Pedang Ular Merah Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG ULAR MERAH JILID 10

Kaget dan marahlah Lo Ban Tek mendengar ini. Ia kenal hartawan Li sebagai seorang yang baik hati dan dermawan, maka hal ini merupakan urusan aneh yang mau tak mau menarik perhatiannya dan membuat ia menjadi penasaran sekali. Ang coa kiam atau bukan, murid Kim liong pai atau bukan, kalau sudah melakukan pembunuhan terhadap seorang dermawan seperti Lui wangwe, harus ia selidiki dan harus turun tangan.

Demikianlah, pada pagi berikutnya, setelah berdandan mengenakan pakaian ringkas, sambil membawa senjatanya yang istimewa, yakni sebuah ruyung yang disebut Cho-kut-pian (Ruyung Tulang Ular), ia pergi ke rumah kapal. Tubuhnya yang tegap karena setiap hari dilatih memalu besi dan langkahnya yang lebar membuat semua orang memandangnya dengan heran dan tertarik. Tidak biasanya Thiat-gu Lo Ban Tek keluar dengan membawa ruyung yang mengerikan itu.

Orang itu memang pendiam dan jarang sekali bicara, kini ia berjalan dengan muka merah dan mata bersinar-sinar, sehingga orang-orang menduga tentu akan terjadi sesuatu yang menggemparkan. Dari jauh mereka mengikuti orang gagah ini dan makin tertariklah hati mereka ketika melihat seorang gagah ini langsung menuju ke rumah kapal!

Apakah si pendiam ini mau berpelesir? Tak mungkin, pikir mereka. Selama tinggal bertahun-tahun di I-kiang, Thiat gu Lo Ban Tek hanya hidup menyendiri, tiada anak istri dan tidak berkawan atau berpelesir. Setiap hari kerjanya hanya membuat golok dan tombak dijualnya dengan harga rendah, tidak memperdulikan apakah ia rugi atau untung dalam pekerjaan itu Dan sekarang, orang ini pergi menuju ke rumah kapal. Tentu saja hal ini merupakan kejadian yang menarik hati.

Pada saat itu, seperti biasa, para penjaga duduk di meja luar sambil main ma ciok. Juga tiga orang kepala penjaga, Ma kauwsu, Cin kauwsu dan Kwee kauwsu, duduk di situ sambil mengobrol. Mereka sedang membicarakan tentang pembunuhan atas diri Lui-wangwe dan betapa pun juga, mereka menjadi gelisah dan kuatir sekali. Tiba-tiba seorang tinggi besar yang berwajah garang berdiri agak jauh di luar pekarangan rumah kapal dan terdengar suaranya yang mengguntur.

"Orang-orang rendah dan kotor! Suruh Ang coa kiam keluar, aku hendak bicara dengan dia!"

Ma-kauwsu dan kedua orang adiknya segera mengenal orang ini sebagai pandai besi Lo Ban Tek. Telah beberapa kali ketiga orang guru silat ini memesan senjata kepadanya, dan dalam perkenalan mereka, belum pernah pandai besi ini menyatakan bahwa ia mengerti ilmu silat. Dan kini ia berdiri di situ menantang Ang coa kiam Sim Tiong Kiat sambil memegang sebuah ruyung yang aneh bentuknya!

“Eh, saudara Lo, kau kenapakah? Kalau ada keperluan, datanglah ke sini. Kita boleh mengobrol, mengapa berteriak-teriak di tengah jalan!” Ma kauwsu menegur sambil bangkit dari tempat duduknya.

“Tidak usah banyak bicara!” Lo Ban Tek membentak dengan marah. “Siapa sudi...

(Ada bagian yang hilang lagi nih...! Maaf ya!)

Hayo kalian anjing-anjing penjaga beritahu kepada Ang Coa kiam dan minta dia keluar. Kalau tidak, aku akan menyeretnya sendiri keluar!”

Bukan main marahnya Ma kauwsu dan ketidak orang adiknya. Mereka bertiga merupakan jagoan-jagoan yang disegani dan ditakuti di kota I-Kiang. Para hartawan dan bangsawan pun tidak berani bicara kasar terhadap mereka. Sekarang ada seorang pandai besi biasa berani memaki dan menyebut mereka anjing-anjing penjaga, tentu saja mereka merasa panas dalam perut!

“Pandai besi hinadina she Lo! Apakah otakmu sudah menjadi miring? Ataukah kau sudah bosan hidup” bentak Ma kauwsu yang segera melompat keluar menghampiri pandai besi itu, diikuti oleh dua orang adiknya.

“Kalian ini kecoa-kecoa busuk yang makan uang kotor, janganlah ikut campur!" teriak Lo Ban Tek makin marah. "Panggil saja jai-hwa-cat she Sim itu keluar dan kalian pergilah jauh-jauh jangan sampai terkena senjata yang tak bermata!"

Akan tetapi mana tiga orang jagoan ini takut menghadapi seorang pandai besi yang kasar? Terutama sekali Kwee kauwsu yang amat memandang rendah pandai besi itu. Tanpa menggunakan senjata, Kwee kauwsu lalu melompat maju dan mengirim pukulan ke arah dada Lo Ban Tek sambil berseru,

"Pergilah orang gila!"

Pukulan ini adalah gerak tipu Go-houw pok-it (Macan Lapar Tubruk Makanan) dan dilakukan dengan tenaga gwakang yang sedikitnya mengandung kekuatan dua ratus kati! Kwee kauwsu berpikir bahwa jangankan menangkis dengan tangan, biarpun dengan ruyung aneh itu, tetap saja pandai besi ini akan jatuh terpelanting oleh pukulannya yang berat itu.

Akan tetapi, terdengar pandai besi itu mengeluarkan suara ejekan dalam tenggorokan dan begitu kepalan tangan lawan menyambar secepat kilat ia miringkan tubuh ke kiri, agak merendah, dan jari jari tangan kirinya menyodok ke arah lambung lawan.

"Ngekkk...!"

Kwee kauwsu merasa seakan-akan ususnya dipotong, ia sampai berjingkrak ke atas saking sakitnya dan begitu tubuhnya meninggi karena menahan sakit, kaki kiri Lo Ban Tek diayun tepat mengenai pantatnya.

"Blekkk!" tubuh Kwee kauwsu tertendang ke atas bagaikan sebuah bal karet terapung oleh tendangan anak kecil.

Setelah berputar beberapa kali, tubuh itu jatuh kembali ke atas tanah dengan pantat di bawah. Suara jatuhnya menimbulkan suara keras dan guru silat itu duduk seakan-akan tubuh belakangnya telah berakar. Hanya mukanya saja meringis-ringis bagaikan monyet mencium kotoran, tertawa tidak menangispun bukan!

Bukan main sakitnya pantat yang beradu keras dengan tanah kering itu. Tentu saja kejadian ini amat mengagetkan Ma kauwsu dan Cin kauwsu, karena sama sekali berada di luar dugaan mereka. Cin kauwsu lalu menghampiri adiknya membetot tangannya sehingga Kwee kauwsu dapat berdiri lagi. Kemudian mereka bertiga lalu mencabut golok masing-masing dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi ketiganya menyerbu!

Gerakan Ma kauwsu dan Cin-kauwsu amat ganas dan cepat, hanya Kwee kauwsu saja yang masih agak terpincang-pincang dan merasa seakan-akan di tubuh belakangnya digantungi beban yang berat sekali.

"Bangsat rendah, apakah kalian bertiga benar benar bosan hidup?" bentak Lo Ban Tek. "Apakah kalian bertiga benar benar hendak melindungi dan membantu seorang penjahat besar yang mengacau di kota sendiri? Mundurlah, aku Thiat-gu Lo Ban Tek tidak mencari permusuhan dengan kalian! Kalian bukan lawanku. Lihat!"

Sambil berkata demikian, Si Kerbau Besi ini lalu menghampiri sebuah batu besar yang banyak terdapat di pinggir sungai dan sekali ia mengayun Coa-kut-pian di tangannya, batu itu telah kena dihantam sehingga menerbitkan suara keras dan menimbulkan bunga api berpijar. Ketika tiga orang guru silat itu memandang, ternyata bahwa batu besar itu telah kena dipukul pecah!

Bukan main terkejut hati mereka. Bagaimana batu sebesar itu dapat dipukul pecah hanya dengan sekali pukulan, menggunakan sebatang ruyung pula? Mereka bertiga, biarpun diberi palu atau kampak yang beratnya seratus kati, belum tentu dapat memecahkan batu itu dengan seratus kali pukul! Oleh karena kaget dan kagum, mereka hanya berdiri tertegun, sama sekali tidak berani maju. Apalagi mereka juga terpengaruh oleh kata kata pandai besi itu. Kalau mereka tetap membela Ang coa kiam, tentu mereka akan dimusuhi oleh orang.orang seluruh kota, apalagi akan menghadapi pembesar-pembesar, ah berat juga!

Pada saat itu terdengar seruan nyaring dari dalam rumah kapal. "Anjing kelaparan dari manakah berani mengacau dan menantangku?"

Baru habis ucapan itu dikeluarkan, orangnya telah berkelebat keluar dan Tiong Kiat sudah berdiri dihadapan Thiat gu Lo Ban Tek dengan pedang Ang-coa-kiam di tangan. Berdebar juga hati Lo Ban Tek menyaksikan ginkang yang luar biasa dari pemuda tampan ini. la memandang dengan penuh perhatian. Ternyata bahwa pemuda ini amat cakap, gagah dan tampan, berpakaian serba biru yang indah sekali. Juga pedang di tangan pemuda ini benar-benar Ang-coa-kiam, pedang pusaka Kim-liong-pai, karena Lo Ban Tek pernah mendengar penuturan tokoh Kun-lun-pai tentang pusaka ini.

"Anak muda, kau sungguh berani mati sekali mempergunakan nama Ang-coa-kiam dan Kim Liong pai untuk melakukan kejahatan. Apakah kau tidak takut akan hukuman yang bisa dijatuhkan oleh Lui Thian Sianjin kepadamu? Aku tidak percaya bahwa kau adalah anak murid Kim Iiong pai dan dari manakah kau dapat mencuri Ang coa kiam itu?"

Sim Tiong Kiat tersenyum mengejek. "Bukan salahku kalau matamu kurang awas! Aku Sim Tiong Kiat, adalah murid dari Lui Thian Sianjin yang paling pandai dan akulah yang mewakili Kim-liong-pai. Bukankah Ang-coa-kiam di tanganku ini menjadi bukti terkuat?"

"Aku tetap tidak bisa percaya. Seorang murid Kim-liong-pai, apalagi yagg sudah dipercayai untuk memegang Ang-coa-kiam, harus mempergunakan pokiam (pedang pusaka) dan kepandaian untuk menjadi seorang pendekar, menolong orang-orang lemah dan menindas kejahatan, sesuai dengan pesanan mendiang Bu Beng Sianjin, sucouw dari Kim-liong-pai. Akan tetapi kau ini, perbuatan terkutuk apa saja yang telah kaulakukan?"

Tertegun juga hati Tiong Kiat mendengar betapa orang kasar ini agaknya mengenal baik gurunya dan keadaan Kim-Iiong-pai, maka sebelum ia menggerakkan pedangnya, ia bertanya,

"Siapakah kau, hai manusia kasar yang bosan hidup? Siapa kau yang berpura-pura mengerti tentang keadaan Kim-liong-pai?"

"Mengapa aku tidak mengerti keadaan Kim Liong pai? Aku adalah murid Kim kong Tianglo di Kun lun san dan namaku adalah Lo Ban Tek! Kuulangi lagi, orang she Sim, Jangan kau sembarangan memalsukan nama Kim-liong-pai."

Di dalam hatinya, Tiong Kiat terkejut juga mendengar bahwa orang kasar ini adalah murid dari Kim Kong Tianglo, karena sesungguhnya orang tua ini memang benar benar seorang tokoh Kun-Iun-pai dan menjadi sahabat baik dari Lui Thian sianjin. Bahkan sudah beberapa kali ini bertemu dengan tokoh Kun-lun-pai itu ketika Kim Kong Tianglo mengunjungi suhunya di Liong-san. Maka ia menahan kesabarannya dan tidak hendak mencelakakan murid Kim Kong Tianglo ini.

"Saudara Lo, kalau begitu kita bukanlah orang luar! Aku kenal baik dengan suhumu. Dengarlah, jangan kau menduga yang bukan-bukan. Perbuatanku yang manakah yang tidak menyenangkan hatimu?"

Lo Ban Tek tersenyum mengejek. "Tempat yang kau pilih untuk tinggal ini saja sudah dapat mencemarkan nama baikmu."

"Apa?" Tiong Kiat mencela marah, "Lo Ban Tek, biarpun guru kita menjadi sahabat baik, akan tetapi kau belum berhak untuk menegurku dalam hal ini. Kita adalah orang-orang lelaki, untuk mencari hiburan dan pelesiran apakah salahnya? Apakah perbuatan ini merugikanmu? Atau merugikan orang Iain? Saudara Lo, kalau kau merasa iri hati, marilah ikut aku, kuperkenalkan dengan bidadari-bidadari rumah kapal. Tak perlu urusan macam ini menimbulkan bentrokan diantara kita..."

"Cih! Aku bukanlah orang macam itu! Aku tidak meributkan urusan cabul! Aku datang hendak bertanya kepadamu mengapa kau membunuh Lui-wangwe dan puteranya? Apakah hal ini kau anggap satu perbuatan baik dan patut pula!"

"Lebih dari patut dan baik pula?" jawab Tiong Kiat dengan sikap menantang. "Anjing tua dan muda she Lui itu memang sudah sepatutnya dibunuh! Mereka telah berlaku kurang ajar dan merusak kehidupan seorang gadis yakni nona Li Lan yang kini terpaksa menjadi seorang yang melakukan pekerjaan ini! Apakah orang-orang semacam ini tidak boleh di bunuh?"

"Dari siapakah kau mendengar akan obrolan itu? Tentu dari mulut perempuan busuk itu bukan? Ha ha ha? Orang she Sim, ternyata kau benar-benar tidak tahu mana yang baik mana yang busuk! Ketahuilah bahwa kalau ada dendam diantara perempuan kotor itu dengan keluarga Lui, maka dendam ini timbul karena kejahatan si perempuan yang kau bela mati-matian itu! Memang, dulu dia adalah seorang pelayan dari keluarga Lui. Kemudian dia bermain gila dengan Lui kongcu, bahkan berani bermain gila dengan pelayan-pelayan laki-laki yang ada di rumah itu! Lui wangwe menjadi marah dan mengusirnya, bahkan ketika diusir, ia diberi uang secukupnya, dibebaskan dan diperbolehkan pergi ke mana juga atau menikah dengan siapapun juga. Hal ini bagi orang yang tinggal di kota I-kiang, siapakah yang tidak tahu? Dan kau percaya bahwa dia dipermainkan oleh Lui wangwe? Ha ha ha! benar-benar kau telah mabok oleh kecantikan palsu, mabok oleh bedak tebal dan gincu merah!"

"Bangsat, tutup mulutmu!" Tiong Kiat yang terkejut dan malu itu menjadi marah sekali.

"Orang she Sim, kau memang patut dilenyapkan dari permukaan bumi ini. Biarlah aku Lo Ban Tek mewakili suhumu memberi hukuman kepadamu!"

Sambil berkata demikian Lo Ban Tek menangkis serangan Tiong Kiat dengan ruyungnya. Melihat betapa orang kasar itu berani menangkis pedangnya, Tiong Kiat menjadi girang karena mengira bahwa ruyung itu tentu akan putus. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dua senjata itu beradu keras, ruyung itu sama sekali tidak terbabat putus, bahkan dari benturan tadi ia dapat mengetahui bahwa tenaga Iawannya ini benar-benar besar dan tidak boleh dipandang ringan! Maka ia lalu berseru keras dan begitu ia mainkan ilmu pedang Ang coa-kiam-sut yang hebat, pedangnya bergerak cepat, merupakan gelombang sinar pedang yang luar biasa sekali.

Lo Ban Tek terkejut dan kini ia tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda ini memang benar murid Kim-liong-pai yang pandai. "Hm, kau benar-benar murid Kim-liong-pai! Kalau kau bukan murid Kim-liong-pai, masih tidak apa, kau hanya seorang bangsat kecil saja. Akan tetapi seorang murid Kim-liong-pai dapat tersesat begini rupa, ah aku harus mengadu jiwa dengan kau.” Ia pun mainkan ruyungnya dengan ilmu silat Kun-lun-pai yang lihai. Gerakan ruyungnya cepat dan kuat, dapat mengimbangi gerakan pedang lawannya.

Hebat sekali jalannya pertandingan ini, sehingga tiga orang guru silat Ma, Cin dan Kwee berdiri bagaikan patung dan menonton dengan bengong! Kepandaian Ang-Coa-kiam Sim Tiong Kiat sudah dapat mereka duga tingginya, akan tetapi yang membikin mereka terheran-heran adalah kepandaian tukang besi itu!

Siapa kira bahwa di I-kiang terdapat seorang pendekar yang demikian tinggi ilmu silatnya yang selama ini mereka kenal sebagai Lo Ban Tek pandai besi yang sederhana dan kasar belaka! Maka malulah ketiga orang itu, karena kalau ilmu kepandaian mereka yang mereka sombongkan itu dibandingkan dengan kepandaian dua orang ini mereka boleh dibilang masih anak-anak!

Thiat-gu Lo Ban Tek bertempur dengan penuh semangat dan gerakannya nekad sekali. Akan tetapi Tiong Kiat masih merasa ragu-ragu dan bertempur hanya untuk membela diri saja. Pemuda ini masih merasa sungkan untuk merobohkan murid Kun-lun-pai ini, ia gentar juga menghadapi akibat-akibatnya. Kalau sampai ia menanam bibit permusuhan dengan Kun lun pai, hidupnya takkan tenteram lagi!

Akan tetapi mau tidak mau ia terpaksa harus mengerahkan kepandaiannya, karena Lo Ban Tek menyerangnya bagaikan seekor harimau mengamuk. Ruyung Coa kut-pian itu tidak boleh dipandang ringan. Selain digerakkan dengan ilmu silat istimewa, juga tenaga orang she Lo ini besar sekali sehingga sekali saja kena terpukul ruyung ini berarti bahaya maut bagi Tiong Kiat!

Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Lo Ban Tek melakukan serangan yang luar biasa sengitnya. Ruyungnya menyambar dan menyerampang lambung Tiong Kiat. Ketika pemuda ini menangkis ruyung itu tiba-tiba menyambar ke arah kedua kakinya sehingga Tiong Kiat terkejut sekali. Cepat pemuda ini mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk melompat ke atas sehingga tubuhnya mumbul dengan indahnya.

Akan tetapi kembali Lo Ban Tek melangkah maju dan kini ia memukulkan ruyungnya dengan gerak tipu Dewa Awan Menangkap Bintang. Serangan ini dilakukan ketika tubuh Tiong Kiat masih terapung di udara, maka hebat dan berbahayanya dapat dibayangkan sendiri!

Namun kini Tiong Kiat juga sudah menjadi panas kepalanya. Ia tidak bisa mengalah terus dan harus memperlihatkan kepandaiannya. Biarpun ia masih berada di udara, namun kedudukan tubuhnya masih dalam kuda-kuda yang sempurna. Melihat ruyung menyambar, ia segera menggerakkan pedangnya menangkis dan cepat kaki kirinya membarengi mengirim tendangan ke arah pergelangan tangan Lo Ban Tek.

Lo Ban Tek merasa tangannya menjadi kaku dan sakit sekali karena tendangan yang secepat kilat dan tidak disangkanya itu, tidak dapat dielakkan. la buru-buru menarik kembali senjatanya, akan tetapi pada saat itu, Tiong Kiat sudah turun ke atas tanah dan ujung pedangnya menyambar merupakan cahaya merah menuju tenggorokan Lo Ban Tek!

Orang she Lo ini berseru ngeri karena merasa bahwa nyawanya tentu takkan tertolong lagi. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa sakit pada pundak kirinya yang tertusuk pedang dan ternyata bahwa Tiong Kiat pada saat yang tepat telah mengubah gerakan pedangnya sehingga tidak menusuk tenggorokan lawan, akan tetapi mencong dan melukai pundaknya!

"Lo Ban Tek, mengingat bahwa kau masih ada hubungan persahabatan dengan aku, maka memandang muka suhumu, aku ampunkan nyawamu! Lebih baik kita sudahi pertempuran ini!"

Akan tetapi kalau pemuda itu mengira bahwa Lo Ban Tek tentu akan menjadi gentar dan kapok, ia keliru besar. Orang she Lo ini bahkan menjadi makin marah. Dengan mata mendelik ia membentak,

"Jahanam durhaka! Kau kira aku orang she Lo takut mati? Lebih baik aku mati dalam usahaku melenyapkan iblis macam engkau dari muka bumi, daripada hidup melihat engkau melakukan kejahatan tanpa terhukum!"

Setelah berkata demikian, kembali ruyungnya menyambar dan kali ini dengan serangan nekad tanpa memperhitungkan penjagaan diri lagi! Tiong Kiat terkejut sekali. Sama sekali tak diduganya bahwa orang ini akan menjadi demikian nekad, terpaksa ia menangkis dengan pedangnya dan membalas dengan keras. Pedangnya meluncur ke depan dan tak dapat dicegah lagi menancap di dada Lo Ban Tek.

Si Kerbau Besi ini tidak mengelak sedikitpun juga, ruyungnya masih dipegang kencang ketika tubuhnya terguling dan darah mengucur dari dadanya. Ia menghembuskan napas terakhir dengan ruyung masih di tangan kanan dan muka masih mendelik memandang kepada Tiong Kiat!

Pemuda ini bergidik dan ia merasa menyesal sekali. Diambilnya saputangan dan ditutupkannya saputangan itu di atas muka Lo Ban Tek, menghela napas berulang-ulang. Ia telah membunuh dengan terpaksa dan bagaimana baiknya sekarang? Orang orang Kun-lun-pai tentu akan memusuhinya, biarpun ia tidak takut, akan tetapi hal itu hanya akan membuat hidupnya menjadi tidak tenteram.

Rasa menyesal dan kecewa ini membuat mukanya menjadi merah, dadanya terasa sakit. la marah sekali, marah kepada Lo Ban Tek yang memaksa dia melakukan pembunuhan, marah kepada dirinya sendiri dam kepada semua orang.

"Kionghi taihiap, kionghi! ilmu silatmu hebat sekali!"

Tiba-tiba ia mendengar pujian dan pemberian selamat yang membuat sadar dari lamunannya. Ketika ia menengok, ia melihat tiga orang guru silat itu telah menghampirinya dan memberi selamat sambil menyeringai mencari muka. Ia merasa sebal sekali. Kedua kakinya cepat bergerak bergantian dan tubuh tiga orang guru silat terlempar jauh. Mereka mengaduh-aduh dengan perasaan sakit, takut dan kaget.

Kemarahan Tiong Kiat memuncak. Ia menganggap rumah kapal dan sekalian isinya adalah tempat sial, yang membuat ia melakukan pembunuhan pada anak murid Kun-lun-pai. Apalagi kalau ia teringat akan ucapan Lo Ban Tek yang masih berdengung di telinganya, bahwa sesungguhnya keluarga Lui-wangwe yang dibunuhnya itu tidak berdosa. Bahwa sebaliknya Li Lan yang bersalah dan yang menghasut kepadanya.

Kemarahannya makin memuncak lagi. Ia berlari memasuki rumah kapal itu. Pintu ditendangnya sampai jebol. Sebuah tihang yang berada di depannya dibabat dengan pedang Ang coa kiam sehingga putus dan genteng bagian atasnya roboh ke dalam air. Cia-ma berlari lari keluar, akan tetapi begitu tiba di depan pemuda itu Tiong Kiat menjambak rambutnya dan sekali ia menggerakkan tangan, tubuh nenek itu terlempar keluar jendela dan...

"Byuurr...!" tubuh itu jatuh ke dalam air sungai Yang-ce, diiringi pekik mengerikan dari nenek itu.

Bagaikan seorang gila, Tiong Kiat merusak dan menghancurkan perabot rumah yang baik-baik, dan tiap kali ia bertemu dengan seorang gadis dalam rumah itu, tangannya bergerak menjambak rambut dan melemparkan gadis itu ke dalam air melalui jendela! Sebentar saja habislah semua orang dilempar-lemparkan ke dalam air, sehingga sibuklah orang-orang di bawah untuk menolong 'bidadari-bidadari' itu keluar dari air.

Mereka kini tidak kelihatan sebagai bidadari-bidadari kahyangan lagi, akan tetapi sebaliknya sebagai seorang setan air yang mengerikan. Rambut basah awut-awutan, riap-riapan menutupi muka yang tidak berbedak lagi, muka yang kini tampak pucat, kebiru-biruan bibir dan sekitar matanya, muka yang cowong dengan kulit muka yang kasar karena setiap hari dimakan bedak!

Orang terakhir yang dijumpai oleh Tiong Kiat di rumah itu adalah Li Lan. Gadis ini berdiri dengan wajah pucat, akan tetapi tidak takut sama sekali. la sengaja melepaskan rambutnya yang kini bergantungan di sekitar leher dan pundaknya. Bajunya Iepas-lepas sehingga nampak leher dan pundak yang putih halus. Gadis ini tahu betul bahwa Tiong Kiat amat mengagumi rambutnya yang panjang, halus dan harum, maka siasat terakhir untuk menggunakan kecantikannya ini ia lakukan.

"Perempuan hina! Jadi kau telah menipuku, ya! Aku telah tertipu sehingga membunuh orang-orang yang tidak berdosa!"

"Bagimu tidak berdosa kongcu, akan tetapi bagiku mereka berdosa besar. Kalau Lui wangwe tidak mengusirku, keadaanku takkan menjadi begini!" jawab gadis itu dengan suara memilukan.

"Kau telah membohong! Kau katakan mereka mengganggumu, tidak tahunya kaulah yang mengganggu ketenteraman rumah tangga mereka! Kau perempuan cabul, perempuan rendah. Kubunuh kau!”

"Bunuhlah, kongcu, bunuhlah. Kalau orang satu-satunya seperti engkau yang kucinta sepenuh jiwaku telah membenciku, untuk apakah aku lebih lama hidup di dunia ini?” Ia menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. ”Bunuhlah…”

Tiong Kiat mengangkat pedangnya, akan tetapi melihat keadaan Li Lan, lemaslah tangannya dan pedang itu bahkan disarungkannya kembali. Ia lalu maju dan menjambak rambut Li Lan, dipaksanya berdiri akan tetapi tidak dilemparkan keluar seperti orang-orang lain, bahkan lalu dipondongnya dan di bawanya lari! Ia berlari cepat sekali keluar dari rumah kapal itu, ditonton oleh semua orang yang sama sekali tidak berani bergerak!

Gegerlah kota I-kiang karena peristiwa ini. Pembesar pembesar datang membawa tentara akan tetapi penjahat muda itu telah lari jauh dan orang tidak tahu kemana perginya. Masih baik nasib Ma kauwsu, Cin kauwsu dan Kwee kauwsu. Karena mereka bertiga tadi ditendang oleh Ang-coa-kiam Sim Tiong Kiat sampai terguling-guling, maka mereka tidak dianggap kawan penjahat muda itu dan dibebaskan oleh para pembesar! Kalau saja mereka tidak ditendang oleh Tiong Kiat tentu mereka akan ditangkap dengan dakwaan kawan-kawan dari Ang-coa-kiam!

Tiong Kiat melarikan diri sambil menggendong Li Lan. la pergi secepatnya dari I-kiang dan ia menuju ke utara, Li Lan menangis terisak-isak dalam pondongannya. Gadis itu tiada hentinya menyesali nasib dirinya.

Peribahasa kuno menyatakan bahwa, kalau hendak menguji kesetiaan sejati, lihatlah sikap seorang dalam keadaan sengsara. Banyak sahabat-sahabat yang tadinya menyanjung-nyanjung kita akan memalingkan muka dan berpura-pura tidak kenal lagi apabila keadaan kita menjadi sengsara.

Demikian pula dengan cinta kasih. Dapat diukur apabila sepasang merpati berada dalam keadaan sengsara dan jauh dari kesenangan. Cinta kasih tidak mengenal keadaan, tidak mengenal kesengsaraan, tetap murni bagaikan emas, biarpun terjatuh di dalam lumpur kotor, tetap cemerlang dan mengkilap!


Akan tetapi cinta kasih gadis macam Li Lan beda lagi. Dahulu ia memang mencinta Tiong Kiat sepenuh jiwa raganya, karena Tiong Kiat adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah. Terutama sekali karena pemuda ini dapat memberi hadiah barang berharga apa saja yang dikehendakinya. Akan tetapi sekarang semua benda itu ditinggalkan, dan bahkan kini mereka melakukan perantauan tanpa tujuan, berjalan jauh dengan keadaan miskin dan sengsara sekali.

Dalam keadaan macam ini lunturlah semua rasa cinta dari hati Li Lan. la mulai cemberut dan mengomel panjang pendek. Berkeluh-kesah menyesali nasibnya. Setiap hari ia menangis sambil memijati kakinya yang terasa pegal dan lelah sekali. Tadinya Tiong Kiat merasa kasihan juga, akan tetapi beberapa hari kemudian, ia menjadi mendongkol.

Pemuda mata keranjang macam dia mempunyai sifat pembosan. Kini Li Lan tidak pernah berhias, tidak pernah memakai minyak kembang dan pakaiannyapun tidak karuan. Kalau tadinya sedikit-sedikit cacat dapat ditutup oleh hiasan bedak dan gincu, kini terbuka sama sekali. Manusia manakah yang tidak bercacad? Memang dalam keadaan biasa, cacad pada kulit muka dapat ditutup dan diperindah dengan alat-alat kecantikan, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, cacad itu menjadi terbuka dan nampak nyata!

Setelah kini melihat Li Lan tidak berhias, alangkah kecewanya hati Tiong Kiat. Kecewa bahwa ia telah membawa gadis ini! Ternyata jauh sekali apabila dibandingkan dengan gadis yang dulu ditolongnya di rimba raya. Bahkan kalau diperhatikan betul, masih cantik Kui Hwa sumoinya itu dari pada gadis pesolek ini. Kecantikan Kui Hwa adalah sewajarnya, karena semenjak kecil gadis ini tidak pernah bersolek, adapun kecantikan Li Lan selalu dibantu oleh bedak dan gincu dan minyak wangi!

Mulailah Tiong Kiat marah-marah dan memaki Li Lan yang dianggapnya merupakan beban baginya! Dan mulailah Li Lan menangis terisak-isak menyesali perbuatannya yang dimulai semenjak berada di rumah keluarga Lui menjadi pelayan! Kalau saja ia dahuIu tidak melakukan perbuatan sesat, mungkin keluarga yang budiman itu telah mengawinkan dengan seorang pemuda yang baik dan ia telah menjadi seorang istri dan ibu yang bahagia!

Pada suatu hari di dalam hutan, ketika Li Lan menyatakan telah lelah sekali dan hendak beristirahat, kembali Tiong Kiat membentak-bentaknya. Li Lan menjatuhkan diri di bawah pohon dan menangis tersedu-sedu. Dahulu Tiong Kiat akan memondongnya, akan tetapi sekarang, menyatakan lelah saja dibentak-bentak. Di dalam hutan yang sunyi itu hanya terdengar suara tangisan Li Lan dan bentakan-bentakan Tiong Kiat.

"Perempuan tak tahu diri, perempuan pembawa celaka! Kalau tidak karena kau, aku tak usah lari-lari seperti ini. Kalau kau tidak ikut aku akan dapat melakukan perjalanan lebih cepat lagi."

"Sim kongcu..." kata Li Lan sambil megap-megap karena menahan tangisnya, "kalau aku menjadi beban... kenapa tidak kau bunuh saja...? Bunuhlah aku kongcu... agar aku terhindar dari siksaan lahir dan batin ini..."

"Kalau kau laki laki, sudah dari kemarin kubunuh! Aku seorang laki-laki sejati, tidak sudi membunuh perempuan macam kau!"

"Ah, dunia sudah kacau balau!" tiba-tiba terdengar suara halus dan tahu-tahu seorang wanita tua yang bertongkat panjang berbentuk kepala naga telah berdiri tak jauh dari mereka. "Dahulu laki-laki selalu bersikap lemah lembut terhadap wanita, akan tetapi anak-anak muda sekarang demikian kasar dan kejamnya!"

Tiong Kiat terkejut. Ia memandang dengan perhatian, akan tetapi tidak mengenal siapa adanya nenek yang berambut putih ini. "Nenek tua, mengapa kau mencampuri urusan orang lain? Kalau kau kasihan kepada wanita celaka ini, bawalah dia pergi. Aku tidak butuh lagi padanya!"

Ketika Li Lan melihat nenek itu, ia segera berlari terhuyung menghampirinya dan berlutut di hadapan nenek itu sambil menangis. "Suthai... Tolonglah aku, bawalah aku... aku tak tahan lagi hidup menderita begini…!”

"Kasihan kau anak yang tersesat jauh..." nenek itu berkata sambil mengelus-elus kepala Li Lan. "Baiklah kau membersihkan diri dan batin di dalam kuilku."

Mendengar ucapan ini, Tiong Kiat tertawa girang. "Bagus, bagus! Nenek tua kau telah berjasa padaku. Memang perempuan ini perlu dibersihkan! Ha ha ha!"

"Orang muda, kau tidak lebih bersih dari pada wanita ini! Kalau kau tidak kembali ke jalan benar, kaupun akan menderita bencana besar!"

Sepasang mata nenek itu memandangnya dengan tajam sekali sehingga ketika pandang mata mereka bertemu, terkejutlah Tiong Kiat. Seperti bukan mata manusia, pikirnya dengan seram. Untuk menenteramkan hatinya, pemuda ini mencabut pedangnya dan berkata tertawa-tawa sambil menggerak-gerakkan pedang itu.

"Ha ha ha! Dengan pedang dan tenaga ditangan, siapa akan dapat menggangguku?"

Tiba-tiba berobahlah wajah nenek itu ketika melihat pedang di tangan Tiong Kiat. "Ang-coa-kiam...!" serunya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat.

Tiong Kiat terkejut sekali melihat gerakan tubuh nenek ini, karena tahu-tahu nenek ini telah berada di hadapannya.

"Bagus, jadi kaukah orangnya yang mengotorkan Ang-coa-kiam, pedang pusaka dari kim-liong-pai?”

"Siapakah kau yang mengenal pedangku?” tanya Tiong Kiat dengan wajah pucat.

"Orang durhaka! Pat-Jiu Toanio sudah berada di hadapanmu, kau masih tidak mengenalnya?”

Begitu mendengar nama ini, Tiong Kiat tidak membuang-buang waktu lagi dan cepat sekali pedangnya menusuk dada nenek itu! Ia sudah mendengar nama nenek ini. Karenanya tahu bahwa Pat-jiu toanio adalah sahabat baik dari para tokoh Kun-lun-pai dan juga sahabat baik suhunya di Liong-san, ia mengira bahwa nenek ini tentu akan membunuhnya. Oleh karena itu ia lalu mendahuluinya dan mengirim tusukan maut!

Tiong Kiat sama sekali tidak pernah mengira bahwa ilmu kepandaian nenek ini luar biasa tingginya bahkan setingkat lebih tinggi dari pada kepandaian Lui Thian Sianjin sendiri!

Melihat berkelebatnya sinar pedang yang kemerahan, nenek ini lalu menggerakkan tongkatnya dan sekali tangkis saja pedang Ang-coa-kiam hampir saja terlepas dari pegangan Tiong Kiat!

Pemuda ini cepat melompat mundur, kemudian dengan marah sekali ia lalu menyerang lagi. Kembali pedangnya ditangkis hampir terlepas dari pegangan. Aneh sekali nenek itu nampaknya tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan tongkatnya hanya digerakkan perlahan dan lambat, namun setiap serangannya dapat ditangkis sekaligus!

Gentarlah hati Tiong Kiat menghadapi nenek yang sakti ini. Dengan muka merah karena malu dan marah, pemuda ini tanpa mengeluarkan sepatah katapun lalu melompat jauh dan pergi dari hutan itu. Pat jiu Toanio tidak mengejarnya, hanya menarik napas panjang dan berkata,

"Sayang, sayang...! Dia seorang murid yang baik sekali, sayang imannya lemah, sungguh merupakan periok yang indah akan tetapi terbuat daripada bahan yang lemah dan lapuk."

la lalu menghampiri Li Lan yang masih berlutut di atas tanah. "Coba kau ceritakan segala pengalamanmu dengan pemuda itu. Mukamu yang cantik penuh bayangan gelap, dosamu yang besar hanya dapat kau bersihkan dengan pencucian diri menjadi seorang pendeta."

Sambil terisak-isak Li Lan lalu menceritakan tentang pengalamannya, tidak ada yang disembunyikan, bahkan ia menceritakan pula tentang dosa-dosanya, betapa ia telah membujuk dan menghasut Tiong Kiat untuk membunuh keluarga Lui-Pat-jiu Toanio mendengarkan penuturan ini dengan kening berkerut. Setelah gadis itu selesai menuturkan semua pengalamannya, ia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata,

"Menurut patut, kau harus dihukum seberat-beratnya. Hukuman lahir masih terlampau ringan bagimu, akan tetapi melihat bahwa kau telah menerima hukuman batin, aku akan menerimamu. Marilah kau ikut aku ke kuilku di kaki Gunung Fu-nin di mana kau boleh menjadi nikouw (pendeta perempuan) bersama murid muridku."

Demikianlah, Li Lan ikut dengan nenek sakti itu dan beberapa bulan kemudian ia telah berada di dalam kuil Thian-hok si di dusun Tiang seng-an, di kaki gunung Fu-niu. Ia mencukur rambutnya yang indah itu menjadi seorang nikouw gundul yang tekun mempelajari ilmu kebatinan dan tekun pula bersembahyang untuk mencuci dosa-dosanya!

Tadinya hal ini dilakukan oleh Li Lan hanya karena ia tidak melihat jalan lain untuk memperbaiki keadaannya. Akan tetapi sungguh sama sekali tak pernah disangkanya, setelah ia melakukan ibadah dan mempelajari ilmu kebatinan, ia menemukan kebahagiaan jauh lebih besar daripada segala kesenangan duniawi yang dinikmatinya di rumah kapal Cia ma! Makin tekunlah ia belajar sehingga menyenangkan hati Pat jiu Toanio, bahkan sedikit demi sedikit, nenek sakti itu memberi pelajaran ilmu silat kepadanya.

********************

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Di lereng gunung Ta-pie-san, seorang pemuda tampak duduk di atas sebuah batu besar. Dia adalah Sim Tiong Han yang mengikuti jejak dan mencari adiknya, telah tiba di Wu-han dan dari sana terus ke timur dan mendaki bukit Ta-pie-san. Wajahnya yang tampan itu tampak berduka, keningnya berkerut. Berkali-kali ia menarik napas panjang, tampak kekesalan hati yang mendidih dihatinya.

Pemandangan alam yang demikian indahnya terbentang luas di hadapannya hampir tak terlihat oleh pemuda itu. Pikirannya melayang jauh tak dapat dikendalikannya, seakan-akan melayang-layang naik mega putih yang bergerak pelahan di angkasa raya.

Sungguh tidak kebetulan bagi Tiong Han, karena dengan cepatnya perjalanan yang ditempuhnya dan karena ia tidak tahu bahwa Tiong Kiat agak lama bertempat tinggal di kota I-Kiang, maka Tiong Han telah mendahului adiknya. Oleh karena ini, ia tidak mendengar tentang perbuatan-perbuatan Tiong Kiat di I-Kiang yang menggemparkan itu.

Sudah berapa hari Tiong Han berada di lereng Bukit Ta-pie-san ini. la merasa gelisah, kecewa dan juga berduka. Kemanakah ia harus mencari Tiong Kiat? Hatinya sedih bukan kepalang kalau ia teringat kepada adiknya itu. Sesungguhnya ia amat mencinta Tiong Kiat, tidak saja sebagai cinta seorang kakak kepada adiknya bahkan lebih dari itu! Semenjak kecilnya Tiong Kiat selalu bersandar kepadanya dan ia telah merasa seakan-akan menjadi pelindung dan pembela adiknya, sebagai pengganti ayah mereka.

Pada hari itu Tiong Han duduk di atas batu semenjak siang tadi. Ia tidak merasa bahwa keadaan disekelilingnya telah mulai gelap. la seakan-akan sedang berada di dunia lain, atau pada jaman lain, yakni ketika ia masih kecil. Teringatlah ia akan semua pengalamannya di puncak Liong-san yang pemandangannya hampir sama dengan Ta-pie-san ini.

Ia teringat akan segala permainan dan kesenangan yang diIakukan bersama dengan Tiong Kiat. lngatan inilah yang membuatnya Iupa akan waktu. Memang dahulu pada waktu senja hari sampai malam, di waktu terang bulan mereka berdua seringkali mengadakan permainan di lereng Gunung Liong-san. Mereka berdua suka sekali bermain-main perang-perangan saling intai dan berlaku sebagai pahlawan-pahlawan atau panglima-panglima pemimpin barisan.

Adakalanya Tiong Han mengambil kedudukan sebagai panglima tuan rumah yang terserang sedangkan Tiong Kiat sebagai panglima musuh yang datang menyerbu. Atau sebaliknya. Bukan main gembiranya kalau mereka bermain-main seperti itu. Mereka seakan-akan menjadi pahIawan besar. Sampai malam mereka bermain perang-perangan, intai mengintai di balik batu-batu karang dan semak-semak...

Pedang Ular Merah Jilid 10

PEDANG ULAR MERAH JILID 10

Kaget dan marahlah Lo Ban Tek mendengar ini. Ia kenal hartawan Li sebagai seorang yang baik hati dan dermawan, maka hal ini merupakan urusan aneh yang mau tak mau menarik perhatiannya dan membuat ia menjadi penasaran sekali. Ang coa kiam atau bukan, murid Kim liong pai atau bukan, kalau sudah melakukan pembunuhan terhadap seorang dermawan seperti Lui wangwe, harus ia selidiki dan harus turun tangan.

Demikianlah, pada pagi berikutnya, setelah berdandan mengenakan pakaian ringkas, sambil membawa senjatanya yang istimewa, yakni sebuah ruyung yang disebut Cho-kut-pian (Ruyung Tulang Ular), ia pergi ke rumah kapal. Tubuhnya yang tegap karena setiap hari dilatih memalu besi dan langkahnya yang lebar membuat semua orang memandangnya dengan heran dan tertarik. Tidak biasanya Thiat-gu Lo Ban Tek keluar dengan membawa ruyung yang mengerikan itu.

Orang itu memang pendiam dan jarang sekali bicara, kini ia berjalan dengan muka merah dan mata bersinar-sinar, sehingga orang-orang menduga tentu akan terjadi sesuatu yang menggemparkan. Dari jauh mereka mengikuti orang gagah ini dan makin tertariklah hati mereka ketika melihat seorang gagah ini langsung menuju ke rumah kapal!

Apakah si pendiam ini mau berpelesir? Tak mungkin, pikir mereka. Selama tinggal bertahun-tahun di I-kiang, Thiat gu Lo Ban Tek hanya hidup menyendiri, tiada anak istri dan tidak berkawan atau berpelesir. Setiap hari kerjanya hanya membuat golok dan tombak dijualnya dengan harga rendah, tidak memperdulikan apakah ia rugi atau untung dalam pekerjaan itu Dan sekarang, orang ini pergi menuju ke rumah kapal. Tentu saja hal ini merupakan kejadian yang menarik hati.

Pada saat itu, seperti biasa, para penjaga duduk di meja luar sambil main ma ciok. Juga tiga orang kepala penjaga, Ma kauwsu, Cin kauwsu dan Kwee kauwsu, duduk di situ sambil mengobrol. Mereka sedang membicarakan tentang pembunuhan atas diri Lui-wangwe dan betapa pun juga, mereka menjadi gelisah dan kuatir sekali. Tiba-tiba seorang tinggi besar yang berwajah garang berdiri agak jauh di luar pekarangan rumah kapal dan terdengar suaranya yang mengguntur.

"Orang-orang rendah dan kotor! Suruh Ang coa kiam keluar, aku hendak bicara dengan dia!"

Ma-kauwsu dan kedua orang adiknya segera mengenal orang ini sebagai pandai besi Lo Ban Tek. Telah beberapa kali ketiga orang guru silat ini memesan senjata kepadanya, dan dalam perkenalan mereka, belum pernah pandai besi ini menyatakan bahwa ia mengerti ilmu silat. Dan kini ia berdiri di situ menantang Ang coa kiam Sim Tiong Kiat sambil memegang sebuah ruyung yang aneh bentuknya!

“Eh, saudara Lo, kau kenapakah? Kalau ada keperluan, datanglah ke sini. Kita boleh mengobrol, mengapa berteriak-teriak di tengah jalan!” Ma kauwsu menegur sambil bangkit dari tempat duduknya.

“Tidak usah banyak bicara!” Lo Ban Tek membentak dengan marah. “Siapa sudi...

(Ada bagian yang hilang lagi nih...! Maaf ya!)

Hayo kalian anjing-anjing penjaga beritahu kepada Ang Coa kiam dan minta dia keluar. Kalau tidak, aku akan menyeretnya sendiri keluar!”

Bukan main marahnya Ma kauwsu dan ketidak orang adiknya. Mereka bertiga merupakan jagoan-jagoan yang disegani dan ditakuti di kota I-Kiang. Para hartawan dan bangsawan pun tidak berani bicara kasar terhadap mereka. Sekarang ada seorang pandai besi biasa berani memaki dan menyebut mereka anjing-anjing penjaga, tentu saja mereka merasa panas dalam perut!

“Pandai besi hinadina she Lo! Apakah otakmu sudah menjadi miring? Ataukah kau sudah bosan hidup” bentak Ma kauwsu yang segera melompat keluar menghampiri pandai besi itu, diikuti oleh dua orang adiknya.

“Kalian ini kecoa-kecoa busuk yang makan uang kotor, janganlah ikut campur!" teriak Lo Ban Tek makin marah. "Panggil saja jai-hwa-cat she Sim itu keluar dan kalian pergilah jauh-jauh jangan sampai terkena senjata yang tak bermata!"

Akan tetapi mana tiga orang jagoan ini takut menghadapi seorang pandai besi yang kasar? Terutama sekali Kwee kauwsu yang amat memandang rendah pandai besi itu. Tanpa menggunakan senjata, Kwee kauwsu lalu melompat maju dan mengirim pukulan ke arah dada Lo Ban Tek sambil berseru,

"Pergilah orang gila!"

Pukulan ini adalah gerak tipu Go-houw pok-it (Macan Lapar Tubruk Makanan) dan dilakukan dengan tenaga gwakang yang sedikitnya mengandung kekuatan dua ratus kati! Kwee kauwsu berpikir bahwa jangankan menangkis dengan tangan, biarpun dengan ruyung aneh itu, tetap saja pandai besi ini akan jatuh terpelanting oleh pukulannya yang berat itu.

Akan tetapi, terdengar pandai besi itu mengeluarkan suara ejekan dalam tenggorokan dan begitu kepalan tangan lawan menyambar secepat kilat ia miringkan tubuh ke kiri, agak merendah, dan jari jari tangan kirinya menyodok ke arah lambung lawan.

"Ngekkk...!"

Kwee kauwsu merasa seakan-akan ususnya dipotong, ia sampai berjingkrak ke atas saking sakitnya dan begitu tubuhnya meninggi karena menahan sakit, kaki kiri Lo Ban Tek diayun tepat mengenai pantatnya.

"Blekkk!" tubuh Kwee kauwsu tertendang ke atas bagaikan sebuah bal karet terapung oleh tendangan anak kecil.

Setelah berputar beberapa kali, tubuh itu jatuh kembali ke atas tanah dengan pantat di bawah. Suara jatuhnya menimbulkan suara keras dan guru silat itu duduk seakan-akan tubuh belakangnya telah berakar. Hanya mukanya saja meringis-ringis bagaikan monyet mencium kotoran, tertawa tidak menangispun bukan!

Bukan main sakitnya pantat yang beradu keras dengan tanah kering itu. Tentu saja kejadian ini amat mengagetkan Ma kauwsu dan Cin kauwsu, karena sama sekali berada di luar dugaan mereka. Cin kauwsu lalu menghampiri adiknya membetot tangannya sehingga Kwee kauwsu dapat berdiri lagi. Kemudian mereka bertiga lalu mencabut golok masing-masing dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi ketiganya menyerbu!

Gerakan Ma kauwsu dan Cin-kauwsu amat ganas dan cepat, hanya Kwee kauwsu saja yang masih agak terpincang-pincang dan merasa seakan-akan di tubuh belakangnya digantungi beban yang berat sekali.

"Bangsat rendah, apakah kalian bertiga benar benar bosan hidup?" bentak Lo Ban Tek. "Apakah kalian bertiga benar benar hendak melindungi dan membantu seorang penjahat besar yang mengacau di kota sendiri? Mundurlah, aku Thiat-gu Lo Ban Tek tidak mencari permusuhan dengan kalian! Kalian bukan lawanku. Lihat!"

Sambil berkata demikian, Si Kerbau Besi ini lalu menghampiri sebuah batu besar yang banyak terdapat di pinggir sungai dan sekali ia mengayun Coa-kut-pian di tangannya, batu itu telah kena dihantam sehingga menerbitkan suara keras dan menimbulkan bunga api berpijar. Ketika tiga orang guru silat itu memandang, ternyata bahwa batu besar itu telah kena dipukul pecah!

Bukan main terkejut hati mereka. Bagaimana batu sebesar itu dapat dipukul pecah hanya dengan sekali pukulan, menggunakan sebatang ruyung pula? Mereka bertiga, biarpun diberi palu atau kampak yang beratnya seratus kati, belum tentu dapat memecahkan batu itu dengan seratus kali pukul! Oleh karena kaget dan kagum, mereka hanya berdiri tertegun, sama sekali tidak berani maju. Apalagi mereka juga terpengaruh oleh kata kata pandai besi itu. Kalau mereka tetap membela Ang coa kiam, tentu mereka akan dimusuhi oleh orang.orang seluruh kota, apalagi akan menghadapi pembesar-pembesar, ah berat juga!

Pada saat itu terdengar seruan nyaring dari dalam rumah kapal. "Anjing kelaparan dari manakah berani mengacau dan menantangku?"

Baru habis ucapan itu dikeluarkan, orangnya telah berkelebat keluar dan Tiong Kiat sudah berdiri dihadapan Thiat gu Lo Ban Tek dengan pedang Ang-coa-kiam di tangan. Berdebar juga hati Lo Ban Tek menyaksikan ginkang yang luar biasa dari pemuda tampan ini. la memandang dengan penuh perhatian. Ternyata bahwa pemuda ini amat cakap, gagah dan tampan, berpakaian serba biru yang indah sekali. Juga pedang di tangan pemuda ini benar-benar Ang-coa-kiam, pedang pusaka Kim-liong-pai, karena Lo Ban Tek pernah mendengar penuturan tokoh Kun-lun-pai tentang pusaka ini.

"Anak muda, kau sungguh berani mati sekali mempergunakan nama Ang-coa-kiam dan Kim Liong pai untuk melakukan kejahatan. Apakah kau tidak takut akan hukuman yang bisa dijatuhkan oleh Lui Thian Sianjin kepadamu? Aku tidak percaya bahwa kau adalah anak murid Kim Iiong pai dan dari manakah kau dapat mencuri Ang coa kiam itu?"

Sim Tiong Kiat tersenyum mengejek. "Bukan salahku kalau matamu kurang awas! Aku Sim Tiong Kiat, adalah murid dari Lui Thian Sianjin yang paling pandai dan akulah yang mewakili Kim-liong-pai. Bukankah Ang-coa-kiam di tanganku ini menjadi bukti terkuat?"

"Aku tetap tidak bisa percaya. Seorang murid Kim-liong-pai, apalagi yagg sudah dipercayai untuk memegang Ang-coa-kiam, harus mempergunakan pokiam (pedang pusaka) dan kepandaian untuk menjadi seorang pendekar, menolong orang-orang lemah dan menindas kejahatan, sesuai dengan pesanan mendiang Bu Beng Sianjin, sucouw dari Kim-liong-pai. Akan tetapi kau ini, perbuatan terkutuk apa saja yang telah kaulakukan?"

Tertegun juga hati Tiong Kiat mendengar betapa orang kasar ini agaknya mengenal baik gurunya dan keadaan Kim-Iiong-pai, maka sebelum ia menggerakkan pedangnya, ia bertanya,

"Siapakah kau, hai manusia kasar yang bosan hidup? Siapa kau yang berpura-pura mengerti tentang keadaan Kim-liong-pai?"

"Mengapa aku tidak mengerti keadaan Kim Liong pai? Aku adalah murid Kim kong Tianglo di Kun lun san dan namaku adalah Lo Ban Tek! Kuulangi lagi, orang she Sim, Jangan kau sembarangan memalsukan nama Kim-liong-pai."

Di dalam hatinya, Tiong Kiat terkejut juga mendengar bahwa orang kasar ini adalah murid dari Kim Kong Tianglo, karena sesungguhnya orang tua ini memang benar benar seorang tokoh Kun-Iun-pai dan menjadi sahabat baik dari Lui Thian sianjin. Bahkan sudah beberapa kali ini bertemu dengan tokoh Kun-lun-pai itu ketika Kim Kong Tianglo mengunjungi suhunya di Liong-san. Maka ia menahan kesabarannya dan tidak hendak mencelakakan murid Kim Kong Tianglo ini.

"Saudara Lo, kalau begitu kita bukanlah orang luar! Aku kenal baik dengan suhumu. Dengarlah, jangan kau menduga yang bukan-bukan. Perbuatanku yang manakah yang tidak menyenangkan hatimu?"

Lo Ban Tek tersenyum mengejek. "Tempat yang kau pilih untuk tinggal ini saja sudah dapat mencemarkan nama baikmu."

"Apa?" Tiong Kiat mencela marah, "Lo Ban Tek, biarpun guru kita menjadi sahabat baik, akan tetapi kau belum berhak untuk menegurku dalam hal ini. Kita adalah orang-orang lelaki, untuk mencari hiburan dan pelesiran apakah salahnya? Apakah perbuatan ini merugikanmu? Atau merugikan orang Iain? Saudara Lo, kalau kau merasa iri hati, marilah ikut aku, kuperkenalkan dengan bidadari-bidadari rumah kapal. Tak perlu urusan macam ini menimbulkan bentrokan diantara kita..."

"Cih! Aku bukanlah orang macam itu! Aku tidak meributkan urusan cabul! Aku datang hendak bertanya kepadamu mengapa kau membunuh Lui-wangwe dan puteranya? Apakah hal ini kau anggap satu perbuatan baik dan patut pula!"

"Lebih dari patut dan baik pula?" jawab Tiong Kiat dengan sikap menantang. "Anjing tua dan muda she Lui itu memang sudah sepatutnya dibunuh! Mereka telah berlaku kurang ajar dan merusak kehidupan seorang gadis yakni nona Li Lan yang kini terpaksa menjadi seorang yang melakukan pekerjaan ini! Apakah orang-orang semacam ini tidak boleh di bunuh?"

"Dari siapakah kau mendengar akan obrolan itu? Tentu dari mulut perempuan busuk itu bukan? Ha ha ha? Orang she Sim, ternyata kau benar-benar tidak tahu mana yang baik mana yang busuk! Ketahuilah bahwa kalau ada dendam diantara perempuan kotor itu dengan keluarga Lui, maka dendam ini timbul karena kejahatan si perempuan yang kau bela mati-matian itu! Memang, dulu dia adalah seorang pelayan dari keluarga Lui. Kemudian dia bermain gila dengan Lui kongcu, bahkan berani bermain gila dengan pelayan-pelayan laki-laki yang ada di rumah itu! Lui wangwe menjadi marah dan mengusirnya, bahkan ketika diusir, ia diberi uang secukupnya, dibebaskan dan diperbolehkan pergi ke mana juga atau menikah dengan siapapun juga. Hal ini bagi orang yang tinggal di kota I-kiang, siapakah yang tidak tahu? Dan kau percaya bahwa dia dipermainkan oleh Lui wangwe? Ha ha ha! benar-benar kau telah mabok oleh kecantikan palsu, mabok oleh bedak tebal dan gincu merah!"

"Bangsat, tutup mulutmu!" Tiong Kiat yang terkejut dan malu itu menjadi marah sekali.

"Orang she Sim, kau memang patut dilenyapkan dari permukaan bumi ini. Biarlah aku Lo Ban Tek mewakili suhumu memberi hukuman kepadamu!"

Sambil berkata demikian Lo Ban Tek menangkis serangan Tiong Kiat dengan ruyungnya. Melihat betapa orang kasar itu berani menangkis pedangnya, Tiong Kiat menjadi girang karena mengira bahwa ruyung itu tentu akan putus. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dua senjata itu beradu keras, ruyung itu sama sekali tidak terbabat putus, bahkan dari benturan tadi ia dapat mengetahui bahwa tenaga Iawannya ini benar-benar besar dan tidak boleh dipandang ringan! Maka ia lalu berseru keras dan begitu ia mainkan ilmu pedang Ang coa-kiam-sut yang hebat, pedangnya bergerak cepat, merupakan gelombang sinar pedang yang luar biasa sekali.

Lo Ban Tek terkejut dan kini ia tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda ini memang benar murid Kim-liong-pai yang pandai. "Hm, kau benar-benar murid Kim-liong-pai! Kalau kau bukan murid Kim-liong-pai, masih tidak apa, kau hanya seorang bangsat kecil saja. Akan tetapi seorang murid Kim-liong-pai dapat tersesat begini rupa, ah aku harus mengadu jiwa dengan kau.” Ia pun mainkan ruyungnya dengan ilmu silat Kun-lun-pai yang lihai. Gerakan ruyungnya cepat dan kuat, dapat mengimbangi gerakan pedang lawannya.

Hebat sekali jalannya pertandingan ini, sehingga tiga orang guru silat Ma, Cin dan Kwee berdiri bagaikan patung dan menonton dengan bengong! Kepandaian Ang-Coa-kiam Sim Tiong Kiat sudah dapat mereka duga tingginya, akan tetapi yang membikin mereka terheran-heran adalah kepandaian tukang besi itu!

Siapa kira bahwa di I-kiang terdapat seorang pendekar yang demikian tinggi ilmu silatnya yang selama ini mereka kenal sebagai Lo Ban Tek pandai besi yang sederhana dan kasar belaka! Maka malulah ketiga orang itu, karena kalau ilmu kepandaian mereka yang mereka sombongkan itu dibandingkan dengan kepandaian dua orang ini mereka boleh dibilang masih anak-anak!

Thiat-gu Lo Ban Tek bertempur dengan penuh semangat dan gerakannya nekad sekali. Akan tetapi Tiong Kiat masih merasa ragu-ragu dan bertempur hanya untuk membela diri saja. Pemuda ini masih merasa sungkan untuk merobohkan murid Kun-lun-pai ini, ia gentar juga menghadapi akibat-akibatnya. Kalau sampai ia menanam bibit permusuhan dengan Kun lun pai, hidupnya takkan tenteram lagi!

Akan tetapi mau tidak mau ia terpaksa harus mengerahkan kepandaiannya, karena Lo Ban Tek menyerangnya bagaikan seekor harimau mengamuk. Ruyung Coa kut-pian itu tidak boleh dipandang ringan. Selain digerakkan dengan ilmu silat istimewa, juga tenaga orang she Lo ini besar sekali sehingga sekali saja kena terpukul ruyung ini berarti bahaya maut bagi Tiong Kiat!

Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Lo Ban Tek melakukan serangan yang luar biasa sengitnya. Ruyungnya menyambar dan menyerampang lambung Tiong Kiat. Ketika pemuda ini menangkis ruyung itu tiba-tiba menyambar ke arah kedua kakinya sehingga Tiong Kiat terkejut sekali. Cepat pemuda ini mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk melompat ke atas sehingga tubuhnya mumbul dengan indahnya.

Akan tetapi kembali Lo Ban Tek melangkah maju dan kini ia memukulkan ruyungnya dengan gerak tipu Dewa Awan Menangkap Bintang. Serangan ini dilakukan ketika tubuh Tiong Kiat masih terapung di udara, maka hebat dan berbahayanya dapat dibayangkan sendiri!

Namun kini Tiong Kiat juga sudah menjadi panas kepalanya. Ia tidak bisa mengalah terus dan harus memperlihatkan kepandaiannya. Biarpun ia masih berada di udara, namun kedudukan tubuhnya masih dalam kuda-kuda yang sempurna. Melihat ruyung menyambar, ia segera menggerakkan pedangnya menangkis dan cepat kaki kirinya membarengi mengirim tendangan ke arah pergelangan tangan Lo Ban Tek.

Lo Ban Tek merasa tangannya menjadi kaku dan sakit sekali karena tendangan yang secepat kilat dan tidak disangkanya itu, tidak dapat dielakkan. la buru-buru menarik kembali senjatanya, akan tetapi pada saat itu, Tiong Kiat sudah turun ke atas tanah dan ujung pedangnya menyambar merupakan cahaya merah menuju tenggorokan Lo Ban Tek!

Orang she Lo ini berseru ngeri karena merasa bahwa nyawanya tentu takkan tertolong lagi. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa sakit pada pundak kirinya yang tertusuk pedang dan ternyata bahwa Tiong Kiat pada saat yang tepat telah mengubah gerakan pedangnya sehingga tidak menusuk tenggorokan lawan, akan tetapi mencong dan melukai pundaknya!

"Lo Ban Tek, mengingat bahwa kau masih ada hubungan persahabatan dengan aku, maka memandang muka suhumu, aku ampunkan nyawamu! Lebih baik kita sudahi pertempuran ini!"

Akan tetapi kalau pemuda itu mengira bahwa Lo Ban Tek tentu akan menjadi gentar dan kapok, ia keliru besar. Orang she Lo ini bahkan menjadi makin marah. Dengan mata mendelik ia membentak,

"Jahanam durhaka! Kau kira aku orang she Lo takut mati? Lebih baik aku mati dalam usahaku melenyapkan iblis macam engkau dari muka bumi, daripada hidup melihat engkau melakukan kejahatan tanpa terhukum!"

Setelah berkata demikian, kembali ruyungnya menyambar dan kali ini dengan serangan nekad tanpa memperhitungkan penjagaan diri lagi! Tiong Kiat terkejut sekali. Sama sekali tak diduganya bahwa orang ini akan menjadi demikian nekad, terpaksa ia menangkis dengan pedangnya dan membalas dengan keras. Pedangnya meluncur ke depan dan tak dapat dicegah lagi menancap di dada Lo Ban Tek.

Si Kerbau Besi ini tidak mengelak sedikitpun juga, ruyungnya masih dipegang kencang ketika tubuhnya terguling dan darah mengucur dari dadanya. Ia menghembuskan napas terakhir dengan ruyung masih di tangan kanan dan muka masih mendelik memandang kepada Tiong Kiat!

Pemuda ini bergidik dan ia merasa menyesal sekali. Diambilnya saputangan dan ditutupkannya saputangan itu di atas muka Lo Ban Tek, menghela napas berulang-ulang. Ia telah membunuh dengan terpaksa dan bagaimana baiknya sekarang? Orang orang Kun-lun-pai tentu akan memusuhinya, biarpun ia tidak takut, akan tetapi hal itu hanya akan membuat hidupnya menjadi tidak tenteram.

Rasa menyesal dan kecewa ini membuat mukanya menjadi merah, dadanya terasa sakit. la marah sekali, marah kepada Lo Ban Tek yang memaksa dia melakukan pembunuhan, marah kepada dirinya sendiri dam kepada semua orang.

"Kionghi taihiap, kionghi! ilmu silatmu hebat sekali!"

Tiba-tiba ia mendengar pujian dan pemberian selamat yang membuat sadar dari lamunannya. Ketika ia menengok, ia melihat tiga orang guru silat itu telah menghampirinya dan memberi selamat sambil menyeringai mencari muka. Ia merasa sebal sekali. Kedua kakinya cepat bergerak bergantian dan tubuh tiga orang guru silat terlempar jauh. Mereka mengaduh-aduh dengan perasaan sakit, takut dan kaget.

Kemarahan Tiong Kiat memuncak. Ia menganggap rumah kapal dan sekalian isinya adalah tempat sial, yang membuat ia melakukan pembunuhan pada anak murid Kun-lun-pai. Apalagi kalau ia teringat akan ucapan Lo Ban Tek yang masih berdengung di telinganya, bahwa sesungguhnya keluarga Lui-wangwe yang dibunuhnya itu tidak berdosa. Bahwa sebaliknya Li Lan yang bersalah dan yang menghasut kepadanya.

Kemarahannya makin memuncak lagi. Ia berlari memasuki rumah kapal itu. Pintu ditendangnya sampai jebol. Sebuah tihang yang berada di depannya dibabat dengan pedang Ang coa kiam sehingga putus dan genteng bagian atasnya roboh ke dalam air. Cia-ma berlari lari keluar, akan tetapi begitu tiba di depan pemuda itu Tiong Kiat menjambak rambutnya dan sekali ia menggerakkan tangan, tubuh nenek itu terlempar keluar jendela dan...

"Byuurr...!" tubuh itu jatuh ke dalam air sungai Yang-ce, diiringi pekik mengerikan dari nenek itu.

Bagaikan seorang gila, Tiong Kiat merusak dan menghancurkan perabot rumah yang baik-baik, dan tiap kali ia bertemu dengan seorang gadis dalam rumah itu, tangannya bergerak menjambak rambut dan melemparkan gadis itu ke dalam air melalui jendela! Sebentar saja habislah semua orang dilempar-lemparkan ke dalam air, sehingga sibuklah orang-orang di bawah untuk menolong 'bidadari-bidadari' itu keluar dari air.

Mereka kini tidak kelihatan sebagai bidadari-bidadari kahyangan lagi, akan tetapi sebaliknya sebagai seorang setan air yang mengerikan. Rambut basah awut-awutan, riap-riapan menutupi muka yang tidak berbedak lagi, muka yang kini tampak pucat, kebiru-biruan bibir dan sekitar matanya, muka yang cowong dengan kulit muka yang kasar karena setiap hari dimakan bedak!

Orang terakhir yang dijumpai oleh Tiong Kiat di rumah itu adalah Li Lan. Gadis ini berdiri dengan wajah pucat, akan tetapi tidak takut sama sekali. la sengaja melepaskan rambutnya yang kini bergantungan di sekitar leher dan pundaknya. Bajunya Iepas-lepas sehingga nampak leher dan pundak yang putih halus. Gadis ini tahu betul bahwa Tiong Kiat amat mengagumi rambutnya yang panjang, halus dan harum, maka siasat terakhir untuk menggunakan kecantikannya ini ia lakukan.

"Perempuan hina! Jadi kau telah menipuku, ya! Aku telah tertipu sehingga membunuh orang-orang yang tidak berdosa!"

"Bagimu tidak berdosa kongcu, akan tetapi bagiku mereka berdosa besar. Kalau Lui wangwe tidak mengusirku, keadaanku takkan menjadi begini!" jawab gadis itu dengan suara memilukan.

"Kau telah membohong! Kau katakan mereka mengganggumu, tidak tahunya kaulah yang mengganggu ketenteraman rumah tangga mereka! Kau perempuan cabul, perempuan rendah. Kubunuh kau!”

"Bunuhlah, kongcu, bunuhlah. Kalau orang satu-satunya seperti engkau yang kucinta sepenuh jiwaku telah membenciku, untuk apakah aku lebih lama hidup di dunia ini?” Ia menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. ”Bunuhlah…”

Tiong Kiat mengangkat pedangnya, akan tetapi melihat keadaan Li Lan, lemaslah tangannya dan pedang itu bahkan disarungkannya kembali. Ia lalu maju dan menjambak rambut Li Lan, dipaksanya berdiri akan tetapi tidak dilemparkan keluar seperti orang-orang lain, bahkan lalu dipondongnya dan di bawanya lari! Ia berlari cepat sekali keluar dari rumah kapal itu, ditonton oleh semua orang yang sama sekali tidak berani bergerak!

Gegerlah kota I-kiang karena peristiwa ini. Pembesar pembesar datang membawa tentara akan tetapi penjahat muda itu telah lari jauh dan orang tidak tahu kemana perginya. Masih baik nasib Ma kauwsu, Cin kauwsu dan Kwee kauwsu. Karena mereka bertiga tadi ditendang oleh Ang-coa-kiam Sim Tiong Kiat sampai terguling-guling, maka mereka tidak dianggap kawan penjahat muda itu dan dibebaskan oleh para pembesar! Kalau saja mereka tidak ditendang oleh Tiong Kiat tentu mereka akan ditangkap dengan dakwaan kawan-kawan dari Ang-coa-kiam!

Tiong Kiat melarikan diri sambil menggendong Li Lan. la pergi secepatnya dari I-kiang dan ia menuju ke utara, Li Lan menangis terisak-isak dalam pondongannya. Gadis itu tiada hentinya menyesali nasib dirinya.

Peribahasa kuno menyatakan bahwa, kalau hendak menguji kesetiaan sejati, lihatlah sikap seorang dalam keadaan sengsara. Banyak sahabat-sahabat yang tadinya menyanjung-nyanjung kita akan memalingkan muka dan berpura-pura tidak kenal lagi apabila keadaan kita menjadi sengsara.

Demikian pula dengan cinta kasih. Dapat diukur apabila sepasang merpati berada dalam keadaan sengsara dan jauh dari kesenangan. Cinta kasih tidak mengenal keadaan, tidak mengenal kesengsaraan, tetap murni bagaikan emas, biarpun terjatuh di dalam lumpur kotor, tetap cemerlang dan mengkilap!


Akan tetapi cinta kasih gadis macam Li Lan beda lagi. Dahulu ia memang mencinta Tiong Kiat sepenuh jiwa raganya, karena Tiong Kiat adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah. Terutama sekali karena pemuda ini dapat memberi hadiah barang berharga apa saja yang dikehendakinya. Akan tetapi sekarang semua benda itu ditinggalkan, dan bahkan kini mereka melakukan perantauan tanpa tujuan, berjalan jauh dengan keadaan miskin dan sengsara sekali.

Dalam keadaan macam ini lunturlah semua rasa cinta dari hati Li Lan. la mulai cemberut dan mengomel panjang pendek. Berkeluh-kesah menyesali nasibnya. Setiap hari ia menangis sambil memijati kakinya yang terasa pegal dan lelah sekali. Tadinya Tiong Kiat merasa kasihan juga, akan tetapi beberapa hari kemudian, ia menjadi mendongkol.

Pemuda mata keranjang macam dia mempunyai sifat pembosan. Kini Li Lan tidak pernah berhias, tidak pernah memakai minyak kembang dan pakaiannyapun tidak karuan. Kalau tadinya sedikit-sedikit cacat dapat ditutup oleh hiasan bedak dan gincu, kini terbuka sama sekali. Manusia manakah yang tidak bercacad? Memang dalam keadaan biasa, cacad pada kulit muka dapat ditutup dan diperindah dengan alat-alat kecantikan, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, cacad itu menjadi terbuka dan nampak nyata!

Setelah kini melihat Li Lan tidak berhias, alangkah kecewanya hati Tiong Kiat. Kecewa bahwa ia telah membawa gadis ini! Ternyata jauh sekali apabila dibandingkan dengan gadis yang dulu ditolongnya di rimba raya. Bahkan kalau diperhatikan betul, masih cantik Kui Hwa sumoinya itu dari pada gadis pesolek ini. Kecantikan Kui Hwa adalah sewajarnya, karena semenjak kecil gadis ini tidak pernah bersolek, adapun kecantikan Li Lan selalu dibantu oleh bedak dan gincu dan minyak wangi!

Mulailah Tiong Kiat marah-marah dan memaki Li Lan yang dianggapnya merupakan beban baginya! Dan mulailah Li Lan menangis terisak-isak menyesali perbuatannya yang dimulai semenjak berada di rumah keluarga Lui menjadi pelayan! Kalau saja ia dahuIu tidak melakukan perbuatan sesat, mungkin keluarga yang budiman itu telah mengawinkan dengan seorang pemuda yang baik dan ia telah menjadi seorang istri dan ibu yang bahagia!

Pada suatu hari di dalam hutan, ketika Li Lan menyatakan telah lelah sekali dan hendak beristirahat, kembali Tiong Kiat membentak-bentaknya. Li Lan menjatuhkan diri di bawah pohon dan menangis tersedu-sedu. Dahulu Tiong Kiat akan memondongnya, akan tetapi sekarang, menyatakan lelah saja dibentak-bentak. Di dalam hutan yang sunyi itu hanya terdengar suara tangisan Li Lan dan bentakan-bentakan Tiong Kiat.

"Perempuan tak tahu diri, perempuan pembawa celaka! Kalau tidak karena kau, aku tak usah lari-lari seperti ini. Kalau kau tidak ikut aku akan dapat melakukan perjalanan lebih cepat lagi."

"Sim kongcu..." kata Li Lan sambil megap-megap karena menahan tangisnya, "kalau aku menjadi beban... kenapa tidak kau bunuh saja...? Bunuhlah aku kongcu... agar aku terhindar dari siksaan lahir dan batin ini..."

"Kalau kau laki laki, sudah dari kemarin kubunuh! Aku seorang laki-laki sejati, tidak sudi membunuh perempuan macam kau!"

"Ah, dunia sudah kacau balau!" tiba-tiba terdengar suara halus dan tahu-tahu seorang wanita tua yang bertongkat panjang berbentuk kepala naga telah berdiri tak jauh dari mereka. "Dahulu laki-laki selalu bersikap lemah lembut terhadap wanita, akan tetapi anak-anak muda sekarang demikian kasar dan kejamnya!"

Tiong Kiat terkejut. Ia memandang dengan perhatian, akan tetapi tidak mengenal siapa adanya nenek yang berambut putih ini. "Nenek tua, mengapa kau mencampuri urusan orang lain? Kalau kau kasihan kepada wanita celaka ini, bawalah dia pergi. Aku tidak butuh lagi padanya!"

Ketika Li Lan melihat nenek itu, ia segera berlari terhuyung menghampirinya dan berlutut di hadapan nenek itu sambil menangis. "Suthai... Tolonglah aku, bawalah aku... aku tak tahan lagi hidup menderita begini…!”

"Kasihan kau anak yang tersesat jauh..." nenek itu berkata sambil mengelus-elus kepala Li Lan. "Baiklah kau membersihkan diri dan batin di dalam kuilku."

Mendengar ucapan ini, Tiong Kiat tertawa girang. "Bagus, bagus! Nenek tua kau telah berjasa padaku. Memang perempuan ini perlu dibersihkan! Ha ha ha!"

"Orang muda, kau tidak lebih bersih dari pada wanita ini! Kalau kau tidak kembali ke jalan benar, kaupun akan menderita bencana besar!"

Sepasang mata nenek itu memandangnya dengan tajam sekali sehingga ketika pandang mata mereka bertemu, terkejutlah Tiong Kiat. Seperti bukan mata manusia, pikirnya dengan seram. Untuk menenteramkan hatinya, pemuda ini mencabut pedangnya dan berkata tertawa-tawa sambil menggerak-gerakkan pedang itu.

"Ha ha ha! Dengan pedang dan tenaga ditangan, siapa akan dapat menggangguku?"

Tiba-tiba berobahlah wajah nenek itu ketika melihat pedang di tangan Tiong Kiat. "Ang-coa-kiam...!" serunya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat.

Tiong Kiat terkejut sekali melihat gerakan tubuh nenek ini, karena tahu-tahu nenek ini telah berada di hadapannya.

"Bagus, jadi kaukah orangnya yang mengotorkan Ang-coa-kiam, pedang pusaka dari kim-liong-pai?”

"Siapakah kau yang mengenal pedangku?” tanya Tiong Kiat dengan wajah pucat.

"Orang durhaka! Pat-Jiu Toanio sudah berada di hadapanmu, kau masih tidak mengenalnya?”

Begitu mendengar nama ini, Tiong Kiat tidak membuang-buang waktu lagi dan cepat sekali pedangnya menusuk dada nenek itu! Ia sudah mendengar nama nenek ini. Karenanya tahu bahwa Pat-jiu toanio adalah sahabat baik dari para tokoh Kun-lun-pai dan juga sahabat baik suhunya di Liong-san, ia mengira bahwa nenek ini tentu akan membunuhnya. Oleh karena itu ia lalu mendahuluinya dan mengirim tusukan maut!

Tiong Kiat sama sekali tidak pernah mengira bahwa ilmu kepandaian nenek ini luar biasa tingginya bahkan setingkat lebih tinggi dari pada kepandaian Lui Thian Sianjin sendiri!

Melihat berkelebatnya sinar pedang yang kemerahan, nenek ini lalu menggerakkan tongkatnya dan sekali tangkis saja pedang Ang-coa-kiam hampir saja terlepas dari pegangan Tiong Kiat!

Pemuda ini cepat melompat mundur, kemudian dengan marah sekali ia lalu menyerang lagi. Kembali pedangnya ditangkis hampir terlepas dari pegangan. Aneh sekali nenek itu nampaknya tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan tongkatnya hanya digerakkan perlahan dan lambat, namun setiap serangannya dapat ditangkis sekaligus!

Gentarlah hati Tiong Kiat menghadapi nenek yang sakti ini. Dengan muka merah karena malu dan marah, pemuda ini tanpa mengeluarkan sepatah katapun lalu melompat jauh dan pergi dari hutan itu. Pat jiu Toanio tidak mengejarnya, hanya menarik napas panjang dan berkata,

"Sayang, sayang...! Dia seorang murid yang baik sekali, sayang imannya lemah, sungguh merupakan periok yang indah akan tetapi terbuat daripada bahan yang lemah dan lapuk."

la lalu menghampiri Li Lan yang masih berlutut di atas tanah. "Coba kau ceritakan segala pengalamanmu dengan pemuda itu. Mukamu yang cantik penuh bayangan gelap, dosamu yang besar hanya dapat kau bersihkan dengan pencucian diri menjadi seorang pendeta."

Sambil terisak-isak Li Lan lalu menceritakan tentang pengalamannya, tidak ada yang disembunyikan, bahkan ia menceritakan pula tentang dosa-dosanya, betapa ia telah membujuk dan menghasut Tiong Kiat untuk membunuh keluarga Lui-Pat-jiu Toanio mendengarkan penuturan ini dengan kening berkerut. Setelah gadis itu selesai menuturkan semua pengalamannya, ia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata,

"Menurut patut, kau harus dihukum seberat-beratnya. Hukuman lahir masih terlampau ringan bagimu, akan tetapi melihat bahwa kau telah menerima hukuman batin, aku akan menerimamu. Marilah kau ikut aku ke kuilku di kaki Gunung Fu-nin di mana kau boleh menjadi nikouw (pendeta perempuan) bersama murid muridku."

Demikianlah, Li Lan ikut dengan nenek sakti itu dan beberapa bulan kemudian ia telah berada di dalam kuil Thian-hok si di dusun Tiang seng-an, di kaki gunung Fu-niu. Ia mencukur rambutnya yang indah itu menjadi seorang nikouw gundul yang tekun mempelajari ilmu kebatinan dan tekun pula bersembahyang untuk mencuci dosa-dosanya!

Tadinya hal ini dilakukan oleh Li Lan hanya karena ia tidak melihat jalan lain untuk memperbaiki keadaannya. Akan tetapi sungguh sama sekali tak pernah disangkanya, setelah ia melakukan ibadah dan mempelajari ilmu kebatinan, ia menemukan kebahagiaan jauh lebih besar daripada segala kesenangan duniawi yang dinikmatinya di rumah kapal Cia ma! Makin tekunlah ia belajar sehingga menyenangkan hati Pat jiu Toanio, bahkan sedikit demi sedikit, nenek sakti itu memberi pelajaran ilmu silat kepadanya.

********************

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Di lereng gunung Ta-pie-san, seorang pemuda tampak duduk di atas sebuah batu besar. Dia adalah Sim Tiong Han yang mengikuti jejak dan mencari adiknya, telah tiba di Wu-han dan dari sana terus ke timur dan mendaki bukit Ta-pie-san. Wajahnya yang tampan itu tampak berduka, keningnya berkerut. Berkali-kali ia menarik napas panjang, tampak kekesalan hati yang mendidih dihatinya.

Pemandangan alam yang demikian indahnya terbentang luas di hadapannya hampir tak terlihat oleh pemuda itu. Pikirannya melayang jauh tak dapat dikendalikannya, seakan-akan melayang-layang naik mega putih yang bergerak pelahan di angkasa raya.

Sungguh tidak kebetulan bagi Tiong Han, karena dengan cepatnya perjalanan yang ditempuhnya dan karena ia tidak tahu bahwa Tiong Kiat agak lama bertempat tinggal di kota I-Kiang, maka Tiong Han telah mendahului adiknya. Oleh karena ini, ia tidak mendengar tentang perbuatan-perbuatan Tiong Kiat di I-Kiang yang menggemparkan itu.

Sudah berapa hari Tiong Han berada di lereng Bukit Ta-pie-san ini. la merasa gelisah, kecewa dan juga berduka. Kemanakah ia harus mencari Tiong Kiat? Hatinya sedih bukan kepalang kalau ia teringat kepada adiknya itu. Sesungguhnya ia amat mencinta Tiong Kiat, tidak saja sebagai cinta seorang kakak kepada adiknya bahkan lebih dari itu! Semenjak kecilnya Tiong Kiat selalu bersandar kepadanya dan ia telah merasa seakan-akan menjadi pelindung dan pembela adiknya, sebagai pengganti ayah mereka.

Pada hari itu Tiong Han duduk di atas batu semenjak siang tadi. Ia tidak merasa bahwa keadaan disekelilingnya telah mulai gelap. la seakan-akan sedang berada di dunia lain, atau pada jaman lain, yakni ketika ia masih kecil. Teringatlah ia akan semua pengalamannya di puncak Liong-san yang pemandangannya hampir sama dengan Ta-pie-san ini.

Ia teringat akan segala permainan dan kesenangan yang diIakukan bersama dengan Tiong Kiat. lngatan inilah yang membuatnya Iupa akan waktu. Memang dahulu pada waktu senja hari sampai malam, di waktu terang bulan mereka berdua seringkali mengadakan permainan di lereng Gunung Liong-san. Mereka berdua suka sekali bermain-main perang-perangan saling intai dan berlaku sebagai pahlawan-pahlawan atau panglima-panglima pemimpin barisan.

Adakalanya Tiong Han mengambil kedudukan sebagai panglima tuan rumah yang terserang sedangkan Tiong Kiat sebagai panglima musuh yang datang menyerbu. Atau sebaliknya. Bukan main gembiranya kalau mereka bermain-main seperti itu. Mereka seakan-akan menjadi pahIawan besar. Sampai malam mereka bermain perang-perangan, intai mengintai di balik batu-batu karang dan semak-semak...