Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 37 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

37: PENYELAMATAN DARI TAHANAN MONGOL

KALAU saja ia tidak banyak berhenti, mungkin sebulan yang lalu ia sudah tiba di rumah orang tuanya dan ia akan dapat mencegah malapetaka yang menimpa ayah ibunya! Bahkan kalau kemarin ia sudah tiba di situ, ia pasti akan mencegah orang tuanya ditangkap pasukan pemerintah!

“Bibi Siok, ke mana Ayah Ibu dibawa pasukan itu dan siapa panglima itu? Mengapa pula Ayah dan Ibu ditangkap?” Li Hong menghujani pembantu itu dengan pertanyaan.

“Setahu saya, tiga hari sebelum penangkapan, panglima besar yang biasa disebut Kim Thai-ciangkun datang dan minta kepada Tan-kauwsu untuk melatih silat para perajurit pasukannya dan memberi waktu tiga hari kepada Tan-kauwsu untuk memberi jawaban. Tiga hari kemudian Kim Thai-ciangkun datang lagi bersama dua belas orang perajurit. Tan-kauwsu menyatakan tidak bersedia melatih silat kepada para perajurit dan dia bersama Tan-hujin lalu ditangkap dan dibawa pergi.”

“Ke mana, Bibi? Ke mana?”

“Mana saya tahu, Nona? Akan tetapi benteng pasukan pemerintah berada di luar kota sebelah barat, sekitar tiga lie (mil) dari kota ini.”

“Bibi Siok, kau jaga rumah ini, aku akan mencari Ayah Ibu dan membebaskan mereka dari tahanan!”

Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, gadis itu telah lenyap dari depan Bibi Siok sehingga wanita itu melongo, lalu menggosok-gosok kedua matanya seolah hendak memastikan bahwa ia tidak sedang mimpi!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Kim Bayan atau Panglima Kim adalah seorang panglima yang banyak jasanya ketika bangsa Mongol menyerbu ke selatan, maka oleh Kaisar Mongol dia diberi kedudukan panglima tinggi dan menguasai seluruh pasukan yang bertugas menjaga wilayah Shan-tung ke selatan sampai Nan-king.

Panglima Kim Bayan adalah seorang Mongol yang pandai ilmu silat dan ilmu gulat model Mongol, bahkan dia juga memiliki kekuatan sihir karena gurunya adalah seorang datuk persilatan di perbatasan Mancuria yang terkenal tinggi sekali ilmu silat dan ilmu sihirnya. Gurunya itu berjuluk Cui-beng Kui-ong (Raja Setan Pengejar Roh) dan karena jasa-jasanya oleh Kaisar Mongol dia dihadiahi sebidang tanah pegunungan dengan gedung yang indah mewah di mana dia hidup sebagai raja muda!

Setelah tinggal di tanah hadiah kaisar itu, Cui-beng Kui-ong memanggil sumoinya (adik perempuan seperguruan) yang berjuluk Song-bun Mo-li (Iblis Betina Berkabung) karena yang selalu mengenakan pakaian berkabung dari kain mori putih yang kasar!

Wanita ini pun lihai bukan main sehingga keduanya menjadi andalan Kerajaan Mongol untuk menghadapi orang-orang sakti yang berani menentang pemerintah penjajah itu. Karena merasa senang tinggal di gedung mewah di perbukitan itu, Cui-beng Kui-ong menamakan tanah perbukitan hadiah kaisar itu Bukit Sorga. Letaknya hanya belasan lie dari kota raja.

Sebagai murid Cui-beng Kui-ong, Panglima Kim tentu saja lihai sekali. Dia hidup di kota Cin-yang bersama seorang isteri dan lima orang selirnya. Akan tetapi, enam orang isteri itu hanya seorang saja yang mempunyai anak, itu pun hanya seorang anak laki-laki yang kini telah dewasa dan diberi nama Kim Magu.

Kita sudah mengenal Kim Magu yang disebut Kim-kongcu, yaitu pemuda berandalan yang selalu mengandalkan kekuasaan ayah dan kekayaannya, suka menggoda dan memaksa gadis baik-baik untuk dijadikan permainannya. Pemuda itu bersama temannya, Kui Con putera Hakim Kui Hok, dihajar oleh Ceng Ceng dan karena perbuatan yang menggemparkan kota Cin-yang itulah nama Ceng Ceng sebagai Pek-eng Sianli dikenal dan dikagumi orang.

Dari para penyelidik yang disebar di mana-mana, Kim Bayan mendengar betapa para pendekar pribumi Han banyak yang diam-diam menentang pemerintah Kerajaan Goan (Mongol). Bahkan kabarnya sikap para pimpinan partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai, dan masih banyak lagi tidak mematuhi dan memusuhi para pembesar.

Mendengar berita ini, Kim Bayan menjadi penasaran. Dia teringat bahwa Tan Kun Tek yang dikenal dengan sebutan Guru Silat Tan adalah seorang murid Bu-tong-pai. Maka dia merasa curiga dan dia sengaja datang berkunjung dan minta kepada Tan Kun Tek untuk mengajarkan ilmu silat kepada para perajuritnya.

Sesungguhnya permintaan ini hanya untuk menguji apakah Tan-kauwsu bersedia membantu pemerintah atau tidak. Ternyata Tan Kun Tek menolak dan kecurigaan Kim Thai-ciangkun semakin besar. Dia lalu menangkap Tan Kun Tek dan isterinya, menahan mereka di rumah tahanan.

Dalam kamar tahanan, seorang perwira yang biasa bertugas memaksa tahanan untuk mengaku, menyiksa Tan Kun Tek dan isterinya. Suami isteri itu dibelenggu pada dinding kamar tahanan, diikat kaki tangannya dan mereka disuruh mengaku siapa saja kawan mereka yang melakukan pemberontakan. Juga dipaksa mengaku bahwa Bu-tong-pai bermaksud memberontak.

Tentu saja Tan Kun Tek dan isterinya menyangkal semua tuduhan itu. Mereka lalu disiksa, dicambuki. Sungguh kasihan Nyonya Tan yang tidak pernah belajar silat dan tubuhnya lemah. Baju berikut kulitnya tersayat-sayat lecutan cambuk sehingga berlumuran darah dan baru belasan cambukan saja ia sudah terkulai pingsan dalam keadaan berdiri dan kedua tangan tergantung borgol di dinding.

Tan Kun Tek juga dicambuki sampai penyiksa merasa lelah. Bajunya hancur dan kulit tubuhnya juga pecah-pecah, akan tetapi pendekar Bu-tong-pai ini sama sekali tidak pernah mengeluh, mematikan semua perasaan sehingga biarpun kulitnya tersayat-sayat, dia tidak merasa apa-apa. Hanya tubuhnya terasa lemas karena terlalu banyak darah mengalir keluar dari luka-luka gigitan cambuk!

Malam itu cuaca gelap sekali. Hawa udara amat dingin karena sore tadi hujan turun dengan derasnya. Dalam cuaca gelap dan udara dingin itu, ketika sebagian besar penduduk kota Seng-hai-lian sudah memasuki kamar masing-masing yang lebih hangat dan di jalan raya sudah amat sepi, tampak seorang pemuda melangkah keluar dari pintu gerbang sebelah barat.

Ketika dia sudah tiba di luar pintu gerbang dan tak seorang pun memperhatikannya karena para penjaga pintu gerbang itu juga lebih senang berada dalam gardu, pemuda itu segera berlari cepat. Bukan main cepatnya pemuda itu berlari menuju ke barat. Pemuda itu bukan lain adalah Tan Li Hong yang menyamar. Ketika dia melakukan perjalanan meninggalkan Pulau Ular untuk mencari orang tuanya, Li Hong juga menyamar sebagai seorang pemuda yang amat tampan.

Akan tetapi ketika ia memasuki kota tempat tinggal orang tuanya, ia mengenakan pakaian wanita karena ia tidak ingin membuat ayah ibunya bingung. Akan tetapi kini, setelah ia mendengar bahwa orang tuanya ditangkap pasukan mungkin sekali dibawa ke benteng atau markas pasukan, ia mengenakan pakaian pria lagi. Pedang Ban-tok-kiam tergantung di punggungnya dan ketika ia berlari cepat, tubuhnya berkelebat dan tak dapat terlihat di dalam cuaca gelap itu.

Li Hong terpaksa berusaha menyelamatkan orang tuanya di waktu malam setelah tadi ia menyelidiki keadaan markas itu dari luar. Ia melihat betapa benteng itu terjaga ketat dan tidak mungkin dapat memasuki benteng itu di siang hari. Kalau ia ketahuan, akan sulitlah untuk dapat menyelamatkan orang tuanya karena bagaimana mungkin ia menghadapi perajurit yang tentu amat banyak terdapat dalam markas itu.

Ia sudah mempelajari sekeliling pagar tembok markas itu dan mengambil keputusan untuk melompati pagar tembok di bagian belakang yang tidak begitu ketat penjagaannya, hanya terkadang ada perajurit yang meronda. Ia yakin akan mampu melewati tembok dan masuk ke markas itu di waktu malam, apalagi ketika cuaca segelap ini dan udara sedingin ini. Para penjaga tentu agak lengah. Pula, markas itu tempat ribuan orang perajurit, siapa yang akan berani mencuri masuk?

Perhitungan Li Hong betul. Ketika ia melompat dengan gerakan yang ringan dan gesit ke atas tembok, ia tidak melihat ada perajurit dekat tempat itu. Maka ia lalu melayang turun ke sebelah dalam yang ternyata merupakan sebuah kebun. Untuk meneliti keadaan sekitarnya, Li Hong menyusup ke balik rumpun bambu dan mengintai dari situ. Bangunan-bangunan terdapat banyak dan di setiap sudut luar bangunan ada lampu gantung yang cukup terang.

Ia menjadi bingung. Sama sekali ia tidak dapat menduga di mana orang tuanya ditawan. Ketika ia melihat dua orang perajurit yang membawa tombak berjalan tak jauh dari tempat ia bersembunyi, agaknya sedang meronda sambil bercakap-cakap, Li Hong cepat menyelinap di antara pohon-pohon dan mendekati mereka. Ketika dua orang perajurit itu lewat dekat, Li Hong menerjang mereka. Dengan kecepatan luar biasa ia menggerakkan jari tangan dua kali dan dua orang itu pun roboh terkulai tanpa dapat mengeluarkan suara, lumpuh tertotok!

Li Hong mencengkeram rambut mereka dan menyeret tubuh mereka ke belakang semak-semak yang gelap, yang hanya mendapat sinar sedikit dari lampu gantung yang berada di batang pohon sehingga keadaan di situ remang-remang. Li Hong mencabut pedangnya, ditempelkan ke leher seorang dari mereka, lalu ia menggerakkan tangan kiri membebaskan totokan.

“Jangan bergerak atau bersuara!” desisnya.

Orang itu menjadi pucat ketakutan dan dia hanya dapat menggeleng kepala tanda bahwa dia tidak akan melawan atau berteriak.

“Jawab yang benar pertanyaanku, kalau engkau bohong, lihat ini!” Pedangnya menyambar dan orang kedua tewas seketika. Tentu saja perajurit pertama menjadi semakin gemetar ketakutan.

“Ampun, Taihiap (Pendekar Besar)...!” ratapnya. Dia mengira bahwa Li Hong seorang pendekar pria.

“Hayo katakan di mana Tan Kun Tek dan isterinya dikeram!”

Orang itu menjawab. “Di rumah tahanan...!”

“Mana itu? Yang mana rumah tahanan?”

Perajurit itu menuding ke arah bangunan besar yang berada di tengah benteng. “Yang ada menaranya itu...”

“Awas, kalau engkau berbohong, aku akan kembali ke sini dan membunuhmu!”

“Saya... saya tidak berbohong...”

Li Hong menotoknya kembali dan menyimpan pedangnya. Ketika ia hendak bergerak menuju bangunan yang ditunjuk tadi, ia terkejut mendengar suara di belakangnya.

“Bodoh, dia harus dibunuh agar tidak membahayakan!” Itu adalah suara gurunya!

“Subo...!” Li Hong berseru lirih.

“Ssstt...!” Bayangan berkelebat dari belakang, tahu-tahu Ban-tok Niocu sudah berada dekat muridnya. Tangannya bergerak ke arah kepala perajurit yang tertotok dan tahulah Li Hong bahwa perajurit itu pasti tewas terkena sentuhan tangan gurunya.

“Subo, bagaimana kalau dia berbohong?”

“Tidak, sudah sejak tadi aku berada di sini menyelidiki dan memang orang tuamu ditahan dalam bangunan itu. Amat kuat penjagaannya, maka sejak tadi aku belum turun tangan. Bagus sekali engkau muncul sehingga aku mendapatkan bantuan.”

“Bagaimana Subo berada di sini?”

“Lihat wajahku, apa engkau tidak melihat ada perubahan?” Ban-tok Niocu sengaja membiarkan pipi kirinya terkena sinar lampu dari jauh sehingga cukup jelas untuk dilihat.

“Ah, Subo tidak cacat lagi!”

“Ssttt, nanti saja kita bicara. Sekarang perhatikan baik-baik. Orang tuamu berada dalam sebuah kamar tahanan di gedung yang ada menaranya itu. Kalau kita menyelinap ke sana, pasti ketahuan dari menara yang selalu ada perajurit penjaganya. Sekarang, kita pakai pakaian seragam dua perajurit ini!”

Li Hong mengerti maksud gurunya. Ia lalu melucuti pakaian perajurit yang dibunuhnya. Untung tadi ia menggunakan Ban-tok-kiam sehingga biarpun pedang itu hanya menggores leher, orang itu tewas tanpa mengeluarkan banyak darah. Setelah melucuti, ia mengenakan pakaian seragam itu menutupi pakaiannya sendiri.

Ban-tok Niocu juga sudah selesai mengenakan pakaian perajurit kedua di luar pakaiannya sendiri. Setelah menata rambut dan berdandan sebagai dua orang perajurit, Ban-tok Niocu berbisik.

“Kita lewati para penjaga dan kalau ada yang bertanya, engkau diam saja biar aku yang bicara. Setelah tiba dekat bangunan yang ada menaranya, aku akan menyelinap ke belakangnya dan membuat kebakaran. Lalu kuusahakan untuk melumpuhkan dua orang yang berjaga di menara. Nah, begitu ada kebakaran engkau menyelinap ke rumah tahanan itu. Tentu semua perajurit berlari ke arah kebakaran dan engkau mempunyai kesempatan untuk mengeluarkan orang tuamu. Mengerti?”

“Mengerti, Subo. Akan tetapi bagaimana kalau kami keluar lalu ketahuan? Untuk melindungi dua orang kukira agak sukar...”

“Bodoh! Ayahmu Tan Kun Tek bukan orang lemah. Dia pendekar murid Bu-tong-pai. Asal engkau sudah dapat membebaskan dia tentu dia akan mampu menyelamatkan isterinya. Pada saat itu mungkin aku sudah selesai dan dapat membantu kalian.

” “Baik, aku mengerti, Subo!”

Mereka lalu melangkah dengan tegap, membawa dua batang tombak milik perajurit yang mereka robohkan tadi. Mereka berjalan melewati beberapa orang penjaga dan para penjaga itu sama sekali tidak menaruh curiga karena memang Li Hong dan Ban-tok Niocu selalu mengambil jalan yang gelap. Ketika sudah tiba dekat bangunan yang ada menaranya, di tengah kelompok bangunan dalam benteng itu, tiba-tiba saja ada dua orang perajurit dari depan dan seorang di antara mereka bertanya.

“Kalian ini berjaga di mana?”

Terdengar Ban-tok Niocu menjawab, suara dibuat seperti suara pria, “Di kebun beIakang!”

“Hemm, bagaimana keadaannya? Aman?”

“Aman, tidak ada apa-apa!” jawab Ban-tok Niocu dan ia lalu mempercepat langkahnya, diimbangi oleh Li Hong.

“Hei, nanti dulu...!” Tiba-tiba dua orang perajurit itu berteriak dari belakang mereka.

“Bunuh mereka,” bisik Ban-tok Niocu kepada muridnya.

Mereka berdua membalikkan tubuh dan ketika dua orang perajurit itu menghampiri dekat, guru dan murid itu menggerakkan tombak dan dua orang perajurit itu pun roboh dan tewas. Mereka cepat menarik kaki dua orang itu dan menyeretnya ke tempat tersembunyi yang gelap. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan dengan gerakan cepat berkelebatan.

Seperti yang telah direncanakan, Ban-tok Niocu lalu menuju ke arah belakang rumah tahanan yang ada menaranya. Li Hong menyelinap mendekati rumah tahanan dan bersembunyi sambil menanti tanda dari gurunya, yaitu kebakaran. Tak lama kemudian ia melihat api bernyala besar di belakang rumah tahanan, sekitar tiga rumah di belakangnya.

“Kebakaran! Kebakaran!” terdengar teriakan dan dari tempat sembunyinya ia melihat banyak perajurit berlari-larian ke tempat kebakaran itu.

Ketika melihat belasan orang perajurit berserabutan keluar dari rumah tahanan itu, Li Hong lalu bergerak cepat. Dengan sambitan batu kecil ia membuat lampu gantung di pintu belakang dari mana para perajurit tadi keluar, pecah dan padam. Tubuhnya berkelebat dan tanpa dapat terlihat karena lampu yang padam membuat pintu itu gelap, ia telah memasuki rumah itu.

Ketika ia melewati sebuah lorong dalam rumah tahanan, ia melihat bahwa di bagian tengah rumah tahanan itu terbuka dan kamar-kamar tahanan berderet-deret. Ia menyelinap dan ketika memandang ke atas, ia melihat betapa semua kamar tahanan itu dapat terlihat dari atas menara. Tentu di sana ada perajurit-perajurit yang berjaga mengawasi kamar-kamar tahanan itu. Sebuah lampu di menara yang bernyala memperlihatkan bayangan dua orang perajurit.

Li Hong tidak berani keluar dari tempat sembunyinya karena kalau ia sampai kelihatan oleh para penjaga di atas menara, tentu banyak sekali perajurit akan menyerbu dan akan sukarlah baginya untuk dapat membebaskan kedua orang tuanya, bahkan ia sendiri dapat terancam bahaya. Ia menanti sebentar dan tiba-tiba ia melihat lampu di menara itu padam.

Itu tandanya bahwa setelah melakukan pembakaran, gurunya sudah berada di menara dan sudah merobohkan para penjaga menara, maka dengan hati berdebar tegang Li Hong lalu memeriksa setiap kamar tahanan dan pada kamar-kamar tahanan yang terdapat tahanan di dalamnya ia berseru lirih.

“Di mana Tan Kun Tek dan isterinya?”

Hanya ada lima kamar yang terisi dan pada kamar yang ke lima, ia melihat dua orang di dalamnya. Seorang laki-laki dan seorang wanita! Dari sinar lampu yang menyorot dari luar melalui terali ke dalam kamar, Li Hong dapat melihat seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun yang tampan dan gagah, akan tetapi bajunya robek-robek dan ada goresan-goresan berdarah pada kulit dada dan punggungnya.

Wanita itu berusia empat puluh tahun lebih, masih tampak cantik akan tetapi keadaannya lebih menyedihkan. Seperti laki-laki itu, bajunya juga robek-robek dan tubuhnya berlepotan darah bekas cambukan dan ia duduk bersandar pada rangkulan laki-laki itu. Keadaannya tampak parah. Melihat ini, dengan suara gemetar Li Hong bertanya,

“Apakah kalian berdua Tan Kun Tek dan isterinya?"

Mereka itu memang Tan Kun Tek dan isterinya. Melihat seorang pemuda di luar kamar tahanan berterali besi dan menanyakan namanya, dia menjawab.

“Benar, siapakah engkau?”

Mendengar ini, hati Li Hong bersorak. Ia cepat mencabut pedangnya dan sekali mengelebatkan pedang pusaka Ban-tok-kiam, ia telah membabat putus terali besi Dengan beberapa kali bacokan, terbukalah lubang besar dan ia masuk ke dalam kamar itu.

“Cepat, mari keluar dari sini!” kata Li Hong dan ia segera mengangkat bangun Nyonya Tan yang keadaannya lemah, setelah menggunakan pedangnya memutuskan semua rantai yang membelenggu kaki tangan suami isteri itu.

“Ah, ia terluka dan lemah sekali!” Li Hong berseru penuh haru ketika ia memondong tubuh wanita itu. Ibunya! “Mari kita keluar cepat, biar aku memondongnya!”

“Tapi, siapakah engkau?” Tan Kun Tek juga bangkit dan memandang pemuda itu dengan heran dan khawatir karena dia tahu bahwa mereka berada dalam benteng yang penuh tentara!

“Nanti saja kita bicara, cepat keluar!” kata Li Hong sambil memondong Nyonya Tan dan melompat keluar kamar tahanan...

Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 37

37: PENYELAMATAN DARI TAHANAN MONGOL

KALAU saja ia tidak banyak berhenti, mungkin sebulan yang lalu ia sudah tiba di rumah orang tuanya dan ia akan dapat mencegah malapetaka yang menimpa ayah ibunya! Bahkan kalau kemarin ia sudah tiba di situ, ia pasti akan mencegah orang tuanya ditangkap pasukan pemerintah!

“Bibi Siok, ke mana Ayah Ibu dibawa pasukan itu dan siapa panglima itu? Mengapa pula Ayah dan Ibu ditangkap?” Li Hong menghujani pembantu itu dengan pertanyaan.

“Setahu saya, tiga hari sebelum penangkapan, panglima besar yang biasa disebut Kim Thai-ciangkun datang dan minta kepada Tan-kauwsu untuk melatih silat para perajurit pasukannya dan memberi waktu tiga hari kepada Tan-kauwsu untuk memberi jawaban. Tiga hari kemudian Kim Thai-ciangkun datang lagi bersama dua belas orang perajurit. Tan-kauwsu menyatakan tidak bersedia melatih silat kepada para perajurit dan dia bersama Tan-hujin lalu ditangkap dan dibawa pergi.”

“Ke mana, Bibi? Ke mana?”

“Mana saya tahu, Nona? Akan tetapi benteng pasukan pemerintah berada di luar kota sebelah barat, sekitar tiga lie (mil) dari kota ini.”

“Bibi Siok, kau jaga rumah ini, aku akan mencari Ayah Ibu dan membebaskan mereka dari tahanan!”

Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, gadis itu telah lenyap dari depan Bibi Siok sehingga wanita itu melongo, lalu menggosok-gosok kedua matanya seolah hendak memastikan bahwa ia tidak sedang mimpi!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Kim Bayan atau Panglima Kim adalah seorang panglima yang banyak jasanya ketika bangsa Mongol menyerbu ke selatan, maka oleh Kaisar Mongol dia diberi kedudukan panglima tinggi dan menguasai seluruh pasukan yang bertugas menjaga wilayah Shan-tung ke selatan sampai Nan-king.

Panglima Kim Bayan adalah seorang Mongol yang pandai ilmu silat dan ilmu gulat model Mongol, bahkan dia juga memiliki kekuatan sihir karena gurunya adalah seorang datuk persilatan di perbatasan Mancuria yang terkenal tinggi sekali ilmu silat dan ilmu sihirnya. Gurunya itu berjuluk Cui-beng Kui-ong (Raja Setan Pengejar Roh) dan karena jasa-jasanya oleh Kaisar Mongol dia dihadiahi sebidang tanah pegunungan dengan gedung yang indah mewah di mana dia hidup sebagai raja muda!

Setelah tinggal di tanah hadiah kaisar itu, Cui-beng Kui-ong memanggil sumoinya (adik perempuan seperguruan) yang berjuluk Song-bun Mo-li (Iblis Betina Berkabung) karena yang selalu mengenakan pakaian berkabung dari kain mori putih yang kasar!

Wanita ini pun lihai bukan main sehingga keduanya menjadi andalan Kerajaan Mongol untuk menghadapi orang-orang sakti yang berani menentang pemerintah penjajah itu. Karena merasa senang tinggal di gedung mewah di perbukitan itu, Cui-beng Kui-ong menamakan tanah perbukitan hadiah kaisar itu Bukit Sorga. Letaknya hanya belasan lie dari kota raja.

Sebagai murid Cui-beng Kui-ong, Panglima Kim tentu saja lihai sekali. Dia hidup di kota Cin-yang bersama seorang isteri dan lima orang selirnya. Akan tetapi, enam orang isteri itu hanya seorang saja yang mempunyai anak, itu pun hanya seorang anak laki-laki yang kini telah dewasa dan diberi nama Kim Magu.

Kita sudah mengenal Kim Magu yang disebut Kim-kongcu, yaitu pemuda berandalan yang selalu mengandalkan kekuasaan ayah dan kekayaannya, suka menggoda dan memaksa gadis baik-baik untuk dijadikan permainannya. Pemuda itu bersama temannya, Kui Con putera Hakim Kui Hok, dihajar oleh Ceng Ceng dan karena perbuatan yang menggemparkan kota Cin-yang itulah nama Ceng Ceng sebagai Pek-eng Sianli dikenal dan dikagumi orang.

Dari para penyelidik yang disebar di mana-mana, Kim Bayan mendengar betapa para pendekar pribumi Han banyak yang diam-diam menentang pemerintah Kerajaan Goan (Mongol). Bahkan kabarnya sikap para pimpinan partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai, dan masih banyak lagi tidak mematuhi dan memusuhi para pembesar.

Mendengar berita ini, Kim Bayan menjadi penasaran. Dia teringat bahwa Tan Kun Tek yang dikenal dengan sebutan Guru Silat Tan adalah seorang murid Bu-tong-pai. Maka dia merasa curiga dan dia sengaja datang berkunjung dan minta kepada Tan Kun Tek untuk mengajarkan ilmu silat kepada para perajuritnya.

Sesungguhnya permintaan ini hanya untuk menguji apakah Tan-kauwsu bersedia membantu pemerintah atau tidak. Ternyata Tan Kun Tek menolak dan kecurigaan Kim Thai-ciangkun semakin besar. Dia lalu menangkap Tan Kun Tek dan isterinya, menahan mereka di rumah tahanan.

Dalam kamar tahanan, seorang perwira yang biasa bertugas memaksa tahanan untuk mengaku, menyiksa Tan Kun Tek dan isterinya. Suami isteri itu dibelenggu pada dinding kamar tahanan, diikat kaki tangannya dan mereka disuruh mengaku siapa saja kawan mereka yang melakukan pemberontakan. Juga dipaksa mengaku bahwa Bu-tong-pai bermaksud memberontak.

Tentu saja Tan Kun Tek dan isterinya menyangkal semua tuduhan itu. Mereka lalu disiksa, dicambuki. Sungguh kasihan Nyonya Tan yang tidak pernah belajar silat dan tubuhnya lemah. Baju berikut kulitnya tersayat-sayat lecutan cambuk sehingga berlumuran darah dan baru belasan cambukan saja ia sudah terkulai pingsan dalam keadaan berdiri dan kedua tangan tergantung borgol di dinding.

Tan Kun Tek juga dicambuki sampai penyiksa merasa lelah. Bajunya hancur dan kulit tubuhnya juga pecah-pecah, akan tetapi pendekar Bu-tong-pai ini sama sekali tidak pernah mengeluh, mematikan semua perasaan sehingga biarpun kulitnya tersayat-sayat, dia tidak merasa apa-apa. Hanya tubuhnya terasa lemas karena terlalu banyak darah mengalir keluar dari luka-luka gigitan cambuk!

Malam itu cuaca gelap sekali. Hawa udara amat dingin karena sore tadi hujan turun dengan derasnya. Dalam cuaca gelap dan udara dingin itu, ketika sebagian besar penduduk kota Seng-hai-lian sudah memasuki kamar masing-masing yang lebih hangat dan di jalan raya sudah amat sepi, tampak seorang pemuda melangkah keluar dari pintu gerbang sebelah barat.

Ketika dia sudah tiba di luar pintu gerbang dan tak seorang pun memperhatikannya karena para penjaga pintu gerbang itu juga lebih senang berada dalam gardu, pemuda itu segera berlari cepat. Bukan main cepatnya pemuda itu berlari menuju ke barat. Pemuda itu bukan lain adalah Tan Li Hong yang menyamar. Ketika dia melakukan perjalanan meninggalkan Pulau Ular untuk mencari orang tuanya, Li Hong juga menyamar sebagai seorang pemuda yang amat tampan.

Akan tetapi ketika ia memasuki kota tempat tinggal orang tuanya, ia mengenakan pakaian wanita karena ia tidak ingin membuat ayah ibunya bingung. Akan tetapi kini, setelah ia mendengar bahwa orang tuanya ditangkap pasukan mungkin sekali dibawa ke benteng atau markas pasukan, ia mengenakan pakaian pria lagi. Pedang Ban-tok-kiam tergantung di punggungnya dan ketika ia berlari cepat, tubuhnya berkelebat dan tak dapat terlihat di dalam cuaca gelap itu.

Li Hong terpaksa berusaha menyelamatkan orang tuanya di waktu malam setelah tadi ia menyelidiki keadaan markas itu dari luar. Ia melihat betapa benteng itu terjaga ketat dan tidak mungkin dapat memasuki benteng itu di siang hari. Kalau ia ketahuan, akan sulitlah untuk dapat menyelamatkan orang tuanya karena bagaimana mungkin ia menghadapi perajurit yang tentu amat banyak terdapat dalam markas itu.

Ia sudah mempelajari sekeliling pagar tembok markas itu dan mengambil keputusan untuk melompati pagar tembok di bagian belakang yang tidak begitu ketat penjagaannya, hanya terkadang ada perajurit yang meronda. Ia yakin akan mampu melewati tembok dan masuk ke markas itu di waktu malam, apalagi ketika cuaca segelap ini dan udara sedingin ini. Para penjaga tentu agak lengah. Pula, markas itu tempat ribuan orang perajurit, siapa yang akan berani mencuri masuk?

Perhitungan Li Hong betul. Ketika ia melompat dengan gerakan yang ringan dan gesit ke atas tembok, ia tidak melihat ada perajurit dekat tempat itu. Maka ia lalu melayang turun ke sebelah dalam yang ternyata merupakan sebuah kebun. Untuk meneliti keadaan sekitarnya, Li Hong menyusup ke balik rumpun bambu dan mengintai dari situ. Bangunan-bangunan terdapat banyak dan di setiap sudut luar bangunan ada lampu gantung yang cukup terang.

Ia menjadi bingung. Sama sekali ia tidak dapat menduga di mana orang tuanya ditawan. Ketika ia melihat dua orang perajurit yang membawa tombak berjalan tak jauh dari tempat ia bersembunyi, agaknya sedang meronda sambil bercakap-cakap, Li Hong cepat menyelinap di antara pohon-pohon dan mendekati mereka. Ketika dua orang perajurit itu lewat dekat, Li Hong menerjang mereka. Dengan kecepatan luar biasa ia menggerakkan jari tangan dua kali dan dua orang itu pun roboh terkulai tanpa dapat mengeluarkan suara, lumpuh tertotok!

Li Hong mencengkeram rambut mereka dan menyeret tubuh mereka ke belakang semak-semak yang gelap, yang hanya mendapat sinar sedikit dari lampu gantung yang berada di batang pohon sehingga keadaan di situ remang-remang. Li Hong mencabut pedangnya, ditempelkan ke leher seorang dari mereka, lalu ia menggerakkan tangan kiri membebaskan totokan.

“Jangan bergerak atau bersuara!” desisnya.

Orang itu menjadi pucat ketakutan dan dia hanya dapat menggeleng kepala tanda bahwa dia tidak akan melawan atau berteriak.

“Jawab yang benar pertanyaanku, kalau engkau bohong, lihat ini!” Pedangnya menyambar dan orang kedua tewas seketika. Tentu saja perajurit pertama menjadi semakin gemetar ketakutan.

“Ampun, Taihiap (Pendekar Besar)...!” ratapnya. Dia mengira bahwa Li Hong seorang pendekar pria.

“Hayo katakan di mana Tan Kun Tek dan isterinya dikeram!”

Orang itu menjawab. “Di rumah tahanan...!”

“Mana itu? Yang mana rumah tahanan?”

Perajurit itu menuding ke arah bangunan besar yang berada di tengah benteng. “Yang ada menaranya itu...”

“Awas, kalau engkau berbohong, aku akan kembali ke sini dan membunuhmu!”

“Saya... saya tidak berbohong...”

Li Hong menotoknya kembali dan menyimpan pedangnya. Ketika ia hendak bergerak menuju bangunan yang ditunjuk tadi, ia terkejut mendengar suara di belakangnya.

“Bodoh, dia harus dibunuh agar tidak membahayakan!” Itu adalah suara gurunya!

“Subo...!” Li Hong berseru lirih.

“Ssstt...!” Bayangan berkelebat dari belakang, tahu-tahu Ban-tok Niocu sudah berada dekat muridnya. Tangannya bergerak ke arah kepala perajurit yang tertotok dan tahulah Li Hong bahwa perajurit itu pasti tewas terkena sentuhan tangan gurunya.

“Subo, bagaimana kalau dia berbohong?”

“Tidak, sudah sejak tadi aku berada di sini menyelidiki dan memang orang tuamu ditahan dalam bangunan itu. Amat kuat penjagaannya, maka sejak tadi aku belum turun tangan. Bagus sekali engkau muncul sehingga aku mendapatkan bantuan.”

“Bagaimana Subo berada di sini?”

“Lihat wajahku, apa engkau tidak melihat ada perubahan?” Ban-tok Niocu sengaja membiarkan pipi kirinya terkena sinar lampu dari jauh sehingga cukup jelas untuk dilihat.

“Ah, Subo tidak cacat lagi!”

“Ssttt, nanti saja kita bicara. Sekarang perhatikan baik-baik. Orang tuamu berada dalam sebuah kamar tahanan di gedung yang ada menaranya itu. Kalau kita menyelinap ke sana, pasti ketahuan dari menara yang selalu ada perajurit penjaganya. Sekarang, kita pakai pakaian seragam dua perajurit ini!”

Li Hong mengerti maksud gurunya. Ia lalu melucuti pakaian perajurit yang dibunuhnya. Untung tadi ia menggunakan Ban-tok-kiam sehingga biarpun pedang itu hanya menggores leher, orang itu tewas tanpa mengeluarkan banyak darah. Setelah melucuti, ia mengenakan pakaian seragam itu menutupi pakaiannya sendiri.

Ban-tok Niocu juga sudah selesai mengenakan pakaian perajurit kedua di luar pakaiannya sendiri. Setelah menata rambut dan berdandan sebagai dua orang perajurit, Ban-tok Niocu berbisik.

“Kita lewati para penjaga dan kalau ada yang bertanya, engkau diam saja biar aku yang bicara. Setelah tiba dekat bangunan yang ada menaranya, aku akan menyelinap ke belakangnya dan membuat kebakaran. Lalu kuusahakan untuk melumpuhkan dua orang yang berjaga di menara. Nah, begitu ada kebakaran engkau menyelinap ke rumah tahanan itu. Tentu semua perajurit berlari ke arah kebakaran dan engkau mempunyai kesempatan untuk mengeluarkan orang tuamu. Mengerti?”

“Mengerti, Subo. Akan tetapi bagaimana kalau kami keluar lalu ketahuan? Untuk melindungi dua orang kukira agak sukar...”

“Bodoh! Ayahmu Tan Kun Tek bukan orang lemah. Dia pendekar murid Bu-tong-pai. Asal engkau sudah dapat membebaskan dia tentu dia akan mampu menyelamatkan isterinya. Pada saat itu mungkin aku sudah selesai dan dapat membantu kalian.

” “Baik, aku mengerti, Subo!”

Mereka lalu melangkah dengan tegap, membawa dua batang tombak milik perajurit yang mereka robohkan tadi. Mereka berjalan melewati beberapa orang penjaga dan para penjaga itu sama sekali tidak menaruh curiga karena memang Li Hong dan Ban-tok Niocu selalu mengambil jalan yang gelap. Ketika sudah tiba dekat bangunan yang ada menaranya, di tengah kelompok bangunan dalam benteng itu, tiba-tiba saja ada dua orang perajurit dari depan dan seorang di antara mereka bertanya.

“Kalian ini berjaga di mana?”

Terdengar Ban-tok Niocu menjawab, suara dibuat seperti suara pria, “Di kebun beIakang!”

“Hemm, bagaimana keadaannya? Aman?”

“Aman, tidak ada apa-apa!” jawab Ban-tok Niocu dan ia lalu mempercepat langkahnya, diimbangi oleh Li Hong.

“Hei, nanti dulu...!” Tiba-tiba dua orang perajurit itu berteriak dari belakang mereka.

“Bunuh mereka,” bisik Ban-tok Niocu kepada muridnya.

Mereka berdua membalikkan tubuh dan ketika dua orang perajurit itu menghampiri dekat, guru dan murid itu menggerakkan tombak dan dua orang perajurit itu pun roboh dan tewas. Mereka cepat menarik kaki dua orang itu dan menyeretnya ke tempat tersembunyi yang gelap. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan dengan gerakan cepat berkelebatan.

Seperti yang telah direncanakan, Ban-tok Niocu lalu menuju ke arah belakang rumah tahanan yang ada menaranya. Li Hong menyelinap mendekati rumah tahanan dan bersembunyi sambil menanti tanda dari gurunya, yaitu kebakaran. Tak lama kemudian ia melihat api bernyala besar di belakang rumah tahanan, sekitar tiga rumah di belakangnya.

“Kebakaran! Kebakaran!” terdengar teriakan dan dari tempat sembunyinya ia melihat banyak perajurit berlari-larian ke tempat kebakaran itu.

Ketika melihat belasan orang perajurit berserabutan keluar dari rumah tahanan itu, Li Hong lalu bergerak cepat. Dengan sambitan batu kecil ia membuat lampu gantung di pintu belakang dari mana para perajurit tadi keluar, pecah dan padam. Tubuhnya berkelebat dan tanpa dapat terlihat karena lampu yang padam membuat pintu itu gelap, ia telah memasuki rumah itu.

Ketika ia melewati sebuah lorong dalam rumah tahanan, ia melihat bahwa di bagian tengah rumah tahanan itu terbuka dan kamar-kamar tahanan berderet-deret. Ia menyelinap dan ketika memandang ke atas, ia melihat betapa semua kamar tahanan itu dapat terlihat dari atas menara. Tentu di sana ada perajurit-perajurit yang berjaga mengawasi kamar-kamar tahanan itu. Sebuah lampu di menara yang bernyala memperlihatkan bayangan dua orang perajurit.

Li Hong tidak berani keluar dari tempat sembunyinya karena kalau ia sampai kelihatan oleh para penjaga di atas menara, tentu banyak sekali perajurit akan menyerbu dan akan sukarlah baginya untuk dapat membebaskan kedua orang tuanya, bahkan ia sendiri dapat terancam bahaya. Ia menanti sebentar dan tiba-tiba ia melihat lampu di menara itu padam.

Itu tandanya bahwa setelah melakukan pembakaran, gurunya sudah berada di menara dan sudah merobohkan para penjaga menara, maka dengan hati berdebar tegang Li Hong lalu memeriksa setiap kamar tahanan dan pada kamar-kamar tahanan yang terdapat tahanan di dalamnya ia berseru lirih.

“Di mana Tan Kun Tek dan isterinya?”

Hanya ada lima kamar yang terisi dan pada kamar yang ke lima, ia melihat dua orang di dalamnya. Seorang laki-laki dan seorang wanita! Dari sinar lampu yang menyorot dari luar melalui terali ke dalam kamar, Li Hong dapat melihat seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun yang tampan dan gagah, akan tetapi bajunya robek-robek dan ada goresan-goresan berdarah pada kulit dada dan punggungnya.

Wanita itu berusia empat puluh tahun lebih, masih tampak cantik akan tetapi keadaannya lebih menyedihkan. Seperti laki-laki itu, bajunya juga robek-robek dan tubuhnya berlepotan darah bekas cambukan dan ia duduk bersandar pada rangkulan laki-laki itu. Keadaannya tampak parah. Melihat ini, dengan suara gemetar Li Hong bertanya,

“Apakah kalian berdua Tan Kun Tek dan isterinya?"

Mereka itu memang Tan Kun Tek dan isterinya. Melihat seorang pemuda di luar kamar tahanan berterali besi dan menanyakan namanya, dia menjawab.

“Benar, siapakah engkau?”

Mendengar ini, hati Li Hong bersorak. Ia cepat mencabut pedangnya dan sekali mengelebatkan pedang pusaka Ban-tok-kiam, ia telah membabat putus terali besi Dengan beberapa kali bacokan, terbukalah lubang besar dan ia masuk ke dalam kamar itu.

“Cepat, mari keluar dari sini!” kata Li Hong dan ia segera mengangkat bangun Nyonya Tan yang keadaannya lemah, setelah menggunakan pedangnya memutuskan semua rantai yang membelenggu kaki tangan suami isteri itu.

“Ah, ia terluka dan lemah sekali!” Li Hong berseru penuh haru ketika ia memondong tubuh wanita itu. Ibunya! “Mari kita keluar cepat, biar aku memondongnya!”

“Tapi, siapakah engkau?” Tan Kun Tek juga bangkit dan memandang pemuda itu dengan heran dan khawatir karena dia tahu bahwa mereka berada dalam benteng yang penuh tentara!

“Nanti saja kita bicara, cepat keluar!” kata Li Hong sambil memondong Nyonya Tan dan melompat keluar kamar tahanan...