Pendekar Pemabuk Jilid 08

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping. Pendekar Pemabuk Jilid 08
Sonny Ogawa
08. Kehilangan Kitab Pusaka

Pendekar Pemabuk (Kang-lam Tjiu-Hiap) jilid 08 karya Kho Ping Hoo - KEDUA orang anggauta Layar Hitam itu tertawa saja dan seorang di antaranya lalu berkata dengan suara mengejek, “Nona, kau hendak kami jodohkan dengan Liang-ho Siauw-liong (Naga Muda dari Liang-ho), tentu kau akan mengalami kesenangan besar! Ha ha ha!”

“Bangsat rendah! Kau telah mendapat ampun, apakah benar-benar kalian hendak mencari mampus?”

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Tiba-tiba kepala bajak itu tertawa dengan girang. Ia telah melihat bahwa dara muda itu benar-benar cantik jelita, maka kini mendengar suaranya yang nyaring dan sikapnya yang gagah, ia lalu berkata, “Nona manis, kau telah terkurung dan berada dalam kekuasaanku, lebih baik kau menyerah saja karena percuma kalau kau mau melawan juga!”

“Bangsat keji! Kau kira nonamu takut menghadapi tikus-tikus air semacam kau dan anak buahmu? Naiklah kalian semua ke sini kalau hendak mencari mampus di ujung senjataku!” tantang Tin Eng dengan tabah dan marah.

Liang-ho Siauw-liong tertawa bergelak-gelak lalu memberi perintah kepada anak buahnya, “Tangkap padanya, akan tetapi jangan melukainya! Gunakan tali untuk menyeretnya ke air dan kemudian mengikatnya kuat-kuat!”

Mendapat perintah ini, para bajak lalu mendayung perahu mereka mendekati perahu di mana Tin Eng berdiri menanti dengan pedang ditangan. Mereka membawa senjata berupa tambang dan kaitan-kaitan kayu, ada pula yang membawa dayung untuk mendorong gadis itu ke dalam air. Dengan mata tajam Tin Eng melihat lagak itu dan hanya menjaga untuk segera bergerak begitu ada bajak naik ke atas perahu.

Benar saja, dari sebelah kiri perahu melompat dua orang bajak yang membawa tambang, disusul oleh tiga orang pula yang melompat ke kanan perahu. Akan tetapi mereka itu segera menjerit kesakitan ketika Tin Eng menyambar dengan pedangnya dan begitu ia menggerakkan tangannya, pedang itu telah melukai mereka yang segera terguling ke dalam air.

Bajak lain menjadi jerih. Tak pernah mereka sangka bahwa gadis itu selihai ini, maka kini tidak ada yang berani mencoba untuk naik ke perahu Tin Eng lagi. Bahkan perahu-perahu kecil itu segera di dayung menjauhi dan para bajak yang terluka tadi lalu ditolong.

“Ilmu pedangnya lihai sekali, harap tai-ong berhati-hati,“ kata dua orang anggauta Layar Hitam tadi.

Liang-ho Siauw-liong merasa marah sekali melihat betapa lima orang anak buahnya dengan amat mudah dijatuhkan oleh Tin Eng, maka ia lalu memberi aba-aba. “Terjun ke air dan gulingkan perahunya!”

Tin Eng merasa terkejut sekali mendengar perintah ini. Kalau mereka benar-benar menggulingkan perahunya, maka celakalah dia! Biarpun di darat ia tak perlu takut menghadapi keroyokan mereka, akan tetapi kalau sampai ia terjatuh ke dalam air, jangankan menghadapi keroyokan, baru menghadapi seorang bajak biasa yang pandai berenang saja ia takkan berdaya sama sekali.

Ia melihat betapa bajak-bajak itu meninggalkan perahunya dan mulai terjun ke dalam air untuk berenang menghampiri perahu di mana ia berdiri. Tin Eng teringat akan kantong piauwnya, maka dengan gemas ia lalu mengeluarkan segenggam piauw dan memindahkan pedang ke dalam tangan kiri. Ia pernah mempelajari ilmu melepas piauw dari ayahnya dan dalam hal kepandaian melempar piauw ia telah memiliki kepandaian yang boleh juga.

Ia membidik dengan hati-hati dan begitu tangannya berayun ke arah bajak yang berenang di air, piauw itu tepat sekali menancap di tubuh bajak sehingga bajak itu menjerit kesakitan dan terus tenggelam ke dalam air. Tin Eng membagi-bagi hadiah dengan piauwnya itu ke seluruh penjuru. Di mana terlihat tubuh bajak bergerak di dalam air, ia segera mengayun tangannya hingga tak lama kemudian banyak sekali bajak yang ia tewaskan.

Dalam kegembiraannya ia telah menghabiskan banyak sekali senjata piauwnya dan ketika ia merogoh kembali ke kantong piauw, ia merasa terkejut sekali, karena piauwnya hanya tinggal tiga buah lagi! Ia membawa dua puluh batang piauw dan ternyata ia telah menyambitkan tujuh belas batang yang kesemuanya mengenai sasaran dengan tepat. Kini para bajak itu tidak berani berenang di permukaan air dan segera menyelam untuk menghindarkan diri dari piauw gadis yang tangguh itu, sehingga Tin Eng mulai kuatir sekali.

Melihat betapa kepala bajak itu berdiri di kepala perahu dan memberi perintah, ia menjadi gemas dan segera tangannya terayun dan sekaligus tiga batang piauwnya menyambar ke arah kepala bajak itu dan ke arah dua orang anggauta Layar Hitam yang berdiri di dekat Liang-ho Siauw-liong.

Terdengar jerit kesakitan dan tubuh kedua orang anggauta Layar Hitam itu terjungkal dari perahu, masuk ke dalam air sungai. Akan tetapi sambil tertawa bergelak dan sama sekali tidak memperdulikan dua orang yang menjadi korban senjata rahasia itu, ia menggerakkan kampak di tangan kanannya untuk menangkis piauw yang menyambar ke arah tubuhnya sehingga senjata kecil itu terpukul jatuh ke dalam air.

Kini Tin Eng merasa betul-betul gelisah. Piauwnya telah habis dan apa dayanya? Ia melihat ke kanan kiri dan ke dalam air, akan tetapi tidak melihat ada anggauta bajak yang berenang di bawah permukaan air dan kini perahunya tiba-tiba mulai bergoyang-goyang. Hampir saja Tin Eng terjatuh, ia terhuyung-huyung dan mempertahankan dirinya di atas perahu agar supaya tidak terlempar keluar ke dalam air.

Akan tetapi perahu itu makin miring dan sebentar pula tentu terbalik. Tin Eng melihat sebuah perahu bajak kosong, yang jauhnya tiga tombak lebih dari tempatnya, maka sambil berseru keras ia melompat ke arah perahu itu. Akan tetapi, begitu ia turun menginjak perahu itu, ia segera terjatuh karena perahu kecil itu tidak kuat menerima tubuhnya yang melompat dengan keras. Perahu itu terguling, membawanya ikut terguling ke dalam air.

Tin Eng bergulat dengan air yang membuatnya tak berdaya. Beberapa kali ia terpaksa minum air sungai dan ketika ia merasa ada tangan meraba dan hendak menangkapnya, ia memukul dengan tangan kanannya sehingga bajak yang mencoba untuk menangkapnya itu memekik dan melepaskan pegangannya. Biarpun berada dalam keadaan tak berdaya, namun Tin Eng masih berbahaya dan tak mudah ditangkap.

“Biarkan dia lemas dulu!” terdengar suara Liang-ho Siauw-liong berkata keras sambil mendayung perahunya mendekat.

Tin Eng sudah menjadi lemas sekali dan hampir pingsan. Ia masih mendengar betapa tiba-tiba terdengar suara gaduh dan teriakan-teriakan para bajak itu dan ia merasa betapa tubuhnya terikat oleh sehelai tali yang kuat, lalu tubuhnya di tarik ke sebuah perahu. Ia tak dapat melihat lagi siapa yang melakukan ini, akan tetapi ia merasa tubuhnya diangkat ke dalam perahu. Ia membuka mata dan melihat bahwa yang menolongnya adalah Tan Kui Hwa si Dewi Tangan Maut.

Nona pendekar itu tersenyum dan berkata, “Untung kau belum terlalu banyak minum air, adikku yang baik. Akan tetapi sedikit air yang memenuhi perutmu itu perlu dikeluarkan. Kau menurutlah saja!”

Setelah berkata demikian, Kui Hwa lalu peluk tubuh Tin Eng dan menjungkirkan tubuh itu dengan kaki ke atas dan kepala di bawah. Maka mengalirlah air dari mulut Tin Eng. Setelah air yang memenuhi perut itu dikeluarkan, Tin Eng lalu berkata, “Cici, Kui Hwa, mana keparat-keparat itu?”

“Mereka melarikan diri ke darat.”

“Mari kita kejar!” kata Tin Eng dengan marah sekali.

Kedua orang gadis itu lalu mendayung perahu mereka ke darat. Ternyata bahwa Kui Hwa merasa curiga terhadap dua orang anak buah Layar Hitam yang mendayung perahu Tin Eng dan dengan diam-diam ia lalu mengikuti perahu itu dari darat. Ia melihat betapa Tin Eng dikeroyok, maka dapat menolong pada saat yang tepat.

Dengan mudah ia melompat ke dalam perahu itu dan merampas tambang yang tadinya hendak digunakan untuk mengikat kaki dan tangan Tin Eng. Dengan kepandaiannya yang mengagumkan, Dewi Tangan Maut itu berhasil melemparkan ujung tali yang mengikat tubuh Tin Eng dan menolong gadis itu sebelum terjatuh ke dalam tangan bajak.

Liang-ho Siauw-liong pernah mendengar nama Dewi Tangan Maut, maka melihat pendekar wanita itu muncul ia lalu memerintahkan semua anak buahnya untuk melarikan diri. Setelah mendarat, Kui Hwa dan Tin Eng lalu mengejar ke dalam hutan. Tak lama kemudian mereka dapat mencari tempat tinggal para bajak itu di tengah hutan dan kedua nona itu segera menyerbu dengan pedang di tangan.

“Serahkanlah kepala bajak itu kepadaku, cici!” kata Tin Eng yang merasa marah sekali.

Kawanan bajak menjadi kacau balau karena tidak pernah menyangka bahwa kedua orang dara itu berani menyerbu ke dalam hutan yang liar dan gelap, maka mereka lari cerai berai. Sedangkan kepala bajak Liang-ho Siauw-liong beserta beberapa belas orang yang memiliki kepandaian dan menjadi pembantu-pembantunya segera mengeroyok Kui Hwa dan Tin Eng.

Akan tetapi mereka bukanlah lawan dari kedua pendekar wanita ini dan sebentar saja beberapa orang bajak yang mengeroyok telah kena dirobohkan. Liang-ho Siauw-liong sendiri didesak hebat oleh Tin Eng dan biarpun permainan sepasang kampak di tangannya amat lihai dan cepat, akan tetapi menghadapi Sin-eng Kiam-hoat yang dimainkan oleh Tin Eng, ia menjadi terdesak hebat dan pada satu saat pedang Tin Eng berhasil membacok putus sebelah lengannya.

Kepala bajak itu roboh pingsan dan Tin Eng merasa lega serta tidak tega untuk mengirim tusukan yang terakhir. Ia meninggalkan tubuh lawan, dan membantu Kui Hwa mengamuk, sehingga para bajak itu menjadi jerih dan sisanya yang masih hidup lalu melarikan diri, tak kuat menghadapi dua ekor harimau betina yang mengamuk itu.

Kemudian Tin Eng mencari buntalan pakaiannya yang terampas dan untung sekali bahwa buntalannya masih terdapat di situ. Hatinya menjadi lega ketika ia memeriksa buntalannya, ternyata barang-barangnya berikut kitab pelajaran pedang Sing-eng Kiam-hoat masih ada di dalam bungkusan. Ia memeluk Kui Hwa dan berkata, “Cici Kui Hwa, terima kasih atas pertolonganmu tadi. Kalau tidak ada yang menolong entah bagaimana jadinya dengan aku.”

“Ah, tak perlu kau berterima kasih, kawan! Orang-orang seperti kita harus tolong menolong. Akupun amat membutuhkan pertolonganmu untuk menghadapi musuh-musuhku.”

“Musuh-musuhmu? Siapakah mereka, cici?”

Kui Hwa lalu menceritakan tentang permusuhan dengan orang-orang cabang Go-bi-pai. “Kami pihak Hoa-san-pai selalu mengalah, akan tetapi orang-orang Go-bi-pai itu benar-benar tak tahu diri dan selalu mencari permusuhan dengan kami. Terutama sekali Seng Le Hosiang yang tiada hentinya berusaha menebus kekalahannya dan mulai menghasut orang-orang gagah dari luar untuk memusuhi kami.”

Bukan main terkejutnya hati Tin Eng mendengar penuturan ini. Betapapun juga, ia boleh dibilang seorang anak murid Go-bi-pai pula. “Cici yang baik, terus terang saja kau telah menuturkan keburukan Go-bi-pai kepada seorang anak muridnya!”

Kui Hwa melompat mundur dan memandang dengan mata terbelalak. “Apa?? Kau juga anak murid Go-bi? Ah, jangan kau main-main kawan. Ku lihat ilmu pedangmu sama sekali bukan dari Partai Go-bi-san. Aku kenal baik ilmu silat Go-bi-pai, maka jangan kau mencoba untuk mempermainkan dan membohongi aku!”

Tin Eng tersenyum, lalu berkata, “Kau lihatlah baik-baik, cici!” Setelah berkata demikian, dara muda ini lalu bersilat dengan ilmu silat Go-bi-pai sebagaimana yang dipelajari dari ayahnya. “Kenalkah kau ilmu silat ini?” tanyanya lalu menghentikan gerakannya.

Kui Hwa lalu mencabut pedangnya dan berseru, “Kau benar-benar anak murid Go-bi-pai! Bagus mari kita akhiri di ujung pedang!”

Tin Eng mengangkat kedua tangannya ke atas sambil berkata, “Cici yang baik, kau tadi menyatakan heran bahwa orang-orang Go-bi-pai selalu memusuhi kalian orang-orang Hoa-san-pai. Akan tetapi melihat sikapmu ini, bukankah kau yang menunjukkan sikap bermusuhan? Lihatlah saja, Kau mencabut pedang terhadap aku yang tidak menganggapmu sebagai musuh, bukankah ini tidak sesuai dengan kata-katamu tadi?”

Kui Hwa tersadar dan ia cepat memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang lalu tersenyum dan berkata dengan muka merah, “Maaf, adik Tin Eng. Baru sekarang aku melihat seorang anak murid Go-bi-pai tidak mengambil sikap bermusuhan terhadapku, maafkan sikapku tadi.”

Tin Eng memegang lengan Kui Hwa dan berkata,” Cici Kui Hwa, agaknya kau telah dibikin sakit hati sekali oleh orang-orang Go-bi-pai, maka kau membenci mereka. Akan tetapi kau lihat sekarang bahwa tidak semua anak murid Go-bi-pai jahat-jahat dan memusuhimu. Marilah kita melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap, bukankah kau hendak ke Ki-ciu?”

“Tidak, adik Tin Eng. Aku hendak kembali ke Kang-lam, dan kau lanjutkanlah perjalananmu ke Ki-ciu. Akan tetapi, lebih baik kau ambil jalan darat saja. Dari sini kau terus ke selatan, setelah tiba di dusun kedua kau membelok ke timur. Ki-ciu terletak kurang lebih lima puluh li dari situ.”

“Cici, melihat mukaku apakah kau mau menghabisi saja permusuhan dengan pihak Go-bi? Aku merasa sedih sekali melihat kau bermusuhan dengan pihak Go-bi, karena secara tak langsung akupun anak murid Go-bi-san, sebab ayahku adalah murid Go-bi-san pula. Seperti kau ketahui, permusuhan itu merupakan permusuhan pribadi dan jangan membawa-bawa cabang persilatan menjadi musuh, buktinya akupun tidak memusuhi kau, cici!”

Kui Hwa menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. “Adikku yang baik, agaknya kau belum banyak merantau dan belum banyak mengalami hal-hal yang mengecewakan, sehingga kau tidak mengetahui keadaan. Permusuhan ini sudah amat mendalam dan sesungguhnya bukan datang dari pihak kami. Sudah banyak kami menerima hinaan dari pihak Go-bi, maaf, adik Tin Eng. Memang sesungguhnya jarang sekali terdapat anak murid Go-bi-pai seperti kau!”

“Apakah kau pernah mengalami hinaan? Dari siapakah?”

Kembali Kui Hwa menarik napas panjang. “Kalau diceritakan sungguh membuat orang menjadi penasaran sekali. Semenjak memiliki sedikit kepandaian silat, sudah menjadi kebiasaan ku untuk membasmi orang-orang jahat yang mengganggu rakyat. Beberapa bulan yang lalu pernah aku mengejar seorang jai-hwa-cat (penjahat pengganggu anak bini orang) dan kebetulan sekali penjahat itu juga memiliki ilmu-ilmu silat dari cabang Go-bi. Ia telah tersusul olehku dan tentu ia akan binasa di ujung pedangku, kalau saja ia tidak ditolong oleh seorang tosu dan muridnya, yang terang-terangan membela orang-orang Go-bi-pai. Aku dikalahkan oleh murid tosu itu dan mendapat hinaan dari mereka. Tosu itu bernama Bong Bi Sianjin dan muridnya bernama Gan Bu Gi.”

Tin Eng merasa terkejut sekali, akan tetapi ia dapat menahan perasaan ini dan berkata, “Hinaan apakah yang mereka lakukan terhadapmu, cici?”

“Biarlah lain kali saja kuceritakan padamu, adik Tin Eng. Sekarang telah jauh malam, lebih baik kita melanjutkan perjalanan masing-masing.”

Tin Eng maklum bahwa tentu telah terjadi sesuatu antara Gan Bu Gi dan Kui Hwa dan gadis itu yang baru saja dikenalnya masih belum percaya penuh untuk menceritakan hal itu kepadanya. Mereka lalu berpisah dan Tin Eng melanjutkan perjalanannya menuju ke Ki-ciu dan setelah keluar dari hutan, lalu melalui jalan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Kui Hwa. Sementara itu Kui Hwa mengambil jalan lain ke Kang-lam.

* * *

Dua hari kemudian Tin Eng tiba di Ki-ciu. Ia mendapat kenyataan bahwa kota ini memang benar-benar indah sehingga gadis ini merasa amat gembira. Selain bangunan-bangunan yang besar dan megah memenuhi kota hingga membuat kota itu nampak indah dan toko-toko besar membuktikan kemakmuran kota itu.

Juga di sepanjang pantai sungai Liang-ho yang mengalir di dekat kota itu telah dibangun tempat istirahat yang indah, penuh ditanami kembang-kembang dan didirikan menara-menara dan bangunan lain yang amat bagus. Di situ disediakan pula perahu-perahu kecil bagi para pelancong yang hendak menghibur hati dan setiap hari terdengar tetabuhan yang-kim dan suling merayu-rayu.

Tin Eng bermalam dalam sebuah hotel terbesar, memilih kamar di loteng. Hanya pada malam hari saja ia berada di dalam kamarnya, karena pada pagi dan sore hari ia selalu keluar dari hotel untuk berjalan-jalan dan mengagumi keindahan kota dan segala pemandangannya.

Pada hari kedua, ketika ia masuk ke dalam kamarnya setelah sehari penuh berpelesir di atas perahu dan mendengarkan tetabuhan yang merdu, ia menjadi terkejut sekali melihat bahwa buntalan pakaiannya telah lenyap dari kamar itu. Ia segera berteriak memanggil pelayan dan ketika pelayan datang ia memberitahukan bahwa barang-barangnya telah lenyap.

Pelayan itu menjadi pucat sekali dan berkata, “Aneh sekali, siocia! Kami selalu menjaga di bawah dan tak seorangpun kami lihat naik ke loteng ini. Bagaimana barang-barangmu bisa tercuri? Kalau memang ada pencuri yang mengambilnya, dari mana ia bisa naik ke sini?”

Melihat betapa pelayan itu memandangnya seakan-akan tidak percaya kepadanya bahwa barang-barangnya benar telah hilang, hampir saja Tin Eng menamparnya. Akan tetapi ia menahan kemarahannya dan melakukan pemeriksaan. Ternyata buntalannya yang berisi pakaian, perhiasan, uang dan juga kitab pelajaran ilmu pedang telah lenyap tak berbekas.

Ketika ia menjenguk ke luar jendela kamarnya, ia melihat sehelai sapu tangannya terletak di luar jendela, maka tahulah dia bahwa pencurinya adalah seorang pandai ilmu silat yang memasuki kamarnya dengan jalan melompat dari bawah dan masuk dari jendela.

“Celaka!” serunya marah sekali, sedangkan pelayan yang melihat hal inipun dapat menduga pula, bahwa yang datang mencuri barang-barang tamunya tentu seorang maling yang pandai, maka ia mulai menggigil seluruh tubuhnya.

“Bagaimana baiknya, siocia? Apakah saya harus melaporkan saja kepada penjaga kemanan?”

“Tak usah!” bentak Tin Eng marah sekali. “Aku akan mencarinya sendiri dan kalau maling keparat itu sampai terjatuh ke dalam tanganku, kepalanya akan kuhadiahkan kepadamu!”

Dengan wajah makin pucat karena ngeri, pelayan itu lalu lari dari loteng, menuruni anak tangga secepatnya. Tin Eng duduk termenung. Apa daya? Kemana ia harus mencari seorang maling yang tidak ada jejaknya? Kota Ki-ciu demikian besarnya sehingga untuk mencari seorang yang pernah dilihatnya saja sudah merupakan pekerjaan yang tidak mudah, apalagi harus mencari seorang maling yang belum dilihatnya sama sekali.

Semua barang-barangnya berada dalam bungkusan itu dan yang tertinggal padanya hanya pakaian yang dipakai, sedikit uang yang dibawahnya untuk bekal siang tadi dan pedangnya. Untuk membayar sewa kamar pun ia tidak punya.

Semua ini tidak begitu menyusahkan hatinya, akan tetapi yang paling ia sedihkan ialah kitab pelajaran ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat. Ia sayang kepada kitab itu melebihi seluruh barang yang dibawanya dan kalau sampai kitab itu terjatuh ke dalam tangan seorang penjahat, ia merasa ngeri memikirkan hal ini.

Kemudian Tin Eng mengambil keputusan untuk keluar dan mencari-cari ke mana saja nasib membawa dirinya. Siapa tahu kalau-kalau barang-barang itu dijual oleh pencuri dan terlihat olehnya dipakai orang. Ia akan dapat mengenali barang-barang dan pakaiannya sendiri.

Malam hari itu, Tin Eng kembali berjalan-jalan di sekeliling kota, akan tetapi tentu saja ia tak dapat bertemu dengan yang dicarinya. Akhirnya karena sedih, kecewa dan putus harapan, ia pergi ke tepi sungai yang sunyi dan duduk seorang diri melamun, sambil mendengarkan riak air yang berdendang tiada hentinya itu.

Ia memikirkan nasibnya yang amat buruk. Dipaksa kawin, melarikan diri untuk merantau, dan kini seluruh barangnya habis tercuri orang. Ia mulai merasa menyesal mengapa ia meninggalkan rumah. Akan tetapi, kalau ia kembali, ia harus tunduk kepada kehendak ayahnya dan ia tidak mau menikah dengan Gan Bu Gi.

Apalagi setelah ia mendengar dari Kui Hwa bahwa Gan Bu Gi dan suhunya membantu orang-orang Go-bi-san dan memperbesar permusuhan, bahkan pernah menghina kepada Kui Hwa, kawan baiknya itu. Ia tidak suka menikah dengan panglima muda itu.

Ia lalu teringat Gwat Kong. Kasihan sekali pelayan muda itu. Kalau teringat betapa ia pernah melukai lengan Gwat Kong dengan pedangnya bahkan pernah menodongnya dengan ujung pedang menempel pada tenggorokan pemuda itu! Kalau teringat betapa pemuda itu memandangnya dengan sayu dan sedikitpun tidak merasa takut, biarpun lehernya hendak ditusuk pedang, bahkan minta kepadanya untuk membunuhnya saja.

Kalau ia ingat betapa Gwat Kong yang sedikitpun tidak merintih bahkan berkejap matapun tidak ketika menderita luka pada lengannya. Ah, kalau ia teringat akan itu semua, timbul penyesalan besar dalam hatinya. Pemuda pelayan itu amat baik dan setia kepadanya, bahkan kitab ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat yang kini hilang itupun pemberiannya.

Akan tetapi ia membalas pemuda itu dengan tusukan pedang, bahkan dengan ancaman membunuh, hanya karena pemuda itu dengan berani karena mabuknya, mencela di depan Gan Bu Gi dan Seng Le Hosiang, bahkan di dalam mabuknya berani membayangkan perasaan cinta kasihnya kepada puteri majikannya.

Hal ini bagi Tin Eng memang dulu merupakan sebagai penghinaan. Betapa seorang puteri tunggal Kepala daerah yang berdarah bangsawan, takkan merasa terhina kalau dicinta oleh seorang pelayan dan tukang kebunnya sendiri. Akan tetapi sekarang ia bukanlah Tin Eng yang dulu.

Sekarang ia hanya seorang gadis perantau yang telah kehilangan semua barangnya, seorang gadis semiskin-miskinnya karena pakaian pun hanya memiliki satu stel yang melekat pada tubuhnya saja dan uang hanya tinggal sedikit, bahkan hutangnya pada hotel juga belum dapat terbayar.

Kepada siapakah ia harus minta tolong? Kalau saja ia dapat bertemu dengan Gwat Kong, pelayannya yang amat setia itu, tentu Gwat Kong akan suka menolongnya dari kesulitan ini biarpun pemuda itu pernah hendak dibunuhnya, telah dilukainya, akan tetapi pasti pemuda itu akan bersedia menolongnya.

Hal ini ia yakin benar karena baru sekarang ia merasa betapa besar cinta kasih pemuda itu kepadanya. Baru sekarang ia teringat betapa pemuda itu selalu berusaha untuk menyenangkan hatinya! Tak terasa lagi Tin Eng lalu menangis dan terisak-isak di pinggir sungai. Ia merasa berduka sekali tanpa mengetahui dengan pasti apakah yang menimbulkan rasa duka ini.

Entah karena menyesal telah meninggalkan gedung orang tuanya. Entah karena menyesal akan perlakuannya terhadap Gwat Kong, atau barangkali juga karena teringat akan barang-barangnya yang hilang.

“Nona, aku hendak bicara padamu,” tiba-tiba terdengar suara orang laki-laki.

Dan Tin Eng melompat dengan terkejut sambil mencabut pedangnya dan memutar tubuhnya. Di depannya berdiri seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, memakai pakaian hitam dan ikat kepala hitam pula. Laki-laki itu segera menjura ketika Tin Eng mencabut pedang.

“Sabar, nona. Aku bukan datang dengan maksud jahat, bahkan hendak menolongmu mendapatkan kembali kitabmu yang hilang.”

Tin Eng merasa gembira sekali. “Di mana kitabku itu? Siapa yang mencurinya?” pertanyaan ini diajukan dengan suara mengancam dan pedangnya telah menggigil dalam tangannya.

“Sabar, sabar, nona dan jangan salah sangka. Bukan aku yang melakukan pencurian itu. Biarpun aku, Lok Ban si Tangan Seribu dianggap sebagai kepala semua pencuri dan pencopet di Ki-ciu, akan tetapi aku belum pernah mengulurkan tangan panjang untuk mengambil milik orang!”

“Katakanlah siapa yang mencuri barang-barangku dan di mana kitab itu?” Tin Eng mendesak pula tidak sabar.

“Masukkan dulu pedangmu itu di dalam sarungnya, nona. Andaikata kau dapat membunuh si Tangan Seribu sekalipun, kau takkan dapat menemukan kembali kitabmu tanpa pertolonganku.”

Tin Eng sadar akan hal ini maka ia menekan perasaan marahnya dan memasukkan pedangnya, lalu berkata. “Maaf, sahabat. Sekarang ceritakanlah apa sebenarnya maksud kedatanganmu ini.”

“Seorang kawan kami secara kebetulan telah mendapat kitab itu di dalam bungkusan barang-barangmu. Tentu saja tidak ada aturannya seorang pencuri mengembalikan barang-barang berharga yang dicurinya, akan tetapi kitab itu...”

“Aku tidak memperdulikan segala macam barang-barangku, asalkan kitab itu kembali kepadaku,” kata Tin Eng memotong.

Lok Ban si Tangan Seribu itu tersenyum. “Inilah maksud kedatanganku, nona. Kami para anggauta Perkumpulan Tangan Panjang di kota Ki-ciu biarpun melakukan pekerjaan yang orang biasa menganggapnya jahat, akan tetapi kami memiliki cabang persilatan sendiri dan sama sekali menjadi pantangan besar bagi kami untuk mencuri ilmu silat orang lain. Tanpa disengaja, seorang kawan kami mendapatkan kitab pelajaran ilmu pedang dalam bungkusanmu. Sudah menjadi kewajiban kami untuk mengembalikan kitab itu asal kau suka memberi sedikit ‘uang lelah’ kepada kawan kami itu.”

Bukan main marahnya hati Tin Eng mendengar ini. Orang-orang telah mencuri kitabnya dan sekarang masih hendak memeras lagi. Akan tetapi ia maklum bahwa ia tidak berdaya dan seakan-akan berada dalam kekuasaan kepala maling ini. Kalau ia menjadi marah dan menyerang kepala maling itu, makin jauhlah harapannya untuk mendapatkan kembali kitab itu. Sedangkan untuk menebus dan memenuhi kehendak kepala maling ini, ia tidak mempunyai uang.

Tin Eng secara cerdik menyembunyikan perasaannya dan berkata, “Hal itu mudah sekali. Pasti aku takkan melupakan kebaikan ini dan aku rela memberikan semua harta bendaku asalkan kitab itu bisa kembali ke tanganku. Akan tetapi, apakah buktinya bahwa kitab itu betul-betul berada pada kawanmu? Bagaimana kalau kau menipuku? Kalau aku melihat sendiri kitab itu, barulah aku percaya.”

“Nona, jangan kau sembarangan mengeluarkan ucapan. Aku Lok Ban biarpun menjadi kepala maling akan tetapi tak pernah membohong atau menipu orang. Kalau kau tidak percaya, mari kau lihat sendiri buktinya!” Sambil berkata demikian kepala maling ini lalu memutar tubuh dan berlari keras, memberi tanda agar supaya Tin Eng mengikutinya.

Tin Eng pun melompat dan menyusul, akan tetapi tiba-tiba ia mendapat pikiran yang baik sekali. Bagaimana kepala maling ini mau mempercayainya dan membawanya ke tempat kitab itu berada? Kalau kepala maling ini melihat bahwa ia berkepandaian tinggi, tentu ia akan menyesatkannya dan mungkin akan menjebaknya karena merasa jerih kepadanya. Oleh karena ini ia sengaja memperlambat larinya hingga sebentar saja ia tertinggal jauh.

Beberapa kali Lok Ban menengok dan melihat betapa gadis itu tertinggal jauh sekali, ia lalu berhenti dan membalikkan diri menghampiri Tin Eng sambil tertawa.

“Mengapa kau lari secepat itu? Jangan tergesa-gesa!” kata Tin Eng yang sengaja bernapas tersengal-sengal.

Lok Ban tertawa dan berkata dengan suara menyatakan kegirangan hatinya, “Nona, kita telah salah jalan, seharusnya ke sana!” Sambil berkata demikian, ia lalu berlari ke arah yang bertentangan dengan tadi dan kini ia berlari perlahan agar Tin Eng tak sampai tertinggal lagi.

Diam-diam Tin Eng merasa girang karena usahanya berhasil dan ternyata bahwa tadi kepala maling ini benar-benar hendak mengujinya dan membawanya ke arah jalan yang bertentangan.

Tak lama kemudian, tibalah mereka di dalam sebuah rumah yang besar dan yang berdiri di luar sebuah hutan. Ketika mereka tiba di tempat itu, di luar terdapat belasan orang yang agaknya sedang merundingkan sesuatu. Yang sedang bercakap-cakap hanyalah tiga orang saja sedangkan yang lain hanya mendengarkan.

Ketika melihat kedatangan Lok Ban dan Tin Eng, seorang di antara ketiga orang yang bercakap-cakap tadi, yakni seorang yang bertubuh kecil pendek dan berkepala botak, segera lari menyambut dan berkata kepada Lok Ban sambil memandang ke arah Tin Eng dengan tersenyum,

“Lok-pangcu (ketua Lok), kitab itu telah dibeli oleh dua orang tuan yang baru datang itu!” Sambil berkata demikian, ia mengangkat dan memperlihatkan sebuah kantong yang terisi uang kepada ketua maling ini.

“Jadi kaukah yang mencuri kitab dan barang-barangku?” Tin Eng membentak marah. “Kembalikan kitabku dan jangan menjualnya kepada orang lain kalau kau sayangi jiwamu!” Sambil berkata demikian, Tin Eng lalu mencabut pedangnya dan melompat ke dekat si kepala botak sambil mengancam.

“Kitab sudah berada di tangan mereka,” kata si maling yang berkepala botak itu sambil melompat pergi dan melarikan diri, Tin Eng hendak mengejar, akan tetapi Lok Ban tertawa dan berkata,

“Nona, kau telah didahului orang, maka kalau kau hendak mengambil kembali kitabmu, kau boleh berusaha membelinya kembali dari kedua orang itu!”

Bukan main marahnya hati Tin Eng yang merasa dipermainkan, akan tetapi oleh karena mendapatkan kembali kitab itu lebih penting baginya dari pada berurusan dengan segala maling, ia lalu berlari secepatnya terbang ke arah dua orang tadi. Lok Ban terkejut sekali melihat gerakan kaki Tin Eng ini karena jauh sekali bedanya dengan kecepatan lari gadis tadi.

Otaknya yang cerdik segera dapat menduga bahwa ia tadi kena ditipu oleh gadis itu, maka ia lalu memberi tanda kepada semua anak buahnya yang segera lari pergi meninggalkan tempat itu. Maling-maling ini tidak perlu lagi dengan Tin Eng maupun dengan dua orang yang datang membeli kitab, oleh karena uang pembelian kitab sudah diterima dan mereka tidak mau mencari penyakit dan mencampuri urusan itu.

Oleh karena ini, maka yang berada di situ kini hanyalah Tin Eng dan dua orang laki-laki pembeli kitab pelajaran Sin-eng Kiam-hoat tadi. Tin Eng memperhatikan kedua orang itu dan ternyata mereka adalah orang-orang yang bertubuh tegap, membawa pedang pada pinggang masing-masing dan berusia kurang lebih empat puluh tahun dan sikapnya gagah sekali.

Tin Eng menjura kepada mereka dan berkata, “Jiwi harap suka mengembalikan kitab itu kepadaku, karena kitab itu adalah milikku yang dicuri oleh gerombolan maling itu!”

Kedua orang laki-laki itu saling pandang kemudian tersenyum dan setelah mereka tersenyum dan memandangnya, tahulah Tin Eng bahwa kedua orang inipun bukanlah orang baik-baik karena senyum dan pandang matanya ternyata kurang ajar sekali. “Nona, kitab ini kami beli dengan harga lima puluh tail perak!”

Tin Eng menjadi bingung. Ia tidak mempunyai uang sebanyak itu, maka terpaksa ia menjawab, “Maaf, pada waktu ini saya tidak membawa uang sebanyak itu. Akan tetapi, kalau jiwi pergi ke Kiang-sui dengan membawa suratku kepada Kepala daerah Kiang-sui, jiwi akan menerima uang pengganti seratus tail.”

Tiba-tiba berubahlah muka kedua orang itu mendengar disebutnya kota Kiang-sui. “Jadi kau mendapatkan kitab ini di Kiang-sui, nona?” tanyanya.

“Tak perlu kalian tahu dari mana aku mendapatkan kitab ini, yang terpenting ialah bahwa kitab itu adalah kitabku dan kalian harus mengembalikannya kepadaku!” kata Tin Eng yang sudah menjadi tidak sabar lagi.

“Nona, kenalkah kau kepada Bu-eng-sian, Dewa Tanpa Bayangan?”

Baru kali ini Tin Eng mendengarkan nama itu maka ia menggelengkan kepala. Orang kedua yang agaknya tidak percaya kepada sangkalan Tin Eng ini, bertanya lagi, “Benar-benar kau tidak kenal pada Leng Po In, pengemis tua hina dina itu?”

Tin Eng menjadi hilang sabar. “Sudahlah, tak perlu kita bicarakan hal-hal yang tidak perlu kumengerti. Pendeknya, betapapun juga kalian harus mengembalikan kitabku itu!” Ia menggerak-gerakkan pedangnya.

Kedua orang itu tertawa cekakakan sambil mencabut pedang masing-masing. “Nona manis, mudah saja kau bicara! Seandainya kitab ini tidak tercuri dari tanganmu, kalau kami mengetahui bahwa kau membawa kitab ini, pasti kami akan turun tangan merampasnya, baik dengan halus maupun dengan kasar. Ketahuilah bahwa guru-guru kami telah bertahun-tahun mencari kitab ini, dan karenanya lebih baik kau mengaku terus terang saja dari mana mendapatkan kitab ini dan ada di mana pula adanya kitab tebal yang asli. Kalau kau mau berterus terang, tentu kami takkan melupakan budimu.”

“Siapa sudi mendengar ocehanmu! Kembalikan kitab itu!” Sambil berkata demikian, Tin Eng menyerbu dengan pedang di tangan kanan digerakkan menyerbu, sedangkan tangan kiri diulur untuk merampas kitab yang dipegang oleh seorang di antara mereka. Akan tetapi dengan gesit orang itu melompat dan sebelum Tin Eng sempat mengejarnya, yang seorang lagi telah menyerbu dan menyerangnya....

Jilid selanjutnya,