Kisah Sepasang Naga Jilid 19 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

KISAH SEPASANG NAGA JILID 19

Pada saat ia menduga-duga, tiba-tiba di bawah genteng terdengar suara orang berjalan dan ia cepat mengintai dari celah-celah genteng. Hatinya berdebar keras ketika melihat bahwa yang berjalan dengan pedang berkilauan di tangan itu adalah Sin Wan! Ia merasa marah sekali karena hatinya takkan rela kalau pemuda itu mendahuluinya dan membinasakan musuh besar Ayahnya.

Maka tanpa banyak pikir lagi Giok Ciu lalu melayang turun untuk menegur dan mengusir Sin Wan. Tapi pada saat itu dari dalam gedung keluarlah seorang tinggi besar yang langsung menyerang Sin Wan dengan sebatang tongkat ular. Ternyata yang datang ini adalah Kwi Kai Hoatsu!

“Tosu siluman, sekarang takkan kulepaskan lagi kau!” kata Sin Wan dengan marah dan menangkis dengan Pek Liong Pokiam.

Pada saat itu Giok Ciu telah turun dan tanpa banyak cakap lagi ia kerjakan Ouw Liong Pokiam untuk menyerang Kwi Kai Hoatsu, hingga tosu itu terkejut sekali. Menghadapi Sin Wan seorang saja ia tidak mampu menang, sekarang ditambah kehadiran gadis lihai ini. Ia mundur dengan jerih.

Sin Wan juga terkejut melihat Giok Ciu. Hampir saja ia berseru memanggil, tapi melihat betapa muka gadis itu tampak marah dan sama sekali tidak memperdulikan padanya, ia juga diam saja, tapi mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menamatkan pertempuran ini.

Pada saat Kwi Kai Hoatsu terdesak dan berada dalam keadaan berbahaya sekali, dari dalam terdengar orang berseru keras dan tahu-tahu Cin Cin Hoatsu telah melayang dan dengan bentakan nyaring ia menggunakan ujung lengan bajunya menyerang Sin Wan!

Pemuda ini melihat datangnya serangan yang demikian hebat, cepat merobah gerakan pedangnya dan menangkis, Cin Cin Hoatsu dapat merasa betapa sambaran pedang pemuda itu hebat sekali, maka ia tidak berani melanjutkan serangannya karena maklum bahwa ujung bajunya tentu akan terbabat putus, maka ia meloncat ke belakang sabil berjumpalitan.

“Ha ha ha! Kusangka siapakah tamu-tamu malamku, tidak tahunya kedua pemberontak muda ini! Memang telah kuduga bahwa kalian tentu akan datang juga akhirnya. Maka menyerahlah sebelum kalian mampus di ruangan ini!”

Sementara itu, melihat datangnya musuh besar ini, Giok Ciu juga meninggalkan Kwi Kai Hoatsu dan kini menuding sambil memaki dengan marah sekali, “Cin Cin, Pendeta palsu! Kalau kau memang laki-laki sejati, hayolah kau layani aku seribu jurus untuk menentukan siapa yang lebih unggul! Kau telah membunuh mati Ayahku, apakah sekarang kau begitu pengecut untuk menghindari puterinya yang hendak menuntut balas?”

“Ha ha ha, nona cantik. Sungguh aku beruntung sekali mendapat kehormatan untuk melayanimu! Kau kira kau akan dapat menangkan aku? Pula, andaikata kau dapat menangkan aku juga, kau kira akan dapat lolos dari sini dengan aman? Ketahuilah, kini lebih dari dua puluh pahlawan istana kini telah mengepung gedung ini untuk menangkap kalian!”

Giok Ciu dan Sin Wan terkejut juga mendengar ini. Mereka telah masuk perangkap! Pada saat itu, dari atas genteng melayang turun bayangan orang dan ternyata yang turun itu adalah Gak Bin tong dengan pedang di tangan.

“Kwie Lihiap, jangan takut, aku membantumu!” katanya dengan gagah.

Cin Cin Hoatsu tertawa bergelak-gelak lalu dari punggunya ia mengeluarkan sebatang pedang dan dari ikat pinggang ia mencabut hudtimnya yang warna. Ia lalu menyerang ke arah Giok Ciu dengan gerakan cepat dan kuat sekali. Gadis itu tidak menjadi jerih, bahkan ketika tahu bahwa ia telah dikepung, ia hendak berlaku nekad dan mengadu jiwa. Ia menggerakkan Ouw Liong Pokiam sedemikian rupa hingga Cin Cin Hoatsu kagum sekali. Ternyata bahwa kepandaian gadis ini lihai sekali, bahkan kiam-hoatnya aneh dan tak mampu ia memecahkannya!

Ketika ia mengadu lweekang dan menggunakan pedangnya hendak menyampok pedangnya hendak menyampok pokiam Giok Ciu, kembali ia terheran karena lweekang gadis muda itupun tidak berada di bawah tingkatannya! Tadinya ia mentertawakan Suhengnya, yakni Kwi Kai Hoatsu yang memuji-muji kepadaian Sin Wan dan Giok Ciu di depan Sutenya, tapi kini ia setelah merasakan sendiri kelihaian Giok Ciu, diam-diam merasa jerih dan bingung. Sementara itu, Sin Wan gunakan pokiamnya mendesak Kwi Kai Hoatsu!

Sedangkan Gak Bin Tong yang merasa bahwa kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat mereka yang bertempur, hanya berdiri dengan pedang di tangan melihat jalannya pertempuran. Pada saat yang sangat tidak menguntungkan itu, Cin Cin Hoatsu lalu bersuit keras memberi tanda kepada para pahlawan raja yang mengepung gedung itu untuk turun tangan membantu. Tapi biarpun berkali-kali ia bersuit dan berseru memberi tanda tak satupun bayangan kawan-kawannya tampak turun!

Hal ini aneh sekali dan ia merasa sangat gelisah dan terkejut. Juga Gak Bin Tong yang sebenarnya adalah pengatur dari jebakan ini, tiba-tiba menjadi pucat dan diam-diam merasa cemas sekali. Ia tahu bahwa kepandaian Sin Wan dan Giok Ciu hebat sekali dan kedua imam itu agaknya akan kalah. Ia merasa gemas sekali mengapa tanpa diduga sama sekali Sin Wan bisa datang di situ dan mengacau rencananya.

Tapi yang mengherankan sekali, mengapa dua puluh orang gagah yang berada di sekitar tempat itu tidak muncul-muncul? Ia ingin sekali meloncat naik dan melihat mereka, tapi kwhatir kalau-kalau gerakan ini akan terlihat oleh Sin Wan dan Giok Ciu hingga menimbulkan kecurigaan, maka ia diam saja sambil berdiri bingung. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa dua puluh orang yang menjaga di sekeliling tempat itu, semuanya telah kaku karena tertotok oleh tangan yang luar biasa gerakannya!

Dengan gerakan Pek-Liong Ciau-Hai atau Naga Putih Lintasi Laut, pedang Sin Wan akhirnya berhasil menusuk leher Kwi Kai Hoatsu yang berteriak keras dan roboh di atas lantai. Setelah berhasil merobohkan lawannya, tanpa banyak cakap lagi Sin Wan lalu menerjang Cin Cin Hoatsu yang masih bertempur seru melawan Giok Ciu. Gadis itu merasa gemas sekali melihat Sin Wan ikut menyerbu, maka berkata marah,

“Jangan mencampuri urusanku, biarkan aku membalas sendiri sakit hati Ayahku!” Sin Wan menjawab,

“Bukan hanya engkau yang menaruh dendam, aku juga ingin membalaskan sakit hati Kwie-Suhu!” lalu ia menggerakkan pedangnya dengan hebat. Giok Ciu kertak gigi dan perhebat serangannya karena ia tak ingin didahului oleh Sin Wan. Kembali sepasang pedang pusaka itu seakan-akan berlumba memperebutkan pahala.

Cin Cin Hoatsu merasa takut sekali ketika tiba-tiba kedua lawannya yang masih muda itu lenyap dari pandangan matanya dan seakan-akan berubah menjadi dua sinar hitam putih yang bergulung-gulung menyerang dirinya, seakan-akan sepasang naga hitam dan naga putih yang mencakar-cakar dan menyambar-nyambar.

Imam yang sesat itu menjadi terdesak dan ia masih mencoba untuk menangkis dengan pedang dan kebutannya. Dalam bingungnya ia teringat akan paman gurunya yang berjanji hendak datang. Mengapa belum juga susioknya itu muncul? Ia berseru,

“Susiok... bantulah... susiok...”

Tapi Sin Wan dan Giok Ciu tak memberi ketika kepadanya untuk berteriak-teriak terus, karena dengan gerakan mematikan kedua pokiam itu berbareng menyambar dan tahu-tahu telah menembusi dada musuh besar itu dari kanan kiri! Pedang dan kebutan Cin Cin Hoatsu terlepas dan tangan, tubuhnya kejang dan ketika dua pedang itu ditarik keluar, tubuhnya terhuyung dan akhirnya mandi darah!

Giok Ciu yang masih merasa penasaran karena lagi-lagi Sin Wan telah memperlihatkan ketangkasannya hingga robohnya musuh besar inipun disebabkan oleh serangan mereka yang berbareng, segera maju dan mengayunkan pedangnya hingga putuslah kepala Cin Cin Hoatsu!

Tapi Sin Wan setelah melihat betapa musuh besar itu dapat dibinasakan, kini menghampiri Gak Bin Tong yang berdiri dengan wajah pucat. Sikap Sin Wan yang menakutkan itu membuat ia mundur-mundur hingga sampai di tembok. Giok Ciu berpaling dan kaget melihat sikap Sin Wan.

“Bangsat hina dina! Laki-laki rendah! Kalau belum membunuh engkau, aku takkan merasa puas!” terdengar Sin Wan berkata perlahan.

“Saudara Bun... jangan... jangan... mengapa kau hendak membunuh...?” Gak Bin Tong merasa takut melihat wajah Sin Wan yang menyeramkan karena menahan marah dan gemasnya.

Tapi Sin Wan tak dapat banyak berkata lagi, dengan loncatan cepat ia mengayun Pek Liong Pokiam ke arah leher Gak Bin Tong yang mencoba menangkis dengan pedangnya.

“Tranggg...!”

Terdengar suara keras sekali dan pedang pemuda she Gak itu putus menjadi dua potong! Ketika Sin Wan menyerang untuk kedua kalinya, tiba-tiba sinar hitam berkelebat dan tahu-tahu pedangnya telah tertangkis oleh pedang Giok Ciu!

“Pengecut hina juga kau main bunuh saja orang yang lebih lemah! Lebih pantas kau bunuh dirimu sendiri, atau kau bunuh aku!” kata Giok Ciu.

Sin Wan balas memandang dengan marah. “Hem, jadi kau juga telah kena tipuannya dan pikatnya? Bagus! Bertambahlah alasanku untuk membinasakan anjing ini!”

Kembali ia menyerang Gak Bin Tong tanpa perdulikan Giok Ciu, tapi gadis itu yang merasa dipandang rendah sekali, lalu menggerakkan pedangnya menangkis lagi hingga sebentar saja mereka berdua lalu bergebrak seru sekali. Tapi pada saat itu terdengar suara wanita yang nyaring dan merdu, dibarengi suara tertawa aneh,

“Suhu, kau rampas pedang mereka!”

Dari atas melayang turunlah tubuh seorang yang tinggi besar. Tangan kiri orang itu memegang lengan tangan seorang wanita yang riap-riapan rambutnya. Begitu turun, orang tinggi besar itu melepaskan tangan wanita itu, lalu ia maju cepat menghampiri Sin Wan dan Giok Ciu yang sedang bertempur. Beberapa kali ia berloncat-loncatan dan kedua tangannya bergerak secara aneh dan tahu-tahu Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam telah terampas olehnya!

Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali karena tengah mereka bertempur, tiba-tiba mereka melihat bayangan orang yang bergerak secara aneh di dekat mereka dan ada gerakan angin menyambar dan menyerang jalan-jalan darah mereka hingga mereka segera berkelit. Tidak tahunya, tiba-tiba pedang mereka secara gaib telah terlepas dan terampas oleh bayangan itu. Sungguh satu gerakan ilmu merampas senjata dengan tangan kosong yang hebat sekali!

Orang itu tertawa bergelak-gelak dan angsurkan kedua pedang kepada wanita yang menyebutnya Suhu. Ketika Sin Wan dan Giok Ciu memandang, mereka terkejut sekali karena orang tinggi besar yang merampas pedang mereka itu ternyata bukan lain ialah si jembel gila yang dulu pernah menolong mereka. Tapi lebih hebat kekagetan mereka ketika mereka lihat wanita muda yang menjadi murid si kakek gila itu, karena biarpun pakaiannya seperti orang gila dan rambutnya riap-riapan menutupi muka, mereka masih mengenali bahwa wanita itu bukan lain orang ialah Suma Li Lian adanya!

Tak terasa lagi, dari mulut Sin Wan keluar seruan tertahan dan ia berbisik, “Suma-Siocia... engkau...?”

Sementara itu, Gak Bin Tong yang tadinya berdiri mepet di tembok karena merasa takut kepada Sin Wan kini memandang Suma Li Lian dengan kedua mata terbelalak ngeri. Juga ia memandang kakek tinggi besar itu dengan heran karena tidak tahu siapakah orang yang aneh dan luar biasa ini.

Suma Li Lian menerima kedua pedang Pek Liong dan Ouw Liong Pokiam di tangan kanan kiri dan memutar-mutar kedua senjata itu sedemikian rupa sehingga Sin Wan dan Giok Ciu tak terasa lagi saling pandang dengan bengong, karena gerakan-gerakan gadis itu adalah tipu-tipu silat Sin-Liong Kiam-Sut!

Kemudian mereka merasa ngeri ketika mendengar gadis itu tertawa pula bergelak-gelak seperti suara ketawa kakek gila itu. Suma Li Lain memandang kedua pedang itu berganti-ganti, lalu ia mendekati Sin Wan dan Giok Ciu. Pandang mata gadis yang agaknya telah menjadi gila itu membuat Sin Wan dan Giok Ciu tak terasa pula mundur satu tindak kebelakang.

“Ha ha ha, kau... kau... orang! Orang-orang bodoh... ha ha ha! Sin Wan, kau telah mengecewakan dan menghancurkan hati seseorang, tapi kau telah menerima balasanmu. Kau juga dikecewakan, bukan? Ha ha ha! Itulah cinta! Cinta gila yang membuat orang-orang menjadi gila pula!

Kau cinta kepada Giok Ciu? Tentu saja, gadis itu cantik jelita. Kalau Giok Ciu telah bercacat, telah menjadi gila seperti aku, masih akan cintakah kau padanya? Tak mungkin... ha ha ha... inilah cinta!”

Sin Wan memandangnya dengan muka menjadi merah. Pemuda itu merasa kasihan sekali melihat betapa Li Lian menjadi demikian, tapi ia juga merasa heran betapa ucapan-ucapan gila itu menikam jantungnya seakan-akan ucapan itu mengandung filsafat yang nyata. Kemudian gadis gila itu memandang kepada Giok Ciu.

“Kau... ha ha ha! Kau lebih gila lagi! Kau bodoh dan mudah tertipu. Kau terlalu menurutkan perasaan hatimu, tidak mau menggunakan pertimbangan sehat! Kau mencinta Sin Wan? Bohong! Cintamu palsu. Kalau betul mencinta mengapa sedikit rasa cemburu saja dapat merobah cintamu menjadi benci. Itu bukan cinta! Kau mencinta diri sendiri! Giok Ciu... kau gadis tolol. Ha ha ha...”

Dan Giok Ciu terbelalak heran. Ia tidak tahu harus berbuat bagaimana. Menurut rasa hatinya, ingin ia menyerang gadis ini dan merampas kembali pedangnya. Tapi ia malu, karena baru saja gadis gila itu menyatakan bahwa ia terlampau menurutkan perasaan hatinya!

Kemudian Suma Li Lian membalikkan tubuh dengan cepat sekali, dan dengan tindakan perlahan dan mengancam ia menghampiri Gak Bin Tong! Pemuda itu melihat hal ini menjadi takut sekali dan tubuhnya bergemetar bagaikan api lilin besar yang berada di ruang itu dan pada saat itu tertiup angin. Sementara itu, kakek tua gila itu menjatuhkan diri duduk dan menyandarkan diri di tembok, melenggut, dan sebentar lagi ia mendengkur!

“Gak Bin Tong, manusia rendah! Bukan... bukan manusia, kau binatang hina! Dosamu besar sekali dan kau lebih gila daripada segala yang gila! Kau telah menodaiku, menghancur-leburkan hidupku, tapi secara pengecut sekali kau telah melemparkan tanggung jawab perbuatanmu itu kepada Sin Wan! Kau tidak hanya merusak hidupku, tapi kaupun merusak perhubungan dan kebahagiaan sepasang kekasih itu! Ha ha ha! Tahukah apa hukumannya karena kau telah menipuku dan berpura-pura menjadi Sin Wan lalu memasuki kamarku! Ha ha ha! Lihatlah dua pedang ini. Dengan pedang ini, aku hendak mengeluarkan jantungmu! Hendak kulihat apakah jantungmu berwarna hitam atau merah!” Sambil berkata demikian, ia maju makin dekat.

Terdengar seruan tertahan dari Giok Ciu, karena gadis ini ketika mendengar pengakuan dan keterangan Li Lian yang membuka rahasia persoalan menjadi demikian terkejut dan terharu hingga ia memekik perlahan dan menangis sambil menggunakan kedua tangan menutupi mukanya! Ia merasa malu, menyesal dan marah kepada Gak Bin Tong. Ternyata Sin Wan benar-benar tak pernah melakukan perbuatan sesat sebagaimana yang dikiranya!

Sin Wan tetap bersih, dan Gak Bin Tong pemuda jahanam itulah gara-gara semuanya. Kini terbuka matanya betapa ia telah tertipu oleh pemuda muka putih itu, betapa pemuda itu sebenarnya adalah pengkhianat dan Pertolongan yang diberikan padanya sekarang ini sebetulnya hanyalah sebuah perangkap untuk menangkap dan menjatuhkannya!

Ah, betapa bodohnya, betapa tololnya. Benar belakalah kata-kata Li Lian tadi yang mengatakan bahwa ia adalah seorang gadis bodoh dan tolol! Tapi, demikian pikirnya, setolol-tolol dia masih lebih tolol Suma Li Lian yang dapat terpedaya oleh Gak Bin Tong! Maka ia lalu membuka tangannya dan sambil menahan tangis ia melihat kepada gadis yang telah berada di hadapan Gak Bin Tong.

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Pemuda muka putih itu dengan bibir gemetar berkata, “Li Lian... Li Lian... ampunilah aku... Biarlah aku menebus dosa-dosaku dan merawatmu baik-baik... Li Lian, mana anakku...? Marilah kita mulai hidup baru lagi, kau ampunilah aku, Li Lian?”

Terdengar pekik ngeri dari mulut Li Lian, seakan-akan kata-kata ini menusuk anak telinganya. “Bangsat rendah! Jangan ulangi kata-kata palsu itu! Siapa yang sudi mendengarnya? Tahukah kau bahwa jika kuketahui kaulah orangnya yang menggangguku, pada saat itu juga aku lebih baik membunuh diriku? Siapa sudi dicinta olehmu? Cintamu kotor dan hina. Rasakanlah sekarang pembalasanku!”

Setelah berkata demikian, Li Lian maju menyerang dengan kedua pedang di kanan kiri, menyabet ke arah leher Gak Bin Tong. Sebetulnya kepandaian Gak Bin Tong bukanlah lemah dan kalau baru Li Lian saja yang hanya belajar silat selama satu bulan, tak mungkin dapat melawannya, biarpun gadis itu menyakinkan ilmu silat yang mujijat.

Akan tetapi, pada saat itu Gak Bin Tong telah kehilangan tiga perempat bagian semangatnya yang membuatnya lemas dan lambat. Ia telah putus asa melihat ancaman-ancaman Sin Wan dan kini setelah rahasianya terbuka oleh Li Lian, tentu Giok Ciu takkan dapat mengampuninya pula. Juga, selain tiga orang ini, masih ada lagi kakek gila yang duduk melenggut sambil mendengkur itu.

Ia maklum bahwa jembel itu tentu seorang sakti, karena ia dapat menduga bahwa dua puluh orang pahlawan yang kini tidak muncul-muncul itu tentu telah dibuat tak berdaya oleh kakek jembel itu! Maka apakah harapannya untuk tinggal hidup? Keputus-harapan inilah membuat ia setengah hati untuk menahan serangan Li Lian yang biarpun lemah tapi telah mempelajari ilmu silat aneh.

Dengan mudah saja sambil menundukkan kepala, Gak Bin Tong dapat mengelit dua pedang yang menyambar di atas kepalanya, tapi pada saat itu Li Lian mengeluarkan teriakan demikian gila dan menyeramkan hingga seluruh tubuh Gak Bin Tong terasa lemas! Inilah lweekang luar biasa yang diajarkan oleh kakek gila itu, dan teriakan ini cukup untuk melumpuhkan seorang yang lweekangnya belum begitu tinggi. Bahkan Sin Wan dan Giok Ciu yang mendengar pekik gila ini, merasa betapa dada mereka berdebar aneh dan keras!

Pada saat Gak Bin Tong memandang kepada Li Lian dengan mata terbelalak takut dan tubuhnya lemas, sepasang pedang hitam dan putih itu meluncur cepat dan tahu-tahun telah menusuk dada Gak Bin Tong hingga tembus!

Li Lian tertawa bergelak-gelak, tapi pada saat itu dari pintu di belakang Gak Bin Tong yang terbuka menyambar angin besar yang membuat tubuh Li Lian terlempar keras dan jatuh di pangkuan kakek jembel gila yang sedang melenggut. Ketika kakek gila itu membuka matanya, ternyata muridnya telah meringkuk di atas pangkuannya dalam keadaan mati! Juga Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali. Mereka tahu bahwa Li Lian telah terkena pukulan dari jauh yang dilakukan oleh orang berilmu tinggi.

Mereka tidak berani sembarangan bergerak, hanya berlaku waspada dan hati-hati menjaga segala kemungkinan. Jembel gila itu beberapa kali meraba jidat Li Lian. Tiba-tiba ia meletakkan tubuh muridnya di atas lantai, lalu ia berdiri dan menangis! Suara tangisan ini diseling-seling suara tertawa yang terdengar sangat aneh dan membuat bulu tengkuk Sin Wan dan Giok Ciu meremang karena merasa ngeri.

Dan pada saat itu dari pintu di dekat tempat Gak Bin Tong berdiri, muncullah seorang tosu tua sekali dengan tubuh bongkok dan tongkat di tangan. Ia memasuki ruangan itu dan kedua matanya yang tajam menyambar-nyambar. Ia melihat betapa Cin Cin Hoatsu dan Kwi Kai Hoatsu rebah mandi darah dan mati di atas lantai, maka ia membuka mulutnya dan bertanya dengan suara kecil tinggi bagaikan suara kanak-kanak.

“Siapa orangnya yang berani membunuh kedua orang ini?”

Tapi pada saat itu, lain suara terdengar, dan sungguh jauh bedanya dengan suara kakek bongkok tadi, karena suara ini terdengar besar, parau, dan bernada aneh dan janggal.

“Siapa orangnya yang berani membunuh muridku ini?”

Kakek bongkok ini tujukan pandang matanya kepada si jembel gila yang berdiri di sudut lain. Ia memandang heran dan bertanya, “Siapa pulakah orang gila ini?” tanyanya. “He, siapa namamu dan ada apakah kau berada di sini?”

Jembel gila itu balas memandang. “Siapa aku, siapa namamu? Aku sendiri tidak tahu. Aku adalah aku, dan mengapa aku berada di sini, entahlah. Tapi siapa yang telah membunuh muridku ini? Kaukah, orang bongkok?”

Si bongkok tersenyum. “Ya, akulah yang melakukan itu. Kau tidak mau memberitahukan nama, tapi aku tidak demikian pengecut. Pinto adalah Beng Hoat Taisu dan kedua orang ini adalah murid-murid keponakanku. Nah, sekarang jawablah, kau siapa orang gila?”

Si jembel gila itu mendengar pengakuan ini maju perlahan-lahan dan tertawa-tawa sambil menangis. “Kau membunuh mati dia? Kalau begitu aku harus membunuhmu juga!”

Beng Hoat Taisu tertawa kecil. Ia belum pernah melihat orang ini dan belum pernah pula mendengar seorang tokoh persilatan yang seperti orang gila ini, maka ia memandang rendah sekali. Sebaliknya, ia berhati-hati terhadap Sin Wan dan Giok Ciu, karena kedua anak muda ini tampaknya memiliki kepandaian tinggi. Maka ia lalu menujukan pertanyaannya kepada mereka,

“He, orang-orang muda! Siapakah yang membunuh Cin Cin Hoatsu dan Kwi Kai Hoatsu?”

“Aku yang membunuh mereka!” jawab Sin Wan dengan gagah.

“Bukan, akulah yang membunuh mereka!” kata Giok Ciu tak mau kalah.

Tiba-tiba terdengar gelak tawa si jembel gila dan dari tangannya menyambar seutas tali panjang yang meluncur cepat dan membelit gagang kedua pedang yang masih menancap di tubuh Gak Bin Tong yang telentang. Sekali sendal saja, kedua pokiam itu tercabut keluar dan sendalan kedua membuat kedua pedang itu melayang ke arah Sin Wan dan Giok Ciu!

Kedua pemuda pemudi itu segera mengulurkan tangan dan menyambut pedang mereka dengan girang dan kagum sekali. Sebenarnya mereka tadi hendak mengambil pedang mereka dari tubuh Gak Bin Tong, tapi mereka kuatir kalau-kalau kakek bongkok yang lihai itu menyerang mereka.

Melihat kelihaian jembel gila itu, si kakek bongkok merasa heran sekali. Ia lalu menjura dan sekali lagi bertanya, “Toheng siapakah sebenarnya nama dan julukanmu?”

Si jembel kini telah maju dekat dan berdiri di hadapan Beng Hoat Taisu. “Aku adalah aku dan mengapa kau bunuh mati muridku? Aku harus membunuh kau!”

Marahlah Beng Hoat Taisu mendengar ini karena ia merasa dipandang rendah sekali. “Orang gila, baiklah kuantar kau menyusul muridmu!”

Baru saja kata-katanya habis diucapkan tiba-tiba tongkatnya bergerak dan cepat sekali meluncur ke arah dada si jembel gila merupakan totokan maut yang berbahaya sekali. Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali, tapi si jembel gila sambil mengeluarkan suara ketawa bergelak lalu bergerak dengan aneh dan tahu-tahu ia telah dapat berkelit dan talinya yang kecil panjang itu meluncur dalam serangan balasan!

Beng Hoat Taisu tak berani memandang rendah serangan ini dan menangkis dengan tongkatnya. Tapi tali itu bergerak bagaikan ular dan ujungnya dapat membelit tongkat itu lalu ditarik untuk merampas tongkat lawan. Mereka berdua mengerahkan tenaga, tapi ternyata tenaga lweekang mereka sama kuat hingga tali dan tongkat itu masing-masing masih terpegang kencang, sama sekali tidak dapat terbetot!

Si jembel gila tertawa keras dan talinya mengendur dan melepaskan belitan, lalu mereka bertempur pula. Sin Wan dan Giok Ciu yang tahu bahwa jembel gila itu berdiri di fihak mereka, lalu maju membantu dengan pedang mereka di tangan. Tapi mereka segera mundur kembali dengan kaget, karena sekali saja pedang mereka beradu dengan tongkat Beng Hoat Taisu, mereka merasakan tangan mereka linu dan lemas, tenaga mereka terpukul kembali oleh tenaga si bongkok yang benar-benar lihai dan memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari mereka.

Pada saat itu, terdengar seruan-seruan ramai dan ternyata dua puluh pengawal keraton Kaisar yang tadinya tertotok tak berdaya oleh si jembel gila, kini berserabutan masuk dengan senjata di tangan mereka. Mereka tadi telah tertolong oleh Beng Hoatsu Taisu yang baru saja datang, dan setelah mereka dapat bergerak kembali, lalu membawa senjata masing-masing dan maju menyerbu!

Karena tidak tahu akan kelihaian si jembel, mereka sambil berteriak-teriak membantu Beng Hoat Taisu dan menyerang si jembel. Tapi sekali saja si jembel gila itu menggerakkan talinya yang aneh, tali itu bersiutan nyaring dan empat orang roboh dengan kulit terbeset dan mengeluarkan darah karena kena di cambuk oleh ujung tali itu!

Kini mereka mundur dengan jerih, lalu menujukan perhatian mereka kepada Sin Wan dan Giok Ciu. Melihat kedua anak muda ini, ramailah mereka menyerbu hendak menangkap. Sin Wan dan Giok Ciu memutar pedang mereka dan pertempuran hebat terjadi di dalam ruang gedung yang sangat luas itu.

Sementara itu, Beng Hoat Taisu dan si jembel gila telah lenyap dari pandangan mata. Tubuh kedua orang tua aneh dan berilmu tinggi itu telah tertutup sama sekali oleh sinar kedua senjata mereka yang walaupun hanya tongkat biasa dan tali saja, namun kehebatannya jauh melebihi puluhan senjata tajam terbuat daripada baja tulen!

Angin gerakan kedua kakek itu membuat kursi dan meja bergoyang-goyang dan menimbulkan suara berdesir-desir. Karena tidak merasa puas dengan adu tongkat dan tambang, mereka lalu melempar kedua senjata itu ke lantai, dan mulai berhantam dengan menggunakan sepasang kaki dan tangan!

Pertempuran dilanjutkan dengan lebih mati-matian. Beng Hoat Taisu merasa penasaran dan heran sekali, karena selama hidupnya yang sudah lebih dari tujuh puluh tahun itu, belum pernah ia bertemu dengan seorang lawan yang demikian tangguhnya. Mungkin tak lebih tangguh daripada Bu Beng Lojin yang pernah juga menjatuhkannya, tapi ilmu pukulan si jembel ini sungguh-sungguh aneh sekali!

Gerakan-gerakannya tak teratur sama sekali, pukulan-pukulannya ngawur belaka namun, tiap kali serangannya seperti akan mendatangkan hasil baik, tiba-tiba saja gerakan si jembel itu berubah dan tepat sekali dapat menangkisnya atau berkelit seakan-akan di seluruh bagian tubuh jembel itu ada matanya yang melihat datangnya bahaya!

Juga, serangan-serangan ngawur yang dilancarkan oleh si jembel ini, sungguh-sungguh sukar diduga. Kalau serangannya seperti yang tepat dan hampir berhasil, tiba-tiba jembel itu dan menarik kembali tangannya, sedangkan jika serangannya dapat ditangkis atau dikelit oleh Beng Hoat Taisu, tiba-tiba serangan yang gagal itu masih dapat dilanjutkan dengan serangan lain yang terlebih lihai dan aneh!

Beng Hoat Taisu adalah seorang tosu kelas satu dari pegunungan Tibet dan ia telah terkenal sekali sebagai seorang jagoan kelas tertinggi dan sukar dicari bandingannya pada masa itu. Hampir semua jago-jago silat di Tibet mapun di daratan Tiongkok, telah dicobanya dan belum pernah ia menderita kekalahan. Paling buruk tentu bermain seri, yakni ketika ia melawan jago-jago dari seluruh Tiongkok Selatan dan jago-jago dari seluruh Mongol.

Baru tiga kali ia pernah benar-benar dikalahkan orang, yakni ketika bertemu dan melawan Bu Beng Lojin dan paling akhir ketika ia bertemu dengan Pai-San Sianjin dan Nam-Hai Sianjin dua orang tokoh terbesar di Tiongkok timur. Tapi ketiga orang inipun hanya menang sedikit saja darinya. Ia mengira tadinya bahwa hanya tiga orang itulah yang memiliki kepandaian lebih tinggi darinya.

Tapi sungguh tidak dinyana, ini hari ia bertemu dengan seorang jembel gila yang memiliki kepandaian sungguh-sungguh istimewa dan aneh. Pula, angin gerakan pukulan si jembel gila itu seperti mendatangkan hawa gila yang menyeramkan dan aneh, hingga seakan-akan ia merasa seperti sedang bertempur melawan mahluk bukan manusia. Ia takkan ragu-ragu untuk percaya jika dikatakan bahwa ia sedang bertempur melawan iblis sendiri. Gerakan silat macam ini memang tak mungkin dicipta oleh manusia kecuali manusia iblis!

Beng Hoat Taisu mengerahkan tenaga batin dan lweekangnya untuk menjatuhkan jembel gila itu tapi selalu tenaganya ini buyar dan terpukul oleh hawa aneh yang keluar dari pukulan-pukulan dan gerakan si jembel. Tiba-tiba jembel gila itu tertawa lagi, nyaring dan panjang,

“Ha ha ha! Kau sungguh lihai, kau hampir selihai... Bu Beng...! Ya, kau hampir selihai Bu Beng!”

Mendengar ini, Beng Hoat Taisu menjadi terkejut. “Pernah apakah kau dengan Bu Beng Lojin?” tanyanya sambil mengirim serangan.

“Ha ha ha! Bu Beng kawan baikku. Kau kenal Bu Beng?” balas tanya jembel itu, suaranya mengandung keramahan hingga Beng Hoat Taisu menjadi heran.

“Aku kenal baik padanya,” jawabnya.

Tiba-tiba saja desakan si gila mengendur. “Kalau begitu, aku tidak jadi membunuhmu! Kau kawan baik Bu Beng! Ah... Murid, kau tunggu sajalah. Pasti tiba saatnya pembunuh ini menemui maut, dan aku juga tentu akan menyusulmu kelak... Ha ha ha!”

Setelah berkata demikian, jembel gila itu meniup keras ke arah muka lawannya. Tiupan ini demikian hebat dan bertenaga hingga cepat sekali Beng Hoat Taisu berkelit, namun masih saja jenggot dan rambutnya yang panjang putih berkibar-kibar bagaikan tertiup angin besar! Ia menjadi kaget sekali, tapi pada saat itu si jembel gila telah meloncat mendekati Sin Wan dan Giok Ciu.

Pada saat si jembel tadi bertempur dengan hebatnya melawan Beng Hoat Taisu, kedua orang muda itu mengamuk dan biarpun dikeroyok oleh belasan orang pengawal-pengawal Kaisar yang berkepandaian tinggi, namun Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam menyambar-nyambar demikian hebatnya hingga sebentar saja beberapa orang telah menjadi kurban dan sisa pengeroyok mereka menjadi jerih.

Pada saat mereka masih mainkan pedang, tiba-tiba Sin Wan dan Giok Ciu merasa betapa lengan tangan mereka di betot orang dan mereka tahu bahwa si jembel itu mengajak mereka pergi. Mereka meloncat pula ke atas dan mengikuti si jembel yang telah lari lebih dulu sambil memondong tubuh Suma Li Lian yang telah menjadi mayat. Kakek jembel itu berhenti di sebuah hutan, lalu ia meletakkan muridnya di atas tanah sambil beberapa kali mengeluh,

“Muridku, kau sungguh kejam telah meninggalkan aku lebih dulu...” dan menitik keluarlah air mata dari kedua mata si kakek jembel.

Sementara itu, malam telah berganti fajar dan ayam mulai berkeruyuk, tapi masih saja kakek jembel itu berlutut di dekat jenazah muridnya, sedangkan Sin Wan dan Giok Ciu berdiri memandang keadaan kakek aneh itu dengan terharu. Tiba-tiba kakek itu tertawa lagi, dan suara ketawanya terdengar seperti biasa, terlepas dan gembira.

“Aah, lebih baik begini, muridku. Lebih baik begini. Bukankah sekarang kau telah terlepas dari semua kedukaan? Bukankah sekarang tiada orang lagi bisa mengganggumu? Aah, benar lebih baik begini, biarlah aku yang melanjutkan penderitaanmu. Kau harus dikubur, ya, kau harus dikubur!”

Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menggunakan kedua tangannya menggaruk-garuk tanah dengan maksud menggali lubang!

Sin Wan dan Giok Ciu merasa terharu sekali mendengar kata-kata itu. Biarpun kakek itu sangat mencinta muridnya, namun ia rela muridnya itu mati agar terlepas dari segala kesengsaraan.

Ah, inilah cinta! Inilah cinta suci, cinta yang tidak mengharapkan sesuatu untuk kesenangan diri. Cinta yang semata-mata didasarkan atas keinginan melihat orang yang dicintainya bahagia dan tidak menderita, biarpun harus mengurbankan perasaan sendiri...!

Kisah Sepasang Naga Jilid 19

KISAH SEPASANG NAGA JILID 19

Pada saat ia menduga-duga, tiba-tiba di bawah genteng terdengar suara orang berjalan dan ia cepat mengintai dari celah-celah genteng. Hatinya berdebar keras ketika melihat bahwa yang berjalan dengan pedang berkilauan di tangan itu adalah Sin Wan! Ia merasa marah sekali karena hatinya takkan rela kalau pemuda itu mendahuluinya dan membinasakan musuh besar Ayahnya.

Maka tanpa banyak pikir lagi Giok Ciu lalu melayang turun untuk menegur dan mengusir Sin Wan. Tapi pada saat itu dari dalam gedung keluarlah seorang tinggi besar yang langsung menyerang Sin Wan dengan sebatang tongkat ular. Ternyata yang datang ini adalah Kwi Kai Hoatsu!

“Tosu siluman, sekarang takkan kulepaskan lagi kau!” kata Sin Wan dengan marah dan menangkis dengan Pek Liong Pokiam.

Pada saat itu Giok Ciu telah turun dan tanpa banyak cakap lagi ia kerjakan Ouw Liong Pokiam untuk menyerang Kwi Kai Hoatsu, hingga tosu itu terkejut sekali. Menghadapi Sin Wan seorang saja ia tidak mampu menang, sekarang ditambah kehadiran gadis lihai ini. Ia mundur dengan jerih.

Sin Wan juga terkejut melihat Giok Ciu. Hampir saja ia berseru memanggil, tapi melihat betapa muka gadis itu tampak marah dan sama sekali tidak memperdulikan padanya, ia juga diam saja, tapi mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menamatkan pertempuran ini.

Pada saat Kwi Kai Hoatsu terdesak dan berada dalam keadaan berbahaya sekali, dari dalam terdengar orang berseru keras dan tahu-tahu Cin Cin Hoatsu telah melayang dan dengan bentakan nyaring ia menggunakan ujung lengan bajunya menyerang Sin Wan!

Pemuda ini melihat datangnya serangan yang demikian hebat, cepat merobah gerakan pedangnya dan menangkis, Cin Cin Hoatsu dapat merasa betapa sambaran pedang pemuda itu hebat sekali, maka ia tidak berani melanjutkan serangannya karena maklum bahwa ujung bajunya tentu akan terbabat putus, maka ia meloncat ke belakang sabil berjumpalitan.

“Ha ha ha! Kusangka siapakah tamu-tamu malamku, tidak tahunya kedua pemberontak muda ini! Memang telah kuduga bahwa kalian tentu akan datang juga akhirnya. Maka menyerahlah sebelum kalian mampus di ruangan ini!”

Sementara itu, melihat datangnya musuh besar ini, Giok Ciu juga meninggalkan Kwi Kai Hoatsu dan kini menuding sambil memaki dengan marah sekali, “Cin Cin, Pendeta palsu! Kalau kau memang laki-laki sejati, hayolah kau layani aku seribu jurus untuk menentukan siapa yang lebih unggul! Kau telah membunuh mati Ayahku, apakah sekarang kau begitu pengecut untuk menghindari puterinya yang hendak menuntut balas?”

“Ha ha ha, nona cantik. Sungguh aku beruntung sekali mendapat kehormatan untuk melayanimu! Kau kira kau akan dapat menangkan aku? Pula, andaikata kau dapat menangkan aku juga, kau kira akan dapat lolos dari sini dengan aman? Ketahuilah, kini lebih dari dua puluh pahlawan istana kini telah mengepung gedung ini untuk menangkap kalian!”

Giok Ciu dan Sin Wan terkejut juga mendengar ini. Mereka telah masuk perangkap! Pada saat itu, dari atas genteng melayang turun bayangan orang dan ternyata yang turun itu adalah Gak Bin tong dengan pedang di tangan.

“Kwie Lihiap, jangan takut, aku membantumu!” katanya dengan gagah.

Cin Cin Hoatsu tertawa bergelak-gelak lalu dari punggunya ia mengeluarkan sebatang pedang dan dari ikat pinggang ia mencabut hudtimnya yang warna. Ia lalu menyerang ke arah Giok Ciu dengan gerakan cepat dan kuat sekali. Gadis itu tidak menjadi jerih, bahkan ketika tahu bahwa ia telah dikepung, ia hendak berlaku nekad dan mengadu jiwa. Ia menggerakkan Ouw Liong Pokiam sedemikian rupa hingga Cin Cin Hoatsu kagum sekali. Ternyata bahwa kepandaian gadis ini lihai sekali, bahkan kiam-hoatnya aneh dan tak mampu ia memecahkannya!

Ketika ia mengadu lweekang dan menggunakan pedangnya hendak menyampok pedangnya hendak menyampok pokiam Giok Ciu, kembali ia terheran karena lweekang gadis muda itupun tidak berada di bawah tingkatannya! Tadinya ia mentertawakan Suhengnya, yakni Kwi Kai Hoatsu yang memuji-muji kepadaian Sin Wan dan Giok Ciu di depan Sutenya, tapi kini ia setelah merasakan sendiri kelihaian Giok Ciu, diam-diam merasa jerih dan bingung. Sementara itu, Sin Wan gunakan pokiamnya mendesak Kwi Kai Hoatsu!

Sedangkan Gak Bin Tong yang merasa bahwa kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat mereka yang bertempur, hanya berdiri dengan pedang di tangan melihat jalannya pertempuran. Pada saat yang sangat tidak menguntungkan itu, Cin Cin Hoatsu lalu bersuit keras memberi tanda kepada para pahlawan raja yang mengepung gedung itu untuk turun tangan membantu. Tapi biarpun berkali-kali ia bersuit dan berseru memberi tanda tak satupun bayangan kawan-kawannya tampak turun!

Hal ini aneh sekali dan ia merasa sangat gelisah dan terkejut. Juga Gak Bin Tong yang sebenarnya adalah pengatur dari jebakan ini, tiba-tiba menjadi pucat dan diam-diam merasa cemas sekali. Ia tahu bahwa kepandaian Sin Wan dan Giok Ciu hebat sekali dan kedua imam itu agaknya akan kalah. Ia merasa gemas sekali mengapa tanpa diduga sama sekali Sin Wan bisa datang di situ dan mengacau rencananya.

Tapi yang mengherankan sekali, mengapa dua puluh orang gagah yang berada di sekitar tempat itu tidak muncul-muncul? Ia ingin sekali meloncat naik dan melihat mereka, tapi kwhatir kalau-kalau gerakan ini akan terlihat oleh Sin Wan dan Giok Ciu hingga menimbulkan kecurigaan, maka ia diam saja sambil berdiri bingung. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa dua puluh orang yang menjaga di sekeliling tempat itu, semuanya telah kaku karena tertotok oleh tangan yang luar biasa gerakannya!

Dengan gerakan Pek-Liong Ciau-Hai atau Naga Putih Lintasi Laut, pedang Sin Wan akhirnya berhasil menusuk leher Kwi Kai Hoatsu yang berteriak keras dan roboh di atas lantai. Setelah berhasil merobohkan lawannya, tanpa banyak cakap lagi Sin Wan lalu menerjang Cin Cin Hoatsu yang masih bertempur seru melawan Giok Ciu. Gadis itu merasa gemas sekali melihat Sin Wan ikut menyerbu, maka berkata marah,

“Jangan mencampuri urusanku, biarkan aku membalas sendiri sakit hati Ayahku!” Sin Wan menjawab,

“Bukan hanya engkau yang menaruh dendam, aku juga ingin membalaskan sakit hati Kwie-Suhu!” lalu ia menggerakkan pedangnya dengan hebat. Giok Ciu kertak gigi dan perhebat serangannya karena ia tak ingin didahului oleh Sin Wan. Kembali sepasang pedang pusaka itu seakan-akan berlumba memperebutkan pahala.

Cin Cin Hoatsu merasa takut sekali ketika tiba-tiba kedua lawannya yang masih muda itu lenyap dari pandangan matanya dan seakan-akan berubah menjadi dua sinar hitam putih yang bergulung-gulung menyerang dirinya, seakan-akan sepasang naga hitam dan naga putih yang mencakar-cakar dan menyambar-nyambar.

Imam yang sesat itu menjadi terdesak dan ia masih mencoba untuk menangkis dengan pedang dan kebutannya. Dalam bingungnya ia teringat akan paman gurunya yang berjanji hendak datang. Mengapa belum juga susioknya itu muncul? Ia berseru,

“Susiok... bantulah... susiok...”

Tapi Sin Wan dan Giok Ciu tak memberi ketika kepadanya untuk berteriak-teriak terus, karena dengan gerakan mematikan kedua pokiam itu berbareng menyambar dan tahu-tahu telah menembusi dada musuh besar itu dari kanan kiri! Pedang dan kebutan Cin Cin Hoatsu terlepas dan tangan, tubuhnya kejang dan ketika dua pedang itu ditarik keluar, tubuhnya terhuyung dan akhirnya mandi darah!

Giok Ciu yang masih merasa penasaran karena lagi-lagi Sin Wan telah memperlihatkan ketangkasannya hingga robohnya musuh besar inipun disebabkan oleh serangan mereka yang berbareng, segera maju dan mengayunkan pedangnya hingga putuslah kepala Cin Cin Hoatsu!

Tapi Sin Wan setelah melihat betapa musuh besar itu dapat dibinasakan, kini menghampiri Gak Bin Tong yang berdiri dengan wajah pucat. Sikap Sin Wan yang menakutkan itu membuat ia mundur-mundur hingga sampai di tembok. Giok Ciu berpaling dan kaget melihat sikap Sin Wan.

“Bangsat hina dina! Laki-laki rendah! Kalau belum membunuh engkau, aku takkan merasa puas!” terdengar Sin Wan berkata perlahan.

“Saudara Bun... jangan... jangan... mengapa kau hendak membunuh...?” Gak Bin Tong merasa takut melihat wajah Sin Wan yang menyeramkan karena menahan marah dan gemasnya.

Tapi Sin Wan tak dapat banyak berkata lagi, dengan loncatan cepat ia mengayun Pek Liong Pokiam ke arah leher Gak Bin Tong yang mencoba menangkis dengan pedangnya.

“Tranggg...!”

Terdengar suara keras sekali dan pedang pemuda she Gak itu putus menjadi dua potong! Ketika Sin Wan menyerang untuk kedua kalinya, tiba-tiba sinar hitam berkelebat dan tahu-tahu pedangnya telah tertangkis oleh pedang Giok Ciu!

“Pengecut hina juga kau main bunuh saja orang yang lebih lemah! Lebih pantas kau bunuh dirimu sendiri, atau kau bunuh aku!” kata Giok Ciu.

Sin Wan balas memandang dengan marah. “Hem, jadi kau juga telah kena tipuannya dan pikatnya? Bagus! Bertambahlah alasanku untuk membinasakan anjing ini!”

Kembali ia menyerang Gak Bin Tong tanpa perdulikan Giok Ciu, tapi gadis itu yang merasa dipandang rendah sekali, lalu menggerakkan pedangnya menangkis lagi hingga sebentar saja mereka berdua lalu bergebrak seru sekali. Tapi pada saat itu terdengar suara wanita yang nyaring dan merdu, dibarengi suara tertawa aneh,

“Suhu, kau rampas pedang mereka!”

Dari atas melayang turunlah tubuh seorang yang tinggi besar. Tangan kiri orang itu memegang lengan tangan seorang wanita yang riap-riapan rambutnya. Begitu turun, orang tinggi besar itu melepaskan tangan wanita itu, lalu ia maju cepat menghampiri Sin Wan dan Giok Ciu yang sedang bertempur. Beberapa kali ia berloncat-loncatan dan kedua tangannya bergerak secara aneh dan tahu-tahu Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam telah terampas olehnya!

Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali karena tengah mereka bertempur, tiba-tiba mereka melihat bayangan orang yang bergerak secara aneh di dekat mereka dan ada gerakan angin menyambar dan menyerang jalan-jalan darah mereka hingga mereka segera berkelit. Tidak tahunya, tiba-tiba pedang mereka secara gaib telah terlepas dan terampas oleh bayangan itu. Sungguh satu gerakan ilmu merampas senjata dengan tangan kosong yang hebat sekali!

Orang itu tertawa bergelak-gelak dan angsurkan kedua pedang kepada wanita yang menyebutnya Suhu. Ketika Sin Wan dan Giok Ciu memandang, mereka terkejut sekali karena orang tinggi besar yang merampas pedang mereka itu ternyata bukan lain ialah si jembel gila yang dulu pernah menolong mereka. Tapi lebih hebat kekagetan mereka ketika mereka lihat wanita muda yang menjadi murid si kakek gila itu, karena biarpun pakaiannya seperti orang gila dan rambutnya riap-riapan menutupi muka, mereka masih mengenali bahwa wanita itu bukan lain orang ialah Suma Li Lian adanya!

Tak terasa lagi, dari mulut Sin Wan keluar seruan tertahan dan ia berbisik, “Suma-Siocia... engkau...?”

Sementara itu, Gak Bin Tong yang tadinya berdiri mepet di tembok karena merasa takut kepada Sin Wan kini memandang Suma Li Lian dengan kedua mata terbelalak ngeri. Juga ia memandang kakek tinggi besar itu dengan heran karena tidak tahu siapakah orang yang aneh dan luar biasa ini.

Suma Li Lian menerima kedua pedang Pek Liong dan Ouw Liong Pokiam di tangan kanan kiri dan memutar-mutar kedua senjata itu sedemikian rupa sehingga Sin Wan dan Giok Ciu tak terasa lagi saling pandang dengan bengong, karena gerakan-gerakan gadis itu adalah tipu-tipu silat Sin-Liong Kiam-Sut!

Kemudian mereka merasa ngeri ketika mendengar gadis itu tertawa pula bergelak-gelak seperti suara ketawa kakek gila itu. Suma Li Lain memandang kedua pedang itu berganti-ganti, lalu ia mendekati Sin Wan dan Giok Ciu. Pandang mata gadis yang agaknya telah menjadi gila itu membuat Sin Wan dan Giok Ciu tak terasa pula mundur satu tindak kebelakang.

“Ha ha ha, kau... kau... orang! Orang-orang bodoh... ha ha ha! Sin Wan, kau telah mengecewakan dan menghancurkan hati seseorang, tapi kau telah menerima balasanmu. Kau juga dikecewakan, bukan? Ha ha ha! Itulah cinta! Cinta gila yang membuat orang-orang menjadi gila pula!

Kau cinta kepada Giok Ciu? Tentu saja, gadis itu cantik jelita. Kalau Giok Ciu telah bercacat, telah menjadi gila seperti aku, masih akan cintakah kau padanya? Tak mungkin... ha ha ha... inilah cinta!”

Sin Wan memandangnya dengan muka menjadi merah. Pemuda itu merasa kasihan sekali melihat betapa Li Lian menjadi demikian, tapi ia juga merasa heran betapa ucapan-ucapan gila itu menikam jantungnya seakan-akan ucapan itu mengandung filsafat yang nyata. Kemudian gadis gila itu memandang kepada Giok Ciu.

“Kau... ha ha ha! Kau lebih gila lagi! Kau bodoh dan mudah tertipu. Kau terlalu menurutkan perasaan hatimu, tidak mau menggunakan pertimbangan sehat! Kau mencinta Sin Wan? Bohong! Cintamu palsu. Kalau betul mencinta mengapa sedikit rasa cemburu saja dapat merobah cintamu menjadi benci. Itu bukan cinta! Kau mencinta diri sendiri! Giok Ciu... kau gadis tolol. Ha ha ha...”

Dan Giok Ciu terbelalak heran. Ia tidak tahu harus berbuat bagaimana. Menurut rasa hatinya, ingin ia menyerang gadis ini dan merampas kembali pedangnya. Tapi ia malu, karena baru saja gadis gila itu menyatakan bahwa ia terlampau menurutkan perasaan hatinya!

Kemudian Suma Li Lian membalikkan tubuh dengan cepat sekali, dan dengan tindakan perlahan dan mengancam ia menghampiri Gak Bin Tong! Pemuda itu melihat hal ini menjadi takut sekali dan tubuhnya bergemetar bagaikan api lilin besar yang berada di ruang itu dan pada saat itu tertiup angin. Sementara itu, kakek tua gila itu menjatuhkan diri duduk dan menyandarkan diri di tembok, melenggut, dan sebentar lagi ia mendengkur!

“Gak Bin Tong, manusia rendah! Bukan... bukan manusia, kau binatang hina! Dosamu besar sekali dan kau lebih gila daripada segala yang gila! Kau telah menodaiku, menghancur-leburkan hidupku, tapi secara pengecut sekali kau telah melemparkan tanggung jawab perbuatanmu itu kepada Sin Wan! Kau tidak hanya merusak hidupku, tapi kaupun merusak perhubungan dan kebahagiaan sepasang kekasih itu! Ha ha ha! Tahukah apa hukumannya karena kau telah menipuku dan berpura-pura menjadi Sin Wan lalu memasuki kamarku! Ha ha ha! Lihatlah dua pedang ini. Dengan pedang ini, aku hendak mengeluarkan jantungmu! Hendak kulihat apakah jantungmu berwarna hitam atau merah!” Sambil berkata demikian, ia maju makin dekat.

Terdengar seruan tertahan dari Giok Ciu, karena gadis ini ketika mendengar pengakuan dan keterangan Li Lian yang membuka rahasia persoalan menjadi demikian terkejut dan terharu hingga ia memekik perlahan dan menangis sambil menggunakan kedua tangan menutupi mukanya! Ia merasa malu, menyesal dan marah kepada Gak Bin Tong. Ternyata Sin Wan benar-benar tak pernah melakukan perbuatan sesat sebagaimana yang dikiranya!

Sin Wan tetap bersih, dan Gak Bin Tong pemuda jahanam itulah gara-gara semuanya. Kini terbuka matanya betapa ia telah tertipu oleh pemuda muka putih itu, betapa pemuda itu sebenarnya adalah pengkhianat dan Pertolongan yang diberikan padanya sekarang ini sebetulnya hanyalah sebuah perangkap untuk menangkap dan menjatuhkannya!

Ah, betapa bodohnya, betapa tololnya. Benar belakalah kata-kata Li Lian tadi yang mengatakan bahwa ia adalah seorang gadis bodoh dan tolol! Tapi, demikian pikirnya, setolol-tolol dia masih lebih tolol Suma Li Lian yang dapat terpedaya oleh Gak Bin Tong! Maka ia lalu membuka tangannya dan sambil menahan tangis ia melihat kepada gadis yang telah berada di hadapan Gak Bin Tong.

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Pemuda muka putih itu dengan bibir gemetar berkata, “Li Lian... Li Lian... ampunilah aku... Biarlah aku menebus dosa-dosaku dan merawatmu baik-baik... Li Lian, mana anakku...? Marilah kita mulai hidup baru lagi, kau ampunilah aku, Li Lian?”

Terdengar pekik ngeri dari mulut Li Lian, seakan-akan kata-kata ini menusuk anak telinganya. “Bangsat rendah! Jangan ulangi kata-kata palsu itu! Siapa yang sudi mendengarnya? Tahukah kau bahwa jika kuketahui kaulah orangnya yang menggangguku, pada saat itu juga aku lebih baik membunuh diriku? Siapa sudi dicinta olehmu? Cintamu kotor dan hina. Rasakanlah sekarang pembalasanku!”

Setelah berkata demikian, Li Lian maju menyerang dengan kedua pedang di kanan kiri, menyabet ke arah leher Gak Bin Tong. Sebetulnya kepandaian Gak Bin Tong bukanlah lemah dan kalau baru Li Lian saja yang hanya belajar silat selama satu bulan, tak mungkin dapat melawannya, biarpun gadis itu menyakinkan ilmu silat yang mujijat.

Akan tetapi, pada saat itu Gak Bin Tong telah kehilangan tiga perempat bagian semangatnya yang membuatnya lemas dan lambat. Ia telah putus asa melihat ancaman-ancaman Sin Wan dan kini setelah rahasianya terbuka oleh Li Lian, tentu Giok Ciu takkan dapat mengampuninya pula. Juga, selain tiga orang ini, masih ada lagi kakek gila yang duduk melenggut sambil mendengkur itu.

Ia maklum bahwa jembel itu tentu seorang sakti, karena ia dapat menduga bahwa dua puluh orang pahlawan yang kini tidak muncul-muncul itu tentu telah dibuat tak berdaya oleh kakek jembel itu! Maka apakah harapannya untuk tinggal hidup? Keputus-harapan inilah membuat ia setengah hati untuk menahan serangan Li Lian yang biarpun lemah tapi telah mempelajari ilmu silat aneh.

Dengan mudah saja sambil menundukkan kepala, Gak Bin Tong dapat mengelit dua pedang yang menyambar di atas kepalanya, tapi pada saat itu Li Lian mengeluarkan teriakan demikian gila dan menyeramkan hingga seluruh tubuh Gak Bin Tong terasa lemas! Inilah lweekang luar biasa yang diajarkan oleh kakek gila itu, dan teriakan ini cukup untuk melumpuhkan seorang yang lweekangnya belum begitu tinggi. Bahkan Sin Wan dan Giok Ciu yang mendengar pekik gila ini, merasa betapa dada mereka berdebar aneh dan keras!

Pada saat Gak Bin Tong memandang kepada Li Lian dengan mata terbelalak takut dan tubuhnya lemas, sepasang pedang hitam dan putih itu meluncur cepat dan tahu-tahun telah menusuk dada Gak Bin Tong hingga tembus!

Li Lian tertawa bergelak-gelak, tapi pada saat itu dari pintu di belakang Gak Bin Tong yang terbuka menyambar angin besar yang membuat tubuh Li Lian terlempar keras dan jatuh di pangkuan kakek jembel gila yang sedang melenggut. Ketika kakek gila itu membuka matanya, ternyata muridnya telah meringkuk di atas pangkuannya dalam keadaan mati! Juga Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali. Mereka tahu bahwa Li Lian telah terkena pukulan dari jauh yang dilakukan oleh orang berilmu tinggi.

Mereka tidak berani sembarangan bergerak, hanya berlaku waspada dan hati-hati menjaga segala kemungkinan. Jembel gila itu beberapa kali meraba jidat Li Lian. Tiba-tiba ia meletakkan tubuh muridnya di atas lantai, lalu ia berdiri dan menangis! Suara tangisan ini diseling-seling suara tertawa yang terdengar sangat aneh dan membuat bulu tengkuk Sin Wan dan Giok Ciu meremang karena merasa ngeri.

Dan pada saat itu dari pintu di dekat tempat Gak Bin Tong berdiri, muncullah seorang tosu tua sekali dengan tubuh bongkok dan tongkat di tangan. Ia memasuki ruangan itu dan kedua matanya yang tajam menyambar-nyambar. Ia melihat betapa Cin Cin Hoatsu dan Kwi Kai Hoatsu rebah mandi darah dan mati di atas lantai, maka ia membuka mulutnya dan bertanya dengan suara kecil tinggi bagaikan suara kanak-kanak.

“Siapa orangnya yang berani membunuh kedua orang ini?”

Tapi pada saat itu, lain suara terdengar, dan sungguh jauh bedanya dengan suara kakek bongkok tadi, karena suara ini terdengar besar, parau, dan bernada aneh dan janggal.

“Siapa orangnya yang berani membunuh muridku ini?”

Kakek bongkok ini tujukan pandang matanya kepada si jembel gila yang berdiri di sudut lain. Ia memandang heran dan bertanya, “Siapa pulakah orang gila ini?” tanyanya. “He, siapa namamu dan ada apakah kau berada di sini?”

Jembel gila itu balas memandang. “Siapa aku, siapa namamu? Aku sendiri tidak tahu. Aku adalah aku, dan mengapa aku berada di sini, entahlah. Tapi siapa yang telah membunuh muridku ini? Kaukah, orang bongkok?”

Si bongkok tersenyum. “Ya, akulah yang melakukan itu. Kau tidak mau memberitahukan nama, tapi aku tidak demikian pengecut. Pinto adalah Beng Hoat Taisu dan kedua orang ini adalah murid-murid keponakanku. Nah, sekarang jawablah, kau siapa orang gila?”

Si jembel gila itu mendengar pengakuan ini maju perlahan-lahan dan tertawa-tawa sambil menangis. “Kau membunuh mati dia? Kalau begitu aku harus membunuhmu juga!”

Beng Hoat Taisu tertawa kecil. Ia belum pernah melihat orang ini dan belum pernah pula mendengar seorang tokoh persilatan yang seperti orang gila ini, maka ia memandang rendah sekali. Sebaliknya, ia berhati-hati terhadap Sin Wan dan Giok Ciu, karena kedua anak muda ini tampaknya memiliki kepandaian tinggi. Maka ia lalu menujukan pertanyaannya kepada mereka,

“He, orang-orang muda! Siapakah yang membunuh Cin Cin Hoatsu dan Kwi Kai Hoatsu?”

“Aku yang membunuh mereka!” jawab Sin Wan dengan gagah.

“Bukan, akulah yang membunuh mereka!” kata Giok Ciu tak mau kalah.

Tiba-tiba terdengar gelak tawa si jembel gila dan dari tangannya menyambar seutas tali panjang yang meluncur cepat dan membelit gagang kedua pedang yang masih menancap di tubuh Gak Bin Tong yang telentang. Sekali sendal saja, kedua pokiam itu tercabut keluar dan sendalan kedua membuat kedua pedang itu melayang ke arah Sin Wan dan Giok Ciu!

Kedua pemuda pemudi itu segera mengulurkan tangan dan menyambut pedang mereka dengan girang dan kagum sekali. Sebenarnya mereka tadi hendak mengambil pedang mereka dari tubuh Gak Bin Tong, tapi mereka kuatir kalau-kalau kakek bongkok yang lihai itu menyerang mereka.

Melihat kelihaian jembel gila itu, si kakek bongkok merasa heran sekali. Ia lalu menjura dan sekali lagi bertanya, “Toheng siapakah sebenarnya nama dan julukanmu?”

Si jembel kini telah maju dekat dan berdiri di hadapan Beng Hoat Taisu. “Aku adalah aku dan mengapa kau bunuh mati muridku? Aku harus membunuh kau!”

Marahlah Beng Hoat Taisu mendengar ini karena ia merasa dipandang rendah sekali. “Orang gila, baiklah kuantar kau menyusul muridmu!”

Baru saja kata-katanya habis diucapkan tiba-tiba tongkatnya bergerak dan cepat sekali meluncur ke arah dada si jembel gila merupakan totokan maut yang berbahaya sekali. Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali, tapi si jembel gila sambil mengeluarkan suara ketawa bergelak lalu bergerak dengan aneh dan tahu-tahu ia telah dapat berkelit dan talinya yang kecil panjang itu meluncur dalam serangan balasan!

Beng Hoat Taisu tak berani memandang rendah serangan ini dan menangkis dengan tongkatnya. Tapi tali itu bergerak bagaikan ular dan ujungnya dapat membelit tongkat itu lalu ditarik untuk merampas tongkat lawan. Mereka berdua mengerahkan tenaga, tapi ternyata tenaga lweekang mereka sama kuat hingga tali dan tongkat itu masing-masing masih terpegang kencang, sama sekali tidak dapat terbetot!

Si jembel gila tertawa keras dan talinya mengendur dan melepaskan belitan, lalu mereka bertempur pula. Sin Wan dan Giok Ciu yang tahu bahwa jembel gila itu berdiri di fihak mereka, lalu maju membantu dengan pedang mereka di tangan. Tapi mereka segera mundur kembali dengan kaget, karena sekali saja pedang mereka beradu dengan tongkat Beng Hoat Taisu, mereka merasakan tangan mereka linu dan lemas, tenaga mereka terpukul kembali oleh tenaga si bongkok yang benar-benar lihai dan memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari mereka.

Pada saat itu, terdengar seruan-seruan ramai dan ternyata dua puluh pengawal keraton Kaisar yang tadinya tertotok tak berdaya oleh si jembel gila, kini berserabutan masuk dengan senjata di tangan mereka. Mereka tadi telah tertolong oleh Beng Hoatsu Taisu yang baru saja datang, dan setelah mereka dapat bergerak kembali, lalu membawa senjata masing-masing dan maju menyerbu!

Karena tidak tahu akan kelihaian si jembel, mereka sambil berteriak-teriak membantu Beng Hoat Taisu dan menyerang si jembel. Tapi sekali saja si jembel gila itu menggerakkan talinya yang aneh, tali itu bersiutan nyaring dan empat orang roboh dengan kulit terbeset dan mengeluarkan darah karena kena di cambuk oleh ujung tali itu!

Kini mereka mundur dengan jerih, lalu menujukan perhatian mereka kepada Sin Wan dan Giok Ciu. Melihat kedua anak muda ini, ramailah mereka menyerbu hendak menangkap. Sin Wan dan Giok Ciu memutar pedang mereka dan pertempuran hebat terjadi di dalam ruang gedung yang sangat luas itu.

Sementara itu, Beng Hoat Taisu dan si jembel gila telah lenyap dari pandangan mata. Tubuh kedua orang tua aneh dan berilmu tinggi itu telah tertutup sama sekali oleh sinar kedua senjata mereka yang walaupun hanya tongkat biasa dan tali saja, namun kehebatannya jauh melebihi puluhan senjata tajam terbuat daripada baja tulen!

Angin gerakan kedua kakek itu membuat kursi dan meja bergoyang-goyang dan menimbulkan suara berdesir-desir. Karena tidak merasa puas dengan adu tongkat dan tambang, mereka lalu melempar kedua senjata itu ke lantai, dan mulai berhantam dengan menggunakan sepasang kaki dan tangan!

Pertempuran dilanjutkan dengan lebih mati-matian. Beng Hoat Taisu merasa penasaran dan heran sekali, karena selama hidupnya yang sudah lebih dari tujuh puluh tahun itu, belum pernah ia bertemu dengan seorang lawan yang demikian tangguhnya. Mungkin tak lebih tangguh daripada Bu Beng Lojin yang pernah juga menjatuhkannya, tapi ilmu pukulan si jembel ini sungguh-sungguh aneh sekali!

Gerakan-gerakannya tak teratur sama sekali, pukulan-pukulannya ngawur belaka namun, tiap kali serangannya seperti akan mendatangkan hasil baik, tiba-tiba saja gerakan si jembel itu berubah dan tepat sekali dapat menangkisnya atau berkelit seakan-akan di seluruh bagian tubuh jembel itu ada matanya yang melihat datangnya bahaya!

Juga, serangan-serangan ngawur yang dilancarkan oleh si jembel ini, sungguh-sungguh sukar diduga. Kalau serangannya seperti yang tepat dan hampir berhasil, tiba-tiba jembel itu dan menarik kembali tangannya, sedangkan jika serangannya dapat ditangkis atau dikelit oleh Beng Hoat Taisu, tiba-tiba serangan yang gagal itu masih dapat dilanjutkan dengan serangan lain yang terlebih lihai dan aneh!

Beng Hoat Taisu adalah seorang tosu kelas satu dari pegunungan Tibet dan ia telah terkenal sekali sebagai seorang jagoan kelas tertinggi dan sukar dicari bandingannya pada masa itu. Hampir semua jago-jago silat di Tibet mapun di daratan Tiongkok, telah dicobanya dan belum pernah ia menderita kekalahan. Paling buruk tentu bermain seri, yakni ketika ia melawan jago-jago dari seluruh Tiongkok Selatan dan jago-jago dari seluruh Mongol.

Baru tiga kali ia pernah benar-benar dikalahkan orang, yakni ketika bertemu dan melawan Bu Beng Lojin dan paling akhir ketika ia bertemu dengan Pai-San Sianjin dan Nam-Hai Sianjin dua orang tokoh terbesar di Tiongkok timur. Tapi ketiga orang inipun hanya menang sedikit saja darinya. Ia mengira tadinya bahwa hanya tiga orang itulah yang memiliki kepandaian lebih tinggi darinya.

Tapi sungguh tidak dinyana, ini hari ia bertemu dengan seorang jembel gila yang memiliki kepandaian sungguh-sungguh istimewa dan aneh. Pula, angin gerakan pukulan si jembel gila itu seperti mendatangkan hawa gila yang menyeramkan dan aneh, hingga seakan-akan ia merasa seperti sedang bertempur melawan mahluk bukan manusia. Ia takkan ragu-ragu untuk percaya jika dikatakan bahwa ia sedang bertempur melawan iblis sendiri. Gerakan silat macam ini memang tak mungkin dicipta oleh manusia kecuali manusia iblis!

Beng Hoat Taisu mengerahkan tenaga batin dan lweekangnya untuk menjatuhkan jembel gila itu tapi selalu tenaganya ini buyar dan terpukul oleh hawa aneh yang keluar dari pukulan-pukulan dan gerakan si jembel. Tiba-tiba jembel gila itu tertawa lagi, nyaring dan panjang,

“Ha ha ha! Kau sungguh lihai, kau hampir selihai... Bu Beng...! Ya, kau hampir selihai Bu Beng!”

Mendengar ini, Beng Hoat Taisu menjadi terkejut. “Pernah apakah kau dengan Bu Beng Lojin?” tanyanya sambil mengirim serangan.

“Ha ha ha! Bu Beng kawan baikku. Kau kenal Bu Beng?” balas tanya jembel itu, suaranya mengandung keramahan hingga Beng Hoat Taisu menjadi heran.

“Aku kenal baik padanya,” jawabnya.

Tiba-tiba saja desakan si gila mengendur. “Kalau begitu, aku tidak jadi membunuhmu! Kau kawan baik Bu Beng! Ah... Murid, kau tunggu sajalah. Pasti tiba saatnya pembunuh ini menemui maut, dan aku juga tentu akan menyusulmu kelak... Ha ha ha!”

Setelah berkata demikian, jembel gila itu meniup keras ke arah muka lawannya. Tiupan ini demikian hebat dan bertenaga hingga cepat sekali Beng Hoat Taisu berkelit, namun masih saja jenggot dan rambutnya yang panjang putih berkibar-kibar bagaikan tertiup angin besar! Ia menjadi kaget sekali, tapi pada saat itu si jembel gila telah meloncat mendekati Sin Wan dan Giok Ciu.

Pada saat si jembel tadi bertempur dengan hebatnya melawan Beng Hoat Taisu, kedua orang muda itu mengamuk dan biarpun dikeroyok oleh belasan orang pengawal-pengawal Kaisar yang berkepandaian tinggi, namun Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam menyambar-nyambar demikian hebatnya hingga sebentar saja beberapa orang telah menjadi kurban dan sisa pengeroyok mereka menjadi jerih.

Pada saat mereka masih mainkan pedang, tiba-tiba Sin Wan dan Giok Ciu merasa betapa lengan tangan mereka di betot orang dan mereka tahu bahwa si jembel itu mengajak mereka pergi. Mereka meloncat pula ke atas dan mengikuti si jembel yang telah lari lebih dulu sambil memondong tubuh Suma Li Lian yang telah menjadi mayat. Kakek jembel itu berhenti di sebuah hutan, lalu ia meletakkan muridnya di atas tanah sambil beberapa kali mengeluh,

“Muridku, kau sungguh kejam telah meninggalkan aku lebih dulu...” dan menitik keluarlah air mata dari kedua mata si kakek jembel.

Sementara itu, malam telah berganti fajar dan ayam mulai berkeruyuk, tapi masih saja kakek jembel itu berlutut di dekat jenazah muridnya, sedangkan Sin Wan dan Giok Ciu berdiri memandang keadaan kakek aneh itu dengan terharu. Tiba-tiba kakek itu tertawa lagi, dan suara ketawanya terdengar seperti biasa, terlepas dan gembira.

“Aah, lebih baik begini, muridku. Lebih baik begini. Bukankah sekarang kau telah terlepas dari semua kedukaan? Bukankah sekarang tiada orang lagi bisa mengganggumu? Aah, benar lebih baik begini, biarlah aku yang melanjutkan penderitaanmu. Kau harus dikubur, ya, kau harus dikubur!”

Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menggunakan kedua tangannya menggaruk-garuk tanah dengan maksud menggali lubang!

Sin Wan dan Giok Ciu merasa terharu sekali mendengar kata-kata itu. Biarpun kakek itu sangat mencinta muridnya, namun ia rela muridnya itu mati agar terlepas dari segala kesengsaraan.

Ah, inilah cinta! Inilah cinta suci, cinta yang tidak mengharapkan sesuatu untuk kesenangan diri. Cinta yang semata-mata didasarkan atas keinginan melihat orang yang dicintainya bahagia dan tidak menderita, biarpun harus mengurbankan perasaan sendiri...!