Pendekar Kelana Jilid 14 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Si Kong tak dapat menolak lagi. Gadis itu bersikap jujur dan terus terang, dapat menerima kekalahannya dengan wajar. Dia mengambil tongkat bambunya lalu melintangkan tongkat bambu itu di depan dadanya.

“Kong-ko,” kata Hui Lan dengan nada suara ragu-ragu. “Engkau perlu mengetahui bahwa dua pedangku ini adalah Hok-mo Siang-kiam yang amat tajam dan kuat, mudah membuat patah pedang atau golok lawan. Sedangkan engkau hanya bersenjata tongkat bambu, ini tidak seimbang sama sekali. Sekali bentur tongkatmu tentu akan patah.”

Si Kong tersenyum. “Jangan khawatir dan ragu, Lan-moi. Selamanya suhu Yok-sian Lo-kai tidak pernah mempergunakan senjata lain kecuali tongkat bambu. Akan tetapi belum pernah tongkat bambunya dipatahkan senjata lawan. Aku akan berusaha supaya tongkat bambuku ini tidak sampai patah oleh sepasang pedangmu.”

“Baik, Kong-ko. Awas seranganku!”

Hui Lan mulai menggerakkan sepasang pedangnya. Demikian cepat gerakan pedang dara ini sehingga bentuk pedangnya lenyap berubah menjadi dua gulung sinar kebiruan seperti sepasang naga bermain-main di angkasa.

Dulu ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam ini menjadi andalan Toan Kim Hong atau Lam Sin (Sakti dari Selatan) yang menjadi isteri kakek Ceng Thian Sin. Ilmu ini diwariskan kepada Ceng Sui Cin yang kemudian mewariskannya pula kepada anaknya, Cia Kui Hong yang kemudian menyerahkan pula kepada Tang Hui Lan. Nenek Toan Kim Hong yang memiliki sepasang pedang lalu mempersatukan ilmu-ilmu pedang yang dikenalnya, dirangkai dan diambil bagian terpenting dan terlihai sehingga dia memiliki ilmu pedang rangkaian sendiri yang diberi nama sama dengan pedangnya, yaitu Hok-mo Siang-kiam. Maka jadilah ilmu pedang pasangan yang amat dahsyat seperti yang dimainkan Hui Lan sekarang ketika dia menyerang Si Kong.

Si Kong terkejut dan mengelak dengan cepat. Ia kagum sekali ketika Hui Lan menyerang secara bertubi-tubi dengan kedua pedangnya.

“Ilmu pedang yang hebat!” dia berseru dan dia sudah memainkan tongkatnya dengan ilmu tongkat Ta-kauw Sin-tung. Tubuhnya melesat ke sana-sini menyelinap di antara gulungan sinar pedang yang kebiruan itu.

Biar pun ilmu tongkat ini hebat dan menjadi rajanya semua ilmu tongkat, akan tetapi kalau bukan Si Kong yang memainkannya, belum tentu akan dapat menandingi kehebatan Hok-mo Siang-kiam. Akan tetapi di tangan Si Kong tongkat itu menjadi aneh sekali dan begitu diputar mengeluarkan angin dahsyat. Hebatnya, tongkat bambu itu berkali-kali membentur sepasang pedang namun sama sekali tidak menjadi patah atau putus! Dan terbentuklah gulungan sinar kuning kehijauan dari tongkat itu mengimbangi gulungan sinar sepasang pedang.

Hampir seratus jurus berlalu tanpa ada yang nampak kalah atau menang. Ketika Si Kong kelihatan sedikit mengendur, Hui Lan menggunting dengan sepasang pedangnya ke arah pinggang Si Kong. Serangan ini hebat bukan kepalang sehingga kali ini agaknya Si Kong tidak akan dapat menghindarkan dirinya lagi.

Namun dengan ilmu Liok-te Hui-teng tubuh Si Kong melesat ke atas sehingga guntingan sepasang pedang itu luput dan pada saat itu Hui Lan merasa betapa rambut di kepalanya dijamah sesuatu dan seketika tali pengikat rambutnya yang belum digelung itu lepas dan rambutnya menjadi awut-awutan dan berkibar-kibar.

Hui Lan cepat meloncat ke belakang. Dia melihat Si Kong sudah turun pula dan di ujung tongkat bambunya terdapat pita yang tadinya mengikat rambutnya. Gadis itu memandang kagum. Kalau pita rambutnya berhasil diambil oleh tongkat Si Kong, tentu saja berarti dia sudah kalah. Mengambil pita rambut itu dapat saja diubah menjadi pukulan atau totokan pada kepalanya!

“Ilmu tongkatmu juga hebat sekali, Kong-ko!” kata Hui Lan kagum dan dia mengambil pita rambutnya dari ujung tongkat yang disodorkan Si Kong.

“Ilmu pedangmu tadi juga sangat hebat. Terus terang saja belum pernah aku bertanding melawan orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi darimu. Ilmu pedangmu membuat aku kewalahan dan kehabisan akal untuk mencari kemenangan. Baru setelah melihat pita rambutmu berkibar, aku mendapat akal dan ternyata berhasil menggunakan tongkat untuk mengambilnya,” kata Si Kong sejujurnya.

“Benarkah kata-katamu itu, Kong-ko?” tanya Hui Lan yang kehilangan rasa kepercayaan kepada diri sendiri karena sudah dikalahkan Si Kong.

“Untuk apa aku berbohong? Apa yang kuucapkan keluar dari dalam hatiku, bukan untuk menyenangkan hatimu, Lan-moi.”

Hui Lan cepat membereskan dan mengikat kembali rambutnya dengan pita. “Aku percaya padamu, Kong-ko, dan ucapanmu itu melegakan hatiku. Mari kita melanjutkan perjalanan kita, Kong-ko. Mudah-mudahan di depan ada dusun dan kedai makanan agar kita dapat sarapan.”

“Mari, Lan-moi. Aku pun sudah siap.”

Pemuda dan gadis perkasa ini sama sekali tak pernah mengira bahwa tak jauh dari situ, di belakang semak-semak, ada dua pasang mata yang mengamati dan dua pasang telinga mendengarkan percakapan mereka. Kenyataan bahwa di sana terdapat dua orang yang mengintai tanpa diketahui Hui Lan mau pun Si Kong sudah menunjukkan bahwa kedua orang itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Mereka dapat membuat gerakan mereka tidak mengeluarkan suara.

Ketika Si Kong dan Hui Lan pergi meninggalkan tempat itu, dua orang yang tadi mengintai itu pun pergi dengan cepatnya. Bahkan mereka berlari cepat mendahului Si Kong dan Hui Lan yang sama sekali tidak tahu bahwa tadi mereka sudah diamati orang.

Setelah matahari naik tinggi Si Kong dan Hui Lan tiba di sebuah dusun yang cukup ramai. Mereka segera mencari penjual makanan dan mendapatkan sebuah kedai makanan dan minuman yang merupakan satu-satunya kedai makanan di dusun itu. Matahari telah naik tinggi dan kedai itu telah sepi tamu.

Si Kong dan Hui Lan lalu memasuki kedai, disambut oleh penjaga kedai yang hanya ada seorang saja itu, seorang laki-laki yang berusia empat puluh tahun lebih. Penjaga kedai itu bertubuh kurus dan mukanya pucat seperti orang menderita suatu penyakit.

“Selamat siang, tuan muda dan nona. Apakah ji-wi (kalian berdua) hendak makan dan minum? Ji-wi memesan apakah?”

“Jual makanan apa saja engkau?” tanya Hui Lan.

“Ada bakpau, roti gandum dan juga nona dapat memesan bakmi kuah.”

“Aku memesan bakmi kuah dan air teh hangat,” kata Hui Lan.

“Aku juga memesan yang sama,” kata Si Kong.

“Baik, harap ji-wi tunggu sebentar. Silakan duduk dan saya akan mempersiapkan pesanan ji-wi.”

Penjaga kedai itu lalu masuk ke dalam, terus ke dapur yang terletak di ruangan belakang. Di dapur itu duduk seorang pemuda dan seorang gadis, ada pun di atas sebuah bangku panjang duduk seorang wanita dan seorang anak berusia sepuluh tahun, keduanya terikat pada bangku.

Penjaga kedai memandang kepada pemuda dan gadis itu dengan muka ketakutan, lalu memandang kepada isteri dan anaknya yang terikat itu.

“Mereka memesan apa?” tanya gadis cantik itu.

“Me... memesan... Bakmi kuah dan air teh,” jawab penjaga kedai dengan suara gemetar ketakutan.

“Bagus, cepat buatkan bakmi kuah itu,” kata pula si gadis itu.

Si penjaga kedai cepat memasakkan bakmi kuah itu dan tak lama kemudian bakmi kuah sudah matang. Gadis itu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku pinggangnya, membuka bungkusan dan mengambil sedikit bubuk putih yang lalu dimasukkan ke dalam dua mangkok bakmi kuah. Bakmi itu diaduk-aduk dengan sumpit, lalu gadis itu berbisik,

“Cepat hidangkan kepada mereka. Hati-hati kau, jangan sampai kedua orang itu curiga!”

“Kalau engkau tidak memenuhi perintah, ingat, isteri dan anakmu akan kubunuh!” pemuda itu pun menghardik lirih.

Penjaga kedai itu mengangguk-angguk, tak mampu mengeluarkan kata-kata hanya dapat memandang dengan hati cemas kepada isteri dan anaknya yang terikat di bangku, lantas dia membawa dua mangkok mi kuah dan sepocai air teh dan dua cangkir kosong. Setelah tiba di luar, dia menenangkan hatinya yang berdebar-debar. Ditaruhnya dua mangkok mi kuah itu bersama poci teh dan dua cangkirnya ke atas meja di depan Si Kong dan Hui Lan. Sambil menahan agar suaranya tidak gemetar, dia berkata,

“Silakan makan dan minum, kongcu dan siocia.”

Hui Lan memandang tajam wajah penjaga kedai itu. “Mengapa wajahmu demikian pucat dan suaramu gematar, paman? Apakah engkau sakit?”

Penjaga kedai itu terkejut dan was-was. Dia segera membungkuk dan menjawab, “Dalam beberapa hari ini memang badan saya masuk angin dan terasa sakit-sakit, nona. Akan tetapi sudah saya belikan obat.”

Dia lalu kembali ke depan untuk menyambut kalau ada tamu memasuki kedainya. Akan tetapi matanya terus melihat ke arah pemuda dan gadis yang mulai makan mi kuahnya. Hatinya merasa gelisah sekali.

Dia tidak tahu benda apa yang dimasukkan ke dalam mangkok mi kuah tadi, akan tetapi dia menduga bahwa perbuatan itu tentu tidak bermaksud baik. Pemuda dan gadis cantik yang berpakaian mewah itu telah menyandera isteri dan anaknya. Orang-orang seperti itu, betapa pun tampan dan cantiknya, tentu bukan orang baik-baik.

Hatinya terasa lega bukan main ketika melihat Si Kong dan Hui Lan menghabiskan bakmi mereka dan minum beberapa cangkir air teh. Tergopoh dia maju menghampiri ketika Si Kong minta agar guci tempat airnya diisi penuh dengan air jernih. Setelah mengisi guci itu dengan air jernih dan mengembalikannya lagi kepada Si Kong, penjaga kedai itu dengan wajah gembira melihat dua orang tamunya tidak apa-apa, lantas memperhitungkan harga makanan dan minuman.

Hui Lan membayar lalu dia dan Si Kong keluar dari kedai itu untuk melanjutkan perjalanan mereka. Sedikit pun mereka tidak menyangka buruk.

Sementara itu, pemuda yang mengintai ke depan bersama gadis cantik itu mengerutkan alisnya. “Yin-moi, bagaimana sih kau ini? Racun bubuk putihmu ternyata sama sekali tidak mendatangkan hasil. Lihat mereka pergi dengan tenang!”

Gadis itu tersenyum. Manis sekali kalau dia tersenyum. Seorang gadis cantik, rambutnya dihias emas permata, pada lengannya terdapat gelang kemala, mengenakan anting-anting indah dan pakaiannya juga sangat mewah. Gadis itu bukan lain adalah Siangkoan Cu Yin yang sudah kita kenal. Dahulu dia merantau dengan menyamar sebagai seorang pemuda pengemis yang usianya remaja dan memakai nama Siangkaon Ji.

Seperti kita ketahui, gadis ini berjumpa dengan Tio Gin Ciong, putera Datuk Timur yang berjuluk Tung Giam-ong. Mereka menjadi sahabat, lantas melakukan perjalanan bersama menuju ke Kwi-liong-san untuk ikut merebut pedang pusaka Pek-lui-kiam.

Tanpa sengaja kedua orang muda yang menunggang dua ekor kuda itu melihat Hui Lan dan Si Kong. Cu Yin yang merasa masih sakit hati pada Si Kong yang menolak cintanya, bahkan tak mau melakukan perjalanan bersamanya, tentu saja menjadi marah sekali saat melihat pemuda itu kini melakukan perjalanan bersama seorang gadis lain.

“Kita mengambil jalan lain dan mendahului mereka ke dusun itu!” kata Cu Yin yang segera membalapkan kudanya diikuti oleh Gin Ciong.

“Tahan dulu, Yin-moi! Mereka itu siapa dan kenapa kita harus mendahului mereka?”

“Diamlah dulu, Ciong-ko. Nanti saja kujelaskan. Sekarang cepat balapkan kuda memasuki dusun di depan itu untuk mendahului mereka!” Mendengar bentakan ini, Gin Ciong hanya menggerakkan pundak dan membalapkan kudanya.

Mereka mengikat kuda mereka di luar dusun, lalu memasuki dusun itu. Mereka mencari-cari dan melihat kedai makanan dan minuman di tepi jalan.

“Sini Ciong-ko. Mereka tentu akan makan minum di warung ini. Mari kita menyelinap dari belakang!”

Keduanya dengan cepat melompat ke belakang kedai itu dan masuk melalui pintu dapur di belakang. Di dapur itu mereka melihat seorang wanita berusia kurang dari empat puluh tahun bersama seorang anak berusia sepuluh tahun. Ibu dan anak itu terkejut, akan tetapi dengan cepat Cu Yin menggerakkan tangannya dua kali dan kedua orang ibu dan anak itu tak dapat bergerak atau bersuara lagi.

“Ikat mereka di bangku itu, Ciong-ko!” kata Cu Yin.

Permintaan ini ditaati oleh Gin Ciong yang segera mengikat ibu dan anak itu pada sebuah bangku panjang. Kemudian Cu Yin mengintai. Sepi sekali di luar, hanya nampak pemilik kedai yang berjaga di depan kedainya.

“Ssttt, paman! Ke sinilah! Isteri dan anakmu ini kenapa?” teriak Cu Yin.

Pemilik kedai itu terheran, juga terkejut melihat seorang gadis cantik dan mewah tiba-tiba saja muncul dari dalam dan memanggilnya. Mendengar ada sesuatu yang terjadi dengan isteri dan anaknya, dia pun bergegas masuk mengikuti Cu Yin ke dapur. Setelah tiba di dapur melihat isteri dan anaknya terikat dibangku, tentu saja dia terkejut bukan main.

“Apa yang terjadi di sini?” Dia langsung menghampiri anak isterinya, akan tetapi Gin Ciong sudah mencabut pedang dan menodongnya.

“Turuti semua kehendak kami kalau engkau ingin isteri dan anakmu selamat!” bentak Gin Ciong yang belum juga mengerti akan tindakan Cu Yin.

“Jika nanti ada seorang pemuda dan seorang gadis memasuki kedaimu, terimalah mereka dengan baik dan layani dengan ramah,” kata Cu Yin.

“Baik, nona... Akan tetapi kasihanilah kami, jangan ganggu isteri dan anak kami...”

“Lihat saja nanti. Kalau engkau mentaati semua perintah kami, maka anak dan isterimu ini akan kami bebaskan. Akan tetapi kalau engkau tidak mau menaati kami, maka isteri dan anakmu akan kami bunuh!” kata Cu Yin.

“Sekarang keluarlah dan siap-siap menerima dua orang tamu itu!”

Pemilik kedai itu keluar dengan tergopoh-gopoh, dan ketika itu pula Hui Lan dan Si Kong memasuki kedainya. Dengan muka pucat karena mengingat keadaan anak dan isterinya, pemilik kedai menerima Hui Lan dan Si Kong dengan ramah. Dan selanjutnya kita sudah mengetahui betapa Cu Yin memasukkan racun bubuk putih ke dalam mangkok mi kuah yang dihidangkan kepada Hui Lan dan Si Kong.

Ketika Gin Ciong menegur Cu Yin karena racun bubuk putihnya tidak mengganggu sedikit pun kepada pemuda dan gadis itu, dia tersenyum. Pada saat itu pemilik kedai memasuki dapur dan Cu Yin menyambutnya dengan totokan. Orang itu mengeluh dan roboh terkulai, tak mampu bergerak lagi.

“Mari kita tinggalkan mereka. Sebelum lewat satu jam dia tidak akan sadar. Marilah kita membayangi mereka!”

“Mau apa lagi, Yin-moi? Kalau memang mereka itu musuh-musuhmu, mari kita hadang mereka. Tidak perlu takut, aku akan membasmi mereka kalau engkau menghendakinya.”

“Diamlah dulu. Nanti akan kujelaskan kepadamu siapa mereka dan mengapa aku berbuat seperti ini!” Cu Yin menegur pemuda itu. Mereka lalu membayangi Hui Lan dan Si Kong dari jarak jauh.

Si Kong dan Hui Lan melangkah seenaknya. Mereka telah memasuki sebuah hutan yang sunyi di sebelah selatan dusun itu. Hui Lan mengeluh, dan berkata, “Aih, kepalaku pening dan dadaku rasanya tidak enak sekali!”

Dia berhenti melangkah dan tangan kirinya meraba dahinya, bahkan dia lantas terhuyung. Si Kong terkejut dan cepat merangkulnya agar gadis itu tak sampai roboh. Dia memapah gadis itu ke bawah sebatang pohon dan mengajaknya duduk di atas batu.

“Engkau kenapa, Lan-moi? Coba kuperiksa sebentar.” Dia lalu menekan nadi pergelangan tangan gadis itu. “Ahh, denyut nadimu kacau tidak karuan! Coba sekarang kau kerahkan sinkang untuk melawan rasa nyeri itu.”

Hui Lan menurut dan segera mengerahkan sinkang-nya. Akan tetapi akibatnya dia malah terpelanting dan terengah-engah. “Aduhh, aku terpukul tenagaku sendiri, ahh nyeri, Kong-ko...!”

Si Kong merasa heran dan dia mencobanya dengan diri sendiri. Dia mengerahkan sinkang dan merasa dadanya seperti terpukul oleh tenaga yang sangat kuat. Dia pun terpelanting dan terengah-engah.

“Engkau kenapa, Kong-ko?” tanya Hui Lan khawatir dan dia sudah lupa akan keadaannya sendiri.

“Celaka, Lan-moi. Kita telah keracunan!”

“Keracunan? Di kedai tadi?”

“Tenanglah, Lan-moi, aku dapat mengobati kita... ahh, diamlah, ada orang datang...!”

Yang muncul adalah Cu Yin dan Gin Ciong. Melihat Cu Yin, Si Kong segera mengenalnya dan saking herannya, dia pun berseru,

“Yin-moi...! Engkau di sini?”

“Kong-ko, engkau seorang lelaki kejam, sekarang tahu rasa!” Gadis itu tersenyum manis dan berkata kepada Gin Ciong. “Lihat, Ciong-ko! Engkau tadi terlalu memandang rendah terhadap puteri Lam Tok! Percuma ayahku berjuluk Racun Selatan kalau racunku tidak ampuh! Lihat, sekarang mereka berdua sudah tidak berdaya.”

“Akan tetapi, siapakah mereka, Yin-moi?”

“Nanti saja kuceritakan. Aku ingin menikmati pemandangan ini dulu. Si Kong yang gagah perkasa, yang mempunyai kepandaian tinggi, kini menggeletak tak berdaya, tidak mampu menyelamatkan kawan perempuannya, bahkan juga tidak dapat menolong dirinya sendiri. Hi-hi-hik!”

“Yin-moi, jadi engkaukah yang melakukan ini? Tidak malukah engkau sebagai puteri datuk besar Lam Tok, menggunakan cara yang curang ini untuk merobohkan kami?”

“Tutup mulutmu!” Gin Ciong membentak sambil mencabut pedangnya. “Yin-moi, dia berani membuka mulut besar kepadamu, sebaiknya kuhabisi saja dia!” Lalu dia mengelebatkan pedangnya. Hatinya penuh dengan rasa cemburu mendengar betapa pemuda tampan itu menyebut Yin-moi kepada Cu Yin.

“Jangan! Terlalu enak bagi dia! Biar dia menderita dan mati perlahan-lahan, kecuali kalau di hutan ini ada binatang buas yang akan merobek-robek dagingnya! Mari kita pergi saja, Ciong-ko.” Cu Yin segera memutar tubuhnya dan berlari pergi dari tempat itu, diikuti oleh Gin Ciong. Mereka kembali ke dusun tadi untuk mengambil kuda mereka.

Ketika berlari itu Gin Ciong melihat betapa Cu Yin menggunakan punggung tangan untuk menghapus air matanya. Gadis itu menangis! Dia dapat menduga bahwa ada hubungan batin antara Cu Yin dan pemuda yang menggeletak tadi. Dia menjadi makin benci kepada pemuda itu. Kalau saja sekarang berada di depannya, tentu sudah dibunuhnya.

Setelah mereka berdua menunggang kuda yang melangkah dengan perlahan, Gin Ciong lalu bertanya. “Siapakah mereka, Yin-moi? Agaknya engkau jeri kepada mereka sehingga engkau perlu menggunakan racun.”

Cu Yin menghela napas panjang. “Engkau tidak tahu. Dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Tentang gadis itu, aku tidak tahu siapa.”

“Kenapa engkau hendak membunuhnya, Yin-moi?”

“Karena aku mencintainya!”

Jawaban yang jujur ini membuat Gin Ciong tertegun sejenak. Hatinya panas bukan main. Bagaimana hatinya tidak akan panas mendengar gadis yang dicintanya ternyata mencinta pemuda lain? Akan tetapi hatinya masih merasa penasaran.

“Kalau engkau mencintanya, kenapa engkau malah hendak membunuhnya?”

Cu Yin cemberut dan sampai lama tidak menjawab, kelihatan termenung.

“Kenapa engkau hendak membunuh orang yang kau cinta itu, Yin-moi?”

“Karena aku… aku membencinya!”

Hati Gin Ciong menjadi girang, akan tetapi juga heran. “Engkau mencintanya akan tetapi juga membencinya?” tanyanya sambil menatap wajah yang cantik itu penuh selidik.

“Cerewet benar engkau, Ciong-ko! Aku memang mencintainya, akan tetapi dia menolak cintaku, bahkan menolak ketika kuajak melakukan perjalanan bersama. Kini tahu-tahu dia melakukan perjalanan dengan seorang gadis lain!”

Gin Ciong kini mengerti. Gadis yang membuatnya tergila-gila itu merasa cemburu, dan dia girang sekali mendengar betapa cinta gadis itu terhadap pemuda yang diracuni berubah menjadi benci.

“Pemuda seperti dia itu memang tidak tahu diri! Berani-beraninya dia menolak cintamu! Dia kira dialah yang paling tampan di dunia ini? Hemm, sayang tadi engkau melarangku membunuhnya. Ingin kucabik-cabik tubuhnya untuk membalas penghinaannya terhadap dirimu, Yin-moi.”

Mendadak Cu Yin termenung. Dia membayangkan tubuh Si Kong diterkam harimau dan tubuhnya dicabik-cabik. Ia mengerutkan alisnya, terbayang semua pengalamannya ketika melakukan perjalanan bersama pemuda itu sewaktu ia masih menyamar sebagai seorang pengemis muda.

Betapa baiknya sikap Si Kong terhadap dirinya, betapa penuh pembelaan dan keramahan. Membayangkan Si Kong sebagai seorang pemuda gagah perkasa yang bersikap sangat baik kepadanya, tanpa terbendung lagi Cu Yin menangis tersedu-sedu di atas punggung kudanya.

Gin Ciong memandang dengan alis berkerut. Watak gadis itu demikian aneh, dan angin-anginan, mudah berubah-ubah. Maka dia pun menutup mulut, khawatir kalau dia bicara, gadis itu malah akan marah kepadanya.

Cu Yin yang menangis tersedu-sedu itu tiba-tiba saja mengangkat mukanya yang basah air mata. “Tidak...! Dia tidak boleh mati! Kong-ko... ahh, Kong-ko...!”

Dia pun mencambuk kudanya yang meloncat ke depan lalu berlari cepat sekali kembali ke tempat di mana mereka tadi meninggalkan Si Kong dan Hui Lan. Tetapi sesudah mereka tiba di tempat itu, mereka tidak menemukan kedua orang itu. Cu Yin kembali menangis dan terisak-isak.

“Celaka... Kong-ko... telah diterkam harimau...” Dia pun menangis lagi.

“Tidak, Yin-moi. Lihat ini. Kalau dia diterkam harimau dan dibawa pergi, tentu ada tanda darah di sini. Dan lihat ini, Yin-moi. Ada bekas api unggun. Mungkin ada yang menolong mereka.”

Cu Yin meloncat turun dari atas kudanya dan ikut memeriksa keadaan tempat itu. Benar saja. Ada bekas api unggun di situ dan tidak ada tanda darah. Hatinya menjadi agak lega.

“Kita cari mereka di sekitar sini. Mungkin mereka ditolong orang-orang dusun itu. Mari kita cari, Yin-moi!”

Cu Yin hanya mengangguk dan mereka menunggang kuda mereka lagi, mencari di sekitar tempat itu. Akan tetapi mereka tidak menemukan jejak kedua orang itu. Mereka lalu pergi ke dusun yang tadi baru saja ditinggalkan, bertanya-tanya, akan tetapi tidak seorang pun mengetahui di mana dua orang yang mereka cari.

“Sudahlah, Yin-moi. Mereka tidak mati seperti yang kau kehendaki...”

Cu Yin memandang kepada Gin Ciong dengan mata masih merah bekas tangisan, lantas mengangguk. “Engkau benar, mereka tidak mati...”

“Nah, lebih baik kita melanjutkan perjalanan kita ke Kwi-liong-san.”

“Baik, Ciong-ko, mari kita pergi.”

Keduanya lalu membalapkan kuda keluar dari dusun itu.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Ke manakah perginya Si Kong dan Hui Lan? Benarkah mereka mati diterkam harimau atau ada orang yang menolong mereka? Kedua-duanya tidak benar.

Ketika mereka berdua ditinggalkan Cu Yin dan Gin Ciong, Si Kong berkata, “Lan-moi, jangan khawatir. Aku dapat mengobati kita dari racun ini...”

Si Kong lalu memeriksa kembali nadi pergelangan tangan Hui Lan untuk mengetahui jenis racun apa yang memasuki tubuh mereka melalui makanan tadi. Dia mengerutkan alisnya. Racun itu bekerja lambat namun berbahaya sekali, mengandung hawa panas yang akan membakar dan merusak pencernaan.

Memang ada ramuan obat yang akan dapat melawan racun itu, akan tetapi ramuan obat itu sukar di dapat dari hutan, harus dibeli di toko obat yang besar di kota. Padahal melihat sifatnya racun itu, mereka tidak akan bertahan lebih dari sehari semalam!

“Bagaimana, Kong-ko?” tanya Hui Lan melihat wajah Si Kong nampak berduka.

“Obatnya hanya tersedia di toko obat yang besar, Lan-moi. Kita harus dapat membelinya dari toko obat itu sebelum lewat sehari semalam. Kalau melewati waktu itu maka kita tidak dapat diselamatkan lagi.”

“Kong-ko, aku memiliki sebuah mustika batu giok yang dapat menawarkan segala racun. Ayah memberikan mustika itu kepadaku. Mungkin mustika ini akan dapat menyembuhkan kita.” Hui Lan mengeluarkan batu giok itu dari buntalannya dan memberikannya kepada Si Kong.

Begitu menerima batu kemala itu dan mengamatinya, Si Kong berseru kagum, “Ini tentu Liong-cu-giok (Kemala Mustika Naga)! Guruku Yok-sian Lo-kai pernah bercerita kepadaku mengenai mustika ini!”

“Entahlah, Kong-ko. Aku menerimanya dari ayah dan kata ayah mustika kemala ini dapat menawarkan segala macam racun.”

“Bagus sekali, aku pun sudah mendengar dari suhu tentang cara pemakaiannya.”

Si Kong lalu membuat api unggun, mengambil guci tempat air yang tadi telah dipenuhi air jernih oleh pemilik kedai. Kemudian dia memasukkan kemala itu ke dalam tempat air dan menggantung tempat air itu di atas api. Dia menambah kayu bakar sehingga api bernyala besar. Tidak lama kemudian air mendidih, lalu diturunkannya tempat air itu dan dibiarkan mendingin kembali.

“Kalau ini benar Kemala Mustika Naga maka kita akan tertolong, Lan-moi. Biar aku yang minum lebih dulu.”

Setelah air di tempat air itu menjadi dingin, Si Kong lalu minum dari bibir guci itu beberapa teguk. Dia berdiam diri sambil memejamkan matanya, lalu mengambil napas panjang dan mencoba untuk mengerahkan sinkang-nya. Tidak terasa sakit sama sekali.

“Bagus! Aku sudah sembuh, Lan-moi!” Dia berseru girang sekali. “Mari cepat kau minum air obat ini.”

Tanpa ragu-ragu lagi Hui Lan minum air dari guci itu dan dia merasakan hawa yang dingin memasuki perutnya. Ia mengembalikan guci itu kepada Si Kong, lalu ia pun memejamkan kedua matanya, mengumpulkan hawa murni dan mencoba mengerahkan sinkang-nya. Ia pun tidak merasakan sakit lagi!

“Bukan main! Batu kemala milikmu ini betul-betul merupakan batu ajaib yang amat hebat, Lan-moi! Harap simpan dengan hati-hati agar jangan sampai dirampas orang jahat.” Si Kong mengambil batu giok itu dari dalam guci dan menyerahkannya kepada Hui Lan yang segera menyimpannya kembali ke dalam buntalan pakaiannya. Pada saat itu pula mereka mendengar derap kaki kuda dari jauh.

“Ahhh, mereka datang lagi sedangkan kita belum dapat memulihkan sinkang. Cepat, kita harus bersembunyi, dan hati-hati jangan sampai meninggalkan jejak sepatu.”

Mereka memadamkan api unggun, lalu menyambar buntalan pakaian masing-masing dan berindap-indap pergi dari situ, memasuki semak-belukar. Mereka tadi sengaja menginjak tanah yang tertutup daun sehingga tidak meninggalkan jejak langkah mereka. Di dalam semak belukar itu mereka menyusup masuk dan mengintai dari celah-celah rumpun daun yang tebal.

Tidak lama kemudian mereka melihat Cu Yin dan Gin Ciong melompat turun dari kuda mereka dan memandang ke sekeliling. Dengan jantung berdebar tegang Si Kong dan Hui Lan mengintai tanpa berani bergerak sambil menjaga pernapasan mereka supaya jangan mengeluarkan bunyi. Akhirnya dua orang itu melompat ke atas punggung kuda dan pergi dari situ.

Sampai lama Si Kong tidak bergerak, bukan lagi takut ketahuan Cu Yin, melainkan masih terharu ketika mendengar ucapan dan tangis Cu Yin tadi. Gadis itu sungguh mencintainya dengan caranya sendiri yang liar. Setelah Hui Lan menyentuh lengannya, barulah Si Kong sadar dan mereka pun keluar dari semak-semak, lalu berlari dengan cepat meninggalkan tempat itu, mengambil jurusan lain dari jurusan yang diambil Cu Yin tadi.

Setelah berlari cukup jauh barulah mereka berhenti dan beristirahat di tepi sebuah sungai kecil. Matahari telah naik tinggi dan mereka merasa amat lelah karena tadi berlari dengan cepat.

“Kong-ko, siapakah gadis cantik dan pemuda tadi? Agaknya mereka yang meracuni kita, akan tetapi mengapa dia melakukan hal itu?”

Si Kong menarik napas panjang. “Dia bernama Siangkoan Cu Yin, puteri dari datuk besar Lam Tok.”

“Ahhh, puteri Si Racun Selatan yang tersohor itu? Pantas kalau begitu, dia pandai sekali menggunakan racun tanpa kita ketahui. Racun itu rupanya ditaruh di dalam masakan mi kuah itu, Kong-ko. Dan mengapa dia meracunimu? Meracuni kita?”

Hening sejenak ketika Hui Lan mengamati wajah Si Kong yang menundukkan kepalanya. Kemudian Hui Lan mengangguk-angguk dan berkata, “Aku mengerti sekarang, Kong-ko!”

“Mengerti apa, Lan-moi?”

“Aku mengerti mengapa dia meracuni kita. Tadi ketika menemui kita, dia mengaku bahwa dialah yang meracuni kita, bahkan mengatakan bahwa engkau seorang yang kejam, lalu meninggalkan kita. Hal itu membuktikan bahwa dia mendendam kepadamu, merasa sakit hati. Lalu ketika dia datang lagi mencari kita, dia menangis dan mengira bahwa engkau dimakan harimau. Sikapnya itu jelas sekali menunjukkan bahwa dia mencintaimu, Kong-ko. Dia mencintaimu, akan tetapi juga membencimu karena engkau menyakitkan hatinya. Apakah yang telah engkau lakukan sehingga gadis itu sakit hati kepadamu, Kong-ko?”

Si Kong menghela napas panjang dan merasa salah tingkah. Kalau tidak diberi tahukan kepada Hui Lan, tentu Hui Lan akan menyangka dia telah melakukan hal yang tidak-tidak. Sebaliknya kalau dia berterus terang, dia merasa kikuk dan malu mengatakan bahwa Cu Yin jatuh cinta padanya! Setelah berpikir sejenak dia pun menjawab.

“Dahulu Cu Yin pernah mengajakku untuk mencari Pek-lui-kiam. Aku menolak ajakannya karena aku merasa tidak pantas seorang laki-laki melakukan perjalanan bersama seorang gadis.”

“Hemm, Kong-ko, bukankah kini kita berdua melakukan perjalanan bersama? Apakah ini juga kau anggap tidak pantas?”

“Ah, tidak... tidak...,” Si Kong menjadi bingung. “Kalau kita berdua lain lagi. Guruku masih terhitung kakek buyutmu, maka kita ini boleh dibilang orang sendiri. Nah, mungkin karena penolakanku itu dia merasa sakit hati.”

“Bagaimana mungkin hanya karena ditolak melakukan perjalanan bersama dia menjadi begitu sakit hati sehingga hendak membunuhmu?”

“Kalau mengingat bahwa dia adalah puteri Lam Tok, apa anehnya bila dia bertindak aneh dan kejam?”

“Tidak Kong-ko, pasti ada alasan yang lain dan aku mengerti mengapa dia melakukan itu. Dia bukan hanya meracunimu saja, akan tetapi juga meracuni aku yang sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengannya. Jawabannya hanya satu, yaitu bahwa dia cemburu kepadaku! Melihat engkau melakukan perjalanan denganku, padahal engkau menolaknya, dia merasa cemburu dan sakit hati, maka berusaha hendak meracuni kita.”

“Begitukah pendapatmu, Lan-moi?”

“Tidak salah lagi. Cemburu dapat menimbulkan perbuatan kejam. Kenyataan bahwa dia tadi amat mengkhawatirkan keselamatanmu telah membuktikan bahwa puteri Lam-tok itu amat mencintaimu, karena cinta itulah maka dia menjadi cemburu.”

“Hemm...” Si Kong tak menjawab karena dia sudah mengetahui bahwa Siangkoan Cu Yin mencintanya. Hal ini sudah diakui terus terang oleh Cu Yin. “Apakah cinta harus disertai cemburu? Cinta adalah perasaan yang menyayang dan melindungi, sedangkan cemburu adalah perasaan yang membenci dan merusak.”

Hui Lan memandang pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik, lalu dengan kedua pipi berubah kemerahan dia berkata, “Mengapa engkau tanyakan hal itu kepadaku? Aku tidak tahu, aku tidak pernah mencinta, tidak pernah cemburu.”

Si Kong tersenyum dan balas memandang. “Aku sendiri pun tidak pernah mencinta dan tidak pernah cemburu. Tetapi setidaknya kita berdua tentu pernah menyayang. Tidakkah engkau menyayang ayah ibumu? Dan bukankah ibumu juga menyayangmu? Mungkinkah kalian saling membenci?”

“Ahh, aku menjadi pusing. Engkau saja yang menerangkan dan menjawab pertanyaanmu sendiri, Kong-ko. Tentu saja aku menyayang orang tuaku karena mereka adalah orang-orang yang paling baik dan menyayang diriku.”

“Hemm, akan kucoba untuk mengupas soal cinta ini, Lan-moi. Akan tetapi aku minta agar engkau bersungguh-sungguh dan bersikap adil untuk membantuku mengupasnya. Engkau menyayang kedua orang tuamu karena mereka menyayang dan bersikap baik kepadamu. Sekarang coba kau renungkan, bagaimana andai kata orang tuamu tak bersikap baik dan menyayangmu? Pada waktu masih kecil, pernahkah engkau merajuk dan menangis kalau permintaanmu tidak dipenuhi orang tuamu? Dapatkah engkau menyayang mereka kalau mereka bersikap jahat dan kejam kepadamu?”

“Tidak mungkin orang tua kejam dan tidak baik terhadap anaknya!” bantah Hui Lan.

“Nanti dulu, Lan-moi. Orang tua memang baik dan menyayang anaknya karena si anak patuh dan berbakti kepada mereka. Seperti juga si anak menyayang orang tuanya karena orang tuanya itu bersikap baik dan menyayangnya. Coba andai kata si anak tidak patuh dan tidak berbakti, tentu orang tua akan menjadi marah dan menghukumnya, bahkan rasa sayangnya pun bisa luntur.”

Hui Lan mengerutkan alisnya. Tidak bisa dia membayangkan dia membenci orang tuanya atau orang tuanya membencinya. “Kalau begitu pendapatmu maka di dunia ini tidak ada rasa cinta di dalam hati manusia?”

“Mari kita selidiki. Kita lanjutkan lagi. Dapatkah seorang wanita mencinta pria kalau si pria itu tidak mencintanya, kalau si pria itu bersikap jahat terhadap dirinya? Sebaliknya begitu pula, seorang pria tentu tidak dapat mencinta wanita yang bersikap jahat terhadapnya dan tidak mencintainya. Sudah banyak terjadi betapa cinta itu berbalik menjadi benci, seperti kita lihat pada diri Siangkoan Cu Yin.”

Hui Lan mengerutkan alisnya. Dia berpikir dan membayangkan. Bila dia bertemu dengan seorang pria yang tidak mencinta dirinya dan tidak bersikap baik padanya, rasanya tidak mungkin dia dapat mencinta seorang pria seperti itu!

“Kalau begitu menurut pendapatmu, tidak ada manusia yang memiliki cinta murni?”

“Nanti dulu, Lan-moi. Kenyataan ini sebaiknya kita selidiki bersama, jadi bukan menurut pendapatku atau pendapatmu. Tadi kita sudah melihat bahwa cinta manusia mengandung pamrih, minta imbalan. Aku mencinta dia karena cinta kepadaku, atau lebih jelas lagi, kau mencinta dia karena dia menyenangkan hatiku. Semua ini terjadi karena manusia sudah dikuasai oleh nafsunya sendiri. Nafsu yang mengaku-aku menjadi si-aku selalu minta agar disenangkan. Kalau disenangkan aku menyayang dan kalau tidak disenangkan aku tidak menyayang. Aku menyayang benda karena benda itu menyenangkanku, aku menyayang binatang peliharaan karena binatang itu patuh dan menyenangkan aku. Maka terjadilah mencinta yang menyenangkan dan membenci yang tidak menyenangkan.”

Hui Lan membelalakkan matanya. “Wah, kalau begitu manusia ini semuanya mempunyai cinta palsu dan tidak murni.”

“Begitulah kenyataan yang kita lihat. Karena nafsunya, manusia tidak bisa menghilangkan pamrih atau imbalan dalam perasaan cintanya. Mungkin yang paling mendekati kemurnian hanyalah kebersihan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya, seekor induk terhadap anak-anaknya. Mendekati kemurnian, tidak murni benar.”

“Hemm, jadi kalau begitu di dunia ini tidak mungkin ada cinta kasih yang murni, Kong-ko?” Suara gadis itu begitu sayu seperti orang yang kecewa dan putus asa.

Si Kong tersenyum. “Sama sekali tidak demikian, Lan-moi. Kita melihat cinta kasih yang murni terbentang di depan mata kita. Cinta kasih Tuhan terhadap ciptaannya!”

“Apakah maksudmu dengan cinta kasih Tuhan?”

“Tuhan memberikan kehidupan kepada semua ciptaannya tanpa menuntut imbalan. Cinta kasihnya berlimpahan. Contohnya, sinar matahari menghidupkan kita dan semua makhluk menerimanya, tidak peduli makhluk atau orang itu taat atau tidak kepadaNya, tidak peduli orang itu percaya atau tidak kepadaNya. Bunga mawar tetap memberi aroma yang sedap, baik kepada seorang pendeta mau pun kepada seorang penjahat, baik kepada seorang hartawan mau pun kepada seorang pengemis. Masih banyak lagi contoh-contohnya, dan itulah Cinta Kasih yang murni, Lan-moi.”

“Ah, itu kan Cinta Kasih Tuhan, Kong-ko. Mana bisa manusia disamakan dengan Tuhan?”

“Engkau benar, Lan-moi. Yang jelas, cinta kasih manusia selalu diliputi nafsu.”

“Bagaimana kalau cinta kasih antara sahabat? Ini tidak mengharapkan apa-apa.”

“Betulkah itu? Bagaimana jika sahabatmu yang paling baik pada suatu hari membencimu, mengkhianatimu, dan mencelakakanmu? Apakah engkau akan tetap menyayangnya?”

“Wah, wah, engkau menyudutkan aku sehingga aku tak dapat menyangkal lagi, Kong-ko! Kalau begitu kita ini tidak memiliki cinta kasih?”

“Agaknya cinta kasih kita telah dihabiskan untuk mencintai diri sendiri, Lan-moi. Tidak ada sisanya lagi bagi orang lain.”

“Lalu, bagaimana usaha kita agar dapat mencinta dengan tulus ikhlas dan murni?”

“Aku tidak tahu, Lan-moi. Selama kita tidak bisa menundukkan nafsu sendiri, tak mungkin kita dapat mencinta tanpa gelimangan nafsu. Dan yang bisa menyisihkan nafsu hanyalah kekuasaan Tuhan. Yang penting bagi kita adalah melihat kenyataan kalau kita mencinta, dan melihat betapa cinta kita itu diselimuti nafsu.”

“Wah, wah! Mudah-mudahan aku tidak mempunyai cinta kasih palsu seperti itu, Kong-ko. Aku ngeri membayangkannya!”

“Tidak perlu ngeri atau menyesal, Lan-moi. Memang demikianlah kenyataan cinta kasih manusiawi, berbeda dengan cinta kasih Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Pemurah. Jika kita sudah menyadari bahwa cinta kasih nafsu itu tidak bersih, setidaknya akan lebih mudah bagi kita untuk melawan dan mengendalikan nafsu pribadi.”

“Akan tetapi alangkah sukarnya melawan perasaan hati sendiri, Kong-ko. Kecewa, marah atau benci adalah ulah perasaan, bagaimana kita bisa mencegah atau menghalanginya?”

“Memang berat, Lan-moi, dan sulit sekali. Karena itu kita harus mohon bimbingan kepada Tuhan, karena hanya dengan bimbingan Tuhan sajalah kita akan mampu menundukkan nafsu kita sendiri.”

Gadis itu memandang kepada Si Kong dengan kagum dan heran. “Ahh, aku heran sekali, Kong-ko. Pantasnya yang bicara ini adalah seorang guru besar yang sudah mendalam pengetahuannya tentang hidup! Akan tetapi engkau yang masih muda bagaimana dapat mengetahui tentang kehidupan ini?”

Si Kong tersenyum lalu menjawab. “Tahu dan mengerti tentang kehidupan bukanlah suatu pengetahuan, Lan-moi. Setiap orang hidup yang sudah dewasa akan mengetahui tentang hidup karena dia sendiri juga hidup, bukan? Dengan membaca buah pikiran cerdik pandai dan budiman, dan terutama sekali dengan mawas diri, memperhatikan dan mengikuti ulah hati akal pikiran sendiri akan menimbulkan pengertian itu. Akan tetapi mengerti itu saja tidak akan membawa perubahan kepada kita. Pengamatan yang terus menerus terhadap ulah hati akal pikiran sendiri yang akan menimbulkan perubahan.”

Hui Lan menggeleng kepalanya. “Bicaramu mengingatkan aku akan ayahku. Kalau bicara tentang kehidupan, ayah juga begitu gamblang dan menelanjangi semua kenyataan hidup, betapa pun pahit kenyataan itu. Sudahlah, Kong-ko, mari kita lanjutkan perjalanan kita.”

“Nanti dulu, Lan-moi. Sekarang coba kau kerahkan sinkang-mu, apakah dalam dada dan perutmu masih terasa sakit?”

Hui Lan lalu mengerahkan tenaga sinkang-nya ke seluruh bagian tubuhnya. Tak ada yang terasa nyeri lagi dan karena sudah mengerahkan sinkang, dia lalu menggerakkan tubuh dan kaki tangannya untuk bersilat. Ia memainkan Ciu-sian Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Dewa Arak) yang dipelajari dari ayahnya.

Si Kong memandang kagum. Ilmu silat itu kelihatan aneh, seperti gerakan orang mabok namun setiap gerakannya mengandung tenaga sinkang yang kuat. Sesudah memainkan delapan belas jurus itu Hui Lan menghentikan gerakannya kemudian memandang pemuda itu sambil tersenyum girang.

“Tidak ada yang terasa nyeri sama sekali, Kong-ko.”

“Baguslah! Kalau begitu kita sudah benar-benar terlepas dari bahaya maut. Batu kemala mustika itu manjur sekali, Lan-moi. Mustika itu amat langka dan amat berharga, hati-hati engkau menyimpannya, jangan sampai hilang.”

Dua orang muda-mudi itu lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kui-liong-san.

Kui-liong-san merupakan sebuah pegunungan yang bentuknya memanjang. Dari jarak jauh kelihatan seperti seekor naga, karena itulah pegunungan itu disebut orang Kui-liong-san (Gunung Naga Siluman). Tidak ada orang yang berani mendaki pegunungan itu karena Kui-liong-san terkenal dengan hutan-hutannya yang liar dan penuh dengan binatang buas seperti harimau, ular besar dan sebagainya lagi.

Akan tetapi yang terutama menimbulkan rasa takut adalah segerombolan manusia yang menjadikan tempat itu sebagai sarang mereka. Gerombolan manusia yang sangat ditakuti ini adalah perkumpulan Kui-jiauw-pang (Perkumpulan Cakar Setan).

Kui-jiauw-pang mempunyai anggota sebanyak seratus orang lebih, dan orang-orang Kui-jiauw-pang terkenal tangguh dan juga kejam. Sudah banyak orang yang memasuki daerah pegunungan itu namun tidak dapat keluar lagi. Mereka adalah para pemburu yang tadinya hendak memburu binatang di hutan-hutan pegunungan itu. Mereka tidak dapat keluar lagi karena mati terbunuh.

Bahkan ada beberapa orang pendekar gagah yang ingin membasmi gerombolan itu, tetapi bukan saja mereka tidak berhasil, bahkan mereka tewas dan tidak dapat meninggalkan daerah pegunungan Kui-liong-san. Sejak saat itu tak ada lagi orang yang berani mencoba memasuki daerah pegunungan yang angker itu.

Penduduk dusun-dusun yang terdapat di sekitar kaki pegunungan Kui-liong-san bahkan beranggapan bahwa Kui-liong-san menjadi sarang setan dan iblis. Mereka yang takhyul ini merasa takut sekali memasuki hutan-hutan di pegunungan itu, malah untuk mencari kayu bakar pun mereka tidak berani memasuki hutan yang paling bawah sekali pun.

Kui-jiauw-pang kini dipimpin oleh seorang tokoh kangouw terkenal. Karena tokoh ini selalu mengenakan pakaian yang serba merah, maka dia menyebut diri sendiri sebagai Ang I Sianjin (Manusia Dewa Berbaju Merah). Dari sebutan ini saja tercerminkan ketinggian hati orangnya yang ingin dianggap sebagai seorang dewa!

Ang I Sianjin adalah seorang datuk sesat dari barat. Tadinya dia adalah seorang penjahat besar yang menjadi buruan pemerintah. Dia melarikan diri ke barat lalu menghilang untuk belasan tahun lamanya. Pada saat itu dia pergi bertapa sambil mempelajari berbagai ilmu sehingga dia menjadi seorang yang semakin tangguh.

Ketika muncul kembali dia memperkenalkan diri sebagai Ang I Sianjin. Dia menaklukkan banyak gerombolan perampok, lalu menghimpun orang-orang terlihai di antara gerombolan itu dan mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Kui-jiauw-pang.

Dia melatih para anak buahnya dengan ilmu-ilmu silat yang tinggi dan menggunakan alat penyambung tangan berupa cakar setan yang terbuat dari baja. Selain dapat mematahkan senjata lawan, cakar setan ini juga mengandung racun yang amat jahat. Terkena goresan sedikit saja oleh cakar setan ini maka orang akan menderita keracunan yang mengancam nyawanya!

Setelah perkumpulan ini berdiri kokoh, Ang I Sianjin lantas memilih Kui-liong-san menjadi sarang perkumpulannya. Mereka hidup dari hasil hutan yang tidak pernah didatangi orang lain, juga mereka mendatangi bandar-bandar perjudian dan tempat pelesir untuk menuntut pembagian hasil dari mereka, di kota-kota yang berdekatan dengan wilayah itu.

Pada suatu pagi para anggota Kui-jiauw-pang digemparkan dengan munculnya dua orang kakek di dalam hutan dekat puncak, sudah dekat dengan sarang mereka yang berada di puncak pegunungan itu. Mula-mula ada lima orang anggota Kui-jiauw-pang yang melihat adanya dua orang kakek itu. Tentu saja mereka menjadi marah dan segera menghampiri dua orang kakek yang sedang duduk bersila di atas batu besar.

“Hai, kalian dua orang kakek yang sudah bosan hidup! Berani kalian memasuki daerah kekuasaan kami!” bentak pemimpin di antara lima orang itu yang bertubuh tinggi besar.

Dua orang kakek itu saling pandang lalu menyeringai. Kakek berusia empat puluh tahun lebih yang berkepala besar sekali, kepalanya botak dan telinganya lebar berbaju putih itu bukan lain adalah Thai-mo-ong Toa Ok, Si Jahat nomor satu.

Orang kedua adalah Ji-mo-ong Ji Ok si jahat nomor dua. Rambut di kepala Ji Ok sangat panjang dan tebal, dibiarkan berjuntai sampai ke pinggangnya. Wajahnya penuh dengan berewok seperti muka monyet dan pakaiannya berbeda sekali dengan Toa Ok. Kalau Toa Ok berpakaian serba putih, Ji Ok berpakaian serba hitam.

Dua orang ini telah kita kenal ketika mereka berdua bersama Bu-tek Ngo-sian menyerbu Pulau Teratai Merah dan menyerang Ceng Lojin atau Ceng Thian Sin, Si Pendekar Sadis. Mereka dapat dipukul mundur dan karena jeri mereka segera meninggalkan Pulau Teratai Merah dengan cepat. Mereka menderita luka dalam yang membutuhkan waktu beberapa bulan untuk menyembuhkannya.

Dan kini tahu-tahu dua orang datuk besar Dunia Barat itu muncul di Kui-liong-san. Mudah diduga bahwa kemunculan mereka itu tentu ada hubungannya dengan Pek-lui-kiam yang hendak diperebutkan semua orang kangouw.

“Ehh, Ji Ok. Siapa gerangan cacing-cacing busuk ini?” tanya Toa Ok yang merasa jengkel melihat sikap lima orang itu.

“Agaknya mereka adalah gerombolan yang merajalela di pegunungan ini,” kata Ji Ok yang menghadapi mereka. Sesudah menatap tajam kepada anggota Kui-jiauw-pang yang tinggi besar dan menjadi pemimpin mereka berlima, Ji Ok bertanya, “Apakah kalian ini anggota gerombolan Kui-jiauw-pang?”

“Hemm, ternyata kalian sudah tahu, kini bersiap-siaplah kalian untuk mampus. Siapa pun yang berani memasuki daerah kami harus mati!” Setelah berkata demikian si tinggi besar itu sudah memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk turun tangan.

“Nanti dulu!” kata Ji Ok sambil menyeringai. “Kalian hanya anggota, tidak ada artinya bagi kami. Cepat panggil Ang I Sianjin ke sini sambil membawa Pek-lui-kiam untuk diserahkan kepada kami. Jika dia menolak maka seluruh orang Kui-jiauw-pang akan kami basmi dan sarangnya akan kami bakar habis!”

Si tinggi besar itu terbelalak. Tidak hanya marah mendengar ucapan itu, akan tetapi juga merasa heran sekali. Bagaimana mungkin di dunia ini ada orang, kakek-kakek lagi, yang berani mengeluarkan ancaman seperti itu terhadap Kui-jiauw-pang?

“Kalian tua bangka yang bosan hidup.” Dia menoleh kepada empat orang kawannya dan berkata, “Serbu! Bunuh kedua orang kakek ini!”

Dia sendiri langsung menerjang sesudah memasang cakar setan pada kedua tangannya. Empat orang kawannya juga telah memasang cakar setan masing-masing, lantas mereka berlima menyerang kedua orang kakek yang masih duduk di atas batu besar itu dengan sikap tenang dan wajah mentertawakan lima orang itu.

Toa Ok menggerakkan tangan kirinya yang tertutup lengan baju panjang, maka dua orang penyerang terlempar seperti disambar angin badai, dan mereka roboh bergulingan karena merasa tubuh mereka seperti dibakar, lantas mereka diam dan tewas! Ji Ok juga segera menggerakkan tangan kirinya. Dua orang lainnya terlempar sambil menggigil kedinginan, lalu mati kaku!

Si tinggi besar yang melihat ini terbelalak dengan muka pucat, lalu cepat membalikkan tubuh untuk melarikan diri. Akan tetapi sekali Ji Ok melambaikan tangan kirinya, si tinggi besar itu seperti ditarik dari belakang dan dia pun terjengkang roboh!

Si tinggi besar menjadi semakin ketakutan dan dia meloncat bangun untuk melarikan diri lagi, akan tetapi tiba-tiba ujung pecut yang dipegang oleh Ji Ok telah menyambar kakinya. Kemudian sekali pecut itu ditarik, si tinggi besar terpelanting dan roboh lagi. Dia menjadi semakin ketakutan dan segera menghadap dua orang kakek itu dengan tubuh gemetar, lalu dalam keadaan berlutut dia berkata,

“Mohon ampun, ji-wi locianpwe! Harap ampuni saya...”

“Heh-heh-heh, aku mau saja mengampuni engkau, akan tetapi engkau harus cepat berlari memanggil Ang I Sianjin ke sini dan menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam kepada kami!”

Si tinggi besar itu berulang-ulang menyembah dengan tubuh gemetar, kemudian berkata, “Baik, locianpwe, saya mentaati perintah...” Dia lalu bangkit berdiri dan merasa amat lega karena dia tidak dikorbankan lagi. “Sekarang juga saya hendak mengundang pemimpin ke sini.” Setelah berkata demikian, si tinggi besar lalu lari secepatnya menuju ke puncak, ke sarang Kui-jiauw-pang.

Ketika si tinggi besar itu tiba di sarang Kui-jiauw-pang dengan napas terengah-engah, dia langsung memasuki bangunan induk yang menjadi tempat tinggal Ang I Sianjin. Dia terus memasuki bangunan dan bertanya kepada pelayan di mana adanya ketua mereka itu.

“Pangcu sedang sarapan di kamar makan, harap jangan diganggu,” kata pelayan itu.

Akan tetapi si tinggi besar tidak peduli. Dia terus memasuki kamar makan dan benar saja, Ang I Sianjin sedang duduk makan seorang diri. Melihat si tinggi besar menerobos masuk dan menjatuhkan diri berlutut di depannya, Ang I Sianjin mengerutkan alisnya.

“Hemm, berani mati engkau! Ada urusan apa maka engkau berani mengganggu aku yang sedang makan?” bentaknya.

“Mala petaka sudah menimpa kami, Pangcu. Maka saya terpaksa mengganggu Pangcu. Empat orang saudara kami telah terbunuh!”

“Apa?! Siapa pembunuhnya dan bagaimana hal itu bisa terjadi?”

“Kami berlima melihat ada dua orang kakek yang duduk di atas batu dalam hutan bambu di bawah puncak. Kami segera menegurnya, tapi dua orang kakek itu malah mengatakan agar kami cepat memanggil pangcu untuk menghadap mereka dan menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Apa bila pangcu menolak, Kui-jiauw-pang akan dibasmi dan tempat tinggal kami akan dibakar habis. Kami berlima lalu menyerang mereka, akan tetapi sekali mereka menggerakkan tangan, empat orang di antara kami langsung tewas menggeletak. Kemudian mereka melepaskan saya untuk melapor kepada pangcu.”

Mendengar laoran itu merahlah muka Ang I Sianjin. “Apa?! Kurang ajar!” Dia marah sekali dan melemparkan sepasang sumpit yang dipegangnya ke bawah. Sepasang sumpit itu meluncur deras dan akhirnya menancap ke dalam lantai sampai ke gagangnya!

Ang I Sianjin berkata dengan suara lantang kepada si tinggi besar. “Kumpulkan seluruh anggota Kui-jiauw-pang agar ikut aku memberi hajaran kepada kedua orang musuh itu!”

Sebentar saja di situ sudah berkumpul delapan puluh orang lebih, karena banyak juga di antara mereka yang bertugas di luar. Bagaikan pasukan yang hendak berperang mereka mengikuti ketua mereka yang berjalan di depan.

Ang I Sianjin yang berusia empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bermuka pucat itu membawa sepasang pedang yang berada pada punggungnya dan sebuah kipas yang dipegang dengan tangan kirinya. Dengan langkah tegap dan gagah ketua Kui-jiauw-pang ini menuju ke hutan bambu yang ditunjukkan oleh anak buahnya yang melapor tadi.

Tidak lama kemudian mereka tiba di tempat itu. Dua orang kakek yang diceritakan oleh si tinggi besar tadi masih duduk di atas batu dengan sikap tenang. Melihat dua orang kakek itu duduk dengan tenang di atas batu besar dan mayat empat orang anak buahnya masih menggeletak di atas tanah, bangkitlah kemarahan Ang I Sianjin.

Namun ketika dia melihat dengan pandang mata penuh selidik ke arah dua orang kakek itu, melihat pakaian mereka, yang seorang berpakaian putih dan yang kedua berpakaian hitam, wajah Ang I Sianjin yang sudah pucat itu menjadi bertambah pucat. Tentu saja dia sudah mendengar tentang dua orang kakek ini. Akan tetapi dia tidak merasa takut karena bukankah dia membawa anak buah yang delapan puluh orang banyaknya?

Sambil menekan hatinya yang berdebar tegang, Ang I Sianjin menghampiri kedua orang kakek itu dan berdiri di hadapannya. Suaranya terdengar lantang untuk menutupi hatinya yang gelisah dan agak jeri.

“Kalau kami tidak salah menduga, bukankah yang duduk di depan kami ini Thai-mo-ong Toa Ok dan Ji-mo-ong Ji Ok?”

Dua orang kakek tiu saling pandang dan menyeringai. Ji Ok yang bertubuh kurus itu lalu tertawa. “Ha-ha-ha, kiranya ketua Kui-jiauw-pang yang berjuluk Ang I Sianjin itu memiliki pandangan yang tajam juga. Kami memang Toa Ok dan Ji Ok.”

Ang I Sianjin memandang ke arah empat mayat anak buahnya dan tertawa, “Apakah ji-wi yang telah membunuh empat orang anak buah kami? Apa kesalahan mereka? Andai kata mereka memang bersalah, di sini masih ada aku yang dapat menghukumnya. Mengapa ji-wi membunuh mereka?”

“Mereka menyerang kami, maka terpaksa kami membunuh mereka dan membebaskan yang seorang lagi untuk melapor kepadamu. Apakah engkau sudah menerima laporan itu dan apakah engkau sudah membawa Pek-lui-kiam untuk diserahkan kepada kami?”

Panas juga rasa hati Ang I Sianjin mendengar ucapan yang amat meremehkannya itu. Dia sendiri memiliki ilmu silat yang tinggi, dan di situ terdapat delapan puluh anak buahnya.

“Pedang pusaka itu kudapatkan dengan taruhan nyawa, tidak mungkin diserahkan kepada siapa pun juga.”

Tiba-tiba Toa Ok yang berkata dengan angkuhnya. “Ang I Sianjin, engkau boleh memilih. Engkau menyerahkan Pek-lui-kiam kepada kami dan kami tidak akan mengganggu kalian, atau engkau lebih senang kalau kami mengamuk dan membunuh engkau beserta seluruh anak buahmu, lantas membakar sarangmu dan menggeledah sampai kami mendapatkan pedang pusaka itu?”

Ang I Sianjin tertegun. Dia maklum bahwa kedua orang kakek itu tidak hanya menggertak kosong belaka. Dia harus dapat menghadapi mereka dengan cerdik, menggunakan cara yang paling menguntungkan pihaknya.

Dengan cerdik Ang I Sianjin lalu tersenyum. Dia tahu benar betapa lihainya kedua orang datuk itu. Walau pun dia memiliki delapan puluh orang anak buah, dia tidak yakin bahwa pihaknya akan memperoleh kemenangan dan gertakan dua orang kakek itu dapat menjadi kenyataan. Dia lalu menggunakan sikap menghormat.

“Ji-wi tentu sudah tahu kebiasaan orang-orang kangouw. Memperebutkan sesuatu harus dilakukan dengan mengadu kepandaian, bukan saling menghancurkan. Karena itu kami akan menempuh cara yang sama. Di sini kami berdiri dengan semua anggota Kui-jiauw-pang kami. Bila ji-wi dapat mengalahkan kami tanpa membunuh, maka kami akan takluk kepada ji-wi dan kami akan mengangkat ji-wi sebagai pimpinan kami. Dengan sendirinya Pek-lui-kiam menjadi milik ji-wi. Kalau ji-wi menolak syarat ini, maka kami akan melawan sampai mati, tetapi jangan harap akan dapat menemukan Pek-lui-kiam yang sudah kami sembunyikan.”

Kembali kedua orang datuk besar itu saling pandang sambil menyeringai. “Keputusannya ada padamu, Toa Ok!” kata Ji Ok kepada rekannya.

Toa Ok mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hemmm, cara itu cukup adil dan baik. Kalau nanti kalian kalah lalu menakluk, itu cocok sekali dengan keinginan kami karena kami pun membutuhkan anak buah untuk melawan mereka yang hendak memperebutkan Pek-lui-kiam!”

“Kalau begitu bersiaplah, kami akan maju mengeroyok!” Ang I Sianjin berkata dengan hati lega. Dengan perjanjian itu, andai kata dia serta anak buahnya kalah sekali pun, mereka tidak akan dibunuh dan menjadi anak buah kedua datuk yang sakti itu.

“Heh-heh-heh, sejak tadi kami sudah bersiap. Majulah kalian semua!” kata Ji Ok sambil menyeringai memandang rendah.

Ang I Sianjin lalu memberi isyarat kepada semua anak buahnya untuk memecah menjadi dua kelompok. Kelompok yang lebih kecil hanya berjumlah tiga puluh orang, membantu dia untuk melawan Toa Ok, sedangkan selebihnya yang lima puluh mengeroyok Ji Ok.

Mereka lalu mengepung batu di mana kedua orang datuk itu duduk. Setelah Ang I Sianjin memberi isyarat, semua anak buahnya cepat memasang cakar setan pada kedua tangan mereka. Kini mereka nampak menyeramkan, dengan dua tangan menjadi cakar setan dan sikap mereka yang mengancam. Akan tetapi Toa Ok dan Ji Ok tenang-tenang saja duduk di atas batu besar itu.

Ketika para anggota Kui-jiauw-pang itu menerjang ke arah batu besar dengan cakar setan mereka, tiba-tiba saja kedua orang kakek itu lenyap sehingga cakar-cakar setan itu hanya menghantam batu. Bunga api berpijar ketika batu itu dihajar tangan cakar setan itu.

Semua orang cepat memutar tubuh, dan mereka melihat bahwa dua orang kakek itu telah berada di belakang mereka. Begitu cepat gerakan mereka ketika meloncat tadi sehingga tidak nampak oleh mereka, seolah dua orang datuk itu pandai menghilang.

Ang I Sianjin dapat melihat gerakan mereka, karena itu dialah yang lebih dahulu memutar tubuhnya. Ketua Kui-jiauw-pang yang sudah mencabut pedang dengan tangan kanan dan memegang kipas di tangan kiri itu lalu menyerang Toa Ok dengan dahsyatnya. Serangan pedang dan kipasnya dahsyat sekali, cepat dan mengandung tenaga yang sangat kuat. Melihat ini Toa Ok tidak berani memandang rendah dan dia sudah menggerakkan tongkat ularnya untuk menangkis.

“Tranggg...!”

Pedang di tangan Ang I Sianjin terpental ketika bertemu tongkat dan kipasnya hampir saja terlepas dari tangannya. Pada saat itu puluhan anggota Kui-jiauw-pang sudah menerjang maju dengan cepat. Puluhan pasang cakar setan menerkam ke arah tubuh Toa Ok.

Namun putaran tongkat ular itu merupakan gulungan sinar yang menyelimuti tubuh Toa Ok. Semua anggota Kui-jiauw-pang yang berani menyerang, begitu menyentuh gulungan sinar tongkat, segera terdorong ke belakang dan roboh bergelimpangan. Mereka merasa seperti menyerang dinding baja yang amat kuat kemudian terdorong oleh kekuatan yang dahsyat sekali.

Begitu pula dengan lima puluh orang anak buah Kui-jiauw-pang yang mengeroyok Ji Ok. Datuk yang kurus pendek ini bergerak sedemikian cepatnya sehingga yang tampak hanya sesosok bayangan hitam diselimuti gulungan sinar cambuknya yang diputar sangat cepat. Setiap kali seorang anggota Kui-jiauw-pang menerjang gulungan sinar ini, maka mereka segera roboh terjengkang!

Ketika puluhan orang itu bangkit dan menyerang kembali, Toa Ok dan Ji Ok menghajar mereka dengan lebih kuat lagi. Bukan hanya senjata dua orang datuk ini yang melindungi tubuh menangkis, juga kaki dan tangan kiri mereka menyambar sehingga siapa saja yang terkena tendangan atau tamparan mereka, tentu segera roboh kemudian mengaduh-aduh karena bagian tubuh yang terkena serangan itu terasa sakit bukan main.

Pendekar Kelana Jilid 14

Si Kong tak dapat menolak lagi. Gadis itu bersikap jujur dan terus terang, dapat menerima kekalahannya dengan wajar. Dia mengambil tongkat bambunya lalu melintangkan tongkat bambu itu di depan dadanya.

“Kong-ko,” kata Hui Lan dengan nada suara ragu-ragu. “Engkau perlu mengetahui bahwa dua pedangku ini adalah Hok-mo Siang-kiam yang amat tajam dan kuat, mudah membuat patah pedang atau golok lawan. Sedangkan engkau hanya bersenjata tongkat bambu, ini tidak seimbang sama sekali. Sekali bentur tongkatmu tentu akan patah.”

Si Kong tersenyum. “Jangan khawatir dan ragu, Lan-moi. Selamanya suhu Yok-sian Lo-kai tidak pernah mempergunakan senjata lain kecuali tongkat bambu. Akan tetapi belum pernah tongkat bambunya dipatahkan senjata lawan. Aku akan berusaha supaya tongkat bambuku ini tidak sampai patah oleh sepasang pedangmu.”

“Baik, Kong-ko. Awas seranganku!”

Hui Lan mulai menggerakkan sepasang pedangnya. Demikian cepat gerakan pedang dara ini sehingga bentuk pedangnya lenyap berubah menjadi dua gulung sinar kebiruan seperti sepasang naga bermain-main di angkasa.

Dulu ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam ini menjadi andalan Toan Kim Hong atau Lam Sin (Sakti dari Selatan) yang menjadi isteri kakek Ceng Thian Sin. Ilmu ini diwariskan kepada Ceng Sui Cin yang kemudian mewariskannya pula kepada anaknya, Cia Kui Hong yang kemudian menyerahkan pula kepada Tang Hui Lan. Nenek Toan Kim Hong yang memiliki sepasang pedang lalu mempersatukan ilmu-ilmu pedang yang dikenalnya, dirangkai dan diambil bagian terpenting dan terlihai sehingga dia memiliki ilmu pedang rangkaian sendiri yang diberi nama sama dengan pedangnya, yaitu Hok-mo Siang-kiam. Maka jadilah ilmu pedang pasangan yang amat dahsyat seperti yang dimainkan Hui Lan sekarang ketika dia menyerang Si Kong.

Si Kong terkejut dan mengelak dengan cepat. Ia kagum sekali ketika Hui Lan menyerang secara bertubi-tubi dengan kedua pedangnya.

“Ilmu pedang yang hebat!” dia berseru dan dia sudah memainkan tongkatnya dengan ilmu tongkat Ta-kauw Sin-tung. Tubuhnya melesat ke sana-sini menyelinap di antara gulungan sinar pedang yang kebiruan itu.

Biar pun ilmu tongkat ini hebat dan menjadi rajanya semua ilmu tongkat, akan tetapi kalau bukan Si Kong yang memainkannya, belum tentu akan dapat menandingi kehebatan Hok-mo Siang-kiam. Akan tetapi di tangan Si Kong tongkat itu menjadi aneh sekali dan begitu diputar mengeluarkan angin dahsyat. Hebatnya, tongkat bambu itu berkali-kali membentur sepasang pedang namun sama sekali tidak menjadi patah atau putus! Dan terbentuklah gulungan sinar kuning kehijauan dari tongkat itu mengimbangi gulungan sinar sepasang pedang.

Hampir seratus jurus berlalu tanpa ada yang nampak kalah atau menang. Ketika Si Kong kelihatan sedikit mengendur, Hui Lan menggunting dengan sepasang pedangnya ke arah pinggang Si Kong. Serangan ini hebat bukan kepalang sehingga kali ini agaknya Si Kong tidak akan dapat menghindarkan dirinya lagi.

Namun dengan ilmu Liok-te Hui-teng tubuh Si Kong melesat ke atas sehingga guntingan sepasang pedang itu luput dan pada saat itu Hui Lan merasa betapa rambut di kepalanya dijamah sesuatu dan seketika tali pengikat rambutnya yang belum digelung itu lepas dan rambutnya menjadi awut-awutan dan berkibar-kibar.

Hui Lan cepat meloncat ke belakang. Dia melihat Si Kong sudah turun pula dan di ujung tongkat bambunya terdapat pita yang tadinya mengikat rambutnya. Gadis itu memandang kagum. Kalau pita rambutnya berhasil diambil oleh tongkat Si Kong, tentu saja berarti dia sudah kalah. Mengambil pita rambut itu dapat saja diubah menjadi pukulan atau totokan pada kepalanya!

“Ilmu tongkatmu juga hebat sekali, Kong-ko!” kata Hui Lan kagum dan dia mengambil pita rambutnya dari ujung tongkat yang disodorkan Si Kong.

“Ilmu pedangmu tadi juga sangat hebat. Terus terang saja belum pernah aku bertanding melawan orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi darimu. Ilmu pedangmu membuat aku kewalahan dan kehabisan akal untuk mencari kemenangan. Baru setelah melihat pita rambutmu berkibar, aku mendapat akal dan ternyata berhasil menggunakan tongkat untuk mengambilnya,” kata Si Kong sejujurnya.

“Benarkah kata-katamu itu, Kong-ko?” tanya Hui Lan yang kehilangan rasa kepercayaan kepada diri sendiri karena sudah dikalahkan Si Kong.

“Untuk apa aku berbohong? Apa yang kuucapkan keluar dari dalam hatiku, bukan untuk menyenangkan hatimu, Lan-moi.”

Hui Lan cepat membereskan dan mengikat kembali rambutnya dengan pita. “Aku percaya padamu, Kong-ko, dan ucapanmu itu melegakan hatiku. Mari kita melanjutkan perjalanan kita, Kong-ko. Mudah-mudahan di depan ada dusun dan kedai makanan agar kita dapat sarapan.”

“Mari, Lan-moi. Aku pun sudah siap.”

Pemuda dan gadis perkasa ini sama sekali tak pernah mengira bahwa tak jauh dari situ, di belakang semak-semak, ada dua pasang mata yang mengamati dan dua pasang telinga mendengarkan percakapan mereka. Kenyataan bahwa di sana terdapat dua orang yang mengintai tanpa diketahui Hui Lan mau pun Si Kong sudah menunjukkan bahwa kedua orang itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Mereka dapat membuat gerakan mereka tidak mengeluarkan suara.

Ketika Si Kong dan Hui Lan pergi meninggalkan tempat itu, dua orang yang tadi mengintai itu pun pergi dengan cepatnya. Bahkan mereka berlari cepat mendahului Si Kong dan Hui Lan yang sama sekali tidak tahu bahwa tadi mereka sudah diamati orang.

Setelah matahari naik tinggi Si Kong dan Hui Lan tiba di sebuah dusun yang cukup ramai. Mereka segera mencari penjual makanan dan mendapatkan sebuah kedai makanan dan minuman yang merupakan satu-satunya kedai makanan di dusun itu. Matahari telah naik tinggi dan kedai itu telah sepi tamu.

Si Kong dan Hui Lan lalu memasuki kedai, disambut oleh penjaga kedai yang hanya ada seorang saja itu, seorang laki-laki yang berusia empat puluh tahun lebih. Penjaga kedai itu bertubuh kurus dan mukanya pucat seperti orang menderita suatu penyakit.

“Selamat siang, tuan muda dan nona. Apakah ji-wi (kalian berdua) hendak makan dan minum? Ji-wi memesan apakah?”

“Jual makanan apa saja engkau?” tanya Hui Lan.

“Ada bakpau, roti gandum dan juga nona dapat memesan bakmi kuah.”

“Aku memesan bakmi kuah dan air teh hangat,” kata Hui Lan.

“Aku juga memesan yang sama,” kata Si Kong.

“Baik, harap ji-wi tunggu sebentar. Silakan duduk dan saya akan mempersiapkan pesanan ji-wi.”

Penjaga kedai itu lalu masuk ke dalam, terus ke dapur yang terletak di ruangan belakang. Di dapur itu duduk seorang pemuda dan seorang gadis, ada pun di atas sebuah bangku panjang duduk seorang wanita dan seorang anak berusia sepuluh tahun, keduanya terikat pada bangku.

Penjaga kedai memandang kepada pemuda dan gadis itu dengan muka ketakutan, lalu memandang kepada isteri dan anaknya yang terikat itu.

“Mereka memesan apa?” tanya gadis cantik itu.

“Me... memesan... Bakmi kuah dan air teh,” jawab penjaga kedai dengan suara gemetar ketakutan.

“Bagus, cepat buatkan bakmi kuah itu,” kata pula si gadis itu.

Si penjaga kedai cepat memasakkan bakmi kuah itu dan tak lama kemudian bakmi kuah sudah matang. Gadis itu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku pinggangnya, membuka bungkusan dan mengambil sedikit bubuk putih yang lalu dimasukkan ke dalam dua mangkok bakmi kuah. Bakmi itu diaduk-aduk dengan sumpit, lalu gadis itu berbisik,

“Cepat hidangkan kepada mereka. Hati-hati kau, jangan sampai kedua orang itu curiga!”

“Kalau engkau tidak memenuhi perintah, ingat, isteri dan anakmu akan kubunuh!” pemuda itu pun menghardik lirih.

Penjaga kedai itu mengangguk-angguk, tak mampu mengeluarkan kata-kata hanya dapat memandang dengan hati cemas kepada isteri dan anaknya yang terikat di bangku, lantas dia membawa dua mangkok mi kuah dan sepocai air teh dan dua cangkir kosong. Setelah tiba di luar, dia menenangkan hatinya yang berdebar-debar. Ditaruhnya dua mangkok mi kuah itu bersama poci teh dan dua cangkirnya ke atas meja di depan Si Kong dan Hui Lan. Sambil menahan agar suaranya tidak gemetar, dia berkata,

“Silakan makan dan minum, kongcu dan siocia.”

Hui Lan memandang tajam wajah penjaga kedai itu. “Mengapa wajahmu demikian pucat dan suaramu gematar, paman? Apakah engkau sakit?”

Penjaga kedai itu terkejut dan was-was. Dia segera membungkuk dan menjawab, “Dalam beberapa hari ini memang badan saya masuk angin dan terasa sakit-sakit, nona. Akan tetapi sudah saya belikan obat.”

Dia lalu kembali ke depan untuk menyambut kalau ada tamu memasuki kedainya. Akan tetapi matanya terus melihat ke arah pemuda dan gadis yang mulai makan mi kuahnya. Hatinya merasa gelisah sekali.

Dia tidak tahu benda apa yang dimasukkan ke dalam mangkok mi kuah tadi, akan tetapi dia menduga bahwa perbuatan itu tentu tidak bermaksud baik. Pemuda dan gadis cantik yang berpakaian mewah itu telah menyandera isteri dan anaknya. Orang-orang seperti itu, betapa pun tampan dan cantiknya, tentu bukan orang baik-baik.

Hatinya terasa lega bukan main ketika melihat Si Kong dan Hui Lan menghabiskan bakmi mereka dan minum beberapa cangkir air teh. Tergopoh dia maju menghampiri ketika Si Kong minta agar guci tempat airnya diisi penuh dengan air jernih. Setelah mengisi guci itu dengan air jernih dan mengembalikannya lagi kepada Si Kong, penjaga kedai itu dengan wajah gembira melihat dua orang tamunya tidak apa-apa, lantas memperhitungkan harga makanan dan minuman.

Hui Lan membayar lalu dia dan Si Kong keluar dari kedai itu untuk melanjutkan perjalanan mereka. Sedikit pun mereka tidak menyangka buruk.

Sementara itu, pemuda yang mengintai ke depan bersama gadis cantik itu mengerutkan alisnya. “Yin-moi, bagaimana sih kau ini? Racun bubuk putihmu ternyata sama sekali tidak mendatangkan hasil. Lihat mereka pergi dengan tenang!”

Gadis itu tersenyum. Manis sekali kalau dia tersenyum. Seorang gadis cantik, rambutnya dihias emas permata, pada lengannya terdapat gelang kemala, mengenakan anting-anting indah dan pakaiannya juga sangat mewah. Gadis itu bukan lain adalah Siangkoan Cu Yin yang sudah kita kenal. Dahulu dia merantau dengan menyamar sebagai seorang pemuda pengemis yang usianya remaja dan memakai nama Siangkaon Ji.

Seperti kita ketahui, gadis ini berjumpa dengan Tio Gin Ciong, putera Datuk Timur yang berjuluk Tung Giam-ong. Mereka menjadi sahabat, lantas melakukan perjalanan bersama menuju ke Kwi-liong-san untuk ikut merebut pedang pusaka Pek-lui-kiam.

Tanpa sengaja kedua orang muda yang menunggang dua ekor kuda itu melihat Hui Lan dan Si Kong. Cu Yin yang merasa masih sakit hati pada Si Kong yang menolak cintanya, bahkan tak mau melakukan perjalanan bersamanya, tentu saja menjadi marah sekali saat melihat pemuda itu kini melakukan perjalanan bersama seorang gadis lain.

“Kita mengambil jalan lain dan mendahului mereka ke dusun itu!” kata Cu Yin yang segera membalapkan kudanya diikuti oleh Gin Ciong.

“Tahan dulu, Yin-moi! Mereka itu siapa dan kenapa kita harus mendahului mereka?”

“Diamlah dulu, Ciong-ko. Nanti saja kujelaskan. Sekarang cepat balapkan kuda memasuki dusun di depan itu untuk mendahului mereka!” Mendengar bentakan ini, Gin Ciong hanya menggerakkan pundak dan membalapkan kudanya.

Mereka mengikat kuda mereka di luar dusun, lalu memasuki dusun itu. Mereka mencari-cari dan melihat kedai makanan dan minuman di tepi jalan.

“Sini Ciong-ko. Mereka tentu akan makan minum di warung ini. Mari kita menyelinap dari belakang!”

Keduanya dengan cepat melompat ke belakang kedai itu dan masuk melalui pintu dapur di belakang. Di dapur itu mereka melihat seorang wanita berusia kurang dari empat puluh tahun bersama seorang anak berusia sepuluh tahun. Ibu dan anak itu terkejut, akan tetapi dengan cepat Cu Yin menggerakkan tangannya dua kali dan kedua orang ibu dan anak itu tak dapat bergerak atau bersuara lagi.

“Ikat mereka di bangku itu, Ciong-ko!” kata Cu Yin.

Permintaan ini ditaati oleh Gin Ciong yang segera mengikat ibu dan anak itu pada sebuah bangku panjang. Kemudian Cu Yin mengintai. Sepi sekali di luar, hanya nampak pemilik kedai yang berjaga di depan kedainya.

“Ssttt, paman! Ke sinilah! Isteri dan anakmu ini kenapa?” teriak Cu Yin.

Pemilik kedai itu terheran, juga terkejut melihat seorang gadis cantik dan mewah tiba-tiba saja muncul dari dalam dan memanggilnya. Mendengar ada sesuatu yang terjadi dengan isteri dan anaknya, dia pun bergegas masuk mengikuti Cu Yin ke dapur. Setelah tiba di dapur melihat isteri dan anaknya terikat dibangku, tentu saja dia terkejut bukan main.

“Apa yang terjadi di sini?” Dia langsung menghampiri anak isterinya, akan tetapi Gin Ciong sudah mencabut pedang dan menodongnya.

“Turuti semua kehendak kami kalau engkau ingin isteri dan anakmu selamat!” bentak Gin Ciong yang belum juga mengerti akan tindakan Cu Yin.

“Jika nanti ada seorang pemuda dan seorang gadis memasuki kedaimu, terimalah mereka dengan baik dan layani dengan ramah,” kata Cu Yin.

“Baik, nona... Akan tetapi kasihanilah kami, jangan ganggu isteri dan anak kami...”

“Lihat saja nanti. Kalau engkau mentaati semua perintah kami, maka anak dan isterimu ini akan kami bebaskan. Akan tetapi kalau engkau tidak mau menaati kami, maka isteri dan anakmu akan kami bunuh!” kata Cu Yin.

“Sekarang keluarlah dan siap-siap menerima dua orang tamu itu!”

Pemilik kedai itu keluar dengan tergopoh-gopoh, dan ketika itu pula Hui Lan dan Si Kong memasuki kedainya. Dengan muka pucat karena mengingat keadaan anak dan isterinya, pemilik kedai menerima Hui Lan dan Si Kong dengan ramah. Dan selanjutnya kita sudah mengetahui betapa Cu Yin memasukkan racun bubuk putih ke dalam mangkok mi kuah yang dihidangkan kepada Hui Lan dan Si Kong.

Ketika Gin Ciong menegur Cu Yin karena racun bubuk putihnya tidak mengganggu sedikit pun kepada pemuda dan gadis itu, dia tersenyum. Pada saat itu pemilik kedai memasuki dapur dan Cu Yin menyambutnya dengan totokan. Orang itu mengeluh dan roboh terkulai, tak mampu bergerak lagi.

“Mari kita tinggalkan mereka. Sebelum lewat satu jam dia tidak akan sadar. Marilah kita membayangi mereka!”

“Mau apa lagi, Yin-moi? Kalau memang mereka itu musuh-musuhmu, mari kita hadang mereka. Tidak perlu takut, aku akan membasmi mereka kalau engkau menghendakinya.”

“Diamlah dulu. Nanti akan kujelaskan kepadamu siapa mereka dan mengapa aku berbuat seperti ini!” Cu Yin menegur pemuda itu. Mereka lalu membayangi Hui Lan dan Si Kong dari jarak jauh.

Si Kong dan Hui Lan melangkah seenaknya. Mereka telah memasuki sebuah hutan yang sunyi di sebelah selatan dusun itu. Hui Lan mengeluh, dan berkata, “Aih, kepalaku pening dan dadaku rasanya tidak enak sekali!”

Dia berhenti melangkah dan tangan kirinya meraba dahinya, bahkan dia lantas terhuyung. Si Kong terkejut dan cepat merangkulnya agar gadis itu tak sampai roboh. Dia memapah gadis itu ke bawah sebatang pohon dan mengajaknya duduk di atas batu.

“Engkau kenapa, Lan-moi? Coba kuperiksa sebentar.” Dia lalu menekan nadi pergelangan tangan gadis itu. “Ahh, denyut nadimu kacau tidak karuan! Coba sekarang kau kerahkan sinkang untuk melawan rasa nyeri itu.”

Hui Lan menurut dan segera mengerahkan sinkang-nya. Akan tetapi akibatnya dia malah terpelanting dan terengah-engah. “Aduhh, aku terpukul tenagaku sendiri, ahh nyeri, Kong-ko...!”

Si Kong merasa heran dan dia mencobanya dengan diri sendiri. Dia mengerahkan sinkang dan merasa dadanya seperti terpukul oleh tenaga yang sangat kuat. Dia pun terpelanting dan terengah-engah.

“Engkau kenapa, Kong-ko?” tanya Hui Lan khawatir dan dia sudah lupa akan keadaannya sendiri.

“Celaka, Lan-moi. Kita telah keracunan!”

“Keracunan? Di kedai tadi?”

“Tenanglah, Lan-moi, aku dapat mengobati kita... ahh, diamlah, ada orang datang...!”

Yang muncul adalah Cu Yin dan Gin Ciong. Melihat Cu Yin, Si Kong segera mengenalnya dan saking herannya, dia pun berseru,

“Yin-moi...! Engkau di sini?”

“Kong-ko, engkau seorang lelaki kejam, sekarang tahu rasa!” Gadis itu tersenyum manis dan berkata kepada Gin Ciong. “Lihat, Ciong-ko! Engkau tadi terlalu memandang rendah terhadap puteri Lam Tok! Percuma ayahku berjuluk Racun Selatan kalau racunku tidak ampuh! Lihat, sekarang mereka berdua sudah tidak berdaya.”

“Akan tetapi, siapakah mereka, Yin-moi?”

“Nanti saja kuceritakan. Aku ingin menikmati pemandangan ini dulu. Si Kong yang gagah perkasa, yang mempunyai kepandaian tinggi, kini menggeletak tak berdaya, tidak mampu menyelamatkan kawan perempuannya, bahkan juga tidak dapat menolong dirinya sendiri. Hi-hi-hik!”

“Yin-moi, jadi engkaukah yang melakukan ini? Tidak malukah engkau sebagai puteri datuk besar Lam Tok, menggunakan cara yang curang ini untuk merobohkan kami?”

“Tutup mulutmu!” Gin Ciong membentak sambil mencabut pedangnya. “Yin-moi, dia berani membuka mulut besar kepadamu, sebaiknya kuhabisi saja dia!” Lalu dia mengelebatkan pedangnya. Hatinya penuh dengan rasa cemburu mendengar betapa pemuda tampan itu menyebut Yin-moi kepada Cu Yin.

“Jangan! Terlalu enak bagi dia! Biar dia menderita dan mati perlahan-lahan, kecuali kalau di hutan ini ada binatang buas yang akan merobek-robek dagingnya! Mari kita pergi saja, Ciong-ko.” Cu Yin segera memutar tubuhnya dan berlari pergi dari tempat itu, diikuti oleh Gin Ciong. Mereka kembali ke dusun tadi untuk mengambil kuda mereka.

Ketika berlari itu Gin Ciong melihat betapa Cu Yin menggunakan punggung tangan untuk menghapus air matanya. Gadis itu menangis! Dia dapat menduga bahwa ada hubungan batin antara Cu Yin dan pemuda yang menggeletak tadi. Dia menjadi makin benci kepada pemuda itu. Kalau saja sekarang berada di depannya, tentu sudah dibunuhnya.

Setelah mereka berdua menunggang kuda yang melangkah dengan perlahan, Gin Ciong lalu bertanya. “Siapakah mereka, Yin-moi? Agaknya engkau jeri kepada mereka sehingga engkau perlu menggunakan racun.”

Cu Yin menghela napas panjang. “Engkau tidak tahu. Dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Tentang gadis itu, aku tidak tahu siapa.”

“Kenapa engkau hendak membunuhnya, Yin-moi?”

“Karena aku mencintainya!”

Jawaban yang jujur ini membuat Gin Ciong tertegun sejenak. Hatinya panas bukan main. Bagaimana hatinya tidak akan panas mendengar gadis yang dicintanya ternyata mencinta pemuda lain? Akan tetapi hatinya masih merasa penasaran.

“Kalau engkau mencintanya, kenapa engkau malah hendak membunuhnya?”

Cu Yin cemberut dan sampai lama tidak menjawab, kelihatan termenung.

“Kenapa engkau hendak membunuh orang yang kau cinta itu, Yin-moi?”

“Karena aku… aku membencinya!”

Hati Gin Ciong menjadi girang, akan tetapi juga heran. “Engkau mencintanya akan tetapi juga membencinya?” tanyanya sambil menatap wajah yang cantik itu penuh selidik.

“Cerewet benar engkau, Ciong-ko! Aku memang mencintainya, akan tetapi dia menolak cintaku, bahkan menolak ketika kuajak melakukan perjalanan bersama. Kini tahu-tahu dia melakukan perjalanan dengan seorang gadis lain!”

Gin Ciong kini mengerti. Gadis yang membuatnya tergila-gila itu merasa cemburu, dan dia girang sekali mendengar betapa cinta gadis itu terhadap pemuda yang diracuni berubah menjadi benci.

“Pemuda seperti dia itu memang tidak tahu diri! Berani-beraninya dia menolak cintamu! Dia kira dialah yang paling tampan di dunia ini? Hemm, sayang tadi engkau melarangku membunuhnya. Ingin kucabik-cabik tubuhnya untuk membalas penghinaannya terhadap dirimu, Yin-moi.”

Mendadak Cu Yin termenung. Dia membayangkan tubuh Si Kong diterkam harimau dan tubuhnya dicabik-cabik. Ia mengerutkan alisnya, terbayang semua pengalamannya ketika melakukan perjalanan bersama pemuda itu sewaktu ia masih menyamar sebagai seorang pengemis muda.

Betapa baiknya sikap Si Kong terhadap dirinya, betapa penuh pembelaan dan keramahan. Membayangkan Si Kong sebagai seorang pemuda gagah perkasa yang bersikap sangat baik kepadanya, tanpa terbendung lagi Cu Yin menangis tersedu-sedu di atas punggung kudanya.

Gin Ciong memandang dengan alis berkerut. Watak gadis itu demikian aneh, dan angin-anginan, mudah berubah-ubah. Maka dia pun menutup mulut, khawatir kalau dia bicara, gadis itu malah akan marah kepadanya.

Cu Yin yang menangis tersedu-sedu itu tiba-tiba saja mengangkat mukanya yang basah air mata. “Tidak...! Dia tidak boleh mati! Kong-ko... ahh, Kong-ko...!”

Dia pun mencambuk kudanya yang meloncat ke depan lalu berlari cepat sekali kembali ke tempat di mana mereka tadi meninggalkan Si Kong dan Hui Lan. Tetapi sesudah mereka tiba di tempat itu, mereka tidak menemukan kedua orang itu. Cu Yin kembali menangis dan terisak-isak.

“Celaka... Kong-ko... telah diterkam harimau...” Dia pun menangis lagi.

“Tidak, Yin-moi. Lihat ini. Kalau dia diterkam harimau dan dibawa pergi, tentu ada tanda darah di sini. Dan lihat ini, Yin-moi. Ada bekas api unggun. Mungkin ada yang menolong mereka.”

Cu Yin meloncat turun dari atas kudanya dan ikut memeriksa keadaan tempat itu. Benar saja. Ada bekas api unggun di situ dan tidak ada tanda darah. Hatinya menjadi agak lega.

“Kita cari mereka di sekitar sini. Mungkin mereka ditolong orang-orang dusun itu. Mari kita cari, Yin-moi!”

Cu Yin hanya mengangguk dan mereka menunggang kuda mereka lagi, mencari di sekitar tempat itu. Akan tetapi mereka tidak menemukan jejak kedua orang itu. Mereka lalu pergi ke dusun yang tadi baru saja ditinggalkan, bertanya-tanya, akan tetapi tidak seorang pun mengetahui di mana dua orang yang mereka cari.

“Sudahlah, Yin-moi. Mereka tidak mati seperti yang kau kehendaki...”

Cu Yin memandang kepada Gin Ciong dengan mata masih merah bekas tangisan, lantas mengangguk. “Engkau benar, mereka tidak mati...”

“Nah, lebih baik kita melanjutkan perjalanan kita ke Kwi-liong-san.”

“Baik, Ciong-ko, mari kita pergi.”

Keduanya lalu membalapkan kuda keluar dari dusun itu.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Ke manakah perginya Si Kong dan Hui Lan? Benarkah mereka mati diterkam harimau atau ada orang yang menolong mereka? Kedua-duanya tidak benar.

Ketika mereka berdua ditinggalkan Cu Yin dan Gin Ciong, Si Kong berkata, “Lan-moi, jangan khawatir. Aku dapat mengobati kita dari racun ini...”

Si Kong lalu memeriksa kembali nadi pergelangan tangan Hui Lan untuk mengetahui jenis racun apa yang memasuki tubuh mereka melalui makanan tadi. Dia mengerutkan alisnya. Racun itu bekerja lambat namun berbahaya sekali, mengandung hawa panas yang akan membakar dan merusak pencernaan.

Memang ada ramuan obat yang akan dapat melawan racun itu, akan tetapi ramuan obat itu sukar di dapat dari hutan, harus dibeli di toko obat yang besar di kota. Padahal melihat sifatnya racun itu, mereka tidak akan bertahan lebih dari sehari semalam!

“Bagaimana, Kong-ko?” tanya Hui Lan melihat wajah Si Kong nampak berduka.

“Obatnya hanya tersedia di toko obat yang besar, Lan-moi. Kita harus dapat membelinya dari toko obat itu sebelum lewat sehari semalam. Kalau melewati waktu itu maka kita tidak dapat diselamatkan lagi.”

“Kong-ko, aku memiliki sebuah mustika batu giok yang dapat menawarkan segala racun. Ayah memberikan mustika itu kepadaku. Mungkin mustika ini akan dapat menyembuhkan kita.” Hui Lan mengeluarkan batu giok itu dari buntalannya dan memberikannya kepada Si Kong.

Begitu menerima batu kemala itu dan mengamatinya, Si Kong berseru kagum, “Ini tentu Liong-cu-giok (Kemala Mustika Naga)! Guruku Yok-sian Lo-kai pernah bercerita kepadaku mengenai mustika ini!”

“Entahlah, Kong-ko. Aku menerimanya dari ayah dan kata ayah mustika kemala ini dapat menawarkan segala macam racun.”

“Bagus sekali, aku pun sudah mendengar dari suhu tentang cara pemakaiannya.”

Si Kong lalu membuat api unggun, mengambil guci tempat air yang tadi telah dipenuhi air jernih oleh pemilik kedai. Kemudian dia memasukkan kemala itu ke dalam tempat air dan menggantung tempat air itu di atas api. Dia menambah kayu bakar sehingga api bernyala besar. Tidak lama kemudian air mendidih, lalu diturunkannya tempat air itu dan dibiarkan mendingin kembali.

“Kalau ini benar Kemala Mustika Naga maka kita akan tertolong, Lan-moi. Biar aku yang minum lebih dulu.”

Setelah air di tempat air itu menjadi dingin, Si Kong lalu minum dari bibir guci itu beberapa teguk. Dia berdiam diri sambil memejamkan matanya, lalu mengambil napas panjang dan mencoba untuk mengerahkan sinkang-nya. Tidak terasa sakit sama sekali.

“Bagus! Aku sudah sembuh, Lan-moi!” Dia berseru girang sekali. “Mari cepat kau minum air obat ini.”

Tanpa ragu-ragu lagi Hui Lan minum air dari guci itu dan dia merasakan hawa yang dingin memasuki perutnya. Ia mengembalikan guci itu kepada Si Kong, lalu ia pun memejamkan kedua matanya, mengumpulkan hawa murni dan mencoba mengerahkan sinkang-nya. Ia pun tidak merasakan sakit lagi!

“Bukan main! Batu kemala milikmu ini betul-betul merupakan batu ajaib yang amat hebat, Lan-moi! Harap simpan dengan hati-hati agar jangan sampai dirampas orang jahat.” Si Kong mengambil batu giok itu dari dalam guci dan menyerahkannya kepada Hui Lan yang segera menyimpannya kembali ke dalam buntalan pakaiannya. Pada saat itu pula mereka mendengar derap kaki kuda dari jauh.

“Ahhh, mereka datang lagi sedangkan kita belum dapat memulihkan sinkang. Cepat, kita harus bersembunyi, dan hati-hati jangan sampai meninggalkan jejak sepatu.”

Mereka memadamkan api unggun, lalu menyambar buntalan pakaian masing-masing dan berindap-indap pergi dari situ, memasuki semak-belukar. Mereka tadi sengaja menginjak tanah yang tertutup daun sehingga tidak meninggalkan jejak langkah mereka. Di dalam semak belukar itu mereka menyusup masuk dan mengintai dari celah-celah rumpun daun yang tebal.

Tidak lama kemudian mereka melihat Cu Yin dan Gin Ciong melompat turun dari kuda mereka dan memandang ke sekeliling. Dengan jantung berdebar tegang Si Kong dan Hui Lan mengintai tanpa berani bergerak sambil menjaga pernapasan mereka supaya jangan mengeluarkan bunyi. Akhirnya dua orang itu melompat ke atas punggung kuda dan pergi dari situ.

Sampai lama Si Kong tidak bergerak, bukan lagi takut ketahuan Cu Yin, melainkan masih terharu ketika mendengar ucapan dan tangis Cu Yin tadi. Gadis itu sungguh mencintainya dengan caranya sendiri yang liar. Setelah Hui Lan menyentuh lengannya, barulah Si Kong sadar dan mereka pun keluar dari semak-semak, lalu berlari dengan cepat meninggalkan tempat itu, mengambil jurusan lain dari jurusan yang diambil Cu Yin tadi.

Setelah berlari cukup jauh barulah mereka berhenti dan beristirahat di tepi sebuah sungai kecil. Matahari telah naik tinggi dan mereka merasa amat lelah karena tadi berlari dengan cepat.

“Kong-ko, siapakah gadis cantik dan pemuda tadi? Agaknya mereka yang meracuni kita, akan tetapi mengapa dia melakukan hal itu?”

Si Kong menarik napas panjang. “Dia bernama Siangkoan Cu Yin, puteri dari datuk besar Lam Tok.”

“Ahhh, puteri Si Racun Selatan yang tersohor itu? Pantas kalau begitu, dia pandai sekali menggunakan racun tanpa kita ketahui. Racun itu rupanya ditaruh di dalam masakan mi kuah itu, Kong-ko. Dan mengapa dia meracunimu? Meracuni kita?”

Hening sejenak ketika Hui Lan mengamati wajah Si Kong yang menundukkan kepalanya. Kemudian Hui Lan mengangguk-angguk dan berkata, “Aku mengerti sekarang, Kong-ko!”

“Mengerti apa, Lan-moi?”

“Aku mengerti mengapa dia meracuni kita. Tadi ketika menemui kita, dia mengaku bahwa dialah yang meracuni kita, bahkan mengatakan bahwa engkau seorang yang kejam, lalu meninggalkan kita. Hal itu membuktikan bahwa dia mendendam kepadamu, merasa sakit hati. Lalu ketika dia datang lagi mencari kita, dia menangis dan mengira bahwa engkau dimakan harimau. Sikapnya itu jelas sekali menunjukkan bahwa dia mencintaimu, Kong-ko. Dia mencintaimu, akan tetapi juga membencimu karena engkau menyakitkan hatinya. Apakah yang telah engkau lakukan sehingga gadis itu sakit hati kepadamu, Kong-ko?”

Si Kong menghela napas panjang dan merasa salah tingkah. Kalau tidak diberi tahukan kepada Hui Lan, tentu Hui Lan akan menyangka dia telah melakukan hal yang tidak-tidak. Sebaliknya kalau dia berterus terang, dia merasa kikuk dan malu mengatakan bahwa Cu Yin jatuh cinta padanya! Setelah berpikir sejenak dia pun menjawab.

“Dahulu Cu Yin pernah mengajakku untuk mencari Pek-lui-kiam. Aku menolak ajakannya karena aku merasa tidak pantas seorang laki-laki melakukan perjalanan bersama seorang gadis.”

“Hemm, Kong-ko, bukankah kini kita berdua melakukan perjalanan bersama? Apakah ini juga kau anggap tidak pantas?”

“Ah, tidak... tidak...,” Si Kong menjadi bingung. “Kalau kita berdua lain lagi. Guruku masih terhitung kakek buyutmu, maka kita ini boleh dibilang orang sendiri. Nah, mungkin karena penolakanku itu dia merasa sakit hati.”

“Bagaimana mungkin hanya karena ditolak melakukan perjalanan bersama dia menjadi begitu sakit hati sehingga hendak membunuhmu?”

“Kalau mengingat bahwa dia adalah puteri Lam Tok, apa anehnya bila dia bertindak aneh dan kejam?”

“Tidak Kong-ko, pasti ada alasan yang lain dan aku mengerti mengapa dia melakukan itu. Dia bukan hanya meracunimu saja, akan tetapi juga meracuni aku yang sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengannya. Jawabannya hanya satu, yaitu bahwa dia cemburu kepadaku! Melihat engkau melakukan perjalanan denganku, padahal engkau menolaknya, dia merasa cemburu dan sakit hati, maka berusaha hendak meracuni kita.”

“Begitukah pendapatmu, Lan-moi?”

“Tidak salah lagi. Cemburu dapat menimbulkan perbuatan kejam. Kenyataan bahwa dia tadi amat mengkhawatirkan keselamatanmu telah membuktikan bahwa puteri Lam-tok itu amat mencintaimu, karena cinta itulah maka dia menjadi cemburu.”

“Hemm...” Si Kong tak menjawab karena dia sudah mengetahui bahwa Siangkoan Cu Yin mencintanya. Hal ini sudah diakui terus terang oleh Cu Yin. “Apakah cinta harus disertai cemburu? Cinta adalah perasaan yang menyayang dan melindungi, sedangkan cemburu adalah perasaan yang membenci dan merusak.”

Hui Lan memandang pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik, lalu dengan kedua pipi berubah kemerahan dia berkata, “Mengapa engkau tanyakan hal itu kepadaku? Aku tidak tahu, aku tidak pernah mencinta, tidak pernah cemburu.”

Si Kong tersenyum dan balas memandang. “Aku sendiri pun tidak pernah mencinta dan tidak pernah cemburu. Tetapi setidaknya kita berdua tentu pernah menyayang. Tidakkah engkau menyayang ayah ibumu? Dan bukankah ibumu juga menyayangmu? Mungkinkah kalian saling membenci?”

“Ahh, aku menjadi pusing. Engkau saja yang menerangkan dan menjawab pertanyaanmu sendiri, Kong-ko. Tentu saja aku menyayang orang tuaku karena mereka adalah orang-orang yang paling baik dan menyayang diriku.”

“Hemm, akan kucoba untuk mengupas soal cinta ini, Lan-moi. Akan tetapi aku minta agar engkau bersungguh-sungguh dan bersikap adil untuk membantuku mengupasnya. Engkau menyayang kedua orang tuamu karena mereka menyayang dan bersikap baik kepadamu. Sekarang coba kau renungkan, bagaimana andai kata orang tuamu tak bersikap baik dan menyayangmu? Pada waktu masih kecil, pernahkah engkau merajuk dan menangis kalau permintaanmu tidak dipenuhi orang tuamu? Dapatkah engkau menyayang mereka kalau mereka bersikap jahat dan kejam kepadamu?”

“Tidak mungkin orang tua kejam dan tidak baik terhadap anaknya!” bantah Hui Lan.

“Nanti dulu, Lan-moi. Orang tua memang baik dan menyayang anaknya karena si anak patuh dan berbakti kepada mereka. Seperti juga si anak menyayang orang tuanya karena orang tuanya itu bersikap baik dan menyayangnya. Coba andai kata si anak tidak patuh dan tidak berbakti, tentu orang tua akan menjadi marah dan menghukumnya, bahkan rasa sayangnya pun bisa luntur.”

Hui Lan mengerutkan alisnya. Tidak bisa dia membayangkan dia membenci orang tuanya atau orang tuanya membencinya. “Kalau begitu pendapatmu maka di dunia ini tidak ada rasa cinta di dalam hati manusia?”

“Mari kita selidiki. Kita lanjutkan lagi. Dapatkah seorang wanita mencinta pria kalau si pria itu tidak mencintanya, kalau si pria itu bersikap jahat terhadap dirinya? Sebaliknya begitu pula, seorang pria tentu tidak dapat mencinta wanita yang bersikap jahat terhadapnya dan tidak mencintainya. Sudah banyak terjadi betapa cinta itu berbalik menjadi benci, seperti kita lihat pada diri Siangkoan Cu Yin.”

Hui Lan mengerutkan alisnya. Dia berpikir dan membayangkan. Bila dia bertemu dengan seorang pria yang tidak mencinta dirinya dan tidak bersikap baik padanya, rasanya tidak mungkin dia dapat mencinta seorang pria seperti itu!

“Kalau begitu menurut pendapatmu, tidak ada manusia yang memiliki cinta murni?”

“Nanti dulu, Lan-moi. Kenyataan ini sebaiknya kita selidiki bersama, jadi bukan menurut pendapatku atau pendapatmu. Tadi kita sudah melihat bahwa cinta manusia mengandung pamrih, minta imbalan. Aku mencinta dia karena cinta kepadaku, atau lebih jelas lagi, kau mencinta dia karena dia menyenangkan hatiku. Semua ini terjadi karena manusia sudah dikuasai oleh nafsunya sendiri. Nafsu yang mengaku-aku menjadi si-aku selalu minta agar disenangkan. Kalau disenangkan aku menyayang dan kalau tidak disenangkan aku tidak menyayang. Aku menyayang benda karena benda itu menyenangkanku, aku menyayang binatang peliharaan karena binatang itu patuh dan menyenangkan aku. Maka terjadilah mencinta yang menyenangkan dan membenci yang tidak menyenangkan.”

Hui Lan membelalakkan matanya. “Wah, kalau begitu manusia ini semuanya mempunyai cinta palsu dan tidak murni.”

“Begitulah kenyataan yang kita lihat. Karena nafsunya, manusia tidak bisa menghilangkan pamrih atau imbalan dalam perasaan cintanya. Mungkin yang paling mendekati kemurnian hanyalah kebersihan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya, seekor induk terhadap anak-anaknya. Mendekati kemurnian, tidak murni benar.”

“Hemm, jadi kalau begitu di dunia ini tidak mungkin ada cinta kasih yang murni, Kong-ko?” Suara gadis itu begitu sayu seperti orang yang kecewa dan putus asa.

Si Kong tersenyum. “Sama sekali tidak demikian, Lan-moi. Kita melihat cinta kasih yang murni terbentang di depan mata kita. Cinta kasih Tuhan terhadap ciptaannya!”

“Apakah maksudmu dengan cinta kasih Tuhan?”

“Tuhan memberikan kehidupan kepada semua ciptaannya tanpa menuntut imbalan. Cinta kasihnya berlimpahan. Contohnya, sinar matahari menghidupkan kita dan semua makhluk menerimanya, tidak peduli makhluk atau orang itu taat atau tidak kepadaNya, tidak peduli orang itu percaya atau tidak kepadaNya. Bunga mawar tetap memberi aroma yang sedap, baik kepada seorang pendeta mau pun kepada seorang penjahat, baik kepada seorang hartawan mau pun kepada seorang pengemis. Masih banyak lagi contoh-contohnya, dan itulah Cinta Kasih yang murni, Lan-moi.”

“Ah, itu kan Cinta Kasih Tuhan, Kong-ko. Mana bisa manusia disamakan dengan Tuhan?”

“Engkau benar, Lan-moi. Yang jelas, cinta kasih manusia selalu diliputi nafsu.”

“Bagaimana kalau cinta kasih antara sahabat? Ini tidak mengharapkan apa-apa.”

“Betulkah itu? Bagaimana jika sahabatmu yang paling baik pada suatu hari membencimu, mengkhianatimu, dan mencelakakanmu? Apakah engkau akan tetap menyayangnya?”

“Wah, wah, engkau menyudutkan aku sehingga aku tak dapat menyangkal lagi, Kong-ko! Kalau begitu kita ini tidak memiliki cinta kasih?”

“Agaknya cinta kasih kita telah dihabiskan untuk mencintai diri sendiri, Lan-moi. Tidak ada sisanya lagi bagi orang lain.”

“Lalu, bagaimana usaha kita agar dapat mencinta dengan tulus ikhlas dan murni?”

“Aku tidak tahu, Lan-moi. Selama kita tidak bisa menundukkan nafsu sendiri, tak mungkin kita dapat mencinta tanpa gelimangan nafsu. Dan yang bisa menyisihkan nafsu hanyalah kekuasaan Tuhan. Yang penting bagi kita adalah melihat kenyataan kalau kita mencinta, dan melihat betapa cinta kita itu diselimuti nafsu.”

“Wah, wah! Mudah-mudahan aku tidak mempunyai cinta kasih palsu seperti itu, Kong-ko. Aku ngeri membayangkannya!”

“Tidak perlu ngeri atau menyesal, Lan-moi. Memang demikianlah kenyataan cinta kasih manusiawi, berbeda dengan cinta kasih Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Pemurah. Jika kita sudah menyadari bahwa cinta kasih nafsu itu tidak bersih, setidaknya akan lebih mudah bagi kita untuk melawan dan mengendalikan nafsu pribadi.”

“Akan tetapi alangkah sukarnya melawan perasaan hati sendiri, Kong-ko. Kecewa, marah atau benci adalah ulah perasaan, bagaimana kita bisa mencegah atau menghalanginya?”

“Memang berat, Lan-moi, dan sulit sekali. Karena itu kita harus mohon bimbingan kepada Tuhan, karena hanya dengan bimbingan Tuhan sajalah kita akan mampu menundukkan nafsu kita sendiri.”

Gadis itu memandang kepada Si Kong dengan kagum dan heran. “Ahh, aku heran sekali, Kong-ko. Pantasnya yang bicara ini adalah seorang guru besar yang sudah mendalam pengetahuannya tentang hidup! Akan tetapi engkau yang masih muda bagaimana dapat mengetahui tentang kehidupan ini?”

Si Kong tersenyum lalu menjawab. “Tahu dan mengerti tentang kehidupan bukanlah suatu pengetahuan, Lan-moi. Setiap orang hidup yang sudah dewasa akan mengetahui tentang hidup karena dia sendiri juga hidup, bukan? Dengan membaca buah pikiran cerdik pandai dan budiman, dan terutama sekali dengan mawas diri, memperhatikan dan mengikuti ulah hati akal pikiran sendiri akan menimbulkan pengertian itu. Akan tetapi mengerti itu saja tidak akan membawa perubahan kepada kita. Pengamatan yang terus menerus terhadap ulah hati akal pikiran sendiri yang akan menimbulkan perubahan.”

Hui Lan menggeleng kepalanya. “Bicaramu mengingatkan aku akan ayahku. Kalau bicara tentang kehidupan, ayah juga begitu gamblang dan menelanjangi semua kenyataan hidup, betapa pun pahit kenyataan itu. Sudahlah, Kong-ko, mari kita lanjutkan perjalanan kita.”

“Nanti dulu, Lan-moi. Sekarang coba kau kerahkan sinkang-mu, apakah dalam dada dan perutmu masih terasa sakit?”

Hui Lan lalu mengerahkan tenaga sinkang-nya ke seluruh bagian tubuhnya. Tak ada yang terasa nyeri lagi dan karena sudah mengerahkan sinkang, dia lalu menggerakkan tubuh dan kaki tangannya untuk bersilat. Ia memainkan Ciu-sian Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Dewa Arak) yang dipelajari dari ayahnya.

Si Kong memandang kagum. Ilmu silat itu kelihatan aneh, seperti gerakan orang mabok namun setiap gerakannya mengandung tenaga sinkang yang kuat. Sesudah memainkan delapan belas jurus itu Hui Lan menghentikan gerakannya kemudian memandang pemuda itu sambil tersenyum girang.

“Tidak ada yang terasa nyeri sama sekali, Kong-ko.”

“Baguslah! Kalau begitu kita sudah benar-benar terlepas dari bahaya maut. Batu kemala mustika itu manjur sekali, Lan-moi. Mustika itu amat langka dan amat berharga, hati-hati engkau menyimpannya, jangan sampai hilang.”

Dua orang muda-mudi itu lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kui-liong-san.

Kui-liong-san merupakan sebuah pegunungan yang bentuknya memanjang. Dari jarak jauh kelihatan seperti seekor naga, karena itulah pegunungan itu disebut orang Kui-liong-san (Gunung Naga Siluman). Tidak ada orang yang berani mendaki pegunungan itu karena Kui-liong-san terkenal dengan hutan-hutannya yang liar dan penuh dengan binatang buas seperti harimau, ular besar dan sebagainya lagi.

Akan tetapi yang terutama menimbulkan rasa takut adalah segerombolan manusia yang menjadikan tempat itu sebagai sarang mereka. Gerombolan manusia yang sangat ditakuti ini adalah perkumpulan Kui-jiauw-pang (Perkumpulan Cakar Setan).

Kui-jiauw-pang mempunyai anggota sebanyak seratus orang lebih, dan orang-orang Kui-jiauw-pang terkenal tangguh dan juga kejam. Sudah banyak orang yang memasuki daerah pegunungan itu namun tidak dapat keluar lagi. Mereka adalah para pemburu yang tadinya hendak memburu binatang di hutan-hutan pegunungan itu. Mereka tidak dapat keluar lagi karena mati terbunuh.

Bahkan ada beberapa orang pendekar gagah yang ingin membasmi gerombolan itu, tetapi bukan saja mereka tidak berhasil, bahkan mereka tewas dan tidak dapat meninggalkan daerah pegunungan Kui-liong-san. Sejak saat itu tak ada lagi orang yang berani mencoba memasuki daerah pegunungan yang angker itu.

Penduduk dusun-dusun yang terdapat di sekitar kaki pegunungan Kui-liong-san bahkan beranggapan bahwa Kui-liong-san menjadi sarang setan dan iblis. Mereka yang takhyul ini merasa takut sekali memasuki hutan-hutan di pegunungan itu, malah untuk mencari kayu bakar pun mereka tidak berani memasuki hutan yang paling bawah sekali pun.

Kui-jiauw-pang kini dipimpin oleh seorang tokoh kangouw terkenal. Karena tokoh ini selalu mengenakan pakaian yang serba merah, maka dia menyebut diri sendiri sebagai Ang I Sianjin (Manusia Dewa Berbaju Merah). Dari sebutan ini saja tercerminkan ketinggian hati orangnya yang ingin dianggap sebagai seorang dewa!

Ang I Sianjin adalah seorang datuk sesat dari barat. Tadinya dia adalah seorang penjahat besar yang menjadi buruan pemerintah. Dia melarikan diri ke barat lalu menghilang untuk belasan tahun lamanya. Pada saat itu dia pergi bertapa sambil mempelajari berbagai ilmu sehingga dia menjadi seorang yang semakin tangguh.

Ketika muncul kembali dia memperkenalkan diri sebagai Ang I Sianjin. Dia menaklukkan banyak gerombolan perampok, lalu menghimpun orang-orang terlihai di antara gerombolan itu dan mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Kui-jiauw-pang.

Dia melatih para anak buahnya dengan ilmu-ilmu silat yang tinggi dan menggunakan alat penyambung tangan berupa cakar setan yang terbuat dari baja. Selain dapat mematahkan senjata lawan, cakar setan ini juga mengandung racun yang amat jahat. Terkena goresan sedikit saja oleh cakar setan ini maka orang akan menderita keracunan yang mengancam nyawanya!

Setelah perkumpulan ini berdiri kokoh, Ang I Sianjin lantas memilih Kui-liong-san menjadi sarang perkumpulannya. Mereka hidup dari hasil hutan yang tidak pernah didatangi orang lain, juga mereka mendatangi bandar-bandar perjudian dan tempat pelesir untuk menuntut pembagian hasil dari mereka, di kota-kota yang berdekatan dengan wilayah itu.

Pada suatu pagi para anggota Kui-jiauw-pang digemparkan dengan munculnya dua orang kakek di dalam hutan dekat puncak, sudah dekat dengan sarang mereka yang berada di puncak pegunungan itu. Mula-mula ada lima orang anggota Kui-jiauw-pang yang melihat adanya dua orang kakek itu. Tentu saja mereka menjadi marah dan segera menghampiri dua orang kakek yang sedang duduk bersila di atas batu besar.

“Hai, kalian dua orang kakek yang sudah bosan hidup! Berani kalian memasuki daerah kekuasaan kami!” bentak pemimpin di antara lima orang itu yang bertubuh tinggi besar.

Dua orang kakek itu saling pandang lalu menyeringai. Kakek berusia empat puluh tahun lebih yang berkepala besar sekali, kepalanya botak dan telinganya lebar berbaju putih itu bukan lain adalah Thai-mo-ong Toa Ok, Si Jahat nomor satu.

Orang kedua adalah Ji-mo-ong Ji Ok si jahat nomor dua. Rambut di kepala Ji Ok sangat panjang dan tebal, dibiarkan berjuntai sampai ke pinggangnya. Wajahnya penuh dengan berewok seperti muka monyet dan pakaiannya berbeda sekali dengan Toa Ok. Kalau Toa Ok berpakaian serba putih, Ji Ok berpakaian serba hitam.

Dua orang ini telah kita kenal ketika mereka berdua bersama Bu-tek Ngo-sian menyerbu Pulau Teratai Merah dan menyerang Ceng Lojin atau Ceng Thian Sin, Si Pendekar Sadis. Mereka dapat dipukul mundur dan karena jeri mereka segera meninggalkan Pulau Teratai Merah dengan cepat. Mereka menderita luka dalam yang membutuhkan waktu beberapa bulan untuk menyembuhkannya.

Dan kini tahu-tahu dua orang datuk besar Dunia Barat itu muncul di Kui-liong-san. Mudah diduga bahwa kemunculan mereka itu tentu ada hubungannya dengan Pek-lui-kiam yang hendak diperebutkan semua orang kangouw.

“Ehh, Ji Ok. Siapa gerangan cacing-cacing busuk ini?” tanya Toa Ok yang merasa jengkel melihat sikap lima orang itu.

“Agaknya mereka adalah gerombolan yang merajalela di pegunungan ini,” kata Ji Ok yang menghadapi mereka. Sesudah menatap tajam kepada anggota Kui-jiauw-pang yang tinggi besar dan menjadi pemimpin mereka berlima, Ji Ok bertanya, “Apakah kalian ini anggota gerombolan Kui-jiauw-pang?”

“Hemm, ternyata kalian sudah tahu, kini bersiap-siaplah kalian untuk mampus. Siapa pun yang berani memasuki daerah kami harus mati!” Setelah berkata demikian si tinggi besar itu sudah memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk turun tangan.

“Nanti dulu!” kata Ji Ok sambil menyeringai. “Kalian hanya anggota, tidak ada artinya bagi kami. Cepat panggil Ang I Sianjin ke sini sambil membawa Pek-lui-kiam untuk diserahkan kepada kami. Jika dia menolak maka seluruh orang Kui-jiauw-pang akan kami basmi dan sarangnya akan kami bakar habis!”

Si tinggi besar itu terbelalak. Tidak hanya marah mendengar ucapan itu, akan tetapi juga merasa heran sekali. Bagaimana mungkin di dunia ini ada orang, kakek-kakek lagi, yang berani mengeluarkan ancaman seperti itu terhadap Kui-jiauw-pang?

“Kalian tua bangka yang bosan hidup.” Dia menoleh kepada empat orang kawannya dan berkata, “Serbu! Bunuh kedua orang kakek ini!”

Dia sendiri langsung menerjang sesudah memasang cakar setan pada kedua tangannya. Empat orang kawannya juga telah memasang cakar setan masing-masing, lantas mereka berlima menyerang kedua orang kakek yang masih duduk di atas batu besar itu dengan sikap tenang dan wajah mentertawakan lima orang itu.

Toa Ok menggerakkan tangan kirinya yang tertutup lengan baju panjang, maka dua orang penyerang terlempar seperti disambar angin badai, dan mereka roboh bergulingan karena merasa tubuh mereka seperti dibakar, lantas mereka diam dan tewas! Ji Ok juga segera menggerakkan tangan kirinya. Dua orang lainnya terlempar sambil menggigil kedinginan, lalu mati kaku!

Si tinggi besar yang melihat ini terbelalak dengan muka pucat, lalu cepat membalikkan tubuh untuk melarikan diri. Akan tetapi sekali Ji Ok melambaikan tangan kirinya, si tinggi besar itu seperti ditarik dari belakang dan dia pun terjengkang roboh!

Si tinggi besar menjadi semakin ketakutan dan dia meloncat bangun untuk melarikan diri lagi, akan tetapi tiba-tiba ujung pecut yang dipegang oleh Ji Ok telah menyambar kakinya. Kemudian sekali pecut itu ditarik, si tinggi besar terpelanting dan roboh lagi. Dia menjadi semakin ketakutan dan segera menghadap dua orang kakek itu dengan tubuh gemetar, lalu dalam keadaan berlutut dia berkata,

“Mohon ampun, ji-wi locianpwe! Harap ampuni saya...”

“Heh-heh-heh, aku mau saja mengampuni engkau, akan tetapi engkau harus cepat berlari memanggil Ang I Sianjin ke sini dan menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam kepada kami!”

Si tinggi besar itu berulang-ulang menyembah dengan tubuh gemetar, kemudian berkata, “Baik, locianpwe, saya mentaati perintah...” Dia lalu bangkit berdiri dan merasa amat lega karena dia tidak dikorbankan lagi. “Sekarang juga saya hendak mengundang pemimpin ke sini.” Setelah berkata demikian, si tinggi besar lalu lari secepatnya menuju ke puncak, ke sarang Kui-jiauw-pang.

Ketika si tinggi besar itu tiba di sarang Kui-jiauw-pang dengan napas terengah-engah, dia langsung memasuki bangunan induk yang menjadi tempat tinggal Ang I Sianjin. Dia terus memasuki bangunan dan bertanya kepada pelayan di mana adanya ketua mereka itu.

“Pangcu sedang sarapan di kamar makan, harap jangan diganggu,” kata pelayan itu.

Akan tetapi si tinggi besar tidak peduli. Dia terus memasuki kamar makan dan benar saja, Ang I Sianjin sedang duduk makan seorang diri. Melihat si tinggi besar menerobos masuk dan menjatuhkan diri berlutut di depannya, Ang I Sianjin mengerutkan alisnya.

“Hemm, berani mati engkau! Ada urusan apa maka engkau berani mengganggu aku yang sedang makan?” bentaknya.

“Mala petaka sudah menimpa kami, Pangcu. Maka saya terpaksa mengganggu Pangcu. Empat orang saudara kami telah terbunuh!”

“Apa?! Siapa pembunuhnya dan bagaimana hal itu bisa terjadi?”

“Kami berlima melihat ada dua orang kakek yang duduk di atas batu dalam hutan bambu di bawah puncak. Kami segera menegurnya, tapi dua orang kakek itu malah mengatakan agar kami cepat memanggil pangcu untuk menghadap mereka dan menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Apa bila pangcu menolak, Kui-jiauw-pang akan dibasmi dan tempat tinggal kami akan dibakar habis. Kami berlima lalu menyerang mereka, akan tetapi sekali mereka menggerakkan tangan, empat orang di antara kami langsung tewas menggeletak. Kemudian mereka melepaskan saya untuk melapor kepada pangcu.”

Mendengar laoran itu merahlah muka Ang I Sianjin. “Apa?! Kurang ajar!” Dia marah sekali dan melemparkan sepasang sumpit yang dipegangnya ke bawah. Sepasang sumpit itu meluncur deras dan akhirnya menancap ke dalam lantai sampai ke gagangnya!

Ang I Sianjin berkata dengan suara lantang kepada si tinggi besar. “Kumpulkan seluruh anggota Kui-jiauw-pang agar ikut aku memberi hajaran kepada kedua orang musuh itu!”

Sebentar saja di situ sudah berkumpul delapan puluh orang lebih, karena banyak juga di antara mereka yang bertugas di luar. Bagaikan pasukan yang hendak berperang mereka mengikuti ketua mereka yang berjalan di depan.

Ang I Sianjin yang berusia empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bermuka pucat itu membawa sepasang pedang yang berada pada punggungnya dan sebuah kipas yang dipegang dengan tangan kirinya. Dengan langkah tegap dan gagah ketua Kui-jiauw-pang ini menuju ke hutan bambu yang ditunjukkan oleh anak buahnya yang melapor tadi.

Tidak lama kemudian mereka tiba di tempat itu. Dua orang kakek yang diceritakan oleh si tinggi besar tadi masih duduk di atas batu dengan sikap tenang. Melihat dua orang kakek itu duduk dengan tenang di atas batu besar dan mayat empat orang anak buahnya masih menggeletak di atas tanah, bangkitlah kemarahan Ang I Sianjin.

Namun ketika dia melihat dengan pandang mata penuh selidik ke arah dua orang kakek itu, melihat pakaian mereka, yang seorang berpakaian putih dan yang kedua berpakaian hitam, wajah Ang I Sianjin yang sudah pucat itu menjadi bertambah pucat. Tentu saja dia sudah mendengar tentang dua orang kakek ini. Akan tetapi dia tidak merasa takut karena bukankah dia membawa anak buah yang delapan puluh orang banyaknya?

Sambil menekan hatinya yang berdebar tegang, Ang I Sianjin menghampiri kedua orang kakek itu dan berdiri di hadapannya. Suaranya terdengar lantang untuk menutupi hatinya yang gelisah dan agak jeri.

“Kalau kami tidak salah menduga, bukankah yang duduk di depan kami ini Thai-mo-ong Toa Ok dan Ji-mo-ong Ji Ok?”

Dua orang kakek tiu saling pandang dan menyeringai. Ji Ok yang bertubuh kurus itu lalu tertawa. “Ha-ha-ha, kiranya ketua Kui-jiauw-pang yang berjuluk Ang I Sianjin itu memiliki pandangan yang tajam juga. Kami memang Toa Ok dan Ji Ok.”

Ang I Sianjin memandang ke arah empat mayat anak buahnya dan tertawa, “Apakah ji-wi yang telah membunuh empat orang anak buah kami? Apa kesalahan mereka? Andai kata mereka memang bersalah, di sini masih ada aku yang dapat menghukumnya. Mengapa ji-wi membunuh mereka?”

“Mereka menyerang kami, maka terpaksa kami membunuh mereka dan membebaskan yang seorang lagi untuk melapor kepadamu. Apakah engkau sudah menerima laporan itu dan apakah engkau sudah membawa Pek-lui-kiam untuk diserahkan kepada kami?”

Panas juga rasa hati Ang I Sianjin mendengar ucapan yang amat meremehkannya itu. Dia sendiri memiliki ilmu silat yang tinggi, dan di situ terdapat delapan puluh anak buahnya.

“Pedang pusaka itu kudapatkan dengan taruhan nyawa, tidak mungkin diserahkan kepada siapa pun juga.”

Tiba-tiba Toa Ok yang berkata dengan angkuhnya. “Ang I Sianjin, engkau boleh memilih. Engkau menyerahkan Pek-lui-kiam kepada kami dan kami tidak akan mengganggu kalian, atau engkau lebih senang kalau kami mengamuk dan membunuh engkau beserta seluruh anak buahmu, lantas membakar sarangmu dan menggeledah sampai kami mendapatkan pedang pusaka itu?”

Ang I Sianjin tertegun. Dia maklum bahwa kedua orang kakek itu tidak hanya menggertak kosong belaka. Dia harus dapat menghadapi mereka dengan cerdik, menggunakan cara yang paling menguntungkan pihaknya.

Dengan cerdik Ang I Sianjin lalu tersenyum. Dia tahu benar betapa lihainya kedua orang datuk itu. Walau pun dia memiliki delapan puluh orang anak buah, dia tidak yakin bahwa pihaknya akan memperoleh kemenangan dan gertakan dua orang kakek itu dapat menjadi kenyataan. Dia lalu menggunakan sikap menghormat.

“Ji-wi tentu sudah tahu kebiasaan orang-orang kangouw. Memperebutkan sesuatu harus dilakukan dengan mengadu kepandaian, bukan saling menghancurkan. Karena itu kami akan menempuh cara yang sama. Di sini kami berdiri dengan semua anggota Kui-jiauw-pang kami. Bila ji-wi dapat mengalahkan kami tanpa membunuh, maka kami akan takluk kepada ji-wi dan kami akan mengangkat ji-wi sebagai pimpinan kami. Dengan sendirinya Pek-lui-kiam menjadi milik ji-wi. Kalau ji-wi menolak syarat ini, maka kami akan melawan sampai mati, tetapi jangan harap akan dapat menemukan Pek-lui-kiam yang sudah kami sembunyikan.”

Kembali kedua orang datuk besar itu saling pandang sambil menyeringai. “Keputusannya ada padamu, Toa Ok!” kata Ji Ok kepada rekannya.

Toa Ok mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hemmm, cara itu cukup adil dan baik. Kalau nanti kalian kalah lalu menakluk, itu cocok sekali dengan keinginan kami karena kami pun membutuhkan anak buah untuk melawan mereka yang hendak memperebutkan Pek-lui-kiam!”

“Kalau begitu bersiaplah, kami akan maju mengeroyok!” Ang I Sianjin berkata dengan hati lega. Dengan perjanjian itu, andai kata dia serta anak buahnya kalah sekali pun, mereka tidak akan dibunuh dan menjadi anak buah kedua datuk yang sakti itu.

“Heh-heh-heh, sejak tadi kami sudah bersiap. Majulah kalian semua!” kata Ji Ok sambil menyeringai memandang rendah.

Ang I Sianjin lalu memberi isyarat kepada semua anak buahnya untuk memecah menjadi dua kelompok. Kelompok yang lebih kecil hanya berjumlah tiga puluh orang, membantu dia untuk melawan Toa Ok, sedangkan selebihnya yang lima puluh mengeroyok Ji Ok.

Mereka lalu mengepung batu di mana kedua orang datuk itu duduk. Setelah Ang I Sianjin memberi isyarat, semua anak buahnya cepat memasang cakar setan pada kedua tangan mereka. Kini mereka nampak menyeramkan, dengan dua tangan menjadi cakar setan dan sikap mereka yang mengancam. Akan tetapi Toa Ok dan Ji Ok tenang-tenang saja duduk di atas batu besar itu.

Ketika para anggota Kui-jiauw-pang itu menerjang ke arah batu besar dengan cakar setan mereka, tiba-tiba saja kedua orang kakek itu lenyap sehingga cakar-cakar setan itu hanya menghantam batu. Bunga api berpijar ketika batu itu dihajar tangan cakar setan itu.

Semua orang cepat memutar tubuh, dan mereka melihat bahwa dua orang kakek itu telah berada di belakang mereka. Begitu cepat gerakan mereka ketika meloncat tadi sehingga tidak nampak oleh mereka, seolah dua orang datuk itu pandai menghilang.

Ang I Sianjin dapat melihat gerakan mereka, karena itu dialah yang lebih dahulu memutar tubuhnya. Ketua Kui-jiauw-pang yang sudah mencabut pedang dengan tangan kanan dan memegang kipas di tangan kiri itu lalu menyerang Toa Ok dengan dahsyatnya. Serangan pedang dan kipasnya dahsyat sekali, cepat dan mengandung tenaga yang sangat kuat. Melihat ini Toa Ok tidak berani memandang rendah dan dia sudah menggerakkan tongkat ularnya untuk menangkis.

“Tranggg...!”

Pedang di tangan Ang I Sianjin terpental ketika bertemu tongkat dan kipasnya hampir saja terlepas dari tangannya. Pada saat itu puluhan anggota Kui-jiauw-pang sudah menerjang maju dengan cepat. Puluhan pasang cakar setan menerkam ke arah tubuh Toa Ok.

Namun putaran tongkat ular itu merupakan gulungan sinar yang menyelimuti tubuh Toa Ok. Semua anggota Kui-jiauw-pang yang berani menyerang, begitu menyentuh gulungan sinar tongkat, segera terdorong ke belakang dan roboh bergelimpangan. Mereka merasa seperti menyerang dinding baja yang amat kuat kemudian terdorong oleh kekuatan yang dahsyat sekali.

Begitu pula dengan lima puluh orang anak buah Kui-jiauw-pang yang mengeroyok Ji Ok. Datuk yang kurus pendek ini bergerak sedemikian cepatnya sehingga yang tampak hanya sesosok bayangan hitam diselimuti gulungan sinar cambuknya yang diputar sangat cepat. Setiap kali seorang anggota Kui-jiauw-pang menerjang gulungan sinar ini, maka mereka segera roboh terjengkang!

Ketika puluhan orang itu bangkit dan menyerang kembali, Toa Ok dan Ji Ok menghajar mereka dengan lebih kuat lagi. Bukan hanya senjata dua orang datuk ini yang melindungi tubuh menangkis, juga kaki dan tangan kiri mereka menyambar sehingga siapa saja yang terkena tendangan atau tamparan mereka, tentu segera roboh kemudian mengaduh-aduh karena bagian tubuh yang terkena serangan itu terasa sakit bukan main.