Pedang Pusaka Naga Putih Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG PUSAKA NAGA PUTIH JILID 07

Dalam beberapa hari Han Liong membantu mengurus pemakaman kedua jenazah ibu dan ayah tirinya. Hatinya sangat sedih setelah melihat kenyataan yang sudah terlambat. Ia benci akan sifat balas membalas ini yang sebenarnya tidak perlu, karena hanya menurutkan dengan nafsu saja.

Dan Kam Hong Siansu dulu pernah berkata, bahwa segala nafsu itu selalu membuat orang menjadi buta akan segala kebenaran dan membuat orang kehilangan pertimbangan serta keadilan. Kedua orang tua Ma Kui din Bun Cat-lin itu kembali ke kampung mssing-masing setelah membantu mengurus jenazah Lie Ban dan isterinya.

Selama itu Hong Ing tak berani memandang muka Han Liong, dan tidak berbicara sepatahpun kepada pemuda itu, Han Liong mendapat perasaan bahwa adiknya itu benci padanya, tapi ia tidak menyalahkannya karena bukankah karenanya, maka gadis itu kehilangan ayah bundanya? Bukankah ia yang merusak penghidupan gadis itu, tadinya bahagia di bawah lindungan orang tua, kini tiba-tiba menjadi yatim piatu?

Ia sendiri juga yatim piatu, tapi ia adalah serang laki-laki, tapi Hong Ing hanyalah seorang wanita. Apakah seorang gadis dapat berbuat sesuatu setelah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya? Setelah kedua jenazah orang tuanya dimakamkan, Hong Ing setelah menyapu air matanya, tiba-tiba Han Liong mendatanginya lalu berkata perlahan.

“... adikku... aku... aku merasa sangat berdosa dan kasihan padamu...”

Baru ia berkata sampai di sini. Hong Ing menangis lagi, entah dari mana datangnya air mata yang seolah-olah tidak mau kering itu. Han Liong menghela nafas,

“Ing.... Ing-moi, aku tak dapat terus tinggal di sini, aku tak berumah tak berfamili yang lain, aku seorang kelana, maka sekarang aku harus pergi dari sini.”

Baru sekarang Hong Ing mengangkat mukanya dan memandang kakaknya. Pandangan matanya berbeda dari dulu, kini hilanglah pandangan yang menyatakan penyesalan dan kebencian,

“Koko... kau... kau tidak berdosa padaku. Kau hanya menjalankan kewajiban. Dan lagi... bukan pula kau yang membunuh ayahku. Kalau kau yang membunuh mereka, pasti aku akan benci padamu dan akan mengadu jiwa dengan kau. Tapi... kau kini adalah kakakku, keluarga satu-satunya di dunia ini...” kembali Hong Ing terisak-isak.

Kemudian ia bertanya kembali, “Kau... hendak pergi kemana, koko?”

“Kemana saja kakiku membawaku, adikku.”

Hong Ing mengangkat muka memandangnya dari balik air mata. “Kalau kau pergi, habis aku bagaimana, koko??”

Pertanyaan yang diucapkan seperti seorang anak kecil yang tak berdaya ini menusuk perasaan Han Liong. Ia memandang Hong Ing dengan terharu dan dari kedua matanya perlahan-lahan bertitik dua butir air mata. Kedua-duanya merasa betapa mereka hanya hidup berdua, kakak beradik, yatim piatu.

“Koko....”

“Moi-moi...”

Dan keduanya saling menubruk dan saling berpelukan seperti lakunya dua anak kecil saja sambil mengalirkan air mata. Setelah agak reda perasaan mereka, Han Liong berkata,

“Sudahlah, dik. Tak perlu kita bersedih terus menerus, tiada gunanya. Kau jangan khawatir, pesan ibu masih berkumandang di telingaku. Kalau kau tidak keberatan, marilah ikut aku, adikku. Mari kita merantau berkelana, kita nikmati dunia yang lebar ini bersama-sama.”

Adiknya bernapas lega. Sekali lagi Hong Ing mendekap dan memeluk kakaknya dan berkata, “Koko.”

“Tapi karena kau seorang wanita, baiknya kau berpakaian laki-laki dan menyamar sebagai laki-laki saja, moi-moi, agar tidak mendatangkan prasangka orang.”

Timbul kegembiran hati Hong Ing. “Pantaskah aku menjadi laki-laki?” wajahnya agak berseri sehingga mau tidak mau Han Liong tersenyum.

“Kau akan menjadi seorang pemuda cakap sekali,” katanya.

“Lebih cakap dari kau berpakaian wanita.”

“Tentu saja. Lihat saja nanti.” Dan mereka berdua tersenyum gembira seolah-olah tidak terjadi peristiwa sedih atas diri mereka.

Setelah beres semua harta yang akan ditinggalkan dalam pengawasan Lie Kong, yang kini sudah agak mulai sembuh dari lukanya atas rawatan Han Liong dan seorang tabib yang diundang, maka Han Liong dan Hong Ing mulai berkemas. Tidak lupa mereka memberitahukan kepada kedua saudara Beng yang juga sedang dalam rawatan karena luka di tangan mereka di rumah itu. Han Liong minta maaf yang diterima dengan hati terbuka oleh kedua Macan Tutul itu. Kedua saudara Beng inipun mendapat bagian harta yang diberikan oleh Hong Ing sebagai pembalas budi.

Kemudian Hong Ing menyamar sebagai seorang kongcu, menurut anjuran dan nasehat Han Liong. Mereka berkemas sambil bersendau gurau, kemudian dengan menggunakan dua ekor kuda yang dibeli Hong Ing dengan harga mahal, dan berbekalkan pakaian serta uang dalam bungkusan, kedua kakak beradik ini berangkat dan memulai pengembaraan mereka untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.

Pada masa itu keadaan di Tingkok sungguh buruk sekali. Kaisar yang bertahta dan para menterinya yang memegang tampak kerajaan ternyata lalim dan hanya ingat kepentingan serta kemewahan diri sendiri saja. Kalau sebatang pohon sakit, maka cabang-cabang dan rantingnya juga tidak sehat dan daun-daunnya juga pada mati, demikian kata pepatah kuno.

Pepatah ini menjadi sindiran, bahwa kalau rajanya lalim dan pembesqr-pembesar tinggi berlaku curang dan korup, maka pembesar-pembesar kecilpun juga tidak jujur dan rakyat kecilpun tentu hidup tertekan dan menderita sengsara. Di kota-kota siapa berpangkat dapat hidup senang karena dengan mengandalkan hartanya dapat menyogok para pembesar itu dan hidup aman.

Sebaliknya rakyat kecil yang miskin dan tidak mampu menggunakan uang untuk menyuap pembesar, hanya dapat menghela napas saja melihat ketidak-adilan yang ditekankan kepada mereka. Pajak diadakan semaunya dan undang-undang negeri seakan-akan dibuat sendiri oleh tiap pembesar setempat yang berwewenang. Lebih-lebih di kampung dan desa, keaadaannya lebih buruk lagi.

Orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah merupakan lintah-lintah darat yang sangat berpengaruh. Mereka ini dapat berbuat sesuka hatinya terhadap petani miskin. Mau menjadikan anak gadis orang untuk isteri muda, tinggal rampas saja. Mau memfitnah orang kecil, tinggal berkejap mata saja kepada pembesar yang berkuasa di situ. Bahkan orang-orang kaya itu hampir semua mempunyai barisan penjaga atau tukang pukul sendiri, mempunyai peraturan-peraturan sendiri untuk melindungi tanah mereka!

Pendeknya, bagi telinga seorang yang berjiwa patriot, ia tentu memperhatikan jerit-tangis dan keluh-kesah dari rakyat yang memuncak tinggi, tapi mereka atau orang-orang yangs berjiwa patriot itu tak berdaya sama sekali, karena penindasan dan hukum rimba itu yang berantai, dari pembesar terkecil terus sampai ke menteri bahkan sampai ke kaisar sendiri!

Siapa berani menentang pembesar kecil maka ia akan berhadapan dengan pembesar tinggi dan pasti akan menemui kehancuran. Karenanya, jerit-tangis rakyat pada waktu itu seakan-akan keluh kesah seorang kehausan di tengah padang pasir, tiada yang mendengar, tiada yang perduli! Karena itu, banyak rakyat kecil yang karena menderita menjadi putus asa, sering mengeluh dan berkata, bahwa tuhan pada waktu itu melupakan manusia ciptaannya yang tengah menderita kesengsaraan!

Han Liong yang baru saja turun gunung, melihat keadaan itu Han Liong menjadi marah sekali. Di setiap tempat, bila menjumpai keadaan yang tidak adil, Han Liong pasti tidak tinggal diam berpeluk tangan. Hong Ing ternyata mewarisi sifat ibunya dan berjiwa patriot pula. Ia secara diam-diam sering menyesalkan perbuatan ayahnya yang telah menjual tenaga kepada pemerintah Ceng-tiauw, satu pemerintahan yang bagi para pahlawan bangsa dianggap pemerintah yang menjajah.

Sebaliknya ia memuji sekali ayah Han Liong dan ia iri hati kepada kakaknya itu. Maka, untuk membalas dan menebus dosa ayahnya, ia mencurahkan semua tenaganya untuk menolong rakyat yang tertindas oleh pembesar-pembesar penjilat pemerintah asing itu. Banyak sudah pembesar-pembesar yang mereka beri hajaran, bahkan ada beberapa pembesar yang mereka anggap terlampau jahat telah tewas dalam tangan mereka.

Entah berapa banyak harta benda orang-orang hartawan mereka angkut dan bagi-bagikan kepada rakyat miskin. Baru saja beberapa bulan mereka berkelana, nama mereka menjadi harum dan terkenal sekali, bahkan orang-orang di kalangan kang-ouw menyebut mereka sebagai Thian-jiauw-siang-hiap atau Sepasang Pendekar Garuda Angkasa!

Julukan ini diberikan kepada mereka berdua karena gerakan mereka yang datang menolong tak tersangka-sangka. Dan mereka sangat gesit tak ubahnya seperti sepasang garuda menyambar dari angkasa. Mereka disebut siang-hiap karena dalam setiap operasi, mereka selalu berpasangan.

Han Liong yang selalu berpakaian warna putih, disebut orang Pek i-hiap dan Hong Ing yang suka baju warna merah, disebut orang Ang-i-hiap yang artinya bagi Han Liong si Pendekar Baju Putih dan bagi Hong Ing si Pendekar Baju Merah! Tiada seorangpun tahu bahwa Hong Ing adalah seorang wanita.

Pernah Han Liong bertanya kepada adiknya tentang pelajaran silatnya dan siapa gurunya. Sebelum menjawab, Hong Ing terlebih dulu minta diceritakan riwayat pelajaran silat Han Liong kepadanya. Ia mengalah dan bercerita lebih dulu. Hong Ing mendengarnya dengan penuh minat dan minta supaya kakaknya itu berjanji akan mengajarnya untuk menambah ilmu silatnya yang sudah ada. Kemudian gadis itu minta diperlihatkan macamnya Pek liong pokiam yang dulu telah ia rasakan sendiri ketajamannya yang luar biasa itu.

Setelah itu, barulah Hong Ing bercerita tentang dirinya sendiri. Ternyata Hong Ing mendapat latihan silat pertama-tama dari ayahnya sendiri, kemudian oleh ayahnya ia dikirim ke Bok sin-tang untuk berguru kepada seorang Nikouw atau pendeta Wanita bernama Seng Bouw Nikouw yang sebenarnya bibi gura dari Lie Ban.

Dari pendeta perempuan inilah Hong Ing menerima pelajaran silat yang tinggi sehingga kepandaiannya kini boleh dikatakan setingkat dengan ayahnya sendiri, atau boleh dikata lebih tinggi, terutama dalam permainan siang kiamnya yang luar biasa. Selama lima tahun ia belajar silat dengan nikouw itu.

Demikianlah, kedua kakak beradik itu melanjutkan perjalanan dengan penuh kegembiraan. Hong Ing telah lupa sama sekali akan kesedihannya, dan Han Liong juga merasa bahagia. Sikap adiknya yang manja, nakal, suka menggoda, tapi penuh kejujuran dan keberanian itu membuat ia merasa senang sekali dan lama kelamaan pertalian darah mereka makin erat dan saling kasih mengasihi. Hong Ing pada waktu itu telah barusia enam kelas tahun dan Han Liong delapan belas.

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Pada satu hari Han Liong dan Hong Ing berkuda sepanjang jalan yang menuju ke kota Tong Hai. Pagi-pagi keduanya berkuda memasuki hutan pohon Liu yang menahan sinar matahari pagi sehingga sinar sang surya merupakan garis-garis kuning bersinar menyorot dari celah-celah daun pohon Liu merupakan pemandangan yang indah sekali. Mereka menjalankan kuda berendeng dan sambil naik kuda yang berjalan perlahan-lahan, mereka menikmati hawa hutan yang sejuk itu, mereka bicara dengan riang gembira.

“Koko, alangkah indahnya sinar matahari itu,” kata Hong Ing sambil mendongak ke atas, “Sungguh senang berada di luar, bebas lepas menyaingi burung-burung di udara. Aah, inilah hidup dan bahagia!”

“Adik Ing,” jawab Han Liong yang sudah biasa menyebut adik saja atau “siauwte” artinya adik laki-laki, karena ia harus membiasakan sebutan ini di muka umum agar melengkapi penyamaran Hong Ing sebagai pria, “Betapapun juga, segala sesuatu itu selalu harus mengalami perubahan. Kita tidak mungkin selamanya begini sampai...” di sini Han Liong menghela napas.

“Mengapa tidak, kakakku yang baik? Apa kau ada pikiran hendak meninggalkan aku?” tanya Hong Ing.

“Sekali-kali tidak. Tapi pada suatu waktu, kaulah sendiri rasanya yang akan meninggalkan aku, bahkan akan melupakan kakakmu ini.”

“Eh, eh! Tiada hujan tiada angin kau bicara tidak keruan juntrungannya, koko. Siapa mau tinggal meninggalkan? Aneh benar bicaramu pagi ini. Dan kau kelihatan sangat muram seperti anak kecil tidak kebagian kue! Sungguh tidak sesuai dengan indahnya cuaca. Mengapakah, koko?”

Han Liong memaksa tersenyum. “Ah, tidak apa-apa, adik Ing.”

Hong Ing tiba-tiba menahan kudanya dan tidak mau maju. Han Liong menoleh kepadanya dan berkata, “Ayoh jalankan kudamu.” Tapi Hong Ing diam saja bahkan menggeleng-gelengkan kepala dengan mulut cemberut.

“Eh, eh. Ada apa, adik Ing?”

“Katakan dulu kenapa kau bermuram durja, baru aku mau maju lagi,” kata Hong Ing dengan manja.

Han Liong tertawa dan memajukan kudanya menghampiri. “Jangan marah, adikku yang manis!” Tapi Hong Ing masih saja menggeleng-gelengkan kepala dan pundaknya. “Ah, adik Ing, kalau kau sudah begini maka tidak pantas menjadi pemuda, lagakmu seperti seorang gadis benar-benar!”

Hong Ing mengangkat cambuk kudanya hendak memukul kakaknya yang segera melarikan kudanya dan lalu dikejar oleh Hong Ing. Mereka segera saling kejar berputar-putaran di bawah pohon-pohon Liu.

“Sudah, sudah, adikku. Aku menyerah. Lihat kudaku sampai mengepulkan uap diri mulutnya karena lelah.”

“Biar! Kau jawab pertanyaanku atau kupukul dengan cambuk ini.” Hong Ing mengancam.

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar bunyi kaki kuda berlari cepat. Dari sebuah tikungan tampak datang dua orang menunggang kuda yang dilarikan sangat kencang. Karena jalan itu kecil dan tidak cukup lebar untuk tiga atau empat kuda jalan berendeng, maka dari jauh mereka sudah berteriak-teriak,

“Minggir! Minggir!!”

Han Liong segera meminggirkan kudanya di bawah pohon Liu. Tapi Hong Ing yang beradat keras dan pula sedang kesal kepada kakaknya, membiarkan kdanya melintang jalan dan memaksa kedua penunggang kuda itu harus berhenti!

Kedua penunggang kuda itu segera menahan kuda mereka dengan cepat, kalau tidak mereka pasti akan berlanggar dengan kuda Hong Ing. Ternyata kedua-duanya adalah perempuan-perempuan muda yang cantik dan di pinggang mereka tergantung pedang.

“Eh, kurang ajar! Apa maksudmu sengaja menghalang-halangi jalan kami?” Seorang dari mereka yang lebih muda memaki. Hong Ing membalas makian ita dengan mata mendelik.

“Tuan, harap beri jalan kepada kami, karena kami ada urusan penting dan tergesa-gesa,” kata yang seorang lagi.

“Hm, ini baru kata-kata sopan,” jawab Hong Ing. “Dari manakah datangnya orang yang seakan-akan merasa diri menjadi raja dan menganggap jalan ini seperti jalannya sendiri?” ia tujukan kata-katanya ini kepada gadis muda itu. “Apa kau kira semua orang takut akan gertakanmu?”

“Sudah, jangan banyak cakap, awas jangan membuat aku menjadi hilang sabar!” Gadis muda itu berkata pula dengan marah. “Pendeknya, lekas kau minggir!”

“Kalau aku tidak mau minggir, kau mau apa, nona galak?” kata Hong Ing dengan aksinya yang menimbulkan kemarahan orang.

Bangsat kecil tak tahu diri! Tahukan kamu bahwa kamu berhadapan dengan siapa? Kami Shoatang Ji-lihiap (Dua Pendekar Wanita dari Shoatang) enci dan aku tidak biasa menerima penghinaan dari siapapun saja, mengerti?” teriak gadis yang muda itu marah.

Encinya yang agaknya lebih sabar menarik lengan adiknya, tapi tak diperdulikan oleh adiknya. Hong Ing mengeluarkan suara sumbang.

“Hm! Siapa perduli apakah kalian pendekar-pendekar dari Shoatang ataukah dari Neraka? Aku tidak kenal nama itu!”

Mendengar ini, perempuan yang lebih tua merasa tak senang juga. Bukankah mereka berdua telah terkenal di kalangan kang-ouw? Mengapa pemuda kecil ini berani menghina?

“Tuan, jangn mencari perkara. Minggirlah dan kami akan lewat dengan baik-baik. Kami tidak ada waktu melayani segala orang seperti tuan!”

“Kami berdua juga mau pergi mau ke depan. Kalian boleh menjalankan kuda di belakang kami.”

Sementara itu Han Liong sudah menghampiri mereka.

"Bangsat kecil ingin celaka!” gadis yang termuda itu memaki sambil mencabut pedang dari pinggangnya. Hong Ing hanya tertawa menyindir dan mencabut pedangnya pula.

“Adik Ing sabar dulu,” kata Han Liong untuk mencegah adiknya.

Tetapi Hong Ing yang sedang jengkel kepadanya mana mau menurut perintahnya. Ia bahkan mengerling kepada Han Liong dengan marah dan berkata,

“Kalau kau mau membela perempuan-perempuan cantik ini, silakan. Boleh aku dikeroyok tiga!!” tantangnya dengan mata merah karena marah.

“Siapa mau mengeroyok, laki-laki tak tahu malu!” gadis muda itu berteriak marah, “Aku sendiri sudah cukup untuk mengirim jiwamu ke akhirat.”

Sehabis berkata begini gadis itu majukan kudanya dan memberi sebuah tusukan berbahaya. Hong Ing menangkis dengan pedangnya yang kiri, lalu dengan pedang kanan balas menusuk. Mereka berdua bertempur di atas kuda, dan karena kuda mereka tidak biasa dipakai bertempur, maka kuda mereka melompat-lompat ketakutan sehingga mereka tidak dapat bersilat dengan leluasa. Hong Ing mendahului lawannya melompat turun dan menantang.

“Turunlah kalau kau benar-benar perempuan gagah!”

Lawannya segera melompat turun juga dan mereka meneruskan pertempuran di atas tanah! Ternyata tenaga dan kegesitan mereka berimbang, tapi karena Hong Ing menggunakan dua pedang dan ilmu pedangnya warisan dari Seng Bouw Nikouw memang lihai sekali, maka setelah mereka bertempur dua puluh jurus, gadis muda itu mulai terdesak.

Encinya tidak tega melihat adiknya kewalahan, maka ia segera terjun ke tengah pertempuran itu. Ternyata gerakannya sangat kuat dan gesit sehingga benturan-benturan pedangnya dirasakan oleh Hong Ing sangat kuat dan membuat telapak tangannya panas. Ia mengharapkan bantuan Han Liong, tapi ternyata pemuda itu hanya turun dari kuda dan berdiri melihat jalannya pertempuran!

Hong Ing lama-lama terdesak juga dan repot melayani dua lawannya yang ternyata berkepandaian tinggi, lebih-lebih yang lebih tua, pedangnya berputar-putar kuat dan ia pandai sekali. Karena gemas, maka sambil bertempur Hong Ing berteriak ke arah Han Liong.

“He, kenapa kau diam saja? Ayohlah bantu mereka ini, agar sekalian dapat kulayani!!”

Han Liong tersenyum geli. Ia memang sengaja membiarkan adiknya agar ia merasa bahwa ada juga orang yang lebih pandai darinya, juga ia melihat bahwa biarpun terdesak, namun siang kiam-hoat dari adiknya itu cukup ulet untuk dikalahkan begitu saja dalam waktu pendek. Selain itu, ia sesungguhnya sangat tertarik oleh gerakan-gerakan kedua nona itu.

Kini setelah nendengar teriakan Hong Ing, ia segera meloncat ke tengah-tengah pertempuran dan menggunakan kedua tangannya bergerak-gerak di antara sinar pedang, lalu secepat kilat menahan dua tangan yang memegang pedang dari kedua lawan itu. Kedua nona dari Shoatang itu merasa tangan mereka tergetar dan alangkah terkejut mereka ketika diketahuinya pedang mereka telah pindah ke tangan pemuda itu di kanan kiri!

Han Liong memandang kedua nona itu dengan tajam dan bertanya dengan suara sungguh-sungguh. “Adakah pertalian kalian dengan Lie Kiam si Angin Ribut?”

Gadis yang lebih muda itu menjawab sengit. “Apa perlunya kau tanya-tanya tentang supek kami?”

“Aha! Kalau begitu kalian adalah murid Bhok Kiam Eng si Garuda Putih? Hm, bagus, kalau aku ceritakan kepadanya akan kelakuanmu hari ini, kalian pasti akan kena marah!”

“He, siapakah kau? Dan apa maksudmu berkata begitu?” tanya gadis yang lebih tua.

“Lupakah kau akan ajaran suhumu? Bukankah suhumu sudah pesankan, bahwa kalian tidak boleh mencari-cari musuh jika tidak diserang orang? Mengapa kalian begitu berani dan sembarangan turun tangan karena urusan kecil saja, bahkan mau membunuh orang?”

“Terangkan dulu siapa kau, sebelum memberi nasehat kepada kami,” kembali gadis yang lebih muda berkata dengan suara pedas.

“Ketahuilah, nona-nona, gurumu itu adalah suhengku, jadi kalian harus menyebutku paman guru!”

Kedua gadis itu saling pandang dengan heran, kemudian gadis yang muda dan berani itu maju setindak dan memaki, “Orang tak tahu adat! Sembarangan saja kau mengaku-aku guru kami sebagai suhengmu! Kami belum pernah mendengar bahwa suhu mempunyai adik seperguruan semuda kau! Pula, selain suhu dan Lie Kiam supek, sukong Liok-tee-sin-mo Hong In tidak mempunyai murid lagi. Jangan kau berani membohong!”

Han Liong tersenyum. Ia tidak heran bahwa kedua murid suhengnya ini belum mengenalnya. Maka dengan masih tersenyum ia berkata,

“Hm, kalian tidak percaya? Ternyata selain berkepala batu, kalian juga kurang rajin mempelajari ilmu silatmu. Gerakanmu ketika menyerang dengan tipu Garuda Menyambar dari Pohon tadi kurang baik, seharusnya kau bertindak maju dengan berdiri di atas ujung kaki, karena bukankah gerakan itu mengutamakan keringanan tubuh dan kegesitan? Juga encimu tadi ketika menangkis dengan tipu Angin Barat Meniup Daun masih kurang sempurna, seharusnya kaki kiri ditekuk sedikit ke dalam agar mudah untuk diganti gerakan selanjutnya ialah tipu Angin Ribut Mengamuk untuk membalas menyerang!”

Mendengar pemuda itu menerangkan semua tipu-tipu silat warisan mereka itu, kedua nona tadi agak heran. Han Liong melihat bahwa mereka masih saja kurang percaya, maka ia segera melemparkan dua pedang ke atas lalu menyambut meluncurnya pedang itu dengan memegang ujungnya. Kemudian ia menyerahkan pedang itu kembali kepada pemiliknya sambil berkata,

“Nah, kalau kalian masih tidak percaya, cobalah serang aku serentak. Aku akan menggunakan kegesitan tubuh menurut tipu-tipu ajaran gurumu untuk berkelit.”

Karena masih belum percaya dan penasaran karena pedang mereka tadi dirampas, Shoatang Ji-lihiap maju bersama melakukan serangan!

“Bagus tipu Ular Melintas Sungai dan Harimau Menyabet Dengan Ekornya ini!”

Han Liong berseru menyebut tipu-tipu mereka, lalu ia menggerakkan tubuhnya. Kedua nona itu melihat tubuh pemuda itu berkelebat di antara sambaran pedang mereka dan tahu-tahu pemuda itu lenyap dari penglihatan mereka. Mereka membalikkan tubuh dan ternyata Han Liong sudah berdiri di situ sambil tersenyum!

“Kenalkah kalian gerakanku tadi? Itu adalah lompatan Naga Sakti Mengejar Mustika, tentu kalian kenal, bukan? Nah, ayo, jangan tertegun seranglah lagi!”

Kedua kakak beradik itu menyerang dengan lebih hebat, tapi Han Liong dapat berkelit menggunakan kegesitan tubuhnya, sambil berkelit ia sebut tiap tipu kedua nona itu dan sekalian memperkenalkan gerakannya sendiri. Setelah kedua nona itu menyerang sepuluh jurus, maka heranlah mereka. Pemuda itu ternyata dapat menyebut tipu-tipu mereka dengan tepat dan gerakannya ketika berkelitpun adalah gerakan tipu silat guru mereka, namun ternyata pemuda itu jauh lebih gesit dan ringan badannya daripada guru mereka sendiri!

Si enci dengan segera menjatuhkan diri berlutut, “Susiok, ampunkanlah teecu yang berlaku kurang hormat karena tidak tahu.”

Si adik yang ternyata sifatnya memang angker dan keras, setelah berdiri ragu-ragu dan setelah encinya membelalakkan matanya, akhirnya ia berlutut juga dan menyebut, “Susiok!”

Han Liong tertawa dan menyuruh mereka bangun. “Tidak apa, nona berdua bukannya sengaja melawan paman guru. Memang kalau tidak bertempur kita tidak akan berkenalan. Hanya pesanku, janganlah terlalu mudah mencari perselisihan dengan orang, karena hal itu hanya akan menimbulkan keributan yang tak perlu saja.”

Kemudian Han Liong memperkenalkan Hong Ing dengan kedua nona itu, yang ternyata bernama Bwee Lan dan Bwee Hwa.

“Kailan begitu tersesa-gesa, sebenarnya ada urusan apakah?” kemudian Han Liong bertanya.

Bwee Lan berkata dengan sedih. “Susiok, sebenarnya karena kami sedang menghadapi urusan hebat, maka berlaku sembrono dan adikku karena bingung dan sedih menjadi mudah naik darah. Teecu berdua sedang menuju ke kota Tong Hai mencari suhu untuk memohon pertolongannya.”

“Ada apakah?” tanya Han Liong penuh perhatian.

“Celaka, susiok. Supek Lie Kiam telah dilukai orang dan puteranya yang baru berusia lima tahun diculik penjahat. Sampai di sini ia menangis, kemudian setelah reda lagi tangisnya, Bwee Lan menyambung ceritanya, “Penjahat yang menculik itu memberi waktu sampai malam hari ini, jika tidak ada orang datang membawa uang tebusan lima ribu tali perak, maka anak supek itu akan dibunuh!”

“Berapa jauhkah tempat kediaman penculik itu?” tanya Han Liong.

“Ia berdiam di bukit Lui-san, kira-kira perjalanan setengah hari dari sini bila naik kuda cepat. Teecu khawatir terlambat.”

“Hm, kalau begitu, biarlah aku mewakili suhumu dan mari kita segera berangkat saja menuju ke Lui san.”

“Tapi... susiok,” kata Bwee Hwa yang sejak tadi diam saja, “Penculik itu adalah Ban Hok si Harimau Hitam. Ilmunya sangat tinggi, sedangkan supek sendiri terluka olehnya dalam pertempuran!” Dengan kata lain, Bwee Hwa sebenarnya merasa sangsi apakah susioknya yang muda itu akan dapat melawan Ban Hok. “Dan lagi, uang tebusannya sangat banyak...”

“Jadi kalian ini pergi mencari Bhok suheng untuk minta diusahakan uang tebusan?”

Kedua nona itu mengangguk. “Apakah Bhok suheng itu orang kaya dan banyak uang?”

Dua murid keponakannya iu menggeleng-geleng kepala.

“Habis, darimana suhu kalian bisa memperoleh uang itu?” tanya Han Liong pula.

“Maksud teecu hanya minta nasehat dan pikiran suhu, karena siapa lagi yang harus kami tangisi dan siapa lagi dapat menolong supek dan puteranya,” jawab Bwee Lan.

“Nah. Kalau begitu sama saja halnya. Suhumu tidak punya uang, sedangkan aku sendiri, terus terang saja juga tidak punya uang sedemikian banyak. Tapi mungkin dapat kuusahakan untuk menolong putera suheng Lie Kiam itu. Dan, kalau kita harus mencari Bhok suheng dulu, dikhawatirkan kita akan terlambat untuk menolong jiwa anak itu.”

Bwee Lan dan adiknya tak dapat membantah lagi, maka mereka segera berangkat membalapkan kudanya. Di sepanjang jalan, ternyata Bwee Hwa yang nakal dan suka bicara itu cepat sekali dapat menjadi akrab dengan Hong Ing yang tidak kalah cerewetnya! Kedua enci adik itu sedikitpun tidak menyangka bahwa Hong Ing adalah seorang wanita, karena Han Liong memperkenalkannya sebagai adiknya laki-laki!

Tapi diam-diam Bwee Lan agak jemu melihat Hong Ing yang dianggapnya seperti lelaki ceriwis! Ia juga menyesalkan mengapa Bwee Hwa demikian rapat merendengkan kudanya sambil bicara dengan gembira dan diselingi senda gurau!

Sebaliknya, melihat susioknya, ia merasa segan karena pemuda itu terlampau pendiam. Kalau saja Han Liong itu bukan susioknya, demikian pikir Bwee Lan. Terhadap seorang paman guru tentu saja ia tidak berani memperlakukan sebagai seorang kawan, karena dalam tingkatan mereka, Han Liong adalah termasuk 'golongan tua'!

Pedang Pusaka Naga Putih Jilid 07

PEDANG PUSAKA NAGA PUTIH JILID 07

Dalam beberapa hari Han Liong membantu mengurus pemakaman kedua jenazah ibu dan ayah tirinya. Hatinya sangat sedih setelah melihat kenyataan yang sudah terlambat. Ia benci akan sifat balas membalas ini yang sebenarnya tidak perlu, karena hanya menurutkan dengan nafsu saja.

Dan Kam Hong Siansu dulu pernah berkata, bahwa segala nafsu itu selalu membuat orang menjadi buta akan segala kebenaran dan membuat orang kehilangan pertimbangan serta keadilan. Kedua orang tua Ma Kui din Bun Cat-lin itu kembali ke kampung mssing-masing setelah membantu mengurus jenazah Lie Ban dan isterinya.

Selama itu Hong Ing tak berani memandang muka Han Liong, dan tidak berbicara sepatahpun kepada pemuda itu, Han Liong mendapat perasaan bahwa adiknya itu benci padanya, tapi ia tidak menyalahkannya karena bukankah karenanya, maka gadis itu kehilangan ayah bundanya? Bukankah ia yang merusak penghidupan gadis itu, tadinya bahagia di bawah lindungan orang tua, kini tiba-tiba menjadi yatim piatu?

Ia sendiri juga yatim piatu, tapi ia adalah serang laki-laki, tapi Hong Ing hanyalah seorang wanita. Apakah seorang gadis dapat berbuat sesuatu setelah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya? Setelah kedua jenazah orang tuanya dimakamkan, Hong Ing setelah menyapu air matanya, tiba-tiba Han Liong mendatanginya lalu berkata perlahan.

“... adikku... aku... aku merasa sangat berdosa dan kasihan padamu...”

Baru ia berkata sampai di sini. Hong Ing menangis lagi, entah dari mana datangnya air mata yang seolah-olah tidak mau kering itu. Han Liong menghela nafas,

“Ing.... Ing-moi, aku tak dapat terus tinggal di sini, aku tak berumah tak berfamili yang lain, aku seorang kelana, maka sekarang aku harus pergi dari sini.”

Baru sekarang Hong Ing mengangkat mukanya dan memandang kakaknya. Pandangan matanya berbeda dari dulu, kini hilanglah pandangan yang menyatakan penyesalan dan kebencian,

“Koko... kau... kau tidak berdosa padaku. Kau hanya menjalankan kewajiban. Dan lagi... bukan pula kau yang membunuh ayahku. Kalau kau yang membunuh mereka, pasti aku akan benci padamu dan akan mengadu jiwa dengan kau. Tapi... kau kini adalah kakakku, keluarga satu-satunya di dunia ini...” kembali Hong Ing terisak-isak.

Kemudian ia bertanya kembali, “Kau... hendak pergi kemana, koko?”

“Kemana saja kakiku membawaku, adikku.”

Hong Ing mengangkat muka memandangnya dari balik air mata. “Kalau kau pergi, habis aku bagaimana, koko??”

Pertanyaan yang diucapkan seperti seorang anak kecil yang tak berdaya ini menusuk perasaan Han Liong. Ia memandang Hong Ing dengan terharu dan dari kedua matanya perlahan-lahan bertitik dua butir air mata. Kedua-duanya merasa betapa mereka hanya hidup berdua, kakak beradik, yatim piatu.

“Koko....”

“Moi-moi...”

Dan keduanya saling menubruk dan saling berpelukan seperti lakunya dua anak kecil saja sambil mengalirkan air mata. Setelah agak reda perasaan mereka, Han Liong berkata,

“Sudahlah, dik. Tak perlu kita bersedih terus menerus, tiada gunanya. Kau jangan khawatir, pesan ibu masih berkumandang di telingaku. Kalau kau tidak keberatan, marilah ikut aku, adikku. Mari kita merantau berkelana, kita nikmati dunia yang lebar ini bersama-sama.”

Adiknya bernapas lega. Sekali lagi Hong Ing mendekap dan memeluk kakaknya dan berkata, “Koko.”

“Tapi karena kau seorang wanita, baiknya kau berpakaian laki-laki dan menyamar sebagai laki-laki saja, moi-moi, agar tidak mendatangkan prasangka orang.”

Timbul kegembiran hati Hong Ing. “Pantaskah aku menjadi laki-laki?” wajahnya agak berseri sehingga mau tidak mau Han Liong tersenyum.

“Kau akan menjadi seorang pemuda cakap sekali,” katanya.

“Lebih cakap dari kau berpakaian wanita.”

“Tentu saja. Lihat saja nanti.” Dan mereka berdua tersenyum gembira seolah-olah tidak terjadi peristiwa sedih atas diri mereka.

Setelah beres semua harta yang akan ditinggalkan dalam pengawasan Lie Kong, yang kini sudah agak mulai sembuh dari lukanya atas rawatan Han Liong dan seorang tabib yang diundang, maka Han Liong dan Hong Ing mulai berkemas. Tidak lupa mereka memberitahukan kepada kedua saudara Beng yang juga sedang dalam rawatan karena luka di tangan mereka di rumah itu. Han Liong minta maaf yang diterima dengan hati terbuka oleh kedua Macan Tutul itu. Kedua saudara Beng inipun mendapat bagian harta yang diberikan oleh Hong Ing sebagai pembalas budi.

Kemudian Hong Ing menyamar sebagai seorang kongcu, menurut anjuran dan nasehat Han Liong. Mereka berkemas sambil bersendau gurau, kemudian dengan menggunakan dua ekor kuda yang dibeli Hong Ing dengan harga mahal, dan berbekalkan pakaian serta uang dalam bungkusan, kedua kakak beradik ini berangkat dan memulai pengembaraan mereka untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.

Pada masa itu keadaan di Tingkok sungguh buruk sekali. Kaisar yang bertahta dan para menterinya yang memegang tampak kerajaan ternyata lalim dan hanya ingat kepentingan serta kemewahan diri sendiri saja. Kalau sebatang pohon sakit, maka cabang-cabang dan rantingnya juga tidak sehat dan daun-daunnya juga pada mati, demikian kata pepatah kuno.

Pepatah ini menjadi sindiran, bahwa kalau rajanya lalim dan pembesqr-pembesar tinggi berlaku curang dan korup, maka pembesar-pembesar kecilpun juga tidak jujur dan rakyat kecilpun tentu hidup tertekan dan menderita sengsara. Di kota-kota siapa berpangkat dapat hidup senang karena dengan mengandalkan hartanya dapat menyogok para pembesar itu dan hidup aman.

Sebaliknya rakyat kecil yang miskin dan tidak mampu menggunakan uang untuk menyuap pembesar, hanya dapat menghela napas saja melihat ketidak-adilan yang ditekankan kepada mereka. Pajak diadakan semaunya dan undang-undang negeri seakan-akan dibuat sendiri oleh tiap pembesar setempat yang berwewenang. Lebih-lebih di kampung dan desa, keaadaannya lebih buruk lagi.

Orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah merupakan lintah-lintah darat yang sangat berpengaruh. Mereka ini dapat berbuat sesuka hatinya terhadap petani miskin. Mau menjadikan anak gadis orang untuk isteri muda, tinggal rampas saja. Mau memfitnah orang kecil, tinggal berkejap mata saja kepada pembesar yang berkuasa di situ. Bahkan orang-orang kaya itu hampir semua mempunyai barisan penjaga atau tukang pukul sendiri, mempunyai peraturan-peraturan sendiri untuk melindungi tanah mereka!

Pendeknya, bagi telinga seorang yang berjiwa patriot, ia tentu memperhatikan jerit-tangis dan keluh-kesah dari rakyat yang memuncak tinggi, tapi mereka atau orang-orang yangs berjiwa patriot itu tak berdaya sama sekali, karena penindasan dan hukum rimba itu yang berantai, dari pembesar terkecil terus sampai ke menteri bahkan sampai ke kaisar sendiri!

Siapa berani menentang pembesar kecil maka ia akan berhadapan dengan pembesar tinggi dan pasti akan menemui kehancuran. Karenanya, jerit-tangis rakyat pada waktu itu seakan-akan keluh kesah seorang kehausan di tengah padang pasir, tiada yang mendengar, tiada yang perduli! Karena itu, banyak rakyat kecil yang karena menderita menjadi putus asa, sering mengeluh dan berkata, bahwa tuhan pada waktu itu melupakan manusia ciptaannya yang tengah menderita kesengsaraan!

Han Liong yang baru saja turun gunung, melihat keadaan itu Han Liong menjadi marah sekali. Di setiap tempat, bila menjumpai keadaan yang tidak adil, Han Liong pasti tidak tinggal diam berpeluk tangan. Hong Ing ternyata mewarisi sifat ibunya dan berjiwa patriot pula. Ia secara diam-diam sering menyesalkan perbuatan ayahnya yang telah menjual tenaga kepada pemerintah Ceng-tiauw, satu pemerintahan yang bagi para pahlawan bangsa dianggap pemerintah yang menjajah.

Sebaliknya ia memuji sekali ayah Han Liong dan ia iri hati kepada kakaknya itu. Maka, untuk membalas dan menebus dosa ayahnya, ia mencurahkan semua tenaganya untuk menolong rakyat yang tertindas oleh pembesar-pembesar penjilat pemerintah asing itu. Banyak sudah pembesar-pembesar yang mereka beri hajaran, bahkan ada beberapa pembesar yang mereka anggap terlampau jahat telah tewas dalam tangan mereka.

Entah berapa banyak harta benda orang-orang hartawan mereka angkut dan bagi-bagikan kepada rakyat miskin. Baru saja beberapa bulan mereka berkelana, nama mereka menjadi harum dan terkenal sekali, bahkan orang-orang di kalangan kang-ouw menyebut mereka sebagai Thian-jiauw-siang-hiap atau Sepasang Pendekar Garuda Angkasa!

Julukan ini diberikan kepada mereka berdua karena gerakan mereka yang datang menolong tak tersangka-sangka. Dan mereka sangat gesit tak ubahnya seperti sepasang garuda menyambar dari angkasa. Mereka disebut siang-hiap karena dalam setiap operasi, mereka selalu berpasangan.

Han Liong yang selalu berpakaian warna putih, disebut orang Pek i-hiap dan Hong Ing yang suka baju warna merah, disebut orang Ang-i-hiap yang artinya bagi Han Liong si Pendekar Baju Putih dan bagi Hong Ing si Pendekar Baju Merah! Tiada seorangpun tahu bahwa Hong Ing adalah seorang wanita.

Pernah Han Liong bertanya kepada adiknya tentang pelajaran silatnya dan siapa gurunya. Sebelum menjawab, Hong Ing terlebih dulu minta diceritakan riwayat pelajaran silat Han Liong kepadanya. Ia mengalah dan bercerita lebih dulu. Hong Ing mendengarnya dengan penuh minat dan minta supaya kakaknya itu berjanji akan mengajarnya untuk menambah ilmu silatnya yang sudah ada. Kemudian gadis itu minta diperlihatkan macamnya Pek liong pokiam yang dulu telah ia rasakan sendiri ketajamannya yang luar biasa itu.

Setelah itu, barulah Hong Ing bercerita tentang dirinya sendiri. Ternyata Hong Ing mendapat latihan silat pertama-tama dari ayahnya sendiri, kemudian oleh ayahnya ia dikirim ke Bok sin-tang untuk berguru kepada seorang Nikouw atau pendeta Wanita bernama Seng Bouw Nikouw yang sebenarnya bibi gura dari Lie Ban.

Dari pendeta perempuan inilah Hong Ing menerima pelajaran silat yang tinggi sehingga kepandaiannya kini boleh dikatakan setingkat dengan ayahnya sendiri, atau boleh dikata lebih tinggi, terutama dalam permainan siang kiamnya yang luar biasa. Selama lima tahun ia belajar silat dengan nikouw itu.

Demikianlah, kedua kakak beradik itu melanjutkan perjalanan dengan penuh kegembiraan. Hong Ing telah lupa sama sekali akan kesedihannya, dan Han Liong juga merasa bahagia. Sikap adiknya yang manja, nakal, suka menggoda, tapi penuh kejujuran dan keberanian itu membuat ia merasa senang sekali dan lama kelamaan pertalian darah mereka makin erat dan saling kasih mengasihi. Hong Ing pada waktu itu telah barusia enam kelas tahun dan Han Liong delapan belas.

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Pada satu hari Han Liong dan Hong Ing berkuda sepanjang jalan yang menuju ke kota Tong Hai. Pagi-pagi keduanya berkuda memasuki hutan pohon Liu yang menahan sinar matahari pagi sehingga sinar sang surya merupakan garis-garis kuning bersinar menyorot dari celah-celah daun pohon Liu merupakan pemandangan yang indah sekali. Mereka menjalankan kuda berendeng dan sambil naik kuda yang berjalan perlahan-lahan, mereka menikmati hawa hutan yang sejuk itu, mereka bicara dengan riang gembira.

“Koko, alangkah indahnya sinar matahari itu,” kata Hong Ing sambil mendongak ke atas, “Sungguh senang berada di luar, bebas lepas menyaingi burung-burung di udara. Aah, inilah hidup dan bahagia!”

“Adik Ing,” jawab Han Liong yang sudah biasa menyebut adik saja atau “siauwte” artinya adik laki-laki, karena ia harus membiasakan sebutan ini di muka umum agar melengkapi penyamaran Hong Ing sebagai pria, “Betapapun juga, segala sesuatu itu selalu harus mengalami perubahan. Kita tidak mungkin selamanya begini sampai...” di sini Han Liong menghela napas.

“Mengapa tidak, kakakku yang baik? Apa kau ada pikiran hendak meninggalkan aku?” tanya Hong Ing.

“Sekali-kali tidak. Tapi pada suatu waktu, kaulah sendiri rasanya yang akan meninggalkan aku, bahkan akan melupakan kakakmu ini.”

“Eh, eh! Tiada hujan tiada angin kau bicara tidak keruan juntrungannya, koko. Siapa mau tinggal meninggalkan? Aneh benar bicaramu pagi ini. Dan kau kelihatan sangat muram seperti anak kecil tidak kebagian kue! Sungguh tidak sesuai dengan indahnya cuaca. Mengapakah, koko?”

Han Liong memaksa tersenyum. “Ah, tidak apa-apa, adik Ing.”

Hong Ing tiba-tiba menahan kudanya dan tidak mau maju. Han Liong menoleh kepadanya dan berkata, “Ayoh jalankan kudamu.” Tapi Hong Ing diam saja bahkan menggeleng-gelengkan kepala dengan mulut cemberut.

“Eh, eh. Ada apa, adik Ing?”

“Katakan dulu kenapa kau bermuram durja, baru aku mau maju lagi,” kata Hong Ing dengan manja.

Han Liong tertawa dan memajukan kudanya menghampiri. “Jangan marah, adikku yang manis!” Tapi Hong Ing masih saja menggeleng-gelengkan kepala dan pundaknya. “Ah, adik Ing, kalau kau sudah begini maka tidak pantas menjadi pemuda, lagakmu seperti seorang gadis benar-benar!”

Hong Ing mengangkat cambuk kudanya hendak memukul kakaknya yang segera melarikan kudanya dan lalu dikejar oleh Hong Ing. Mereka segera saling kejar berputar-putaran di bawah pohon-pohon Liu.

“Sudah, sudah, adikku. Aku menyerah. Lihat kudaku sampai mengepulkan uap diri mulutnya karena lelah.”

“Biar! Kau jawab pertanyaanku atau kupukul dengan cambuk ini.” Hong Ing mengancam.

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar bunyi kaki kuda berlari cepat. Dari sebuah tikungan tampak datang dua orang menunggang kuda yang dilarikan sangat kencang. Karena jalan itu kecil dan tidak cukup lebar untuk tiga atau empat kuda jalan berendeng, maka dari jauh mereka sudah berteriak-teriak,

“Minggir! Minggir!!”

Han Liong segera meminggirkan kudanya di bawah pohon Liu. Tapi Hong Ing yang beradat keras dan pula sedang kesal kepada kakaknya, membiarkan kdanya melintang jalan dan memaksa kedua penunggang kuda itu harus berhenti!

Kedua penunggang kuda itu segera menahan kuda mereka dengan cepat, kalau tidak mereka pasti akan berlanggar dengan kuda Hong Ing. Ternyata kedua-duanya adalah perempuan-perempuan muda yang cantik dan di pinggang mereka tergantung pedang.

“Eh, kurang ajar! Apa maksudmu sengaja menghalang-halangi jalan kami?” Seorang dari mereka yang lebih muda memaki. Hong Ing membalas makian ita dengan mata mendelik.

“Tuan, harap beri jalan kepada kami, karena kami ada urusan penting dan tergesa-gesa,” kata yang seorang lagi.

“Hm, ini baru kata-kata sopan,” jawab Hong Ing. “Dari manakah datangnya orang yang seakan-akan merasa diri menjadi raja dan menganggap jalan ini seperti jalannya sendiri?” ia tujukan kata-katanya ini kepada gadis muda itu. “Apa kau kira semua orang takut akan gertakanmu?”

“Sudah, jangan banyak cakap, awas jangan membuat aku menjadi hilang sabar!” Gadis muda itu berkata pula dengan marah. “Pendeknya, lekas kau minggir!”

“Kalau aku tidak mau minggir, kau mau apa, nona galak?” kata Hong Ing dengan aksinya yang menimbulkan kemarahan orang.

Bangsat kecil tak tahu diri! Tahukan kamu bahwa kamu berhadapan dengan siapa? Kami Shoatang Ji-lihiap (Dua Pendekar Wanita dari Shoatang) enci dan aku tidak biasa menerima penghinaan dari siapapun saja, mengerti?” teriak gadis yang muda itu marah.

Encinya yang agaknya lebih sabar menarik lengan adiknya, tapi tak diperdulikan oleh adiknya. Hong Ing mengeluarkan suara sumbang.

“Hm! Siapa perduli apakah kalian pendekar-pendekar dari Shoatang ataukah dari Neraka? Aku tidak kenal nama itu!”

Mendengar ini, perempuan yang lebih tua merasa tak senang juga. Bukankah mereka berdua telah terkenal di kalangan kang-ouw? Mengapa pemuda kecil ini berani menghina?

“Tuan, jangn mencari perkara. Minggirlah dan kami akan lewat dengan baik-baik. Kami tidak ada waktu melayani segala orang seperti tuan!”

“Kami berdua juga mau pergi mau ke depan. Kalian boleh menjalankan kuda di belakang kami.”

Sementara itu Han Liong sudah menghampiri mereka.

"Bangsat kecil ingin celaka!” gadis yang termuda itu memaki sambil mencabut pedang dari pinggangnya. Hong Ing hanya tertawa menyindir dan mencabut pedangnya pula.

“Adik Ing sabar dulu,” kata Han Liong untuk mencegah adiknya.

Tetapi Hong Ing yang sedang jengkel kepadanya mana mau menurut perintahnya. Ia bahkan mengerling kepada Han Liong dengan marah dan berkata,

“Kalau kau mau membela perempuan-perempuan cantik ini, silakan. Boleh aku dikeroyok tiga!!” tantangnya dengan mata merah karena marah.

“Siapa mau mengeroyok, laki-laki tak tahu malu!” gadis muda itu berteriak marah, “Aku sendiri sudah cukup untuk mengirim jiwamu ke akhirat.”

Sehabis berkata begini gadis itu majukan kudanya dan memberi sebuah tusukan berbahaya. Hong Ing menangkis dengan pedangnya yang kiri, lalu dengan pedang kanan balas menusuk. Mereka berdua bertempur di atas kuda, dan karena kuda mereka tidak biasa dipakai bertempur, maka kuda mereka melompat-lompat ketakutan sehingga mereka tidak dapat bersilat dengan leluasa. Hong Ing mendahului lawannya melompat turun dan menantang.

“Turunlah kalau kau benar-benar perempuan gagah!”

Lawannya segera melompat turun juga dan mereka meneruskan pertempuran di atas tanah! Ternyata tenaga dan kegesitan mereka berimbang, tapi karena Hong Ing menggunakan dua pedang dan ilmu pedangnya warisan dari Seng Bouw Nikouw memang lihai sekali, maka setelah mereka bertempur dua puluh jurus, gadis muda itu mulai terdesak.

Encinya tidak tega melihat adiknya kewalahan, maka ia segera terjun ke tengah pertempuran itu. Ternyata gerakannya sangat kuat dan gesit sehingga benturan-benturan pedangnya dirasakan oleh Hong Ing sangat kuat dan membuat telapak tangannya panas. Ia mengharapkan bantuan Han Liong, tapi ternyata pemuda itu hanya turun dari kuda dan berdiri melihat jalannya pertempuran!

Hong Ing lama-lama terdesak juga dan repot melayani dua lawannya yang ternyata berkepandaian tinggi, lebih-lebih yang lebih tua, pedangnya berputar-putar kuat dan ia pandai sekali. Karena gemas, maka sambil bertempur Hong Ing berteriak ke arah Han Liong.

“He, kenapa kau diam saja? Ayohlah bantu mereka ini, agar sekalian dapat kulayani!!”

Han Liong tersenyum geli. Ia memang sengaja membiarkan adiknya agar ia merasa bahwa ada juga orang yang lebih pandai darinya, juga ia melihat bahwa biarpun terdesak, namun siang kiam-hoat dari adiknya itu cukup ulet untuk dikalahkan begitu saja dalam waktu pendek. Selain itu, ia sesungguhnya sangat tertarik oleh gerakan-gerakan kedua nona itu.

Kini setelah nendengar teriakan Hong Ing, ia segera meloncat ke tengah-tengah pertempuran dan menggunakan kedua tangannya bergerak-gerak di antara sinar pedang, lalu secepat kilat menahan dua tangan yang memegang pedang dari kedua lawan itu. Kedua nona dari Shoatang itu merasa tangan mereka tergetar dan alangkah terkejut mereka ketika diketahuinya pedang mereka telah pindah ke tangan pemuda itu di kanan kiri!

Han Liong memandang kedua nona itu dengan tajam dan bertanya dengan suara sungguh-sungguh. “Adakah pertalian kalian dengan Lie Kiam si Angin Ribut?”

Gadis yang lebih muda itu menjawab sengit. “Apa perlunya kau tanya-tanya tentang supek kami?”

“Aha! Kalau begitu kalian adalah murid Bhok Kiam Eng si Garuda Putih? Hm, bagus, kalau aku ceritakan kepadanya akan kelakuanmu hari ini, kalian pasti akan kena marah!”

“He, siapakah kau? Dan apa maksudmu berkata begitu?” tanya gadis yang lebih tua.

“Lupakah kau akan ajaran suhumu? Bukankah suhumu sudah pesankan, bahwa kalian tidak boleh mencari-cari musuh jika tidak diserang orang? Mengapa kalian begitu berani dan sembarangan turun tangan karena urusan kecil saja, bahkan mau membunuh orang?”

“Terangkan dulu siapa kau, sebelum memberi nasehat kepada kami,” kembali gadis yang lebih muda berkata dengan suara pedas.

“Ketahuilah, nona-nona, gurumu itu adalah suhengku, jadi kalian harus menyebutku paman guru!”

Kedua gadis itu saling pandang dengan heran, kemudian gadis yang muda dan berani itu maju setindak dan memaki, “Orang tak tahu adat! Sembarangan saja kau mengaku-aku guru kami sebagai suhengmu! Kami belum pernah mendengar bahwa suhu mempunyai adik seperguruan semuda kau! Pula, selain suhu dan Lie Kiam supek, sukong Liok-tee-sin-mo Hong In tidak mempunyai murid lagi. Jangan kau berani membohong!”

Han Liong tersenyum. Ia tidak heran bahwa kedua murid suhengnya ini belum mengenalnya. Maka dengan masih tersenyum ia berkata,

“Hm, kalian tidak percaya? Ternyata selain berkepala batu, kalian juga kurang rajin mempelajari ilmu silatmu. Gerakanmu ketika menyerang dengan tipu Garuda Menyambar dari Pohon tadi kurang baik, seharusnya kau bertindak maju dengan berdiri di atas ujung kaki, karena bukankah gerakan itu mengutamakan keringanan tubuh dan kegesitan? Juga encimu tadi ketika menangkis dengan tipu Angin Barat Meniup Daun masih kurang sempurna, seharusnya kaki kiri ditekuk sedikit ke dalam agar mudah untuk diganti gerakan selanjutnya ialah tipu Angin Ribut Mengamuk untuk membalas menyerang!”

Mendengar pemuda itu menerangkan semua tipu-tipu silat warisan mereka itu, kedua nona tadi agak heran. Han Liong melihat bahwa mereka masih saja kurang percaya, maka ia segera melemparkan dua pedang ke atas lalu menyambut meluncurnya pedang itu dengan memegang ujungnya. Kemudian ia menyerahkan pedang itu kembali kepada pemiliknya sambil berkata,

“Nah, kalau kalian masih tidak percaya, cobalah serang aku serentak. Aku akan menggunakan kegesitan tubuh menurut tipu-tipu ajaran gurumu untuk berkelit.”

Karena masih belum percaya dan penasaran karena pedang mereka tadi dirampas, Shoatang Ji-lihiap maju bersama melakukan serangan!

“Bagus tipu Ular Melintas Sungai dan Harimau Menyabet Dengan Ekornya ini!”

Han Liong berseru menyebut tipu-tipu mereka, lalu ia menggerakkan tubuhnya. Kedua nona itu melihat tubuh pemuda itu berkelebat di antara sambaran pedang mereka dan tahu-tahu pemuda itu lenyap dari penglihatan mereka. Mereka membalikkan tubuh dan ternyata Han Liong sudah berdiri di situ sambil tersenyum!

“Kenalkah kalian gerakanku tadi? Itu adalah lompatan Naga Sakti Mengejar Mustika, tentu kalian kenal, bukan? Nah, ayo, jangan tertegun seranglah lagi!”

Kedua kakak beradik itu menyerang dengan lebih hebat, tapi Han Liong dapat berkelit menggunakan kegesitan tubuhnya, sambil berkelit ia sebut tiap tipu kedua nona itu dan sekalian memperkenalkan gerakannya sendiri. Setelah kedua nona itu menyerang sepuluh jurus, maka heranlah mereka. Pemuda itu ternyata dapat menyebut tipu-tipu mereka dengan tepat dan gerakannya ketika berkelitpun adalah gerakan tipu silat guru mereka, namun ternyata pemuda itu jauh lebih gesit dan ringan badannya daripada guru mereka sendiri!

Si enci dengan segera menjatuhkan diri berlutut, “Susiok, ampunkanlah teecu yang berlaku kurang hormat karena tidak tahu.”

Si adik yang ternyata sifatnya memang angker dan keras, setelah berdiri ragu-ragu dan setelah encinya membelalakkan matanya, akhirnya ia berlutut juga dan menyebut, “Susiok!”

Han Liong tertawa dan menyuruh mereka bangun. “Tidak apa, nona berdua bukannya sengaja melawan paman guru. Memang kalau tidak bertempur kita tidak akan berkenalan. Hanya pesanku, janganlah terlalu mudah mencari perselisihan dengan orang, karena hal itu hanya akan menimbulkan keributan yang tak perlu saja.”

Kemudian Han Liong memperkenalkan Hong Ing dengan kedua nona itu, yang ternyata bernama Bwee Lan dan Bwee Hwa.

“Kailan begitu tersesa-gesa, sebenarnya ada urusan apakah?” kemudian Han Liong bertanya.

Bwee Lan berkata dengan sedih. “Susiok, sebenarnya karena kami sedang menghadapi urusan hebat, maka berlaku sembrono dan adikku karena bingung dan sedih menjadi mudah naik darah. Teecu berdua sedang menuju ke kota Tong Hai mencari suhu untuk memohon pertolongannya.”

“Ada apakah?” tanya Han Liong penuh perhatian.

“Celaka, susiok. Supek Lie Kiam telah dilukai orang dan puteranya yang baru berusia lima tahun diculik penjahat. Sampai di sini ia menangis, kemudian setelah reda lagi tangisnya, Bwee Lan menyambung ceritanya, “Penjahat yang menculik itu memberi waktu sampai malam hari ini, jika tidak ada orang datang membawa uang tebusan lima ribu tali perak, maka anak supek itu akan dibunuh!”

“Berapa jauhkah tempat kediaman penculik itu?” tanya Han Liong.

“Ia berdiam di bukit Lui-san, kira-kira perjalanan setengah hari dari sini bila naik kuda cepat. Teecu khawatir terlambat.”

“Hm, kalau begitu, biarlah aku mewakili suhumu dan mari kita segera berangkat saja menuju ke Lui san.”

“Tapi... susiok,” kata Bwee Hwa yang sejak tadi diam saja, “Penculik itu adalah Ban Hok si Harimau Hitam. Ilmunya sangat tinggi, sedangkan supek sendiri terluka olehnya dalam pertempuran!” Dengan kata lain, Bwee Hwa sebenarnya merasa sangsi apakah susioknya yang muda itu akan dapat melawan Ban Hok. “Dan lagi, uang tebusannya sangat banyak...”

“Jadi kalian ini pergi mencari Bhok suheng untuk minta diusahakan uang tebusan?”

Kedua nona itu mengangguk. “Apakah Bhok suheng itu orang kaya dan banyak uang?”

Dua murid keponakannya iu menggeleng-geleng kepala.

“Habis, darimana suhu kalian bisa memperoleh uang itu?” tanya Han Liong pula.

“Maksud teecu hanya minta nasehat dan pikiran suhu, karena siapa lagi yang harus kami tangisi dan siapa lagi dapat menolong supek dan puteranya,” jawab Bwee Lan.

“Nah. Kalau begitu sama saja halnya. Suhumu tidak punya uang, sedangkan aku sendiri, terus terang saja juga tidak punya uang sedemikian banyak. Tapi mungkin dapat kuusahakan untuk menolong putera suheng Lie Kiam itu. Dan, kalau kita harus mencari Bhok suheng dulu, dikhawatirkan kita akan terlambat untuk menolong jiwa anak itu.”

Bwee Lan dan adiknya tak dapat membantah lagi, maka mereka segera berangkat membalapkan kudanya. Di sepanjang jalan, ternyata Bwee Hwa yang nakal dan suka bicara itu cepat sekali dapat menjadi akrab dengan Hong Ing yang tidak kalah cerewetnya! Kedua enci adik itu sedikitpun tidak menyangka bahwa Hong Ing adalah seorang wanita, karena Han Liong memperkenalkannya sebagai adiknya laki-laki!

Tapi diam-diam Bwee Lan agak jemu melihat Hong Ing yang dianggapnya seperti lelaki ceriwis! Ia juga menyesalkan mengapa Bwee Hwa demikian rapat merendengkan kudanya sambil bicara dengan gembira dan diselingi senda gurau!

Sebaliknya, melihat susioknya, ia merasa segan karena pemuda itu terlampau pendiam. Kalau saja Han Liong itu bukan susioknya, demikian pikir Bwee Lan. Terhadap seorang paman guru tentu saja ia tidak berani memperlakukan sebagai seorang kawan, karena dalam tingkatan mereka, Han Liong adalah termasuk 'golongan tua'!