Bola Bola Iblis

BOLA BOLA IBLIS

SATU

TIGA orang lelaki bertelanjang dada memacu tunggangan mereka, menghambur menyeberangi sungai berair kehijauan. Ikan-ikan dalam sungai yang tengah berenang menikmati kesejukan alam pagi terkejut berlompatan ke permukaan air. Binatang tunggangan tiga orang tadi bukanlah kuda melainkan tiga ekor kadal raksasa berkulit coklat berkilat. Setiap telinga mereka ditarik binatang-binatang itu keluarkan suara menguik aneh lalu berlari lebih kencang.

Pada saat matahari muncul lebih tinggi di balik bukit hijau di sebelah timur, tiga penunggang kadal raksasa berhenti disebuah bangunan tinggi terbuat dari batu berwarna merah. Ketiganya memandang ke arah sebuah jendela di ketinggian bangunan. Di belakang jendela tampak tegak seorang perempuan masih sangat muda, berambut hitam yang diberi hiasan sederet sunting.

Di wajahnya yang cantik tapi pucat terpancar bayangan keletihan dan juga rasa gelisah. Sejak kemarin pagi dia berada di belakang jendela itu. Menatap ke arah jalan kecil yang membelah kawasan penukiman. Tadi malam boleh dikatakan dia sama sekali tidak bisa memicingkan mata. Orang yang ditunggunya tak kunjung datang.

Ketika di jalan di bawah sana tiga penunggang kadal coklat muncul, sepasang mata perempuan di bangunan tinggi membuka besar-besar. Hatinya kecewa karena ternyata yang datang bukan orang yang ditunggunya.

“Wahai tiga kerabat suamiku, penunggang kadal coklat! Gerangan kabar apa yang kalian bawa! Mana suamiku Lakasipo?!” Perempuan di belakang jendela bertanya.

Salah seorang penunggang kadal angkat dua tangannya di atas kepala. Telapak tangan dirapatkan. “Wahai Luhrinjani istri Kepala Negeri Latanahsilam! Datang kami membawa kabar buruk!”

Berdesir darah perempuan di belakang jendela. Tengkuknya mendadak terasa dingin dan wajahnya bertambah pucat.

“Istri Kepala Negeri, bolehkah kami menyampaikan kabar buruk itu sekarang juga…?”

Lelaki di atas punggung kadal coklat ajukan pertanyaan. Setiap mulai bicara dia rapatkan telapak tangan di atas kepala.

“Wahai kerabat suamiku! Yang buruk tak bisa dihindarkan, yang baik belum tentu didapat. Berucaplah engkau! Kabar buruk itu katakan padaku!” kata perempuan muda bernama Luhrinjani.

Lelaki di bawah sana berpaling dulu pada dua temannya lalu menjawab.“Wahai Luhrinjani! Tabahkanlah hatimu. Suamimu Lakasipo tewas ditangan komplotan pemberontak! Maafkan kami Luhrinjani…”

Lantai batu di bawah kaki Luhrinjani seolah runtuh. Ucapan orang seolah sambaran petir di depan wajahnya. Bola matanya membesar. Lehernya yang putih jenjang turun naik.

“Tidak boleh jadi! Lakasipo seorang sakti! Mana mungkin terbunuh dia di tangan pemberontak!” Suara Luhrinjani tersendat. Tubuhnya mendadak terasa lemas. Cepat-cepat dia menggapai pinggiran jendela batu agar tidak terhuyung jatuh.

“Maafkan kami Luhrinjani. Kami hanya menyampaikan apa yang kami lihat. Sebentar lagi kerabat Lahopeng akan datang! Kau bisa dari dia mendapat lebih jelas keterangan!”

Baru saja pengawal itu selesai bicara tiba-tiba terdengar suara genta berkepanjangan. Tak lama kemudian muncullah seorang lelaki berwajah tampan, berambut ikal. Wajahnya yang kebiru-biruan dihias kumis dan janggut hitam berkilat.

Seperti tiga lelaki penunggang kadal, pemuda ini juga bertelanjang dada. Di pinggangnya melingkar sebuah sabuk kulit penuh tempelan batu-batu berbagai warna. Di balik sabuk ini terselip sebilah parang pendek terbuat dari batu berwarna kelabu.

Orang ini datang dengan menunggang seekor biawak raksasa bersisik hitam. Pada leher biawak tergantung sebuah genta besi yang setiap bergerak mengeluarkan suara berkerontang. Tiga penunggang kadal rapatkan tangan di depan kening. Yang di tengah berkata,

“Wahai kerabat Lahopeng. Berita buruk sudah kami sampaikan pada istri kerabat Luhrinjani.”

Pemuda bernama Lahopeng mengangguk sedikit. “Kalian bekerja bagus. Hadiah yang kujanjikan kuberikan pasti. Bertiga kalian sekarang boleh pergi.”

Tiga orang penunggang kadal rapatkan tangan di depan kening lalu segera tinggalkan tempat itu. Setelah mereka pergi penunggang biawak memandang ke atas bangunan. Setelah menatap sejurus maka dia pun berkata dengan suara keras.

“Wahai Luhrinjani, istri sahabatku Lakasipo. Aku hadir sudah di bawah sini. Apa aku boleh memberi keterangan dari tempat ini?”

Di atas jendela Luhrinjani mengusap dadanya. “Wahai Lahopeng, sahabat suamiku adalah kau! Wakil suamiku adalah kau. Naiklah ke atas sini agar kau bisa memberi keterangan lebih jelas.”

Mendengar ucapan Luhrinjani, Lahopeng melompat dari atas punggung biawak lalu berlari ke arah sebuah pintu di bagian bawah bangunan. Di sini ada tangga menuju tingkat atas. Sesaat kemudian Lahopeng telah berhadap-hadapan dengan Luhrinjani. Tempat di mana mereka berada ternyata adalah ruang ketiduran.

“Salam dalam duka cita untukmu wahai Luhrinjani. Aku tidak berani memberi penjelasan jika tidak kau meminta,” kata Lahopeng setelah menatap perempuan muda di hadapannya itu beberapa ketika.

“Aku masih rasa-rasa tidak percaya pada keterangan tiga kerabat tadi wahai Lahopeng. Katakan, apa salah aku mendengar atau para kerabat berucap salah. Atau memang suamiku Lakasipo benar telah tewas di tangan para pemberontak?”

“Maafkan aku wahai Luhrinjani. Benar adanya berita itu. Aku merasa ikut bersalah tak dapat menolong suamimu. Musuh sangat kuat. Aku sendiri pasti kalau tidak berlaku cerdik sudah menjadi korban keganasan para pemberontak. Aku terpaksa menyelamatkan diri. Masih sempat kulihat kerabat Lakasipo dikurung lawan lalu dibantai. Maafkan aku wahai Luhrinjani.”

Sesaat sepasang mata Luhrinjani menatap tak berkesip pada pemuda di hadapannya. Lalu tampak mata itu berkaca-kaca. Isaknya tersendat. “Lakasipo lelaki sakti. Mungkin bagaimana dia bisa mengalami nasib buruk begitu?!”

“Aku tahu kehebatan suamimu wahai Luhrinjani. Tapi para pemberontak yang tak seberapa itu ternyata dibantu oleh Hantu Muka Dua.”

“Hantu Muka Dua?” Luhrinjani mengulang nama itu dengan penuh rasa kejut. Air mata mulai menetes jatuh ke pipinya yang pucat. “Antara suamiku dan Hantu Muka Dua selama ini tak ada silang sengketa. Mengapa dia berbuat jahat tega-teganya.”

“Wahai Luhrinjani, kau tahu sendiri adanya siapa Hantu Muka Dua. Kejahatannya setinggi langit sedalam lautan. Hari ini jadi teman besok jadi lawan. Hatinya tak bisa ditimba. Apalagi sejak dia mengagulkan diri sebagai raja di raja para Hantu di negeri Latanahsilam ini. Sementara kita mencari jalan untuk membalas dendam, kau kuharap bisa bertabah diri wahai Luhrinjani.”

Luhrinjani tak bisa menahan tangisnya lagi. Ratapannya menyayat hati. “Buruk nian nasib diriku. Ayah tiada ibu tak punya. Baru tiga hari aku menjadi istri kanda Lakasipo. Belum lagi kami sempat mengecap cita rasa bahagianya pengantin baru. Tahu-tahu suamiku terbunuh. Kejam sekali hidup di alam ini.”

“Suamimu mati secara terhormat wahai Luhrinjani. Sebagai pahlawan perkasa gagah. Aku sudah meminta beberapa kerabat untuk menyelamatkan jenazah Lakasipo dan memakamnya di satu tempat.”

“Aku ingin melihat dirinya terakhir kali sebelum dikuburkan…”

“Aku mohon Luhrinjani. Hal itu jangan kau lakukan,” kata Lahopeng.

“Mengapa wahai Lahopeng?” tanya Luhrinjani heran.

“Karena… Karena keadaan jenazah suamimu sangat rusak. Jika sampai kau melihat, aku khawatir bayangan rasa ngeri akan seumur hidup menghantuimu.”

“Aku bersumpah untuk membalas dendam!”

“Sebelum sumpah itu kau ucapkan wahai Luhrinjani, aku sudah lebih dulu tujuh kali bersumpah. Namun saat ini hanya satu pintaku…”

Kepala Luhrinjani yang tertunduk terangkat sedikit. “Apa yang hendak kau katakan Lahopeng?”

“Kau tahu selama ini perasaanku terhadapmu. Cintaku setinggi langit. Kasihku sedalam lautan. Hanya nasibku yang belum beruntung. Karena cinta kasihmu kau berikan pada Lakasipo. Sekarang setelah Lakasipo tidak ada lagi, apakah kau berkenan mengambil diriku sebagai penggantinya?”

Luhrinjani menatap dalam-dalam kemata pemuda itu. “Lahopeng, jenazah suamiku saja belum kulihat. Mungkin bagaimana kau sampai hati berkata begitu?”

“Maafkan aku wahai Luhrinjani,” kata Lahopeng. Sepasang matanya menatap tajam seolah mau menembus sampai ke kepala perempuan muda cantik di hadapannya. “Aku mengikuti hanya adat kebiasaan di negeri leluhur ini. Yaitu jika ada seorang perempuan menjadi randa, jangan ditunggu sampai lewat tujuh hari. Dirinya harus segera mendapatkan suami baru. Atau para roh akan mengutuk dan dia harus menunggu sampai dua puluh empat kali bulan purnama. Jangan kau lupa wahai Luhrinjani. Kalau paman dan bibimu tidak ikut campur terlalu jauh, diriku pasti adalah suamimu satu-satunya. Sekarang kesempatan terbuka bagiku. Walau kini kau hanya seorang randa…”

“Lahopeng, mana mungkin aku melupakan adat di negeri Latanahsilam ini. Tapi aku tak bisa memikirkan hal itu saat ini. Aku ingin melihat suamiku terakhir kali. Bagaimanapun keadaan jenazahnya.”

“Kalau begitu akan kuperintahkan para kerabat untuk mendapatkan mayat suamimu. Namun kuharap kau mau berjanji. Malam ini, jika kau mau memberi kepastian, aku akan memanggil nenek Lamahila si juru nikah. Kita cari seorang saksi. Bersama kita pergi ke Bukit Batu Kawin. Di situ kita memadu cinta sebagai tanda ikatan suami istri. Sebelum matahari terbit kita sudah kembali kesini.”

Luhrinjani tegak dengan mulut terkancing. Dia seperti tidak percaya akan pendengarannya. Airmata semakin deras mengucur.

“Lahopeng, aku tahu kau mencintaiku. Kita pernah berkasih sayang. Tapi aku tak bisa menolak pesan ayah bundaku melalui paman dan bibi. Bahwa harus aku menikah dengan Lakasipo…”

“Luhrinjani, yang sudah terjadi biar berlalu. Saat ini aku menunggu jawabanmu. Jika memang diriku tidak lagi berkenan di hatimu, aku akan pergi dari Latanahsilam ini. Membawa kehancuran hati…”

“Lahopeng, aku perlu bicara dengan paman dan bibiku dulu terlebih.”

“Luhrinjani tambatan hatiku. Jangan lupakan adat istiadat negeri kita. Seorang perempuan yang telah bersuami, maka lepas dirinya dari segala ikatan dua orang tuanya. Apalagi sekarang kau cuma punya paman dan bibi. Hanya kau sendiri yang berhak menentukan apa yang kau lakukan…”

“Lahopeng, aku…” Luhrinjani tak bisa meneruskan ucapannya. Perempuan ini menangis keras dan tanpa sadar menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan pemuda yang memang pernah dicintainya.

“Luhrinjani, aku mencintaimu. Aku akan menerimamu apa adanya…” bisik Lahopeng seraya menjatuhkan ciumannya ke kening Luhrinjani.

“Lahopeng, aku kini memang seorang randa. Tapi ketahuilah… Lakasipo belum sempat menyentuh diriku secara keseluruhan…”

“Waktu upacara pengukuhan perkawinanmu di Bukit Batu Kawin…?”

“Dia tidak melakukan hal itu Lahopeng. Karena dia terlalu sayang padaku. Dia sengaja menunggu sampai di rumah. Namun sampai terbunuh, dia belum sempat melakukannya…”

“Wahai Luhrinjani,” bisik Lahopeng dengan nafas memburu. “Maksudmu sampai saat ini kau masih perawan?”

Luhrinjani mengangguk dalam pelukan si pemuda.

“Ah, nasib peruntunganku ternyata tidak seburuk yang kuduga…” lalu Lahopeng memeluk tubuh Luhrinjani dengan sangat bernafsu. Ketika dia coba menekankan tubuhnya ke tubuh perempuan itu di dinding ruangan sambil tangannya mengusap ke dada, Luhrinjani cepat mendorong pemuda itu.

“Dengar Lahopeng. Aku tidak akan memberikan apapun padamu sebelum kita berada di Bukit Batu Kawin.”

“Maafkan aku wahai Luhrinjani. Aku terlalu gembira hingga lupa diri…”

“Sekarang ku harap kau mau pergi dulu Lahopeng. Untuk beberapa lama ingin aku bersunyi diri di tempat ini…”

“Aku akan menunggumu di bawah sana wahai Luhrinjani…” kata Lahopeng lalu mencium kening Luhrinjani.

********************

DUA

Dalam gelapnya malam dan dinginya udara di puncak bukit batu, empat sosok kelihatan duduk bersila mengelilingi perapian kecil. Dua pertama adalah pasangan Lahopeng dan Luhrinjani. Yang ke tiga seorang nenek berambut putih riap-riapan berwajah angker dan dari mulutnya terus menerus keluar suara meracau entah merapal apa. Dia adalah Lamahila nenek yang dikenal sebagai juru nikah di negeri Latanahsilam.

Di sebelah si nenek duduk seorang lelaki berusia sekitar setengah abad bernama Laduliu. Lamahila duduk membelakangi sebuah batu besar rata setinggi lutut, berbentuk tempat ketiduran. Di ujung sebelah kiri ada dua buah gundukan batu rata menyerupai dua buah bantal.

Tiba-tiba suara racau si nenek berhenti. Menyusul mulut perotnya berucap mengajukan pertanyaan. “Wahai kalian yang meminta dipertemukan dalam satu perkawinan sakral! Bukit Batu Kawin telah siap. Apakah berdua kalian sudah siap?”

“Kami sudah siap nek,” jawab Lahopeng dan Luhrinjani berbarengan.

“Sebutkan nama kalian. Satu persatu!” kata si nenek Lamahila.

“Aku Lahopeng.”

“Aku Luhrinjani.”

Lamahila memandang dengan sepasang mata dibesarkan pada dua orang di depannya lalu mendongak ke langit kelam dan lengkingan satu pekik menggidikkan.

“Wahai Lahopeng, apa kau kunikahkan bersedia dengan Luhrinjani? Apa kau bersedia menjadi suami Luhrinjani?”

“Aku bersedia karena aku mencintainya,” jawab Lahopeng.

“Wahai randa tiga hari bernama Luhrinjani. Apa kau kunikahkan bersedia dengan Lahopeng? Apa kau bersedia menjadi istri Lahopeng?”

“Aku bersedia nek,” jawab Luhrinjani.

Si nenek lontarkan seringai angker pada kedua orang itu. Dia angkat kedua tangannya ke atas lalu berseru. “Aku Lamahila hanyalah si juru nikah. Segala apa yang terjadi di tempat ini tanggung jawabku menjadi. Tapi semua apa yang terjadi setelah itu adalah bagian tanggung jawab kalian berdua! Wahai Lahopeng dan Luhrinjani. Apa kalian berdua bersedia menerima tanggung jawab itu?!”

“Kami bersedia nenek Lamahila,” Lahopeng dan Luhrinjani sama berikan jawaban.

“Langit bersaksi. Bumi bersaksi. Di antara keduanya roh dan para Peri dan Dewa ikut bersaksi! Wahai anak manusia bernama Laduliu, apa kau sudah siap menjadi saksi hidup di bawah langit di atas bumi?!”

Lelaki separuh baya yang duduk disebelah si nenek segera menjawab. “Aku Laduliu siap menjadi saksi perkawinan antara Lahopeng dengan Luhrinjani. Dengan syarat segala tanggung jawab adalah bagian mereka berdua!”

Dari mulut Lamahila melengking satu pekik keras. Lalu dari balik bajunya nenek ini keluarkan sepotong kayu. Begitu ujung kayu disorongkan ke perapian dan terbakar maka tempat itu serta merta menjadi sangat wangi harumnya bau kayu cendana.

“Syarat perkawinan di Negeri Latanahsilam! Ada lelaki sebagai pengantin lelaki. Ada perempuan sebagai pengantin perempuan. Jika dia gadis maka jadilah dia pengantin perawan. Jika dia seorang randa maka jangan menunggu sampai lewat tujuh hari. Kecuali kalau dia mau menunggu selama dua puluh empat kali bulan purnama. Ada saksi di langit. Ada saksi di bumi. Ada saksi di antara keduanya. Bukit Batu Kawin! Malam ini aku Lamahila yang dikuasakan sebagai juru nikah di Negeri Latanahsilam ingin melakukan pengesahan perkawinan antara pemuda bernama Lahopeng dengan seorang randa bernama Luhrinjani. Perkenankan sepasang pengantin ini bersatu raga di atas pelaminan batu!”

Saat itu terjadilah satu hal yang aneh. Batu besar berbentuk tempat tidur di belakang si nenek tiba-tiba bergoyang lima kali. Luhrinjani merasakan dadanya berdebar dan mukanya seolah tidak berdarah. Terbayang olehnya peristiwa empat hari lalu. Di tempat itu juga dia melakukan upacara perkawinan dengan Lakasipo.

“Tanda terlihat sudah. Perkenan sudah didapat. Upacara syahnya perkawinan siap dilaksanakan.”

Lamahila memberi isyarat agar semua orang yang ada di situ bangkit berdiri. Tongkat kayu cendana yang ujungnya masih terbakar nyala api diputar-putar di udara membentuk lingkaran-lingkaran merah sabung menyabung dan menebar bau harum kemana-mana.

“Wahai Lahopeng dan Luhrinjani. Berjalanlah kalian berdua. Tangan berpegangan. Kelilingi batu pelaminan. Tiga kali dari arah kiri. Tiga kali dari arah kanan. Setelah itu lepaskan pakaian masing-masing. Naik ke atas pelaminan batu. Di situ kalian harus melakukan kewajiban pertama kalian sebagai suami istri yang syah.”

Lamahila memberi isyarat pada Laduliu. Orang yang bertindak sebagai saksi merangkap pembantu si nenek ini segera mengambil selembar tikar terbuat dari jerami berwarna kuning yang sudah disiapkannya. Tikar ini dibentangkan di atas pelaminan batu. Lamahila keluarkan sebuah pundi-pundi kecil terbuat dari tanah berisi cairan harum yang kemudian dituangkannya di empat sudut tikar. Lalu dari sebuah kantong kain diambilnya beberapa jumput tujuh macam bunga dan disebar di atas tikar jerami.

Setelah melakukan itu semua Lamahila diikuti Laduliu melangkah mundur ke tempat gelap. Dari mulut si nenek kembali terdengar suara meracau tapi sangat perlahan, antara terdengar dan tidak. Dari tempat gelap bersama pembantunya dia siap menyaksikan apa yang akan dilakukan Lahopeng dan Luhrinjani.

Diterangi nyala perapian, sambil berpegangan tangan Lahopeng dan Luhrinjani melangkah mengelilingi pelaminan batu. Mula-mula tiga kali dari sebelah kiri. Setelah itu berputar ke sebelah kanan.

Seperti apa yang dikatakan si juru nikah Lamahila, Lahopeng menanggalkan pakaiannya yakni sehelai celana berwarna merah. Akan halnya Luhrinjani, perempuan muda ini tidak segera mengikuti apa yang dilakukan si pemuda. Dari arah kegelapan tiba-tiba terdengar suara Lamahila.

“Jika terjadi keragu-raguan di salah satu pihak. Maka perkawinan di Bukit Batu Kawin ini menjadi batal!”

“Luhrinjani,” bisik Lahopeng. “Lekas tanggalkan pakaianmu.”

Saat itu di pelupuk mata Luhrinjani mendadak muncul bayangan wajah suaminya. “Lakasipo…” desis Luhrinjani.

Dia melihat Lahopeng seolah sosok Lakasipo. Itu sebabnya perempuan ini diam saja ketika Lahopeng mulai melepas tali pengikat pinggang pakaiannya. Tali pengikat jatuh kebawah. Sebagian aurat Luhrinjani tersingkap.

Pada saat itulah sekonyong-konyong di kejauhan terdengar suara menggemuruh derap kaki kuda. Bergerak cepat sekali menuju puncak Bukit Batu Kawin. Semua orang yang ada di tempat itu tersentak kaget.

Luhrinjani putar kepalanya ke arah datangnya suara itu. “Lakasipo…” bibir Luhrinjani bergerak bergetar. “Aku mengenali suara binatang tunggangannya.”

Melihat gelagat yang tidak baik ituLahopeng bergegas berusaha menanggalkan seluruh pakaian yang melekat di tubuh Luhrinjani. Laksana hantu turun dari langit tiba-tiba melesatlah sesosok makhluk hitam besar disertai gelegar ringkik kuda. Tiupan angin kencang menerbangkan tikar jerami kuning dari atas pelaminan batu. Bunga-bunga aneka warna bertebaran ke udara.

TIGA

"Braaakkk!"

Tiga pasang kaki berbulu aneh mendarat di atas bukit batu. Itu adalah kaki-kaki seekor kuda hitam bermata merahyang pada kepalanya terdapat dua buah tanduk mencuat tajam. Keanehan lain dari kuda ini ialah dia memiliki tiga pasang kaki. Tiga di sisi kiri dan tiga di sisi kanan! Di atas kuda aneh itu duduk seorang lelaki yang muka dan tubuhnya penuh luka bersimbah darah.

“Lakasipo!” teriak Luhrinjani begitu melihat orang di atas kuda yang bukan lain adalah suaminya sendiri. Bagaimana hal ini bisa terjadi. Bukankah menurut Lahopeng suaminya itu telah menemui ajal di tangan komplotan pemberontak. Luhrinjani berpaling ke arah Lahopeng. Pemuda ini tampak tegak tertegun. Matanya terbeliak dan mukanya yang kebiru-biruan mendadak pucat.

Luhrinjani hendak menghambur lari mendapatkan lelaki itu tapi langkahnya tertahan begitu sadar akan keadaan dirinyayang saat itu tidak tertutup selembar benang pun karena tadi Lahopeng telah sempat menanggalkan pakaiannya. Dengan cepat Luhrinjani mengambil pakaiannya lalu mengenakannya dengan tergesa-gesa. Lahopeng segera pula menyambar celana merahnya.

Walau matanya laksana ditusuk tombak api dan dadanya seolah terbakar menyaksikan keadaan istrinya namun Lakasipo tidak perdulikan perempuan itu. Dia melesat dari atas kuda dan langsung menghadapi Lahopeng.

“Lahopeng kerabat keparat! Busuk tidak kusangka sifatmu! Diriku kau khianati!”

“Lakasipo, jangan salah kau bersangka! Biar kujelaskan padamu…” Lahopeng tergagap.

“Tidak perlu penjelasan! Aku tahu sudah apa yang terjadi! Lebih dari itu sudah kubuktikan sendiri apa yang ada dalam bungkusan kepalamu! Keji!” Alis dan kumis Lakasipo yang lebat sampai berjingkrak saking marahnya.

“Lakasipo, tunggu dulu!”

“Jahanam! Jangan kau berani bermulut banyak! Kau sengaja menjebak aku Lahopeng! Kau katakan ada sekelompok orang hendak merampas kedudukanku sebagai Kepala Negeri Latanahsilam. Kau bawa aku ke Lembah Labengkok. Ternyata yang menunggu di sana bukan pemberontak. Tapi kaki tanganmu. Dibantu Hantu Muka Dua! Kau begitu yakin aku akan terbunuh! Kau beritahu Luhrinjani bahwa aku sudah tewas. Agar kau bisa mengawininya! Pengkhianat laknat terkutuk! Dari belakang kau menohok! Kau gunting leherku dalam lipatan! Tapi para roh dan para dewa menolongku! Aku masih hidup Lahopeng! Kau harus tebus kejahatanmu dengan nyawa busukmu!”

“Lakasipo wahai suamiku!” jerit Luhrinjani yang saat itu sudah mengenakan pakaiannya dan menghambur ke arah Lakasipo.

Tapi lelaki itu membentaknya dengan suara garang dan wajah sebuas setan. “Perempuan tidak berbudi! Mana kesetiaanmu!”

“Suamiku…”

“Jangan panggil aku suamimu! Tiga hari baru kau jadi istriku! Belum satu minggu kau kukawini! Sampai hati kau menyerahkan hati dan tubuhmu pada lelaki lain!”

“Lakasipo, aku tertipu. Aku…”

“Kau tidak tertipu Luhrinjani! Justru kau sendiri menipu diri!” Lakasipo lalu mendorong tubuh perempuan itu hingga Luhrinjani jatuh terjengkang dekat pelaminan batu.

Di tempat gelap Lamahila dan Laduliu saling berbisik. “Tak kusangka hal seperti ini bakal terjadi! Lahopeng dan kaki tangannya rupanya sengaja menipu Luhrinjani agar dapatkan randa itu. Kita ikut tertipu Nenek Lamahila…” suara Laduliu bernada penuh khawatir.

“Ditakuti tak ada yang perlu!” jawab Lamahila. “Bukankah aku sudah merapal. Apapun yang bakal terjadi semua tanggung jawab Lahopeng dan Luhrinjani! Itu perjanjian disaksikan langit dan bumi. Disaksikan pelaminan batu! Didengar para roh, para Peri dan para Dewa!”

“Tapi Nenek Lamahila. Pikirkan keselamatan sendiri. Lebih baik kita segera angkat kaki dari puncak Bukit Batu Kawin ini!”

Si nenek berambut putih riap-riapan anggukkan kepala. “Aku setuju ucapanmu Laduliu! Lekas kita merat dari sini!” kata si nenek pula.

Lalu dua orang itu dengan cepat segera tinggalkan Bukit Batu Kawin, menghilang dalam kegelapan.

Dengan keluarkan suara menggembor Lakasipo menerjang ke arah Lahopeng. Tangan kanannya bergerak. Lima jari tangan kanannya menjentik. Lima larik sinar hitam menderu menghantam Lahopeng.

“Pukulan Lima Kutuk Dari Langit!” teriak Lahopeng yang mengenali pukulan maut itu dan menjadi sadar kalau Lakasipo benar-benar nekad ingin membunuhnya.

Secepat kilat Lahopeng jatuhkan diri ke bukit batu. Lima larik sinar hitam lewat hanya sejengkal di sampingnya. Menghantam dua buah pohon besar enam tombak di ujungkiri. Sesaat kemudian terdengar suara bergemeletak seperti kayu kering dimakan api. Padahal tak ada kayu yang terbakar.

Ketika Lahopeng palingkan kepalanya untuk melihat apa yang terjadi, mukanya yang kebiru-biruan menjadi putih dan nyawanya seperti terbang. Dua pohon tinggi besar yang terkena pukulan Lima Kutuk Dari Langit saat itu telah berubah ciut mengkeret menjadi dua pohon kering kerontang tanpa daun. Dan tingginya kini hanya sampai sebatas lutut!

Lahopeng sadar bahaya besar yang dihadapinya. Dia memang memiliki ilmu kesaktian. Tapi ilmu yang dimiliki Lakasipo sulit ditandingi. Padahal lawan baru mengeluarkan satu saja dari beberapa ilmu hebat yang dimilikinya. Sambil melompat bangkit Lahopeng cabut senjata yang terselip di pinggangnya. Yakni sebilah parang terbuat dari batu kelabu.

Walau bentuknya buruk namun parang batu ini bukan senjata sembarangan. Jangankan tubuh manusia, batu sebesar apapun bisa hancur kena tikamannya. Selain itu untuk menyerang musuh senjata itu tidak perlu tetap digenggam di tangan. Cukup dilempar dilepas ke udara maka parang batu ini akan melayang menyerang musuh.

“Parang Batu Penjungkir Arwah!” ujar Lakasipo dengan suara bergetar menyebut nama senjata di tangan Lahopeng. Dia tahu betul kehebatan senjata itu. Tapi nyalinya tidak leleh. “Lahopeng! Boleh kau punya sepuluh parang sakti! Aku Lakasipo tidak takut!”

Lahopeng pemuda berwajah kebiru-biruan menyeringai. “Waktu sudah kuminta untuk memberi penjelasan. Tapi kau mendesak dan memburu laksana setan! Jangan menyesal Lakasipo! Kalau kau benar-benar mati menjadi setan!”

“Jahanam takabur! Perampok istri orang! Kau punya roh yang bakal minggat duluan! Kau yang bakal jadi setan gentayangan! Arwahmu tergantung antara langit dan bumi! Tersiksa dalam siang maupun malam! Tersesat di delapan penjuruangin! Para Peri dan Dewa mendengar kutukku!”

“Aku tidak merampok istri Lakasipo! Kau yang merampas kekasihku!” teriak Lahopeng.

“Kalian berdua! Hentikan perkelahian!” teriak Luhrinjani. Perempuan ini tidak berani mendekati dua orang yang tengah berhadap-hadapan untuk saling membunuh itu. Namun tak ada yang memperdulikan jeritan Luhrinjani.

“Lakasipo, jika kau memang merasa diri hebat! Jika kau masih inginkan istrimu majulah!” tantang Lahopeng.

Lakasipo merasa sekujur tubuhnya seperti terbakar mendengar ucapan orang. “Aku tidak ingin perempuan penjual cinta dan tubuh itu! Hanya satu niatku saat ini! Membunuhmu sampai lumat!”

“Kau mimpi Lakasipo! Majulah cepat! Akan kubuktikan bahwa kau seorang lelaki tak berguna! Kau tidak pantas menjadi Kepala Negeri Latanahsilam. Lebih dari itu kau tidak pantas menjadi suami Luhrinjani!”

Lakasipo keluarkan suara menggereng dahsyat. Tubuhnya berkelebat ke depan. Di saat yang sama Lahopeng lemparkan Parang Batu Penjungkir Arwah ke udara. Senjata ini serta merta memancarkan sinar kelabu lalu secara aneh berputar seperti titiran. Memancarkan cahaya kelabu dan mengeluarkan angin dingin menggidikkan. Parang batu ini menyambar ganas ke arah Lakasipo. Menyerang bagian-bagian tubuh secara tidak terduga!

Lakasipo tahu kehebatan senjata lawan cepat berkelebat mengelak. Tubuhnya seolah berubah menjadi bayang-bayang. Sambil mengelak tangannya bergerak tiada henti.

“Hulu parang… hulu parang! Aku harus dapat menangkap hulu parang!” kata Lakasipo dalam hati berulang kali.

Dia memang tahu kelemahan senjata lawan. Siapa saja yang diserang tapi sanggup menangkap gagang parang batu maka senjata itu akan menjadi miliknya, dapat dipergunakan untuk menyerang lawan termasuk pemiliknya. Tapi bukan hal mudah untuk dapat menangkap hulu parang batu. Selama Lahopeng memiliki senjata itu, sekian lama pula ayahnya menguasai parang tersebut sebelum diwariskan pada Lahopeng, tidak pernah ada satu musuh pun yang sanggup menangkap parang batu!

Agaknya Lakasipo juga tidak mungkin melakukan hal itu. Usahanya bukan saja sia-sia tapi dua lengan dan tangannya yang sebelumnya memang sudah penuh luka bergelimang darah kini tampak cidera bertambah parah. Satu tikaman malah mengoyak lambungnya hingga tulang iganya tersembul memutih. Luhrinjani terpekik!

“Lakasipo! Kematian akan segera menjemputmu! Aku bersedia memberi pengampunan! Tinggalkan tempat ini! Jangan berani kembali ke Negeri Latanahsilam!”

Lakasipo mendengus keras. Dari hidung dan mulutnya mengepul hawa putih. “Memang aku akan pergi jauh Lahopeng. Aku akan pergi ke Negeri Neraka Langit Ke Tujuh! Dan kau akan kubawa serta!”

Habis berkata begitu Lakasipo keluarkan satu pekik dahsyat. Tubuhnya mencelat dua tombak keatas. Dari ujung dua kakinya mengepul asap hitam yang langsung membungkus kedua kakinya sampai sebatas betis sehingga saat itu dia seperti mengenakan sepasang kasut hitam memancarkan cahaya angker.

“Kaki Roh Pengantar Maut!” seru Lahopeng penuh kejut. Dalam hati dia membatin kecut. “Jadi benar rupanya dia telah memiliki ilmu luar biasa itu. Aku waspada harus! Atau…”

“Wutttt! Wuuuut!”

Laksana dua ekor elang besar, dua kaki Lakasipo melayang turun, menyambar ke dada dan kepala Lahopeng. Dua larik sinar menggidikkan menambah angker serangan maut itu. Lahopeng cepat berkelebat selamatkan diri sambil gerakkan tangan kanannya. Di bawah kendali gerakan tangan itu, Parang Batu Penjungkir Arwah melesat ke atas memapasi hantaman dua Kaki Roh Pengantar Maut.

“Breettt!”

Sambaran parang merobek selaput hitam yang membungkus kaki kiri Lakasipo dan merobek telapak kakinya. Darah mengucur. Namun kemarahan dendam kesumat membuat Lakasipo tidak merasakan sakitnya luka di kaki itu. Kaki kanannya digerakkan menghantam parang batu.

“Braaakkk!” Parang Batu Penjungkir Arwah patah dua mengeluarkan suara seperti hancurnya sebuah batu besar. Dua patahan parang terlempar lenyap dalam kegelapan.

Putuslah nyali Lahopeng melihat apa yang terjadi dengan senjata yang sangat diandalkannya itu. Tanpa menunggu lebih lama dia berkelebat ke balik sebatang pohon besar lalu melesat ke atas biawak hitam tunggangannya dan kabur melarikan diri dari puncak Bukit Batu Kawin.

“Jahanam Lahopeng! Mau ke mana kau lari!” teriak Lakasipo. Masih melayang di udara tubuhnya membuat gerakan berjungkir balik lalu melesat mengejar ke arah larinya pemuda berwajah biru. Kaki kanannya menghantam.

“Braaakkk!”

Batang pohon besar di balik mana barusan Lahopeng menyelinap kabur hancur terkena tendangan Lakasipo lalu tumbang menggemuruh. Lakasipo berkelebat mengejar ke balik tumbangan pohon. Namun Lahopeng dan tunggangannya telah lenyap dalam kegelapan malam. Lakasipo kertakkan rahang. Dia siap lari mendatangi kuda berkaki enam yang jadi tunggangannya untuk mengejar. Tapi tiba-tiba Luhrinjani telah memagut tubuhnya. Merasa dirinya dihalangi Lakasipo membentak marah.

“Sengaja kau menghalangi diriku mengejar pemuda jahanam itu! Makin jelas bagiku kau ingin membela melindunginya! Pertanda kau bukan perempuan suci! Bukan perempuan setia bisa dipercaya! Kudengar di masa muda ibumu juga bersifat seburuk dirimu!”

Luhrinjani menjerit mendengar kata-kata Lakasipo itu. Perempuan ini jatuhkan diri dan merangkul kaki Lakasipo seraya meratap. “Wahai Lakasipo, sabarkan dirimu. Buang amarahmu jauh-jauh. Jika sudah kau menguasai diri, mari kita bicara dulu…”

Lakasipo mendengus dan sibakkan dua tangan Luhrinjani. “Jangan sentuh diriku Luhrinjani! Mulai saat ini tidak aku sudi lagi melihat dirimu! Pergi kejar Lahopeng! Kawini dirinya! Bukan dengan tubuh kasarnya! Tapi dengan roh busuknya! Karena aku akan segera membunuhnya! Pasti!”

“Lakasipo…”

“Jangan panggil namaku!” teriak Lakasipo lalu menjambak rambut Luhrinjani sehingga sederet sunting yang menghias kepalanya berjatuhan. “Ingat malam perkawinan waktu kita berada di pelaminan batu sana empat hari lalu! Aku begitu mengasihimu hingga tidak sungguh-sungguh bersatu badan denganmu! Sebagai istriku hal itu bisa kudapatkan nanti. Bukan disaksikan oleh orang banyak yang punya adat kebiasaan gila itu! Menyuruh orang bersatu badan sementara mereka menyaksikan! Bejat sungguh adat gila negeri ini!”

“Lakasipo! Jangan kau berani berkata begitu. Itu adat aturan Negeri Latanahsilam sejak jaman nenek moyang kita…!” seru Luhrinjani.

“Kujaga dirimu baik-baik pada malam pengantin kita! Tapi tadi kau begitu mudah hendak menyerahkan tubuhmu pada Lahopeng pemuda pengkhianat keparat itu! Sungguh budimu rendah sekali! Martabatmu di mana sebagai gadis terpandang di Negeri Latanahsilam! Perempuan lacur di Negeri Lahansesat sekalipun jika dikawini secara baik-baik tidak akan berbuat serendah pekerti dirimu!”

Luhrinjani terpekik mendengar ucapan Lakasipo itu. Mukanya pucat memutih. Matanya terbelalak dan sekujur tubuhnya menggeletar. Dua tangannya dipergunakan menekap pipinya kiri kanan. Dalam keadaan setengah berjongkok dia bersurut mundur. Sekali lagi perempuan ini menjerit. Lalu tiba-tiba sekali dia bangkit berdiri, memutar tubuh dan lari kearah timur puncak Bukit Batu Kawin di arah mana terdapat sebuah jurang batu sedalam seratus tombak.

“Luhrinjani!” teriak Lakasipo. Dia segera mengejar karena sadar apa yang hendak dilakukan perempuan itu. Namun lelaki ini hanya sempat menyentuh pundak istrinya itu. Luhrinjani telah lebih dulu menghambur membuang diri ke dalam jurang batu.

Suara pekikannya menggema selagi tubuhnya melayang jatuh ke bawah. Lalu suara pekik itu lenyap. Puncak Bukit Batu Kawin ditelan keheningan. Tak ada suara apa-apa. Bahkan suara hembusan angin pun tidak menyentuh pendengaran. Lakasipo tegak terkesiap, memandang membeliak ke dalam jurang gelap menghitam.

“Luhrinjani!” Tiba-tiba Lakasipo berteriak. Hanya gema suaranya yang menyahuti, menggaung dari dasar jurang batu yang kelam.

********************

EMPAT

Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng berjudul Wasiat Malaikat ketika masuk ke dalam Telaga Gajahmungkur, Puti Andini alias Dewi Payung Tujuh telah ditelan oleh ular naga betina peliharaan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Di dalam perut ular gadis ini menemukan tiga buah benda.

Pertama Pedang Naga Suci 212 yang memang tengah dicarinya atas perintah Tua Gila. Benda ke dua adalah sebuah kitab daun lontar bernama Kitab Wasiat Malaikat. Benda ke tiga sebuah batu aneh memiliki tujuh macam warna seperti warna pelangi.

Sewaktu perut ular robek besar oleh sambaran Pedang Naga Suci 212, senjata sakti ini bersama Kitab Wasiat Malaikat dan batu tujuh warna terpental ke luar. Pedang Naga Suci 212 diperebutkan oleh beberapa orang tokoh silat antara lain Sinto Gendeng, Sika Sure Jelantik dan Sabai Nan Rancak. Setelah berpindah tangan pedang sakti itu akhirnya jatuh ke tangan Puti Andini dan dipergunakan untuk menyembuhkan Pendekar 212 dari musibah kutuk yang dideritanya.

Kitab Wasiat Malaikat didapat oleh Ratu Duyung sedang batu tujuh warna berhasil diambil oleh kakek aneh bermata jereng bertelinga lebar yang dikenal dengan panggilan Si Setan Ngompol.

Setelah peristiwa besar di saat gerhana matahari di Telaga Gajahmungkur yang mengisahkan matinya dedengkot golongan hitam Datuk Lembah Akhirat yang dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul Gerhana Di Gajahmungkur

Tiga dari sekian banyak tokoh silat golongan putih yang terlibat dalam peristiwa itu kini tersesat di kawasan pantai selatan. Mereka adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, si bocah bernama Naga Kuning alias Naga Cilik alias Naga Kecil. Lalu kakek berjuluk Si Setan Ngompol.

“Kita pergi tanpa tujuan. Mendingan aku ikut saja bersama Ratu Duyung yang cantik itu. Mencari Hantu Balak Anam yang katanya membekal Kalung Permata Kejora. Atau ikut dengan gadis berambut pirang Bidadari Angin Timur. Pergi dengan kalian pemandanganku malah jadi sepet. Apa untungnya aku ikut kalian!”

Pendekar 212 dan Setan Ngompol saling pandang dan kedipkan mata. Setan Ngompol baru saja hendak menjawab ucapan si bocah Naga Kuning tadi tapi mendadak ada suara lain mendahului.

“Wahai bocah jelek! Tidak ada memang untungnya! Malah kau segera akan jadi buntung!”

Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol serta merta sama palingkan kepala ke arah datangnya suara tadi. Mereka melihat seorang kakek tak dikenal duduk bersila di atas sebuah batu. Orang tua berambut, berkumis dan berjanggut putih riap-riapan ini mengenakan pakaian aneh, terbuat dari sejenis daun yang dikeringkan. Dia duduk bersila di atas sebuah batu. Wajahnya aneh karena kening, hidung dan pipinya sama rata. Di balik keanehan ini terpancar sesuatu yang menakutkan.

“Aneh,” bisik Wiro. “Barusan kita melewati batu itu tak ada siapa-siapa di sana. Bagaimana sekarang tahu-tahu kakek itu berada di situ?”

Naga Kuning tidak sahuti ucapan Wiro. Dia yang barusan ditegur dan memang sedang jengkel langsung berkata pada si orang tua. “Kakek tak dikenal. Tolong jelas kenapa maksud ucapanmu barusan.”

Naga Kuning lalu melangkah mendekati orang tua itu. Tapi Si Setan Ngompol cepat pegang lengan si bocah seraya berkata, “Cuma seorang jembel bulukan begitu perlu apa dilayani.”

Naga Kuning bocah yang sebenarnya adalah seorang kakek berusia lebih dari seratus tahun ini semula hendak mengiyakan. Namun mendadak Pendekar 212 Wiro Sableng pegang bahu Naga Kuning dan Setan Ngompol seraya berkata setengah berbisik.

“Coba kalian perhatikan. Tadinya aku mengira kakek itu duduk di atas batu. Ternyata tubuhnya berada setengah jengkal di atas batu! Dia duduk mengapung di udara!”

Setan Ngompol dan Naga Kuning sama-sama besarkan mata lalu sama-sama tersurut. Setan Ngompol leletkan lidah. “Hanya orang-orang berkepandaian sangat tinggi mampu melakukan hal seperti itu. Nyanyuk Amber tokoh paling hebat dalam rimba persilatan sekalipun belum tentu bisa berbuat seperti itu…”

Wiro garuk-garuk kepalanya. Maju selangkah lalu cepat menjura. “Ah, maafkan kami yang buta ini. Tidak tahu kalau saat ini tengah berhadapan dengan seorang pandai. Kek, siapa kau gerangan dan mengapa berada di rimba belantara ini. Apa kau kesasar…?”

Kakek yang mengapung di atas batu tertawa mengekeh. Suara kekehannya terdengar aneh karena seolah bergema di empat sudut hingga Wiro dan kawan-kawannya memandang berkeliling terheran-heran.

“Kau benar-benar hebat Kek! Memiliki ilmu memindahkan suara hingga tawamu terdengar di empat tempat!” Pendekar 212 memuji.

Si kakek gelengkan kepala. “Wahai anak muda. Ilmu memindahkan suara yang kau kenal adalah dasar paling rendah dari kepandaian mempermainkan lidah dan tenaga dalam dari perut. Yang barusan padamu aku perlihatkan adalah ilmu bernama Empat Penjuru Angin Menebar Suara! Lima tingkat lebih tinggi dari ilmu memindahkan suara!”

“Ah, seumur hidup baru sekali ini aku mendengar ilmu yang kau sebutkan itu!” kata Setan Ngompol. “Sahabat tua, kami belum mendengar penjelasanmu. Apa benar kata sahabatku ini tadi. Kau kesasar ke tempat ini?”

“Wahai kakek yang tubuhnya menebar bau kencing kuda! Tidak kesasar aku ini! Perjalanan dan pertemuan ini sudah kurencanakan sejak lima abad silam memang!”

Tiga orang itu melengak ternganga. Wiro berbisik. “Si tua ini bukan saja aneh keadaan tubuhnya tapi caranya bicara juga aneh. Kata-kata dalam ucapannya kadang-kadang terbalik-balik. Lalu katanya dia telah merencanakan ini sejak lima abad lalu…”

“Biar aku yang bicara,” kata Setan Ngompol. Lalu dia maju satu langkah mendekati orang di atas batu. “Sobat, kita sama-sama tua. Pengalaman hidup kita tentu sudah bergudang-gudang. Tapi baru sekali ini aku mendengar ada orang merencanakan perjalanan dan pertemuan sejak lima ratus tahun lalu. Bagaimana ini?”

“Wahai bagi bertiga kalian mungkin saja aneh. Tapi bagiku sama sekali anehnya tidak ada. Apa yang kurencanakan kini menjadi kenyataan. Kalian bertiga sudah ada dalam penglihatanku lima ratus tahun lalu. Nyatanya wahai kini kalian hadir benar-benar di hadapanku!”

“Aku melihat gelagat tidak baik,” bisik Setan Ngompol pada Pendekar 212. “Melihat pada pakaiannya yang terbuat dari daun kering tidak mustahil dia ini lama terpendam dalam rimba belantara.”

“Kek, rencana apa yang ada dalam benakmu sejak lima ratus tahun silam itu?” bertanya Naga Kuning.

Belum si kakek menjawab Wiro menyambung. “Kek, setiap bicara kau suka memakai kata wahai. Selain itu logat bicaramu aneh. Kata-katamu suka terbalik-balik. Kau bukan orang sini. Kau dari mana sebenarnya Kek?”

Kembali kakek di atas batu tertawa mengekeh dan seperti tadi suara tawanya terdengar menggema di empat tempat. “Aku datang dari negeri seribu dua ratus tahun silam…” kata orang tua di atas batu sambil menyeringai lalu mengusap mukanya yang rata.

“Kakek kau tentu bergurau!” kata Naga Kuning pula.

“Kek, kami memang tidak kenal siapa kau. Tapi kalau katamu kau datang dari masa seribu dua ratus tahun silam, rasanya sulit kupercaya…” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.

“Itulah sifat jelek manusia hidup dalam jamanmu wahai anak muda. Terkadang tidak mau percaya pada kenyataan. Tapi lebih percaya pada kebohongan. Percuma saja aku menjelaskan pada wahai kalian bertiga. Karena kujelaskan pun kalian tidak akan mengerti. Biar satu contoh aku berikan!” Kakek yang duduk mengapung di atas batu memandang pada Naga Kuning. “Orang ini. Perwujudan muka dan sosok tubuhnya adalah seorang bocah. Berusia tidak lebih dari dua belas tahun. Tapi siapa mengira sebenarnya kalau dia adalah seorang tua berusia seratus dua puluh tahun! Siapa bisa menerangkan keanehan ini! Padahal keanehan dalam dirinya adalah sepersepuluh saja dari segala keanehan yang terdapat dalam kehidupanku!”

Naga Kuning diam-diam menjadi gelisah. “Bagaimana orang tua ini tahu keadaan diriku,” ujarnya dalam hati.

“Kek, tadi pun kami sudah mengatakan kau adalah orang hebat. Bukan sembarangan. Sekarang apakah kau mau mengatakan siapa dirimu? Apa rencanamu terhadap kami sesuai penglihatanmu lima ratus tahun yang lalu?”

Mendengar ucapan Wiro itu orang tua di atas batu berkata. “Wahai anak muda yang jarah tiga angka ada di dadanya! Akan kujawab tanyamu. Coba pandang dulu wajahku baik-baik!”

Habis berkata begitu si orang tua gerakkan tangan kanannya untuk mengusap wajah serta bahunya kiri kanan. Saat itu juga wajahnya yang tadi rata kini berubah menjadi wajah makhluk sangat menyeramkan. Rambutnya berjingkrak lurus berwarna merah. Dari kulit kepalanya mengepul asap kemerah-merahan.

Hidungnya panjang tinggi dan bengkok. Lalu sepasang matanya seolah berada di luar rongga, membeliak merah. Dari sela bibirnya yang kini berubah biru pekat mencuat keluar barisan gigi-gigi panjang besar dan lancip. Sesekali lidahnya terjulur keluar bergelimang cairan merah seperti darah!

Perubahan yang terjadi atas diri orang tua initidak sampai disitu saja. Ternyata tangannya kini telah menjadi empat buah. Dua di kiri dua di kanan! Empat tangan itu bergerak kian kemari tak bisa diam. Pendekar 212, Naga Kuning dan Setan Ngompol tersurut sampai tiga langkah. Setan Ngompol langsung terkencing-kencing.

”Celaka! Jangan-jangan kita berhadapan dengan dedemit rimba belantara!” bisik kakek ini sambil pegangi bagian bawah perutnya kencang-kencang menahan kencing.

Didahului suara tawa bergelak, sosok menyeramkan kakek di atas batu kembali berubah seperti semula. Mukanya kembali rata dan tangannya kembali hanya dua. Wiro beranikan diri berkata,

“Kami sudah lihat keadaan dirimu. Sungguh luar biasa. Cuma kalau tanganmu empat seharusnya kakimu juga kau rubah empat, tidak cuma dua!”

Naga Kuning tertawa cekikikan. Setan Ngompol senyum-senyum tak berani tertawa keras-keras karena takut terkencing-kencing.

“Orang tua, sekali lagi kami meminta. Harap terangkan siapa dirimu adanya!” Naga Kuning kini yang bicara.

Wajah rata si orang tua tampak hitam mengelam. Dadanya bergoncang tanda dia menahan perasaan tidak enak akibat ucapan Wiro yang memperolokkannya tadi.

“Wahai kalian bertiga. Ketahuilah sejak lahir tidak pernah diriku diberi nama. Orang-orang memanggilku dengan sebutan Hantu Tangan Empat!”

“Hantu Tangan Empat!” mengulang Wiro sementara Setan Ngompol dan Naga Kuning saling berpandangan.

“Aneh,” bisik Setan Ngompol. “Hantu benaran mana bisa bicara ngobrol seperti dia! Kita harus hati-hati. Aku punya firasat dia ada niat jahat terhadap kita bertiga! Bukankah dia sengaja mencegat kita di tempat ini. Seperti yang katanya direncanakan sejak lima ratus tahun lalu? Gila! Apa masuk di akal?!”

Wiro pegang lengan Setan Ngompol lalu berkata pada Hantu Tangan Empat. “Kakek hebat! Terima kasih kau sudah memberi tahu siapa dirimu. Sekarang apa kau suka menjelaskan rencana apa yang kau buat terhadap kami bertiga?”

“Wahai anak muda! Dalam penglihatanku lima ratus tahun yang silam maka adalah kau orangnya yang bernama Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Benar?”

Wiro garuk kepala lalu mengiyakan walau dalam hati dia membatin. “Lima ratus tahun yang lalu lahir pun aku belum! Semakin aneh manusia satu ini bagiku!”

Kakek di atas batu berpaling pada Naga Kuning. “Dan kau wahai bocah! Seperti aku kau juga dilahirkan tidak bernama. Orang-orang menyebutmu Naga Kuning alias Naga Kecil alias Naga Cilik. Salahkah ucapanku?!”

“Kau, kau benar wahai Kakek!” jawab Naga Kuning. Walau heran tapi dia sengaja meniru cara bicara si orang tua yang sering-sering mempergunakan kata wahai.

“Siapa diriku, apakah kau juga tahu?” bertanya Si Setan Ngompol sambil tekap bagian bawah perutnya.

“Wahai orang tua berjereng mata, berlebar telinga. Menerka siapa dirimu semudah membalikkan tangan. Badanmu menebar bau pesing kencing kuda. Pasti sudah kau adalah manusianya yang dijuluki Si Setan Ngompol!”

“Ah!” Setan Ngompol berkata setengah berseru, kagum lalu terkencing.

“Sekarang Kek, harap katakan apa rencanamu terhadap kami,” ucap Wiro pula.

Kakek yang mengaku sebagai Hantu Tangan Empat tertawa lebar. Dia usap muka ratanya lalu rangkapkan dua tangan di atas dada. Setelah mendongak ke langitbaru dia berkata,

“Aku mendapat tugas dari Hantu Muka Dua…”

“Hemmm… Kau tadi mengaku sebagai Hantu Tangan Empat. Hantu Muka Dua… Siapa dia? Temanmu, gurumu, embahmu, atau pimpinanmu?” Yang bertanya adalah Naga Kuning.

“Hantu Muka Dua adalah raja di raja semua hantu di negeri seribu dua ratus tahun silam Latanahsilam!” jawab Hantu Tangan Empat.

“Hantu Muka Dua memberimu tugas. Tugas apa…?” tanya murid Sinto Gendeng Wiro Sableng.

Hantu Tangan Empat terlebih dulu pandangi satu persatu tiga orang di depannya. Lalu dia menyeringai dan berucap. “Tugasku membunuh kalian bertiga!”

Setan Ngompol langsung terkencing. Naga Kuning pegangi lengan Wiro. Pendekar 212 sendiri menatap si orang tua sambil garuk kepala, tak percaya atas apa yang barusan dikatakan.

“Apa kubilang,” bisik Setan Ngompol. “Manusia ini ternyata memang punya maksud jahat terhadap kita bertiga!”

LIMA

Pendekar 212 maju selangkah mendekati orang tua yang bersila mengapung di atas batu. “Hantu Tangan Empat, kami baru sekali ini bertemu denganmu…”

“Aku sudah bertemu dengan kalian sejak lima ratus tahun silam wahai anak muda!”

“Tidak perduli kapan kau bertemu kami. Yang jelas antara kita tak ada silang sengketa. Kami tidak tahu di mana itu negeri seribu dua ratus tahun silam! Kami juga tidak tahu siapa adanya Hantu Muka Dua. Mengapa tahu-tahu muncul kau ingin membunuh kami bertiga?! Apa tidak edan?!”

Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh. “Wahai Pendekar 212. Dengar baik-baik. Bagi kami para Hantu, tidak perlu harus ada alasan saling silang sengketa untuk membunuh seseorang. Tidak sudi aku bicara berpanjang-panjang. Siapa di antara kalian yang secara suka rela ingin lebih dulu menyerahkan nyawa!”

“Keparat sialan…!” maki Wiro dengan suara perlahan lalu berpaling pada Naga Kuning dan Setan Ngompol. “Apa yang harus kita lakukan?”

“Aku mendengar segala macam hantu takut pada air kencing,” berkata Naga Kuning. “Bagaimana kalau kau kencingi saja kepalanya sekarang juga! Ayo Kek, lekas buka celanamu…”

Si Setan Ngompol terkesiap bimbang. “Makhluk keparat itu tangannya empat. Bagaimana kalau salah satu dari tangannya sampai meremas barangku! Bisa celaka diriku seumur-umur!”

“Kalau begitu celanamu saja buka. Bukankah celanamu sudah basah oleh air kencingmu. Lemparkan celana itu ke kepalanya!”

“Naga Kuning, jangan kau berani menyuruh seenaknya. Kau tahu di balik celana luar ini aku hanya mengenakan sehelai celana kolor rombeng! Kau mau suruh aku berdiri bugil di sebelah bawah?!”

“Wahai kalian bertiga! Apa berunding tengah menentukan siapa yang mau mati duluan?!” Hantu Tangan Empat berseru. “Berunding jangan keliwat lama! Aku bisa tidak sabaran dan menyapu kalian bertiga sekaligus!”

“Hantu sialan! Bagaimana kalau aku hantam saja dia saat ini juga!” Naga Kuning jadi naik darah.

“Tunggu, ada sesuatu yang harus kita selidiki!” kata Wiro. “Dari tadi kulihat matanya berulang kali melirik ke arah pinggang Setan Ngompol. Seperti ada yang diincarnya.” Murid Sinto Gendeng ini lalu maju lebih mendekati orang tua di atas batu. “Hantu Tangan Empat, kau menyembunyikan sesuatu. Mustahil Hantu Muka Dua menugaskanmu membunuh kami tanpa satu alasan. Kurasa ada sesuatu yang kalian inginkan dari kami bertiga!”

Hantu Tangan Empat menatap wajah Pendekar 212 sesaat lalu tertawa gelak-gelak. “Kau cerdik wahai anak muda berambut gondrong! Terkadang kecerdikan seseorang bisa menyelamatkan dirinya dari kematian. Dari kalian kami memang menginginkan sesuatu! Tidak masalah kalian mau memberikan apa tidak. Karena yang terjadi apapun bertiga kalian tetap saja akan menemui kematian!”

“Hemm… begitu,” ujar Wiro sambil menyeringai. Otak jahilnya mulai bekerja. “Katamu kau mendapat tugas dari Hantu Muka Dua. Pernahkah kau mendengar makhluk bernama Hantu Muka Tiga? Satu muka di kepala, satu di dada, satu lagi di bawah selangkangan!”

“Di negeri seribu dua ratus tahun silam tidak ada Hantu seperti itu,” jawab Hantu Tangan Empat.

“Hantu Muka Tiga adalah bapak dari Hantu Muka Dua! Dan Hantu Muka Tiga adalah sahabat kami! Jika kau berani macam-macam Hantu Muka Tiga akan merebusmu dalam kuali raksasa!!”

Kakek di atas batu sesaat terdiam tapi mulutnya menyunggingkan seringai. “Sebaiknya kita panggil saja Hantu Muka Tiga sekarang juga! Biar tua bangka satu ini dilalapnya mentah-mentah!” berkata Naga Kuning.

“Betul!” sahut Setan Ngompol. “Biar aku yang memanggil!” Orang tua yang sudah tahu akal-akalan Wiro ini melesat ke cabang sebuah pohon.

Hantu Tangan Empat tertawa bergelak. “Kami para Hantu tidak pernah termakan tipu daya manusia!” Tangan kanannya diacungkan ke depan. “Wahai Pendekar 212! Aku minta senjata saktimu! Nyawamu sekaligus!”

Bersamaan dengan itu Hantu Tangan Empat gerakkan tangan kanannya. Tangan itu robek di bagian pinggang sebelah kiri. Murid Sinto Gendeng berseru kaget sambil pegangi pinggangnya. Di depan sana dilihatnya si kakek masih tetap duduk mengapung di atas batu dan di tangan kanannya orang tua itu telah memegang Kapak Maut Naga Geni 212!

“Tua bangka berkedok hantu! Ternyata kau adalah maling tengik yang mencoba menjadi rampok picisan!” teriak Wiro. Tangan kanannya segera diangkat. Tangan ini sampai sebatas siku serta merta berubah menjadi seputih perak.

Kakek di atas batu gelak mengekeh. “Pukulan Sinar Matahari! Wahai Pendekar 212! Apakah aku mendapat kehormatan untuk merasakannya?!”

Habis berkata begitu si kakek usap muka dan bahunya kiri kanan. Seperti tadi maka wajahnya segera berubah. Sangat menyeramkan. Tangannya yang dua kini menjadi empat. Salah satu dari empat tangan itu memegang Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro.

“Wussss!” Pukulan Sinar Matahari berkiblat. Cahaya putih panas menyambar.

“Bummm!” Tanah di tempat itu bergetar keras. Pepohonan berderak-derak. Batu besar hancur berkeping-keping, mengepulkan asap seolah berubah menjadi bara.

Di sebelah sana Hantu Tangan Empat tetap tak terusik dari tempatnya semula. Duduk bersila mengapung di atas batu yang telah hancur. Satu tangan memegang kapak, tiga lainnya bergerak kian kemari menggulung cahaya putih pukulan Sinar Matahari yang masih bersisa. Begitu tiga tangan dihantamkan kedepan maka buntalan cahaya Sinar Matahari menderu menyambar ke arah pemiliknya sendiri, Wiro Sableng!

Murid Sinto Gendeng berteriak kaget dan cepat jatuhkan tubuh selamatkan diri. Cahaya putih panas menderu di atasnya. Cahaya yang berasal dari pukulan Sinar Matahari yang secara aneh luar biasa ditangkap oleh Hantu TanganEmpat menghantam pohon, membakar semak belukar!

Setan Ngompol dalam keadaan terkencing-kencing berkata. “Celaka! Kalau begini naga-naganya kita bisa mati semua!”

“Aku sudah bilang! Buka celanamu, lemparkan pada jahanam itu! Dia pasti tidak berdaya kalau kena air kencing!” kata Naga Kuning.

Termakan oleh ucapan si bocah Setan Ngompol segera loloskan celana luarnya hingga kini dia hanya mengenakan baju dan sehelai celana rombeng butut. Begitu celana yang basah kuyup oleh air kencing lepas dari tubuhnya lalu diberikan Wiro.

“Kau saja yang melemparkan!”

“Sialan! Mengapa aku!” jawab Wiro sambil pencongkan hidung menutup jalan nafas karena sengitnya bau pesing dari celana yang disodorkan padanya. “Berikan pada Naga Kuning! Dia yang menyuruh, dia yang harus melakukan!”

“Wuuuut!”

Setan Ngompol lemparkan celana basahnya yang bau pesing yang jatuh tepat di kepala Naga Kuning. Sesaat bocah ini jadi kelagapan dan memaki habis-habisan. Celana yang menutupi kepala dan tubuhnya ditarik lalu dilemparkan ke arah Hantu Tangan Empat.

Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh. Sebelum celana yang basah oleh air kencing itu menimpa kepalanya, salah satu dari dua tangan kirinya didorongkan ke depan. Celana milik Setan Ngompol yang melayang di udara mencelat mental, bertaburan menjadi cabikan-cabikan kecil!

“Naga Kuning! Ajaranmu tak ada gunanya! Lihat! Sekarang aku jadi setengah bugil seperti ini!” teriak Si Setan Ngompol.

“Setan Ngompol! Awas!” Wiro tiba-tiba berteriak. Saat itu dilihatnya salah satu dari dua tangan kanan Hantu Tangan Empat tiba-tiba melesat ke depan, menyambar ke arah pinggang Si Setan Ngompol.

Sambil berteriak murid Sinto Gendeng lepaskan pukulan KunyukMelempar Buah. Segulung angin laksana batu raksasa yang tidak kelihatan menggelundung melabrak sosok kakek yang sampai saat itu masih tetap dalam keadaan duduk bersila mengapung di udara.

Di saat yang sama Naga Kuning menarik tangan Setan Ngompol hingga keduanya jatuh bergulingan di tanah. Ketika dia berdiri kembali Setan Ngompol sudah basah kuyup kedua pahanya. Tangan kanannya meraba ke pinggang kiri. Cepat diamenyingkapkan pakaiannya. Hatinya lega ketika melihat batu tujuh warna masih terselip di pinggang celana kolornya.

Walau dia tidak tahu batu apa itu adanya tapi entah mengapa saat itu dia merasa benda itu merupakan satu barang yang sangat berharga dan harus diselamatkannya seperti dia menyelamatkan jiwa sendiri!

“Kek, benda apa itu?!” bertanya Naga Kuning.

“Batu. Aku sendiri tidak tahu batu apa! Aku merasa Hantu Tangan Empat mengincar benda ini!”

“Bukkkk!” Pukulan sakti Kunyuk Melempar Buah menghantam tubuh Hantu Tangan Empat.

Sosok manusia ini bergoyang tergontai-gontai beberapa saat. Empat tangannya bergerak kian kemari. Walau dari mulutnya keluar teriakan keras namun kakek ini sama sekali tidak cidera sedikit pun! Padahal jangankan manusia. Pohon saja pasti akan tumbang. Tembok tebal akan jebol dan batu besar bisa hancur berantakan dilanda pukulan sakti itu!

Empat tangan Hantu Tangan Empat bergerak semakin cepat. Kapak Naga Geni 212 yang ada di salah satu tangan kanannya mengiblatkan cahaya putih perak menyilaukan disertai gaung seperti suara tawon mengamuk. Sepasang matanya yang memberonjol merah terus menerus mengincar ke pinggang Setan Ngompol.

Waktu tadi Setan Ngompol menyingkapkan pakaiannya Hantu Tangan Empat sempat melihat batu tujuh warna yang terselip di pinggang kakek itu. Kilatan aneh memancar dari dua matanya yang merah. Tubuhnya mendadak berputar seperti gasing. Begitu putaran berhenti terdengar seruannya.

“Wahai Pendekar 212! Aku berubah pikiran! Aku kembalikan Kapak Naga Geni 212 padamu! Terimalah!”

Hantu Tangan Empat lemparkan kapak sakti yang dipegangnya ke arah Wiro. Walau tidak mengerti mengapa hal itu dilakukan lawan namun Pendekar 212 cepat melompat menyambar senjata saktinya.

“Hati-hati! Pasti ada sesuatu yang jahat dalam benak makhluk jahanam itu!” berbisik Naga Kuning.

“Hantu Tangan Empat, apa yang ada dalam otakmu hingga kau berubah pikiran?” bertanya murid Sinto Gendeng sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212 di depan dada.

Hantu Tangan Empat menyeringai. “Wahai Pendekar 212, dalam otakku tetap saja ada darah dan kematian! Tetapi jika kita bisa berunding mungkin ada sedikit kebaikan bagi bertiga kalian! Setan Ngompol harus menyerahkan padaku Batu Sakti Pembalik Waktu!”

Naga Kuning dan Pendekar 212 berpaling pada Si Setan Ngompol. “Memangnya kau memiliki benda yang disebutkan tua bangka keparat itu?” Bertanya Naga Kuning dengan suara setengah berbisik.

“Aku memang membekal sebuah batu. Tapi aku tidak tahu kalau itu batu sakti,” jawab Setan Ngompol.

“Jangan-jangan ini tujuan sebenarnya Hantu Tangan Empat mencegat kita di sini! Malah seperti katanya dia telah merencanakan sejak lima ratus tahun silam!” ujar Wiro. “Dengar kalian berdua. Apapun yang terjadi benda itu jangan sampai jatuh ke tangan Hantu Tangan Empat!”

Lalu Wiro berbalik pada kakek aneh yang masih dalam keadaan bersila mengapung di udara. “Hantu Tangan Empat, benda yang kau sebutkan itu tidak ada pada sahabatku si Setan Ngompol!”

“Wahai Pendekar 212! Kau tak tahu apa-apa! Malah berani dusta bicara! Mataku sendiri melihat batu itu tersembul di pinggang kolornya!”

“Yang kau lihat bukan batu! Tapi barang si kakek yang memang panjang, tersembul di balik kolor bututnya!” ujar Wiro.

“Benar! Aku pernah melihat anunya!” menimpali Naga Kuning. “Setan Ngompol barangnya memang panjang tapi peot hitam. Ada lumutnya sedikit! Sepintas memang seperti batu! Pasti itu yang kau lihat! Hik hik hik!” Naga Kuning tak bisa menahan tawanya.

Sebaliknya Setan Ngompol memaki. “Anak gila! Enak saja kau bilang barangku panjang! Peot! Berlumut! Kapan kau pernah melihat?!”

“Diam saja! Aku dan Naga Kuning coba mengakali manusia satu itu!” kata Wiro.

Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh. “Jadi yang menyembul dibalik celana kolor si mata jereng itu adalah barangnya sendiri! Kalau begitu biar kubetot lepas sampai ke akar-akarnya!”

Setan Ngompol tersentak kaget. Kencingnya terpancar. “Apa kataku! Sekarang aku yang kebagian celakanya!”

Hantu Tangan Empat tiba-tiba melayang di udara, melesat ke arah Setan Ngompol. Empat tangan berkelebat. Dua mengarah leher siap mencekik. Satu menjotos ke arah dada dan tangan ke empat menyambar ke pinggang di mana terselip batu tujuh warna! Seumur hidup baru kali ini Setan Ngompol mendapat serangan begitu hebat. Dia berseru kaget lalu terkencing. Dua kakinya menekuk ke bawah. Di lain kejap tubuhnya membal ke belakang.

“Breettt!”

Salah satu tangan Hantu Tangan Empat yang tadi hendak mencekik masih sempat merobek leher pakaian Setan Ngompol hingga kakek ini kembali terkencing-kencing.

Masih dalam keadaan bersila dan mengapung di udara Hantu Tangan Empat bergerak melayang memutari Setan Ngompol. Sekonyong-konyong tubuh itu membuat gerakan dan tahu-tahu telah melesat ke jurusan Setan Ngompol. Empat tangan membuat gerakan ganas, lancarkan serangan maut.

Kali ini Setan Ngompol tidak tinggal diam. Tangan kirinya ditekapkan kebawah perut. Tangan kanan dipukulkan ke depan. “Setan Ngompol Mengencingi Bumi!” teriak Setan Ngompol menyebut jurus yang dimainkannya. Dari tangan kanan kakek ini melesat angin deras menebar bau pesing luar biasa!

Hantu Tangan Empat keluarkan suara seperti tercekik. Salah satu tangannya cepat ditutupkan ke hidung menghindari bau pesing yang menyengat. Angin bau pesing itu ternyata bukan saja menyesakkan pernafasan tapi juga memerihkan mata dan menusuk kulit!

“Ilmu sampah tak berguna! Tanganku makan!!” teriak Hantu Tangan Empat. Tangan kanan sebelah bawah melesat membuat gerakan mengemplang ke batok kepala Setan Ngompol. Tangan kanan yang memukul ini telah berubah menjadi panjang besar. Jari-jarinya saja sebesar pisang tanduk!

Selagi Setan Ngompol terkesial kaget melihat perubahan tangan yang menyerangnya, si Naga Kuning serta Pendekar 212 Wiro Sableng juga terkejut melihat perubahan tangan Hantu Tangan Empat itu. Keduanya segera kirimkan serangan untuk menyelamatkan Setan Ngompol.

Wiro hantamkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke pinggang Hantu Tangan Empat. Cahaya putih panas berkiblat disertai gaung seperti suara ratusan tawon mengamuk. Naga Kuning melesat sambil dorongkan dua tangannya ke depan. Dua larik sinar biru pekat disertai letupan-letupan keras menyambar ke arah kepala dan dada Hantu Tangan Empat. Mendapat serangan begitu hebat Hantu Tangan Empat malah tertawa keras.

“Begini caranya orang di negeri ini bermain keroyok!” Satu tangan masih menekap hidung, tiga lainnya berkelebat cepat.

“Bukkk!”

Pendekar 212 Wiro Sableng mengeluh tinggi ketika lengan kanannya beradu keras dengan salah satu tangan lawan. Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas mental. Belum sempat dia imbangi diri tiba-tiba rambutnya yang panjang telah dijambak orang. Ada hawa aneh mengalir ke dalam tubuhnya lewat rambut yang dijambak. Hawa aneh ini laksana puluhan jarum menusuk kulit kepalanya hingga Wiro mengeluh kesakitan.

Namun dari dalam tubuh Wiro saat itu juga ada aliran sakti yang berusaha mencegat hawa aneh itu. Begitu saling bentrokan Wiro merasa kepalanya seperti ditindih batu besar. Sebaliknya Hantu Tangan Empat berteriak kaget karena mendadak tangannya yang menjambak terasa panas! Serta merta dia sentakkan rambut Wiro dan lemparkan pemuda ini sampai setinggi tiga tombak ke udara!

Melayang jatuh Wiro cepat memasang kuda-kuda namun tak urung tubuhnya terbanting jatuh punggung. Dari atas tiba-tiba melesat kaki kanan Hantu Tangan Empat. Menghunjam ke arah perutnya!

“Wahai Pendekar 212! Sudah lama aku tidak melihat isi perut manusia! Jebol perutmu! Amblas ususmu!” teriak Hantu Tangan Empat.

Di saat yang sama dari samping kiri melesat dua sinar biru pekat. Inilah serangan hebat yang dilancarkan Naga Kuning. Tapi seperti tak acuh, Hantu Tangan Empat kibaskan dua tangannya sebelah kiri.

Naga Kuning terkesiap kaget melihat bagaimana kibasan dua tangan lawan bukan saja sanggup mematahkan serangannya, malah dua larik sinar biru serangannya bergulung-gulung di udara ketika lawan gerakkan dua tangannya berputar-putar di udara. Begitu Hantu Tangan Empat pukulkan dua tangannya itu ke bawah maka dualarik sinar biru menderu ke arah Naga Kuning!

Sambil berteriak keras Naga Kuning melompat ke samping lalu jatuhkan diri di tanah dan berguling cari selamat. Sementara itu kaki kanan Hantu Tangan Empat terus saja menghunjam ke perut Wiro. Hanya sesaat lagi kaki itu akan menghantam ambrol perut sang pendekar tiba-tiba dari arah depan melesat Setan Ngompol.

“Setan Ngompol Mengencingi Pusara!” seru Setan Ngompol menyebutkan jurus serangannya. Gerakan kakek ini luar biasa cepatnya hingga Hantu Tangan Empat tidak sempat menghindar. Dua paha Setan Ngompol tahu-tahu telah menindih bahunya kiri kanan. Dua tangan mencengkeram kepala. Sedang bagian bawah perutnya yang hanya mengenakan celana kolor butut basah oleh air kencing mendarat telak dipermukaan wajah angker Hantu Tangan Empat.

“Huueeekkk!” Hantu Tangan Empat keluarkan suara tercekik lalu mulutnya menghambur muntah. Muntahan ini tentu saja menyembur tepat di selangkangan Setan Ngompol.

Si kakek memaki panjang pendek. Namun suara makiannya berubah menjadi jeritan keras begitu salah satu tangan kiri Hantu Tangan Empat menjotos perutnya. Setan Ngompol terpental sampai dua tombak. Tapi karena dia tidak mau melepaskan cengkeraman dua tangannya di kepala Hantu Tangan Empat maka sang hantu ikut tertarik hingga keduanya jatuh saling tindih. Hal ini menyelamatkan Wiro dari hantaman kaki kanan Hantu Tangan Empat. Namun Setan Ngompol menerima celakanya. Karena begitu jatuh kembali HantuTangan Empat menghantam.

“Bukkkk!”

Jotosan keras melabrak dada Setan Ngompol. Kakek ini menjerit keras. Matanya mendelik putih. Dua kakinya tersentak ke atas. Kencingnya terpancar habis-habisan. Dari mulutnya menyembur darah segar. Selagi Setan Ngompol meliuk kesakitan, kaki kanan Hantu Tangan Empat kembali berkelebat. Menyambar ke kepala Setan Ngompol.

ENAM

Dua hantaman melabrak sosok Hantu Tangan Empat. Hantaman pertama bacokan Kapak Maut Naga Geni 212 yang melanda bahu kiri. Hantaman ke dua berupa jotosan yang dilancarkan Naga Kuning dan bersarang tepat di punggung. Padahal saat itu sebenarnya Hantu Tangan Empat sudah siap untuk merampas batu tujuh warna yang terselip di celana kolor Setan Ngompol.

Hantu Tangan Empat terbanting ketanah sejauh dua tombak. Wiro dan Naga Kuning segera mengejar, siap untuk menghantam kembali. Namun mendadak tubuh orang ini lenyap dari hadapan mereka.

“Menghilang ke mana dia!” seru Naga Kuning sambil usap-usap tangan kanannya yang lecet akibat memukul tadi.

Wiro sendiri saat itu tengah terbengong-bengong menyaksikan bagaimana kapak saktinya tidak mampu melukai lawan malah tangannya bergetar pedas.

Tiba-tiba terdengar tawa mengekeh. Naga Kuning dan Wiro mendongak ke atas sementara Setan Ngompol masih terkapar di tanah mengerang kesakitan. Hantu Tangan Empat yang tadi lenyap kini kelihatan berdiri di atas cabang sebuah pohon. Hantaman kapak memang tidak melukainya tetapi pakaiannya yang terbuat dari daun kering tampak hangus dibagian bahu. Begitu juga di bagian punggung yang tadi kena jotosan Naga Kuning, kelihatan berlubang hitam.

“Wiro, jangan-jangan kita memang benar-benar berhadapan dengan hantu,” ujar Naga Kuning. “Aku tadi mengerahkan tenaga dalam penuh. Pukulanku hanya sanggup melubangi pakaiannya. Padahal batu karang saja bisa ambrol berkeping-keping! Makhluk apa dia kalau bukan hantu?!”

“Jangankan cuma tangan,” sahut Wiro. “Kapak saktiku saja tidak mempan! Aku masih penasaran! Bangsat itu telah menciderai kawan kita Si Setan Ngompol!”

Kapak Naga Geni 212 dipentang keatas. Tangan kiri bersilang di depan dada memancarkan sinar putih menyilaukan pertanda murid Sinto Gendeng itu telah mengerahkan hampir seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Didahului teriakan menggelegar tubuh Pendekar 212 melesat ke arah pohon di mana Hantu Tangan Empat tegak berdiri di atas salah satu cabang sambil terus mengumbar tawa bergelak.

Tangan kiri melepas pukulan Sinar Matahari. Tangan kanan memutar Kapak Maut Naga Geni 212. Suara gelegar pukulan Sinar Matahari dan gaung suara seperti ratusan tawon mengamuk yang keluar dari Kapak Maut Naga Geni 212 bergabung menjadi satu.

“Wuusss! Kraakk!”

Pohon besar di mana Hantu Tangan Empat berada dilalap sinar putih panas. Di lain kejap pohon itutelah dilamun api. Lalu bagian batang yang kena sambaran kapak sakti putus amblas dan terbakar. Bagian atas tumbang mengeluarkan suara menggemuruh.

Apa yang terjadi kemudian dan sempat disaksikan Naga Kuning dari bawah pohon sungguh luar biasa. Hantaman pukulan Sinar Matahari dan sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 bukan saja tidak sanggup membakar dan melukai Hantu Tangan Empat, malah sambil tertawa bergelak sementara Wiro melayang ke atas pohon Hantu Tangan Empat malah melayang turun dengan empat tangan terkembang. Dari mulutnya mengumbar tawa bergelak.

Sesaat lagi tubuh Wiro dan tubuh Hantu Tangan Empat siap untuk bertabrakan. Tapi anehnya sosok Wiro seolah melewati bayang-bayang. Seperti menembus makhluk yang terbuat dari asap. Dia lewat begitu saja!

Saking kagetnya Wiro jadi hilang keseimbangan dan hampir terpeleset jatuh sewaktu berusaha menginjakkan kakinya di cabang pohon besar.

“Aneh atau gila ini namanya! Jelas-jelas aku tadi mau tabrakan dengan keparat itu! Mengapa aku seolah hanya melewati angin?!” Kuduk Pendekar 212 jadi dingin dan bulu kuduknya merinding. “Hanya hantu yang memiliki tubuh seperti itu…” desis murid Sinto Gendeng.

Di bawah pohon Naga Kuning juga terkejut besar melihat apa yang terjadi. Selagi dia tertegun bengong tahu-tahu sosok Hantu Tangan Empat melayang lewat di depannya, menukik ke arah Setan Ngompol yang masih tergeletak di tanah. Satu dari dua tangan kiri dipukulkan ke batok kepala Setan Ngompol sedang tangan kanan sebelah bawah menyambar ke arah pinggang.

“Naga Kuning! Awas! Dia hendak membunuh Setan Ngompol dan merampas batu tujuh warna!” teriak Wiro dari atas pohon lalu dengan cepat melompat turun seraya tangan kirinya lepaskan pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi dalam jurus yang disebut Tangan Dewa Menghantam Tanah. Ini merupakan salah satu dari enam jurus ilmu silat yang bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa berintikan Delapan Sabda Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh.

Di bawah sana begitu mendengar teriakan Wiro dan melihat sendiri apa yang hendak dilakukan Hantu Tangan Empat, Naga Kuning serta merta melesat memotong gerakan Hantu Tangan Empat. Kepalanya ditandukkan ke tubuh sebelah kanan lawan. Tangan kanan menusuk ke ulu hati. Sementara itu dari atas datang menyambar pukulan jarak jauh yang dilepaskanWiro.

“Dukkkk! Bukkkk! Wussss!”

Kepala Naga Kuning mendarat telak di sisi kanan Hantu Tangan Empat membuat makhluk dari masa seribu dua ratus tahun silam ini terdorong satu tombak. Di saat yang sama tangan kanan Naga Kuning yang menggebuk menghunjam di ulu hatinya. Dari mulut Hantu Tangan Empat keluar jeritan keras.

Tapi itu bukan jeritan kesakitan melainkan jeritan kemarahan. Dia berputar ke arah Naga Kuning. Empat tangannya melesat ke depan. Begitu cepatnya gerakan tangan-tangan ini hingga Naga Kuning tidak sempat menghindar. Rambutnya yang jabrik kena dijambak. Bahu kirinya diremas. Dua tangan lainnya mencengkeram di batang leher.

“Anak celaka! Mampus kataku harus mampus!” kertak Hantu Tangan Empat.

Lalu empat tangannya bergerak. Tangan yang menjambak membetot ke atas. Dua tangan yang mencengkeram siap mematahkan batang leher Naga Kuning. Bahu yang dicengkeram pasti akan hancur luluh. Sekejapan lagi kepala Naga Kuning akan tanggal, pukulan yang dilepaskan Wiro mendarat di punggung Hantu Tangan Empat.

Untuk ke dua kalinya makhluk ini berteriak marah. Pakaiannya yang terbuat dari daun hancur berantakan hingga bagian belakangnya nyaris bertelanjang. Namun tubuhnya tidak cidera sedikit pun. Dan empat tangannya yang mencekal tubuh Naga Kuning tidak satu pun dilepaskan.

Ketika hantaman pukulan Wiro membuatnya terdorong keras ke depan dan jatuh saling tindih dengan Naga Kuning, empat tangan itu tetap mencengkeram. Dengan menyeringai makhluk berwajah seram luar biasa itu menoleh ke arah Wiro yang saat itu telah menjejakkan kakinya di tanah.

“Kau boleh menghantamku dengan seribu pukulan! Jangan harap kau bisa menolong bocah ini!” Lalu tanpa perdulikan Wiro lagi Hantu Tangan Empat berpaling pada Naga Kuning.

“Tanggal kepalamu!” teriak Hantu Tangan Empat. Tangan yang menjambak membetot ke atas, dua tangan yang di leher mencengkeram ganas.

Sesaat lagi kepala Naga Kuning benar-benar akan dibuat tanggal terjadilah hal yang aneh. Hantu Tangan Empat mendadak merasakan rambut, leher dan bahu Naga Kuning licin sekali seolah-olah diselimuti sejenis minyak. Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga, jambakannya pada rambut jabrik si bocah terlepas.

Sepuluh jari tangannya yang mencekik leher melejit kian kemari seolah terbenam dalam lumpur licin. Begitu juga tangannya yang hendak menghancurkan bahu seperti berada di atas batu yang dilumuri minyak. Setiap dicoba menekan tangan itu hanya meluncur di atas pakaian hitam Naga Kuning.

Apa yang sebenarnya terjadi. Seperti diketahui Naga Kuning bukanlah seorang anak biasa. Keadaannya saat itu memang terlihat seperti seorang bocah. Padahal sebenarnya dia adalah seorang kakek sakti mandraguna yang telah berusia 120 tahun dan menjadi orang kepercayaan Kiai Gede Tapa Pamungkas, satu makhluk setengah roh setengah manusia.

Satu dari sekian banyak ilmu yang dimiliki Naga Kuning adalah yang disebut Ilmu Ikan Paus Putih. Dengan mengerahkan ilmu ini maka tubuh serta pakaiannya akan berubah sangat licin hingga tak ada satu kekuatan pun yang bisa memegang sosoknya.

“Anak jahanam! Jangan kau coba mengakali diriku!” bentak Hantu Tangan Empat. Dari mulutnya melesat satu pekikan keras. Dua puluh jari tangannya mendadak sontak berubah menjadi besar. Selain itu pada setiap jari mencuatgerigi-gerigi tajam dan runcing! Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh. “Sekujur tubuhmu boleh berubah selicin belut! Apa sekarang masih sanggup lolos?!”

Naga Kuning mencibir. Kepalanya digoyangkan. Tubuhnya digeliatkan. “Huppp!” Si bocah berteriak keras. Saat itu juga tubuhnya terlepas dari cengkeraman empat tangan. Dia melompat menjauhi lawan. “Ha-ha-ha! Aku mampu lolos! Apa katamu sekarang?!” ujar Naga Kuning seraya tertawa mengejek ha-ha hi-hi.

Dalam kagetnya Hantu Tangan Empat juga marah sekali. Dia melompat mengejar. Empat tangannya kembali berkelebat. Saat itu Naga Kuning tetap tegak di tempatnya. Namun tangannya dengan cepat membuka pakaian hitamnya di bagian dada. Begitu tubuhnya tersingkap di dada anak ini kelihatan terpampang gambar naga bergelung berwarna kuning memiliki sepasang mata berwarna merah. Naga Kuning usap dadanya yang bergambar sosok naga itu.

Lompatan Hantu Tangan Empat mendadak sontak jadi tertahan. Dua matanya yang memberojol seolah mau keluar dari rongganya menatap tak berkesip. Ada getaran aneh masuk ke dalam tubuhnya lewat sepasang mata. Hantu Tangan Empat mundur satu langkah. Lalu mundur lagi dua langkah ketika dilihatnya bagaimana gambar naga di dada Naga Kuning seolah berubah hidup, membesar lalu bergerak keluar dari rongga dada si bocah dengan mulut membuka besar memperlihatkan lidah hijau bercabang serta gigi-gigi besar runcing siap menerkam! Dari liang hidung naga kuning ini keluar semburan asap biru.

Wiro yang menyaksikan kejadian itu tersentak kaget. Untuk beberapa lamanya dia tegak tertegun tak bergerak seolah terkena sirap. Setan Ngompol yang masih terhantar di tanah dalam keadaan kesakitan dan barusan mencoba bangkit berdiri langsung rebah ke tanah sambil terkencing-kencing! Baik Wiro maupun Setan Ngompol yang sudah cukup lama mengenal anak itu baru kali ini mengetahui kalau Naga Kuning memiliki satu ilmu yang begitu hebat tapi mengerikan.

“Naga Hantu Dari Langit Ke Tujuh!” teriak Hantu Tangan Empat tercekat. Serta merta sosoknya yang angker berubah kembali ke asal. Tangannya yang tadi empat kini kembali menjadi dua. Dia mundur dengan sangat ketakutan. Sepuluh jari disusun. Dua tangan dirapatkan lalu diletakkan di atas kening. Sikapnya seperti orang menyembah. “Ampun… Wahai Naga Hantu… Aku mohon maaf. Aku tidak tahu kalau berada kau dalam tubuh anak itu. Aku mohon ampun beribu ampun!”

Ketika punggungnya tertahan sebatang pohon besar, Hantu Tangan Empat jatuhkan diri berlutut. Dua tangan terus menerus melakukan sikap menyembah. Naga Kuning tidak perduli. Dia maju dua langkah. Ular naga kuning yang keluar dari tubuhnya meluncur di udara, menyambar ke arah Hantu Tangan Empat. Jeritan Hantu Tangan Empat setinggi langit begitu binatang ini menggelung di pohon besar sekaligus melibat tubuhnya.

“Jangan bunuh diriku! Mohon ampun beribu ampun wahai Naga Kuning! Jangan biarkan Naga Hantu Dari Langit Ke Tujuh membunuhku! Jangan… tolong!”

“Kreekek! Kraaakk!”

Batang pohon berderak hancur. Hantu Tangan Empat berusaha bertahan. Gelungan ular naga kuning semakin keras siap menghancurkan dan melumat tubuhnya mulai dari kaki sampai kepala. Darah mengucur dari mata, telinga, hidung dan mulutnya. Sosok Hantu Tangan Empat boleh dikatakan tidak terihat lagi, lenyap dalam gelungan naga kuning.

“Naga Kuning! Tahan!” Tiba-tiba Pendekar 212 Wiro Sableng berseru sambil mengangkat kapak saktinya.

“Eh, apa maumu Wiro?!” tanya Naga Kuning.

“Lepaskan dia! Jangan dibunuh!!”

“Eh, kau sudah gila?! Atau sudah kerasukan hantu temannya kakek itu?!” ujar Naga Kuning.

“Kau betul!” Setan Ngompol ikut berteriak sambil pegangi perutnya sebalah bawah. “Aku hampir mampus di tangannya! Kau tadi hendak dibunuhnya! Tahu-tahu sobat kita satu ini menjadi gila memintamu tidak membunuh makhluk itu! Benar-benar gila! Otakmu pasti sudah sableng Wiro!”

TUJUH

Wiro melangkah mendekati Naga Kuning dan bicara cepat tapi perlahan. “Jangan jadi orang tolol seumur-umur! Jika dia memang bangsanya hantu apa kau kira kau benar-benar bisa membunuhnya? Dia bisa punya seribu nyawa. Muncul lagi dalam ujud lain. Mungkin datang bersama puluhan temannya! Apapun kesaktianmu, apa kau kira bisa selamatkan diri dari pembalasannya?! Dia mengaku salah, takut dan minta ampun. Kalau dia bisa kita manfaatkan jadi sahabat…”

“Gila! Hantu hendak kau jadikan sahabat! Hari ini kau berteman besok kau mampus dicekiknya!”

“Dengar Naga Kuning, aku melihat keanehan di balik semua ini. Aku minta sekali lagi agar kau melepaskannya! Apa untungnya membunuh hantu?!”

Naga Kuning mencibir. Dia melirik kearah Setan Ngompol. Lalu berkata. “Baik, aku akan bebaskan makhluk itu. Jangan menyesal kalau begitu bebas kau yang duluan ditelannya!”

“Aku yakin dia tidak akan melakukan hal itu,” jawab Wiro.

“Asal kau mau tanggung saja akibatnya!” kata Naga Kuning.

“Bocah! Jangan ikut-ikutan sableng! Jangan dengar apa yang dibilangnya! Bunuh makhluk itu!” kata Setan Ngompol.

“Lakukan apa yang aku katakan Naga Kuning!” kata Wiro dengan suara keras.

“Baik… baik!” jawab Naga Kuning seraya mencibir. Tangan kanannya diusapkan ke dada. Ular naga kuning besar menderu keras. Asap biru membuntal keluar dari lubang hidungnya. Mulutnya membuka lebar dan kepalanya ditegakkan keatas. Perlahan-lahan binatang jejadian ini lepaskan gelungannya dari pohon dan tubuh Hantu Tangan Empat.

Lalu sosoknya melayang mundur di udara, bergerak ke arah Naga Kuning. Buntutnya bergerak masuk ke dalam dada anak itu, menyusul bagian tubuhnya yang lain dan akhirnya bagian kepalanya yang menyeramkan ikut lenyap. Kini yang kelihatan adalah gambaran naga kuning bergelung bermata merah terpampang di dada si bocah.

Di bawah pohon sosok Hantu Tangan Empat tergeletak dengan muka bergelimang darah. Salah satu bahunya remuk dan beberapa tulang iganya patah. Tulang pahanya sebelah kiri retak. Dari mulutnya terdengar suara mengerang. Lalu tubuh itu bergerak, berusaha bangkit dan duduk di tanah. Sepasang matanya yang basah oleh darah menatap ke arah Naga Kuning. Dua tangan dirapatkan di atas kepala. Sambil membungkuk Hantu Tangan Empat berkata pada si bocah.

“Terima kasih kau telah mengampuni selembar nyawaku…” Lalu kakek ini beringsut ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Terima kasihku juga padamu wahai Pendekar 212. Kalau tidak karena gerak hati dan kehendakmu tentu aku sudah menemui ajal saat ini. Hantu Tangan Empat tidak akan melupakan budi baikmu.”

Habis berkata begitu kakek ini letakkan dua tangannya di atas tanah. Kepalanya diturunkan hingga keningnya menyentuh tanah. Lalu...

“Desss… Desss!”

Asap putih mengepul dari tanah yang disentuh dua tangannya. Bersamaan itu tubuhnya terangkat ke atas lalu melesat ke udara. Seolah amblas masuk ke dalam langit sosok Hantu Tangan Empat kemudian lenyap tanpa bekas.

“Makhluk aneh…” ujar Wiro.

“Seumur hidup baru sekali ini melihat ada sebangsa hantu yang bisa minta maaf dan berterima kasih!” ujar Naga Kuning pula.

Kedua orang itu lalu mendekati Setan Ngompol yang saat itu tengah berusaha bangkit berdiri. Wiro memberikan sebutir obat sedang Naga Kuning memeriksa bagian-bagian tubuh Setan Ngompol yang terluka sambil mengalirkan hawa sakti dari tubuhnya ke dalam badan si kakek untuk mempercepat penyembuhan.

“Setan Ngompol,” kata Wiro. “Hantu Tangan Empat mengincar batu yang terselip di pinggang kolormu. Dari mana kau dapat benda itu. Boleh aku melihat?”

Setelah duduknya tenang dan nafas serta peredaran darahnya lancar kembali, Setan Ngompol lalu menuturkan riwayat batu yang didapatnya di Telaga Gajahmungkur itu. Batu kemudian diambilnya dan diserahkan pada Wiro.

Setelah memperhatikan batu berwarna tujuh itu sejenak Wiro berkata. “Hantu Tangan Empat menyebut batu ini sebagai Batu Sakti Pembalik Waktu. Satu nama yang aneh. Apa khasiat batu ini sebenarnya?”

“Aku sendiri baru tahu kalau batu itu bernama begitu. Soal khasiatnya mana aku mengerti,” jawab Setan Ngompol.

“Aku menaruh kira batu itu sesuatu yang sangat berharga bagi Hantu Tangan Empat. Katanya Hantu Muka Dua menugaskan dirinya untuk mencari batu tersebut. Rencana sudah disusun sejak lima ratus tahun silam… Aku jadi ingin melihatnya.”

Naga Kuning ulurkan tangan. Wiro serahkan batu tersebut pada si anak. Lama Naga Kuning memperhatikan batu itu. Dielus dan dibolak balik berulang kali. “Bentuknya hampir tidak beda dengan batu pengasah pisau. Memiliki tujuh warna depan belakang. Bagian sebelah sini ujungnya bulat seperti kepala manusia. Di pinggiran kiri kanan ada tonjolan seperti telinga orang. Jangan-jangan batu ini mengandung satu rahasia besar. Mungkin merupakan satu senjata sakti mandraguna…”

“Aku tidak setuju pendapatmu,” kata Setan Ngompol. “Kalau itu senjata sakti mengapa aku masih terus-terusan ngompol?”

“Jangan tolol. Batu sakti tak ada sangkut pautnya dengan penyakitmu Kek! Walau batu itu kau tempelkan di bawah perut dekat anumu!” kata Wiro pula.

“Mungkin juga di dalam batu ini ada sesuatu petunjuk. Peta harta karun atau… Bagaimana kalau kita pecahkan saja?!”

“Itu batu milikku! Jangan kau berani lancang memecahkannya! Kembalikan padaku!” teriak Setan Ngompol.

Naga Kuning mencibir. “Cuma batu jelek begini saja disayang-sayang!”

Batu pipih tujuh warna diulurkannya pada Setan Ngompol. Sewaktu mengembalikan batu ini Naga Kuning acuh tak acuh memegang hanya dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya, pada tonjolan berbentuk telinga. Jari-jari tangannya menekan sedikit lalu batu digoyang-goyang. Pada saat itulah tiba-tiba terjadi satu hal aneh. Dari dua tonjolan di kiri kanan batu melesat tujuh larik sinar seperti cahaya pelangi disertai terdengarnya suara mendesing keras.

Dua kumpulan sinar ini lalu bergerak bergelung ke satu arah, bersambung satu dengan yang lain hingga akhirnya membentuk satu lingkaran cahaya besar yang berputar terus menerus dengan ketinggian dua kali tinggi manusia. Terkurung dalam putaran lingkaran cahaya Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol seolah berada dalam sebuah tong besar yang berputar dan tembus pandang.

“Astaga! Apa yang terjadi! Tubuhku terangkat ke atas!” teriak Naga Kuning.

“Tubuhku juga!” seru Setan Ngompol terkejut dan langsung terkencing.

Wiro memandang ke tanah. Ternyata tubuhnya juga saat itu perlahan-lahan terangkat ke atas.

“Jangan-jangan ini pekerjaan tipu dayanya Hantu Tangan Empat!” teriak Setan Ngompol dengan muka pucat.

“Sudah kubilang bangsa hantu mana bisa dipercaya!” kata Naga Kuning.

Dalam bingungnya ketiga orang itu bergerak kian kemari, berusaha menerobos lingkaran cahaya tujuh warna. Tapi tidak berhasil. Malah mendadak muncul hawa sejuk dan ketiganya seolah terkena sirap, hanya bisa tegak berdiri tak mampu bergerak sementara tubuh mereka terangkat ke udara. Makin lama makin cepat. Demikian cepatnya hingga mereka tidak dapat lagi melihat keadaan di sekeliling atau di bawah mereka. Yang masih bisa mereka lihat hanyalah langit putih di atas kepala!

“Celaka! Apa yang terjadi!” seru Naga Kuning.

Setan Ngompol tak bisa mengeluarkan suara. Yang keluar hanya kencingnya.

“Gila! Kita melesat ke langit!” teriak Wiro yang saat itu masih memegang Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan kanannya.

DELAPAN

Dalam keadaan basah kuyup karena diguyur hujan lebat Lahopeng hentikan tunggangannya biawak raksasa di depan goa di puncak bukit. Dengan cepat dia melompat turun lalu masuk ke dalam goa. Bau harum tapi angker menggidikkan menusuk hidung Lahopeng. Di lantai, dinding dan langit-langit goa yang dilewatinya bertebaran tulang-belulang dan tengkorak manusia.

Di ujung dalam goa ada sejenis asap tipis seperti kabut menutupi pemandangan. Samar-samar di balik kabut tipis itu tampak duduk seorang nenek kurus yang tubuhnya sebelah bawah ditimbuni tumpukan jerami kering. Di sekelilingnya ada selusin pendupaan berasap, sumber bau harum angker. Orang ini walau sosoknya berwujud manusia tapi mukanya mirip-mirip seekor burung gagak.

Selain muka itu tertutup bulu-bulu hitam, hidung dan mulutnya jadi satu berbentuk paruh burung. Sepasang matanya hitam kecil tanpa alis, menatap setiap apa yang ada di hadapannya dengan pandangan dingin menggidikkan.

“Sudah lama tidak ada tamu yang datang! Orang bagus bermuka biru siapakah dirimu! Maksud apa kedatanganmu?!”

Nenek bermuka burung gagak menegur. Suaranya aneh. Kecil tapi keras menyentak. Orang yang barusan masuk rapatkan dua tangan di atas kepala lalu membungkuk dan duduk bersila.

“Aku Lahopeng. Penduduk Latanahsilam. Maksud kedatanganku untuk meminta tolong padamu wahai Hantu Santet Laknat.”

“Hemmm…” nenek bermuka burung gagak hitam yang disebut sebagai Hantu Santet Laknat bergumam. Mulutnya yang berbentuk paruh burung dipencongkan ke kanan.

“Nama dan riwayatmu pernah kudengar wahai anak muda. Aku bisa menebak saat ini kau tengah berada dalam satu masalah besar.”

Lahopeng susun sepuluh jari di atas kepala dan mengangguk. “Tebakanmu benar adanya wahai Hantu Santet Laknat.”

“Wahai Lahopeng, pertolongan apa yang kau maukan. Imbalan apa yang bisa kau berikan…”

“Aku ingin kau membunuh seseorang. Dan ini imbalan yang bisa kuberikan…”

Lahopeng mengeluarkan sebuah kantong kulit, membuka ikatannya lalu menebar isi kantong itu di lantai goa di hadapan nenek Hantu Santet Laknat.

Sepasang mata si nenek kelihatan membuka berkilat ketika melihat butir-butir batu permata aneka warna yang ditebar Lahopeng di depannya.

“Wuuuttt!”

Tangan kiri Hantu Santet Laknat bergerak. Sekali menyambar semua butiran batu permata yang ada di lantai disapunya bersih. Mulut paruh burungnya dibuka lebar. Semua batu yang dipegangnya dimasukkan ke dalam mulut. Sekali mulutnya menelan dan tenggorokannya bergerak maka semua batu permata itu amblas kedalam perutnya.

Lahopeng tercekat melihat apa yang dilakukan si nenek. Sebaliknya Hantu Santet Laknat tertawa cekikikan sambil mengusap air liur yang berlelehan di mulutnya seolah barusan dia habis menyantap makanan lezat.

“Wahai Lahopeng, sudah kutelan imbalan darimu. Sekarang katakan siapa yang ingin kau santet?” Bertanya Hantu Santet Laknat.

“Seorang bernama Lakasipo. Aku ingin kau membunuhnya saat ini juga wahai Hantu Santet Laknat…”

Si nenek luruskan lehernya, menatap angker pada Lahopeng lalu tertawa panjang. “Aku sudah tahu riwayat dirimu. Aku sudah menduga siapa yang kau inginkan nyawaku! Hik hik hik. Lebih dari itu bukankah kau dulu pernah bercinta dengan istri Lakasipo, Kepala Negeri Latanahsilam itu?”

“Aku mendengar kabar perempuan itu telah menemui ajal. Bunuh diri dijurang Bukit Batu Kawin satu hari yang lalu…” kata Lahopeng dengan suara sedih.

“Aku ikut bersedih atas nasib malangmu wahai Lahopeng. Kemauan para Dewa dan takdir para Peri tak bisa dihindari. Dengar baik-baik wahai Lahopeng. Sebelum aku melakukan apa pintamu, perlu aku mengetahui keadaan korban. Ilmu kepandaian apa yang dimiliki Lakasipo?”

“Dia punya beberapa ilmu kesaktian. Tapi cuma dua yang aku tahu wahai Hantu Santet Laknat.”

“Dua sudah bagus dari pada tidak tahu sama sekali. Katakan ilmunya yang dua itu!”

“Pertama yang disebut ilmu Lima Kutuk Dari Langit. Apa saja yang terkena hantaman ilmu ini sosoknya akan ciut mengkeret, hitam gosong dan mati! Ilmunya yang ke dua adalah Kaki Roh Pengantar Maut. Ini ilmunya yang sangat berbahaya. Benda apa saja yang terkena tendangan kedua kakinya pasti hancur. Makhluk bernyawa apa saja yang terkena tendangannya pasti menemui ajal. Hanya itu yang aku ketahui wahai Hantu Santet Laknat… Harap kau segera membunuhnya!”

“Akan kulihat dulu keadaan. Akan kuperhatikan dulu suasana di langit dan di bumi. Akan kujajagi dulu hawa udara. Akan kutanyakan dulu pada para Peri dan Dewa. Kalau nasib peruntunganmu baik, aku akan menyantetnya mampus dalam sekejapan mata saja. Harap kau suka menunggu dan tidak bergerak di tempatmu!”

Si nenek bermuka burung gagak hitam lalu ambil enam buah pendupaan berasap. Enam pendupaan yang sangat panas itu diletakkannya satu persatu di atas kepalanya, disusun tiga tingkat. Walau pendupaan itu panas bukan main tapi baik tangan maupun rambut serta kepala si nenek sama sekali tidak cidera sedikit pun. Lalu dia angkat dua tangannya ke atas, dikembangkan lebar-lebar. Mulutnya meracau aneh.

Mata kecilnya memandang kelangit-langit goa. Lalu perlahan-lahan dipejamkan. Kepulan asap dari enam pendupaan yang disusun di atas kepala semakin membuntal. Hawa harum aneh semakin menusuk hidung membuat Lahopeng hampir sulit bernafas. Menunggu tak berapa lama si nenek hentikan racauannya. Secara aneh satu persatu pendupaan di atas kepalanya melayang turun, kembali ke tempatnya semula.

“Wahai Lahopeng, nasib buruk bagimu! Mendapat petunjuk aku. Lakasipo tidak bisa dibunuh secara langsung dengan ilmu santetku!”

Berubahlah tampang pemuda bernama Lahopeng. “Mengapa begitu wahai Hantu Santet?”

“Pertama para Peri ternyata memberikan perlindungan padanya. Dua para roh yang ada di sekitar Negeri Latanahsilam ternyata berpihak padanya. Ke tiga ilmu kesaktiannya yang bernama Kaki Roh Pengantar Maut sulit ditembus…”

Lahopeng seperti dihenyakkan ke lantai goa mendengar ucapan si nenek. Tapi si nenek sendiri keluarkan tawa cekikikan.

“Lahopeng anak muda malang. Wahai kau jangan dulu berputus asa. Hantu Santet Laknat masih bisa mencari jalan. Memang Lakasipo tak bisa segera dibunuh. Tapi apa salahnya kalau dirinya dibuat mati tidak hidup pun tidak!”

“Tidak mengerti aku ucapanmu wahai Hantu Santet…”

“Kau memang tidak perlu mengerti.Yang jelas kau tak perlu takutkan pembalasan dendam dari Lakasipo. Selama langit terkembang dan bumi terbentang di atas Latanahsilam, orang itu tidak akan bisa mengganggumu. Dia akan menemui ajal secara perlahan-lahan. Sekarang kau boleh pergi. Pulanglah ke rumahmu wahai Lahopeng!”

Sebenarnya banyak yang hendak ditanyakan Lahopeng tapi pemuda ini takut si nenek akan menjadi kesal dan marah. Dia sudah mendengar banyak tentang keanehan si tukang santet ini. Orang yang minta tolong bisa saja bukan ditolong malah akhirnya dibunuhnya! Setelah memberi penghormatan dengan menyusun tangan di atas kepala dan membungkuk dalam, Lahopeng segera tinggalkan goa di puncak bukit itu.

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Dua hari dua malam lamanya Lakasipo menyiapkan makam batu untuk istrinya di lereng Bukit Latinggihijau. Sore itu pekerjaannya selesai. Sebuah makam batu sedalam lima jengkal siap menerima jenazah Luhrinjani yang telah diawetkan dengan sejenis bubuk kayu yang diramu dalam cairan hingga tidak rusak dan busuk.

Tubuhnya terasa sangat letih. Kakinya seperti tidak menginjak bumi lagi sedang dua tangannya penuh luka. Namun Lakasipo merasa puas. Semua keletihan dan rasa sakit terhibur dengan selesainya makam batu itu. Disaksikan oleh sang surya yang sebentar lagi akan segera tenggelam, Lakasipo mendukung jenazah Luhrinjani. Perlahan-lahan dia melangkah mendekati lubang batu.

Dengan hati-hati jenazah istri yang hanya sempat dikawininya selama tiga hari itu diturunkan ke dalam lubang. Pada saat itulah cuaca mendadak sontak berubah. Gulungan awan hitam menutupi langit. Di utara petir sabung menyabung. Gelegar suara guntur menggetarkan lereng bukit Latinggihijau. Lalu hujan yang sangat lebat turun mendera bumi.

“Petunjuk buruk apa yang hendak diberikan para Dewa dan Peri padaku…” membatin Lakasipo seraya memandang ke langit.

Sesaat gerakannya menurunkan jenazah Luhrinjani terhenti. Udara cepat sekali menjadi gelap. Lakasipo memandang ke dalam lubang batu. Air hujan mulai menggenangi makam itu. Lakasipo segera membungkuk. Dengan hati-hati jenazah Luhrinjani dimasukkannya ke dalam lubang batu.

Kilat kembali menyambar. Sesaat keadaan di tempat itu menjadi terang benderang. Lakasipo melihat satu keanehan. Sepasang mata Luhrinjani yang sejak tadi tertutup terlhat terbuka dan wajahnya tampak tersenyum.

“Luhrinjani…” desis Lakasipo. Cahaya kilat lenyap.

Bukit Latinggihijau kembali tenggelam dalam kegelapan. Sesaat Lakasipo masih terkesiap. Namun begitu sadarkan diri dia segera mengangkat sebuah batu pipih besar dan meletakkannya di atas makam sebagai batu penutup. Enam buah batu besar kemudian disusunnya di atas batu penutup makam.

“Wahai Luhrinjani… Apapun yang telah kau lakukan sebelum ajalmu, aku Lakasipo telah melupakan den memaafkan semuanya. Di bawah hujan lebat ini, dalam gelapnya udara, disaksikan oleh bukit dan makammu! Disaksikan para Peri dan Dewa, aku Lakasipo bersumpah untuk membalaskan sakit hati kematianmu. Akan kucari Lahopeng. Akan dia kubunuh! Bila dendam terbalas nanti aku akan menyusul dirimu. Kau lihat sendiri Luhrinjani. Aku sudah menyiapkan satu makam untuk diriku di samping makammu!”

Lakasipo melirik ke arah sebuah makam kosong yang sengaja dibuatnya di sebelah kubur Luhrinjani. Sebelumnya memang lelaki itu telah membuat sebuah makam untuk dirinya sendiri.

“Wahai Luhrinjani, akau akan meninggalkanmu. Aku akan kembali dan sering-sering melihatmu. Tenanglah dalam tidurmu. Para Dewa dan para Peri akan menghiburmu. Selamat tinggal wahai Luhrinjani…”

Lakasipo mencium batu makam di bagian kepala lalu bangkit berdiri. Sesaat sebelum pergi dipandanginya makam batu itu. Di bawah hujan yang mulai mereda, Lakasipo menuruni bukit Latinggihijau, mendapatkan kuda berkaki enam tunggangannya yang ditinggalkan di bawah bukit. Dalam gelapnya udara Lakasipo mendera binatang itu, memacunya sepembawa sang tunggangan.

Belum lama menunggangi kudanya tiba-tiba lelaki ini melihat satu bayangan putih melintas di depannya. Kuda besar kaki enam bertanduk dua mendadak sontak hentikan larinya. Empat dari enam kakinya diangkat ke atas. Dari mulut binatang aneh ini keluar ringkikan keras. Dua matanya yang merah memancarkan sinar aneh. Lakasipo cepat mengusap tengkuk binatang itu seraya berbisik,

“Laekakienam… Tenanglah. Tak ada yang perlu ditakutkan.”

Lakasipo memandang berkeliling, menduga-duga berada dimana dia saat itu. Menurut perkiraannya dia menjelang mencapai kaki bukit Latinggihijau, kira-kira setengah hari perjalanan dari Negeri Latanahsilam. Sudut mata Lakasipo menangkap sesuatu di sebelah kiri. Kudanya yang bernama Laekakienam kembali gelisah. Lakasipo cepat berpaling. Bayangan putih itu!

Lakasipo kembali melihatnya. Dia memperhatikan dengan dada berdebar dan mata terbuka lebar. Di kejauhan sana, di antara kerapatan pepohonan dia melihat sosok seorang perempuan berpakaian aneh berwarna putih. Sosok itu meliuk-liuk seperti asap atau kabut tertiup angin. Ketika dia memperhatikan wajah perempuan itu terkejutlah Lakasipo. Wajah itu adalah wajah Luhrinjani.

“Wahai Luhrinjani… Bagaimana mungkin! Barusan saja aku menguburmu di makam batu…” desis Lakasipo.

Sosok putih di depan sana tiba-tiba melambai-lambaikan tanganya seperti memanggil Lakasipo. Lalu sayup-sayup ada suara.

“Lakasipo… Lakasipo suamiku… Datanglah kemari. Tolong diriku… Keluarkan aku dari alam gelap ini. Lakasipo kemarilah…”

“Wajah itu wajah Luhrinjani. Suara itu suara Luhrinjani…” ujar Lakasipo.

“Lakasipo kemarilah… Turun dari kudamu. Datang kemari. Tolong diriku wahai suamiku…”

Mula-mula Lakasipo masih diselimuti rasa takut, heran dan bimbang. Matanya digosok berulang kali. “Aku tidak bermimpi. Itu memang Luhrinjani…” desis lelaki ini.

Lalu da bergerak turun dari kuda kaki enam tunggangannya. Setengah berlari lelaki ini segera mendekati sosok putih Luhrinani. Dia berlari disela-sela pepohonan, melompati semak belukar. Tidak memperhatikan lagi jalan yang dilaluinya.

“Wahai Lakasipo suamiku… Lekaslah. Larilah lebih cepat. Jarak kita hanya tinggal dekat…” Di depan sana sosok Luhrinjani kembali berseru.

Lakasipo melompati serumpunan semak belukar pendek. Tapi begitu turun ke tanah, dua kakinya amblas masuk ke dalam dua buah lubang sedalam pangkal betis. Kalau tidak cepat mengimbangi diri lelaki ini pasti jatuh tersungkur di tanah. Dia tarik dua kakinya. Tapi alangkah terkejutnya Lakasipo. Dia sama sekali tidak sanggup mengeluarkan kedua kakinya.

Lalu dia mendengar suara menggelegak seperti air mendidih. Ketika dia memandang ke bawah tambah kagetlah Kepala Negeri Latanahsilam ini. Di dalam dua lubang dilhatnya ada cairan aneh berwarna kelabu menyembul berbuih-buih. Begitu gejolak buih berhenti, cairan itu berubah menjadi keras, memendam sepasang kaki Lakasipo ke tanah.

“Wahai… Apa yang terjadi…?!” ujar Lakasipo. Dia membungkuk. Meraba cairan beku yang membenam dua kakinya. “Batu…” desis Lakasipo begitu tangannya menyentuh. “Tidak bisa jadi…!”

Laki-laki ini gerak-gerakkankakinya berusaha melepas diri. Takberhasil. Dia memukul dengan tangan kanannya berulang kali.

“Dukkk-Dukkk-Dukkk!” Batu itu tak sanggup dihancurkan. Maka dia segera kerahkan ilmu kesaktian Lima Kutuk Dari Langit. Lima sinar hitam menggidikkan menghantam batu di sebelah kanan.

“Wussss! Buummmm!”

Sinar hitam berbalik mental ke udara mengeluarkan suara dentuman keras. Tapi batu keras yang memendam kaki Lakasipo hanya bergeming sedikit saja. Jangankan hancur, retak saja tidak!

Lakasipo tidak mau menyerah. Kini dia kerahkan ilmu kesaktian Kaki Roh Pengantar Maut. Cahaya hitam keluar dari kakinya kiri kanan. Tapi segera meredup lenyap. Malah lelaki ini mengeluh kesakitan karena pendaman batu seperti mencengkeram membuat kedua kakinya sebatas pangkal betis ke bawah sakit bukan kepalang.

“Celaka, tak bisa aku melepaskan diri! Apa yang terjadi dengan diriku? Pasti ada orang jahat…”

Lakasipo ingat pada sosok putih Luhrinjani yang tadi ada di depannya. Ketika dia memandang ke depan justru dilihatnya sosok itu bergerak seperti melayang mendekatinya.

“Luhrinjani… Wahai…”

Tiba-tiba terdengar suara berdentringan. Sosok Luhrinjani ternyata memegang sebuah rantai di tangan kanannya. Pada kedua ujung rantai ini ada penjapit besi besar.

“Luhrinjani… Betul kau yang ada dihadapanku ini?” ujar Lakasipo begitu sosok putih itu sampai di hadapannya.

Luhrinjani tersenyum. Justru pada saat itu pula wajah perempuan itu berubah. Mula-mula pada mulutnya. Mulut itu mencuat menonjolkan gigi-gigi mengerikan. Lalu kulit wajahnya seolah leleh hingga tinggal tulang tengkorak. Menyusul dua matanya berubah menjadi sepasang rongga mengerikan.

Rambut hitam juga lenyap. Yang tinggal hanyalah kepala licin plontos sebuah tengkorak mengerikan. Dua tangannya yang tersembul dari balik pakaian putih berubah menjadi tulang belulang menggidikkan. Lakasipo menjerit keras saking kaget dan takut.

Sosok tengkorak merunduk. Dengan satu gerakan cepat makhluk ini memasang dua japitan rantai besi pada pangkal betis Lakasipo kiri kanan. Selesai memasang jepitan rantai makhluk ini berdiri kembali, melangkah mundur menjauhi Lakasipo.

“Kau bukan Luhrinjani. Kau makhluk jahat jejadian…!” teriak Lakasipo.

“Lakasipo…” sosok aneh itu berucap. “Takdir buruk jatuh padamu! Kau akan terpendam dalam dua batu bernama Bola-Bola Iblis seumur hidupmu. Tubuhmu akan rusak, busuk dan hancur. Kauakan menemui kematian secara tersiksa… perlahan-lahan!”

“Makhluk jahanam! Kau pasti suruhan orang! Katakan siapa yang menyuruhmu!” teriak Lakasipo.

Kau akan mendapatkan jawaban lama sekali Lakasipo…” jawab makhluk bermuka tengkorak. “Setelah sosokmu berubah menjadi jerangkong dan rohmu melayang dilangit hampa!”

Mendengar jawaban itu Lakasipo hantamkan tangan kanannya. Lima Larik sinar hitam menderu. Itulah pukulan sakti Lima Kutuk Dari Langit.

“Bummmm!” Pukulan sakti menghantam telak sosok putih di depan sana.

“Braaakkk! Byaaarrr!”

Sosok putih itu hancur berantakan. Serpihan tulang tengkorak dan tulang jerangkok bertaburan di udara lalu berubah menjadi asap dan lenyap tanpa bekas. Lakasipo meraung keras. Seperti orang gila dia menghantam dengan pukulan-pukulan sakti kian kemari. Namun akhirnya dia lemas sendiri dan jatuh terduduk di tanah.

********************

SEMBILAN

Lingkaran cahaya tujuh warna berbentuk tabung besar laksana sambaran kilat menukik ke bawah menghunjam ke bumi. Sejarak dua ratus tombak dari permukaan tanah daya jatuhnya berubah menjadi perlahan. Akhirnya bagian bawah lingkaran cahaya menyentuh tanah. Bersamaan dengan itu lingkaran tujuh warna lenyap. Maka kelihatanlah tiga sosok tegak saling tertegun yakni Pendekar 212 Wiro Sableng, si bocah Naga Kuning dan si kakek Setan Ngompol.

Untuk beberapa lamanya mereka kelihatan seperti berada dalam sirapan. Tidak bergerak, tidak bersuara. Wiro masih memegang Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan kanan. Naga Kuning masih memegang batu tujuh warna yang disebut Batu Sakti Pembalik Waktu.Sedang Setan Ngompol tegak terbungkuk sambil pegangi bagian bawah perutnya dengan tangan kiri. Sesaat kemudian, seolah terbangun dari tidur ketiga orang itu sama-sama tersadar.

“Eh, kita berada dimana saat ini?” Wiro yang pertama sekali membuka mulut lalu memandang berkeliling. Begitu memandang begitu sang pendekar jatuh terduduk dan berseru kaget.

Setan Ngompol terkencing dan berteriak. “Apa yang terjadi denganmu Wiro?! Apa yang terjadi dengan kita?!”

“Lihat! Lihat sekeliling kalian! Buka mata kalian lebar-lebar!” jawab Wiro dengan suara keras tapi bergetar.

Naga Kuning dan Setan Ngompol sama memandang berkeliling. Barulah keduanya kaget. Berseru tegang dan jatuh terduduk di samping Wiro.

“Pohon-pohon raksasa… batu-batu sebesar rumah… Rumput setinggi manusia. Ya Tuhan, di mana kita berada?!” seru Naga Kuning.

Seperti yang mereka saksikan sendiri, saat itu mereka berada di satu tempat asing yang pepohonannya besar tinggi luar biasa. Di sekitar mereka rerumputan tumbuh setinggi bahu. Lalu di sebelah sana ada sederet batu-batu sebesar rumah. Suara deru angin pun terdengar aneh kencang menakutkan. Ketiga orang itu sampai terhuyung-huyung terkena sambarannya. Wiro memandang pada Naga Kuning. Memperhatikan batu tujuh warna yang masih berada dalam genggaman anak ini.

“Batu celaka itu!” seru Wiro. “Kau ingat apa namanya yang disebut Hantu Tangan Empat?!”

“Batu Sakti Pembalik Waktu…” jawab Naga Kuning dengan lidah serasa kelu.

“Ya Tuhan… Sesuatu telah terjadi dengan kita! Jangan-jangan…”

Mendadak ada suara menggeresek di samping kanan mereka. Ketiganya cepat menoleh.

“Tiga ekor kucing!” ujar Setan Ngompol dan tentu saja sambil memancarkan kencingnya. Matanya dan juga mata Wiro serta Naga Kuning sama-sama mendelik. Di sela-sela rerumputan bergerak tiga sosok binatang sebesar kucing.

“Besarnya memang sebesar kucing. Tapi binatang-binatang ini bukan kucing! Coba kalian perhatikan!” kata Wiro lalu memperhatikan lebih teliti tapi tak berani mendekati.

“Semut!” teriak sang pendekar kemudian. “Tiga ekor binatang ini bukan kucing tapi semut! Paling tidak menyerupai semut!”

“Jangan ngacok! Mana ada semut sebesar kucing!” kata Naga Kuning pula.

“Kawan-kawan… Kurasa kita tidak berada lagi di dunia kita. Lihat pohon-pohon raksasa itu! Lihat batu-batu sebesar rumah disebelah sana. Rasakan tiupan angin yang membuat kita terhuyung-huyung. Lalu semut-semut sebesar kucing itu. Lihat… Gila! Di sebelah sana ada puluhan lagi bergerak kejurusan tiga temannya ini!”

Wiro melangkah mundur. Naga Kuning begitu melihat langsung lari menjauh. Setan Ngompol melompat,tapi terserandung jatuh. Berteriak ketakutan sambil terkencing lalu lari sambil menubruk Wiro hingga keduanya jatuh bergulingan. Malang bagi Pendekar 212 waktu bergulingan selangkangan Setan Ngompol menempel di mukanya!

“Kakek sialan! Jaga barangmu! Jangan sampai kuremas hancur!” teriak Wiro marah dan pergunakan baju putihnya untuk mengusapi mukanya yang basah oleh air kencing.

“Aku tidak sengaja! Aku…”

Wiro lemparkan tubuh Setan Ngompol ke samping sambil terus mengomel panjang pendek.

“Sebaiknya kalian berdua jangan bertengkar. Aku khawatir kita berada dalam bahaya besar. Jika makhluk disela-sela rumput dan yang merayap di tanah itu benar semut apa kalian bisa membayangkan berapa besar makhluk-makhluk lainnya yang pasti ada di sekitar sini?”

“Wuuttt-Wuuttt-Wutttt!”

Tiba-tiba ada angin deras menerpa dari atas. Ketiga orang ini sama berteriak kaget dan jatuh terjengkang. Dari balik rerumputan mereka melihat ke atas. Tiga benda besar tampak melayang cepat di udara. Kepakan sayap mereka menimbulkan angin kencang yang membuat tiga orang itu tersapu jatuh ke tanah!

“Burung-burung raksasa…” ujar Naga Kuning. “Apa kataku! Kita berada di antara makhluk-makhluk aneh!”

“Kita harus tinggalkan tempat ini! Mencari tempat yang aman!” kata Setan Ngompol.

“Tapi kita mau kemana?” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala. Untuk menjaga segala sesuatunya Wiro masih terus menggenggam kapak saktinya.

Baru saja Wiro berkata begitu tiba-tiba ada suara menghentak-hentak keras sekali. Tanah di manamereka berada bergetar hebat. Untuk kesekian kalinya ketiga orang ini jatuh berpelantingan.

“Apa yang terjadi?” desis Setan Ngompol dengan muka pucat.

“Gempa… Pasti gempa!” menyahuti Naga Kuning. Lalu dia berpaling pada Wiro. “Wiro bukankah kau memiliki ilmu kesaktian bernama Menembus Pandang. Kau bisa melihat di mana kita berada. Kau bisa mengetahui apa saja yang adadi sekitar kita!”

“Betul! Kita harus segera cari selamat!” kata Setan Ngompol lalu dengan cepat diambilnya batu tujuh warna dari tangan Naga Kuning.

Wiro mengangguk lalu kerahkan tenaga dalamnya ke kepala. Sepasang matanya melihat ke arah kejauhan, menembus rerumputan tinggi yang menghalang di sekitarnya. Sementara itu suara hentakan keras tadi semakin dahsyat. Sebelum tubuhnya terbanting ke tanah murid Sinto Gendeng ini masih sempat melihat sesuatu di kejauhan yang membuatnya berteriak ketakutan.

“Apa yang kau lihat!” tanya Naga Kuning sambil menjatuhkan diri di samping Wiro. Setan Ngompol segera pula mendekati kedua orang itu.

“Binatang raksasa aneh. Tubuhnya setinggi bukit! Bentuknya menyerupai kuda. Tapi memiliki tanduk dan berkaki enam. Tiga di kiri tiga di kanan…”

“Kau jangan menakut-nakuti kami!” kata Setan Ngompol sambil menahan kencing.

“Siapa yang menakut-nakuti!” bentak Wiro jadi jengkel.

Saat itu tiba-tiba suara hentakan berubah menjadi suara menggemuruh. Bumi laksana terbalik-balik porak poranda. Debu menggebubu menutupi seantero tempat.

“Wuutttt!”

Satu makhluk luar biasa besarnya menderu melewati mereka. Rerumputan hancur luluh. Pasir dan bebatuan beterbangan. Sebuah batu sempat menyerempet kening Pendekar 212 hingga luka dan mengucurkan darah. Di tanah kelihatan lubang-lubang besar. Tiga orang itu mencelat bermentalan dan sama-sama berseru tegang. Setan Ngompol hampir terperosok ke dalam salah satu lubang kalau tidak cepat ditolong Naga Kuning. Tanpa diketahui oleh Setan Ngompol Batu Sakti Pembalik Waktu yang barusan diselipkannya di pinggang celana kolornya jatuh ke dalam lubang. Ketiga orang itu terbatuk-batuk akibat debu yang memasuki jalan pernafasan. Muka mereka bercelemongan debu.

“Itu!” teriak Wiro sambil menunjuk ke arah kejauhan. “Itu binatang raksasa yang aku lihat. Dia barusan lewat di tempat ini!”

Walau binatang itu sudah lari jauh namun Setan Ngompol dan Naga Kuning masih sempat melihat. Keduanya menggigil ketakutan. Wiro kembali kerahkan ilmu kepandaiannya untuk melihat jauh. Lalu mengatakan apa yang dilihatnya.

“Kuda raksasa itu lari ke jurusan sana. Aku melihat sebuah batu besar, mungkin bukit batu. Ah, bukan… bukan bukit batu. Benda itu bergerak… Astaga! Ya Tuhan…!” Dua mata Wiro terbelalak.Tubuhnya gemetaran.

“Katakan apa yang kau lihat!” tanya Naga Kuning.

“Ada makhluk raksasa di sebelah sana. Duduk di tanah. Kepalanya seperti menyondak langit. Mukanya tertutup rambut lebat, janggut dan kumis panjang. Dua kakinya terbenam ke tanah. Ada seuntai besi besar mengikat kakinya. Gila… Dia menyeringai melihat kedatangan kuda raksasa. Gigi-giginya sebesar jendela!”

Tiba-tiba kembali tanah bergetar dahsyat dua kali berturut-turut.

“Apa yang terjadi?” tanya Setang Ngompol. “Apa yang kau lihat Wiro?!”

“Kuda raksasa itu. Ternyata dia membawa dua buah bola besar. Astaga bukan bola tapi dua butir buah kelapa sangat besar. Kelapa-kelapa itu dijatuhkannya di tanah di hadapan manusia raksasa. Itu barusan yang menimbulkan getaran hebat. Raksasa membelah buah kelapa dengan hantaman tangan. Dia meneguk air kelapa… Tobat!”

“Apa yang tobat!” tanya Setan Ngompol.

“Ada sesuatu terbang di atas kepala raksasa itu…”

“Pasti burung!” kata Naga Kuning.

“Bukan…” Wiro kedipkan matanya beberapa kali. “Bukan burung. Tapi seekor kelelawar sebesar tetampah! Raksasa pergunakan tangan kirinya menangkap kelelawar. Lalu…” Wiro perlihatkan muka jijik dan ngeri. “Raksasa melahap mentah-mentah kelelawar itu! Habis! Tak ada yang tersisa!”

“Hueekk!” Setan Ngompol muntah. Bukan cuma dari mulut tapi juga dari bawah perut alias terkencing-kencing.

“Lebih cepat kita meninggalkan tempat ini lebih baik!” kata Naga Kuning dengan wajah memucat. Dia menarik tangan Wiro. Setan Ngompol sudah bergerak lebih dulu.

“Tunggu! Kalian semua jangan bergerak! Sembunyi di balik rumput lebat…”

“Memangnya ada apa?” tanya Naga Kuning.

“Ssstttt! Jangan bicara keras-keras. Manusia raksasa itu kulihat tengah memasang telinga. Matanya memandang liar kian kemari seperti mencari-cari. Hidungnya mengendus-endus membaui sesuatu! Dia… dia tegak berdiri. Memandang ke arah sini! Celaka! Lekas berlindung!”

Wiro mendorong Naga Kuning dan Setan Ngmpol ke balik rumput lebat. Dari celah-celah rumput dengan muka pucat dan dada berdebar ketakutan mereka menyaksikan satu sosok tinggi besar luar biasa berdiri berkacak pinggang. Rambutnya kotor panjang awut-awutan. Kumis dan jenggotnya riap-riapan tak karuan. Matanya yang merah memandang ke jurusan di mana tiga orang itu bersembunyi.

“Kudaku Laekakienam, sayup-sayup aku mendengar suara halus. Seperti ada makhluk yang bicara. Apakah kau juga mendengar?”

Bagi Wiro dan dua kawannya, suara makhluk raksasa seolah suara guntur menggelegar. Ketiganya tekap telinga masing-masing sementara suara raksasa itu membuat mereka tergoncang-goncang. Kuda kaki enam yang di ajak bicara luruskan leher dan gerakkan daun telinganya. Lalu binatang ini meringkik keras.

Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol berteriak kaget. Tubuh mereka kembali bermentalan di sela-sela rerumputan. Suara teriakan ketiga orang ini tertangkap oleh makhluk raksasa. Dia memandang ke bawah, ke arah kelebatan rerumputan di mana Wiro dan dua kawannya bersembunyi.

“Aha! Aku melihat sesuatu… Mungkin serangga atau kutu daun… Tapi…”

Si raksasa membungkuk. Matanya dibuka lebar-lebar memandang tak berkesip ke arah rerumputan. Dia hendak bergerak maju tapi tertahan oleh kedua kakinya yang tertanam ke batu. Dia terpaksa membungkuk lalu meniup. Bagi Wiro dan dua kawannya tiupan itu tidak beda dengan angin puting beliung. Rerumputan tersibak dan ketiganya terpelanting berkaparan.

“Wahai, ada tiga makhluk aneh di sela rerumputan!” seru makhluk raksasa yang suaranya bagi Wiro dan dua kawan seolah gelegar guntur. Merasa senasib seketakutan ketiganya saling berangkulan. Pada saat itulah makhluk raksasa ulurkan tangannya menyambar tubuh ketiga orang itu.

“Mati kita semua!” jerit Naga Kuning.

“Pecah barangku!” teriak Setan Ngompol.

Wiro tak bisa berteriak karena salah satu jari tangan raksasa tepat menekan mukanya. Kepalanya serasa remuk. Makhluk raksasa perlahan-lahan duduk kembali di tanah. Tangan kanannyayang menggenggam dibuka. Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol bergeletakan di atas telapak tangannya.

SEPULUH

Tiga makhluk aneh cebol! Ha ha ha!” Suara tawa makhluk raksasa membuat ketiga orang yang ada diatas telapak tangan bergulingan.

Setan Ngompol malah sempat jatuh, tapi lekas di sambut kembali oleh makhluk raksasa itu. Untuk beberapa lamanya ketiganya tertelentang di atas telapak tangan, tak bergerak dan telinga masing-masing seolah mau pecah.

“Wahai makhluk-makhluk aneh, kalian dari mana datang! Mengapa sosok kalian sekecil ini! Perutku masih lapar…”

Tiga orang di atas tangan tergoncang-goncang. “Kalau dia terus bicara hancur telinga kita bertiga!” teriak Naga Kuning.

“Wahai, kau si cebol yang bicara! Apa yang barusan kau ucapkan?!” Makhluk raksasa bertanya seraya gerakkan tangan kanannya sedikit hingga tiga orang itu terlempar keatas lalu cepat disambut kembali. Bagi si raksasa melempar-lemparkan Wiro ke udara mungkin hanya sekedar permainan. Tapi bagi ketiga orang itu sangat menyakitkan. Tubuh mereka jatuh saling tindih dan kepala pada benjut karena beradu!

“Wahai, makhluk yang paling cebol! Kau tidak menjawab pertanyaanku! Apa mau aku tindis seperti kutu di kepalaku?!”

Wiro menepuk bahu Naga Kuning. “Lekas kau jawab pertanyaannya tadi! Kalau dia sampai marah kita bertiga bisa dibunuhnya!”

“Aku mati ketakutan! Aku tak ingat apa pertanyaannya tadi!” jawab Naga Kuning.

“Bocah sialan! Sudah! Biar aku saja yang bicara!” kata Pendekar 212. Lalu perlahan-lahan dia coba bangkit. Kapak di tangan kanannya digoyang-goyangkan. Lalu dia berteriak.

“Hai!”

“Kau mau bilang apa? Suaramu tidak kedengaran wahai orang cebol!”

Wiro garuk kepalanya dan berteriak kembali. Tapi tetap saja tidak terdengar apa yang diucapkannya. Makhluk raksasa gerakkan tangan kanannya ke dekat telinganya. Telinga raksasa itu seolah sebuah goa mengerikan bagi Wiro dan kawan-kawannya.

“Hai! Apa sekarang kau bisa mendengar?!” teriak Wiro.

Raksasa menyeringai. “Suaramu masih kecil tapi kudengar sudah bisa!”

“Hai! Tanganmu jangan digoyang-goyang. Kami bertiga bisa jatuh! Kalau bicara jangan keras-keras! Telinga kami bisa pecah!”

Raksasa itu tertawa gelak-gelak. Akibatnya Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol kembali berpelantingan. Tahu apa yang terjadi si raksasa hentikan tawanya, lalu bicara perlahan.

“Wahai makhluk-makhluk cebol lekas katakan siapa kalian bertiga! Sosokmu menyerupai diriku tapi mengapa kecil begini? Jari tanganku saja lebih besar dari kalian!”

“Kami manusia biasa… Kami bukan orang cebol!” teriak Naga Kuning.

Raksasa tekap mulutnya dengan tangan kiri lalu tertawa. “Manusia biasa adalah seperti diriku ini! Kalian hanya tiga ekor kutuyang menyerupai manusia! Kalian bukan manusia benaran!”

“Kami manusia benaran, kau yang raksasa. Ini pasti negeri raksasa!” ujar Wiro.

“Huh?! Apa katamu? Di Negeri Latanahsilam tidak ada makhluk bernama raksasa!”

Naga Kuning membisikkan sesuatu ke telinga Wiro. “Kau benar Naga Kuning, biar aku tanyakan…”

“Wahai tiga makhluk cebol! Perutku masih lapar. Walau sosok kalian tidak mengenyangkan tapi lumayan dari cuma makan angin!”

“Mati aku!” kata Setan Ngompol lalu terkencing.

Merasakan ada sesuatu membasahi tangannya si raksasa kerenyitkan alis dan mengendus-endus berutang kali. “Hai!” teriak Wiro. “Kami bertiga tidak akan mengenyangkan perutmu! Tidak ada gunanya membunuh dan menelan tiga ekor kutu seperti kami! Kami tidak sengaja kesasar ke tempat ini! Dengar dulu! Caramu bicara mengingatkan kami pada seseorang. Mungkin dia juga berasal dari tempat ini. Orang itu mengaku bernama Hantu Tangan Empat!”

Raksasa gerakkan tangan kanannya ke depan mata. Melihat mata besar luar biasa itu Wiro dan kawan-kawan merasa ngeri bukan main. Apalagi dari lubang hidungnya yang sebesar lubang sumur selalu menyambar hembusan nafas panas.

“Hantu Tangan Empat! Bagaimana kalian tahu nama itu! Kalian mengenal orang itu?” bertanya makhluk raksasa.

“Kami bertemu dengan Hantu Tangan Empat beberapa waktu lalu di dunia kami!” jawab Naga Kuning.

“Mustahil dia bisa berada di luar Latanahsilam. Kecuali jika kau bisa menceritakan apa yang terjadi wahai manusia kutu!”

“Sialan! Kita terus-terusan dikatakannya manusia kutu!” kata Wiro pada dua temannya, Walau mengomel namun kemudian Wiro menceritakan pertemuannya dan kawan-kawan dengan Hantu Tangan Empat.

Si raksasa manggut-manggut berulang kali. “Ceritamu menarik! Aku memang mengenal Hantu Tangan Empat. Kami sama-sama berasal dari Negeri Latanahsilam…”

“Berarti negeri seribu dua ratus tahun silam!” kata Setan Ngompol yang bicara untuk pertama kalinya.

“Eh, bagaimana kau tahu hal itu?”

“Hantu Tangan Empat yang mengatakan sewaktu bertemu. Berarti antara negeri kami dan negeri ini terpaut sejauh seribu dua ratus tahun silam!”

“Hemmm… Apakah Hantu Tangan Empat berhasil menemukan benda yang dicarinya? Lalu bagaimana sampai kalian bisa kesasar ke tempat ini?” tanya si raksasa pula.

“Hantu Tangan Empat tidak berhasil menemukan benda yang dicari,” jawab Wiro. “Dia seperti ketakutan terhadap sesuatu lalu lenyap menggaibkan diri. Perihal bagaimana kami bisa kesasar ke tempat ini kami bertiga juga tidak mengerti.” Wiro sengaja tidak menceritakan batu sakti tujuh warna yang ada pada Setan Ngompol.

“Aneh, kalian bertiga sungguh aneh…”

“Kau juga aneh! Mengapa tubuhmu seperti raksasa begini!”

“Aku bukan raksasa! Aku manusia biasa! Tubuhmu yang sekecil kutu hingga menganggap aku raksasa!”

“Apa kau bisa mempertemukan kami dengan Hantu Tangan Empat?” tanya Wiro.

“Mengapa kalian ingin menemuinya?”

“Mungkin dia bisa menolong mengembalikan kami ke alam kami semula…”

“Hantu Tangan Empat memang sakti, banyak ilmunya. Tapi untuk mengembalikan kalian ke alam kalian semula dia tidak akan mampu melakukan. Para Peri dan Dewa sekalipun tidak bisa melakukan!”

“Celaka kita bertiga!” seru Setan Ngompol lalu kembali terkencing-kencing.

Naga Kuning dan Wiro Sableng terdiam tak bisa mengeluarkan ucapan barang sepatah pun.

“Tunggu dulu,” kata Setan Ngompol. “Aku teringat pada satu ujar-ujar yang mengatakan begini. Setiap ada jalan masuk tentu ada jalan keluar. Setiap ada pintu masuk pasti ada pintu keluar.”

“Ujar-ujar itu hanya berlaku di duniamu, tidak di dunia kami! Ada jalan masuk belum tentu ada jalan keluar. Ada pintu masuk belum pasti ada pintu keluar. Kecuali jika kalian bisa menemukah benda yang dicari Hantu Tangan Empat itu.”

“Maksudmu Batu Sakti Pembalik Waktu?” tanya Naga Kuning.

Makhluk raksasa anggukkan kepala, “Kalau batu itu yang kau maksud, ada pada temanku kakek berkuping lebar ini!”

“Berkuping lebar dan bau!” kata si raksasa pula sambil menyeringai.

“Setan Ngompol! Lekas keluarkan batu saktimu. Perlihatkan padanya!”

Setan Ngompol segera meraba pinggang kirinya. Tangannya berpindah ke pinggang kanan. Seluruh pinggang diraba. Tidak percaya si kakek singkapkan baju atasnya, merorotkan celana kolornya, bahkan selinapkan tangannya sampai ke bawah perut. Mukanya pucat

“Celaka! Batu itu lenyap!”

Naga Kuning dan Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut besar. Lalu ikut bantu menggeledahi aurat si kakek. Tetap saja Batu Sakti Pembalik Waktu tidak ditemukan.

“Jangan-jangan jatuh di kawasan rerumputan tadi…” kata Wiro. “Kita harus mencarinya sampai dapat!”

“Batu itu besarnya tak sampai seujung jari kelingkingku! Bagaimana mungkin kalian bisa menemukan?!” ujar makhluk raksasa.

“Bagimu sebesar ujung kuku jari. Bagiku dan kawan-kawan sebesar lengan!” jawab Wiro. Lalu cepat menyambung ucapannya. “Kuharap kau mau berbaik hati. Menurunkan kami bertiga di tempat tadi…”

“Kalau itu maumu wahai kutu cebol, silahkan saja… Tapi ingat sebentar lagi hari akan gelap. Siang akan berganti malam. Di sekitar sini banyak binatang buas. Kalian bertiga mungkin tidak akan disantap. Tapi kalau sempat terpijak, maka kalian akan mati percuma!”

“Kalau begitu aku minta kau berbaik hati sekali lagi. Turunkan kami ke tanah. Jika tidak dapat kau boleh mengambil kami kembali!” kata Wiro pula.

Makhluk raksasa membungkuk. Tangannya diulurkan dekat-dekat ke tanah yang ditumbuhi rumput. Jari-jarinya yang menggenggam dibuka. Ketiga orang itu menggelinding jatuh. Memang dengan keadaan tubuh mereka yang begitu kecil bukan satu bal yang mudah untuk mencari batu tujuh warna itu. Setelah mencari cukup lama termasuk meneliti ke dalam lubang-lubang bekas injakan kaki kuda, mereka tak berhasil menemukan. Sementara itu hari mulai gelap.

“Manusia-manusia cebol! Kalian bertiga akan terus mencari atau ikut bersamaku kembali?!” Makhluk raksasa bertanya. Suaranya yang keras membuat tiga orang yang berada di sela-sela rerumputan itu tersentak kaget dan terhenyak ke tanah.

“Kami memilih tetap di sini! Kami akan mencari batu itu sampai dapat!” jawab Setan Ngompol. Tentu saja suaranya tidak sampai ke telinga si makhluk raksasa.”

“Jangan berlaku tolol Setan Ngompol. Kita bisa mati kedinginan di tempat serba asing dan aneh ini!” kata Naga Kuning.

“Jangan bicara,” kata Wiro tiba-tiba. “Aku mendengar ada langkah-langkah berat mendatangi. Lekas sembunyi ke balik rumput!

Tak lama menunggu Wiro dan kawan-kawannya melihat satu sosok besar berwarna hijau berbenjol-benjol menyeruak di antara rerumputan. Sepasang kaki depan memiliki kuku-kuku hitam panjang menghunjam ke tanah. Satu mulut besar dengan lidah hijau ber-cabang dua terbuka mengerikan. Lalu sepasang mata merah bergerak liar kiah kemari.

“Kodok…” bisik Naga Kuning dengan suara bergetar. “Kodok raksasa…”

“Jangan bicara, jangan berani bergerak!” bisik Wiro.

Tapi terlambat. Katak raksasa hijau di depan mereka telah mengetahui kehadiran ketiganya di balik rerumputan. Binatang ini ulurkan kaki depannya lalu turunkan kepalanya ke bawah. Dengan satu gerakan luar biasa cepatnya mulut binatang ini menyambar.

Sesaat lagi Wiro dan dua kawannya akan menjadi lahapan kodok raksasa, tiba-tiba satu tangan menyambar dan membawanya tinggi-tinggi ke udara. Selamatlah ketiga orang ini dalam genggaman makhluk raksasa.

Wiro megap-megap sementara Naga Kuning tertelentang tak bisa berkata-kata. Sedang Si Setan Ngompol duduk menungging di atas telapak tangan makhluk raksasa, beser habis-habisan!

“Terima kasih, kau sudah menyelamatkan kami dari kodok raksasa itu…” kata Wiro megap-megap. Lalu sambungnya, “Kurasa kita bisa bersahabat…”

Makhluk raksasa tertawa bergumam. “Apa untungnya dengan kalian bersahabat! Paling-paling kalian bertiga hanya kujadikan barang mainan. Kalau bosan sudah dan tak berguna lagi kalian kulempar ke mana aku suka!”

“Kami makhluk tak berdaya mau berkata apa! Tapi siapa tahu diantara kita bisa saling tolong menolong! Kulihat kakimu seperti dipendam ke dalam batu. Lalu masih ada sebuah rantai besi. Di negeri kami jika seseorang diperlakukan seperti dirimu maka dia adalah seorang penjahat maha buas! Apa kau juga seorang penjahat besar di negeri ini?!”

“Makhluk cebol keparat! Kau tahu apa tentang diriku! Sekali lagi kau berani bilang penjahat besar aku ini, kulumat kalian bertiga!” Makhluk raksasa marah bukan kepalang.

“Sahabatku, jangan marah dulu!” kata Wiro. “Mengapa tidak kau ceritakan pada kami apa yang telah terjadi dengan dirimu? Kami bertiga berasal dari tanah Jawa. Kami tidak tahu dimana saat ini kami berada. Mengapa makhluk di sini semua besar-besar. Namaku Wiro Sableng. Anak ini bernama Naga Kuning. Kakek itu biasa dipanggil dengan sebutan Si Setan Ngompol!”

“Pantas dari tadi aku mencium bau pesing. Pasti kau sudah mengencingi tanganku berulang kali!” kata makhluk raksasa tapi raut wajahnya tidak menunjukkan kemarahan. ”Wahai tiga manusia cebol. Tak ada salahnya aku memperkenalkan diri. Aku Lakasipo. Aku adalah Kepala Negeri Latanahsilam. Diriku sampai berada dalam keadaan seperti ini tidak ada salahnya aku ceritakan pada kalian.”

********************

SEBELAS

Mendengar riwayat yang dituturkan Lakasipo Wiro dan kawan-kawannya jadi terdiam untuk beberapa lama. Namun begitu mereka ingat nasib mereka sendiri, ketiganya kembali menjadi gelisah.

“Sobatku Lakasipo…” akhirnya Wiro membuka mulut. “Kau sudah bisa mengira-ngira siapa yang mencelakaimu sampai jadi begini?”

“Siapa lagi kalau bukan Lahopeng si keparat itu! Tapi dia tidak bekerja sendirian. Pasti ada yang membantu. Kesaktiannya tidak sampai pada kemampuan untuk mencelakai diriku seperti ini.”

“Kau juga tahu siapa yang membantunya?” Naga Kuning ganti bertanya.

“Di Negeri Latanahsilam satu orang hanya yang mampu berbuat sejahat ini! Seorang dukun durjana dikenal dengan nama Hantu Santet Laknat! Aku bersumpah untuk membunuhnya!”

“Sahabat Lakasipo, melihat keadaan dirimu sudah berapa lamakau dipendam di tempat ini?” Setan Ngompol ikut bertanya. Sampai saat itu dia lebih banyak memejamkan mata. Takut pandangannya membentur ke bawah, membuatnya jadi gamang dan terkencing-kencing.

“Kalau aku tidak berhitung salah, mungkin sudah enam kali bulan purnama!”

“Lama sekali! Bagaimana kau bisa bertahan hidup…?” tanya Wiro pula.

Lakasipo menggoyangkan kepalanya ke arah kuda tunggangannya. “Kudaku yang setia itu. Dia yang mencarikan makanan untukku di hutan sekitar sini…”

“Kuda aneh. Kakinya saja enam…” kata Naga Kuning sambil goleng-goleng kepala.

“Selama enam bulan kau tidak berhasil meloloskan diri. Bagaimana mungkin kau akan membalas dendam?” tanya Wiro.

Lakasipo mengheja nafas dalam. “Jika ini memang pekerjaan si dukun laknat Hantu Santet, berarti aku terpaksa menunggu sampai dia menemui ajal. Begitu mati ilmunya akan leleh dan aku akan terbebas. Tapi berapa lama baru dia akan mampus? Orang di sini rata-rata hidup sampai sampai ratusan tahun. Hantu Santet kurasa baru berusia sembilan puluh tahun!”

Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol jadi saling pandang mendengar ucapan Lakasipo itu.

“Tapi setiap hari aku selalu berdoa memohon pertolongan para Dewa dan para Peri. Aku tidak putus asa. Disamping itu diam-diam aku berusaha meningkatkan tenaga dalamku dengan melakukan samadi berhari-hari. Satu ketika kelak aku bisa memutus rantai dan mencabut dua kakiku yang terpendam dalam batu celaka ini!”

Wiro terdiam sambil garuk-garuk kepala. Tidak sadar meluncur saja ucapannya. “Kalau saja keadaan tubuhku sebesar dirimu, mungkin aku bisa menolong membebaskan dirimu…”

Lakasipo tertawa bergelak hingga tiga orang yang ada di telapak tangannya itu terpental-pental keudara. “Ilmu kepandaian apa yang kau miliki manusia cebol! Yang harus kau pikirkan justru bagaimana kau bisa keluar dari alam ini! Kecuali kalau kalian bertiga memang sudah pasrah hidup seumur-umur di tempat ini!”

“Kami akan berusaha. Tapi kalau bisa kami ingin menolong dirimu lebih dulu…” kata Wiro pula.

“Aku tidak mengharapkan hal itu,” kata Lakasipo. “Malam datang sudah. Aku harus melakukan doa dan semedi pada para Peri dan para Dewa…”

“Kami akan berdoa dan memohon pada Tuhan Yang Masa Kuasa…”

“Tuhan…?” ujar Lakasipo. “Makhluk apa itu? Apa dia sesakti Peri dan Dewa?”

Wiro hendak tertawa bergelak. Tapi Setan Ngompol cepat membisiki. “Jangan kau bersilat lidah dengan dia soal yang satu ini. Kita berada di alam seribu dua ratus tahun silam. Lakasipo mana mengenal Tuhan!”

Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. “Lakasipo, kalau kau mau memberi izin kami bertiga akan mencoba. Harap kau menurunkan kami ke tanah, tepat di depan dan antara kedua kakimu!”

“Makhluk-makhluk cebol yang sombong!” kata Lakasipo.

Tapi dia menurut juga. Perlahan-lahan dia turunkan tangan kanannya ke tanah. Begitu tangan dimiringkan maka menggelindinglah sosok Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol ketanah. Lakasipo letakkan kepalanya di tanah.

“Apa yang hendak kalian lakukan sobat-sobatku kutu boncel?”

Wiro angkat tangan kanannya yang memegang kapak sakti. “Pertama akan kucoba memutus rantai besar itu dengan senjata ini. Mungkin butuh lebih dari sepuluh bacokan untuk memutusnya!”

“Hemmm, aku tidak mau merendahkan seorang sahabat. Aku berterima kasih ada yang coba mau menolong! Lakukanlah!” Lakasipo angkat kepalanya. Dia duduk dengan kaki terkembang.

Pendekar 212 kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kapak Maut Naga Geni 212 mengeluarkan cahaya panas menyilaukan. Di mata Lakasipo cahaya itu tidak lebih darisatu percikan api kecil jauh di tengah lautan atau padang pasir. Wiro berteriak keras. Kapak Naga Geni 212 dihantamkan ke pertengahan rantai besi yang menggeletak di tanah antara dua kaki Lakasipo.

“Traanggg!” Bunga api memercik.

Wiro terpekik. Tubuhnya terpental sampai tiga tombak. Kapak Naga Geni 212 lepas dari pegangannya. Mukanya seputih kertas.

“Wahai sobatku! Apa kataku. Kau tidak berhasil!” berucap Lakasipo.

Pendekar 212 merasa sangat malu. Cepat-cepat dia ambil kapaknya kembali. Ketika dia memandang ke arah rantai, pemuda ini jadi kaget. “Lihat, hantaman kapak telah meretakkan satu mata rantai!”

“Wahai sobatku, jangan terlalu gembira. Sebelum kau bisa memutus salah satu mata rantai, senjatamu itu mungkin sudah hancur dan tanganmu sudah tanggal dari persendian! Jangan keliwat memaksa. Biar para Dewa dan para Peri yang menolongku!”

“Aku belum menyerah!” kata Wiro seraya simpan Kapak Maut Naga Geni 212 di balik pinggang pakaiannya.

“Apalagi yang hendak kau lakukan Wiro?” tanya Setan Ngompol.

Wiro tak menjawab. Dia tegak dengan kaki terkembang di depan rantai besi. Mulutnya tertutup rapat. Sepasang matanya menatap tepat-tepat ke arah rantai besi besar. Tiba-tiba dari mulutnya keluar satu teriakan keras. “Sepasang Pedang Dewa!”

Saat itu juga dari dua mata Pendekar 212 melesat keluar dua larik sinar hijau menyilaukan. Sinar hijau ini laksana sepasang pedang panjang yang sangat tajam, bergabung menjadi satu lalu dengan kecepatan yang sulit dilihat mata membabat ke pertengahan rantai besi besar yang tergeletak di tanah.

Bagi Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol kilauan sinar hijau itu merupakan satu hal yang luar biasa. Tapi di mata Lakasipo yang keadaan, tubuhnya seperti raksasa dibanding ketiga orang itu, kilauan cahaya sakti yang disebut Sepasang Pedang Dewa itu tidak lebih dari percikan sinar sepanjang jari telunjuknya!

Padahal ilmu kesaktian itu adalah ilmu sangat langka yang didapat Pendekar 212 Wiro Sableng dari Datuk Rao Basaluang Ameh makhluk setengah roh setengah manusia. Ilmu kesaktian ini dalam waktu 360 hari hanya bisa dikeluar dan dipergunakan sebanyak dua kali.

Satu letupan keras berkumandang begitu gabungan dua sinar hijau menghantam rantai besi. Tanah di antara dua kaki Lakasipo terbongkar. Rantai besi mengeluarkan suara berdentrangan dan terangkat ke tanah lalu jatuh kembali ke tanah.

Wiro sendiri terhuyung mundur empat langkah lalu jatuh duduk di tanah. Dua larik sinar hijau yang keluar dari matanya lenyap. Di depan sana rantai besi tidak berubah walau tadi sempat terbungkus sinar hijau seolah dilamun api.

Lakasipo menunduk lalu angkat rantai besi dengan tangan kirinya. “Wahai sobatku Wiro. Paling sedikit kau harus menghantam lima kali dengan ilmu kesaktianmu tadi. Baru rantai ini bisa putus!”

Wiro tak berkata apa-apa. Sambil garuk-garuk kepala dia bangkit berdiri dan melangkah mendekati Naga Kuning. “Mungkin dengan ilmu gaib Naga Kuning yang mendekam di dadamu kau bisa menolong Lakasipo,” katanya.

Tapi Naga Kuning gelengkan kepala. “Aku mau mencoba. Kalau gagal kemana kubuang rasa maluku! Kita berhadapan dengan ilmu kesaktian aneh beberapa tingkat lebih tinggi dari ilmu yang kita miliki, Wiro. Ingat kata-kata Hantu Tangan Empat mengenai ilmu memindahkan suara? Ilmu yang dimilikinya empat tingkat lebih tinggi dari yang diketahui orang di tanah Jawa…”

Murid Sirito Gendeng kembali garuk-garuk kepala. “Aku mau mencoba satu kali lagi!” katanya kemudian.

Wiro angkat tangan kanannya. Diusapnya beberapa kali. Ketika dia hendak meniup, niatnya dibatalkan. Dia merenung sejenak. Lalu memusatkan alam pikiran pada satu titik gaib yang seolah ada di antara kedua matanya. Mulutnya berucap.

“Datuk Rao Bamato Hijau sahabat dan pelindungku! Dengan Kuasa Tuhan Seru Sekalian Alam aku mohon bantuanmu! Datanglah padaku!”

Baru saja Wiro selesai berucap tiba-tiba terdengar suara menggereng disusul auman dahsyat. Setan Ngompol langsung terkencing sedang Naga Kuning bersurut dua langkah. Sesaat kemudian satu sosok harimau berbulu putih dengan sepasang mata memancarkan sinar hijau muncul di tempat itu.

“Seekor kutu berbentuk harimau, apa yang bisa dilakukannya!” kata Lakasipo dalam hati sambil geleng-geleng kepala ketika melihat kemunculan harimau yang dikenal dengan panggilan Datuk Rao Bamato Hijau itu.

Namun apa yang terjadi kemudian membuat Lakasipo tersentak kaget hampir terloncat dari duduknya, didahului auman dahsyat yang menggelegar sosok harimau yang tadinya kecil itu perlahan-lahan berubah besar. Makin besar, bertambah besar dan akhirnya sampai sebesar sosok Lakasipo. Membuat orang ini bergidik ngeri.

Wiro sendiri melompat ke balik sebuah batu. Setan Ngompol sudah lebih dulu lari terkencing-kencing sementara Naga Kuning sembunyi di balik sebatang pohon besar. Datuk Rao Bamato Hijau merangkah berputar-putar mengelilingi Lakasipo. Mulutnya tiada henti mengeluarkan auman. Ekornya melesat kian kemari. Tiba-tiba binatang jejadian ini merunduk. Moncongnya menyambar ke arah rantai besi besar yang tergeletak di tanah.

“Kraaakkk!”

Rantai besi putus dihantam gigitan Datuk Rao Bamato Hijau. Binatang ini mengaum keras. Lakasipo berteriak gembira. Namun dia masih belum bebas. Dua kakinya masih berada dalam batu yang terpendam di tanah. Datuk Rao Bamato Hijau kembali mengelilingi Lakasipo. Lalu seperti tadi dia membuat gerakan mendadak. Kalau tadi mulutnya yang bekerja kini dua kaki depannya dengan cepat menggaruk tanah sekitar dua kakiLakasipo yang terpendam.

Beberapa saat kemudian dua lubang besar kelihatan di tanah. Dua batu dimana sepasang kaki Lakasipo terpendam ternyata berbentuk bulat seperti bola. Sambil mengaum keras dengan garang Datuk Rao Bamato Hijau mencengkeram dan menggerogot bola batu di kaki kanan Lakasipo.

“Kraaakkk Kraakkk Kraaakkk!” Terdengar suara berderakan berulang kali. Namun batu besar itu tidak gugus, retak atau pecah!

Harimau putih mengaum keras lalu mundur beberapa langkah. Makhluk jejadian ini melompati batu sebelah kiri. Kembali terdengar suara berderak-derak ketika Datuk Rao Bamato Hijau coba menghancurkan batu dengan gigi dan cakaran kukunya. Namun seperti batu pertama, batu yang satu ini juga kukuh atos tak mampu diapa-apakan. Datuk Rao menggereng panjang. Dari sela-sela giginya kelihatan lelehan darah.

“Datuk Rao…” seru Wiro.

Harimau berbulu putih itu gelengkan kepalanya. Seolah mau mengatakan bahwa dia tidak mampu membebaskan sepasang kaki Lakasipo yang dipendam dalam bola batu yang oleh sosok jejadian Luhrinjani disebut sebagai Bola-Bola Iblis! Datuk Rao Bamato Hijau mendongak ke langit lalu mengaum panjang. Perlahan-lahan tubuhnya mengecil kembali. Wiro segera melompat mendekati Datuk Rao Bamato Hijau. Tangan kiri mengusap kuduk binatang itu tangan kanan menyeka lelehan darah.

”Datuk Rao Bamato Hijau sahabatku. Aku tidak berkecil hati dan jangan kau kecewa. Kau telah berusaha keras hingga mengeluarkan darah dari mulutmu. Walau kau tidak dapat menghancurkan batu itu tapi kau telah menolong Lakasipo dari pendaman yang membuatnya menderita selama puluhan hari. Aku berterima kasih. Lakasipo juga pasti sangat berterima kasih…”

Datuk Rao Bamato Hijau kedip-kedipkan matanya seolah mengerti apa yang diucapkan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tiba-tiba satu tangan besar menyambar sosok Datuk Rao Bamato Hijau. Lakasipo mengangkat binatang ini ke atas, didekatkan ke mukanya.

“Makhluk kecil berbentuk harimau putih! Aku Lakasipo berterima kasih atas pertolonganmu! Para Dewa dan Peri akan membalas jasa dan budi baikmu…”

Di atas telapak tangan Lakasipo Datuk Rao Bamato Hijau mengaum keras. Lalu sosoknya berubah menjadi kabut yang kemudian sirna dari pemandangan mata Lakasipo.

“Makhluk luar biasa…” desis Lakasipo. Dia ingat pada Wiro dan dua temannya. Dengan cepat Lakasipo membungkuk mengambil ketiganya. “Kalian bertiga, terutama kau wahai Wiro Sableng telah menolongku! Aku sangat berterima kasih! Hari ini mulai, aku mengangkat sumpah bahwa kalian bertiga adalah saudara satu darahku!”

“Terima kasih kau mau berbaik hati mengangkat kami jadi saudara-saudaramu!” kata Wiro. “Mudah-mudahan saja kau tidak malu punya tiga saudara kutu cebol begini!”

“Ya,” menyahuti Naga Kuning. Dia menudingkan ibu jari tangan kanannya pada Setan Ngompol. “Apalagi saudaramu yang satu ini. Sudah kakek peot, eh tukang ngompol bau pesing lagi!”

“Bocah sialan! Jaga mulutmu! Rasakan ini!” Setan Ngompol memaki marah lalu mengerukkan tangannya ke bawah perut. Tangan yang basah dengan air kencing ini kemudian dipoleskannyake hidung dan mulut Naga Kuning hingga bocah ini meludah-ludah dan ganti memaki panjang pendek!

Lakasipo buka mulutnya lebar-lebar hendak tertawa bergelak mendengar ucapan Naga Kuning itu. Tapi Wiro cepat berteriak.

“Jangan tertawa! Kami bertiga bisa mental ke udara! Jatuh ke tanah!”

Lakasipo segera tekap mulutnya dengan tangan kiri lalu berkata. “Sahabat Wiro, sebelumnya aku telah berulang kali mengejek dan menghinamu dan dua kawanmu. Ternyata kau seorang sakti berkepandaian tinggi. Ilmu memelihara dan memanggil harimau sakti seperti yang kau miliki itu benar-benar luar biasa. Kau dan kawan-kawanmu ini siapakah sebenarnya…?”

Wiro garuk-garuk kepala. “Soal diriku tidak usah dibicarakan dulu. Yang penting saat ini adalah urusan dirimu sendiri. Tadi kau saksikan sendiri Lakasipo. Harimau putih itu tidak sanggup menghancurkan bola-bola batu yang membungkus dua kakimu. Menurut aku yang tolol, bisa saja dua bola batu itu kini menjadi sepasang senjata maut yang hebat! Jangankan manusia. Gunung pun bisa kau hancurkan!”

Lakasipo ternganga mendengar kata-kata Wiro itu. Untuk beberapa saat dia pandangi wajah Wiro yang besarnya seujung kuku. Perlahan-lahan Lakasipo memandang ke bawah memperhatikan dua kakinya.

“Kau mungkin benar wahai Wiro saudaraku. Dengan pertolongan para Dewa dan para Peri, dua kakiku ini bisa menjadi senjata ampuh. Aku teringat pada ucapan seseorang. Bola-Bola Iblis…” desis Lakasipo begitu dia ingat akan ucapan sosok gaib Luhrinjani satu malam puluhan hari lalu di kaki Bukit Latinggihijau.

Sekujur tubuhnya bergetar. “Wahai para Dewa dan Peri, aku mohon pertolonganmu! Jadikan sepasang kakiku benar-benar sebagai Bola-Bola Iblis untuk menghancurkan manusia-manusia yang telah memperlakukan diriku secara jahat dan sewenang-wenang! Jadikan dua kakiku sebagai dua senjata sakti agar aku dapat membalaskan sakit hati kesumat dendam atas kematian Luhrinjani!”

Sekujur tubuh Lakasipo kembali bergetar. Di atas telapak tangannya Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol terhuyung-huyung kian kemari untuk cari selamat agar tidak jatuh ke bawah ketiganya segera baringkan diri di atas telapak tangan Lakasipo.

Selama 180 hari lebih sepasang kaki Lakasipo telah dipendam dalam batu. Selama itu pula dia tidak pernah berjalan melangkahkan kaki. Kini kakinya bebas, tapi masih terpendam dalam dua bola batu. Sanggupkah dia menggerakkan kakinya dan berjalan. Lakasipo sesaat merasa cemas. Dengan menabahkan hati disertai pengerahan tenaga, dia angkat kaki kanannya keluar dari lubang di tanah.

Terasa sangat berat. Dia kerahkan lagi tenaga lebih besar. Keringat memercik di muka dan tengkuknya. Otot-ototnya melembung bergetar. Perlahan-lahan bola-bola batu itu bergerak sedikit. Lakasipo genggamkan lima jari tangan kanannya lalu berteriak keras.

“Dukkk!” Batu besar yang membungkus kakikanan Lakasipo keluar dari lubang dan menghunjam di tanah. Tanah bergetar hebat. Pohon-pohon bergoyangan. Untuk ke dua kalinya Lakasipo berteriak sambil mengerahkan tenaga.

“Dukkkk!” Seperti kaki kanan tadi kaki kiri juga mampu dikeluarkannya dari dalam lubang. “Dukkkk... dukkk… dukk… dukkk!” Setiap langkah yang dibuatnya menimbulkan suara keras serta getaran ditanah.

“Bunyi apa itu?!” seru Setan Ngompol dalam genggaman Lakasipo.

“Rasanya kita seperti melayang-layang!” ujar Naga Kuning pula.

Lakasipo buka genggaman tangan kanannya. “Wahai kalian bertiga… Ada tugas besar yang harus aku laksanakan. Aku akan mencari manusia-manusia yang telah membuat diriku celaka! Kalian, bertiga tidak akan kutinggal. Akan kubawa kemana aku pergi!”

Di pinggang Lakasipo ada sebuah ikat pinggang kulit. Pada bagian sebelah kanan terdapat sebuah kocek terbuat dari jerami kering yang dianyam. Lakasipo membuka penutup kocek lalu memasukkan Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol kedalam kocek!

“Hai! Kau masukkan kemana kami ini?!” teriak Naga Kuning. “Gelap sekali di sini!”

“Aku tak bisa bernafas!” seru Setan Ngompol. “Aduh! Mau kencing rasanya!”

“Awas! Jangan kau berani beser di tempat ini!” teriak Wiro.

“Duukkk… duukkkk... dukkk… dukkkk!”

Lakasipo kerahkan tenaga luar dan tenaga dalamnya. Ketiga orang itu tergoncang-goncang ketika Lakasipo melangkah cepat mendekati kuda tunggangannya. Dua buah batu berbentuk bola besar yang membungkus sepasang kaki Lakasipo sampai ke pangkal betis beratnya bukan kepalang. Apalagi ditambah dengan potongan besi yang masih mencantel.

Namun karena memiliki ilmu dan tenaga dalam tinggi dan didorong oleh dendam kesumat hendak membalaskan sakit hati maka walau diberati benda-benda itu dia mampu melangkah. Namun baru berjalan beberapa langkah ke arah kudanya yang menunggu sekonyong-konyong dari tempat gelap muncul tiga sosok yang segera menghadang jalan Lakasipo.

“Lakasipo! Manusia durjana! Di cari-cari akhirnya kau kami temui juga! Telah kau membunuh Luhrinjani keponakanku! Nyawa busukmu jadi tebusan! Roh jahatmu akan tergantung antara langit dan bumi!” Orang paling depan membentak.

Kawan disebelahnya berucap kaget. “Lihat! Bagaimana bangsat jahat ini bisa lepas dari pendaman batu iblis?!”

“Ada batu berbentuk bola dan rantai putus mengganduli dua kakinya!” Orang ke tiga ikut bicara.

“Wahai tiga orang penghadang di malam hari! Lantai terjungkal tidak kucari. Segala fitnah tidak kusenangi! Izinkan aku memberi keterangan terlebih dulu!”

Di dalam kocek jerami kering, Wiro dan dua kawannya mendengar jelas bentakan-bentakan itu. Dengan susah payah mereka menggeser penutup kocek lalu mengintai.

“Celaka, naga-naganya akan terjadi perkelahian hebat!” kata Naga Kuning. “Kalau sampai tendangan atau senjata lawan mengenai kocek ini, kita bisa medel semua!”

“Kalau begitu biar aku ke luar saja dan merosot lewat kaki celana Lakasipo!” kata Setan Ngompol.

“Mati hidup kita tetap dalam kocek ini! Berada di luar mungkin lebih besar bahayanya!” kata Wiro lalu menarik daun telinga lebar Setan Ngompol.

********************

DUA BELAS

Lelaki di sebelah depan yang mengenakan destar tinggi warna hitam terbuat dari sejenis kulit kayu meludah ke tanah.

“Dasar manusia anjing! Setelah membunuh keponakanku kau masih bisa berkata tidak mencari lantai terjungkat! Menuduh kami memfitnah! Jahanam!”

“Wahai Lasalut, Pamanda, Luhrinjani istri yang kucintai! Perihnya hati dan jiwa akibat kematian istri masih terobat belum! Bagaimana tega-teganya kau menuduhku membunuh Luhrinjani?!” ujar Lakasipo dengan sikap tetap tenang walau telinganya panas mendengar ucapan orang.

“Iblis jahanam! Jangan kau berani bermanis mulut! Aku punya, saksi yang melihat kau membunuh Luhrinjani keponakanku! Mayatnya kau lemparkan ke dalam jurang di sisi Bukit Batu Kawin!”

“Kau boleh punya seribu saksi Lasalut Pamanda, tapi aku punya saksi para Peri dan Dewa!”

“Kurang ajar! Berani-beraninya kau membawa-bawa nama Dewa dan Peri!” bentak orang bernama Lasalut.

“Aku berani karena aku tidak membunuh Luhrinjani. Dia bunuh diri menjatuhkan badan ke dalam jurang! Itu bukti penyesalan diri karena berlaku khianat. Mau mengawini Lahopeng yang menjadi pangkal bencana!”

“Pandainya dia memutar balik kenyataan!” kata lelaki di samping kanan Lasalut yang kira-kira seusia dengan Lakasipo. Dia adalah Laberang, saudara sepupu Luhrinjani.

“Lahopeng sendiri yang menyaksikan kau melempar tubuh saudara sepupuku itu ke dalam jurang!”

“Laberang, aku tahu sejak lama kau benci padaku! Jangan kesempatan ini kau pergunakan untuk mengarang cerita membela Lahopeng!”

“Lakasipo! Ketahuilah bahwa Lahopeng kini telah menjadi Kepala Negeri Latanahsilam! Seorang Kepala Negeri tidak akan berdusta!Karena dia telah disumpah oleh para Dewa dan para Peri untuk berkata benar!”

Lakasipo menyeringai. “Kebenaran seseorang tidak dinilai dari jabatan yang dimilikinya! Apalagi Lahopeng menduduki jabatan Kepala Negeri secara curang! Kuharap bertiga kalian menyingkir dari hadapanku!”

“Laberang dan Lakasat! Mengapa kalian tidak segera berebut pahala menghabisi manusia jahanam ini?!” seru Lasalut.

Mendengar kata-kata paman Luhrinjani itu, dua orang muda Laberang dan Lakasat segera menghunus parang besi. Keduanya langsung menyerbu Lakasipo. Di antara kedua serangan itu secara licik Lasalut hantamkan tangan kanannya. Sebuah benda bulat berpijar melesat ke arah kepala Lakasipo!

Lakasipo tidak gentar menghadapi sambaran dua parang besi. Yang dikhawatirkannya justru benda bersinar yang dilemparkan Lasalut ke arahnya. Dengan cepat Lakasipo jatuhkan diri ke tanah. Dalam keadaan miring, sementara tangan kiri bersitahan ke tanah, kaki kanan Lakasipo tiba-tiba melesat ke atas. Bola batu dan rantai besi berputar menderu berkerontangan.

“Traanggg! Traaangg!”

Dua parang besi terlepas dari tangan para penyerang. Hancur patah menjadi beberapa bagian dan mental ke udara. Lakasat dan Laberang berseru kaget lalu cepatmelompat mundur dengan muka pucat. Lasalut menggereng geram ketika benda yang dilemparkannya berhasil dielakkan Lakasipo. Sekali lagi dia melemparkan benda serupa. Kali ini dua kali sekaligus. Begitu melempar dia melesat sambil kirimkan satu pukulan tangan kosong yang ganas.

Saat itu Lakasipo baru saja berusaha bangkit. Melihat dua benda bercahaya kembali menyambar ke arahnya dengan kertakkan geraham lelaki ini menyongsong serangan lawan dengan bola batu yang membungkus kaki kanannya.

“Bummm!”

Satu letusan keras menggelegar begitu kaki batu Lakasipo menghantam hancur benda bercahaya paling depan. Kakinya bergetar hebat dan terasa panas sampai ke pangkal paha! Di dalam kocek di pinggang Lakasipo Setan Ngompol tak dapat lagi menahan pancaran kencingnya Wiro dan Naga Kuning mengomel panjang pendek.

Benda bercahaya ke dua datang menyambar bersamaan dengan angin pukulan tangan kosong Lasalut. Menyadari bola-bola batu yang membungkus kakinya dapat diandalkan sebagai senjata ampuh, untuk ke dua kalinya Lakasipo tendangkan kakinya menyambut serangan.

Untuk ke dua kalinya pula benda bercahaya itu hancur mengeluarkan letusan keras. Lakasipo merasakan anggota tubuhnya sebelah kanan seperti bertanggalan. Selagi dia jatuhkan diri menahan sakit datanglah hantaman pukulan tangan kosong Lasalut.

Lakasipo menjerit keras ketika pukulan sakti itu menghantam telak di dadanya. Lelaki ini terbanting ke tanah sambil muntahkah darah segar! Merasa dia bakalan dapat mengalahkan lawannya Lasalut segera melompat untuk menghabisi riwayat orang yang dianggapnya sebagai pembunuh keponakannya itu. Namun malang bagi dirinya. Selagi tubuhnya masih melayang di udara, Lakasipo telah melompat dan menyergap dengan tendangan kaki kiri.

“Kraakkk!”

Lasalut menjerit keras. Tulang pinggulnya hancur. Tubuhnya mencelat sampai tiga tombak. Untuk beberapa lama dia menggeliat-geliat di tanah lalu merangkak mendekati Lakasipo. Mukanya seperti setan. Dari mulutnya keluar buih berwarna kehijauan, Mukanya tiba-tiba berubah menjadi muka seekor ular kepala hijau. Perlahan-lahan tubuhnya ikut berubah menjadi tubuh ular.

“Hantu Ular Siluman!” teriak Lakasipo tegang.

Dia memang pernah mendengar kalau paman Luhrinjani ini memiliki semacam ilmu yang bisa merubah dirinya menjadi ular besar berwarna hijau. Namun baru sekali ini dia menyaksikan sendiri.

Di hadapan Lakasipo ular hijau bergerak secara aneh. Binatang initidak melata di tanah melainkan, tegak lurus di atas ekornya yang laksana besi dipancang. Didahului desisan keras dan semburan racun berwarna hijau, sosok Lasalut yang telah jadi ular itu melesat ke depan. Kepala mematuk ke arah leher sedang bagian tubuh berusaha menggelung sementara ujung ekor tetap tegak di tanah dan mampu bergerak cepat kian kemari.

Wiro, Setan, Ngompol dan Naga Kuning yang berada dalam kocek jerami dan menyaksikan apa yang terjadi menjadi sangat ketakutan. Kalau sampai hantaman ular jejadian itu mengenai kocek maka tamatlah riwayat mereka bertiga!

Sambil menyingkir hindari seranganLakasipo berseru. “Wahai Pamanda Lasalut! Aku Lakasipo yang muda bersedia menyudahi perkelahian ini. Asalkan kau mau menghentikan serangan!”

Tapi Lasalut yang telah jadi ular hijau besar itu tidak perduli ucapan orang. Patukannya menyambar ganas. Untung Lakasipo masih bisa mengelak hingga serangan Lasalut lewat setengah jengkal dari leher kiri yang diincar! Sebelum lawan menyerang kembali Lakasipo melompat menjauh seraya berseru,

“Wahai Pamanda Lasalut, aku tidak ingin berkelahi denganmu! Biar semua sengketa habis sampai di sini. Izinkan aku pergi dengan tenang!”

Dengan mengambil sikap mengalah Lakasipo balikkan tubuh lalu melangkah pergi. Di atas kepala ular menggeledek teriakan kemarahan. Dari mulut ular itu sendiri menyembur cahaya hijau. Lalu...

“Wuuuut!” Binatang jejadian itu melesat ke depan, mematuk Lakasipo yang sedang membelakangi, tepat di punggung kirinya! Lakasipo menjerit keras. Tubuhnya tersungkur ke tanah.

“Mati kita semua!” jerit Wiro di dalam kocek jerami. Masih untuk pinggang Lakasipo di bagian mana kocek tergantung tidak menghunjam tanah. Terhuyung-huyung Lakasipo bangkit berdiri.

Di atas kepala ular hijau ada suara tawa bergelak. Suara tawa Lasalut. “Lakasipo manusia pembunuh istri! Dendamku terbalas sudah! Patukanku mengenai tubuhmu! Kehidupan hanya tinggal tujuh hari dalam jazad kotormu! Ha ha ha…!”

Tubuh Lasalut yang berbentuk. ular besar hijau perlahan-lahan berubah menjadi sosok manusia kembali. Mulai dari kepalanya.

“Pamanda Lasalut… Aku tak ingin menurunkan jahat tangan padamu! Tapi kau telah berlaku curang dan jahat! Saat ini biar aku memilih mati bersama! Para Dewa dan para Peri akan menghukummu! Karena aku tahu dimana kelemahan ilmu Hantu Ular Siluman yang kau miliki!”

Muka Lasalut sampai ke leher yang telah berubah kembali pada bentuk aslinya menyeringai. Malah orang ini keluarkan tawa bergelak. Melihat sikap orang seperti itu Lakasipo tidak sungkan-sungkan lagi. Didahului teriakan keras dia menyergap ke depan. Bola batu kaki kanannya berkelebat ke arah ekor ular hijau yang tegak lurus ditanah. Ekor! Di sinilah letak kelemahan ilmu Hantu Ular Siluman yang diandalkan Lasalut.

Lasalut terkejut besar. Dalam keadaan merubah diri seperti itu dia tidak bisa bergerak cepat. “Lakasipo! Jangan!” teriak Lasalut.

“Wuuttt! Praakkk!”

Tubuh Lasalut yang masih dalam perubahan hancur di sebelah bawah. Lolongan Lasalut setinggi langit. Tubuhnya terlempar tiga tombak. Begitu terbanting di tanah sekujur tubuhnya yang sebelumnya masih berbentuk ular hijau kini telah berubah menjadi sosok manusia kembali namun sepasang kakinya sebatas lutut kebawah kelihatan dalam keadaan hancur.

Dagingnya lumat dan tulang-tulangnya hanya tinggal serpihan-serpihan mengerikan. Sesaat Lasalut masih menggeliat-geliat. Sepuluh jari tangannya mencakar-cakar tanah. Orang ini meraung keras lalu tak berkutik lagi. Entah pingsan entah tewas!

Laberang dan Lakasat ketakutan setengah mati melihat apa yang terjadi. Tidak menunggu lebih lama keduanya segera menghambur kabur. Namun Lakasipo lebih dulu melesat memotong jalan sambil kaki kirinya menendang.

“Praaakkk!”

Korban ke dua jatuh. Laberang terlempar dan melingkar di tanah dengan kepala pecah. Hancuran kepala dan darahnya muncrat ke arah Lakasat. Pemuda ini menjerit ngeri setengah mati. Suara jeritannya lenyap begitu sepuluh jari tangan Lakasipo tahu-tahu telah mencekiknya. Dengan lidah terjulur dan mata mendelik Lakasat meratap.

“Laka… Lakasipo… Jangan… jangan bunuh diriku. Aku… aku tidak ada perselisihan denganmu. Ampuni diriku…”

Lakasipo meludah ke tanah. Mukanya mengerenyit karena tiba-tiba ada rasa sakit mencucuk di punggungnya yang terkena patukan Hantu Ular Siluman.

“Sekarang meratap kau wahai Lakasat! Tadi bicaramu segarang anjing! Tapi aku Lakasipo mau saja mengampuni dirimu! Pergi ke Negeri Latanahsilam. Temui Lahopeng! Katakan padanya besok nyawanya akan melayang! Aku akan membunuhnya!”

Lakasipo bantingkan Lakasat ke tanah. Orang ini merintih kesakitan. Bangkit berdiri lalu lari sekencang yang bisa dilakukannya. Di dalam kocek jerami di pinggang Lakasipo Wiro jatuhkan diri di lantai kocek. Mukanya yang pucat berdarah kembali. Dia memandang pada Naga Kuning dan Setan Ngompol yang terkapar tak bergerak dengan mata melotot.

“Bagaimana…?” tanya Naga Kuning” tersendat.

“Lakasipo membunuh orang bernama Lasalut dan Laberang…”

“Jadi sudah aman sekarang?” tanya Setan Ngompol sambil pegangi kolornya yang basah oleh air kencing.

“Belum… Lakasipo masih akan mencari musuh besarnya. Dia mau membunuh Lahopeng!” jawab Wiro menerangkan.

“Lalu bagaimana dengan kita?” tanya Naga Kuning.

“Jangan terlalu mengharap. Kita sendiri akan berada dalam bahaya berkepanjangan. Mungkin kita harus menunggu sampai Lakasipo menghabisi Lahopeng. Kalau dia menang! Kita tetap harus mencari jalan kembali ke dunia kita! Tanah Jawa! Sekarang hari sudah gelap. Malam akan segera tiba. Aku tidak dapat membayangkan ngerinya malam di negeri aneh ini! Tapi kalau siang datang, aku minta Lakasipo mengantarkan kita ke kawasan berumput itu. Kita harus dapatkan Batu Pembalik Waktu itu kembali!”

Murid Sinto Gendeng sandarkan badannya ke dinding kocek. “Sialnya nasib kita ini…” katanya sambil garuk-garuk kepala.

“Kita berdua tidak sial! Yang membawa sial adalah kakek tukang ngompol bau pesing ini!” kata Naga Kuning pula.

“Jangan kau berani bicara seenaknya! Jaga mulutmu kalau tidak mau kusumpal dengan kolorku!” bentak Setan Ngompol. Dua matanya yang lebar tampak bertambah lebar. “Kau yang membuat sialan kita semua! Kita kesasar ke tempat ini tepat pada saat kau memegang batu tujuh warna itu! Kau yang sialan bocah jelek!”

Naga Kuning berdiri dan hendak balik mendamprat. Tapi saat itu mereka merasakan seperti melayang di udara. Lalu ada suara menggemuruh.

“Apa yang terjadi?!” seru Setan Ngompol sambil berusaha menahan kencingnya. Naga Kuning coba mengintai. Sesaat kemudian dia memberi tahu. “Lakasipo berada di atas kuda kaki enamnya!”

“Berarti kita tengah menuju Negeri Latanahsilam!” ujar Wiro pula.

********************

TIGA BELAS

Kuda berkaki enam itu lari menggemuruh cepat sekali. Menjelang pagi Lakasipo berharap dia sudah sampai di Latanahsilam. Di dalam kocek jerami Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol bergelung tergoncang-goncang. Karena keletihan ketiga orang itu akhirnya tertidur pulas. Pagi hari begitu sinar sang surya menembus dinding kocek yang terbuat dari jerami ketiganya terbangun. Lakasipo masih terus memacu kudanya.

Wiro dan Naga Kuning mendorong penutup kocek ke atas lalu menjengukkan kepala. Begitu memandang ke luar keduanya langsung jatuh terduduk. Bukan saja karena gamang tapi juga ngeri. Mereka melihat pohon-pohon raksasa seperti terbang bergerak cepat ke arah berlawanan dari lari kuda kaki enam yang ditunggangi Lakasipo. Di satu lereng bukit Lakasipo perlambat lari kudanya. Wiro dan Naga Kuning kembali beranikan diri mengintai. Jauh di bawah sana mereka melihat, sebuah lembah lalu satu kawasan pemukiman yang cukup luas.

“Mungkin itu Latanahsilam, tujuan Lakasipo…” kata Wiro.

Ketika Lakasipo sampai di kaki bukit, dari kawasan pemukiman terdengar suara kentongan bertalu-talu. Suara kentongan di kejauhan ini bagi Wiro dan Naga Kuning serta Setan Ngompol seolah menggema dekat liang telinganya.

“Orang sudah tahu kedatangan Lakasipo. Musuhnya yang bernama Lahopeng itu pasti sudah mempersiapkan sambutan! Kita bakal diancam bahaya lagi!” berkata Wiro.

“Bagaimana kalau kita beritahu Lakasipo agar menurunkan kita di sini,” ujar Setan Ngompol. Lalu dia memukul-mukul dinding kocek jerami dengan tangan kanannya.

Wiro dan Naga Kuning diam saja karena bagi mereka berada di luar, di alam yang serba asing belum tentu lebih aman dari pada terus berada dalam kocek jerami itu. Di satu tempat Lakasipo melihat binatang tunggangannya menggerak-gerakkan kedua telinganya. Lelaki ini segera elus rambut tebal di kuduk si kuda.

Sepasang telinganya dipasang sedang dua matanya memperhatikan keadaan sekitarnya dengan tajam. Sebelumnya Lakasipo telah melepaskan Lakasat dan menyuruhpemuda itu memberi tahu Lahopeng akan kedatangannya. Saat ini Lahopeng pasti sudah menerima berita itu. Dan tentu saja sudah dapat dipastikan dia tidak akan berdiam diri.

Ada suara bergemerisik. Dari balik rumpun besar deretan pohon-pohon bambu yang dimata Wiro dan kawan-kawannya seolah tinggi menjulang langit sekonyong-konyong muncul enam orang lelaki bertelanjang dada, bersenjatakan parang terbuat dari besi bengkok. Tiga dari samping kiri, tiga lagi dari samping kanan. Yang membuat kaget dan ngeri Wiro, Naga Kuning serta Setan Ngompol bukan tampang atau keadaan keenam orang itu, melainkan binatang-binatang yang jadi tunggangan mereka. Setiap langkah yang dibuat binatang ini menggetarkan tanah.

“Kadal raksasa…” desis Wiro dengan suara bergetar.

“Betul…” menyahuti Naga Kuning. “Benar-benar negeri gila! Bagaimana ada kadal sebesar ini, jinak dan bisa ditunggangi!”

“Mulut, mata, gigi dan lidahnya mengerikan sekali!” Setan Ngompol masih berusaha melihat lebih lama. Tapi tidak tahan. Dia meluncur turun ke dalam kocek sambil terkencing.

Enam penunggang kadal raksasa segera bertebar membentuk setengah lingkaran, mengurung Lakasipo. Lakasipo kenal orang-orang itu. Mereka adalah penduduk Negeri Latanahsilam dan diketahuinya adalah teman-teman dekat Lahopeng. Lakasipo sampai di hadapan enam penunggang kadal. Dia segera hentikan kudanya.

“Wahai enam kerabat penunggang kadal coklat! Gerangan apa sengaja maka kalian menghadang jalanku!” Lakasipo menegur.

“Kami mendapat tugas untuk berjaga-jaga di tempat ini!” jawab salah seorang dari enam. penunggang kadal besar.

“Pekerjaan mulia! Ada petaka apa yang terjadi maka kalian berjaga-jaga. Lalu siapa gerangan yang memberi tugas pada kalian, wahai enam kerabat?!” Bertanya Lakasipo.

Yang menjawab penunggang kadal coklat di ujung kanan. “Malapetaka itu bersumber pada dirimu wahai Lakasipo!” Lalu teman di sampingnya menyambung, “Yang memberi kami tugas adalah Kepala Negeri Latanahsilam!”

“Hemmm…” Lakasipo bergumam sambil usap dagunya yang ditumbuhi janggut panjang, kasar dan kotor. “Siapakah gerangan Kepala Negeri Latanahsilam itu?!”

“Yang terjunjung bernama Lahopeng!”

Lakasipo tersenyum walau telinganya mendadak menjadi panas. “Sejak kapan pemuda itu menjadi Kepala Negeri. Siapa yang mengangkatnya…?”

“Sejak beberapa bulan lalu. Penduduk yang mengangkatnya. Selain masih muda dan cakap Lahopeng memiliki ilmu silat dan kepandaian tinggi!”

“Kalian semua wahai kerabat tahu kalau aku adalah Kepala Negeri Latanahsilam. Kalian melihat aku segar bugar dan masih hidup! Selama Kepala Negeri masih hidup apakah ada adat dan aturan di negeri Latanahsilam seseorang laindijadikan Kepala Negeri?”

“Menurut Lahopeng kau sudah tewas sekitar enam kali bulan purnama lalu.”

“Latole… Latole,” kata Lakasipo sambil geleng-geleng kepala. “Apa kau dan lima kerabat sudah pada buta? Dengan siapa saat ini kalian berhadapan?!”

Latole menjawab. “Yang kami lihat memang sosok kasar Lakasipo, bekas Kepala Negeri Latanahsilam. Tapi kami tidak tahu apakah ini benar jazad hidupnya atau rohnya yang gentayangan dari alam kematian!”

Kembali telinga Lakasipo menjadi panas. Malah dadanya kini mulai terasa seolah dibakar. “Wahai enam kerabat, tidak tahu aku siapa yang buta dan pandir di antara kita. Aku tidak ingin bicara berlama-lama dengan kalian. Beri aku jalan! Aku akan segera menuju Latanahsilam!”

“Wahai Lakasipo, harap kau mau bersadar diri. Keadaan sekarang berubah sudah. Dulu kau Kepala Negeri Latanahsilam yang kami hormati. Tapi sekarang tidak. Saat ini kami adalah para wakil kepercayaan Lahopeng, Kepala Negeri Latanahsilam yang baru! Kami diperintahkan untuk mencegatmu. Kau tidak boleh memasuki Latanahsilam!”

“Hemmm… Begitu rupanya?” ujar Lakasipo. Dia angkat kakinya kiri kanan yang berbentuk bola-bola besar terbuat dari batu. “Kalian berenam, lihat baik-baik! Aku menyebut dua batu bulat yang membungkus kakiku sampai pangkal betis sebagai Bola-Bola Iblis! Dua bola batu ini masih bernoda darah. Itu adalah darah Lasalut dan Laberang. Mereka menemui ajal karena kebodohan mereka sendiri. Mereka mati dengan kepala hancur dihantam Bola-Bola Iblis ini! Apa kalian berenam ingin pula bertindak bodoh?!”

“Wahai Lakasipo! Perihal kematian Lasalut dan Laberang sudah kami ketahui dari Lakasat! Kau sekarang adalah orang terhukum. Kami akan menangkapmu hidup atau mati!” kata orang bernama Latole.

“Kalau begitu di antara kita tidak bisa dihindari bentrokan besar! Kau adalah para kerabatku. Aku tidak ingin menyakiti apalagi sampai melukai kalian! Tapi jika kalian mencari mati, mungkin kesabaranku bisa putus!”

“Kalau begitu ucap katamu wahai Lakasipo terpaksa kami mencabut nyawamu, menanggalkan kepalamu dan menyerahkan pada Lahopeng!”

“Sayang sekali! Sayang sekali! Dulu kita bersahabat. Dulu aku adalah pimpinan kalian. Tapi kehendak tolol kalian membuat kita saat ini tidak ada kaitan apa-apa! Aku hanya ingin berucap sekali lagi. Menyingkirlah. Beri aku jalan!”

“Maafkan kami Lakasipo. Kalaupun kami harus menyabung nyawa, sejengkal pun kami tidak akan beranjak dari tempat ini!”

“Kalian orang-orang gila dan pandir! Kalian tidak sayang nyawa, akupun tidak akan banyak perhitungan membunuh kalian semua! Di mataku kalian tidak lebih dari pada kaki tangan manusia jahat bernama Lahopeng! Pengkhianat busuk!”

Habis berkata begitu Lakasipo gebrak kuda kaki enamnya. Binatang ini meringkik keras. Suara ringkikan ini disambut suara melengking aneh enam ekor kadal raksasa. Lakasipo melompat dua tombak ke udara. Enam penunggang kadal sama keluarkan pekikan nyaring. Ternyata pekik ini adalah satu aba-aba. Karena begitu memekik keenamnya melompat turun dari tunggangan masing-masing.

Serentak dengan itu enam kadal raksasa coklat menyerbu Laekakienam. Kuda tunggangan Lakasipo meringkik keras. Matanya menyorotkah sinar merah. Kepalanya membeset ke bawah. Dua tanduk berkeluk menyambar menyongsong serangan enam ekor kadal. Dua kaki paling depan menendang ganas!

Saat enam kadal raksasa menyerang kuda kaki enam, Lakasipo telah melesat ke udara. Melihat hal ini enam orang lelaki suruhan Lahopeng diam-diam merasa tercekat.

“Latole,” bisik laki-laki di samping kiri. “Menurut Lahopeng, selama dipendam Lakasipo telah kehilangan ilmu kesaktiannya! Kau saksikan sendiri! Bagaimana mungkin dia melesat setinggi Itu sementara kakinya dibungkus dua bola batu sangat berat?!”

Latole tidak punya kesempatan untuk menjawab. Karena saat itu dari atas dua kaki Lakasipo menyambar ganas. Dua orang mengangkat parang besi mereka. Yang satu berusaha menabas paha kiri Lakasipo. Satunya lagi menghantam batu bola di kaki kanan!

“Praaakkk! Traaangg!”

Lelaki yang hendak membacok paha Lakasipo mencelat dengan kepala pecah. Parang besi yang menghantam bola batu di kaki kanan lawan satu lagi patah berantakan. Rantai besi yang masih melibat kaki Lakasipo berkelebat menghajar lengannya.

“Traakkk!” Orang itu menjerit keras kesakitan. Dia menjerit sekali lagi ketika menyaksikan bagaimana kutungan lengan kanannya melayang di udara.

Gebrakan Lakasipo tidak sampai di situ saja. Sambil melayang turun kaki kirinya ditendangkan ke arah kepala salah seekor kadal raksasa yang tengah menyerang kudanya.

“Praaaakkk!”

Kepala kadal raksasa hancur. Darah dan isi kepalanya bermuncratan. Tapi sosok tubuhnya masih tegak berdiri. Malah buntutnya tiba-tiba menggelepar ke atas. Lakasipo berseru kaget tak menyangka. Ujung ekor kadal yang tertutup sirip-sirip tebal setajam pisau menyambar lambungnya.

“Craaasss!”

Darah mengucur dari perut sebelah kanan Lakasipo. Masih untung dia berlaku cepat, melompat ketika ekor kadal raksasa menghantam hingga lukanya tak cukup dalam dan tidak berbahaya. Di dalam kocek jerami, Wiro dan dua kawannya terhenyak dengan muka putih. Kalau sambaran ekor tadi sempat menghantam kocek di mana mereka berada, tak bisa dibayangkan apa yang terjadi.

“Kerabat Latole, aku masih menganggapmu sebagai sahabat. Bawa tiga temanmu. Tinggalkan segera tempat ini!”

Di sebelah kiri kuda kaki enam meringkik keras sewaktu salah seekor kadal raksasa menancapkan gigi-giginya di tengkuk. Kuda ini berlaku cerdik. Dia jatuhkan diri, berguling di tanah sambil menyorongkan kepalanya. Tanduknya yang tajam berkeluk menancap di perut kadal coklat yang tadi menyerangnya!

Niat baik Lakasipo ternyata tidak mendapat sambutan Latole. Malah dia melompati Lakasipo dan memiting lehernya dari belakang. Dari depan dua kawannya menyerbu dengan parang terhunus!

“Bacok! Lekas kalian bacok dia!” teriak Latole.

Lakasipo kertakkah rahang. Kesabaran dan rasa kasihannya hilang. Dengan bola batu kaki kirinya dia menginjak kaki kiri Latole hingga berderak hancur. Selagi Latole menjerit kesakitan dan lepaskan pitingannya, Lakasipo tarik sosok orang ini lalu dilemparkan ke depan. Tepat pada saat dua parang besi datang membacok.

Latole menjerit keras lalu roboh ketanah mandi darah. Dua orang kawannya yang barusan secara tak sengaja membunuh Latole, berseru kaget dan melompat mundur dengan muka pucat. Parang mereka tak sempat dicabut hingga masih menancap di dada dan perut Latole. Nyali mereka leleh sudah! Diikuti dua teman yang masih hidup, satu di antaranya yang hancur lengannya, mereka melompat ke atas kadal-kadai raksasa lalu menghambur lari.

Lakasipo hampiri Laekakienam, kuda tunggangannya yang cidera cukup parah di bagian tengkuk. Diusapnya kening binatang ini seraya berkata. “Akan kuobati kau wahai Laekakienam. Lukamu akan sembuh…”

Lakasipo ingat pada tiga orang yang ada dalam koceknya. Kocek itu ditanggalkannya dari ikat pinggang lalu didekatkannya ke mukanya. “Wahai saudaraku tiga manusia cebol. Apakah kalian baik-baik saja?!”

Tiga orang yang masih diselimuti rasa ngeri itu tak satu pun bisa memberi jawaban. Pendekar 212 hanya bisa garuk-garuk kepala. Lakasipo masukkan mereka kembali ke dalam kocek.

“Hai! Kami lebih suka diluar saja! Keluarkan kami dari dalam kocek!” Naga Kuning berteriak.

“Tenang wahai sobat-sobatku! Masih ada satu urusan besar yang harus kuselesaikan!” kata Lakasipo. Lalu naik ke punggung kuda kaki enam.

“Dia pasti akan mencari manusia bernama Lahopeng itu!” kata Wiro.

“Dia akan berkelahi lagi! Ah, nyawakita bertiga kembali terancam!” ujar Naga Kuning.

Mendengar ucapan itu Setan Ngompol tersandar ke dinding kocek dan “serrr”. Kencingnya terpancar kembali!

********************

EMPAT BELAS

Ketika suara menggemuruh memasuki Latanahsilam, penduduk di kawasan itu segera tahu siapa yang muncul. Mereka berhamburan keluar dari rumah masing-masing dan lari menuju sebuah tanah lapang yang terletak di tengah-tengah kawasan pemukiman. Banyak di antara mereka termasuk anak-anak lari sambil berteriak-teriak.

“Lakasipo datang! Lakasipo datang!”

“Bakucarok! Bakucaroookkkk!”

Di ujung timur tanah lapang besar, debu mengepul ke udara menutupi pemandangan. Begitu debu lenyap tertiup angin tampaklah Lakasipo di atas punggung kuda raksasanya. Sesaat lelaki ini pegangi perutnya yang terluka akibat hantaman ekor kadal. Darah pada luka itu sudah berhenti mengucur namun masih tertinggal rasa perih.

Lakasipo melompat turun dari tunggangannya. Sepasang matanya memandang tak berkesip keujung lapangan disebelah sana. Di sekeliling lapangan ratusan penduduk tegak berkerumun, menyaksikan apa yang sebentar lagi akan terjadi. Banyak di antara mereka yang terus berteriak.

“Bakucarok! Bakucarok!”

Penutup kocek terangkat ke atas.Tiga kepala muncul keluar. “Walah! Banyak sekali orang! Semua besar-besar! Lihat! Anak-anak saja besarnya sampai setinggi pohon!” berseru Naga Kuning.

“Apa yang akan terjadi di tempat ini? Tanah lapang itu sebesar lautan di mataku!” kata Setan Ngompol. “Orang-orang itu, mereka meneriakkan Bakucarok berulang kali. Apa artinya!”

“Wow! Lihat di sebelah sana! Ada anak perempuan kecil berukuran raksasa!” Berseru Naga Kuning.

Wiro dan Setan Ngompol menoleh ke arah yang ditunjuk si bocah. Di antara kerumunan orang banyak memang terdapat anak-anak. Seorang diantaranya anak perempuan berkulit putih berwajah manis. Anak ini hanya mengenakan pakaian dari sejenis kulit kayu yang tidak terlalu menutupi seluruh auratnya. Naga Kuning usap-usap matanya, berulang kali.

“Lihat pahanya! Putih amat! Eh, kalian lihat dadanya. Besar menonjol. Pasti kencang! Hik hik hik!” Naga Kuning seka air liurnya.

“Bocah tak tahu diri!” ujar Wiro. “Sekalipun kau naksir padanya, dengan tubuhmu seperti ini apa yang bisa kau perbuat! Sekali anak perempuan itu mengempitmu di ketiaknya, kau pasti mejret!”

“Jangan bicara usil Wiro!” sahut Naga Kuning. “Dari wajahnya kulihat dia anak baik-baik. Kalau aku bisa berteman dengan dia, tidak akan aku dikempit di ketiaknya. Malah aku mau minta agar diselipkan di celah antara dua dadanya dan dibawa kemana-mana. Rasa-rasanya seumur-umur aku mau diam di negeri aneh ini! Hik hik hik!”

Naga Kuning melirik pada Wiro dan Setan Ngompol. Dia melihat si kakek memandang ke arah timur lapangan tidak berkedip-kedip.

“Eh, apa yang diperhatikan tua bangka ini?” pikir Naga Kuning. Si bocah menatap ke arah timur. Lalu “Hemmm… Aku tahu, pasti kakek bau pesing ini tengah memperhatikan nenek berdandan menor di bawah pohon sana…” Lalu dia berbisik. “Kek, kau suka pada nenek yang di bawah pohon sana?! Hik hik...!”

Setan Ngompol tersipu-sipu. “Sempat kau diciumnya tubuhmu amblas tersedot masuk ke dalam lubang hidungnya!”

Senyum Setan Ngompol langsung lenyap mendengar ucapan Naga Kuning itu. “Bocah brengsek! Aku tidak sepertimu! Aku masih tahu diri dan sadar kita ini berada di mana! Tidak sama dengan kau! Tapi kalau kau memang mau mencari kawan anak perempuan kukira yang cocok denganmu yang di sebelah kiri sana. Kelihatannya dia sudah siap pakai. Cuma mengenakan baju bawah, atasnya polos!”

Mendengar kata-kata Si Setan Ngompol mau tak mau Naga Kuning memandang ke arah yang ditunjuk. Anak perempuan yang ditunjuk si kakek ternyata adalah seorang anak kecil yang tubuhnya penuh koreng dan ingusnya mengambang turun naik di atas bibirnya! Naga Kuning mengomel panjang pendek sedang Wiro tertawa gelak-gelak.

Penutup kocek tiba-tiba jatuh ke bawah. Tiga orang jatuh terhempas jatuh. Wiro cepat berdiri dan berusaha mendorong penutup kocek ke atas. Dia tahu sesuatu yang hebat bakal terjadi.

“Bakucarok! Bakucarok!” Kembali orang banyak di seputar tanah lapang berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tangan atau benda apa saja yang mereka pegang.

Di ujung tanah lapang besar di hadapan Lakasipo, di atas sebuah kursi batu duduklah seorang pemuda berwajah kebiru-biruan. Dikepalanya ada sebuah destar terbuat dari kulit kayu berwarna merah dan berukir-ukir gambar kepala harimau bersilang tombak. Destar itu adalah destar kebesaran milik Kepala Negeri Latanahsilam. Dan orang yang memakainya bukan lain adalah Lahopeng!

“Bakucarok! Bakucarok!”

Di kalangan penduduk Negeri Latanahsilam ada semacam aturan yang disebut Bakucarok. Artinya dua orang lelaki berkelahi secara jantan satu lawan satu untuk menyelesaikan urusan mereka. Sudah dapat dipastikan salah seorang dari mereka akan tewas. Malah tidak jarang kedua-duanya akan menemui ajal! Inilah yang akan terjadi antara Lakasipo dan Lahopeng.

Lahopeng memang telah menunggu kedatangan Lakasipo. Dia sengaja duduk di kursi batu di ujung tanah lapang. Di kiri kanannya empat pemuda bertindak sebagai pengawal, tegak menghunus tombak rotan berkepala batu lancip.

“Dukkk… dukkk… dukk… dukkkkk!”

Tanah lapang bergetar hebat ketika dua kaki batu Lakasipo menjejak dan melangkah. Suara orang yang berteriak-teriak langsung berhenti. Banyak yang heran tapi lebih banyak yang unjukkan wajah ngeri. Termasuk Lahopeng dan empat pengawalnya.

Lakasipo berhenti di tengah lapangan. Dia menatap tajam ke arah Lahopeng dengan mata berkilat-kilat penuh dendam. Tiba-tiba Lahopeng berdiri dari kursi batu, mengangkat tangan kanannya dan berteriak keras.

“Wahai para kerabat penghuni Negeri Latanahsilam! Kalian sendiri saksikan Lakasipo telah muncul dengan kutuk di kedua kakinya! Para Dewa dan Peri telah menyumpah hingga dua kakinya menjadi batu! Lakasipo! Manusia pembunuh istri! Dia juga yang membunuh Lasalut, paman Luhrinjani, membunuh Laberang dan juga beberapa orang pemuda lainnya! Pembunuh!”

“Pembunuh!” Orang banyak di tepi tanah lapang ikut berteriak.

“Bakucarok! Bakucarok!”

Lakasipo masih tetap tegak tak bergerak di tengah lapangan. Hanya sepasang matanya tidak beralih dari menatap tajam ke arah Lahopeng. Rambut dan janggut lebatnya melambai-lambai ditiup angin. Wajahnya tampak membesi. Dalam hati dia membatin.

“Waktu di Bukit Batu Kawin dulu ketika terjadi perkelahian, dia melarikan diri. Dia tidak memiliki lagi Parang Batu Penjungkir Arwah. Sekarang dia sengaja dan berani menunggu kedatanganku. Mengatur Bakucarok! Pasti ada ilmu kepandaian baru yang didapatnya. Mungkin sekali dari Hantu Muka Dua atau si dukun keparat Hantu Santet Laknat!”

Penutup kocek kembali terangkat. Tiga kepala keluar ingin menyaksikan apa yang berlangsung. Perlahan-lahan Lakasipo angkat tangan kirinya ke atas. “Aku Lakasipo! Kepala Negeri Latanahsilam! Semua orang dengar apa yang aku ucapkan…!”

“Kau bukan Kepala Negeri Latanahsilam! Akulah yang sekarang menjadi Kepala Negeri!” teriak Lahopeng memotong. Lalu dia memandang seputar lapangan dan berteriak. “Wahai penduduk Latanahsilam! Katakan siapa Kepala Negerimu!”

“Lahopeng Kepala Negeri kami! Lahopeng Kepala Negeri Latanahsilam!” teriak orang banyak.

Rahang Lakasipo menggembung. “Bangsat ini pasti telah mengarang cerita busuk dan menghasut penduduk Negeri,” pikir Lakasipo. Lalu dia angkat tangannya kembali. “Penduduk Negeri Latanahsilam! Dengar kalian semua! Lahopeng telah merampas jabatan Kepala Negeri secara licik! Aku tidak membunuh Luhrinjani istriku sendiri! Perempuan itu tewas menjatuhkan diri di jurang Bukit Batu Kawin karena dia sadar telah ternoda oleh tipu daya Lahopeng! Lahopeng dan kawan-kawannya mengarang cerita bahwa aku telah menemui ajal di tangan kaum pemberontak! Itu sebabnya Luhrinjani sampai bersedia dikawininya!”

“Dusta!” teriak Lahopeng.

“Dusta!” teriak orang banyak.

“Para Dewa dan Peri maha tahu! Aku tidak berdusta!” teriak Lakasipo. “Aku memang membunuh Lasalut, Laberang dan beberapa pemuda lainnya. itu karena mereka disuruh oleh Lahopeng untuk membunuhku!”

“Dusta!” teriak Lahopeng.

“Dusta!” teriak orang ramai tapi tidak sebanyak dan sekeras tadi lagi.

“Lakasipo! Masih beruntung kau karena aku bersedia memberi kesempatan bagimu untuk mati secara terhormat! Bakucarok! Seharusnya kau aku suruh cincang saat ini juga!”

Lakasipo menyeringai. Kaki kanannya dihantamkan ke tanah. “Dukkkk!”

Tanah lapang bergetar. Hantaman kakinya membuat sebuah lubang besar terkuak di tanah. Di dalam kocek Wiro berkata pada dua temannya. “Lakasipo siap berkelahi dengan Lahopeng. Berarti kita bersiap-siap menghadap kematian sendiri!”

“Aku belum mau mati!” ujar Setan Ngompol sambil menahan kencing.

“Duukkk!”

Kembali Lakasipo menghunjamkan kaki ke tanah. Kali ini dengan kaki kiri. Lubang besar ke dua terkuak di tanah.

“Bakucarok…!” teriak orang banyak.

Lakasipo tepuk dadanya dengan tangan kanan hingga mengeluarkan suara keras dan membuat Wiro serta dua orang yang ada dalam kocek berjatuhan.

“Lahopeng!” Lakasipo tiba-tiba berteriak. “Lihat baik-baik keadaan dua kakiku! Dua batu bulat membungkus kakiku! Aku menyebutnya Bola-Bola Iblis! Kaulah yang punya pekerjaan sampai aku jadi begini! Kau menyantet diriku! Tapi hari ini kau akan menyesal sampai ke alam roh! Karena dua kakiku ini yang akan mengirimmu ke alam sesat neraka jahanam! Aku Lakasipo siap melakukan Bakucarok dengan manusia laknat Kepala Negeri palsu!”

Masih menggema teriakan Lakasipo itu tahu-tahu tubuhnya tampak melayang di udara. Kaki kanannya menyambar menimbulkan suara laksana sambaran angin puting beliung. Orang banyak di tepi lapang berseru kaget dan cepat-cepat menjauh.

Lahopeng berteriak keras sambil melompat dari atas kursi batu. Tangan kanannya menghantam. Tapi luput. Masih untung dia selamatkan diri dari tendangan kaki batu.

“Braaakkk! Byaaarrr!”

Kursi batu yang tadi diduduki Lahopeng hancur berkeping-keping dan bertaburan di udara. Lakasipo cepat berbalik. Lahopeng saat itu sudah siap menghantamnya secara licik dari belakang. Tiba-tiba ada suara mengiang di telinga kiri Lahopeng.

“Lakasipo lawan tangguh. Di dalam kakinya yang dibungkus bola batu masih ada ilmu kesaktian Kaki Roh Pengantar Maut! Bola-bola batu itu tak bisa kau hancurkkan! Jangan berlaku ayali Lekas keluarkan ilmu yang aku berikan!”

“Duukkk… duukkkk… dukkkk… dukkkk!” Lakasipo melangkah mendekati Lahopeng.

“Maju… Maju lebih dekat Lakasipo!” tantang Lahopeng dengan seringai mengejek.

Mendadak semua orang melihat satu hal aneh terjadi dengan sosok Lahopeng. Secara cepat tubuhnya lenyapdan kini yang terlihat adalah sebuah benda berbentuk kepompong besar, bergerak-gerak kian kemari. Selagi semua orang tercekat bagian atas sosok aneh itu meletup keras. Di antara kepulan asap kelabu, dari bagian atas yang terbongkar robek muncul keluar sosok ulat raksasa berwarna coklat berbintik-bintik hitam putih!

“Hantu Kepompong!” teriak Lakasipo sambil melompat mundur. Orang banyak di seputar tanah lapang berpekikan ngeri dan menghambur menjauh.

“Dessss!”

Sosok ulat raksasa melesat ke luar dari dalam sarangnya, menyambar ke arah kepala Lakasipo. Yang diserang cepat tundukkan kepala dan menghantam dengan pukulan sakti bernama Lima Kutuk Dari Langit. Pukulan sakti ini bukan saja sanggup membunuh lawan tapi juga membuat tubuh korban gosong mengkerut!

“Wussss! Dessss!”

Ulat raksasa terpental ke udara kena hantaman pukulan sakti. Tubuhnya terbakar lalu leleh mengkerut. Tapi saat itu pula ulat ini seolah tersedot masuk kembali ke dalam sarangnya. Lakasipo merasa lega. Tapi jadi terkejut bukan kepalang ketika tiba-tiba sarang kepompong itu mengeluarkan letupan dan dari dalamnya melesat lagi ulat raksasa coklat tadi! Sekali melesat ulat raksasa itu sudah menyambar ke arah Lakasipo. Lakasipo angkat kaki kirinya. Begitu kepala ulat raksasa hanya tinggal beberapa jengkal lagi dari hadapannya kaki kirinya ditendangkan!

“Praaakkk!”

Kepala Hantu Kepompong hancur sampai ke ruas leher. Bagian badannya yang masih bersisa mental ke udara. Tapi seperti tadi, laksana disedot sosok ulat itu masuk kembali ke dalam sarangnya. Lalu di lain kejap didahului letupan keras dan kepulan asap, ulat raksasa itu kembali muncul dan menyerang Lakasipo lebih dahsyat dan lebih ganas.

Berkali-kali Lakasipo berhasil menghancurkan Hantu Kepompong. Tapi setiap dihancurkkan makhluk jejadian ini kembali muncul utuh dari dalam sarangnya. Mati, hidup lagi. Mati hidup lagi. Begitu terus menerus. Lama kelamaan kekuatan Lakasipo mulai mengendur. Pada kejadian melesatnya Hantu Kepompong yang ke dua puluh tiga, Lakasipo tak bisa bertahan. Moncong Hantu Kepompong berhasil menyambar bahu kirinya hingga terkoyak luka. Lakasipo meraung keras. Di dalam kocek jerami Wiro dan dua kawannya berpelantingan.

“Aku melihat Lakasipo terluka!” memberi tahu Wiro penuh cemas.

“Dia tak bisa membunuh ulat raksasa itu!” kata Naga Kuning pula.

“Jika Lakasipo mati, riwayat kita ikut tamat!” ujar Setan Ngompol sambil terbungkuk menahan kencing tapi tetap saja dia terbeser.

Dari dalam sarang Kepompong keluar suara tawa bergerak. “Lakasipo! Ajalmu sudah di depan mata. Roh para kerabat yang kau bunuh telah siap menyambut kedatanganmu di pintu alam sesat!”

“Wuuttt!”

Lakasipo hantam Hantu Kepompong di bagian perut. Tubuh makhluk berbentuk ulat raksasa ini hancur terputus dua. Tapi seperti tadi sosok ini masuk ke dalam sarangnya dan keluar lagi, terus menyerang Lakasipo. Dua luka baru bekas gigitan kelihatan di tubuh Lakasipo yakni di pinggul kanan dan pada paha kiri. Darah membasahi tubuhnya. Daya kekuatannya semakin menurun walau dia terus menerus mengerahkan tenaga dalam.

Pada serangan ke tiga puluh satu, Hantu Kepompong berhasil mencengkeramkan gigi-giginya di paha kanan Lakasipo. Sesaat lagi paha itu akan hancur putus, Lakasipo hantam tubuh ular sebelah atas dengan pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Bersamaan dengan itu dia hunjamkkan kaki batunya sebelah kiri ke ekor ulat. Hantu Kepompong hancur di dua tempat. Untuk kesekian kalinya Lakasipo berhasil menyelamatkan diri. Sementara itu dari dalam sarangnya Hantu Kepompong kembali melesat ke luar.

“Ulat raksasa itu pasti akan dapat membunuh Lakasipo!” kata Naga Kuning di dalam kocek.

Setan Ngompol mulai menggigil. Dia melihat sendiri bagaimana sekujur tubuh Lakasipo bermandi darah. “Kita harus menolong Lakasipo! Kalau tidak kita bisa ikut celaka!”

“Menolong bagaimana? Keluar dari dalam kocek ini saja kita tidak mampu!” tukas Naga Kuning.

“Kalaupun bisa keluar apa yang bisa kau lakukan?!” Menimpali Setan Ngompol.

“Pasti ada sesuatu yang bisa kita lakukan! Pasti!” kata Wiro. Tangan kiri dipukul-pukulkan ke kening sedang tangan kanan menggaruk kepala habis-habisan.

Saat itu Hantu Kempompong begitu keluar dari dalam sarangnya kembali melesat menyerang Lakasipo. Kali ini ekornya ikut menggebuk. Selagi dia berusaha menghindarkan gebukan ekor ulat raksasa tiba-tiba kepala Hantu Kepompong menyambar ke lehernya!

“Celaka!” keluh Lakasipo.

Dia coba mencekal leher ulat raksasa namungigi-gigi Hantu Kepompong sudah menempel di lehernya. Dalam usahanya menyelamatkan diri Lakasipo jatuh punggung dan terbanting di tanah. Dua kakinya ditendangkan berusaha menghantam tubuh ulat raksasa sementara dua tangan mencekal leher dan kepala Ulat, menahan gerakan gigitan yang siap memutus lehernya!

Pada saat Lakasipo terjatuh ke tanah penutup kocek jerami terpental. Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol terlempar ke luar. Setan Ngompol langsung terkencing-kencing sedang Naga Kuning menggigil ketakutan karena dia hampir tertindih sosok Hantu Kepompong yang meliuk-liuk. Walau juga merasa ngeri setengah mati namun Pendekar 212 masih bisa berlaku tenang.

Tubuh Lakasipo yang terlentang di tanah di bawahtindihan sosok ulat raksasa laksana bentangan bukit besar di mata Wiro. Sesaat dia bingung tidak tahu mau melakukan apa. Kemudian pandangannya membentur sospk sarang kepompong di ujung tanah lapang. Saat itu keadaan Lakasipo benar-benar dalam bahaya besar. Sisa-sisa tenaganya terkuras untuk mempertahankan diri mencekal kepala dan leher Hantu Kepompong guna menghindari gigitan maut.

“Sarang ulat jahanam itu...” Wiro membatin. “Aku harus melakukan sesuatu! Ah!” Wiro pukul-pukul jidatnya berulang kali. Tiba-tiba dia berteriak lalu lari menembus debu mendekati kepala Lakasipo.

Orang banyak yang berada di tepi tanah lapang menjadi terheran-heran ketika mereka melihat ada tiga sosok aneh terlempar keluar dari dalam kocek jerami di pinggang Lakasipo.

“Hai! Makhluk apa yang barusan keluar dari kocek Lakasipo?!” seorang di antara mereka berseru.

“Kutu berbentuk manusia!” Yang lain berteriak.

“Lihat! Yang satu lari ke sana! Hai Lihat! Dia memanjat telinga Lakasipo!”

Saat itu begitu mencapai kepala Lakasipo Wiro memang segera memanjat daun telinga orang itu. Lalu berteriak keras-keras. “Lakasipo! Ini aku! Wiro! Kau bisa mendengar? Lakasipo?”

Lakasipo yang tengah berusaha mati-matian menyelamatkan nyawa walau bisa mendengar teriakan Wiro mana sempat menjawab.

“Lakasipo! Dengar! Hantu Kepompong pasti punya kelemahan! Aku sempat melihat berulang kali! Setiap tubuhnya hancur dan mati dia masuk ke dalam sarangnya. Lalu hidup lagi! Aku yakin kalau kau menghancurkan sarangnya ulat jahanam itu tak bisa hidup lagi! Lakukan cepat Lakasipo! Hancurkan sarangnya!”

Dua gigi atas Hantu Kepompong telah menancap di leher Lakasipo. Darah mulai mengucur.

“Lakasipo! Kau dengar ucapanku?! Hancurkan sarangnya! Hantu Kepompong pasti bisa kau musnahkan!” Wiro kembali berteriak.

Kepala Lakasipo tersentak ketika dia menahan sakit gigitan Hantu Kepompong. Wiro yang berada di daun telinga Lakasipo terpeleset dan jatuh ke tanah. Sebelum tubuhnya tergencet kepala atau badan Lakasipo cepat-cepat Wiro melompat menjauhkan diri.

“Lakasipo! Kau dengar ucapanku tadi?!” teriak Wiro penasaran...

Tiba-tiba dari mulut Lakasipo keluar suara gerengan keras. Wiro terbanting ke tanah. Dua kaki Lakasipo berusaha menjepit tubuh bagian bawah Hantu Kepompong hingga gerakan ulat raksasa ini sesaat tertahan. Dengan sisa tenaganya Lakasipo membetot leher ulat itu lalu dengan tangan kanannya dihantamnya mata sebelah kanan. Hantu Kepompong keluarkan suara mendesis keras dan jauhkan kepalanya dari leher Lakasipo tapi siap menerkam kembali.

Walau hanya sekejapan mata namun Lakasipo bisa mempergunakan tangannya untuk melepas pukulan Lima Kutuk Dan Langit! Ternyata Lakasipo memang telah mendengar teriakan-teriakan Pendekar 212 tadi! Lima larik sinar hitam menggidikkan menyambar ke arah sarang Hantu Kepompong yang berada di ujung tanah lapang sebelah sana!

“Bummm!”

Satu letusan dahsyat menggelegar di seantero tanah lapang. Sarang Hantu Kepompong tenggelam dalam kobaran api, lalu hancur dan bertebaran ke udara dalam bentuk kepingan-kepingan menyala! Hantu Kepompong yang masih berada dalam cekalan Lakasipo dan sebagian tubuhnya masih menindih lelaki itu keluarkan raungan dahsyat.

Wiro, Naga Kuning dari Setan Ngompol mencelat berpelantingan. Lakasipo sendiri seolah tersirap oleh raungan itu sesaat terbaring tak bergerak seolah menjadi kaku tegang! Dia baru tersadar ketika Hantu Kepompong berusaha menggelung meremukkan tubuh dan mematukkan kepala. Lakasipo balikkan badan. Berhasil. Kini dia yang menindih Hantu Kepompong. Tangan kanannya yang masih bebas langsung dihantamkan ke kepala ulat raksasa itu. yang diarahnya kini adalah mata sebelah kiri.

“Craattt!”

Kalau tadi pukulan Lakasipo seolah tidak mempan maka kini jotosannya membuat mata kiri Hantu Kepompong hancur! Selagi ulat ini menggeliat-geliat kejutan Lakasipo cepat bangkit berdiri. Sosok Hantu Kepompong dibantingkannya ke tanah. Makhluk ini kembali meraung lalu lesatkan diri ke atas. Mulutnya menyambar ke kepala Lakasipo. Tapi kaki kanan Lakasipo lebih cepat bergerak menginjak pertengahan tubuh Hantu Kepompong hingga hancur dan putus menjadi dua bagian!

Untuk pertama kalinya ada darah yang menyembur dari kutungan tubuh itu. Bagi Wiro dan dua kawannya semburan darah ini tidak beda seperti ombak besar yang hendak menggulung mereka. Ketiganya berlarian pontang panting selamatkan diri. Sosok bagian atas Hantu Kepompong terbanting ke tanah. Bagian sebelah bawah menggeliat-geliat beberapa lama lalu diam tak berkutik lagi. Lakasipo tidak menunggu lebih lama. Dibarengi dengan teriakan garang kaki kanannya dihantamkan ke kepala Hantu Kepompong.

“Praaakkk!”

Kepala ulat raksasa itu hancur begitu Bola Bola Iblis menghantam telak. Seolah keluar dari langit, satu teriakan dahsyat terdengar menukik bumi! Sosok ulat coklat perlahan-lahan berubah. Yang terlihat kini adalah tubuh Lahopeng, hancur putus di bagian perut dan remuk mengerikan di bagian kepala. Lakasipo tegak terhuyung-huyung sambil pegang lehernya yang luka. Dia memandang berkeliling ke arah orang-orang yang tegak di seputar tanah lapang.

“Lakasipo! Kami ingin kau kembali menjadi Kepala Negeri Latanahsilam!” seseorang berteriak.

“Lakasipo Kepala Negeri Latanahsilam!”

“Lakasipo! Lakasipo!”

“Yang jahat Lahopeng! Bukan Lakasipo!”

Wajah Lakasipo yang tertutup rambut riap-riapan, cambang bawuk dan janggut serta kumis tebal tidak berubah sedikit pun mendengar teriakan-teriakan penduduk Negeri Latanahsilam itu. Dia memandang ke tanah dan melihat tiga sosok kecil itu. Lakasipo membungkuk mengambil Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol.

“Syukur kalian bertiga tidak apa-apa. Wahai Wiro, kalau bukan karena ucapanmu aku tidak mungkin membunuh Lahopeng! Kalau tidak karena pertolonganmu saat ini sudah pasti menjadi mayat diriku! Lagi-lagi aku berhutang budi padamu manusia kutu cebol!”

“Kalau kau mati, apa kau kira kami masih bisa hidup panjang?!” sahut Pendekar 212 lalu tertawa lebar.

“Hai! Kau mau bawa kemana lagi kami ini?!” tanya Naga Kuning ketika dirasakannya Lakasipo mulai bergerak melangkah yang membuat tanah lapang kembali bergetar.

“Kita pergi. Tak ada gunanya berlama-lama di tempat ini,” jawab Lakasipo.

“Tapi orang-orang itu! Penduduk Negeri Latanahsilam menginginkan kau jadi Kepala Negeri mereka kembali!” kata Wiro pula.

Lakasipo gelengkan kepala. “Aku kasihan pada orang tolol. Tapi aku sangat benci pada orang-orang munafik seperti mereka!”

Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol menjerit keras ketika Lakasipo membawa mereka melompat dan naik ke punggung Laekakienam, kuda tunggangannya...

Bersambung... HANTU BARA KALIATUS
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.