Pendekar Kelana Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Sesudah hari menjadi sore dan pekerjaan membagi-bagi beras itu selesai The-wan-gwe memanggil Si Kong. Si Kong segera memasuki ruangan depan dan di sana telah duduk The Kun, isterinya dan Tan Kiok Nio. Si Kong memberi hormat kepada mereka.

“Inilah pemuda yang bernama Si Kong itu, yang tadi telah mengusir pengacau,” The Kun memperkenalkan kepada isteri dan keponakannya, lalu dia berkata kepada Si Kong, “Si Kong, ini adalah isteriku dan itu adalah keponakanku bernama Tan Kiok Nio.”

Kembali Si Kong memberi hormat. “Duduklah, Si Kong. Kami memanggilmu untuk diajak berunding.”

Si Kong mengambil tempat duduk. “Urusan apakah yang hendak dirundingkan, Loya?”

“Sebelumnya kami ingin mengetahui engkau berasal dari mana, dan siapa gurumu?”

“Dulu ketika masih kecil saya tinggal di Ki-ceng, akan tetapi sejak saya berusia sepuluh tahun saya berkelana seorang diri karena orang tua saya sudah meninggal dunia. Saya selalu merantau dan di dalam perantauan itu saya belajar silat dari beberapa orang guru. Ketika tadi saya melihat di kota ini ada seorang dermawan membagi-bagi beras, hati saya tertarik dan beruntung saya dapat membantu Loya.”

“Dan kami berterima kasih sekali kepadamu, Si Kong. Keponakanku ini kebetulan datang sehingga dia dapat mengusir lima orang pengacau tadi.”

“Siocia mempunyai ilmu yang sangat tinggi, sungguh mengagumkan sekali,” kata Si Kong dengan sejujurnya karena dia memang melihat betapa hebatnya ilmu pedang gadis itu.

“Keponakanku ini adalah puteri seorang pendekar besar yang namanya terkenal di dunia persilatan, bernama Tan Tiong Bu, tentu saja dia mempunyai ilmu yang tinggi warisan dari ayahnya.”

“Ahh, harap Paman jangan memuji terlalu tinggi. Di dunia ini terdapat banyak sekali orang sakti, bahkan mendiang ayah juga dikalahkan dan dibunuh orang yang tentu lebih pandai,” kata Kiok Nio merendah.

Hartawan The menghela napas panjang. “Alangkah banyaknya orang jahat di dunia ini. Seperti para pengacau tadi, mereka adalah orang-orang yang amat jahat. Entah mengapa mereka memusuhiku. Si Kong, engkau telah banyak merantau di dunia kang-ouw, apakah engkau mengenal mereka itu siapa dan dari perkumpulan apa?”

Si Kong menggeleng kepalanya. “Maaf, Loya. Baru hari ini saya memasuki kota Ci-bun. Saya sama sekali tidak mengenal mereka.”

Kiok Nio yang ikut mencurahkan perhatian kepada percakapan itu lantas berkata, “Mereka berpakaian serba hitam semua, tentu mereka adalah anggota sebuah perkumpulan. Bila melihat pakaian dan penampilan mereka, mereka itu tentu anggota-anggota perkumpulan perampok atau perkumpulan pengemis yang sesat.”

Hartawan The menepuk pahanya. “Perkumpulan pengemis? Ahhh, sekarang aku teringat! Di Ci-bun ini memang terdapat sebuah perkumpulan pengemis berbaju hitam, yaitu Hek I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Apakah mereka berasal dari perkumpulan itu? Akan tetapi biasanya para anggota perkumpulan itu tidak pernah ada yang membikin kacau, apa lagi berbuat jahat. Tetapi kalau melihat pakaian mereka, memang besar sekali kemungkinan mereka itu orang-orang Hek I Kaipang.”

“Hemm, di manakah sarang perkumpulan itu, Loya?”

“Bagaimana kami bisa mengetahui tempat tinggal mereka? Akan tetapi biasanya ada saja pengemis baju hitam yang berkeliaran di kota ini. Kalau engkau bertanya kepada mereka, tentu mereka akan dapat memberi keterangan.”

“Kalau begitu, besok pagi saya mohon pamit, Loya.”

Kiok Nio memandang penuh perhatian. Menurut cerita pamannya, pemuda ini sudah bisa mengalahkan si baju hitam. Akan tetapi hal itu belum menjadi jaminan bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi yang akan mampu menghadapi pengeroyokan anggota Hek I Kaipang!

“Apa maksudmu hendak mencari sarang Hek I Kaipang?” tanyanya dengan hati tertarik.

“Saya hendak bicara dengan ketuanya, melaporkan perbuatan anak buahnya yang jahat dan minta kepadanya supaya selanjutnya jangan mengganggu usaha kemanusiaan Loya yang membagi-bagi beras.”

“Engkau berani?”

“Kenapa tidak, siocia? Saya ke sana dengan maksud baik. Saya tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga.”

“Kalau ketuanya tidak mendengar omongamu dan engkau dikeroyok, bagaimana?”

“Saya kira tidak demikian, siocia. Akan tetapi kalau terjadi seperti yang nona katakan itu, yah, bagaimana nanti sajalah!”

Mendadak Kiok Nio teringat dengan urusannya sendiri. “Si Kong, engkau adalah seorang yang suka berkelana, tentu pengetahuanmu tentang dunia kang-ouw lebih luas dari pada aku. Karena itu aku ingin minta pertolongan kepadamu, entah engkau mau menyanggupi atau tidak.”

“Katakanlah, siocia. Kalau memang aku dapat melakukannya, tentu akan kusanggupi.”

“Begini… aku mempunyai seorang musuh besar, yaitu orang yang telah membunuh ayah ibuku. Tetapi aku belum pernah melihat orangnya, juga tidak tahu namanya. Hanya ada keterangan bahwa pembunuh itu mengenakan pakaian serba merah dan usianya kurang lebih enam puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus serta mukanya pucat. Nah, kalau engkau dapat mengetahui siapa orang itu, siapa namanya serta di mana tempat tinggalnya, aku minta agar engkau suka memberi kabar kepadaku di sini. Maukah engkau membantuku, Si Kong?”

Si Kong mengangguk dan menjawab dengan sungguh-sungguh. “Akan saya buka lebar-lebar mata dan telinga saya untuk mencari tahu tentang kakek itu, Nona. Mudah-mudahan saja ada yang tahu siapa kakek dengan gambaran seperti yang Nona ceritakan tadi.”

“Ada satu keterangan tambahan, Si Kong. Orang itu sudah merampas sebatang pedang milik ayah. Pedang itu disebut Pek-lui-kiam, pedang yang mengeluarkan sinar kilat.”

“Keterangan itu penting sekali, Nona. Kalau tidak dapat dikenal orangnya, mungkin dapat dikenal pedangnya. Saya akan berusaha mencarinya, Nona.”

“Terima kasih, engkau baik sekali, Si Kong. Dan untuk bekal perjalananmu, kau terimalah benda-benda ini dan juallah.” Gadis itu menyerahkan sapasang gelang emasnya. Si Kong menolak dengan halus.

“Nona, apa yang saya lakukan merupakan suatu kewajiban bagi saya, maka saya tidak membutuhkan imbalan.”

“Tidak, Si Kong. Simpanlah ini. Kalau engkau sampai kehabisan bekal di perjalanan maka gelang-gelang ini bisa kau pergunakan. Kalau engkau tidak mau menerimanya malah aku akan selalu merasa gelisah dan menyesal karena harapan untuk bisa menemukan musuh besarku akan semakin kecil pula. Terimalah! Ini bukanlah imbalan jasa, melainkan untuk biaya perjalanan.”

“Kiok Nio benar, Si Kong. Terimalah sepasang gelang itu supaya hatinya tenteram,” kata Hartawan The Kun.

Karena didesak oleh mereka, akhirnya Si Kong bersedia juga menerima sepasang gelang emas bertabur permata itu. Malam itu dia tidur di dalam sebuah kamar tamu dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah berpamit lalu pergi meninggalkan rumah The Kun dan berjalan keliling kota.

Tak lama kemudian dia sudah bertemu dengan yang dicari-carinya. Dua orang pengemis yang mengenakan pakaian warna hitam sedang mengemis di depan sebuah pasar. Dua orang pengemis ini sama sekali tidak kelihatan menyeramkan seperti lima orang perusuh yang kemarin mengacau di depan rumah Hartawan The.

Si Kong kemudian memperhatikan mereka berdua. Pakaian mereka memang serba hitam seperti pakaian para pengacau kemarin, tetapi mereka mengemis seperti pengemis biasa, bukan menggunakan kekerasan dan menerima apa dan berapa saja pemberian orang.

Si Kong sengaja lewat di depan mereka, namun mereka sama sekali tidak mengenalnya dan hanya menodongkan tangan untuk meminta sumbangan. Si Kong mengambil empat keping uang dan memberi mereka masing-masing dua keping.

Melihat ada orang memberi mereka masing-masing dua keping, dua orang pengemis itu membungkuk-bungkuk mengucapkan terima kasih.

“Sekarang aku hendak minta tolong kepada kalian,” kata Si Kong. “Di manakah tempat tinggal ketua Hek I Kaipang?”

Mendengar ini, mata kedua orang pengemis itu menatap wajah Si Kong penuh perhatian dan setelah bertemu pandang, baru Si Kong menduga bahwa dua orang pengemis yang kelihatan lemah ini tentu memiliki ilmu silat yang lumayan.

“Kongcu, ada keperluan apakah kongcu menanyakan Hek I Kaipang?”

“Aku hanya ingin bertemu dengan pangcu kalian. Kalau pembicaraan kami cocok, maka aku ingin menyumbang,” kata Si Kong.

Mata yang tadinya mencorong penuh selidik itu menjadi lembut kembali dan seorang di antara dua orang pengemis itu tersenyum.

“Kalau kongcu keluar dari pintu gerbang kota sebelah timur, dalam jarak kurang lebih lima mil kongcu akan melihat sebuah bangunan kuil yang sudah tidak digunakan lagi. Di situlah tempat tinggal kami.”

“Terima kasih,” kata Si Kong dengan gembira. “Sekarang juga aku akan pergi ke sana.”

Dia lalu melangkah cepat ke pintu gerbang timur dan keluar dari pintu gerbang itu. Kiranya sebelah timur kota itu merupakan persawahan yang tidak ada bangunan rumahnya, tidak ada orang kecuali mereka yang bekerja di sawah ladang. Dia berjalan menuju ke timur, melalui jalan yang tanahnya pecah-pecah karena musim kering yang panjang. Dari jauh kelihatan sebuah hutan di depan, dan sungguh menyenangkan melihat kehijauan hutan itu setelah hati merasa sedih melihat tanah yang kekeringan. Karena jalan itu sepi orang, Si Kong lalu menggunakan ilmu Liok-te Hui-teng sehingga tubuhnya seolah melayang atau terbang saja saking cepatnya dia berlari.

Tak lama kemudian dia telah memasuki hutan itu dan di dalam hutan terdapat sebuah kuil kuno yang besar namun sudah tidak berfungsi sebagai kuil tempat bersembahyang lagi. Pada waktu Si Kong tiba di depan kuil, di pekarangan kuil itu dia melihat beberapa orang berpakaian hitam sedang bekerja. Ada yang menyapu halaman, ada yang membersihkan pintu dan jendela-jendela, ada pula yang memelihara tanaman bunga. Kiranya kuil yang tua dan sudah tidak digunakan lagi itu kini terpelihara oleh anak buah Hek I Kaipang. Kuil itu sudah tua akan tetapi kelihatan bersih. Si Kong memasuki halaman itu dan tiga orang pengemis berpakaian hitam segera menghadangnya.

“Kongcu, di sini bukan tempat umum, melainkan tempat tinggal kami. Ada keperluan apa kongcu masuk ke sini?” tanya seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus.

Pengemis ini masih memegang sapu bergagang panjang. Ada pun dua orang kawannya yang tadi bekerja memelihara pohon bunga sudah berdiri dengan sikap waspada sambil membawa golok yang tadi mereka pergunakan untuk membabat tumbuh-tumbuhan liar.

Si Kong segera menjawab dengan tulus, “Kedatanganku ini untuk bertemu dengan ketua Hek I Kaipang.”

Tiga orang itu kelihatan terkejut, lalu memandang dengan sinar mata penuh kecurigaan. “Orang muda, ada keperluan apa engkau hendak bertemu dengan pangcu (ketua) kami?”

“Kalian tidak perlu tahu. Bawa saja aku menghadap pangcu kalian dan aku akan berbicara sendiri dengannya.”

“Hemmm, tidak mudah untuk bertemu dengan pangcu kami, orang muda. Ada syaratnya untuk dianggap patut bertemu dengan beliau,” kata pula pengemis jangkung kurus itu.

“Ada syaratnya? Dan apakah syarat-syarat itu?” tanya Si Kong penasaran. Masa hendak bertemu dengan ketua pengemis saja ada syaratnya? Betapa angkuhnya para pengemis ini.

“Syaratnya ada dua. Pertama harus memberi tahukan dulu kepada kami apa keperluanmu mencari pangcu, lalu kami akan melaporkan kepada pangcu apakah beliau mau bertemu dengan engkau atau tidak.”

“Dan syarat ke dua?”

“Syarat kedua hanya berlaku untuk mereka yang tidak mau memenuhi syarat pertama, yaitu kalau hendak masuk kuil harus melangkahi tubuh kami bertiga!”

Ini sebuah tantangan! Biar pun sikap mereka tidak sekasar dan sesombong si baju hitam dan empat orang kawannya yang mengacau di depan rumah Hartawan The, tiga orang ini jelas memandang rendah orang lain dan menantangnya. Hatinya makin merasa tidak suka kepada Hek I Kaipang.

“Bagus, aku menghendaki syarat ke dua!” kata Si Kong.

Si tinggi kurus segera melintangkan sapunya yang bergagang panjang, sedangkan kedua orang temannya memegang golok. Mereka kelihatan tegang dan sudah bersiap-siap untuk mengeroyok.

“Majulah jika engkau berani melawan kami bertiga, kami telah siap!” kata si tinggi kurus.

Si Kong lalu menerjang maju, menampar ke arah pengemis kurus itu. Si pengemis kurus menggerakkan gagang sapunya, memainkan sapu itu seperti orang bersilat pakai tongkat, menangkis tamparan Si Kong sambil mengerahkan tenaga.

“Krakkk!” tongkat sapu itu patah menjadi dua potong!

Dua orang pengemis lainnya sudah membantu dengan menyerang Si Kong menggunakan golok mereka, dari kanan dan kiri. Namun dengan amat mudahnya Si Kong mengelak ke belakang dan ketika dua batang golok itu menyambar luput, Si Kong telah menggerakkan jari tangannya menotok. Kedua orang itu roboh tanpa dapat bangkit kembali karena tubuh mereka sudah tertotok lemas.

Si tinggi kurus marah sekali dan dia menggunakan tongkatnya yang sudah patah menjadi dua potong itu untuk menyerang Si Kong. Tetapi Si Kong menangkis dua potong tongkat itu dengan kedua tangannya dan kembali tongkat itu patah! Sebelum pengemis itu mampu menyerang lagi, Si Kong telah menotoknya pula sehingga si tinggi kurus itu juga roboh tak dapat bangkit kembali.

Masih ada dua orang pengemis yang bekerja di halaman itu. Melihat tiga orangnya sudah dirobohkan oleh pemuda itu, mereka menjadi marah. Seorang dari mereka berlari masuk ke dalam kuil, sedangkan orang kedua berlari menghampiri Si Kong kemudian menyerang dengan menggunakan tongkatnya. Si Kong tidak mau membuang banyak waktu lagi. Dia menangkap tongkat itu dan menotok roboh pengemis ke empat.

“Nah, aku telah memenuhi syarat ke dua, dapat melangkahi tubuh kalian. Tentu sekarang aku diperkenankan masuk.” Setelah berkata demikian dia melangkahi tubuh mereka.

Pada saat itu dari dalam kuil muncul dua orang. Satu di antaranya adalah adalah seorang kakek berpakaian serba hitam yang usianya sudah ada enam puluh tahun tetapi tubuhnya masih nampak sehat dan kokoh. Muka pengemis ini bundar, dengan sepasang mata yang mencorong menandakan bahwa dia mempunyai tenaga sinkang yang kuat. Ada pun orang kedua adalah seorang gadis yang cantik dan gagah sekali, dengan sebatang pedang yang terselip di punggungnya.

“Siapa berani membikin ribut di sini?!” bentaknya.

Dia memandang kepada Si Kong, kemudian kepada tubuh empat orang pengemis yang menggeletak di atas tanah tanpa bisa bergerak. Pengemis tua itu lalu meloncat ke depan tubuh empat orang pengemis yang tertotok. Tongkatnya bergerak cepat menotok mereka berempat dan seketika empat orang itu mampu bergerak lagi. Mereka bangkit dan berdiri, muka mereka merah karena telah dikalahkan oleh pemuda itu.

“Orang muda, siapakah engkau? Betapa beraninya engkau datang dan menyerang empat orang anggota kami, merobohkan mereka dengan totokan. Apa maksud perbuatanmu ini dan apa kehendakmu?”

Si Kong mengamati orang tua itu. Tubuhnya masih tegap dan kelihatan kuat. Sebatang tongkat hitam setinggi pundak berada di tangannya. Tentu orang ini memiliki ilmu tongkat yang lihai, pikirnya.

“Engkau ketua Hek I Kaipang?” tanya Si Kong, suaranya tegas.

“Benar, akulah Hek I Kaipangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Hitam).”

“Aku bernama Si Kong dan aku datang untuk menegurmu. Sebagai ketua Kaipang engkau harus mendidik anggotamu baik-baik. Mengemis makanan dan uang memang perbuatan tidak tahu malu dan menjadi tanda kemalasan. Tetapi mengemis dengan cara merampok merupakan kejahatan yang tak dapat diampuni lagi!”

“Pemuda sombong! Engkau datang mengacau di sini, sebaliknya engkau menuduh orang lain yang bukan-bukan. Engkaulah yang sombong dan jahat!”

“Hemm, dengarkan dulu omonganku...”

“Tidak perlu banyak bicara. Engkau kalahkan dulu tongkatku ini, baru kita bicara. Engkau telah merobohkan empat orang anggota kami, hal itu sudah lebih dari cukup. Merobohkan anggota kami di tempat kami sendiri adalah penghinaan bagi ketuanya. Nah, bersiaplah engkau!” Kakek itu kemudian memutar-mutar tongkatnya dan terasa ada angin yang kuat menyambar.

Diam-diam Si Kong kagum akan tetapi juga membangkitkan nafsunya untuk mencoba dan menandingi kakek ahli ilmu tongkat itu. Melihat tempat itu dikepung banyak pengemis baju hitam dan banyak di antara mereka yang memegang tongkat, Si Kong cepat meloncat ke samping dan sebelum pemilik tongkat itu tahu apa yang terjadi, tongkat bambunya sudah berpindah ke tangan Si Kong.

“Pangcu, aku datang untuk bicara, tetapi aku disambut dengan tongkat. Jangan disangka bahwa aku takut menghadapi tongkatmu. Marilah kita bermain tongkat sebentar, hendak kulihat sampai di mana kelihaian tongkatmu!” Si Kong melintangkan tongkat bambunya di depan dada.

Sebaliknya ketua Hek I Kaipang itu menjadi semakin penasaran. Pemuda itu malah berani menerima tantangannya dengan bersenjatakan sebatang tongkat bambu! Padahal tongkat di tangannya adalah sebatang tongkat yang terbuat dari baja pilihan sehingga tongkatnya itu berani menyambut senjata pusaka yang bagaimana pun ampuhnya.

Sementara itu dara cantik gagah yang tadi keluar bersama ketua Hek I Kaipang itu hanya menonton dengan sikap tenang sekali. Dia bukan gadis biasa, melainkan seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali karena dia adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar besar Pek Han Siong yang pada waktu kecilnya dijuluki Sin-tong (Anak Sakti) karena bertulang dan berbakat baik sekali.

Pek Han Siong menguasai banyak macam ilmu silat, di antaranya ilmu silat Pek-sim-pang (Tongkat Hati Murni), Kwan Im Kiam-sut (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im) yang dapat juga dimainkan dengan tangan kosong dan disebut Kwan Im Sin-kun, serta masih banyak lagi. Dan lebih dari pada itu, dia pun menguasai ilmu sihir!

Ada pun isterinya juga bukan orang sembarangan. Ibu gadis itu bernama Siangkoan Bi Lian yang pernah mendapat julukan Tiat-sim Sian-li (Dewa Berhati Besi). Di antara ilmu-ilmu silat yang dikuasainya terdapat ilmu Kim-ke Sin-kun (Ilmu Silat Ayam Emas) dan juga Kwan Im Sin-kun.

Gadis itu adalah puteri mereka, anak tunggal yang bernama Pek Bwe Hwa dan berusia delapan belas tahun. Wajahnya berbentuk bulat telur mirip wajah ibunya, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah, dagunya yang runcing membayangkan kekerasan hati, tubuhnya ramping padat dan rambutnya digelung secara sederhana di atas kepala, diikat dengan pita merah.

Pedang yang berada di punggungnya itu adalah pedang pusaka Kwan Im-kiam (Pedang Dewi Kwan Im) yang diterimanya dari ayahnya. Sebagai puteri tunggal sepasang pendekar sakti itu, tidak mengherankan jika Bwe Hwa mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya. Bahkan dia juga pernah diberi petunjuk dan dilatih oleh ayahnya dalam ilmu sihir!

Bwe Hwa sedang berkunjung kepada Ketua Hek I Kaipang dalam usahanya turut mencari dan memperebutkan Pek-lui-kiam yang menghebohkan dunia kang-ouw. Pek Han Siong dan isterinya yang mendengar mengenai pedang pusaka yang kabarnya dijadikan rebutan oleh para tokoh dan datuk persilatan, sengaja menyuruh puteri mereka supaya ikut pula berlomba menemukan dan merampas pedang itu.

Mereka merasa yakin bahwa puteri mereka pasti mampu melindungi diri sendiri dengan semua ilmunya. Mereka menghendaki agar puteri mereka mendapat pengalaman di dunia kang-ouw, seperti mereka ketika masih muda dahulu.

Kini Pek Han Siong telah berusia lima puluh satu tahun, sedangkan isterinya empat puluh sembilan tahun. Mereka juga memberi tahu nama dari para tokoh sesat dan juga tokoh-tokoh yang bersih.

Demikianlah sedikit keterangan tentang Pek Bwe Hwa dan kedua orang tuanya yang kini bertempat tinggal di kota Tung-ciu, di sebelah timur kota raja. Pada saat itu Pek Bwe Hwa sedang menjadi tamu ketua Hek I Kaipang karena dari orang tuanya gadis ini mendapat tahu bahwa ketua Hek I Kaipang merupakan kenalan ayahnya dan boleh dipercaya. Bwe Hwa berkunjung untuk mencari keterangan perihal Pek-lui-kiam kepada ketua itu.

Selagi mereka bercakap-cakap di dalam, datang anggota Hek I Kaipang yang melaporkan tentang kedatangan Si Kong yang sedang bertanding dengan para anggota perkumpulan itu di halaman depan. Hek I Kaipangcu menjadi marah mendengar laporan itu dan dia pun bergegas keluar sambil membawa tongkatnya. Bwe Hwa tertarik dan ikut keluar.

Akan tetapi gadis ini tidak mau mencampuri urusan Souw Kian atau Souw-pangcu (Ketua Souw) ketua Hek I Kaipang itu. Ia mendengar dari ayahnya bahwa Souw Pangcu adalah seorang yang memiliki ilmu tongkat yang lihai, maka dia pun tidak perlu membantu.

Akan tetapi hatinya menjadi tertarik sesudah melihat Si Kong. Pemuda itu tidak kelihatan seperti seorang penjahat dan demikian pemberani sehingga berani menyambut tantangan Souw Pangcu yang bersenjatakan tongkat baja itu hanya dengan senjata tongkat bambu. Hati dara ini menjadi kagum dan tertarik sekali. Akan tetapi dia melangkah maju mendekat agar dapat mencegah kalau sekiranya Souw Pangcu terancam bahaya maut.

Souw Pangcu adalah seorang gagah. Melihat pemuda itu hanya bersenjatakan sebatang tongkat bambu, dia pun enggan menggunakan tongkat bajanya. Yang dilawannya adalah seorang yang masih muda belia, kalau pun dia berhasil menang dalam pertandingan itu, kemenangannya tidak adil dan dia merasa malu.

Karena itu dia pun menggapai seorang anggota perkumpulannya yang memegang tongkat bambu. Anggota itu cepat mendekat dan Souw Pangcu menukar tongkat bajanya dengan tongkat bambu.

“Nah, sekarang senjata kita berimbang. Bersiaplah dan seranglah aku, orang muda.”

“Aku hanya seorang tamu dan engkau tuan rumah, Pangcu. Silakan maju lebih dulu, aku sudah siap!”

“Bagus, lihat seranganku!” bentak ketua itu dan mulailah dia memutar tongkat dan segera tongkatnya itu berubah seperti payung putih yang menerjang ke arah Si Kong.

Di dalam hati Si Kong sudah timbul keraguan apakah ketua perkumpulan ini seorang jahat karena sikapnya yang demikian gagah. Jelas bahwa ketua ini tidak ingin menang sendiri. Maka dia pun menyambut sementara dalam hatinya dia mengambil keputusan untuk tidak membunuh atau melukai berat lawannya. Asal dapat mengalahkan saja sudah cukup. Apa lagi maksud kunjungannya bukan untuk berkelahi, melainkan hendak membujuk ketua ini agar suka melarang para anggotanya melakukan kejahatan.

“Trak-tuk-tuk…!”

Tiga kali tongkat berbenturan dan Souw Pangcu menjadi kaget setengah mati. Pertemuan tongkat yang terakhir itu membuatnya terhuyung ke belakang! Ini tidak mungkin, pikirnya. Dia tadi merasa betapa kedua tangannya tergetar ketika menangkis pukulan pertama dan kedua, akan tetapi pada pertemuan tongkat yang ketiga kalinya dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk membikin hancur tongkat lawan. Tetapi akibatnya bukan tongkat lawan yang hancur, melainkan tubuhnya yang terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung.

Akan tetapi hal ini membuat Souw Kian menjadi penasaran sekali. Kembali dia menerjang dengan teriakan nyaring, memainkan ilmu silat Hek-liong Tung-hoat (Ilmu Tongkat Naga Hitam). Tongkatnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung bagaikan seekor naga mengamuk. Akan tetapi semua serangannya itu dapat dihindarkan oleh Si Kong dengan elakan mau pun tangkisan, bahkan setiap kali pemuda itu membalas, sang ketua menjadi repot menyelamatkan diri.

Bwe Hwa melihat semua ini dan dia semakin kagum saja. Ilmu tongkat pemuda itu sangat aneh dan perubahannya tak dapat disangka lawan. Setelah lewat tiga puluh jurus, Si Kong lantas menyerang dengan hebatnya, mengurung tubuh lawan dari segala jurusan dengan tongkatnya yang bergerak sangat cepat.

Souw Kian terkejut dan main mundur terus, tetapi tongkat lawan yang tadinya menyerang tubuh bagian atas, tiba-tiba meluncur ke bawah dan sekali congkel, tongkat itu masuk di antara kedua kaki Souw Kian dan begitu tongkat di tarik ke samping, tak bisa dihindarkan lagi tubuh Souw Kian terjatuh menelungkup karena kedua kakinya terangkat ke atas! Dia jatuh menelungkup seolah-olah orang minta ampun.

“Bangkitlah, Pangcu, tidak perlu memberi penghormatan secara berlebihan!” kata Si Kong yang hendak melucu.

Tapi ucapannya ini membuat Bwe Hwa memandang kepadanya dengan mata mencorong. Dia pun meloncat ke depan kemudian sekali menarik pundak Souw Kian, ketua itu segera tertarik ke atas sehingga dapat berdiri lagi.

“Mengasolah, Souw Pangcu. Biar aku yang menghadapi pengacau ini!”

Souw Kian terpaksa harus mengakui kekalahannya. Dia mengundurkan diri dengan muka merah dan berulang-ulang menghela napas panjang. Akan tetapi kini dia mengharapkan gadis tamunya itu akan mampu menghajar pemuda itu. Dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu mempunyai ilmu silat yang amat tinggi, mempelajarinya dari kedua orang tuanya yang menjadi pendekar sakti. Dia pun kini menonton dari pinggiran.

Bwe Hwa menghadapi Si Kong dengan senyum dingin dan matanya mencorong. Gadis ini menganggap Si Kong sebagai seorang pengacau. Ia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Si Kong dan berkata dengan suaranya yang lembut namun penuh wibawa. Karena menganggap pemuda itu sudah membuat malu kepada Souw Pangcu, dia pun hendak membalas membikin malu pemuda pengacau itu.

“Si Kong, engkau merangkaklah!” Dalam suara itu terkandung kekuatan sihir yang seolah hendak memaksa Si Kong berlutut dan merangkak.

Si Kong terkejut bukan kepalang saat merasa jantungnya tergetar dan ada dorongan dari hatinya sendiri untuk menjatuhkan diri dan berlutut. Akan tetapi dia langsung teringat akan peringatan Ceng Lojin bahwa di dunia kang-ouw terdapat orang-orang yang mempunyai keahlian sihir. Kalau menghadapi lawan seperti ini dan ada dorongan hebat dari batinnya untuk menuruti apa yang dikatakan oleh lawan seperti itu, dia harus cepat mengerahkan sinkang-nya sehingga bisa menolak pengaruh sihir. Maka, begitu batinnya mendorongnya untuk berlutut dan merangkak, dia cepat-cepat mengerahkan sinkang-nya untuk melawan dorongan ini.

Sekarang berbalik Pek Bwe Hwa yang terbelalak heran. Pemuda itu ternyata sama sekali tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya! Maklumlah dia bahwa pemuda itu telah memiliki sinkang yang amat kuat sehingga mampu menahan kekuatan sihirnya. Melihat kenyataan ini, dia menghentikan kekuatan sihirnya dan mencabut pedang dari punggungnya.

“Singggg…!” nampak sinar berkilauan dan gadis itu sudah melintangkan pedang di depan dadanya.

“Pengacau sombong, lihat pedangku!” bentaknya.

Pek Bwe Hwa segera menyerang dengan dahsyatnya. Pedangnya lenyap bentuknya dan berubah menjadi gulungan sinar terang yang panjang dan mendadak sinar itu mencuat ke arah Si Kong.

“Trangggg...!”

Pedang di tangan Bwe Hwa tergetar hebat. Gadis itu bertambah heran dan juga terkejut. Pemuda yang memegang tongkat bambu ini memiliki tenaga sinkang yang kuatnya bukan main. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar dan melanjutkan serangannya secara bertubi-tubi. Dia menggunakan pedang Kwan-im-kian untuk memainkan Kwan-im Kiam-sut yang amat lihai.

Si Kong terkejut bukan main. Ilmu pedang gadis itu memang amat hebat dan sama sekali tidak boleh dipandang rendah. Timbul kekaguman dalam hatinya. Gadis itu masih muda, paling banyak delapan belas tahun usianya, akan tetapi sudah memiliki ilmu pedang yang demikian dahsyatnya.

Karena maklum bahwa ilmu pedang gadis itu sangat berbahaya, Si Kong lalu memainkan Ta-kaw Sin-tung dan mengerahkan khikang-nya sehingga gerakannya cepat bukan main, lebih cepat dari pada gerakan Bwe Hwa! Kedua orang muda itu bertanding dengan seru, saling serang dan saling desak.

Tetapi tentu saja Si Kong tidak mempunyai niat untuk melukai atau membunuh lawannya. Dia ingin mengalahkan tanpa melukai, kalau dapat merampas pedang yang hebat itu. Tapi justru inilah yang membuat dia sukar sekali untuk mendapatkan kemenangan. Merampas pedang itu amatlah sulit, sementara pertandingan antara mereka sudah berlangsung lebih dari lima puluh jurus, masih belum ada yang kalah.

Mulailiah Si Kong merasa khawatir. Agaknya tak mungkin baginya untuk dapat merampas pedang gadis itu. Kalau dia kehendaki, tentu saja dia dapat merobohkan lawan dengan melukainya, akan tetapi karena dia tidak menghendaki hal ini terjadi maka dia mengalami kesulitan sendiri. Tiba-tiba dia teringat akan ilmu Thi-khi-i-beng. Hanya ilmu ini saja yang memungkinkan dia mengalahkan lawan tanpa melukainya.

Pada waktu pedang itu menyambar lagi ke arah lehernya, Si Kong cepat menangkis dan menggunakan tenaga sinkang-nya untuk membuat pedang itu menempel pada tongkatnya dan tidak dapat ditarik kembali. Bwe Hwa terkejut lantas mengerahkan sinkang-nya untuk menarik kembali pedangnya yang sudah melekat pada tongkat. Akan tetapi pada saat itu, sesuai dengan rencananya Si Kong segera mengerahkan Thi-khi I-beng sehingga ketika gadis itu mengerahkan sinkang, tenaga gadis itu tersedot melalui pedang dan tongkat.

Bwe Hwa terkejut bukan main! Dari ayah ibunya dia mendengar bahwa di dunia kang-ouw terdapat sebuah ilmu luar biasa yang dinamakan Thi-khi I-beng. Tetapi di dunia ini hanya ada satu orang yang menguasai ilmu itu, yaitu Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah di lautan selatan.

Karena tidak ingin tenaga sinkang-nya disedot sehingga dia kehabisan tenaga, terpaksa Bwe Hwa melepaskan pedangnya dan meloncat jauh ke belakang! Biar pun andai kata dia tidak melepaskan pedang, tetap saja dia takkan terancam bahaya karena Si Kong segera menyimpan kembali tenaga Thi-khi I-beng. Dia tidak ingin menyedot habis tenaga sinkang gadis itu, melainkan hanya ingin membuatnya kaget sehingga dia bisa merampas pedang itu.

Si Kong mengambil pedang yang menempel pada tongkatnya, lalu menghampiri Bwe Hwa dan menyodorkan pedang itu kepada pemiliknya. Wajah Bwe Hwa menjadi merah, akan tetapi dia merasa penasaran sekali dan bertanya,

“Engkau menggunakan Thi-khi I-beng! Dari mana engkau dapat menguasai ilmu itu? Apa hubunganmu dengan kakek Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah?” Dia pun menerima pedangnya.

Si Kong semakin kagum. Gadis ini masih muda, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan agaknya mempunyai pengetahuan luas sehingga dapat mengenal Thi-khi I-beng dan gurunya, Ceng Thian Sin.

“Penglihatanmu tajam sekali, Nona. Kakek Ceng Thian Sin adalah guruku.”

“Tidak mungkin!” Gadis itu membentak. “Kakek Ceng Thian Sin adalah seorang pendekar sakti yang namanya terkenal. Semenjak muda dia menentang kejahatan dan menghukum para penjahat. Bagaimana sekarang muridnya menjadi penjahat?”

“Nona!” kata Si Kong penasaran. “Aku bukan penjahat!”

“Hemmm, kau datang ke sini dan mengacaukan kehidupan para pengemis yang tenteram, engkau mengandalkan ilmumu untuk membikin rusuh, apakah itu tidak jahat namanya?”

Diam-diam Si Kong terkejut. Jelas bahwa gadis itu bukan orang jahat, akan tetapi kenapa dia berada di sarang Hek I Kaipang yang jahat?

“Nona, aku datang ke sini bahkan untuk menentang kejahatan. Aku ingin menegur ketua Hek I Kaipang yang membiarkan anak buahnya melakukan kejahatan!”

“Biar pun menjadi ketua para pengemis tapi Souw-pangcu adalah seorang gagah perkasa yang selalu membela keadilan dan kebenaran. Bagaimana sekarang engkau menuduhnya memiliki anak buah yang jahat? Itu hanya fitnah belaka!”

Kini Souw Kian maju menghadapi Si Kong. “Agaknya sudah terjadi kesalah pahaman di antara kita, Si-taihiap. Bila Si-taihiap hendak menegakkan kebenaran dengan menentang kejahatan, maka jelaslah bahwa di sini terjadi kesalah pahaman. Aku berani menanggung jawab bahwa di antara anggota kami tidak ada yang menjadi penjahat.”

Si Kong menjadi ragu-ragu mendengar ucapan ketua Hek I Kaipang itu. “Aku pun bukan bertindak secara ngawur, Pangcu. Aku sendiri yang sudah menghadapi para penjahat itu. Mereka berpakaian hitam-hitam seperti anggotamu.”

“Hemm, mungkin ada yang sengaja berusaha merusak nama baik Hek I Kaipang. Tolong taihiap ceriatakan apa yang terjadi. Akan tetapi rasanya tidak enak bicara sambil berdiri di halaman ini. Marilah, taihiap, kita bicara di dalam. Mari, lihiap.”

Si Kong yang kini menyadari bahwa memang ada kesalah pahaman, mengikuti ke dalam, Bwe Hwa juga masuk ke dalam dan ternyata di dalam kuil yang tua dan tidak digunakan lagi itu sangat bersih terawat. Dindingnya dikapur putih dan lantainya juga bersih sekali. Di ruangan tengah terdapat meja dan beberapa buah bangku kayu.

“Silakan duduk, taihiap dan lihiap (pendekar wanita).”

Setelah mereka bertiga duduk menghadapi meja, Souw Kian lantas berkata, “Nah, silakan menceritakan semua yang telah terjadi sehingga taihiap menuduh kami.”

Si Kong menjadi semakin ragu. Lima orang pengacau berpakaian hitam itu baru lagaknya saja sudah dapat diketahui bahwa mereka bukan orang baik-baik. Akan tetapi sikap ketua Hek I Kaipang ini sama sekali tidak memperlihatkan bahwa dia orang jahat. Dia menghela napas beberapa kali lalu mulai bercerita.

“Mula-mula terjadi di depan rumah Hartawan The pada hari kemarin. Ketika The-wan-gwe tengahmembagi-bagikan beras kepada mereka yang membutuhkan sehingga orang-orang itu berdiri dalam antrian, tiba-tiba muncul seorang berbaju hitam yang pakaiannya serba hitam pula. Dia tidak mau antri seperti yang lain, tetapi menyerobot ke depan, bahkan dia minta satu karung beras. Ketika para petugas menolaknya, dia lalu memukul empat orang petugas itu.”

“Hemmm, orang itu jahat sekali. The-wan-gwe sudah terkenal sebagai seorang dermawan yang budiman. Kalau aku berada di sana, tentu orang itu sudah kuhajar!” kata Souw Kian marah.

“Pendapatku sama dengan pendapat Souw-pangcu. Aku melihat kejadian itu, lantas turun tangan dan menghajarnya. Dia melarikan diri akan tetapi tidak lama kemudian dia muncul lagi bersama empat orang kawannya yang semua juga berpakaian serba hitam. Untung di sana ada keponakan The-wan-gwe, seorang gadis yang pandai ilmu pedang dan gadis itu berhasil mengusir lima orang itu. Nah, oleh karena lima orang itu berpakaian hitam-hitam, maka aku menduga bahwa mereka tentu anak buah Hek I Kaipang dan aku segera pergi ke sini untuk menegur Souw-pangcu. Tetapi malah aku yang dituduh membikin kacau!”

“Sekarang aku mulai mengerti. Tentu ada orang-orang yang sengaja ingin memburukkan nama kami. Akan tetapi percayalah, taihiap, bahwa lima orang itu bukan anak buah kami, bahkan kami akan mengerahkan seluruh anggota kami untuk melakukan penyelidikan dan menangkap lima orang itu.”

Si Kong mengangguk. “Sesudah melihat keadaan Hek I Kaipang di sini dan sikap pangcu, aku pun mulai percaya bahwa lima orang itu bukan anggota Hek I Kaipang, tetapi orang-orang lain yang sengaja menyamar. Maafkanlah kesalahanku, pangcu.” Si Kong bangkit berdiri dan memberi hormat kepada ketua itu.

Souw Kian cepat berdiri dan membalas penghormatan itu. “Tak perlu minta maaf, taihiap. Kalau aku yang melihat peristiwa itu tentu aku pun bertindak seperti yang taihiap lakukan. Silakan duduk lagi, taihiap. Kami merasa beruntung sekali dapat berkenalan dengan Si-taihiap.”

Akan tetapi Si Kong tidak ingin duduk kembali. Urusannya dengan Hek I Kaipang sudah selesai, maka dia tidak mau terlalu lama di situ.

“Aku masih mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan, pangcu. Karena itu aku tidak dapat terlalu lama berada di sini.”

“Tunggu dulu, sobat.” kata Bwe Hwa. “Ayah ibuku mempunyai hubungan yang dekat dan akrab sekali dengan keluarga Cin-ling-pai. Karena engkau adalah murid Ceng-locianpwe dan memiliki ilmu-ilmu Cin-ling-pai, maka berarti engkau adalah orang sendiri. Bagaimana keadaan Ceng-locianpwe di Pulau Teratai Merah? Tentu beliau kini sudah tua sekali.”

Ditanya tentang keadaan gurunya, wajah Si Kong menjadi muram seperti diselimuti awan. Sesudah menghela napas panjang Si Kong menjawab, “Suhu telah wafat beberapa bulan yang lalu.”

“Ahhh! Kalau begitu tentu ayah dan ibuku pergi ke sana untuk melayat. Sudah lama aku meninggalkan rumah.”

Melihat sikap gadis itu kini ramah padanya, Si Kong merasa senang. “Kurasa ayah ibumu tidak datang melayat karena kematian suhu terjadi secara mendadak dan kami tinggal di pulau terpencil. Akan tetapi pada saat suhu wafat, bibi Cia Kui Hong yang menjadi ketua Cin-ling-pai bersama suami dan puterinya datang sehingga mereka dapat bicara dengan suhu sebelum meninggal dan ikut pula mengurus jenazah suhu.”

Mendengar ini, wajah Bwe Hwa menjadi berseri-seri. “Ahh, engkau bahkan sudah bertemu dengan mereka? Baru sekali aku bertemu dengan keluarga itu, yaitu dua tahun yang lalu. Bagaimana keadaan adik Hui Lan sekarang? Tentu ilmu kepandaian anak itu sudah tinggi sekali. Ayahnya, paman Tang Hay adalah sahabat ayahku.”

“Adik Hui Lan dalam keadaan baik-baik saja. Mengenai kepandaiannya, aku tidak tahu, akan tetapi aku percaya bahwa dia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Sudahlah, Nona, aku harus melanjutkan perantauanku.”

“Nona? Engkau menyebut nona? Kong-ko (kakak Kong), kita adalah orang-orang sendiri, tak perlu bersikap seperti orang asing. Bolehkah aku mengetahui nama orang tuamu dan di mana mereka tinggal?’

Menghadapi gadis yang lincah dan pandai bicara ini, Si Kong merasa terdesak sehingga dia pun terpaksa menjawab. “Ayah ibuku telah meninggal dunia. Aku seorang yatim piatu dan sebatang kara, tempat tinggalku juga di mana saja, tidak tetap. Nah, sudah cukup, Hwa-moi, sekarang aku harus pergi.” Dia mengangkat dua tangannya ke depan dada lalu melangkah keluar.

Bwe Hwa merasa kecewa. Sebetulnya dia ingin bicara lebih banyak dengan pemuda itu, menceritakan riwayat perjalanan mereka masing-masing. Hatinya tertarik sekali kepada Si Kong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. Akan tetapi, sebagai seorang gadis tentu saja dia merasa tidak enak kalau harus mencegah pemuda itu agar jangan begitu cepat pergi meninggalkannya.

Karena dia merasa kecewa dan hatinya terasa sepi setelah pemuda itu pergi, Bwe Hwa lalu mengalihkan perhatiannya dengan bercakap-cakap dan minta bantuan Souw-pangcu dalam usahanya mencari pedang pusaka Pek-lui-kiam.

“Seperti yang sudah kukatakan tadi sebelum Kong-ko itu datang, pangcu. Apakah engkau mengetahui di mana adanya pedang pusaka Pek-lui-kiam?”

Souw Kian menghela napas panjang. “Dunia kang-ouw menjadi ramai dengan munculnya berita bahwa pedang pusaka Pek-lui-kiam menjadi rebutan dan semua orang mencarinya. Pedang itu kabarnya menjadi milik Tan-taihiap atau Tan Tiong Bu yang tinggal di kota Sia-lin. Namun beberapa pekan yang lalu, kabarnya Tang Tiong Bu dan isterinya terbunuh. Tidak ada orang yang tahu siapa pembunuhnya, akan tetapi diduga keras bahwa orang itu membunuh untuk merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam itu.”

“Dapatkah engkau menduga siapa kiranya yang melakukan pembunuhan dan merampas Pek-lui-kiam?” Bwe Hwa mendesak.

Ketua Hek I Kaipang itu menggelengkan kepalanya. “Aku sudah menyuruh anak buahku menyelidik ke Sia-lin. Akan tetapi di sana pun tidak ada yang tahu. Hanya menurut kabar, pada saat kematian Tan Tiong Bu itu, ada orang melihat seorang kakek berpakaian serba merah keluar dari pekarangan rumah itu. Kalau engkau hendak ikut mencari Pek-lui-kiam, engkau harus mencari kakek yang berpakaian serba merah dan mukanya pucat itu.”

Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Betapa akan sulitnya mencari seorang kakek berpakaian merah dan mukanya pucat di antara rakyat yang tak terhitung jumlahnya itu.

“Pangcu, pengalaman pangcu di dunia kang-ouw jauh lebih banyak dari pada aku. Tentu engkau dapat menduga siapa adanya kakek berpakaian merah bermuka pucat itu. Barang kali ada tokoh atau datuk sesat yang seperti itu.”

“Banyak sekali datuk sesat di empat penjuru, Nona. Tetapi belum pernah aku mendengar tentang seorang datuk yang berpakaian serba merah. Akan tetapi... ahhh, nanti dulu! Aku pernah mendengar mengenai munculnya seorang tokoh baru yang datang dari barat. Tak ada yang tahu siapa namanya, orang-orang hanya menyebutnya Ang I Sianjin (Manusia Dewa Jubah Merah), dan tempat tinggalnya pun tidak ada yang mengetahui. Mungkin dia yang melakukannya, namun sepanjang pendengaranku, tokoh itu tidak pernah melakukan kejahatan.”

“Terima kasih, pangcu. Setidaknya itu dapat menjadi landasan bagiku untuk mencarinya. Amat sukar mencari pedang yang tidak diketahui di mana adanya, bahkan tidak mungkin. Tapi agaknya akan lebih mudah untuk mencari orang yang telah diketahui namanya. Nah, selamat tinggal, pangcu, engkau sudah menyambut kedatanganku dengan sangat baik. Akan kuceritakan kebaikanmu ini kepada ayah dan ibuku kalau aku pulang nanti.”

“Ah, Nona, kedatanganmu ke sini saja sudah merupakan penghormatan besar bagi kami, kamilah yang harus berterima kasih bahwa seorang pendekar wanita sudi berkunjung ke rumah jelek dan kotor ini. Harap sampaikan salam hormatku kepada orang tuamu.”

Bwe Hwa lalu meninggalkan kuil itu. Gadis ini kembali memasuki kota Ci-bun dengan hati mengharapkan pertemuan dengan Si Kong di dalam kota itu. Akan tetapi setelah tiga hari dia tinggal di Ci-bun dan tak pernah melihat bayangan pemuda itu, hatinya terasa hampa dan kehilangan. Dia lalu meninggalkan Ci-bun untuk melanjutkan perantauannya.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Dengan jantung berdebar karena tegang dan terharu Si Kong memasuki dusun Ki-ceng. Begitu memasuki dusun itu, semua kenangan masa kecilnya terbayang kembali. Sungai kecil yang bila musim kering tiba menjadi kering itu kini dipenuhi air yang mengalir jernih. Dahulu sering kali dia mandi di sungai ini atau mengail ikan.

Hatinya menjadi sedih ketika melihat betapa dusun itu masih dipenuhi gubuk-gubuk reyot yang menjadi tempat tinggal petani miskin. Dia tahu betul bagaimana penderitaan mereka karena ketika dia masih kecil, ayahnya juga menjadi buruh tani, begitu pula ibunya. Tetapi penghasilan mereka berdua masih belum cukup untuk dapat memberi makan anak-anak mereka sampai kenyang.

Jembatan kayu itu masih berdiri, sungguh pun di sana sini sudah terdapat tambahan kayu untuk mengganti yang lapuk. Beberapa rumah gedung milik para hartawan masih berdiri megah, dikelilingi pagar tembok yang tinggi. Di pintu gerbang rumah-rumah gedung ini Si Kong melihat beberapa orang laki-laki yang bertubuh kekar.

Dia masih ingat. Mereka adalah tukang-tukang pukul para hartawan itu, ditugaskan untuk mengancam, memukul atau membunuh buruh tani yang tidak bisa mengembalikan hutang mereka kepada sang hartawan.

Si Kong lewat di depan rumah gubuk yang dulu menjadi tempat tinggal orang tuanya dan di dalam hatinya timbul keharuan dan kesedihan yang mengiris hati. Terbayanglah semua peristiwa dahulu, kematian ayah ibunya. Akan tetapi dia merasa kehilangan karena rumah yang lama sekarang sudah tidak ada lagi. Hanya pohon di depan rumah itu masih berdiri seperti dahulu. Rumahnya telah berganti dengan rumah yang bagus.

Dia dapat menduga. Tentu rumah dan tanahnya sudah disita tuan tanah untuk pengganti hutang ayahnya dan tuan tanah itu mendirikan rumah di situ, entah untuk siapa. Mungkin untuk pegawai yang di percaya.

Dia melanjutkan perjalanannya, melupakan semua itu dan kini dia pergi menuju ke rumah Hartawan Lui. Sesudah tiba di depan rumah itu, teringatlah dia akan segalanya. Kakaknya perempuan Si Kiok Hwa, semenjak berusia enam belas tahun sudah dijual oleh ayahnya kepada Hartawan Lui untuk dijadikan selir.

Kakaknya Si Leng, dalam usia empat belas tahun telah memasuki rumah itu lewat pagar tembok di belakang dengan maksud mencari enci-nya dan minta bantuan enci-nya karena keluarga ayahnya sedang kehabisan beras dan diancam kelaparan. Akan tetapi kakaknya ketahuan oleh tukang pukul dan dipukuli, disiksa sampai mati! Tentu saja dengan tuduhan mencuri.

Tiba-tiba kerinduannya terhadap kakak perempuan itu demikian mendesak hatinya. Ingin sekali dia melihat keadaan enci-nya. Kalau enci-nya dalam keadaan sehat dan hidupnya berbahagia maka dia pun akan merasa senang.

Si Kong lalu menghampiri pintu pekarangan gedung besar itu. Di situ terdapat lima orang penjaga yang tubuhnya tinggi besar dan kekar, bahkan mereka semua membawa golok di pinggang. Menyeramkan sekali. Belum juga Si Kong datang mendekat dia sudah ditegur.

“Heii! Mau apa engkau mendekati pintu ini? Mau mengemis atau mau mencuri?”

Hati Si Kong menjadi panas sekali, akan tetapi dia cepat menahan diri, bersabar karena demi kebaikan enci-nya, dia tidak boleh membikin ribut di tempat itu. Dia lalu melangkah maju menghampiri lima orang yang berdiri bertolak pinggang dengan sombongnya itu dan berkata,

“Maaf, aku tidak ingin mengemis atau mencuri. Aku hanya ingin bertemu dengan kakakku perempuan yang tinggal di dalam gedung ini.”

Para tukang pukul itu mengerutkan alis dan saling pandang, lalu yang berkumis lebat itu melangkah maju mendekati Si Kong sambil bertanya. “Enci-mu tinggal di sini?” katanya tidak percaya. “Siapakah enci-mu itu? Jangan main-main kau!”

“Aku berkata benar. Enci-ku bernama Si Kiok Hwa, sudah sepuluh tahun tinggal di sini menjadi selir Lui-wan-gwe.”

“Si Kiok Hwa? Ha-ha-ha, engkau mimpi! Sudah bertahun-tahun aku menjadi pekerja di sini tetapi belum pernah mendengar nama Si Kiok Hwa. Pergilah dan jangan membikin aku marah. Tidak ada Si Kiok Hwa di tempat ini.”

“Kalau begitu, biarkan aku bicara dengan Lui-wan-gwe. Dia tentu tahu tentang enci-ku Si Kiok Hwa itu.”

“Mau bertemu Lui-wan-gwe? Aha, enak saja kau bicara! Orang macam engkau ini mana ada harganya untuk bertemu dengan Lui-wan-gwe? Tidak boleh! Lekas pergilah atau aku akan menghajarmu!”

Kini Si Kong tidak dapat menahan kemarahannya lagi. “Jahanam-jahanam busuk. Kalian ini seperti anjing-anjing yang menggonggong keras tetapi sebetulnya kepalamu kosong!”

“Keparat!” Si kumis tebal sudah maju menghantam ke dada Si Kong.

Si Kong miringkan tubuhnya. Ketika lengan yang besar itu lewat, dia menangkap lengan itu, diputar ke belakang tubuh si kumis tebal dan sekali tarik ke atas, lengan itu menjadi lumpuh karena sambungan lengan terlepas dari pundaknya. Nyerinya bukan kepalang dan si kumis itu melolong-lolong kesakitan.

Empat orang kawannya segera mencabut golok masing-masing dan mengeroyok Si Kong dari empat penjuru. Akan tetapi Si Kong tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Dengan gerakan yang begitu cepatnya sehingga tidak dapat diikuti pandang mata mereka berempat, tahu-tahu golok di tangan mereka sudah terlepas dan berjatuhan di atas tanah, disusul tubuh mereka yang terpental oleh tendangan kaki mau pun tamparan tangan Si Kong.

Masih untung bagi mereka bahwa Si Kong tidak mau membunuh orang, maka mereka itu hanya mengalami tulang patah dan muka membengkak saja. Si Kong tak mempedulikan mereka lagi dan dengan langkah lebar dia lalu memasuki pekarangan itu, terus menuju ke pintu depan.

Lima orang penjaga lain sudah menghadangnya dengan golok di tangan. “Heiiii, berhenti kau! Tidak boleh memasuki rumah ini!” bentak seorang di antara mereka.

“Kalian yang harus minggir dan memberi jalan kepadaku kalau tidak ingin kuhajar!”

Lima orang penjaga itu melihat betapa lima orang rekan mereka yang tadi berjaga di luar masih merangkak-rangkak dengan susah payah. Akan tetapi mereka tidak percaya kalau pemuda ini telah merobohkan rekan-rekan mereka. Maka dengan teriakan marah mereka berlima sudah menerjang dan mengeroyok Si Kong.

Kembali tubuh Si Kong berkelebatan dan sebentar saja kelima orang itu pun sudah roboh malang melintang dan golok mereka beterbangan terlepas dari tangan mereka. Mereka hanya mampu mengaduh-aduh dan tidak dapat berbuat sesuatu ketika Si Kong memasuki rumah besar itu.

Sesampainya di ruangan depan, beberapa orang pelayan wanita menyambutnya dengan heran dan seorang di antara mereka bertanya, “Engkau siapakah dan ada keperluan apa memasuki rumah ini?”

“Aku hendak bertemu dan bicara dengan Hartawan Lui. Cepat beri tahu di mana dia. Aku akan menemuinya!”

Pelayan-pelayan itu sudah melihat dari dalam betapa sepuluh orang penjaga dibuat roboh berpelantingan oleh pemuda ini. Mereka tak berani menolak, akan tetapi juga tidak berani membawa pemuda itu menghadap majikan mereka yang sudah tua.

“Silakan tunggu di ruangan depan, kami akan segera memberi tahu majikan kami.”

Si Kong mengangguk, lalu dia berkata, “Cepat laporkan dan minta dia keluar menemuiku, sekarang juga.”

Tiga orang wanita pelayan itu bergegas pergi ke sebelah dalam dan Si Kong tetap berdiri di situ, memandangi perabot rumah yang serba indah. Di dinding terdapat banyak lukisan indah dengan sajak pasangan yang muluk-muluk, yang mengajarkan manusia melakukan segala macam kebaikan. Namun ujar-ujar suci itu digantung di situ hanya sebagai hiasan saja, tidak ada sebuah pun yang dilaksanakan oleh si hartawan!

Terdengar langkah-langkah kaki dari dalam. Si Kong memandang ke dalam dan muncullah seorang kakek tua renta yang usianya tentu sedikitnya telah delapan puluh tahun. Ketika berjalan saja harus dipapah oleh dua orang gadis cantik.

Di sampingnya berjalan seorang laki-laki tinggi kurus dan laki-laki ini memandang kepada Si Kong dengan mata mencorong. Sebatang pedang tergantung pada punggung orang itu. Tentu dia seorang ahli silat, mungkin merupakan pengawal pribadi Lui Wan-gwe!

Melihat kakek itu dipapah duduk di atas sebuah kursi, Si Kong lantas menghadapinya dan memberi hormat. Bagaimana pun juga kakek ini adalah kakak iparnya.

“Apakah engkau yang bernama Hartawan Lui?”

Kakek itu tidak menjawab. Yang menjawab adalah orang tinggi kurus yang sudah berjalan maju menghadapi Si Kong. “Kalau benar beliau ini Lui Wan-gwe, engkau mau apakah?”

“Aku hendak bertanya mengenai enci-ku yang bernama Si Kiok Hwa. Sepuluh tahun yang lalu enci-ku diambil selir oleh Lui Wan-gwe. Aku ingin bertemu dengan enci-ku itu.”

“Si Kiok Hwa tidak berada di sini lagi. Nah, pergilah, orang muda dan jangan mengganggu majikan kami.”

“Aku tidak mau pergi sebelum mendengar tentang enci-ku!”

“Hemm, agaknya engkau patut dihajar, berani engkau kurang ajar kepada Lui wan-gwe?” Orang tinggi kurus yang usianya kurang lebih empat puluh tahun itu mencabut pedangnya dengan sikap mengancam.

“Aku tetap tidak mau pergi sebelum mendengar keterangan yang jelas tentang diri enci Si Kiok Hwa!” kata Si Kong dengan suara tegas.

“Engkau sudah bosan hidup!” bentak kepala pengawal.

Laki-laki itu sudah menyerang dengan pedangnya, akan tetapi dengan mudahnya Si Kong mengelak. Ilmu pedang orang ini boleh juga. Setelah pedangnya dapat dielakkan Si Kong, dia menyusulkan serangan bertubi-tubi ke arah tubuh Si Kong.

Akan tetapi betapa pun cepat gerakan pedangnya, gerakan Si Kong jauh lebih cepat lagi. Sesudah mengelak sampai sepuluh kali, tiba-tiba saja Si Kong menyambar pedang yang ditusukkan ke dadanya dan menjepit pedang itu dengan jari-jari tangannya. Si tinggi kurus terkejut bukan main dan berusaha menarik kembali pedangnya. Akan tetapi Si Kong telah menggerakkan kaki menendang.

“Bukkk…!” Orang tinggi kurus itu terpental ke belakang lantas memegangi dadanya yang terasa remuk sehingga dia terengah-engah, tidak mampu berdiri hanya bisa bangkit duduk sambil menekan-nekan dadanya yang tertendang.

Si Kong menggerakkan tangan yang merampas pedang dan senjata itu meluncur seperti anak panah lalu menancap di dinding sampai setengahnya lebih. Gagangnya bergoyang-goyang saking besarnya tenaga yang melemparkannya tadi. Si Kong menghampiri kakek tua itu yang nampak gemetaran.

“Tak perlu takut, Lui Wan-gwe. Aku datang ke sini hanya ingin bertemu dengan enci Kiok Hwa! Akan tetapi para tukang pukulmu menghalangiku, maka terpaksa aku merobohkan mereka. Nah, sekarang katakan di mana adanya enci Kiok Hwa?”

Kakek itu menggelengkan kepalanya. “Entah di mana. Pada lima tahun yang lalu dia pergi meninggalkan rumah ini dan menikah dengan seorang yang bernama Lo Sam, aku tidak tahu lagi…”

Suara kakek itu sudah gemetaran, maka Si Kong tak mau mendesaknya. “Kalau engkau tidak tahu, siapa yang tahu di mana adanya Lo Sam itu sekarang?” Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan dengan suara mengandung ancaman. “Karena tadinya enci-ku berada di sini, maka engkaulah yang bertanggung jawab, Lui Wan-gwe. Kalau aku tidak mendapat keterangan yang jelas maka seluruh isi rumah ini akan kugeledah!”

“Tunggu dulu...!” Lui Wan-gwe mengangkat tangan. “Terus terang saja, aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi ada seorang bujang tua yang mengetahui ke mana Lo Sam membawa Kiok Hwa.” Dia lalu memberi isyarat kepada seorang gadis cantik yang tadi memapahnya. “Panggilkan Ji Kwi ke sini.”

Tidak lama kemudian gadis itu sudah muncul kembali bersama seorang wanita tua yang usianya sudah enam puluh tahun. Wanita ini menghadap dengan takut-takut.

“Loya memangggil saya?” katanya sambil berlutut di depan Hartawan Lui.

“Benar. Aku ingin engkau menceritakan tentang Kiok Hwa kepada adiknya ini!” Hartawan Lui menunjuk ke arah Si Kong.

Si Kong menghampiri bujang tua itu, lalu berkata dengan suara halus. “Bibi, ceritakanlah tentang enci Kiok Hwa, ceritakan semuanya dan jangan menyembunyikan sesuatu.”

“Lima tahun yang lalu enci-mu keluar dari rumah ini untuk menikah dengan Lo Sam,” kata bujang tua itu.

“Di mana adanya Lo Sam itu?”

“Dahulu rumahnya di gang ke empat dari jalan raya selatan, kalau mereka belum pindah tentu engkau akan dapat menemukan mereka di sana.”

Si Kong mengangguk-angguk. “Akan kucari di sana. Apa bila aku tidak dapat menemukan enci-ku, engkau harus bertanggung jawab, Lui Wan-gwe!” Sesudah berkata demikian, Si Kong lalu melompat dan keluar dari rumah itu.

Setelah pemuda itu pergi, Lui Wan-gwe yang sudah tua renta itu lalu marah-marah dan memaki-maki para pengawalnya yang dikatakan tidak becus menjaga keselamatannya.

“Cepat undang Gin-to-kwi (Iblis Golok Perak) Bouw Kam ke sini!” perintahnya.

Gin-to-kwi Bouw Kam adalah seorang tokoh besar di antara jagoan-jagoan yang menjadi tukang-tukang pukul para hartawan di dusun itu. Dia bersedia melakukan segala macam perintah hartawan-hartawan itu dengan imbalan uang. Bila perlu dia bersedia membunuh demi mendapatkan upah.

********************

Sementara itu Si Kong tidak membuang waktu lagi, segera pergi ke jalan raya selatan dan memasuki gang ke empat. Ketika dia mencari keterangan dari orang-orang yang tinggal di gang itu di mana rumah Lo Sam, dengan mudah dia mendapatkan keterangan itu. Dia lalu menuju kerumah Lo Sam, menyelinap dan memasuki rumah itu dari pintu belakang. Tiba-tiba dia mendengar suara wanita batuk-batuk kemudian disusul suara seorang lelaki yang terdengar marah-marah.

“Engkau perempuan tiada guna! Kenapa tidak cepat mampus saja agar aku terlepas dari beban!”

Suara wanita itu menjawab, “Huk-huk-ugh... Lo Sam, di mana perasaanmu...? Ketika aku masih sehat... kau memaksaku untuk melacurkan diri... lalu semua uangnya kau gunakan untuk berjudi dan bersenang-senang... tetapi sekarang, sesudah aku jatuh sakit, engkau tidak mau merawatku bahkan setiap hari terus memaki-maki...”

Jantung Si Kong berdebar kencang. Dia tidak lagi mengenal suara wanita itu, akan tetapi timbul dugaannya bahwa itu adalah suara Si Kiok Hwa, enci-nya! Karena itu dia langsung mendorong pintu kamar itu sehingga terbuka dan dia melihat seorang wanita kurus kering sedang rebah telentang di atas pembaringan beserta seorang laki-laki tinggi besar sedang berdiri dekat pembaringan sambil bertolak pingggang.

“Engkau yang bernama Lo Sam?” tanya Si Kong sambil memandang laki-laki itu.

Laki-laki itu terkejut melihat tiba-tiba ada seorang pemuda membuka pintu dan memasuki kamarnya. Dia menjadi marah sekali dan tanpa berkata-kata lagi dia telah menerjang dan memukul Si Kong dengan cepat sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi Si Kong menangkap tangan itu dan mencengkeramnya.

Lelaki itu mengaduh-aduh karena merasa kepalan tangannya seperti dijepit cengkeraman besi. “Aduh, aduh... sakit... ampunkan saya...!”

“Katakan dahulu, benarkah engkau yang bernama Lo Sam?” kata Si Kong tanpa melepas cengkeramannya.

“Benar, aku Lo Sam…”

Si Kong menggerakkan jari tangan kanannya dan menotok pundak Lo Sam hingga orang itu tidak mampu bergerak lagi, berdiri dengan posisi menyerang dan memukul, seolah dia telah menjadi sebuah patung.

Pendekar Kelana Jilid 07

Sesudah hari menjadi sore dan pekerjaan membagi-bagi beras itu selesai The-wan-gwe memanggil Si Kong. Si Kong segera memasuki ruangan depan dan di sana telah duduk The Kun, isterinya dan Tan Kiok Nio. Si Kong memberi hormat kepada mereka.

“Inilah pemuda yang bernama Si Kong itu, yang tadi telah mengusir pengacau,” The Kun memperkenalkan kepada isteri dan keponakannya, lalu dia berkata kepada Si Kong, “Si Kong, ini adalah isteriku dan itu adalah keponakanku bernama Tan Kiok Nio.”

Kembali Si Kong memberi hormat. “Duduklah, Si Kong. Kami memanggilmu untuk diajak berunding.”

Si Kong mengambil tempat duduk. “Urusan apakah yang hendak dirundingkan, Loya?”

“Sebelumnya kami ingin mengetahui engkau berasal dari mana, dan siapa gurumu?”

“Dulu ketika masih kecil saya tinggal di Ki-ceng, akan tetapi sejak saya berusia sepuluh tahun saya berkelana seorang diri karena orang tua saya sudah meninggal dunia. Saya selalu merantau dan di dalam perantauan itu saya belajar silat dari beberapa orang guru. Ketika tadi saya melihat di kota ini ada seorang dermawan membagi-bagi beras, hati saya tertarik dan beruntung saya dapat membantu Loya.”

“Dan kami berterima kasih sekali kepadamu, Si Kong. Keponakanku ini kebetulan datang sehingga dia dapat mengusir lima orang pengacau tadi.”

“Siocia mempunyai ilmu yang sangat tinggi, sungguh mengagumkan sekali,” kata Si Kong dengan sejujurnya karena dia memang melihat betapa hebatnya ilmu pedang gadis itu.

“Keponakanku ini adalah puteri seorang pendekar besar yang namanya terkenal di dunia persilatan, bernama Tan Tiong Bu, tentu saja dia mempunyai ilmu yang tinggi warisan dari ayahnya.”

“Ahh, harap Paman jangan memuji terlalu tinggi. Di dunia ini terdapat banyak sekali orang sakti, bahkan mendiang ayah juga dikalahkan dan dibunuh orang yang tentu lebih pandai,” kata Kiok Nio merendah.

Hartawan The menghela napas panjang. “Alangkah banyaknya orang jahat di dunia ini. Seperti para pengacau tadi, mereka adalah orang-orang yang amat jahat. Entah mengapa mereka memusuhiku. Si Kong, engkau telah banyak merantau di dunia kang-ouw, apakah engkau mengenal mereka itu siapa dan dari perkumpulan apa?”

Si Kong menggeleng kepalanya. “Maaf, Loya. Baru hari ini saya memasuki kota Ci-bun. Saya sama sekali tidak mengenal mereka.”

Kiok Nio yang ikut mencurahkan perhatian kepada percakapan itu lantas berkata, “Mereka berpakaian serba hitam semua, tentu mereka adalah anggota sebuah perkumpulan. Bila melihat pakaian dan penampilan mereka, mereka itu tentu anggota-anggota perkumpulan perampok atau perkumpulan pengemis yang sesat.”

Hartawan The menepuk pahanya. “Perkumpulan pengemis? Ahhh, sekarang aku teringat! Di Ci-bun ini memang terdapat sebuah perkumpulan pengemis berbaju hitam, yaitu Hek I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Apakah mereka berasal dari perkumpulan itu? Akan tetapi biasanya para anggota perkumpulan itu tidak pernah ada yang membikin kacau, apa lagi berbuat jahat. Tetapi kalau melihat pakaian mereka, memang besar sekali kemungkinan mereka itu orang-orang Hek I Kaipang.”

“Hemm, di manakah sarang perkumpulan itu, Loya?”

“Bagaimana kami bisa mengetahui tempat tinggal mereka? Akan tetapi biasanya ada saja pengemis baju hitam yang berkeliaran di kota ini. Kalau engkau bertanya kepada mereka, tentu mereka akan dapat memberi keterangan.”

“Kalau begitu, besok pagi saya mohon pamit, Loya.”

Kiok Nio memandang penuh perhatian. Menurut cerita pamannya, pemuda ini sudah bisa mengalahkan si baju hitam. Akan tetapi hal itu belum menjadi jaminan bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi yang akan mampu menghadapi pengeroyokan anggota Hek I Kaipang!

“Apa maksudmu hendak mencari sarang Hek I Kaipang?” tanyanya dengan hati tertarik.

“Saya hendak bicara dengan ketuanya, melaporkan perbuatan anak buahnya yang jahat dan minta kepadanya supaya selanjutnya jangan mengganggu usaha kemanusiaan Loya yang membagi-bagi beras.”

“Engkau berani?”

“Kenapa tidak, siocia? Saya ke sana dengan maksud baik. Saya tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga.”

“Kalau ketuanya tidak mendengar omongamu dan engkau dikeroyok, bagaimana?”

“Saya kira tidak demikian, siocia. Akan tetapi kalau terjadi seperti yang nona katakan itu, yah, bagaimana nanti sajalah!”

Mendadak Kiok Nio teringat dengan urusannya sendiri. “Si Kong, engkau adalah seorang yang suka berkelana, tentu pengetahuanmu tentang dunia kang-ouw lebih luas dari pada aku. Karena itu aku ingin minta pertolongan kepadamu, entah engkau mau menyanggupi atau tidak.”

“Katakanlah, siocia. Kalau memang aku dapat melakukannya, tentu akan kusanggupi.”

“Begini… aku mempunyai seorang musuh besar, yaitu orang yang telah membunuh ayah ibuku. Tetapi aku belum pernah melihat orangnya, juga tidak tahu namanya. Hanya ada keterangan bahwa pembunuh itu mengenakan pakaian serba merah dan usianya kurang lebih enam puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus serta mukanya pucat. Nah, kalau engkau dapat mengetahui siapa orang itu, siapa namanya serta di mana tempat tinggalnya, aku minta agar engkau suka memberi kabar kepadaku di sini. Maukah engkau membantuku, Si Kong?”

Si Kong mengangguk dan menjawab dengan sungguh-sungguh. “Akan saya buka lebar-lebar mata dan telinga saya untuk mencari tahu tentang kakek itu, Nona. Mudah-mudahan saja ada yang tahu siapa kakek dengan gambaran seperti yang Nona ceritakan tadi.”

“Ada satu keterangan tambahan, Si Kong. Orang itu sudah merampas sebatang pedang milik ayah. Pedang itu disebut Pek-lui-kiam, pedang yang mengeluarkan sinar kilat.”

“Keterangan itu penting sekali, Nona. Kalau tidak dapat dikenal orangnya, mungkin dapat dikenal pedangnya. Saya akan berusaha mencarinya, Nona.”

“Terima kasih, engkau baik sekali, Si Kong. Dan untuk bekal perjalananmu, kau terimalah benda-benda ini dan juallah.” Gadis itu menyerahkan sapasang gelang emasnya. Si Kong menolak dengan halus.

“Nona, apa yang saya lakukan merupakan suatu kewajiban bagi saya, maka saya tidak membutuhkan imbalan.”

“Tidak, Si Kong. Simpanlah ini. Kalau engkau sampai kehabisan bekal di perjalanan maka gelang-gelang ini bisa kau pergunakan. Kalau engkau tidak mau menerimanya malah aku akan selalu merasa gelisah dan menyesal karena harapan untuk bisa menemukan musuh besarku akan semakin kecil pula. Terimalah! Ini bukanlah imbalan jasa, melainkan untuk biaya perjalanan.”

“Kiok Nio benar, Si Kong. Terimalah sepasang gelang itu supaya hatinya tenteram,” kata Hartawan The Kun.

Karena didesak oleh mereka, akhirnya Si Kong bersedia juga menerima sepasang gelang emas bertabur permata itu. Malam itu dia tidur di dalam sebuah kamar tamu dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah berpamit lalu pergi meninggalkan rumah The Kun dan berjalan keliling kota.

Tak lama kemudian dia sudah bertemu dengan yang dicari-carinya. Dua orang pengemis yang mengenakan pakaian warna hitam sedang mengemis di depan sebuah pasar. Dua orang pengemis ini sama sekali tidak kelihatan menyeramkan seperti lima orang perusuh yang kemarin mengacau di depan rumah Hartawan The.

Si Kong kemudian memperhatikan mereka berdua. Pakaian mereka memang serba hitam seperti pakaian para pengacau kemarin, tetapi mereka mengemis seperti pengemis biasa, bukan menggunakan kekerasan dan menerima apa dan berapa saja pemberian orang.

Si Kong sengaja lewat di depan mereka, namun mereka sama sekali tidak mengenalnya dan hanya menodongkan tangan untuk meminta sumbangan. Si Kong mengambil empat keping uang dan memberi mereka masing-masing dua keping.

Melihat ada orang memberi mereka masing-masing dua keping, dua orang pengemis itu membungkuk-bungkuk mengucapkan terima kasih.

“Sekarang aku hendak minta tolong kepada kalian,” kata Si Kong. “Di manakah tempat tinggal ketua Hek I Kaipang?”

Mendengar ini, mata kedua orang pengemis itu menatap wajah Si Kong penuh perhatian dan setelah bertemu pandang, baru Si Kong menduga bahwa dua orang pengemis yang kelihatan lemah ini tentu memiliki ilmu silat yang lumayan.

“Kongcu, ada keperluan apakah kongcu menanyakan Hek I Kaipang?”

“Aku hanya ingin bertemu dengan pangcu kalian. Kalau pembicaraan kami cocok, maka aku ingin menyumbang,” kata Si Kong.

Mata yang tadinya mencorong penuh selidik itu menjadi lembut kembali dan seorang di antara dua orang pengemis itu tersenyum.

“Kalau kongcu keluar dari pintu gerbang kota sebelah timur, dalam jarak kurang lebih lima mil kongcu akan melihat sebuah bangunan kuil yang sudah tidak digunakan lagi. Di situlah tempat tinggal kami.”

“Terima kasih,” kata Si Kong dengan gembira. “Sekarang juga aku akan pergi ke sana.”

Dia lalu melangkah cepat ke pintu gerbang timur dan keluar dari pintu gerbang itu. Kiranya sebelah timur kota itu merupakan persawahan yang tidak ada bangunan rumahnya, tidak ada orang kecuali mereka yang bekerja di sawah ladang. Dia berjalan menuju ke timur, melalui jalan yang tanahnya pecah-pecah karena musim kering yang panjang. Dari jauh kelihatan sebuah hutan di depan, dan sungguh menyenangkan melihat kehijauan hutan itu setelah hati merasa sedih melihat tanah yang kekeringan. Karena jalan itu sepi orang, Si Kong lalu menggunakan ilmu Liok-te Hui-teng sehingga tubuhnya seolah melayang atau terbang saja saking cepatnya dia berlari.

Tak lama kemudian dia telah memasuki hutan itu dan di dalam hutan terdapat sebuah kuil kuno yang besar namun sudah tidak berfungsi sebagai kuil tempat bersembahyang lagi. Pada waktu Si Kong tiba di depan kuil, di pekarangan kuil itu dia melihat beberapa orang berpakaian hitam sedang bekerja. Ada yang menyapu halaman, ada yang membersihkan pintu dan jendela-jendela, ada pula yang memelihara tanaman bunga. Kiranya kuil yang tua dan sudah tidak digunakan lagi itu kini terpelihara oleh anak buah Hek I Kaipang. Kuil itu sudah tua akan tetapi kelihatan bersih. Si Kong memasuki halaman itu dan tiga orang pengemis berpakaian hitam segera menghadangnya.

“Kongcu, di sini bukan tempat umum, melainkan tempat tinggal kami. Ada keperluan apa kongcu masuk ke sini?” tanya seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus.

Pengemis ini masih memegang sapu bergagang panjang. Ada pun dua orang kawannya yang tadi bekerja memelihara pohon bunga sudah berdiri dengan sikap waspada sambil membawa golok yang tadi mereka pergunakan untuk membabat tumbuh-tumbuhan liar.

Si Kong segera menjawab dengan tulus, “Kedatanganku ini untuk bertemu dengan ketua Hek I Kaipang.”

Tiga orang itu kelihatan terkejut, lalu memandang dengan sinar mata penuh kecurigaan. “Orang muda, ada keperluan apa engkau hendak bertemu dengan pangcu (ketua) kami?”

“Kalian tidak perlu tahu. Bawa saja aku menghadap pangcu kalian dan aku akan berbicara sendiri dengannya.”

“Hemmm, tidak mudah untuk bertemu dengan pangcu kami, orang muda. Ada syaratnya untuk dianggap patut bertemu dengan beliau,” kata pula pengemis jangkung kurus itu.

“Ada syaratnya? Dan apakah syarat-syarat itu?” tanya Si Kong penasaran. Masa hendak bertemu dengan ketua pengemis saja ada syaratnya? Betapa angkuhnya para pengemis ini.

“Syaratnya ada dua. Pertama harus memberi tahukan dulu kepada kami apa keperluanmu mencari pangcu, lalu kami akan melaporkan kepada pangcu apakah beliau mau bertemu dengan engkau atau tidak.”

“Dan syarat ke dua?”

“Syarat kedua hanya berlaku untuk mereka yang tidak mau memenuhi syarat pertama, yaitu kalau hendak masuk kuil harus melangkahi tubuh kami bertiga!”

Ini sebuah tantangan! Biar pun sikap mereka tidak sekasar dan sesombong si baju hitam dan empat orang kawannya yang mengacau di depan rumah Hartawan The, tiga orang ini jelas memandang rendah orang lain dan menantangnya. Hatinya makin merasa tidak suka kepada Hek I Kaipang.

“Bagus, aku menghendaki syarat ke dua!” kata Si Kong.

Si tinggi kurus segera melintangkan sapunya yang bergagang panjang, sedangkan kedua orang temannya memegang golok. Mereka kelihatan tegang dan sudah bersiap-siap untuk mengeroyok.

“Majulah jika engkau berani melawan kami bertiga, kami telah siap!” kata si tinggi kurus.

Si Kong lalu menerjang maju, menampar ke arah pengemis kurus itu. Si pengemis kurus menggerakkan gagang sapunya, memainkan sapu itu seperti orang bersilat pakai tongkat, menangkis tamparan Si Kong sambil mengerahkan tenaga.

“Krakkk!” tongkat sapu itu patah menjadi dua potong!

Dua orang pengemis lainnya sudah membantu dengan menyerang Si Kong menggunakan golok mereka, dari kanan dan kiri. Namun dengan amat mudahnya Si Kong mengelak ke belakang dan ketika dua batang golok itu menyambar luput, Si Kong telah menggerakkan jari tangannya menotok. Kedua orang itu roboh tanpa dapat bangkit kembali karena tubuh mereka sudah tertotok lemas.

Si tinggi kurus marah sekali dan dia menggunakan tongkatnya yang sudah patah menjadi dua potong itu untuk menyerang Si Kong. Tetapi Si Kong menangkis dua potong tongkat itu dengan kedua tangannya dan kembali tongkat itu patah! Sebelum pengemis itu mampu menyerang lagi, Si Kong telah menotoknya pula sehingga si tinggi kurus itu juga roboh tak dapat bangkit kembali.

Masih ada dua orang pengemis yang bekerja di halaman itu. Melihat tiga orangnya sudah dirobohkan oleh pemuda itu, mereka menjadi marah. Seorang dari mereka berlari masuk ke dalam kuil, sedangkan orang kedua berlari menghampiri Si Kong kemudian menyerang dengan menggunakan tongkatnya. Si Kong tidak mau membuang banyak waktu lagi. Dia menangkap tongkat itu dan menotok roboh pengemis ke empat.

“Nah, aku telah memenuhi syarat ke dua, dapat melangkahi tubuh kalian. Tentu sekarang aku diperkenankan masuk.” Setelah berkata demikian dia melangkahi tubuh mereka.

Pada saat itu dari dalam kuil muncul dua orang. Satu di antaranya adalah adalah seorang kakek berpakaian serba hitam yang usianya sudah ada enam puluh tahun tetapi tubuhnya masih nampak sehat dan kokoh. Muka pengemis ini bundar, dengan sepasang mata yang mencorong menandakan bahwa dia mempunyai tenaga sinkang yang kuat. Ada pun orang kedua adalah seorang gadis yang cantik dan gagah sekali, dengan sebatang pedang yang terselip di punggungnya.

“Siapa berani membikin ribut di sini?!” bentaknya.

Dia memandang kepada Si Kong, kemudian kepada tubuh empat orang pengemis yang menggeletak di atas tanah tanpa bisa bergerak. Pengemis tua itu lalu meloncat ke depan tubuh empat orang pengemis yang tertotok. Tongkatnya bergerak cepat menotok mereka berempat dan seketika empat orang itu mampu bergerak lagi. Mereka bangkit dan berdiri, muka mereka merah karena telah dikalahkan oleh pemuda itu.

“Orang muda, siapakah engkau? Betapa beraninya engkau datang dan menyerang empat orang anggota kami, merobohkan mereka dengan totokan. Apa maksud perbuatanmu ini dan apa kehendakmu?”

Si Kong mengamati orang tua itu. Tubuhnya masih tegap dan kelihatan kuat. Sebatang tongkat hitam setinggi pundak berada di tangannya. Tentu orang ini memiliki ilmu tongkat yang lihai, pikirnya.

“Engkau ketua Hek I Kaipang?” tanya Si Kong, suaranya tegas.

“Benar, akulah Hek I Kaipangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Hitam).”

“Aku bernama Si Kong dan aku datang untuk menegurmu. Sebagai ketua Kaipang engkau harus mendidik anggotamu baik-baik. Mengemis makanan dan uang memang perbuatan tidak tahu malu dan menjadi tanda kemalasan. Tetapi mengemis dengan cara merampok merupakan kejahatan yang tak dapat diampuni lagi!”

“Pemuda sombong! Engkau datang mengacau di sini, sebaliknya engkau menuduh orang lain yang bukan-bukan. Engkaulah yang sombong dan jahat!”

“Hemm, dengarkan dulu omonganku...”

“Tidak perlu banyak bicara. Engkau kalahkan dulu tongkatku ini, baru kita bicara. Engkau telah merobohkan empat orang anggota kami, hal itu sudah lebih dari cukup. Merobohkan anggota kami di tempat kami sendiri adalah penghinaan bagi ketuanya. Nah, bersiaplah engkau!” Kakek itu kemudian memutar-mutar tongkatnya dan terasa ada angin yang kuat menyambar.

Diam-diam Si Kong kagum akan tetapi juga membangkitkan nafsunya untuk mencoba dan menandingi kakek ahli ilmu tongkat itu. Melihat tempat itu dikepung banyak pengemis baju hitam dan banyak di antara mereka yang memegang tongkat, Si Kong cepat meloncat ke samping dan sebelum pemilik tongkat itu tahu apa yang terjadi, tongkat bambunya sudah berpindah ke tangan Si Kong.

“Pangcu, aku datang untuk bicara, tetapi aku disambut dengan tongkat. Jangan disangka bahwa aku takut menghadapi tongkatmu. Marilah kita bermain tongkat sebentar, hendak kulihat sampai di mana kelihaian tongkatmu!” Si Kong melintangkan tongkat bambunya di depan dada.

Sebaliknya ketua Hek I Kaipang itu menjadi semakin penasaran. Pemuda itu malah berani menerima tantangannya dengan bersenjatakan sebatang tongkat bambu! Padahal tongkat di tangannya adalah sebatang tongkat yang terbuat dari baja pilihan sehingga tongkatnya itu berani menyambut senjata pusaka yang bagaimana pun ampuhnya.

Sementara itu dara cantik gagah yang tadi keluar bersama ketua Hek I Kaipang itu hanya menonton dengan sikap tenang sekali. Dia bukan gadis biasa, melainkan seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali karena dia adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar besar Pek Han Siong yang pada waktu kecilnya dijuluki Sin-tong (Anak Sakti) karena bertulang dan berbakat baik sekali.

Pek Han Siong menguasai banyak macam ilmu silat, di antaranya ilmu silat Pek-sim-pang (Tongkat Hati Murni), Kwan Im Kiam-sut (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im) yang dapat juga dimainkan dengan tangan kosong dan disebut Kwan Im Sin-kun, serta masih banyak lagi. Dan lebih dari pada itu, dia pun menguasai ilmu sihir!

Ada pun isterinya juga bukan orang sembarangan. Ibu gadis itu bernama Siangkoan Bi Lian yang pernah mendapat julukan Tiat-sim Sian-li (Dewa Berhati Besi). Di antara ilmu-ilmu silat yang dikuasainya terdapat ilmu Kim-ke Sin-kun (Ilmu Silat Ayam Emas) dan juga Kwan Im Sin-kun.

Gadis itu adalah puteri mereka, anak tunggal yang bernama Pek Bwe Hwa dan berusia delapan belas tahun. Wajahnya berbentuk bulat telur mirip wajah ibunya, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah, dagunya yang runcing membayangkan kekerasan hati, tubuhnya ramping padat dan rambutnya digelung secara sederhana di atas kepala, diikat dengan pita merah.

Pedang yang berada di punggungnya itu adalah pedang pusaka Kwan Im-kiam (Pedang Dewi Kwan Im) yang diterimanya dari ayahnya. Sebagai puteri tunggal sepasang pendekar sakti itu, tidak mengherankan jika Bwe Hwa mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya. Bahkan dia juga pernah diberi petunjuk dan dilatih oleh ayahnya dalam ilmu sihir!

Bwe Hwa sedang berkunjung kepada Ketua Hek I Kaipang dalam usahanya turut mencari dan memperebutkan Pek-lui-kiam yang menghebohkan dunia kang-ouw. Pek Han Siong dan isterinya yang mendengar mengenai pedang pusaka yang kabarnya dijadikan rebutan oleh para tokoh dan datuk persilatan, sengaja menyuruh puteri mereka supaya ikut pula berlomba menemukan dan merampas pedang itu.

Mereka merasa yakin bahwa puteri mereka pasti mampu melindungi diri sendiri dengan semua ilmunya. Mereka menghendaki agar puteri mereka mendapat pengalaman di dunia kang-ouw, seperti mereka ketika masih muda dahulu.

Kini Pek Han Siong telah berusia lima puluh satu tahun, sedangkan isterinya empat puluh sembilan tahun. Mereka juga memberi tahu nama dari para tokoh sesat dan juga tokoh-tokoh yang bersih.

Demikianlah sedikit keterangan tentang Pek Bwe Hwa dan kedua orang tuanya yang kini bertempat tinggal di kota Tung-ciu, di sebelah timur kota raja. Pada saat itu Pek Bwe Hwa sedang menjadi tamu ketua Hek I Kaipang karena dari orang tuanya gadis ini mendapat tahu bahwa ketua Hek I Kaipang merupakan kenalan ayahnya dan boleh dipercaya. Bwe Hwa berkunjung untuk mencari keterangan perihal Pek-lui-kiam kepada ketua itu.

Selagi mereka bercakap-cakap di dalam, datang anggota Hek I Kaipang yang melaporkan tentang kedatangan Si Kong yang sedang bertanding dengan para anggota perkumpulan itu di halaman depan. Hek I Kaipangcu menjadi marah mendengar laporan itu dan dia pun bergegas keluar sambil membawa tongkatnya. Bwe Hwa tertarik dan ikut keluar.

Akan tetapi gadis ini tidak mau mencampuri urusan Souw Kian atau Souw-pangcu (Ketua Souw) ketua Hek I Kaipang itu. Ia mendengar dari ayahnya bahwa Souw Pangcu adalah seorang yang memiliki ilmu tongkat yang lihai, maka dia pun tidak perlu membantu.

Akan tetapi hatinya menjadi tertarik sesudah melihat Si Kong. Pemuda itu tidak kelihatan seperti seorang penjahat dan demikian pemberani sehingga berani menyambut tantangan Souw Pangcu yang bersenjatakan tongkat baja itu hanya dengan senjata tongkat bambu. Hati dara ini menjadi kagum dan tertarik sekali. Akan tetapi dia melangkah maju mendekat agar dapat mencegah kalau sekiranya Souw Pangcu terancam bahaya maut.

Souw Pangcu adalah seorang gagah. Melihat pemuda itu hanya bersenjatakan sebatang tongkat bambu, dia pun enggan menggunakan tongkat bajanya. Yang dilawannya adalah seorang yang masih muda belia, kalau pun dia berhasil menang dalam pertandingan itu, kemenangannya tidak adil dan dia merasa malu.

Karena itu dia pun menggapai seorang anggota perkumpulannya yang memegang tongkat bambu. Anggota itu cepat mendekat dan Souw Pangcu menukar tongkat bajanya dengan tongkat bambu.

“Nah, sekarang senjata kita berimbang. Bersiaplah dan seranglah aku, orang muda.”

“Aku hanya seorang tamu dan engkau tuan rumah, Pangcu. Silakan maju lebih dulu, aku sudah siap!”

“Bagus, lihat seranganku!” bentak ketua itu dan mulailah dia memutar tongkat dan segera tongkatnya itu berubah seperti payung putih yang menerjang ke arah Si Kong.

Di dalam hati Si Kong sudah timbul keraguan apakah ketua perkumpulan ini seorang jahat karena sikapnya yang demikian gagah. Jelas bahwa ketua ini tidak ingin menang sendiri. Maka dia pun menyambut sementara dalam hatinya dia mengambil keputusan untuk tidak membunuh atau melukai berat lawannya. Asal dapat mengalahkan saja sudah cukup. Apa lagi maksud kunjungannya bukan untuk berkelahi, melainkan hendak membujuk ketua ini agar suka melarang para anggotanya melakukan kejahatan.

“Trak-tuk-tuk…!”

Tiga kali tongkat berbenturan dan Souw Pangcu menjadi kaget setengah mati. Pertemuan tongkat yang terakhir itu membuatnya terhuyung ke belakang! Ini tidak mungkin, pikirnya. Dia tadi merasa betapa kedua tangannya tergetar ketika menangkis pukulan pertama dan kedua, akan tetapi pada pertemuan tongkat yang ketiga kalinya dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk membikin hancur tongkat lawan. Tetapi akibatnya bukan tongkat lawan yang hancur, melainkan tubuhnya yang terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung.

Akan tetapi hal ini membuat Souw Kian menjadi penasaran sekali. Kembali dia menerjang dengan teriakan nyaring, memainkan ilmu silat Hek-liong Tung-hoat (Ilmu Tongkat Naga Hitam). Tongkatnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung bagaikan seekor naga mengamuk. Akan tetapi semua serangannya itu dapat dihindarkan oleh Si Kong dengan elakan mau pun tangkisan, bahkan setiap kali pemuda itu membalas, sang ketua menjadi repot menyelamatkan diri.

Bwe Hwa melihat semua ini dan dia semakin kagum saja. Ilmu tongkat pemuda itu sangat aneh dan perubahannya tak dapat disangka lawan. Setelah lewat tiga puluh jurus, Si Kong lantas menyerang dengan hebatnya, mengurung tubuh lawan dari segala jurusan dengan tongkatnya yang bergerak sangat cepat.

Souw Kian terkejut dan main mundur terus, tetapi tongkat lawan yang tadinya menyerang tubuh bagian atas, tiba-tiba meluncur ke bawah dan sekali congkel, tongkat itu masuk di antara kedua kaki Souw Kian dan begitu tongkat di tarik ke samping, tak bisa dihindarkan lagi tubuh Souw Kian terjatuh menelungkup karena kedua kakinya terangkat ke atas! Dia jatuh menelungkup seolah-olah orang minta ampun.

“Bangkitlah, Pangcu, tidak perlu memberi penghormatan secara berlebihan!” kata Si Kong yang hendak melucu.

Tapi ucapannya ini membuat Bwe Hwa memandang kepadanya dengan mata mencorong. Dia pun meloncat ke depan kemudian sekali menarik pundak Souw Kian, ketua itu segera tertarik ke atas sehingga dapat berdiri lagi.

“Mengasolah, Souw Pangcu. Biar aku yang menghadapi pengacau ini!”

Souw Kian terpaksa harus mengakui kekalahannya. Dia mengundurkan diri dengan muka merah dan berulang-ulang menghela napas panjang. Akan tetapi kini dia mengharapkan gadis tamunya itu akan mampu menghajar pemuda itu. Dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu mempunyai ilmu silat yang amat tinggi, mempelajarinya dari kedua orang tuanya yang menjadi pendekar sakti. Dia pun kini menonton dari pinggiran.

Bwe Hwa menghadapi Si Kong dengan senyum dingin dan matanya mencorong. Gadis ini menganggap Si Kong sebagai seorang pengacau. Ia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Si Kong dan berkata dengan suaranya yang lembut namun penuh wibawa. Karena menganggap pemuda itu sudah membuat malu kepada Souw Pangcu, dia pun hendak membalas membikin malu pemuda pengacau itu.

“Si Kong, engkau merangkaklah!” Dalam suara itu terkandung kekuatan sihir yang seolah hendak memaksa Si Kong berlutut dan merangkak.

Si Kong terkejut bukan kepalang saat merasa jantungnya tergetar dan ada dorongan dari hatinya sendiri untuk menjatuhkan diri dan berlutut. Akan tetapi dia langsung teringat akan peringatan Ceng Lojin bahwa di dunia kang-ouw terdapat orang-orang yang mempunyai keahlian sihir. Kalau menghadapi lawan seperti ini dan ada dorongan hebat dari batinnya untuk menuruti apa yang dikatakan oleh lawan seperti itu, dia harus cepat mengerahkan sinkang-nya sehingga bisa menolak pengaruh sihir. Maka, begitu batinnya mendorongnya untuk berlutut dan merangkak, dia cepat-cepat mengerahkan sinkang-nya untuk melawan dorongan ini.

Sekarang berbalik Pek Bwe Hwa yang terbelalak heran. Pemuda itu ternyata sama sekali tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya! Maklumlah dia bahwa pemuda itu telah memiliki sinkang yang amat kuat sehingga mampu menahan kekuatan sihirnya. Melihat kenyataan ini, dia menghentikan kekuatan sihirnya dan mencabut pedang dari punggungnya.

“Singggg…!” nampak sinar berkilauan dan gadis itu sudah melintangkan pedang di depan dadanya.

“Pengacau sombong, lihat pedangku!” bentaknya.

Pek Bwe Hwa segera menyerang dengan dahsyatnya. Pedangnya lenyap bentuknya dan berubah menjadi gulungan sinar terang yang panjang dan mendadak sinar itu mencuat ke arah Si Kong.

“Trangggg...!”

Pedang di tangan Bwe Hwa tergetar hebat. Gadis itu bertambah heran dan juga terkejut. Pemuda yang memegang tongkat bambu ini memiliki tenaga sinkang yang kuatnya bukan main. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar dan melanjutkan serangannya secara bertubi-tubi. Dia menggunakan pedang Kwan-im-kian untuk memainkan Kwan-im Kiam-sut yang amat lihai.

Si Kong terkejut bukan main. Ilmu pedang gadis itu memang amat hebat dan sama sekali tidak boleh dipandang rendah. Timbul kekaguman dalam hatinya. Gadis itu masih muda, paling banyak delapan belas tahun usianya, akan tetapi sudah memiliki ilmu pedang yang demikian dahsyatnya.

Karena maklum bahwa ilmu pedang gadis itu sangat berbahaya, Si Kong lalu memainkan Ta-kaw Sin-tung dan mengerahkan khikang-nya sehingga gerakannya cepat bukan main, lebih cepat dari pada gerakan Bwe Hwa! Kedua orang muda itu bertanding dengan seru, saling serang dan saling desak.

Tetapi tentu saja Si Kong tidak mempunyai niat untuk melukai atau membunuh lawannya. Dia ingin mengalahkan tanpa melukai, kalau dapat merampas pedang yang hebat itu. Tapi justru inilah yang membuat dia sukar sekali untuk mendapatkan kemenangan. Merampas pedang itu amatlah sulit, sementara pertandingan antara mereka sudah berlangsung lebih dari lima puluh jurus, masih belum ada yang kalah.

Mulailiah Si Kong merasa khawatir. Agaknya tak mungkin baginya untuk dapat merampas pedang gadis itu. Kalau dia kehendaki, tentu saja dia dapat merobohkan lawan dengan melukainya, akan tetapi karena dia tidak menghendaki hal ini terjadi maka dia mengalami kesulitan sendiri. Tiba-tiba dia teringat akan ilmu Thi-khi-i-beng. Hanya ilmu ini saja yang memungkinkan dia mengalahkan lawan tanpa melukainya.

Pada waktu pedang itu menyambar lagi ke arah lehernya, Si Kong cepat menangkis dan menggunakan tenaga sinkang-nya untuk membuat pedang itu menempel pada tongkatnya dan tidak dapat ditarik kembali. Bwe Hwa terkejut lantas mengerahkan sinkang-nya untuk menarik kembali pedangnya yang sudah melekat pada tongkat. Akan tetapi pada saat itu, sesuai dengan rencananya Si Kong segera mengerahkan Thi-khi I-beng sehingga ketika gadis itu mengerahkan sinkang, tenaga gadis itu tersedot melalui pedang dan tongkat.

Bwe Hwa terkejut bukan main! Dari ayah ibunya dia mendengar bahwa di dunia kang-ouw terdapat sebuah ilmu luar biasa yang dinamakan Thi-khi I-beng. Tetapi di dunia ini hanya ada satu orang yang menguasai ilmu itu, yaitu Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah di lautan selatan.

Karena tidak ingin tenaga sinkang-nya disedot sehingga dia kehabisan tenaga, terpaksa Bwe Hwa melepaskan pedangnya dan meloncat jauh ke belakang! Biar pun andai kata dia tidak melepaskan pedang, tetap saja dia takkan terancam bahaya karena Si Kong segera menyimpan kembali tenaga Thi-khi I-beng. Dia tidak ingin menyedot habis tenaga sinkang gadis itu, melainkan hanya ingin membuatnya kaget sehingga dia bisa merampas pedang itu.

Si Kong mengambil pedang yang menempel pada tongkatnya, lalu menghampiri Bwe Hwa dan menyodorkan pedang itu kepada pemiliknya. Wajah Bwe Hwa menjadi merah, akan tetapi dia merasa penasaran sekali dan bertanya,

“Engkau menggunakan Thi-khi I-beng! Dari mana engkau dapat menguasai ilmu itu? Apa hubunganmu dengan kakek Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah?” Dia pun menerima pedangnya.

Si Kong semakin kagum. Gadis ini masih muda, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan agaknya mempunyai pengetahuan luas sehingga dapat mengenal Thi-khi I-beng dan gurunya, Ceng Thian Sin.

“Penglihatanmu tajam sekali, Nona. Kakek Ceng Thian Sin adalah guruku.”

“Tidak mungkin!” Gadis itu membentak. “Kakek Ceng Thian Sin adalah seorang pendekar sakti yang namanya terkenal. Semenjak muda dia menentang kejahatan dan menghukum para penjahat. Bagaimana sekarang muridnya menjadi penjahat?”

“Nona!” kata Si Kong penasaran. “Aku bukan penjahat!”

“Hemmm, kau datang ke sini dan mengacaukan kehidupan para pengemis yang tenteram, engkau mengandalkan ilmumu untuk membikin rusuh, apakah itu tidak jahat namanya?”

Diam-diam Si Kong terkejut. Jelas bahwa gadis itu bukan orang jahat, akan tetapi kenapa dia berada di sarang Hek I Kaipang yang jahat?

“Nona, aku datang ke sini bahkan untuk menentang kejahatan. Aku ingin menegur ketua Hek I Kaipang yang membiarkan anak buahnya melakukan kejahatan!”

“Biar pun menjadi ketua para pengemis tapi Souw-pangcu adalah seorang gagah perkasa yang selalu membela keadilan dan kebenaran. Bagaimana sekarang engkau menuduhnya memiliki anak buah yang jahat? Itu hanya fitnah belaka!”

Kini Souw Kian maju menghadapi Si Kong. “Agaknya sudah terjadi kesalah pahaman di antara kita, Si-taihiap. Bila Si-taihiap hendak menegakkan kebenaran dengan menentang kejahatan, maka jelaslah bahwa di sini terjadi kesalah pahaman. Aku berani menanggung jawab bahwa di antara anggota kami tidak ada yang menjadi penjahat.”

Si Kong menjadi ragu-ragu mendengar ucapan ketua Hek I Kaipang itu. “Aku pun bukan bertindak secara ngawur, Pangcu. Aku sendiri yang sudah menghadapi para penjahat itu. Mereka berpakaian hitam-hitam seperti anggotamu.”

“Hemm, mungkin ada yang sengaja berusaha merusak nama baik Hek I Kaipang. Tolong taihiap ceriatakan apa yang terjadi. Akan tetapi rasanya tidak enak bicara sambil berdiri di halaman ini. Marilah, taihiap, kita bicara di dalam. Mari, lihiap.”

Si Kong yang kini menyadari bahwa memang ada kesalah pahaman, mengikuti ke dalam, Bwe Hwa juga masuk ke dalam dan ternyata di dalam kuil yang tua dan tidak digunakan lagi itu sangat bersih terawat. Dindingnya dikapur putih dan lantainya juga bersih sekali. Di ruangan tengah terdapat meja dan beberapa buah bangku kayu.

“Silakan duduk, taihiap dan lihiap (pendekar wanita).”

Setelah mereka bertiga duduk menghadapi meja, Souw Kian lantas berkata, “Nah, silakan menceritakan semua yang telah terjadi sehingga taihiap menuduh kami.”

Si Kong menjadi semakin ragu. Lima orang pengacau berpakaian hitam itu baru lagaknya saja sudah dapat diketahui bahwa mereka bukan orang baik-baik. Akan tetapi sikap ketua Hek I Kaipang ini sama sekali tidak memperlihatkan bahwa dia orang jahat. Dia menghela napas beberapa kali lalu mulai bercerita.

“Mula-mula terjadi di depan rumah Hartawan The pada hari kemarin. Ketika The-wan-gwe tengahmembagi-bagikan beras kepada mereka yang membutuhkan sehingga orang-orang itu berdiri dalam antrian, tiba-tiba muncul seorang berbaju hitam yang pakaiannya serba hitam pula. Dia tidak mau antri seperti yang lain, tetapi menyerobot ke depan, bahkan dia minta satu karung beras. Ketika para petugas menolaknya, dia lalu memukul empat orang petugas itu.”

“Hemmm, orang itu jahat sekali. The-wan-gwe sudah terkenal sebagai seorang dermawan yang budiman. Kalau aku berada di sana, tentu orang itu sudah kuhajar!” kata Souw Kian marah.

“Pendapatku sama dengan pendapat Souw-pangcu. Aku melihat kejadian itu, lantas turun tangan dan menghajarnya. Dia melarikan diri akan tetapi tidak lama kemudian dia muncul lagi bersama empat orang kawannya yang semua juga berpakaian serba hitam. Untung di sana ada keponakan The-wan-gwe, seorang gadis yang pandai ilmu pedang dan gadis itu berhasil mengusir lima orang itu. Nah, oleh karena lima orang itu berpakaian hitam-hitam, maka aku menduga bahwa mereka tentu anak buah Hek I Kaipang dan aku segera pergi ke sini untuk menegur Souw-pangcu. Tetapi malah aku yang dituduh membikin kacau!”

“Sekarang aku mulai mengerti. Tentu ada orang-orang yang sengaja ingin memburukkan nama kami. Akan tetapi percayalah, taihiap, bahwa lima orang itu bukan anak buah kami, bahkan kami akan mengerahkan seluruh anggota kami untuk melakukan penyelidikan dan menangkap lima orang itu.”

Si Kong mengangguk. “Sesudah melihat keadaan Hek I Kaipang di sini dan sikap pangcu, aku pun mulai percaya bahwa lima orang itu bukan anggota Hek I Kaipang, tetapi orang-orang lain yang sengaja menyamar. Maafkanlah kesalahanku, pangcu.” Si Kong bangkit berdiri dan memberi hormat kepada ketua itu.

Souw Kian cepat berdiri dan membalas penghormatan itu. “Tak perlu minta maaf, taihiap. Kalau aku yang melihat peristiwa itu tentu aku pun bertindak seperti yang taihiap lakukan. Silakan duduk lagi, taihiap. Kami merasa beruntung sekali dapat berkenalan dengan Si-taihiap.”

Akan tetapi Si Kong tidak ingin duduk kembali. Urusannya dengan Hek I Kaipang sudah selesai, maka dia tidak mau terlalu lama di situ.

“Aku masih mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan, pangcu. Karena itu aku tidak dapat terlalu lama berada di sini.”

“Tunggu dulu, sobat.” kata Bwe Hwa. “Ayah ibuku mempunyai hubungan yang dekat dan akrab sekali dengan keluarga Cin-ling-pai. Karena engkau adalah murid Ceng-locianpwe dan memiliki ilmu-ilmu Cin-ling-pai, maka berarti engkau adalah orang sendiri. Bagaimana keadaan Ceng-locianpwe di Pulau Teratai Merah? Tentu beliau kini sudah tua sekali.”

Ditanya tentang keadaan gurunya, wajah Si Kong menjadi muram seperti diselimuti awan. Sesudah menghela napas panjang Si Kong menjawab, “Suhu telah wafat beberapa bulan yang lalu.”

“Ahhh! Kalau begitu tentu ayah dan ibuku pergi ke sana untuk melayat. Sudah lama aku meninggalkan rumah.”

Melihat sikap gadis itu kini ramah padanya, Si Kong merasa senang. “Kurasa ayah ibumu tidak datang melayat karena kematian suhu terjadi secara mendadak dan kami tinggal di pulau terpencil. Akan tetapi pada saat suhu wafat, bibi Cia Kui Hong yang menjadi ketua Cin-ling-pai bersama suami dan puterinya datang sehingga mereka dapat bicara dengan suhu sebelum meninggal dan ikut pula mengurus jenazah suhu.”

Mendengar ini, wajah Bwe Hwa menjadi berseri-seri. “Ahh, engkau bahkan sudah bertemu dengan mereka? Baru sekali aku bertemu dengan keluarga itu, yaitu dua tahun yang lalu. Bagaimana keadaan adik Hui Lan sekarang? Tentu ilmu kepandaian anak itu sudah tinggi sekali. Ayahnya, paman Tang Hay adalah sahabat ayahku.”

“Adik Hui Lan dalam keadaan baik-baik saja. Mengenai kepandaiannya, aku tidak tahu, akan tetapi aku percaya bahwa dia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Sudahlah, Nona, aku harus melanjutkan perantauanku.”

“Nona? Engkau menyebut nona? Kong-ko (kakak Kong), kita adalah orang-orang sendiri, tak perlu bersikap seperti orang asing. Bolehkah aku mengetahui nama orang tuamu dan di mana mereka tinggal?’

Menghadapi gadis yang lincah dan pandai bicara ini, Si Kong merasa terdesak sehingga dia pun terpaksa menjawab. “Ayah ibuku telah meninggal dunia. Aku seorang yatim piatu dan sebatang kara, tempat tinggalku juga di mana saja, tidak tetap. Nah, sudah cukup, Hwa-moi, sekarang aku harus pergi.” Dia mengangkat dua tangannya ke depan dada lalu melangkah keluar.

Bwe Hwa merasa kecewa. Sebetulnya dia ingin bicara lebih banyak dengan pemuda itu, menceritakan riwayat perjalanan mereka masing-masing. Hatinya tertarik sekali kepada Si Kong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. Akan tetapi, sebagai seorang gadis tentu saja dia merasa tidak enak kalau harus mencegah pemuda itu agar jangan begitu cepat pergi meninggalkannya.

Karena dia merasa kecewa dan hatinya terasa sepi setelah pemuda itu pergi, Bwe Hwa lalu mengalihkan perhatiannya dengan bercakap-cakap dan minta bantuan Souw-pangcu dalam usahanya mencari pedang pusaka Pek-lui-kiam.

“Seperti yang sudah kukatakan tadi sebelum Kong-ko itu datang, pangcu. Apakah engkau mengetahui di mana adanya pedang pusaka Pek-lui-kiam?”

Souw Kian menghela napas panjang. “Dunia kang-ouw menjadi ramai dengan munculnya berita bahwa pedang pusaka Pek-lui-kiam menjadi rebutan dan semua orang mencarinya. Pedang itu kabarnya menjadi milik Tan-taihiap atau Tan Tiong Bu yang tinggal di kota Sia-lin. Namun beberapa pekan yang lalu, kabarnya Tang Tiong Bu dan isterinya terbunuh. Tidak ada orang yang tahu siapa pembunuhnya, akan tetapi diduga keras bahwa orang itu membunuh untuk merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam itu.”

“Dapatkah engkau menduga siapa kiranya yang melakukan pembunuhan dan merampas Pek-lui-kiam?” Bwe Hwa mendesak.

Ketua Hek I Kaipang itu menggelengkan kepalanya. “Aku sudah menyuruh anak buahku menyelidik ke Sia-lin. Akan tetapi di sana pun tidak ada yang tahu. Hanya menurut kabar, pada saat kematian Tan Tiong Bu itu, ada orang melihat seorang kakek berpakaian serba merah keluar dari pekarangan rumah itu. Kalau engkau hendak ikut mencari Pek-lui-kiam, engkau harus mencari kakek yang berpakaian serba merah dan mukanya pucat itu.”

Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Betapa akan sulitnya mencari seorang kakek berpakaian merah dan mukanya pucat di antara rakyat yang tak terhitung jumlahnya itu.

“Pangcu, pengalaman pangcu di dunia kang-ouw jauh lebih banyak dari pada aku. Tentu engkau dapat menduga siapa adanya kakek berpakaian merah bermuka pucat itu. Barang kali ada tokoh atau datuk sesat yang seperti itu.”

“Banyak sekali datuk sesat di empat penjuru, Nona. Tetapi belum pernah aku mendengar tentang seorang datuk yang berpakaian serba merah. Akan tetapi... ahhh, nanti dulu! Aku pernah mendengar mengenai munculnya seorang tokoh baru yang datang dari barat. Tak ada yang tahu siapa namanya, orang-orang hanya menyebutnya Ang I Sianjin (Manusia Dewa Jubah Merah), dan tempat tinggalnya pun tidak ada yang mengetahui. Mungkin dia yang melakukannya, namun sepanjang pendengaranku, tokoh itu tidak pernah melakukan kejahatan.”

“Terima kasih, pangcu. Setidaknya itu dapat menjadi landasan bagiku untuk mencarinya. Amat sukar mencari pedang yang tidak diketahui di mana adanya, bahkan tidak mungkin. Tapi agaknya akan lebih mudah untuk mencari orang yang telah diketahui namanya. Nah, selamat tinggal, pangcu, engkau sudah menyambut kedatanganku dengan sangat baik. Akan kuceritakan kebaikanmu ini kepada ayah dan ibuku kalau aku pulang nanti.”

“Ah, Nona, kedatanganmu ke sini saja sudah merupakan penghormatan besar bagi kami, kamilah yang harus berterima kasih bahwa seorang pendekar wanita sudi berkunjung ke rumah jelek dan kotor ini. Harap sampaikan salam hormatku kepada orang tuamu.”

Bwe Hwa lalu meninggalkan kuil itu. Gadis ini kembali memasuki kota Ci-bun dengan hati mengharapkan pertemuan dengan Si Kong di dalam kota itu. Akan tetapi setelah tiga hari dia tinggal di Ci-bun dan tak pernah melihat bayangan pemuda itu, hatinya terasa hampa dan kehilangan. Dia lalu meninggalkan Ci-bun untuk melanjutkan perantauannya.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Dengan jantung berdebar karena tegang dan terharu Si Kong memasuki dusun Ki-ceng. Begitu memasuki dusun itu, semua kenangan masa kecilnya terbayang kembali. Sungai kecil yang bila musim kering tiba menjadi kering itu kini dipenuhi air yang mengalir jernih. Dahulu sering kali dia mandi di sungai ini atau mengail ikan.

Hatinya menjadi sedih ketika melihat betapa dusun itu masih dipenuhi gubuk-gubuk reyot yang menjadi tempat tinggal petani miskin. Dia tahu betul bagaimana penderitaan mereka karena ketika dia masih kecil, ayahnya juga menjadi buruh tani, begitu pula ibunya. Tetapi penghasilan mereka berdua masih belum cukup untuk dapat memberi makan anak-anak mereka sampai kenyang.

Jembatan kayu itu masih berdiri, sungguh pun di sana sini sudah terdapat tambahan kayu untuk mengganti yang lapuk. Beberapa rumah gedung milik para hartawan masih berdiri megah, dikelilingi pagar tembok yang tinggi. Di pintu gerbang rumah-rumah gedung ini Si Kong melihat beberapa orang laki-laki yang bertubuh kekar.

Dia masih ingat. Mereka adalah tukang-tukang pukul para hartawan itu, ditugaskan untuk mengancam, memukul atau membunuh buruh tani yang tidak bisa mengembalikan hutang mereka kepada sang hartawan.

Si Kong lewat di depan rumah gubuk yang dulu menjadi tempat tinggal orang tuanya dan di dalam hatinya timbul keharuan dan kesedihan yang mengiris hati. Terbayanglah semua peristiwa dahulu, kematian ayah ibunya. Akan tetapi dia merasa kehilangan karena rumah yang lama sekarang sudah tidak ada lagi. Hanya pohon di depan rumah itu masih berdiri seperti dahulu. Rumahnya telah berganti dengan rumah yang bagus.

Dia dapat menduga. Tentu rumah dan tanahnya sudah disita tuan tanah untuk pengganti hutang ayahnya dan tuan tanah itu mendirikan rumah di situ, entah untuk siapa. Mungkin untuk pegawai yang di percaya.

Dia melanjutkan perjalanannya, melupakan semua itu dan kini dia pergi menuju ke rumah Hartawan Lui. Sesudah tiba di depan rumah itu, teringatlah dia akan segalanya. Kakaknya perempuan Si Kiok Hwa, semenjak berusia enam belas tahun sudah dijual oleh ayahnya kepada Hartawan Lui untuk dijadikan selir.

Kakaknya Si Leng, dalam usia empat belas tahun telah memasuki rumah itu lewat pagar tembok di belakang dengan maksud mencari enci-nya dan minta bantuan enci-nya karena keluarga ayahnya sedang kehabisan beras dan diancam kelaparan. Akan tetapi kakaknya ketahuan oleh tukang pukul dan dipukuli, disiksa sampai mati! Tentu saja dengan tuduhan mencuri.

Tiba-tiba kerinduannya terhadap kakak perempuan itu demikian mendesak hatinya. Ingin sekali dia melihat keadaan enci-nya. Kalau enci-nya dalam keadaan sehat dan hidupnya berbahagia maka dia pun akan merasa senang.

Si Kong lalu menghampiri pintu pekarangan gedung besar itu. Di situ terdapat lima orang penjaga yang tubuhnya tinggi besar dan kekar, bahkan mereka semua membawa golok di pinggang. Menyeramkan sekali. Belum juga Si Kong datang mendekat dia sudah ditegur.

“Heii! Mau apa engkau mendekati pintu ini? Mau mengemis atau mau mencuri?”

Hati Si Kong menjadi panas sekali, akan tetapi dia cepat menahan diri, bersabar karena demi kebaikan enci-nya, dia tidak boleh membikin ribut di tempat itu. Dia lalu melangkah maju menghampiri lima orang yang berdiri bertolak pinggang dengan sombongnya itu dan berkata,

“Maaf, aku tidak ingin mengemis atau mencuri. Aku hanya ingin bertemu dengan kakakku perempuan yang tinggal di dalam gedung ini.”

Para tukang pukul itu mengerutkan alis dan saling pandang, lalu yang berkumis lebat itu melangkah maju mendekati Si Kong sambil bertanya. “Enci-mu tinggal di sini?” katanya tidak percaya. “Siapakah enci-mu itu? Jangan main-main kau!”

“Aku berkata benar. Enci-ku bernama Si Kiok Hwa, sudah sepuluh tahun tinggal di sini menjadi selir Lui-wan-gwe.”

“Si Kiok Hwa? Ha-ha-ha, engkau mimpi! Sudah bertahun-tahun aku menjadi pekerja di sini tetapi belum pernah mendengar nama Si Kiok Hwa. Pergilah dan jangan membikin aku marah. Tidak ada Si Kiok Hwa di tempat ini.”

“Kalau begitu, biarkan aku bicara dengan Lui-wan-gwe. Dia tentu tahu tentang enci-ku Si Kiok Hwa itu.”

“Mau bertemu Lui-wan-gwe? Aha, enak saja kau bicara! Orang macam engkau ini mana ada harganya untuk bertemu dengan Lui-wan-gwe? Tidak boleh! Lekas pergilah atau aku akan menghajarmu!”

Kini Si Kong tidak dapat menahan kemarahannya lagi. “Jahanam-jahanam busuk. Kalian ini seperti anjing-anjing yang menggonggong keras tetapi sebetulnya kepalamu kosong!”

“Keparat!” Si kumis tebal sudah maju menghantam ke dada Si Kong.

Si Kong miringkan tubuhnya. Ketika lengan yang besar itu lewat, dia menangkap lengan itu, diputar ke belakang tubuh si kumis tebal dan sekali tarik ke atas, lengan itu menjadi lumpuh karena sambungan lengan terlepas dari pundaknya. Nyerinya bukan kepalang dan si kumis itu melolong-lolong kesakitan.

Empat orang kawannya segera mencabut golok masing-masing dan mengeroyok Si Kong dari empat penjuru. Akan tetapi Si Kong tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Dengan gerakan yang begitu cepatnya sehingga tidak dapat diikuti pandang mata mereka berempat, tahu-tahu golok di tangan mereka sudah terlepas dan berjatuhan di atas tanah, disusul tubuh mereka yang terpental oleh tendangan kaki mau pun tamparan tangan Si Kong.

Masih untung bagi mereka bahwa Si Kong tidak mau membunuh orang, maka mereka itu hanya mengalami tulang patah dan muka membengkak saja. Si Kong tak mempedulikan mereka lagi dan dengan langkah lebar dia lalu memasuki pekarangan itu, terus menuju ke pintu depan.

Lima orang penjaga lain sudah menghadangnya dengan golok di tangan. “Heiiii, berhenti kau! Tidak boleh memasuki rumah ini!” bentak seorang di antara mereka.

“Kalian yang harus minggir dan memberi jalan kepadaku kalau tidak ingin kuhajar!”

Lima orang penjaga itu melihat betapa lima orang rekan mereka yang tadi berjaga di luar masih merangkak-rangkak dengan susah payah. Akan tetapi mereka tidak percaya kalau pemuda ini telah merobohkan rekan-rekan mereka. Maka dengan teriakan marah mereka berlima sudah menerjang dan mengeroyok Si Kong.

Kembali tubuh Si Kong berkelebatan dan sebentar saja kelima orang itu pun sudah roboh malang melintang dan golok mereka beterbangan terlepas dari tangan mereka. Mereka hanya mampu mengaduh-aduh dan tidak dapat berbuat sesuatu ketika Si Kong memasuki rumah besar itu.

Sesampainya di ruangan depan, beberapa orang pelayan wanita menyambutnya dengan heran dan seorang di antara mereka bertanya, “Engkau siapakah dan ada keperluan apa memasuki rumah ini?”

“Aku hendak bertemu dan bicara dengan Hartawan Lui. Cepat beri tahu di mana dia. Aku akan menemuinya!”

Pelayan-pelayan itu sudah melihat dari dalam betapa sepuluh orang penjaga dibuat roboh berpelantingan oleh pemuda ini. Mereka tak berani menolak, akan tetapi juga tidak berani membawa pemuda itu menghadap majikan mereka yang sudah tua.

“Silakan tunggu di ruangan depan, kami akan segera memberi tahu majikan kami.”

Si Kong mengangguk, lalu dia berkata, “Cepat laporkan dan minta dia keluar menemuiku, sekarang juga.”

Tiga orang wanita pelayan itu bergegas pergi ke sebelah dalam dan Si Kong tetap berdiri di situ, memandangi perabot rumah yang serba indah. Di dinding terdapat banyak lukisan indah dengan sajak pasangan yang muluk-muluk, yang mengajarkan manusia melakukan segala macam kebaikan. Namun ujar-ujar suci itu digantung di situ hanya sebagai hiasan saja, tidak ada sebuah pun yang dilaksanakan oleh si hartawan!

Terdengar langkah-langkah kaki dari dalam. Si Kong memandang ke dalam dan muncullah seorang kakek tua renta yang usianya tentu sedikitnya telah delapan puluh tahun. Ketika berjalan saja harus dipapah oleh dua orang gadis cantik.

Di sampingnya berjalan seorang laki-laki tinggi kurus dan laki-laki ini memandang kepada Si Kong dengan mata mencorong. Sebatang pedang tergantung pada punggung orang itu. Tentu dia seorang ahli silat, mungkin merupakan pengawal pribadi Lui Wan-gwe!

Melihat kakek itu dipapah duduk di atas sebuah kursi, Si Kong lantas menghadapinya dan memberi hormat. Bagaimana pun juga kakek ini adalah kakak iparnya.

“Apakah engkau yang bernama Hartawan Lui?”

Kakek itu tidak menjawab. Yang menjawab adalah orang tinggi kurus yang sudah berjalan maju menghadapi Si Kong. “Kalau benar beliau ini Lui Wan-gwe, engkau mau apakah?”

“Aku hendak bertanya mengenai enci-ku yang bernama Si Kiok Hwa. Sepuluh tahun yang lalu enci-ku diambil selir oleh Lui Wan-gwe. Aku ingin bertemu dengan enci-ku itu.”

“Si Kiok Hwa tidak berada di sini lagi. Nah, pergilah, orang muda dan jangan mengganggu majikan kami.”

“Aku tidak mau pergi sebelum mendengar tentang enci-ku!”

“Hemm, agaknya engkau patut dihajar, berani engkau kurang ajar kepada Lui wan-gwe?” Orang tinggi kurus yang usianya kurang lebih empat puluh tahun itu mencabut pedangnya dengan sikap mengancam.

“Aku tetap tidak mau pergi sebelum mendengar keterangan yang jelas tentang diri enci Si Kiok Hwa!” kata Si Kong dengan suara tegas.

“Engkau sudah bosan hidup!” bentak kepala pengawal.

Laki-laki itu sudah menyerang dengan pedangnya, akan tetapi dengan mudahnya Si Kong mengelak. Ilmu pedang orang ini boleh juga. Setelah pedangnya dapat dielakkan Si Kong, dia menyusulkan serangan bertubi-tubi ke arah tubuh Si Kong.

Akan tetapi betapa pun cepat gerakan pedangnya, gerakan Si Kong jauh lebih cepat lagi. Sesudah mengelak sampai sepuluh kali, tiba-tiba saja Si Kong menyambar pedang yang ditusukkan ke dadanya dan menjepit pedang itu dengan jari-jari tangannya. Si tinggi kurus terkejut bukan main dan berusaha menarik kembali pedangnya. Akan tetapi Si Kong telah menggerakkan kaki menendang.

“Bukkk…!” Orang tinggi kurus itu terpental ke belakang lantas memegangi dadanya yang terasa remuk sehingga dia terengah-engah, tidak mampu berdiri hanya bisa bangkit duduk sambil menekan-nekan dadanya yang tertendang.

Si Kong menggerakkan tangan yang merampas pedang dan senjata itu meluncur seperti anak panah lalu menancap di dinding sampai setengahnya lebih. Gagangnya bergoyang-goyang saking besarnya tenaga yang melemparkannya tadi. Si Kong menghampiri kakek tua itu yang nampak gemetaran.

“Tak perlu takut, Lui Wan-gwe. Aku datang ke sini hanya ingin bertemu dengan enci Kiok Hwa! Akan tetapi para tukang pukulmu menghalangiku, maka terpaksa aku merobohkan mereka. Nah, sekarang katakan di mana adanya enci Kiok Hwa?”

Kakek itu menggelengkan kepalanya. “Entah di mana. Pada lima tahun yang lalu dia pergi meninggalkan rumah ini dan menikah dengan seorang yang bernama Lo Sam, aku tidak tahu lagi…”

Suara kakek itu sudah gemetaran, maka Si Kong tak mau mendesaknya. “Kalau engkau tidak tahu, siapa yang tahu di mana adanya Lo Sam itu sekarang?” Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan dengan suara mengandung ancaman. “Karena tadinya enci-ku berada di sini, maka engkaulah yang bertanggung jawab, Lui Wan-gwe. Kalau aku tidak mendapat keterangan yang jelas maka seluruh isi rumah ini akan kugeledah!”

“Tunggu dulu...!” Lui Wan-gwe mengangkat tangan. “Terus terang saja, aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi ada seorang bujang tua yang mengetahui ke mana Lo Sam membawa Kiok Hwa.” Dia lalu memberi isyarat kepada seorang gadis cantik yang tadi memapahnya. “Panggilkan Ji Kwi ke sini.”

Tidak lama kemudian gadis itu sudah muncul kembali bersama seorang wanita tua yang usianya sudah enam puluh tahun. Wanita ini menghadap dengan takut-takut.

“Loya memangggil saya?” katanya sambil berlutut di depan Hartawan Lui.

“Benar. Aku ingin engkau menceritakan tentang Kiok Hwa kepada adiknya ini!” Hartawan Lui menunjuk ke arah Si Kong.

Si Kong menghampiri bujang tua itu, lalu berkata dengan suara halus. “Bibi, ceritakanlah tentang enci Kiok Hwa, ceritakan semuanya dan jangan menyembunyikan sesuatu.”

“Lima tahun yang lalu enci-mu keluar dari rumah ini untuk menikah dengan Lo Sam,” kata bujang tua itu.

“Di mana adanya Lo Sam itu?”

“Dahulu rumahnya di gang ke empat dari jalan raya selatan, kalau mereka belum pindah tentu engkau akan dapat menemukan mereka di sana.”

Si Kong mengangguk-angguk. “Akan kucari di sana. Apa bila aku tidak dapat menemukan enci-ku, engkau harus bertanggung jawab, Lui Wan-gwe!” Sesudah berkata demikian, Si Kong lalu melompat dan keluar dari rumah itu.

Setelah pemuda itu pergi, Lui Wan-gwe yang sudah tua renta itu lalu marah-marah dan memaki-maki para pengawalnya yang dikatakan tidak becus menjaga keselamatannya.

“Cepat undang Gin-to-kwi (Iblis Golok Perak) Bouw Kam ke sini!” perintahnya.

Gin-to-kwi Bouw Kam adalah seorang tokoh besar di antara jagoan-jagoan yang menjadi tukang-tukang pukul para hartawan di dusun itu. Dia bersedia melakukan segala macam perintah hartawan-hartawan itu dengan imbalan uang. Bila perlu dia bersedia membunuh demi mendapatkan upah.

********************

Sementara itu Si Kong tidak membuang waktu lagi, segera pergi ke jalan raya selatan dan memasuki gang ke empat. Ketika dia mencari keterangan dari orang-orang yang tinggal di gang itu di mana rumah Lo Sam, dengan mudah dia mendapatkan keterangan itu. Dia lalu menuju kerumah Lo Sam, menyelinap dan memasuki rumah itu dari pintu belakang. Tiba-tiba dia mendengar suara wanita batuk-batuk kemudian disusul suara seorang lelaki yang terdengar marah-marah.

“Engkau perempuan tiada guna! Kenapa tidak cepat mampus saja agar aku terlepas dari beban!”

Suara wanita itu menjawab, “Huk-huk-ugh... Lo Sam, di mana perasaanmu...? Ketika aku masih sehat... kau memaksaku untuk melacurkan diri... lalu semua uangnya kau gunakan untuk berjudi dan bersenang-senang... tetapi sekarang, sesudah aku jatuh sakit, engkau tidak mau merawatku bahkan setiap hari terus memaki-maki...”

Jantung Si Kong berdebar kencang. Dia tidak lagi mengenal suara wanita itu, akan tetapi timbul dugaannya bahwa itu adalah suara Si Kiok Hwa, enci-nya! Karena itu dia langsung mendorong pintu kamar itu sehingga terbuka dan dia melihat seorang wanita kurus kering sedang rebah telentang di atas pembaringan beserta seorang laki-laki tinggi besar sedang berdiri dekat pembaringan sambil bertolak pingggang.

“Engkau yang bernama Lo Sam?” tanya Si Kong sambil memandang laki-laki itu.

Laki-laki itu terkejut melihat tiba-tiba ada seorang pemuda membuka pintu dan memasuki kamarnya. Dia menjadi marah sekali dan tanpa berkata-kata lagi dia telah menerjang dan memukul Si Kong dengan cepat sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi Si Kong menangkap tangan itu dan mencengkeramnya.

Lelaki itu mengaduh-aduh karena merasa kepalan tangannya seperti dijepit cengkeraman besi. “Aduh, aduh... sakit... ampunkan saya...!”

“Katakan dahulu, benarkah engkau yang bernama Lo Sam?” kata Si Kong tanpa melepas cengkeramannya.

“Benar, aku Lo Sam…”

Si Kong menggerakkan jari tangan kanannya dan menotok pundak Lo Sam hingga orang itu tidak mampu bergerak lagi, berdiri dengan posisi menyerang dan memukul, seolah dia telah menjadi sebuah patung.