marah sekali. Enam larik sinar, dua hiam, dua kuning dan dua merah berkiblat di udam. ltulah dua pukulan sakti Gerhana Matahari yang dilepas oleh Pangeran Matahari dan Si Muka Bangkai ke arah lblis Pemabuk.

Yang diserang cepat menyingkir. Gentong yang dilemparkannya hancur berantakan di udara akibat pukulan sakti yang dilepaskan Si Muka Bangkai. Celakanya tuak yang ada dalam gentong itu jatuh mengguyur Si Muka Bangkai mulai dari kepala sampai ke kaki, Dewa Ketawa gelak terkekeh. Bujang Gila Tapak Sakti terpingkal-pingkal sambil berkipas-kipas sedang Dewa Sedih keluarkan pekik keras lalu menangis.

Dari arah kaki bukit sebelah timur tiba-tiba memancar satu cahaya putih menyilaukan, langsung menahan sinar sakti pukulan Pangeran Matahari. Di udara kelihatan seperti ada bunga api mencuat ke langit disertai letusan keras. Pangeran Matahari tersurut dua langkah. Parasnya berubah.

Dia berpaling ke kaki bukit sebelah timur. Di situ dilihatnya Ratu Duyung perlahan-lahan turunkan tangannya yang memegang cermin bulat. Cahaya putih menyilaukan tadi ternyata keluar dari cermin di tangan sang Ratu untuk menolong lblis Pemabuk dari keroyokan.

"Dewa Tuak tidak berani menyerangku. Ratu Duyung hanya melakukan tindakan bertahan. Berarti mereka sudah tahu kelemahan Kitab Wasiat Iblis!" Pangeran Matahari merasakan dadanya berdebar. "Aku harus mencari akal agar semua orang itu menyerangku! Akan kuamblaskan nyawa mereka satu persatu!”

Baru saja Pangeran Matahari berkata dalam hati tiba-tiba terdengar suara kaleng berkerontangan, disusul suara nyanyian Kakek Segala Tahu.

"lngat kata sahabat. Yang hitam jangan diserang! Alihkan perhatian dan mengambil sikap bertahan. ltulah jalan kehidupan. lngat kata sahabat. Yang hitam jangan diserang!"

Pangeran Matahari mendengus. Di sampingnya dalam keadaan basah kuyup Si Muka Bangkai berbisik. "Muridku mereka sudah tahu kelemahan kitab saktimu itu. Kau harus berhati-hati, aku akan memancing agar mereka menyerangmu!"

Pangeran Matahari tidak menjawab. Dia lagi-lagi berpaling keatas bukit dengan penuh geram. "Makhluk Pembawa Bala jahanam! Elang Setan! Apa kau tidak menjalankan tugas yang aku perintahkan?"

Tiba-tiba dari atas puncak bukit karang sebelah barat itu satu sosok tubuh tampak mencelat di udara. Semua orang dongakkan kepala melihat apa yang terjadi!

LIMA

Sosok tubuh yang melayang dari atas bukit itu jatuh terkapar di depan Pangeran Matahari. Meski keadaannya tak bisa dikenali lagi tapi sang Pangeran maupun Tiga Bayangan Setan tahu betul itu adalah sosok tubuh Elang Setan. Tiga Bayangan Setan berteriak keras dan pukul-pukul dadanya sendiri melihat kematian saudara angkat darahnya itu. Tenggorokan Pangeran Matahari naik turun. Dia memandang ke puncak bukit di atasnya.

Walau tidak tampak siapa pun di atas sana namun dia tahu musuh telah berhasil menyusup ke bukit tempat dia dan para tokoh silat golongan hitam berada. Dia belum melihat siapa adanya orangnya namun menaruh syak wasangka orang itu bukan lain musuh bebuyutannya yaitu Pendekar 212Wiro Sableng.

Dalam keadaan marah dan penasaran oleh kematian Elang Setan. Pangeran Matahari merasa terganggu oleh ratap tangis Dewa Sedih yang duduk di atas gundukan batu beberapa langkakah di samping kirinya. "Tua bangka jahanam! Hentikan tangismu atau kurobek mulutmu!" bentak sang Pangeran.

Yang dibentak tergagau sebentar. Sepasang mata Dewa Sedih sekilas menyorotkan sinar aneh walau air mukanya tetap menunjukkan kesedihan. "Ada orang mampus mengenaskan! Aku dibentak! Aku sedih! Aku menangis…!" Lalu terdengar raung Dewa Sedih keras sekali. Sambil menangis dia berdiri dan melangkah tertunduk-tunduk. Tangan kirinya dipergunakan untuk mengusut ke dua matanya.

"Hai, Kau mau ke mana?!" teriak Pangeran Matahari ketika dilihatnya kakek itu melangkah menuruni bukit ke arah timur.

Dewa Sedih tidak perdulikan bentakan Pangeran Matahari. Dia melangkah terus sambil keluarkan ratapan. "Aku dibentak dimarahi! Apakah aku anak kecil ingusan yang telah berbuat salah! Engg… huk huk huk! Aku bukan budak bukan pembantu bukan pelayan! Jika orang marah padaku berarti tidak suka padaku! Kalau orang tidak suka padaku lebih baik aku pergi saja. Engg… hik hik hik! Masih banyak tempat lain untuk menangis. Enggg…" Ketika Dewa Sedih hampir mencapai kaki bukit karang.

Si Muka Bangkai tak dapat menahan kekhawatirannya. "Muridku, agaknya tua bangka itu hendak melintasi pedataran pasir, siap menyeberang ke pihak lawan!"

"Kalau sudah tahu lekas lakukan sesuatu!" jawab Pangeran Matahari dengan nada jengkel dan sikap angkuh.

Sang guru segera berkelebat menuruni bukit. "Dewa Sedih! Tunggu!" seru Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Dua kali melompat saja dia sampai di kaki bukit dan cepat menghadang langkah Dewa Sedih.

Melihat ada orang yang menghalangi, tangis Dewa Sedih semakin keras. Tangan kirinya dikibaskan. Walau gerakan tangan itu acuh tak acuh saja tapi dari deru angin yang keluar, Si Muka Bangkai maklum kalau kibasan tangan itu bukan lain adalah satu serangan dahsyat.

Buktinya ketika dia coba menangkis dengan membalas membelintangkan tangan kanannya di depan wajahnya, tangan itu tergetar keras dan tubuhnya terjajar satu langkah. Meski kini dia menjadi mangkel melihat sikap Dewa Sedih namun Si Muka Bangkai tak mau mengambil sikap memaksa. Dia berusaha membujuk malah sambil ikut-ikutan menangis.

"Tua bangka bungkuk bermuka pucat! Hik Hik hik! Tangismu hanya pura-pura! Hik hik hik! Menyingkir dari hadapanku! Jangan menyesal kalau kedua matamu aku kuras keluar!"

Saat itu Dewa Sedih sudah sampai di kaki bukit dan siap menyeberangi pedataran pasir berbatu-batu yang memisahkan bukit di sebelah barat dengan sebelah timur sejarak lima tombak. Si Muka Bangkai jadi kehabisan akal.

"Dibujuk tidak mau! Rupanya minta mati!" Si Muka Bangkai kertakkan rahang.

Kakek bungkuk ini memutar tubuhnya seperti hendak berbalik ke tempatnya semula. Namun tiba-tiba tangan kanannya dihantamkan. Sinar merah, kuning dan hitam berkiblat menghampar hawa sangat panas. Udara seperti redup beberapa saat. lnilah pukulan maut Gerhana Matahari yang dilancarkan dengan tenaga dalam penuh dan benar-benar merupakan serang mematikan karena dilancarkan dari belakang!

"Jahanam pengecut! Membokong dari belakang!" Dari bukit sebelah barat terdengar orang berteriak memaki.

Sebaliknya Dewa Sedih yang diserang secara pengecut itu tenang-tenang saja. Dia terus saja melangkah terbungkuk-bungkuk menyeberangi pedataran pasir sambil menangis sesenggukan. Saat itulah dari bukit sebelah timur menggema suara kerontangan kaleng. Lalu menyusul deru dua gelombang angin yang sangat dahsyat.

Deru pertama keluar dari kipas kertas yang dikebutkan Bujang Gila Tapak Sakti. Yang satu lagi melesat dari hantaman tangan Dewa Ketawa yang melancarkan serangan untuk menyelamatkan kakaknya. Pasir di pedataran beterbangan sampai setinggi dua tombak. Dewa Sedih tampak terhuyung-huyung dalam jepitan tiga kekuatan tenaga dalam dahsyat.

Lalu terdengar dua letupan keras yang menggoncang kawasan itu. Si Muka Bangkai jatuh terjengkang ditanah. Mukanya yang pucat bertambah putih. Dadanya mendenyut sakit. Cepat-cepat kakek bungkuk ini bangkit berdiri dan menyelinap ke balik batu karang di kaki bukit.

Di bukit sebelah barat Dewa Ketawa lenyap. Orang tua bertubuh gemuk ini terhuyung-huyung lalu tersandar ke samping batu di belakangnya. Setelah mengusap wajahnya berulang kali dia lalu kembali tertawa. Tak jauh di sebelahnya Bujang Gila Tapak Sakti periksa kipas kertasnya. Salah satu ujung kipas tampak robek sedikit. Si gendut ini karuan saja jadi mengomel panjang pendek.

Beberapa belas langkah sebelum Dewa Sedih mencapai kaki bukit sebelah timur, adiknya Dewa Ketawa melompat menyambuti kedatangannya. Sambil membimbing tangan si kakek Dewa Ketawa tertawa mengekeh lalu berkata,

"Dari dulu aku sudah bilang! Kau boleh saja menangis sesukamu. Tapi otak musti jalan. Dipergunakan dengan baik. Tempatmu di sini di antara para sahabat. Bukan di sana! ha ha ha!"

"Hik hik hik! Aku mengaku salah! Aku memang keliru! Sudah jangan mentertawai aku terus!" kata Dewa Sedih. Lalu...

"Bluk!" Satu sosok melayang diatas kepalanya. Tahu-tahu lblis Pemabuk sudah tegak di hadapan kakak adik aneh itu.

"Nah ini satu lagi orang sesat yang sadar diri!" Yang berseru adalah Dewa Tuak. Dia langsung saja melompat menyambut kedatangan lblis Pemabuk.

Dan orang ini saling rangkul. Tapi tangan masing-masing saling bekerja. Dewa Tuak membetot lepas dua kendi tuak yang tergantung di pinggang lblis pemabuk sedang lblis Pemabuk menarik bumbung bambu dari bahu Dewa Tuak. Kedua orang tua ini lalu meneguk minuman keras itu sambil tertawa-tawa.

Di samping kiri Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya sementara Bujang Gila tapak Sakti tegak berkipas-kipas sambil tertawa-tawa sedang Si Raja Penidur masih terus ngorok di dalam keranjang rotan besar. Setelah puas meneguk tuak murni yang dinamakan tuak kayangan milik Dewa Tuak, lblis Pemabuk melambaikan tangan ke arah Ratu Duyung Ialu menjura seraya berkata,

"Terima kasih tadi kau telah menyelamatkan diriku dengan cermin sakti dari serangan manusla-manusia sesat itu!"

Ratu Duyung membalas dengan senyuman manis. Di kaki bukit sebelah barat Pangeran Matahari marah besar. "Kurang ajar ! Mengapa urusan bisa jadi kapiran seperti ini!" Dia kembali memutar kepala, memandang ke puncak bukit di atasnya.

********************

Kita kembali dulu pada apa yang terjadi beberapa saat sebelumnya. Setelah meledakkan lima alat peledak yang ditanam di pedataran pasir di antara dua bukit batu karang. Pendekar 212 menyelinap ke bukit sebelah barat.Dengan ilmu Menembus Pandang dia berhasil mengetahui di mana letak pusat kendali alat alat peledak dan segala macam senjata rahasia yang disembunyikan.

Ketika dia sedang sibuk merusak alat pengendali yang bisa membunuh para tokoh silat golongan putih itu tiba-tiba dia melihat bayangan sosok seseorang jatuh di atas batu karang di sampingnya, menyusul menyambarnya bau busuk yang tak asing lagi baginya. Murid Sinto Gendeng cepat berbalik. Justru saat itu satu tendangan berdesing ke arah keplanya. Demikian cepat dan tiba-tibanya serangan itu walau dia sempat menjatuhkan diri menyelamatkan kepala namun tendangan masih sempat menyambar dadanya!

"Bukkk!"

Pendekar 212 Wiro Sableng terlempar dua tombak. Di hadapannya Makhluk Pembawa Bala menyeringai. Selagi Wiro terkapar menahan sakit Makhluk Pembawa Bala cepat melompat ke tempat peralatan pengendali. Dia hanya membutuhkan waktu singkat untuk membetulkan kawat-kawat pengendali yang telah diputus Wiro. Namun sebelum hal itu sempat dilakukannya dari samping Wiro datang menghantam.

Perkelahian seru segera terjadi. Bagaimanapun hebatnya Makhluk Pembawa Bala namun tanpa memiliki sebuah tangan pun. Setelah bertahan selama dua jurus dia tak sanggup lagi menghadapi lawan. Mukanya yang memang sudah hancur menjadi tambah remuk dibuat bulan-bulanan tinju kiri kanan Pendekar 212.

Setelah merasa cukup membuat babak belur manusia jahat yang telah beberapa kali hampir berhasil membunuhnya, Wiro cekal kayu yang menancap di batok kepala Makhluk Pembawa Bala. Begitu kayu dipuntir kuat-kuat

"Kraak!”

Tak ampun lagi tanggallah leher Makhluk Pembawa Bala dari persendiannya! Darah busuk mengucur mengerikan juga menjijikkan. Seperti yang dikatakan Dewa Sedih ternyata benar makhluk Pembawa Bala adalah orang pertama yang menjadi korban di hari sepuluh bulan sepuluh di Pangandaran itu!

Wiro yang menyadari bahwa dia harus bergerak cepat segera tinggalkan tempat itu sambil mencekal kayu di mana tertancap kepala Makhluk Pembawa bala. Namun sebelum dia sempat melangkah pergi tiba-tiba Elang Setan muncul.

"Manusia jahanam! Kalau hari ini aku tidak bisa membunuhmu lebih baik aku yang bunuh diri!" kertak Elang Setan.

Wiro menyeringai. Dia angkat kepala Makhluk pembawa Bala ke atas. "Kau rupanya ingin punya nasib seperti kambratmu ini!" Wiro campakkan kepala Makhluk Pembawa Bala ke tanah.

Saat itu Elang setan telah menyerangnya. Sepuluh sinar hitam dan sinar merah menyambar ke arah Wiro ketika orang ini menggempurnya dengan serangan sepuluh jari tangan berbentuk cakar. Pendekar212 yang sudah sejak lama mendendam terhadap manusia yang telah mencuri dua senjata mustikanya itu kali ini tak mau memberi ampun dan bertindak cepat.

"Saatnya bagiku menguji kehebatan ilmu pukulan Harimau Dewa," pikir Wiro. Dia segera tiup tangan kanannya. Saat itu juga di telapak tangan Wiro muncul gambar kepala harimau putih bermata hijau.

Elang Setan menggembor marah ketika serangan pertamanya gagal. Didahului teriakan keras dia lancarkan jurus ke dua. Cakar tangan kiri menyambar ke leher untuk merobek sedang cakar tangan kanan menghunjam ke dada kiri guna menjebol jantung lawan!

Namun tinju kanan Pendekar 212 yang melesat di antara dua lengan lawan lebih dulu mendaratkan pukulan Harimau Dewa dikening Elang Setan. Orang ini meraung keras. Tubuhnya terlontar sejauh tiga tombak. Kepalanya hancur mengerikan. Lalu terjadilah satu hal mengerikan. Seolah hancurnya benda yang terbuat dari kaca, begitu kepalanya hancur, kehancuran ini merambat ke sekujur tubuhnya sampai ke kaki!

Murid Sinto Gendeng sampai merinding sendiri melihat hebat dan ganasnya pukulan Harimau Dewa yang dimilikinya itu. Mayat Elang Setan yang hancur itulah yang kemudian dilemparkan Wiro dari atas bukit hingga menggegerkan Pangeran Matahari dan pengikut-pengikutnya serta membuat marah besar Tiga Bayangan Setan, saudara angkat darah Elang Setan!

********************

ENAM

Matahari bersinar terik, menyilaukan mata Pangeran Matahari. Dia terpaksa melindungi ke dua matanya dengan telapak tangan kiri. Dengan begitu baru dia bisa melihat kepuncak bukit lebih jelas. Saat itulah dari atas buki karang terdengar seseorang berteriak.

"Pangeran Matahari! Apa kau mencari kaki tanganmu yang satu ini?!" Orang yang tegak di puncak Bukit itu berseru. Di tangan kirinya dia memegang sebatang kayu yang ditancapi kepala manusia. Itu adalah kepala Makhluk Pembawa Bala

"Pendekar 212 jahanam!" rutuk Pangeran Matahari.

Di atas bukit Wiro Sableng gerakkan tangan klrlnya. Kepala Makhluk Pembawa Bala dilemparkannya ke bawah. Kepala itu menggelundung beberapa saat sebelum akhirnya terbanting dua langkah di hadapan Pangeran Matahari! Hancur mengerikan!

"Tiga Bayangan Setan! Aku tugaskan padamu untuk membunuh Pendekar 212!" Pangeran Matahari berikan perintah pada Tiga Bayangan Setan. Lalu dia Memberi isyarat pada gurunya sambil mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya. Di Tangan kanan dia memegang sebuah benda hitam Yang temyata adalah batu sakti pasangan Kapak naga Geni 212.

Pada waktu Tiga Bayangan Setan bergerak menuju puncak bukit pada saat itu pula Pendekar 212 Wiro Sableng melesat ke udara. Tubuhnya laksana bola melenting beberapa kali hingga akhirnya dia sampai di kaki bukit sebelah timur, bergabung dengan para tokoh silat golongan putih.

"Jahanam! Kau kira kau bisa lari kemana?!" kertak Tiga Bayangan Setan yang kecele sampai di puncak bukit sebelah barat. Dia segera memutar tubuh dan melompat mengejar.

Sementara itudi bagian lain dari kaki bukit sebelah barat telah berlangsung satu kegegeran. Dewi Payung Tujuh yang sejak tadi mengintai kesempatan tiba-tiba menyergap ke arah Bidadari Angin Timur sambil membentak.

"Gadis liar! Kau telah memfitnah diriku sebagai pembunuh Raja Obat! Aku akan mengampuni selembar nyawamu jika kau mau menyerahkan kepadaku Kitab Putih Wasiat Dewa yang kau curi dari Pendekar 212 saat ini juga!"

Kejut Bidadari Angin Timur bukan alang kepalang. "Jahanam! Jadi kau ular dalam selimut rupanya. Semula mengatakan ingin membantu Pangeran Matahari. Ternyata kau sengaja mencari mampus! Berani membuat perkara di sarang macan!"

Bidadari Angin Timur langsung menerpa ke arah Dewi Payung Tujuh alias Puti Andini. Dua tangannya dipukulkan ke depan. Dua larik sinar biru menderu. lnilah pukulan sakti yang disebut Pedang Kilat Biru.

Puti Andini tidak tinggal diam. Tangannya kiri kanan digerakkan. Enam payung melesat dan berkembang berputar dengan suara deras membentengi tubuhnya. Payung keenam yang berwama hitam berputar laksana titiran dalam genggamannya. Ujungnya yang runcing ditusukkan ke perut BidadariAngin Timur.

"Braakkkk! Reetttt...!"

Satu payung patah di bagian gagangnya, satu lagi robek besar. Dewi Payung Tujuh berteriak keras. Tubuhnya lenyap dibalik gulungan sinar hitam berputar payung yang dipegangnya. Empat buah Payung lagi tiba-tiba melesat menggempur kedepan.

"DelapanTokoh Kembar! Jangan diam saja! Lekas bantu aku! Apa kalian tidak melihat rejeki besar didepan mata?!"

Delapan lelaki berjubah merah bermuka sama dan berkepala botak wama kuning yang sejak tadi hanya tegak -tegak saja melihat apa yang terjadi seolah-olah baru sadar. Delapan pasang mata menatap kearah Puti Andini seolah menelanjangi gadis dari tanah seberang ini.

Tiba-tiba mereka keluarkan suara aneh dari mulut masing-masing. Mereka mendongak ke langit sambil usap-usap kepala masing-masing. Lalu ketika serentak mereka meniup ke atas, langit laksana dilanda topan prahara. Kaki bukit bergetar dan pasir beterbangan.

Puti Andini sesaat jadi tertegun. Walau tadi dia berhasil mendesak Bidadari Angin Timur namun akan membutuhkan waktu lama baginya untuk dapat mengalahkan gadis yang mempunyai gerakan cepat serta pukulan sakti mematikan itu. Kini lawan dibantu pula oleh delapan manusia aneh berjubah merah, berkepala botak dan memiliki muka sama semua!

Ketika empat dari Delapan Tokoh Kembar mulai Menyerbu puti Andini langsung menyambut dengan serangan empat payung. Namun ketika empat Tokoh kembar lainnya mulai merangsak ke depan gadis ini serta merta terdesak hebat. Senjata Delapan Tokoh Kembar berupa tiupan-tiupan aneh menghantam terus menerus seolah badai melanda.

Walau Puti Andini sempat merobek dada pakaian Tokoh Kembar nomor 3 dan melukai pinggul Tokoh Kembar nomor 7 namun dia harus mengorbankan empat payungnya yang hancur dilanda angin dahsyat tiupan lawan!

Akhirnya dalam keadaan tak berdaya Puti Andini terpojok di celah antara dua batu karang. Tokoh Kembar nomor 4 tertawa mengekeh. Sambil usap-usap kepala botaknya dia menyergap Puti Andini, langsung merangkul gadis ini. Dua kawannya segera memegangi tangan si gadis ketika Puti Andini berusaha melepaskan diri. Lalu due orang lagi memegangi kakinya. Puti Andini kemudian digotong ke balik dinding karang dikaki bukit sebelah barat.

"lngat! Aku yang tua! Jadi aku yang mendapat giliran pertama!" terdengar si botak nomor 1 berkata setengah berteriak. Tujuh saudaranya walaupun mengomel tapi agaknya tak bisa berbuat apa-apa.

"Manusia-manusia keji terkutuk! Lepaskan diriku!" Terdengar jeritan Puti Andini dari balik batu karang. Lalu terdengar suara seperti pakaian dirobek.

Di kaki bukit sebelah timur salah seorang berselubung kain putih berkata pada kawan di sebelahnya. "Saatku untuk bergerak. Kau tunggu di sini. Awasi Dewa Tuak. Kalau dia pergi lekas beri tahu aku! Jangan coba merayunya!"

Sang teman tertawa di balik selubung kain yang menutupi wajahnya. "Hik hik hik! Siapa suka pemabuk sialan itu? Lekas bertindak sebelum gadis malang itu kehilangan kehormatannya!"

Ketika temannya pergi orang ini cepat bergerak mendekati Dewa Tuak lalu membisikkan sesuatu. Dewa Tuak yang tengah asyik berpesta tukar-tukaran tuak dengan lblis Pemabuk terkejut besar.

"Kau siapa?!" tanya Dewa Tuak dengan pandang menyelidik. Kalau saja matanya bisa menembus pakaian aneh orang di hadapannya itu dia tidak akan begitu bingungnya.

”Siapa aku tak usah kau perdulikan...!"

"Baik! Katakan di mana dia sekarang?”

Orang berselubung menunjuk ke pedataran pasir. ”Dia yang di sebelah depan. Lekas kau ikuti dia. Aku punya firasat dia butuh pertolonganmu!"

Tanpa banyak bicara lagi Dewa Tuak serahkan tabung bambunya pada lblis Pemabuk lalu dia menghambur kearah pedataran pasir. Sebelum berkelebat pergi orang yang berselubung menghampiri Ratu Duyung.

"lzinkan aku meminjam dua anak buahmu!"

Walau tidak tahu apa sebenarnya yang hendak dilakukan orang itu Ratu duyung anggukkan kepala. Sesaat kemudian kelihatan tiga orang berlari melintasi pedataran pasir menuju kebukit sebelah barat. Di depan sekali adalah orang berselubung tadi. Di belakangnya menyusul dua anak buah Ratu Duyung yang mengenakan pakaian ketat.

Tak lama setelah temannya berlalu orang berselubung yang satunya diam-diam merasa khawatir. Delapan tokoh Kembar tidak bisa dianggap remeh. Selain mereka berjumlah banyak, masing-masing memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi. Senjata utama mereka adalah tiupan aneh yang mampu membobol dinding karang, sanggup menghancurkan batu. Maka orang ini lantas mendekati Tua Gila. Dengan cepat dia menerangkan apa yang hendak dilakukan temannya dibantu oleh dua anak buah Ratu Duyung serta Dewa Tuak.

"Kalau temanmu itu sudah dibantu oleh tiga orang yang kau sebutkan, perlu apa dikhawatirkan?" ujar Tua Gila sambil tertawa mengekeh tapi sepasang matanya jelalatan seolah mau menyelidik siapa adanya dibalik pakaian selubung kain putih itu.

"Puluhan tahun malang melintang dalam dunia persilatan rupanya otakmu masih belum waras-waras juga!" Orang berselubung kain putih keluarkan suara keras. "Kau tahu Delapan Tokoh Kembar bukan lawan yang bisa dibuat main!"

"Heh...! Kalau kau tahu mereka tidak bisa dibuat main mengapa kau sendiri tidak membantu?!" tukas Tua Gila yang jadi naik darah karena didamprat kurang waras.

"Kalau kau tidak suka turun tangan dan datang ke sini hanya untuk berleha-leha, atau mungkin kau merasa jeri terhadap Delapan Tokoh Kembar, tidak jadi apa. Tapi aku nasihatkan padamu lebih baik kau pulang saja ke Pulau Andalas, cuci kaki. Jangan lupa cebok lalu tidur! Hik hik hik hik!" Habis berkata dan mentertawai Tua Gila, orang berselubung kain putih kembali ke tempatnya semula.

Panas hati Tua Gila bukan main. "Manusia keparat! Siapa dia adanya! Mengapa menyembunyikan muka dan tubuh di balik kain putih! Suaranya pun disertai tenaga dalam hingga sulit dikenali!" Sambil menggulung ke dua lengan pakaian Putihnya Tua Gila melangkah ke hadapan orang berselubung.

"Enak saja kau menuduh aku jeri. Ucapanmu Kelewat menghina! Kau akan saksikan bagaimana aku menangani Delapan Tokoh Kembar itu! Tapi ingat! Selesai urusan itu aku akan menelanjangimu hingga ketahuan siapa kau adanya! Jangan-jangan kau seorang musuh dalam selimut!"

Sepasang mata yang terlihat dari dua buah lobang Di kepala selubung kain tampak memancarkan sinar aneh. Sesaat Tua Gila jadi tercekat. Lalu cepat-cepat orang tua ini menyeberangi pedataran pasir, menyusul Rombongan yang telah dahulu ke sana.

********************

TUJUH

Sambil berlari orang yang di sebelah depan embuka kain putih panjang yang selama ini menutupi kepala dan tubuhnya. Begitu kain terbuka kelihatanlah wajah dan bentuk tubuhnya yang asli. Astaga! Ternyata dia adalah lblis Putih Ratu Pesolek! Sambil terus berlari si nenek tua ini merapal mantera tertentu hingga sesaat kemudian dirinya berubah menjadi seorang gadis cantik jelita, membuat dua orang anak buah Ratu Duyung terkesiap heran

"Jangan terpukau kalian nanti bisa celaka lkuti apa yang aku lakukan. Jangan berani membantah"

Dua gadis anak buah Ratu Duyung mengiyakan. Ke tiga orang itu sampai di kaki bukit sebelah barat tepat pada saat Delapan Tokoh Kembar hendak melakukan kekejian atas diri Puti Andini yang saat itu nyaris mereka telanjangi. lblis Pulih Ratu Pesolek yang sudah berganti rupa menjadi seorang gadis cantik berseru lantang.

"Lelaki-lelaki jantan Delapan Tokoh Kembar! Apa sedapnya kalian menggagahi pemuda banci berbaju merah itu. Lebih baik bersenang-senang dengan kami!"

Habis berkata begitu lblis Putih Ratu Pesolek lalu singkapkan dada pakaiannya hingga sepasang payudaranya terlihat jelas oleh Delapan Tokoh Kembar. Mendengar teriakan lblis Putih Ratu Pesolek itu tentu saja Delapan Tokoh Kembar yang sedang sibuk hendak melakukan kekejian terhadap Puti Andini menjadi terkejut. Mereka putar kepala memandang kearah lblis Putih Ratu Pesolek dan sama-sama ternganga terkesiap melihat apa yang dipertunjukkan. Mereka sepertinya tidak percaya kalau Puti Andini adalah pemuda banci. Namun memang jika mereka bandingkan dada Puti Andini yang agak rata biasa -biasa saja dengan dada lblis Putih Ratu Pesolek yang begitu menggairahkan maka ucapannya tadi termakan juga oleh delapan lelaki berkepala kuning botak ini.

Selagi Delapan Tokoh Kembar seolah-olah terhipnotis lblis Putih Ratu Pesolek memberi isyarat pada dua orang anak buah Ratu Duyung. "Lekaslah singkap dan perlihatkan isi dada kalian yang bagus itu?”

Dua gadls cantik anak buah Ratu Duyung tentu saja terkejut besar karena tidak menyangka akan disuruh berbuat begitu. "Kami…" keduanya menjadi gagap dan bersemu jengah wajah masing-masing.

"Jangan pikir segala apa! Jangan tolol! kita Semua tengah menghadapi bahaya besar. Lekas Lakukan apa yang aku bilang barusan!" sentak lblis Putih Ratu Pesolek.

Dua gadis sesaat masih bingung. Dia memandang pada lblis Putih Ratu Pesolek, pada Delapan tokoh Kembar yang kini tampak menyeringai lalu pada Puti Andini yang saat itu masih terbaring di tanah dalam keadaan pakaian tidak karuan.

"Lekas! Kalian tunggu apa lagi!" lblis Putih Ratu Pesolek jadi jengkel.

Dua gadis anak buah Ralu Duyung akhirnya melakukan juga apa yang dikatakan si nenek yang menyamar jadi gadis cantik itu. Delapan Tokoh Kembar yana memang punya sifat suka bersenang-senang membelalak beiar ketika kini melihat tiga pasang payudara putih dan besar-besar segar membusung menantang keluar. Tenggorokan mereka turun naik sedang cuping hidung mengembang mengeluarkan suara nafas memburu.

Tujuh orang yang kepalanya berangka 2 sampai 8 memandang pada saudara tua mereka nomor 1. Yang nomor satu ini kedap kedipkan matanya. Lidah dijulurkan pulang balik. Namun tampak ada bayangan rasa rasa bimbang. Melibat gelagat yang tidak baik ini lblis Putih Ratu Pesolek segera keluarkan ucapan.

"Kami bertiga masih perawan! Apa kalian semua mau berlaku bodoh menggauli pemuda banci itu? Mendapatkan perempuan palsu padahal yang asli siap melayani kalian?”

Tokoh kembar nomor 1 maju selangkah. Enam saudaranya mengikuti. Namun tiba-tiba yang nomor 4 mendekati dan berbisik. "Kakak, kau dan saudara-saudara yang lain silahkan mengambil tiga gadis itu, aku biar tetap dengan pemuda banci itu saja..."

Si nomor satu pelototkan mata tapi kemudian menyeringai sementara saudara-saudaranya yang lain terlawa bergelak. "Saudara kita si nomor 4 ini sejak dulu memang punya kelainan! Ha ha ha!"

Didahului oleh si nomor 1, diikuti oleh yang lain-lain kecuali si nomor 4, tujuh bayangan merah berkelebat. Kalau tadi masih bisa diatur siapa yang duluan kini keadaan jadi kacau karena semua berebut cepat untuk dapat menyentuh tiga gadis cantik di depan mereka.

Hanya beberapa langkah lagi tujuh orang tokoh Kembar akan sampai ke tempat tiga gadis cantik tiba-tiba gadis paling depan yakni lblis Putih Ratu Pesolek hantamkan tangan kanannya. Selarik Angin keras menyambar ke kepala Tokoh Kembar Nomor 3. Dua anak buah Ralu Duyung tidak tinggal diam. Entah kapan mereka mengambii tahu-tahu masing-masing sudah memegang senjata yang sangat diandalkan yakni sebatang tongkat besi yang ujungnya memancarkan cahaya biru angker. Ketika senjata-senjata itu dipukulkan ke depan, dua larik sinar biru menggebu!

”kita tertipu” teriak Tokoh Kembar nomor 1 lalu cepat mendorong adiknya yang nomor 3. Sang adik selamat dari serangan iblis putih ratu pesolek, tetapi adiknya yang lain yakni yang nomor 6 agak terlambat Menyingkir.

”Wusssss"

Angin keras mengandung tenaga dalam tinggi Menghantam dada si nomor 6. Membuatnya terjungkal dan jatuh terjengkang. Pakaian merahnya di Bagian dada nampak berlobang hangus. Kulit tubuhnya kelihatan merah seperti terpanggang. Kedua matanya mendelik dan dari sela bibimya mengucur keluar darah segar.

Jelas dia terluka parah disebelah dalam tetapi hebatnya dalam keadaan seperti itu dia masih sanggup melompat bangkit. Disebelah kiri tiga lelaki botak yang menghadapi langsung serangan dua sinar biru cepat jatuhkan diri lalu melompat ke depan susupkan masing-masing satu pukulan maut ke arah dua orang anak buah Ratu Duyung.

Dua gadis yang diserang segera menghantam dengan tongkat besi masing-masing. Dua sinar biru berkiblat. Tiga lelaki botak yang berada dibarisan paling depan cepat melompat mundur. Mereka sudah mendengar kecantikan gadis-gadis dari laut selatan ini. Tetapi mereka juga pernah mendengar kalau para gadis itu tidak bisa dibuat main.

llmunya tidak rendah dan memiliki senjata yang memancarkan sinar biru yang mampu menjebol batu bahkan dinding besi. Bisa dibayangkan bagaimana kalau sinar itu sampai menghantam diri mereka bersaudara.

"Bentuk Barisan Menggusur Bumi!" Tokoh Kembar nomor 1 berteriak keras.

Tujuh lelaki botak berjubah merah segera membentuk barisan memanjang dari sisi kiri ke sisi kanan. Tangan kanan diangkat tinggi-tinggi ke atas dengan telapak terkembang. Telapak tangan kiri diletakkan di atas kepala mereka yang botak dan dicat kuning.

"Menggusur Bumi. Hantam!"

Tujuh mulut meniup serentak ke arah lblis Putih Ratu Pesolek dan dua orang anak buah murid Ratu Duyung. Mula-mula terdengar suara menggemuruh laksana ombak bergulung disertai badai menghantam. Dua gadis berpekikan. Tongkat besi mereka terlepas mental entah ke mana. lblis Putih Ratu Pesolek sendiri keluarkan seruan tegang. Sanggul hitam besar di atas kepalanya terlepas mental dan kini nampak rambutnya riap-riapan acak-acakan.

"Jahanam! Kalian merusak dandananku!" teriak Iblis Putih Ratu Pesolek namun saat itu bersama dua Gadis lainnya tubuhnya telah mencelat mental akibat tiupan angin dahsyat yang keluar dari tujuh mulut manusia botak berjubah merah.

Bagaimanapun mereka kerahkan tenaga luar dan dalam untuk bertahan namun tetap saja ketiga-tiganya terseret mental sejauh dua tombak dan terkapar dipasir begitu punggung masing-masing melabrak dinding karang!

Untuk beberapa saat lamanya ke tiga gadis itu terhenyak nanar di atas pasir. Dari sela mulut dan Liang telinga dua anak buah Ratu Duyung kelihatan ada darah mengalir. lblis Putih Ratu Pesolek sendiri merasakan dadanya mendenyut sakit, mata perih Sekali dan telinga berdenging sakit. Akibat tiupan Angin dahsyat tadi pakaian yang melekat di tubuh Mereka jadi tidak karuan, robek disana-sini.

Tokoh Kembar nomor 1 tertawa mengekeh. "ha ha ha! Ayo bangun dan ikut kami ke balik dinding karang sana!"

Si botak nomor 1 melangkah mendekati lblis Putih ratu Pesolek. Ketika dia hendak menjamah dada perempuan yang dilihatnya sebagai seorang perempuan cantik jelita ini, tiba-tiba lblis Putih Ratu Pesolek lepaskan satu satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Sinar hitam menderu Ganas!

"Wuuuttt!"

”Jahannam! Awas serangan!" teriak si botak noMor seraya menyingkir. Dia selamat tapi saudaranya si botak nomor 5 yang ada di belakangnya terlambat mengelak. Dengan telak sinar hitam pukulan sakti yang dilepaskan lblis Putih Ratu Pesolek menghantam mukanya. Si botak nomor 5 terpental sampai tiga tombak. Ketika tubuhnya terkapar di pasir semua saudaranya jadi berteriak kaget. Tubuh itu tidak punya kepala lagi. Sudah hancur dihantam pukulan sakti lblis Putih Ratu Pesolek dan hancurannya bertebaran mengerikan ke mana-mana.

Kemarahan pun meledak! "Bentuk Barisan Menerjang Laut Menjaring Bumi!" teriak Tokoh Kembar paling tua.

Tujuh lelaki botak berjubah merah berkelebat memutari tiga gadis. "Menerjang Laut Menjaring Bumi. Hantam!" Enam mulut meniup.

Tiga gadis menjerit kaget ketika dapatkan mereka seolah terjebak dalam satu jaring yang tidak berwujud. Mereka menggapai-gapaikian kemari berusaha untuk keluar dari jaring yang tidak terlihat itu. Namun beberapa bayangan merah mendahului berkelebat.

Tahu-tahu ketiga gadis itu merasakan diri masing-masing tegang kaku tak bisa bersuara, tak bisa bergerak lagi. Ketiganya telah ditotok! Tokoh Kembar nomor 2, 3, 6 dan 7 serta merta melompat. Siap untuk menghabisi ke tiga gadis itu dengan tendangan dan hantaman tangan ke arah batok kepala.

"Jangan bunuh! Aku ingin mengerjai mereka habis-habisan! Gotong mereka ke balik gundukan batu karang besar sana!"

Yang berteriak adalah Tokoh Kembar nomor 1 yang marah besar atas kematian adiknya nomor 5. Tiga gadis itu lalu di bawa ke balik gundukan Batu karang. Tokoh Kembar nomor 1 mengikuti Sambil membuka ikat pinggang jubah merahnya.

DELAPAN

Tokoh kembar nomor 4 memanggul tubuh Puti Andini ke balik satu gundukan batu karang besar lalu membaringkannya ditanah. Gadis ini walaupun bisa bersuara tapi tak mampu bergerak karena sebelumnya sudah ditotok.

"Jahanam! Berani kau berbuat kurang ajar aku bersumpah menanggalkan kepala mengorek jantungmu!"

Si jubah merah ganda menyeringai dan usap-usap kepala botaknya yang berwarna kuning. "Sebelum kau menanggalkan kepalaku aku akan lebih dulu menanggalkan pakaianmu! Ha ha ha”

”Sebelum kau mengorek jantungku, aku akan lebih dulu. Ha ha ha…"

"Breett! Breettt!"

Si botak merobek pakaian merah Puti Andini yang sebelumnya sudah tidak karuan rupa karena sudah robek di sana-sini. Sumpah maki si gadis sama sekali tidak diacuhkan si botak. Dengan nafas memburu dia menanggalkan jubah merahnya.

"Kakak-kakakku tolol semua! Termakan tipuan orang! Aku tahu kau bukan pemuda banci! Kau seorang gadis sungguhan dan pasti masih perawan asli! Ha ha ha!"

Ketika Tokoh Kembar nomor 4 ini hampir hendak melakukan perbuatan bejatnya itu tiba-tiba ada satu benda halus menjirat pergelangan kaki kirinya. Sebelum dia sempat memeriksa tiba-tiba kaki itu terbetot ke belakang. Tak ampun lagi si botak terbanting keras ke tanah. Mukanya berkelukuran. Tulang hidungnya patah. Dari hidung dan bibirnya yang pecah berkucuran darah.

Satu tangan menyambar jubah merah milik lelaki Itu lalu melemparkannya ke atas tubuh Puti Andini. Sambil menggembor marah Tokoh Kembar nomor 4 menoleh kebelakang. Dia melihat seorang Kakek berpakaian putih, memiliki rambut den janggut serta kumis putih tegak beberapa langkah di belakannya sambil memegang sehelai benang putih yang sangat halus.

Benang inilah yang telah mengikat pergelangan kaki kirinya. Dia berusaha melepaskan ikatan benang. Namun benang halus itu bukan benang sembarangan. Dalam dunia persilatan dikenal dengan nama Benang Kayangan dan sebegitu jauh hanya dua atau tiga orang tokoh sakti saja yang mampu memutusnya.

"Jahanam!" sumpah si botak nomor 4. Sekali lagi dia mencoba bangkit tetapi untuk kedua kalinya.

Orang tua yang memegang benang menyentak hingga si botak yang hanya mengenakan kolor ini amblas terjengkang. Tua Gila, orang tua yang memegang benang Tertawa mengekeh. "Sungguh memalukan! Dalam dunia persilatan. Masih saja ada tokoh-tokoh keji dan kotor sepertimu dan saudara-saudaramu. Kalau tidak segera disingkirkan pasti bisa menimbulkan malapetaka besar di kemudian hari! Apakah kau sudah siap menerima kematian botak kuning nomor 4?!"

"Tua bangka keparat! Kau yang akan mampus duluan!”

"Ha ha ha! Sayang sebelum berjalan ke neraka kau tidak punya kesempatan mengucapkan selamat tinggal pada saudara-saudaramu!"

Tokoh Kembar nomor 4 meniup ke arah Tua Gila. Satu gelombang angin menderu keras. Walaupun tiupan ini merupakan serangan maut yang tidak bisa dibuat main namun dibanding jika Delapan Tokoh Kembar meniup secara serentak maka ke hebatannya tentu saja jauh berkurang.

Sambil membungkuk menghindarkan serangan tiupan angin maut itu Tua Gila sentakkan kuat-kuat benang yang dipegangnya. Tubuh si botak nomor 4 melayang ke udara. Mula-mula seperti layangan tubuh itu dikedat-kedutnya beberapa kali hingga si botak nomor 4 merasa lutut dan pangkal pahanya seperti hendak tanggal. Dia menjerit kesakitan. Tua Gila tertawa geiak-gelak seperti anak-anak yang bermain kegirangan. Lalu tangannya menyentak lagi.

"Wuutttttttttt!"

Sosok si botak nomor 4 berputar di udara laksana titiran. Tua Gila ulur benang kayangannya. Tubuh sibotak mencuat sesaat lalu kembali berputar. Kali ini karena benang telah diulur maka lingkaran putaran tubuhnya jadi melebar. Akibatnya ketika tubuh itu berdesing ke arah sebatang pohon besar dasi botak tak sanggup menyelamatkan diri maka...

"Praaak!" Tak ampun lagi kepala botak itu hancur mengerikan. Warnanya yang kuning kini berubah menjadi merah!

Tua Gila sentakkan tangan kanannya. Jiratan benang kayangan di pergelangan kaki kiri si botak nomor 4 yang kini sudah jadi mayat terlepas. Dengan cepat Tua Gila gulung dan simpan kembali benang sakti Itu ke balik pakaian putihnya. Lalu dia melangkah mendekati Puti Andini yang masih tergeletak dalam keadaan tertotok. Sekali memeriksa saja dia sudah mengetahui dibagian mana si gadis tertotok. Setelah melepaskan totokan itu Tua Gila berkata,

"Cucuku, lekas kenakan pakaian ini!" Dari balik punggung pakaiannya Tua Gila mengeluarkan sehelai baju dan celana panjang putih. "Kalau sudah, aku sarankan agar kau segera kembali ke Pulau Andalas. llmumu cukup tinggi. Tapi untuk berani menantang badai di tanah Jawa ini belum saatnya. Katakan pada gurumu Sabai Nan Rancak bahwa Kitab Putih Wasiat Dewa yang dicarinya tidak berjodoh dengan dirinya ataupun dirimu! Masing-masing manusia sudah ditakdirkan oleh Yang Kuasa untuk memiliki dan mencapai segala apa adanya sampai di tingkat yang sudah ditentukannya. Soal dendam kesumatnya di masa lalu terhadap diriku biar nanti aku yang akan menyelesaikan. Kau anak baik. Aku percaya kau bisa lebih baik lagi menghadapi tantangan hidup ini!"

Habis berkata begitu Tua Gila berkelebat pergi dari tempat itu. Untuk beberapa lamanya Puti Andini alias Dewi Payung Tujuh masih terbaring terdiam. sebelumnya dia marah besar jika dipanggil cucu oleh orang tua itu. Namun setelah dirinya diselamatkan, diam-diam dia merasa ada keperihan yang mendalam di lubuk hatinya. Dari arah pedataran pasir terdengar bentakan-bentakan orang yang berkelahi. Puti Andini sadar di mana dia berada saat itu. Segera dia bangkit dan mengenakan pakaian yang diberikan Tua Gila dengan cepat.

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Kembali pada apa yang terjadi atas diri lblis Putih Ratu Pesolek dan dua anak buah Ratu Duyung. Di balik gundukan batu karang di ujung bukit sebelah selatan enam orang berjubah merah turunkan tubuh tiga gadis cantik yang mereka gotong ke tanah. Tokoh Kembar nomor 1 berpaling pada lima saudaranya.

"Kalian harap bersabar dan tetap tinggal di tempat. Aku akan memberi pelajaran dan hajaran pada tiga gadis keparat ini. Tidak ada satu manusia pun boleh menipu Delapan Tokoh Kembar!"

Habis berkata begitu si botak nomor 1 ini sibakkan jubah merahnya lalu melangkah mendekati lblis Putih Ratu Pesolek. "Biang racun penipu! Pembunuh adikku nomor lima. Kau pantas mendapat bagian lebih dulu!" lalu dilepaskannya totokan pada urat gagu yang menutup jalan suara lblis Putih Ratu Pesolek.

"Aku ingin dengar bagaimana suara teriakanmu!"

"Kau hendak melakukan apa?!" tanya si nenek yang saat itu berwujud sebagai gadis cantik. "Mau memperkosaku? Hik hik hik! Aku memang sudah lama. Apa kau sudah tahu caranya? Hik hik hik! Bangsat pengecut! Berani pada lawan yang tertotok! Kalau kau tidak segera membunuhku kau akan menyesal seumur hidup!" kata lblis Putih Ratu Pesolek begitu dilihatnya Tokoh Kembar nomor 1 kembali melangkah mendekatinya.

Semula disangkanya si botak No 1 hendak menghajarnya kembali. Ternyata dia tidak menghantamkan tendangan atau pukulan. Melainkan siap untuk melakukan kemesuman terhadap iblis putih Ratu Pesolek yang saat itu bukan saja berada dalam keadaan kaku tegang akibat totokan tetapi juga telah terluka parah di sebelah dalam.

Baru saja Tokoh Kembar nomor 1 membungkuk hendak menggagahi lblis Putih Ratu Pesolek tiba-tiba ada orang berseru. "Memperkosa tanpa mabuk lebih dulu apa enaknya! Ha ha ha!” Lalu...

”Byuurr!”

”Awas serangan Tuak Kayangan!" teriak si botak nomor 1 memberi tahu adik-adiknya.

Saat itu dari arah depan laksana hujan badai menyembur cairan putih ke arah enam Tokoh Kembar. Semua mereka segera mencari perlindungan. Si botak nomor 2 dan nomor 7 bertindak agak terlambat. Walau sempat menyelamatkan diri namun jubah mereka masih terkena sambaran semburan tuak hingga berlubang-lubang. Bagian tubuh mereka yang kena cipratan minuman keras itu laksana ditusuk-tusuk dengan jarum dan menggembung bengkak!

"Keparat jahanam!" maki Tokoh Kembar nomor 1.

Dia dan kawan-kawannya siap bergabung untuk melancarkan serangan balasan. Namun saat itu datangnya serangan berupa semburan tuak seolah-olah tidak berhenti. Selain itu mereka juga tidak dapat melihat jelas di mana beradanya Dewa Tuak, musuh yang tengah menggempur mereka saat itu.

Selagi mereka saling memberi isyarat tiba-tiba terdengar pekik si botak nomor satu. Tubuhnya mendadak roboh ke pasir, kelojotan kian kemari. Sebentar kedua kakinya melejang-lejang, di lain saat dua tangannya berulang kali diturunkan ke bawah perut tapi diangkat lagi, begitu terus-terusan.

Di seberang sana Dewa Tuak tertawa mengekeh sambil kedutkan benang sutera yang dipegangnya. Lima saudara Tokoh Kembar nomor 1 terbelalak dan berteriak marah ketika melihat apa yang terjadi. Ternyata dengan benang saktinya Dewa Tuak telah mengikat kuat-kuat anggota rahasia milik kakak tertua mereka. Dapat dibayangkan sakit yang diderita lelaki botak nomor 1 itu. Setiap dia coba hendak merenggut dan memutus benang, Dewa Tuak tarik benangnya hingga Tokoh Kembar nomor 1 menjerit setinggi langit dan kelojotan kesakitan.

"Keparat!" teriak si botak nomor 2. Bersama adiknya nomor 3 dan nomor 6 dia melompat dan menghantam untuk memutus benang sutra.

"Desss! Desss!"

Benang sutera membal laksana karet! Ternyata Tidak sangup diputuskan. Sebaliknya akibat tekanan dua pukulan saudaranya tadi, benang sutera yang Mengikat anggota rahasianya menjadi semakin mengcengkram. Kolongan Tokoh Kembar nomor 1 keras mengidikkan. Darah mulai mengucur dari bagian tubuh disebelah bawah perutnya.

"Bunuh jahannam tua berpakaian biru itu!" teriak Si kembar botak nomor 2.

"Bentuk Barisan Menjungkir Langit!" teriak saudaranya yang nomor 6. "Barisan Menjungkir Langit. Hantam!"

Maka secepat kilat lima Tokoh Kembar yang ada Di tempat itu segera membentuk barisan aneh, berjejer berselang-seling. Tangan kanan diangkat tinggi-tinggi ke atas. Telapak tangan kiri diletakkan di atas Kepala botak berwama kuning. Mereka mengerahkan seluruh tenaga dalam. Lalu meniup kesatu arah yakni sosok tubuh dewa Tuak!

Deru angin yang lebih menyerupai air bah dilanda badai menghantam ke arah Dewa Tuak. Kekehan orang tua ini mendadak sontak menjadi lenyap. Sebelum tubuhnya disapu dia segera kerahkan tenaga dalam pada kedua kakinya hingga sepasang kaki orang tua ini laksana dua tiang raksasa menancap ke pasir amblas sedalam mata kaki. Beberapa saat berlalu Dewa tuak kelihatannya sanggup bertahan.

Tapi sesaat kemudian terjadilah hal yang mengejutkan. Tubuh orang tua ini tampak bergetar. Keningnya mengernyit. Lalu terdengar jeritan lblis Putih Ralu Pesolek. Kalau saja dia tidak dalam keadaan tertotok walau saat itu menderita luka dalam yang parah pasti dia telah melompat untuk memeluk tubuh Dewa Tuak.

Pakaian biru yang dikenakan DewaTuak mengeluarkan suara berderik lalu pecah-pecah di beberapa bagian. Dari seluruh pori-pori yang ada di tubuh dan di mukanya kelihatan keluar keringat bewarna merah tanda bercampur darah. Darah juga membersit dari pinggiran mata, mulut, lobang hidung serta telinganya! lblis Putih Ratu Pesolek kembali menjerit. Dua anak buah Ratu Duyung yang juga berada dalam keadaan tertotok sama saja, tak bisa berbuat apa-apa.

"Kraaakkk! Byuuur!"

Tabung bambu yang tergantung dipunggung Dewa Tuak pecah. Tuak harum yang ada didalamnya tumpah membasahi tubuh bagian belakang orang tua itu. Sepasang kaki Dewa Tuak yang menancap di tanah perlahan-lahan terangkat ke atas. Dewa Tuak tahu sekali dirinya dalam bahaya. Kalau dia tetap bertahan tubuhnya disebelah dalam akan hancur luluh. Tapi menyerah begitu saja orang tua yang keras hati ini berpantang sekali.

Dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tangan kanannya tidak mau melepaskan gulungan benang sutera yang dipegangnya. Si botak nomor 1 masih menjerit- jerit kesakitan sambil berusaha melepaskan auratnya sebelah bawah dari libatan benang namun sia-sia, darah makin banyak mengucur dari luka yang melebar akibat irisan benang sutera sakti.

"Tenaga Dalam Penuh!" Tokoh Kembar nomor 2 Berteriak. Bersama empat saudaranya dia segera Menggembor tenaga dalam.

Tubuh Dewa Tuak bergoyang keras. Kedua kakinya tercabut dari tanah. Sebelum tubuh orang tua ini terlempar ke udara. Sekonyong-konyorg ada empat bayangan berkelebat. Tiga langsung mendekati Dewa Tuak dari belakang.

"Dajal-dajal kembar kepala kuning tahi. Pengecut main keroyok!" Yang berteriak temyata adalah lblis Pemabuk. "Dewa Tuak! Bertahanlah. Kami membantu!"

Tiga pasang telapak tangan lalu ditempelkan ke punggung Dewa Tuak. Tiga hawa sakti mengalir ke dalam tubuh orang tua itu. Sesaat tubuh Dewa Tuak bergoncang keras kemudian perlahan-lahan turun kembali keatas pasir, menancap di tanah lebih dalam dari semula. Di depan sana lima Tokoh Kembar berteriak kaget ketika angin maut yang mereka semburkan dari mulut mendadak sontak berbalik menghantam ke arah mereka.

"Wusssss!"

"Selamatkan diri!" Tokoh Kembar nomor 2 berteriak.

Lima orang berkepala botak kuning itu lalu lari berserabutan. Dua orang melakukan gerakan yang salah hingga mereka saling tabrakan. Saat itu juga angin sakti mereka berbalik datang menyambar. Keduanya mencelat sampai tiga tombak, terkapar di atas pasir. Tewas dengan pakaian dan sekujur tubuh bergelimang darah. Daging tubuh mereka hancur laksana dicacah. Yang tiga orang lagi berhasil mencari selamat dengan menjatuhkan diri bertiarap ke pasir.

Begitu angin maut lewat ketiganya cepat berdiri dan melarikan diri. Saat itulah tiga sinar putih berkiblat berturut-turut. Dua orang lagi dari tiga Tokoh Kembar yang masih hidup menjerit keras lalu roboh ke tanah dengan jubah dan tubuh hangus! Yang ke tiga yaitu Tokoh Kembar nomor 3 walau tangan kirinya hangus dihantam sinar putih menyilaukan tapi tadi masih sempat menyelamatkan diri ke balik dinding karang dan menghilang.

Ratu Duyung turunkan cermin saktinya. Kilatan cahaya yang keluar dari senjata mustika inilah tadi yang menamatkan riwayat dua Tokoh Kembar. Di belakang Dewa Tuak tiga pasang tangan yang tadi ditempelkan ke punggung orang tua itu perlahan-lahan diturunkan. Walau tidak menoleh namun Dewa Tuak sudah tahu siapa yang barusan menolongnya.

"lblis Pemabuk, Tua Gila, Ratu Duyung dan sobat berselubung. Aku mengucapkan terima kasih. Kalau kalian tidak membantu tentu saat ini aku sudah jadi bangkai!"

lblis Pemabuk tenggak tuak dari dalam kendi lalu berkata. "Aku tidak merasa membantu. Aku hanya tidak suka melihat orang main keroyok!"

Orang berselubung batuk-batuk beberapa kali. Dengan gerakan cepat dia memusnahkan totokan yang menguasai lblis Putih Ratu Pesolek dan dua gadis anak buah Ratu Duyung. Lalu dari balik kain putih yang menutupi sekujur tubuhnya dia mengeluarkan dua butir obat. Sebutir diberikannya pada Dewa Tuak, sebutir lagi pada lblis Putih Ratu Pesolek.

"Lekas telan Luka dalam kalian bukan main-main!"

Dewa Tuak dan lblis Putih Ratu Pesolek segera telan obat yang diberikan. Setelah menelan obat dewa Tuak cepat menemui lblis Putih Ratu Pesolek dan membantunya berdiri. Sementara Ratu Duyung segera pula menolong dua anak buahnya.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Dewa Tuak pada lblis putih Ratu Pesolek. Tendangan keparat botak nomor satu itu keras sekali. Jahanam betul" jawab lblis Putih Ratu Pesolek yang sampai saat ini masih tetap berwujud sebagai seorang gadis. "Eh, jahanam yang kau kerjai barangnya itu kenapa berhenti berteriak?”

Dewa Tuak dan lblis Putih Ratu Pesolek melangkah mendekati Tokoh Kembar nomor 1. Memandang ke bawah perut orang itu dinginlah tengkuk lblis Putih Ratu Pesolek. Anggota rahasia Tokoh Kembar nomor 1 ternyata sudah hancur seperti disayat-sayat. Nyawanya tak tertolong lagi karena terlalu banyak mengeluarkan darah.

"Sayang bumbung tuakku dihancurkan oleh bangsat yang sudah jadi mayat itu…" Lalu dia berpaling mencari-cari. Dari samping ada yang berkata,

"Kau pasti mencari-cari aku! Ini, ambil satu kendiku. lsinya masih penuh!"

Dewa Tuak menyeringai pada lblis Pemabuk yang ada di samping kirinya. Dengan cepat disambarnya kendi berisi tuak keras yang diberikan tokoh silat bertubuh pendek gemuk itu. Lalu dibimbingnya tangan lblis Putih Ratu Pesolek dan dibawanya ke balik sebuah batu karang besar. Si gadis tampak tersipu-sipu. Dewa Tuak berkata perlahan.

"Perlu apa malu-malu. Aku sudah tahu siapa dirimu. Anak setan murid Sinto Gendeng itu yang memberi tahu..."

"Ah…" lblis Putih Ratu Pesolek keluarkan suara tertahan" Kau bertahun-tahun aku menyirap kabar dirimu. Tidak tahu apa kau masih hidup atau sudah digondol malaikat maut ke akhirat!"

Dewa Tuak tertawa mengekeh. "Aku senang melihat wajahmu muda dan cantik seperti ini. Tapi aku lebih suka melihat wajahmu yang asli!"

lblis Putih Ratu Pesolek kembali tersipu-sipu dan merah jengah wajahnya yang jelita. Dia membuat gerakan menggeliat. Sesaat kemudian perwujudannya sebagai gadis cantik jelita itu lenyap. Kini dia kembali ke bentuk aslinya. Seorang nenek berdandan menor mencorong.

"Suro Lesmono!" kata si nenek menyebut nama asli Dewa Tuak. "Aku gembira bisa bertemu lagi denganmu. Apakah kau baik-baik saja selama ini?"

Dewa Tuak batuk-batuk dan mengangguk-angguk. "Aku juga suka sekali bertemu denganmu. Aku baik-baik saja, kuharap kau juga begitu. Bolehkah aku menciummu saat ini?”

"Tua bangka edan! Kau kira kita berada di mana saat ini?”

Dewa Tuak tertawa gelak-gelak.

"Aku punya urusan yang belum selesai dengan Pangeran Matahari. Dia membunuh saudaraku!" menerangkan lblis Putih Ratu Pesolek. Lalu si nenek hendak berkelebat.

Dewa Tuak cepat pegang lengannya dan berkata. "Sebelum pergi kau tidak hendak mencoba tuak Iblis Pemabuk lebih dulu? Minuman ini bisa mempercepat kesembuhanmu…"

lblis Putih Ratu Pesolek terdiam. "Baik, aku akan minum beberapa teguk…" katanya lalu ulurkan tangan hendak mengambil kendi yang dipegang Dewa tuak. Tapi si kakek malah menjauhkan kendi itu.

"Eh, mengapa kau jauhkan?" tanya si nenek heran.

"Aku ingin kau minum seperti dulu. Masih ingat…?"

Wajah lblis Putih Ratu Pesolek menjadi sangat merah. Dewa Tuak teguk tuaknya sampai mulutnya gembung. Lalu ditariknya lengan si nenek begitu rupa hingga wajah mereka saling bertemu satu sama lain. Begitu bibir mereka saling bertemu, Dewa Tuak buka mulutnya, masukkan tuak kedalam mulut lblis Putih Ratu Pesolek yang sudah menunggu dengan mesranya.

lblis Putih Ratu Pesolek tepuk tangan kanan Dewa Tuak ketika tangan itu mulai jahil menjalar ke tubuhnya. Dia cepat-cepat telan tuak dalam mulutnya lalu mundur dua langkah.

"Eh, kau mau ke mana?’ tanya Dewa Tuak.

"Sudah kubilang aku ada urusan besar yang perlu diselesaikan dengan Pangeran Matahari!" jawabsi nenek. Lalu cepat sekali dia berkelebat tinggalkan tempat itu.

********************

SEMBILAN

Kehadiran Pendekar 212 di kaki bukit sebelah timur setelah berhasil membunuh Elang Setan dan Makhluk Pembawa Bala menimbulkan beberapa reaksi di kalangan para tokoh yang ada di tempat itu. Bujang Gila Tapak Sakti sambil berkipas-kipas melambaikan tangannya lalu berteriak,

"Anak sableng! Apa kau masih ingat sama Kemala?!"

Murid Sinto Gendeng palingkan kepalanya ke arah si gendut itu. Otaknya mengingat-ingat, mulutnya tampak melongo. "Kemala siapa? Aku tidak ingat!" jawab Wiro kemudian.

Bujang Gila Tapak Sakti tertawa bergelak. "Tidak ingat atau pura-pura tidak ingat. Masakan kau lupa pada si Kemala alias Ratih Kiranasari itu? Ha ha ha!"

Paras Pendekar 212 berubah. "Aku ingat sekarang! Ada apa dengan dirinya??"

"Anak sableng! Harusnya aku yang bertanya ada apa dengan dirinya, bagaimana dia setelah aku tinggalkan kalian berdua-dua. Eh, apakah jadi kau tiduri gadis itu untuk memusnahkan ilmu hitam yang menguasai dirinya...?!"

"Gajah bunting? damprat Pendekar 212. Jaga mulutmu! Ini bukan saat dan tempatnya membicarakan hal-hal gila seperti itu?"

Bujang Gila Tapak Sakti betulkan letak kopiah hitam kupluk di atas kepalanya. Dia tertawa gelak-gelak dan terus saja berkipas-kipas. "Sudahlah. Kalau kau tidak mau membicarakan hal itu aku tak mau bicara lagi!" kata Bujang Gila Tapak Sakti pula.

Sementara itu di dalam keranjang rotan raksasa Si Raia Penidur masih terus mendengkur. Pipa yang terselip di sela bibimya mengebulkan asap berbau tidak sedap ke seantero tempat. (Mengenai kemala atau Ratih kiranasari harap baca serial Wiro Sablenq berjudul Pumama Berdarah)

Wiro pencongkan mulutnya. Setelah menggaruk kepalanya beberapa kali dia melangkah ke arah kereta kencana putih di samping mana Ratu Duyung tegak memandang kearahnya dengan sepasang mata biru indah berkilauan. Di atap kereta Kakek segala Tahu masih duduk uncang-uncang kaki dan sesekali kerontangkan kaleng bututnya. Di tempat lain orang berselubung kain putih yang kini tinggal satu begitu melihat Wiro Iangsung memaki dalam hati.

”Dasar anak setan geblek. Dalam keadaan seperti ini masih bisa garuk-garuk kepala cengangas-cengenges! Awas kau nanti kugasak dirimu mulai dari kepala sampai ke pantat!"

Di samping kereta Ratu Duyung memandang ke arah Wiro dengan hati berdebar. Kerinduannya selama ini seolah terobati begitu melihat Wiro muncul dan kini melangkah ke arahnya. "Dia masih mengenakan pakaian hitam yang aku berikan dulu. Apakah ini satu pertanda bahwa dia tidak melupakan diriku…?" membathin Ratu Duyung dalam hati penuh harapan.

Sebenamya Wiro ingin menemui semua tokoh yang ada di tempat itu, yang telah bersusah payah datang untuk menolongnya. Namun dia harus bergerak cepat. Apalagi saat itu dilihatnya Tiga Bayangan Setan telah menuruni bukit di sebelah barat. Wiro percepat langkahnya mendekati kereta. Sesaat dia tegak di depan Ratu Duyung, memandang penuh kagum akan kecantikan si gadis.

Sang Ratu sendiri seperti tersenyum padanya walau jelas kedua matanya tampak berkaca-kaca. Diam-diam gadis ini ingat pada ucapan Tua Gila waktu muncul di tempat itu pertama kali. "Gadis cantik, mudah-mudahan kau segera mendapatkan jodoh! Aku turut berdoa untukmu!"

"Ratu Duyung, aku ingin bicara banyak denganmu. Tapi…" Wiro tak bisa meneruskan ucapannya. Tenggorokannya serasa tersekat. Terlebih ketika dilihatnya sepasang mata biru bagus sang Ratu berkaca-kaca memandang tak berkesip seolah melepas segala kerinduan yang dipendamnya selama ini. Dengan suara perlahan kemudian Wiro berkata,

"Ratu Duyung, harap maafkan. Ada sesuatu yang hendak kutanyakan pada orang yang kurang ajar duduk di atas keretamu!"

Ratu Duyung menganggukkan kepala. Bibirnya yang merah bagus membentuk senyum. Senyum bahagia ini seperti tidak mau pupus dari wajahnya yang jelita. Wiro mendongak ke atas kereta.

"Kakek Segala Tahu!" serunya memanggil. Si kakek memandang kebawah, tertawa lebar dan goyang-goyangkan tangannya yang memegang kaleng. "Aku perlu petunjukmu tentang kelemahan Tiga Bayangan Setan! lblis Pemabuk pernah mengatakan 'Tepat tengah hari bolong. Pilih yang di tengah'. Kau bisa mengartikan petunjuk itu?!"

Si kakek menggeleng. Lalu kerontangkan kaleng rombengnya.

"Celaka" keluh Wiro dalam hati. Lalu dia berteriak kembali. "Kek! Aku tidak percaya kau tidak tahu percuma kau dijuluki Kakek Segala Tahu!"

Si kakek uncang-uncang kakinya lalu menjawab. "Gelar apa pun tidak menjadi jaminan bahwa manusia itu bisa seperti Tuhan mengetahui segala sesuatunya. Waktumu hanya tinggal sedikit anak muda. Lekas kau bertanya pada Si Raja Penidur..."

Wiro palingkan kepalanya ke arah Si Raja Penidur yang masih ngorok di dalam keranjang rotan Besar. "Kau ini bergurau atau apa. Kau lihat sendiri! Dia masih mendengkur begitu, bagaimana aku bisa bertanya! Kau tahu manusia macam bagaimana dia tidur bisa sampai berbulan-bulan!"

”Anak tolol! Apakah kau sudah bertanya padanya"! Apakah kau kira si gendut sobatmu berjuluk Bujang Gila Tapak Sakti itu mau bersusah payah membawanya ke sini kalau tidak punya maksud tertentu?!"

Wiro garuk-garuk kepala. "Maafkan aku Kek," kata Wiro. Lalu dia menghambur ke arah Bujang Gila Tapak Sakti yang duduk Di tanah sambil bersandar pada keranjang rotan besar tempat si Raja Penidur melingkar tidur.

"Heh, mau apa kau datang ke sini?“ Bujang Gila Tapak Sakti membentak tapi wajahnya mengulum senyum dan kipas di tangannya bergerak pulang balik di mukanya yang keringatan.

"Gajah bunting Jangan bersikap garang! Ini urusan mati atau hidup!" semprot Wiro. Begitu Wiro mendekati keranjang rotan dengkur Si Raja Penidur bertambah keras. Sesaat Pendekar 212 merasa ragu. Namun akhimya sambil menepuk paha orang tua bertubuh maha gemuk itu dia bertanya,

"Kakek Raja Penidur, harap kau suka bangun dan memberi tahu apa artinya 'Tepat tengah hari bolong. Pilih yang di tengah'…."

Sosok Raja Penidur tidak bergerak sedikit pun. Wiro memandang pada Bujang Gila Tapak Sakti seolah minta tolong. Tapi si gendut satu ini cuma menyeringai sambil terus berkipas-kipas. Wiro tepuk lagi paha Si Raja Penidur. Kali ini lebih keras. Tiba-tiba kaki itu bergerak.

"Kek! Kakek Raja Penidur! Bangun Kek. Aku butuh bantuanmu...!" kata Wiro setengah berseru.

Si Raja penidur menggeliat dalam keranjang. Dari mulutnya terdengar suara meracau. Matanya terbuka sedikit lalu tertutup lagi.

"Kek! Jangan tidur dulu! Aku perlu petunjukmu!"

Mulut Si Raja Penidur kembali meracau.

"Apa sih yang diucapkan si gendut ini?” pikir Wiro. Lalu tidak sabaran dicabutnya pipa yang terselip di bibir Raja Penidur. Saat itulah orang tua gemuk ini menggeliat lagi, lalu tiba-tiba dia bangkit dan duduk di atas keranjang rotan itu. Kepalanya yang berat ditengadahkan ke langit. Sepasang matanya tertutup mengemyit. Lalu dari mulutnya terdengar ucapan.

"Ho… Oooooo. Sudah tepat tengah hari bolong rupanya! Kalau ada tiga buah kelapa aku akan memukul kelapa yang di tengah! Yang di tengah itu yang paling lezat! Huah…!” Raja Penidur menguap lebar-lebar lalu tubuhnya terguling ke dalam keranjang rotan. Suara mengoroknya kembali membahana.

Murid Sinto Gendeng kecewa besar. Dia belum sempat mengartikan ucapan Si Raja Penidur dan kini manusia raksasa gemuk itu sudah mendengkur kembali. Dia memandang kearah bukit di sebelah barat lalu mendongak ke langit. Saat itu matahari tepat berada di titik tertingginya.

"Astaga! Dia benar. Saat ini tepat tengah hari bolong. Lalu kelapa yang di tengah? Apa maksudnya? Kurang ajar. Mengapa aku begitu tolol" Wiro melompat bangkit. Tapi ketika ingat masih memegangi pipa Si Raja Penidur dia cepat-cepat membalik dan selipkan pipa itu kembali ke mulut Raja Penidur. Baru saja dia hendak memutar tubuh Tiba-tiba diatasnya ada satu bayangan berkelebat Disertai teriakan dahsyat.

"Bunuh!"

Wiro cepat angkat kepalanya. Pada saat itu dari atas berkelebat Tiga Bayangan Setan. Kedua tinjunya Diadu satu sama lain. Bersamaan dengan teriakan bunuh tadi maka dari tiga guratan di keningnya memancar sinar aneh. Lalu dari kepalanya yang botak sebelah itu mencuat keluar asap membentuk tiga sosok makhluk jejadian bermuka raksasa dengan rambut riap-riapan dan taring besar serta mata merah mendelik ganas.

Semua orang yang ada di situ tercekat tegang. Tiga makhluk ini bergerak cepat sekali. Ketiganya menghantamkan tangan laksana palu godam ke arah kepala Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng cepat menyingkir meloloskan diri dengan jurus ilmu silat yang didapatnya dari Tua Gila. Lalu sambil melompat ke atas dia berteriak.

"Tepat tengah hari bolongl Pilih yang di tengah!"

"Wuuut! Wuuut! wuuutt!"

Tiga hantaman makhluk-makhluk jejadian tidak mengenai sasaran. Begitu selamat dari serangan maut Wiro berjungkir balik di udara. sesaat kemudian tubuh sang pendekar kelihatan menukik ke bawah. Sambil menukik Wiro tiup tangan kanannya. Gambar kepala Datuk Rao Bamato Hijau muncul di telapak tangannya. Di kejauhan terdengar suara auman harimau yang sosoknya tidak kelihatan. Bukit batu bergetar hebat. Pedataran pasir menggelombang. Semua orang menjadi tercekat.

Tiga makhluk raksasa membalik, siap menyerbu kembali. Murid Sinto Gendeng keluarkan jurus ke dua dari ilmu silat Enam Inti Kekuatan Dewa yang dipelajarinya dalam Kitab Putih Wasiat Dewa. Telapak tangan kanan yang terbuka didorongkan perlahan saja. Yang diarah adalah kepala raksasa jejadian yang sebelah tengah!

"Praaakk!"

Kepala raksasa yang di sebelah tengah hancur berantakan. Darah bermuncratan. Di kejauhan terdengar suara lolongan aneh. Dari mulut Tiga Bayangan Setan sendiri melesat jeritan menggidikkan. Tubuh berjubah hitam ini terkapar di tanah. Kepalanya kelihatan hancur mengarikan. Anehnya kepala makhluk jejadian yang dihantam tapi kepala Tiga Bayangan Setan ikut hancur. Dan lebih aneh lagi kehancuran ini menjalar ke seluruh tubuhnya sampai ke kaki bersamaan dengan itu sosok tiga makhluk jejadian lenyap. Kesunyian menegangkan menyelimuti tempat itu.

Pangeran matahari laksana disengat kalajengking ketika menyaksikan tewasnya Tiga Bayangan setan. Padahal dia sangat mengandalkan kaki tangannya yang satu ini. Dia usap mukanya berulang kali. Otak liciknya diputar. Dia kerahkan tenaga dalam lalu berteriak membahana.

"Para tokoh di bukit timur! Sebelum kita meneruskan urusan di Pangandaran ini aku perlu memberitahu satu hal dan meminta pertanggungan jawab kalian!"

"Pangeran bejat! Kau mau pidato atau membaca syair?!" berseru Tua Gila lalu tertawa mengekeh.

Dewa Ketawa ikut-ikutan tertawa. Dewa Sedih meraungkan tangis dan Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Tampang Pangeran Matahari menjadi merah padam. Namun sambil menyeringai dia berkata,

"ketahuilah pendekar 212 telah menghamili kekasihku bidadari angin timur! Gadis berbaju biru itu yang itu yang bertempur dengan gadis bersenjatakan payung tadi!"

Pendekar 212 berseru kaget. Yang lain-lain terkesiap Dan keluarkan suara bergumam sambil memandang kearah Wiro. Semua orang menjadi geger. Ratu Duyung merasa sangat terpukul. Dia tutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Kurang ajar! Tuduhannya dusta dan fitnah belaka!" teriak Pendekar 212.

Pangeran Matahari mendengus. "Ternyata kau terlalu pengecut mengakui kebejatanmu Pendekar 212. Nanti bisa kita tanyakan sendiri pada gadis itu. Saat ini aku akan meminta pertanggungan jawab kalian atas kejadian ini! Sayang nenek pikun si Sinto Gendeng guru Pendekar 212 tidak ada di sini hingga tidak bisa kumintakan pertanggungan jawabnya!"

"Pangeran sundal! Sinto Gendeng ada di sini, dan dia belum pikun!"

SEPULUH

Tiba-tiba satu suara menggema keras di kaki bukit timur. Orang berselubung kain putih menggerakkan tangan, menarik lepas pakaiannya. Saat itu juga terlihatlah sosoknya yang asli. Ternyata dia bukan lain adalah nenek tinggi kurus berkulit hitam Sinto Weni alias Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Si nenek mengerling ke arah Tua Gila yang sempat terbelalak ketika mengetahui kekasihnya di masa muda itu berada di tempat itu.

Kalau para tokoh di kaki buki sebelah timur heran-heran maka musuh mereka yang ada di bukit sebelah barat tampak berusaha menekan rasa kecut yang menimpa diri mereka. Si Muka Bangkai cepat-cepat membisiki muridnya.

"Pangeran, keadaan tidak menguntungkan bagi kita. Tujuh dari Delapan Tokoh Kembar telah menemui ajal. Jumlah lawan terlalu banyak untuk kita hadapi. Dewa Ketawa, Dewa Sedih, Kakek Segala dan Bujang Gila Tapak Sakti masih belum turun Tangan. Belum lagi Sinto Gendeng yang sangat berbahaya ini. Bagaimana kalau kita tinggalkan saja tempat ini. Aku akan mengatur siasat agar kita bisa melarikan diri dengan selamat."

Rahang Pangeran Matahari nampak menggembung. Wajahnya membersitkan kecongkakan dan kelicikan serta segala akal. Yakin akan kehebatan Kitab Wasiat lblis yang berada di tangannya dia menjawab,

"Guru, jika kau mau kabur silahkan saja. Aku Pangerang matahari raja diraja dunia persilatan tidak akan pergi dari sini! Mereka akan kuhabisi satu persatu! Hari ini juga! Hari sepuluh bulan sepuluh!"

Sang Pangeran lalu usap dadanya dimana tersimpan Kitab Wasiat Iblis. Mendengar kata-kata muridnya itu walau hatinya jerih tapi Si Muka Bangkai terpaksa tetap berada di tempat itu.

"Pandan Arum! Kau harus berani mengatakan siapa yang telah menghamilimu! Aku akan ikut merobek-robek manusia jahanam itu!" Tiba-tiba ada seseorang berteriak disertai satu bayangan biru dan menebarnya bau sangat wangi.

Paras gadis berbaju biru yang dipanggil dengan nama Pandan Arum menjadi pucat pasi. Tubuhnya terasa lunglai dan dia tersandar ke dinding batu karang di belakangnya seraya menatap pada seorang gadis yang berpakaian biru dan memiliki ciri-ciri sangat sama dengan dirinya! Baik wajah, sosok tubuh, warna kulit dan warna rambut maupun pakaian dan wewangian yang dipakainya! Hal ini membuat semua orang yang ada ditempat itu jadi terbelalak!

"Ooo… la-la! Apa yang terjadi?!" seru Tua Gila. "Mengapa sekarang jadi dua?! Dari mana datangnya?"

"Kembarannya atau jejadiannya yang muncul ini?!" teriak Dewa Ketawa lalu gelak mengakak. Saudaranya si Dewa Sedih tampak cemberut lalu mulai sesenggukan dan menangis.

Bujang Gila Tapak Sakti sambil berkipas-kipas berkata. "Ah, aku dikasih yang mana saja akan kuterima! Ha ha ha!"

Bagaimana herannya semua orang yang ada disitu termasuk Pangeran Matahari sendiri, yang paling terkejut adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Sepasang matanya melotot tak berkesip. "Benar-benar ada dua. Berarti gadis yang kutemui di rumah makan itu adalah yang barusan datang ini. Bidadari Angin Timur yang asli. Tapi…!" Wiro garuk-garuk kepala. "Bagaimana aku benar-benar bisa memastikan yang mana yang asli!"

Selagi kesunyian masih mencengkam di tempat Itu tiba-tiba gadis yang barusan datang berkata Dengan suara lantang. "Kalian semua dengar. Aku dan gadis ini adalah dua saudara kembar. Aku kakaknya dia adikku! Perjalanan hidup telah membuat nasibnya tersesat dan terhina karena jatuh ke tangan Pangeran Matahari!” si gadis berpaling pada adik kembarnya Ialu berkata, "Katakan pada orang-orang ini! Siapa yang Telah menghamilimu! Jangan berani dusta! Jangan berusaha memfitnah!"

Perlahan-lahan gadis yang disebut dengan nama Pandan Arum itu bergerak dari batu karang tempatnya tegak bersandar. Kalau tadi tubuhnya terasa lemah lunglai kini dia seolah mendapat satu kekuatan hebat. Keberaniannya menggelegak. Sepasang matanya berkilat-kilat. Dia maju beberapa langkah. Wajahnya yang cantik jelita merah mengelam. Air mukanya menjadi sangat menakutkan. Pandangan matanya diarahkan tak berkesip pada Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Dia telah menghamiliku!" teriak Pandan arum lantang hingga semua orang yang ada di tempat itu mendengar jelas. Si gadis memandang menyorot pada Wiro membuat semua orang jadi geram memperhatikan murid Sinto Gendeng itu. Namun tangan kirinya yang diacungkan menunjuk tepat-tepat pada Pangeran Matahari.

"Manusia bejat! Tak cukup kau menipu dan memperbudak adikku, Kau juga merampas kehormatannya’” teriak gadis berbaju biru di samping Pandan Arum yang tentunya bagi Wiro kini jelas adalah Bidadari Angin Timur yang asli.

Pangeran Matahari mendongak ke langit. Dia keluarkan suara tawa panjang. Sadar kalau tipu muslihatnya terhadap Pendekar 212 tidak mempan bahkan sudah terbongkar maka dia pun menjawab. "Adikmu suka padaku Dia memberikan segala-galanya dengan ikhlas! Siapa yang berani menyalahkan diriku? Ha ha ha…!"

"Manusia setan, iblis dajal! terima kematianmu!" teriak Pandan Arum. Lalu dengan nekad gadis ini melompat ke depan seraya menghantamkan kedua tangan, sekaligus melepas dua pukulan Pedang kilat biru.

“Pandan Arum, jangan!” seru bidadari angin timur. Wiro pun berusaha mencegah, tapi terlambat. Dari balik dada Pangeran Matahari menderu sinar hitam mengidikan, itulah kesaktian yang keluar dari kitab wasiat iblis bilamana pangeran matahari diserang! Satu jeritan mengenaskan keluar dari mulut Pandan Arum. Tubuhnya terlempar beberapa tombak dan terkapar di pasir dalam keadaan hanya tinggal tulang belulang dan hangus!

Bidadari Angin Timur meraung keras. Dalam kalapnya dia segera hendak menyerbu Pangeran matahari. Wiro yang melihat bahaya segera melompat dan merangkul tubuh gadis itu. Keduanya berguling-guling di pasir.

"Lepaskan!"

"Bidadari angin Timur..."

"Kalau kau tidak melepaskan diriku akan kubunuh!"

"Bidadari Angin Timur, aku mencintaimu! Aku tak ingin kau celaka… Manusia jahat itu biar aku yang menghadapinya," kata Wiro. Pandangan matanya melekat tajam ke mata si gadis. Dada bidadari Angin Timur seperti menggemuruh. Suara isakannya terdengar perlahan.

"Cari tempat yang Baik, nanti kita bicara…" bisik Wiro sambil membelai rambut pirang si gadis.

Walau hal mesra ini terjadi begitu cepat namun tidak lepas dari perhatian Ratu Duyung. Sang Ratu merasa hatinya seperti disayat sembilu dan palingkan wajahnya ke arah laut.

Sekali lompat saja Pendekar 212 sudah berdiri tiga langkah dari hadapan Pangeran Matahari disambut oleh sang Pangeran dengan seringai mengejek.

"Dosamu setinggi gunung sedalam lautan! Hari ini tamat riwayatmu! Walau kau punya nyawa rangkap kau tak bakal lolos dari kematian!"

Pangeran Matahari sunggingkan seringai mengejek, "Pendekar 212! Rupanya kau bersahabat dengan malaikat maut hingga tahu kapan aku akan menemui ajal! Ha ha ha!”

"Iblis keji! Pelacur lelaki!“ hardik Wiro. "Kembalikan padaku Kapak Naga Geni 212 dan batu mustika pasangannya!"

Tampang Pangeran Matahari tampak semerah saga. Seumur hidupnya baru sekali itu dia dimaki orang dengan sebutan pelacur lelaki. "Mulutmu keji amat! Agaknya gurumu si nenek keling itu tidak pernah mengajarkan sopan santun!"

Mendengar Eyang Sinto Gendeng dihina begitu rupa Pendekar 212 hampir meledak kemarahannya. Namun ingat kehebatan Kitab Wasiat lblis yang dimiliki lawan maka dia segera menekan amarahnya dan menjawab. "Kabarnya kau punya ilmu hebat. Coba perlihatkan padaku barang sejurus dua jurus!"

Pangeran Matahari kembali sunggingkan seringai mengejek. "Murid nenek sinting dari Gunung Gede ini ternyata hanya pandai omong, tapi tak berani menyerang!"

Walau hatinya terbakar mendengar kata-kata musuh besarnya itu namun Wiro tak sampai terpancing.

Sadar kalau lawan tak bisa dijebak maka Pangeran Matahari lantas berkata, "Pendekar 212 kau dengar tawaranku. Aku akan mengembalikan kapak dan batu sakti ini padamu. Sebagai imbalan serahkan padaku Kitab Putih Wasiat Dewa…"

"Pangeran bejat! Kitab itu tak ada padanya. Tapi padaku!" satu suara menjawab ucapan Pangeran Matahari.

Ketika sang Pangeran mengangkat kepala dia menjadi kaget. Yang bicara adalah Sinto Gendeng. Di tangannya dia memegang sebuah kitab terbuat dari daun lontar yang dilambai-lambaikannya sambil tertawa terangguk-angguk. Wiro terheran-heran dan tidak habis mengerti bagaimana Kitab putih wasiat Dewa itu bisa berada di tangan gurunya.

Pangeran Matahari sendiri menggeram dalam hati. ”Kurang ajar! Jadi kitab yang kucari itu ada padanya!"

Otaknya mulai bekerja untuk mencari akal bagaimana Agar dia segera dapat menguasai kitab tersebut. Namun memandang berkeliling dia menjadi kaget karena tempat itu telah dikelilingi oleh musuh hingga dia dan gurunya terkurung di tengah-tengah.

SEBELAS

Untuk menyembunyikan rasa jerihnya Pangeran Matahari keluarkan tawa panjang. "Kalian manusia-manusia hebat tapi ternyata pengecut! Silahkan menyerang diriku beramai ramai…!"

Tua Gila tertawa mengekeh. "Kau hadapi Pendekar 212 satu lawan satu. Kami ingin berbincang bincang dengan gurumu Si Muka Bangkai!"

lblis Pemabuk tiba-tiba tegak seolah menghadang dihadapan Tua Gila. "Kalian hendak main keroyok?” bentaknya. "Jangan melakukan apa yang jadi pantangan lblis Pemabuk!"

"Siapa mau main keroyok! Tindakan pengecut itu bukan kau saja yang tidak menyukainya. Kami pun berpantang. Padahal dengan biang dajal seperti dia perlu apa memakai segala peradatan!" jawab Tua Gila. Lalu orang tua ini berkelebat menarik tangan Si Muka Bangkai. Tentu saja kakek bungkuk ini tidak tinggal diam. Secepat kilat dia menghantam ke arah kepala Tua Gila.

"Bukkk!"

Satu tangan menangkis pukulan Si Muka Bangkai. Ternyata yang menangkis adalah Dewa Ketawa. Di sampingnya Dewa Sedih maju pula merangsak. "Muka Bangkai...!" kata Dewa Ketawa sambil tertawa lebar. "Kami berdua belum berbuat pahala! Kau boleh memilih antara aku atau kakakku untuk jadi lawanmu!"

Dewa Sedih yang ada di samping Dewa Ketawa langsung saja keluarkan ratapan tinggi. Untuk beberapa lamanya Si Muka Bangkai terdiam tak bisa menjawab. Walau dia memiliki kepandaian tinggi namun siapa saja dari dua orang tua aneh itu bukanlah lawan enteng.

Di samping kiri tiba-tiba terdengar suara cekikikan. "Si Muka Bangkai mungkin sungkan, mungkin juga jijik menghadapi orang-orang tidak waras seperti kalian. Biar aku yang menantangnya! Dia sudah cukup lama membuat susah orang-orang persilatan. Dia juga yang ikut-ikutan jadi biang racun menyusahkan muridku!"

Si Muka Bangkai cepat menekan rasa terkejutnya ketika melihat yang barusan bicara adalah Sinto Gendeng, nenek sakti dari gunung Gede yang adalah guru Pendekar 212. Merupakan satu tokoh rimba persilatan yang sulit dijajagi ilmu kepandaiannya

"Muka Bangkai, aku sedih… Aku sedih tak bisa menolongmu!" kata Dewa Sedih pula lalu meratap keras. "Di atas sana aku melihat pintu neraka sudah dibukakan untukmu! Aku melihat teman-temanmu sudah menunggu. Makhluk Pembawa Bala… Ada Tiga Bayangan Setan dan konconya si Elang Setan. Ada para Tokoh Kembar Banyak lagi… Uhhh… ngerinya! Aku sedih… Aku sedih! Hik hik hik!"

"Kalian jahanam semua" teriak si Muka Bangkai. Dia memukul ke arah Dewa Sedih. Sebenarnya Si Muka Bangkai berlaku cerdik. Saat itu setelah Sinto Gendeng muncul, jika dia boleh memilih maka lebih baik menghadapi Dewa Sedih atau Dewa Ketawa ketimbang Sinto Gendeng. Ternyata Dewa Sedih sudah dapat membaca apa yang ada di benak guru Pangeran Matahari itu. Dengan cepat dia mengelak lalu meraung keras.

"Aku sedih, bukan aku yang ingin berkelahi mengapa aku yang hendak digebuk! Hik hik hik! Aku tak mau berkelahi! Aku ingin menangis aja! Hik hik hik! Muka Bangkai lawanmu Sinto Gendeng, bukan aku!"

Si Muka Bangkai kertakkan rahang. Ketika Sinto Gendeng menggebrak ke arahnya maka dia tak bisa berbuat lain daripada langsung mendahului menyergap dengan serangan ganas.

"Bukkk!"

Jotosan keras yang dilepaskan Si Muka Bangkai mendarat di perut lawan. Tapi bukan perut Sinto Gendeng melainkan perut seorang lelaki gendut berpakaian sempit terbalik den berkopiah kupluk!

"Gajah bunting!" teriak Wiro. "Apa yang kau lakukan?" Mengapa menyelak di tengah pertempuran!"

Si gendut ini yang bukan lain adalah Bujang Gila Tapak Sakti adanya tenang-tenang saja menerima pukulan yang bisa menjebol tembok batu itu, seolah dia barusan diusap saja! Dia kedipkan mata pada Pendekar 212 lalu tanpa perdulikan Si Muka Bangkai dihadapannya, sambil mengelus perutnya yang barusan dipukul. Bujang Gila Tapak Sakti menjura pada Sinto Gendeng.

"Nenek sakti benama Sinto Gendeng. Jauh-jauh aku datang kalau hanya untuk menggotong Si Raja Penidur rasanya kurang afdol kalau tidak diberi kesempatan melawan musuh barang sejurus dua jurus. Karenanya aku harap kau berjiwa besar mau memberikan kesempatan padaku untuk menghadapi ikan lele bungkuk calon mayat bergelar Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat ini!"

"Jahanam! Berani kau menghina guruku!" teriak Pangeran Matahari sambil membuat gerakan hendak meryerang Bujang Gila Tapak Sakti. Tapi sang guru cepat menahannya. Sambil tertawa mengekeh Si Muka Mayat berkata,

"Ada kerbau bengkak mencari mampus! Apa sulitnya bagi kita memenuhi keinginannya?!" Si Muka Bangkai merasa telah berlaku cerdik sengaja menantang Bujang Gila Tapak Sakti karena sekarang dia menganggap jauh lebih baik melawan si gendut ini daripada menghadapi Sinto Gendeng.

"Sinto Gendeng! Rupanya ada orang yang tahu kalau ilmumu sangat cetek untuk menghadapiku. Kau harus berterima kasih pada si gendut ini yang telah menolongmu dari kehilangan muka. Jadi tidak sampai membuat kehilangan jiwa Ha ha ha!"

"Aku tahu, sebenarnya kau jerih menghadapiku, sengaja memilih musuh bayi bongsor ini! Hemm… silahkan! Silahkan Bujang Gila Tapak Sakti, ada orang hendak mengajakmu bermain-main, harap kau suka melayaninya!"

"Betul, betul! Hayo kau layani keponakanku itu!" teriak Dewa Ketawa lalu tertawa gelak-gelak.

Dewa Sedih keluarkan tangisan pendek lalu menimpali. "Dia keponakanku juga. Hik hik hik!"

Kagetlah Si Muka Mayat dan juga Pangeran Matahari mendengar ucapan dua orang kakek aneh itu. "Jika si gemuk ini adalah keponakan dua kakek sinting itu berarti dia memiliki tingkat kepandaian sukar dijajagi! Ah, aku sudah salah memilih lawan. Tapi aku tak bisa mundur! Sialan! Jahanam betul!"

Bujang Gila Tapak Sakti rapikan kopiah hitamnya yang kupluk. "Srett!" Dia mengembangkan kipas kertasnya dibawah dagu. Tubuhnya dibungkukkan sedikit. Pantatnya disonggengkan. Matanya dikedip-kedipkan. Dia memasang kuda-kuda dengan gaya yang jelas mengejek lawan!

Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak. Dia berpaling pada Sinto Gendeng dan bertanya. "Sinto, menurutmu apakah hebat kuda-kuda yang dipasang keponakanku itu?"

"Cukup hebat sobatku Dewa Ketawa. Mungkin ini yang dinamakan kuda-kuda kerbau bunting siap melahirkan anak!"

Ledakan tawa para tokoh silat golongan putih menggetarkan tempat itu. Tampang Si Muka Mayat dan Pangeran Matahari menggembung merah mengelam.

"lkan lele bungkuk! Majulah! Silahkan kau cari bagian tubuhku yang empuk! Tapi awas! Jangan kau berani memukul perut atau merogo selangkanganku. Nanti bayiku benar-benar berojol! Ha ha ha!"

Kembali tempat itu dibuncah oleh gelak tawa. Si Muka Mayat yang tidak dapat lagi menahan marahnya membentak garang. Tubuhnya yang bungkuk melesat ke depan. Dua jotosan susu! Menyusul dengan tendangan kaki kanan. Setiap serangan mengeluarkan sinar hitam. Jotosan atau tendangan belum mendekati sasaran namun sinar hitam sudah menderu lebih dulu.

"Jurus Tiga Bangkai bangkit dari Kubur! Apa hebatnya!" kata Bujang Gila Tapak Sakti menyebut jurus yang dimainkan lawan.

Bukan saja Si Muka Bangkai tapi Pangeran Matahari pun kaget luar biasa mendengar ucapan Bujang Gila Tapak Sakti. "Heran! Bagaimana jahanam gendut ini tahu jurus serangan yang aku mainkan" kertak Si Muka Rongkai dalam hati.

Penasaran dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Tiga larik sinar hitam tampak mencuat lebih terang. Semua orang menahan nafas. Serangan Si Muka Bangkai sudah begitu dekat siap untuk menghantam tubuhnya tapi Bujang Gila Tapak Sakti masih saja cengangas-cengenges. Tiba-tiba si gendut itu kibaskan kipas kertasnya.

"Wuutt…!" Selarik sinar putih menebar melengkung.

"Drett! Drett! Drett!" Seperti sebilah pedang sinar putih yang menyambar keluar dari kipas di tangan Bujang Gila Tapak Sakti menabas tiga larik sinar serangan, mengeluarkan suara benturan keras tiga kali berturut-turut!

Si Muka Bangkai merasa seolah ada air bah menghantam tubuhnya. Kalau dia tidak lekas membuang diri ke samping dan berjungkir balik niscaya tubuhnya akan terjengkang di pasir! Kakek bungkuk ini marah sekali. Seumur hidup baru kali itu serangannya dipatahkan lawan secara mudah. Dari mulutnya keluar suara menggembor. Sepasang matanya laksana mau melompat dari rongga cekung di muka tengkoraknya. Tubuhnya yang bungkuk semakin menekuk ke bawah. Ketika lututnya hampir bersatu dengan betis tiba-tiba tubuh Si Muka Bangkai berputar laksana gasing. Lalu...

"Desss!"

Seolah membal tubuh itu melesat ke atas. Bujang Gila Tapak Sakti yang mengira akan mendapat serangan dari depan tertipu. Baru saja dia mendongak untuk menjajagi dimana lawan berada, tubuh si kakek telah menukik deras laksana elang menyambar. Dua tangannya didorongkan ke depan. Bujang Gila Tapak Sakti hanya melihat dua kilauan cahaya hitam. Tahu-tahu sepasang tinju Si Muka Bangkai sudah berada di depan hidungnya guru Pangeran Matahari telah mengeluarkan jurus hebat bernama Mayat Bangkit Dari Kubur!

"Wuuttt" Bujang Gila Tapak Sakti kibaskan kipas kertasnya.

"Buk! Buk!"

Kipas kertas beradu dengan dua lengan Si muka Bangkai. Kakek ini terpekik kesakitan. Sambil melompat mundur dia hantamkan tumitnya ke dada, lawan.

"Breettt!"

Bujang Gila Tapak Sakti menggeram marah ketika dapatkan kipas kertasnya robek besar. Tiga batang kayu kecil penyanggah kipas patah. Selagi dia dilanda amarah begitu rupa kaki kanan Si Muka Bangkai mendarat di dadanya. Tubuh gendut ratusan kati itu terhuyung sesaat lalu roboh ke pasir!

Dewa Sedih keluarkan raungan keras. Dewa Ketawa membuka mulut lebar-lebar tapi tidak ada suara ketawa keluar dari mulut itu! Para tokoh silat golongan putih tampak tercekat. Untuk beberapa lamanya Bujang Gila Tapak Sakti terhampar di pasir tanpa bergerak membuat semua orang jadi cemas. Saat itu tiba-tiba Pangeran Matahari berkelebat, kirimkan tendangan ke kepala Bujang Gila Tapak Sakti!

"Nah… nah! Guru dan murid mulai licik!" Eyang Sinto Gendeng berteriak. Dari balik pakaian rombengnya dia keluarkan sebatang tongkat kayu butut. Tongkat itu dilemparkannya ke depan Pangeran Matahari yang tengah menyerang.

Saat itu juga dari dada sang Pangeran melesat keluar satu sinar hitam menggidikkan. Hawa panas menyungkup tempat itu. Tongkat kayu butut hancur berkeping-keping, berubah menjadi asap hitam dan akhirnya lenyap pedataran pasir yang kena hantam pukulan sakti yang memancar dari Kitab Wasiat Iblis, berlobang hitam selebar dua tombak dan terbongkar sampai setengah tombak.

Pasir beterbangan ke udara menutupi pemandangan. Ketika pasir surut sosok gemuk Bujang Gila Tapak Sakti tak ada lagi ditempat semula. Sekonyong-konyong terdengar bentakan-bentakan marah Si Muka Bangkai. Ketika semua orang berpaling ke arah kanan terlihat bagaimana sosok gemuk Bujang Gila Tapak Sakti melangkah mendorong si kakek bungkuk, memaksanya mundur menaiki bukit karang.

Sambil mundur Si Muka Bangkai hantamkan tinjunya kiri kanan ke perut dan dada Bujang Gila Tapak Sakti. Tapi seperti tidak merasakan pemuda gemuk itu terus saja merangsak maju hingga Si Muka Bangkai dibuat mundur terus terusan sampai ke atas bukit. Melihat gurunya diperlakukan seolah dipermainkan begitu rupa Pangeran Matahari segera hendak berkelebat membantu.

"lblis licik! Curang cukup sekali!" Sinto Gendeng berteriak marah tapi tidak mau melakukan serangan. Dia berpaling pada muridnya. "Anak setan! Musuh besarmu sudah kepingin mampus, mengapa kau masih berdiam diri?!"

Mendengar ucapan gurunya Pendekar 212 cepat berkelebat kehadapan Pangeran Matahari. Sang Pangeran mendongak lalu tertawa mengakak.

"Hari sepuluh bulan sepuluh hari bersejarah bagi dunia persilatan Hari ini sudah ditakdirkan tamatnya riwayat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng! Ha ha ha Gurumu memanggilmu Anak Setan! Aku lebih suka memanggilmu Anak Anjing! Ha ha ha...! Anak Anjing ayo serang diriku! Cari bagian yang kau sukai...!"

Dihina dengan sebutan Anak Anjing sama sekali tidak membuat murid Sinto Gendeng terpancing untuk menyerang. Malah sambil bertolak pinggang dia tertawa bergelak. Puas tertawa dia berkata dengan suara keras. "Pangeran Matahari, kalau kau memanggil aku Anak Anjing tentunya kau merasa sebagai Bapak Anjing! Ha ha ha! Nah Bapak Anjing, mengapa kau tidak segera memberi pelajaran pada Anak Anjing?”

Gelap kelam tampang Pangeran Matahari. Rahangnya menggembung. Pelipisnya kiri kanan bergerak-gerak. "Manusia tidak tahu diri! Apa kau kira ada jalan selamat bagimu saat ini?!"

Wiro menyeringai. "Dalam Kitab Putih Wasiat Dewa ada kalimat berbunyi mana ada jalan selamat kalau bukannya jalan Tuhan?!"

"Hemmm... Begitu?!" Pangeran Matahari sunggingkan senyum mengejek. "Bagiku jalan selamat adalah jalanmu menuju neraka! Sebelum kutunjukkan jalan itu aku kembali ajukan tawaran padamu. Kapak sakti dan batu mustikamu ada padaku! Aku mau-mau saja menyerahkan dua senjata itu dengan satu syarat. Serahkan padaku Kitab Putih Wasiat Dewa!"

Wiro kembali tertawa bergelak. "Pangeran Matahari, seumur-umur mungkin mimpimu untuk mendapatkan kitab sakti itu tak bakal kesampaian. Biar aku memberitahukan saja padamu ada bait-bait dalam Kitab Putih Wasiat Dewa berbunyi begini. 'Musuh manusia yang ke dua adalah yang datang dari dalam, yaitu dirinya sendiri… Semuanya berpangkal pada lupa diri. Hanya manusia yang bertakwa dan kokoh iman yang sanggup lolos dari malapetaka ini… Minta tolong dan minta ampun hanya pada Yang Satu'…"

Sesaat mulut Pangeran Matahari tampak komat-kamit. "Aku tidak tahu sejak kapan kau menjadi seorang penyair! Tapi orang yang mau mampus biasanya memang suka berbuat aneh!" Habis berkata begitu Pangeran Matahari meludahke tanah lalu tertawa terbahak-bahak.

Di hadapannya Pendekar 212 malah unjukkan sikap aneh. Dia membuka mulutnya lebar-lebar dan menguap berulang kali. "Lama-lama aku mengantuk melihat sikapmu Pangeran Matahari! Katanya kau mau jadi raja diraja dunia persilatan. Tapi kulihat bisanya kau hanya tertawa melulu! Lama-lama kau bisa dijuluki Si Raja Badut! Itu lebih baik dari Pelacur Lelaki yang kubilang tadi!"

Dewa Ketawa gelak mengekeh. Dewa Sedih menggerung sedang para tokoh silat golongan putih lainnya keluarkan senyum bergumam. Panas telinga Pangeran Matahari mendengar ejekan itu.

"Pendekar banci! Aku yakin kau terlalu pengecut untuk memulai perkelahian. Takut menyerangku! Biar aku membuka pintu akhirat untukmu dengan jurus pertama!" Habis berkata begitu Pangeran Matahari menyergap ke depan, lancarkan satu serangan tangan kosong.

DUA BELAS

Kita kembali dulu pada perkelahian antara Bujang Gila Tapak Sakti dengan Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Semakin hebat dia didesak ke atas bukit semakin bertubi-tubi pukulan yang dilancarkan Si Muka Bangkai ke tubuh lawannya. Namun Bujang Gila Tapak Sakti tidak bergeming sedikitpun. Sekujur tubuh si kakek telah basah kuyup oleh keringat. Kekuatannya lambat laun terasa seperti terkuras.

Tepat di lereng bukit batu karang orang tua ini tertatih-tatih kehabisan nafas. Pada saat itulah Bujang Gila Tapak Sakti pergunakan kedua tangannya mendekap kepala Si Muka Bangkai. Semula semua orang termasuk Si Muka Bangkai sendiri mengira Bujang Gila Tapak Sakti akan memuntir putus lehernya. Namun apa yang terjadi kemudian membuat semua orang terheran-heran kecuali Dewa Ketawa yang adalah paman Bujang Gila Tapak Sakti.

Dari kepala Si Muka Bangkai yang didekap Bujang Gila Tapak Sakti tampak keluar kepulan asap. Sekujur tubuh si kakek bergetar hebat. Kepalanya terasa dingin seolah dipendam ke dalam lobang es. Rasa dingin ini menjalar ke sekujur tubuhnya. Dia berusaha meronta melepaskan diri. Namun hawa dingin membuat dia sulit menggerakkan kedua tangannya.

Tangan-tangan itu ternyata telah tegang. Menyusul badan dan kedua kakinya menjadi kaku. Kepulan asap semakin menjadi-jadi. Udara disekitar situ terasa dingin sekali. Rahang Si Muka Bangkai berderak-derak. Matanya yang cekung berputar liar. Setiap dia menghembuskan nafas tampak asap dingin mengepul keluar dari lobang hidung dan mulutnya. Orang tua ini kelihatan seperti hendak berteriak. Namun lidahnya terasa kelu!

Bujang Gila Tapak Sakti telah menghantam Si Muka Bangkai dengan ilmu kesaktian yang mengeluarkan Hawa sangat dingin. Hanya selang beberapa lama sekujur tubuh kakek bungkuk itu telah putih kaku dari kepala sampai ke kaki. Dari hidung, telinga, mulut dan kedua matanya yang cekung mengalir darah kental. Bujang Gila Tapak Sakti lepaskan ke dua tangannya dari kepala Si Muka Bangkai yang telah jadi mayat kaku.

Dia rapikan kopiah kupluk di atas kepalanya lalu dengan tenang menuruni bukit karang di sebelah barat itu dan sengaja melangkah mendekati Pangeran Matahari. Dari belakang ditepuknya bahu sang Pangeran yang saat itu siap hendak menyerang Wiro. Begitu Pangeran Matahari melangkah mundur dan berpaling dia tertawa lebar dan menunjuk ke lereng bukit sebelah barat.

"Gurumu berpesan, kalau kau menyusulnya ke neraka jangan lupa membawa selimut tebal. Katanya di sana dingin sekali!”

Pangeran Matahari terkejut besar. "Kau apakan guruku?” teriaknya menggeledek.

Tenang saja Bulang Gila Tapak Sakti menjawab. "Aku tidak mengapa-apakannya. Hanya merubahnya menjadi mayat kaku diberi es!"

"Guru!!" teriak Pangeran Matahari.

Dia hendak menghambur ke lereng bukit tapi dengan gerakan enteng si gendut Bujang Gila Tapak Sakti menggaet kaki kanannya. Kalau tidak cepat mengimbangi diri niscaya sang Pangeran sudah jatuh berkelukuran. Saking marahnya Pangeran Matahari melupakan gurunya dan berbalik menyerang Bujang Gila Tapak Sakti. Yang diserang jatuhkan diri lalu hampir tak dapat dipercaya tubuhnya yang gendut luar biasa itu sengaja digelindingkannya di bukit batu karang itu.

"Pendekar 212 harap kau mau sedikit berbaik hati pada Pangeran Matahari. Dia sedang berduka barusan kematian gurunya. Kalau kau bunuh dia harap wajah dan tubuhnya tidak dirusak agar di akhirat Si Muka Bangkai masih mampu mengenali muridnya itu!"

Bujang Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak. Dewa Ketawa, lblis Pemabuk tak ketinggalan sedang Kakek Segala Tahu setelah begitu lama berdiam diri kini kerontangkan kaleng rombengnya. Amarah Pangeran Matahari tidak terperikan. Dia melompat ke hadapan Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti.

"Kalian berdua aku sendiri! Apa kalian kira aku takut?!"

Maka Pangeran Matahari berkelebat memulai serangan. Sebenarnya dia ingin menghabisi Bujang Gila Tapak Sakti yang telah membunuh gurunya saat itu juga. Namun Pendekar 212 menghadang di depannya. Segala kemarahan ditumpahkannya pada murid Sinto Gendeng. Dia membuka serangan dengan melepas pukulan Gerhana Matahari. Udara di tempat itu mendadak seolah menjadi redup. Dari tangan kanannya melesat dengan ganas sinar hitam, merah dan kuning!

Selagi Wiro berkelit selamatkan diri Pangeran Matahari cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya dari pinggang. Lalu dengan mengerahkan tenaga dalam penuh dia menyerbu murid Sinto Gendeng. Dua mata kapak mengeluarkan sinar panas berkilauan. Suaranya menggemuruh. Pasir teluk beterbangan. Salah atau terlambat sedikit Pendekar 212 membuat gerakan tak ampun senjata mustika miliknya sendiri akan menjadi tuan pembunuhnya!

Sadar akan kehebatan Kiiab Wasiat lblis yang ada di balik pakaian Pangeran Matahari. Wiro tidak berani melakukan serangan balasan. Berkat aliran kekuatan aneh yang memancar dari tubuh harimau putih Datuk Rao Bamato Hijau Wiro kini mampu bergerak sangat cepat. Tubuhnya laksana bayang-bayang berkelebat kian kemari mengelakkan serangan Kapak Naga Geni 212 yang dilancarkan Pangeran Matahari.

Wiro sengaja keluarkan ilmu silat orang gila yang dipelajarinya dari Tua Gila. Tua Gila sendiri terkagum-kagum melihat kehebatan ilmu silatnya yang dimainkan Wiro. Dia yakin akan sangat sulit bagi lawan untuk bisa mencelakai Wiro. Belasan jurus berlalu tanpa Pangeran Matahari berhasil menyentuh tubuhnya.

Namun bagaimanapun juga Wiro menyadari bahwa dia tidak mungkin bertahan terus menerus. Apalagi saat dia ingat akan petunjuk dalam Kitab Putih Wasiat Dewa yang mengatakan; 'Menyerang adalah awal kekuatan sedang bertahan adalah akhir kekuatan ilmu silat. Dalam menghadapi musuh jahat, lebih dulu bertindak adalah tindakan sempurna daripada bertahan menunggu datangnya bencana'.

Ratu Duyung dan tokoh silat golongan putih menyadari kendala yang dihadapi Pendekar 212 dalam menghadapi musuh besarnya itu. Mereka tak mungkin menolong. Berarti Wiro harus mampu bertindak sendiri. Maka Wiro mulai berkelahi dengan cara memutari lawan. Dia berusaha mengintai kelengahan Pangeran Matahari. Serangan berputar merupakan satu-satunya serangan yang mungkin bisa membawa hasil.

Namun Pangeran Matahari yang cerdik dan tahu gelagat segera melompat memunggungi dinding bukit karang. Dengan demikian Wiro tidak dapat lagi mengitarinya dan kini kembali Pangeran Matahari melancarkan serangan dengan Kapak Maut Naga Geni 212. Serangan sang Pangeran datang tidak putus-putusnya laksana curahan air terjun.

Benteng pertahanan Wiro jadi jebol juga akhirnya ketika Pangeran Matahari mulai menyerangnya dengan lidah api yang keluar dari mata Kapak Naga Geni 212 setiap diadu dengan batu mustika hitam. Murid Sinto Gendeng dibikin kalang kabut. Pakaian dan tubuhnya hangus di beberapa bagian. Sakitnya bukan alang kepalang. Dengan kertakkan geraham menahan sakit Wiro bertahan terus sambil memutar otak.

Yang paling cemas menyaksikan keadaan Pendekar 212 saat itu adalah Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur. Mereka seperti jadi gatal tangan ingin membantu. Jurus demi jurus berlalu cepat. Pendekar 212 terdesak hebat. Dalam satu gebrakan gencar Wiro sempat terhalang oleh gundukan tinggi batu karang di belakangnya. Sebelum dia mati langkah, Wiro segera melompat ke kiri.

Pada saat itu pula Kapak Maut Naga Geni 212 datang berkelebat. Walau murid Sinto Gendeng ini berhasil mengelak namun ujung salah satu mata kapak masih sempat mengiris bahu kirinya. Asap mengepul dari luka di bahu itu. Tubuh Wiro serta merta diselimuti hawa panas. Goresan luka menghitam dan menggembung dengan cepat. Tampang Wiro tak hentinya mengerenyit menahan sakit. Di hadapannya Pangeran Matahari tertawa bergelak sambil terus putar-putar Kapak Naga Geni 212 di tangan kanan.

"Celaka!" Baru saja Wiro mengeluh serangan lawan kembali menggempur bertubi-tubi. Di tangan Pangeran Matahari Kapak Naga Geni 212 seolah lenyap. Yang kelihatan hanya kilauan sinar putih panas disertai suara angker seperti ribuan tawon mengamuk. Dalam satu gebrakan maut Wiro terjepit di antara dua gundukan batu karang. Kapak Maut Naga Geni 212 kembali berkiblat dari arah kirinya.

Dari samping kanan batu hitam miliknya datang menyambar, dijadikan senjata pemukul oleh lawan. Mengelak ke kiri tubuhnya terhalang oleh gundukan batu karang. Begitu juga jika dia selamatkan diri engan melompat ke kanan. Celah di antara dua gundukan karang terlalu sempit hingga dia tidak bisa lolos dari kejaran dua senjata miliknya sendiri yang datang menghantam.

Wiro membuat gerakan untuk mengelakkan sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 lebih dulu. Ternyata serangan itu hanya tipuan belaka. Ketika dia baru saja menyelamatkan diri dengan memiringkan tubuh ke kanan, dari arah yang bersamaan datang menyambar batu mustika hitam! Wiro hendak menangkis. Untung dia segera ingat.

Tangkisan dibatalkan untuk menghindari melesatnya sinar maut dari Kitab Wasiat lblis yang ada di balik dada pakaian Pangeran Matahari. Yang kemudian mampu dilakukannya hanyalah membuang diri kesamping. Bahu kanannya selamat dari hantaman batu hitam namun rusuknya berada dalam keadaan terbuka.

"Kraakkk!"

Ratu Duyung keluarkan pekik tertahan. Para tokoh lainnya terkesima dengan mata melotot! Ratu Duyung tahu apa yang terjadi dengan Wiro. Maka dia pun berteriak. "Wiro bertahan terus! Putar otakmu! Kau pasti bisa menemukan kelemahan lawan!"

"Ratu Duyung! Mengapa cuma berteriak-teriak saja dari pinggir kalangan! Lebih baik kau bergabung dan membantu Anak Anjing ini!"

Ratu Duyung tidak melayani ucapan Pangeran Matahari. Diam-diam dia berdoa agar Wiro mampu memecahkan kelemahan lawan. Akibat hantaman batu mustika hitam tadi salah satu tulang iga di sisi kanan Pendekar 212 melesak patah. Sakitnya bukan kepalang. Seumur hidup baru sekali ini Wiro merasa sakit begitu rupa hingga keringat dingin memercik di sekujur tubuhnya!

Pangeran Matahari tertawa lebar. "Pendekar 212, sayang sekali kau harus mati secara pengecut sama sekali tidak berani balas menyerang!"

Wiro kertakkan geraham. Dia terpaksa mengalirkan sebagian tenaga dalamnya ke bagian yang cidera. Nafasnya terasa sesak. Gerakannya menjadi agak lamban. "Gila Aku harus bertahan mati-matian. Aku harus menemukan cara menghadapi Pangeran keparat ini! Kalau tidak cepat atau lambat dia pasti akan membantaiku!"

Wiro tidak mengkhawatirkan tulang iganya yang patah. Yang ditakutkannya adalah racun Kapak Maut Naga Geni 212 yang melukai bahunya sebelah kiri. Tubuhnya sudah terasa panas tanda racun senjata itu mulai bekerja. Setelah hampir enam puluh jurus baku hantam murid Sinto Gendeng mulai mendapatkan akal, menemukan cara terbaik menghadapi musuh besarnya itu sekaligus menghindari sinar hitam mematikan melesat keluar dari Kitab Wasiat Iblis.

Wiro yakin sinar hitam mematikan yang keluar dari Kitab Wasiat lblis yang ada di dada Pangeran Matahari tidak akan keluar terus menerus seperti air yang mengucur. Berarti bagaimanapun singkatnya ada sedikit waktu antara semburan sinar pertama dengan semburan berikutnya.

"Pangeran Matahari, apakah kau tidak ingin cepat-cepat menemui gurumu di akhirat?!" Wiro berseru lalu tertawa mengejek.

"Pendekar Jahanam! Apa kau kira aku bisa terpancing dengan akal bulusmu itu!" Sang Pangeran menyahuti walau hatinya panas. "Kau sudah terluka. Ajalmu hanya tinggal menunggu waktu!"

Lalu kembali Pangeran Matahari kiblatkan Kapak Maut Naga Geni 212. Serangannya lebih dipercepat disertai tipuan-tipuan mematikan! Hebatnya dalam keadaan masih memegang batu hitam di tangan kiri, dengan tangan yang sama dia mampu melepaskan dua pukulan sakti berturut-turut yaitu pukulan Gerhana Matahari dan Merapi Meletus.

Teluk Penanjung laksana dihantam gempa. Dua letusan keras menggelegar. Ditambah berkiblatnya sinar menyilaukan disertai menghampamya hawa panas luar biasa. Murid Sinto Gendeng secepat kilat melompat dan berlindung di balik satu gundukan besar batu karang. Dari sini untuk pertama kalinya dia lancarkan serangan dengan pukulan Sinar Matahari.

Pada saat itu juga dari dada sang Pangeran melesat keluar sinar hitam menggidikkan. Sinar putih dan sinar hitam beradu dahsyat di udara. Kembali teluk Penanjung di Pangandaran itu seperti diguncang gempa dan topan prahara. Batu karang tempat Wiro bersembunyi pecah berantakan dengan warna berubah menjadi kehitaman dan mengepulkan asap.

Secepat kilat Pendekar 212 berkelebat ke balik batu karang yang lain. Dari sini sekali lagi dia melepas pukulan Sinar Matahari. Ketika Kitab Wasiat lblis membalas serangan itu dengan lesatan sinar hitam, untuk kesekian kalinya teluk Penanjung bergetar hebat. Pasir beterbangan ke udara menutup pemandangan.

"Hemmm…" murid Sinto Gendeng bergumam penuh arti. Kini dia telah menemukan satu akal untuk menghantam musuh besarnya itu. Kali ketiga dia berkelebat, Wiro sengaja mencari batu karang yang paling dekat jaraknya dengan Pangeran Matahari.

Didahului bentakan keras Wiro munculkan kepala dari balik batu karang lalu menghantam. Kali ini pukulan sakti itu tidak diarahkannya pada lawan tapi sengaja dihantamkan menyusur pasir teluk. Begitu sinar putih menderu, laksana disapu topan, pasir di teluk itu beterbangan ke udara. Di depan sana sinar hitam kembali melesat dari dada sang Pangeran.

Wiro hanya punya waktu singkat sekali. Selagi pemandangan tertutup pasir yang beterbangan di udara Wiro kerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan melesat ke arah Pangeran Matahari. Selagi melayang di udara dia tiup tangan kanannya. Serta merta ditelapak tangan Pendekar 212 muncul gambar harimau kepala putih bermata hijau.

Begitu berada di atas lawan dan mengira Pangeran Matahari tidak sempat melihat gerakannya Wiro langsung dorongkan telapak tangan kanannya dalam jurus keenam dari Enam Inti Kekuatan Dewa yang disebut Tangan Dewa Menjebol tanah. Yang diarah adalah kepala Pangeran Matahari. Tapi ternyata sang Pangeran masih sempat melihat.

Saat itu juga dari balik dadanya di mana tersembunyi Kitab Wasiat lblis menderu sinar hitam mematikan. Kalau Wiro berseru kaget karena tak mengira lawan masih bisa melihat gerakannya, sebaliknya Pangeran Matahari juga keluarkan seruan tertahan dan terbelalak karena tiba-tiba dia melihat kepala lawannya berubah menjadi kepala seekor harimau putih. Perubahan Ini terus berlangsung sampai ke kaki. Di lain kejap satu sosok harimau putih mengaum keras dan seolah keluar dari tubuh Wiro, melompat ke arah Pangeran Matahari.

"Datuk Rao Bamato Hijau!" desis Pendekar 212 dengan lidah bergetar.

Sinar hitam berkiblat menghantam harimau putih. Binatang sakti bemama Datuk Rao Bamato Hijau Ini terlempar ke belakang sejauh empat tombak. Auman keras menggelegar keluar dari mulutnya. Terjadi satu hal yang hebat. Sinar hitam sakti Kitab Wasiat lblis melesat terus ke depan, berusaha menghancurkan Datuk Rao Bamato Hijau. Tetapi tidak berhasil.

Hal ini membuat Pangeran Matahari terkejut besar dan kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Sebaliknya harimau putih dengan segala kesaktian yang dimilikinya berusaha bertahan. Dia bukan saja mampu menahan serangan sinar hitam yang mematikan itu malah perlahan-lahan binatang Ini mulai menyedot sinar hitam itu hingga perlahan-lahan masuk ke dalam mulutnya.

Tersedotnya sinar hitam Kitab Wasiat lblis membuat tubuh Pangeran Matahari ikut terbetot ke depan. Dadanya mendenyut sakit. Kitab Wasiat lblis yang terikat ke dadanya terasa bergetar. Pangeran matahari kerahkan tenaga luar dalam untuk balas menarik . Tapi gagal. Dia memaksa bertahan walau sedikit demi sedikit kedua kakinya terseret ke depan. Rasa sakit di dadanya bertambah-tambah.

Dengan Mata mendelik dia melihat bagaimana harimau putih Di depannya seolah menelan sinar hitam sakti Kitab wasiat Iblis. Akibatnya tubuhnya semakin terbetot ke depan. Dia coba memukul, namun tangannya seolah kaku. Kedua kakinya kembali terseret. Tubuhnya semakin dekat dengan harimau putih.

Ketika Pangeran Matahari berusaha bertahan habis-habisan dari sedotan harimau putih, isi dadanya seolah terbetot keluar. Dari mulutnya menyembur darah. Semakin dia bertahan semakin keras sedotan harimau putih dan semakin banyak darah yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya saat demi saat menjadi lemas. Mukanya yang congkak memutih pucat. Dia berteriak keras ketika sinar hitam terakhir lenyap ke dalam mulut harimau putih.

Datuk Rao Bamato Hijau mengaum keras. Mulutnya yang bertaring besar mengerikan menyambar ke dada Pangeran Matahari.

"Breettt!"

Baju hitam sang Pangeran robek besar di bagian dada. Dia keluarkan seruan keras ketika dilihatnya Kiab Wasiat lblis miliknya kini berada dalam gigitan harimau putih bermata hijau itu. Dia berusaha merebut sambil hantamkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke kepala Datuk Rao Bamato Hijau. Namun kapak hanya menyambar setengah jengkal di depan hidung harimau bermata hijau itu.

Sebelum Pangeran Matahari menyerang den berusaha merebut kitab itu kembali, Datuk Rao Bamato Hijau seperti menyantap daging segar memasukkan Kitab Wasiat lblis ke dalam mulutnya, mengunyahnya lalu ditelan habis. Pangeran Matahari berteriak seperti menggerung. Lemaslah Pangeran Matahari melihat apa yang terjadi.

Walau sosok harimau putih itu lenyap seolah masuk kembali ke dalam tubuh Pendekar 212 namun manusia segala cerdik segala licik dan segala congkak itu sudah leleh nyalinya. Setelah kirimkan serangan beruntun dengan Kapak Naga Geni 212 dia memutar tubuh dan menghambur ke atas bukit karang. Ini adalah satu hal yang tidak pernah diduga oleh Wiro dan semua orang yang ada di situ. Pangeran Matahari yang berkepandaian tinggi itu ketakutan dan melarikan diri!

TIGA BELAS

Pendekar 212 tentu saja tidak mau melepas-kan musuh besamya ini. Apalagi sang Pangeran masih memegang Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam miliknya. Sekali dia berkelebat Wiro berhasil menyusul Pangeran Matahari di ujung paling atas bukit karang yang menjorok ke laut.

”Buntu!”

Pangeran Matahari tak bisa meneruskan larinya. Di bawah sana menghadang jurang batu karang yang dalam dan laut biru gelap. "Pendekar jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu. Paling tidak kita sama-sama mati" teriak Pangeran Matahari lalu babatkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke arah Wiro.

Murid Sinto Gendeng cepat menghindar. Saat Itu gambar kepala harimau putih bermata hijau masih melekat di tangan Wiro. Namun setelah lawan tidak lagi memiliki Kitab Wasiat lblis yang mengeluarkan sinar hitam mematikan, Wiro merasa tidak perlu mengandalkan llmu Pukulan Harimau Dewa itu. Dia ingin menghadapi musuh besarnya itu secara jantan dengan ilmu yang dimiliki sebelumnya. Maka tanpa pikir panjang lagi Wiro menghantam kan tangan kanannya ke puncak bukit tempat lawannya berpijak, melepas pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.

Pangeran matahari tidak tinggal diam. Dengan tangan kiri dia balas melepas pukulan Merapi meletus. Dua pukulan sakti bertemu. Satu letusan keras menggelegar di puncak bukit karang. Batu karang tempat berpijak Pangeran Matahari hancur berantakan.

Untung dia cepat melompat selamatkan diri ke bagian yang lebih rendah. Namun di saat yang sama Pendekar 212 telah melesat ke bagian bukit yang lebih tinggi. Dari sini murid Sinto Gendeng berkelebat ke bawah sambil keluarkan jurus Kepala Naga Menyusup Awan disusul Kilat Menyambar Puncak Gunung. Dalam keadaan melayang turun murid Sinto Gendeng hantamkan dua tangannya secara beruntun.

"Bukkk! Bukkkk!"

Darah muncrat dari hidung dan mulut Pangeran Matahari yang hancur dilanda jotosan tangan kiri Wiro. Pukulan tangan kanan Pendekar 212 menyusul melabrak pipinya sebelah kiri hingga tulang pipi dan rahangnya remuk, mata kiri luka parah, melesak ke dalam! Tubuhnya yang tidak punya daya kekuatan itu mencelat mental ke arah jurang batu karang yang terbentang di balik bukit! Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam sakti terlepas dari tangannya. ikut jatuh ke dalam jurang batu karang.

"Celaka!" seru Wiro. Dia berusaha mengejar namun terjatuh. Dia terkapar menelungkup dengan sekujur tubuh bergetar. Dengan susah payah dia berusaha bangun. Racun Kapak Naga Geni 212 yang masuk ke dalam tubuhnya bekerja tambah keras!

Pada saat dua senjata mustika warisan Eyang SInto Gendeng dari gunung Gede itu melayang jatuh Ke jurang, sehelai benang putih berkilat melayang di udara. Dengan kecepatan luar biasa benang ini melibat kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam sebelum kedua senjata ini jatuh masuk ke dalam jurang batu karang.

"Benang sutera sakti!" seru Wiro gembira. Dia sudah tahu siapa yang menolongnya, bukan lain Dewa Tuak. Begitu kapak dan batu tersentak ke arahnya dengan cepat Pendekar 212 menyambarnya. Dia berhasil memegang Kapak Naga Geni 212 dan batu hitam sakti. Lalu berpaling ke bawah. Di lereng bukit dilihatnya Dewa Tuak menyeringai adanya.

"Dewa Tuak, aku sangat berterima kasih…" ujar Wiro

”Anak setan! Lekas kau telan obat pemunah racun ini!" kata Sinto Gendeng lalu tanpa menunggu lebih lama sebutir benda hitam disumpalkannya ke dalam mulut Wiro.

"Pendekar hebat. Kau terluka ya? Ha ha ha…?" Bujang Gila Tapak Sakti telah berada pula di sana sambil berkipas-kipas dengan kopiah hitamnya. Lalu dengan tangan kirinya ditepuk-tepuknya sekujur tubuh Wiro.

Ketika tangan yang besar dan berat itu menepuk keras di bekas luka dan patahan tulang iganya, Wiro yang tak dapat menahan sakit menjerit keras. Bujang Gila Tapak Sakti tertawa bergelak. Apa yang dilakukannya tadi bukanlah satu tindakan usil belaka. Tapi sebenamya dia lelah melakukan pengobatan.

Sinto Gendeng mengerenyit ketika melihat luka di bahu kiri Wiro lenyap tidak berbekas. Wiro sendiri merasa dadanya lega, kekuatannya timbul kembali dan tulang iganya yang patah tidak lagi terasa sakit. Inilah kehebatan Bujang Gila Tapak Sakti. Memiliki kesaktian untuk mengobati orang dengan cara aneh.

Pendekar 212 menarik nafas dalam. Setelah selipkan kapak dan simpan batu hitamnya dia berlutut dan menengadahkan tangannya keatas. "Terima kasih Tuhan. Kau telah menolongku! Datuk Rao Bamato Hijau sahabatku, aku juga berterima kasih padamu!"

"Kita memang patut bersyukur! Pangeran Matahari sudah mati! Dunia persilatan selamat dari malapetaka besar!" Terdengar suara seseorang dari kaki bukit.

Semua kepala menoleh ke bawah. Yang bicara ternyata adalah Si Raja Penidur. Dedengkot aneh dunia persilatan ini kelihatan duduk dalam keranjang rotannya. Mengepulkan asap pipanya dua kali, menggeliat lalu berguling kembali ke dalam keranjang. Tidur lagi!

Mengetahui para tokoh silat ternyata sudah berada di sekelilingnya. Wiro segera pula menghaturkan terima kasih atas semua bantuan mereka. Lalu sang Pendekar jatuhkan diri di depan Sinto Gendeng.

"Eyang, harap maafkan kalau muridmu ini telah membuatmu susah. Aku mengaku terus terang telah banyak berbuat salah! Terima maaf dan penghormatanku!"

"Anak setan Sekian lama kau tidak pernah muncul. Diberi tugas malah bertingkah seenaknya!" Eyang Sinto Gendeng menjawab dengan muka cemberut.

"Sinto, kau ini tidak berubah. Terhadap muridmu seperti anjing dan kucing saja. Kalau tidak bertemu kau bilang kangen. Kalau sudah bertemu kau selalu memarahinya! Sudah, serahkan saja Kitab Putih Wasiat Dewa itu padanya. Lalu kita tinggalkan tempat ini!"

Sinto Gendeng berpaling. Kalau saja bukan Tua Gila yang berkata pasti sudah didampratnya. Dari balik pakaiannya Sinto Gendeng keluarkan Kitab Putih Wasiat Dewa yang asli lalu diletakkannya di atas kepala sang murid.

"Ambil dan lekas kau simpan. Jangan sampai dicuri orang lagi!"

"Guru, bagaimana kitab itu bisa berada di tanganmu?" bertanya Pendekar 212 seraya menyimpan kitab sakti itu di balik pakaian hitamnya.

"Tidak lain karena ketololanmu Cinta membuta kan mata dan hati serta perasaanmu Bukankah kau hendak menyerahkan kitab ini dulu pada gadis yang berpura-pura menjadi Bidadari Angin Timur padahal dia adalah kaki tangan dan kekasih Pangeran Matahari?" Sebelum kau melakukan perbuatan gila itu aku dan Iblis Putih Ratu Pesolek menyiasati. Kami muncul dengan pakaian aneh berupa selubung kain putih. Kau kami robohkan dengan asap beracun. Selagi kau pingsan Kitab Putih Wasiat Dewa yang asli kami ambil dari balik pakaianmu, kami ganti dengan yang palsu. Kitab palsu itulah yang kemudian kau serahkan pada bidadarimu itu!"

Wiro manggut-manggut berulang kali. "Guru, aku berterima kasih atas semua pertolonganmu. Juga padamu…" kata Wiro seraya berpaling pada lblis Putih Ratu Pesolek yang tegak di samping Dewa Tuak.

"Aku juga berterima kasih padamu," kata Wiro pada si nenek. Perempuan tua berdandan menor ini tersenyum dan kedipkan matanya.

Sunyi Sesaat lalu terdengar suara sesenggukan Dewa Sedih. dewa Ketawa mulai mesem-mesem lalu tertawa perlahan makin lama makin keras.

"Guru, aku mencium bau wangi sekali. Biasanya kau…!"

"Anak setan! Jaga mulutmu" bentak Sinto Gendeng pada muridnya sambil pelototkan mata.

lblis Putih Ratu pesolek tertawa cekikikan. "Pendekar 212, aku yang memberikan minyak wangi pengharum tubuhnya. Katanya dia takut. Kalau tidak pakai minyak wangi kau akan mudah mengenali tubuhnya yang selalu bau pesing!"

Dewa Ketawa, Bujang gila Tapak Sakti dan Dewa tuak tertawa gelak-gelak. Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng bututnya, iblis pemabuk setelah Ikut tertawa mengekeh lalu teguk tuak kerasnya dari Dalam kendi tanah.

"Kalian edan semua!" teriak Eyang Sinto gendeng. Dia menarik lengan Tua Gila. "Ayo kita tinggalkan. Anak setan, jaga dirimu baik-baik!"

"Eyang, tunggu dulu. Ada satu hal yang ingin Aku kutanyakan. Hal sangat penting!" Berteriak Wiro ketika Sinto Gendeng hendak berkelebat pergi bersama Tua Gila.

"Anak setan! Kau benar-benar ingin kutampar Apa lagi keperluanmu?!" bentak Sinto Gendeng marah. Tapi dia hentikan juga langkahnya. Wiro membawa gurunya ke tempat yang agak jauh, hanya Tua Gila yang mendatangi mendekati mereka. Wiro lalu menceritakan dengan cepat hal ihwalnya dengan Ratu Duyung.

"Eyang, menurutmu apakah aku harus memenuhi permintaannya. Tidur dengan dia agar dia bisa bebas dari kutukan itu?"

"Hemmmm…" Sepasang mata Sinto Gendeng berputar-putar. Dia melirik pada Tua Gila di sampingnya. Sambil menyikut rusuk si kakek dia berkata. "Kalau kau tanyakan hal itu pada tua bangka ini, pasti dia akan menjawab lakukan saja! Sekarang menurutmu sendiri bagaimana anak setan?!"

Wiro jadi bingung dan garuk-garuk kepala. "Aku berhutang budi dan nyawa padanya. Tapi aku juga takut berdosa...!"

Eyang Sinto Gendeng tertawa mengekeh. "Urusan dosa adalah urusan manusia dengan Tuhannya. Urusanmu adalah antara manusia dengan manusia. Aku tidak akan mengatakan ya atau tidak. Semua terserah padamu!" Sinto Gendeng lalu puntir telinga muridnya hingga Wiro meringis kesakitan.

Sesaat kemudian bersama Tua Gila dia sudah berkelebat lenyap dari tempat itu! Hanya suara cekikikannya yang masih terdengar di kejauhan. Wiro ingat pada Bidadari AnginTimur, tepat pada saat gadis itu hendak meninggalkan tempat itu sambil mendukung mayat adik kembarnya.

"Bidadari Angin Timur, aku turut sedih atas kematian adikmu. Bisakah kita bicara dulu sebelum kau pergi?"

Bidadari Angin Timur menatap paras Wiro. Dalam hati dia membatin. "Dia tadi mengatakan terus terang bahwa dia mencintai diriku. Apakah aku mencintainya…?"

"Wiro, aku sedang berduka. Jika umur sama panjang dan kita bisa berjumpa lagi pasti kita bisa bicara panjang lebar. Saat ini aku harus pergi dulu. Aku harus mengurus jenazah adikku ini."

"Aku mendengar kau menyebut nama adikmu. Pandan Arum. Kalau aku boleh tahu namamu sendiri siapa sebenarnya?"

Bidadari Angin Timur hanya menarik nafas panjang. "Namaku biarlah tersimpan dulu untuk menjadi kenangan bagimu. Suatu ketika aku akan memberi tahu. Maafkan aku. Aku harus pergi sekarang…"

Wiro perhatikan kepergian Bidadari Angin Timur dengan berbagai perasaan. Dia merasa sudah saatnya pula untuk meninggalkan tempat itu. Ketika dia berpaling dilihatnya Dewa Tuak dan lblis Putih Ratu Pesolek sudah tak ada lagi di tempat itu.

Ratu Duyung dilihatnya melangkah tertunduk menuju kereta kencana putihnya yang telah disiapkan oleh dua orang anak buahnya. Sesaat dia memandang pada Kakek SegalaTahu. Lalu cepat-cepat menemui orang tua itu.

"Aku tahu kau hendak menanyakan sesuatu," kata si kakek sambil tertawa lebar dan goyangkan tangan kanannya yang memegang kaleng.

"Kau tak usah bertanya. Aku siap memberikan jawaban. Terkadang seseorang harus mengorbankan sesuatu untuk sesuatu yang sudah didapatnya!"

Wiro jadi terdiam mendengar ucapan Kakek Segala Tahu itu. Di sebelah sana pintu kerela kencana sudah terbuka. Ratu Duyung siap naik. Saat itu Bujang Gila Tapak sakti datang menepuk bahu Pendekar 212.

"Kalau kau tidak suka dengan gadis itu, aku tidak keberatan menggantikanmu! Bagaimana?" Si gendut ini bertanya sambil kedip-kedipkan matanya dan berkipas-kipas.

Wiro purukkan kopiah hitam di atas kepala si gendut hingga menutupi kedua matanya lalu berlari ke arah kereta pada saat pintu kereta tertutup dan roda-rodanya mulai bergerak.

"Ratu Duyung!" panggil Wiro.

Kereta berhenti, kepala Ratu Duyung muncul di jendela. "Ada apa Wiro…?

"Aku… apakah aku boleh ikut bersamamu?"

Ratu Duyung mengetuk dinding kereta. Kendaraan itu berhenti. "Ah, ini merupakan satu kejutan bagiku. Setahuku setiap tamu yang datang ke tempat kediamanku adalah atas undangan atau kehendakku. Apakah kau menerima undangan Wiro…?"

Paras Pendekar 212 menjadi kemerahan. "Aku juga tidak ingin mengecewakan orang lain…"

"Maksudmu Ratu?" tanya Wiro.

"Bidadari Angin Timur...!"

"Dia...!" Lama Wiro terdiam. "Aku terlalu banyak mengharap padanya. Ternyata...!" Wiro tidak meneruskan ucapannya.

"Begitu? Tapi kurasa masih ada seorang gadis menunggu kepastian darimu…"

"Eh, siapa?"

"Lihat ke sana. Dekat batu karang besar itu tegak seorang gadis berpakaian putih...!"

Wiro berpaling ke arah yang dikatakan Ratu Duyung. Di sana dilihatnya Dewi Payung Tujuh tegak memandang ke arahnya. "Dia gadis baik. Hanya sayang termakan perintah gurunya tanpa dia dapat menimbang...!"

"ltulah hidup. Setiap kita akan menghadapi satu atau beberapa persoalan yang kita tidak bisa memecahkannya sendiri. Sementara orang lain tak ada yang mau menolong…"

Wiro terdiam. Ucapan Ratu Duyung merupakan suatu sindiran baginya. Ratu Duyung mengetuk dinding kereta. Kendaraan itu bergerak. Murid Sinto gendeng tertegak diam dan hanya bisa garuk-garuk kepala.

"Agaknya Ratu Duyung tidak senang lagi terhadapku. Mungkin dia marah, mungkin juga cemburu…!"

Wiro membatin seolah menyesali diri sendiri. Tapi tiba-tiba dilihatnya pintu kereta terbuka lalu ada tangan halus melambai memanggilnya. Melihat hal ini tanpa menunggu lagi Pendekar 212 segera lari mengejar kereta dan melompat masuk melalui pintu yang dibukakan oleh Ratu Duyung!

Dipedataran pasir terdengar suara riuh orang tertawa, menangis dan bertepuk tangan. Ternyata mereka adalah para tokoh silat golongan putih yang masih ada di tempat itu. Wiro keluarkan kepala lalu melambaikan tangan pada semua mereka sampaiakhimya mereka lenyap di kejauhan. Di kaki bukit kereta putih itu berputar. Ketika Wiro merasakan kereta itu bergerak menuruni pantai Dan dia melihat air laut maka terkejutlah Wiro.

"Ratu… Kita ini mau ke mana?"

Ratu Duyung menatap kedepan dan menjawab. ”Bukankah katamu kau mau ikut ketempatku?”

”Betul… tapi ini… mengapa kereta menuruni pantai masuk kedalam laut?”

Ratu duyung tertawa panjang. "Apa kau lupa bahwa jalan ketempat kediamanku adalah melewati laut selatan ini?"

"Kau dan anak buahmu orang sakti. Aku bisa mati tenggelam dalam air laut…“

"Akan kita lihat nanti apa kau benar-benar mati…” kata Ratu Duyung pula sementara air laut telah mencapai pinggiran jendela. Dalam takutnya berusaha membuka pintu kereta. Ratu Duyung menarik baju hitamnya. Ketika dia berpaling pandangan mata Pendekar 212 bertemu dengan sepasang mata biru bagus sang Ratu.

"Aku… aku tak ingin mati tenggelam” kata wiro

"Aku juga tidak" jawab ratu duyung dengan tenang dan sambil tersenyum.

Wiro jadi ternganga lalu garuk-garuk kepala dan akhimya ikut-ikutan tersenyum. Lalu dengan suara perlahan dia berkata. "Matipun tak jadi apa karena aku tidak akan mati sendirian. Ada seorang ratu yang bakal menemani diriku di dasar laut!"

Ratu Duyung tertawa panjang. Suara tertawa yang seperti bulu perindu itu membuat Wiro tidak sadar kalau air laut sudah mencapai lehernya.

T A M A T

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.