Pedang Penakluk Iblis Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Penakluk Iblis Jilid 03

Sebaliknya, Wan Sin Hong berdiri dengan tenang dan tabah. Ia maklum bahwa kalau saja ia tidak menderita luka-luka akibat siksaan yang diterimanya selama ini, akan dapat menghadapi dan melawan Kong Ji. Ia tak usah kalah oleh Kong Ji dalam hal ilmu silat sungguhpun tidak dapat memastikan apakah ia akan menang. Akan tetapi, pada waktu itu tubuhnya sudah amat lemah. Tidak saja menerima siksaan dan luka-luka, juga ia tidak diberi makan sudah dua hari sehingga tubuhnya lemah sekali.

"Anjing tak berjantung, kau mau membunuh aku? Bunuhlah, sama saja bagiku, hidup atau mati aku tetap akan membalasmu kelak!" kata Sin Hong samhil berdiri tegak.

Kong Ji menjadi semakin marah mendengar makian ini. Dengan tangan kanan dikepalkan sambil mengerahkan semua tenaganya, ia menghantam ke arah pelipis Sin Hong. Kalau pukulan ini tepat mengenai sasaran, tak dapat diragukan lagi Sin Hong tentu akan putus nyawanya. tidak saja pukulan ini mengandung tenaga yang dahsyat, juga yang dipukul adalah bagian kepala yang paling lemah dan yang menjadi pusat semua urat syarat.

Sin Hong maklum pula bahwa ia tidak berdaya melawan, namun tentu saja tidak mau mampus begitu saja. biarpun ia tidak mengenal takut dan tidak takut mati, namun ia akan membela diri sedapat mungkin. Melihat datangnya pukulan ke arah pelipisnya, ia menggerakkan kepalanya ke belakang sehingga pukulan itu melayang di depan matanya dan menyambar tempat kosong.

Kong Ji marah sekali dan untuk kedua kalinya ia melayangkan pukulannya kini ia menonjok ke arah dada kiri Sin Hong. Pukulan ini pun merupakan pukulan maut karena kalau mengenai sasaran jantung anak itu akan tergoncang dan dapat menyebabkan kematiannya, Sin Hong miringkan tubuhnya, akan tetapi karena tubuhnya sudah lemas kurang bertenaga, maka gerakannya itu kurang cepat sehingga pukulan yang dahsyat itu masih mengenai lengannya di atas siku.

"Krak...!" Patahlah tulang lengan dari Sin Hong. Anak ini meringis kesakitan dan air mata terloncat keluar saking hebatnya rasa sakit yang dideritanya. Namun tidak sedikit pun keluhan keluar dari mulutnya dan biarpun kedua kakinya gemetar, ia masih dapat menjaga keseimbangan tubuhnya dan tidak roboh terguling.

Pada saat itu, sebelum Kong Ji menyerang lagi untuk menewaskan Sin Hong, terdengar suara halus dari luar. "Tahan...! Jangan mendahului kami membunuh musuh besar kami!"

Kong Ji kaget dan menengok, demikian pula dua orang tokoh Im yang bu-pai memandang ke arah luar kuil bobrok. Ternyata bahwa yang datang adalah Kiang Cun Eng, anggauta-anggauta Hek-in-kaipang! Kuil itu telah dikurung oleh seratus orang pengemis Hek-kin-kaipang dan kedatangan ketua perkumpulan pengemis itu benar-benar tepat sekali, karena terlambat satu menit saja, tentu nyawa Sin Hong sudah melayang akibat serangan serangan Kong Ji yang ganas dan keji.

Ketika mengenal siapa orangnya yang menahan Kong Ji membunuh Sin Hong, dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu saling pandang dan muka mereka menjadi merah. Lalu melompat berdiri dan tangan kanan mereka meraba gagang senjata.

"Biarpun perkumpulan kami jauh lebih tinggi kedudukannya daripada Hek-kin-kai-pang, namun kami masih mengingat bahwa Hek-kin-kaipang adalah perkumpulan tua yang ternama juga, maka kami tidak pernah mengganggu. Sekarang Kek kin-kaipang dengan puluhan orang anggautanya mengepung dan mengganggu kami, apakah artinya ini?”

Kiang Cun Eng memberi hormat dan tersenyum manis. "Jiwi Locianpwe, mohon maaf sebanyaknya. Kalau tidak ada setan cilik ini di situ, mana kami berani mengganggu Jiwi? Perkenalkanlah, aku adalah Kiang Cun Eng ketua Hek-kit kaipang yang bodoh dan rendah. Kami telah mendatangi Hoa-san-pai untuk membasmi partai yang telah berkali-kali menghina kami dan menjadi musuh besar kami, akan tetapi ternyata kami didahului oleh Jiwi Locianpwe yang gagah perkasa. Oleh karena setan cilik ini adalal ahli waris terakhir dari Hoa-san-pai, maka kami mohon kepada Jiwi sudilah memberikan anak ini kepada kami untuk kami bikin korban sembahyang, guna menyembahyangi roh-roh para anggauta kami yang ditewaskan oleh orang-orang Hoa-san pai. Bagi Jiwi, kiranya membunuh Liang Gi Tojin dan Lie Bu Tek saja sudah cukup. Harap sudi mengalah kepada kami dan memberi kesempatan kepada kami untuk membalas dendam kami kepada keturunan Hoa-san-pai yang terakhir ini."

Thian-te Siang-tung Kwa Siang yang tadi menegur, memandang kepada suhengnya dan mereka berdua merasa curiga. Sudah lama mereka mendengar nama Kiang Cun Eng sebagai ketua Hek-kin-kaipang yang lihai ilmu silatnya dan banyak akal. Tentu saja mereka berdua tidak takut menghadapi ilmu silat ketua Hek-kin-kai-pang ini, akan tetapi mereka merasa curiga kalau-kalau mereka akan ditipu.

"Hm, siapa percaya omonganmu?" kata Siang-mo-kiam Lai Tek sambil, memandang tajam. Di bawah sinar api penerangan yang suram, wajah Kiang Cun Eng masIh nampak cantik jelita seperti gadis berusia remaja saja. "Bagaimana kalau kami menolak permintaanmu?"

Kiang Cun Eng menjura. "Locianpwe, bagi aku sendiri, ditolak masih tidak apa-apa, akan tetapi para anggauta Hek-kin-kaipang yang seratus orang banyaknya ini sudah tidak sabar lagi. Mereka semua haus darah anak Hoa-san-pai itu, maka terserah kepada Locianpwe apakah hendak mengalah atau tidak. Akan tetapi, aku tidak tanggung kalau semua kawanku ini tidak mau menerima begini saja dan ramai-ramai akan menyerbu untuk berebut membinasakan anak itu.”

Kwa Siang hendak marah akan tetapi Lai Tek memberi isyarat dengan matanya. Tokoh ke dua dari Im-yang-pai ini bukan orang bodoh. Ia pikir tidak ada untungnya untuk memperebutkan tentang siapa yang akan membinasakan anak Hoa-san-pai itu. Alangkah bodohnya kalau tidak mau mengalah dan kemudian bentrok dengan Hek-kin-kaipang yang pada saat itu terdiri dari seratus orang. Siepa saja yang membunuh anak ini, apa bedanya? Pihak Im-yang-bu-pai hanya ingin melihat anak ini binasa agar kelak tidak menimbulkan bencana.

"Kiang-kaipangcu, biarlah kami mengalah. Akan tetapi kau harus membinasakan anak ini di tempat ini juga, disaksikan oleh kami!" katanya. Mendengar ucapan ini, Kwa Siang mengangguk-angguk menyatakan setuju. Memang kalau anak itu dibunuh di sini, apa bedanya?

"Baik dan terima kasih!" kata Kiang Cun Eng sambil membentak. "Anak setan, kau ke sinilah!" Sekali saja ia menjambret, ia telah dapat menjambak rambut Sin Hong dan diseretnya anak itu mendekat.

Sin Hong menggigit bibirnya menahan rasa sakit dan pedas pada kulit kepalanya. "Siluman perempuan, kau hendak membunuh lekas bunuh! Siapa takut mampus?" ia balas membentak sambil iiendelikkan matanya.

"Bocah setan, pernah apa kau dengan Lie Bu Tek ?" tanya Kiang Cun Eng memperkeras jambakannya sehingga dua orang tokoh Im-yang-bu-pai menjadi girang dan hilang kecurigaannya. Ternyata bahwa ketua dari Pek-kin-kaipang ini lebih keras hati lagi dan mereka tentu akan melihat kematian yang amat menarik hati dari anak kecil itu!

"Lie Bu Tek adalah ayah angkatku, kau siluman perempuan tanya-tanya ada perlu apakah?"

"Bagus, kalau begitu kau harus mampus?" bentak Kiang Cun Eng sambil mencabut pedang di tangan kanan. Akan tetapi bukannya ia menggunakan pedang untuk menabas batang leher Sin Hong, sebaliknya ia lalu menyambar tubuh anak itu dengan lengan kirinya, memondongnya lalu meloncat cepat sekali keluar dari kuil!

"Celaka, kita tertipu!" teriak Kwa Siang dan cepat menggerakkan tangan kanannya yang sejak tadi telah memegang tiga pelor besi. Tiga buah senjata rahasia itu menyambar ke arah Kiang Cun Eng, akan tetapi wanita gagah ini memutar pedangnya. Terdengar suara nyaring dan tiga buah' pelor besi itu terpental. Akan tetapi Cun Eng merasa betapa telapak tangannya yang memegang pedang tergetar dan kesemutan!

Kwa Siang dan Lai Tek mencabut senjatanya dan meloncat untuk mengejar. Akan tetapi baru saja tiba di depan pintu, mereka telah dihadang oleh seratus orang anggauta Hek kin-kaipang. "Bagus mulai hari ini Im-yang-bu-pai akan membasmi Hek-kin-kaipang!" teriak Kwa Siang marah sekali dan bersama suhengnya ia lalu mainkan senjata dan mengamuk hebat.

Kepandaian dua orang kakek ini memang lihai sekali. Andaikata Kiang Cun Eng ikut mengeroyok, ketua Hek-kin-kaipang ini pun takkan menang menghadapi mereka. Apalagi sekarang Hek-kin-kaipang telah banyak kehilangan jago-jagonya. Dahulu Kiang Cun Eng masih mempunyai pembantu-pembantu yang amat sakti ketika Cun Eng masih muda. Akan tetapi para pembantunya itu telah tua sekali dan sekarang semua anggauta Hek-kin-kaipang pandai ilmu silat, namun menghadapi dua orang tokoh Im-yang-bu pai yang amat lihai itu, mereka roboh seorang demi seorang bagaikan rumput dibabat.

Naintin para anggauta Hek-kin-kaipang sudah amat terkenal sebagai orang-orang yang setia sampai mati kepada perkumpulan dan ketua mereka. Biarpun maklum bahwa dua orang itu sama sekali bukan lawan mereka, namun mereka taat akan perintah yang dikeluarkan oleh Kiang Cun Eng untuk menghalangi dua orang musuh itu melakukan pengejaran terhadap ketua mereka. Biarpun banyak sekali kawan-kawan mereka yang roboh binasa, namun mereka sama sekali tidak mau memberi jalan dan terus mengepung Kwa Siang dan Lai Tek. Dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu menjadi makin marah. Benar-benar mereka tak berdaya untuk mengejar Cun Eng, dan terpaksa mereka mengamuk terus sehingga puluhan orang anggauta Hek-kin-kaipang roboh, terluka atau tewas. Baiknya mereka bertempur di luar kuil dan keadaan malam hari itu gelap sehingga hal ini mengurangi banyaknya korban yang jatuh.

Setelah mengurung dan mengeroyok dua orang Im-yang-bu-pai itu cukup lama dan yakin bahwa ketua mereka sudah melarikan dan cukup jauh hingga tak mungkin akan tersusul oleh pengejar-pengejarnya, para anggauta Hek-kin-kaipang tiba-tiba melenyapkan diri di dalam gelap. Hebatnya dan rapinya barisan pengemis ikat pinggang hitam ini adalah ketika mereka melenyapkan diri, tiap orang menyambar tubuh seorang kawan yang terluka atau tewas sehingga ketika lenyap, mereka yang jadi korban juga lenyap dari tempat itu!

Akan tetapi, seorang anggauta Hek-kin-kaipang tak dapat melarikan diri cukup cepat karena ia berada di dekat Lai Tek. Sekali saja Siang-mo-kiam Lai lek menggerakkan tangannya, ia telah dapat menangkap pundak orang ini yang segera dibantingnya ke bawah. Pengemis itu mengeluh dan tak dapat berdiri lagi.

"Hayo katakan ke mana perginya ketuamu Kiang Cun Eng," kata Lei Tek tiambil mengancam dengan pedangnya. Akan tetapi pengemis itu diam saja tidak menjawab dan tidak bergerak.

"Bangsat rendah, kau ingin disiksa?" Kwa Siang ikut mengancam dengan marah sekali.

"Sahabat, kalau kau mengaku dan memberi tahu kepada kami ke mana perginya ketuamu, kami akan mengampuni nyawamu," kata pula Lai Tek. Namun pengemis tetap menutup mulutnya.

"Jiwi locianpwe, mengapa tidak memanggang hidup-hidup agar dia suka mengaku?" tiba-tiba Liok Kong Ji yang sudah keluar dari kuil memberi usulnya.

Melihat tiga musuh besar ini, pengemis yang tertangkap itu tersenyum mengejek. "Kau kira aku orang macam apa? Biar kau akan membunuhku, aku takkan mengkhianati perkumpulan dan pangcu. Mau bunuh boleh bunuh, tak sudi aku mengobrol lebih lama dengan anjing-anjing besar kecil screndah kalian!"

"Krak!!" Kepala pengemis itu pecah dan isi kepalanya hancur berantakan ketika tongkat Kwa Siang melayang dan menghantam kepalanya. Kwa Siang yang berhati keras dan berangasan itu tak dapat menahan sabar lagi.

"Ah, mengapa kau terburu nafsu, Sute? Ke mana kita harus mengejar ketua Hek-kin-kaipang?" Lai Tek menyesal.

"Apa sih perlunya dikejar-kejar, Suheng? Kelak apa sukarnya bagi kita untuk memenggal leher ketua Hek-kin-katpang untuk membalas dendam atas hinaannya kali ini. Tentang setan cilik yang dibawanya pergi, andaikata Kiang Cun Eng menipu kita dan tidak membunuhnya, apa sih yang patut ditakuti? Lebih baik kita lekas pulang ke Lam-si melaporkan semua hal ini kepada bengcu (pemimpin) kita."

Siang-mo-kiam Lai Tek menarik napas panjang. Ia tahu akan watak suhengnya yang selain keras juga amat berani. Lagi pula, kalau dipikir-pikir, memang mereka tidak mempunyai lain jalan untuk mengejar Kiang Cun Eng. Kalau mereka berusaha mencarinya, tentu berarti akan terlambat tiba di kota Lam-si yang sudah dekat dan hal ini amat berbahaya. Bengcu mereka adalah seorang yang jauh lebih keras hati daripada Kwa Siang. Sekali ia marah, ia mampu membunuh seorang anggauta atau murid seketika itu juga kalau si murid ini salah atau melanggar perintahnya!

"Baiklah, Sute. Mari kita langsung ke Lam-si saja. Bengcu tentu sudah menunggu-nunggu kita."

Demikianlah, Thian te Siang-tung Kwa Siang, Siang-mo-kiam Lai Tek, dan Liok Kong Ji atau sebaiknya kita sebut Lui Kong Ji karena anak yang berhati keji dan khianat ini sudah mengganti she (nama keturunan), berangkat cepat-cepat ke kota Lam-si di kaki bukit Kim-san.

Pada keesokan harinya, tibalah mereka di kota Lam-si. Kong Ji merasa kagum melihat sebuah gedung yang kokoh kuat dan besar sekali di sebelah barat kota. Di depan gedung ini tergantung papan nama perkumpulan Im-yang-bu-pai dengan tulisan yang merah, besar dan gagah. Di depan pintu gerbang duduk beberapa orang penjaga yang pakaian aneh, yakni seperti yang dipakai oleh Kwa Siang dan Lai Tek, setengah hitam setengah putih. Melihat Kwa Siang dan Lai Tek, semua penjaga berdiri tegap memberi hormat.

"Di mana bengcu?" tanya Lai Tek.

"Bengcu sedang berlatih silat di lian-bu-thia (ruang berlatih silat), melarang orang mendekati tempat itu," seorang penjaga memberi keterangan.

Lai lek maklum bahwa larangan ini berlaku untuk semua anggauta kecuali dia dan Kwa Siang yang merupakan "tangan kanan kiri" dari ketua Im-yang-bu-pai. Maka ia mengajak Kong Ji dan sutenya memasuki gedung, terus menuju ke lian-bu-thia. Ruangan ini lebar dan dikurung oleh empat pintu tertutup daun pintunya. Tiba-tiba mereka mendengar sambaran-sambaran angin yang dahsyat sekali sehingga daun-daun pintu tergetar seakan-akan didorong dari sebelah dalam. Dua orang tokoh lm yang-bu-pai itu saling pandang dengan heran dan kagum.

"Kong Ji, kau tinggal di sini saja, sekali-kali tak boleh ikut masuk ke dalam," kata Lai Tek kepada anak itu yang tidak mengerti apa yang terjadi di sebelah dalam ruangan lian-bu-thia atau di balik empat pintu itu.

Adapun Lai Tek dan Kwa Siang berlutut di luar sebuah pintu kemudian Lai Tek berseru, "Bengcu yang mulia, hamba berdua datang menghadap."

Sambaran angin pukulan makin menghebat dan tiba-tiba pintu di depan dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu terpentang lebar dan angin pukulan masih menyerang keluar, membuat Kwa Siang dan Lai Tek jatuh bergulingan! Dapat dibayangkan betapa hebatnya pukulan itu yang anginnya saja dapat membuat pintu terpentang dan dua orang lihai seperti Lai Tek dan Kwa Siang sampai tak dapat menahan dan bergulingan.

Lai Tek dan Kwa Siang terkejut bukan main. Mereka bangkit dan duduk lagi dengan muka pucat, akan tetapi keduanya tersenyum girang. "Bengcu telah berhasil melatih ilmu pukulan dengan tenaga Tin-san-kang (Tenaga Menggetarkan Gunung)!" kata Lai Tek.

Terdengar suara ketawa menyeramkan dari balik pintu dan tiba-tiba bagaikan bayangan seorang iblis, di depan dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu telah berdiri seorang kakek yang menyeramkan. Kakek ini rambutnya panjang terurai ke pundak, matanya lebar dan tubuhnya tinggi besar. Pakaiannya seperti pakaian seorang tosu, bertangan lebar dan amat longgar nienutupi tubuhnya. Inilah bengcu atau ketua dari Im-yang bu-pai atau boleh juga disebut pendiri dari Im-yang-bu-pai karena sebelum dia datang yang ada hanya Im yang-kauw. Setelah kakek yang sakti ini datang dan mengusai Im-yang-kauw, dia lalu mendirikan Im-yang-bu-pai yang amat berpengaruh.

Bagi pembaca yang sudah membaea cerita Pendekar Budiman, orang ini tidak asing lagi, karena ia sesungguhnya adalah Giok Seng Cu, tosu yang nenjadi murid dari Pak Hong Siansu tokoh terbesar dari Tibet. Ilmu kepandatan Giok Seng Cu amat tinggi, apalagi akhir-akhir ini ia selalu memperdalam ilmu silatnya setelah ia kena dikalahkan Go Ciang Le yang berjuluk Hwa I Enghiong. Sebetulnya pendekar besar Go Ciang Le masih terhitung saudara seperguruannya. Karena guru dan Go Ciang Le adalah Pak Kek Siansu yang menjadi suheng dari Pak Hong Siansu. Hanya bedanya, kalau Pak Kek Siansu, menjadi seorang pertapa suci, adalah Pak Hong Siansu tersesat jauh, memasuki hek-to (jalan hitam).

Melihat kedatangan dua orang kaki tangannya, Giok Seng Cu tertawa. Ia merasa grrang sekali bahwa ilmu pukulan yang sedang dilatihnya itu berhasil baik. "Masih jauh daripada memuaskan. katanya berulang-ulang. "Sedikitnya naik dua tingkat lagi baru dapat menghadapi Hwa I Enghiong!"

Dua orang tokoh lm-yang-bu-pai terkejut mendengar ini. Ketua mereka sudah demikian dahsyat kepandaiannya hingga kalau dibandingkan dengan kepandaian mereka, mereka bukan apa- apa. Masa sekarang ketua ini harus naik dua tingkat kepandaiannya baru dapat menghadapi Hwa I Enghiong? Hampir mereka tak dapat percaya.

"Sesungguhnyakah?" Kwa Siang yang kasar menyatakan keheranannya, "Sampai dimanakah lihainya Go Ciang Le?"

Giok Seng Cu tertawa terbahak, suara ketawanya memecahkan telinga rasanya sehingga Kong Ji tak terasa lagi menutup kedua telinganya dengan tangan, baru berani membukanva kembali setelah orangtua itu menghentikan ketawanya.

"Kau tahu apa? Go Ciang Le telah mewarisi kepandaian Pak Kek Siansu, ilmu silatnya lihai luar biasa. Kalau aku tidak dapat merampas pedang Pak-kek-sin-kiam dan kitab rahasia dari Supek yang ditinggalkan di Luliang-san, aku masih belum mampu mengalahkannya. Namun menghadapi Luliang Sam-lojin pun bukan hal yang amat mudah. Setahun lagi kalau Tin-san-kang yang kulatih sudah sempurna, barulah aku akan menyerbu ke Luliang-san!" Kemudian kakek berambut panjang ini menahan kata-katanya dan merasa bahwa ia telah bicara terlalu hanyak, maka sambungnya, "Eh, Lai Tek dan Kwa Siang, bagaimana dengan tugas kalian menghukum Hoa-san pai? Dan siapa anak setan ini?"

“Hoa-san-pai telah hamba basmi, Liang Gi Tojin dapat ditewaskan, dan Lie Bu Tek menjadi orang cacad tiada guna selama hidupnya. Adapun anak bernama Lui Kong Ji, Ayah Bundanya tewas dalam tangan Lie Bu Tek. Karena melihat dia berbakat, hamba lalu membawanya untuk menjadi murid hamba," kata Kwa Siang. Adapun anak itu ketika tadi melihat Giok Seng Cu bertanya tentang dia, menjadi ketakutan dan siang-siang sudah berlutut tanpa berani mengangkat mukanya.

Kwa Siang dan Lai Tek lalu menuturkan semua pengalaman mereka, juga tentang anak angkat dari Lie Bu Tek yang tadinya mereka bawa akan tetapi kemudian dirampas oleh Kiang Cun Eng.

"Mengapa kalian menguruskan anak kecil itu? Hek-kin-kaipang tak boleh dipandang ringan, anggautanya banyak sekali. Belum waktunya bagi kita untuk menanam permusuhan dengan mereka.” Giok Seng Cu menegur setelah mendengar semua penuturan mereka.

"Menurut keterangan Kong Ji, anak itu bukan orang sembarangan, melainkan keturunan dari Wan-yen dan murid wanita Hoa-san-pai, kalau tidak dibinasakan, tentu kelak akan mendatangkan bencana," kata Lai Tek.

Giok Seng Cu menggerakkan tangannya. “Hah, takut apa menghadapi bocah itu? Biar dia dibawa oleh Kiang Cun Eng, biar ada seratus Kiang Cun Eng melatihnya, dia akan bisa berbuat apa terhadap kita?" Kemudian kakek berambut panjang yang menyeramkan itu memandang ke arah Kong Ji.

"Angkat mukamu!" bentaknya. Kon Ji terkejut dan menurut. "Kwa Siang, kau tidak salah, anak ini berbakat. Akan tetapi kita tidak tahu akan wataknya. Kau boleh mendidiknya, akan tetapi kalau kelak kulihat dia berbahaya, aku akan melenyapkannya."

Kwa Siang menyatakan baik dan Kong Ji yang tahu diri segera mengangguk-anggukkan kepalanya, menghaturkan terima kasih kepada kakek berambut panjang yang galak itu. Anak ini cerdik sekali, maka ia menjaga sedapat mungkin untuk menarik hati semua orang dan beberapa bulan kemudian ia telah dapat mengambil hati Giok Seng Cu sendiri sehingga ia diakui sebagai murid termuda dari lm-yang-bu-pai.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Gunung Luliang-san menjulang tinggi, puncaknya tertutup oleh mega-mega putih. Akan tetapi kalau orang berada di puncak itu, ia akan melihat mega yang berwarna semu hijau. Oleh karena puncak Luliang-san ini oleh mendiang Pak Kek Siansu, dinamakan Jeng in-thia (Ruangan Mega Hijau). Di puncak ini terdapat sebuah bangunan pondok sederhana dan kuat, pondok yang sudah kosong. Di halaman pondok terdapat dua makam yang letaknya berhadapan, kurang lebih lima tombak jarak antara dua makam ini. Itulah makam Pak Kek Siansu dan sutenya, Pak Hong Siansu yang tewas dalam pertandingan ilmu kepandaian secara hebat di depan pondok. Setelah keduanya tewas Go Ciang Le mengubur jenazah kedua orang tua sakti itu.

Semenjak Pak Kek Siansu tewas, Jeng-in-thia tidak pernah ditinggali orang. Adapun ketiga murid Pak Kek Siansu yang juga merangkap menjadi pelayan- pelayannya, kini tinggal di lereng gunung, dan hanya sekali waktu datang ke Jeng-in-thia untuk membersihkan bekas tempat tinggal guru mereka.

Tiga murid ini adalah Luliang Sam to-jin, tiga orang kakek dari Gunung Luliang san. Yang tertua adalah Luliang Ciangkun atau Panglima Luliang-san, kedua Luliang Siu-cai atau Sasterawan Luliang-san, sedangkan ke tiga adalah Luliang Nungjin atau Petani Luliang-san. Mereka telah berusia lanjut, telah menjadi kakek-kakek, namun mereka dianggap sebagai locianpwe yang dihormati dan disegani oleh semua golongan dalam dunia persilatan. Namun, mereka telah lama mengasingkan diri selalu tinggal di lereng Luliang-san dan tidak pernah turun ke dunia ramai. Bahkan watak mereka amat aneh, Sama sekali mereka tidak mau berhubungan dengan manusia. Kalau ada yang berani mendaki bukit Luliang-san, setiba di lereng tempat tinggal mereka, pasti orang itu akan mereka usir, secara halus maupun kasar!

Oleh karena inilah maka tidak ada orang kang-ouw yang berani naik ke sana, karena mereka segan menghadapi Luliang Sam-lojin yang memiliki kepandaian amat tinggi. Ketika Pak Hong Siansu menyerbu Luliang-san (diceritakan dalam Pendekar Budiman), tiga orang kakek ini terluka hebat oleh Pak Hong Siansu yang menjadi susiok (paman guru) mereka sendiri, Luliang Ciangkun patah-patah lengan kanannya sehingga kini lengan kanan itu menjadi bengkok dan tak dapat dipergunakan untuk mainkan pedangnya yang lihai dan ia terpaksa bermain pedang dengan tangan kiri. Luliang Siu-cai patah tulang pundaknya sehingga kini tulisannya yang biasa indah sekali menjadi coret-coretan jelek, juga menyebabkan gerakan ilmu silatnya kaku, Luliang Nungjin patah-patah kakinya sehingga kini kalau berjalan menjadi terpincang-pincang.

Akan tetapi, biarpun telah menjadi orang-orang bercacad, kepandaian mereka tidak berkurang, bahkan kini makin matang dan berisi. Mereka memang sudah memisahkan diri dari dunia ramia, akan tetapi oleh karena pengalaman yang dulu-dulu membuat mereka maklum bahwa pengasingan diri itu belum tentu berarti mereka terbebas daripada gangguan orang-orang jahat, maka mereka tidak lupa untuk melatih diri dan memperdalam ilmu kepandaian mereka. Luliang Sam-lojin maklum bahwa suhu mereka meninggalkan sebatang pedang pusaka dan kitab pelajaran ilmu silat yang disembunyikan di puncak Luliang-san. Suhu mereka pernah berpesan sebelum meninggal dunia kepada mereka.

"Pedangku Pak-kek-sin-kiam dan kitab ilmu silat Pak-kek-sin-kiamsut serta Pak kek-sin-ciang kusembunyikan di sekitar Jeng-in-thia. Akan tetapi kalian takkan dapat mempelajarinya, karena untuk mempelajari ilmu itu, harus ada seorang yang masih bersih lahir batinnya, seorang anak yang berbakat baik dan bertulang pendekar budiman. Kiranya hanya Ciang Le yang akan dapat mewarisinya. Akan tetapi biarlah kita serahkan jodoh pedang dan ilmu itu kepada Thian. Jangan beritahukan kepada siapapun juga, biarkan orang yang berjodoh menemukannya sendiri. Akan tetapi hati-hati dan jagalah jangan sampai dua benda itu terjatuh ke dalam tangan orang jahat."

Pesanan ini ditaati betul oleh mereka. Memang mereka pernah mencarI di dalam pondok, akan tetapi tidak dapat menemukan pedang dan kitab itu dan akhirnya mereka hanya menjaga di lereng bukit dengan penuh kewaspadaan. Bagi mereka yang sudah tua, memang sudah kurang nafsu untuk memiliki pedang pusaka dan kitab rahasia itu, karena untuk apakah? Luliang Ciangkun sudah cukup berbahagia kalau ia bisa bersilat pedang di tangan kiri pada malam terang bulan sambil diselingi minum arak sampai mabok. Luliang Siu-cai biar pun tulisannya sudah buruk, cukup berbahagia untuk menulis sajak-sajak indah sambil minum arak di bawah sinar bulan purnama.

Adapun Luliang Nungjin dapat tertawa sepuas hatinya kalau ia melihat hasil pertaniannya amat subur dan baik, melihat ladang tanamannya menghijau dan berombak seperti lautan teduh kalau tertiup angin gunung. Memang beberapa kali sute mereka yakni Go Ciang Le, datang mengunjungi mereka dan bersembahyang di depan makam Pak Kek Siansu, namun Ciang Le tidak pernah bertanya tentang pedang dan kitab, juga tak pernah menemukan benda-benda itu. Maka mereka juga diam saja, taat akan perintah suhu mereka.

Pada suatu pagi sejuk dan bersih, dari kaki Gunung Luliang-san berjalan seorang wanita yang menuntun seorang anak laki-laki, mendaki gunung. Mereka ini adalah Kiang Cun Eng dan Wan Sin Hong. Setelah berhasil merampas Wan Sin Hong dari tangan dua orang tokoh Im-yang-bu-pai, Kiang Cun Eng langsung membawa anak itu menuju ke Luliang-san, untuk memenuhi pesan Lie Bu Tek, yakni menghadapkan anak itu kepada Luliang Samlojin.

Kiang Cun Eng telah merawat luka-luka Sin Hong di dalam perjalanan. Tulang lengan kiri yang patah akibat pukulan Kong Ji, telah disambung dan diobati. Karena Sin Hong masih anak-anak dan tulangnya masih dalam masa pertumbuhan, maka penyambungan itu mudah dilakukan dan setelah bersambung, menjadi putih seperti sediakala. Kalau saja luka itu terjadi setelah ia dewasa, agaknya ia akan menderita cacad untuk selamanya.

Sin Hong tadinya membenci Kiang Cun Eng yang dikiranya juga seorang jahat seperti yang lain-lain. Akan tetapi betapa wanita itu merawatnya, memperlakukan dengan sikap manis dan baik dan ternyata bahwa perampasan itu dilakukan dengan maksud menolongnya, menjadi amat berterima kasih dan terharu. Apalagi setelah ia mendengar laporan pengemis Hek-kin-kaipang yang bertemu di jalan bahwa ketika menghadapi dua orang tokoh im-yang-bu-pai, tiga puluh orang anggauta Hek-kin-kaipang tewas dan luka-luka, hati Sin Hong menjadi perih sekali.

"Kiang-pangcu, mengapa kau lakukan semua ini untukku? Mengapa Hek–kin-kaipang membelaku sampai mengorbankan puluhan nyawa orang?" tanya Hong ketika ia mendengar akan laporan anggauta perkumpulan itu dan Cun Eng sedang mengobati luka-lukanya.

Cun Eng mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang, lalu menarik napas sambil berkata, "Anak yang baik, agaknya memang aku harus menebus semua dosa dengan jalan menolongmu, biarpun harus mengorbankan nyawaku sendiri. Aku lakukan semua ini untuk memenuhi permintaan Ayah angkatmu dan aku sudah berjanji akan memenuhi permintaannya itu biarpun dengan taruhan nyawaku dan nyawa kawan-kawanku."

Berlinang air mata anak itu mendengar keterangan ini. "Budimu besar sekali, Pangcu, Aku Wan Sin Hong bersumpah akan membalas budi terhadap Hek-kin-kaopang...”

"Hush... kalau ada persoalan budi, terima kasihmu harus kau tujukan kepada Lie Bu Tek. Dia sekarang menjadi manusia bercacad dan hidup sengsara di Hoa-san..."

"Gi hu...!" Sin Hong menangis ketika diingatkan kepada ayah angkatnya yang ia lihat dirobohkan oleh musuh-musuhnya. "Apakah... apakah Gihu tidak mati…?”

Cun Eng menggelengkan kepalanya. "la tidak mati," lalu menuturkan perjumpaannya dengan Lie Bu Tek di puncak Hoa-san.

“Kalau Gi-hu belum tewas, aku mau kembali saja ke sana. Kasihan dia terluka hebat, siapa yang merawatnya?" kata Sin Hong yang segera bangun dari pembaringannya.

Cun Eng, memegang pundaknya. "Tenanglah, Sin Hong. Ayah angkatmu tidak apa-apa biarpun ia telah terluka namun pihak Im yang-bu-pai sudah puas dan kiranya takkan mengganggunya. Kau menurutlah saja padaku, karena seperti sudah kukatakan tadi, aku melakukan semua ini untuk memenuhi pesanan Ayah Angkatmu itu. Kau tentu seorang anak yang patuh kepada kehendak Gihu-mu itu, bukan?"

Sin Hong mcngangguk sambil menahan air matanya, dan demikianlah, ia ikut dengan Cun Eng menuju ke Luliang-san. Karena kesehatannya telah pulih kembali, ia dapat melakukan perjalanan berlari-lari cepat sambil dituntun oleh Cun Eng. Melihat gunung besar di mana Cun Eng mengajaknya naik, Sin Hong tak dapat menahan keinginan tahunya, maka bertanyalah dia,

"Kiang-pangcu, kita sedang menuju ke manakah?"

Kiang Cun Eng menghentikan perjalanan dan menjawab, "Sin Hong, kiranya perlu kau ketahui akan rencana dari Ayah angkatmu dan mengapa kita berada di sini. Menurut kehendak Ayah angkatmu, aku harus membawamu ke Gunung Luliang-san ini dan menyerahkan kau ke dalam perlindungan Luliang Sam-lojin, tiga orang kakek yang berilmu tinggi. Hanya dalam perlindungan merekalah kau akan aman dan pihak Im yang-bu-pai takkan berani mengganggumu lagi"

"Siapakah Luliang Sam-lojin?" tanya Sin Hong.

"Mari kita lanjutkan perjalanan dan sambil berjalan akan kuceritakan padamu." Mereka berjalan lagi dan sedapat mungkin Cun Eng menuturkan tentang keadaan Luliang Sam-lojin. Tentu saja penuturannya kurang jelas karena sesungguhnya Kiang Cun Eng sendiri belum pernah bertemu muka dengan tiga orang kakek itu, hanya mendengar saja nama mereka yang terkenal. Namun mendengar tentang Luliang Sam lojin yang oleh Cun Eng dituturkan memiliki kepandaian yang luar biasa lihainya sehingga orang-orang Im-yang-bu-pai takkan berani mengganggunya, Sin Hong merasa senang sekali. Ia memang ingin belajar ilmu silat tinggi dan kiranya hanya tiga orang kakek itulah yang boleh diharapkan untuk membimbungnya sehingga tercapai cita-citanya.

Sejak dari kaki gunung, mereka tidak melihat dusun atau orang yang tinggal di daerah itu. Keadaannya amat sunyi hanya diramaikan oleh suara burung. Perjalanan makin sukar, menanjak, dan melalui jalan yang licin dan juga berbahaya. Terpaksa Cun Eng menggendong Sin Hong di punggungnya, karena amat berbahaya bagi orang yang tidak memiliki ilmu silat tinggi untuk melalui jalan seperti itu. Sekali saja terpeleset orang akan terguling ke dalam jurang!

Ketika mereka mendekati lereng gunung, jalan mulai penuh batu karang dan di kanan kiri menjulang tinggi dinding-dinding batu karang, tiba-tiba Sin Hong berseru, "Kiang-pangcu, lihat. Batu karang ini penuh tulisan yang aneh"

Kiang Cun Eng menghentikan kakinya dan menengok ke kiri. Betul saja, dinding batu karang itu penuh dengan coretan huruf-huruf yang menggores dalam-dalam seperti dipahat. Ketika menengok ke kanan, di situ pun terdapat banyak tulisan. Heranlah ia bagaimana orang dapat menuliskan huruf-huruf di tempat seperti itu. Selain batu karang itu keras sekali sehingga untuk memahat huruf itu tentu akan memakan waktu lama sekali, juga tulisan-tulisan itu ada yang terdapat di dinding bagian atas. Kalau tiada mempergunakan tangga yang tinggi bagaimana menuliskannya?

"Alangkah buruknya tulisan itu...” kata Kiang Cun Eng. Sebagai seorang wanita, biarpun ia pernah mempelajari sastera yang diperhatikan hanya dari pandangan sudut keindahan.

“Hebat sekali tulisan itu" Hampir berbareng Sin Hong berseru.

"lh, apanya yang hebat? Hurufnya petat-petot, coretannya mcncong dan tidak rata, apanya yang indah?” Kiang Cun Eng mencela.

"Tulisannya memang buruk, Pangcu. Akan tetapi coba baca!"

Kiang Cun Eng menurunkan Sin Hong dari gendongan dan membaca tulisan yang berada paling dekat. Tulisan itu demikian buruknya sehingga Cun Eng membaca lambat dan penuh perhatian.

“Menyerah berarti akan terpelihara. Bengkok berarti akan menjadi lurus. Kosong berarti akan menjadi penuh. Rusak berarti akan diperbaiki. Sedikit berarti akan menjadi cukup.

Mempunyai banyak berarti akan menjadi bingung. Maka orang bijaksana menggenggam Kesatuan. Dan menjadi tauladan bagi manusia di dunia.

Ia tidak menonjolkan diri. maka jelas kelihatan. Ia tidak membenarkan diri. maka kebenarannya terkenal. Ia tidak menyomhongkan diri, maka dihargai orang.

Ia tidak memuji diri. maka terpuji. Justru ia tidak pernah bermusuh. Maka tiada orang di dunia dapat bermusuh padanya.

Tepat sekali ujar-ujar kuno bahwa: Menyerah berarti akan terpelihara.

Yang menyerah akan terpelihara sepenuhnya. Dan dunia akan memuji tinggi padanya.”


'Sajak apakah ini, begini sulit dimengerti?" Kiang Cun Eng kembali mencela. Memang, ketika mempelajari ilmu surat, ketua Hek-kin-kaipang ini tidak pernah membaca kitab-kitab kuno karena ia memang tidak suka akan isi kitab yang dianggapnya hanya memusingkan otaknya belaka.

“Pangcu, bagaimana kau tidak mengenalnya? Itulah sebuah sajak dari dalam kitab To Tek Kheng!" kata Sin Hong.

"To Tek Kheng? Hm, pernah aku mendengar nama kitab ini, akan tetapi tak pernah aku membaca isinya, Nah, kalau sajak yang di sana itu, baru baik namanya," kata Cun Eng.

Sin Hong menengok ke kanan dan melihat sajak yang ditulis atau lebih tepat diukir di dinding kanan. Tulisannya tetap buruk sekali, akan tetapi susunan sajaknya benar-benar indah, dan romantis, sungguhpun isinya hanya merupakan pujian terhadap sinar bulan, air telaga, arak dan wanita cantik sebagaimana seringkali ditulis oleh penyair dan pujangga kuno.

"Sin Hong kau mengerti bahwa tulisan yang kubaca tadi dari kitab To Tek Kheng. Apakah juga kau mengerti juga artinya yang demikian sulit?" tiba-tiba Cun Eng bertanya.

Merah wajah Sin Hong, seorang anak kecil seperti dia, bagaimana dapat menyelami arti daripada ujar-ujar yang demikian sulit? Ia tersenyum dan menjawab, "Kiang-pangcu aku sendiri sesungguhnya amat bodoh. Aku hanya mengerti dari keterangan guru-guru sastera yang pernah mengajarkan isi dari semua sajak itu yang pada pokoknya hanya nasihat dari Pujangga Besar Lo Cu yang menyuruh orang mengosongkan diri, menyerah, merendah dan tunduk kepada Hukum Alam atau To, membiarkan diri bersikap seperti air pula yang mencari jalan kembali ke samudera, atau yang terkenal dengan istilah mencari diri pribadi. Maksudnya entahlah, aku sendiri belum mengerti."

Sesungguhnya, biarpun masih kecil namun otak Sin Hong cerdik sekali dan ia sudah dapat menangkap maksud daripada filsafat ini, hanya ia tidak berani menyatakan kepada Cun Eng. Baginya ia lebih tertarik akan ujar-ujar dari Guru Besar Khong Hu Cu, karena baginya, ujar-ujar Lo Cu terlalu dalam dan terlalu muluk, di luar daripada kenyataan hidup yang membutuhkan dorongan semangat dan kemajuan menurut jalan yang benar dan baik.

Mereka melanjutkan perjalanan. "Heran sekali, siapakah yang begitu iseng menuliskan segala macam sajak kuno di tempat seperti itu?" Sin Hong berkata perlahan, "Dia itu biarpun tulisannya buruk, tentulah seorang saterawan besar."

Mendengar ini, kembali Cun Eng menghentikan kakinya. "Ah, sekarang aku ingat. Penulisnya tentulah Luliang Siucai!"

"Siapa dia?"

"Dialah orang ke dua dari Luliang Sam lojin. Yang pertama adalah Luliang Ciangkun, ke dua Luliang Siucai, dan ke tiga Luliang Nungjin."

Sin Hong menjadi heran dan kagum. Benar-benar aneh, pikirnya. Tiga kakek Luliang-san itu memakai nama Panglima, Sasterawan, dan Petani. Tak lama kemudian, jalan batu karang telah dilalui dan mereka tiba di lereng bukit yang hijau dan penuh tanaman segar. Jauh sekali bedanya dengan daerah yang baru saja dilalui.

"Pangcu, di lereng ini tinggal banyak sekali petani!" tiba-tiba Sin Hong yang berpemandangan awas itu berseru.

"Mengapa kau berkata demikian?"

"Lihat sawah-sawah itu!. Demikian lebar dan luas. Kalau bukan banyak petani rajin yang mengerjakannya, siapa lagi?"

Kiang Cun Eng mumbenarkan pendapat ini. Akan tetapi mereka memandang ke sara ke mari, di daerah itu sunyi sepi tidak kelihatan sebuah pun rumah orang. Di manakah tinggalnya para petani itu?”

Tiba-tiba entah dari mana datangnya, seorang berpakaian petani jalan mendatangi sambil memanggul cangkul. Kiang Cun Eng dan Sin Hong memandang dengan mata menyatakan kaget dan heran. Mereka sama sekali tidak tahu dari mana datangnya orang itu dan yang amat mengherankan mereka adalah pacul yang dipanggul oleh orang itu. Pacul itu gagangnya hanya sebatang akan tetapi amat panjang dan ujung gagangnya itu ada cabangnya sebanyak enam dan di setiap ujung cabang terdapat sebuah pacul! Jadi pada hakekatnya pacul yang segagang itu mempunyai mata cangkul sebanyak enam buah yang jauhnya dari satu kepala yang lain ada tiga kaki. Benar benar pacul yang amat aneh.

Petani yang sudah tua itu berjalan terpincang-pincang, ternyata kakinya bengkok-bengkok. Hal ini dapat dilihat nyata karena celananya hanya sebatas lutut dan kedua kakinya berkulit putih bersih, berbeda dengan petani biasa. Tanpa menoleh, petani itu lalu masuk ke dalam sawah berlumpur dan cepat mengerjakan paculnya yang aneh.

"Hebat sekali orang itu…!" Kiang Cun Eng berseru perlahan ketika ia melihat bagaimana petani itu bekerja. Ayunan cangkulnya cepat dan keras dan tiap kali ia menarik paculnya, enam mata cangkul itu telah mencabut atau memacul rumput-rumput liar yang mengganggu sayur-sayuran yang ditanamnya. Biarpun sayur-sayuran itu tumbuh dekat, namun ke enam mata cangkul itu mengenai tepat pada sasarannya, yakni rumput-rumput liar dan sama sekali tidak mengganggu tanamannya sendiri!

Biarpun Cun Eng bicara perlahan sekali, namun tiba-tiba petani itu menunda pekerjaannya dan sekali ia melompat ia telah berdiri di hadapan Cun Eng dan Sin Hong! Gerakan ini luar biasa sekali cepatnya, dan jarak antara mereka lebih dri lima tombak, namun sekali melompat kakek pincang itu telah berada di situ. Dan yang lebih mengagumkan hati Cun Eng dan Sin Hong adalah kaki kakek itu masih bersih dan sama sekali tIdak terkena lumpur padahal kalau orang menginjak sawah berlumpur itu, kedua kakinya tentu akan amblas sedikitnya sampai pergelangan kaki!

"Kalian ini siapakah? Apakah datang hendak mencuri sayur mayur yang kutanam?" tegur kakek petani pincang itu. Ia memandang kepada Cun Eng hanya sebentar saja akan tetapi matanya kini menatap wajah Sin Hong penuh perhatian.

"Penghuni gunung ini benar amat aneh," kata Sin Hong sebelum Cun Eng menjawab, membikin kaget kepada ketua Hek-kin-kaipang itu, "Lopek yang baik, kau menanam begini banyak sayur-mayur, dimakan sendiri takkan habis. Mengapa demikian pelit dan takut orang mengambilnya? Apakah sekian banyaknya sayur dapat kau makan habis?"

Kalau Kiang Cun Eng amat terkejut dan khawatir, adalah petam itu tertawa berkakakan mendengar pertanyaan Sin Hong. "Ha, ha, ha, kau tahu apa, bocah? Tentu saja aku tidak makan habis sayuran ini, aku menanamnya hanya untuk melihat hasil kerjaku. Asal tanamanku hidup subur dan indah, aku sudah puas, siapa menginginkan hasilnya untuk dimakan?"

Sin Hong melongo. "Jadi sayur-sayuran yang ditanam ini akhirnya akan membusuk begitu saja?"

"Tentu saja! Tidak ada sesuatu yang takkan tua layu dan mati di dunia. Akan tetapi itu yang menyenangkan hatiku, kalau sudah mati, aku dapat mencangkul dan menanam lagi, bukankah itu amat menggembirakan hati? Soal mencuri, biarpun hanya mencuri sayur, namanya tetap mencuri dan aku paling benci kejahatan!”

Cun Eng tak sangsi lagi dengan siapa ia berhadapan, maka ia membentak Sin Hong. "Jangan kurang ajar, Sin Hong'" Setelah itu ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan petani itu sambil berkata, "Locianpwe, mohon maaf sehanyaknya atas kelancangan teecu berdua."

Kakek petani itu nampak kaget lalu tersenyum. "Eh, apa-apaan sih ini? Aku seorang petani bodoh yang hanya bisa mencangkul dan menanam mengapa kau sebut locianpwe segala"

"Mohon Locianpwe sudi memaafkan kalau tadi teecu buta tidak tahu bahwa teecu berhadapan dengan Luliang Nungjin yang mulia."

Mendengar sebutan ini, Sin Hong tercengang dan perlahan-lahan ia lalu menjatuhkan diri berlutut pula, akan tetapi ia mengangkat mukanya memandang kepada kakek petani itu penuh selidik.

Kakek petani itu memang Luliang Nungjin. la tertawa, kemudian memandang tajam kepada Cun Eng. "Siapakah kau yang bermata tajam? Kita belum pernah bertemu dan sudah lama sekali aku tak meninggalkan gunung, bagaimana kau bisa mengenalku?"

Sebelum Cun Eng menjawab, kembali Sin Hong saking herannya mengeluarkan kata-kata yang keras, "Aneh, aneh! Para Locianpwe di Luliang-san memang orang-orang aneh. Tadi aku sudah melihat hasil pekerjaan Luliang Siucai, yang menggunakan pahat mengukir huruf huruf jelek menuliskan sajak-sajak indah. Sekarang Locianpwe ternyata adalah Luliang Nungjin, petani yang menanam banyak sekali sayur mayur tanpa memakan hasil sawah ladangnya!"

Melihat kejujuran dan ketabahan Sin Hong, Luliang Nungjin gembira sekali. "Anak goblok, Luliang Siucai tak pernah memegang pahat. Ia menulis huruf-huruf itu dengan coretan jari telunjuknya!"

Mendengar ini Sin Hong menjulurkan lidahnya dan menjadi bengong. Bahkan Cun Eng sendiri bergidik memikirkan betapa lihainya orang yang menggunakan jari tangan mencoret-coret di dinding batu karang setinggi itu! Buru-buru ia mengangguk-anggukkan kepala dengan hormat dan berkata, "Sekali lagi mohon Locianpwe memaafkan kami, terutama atas kelancangan mulut anak ini. Teecu adalah Kiang Cun Eng…"

"Hm, Jadi kau ketua Hek-kin-kaipang" Luliang Nungjin memotong kata-kata orang.

"Benar demikian, Locianpwe."

"Hm, kau tentu menghadapi kesulitan. Makin besar perkumpulannya, makin pusing mengurusnya."

"Memang betul seperti yang dikatakan Locianpwe, teecu datang ini hendak memohon pertolongan. Teecu..."

"Stop...! Tak perlu menceritakan urusanmu. Urusanmu bukan urusanku. Aku tidak ingin mendengar lebih lanjut. Kau dan bocah ini lekas-lekas turun gunung. Kami tidak membolehkan siapa juga mengganggu ketenteraman di Luliang-san."

"Locianpwe, mohon belas kasihan dari Locianpwe, teecu bukan datang untuk keperluan teecu sendiri, melainkan..."

"Sudah, sudah! Kalau aku membiarkan kau bicara juga, tentu dua orang Suhengku takkan mau membiarkan."

"Locianpwe..."

"Diam, lihat mereka sudah datang! Kau boleh mendengar sendiri."

Tanpa dapat diketahui sebelumnya, tahu-tahu dua orang kakek telah berada di situ. Cun Eng dan Sin Hong memandang. Yang seorang adalah seorang kakek bertubuh tinggi besar yang berpakalan seperti panglima perang. Jenggotnya panjang dan wajahnya yang gagah membuat ia kelihatan seperti Kwan In Tiang atau Kwan Kong tokoh besar di jaman Sam Kok. Orang ke dua adalah seorang yang halus gerak-geriknya, berpakaian sebagai seorang sasterawan dengan kuku tangan terpelihara baik-baik.

"Sute, siapakah mereka ini?" Luliang Ciangkun bertanya dengan suara yang besar.

"Kiang Cun Eng ketua Hek-kin-kai-pang dan bocah ini... entah siapa," Jawab Luliang Nungjin.

Tiba-tiba tubuh tinggi besar dari Panglima Bukit Luliang itu bergerak dan ia telah menubruk Kiang Cun Eng! Wanita ini kaget sekali dan hendak mengelak karena mengira bahwa kakek itu menyerangnya. Akan tetapi, tahu-tahu ia merasa sesuatu bergerak di punggungnya dan ketika ia merabanya ternyata bahwa pedang yang tadinya tergantung di punggungnya telah dirampas oleh Luliang Ciangkun!

Cun Eng terkejut sekali, akan tetapi Luliang Siucai dengan suaranya yang halus berkata, "Orang yang datang di Luliang-san tidak boleh membawa-bawa senjata."

Sementara itu, Luliang Ciangkun memandang pedang rampasan dengan senyum mengejek. "Pedang apa ini? Ha! percuma saja dibawa-bawa!" Ia lalu bersilat dengan pedang itu. Bukan main cepatnya gerakan pedangnya dan angin dingin menyambar-nyambar dari gerakan pedang. Cun Eng dan Sin Hong melongo menyaksikan ilmu pedang yang hebat ini. Tiba-tiba pedang itu meluncur menyambar batu karang dan menimbulkan suara keras sekali. Batu karang sebesar dua tubuh orang itu terbelah akan tetapi pedangnyapun patah menjadi dua!

"Pedang buruk, pedang tiada gunanya..." Luliang Ciangkun berkata sambil melemparkan gagang pedang dengan gaya jijik dan tidak senang.

"Hebat," pikir Cun Eng. Tiga orang kakek ini benar-benar lihai. Sasterawan itu dapat menulis di batu karang dengan mencorat-coretkan telunjuknya, tanda bahwa lweekangnya sudah tinggi sekali. Petani itu pun dapat mempergunakan pacul sedemikian rupa sehingga pacul itu dapat menjadi senjata luar biasa lihainya. Sedangkan Panglima ini sudah tak dapat disangsikan lagi kelihalan ilmu pedangnya dan besarnya tenaga.

"Sam-wi Locianpwe mohon sudi mengampunkan teecu yang bodoh. Sesungguhnya teecu berani datang ke tempat ini untuk memenuhi permintaan Lie Bu Tek dari Hoa san-pai."

"Hoa-san-pai? Apa yang terjadi dengan Hoa-san-pai?" Luliang Ciangkun melangkah maju. Tiga orang kakek ini memang mempunyai hubungan yang amat baik dengan Hoa-san-pai dan di antara semua partai persilatan hanya kepada Hoa -san pai mereka menaruh hati suka. Hal ini adalah karena sute mereka yang terkasih, yaitu Go Ciang Le, termasuk keturunan dari Hoa san-pai, bahkan isteri dari Go Ciang Le yang bernama Liang Bi Lan juga seorang anak murid Hoa-san-pai yang terkasih. Mendengar pertanyaan ini, Cun Eng Ialu menuturkan pengalamannya.

"Ketua Hoa-son.pai, Liang Gi Tojin, telah tewas oleh dua orang tokoh Im-yang-bu pai, yaitu Thian-te Siang tung Kwa Siang dan Siang-mo-kiam Lai Tek, dibantu oleh Siang-pian Giam-ong Ma Ek ketua Bu-cin-pai. Juga Lie Bu Tek Taihiap telah terluka hebat dan menjadi penderita cacad. Anak ini adalah murid termuda dari Hoa-san-pai, juga menjadi anak angkat dari Lie Bu Tek Taihiap. Dia ini bernama Wan Sin Hong, putera tunggal dari Wan Kan dan Ling In yang tewas oleh Ba Mau Hoatsu." Kemudian Cun Eng menuturkan tentang pesanan Lie Bu Tek dan menutup penuturannya dengan suara memohon.

"Sam-wi Locianpwe, oleh karena keselamatan anak ini selalu terancam oleh pihak Im-yang-bu-pai, maka untuk memperkuat pesanan Lie Bu lek Taihiap, teecu mohon dengan hormat sudilah Sam-wi Locianpwe menaruh hati kasihan dan menolong anak ini. Hanya di tempat inilah Sin Hong dapat terhindar dari kekejaman Im-yang-bu-pai."

"Tidak bisa! Kami bukan pengasuh anak-anak!" bentak Luliang Ciangkun dengan suara keras sambil membuka lebar matanya.

"Dengan Im-yang-bu-pai kami tidak ada sangkut paut kami sudah mengasingkan diri dari dunia ramai!" kata Luliang Nungjin.

Liuliang Siucai juga menyambung tenang, "Kiang-pangcu, kami sudah mencuci tangan dari urusan dunia dan tidak mau terlibat dengan permusuhan dan urusan orang-orang kang-ouw. Menyesal sekali kami tak dapat menerima permintaan Hoa-san-pai atau permintaanmu.”

"Sam-wi Locianpwe... harap Sam-wi tolonglah! Im yang-bu-pai amat jahat dan menjagoi di dunia kang-ouw. Banyak yang sudah menjadi korban keganasan mereka, teecu tidak minta banyak, hanya minta perlindungan dan tempat bagi anak ini..."

"Sekali tidak bisa tetap tidak bisa!" Luliang Ciangkun membentak marah. "Kalian berdua pergilah!”

Kiang Cun Eng tak dapat menahan kekecewaan hatinya, sampai dua butir air mata menitik turun di atas pipinya. Ia hendak memohon dan membantah lagi, akan tetapi tiba-tiba Sin Hong bangkit berdiri dan menarik bangun Kian Cun Eng sambil berkata keras,

"Pangcu, mengapa begini merendahkan diri seperti pengemis-pengemis kelaparan?" Tidak saja Cun Eng yang terkejut, bahkan tiga orang kakek itu mengerling ke arah Sin Hong. Anak itu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar dan dua tangan terkepal, matanya tertuju ke arah tiga orang kakek itu dengan pandangan marah.

"Kiang-pangcu, Gihu telah menjatuhkan kepercayaan dan harapannya di tempat yang salah dan pada orang-orang yang bukan semestinya. Mencari perlindungan dari orang orang jahat harus datang pada orang-orang bijaksana dan gagah perkasa, bukan pada orang-orang jahat pula!"

Cun Eng menjadi pucat. "Sst, Sin Hong, jangan kurang ajar!"

Luliang Ciangkun menggerakkan tangannya dan dalam sedetik saja leher baju Sin Hong sudah ia pegang dan anak itu kini tergantung pada tangan Panglima Luliang-San, seperti seekor kelinci dipegang pada kedua telinganya. "Setan cilik, kau bilang apa? Kauanggap kami orang-orang jahat?"

"Locianpwe," kata Sin Hong dengan suara sama sekali tidak takut, "kalau kau membantingku sekali saja kau dapat membunuhku?"

“Tentu, setan cilik. Sekali banting kaupasti mampus!" kata Luliang Ciangkun marah.

"Nah, kalau terjadi demikian, bukankah kau jahat sekali? Seorang tua gagah menangkap dan membunuh anak kecil.”

Mendengar ini, lemaslah tangan Luliang Ciangkun dan ia melepaskan Sin Hong. "Bocah kurang ajar. Lekas kau katakan mengapa kau anggap kami jahat. Tanpa alasan berarti kaulah yang jahat, menuduh orang sesuka hati."

"Tentu saja teecu mempunyai alasan yang kuat. Locianpwe tidak memandang persahabatan dengan Hoa-san-pai dan tidak mau membantu Kiang-pangcu yang memohon tolong, itu boleh dibilang belum jahat. Akan tetapi, Locianpwe bertiga tahu bahwa Im-yang-bu-pai jahat sekali, akan tetapi berpeluk tangan saja tidak mau membantu mereka yang tertindas. Ada pepatah kuno yang menyatakan bahwa orang yang tidak mau mencegah dilakukannya perbuatan jahat, orang yang melihat seorang penjahat tanpa turun tangan dan membiarkan saja berarti bahwa orang itu membantu penjahat dan dengan sendirinya menjadi penjahat juga. Teecu mendengar bahwa para pendekar perkasa di dunia kangouw siap mengorbankan nyawa sendiri untuk memberantas kejahatan dan menolong orang-orang yang menjadi korban kejahatan. Akan tetapi Sam-wi Locianpwe tinggal diam saja bahkan menolak permohonan tolong, tentu saja mendatangkan kesan bahwa Sam-wi juga jahat."

Tiga orang kakek itu saling pandang dengan alis terangkat. Mereka merasa "bohwat" (Tak berdaya membantah) terhadap kata-kata Sin Hong dan kemudian mereka tertawa bergelak.

"Ha ha ha, setan cilik ini lihai sekali lidahnya!" kata Luliang Ciangkun.

"Biarkan dia di sini membantu mencangkul sawah!" kata Luliang Nungjin.

“Tidak, kalau dia di sini, berarti kita akan mengundang keributan saja," kata Luliang Siucai yang berpikiran lebih luas, "biarlah ia tinggal di Jeng-in-thia di puncak, mengurus makam dan membersihkan pondok. Di sana takkan ada orang dapat melihatnya."

"Bagus, begitupun baik. Kita tak usah repot setiap hari membersihkan tempat itu. Biar dia menjadi bujang kecil!" kata Luliang Ciangkun dan Luliang Nungjin.

"Teecu mohon belajar silat dari Sam-wi Locianpwe!" Sin Hong membantah. "Untuk apa kalau hanya menjadi bujang? Teecu kelak akan menuntut balas, kalau tidak ada yang memberi pelajdran ilmu silat dan kelak tak dapat menuntut balas, lebih baik sekarang juga musuh-musuh teecu mendapatkan teecu agar tee-cu dapat mengadu nyawa. Apa artinya tinggal di tempat ini kalau tidak diberi pelajaran ilmu silat?"

Kiang Cun Eng merasa gelisah sekali menyaksikan kekebalan dan keberanian Sin Hong, akan tetapi Luliang Ciangkun sambil tertawa bergelak, kembali menangkap leher baju Sin Hong dan membawanya berlari seperti terbang menuju ke puncak.

"Belajar silat? Lihat dulu sampai di mana kemampuanmu!" kata Panglima dari Luliang-san ini.

"Pangcu, sekarang lebih baik kau lekas lekas pergi dari sini dan jangan kau memberi tahu kepada siapapun juga bahwa anak itu berada di sini,” kata Luliang Siucai.

Kiang Cun Eng berlutut dan menghaturkan terima kasihnya. Akan tetapi ia teringat akan anak itu dan setelah melakukan perjalanan dengan Sin Hong, ia merasa sayang dan suka kepadanya. “Locianpwe, anak itu mempunyai penasaran besar, maka teecu mohon kemurahan hati Sam-wi Locianpwe untuk memberi bimbingan kepadanya," katanya.

"Bodoh!" Luliang Nungjin membentak. "Anak itu sudah berada di sini, kalau ia menjadi orang bodoh kelak, apakah kami tidak akan malu?"

Bukan main girangnya hati Cun Eng mendengar ini, ia menghaturkan terima kasihnya lagi, lalu cepat-cepat turun dari lereng Gunung Luliang-san.

Sin Hong adalah anak yang jujur, tabah dan mempunyai banyak sifat sifat baik. Ia juga amat cerdik dan tahu bahwa biarpun tiga orang kakek Luliang-san itu wataknya aneh, namun mereka amat lihai dan memiliki kepandaian tinggi. Oleh karena itu, setelah ia dibawa oleh Luliang Ciangkun ke Jeng-in-thia (Ruang awan hijau), ia tidak memperlihatkan sikap melawan lagi, bahkan tanpa diperintah lagi ia lalu bekerja, membersihkan ruangan yang berupa pondok sederhana itu. Juga ia merasa amat hormat kepada dua buah makam tua yang berada di depan pondok. Ia tidak tahu makam siapakah itu, akan tetapi ia merawat kedua makam itu, mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar makam dan menanam bunga-bunga yang indah.

Setelah membawa dia ke puncak, Luliang Ciangkun lalu meninggalkannya tanpa pesanan sesuatu. Akan tetapi Sin Hong tidak merasa takut ditinggalkan seorang diri di puncak. Biarpun ia tidak diberi makan dan tidak diberi tahu ke mana harus mencari makan, anak ini mempergunakan akalnya sendiri. Ia mencari dan mendapatkan pohon-pohon berbuah di puncak itu dan ia dapat mencari makannya sendiri, sungguhpun hanya berupa buah-buahan belaka...

Pedang Penakluk Iblis Jilid 03

Pedang Penakluk Iblis Jilid 03

Sebaliknya, Wan Sin Hong berdiri dengan tenang dan tabah. Ia maklum bahwa kalau saja ia tidak menderita luka-luka akibat siksaan yang diterimanya selama ini, akan dapat menghadapi dan melawan Kong Ji. Ia tak usah kalah oleh Kong Ji dalam hal ilmu silat sungguhpun tidak dapat memastikan apakah ia akan menang. Akan tetapi, pada waktu itu tubuhnya sudah amat lemah. Tidak saja menerima siksaan dan luka-luka, juga ia tidak diberi makan sudah dua hari sehingga tubuhnya lemah sekali.

"Anjing tak berjantung, kau mau membunuh aku? Bunuhlah, sama saja bagiku, hidup atau mati aku tetap akan membalasmu kelak!" kata Sin Hong samhil berdiri tegak.

Kong Ji menjadi semakin marah mendengar makian ini. Dengan tangan kanan dikepalkan sambil mengerahkan semua tenaganya, ia menghantam ke arah pelipis Sin Hong. Kalau pukulan ini tepat mengenai sasaran, tak dapat diragukan lagi Sin Hong tentu akan putus nyawanya. tidak saja pukulan ini mengandung tenaga yang dahsyat, juga yang dipukul adalah bagian kepala yang paling lemah dan yang menjadi pusat semua urat syarat.

Sin Hong maklum pula bahwa ia tidak berdaya melawan, namun tentu saja tidak mau mampus begitu saja. biarpun ia tidak mengenal takut dan tidak takut mati, namun ia akan membela diri sedapat mungkin. Melihat datangnya pukulan ke arah pelipisnya, ia menggerakkan kepalanya ke belakang sehingga pukulan itu melayang di depan matanya dan menyambar tempat kosong.

Kong Ji marah sekali dan untuk kedua kalinya ia melayangkan pukulannya kini ia menonjok ke arah dada kiri Sin Hong. Pukulan ini pun merupakan pukulan maut karena kalau mengenai sasaran jantung anak itu akan tergoncang dan dapat menyebabkan kematiannya, Sin Hong miringkan tubuhnya, akan tetapi karena tubuhnya sudah lemas kurang bertenaga, maka gerakannya itu kurang cepat sehingga pukulan yang dahsyat itu masih mengenai lengannya di atas siku.

"Krak...!" Patahlah tulang lengan dari Sin Hong. Anak ini meringis kesakitan dan air mata terloncat keluar saking hebatnya rasa sakit yang dideritanya. Namun tidak sedikit pun keluhan keluar dari mulutnya dan biarpun kedua kakinya gemetar, ia masih dapat menjaga keseimbangan tubuhnya dan tidak roboh terguling.

Pada saat itu, sebelum Kong Ji menyerang lagi untuk menewaskan Sin Hong, terdengar suara halus dari luar. "Tahan...! Jangan mendahului kami membunuh musuh besar kami!"

Kong Ji kaget dan menengok, demikian pula dua orang tokoh Im yang bu-pai memandang ke arah luar kuil bobrok. Ternyata bahwa yang datang adalah Kiang Cun Eng, anggauta-anggauta Hek-in-kaipang! Kuil itu telah dikurung oleh seratus orang pengemis Hek-kin-kaipang dan kedatangan ketua perkumpulan pengemis itu benar-benar tepat sekali, karena terlambat satu menit saja, tentu nyawa Sin Hong sudah melayang akibat serangan serangan Kong Ji yang ganas dan keji.

Ketika mengenal siapa orangnya yang menahan Kong Ji membunuh Sin Hong, dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu saling pandang dan muka mereka menjadi merah. Lalu melompat berdiri dan tangan kanan mereka meraba gagang senjata.

"Biarpun perkumpulan kami jauh lebih tinggi kedudukannya daripada Hek-kin-kai-pang, namun kami masih mengingat bahwa Hek-kin-kaipang adalah perkumpulan tua yang ternama juga, maka kami tidak pernah mengganggu. Sekarang Kek kin-kaipang dengan puluhan orang anggautanya mengepung dan mengganggu kami, apakah artinya ini?”

Kiang Cun Eng memberi hormat dan tersenyum manis. "Jiwi Locianpwe, mohon maaf sebanyaknya. Kalau tidak ada setan cilik ini di situ, mana kami berani mengganggu Jiwi? Perkenalkanlah, aku adalah Kiang Cun Eng ketua Hek-kit kaipang yang bodoh dan rendah. Kami telah mendatangi Hoa-san-pai untuk membasmi partai yang telah berkali-kali menghina kami dan menjadi musuh besar kami, akan tetapi ternyata kami didahului oleh Jiwi Locianpwe yang gagah perkasa. Oleh karena setan cilik ini adalal ahli waris terakhir dari Hoa-san-pai, maka kami mohon kepada Jiwi sudilah memberikan anak ini kepada kami untuk kami bikin korban sembahyang, guna menyembahyangi roh-roh para anggauta kami yang ditewaskan oleh orang-orang Hoa-san pai. Bagi Jiwi, kiranya membunuh Liang Gi Tojin dan Lie Bu Tek saja sudah cukup. Harap sudi mengalah kepada kami dan memberi kesempatan kepada kami untuk membalas dendam kami kepada keturunan Hoa-san-pai yang terakhir ini."

Thian-te Siang-tung Kwa Siang yang tadi menegur, memandang kepada suhengnya dan mereka berdua merasa curiga. Sudah lama mereka mendengar nama Kiang Cun Eng sebagai ketua Hek-kin-kaipang yang lihai ilmu silatnya dan banyak akal. Tentu saja mereka berdua tidak takut menghadapi ilmu silat ketua Hek-kin-kai-pang ini, akan tetapi mereka merasa curiga kalau-kalau mereka akan ditipu.

"Hm, siapa percaya omonganmu?" kata Siang-mo-kiam Lai Tek sambil, memandang tajam. Di bawah sinar api penerangan yang suram, wajah Kiang Cun Eng masIh nampak cantik jelita seperti gadis berusia remaja saja. "Bagaimana kalau kami menolak permintaanmu?"

Kiang Cun Eng menjura. "Locianpwe, bagi aku sendiri, ditolak masih tidak apa-apa, akan tetapi para anggauta Hek-kin-kaipang yang seratus orang banyaknya ini sudah tidak sabar lagi. Mereka semua haus darah anak Hoa-san-pai itu, maka terserah kepada Locianpwe apakah hendak mengalah atau tidak. Akan tetapi, aku tidak tanggung kalau semua kawanku ini tidak mau menerima begini saja dan ramai-ramai akan menyerbu untuk berebut membinasakan anak itu.”

Kwa Siang hendak marah akan tetapi Lai Tek memberi isyarat dengan matanya. Tokoh ke dua dari Im-yang-pai ini bukan orang bodoh. Ia pikir tidak ada untungnya untuk memperebutkan tentang siapa yang akan membinasakan anak Hoa-san-pai itu. Alangkah bodohnya kalau tidak mau mengalah dan kemudian bentrok dengan Hek-kin-kaipang yang pada saat itu terdiri dari seratus orang. Siepa saja yang membunuh anak ini, apa bedanya? Pihak Im-yang-bu-pai hanya ingin melihat anak ini binasa agar kelak tidak menimbulkan bencana.

"Kiang-kaipangcu, biarlah kami mengalah. Akan tetapi kau harus membinasakan anak ini di tempat ini juga, disaksikan oleh kami!" katanya. Mendengar ucapan ini, Kwa Siang mengangguk-angguk menyatakan setuju. Memang kalau anak itu dibunuh di sini, apa bedanya?

"Baik dan terima kasih!" kata Kiang Cun Eng sambil membentak. "Anak setan, kau ke sinilah!" Sekali saja ia menjambret, ia telah dapat menjambak rambut Sin Hong dan diseretnya anak itu mendekat.

Sin Hong menggigit bibirnya menahan rasa sakit dan pedas pada kulit kepalanya. "Siluman perempuan, kau hendak membunuh lekas bunuh! Siapa takut mampus?" ia balas membentak sambil iiendelikkan matanya.

"Bocah setan, pernah apa kau dengan Lie Bu Tek ?" tanya Kiang Cun Eng memperkeras jambakannya sehingga dua orang tokoh Im-yang-bu-pai menjadi girang dan hilang kecurigaannya. Ternyata bahwa ketua dari Pek-kin-kaipang ini lebih keras hati lagi dan mereka tentu akan melihat kematian yang amat menarik hati dari anak kecil itu!

"Lie Bu Tek adalah ayah angkatku, kau siluman perempuan tanya-tanya ada perlu apakah?"

"Bagus, kalau begitu kau harus mampus?" bentak Kiang Cun Eng sambil mencabut pedang di tangan kanan. Akan tetapi bukannya ia menggunakan pedang untuk menabas batang leher Sin Hong, sebaliknya ia lalu menyambar tubuh anak itu dengan lengan kirinya, memondongnya lalu meloncat cepat sekali keluar dari kuil!

"Celaka, kita tertipu!" teriak Kwa Siang dan cepat menggerakkan tangan kanannya yang sejak tadi telah memegang tiga pelor besi. Tiga buah senjata rahasia itu menyambar ke arah Kiang Cun Eng, akan tetapi wanita gagah ini memutar pedangnya. Terdengar suara nyaring dan tiga buah' pelor besi itu terpental. Akan tetapi Cun Eng merasa betapa telapak tangannya yang memegang pedang tergetar dan kesemutan!

Kwa Siang dan Lai Tek mencabut senjatanya dan meloncat untuk mengejar. Akan tetapi baru saja tiba di depan pintu, mereka telah dihadang oleh seratus orang anggauta Hek kin-kaipang. "Bagus mulai hari ini Im-yang-bu-pai akan membasmi Hek-kin-kaipang!" teriak Kwa Siang marah sekali dan bersama suhengnya ia lalu mainkan senjata dan mengamuk hebat.

Kepandaian dua orang kakek ini memang lihai sekali. Andaikata Kiang Cun Eng ikut mengeroyok, ketua Hek-kin-kaipang ini pun takkan menang menghadapi mereka. Apalagi sekarang Hek-kin-kaipang telah banyak kehilangan jago-jagonya. Dahulu Kiang Cun Eng masih mempunyai pembantu-pembantu yang amat sakti ketika Cun Eng masih muda. Akan tetapi para pembantunya itu telah tua sekali dan sekarang semua anggauta Hek-kin-kaipang pandai ilmu silat, namun menghadapi dua orang tokoh Im-yang-bu pai yang amat lihai itu, mereka roboh seorang demi seorang bagaikan rumput dibabat.

Naintin para anggauta Hek-kin-kaipang sudah amat terkenal sebagai orang-orang yang setia sampai mati kepada perkumpulan dan ketua mereka. Biarpun maklum bahwa dua orang itu sama sekali bukan lawan mereka, namun mereka taat akan perintah yang dikeluarkan oleh Kiang Cun Eng untuk menghalangi dua orang musuh itu melakukan pengejaran terhadap ketua mereka. Biarpun banyak sekali kawan-kawan mereka yang roboh binasa, namun mereka sama sekali tidak mau memberi jalan dan terus mengepung Kwa Siang dan Lai Tek. Dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu menjadi makin marah. Benar-benar mereka tak berdaya untuk mengejar Cun Eng, dan terpaksa mereka mengamuk terus sehingga puluhan orang anggauta Hek-kin-kaipang roboh, terluka atau tewas. Baiknya mereka bertempur di luar kuil dan keadaan malam hari itu gelap sehingga hal ini mengurangi banyaknya korban yang jatuh.

Setelah mengurung dan mengeroyok dua orang Im-yang-bu-pai itu cukup lama dan yakin bahwa ketua mereka sudah melarikan dan cukup jauh hingga tak mungkin akan tersusul oleh pengejar-pengejarnya, para anggauta Hek-kin-kaipang tiba-tiba melenyapkan diri di dalam gelap. Hebatnya dan rapinya barisan pengemis ikat pinggang hitam ini adalah ketika mereka melenyapkan diri, tiap orang menyambar tubuh seorang kawan yang terluka atau tewas sehingga ketika lenyap, mereka yang jadi korban juga lenyap dari tempat itu!

Akan tetapi, seorang anggauta Hek-kin-kaipang tak dapat melarikan diri cukup cepat karena ia berada di dekat Lai Tek. Sekali saja Siang-mo-kiam Lai lek menggerakkan tangannya, ia telah dapat menangkap pundak orang ini yang segera dibantingnya ke bawah. Pengemis itu mengeluh dan tak dapat berdiri lagi.

"Hayo katakan ke mana perginya ketuamu Kiang Cun Eng," kata Lei Tek tiambil mengancam dengan pedangnya. Akan tetapi pengemis itu diam saja tidak menjawab dan tidak bergerak.

"Bangsat rendah, kau ingin disiksa?" Kwa Siang ikut mengancam dengan marah sekali.

"Sahabat, kalau kau mengaku dan memberi tahu kepada kami ke mana perginya ketuamu, kami akan mengampuni nyawamu," kata pula Lai Tek. Namun pengemis tetap menutup mulutnya.

"Jiwi locianpwe, mengapa tidak memanggang hidup-hidup agar dia suka mengaku?" tiba-tiba Liok Kong Ji yang sudah keluar dari kuil memberi usulnya.

Melihat tiga musuh besar ini, pengemis yang tertangkap itu tersenyum mengejek. "Kau kira aku orang macam apa? Biar kau akan membunuhku, aku takkan mengkhianati perkumpulan dan pangcu. Mau bunuh boleh bunuh, tak sudi aku mengobrol lebih lama dengan anjing-anjing besar kecil screndah kalian!"

"Krak!!" Kepala pengemis itu pecah dan isi kepalanya hancur berantakan ketika tongkat Kwa Siang melayang dan menghantam kepalanya. Kwa Siang yang berhati keras dan berangasan itu tak dapat menahan sabar lagi.

"Ah, mengapa kau terburu nafsu, Sute? Ke mana kita harus mengejar ketua Hek-kin-kaipang?" Lai Tek menyesal.

"Apa sih perlunya dikejar-kejar, Suheng? Kelak apa sukarnya bagi kita untuk memenggal leher ketua Hek-kin-katpang untuk membalas dendam atas hinaannya kali ini. Tentang setan cilik yang dibawanya pergi, andaikata Kiang Cun Eng menipu kita dan tidak membunuhnya, apa sih yang patut ditakuti? Lebih baik kita lekas pulang ke Lam-si melaporkan semua hal ini kepada bengcu (pemimpin) kita."

Siang-mo-kiam Lai Tek menarik napas panjang. Ia tahu akan watak suhengnya yang selain keras juga amat berani. Lagi pula, kalau dipikir-pikir, memang mereka tidak mempunyai lain jalan untuk mengejar Kiang Cun Eng. Kalau mereka berusaha mencarinya, tentu berarti akan terlambat tiba di kota Lam-si yang sudah dekat dan hal ini amat berbahaya. Bengcu mereka adalah seorang yang jauh lebih keras hati daripada Kwa Siang. Sekali ia marah, ia mampu membunuh seorang anggauta atau murid seketika itu juga kalau si murid ini salah atau melanggar perintahnya!

"Baiklah, Sute. Mari kita langsung ke Lam-si saja. Bengcu tentu sudah menunggu-nunggu kita."

Demikianlah, Thian te Siang-tung Kwa Siang, Siang-mo-kiam Lai Tek, dan Liok Kong Ji atau sebaiknya kita sebut Lui Kong Ji karena anak yang berhati keji dan khianat ini sudah mengganti she (nama keturunan), berangkat cepat-cepat ke kota Lam-si di kaki bukit Kim-san.

Pada keesokan harinya, tibalah mereka di kota Lam-si. Kong Ji merasa kagum melihat sebuah gedung yang kokoh kuat dan besar sekali di sebelah barat kota. Di depan gedung ini tergantung papan nama perkumpulan Im-yang-bu-pai dengan tulisan yang merah, besar dan gagah. Di depan pintu gerbang duduk beberapa orang penjaga yang pakaian aneh, yakni seperti yang dipakai oleh Kwa Siang dan Lai Tek, setengah hitam setengah putih. Melihat Kwa Siang dan Lai Tek, semua penjaga berdiri tegap memberi hormat.

"Di mana bengcu?" tanya Lai Tek.

"Bengcu sedang berlatih silat di lian-bu-thia (ruang berlatih silat), melarang orang mendekati tempat itu," seorang penjaga memberi keterangan.

Lai lek maklum bahwa larangan ini berlaku untuk semua anggauta kecuali dia dan Kwa Siang yang merupakan "tangan kanan kiri" dari ketua Im-yang-bu-pai. Maka ia mengajak Kong Ji dan sutenya memasuki gedung, terus menuju ke lian-bu-thia. Ruangan ini lebar dan dikurung oleh empat pintu tertutup daun pintunya. Tiba-tiba mereka mendengar sambaran-sambaran angin yang dahsyat sekali sehingga daun-daun pintu tergetar seakan-akan didorong dari sebelah dalam. Dua orang tokoh lm yang-bu-pai itu saling pandang dengan heran dan kagum.

"Kong Ji, kau tinggal di sini saja, sekali-kali tak boleh ikut masuk ke dalam," kata Lai Tek kepada anak itu yang tidak mengerti apa yang terjadi di sebelah dalam ruangan lian-bu-thia atau di balik empat pintu itu.

Adapun Lai Tek dan Kwa Siang berlutut di luar sebuah pintu kemudian Lai Tek berseru, "Bengcu yang mulia, hamba berdua datang menghadap."

Sambaran angin pukulan makin menghebat dan tiba-tiba pintu di depan dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu terpentang lebar dan angin pukulan masih menyerang keluar, membuat Kwa Siang dan Lai Tek jatuh bergulingan! Dapat dibayangkan betapa hebatnya pukulan itu yang anginnya saja dapat membuat pintu terpentang dan dua orang lihai seperti Lai Tek dan Kwa Siang sampai tak dapat menahan dan bergulingan.

Lai Tek dan Kwa Siang terkejut bukan main. Mereka bangkit dan duduk lagi dengan muka pucat, akan tetapi keduanya tersenyum girang. "Bengcu telah berhasil melatih ilmu pukulan dengan tenaga Tin-san-kang (Tenaga Menggetarkan Gunung)!" kata Lai Tek.

Terdengar suara ketawa menyeramkan dari balik pintu dan tiba-tiba bagaikan bayangan seorang iblis, di depan dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu telah berdiri seorang kakek yang menyeramkan. Kakek ini rambutnya panjang terurai ke pundak, matanya lebar dan tubuhnya tinggi besar. Pakaiannya seperti pakaian seorang tosu, bertangan lebar dan amat longgar nienutupi tubuhnya. Inilah bengcu atau ketua dari Im-yang bu-pai atau boleh juga disebut pendiri dari Im-yang-bu-pai karena sebelum dia datang yang ada hanya Im yang-kauw. Setelah kakek yang sakti ini datang dan mengusai Im-yang-kauw, dia lalu mendirikan Im-yang-bu-pai yang amat berpengaruh.

Bagi pembaca yang sudah membaea cerita Pendekar Budiman, orang ini tidak asing lagi, karena ia sesungguhnya adalah Giok Seng Cu, tosu yang nenjadi murid dari Pak Hong Siansu tokoh terbesar dari Tibet. Ilmu kepandatan Giok Seng Cu amat tinggi, apalagi akhir-akhir ini ia selalu memperdalam ilmu silatnya setelah ia kena dikalahkan Go Ciang Le yang berjuluk Hwa I Enghiong. Sebetulnya pendekar besar Go Ciang Le masih terhitung saudara seperguruannya. Karena guru dan Go Ciang Le adalah Pak Kek Siansu yang menjadi suheng dari Pak Hong Siansu. Hanya bedanya, kalau Pak Kek Siansu, menjadi seorang pertapa suci, adalah Pak Hong Siansu tersesat jauh, memasuki hek-to (jalan hitam).

Melihat kedatangan dua orang kaki tangannya, Giok Seng Cu tertawa. Ia merasa grrang sekali bahwa ilmu pukulan yang sedang dilatihnya itu berhasil baik. "Masih jauh daripada memuaskan. katanya berulang-ulang. "Sedikitnya naik dua tingkat lagi baru dapat menghadapi Hwa I Enghiong!"

Dua orang tokoh lm-yang-bu-pai terkejut mendengar ini. Ketua mereka sudah demikian dahsyat kepandaiannya hingga kalau dibandingkan dengan kepandaian mereka, mereka bukan apa- apa. Masa sekarang ketua ini harus naik dua tingkat kepandaiannya baru dapat menghadapi Hwa I Enghiong? Hampir mereka tak dapat percaya.

"Sesungguhnyakah?" Kwa Siang yang kasar menyatakan keheranannya, "Sampai dimanakah lihainya Go Ciang Le?"

Giok Seng Cu tertawa terbahak, suara ketawanya memecahkan telinga rasanya sehingga Kong Ji tak terasa lagi menutup kedua telinganya dengan tangan, baru berani membukanva kembali setelah orangtua itu menghentikan ketawanya.

"Kau tahu apa? Go Ciang Le telah mewarisi kepandaian Pak Kek Siansu, ilmu silatnya lihai luar biasa. Kalau aku tidak dapat merampas pedang Pak-kek-sin-kiam dan kitab rahasia dari Supek yang ditinggalkan di Luliang-san, aku masih belum mampu mengalahkannya. Namun menghadapi Luliang Sam-lojin pun bukan hal yang amat mudah. Setahun lagi kalau Tin-san-kang yang kulatih sudah sempurna, barulah aku akan menyerbu ke Luliang-san!" Kemudian kakek berambut panjang ini menahan kata-katanya dan merasa bahwa ia telah bicara terlalu hanyak, maka sambungnya, "Eh, Lai Tek dan Kwa Siang, bagaimana dengan tugas kalian menghukum Hoa-san pai? Dan siapa anak setan ini?"

“Hoa-san-pai telah hamba basmi, Liang Gi Tojin dapat ditewaskan, dan Lie Bu Tek menjadi orang cacad tiada guna selama hidupnya. Adapun anak bernama Lui Kong Ji, Ayah Bundanya tewas dalam tangan Lie Bu Tek. Karena melihat dia berbakat, hamba lalu membawanya untuk menjadi murid hamba," kata Kwa Siang. Adapun anak itu ketika tadi melihat Giok Seng Cu bertanya tentang dia, menjadi ketakutan dan siang-siang sudah berlutut tanpa berani mengangkat mukanya.

Kwa Siang dan Lai Tek lalu menuturkan semua pengalaman mereka, juga tentang anak angkat dari Lie Bu Tek yang tadinya mereka bawa akan tetapi kemudian dirampas oleh Kiang Cun Eng.

"Mengapa kalian menguruskan anak kecil itu? Hek-kin-kaipang tak boleh dipandang ringan, anggautanya banyak sekali. Belum waktunya bagi kita untuk menanam permusuhan dengan mereka.” Giok Seng Cu menegur setelah mendengar semua penuturan mereka.

"Menurut keterangan Kong Ji, anak itu bukan orang sembarangan, melainkan keturunan dari Wan-yen dan murid wanita Hoa-san-pai, kalau tidak dibinasakan, tentu kelak akan mendatangkan bencana," kata Lai Tek.

Giok Seng Cu menggerakkan tangannya. “Hah, takut apa menghadapi bocah itu? Biar dia dibawa oleh Kiang Cun Eng, biar ada seratus Kiang Cun Eng melatihnya, dia akan bisa berbuat apa terhadap kita?" Kemudian kakek berambut panjang yang menyeramkan itu memandang ke arah Kong Ji.

"Angkat mukamu!" bentaknya. Kon Ji terkejut dan menurut. "Kwa Siang, kau tidak salah, anak ini berbakat. Akan tetapi kita tidak tahu akan wataknya. Kau boleh mendidiknya, akan tetapi kalau kelak kulihat dia berbahaya, aku akan melenyapkannya."

Kwa Siang menyatakan baik dan Kong Ji yang tahu diri segera mengangguk-anggukkan kepalanya, menghaturkan terima kasih kepada kakek berambut panjang yang galak itu. Anak ini cerdik sekali, maka ia menjaga sedapat mungkin untuk menarik hati semua orang dan beberapa bulan kemudian ia telah dapat mengambil hati Giok Seng Cu sendiri sehingga ia diakui sebagai murid termuda dari lm-yang-bu-pai.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Gunung Luliang-san menjulang tinggi, puncaknya tertutup oleh mega-mega putih. Akan tetapi kalau orang berada di puncak itu, ia akan melihat mega yang berwarna semu hijau. Oleh karena puncak Luliang-san ini oleh mendiang Pak Kek Siansu, dinamakan Jeng in-thia (Ruangan Mega Hijau). Di puncak ini terdapat sebuah bangunan pondok sederhana dan kuat, pondok yang sudah kosong. Di halaman pondok terdapat dua makam yang letaknya berhadapan, kurang lebih lima tombak jarak antara dua makam ini. Itulah makam Pak Kek Siansu dan sutenya, Pak Hong Siansu yang tewas dalam pertandingan ilmu kepandaian secara hebat di depan pondok. Setelah keduanya tewas Go Ciang Le mengubur jenazah kedua orang tua sakti itu.

Semenjak Pak Kek Siansu tewas, Jeng-in-thia tidak pernah ditinggali orang. Adapun ketiga murid Pak Kek Siansu yang juga merangkap menjadi pelayan- pelayannya, kini tinggal di lereng gunung, dan hanya sekali waktu datang ke Jeng-in-thia untuk membersihkan bekas tempat tinggal guru mereka.

Tiga murid ini adalah Luliang Sam to-jin, tiga orang kakek dari Gunung Luliang san. Yang tertua adalah Luliang Ciangkun atau Panglima Luliang-san, kedua Luliang Siu-cai atau Sasterawan Luliang-san, sedangkan ke tiga adalah Luliang Nungjin atau Petani Luliang-san. Mereka telah berusia lanjut, telah menjadi kakek-kakek, namun mereka dianggap sebagai locianpwe yang dihormati dan disegani oleh semua golongan dalam dunia persilatan. Namun, mereka telah lama mengasingkan diri selalu tinggal di lereng Luliang-san dan tidak pernah turun ke dunia ramai. Bahkan watak mereka amat aneh, Sama sekali mereka tidak mau berhubungan dengan manusia. Kalau ada yang berani mendaki bukit Luliang-san, setiba di lereng tempat tinggal mereka, pasti orang itu akan mereka usir, secara halus maupun kasar!

Oleh karena inilah maka tidak ada orang kang-ouw yang berani naik ke sana, karena mereka segan menghadapi Luliang Sam-lojin yang memiliki kepandaian amat tinggi. Ketika Pak Hong Siansu menyerbu Luliang-san (diceritakan dalam Pendekar Budiman), tiga orang kakek ini terluka hebat oleh Pak Hong Siansu yang menjadi susiok (paman guru) mereka sendiri, Luliang Ciangkun patah-patah lengan kanannya sehingga kini lengan kanan itu menjadi bengkok dan tak dapat dipergunakan untuk mainkan pedangnya yang lihai dan ia terpaksa bermain pedang dengan tangan kiri. Luliang Siu-cai patah tulang pundaknya sehingga kini tulisannya yang biasa indah sekali menjadi coret-coretan jelek, juga menyebabkan gerakan ilmu silatnya kaku, Luliang Nungjin patah-patah kakinya sehingga kini kalau berjalan menjadi terpincang-pincang.

Akan tetapi, biarpun telah menjadi orang-orang bercacad, kepandaian mereka tidak berkurang, bahkan kini makin matang dan berisi. Mereka memang sudah memisahkan diri dari dunia ramia, akan tetapi oleh karena pengalaman yang dulu-dulu membuat mereka maklum bahwa pengasingan diri itu belum tentu berarti mereka terbebas daripada gangguan orang-orang jahat, maka mereka tidak lupa untuk melatih diri dan memperdalam ilmu kepandaian mereka. Luliang Sam-lojin maklum bahwa suhu mereka meninggalkan sebatang pedang pusaka dan kitab pelajaran ilmu silat yang disembunyikan di puncak Luliang-san. Suhu mereka pernah berpesan sebelum meninggal dunia kepada mereka.

"Pedangku Pak-kek-sin-kiam dan kitab ilmu silat Pak-kek-sin-kiamsut serta Pak kek-sin-ciang kusembunyikan di sekitar Jeng-in-thia. Akan tetapi kalian takkan dapat mempelajarinya, karena untuk mempelajari ilmu itu, harus ada seorang yang masih bersih lahir batinnya, seorang anak yang berbakat baik dan bertulang pendekar budiman. Kiranya hanya Ciang Le yang akan dapat mewarisinya. Akan tetapi biarlah kita serahkan jodoh pedang dan ilmu itu kepada Thian. Jangan beritahukan kepada siapapun juga, biarkan orang yang berjodoh menemukannya sendiri. Akan tetapi hati-hati dan jagalah jangan sampai dua benda itu terjatuh ke dalam tangan orang jahat."

Pesanan ini ditaati betul oleh mereka. Memang mereka pernah mencarI di dalam pondok, akan tetapi tidak dapat menemukan pedang dan kitab itu dan akhirnya mereka hanya menjaga di lereng bukit dengan penuh kewaspadaan. Bagi mereka yang sudah tua, memang sudah kurang nafsu untuk memiliki pedang pusaka dan kitab rahasia itu, karena untuk apakah? Luliang Ciangkun sudah cukup berbahagia kalau ia bisa bersilat pedang di tangan kiri pada malam terang bulan sambil diselingi minum arak sampai mabok. Luliang Siu-cai biar pun tulisannya sudah buruk, cukup berbahagia untuk menulis sajak-sajak indah sambil minum arak di bawah sinar bulan purnama.

Adapun Luliang Nungjin dapat tertawa sepuas hatinya kalau ia melihat hasil pertaniannya amat subur dan baik, melihat ladang tanamannya menghijau dan berombak seperti lautan teduh kalau tertiup angin gunung. Memang beberapa kali sute mereka yakni Go Ciang Le, datang mengunjungi mereka dan bersembahyang di depan makam Pak Kek Siansu, namun Ciang Le tidak pernah bertanya tentang pedang dan kitab, juga tak pernah menemukan benda-benda itu. Maka mereka juga diam saja, taat akan perintah suhu mereka.

Pada suatu pagi sejuk dan bersih, dari kaki Gunung Luliang-san berjalan seorang wanita yang menuntun seorang anak laki-laki, mendaki gunung. Mereka ini adalah Kiang Cun Eng dan Wan Sin Hong. Setelah berhasil merampas Wan Sin Hong dari tangan dua orang tokoh Im-yang-bu-pai, Kiang Cun Eng langsung membawa anak itu menuju ke Luliang-san, untuk memenuhi pesan Lie Bu Tek, yakni menghadapkan anak itu kepada Luliang Samlojin.

Kiang Cun Eng telah merawat luka-luka Sin Hong di dalam perjalanan. Tulang lengan kiri yang patah akibat pukulan Kong Ji, telah disambung dan diobati. Karena Sin Hong masih anak-anak dan tulangnya masih dalam masa pertumbuhan, maka penyambungan itu mudah dilakukan dan setelah bersambung, menjadi putih seperti sediakala. Kalau saja luka itu terjadi setelah ia dewasa, agaknya ia akan menderita cacad untuk selamanya.

Sin Hong tadinya membenci Kiang Cun Eng yang dikiranya juga seorang jahat seperti yang lain-lain. Akan tetapi betapa wanita itu merawatnya, memperlakukan dengan sikap manis dan baik dan ternyata bahwa perampasan itu dilakukan dengan maksud menolongnya, menjadi amat berterima kasih dan terharu. Apalagi setelah ia mendengar laporan pengemis Hek-kin-kaipang yang bertemu di jalan bahwa ketika menghadapi dua orang tokoh im-yang-bu-pai, tiga puluh orang anggauta Hek-kin-kaipang tewas dan luka-luka, hati Sin Hong menjadi perih sekali.

"Kiang-pangcu, mengapa kau lakukan semua ini untukku? Mengapa Hek–kin-kaipang membelaku sampai mengorbankan puluhan nyawa orang?" tanya Hong ketika ia mendengar akan laporan anggauta perkumpulan itu dan Cun Eng sedang mengobati luka-lukanya.

Cun Eng mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang, lalu menarik napas sambil berkata, "Anak yang baik, agaknya memang aku harus menebus semua dosa dengan jalan menolongmu, biarpun harus mengorbankan nyawaku sendiri. Aku lakukan semua ini untuk memenuhi permintaan Ayah angkatmu dan aku sudah berjanji akan memenuhi permintaannya itu biarpun dengan taruhan nyawaku dan nyawa kawan-kawanku."

Berlinang air mata anak itu mendengar keterangan ini. "Budimu besar sekali, Pangcu, Aku Wan Sin Hong bersumpah akan membalas budi terhadap Hek-kin-kaopang...”

"Hush... kalau ada persoalan budi, terima kasihmu harus kau tujukan kepada Lie Bu Tek. Dia sekarang menjadi manusia bercacad dan hidup sengsara di Hoa-san..."

"Gi hu...!" Sin Hong menangis ketika diingatkan kepada ayah angkatnya yang ia lihat dirobohkan oleh musuh-musuhnya. "Apakah... apakah Gihu tidak mati…?”

Cun Eng menggelengkan kepalanya. "la tidak mati," lalu menuturkan perjumpaannya dengan Lie Bu Tek di puncak Hoa-san.

“Kalau Gi-hu belum tewas, aku mau kembali saja ke sana. Kasihan dia terluka hebat, siapa yang merawatnya?" kata Sin Hong yang segera bangun dari pembaringannya.

Cun Eng, memegang pundaknya. "Tenanglah, Sin Hong. Ayah angkatmu tidak apa-apa biarpun ia telah terluka namun pihak Im yang-bu-pai sudah puas dan kiranya takkan mengganggunya. Kau menurutlah saja padaku, karena seperti sudah kukatakan tadi, aku melakukan semua ini untuk memenuhi pesanan Ayah Angkatmu itu. Kau tentu seorang anak yang patuh kepada kehendak Gihu-mu itu, bukan?"

Sin Hong mcngangguk sambil menahan air matanya, dan demikianlah, ia ikut dengan Cun Eng menuju ke Luliang-san. Karena kesehatannya telah pulih kembali, ia dapat melakukan perjalanan berlari-lari cepat sambil dituntun oleh Cun Eng. Melihat gunung besar di mana Cun Eng mengajaknya naik, Sin Hong tak dapat menahan keinginan tahunya, maka bertanyalah dia,

"Kiang-pangcu, kita sedang menuju ke manakah?"

Kiang Cun Eng menghentikan perjalanan dan menjawab, "Sin Hong, kiranya perlu kau ketahui akan rencana dari Ayah angkatmu dan mengapa kita berada di sini. Menurut kehendak Ayah angkatmu, aku harus membawamu ke Gunung Luliang-san ini dan menyerahkan kau ke dalam perlindungan Luliang Sam-lojin, tiga orang kakek yang berilmu tinggi. Hanya dalam perlindungan merekalah kau akan aman dan pihak Im yang-bu-pai takkan berani mengganggumu lagi"

"Siapakah Luliang Sam-lojin?" tanya Sin Hong.

"Mari kita lanjutkan perjalanan dan sambil berjalan akan kuceritakan padamu." Mereka berjalan lagi dan sedapat mungkin Cun Eng menuturkan tentang keadaan Luliang Sam-lojin. Tentu saja penuturannya kurang jelas karena sesungguhnya Kiang Cun Eng sendiri belum pernah bertemu muka dengan tiga orang kakek itu, hanya mendengar saja nama mereka yang terkenal. Namun mendengar tentang Luliang Sam lojin yang oleh Cun Eng dituturkan memiliki kepandaian yang luar biasa lihainya sehingga orang-orang Im-yang-bu-pai takkan berani mengganggunya, Sin Hong merasa senang sekali. Ia memang ingin belajar ilmu silat tinggi dan kiranya hanya tiga orang kakek itulah yang boleh diharapkan untuk membimbungnya sehingga tercapai cita-citanya.

Sejak dari kaki gunung, mereka tidak melihat dusun atau orang yang tinggal di daerah itu. Keadaannya amat sunyi hanya diramaikan oleh suara burung. Perjalanan makin sukar, menanjak, dan melalui jalan yang licin dan juga berbahaya. Terpaksa Cun Eng menggendong Sin Hong di punggungnya, karena amat berbahaya bagi orang yang tidak memiliki ilmu silat tinggi untuk melalui jalan seperti itu. Sekali saja terpeleset orang akan terguling ke dalam jurang!

Ketika mereka mendekati lereng gunung, jalan mulai penuh batu karang dan di kanan kiri menjulang tinggi dinding-dinding batu karang, tiba-tiba Sin Hong berseru, "Kiang-pangcu, lihat. Batu karang ini penuh tulisan yang aneh"

Kiang Cun Eng menghentikan kakinya dan menengok ke kiri. Betul saja, dinding batu karang itu penuh dengan coretan huruf-huruf yang menggores dalam-dalam seperti dipahat. Ketika menengok ke kanan, di situ pun terdapat banyak tulisan. Heranlah ia bagaimana orang dapat menuliskan huruf-huruf di tempat seperti itu. Selain batu karang itu keras sekali sehingga untuk memahat huruf itu tentu akan memakan waktu lama sekali, juga tulisan-tulisan itu ada yang terdapat di dinding bagian atas. Kalau tiada mempergunakan tangga yang tinggi bagaimana menuliskannya?

"Alangkah buruknya tulisan itu...” kata Kiang Cun Eng. Sebagai seorang wanita, biarpun ia pernah mempelajari sastera yang diperhatikan hanya dari pandangan sudut keindahan.

“Hebat sekali tulisan itu" Hampir berbareng Sin Hong berseru.

"lh, apanya yang hebat? Hurufnya petat-petot, coretannya mcncong dan tidak rata, apanya yang indah?” Kiang Cun Eng mencela.

"Tulisannya memang buruk, Pangcu. Akan tetapi coba baca!"

Kiang Cun Eng menurunkan Sin Hong dari gendongan dan membaca tulisan yang berada paling dekat. Tulisan itu demikian buruknya sehingga Cun Eng membaca lambat dan penuh perhatian.

“Menyerah berarti akan terpelihara. Bengkok berarti akan menjadi lurus. Kosong berarti akan menjadi penuh. Rusak berarti akan diperbaiki. Sedikit berarti akan menjadi cukup.

Mempunyai banyak berarti akan menjadi bingung. Maka orang bijaksana menggenggam Kesatuan. Dan menjadi tauladan bagi manusia di dunia.

Ia tidak menonjolkan diri. maka jelas kelihatan. Ia tidak membenarkan diri. maka kebenarannya terkenal. Ia tidak menyomhongkan diri, maka dihargai orang.

Ia tidak memuji diri. maka terpuji. Justru ia tidak pernah bermusuh. Maka tiada orang di dunia dapat bermusuh padanya.

Tepat sekali ujar-ujar kuno bahwa: Menyerah berarti akan terpelihara.

Yang menyerah akan terpelihara sepenuhnya. Dan dunia akan memuji tinggi padanya.”


'Sajak apakah ini, begini sulit dimengerti?" Kiang Cun Eng kembali mencela. Memang, ketika mempelajari ilmu surat, ketua Hek-kin-kaipang ini tidak pernah membaca kitab-kitab kuno karena ia memang tidak suka akan isi kitab yang dianggapnya hanya memusingkan otaknya belaka.

“Pangcu, bagaimana kau tidak mengenalnya? Itulah sebuah sajak dari dalam kitab To Tek Kheng!" kata Sin Hong.

"To Tek Kheng? Hm, pernah aku mendengar nama kitab ini, akan tetapi tak pernah aku membaca isinya, Nah, kalau sajak yang di sana itu, baru baik namanya," kata Cun Eng.

Sin Hong menengok ke kanan dan melihat sajak yang ditulis atau lebih tepat diukir di dinding kanan. Tulisannya tetap buruk sekali, akan tetapi susunan sajaknya benar-benar indah, dan romantis, sungguhpun isinya hanya merupakan pujian terhadap sinar bulan, air telaga, arak dan wanita cantik sebagaimana seringkali ditulis oleh penyair dan pujangga kuno.

"Sin Hong kau mengerti bahwa tulisan yang kubaca tadi dari kitab To Tek Kheng. Apakah juga kau mengerti juga artinya yang demikian sulit?" tiba-tiba Cun Eng bertanya.

Merah wajah Sin Hong, seorang anak kecil seperti dia, bagaimana dapat menyelami arti daripada ujar-ujar yang demikian sulit? Ia tersenyum dan menjawab, "Kiang-pangcu aku sendiri sesungguhnya amat bodoh. Aku hanya mengerti dari keterangan guru-guru sastera yang pernah mengajarkan isi dari semua sajak itu yang pada pokoknya hanya nasihat dari Pujangga Besar Lo Cu yang menyuruh orang mengosongkan diri, menyerah, merendah dan tunduk kepada Hukum Alam atau To, membiarkan diri bersikap seperti air pula yang mencari jalan kembali ke samudera, atau yang terkenal dengan istilah mencari diri pribadi. Maksudnya entahlah, aku sendiri belum mengerti."

Sesungguhnya, biarpun masih kecil namun otak Sin Hong cerdik sekali dan ia sudah dapat menangkap maksud daripada filsafat ini, hanya ia tidak berani menyatakan kepada Cun Eng. Baginya ia lebih tertarik akan ujar-ujar dari Guru Besar Khong Hu Cu, karena baginya, ujar-ujar Lo Cu terlalu dalam dan terlalu muluk, di luar daripada kenyataan hidup yang membutuhkan dorongan semangat dan kemajuan menurut jalan yang benar dan baik.

Mereka melanjutkan perjalanan. "Heran sekali, siapakah yang begitu iseng menuliskan segala macam sajak kuno di tempat seperti itu?" Sin Hong berkata perlahan, "Dia itu biarpun tulisannya buruk, tentulah seorang saterawan besar."

Mendengar ini, kembali Cun Eng menghentikan kakinya. "Ah, sekarang aku ingat. Penulisnya tentulah Luliang Siucai!"

"Siapa dia?"

"Dialah orang ke dua dari Luliang Sam lojin. Yang pertama adalah Luliang Ciangkun, ke dua Luliang Siucai, dan ke tiga Luliang Nungjin."

Sin Hong menjadi heran dan kagum. Benar-benar aneh, pikirnya. Tiga kakek Luliang-san itu memakai nama Panglima, Sasterawan, dan Petani. Tak lama kemudian, jalan batu karang telah dilalui dan mereka tiba di lereng bukit yang hijau dan penuh tanaman segar. Jauh sekali bedanya dengan daerah yang baru saja dilalui.

"Pangcu, di lereng ini tinggal banyak sekali petani!" tiba-tiba Sin Hong yang berpemandangan awas itu berseru.

"Mengapa kau berkata demikian?"

"Lihat sawah-sawah itu!. Demikian lebar dan luas. Kalau bukan banyak petani rajin yang mengerjakannya, siapa lagi?"

Kiang Cun Eng mumbenarkan pendapat ini. Akan tetapi mereka memandang ke sara ke mari, di daerah itu sunyi sepi tidak kelihatan sebuah pun rumah orang. Di manakah tinggalnya para petani itu?”

Tiba-tiba entah dari mana datangnya, seorang berpakaian petani jalan mendatangi sambil memanggul cangkul. Kiang Cun Eng dan Sin Hong memandang dengan mata menyatakan kaget dan heran. Mereka sama sekali tidak tahu dari mana datangnya orang itu dan yang amat mengherankan mereka adalah pacul yang dipanggul oleh orang itu. Pacul itu gagangnya hanya sebatang akan tetapi amat panjang dan ujung gagangnya itu ada cabangnya sebanyak enam dan di setiap ujung cabang terdapat sebuah pacul! Jadi pada hakekatnya pacul yang segagang itu mempunyai mata cangkul sebanyak enam buah yang jauhnya dari satu kepala yang lain ada tiga kaki. Benar benar pacul yang amat aneh.

Petani yang sudah tua itu berjalan terpincang-pincang, ternyata kakinya bengkok-bengkok. Hal ini dapat dilihat nyata karena celananya hanya sebatas lutut dan kedua kakinya berkulit putih bersih, berbeda dengan petani biasa. Tanpa menoleh, petani itu lalu masuk ke dalam sawah berlumpur dan cepat mengerjakan paculnya yang aneh.

"Hebat sekali orang itu…!" Kiang Cun Eng berseru perlahan ketika ia melihat bagaimana petani itu bekerja. Ayunan cangkulnya cepat dan keras dan tiap kali ia menarik paculnya, enam mata cangkul itu telah mencabut atau memacul rumput-rumput liar yang mengganggu sayur-sayuran yang ditanamnya. Biarpun sayur-sayuran itu tumbuh dekat, namun ke enam mata cangkul itu mengenai tepat pada sasarannya, yakni rumput-rumput liar dan sama sekali tidak mengganggu tanamannya sendiri!

Biarpun Cun Eng bicara perlahan sekali, namun tiba-tiba petani itu menunda pekerjaannya dan sekali ia melompat ia telah berdiri di hadapan Cun Eng dan Sin Hong! Gerakan ini luar biasa sekali cepatnya, dan jarak antara mereka lebih dri lima tombak, namun sekali melompat kakek pincang itu telah berada di situ. Dan yang lebih mengagumkan hati Cun Eng dan Sin Hong adalah kaki kakek itu masih bersih dan sama sekali tIdak terkena lumpur padahal kalau orang menginjak sawah berlumpur itu, kedua kakinya tentu akan amblas sedikitnya sampai pergelangan kaki!

"Kalian ini siapakah? Apakah datang hendak mencuri sayur mayur yang kutanam?" tegur kakek petani pincang itu. Ia memandang kepada Cun Eng hanya sebentar saja akan tetapi matanya kini menatap wajah Sin Hong penuh perhatian.

"Penghuni gunung ini benar amat aneh," kata Sin Hong sebelum Cun Eng menjawab, membikin kaget kepada ketua Hek-kin-kaipang itu, "Lopek yang baik, kau menanam begini banyak sayur-mayur, dimakan sendiri takkan habis. Mengapa demikian pelit dan takut orang mengambilnya? Apakah sekian banyaknya sayur dapat kau makan habis?"

Kalau Kiang Cun Eng amat terkejut dan khawatir, adalah petam itu tertawa berkakakan mendengar pertanyaan Sin Hong. "Ha, ha, ha, kau tahu apa, bocah? Tentu saja aku tidak makan habis sayuran ini, aku menanamnya hanya untuk melihat hasil kerjaku. Asal tanamanku hidup subur dan indah, aku sudah puas, siapa menginginkan hasilnya untuk dimakan?"

Sin Hong melongo. "Jadi sayur-sayuran yang ditanam ini akhirnya akan membusuk begitu saja?"

"Tentu saja! Tidak ada sesuatu yang takkan tua layu dan mati di dunia. Akan tetapi itu yang menyenangkan hatiku, kalau sudah mati, aku dapat mencangkul dan menanam lagi, bukankah itu amat menggembirakan hati? Soal mencuri, biarpun hanya mencuri sayur, namanya tetap mencuri dan aku paling benci kejahatan!”

Cun Eng tak sangsi lagi dengan siapa ia berhadapan, maka ia membentak Sin Hong. "Jangan kurang ajar, Sin Hong'" Setelah itu ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan petani itu sambil berkata, "Locianpwe, mohon maaf sehanyaknya atas kelancangan teecu berdua."

Kakek petani itu nampak kaget lalu tersenyum. "Eh, apa-apaan sih ini? Aku seorang petani bodoh yang hanya bisa mencangkul dan menanam mengapa kau sebut locianpwe segala"

"Mohon Locianpwe sudi memaafkan kalau tadi teecu buta tidak tahu bahwa teecu berhadapan dengan Luliang Nungjin yang mulia."

Mendengar sebutan ini, Sin Hong tercengang dan perlahan-lahan ia lalu menjatuhkan diri berlutut pula, akan tetapi ia mengangkat mukanya memandang kepada kakek petani itu penuh selidik.

Kakek petani itu memang Luliang Nungjin. la tertawa, kemudian memandang tajam kepada Cun Eng. "Siapakah kau yang bermata tajam? Kita belum pernah bertemu dan sudah lama sekali aku tak meninggalkan gunung, bagaimana kau bisa mengenalku?"

Sebelum Cun Eng menjawab, kembali Sin Hong saking herannya mengeluarkan kata-kata yang keras, "Aneh, aneh! Para Locianpwe di Luliang-san memang orang-orang aneh. Tadi aku sudah melihat hasil pekerjaan Luliang Siucai, yang menggunakan pahat mengukir huruf huruf jelek menuliskan sajak-sajak indah. Sekarang Locianpwe ternyata adalah Luliang Nungjin, petani yang menanam banyak sekali sayur mayur tanpa memakan hasil sawah ladangnya!"

Melihat kejujuran dan ketabahan Sin Hong, Luliang Nungjin gembira sekali. "Anak goblok, Luliang Siucai tak pernah memegang pahat. Ia menulis huruf-huruf itu dengan coretan jari telunjuknya!"

Mendengar ini Sin Hong menjulurkan lidahnya dan menjadi bengong. Bahkan Cun Eng sendiri bergidik memikirkan betapa lihainya orang yang menggunakan jari tangan mencoret-coret di dinding batu karang setinggi itu! Buru-buru ia mengangguk-anggukkan kepala dengan hormat dan berkata, "Sekali lagi mohon Locianpwe memaafkan kami, terutama atas kelancangan mulut anak ini. Teecu adalah Kiang Cun Eng…"

"Hm, Jadi kau ketua Hek-kin-kaipang" Luliang Nungjin memotong kata-kata orang.

"Benar demikian, Locianpwe."

"Hm, kau tentu menghadapi kesulitan. Makin besar perkumpulannya, makin pusing mengurusnya."

"Memang betul seperti yang dikatakan Locianpwe, teecu datang ini hendak memohon pertolongan. Teecu..."

"Stop...! Tak perlu menceritakan urusanmu. Urusanmu bukan urusanku. Aku tidak ingin mendengar lebih lanjut. Kau dan bocah ini lekas-lekas turun gunung. Kami tidak membolehkan siapa juga mengganggu ketenteraman di Luliang-san."

"Locianpwe, mohon belas kasihan dari Locianpwe, teecu bukan datang untuk keperluan teecu sendiri, melainkan..."

"Sudah, sudah! Kalau aku membiarkan kau bicara juga, tentu dua orang Suhengku takkan mau membiarkan."

"Locianpwe..."

"Diam, lihat mereka sudah datang! Kau boleh mendengar sendiri."

Tanpa dapat diketahui sebelumnya, tahu-tahu dua orang kakek telah berada di situ. Cun Eng dan Sin Hong memandang. Yang seorang adalah seorang kakek bertubuh tinggi besar yang berpakalan seperti panglima perang. Jenggotnya panjang dan wajahnya yang gagah membuat ia kelihatan seperti Kwan In Tiang atau Kwan Kong tokoh besar di jaman Sam Kok. Orang ke dua adalah seorang yang halus gerak-geriknya, berpakaian sebagai seorang sasterawan dengan kuku tangan terpelihara baik-baik.

"Sute, siapakah mereka ini?" Luliang Ciangkun bertanya dengan suara yang besar.

"Kiang Cun Eng ketua Hek-kin-kai-pang dan bocah ini... entah siapa," Jawab Luliang Nungjin.

Tiba-tiba tubuh tinggi besar dari Panglima Bukit Luliang itu bergerak dan ia telah menubruk Kiang Cun Eng! Wanita ini kaget sekali dan hendak mengelak karena mengira bahwa kakek itu menyerangnya. Akan tetapi, tahu-tahu ia merasa sesuatu bergerak di punggungnya dan ketika ia merabanya ternyata bahwa pedang yang tadinya tergantung di punggungnya telah dirampas oleh Luliang Ciangkun!

Cun Eng terkejut sekali, akan tetapi Luliang Siucai dengan suaranya yang halus berkata, "Orang yang datang di Luliang-san tidak boleh membawa-bawa senjata."

Sementara itu, Luliang Ciangkun memandang pedang rampasan dengan senyum mengejek. "Pedang apa ini? Ha! percuma saja dibawa-bawa!" Ia lalu bersilat dengan pedang itu. Bukan main cepatnya gerakan pedangnya dan angin dingin menyambar-nyambar dari gerakan pedang. Cun Eng dan Sin Hong melongo menyaksikan ilmu pedang yang hebat ini. Tiba-tiba pedang itu meluncur menyambar batu karang dan menimbulkan suara keras sekali. Batu karang sebesar dua tubuh orang itu terbelah akan tetapi pedangnyapun patah menjadi dua!

"Pedang buruk, pedang tiada gunanya..." Luliang Ciangkun berkata sambil melemparkan gagang pedang dengan gaya jijik dan tidak senang.

"Hebat," pikir Cun Eng. Tiga orang kakek ini benar-benar lihai. Sasterawan itu dapat menulis di batu karang dengan mencorat-coretkan telunjuknya, tanda bahwa lweekangnya sudah tinggi sekali. Petani itu pun dapat mempergunakan pacul sedemikian rupa sehingga pacul itu dapat menjadi senjata luar biasa lihainya. Sedangkan Panglima ini sudah tak dapat disangsikan lagi kelihalan ilmu pedangnya dan besarnya tenaga.

"Sam-wi Locianpwe mohon sudi mengampunkan teecu yang bodoh. Sesungguhnya teecu berani datang ke tempat ini untuk memenuhi permintaan Lie Bu Tek dari Hoa san-pai."

"Hoa-san-pai? Apa yang terjadi dengan Hoa-san-pai?" Luliang Ciangkun melangkah maju. Tiga orang kakek ini memang mempunyai hubungan yang amat baik dengan Hoa-san-pai dan di antara semua partai persilatan hanya kepada Hoa -san pai mereka menaruh hati suka. Hal ini adalah karena sute mereka yang terkasih, yaitu Go Ciang Le, termasuk keturunan dari Hoa san-pai, bahkan isteri dari Go Ciang Le yang bernama Liang Bi Lan juga seorang anak murid Hoa-san-pai yang terkasih. Mendengar pertanyaan ini, Cun Eng Ialu menuturkan pengalamannya.

"Ketua Hoa-son.pai, Liang Gi Tojin, telah tewas oleh dua orang tokoh Im-yang-bu pai, yaitu Thian-te Siang tung Kwa Siang dan Siang-mo-kiam Lai Tek, dibantu oleh Siang-pian Giam-ong Ma Ek ketua Bu-cin-pai. Juga Lie Bu Tek Taihiap telah terluka hebat dan menjadi penderita cacad. Anak ini adalah murid termuda dari Hoa-san-pai, juga menjadi anak angkat dari Lie Bu Tek Taihiap. Dia ini bernama Wan Sin Hong, putera tunggal dari Wan Kan dan Ling In yang tewas oleh Ba Mau Hoatsu." Kemudian Cun Eng menuturkan tentang pesanan Lie Bu Tek dan menutup penuturannya dengan suara memohon.

"Sam-wi Locianpwe, oleh karena keselamatan anak ini selalu terancam oleh pihak Im-yang-bu-pai, maka untuk memperkuat pesanan Lie Bu lek Taihiap, teecu mohon dengan hormat sudilah Sam-wi Locianpwe menaruh hati kasihan dan menolong anak ini. Hanya di tempat inilah Sin Hong dapat terhindar dari kekejaman Im-yang-bu-pai."

"Tidak bisa! Kami bukan pengasuh anak-anak!" bentak Luliang Ciangkun dengan suara keras sambil membuka lebar matanya.

"Dengan Im-yang-bu-pai kami tidak ada sangkut paut kami sudah mengasingkan diri dari dunia ramai!" kata Luliang Nungjin.

Liuliang Siucai juga menyambung tenang, "Kiang-pangcu, kami sudah mencuci tangan dari urusan dunia dan tidak mau terlibat dengan permusuhan dan urusan orang-orang kang-ouw. Menyesal sekali kami tak dapat menerima permintaan Hoa-san-pai atau permintaanmu.”

"Sam-wi Locianpwe... harap Sam-wi tolonglah! Im yang-bu-pai amat jahat dan menjagoi di dunia kang-ouw. Banyak yang sudah menjadi korban keganasan mereka, teecu tidak minta banyak, hanya minta perlindungan dan tempat bagi anak ini..."

"Sekali tidak bisa tetap tidak bisa!" Luliang Ciangkun membentak marah. "Kalian berdua pergilah!”

Kiang Cun Eng tak dapat menahan kekecewaan hatinya, sampai dua butir air mata menitik turun di atas pipinya. Ia hendak memohon dan membantah lagi, akan tetapi tiba-tiba Sin Hong bangkit berdiri dan menarik bangun Kian Cun Eng sambil berkata keras,

"Pangcu, mengapa begini merendahkan diri seperti pengemis-pengemis kelaparan?" Tidak saja Cun Eng yang terkejut, bahkan tiga orang kakek itu mengerling ke arah Sin Hong. Anak itu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar dan dua tangan terkepal, matanya tertuju ke arah tiga orang kakek itu dengan pandangan marah.

"Kiang-pangcu, Gihu telah menjatuhkan kepercayaan dan harapannya di tempat yang salah dan pada orang-orang yang bukan semestinya. Mencari perlindungan dari orang orang jahat harus datang pada orang-orang bijaksana dan gagah perkasa, bukan pada orang-orang jahat pula!"

Cun Eng menjadi pucat. "Sst, Sin Hong, jangan kurang ajar!"

Luliang Ciangkun menggerakkan tangannya dan dalam sedetik saja leher baju Sin Hong sudah ia pegang dan anak itu kini tergantung pada tangan Panglima Luliang-San, seperti seekor kelinci dipegang pada kedua telinganya. "Setan cilik, kau bilang apa? Kauanggap kami orang-orang jahat?"

"Locianpwe," kata Sin Hong dengan suara sama sekali tidak takut, "kalau kau membantingku sekali saja kau dapat membunuhku?"

“Tentu, setan cilik. Sekali banting kaupasti mampus!" kata Luliang Ciangkun marah.

"Nah, kalau terjadi demikian, bukankah kau jahat sekali? Seorang tua gagah menangkap dan membunuh anak kecil.”

Mendengar ini, lemaslah tangan Luliang Ciangkun dan ia melepaskan Sin Hong. "Bocah kurang ajar. Lekas kau katakan mengapa kau anggap kami jahat. Tanpa alasan berarti kaulah yang jahat, menuduh orang sesuka hati."

"Tentu saja teecu mempunyai alasan yang kuat. Locianpwe tidak memandang persahabatan dengan Hoa-san-pai dan tidak mau membantu Kiang-pangcu yang memohon tolong, itu boleh dibilang belum jahat. Akan tetapi, Locianpwe bertiga tahu bahwa Im-yang-bu-pai jahat sekali, akan tetapi berpeluk tangan saja tidak mau membantu mereka yang tertindas. Ada pepatah kuno yang menyatakan bahwa orang yang tidak mau mencegah dilakukannya perbuatan jahat, orang yang melihat seorang penjahat tanpa turun tangan dan membiarkan saja berarti bahwa orang itu membantu penjahat dan dengan sendirinya menjadi penjahat juga. Teecu mendengar bahwa para pendekar perkasa di dunia kangouw siap mengorbankan nyawa sendiri untuk memberantas kejahatan dan menolong orang-orang yang menjadi korban kejahatan. Akan tetapi Sam-wi Locianpwe tinggal diam saja bahkan menolak permohonan tolong, tentu saja mendatangkan kesan bahwa Sam-wi juga jahat."

Tiga orang kakek itu saling pandang dengan alis terangkat. Mereka merasa "bohwat" (Tak berdaya membantah) terhadap kata-kata Sin Hong dan kemudian mereka tertawa bergelak.

"Ha ha ha, setan cilik ini lihai sekali lidahnya!" kata Luliang Ciangkun.

"Biarkan dia di sini membantu mencangkul sawah!" kata Luliang Nungjin.

“Tidak, kalau dia di sini, berarti kita akan mengundang keributan saja," kata Luliang Siucai yang berpikiran lebih luas, "biarlah ia tinggal di Jeng-in-thia di puncak, mengurus makam dan membersihkan pondok. Di sana takkan ada orang dapat melihatnya."

"Bagus, begitupun baik. Kita tak usah repot setiap hari membersihkan tempat itu. Biar dia menjadi bujang kecil!" kata Luliang Ciangkun dan Luliang Nungjin.

"Teecu mohon belajar silat dari Sam-wi Locianpwe!" Sin Hong membantah. "Untuk apa kalau hanya menjadi bujang? Teecu kelak akan menuntut balas, kalau tidak ada yang memberi pelajdran ilmu silat dan kelak tak dapat menuntut balas, lebih baik sekarang juga musuh-musuh teecu mendapatkan teecu agar tee-cu dapat mengadu nyawa. Apa artinya tinggal di tempat ini kalau tidak diberi pelajaran ilmu silat?"

Kiang Cun Eng merasa gelisah sekali menyaksikan kekebalan dan keberanian Sin Hong, akan tetapi Luliang Ciangkun sambil tertawa bergelak, kembali menangkap leher baju Sin Hong dan membawanya berlari seperti terbang menuju ke puncak.

"Belajar silat? Lihat dulu sampai di mana kemampuanmu!" kata Panglima dari Luliang-san ini.

"Pangcu, sekarang lebih baik kau lekas lekas pergi dari sini dan jangan kau memberi tahu kepada siapapun juga bahwa anak itu berada di sini,” kata Luliang Siucai.

Kiang Cun Eng berlutut dan menghaturkan terima kasihnya. Akan tetapi ia teringat akan anak itu dan setelah melakukan perjalanan dengan Sin Hong, ia merasa sayang dan suka kepadanya. “Locianpwe, anak itu mempunyai penasaran besar, maka teecu mohon kemurahan hati Sam-wi Locianpwe untuk memberi bimbingan kepadanya," katanya.

"Bodoh!" Luliang Nungjin membentak. "Anak itu sudah berada di sini, kalau ia menjadi orang bodoh kelak, apakah kami tidak akan malu?"

Bukan main girangnya hati Cun Eng mendengar ini, ia menghaturkan terima kasihnya lagi, lalu cepat-cepat turun dari lereng Gunung Luliang-san.

Sin Hong adalah anak yang jujur, tabah dan mempunyai banyak sifat sifat baik. Ia juga amat cerdik dan tahu bahwa biarpun tiga orang kakek Luliang-san itu wataknya aneh, namun mereka amat lihai dan memiliki kepandaian tinggi. Oleh karena itu, setelah ia dibawa oleh Luliang Ciangkun ke Jeng-in-thia (Ruang awan hijau), ia tidak memperlihatkan sikap melawan lagi, bahkan tanpa diperintah lagi ia lalu bekerja, membersihkan ruangan yang berupa pondok sederhana itu. Juga ia merasa amat hormat kepada dua buah makam tua yang berada di depan pondok. Ia tidak tahu makam siapakah itu, akan tetapi ia merawat kedua makam itu, mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar makam dan menanam bunga-bunga yang indah.

Setelah membawa dia ke puncak, Luliang Ciangkun lalu meninggalkannya tanpa pesanan sesuatu. Akan tetapi Sin Hong tidak merasa takut ditinggalkan seorang diri di puncak. Biarpun ia tidak diberi makan dan tidak diberi tahu ke mana harus mencari makan, anak ini mempergunakan akalnya sendiri. Ia mencari dan mendapatkan pohon-pohon berbuah di puncak itu dan ia dapat mencari makannya sendiri, sungguhpun hanya berupa buah-buahan belaka...