Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 41 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

41: PESAN AKHIR SANG PANGLIMA PEEKASA

“Robohkan dia akan tetapi jangan dibunuh!” beberapa kali Panglima Kim Bayan berseru kepada para perajurit. Dia ingin menawan Liu Bok Eng dan keadaan hidup untuk dipaksa mengaku dan menyerahkan peta harta karun.

Akan tetapi, perintah ini lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan. Untuk menyerang nekat dengan niat membunuh saja sudah amat sukar, apalagi menyerang dengan syarat tidak boleh membunuh!

Bekas Panglima Kerajaan Sung itu kini mengamuk hebat dan dia bahkan sudah merampas sebatang tombak dari seorang korbannya. Dia kini memainkan tombak itu sebagai sebatang toya (tongkat) yang menjadi senjata andalannya, Liu Bok Eng adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang ahli bersilat dengan toya.

Begitu dia memegang tombak yang dimainkan sebagai toya, para perajurit yang baru masuk mengeroyok itu pun berpelantingan! Bahkan Liu Bok Eng yang melihat isterinya terbunuh oleh Kim Bayan, berusaha terus untuk menyerang Panglima Mongol itu.

“Wuuuutt! Singgg...!”

Untuk sekian kalinya, Liu Bok Eng melompat bagaikan seekor burung garuda, menyambar dan tombaknya menyerang ke arah kepala Kim Bayan. Ketika Kim Bayan mengelak, Liu Bok Eng melanjutkan serangannya dengan tusukan tombaknya, menggunakan jurus Kim-seng-kan-goat (Bintang Emas Mengejar Bulan).

“Haiiittt... tranggg...!” Kim Bayan menangkis dengan goloknya sambil memutar badan karena serangan toya tadi datangnya dari belakang. Gerakannya itu adalah jurus Sin-liong-tiauw-si (Naga Sakti Sabetkan Ekornya). Akan tetapi Panglima Mongol itu terkejut bukan main karena telapak tangan kanannya yang memegang gagang golok terasa panas dan nyeri. Bukan main kuatnya tenaga dalam yang dimiliki Liu Bok Eng. Padahal, Panglima Kim Bayan adalah seorang panglima dan ahli silat yang terkenal memiliki tenaga besar.

Pada saat itu, dua orang perwira perajurit menyerang dengan golok mereka dari belakang. Seorang ahli silat yang tingkatnya sudah setinggi tingkat Liu Bok Eng, memiliki perasaan yang amat peka dan telinga yang tajam. Seolah memiliki mata di belakang tubuhnya, Liu Bok Eng memutar tubuh didahului toyanya. Dua orang perajurit menjerit dan roboh dengan kepala pecah!

Robohlah dua puluh orang lebih yang tewas oleh amukan Liu Bok Eng membuat para perajurit menjadi gentar. Mereka hanya berani mengepung dan mengancam tanpa berani menyerang terlalu dekat. Hal ini memudahkan Liu Bok Eng untuk terus mendesak Kim Bayan dengan serangan-serangannya. Dia kini memainkan Sin-pang-lo-hai (Toya Sakti Kacau Lautan) yang gerakannya amat hebat, bergelombang dan didahului angin pukulan yang menyambar-nyambar dahsyat. Kim Bayan memutar goloknya melindungi diri, akan tetapi dia terus didesak mundur.

Pada saat itu, Cui-beng Kui-ong mendekati Kim Bayan. Dia mengerahkan kekuatan sihirnya, lalu membentak. "Liu Bok Eng, isterimu telah mati! Dunia ini gelap bagimu, gelap, gelap, gelap!" Kakek kurus bongkok itu menggerak-gerakkan tongkat hitamnya ke arah muka Liu Bok Eng.

Pendekar ini terkejut bukan main karena tiba-tiba saja cuaca menjadi gelap dan dia tidak dapat melihat apa-apa seolah ada batu hitam yang menutupi pandang matanya! Dia menyadari bahwa ini adalah pengaruh sihir yang amat kuat, maka dia menahan napas dan mengerahkan tenaga saktinya untuk melawan dan menolak pengaruh sihir yang membuat pandangannya gelap itu.

Pada saat itu, para perajurit yang mengepungnya, mendapat isyarat dari Kim Bayan lalu menyerang Liu Bok Eng yang hanya berdiri diam seperti orang kebingungan. Akan tetapi begitu senjata-senjata tajam itu menyerangnya, Liu Bok Eng biarpun tidak melihat, dapat mendengar dan merasakan. Tongkat tombak di tangannya digerakkan memutar, menangkis semua senjata dan sekaligus membagi pukulan. Empat orang perajurit roboh dan tewas seketika!

Panglima Kim menjadi marah bukan main. Juga Cui-beng Kui-ong merasa penasaran. Jelas bahwa sihirnya mampu mempengaruhi Liu Bok Eng sehingga pendekar itu tidak mampu melihat karena pandang matanya gelap, akan tetapi masih saja Liu Bok Eng demikian lihai sehingga merobohkan empat orang lagi! Sedikitnya sudah ada dua losin perajurit tewas sehingga ruangan itu penuh dengan mayat dan darah berceceran ke mana-mana, keadaannya sama dengan akibat pertempuran dalam peperangan!

Berulang-ulang Panglima Kim Bayan menyerang dengan pengerahan seluruh tenaganya, menyerang dari depan, kanan kiri atau belakang. Akan tetapi lawan yang keadaannya seperti orang buta itu selalu saja dapat menangkis sehingga senjatanya terpental!

Sementara itu, Panglima Kerajaan Sung itu mengerahkan terus tenaga saktinya untuk membuyarkan pengaruh sihir. Kegelapan itu perlahan-lahan mulai berkurang. Akan tetapi dalam keadaan remang-remang itu, kembali dia mendengar sambaran senjata yang digunakan Kim Bayan untuk menyerangnya. Dia cepat menangkis dengan tombaknya.

“Tranggg...!”

Sekali ini, saking kuatnya Liu Bok Eng menangkis, golok itu terpental dan Panglima Kim Bayan terhuyung ke belakang! Akan tetapi pada saat itu, Cui-beng Kui-ong yang berdiri di sebelah kiri Liu Bok Eng, menudingkan tongkat hitamnya dan dari ujung tongkat yang runcing itu meluncur anak panah kecil dengan cepat dan tanpa dapat dielakkan Liu Bok Eng, anak panah yang ujungnya mengandung racun itu menancap di dada kirinya!

Liu Bok Eng terhuyung dan ketika matanya kini dapat melihat, dia terhuyung ke arah mayat isterinya, lalu roboh di samping mayat isterinya dan tewas! Melihat bekas panglima Kerajaan Sung itu tewas, Kim Bayan mengeluh,

“Ah, banyak perajurit tewas dan Liu Bok Eng suami isteri juga tewas sehingga kita tidak bisa mendapatkan peta itu! Celaka sekali!”

Cui-beng Kui-ong memberi isyarat agar muridnya itu menutup mulut. Mereka lalu memerintahkan perajurit untuk membersihkan ruangan dan mengurus semua mayat, lalu mereka bicara di dalam.

“Jangan putus asa,” kata Cui-beng Kui-ong. “Sekarang kau periksa pakaian suami isteri itu, barangkali petanya mereka simpan dalam pakaian. Kalau tidak ada, cepat pergi ke rumahnya, geledah seluruh rumah, tangkapi semua pelayan dan paksa mereka untuk mengaku. Aku yakin peta itu akan dapat kau temukan!”

Panglima Kim Bayan mengangguk setuju dan cepat dia pergi lagi ke ruangan tadi di mana jenazah Liu Bok Eng dan isterinya belum mendapat giliran diangkut. Dia sendiri menggeledah seluruh pakaian suami isteri itu, akan tetapi tidak menemukan benda yang dicarinya. Maka dia lalu pergi seorang diri ke rumah Liu Bok Eng. Dia tidak ingin ada perajurit yang tahu akan peta itu, maka dia pergi seorang diri.

Setelah tiba di rumah itu, dia mengumpulkan lima orang pelayan rumah tangga, membentak mereka agar mengaku di mana majikan mereka menyimpan surat-surat penting termasuk sebuah peta. Ketika lima orang pembantu rumah tangga itu bersumpah bahwa mereka tidak tahu, Kim Bayan mengikat kaki tangan mereka agar mereka tidak mampu melepaskan diri. Kemudian dia sendiri menggeledah seluruh isi rumah.

Penggeledahan seorang diri ini makan waktu sampai setengah hari. Dia memeriksa dengan teliti namun tidak menemukan peta harta karun yang dicarinya. Dia menjadi semakin penasaran dan marah sekali. Lima orang pembantu rumah tangga itu dia suruh bawa oleh perajurit ke dalam tahanan dan rumah itu pun disita dan ditutup, dijaga perajurit.

Jaksa Ciang yang menerima perintah Kim Bayan, menyiarkan kabar bahwa Liu Bok Eng dan isterinya mengamuk sehingga terbunuh dan menyatakan bahwa suami isteri itu adalah pemberontak yang berbahaya! Jenazah suami isteri itu dimakamkan di tanah kuburan rakyat di Luar kota Nan-king.

Para penduduk gempar mendengar berita ini. Sebagian besar dari mereka tidak percaya akan berita bahwa Liu Bok Eng dan isterinya menjadi pemberontak dan mengamuk di rumah kejaksaan sehingga mati terbunuh. Akan tetapi pada waktu itu, siapa orangnya berani menyangkal atau membantah? Bahkan mereka yang mengenal baik Liu Bok Eng, harus secara diam-diam kalau hendak berkunjung dan memberi hormat ke makam suami isteri itu.

Berita tentang terbunuhnya Liu Bok Eng itu tersiar sampai ke Siauw-lim-pai dan para pimpinan Siauw-lim-pai menjadi terkejut dan juga khawatir sekali. Mereka bersiap-siap menjaga kemungkinan diserbu pasukan pemerintah Mongol.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Gadis cantik jelita itu memasuki gapura Nan-king. Siang hari itu amat panasnya dan begitu memasuki kota, gadis itu merasa heran melihat betapa orang-orang memandangnya dengan sinar mata aneh seperti orang merasa iba. Bahkan ada beberapa orang wanita menahan tangis ketika melihat ia, akan tetapi tak seorang pun dari mereka bicara kepadanya.

Gadis itu adalah Liu Ceng Ceng. Hatinya merasa tidak nyaman melihat ulah orang-orang itu. Biasanya, ia dan ayah bundanya amat dihormati dan disukai penduduk Nan-king. Akan tetapi mengapa sekarang tidak ada yang menyapanya, bahkan memandang iba dan seolah hendak menyingkir dan menghindari pembicaraan dengannya?

Ketika ia melewati rumah Tabib Liong, Ceng Ceng teringat bahwa Liong Sinshe adalah sahabat karib ayahnya, maka ia ingin bertanya kepadanya mengapa semua orang bersikap aneh kepadanya. Kebetulan Tabib Liong berada di depan pintu toko obatnya.

“Paman Liong...”

Ketika Tabib Liong melihat Ceng Ceng, dia cepat memegang tangan gadis itu dan menariknya ke dalam rumah. Setelah tiba di dalam rumah, Tabib Liong yang merupakan sahabat baik keluarga Liu dan menganggap Ceng Ceng sebagai anaknya sendiri, berkata dengan suara tersendat.

“Aduh, Ceng Ceng, ke mana sajakah engkau? Ah, atau aku harus mengatakan bahwa syukur engkau tidak berada di rumah ketika...”

“Paman Liong, tenanglah dan ceritakan, apa yang kau maksudkan? Ketika apa? Apa yang telah terjadi?”

“Ayah ibumu...” Tabib Liong yang menduda tak mempunyai anak dan hidup seorang diri itu menangis!

Tentu saja Ceng Ceng kaget bukan main. Akan tetapi gadis yang tabah ini dapat mengendalikan diri, tidak hanyut dalam kekhawatiran dan berkata. “Paman Liong, harap engkau suka menenangkan hatimu. Ceritakanlah, apa yang terjadi dengan Ayah dan Ibuku?”

Setelah menghela napas berulang-ulang dan dia dapat menenangkan hatinya, Liong Sinshe berkata. “Tidak ada yang mengetahui kejadian yang sesungguhnya, aku sendiri pun tidak tahu. Kami semua hanya mendengar bahwa Ayah dan Ibumu berkunjung ke kantor kejaksaan...”

“Jaksa Ciang?”

“Benar, mereka pergi ke sana, entah ada urusan apa. Lalu kami hanya mendengar bahwa Ayah Ibumu di sana mengamuk, membunuh banyak sekali perajurit, akan tetapi mereka... mereka... juga tewas dalam pengeroyokan!”

Wajah Ceng Ceng berubah pucat dan ia cepat menjatuhkan diri duduk atas kursi. Seluruh tubuhnya gemetar dan air mata menetes turun dari kedua matanya. Akan tetapi ia tidak mengeluarkan suara tangis. Akhirnya ia dapat bertanya dengan suara gemetar.

“Kapan terjadinya dan mengapa?”

“Baru tujuh hari terjadinya dan apa sebabnya mereka mengamuk sehingga terbunuh, tidak ada yang mengetahuinya.”

“Kalau begitu, aku akan segera ke rumah kami!” Ceng Ceng hendak keluar, akan tetapi tangannya dipegang Tabib Liong.

“Jangan! Jangan ke sana, Ceng Ceng. Rumahmu telah ditutup dan dijaga perajurit. Berbahaya sekali kalau engkau ke sana, mungkin engkau akan terbawa-bawa karena kabarnya, Ayah Ibumu dianggap sebagai pemberontak terhadap pemerintah. Engkau dapat terlibat!”

“Hemm, aku tidak takut, Paman!”

“Aku tahu engkau tidak takut, akan tetapi apa perlunya menyia-nyiakan nyawa sendiri? Pula, di bekas rumahmu itu engkau tidak akan menemukan sesuatu. Daripada ke rumahmu yang telah disita pemerintah, lebih baik engkau mengunjungi makam kedua orang tuamu di tanah kuburan umum.”

Ceng Ceng memejamkan kedua matanya untuk menahan isak yang hendak mendesak keluar dari mulutnya. Hanya air matanya saja yang bercucuran keluar karena ia teringat kembali kepada ayah ibunya yang terbunuh. Akan tetapi, ia menyeka air matanya dan mengangguk.

“Baik, Paman, aku hendak pergi ke sana...!” Ceng Ceng melangkah hendak keluar.

“Ceng Ceng, nanti dulu!” Liong Sinshe menahannya. “Tunggu sebentar, ada surat yang dulu dititipkan ayahmu kepadaku untuk diserahkan kepadamu kalau engkau pulang.” Tabib Liong memasuki kamarnya dan keluar lagi membawa sebuah amplop yang diberikannya kepada Ceng Ceng.

Ceng Ceng menerima sampul surat itu dan bertanya heran. “Paman, bagaimana Ayah dapat memberikan surat ini kepada Paman?”

“Begini, Ceng Ceng. Sebelum pergi ke kantor Jaksa Ciang, Ayahmu datang ke sini untuk menyerahkan surat ini kepadaku dan memesan agar kalau engkau pulang, aku menyerahkan surat ini kepadamu. Aku setelah mendengar akan malapetaka yang menimpa Ayah Ibumu, juga merasa heran, seolah Ayahmu sudah tahu akan ancaman bahaya itu sehingga meninggalkan surat ini kepadamu.”

Ceng Ceng merasa terharu sehingga tubuhnya lemas dan kembali ia menjatuhkan diri duduk di atas kursi, memegang surat itu dan menempelkan di dadanya seolah surat itu menjadi pengganti ayah ibunya. Setelah itu dengan kedua tangan gemetar ia membuka sampul surat dan menemukan sehelai surat dan sehelai peta di dalamnya. Peta ia biarkan dalam sampul dan surat itu diambil lalu dibacanya.

Anak kami Ceng Ceng tersayang,

Kalau engkau menerima dan membaca surat ini, besar kemungkinan ayah ibumu ditawan atau terbunuh oleh para pembesar pemerintah. Karena kami, kalau tewas, bagaikan perajurit gugur dalam perang melawan penjajah, maka jangan engkau membalas dendam secara pribadi.

Yang penting sekarang, pergilah dan cari harta karun dalam peta ini. Jangan sampai terjatuh ke tangan penjajah dan sumbangkan untuk keperluan para pendekar yang setia dan berniat melawan penjajah. Jadilah orang yang benar seperti yang selalu kami dan Im Yang Yok-sian ajarkan, dan kami selalu mendoakan semoga engkau senantiasa dibimbing oleh Thian.

Ayah Ibumu, Liu Bok Eng.


Membaca surat itu, kembali air mata bercucuran dari kedua mata Ceng Ceng. Ia menciumi surat itu lalu menyimpannya kembali dalam sampul dan memasukkan sampul ke balik bajunya. Ia termenung, teringat akan pesan ayahnya yang terakhir. Ayah ibunya, juga mendiang paman gurunya, selalu mengingatkan agar ia menjadi seorang manusia yang benar. Masih terngiang di telinganya nasihat ayahnya.

“Hidup haruslah menjadi orang yang baik dan benar karena orang yang benar itu kekasih Thian (Tuhan), biarpun miskin dan bodoh, kalau benar akan merasakan kebahagiaan hidup. Sebaliknya, apa artinya kaya raya dan pandai berkedudukan tinggi kalau tidak benar? Dia akan menderita kesengsaraan batin dan menjadi kekasih setan!”

Ia pernah bertanya, “Ayah, bagaimana sih orang yang hidupnya benar dan yang tidak benar itu?”

“Orang yang hidupnya benar adalah orang yang memiliki rasa kasih sayang terhadap sesama manusia, dan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Miskin dan bodoh tidak menghalangi kebahagiaan hidup orang yang benar. Sebaliknya, pintar, kaya dan berkedudukan tinggi tidak menolong kesengsaraan hidup orang yang tidak benar.”

Semua peringatan dan nasihat yang pernah didengarnya dari ayah ibunya, juga dari paman gurunya Im Yang Yok-sian, terukir dalam hatinya dan menjadi pedoman hidup gadis ini.

“Baiklah, Paman Liong, aku akan mengunjungi makam kedua orang tuaku. Terima kasih atas budi kebaikanmu menyampaikan surat ayah ini kepadaku,” Ceng Ceng menjura dengan hormat lalu meninggalkan rumah Tabib Liong.

Tidak sukar bagi Ceng Ceng untuk mencari makam Ayah Ibunya di tanah kuburan umum itu. Ia lahir di Nan-king dan mengenal kota itu dengan baik. Biarpun dalam tanah kuburan itu terdapat banyak makam, namun makam kedua orang tuanya masih baru. Ia merasa terharu sekali melihat makam itu hanya merupakan dua gundukan tanah dan ada papan bertuliskan

MAKAM LIU BOK ENG DAN ISTERINYA.

Mungkin orang-orang yang merasa iba kepada orang tuanya yang menuliskan dan menancapkan papan itu di depan dua gundukan tanah. Akan tetapi rupanya tidak ada yang berani membuat bong-pai (batu nisan) untuk kuburan suami isteri itu. Ceng Ceng yang sudah membeli hio-swa (dupa biting) dan lilin, segera melakukan upacara sembahyang di depan makam kedua orang tuanya. Ia tidak dapat menahan kesedihannya dan di tempat sunyi itu ia menangis terisak-isak.

“Ayah dan lbu, mengingat nasihat Ayah Ibu, aku tidak akan menuntut balas dendam agar terputus karma buruk, akan tetapi api penasaran ini tidak pernah akan padam di hatiku kalau aku belum mendapat penjelasan mengapa Ayah Ibu dibunuh...” ratapnya sambil bersembahyang.

Ia sedang menderita tekanan batin sehingga kurang waspada dan tidak tahu bahwa pada saat itu, belasan pasang mata sedang mengintainya. Termasuk sepasang mata bening yang mengintai dari tempat terpisah...

Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 41

41: PESAN AKHIR SANG PANGLIMA PEEKASA

“Robohkan dia akan tetapi jangan dibunuh!” beberapa kali Panglima Kim Bayan berseru kepada para perajurit. Dia ingin menawan Liu Bok Eng dan keadaan hidup untuk dipaksa mengaku dan menyerahkan peta harta karun.

Akan tetapi, perintah ini lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan. Untuk menyerang nekat dengan niat membunuh saja sudah amat sukar, apalagi menyerang dengan syarat tidak boleh membunuh!

Bekas Panglima Kerajaan Sung itu kini mengamuk hebat dan dia bahkan sudah merampas sebatang tombak dari seorang korbannya. Dia kini memainkan tombak itu sebagai sebatang toya (tongkat) yang menjadi senjata andalannya, Liu Bok Eng adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang ahli bersilat dengan toya.

Begitu dia memegang tombak yang dimainkan sebagai toya, para perajurit yang baru masuk mengeroyok itu pun berpelantingan! Bahkan Liu Bok Eng yang melihat isterinya terbunuh oleh Kim Bayan, berusaha terus untuk menyerang Panglima Mongol itu.

“Wuuuutt! Singgg...!”

Untuk sekian kalinya, Liu Bok Eng melompat bagaikan seekor burung garuda, menyambar dan tombaknya menyerang ke arah kepala Kim Bayan. Ketika Kim Bayan mengelak, Liu Bok Eng melanjutkan serangannya dengan tusukan tombaknya, menggunakan jurus Kim-seng-kan-goat (Bintang Emas Mengejar Bulan).

“Haiiittt... tranggg...!” Kim Bayan menangkis dengan goloknya sambil memutar badan karena serangan toya tadi datangnya dari belakang. Gerakannya itu adalah jurus Sin-liong-tiauw-si (Naga Sakti Sabetkan Ekornya). Akan tetapi Panglima Mongol itu terkejut bukan main karena telapak tangan kanannya yang memegang gagang golok terasa panas dan nyeri. Bukan main kuatnya tenaga dalam yang dimiliki Liu Bok Eng. Padahal, Panglima Kim Bayan adalah seorang panglima dan ahli silat yang terkenal memiliki tenaga besar.

Pada saat itu, dua orang perwira perajurit menyerang dengan golok mereka dari belakang. Seorang ahli silat yang tingkatnya sudah setinggi tingkat Liu Bok Eng, memiliki perasaan yang amat peka dan telinga yang tajam. Seolah memiliki mata di belakang tubuhnya, Liu Bok Eng memutar tubuh didahului toyanya. Dua orang perajurit menjerit dan roboh dengan kepala pecah!

Robohlah dua puluh orang lebih yang tewas oleh amukan Liu Bok Eng membuat para perajurit menjadi gentar. Mereka hanya berani mengepung dan mengancam tanpa berani menyerang terlalu dekat. Hal ini memudahkan Liu Bok Eng untuk terus mendesak Kim Bayan dengan serangan-serangannya. Dia kini memainkan Sin-pang-lo-hai (Toya Sakti Kacau Lautan) yang gerakannya amat hebat, bergelombang dan didahului angin pukulan yang menyambar-nyambar dahsyat. Kim Bayan memutar goloknya melindungi diri, akan tetapi dia terus didesak mundur.

Pada saat itu, Cui-beng Kui-ong mendekati Kim Bayan. Dia mengerahkan kekuatan sihirnya, lalu membentak. "Liu Bok Eng, isterimu telah mati! Dunia ini gelap bagimu, gelap, gelap, gelap!" Kakek kurus bongkok itu menggerak-gerakkan tongkat hitamnya ke arah muka Liu Bok Eng.

Pendekar ini terkejut bukan main karena tiba-tiba saja cuaca menjadi gelap dan dia tidak dapat melihat apa-apa seolah ada batu hitam yang menutupi pandang matanya! Dia menyadari bahwa ini adalah pengaruh sihir yang amat kuat, maka dia menahan napas dan mengerahkan tenaga saktinya untuk melawan dan menolak pengaruh sihir yang membuat pandangannya gelap itu.

Pada saat itu, para perajurit yang mengepungnya, mendapat isyarat dari Kim Bayan lalu menyerang Liu Bok Eng yang hanya berdiri diam seperti orang kebingungan. Akan tetapi begitu senjata-senjata tajam itu menyerangnya, Liu Bok Eng biarpun tidak melihat, dapat mendengar dan merasakan. Tongkat tombak di tangannya digerakkan memutar, menangkis semua senjata dan sekaligus membagi pukulan. Empat orang perajurit roboh dan tewas seketika!

Panglima Kim menjadi marah bukan main. Juga Cui-beng Kui-ong merasa penasaran. Jelas bahwa sihirnya mampu mempengaruhi Liu Bok Eng sehingga pendekar itu tidak mampu melihat karena pandang matanya gelap, akan tetapi masih saja Liu Bok Eng demikian lihai sehingga merobohkan empat orang lagi! Sedikitnya sudah ada dua losin perajurit tewas sehingga ruangan itu penuh dengan mayat dan darah berceceran ke mana-mana, keadaannya sama dengan akibat pertempuran dalam peperangan!

Berulang-ulang Panglima Kim Bayan menyerang dengan pengerahan seluruh tenaganya, menyerang dari depan, kanan kiri atau belakang. Akan tetapi lawan yang keadaannya seperti orang buta itu selalu saja dapat menangkis sehingga senjatanya terpental!

Sementara itu, Panglima Kerajaan Sung itu mengerahkan terus tenaga saktinya untuk membuyarkan pengaruh sihir. Kegelapan itu perlahan-lahan mulai berkurang. Akan tetapi dalam keadaan remang-remang itu, kembali dia mendengar sambaran senjata yang digunakan Kim Bayan untuk menyerangnya. Dia cepat menangkis dengan tombaknya.

“Tranggg...!”

Sekali ini, saking kuatnya Liu Bok Eng menangkis, golok itu terpental dan Panglima Kim Bayan terhuyung ke belakang! Akan tetapi pada saat itu, Cui-beng Kui-ong yang berdiri di sebelah kiri Liu Bok Eng, menudingkan tongkat hitamnya dan dari ujung tongkat yang runcing itu meluncur anak panah kecil dengan cepat dan tanpa dapat dielakkan Liu Bok Eng, anak panah yang ujungnya mengandung racun itu menancap di dada kirinya!

Liu Bok Eng terhuyung dan ketika matanya kini dapat melihat, dia terhuyung ke arah mayat isterinya, lalu roboh di samping mayat isterinya dan tewas! Melihat bekas panglima Kerajaan Sung itu tewas, Kim Bayan mengeluh,

“Ah, banyak perajurit tewas dan Liu Bok Eng suami isteri juga tewas sehingga kita tidak bisa mendapatkan peta itu! Celaka sekali!”

Cui-beng Kui-ong memberi isyarat agar muridnya itu menutup mulut. Mereka lalu memerintahkan perajurit untuk membersihkan ruangan dan mengurus semua mayat, lalu mereka bicara di dalam.

“Jangan putus asa,” kata Cui-beng Kui-ong. “Sekarang kau periksa pakaian suami isteri itu, barangkali petanya mereka simpan dalam pakaian. Kalau tidak ada, cepat pergi ke rumahnya, geledah seluruh rumah, tangkapi semua pelayan dan paksa mereka untuk mengaku. Aku yakin peta itu akan dapat kau temukan!”

Panglima Kim Bayan mengangguk setuju dan cepat dia pergi lagi ke ruangan tadi di mana jenazah Liu Bok Eng dan isterinya belum mendapat giliran diangkut. Dia sendiri menggeledah seluruh pakaian suami isteri itu, akan tetapi tidak menemukan benda yang dicarinya. Maka dia lalu pergi seorang diri ke rumah Liu Bok Eng. Dia tidak ingin ada perajurit yang tahu akan peta itu, maka dia pergi seorang diri.

Setelah tiba di rumah itu, dia mengumpulkan lima orang pelayan rumah tangga, membentak mereka agar mengaku di mana majikan mereka menyimpan surat-surat penting termasuk sebuah peta. Ketika lima orang pembantu rumah tangga itu bersumpah bahwa mereka tidak tahu, Kim Bayan mengikat kaki tangan mereka agar mereka tidak mampu melepaskan diri. Kemudian dia sendiri menggeledah seluruh isi rumah.

Penggeledahan seorang diri ini makan waktu sampai setengah hari. Dia memeriksa dengan teliti namun tidak menemukan peta harta karun yang dicarinya. Dia menjadi semakin penasaran dan marah sekali. Lima orang pembantu rumah tangga itu dia suruh bawa oleh perajurit ke dalam tahanan dan rumah itu pun disita dan ditutup, dijaga perajurit.

Jaksa Ciang yang menerima perintah Kim Bayan, menyiarkan kabar bahwa Liu Bok Eng dan isterinya mengamuk sehingga terbunuh dan menyatakan bahwa suami isteri itu adalah pemberontak yang berbahaya! Jenazah suami isteri itu dimakamkan di tanah kuburan rakyat di Luar kota Nan-king.

Para penduduk gempar mendengar berita ini. Sebagian besar dari mereka tidak percaya akan berita bahwa Liu Bok Eng dan isterinya menjadi pemberontak dan mengamuk di rumah kejaksaan sehingga mati terbunuh. Akan tetapi pada waktu itu, siapa orangnya berani menyangkal atau membantah? Bahkan mereka yang mengenal baik Liu Bok Eng, harus secara diam-diam kalau hendak berkunjung dan memberi hormat ke makam suami isteri itu.

Berita tentang terbunuhnya Liu Bok Eng itu tersiar sampai ke Siauw-lim-pai dan para pimpinan Siauw-lim-pai menjadi terkejut dan juga khawatir sekali. Mereka bersiap-siap menjaga kemungkinan diserbu pasukan pemerintah Mongol.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Gadis cantik jelita itu memasuki gapura Nan-king. Siang hari itu amat panasnya dan begitu memasuki kota, gadis itu merasa heran melihat betapa orang-orang memandangnya dengan sinar mata aneh seperti orang merasa iba. Bahkan ada beberapa orang wanita menahan tangis ketika melihat ia, akan tetapi tak seorang pun dari mereka bicara kepadanya.

Gadis itu adalah Liu Ceng Ceng. Hatinya merasa tidak nyaman melihat ulah orang-orang itu. Biasanya, ia dan ayah bundanya amat dihormati dan disukai penduduk Nan-king. Akan tetapi mengapa sekarang tidak ada yang menyapanya, bahkan memandang iba dan seolah hendak menyingkir dan menghindari pembicaraan dengannya?

Ketika ia melewati rumah Tabib Liong, Ceng Ceng teringat bahwa Liong Sinshe adalah sahabat karib ayahnya, maka ia ingin bertanya kepadanya mengapa semua orang bersikap aneh kepadanya. Kebetulan Tabib Liong berada di depan pintu toko obatnya.

“Paman Liong...”

Ketika Tabib Liong melihat Ceng Ceng, dia cepat memegang tangan gadis itu dan menariknya ke dalam rumah. Setelah tiba di dalam rumah, Tabib Liong yang merupakan sahabat baik keluarga Liu dan menganggap Ceng Ceng sebagai anaknya sendiri, berkata dengan suara tersendat.

“Aduh, Ceng Ceng, ke mana sajakah engkau? Ah, atau aku harus mengatakan bahwa syukur engkau tidak berada di rumah ketika...”

“Paman Liong, tenanglah dan ceritakan, apa yang kau maksudkan? Ketika apa? Apa yang telah terjadi?”

“Ayah ibumu...” Tabib Liong yang menduda tak mempunyai anak dan hidup seorang diri itu menangis!

Tentu saja Ceng Ceng kaget bukan main. Akan tetapi gadis yang tabah ini dapat mengendalikan diri, tidak hanyut dalam kekhawatiran dan berkata. “Paman Liong, harap engkau suka menenangkan hatimu. Ceritakanlah, apa yang terjadi dengan Ayah dan Ibuku?”

Setelah menghela napas berulang-ulang dan dia dapat menenangkan hatinya, Liong Sinshe berkata. “Tidak ada yang mengetahui kejadian yang sesungguhnya, aku sendiri pun tidak tahu. Kami semua hanya mendengar bahwa Ayah dan Ibumu berkunjung ke kantor kejaksaan...”

“Jaksa Ciang?”

“Benar, mereka pergi ke sana, entah ada urusan apa. Lalu kami hanya mendengar bahwa Ayah Ibumu di sana mengamuk, membunuh banyak sekali perajurit, akan tetapi mereka... mereka... juga tewas dalam pengeroyokan!”

Wajah Ceng Ceng berubah pucat dan ia cepat menjatuhkan diri duduk atas kursi. Seluruh tubuhnya gemetar dan air mata menetes turun dari kedua matanya. Akan tetapi ia tidak mengeluarkan suara tangis. Akhirnya ia dapat bertanya dengan suara gemetar.

“Kapan terjadinya dan mengapa?”

“Baru tujuh hari terjadinya dan apa sebabnya mereka mengamuk sehingga terbunuh, tidak ada yang mengetahuinya.”

“Kalau begitu, aku akan segera ke rumah kami!” Ceng Ceng hendak keluar, akan tetapi tangannya dipegang Tabib Liong.

“Jangan! Jangan ke sana, Ceng Ceng. Rumahmu telah ditutup dan dijaga perajurit. Berbahaya sekali kalau engkau ke sana, mungkin engkau akan terbawa-bawa karena kabarnya, Ayah Ibumu dianggap sebagai pemberontak terhadap pemerintah. Engkau dapat terlibat!”

“Hemm, aku tidak takut, Paman!”

“Aku tahu engkau tidak takut, akan tetapi apa perlunya menyia-nyiakan nyawa sendiri? Pula, di bekas rumahmu itu engkau tidak akan menemukan sesuatu. Daripada ke rumahmu yang telah disita pemerintah, lebih baik engkau mengunjungi makam kedua orang tuamu di tanah kuburan umum.”

Ceng Ceng memejamkan kedua matanya untuk menahan isak yang hendak mendesak keluar dari mulutnya. Hanya air matanya saja yang bercucuran keluar karena ia teringat kembali kepada ayah ibunya yang terbunuh. Akan tetapi, ia menyeka air matanya dan mengangguk.

“Baik, Paman, aku hendak pergi ke sana...!” Ceng Ceng melangkah hendak keluar.

“Ceng Ceng, nanti dulu!” Liong Sinshe menahannya. “Tunggu sebentar, ada surat yang dulu dititipkan ayahmu kepadaku untuk diserahkan kepadamu kalau engkau pulang.” Tabib Liong memasuki kamarnya dan keluar lagi membawa sebuah amplop yang diberikannya kepada Ceng Ceng.

Ceng Ceng menerima sampul surat itu dan bertanya heran. “Paman, bagaimana Ayah dapat memberikan surat ini kepada Paman?”

“Begini, Ceng Ceng. Sebelum pergi ke kantor Jaksa Ciang, Ayahmu datang ke sini untuk menyerahkan surat ini kepadaku dan memesan agar kalau engkau pulang, aku menyerahkan surat ini kepadamu. Aku setelah mendengar akan malapetaka yang menimpa Ayah Ibumu, juga merasa heran, seolah Ayahmu sudah tahu akan ancaman bahaya itu sehingga meninggalkan surat ini kepadamu.”

Ceng Ceng merasa terharu sehingga tubuhnya lemas dan kembali ia menjatuhkan diri duduk di atas kursi, memegang surat itu dan menempelkan di dadanya seolah surat itu menjadi pengganti ayah ibunya. Setelah itu dengan kedua tangan gemetar ia membuka sampul surat dan menemukan sehelai surat dan sehelai peta di dalamnya. Peta ia biarkan dalam sampul dan surat itu diambil lalu dibacanya.

Anak kami Ceng Ceng tersayang,

Kalau engkau menerima dan membaca surat ini, besar kemungkinan ayah ibumu ditawan atau terbunuh oleh para pembesar pemerintah. Karena kami, kalau tewas, bagaikan perajurit gugur dalam perang melawan penjajah, maka jangan engkau membalas dendam secara pribadi.

Yang penting sekarang, pergilah dan cari harta karun dalam peta ini. Jangan sampai terjatuh ke tangan penjajah dan sumbangkan untuk keperluan para pendekar yang setia dan berniat melawan penjajah. Jadilah orang yang benar seperti yang selalu kami dan Im Yang Yok-sian ajarkan, dan kami selalu mendoakan semoga engkau senantiasa dibimbing oleh Thian.

Ayah Ibumu, Liu Bok Eng.


Membaca surat itu, kembali air mata bercucuran dari kedua mata Ceng Ceng. Ia menciumi surat itu lalu menyimpannya kembali dalam sampul dan memasukkan sampul ke balik bajunya. Ia termenung, teringat akan pesan ayahnya yang terakhir. Ayah ibunya, juga mendiang paman gurunya, selalu mengingatkan agar ia menjadi seorang manusia yang benar. Masih terngiang di telinganya nasihat ayahnya.

“Hidup haruslah menjadi orang yang baik dan benar karena orang yang benar itu kekasih Thian (Tuhan), biarpun miskin dan bodoh, kalau benar akan merasakan kebahagiaan hidup. Sebaliknya, apa artinya kaya raya dan pandai berkedudukan tinggi kalau tidak benar? Dia akan menderita kesengsaraan batin dan menjadi kekasih setan!”

Ia pernah bertanya, “Ayah, bagaimana sih orang yang hidupnya benar dan yang tidak benar itu?”

“Orang yang hidupnya benar adalah orang yang memiliki rasa kasih sayang terhadap sesama manusia, dan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Miskin dan bodoh tidak menghalangi kebahagiaan hidup orang yang benar. Sebaliknya, pintar, kaya dan berkedudukan tinggi tidak menolong kesengsaraan hidup orang yang tidak benar.”

Semua peringatan dan nasihat yang pernah didengarnya dari ayah ibunya, juga dari paman gurunya Im Yang Yok-sian, terukir dalam hatinya dan menjadi pedoman hidup gadis ini.

“Baiklah, Paman Liong, aku akan mengunjungi makam kedua orang tuaku. Terima kasih atas budi kebaikanmu menyampaikan surat ayah ini kepadaku,” Ceng Ceng menjura dengan hormat lalu meninggalkan rumah Tabib Liong.

Tidak sukar bagi Ceng Ceng untuk mencari makam Ayah Ibunya di tanah kuburan umum itu. Ia lahir di Nan-king dan mengenal kota itu dengan baik. Biarpun dalam tanah kuburan itu terdapat banyak makam, namun makam kedua orang tuanya masih baru. Ia merasa terharu sekali melihat makam itu hanya merupakan dua gundukan tanah dan ada papan bertuliskan

MAKAM LIU BOK ENG DAN ISTERINYA.

Mungkin orang-orang yang merasa iba kepada orang tuanya yang menuliskan dan menancapkan papan itu di depan dua gundukan tanah. Akan tetapi rupanya tidak ada yang berani membuat bong-pai (batu nisan) untuk kuburan suami isteri itu. Ceng Ceng yang sudah membeli hio-swa (dupa biting) dan lilin, segera melakukan upacara sembahyang di depan makam kedua orang tuanya. Ia tidak dapat menahan kesedihannya dan di tempat sunyi itu ia menangis terisak-isak.

“Ayah dan lbu, mengingat nasihat Ayah Ibu, aku tidak akan menuntut balas dendam agar terputus karma buruk, akan tetapi api penasaran ini tidak pernah akan padam di hatiku kalau aku belum mendapat penjelasan mengapa Ayah Ibu dibunuh...” ratapnya sambil bersembahyang.

Ia sedang menderita tekanan batin sehingga kurang waspada dan tidak tahu bahwa pada saat itu, belasan pasang mata sedang mengintainya. Termasuk sepasang mata bening yang mengintai dari tempat terpisah...