Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

18. MURID BARU ANG TUNG KAI PANG

PENGEMIS itu menjawab dengan sikap takut-takut. “Mohon maaf, Pangcu. Sesungguhnya saya tidak berani melanggar pesan Pangcu, akan tetapi orang itu muncul dan tanpa sebab memaki bahwa Ang-tung Kai-pang adalah pencuri-pencuri dan katanya perkumpulan kita mencuri harta karun. Dimaki pencuri, saya tentu saja membantah sehingga terjadi pertengkaran yang berekor menjadi perkelahian. Harap Pangcu sudi memaafkan saya.”

“Pangcu, kami yang menjadi saksi! Bukan Paman pengemis ini yang mulai dan menantang untuk mengadakan pertandingan antara pemimpin kedua golongan adalah orang berbaju putih itu!” kata Li Hong dengan lantang.

Ketua Ang-tung Kai-pang mengangguk-angguk dan menghela napas sambil mengelus jenggotnya yang panjang, lalu berkata kepada anak buahnya. “Sudahlah, engkau boleh keluar, aku akan bicara dengan tiga orang tamu ini.”

Setelah pengemis itu keluar, Kui-tung Sin-kai memandang kepada tiga orang muda itu dan berkata, “Anggauta perkumpulan kami tadi hanya mengatakan bahwa kalian bertiga adalah pendekar-pendekar muda yang sedang menyelidiki tentang harta karun yang dihebohkan di dunia kang-ouw, dan kalian hendak minta petunjukku tentang pencurian harta karun itu. Coba perkenalkan dulu, kalian ini siapa?”

Yauw Tek yang menjadi wakil pembicara segera menjawab. “Pangcu, ini adalah Nona Liu Ceng Ceng dan yang ini adalah Nona Tan Li Hong. Saya sendiri bernama Yauw Tek.”

“Mengapa kalian hendak menyelidiki dan mencari pencuri harta karun yang kabarnya memperkenalkan diri sebagai penghuni Thai-san?”

Yauw Tek lalu menceritakan asal mula pencarian harta karun itu. Bagaimana dari peta yang ditinggalkan Liu Bok Eng kepada puterinya, Liu Ceng Ceng, tempat harta karun itu telah ditemukan oleh Panglima Kim Bayan, akan tetapi ternyata hanya tinggal petinya yang kosong dan di dalam peti itu terdapat tulisan THAI SAN.

“Nona Liu Ceng Ceng ini merasa berkewajiban untuk menemukan kembali harta karun yang ditinggalkan mendiang ayahnya. Nona Tan Li Hong dan saya membantunya dan kami menghadap Pangcu untuk mohon petunjuk, siapa kiranya yang patut dicurigai sebagai pencuri harta karun itu.”

“Nanti dulu, Yauw-sicu. Katakan dulu, untuk apa kalian mencari pencuri harta karun itu!”

“Tentu untuk merampasnya kembali, habis untuk apa lagi?” jawab Li Hong mendahului Yauw Tek. Li Hong yang dibesarkan di Pulau Ular oleh ibu tirinya yang dulu terkenal sebagai datuk wanita berjuluk Ban-tok Kui-bo memang berwatak keras dan tidak mengenal segala macam aturan bersopan santun, apalagi bermanis muka, namun ia jujur.

Kini ketua itu memandang kepada tiga orang muda itu dengan alis berkerut, kemudian dia berkata lantang dan tegas. “Aku pernah mendengar akan nama Liu Bok Eng sebagai seorang gagah yang setia kepada Kerajaan Sung dan berjiwa patriot dan aku akan suka membantunya mencari harta karun karena aku yakin bahwa dia akan mempergunakannya demi nusa dan bangsa. Akan tetapi kalau kalian orang-orang muda mencari harta karun untuk diri kalian sendiri, jangan harap akan mendapat dukungan dariku. Aku tidak sudi membantu orang-orang memperebutkan harta seperti anjing¬anjing kelaparan memperebutkan tulang!”

“Apa? Engkau menganggap kami ini anjing-anjing?” Li Hong sudah merah mukanya karena ia marah sekali.

Akan tetapi Ceng Ceng menyentuh lengannya dan ketika adik angkatnya memandangnya, ia menggeleng kepala mencegah adiknya itu bicara terus. Kemudian ia menoleh kepada Kui-tung Sin-kai dan berkata dengan suaranya yang lembut dan sikapnya yang ramah.

“Pangcu, agaknya Pangcu salah paham. Saya hendak menjelaskan keadaan kami yang sebenarnya. Ketika Ayah saya meninggal dunia karena terbunuh oleh panglima Mongol, Ayah meninggalkan sebuah peta harta karun kepada saya dengan pesan agar saya mencari harta karun itu dan menyerahkannya kepada yang berhak, yaitu para pejuang yang berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari penjajahan bangsa Mongol. Kenyataannya harta karun itu telah dicuri atau diambil oleh orang yang mengaku dari Thai-san. Kami bertiga mencari harta karun yang dicuri itu, sama sekali bukan untuk kami miliki sendiri, melainkan untuk kami serahkan kepada para pejuang seperti yang dipesan Ayah Liu Bok Eng. Kami mendengar bahwa Ang-tung Kai-pang juga menentang Pemerintah Mongol, maka kami percaya bahwa Pangcu tentu suka membantu para pejuang kemerdekaan tanah air dari cengkeraman penjajah Mongol. Karena itu maka kami berani menghadap Pangcu dan mohon petunjuk.”

Mendengar ucapan Ceng Ceng, ketua Kai-pang (Perkumpulan Pengemis) itu tersenyum dan wajahnya berubah cerah. “Ah, sekarang aku tidak ragu akan kebenaran berita bahwa mendiang Liu Bok Eng adalah seorang gagah perkasa yang bijaksana setelah melihat puterinya! Nona Liu, maafkan sikapku tadi. Kalau memang kalian hendak mendapatkan kembali harta karun itu untuk diserahkan kepada para pejuang kemerdekaan, tentu saja kami sepenuhnya mendukung! Bahkan kami bersama seluruh anggauta yang sekitar seratus orang jumlahnya di sini, siap untuk membantu. Bukan itu saja, kami juga dapat mengerahkan semua anggauta yang tersebar di banyak cabang Ang-tung Kai-pang, yang ribuan jumlahnya, untuk membantu!”

“Terima kasih, Pangcu!” kata Yauw Tek dengan gembira. “Akan tetapi kami kira belum tiba saatnya kami membutuhkan bantuan para anggauta Ang-tung Kai-pang. Untuk saat ini kami hanya membutuhkan petunjuk Pangcu, siapa kiranya di antara para penghuni Thai-san yang patut dicurigai sebagai pencuri harta karun itu. Kami mohon pefunjuk Pangcu.”

“Kami kira hanya ada dua golongan yang seyogianya tidak dimasukkan daftar mereka yang dicurigai, yaitu Thai-san-pai dan Ang-tung Kai-pang. Kami kira kedua perkumpulan ini tidak mungkin melakukan pencurian itu karena kami berdua bukan golongan orang-orang yang murka akan harta benda. Akan tetapi ada banyak orang atau golongan lain berada di Thai-san. Yang terbesar dan mempunyai banyak anak buah adalah Huo Lo-sian dan anak buahnya yang tinggal di daerah Barat pegunungan ini dan yang kedua adalah Hek Pek Mo-ko dengan anak buah mereka yang tinggal di Bukit Batu dan berada di daerah Utara pegunungan ini. Selain mereka tentu saja masih terdapat banyak pertapa yang kabarnya memiliki kesaktian, tinggal bertapa di tempat-tempat terasing di pegunungan yang luas ini.” Pangcu itu menerangkan.

“Pangcu, orang berbaju putih yang berkelahi dengan anak buah Ang-tung Kai-pang itu, katanya adalah anak buah dari Bukit Batu. Kalau begitu, dia itu anak buah Hek Pek Mo-ko?” tanya Li Hong.

“Benar, Nona,” kata Ketua Kai-pang itu yang kini dapat mengerti bahwa gadis ini memang memiliki watak yang keras, kasar dan jujur, hal yang tidak aneh karena ia berasal dari Pulau Ular! “Si Baju Putih itu adalah seorang murid dari Pek Mo-ko. Dua orang iblis itu yang disebut Hek Pek Mo-ko terdiri dari Hek Mo-ko ( Iblis Hitam ) dan Pek Mo-ko (Iblis Putih), masing-masing mempunyai murid sendiri. Murid Hek Mo-ko berpakaian serba hitam dan murid Pek Mo-ko berpakaian serba putih. Akan tetapi keduanya selalu bekerja sama seolah hanya ada satu perkumpulan.”

“Hemm, kalau begitu yang menantang Pangcu untuk mengadakan pi-bu (adu ilmu silat) esok lusa ada dua orang, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko?” Ceng Ceng juga bertanya, nadanya khawatir.

Pangcu itu mengangguk. “Benar, Nona Liu. Yang menantang adalah mereka berdua.”

“Ah, itu tidak adil sama sekali, Pangcu. Masa dua orang menantang seorang?” kata Yauw Tek sambil mengerutkan alisnya yang tebal karena merasa penasaran.

“Jangan khawatir, Pangcu! Kalau mereka maju berdua, biar aku yang akan membantumu sehingga pi-bu itu seimbang, dua lawan dua!” kata Li Hong bersemangat. “Kalau hanya melawan dua orang berandal itu saja, aku tidak takut!”

“Tenanglah, Hong-moi,” kata Ceng Ceng yang lalu bertanya kepada ketua itu. “Pangcu, bagaimana kepandaian Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko?”

“Aku sendiri belum pernah bertanding dengan mereka berdua. Akan tetapi menurut kabar, kedua orang itu memiliki tingkat kepandaian yang seimbang, Hek Mo-ko memiliki ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang dahsyat dan senjata goloknya juga terkenal lihai. Sedangkan Pek Mo-ko memiliki ilmu Pek-tok-ciang (Tangan Racun Putih) yang tak kalah dahsyatnya, dan senjatanya adalah sebatang pedang yang kabarnya juga amat tangguh. Kukira, kalau aku menghadapi seorang di antara mereka, aku masih dapat menandingi, akan tetapi entah kalau mereka maju berdua karena menurut keterangan yang pernah kudengar, Hek Pek Mo-ko selalu maju bersama sebagai pasangan yang amat kuat.”

“Pangcu, untuk menghadapi mereka besok lusa pagi, tentu Pangcu sudah mengatur sebaiknya dan tentu ada orang lain dari Ang-tung Kai-pang yang akan menemani Pangcu menghadapi mereka,” kata Yauw Tek.

Ketua Kai-pang itu menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Murid-murid Kai-pang tidak ada yang dapat diandalkan kepandaiannya. Tingkat mereka masih terlalu jauh untuk dapat melawan Hek Pek Mo-ko. Aku memang mempunyai beberapa orang Sute (Adik Seperguruan) yang agaknya memiliki tingkat yang sudah boleh diandalkan, namun pada waktu ini mereka semua tidak berada di sini. Mereka bertugas memimpin cabang-cabang Ang-tung Kai-pang di kota-kota besar. Akan tetapi, aku sendiri tidak gentar melawan Hek Pek Mo-ko yang telah menghina dan menantang.”

Kembali Li Hong berkata, “Jangan khawatir, Pangcu. Aku besok lusa akan menemanimu, kita berdua akan menghadapi mereka!”

Ketua itu menggelengkan kepalanya perlahan. “Tidak mungkin, Nona Tan. Nama dan kehormatan Ang-tung Kai-pang akan tercemar kalau aku minta bantuan orang luar bukan anggauta kami untuk menghadapi tantangan Hek Pek Mo-ko.”

cerita silat online karya kho ping hoo

“Akan tetapi siapa yang akan tahu bahwa aku bukan anggauta Ang-tung Kai-pang, Pangcu?” bantah Li Hong. “Kulihat di sini juga terdapat banyak wanita.”

“Memang benar di sini terdapat banyak keluarga para anggauta dan diantara mereka terdapat pula gadis-gadis muda, akan tetapi ilmu silat mereka rata-rata lemah, dan kalau engkau yang maju menemani aku menghadapi Hek Pek Mo-ko, ada dua hal yang menjadi pantangan bagi kami. Pertama, berarti kami bohong mengakuimu sebagai murid, dan kedua, murid kami bersenjatakan tongkat merah, bukan pedang. Terima kasih atas maksud baikmu hendak membantu, Nona Tan, akan tetapi mengingat akan pantangan kami berbohong, terpaksa kami tidak dapat menerima bantuanmu itu.”

Sekali ini Li Hong tidak dapat membantah biarpun ia merasa kecewa dan penasaran sekali. Ceng Ceng juga tidak melihat adanya kemungkinan untuk membantu ketua yang kini terancam bahaya itu. Ia tahu bahwa biarpun Ang-tung Kai-pang merupakan sebuah perkumpulan pengemis, akan tetapi ketuanya merupakan seorang gagah yang pantang melanggar aturan mereka sendiri.

“Pangcu,” tiba-tiba terdengar suara Yauw Tek memecahkan kesunyian setelah ketua itu bicara. “Menurut ucapan Pangcu kepada Hong-moi tadi, berarti bahwa yang dapat membantu Pangcu menghadapi musuh yang menantang hanyalah orang yang menjadi anggauta perkumpulan Ang-tung Kai-pang dan juga yang menggunakan tongkat merah sebagai senjata?”

Ketua itu mengangguk-angguk, “Demikianlah keadaannya, Yauw-sicu. Aku tentu tidak bisa mempertaruhkan nama dan kehormatan perkumpulan kami hanya untuk mencari kemenangan pribadi. Seperti kukatakan tadi, kalau ada seorang saja suteku di sini, kami berdua pasti akan mampu menandingi Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi para suteku berada di tempat-tempat yang cukup jauh dan untuk memanggil mereka membutuhkan waktu sedikitnya seminggu. Padahal tantangan pi-bu itu harus disambut besok lusa.”

“Pangcu, biarlah aku Pangcu terima sebagai murid sehingga dengan sendirinya aku menjadi anggauta Ang-tung Kai-pang. Aku akan menemani Pangcu menghadapi Hek Pek Mo-ko dan menggunakan sebatang tongkat merah sebagai senjata. Dengan demikian, Pangcu tidak akan kehilangan muka dan nama Ang-tung Kai-pang tidak akan tercemar.”

Ketua itu termenung, menghela napas dan menggelengkan kepalanya perlahan-lahan. “Agaknya usulmu itu sukar dilaksanakan, Sicu.”

“Hei, Pangcu!” teriak Li Hong. “Yauw-twako memberi jalan yang baik dan engkau masih saja berkeras menolak! Sebetulnya, apa sih maumu menolak semua bantuan yang kami tawarkan? Sekarang begini saja, Yauw-twako dan Enci Ceng, kita tidak perlu membantu Ang-tung Kai Pangcu! Kita bertiga langsung datang ke tempat Hek Pek Mo-ko dan membasmi mereka sehingga mereka tidak dapat menantang Ang-tung Kai-pang lagi!”

“Aih, Hong-moi, mengapa engkau menjadi tidak sabaran seperti itu?” Ceng Ceng menegur sambil tersenyum. “Ingat, kedatangan kita ke Thai-san adalah untuk mencari pencuri dan menemukan kembali harta karun, bukan untuk mencari permusuhan yang hanya akan menghalangi dan menggagalkan usaha kita.”

Li Hong cemberut. “Habis, Pangcu ini bisanya hanya menolak saja, bikin hatiku menjadi gemas!”

“Pangcu, harap jelaskan, mengapa usulku tadi sukar dilaksanakan?” tanya Yauw Tek.

“Begini, Sicu. Pertama, untuk menjadi anggauta Ang-tung Kai-pang, engkau harus memakai pakaian tambal-tambalan, ciri khas pakaian pengemis anggauta Ang-tung Kai-pang adapun yang kedua, sebagai anggauta Ang-tung Kai-pang, engkau harus menggunakan sebatang tongkat merah untuk melawan musuh. Bagaimana mungkin kedua syarat itu dapat terpenuhi?”

Setelah berpikir sejenak Yauw Tek menjawab. “Pangcu, aku pernah mempelajari ilmu silat menggunakan delapan belas macam senjata termasuk senjata tongkat sehingga untuk menggunakan senjata itu bukan masalah bagiku. Akan tetapi untuk terus mengenakan pakaian tambal-tambalan...” Pemuda itu tidak melanjutkan karena takut menyinggung perasaan Kui-tung Sin-kai.

Semua kini terdiam mendengar ucapan ketua itu tadi. Mereka menjadi bingung karena alasan ketua itu membuat mereka kehabisan akal. Untuk membiarkan ketua itu seorang diri menghadapi kedua Hek Pek Mo-ko, hati mereka tidak rela. Hal itu akan membahayakan keselamatan ketua itu, padahal Ang-tung Kai-pang merupakan perkumpulan yang kiranya akan dapat membantu usaha mereka mendapatkan kembali harta karun. Perkumpulan ini juga menentang penjajah Mongol dan berjiwa patriot maka patut dibela.

“Aku ada akal!” Tiba-tiba suara Li Hong mengejutkan semua orang dan mereka memandang kepada gadis lincah ini. “Yauw-twako diterima menjadi anggauta Ang-tung Kai-pang dan mengenakan pakaian tambal-tambalan untuk melawan Hek Pek Mo-ko. Setelah pi-bu itu selesai, Yauw-twako boleh menyatakan dengan resmi keluar dari keanggautaan Ang-tung Kai-pang sehingga tentu saja dia boleh melepaskan pakaian tambal-tambalan. Nah, bagaimana akalku itu, Pangcu?”

Kui-tung Sin-kai mengangguk-angguk, namun alisnya masih berkerut. “Bagus sekali akal itu dan memang akal itu telah menyelesaikan masalah pakaian pengemis. Akan tetapi bagaimana dengan ilmu tongkat Yauw-sicu? Harap diketahui bahwa Hek Pek Mo-ko itu kabarnya lihai bukan main. Senjata mereka, baik golok Hek Mo-ko maupun pedang Pek Mo-ko, merupakan senjata-senjata pusaka ampuh. Aku sungguh akan merasa berdosa sekali kalau sampai Yauw-sicu cedera atau tewas dalam membantu aku menghadapi mereka.”

“Pangcu meragukan kemampuanku, hal itu memang wajar saja. Akan tetapi, masih ada kesempatan bagi Pangcu untuk memberi petunjuk kepadaku dalam ilmu tongkat,” kata Yauw Tek.

“Tepat sekali,” kata Ceng Ceng. “Sebaiknya sekarang juga Pangcu menguji ilmu silat tongkat Yauw-twako, kalau ada kekurangannya, Pangcu dapat memberi petunjuk.”

Ketua itu mengangguk-angguk dan tampak gembira. Dia lalu mengajak tiga orang muda itu memasuki lian-bu-thia (ruangan latihan silat) yang luas. Dia mengambil dua batang tongkat merah dan menyerahkan sebatang kepada Yauw Tek. Mereka berdiri saling berhadapan di tengah ruangan itu. Ceng Ceng dan Li Hong menonton dan duduk di bangku dekat dinding.

“Yauw-sicu, perlihatkan ilmu tongkatmu kepadaku!”

“Silakan, Pangcu!” kata Yauw Tek sambil melintangkan tongkatnya depan dada.

“Sambut seranganku, Sicu!” Ketua itu mulai menyerang dan dia menyerang dengan sungguh-sungguh sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) sekuatnya. Dia benar-benar ingin menguji ilmu tongkat pemuda itu agar yakin sampai di mana tingkat kepandaian pennuda itu. Kalau sekiranya ilmu tongkat dari Yauw Tek tidak berapa tinggi tingkatnya, lebih baik dia menolak bantuannya. Dia tidak ingin pemuda itu celaka karena membantunya.

“Syuuttt... trak-trak-trak-trak-trak!”

Lima kali tongkat di tangan Kui-tung Sin-kai menyerang dengan pukulan dan tusukan dahsyat sekali, akan tetapi kelima serangan itu selalu dapat ditangkis dengan baik oleh Yauw Tek. Bahkan ketua itu merasa betapa kedua tangannya yang memegang tongkat tergetar hebat! Dia terkejut bukan main akan tetapi masih belum yakin dan melanjutkan se-rangannya dengan jurus-jurus pilihan yang dahsyat sekali.

Akan tetapi, bukan saja semua serangannya dapat dihindarkan Yauw Tek dengan tangkisan kuat atau elakan yang cepat, bahkan kini pemuda itu mulai membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah hebatnya. Gerakan pemuda itu amat ringannya, juga mengandung tenaga sin-kang yang membuat tangan ketua itu tergetar berulang kali! Hati Kui-tung Sin-kai menjadi gembira sekali dan dia juga mengeluarkan seluruh jurus simpanannya. Namun selalu Yauw Tek mampu mengimbanginya.

Sudah hampir seratus jurus lewat dan keduanya masih terus bertanding dengan serunya. Kini, ketua itu mulai berkeringat, sedangkan Yauw Tek masih biasa saja dan jelaslah bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ketua itu akan kalah dan kehabisan tenaga dan napas! Dia maklum akan hal ini dan merasa sudah puas menguji ilmu tongkat Yauw Tek.

“Cukup, Sicu!” katanya sambil terhuyung ke belakang ketika kedua tongkat itu bertemu kuat sekali. Yauw Tek menghentikan gerakannya dan dengan tongkat tersembunyi di belakang lengan kanannya, dia memandang ketua itu dengan senyum dan tampak masih segar.

“Bagaimana, Pangcu? Apakah aku memenuhi syarat?”

Kui-tung Sin-kai terengah-engah, wajahnya berseri dan dia merangkap kedua tangan depan dada. “Ah, maafkan keraguanku tadi, Sicu. Aku sungguh seperti Si Buta tak melihat tingginya langit! Kalau engkau mau membantuku dengan ilmu tongkatmu tadi, hatiku menjadi tenang karena harus kuakui bahwa ilmu tongkatmu membuat ilmuku tidak ada artinya sama sekali!”

“Ah, Pangcu terlalu memuji,” kata Yauw Tek dan tiba-tiba dia melontarkan tongkat merah itu ke atas. Kui-tung Sin-kai, Ceng Ceng dan Li Hong memandang dengan heran, akan tetapi segera mata mereka terbelalak ketika melihat betapa tongkat merah itu kini berputar lalu melayang di udara seperti hidup dan meluncur ke arah rak senjata, kemudian dengan tepat memasuki lubang rak senjata sehingga tongkat itu kembali ke tempatnya semula!

Kalau hanya melempar biasa saja agar tongkat itu masuk kembali ke lubang masih terbilang wajar. Akan tetapi apa yang diperlihatkan pemuda itu sungguh luar biasa. Tongkat itu tadi berputar-putar di udara lalu melayang seolah mencari sasarannya!

Dua orang gadis yang baru sekarang menyaksikan kehebatan ilmu tongkat Yauw Tek ketika melawan ketua tadi, kini menjadi bengong dan kagum bukan main kepada sahabat baru mereka yang memang sudah mengagumkan hati dengan sikapnya yang sopan dan lembut...

Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 18

18. MURID BARU ANG TUNG KAI PANG

PENGEMIS itu menjawab dengan sikap takut-takut. “Mohon maaf, Pangcu. Sesungguhnya saya tidak berani melanggar pesan Pangcu, akan tetapi orang itu muncul dan tanpa sebab memaki bahwa Ang-tung Kai-pang adalah pencuri-pencuri dan katanya perkumpulan kita mencuri harta karun. Dimaki pencuri, saya tentu saja membantah sehingga terjadi pertengkaran yang berekor menjadi perkelahian. Harap Pangcu sudi memaafkan saya.”

“Pangcu, kami yang menjadi saksi! Bukan Paman pengemis ini yang mulai dan menantang untuk mengadakan pertandingan antara pemimpin kedua golongan adalah orang berbaju putih itu!” kata Li Hong dengan lantang.

Ketua Ang-tung Kai-pang mengangguk-angguk dan menghela napas sambil mengelus jenggotnya yang panjang, lalu berkata kepada anak buahnya. “Sudahlah, engkau boleh keluar, aku akan bicara dengan tiga orang tamu ini.”

Setelah pengemis itu keluar, Kui-tung Sin-kai memandang kepada tiga orang muda itu dan berkata, “Anggauta perkumpulan kami tadi hanya mengatakan bahwa kalian bertiga adalah pendekar-pendekar muda yang sedang menyelidiki tentang harta karun yang dihebohkan di dunia kang-ouw, dan kalian hendak minta petunjukku tentang pencurian harta karun itu. Coba perkenalkan dulu, kalian ini siapa?”

Yauw Tek yang menjadi wakil pembicara segera menjawab. “Pangcu, ini adalah Nona Liu Ceng Ceng dan yang ini adalah Nona Tan Li Hong. Saya sendiri bernama Yauw Tek.”

“Mengapa kalian hendak menyelidiki dan mencari pencuri harta karun yang kabarnya memperkenalkan diri sebagai penghuni Thai-san?”

Yauw Tek lalu menceritakan asal mula pencarian harta karun itu. Bagaimana dari peta yang ditinggalkan Liu Bok Eng kepada puterinya, Liu Ceng Ceng, tempat harta karun itu telah ditemukan oleh Panglima Kim Bayan, akan tetapi ternyata hanya tinggal petinya yang kosong dan di dalam peti itu terdapat tulisan THAI SAN.

“Nona Liu Ceng Ceng ini merasa berkewajiban untuk menemukan kembali harta karun yang ditinggalkan mendiang ayahnya. Nona Tan Li Hong dan saya membantunya dan kami menghadap Pangcu untuk mohon petunjuk, siapa kiranya yang patut dicurigai sebagai pencuri harta karun itu.”

“Nanti dulu, Yauw-sicu. Katakan dulu, untuk apa kalian mencari pencuri harta karun itu!”

“Tentu untuk merampasnya kembali, habis untuk apa lagi?” jawab Li Hong mendahului Yauw Tek. Li Hong yang dibesarkan di Pulau Ular oleh ibu tirinya yang dulu terkenal sebagai datuk wanita berjuluk Ban-tok Kui-bo memang berwatak keras dan tidak mengenal segala macam aturan bersopan santun, apalagi bermanis muka, namun ia jujur.

Kini ketua itu memandang kepada tiga orang muda itu dengan alis berkerut, kemudian dia berkata lantang dan tegas. “Aku pernah mendengar akan nama Liu Bok Eng sebagai seorang gagah yang setia kepada Kerajaan Sung dan berjiwa patriot dan aku akan suka membantunya mencari harta karun karena aku yakin bahwa dia akan mempergunakannya demi nusa dan bangsa. Akan tetapi kalau kalian orang-orang muda mencari harta karun untuk diri kalian sendiri, jangan harap akan mendapat dukungan dariku. Aku tidak sudi membantu orang-orang memperebutkan harta seperti anjing¬anjing kelaparan memperebutkan tulang!”

“Apa? Engkau menganggap kami ini anjing-anjing?” Li Hong sudah merah mukanya karena ia marah sekali.

Akan tetapi Ceng Ceng menyentuh lengannya dan ketika adik angkatnya memandangnya, ia menggeleng kepala mencegah adiknya itu bicara terus. Kemudian ia menoleh kepada Kui-tung Sin-kai dan berkata dengan suaranya yang lembut dan sikapnya yang ramah.

“Pangcu, agaknya Pangcu salah paham. Saya hendak menjelaskan keadaan kami yang sebenarnya. Ketika Ayah saya meninggal dunia karena terbunuh oleh panglima Mongol, Ayah meninggalkan sebuah peta harta karun kepada saya dengan pesan agar saya mencari harta karun itu dan menyerahkannya kepada yang berhak, yaitu para pejuang yang berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari penjajahan bangsa Mongol. Kenyataannya harta karun itu telah dicuri atau diambil oleh orang yang mengaku dari Thai-san. Kami bertiga mencari harta karun yang dicuri itu, sama sekali bukan untuk kami miliki sendiri, melainkan untuk kami serahkan kepada para pejuang seperti yang dipesan Ayah Liu Bok Eng. Kami mendengar bahwa Ang-tung Kai-pang juga menentang Pemerintah Mongol, maka kami percaya bahwa Pangcu tentu suka membantu para pejuang kemerdekaan tanah air dari cengkeraman penjajah Mongol. Karena itu maka kami berani menghadap Pangcu dan mohon petunjuk.”

Mendengar ucapan Ceng Ceng, ketua Kai-pang (Perkumpulan Pengemis) itu tersenyum dan wajahnya berubah cerah. “Ah, sekarang aku tidak ragu akan kebenaran berita bahwa mendiang Liu Bok Eng adalah seorang gagah perkasa yang bijaksana setelah melihat puterinya! Nona Liu, maafkan sikapku tadi. Kalau memang kalian hendak mendapatkan kembali harta karun itu untuk diserahkan kepada para pejuang kemerdekaan, tentu saja kami sepenuhnya mendukung! Bahkan kami bersama seluruh anggauta yang sekitar seratus orang jumlahnya di sini, siap untuk membantu. Bukan itu saja, kami juga dapat mengerahkan semua anggauta yang tersebar di banyak cabang Ang-tung Kai-pang, yang ribuan jumlahnya, untuk membantu!”

“Terima kasih, Pangcu!” kata Yauw Tek dengan gembira. “Akan tetapi kami kira belum tiba saatnya kami membutuhkan bantuan para anggauta Ang-tung Kai-pang. Untuk saat ini kami hanya membutuhkan petunjuk Pangcu, siapa kiranya di antara para penghuni Thai-san yang patut dicurigai sebagai pencuri harta karun itu. Kami mohon pefunjuk Pangcu.”

“Kami kira hanya ada dua golongan yang seyogianya tidak dimasukkan daftar mereka yang dicurigai, yaitu Thai-san-pai dan Ang-tung Kai-pang. Kami kira kedua perkumpulan ini tidak mungkin melakukan pencurian itu karena kami berdua bukan golongan orang-orang yang murka akan harta benda. Akan tetapi ada banyak orang atau golongan lain berada di Thai-san. Yang terbesar dan mempunyai banyak anak buah adalah Huo Lo-sian dan anak buahnya yang tinggal di daerah Barat pegunungan ini dan yang kedua adalah Hek Pek Mo-ko dengan anak buah mereka yang tinggal di Bukit Batu dan berada di daerah Utara pegunungan ini. Selain mereka tentu saja masih terdapat banyak pertapa yang kabarnya memiliki kesaktian, tinggal bertapa di tempat-tempat terasing di pegunungan yang luas ini.” Pangcu itu menerangkan.

“Pangcu, orang berbaju putih yang berkelahi dengan anak buah Ang-tung Kai-pang itu, katanya adalah anak buah dari Bukit Batu. Kalau begitu, dia itu anak buah Hek Pek Mo-ko?” tanya Li Hong.

“Benar, Nona,” kata Ketua Kai-pang itu yang kini dapat mengerti bahwa gadis ini memang memiliki watak yang keras, kasar dan jujur, hal yang tidak aneh karena ia berasal dari Pulau Ular! “Si Baju Putih itu adalah seorang murid dari Pek Mo-ko. Dua orang iblis itu yang disebut Hek Pek Mo-ko terdiri dari Hek Mo-ko ( Iblis Hitam ) dan Pek Mo-ko (Iblis Putih), masing-masing mempunyai murid sendiri. Murid Hek Mo-ko berpakaian serba hitam dan murid Pek Mo-ko berpakaian serba putih. Akan tetapi keduanya selalu bekerja sama seolah hanya ada satu perkumpulan.”

“Hemm, kalau begitu yang menantang Pangcu untuk mengadakan pi-bu (adu ilmu silat) esok lusa ada dua orang, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko?” Ceng Ceng juga bertanya, nadanya khawatir.

Pangcu itu mengangguk. “Benar, Nona Liu. Yang menantang adalah mereka berdua.”

“Ah, itu tidak adil sama sekali, Pangcu. Masa dua orang menantang seorang?” kata Yauw Tek sambil mengerutkan alisnya yang tebal karena merasa penasaran.

“Jangan khawatir, Pangcu! Kalau mereka maju berdua, biar aku yang akan membantumu sehingga pi-bu itu seimbang, dua lawan dua!” kata Li Hong bersemangat. “Kalau hanya melawan dua orang berandal itu saja, aku tidak takut!”

“Tenanglah, Hong-moi,” kata Ceng Ceng yang lalu bertanya kepada ketua itu. “Pangcu, bagaimana kepandaian Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko?”

“Aku sendiri belum pernah bertanding dengan mereka berdua. Akan tetapi menurut kabar, kedua orang itu memiliki tingkat kepandaian yang seimbang, Hek Mo-ko memiliki ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang dahsyat dan senjata goloknya juga terkenal lihai. Sedangkan Pek Mo-ko memiliki ilmu Pek-tok-ciang (Tangan Racun Putih) yang tak kalah dahsyatnya, dan senjatanya adalah sebatang pedang yang kabarnya juga amat tangguh. Kukira, kalau aku menghadapi seorang di antara mereka, aku masih dapat menandingi, akan tetapi entah kalau mereka maju berdua karena menurut keterangan yang pernah kudengar, Hek Pek Mo-ko selalu maju bersama sebagai pasangan yang amat kuat.”

“Pangcu, untuk menghadapi mereka besok lusa pagi, tentu Pangcu sudah mengatur sebaiknya dan tentu ada orang lain dari Ang-tung Kai-pang yang akan menemani Pangcu menghadapi mereka,” kata Yauw Tek.

Ketua Kai-pang itu menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Murid-murid Kai-pang tidak ada yang dapat diandalkan kepandaiannya. Tingkat mereka masih terlalu jauh untuk dapat melawan Hek Pek Mo-ko. Aku memang mempunyai beberapa orang Sute (Adik Seperguruan) yang agaknya memiliki tingkat yang sudah boleh diandalkan, namun pada waktu ini mereka semua tidak berada di sini. Mereka bertugas memimpin cabang-cabang Ang-tung Kai-pang di kota-kota besar. Akan tetapi, aku sendiri tidak gentar melawan Hek Pek Mo-ko yang telah menghina dan menantang.”

Kembali Li Hong berkata, “Jangan khawatir, Pangcu. Aku besok lusa akan menemanimu, kita berdua akan menghadapi mereka!”

Ketua itu menggelengkan kepalanya perlahan. “Tidak mungkin, Nona Tan. Nama dan kehormatan Ang-tung Kai-pang akan tercemar kalau aku minta bantuan orang luar bukan anggauta kami untuk menghadapi tantangan Hek Pek Mo-ko.”

cerita silat online karya kho ping hoo

“Akan tetapi siapa yang akan tahu bahwa aku bukan anggauta Ang-tung Kai-pang, Pangcu?” bantah Li Hong. “Kulihat di sini juga terdapat banyak wanita.”

“Memang benar di sini terdapat banyak keluarga para anggauta dan diantara mereka terdapat pula gadis-gadis muda, akan tetapi ilmu silat mereka rata-rata lemah, dan kalau engkau yang maju menemani aku menghadapi Hek Pek Mo-ko, ada dua hal yang menjadi pantangan bagi kami. Pertama, berarti kami bohong mengakuimu sebagai murid, dan kedua, murid kami bersenjatakan tongkat merah, bukan pedang. Terima kasih atas maksud baikmu hendak membantu, Nona Tan, akan tetapi mengingat akan pantangan kami berbohong, terpaksa kami tidak dapat menerima bantuanmu itu.”

Sekali ini Li Hong tidak dapat membantah biarpun ia merasa kecewa dan penasaran sekali. Ceng Ceng juga tidak melihat adanya kemungkinan untuk membantu ketua yang kini terancam bahaya itu. Ia tahu bahwa biarpun Ang-tung Kai-pang merupakan sebuah perkumpulan pengemis, akan tetapi ketuanya merupakan seorang gagah yang pantang melanggar aturan mereka sendiri.

“Pangcu,” tiba-tiba terdengar suara Yauw Tek memecahkan kesunyian setelah ketua itu bicara. “Menurut ucapan Pangcu kepada Hong-moi tadi, berarti bahwa yang dapat membantu Pangcu menghadapi musuh yang menantang hanyalah orang yang menjadi anggauta perkumpulan Ang-tung Kai-pang dan juga yang menggunakan tongkat merah sebagai senjata?”

Ketua itu mengangguk-angguk, “Demikianlah keadaannya, Yauw-sicu. Aku tentu tidak bisa mempertaruhkan nama dan kehormatan perkumpulan kami hanya untuk mencari kemenangan pribadi. Seperti kukatakan tadi, kalau ada seorang saja suteku di sini, kami berdua pasti akan mampu menandingi Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi para suteku berada di tempat-tempat yang cukup jauh dan untuk memanggil mereka membutuhkan waktu sedikitnya seminggu. Padahal tantangan pi-bu itu harus disambut besok lusa.”

“Pangcu, biarlah aku Pangcu terima sebagai murid sehingga dengan sendirinya aku menjadi anggauta Ang-tung Kai-pang. Aku akan menemani Pangcu menghadapi Hek Pek Mo-ko dan menggunakan sebatang tongkat merah sebagai senjata. Dengan demikian, Pangcu tidak akan kehilangan muka dan nama Ang-tung Kai-pang tidak akan tercemar.”

Ketua itu termenung, menghela napas dan menggelengkan kepalanya perlahan-lahan. “Agaknya usulmu itu sukar dilaksanakan, Sicu.”

“Hei, Pangcu!” teriak Li Hong. “Yauw-twako memberi jalan yang baik dan engkau masih saja berkeras menolak! Sebetulnya, apa sih maumu menolak semua bantuan yang kami tawarkan? Sekarang begini saja, Yauw-twako dan Enci Ceng, kita tidak perlu membantu Ang-tung Kai Pangcu! Kita bertiga langsung datang ke tempat Hek Pek Mo-ko dan membasmi mereka sehingga mereka tidak dapat menantang Ang-tung Kai-pang lagi!”

“Aih, Hong-moi, mengapa engkau menjadi tidak sabaran seperti itu?” Ceng Ceng menegur sambil tersenyum. “Ingat, kedatangan kita ke Thai-san adalah untuk mencari pencuri dan menemukan kembali harta karun, bukan untuk mencari permusuhan yang hanya akan menghalangi dan menggagalkan usaha kita.”

Li Hong cemberut. “Habis, Pangcu ini bisanya hanya menolak saja, bikin hatiku menjadi gemas!”

“Pangcu, harap jelaskan, mengapa usulku tadi sukar dilaksanakan?” tanya Yauw Tek.

“Begini, Sicu. Pertama, untuk menjadi anggauta Ang-tung Kai-pang, engkau harus memakai pakaian tambal-tambalan, ciri khas pakaian pengemis anggauta Ang-tung Kai-pang adapun yang kedua, sebagai anggauta Ang-tung Kai-pang, engkau harus menggunakan sebatang tongkat merah untuk melawan musuh. Bagaimana mungkin kedua syarat itu dapat terpenuhi?”

Setelah berpikir sejenak Yauw Tek menjawab. “Pangcu, aku pernah mempelajari ilmu silat menggunakan delapan belas macam senjata termasuk senjata tongkat sehingga untuk menggunakan senjata itu bukan masalah bagiku. Akan tetapi untuk terus mengenakan pakaian tambal-tambalan...” Pemuda itu tidak melanjutkan karena takut menyinggung perasaan Kui-tung Sin-kai.

Semua kini terdiam mendengar ucapan ketua itu tadi. Mereka menjadi bingung karena alasan ketua itu membuat mereka kehabisan akal. Untuk membiarkan ketua itu seorang diri menghadapi kedua Hek Pek Mo-ko, hati mereka tidak rela. Hal itu akan membahayakan keselamatan ketua itu, padahal Ang-tung Kai-pang merupakan perkumpulan yang kiranya akan dapat membantu usaha mereka mendapatkan kembali harta karun. Perkumpulan ini juga menentang penjajah Mongol dan berjiwa patriot maka patut dibela.

“Aku ada akal!” Tiba-tiba suara Li Hong mengejutkan semua orang dan mereka memandang kepada gadis lincah ini. “Yauw-twako diterima menjadi anggauta Ang-tung Kai-pang dan mengenakan pakaian tambal-tambalan untuk melawan Hek Pek Mo-ko. Setelah pi-bu itu selesai, Yauw-twako boleh menyatakan dengan resmi keluar dari keanggautaan Ang-tung Kai-pang sehingga tentu saja dia boleh melepaskan pakaian tambal-tambalan. Nah, bagaimana akalku itu, Pangcu?”

Kui-tung Sin-kai mengangguk-angguk, namun alisnya masih berkerut. “Bagus sekali akal itu dan memang akal itu telah menyelesaikan masalah pakaian pengemis. Akan tetapi bagaimana dengan ilmu tongkat Yauw-sicu? Harap diketahui bahwa Hek Pek Mo-ko itu kabarnya lihai bukan main. Senjata mereka, baik golok Hek Mo-ko maupun pedang Pek Mo-ko, merupakan senjata-senjata pusaka ampuh. Aku sungguh akan merasa berdosa sekali kalau sampai Yauw-sicu cedera atau tewas dalam membantu aku menghadapi mereka.”

“Pangcu meragukan kemampuanku, hal itu memang wajar saja. Akan tetapi, masih ada kesempatan bagi Pangcu untuk memberi petunjuk kepadaku dalam ilmu tongkat,” kata Yauw Tek.

“Tepat sekali,” kata Ceng Ceng. “Sebaiknya sekarang juga Pangcu menguji ilmu silat tongkat Yauw-twako, kalau ada kekurangannya, Pangcu dapat memberi petunjuk.”

Ketua itu mengangguk-angguk dan tampak gembira. Dia lalu mengajak tiga orang muda itu memasuki lian-bu-thia (ruangan latihan silat) yang luas. Dia mengambil dua batang tongkat merah dan menyerahkan sebatang kepada Yauw Tek. Mereka berdiri saling berhadapan di tengah ruangan itu. Ceng Ceng dan Li Hong menonton dan duduk di bangku dekat dinding.

“Yauw-sicu, perlihatkan ilmu tongkatmu kepadaku!”

“Silakan, Pangcu!” kata Yauw Tek sambil melintangkan tongkatnya depan dada.

“Sambut seranganku, Sicu!” Ketua itu mulai menyerang dan dia menyerang dengan sungguh-sungguh sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) sekuatnya. Dia benar-benar ingin menguji ilmu tongkat pemuda itu agar yakin sampai di mana tingkat kepandaian pennuda itu. Kalau sekiranya ilmu tongkat dari Yauw Tek tidak berapa tinggi tingkatnya, lebih baik dia menolak bantuannya. Dia tidak ingin pemuda itu celaka karena membantunya.

“Syuuttt... trak-trak-trak-trak-trak!”

Lima kali tongkat di tangan Kui-tung Sin-kai menyerang dengan pukulan dan tusukan dahsyat sekali, akan tetapi kelima serangan itu selalu dapat ditangkis dengan baik oleh Yauw Tek. Bahkan ketua itu merasa betapa kedua tangannya yang memegang tongkat tergetar hebat! Dia terkejut bukan main akan tetapi masih belum yakin dan melanjutkan se-rangannya dengan jurus-jurus pilihan yang dahsyat sekali.

Akan tetapi, bukan saja semua serangannya dapat dihindarkan Yauw Tek dengan tangkisan kuat atau elakan yang cepat, bahkan kini pemuda itu mulai membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah hebatnya. Gerakan pemuda itu amat ringannya, juga mengandung tenaga sin-kang yang membuat tangan ketua itu tergetar berulang kali! Hati Kui-tung Sin-kai menjadi gembira sekali dan dia juga mengeluarkan seluruh jurus simpanannya. Namun selalu Yauw Tek mampu mengimbanginya.

Sudah hampir seratus jurus lewat dan keduanya masih terus bertanding dengan serunya. Kini, ketua itu mulai berkeringat, sedangkan Yauw Tek masih biasa saja dan jelaslah bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ketua itu akan kalah dan kehabisan tenaga dan napas! Dia maklum akan hal ini dan merasa sudah puas menguji ilmu tongkat Yauw Tek.

“Cukup, Sicu!” katanya sambil terhuyung ke belakang ketika kedua tongkat itu bertemu kuat sekali. Yauw Tek menghentikan gerakannya dan dengan tongkat tersembunyi di belakang lengan kanannya, dia memandang ketua itu dengan senyum dan tampak masih segar.

“Bagaimana, Pangcu? Apakah aku memenuhi syarat?”

Kui-tung Sin-kai terengah-engah, wajahnya berseri dan dia merangkap kedua tangan depan dada. “Ah, maafkan keraguanku tadi, Sicu. Aku sungguh seperti Si Buta tak melihat tingginya langit! Kalau engkau mau membantuku dengan ilmu tongkatmu tadi, hatiku menjadi tenang karena harus kuakui bahwa ilmu tongkatmu membuat ilmuku tidak ada artinya sama sekali!”

“Ah, Pangcu terlalu memuji,” kata Yauw Tek dan tiba-tiba dia melontarkan tongkat merah itu ke atas. Kui-tung Sin-kai, Ceng Ceng dan Li Hong memandang dengan heran, akan tetapi segera mata mereka terbelalak ketika melihat betapa tongkat merah itu kini berputar lalu melayang di udara seperti hidup dan meluncur ke arah rak senjata, kemudian dengan tepat memasuki lubang rak senjata sehingga tongkat itu kembali ke tempatnya semula!

Kalau hanya melempar biasa saja agar tongkat itu masuk kembali ke lubang masih terbilang wajar. Akan tetapi apa yang diperlihatkan pemuda itu sungguh luar biasa. Tongkat itu tadi berputar-putar di udara lalu melayang seolah mencari sasarannya!

Dua orang gadis yang baru sekarang menyaksikan kehebatan ilmu tongkat Yauw Tek ketika melawan ketua tadi, kini menjadi bengong dan kagum bukan main kepada sahabat baru mereka yang memang sudah mengagumkan hati dengan sikapnya yang sopan dan lembut...