Ki Ageng Tunggul Keparat

KI AGENG TUNGGUL KEPARAT

SATU

LAKSANA terbang kuda coklat berlari kencang di bawah panas teriknya matahari. Dalam waktu yang singkat bersama penunggangnya dia sudah sampai di kaki bukit untuk selanjutnya lari terus memasuki lembah subur yang terhampar di kaki bukit. Si penunggang kuda mendongak ke langit. Matahari dilihatnya tepat di ubun-ubun kepalanya. Parasnya kontan berubah.

"Celaka!" keluhnya dalam hati. "Celaka! Aku hanya punya waktu dua belas jam lagi! Kalau apa yang kucari tak dapat kutemui mampuslah aku!"

Dia memandang lagi ke matahari di atasnya lalu menyentakkan tali kekang agar kuda tunggangannya lari lebih cepat. Orang itu berpakaian biru gelap. Kulitnya yang hitam liat menjadi lebih hitam karena warna pakaiannya itu. Dibawah blangkon yang menutupi kepalanya, wajahnya tidak sedap untuk dipandang kalau tak mau dikatakan mengerikan.

Pada pipinya sebelah kiri mulai dari ujung bibir sampai ke tepi mata terdapat parut bekas luka yang lebar. Cacat ini membuat daging pipinya tertarik sedemikian rupa sehingga matanya terbujur keluar, kelopak sebelah bawah membeliak merah dan selalu berair sedang mulutnya tertarik pecong.

Di satu pedataran tinggi yang ditumbuhi pohon-pohon kapas, dihentikannya kudanya dan memandang berkeliling. Pada wajahnya yang buruk itu kelihatan bayangan harapan sewaktu sepasang matanya melihat puncak atap-atap rumah penduduk di sebelah tenggara pedataran.

"Aku harus ke desa itu," kata lelaki itu pada dirinya sendiri. "Mungkin di situ bakal kutemukan apa yang kucari. Kalau tidak..." kata hatinya itu tidak diteruskan.

Dipukulnya pinggul kuda tunggangannya dan binatang itu melompat ke muka, lari kembali menuju ke tenggara. Sewaktu angin dari timur bertiup keras, sewaktu daun-daun pepohonan mengeluarkan suara berdesir kencang, maka penunggang kuda itu telah memasuki sebuah jalan teduh di mulut desa. Diperlambatnya lari kudanya. Kedua matanya menyapu ke setiap penjuru. Jalan yang ditempuhnya sunyi sepi.

Pintu-pintu rumah penduduk tampak tertutup. Melewati suatu pengkolan dilihatnya beberapa orang anak kecil tengah bermain-main. Nafasnya terasa sesak seketika. Lalu dekat sebuah kandang kuda, seorang tua berjanggut putih duduk merokok memperhatikannya. Tanpa memperdulikan orang tua itu laki-laki ini terus berlalu.

Kemudian dipapasinya beberapa penduduk desa yang agaknya baru kembali dari sawah atau ladang mereka. Meski orang-orang itu mengangguk hormat kepadanya tapi lelaki penunggang kuda itu tahu bahwa dalam sikap hormat itu dilihatnya bayangan rasa ngeri di wajah mereka sewaktu melihat parasnya. Dalam hati masing-masing mungkin mengutuk habis-habisan.

Harapan yang sebelumnya ada di hati lelaki ini menjadi semakin kecil dan hampir padam bertukar dengan kemangkelan dan kekecewaan sewaktu dia mencapai ujung jalan dan hanya tinggal beberapa buah rumah saja yang harus dilewatinya.

"Apakah harus kutanyai orang-orang di sini?" tanya lelaki itu dalam hati. Tiba-tiba sepasang matanya menyipit. Dia memutar kepala berkeliling dan mendengar baik-baik.

"Hah, inilah yang kucari! Pasti...! Pasti itu suara tangisan bayi."

Segera diputarnya kuda coklatnya dan menuju ke rumah yang terletak di antara pohon-pohon pisang yaitu dari arah mana tadi didengarnya suara tangisan bayi. Pintu dan jendela rumah itu tertutup. Dia turun dari kudanya dan mengitari rumah satu kali lalu melangkah ke pintu depan. Dia memandang dulu kian kemari baru mengetuk pintu. Suara tangisan bayi di dalam rumah terdengar semakin keras dan laki-laki itu mengetuk lagi lebih kencang.

Terdengar langkah-langkah mendatangi pintu. Suara tangis bayi juga terdengar mendekati pintu itu. Sesaat sesudah itu pintu terbuka. Seorang perempuan muda memunculkan diri sambil membadung seorang bayi yang baru berusia kurang dari dua minggu dan masih merah. Begitu melihat tampang lelaki yang mengerikan di ambang pintu, perempuan itu menyurut. Jelas kelihatan pada wajahnya rasa takut amat sangat.

Lelaki tak dikenal memandang si bayi dalam dukungan beberapa lama. Diteguknya liurnya lalu berkata, "Aku mencari suamimu..."

"Dia belum kembali dari sawah," jawab perempuan yang mendukung anak.

Lelaki bermuka setan kembali memandang bayi merah dalam dukungan. "Ini anakmu...?"

Perempuan itu mengangguk dan memandang ke jurusan lain karena takut melihat wajah tamunya.

"Kemarin aku telah bicara dengan suamimu," kata orang bermuka cacat, "Dia bersedia menjual anak ini."

"A... apa?!" kaget perempuan yang mendukung anak bukan kepalang.

Sang tamu tampak acuh tak acuh. Dan dalam sabuknya dikeluarkannya sebuah kantong kecil yang mengeluarkan suara berdering tanda berisi uang.

"Ini ambillah," katanya. "Dan serahkan anakmu padaku."

Perempuan yang mendukung bayi surut beberapa langkah. Digelengkannya kepalanya dan berkata, "Tidak! Suamiku tak pernah mengatakan bahwa dia hendak menjual anak ini. Sekalipun dia mungkin bermaksud demikian, saya tidak akan menjual anak ini dengan harga berapapun. Ini anak kami yang pertama..."

Air muka sang tamu tampak berobah mengelam. Tenggorokannya turun naik dan sepasang bola matanya berputar-putar liar. "Kalau kau tak mau tak jadi apa," katanya. Lalu kantong uang dimasukkannya kembali ke dalam sabuknya. "Aku akan datang kembali kalau suamimu sudah pulang," katanya.

Perempuan mendukung anak tidak menyahuti malah buru-buru hendak menutupkan pintu rumah. Tapi baru saja jari-jari tangannya menempel di pinggiran pintu tiba-tiba tamu bermuka cacat itu mengulurkan kedua tangannya, menyentak kain pembadung bayi hingga terlepas sedang sang ibu jatuh tersungkur di ambang pintu. Secepat dia bangun secepat itu pula perempuan ini berteriak,

"Anakku! Tolong...! Anakku dilarikan orang! Culik...!"

Beberapa pintu rumah tetangga kelihatan terbuka. Empat orang lelaki dan seorang perempuan datang berlarian untuk melihat apa yang terjadi. Namun si penculik bayi telah melompat ke atas kuda coklatnya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat sebelum orang-orang tersebut sempat melakukan sesuatu.

********************

Hari Kamis malam Jum'at Kliwon... Hujan gerimis turun menambah dingin dan seramnya suasana malam. Kuda coklat yang ditunggangi lelaki bermuka cacat tampak mendaki di lereng bukit berbatu-batu, terus menuju ke puncaknya. Sesosok binatang serta penunggangnya yang hitam pekat dalam kegelapan malam tak ubahnya seperti setan yang tengah gentayangan!

Puncak bukit batu itu tinggi sekali dan jalan menuju ke situ sukar bukan main. Beberapa kali kuda coklat tersebut terserandung. Lidahnya menjulur ke luar bersama busahan ludah. Meskipun udara malam dingin namun tubuhnya berselimutkan keringat yang telah bercampur baur dengan air hujan. Untuk kesekian kalinya binatang ini tersandung dan akhirnya tegak mematung tak mau melangkah lagi.

Setengah mengomel lelaki bermuka cacat turun dari kudanya. Di dalam dukungan tangan kirinya saat itu ada bungkusan kain yang isinya bukan lain adalah bayi yang tadi siang diculiknya.

"Kudaku, tunggu di sini sampai aku kembali," kata orang tersebut pada kuda tunggangannya. Lalu sambil mendukung bayi dia melanjutkan perjalanan ke puncak bukit dengan melompat dari satu batu ke batu yang lain. Gerakan lelaki ini gesit luar biasa tanda dia memiliki ilmu meringankan dan mengimbangi tubuh yang sempurna. Dalam tempo yang tidak begitu lama akhirnya dia sampai di puncak bukit batu yang paling tinggi.

Setelah memandang berkeliling dia mendongak ke langit. Sesaat itu kilat menyambar. Keadaan terang seketika untuk kemudian kembali kegelapan menyelimut. Bayi dalam bungkusan kain terdengar menangis. Si muka cacat menyeringai. Dibukanya kain pembungkus. Udara malam yang dingin dan siraman hujan rintik-rintik membuat si bayi menangis tambah keras.

Dari balik pinggangnya laki-laki ini mengeluarkan sebilah pisau yang besarnya hampir menyerupai sebilah golok. Sekali lagi dia mendongak ke langit. Kali ini seraya mengacungkan pisau besar di tangan kanan tinggi-tinggi ke udara dan sambil berseru lantang,

"Guru! Demi sumpah yang harus dipatuhi. Bersaksi pada langit di atas kepala. Bersaksi pada batu di bawah kaki. Saat ini murid siap untuk mandi!"

Habis berseru demikian manusia bermuka cacat yang seperti kemasukan setan ini menggerakkan tangan kanannya. Dan...

"Crasss...!"

Sungguh mengerikan. Suara tangisan bayi lenyap seketika. Darah mengucur dari luka besar pada lehernya yang kini hanya tinggal kutungan, sedang kepalanya menggelinding jatuh entah kemana. Lelaki itu menyirami kepalanya dengan darah yang mancur dari leher bayi. Gerahamnya terdengar bergemeletakan. Matanya berputar-putar liar. Sekujur tubuhnya bergetar. Pada saat darah berhenti memancur maka kembali manusia bermuka iblis ini berteriak,

"Guru! Sumpah sudah dilaksanakan. Murid mohon diri. Dan akan datang lagi malam Jum'at Kliwon Bulan depan!"

Tanpa perikemanusiaan sama sekali, dilemparkannya tubuh bayi di tangan kirinya. Dalam keadaan tubuh basah kuyup oleh keringat, air hujan, dan darah, dia melompat dari atas batu, terus berlari turun ke tempat di mana dia sebelumnya meninggalkan kudanya.

********************

DUA

Dibekas reruntuhan kuil tua yang terletak di puncak Bukit Mangatas, empat orang laki-laki yang rata-rata bertubuh kekar dan bertampang buas berdiri dengan tidak sabar. Sebentar-sebentar mereka melayangkan pandangan ke jalan kecil yang berliku-liku di lereng bukit. Sementara itu di ufuk barat matahari penerang jagat hampir tenggelam masuk ke peraduannya.

"Kalau sampai maghrib si Gundara itu tidak juga muncul, kita tinggalkan saja tempat ini!" kata salah seorang dari mereka. Namanya Rah Gludak.

Lelaki yang tegak sambil rangkapkan tangan tanpa menoleh pada Rah Gludak berkata, "Aku yang jadi pemimpin di sini Gludak. Tindakan apapun yang dilakukan adalah atas keputusanku!"

"Jika begitu kau mau jadi patung terus-terusan di sini Parereg," tukas Rah Gludak.

"Jadi setan sekalipun aku tidak perduli!"

Lelaki bernama Bayana ikut bicara, "Memang rencana kita ini bukan rencana sembarangan. Untuk itu sudah patut kita melakukannya dengan hati penuh sabar..."

"Diam semua!" sentak Lor Parereg. "Aku mendengar derap kaki kuda di kejauhan!"

Di antara keempat orang itu memang Lor Parereglah yang memiliki ilmu paling tinggi. Karena itu dia lebih dulu mendengar suara derap kaki-kaki kuda di bawah bukit. Kemudian berturut-turut yang mendengar suara derap kuda itu adalah Kunto Handoko, Rah Gludak dan Tunggul Bayana.

Semuanya berdiam diri. Masing-masing menunggu penuh tegang. Selama mereka malang melintang menjadi empat rampok yang ditakuti di selatan Hutan Roban, belum pernah mereka mempunyai rencana besar seperti yang akan mereka lakukan saat itu.

Derap kaki-kaki kuda semakin keras tanda binatang dan penunggangnya tambah dekat. Di bawah pantulan sinar kuning emas matahari yang hendak tenggelam, dari mulut jalan tak lama kemudian muncullah seeker kuda hitam ditunggangi oleh seorang laki-laki bertubuh kurus tinggi berpipi cekung. Begitu sampai di hadapan ke empat laki-laki di depan kuil, penunggang kuda ini melompat turun dan menjura.

"Lekas terangkan apa yang sudah kau ketahui!" kata Lor Parereg seraya menurunkan tangan kirinya yang sejak tadi memuntir-muntir kumisnya yang tebal melintang.

Gundara, orang yang barusan datang menyeka peluhnya. Setelah memandang berkeliling pada keempat orang di depannya baru dia membuka mulut, "Karena sesuatu halangan rombongan itu tak jadi berangkat besok..."

"Hah?!" sepasang mata Lor Parereg melotot besar. "Keberangkatan mereka dibatalkan?" bertanya Tunggul Bayana.

Gundara menggeleng. "Rombongan itu akan meninggalkan kotaraja pagi-pagi lusa. Terdiri dari dua buah kereta. Satu kereta membawa uang dan peti-peti perhiasan, kereta lainnya membawa Ning Larasati, anak Sri Baginda dari selir yang ke enam."

Lor Parereg memandang pada ketiga kambratnya. "Bunga jelita itu, sobatku...," katanya dengan menyeringai penuh arti.

"Besar betul rejeki kita sekali ini," kata Rah Gludak seraya membasahi bibirnya dengan ujung lidah.

"Menurutku sebaiknya kalian jangan ganggu gadis itu," berkata Gundara.

"Heh, apa urusanmu?" tanya Lor Parereg.

"Perampokan uang dan harta benda bagi Sri Baginda bukan apa-apa. Tapi kehilangan Ning Larasati benar-benar bisa membuat Sri Baginda murka. Kalian tahu, Larasati adalah puteri yang paling disayangi Sri Baginda. Jika terjadi apa-apa dengan dirinya bukan mustahil Baginda akan mengerahkan seluruh balatentara Demak. Dan kalian bisa berabe."

Lor Parereg tertawa bergelak. "Tak ada satu orangpun yang bakal tahu siapa yang menghadang rombongan itu. Tak ada satu orangpun yang bisa mengetahui siapa yang merampok barang-barang itu serta siapa yang menculik Larasati. Kecuali jika ada di antara kita yang berkhianat!"

"Tak akan ada yang berkhianat Parereg," kata Tunggul Bayana. "Rejeki yang sudah ditakdirkan buat kita walau bagaimanapun harus kita ambil. Ning Larasati harus jadi milik kita!"

"Betul sekali Bayana," kata Lor Parereg. Lalu laki-laki itu berpaling pada Gundara dan berkata, "Apapun yang kami lakukan adalah urusan kami! Kau mesti tahu bahwa kau cuma seorang yang kami mintakan keterangan. Kau mengerti Gundara?"

"Mengerti Parereg. Nasehat itu kusampaikan untuk kebaikan kalian. Mau diperhatikan atau tidak terserah."

"Berapa prajurit yang bakal mengawal rombongan itu?" tanya Parereg pula.

"Dua puluh. Mereka dipimpin oleh Raden Mas Panawa..."

"Aku belum pernah dengar nama itu," kata Lor Parereg. Dia berpaling pada kawan-kawannya dan bertanya, "Kalian tahu siapa dia?"

Yang menjawab adalah Kunto Handoko. "Umurnya sekitar tiga puluhan. Tadinya orang desa biasa. Karena berbuat jasa diberi gelar Raden Mas dan diangkat jadi perwira kerajaan. Ilmunya tinggi. Sendiri-sendiri mungkin sukar menghadapinya. Tapi berempat dia tak perlu dipandang sebelah mata!"

Lor Parereg mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya satu kantong berisi uang. Benda itu dilemparkannya dan segera disambut oleh Gundara.

"Tugasmu selesai, Gundara. Cepat tinggalkan tempat ini. Kalau sampai rencana penghadangan ini bocor, aku cuma tahu satu orang untuk digorok batang lehernya. Kau!"

"Saya tak bakal membuka rahasia Parereg!" kata Gundara pula. Dia menjura, memutar tubuh dan melompat kepunggung kuda. Sekali dia menyentakkan tali kekang maka binatang itupun bergerak ke muka.

Namun untuk selanjutnya kuda hitam itu hanya lari sendirian karena dengan amat tiba-tiba sebuah pisau melayang dan menancap tepat di punggung Gundara. Lelaki ini terdorong ke depan. Tubuhnya hilang keseimbangan. Dan jatuh dari punggung kuda. Susah payah dia coba bangkit. Memandang ke arah Lor Parereg dengan pandangan penuh amarah. Dari mulutnya keluar suara yang tak jelas. Setelah merintih panjang Gundara akhirnya rubuh ke tanah dan tak bergerak lagi.

Lor Parereg tertawa mengekeh. "Aku tak percaya pada kunyuk ini," katanya sambil pelintir kumis. "Sebelum kasip sebaiknya dihabiskan riwayatnya!"

"Tindakanmu tepat sekali Parereg," ujar Tunggul Bayana.

"Kita kembali ke goa," kata Parereg pada kawan-kawannya. Keempatnya kemudian meninggalkan tempat tersebut. Sementara matahari telah tenggelam dan siang berganti dengan malam.

Hari Kamis Pahing adalah hari di mana menurut keterangan Gundara yang telah dibunuh itu, rombongan yang bakal dihadang akan meninggalkan Kotaraja. Kira-kira dua jam perjalanan di luar kotaraja sebelah timur, di satu daerah yang berbukit-bukit, di balik kelebatan semak belukar yang tumbuh sepanjang jalan kecil berdebu, sejak pagi tadi empat orang berpakaian serba hitam sudah berada di sana. Mereka bukan lain Lor Parereg dan kawan-kawannya.

"Kurasa terlalu jauh kita melakukan penghadangan di sini, Parereg," kata Tunggul Bayana memecah kesunyian.

Lor Parereg mendehem beberapa kali. "Bukan saatnya membicarakan hal itu," sahutnya tak acuh.

"Aku khawatir kalau-kalau rombongan itu membelok mengambil jalan lain."

"Menghadang lebih dekat ke kotaraja berarti menambah besarnya bahaya. Apa kau mau tanggung jawab jika salah seorang dari mereka nanti sempat menjemput balabantuan? Apa kau mau tanggung jawab jika tokoh-tokoh silat istana turun tangan? Kita menghadang di sini. Itu sesuai dengan rencanaku. Tak perlu diributkan lagi!"

Sunyi beberapa lamanya. Sementara itu matahari pagi mulai naik dan terasa bertambah panas sinarnya. Lor Parereg mengeluarkan tembakau serta daun kawung dan mulai menggulung sebatang rokok. Setelah beberapa kali dihisapnya rokok itu dia membuka mulut,

"Bila penghadangan ini berhasil, ingat baik-baik rencana kita selanjutnya. Kau Rah Gludak lari ke timur. Ini untuk mengelabuhi orang-orang kerajaan. Satu hari kemudian kau harus datang, selambat-lambatnya tengah hari di kuil tua Bukit Mangatas. Kau Kunto Handoko dan Tunggul Bayana larikan seluruh barang rampokan ke jurusan barat. Ambil jalan memutar lalu segera menuju Bukit Mangatas dan tanam semua harta rampokan itu di lobang yang telah kita gali. Tunggu di sana sampai aku datang."

"Kau sendiri ke mana?"

Lor Parereg menyeringai. "Ingat Ning Larasati?" tanyanya. "Aku akan bersenang-senang dulu dengan dia di satu tempat. Dan kalian tak usah tahu di mana!"

Beberapa waktu berlalu tanpa ada satu orangpun yang bicara. Tiba-tiba Lor Parereg mengangkat tangan memberi isyarat. "Aku mendengar sesuatu," katanya. "Mungkin rombongan itu!" Lalu dengan satu gerakan enteng dia melompat ke cabang sebatang pohon. Dari tempat ketinggian ini dia memandang jauh ke depan. Wajahnya nampak tegang ketika dia melompat turun kembali.

"Mereka datang!" katanya. "Lekas menyebar seperti yang sudah diatur!"

Kunto Handoko, Rah Gludak, dan Bayana segera menyebar bersembunyi. Mereka menunggu kira-kira sepeminuman teh. Tak lama kemudian dari arah depan muncullah rombongan itu. Pada kepala rombongan kelihatan seorang lelaki muda keren menunggang kuda. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang. Di sebelah belakang terdapat dua puluh prajurit yang juga menunggang kuda, bergerak maju mengapit dua buah kereta.

Dilihat dari bentuk kendaraan, kereta sebelah depan jelas kereta barang sedang yang di belakang merupakan kereta penumpang yang bagus. Penunggang kuda di sebelah depan tampak heran ketika melihat ada seorang lelaki berpakaian hitam, berkumis melintang tegak menghadang di tengah jalan. Dia memberi isyarat pada rombongan untuk berhenti lalu maju mendekati orang di tengah jalan dan dengan sikap sopan tapi juga waspada.

"Bapak, rombonganku hendak lewat. Harap kau suka menepi memberi jalan."

Lor Parereg tertawa. "Anak muda, bukankah kau perwira kerajaan yang bernama Panawa?"

"Bapak tidak keliru. Memang saya Panawa. Sekarang silahkan Bapak menepi..."

"Aku kenal kau tapi apakah kau kenal aku, perwira?"

Raden Mas Panawa sudah mengetahui jelas orang tak dikenal di hadapannya mempunyai maksud tidak baik. Tapi melakukan hal itu seorang diri terlalu berani. Pasti dia mengandalkan sesuatu. Maka perwira muda yang cerdik ini memandang berkeliling. Dia segera mengetahui ada tiga orang lainnya bersembunyi di balik semak belukar.

"Bapak, jika kau sudah tahu kami adalah rombongan kerajaan harap jangan mengganggu lebih lama..."

"Eh, siapa mengganggu siapa?" tanya Lor Parereg sambil puntir kumis. "Kehadiranku di sini justru dengan maksud baik. Yaitu serahkan dua kereta itu padaku dan kalian boleh kembali ke kotaraja dengan aman..."

"Bapak, kau jangan berani main-main dengan pasukan kerajaan." Raden Mas Panawa memperingatkan. Dia masih berusaha menyabarkan diri.

Akan tetapi seorang anak buah di samping kanannya maju seraya berkata, "Raden, biar saya beri pelajaran pada orang ini!"

"Nah, kau dengar sendiri," kata Panawa. "Jangan sampai kami menurunkan tangan kasar!"

"Jadi kau tidak mau menyerahkan dua kereta itu?" tanya Lor Parereg sambil bertolak pinggang.

Panawa berpaling pada anak buahnya. Kesabarannya telah hilang. "Singkirkan manusia itu," perintahnya.

"Srettt...!"

Pembantu yang diberi perintah cabut pedang dan memajukan kudanya mendekati Lor Parereg. Pedang berdesing diayunkan ke arah kepalanya. Dengan satu gerakan gesit kepala rampok ini merunduk lalu dari samping memukul lengan lawan.

"Kraakkk...!"

Terdengar patahnya tulang lengan pengawal itu. Tubuhnya yang hilang keseimbangan langsung jatuh dan sebelum mencium tanah disambut oleh Lor Parereg dengan tendangan kaki kanan. Melihat gerakan Lor Parereg yang sebat itu maklumlah Raden Mas Panawa bahwa rombongannya berhadapan dengan seorang berkepandaian tinggi. Tanpa tunggu lebih lama dia melompat turun dari punggung kuda. Begitu menjejak tanah dia langsung menyerbu Parereg dengan tangan kosong.

TIGA

Lor Parereg yang sengaja hendak mengetahui kehebatan perwira muda ini segera menyongsong serangan lawan, menyambut dengan balas memukul. Akibatnya dua lengan saling bentrok. Kepala rampok Hutan Roban ini berubah parasnya ketika dapatkan dirinya terjajar ke belakang akibat saling bentrokan lengan itu.

Nyatalah bahwa lawannya yang masih muda itu memiliki keampuhan tenaga dalam melebihi yang dimilikinya. Maka dia bersuit memberi isyarat. Tiga anak buahnya melompat keluar dari tempat persembunyian masing-masing dan langsung mengurung Raden Mas Panawa.

"Bagus! Kalian sudah keluar semua! Aku masih berikan kesempatan terakhir pada kalian agar meninggalkan tempat ini!"

Lor Parereg tertawa keras. "Perwira muda! Aku Lor Parereg dan kawan-kawan baru akan pergi setelah mendapatkan apa yang kami ingini. Sebaliknya justru aku menawarkan agar kau dan para pengawal berlalu saja dari sini..."

"Rampok-rampok bodoh! Bersiaplah untuk menerima hukuman!" bentak Panawa. Karena tiga pengeroyok dilihatnya sudah memegang senjata maka dia segera pula cabut pedang panjangnya. Pertempuran empat lawan satu segera berkecamuk.

Meskipun Panawa memiliki ilmu silat tinggi namun karena yang mengeroyok adalah rampok-rampok kawakan maka tiga jurus saja dia sudah terkurung rapat dan terdesak. Dalam satu bentrokan senjata, pedang di tangan perwira muda itu terpukul lepas.

Melihat pimpinan mereka berada dalam keadaan bahaya maka sepuluh pengawal segera maju membantu. Pertempuran menjadi makin seru. Panawa kini pergunakan sebilah keris. Senjata ini merupakan senjata pemberian gurunya dan dengan senjata ini di tangan dia mengamuk. Satu kali dia berhasil melukai bahu kanan Kunto Handoko.

Walaupun pengawal-pengawal itu berjumlah banyak. Namun mereka bukanlah tandingan rampok-rampok Hutan Roban yang bertempur penuh kebuasan karena mengharapkan barang rampokan yang tidak sedikit jumlahnya. Satu demi satu mereka roboh bahkan Panawa sendiri tubuhnya telah penuh dengan luka-luka dan agaknya tak bakal dapat bertahan lama.

"Selesaikan dia!" kata Lor Parereg. Dia melompat keluar dari kalangan pertempuran. Sudah saatnya dia turun tangan melakukan sesuatu sesuai dengan rencananya. Dia bergerak cepat ke arah kereta sebelah belakang.

Raden Mas Panawa yang dapat menduga apa yang hendak dilakukan oleh kepala rampok itu cepat berteriak, "Lindungi puteri!"

Sepuluh pengawal yang sejak tadi tidak ikut bertempur mendengar perintah itu menjadi bingung. Semula mereka hendak membantu Panawa dan pengawal-pengawal lain yang jelas kelihatan dalam keadaan kepepet. Namun kini mereka malah diperintahkan mengamankan Ning Larasati. Lalu siapa pula yang akan menjaga kereta pertama yang membawa uang dan harta benda berharga itu?

Akhirnya lima pengawal bergerak ke arah kereta yang ditumpangi Ning Larasati dan pengasuhnya sedang lima lagi memasuki kalangan pertempuran untuk menyelamatkan kawan-kawan dan pimpinan mereka. Namun usaha mereka ini sia-sia saja.

Lima prajurit yang menjaga kereta sebelah belakang bukan apa-apa bagi Lor Parereg. Satu demi satu mereka dihantam roboh. Lalu dia mendobrak pintu kereta dan sepasang matanya melotot melihat wajah cantik yang ketakutan didalam kereta itu. Pengasuhnya yang memeluk dan berusaha melindunginya berkata,

"Jangan ganggu dia! Dia puteri Sultan!"

Lor Parereg menyeringai. Hidungnya kembang kempis membayangkan apa yang bakal dinikmatinya. "Aku tidak akan menyakitimu Larasati. Asalkan kau mau keluar baik-baik dan ikut aku..."

"Tidak... pergi! Aku tidak mau ikut kau...!" jerit Ning Larasati beringsut ke sudut kereta.

"Gadis manis kau tak seharusnya menolak begitu..." ujar Lor Parereg. Lalu sekali sentak saja dia berhasil menarik Ning Larasati keluar dari kereta.

Pengasuhnya yang berusaha mencegah ditendang hingga roboh tak sadarkan diri. Ning Larasati menjerit dan meronta-ronta dari panggulan Lor Parereg. Namun tak berhasil melepaskan diri.

Di bagian lain Panawa yang berusaha berjuang mati-matian akhirnya tak sanggup lagi bertahan. Dia roboh dengan tubuh mandi darah penuh bacokan. Dua pengawal yang masih hidup putus nyali mereka dan ambil langkah seribu.

Sesuai dengan yang telah diatur, Rah Gludak kemudian memacu kudanya ke arah timur. Kunto Handoko dan Tunggul Bayana melarikan kereta berisi uang dan harta ke arah barat.

"Beres!" kata Lor Parereg puas. Ning Larasati dinaikkannya ke atas kuda lalu kepala rampok ini memacu binatang ini memasuki rimba belantara dan lenyap dari pemandangan.

********************

Tepat tengah hari Kunto Handoko dan Tunggul Bayana sampai di kuil tua yang terletak di Bukit Mangatas. Tunggul Bayana turun dari kereta yang dikemudikannya itu dan membuka pintu. Ada empat buah peti besi di dalam kendaraan ini. Setelah diperiksa ternyata dua peti berisi uang emas dan dua lainnya penuh perhiasan berbagai bentuk.

"Kita akan kaya raya Bayana!" kata Kunto Handoko tertawa gembira.

Tunggul Bayana memutar kepala. Wajahnya tidak menunjukkan kegembiraan.

"Ada apa dengan kau?" tanya Kunto Handoko agak heran. "Apa tidak senang mendapat barang rampokan sebanyak ini? Tujuh turunan kurasa kita bisa ongkang-ongkang kaki!"

Tunggul Bayana tersenyum kecil. "Yang aku khawatirkan adalah luka di bahumu yang membengkak, Kunto," kata Tunggul Bayana.

Kunto Handoko baru ingat luka bekas tusukan keris Panawa pada bahunya. "Luka biasa, tak perlu dikhawatirkan," kata Kunto Handoko pula.

"Aku yakin keris itu mengandung racun. Kalau tidak kenapa lukamu cepat sekali membengkak dan berwarna biru begini?"

Kunto Handoko memperhatikan luka di bahunya. "Ah tak apa-apa," katanya kemudian.

"Sebaiknya kau telan obatku ini. Mujarab sekali untuk menolak segala macam racun. Sementara itu aku akan ke belakang kuil memeriksa lobang tempat penimbunan peti-peti itu."

Kunto Handoko mengambil sebutir obat berwarna hitam yang diberikan Tunggul Bayana, lalu tanpa ragu-ragu menelannya. Ketika Tunggul Bayana lenyap di balik reruntuhan tembok kuil sebelah belakang, cepat-cepat Kunto Handoko mendekati empat peti besi dalam kereta. Salah satu peti dibukanya lalu dimasukkannya tangannya mengeruk uang emas yang terdapat dalam peti itu.

Sewaktu uang tersebut hendak dimasukkannya ke dalam sebuah kantong di balik pakaiannya, tiba-tiba dirasakannya dadanya amat sakit. Begitu sakitnya hingga uang yang ada dalam genggamannya terlepas dan kepalanya terasa berat sedang pemandangannya berkunang-kunang. Kedua tangannya kini memegangi dada yang terasa sesak. Tiba-tiba dia membuka mulut hendak batuk tapi yang keluar adalah semburan darah!

"Jahanam!" maki Kunto Handoko. "Tunggul Bayana pasti telah memberikan racun padaku!" Dihunusnya pedangnya lalu melangkah ke bagian belakang kuil namun setengah jalan lututnya goyah. Sebelum terguling pingsan ke tanah Kunto Handoko masih sempat menotok urat besar dipangkal lehernya.

Tunggul Bayana muncul. Menyaksikan Kunto Handoko menggeletak tak bergerak dia tertawa gelak-gelak. "Dasar manusia tolol!" katanya. "Sekarang semua uang dan harta itu menjadi milikku! Semuanya! Aku akan jadi kaya raya! Ha ha ha!"

Laksana orang gila Tunggul Bayana membuka peti-peti itu satu demi satu dan mengaduk-aduk isinya. Hatinya gembira setinggi langit. Dia puas sekali karena rencana yang diam-diam diaturnya sejak lama kini menjadi kenyataan. Kuda tunggangannya diikatkan di belakang kereta. Sebelum meninggalkan tempat itu sekali lagi dia memandang pada sosok tubuh Kunto Handoko

"Sobatku yang tolol, sayang kau tak sempat menikmati hasil rampokan ini. Selamat tinggal, selamat jalan ke akherat!" Dia tertawa panjang-panjang lalu menyentakkan tali kekang.

Tunggul Bayana tidak mengetahui sama sekali kalau saat itu Kunto Handoko cuma menggeletak pingsan, bukan mati.

********************

EMPAT

Lor Parereg menunggang kudanya memasuki rimba belantara. Meskipun pohon-pohon disitu tumbuh rapat tapi karena sudah tahu betul seluk beluk daerah tersebut, dia dapat memacu kudanya dalam kecepatan tinggi. Kira-kira dua kali peminuman teh berlalu. Lor Parereg sudah berada di pertengahan Hutan Roban. Di satu tempat dia menyeruak memasuki semak belukar lebat.

Di belakang semak belukar itu ternyata terdapat sebuah goa besar dan tinggi. Lor Parereg melompat dari kudanya dan memanggul tubuh Ning Larasati memasuki goa. Bagian dalam goa itu tak beda dengan sebuah ruangan dalam satu bangunan yang bagus. Di sebelah depan terdapat seperangkat kursi dan meja terbuat dari rotan. Ruangan itu dipisah dua oleh sebuah tirai bambu yang tipis.

Lor Parereg menyibakkan tirai bambu. Ruangan yang dimasukinya bagus sekali dan di situ terdapat tiga buah pembaringan rotan. Pemimpin rampok ini melangkah ke pembaringan di ujung kanan yaitu yang paling besar dan bagus. Ning Larasati yang berada dalam keadaan pingsan dibujurkannya di atas pembaringan itu. Dari dalam sebuah lemari Lor Parereg mengeluarkan sebuah kendi berisi tuak. Sambil meneguk minuman itu dia duduk di tepi pembaringan memperhatikan wajah Ning Larasati.

"Cantik sekali... cantik sekali," kata Lor Parereg dalam hati berulang kali.

Hawa hangat dari minuman yang diteguknya memanasi jalan darahnya. Butir-butir keringat memercik di keningnya. Hidungnya kembang kempis. Nafsu mesum mulai membakar tubuhnya. Lor Parereg beringsut. Dielusnya betis putih mulus gadis itu. Betapa lembutnya. Setelah puas memijit-mijit betis Larasati tangannya menjalar ke atas lebih ingin tahu, makin ke atas, membuat Lor Parereg menggeram panas dingin.

Tiba-tiba Ning Larasati siuman dari pingsannya dan menggeliat. Begitu sadar akan dirinya puteri Sultan Demak ini menjerit dan melompat dari atas pembaringan rotan. Dia memekik tiada henti, meronta dan menerjang. Melakukan apa saja terhadap Lor Parereg yang coba mendekapnya. Namun kepala rampok itu terlalu kuat bagi gadis sehalus Larasati. Pakaiannya robek-robek dan tubuh Lor Parereg menghimpitnya dari atas.

Karena tak tahu apa lagi yang dapat dilakukannya untuk melepaskan diri, akhirnya Larasati hanya bisa menangis. Seumur hidup tak pernah terpikir olehnya bakal mengalami nasib yang mengerikan begini rupa. Dia menangis sambil memejamkan matanya. Lalu dirasakannya tangan-tangan Lor Parereg melepas pakaiannya secara paksa. Nafas lelaki itu yang berbau minuman keras menghembus-hembus di wajahnya. Kemudian terasa bulu-bulu dada Lor Parereg menggamangi dadanya yang kini tiada tertutup lagi. Kemudian... kemudian...

Suara raungan laksana harimau lapar meledak keluar dari mulut Lor Parereg. Ning Larasati terkejut. Dibukanya kedua matanya. Apa yang telah terjadi?

Dilihatnya Lor Parereg dalam keadaan setengah telanjang terhampar di sudut ruangan. Di hadapannya berdiri seorang perempuan amat tua berambut panjang terurai awut-awutan dan berwarna putih. Perempuan tua ini mengenakan sehelai jubah panjang menyentuh lantai berwarna putih polos. Kaki dan tangannya yang tersembul dari balik pakaian itu juga berwarna putih seputih parasnya yang keriputan.

"Nenek tua berwajah putih ini apakah dia manusia atau setan?" pikir Larasati. Untuk sesaat dia lupa akan keadaan dirinya. Begitu sadar cepat-cepat disambarnya pakaiannya.

"Bangsat tua! Siapa kau?!" teriak Lor Parereg seraya melompat.

Perempuan tua itu tertawa tawar. Barisan gigi-giginya ternyata masih utuh dan berwarna putih bersih. "Siapa aku...?" ujarnya. "Itulah yang aku sendiri tidak tahu!"

"Bedebah gila! Kalau tidak lekas angkat kaki dari sini kupatahkan batang lehermu!"

"Kau mau patahkan batang leherku? Lucu... lucu," kata si nenek sambil tertawa geli. "Rupanya tendanganku tadi masih belum cukup?"

"Tua bangka keparat! Sampai ke liang kubur kau akan menyesali diri!" bentak Lor Parereg. Lalu dia melompat ke muka. Kedua tangannya bergerak cepat hendak menangkap leher perempuan tua itu.

"Plaakkk...!"

Lor Parereg terhuyung ke belakang. Tamparan nenek muka putih itu keras sekali membuat pemandangannya berkunang-kunang. Amarahnya makin memuncak. Untuk kedua kalinya dia menerjang ke muka namun sekali inipun tamparan lawan menghantam parasnya lebih dulu. Membuat Lor Parereg untuk kedua kalinya berdiri nanar kesakitan!

"Anjing tua! Mampuslah!" Lor Parereg lepaskan satu pukulan tangan kosong. Angin deras menggebu. Itu adalah satu pukulan tangan kosong yang hebat.

Tapi si perempuan tua muka putih hanya ganda melambaikan lengan jubahnya maka serangan Lor Parereg menjadi musnah. Tubuhnya lalu berkelebat lenyap dan kemudian...

"Plaakkk! Plaakkk! Plaakkk!"

Tamparan keras bertubi-tubi mendarat di muka Lor Parereg. Kepala rampok ini terpelanting ke lantai. Mukanya sembab biru, bibirnya pecah, salah satu giginya tanggal. Dalam merintih menahan sakit Lor Parereg menyambar pedangnya dari atas tempat tidur lalu untuk kesekian kalinya menyerbu lagi.

"Bajingan edan! Kau pantas dihajar setengah hidup setengah mampus!" nenek tua itu berseru. Jengkel sekali dia kelihatannya, Selagi senjata lawan berkelebat ganas siap membuat celaka tubuhnya, dengan satu gerakan aneh luar biasa perempuan muka putih itu malah menyusup ke depan dan tahu-tahu tubuh Lor Parereg terbetot sedang pedangnya sudah berpindah tangan!

Keringat dingin mengucur di tengkuk Lor Parereg. Kini dia sadar kalau sedang berhadapan dengan manusia berilmu tinggi luar biasa. Namun dia rasa-rasa masih kurang percaya. Dia masih belum yakin lawannya benar-benar dapat bertindak begitu cepat. Ilmu silat apakah yang telah dipergunakan oleh nenek tua bermuka putih itu? Meskipun hatinya kecut namun kemarahannya melebihi segala-galanya. Dengan dua tangan terpentang dan rahang-rahang bertonjolan Lor Parereg maju mendekati si nenek.

"Makan ini!" bentak Lor Parereg seraya memukulkan kedua tangannya dengan serentak. Empat rangkum angin yang berlainan warna menderu. Goa itu laksana mau runtuh. Empat larik angin pukulan itu dengan hebatnya melabrak tubuh si muka putih dari empat jurusan yang sukar untuk dikelit!

"Manusia bajingan! Pukulan Angin Empat Racun inikah yang hendak kau andalkan? Belajarlah dulu sampai becus baru nanti dipergunakan lagi!" Habis berkata begitu perempuan tua itu mendorongkan kedua telapak tangannya ke muka.

Serangan Lor Parereg kontan tertahan dan kemudian membalik sebat ke arah pemiliknya sendiri. Lor Parereg berseru kaget. Jika saja dia tidak lekas menjatuhkan diri dan berguling menjauh niscaya dirinya dilanda maut!

Melihat kenyataan ini kepala rampok Hutan Roban itu kini benar-benar sadar dan putus nyalinya. Sekalipun dia punya lima kepala sepuluh tangan tak bakal dia bisa mengalahkan perempuan tua yang muncul secara aneh itu. Tanpa tunggu lebih lama dia segera putar tubuh dan lari pontang-panting keluar goa. Di mulut goa masih sempat didengarnya suara perempuan tua itu berkata,

"Kalau saja pantangan membunuhku sudah habis waktunya, niscaya sudah tadi-tadi kupecahkan batok kepalamu!"

Lalu orang tua ini berpaling pada Ning Larasati dan menarik nafas dalam. Saat itu Larasati berdiri di sudut ruangan dengan wajah pucat pasi.

"Kau tak usah takut. Mari ikut denganku," kata si nenek.

Larasati tak bergerak di tempatnya. Dia sadar telah ditolong oleh si nenek tapi dia sendiri tidak tahu siapa orang tua ini. Apakah benar-benar bakal menolongnya atau lebih jahat dari Lor Parereg.

Si orang tua mendatangi dan tersenyum. "Ayo kita keluar dari tempat ini."

"Nenek... terima kasih kau telah menolongku. Tapi kau siapa sebenarnya?" tanya Larasati.

Perempuan tua itu tertawa, "Siapa aku itulah yang aku sendiri tidak tahu. Namun mimpiku semalam kini betul-betul menjadi kenyataan. Kau berjodoh denganku, anak."

Lalu tanpa banyak bicara lagi perempuan tua itu memegang pinggang Larasati. Sekali lompat saja dia sudah berada di mulut goa!

********************

Kereta itu bergerak cepat sekali menyusuri kali kecil berair kuning lalu membelok memasuki jalan yang berbatu-batu. Di jalan seburuk itu tak mungkin kereta bergerak secepat sebelumnya. Namun Tunggul Bayana mencambuki terus punggung kedua kuda penarik kereta hingga binatang ini lari seperti kesetanan. Kereta meluncur miring, kadang-kadang terhempas dan mental keatas.

Ketika matahari mulai condong ke barat baru Tunggul Bayana memperlambat lari dua ekor kuda itu. Dia kemudian memasuki sebuah lembah yang tak pernah didatangi manusia dan menghentikan kereta di bawah sebuah pohon besar. Setelah memandang dulu berkeliling baru dia melompat turun dari atas kereta. Disibakkannya serumpunan semak belukar. Di balik semak-semak itu terdapat sebuah lobang besar. Lobang ini memang telah disiapkannya sejak tiga hari lalu.

Dia kembali ke kereta lalu satu demi satu dengan susah payah keempat peti itu diseretnya dan dimasuk-kannya ke dalam lobang. Dari salah satu peti diambilnya sejumlah uang emas dan dimasukkannya dalam kantong. Lobang itu kemudian ditimbunnya dengan tanah. Di atas timbunan ditutupnya dengan potongan semak belukar sehingga tak kentara sama sekali kalau di tempat itu ada bekas galian.

Setelah meneliti dan memastikan segala sesuatunya, Tunggul Bayana membawa kereta ke sebuah danau. Kendaraan ini ditenggelamkannya sedang dua ekor kuda dilepaskannya. Lalu dengan menunggangi kudanya sendiri dia meninggalkan lembah liar itu menuju ke utara yaitu ke jurusan Kotaraja.

********************

Sewaktu senja memasuki malam, dua orang prajurit kerajaan tampak memacu kuda masing-masing memasuki Kotaraja. Salah seorang di antaranya membawa sesosok tubuh perempuan di depan pangkuannya. Mereka langsung menuju istana dan sama sekali tidak melayani pertanyaan-pertanyaan para pengawal. Di hadapan pintu gerbang besar sebelah dalam yang menuju ke tempat persemayaman Sultan Trenggono, salah seorang dari prajurit itu berkata,

"Beri tahu pada Sultan bahwa kami ingin menghadap."

"Malam-malam begini, ada apa...?"

"Sesuatu telah terjadi dengan rombongan Gusti Ayu Ning Larasati. Kuharap kau jangan banyak tanya dulu. Aku harus memberikan laporan!"

Mendengar itu prajurit-prajurit yang mengawal pintu gerbang tersebut segera masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian dia keluar lagi dan menerangkan bahwa Sultan telah siap menunggu di ruangan dalam. Dengan masih membawa sosok tubuh perempuan, kedua prajurit tadi bertindak masuk.

Air muka Sultan Trenggono tampak berobah melihat masuknya dua prajurit itu. Sementara kedua prajurit menjura, mata Sultan memandang lekat-lekat pada perempuan yang ada di bahu kiri salah seorang dari prajurit yang datang menghadap.

"Kalau aku tidak salah itu adalah pengasuh Larasati. Apa yang terjadi? Dan mana puteriku?" tanya Sultan Trenggono.

"Kami dalam perjalanan pulang dari Leces. Perempuan ini kami temui di tengan jalan di antara mayat-mayat prajurit kerajaan. Sebuah kereta istana juga kami temui di situ dalam keadaan kosong."

Sultan Trenggono berdiri dari kursinya. Untuk beberapa lamanya dia hanya bisa tegak mematung dengan mulut menganga dan kedua mata terbuka lebar.

"Pasti rombongan puteriku telah dihadang orang-orang jahat. Semua prajurit pengawal mati katamu?"

"Betul Sultan. Bahkan mayat Raden Mas Panawa kami dapati di antara korban yang tewas. Kami belum sempat mengurus mayat-mayat itu karena ingin cepat-cepat melapor."

"Celaka..." desis Sultan Trenggono. Dia maju beberapa langkah. Ditelitinya sosok tubuh perempuan yang dipanggul. "Masih hidup?"

Prajurit yang ditanya mengangguk.

"Bawa dia ke salah satu kamar di belakang. Panggil tabib dan usahakan agar dia siuman secepat mungkin agar bisa ditanyai."

Sebelum menjalankan perintah dua prajurit itu menjura lebih dulu. Pengasuh yang pingsan dimasukkan ke dalam sebuah kamar. Tabib dipanggil dan segera datang. Begitu perempuan itu siuman Sultan Trenggono segera diberitahu dan segera datang.

"Kau ikut bersama rombongan Larasati bukan?"

"Betul Sultan..."

"Kau ditemui dalam keadaan pingsan. Katakan apa yang terjadi."

Pengasuh Ning Larasati itu menyeka peluh di keningnya lebih dulu baru menjawab dengan muka yang masih pucat. "Waktu itu kami baru saja meninggalkan desa Kalicamat. Tiba-tiba hamba dengar ringkikan-ringkikan kuda dan suara bentakan. Ternyata rombongan kami telah dihadang orang jahat. Mereka berjumlah empat orang, berpakaian serba hitam. Raden Mas Panawa turun dari kuda, bertempur dengan salah satu orang jahat itu. Lalu perkelahian terjadi. Walau mereka berjumlah cuma empat tapi ternyata mereka memiliki kepandaian tinggi. Perwira muda itu dan seluruh pengawal menemui ajal. Gusti Ayu dipaksa keluar dari kereta dan dilarikan. Hamba... hamba tak kuasa melindunginya karena hamba ditendang dan tak ingat apa-apa lagi..."

Sultan berpaling pada prajurit-prajurit yang telah menemukan pengasuh itu. "Apa kalian sudah meneliti tempat kejadian itu dan tidak menemukan puteriku?"

"Sudah Sultan dan Gusti Ayu tidak ada di situ."

Sultan merasakan dadanya sesak. "Panggil Brajaseta kemari!" perintahnya.

LIMA

Brajaseta adalah Perwira Tinggi di Demak yang memegang jabatan sebagai Kepala Pasukan Kerajaan. Orangnya tinggi kekar. Dia amat disegani dan dihormati karena ilmu silat dan kesaktiannya yang tinggi. Begitu Brajaseta memasuki kamar Sultan Trenggono segera menerangkan apa yang telah terjadi dan memberi perintah agar saat itu juga Brajaseta bersama beberapa perwira kerajaan dan seratus prajurit melakukan penyelidikan dan pengejaran.

"Selambat-lambatnya besok pagi aku harus sudah mendapat kabar tentang puteriku itu!" Lalu dengan hati masygul Sultan meninggalkan tempat tersebut. Baginya kehilangan empat peti uang dan perhiasan bukan menjadi apa dibandingkan dengan keselamatan puteri yang sangat disayanginya itu meski cuma puteri dari seorang selir.

Sultan Trenggono baru saja masuk ke dalam kamarnya sewaktu tiba-tiba pintu diketuk dan Brajaseta muncul di ambang pintu.

"Ada apa Brajaseta? Bukankah kau seharusnya sudah berangkat?"

Perwira Tinggi itu menjura. "Harap dimaafkan Sultan. Ketika saya menemui tokoh-tokoh silat istana untuk berunding, seorang pengawal mengatakan ada seorang lelaki ingin menghadap Sultan. Ketika ditanya maksud kedatangannya dia tidak mau menerangkan. Katanya dia hanya mau bicara dengan Sultan dan katanya ada sangkut-pautnya dengan malapetaka yang barusan dilaporkan."

"Bawa orang itu kemari!" kata Sultan seraya mendudukkan diri di kursi.

Sultan tak menunggu lama. Pintu ruangan terbuka dan Brajaseta bersama dua prajurit masuk membawa seorang laki-laki berpakaian kumal, bermuka lusuh. Dihadapan Sultan orang ini menjura dalam-dalam.

"Terangkan siapa kau dan jelaskan maksud kedatanganmu," kata Sultan setelah lebih dulu meneliti orang itu beberapa saat lamanya.

"Nama hamba Wiku Tembereng. Hamba seorang petani miskin dari desa Kalicamat. Pagi tadi hamba dalam perjalanan ke hutan untuk mencari kayu jati. Tiba-tiba di balik semak belukar hamba lihat empat orang laki-laki berpakaian serba hitam. Mereka membicarakan sesuatu. Karena sikap mereka mencurigakan maka diam-diam hamba mencuri dengar apa yang dibicarakan. Rupanya mereka adalah perampok-perampok Hutan Roban yang hendak melakukan penghadangan. Nama-nama mereka adalah Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko. Orang keempat tak tahu jelas siapa namanya. Keempatnya menyebut nama Gusti Ayu Ning Larasati..."

"Tunggu dulu!" potong Sultan Trenggono. "Bagaimana kau bisa tahu nama ketiga orang itu?"

Si petani menelan ludahnya dan menjawab, "Mereka bicara saling memanggil nama..."

"Teruskan keteranganmu!"

"Yang bernama Parereg rupanya yang menjadi pimpinan di antara mereka. Hamba dengar dia mengatur rencana penghadangan dan pelarian. Begitu penghadangan berhasil, salah seorang kawannya disuruhnya lari ke timur. Dua orang membawa lari barang rampokan ke sebuan kuil di Bukit Mangatas dan menanamnya dalam lobang. Parereg sendiri hamba dengar mengatakan bahwa dia akan menculik Gusti Ayu dan menyembunyikannya di satu tempat lalu akan melakukan pemerasan terhadap Sultan..."

"Bedebah!" maki Sultan sambil kepalkan tinju.

"Apa kau tahu ke mana Gusti Ayu dibawa?" tanya Brajaseta pada si petani.

"Hamba tidak tahu, perwira," jawab si petani, "Namun menurut Parereg besok mereka akan bertemu di Bukit Mangatas itu dan kemungkinan Parereg akan membawa Gusti Ayu ke situ."

Sunyi seketika. "Coba kau terangkan ciri-ciri orang bernama Parereg itu," kata Brajaseta.

Wiku Tembereng menerangkan ciri-ciri Lor Parereg.

"Kemudian apa yang terjadi?" tanya sang perwira.

"Sebelum hamba ketahuan berada di situ, hamba cepat-cepat pergi dan pulang ke rumah. Hamba ceritakan kejadian itu pada istri hamba dan dia mengusulkan agar hamba cepat-cepat memberi tahu istana. Hamba seorang petani miskin, tak punya kuda. Hamba jalan kaki untuk datang kemari. Itu sebabnya malam-malam begini baru sampai."

Sultan berpikir sejenak. Lalu berpaling pada Brajaseta. "Bagaimana pendapatmu Dimas Brajaseta?"

"Ada baiknya jika saya melakukan penyelidikan dulu ke Bukit Mangatas."

"Bolehkah hamba mengemukakan pendapat?" tiba-tiba si petani menyeletuk.

Semua mata ditujukan pada Wiku Tembereng.

"Bicaralah," kata Sultan pula.

"Rampok-rampok Hutan Roban rata-rata licik dan amat cerdik dalam melakukan segala tindakan. Hamba khawatir penyelidikan pendahuluan yang akan diadakan diketahui oleh mereka. Mungkin Sultan bisa mendapatkan semua harta yang ditanam di kuil itu kembali. Tapi Parereg tentu bakal diberi laporan sehingga dia tak jadi datang ke situ. Ini berarti Gusti Ayu tak bakal bisa diselamatkan. Menurut pendapat hamba yang tolol ini sebaiknya dilakukan penyergapan pada tengah hari besok. Yaitu pada saat keempat penjahat itu melakukan pertemuan di Bukit Mangatas di mana Parereg akan datang membawa Gusti Ayu..."

Apa yang dikatakan petani ini memang ada benarnya. Untuk beberapa lamanya semua orang berdiam diri. Akhirnya Sultan Trenggono memecah kesunyian.

"Apa yang kau katakan itu pantas untuk dipikirkan." Lalu Sultan berpaling pada salah seorang pembantu. "Berikan lima keping uang perak dan seekor kuda padanya untuk pulang ke rumah."

"Sultan," si petani berkata seraya menjura, "apa yang hamba lakukan ini sama sekali tidak mengharap pamrih balas jasa. Itu adalah kewajiban."

Sultan tersenyum. Dia memberi isyarat. Si petani dibawa keluar ruangan.

"Sultan," kata Brajaseta begitu si petani pergi, "Hamba merasakan ada hal-hal yang tidak wajar pada diri petani yang mengaku bernama Wiku Tembereng itu."

"Hem, apa maksudmu Brajaseta?"

"Sikap hormat dan bicaranya seperti dibuat-buat..."

Sultan tersenyum. "Lebih tepat kalau dikatakan petani itu agak gugup berhadapan dengan kita. Tapi itu bukan alasan untuk curiga. Seorang rakyat biasa yang tak pernah masuk istana dan berhadapan dengan rajanya, biasanya gugup macam begitu."

"Hal lain yang mencurigakan hamba...," kata Kepala Pasukan Demak itu, "Ialah jalan pikirannya yang cerdik. Seorang petani biasa tak mungkin bisa mengemukakan pendapat secerdik dia..."

Sultan melambaikan tangannya. "Lenyapkan segala kecurigaanmu. Tidak selamanya rakyat jelata atau orang dari kalangan rendah itu berotak tolol. Banyak dari mereka yang pandai dan cerdik."

"Satu lagi Sultan," kata Brajaseta masih belum mau mengalah. "Wiku Tembereng menerangkan bahwa dia telah berjalan kaki dari desanya kemari. Tadi saya perhatikan. Boleh dikata hampir tak ada debu yang melekat di kedua kakinya. Mana mungkin..."

"Sudahlah. Yang penting sekarang siapkan orangmu dan besok siang tepat tengah hari sudah harus ada di Bukit Mangatas." Habis berkata begitu Sultan Trenggono berdiri.

Brajaseta tak bisa berbuat apa-apa lagi padahal tadi dia sudah punya rencana untuk memanggil petani itu kembali. Dalam hatinya dia tetap menaruh syak wasangka. Sementara itu si petani yang mengaku bernama Wiku Tembereng memacu kuda hadiahnya keluar dari Kotaraja. Sepanjang jalan lima keping uang perak yang dimasukkannya ke dalam saku pakaian berdering-dering. Sepanjang jalan itu pula di mulut Wiku Tembereng tersungging senyum.

"Kukira cuma si Kunto Handoko saja manusia tolol di dunia ini! Kiranya Sultan dan Kepala Pasukan Demak itupun bisa kutipu! Ha ha ha! Dan si Parereg itu pasti akan terjebak kalau dia betul-betul datang ke Bukit Mangatas besok!"

Sekali lagi Wiku Tembereng tertawa terbahak-bahak. Memang cukup lucu karena namanya sebenarnya bukanlah Wiku Tembereng melainkan Tunggul Bayana.

********************

ENAM

Ketika pada tengah hari itu Rah Gludak sampai di Bukit Mangatas, terkejutlah dia. Kunto Handoko ditemuinya menggeletak tak bergerak di tanah. Rah Gludak melompat dari punggung kuda dan langsung menghampiri sosok tubuh kawannya. Hatinya lega sedikit ketika mengetahui bahwa Kunto Handoko masih bernafas meskipun satu-satu seperti orang siap sekarat.

"Apa yang terjadi dengan dirinya," pikir Rah Gludak. Dia memandang berkeliling. "Di mana pula si Tunggul Bayana. Seharusnya dia ada di sini saat ini."

Selintas pikiran muncul di benak Rah Gludak. Dia cepat berdiri dan setengah berlari menuju ke bagian belakang kuil. Sepasang matanya jadi melotot. Lobang yang tempo hari digalinya bersama teman-temannya kosong melompong, tak beda dengan keadaan sebelumnya.

"Apa yang terjadi! Mungkinkah Tunggul Bayana berkhianat?!"

Rah Gludak cepat berpaling ketika didengarnya suara kaki-kaki kuda dari arah belakang. Semula disangkanya Tunggul Bayana. Yang muncul ternyata Lor Parereg.

"Apa yang terjadi dengan Kunto Handoko?" tanya Lor Parereg.

Rah Gludak melihat bibir Lor Parereg pecah. Dia menjawab, "Ada yang tak beres di sini Parereg. Tunggul Bayana tidak kelihatan mata hidungnya! Harta-harta rampokan juga tidak ada. Lobang yang kita gali tempo hari ternyata kosong melompong!"

Berobahlah paras Lor Parereg. Sekali lompat saja dia sudah berada di tepi lobang. "Keparat!" kata Lor Parereg sambil mengepalkan tinju.

"Pasti si Tunggul Bayana itu berkhianat!" Dia kelihatan marah sekali. Pelipisnya bergerak-gerak. Lalu dia pergi ke bagian depan kuil dan memeriksa tubuh Kunto Handoko.

"Dia telah diracuni!" kata Lor Parereg setelah meneliti keadaan Kunto Handoko. Bibirnya jelas kelihatan membiru. Kemudian dilihatnya bekas totokan pada pangkal leher anak buahnya itu. "Untung dia masih bisa menotok jalan darahnya. Kalau tidak pasti dia sudah mati saat ini!"

Dari balik pakaiannya Lor Parereg mengeluarkan satu lipatan kertas berisi sejenis bubuk berwarna putih. Bubuk ini dimasukkannya ke dalam mulut Kunto Handoko. Setelah menunggu beberapa lama dilepaskannya totokan pada pangkal leher laki-laki itu. Tak selang berapa lama Kunto Handoko membuka kedua matanya perlahan-lahan. Lor Parereg yang sudah tak sabaran menepuk-nepuk muka anak buahnya itu.

"Hai! Ayo bangun! Bangun! Sadar, jangan mimpi!"

Lor Parereg menyandarkan kepala Kunto Handoko pada reruntuhan tembok kuil. Sepasang mata Kunto Handoko memandang berkeliling. Dia berusaha mengumpulkan ingatannya kembali.

"Ceritakan apa yang terjadi," kata Lor Parereg.

Yang ditanya masih berdiam diri macam orang bingung.

"Ayo ceritakan! Kau kutemui menggeletak pingsan. Apa yang terjadi? Siapa yang punya pekerjaan? Ayo!" Kembali Lor Parareg menepuk-nepuk pipi Kunto Handoko.

Rasa sakit pada mukanya memulihkan ingatan Kunto Handoko. Tapi yang dilakukan laki-laki ini bukannya menjawab pertanyaan Lor Parereg melainkan duduk bersila mengatur jalan nafas dan darahnya. Lor Parereg menggerutu habis-habisan. Tapi dia memaklumi apa yang dilakukan Kunto Handoko itu adalah satu keharusan yaitu untuk menghindarkan luka dalam akibat keracunan. Selesai mengatur jalan nafas dan peredaran darahnya Kunto Handoko muntah-muntah. Dadanya yang tadi sesak perlahan-lahan terasa lega. Kepalanya yang berat kini menjadi enteng.

"Sekarang cepat terangkan apa yang terjadi!" kata Lor Parereg tak sabar lagi.

Kunto Handoko lalu menerangkan bahwa dia dan Tunggul Bayana sampai di tempat itu sekitar tengah hari kemarin. Diceritakannya bagaimana Tunggul Bayana mengkhawatirkan luka di bahunya lalu memberikan sebutir obat. Tak lama sesudah obat itu ditelannya kepalanya terasa berat. Dadanya sakit, lalu dia muntah-muntah dan tak ingat apa-apa lagi.

"Tunggul Bayana keparat haram jadah!" Suara Lor Parereg menggeram bergetar. "Berani dia mengkhianati kita! Kita harus cari dia dan cincang sampai lumat!"

"Dia pantas digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Lalu dihukum picis!" kata Rah Gludak yang sejak tadi diam saja

Ketiga orang itu melangkah menuju ke kuda masing-masing. Namun langkah mereka serta-merta terhenti. Sepasang kaki mereka laksana dipantek ke tanah. Mata mereka membeliak dan memandang berkeliling. Sesaat itu dari balik semak belukar muncul puluhan prajurit bersenjata lengkap, mengurung puncak bukit itu dalam dua lapor berbentuk lingkaran. Seorang lelaki berpakaian perwira dan bertubuh tinggi kekar diiringi oleh dua orang pemuda yang juga mengenakan seragam perwira kerajaan melangkah kehadapan Lor Parereg dan dua kawannya.

"Kalian bertiga sudah terkurung!" kata perwira yang paling depan dan bukan lain adalah Brajaseta. "Tidak ada guna melawan. Menyerah lebih baik!"

"Apa-apaan ini?!" tanya Lor Parereg membentak.

"Kau dan dua kawanmu kami tangkap Parereg! Dan jangan banyak mulut!" kata Brajaseta pula.

"Ditangkap?" Sepasang mata Lor Parereg melotot dan berputar liar "Bah! Kami tidak ada urusan dengan kalian kecoak-kecoak kerajaan!"

Brajaseta menyeringai mendengar dirinya dan anak buahnya disebut kecoak kerajaan. Dengan kedua tangan diletakkan dipinggang Brajaseta kembali membuka mulut, "Kau dan kawan-kawanmu telah menghadang rombongan Gusti Ayu Ning Larasati. Merampok barang-barang kerajaan dan menculik puteri Sultan!"

Lor Parereg orangnya memang pandai dan licik. Dia memandang pada Kunto Handoko dan Rah Gludak. Ketiga orang itu lalu tertawa gelak-gelak. Dua perwira muda yang turut bersama Brajaseta kelihatan sudah tidak sabar untuk buru-buru turun tangan. Namun tanpa mendapat isyarat atau perintah mereka tidak berani bertindak mendahului.

Sambil balas berkacak pinggang Lor Parereg berkata, "Perwira, kau lihatkah matahari bersinar terik di atas batok kepalamu? Ini satu pertanda bahwa saat ini tengah hari bolong! Dan adalah aneh kalau kau bicara melantur macam orang mimpi mengigau! Jangan menuduh yang bukan-bukan! Jangan mimpi di siang bolong!"

Dengan tenang malah sambil tertawa Brajaseta menjawab, "Mungkin kau yang mimpi Lor Parereg!"

"Hem, tunggu dulu! Dari mana kau tahu namaku Lor Parereg?!"

"Tanya jawab ini bisa kita lanjutkan nanti di Kotaraja!" jawab Brajaseta. Dia memandang berkeliling. "Setahuku kalian berjumlah empat orang. Mana kunyuk yang satu lagi?!"

Lor Parereg geleng-gelengkan kepala. "Sebaiknya jangan teruskan mimpi anehmu itu. Sekali aku bilang tak ada urusan dengan kalian, tetap tak ada urusan. Sekarang minggir! Beri jalan!"

"Hem kau mau ke mana Parereg? Jika hendak pergi ke Kotaraja kami akan mengantarkan kau dan kawan-kawanmu ke sana!" kata Brajaseta pula. Lalu dia goyangkan kepala pada dua perwira muda di sampingnya. Ketiganya maju bersamaan.

"Gila! Kalian hendak turun tangan terhadap orang yang tidak punya salah apa-apa?!" teriak Lor Parereg.

"Kejahatan kalian telah jelas. Segala apa yang kalian bicarakan sudah kami dengar. Jika kau dan teman-temanmu tidak mau menyerahkan diri dengan damai, kekerasan mungkin lebih baik!"

"Cara kekerasan dan mengeroyok! Pengecut! Kau mengandalkan puluhan prajurit!" kata Lor Parereg.

"Jangan khawatir. Prajurit-prajurit itu hanya menjadi penonton. Kecuali kalau kau coba melarikan diri!"

"Perwira tolol! Kau mencari mati!" bentak Lor Parereg lalu hunus kerisnya. Kunto Handoko dan Rah Gludak mencabut pedang. Brajaseta serta dua perwira muda segera pula mengeluarkan senjata masing-masing yakni sebatang pedang berukuran pendek. Sesaat kemudian pertempuran satu lawan satu berkecamuk hebat.

Dalam memainkan keris Lor Parereg tidak kalah hebat jika dibandingkan dengan cara dia memainkan pedang. Tubuhnya berkelebat gesit sekali. Kerisnya seolah-olah lenyap dan senjata itu menderu-deru sebat menusuk dan membabat kian kemari secara tidak terduga dan ganas. Selama malang melintang menjadi kepala rampok Hutan Roban betapapun tangguh lawan yang dihadapinya, paling lama si lawan hanya sanggup bertahan sampai duapuluh jurus.

Tapi kali ini setelah berkelahi sepuluh jurus saja Lor Parereg segara menyadari bahwa lawan yang dihadapinya memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Dalam waktu dekat dia pasti akan roboh di tangan lawan. Meskipun demikian Lor Parereg tidak mau menyerah mentah-mentah. Segala tipu daya dan jurus-jurus ilmu silat simpanannya dikeluarkan. Permainan kerisnya sekali-kali diseling dengan pukulan tangan kosong yang hebat. Bahkan dia berulang kali melepaskan pukulan sakti Angin Empat Racun. Tapi kesemuanya itu sia-sia belaka.

Kalau dengan bersenjata Lor Parereg tidak sanggup mempertahankan diri lama-lama maka tanpa senjata dua jurus kemudian dia tidak dapat berbuat apa-apa ketika hulu pedang pendek di tangan Brajaseta membalik dan menghantam ganas keningnya. Lor Parereg menggeletak pingsan. Dua orang prajurit atas perintah Brajaseta dengan cepat meringkusnya, mengikat tangan serta kakinya.

Sementara itu perkelahian antara Kunto Handoko dan Rah Gludak melawan dua perwira muda kerajaan tak kalah serunya. Sampai duapuluh jurus suasana kelihatan seimbang. Namun setelah dua perwira itu merobah permainan silat mereka maka dua anak buah Lor Parereg itu jadi dibikin sibuk. Di samping itu tertangkapnya Lor Parereg sedikit banyak mempengaruhi nyali mereka.

Sehingga meskipun bertahan mati-matian akhirnya keduanya kena dirobohkan juga. Mula-mula Kunto Handoko terdengar menjerit. Bahu kirinya luka parah disambar pedang lawan. Lalu satu tendangan pada dadanya membuat tubuhnya mencelat dan roboh tak sadarkan diri. Rah Gludak mengalami nasib sama. Masih untung dia tidak mendapat luka-luka. Tubuhnya kena ditotok pada bagian bawah ketiak. Dia tergelimpang di tanah dalam keadaan kaku.

Brajaseta dan orang-orangnya memeriksa seluruh puncak Bukit Mangatas. Tak satupun yang dapat mereka temui untuk dijadikan bahan pelacakan empat peti harta dan Ning Larasati. Bersama ketiga tawanan itu akhirnya mereka kembali ke Kotaraja. Tapi Brajaseta tak lupa untuk menempatkan beberapa prajurit di situ guna mengawasi daerah tersebut.

********************

TUJUH

Setelah dihadapkan pada Sultan Trenggono ketiga tawanan dimasukkan ke sebuah ruangan di bawah tanah. Di situ terdapat berbagai macam alat-alat aneh untuk menyiksa manusia. Masih dalam keadaan terikat Lor Parereg dan kawan-kawannya dibaringkan di lantai kotor yang ada bekas-bekas darahnya. Dekat kaki dan kepala mereka terdapat sebuah roda besar dari kayu yang dicanteli rantai besar. Setiap roda kayu ditangani oleh seorang juru penyiksa.

"Parereg," menegur Brajaseta. "Kau tidak terlalu tolol untuk mengetahui di mana kau berada bukan?"

Sesaat Lor Parereg memandang berkeliling. Lalu dia berpaling pada Brajaseta dan dua perwira muda yang berdiri disamping Kepala Pasukan Demak itu. Tiba-tiba dia menyeringai aneh.

"Manusia-manusia tak berdaya dijebloskan ke dalam ruang penyiksaan. Apakah ini tindakan manusia yang mengaku beradab?"

Brajaseta keluarkan suara mendengus. "Terhadap manusia-manusia macammu dan kawan-kawanmu tak perlu diributkan soal peradaban. Peradaban tak ada kamusnya untuk manusia-manusia biadab macam kalian! Dua puluh prajurit Demak kalian bunuh. Bahkan juga seorang perwira Kerajaan. Apakah itu beradab?"

"Mereka sudah ditakdirkan mati! Aku muak bicara tentang manusia-manusia yang sudah mati!"

"Sebentar lagi kaupun akan mati Parereg. Juga dua kawanmu ini!"

"Oh begitu?"

"Ya!"

"Berarti Sultan Trenggono akan kehilangan empat peti uang serta barang-barang berharga. Akan kehilangan puteri yang paling dikasihinya untuk selama-lamanya!" ujar Lor Parereg lalu tertawa gelak-gelak.

"Bagus!" ujar Brajaseta. "Kau rupanya bukan seekor tikus yang takut mati. Tapi ingat kematian itu bukan apa-apa. Hanya beberapa detik saja. Tapi saat-saat menjelang kematian itu yang justru amat mengerikan. Lebih menyiksa dan lebih kejam dari kematian itu sendiri!"

Lor Parereg tertawa dingin. "Hari ini kau boleh gembira dengan kematianku. Hari ini kau boleh berpesta pora dengan kematian kami bertiga. Tapi jangan lupa sobat, pesta kematianmupun kelak bakal tiba. Lebih meriah dari kematian kami!"

Brajaseta mengangkat tangan memberi isyarat. Prajurit-prajurit yang berada disamping roda-roda besar mengikat kedua tangan dan kaki tiga rampok Hutan Roban itu. Lalu roda-roda itu mulai diputar hingga tubuh Lor Parereg, Kunto Handoko dan Rah Gludak terangkat ke atas. Setiap kali roda itu diputar, kaki dan tangan meraka tambah meregang hingga akhirnya ketiganya terpental di atas lantai!

"Kita mulai lagi bicara, Parereg!" kata Brajaseta. "Sekarang kau tentu lebih sedap untuk berbincang-bincang. Nah di mana kau sembunyikan Gusti Ayu Ning Larasati?"

Lor Parereg menyeringai. Antara dendam dan kesakitan. "Tanyakan pada roh manusia-manusia yang pernah kau siksa sampai mati di ruangan ini!" katanya.

"Di mana kau simpan barang-barang rampokan?"

"Tanyakan pada setan nereka!"

"Di mana kawanmu yang seorang lagi?" tanya Brajaseta lagi.

"Tanya pada dedemit Hutan Roban," sahut Lor Parereg.

Rahang Brajaseta menggembung. Dia memberi tanda pada juru putar yang ada di dekat Kunto Handoko. Dua prajurit ini segera memutar roda-roda kayu itu. Makin kencang, makin kencang hingga tubuh Kunto Handoko tambah meregang. Keringat memercik di muka dan seluruh tubuh perampok ini. Dia mengernyit tanda menahan sakit yang amat sangat.

Dan roda-roda penyiksa itu masih terus diputar. Kunto Handoko merasa sepasang kaki dan tangannya seperti mau tanggal berserabutan. Sakitnya bukan kepalang. Dia menjerit mengerikan. Untuk beberapa lamanya suara jeritannya masih menggema di ruangan penyiksaan itu!

"Kau dengar jeritan itu Parereg!" kata Brajaseta seraya menyeringai.

Lor Parereg tak menjawab. Matanya memandang ke langit-langit ruangan. Brajaseta memberi isyarat. Kini pada dua prajurit yang menjaga roda-roda kayu penyiksa Rah Gludak. Salah seorang dari mereka mendekati Rah Gludak lalu merobek bajunya. Kawannya mengeluarkan segulung cambuk. Benda ini diputar-putarnya di udara hingga mengeluarkan suara menderu-deru. Tiba-tiba cambuk itu melesat ke bawah dan menghantam dada Rah Gludak yang terbuka.

Rah Gludak memekik kesakitan. Lalu mulutnya terkancing menahan rasa sakit. Di saat itu kembali cambuk melanda tubuhnya. Lagi dan lagi hingga Rah Gludak berteriak tiada henti macam orang gila. Dadanya penuh dengan guratan-guratan luka yang dalam. Darah membasah. Dari dalam sakunya salah seorang prajurit mengeluarkan sebuah jeruk nipis. Dia menggigit buah ini lalu memerasnya di atas dada Rah Gludak yang berlumuran darah. Rah Gludak melolong setinggi langit sewaktu air perasan jeruk itu membasahi luka-luka di dadanya!

"Kau dengar lolongan itu Parereg?" tanya Brajaseta dekat-dekat ke telinga Lor Parereg. Yang ditanya masih tetap memandang ke langit-langit ruangan.

"Kau mendengar. Pasti mendengar. Tapi kau pura-pura mempertuli telingamu. Pura-pura tak mendengar. Kau tak mungkin lari dari kengerian itu. Karena kau juga bakal mengalaminya. Bakal merasakannya! Kecuali kalau kau mau buka mulut!"

"Buka mulut soal apa?!" tanya Lor Parereg. Meski dia sudah tahu keterangan apa yang diinginkan Brajaseta tapi dia pura-pura bertanya mengulur waktu.

"Tentang Gusti Ayu Larasati. Tentang barang-barang kerajaan yang kau rampok. Juga tentang kawanmu yang seorang lagi!" jawab Brajaseta.

"Dua pertanyaanmu yang pertama tak bisa kujawab!" kata Lor Parereg.

"Aneh!" sahut Brajaseta sambil rangkapkan lengan di muka dada.

"Aku tidak tahu di mana Gusti Ayu Larasati. Juga barang-barang itu!"

Brajaseta manggut-manggut. "Lalu pertanyaan yang ketiga?"

"Aku juga tidak tahu di mana dia berada sekarang. Namanya Tunggul Bayana. Dia pengkhianat busuk! Kelak akan kucincang tubuhnya sampai lumat!"

"Aku tak percaya padamu Parereg. Lekas katakan di mana Gusti Ayu dan empat peti itu berada!"

"Sekalipun kau korek biji mataku, aku tak bakal dapat memberi keterangan karena aku betul-betul tidak tahu!"

"Pengasuh Gusti Ayu mengatakan kaulah yang telah menculik Gusti Ayu!"

"Perempuan itu tentu sudah miring otaknya akibat tendanganku!" kata Lor Parereg. "Ada satu hal yang ingin kutanyakan. Bagaimana kau tahu bahwa aku dan kawan-kawan ada di Bukit Mangatas?"

"Dedemit Hutan Roban yang mengatakan padaku!" jawab Kepala Pasukan Demak.

Lor Parereg tertawa. "Rupanya kau juga bisa bergurau sobat! Apakah kau juga bersedia melepaskan ikatan rantai besi pada tangan dan kakiku?"

"Itu soal gampang saja. Asal kau mau memberi keterangan!" sahut Brajaseta.

"Aku benar-benar tidak tahu!"

"Kalau begitu biar alat penyiksa itu yang akan menanyakannya padamu!"

Brajaseta mulai jengkel. Dia melambaikan tangannya pada dua prajurit. Keduanya segera memutar roda-roda kayu. Kaki dan tangan Lor Parereg terpentang makin tegang. Lor Parereg merasa ajalnya segera akan sampai. Bagaimanapun dia tak mau mati.

"Tunggu dulu!" teriak Lor Parereg.

"Ah, kau mau bicara Parereg?!" tanya Brajaseta.

"Ya."

"Bicaralah! Itu lebih bagus daripada tangan dan kakimu tanggal satu demi satu!"

"Dekatkan telingamu Brajaseta. Apa yang hendak kukatakan ini rahasia sekali!"

Brajaseta mendekatkan telinganya ke muka Lor Parereg. Saat itu pula Lor Parereg berteriak, "Kau keparat gila!"

"Bangsat kurang ajar!" teriak Brajaseta. Kedua tangannya kiri kanan meninju muka Lor Parereg hingga babak belur. Kedua matanya menggembung bengkak. Bibirnya pecah dan hidung melelehkan darah kental.

"Kepala Pasukan Demak ternyata saorang manusia pengecut! Hanya berani pada orang yang tidak berdaya!"

Brajaseta jadi panas. "Lepaskan ikatannya."

Dua prajurit segera melakukan perintah itu. Ikatan rantai besi pada kaki dan tangannya dicopot. Dia berdiri dengan sempoyongan, bersandar ke salah satu roda kayu. Sepasang matanya menyorotkan dendam kesumat.

"Lor Parereg! Akan kubuktikan bahwa aku bukan pengecut! Mulailah!" kata Brajaseta.

Lor Parereg maju selangkah. Tiba-tiba dia menerjang ganas. Kedua tangannya dipukulkan serentak. Delapan larik asap menggebu ke arah Kepala Pasukan Demak itu. Brajaseta melompat ke atas. Pukulan Angin Empat Racun yang dilepaskan Lor Parereg menghantam sebuah rak yang berisi seperangkat alat-alat penyiksa. Benda-benda itu hancur berantakan berikut raknya.

"Keluarkan semua kesaktianmu Parereg!" kata Brajaseta yang tetap tenang sambil memasang kuda-kuda. Keduanya berputar-putar mengintai kelemahan dan kelengahan lawan.

Tiba-tiba Lor Parereg menyambar sepotong besi dan dengan benda itu dia menyerang Brajaseta dalam jurus-jurus ilmu pedang yang ganas. Untuk beberapa jurus lamanya Brajaseta harus berlaku hati-hati karena Lor Parereg kelihatan sangat kalap. Potongan besi di tangannya yang cukup berat itu menderu-deru lenyap menjadi sinar hitam dan mengurung Brajaseta.

"Ciaattt...!"

Kepala Pasukan Demak itu membentak nyaring. Tubuhnya berkelebat lenyap. Lor Parereg merasakan sambaran angin di punggungnya. Dengan cepat dia memutar batangan besi ke belakang lalu membalik sambil melancarkan satu pukulan tangan kosong dengan tangan kiri.

Sekali lagi Brajaseta membentak dan sekali lagi pula tubuhnya berkelebat lenyap. Kembali Lor Parereg merasakan ada sambaran angin serangan di belakangnya. Seperti tadi kembali dia membalik seraya hantamkan potongan besi. Tapi kali ini dia hanya sempat membuat gerakan setengah memutar karena saat itu satu pukulan keras menghantam lengannya. Lor Parereg mengeluh kesakitan. Tulang lengannya seperti patah. Potongan besi terlepas dan jatuh ke lantai ruangan.

Lor Parereg masih belum melihat di mana saat itu lawannya berada. Tahu-tahu satu jotosan keras melanda mukanya. Kepalanya serasa meledak. Sesaat dia tertegak nanar lalu roboh pingsan dengan muka matang biru babak belur.

"Ikat dia kembali!" perintah Brajaseta.

Bersama dua perwira muda itu dia lalu meninggalkan ruang penyiksaan.

********************

DELAPAN

Hari itu adalah hari yang kedua Lor Parereg dan kawan-kawannya disekap di ruang penyiksaan. Ketiganya masih dipentang di atas roda kayu. Mereka sama sekali tidak diberi makan, hanya diberi minum sedikit. Keadaan ketiganya seperti setengah sekarat. Kunto Handoko membuka kedua matanya yang bengkak. Dengan lemah dia berpaling pada Lor Parereg. Dilihatnya kedua mata Lor Parereg tertutup. Tubuhnya tak bergerak. Sudah matikah dia, pikir Handoko.

"Kau tidur atau pingsan atau mati Parereg?" tanya Kunto Handoko.

"Sialan! Kau kira di sorgakah kita saat ini hingga aku bisa tidur?!" terdengar suara Lor Parereg. Suaranya masih keras tapi kedua matanya yang gembung tetap tertutup.

"Ajal kita tak lama lagi tamat di tempat terkutuk ini!" bicara lagi Kunto Handoko sementara Rah Gludak diam-diam ikut mendengarkan pembicaraan itu.

"Kita tak bakal dibunuh. Aku yakin!" kata Lor Parereg.

"Yakin?" ujar Handoko.

"Bagaimana kau bisa yakin?"

"Selama mereka belum tahu dimana puteri Sultan berada, selama itu pula mereka akan membiarkan kita hidup."

"Tapi aku tak tahan siksaan-siksaan yang mereka lakukan. Cepat atau lambat kita bakal mati!" Kali ini Rah Gludak ikut bicara.

Sunyi sejenak. Kemudian terdengar Kunto Handoko bertanya, "Sebenarnya di mana kau sembunyikan puteri Sultan Trenggono?"

Lor Parereg berpaling dan memandang pada kawannya. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi saat itu didengarnya pintu ruangan terbuka. Brajaseta masuk diiringi dua orang pengawal. Setelah diberi isyarat dua pengawal itu meninggalkan ruangan. Pintu ditutup kembali. Brajaseta melangkah mengelilingi ketiga tawanan itu, akhirnya dia berhenti di samping sosok tubuh Lor Parereg.

"Setelah dua hari di sini tentunya sekarang kalian merasa kerasan bukan?" tegur Brajaseta mengejek.

"Memang betul. Seperti di rumah sendiri!" sahut Lor Parereg balas mengejek.

"Syukur. Syukur. Sayang kami tidak bisa memberikan makanan yang enak-enak untuk kalian. Minumanmu cuma air comberan!"

"Keparat!" Rutuk Lor Parereg.

"Paling lambat sampai tengah malam nanti kalian bertiga sudah harus mati!" kata. Brajaseta.

"Hem... Rupanya Sultanmu lebih suka kehilangan puterinya," tukas Lor Parereg.

"Semua sudah dipertimbangkan. Tak ada jalan lain. Kalian harus mati tapi..."

"Tapi apa...?"

"Harus disiksa lebih dulu!" Brajaseta bertepuk dua kali. Pintu terbuka. Dua prajurit masuk menggotong sebuah anglo tanah berisi api yang berkobar-kobar. Di dalam anglo itu terdapat sebuah besi panjang yang gagangnya diberi lapisan karat. Besi ini ujungnya berbentuk bulat.

"Dirangket, dicambuk dan dipukuli memang bukan apa-apa bagi kalian. Tapi pernahkah kalian melihat kerbau atau sapi yang dicap tubuhnya dengan besi panas?" tanya Brajaseta.

Lor Parereg mendengus. Rah Gludak dan Kunto Handoko menjadi pucat wajah masing-masing.

"Parereg!" kata Handoko dengan suara bergetar. "Tak ada gunanya. Sebaiknya terangkan saja di mana puteri Sultan kau sembunyikan!"

"Bangsat! Tutup mulutmu!" sentak Lor Parereg. Dia marah sekali. "Kunyuk-kunyuk Kerajaan ini tetap akan membunuh kita sekalipun kita memberi keterangan!"

Kunto Handoko menggerutu dalam hati. Kalau saja dia tahu di mana puteri itu berada pasti sudah dikatakannya.

"Aku heran mengapa kau jadi orang begini tolol Parereg!" kata Brajaseta seraya melangkah ke anglo besar dan mengeluarkan besi merah panas itu. Lalu dia melangkah mendekati Rah Gludak. Tentu saja orang ini ketakutan setengah mati!

"Parereg!" teriak Rah Gludak. "Lekas kau katakan! Bicaralah! Bicaralah Parereg! Jangan tolol!"

Tapi Lor Parereg tenang-tenang saja. Seperti tidak mendengar teriakan temannya itu. Brajaseta menempelkan besi merah yang dipegangnya ke pinggul Rah Gludak. Terdengar suara mendesis seperti bara kena air. Detik itu pula meledak jeritan Rah Gludak. Bau sangitnya daging yang terpanggang memenuhi ruangan itu. Brajaseta sekali lagi menempelkan besi panas itu ke tubuh Rah Gludak. Sekali lagi pula Rah Gludak berteriak setinggi langit.

"Kau lihat Parereg? Kau dengar?!" ujar Brajaseta. "Kenapa masih berlaku tolol?!"

"Demi setan aku tidak tahu di mana puteri Sultan berada!" Lor Parereg akhirnya memberi tahu.

"Kalau begitu berteriaklah memanggil setan!" kata Brajaseta pula. Ujung besi panas itu lalu ditempelkannya di kening Lor Parereg.

"Cesss...!" Kulit dan daging kening itu terpanggang merah. Tulang keningnya kelihatan jelas.

Jeritan Lor Parereg menggelegar. Tubuhnya yang terpentang bergoncang-goncang padahal keempat anggota badannya sudah terentang tegang. Beberapa lamanya ruang penyiksaan itu digelegari oleh jeritan-jeritan Lor Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko. Daging tubuh dan muka mereka kelihatan berlobang-lobang hangus. Teriakan mereka baru berhenti setelah ketiganya jatuh pingsan.

Brajaseta melemparkan besi panas ke dalam Anglo. Dia berdiri bertolak pinggang. Pelipisnya bergerak-gerak. "Keparat-keparat tolol semua!" maki Kepala Pasukan Demak ini. Lalu ditinggalkannya ruangan itu.

Malam harinya Brajaseta masuk kembali ke ruangan itu seorang diri. Pintu dikuncinya dari dalam. Ketiga tawanan terpentang tak bergerak di atas roda-roda kayu, entah tidur entah masih pingsan. Brajaseta mendekati Lor Parereg. Matanya menyipit melihat keadaan tubuh serta muka kepala rampok Hutan Roban itu. Penuh luka-luka, bekas-bekas hangus serta darah yang membeku. Brajaseta menjambak rambut Lor Parereg.

"Bangun!" sentaknya.

Lor Parereg tidak bergerak. Kedua matanya yang gembung terus menutup. Kepala Pasukan Demak itu berteriak lebih keras. Terdengar erangan panjang keluar dari sela bibir Lor Parereg. Perlahan-lahan kedua matanya membuka walau hanya sedikit. Mata itu berkaca-kaca oleh cairan kuning sedang di kedua sudut mata mengental bekuan darah.

"Manusia iblis!" desis Lor Parereg. "Siksaan apa lagi yang bakal kau lakukan?!"

"Dengar Parereg, aku mau bicara!"

"Bicara nanti dengan rohku!"

Brajaseta mendekatkan mukanya ke wajah tawanan itu. "Dengar, semua harta yang kau rampok itu kau boleh ambil. Aku tidak perduli. Tapi beritahu di mana Larasati berada..."

"Heh... untuk pertama kali kudengar kau menyebut nama puteri itu tanpa gelaran Gusti Ayu."

"Itu bukan urusanmu," kata Brajaseta. "Aku punya kepentingan sendiri. Jika kau beri keterangan aku bersumpah untuk melepaskanmu."

Ini satu hal yang aneh bagi Lor Parereg. "Apa kepentinganmu itu?" dia bertanya.

"Akan kukatakan setelah kau memberi keterangan!"

"Heh, begitu?"

"Ya!"

Lor Parereg menyeringai. "Goroklah batang lehermu! Dan kau akan tahu di mana puteri itu berada!"

"Rupanya kau tak menginginkan kehidupan lagi? Sudah bosan hidup? Kau tak ingin membalaskan sakit hatimu pada Tunggul Bayana yang telah mengkhianatimu?!"

"Yang aku inginkan saat ini," sahut Lor Parereg pula, "ialah memuntir lehermu dan menghisap darahmu! Bangsat terkutuk!"

Brajaseta melepaskan jambakannya. Dia melangkah mondar mandir. "Kau tolol Parereg. Atau mungkin kau tak percaya padaku?!"

"Aku lebih percaya pada setan dari kau!"

Brajaseta berpikir sejenak. "Dengar, kalau kukatakan padamu apa kepentinganku tadi apakah kau mau memberi keterangan?"

Lor Parereg tidak menjawab. Kedua matanya kembali dipejamkan. "Dengar Parereg, ini satu rahasia. Tapi aku akan terangkan padamu. Aku percaya kau akan memberi tahu di mana Larasati berada."

Sesaat Kepala Pasukan Demak itu memperhatikan wajah Lor Parereg, baru meneruskan kata-katanya, "Aku sejak lama mencintai puteri Sultan itu. Secara diam-diam. Aku bahkan telah mengajukan lamaran pada Sultan. Entah mengapa lamaranku ditolak. Nah aku sudah jelaskan kepentinganku. Sekarang lekas kau beritahu di mana Larasati berada. Hidupku akan tersiksa kalau sampai dia celaka, apalagi kalau sampai mati!"

Dalam hatinya Lor Parereg tertawa mendengar kata-kata Brajaseta itu. Diam-diam otaknya berputar mencari akal.

"Kau akan kulepaskan Parereg. Aku bersumpah!"

"Hanya aku sendiri?" tanya kepala rampok itu.

"Kau dan kedua kawanmu!" jawab Brajaseta.

"Aku tidak percaya."

"Sekali ini kau harus percaya!"

Lor Parereg berpikir sebentar lalu berkata, "Aku juga bersumpah bahwa aku benar-benar tidak tahu di mana puteri Sultan itu berada. Tapi aku bisa menghubungkan kau dengan seseorang yang mengetahui tentang puteri itu."

"Katakan siapa orang itu dan di mana tempatnya," ujar Brajaseta cepat.

"Aku akan katakan dengan satu syarat. Yaitu keluarkan dulu aku bersama kedua temanku dan bawa ke satu tempat yang kuingini."

"Itu satu hal yang tak mungkin. Kau bisa menipuku!" kata Brajaseta.

Lor Parereg terdiam. Dia berpikir lalu, "Aku akan menulis sepucuk surat. Seseorang yang kau percaya bisa disuruh membawa surat itu kepadanya."

Brajaseta mempertimbangkan usul Lor Parereg itu. Kemudian dia membuka pintu. Dua orang prajurit disuruhnya melepaskan rantai yang mengikat tangan serta kaki Lor Parereg. Karena tubuhnya lemah sekali dan tak sanggup berdiri Lor Parereg digotong ke sudut ruangan, didudukkan di atas sebuah kursi besar. Sehelai kertas dan sebuah pena bulu ayam lengkap dengan tintanya diberikan padanya. Dengan susah payah Lor Parereg menulis. Tulisannya buruk sekali, apalagi saat itu dia memang tidak dapat menulis secara wajar.

Setelah surat selesai Brajaseta memeriksanya. "Tak sebaris katapun dalam suratmu itu kumengerti!" kata Kepala Pasukan Demak itu.

Lor Parereg tersenyum. "Terus terang aku tidak yakin kau akan memenuhi sumpahmu, Brajaseta. Surat itu sengaja kubuat dalam tulisan rahasia. Jika kau tidak menipuku segala sesuatunya akan berjalan beres..."

Brajaseta menjadi gusar. Tapi dia berlagak tenang. "Ke mana surat ini harus diantar?" tanyanya.

"Ke selatan. Ke Bukit Tuntang," jawab Lor Parereg. "Di puncak bukit itu diam seorang kakek bermata satu. Berikan surat itu padanya dan dia pasti akan membalas dan memberi tahu di mana puteri Sultan berada."

"Siapa adanya kakek itu?" tanya Brajaseta.

"Itu kau tak perlu tahu. Namanya tidak penting. Yang penting bagimu bukankah untuk mengetahui di mana kekasihmu itu berada?" sahut Lor Parereg.

Brajaseta melipat surat itu. Dia berpaling pada dua prajurit tadi dan memerintahkan untuk merejang Lor Parereg kembali di antara dua roda penyiksa.

"Kenapa kau melakukan ini?!" tanya Lor Parereg ketika mendapatkan dirinya diseret kembali ke tempat penyiksaan. "Bukankah kau harus membebaskan aku dan kawan-kawan?!"

Brajaseta tersenyum. "Kau baru bebas bila Larasati sudah ditemui dan dalam keadaan selamat."

"Bukan begitu perjanjian kita tadi!"

Brajaseta hanya ganda tertawa dan tinggalkan tempat itu.

"Keparat penipu! Kau akan rasakan pembalasanku!" teriak Lor Parereg.

********************

SEMBILAN

Dari pintu gerbang selatan Kotaraja kelihatan seorang perwira muda menunggangi seekor kuda berbulu kelabu. Perwira ini bernama Aria Galing dan merupakan salah seorang bawahan paling dipercaya oleh Kepala Pasukan Demak Brajaseta. Kepadanya telah diserahkan sepucuk surat yang dibuat oleh Lor Parereg untuk diantarkan pada kakek bermata satu yang menurut keterangan Lor Parereg tinggal di puncak Bukit Tuntang.

Aria Galing sengaja diperintahkan berangkat pada sore hari agar bisa sampai esok sorenya di tempat yang dituju. Perjalanan Aria Galing tidak mendapat kesukaran. Dia hanya membutuhkan waktu untuk tidur dan istirahat di sebuah desa. Sebagai seorang perwira, kepala desa menyambut kedatangannya dengan pelayanan yang baik.

Pagi harinya Aria Galing meneruskan perjalanan. Lewat rembang petang dari kejauhan mulai terlihat Bukit Tuntang, sebuah bukit besar yang tidak ubahnya seperti gunung. Dari kaki bukit menuju ke puncak perjalanan agak sukar. Namun demikian sebelum matahari tenggelam Aria Galing sudah sampai di puncak bukit yang menjadi tujuannya.

Di satu pedataran sempit dan tinggi Aria Galing menghentikan kudanya. Dia memandang berkeliling. Hatinya lega karena begitu memandang ke jurusan timur terlihat sebuah pondok. Pondok ini terletak di tengah sebuah danau yang luas. Tak ada satu jembatan atau titianpun yang kelihatan. Aria Galing segera menuju ke danau. Di bawah siraman sinar kuning emas sang surya yang hendak tenggelam, pondok dan danau serta sekelilingnya diselimuti kesunyian.

Perwira ini turun dari kudanya dan melangkah ke tepi danau. Tak sebuah perahupun atau rakit kelihatan di sekitar situ. Sesaat dia tegak berpikir, bagaimana dia bisa sampai ke pondok di tengah danau itu. Apakah dia harus berenang? Dilihatnya danau itu airnya tidak seberapa dalam karena dia dapat melihat jelas dasar danau.

Selagi dia berpikir-pikir begitu tiba-tiba dia dikejutkan oleh belasan potongan bambu yang melesat ke udara dan jatuh bertebaran, mengapung di atas air danau. Belum habis kejutnya, satu bayangan hitam yang amat tinggi, laksana seekor burung terbang dari tepi danau sebelah tenggara dan mempergunakan potongan-potongan bambu yang mengapung sebagai peniti kaki hingga akhirnya sampai di daratan sempit di tengah danau dan lenyap masuk ke dalam pondok.

"Pasti orang itulah kakek yang harus kutemui," pikir Aria Galing. Diam-diam dia merasa kagum melihat bagaimana si bayangan hitam mempergunakan potongan-potongan bambu yang mengapung di air sebagai jembatan penyeberang. Meskipun dia tidak sempat melihat jelas sosok tubuhnya namun Aria Galing menyaksikan bagaimana tidak satupun potongan bambu itu terbenam ke dalam air sewaktu orang itu menginjaknya!

Dia membatin apakah dia mampu berbuat yang sama, karena hanya potongan-potongan bambu itulah satu-satunya jembatan penyeberang baginya. Setelah menguatkan hati Aria Galing melompat ke tengah danau. Potongan bambu pertama yang dipijaknya tenggelam ke dalam air danau, namun tubuhnya masih tertahan dan masih sanggup meneruskan lompatan ke bambu yang kedua, demikian seterusnya. Sampai di depan pondok kakinya basah kuyup. Dia melangkah menuju pintu yang tertutup lalu mengetuk. Sampai berulang kali dilakukannya, tak ada yang menjawab.

"Mustahil orang itu tidak mendengar. Atau mungkin dia tuli?" pikir Aria Galing. Dia mengetuk lebih keras. Tetap tak ada sahutan. "Biar kucoba masuk saja!" kata perwira itu dalam hati mengambil keputusan. Tangannya sudah siap untuk mendorong daun pintu. Semangatnya serasa terbang sewaktu tahu-tahu di belakangnya terdengar satu bentakan keras dan garang.

"Perwira bedebah! Ada urusan apa kowe nyasar kemari?!"

Aria Galing membalik. Hatinya bergetar. Sosok tubuh manusia yang berdiri dihadapannya jika memang manusia memiliki tinggi luar biasa. Tinggi dan juga kurus sekali. Seumur hidupnya baru sekali itu Aria Galing melihat manusia bertubuh demikian tinggi dan demikian kurusnya. Dia terpaksa mendongak untuk melihat wajah orang itu. Dan kembali hatinya berdebar.

Orang itu bermuka panjang cekung. Kulit mukanya hitam sekali dan berminyak. Matanya yang sebelah kiri hanya merupakan sebuah rongga kosong. Sebaliknya mata kanannya besar sekali dan membeliak merah. Manusia ini sama sekali tidak memiliki alis. Rambutnya pendek kasar, kaku dan tegak macam bulu landak!

"Aku utusan Kepala Pasukan Demak," Aria Galing perkenalkan diri sementara si tinggi hitam menelitinya dari atas sampai ke bawah dengan matanya yang cuma satu. "Aku datang membawa surat."

Perwira itu lalu mengeluarkan surat Lor Parereg yang diterimanya dari Brajaseta dan menyerahkannya pada si tinggi itu. Kakek tinggi hitam mengambil surat itu dengan kasar. Lalu membacanya dengan matanya yang satu. Dalam membaca mata itu kelihatan seperti berputar-putar. Selesai membaca dia memandang tepat-tepat pada Aria Galing.

"Kepala Pasukan Demak dan orang yang menulis surat itu meminta balasan," berkata Aria Galing.

"Baik... baik, aku akan berikan balasannya Padamu," jawab si tinggi hitam.

Tidak terduga tahu-tahu laksana kilat tangannya bergerak menyambar leher Aria Galing dan, krak! Patahlah tulang leher perwira kerajaan itu. Dia roboh dan mati detik itu juga. Sebagai seorang perwira Aria Galing memiliki kepandaian yang dapat diandalkan. Namun apa yang dilakukan si tinggi hitam selain amat cepat juga tidak disangka-sangka sama sekali hingga akhirnya perwira itu menemui ajalnya hanya dalam satu kejapan mata saja!

Seperti tak ada kejadian apa-apa si tinggi hitam untuk kedua kalinya membaca surat yang diterimanya.

Paduka guru, Supit Ireng

Akibat pengkhianatan keparat Tunggul Bayana, aku, Rah Gludak dan Kunto Handoko telah dijebloskan dan disiksa setengah mati dalam ruang penyiksaan istana Demak. Kalau Paduka guru tidak segera turun tangan, kami bertiga akan segera menjadi umpan cacing-cacing tanah, alias mampus!

Muridmu, Lor Parereg


"Wong edan! Wong edan!" Si tinggi hitam bernama Supit Ireng itu berkata berulang kali. Dia membungkuk, mencengkeram kedua kaki Aria Galing. Tubuh tak bernyawa itu diputarnya di atas kepala beberapa kali.

"Kowe pergilah!" bentaknya. Lalu mayat Aria Galing dilemparkannya jauh-jauh dan jatuh di tepi danau sebelah selatan.

Supit Ireng kemudian berkelebat ke tengah danau. Melompat dari satu potongan bambu ke potongan lainnya hingga akhirnya sampai di tepi danau di mana kuda milik Aria Galing tertambat. Supit Ireng melompat kepunggung binatang ini dan memacunya ke jurusan timur yaitu menuju Kotaraja.

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Keheningan dinihari yang dingin itu dihantui oleh derap kaki-kaki kuda dan kerontang roda kereta. Kendaraan ini menderu cepat di atas jalanan tanah. Pengemudinya bertubuh tinggi bermuka hitam. Pakaiannya yang hitam menambah angker tampangnya yang memang sudah mengerikan. Dia duduk di bagian depan kereta laksana setan. Di satu lereng jalan dia dapat melihat kelap-kelip lampu-lampu Kotaraja. Kereta dipercepatnya. Dia harus sampai di Kotaraja secepatnya dan pergi sebelum fajar menyingsing.

Sepeminuman teh akan mencapai pintu gerbang selatan Kotaraja, orang ini memutar keretanya memasuki hutan kapas hingga akhirnya sampai di tembok Kotaraja sebelah timur. Kereta ditinggalkannya dalam hutan kapas yang gelap, kemudian dengan cepat dia mendekati tembok. Sekali lompat saja dia sudah berada di atas tembok yang tinggi itu.

Setelah meneliti keadaan di bawah sana dan dirasakannya aman, orang ini melompat ke wuwungan bangunan istana. Gelapnya hari, pakaian hitam yang dikenakannya serta gerakannya yang cepat membuat dirinya tiada beda dengan hembusan angin dinihari yang tidak kelihatan.

Siapakah manusia ini? Dia bukan lain adalah Supit Ireng. Di lain saat dia sudah sampai di wuwungan istana sebelah timur. Sekali lagi dia meneliti suasana lalu bergerak kejurusan barat dan akhirnya melompat turun memasuki halaman istana. Begitu kedua kakinya menginjak rumput taman, seorang pengawal yang kebetulan berada di situ membentak curiga,

"Siapa itu?!"

Supit Ireng memaki. Dia cepat merunduk dan sembunyi di balik sebuah pot bunga besar. Pengawal tadi dengan tangan kanan siap di hulu pedang cepat mengejar. Di depan pot bunga dia berhenti.

"Heran, manusia atau setan? Kalau manusia kenapa bisa lenyap secepat itu?" membatin si pengawal. Dia berpikir dan memutuskan untuk memberitahu kepala pengawal. Namun sebelum dia melangkah, lima jari membuat lidahnya terjulur keluar dan tak dapat bernafas!

Sekujur tubuh pengawal ini gemetar, tengkuknya dingin ketika dia berhasil melihat tampang makhluk yang mencekiknya. Dia hendak berteriak tapi tak bisa. Dicobanya mencabut pedangnya namun tenaganya seperti lenyap.

"Kalau kowe tidak mau mampus, lekas tunjukkan di mana letak ruang penyiksaan tawanan!" Supit Ireng mengancam.

Pengawal itu menggelepar-geleparkan kedua tangannya lalu menunjuk ke kiri. Dari mulutnya hanya keluar suara uh... uh... uuuh.

"Jalan, bawa aku ke sana!" kata Supit Ireng.

Cekikannya dilepaskan tapi terlebih dulu urat di pangkal leher pengawal itu ditotoknya hingga si pengawal tidak bisa bersuara lagi. Mereka memasuki sebuah pintu, melewati beberapa gang dan ruangan. Agar tidak berpapasan dengan pengawal-pengawal lainnya kerap kali Supit Ireng harus menarik pengawal itu ke tempat gelap atau yang kelindungan. Mereka sampai pada mulut sebuah gang di mana dua orang pengawal kelihatan berjaga-jaga.

"Kau jalan duluan," desis Supit Ireng. "Lewati kedua pengawal itu!"

Supit Ireng kemudian merapatkan diri kebalik tembok. Pengawal yang diperintahkan melangkah ke mulut gang. Dua pengawal yang tegak berjaga-jaga mula-mula tidak menunjukkan kecurigaan. Namun sesudah pengawal satu itu lebih mendekat, mereka melihat adanya kelainan pada tindak-tanduk teman mereka ini. Serta merta mereka melintangkan tombak dan menyuruhnya berhenti.

Pada saat itulah Supit Ireng keluar dari balik dinding dan dengan cepat mengirimkan totokan jarak jauh yang lihai! Kedua pengawal di mulut lorong hanya bisa mengeluarkan seruan pelan, lalu keduanya tegak laksana patung, tak bisa bersuara tak bisa bergerak!

Di ujung gang terdapat sebuah ruangan. Di sini terletak sebuah meja panjang dan empat buah kursi. Ruangan ini merupakan ruang pengawalan yang ketat karena di ujung ruangan inilah terletak tangga yang menuju ke bagian bawah istana di mana terdapat ruangan tahanan dan ruang penyiksaan. Saat itu di sana kelihatan empat orang berjaga-jaga. Tiga pengawal tingkat rendah dan seorang berpakaian perwira.

Dari kejauhan Supit Ireng meneliti keadaan. Dia tak mau bertindak ceroboh. Bukan mustahil ruangan itu dilengkapi alat-alat rahasia. Tiba-tiba Supit Ireng menangkap pinggang pengawal yang tadi dipaksanya menjadi penunjuk jalan. Sesaat kemudian pengawal itu dilemparkannya ke arah empat orang yang berada di ruangan penjagaan. Jatuhnya tepat di atas meja!

Sudah barang tentu orang-orang yang ada di situ kaget bukan main. Selagi mereka terkejut inilah Supit Ireng bertindak cepat. Tubuhnya berkelebat. Pengawal di sebelah kanan terjengkang dan melingkar di lantai tanpa bisa berkutik karena tulang dada dan tulang-tulang iganya melesak ke dalam akibat tendangan kaki kanan Supit Ireng.

"Kurang ajar! Setan alas dari mana yang berani masuk mengacau?!" bentak perwira yang ada di tempat itu. Sekali dia bergerak pedangnya sudah berada di tangan dan di lain kejap senjata itu menderu memapas ke pinggang Supit Ireng.

Dua pengawal yang ada di situ begitu hilang kagetnya kini tampak ngeri memandang wajah manusia hitam yang datang menyerbu itu. Karenanya tanpa tunggu lebih lama mereka segera mengikuti jejak atasannya dan mencabut pedang masing-masing, lalu menyerang.

SEPULUH

Supit Ireng bergerak gesit. Tangan kanannya berkelebat dan prak! Kepala pengawal yang kedua pecah. Nyawanya lepas sebelum tubuhnya mencium lantai. Hal ini membuat kemarahan membara dihati perwira muda sedang pengawal yang satu lagi sebenarnya sudah lumer nyalinya. Karenanya gerakan pedangnya tidak tetap.

Dalam satu gebrakan cepat Supit Ireng lepaskan pukulan tangan kosong yang keras dan tepat menghantam dada si pengawal. Orang ini terhuyung-huyung sambil pegangi dada. Nafasnya sesak, dia coba menghirup udara dalam-dalam tapi dari mulutnya melompat muntahan darah. Dia terkapar di lantai, berkelojotan beberapa ketika lalu diam tak bergerak lagi.

Satu-satunya yang tinggal, yakni perwira tadi boleh dikatakan kini sudah dingin tengkuknya. Dia bertahan mati-matian dengan pedang di tangan. Namun bagaimanapun Supit Ireng bukanlah tandingannya. Setelah mengelakkan satu sambaran pedang, si tinggi hitam ini menubruk ke depan. Sang perwira coba menusukkan pedangnya, tapi lawan lebih cepat menyodok ulu hatinya dengan satu jotosan. Selagi dia melintir kesakitan Supit Ireng kepruk kepalanya.

Di saat yang sama kaki perwira itu terpeleset. Tubuhnya terjungkal dan disambut oleh tendangan kaki kiri Supit Ireng. Perwira ini mencelat, terguling di lantai. Sebelum ajalnya sampai dia masih sempat menjangkau sebuah tombol rahasia di dinding dan menekan tombol ini kuat-kuat. Hal ini tidak diperhatikan lagi oleh Supit Ireng karena saat itu dia melangkah ke pintu dan dengan satu tendangan keras pintu ruangan penyiksaan itu berhasil dibobolnya hingga ambruk!

Dalam hidupnya Supit Ireng telah banyak menyaksikan kematian manusia dalam cara yang mengerikan dan mengenaskan. Namun seumur hidupnya belum pernah dia melihat manusia direjang pada roda-roda kayu, diikat dengan rantai besi dalam keadaan tubuh bergelimang luka dan darah. Amarahnya meluap ketika menyaksikan muridnya Lor Parereg terpentang dalam keadaan sangat mengerikan itu.

Sekujur tubuh muridnya itu penuh luka-luka bekas cambukan. Lalu luka-luka hangus bekas sentuhan besi panas, ditambah gelimangan darah yang sebagian telah membeku. Rah Gludak serta Kunto Handoko tidak lebih baik keadaan mereka.

"Benar-benar biadab! Keparat! Pembalasanku segera akan tiba!" kata Supit Ireng dengan rahang menggembung dan geraham bergemeletakan.

Dari atas rak diambilnya sebuah kapak besar. Dengan senjata ini disertai kerahan tenaga dalam tentunya, diputuskannya rantai-rantai besi yang mengikat kaki tangan Lor Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko. Ketiga orang itu terbanting ke lantai. Dengan kapak masih di tangan, seperti menggendong boneka saja, Supit Ireng menumpuk tubuh Lor Parereg dan dua kawannya di bahu kiri lalu cepat-cepat menuju pintu. Namun pada saat yang sama di mulut gang telah menyerbu masuk sepuluh pengawal kelas satu!

"Lekas menyerah dan kembalikan tahanan!" teriak salah seorang pengawal.

Supit Ireng mendengus. Bola matanya yang cuma satu berputar. Kapak di tangan kanannya digenggamnya erat-erat. "Baik, aku akan menyerah!" katanya menyeringai. "Tapi makan dulu ini!"

Kapak itu menderu. Tiga orang pengawal di sebelah depan menjerit dan roboh mandi darah. Tujuh kawannya meski terkesima tapi cuma seketika, lalu serentak menyerbu. Supit Ireng kembali putar kapak di tangan kanannya. Pekik kematian kembali menggema di tempat itu.

Dua pengawal yang masih hidup tak berani melakukan pengejaran ketika Supit Ireng meninggalkan gang di tingkat bawah itu. Di tangga yang menuju tingkat atas sepuluh pengawal tingkat satu kembali menghadang. Kali ini mereka malah dibantu oleh dua perwira tinggi.

"Keparat! Kalian bikin repot aku saja!" rutuk Supit Ireng. Dia sama sekali tidak takut melihat lawan yang berjumlah banyak itu. Malah dia yang mendahului menyerang. Kapak di tangannya berkelebat ganas kian kemari, menyebar maut. Kakinya kiri dan kanan bergantian mengirimkan tendangan.

Korban demi korban berjatuhan termasuk satu dari dua perwira tinggi. Pada satu kesempatan Supit Ireng menerobos meninggalkan lawan-lawannya yang masih hidup dan sesaat kemudian telah berada di taman istana, siap untuk melompati tembok halaman.

Akan tetapi pada saat itu seluruh penjuru sudah dikurung. Puluhan prajurit muncul dari mana-mana ditambah pengawal-pengawal kelas satu dan perwira perwira tinggi Kerajaan. Memandang ke jurusan kanan Supit Ireng melihat seseorang berpakaian kebesaran mendatangi dengan cepat, diiringi dua orang tua berselempang kain putih. Ketiganya melangkah enteng dan dalam waktu singkat sudah berdiri lima langkah dari hadapan Supit Ireng. Guru Lor Parereg ini segera mengenali ketiganya. Sesaat hatinya tercekat tetapi dia sama sekali tidak takut.

Yang termuda dari ketiga orang itu, yang berpakaian kebesaran adalah Brajaseta, Kepala Pasukan Demak. Orang tua di samping kanan dikenalnya dengan julukan Si Cakar Malaikat. Lalu yang di sebelah kiri terkenal dengan gelaran Si Kipas Besi. Kedua orang ini adalah tokoh-tokoh silat istana yang tinggi ilmu silatnya.

Adapun tombol rahasia yang ditekan oleh perwira di ruangan penjagaan sebelumnya, berhubungan langsung dengan sebuah genta tanda bahaya di dalam kamar tidur Brajaseta. Ketika genta itu berbunyi Brajaseta segera melompat dari tempat tidur, mengenakan pakaian dan sengaja menghubungi Si Cakar Malaikat dan Si Kipas Besi. Ketiganya maklum sesuatu telah terjadi di ruangan penyiksaan bawah tanah. Brajaseta memerintahkan menutup semua jalan keluar. Sewaktu Supit Ireng muncul di taman istana maka dia sudah terkurung rapat!

"Supit Ireng!" tegur Si Kipas Besi. Rupanya tokoh silat istana ini juga mengenali siapa adanya manusia tinggi hitam bermata satu di hadapannya itu. "Kau sudah terkurung. Tunggu apa lagi? Lekas berlutut dan serahkan diri!"

Supit Ireng tertawa hambar. "Bagus sekali omonganmu Kipas Besi. Berapa kowe dibayar untuk jadi cecunguk istana?!"

Panaslah Si Kipas Besi. "Manusia tidak tahu diri! Nyawa sudah di depan mata masih bicara ngaco! Jangan jadi orang tolol Supit Ireng!"

"Jangan kira aku takut pada kalian!" dengus Supit Ireng. "Majulah, satu-satu atau berbarengan sekaligus biar cepat aku membereskan kalian!"

Brajaseta yang sudah tidak dapat menahan amarah, apalagi setelah menyadari kalau dia telah ditipu Lor Parereg, segera berteriak, "Supit Ireng! Serahkan nyawa anjingmu!" Lalu Kepala Pasukan Demak ini cabut pedangnya dan langsung menyerang.

"Trangg...!"

Pedang dan kapak saling bentrokan. Bunga api memercik. Kagetlah Brajaseta. Tangan kanannya tergetar keras. Tidak disangkanya tenaga dalam lawan begitu tinggi..Perubahan air muka Brajaseta terlihat jelas oleh dua tokoh silat istana. Keduanya tidak menunggu lebih lama. Dengan sepuluh jari tangan yang berkuku panjang dipentang ke depan Si Cakar Malaikat terjun ke kalangan pertempuran. Di lain pihak Si Kipas Besi telah keluarkan pula senjatanya yakni sebuah kipas terbuat dari besi yang jika dikembang lebarnya hampir setengah tetampah (nyiru)!

Sekali dia menggerakkan kipas ini maka menderulah angin kencang laksana hembusan topan. Ketika dia masuk ke dalam pertempuran, Supit Ireng maklum bahwa keadaannya amat berbahaya. Apalagi saat itu dia tidak bisa bergerak leluasa akibat beban tiga manusia yang masih berada di atas panggulannya di bahu kiri. Otak licinnya segera mencari akal.

"Tunggu! Aku mau bicara!" teriak Supit Ireng tiba-tiba.

Ketiga lawannya hentikan serangan tapi masih dalam sikap mengurung dan waspada.

"Kau mau bicara apa?!" bentak Brajaseta.

"Dengar...," kata Supit Ireng sambil matanya yang satu itu berputar-putar. Tiba-tiba secepat kilat tangan kanannya diayunkan!

Brajaseta kaget dan gerakkan pedangnya untuk menangkis. Demikian juga Si Kipas Besi serta Si Cakar Malaikat. Tapi terlambat! Terdengar pekik Si Cakar Malaikat sewaktu kapak besar itu menancap di pangkal lehernya. Darah muncrat. Sepasang matanya memandang mendelik ke arah Supit Ireng. Kedua tangannya menggapai ke udara. Tubuhnya lalu roboh dan terkapar di taman istana tanpa nyawa lagi!

"Setan alas! Mampuslah!" teriak Brajaseta dan kirimkan satu bacokan kilat.

Tapi Kepala Pasukan Demak ini masih kalah cepat dengan Supit Ireng yang licik itu. Sebelum bacokan pedang sampai Supit Ireng melemparkan sebuah benda bulat ke hadapan Brajaseta dan Si Kipas Besi. Detik itu juga terdengar suara letusan dan sesaat kemudian tempat itu sampai sejauh empat tombak telah tertutup oleh asap hitam yang memerihkan mata. Selagi semua orang berkedap-kedip dan gosok-gosok matanya maka kesempatan ini dipergunakan Supit Ireng untuk meloloskan diri, melompat ke tembok istana dan lenyap dalam udara pagi yang masih gelap itu.

"Siapkan kuda! Buka pintu gerbang!" teriak Brajaseta ketika menyadari kalau lawan telah melarikan diri.

Meskipun dua ekor kuda penarik kereta itu telah berlari dalam kecepatan tinggi namun Supit Ireng masih terus mencambukinya agar mereka berlari lebih cepat. Kira-kira dua kali peminuman teh dia meninggalkan tapal batas Kotaraja lapat-lapat telinganya yang tajam mendengar derap kaki kuda banyak sekali dari arah belakang. Supit Ireng berpaling.

Di kejauhan dilihatnya serombongan orang-orang Kerajaan melakukan pengejaran. Dia kertakkan rahang. Di depan sekali tampak Brajaseta dan Si Kipas Besi. Supit Ireng cambuk lagi kuda-kuda penarik kereta bertubi-tubi. Jalan yang buruk, penuh lobang serta bebatuan yang bertonjolan membuat kereta itu tidak bisa berlari kencang.

Sementara itu para pengejar semakin lama semakin dekat juga dan hari mulai terang tanah. Dari arah belakang Si Kipas Besi mulai lepaskan serangan-serangan kipas yang menghembuskan angin kencang hingga kuda-kuda penarik kereta terganggu larinya. Brajaseta sendiri juga tidak tinggal diam. Puluhan jarum beracun dilepaskannya ke arah Supit Ireng.

Sambil memacu kereta Supit Ireng terpaksa berulang kali memukulkan tangannya ke belakang untuk menangkis serangan angin puyuh Si Kipas Besi dan hujan jarum maut Brajaseta. Di satu tebing tinggi Brajaseta dan rombongan berhasil mengejar kereta itu.

"Supit Ireng! Kalau tak mau mampus percuma hentikan kereta lekas!" memperingatkan Si Kipas Besi.

"Tak usah diberi peringatan lagi paman!" ujar Brajaseta dan lemparkan lagi selusin jarum maut.

Kuda penarik kereta meringkik lalu rubuh. Binatang-binatang ini bersama kereta terguling beberapa kali. Sekejap saja tempat itu sudah dikurung belasan perwira tinggi dan puluhan prajurit. Brajaseta dan Si Kipas Besi melompat cepat dari kuda masing-masing dan mendekati kereta. Mereka terkejut ketika di situ mereka tidak menemukan Supit Ireng ataupun tawanan yang tiga orang itu. Kereta yang berantakan itu kosong!

"Kurang ajar! Kita kena ditipu!" rutuk Brajaseta sambil bantingkan kaki ke tanah sampai tanah itu melesak dalam!

"Apa yang kita lakukan sekarang?" bertanya salah seorang perwira.

"Dia pasti tidak lari jauh! Jelajahi seluruh daerah berbukit-bukit ini! Tangkap dia hidup atau mati! Juga ketiga tawanan itu!" sahut Brajaseta.

Hampir seratus prajurit, belasan perwira tinggi bersama-sama Si Kipas Besi serta Brajaseta menjelajahi seluruh daerah itu. Namun sampai tengah hari Supit Ireng dan tiga tawanan tak berhasil ditemukan. Mereka laksana lenyap ditelan bumi!

"Kita cari di Bukit Tuntang!" kata Brajaseta setelah berunding dengan Si Kipas Besi.

Maka rombongan segera menuju ke Bukit Tuntang yaitu tempat kediaman Supit Ireng. Tapi tempat itu sunyi senyap. Tak ada Supit Ireng dan tawanan itu di sana. Yang mereka temui hanyalah mayat Aria Galing yang membusuk. Dengan penuh geram Brajaseta menyuruh anak buahnya membakar habis tempat kediaman Supit Ireng.

********************

SEBELAS

Saat itu memasuki rembang petang. Di lereng sebuah bukit, dua orang penunggang kuda kelihatan memacu kuda masing-masing menuju sebuah jalan kecil di kaki bukit. Sesaat kemudian keduanya sudah menempuh jalan itu terus menuju ke utara. Ternyata mereka adalah sepasang muda-mudi. Yang pemuda bertampang cakap gagah sedang si pemudi berparas jelita dengan kedua pipinya kemerah-merahan disengat oleh matahari petang. Di satu persimpangan keduanya berhenti.

"Guru menyuruh kita menunggu di sini," kata si pemuda lalu turun dari kudanya dan melangkah ke tempat yang rindang. Sementara kuda mereka merumput mengisi perut, kedua muda-mudi ini duduk bercakap-cakap.

"Jaka, aku tidak mengerti. Mengapa guru membawa kita ke puncak Gunung Karang. Bukankah di tempat kediamannya sekarang cukup bagus untuk melatih dan mendidik kita?"

Si pemuda tersenyum. "Satu hal harus kau ketahui. Setiap orang sakti mempunyai sifat-sifat aneh. Kalau guru mengajak kita ke Gunung Karang pasti dia tahu bahwa di tempat itu jauh lebih bagus baginya untuk menggembleng kita."

"Kalau aku sudah pandai silat nanti," kata si pemudi, "akan kucari bangsat bernama Lor Parereg itu dan kucincang sampai lumat!"

"Pembalasan memang sudah wajar," sahut si pemuda yang bernama Jakawulung. "Namun aku sangsi apakah kau akan betah tinggal di puncak Gunung Karang."

"Kalau tidak betah mengapa aku bersedia ikut?"

"Jangan lupa Larasati. Kau adalah puteri Sultan Trenggono yang tinggal di istana dan terbiasa dengan alam kehidupan serba mewah. Di mana segala yang kau ingini telah tersedia. Di puncak Gunung Karang kau tidak bakal menemukan itu, bahkan kesulitan yang kau hadapi. Di samping itu sewaktu-waktu kau tentu rindu pada orang tuamu atau..."

"Atau apa Jaka?"

"Atau kekasihmu..."

Si pemudi yang ternyata adalah Gusti Ayu Ning Larasati tersenyum. "Setiap manusia tentu merasa kangen pada orang tuanya jika berpisah jauh. Tapi aku bisa menguasai kerinduan itu, Jaka. Dan soal kekasih... aku tidak punya."

"Kalaupun tak punya tentu kau pernah mengagumi atau memuja atau menaksir seorang pemuda dalam hidupmu..." kata Jakawulung pula.

Larasati menggeleng. "Atau sebaliknya ada pemuda yang memujamu?"

"Itu urusan dia. Aku bukan dewi yang pantas dipuja-puji!"

"Tapi bagi seorang pemuda yang jatuh cinta, kekasih pujaannya lebih cantik dari dewi manapun."

"Itu namanya sinting!"

"Lho, orang jatuh cinta itu memang seperti sinting. Apa kau tidak tahu?" kata Jakawulung lalu kedua muda-mudi itu tertawa gelak gelak.

"Guru tetap tak mengizinkan kau menemui kedua orang tuamu lebih dulu sebelum dia menggemblengmu?" tanya Jaka.

Ning Larasati menggeleng. "Guru yakin, jika aku minta izin dulu, orang tuaku pasti tidak membiarkan. Sekalipun guru telah menyelamatkan nyawa dan kehormatanku dari tangan Lor Parereg. Di samping itu..."

Larasati tidak meneruskan kata-katanya karena saat itu dilihatnya Jaka memberi isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di atas bibir.

"Aku mendengar suara kaki-kaki kuda. Banyak sekali..." menerangkan Jaka. Perlahan-lahan dia berdiri dan memandang berkeliling. Larasati mengikuti gerakannya.

"Lihat!" kata Jaka tiba-tiba seraya menunjuk ke depan.

Larasati menoleh ke arah yang ditunjuk. Berubahlah paras gadis ini. Puluhan prajurit bersenjata lengkap dilihatnya muncul dari ujung jalan sebelah kiri, lalu juga dari arah kanan. Menyusul dari dalam rimba belantara.

"Pasti mereka telah tahu bahwa kau berada di sini," kata Jaka.

"Jika mereka memang pasukan Kerajaan kau tak usah khawatir. Aku akan suruh mereka pergi," sahut Larasati.

Namun hati Jakawulung tetap tidak enak. Dia melangkah ke tempat kudanya merumput dan memberi isyarat pada Larasati agar mereka segera meninggalkan tempat itu. Namun justru saat itu terdengar suara memerintah,

"Jangan bergerak! Tetap di tempat kalian!"

Jakawulung dan Larasati berpaling. Seorang berpakaian kebesaran tentara dan bertubuh tinggi kekar melompat dari punggung kudanya. Gerakannya enteng sekali. Jakawulung maklum kalau orang ini memiliki ilmu tinggi. Ning Larasati segera mengenali Kepala Pasukan Demak ini dan membisikkannya pada Jaka.

"Gusti Ayu Larasati," kata Brajaseta sambil menjura, "syukur kami akhirnya menemui Gusti Ayu di sini. Sultan dan seisi istana sangat cemas atas lenyapnya Gusti Ayu!"

Ning Larasati tidak menjawab apa-apa. Dia tahu kalau lagak sikap menghormat yang ditunjukkan Kepala Pasukan Demak itu lebih banyak bersifat pura-pura belaka dan gadis ini tahu bahwa Brajaseta menyukainya dan pernah melamar pada Sultan tetapi ditolak.

Melihat tanggapan si gadis ayem-ayem saja, Brajaseta lalu berpaling pada Jakawulung dan bertanya, "Siapa pemuda ini?!"

"Dia sahabatku, Paman Brajaseta!" jawab Larasati.

Sebenarnya Brajaseta tidak suka dipanggil dengan sebutan paman. Dia lebih suka Larasati memanggilnya dengan sebutan mas atau kangmas. Namun melihat perbedaan umur mereka sebetulnya panggilan itu sudah cukup pantas.

"Sahabatmu Gusti Ayu? Ini adalah aneh!" kata Kepala Pasukan Demak itu. Dan rasa cemburu memanasi dadanya. "Gusti Ayu lenyap diculik gerombolan rampok Lor Parereg. Tahu-tahu kini ditemui di sini bersama seorang sahabat! Gusti Ayu, kami tak ingin mendapat dampratan dari Sultan. Harap Gusti Ayu menjelaskan dengan jujur."

"Apa yang saya katakan adalah jujur, Paman. Apa paman tidak percaya?"

Brajaseta menggelengkan kepalanya. "Tentu, tentu paman percaya padamu Gusti Ayu. Tapi terhadap pemuda ini paman menaruh curiga." Brajaseta berpaling pada beberapa perwira dan lalu memerintahkan, "Tangkap pemuda ini!"

Lima perwira kerajaan segera melangkah maju.

"Hai!" seru Larasati. "Jangan kalian bertindak sambarangan!"

Langkah lima perwira tertahan. Brajaseta maju dan berkata, "Gusti Ayu, apakah benar pemuda ini sahabatmu atau bukan, bisa kita urus kemudian. Yang jelas saat ini dia harus diamankan dulu dan dibawa ke Kotaraja!" Lalu sekali lagi Brajaseta memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap Jakawulung.

"Tunggu!" seru Larasati kembali. "Saya bicara atas nama ayah, Sultan Demak! Jika kalian berani menangkapnya akan berhadapan dengan Sultan!"

"Perbolehkan aku bicara!" Jakawulung buka mulut.

"Manusia hina dina," memotong Brajaseta, "Kau tidak layak bicara!"

"Layak atau tidak itu bukan persoalan!" tukas Jakawulung. Sebagai manusia tentu saja dia merasa amat direndahkan. "Aku tidak punya kesalahan apapun. Mengapa ditangkap?!"

"Kau telah menculik puteri Sultan, merayu dan membujuknya hingga Gusti Ayu membelamu dan berani menantang kami orang-orang Kerajaan!"

"Tidak! Dia sama sekali tidak menculik saya!" Yang menjawab Ning Larasati sendiri.

Brajaseta berpaling pada gadis itu dan berkata, "Gusti Ayu, paman lihat kau selalu membelanya. Agaknya ada sesuatu di antara kalian?"

"Paman Brajaseta! Mulutmu keliwat lancang. Bawa orang-orangmu pergi dari sini!"

"Memang kami akan membawamu kembali ke Kotaraja Gusti Ayu!"

"Siapa sudi ikut dengan kalian!"

"Sudi atau tidak kami hanya menjalankan tugas dari Sultan Demak!" jawab Brajaseta. Lalu dia memberi isyarat pada lima perwira tadi. Kelima perwira ini bergerak cepat.

Jakawulung mundur beberapa langkah seraya berkata memberi ingat, "Jika kalian berani menyentuh tubuhku, jangan salahkan kalau aku menurunkan tangan kasar!"

"Kurang ajar! Berani dia menantang perwira Kerajaan. Lekas ringkus dia!" teriak Brajaseta marah.

Lima perwira bergerak kembali. Tapi yang paling depan kemudian terhuyung dan terduduk di tanah kesakitan. Tinju kanan Jakawulung mendarat tak terduga di ulu hatinya. Melihat ini empat kawannya jadi gusar dan menyerbu. Kiranya Jakawulung meskipun masih muda bukanlah seorang yang tidak mempunyai isi. Empat perwira itu dibuat kewalahan kalang kabut tak berhasil meringkusnya, malah satu demi satu mereka kena dihajar! Tidak sia-sia tokoh silat Malaikat Tak Bernama menggemblengnya selama lima tahun!

Setelah lima jurus berlalu perwira-perwira itu masih belum mampu menangkap si pemuda, Brajaseta membentak marah, "Pergunakan senjata!" Empat pedang dicabut secara serentak.

"Pengecut! Curang!" teriak Ning Larasati.

Jakawulung mengeluh karena saat itu dia tidak memiliki senjata untuk dapat melayani keroyokan empat pedang lawan yang ganas. Dia berusaha bertahan sambil sekali-sekali kirimkan serangan balasan. Namun keadaannya cukup sulit kini. Selagi dia dipepet demikian rupa tiba-tiba dari belakang sepasang tangan yang kokoh merangkulnya. Brajaseta!

"Lekas selesaikan dia!" teriak Brajaseta pada empat perwira di depannya.

Sesaat perwira-perwira itu tertegun karena bagaimanapun mereka merasa sungkan membunuh lawan yang tidak berdaya dan disaksikan sekian puluh mata. Namun mereka juga harus menjalankan perintah Kepala Pasukan Demak itu. Maka keempatnya lalu tusukkan pedang masing-masing ke tubuh Jakawulung. Ning Larasati menjerit!

DUA BELAS

Pada saat empat pedang hendak menembus tubuh Jakawulung pada detik itu pula terlihat berkelebat satu bayangan putih, disusul terdengarnya jeritan empat perwira kerajaan. Mereka terhuyung-huyung sambil pegangi bahu masing-masing. Ternyata bahu mereka telah ditancapi oleh sebuah panah putih yang panjangnya tak lebih dari sejengkal!

"Itu pembalasan bagi siapa yang berani menurunkan tangan jahat terhadap murid-muridku! Siapa lagi yang hendak melakukan hal itu?!" Terdengar suara menghardik.

Brajaseta merasakan ada yang mendorong tubuhnya dan rangkulannya terhadap tubuh Jakawulung lepas. Dia terjajar beberapa langkah. Memandang ke depan dilihatnya seorang nenek bermuka putih dan berpakaian serba putih tegak di samping kanan Jakawulung. Rambut nenek inipun keseluruhannya berwarna putih. Bahkan kedua tangan serta kakinya yang tersembul dari balik jubah putih juga berwarna putih.

Si Kipas Besi yang saat itu masih duduk tenang-tenang di punggung kudanya begitu melihat si nenek muka putih jadi menyipit sepasang matanya lalu membentak, "Malaikat Tak Bernama, apa-apaan kau berani mencampuri urusan orang lain?!"

"Mmmm..." si nenek bergumam dan melirik ke arah Si Kipas Besi. "Sejak jadi kaki tangan istana mulutmu sudah tambah besar, Kipas Besi. Apa perlu kurobek agar lebih lebar?!"

Muka si Kipas Besi jadi mengelam merah. Dia hendak membentak tapi Brajaseta sudah mendahului, "Orang tua, apa yang terjadi di sini tak ada sangkut-pautnya dengan dirimu. Sebaiknya..."

"Tak ada sangkut pautnya?!" potong si nenek lalu tertawa tinggi dan panjang. "Kedua orang muda-mudi ini murid-muridku. Bagaimana mulutmu bisa lancang mengatakan tak ada sangkut paut?!"

"Heh!" Brajaseta melengak heran. Tadipun dia sudah mendengar manusia muka putih itu menyebut Jakawulung dan Larasati murid-muridnya. "Nenek muka putih, kau jangan bicara melantur. Sultan Trenggono tidak pernah mengambil guru manusia macam kau...!"

"Begitu...?" si nenek muka putih tenang-tenang saja. "Lalu pernah atau tidaknya apa urusanmu!" Tanpa perdulikan lagi Brajaseta, Malaikat Tak Bernama berpaling pada muda-mudi itu dan berkata, "Murid-muridku, mari kita tinggalkan tempat ini."

"Mana bisa begitu?!" hardik Brajaseta. Dia menghadang di tengah jalan. "Atas nama kerajaan, kau kami tangkap...!"

"Dengan tuduhan apa?" tanya Malaikat Tak Bernama.

"Menculik Gusti Ayu Ning Larasati!" jawab Brajaseta.

Si Malaikat Tak Bernama tertawa gelak-gelak. Gigi-giginya tampak masih lengkap dan putih.

"Dia tidak menculikku. Dia justru yang menyelamatkan aku dari tangan Lor Parereg!" tiba-tiba Larasati berkata.

"Hmmm, paman khawatir jalan pikiranmu sudah disesatkan tua bangka ini Gusti Ayu. Kau pasti telah diobatinya!" kata Brajaseta.

"Brajaseta! Mulutmu terlalu lancang! Aku bukan guru cabul!"

"Aku sama sekali tidak mengatakan kau guru cabul! Terserah kalau kau membuka kedokmu sendiri!" tukas Brajaseta.

Muka putih Malaikat Tak Bernama berobah merah. "Kalau saja aku tidak berpantang membunuh sudah kupecahkan kepalamu, Brajaseta!" kata si nenek.

"Tangkap mereka! Bunuh kalau melawan! Selamatkan Gusti Ayu!" perintah Brajaseta.

Puluhan prajurit, delapan perwira berkepandaian tinggi dan menyusul Brajaseta sendiri serta Si Kipas Besi segera menyerbu Malaikat Tak Bernama dan muridnya Jakawulung. Melihat pengeroyokan ini Jakawulung segera mengambil pedang salah seorang perwira yang tadi dipanah gurunya lalu mengamuk dahsyat. Si Malaikat Tak Bernama sendiri didahului oleh lengkingan tinggi berkelebat lenyap dan di sebelah kiri kanan susul menyusul terdengar jeritan prajurit-prajurit yang mengeroyok.

Dalam pertempuran itu meskipun Malaikat Tak Bernama dan Jakawulung menunjukkan kehebatan luar biasa namun jumlah lawan terlalu banyak. Di samping itu mereka harus melindungi Larasati hingga perhatian mereka jadi terbagi. Belum lagi serangan jarak jauh yang dilepaskan oleh Brajaseta dan Si Kipas Besi.

Dalam hebatnya kecamuk pertempuran, Brajaseta dan Si Kipas Besi merangsak masuk mendekati Malaikat Tak Bernama. Dalam satu jurus yang hebat si nenek ini terpaksa bergerak melindungi Larasati ketika Brajaseta hendak merenggut tangannya. Justru saat itu Si Kipas Besi menyerbu dari kiri, menghantamkan senjatanya. Hanya ada dua pilihan bagi si nenek, melepaskan Larasati atau mengelakkan serangan kipas besi.

Si nenek ini ternyata tidak mau memilih. Dia ingin menyelamatkan diri dan sekaligus menyelamatkan Larasati. Maka tangan kanan mempertahankan gadis itu dan tangan kiri dipergunakan untuk menangkis serangan kipas.

Si Kipas Besi berlaku cerdik. Dengan mengerahkan tenaga dalam ke senjatanya dia hantam pergelangan tangan lawan. Si nenek muka putih mengeluh tinggi. Tulang lengannya patah. Sedang Si Kipas Besi menyurut kaget. Senjatanya ambrol rusak!

"Jaka! Lekas pergi dari sini! Bawa Larasati!" seru Malaikat Tak Bernama.

"Tidak guru! Saya lebih rela mati bersamamu di sini!" jawab Jakawulung. Dan pedangnya berkelebat ganas. Seorang prajurit roboh.

"Jangan jadi orang tolol Jaka!" teriak si nenek. "Yang penting selamatkan Larasati!"

"Akupun rela berkubur di sini guru!" teriak Larasati.

Si nenek jadi terharu. Gadis itu baru saja diambilnya jadi murid, bahkan dilatihpun belum. Namun kesetiaannya terhadapnya benar-benar mengagumkan. Kecamuk perasaan ini justru membuat si nenek menjadi lengah. Pedang Brajaseta berhasil melukai dadanya.

"Jakawulung! Tunggu apa lagi! Lari dan selamatkan Larasati!" teriak si nenek. Suaranya keras dan bernada marah.

Jakawulung jadi bingung. Dalam pada itu dilihatnya gurunya tersungkur ke depan. Dia memegang tangan Larasati erat-erat. Lima perwira mengurung mereka. Brajaseta ikut membantu. Lima pedang perwira datang menderu. Tak ada jalan lain. Jakawulung harus menangkis. Tiga pedang sekaligus menghantam pedangnya hingga terlepas mental. Masih untung dia masih dapat menyelamatkan diri dari sambaran dua pedang lainnya. Tapi itupun tak ada gunanya. Karena dari kiri tusukan pedang Brajaseta datang dengan ganas!

Namun sebelum ajal berpantang mati, sebuah benda hitam entah dari mana datangnya melesat laksana meteor dan menghantam tangan kanan Brajaseta. Kepala Pasukan Demak ini mengeluh kesakitan dan terpaksa lepaskan pedang. Di saat yang sama satu angin sedahsyat topan prahara menggebu. Belasan prajurit dan beberapa perwira, termasuk Brajaseta tersapu sampai satu tombak.

Ketika tiupan angin itu sirna, di tengah kalangan pertempuran tegaklah seorang pemuda bertubuh tegap, mengenakan pakaian putih yang bagian dadanya tidak dikancingkan. Sikapnya gagah tapi gayanya lucu seperti orang tolol. Dia memandang berkeliling sambil tersenyum.

Tak satu orangpun di situ yang kenal siapa adanya pemuda yang telah menyelamatkan Jakawulung ini, kecuali si Malaikat Tak Bernama yang saat itu terduduk di tanah dengan tubuh penuh luka-luka. Si pemuda tak menunggu lebih lama, selagi semua orang terkesiap, dia segera dukung tubuh si nenek.

Si nenek usap-usap rambut gondrong si pemuda seraya berkata, "Pendekar 212! Syukur, di saat aku mau mati begini rupa masih sempat bertemu denganmu..."

Si pemuda tertawa dan menjawab, "Orang tua, siapa bilang kau bakal mati? Ajal di tangan Tuhan."

"Wiro Sableng! Memang benar ajal di tangan Tuhan. Tapi kau lebih dari tahu kalau saat ini aku segera akan mati."

"Sudahlah nenek muka putih. Mari kita tinggalkan tempat celaka ini!" Si pemuda yang bukan lain adalah murid Eyang Sinto Gendeng alias Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 berpaling pada Jakawulung dan Larasati yang berdiri bengong setelah diri mereka diselamatkan secara tidak terduga.

Dari seberang Brajaseta dan Kipas Besi segera mendatangi. "Pemuda asing! Kau juga mencari penyakit! Turunkan tubuh tua bangka itu dan pergi dari sini! Jangan sampai aku merubah pikiran untuk menangkapmu sekaligus!" bentak Brajaseta.

Wiro Sableng ganda tertawa. Dia berkata, "Brajaseta, sebagai alat kerajaan kau memang pantas dipuji karena telah menjalankan tugas dengan baik! Tapi tindakanmu kelewat batas! Bawa pasukanmu meninggalkan tempat ini!"

Mendengar kata-kata pemuda yang tidak dikenalnya itu tentu saja Brajaseta marah. Di saat itu sepasang mata Si Kipas Besi melihat tiga deretan angka pada dada si pemuda dan menjadi terkejut. 212. Dia sadar berhadapan dengan siapa dan cepat-cepat hendak memberitahu pada Brajaseta. Tapi Kepala Pasukan Demak ini sudah melangkah maju seraya melepaskan jotosan keras ke kepala Wiro Sableng.

Pendekar ini melompat ke belakang hingga serangan Brajaseta hanya mengenai tempat kosong. Malaikat Tak Bernama tertawa bergelak ketika melihat Brajaseta hampir tersungkur karena kehilangan keseimbangan. Penasaran Kepala Pasukan Demak ini hendak memburu lawannya dengan serangan kedua. Namun saat itu Wiro Sableng sudah lepaskan satu pukulan dahsyat. Dan terjadilah hal yang luar biasa.

Bumi laksana digoncang gempa. Pasir dan batu di tengah jalan menggebu beterbangan. Ranting pepohonan berputusan bahkan ada dua pohon yang tumbang. Belasan prajurit terguling-guling. Belasan perwira tinggi tergelimpang. Si Kipas Besi dan Brajaseta terkejut dan lekas berlindung di balik sebatang pohon besar. Mereka menyangka tiba-tiba ada serangan topan dan tak berani bergerak atau melakukan apapun.

Wiro yang memanggul Malaikat Tak Bernama dan Jakawulung serta Larasati yang berada di bagian yang tidak diselubungi angin besar itu memberi isyarat pada kedua muda-mudi agar segera mengikutinya. Mereka memasuki rimba belantara. Dari sini Wiro lepaskan satu pukulan Sinar Matahari ke arah orang-orang kerajaan itu hingga mereka merasa seperti dunia ini mau kiamat! Dan tak satu orang pun yang berani melakukan pengejaran!

Setelah berada jauh dalam hutan, Malaikat Tak Bernama terdengar berkata, "Kau hebat sekali Wiro," memuji nenek muka putih ini. "Aku berterima kasih kau telah menyelamatkan diriku dan murid-muridku. Tapi nyawaku rasanya tidak tertolong lagi..."

"Sudahlah nenek, kau tak boleh banyak bicara dulu. Aku akan obati luka-lukamu," menyahuti Wiro.

"Turunkan aku, aku ingin berbaring..."

Wiro terpaksa membaringkan orang tua ini di bawah sebatang pohon yang rindang. "Larasati... mana Larasati...?" si nenek bertanya.

"Saya di sini guru," jawab si gadis dan datang mendekat.

"Aku akan pergi muridku..."

"Tidak, guru akan sembuh. Bukankah guru telah berjanji untuk menggembleng saya di puncak Gunung Karang?"

Malaikat Tak Bernama tersenyum pahit. Diulurkannya tangannya untuk membelai rambut si gadis. Namun setengah jalan tangan itu terkulai. Larasati terpekik. Jakawulung merasakan dadanya sesak dan menahan air mata yang hendak membersit keluar. Malaikat Tak Bernama sudah tiada lagi.

Setelah membiarkan kedua muda-mudi itu dilamun oleh suasana duka cita beberapa lamanya, Wiro lalu membuka mulut. "Di mana jenazah guru kalian ini akan dikubur. Lalu apa yang akan kita lakukan?"

Larasati berdiam diri karena dia memang tak tahu harus mengubur jenazah gurunya di mana. Jakawulung termenung, berpikir-pikir. "Sebaiknya kita pergi ke Danau Merak Biru..." kata Jakawulung kemudian.

"Kenapa ke situ?" tanya Larasati.

"Di sana diam seorang Empu. Namanya Pamenang. Dia masih ada hubungan darah dengan guru. Kita akan kuburkan jenazah guru di sana."

********************

TIGA BELAS

Air danau yang amat biru dan tenang itu merupakan satu pemandangan indah. Di langit sang surya memancarkan sinar lembut kuning. Empat sosok tubuh berdiri mengelilingi kuburan merah di salah satu tepian danau. Setiap wajah menunjukkan rasa duka cita yang mendalam.

"Maut adalah kuasanya Tuhan," kata orang tua berbadan bungkuk yang tegak di samping Wiro Sableng. "Semua kita akan mengalami kematian. Semoga adikku mendapat tempat yang sebaik-baiknya di alam baka..."

Perlahan-lahan orang tua itu memutar tubuh dan melangkah ke arah sebuah pondok. Wiro, Jakawulung dan Larasati mengikuti dari belakang. Di dalam pondok. Setelah suasana sunyi cukup lama mencengkam maka berkatalah orang tua bungkuk yang pakaiannya merupakan selempangan kain putih itu. Dialah Empu Pamenang, penghuni pondok sunyi di Danau Merak Biru, saudara sepupu si Malaikat Tak Bernama.

"Jakawulung, Larasati. Karena kau sudah datang kemari maka tanggung jawab atas diri kalian terletak di tanganku. Biarlah aku mewakili saudaraku untuk menggembleng kalian. Kalau saja aku tidak mempunyai larangan membunuh, maulah aku membalaskan sakit hati kematian saudaraku itu. Karena itu kelak kalian harus belajar sungguh-sungguh agar di kemudian hari bisa melakukan pembalasan yang setimpal terhadap orang-orang yang telah berlaku sewenang-wenang itu."

Empu Pamenang memalingkan kepalanya pada Wiro Sableng, "Pendekar muda, jika tidak karena kau tentu..."

"Ah, aku tak berani menerima ucapanmu itu Empu," Wiro memotong cepat. "Semua kita hanya melakukan kewajiban masing-masing."

"Betul, memang kewajiban." Kata Empu Pamenang pula. Lalu orang tua ini kelihatan seperti merenung, "Ingat pada kewajiban itu aku serasa hidup di atas bara panas..."

Baik Wiro maupun Larasati serta Jakawulung tidak mengerti maksud kata-kata orang tua itu. Mereka saling bertanya-tanya dalam hati dan Wiro merasakan adanya kelainan pada air muka Empu Pamenang.

"Kewajiban telah memburuku sejak sepuluh tahun yang silam. Namun kewajiban itu tidak pernah bisa kulaksanakan karena adanya pantangan membunuh!"

"Gurupun mempunyai pantangan begitu," berkata Jakawulung. "Apakah sebabnya?"

Empu Pamenang tersenyum rawan. "Tak bisa kuterangkan sebabnya, Jaka..."

"Kalau saya boleh bertanya," kata Wiro pula, "Kewajiban apakah yang telah memburu Empu sejak sepuluh tahun itu?"

Empu Pamenang menghela nafas dalam. Lewat pintu pondok yang terbuka dia memandang ke danau berair biru. Kini air danau itu mulai bergelombang-gelombang kecil karena tiupan angin di rembang petang.

"Lima belas tahun yang lalu aku mempunyai tiga orang murid yang amat kukasihi. Setelah lima tahun kugembleng di tempat ini, datanglah manusia jahat pembawa malapetaka itu. Tanpa pasal tanpa alasan ketiga muridku dibunuh. Tubuh mereka dipotong-potong dan kepala mereka disate dengan sebuah tombak lalu tombak itu ditancapkan di atas pondok ini. Dan atas semua itu aku tak bisa melakukan pembalasan..."

"Empu tidak tahu siapa pembunuhnya?" bertanya Jakawulung.

"Bukan, bukan karena aku tidak tahu. Tapi karena aku mempunyai larangan membunuh."

"Boleh saya tahu siapa manusia yang jahat luar biasa itu, Empu?" Kali ini Wiro Sableng yang bertanya.

"Sebelum aku menjawab, maukah kau melakukan satu permintaanku Wiro? Tentu saja kau berhak menolak..."

"Katakanlah, Empu."

"Wakili diriku membalas sakit hati dendam kesumat yang telah kupendam selama sepuluh tahun itu."

Wiro termenung. Setelah berpikir dalam-dalam akhirnya dia menjawab, "Kepercayaan yang Empu berikan akan saya laksanakan sedapat mungkin."

"Terima kasih," jawab sang Empu. "Manusia itu bernama Supit Jagal. Dia tinggal disebuah goa batu di Teluk Burung, di pantai utara. Kabarnya dia mempunyai seorang adik yang tak kalah jahatnya, bernama Supit Ireng."

"Baiklah Empu, sesuai dengan permintaanmu saya akan coba melaksanakan pembalasan."

Bagi murid Eyang Sinto Gendeng ini meski dia tidak punya sangkut paut dengan Supit Jagal namun setiap manusia-manusia jahat golongan hitam sudah semestinya diberi ganjaran. Dibasmi dari permukaan bumi. Dengan tugas itu di pundaknya keesokan paginya Pendekar 212 Wiro Sableng meninggalkan Danau Merak Biru.

********************

Dikeheningan malam itu hanya siliran angin yang terdengar. Bahkan burung-burung hantu pun yang biasa memperdengarkan suaranya yang seram malam ini membisu. Menjelang dinihari kesunyian yang dicengkam oleh dinginnya udara mendadak sontak dirobek oleh suara lolongan anjing. Lolongan itu terdengar berulang kali, panjang dan menggidikkan. Mungkin anjing-anjing itu melihat setan-setan gentayangan.

Namun yang jelas tak lama setelah suara lolongan binatang itu berhenti, dari arah timur desa Pasirginting terdengar derap kaki kuda. Tak lama kemudian dalam kegelapan kelihatanlah tiga penunggang kuda memasuki desa. Ketiganya berpakaian serba hitam pekat. Tampang mereka penuh cacat, amat mengerikan. Jika ada orang yang kebetulan melihat mereka pastilah menduga ketiga penunggang kuda itu adalah setan-setan yang sedang keluyuran.

"Pasti ini rumahnya!" kata penunggang kuda paling depan seraya menahan tali kekang kudanya. Dua kawannya behenti disampingnya. Rambut mereka rata-rata gondrong dan acak-acakan. Kumis serta cambang bawuk yang liar menambah keseraman wajah yang penuh cacat itu. Saat itu ketiganya berhenti di depan sebuah rumah paling besar di seluruh desa Pasirginting. Lelaki yang tadi bicara berpaling pada kawan-kawannya dan berkata,

"Rah Gludak, kau berjaga-jaga di pintu belakang. Dan kau Kunto, naik ke atas atap. Awasi seluruh pekarangan. Kalau ada yang datang hantam saja dengan senjata rahasia. Yang penting kau harus mengawasi jangan sampai bangsat itu melarikan diri!"

"Tak usah khawatir Parereg," jawab Kunto Handoko. "Dia tak kan bisa lolos!"

Lor Parereg berkata lagi, "Aku akan masuk dari pintu depan, bila kalian dengar aku sudah bicara dengan keparat itu kalian baru bertindak masuk. Mengerti?"

Kunto Handoko dan Rah Gludak mengangguk. Dengan gerakan laksana seekor burung dia melompat ke atap rumah tanpa menimbulkan sedikit suara pun. Sedang Rah Gludak bergerak ke pintu belakang dan Lor Parereg langsung mendekati pintu depan. Pada saat itu di samping rumah muncullah dua orang berbadan tinggi kekar yang langsung melompat ke hadapan Lor Parereg. Ternyata keduanya adalah penjaga rumah.

"Pencuri tengik berani mencari mati! Berani mencuri di rumah kepala desa!" teriak salah seorang dari penjaga rumah. Namun keduanya sesaat jadi tercekat ketika melihat wajah manusia yang mereka sangka pencuri itu. Benar manusia atau setankah orang ini?! Kalau manusia mengapa wajahnya lebih seram daripada setan?

"Dengar sobat-sobatku," kata Lor Parereg tenang. "Aku bukan pencuri. Aku justru datang untuk membawakan hadiah untuk kalian! Ini, terimalah!"

Lor Parereg mengulurkan kedua tangannya dan, prak! Kedua orang itu kontak menggeletak di tanah dengan kepala masing-masing rengkah akibat diadu satu sama lain oleh Lor Parereg. Dengan sikap tenang, seperti barusan tidak terjadi apa-apa Lor Parereg mendekati pintu. Mudah sekali, entah bagaimana caranya pintu yang terkunci itu dibukanya tanpa menimbulkan suara sedikitpun!

Ruangan depan rumah besar itu dilengkapi perabotan yang mewah, tiga perangkat sekaligus. Lor Parereg masuk lebih jauh ke dalam, melewati ruangan demi ruangan hingga akhirnya sampai pada sederetan pintu yang tertutup. Di hadapan sebuah pintu yang paling besar dan penuh ukiran, yang dari bagian celah bawahnya menyeruak sinar terang, Lor Parereg berhenti. Sesaat dia merapatkan telinganya ke daun pintu. Di ruangan belakang pintu didengarnya suara orang bercakap-cakap perlahan, diseling suara tertawa kecil perempuan lalu suara tempat tidur bergoyang-goyang.

Parereg memasang telinga lebih lama. Setelah yakin bahwa suara lelaki di balik pintu adalah suara orang yang dicarinya maka sekali tendang saja bobollah pintu itu dan di lain kejap Lor Parereg sudah berada di dalam kamar yang amat bagus, beralaskan permadani tebal berbunga-bunga.

Dua sosok tubuh lelaki dan perempuan yang bertelanjang bulat yang tadi bergulung-gulung di atas tempat tidur terlompat kaget. Lor Parereg tertawa gelak-gelak. Dengan tangan kirinya disibakkannya kelambu. Perempuan di atas tempat tidur menjerit begitu melihat tampangnya yang mengerikan sedang yang lelaki membeliak ketakutan.

"Ayo teruskan permainan kalian! Anggap saja aku tak ada di kamar ini!" kata Parereg sambil masih tertawa.

"Kau... kau siapa?" tanya lelaki di atas tempat tidur. Saking takut dan terkejutnya saat itu dia maupun yang perempuan sama-sama lupa akan keadaan tubuh masing-masing yang tiada tertutup selembar benangpun!

Pada saat itu dari atas langit-langit kamar yang tiba-tiba bobol melompat sesosok bayangan hitam sedang dari pintu belakang mendobrak masuk orang ke tiga. Semuanya berpakaian serba hitam dan memiliki wajah seperti setan, penuh cacat bekas luka! Untuk kedua kalinya perempuan di atas tempat tidur memekik ngeri sedang yang lelaki sudah sepucat kain kafan wajahnya!

"Pemandangan yang hebat bukan, kawan-kawan?" kata Lor Parereg pada Kunto Handoko dan Rah Gludak. Sesaat mereka tegak menikmati tubuh putih mulus perempuan di atas tempat tidur.

"Ka... kalian ini si... siapa?"

"Ha ha ha... Tak disalahkan kalau kau tidak mengenali kami lagi. Tampang kami telah berobah menjadi setan. Mengerikan! Dan kau tahu manusia keparat, kaulah yang menjadi penyebab mengapa kami jadi begini!"

"A... aku...?"

"Ya, kau!"

"Kau sekarang hidup senang Tunggul Bayana!" membuka mulut Kunto Handoko. "Uang dan harta berlimpah. Istri cantik dan peliharaan banyak! Alangkah hebatnya!"

"Namaku bukan Tunggul Bayana. Aku Ki Ageng Tunggul! Kepala Desa Pasirginting!" kata lelaki di atas tempat tidur.

Lor Parereg, Kunto Handoko dan Rah Gludak saling pandang. Lalu ketiganya tertawa gelak-gelak.

"Kau boleh berganti nama seribu kali sehari. Tapi kau tetap adalah Tunggul Bayana! Manusia pengkhianat terkutuk! Laknat haram jadah!" bentak Rah Gludak.

"Nama yang pantas bagimu adalah Ki Ageng Tunggul Keparat!" kata Lor Parereg. Dan kembali ketiga orang itu tertawa gelak-gelak.

Orang yang menjadi kepala desa Pasirginting dan mengaku bernama Ki Ageng Tunggul itu merasakan tengkuknya menjadi dingin. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat ketakutan. Dadanya bergetar keras. Benarkah muka-muka yang cacat ini milik tiga orang yang pernah dikenalnya? Benarkah muka-muka setan ini kepunyaan manusia-manusia yang dulu pernah menjadi kawannya? Muka Lor Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko?!

"Kalau kalian mencari seorang bernama Tunggul Bayana, kalian telah salah alamat!" kata kepala desa itu yang sebenarnya memang adalah Tunggul Bayana.

Lor Parereg maju selangkah. "Manusia keparat! Mukaku dan muka kawan-kawan memang cacat. Tetapi mata kami belum buta! Otak kami belum pikun!" Lalu Lor Parereg menjambak rambut Tunggul Bayana alias Ki Ageng Tunggul.

"Lepaskan! Atau kupanggil pengawal!" teriak yang dijambak.

"Kau ingin memanggil pengawal?" ujar Lor Parereg. Dia berpaling pada Kunto Handoko. "Kawan, coba kau bawa kedua pengawal itu!"

Kunto Handoko keluar dari kamar. Sesaat kemudian dia masuk lagi membawa dua orang pengawal yang sudah jadi mayat dengan kepala rengkah. Makin pucatlah wajah Tunggul Bayana. Istri di sebelahnya menjerit dan pingsan sewaktu Kunto Handoko meletakkan dua sosok mayat itu di atas tempat tidur.

"Nah, itu pengawal-pengawalmu. Silahkan minta tolong pada mereka," kata Lor Parereg dengan seringai setan. Sedang jambakannya semakin diperkeras, "Tunggul Bayana, kami tidak punya waktu lama. Katakan di mana kau simpan uang emas dan harta itu?!"

"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan ini. Aku tidak kenal kau dan juga dua kawanmu ini!" kata Ki Ageng Tunggul.

"Ohh, begitu?" ujar Parereg. "Jadi kau pura-pura tidak kenal kami. Pura-pura tidak tahu apa yang aku bicarakan! Nah kau makan dulu jariku ini!"

Habis berkata begitu Lor Parereg menusukkan jari telunjuk tangan kirinya ke paha kanan Ki Ageng Tunggul hingga paha itu berlobang dan mengucurkan darah. Ki Ageng Tunggul merintih kesakitan sambil tekap pahanya.

"Lobang-lobang seperti itu akan kubuat di seluruh tubuh dan mukamu, Bayana! Hingga wajahmu jauh lebih menyeramkan dari wajah kami!"

Tiba-tiba Ki Ageng Tunggul Bayana meraung dan mencengkeram ke arah selangkangan Lor Parereg.

"Benar-benar manusia keparat!" maki Lor Parereg. Disentakkannya kepala Ki Ageng Tunggul Bayana hingga tubuh kepala desa ini terjelapak di lantai. Ketika Bayana hendak bangkit berdiri secepat kilat Lor Parereg menginjak leher orang itu hingga Tunggul Bayana merasakan sakit yang bukan kepalang. Nafasnya seperti tertahan. Dadanya sesak. Lidahnya menjulur.

"Tobat! Ampun! Ampuni selembar nyawaku ini Parereg!"

"Ah... akhirnya kau mengenaliku juga!" kata Lor Parereg. "Minta tobat dan minta ampun. Jangan khawatir sobat. Kami akan ampuni kau. Tapi katakan dulu di mana kau sembunyikan uang emas dan harta itu!"

"Akan kukatakan Parereg. Akan kukatakan. Tapi berikan waktu tiga hari padaku!"

"Waktu tiga hari buat apa?!" tanya Lor Parereg.

"Untuk menipu dan mengkhianati kita lagi tentunya!" kata Kunto Handoko.

"Aku bersumpah kawan-kawan! Demi persahabatan kita di masa lampau, aku tidak akan mengkhianati kalian untuk kedua kali! Beri aku waktu tiga hari. Hanya itu yang aku minta..."

"Baik, akan kuberikan waktu tiga hari," kata Lor Parereg.

"Jangan tolol Parereg!" seru Rah Gludak.

Lor Parereg mengedipkan matanya. "Dia tak bakal lari, kawan. Sekalipun dia lari sampai ke perut bumi kita akan mengejarnya. Tiga hari tidak lama. Di samping itu kita bisa melepaskan lelah sambil bersenang-senang dengan istri dan perempuan-perempuan peliharannya. Bukan begitu Tunggul Bayana?"

"Terserah apapun yang akan kau lakukan. Asal kau mau mengampuni aku dan memberikan waktu tiga hari..."

Lor Parereg tertawa. Perlahan-lahan kakinya diangkat dari batang leher Ki Ageng Tunggul.

********************

EMPAT BELAS

Teluk Burung diselimuti kabut tebal. Hujan rintik-rintik turun sejak pagi. Dalam udara yang buruk itu seorang penunggang kuda berbaju biru bergerak di antara puing-puing batu. Mukanya pucat, matanya merah dan sekujur tubuhnya terasa letih. Sesekali kaki-kaki kuda tunggangannya terpeleset di batu licin.

Namun dengan segala kekuatannya dan harapan untuk hidup orang ini terus membawa kudanya ke jurusan timur hingga akhirnya dia sampai di sebuah lamping bukit batu yang merupakan sebuah tembok panjang, membelintang dari timur ke selatan. Di salah satu bagian lamping batu tersebut, orang ini menghentikan kudanya dan memandang berkeliling. Hujan rintik-rintik telah berhenti. Tetapi kabut masih kelihatan dimana-mana menutupi pemandangan.

Dia menunggu beberapa lama. Matahari muncul dan kabut mulai lenyap. Dia memandang berkeliling sekali lagi. Apa yang dicarinya kelihatan di kejauhan. Tepat di pertengahan lamping batu sebelah bawah kelihatan sebuah lobang besar. Dengan hati-hati orang ini membawa kudanya menuruni lereng batu itu, kemudian bergerak sepanjang tepi pasir menuju ke lobang batu yang tadi dilihatnya dari atas.

Cuaca sementara itu telah berangsur cerah. Tepat di depan goa orang tadi hentikan kudanya dan melompat turun. Dengan memanggul sebuah kantong kulit dia melangkah menuju mulut goa. Lima langkah dia akan sampai ke mulut goa sekonyong-konyong dari dalam menggelegar bentakan.

"Siapa yang berani datang ke tempatku tanpa diundang?!"

Sesaat orang itu terkesima. Setelah habis kagetnya maka diapun menjawab. "Aku Ki Ageng Tunggul kepala desa Pasirginting ingin bertemu dengan orang tua sakti bernama Supit Jagal."

"Katakan apa keperluanmu!" orang dalam goa berkata.

Ki Ageng Tunggul alias Tunggul Bayana menjawab, "Aku datang untuk mohon diambil jadi murid!"

"Bah?! Maksud sintingmu membuat aku ingin melihat tampangmu. Masuk cepat!"

Ki Ageng Tunggul masuk. Ternyata goa batu itu di bagian dalam tidak seberapa besar. Udara di sini terasa dingin karena ada tiupan angin dari laut. Di tengah ruangan duduk seorang kakek berpakaian putih kotor penuh tambalan. Rambutnya keriting macam bulu domba. Pada pipinya sebelah kanan terdapat cacat bekas luka yang amat besar. Daun telinganya sebelah kanan sumplung sedang sepasang matanya sipit sekali hampir seperti terpejam.

"Duduk!" orang tua ini memerintah.

Ki Ageng Tunggul duduk. Kantong kulit diletakkan di sampingnya. Setelah meneliti tamu di hadapannya kakek bernama Supit Jagal ini berkata,

"Sudah tua bangka sepertimu ini minta diambil jadi murid. Tentunya kau sinting! Paling tidak edan!"

"Soalnya terpaksa," jawab Ki Ageng Tunggul. "Sebelumnya aku telah memiliki dasar ilmu silat sejurus dua jurus."

"Kau terpaksa minta jadi murid? Coba kau terangkan manusia sedeng!"

"Tiga orang jahat mengancam hendak membunuhku. Mereka berilmu tinggi."

"Untuk menghadapi mereka kau lalu minta ilmu padaku! Begitu!"

"Betul!"

"Kenapa tiga manusia itu hendak membunuhmu?!"

"Dulu mereka adalah kawan-kawanku. Kemudian kukhianati!" Ki Ageng Tunggul lalu menceritakan peristwa di masa lampau itu. "Entah bagaimana mereka bisa lolos dari penjara istana. Kini mereka jauh lebih tinggi ilmu silat serta kesaktiannya dari dulu-dulu."

Lelaki ini diam sebentar lalu menyambung. "Atas kesediaanmu mengambilku jadi murid, aku akan memberi imbalan yang cukup." Ki Ageng Tunggul lalu meletakkan kantong besar itu di hadapan Supit Jagal. Supit Jagal membuka kantong dan tampaklah uang emas di dalamnya. Sepasang mata Supit Jagal semakin menyipit.

"Aku tak mungkin mengambilmu jadi murid!" tiba-tiba Supit Jagal berkata yang membuat paras Ki Ageng Tunggul jadi berubah.

"Kenapa? Apakah pemberianku masih kurang?!"

"Bukan. Tapi karena aku yakin kau tak bakal sanggup menjalankan syarat yang akan kutetapkan."

"Syarat apapun akan kupatuhi!" jawab Ki Ageng Tunggul.

"Kepala desa, begini saja. Kau atur agar ketiga musuhmu itu datang kemari. Urusan selanjutnya biar aku yang membereskan!"

"Begitupun aku setuju," jawab Ki Ageng Tunggul. "Yang penting mereka dapat dibunuh!"

"Tapi syarat yang telah kutetapkan harus kau jalankan."

"Akan kulaksanakan orang tua. Katakanlah."

"Kau harus bersumpah dulu bahwa kau betul-betul akan melaksanakannya!"

"Demi Tuhan aku akan melaksanakan!"

"Bukan demi Tuhan tolol! Tapi Demi Supit Jagal!"

"Ya... ya. Demi Supit Jagal aku bersumpah!" kata Ki Ageng Tunggul alias Tunggul Bayana yang sekarang sudah jadi kepala desa itu.

"Bagus. Sekarang kau telan dulu benda ini!" Supit Jagal melemparkan sebuah benda hitam ke pangkuan Ki Ageng Tunggul.

"Benda apa ini?" tanya Ki Ageng Tunggul.

"Telan saja! Jangan banyak tanya!"

Tunggul Bayana menelannya. Supit Jagal tertawa panjang. "Yang kau telan itu adalah racun penghancur usus!"

Pucatlah paras Ki Ageng Tunggul. "Racun ini akan bekerja setelah dua hari. Jika kau melaksanakan syarat yang kutetapkan kau boleh kembali ke sini membawa ketiga manusia itu. Aku akan memberi obat penawar racun itu. Tapi kalau kau bersumpah palsu dan ingkar, kau akan mampus dengan usus berantakan!" Supit Jagal kembali tertawa.

Tunggul Bayana merasakan sekujur tubuhnya menjadi dingin.

"Sekarang mengenai syarat itu," kata Supit Jagal pula. "Tepat tengah malam besok yaitu Kamis malam Jum'at Kliwon kau harus menggorok leher seorang bayi dan memandikan darahnya di kepala serta tubuhmu! Itu harus kau lakukan di bukit batu ini kira-kira seratus langkah di belakang lamping batu!

Kedua mata Tunggul Bayana membeliak laksana hendak copot dari rongganya ketika mendengar kata-kata Supit Jagal itu. Bulu romanya berdiri.

Supit Jagal menyeringai. "Kalau tidak kau laksanakan, jangan harap umurmu akan lebih panjang dari dua hari!"

"Syarat itu, apakah bisa diganti dengan syarat lain? Tobat! Aku tak dapat melaksanakannya!"

"Kalau begitu angkat kaki saja dari sini!"

Ki Ageng Tunggul jadi bingung dan takut. Syarat yang harus dilakukannya sungguh sangat mengerikan. Tak sanggup dia menjalankan. Tapi kalau dia menolak, racun yang mengindap dalam perutnya akan merenggut nyawanya! Tak ada hal lain yang menjadi pilihan kecuali melakukan apa yang disyaratkan Supit Jagal!

Demikianlah, seperti telah dituturkan di permulaan cerita, Ki Ageng Tunggul telah berhasil menculik seorang bayi. Dia membawa bayi itu ke puncak bukit batu, menebas lehernya lalu memandikan kepala dan tubuhnya dengan darah sang bayi!

********************

LIMA BELAS

Keempat penunggang kuda itu berhenti di ujung lamping bukit batu Teluk Burung. Angin laut bertiup keras. Di antara deru angin yang keras itu, orang yang berada paling depan bertanya,

"Mana goanya?!"

"Di bawah sana Parereg. Kita harus turun lewat lereng di ujung sana."

"Aku mendapat firasat si Tunggul Keparat ini menipu kita," kata Rah Gludak.

"Kalau nanti terbukti begitu, tak akan susah memisah tubuhnya dengan kepala," sahut Lor Parereg.

Ki Ageng Tunggul menunggangi kudanya di sebelah depan. Di ujung lereng batu dia menurun diikuti Lor Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko. Keempatnya kini menyusuri pasir pantai.

"Inilah goanya." Kata Ki Ageng Tunggul begitu sampai di goa tujuan. "Peti-peti itu kutumpuk di dalam." Habis berkata begitu dia hendak turun dari kudanya. Tapi Lor Parereg mencegah.

"Tetap di tempatmu, Tunggul!" Dia melangkah mendekati Ki Ageng Tunggul lalu menotok punggungnya, membuat Ki Ageng Tunggul kini laksana patung tak bisa bergerak di atas punggung kudanya.

"Kalian berdua masuk dan periksa goa. Aku menunggu di sini!" kata Lor Parereg.

"Sreet...!" Kunto Handoko cabut pedangnya, meletakkan bagian yang tajam dari senjata ini di leher Ki Ageng Tunggul dan berpaling pada Lor Parereg.

"Parereg! Kita sudah tahu tempat peti-peti itu disembunyikan. Bagaimana kalau detik ini kupisahkan saja nyawanya dari badan?!"

"Nyawa anjingnya soal mudah Kunto! Yang penting kau bersama Gludak harus memeriksa dulu apa betul peti-peti itu ada di dalam goa!"

"Percayalah! Aku tidak menipu kalian!" kata Ki Ageng Tunggul dengan tengkuk dingin. Kalau Kunto Handoko menabas batang lehernya detik itu juga habislah ceritanya. "Silahkan kalian bertiga masuk dan memeriksa!" Diam-diam hatinya tidak enak karena sampai saat itu Supit Jagal belum juga muncul.

"Kita akan lihat Tunggul Keparat, kita akan lihat!" kata Lor Parereg. Dia memberi isyarat pada dua kawannya.

Kunto Handoko dan Rah Gludak melompat turun dari kuda masing-masing dan melangkah mendekati goa. Tiba-tiba baru saja mereka sampai di mulut goa, dari dalam menderu selarik angin yang amat deras dan panas! Keduanya berseru kaget dan secepat kilat melompat ke samping selamatkan diri. Sambaran angin menyapu lewat dan melabrak kuda yang ditunggangi Lor Parereg. Binatang ini meringkik keras lalu roboh ke tanah dengan kepala hangus!

Setelah melejang-lejang seketika akhirnya mati tak berkutik lagi! Lor Parereg membeliak. Mukanya pucat. Hampir saja dia jadi korban ditambus angin panas. Dia hendak bergerak melompati Ki Ageng Tunggul, namun saat itu dari dalam goa dilihatnya seorang kakek bermuka iblis dan berpakaian penuh tambalan muncul dan memandang beringas dengan matanya yang sipit ke arah Lor Parereg dan kawan-kawan.

"Kepala desa, apakah ini tiga manusia yang menurutmu tak layak hidup lebih lama didunia ini?!" tanya Supit Jagal.

"Betul!" sahut Ki Ageng Tunggul. "Bunuh mereka. Aku akan memberi sekantong uang emas lagi untukmu!"

Supit Jagal menyeringai. "Hemm... tampang-tampang mereka memang serupa iblis penjaga neraka. Jadi memang pantas kalau dikirim ke neraka!" Dengan tangan terpentang Supit Jagal melangkah ke hadapan Lor Parereg dan kawan-kawannya.

"Parereg! Apa kataku! Bangsat keparat ini telah menipu kita!" seru Kunto Handoko marah dan secepat kilat mengirimkan satu jotosan ke perut Ki Ageng Tunggul yang masih duduk di atas punggung kuda tanpa mampu bergerak. Namun sebelum jotosan itu sampai, selarik angin menderu dari samping. Terpaksa Kunto Handoko melompat mundur!

"Tua bangka sialan! Kau rupanya sudah bosan hidup!" bentak Lor Parereg. Tangan kanannya dihantamkan ke depan. Sementara dari belakang Kunto Handoko dengan bernafsu lepaskan selusin paku hitam beracun. Rah Gludak juga tidak tinggal diam. Pedangnya berkelebat ke batok kepala Supit Jagal. Diserang hebat begitu rupa Supit Jagal ganda tertawa. Didahului dengan satu bentakan keras dia mengangkat kedua tangannya ke atas Lor Parereg.

Rah Gludak dan Kunto Handoko melihat sinar hitam bergulung-gulung dan menyambar laksana petir ke arah mereka. Serta merta ketiga orang ini berserabutan selamatkan diri. Namun mereka tak punya kesempatan lagi. Serangan sinar hitam begitu luar biasa cepatnya. Ketiganya menjerit keras karena sadar bahwa mereka tak akan lolos dari kematian!

Namun di saat yang kritis itu tiba-tiba menggeledek satu bentakan, "Supit Jagal! Apa kau sudah gila hendak membunuh murid-muridku?!"

Satu angin aneh menyambar dan tahu-tahu buyarlah sambaran sinar hitam yang tadi dilepaskan Supit Jagal! Supit Jagal terkejut bukan main. Suara itu sangat dikenalnya. Dia berpaling. Satu bayangan hitam berkelebat turun dari tebing batu.

"Supit Ireng! Apa-apaan kau?" seru Supit Jagal.

"Kowe yang apa-apaan!" balas Supit Ireng. "Ketiga orang ini adalah muridku. Dan kowe hendak membunuh mereka!"

"Bah!" Supit Jagal delikkan mata. "Muridmu... Jadi?!" Dia berpaling pada Ki Ageng Tunggul yang saat itu sudah pucat pasi mukanya.

"Kalau begitu bangsat ini hendak mengadu domba kita! Keparat kurang ajar!" Sekali melompat saja Supit Jagal sudah jambak rambut Ki Ageng Tunggul dan menyeretnya dari punggung kuda.

"Demi Tuhan, ampuni selembar nyawaku!" lirih Ki Ageng Tunggul. "Semua harta dan uang emas itu akan kuserahkan pada kalian! Ampuni diriku!"

"Lepaskan totokannya Supit Jagal," kata Supit Ireng. Supit Jagal lepaskan totokan di tubuh Ki Ageng Tunggul. Lor Parereg melangkah mendekati laki-laki ini bersama-sama Supit Ireng.

"Dengar Tunggul Bayana," kata Lor Parereg. "Nyawamu akan kami ampuni jika kau benar-benar mau menerangkan di mana peti-peti itu berada."

"Terima kasih... terima kasih..."

"Lekas terangkan!" hardik Parereg.

"Peti-peti itu... peti-peti itu kutanam di belakang rumahku di desa Pasirginting," menerangkan Ki Ageng Tunggul. Kali ini dia tidak berdusta.

"Kau tidak bohong?!"

"Demi Tuhan aku tidak bohong!"

"Bagus! Nyawamu diampuni. Kau bebas sekarang untuk pergi. Pergi ke neraka!"

Lalu dengan kaki kanannya Lor Parereg menendang perut Ki Ageng Tunggul hingga orang ini mencelat dan terguling di tanah. Belum lagi dia sempat bangun tendangan Kunto Handoko mendarat di kepalanya. Kembali Ki Ageng Tunggul terlempar. Hidungnya yang kena tendang mengucurkan darah. Dia mengeluh panjang. Rah Gludak menambah satu tendangan lagi di dadanya membuat tulang-tulang iganya patah.

"Demi Tuhan ampuni jiwaku!" teriak Ki Ageng Tunggul. Dia merangkak ke arah Supit Jagal. "Tolong... tolong aku," pintanya.

Supit Jagal tegak bertolak pinggang. Dia tertawa mengekeh. "Ini hadiah dariku!" Lalu tendangannya menghajar lambung Ki Ageng Tunggul.

Begitulah Ki Ageng Tunggul ditendang kian kemari hingga babak belur. Mukanya berlumuran darah. Tulang-tulangnya berpatahan. Dia meraung tiada henti. Kemudian raungannya hanya tinggal erangan dan akhirnya dia terkapar tak berkutik lagi. Mati!

Supit Jagal menarik nafas panjang. Dia memandang pada saudaranya. "Supit Ireng! Kalau kau tidak cepat muncul niscaya ketiga muridmu sudah konyol di tanganku!"

Supit Ireng hanya bisa tertawa pendek. Tapi tawanya ini mendadak lenyap berganti seruan. "Lihat!"

Semua orang berpaling. Saat itu sepanjang lereng batu, ujung timur dan ujung barat telah dikurung oleh lebih dari seratus prajurit berkuda bersenjata lengkap.

"Mau apa kunyuk-kunyuk kerajaan itu!" kata Supit Jagal sementara Lor Parereg dan kawan-kawannya juga memandang gelisah.

Baru saja Supit Jagal mengeluarkan ucapan itu dari lamping batu sebelah kiri terdengar seruan, "Lima orang yang berada di tepi pantai menyerahlah!"

"Itu suara si keparat Brajaseta!" kata Lor Parereg.

"Brajaseta! Kalau kau datang untuk mengantar nyawa silahkan turun kemari!" teriak Supit Ireng. Matanya yang hanya satu itu seperti menyala karena ingat manusia itulah yang telah menyiksa ketiga muridnya. Bukan sampai di situ saja. Habis membentak Supit Ireng lalu hantamkan tangannya ke arah lereng batu. Satu larik sinar hitam menggebu. Terdengar suara menggelegar. Lamping batu hancur berantakan.

Tiga prajurit jatuh bersama kuda-kuda tunggangan mereka sedang Brajaseta sempat selamatkan diri dengan melompat ke bawah seraya berteriak memberi komando untuk menyerbu. Dari lamping batu sebelah kiri melesat satu sosok tubuh seraya mengebutkan sebuah benda berbentuk setengah lingkaran. Ternyata manusia ini adalah Si Kipas Besi. Deru angin yang keluar dari kipas saktinya itu membuat pasir pantai beterbangan dan untuk beberapa ketika menutup pemandangan.

Sewaktu udara terang kembali maka kelihatanlah bahwa seratus lebih prajurit itu telah bergerak mempersempit kurungan. Di depan prajurit-prajurit itu berjejer lima belas perwira tinggi. Di sebelah depan sekali tegak Brajaseta dan Si Kipas Besi. Dikurung seketat itu Supit Jagal dan Supit Ireng tidak merasa khawatir. Malah Supit Jagal masih bisa tertawa-tawa.

"Kalian sudah terkurung! Tak mungkin bisa lari. Menyerahlah!" memperingatkan Brajaseta.

"Lari? Menyerah?!" ujar Supit Jagal. Lalu dia tertawa gelak-gelak.

"Brajaseta!" Supit Ireng angkat bicara. "Apa yang telah kau perbuat terhadap murid-muridku hari ini kutagih berikut bunganya! Dan kau juga Kipas Besi, jangan harap ampunan dariku!"

Supit Ireng masih ingat sewaktu terjadi pertempuran di halaman istana. Habis berkata begitu dia langsung menyerbu. Kakak serta ketiga muridnya tidak tinggal diam. Maka pertempuran hebat tidak dapat lagi dihindarkan. Dalam jumlah memang pihak Brajaseta lebih banyak. Namun Supit Jagal serta Supit Ireng bukan manusia-manusia yang mudah dirobohkan dengan mengandalkan pengeroyokan.

Di samping itu Lor Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko telah pula mendapat tambahan ilmu dari guru mereka! Sekelompok demi sekelompok prajurit-prajurit Demak menemui ajal dihantam pukulan-pukulan sakti yang dilepaskan Supit Jagal serta adiknya.

Satu demi satu perwira tinggi meregang nyawa. Brajaseta menjadi tergetar hatinya. Tidak diduganya dua manusia golongan hitam itu demikian tinggi ilmunya. Kepala Pasukan Demak ini malah makin tercekat ketika dilihatnya Supit Jagal berhasil merampas kipas sakti di tangan Si Kipas Besi, lalu dengan senjatanya sendiri Si Kipas Besi digebuk kepalanya hingga hancur!

Brajaseta sadar bahwa keadaannya juga tak bakal bertahan lama ketika bahu kirinya luka disambar ujung pedang Lor Parereg. "Celaka!" keluh Kepala Pasukan Demak ini.

Dia memandang berkeliling. Kecil harapan untuk menyelamatkan diri. Dengan kertakkan rahang dia putar pedangnya laksana titiran. Tiba-tiba Brajaseta merasakan ada sambaran angin serangan datang dari arah kiri. Cepat dia lepaskan pukulan tangan kosong. Tapi betapa terkejutnya ketika sambaran angin itu lenyap tahu-tahu pedang di tangan kanannya dibetot lepas! Di sampingnya tertawa bergelak Supit Ireng!

"Kini hutang berikut bunganya harus kau bayar Brajaseta!" kata Supit Ireng seraya bolang-balingkan pedang milik Kepala Pasukan Demak itu.

"Guru, biar aku yang membereskan bangsat itu!" terdengar seruan Lor Parereg.

"Tentu. Jangan khawatir. Kau dan dua kawanmu bakal dapat bagian paling banyak. Beri aku kesempatan hanya untuk mencungkil mata kirinya! Biar tampangnya mirip-mirip aku!" Supit Ireng lalu tusukkan ujung pedang ke mata kiri Brajaseta!

Pada saat itulah tiba-tiba terjadi hal yang luar biasa. Seolah-olah datang dari laut terdengar suara menderu aneh. Teluk Burung laksana dilanda topan. Pasir pantai menggebubu beterbangan membuat udara menjadi gelap. Ombak yang senantiasa bergulung dan memecah di pasir saat itu seperti terbendung oleh deru dahsyat tadi. Prajurit-prajurit bergelimpangan. Beberapa perwira tinggi terhuyung-huyung lalu jatuh duduk di tanah!

Semua orang terkejut bukan main. Apakah dunia akan kiamat? Dalam gelapnya udara itu tiba-tiba kelihatan sinar putih menyilaukan berputar-putar. Gerakan Supit Ireng yang tadi hendak mencungkil mata kiri Brajaseta kini jadi tertahan dan di lain kejap terdengar suara berkerontang. Pedang di tangan manusia tinggi bermuka hitam ini terlepas mental dan patah tiga!

Seorang pemuda berambut gondrong mengenakan baju tak berkancing berdiri di tengah-tengah kalangan pertempuran. Di dadanya ada tulisan 212. Tangan kanan bertolak pinggang sedang tangan kiri memegang sebilah kapak besar bermata dua yang bertuliskan 212.

Supit Ireng, Supit Jagal dan Lor Parereg serta dua kawannya tidak mengenal siapa adanya pemuda ini. Sebaliknya Brajaseta jadi terkesiap ketika mengenali pemuda itu bukan lain orang yang menyebabkan lolosnya Malaikat Tak Bernama, Jakawulung dan Ning Larasati. Terus terang terhadap pemuda ini Brajaseta menaruh dendam kesumat. Tetapi hari itu justru dia muncul dan menyelamatkan dirinya. Siapakah pemuda ini sebenarnya?

"Yang mana di antara kalian bernama Supit Jagal?!" Pendekar 212 Wiro Sableng bertanya sambil menatap Supit Ireng dan Supit Jagal berganti-ganti.

"Budak sontoloyo! Ada apakah kau mencari majikanmu ini?!" menyahuti Supit Jagal.

Sesaat Wiro menatap orang itu. Jadi inilah manusianya yang bernama Supit Jagal, katanya dalam hati. Dia lalu tertawa gelak-gelak, "Supit Jagal, ketahuilah. Aku datang mewakili Empu Pamenang dari Danau Merak Biru yang tiga orang muridnya telah kau bunuh secara biadab!"

"Begitu...?" Kini Supit Jagal yang tertawa meledak. "Pemuda tolol. Hadiah apa yang diberikan kakek keropos itu hingga kau mau mewakilinya? Apakah dia tidak punya nyali untuk datang sendiri?!"

"Ah, orang tua itu terlalu sibuk. Karenanya dia mengutus manusia kroco macamku ini untuk membereskanmu!"

"Keparat busuk! Kau duduklah tenang-tenang di batu sana. Biar kuselesaikan dulu urusan dengan kecoak-kecoak kerajaan ini!"

Sementara itu selagi semua perhatian tertuju pada Wiro Sableng dan Supit Jagal kesempatan ini dipergunakan oleh Lor Parereg untuk mendekati Brajaseta dari belakang dan menusuk punggungnya dengan pedang hingga tembus ke dada. Kepala Pasukan Demak ini roboh tak bernyawa lagi!

Meskipun sebenarnya tidak senang terhadap Brajaseta, tapi melihat Kepala Pasukan Demak ini di bunuh secara pengecut, Wiro Sableng menjadi geram dan memutar kapaknya ke arah batok kepala Lor Parereg. Namun dua pukulan tangan kosong yang hebat menerpanya dari kiri kanan. Ternyata Supit Jagal dan Supit Ireng telah menyerangnya secara bersamaan!

Pendekar 212 bersuit nyaring. Kapaknya berputar membabat ke arah kedua lawan tangguh itu. Di lain saat pengeroyoknya jadi berjumlah lima orang karena Lor Parereg, Kunto Handoko dan Rah Gludak telah turun pula ke kalangan pertempuran.

Sementara itu sisa-sisa prajurit dan perwira kerajaan yang masih hidup sudah tak punya hasrat lagi untuk meneruskan pertempuran. Yang mereka lakukan saat itu ialah lekas-lekas menyingkir dan menyelamatkan jenazah Brajaseta serta Si Kipas Besi. Di saat yang sama di atas lereng batu kelihatan tiga orang berdiri menyaksikan pertempuran di tepi pantai Teluk Burung itu.

"Empu, saya rasa sudah saatnya kita turun tangan membantu Wiro."

Empu Pamenang menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan Jakawulung itu. "Tak usah khawatir Jaka. Pemuda itu bukan manusia sembarangan. Jika Kapak Naga Geni 212 berada di tangannya lawan macam apapun yang ada di hadapannya pasti dimusnahkannya!"

"Tapi satu lawan lima benar-benar perkelahian yang tidak adil! Dan lima manusia itu adalah orang-orang jahat," kata Ning Larasati.

Ketiga orang itu berada di situ karena ingin menyaksikan pertempuran yang hebat itu. Empu Pamenang ingin melihat sendiri kematian musuh besarnya si Supit Jagal. Sedang Jakawulung dan Larasati berhasrat membantu Wiro. Karena itulah tak lama setelah Wiro pergi ketiganya segera menyusul.

"Kau betul Larasati, kau betul. Itu perkelahian yang tidak adil. Tapi bagi Wiro sendiri itu bukan soal. Dan aku, jika saja tidak ada pantangan membunuh pasti sudah turun tangan sejak tadi," kata Empu Pamenang pula.

"Aku tetap akan membantunya Empu!" kata Jakawulung. Dia hendak melompat dari lereng batu. Tapi Empu Pamenang memegang bahunya.

"Lihat Jaka... lihat apa yang terjadi di bawah sana!" kata Empu Pamenang seraya menunjuk ke bawah, ke arah pantai.

Jaka melihat ke bawah. Pada saat itu tampak dua dari lima pengeroyok roboh bermuncratan darah kena hantaman Kapak Naga Geni 212 di tangan Wiro Sableng! Dua korban pertama ini adalah Rah Gludak dan Kunto Handoko!

Dua jurus kemudian menyusul korban ketiga yaitu si tinggi hitam Supit Ireng. Lehernya hampir putus disambar mata kapak yang tajam. Supit Jagal meraung melihat kematian adiknya. Tangannya kiri kanan tiada henti melepaskan pukulan-pukulan sakti. Namun jurus demi jurus dia mulai terdesak.

Lor Parereg menggempur dengan nyali setengah meleleh. Akibatnya bahu kirinya kena di makan senjata lawan hingga buntung. Manusia ini melolong kesakitan dan lari meninggalkan kalangan pertempuran dengan terhuyung-huyung. Wiro tidak perdulikan lawan yang lari. Musuh besar yang harus dibunuhnya adalah Supit Jagal, sebagaimana tugas yang telah diterimanya dari Empu Pamenang.

Ketika melihat Lor Parereg melarikan diri, Ning Larasati yang memang mendendam setengah mati, tiba-tiba mencabut pedang di pinggang Jakawulung. Dengan senjata ini di tangan dia mengejar Lor Parereg.

"Manusia dajal! Kau mau kabur ke mana?!" sentak Larasati.

Lor Parereg hentikan larinya. Nafasnya megap-megap. Pemandangannya berkunang-kunang. "Kau... kau..." hanya itu yang bisa diucapkannya ketika dia melihat dan mengenal Larasati.

"Ya, aku. Aku Larasati datang untuk membalas sakit hati!"

Lalu puteri Sultan itu tusukkan pedangnya ke perut Lor Parerag tanpa Lor Parereg mampu untuk mengelak ataupun menangkis. Dia seperti sudah pasrah ditambus senjata itu. Larasati sendiri menjerit ngeri ketika menyaksikan apa yang dilakukannya. Seumur hidup baru kali itu dia membunuh manusia. Dia terus-menerus menjerit sampai Empu Pamenang dan Jakawulung datang untuk menenteramkannya.

Dalam keadaan sangat terdesak tiba-tiba Supit Jagal berkata, "Orang muda! Antara kita tidak ada silang sengketa. Mengapa kau inginkan jiwaku?!"

"Aku hanya menjalankan tugas Supit Jagal. Lagi pula kupikir manusia jahat macammu ini tak layak... Akh...!" Wiro tak teruskan ucapannya karena saat itu dilihatnya lawan melepaskan satu pukulan sakti yang mengeluarkan hawa panas luar biasa!

Sambil melompat ke samping dia sapukan Kapak Naga Geni 212. Serangan lawan langsung buyar. Tetapi ketika memandang ke depan dilihatnya Supit Jagal melarikan diri ke arah lereng bukit batu. Sewaktu Wiro hendak mengejar kembali, Supit Jagal lepaskan pukulan tangan kosong dua kali berturut-turut!

"Sialan! Bangsat ini benar-benar licik!" maki Wiro.

Dia kerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sambil berseru nyaring kelihatan tubuhnya melesat ke udara dan Supit Jagal menjadi kaget ketika didapatinya tahu-tahu pemuda itu sudah tegak di atas lereng batu menghadangnya! Supit Jagal membelok ke kiri sambil lepaskan lagi pukulan sakti.

Wiro kembali melompat. Sekali ini dia langsung menyerbu ke arah lawan sambil melepaskan satu tendangan. Nekad Supit Jagal coba menangkap kaki kanan Wiro. Tapi tenaga tendangan itu tidak mampu ditahannya. Akibatnya tubuhnya mencelat ke bawah bukit batu, tangan kirinya patah di bagian pergelangan.

Malang bagi Supit Jagal. Jatuhnya tepat di depan Empu Pamenang. Orang tua ini langsung hadiahkan satu tendangan ke punggung Supit Jagal hingga tulang punggungnya remuk dan dia meraung kesakitan.

"Sayang aku mempunyai Pantangan membunuh!" kata Empu Pamenang menyesali diri.

Sambil terhuyung-huyung Supit Jagal mencoba bangkit. Saat itu Wiro Sableng sudah tegak di hadapannya. Supit Jagal menggembor keras. Tangan kanannya menghantam ke arah selangkangan Pendekar 212. Tapi serangannya hanya mengenai tempat kosong. Dia merasakan rambutnya dijambak, lalu tubuhnya terangkat dan berputar-putar di udara. Pekiknya terdengar tiada henti. Kepalanya serasa tanggal.

Tiba-tiba Wiro lepaskan cengkeramannya. Tubuh Supit Jagal melayang dan byuur dia masuk ke dalam air laut. Sesaat tampak kedua tangannya menggapai-gapai ke atas, lalu lenyap bersamaan dengan lenyapnya tubuhnya di telan gelombang!

Empu Pamenang memejamkan kedua matanya. Dari mulutnya terdengar suara lirih. "Murid-muridku, manusia jahat yang telah membunuh kalian telah menemui kematiannya. Kuharap kini kalian bisa tenteram di alam baka."

Kakek ini kemudian melangkah mendekati Wiro Sableng. "Orang muda, terimalah ucapan terima kasihku... Kau benar-benar hebat!"

"Empu Pamenang, kau keliwat memuji. Tugasku sudah selesai. Aku mohon diri..." Wiro membungkuk hormat lalu sekali berkelebat diapun lenyap.

Empu Pamenang menarik nafas panjang. Ning Larasati mendekati seorang perwira tinggi dan berkata, "Kembalilah ke Kotaraja. Katakan pada ayahanda bahwa aku telah diambil murid oleh Empu Pamenang dari Danau Merak Biru. Katakan bahwa beliau tak usah khawatir tentang diriku. Jika sudah selesai menuntut ilmu pasti aku akan kembali."

Perwira itu mengangguk lalu menjura dan berlalu. Empu Pamenang, Jakawulung dan Ning Larasati kembali ke Danau Merak Biru. Dengan matinya Lor Parereg dan manusia-manusia jahat lainnya itu maka tak satu orangpun yang mengetahui mengenai peti-peti berisi uang dan perhiasan yang ditanam Ki Ageng Tunggul di belakang rumahnya di Pasirginting. Peti-peti itu akan terus terpendam sampai kiamat, kecuali kalau ada orang lain yang menemukannya.

T A M A T

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.