Hancurnya Istana Darah

Sonny Ogawa

HANCURNYA ISTANA DARAH

SATU

DEBUR ombak memecah di pantai dan memukul lamping batu-batu karang terdengar abadi di udara pagi yang segar cerah. Kira-kira lima ratus tombak dari pantai tampaklah berdiri sebuah bangunan besar dikelilingi tembok tinggi sepuluh tombak. Baik bangunan maupun temboknya seluruhnya berwarna merah.

Di daerah pantai seperti itu biasanya hampir tak pernah ditumbuhi pohon-pohon lain selain pohon kelapa. Namun adalah satu kenyataan aneh karena di Iuar tembok yang mengelilingi bangunan besar tadi tumbuh berkeliling dua puluh satu pohon beringin raksasa. Bila angin bertiup dari laut, daun-daun pohon beringin bergemerisik keras, akar-akar gantungnya bergoyang-goyang deras.

Semua ini menimbulkan suasana yang menyeramkan. Di samping itu, setiap angin bertiup maka menebarlah bau busuk dan anyir dari jurusan bangunan berwarna merah itu. Bila seseorang mendekati tembok dan bangunan di tepi pantai sunyi itu, pastilah dia akan terkejut dan berdiri bulu tengkuknya. Akan goyah lututnya lalu akan lekas-lekas mengambil langkah seribu.

Betapakan tidak! Warna merah pada atap, tembok dan setiap sudut bangunan besar bukanlah warna cat atau kapur, tetapi darah! Lapisan darah inilah yang menjadi sumber bau busuk dan amis menjijikkan serta mengerikan, menebar di sekitar situ sampai puluhan bahkan ratusan tombak jauhnya!

Matahari pagi mulai naik. Air laut kelihatan berkilau-kilau. Darah merah di tembok dan di bangunan besar di tepi pantai berkilat-kiiat sedang bau busuk amis semaki menjadi-jadi. Kira-kira sepenanakan nasi berlalu, dari arah timur, berpapasan dengan tiupan angin laut, terdengarlah suara derap kaki-kaki kuda.

Tak selang berapa lama di sebuah liku-liku jalan kecil yang terletak di antara bukit-bukit karang tinggi dan runcing tampaklah dua penunggang kuda memacu binatang tunggangan masing masing ke jurusan tembok bangunan merah. Baik bulu kuda maupun pakaian kedua penunggangnya, keseluruhannya berwarna merah basah agak bermninyak-minyak. Sengaja dibasahi dengan darah.

Mereka mengenakan topi berkuncir seperti tarbus, yang juga dibasahi dengan darah. Dan di bawah topi-topi itu paras masing-masing teramat mengerikan untuk dipandang karena telah dipupuri dengan darah yang telah membeku. Salah seorang dari kedua penunggang kuda itu membawa sesosok tubuh berpakaian hitam yang di-melintangkan di punggung kuda dalam keadaan pingsan dan siapa pula orang yang menggeletak tak berdaya berpakaian hitam ini!

Kuda-kuda merah lewat di antara dua pohon beringin raksasa dan akhirnya sampai di hadapan sebuah pintu besar di tembok bangunan. Pada bagian atas pintu merah ini terdapat tiga deretan huruf-huruf yang terbuat dari tulang-tulang manusia yang telah dicat merah dan berbunyi, PINTU GERBANG DARAH. Salah seorang dari penunggang kuda yang berhenti di hadapan pintu gerbang mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi lalu dari mulutnya terdengar suit pekik aneh yang disusul dengan suara lantang,

"Atas nama Raja Darah, bukalah pintu gerbang!"

Untuk beberapa lamanya suara pekik serta seruan manusia itu masih mengiang-ngiang di udara pantai yang mengandung getaran tanda bahwa orang itu telah mengeluarkan suara dengan disertai tenaga dalam yang tinggi. Sesaat kemudian dari belakang TEMBOK DARAH demikian nama tembok merah yang mengelilingi bangunan besar itu terdengar suara pekik balasan dan disusul oleh satu pertanyaan yang membentak keras,

"Siapa yang datang!"

"Hulubalang Keempat dan Kelima!"

"Kalian habis dari mana?"

"Menjalankan tugas Raja!"

Tak lama kemudian terdengar suara berkereketan. Pintu Gerbang Darah terbuka. Bersamaan dengan itu dari bagian bawah pintu menjorok keluar sebuah jambatan kayu besi yang juga penuh dengan darah dan bertuliskan JEMBATAN DARAH. Ternyata antara Pintu Gerbang Darah dan bangunan besar di seberangnya dipisahkan oleh sebuah parit selebar lima belas tombak dan dalamnya lebih dari sepuluh tombak.

Parit ini dibuat sedemikian rupa mengelilingi bangunan besar, dialiri dengan air yang telah menjadi merah karena bercampur darah dan di dalamnya berenanglah ratusan ular berbisa dari berbagai jenis yang panjangnya mulai dari satu jengkal sampai lima meter! Semua orang di situ mengenal parit itu dengan sebutan PARIT KEMATIAN. Kedua orang yang mengaku Hulubalang tadi melewati Jembatan Darah dengan cepat dan sampai di tangga bangunan besar.

Di belakang mereka Jembatan Darah masuk kembali ke tempatnya sedang Pintu Gerbang Darah menutup dengan sendirinya. Dengan memanggul tubuh manusia berpakaian hitam itu, Hulubalang Keempat diikuti Hulubalang Kelima menaiki anak tangga bangunan besar yang pada sebelah atasnya terdapat tulisan, ISTANA DARAH. Huruf-huruf tulisan inipun dibuat dari tulang belulang manusia yang diberi warna merah dengan darah!

Setelah melewati beberapa ruangan, kedua Hulubalang sampai di satu ruangan besar yang pada bagian tengahnya terdapat sebuah kolam yang airnya berwarna merah dan busuk. Di tengah-tengah kolam berdirilah sebuah patung raksesi dalam keadaan telanjang bulat dan dari bagian di antara kedua pangkal pahanya senantiasa memancur cairan warna merah.

Di depan sana terdapat sebuah gordeng besar yang basah oleh darah. Tetesan-tetesan darah jelas kelihatan berjatuhan ke lantai ruangan. Ruangan itu bukan saja busuk luar biasa hawanya tetapi juga pengap membuat seseorang yang tak biasa akan sesak bernafas. Namun anehnya kedua Hulubalang Darah itu tenang-tenang saja seolah-olah udara macam begitu tidak mengganggu jalan pernafasan mereka barang sedikitpun. Di hadapan TIRAI DARAH mereka berdiri dengan sikap keren, lalu membuka topi masing-masing dan menjura.

"Paduka Yang Mulia Raja Darah," kata Hulubalang Keempat. "Kami berdua Hulubalang Keempat dan Kelima, datang menghadap guna melaporkan hasil tugas yang telah dibebankan kepada kami!"

Sunyi sesaat. Lalu dari ruangan di belakang Tirai Darah terdengar satu suara laki-laki yang parau sember dan perlahan namun hebatnya suara yang parau serta perlahan ini sanggup membuat dinding-dinding ruangan berwarna merah jadi bergetar. Tirai Darah bergoyang-goyang sedang cairan merah di dalam Kolam Darah tampak bergelombang-gelombang. Nyatalah bahwa siapapun adanya manusia di belakang Tirai Darah itu memiliki tenaga dalam yang luar biasa hebatnya!

"Beri tahu hasil tugas kalian!" tiba-tiba terdengar satu suara.

Mendengar ini Hulubalang Darah Keempat membuka mulut memberi jawaban. "Kami berdua telah berhasil menangkap hidup-hidup tokoh silat gotongan hitam daerah timur yang bergelar Sepuluh Jari Maut! Sekarang dia berada dalam keadaan pingsan dan ditotok!"

"Bagus!" memuji orang di balik Tirai Darah lalu terdengar suara kekehannya. "Jebloskan dia dalam tahanan. Gantung kaki ke atas kepala ke bawah dan nyalakan api di bawah batok kepalanya! Biar dia tahu rasa!"

Ucapan itu ditutup dengan suara tertawa mengekeh seperti tadi lalu menyusul caci maki kutuk serapah aneh. "Keparat... sialan! Laknat... haram jadah! Terkutuk...! Mampuslah semua! Semua...!"

Ucapan kotor itu masih terus terdengar sampai kira-kira sepeminuman teh. Bila kutuk serapah itu berhenti maka Hulubalang Darah Kelima cepat-cepat membuka mulut.

"Perintah Paduka Yang Mulia segera kami laksanakan!"

Setelah menjura hormat, kedua Hulubalang tadi beserta tawanannya segera meninggalkan tempat tersebut!

DUA

Hulubalang Darah Keempat dan Kelima memasuki sebuah lorong menurun. Di kiri kanan lorong ini banyak sekali cabang cabang lorong yang kesemuanya diterangi dehgan lampu minyak. Dimana-mana kelihatan warna merah darah dan di sini udara jauh lebih pengap dan lebih busuk dari ruangan ruangan lain dalam Istana Darah.

Mereka sampai di hadapan sebuah pintu merah terbuat dari besi dan dijaga oleh dua orang Hulubalang Darah yang memiliki tampang seram bengis. Betapapun bengis gelaknya kedua pengawal pintu besi itu, namun melihat siapa yang datang keduanya segera memberi hormat.

"Atas nama Raja Darah harap kalian buka pintu Penjara Darah!" kata Hutubalang Kelima.

Kedua Hulubalang pengawal meneliti orang berbaju hitam yang dipanggil Hulubalang Keempat. Salah salah seorang dari mereka bertanya,

"Siapa dia?"

"Sepuluh Jari Maut," jawab Hulubalang Keempat dan pengawal yang bertanya tadi lalu memperhatikan sepuluh jari orang yang dipanggul.

Kesepuluh jari itu berkuku panjang dan berwarna hitam legam. Sementara itu pengawal yang satu lagi dari dalam sabuknya mengeluarkan seuntai anak-anak kunci. Dengan salah satu anak kunci dibukanya pintu besi lalu masuk lebih dulu sedang Hulubalang Keempat dan Kelima menyusul mengikutinya.

"Dia adalah tahanan yang keempat sampai." kata pengawal penjara sambil berjalan.

Ruangan yang mereka lewati merupakan sebuah gang selebar tiga tombak dari batu karang atos yang dicat dengan darah. Pada dinding kiri kanan terdapat deretan pintu-pintu besi merah. Deretan-deretan pintu sebelah kiri diberi berangka ganjil sedang deretan sebelah kanan berangka genap. Inilah ruangan Penjara Darah yang terletak di bawah tanah dan memiliki enam puluh buah kamar tahanan.

Di depan pintu yang bertuliskan angka 24 pengawal itu berhenti dan mengeluarkan untaian anak kunci lalu membuka pintu besi. Begitu pintu terbuka dari dalam ruangan menyambarlah hawa dingin lembab yaag busuk luar biasa. Lantai dan dinding serta langit-langit ruangan tahanan merah oleh darah, sebagian masih merupakan cairan sebagian lagi telah kering membeku.

"Nyalakan lampu!" perintah Hulubalang Darah Kelima.

Pengawal segera menyalakan lampu minyak dan kamar tahanan itu kini menjadi cukup terang. Pada dinding sebelah kiri terdapat sebuah rak batu. Di atas rak ini terletak berbagai macam benda penyiksa. Pada langit-langit ruangan tampak sebuah kerekan lengkap dengan tali kawat yang besarnya dua kali ibu jari. Dengan tali kawat ini sepasang kaki tawanan diikat erat-erat lalu tubuhnya dikerek hingga kini jadi tergantung kaki ke atas kepala ke bawah.

Dari rak batu Hulubalang Kelima mengambil sebuah benda berbentuk pendupaan besi yang berisi potongan-potongan benda hitam sebentuk batu bara. Ketika disulut dengan api benda hitam ini langsung terbakar menyala.

"Kita tunggu sampai dia siuman," berkata Hulubalang Darah Keempat.

Tak berapa lama kemudian tawanan yang bergelar Sepuluh Jari Maut itu kelihatan membuka sepasang matanya perlahan-lahan. Mata itu terbuka semakin lebar sewaktu keterkejutan menguasai dirinya. Sepuluh Jari Maut melihat dunia ini terbalik. Kepalanya seperti mau pecah karena jalan darahnya menyungsang sedang di sekelilingnya tampak tiga orang berpakaian serba merah bertampang bengis. Rongga hidungnya sementara itu disambar oleh bau busuk luar biasa.

"Di mana aku...?" desis Sepuluh Jari Maut.

Dicobanya menggerakkan anggota-anggota tubuhnya tapi tak bisa. Sekujuar tubuhnya kaku tegang, sedikitpun tak dapat digerarkkan. Sadarlah Sepuluh Jari Maut bahwa dirinya berada di bawah pengaruh totokan. Dicobanya mengalirkan tenaga dalam untuk memusnahkan totokan tersebut namun sia-sisa. Totokan yang menguasai dirinya bukan totokan sembarangan.

Sepuluh Jari Maut memandang ke atas dilihatnya sebuah roda kerekan besi yang tergantung di langit-langit ruangan, diganduli kawat besar. Ujung kawat itulah yang telah mengikat kedua kakinya dan sakitnya bukan main. Dia memandang kembali pada tiga manusia berpakaian merah basah dan bau itu. Akhirnya dia ingat.

Sebelumnya dia telah bertempur dengan dua di antara tiga manusia tersebut. Dalam jurus kedua puluh tiga dia terpaksa harus menerima satu jotosan keras dari lawan yang tepat mengenai pelipisnya. Selagi dia berdiri nanar dengan pandanyan berbinar-binar, musuhnya yang lain telah menotoknya hingga dia tidak berdaya. Lalu kepalanva dipukul hingga akhirnya dalam keadaan tertotok begitu rupa dia jatuh pingsan.

Nyatalah bahwa kedua musuh tak dikenalnya itu telah membawanya ke tempat tersebut dan menawannya. Dendam dan marah memuncak dalam diri Sepuluh Jari Maut. Rahang-rahangnya menonjol bergemeletukan.

"Tempat celaka apa ini namanya...?!"

Sentak Sepuluh Jeri Maut. Hulubalang Darah Kelima dan Keempat datang mendekat. Di tampang masing-masing menyungging seringai bengis.

"Celaka bagimu, bukan bagi kami!" ujar Hulubalang Darah Kelima.

"Jahanam! Kalian mau bikin apa terhadapku? Aku tidak punya permusuhan apa-apa dengan kalian!"

"Plaakkk...!"

Satu hantaman tamparan yang keras mendarat di pipi Sepuluh Jari Maut. Untuk beberapa lamanya dia terbuai-buai dan berputar-putar sedang pemandangannya mulai gelap.

"Tak tahu diri. Sudah hampir mampus masih berani bicara memaki!" sentak Hulubalang Darah Keempat.

"Puaahhh...!" Sepuluh Jari Maut meludahi muka Hulubalang Darah Keempat.

"Beraninya terhadap musuh yang tidak berdaya!"

"Setan alas!" teriak Hulubalang Darah Keempat. Tinju kiri kanannya menghujani muka tokah silat berbaju hitam itu. Darah mengucur dari hidung, mulut dan matanya.

"Seret pendupaan itu kemari!"

Hulubalang pengawal menyeret pendupaan yang dikobari api lalu meletakkannya tepat di bawah kepala Sepuluh Jari Maut.

"Tadi kau bertanya di mana kau berada," ujar Hulubalang Darah Kelima, ''Ketahuilah bahwa saat ini kau telah dijebloskan ke dalam neraka dunia bernama Penjara Darah!"

Sepuluh Jari Maut kertakkan rahang. Mulutnya dikatupkan rapat-rapat menahan panasnya kobaran api yang menjilat-jilat di bawah kepalanya. Hanya seketika saja dia dapat menahan rasa sakit. Sesaat kemudian dari mulutnya mulai keluar raungan kesakitan yang menggidikkan. Di lain pihak tiga orang Hulubalang yang ada di situ tertawa gelak-gelak.

"Manusia-manusia bejat!" teriak Sepuluh Jari Maut. "Jika aku mati di tangan kalian, kelak aku akan menjelma menjadi setan dan mencekik kalian semua!"

"Kalau begitu biar kupercepat niatmu untuk jadi setan itu!" kata Hulubalang Darah Keempat.

Lalu kawat kerekan diulurkannya ke bawah hingga kepala tawanan itu semakin dekat dengan kobaran api dalam pendupaan besi. Rambutnya yang menjulai mulai terbakar dan menebar bau sangit di ruangan itu. Dari mulut Sepuluh Jari Maut tiada hentinya terdengar jeritan yang mengerikan hingga suaranya menjadi parau.

Saat itu dirasakannya kulit kepala dan tulang tengkoraknya seperti meleleh. Kemudian nafas laki-laki ini mulai megap-megap. Darah yang keluar dari hidung, mulut, mata dan telinganya menetes-netes di atas api dalam pendupaan besi, menimbulkan suara 'cees' yang tiada hentinya.

"Sudah tiba saatnya memanggil tukang-tukang darah itu," kata Hulubalang Darah Keempat pada kawannya Hulubalang Darah Kelima.

Hulubalang Darah Kelima mengangguk lalu melangkah ke pintu. Pada sanding pintu sebelah atas terdapat sebuah tombol merah. Tombol ini selalu terdapat dalam setiap kamar tahanan yang sekaligus merangkap ruang penyiksaan. Tak lama setelah Hulubalang Darah Kelima menekan tombol itu maka masuklah dua laki-laki yang membawa ember-ember besar, masing-masing mengenakan jubah merah. Salah seorang dari mereka, yang barusan mengeluarkan sebuah pisau kecil tajam berpaling pada Hulubalang Darah Keempat dan Kelima.

"Laksanakan tugas kalian cepat!" Kata Hulubalang Darah Keempat.

Lalu bersama Hulubalang Darah Kelima dia meninggalkan ruangan tersebut. Yang tinggal di dalam ruangan tahanan itu kini adalah Hulubalang pengawal dan kedua laki-laki berjubah merah. Ember diletakkan di lantai. Orang berjubah di sisi kiri keluarkan segulung pipa karat warna merah. Dia menggoyangkan kepalanya pada kawannya yang memegang pisau. Si pemegang pisau ini segera mendekati Sepuluh Jari Maut, lalu...

"Craasss....!"

Dengan pisau kecil itu diputusnya urat nadi di leher Sepuluh Jari Maut. Darah menyembur. Pipa karet cepat dihubungkan dengan nadi yang putus. Darah dari tubuh Sepuluh Jari Maut mengalir melewati pipa karet terus masuk ke ember sedang Sepuluh Jari Maut sendiri saat itu megap-megap dan akhirnya meregang nyawa dengan cara mengenaskan.

********************

TIGA

Laksana anak-anak panah yang lepas dari busurnya, dua ekor kuda coklat itu berlari kencang membawa penunggangnya masing-masing. Penunggang kuda yang pertama adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahunan, berpakaian biru sedang kawannya seorang dara berkulit hitam manis dan mengenakan pakaian ringkas kuning muda.

"Bisakah kita sampai sebelum malam ke tempat guru?" bertanya sang dara tanpa memalingkan kepalanya.

"Kurasa bisa. Tapi agaknya kita bakal mendapat kesiangan di tengah jalan, adikku," menjawab si pemuda.

"Halangan apa maksudmu?"

"Lihatlah ke langit..."

Gadis itu mendongak ke atas. Seat itu baru disadarinya bahwa langit di atas sana telah gelap oleh gumpalan-gumpaian awan hitam. Kemendungan meliputi hampir seluruh tempat.

"Kalau hanya hujan itu tidak menjadi halangan bukan?" ujar sang dara.

"Memang bukan halangan. Tapi jalan yang bakal kita tempuh, yang mendaki dan berbatu licin berlumut, serta diapit oleh jurang-jurang terjal... Itulah halangan yang kumaksudkan"

"Mudah-mudahan saja hujan tidak turun dalam waktu cepat," kata si gadis lalu menyentakkan tali kekang kudanya.

Binatang itu mendongak ke depan dan mempercepat larinya. Pohon-pohon yang dilalui laksana terbang ke belakang. Kira-kira sepenanakan nasi berlalu ternyata hujan belum juga turun walau angin bertiup keras menderu-deru. Sewaktu si gadis mendongak lagi ke atas dilihatnya gumpalan-gumpalan awan hitam mulai pupus sekelompok demi sekelompok. Udara yang tadi mendung kini berangsur cerah.

"Nah, apa kataku! Kita beruntung. Hujan tak jadi turun," kata gadis itu pula.

Si pemuda hanya tersenyum mendengar ucapan adik seperguruannya itu, lalu berkata, "Kalau begitu kita memang bisa sampai sebelum malam turun. Berarti kau bakal bertemu dengan orang yang kau kasihi lebih cepat. Bukankah itu yang kau inginkan?"

Sang dara cemberut. Kedua pipinya kelihatan menjadi merah. Pemuda yang berkuda disampingnya tersenyum. Namun laksana direnggutkan setan demikianlah pupusnya senyuman si pemuda sewaktu di hadapan mereka tiba-tiba berkelebat dua bayangan merah dan dua sosok tubuh manusia aneh sesaat kemudian sudah berdiri menghadang di tengah jalan.

Kedua saudara seperguruan itu sama-sama terkejut bukan main dan serta merta menghentikan kuda masing-masing. Bau busuk menyambar dari tubuh para penghadang yang mengenakan pakaian merah basah sedang wajah masing-masing ditutupi oleh cairan yang setengah membeku. Salah seorang penghadang bertolak pinggang dan maju mendekati.

"Supaya tidak banyak susah, lekas kalian serahkan diri dan jangan melawan!" katanya.

"Kalian siapa dan punya maksud apa?" bertanya pemuda baju biru dengan nada tinggi dan sikap gagah.

"Kami adalah Hulubalang-Hulubalang Istana Darah!" jawab orang yang bertolak pinggang.

"Istana Darah?!" mengulang si pemuda dengan terkejut.

Kedua Hulubalang Darah tertawa mengekeh. "Kalau sudah tahu kenapa tidak lekas turut perintah?"

"Turut perintahmu? Siapa yang sudi. Lekas minggir. Kami mau meneruskan perjalanan!" membentak gadis berbaju kuning.

"Ohoo... galaknya!" jawab Hulubalang Darah yang menghadang dengan bertolak pinggang.

"Kami tidak punya waktu banyak untuk bicara segala pepesan kosong. Beri jalan. Kalau tidak kalian akan menyesal!" Kini pemuda baju biru berikan perlingatan.

"Pemuda sombong takabur! Kau tak akan kuberi hidup lebih lama!"

Hulubalang Darah yang tegak di sebelah kanan menerjang ke depan dengan gerakan cepat sekali. Tak ayal si pemuda segera cabut pedang di pinggangnya. Sinar putih mencuat memapas serangan Hulubalang Darah. Tapi percuma. Di lain kejap terdengar jerit pemuda baju biru itu. Tubuhnya mencelat mental dari atas punggung kuda yang ditungganginya, sedang pedangnya ikut terlepas mental.

"Manusia rendah! Matilah!"

Satu bentakan datang dari samping yang disusul dangan sembaran pedang ke arah batang leher Hulubalang Darah. Yang diserang cukup dibikin kaget namun tidak menjadi gugup. Di Istana Darah dia adalah Hulubalang Darah Ketujuh yang mempunyai kepandaian tidak rendah.

Sekali berkelit dia berhasil mengelakkan sambaran pedang, kemudian dengan satu gerakan kilat dia berhasil memukul mental pedang di tangan lawan. Si gadis mengeluh kesakitan sambil pegangi lengannya yang menjadi merah bengkak. Hulubalang Darah Ketujuh menyeringai mengejek.

"Gadis manis sepertimu ini tidak seharusnya berlaku begitu galak terhadapku. Nah sekarang kalian mau menyerah baik-baik atau bagaimana?"

"Baik... aku akan menyerah" jawab si gadis. "Tapi..." di gerakkannya tangannya.

"Tapi apa?" tanya Hulubalang Darah Ketujuh.

"Makan dulu jarumku ini!" seru sang dara baju kuning dan sesaat kemudian begitu dia gerakkan tangan kanan puluhan jarum berwarna kuning melesat tanpa suara ke arah dua belas jalan darah di tubuh Hulubalang Darah Ketujuh!

"Gadis binal!" hardik Hulubalang Darah Ketujuh marah. Dikebutkannya lengan pakaiannya. Puluhan jarum yang menyerang serja merta mental dilanda angin dahsyat yang keluar dari ujung lengan pakaian itu.

Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, pemuda baju biru berseru. "Mia! Larilah! Lari lekas! Biar aku yang menghadapi begundal-begundal jahat ini."

Dari pertempuran yang baru berjalan beberapa gebrakan itu si pemuda sudah menyadari bahwa walau bagaimanapun tidak mungkin bagi mereka untuk menghadapi kedua lawan yang memiliki kepandaian begitu tinggi. Karenanya demi keselamatan adik seperguruannya dia bersedia korbankan nyawa.

"Tidak kangmas! Mati bersama di tempat ini adalah lebih baik daripada lari!" jawab Miani yang membuat kakak seperguruannya menjadi kaget.

Gadis ini rupanya juga sudah menyadari nasib apa yang bakal dihadangnya namun sedikitpun tidak merasa gentar. Dengan sepasang tangan kosong terpentang Miani maju ke hadapan Hulubalang Darah Ketujuh, Yang ditantang ganda tertawa dan berpaling pada temannya.

"Hulubalang Sebelas, kau bereskan pemuda itu. Aku akan tangkap hidup-hidup perawan galak ini dan membawanya ke Istana!"

Hulubalang Darah Kesebelas maju ke hadapan pemuda baju biru. Pemuda ini berada dalam keadaan terluka parah di sebelah dalam akibat jotosan Hulubalang Ketujuh tadi. Namun demikian dengan sisa kekuatan yang ada dan penuh keberanian si pemuda melangkah ke hadapan Hulubalang Kesebelas. Tangan kirinya tiba-tiba melepaskan dua puluh jarum biru sedang tangan kanan diayunkan ke batok kepala lawan. Serangan ini disertai dengan satu loncatan cepat sehingga Hulubalang Kesebelas tidak berani bertindak sembrono.

Dengan berkelit ke samping dan seraya melepaskan satu pukulan tangan kosong ke udara, serangan-serangan jarum biru berhasil dilewatkan oleh Hulubalang Darah Kesebelas. Untuk menghadapi serangan lawan yang kedua yaitu jotosan keras pada batok kepalanya, Hulubalang Darah Kesebelas memukulkan tangannya ke atas dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya.

Dalam keadaan terluka begitu rupa bentrokan lengan adalah sangat berbahaya bagi pemuda baju biru. Walaupun tenaga dalamnya lebih tinggi sekalipun belum tentu keselamatan dirinya akan terjamin. Karenanya begitu lawan memukulkan lengannya ke atas, pemuda baju biru menjejak tanah dan melompat satu tombak. Bersamaan dengan itu kaki kanannya menderu ke dada lawan!

Hulubalang Darah Kesebelas tidak menyangka kalau bakal mendapat serangan hebat begitu rupa. Saat itu dia tengah memusatkan perhatian dan sebagian tenaga dalamnya untuk melakukan bentrokan lengan. Tubuhnya telah mendongak ke atas dan dalam kedudukan seperti itu cukup sulit untuk menyelamatkan dadanya dari tendangan si pemuda.

Namun adalah percuma dia menjabat kedudukan Hulubalang di Istana Darah kalau serangan begitu saja dia tidak sanggup menghadapinya. Dengan berteriak keras dahsyat Hulubalang Darah Kesebelas berkelebat. Tubuhnya hanya merupakan bayangan merah dan sebelum pemuda baju biru dapat memastikan di sebelah mana lawannya berada, tahu-tahu satu pukulan menghantam dadanya, tepat di bekas jotosan Hulubalang Ketujuh sebelumnya. Tak ampun lagi pemuda itu muntah darah dan tersungkur ke tanah!

"Kangmas Widura!" pekik Miani.

"Mia! Lari! Selamatkan dirimu!" seru pemuda baju biru yang bernama Widura sementara nafasnya mulai megap-megap.

Bukannya lari sebaliknya Miani malah menubruk kakak seperguruannya. Namun sebelum dia sempat berbuat suatu apa, satu totokan telah bersarang di punggungnya membuat gadis ini melosoh tak berkutik lagi. Hanya mulutnya saja yang masih bisa mengeluarkan suara memaki dan mengutuki kedua manusia berbaju merah itu.

Hulubalang Darah Ketujuh membungkuk merangkul tubuh Miani lalu memanggulnya di bahu kiri. Dia berpaling pada kawannya dan menggoyangkan kepala. "Lekas selesaikan pekerjaanmu."

Dari balik pakaiannya Hulubalang Darah Kesebelas mengeluarkan sebuah kantong karet yang pada salah satu ujungnya terdapat pipa sepanjang tiga jengkal. Setelah mengeluarkan pula sebilah pisau kecil yang amat tajam dan berkilat-kilat ditimpa sinar matahari maka diapun melangkah mendekati tubuh Widura yang saat itu tidak berkutik dan menggeletak di tanah tengah meregang nyawa. Hulubalang Darah Kesebelas membungkuk. Tangannya yang memegang pisau bergerak ke pangkal leher Widura.

"Manusia biadab! Laknat terkutuk! Apa yang kau lakukan itu?!" teriak Miani sewaktu menyaksikan bagaimana Hulubalang Darah Kesebelas memutus urat nadi di leher Widura dengan pisau kecil lalu menghubungkan ujung pipa karet dengan urat nadi yang menyemburkan darah.

Sesaat kemudian kantong karet itu kelihatan mulai menggembung tanda darah korban telah mengalir masuk. Hulubalang Darah Ketujuh menepuk-nepuk pinggul Miani sambil tertawa gelak-gelak.

"Gadis molek. Kau tenang sajalah. Bagusnya berhenti berteriak agar suaramu yang merdu tidak menjadi parau!"

"Kalian manusia-manusia terkutuk! Lebih kejam dan lebih buas dari binatang!" teriak Miani lalu berulang kali diludahinya muka Hulubalang Darah Ketujuh.

"Sialan! Kalau kau bukan gadis manis sudah tadi-tadi kuremas hancur mulutmu!" hardik Hulubalang Darah Ketujuh marah. Ditariknya pakaian kuning si gadis dan disekanya mukanya yang penuh ludah. "Seharusnya kau merasa gembira dan bangga karena darah kawanmu itu mendapat kehormatan untuk dipakai sebagai cat istana Darah!"

Tiga perempat kantong karet telah penuh dengan darah Widura. Ketika tak ada lagi darah yang mengalir masuk ke dalam kantong itu Hulubalang Darah Kesebelas mencabut pipa lalu membuhulnya. Dia berdiri dan memanggul kantong berisi darah itu.

"Atas semua hasil ini kita pasti mendapat pahala besar dari Raja," kata Hulubalang Darah Kesebelas dengan tertawa lebar.

"Yang jelas," menyahuti Hulubalang Darah Ketujuh. "Gadis manis ini akan dihadiahkan padaku. Dia menelentang di tempat tidurku sebelum keputusan Raja datang untuk mencabut nyawanya!"

Merinding bulu roma Miani mendengar ucapan itu. Dia berteriak keras. "Lepaskan aku! Jangan bawa ke Istana Darah! Kalian jahanam! Lepaskan aku!"

Hulubalang Darah Ketujuh cuma tersenyum. Diciumnya tengkuk gadis itu penuh nafsu lalu bersama kawannya meninggalkan tempat itu dengan cepat.

********************

EMPAT

Pagi itu udara sejuk nyaman dan cerah. Sekelompok awan berarak dihembus angin melewati puncak gunung Raung. Dari kawah gunung berapi itu mengepul asap putih kelabu yang kemudian menjadi satu dengan awan yang bergerak. Di salah satu lereng gunung itu terdapatlah sebuah pertapaan. Pertapaan ini merupakan sebuah goa yang bagian dalamnya dipakai sebagai tempat kediaman.

Saat itu di mulut goa, di atas sebuah batu besar berwarna hitam legam dan berbentuk setengah lingkaran, duduklah seorang Brahmana berselempang kain putih. Kedua tangannya diletakkan di atas paha sedang sepasang matanya terpejam. Nyatalah Brahmana ini tengah mengheningkan ciptarasa atau tengah bersemedi. Rambutnya yang putih menyeka bahu melambai-lambai ditiup angin pagi.

Semakin naik matahari, semakin khusus Brahmana ini bersemedi. Di lain bagian dari lereng gunung, di bawah sebuah air terjun kecil kelihatan seorang pemuda bertubuh tinggi langsing dan hanya mengenakan sehelai cawat tengah berkelebat kian kemari. Di tangan kanannya ada sepotong bambu hijau yang digerakkan demikian rupa ke berbagai jurusan hingga menimbulkan suasana menderu-deru.

Demikian cepatnya gerakan itu hingga bentuk bambu itu hanya merupakan sambaran sinar hijau belaka. Sambil melompat gesit di atas batu-batu air yang licin berlumut pemuda itu bergerak mendekati air terjun. Bambu hijau di tangan kanannya disabatkan sejarak setengah tombak dari air terjun dan brass! Air terjun muncrat jauh lalu baru mengalir lagi seperti sebelumnya!

Beberapa kali hal ini dilakukan si pemuda dan hatinya baru merasa puas. Kemudian dia berdiri di atas ujung sebuah batu licin hanya mengandalkan sebelah kaki kiri yang dijingkatkan. Bambu hijau disabatkan pulang balik beberapa kali memapas air terjun. Ketika ditelitinya bambu itu, tak setetespun air melekat di situ. Si pemuda tersenyum gembira. Bukan saja bambu tidak basah tetapi daya dorong tenaga raksasa air terjun tak sanggup menggoyahkan kakinya yang berpijak di batu licin!

"Kepandaianku telah maju pesat!" kata pemuda ini dalam hati. Dia hendak mencoba kembali. Namun saat itu tiba-tiba di telinganya mengiang nasehat gurunya.

"Ketinggian ilmu itu tidak ada batasnya. Karenanya seseorang tak boleh berlaku lekas puas, apalagi sombong."

Pemuda bercawat itu kemudian melompat-lompat lagi di atas bebatuan dan tangannya tiada henti memainkan bambu hijau itu dalam gerakan-gerakan ilmu pedang yang mengagumkan. Kira-kira sepeminuman teh berlatih dia hentikan semua gerakannya dan duduk berjuntai di cabang sebuah pohon. Dia berlaku demikian bukan karena letih tapi karena saat itu satu pemikiran muncul dikepalanya.

"Heran, seharusnya mereka sudah tiba di pertapaan selambat-lambatnya siang kemarin. Kenapa sampai pagi ini masih belum muncul?"

Selagi dia berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara memanggil laksana ditiupkan oleh angin dan bergema di sekitar tempat itu, apapun adanya yang bicara nyatalah dia memiliki sejenis ilmu mengirimkan suara dari jarak jauh yang hebat sekali.

"Panji kemarilah!" Seraya melompat enteng dari cabang pohon pemuda bercawat itu membuka mulutnya dan berseru menjawab.

"Saya datang Eyang!" Laksana seekor burung terbang Panji Kenanga berlari melompati lereng berbatu-batu dan akhirnya sampai di satu jalan kecil yang menuju ke pertapaan. Begitu sampai di hadapan Brahmana tua si pemuda menjura hormat lalu duduk bersila dan bertanya.

"Ada apa Eyang memanggil saya?"

"Kau habis berlatih...?"

"Betul sekali Eyang."

"Bagaimana, apakah ada kemajuan kau rasakan?"

"Berkat petunjuk Eyang mudah-mudahan ada," jawab Panji Kenanga. Lalu dia berdiam diri menunggu penjelasan dari gurunya mengapa dia dipanggil.

"Aku barusan selesai bersemedi, muridku," kata Brahmana tua tersebut. "Dalam semediku aku mendapat firasat bahwa sesuatu telah terjadi atas diri Widura dan Miani. Kalau tidak mustahil sampai saat ini mereka masih belum sampai di sini."

"itu memang ada terpikir oleh saya, Eyang," jawab Panji Kenanga. "Karenanya mohon petunjuk Eyang lebih lanjut."

"Mereka berdua masih hijau dalam rimba persilatan, Untuk sekedar mencari pengalaman mereka ku lepas selama satu bulan. Dan nyatanya kini telah lebih waktu tersebut dan mereka belum juga kembali. Cobalah kau turun gunung dan menyelidiki keadaan sekitarnya. Kuharap saja tidak terjadi apa-apa dengan mereka."

"Perintah Eyang akan saya laksanakan," kata Panji Kenanga. "Izinkan saya bersalin pakaian dulu." Pemuda ini hendak berdiri tapi tak jadi karena gurunya dilihatnya menggerakkan tangan memberi isyarat.

"Satu hal penting kau ketahui, Panji," kata sang Brahmana. "Dalam dunia persilatan kini tengah mengamuk satu angkara murka. Angkara murka itu didalangi oleh manusia-rnanusia berkepandaian tinggi yang menyebut dirinya Hulubalang Istana Darah. Mereka berjumlah banyak namun tidak diketahui siapa yang memimpin mereka."

"Kejahatan apakah yang telah mereka lakukan Eyang?"

"Menculik dan membunuh setiap manusia berilmu."

"Alasan mereka berbuat begitu?" tanya Panji Kenanga lebih jauh.

"Sebegitu jauh belum diketahui. Namun dari apa yang kudengar setiap korban yang mereka bunuh tidak berdarah lagi dalam tubuhnya. Aku kawatir kalau-kalau kedua saudaramu telah menjadi korban manusia-manusia penghisap darah itu."

"Saya akan selidiki Eyang dan tak kembali sebelum menemukan keduanya. Mudah-mudahan tidak terjadi suatu apa dengan mereka."

Sang guru mengangguk. Panji Kenanga berdiri dan meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dia muncul kembali sudah berpakaian rapi.

"Bawalah Angin Salju dan juga kau boleh bawa senjata ini," kata si Brahmana seraya mengeluarkan sebilah pedang bergagang gading.

Terkejutlah Panji Kenanga dan buru-buru berlutut, "Eyang, apakah Eyang mempercayakan saya membawa pedang Gajah Biru ini?" tanya Panji Kenanga sewaktu melihat gurunya mengangsurkan pedang mustika itu.

"Kalau tidak percaya masakan kuserahkan," jawab sang guru kepada muridnya. "Pergunakan sebaik-baiknya, terutama dalam keadaan dirimu diancam bahaya."

"Terima kasih atas kepercayaanmu Eyang." Dengan membungkukkan tubuh Panji kenanga menerima senjata tersebut lalu memasukkannya ke balik punggung pakaiannya. "Sekarang saya minta diri, Eyang dan mohon doa restu mu," kata Panji Kenanga.

Dia menjura sampai tiga kali lalu membalikkan tubuh. Seat itu dihadapannya telah berdiri seekor kuda putih tinggi den tegap. Karena larinya yang cepat laksana angin den bulunya yang mulus putih laksana salju, oleh Brahmana binatang ini diberi nama Angin Salju. Panji Kenanga melompat ke punggung Angin Salju.

Sebelum berlalu binatang yang jinak dan cerdik ini enggoyangkan kepalanya beberapa kali pada sang Brahmana, lalu meringkik tiga kali seolah-olah mengucapkan selamat tinggal mohon diri.

Hujan lebat mendera bumi sewaktu Panji Kenanga bersama angin Salju berada setengah hari perjalanan dari kaki gunung Raung.

"Kita harus mencari tempat berteduh sobatku." kata si pemuda pada kuda tunggangannya.

Angin Salju bukanlah seekor kuda biasa. Binatang ini tajam penca inderanya dan cerdik serta memahami apa-apa kata dan maksud majikannya. Dengan cepat dia memutar tubuh dan laksana anak panah melesat menuju segerombolan pohon-pohon yang berdaun sangat lebat. Demikian lebatnya dedaunan pohon-pohon ini hingga tak setetespun air hujan dapat menembus tanah di bawahnya.

"Matamu tajam den cepat mencari tempat berteduh yang baik," kata Panji Kenanga saraya mengelus tengkuk Angin Salju.

Binatang itu menggerak-gerakkan kedua daun telinganya tanda gembira atas pujian itu. Sementara itu hujan turun semakin lebat. Di antara deru air hujan yang laksana dicurahkan dari langit, tiba-tiba Panji Kenanga mendengar suara berdering-dering tiada hentinya. Dia memandang berkeliling. Tak seorang pun manusia yang kelihatan. Tak sesuatu benda hiduppun yang tampak. Tapi anehnya suara berdering-dering itu terdengar semakin keras.

"Apakah ada iblis atau setan yang menghuni tempat ini dan hendak menakut-nakutiku?" pikir Panji Kenanya dalam hati.

Lalu turun dari kudanya. Sebagai orang yang menguasai ilmu silat tingkat tinggi serta kesaktian dengan sendirinya Panji Kenanga memiliki pendengaran tajam. Namun sekali ini dia terpaksa berjalan hilir mudik seketika, baru dapat mengetahui sumber datangnya suara berdering-dering itu. Dan sewaktu sampai di tempat tersebut melengaklah Panji Kenanga.

Di bawah sebatang pohon berdaun lebat, duduk bersandar seorang lelaki berkepala botak bercelana tipis dan kurus hingga tulang-tulangnya kelihatan jelas bertonjolan. Setiap saat orang berkepala botak ini menggerak-gerakkan kedua tangannya melemparkan sepuluh mata uang emas ke udara, lalu menyambutnya kembali, melemparkannya lagi dan menyambutnya kembali, demikian terus menerus tiada henti.

Untuk sesaat lamanya Panji Kenanga menjadi takjub. Sepuluh mata uang emas bukan satu jumlah yang sedikit. Hanya hartawan kaya raya yang punya uang sebegitu. Kemudian sepuluh mata itu dilemparkan ke udara dan bertebar demikian rupa bukan suatu hal yang mudah untuk ditangkap kembali kesepuluh-sepuluhnya dengan kedua tangan tanpa ada satupun yang jatuh. Dan hal ini dilakukan berulang-ulang oleh si botak itu dengan sikap acuh tak acuh!

"Siapakah si botak ini?" pikir Panji Kenanga.

Pemuda ini melangkah lebih dekat. Astaga! Terkejutlah Panji Kenanga. Betapakan tidak. Ternyata si botak bercelana komprang ini buta kedua matanya! Bagaimana dia memiliki kepandaian melempar dan menyambut sepuluh mata uang seperti itu? Benar-benar aneh. Panji Kenanga melangkah lebih dekat.

LIMA

"Bapak, siapakah kau?" tanya Panji Kenanga menegur.

Si botak tak menjawab. Menggerakkan kepalanyapun tidak. Malah terus asyik melempar-lemparkan sepuluh mata uang emas itu ke udara. Panji Kenanga mengulang kembali pertanyaannya. Si botak tetap tak menjawab. Terus saja asyik bermain-main dengan mata uang emasnya. Memikir mungkin manusia tak dikenal ini tuli maka dia kemudian menegur lebih keras. Aneh. Si botak tiba-tiba tertawa mengekeh,

"Hup!" seru si botak tiba-tiba. Sepuluh uang emas dilemparkannya tinggi-tinggi ke udara. Seperti daun-daun kering yang dihembus angin uang-uang emas itu melayang turun perlahan-lahan, kemudian satu dcmi satu jatuh menempel di atas kepala botak si orang aneh, tersusun rapi.

Hampir saja Panji Kenanga berseru kagum melihat hal ini. Seorang yang tidak memiliki tenaga dalam tinggi luar biasa pasti tak bakal sanggup melakukan hal itu. Bahkan dia meragu apakah gurunya bisa berbuat begitu. Si botak yang kini 'bertopikan' uang emas kembali tertawa mengekeh. Tawanya tiba-tiba lenyap. Sebagai gantinya dari mulutnya kini terdengar suara nyanyian aneh,

Sejak lahir menderita buta Sekeliling serba gelap gulita Banyak berjalan banyak didengar Datang bertanya seorang sahabat Sungguh sayang belum bisa kujawab.

Dan sehabis menyanyi ini, orang itu kembali tertawa mengekeh sedang sepuluh keping uang emas masih terus menempel di kepalanya yang botak!

"Kalau kau tak mau menerangkan nama tak menjadi apa. Aku tak bakal mengganggu lebih lama," kata Panji Kenanga. Lalu pemuda ini memutar tubuh meskipun hatinya penuh diliputi rasa ingin tahu siapa gerangan adanya si botak aneh bermata buta ini.

"Hai! Tunggu dulu!" si botak tiba-tiba berseru. "Sebelum pergi kau dengarlah satu lagi nyanyianku."

Panji Kenanga hentikan langkah. Si buta goyangkan kepala botaknya. Sepuluh keping uang emas yang ada di atas kepalanya melayang ke atas, disambutnya lalu dilemparkannya kembali seperti tadi sehingga mengeluarkan suara berdering. Dan suara berdering ini dengan teratur menimpali suara nyanyian yang dibawakannya.

Seorang muda datang menunggang Angin Salju
Bertanya tapi tak terjawab
Entah ke mana gerangan menuju
Tapi apakah sudi mendengar nasihat?
Berjalan terus ke utara
Akan ditemui kejahatan berdarah
Pembalasan memang sudah wajar
Tapi terlalu banyak musuh harus dihajar
Kalau ditemui keadaan yang mengharukan
Jangan sampai nafsu dendam memperdayakan
Pembalasan harus memakai akal pikiran
Agar selamat nyawa di badan.


Sepuluh keping uang emas dilemparkan tinggi-tinggi ke udara lalu seperti tadi melayang turun perlahan-lahan laksana ditarik oleh suatu kekuatan gaib yang tak kelihatan, mata-mata uang tersebut mendarat satu demi satu di kepala botak si orang tua.

Di lain pihak Panji Kenanga heran dan kaget bukan main. Bagaimana manusia botak buta tak dikenal ini tahu kalau dia menunggang Angin Salju. Apa arti kalau ditemui keadaan yang mengharukan? Mengapa dia disuruh berjalan ke arah utara? Setelah meragu sejenak Panji akhirnya bertanya.

"Bapak yang pandai, bagaimana kau tahu nama kudaku dan sesungguhnya apa maksudmu dengan nyanyian tadi?"

Si botak mata buta menguap lebar-lebar. Disandarkannya pungung dan kepalanya ke batang pohan di belakangnya lalu tidur dengan mendengkur.

Bagaimanapun Panji Kenanga berseru keras memanggil, tetap saja dia terus ngorok. Panji Kenanga geleng-gelengkan kepala. "Manusia aneh," katanya dalam hati.

Karena saat itu hujan telah berhenti, setelah memikirkan makna nyanyian si botak tadi maka akhirnya Panji Kenanga naik ke punggung kudanya, langsung menuju ke utara. Setelah merancah jalan yang becek akibat air hujan, Panji Kenanga menemui sebuah lereng pendek berbatu-batu.

Di seberang lereng tersebut, diantara pepohonan yang bertumbuhan di sana sini dilihatnya sebuah jalan kecil berliku-liku. Apa yang menarik perhatian pemuda ini adalah kekeringan yang menyelimuti daerah di seberang lereng berbatu-batu itu.

Rupanya hujan tidak turun di daerah itu. Panji Kenanga menyentakkan tali kekang. Angin Salju kembali menggerakkan keempat kakinya. Tak lama kemudian kedua makhluk itu telah menempuh jalan kecil yang sebelumnya terlihat dari atas lereng.

Ada kira kira setengah peminuman teh melintasi jalan itu tiba-tiba Angin Salju tanpa diperintahkan menghentikan larinya, mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi lalu meringkik dahsyat!

"Kalau bukannya ada bahaya atau sesuatu yang luar biasa di depan sana, tentu binatang ini tak akan meringkik begini rupa," membatin Panji Kenanga, Dia melompat dari punggung Angin Salju. Diusapnya tengkuk binatang ini beberapa kali seraya berkata, "Tenang sobatku, tenang..."

Si pemuda kemudian melangkah mengikuti Angin Salju yang telah lebih dulu bergerak ke depan. Belum lagi dua puluh langkah berjalan, Panji Kenanga mulai melihat bekas-bekas perkelahian di jalan sempit itu. Semak belukar banyak yang rambas sedang di tanah ada noda-noda hitam membeku. Pemuda ini melangkah terus. Tepat pada langkah yang keempat puluh, kedua kakinya laksana di pantek ke tanah. Mukanya berubah. Untuk seketika dia tidak dapat bergerak seperti patung.

"Widura!" serunya sesaat kemudian lalu menghambur ke muka. Di tepi jalan tergelimpang sesosok tubuh berpakaian biru. Muka dan bagian tubuhnya yang tidak tertutup pakaian kelihatan pucat sekali laksana kain kafan. Di sampingnya, diatas tanah tampak noda-noda hitam. Ini adalah darah yang telah membeku. Dan sosok tubuh itu adalah Widura yang telah jadi mayat.

Panji Kenanga berlutut di samping jenazah adik seperguruannya. Tubuhnya bergetar. Rahangnya terkatup rapat-rapat menahan geram. Dia duduk di tanah memangku kepala Widura yang pucat tiada berdarah. Saat itulah dilihatnya urat nadi yang putus di bagian leher! Ini adaiah aneh. Luka yang terlihat di leher itu jelas bukan luka bukan luka akibat perkelahian. Lalu paras dan sekujur tubuh yang pucat pasi seperti tidak berdarah itu, apakah yang menyebabkannya?

Panji Kenanga lantas ingat pada keterangan gurunya. Yaitu bahwa dunia persilatan tengah dilanda malapetaka yang disebabkan oleh orang dari Istana Darah. Bukan mustahil manusia-manusia terkutuk itulah yang telah membunuh Widura. Tetapi tubuh yang seolah-olah kempes tanpa berdarah? Apakah mungkin disedot? Geraham Panji Kenanga bergemeletakan. Dia teringat Miani. Bagaimana dan di mana gadis itu sekarang?

Panji Kenanga memandang berkeliling dengan hati perih. Hatinya bergetar ketika pandangannya membentur gurat garet di tanah yang merupakan tulisan yang hampir pupus oleh udara. Tulisan itu tidak begitu jelas namun sedikit demi sedikit, dengan susah payah berhasil juga disambung-sambung oleh si pemuda dan ternyata berbunyi.

Kalau terjadi apa-apa dengan diriku, yang menyebabkannya adalah manusia-manusia terkutuk dari Istana Darah. Mereka juga bertanggung jawab atas keselamatan jiwa dan kehormatan Miani. Widura

Panji Kenanga kerenyitkan kening. Dia berpikir. Bagaimana Widura bisa meninggalkan pesan begitu? Dan kapan dibuatnya? Atau mungkin dia sudah menduga ada bahaya terlebih dahulu hingga siang-siang telah membuat tulisan begitu rupa? Tentu saja semua pertanyaan itu tak bisa dijawab oleh Panji Kenanga. Dia hanya bisa menduga-duga. Sebenarnya bagaimana dan kapankah Widura membuat tulisan di tanah yang berupa pesan itu?

Pada waktu dia pertama kali dihajar oleh Hulubalang Darah Ketujuh sehingga mental dari atas kuda dan terguling di tanah, Widura yang berotak cerdik segera memaklumi bahwa lawan-lawannya bukanlah orang sembarangan. Apalagi sesudah diketahuinya bahwa manusia berpakaian serba merah itu adalah Hulubalang-hulubalang Istana Darah yang rata-rata berkepandaian sangat tinggi dan bukan tandingannya.

Yakin kalau dirinya tak bisa lolos dari bahaya maut sedang untuk menyerah atau lari dia tak mau melakukannya, di samping itu menyadari pula bahwa kedua hulubalang Darah itu pasti akan menangkap Miani hidup-hidup, maka selagi tertelungkup di tanah dengan cepat diguratnya tulisan yang merupakan pesan itu dengan ujung jarinya yang dialiri tenaga dalam. Apa yang dikerjakan oleh Widura sama sekali tidak terlihat oleh Hulubalang Darah Ketujuh karena saat itu Hulubalang Darah Ketujuh tengah sibuk menghadapi serangan pedang Miani.

"Tepat seperti apa yang diduga oleh guru," kata Panji Kenanga dalam hati. "Walau bagaimanapun aku tak akan berpangku tangan. Sekalipun menyabung nyawa ke lautan api, hutang nyawa ini harus kubalaskan. Apalagi Miani pasti berada di tangan keparat-keparat durjana itu!"

Panji Kenanga berdiri. Didukungnya jenazah adik seperguruannya dan diletakkannya di bawah satu pohon yang rindang. Di bagian lain dari pohon dengan sebisa-bisanya dia mulai menggali sebuah lobang. Lalu jenazah Widura dikuburkannya ke dalam lobang itu. Setelah ditimbun dengan tanah, makam itu ditutupnya dengan batu-batu agar tidak dikorek oleh binatang buas.

Setelah merenung sejenak di hadapan makam adik seperguruannya itu, Panji Kenanga lalu melangkah ke tempat Angin Salju tegak menunggu. Saat itu juga dia memutuskan untuk mencari di mana letak Istana Darah. Namun mendadak dia ingat kembali pada si botak bermata buta yang sebelumnya telah ditemuinya.

"Manusia itu aneh," kata Panji dalam hati. "Dia sama sekali tidak mau mernberi tahu siapa dirinya. Bukan mustahil dia adalah salah seorang bergundal Istana Darah. Aku harus meyakinkan dulu siapa dia sebenarnya."

Berpikir sampai di situ Panji lantas memutar kudanya. Ketika dia kembali ke tempat dimana sebelumnya dia bertemu dengan orang aneh berkepala botak itu, didapatinya manusia ini masih duduk di bawah pohon dan tidur mendengkur. Kepingan sepuluh uang emas masih bertempelan rapi di kepalanya.

"Bapak bangunlah!" kata Panji dengan suara keras.

Dia berseru sampai beberapa kali tapi orang itu masih saja terus tidur lelap. Panji jadi penasaran. Tapi apa yang harus dilakukannya? Jika nyata-nyata dia tahu si botak ini benar-benar kaki tangan Istana Darah tentu dia tak perlu repot-repot pakai membangunkan segala, langsung menghajarnya. Namun karena dia belum punya bukti-bukti maka dia tak mau kesalahan turun tangan.

Akhirnya dengan mengkal Panji Kenanga duduk di bawah sebatang pohon yang berhadap-hadapan dengan si botak. Ketika matahari sudah jauh condong ke barat si botak masih juga belum bangun. Bahkan ketika matahari masuk ke ufuk tenggelamnya di sebelah barat dan hari mulai gelap, si botak masih saja terus ngorok.

"Tak mungkin kutunggu lebih lama!" kata Panji Kenanga. "Dia harus dibangunkan dengan tangan atau dengan kaki!"

Si Pemuda melangkah mendekati si botak yang mendengkur di bawah pohon. Tangannya diulurkan untuk menepuk bahu orang itu. Namun sebelum tangannya menyentuh tubuh si botak satu bentakan menggeledek di seantero tempat itu.

"Ini dia bangsatnya yang kucari-cari!"

Bentakan itu disusul dengan berkelebatnya satu bayangan tubuh manusia. Panji Kenanga kaget bukan main dan cepat berpaling.

ENAM

Di hadapan Panji Kenanga saat itu berdiri seorang lelaki berbadan gemuk seperti bola. Rambut dan wajahnya dicat dengan cairan berwarna biru. Kedua tangannya sebatas sikut juga berwarna biru. Manusia ini memandang buas pada si botak yang saat itu masih asyik tertidur pulas. Lalu dia memalingkan kepala pada Panji Kenanga. Dari mulutnya terdengar suara macam harimau menggereng.

"Kau tentu kambratnya Si Botak Mata Buta ini!" damprat orang bermuka biru seraya melangkah mendekati Panji Kenanga dengan kedua tangan terpentang.

"Aku tidak ada sangkut paut apa-apa dengan dia. Kenalpun tidak. Kau sendiri siapa?" bertanya Panji Kenanga.

Si gendut tidak perdulikan pertanyaan Panji malah menjawab. "Puah, kebenaran ucapanmu akan kuselidiki kemudian. Jika ternyata kau masih punya hubungan dengan bangsat gundul itu, kelak kau juga bakal menerima bagian. Sekarang minggirlah!"

Panji Kenanga melihat orang berbadan gemuk bermuka biru itu mengangkat kedua tangannya setinggi kepala. Sesaat kemudian lengannya yang berwarna biru itu tampak mengeluarkan sinar biru gelap menggidikkan.

"Minggir!" teriak si muka biru keras menggeledek dan marah karena si pemuda masih menghalang di depannya.

"Eh, kau mau bikin apa?" bertanya Panji.

"Tidak usah tanya! Lihat saja nasib yang bakal diterima si Botak. Dan kelak kau pun menerima bagianmu!"

Panji Kenanga tidak mau bergeser dari tempatnya malah berkacak pinggang. "Menyerang lawan yang sedang tidur adalah tindakan pengecut!" katanya. "Kalau mau buat perhitungan bangunkan dia lebih dulu!"

"Anak setan! Kalau begitu biarlah kau mampus bersama-sama dia kejap ini juga!"

Selesai berkata begitu si muka biru memukulkan kedua tangannya. Satu ke arah kepala si botak yang masih tidur lelap, satunya lagi ke arah Panji Kenanga. Dua sinar biru menderu dahsyat. Mengeluarkan hawa teramat panas. Meskipun saat itu Panji Kenanga masih merasa si Botak Mata Buta adalah kaki tangan Istana Darah, namun melihat orang diserang dengan cara pengecut begitu rupa adalah bertentangan dengan jiwa kesatrianya.

Pemuda ini berseru nyaring lalu berkelebat cepat ke arah pohon di mana Si Botak Mata Buta berada. Maksudnya hendak menyelamatkan orang ini. Namun dia hanya menemui tempat kosong karena lebih cepat dari gerakannya, hampir tidak kelihatan, si botak itu telah berkelebat lenyap dari pohon dimana dia tidur!

Sinar pukulan melesat di atas punggung Panji Kenanga. Pemuda ini jatuhkan diri lalu bergulingan di tanah. Di belakangnya terdengar suara braak! Pohan besar tempat si botak tadi tidur patah dan tumbang dengan mengeluarkan suara gaduh akibat dihantam pukulan si gendut bermuka biru. Hebatnya lagi baik batang pohon yang masih menancap di tanah maupun yang terlepas tumbang keseluruhannya kini kelihatan berwarna biru!

Nyatalah manusia bermuka biru itu betul-betul menginginkan kematian Panji Kenanga dan Si Botak Mata Buta. Karena begitu menyerang pertama kali dia sudah lancarkan pukulan maut yang mengandung racun mematikan! Ketika Panji Kenanga berdiri kembali, pemuda ini melihat Si Botak Mata Buta telah berada di bawah pohon yang lain, duduk bersandar dan mengorok persis seperti sebelumnya.

Bahkan sepuluh uang emaspun masih tetap ada di kepalanya yang botak! Di lain pihak si gendut muka biru menjadi gemas bukan main melihat kedua orang itu berhasil mengelakkan pukulan saktinya yang bernama 'kelabang biru'. Lebih-lebih Si Botak Mata Buta dianggapnya sengaja telah mempermainkannya.

"Kupecahkan kepala kalian!" teriak si muka biru garang lalu kembali menyerbu dengan dua kepalan diayunkan.

Yang satu menyerang Si Botak Mata Buta, yang lainnya menghantam ke arah dada Panji Kenanga. Murid Brahmana dari gunung Raung itu menggeser kakinya kesamping, menepis lengan lawan dengan lengan kirinya. Sewaktu masing-masing lengan saling beradu, Panji Kenanga mengigit bibir karena merasakan lengannya pedas bukan main.

Di lain pihak si muka biru tak kurang kagetnya karena ternyata tenaga dorong lengan lawan sanggup menepis demikian rupa hingga bukan saja serangannya terhadap si pemuda gagal, tapi serangan yang ditujukan pada Si Botak Mats Buta pun meleset akibat tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang hampir sejauh dua langkah!

Semua itu membuat amarah si gendut ini semakin memuncak. Tiga perempat tenaga dalamnya kini disalurkan ke tangan kanan. Lengan kanannya kembali memancarkan sinar biru. Kali ini lebih biru dan gelap dari yang tadi. Panji Kenanga maklum kalau lawan kini siap-siap akan melancarkan pukulan saktinya disertai tenaga dalam yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Maka diapun tidak menunggu lebih lama dan segera menyalurkan tiga perempat tenaga dalamnya ke tangan kanan.

Begitu lawan melancarkan pukulan 'kelabang biru' yang mengandung racun mematikan itu, Panji Kenanga segera menyambut dengan satu pukulan yang tak kalah hebatnya, yang menebar selarik sinar putih ke abu-abuan. Dua pukulan sakti saling bentrokan. Karena masing-masing dialiri tenaga dalam yang tinggi maka pertemuan dua tenaga tersebut menimbulkan suara seperti letusan. Pohon-pohon bergoyang, tanah bergetar. Sepasang kaki si muka biru melesak sampai tiga senti ke tanah sedang kedua kaki Panji Kenanga masuk ke dalam tanah hampir setengah jengkal!

Dari sini nyatalah meski masing-masing pihak sama-sama mengandalkan tenaga dalam sebanyak tiga perempat bagian namun tingkat atau mutu kekuatan tenaga dalam yang dimiliki si muka biru lebih sempurna dari yang dikuasai Panji Kenanga. Hai ini adalah wajar karena Panji Kenanga masih terlalu muda, kurang pengalaman dan masih banyak harus berlatih sementara lawannya sudah belasan tahun malang melintang di dunia persilatan dan terus menerus melatih diri.

Panji Kenanga yang memaklumi sepenuhnya hal itu bukannya menjadi takut malah sebaliknya sudah siap-siap untuk maju kembali dengan segala keberanian yang ada meskipun saat itu dadanya terasa berdenyut-denyut. Si gendut muka biru diam-diam dalam hatinya terheran-heran. Pukulan sakti yang tadi dilepaskan pemuda itu beberapa tahun lewat pernah disaksikannya namun dia tak ingat lagi siapa yang memiliki ilmu pukulan tersebut.

Disamping itu dia jugs tidak menyangka kalau tingkat tenaga dalam lawan akan sanggup mengimbangi tenaga dalamnya yang sudah tinggi itu. Manusia ini tak sempat untuk berpikir panjang karena saat itu si pemuda dilihatnya sudah menerjang ke hadapannya. Maka terjadilah perkelahian tangan kosong yang seru. Si muka biru senantiasa berusaha mengadakan bentrokan lengan.

Sebaliknya Panji Kenanga yangg maklum kehebatan sepasang lengan lawan dengan cerdik selalu menghindarkan terjadinya bentrokan. Dia bergerak gesit kian kemari melancarkan serangan-serangan kilat yang selalu berubah-ubah sehingga membuat si muka biru kebingungan. Memang dalam hal meringankan tubuh dan kegesitan, si muka biru yang gemuk seperti bola itu agak sulit menandingi lawannya yang masih muda.

Selama bertahun-tahun Panji Kenanga telah dididik dan melatih diri melompat-lompat di ujung batu-batu sungai yang runcing dan licin berlumut. Dan kini di tanah datar dengan sendirinya bukan satu hal yang sukar baginya untuk bergerak lebih cepat dan gesit. Sambil terus bertempur si muka biru senantiasa memperhatikan gerakan-gerakan ilmu silat lawannya. Lambat laun dia mulai dapat menduga-duga. Untuk meyakinkan dugaannya ini maka diapun membentak.

"Anak setan! Ada sangkut paut apa kau dengan si tua bangka Lokapala dari gunung Raung?!"

Panji Kenanga kaget. Namun cepat-cepat menyahuti, "Selesaikan dulu pertempuran ini, baru nanti bertanya jawab sambil minum-minum kopi!"

"Setan alas!" maki si muka biru geram sekali.

Dia berteriak nyaring dan tubuhnya berkelebat lebih cepat tapi jaraknya sengaja diperjauh dari lawan hingga dia dapat melancarkan pukulan-pukulan 'kelabang biru' dengan leluasa. Menghadapi ilmu pukulan lawan yang ampuh ini membuat serangan Panji Kenanga mengendur dan beberapa jurus kemudian pemuda ini terpaksa berada di bawah angin. Si muka biru melipat gandakan kecepatan gerakannya, begitu juga tenaga dalamnya sehingga Panji Kenanga semakin terdesak.

Meskipun Panji telah mengeluarkan pula pukulan-pukulan saktinya seperti yang bernama 'Mega Putih' namun tidak ada gunanya. Dirinya tambah lama tambah kepepet. Dan pemuda ini mulai berpikir-pikir untuk mengeluarkan pedang Gajah Biru yang diberikan gurunya. Tapi karena lawan masih bertempur dengan tangan kosong, hatinya merasa bimbang untuk mengeluarkan senjata tersebut. Dalam pada itu keadaannya semakin kritis juga.

"Muka biru! Keluarkan senjatamu!" seru Panji Kenanga memancing agar lawan mengeluarkan senjata dan dengan demikian dia tidak akan merasa sungkan untuk mencabut pedangnya.

Si muka biro tertawa mengejek. "Untuk melenyapkan bocah setan macammu ini kenapa pakai senjata segala? Lihat ini jurus kematianmu!"

Ucapan itu ditutup oleh si muka biru dengan satu kelebatan tubuh yang luar biasa cepatnya. Tubuhnya lenyap dan tahu-tahu sudah berada di atas lawannya sambil mengayunkan tinju yung laksana palu godam ke kepala Panji Kenanga, Pemuda ini menunduk seraya menghantamkan pukulan 'Mega Putih' ke perut lawan. Tapi dia terpedaya. Begitu Panji Kenanga bergerak memukul, si muka biru bergeser cepat ke samping. Pukulan ?Mega Putih' mengenai tempat kosong.

Di kejap yang sama si muka biru menyorongkan satu tendangan kilat ke bawah ketiak kanan Panji Kenanga. Dalam keadaan tubuh masih terdorong ke muka karena dalam kuda-kuda memukul, Panji Kenanga sulit sekali untuk mengelakkan serangan berbahaya itu. Masih diusahakannya untuk mencegah hantaman kaki lawan dengan coba menekuk sikut memukul tulang kering si muka biru. Tetapi itupun terlambat karena saat itu ujung kaki kanan lawan sudah menyelinap di bawah lengannya!

"Celaka!" keluh Panji Kenanga dalam hati.

TUJUH

Di saat itu, tiba-tiba terdengar suara bergelak. Satu gelombang angin yang amat deras menderu, membuat kedua orang yang tengah berkelahi terpelanting sejauh setengah tombak!

"Tapak Biru! Kau memang terlalu banyak mencari urusan dengan orang lain!"

Panji Kenanga dan si muka biru yang ternyata bernama Tapak Biru sama-sama memalingkan kepala ke arah datangnya suara. Yang bicara ternyata adalah Si Botak Mata Buta yang saat itu telah bangun dari tidurnya tapi masih duduk di bawah pohon sambil mengucak-ucak sepasang matanya yang tidak melihat.

"Botak buta sialan! Memang kalau tidak kubunuh kau sekarang tidak tenteram rasa hatiku! Ini mampuslah!" Tapak Biru lalu memukulkan tangan kirinya ke arah pohon. Untuk kesekian kalinya pukulan kelabang biru berkelebat di situ.

"Mentang-mentang memiliki pukulan baru yang diandalkan sikapmu sombong selangit," ejek Si Botak Mata Buta. "Cuhh!" dia meludah ke tanah dan mengangkat tangan kirinya.

Satu gelombang dingin bersiuran keluar dari telapak tangan orang ini dan sekaligus memusnahkan serangan yang amat diandalkan Tapak Biru! Tapak Biru sampai menyurut beberapa langkah melihat bagaimana ilmu pukulannya dibikin musnah semudah itu.

"Sialan! Tidak kusangka bangsat buta ini sudah maju kesaktiannya begitu jauh!" maki Tapak Biru dalam hati. Lalu dia berteriak, "Botak! Berdirilah. Mari kita bertempur sampai seribu jurus!"

"Baik orang gendut," jawab Si Botak Mata Buta seraya berdiri dengan sikap acuh tak acuh dan sambil tepuk-tepuk pantat celana komprangnya. Justru di saat itu Tapak Biru sudah menerjang menyerangnya dengan satu tendangan kilat.

Si Botak tertawa. "Kelicikanmu masih seperti dulu saja, gendut!"

Lalu dia cepat-cepat menyingkir dan akibatnya tendangan Tapak Biru mengenai batang pohon di sampingnya hingga patah dan tumbang dan menjadi biru akibat racun kelabang biru. Penasaran Tapak Biru membalikkan tubuhnya dan kembali lepaskan pukulan kelabang biru ke depan. Di belakangnya terdengar gelak tertawa mengejek.

"Kau toh tidak buta sepertiku, Tapak Biru. Kenapa menyerang tempat kosong?"

Secepat kilat Tapak Biru memutar tubuh dan sekali lagi lepaskan pukulan saktinya. Namun lagi-lagi dia mendengar suara tawa dari arah belakang. Si Botak Mata Buta ternyata telah mempermainkannya. Sebenarnya si buta ini tidak berada di belakangnya. Namun karena dia memiliki semacam ilmu memindahkan suara maka suaranya terdengar seperti datang dari belakang, padahal dia berada di tempat lain tak jauh dari situ!

Menyaksikan bagaimana si buta mempermainkan Tapak Biru mau tak mau Panji Kenanga merasa kagum sekali.

"Botak mata buta mengapa kau hanya berani berkelahi dengan cara pengecut begitu?!" damprat Tapak Biru marah sekali.

Rahangnya bertonjolan dan dari balik pakaiannya dia mengeluarkan sebuah benda bulat sepanjang dua jengkal. Ternyata adalah sebuah seruling yang terbuat dari perak. Sementara itu keadaan di tempat itu telah berubaah menjadi gelap. Apalagi di situ penuh ditumbuhi pohon-pohon berdaun rapat sekali.

"Cara berkelahi bagaimana yang kau inginkan Tapak Biru?" bertanya si buta.

"Mari kita berhadap-hadapan mengadu kekuatan batin!"

"Oh, begitu? Mengadu kekuatan batin berarti tidak mempergunakan senjata bukan heh?!"

Terkejutlah Tapak Biru sedang Panji Kenanga melengak terpaku di tempatnya. Keduanya tak habis pikir. Bagaimana orang buta ini mengetahui kalau lawannya mengeluarkan dan memegang senjata? Meskipun buta namun saat itu tidaklah terlalu sulit bagi Si Botak Mata Buta untuk mengetahui bahwa Tapak Biru telah mengeluarkan senjata.

Sinar terakhir matahari yang merambas dari barat telah menimpa seruling yang terbuat dari perak. Sinarnya memantul dan memijar ke muka si botak. Sekalipun buta tapi pijaran sinar itu masih dapat dirasakan oleh urat-urat syarap di belakang matanya. Cuma tentu saja dia tidak jelas senjata apa yang ada di tangan lawan saat itu.

Tanpa perdulikan ejekan lawan Tapak Biru mementang kedua kakinya, mengalirkan tenaga dalam ke perut dan mendekatkan ujung seruling ke bibirnya. Terdengar suara seruling mengalun. Mula-mula perlahan lalu makin keras dan makin merdu. Si botak bergerak-gerak sepasang matanya yang buta. Baik dia maupun Panji Kenanga sama-sama tercekat dengan alunan suara seruling itu.

Namun tanpa disadari oleh Panji Kenanga, lambat laun kepalanya menjadi pusing dan berat sedang pemandangannya mulai berbinar-binar. Lututnya goyah dan tubuhnya perlahan-lahan jatuh duduk di tanah!

Sebaliknya Si Botak Mata Buta masih juga berdiri tak bergerak di tempatnya. Keningnya mengerenyit. Ada kelainan dirasakannya pada denyutan nadinya serta aliran darahnya. Namun di mulutnya tersungging satu senyuman. Setelah menutup jalan pendengarannya diapun membuka mulut,

"Tapak Biru, sejak kapan kau memiliki suling itu? Pasti itu senjata curian heh? Bagusnya kau mengamen masuk kampung keluar kampung, pasti kau bakal mengantongi banyak uang!"

Tapak Biru tidak perdulikan ejekan lawannya. Tiupan serulingnya semakin keras dan tambah merdu.

"Ah, nyanyianmu dari itu ke itu juga Tapak Biru. Bosan telingaku mendengarnya!" kata Si Botak Mata Buta.

Lalu diputarnya tangannya di udara tujuh kali berturut-turut. Pada akhir putaran tangan yang ketujuh maka terdengarlah suara menderu seperti suara angin punting beliung. Mula-mula perlahan, makin lama-makin keras hingga menelan suara tiupan seruling Tapak Biru. Betapapun Tapak Biru memperkeras tiupan serulingnya tetap saja tak terdengar dalam bisingnya suara angin yang diciptakan Si Botak Mata Buta.

Malah kini kelihatan si muka biru tubuhnya bergetar dan pakaian serta rambutnya melambai-lambai sedang Panji Kenanga yang tadi terduduk di tanah, begitu suara seruling lenyap baru dia kembali sadar diri dan cepat bangkit. Namun begitu berdiri angin punting beliung itu membuatnya terhuyung-huyung.

Pemuda ini mengerahkan tenaga dalamnya. Tetap saja tubuhnya bergetar dan lututnya sampat goyah. Cepat-cepat dia mendekati sebuah pohon dan bersandar di situ. Putus asa dan jengkel Tapak Biru hentikan tiupan seruling peraknya.

"Bangsat botak ini terlalu lihay bagiku. Di lain hari saja kelak aku bakal menyelesaikan urusan dengan dia," gerutu Tapak Biru dalam hati.

"Hai gendut pendek! Kenapa kau berhenti main suling?" tanya Si Botak Mata Buta.

"Sayang aku tak punya waktu banyak untuk melayanimu," sahut Tapak Biru berdalih. "Hari ini masih kuberi kesempatan padamu untuk bernafas beberapa lama lagi. Kelak walau bagaimana nyawa anjingmu akan kutagih untuk melunasi hutang jiwa kematian adikku!"

Si botak tertawa gelak-gelak. Patut diketahui sampai saat itu sepuluh keping uang emas masih menempel di atas batok kepalanya yang plontos. "Kau memang pandai bersilat lidah. Tak apalah. Kau boleh pergi. Tapi berikan dulu, suling curianmu itu padaku!"

"Jangan temahak jadi manusia!" damprat Tapak Biru. "Suling ini akan kuberikan padamu jika kau sudah kubunuh. Sebagai temanmu dalam liang kubur!"

Si botak usap-usap dagunya dan berkata, "Kalau begitu kau boleh pilih Tapak Biru. Tinggalkan suling itu atau tinggalkan nyawamu!"

"Botak, jangan melantur! Hari sudah mau malam. Tak banyak waktu untuk mendengarkan celotehanmu!"

Selesai berkata begitu Tapak Biru cepat-cepat memutar tubuh hendak berlalu. Di belakangnya terdengar si botak berseru,

"Suling atau nyawamu, gendut!"

Di kejap itu juga si botak sudah berada di hadapan Tapak Biru, menghadang larinya. Tapak Biru berkelebat ke jurusan lain. Namun lebih cepat dari itu si botak sudah menghadang pula di depannya. Sekali lagi dia melesat ke samping, sekali lagi pula si botak muncul menghadan di hadapannya. Dihalangi begitu rupa Tapak Biru jadi marah sekali tapi juga bingung melihat kehebatan lawan. Dia menerjang dengan menghujamkan suling perak ke arah kening lawan.

Yang diserang begitu merasakan datangnya angin serangan ke arah kepalanya, cepat menunduk lalu menggerakkan kedua tangannya serentak. Yang kiri memukul dada Tapak Biru sedang yang kanan menyantakkan seruling perak. Tapak Biru terpekik kesakitan. Disamping itu dia juga terkejut karena suling perak di tangan kanannya tiada lagi sedang di depannya Si Botak Mata Buta tertawa gelak-gelak.

"Masih inginkan suling ini! Ambillah!" kata si botak seraya bolang-balingkan suling perak yang kini berada dalam genggamannya.

Tapak Biru mendengus dan membantingkan kaki ke tanah lalu meninggalkan tempat itu diantar suara tertawa mengekeh si botak. Selagi Panji Kenanga menyaksikan hal itu dengan menahan tawa tiba-tiba si botak berkelebat dan tahu-tahu Panji Kenanga merasakan satu pukulan keras menghantam belakang kepalanya. Tak ampun lagi murid Brahmana Lokapala dari gunung Raung ini roboh dan pingsan!

DELAPAN

Ketika Panji Kenanga sadarkan diri didapatinya hari telah malam. Keadaan sekitarnya gelap gulita. Tiupan angin dingin sekali menusuk tulang-tulangnya. Di kejauhan sesekali terdenger suara burung hantu mambuat suasana serasa mengerikan. Perlahan-lahan pemuda ini berdiri. Dirabanya bagian belakang kepalanya yang terasa mendenyut sakit.

Dia terkejut sewaktu satu bayangan putih besar bergerak di sampingnya. Ketika dia berpaling tarnyata adalah kuda kesayangannya Angin Salju. Panji tersenyum dan menarik nafas lega. Dijentikkannya tangannya memberi tanda. Binatang itu datang mendekat. Panji Kenanga langsung naik ke punggung Angin Salju. Sambil mengusap leher kuda ini dia berkata,

"Bawa aku keluar dari tempat celaka ini, sobat."

Seakan mengerti akan maksud tuannya Angin Salju melompat dan lari meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian binatang ini sudah menempuh sebuah jalan kecil yang menuju ke sebuah bukit. Dalam kencangnya lari Angin Salju, Panji Kananga merasakan sesuatu menggandul di leher serta memukul-mukul dadanya. Sebenarnya hal itu terasa sejak tadi namun karena pemuda ini hanya memikirkan peristiwa yang barusan dialami maka hal itu tak terperhatikan olehnya.

Panji Kenanga menunduk memperhatikan dadanya. Terkejutlah pemuda ini. Tangan kanannya menyentak tali kekang kuda hingga Angin Salju dengan serta merta hentikan larinya. Pada sehelai benang yang terkalung dilehernya menggandul sebuah benda putih panjang yang bukan lain adalah seruling perak yang telah dirampas Si Botak Mata Buta dari tangan Tapak Biru.

"Bagaimana benda ini bisa tergantung pada leherku?" tanya Panji Kenanga pada diri sendiri.

Digerakkannya tangannya. Sekali renggut putuslah benang penggantung seruling. Panji menimang-nimang benda itu beberapa lama dan berpikir-pikir. Tak dapat disangsikan lagi tentu Si Botak Mate Buta yang punya kerja. Mula-mula orang aneh itu memukul kepalanya hingga pingsan. Dalam keadaan pingaan lalu dia menggantungkan seruling perak di lehernya.

"Tapi mengapa hal itu dilakukannya?" muncul lagi pertanyaan baru dalam hati si pemuda.

Dan pertanyaan ini tak kunjung dapat dijawabnya. Panji memandang ke langit. Bintang-bintang bertaburan berkelap-kelip. Bulan sabit muncul di balik sekelompok awan. Si pemuda meneliti suling perak di tangan kanannya itu. Pada waktu itulah dilihatnya segulung kertas pada ujung sebelah bawah. Segera gulungan kertas ini dicabutnya. Ketika dibuka di dalamnya ternyata ada beberapa baris tulisan yang berbunyi,

Pembalasan harus dilakukan. Tapi akal pikiran harus diutamakan. Kutitipkan Suling Perak padamu. Bertemu pemiliknya harap serahkan.

Walaupun di bawah tulisan itu tidak tertera tanda atau nama pembuat surat namun Panji Kenanga sudah bisa menduga bahwa surat itu dibuat oleh orang botak yang lihay itu. Dua kali orang itu memberi nasihat agar mempergunakan akal pikiran bila dia hendak melakukan pembalasan. Pertama dalam nyanyian pada pertemuan waktu hujan lebat dan kedua dalam surat tersebut.

"Kalau begitu besar kemungkinan dugaanku meleset," kata Panji dalam hati. "Agaknya dia bukan kaki tangan atau bergundal Istana Darah."

Kembali Panji menimang-nimang suling perak itu. Siapakah gerangan pemilik sebenarnya benda itu? Mengapa justru Si Botak Mata Buta menitipkannya padanya? Akhirnya Panji menyelipkan suling tersebut di balik pinggang pakaiannya lalu melanjutkan perjalanan tanpa memperdulikan lagi kemana Angin Salju membawanya. Tak selang berapa lama di kejauhan kelihatan kelap-kelip nyala api.

"Sobatku, larilah ke arah nyala api itu. Di sana pasti ada sebuah desa atau kampung. Kita bisa istirahat di sana malam ini," bisik Panji Kenranga.

Angin Salju mengeluarkan suara reperti melenguh tanda dia mengerti betul apa yang dimaksudkan tuannya. Dan binatang ini lebih mempercepat larinya.

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Kampung Warnasari sebenarnya tak tepat lagi disebut sebagai kampung karena jumlah rumah yang ada di situ banyak sekali. Di samping itu terdapat pula tiga buah jalan besar serta jalan-jalan kecil. Lebih tepat kiranya bilamana Warnasari dikatakan sebagai sebuah kota kecil. Malam itu Warnasari diliputi kesunyian. Namun kesunyian sekali ini jauh berbeda dengan kesunyian seperti biasanya.

Kesunyian kali ini adalah kesunyian yang dipaksakan oleh keadaan. Dan keadaan itu dibuat oleh sekelompok orang-orang yang saat itu berada di kedai paling besar di Warnasari. Dalam kedai itu suasana biasanya ramai. Suara orang-orang yang asyik mengobrol sesekali dipecahkan oleh gelak tawa berderai. Tiga orang laki-laki berpakaian serba hitam dan bertampang bengis duduk di tengah kedai.

Mereka inilah yang membuat suasana tidak seperti biasanya lagi. Tak ada yang berani bicara keras apalagi tertawa. Di atas meja di hadapan mereka terhidang segala macam makanan yang enak-enak serta minuman yang lezat-lezat. Demikian banyaknya makanan dan minuman itu hingga dua buah meja terpaksa digabung menjadi satu. Pemilik kedai seorang laki-laki tua bemama Ki Sepuh Bawean, berdiri di sudut kedai dengan muka seputih kertas, lutut gemetar.

Tiga orang pelayan berdiri disampingnya. Seperti pemilik kedai para pelayan inipun berada dalam ketakutan yang amat sangat. Sebelumnya kedai itu dipenuhi oleh selusin tamu. Namun begitu tiga manusia ini masuk, para tamu yang ada di situ cepat-cepat membayar makanan dan minuman masing-masing lalu keluar dari kedai. Bahkan ada di antara mereka yang belum sempat mencicipi makanan ataupun minuman namun karena kawatir cepat-cepat saja berlalu.

Tiga tamu berpakaian serba hitam melahap makanan di atas meja laksana singa-singa buas yang telah berhari-hari tidak makan. Di pintu belakang kedai tiga orang berseragam hitam lagi tampak berdiri sedang di pintu depan lima orang dengan pakaian yang sama tampak berjaga-jaga sambil bertolak pinggang dan menghisap rokok.

"Hai Bawean!" sentak salah seorang dari tiga laki-laki yang tengah makan dalam kedai. "Bawa ke sini satu kendi tuak baru untukku!"

Dengan tergopoh-gopoh pemilik kedai meninggalkan tempatnya kemudian muncul kembali membawa sebuah kendi berisi tuak. Minuman ini di letakkannya dengan sangat hati-hati di atas meja lalu kembali ke tempatnya semula di sudut kedai menunggu perintah selanjutnya.

"Lama juga anak-anak pergi memanggil kepala kampung itu," kata salah seorang yang duduk melahap makanan.

Namanya Ronggokarapan. Dia adalah kepala dari sua orang yang berpakaian serba hitam itu. Pimpinan gerombolan rampok yang paling ditakuti di daarah sekitar hulu Kali Bedadung. Dua orang yang ikut makan bersamanya adalah orang-orang kepercayaannya alias tangan kanannya yang masing-masing bernama Randuwongso dan Taliwongso. Keduanya kakak beradik. Dulunya Randuwongso dan Taliwongso merupakan pimpinan rampok yang malang melintang sepanjang Kali Bedadung. Dalam masa yang sama di daratan Ronggokarapan bersama beberapa anak buahnya melakukan kejahatan yang serupa.

Pada suatu kali terjadilah pertemuan yang tidak disangka-sangka antara duao kelompok penjahat itu. Pertempuran tak dapat dihindarkan. Namun Ronggokarapan memiliki ilmu silat yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua bersaudara itu. Taliwongso dan Randuwongso berhasil dikalahkannya dan sejak itu Ronggokarapan menjadi pimpinan dari gabungan dua kelompok penjahat itu.

Meskipun dua bersaudara Wongso itu pada dasarnya menanam dendam kesumat terhadap Ronggokarapan namun mereka menyadari adalah mencari mati jika mereka berani melakukan sesuatu selagi ilmu kepandaian mereka jauh di bawah Ronggokarapan. Di kejauhan terdengar derap kaki kuda.

"Itu pasti anak-anak," kata Randuwongso.

Ronggokarapan menyeringai. "Kali ini kepala kampung itu harus dihajar habis-habisan. Biar dia tahu rasa!" kata pamimpin rampok itu lalu memandang ke pintu.

Saat itu di luar kedai suara rentak kaki kuda terdengar semakin dekat. Lima anak buah rampok yang tegak di ambang pintu memandang ke ujung jalan. Tak selang berapa lama dari tikungan di ujung jalan muncullah seekor kuda putih berikut penunggangnya. Mendekati kedai itu si penunggang memperlambat lari kudanya. Di depan kedai dilihatnya hampir seluruh kuda tertambat sedang di ambang pintu lima orang berpakaian serba hitam dan rata-rata bertampang buas tegak berjejer membuat hatinya kurang enak dan curiga.

Si penunggang kuda yang bukan lain adalah Panji Kenanga berpikir sejenak. Lalu menghentikan Angin Salju di depan kedai dan melompat turun. Perutnya sangat lapar dan memang dia musti berhenti di situ karena malam buta begini di mana pula akan mencari kedai lain yang masih buka. Dia tengah melangkah ke pintu kedai ketika salah seorang dari lima manusia yang tegak menghadang di pintu masuk menegurnya.

"Orang muda, putar langkahmu. Tak satu orangpun boleh masuk ke dalam!"

Panji Kenanga berpaling dan memandang muka orang itu. "Memangnya ada apa?" tanya si pemuda.

"Tak usah banyak bacot!" sentak kawan rampok yang satu lagi. "Masih untung kau disuruh pergi baik-baik. Kalau cuma roh busukmu yang disuruh minggat sedang tubuh anjingmu tinggal di sini, baru kau tahu rasa!"

"Oh, kalau begitu itu lain ceritanya sobat," Mata Panji Kenanga seraya tersenyum. Dia sudah maklum kini dengan manusia-manusia macam apa sebenarnya dia sedang berhadapan. Acuh tak acuh dia meneruskan langkahnya menuju pintu kedai.

"Kurang ajar! Dikiranya kita ini siapa!" Rampok yang membentak melompat ke hadapan Panji Kenanga seraya bacokkan goloknya ke kepala pemuda ini.

Si pemuda cepat manyingkir. Golok yang menderu menembus udara kosong terus menghantam dinding kedai!

SEMBILAN

"Hai! Ada apa ribut-ribut di luar sana?!" terdengar bentakan Ronggokarapan dari dalam kedai.

Kedua pembantunya segera berdiri dan melangkah ke pintu.

"Ada apa disini?!" tanya Randuwongso.

"Pemuda kurang ajar ini hendak memaksa masuk ke dalam kedai!'' jawab salah seorang perampok.

"Bah, kukira ada apa. Hanya seekor monyet kesasar kalian ribut-ribut macam orang keblinger!" kata Taliwongso lalu kembali masuk ke dalam.

Sementara itu sambil bertolak pinggang Randuwongso menatap si pemuda asing dan bertanya dengan kasar. "Pemuda hina dina, kau siapa?!"

"Namaku Panji Kenanga. Aku tidak mengerti mengapa aku tidak boleh masuk ke dalam kedai. Toh kedai ini bukan punya nenek moyangnya!" "Hem...?"

Randuwdngso tersenyum buruk lalu berkata, "Kau tidak mengerti. Jadi mau kubikin mengerti?" Dia berpaling pada lima orang anak buahnya yang ada di halaman kedai. "Hajar monyet alas ini sampai dia mengerti!"

Serempak dengan itu kelima orang perampok tersebut menerjang menyerang Panji Kenanga. Namun gerakan mereka terhenti karena saat itu dari dalam kedai terdengar seruan Ronggokarapan.

"Randu! Biarkan monyet alas kesasar itu masuk! Aku mau lihat tampangnya!"

Melihat orang-orang disitu tak jadi turunkan tangan jahat mengeroyoknya karena ada yang berteriak dari dalam. Panji Kenanga segera dapat menduga. Siapapun adanya orang yang barusan berseru dia pastilah pemimpin dari keseluruhan manusia-manusia jahat yang ada di tempat itu. Panji Kenanga tersenyum pada orang-orang yang ada di sekelilingnya dan berkata,

"Nah, apa kataku. Kedai ini bukan milik nenek moyang kalian, kan? Buktinya pemimpin kalian sendiri yang mengundangku masuk!"

Habis berkata begitu dengan lenggang kangkung Panji Kenanga melangkah masuk ke dalam kedai. Satu hal yang tak terduga terjadi sewaktu pemuda ini baru saja masuk dua langkah ke dalam kedai. Sebuah benda melayang pesat ke arah kepalanya! Saking cepatnya benda itu melesat Panji Kenanga tak sempat mengenali benda apa adanya namun dengan cekatan dia menundukkan kepala dan berhasil mengelakkan hantaman benda tersebut.

Sesaat kemudian di belakangnya terdengar suara benda tadi pecah berantakan. Pemuda ini melirik. Ternyata sebuah gelas besar yang telah dilemparkan ke kepalanya. Yang melempar adalah lelaki yang duduk mengangkat kaki di belakang meja makan di tengah kedai, bermata merah buas, bercambang bawuk dan berbibir tebal. Dialah Ronggokarapan.

"Bagus, sanggup juga kau mengelak ya?" kata si kepala rampok sambil menyeringai. "Sekarang coba elakkan yang ini!"

Kedua tangannya yang bertelapak tebal dan berjari-jari besar digebrakkan ke atas meja. Hebatnya, lima buah piring berisi makanan dan tiga buah gelas di atas meja itu laksana anak panah lepas dari busurnya, melesat ke arah delapan bagian tubuh Panji Kenanga! Kaget murid Brahmana Lokapala itu bukan main. Tidak disangkanya pemimpin rampok tergebut memiliki kepandaian begitu hebat. Dengan gesit Panji Kenanga cabut suling perak dari balik pinggangnya. Lalu terdengar suara...

"Trangg...! Trangg...!" sampai delapan kali berturut-turut. Lima buah piring dan tiga gelas berhamburan pecah ke lantai. Kini Ronggokarapan yang ganti terkejut.

"Sobat mata merah! Ini kukembalikan seranganmu!" seru Panji Kenanga tiba-tiba. Si pemuda hantamkan kaki kanannya ke lantai kedai.

Puluhan pecahan piring dan gelas yang ada di lantai, laksana daun kering dihembus angin, menderu menyambar ke arah pemimpin rampok Kali Bedadung itu! Saking kagetnya melihat kejadian yang sebelumnya tak pernah disaksikannya itu Ronggokarapan sampai keluarkan seruan tertahan. Namun dia tahu kalau bahaya mengancam.

Kedua tangannya turun dengan cepat ke bawah dan di lain kejap dia telah mengangkat meja makan besar itu ke atas untuk melindungi tubuhnya. Puluhan beling pecahan gelas dan piring menancap pada papan meja. Belasan lainnya bertebaran lewat di sampingnya. Dapat dibayangkan bagaimana kalau puluhan pecahan kaca itu menancap di kepala dan tubuh Ronggokarapan!

"Orang muda, terima kasih atas serangan balasanmu!" kata si kepala rampok keren. "Kau menang. Dan terimalah hadiah kemenanganmu ini!" terdengar suara Ronggokarapan tertawa dari balik meja.

Di lain ketika tiba-tiba meja yang besar yang terbuat dari kayu jati dan beratnya tidak kurang dari tujuh puluh kati itu dilemparkannya ke arah Panji Kenanga. Meja itu menderu dahsyat laksana dihantam topan. Panji Kenanga tampak tak bergerak di tempatnya. Tiga jengkal lagi meja besar itu akan melabraknya, pemuda ini angkat kedua tangannya menangkap dua dari empat kaki meja. Lalu dengan gerakan seperti seorang main akrobat meja yang berat itu diletakkannya baik-baik ke lantai tanpa menimbulkan suara sedikitpun!

Semua mata memandang hampir tak berkedip pada pemuda itu. Keadaan dalam kedai jadi sunyi senyap. Di ujung kiri pemilik kedai berdiri dengan tubuh menggigil. Apa yang disaksikannya tadi sungguh membuatnya kagum luar biasa tetapi sekaligus juga membuatnya ketakutan. Kalau dua orang berilmu tinggi baku hantam dalam kedainya, pastilah segala perabotan yang ada di situ akan porak poranda. Bahkan bukan mustahil kedainya akan amblas roboh!

Di luar, terdengar derap kaki kuda. Tak lama kemudian tiga orang berpakaian hitam masuk ke dalam kedai menggiring seorang lelaki tua berambut putih, berpipi cekung dan melangkah terbungkuk-bungkuk. Ronggokarapan tidak acuhkan orang-orang yang masuk ini. Dia memandang tak berkedip pada Panji Kenanga. Otaknya jalan.

"Ilmunya tinggi," membatin Ronggokarapan. "Kalau tenaganya dapat kupergunakan, seumur hidup aku bakal enak ongkang-ongkang kaki..." Kepala rampok itu tersenyum. "Sobat muda!" katanya seraya lembaikan tangan kiri. "Antara kita tak ada saling sengketa apa-apa. Lupakan cara berkenalanku yang agak kasar tadi!" Dia lalu berpaling pada pemilik kedai dan memerintah, "Bawean, siapkan makanan dan minuman yang paling lezat dan hidangkan pada pemuda ini. Cepat!"

Tanpa banyak bicara, dengan ketakutan Ki Sepuh Bawean segera lakukan apa yang diperintahkan Rondokarpan. "Sobatku, kau duduklah tenang-tenang di kursi sana, nanti kita bicara lagi," kata si kepala rampok.

Sementara itu Randuwongso datang melapor. "Pemimpin, anak-anak sudah membawa kepala kampung kemari." Ronggokarapan berpaling. Dia memandang pada lelaki tua berambut putih yang berdiri dengan muka pucat pasi don gemetaran di hadapannya.

"Lawang Kuning!" kata Ronggokarapan menyebut nama Kepala kampung Warnasari itu. "Ingat apa yang kuperintahkan tempo hari?!" Kepala kampung itu mengangguk berulang-ulang. "Jawab! Dengan mulut!" hardik Taliwongso dan tangannya bergerak menjambak rambut orang tua itu hingga dia merintih kesakitan.

"Ak... aku ingat Ronggo," Lawang Kuning akhirnya membuka mulut sambil mengerenyit kesakitan karena rambutnya masih dijambak keras oleh Taliwongso.

"Bagus. Kalau ingat mengapa tidak kau laksanakan!"

"Sulit Ronggo. Sulit! Orang kampung mana ada yang punya uang dan perhiasan. Kami di sini miskin semua...?"

"Sulit atau tidak aku tidak perduli! Miskin atau kaya aku tidak mau tahu!" damprat Ronggokarapan.

Randuwongso ikut menghardik. "Dulu kowe bilang bersedia melaksanakan. Mengumpulkan semua harta benda perhiasan orang-orang di sini. Sekarang banyak dalihmu tua bangka!" Penduduk di sini rata-rata punya sawah ladang. Ternak!"

Yang bicara kini adalah Taliwongso. "Rumah mereka bagus-bagus. Mustahil tidak punya uang dan perhiasan."

Ronggokarapan geleng-geleng kepala dan tepuk-tepuk pipi kempot Lawang Kuning. "Kalau tidak ingat persahabatan kita dulu, aku sudah pisahkan kepala dan badanmu, Lawang...?"

"Justru kalau masih menganggap aku sahabat nengapa kau lakukan tindakan jahat terhadapku? Dan terhadap penduduk Warnasari yang tidak berdosa, tak punya apa-apa!" Lawang Kuning memberanikan diri menyahuti.

Kepala rampok itu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba suara tawanya berhenti. Dan plak! Satu tamparan mendarat di muka kepala kampung tua itu. Lawang Kuning jatuh terjelapak di lantai. Pemandangannya berkunang-kunang. Pipinya sakit bukan main. Dia merasakan darah mengalir di sela bibirnya yang pecah.

"Hajar dia sampai konyol!" perintah Ronggokarapan pada anak-anak buahnya. Lalu dia duduk ke sebuah kursi.

Yang pertama sekali turun tangan adalah Randuwongso. Kaki kanannya menendang punggung kepala kampung yang masih terduduk nanar di lantai.

"Bukkk...!"

Tendangan mendarat di punggung Lawang Kuning. Orang tua ini menjerit mengenaskan. Tubuhnya mencelat menghantam dinding kedai sebelah kamar lalu tergelimpang ke lantai. Dari mulutnya terdengar suara erangan. Lalu diam. Entah pingsan entah mati. Sesosok tubuh melompat ke hadapan Randuwongso.

"Bangsat! Kau mau apa?!" sentak Randuwongso ketika melihat ternyata Panji Kenanga yang rnenghadangnya.

"Mau mematahkan kakimu yang tadi dipakai menendang!" jawab Panji Kenanqa geram.

"Sobat, jangan jadi orang tolol," berseru Ronggokarapan. "Aku sudah punya rencana bagus untukmu. Biarkan saja tua bangka itu konyol. Tidak sekarang lusa pun dia akan mampus juga!"

Panji Kenanga menyeringai. "Kalaupun orang tua ini mati, maka harus ada yang mengantarkannya ke akherat"

Lalu secepat kilat Panji Kenanga kirim kan satu jotosan ke dada Randuwongso. Yang diserang terkejut tak menyangka. Masih untung dia tidak ayal dan sempat mengelak. Perkelahian tak dapat dihindarkan lagi di dalam kedal itu. Semula Ronggokarapan hendak membentak menyuruh hentikan perkelahian itu. Namun selintas pikiran muncul dalam benaknya. Dengan adanya perkelahian itu dia akan dapat melihat sampai di mana kehebatan pemuda asing yang menurut rencananya hendak dijadikan tangan kanannya itu.

Baru berkelahi lima jurus Randuwongso sudah terdesak. Ini membuat perampok tersebut penasaran sekali. Selama ini belum ada orang lain yang dengan tangan kosong sanggup mendesaknya begitu rupa kecuali pemimpinnya. Didahului satu bentakan garang Randuwongso berkelebat gesit mengirimkan serangan-serangan berantai selama tiga jurus berturut-turut. Tampaknya Randuwongso menjadi nekat.

Panji Kenanga berlaku hati-hati. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi pemuda ini berkelebat kian kemari sehingga tak satupun serangan lawan mengenai tubuhnya. Di lain pihak setiap ada kesempatan Panji Kenanga tidak lupa untuk melancarkan serangan balasan yang cukup membuat Randu menjadi repot. Setelah berlalu beberapa jurus Panji mulai melihat kelemahan-kelemahan ilmu silat lawan.

Pada satu kesempatan yang paling baik murid Brahmana Lokapala itu keluarkan jurus yang disebut 'Sekuntum Bunga Menebar Harum'. Kedua tangannya membuat gerakan berputar, terpentang ke samping laksana kitiran. Randuwongso merundukkan kepala melihat serangan aneh itu lalu susupkan satu jotosan ke bagian bawah tubuh lawan yang lowong. Namun rampok ini kalah cepat. Tepi telapak tangan kiri Panji Kenanga mendarat lebih dulu di kuduknya, membuat Randuwongso tersaruk ke muka hampir jatuh terjerembab di lantai kedai!

Randuwongso menggeram sakit. Tengkuknya kelihatan gembung merah. Ketika dia berdiri kembali tampak miring. Sepasang bola matanya seperti bernyala-nyala. Kedua tinjunya terkepal.

"Bangsat! Kalau aku tidak dapat memuntir betang lehermu, biar aku berhenti jadi orang!"

Randuwongso sudah siap untuk menerjang Panji Kenanga. Namun saat itu dari arah pintu terdengar suara tawa bergelak. Suara tawa ini membuat semua orang seperti disirap, tertegun di tempat masing-masing.

"Yang sudah mampus kalau bisa ingin hidup kembali! Kenapa yang masih hidup kepingin berhenti jadi orang?! Kalau tidak sinting pasti sedeng!"

SEPULUH

Ketika semua orang memandang ke pintu, mereka melihat seorang pemuda berambut gondrong memasuki kedai dengan langkah seenaknya dan sambil cengar-cengir. Hebatnya lagi, di bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh perempuan muda berpakaian merah yang robek-robek di beberapa tempat hingga menyembulkan kulitnya yang putih mulus. Si pemuda melangkah ke sebuah meja di sudut ruangan. Diturunkannya tubuh perempuan yang dipanggulnya lalu didudukkannya di atas kursi.

Semua orang jadi terkesiap ketika menyaksikan wajah perempuan muda itu. Cantik sekali! Tapi sepasang matanya terpejam, bibirnya berwarna biru. Sedang tidur, pingsan atau tertotokkah dia, demikian setiap orang menduga-duga. Pemuda itu memandang berkeliling. Meskipun ketika akan masuk tadi dia mengumbar tawa dan ucapan lantang namun setelah sampai di dalam dia seperti acuh tak acuh saja dengan segala apa yang terjadi di situ.

Dia memandang berkeliling sekali lagi lalu menghentikan pandangannya pada orang tua bermuka pucat di seberang sana, "Bapak, kau pemilik kedai ini?" tanya si pemuda.

Ki Sepuh Bawean mengangguk. Agak takut-takut.

"Aku perlu kain untuk menutup tubuh gadis ini. Di samping itu perutku juga keroncongan..."

Ki Sepuh Bawean memandang pemuda itu seketika. Dalam hatinya dia berpikir apakah manusia yang satu ini orang benar atau bangsa sedang brengsek pula yang bakal menambah huru-hara di kedainya. Kemudian dia memandang pula pada gadis berbaju merah yang duduk terpejam. Pakaiannya kotor dan robek-robek. Salah satu robekannya demikian besar hingga pangkal payu daranya yang sebelah kiri kelihatan tarsembul dengan jelas.

"Pak tua, lekaslah. Aku tak punya waktu banyak makan angin di kedaimu ini. Pertolonganmu pasti tak akan kulupakan."

Ki Sepuh Bawean hendak beranjak dari tempatnya. Namun Ronggokarapan memberi isyarat dengan larnbaian tangan agar pemilik kedai itu tetap di tempat semula. Sambil rnenimang-nimang sebuah paha ayam goreng Ronggokarapan bertanya,

"Orang asing, kau siapa?"

"Maaf aku datang ke mari bukan untuk berbincang-bincang," jawab si pamuda lalu duduk di samping gadis baju merah yang pingsan.

Tentu taja semua orang jadi terkesiap mendengar jawaban pemuda tak dikenal itu. Ronggokarapan sendiri kelihatan marah tampangnya dan duduk ternganga. "Tambah lagi satu orang edan di kedai ini!" Taliwongso membuka mulut.

Si pemuda tak ambil perduli ucapan itu. Dia berpaling pada pemilik kedai, dan berkata lagi, "Pak, tolong berikan apa yang kuminta."

Ki Sepuh Bawean jadi serba salah dan tak tahu apa yang akan dilakukan. Jika dia memenuhi permintaan pemuda itu maka dia bakal mendapat hajaran dari Ronggokarapan dan anak anak huahnya. Sebaliknya jika dia tidak menolong, hati kecilnya merasa kasihan terhadap tamu muda tersebut yang kelihatannya memang letih, apalagi menyaksikan keadaan garlis yang duduk di kursi. Akhirnya pemilik kedai itu cuma bisa angkat bahu.

Pemuda rambut gondrong itu berdiri. "Aku tak salahkan engkau kalau takut pada manusia itu," katanya sambil menunding dengan ibu jari tangan kiri ke arah Ronggokarapan. "Jangankan engkau, gorila pun pasti akan kabur melihatnya!"

Selama hidupnya baru kali itu Ronggokarapan dihina orang demikian rupa, apalagi di depan orang banyak dan di muka hidung anak buahnya rendiri! Tangan kanannya menggebrak meja hingga kayu meja pecah-pecah. Dia berdiri dengan tangan kiri diletakkan di pinggang.

"Monyet gondrong! Berani menghina Ronggokarapan berarti berani menghadapi kematian!"

Si pemuda menyeringai. "Sudahlah, tak sedap bicara denganmu. Dari jauh saja bau mulutmu membuat hidungku seperti mau tanggal!"

"Bangsat rendah!" teriak kepala rampok itu. "Mampuslah!" Ronggokarapan menggembor.

Tangan kanannya bergetar tanda ada tenaga dalam yang dialirkan ke situ. Tiba-tiba dia menghantam ke depan kirimkan satu pukulan tangan kosong. Selarik angin keras menyambar ke arah dada si pemuda. Meja dan kursi berpelantingan saking hebatnya. Bahkan beberarapa orang anak buah Rongglokarapan cepat menyingkir takut terserempet angin pukulan itu.

Yang diserang rupanya juga bukan manusia sembarangan walau masih muda dan tampangnya kelihatan tolol. Dengan satu gerakan kilat dia melompat seraya menyambar tubuh gadis yang didudukkannya di kursi. Baru saja dia berkelebat dari tempat itu, kursi kosong itu hancur berantakan kena hantaman pukulan tangan kosong Ronggokarapan. Dinding papan di belakangnya ikut pecah-pecah.

Dapat dibayangkan bagaimana kalau pukulan ganas tadi mengenai tubuh si gadis yang berada dalam keadaan tidak sadar diri itu! Baik Ronggokarapan maupun si pemuda tampaknya sama-sama terkejut. Si pemuda tidak menyangka kalau kepala rampok itu memiliki kepandaian yang begitu tinggi dan benar-benar inginkan nyawanya. Sebaliknya gembong rampok Kali Bedadung itupun tidak mengira kalau si pemuda bakal sanggup mengelakkan serangannya itu bahkan sekaligus mampu menyelamatkan gadis di atas kursi!

Diam-diam Ronggokarapan menyeluh. Mengapa hari ini dia sampai menemui dua orang pemuda yang berkepandaian demikian tinggi. Urusan dengan pemuda pertama tadi belum selesai. Kini muncul satu lagi. Apakah kedua orang ini punya hubungan satu sama lain?

Tanpa mengacuhkan kepala rampok itu, sambil memanggul tubuh gadis yang tak sadarkan diri, pemuda berambut gondrong bergerak cepat menuju bagian belakang kedai.

"Hai! Kau mau kabur ke mana?!" bentak Ronggokarapan mengejar.

Di bagian belakang kedai si pemuda menemukan sehelai kain panjang tergantung. Benda ini segera disambarnya dan dipergunakan untuk menutupi tubuh gadis yang dipanggulnya. Kemudian dengan cepat dia mengumpulkan nasi serta lauk yang dapat ditemuinya di tempat itu, membungkusnya dengan daun dan keluar. Namun di hadapannya Ronggokarapan dan tiga anak buahnya telah menghadang. Dalam keadaan seperti itu si pemuda masih saja bersikap luar biasa. Tanpa rnengacuhkan orang-orang yang ada di depannya dia berkata pada Ki Sepuh Bawean.

"Terserah kau mau bilang aku pencuri. Perutku betul-betul lapar dan aku tak punya uang untuk membeli nasi serta lauk yang barusan kubungkus ini. Kain panjang inipun kupinjam dulu. Atas kebaikanmu aku ucapkan terima kasih. Budi baikmu pasti akan kuingat."

"Bangsat! Lagak bicaramu seperti pemain sandiwara keliling!" Yang membentak adalah Rongaokarapan. Lalu tanpa banyak menunggu lagi dia tusukkan dua jari tangannya ke mata si pemuda. "Sebelum kubunuh biar kubikin cacat dulu kau!"

"Terima kasih untuk seranganmu. Ini kuberi dulu hadiah menarik!" menyahuti si pemuda. Tahu-tahu kaki kanannya sudah menderu ke perut lawan.

Bagaimanapun juga serangan kaki jauh lebih panjang dari serangan tangan. Akibatnya tendangan kaki itu akan lebih dulu mencapai sasaran dari pada serangan tangan. Hal ini diketahui benar oleh Ronggokarapan. Dengan gemas dia mendengus dan cepat mengelak ke samping kiri. Dari sini dia langsung susul serangannya yang tadi batal dengan satu jotosan ke arah pelipis kanan pemuda berambut gondrong.

Kali ini si pemuda tidak punya kesempatan untuk mengelak karena kalau itu dilakukannya dia khawatir pukulan lawan akan mengenai salah satu bagian tubuh gadis yang berada di panggulannya. Maka terjadilah satu tontonan yang menarik. Pemuda rambut gondrong lemparkan bungkusan nasi yang dipegangnya ke udara lalu dengan lengan kanan dia menangkis pukulan Ronggokarapan. Si kepala rampok lipat gandakan tenaga dalamnya. Dia yakin sekali tangannya beradu dengan lengan si pemuda maka pemuda itu akan terjengkang dengan tangan patah!

Sedetik kemudian dua lengan mereka saling beradu dengan mengeluarkan suara keras. Disusul oleh keluhan kesakitan keluar dari mulut Ranggokarapan. Ketika dia meneliti ternyata lengan kanannya berwarna merah dan bengkak sedang tubuhnya sendiri akibat bentrokan itu terpental sampai empat langkah! Selagi lawan berdiri terkesima dan kesakitan pemuda rambut gondrong telah menangkap kembali bungkusan nasi yang tadi dilemparkannya ke udara!

"Keroyok dia! Cincang sampai lumat!" teriak Ronggokarapan tiba-tiba.

Mendengar perintah itu delapan anak buah Ronggo termasuk dua bersaudara Wongso menyerbu. Ada yang mengandalkan tangan kosong tapi kebanyakan merasa lebih aman dengan senjata di tangan.

"Sialan betul, lama-lama di sini aku bisa berabe!" si pemuda yang menjadi bulan-bulanan serangan mengomel dalam hati. Dia berteriak keras dan kelihatan tubuhnya mencelat ke atas hampir menyundul langit-langit kedai. Di lain kejap selagi lawan terkejut bahkan ada yang bingung si pemuda lancarkan tendangan-tendangan pada kepala atau dada lawan-lawannya yang berada di bawah.

Randuwongso muntah darah akibat kena tendangan tepat di dada kirinya, langsung roboh dan tergelimpang tak sadarkan diri di lantai. Seorang lagi anak buah Ronggokarapan mencelat sambil menjerit. Hidungnya melesak menghambur darah, bibirnya pecah dan giginya amblas akibat terkena hantaman tumit si pemuda!

"Bunuh! Pateni!" teriak Taliwongao yang jadi beringas karana melihat saudaranya roboh tak berkutik dan disangkanya sudah mati.

Golok besarnya menderu membabat pinggul lawen sementara dua orang anggota rampok lain kirimkan tusukan dari kiri kanan. Si pemuda berkelebat ke arah pintu. Dua tusukan dapat dielakkannya, sambaran golok Talliwongso menggores bajunya. Ini membuat dia jadi penasaran dan sebelum lawan memburu dia pindahkan bungkusan nasi ke tangan kiri.

"Setan alas! Kowe mau lari ke mana?!" teriak Taliwongso dan mengejar ke pintu karana menyangka lawan hendak lari.

"Rampok bau! Siapa bilang aku mau kabur. Silakan hadiahku ini!" teriak si pemuda lalu putar tangan kanannya dan menderulah rangkuman angin.

SEBELAS

Kedai Kayu yang tak seberapa besar itu laksana dilanda angin punting beliung. Benda-benda berpelantingan. Enam anggota rampok terhuyung-huyung lalu jatuh satu demi satu. Taliwongso masih sanggup bertahan dari hempasan angin dan dengan golok besar di tangan kembali menyerang lawan. Si pemuda pukulkan tangan kanannya ke arah Taliwongso.

Kali ini Taliwongo terjajar ke belakang lalu jatuh terjengkang di antara anggota-anggota rampok lainnya. Ronggokarapan kelihatan berkerut keningnya. Dia kerahkan seluruh tenaga yang ada agar jangan sampai ikut terseret oleh gelombang angin yang menggebu-gebu itu. Tubuhnya bergetar. Pakaiannya berkibar-kibar. Kumis dan cambang bawuknya berjingkrak!

Di sudut lain Panji Kenanga tegak dengan rangkapkan kedua tangan di depan dada. Diam-diam murid Brahmana Lokapala ini juga kerahkan tenaga dalamnya agar jangan sampai kena tersapu sambaran angin yang keluar dari tangan si gondrong.

"Siapa adanya pemuda gagah ini!" tanya Panji Kenanga dalam hati. Jika saja dia tidak memiliki ilmu yang tinggi pasti sudah sejak tadi terseret oleh gelombang angin.

Ronggokarapan yang juga memiliki ilmu silat dan tenaga dalam tinggi kerahkan kekuatannya namun tak urung lututnya masih terasa goyah. Dia mengambil keputusan untuk menyerbu saja dari pada menderita malu karena jatuh dilanda angin serangan lawan. Maka didahului satu bentakan keras kepala rampok Kali Bedadung ini menerjang ke depan. Tangan kanannya dihantamkan ke arah lawan.

Selarik sinar hitam berkiblat ganas ke jurusan pemuda yang memanggul gadis. Setengah depa lagi sinar ha am ini akan menghantam mati si pemuda, tiba-tiba dia balas menghantam dengan tangan kanan, menyongsong datangnya sinar pukulan lawan. Serangkum angin yang padat dan berbuntal-buntal bulat menderu. Dan punahlah sinar hitam Ronggokarapan dengan mengeluarkan suara mendesis.

Melihat pukulan 'Wesi Hitam' yang amat diandalkannya dibikin musnah oleh lawan begitu mudah, Ronggokarapan menjadi kecut dan lumer nyalinya. Apalagi saat itu ketika memandang berkeliling dilihatnya anak-anak buahnya masih pada berjelapakan di lantai tiada daya sedang di ujung sana musuhnya yang lain yakni Panji Kenanga tegak memandang mengejek ke arahnya.

Tengah kepala rampok ini berpikir-pikir untuk ambil langkah, seribu mendadak dirasakannya dadanya amat sakit lalu satu bayangan berkelebat. Ronggo merunduk. Tapi terlambat. Satu tamparan mendarat di keningnya, laki laki ini melintir lalu jatuh duduk di lantai dengan pandangan berkunang-kunang.

"Selamat tinggal Ronggokarapan. Lain kali kita bertemu lagi!" Terdengar seruan pemuda rambut gondrong dan di lain kejap dia sudah lenyap lewat pintu kedai bersama gadis di atas panggulnya.

"Hebat sekali pemuda itu," kata Panji Kenanga dalam hati. "Bahkan agaknya dia belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya karena sikapnya berkelahi tadi seperti main-main saja."

Lalu murid Lokapala ini berpaling pada Ranggokarapan yang masih menjelapak di lantal kedai. Dan kagetlah Panji Kenanga ketika menyaksikan bagaimana di kulit kening kepala rampok itu kelihatan tertera tiga buah angka yaitu 212. "Dua satu dua..." desis Panji Kenanga sambil leletkan lidah.

"Kalau begitu... Jadi rupanya dialah yang dijuluki Pendekar 212. Pantas... Guru pernah menerangkan tentang dia. Sekarang melihat bagaimana hebatnya dia benar-benar aku merasa masih jauh ketinggalan!"

Sementara itu Ronggokarapan dengan terhuyung-huyung mencoba berdiri diikuti oleh anak-anak buahnya kecuali Randuwongso yang masih menggeletak pingsan dan seorang lagi yang tadi sempat ditendang remuk mukanya. Kepala rampok itu meneguk sisa-sisa tuak yang masih ada dalam salah satu kendi sekedar untuk melegakan perasaan kecut serta sakit pada kepalanya. Kendi tuak kemudian dibantingnya hingga pecah di lantai lalu kembali sifat ganasnya keluar.

"Lawang Kuning!" bentak Ronggokarapan. "Kemari cepat!"

Kepala kampung Warnasari yang masih ketakutan di sudut kedai tersentak kaget dan terbungkuk bungkuk melangkah menghampiri kepala rampok itu Begitu kepala kampung itu sampai di hadapannya tangan Rongpokarapan segera hendak melayang menamparnya, namun gerakannya dihentikan oleh seruan tiba-tiba dari salah seorang anak buahnya!

"Pemimpin! Keningmu!"

Kepala rampok itu berpaling tak mengerti.

"Keningmu!" kini Taliwongso yang bicara sambil tepuk keningnya sendiri.

Ronggokarapan usap keningnya lalu memperhatikan tangannya. Hanya keringat yang dilihatnya menempel di situ. Tak ada kotoran apa-apa seperti yang disangkanya. Taliwongso melangkah mendekati dan dengan suara bergetar dia berkata,

"Ada tiga angka aneh tertera di keningmu."

"Hah, apa...?!" dan Ronggokarapan kembali memegang keningnya. Mengusapnya berulang kali. Namun deretan angka 212 itu tetap saja tak mau hapus. "Kau jangan main-main Wongso! Angka keparat apa yang ada di keningku hah?!" Ronggokarapan marah karena mengira dipermainkan.

"Demi setan aku tidak main-main. Di keningmu benat-benar ada angka dua-satu dan dua. Kalau tak percaya tanyakan pada anak-anak!"

Kepala rampok itu berpaling pada anak-anak buahnya. Dan kesemua mereka sama melongo ketika menyaksikan bahwa di kening pimpinan mereka saat itu memang terlihat guratan angka 212. Ronggokarapan mengambil piring dan mengisinya dengan air putih. Lalu dia berkaca pada air di atas piring itu. Dinginlah tengkuk pemimpin rampok ini ketika melihat bayangan wajahnya sendiri dengan tiga buah angka hitam pada keningnya. Dia seperti mau kencing.

Selama malang melintang menjadi orang jahat ada beberapa tokoh golongan putih yang paling ditakutinya dan diusahakannya agar jangan sampai bertemu. Salah satu diantara mereka adalah yang berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dan hari ini tiada di sangka dia telah berhadapan bahkan berkelahi dengan pendekar tersebut. Serta meninggalkan angka pengenalnya yang angker! Kepala rampok Kali Bedadung itu kerahkan tenaga dalamnya dan coba menghapus tulisan di keningnya. Namun sia-sia saja.

"Sekalipun kulit kepalamu dikelupas, angka-angka itu tak bakal hilang!" Yang bicara ini adalah Panji Kenanga.

Ronggokarapan berpaling. Kini amarahnya ditumpahkannya pada pemuda yang satu ini. "Pemuda keparat! Sudah saatnya kau musti mampus!" Begitu membentak begitu dia menyerang dengan lepaskan pukulan 'Wesi Hitam' yang mengeluarkan sinar hitam dan deru ganas. Meskipun pukulan saktinya itu tadi tidak mampu menghadapi Pendekar 212 Wiro Sableng namun Ranggokarapan beranggapan Panji Kenanga tidak sedigdaya Wiro Sableng dan pasti konyol dilanda pukulannya itu.

Namun tidak semudah itu merobohkan Panji Kenanga. Meski dia masih muda dan belum banyak pengalaman tetapi Brahmana Lokapala dari gunung Raung telah menggemblengnya cukup hebat. Ketika melihat kepala rampokitu lepaskan pukulan maut Panji Kenanga cepat menghindarkan diri ke samping dan dari tempat kedudukannya yang baru pemuda ini membalas dengan satu tendangan kilat ke arah tulang-tulang iga lawan.

"Kurang ajar!" maki Ronggokarapan penasaran bukan main karena bukan saja serangannya mengenai tempat kosong tapi juga tidak menyangka kalau lawan bakal kirimkan serangan balasan secepat itu. Dengan sedikit repot dia meliukkan badan ke kiri dan di lain kejap selarik sinar putih memapas ke arah kaki Panji Kenanga.

Murid Lokapala itu kaget dan cepat-cepat menarik pulang tendangannya. Ternyata Ronggokarapan telah cabut golok besarnya dan membabatkan senjata itu ke kaki kanan si pemuda. Ilmu golok kepala rampok ini memang hebat hingga Panji Kenanga harus bertindak hati-hati. Meski dia tahu dengan kegesitan dalam ilmu meringankan tubuh senjata lawan tak bakal mencelakainya, namun Panji tak mau main-main lebih lama dengan penjahat ini.

Segera dia keluarkan seruling perak dari balik pakaiannya dan pergunakan benda ini untuk menghadapi senjata lawan. Gerakan-gerakannya yang gesit, sambaran dan tusukan-tusukan suling perak yang gencar membuat serangan Ronggokarapan jadi terbendung. Setiap saat dia harus berlaku awas waspada. Beberapa kali pakaiannya hampir terkait ujung suling perak. Beberapa jurus berlalu cepat. Permainan golok Ronggokarapan mulai mengendor bahkan kacau.

Setiap jurus dirinya diburu bahaya. Akhirnya ketika dia merasa tak mampu melayani pemuda itu lebih lama maka dia berteriak beri perintah agar samua anak buahnya ikut bantu mengeroyok. Kecuali anggota rampok yang mukanya melesak kena tendang Wiro Sableng, tujuh orang lainnya ditambah Randuwongso yang telah siuman dari pingsannya kini mengurung Panji Kenanga lalu dengan senjata di tangan menyerang pemuda itu.

Panji maklum dikeroyok demikian rupa kalau hanya mengandalkan seruling pendek akan terlalu besar bahayanya baginya. Dia tak mau berlaku takabur. Laksana seekor kucing hutan pemuda ini berkelebat ke kiri. Satu jeritan terdengar. Tubuhnya mencelat, goloknya mental ke udara dan secepat kilat disambar oleh Panji Kenanga. Dengan golok di tangan kanan dan seruling perak dipindah ke tangan kiri, murid Brahmana Lokapala ini mainkan jurus-jurus ilmu pedang tingkat tinggi yang sudah dikuasainya.

Dalam satu gebrakari saja pemuda itu berhasil merobohkan seorang pengeroyok dan membabat putus tangan kiri seorang lainnya. Namun demikian dia terpaksa melepaskan golok di tangan kanannya sewaktu empat golok lawan secara serentak bentrokan dengan senjatanya. Tiga dari empat golok itu adalah yang masing-masing dipegang oleh Ronggokarapan, Taliwongso, dan Randuwongso.

"Jangan tunggu lebih lama. Cincang keparat itu sampai lumat!" teriak Ronggokarapan.

Serempak dengan itu lima golok berkelebat menyerbu Panji Kenanga. Tiba-tiba selarik sinar biru menderu dan...

"Trangg... Trangg... Trangg...!"

Tiga pengeroyok terpekik seraya melompat keluar dari kalangan pertempuran dalam keadaan terluka parah. Satu diantararrya adalah Taliwongso. Pembantu kepercayaan Ronggokarapan ini berdiri membungkuk sambil pegangi perutnya yang bobol dihantam pedang Gajah Biru yang kini berada di tangan Panji Kenanga. Taliwongso tak berumur lama. Dia roboh ke lantai. Menggetiat beberapa kali lalu tak bergerak lagi untuk selama-lamanya.

Dua rampok lainnya mengalami nasib sama. Mati di situ juga dimakan pedang mustika pemberian Brahmana Lokapala. Randuwongso seperti orang kemasukan setan ketika menyaksikan kematian saudaranya. Didahului satu pukulan tangan kosong dia kirimkan bacokan ke arah kepala Panji Kenanga. Namun dengan pedang Gajah Biru di tangan pemuda itu kini sulit untuk dihadapi.

Sekali Panji mengiblatkan senjata mustikanya mentallah golok besar di tangan Randuwongso bersama-sama sebagian telapak tanganya! Dengan menjerit kesakitan dan memegangi tangannya yang kini buntung mengucurkan darah, Randuwongso melompat keluar dari kalangan perkelahian. isa-sisa rampok yang mengeroyok dan sejak tadi sesungguhnya sudah meleleh nyalinya sama-sama melompat keluar dari kalangan menjauhi Panji Kenanga.

Dengan demikian kini hanya Ronggokarapan seorang diri yang bertempur melawan Panji Kenanga. Dan inipun tidak lama. Sesudah golok besarnya dibabat putus oleh pedang Gajah Biru kepala rampok ini lari ke pintu dan memberi aba-aba pada anak buahnya untuk melarikan diri. Yang masih sanggup kabur tentu saja tidak sia-siakan kesempatan ini. Mereka tak perduli lagi akan kawan-kawan mereka yang tertinggal di dalam kedai dan melolong minta tolong.

Sebelum Ronggokarapan dan anak-anak buahnya yang kabur lenyap Panji Kenanga masih sempat berteriak. "Kalau kalian berani lagi datang ke desa ini jangan harap bakal dapat ampunan dariku!"

********************

DUA BELAS

Dengan mengandalkan ilmu lari tingkat tinggi yang sudah mencapai kesempurnaannya, Pendekar 212 Wiro Sableng lari laksana angin. Hampir-hampir sulit untuk melihat kapan kedua kakinya menjejak tanah. Dia cuma punya waktu 3 jam untuk harus mencapai tujuannya. Dalam gelap dan dinginnya malam dia lari terus seperti tidak memperdulikan apapun. Di bahu kirinya sampai saat itu dia masih memanggul sosok tubuh gadis baju merah yang berada dalam keadaan pingsan.

Siapakah gerangan adanya gadis cantik ini? Kenapa berada dalam keadaan begitu rupa dan lebih lanjut kemanakah sebenarnya Wiro Sableng saat itu membawanya? Untuk menjawab pertanyaan di atas kita kembali pada suatu tempat kira-kira setengah hari perjalanan jauhnya di tenggara desa Warnasari. Saat itu sekitar dua jam setelah matahari tenggelam.

Sejak setengah bulan yang lalu Pendekar 212 Wiro Sableng telah mendengar terjadinya penculikan-penculikan serta pembunuhan yang dilakukan secara kejam oleh manusia-manusia iblis yang menyebut dirinya Hulubalang-hulubalang Darah. Sesuai dengan tujuan hidup serta maksud petualangannya di dunia persilatan yaitu membela kaum tertindas, mempertahankan kebenaran serta menegakkan keadilan dan di lain pihak membasmi setiap manusia jahat penimbul malapetaka, maka Pendekar 212 segera melakukan penyelidikan.

Pertama sekali dia harus mengetahui di mana letaknya Istana Darah itu. Tekadnya sudah bulat. Istana Darah serta siapapun begundal-begundal yang ada di dalamnya musti dimusnahkan. Jika tidak dunia persilatan akan mengalami malapetaka besar! Dalam perjalanan inilah, setelah menyeberangi sebuah sungai dan menyusuri hutan kecil di tepi sawah yang terletak 25 kilometer di tenggara Warnasari, Wiro mendengar derap kaki kuda di belakangnya.

Segera dia menghindar ke tepi jalan. Satu perasaan mendorongnya untuk menyelinap bersembunyi di balik sebatang pohon sebelum derap kaki-kaki kuda itu datang lebih dekat. Tak lama kemudian lewatlah seekor kuda coklat berbelang putih, ditunggangi oleh seorang dara berpakaian merah. Untuk beberapa ketika pendekar kita dibikin terpesona oleh kecantikan paras gadis yang tak dikenal itu. Namun mata Wiro yang tajam melihat bahwa di belakang kecantikan wajah si gadis terdapat bayangan rasa cemas yang amat sangat.

Siapakah gerangan dara berbaju merah yang menunggangi kuda secepat itu? Kecemasan apa pula yang mencekam dirinya? Saat Wiro berpaling cepat-cepat ke jurusan kiri karena di ujung jalan terdengar derap kaki kuda. Sepasang bola mata Pendekar 212 menyorotkan sinar aneh ketika melihat kuda dan penunggang yang muncul dari ujung jalan itu. Kuda itu berwarna merah, penunggangnya juga mengenakan pakaian serba merah.

Di bawah topinya yang berbentuk tarbus merah kelihatan wajahnya yang seperti dicat merah menyeramkan. Bau amat busuk menebar waktu penunggang kuda ini melewati pohon di belakang mana Wiro Sableng mengendap.

"Pasti ini adalah salah seorang Hulubalang Istana Darah," kata Wiro dalam hati, "tampaknya dia mengejar gadis tadi."

Tidak menunggu lebih lama Wiro keluar dari balik pohon dan dengan mempergunakan ilmu larinya segera mengejar dari belakang. Di satu pendakian jarak antara gadis berkuda coklat dan pengejarnya hanya tinggal beberapa tombak saja. Si muka merah berteriak memerintah agar orang yang dikejar berhenti. Sebagai jawaban si gadis melambaikan tangan kanannya ke belakang. Terdengar suara desingan halus. Kira-kira dua lusin senjata rahasia melesat ke arah si muka merah.

"Kurang ajar!" desis si muka merah seraya lambaikan ujung lengan pakaiannya.

Serangkum angin menderu dan berpelantinglah senjata-senjata rahasia yang menyerangnya. Di lain kejap manusia itu memukulkan tangan kanannya. Di lain kejap Wiro Sableng melihat bagaimana kuda coklat putih yang ditunggangi sang dara roboh di puncak pendakian dan terguling-guling ke bawah. Gadis berbaju merah berhasil selamatkan diri dengan jalan melompat.

"Manusia puntung neraka!" bentak sang dara begitu pengejarnya sampai di hadapannya. "Kau kira aku takut padamu?" Lalu dari balik bajunya dia keluarkan segulung cambuk.

Si muka merah tertawa mengekeh. "Kalau kau tidak keras kepala kau bakal mendapat tempat yang bagus di Istana Darah bersamaku! Kecuali kalau memang sengaja mencari celaka!"

"Manusia terkutuk! Kaulah yang bakal celaka!" hardik sang dara. Lalu terdengar suara laksana petir menyambar ketika dia hantamkan cambuknya ke arah batang leher si muka merah.

"Gadis tolol! Adatmu tidak beda dengan kau punya guru! Kalau hari ini aku belum dapat membuat perhitungan dengan si keparat tua itu, biar kau yang jadi muridnya harus menerima celaka lebih dulu!"

Sekali si muka merah itu gerakkan tangannya maka dia berhasil menyentak lepas cambuk yang saat itu menyambar batang lehernya! Gadis baju merah terkejut bukan main. Gerakan pukulan cambuk yang tadi dilepaskannya adalah satu serangan kilat yang selama ini selalu mengenai sasarannya. Tapi sekali ini bukan saja gagal malah senjatanya kena dirampas lawan! Hati sang dara menjadi cemas bukan main.

Sementara itu si muka merah sudah melompat turun dari kudanya. Si gadis dengan nekad kirimkan serangan kedua berupa pukulan tangan kosong. Namun sebelum dia sempat bergerak dilihatnya segulung asap biru keluar dari mulut si muka merah dan menghembus ke arahnya.

"Aaakhhh...!"

Hanya itu suara yang bisa dikeluarkan si gadis lalu tubuhnya melosoh dan terhantar ke tanah. Dikeluarkannya seluruh kekuatannya yang ada, berusaha agar jangan jatuh pingsan. Sementara itu pemandangannya menjadi gelap, wajahnya mulai pucat dan bibirnya bergetar, mulai berubah warna rnenjadi kebiru-biruan. Pakaiannya robek-robek ketika tersentuh asap biru aneh tadi. Si muka merah tertawa gelak-gelak.

"Gadis! Umur mu hanya tinggal lima jam! Menjelang kematianmu kau bakal merasakan siksaan luar biasa. Urat-urat dan saluran darah dalam tubuhmu laksana digigit oleh ratusan semut rangrang. Ha-ha-ha?!"

Suara gelak tawa si muka merah serta merta terhenti ketika di belakangnya terdengar satu bentakan. "Manusia terkutuk! Kejahatanmu lebih terkutuk dari iblis!"

"Heh! Setan dari mana magrib-magrib begini berani mendampratku?" ujar si muka merah seraya memalingkan kepala. Diam-diam dia merasa terkejut karena adalah aneh baginya kalau ada seorang berada di tempat itu tanpa dia sempat mengetahui lebih dulu.

"Kau apakan gadis itu?!"

Si muka merah mengerenyit dan memandang tajam-tajam pada seorang pemuda berambut gondrong berpakaian putih yang tegak delapan langkah di hadapannya. Karena hari sudah agak gelap dia tidak dapat melihat jelas wajah si pemuda namun dia yakin belum pernah mengenal pemuda ini sebelumnya. Siapakah sebenarnya manusia berpakaian serba merah dan yang mukanya dicat merah ini.

Dari ciri-cirinya sudah dapat dipastikan bahwa dia adalah salah seorang Hulubalang Istana Darah dan yang satu ini merupakan Hulubalang Darah Kesatu. Hulubalang Darah Ketujuh saja sudah kita saksikan kehebatan ilmunya, apalagi Hulubalang Darah Kesatu ini. Nyatanya meskipun gadis berbaju merah tadi adalah murid seorang sakti mandraguna namun dengan mudah Hulubalang Darah Kesatu merobohkannya.

Di lain pihak siapa pula adanya pemuda berambut gondrong yang tegak di depan Hulubalang Darah Kesatu saat itu? Dia bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng!

"Bedebah! Majulah ke tempat lebih terang agar aku dapat memastikan apakah kau manusia atau benar-benar setan kesasar!'' Hulubalang Kesatu membentak.

"Kau apakan gadis itu?" Wiro mengulangi pertanyaannya.

Hulubalang Darah Kesatu kertakkan rahang. "Dirimu punya sangkut paut dengan dia?" Pendekar 212 menyeringai.

"Yang aku tahu...?" kata si gondrong dari Gunung Gede ini, "Ialah bahwa aku punya sangkut paut dengan kejahatan laknatmu!" Habis berkata begitu Wiro Sableng menerjang ke muka serta melepaskan pukulan 'Kunyuk Melempar Buah'.

Hulubalang Darah Kesatu tak menyangka kalau lawan semuda itu bakal memiliki pukulan meyakinkan begitu rupa. Kontan dia keluarkan pekik garang dan tubuhnya lenyap dari pandangan.

"Keparat! Mau lari ke mana bangsat merah ini!" maki Wiro dalam hati dan tiba-tiba saja dia dikejutkan oleh berkelebatnya lima jari tangan berkuku-kuku panjang. Hampir saja Pendekar 212 mendapat celaka dalam gebrakan pertama itu kalau dia tidak lekas-lekas membuang diri ke samping. Karena hari sudah mulai gelap Wiro tak sempat melihat bahwa lawannya memiliki sepuluh jari tangan berwarna merah yang ditumbuhi kuku-kuku panjang macam cakar garuda!

Bukan main marahnya Hulubalang Darah Kesatu ketika melihat bagaimana serangannya yang bernama 'Lima Cakar Sakti Meremas Bumi' dapat dielakkan oleh lawannya yang disangkanya hanya seorang manusia tolol mau mencari mati.

"Manusia edan! Kau benar-benar terlalu berani mgncari mati! Terlalu gegabah mencari urusan denganku! Atau kau belum tahu siapa aku?!"

Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa mengejek. "Manusia muka merah! Aku cukup kenal siapa kau! Dan perlu kau ketahui sejak lama aku punya niat membasmi Hulubalang-hulubalang keparat macammu dan memusnahkan Istana Darah. Kau adalah korbanku yang pertama!"

Mendengar ucapan itu Hulubalang Darah Kesatu tertawa bekakakan. Sambil menepuk dada dia berkata, "Dalam Istana Darah, 24 tokoh-tokoh sakti dan terkenal sudah menemui kematiannya. Hari ini seorang bocah bau air tetek mimpi hendak menghancurkan Istana Darah. Sungguh aneh dunia ini. Ha-ha-ha!"

"Mimpi atau bukan kau terimalah pukulanku ini!" teriak Wiro lantang.

Begitu tangan kanannya digerakkan menderulah angin dahsyat laksana topan prahara mengamuk. Pohon-pohon di sekitar situ berderak patah dan tumbang dengan mengeluarkan suara riuh. Gadis baju merah yang terhampar di tanah terguling ke dekat pematang sawah. Itulah pukulan 'Benteng Topan Melanda Samudera' yang telah dilepaskan Wiro Sableng dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya.

Sebagai tokoh berkepandaian tertinggi di antara Hulubalang-hulubalang Istana Darah, Hulubalang Darah Kesatu kaget bukan main menyaksikan pukulan pemuda tadi. Sepasang lututnya terasa bergetar dan sebelum tubuhnya ikut tersapu oleh pukulan lawan cepat-cepat dia mengerahkan tenaga dalamnya ke kaki hingga walau bagaimanapun hebatnya serangan Wiro namun kedua kakinya laksana gunung karang menancap dalam tanah, tak sanggup digetarkan sedikitpun!

"Ha-ha-ha..., apa sudah seluruh tenaga dalammu kau keluarkan?" ejek Hulubalang Darah Kesatu.

Dia sama sekali tidak menduga kalau Wiro baru kerahkan setengah bagian saja dari kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya. Murid Sinto Gendeng ini jadi penasaran. Didahului satu suitan melengking memecah langit di malam gelap itu, Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya. Hulubalang Darah Kesatu menjadi kaget ketika dirasakannya bagaimana kedua kakinya mendadak menjadi gontai dan tubuhnya perlahan-lahan bergetar terhuyung-huyung.

Hulubalang Darah keluarkan bentakanenggeledek. Kedua tangannya dipukulkan ke depan. Dua larik sinar merah yang bukan lain merupakan semburan api panas luar biasa, menderu melabrak ke arah Wiro Sableng. Pendekar 212 tidak berlaku ayal. Kedua tangannya segera pula dipukulkan ke depan.

Maka terdengarlah suara berdentum. Bumi laksana digulung lindu. Pohon-pohon bertumbangan. Hulubalang Darah Kesatu terguling-guling di tanah. Dia mencoba bangun dengan cepat tapi sempoyongan dan jatuh lagi. Dadanya sebelah dalam mendenyut sakit. Cepat-cepat dia duduk bersila dan pejamkan mata mengatur jalan darah serta nafas dan mengalirkan tenaga dalam dari pusar ke dada.

TIGA BELAS

Sewaktu bentrokan dua pukulan sakti itu terjadi, Pendekar 212 Wiro Sableng merasakan tanah yang dipijaknya laksana digoncang gempa. Kedua kakinya melesak sampai lima senti. Lututnya goyah dan dalam keadaan tubuh terhuyung-huyung akhirnya dia jatuh duduk di tanah. Meskipun semburan dua gelombang api lawan sanggup dimusnahkannya namun sekujur kulit tubuhnya terasa perih oleh hawa panas luar biasa pukulan lawan.

Seperti Hulubalang Darah Kesatu, pendekar kita inipun cepat-cepat duduk bersila untuk mengatur jalan nafas dan darah serta mengalirkan tenaga dalam ke bagian-bagian tubuh terpenting. Begitu keadaannya pulih kembali Hulubalang Darah Kesatu cepat melompat dan berdiri bertolak pinggang. Sepasang matanya berapi-api memandang tak berkedip pada Pendekar 212. Wiro sendiri saat itu sudah berdiri pula dan menunggu dengan penuh waspada.

"Rambut gondrong!" tegur Hulubalang Darah Kesatu sambil bertolak pinggang. "Kulihat kau barusan melepaskan pukulan Benteng Topan Melanda Samudra! Apa hubunganmu dengan Sinto Gendeng dari Gunung Gede?!"

Wiro Sableng diam-diam terkejut melihat lawan mengenali ilmu pukulan serta nama gurunya. Tapi dia tenang-tenang saja dan tidak memperlihatkan rasa terkejutnya itu. Tak dapat tidak si muka merah ini pasti orang tokoh silat terkenal dan berusia lanjut. Memang sebenarnya Hulubalang Darah Kesatu sudah berusia harnpir 80 tahun. Namun karena mukanya dicat dengan darah yang telah membeku maka keriput-keriput ketuaannya tidak kelihatan.

Demikian pula rambutnya yang seharusnya berwarna putih macam saiju selain tertutup tarbus juga telah dicelup dengan darah. Puluhan tahun silam Hulubalang Darah Kesatu dikenal dengan nama Waranawikualit dan merupakan tokoh silat kelas satu yang disegani di kawasan Jawa Barat. Namun karena sikapnya yang culas dan suka berkhianat terhadap kawan sendiri, tokoh-tokoh silat golongan putih boleh dikatakan rata-rata membencinya.

Akibat tidak diterimanya dirinya oleh kaum putih, maka makin lama Waranawikualit semakih jauh tersesat ke dalam dunia hitam dan akhirnya melalui liku-liku pasang surut dunia persilatan dia sampai di Jawa Timur dan memegang jabatan Hulubalang Darah Kesatu di Istana Darah yang menjadi sumber malapetaka sejak akhir-akhir ini.

Wiro Sableng tertawa bergumam. "Kau kenal ilmu pukulanku tadi, muka merah? Bagus... bagus sekali! Dan lebih bagus lagi kalau kau kenal nama guruku. Tapi apa kau sudah kenal jalan ke neraka...?"

Paras Hulubalang Darah menjadi tambah marah mendengar kata-kata itu. Sebaliknya Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. "Bilang saja terus terang bahwa kau belum tahu jalan ke neraka. Tuan besarmu ini pasti akan menunjukkan padamu!"

"Bedebah!" bentak Hulubalang Darah Kesatu merah bukan main diejek begitu rupa.

Sepuluh jari tangannya yang berkuku panjang dipentang. Didahului oleh gelegar lengekingan yang keluar dari tenggorokannya, manusia ini menjentikkan ke sepuluh jari tangannya dan sepuluh jalur asap yang saling bersilangan menderu. Silangan-silangan itu semakin banyak karena jalur asap merah itu cepat sekali memecah menjadi puluhan hingga dalam tempo sekejap saja jalur-jalur asap merah itu tak bedanya seperti sebuah jaring yang menyerbu ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng!

"Ilmu setan apa pula ini!" kata Wiro dalam hati lalu lepaskan satu pukulan ke arah jaring asap merah. Hebatnya jaring asap merah itu bukannya punah melainkan pecah dan semakin melebar serta semakin cepat menyambar ke arah Wiro. Pemuda kita keluarkan siulan nyaring. Melompat ke belakang sejauh satu tombak dan dari tempat kedudukan yang baru melepaskan satu pukulan tangan kosong yakni pukulan 'Kunyuk Melempar Buah'.

Namun pukulan inipun percuma saja karena semakin membuat tambah banyaknya jalur-jalur asao merah yang berarti semakin melebar pula dan siap menelan Wiro Sableng. Hulubalang Darah Kesatu tambahkan kekuatan tenaga dalamnya. Dengan mengeluarkan suara menderu asap merah bergerak tambah cepat dan kini hanya tinggal beberapa jengkal saja lagi.

Wiro cepat angkat kedua telapak tangannya dan memompa tenaga dalam. Di antara deru serangan asap merah, terdengar pula deru dua gelombang angin menyapu ke depan. Pukulan 'Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih' yang dilepaskan Pendekar 212 untuk sesaat berhasil membendung serangan yang aneh berbahaya itu.

Namun ketika Hulubalang Darah melipat gandakan tenaga dalamnya maka runtuhlah benteng pertahanan lawan dan secepat kilat jaring asap merah menyambar tubuhnya sebelah kiri! Pemuda ini terpukul dan terhuyung sementara dari kanan ujung jaring dengan cepat datang pula menyambar. Tentu saja Wiro tak mau mendapat hantaman kedua kali. Karena hantaman pada tubuh sebelah kiri telah membuat bagian tubuh di sebelah situ menjadi kaku tak bisa digerakkan!

Didahului oleh siulan nyaring Wiro hantamkan tangan kanannya ke arah jaring. Sinar putih menyilaukan berkelebat. Di belakang sana Hulubalarg Darah Kesatu terdengar keluarkan seruan tertahan. Pukulan 'Sinar Matahari' yang dikeluarkan Wiro bukan saja menghancur leburkan jaring maut yang amat diandalkannya, tapi hampir saja menghantam lengannya jika dia tidak buru-buru menghindar.

Wiro kirimkan pukulan tangan kiri sebagai susulan namun saat itu Hulubalang Darah telah lenyap dari tempatnya, lenyap bersamaan dengan musnahrrya jaring asap aneh tadi. Wiro kertakkan rahang tanda geram. Dia kemudian ingat pada gadis baju merah yang tadi terguling-guling akibat angin pukulan. Cepat-cepat dia menuju pematang sawah.

Namun untuk sesaat langkahnya terhenti karena saat itu dilihatnya dua sosok benda hitam terhampar di tengah jalan. Ketika diteliti ternyata adalah dua ekor kuda. Yang pertama kuda coklat belang putih milik si gadis. Satunya berwarna merah milik Hulubalang Darah. Ternyata sebelum kabur Hulubalang Darah sempat membunuh kedua binatang yang tak berdosa itu.

Wiro dapatkan gadis baju merah terhantar di tepi pematang sawah. Sekelompok akar pohon mengganjal tubuhnya hingga tak sampai kecemplung ke dalam lumpur sawah. Wiro mendukung tubuhnya dan menyandarkan pada sebatang pohon. Kedua mata si nadis terpejam. Bibirnya yang membiru sedikit terbuka. Mukanya pucat pasi. Pakaiannya robek-robek. Wiro menarik nafas sesak. Dipegangnya kedua lengan si gadis.

Dia maklum kalau dalam tubuh gadis itu mengendap racun jahat luar biasa yang bakal menamatkan riwayatnya jika tidak lekas rnendapatkan pertolongan. Aliran tenaga dalam Wiro menghangati tubuh dara itu. Namun kemudian dirasakan oleh si pemuda itu bagaimana racun yang mengendap dalam tubuh si gadis memusnahkan hawa hangat itu dan walau bagaimanapun dicoba untuk mengimbanginya tetap saja gagal.

Wiro ingat pada Kapak Maut Naga Geni 212 yang tidak mempan segala macam racun. Cepat dikeluarkannya senjata itu dan hulunya yang berbentuk kepala naga serta terbuat dari gading digenggamkannya ke tangan dara berbaju merah. Hawa panas mengalir ke segenap bagian tubuh sang dara, namun tak lama kemudian kembali sirna.

"Racun jahat luar biasa!" kata Wiro dan menjadi bingung bagaimana caranya menyelamatkan jiwa gadis ini. Tiba-tiba didengarnya si gadis menggerang. Di antara erangan itu keluar ucapan terpatah-patah.

"Guru... mu... muridmu mohon maaf dan direlakan. Mung... mungkin kita... kita tak bisa bertemu la... lagi..."

Wiro ingat pada beberapa butir obat yang dibawanya. Cepat-cepat benda ini dikeluarkannya dan dimasukkannya ke dalam mulut si gadis. Gadis baju merah terkejut dan hendak menyemburkan obat itu.

"Jangan buang. Telan...?!" kata Wiro. "Mungkin obatku itu bisa menolong..."

Si gadis coba membuka kedua matanya. Tetapi tak mampu. "Telanlah cepat. Siapa tahu bisa menolong."

Dengan obat masih dalam mulut si dara bertanya, "Kau... kau siapa yang hendak menolongku...?"

"Jangan habiskan waktu dengan segala pertanyaan tak berguna. Telan obat itu cepat."

Sang dara agak meragu sesaat lalu gelengkan kepalanya. "Percuma...?" desisnya.

"Percuma atau tidak telan dulu," ujar Wiro.

Akhirnya si gadis menelan obat itu. Sesaat kemudian dia berkata lagi. "Tak ada guna... percuma saja. Ra... racun yang mengindap di tu... buhku adalah racun waja biru. Hanya dua orang yang bisa menyelamatkanku. Tapi... tak mungkin..."

"Siapa kedua orang itu?" Wiro mengulangi pertanyaannya.

"Waranawikualit..." bisik si gadis.

"Siapa dan di mana tempatnya?"

"Orangnya manusia muka merah yang tadi menyemburkan racun itu padaku..."

Wiro gigit bibir. Tentu saja manusia terkutuk itu tak bakal mau memberi pertolongan. "Yang satunya lagi?" tanya Wiro kemudian.

"Gu... ru ku sendiri..."

"Di mana beliau sekarang?"

Sang dara tarik nafas sesak. "Tak mungkin...," katanya perlahan.

"Apa yang tak mungkin...?"

"Tak mungkin kau bisa menolongku..."

"Kenapa tidak mungkin?" tanya Wiro tak sabaran.

"Tempatnya jauh dari sini. Sebelum sampai aku sudah mati di... tengah... jalan..."

"Kita harus mencoba. Katakan di mana tempat gurumu," Wiro mendesak.

"Danau Jembangan..." menerangkan si gadis. Wajahnya semakin pucat.

Tiba-tiba mulutnya membuka lebar. Sikapnya seperti orang mau muntah. Tapi yang keluar, dari mulutnya adalah satu teriakan yang mengerikan. Tubuhnya kemudian miring ke kanan dan hampir roboh ke tanah jika tidak lekas dipegang oleh Wiro. Pemuda ini terkejut. Menyangka si gadis sudah menemui ajal. Tapi ketika diperiksa ternyata cuma pingsan.

Danau Jembangan memang jauh dari situ. Orang biasa dengan menunggang kuda setengah hari baru akan sampai ke situ. Namun Wiro tidak kawatir. Dengan mengandalkan ilmu lari 'Seribu Kaki' dia yakin bisa sampai ke sana paling lama dalam tempo empat jam. Karenanya tanpa membuang waktu lagi murid Sinto Gendeng ini segera memanggul tubuh si gadis dan meninggalkan tempat itu menuju ke utara.

Dalam perjalanan menuju Danau Jembangan itulah Wiro melewati kampung Warnasari. Dengan perut kosong dan tubuh letih dia memutuskan untuk mampir ke kedai Ki Sepuh Bawean yang justru pada saat itu tengah didatangi oleh gerombolan Ronggokarapan hingga terjadi pertempuran yang membawa korban jiwa.

********************

EMPAT BELAS

Danau Jembangan terletak di satu dataran randah yang dikelilingi oleh hutan bakau. Di bagian timur danau ada sebuah rakit dari rotan-rotan besar. Di atas rakit ini berdiri sebuah bangunan tinggi macam menara yang keseluruhannya juga terbuat dari rotan.

Dengan tubuh basah mandi keringat serta nafas memburu Wiro Sableng datang berlari dari jurusan barat. Pada saat itu di atasnya terdengar suara pekik aneh. Ketika dia mendongak dilihatnya seekor burung elang merah bertengger di ujung ranting sebatang pohon. Sepasang matanya yang hijau menyorot tajam ke arah Wiro dan berkilai-kilai ditimpa sorotan sinar matahari yang baru terbit.

"Aneh," kata Wiro dalam hati. "Sejak dinihari tadi burung itu terbang mengikutiku." Tiba-tiba elang itu kembali memekik keras menyakitkan telinga. "Hebat sekali suara pekia," kata Wiro pula.

Lalu tanpa memperdulikan lagi binatang itu dia segera lari ke jurusan timur danau. Di atasnya kembali elang merah terbang mengikuti dan terus-terusan mengeluarkan suara pekikan bising.

"Binatang celaka ini mengganggu saja," kata Wiro mulai kesal.

Sambil itu digerakkannya tangannya ke atus untuk memukul namun sesuatu mendadak meluncur menyambar kedua kakinya, membuatnya terkejut dan cepat melompat. Ketika diteliti ternyata serumpun akar bakau hampir saja menyerandungnya. Ini adalah satu keanehan. Semula Wiro menyangka yang meluncur ke arah kakinya itu tadi adalah ular namun nyatanya akar bakau. Dapatkah tanaman yang tidak memiliki daya gerak itu meluncur aneh demikian rupa?

Sementera itu di atas kepalanya elang merah masih terus terbang berputar-putar sambil tiada hentinya berkuik-kuik. Lagi kebingungan begitu tiba-tiba satu sambaran angin menerpanya dari belakang. Wiro cepat melompat menghindarkan diri. Untuk kedua kalinya pula pendekar ini dibuat terkejut karena sambaran angin keras tadi ternyata disebabkan oleh batang-batang pohon bakau yang secara aneh berjatuhan ke tanah.

"Kalau tidak ada yang mengendalikan mustahil pohon-pohon ini bisa bergerak," pikir Wiro.

Dia memandang berkeliling namun tak seorangpun kelihatan. Akhirnya dengan jalan kaki biasa Wiro lanjutkan perjalanannya menuju bangunan rotan di tepi timur danau. Sejarak dua puluh langkah dari bangunan itu tiba-tiba di sekelilingnya terdengar suara menderu. Pohon-pohon bakau yang berjajaran di tempat itu bergerak seperti tangan-tangan gurita, menggelung ke arah tubuh Wiro Sableng!

"Kurang ajar! Apa-apaan ini?!" seru Wiro lalu dengan cepat menghantamkan tangan kanannya melepas pukulan 'Benteng Topan Melanda Samudera'. Serta merta tanaman yang hendak menjirat tubuhnya mental pecah-pecah.

"Gila!" maki Wiro sambil garuk-garuk kepalanya.

Semakin dekat ke bangunan di tepi danau samekin waspada dia. Tapi nyatanya sampai jarak lima langkah dari bangunan rotan itu tidak terjadi apa-apa. Dengan cepat ditelitinya keadaan. Satu-satunya jalan masuk adalah sebuah pintu yang terletak di sebelah atas bangunan. Jarak pintu dengan tepi danau hanya tujuh tornbak.

Ini bukan satu hal yang sulit bagi Wiro untuk melompat masuk ke situ sekalipun dengan memanggul tubuh gadis yang pingsan di bahu kirinya. Namun ketika dia hendak melompat sejenak hatinya menjadi bimbang. Mungkinkah dia telah datang ke tempat yang salah. Mungkin danau di hadapannya ini bukan Danau Jembangan. Lalu apa artinya semua rintangan-rintangan aneh yang barusan dialaminya?

Setelah menetapkan hati, dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, laksana seekor burung Wiro Sableng melompat ke udara den melayang menuju pintu di puncak bangunan rotan. Namun sebelum dia mencapai pintu tersebut, dari samping berketebat satu bayangan merah yang langsung menyambar ke arah lehernya!

Dalam terkejut yang amat sangat Wiro Sableng masih sempat memiringkan tubuh namun daya lesatnya ke atas sudah agak berkurang hingga mau tak mau pendekar ini terpaksa melompat ke samping dan mempergunakan sebuah cabang pohon untuk menjejakkan kaki lalu melesatkan tubuhnya kembali ke udara.

Rasa penasaran mendapat serangan yang aneh itu membuat Wiro marah bukan main. Lebih-lebih ketika diketahuinya bahwa yang menyerang ternyata adalah elang marah yang rupanya masih terus mengikutinya. Dan saat itu dari arah atas dilihatnya binatang itu menukik tajam. Jari-jarinya yang berkuku pinjang tajam terpentang lebar sedang paruh lurus siap untuk mengirimkan satu patukan keras!

"Binatang celaka ini kalau tidak dilenyapkan bisa bikin aku susah," kata Wiro geram lalu memukulkan tangannya ke atas, melancarkan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Namun untuk kesekian kalinya pendekar kita ini melengak. Dengan satu gerakan cekatan elang merah itu berkelit mengelakkan pukulan, lalu dengan kecepatan luar biasa berbalik kembali menyambar ke arah perut Wiro!

"Kurang ajar! Jangan harap kali ini kau bisa selamat!" kata Wiro dan bersiap lepaskan satu pukulan lagi. Tiba-tiba dari puncak bangunan berbentuk menara yang terbuat dari rotan terdengar seruan nyaring.

"Sultan! Hentikan seranganmu. Dan kau pemuda asing masuklah kemari!"

Elang merah yang hendak menyerang Wiro keluarkan suara menguik keras lalu berbalik cepat dan hinggap di puncak menara bangunan. Terheran-heran Wiro melesat masuk ke pintu. Ruangan di puncak rnenara rotan itu tidak seberapa besar dan kalau saja dia tidak lekas-lekas menahan daya dorongan tubuhnya hampir saja dia menabrak seorang lelaki tua yang terbaring di atas sebuah tempat tidur rendah terbuat dari rotan.

"Pemuda asing, kau siapakah! Apa kedatanganmu kemari membawa maksud baik atau buruk? Dari sambaran angin yang tak seimbang yang keluar dari gerakanmu waktu masuk ke sini, kau tentu membawa sesuatu di bahu kirimu!"

Saking terkejutnya Wiro Sableng sampai berdiri dengan mulut menganga. Betapakan tidak karena dilihatnya orang tua yang barusan bicara itu buta kedua belah matanya! Dan bukan itu saja, orang tua yang berambut putih bermata buta ini, buntung kedua kakinya sebatas lutut sedang kedua tangannya terbelenggu oleh rantai besar berwarna biru. Dalam keadaan begitu rupa bagaimana dia bisa berada di bangunan yang tinggi itu!

"Orang tua, sebelumnya aku ingin tanya dulu. Apakah danau di luar sana adalah Danau Jembangan?" Wiro bertanya untuk mendapatkan kepastian.

"Betul!" jawab si orang tua pendek. Lalu sambungnya. "Cepat terangkan siapa kau. Apa yang kau bawa dan apa maksudmu kemari. Jika membawa niat buruk sebaiknya lekas-lekas angkat kaki dari sini!"

"Namaku Wiro. Aku..."

"Tunggu dulu!" orang tua buta itu cepat memotong. "Apakah kau bukannya si Sableng yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?"

Wiro terkesima. "Kira-kira begitulah..." katanya menyahuti.

Tiba-tiba orang tua itu berseru girang dan sekali bergerak tahu-tahu dia sudah duduk di atas pembaringan rotan. "Lekas tolong aku! Keluarkan Kapak Naga Genimu dan potonglah rantai yang membelenggu kedua tanganku ini. Bertahun-tahun aku menunggu kedatanganmu. Kini aku bebas! Bebas! Karena hanya kapak saktimu itu yang sanggup memotong putus belenggu celaka ini!"

Wiro berdiri bingung dan si orang tua kembali menyuruhnya agar segera mengeluarkan Kapak Naga Geni 212. Dengan hati sedikit meragu karena khawatir orang tua itu akan menipunya, akhirnya Wiro keluarkan senjatanya dari balik pakaian. Sinar putih menerangi ruangan rotan itu. Dengan air muka berseri-seri si orang tua mengulurkan kedua tangannya yang terbelenggu.

"Potonglah cepat!" katanya.

Wiro maju mendekat. Dalam keadaan lebih dekat begitu si orang tua dapat merasakan hembusan nafas gadis berbaju merah yang pingsan di bahu kiri Wiro.

"Hai!" seru orang tua itu. "Kau memanggul seseorang di bahu kirimu. Siapa dia!"

"Aku sendiri tak tahu namanya. Tapi dia mengaku muridmu..."

Si orang tua kerenyitkan kening. "Apakah dia seorang dara berpakaian serta merah?" tanya si orang tua. "Apa yang telah terjadi atas dirinya?"

Maka dengan cepat Wiro menuturkan bagaimana dia bertemu pertama kali dengan sang dara dan apa yang kemudian terjadi atas dirinya.

"Racun waja biru!" desis orang tua tersebut. "Racun waja biru! Kurang ajar si Waranawikualit! Rupanya dia sudah menjadi kaki tangan Raja Rangrang Srenggi. Memang sudah sejak lama aku mendengar kedurjanaan mereka!" Rahang orang tua itu nampak menggembung tanda dia marah luar biasa.

"Siapa Rangrang Srenggi?" tanya Wiro pula.

"Sudah. Jangan banyak tanya dulu. Lekas putuskan belenggu besi ini. Yang panting muridku harus diselamatkan jiwanya!"

Wiro baringkan gadis yang sejak tadi dipanggulnya di atas pembaringan di samping si orang tua. Lalu mengayunkan Kapak Naga Geni 212. Sekali tebas saja dengan mengeluarkan suara berkerontang maka putuslah rantai besi besar berwarna biru yang sebelumnya mengikat sepasang lengan orang tua itu. Sambil tertawa gelak-gelak orang tua itu acungkan kedua tangannya ke atas dan berkata,

"Aku bebas! Aku bebas kini! Rangrang Srenggi, kau bakal menerima pembalasanku...!" Ucapannya itu terputus ketika dia ingat pada muridnya. Dia beringsut ke tempat muridnya terbaring. Dengan jari-jari tangannya disentuhnya bibir gadis itu. "Racun jahat... racun jahat" desisnya. "Kau tunggu pembalasanku Rangrang Srenggi! Awas kau Waranawikualit!"

Orang tua itu membungkuk dan meraba-raba ke bawah tempat tidur. Dari bawah tempat tidur rotan diambilnya sebuah botol yang amat kecil. Ditimangnya botol itu sebentar lalu tertawa gelak-gelak. "Untung...! untung dajal-dajal bernama Waranawikalit dan Rangrang Srenggi itu tidak mengetahui tempat penyimpanan obat ini. Untung!"

Orang tua ini kemudian membungkuk dan menempelkan bibirnya ke bibir muridnya. Setelah mengerahkan tenaga dalamnya lalu dia menyedot. Sesaat berselang mulutnya penuh dengan ludah berbusa biru. Ludah itu dimuntahkannya lalu kembali dia menyedot bibir muridnya. Demikian sampai tiga kali berulang-ulang. Setelah itu dari dalam botol kecil diambilnya tiga butir obat berwarna biru. Setelah menotok bagian leher dan perut muridnya beberapa kali baru obat itu dimasukkannya ke dalam mulut sang murid.

Wiro kemudian melihat bagaimana orang tua itu duduk bersila sambil mendekapkan tangan di depan dada. Sesaat berselang dari ubun-ubunnya keluar asap putih, bergulung-gulung yang terus membungkus sekujur tubuh muridnya yang terbaring di atas tempat tidur. Tiba-tiba orang tua itu membentak keras. Bangunan rotan bergoyang keras. Bersamaan dengan itu dia memukulkan kedua tangannya ke atas dan berseru,

"Racun jahat! Pergilah!"

Gulungan asap putih yang membungkus tubuh muridnya berubah menjadi biru. Begitu seruan lenyap maka asap biru itu pun sirna.

"Bangun, muridku! Bangun! Sadarlah Lestari!"

Wiro melihat bagaimana gadis yang tadi pingsan membuka matanya perlahan-lahan. Parasnya yang pucat kini kelihatan mulai berdarah kembali bahkan bibirnya yang sebelumnya biru kini kelihatan mulai segar kemerahan. Keseluruhan wajahnya jauh lebih cantik dari selagi dia pingsan. Mau tak mau pemuda kita jadi meneguk air liur.

"Bangunlah Lestari. Sadarlah...!"

Lestari demikian nama gadis itu bangun dan duduk di hadapan gurunya. Sesaat dia memandang berkeliling dengan pandangan wajah menyatakan keheranan.

"Pikiranmu masih belum jernih. Pejamkan matamu, Lestari...?"

Si gadis mengikuti ucapan gurunya. Setelah selang beberapa saat sang guru menyuruh buka matanya kembali. Dan bersamaan dengan itu Lestari bertanya, "Eyang... bagaimana murid bisa berada di sini dengan selamat? Semestinya...? bukankah murid telah mati? Atau..."

Si orang tua tertawa gelak-gelak. "Soal hidup atau mati ada di tangan Tuhan, muridku..."

"Tapi murid benar-benar tak mengerti eyang..."

"Tanyakan pada pemuda di depanmu..." berkata sang guru.

Lestari berpaling. Untuk sesaat sepasang matanya yang bening beradu pandang dengan mata pendekar 212 Wiro Sableng.

"Kau kenal padanya?" tanya si orang tua. Lestari menggeleng.

"Tapi kalau tak salah sebelumnya... murid pernah bertemu dengan dia."

Kembali sang guru tertawa dan berkata, "Kalau sudah jodoh memang ada-ada saja jalan dan cara Tuhan mempertemukan kalian..."

"Apa... apa?!" seru Wiro kaget sedang Lestari berubah merah wajahnya dan memandang ternganga pada gurunya.

Kembali orang tua berkaki buntung tertawa gelak-gelak. "Aku sudah ketelepasan bicara," katanya sambil menampar-nampar mulutnya sendiri. "Tapi kalian mempunyai nasib yang sama sejak kecil. Si Sinto Gendeng pasti senang kalau mengetahui pertemuanmu dengan muridku ini, Wiro..."

"Kau kenal dengan guruku,?" tanya Wiro.

"Lebih dari kenal."

Wiro menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Diam-diam dia melirik Lestari dilihatnya menundukkan kepala dan parasnya memerah.

"Sudahlah...," si orang tua berkata. "Soal itu bisa dibicarakan nanti. Kalau sudah jodoh tak akan ke mana. Sekarang Lestari tuturkan padaku bagaimana kau bisa ketemu dengan bergundal Istana Darah barpangkat Hulubalang Kesatu dan bernama Waranawikualit itu!"

Maka Lestari menuturkan riwayatnya lengkap sampai dia bertemu dengan Wiro Sableng. Si orang tua yang sampai saat itu masih belum diketahui Wiro siapa namanya nampak manggut-manggut berulang kali. Wajahnya serius.

"Memang sudah saatnya kita harus turun tangan. Kita bertiga saja dan dibantu Sultan sudah cukup. Lestari dan kau Wiro, mari kita atur rencana pemusnahan Istana Darah."

"Memang niat itu sudah sejak lama terkandung dalam hatiku. Tapi kalau boleh bertanya, kau ini siapakah orang tua?" tanya Wiro pula.

"Apakah namaku perlu sekali bagimu?"

"Lebih dari perlu. Karena kalau kau tahu riwayatku dan kenal Eyang Sinto Gendeng, adalah kurang enak rasanya jika aku sendiri tidak kenal padamu..."

Orang tua itu tersenyum. "Namaku sebenarnya sudah hampir musnah ditelan zaman dan dilupakan waktu. Namaku buruk sekali yaitu Karewang. Dan aku adalah saudara angkat gurumu."

Mendengar itu sontak Wiro Sableng menjura dalam dan hormat sedang orang tua yang mengaku bernama Karewang tertawa lagi gelak-gelak. "Tapi mengapa guru tak pernah menerangkan padaku tentangmu?"

"Gurumu itu memang sedeng," sahut Karewang seenaknya.

Lalu diisyaratkannya agar Wiro duduk di hadapannya. Sebelum mengatur rencana penyerbuan ke Istana Darah Karewang menyuruh pemuda itu menelan tiga butir obat biru dalam botol. Dengan menelan obat itu Wiro akan kebal terhadap racun Waja Biru yang teramat jahat itu. Kemudian ketiga orang itupun berunding.

Sampai saat itu Wiro tidak mengetahui bahwa Karewang adalah tokoh silat kelas satu yang memegang gelar Si Pemusnah Iblis yang semasa mudanya pernah menjagoi dunia persilatan di tanah Jawa selama dua puluh tahun sebelum diambil alih Eyang Sinto Gendeng. Dalam masa pengunduran diri dari pasang surut dunia persilatan, suatu ketika Karewang didatangi Waranawikualit yang datang untuk membalaskan sakit hati dendam kesumat di masa silam.

Waranawikualit datang tidak sendirian melainkan membawa seorang tokoh aneh berotak miring yang ternyata amat lihay. Tokoh inilah yang membuat cacat kedua kaki Karewang, kemudian membelenggunya dengan rantai biru. Dan manusia itu bukan lain adalah Rangrang Srenggi yang kini menobatkan diri sebagai Raja Istana Darah!

LIMA BELAS

Kuda putih bernama Angin Salju itu lari dengan amat cepat, meninggalkan kepulan debu di belakangnya. Pemuda yang duduk di atas punggungnya bukan lain Panji Kenanga, murid Brahmana Lokapala dari gunung Raung. Tak selang berapa lama kemudian lapat-lapat di kejauhan pemuda ini mulai mendengar suara deburan ombak. Itulah satu pertanda bahwa dia telah mendekati tempat yang ditujunya.

Di satu tempat Panji Kenanga turun dari kudanya dan sambil membimbing binatang itu dia meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Sikapnya selalu waspada. Mata dibuka lebar-lebar dan awas, telinga dipasang tajam-tajam. Bukan mustahil sebelum dia sampai ke tempat tujuan, kedatangannya telah diketahui hingga dia mungkin bakal jadi korban pembokongan. Dia sampai di satu jalan kecil berliku-liku yang diapit oleh puing-puing batu karang.

Angin mengandung garam menampar-nampar mukanya. Dia memutuskan untuk tidak menempuh jalan kecil itu tetapi mengambil jalan lain di sela-sela batu karang. Akhirnya dia sampai di salah satu puing karang datar. Dari sini dia melayangkan pandangan jauh ke muka. Di hadapannya terbentang pantai dan laut lepas.

Kira-kira lima ratus tombak dari tepi pantai sebelah timur, dikelilingi oleh dua puluh satu pohon beringin raksasa berdirilah satu bangunan besar yang keseluruhannya berwarna merah. Bila angin bertiup maka dari arah bangunan itu menghamburlah bau busuk yang amat sangat, laksana mau meruntuhkan bulu hidung. Mau tak mau Panji Kenanga terpaksa menutup hidungnya.

"Pasti itulah yang disebut Istana Darah," kata pemuda itu dalam hati.

"Sumber segala macam malapetaka."

Dengan menggertakkan rahang karena ingat akan kematian adik seperguruannya yaitu Widura serta lenyapnya Miani yang diduganya berada di Istana Darah, Panji Kenanga balikkan tubuh. Ditepuknya pinggul kuda tunggangannya dan berkata,

"Angin Salju kau tunggulah di sini. Bila sampai matahari terbenam nanti aku tidak kembali, kau pulanglah ke gunung Raung, ke tempat guru."

Sebagai jawaban bihatang itu menggerak-gerakkan daun telinga serta ekornya seolah-olah mengerti maksud ucapan tuannya. Setelah merangkul leher Angin Salju, Panji Kenanga dengan gerakan gesit melompat ke puing batu karang di bawahnya, demikian terus menerus dilakukannya.

Melompat dari satu batu karang ke lain batu karang hingga akhirnya dia sampai di bawah salah satu pohon beringin raksasa yang mengelilingi bangunan. Berada di tempat itu bau busuk bukan alang kepalang. Mau tak mau bulu tengkuk pemuda ini agak merinding sewaktu mengetahui bahwa warna merah yang menjadi cat tembok serta dinding seluruh bangunan itu adalah darah!

"Agaknya aku harus melompati tembok itu untuk dapat masuk ke dalam..." membathin Panji Kenanga. Dia bersiap-siap. Pada saat itulah dia dikejutkan oleh satu suara di belakangnya.

"Panji Kenanga, kau datang terlambat." Murid Brahmana Lokapala itu berpaling. Astaga. Ternyata yang berkata adalah seorang tua bertubuh kurus, bercelana komprang, berkepala botak dan bermata buta. Dan dia bukan lain adalah si orang aneh yang pernah ditemui Panji Kenanga sebelumnya, yang dipanggil sebagai Si Botak Mata Buta.

"Apa maksudmu orang tua." tanya Panji Kenanga. Tampaknya kali ini orang tua itu tidak main-main atau bicara seenaknya seperti dulu. Wajahnya serius. Dan dia berkata,

"Adik seperguruanmu telah mereka bunuh!"

"Aku sudah tahu kematian Widura."

"Bukan Widura saja. Miani pun mengalami nasib yang sama..."

"Hah?!" laksana diambar petir Panji Kenapa mendengar keterangan itu.

"Kau tahu dari mana?" kedua tangannya dikepalkan saking geram.

Si Botak Mata Buta menghela nafas "Sekali seorang masuk ke dalam Istana Darah, jangan harap umurnya lebih dari dua jam."

"Kurang ajar! Dajal-dajal Istana Darah, tunggu pembalasnku!" seru Panji Kenanga. Segera dia hendak melangkah ke arah tembok merah tapi satu tangan memegang bahunya dengan cepat. Betapapun dia mengerahkan tenaga untuk melepaskan pegangan itu tatap saja tidak berhasil. Ternyata yang memegang bahunya adalah si Botak Mata Buta.

"Jangan bertindak ceroboh orang muda. Pergunakan otakmu kalau hendak balas dendam! Lain dari itu kudengar ada beberapa orang yang menuju kemari. Coba kau memandang ke jurusan barat."

Panji Kenanga memandang ke jurusan yang dikatakan. Apa yang diucapkan Si Botak Mata Buta memang benar. Dua orang dilihatnya berlari amat cepat ke jurusan mereka. Satu lelaki berpakaian serba putih berambut gondrong dan satunya lagi seorang perempuan berpakaian merah. Yang lelaki kelihatan mendukung seorang tua yang ternyata buntung kedua kakinya.

"Apa yang kau lihat Panji?" tanya Si Rotak Mata Buta.

Baru saja selesai pertanyaan itu diucapkan orang-orang yang datang tahu-tahu sudah sampai dan berhenti sepuluh langkah di hadapan mereka, di bawah pohon beringin yang besar. Panji Kenanga menceritakan ciri-ciri orang-orang yang dilihatnya itu.

"Aku mendengar sesuatu terbang di udara. Pasti burung...," kata Si Botak Mata Buta.

"Memang betul ucapanmu orang tua. Seekor burung elang terbang berputar-putar di atas kepala orang-orang yang baru datang itu."

Si Botak Mata Buta kerenyitkan kening. "Apakah burung elang itu berbulu merah?"

"Benar."

"Dan orang tua yang didukung oleh pemuda berambut gondrong itu bermata buta...?"

Panji meneliti sebentar lalu membenarkan. Si Botak Mata Buta memukul keningnya dan pada wajahnya terlukis senyum lebar. Maka dia terdengar berseru,

"Karewang! Memang justru pertemuan inilah yang kuharapkan!"

Karewang alias Si Pemusnah Iblis yang saat itu masih didukung oleh Wiro Sableng memutar kepala dan mengeluarkan seruan tertahan. "Nanggala!" serunya menyebut nama asli Si Botak Mata Buta. "Bermimpikah aku bertemu dengan kau di sini ini?" lalu katanya pada Wiro. "Bawa aku ke hadapan sahabat lamaku itu."

Begitu saling berdekatan kedua orang tua yang sama-sama buta itu saling berangkulan. "Dua puluh tahun Karewang! Dua puluh tahun aku tak bertemu kau. Dan nyatanya kau masih buta-buta juga!"

Kedua orang itu lantas tertawa gelak-gelak sementara Panji Kenanga, Wiro Sableng dan Lestari hanya berdiri terlongong-longong.

"Heh, kita ini macam orang edan saja," berkata Karewang. "Sampai-sampai lupa berada di mana dan lupa apa maksud kedatangan kita kemari!"

"Apa maksudmu datang ke sini sobat? Agaknya udara busuk di tepi pantai ini menarik hatimu!"

Karewang tertawa rawan. Lalu dituturkannya bencana yang menimpa dua orang muridnya dan rencana untuk menghancurkan Istana Darah. "Kau sendiri, angin apa pula yang membawamu ke mari?" balik bertanya Karewang.

"Kita bernasib dan punya maksud sama, sobatku," jawab Nanggala atau Si Botak Mata Buta. Setelah memperkenalkan Panji Kenanga pada orang-orang itu maka dituturkannya kejadian yang menimpa dua orang saudara seperguruan Panji Kenanga.

Karewang mengusap-usap dagunya. "Kejahatan dajal-dajal di dalam Istana Darah itu sudah lewat dari takaran. Sudah waktunya harus di-lenyapkan dari muka bumi ini!"

"Sobatku Karewang, aku mendapat keterangan dari Panji Kenanga bahwa ada seorang pemuda gondrong bersamamu. Siapakah dia...?"

Karewang hendak menjawab tapi Wiro menyikut rusuknya dan pemuda ini mendahului menjawab, "Aku yang muda ini kebetulan datang bertandang ke tempat Si Pemusnah Iblis."

Panji Kenanga yang sebelumnya sudah bertemu dengan Wiro segera membuka mulut. "Dialah yang telah melabrak gerombolan Ronggokarapan di kampung Warnasari. Juga dialah yang menyelamatkan anak murid Si Pemusnah Iblis dan ternyata usahanya berhasil."

Wiro cuma bisa senyum-senyum saja mendengar ucapan itu. "Semuanya serba kebetulan saja sobat," katanya merendah.

"Dan dia adalah Wiro Sableng Pendekar 212," menambahkan Panji Kenanga. Sepasang mata buta Nanggala membuka lebar-lebar.

"Pendekar 212?" ulangnya. "Sudah sejak lama aku mendengar nama itu. Sudah sejak lama aku mendengar kehebatanmu, Wiro..."

"Saya bukan apa-apa terutama jika dibandingkan dengan kalian orang-orang gagah yang ada di sini."

"Tidak selamanya yang tua lebih hebat dan lihay dari yang muda," kata Si Botak Mata Buta pula.

"Kita yang tua ini tokh kelak bakal digantikan oleh yang muda-muda macammu. Sebenarnya jika tidak terpaksa betul kami yang tua-tua dan pikun ini merasa amat malu masih mengurusi segala macam urusan dunia."

Si Botak Mata Buta diam sejenak. "Astaga!" katanya kemudian, "aku sampai lupa pada muridmu Karewang. Sayang... sayang mataku buta hingga tidak dapat melihat kecantikannya." Orang tua berkepala botak berbadan kurus ini tertawa gelak-gelak sedang Lestari menjadi merah parasnya. "Hai, hampir aku lupa." Membuka mulut lagi Si Botak Mata Buta. "Panji aku ada menitipkan sebuah benda padamu tempo hari. Serahkanlah pada Lestari karena benda itu adalah miliknya."

Panji Kenanga ingat akan seruling perak yang ada di balik pakaiannya. Cepat-cepat benda ini dikeluarkannya lalu diserahkannya pada Lestari. Baik Lestari maupun Karewang merasa heran bagaimana senjata mustika itu berada pada Panji Kenanga. Sebelum mereka bertanya Nanggala membuka mulut memberi keterangan.

"Kalau aku tidak salah suling itu berhasil diambil oleh Tapak Biru sewaktu terjadi kerusuhan di puncak Dieng. Dengan senjata milik Lestari itu dia malang melintang lebih berani berbuat kejahatan hingga akhimya aku berhasil merampasnya dan menyerahkannya pada Panji Kenanga dengan pesan agar bila bertemu pada pemiliknya dia harus menyerahkan suling perak terebut. Tidak disangka kalau hari ini kita saling bertemu hingga suling itu bisa dikembalikan pada pemiliknya. Bukankah itu suatu pertanda...?"

"Pertanda apa gerangan maksudmu, sobatku!" tanya Karewang.

"Pertanda bahwa ada jalan yang mempertemukan muridmu dengan murid Brahmana Lokapala ini! Lebih jelas kalau kukatakan pertemuan yang membawa jodoh?"

Karewang tertegun sejenak. Wiro melirik pada Lestari justru pada saat si gadis melirik pula pada Wiro hingga pandangan mereka saling bertemu dan membuat si gadis cepat-cepat menunduk dengan paras merah. Dalam pada itu Panji Kenanga mencuri pandang pula dan memang sesungguhnya sejak pertemuan ini, bahkan sejak mula pertama dia melihat Lestari di kedai di kampung Warnasari, hatinya mengakui bahwa Lestari seorang gadis yang amat menarik. Namun karena orang yang dicintainya adalah Miani, maka apapun daya tarik Lestari tidak menjadi persoalan baginya.

"Sobatku Nanggala," kata Karewang setelah lebih dulu mendengarkan suara tertawa. "Urusan jodoh biarlah kita bicarakan belakangan. Kurasa kurang pantas dilakukan saat ini dan juga kurang tepat kalau kita berani menyebut-nyebut urusan itu tanpa setahu Brahmana Lokapala. Bukankah begitu Panji Kenanga?"

"Betul... betul sekali orang tua," sahut Panji Kenanga.

"Nah, sekarang mari kita bicarakan penyerbuan ke.dalam istana dajal itu," kata Nanggala.

"Masuk ke dalam terlalu besar bahayanya. Ini bukan karena aku takut, tapi Rangrang Srenggi keparat itu memang betul-betul cerdik dan licik. Kita mesti hati-hati. Panji, coba kau naik ke pohon beringin itu dan selidiki keadaan di belakang Tembok Darah."

Mendengar ucapan Karewang, Panji Kenanga dengan satu gerakan enteng segera melompat ke atas pohon beringin. Namun baru saja dia menginjakkan kakinya di salah satu cabang tiba-tiba laksana tangan-tangan setan, puluhan akar gantung pohon beringin itu bergerak melibat seluruh tubuhnya. Bagaimanapun diusahakannya untuk melepaskan diri tetap sia-sia belaka. Semua orang terkejut melihat kejadian ini.

"Benar-benar licik dan cerdik si Rangrang Srenggi itu" kata Nanggala seraya hendak melompat ke atas untuk memberi pertolongan. Inilah kehebatannya. Meski buta tapi dapat merasakan apa yang telah menimpa Panji Kenanga.

"Biar burungku yang turun tangan, Nanggala. Mengapa kau mesti susahkan diri." Berkata begitu Karewang mendongak ke udara dan berseru, "Sultan lepaskan pemuda itu!"

Elang merah yang sejak tadi berputar-putar di atas kepala mereka menguik keras lalu terbang ke arah pohon beringin. Dengan paruhnya yang tajam laksana gunting baja, dalam waktu singkat binatang ini berhasil memutus seluruh akar-akar yang melilit tubuh Panji Kenanga.

"Terima kasih," kata Panji Kenanga lalu dengan cepat turun. Meski dirinya terlibat tidak berdaya tadi namun sepasang matanya masih bisa meneliti keadaan di belakang Tembok Darah. Tak seorangpun yang kelihatan. Seluruh bangunan berada dalam keadaan sepi. Demikian Panji Kenanga menerangkan. Tapi baru saja dia selesai berikan keterangan, dari arah Istana Darah menggema suara keras.

"Siapapun yang berada di luar, bersiaplah untuk mampus!"

"Itu suara Rangrang Srenggi!" kata Karewang. Lalu pada Wiro dia berbisik, "Lekas lakukan apa yang kita telah atur!"

Wiro segera menurunkan orang tua itu dan mendudukkannya di satu puing karang datar. Dari balik pakaiannya yang menggembung dikeluarkannya sebuah benda hitam berbentuk bola sebesar dua kepalan tangan. Dia lalu lari ke arah Pintu Gerbang Darah.

"Kau mau bikin apa, Karewang?" tanya Nanggala.

"Lihat saja! Aku akan paksa dajal-dajal itu keluar dari sarangnya. Jika kita menyerbu ke dalam mungkin terlalu berbahaya dan..."

Karewang alias Si Pemusnah Iblis tak meneruskan ucapannya karena saat itu dari belakang Tembok Darah laksana hujan menyembur ratusan benda ke arah mereka. Ternyata benda-benda itu adalah paku-paku berwarna biru yang merupakan senjata rahasia yang telah dicelup dengan racun Waja Biru.

"Ini pasti perbuatannya si Waranakualit!" kertak Karewang. Tangan kanannya dipukulkan ke depan. Satu gelombang angin dahsyat menderu memukul runtuh serangan paku tersebut. Tapi hebatnya begitu sampai di tanah senjata-senjata rahasia ini kembali memantul mengirimkan serangan.

ENAM BELAS

"Hem... ada kemajuan rupanya si Waranawikualit itu!" kata Karewang seraya gerakkan tangan kanannya.

Dari telapak tangan kanan orang tua itu menderu angin yang berputar-putar, menikung beberapa kali, menyapu paku-paku biru hingga keseluruhannya berkelompok menjadi satu. Dalam pada itu Panji Kenanga yang sudah tidak sabar mencabut pedang Gajah Biru-nya. Sekali tangannya bergerak, satu sinar biru berkelebat menyilaukan dan runtuhlah ratusan jarum yang tergabung jadi satu itu dalam keadaan terpotong dua!

"Pedang bagus... pedang bagus!" kata Nanggala memuji sambil tertawa senang.

Dalam pada itu Wiro telah berada dua puluh langkah dari hadapan Pintu Gerbang Darah. Mendadak dari lubang-lubang rahasia yang tak kelihatan di bagian bawah Tembok Darah bermunculanlah enam kepala merah bertopi tarbus merah yarg ujungnya berkuncir. Mereka ternyata adalah Hulubalang-hulubalang Istana Darah. Dalam waktu singkat mereka telah mengurung Wiro Sableng. Mereka adalah Hulubalang Darah Kelima Belas sampai Keduapuluh.

Wiro tak punya kesempatan lagi untuk mendekati pintu gerbang lebih dekat maka serta merta bola hitam di tangan kanannya dilemparkan. Terdengar satu ledakan dahsyat. Bumi laksana dilanda lindu. Lidah api menjulang. Sebagian dari atap Istana Darah mental beterbangan ke udara, beberapa tiang besar runtuh bersama-sama dinding Istana.

"Kurang ajar!" teriak Hulubalang Darah Kesembilan Belas. "Dia telah merusak Istana! Mari kita bunuh bangsat itu!"

Maka ke enam Hulubalang Darah serempak memukulkan tangan kanan mereka. Enam sinar merah yang bukan kepalang panasnya menyambar ke arah Wiro Sableng. Yang diserang maklum kalau lawan-lawannya adalah rata-rata berkepandaian tinggi. Karenanya dengan tangan kiri kanan Wiro lepaskan pukulan 'Benteng Topan Melanda Samudera'. Begitu pukulan lawan buyar Wiro menyelinapkan satu jotosan dan satu tendangan.

Tak ampun lagi Hulubalang Darah Kejutuh belas dan Kedua puluh mencelat roboh. Yang pertama segera meregang nyawa karena perutnya bobol kena tendangan sedang yang kedua muntah darah lebih dulu baru lepas jiwanya. Itulah korban-korban pertama dari Istana Darah!

Melihat kedua temannya menemui kematian begitu rupa, Hulubalang-hulubalang lainnya berteriak marah lalu mengeluarkan senjata masing-masing dan kembali menyerbu ke arah Wiro. Namun saat itu serangan mereka tertahan oleh satu sambaran sinar biru yang menyilaukan yang membuat mereka serempak berseru kaget. Dalam pada itu terdengar teriakan.

"Wiro biar aku menahan mereka!"

Ternyata saat itu dengan pedang Gajah Biru di tangan Panji Kenanga telah menyerbu ke tempat pertempuran. Hulubalang Darah Kedelapan belas dan Kesembilan belas dengan penasaran melompat ke muka seraya menyapukan senjata masing-masing. Namun begitu pedang Gajah Biru menyambar dua kali berturut-turut, keduanya kontan menjerit dan menggeletak mandi darah. Yang satu tertembus dadanya, yang lain terbacok parah pangkal lehernya!

Diam-diam Wiro kagum melihat kehebatan pemuda itu. Karena yakin bahwa Panji Kenanga bakal dapat menyelesaikan dua lawan yang masih hidup maka tanpa ragu-ragu ditinggalkannya tempat itu. Dia lari ke samping kanan Tembok Darah dan dari sini melemparkan bola hitam kedua. Untuk kedua kalinya terdengar suara menggelegar. Bagian samping kanan Istana Darah runtuh, kerusakan hebat terjadi.

Hulubalang Darah Kedua belas dan Keempat belas yang kebetulan ada di bagian situ dan tidak keburu menyingkir, menjadi korban. Ketika sekali lagi Wiro melemparkan bola hitam ke sampirig kiri Istana Darah boleh dikatakan Istana Darah telah hampir sama rata dengan tanah.

Beberapa Hulubalang Darah menemui ajalnya. Wiro kembali ke tempatnya sementara Panji Kenanga telah berhasil membunuh dua Hulubalang yang tadi dihadapinya. Orang-orang itu menunggu. Sampai sepeminuman teh tak ada seorangpun yang muncul dari belakang tembok.

"Apa mereka sudah pada mampus semua...?" tanya Nanggala. "Atau bersembunyi?"

"Kita tunggu saja. Pentolan-pentolan dajal itu pasti keluar sebentar lagi..." kata Karewang.

Dan betul saja. Didahului oleh suara berkerekatan maka terbukalah Pintu Gerbang Darah dan laksana bobolnya sebuah bendungan mencurahlah cairan merah hingga seantero tempat kini digenangi oleh cairan tersebut sampai sebatas betis Di samping cairan itu busuknya bukan main juga di dalamnya kelihatan bergerak-gerak ratusan ular berbisa!

Semua orang cepat menyingkir ke atas puing karang data di atas mana Karewang alias Si Pemusnah Iblis duduk. Panji Kenanga membungkuk dan membabatkan pedang Gajah Biru berulang-ulang sehingga puluhan ular yang berani datang mendekat segera terpotong-potong dan menemui kematiannya.

Wiro Sableng lebih hebat lagi. Dicabutnya Kapak Naga Geni serta batu hitam 212. Setiap kali batu dan Kapok diadukannya satu sama lain maka menderulah lidah api. Cairan darah muncrat dan menggelegak panas. Ular-ular yang ada di dalamnya laksana direbus dan hanya dalam tempo kurang dari sepeminuman teh seluruh binatang itu telah musnah menemui ajal!

Karewang tertawa mengekeh. "Bagus Wiro, bagus. Kalau tak salah pendengaran telingaku, dari Pintu Gerbang Darah tengah keluar serombongan orang. Coba kalian perhatikan!"

Memang betul! Empat belas orang berpakaian serba merah melangkah keluar dari Pintu Gerbang Darah, berjalan memecah genangan darah busuk dengan seenaknya lalu berhenti kira-kira lima belas langkah di hadapan rombongan Karewang. Mereka adalah Hulubalang-hulubalang Istana Darah yang dipimpin oleh jago nomor satu yang menduduki jabatan sebagai Hulubalang Darah Kesatu dan asli bernama Waranawikualit.

Di belakang rombongan Hulubalang ini menyusul 40 Hulubalang pengawal. Meski ilmu kepandaian mereka tidak seberapa tinggi namun jumlah mereka yang begitu banyak mau tak mau musti diperhitungkan oleh pihak lawan.

"Mereka berjumlah lebih dari lima puluh Eyang..." bisik Lestari pada gurunya dan diam-diam segera keluarkan suling peraknya.

"Tak perlu ditakutkan," sahut Karewang perlahan. "Bila mereka berani datang lebih dekat pasti konyol..."

"Di antara mereka tak kelihatan si Rangrang Srenggi," kembali Lestari berbisik.

"Hai kenapa raja kalian tidak muncul?! Apa takut mampus?!" Karewang tiba-tiba berteriak sementara orang-orang dari Istana Darah mulai berpencar, mengurung mereka.

"Untuk menghajar manusia-manusia pikun macam kalian perlu apa Raja kami mesti mengotorkan diri turun tangan!" Yang menjawab adalah Hulubalang Darah Kesatu.

Karewang yang mengenal suara itu kembali membuka mulut. "Hem, nyalimu sungguh besar Waranawikualit. Tapi sayang usiamu tak bakal lama. Apalagi setelah aku tahu apa yang kau lakukan terhadap dua muridku!"

Waranawikualit atau Hulubalang Darah Kesatu mengeluarkan dengus mengejek. "Kalau saja kau ingat nasib celaka yang menimpa dirimu dulu, pasti kau telah miring otak masih berani-beranian datang kemari!" kata Hulubalang Darah Kesatu pula.

Sementara itu dengan ilmu enyusupkan suara Karewang berkata pada Nanggala, "Kau hadapi dia sobatku. Walau bagaimanapun lawan besar yang harus kuhadapi adalah Rangrang Srenggi."

"Tak usah kawatir. Kau duduk di sini tenang-tenang. Aku dan lain-lainnya akan menunjukkan jalan ke liang kubur pada mereka!"

"Bagus. Tapi kalau tidak turun tangan sama sekali kurang enak rasanya," kata Karewang pula. Maka diapun berseru, "Waranawikualit bedebah! Jika betul nyalimu amat besar majulah! Bawa semua orang-orangmu sekalian! Hari ini aku akan memberi pelajaran terakhir padamu sebelum kau jadi makanan cacing-cacing liang kubur!"

"Mulutmu terlalu besar!" teriak Waranawikualit marah. Dia memberi isyarat pada anak-anak buahnya. Beberapa Hulubalang maju sedang Hulubalang Pengawal memperketat lingkaran kurungan. Tinggal sepuluh langkah dari hadapannya tiba-tiba laksana kilat Karewang yang bergelar Si Pemusnah Iblis itu tertawa mengekeh dan tangan kanannya melemparkan sebuah bola hitam.

"Lekas menyingkir!" teriak Hulubalang Darah Kesatu begitu melihat bola peledak melayang di udara. Tangan kanannya dihantamkan ke atas. Maksudnya hendak memukul hancur senjata maut itu sebelum meledak diantara orang-orangnya. Tapi dari angin suara gerakannya, Karewang cukup tahu apa yang dilakukan lawan. Segera ia mengirimkan satu pukulan tangan kanan ke arah dada lawannya dan memaksa Hulubalang Darah Kesatu melompat ke samping.

Tangkisannya luput dan sesaat kemudian bola hitam yang dilemparkan Karewang meledak di tengah-tengah orang-orangnya. Terdengar suara berpekikan. Sembilan belas Hulubalang Pengawal roboh ke dalam genangan darah. Darah mereka bercampur baur dengan darah busuk itu. Lima Hulubalang Darah terjungkal dan ikut jadi korban!

Dengan demikian yang tinggal kini cuma 9 orang Hulubalang Darah dan 21 orang Hulubalang Pengawal! Bukan alang kepalang marahnya Hulubalang Darah Kesatu melihat korban-korban yang berjatuhan di pihaknya.

"Kalau tidak kupecahkan kepalamu detik ini juga biar aku berhenti jadi manusia!" teriak Waranawikualit lalu sambil melompat dia kirimkan dua pukulan hebat sekaligus! Dua larik sinar merah menyambar dari pukulannya itu ke arah dada dan kepala Karewang.

Karewang membentak "Ilmu iblis musnahlah!" Kedua tangannya diangkat. Selarik sinar pelangi berkiblat dan serangan Waranawikualit benar-benar musnah buyar! Tapi saat itu dari samping terdengar seruan,

"Waranawikualit akulah lawahmu!" Satu sinar kuning menyambar.

Hulubalang Darah Kesatu membalik gesit dan membentak beringas ketika melihat siapa yang menyerangnya. "Anjing botak mata buta! Kau yang ingin konyol berani datang kemari!" Kedua tangannya yang berkuku-kuku panjang bergerak dalam serangan 'Sepuluh Cakar Sakti Meremas Bumi" yang amat hebat karena mengandalkan lebih dari tiga perempat tenaga dalamnya.

Si Botak Mata Buta yang bukan sembarang orang dengan gerakan mengagumkan berhasil mengelakkan serangan itu. Akibatnya sepuluh jari tangan Waranawikualit melabrak batu karang di sampingnya dan batu karang itu hancur lebur!

Bayangkan kalau sepuluh jari tangan berhasil mengermus kepala botak Si Botak Mata Buta. Untuk beberapa lamanya semua orang tertegun di tempat masing-masing menyaksikan jalannya pertempuran tingkat tinggi itu. Perkelahian berjalan terus. Ketika kelihatan Waranawikualit atau Hulubalang Darah Kesatu mulai terdesak, Hulubalang-Hulubalang Darah lainnya dan juga Hulubalang Pengawal segera menyerbu ke tengah gelanggang pertempuran untuk mengeroyok Si Botak Mata Buta!

Melihat hal ini maka Wiro Sableng, Panji Kenanga dan Lestari tidak tinggal diam. Karena lawan datang mengeroyok dengan mempergunakan berbagai macam senjata maka ketiganyapun menyerbu dengan senjata di tangan. Di atas genangan cairan darah busuk itu berkecamuklah pertempuran hebat.

Wiro mengamuk dengan Kapak Naga Geni 212 yang mengeluarkan sinar putih menyilaukan serta suara menggaung seperti ratusan tawon menggila. Panji Kenanga berkelebatgesit kian kemari dengan pedang Gajah Birunya yang terlihat hanya merupakan kelebatan-kelebatan sinar biru menderu-deru. Di lain pihak laksana seorang puteri dari kayangan yang sedang marah, Lestari berubah merupakan bayangan merah yang berkelebat gesit kian kemari sambil pergunakah suling peraknya untuk memukul dan menotok kepala atau dada lawan!

Meskipun orang-orang dari Istana Darah rata-rata berkepandaian tinggi namun tiga lawan yang mereka hadapi, terutama Pendekar 212 Wiro Sableng bukanlah lawan-lawan kelas rendah yang bisa mereka lakukan dengan sekehendak hati. Dalam tempo singkat korban demi korban telah berjatuhan dan bergeletakan dalam genangan darah busuk. Muncratan-muncratan cairan busuk itu mengotori pula pakaian mereka yang bertempur.

Tiga kali peminuman teh berlalu dan saat itu kelihatanlah bahwa hanya Hulubalang Darah Kesatu sajalah yang tinggal sendirian berhadapan dengan Si Botak Mata Buta. Keadaan itupun agaknya tidak bakal berjalan lama karena saat itu tangan kanan Hulubalang Darah Kesatu telah disentak putus oleh lawannya hingga dia kini hilang keseimbangan badan dan bercampur macam orang celeng!

Si Botak Mata Buta sendiri bertempur seperti orang main-main dan sambil tertawa-tawa. Tiba-tiba mulut Hulubalang Darah Kesatu menggembung. Sesaat kemudian menyemburlah asap biru pekat ke muka Si Botak Mata Buta. Orang tua ini sudah maklum kehebatan racun 'Waja Biru' cepat menutup jalan nafasnya dan menyembur pula ke depan!

Dari mulutnya menggebu hawa kuning, membuat Hulubalang Darah Kesatu terbatuk-batuk dan ketika tubuhnya terlipat ke depan, sepuluh jari tangan Si Botak Mata Buta dengan cepat mencengkeram lehernya. Hulubalang Darah Kesatu megap-megap kehabisan nafas, meronta dan melejang-lejang.

"Kreekkk...!"

Sepuluh jari tangan Si Botak Mata Buta tenggelam ke dalam leher Hulubalang Darah Kesatu dan hancurlah tulang leher itu. Nyawa Hulubalang Darah Kesatu melayang ke akhirat!

"Pertempuran hebat! Pertempuran hebat!" teriak Karewang berulang-ulang. "Tapi dimanakah lawanku? Mengapa si Rangrang Srenggi masih belum muncul?!"

"Mari kita periksa ke dalam runtuhan Istananya!" mengusulkan Panji Kenanga.

Karewang berpikir sejenak. Akhirnya menyetujui dan meminta Wiro Sableng untuk mendukungnya kembali. Kelima orang itu dengan merancah genangan darah busuk, melangkahi mayat-mayat yang bergelimpangan, dengan hati-hati bergerak menuju reruntuhan Istana Darah. Di mana-mana terdapat sisa-sisa korban api dan dari setiap jurusan menyambar bau busuk yang memengapkan jalan pernafasan.

"Aneh, di manakah si gila Rangrang Srenggi itu?" ujar Si Botak Mata Buta.

Di ujung sana, dekat sisa reruntuhan dinding tembok sebelah dalam bekas Istana Darah, Pendekar 212 Wiro Sableng tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ketika dia menjenguk ke balik reruntuhan tembok, depan sebuah kolam yang kini dipenuhi puingpuing reruntuhan serta pecahan patung Rakseksi telanjang, di atas sebuah kursi goyang besar yang terbuat dari kayu jati bercat merah, duduklah seorang laki-laki katai berpakaian merah, berambut gondrong awut-awutan berwarna merah dan bermuka bercelomot darah!

Baik kening, maupun hidung serta mulut orang katai ini amat rata sekali hingga sepintas lalu mukanya licin tak ubahnya seperti sebuah bola! Kursi yang didudukinya terlalu besar bagi tubuhnya yang kecil itu. Bahkan kedua kakinya tidak sampai menjejak lantai! Tapi di atas kursi goyang itu dia duduk bergoyang-goyang seenaknya. Di tangan kiri kanannya terdapat sebuah seloki cairan merah. Dalam duduk sendirian seenaknya itu dia tertawa-tawa macam orang kurang ingatan.

Wiro memberi isyarat pada yang lain-lainnya untuk mendekat. Ketika semua orang sudah berkumpul di dekatnya tiba-tiba si katai di atas kursi goyang menghamburkan tawa gelak berderai hingga kedua matarrya basah oleh air mata!

"Selamat datang tuan-tuan... Selamat datang di Istanaku yang telah hancur ini...!" kata orang katai itu pula. Tapi tiba-tiba mukanya berubah warna dan dari mulutnya keluar makian. "Keparat... sialan! Laknat...! Haram jadah! Terkutuk! Mampuslah semua! Mampus! Semuaaa...!"

Mengenali suara yang mengutuk menyerapah itu Karewang segera membuka mulut. "Paduka Yang Mulia Raja Gila, setelah istana mu hancur, setelah begundal-begundalmu konyol, apakah kau masih menganggap dirimu masih sebagai raja?"

"Kalau asalku raja tetap raja. Hari ini aku telah menjadi raja akhirat untuk mengirim kau dan yang lain-lainnya ke akhirat!" Selesai berkata begitu manusia yang menganggap dirinya sebagai raja itu tertawa gelak-gelak.

"Rangrang Srenggi. Otakmu yang miring rupanya sudah tidak bisa dibikin lempang! Hari ini kau harus mempertanggung jawabkan segala kejahatan yang telah kau perbuat!"

Rangrang Srenggi mendengus. Digoyang-goyangkannya badannya di atas kursi goyang lalu sambil mengacungkan dua buah seloki yang dipegangnya dia berkata, "Sebelum kita meneruskan pembicaraan mari kujamu kau dengan arak darah ini! Datanglah ke hadapanku. Eh...? apakah kedua kakimu yang kubikin buntung tempo hari sudah disambung dengan kaki palsu!"

Paras Karewang merah padam namun dia ganda tertawa mendengar ucapan itu dan menjawab, "Justru aku datang kemari untuk minta tolong dibuatkan sepasang kaki palsu." Karewang lantas balas tertawa.

Rangrang Srenggi memencongkan mulutnya. "Aku akan buatkan cuma-cuma untukmu. Namun terlebih dulu teguklah arak darah ini!" Habis berkata begitu Rangrang Srenggi membuka tangan kanannya dan seloki arak di tangan kanan itu melayang perlahan-lahan ke arah Karewang.

"Wiro dudukkan aku di runtuhan tembok agar aku bisa menyambuti suguhan tuan rumah!" kata Karewang.

Maka Wiropun mendudukkan orang tua itu di atas runtuhan tembok. Sementara itu seloki yang berisi arak darah melayang menuju ke tempat Karewang. Kira-kira satu meter lagi dari hadapannya. Karewang mengulurkan tangan seperti hendak menyambuti. Tapi dari tangan kanannya justru keluar selarik angin yang membuat seloki tertahan di udara. Dan bukan sampai di situ saja. Malah kini seloki itu kelihatan mundur. Betapapun Rangrang Srenggi mengerahkan tenaga dalamnya tetap saja dia tak sanggup mendorong seloki tersebut ke arah lawannya!

TUJUH BELAS

"Ha-ha-ha...! Rupanya seloki itu malu-malu datang ke hadapanku! Biarlah bagianku itu kau ambil saja!" kata Karewang seraya mendorongkan tangan kanannya lebih keras.

Dengan muka merah karena malu Rangrang Srenggi menyambut seloki arak itu. Sadarlah dia bahwa tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi darinya. Perlahan-lahan dengan tenang dia meneguk habis darah busuk yang ada dalam seloki satu demi satu. Lalu seenaknya kedua seloki kosong itu dilemparkannya hingga pecah bertaburan. Dia kemudian tertawa bekakakan lalu kembali memaki kata-kata kotor. Tiba-tiba dia memejamkan kedua matanya. Dalam memejamkan mata itu dia kemudian mengajukan pertanyaan.

"Karewang, sudah siapkah kau untuk pergi ke akhirat!"

"Sudah sejak dari dulu-dulu, Srenggi," sahut Karewang.

"Bagus!" Bersamaan dengan ucapan bagus itu Rangrang Srenggi menendangkan kaki kanannya yang kecil. Sesiur angin yang amat dingin meluncur ke arah Karewang.

Yang diserang menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu tubuh itu melesat setengah tombak ke atas. Serangan lawan lewat di bawahnya, menghantam runtuhan tembok di mana tadi Karewang duduk hingga hancur lebur. Karena tembok itu kini sudah jadi sama rata dengar tanah, orang menyangka Karewang akan jatuh terbanting ke tanah. Tapi hebatnya orang tua berkaki buntung ini dengan senyum-senyum melayang turun dan duduk bersila di tanah tanpa menimbulkan sedikit suarapun!

"Kini giliranku, Srenggi!" seru Karewang. Kedua tangannya ditepukkan ke depan. Kursi goyang yang diduduki Rangrang Srenggi hancur berantakan.

Tapi si katai itu sendiri sudah melompat ke lain tempat dan di lain kejap laksana topan prahara menyerbu ke arah Karewang. Orang tua bermata buta dan berkaki buntung itu tetap duduk dengan tenang di tempatnya. Telinganya dipasang benar-benar untuk mengetahui serangan apa dan dari mana datangnya. Tiba-tiba dia mengangkat kedua tangannya, menangkis!

Empat lengan mereka saling beradu! Rangrang Srenggi terpekik. Tubuhnya terbanting ke tanah sedang Karewang yang hilang keseimbangannya jatuh terguling-guling tapi cepat bangun dan duduk bersila kembali! Si katai Rangrang Srenggi dengan amarah meluap mencabut sebilah pedang tipis berwarna merah darah dan melompat ke hadapan Karewang.

"Licik!" teriak Lestari seraya melompat dan menyerang Rangrang Srenggi dengan suling peraknya. "Guruku tidak pakai senjata, mengapa kau menyerang dengan pedang!"

"Bocah jelita. Kau minggirlah!" bentak Rangrang Srenggi. Pedangnya dibabatkan. Angin yang menderu keluar dari senjata itu hebat sekali hingga Lestari yang terkena terpaannya terjajar enam langkah ke belakang!

"Biarkan saja Lestari! Biarkan dia menyerang dengan pedang!" terdengar suara Karewang, "Dia tolol kalau menganggap guru mu yang pikun ini adalah Karewang beberapa tahun lalu, buta dan buntung!"

Lalu orang tua ini dengan sikap acuh tak acuh menyilangkan kedua tangan di muka dada sedang sepasang matanya yang buta terpejam. Sesaat kemudian dari ubun-ubunnya tampak keluar asap warna ungu. Asap ini dengan cepat menutupi sekujur tubuhnya. Sesaat Rangrang Srenggi tertegun. Namun kemudian dia teruskan serangan pedangnya. Senjata ini bergaung mencari sasaran di arah leher Karewang. Tapi aneh!

Begitu pedang membentur lapisan asap ungu, maka senjata itu terpental kembali laksana menghantam satu dinding yang luar biasa atosnya. Rangrang Srenggi jadi penasaran. Dia mengumpulkan seluruh tenaga dan menghujani tubuh lawan dengan bacokan terus menerus. Namun bagaimanapun dicobanya untuk membacok, menusuk, membabat, tetap saja pedangnya tidak mampu menerobos lapisan asap ungu yang aneh itu!

"Gila! Gila...! gila!" teriak Rangrang Srenggi kalap.

Tiba-tiba cepat sekali Karewang mengulurkan tangan kanannya. Dan entah dalam gerakan bagaimana tahu-tahu dia sudah berhasil merampas pedang merah di tangan Rangrang Srenggi. Selagi lawan berada dalam keadaan tertegun kaget, senjata itu sudah menyambar datar di bawah pinggangnya dan...

"Crasss...!"

Putuslah tubuh Rangrang Srenggi sebatas pinggul. Darah menyembur dari dua bagian tubuh yang terpotong itu. Rangrang Srenggi berteriak-teriak, memaki dan mengutuk menyerapah. Namun detik demi detik suaranya semakin kecil melemah. Pada saat tubuhnya tak berkutik lagi suaranya pun lenyap dan nyawanya lepas!

"Seorang iblis telah musnah! Bukankah pantas aku diberi gelar Si Pemusnah Iblis?!" Karewang lalu tertawa gelak-gelak.

T A M A T

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.