Pendekar Kelana Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dia menoleh lantas memandang kepada Si Kong yang berdiri dengan muka ditundukkan. Dia pun merasa kasihan setelah melihat bibir Si Kong yang berdarah serta pipinya yang lebam. Seorang bocah dusun minta pekerjaan malah dihajar!

“Apa salahnya minta pekerjaan? Kalau tidak ada pekerjaan, tolak saja, tak perlu dipukuli. Lagi pula aku mendengar sendiri dari ayah bahwa kita memang sedang membutuhkan tenaga seorang pembantu untuk menggembala kerbau kita. Eh, sobat siapa namamu dan apakah engkau mau diberi pekerjaan menggembala segerombolan kerbau?”

“Nama saya Si Kong, nona. Saya akan senang sekali kalau diberi pekerjaan dan rasanya saya sanggup untuk menggembala kerbau,” jawab Si Kong dan dalam hatinya dia memuji gadis ini yang sikapnya berbeda jauh sekali dibandingkan kakaknya yang angkuh. Gadis ini ramah dan lincah.

“Jika ada seekor saja kerbaunya yang hilang, maka engkau harus menggantinya!” bentak Tong Kim Hok, suaranya masih marah.

“Aihh, koko. Siapa sih yang berani mencuri kerbau kita? Mari kau ikut aku, Si Kong, kita menghadap ayah.”

“Terima kasih, Nona.”

Si Kong mengikuti gadis itu yang memasuki pintu gerbang kemudian menghampiri sebuah gedung yang berdiri dengan megahnya di tengah-tengah perkampungan itu. Di kanan-kiri dan belakang gedung besar itu berdiri banyak pondok, agaknya menjadi tempat tinggal para pekerja di situ.

Tong Li Koan memang seorang hartawan kaya raya yang menjadi majikan Bukit Bangau. Dia menggunakan banyak pekerja untuk mengerjakan sawah ladangnya di bukit itu, juga mempekerjakan sejumlah belasan tukang pukul untuk menjaga perkampungan.

“Ayah...!” Kim Lan berteriak ketika memasuki rumah dan menyuruh Si Kong menunggu di serambi depan.

Tidak lama kemudian gadis itu sudah muncul kembali bersama seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun, berpakaian mewah dan tangan kirinya memegang sebatang huncwe (pipa tembakau) yang panjangnya setengah meter dan ketika dihisap mengeluarkan bau tembakau yang harum.

“Inikah orangnya?” tanya Tong Li Koan kepada puterinya. Dia amat menyayangi puterinya yang jauh lebih pandai dan cerdik dibandingkan puteranya.

“Ya, Ayah. Namanya Si Kong dan dia mau menjadi penggembala kerbau kita.”

Si Kong sudah mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan kepada Tong-Loya. “Saya bersedia untuk bekerja apa saja, Loya,” katanya hormat.

Tong Li Koan memandang ke arah mulut dan pipi Si Kong, lalu mengerutkan alisnya dan menuding dengan huncwe-nya ke arah muka Si Kong.

“Kenapa mukamu itu? Seperti orang habis berkelahi!” katanya.

Si Kong merasa tidak enak sekali untuk memberi tahu bahwa dia dipukuli putera majikan itu, maka dia hanya menggumam, “Tidak apa-apa, Loya.”

“Dia dipukuli koko, Ayah. Koko hendak mengujinya sebelum dia bekerja.”

“Ahh, Kim Hok terlalu ringan tangan…” kata hartawan itu.

“Sayalah yang bersalah, Loya,” Si Kong cepat-cepat berkata. “Saya sudah berani lancang hendak menghadap loya untuk minta pekerjaan.”

“Sudahlah, engkau kuterima sebagai penggembala kerbau. Setiap hari, pagi-pagi sekali engkau harus menggembalakan kerbau-kerbau kami yang berjumlah tiga puluh ekor itu ke padang rumput, memelihara dan menjaga mereka baik-baik.”

Tong Li Koan bertepuk tangan dan seorang pelayan datang berlari kepadanya. Hartawan itu memerintahkan kepada pembantu itu untuk memberi sebuah kamar bagi Si Kong dan memberi petunjuk mengenai pekerjaannya menggembala kerbau.

“Beri dia satu kamar di pondok dekat kandang kerbau di belakang. Dan engkau, Si Kong, bekerjalah baik-baik dan engkau akan memperoleh upah yang lumayan serta makan dan pakaian yang secukupnya.”

Si Kong merasa girang sekali. “Terima kasih, Loya dan Siocia (nona).”

Dia lalu pergi mengikuti pelayan itu yang membawanya menuju ke kandang kerbau untuk memperlihatkan kerbau-kerbau yang harus dirawatnya, juga menunjukkan sebuah kamar di pondok dekat kandang kerbau di mana dia boleh memakai sebagai tempat tinggalnya.

Demikianlah, dengan hati gembira Si Kong menerima pekerjaan baru itu. Kini kekosongan hidupnya telah terisi. Dia mempunyai pekerjaan! Dia merasa beruntung sekali bahwa pada hari kepergian gurunya yang kedua, yaitu Kwa Siucai, dia langsung mendapat pekerjaan sebagai penggembala kerbau.

Tanpa terasa satu bulan sudah lewat sejak Si Kong bekerja di Bukit Bangau. Benar saja seperti yang telah dijanjikan Tong Li Koan, dia menerima upah yang lumayan, setiap hari makan sekenyangnya dan diberi pakaian sehingga setiap hari dia dapat berganti pakaian.

Pekerjaan menggembala kerbau cukup menyenangkan. Kerbau-kerbau itu adalah hewan ternak yang mudah diatur, penurut dan mudah dijaga, tidak liar lari ke sana-sini. Sesudah matahari naik tinggi dia menggiring kerbaunya kembali ke kandang. Kelebihan waktunya dia pergunakan untuk menyabit rumput sebagai penambah makanan hewan itu. Sore hari dan malamnya dia boleh beristirahat di dalam pondok dekat kandang kerbau itu.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa diam-diam Tong Kim Hok menaruh dendam kepadanya. Pemuda ini dimarahi oleh ayahnya karena sudah memukuli Si Kong. Dia tahu bahwa tentu adiknya yang mengadu, akan tetapi kemarahannya dia timpakan kepada Si Kong.

Selain menggembala tiga puluh ekor kerbau, Si Kong juga diberi tugas untuk mengurus dan merawat lima ekor kuda yang menjadi kuda tunggangan keluarga Tong. Setiap hari dia harus memberi makan dan menggosok badan kuda sampai bersih.

Pada suatu siang Si Kong pulang dari menggembala kerbau. Setelah selesai makan dan hendak berangkat menyabit rumput untuk kerbau-kerbaunya dan lima ekor kuda, tiba-tiba saja muncul Kim Lan di depan pondoknya. Si Kong menyambutnya dengan hormat.

“Apakah Nona membutuhkan kuda untuk ditunggangi hari ini?” tanyanya.

Sudah sering kali dia bertemu dengan gadis manis ini karena Kim Lan memang senang sekali menunggang kuda. Ia selalu datang sendiri ke kandang untuk mengambil kudanya.

“Tidak, Si Kong. Aku hanya ingin bertanya mengenai pekerjaanmu di sini. Apakah engkau sudah cocok dan suka tinggal di sini bekerja untuk kami?”

“Cocok dan senang sekali, Nona. Nona dan Tong-loya amat baik kepada saya.”

Gadis itu tersenyum sambil menatap tajam wajah Si Kong yang gagah. Dia mengerutkan alisnya dan bertanya. “Si Kong, engkau berasal dari manakah dan mengapa bisa sampai ke sini, minta pekerjaan kepada ayahku? Di mana orang tua dan keluargamu?”

Si Kong tersenyum sedih, lantas menjawab. “Saya berasal dari jauh, Nona, dari sebuah dusun yang disebut Ki-ceng. Akan tetapi saya telah yatim piatu dan tidak memiliki sanak keluarga, tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini, sebatang kara. Saya seorang kelana dan ketika lewat di sini, saya tertarik dan ingin mencari pekerjaan tetap. Untunglah Nona menolong saya dan menghadapkan kepada Loya sehingga saya mendapatkan pekerjaan di sini. Terima kasih, Nona.”

Tiba-tiba dari arah kandang kerbau muncul Tong Kim Hok. Pemuda itu kelihatan marah sekali dan berkata kepada Si Kong, “Hei, Si Kong! Bagaimana engkau bekerja ini? Kalau engkau lalai seperti ini, lama-kelamaan kerbau-kerbau kami akan mati semua!”

Si Kong terkejut dan memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak heran. “Apa yang Kongcu maksudkan? Saya tidak pernah lalai menjaga kerbau-kerbau itu!”

“Enak saja kau bicara! Seekor di antara mereka mengalami luka parah pada kakinya dan kau bilang kau menjaga dengan baik?”

“Koko, apa artinya ini?” tanya Tong Kim Lan.

“Moi-moi, engkau tak perlu bersikap manis kepadanya! Kau lihat sendiri, ada kerbau yang terluka dan dia pura-pura tidak tahu! Mari lihat sendiri!”

Kim Hok berjalan ke arah kandang, diikuti oleh Kim Lan dan Si Kong yang merasa heran akan tetapi juga khawatir. Setelah tiba di kandang Kim Hok lalu menuding ke arah seekor kerbau yang mendekam di sudut.

“Lihat itu! Kakinya luka berdarah. Dia bahkan tidak kuat berdiri!”

Si Kong terkejut sekali dan cepat memasuki kandang, membantu kerbau yang mendekam itu agar berdiri. Dan nampak olehnya betapa sebuah kaki depan kerbau itu terluka parah!

“Tapi ini... ini aneh sekali! Tadi ketika saya menggiring mereka masuk kandang, tidak ada yang terluka kakinya!”

“Apa yang aneh? Setiap hari engkaulah yang mengurus kerbau-kerbau ini. Kini ada yang terluka kakinya, karena engkau takut dimarahi ayah maka engkau pura-pura bodoh dan tidak tahu! Bagus sekali, ya?”

“Si Kong, apa yang terjadi dengan kerbau ini? Nampaknya seperti terluka oleh bacokan senjata tajam!” kata Kim Lan sambil mendekati Si Kong dan kerbaunya.

“Saya tidak tahu, Nona. Ketika tadi saya menggiring semua kerbau memasuki kandang, belum ada yang terluka. Agaknya ada orang yang sengaja melukai kerbau ini pada waktu saya sedang makan.”

“Apa?! Kau berani menuduh aku melukai kerbau ini? Jangan kurang ajar, Si Kong!’ bentak Kim Hok marah dan dia sudah menghampiri Si Kong dengan sikap hendak menyerang.

Akan tetapi Kim Lan menghadangnya. “Tahan, koko. Si Kong tidak menuduh siapa-siapa, hanya mengatakan bahwa agaknya ada orang melukai kerbau ini pada waktu dia sedang makan, tetapi dia tidak menuduhmu!”

Pada saat itu terdengar suara orang tertawa, tawa seorang wanita terkekeh-kekeh. Kim Hok dan Kim Lan terkejut lalu menengok, demikian pula Si Kong memandang ke kanan, ke arah datangnya suara tawa.

Kiranya di situ telah berdiri seorang wanita yang usianya sekitar empat puluh tahun, akan tetapi dia masih kelihatan cantik dengan pakaiannya yang amat mewah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang, sementara tangan kirinya menggenggam sebatang kebutan berbulu merah.

“Hi-hi-hik-heh-heh! Kalau tidak ada yang membacok dengan pedang, mana mungkin kaki kerbau bisa terluka? Si Huncwe Maut berwatak serakah dan curang, agaknya menurun kepada puteranya! Heh-heh!”

Mendengar ini Kim Hok menjadi merah mukanya dan dia melompat ke depan wanita itu. Huncwe Maut adalah nama julukan ayahnya di dunia kang-ouw, maka jelas bahwa wanita itu tadi maksudkan dia sebagai putera Huncwe Maut.

“Siapakah engkau? Berani sekali berlancang mulut!” bentak Kim Hok marah.

“Hi-hik, orang muda, engkau masih remaja akan tetapi sudah banyak akal dan licik. Coba cabut pedangmu, di situ pasti masih ada bekas darah kaki kerbau itu!”

“Perempuan lancang! Engkau datang melanggar wilayah kami, hayo cepat pergi sebelum aku terpaksa menggunakan kekerasan!”

“He-he-he-hi-hik! Persis seperti ayahnya, berani, angkuh dan cerdik! Akan tetapi engkau tidak tahu siapa yang engkau hadapi, anak muda. Lebih baik lekas panggil ayahmu ke sini untuk bertemu denganku!”

Watak Kim Hok memang angkuh dan dia merasa kuat sendiri. Tentu saja dia memandang rendah terhadap wanita setengah tua itu. Orang perempuan itu berani tidak memandang mata kepada ayahnya!

“Engkau layak dipukul!” katanya dan cepat dia sudah menerjang ke depan dan memukul ke arah muka wanita itu.

Wanita itu hanya mengelak sedikit dan begitu tangannya bergerak, tubuh Kim Hok segera terlempar ke belakang dan terbanting jatuh!

Kim Hok marah sekali. Dia tidak menjadi jera, bahkan kini dia mencabut pedangnya dan menyerang wanita itu dengan tusukan pedangnya ke arah dada. Akan tetapi wanita itu menggerakkan tangan kirinya, bulu kebutannya membelit pedang dan sekali bergerak dia sudah menendang Kim Hok sehingga untuk kedua kalinya tubuh pemuda itu terpental dan pedangnya sudah terampas. Sambil mendengus penuh ejekan wanita itu menggerakkan kebutannya dan pedang itu meluncur lalu menancap di atas tanah dekat kaki Kim Hok!

Seorang pembantu melihat perkelahian itu, dan dia cepat berlari masuk ke gedung untuk memberi tahu kepada majikannya. Sementara itu Kim Hok sudah mencabut pedangnya dari tanah, lalu seperti kerbau gila dia mengamuk dan menyerang wanita itu, lupa bahwa sudah dua kali dia dirobohkan.

Melihat kakaknya dua kali dirobohkan wanita itu, Kim Lan langsung mencabut pedangnya dan hendak membantu. Akan tetapi Si Kong berkata kepadanya, “Nona, wanita itu bukan lawanmu! Dia terlalu lihai bagimu!”

Kim Lan tidak jadi menyerang dan hanya memandang ketika kakaknya itu kembali sudah menyerang secara bertubi-tubi. Tapi dengan mudahnya wanita itu mengelak ke sana-sini sambil mengeluarkan suara tawa mengejek seperti mempermainkan seorang anak.

“Anak nakal, engkau masih belum mau mengaku kalah juga?” Tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan hudtim-nya ke depan dan seketika tubuh Kim Hok menjadi kaku dan tidak mampu bergerak lagi karena jalan darahnya sudah tertotok.

“Hi-hi-hik, kau anak nakal yang bandel!”

Wanita itu menggunakan tangannya untuk mengelus dan mencubit dagu Kim Hok dengan gaya yang genit sekali, kemudian tangannya mendorong dada Kim Hok dan untuk ketiga kalinya Kim Hok terjengkang roboh! Sekali ini dia roboh dekat kaki Si Kong yang segera membungkuk dan menolongnya.

“Kongcu, engkau tidak apa-apa?” katanya sambil diam-diam menotok punggung pemuda itu sehingga tubuh Kim Hok yang tadinya kaku dapat bergerak kembali.

“Huh! Jangan pegang-pegang aku!” Kim Hok membentak sambil meronta, dan dia sudah memegang pedangnya kuat-kuat untuk menyerang lagi.

Akan tetapi sebelum Kim Hok menyerang lagi, terdengar bentakan ayahnya, “Kim Hok, jangan lancang!”

Mendengar bentakan ayahnya, Kim Hok berhenti menyerang dan mundur. Tong Li Koan kini berdiri berhadapan dengan wanita itu. Setelah memandang dengan mata tajam penuh selidik sambil mengisap huncwe-nya, Tong Li Koan melepaskan huncwe dari mulut dan berkata sambil tersenyum.

“Hemmm, kalau tidak salah duga, agaknya aku sedang berhadapan dengan Ang-bi Mo-li (Iblis Perempuan Cantik Merah).” Julukan ini tentu dihubungkan dengan bulu kebutannya yang berwarna merah.

Wanita itu tertawa hingga nampak giginya yang rapi berderet rapi. “Kiranya yang berjuluk Huncwe Maut, selain kaya raya juga berpemandangan tajam! Tong Wan-gwe (Hartawan Tong), aku memang Ang-bi Mo-li! Puteramu ini curang, angkuh namun pemberani. Tidak kecewa menjadi putera Huncwe Maut, hanya sayang ilmu silatnya rendah saja sehingga aku menjadi ragu apakah ilmu kepandaianmu juga sebesar namamu!”

Tong Li Koan maklum bahwa Iblis Betina ini sengaja hendak mencari perkara, maka dia segera mengangkat tangan ke depan dada, memberi hormat lalu berkata, “Anakku masih muda dan lancang, harap engkau suka memaafkannya. Setelah engkau lewat di sini, mari silakan singgah di rumah kami supaya kami lebih leluasa menyambutmu sebagai tamu.” Tong Li Koan sengaja bersikap lunak karena dia tidak ingin bermusuhan dengan wanita yang namanya terkenal di dunia persilatan sebagai tokoh yang lihai sekali.

Mendengar ini, Ang-bi Mo-li tertawa terkekeh-kekeh. “Heh-heh-heh-hi-hik! Tong wan-gwe aku berada di daerah ini bukan sebagai tamu dan juga engkau bukan sebagai tuan rumah di sini. Dahulu, lama sebelum engkau datang, tanah ini sudah menjadi wilayahku dan aku tinggal di sebelah timur bukit. Sekarang aku mendengar bahwa engkau sudah menguasai seluruh bukit. Ini tidak adil! Karena aku berminat untuk tinggal di sini lagi, sebaiknya kita bagi rata saja. Bagian timur bukit menjadi milikku dan engkau menguasai bagian barat ini.”

Tong Li Koan mengerutkan alisnya, mengisap huncwe-nya lantas mengepulkan asapnya dari hidung. Kemudian dia berkata dengan suara lantang. “Usulmu itu tidak mungkin dapat dilaksanakan, Mo-li! Sebelum aku datang seluruh daerah bukit ini masih berupa hutan dan rawa liar. Aku yang membangunnya sehingga sekarang menjadi tanah sawah ladang yang subur dan digarap oleh orang-orangku. Mana bisa aku yang mencangkul dan menanam, tetapi sekarang engkau yang ingin memetik hasilnya begitu saja?”

“Aku yang datang lebih dulu, orang she Tong! Kalau engkau berkukuh hendak menguasai bukit ini seluruhnya, maka engkau harus dapat mengalahkan dan mengusir aku dari sini. Sebaliknya kalau engkau kalah olehku, engkaulah yang harus pergi meninggalkan tempat ini bersama seluruh keluargamu!”

Mendengar ini, Tong Li Koan menjadi marah. Bahkan kedua orang anaknya juga menjadi marah bukan main.

“Ayah, kita hajar saja orang kurang ajar ini!” kata Kim Lan sambil mencabut pedangnya.

“Kim Lan, dan engkau Kim Hok, jangan ikut campur. Dia bukan lawan kalian!” kata Tong Li Koan, lalu dia maju menghampiri Ang-bi Mo-li dan berkata, “Mo-li, kalau kedatanganmu ini hendak menantang aku, aku tidak dapat menolaknya. Jangan dikira bahwa aku takut menghadapimu! Silakan!” Dia segera memasang kuda-kuda dan memegang huncwe-nya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mencabut pedangnya.

Melihat ini, Ang-bi Mo-li tertawa terkekeh-kekeh, lalu tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan tahu-tahu dia telah mencabut pedangnya dari punggung dengan amat cepatnya.

“Orang she Tong! Engkau lebih memilih mati dari pada menyerahkan bagian timur bukit ini?” ejeknya.

“Akan kupertaruhkan nyawaku untuk bukit ini!” jawab Tong Li Koan dengan tegas.

“Bagus, lihat seranganku!”

Tanpa sungkan lagi Ang-bi Mo-li sudah mulai menyerang. Pedangnya berkelebat disusul berkelebatnya hudtim (kebutan) pada tangan kirinya. Entah mana yang lebih berbahaya, pedangnya atau kebutannya karena keduanya menyambar dengan dahsyat dan mengirim serangan maut.

“Trangg-traanggg...!”

Si Huncwe Maut menangkis dengan pedang dan huncwe-nya, kemudian balas menyerang dengan hebatnya pula. Ang-bi Mo-li juga dapat menghindarkan diri dari serangan Huncwe Maut. Terjadilah perkelahian yang amat menegangkan antara kedua orang yang namanya sudah terkenal di dunia persilatan itu.

Bila kebutan itu berbahaya sekali karena bisa menjadi kaku untuk menusuk atau menotok kemudian menjadi lemas untuk melilit senjata lawan, huncwe itu tak kalah berbahayanya. Dengan gerakan tertentu Tong Li Koan dapat membuat huncwe itu memercikkan api ke arah wajah lawan, lalu menotok jalan darah dengan ujungnya.

Berkali-kali kedua pedang itu bertemu dan berpijarlah bunga-bunga api yang menyilaukan mata. Kim Hok dan Kim Lan yang menonton pertandingan itu merasa tegang bukan main. Mereka tidak tahu apakah ayah mereka akan menang atau kalah dalam pertandingan itu, namun untuk membantu mereka tidak berani. Ilmu kepandaian mereka masih jauh untuk dapat membantu.

Akan tetapi Si Kong yang juga menonton pertandingan itu mengerutkan alisnya. Dengan tingkat kepandaiannya dia dapat mengikuti pertandingan itu dengan baik dan dia melihat betapa tingkat kepandaian wanita itu masih lebih tinggi dari pada kepandaian majikannya. Majikannya akan kalah, hal ini sudah dapat diduganya melihat jalannya pertandingan.

Dugaan Si Kong memang benar. Walau pun dalam hal tenaga dalam kedua orang yang bertanding itu memiliki kekuatan seimbang, namun dalam hal kecepatan gerakan, Tong Li Koan atau si Huncwe Maut masih kalah sehingga kini perlahan-lahan wanita itu mampu mendesaknya dengan sambaran kebutan dan pedangnya.

Setelah Tong Li Koan terdesak dan mundur terus, kedua orang anaknya baru mengetahui bahwa ayah mereka terdesak dan hampir kalah. Rasa takut terhadap wanita itu langsung hilang karena melihat ayah mereka terancam bahaya maut, kemudian dua orang anak itu meloncat ke depan dan menggunakan pedang mereka untuk menyerang Ang-bi Mo-li!

Akan tetapi kebutan Ang-bi Mo-li langsung menyambar. Kim Hok dan Kim Lan terlempar ke belakang dan bergulingan. Pada saat itu pula pedang Tong Li Koan menusuk ke arah dada Ang-bi Mo-li. Dengan cepatnya wanita itu mengelak, kebutannya menyambar dan membelit pergelangan tangan Tong Li Koan yang memegang pedang.

Ketika Tong Li Koan mengayunkan huncwe-nya, dia kalah dulu karena pedang wanita itu sudah mengenai ujung pundaknya. Dia berteriak dan meloncat ke belakang, pedangnya terampas dan pundaknya berdarah. Kim Hok dan Kim Lan melompat dekat ayah mereka.

“Ayah, engkau tidak apa-apa?” tanya Kim Hok.

“Ayah, pundakmu berdarah,” kata Kim Lan.

Tong Li Koan menghela napas panjang. “Aku telah kalah...,” katanya dengan nada sedih.

“Heh-heh-heh-hi-hik, engkau cukup jantan untuk mengaku kalah. Aku memberi waktu dua hari kepada kalian semua untuk meninggalkan bukit ini!” kata Ang-bi Mo-li.

“Nanti dulu...!” terdengar bentakan dan semua orang menengok memandang kepada Si Kong yang datang menghampiri karena pemuda inilah yang membentak tadi.

“Ang-bi Mo-li, enak saja kau bicara! Majikanku telah mengalah, hal itu sudah sepatutnya karena engkau seorang wanita. Akan tetapi engkau tidak tahu diri, hendak merampas hak milik orang lain begitu saja. Masih ada aku di sini yang mempertahankannya dan kuharap engkaulah yang segera pergi dan jangan mengganggu majikanku!”

“Si Kong...!” Kim Lan cepat-cepat berlari mendekati. “Apa kau sudah gila? Dia... dia akan membunuhmu!”

Si Kong tersenyum. Hatinya senang bukan main karena anak perempuan majikannya ini mengkhawatirkan dirinya. Selama ini Kim Lan bersikap ramah dan baik sekali kepadanya.

“Terima kasih, Nona. Sebaiknya Nona kembali kepada loya, biar aku hadapi iblis betina ini!”

Kim Lan berlari kembali kepada ayahnya. “Ayah...!” Dia hendak minta ayahnya mencegah wanita itu membunuh Si Kong yang sudah berani mati membela keluarganya. Akan tetapi ayahnya menggeleng kepala dan memandang kepada Si Kong dengan sinar mata heran dan kagum.

Dengan langkah lebar dan tenang kini Si Kong menghampiri Ang-bi Mo-li. Sejenak iblis betina ini merasa tertegun dan heran melihat seorang pemuda remaja berani berkata dan bersikap seperti itu kepadanya. Terlebih lagi pemuda remaja itu menyebut Tong Li Koan sebagai majikannya. Pemuda ini tentu hanya seorang pembantu!

“Kau... kau siapa?” tanyanya, alisnya berkerut dan pedangnya menuding ke arah muka Si Kong.

“Namaku Si Kong dan aku menjadi penggembala kerbau di sini.”

Ang-bi Mo-li telah menguasai keheranannya, maka sekarang dia tertawa terkekeh-kekeh. “Penggembala kerbau? Hah-hah-heh-heh-heh-heh, Tong Li Koan, tidak malukah engkau dibela oleh penggembala kerbaumu? Suruh dia mundur. Kalau dia berani menentangku berarti dia akan mati di tanganku!”

Tong Li Koan menghela napas panjang. Tentu saja dia merasa malu kalau penggembala itu sampai mengorbankan nyawa untuknya.

“Si Kong, mundurlah. Aku tidak ingin melihat engkau mati untukku.”

“Loya, harap jangan khawatir. Aku takkan mati oleh wanita ini. Ang-bi Mo-li, kalau engkau tidak berani melawan aku, bilang saja terus terang, tidak perlu bicara dengan majikanku!”

“Bocah setan! Engkau tadi telah dikhianati oleh kongcu-mu dan sekarang engkau bahkan hendak membela ayahnya? Kongcu-mu yang melukai kerbaumu, aku melihatnya sendiri.”

“Cukup! Urusan kami tidak ada sangkut pautnya denganmu, Ang-bi Mo-li!”

Kini Ang-bi Mo-li benar-benar marah. Tentu saja dia tidak takut kepada Si Kong, hanya dia merasa malu kalau harus bertanding melawan seorang pemuda remaja penggembala kerbau!

“Bocah gila! Majulah bila engkau sudah bosan hidup. Akan tetapi sekali kau maju, engkau pasti akan mampus!”

“Dan aku tidak akan membunuhmu, Ang-bi Mo-li! Aku tidak akan sekejam itu.”

Ang-bi Mo-li menyarungkan kembali pedangnya di punggung dan memegang kebutannya dengan tangan kanan. Tanpa pedang, bahkan tanpa kebutan sekali pun dia akan mampu membunuh pemuda remaja itu.

“Ang-bi Mo-li, kalau engkau menurunkan tangan keji membunuh seorang pemuda remaja, engkau akan menjadi bahan ejekan orang-orang sedunia kang-ouw!” kata Tong Li Koan di dalam usahanya untuk menghindarkan Si Kong dari kematian.

“Heh-heh-heh, aku tidak sebodoh itu, Tong Li Koan. Aku tidak akan membunuhnya, hanya akan membuat kedua kakinya lumpuh selama hidupnya, heh-heh!”

Sementara itu, melihat betapa lihainya wanita itu mempergunakan kebutannya sebagai senjata, Si Kong tidak berani main-main. Dia segera menyambar sebuah tongkat bambu yang biasa dia pergunakan untuk memikul keranjang rumput.

“Ang-bi Mo-li, aku sudah siap, tidak perlu terlalu banyak bicara lagi!” kata Si Kong sambil menghadapi wanita itu dengan tongkat di tangan.

“Heh-heh-heh, kau sudah siap untuk menjadi lumpuh seumur hidupmu? Nah, sambutlah serangan ini!” Ang-bi Mo-li sudah menggerakkan kebutannya dengan cepat sekali.

“Wuuuttttt...!”

Ang-bi Mo-li terkejut melihat betapa pemuda itu dengan mudah dan lincahnya mengelak dengan loncatan ke kiri, kemudian tiba-tiba saja tongkat di tangannya sudah terayun dan mengancam pinggul kirinya. Tentu saja wanita ini tidak mau kalau pinggul kirinya digebuk tongkat. Ia mengayun kebutannya untuk menangkis dengan membuat kebutan itu menjadi kaku. Dia bermaksud hendak membenturkan tongkat itu supaya terlepas dari pegangan si penggembala kerbau.

“Takkk...!”

Kembali Ang-bi Mo-li terkejut bukan main. Tangannya tergetar hebat ketika kebutannya menangkis tongkat, karena tongkat itu ternyata mengandung tenaga yang amat kuat! Dia hampir terpekik kaget karena begitu tertangkis tongkat itu sudah membalik dan sekarang menghantam ke arah pundaknya! Dia menggunakan kelincahannya untuk mengelak, akan tetapi pundaknya nyaris terkena hantaman tongkat.

Dari rasa kaget, wanita itu menjadi marah bukan main. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa pemuda tanggung itu dapat memiliki tenaga demikian kuat dan kecepatan gerakan tongkat yang luar biasa.

“Bocah setan, mampuslah!” Dia berseru dengan marah lantas menggerakkan kebutannya untuk menyerang lebih cepat dan kuat lagi.

Sekarang dia tak peduli lagi apakah serangannya akan membunuh lawan ini. Kebutan itu menegang dan menusuk ke arah leher Si Kong. Namun kembali Si Kong menggerakkan tongkatnya yang ujungnya menggetar untuk menangkis.

“Plakk!”

Ketika kebutan bertemu tongkat, Ang-bi Mo-li mengubah tenaganya sehingga kebutan itu menjadi lemas dan membelit tongkat itu. Dia ingin merampas tongkat itu dahulu sebelum menghajar pemiliknya.

Akan tetapi untuk yang kesekian kalinya dia terkejut. Kebutannya sama sekali tak mampu merampas tongkat. Biar pun dia menarik dengan tenaga dalam yang kuat namun tongkat itu tidak bergeming, bahkan kini tongkat itu membalik dan ujungnya yang lain menyodok perutnya!

“Ihhhhh...!” Ang-bi Mo-li berseru dan melepaskan libatan kebutannya sambil meloncat ke belakang.

Si Kong kini mendesak maju dan mainkan ilmu silat tongkat Ta-kaw Sin-tung. Tongkatnya seakan berubah menjadi banyak dan setiap ujung tongkat dengan gencar menghujankan gebukan kepada lawannya, Ang-bi Mo-li terkejut bukan main melihat gerakan tongkat itu, gerakan ilmu tongkat yang mengingatkan dia akan seorang tokoh besar dunia persilatan. Kembali dia memutar kebutannya untuk melindungi dirinya sambil meloncat ke belakang.

“Tahan dulu!” serunya setelah dia mendapatkan kesempatan.

Mendengar seruan itu, Si Kong menahan tongkatnya, memegang tongkat itu melintang di depan dadanya.

“Apa hubunganmu dengan Yok-sian Lo-kai?” tanya Ang-bi Mo-li.

“Beliau adalah guruku!” kata Si Kong. Dia kembali mulai menyerang sambil berseru, “Lihat seranganku!”

Ang-bi Mo-li cepat mencabut pedangnya karena dia merasa kewalahan sekali kalau hanya menggunakan kebutan. Sementara itu Tong Li Koan, Kim Hok dan Kim Lan memandang dengan bengong. Sedikit pun tidak pernah mereka sangka bahwa Si Kong selihai itu!

Terutama sekali Kim Hok. Wajahnya menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang kepada Si Kong, seolah-oelah tidak percaya kepada penglihatannya sendiri. Si Kong yang pernah dihajarnya! Tanpa dapat melawannya! Kini sanggup menandingi Ang-bi Mo-li yang demikian lihainya! Sedangkan Kim Lan ternganga, terkagum-kagum.

Ang-bi Mo-li kini menyerang dengan pedang dan kebutannya. Serangannya cepat dan dahsyat sekali. Wanita itu kini tidak berani memandang rendah setelah mendengar bahwa pemuda remaja ini adalah murid Yok-sian Lo-kai. Dengan sepasang senjatanya yang lihai dia merasa sanggup menghadapi ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung.

Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut sekali. Ia telah kehilangan lawannya yang tahu-tahu telah berada di belakangnya. Demikian cepatnya gerakan Si Kong sehingga dia sendiri menjadi bingung. Pemuda itu seolah dapat menghilang.

Ternyata pemuda itu sudah menggabungkan ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung dengan ilmu meringankan tubuh Liok-te Hui-teng sehingga dia seperti pandai menghilang dan gerakan tongkatnya semakin cepat sehingga tongkat itu seolah mempunyai berpuluh-puluh ujung yang menyerang dari segala penjuru.

“Takk...! Tranggg...!”

Kebutan dan pedang itu terpental pada saat bertemu dengan tongkat. Kecepatan gerakan pemuda itu membuat Ang-bi Mo-li teringat kepada Penyair Gila yang terkenal mempunyai ginkang yang sukar ditandingi. Ketika melompat mundur dia mempergunakan kesempatan itu untuk bertanya.

“Apa hubunganmu dengan Kwa Siucai?”

“Beliau adalah guruku juga!” jawab Si Kong pula dengan terus terang tanpa menghentikan desakannya.

Ang-bi Mo-li kaget bukan main mendengar pengakuan itu. Pantas pemuda ini lihai bukan main, ternyata murid Yok-sian Lo-kai dan Kwa Siucai! Dengan repot dia menggerakkan kebutan serta pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan ujung tongkat yang gerakannya amat cepat dan sukar diikuti pandangan mata itu.

Tetapi betapa pun cepat dia memutar kedua senjatanya untuk melindungi tubuhnya, tetap saja ujung tongkat itu menotok pundaknya, membuat lengannya seperti lumpuh dan dia pun terhuyung ke belakang, memegang pundak kanannya dengan tangan kiri yang masih memegang kebutan. Wajahnya berubah pucat, lalu kemerahan.

Dia merasa malu bukan main karena jelas dia sudah kalah. Dia harus mengakui ini dan menerimanya, karena jika dilanjutkan mungkin dia akan menderita luka yang lebih hebat. Pemuda itu terlalu cepat baginya, ilmu tongkatnya terlalu aneh dan sulit ditandingi.

“Si Kong, kali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi lain kali aku akan menebus kekalahan ini!” katanya untuk menutupi rasa malu. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi tubuhnya telah melompat jauh dan dia pun melarikan diri secepatnya dari tempat yang membuatnya malu itu.

Sejenak suasana menjadi sunyi karena keluarga Tong masih tertegun saking heran dan kagumnya. Kemudian meledaklah kegembiraan Kim Lan yang cepat berlari menghampiri Si Kong.

“Si Kong, engkau hebat sekali!” kata gadis itu dengan penuh kekaguman.

Juga Tong Li Koan menghampiri pemuda itu dengan wajah gembira dan kagum. Pemuda yang menjadi penggembala kerbaunya ini sudah menyelamatkannya! Apa bila tidak ada Si Kong maka dia beserta seluruh keluarganya terpaksa harus meninggalkan tempat itu dan menyerahkan bukit itu kepada Ang-bi Mo-li!

“Si Kong, kenapa engkau tak pernah memberi tahukan kepadaku bahwa engkau memiliki kepandaian yang tinggi?” kata Tong Li Koan dengan nada menegur.

Kalau Tong Li Koan dan Tong Kim Lan menghampiri Si Kong dengan wajah berseri-seri gembira dan penuh kekaguman, Tong Kim Hok masih berdiri di tempatnya semula tanpa menggerakkan kakinya dan mukanya menjadi pucat. Dia merasa malu bukan main!

Si Kong sudah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan Bukit Bangau. Tong Kim Hok sudah jelas tidak suka kepadanya. Untuk apa dia bekerja terus di sana kalau putera majikannya tidak suka kepadanya?

“Maaf, Loya. Saya pamit karena hendak pergi dari sini.”

Tong Li Koan terbelalak. “Pergi dari sini? Hendak ke mana dan mengapa pergi?”

Si Kong tersenyum. “Saya hendak melanjutkan pergi berkelana. Sudah terlalu lama saya tinggal di sini. Terima kasih kepada Loya dan Siocia, selama ini telah bersikap baik sekali kepadaku.”

“Si Kong, engkau jangan pergi dan jangan menyebutku nona. Panggil saja namaku. Aku ingin bersahabat denganmu, juga ingin belajar silat darimu.” Kata Kim Lan.

“Benar, Si Kong. Mulai sekarang engkau tidak usah menggembala kerbau lagi, bantu saja mengawasi para pekerja di ladang,” kata Tong Li Koan. “Engkau tidak usah pergi dari sini.”

“Maaf, Loya dan Siocia. Saya harus pergi berkelana untuk meluaskan pengalamanku.”

Ketika itu pula Kim Hok berlari menghampirinya. Dengan muka kemerahan dia berkata. “Ayah, akulah yang bersalah mengganggunya. Si Kong, kau maafkanlah aku dan jangan pergi dari sini.”

Si Kong tersenyum, kemudian menepuk-nepuk pundak pemuda yang lebih tua darinya itu. “Sudahlah, Kongcu. Kesalahan apa pun yang dilakukan seseorang, kalau dia sudah insyaf dan menyesali kesalahannya, hal itu baik sekali. Saya senang melihat Kongcu menyadari kesalahannya.”

Walau pun tiga orang itu membujuknya agar jangan pergi, tetap saja Si Kong mengambil buntalan pakaiannya, lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada dan berkata, “Loya, harap jangan khawatir. Ang-bi Mo-li tentu tidak berani datang kembali. Kini kemarahannya tertumpah kepadaku, bila dia hendak membalas tentu mencari saya bukan mencari Loya. Selamat tinggal Loya, Siocia dan Kongcu.”

Tiga orang itu tidak sempat menahan lagi karena setelah berkata demikian, dengan sekali berkelebat Si Kong yang menggunakan ginkang-nya itu telah lenyap dari depan mereka.

Tong Li Koan menarik napas panjang. “Anak itu benar-benar luar biasa. Semuda itu telah memiliki ilmu kepandaian yang begitu hebat, bahkan menjadi murid Yok-sian Lo-kai dan Kwa Siucai! Dan dia tidak malu untuk bekerja menjadi penggembala kerbau! Luar biasa! Kim Hok, engkau patut mencontoh dia, sudah pandai masih rendah hati sedemikian rupa.”

“Ini semua kesalahan koko!” Kim Lan merengek. “Karena perbuatan koko maka Si Kong menjadi tersinggung kemudian meninggalkan kita! Koko telah menuduhnya menggembala kerbau secara tidak benar sehingga kaki seekor kerbaunya terluka, padahal, menurut Moli tadi, yang melukai kaki kerbau itu adalah koko sendiri!”

Tong Li Koan mengerutkan alisnya dan memandang tajam penuh selidik pada puteranya. “Benarkah itu, Kim Hok?”

“Ampun, Ayah. Saya memang bersalah, dan tadi pun saya sudah minta maaf kepada Si Kong,” kata Kim Hok.

“Akan tetapi kenapa engkau melakukan fitnah begitu kepada Si Kong?”

“Tadinya hati saya masih merasa jengkel kepadanya, Ayah, karena dia pernah melawan para penjaga.”

“Jangan ulangi lagi perbuatan macam itu, Kim Hok. Engkau sama sekali tidak boleh tinggi hati dan angkuh dan sama sekali tidak boleh memandang rendah kepada orang lain. Ahh, kalau saja sikapmu seperti Si Kong, alangkah akan bahagianya hatiku.”

“Ampun, Ayah. Sekarang saya telah sadar dan saya akan mencontoh Si Kong, saya akan belajar dengan tekun dan tidak akan memandang rendah orang lain.”

“Begitu baru kakakku!” kata Kim Lan girang.

Tong Li Koan mengajak dua orang anaknya masuk ke dalam, diam-diam berterima kasih sekali kepada Si Kong karena berkat anak pengelana itu keluarganya dapat terbebas dari ancaman Ang-bi Mo-li. Dan lebih dari itu, kini puteranya sudah menyadari kesalahannya dan akan berusaha mencontoh sikap Si Kong yang rendah hati.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Dalam perantauannya, pada suatu pagi yang cerah Si Kong mendaki sebuah bukit yang oleh penduduk di bukit-bukit lain disebut Bukit Iblis. Bukit ini diselimuti hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar. Justru mendengar sebutan Bukit Iblis inilah yang membuat hati Si Kong tertarik sehingga pagi itu dia mendaki Bukit Iblis, sebuah di antara bukit-bukit di pegunungan Thian-san yang amat luas dan penuh perbukitan itu.

"Kenapa disebut Bukit Iblis?" tanya Si Kong kepada pemilik rumah di dusun pegunungan di mana dia numpang menginap.

"Entahlah, akan tetapi tidak ada seorang pun berani naik ke bukit yang kabarnya dihuni oleh iblis-iblis yang mengerikan. Semua orang yang berani mendaki bukit itu tidak pernah kembali lagi ke bawah dan lenyap begitu saja."

Si Kong sudah mendapat cukup banyak pendidikan dari Yok-sian Lo-kai dan Kwa Siucai. Dia seorang pemberani dan tidak percaya akan takhyul, maka mendengar keterangan itu timbullah keinginan hatinya untuk menyelidik keadaan Bukit Iblis itu.

Sesudah tiba di lereng teratas, Si Kong tersenyum sendiri. Penduduk dusun yang takhyul itu, pikirnya. Di situ tidak ada apa-apa kecuali pemandangan yang indah sekali di pagi hari yang cerah itu! Jangankan iblis, bahkan bayangannya sekali pun tidak nampak.

Akan tetapi tiba-tiba Si Kong menahan langkahnya. Dia mendengar bunyi langkah orang di belakangnya! Dia cepat menengok tetapi tidak melihat siapa pun. Dia melangkah maju lagi dan kembali terdengar langkah dua orang, langkah yang terdengar lembut sekali. Apa bila dia tidak mengerahkan kekuatan pendengarannya dan menahan napas maka dia tak akan dapat mendengar langkah itu. Tepat di belakangnya!

Cepat sekali dia menoleh ke belakang tetapi kembali dia kecelik. Tidak nampak seorang pun di belakangnya! Dia mulai bergidik ngeri. Benarkah ada iblis di tempat ini? Siang hari ada iblis yang berkeliaran? Ataukah manusia-manusia yang mengeluarkan bunyi langkah itu? Jika manusia tentu ilmunya meringankan tubuh sudah mencapai tingkat tinggi sekali.

Dia mendaki terus ke puncak. Ternyata puncak bukit itu berbentuk datar dan merupakan padang rumput yang cukup luas. Ketika tiba di atas dia melihat belasan orang lelaki yang bertubuh kekar sedang berkumpul, duduk mengelilingi batu besar di mana duduk seorang lelaki tinggi besar seperti raksasa yang berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dari sikap dan lagaknya mudah diketahui bahwa lelaki raksasa itu tentu menjadi pemimpin belasan orang itu. Dia menyelinap di balik semak-semak dan mengintai. Kiranya mereka itu orang-orang biasa yang bertubuh kekar kuat dan bersikap kasar. Tetapi bukan iblis-iblis!

Raksasa yang duduk di atas batu besar itu mengembangkan dua lengannya dan berkata dengan suara lantang.

"Saudara-saudaraku, bagaimana pendapat kalian mengenai bukit ini kalau menjadi sarang kita yang baru? Ha-ha-ha, tempat ini sunyi tak pernah didatangi orang. Mereka ketakutan karena nama bukit ini Bukit Iblis. Ha-ha-ha, sekarang benar-benar menjadi Bukit Iblis dan iblisnya adalah kita."

Belasan orang segera turut tertawa sehingga suara tawa mereka riuh rendah memenuhi permukaan bukit itu. Jika ada orang yang mendengarnya, tentu akan menyangka bahwa iblislah yang tertawa itu.

"Tempat ini baik sekali, Twako! Kami merasa cocok untuk tinggal di sini. Di dalam hutan-hutan bawah itu terdapat banyak kayu besar dan bambu, mudah bagi kita untuk membuat bangunan-bangunan yang menjadi tempat tinggal kita."

Pada saat itu terdengar suara orang terkekeh-kekeh saling sahutan. Dari suara tawa yang berbeda-beda itu dapat diketahui bahwa yang tertawa itu lebih dari satu orang. Kemudian nampaklah tiga sosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di situ sudah berdiri tiga orang yang menyeramkan.

Yang seorang tinggi kurus laksana tiang bambu, kepalanya juga panjang kecil sehingga nampak aneh sekali. Orang kedua pendek gendut dan segalanya yang ada pada orang ini bundar belaka, jauh sekali bedanya dengan orang pertama yang serba ramping panjang. Orang ketiga bertubuh katai seperti kanak-kanak, tetapi mukanya menunjukkan bahwa dia sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya dan lebih muda sedikit saja dari dua orang terdahulu. Tiga orang ini muncul sambil tertawa-tawa.

"Ha-ha-he-heh-heh!" Orang pertama yang tubuhnya tinggi kurus berkata sambil tertawa-tawa. "Segerombolan setan kecil berani mengganggu daerah kami, sungguh sudah bosan hidup!"

"Jangan, Sam-kwi (Setan ke Tiga), jangan bunuh. Kita memerlukan mereka untuk menjadi pelayan-pelayan kita. Kita bikin tempat ini menjadi istana dengan belasan orang pelayan, heh-heh!"

"Benar apa yang dikatakan Thai-kwi (Setan Tertua) tadi, Sam-kwi. Aku pun sudah bosan setiap hari harus mencari makanan sendiri!"

Mendengar ucapan tiga orang itu, laki-laki raksasa yang memimpin lima belas orang anak buahnya itu terbelalak.

"Apakah kalian yang berjuluk Liok-te Sam-kwi (Tiga Iblis Bumi)?"

Kakek yang gendut bundar tertawa.

"Ha-ha-ha-ha, kiranya setan cilik ini cerdik juga, sudah dapat menduga siapa adanya kita. Setan-setan cilik, sesudah kalian mengetahui siapa kami, hayo lekas berlutut dan berjanji untuk menjadi pelayan-pelayan kami yang patuh!"

Raksasa yang berdiri di atas batu besar lantas bangkit berdiri, tubuhnya yang tinggi besar penuh otot mengembang itu amat menyeramkan dan dia berkata dengan lantang.

"Liok-te Sam-kwi, orang lain boleh merasa takut kepada kalian bertiga. Akan tetapi kami tidak takut kepada kalian. Kalau kalian tidak cepat pergi dari sini, kami enam belas orang pasti akan menyingkirkan kalian dengan paksa."

Thai-kwi yang bertubuh pendek gendut itu tertawa mendengar ucapan ini.

"Ji-kwi dan Sam-kwi, kalian mendengar bualan itu? Mari kita hajar mereka agar mengenal siapa kita, akan tetapi jangan dibunuh, kita membutuhkan tenaga mereka untuk melayani kita!"

Kepala gerombolan itu meloncat turun dari atas batu besar, lalu mencabut sebatang golok besar dari punggungnya dan memberi aba-aba kepada para anak buahnya,

"Serbu...! Bunuh mereka...!"

Lima belas orang anak buahnya juga sudah mencabut golok masing-masing dan dengan ganas mereka menyerang tiga orang aneh itu. Si Kong dalam persembunyiannya melihat betapa tiga orang itu kelihatan tenang saja, akan tetapi sesudah serangan keroyokan itu dilakukan, mereka segera bergerak mengelak kemudian membalas dengan tamparan dan tendangan mereka.

Memang gerakan mereka hebat sekali. Mereka tidak memegang senjata, namun gerakan mereka demikian cepat sehingga sukar diikuti dengan mata, tahu-tahu para pengeroyok itu berpelantingan terkena sambaran tangan atau kaki mereka. Golok-golok beterbangan terlepas dari tangan mereka dan dalam waktu sebentar saja enam belas orang itu sudah roboh semua!

Diam-diam Si Kong memandang dengan kagum. Di antara ketiga orang itu dia melihat si pendek gendut yang paling lihai. Akan tetapi yang diherankan dari ketiga orang ini, walau pun mempunyai ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, ternyata masih belum mampu melangkah seperti yang didengarnya ketika mendaki bukit ini tadi. Langkah-langkah orang di belakangnya akan tetapi begitu dia menengok, tidak nampak orangnya!

Agaknya ginkang ketiga orang ini belum setinggi yang dia dengar langkahnya tadi. Betapa pun juga harus diakui bahwa tiga orang itu lihai sekali. Dikeroyok enam belas orang yang rata-rata memiliki tenaga besar, begitu mudahnya bagi ketiga orang itu untuk merobohkan mereka semua.

Raksasa itu agaknya terkena tendangan yang paling parah karena dia tidak dapat segera bangun, hanya mengaduh-aduh sambil memegang dadanya yang tertendang oleh kaki si pendek gendut.

"Ha-ha-ha-ha!" Tiga orang itu kini tertawa-tawa. "Apakah kalian sudah mengenal kami?" Si pendek gendut yang menjadi orang pertama dari Tiga Iblis itu menghampiri pimpinan belasan orang itu.

Raksasa itu maklum bahwa dia dan kawan-kawannya tidak akan menang melawan tiga Datuk Iblis itu, maka dia pun terpaksa mengakui kekalahannya dari pada dibunuh.

"Kami telah kalah dan meyerah atas pimpinan sam-wi."

"Bagus! Mulai sekarang kalian enam belas orang menjadi anak buah kami, siapa berani membangkang akan kami bunuh!" kata pula si pendek gendut dengan girang.

Si Kong menyaksikan semua ini dan dia tidak ingin mencampuri. Itu adalah urusan orang-orang kang-ouw sesat yang saling berebut kekuasaan di Bukit Iblis itu. Tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya dan dia tidak ingin mencampuri. Biarlah kalau tiga orang iblis ini menguasai bukit ini dan mengambil belasan orang itu sebagai anak buah mereka.

Akan tetapi, selagi dia hendak pergi menyingkir dari tempat itu agar jangan terlibat, tiba-tiba terdengar lengkingan panjang yang membuat dia terkejut dan terpaksa Si Kong tidak jadi pergi, tetap mendekam di balik semak-semak untuk melihat apa yang akan terjadi.

Suara melengking tinggi itu bukan saja nyaring sekali, namun juga mengandung getaran yang membuat semua pendengarnya merasa jantung mereka terguncang hebat. Begitu mendengar lengkingan ini, belasan orang yang tadi kena hajar dan kini belum pulih benar, menjadi panik dan mereka roboh kembali karena tidak dapat menahan guncangan jantung mereka.

Ada pun tiga orang Datuk Iblis itu juga nampak terkejut, lalu mereka memejamkan mata dan mengerahkan sinkang untuk melindungi jantung mereka dan menolak pengaruh yang hebat dari lengkingan panjang itu. Si Kong sendiri menahan napas sambil mengerahkan sinkang untuk melindungi jantungnya.

Belum habis suara melengking itu, segera disusul suara gerengan yang juga amat hebat. Gerengan ini seperti gerengan harimau yang mengguncangkan jantung. Dua suara yang getarannya sama kuat ini seperti saling bersahutan, dan akhirnya dua suara ini berhenti. Dan entah dari mana datangnya, di atas batu besar yang tadi diduduki raksasa pemimpin gerombolan itu telah berdiri dua orang kakek.

Yang seorang berusia sedikitnya enam puluh tahun dan kepalanya besar sekali, sungguh menyolok karena berbeda dengan tubuhnya yang amat kecil. Kedua telinganya juga lebar sekali, tidak seperti telinga manusia biasa dan kepalanya botak. Dia memakai baju serba putih, tangan kanannya memegang sebuah tongkat kayu berbentuk ular yang panjangnya sampai ke pundaknya.

Orang kedua juga amat aneh. Kepalanya penuh rambut tebal yang panjangnya sampai ke punggung, mukanya juga penuh rambut seperti muka monyet, kedua lengannya panjang sekali hingga melebihi lututnya ketika tergantung di samping tubuhnya. Tangan kanannya memegang sebatang pecut seperti yang biasa dipegang oleh para penggembala ternak. Pakaiannya serba hitam.

Si Kong terkejut sekali melihat mereka. Dia sendiri tidak tahu kapan mereka itu datang, tahu-tahu telah berada di atas batu itu. Sekarang tahulah dia siapa yang tadi terdengar langkahnya akan tetapi tak nampak orangnya. Tentu kedua orang kakek aneh ini. Mereka memiliki ginkang yang sukar diukur tingginya. Dia sendiri yang sudah mahir ilmu Liok-te Hui-teng yang membuat dia dapat bergerak seperti terbang cepatnya, sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan dua orang kakek ini.

Liok-te Sam-kwi (Tiga Setan Bumi) juga terkejut melihat munculnya dua orang aneh ini. Mereka bertiga adalah tokoh-tokoh dunia sesat yang terkenal, akan tetapi mereka belum pernah bertemu dengan dua orang ini. Dan melihat kemunculan mereka, ketiga orang itu teringat akan dua nama yang amat ditakuti para tokoh persilatan. Dua nama yang hanya dikenal namanya akan tetapi jarang ada orang yang dapat bertemu dengan dua orang ini.

Thai-kwi, orang pertama dari Liok-te Sam-kwi yang pendek gendut, cepat-cepat memberi hormat dari tempat di mana dia berdiri. Dia mengangkat kedua tangannya ke depan dada sebagai penghormatan, lalu dengan suaranya yang besar dia pun berkata,

"Kalau kami tidak salah duga, tentu ji-wi yang dijuluki Ji Ok (Dua Yang Jahat). Apa bila memang demikian, kami bertiga Liok-te Sam-kwi menghaturkan hormat kami kepada ji-wi locianpwe!"

Dengan menyebut ji-wi locianpwe, Thai-kwi sudah merendahkan diri dan ini menandakan bahwa dia merasa jeri menghadapi kedua orang aneh itu. Melihat sikap Thai-kwi yang merendahkan diri, kakek yang kepalanya besar tertawa, suara tawanya menggelegar dan membuat seluruh puncak bukit itu tergetar.

"Hoa-ha-ha-ha-ha, bagaimana pendapatmu, Ji Ok (Jahat Ke Dua)? Kita berdua berjuluk Thai-mo-ong (Raja Iblis Tertua) dan Ji-mo-ong (Raja Iblis ke Dua) dan sekarang muncul mereka yang mengaku Liok-te Sam-kwi dan hendak menguasai Bukit Iblis ini? Apa yang harus kita lakukan terhadap Siauw-kwi (Iblis Cilik) ini?"

"Toa-ok, kenapa pusing-pusing memikirkan hal itu? Bunuh saja mereka agar tidak menjadi saingan dan penghalang bagi kita!" kata kakek seperti monyet yang mengenakan pakaian serba hitam itu.

"Ha-ha-ha-ha! Engkau benar sekali, Ji Ok. Nah, kalian bertiga sudah mendengar sendiri. Liok-te Sam-kwi, kami tidak ingin mengotorkan tangan untuk membunuh kalian. Sekarang cepat kalian bertiga membunuh diri di depan kami!"

Liok-te Sam-kwi terkejut bukan kepalang. Ini sungguh keterlaluan sekali. Mereka diminta membunuh diri supaya tidak menjadi saingan dan tidak menghalangi mereka berdua. Ini namanya terlalu memandang rendah kepada mereka!

Orang ketiga dari Liok-te Sam-kwi yang bertubuh katai seperti anak-anak ternyata adalah seorang cerdik. Dia hendak mempergunakan tenaga enam belas orang gerombolan yang baru saja menyerah kepada mereka. Dia meloncat ke depan pimpinan gerombolan itu dan berkata,

"Kami perintahkan kalian semua untuk mengeroyok dua orang kakek itu!"

Enam belas orang itu tidak berani membangkang. Mereka sudah mencabut golok mereka dan mengepung dua orang kakek itu, ada pun Liok-te Sam-kwi sendiri sudah bersiap-siap pula.

Dengan penuh perhatian Si Kong menonton dari tempat persembunyiannya. Jantungnya berdebar tegang karena dia tahu bahwa sekarang akan terjadi pertandingan yang hebat. Tiga orang Liok-te Sam-kwi itu mempunyai ilmu kepandaian yang hebat, akan tetapi dua orang kakek Toa Ok dan Ji Ok ini agaknya memiliki ilmu yang lebih hebat lagi.

Karena dapat menduga bahwa mereka menghadapi lawan yang berat, Liok-te Sam-kwi langsung mengeluarkan senjata masing-masing. Orang pertama yang gendut bundar itu mengeluarkan sebuah rantai baja yang ujungnya dipasangi kaitan, yang tadinya dilibatkan pada pinggangnya.

Orang kedua yang tinggi kurus juga mencabut sebatang pedang dari punggungnya, dan orang ketiga yang katai mencabut sepasang golok kecil dari punggungnya pula. Bersama enam belas orang gerombolan yang sudah menjadi anak buah mereka itu, mereka kini mengepung batu besar di mana Toa Ok dan Ji Ok berdiri.

Dua orang Raja Iblis ini hanya tersenyum-senyum dengan tenangnya, bagaikan dua orang dewasa menghadapi pengeroyokan anak-anak kecil saja. Tiba-tiba, seperti sudah saling bersepakat lebih dahulu, Toa Ok si kepala besar meloncat turun dari atas batu, ke arah kiri, sedangkan Ji Ok Si Muka Monyet itu meloncat turun ke arah kanan sehingga mereka terpisah menjadi dua.

Para pengeroyoknya juga terbagi menjadi dua. Si gendut dan si katai bersama delapan orang anak buah sudah mengepung Toa Ok. Sedangkan si tinggi kurus bersama delapan orang anak buah yang lain mengepung Ji Ok.

"Hyaaattttt..!"

Si gendut sudah mulai dengan serangannya. Cambuk rantainya menyambar dan menjadi sinar putih menghantam ke arah leher Toa Ok. Gerakan ini disusul pula oleh si katai yang menggerakkan sepasang goloknya. Demikian pula delapan orang anak buah mereka telah menggerakkan golok masing-masing untuk mengeroyok.

Toa Ok tertawa bergelak dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke atas dengan kecepatan kilat. Sambil meloncat dia menggerakkan tongkat ularnya ke bawah, kemudian sekali tongkat itu menyambar maka robohlah empat orang anak buah gerombolan itu dengan kepala pecah!

Ji Ok juga dikepung rapat oleh si tinggi kurus dan delapan orang anak buahnya. Si tinggi kurus menggerakkan pedangnya dan menyerang dengan cepat sekali, diikuti oleh delapan orang anak buahnya yang menggerakkan golok mereka. Akan tetapi Ji Ok memandang rendah mereka. Pecutnya meledak-ledak dan nampak seperti kepulan asap ketika pecut itu meledak-ledak. Tubuhnya sendiri berkelebat lenyap dari kepungan sembilan orang itu dan pada saat pecutnya berhenti meledak, sudah ada empat orang pengeroyok terkapar dengan leher hampir putus! Gerakan pecutnya demikian lihai sehingga pecut itu menjadi tajam seperti pedang.

Liok-te Sam-kwi mengeroyok dan berusaha mati-matian untuk merobohkan Toa Ok dan Ji Ok, akan tetapi mereka kalah cepat dan tenaganya kalah kuat. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, begitu tongkat ular berhenti menyambar dan pecut berhenti meledak, semua pengeroyok itu, Liok-te Sam-kwi bersama keenam belas orang anak buah mereka sudah roboh dan tewas semua!

Dua orang kakek itu meloncat lagi ke atas batu besar, lantas keduanya tertawa terkekeh saking gembiranya telah dapat membunuh sekian banyaknya orang dalam waktu singkat. Si Kong bergidik. Sungguh tepat mereka disebut Toa Ok dan Ji Ok, Si Jahat Pertama dan Si Jahat Kedua dengan julukan Thai-mo-ong dan Ji-mo-ong! Mereka dapat membunuhi belasan orang dengan begitu saja, tanpa sebab yang jelas.

Karena tak dapat menahan lagi menonton pertunjukan yang kejam itu, Si Kong membuat gerakan hendak pergi dari tempat persembunyiannya. Dia lupa betapa lihainya dua orang Raja Iblis itu. Baru saja beberapa langkah dia maju, tiba-tiba Ji Ok sudah berseru dengan suaranya yang tinggi kecil.

"Siapa itu? Berhenti atau kamu mati!"

Si Kong terkejut dan baru teringat bahwa sedikit gerakan saja tentu akan diketahui oleh mereka yang sangat lihai. Dia berhenti melangkah dan membalikan tubuh. Kini dia sudah berdiri di balik semak sehingga dari pinggang ke atas dapat terlihat oleh dua Raja Iblis itu. Melihat betapa orang itu hanya seorang pemuda remaja yang membawa buntalan pakaian di ujung pikulan bambunya, dua orang kakek itu mendengus marah.

"Engkau melihat apa?!" bentak Ji Ok pula.

Karena masih muak menyaksikan pembunuhan atau pembantaian keji itu, seperti dengan sendirinya Si Kong menjawab,

"Saya melihat pembantaian di luar peri kemanusiaan!"

Dua orang kakek itu tertegun, lantas tertawa bergelak. Ji Ok menggerakkan pecutnya ke bawah. Pecut itu meledak dan menyambar ke bawah, ujungnya sudah melibat sebatang golok milik anak buah gerombolan, lantas sekali menggerakkan pecutnya, golok itu sudah terbang kemudian menancap di depan kaki Si Kong.

"Pungut pedang itu dan gorok lehermu sendiri!" Ji Ok membentak pula.

Panas hati Si Kong. Dia tahu bahwa dua orang kakek itu lihai sekali, akan tetapi dia tidak takut. Apa lagi disuruh membunuh diri sendiri. Mana mungkin dia dapat mentaati perintah yang keji itu? Dia membungkuk perlahan dan memungut golok itu. Akan tetapi dia tidak menggorok batang leher sendiri melainkan menggunakan jari tangan menekuk golok itu.

"Pletakkk!" Golok itu patah menjadi dua, lalu dilempar ke atas tanah oleh Si Kong.

Melihat ini Ji Ok menjadi marah sekali. Gerakan Si Kong mematahkan golok itu dianggap sebagai tantangan kepadanya! Dia ditantang oleh anak kemarin sore, seorang pemuda remaja! Akan tetapi Ji Ok masih merasa segan untuk bermusuhan dengan seorang bocah remaja. Hal itu dianggapnya sangat memalukan dan merendahkan kedudukannya sebagai datuk besar.

Dengan kemarahan yang ditahan-tahan dia menendang ujung batu besar itu. Ujungnya pecah lalu pecahan batu sebesar kepala itu meluncur dan menyambar ke arah kepala Si Kong! Akan tetapi dengan tenang saja Si Kong menarik kepalanya ke belakang sehingga sambaran batu itu luput.

Pendekar Kelana Jilid 03

Dia menoleh lantas memandang kepada Si Kong yang berdiri dengan muka ditundukkan. Dia pun merasa kasihan setelah melihat bibir Si Kong yang berdarah serta pipinya yang lebam. Seorang bocah dusun minta pekerjaan malah dihajar!

“Apa salahnya minta pekerjaan? Kalau tidak ada pekerjaan, tolak saja, tak perlu dipukuli. Lagi pula aku mendengar sendiri dari ayah bahwa kita memang sedang membutuhkan tenaga seorang pembantu untuk menggembala kerbau kita. Eh, sobat siapa namamu dan apakah engkau mau diberi pekerjaan menggembala segerombolan kerbau?”

“Nama saya Si Kong, nona. Saya akan senang sekali kalau diberi pekerjaan dan rasanya saya sanggup untuk menggembala kerbau,” jawab Si Kong dan dalam hatinya dia memuji gadis ini yang sikapnya berbeda jauh sekali dibandingkan kakaknya yang angkuh. Gadis ini ramah dan lincah.

“Jika ada seekor saja kerbaunya yang hilang, maka engkau harus menggantinya!” bentak Tong Kim Hok, suaranya masih marah.

“Aihh, koko. Siapa sih yang berani mencuri kerbau kita? Mari kau ikut aku, Si Kong, kita menghadap ayah.”

“Terima kasih, Nona.”

Si Kong mengikuti gadis itu yang memasuki pintu gerbang kemudian menghampiri sebuah gedung yang berdiri dengan megahnya di tengah-tengah perkampungan itu. Di kanan-kiri dan belakang gedung besar itu berdiri banyak pondok, agaknya menjadi tempat tinggal para pekerja di situ.

Tong Li Koan memang seorang hartawan kaya raya yang menjadi majikan Bukit Bangau. Dia menggunakan banyak pekerja untuk mengerjakan sawah ladangnya di bukit itu, juga mempekerjakan sejumlah belasan tukang pukul untuk menjaga perkampungan.

“Ayah...!” Kim Lan berteriak ketika memasuki rumah dan menyuruh Si Kong menunggu di serambi depan.

Tidak lama kemudian gadis itu sudah muncul kembali bersama seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun, berpakaian mewah dan tangan kirinya memegang sebatang huncwe (pipa tembakau) yang panjangnya setengah meter dan ketika dihisap mengeluarkan bau tembakau yang harum.

“Inikah orangnya?” tanya Tong Li Koan kepada puterinya. Dia amat menyayangi puterinya yang jauh lebih pandai dan cerdik dibandingkan puteranya.

“Ya, Ayah. Namanya Si Kong dan dia mau menjadi penggembala kerbau kita.”

Si Kong sudah mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan kepada Tong-Loya. “Saya bersedia untuk bekerja apa saja, Loya,” katanya hormat.

Tong Li Koan memandang ke arah mulut dan pipi Si Kong, lalu mengerutkan alisnya dan menuding dengan huncwe-nya ke arah muka Si Kong.

“Kenapa mukamu itu? Seperti orang habis berkelahi!” katanya.

Si Kong merasa tidak enak sekali untuk memberi tahu bahwa dia dipukuli putera majikan itu, maka dia hanya menggumam, “Tidak apa-apa, Loya.”

“Dia dipukuli koko, Ayah. Koko hendak mengujinya sebelum dia bekerja.”

“Ahh, Kim Hok terlalu ringan tangan…” kata hartawan itu.

“Sayalah yang bersalah, Loya,” Si Kong cepat-cepat berkata. “Saya sudah berani lancang hendak menghadap loya untuk minta pekerjaan.”

“Sudahlah, engkau kuterima sebagai penggembala kerbau. Setiap hari, pagi-pagi sekali engkau harus menggembalakan kerbau-kerbau kami yang berjumlah tiga puluh ekor itu ke padang rumput, memelihara dan menjaga mereka baik-baik.”

Tong Li Koan bertepuk tangan dan seorang pelayan datang berlari kepadanya. Hartawan itu memerintahkan kepada pembantu itu untuk memberi sebuah kamar bagi Si Kong dan memberi petunjuk mengenai pekerjaannya menggembala kerbau.

“Beri dia satu kamar di pondok dekat kandang kerbau di belakang. Dan engkau, Si Kong, bekerjalah baik-baik dan engkau akan memperoleh upah yang lumayan serta makan dan pakaian yang secukupnya.”

Si Kong merasa girang sekali. “Terima kasih, Loya dan Siocia (nona).”

Dia lalu pergi mengikuti pelayan itu yang membawanya menuju ke kandang kerbau untuk memperlihatkan kerbau-kerbau yang harus dirawatnya, juga menunjukkan sebuah kamar di pondok dekat kandang kerbau di mana dia boleh memakai sebagai tempat tinggalnya.

Demikianlah, dengan hati gembira Si Kong menerima pekerjaan baru itu. Kini kekosongan hidupnya telah terisi. Dia mempunyai pekerjaan! Dia merasa beruntung sekali bahwa pada hari kepergian gurunya yang kedua, yaitu Kwa Siucai, dia langsung mendapat pekerjaan sebagai penggembala kerbau.

Tanpa terasa satu bulan sudah lewat sejak Si Kong bekerja di Bukit Bangau. Benar saja seperti yang telah dijanjikan Tong Li Koan, dia menerima upah yang lumayan, setiap hari makan sekenyangnya dan diberi pakaian sehingga setiap hari dia dapat berganti pakaian.

Pekerjaan menggembala kerbau cukup menyenangkan. Kerbau-kerbau itu adalah hewan ternak yang mudah diatur, penurut dan mudah dijaga, tidak liar lari ke sana-sini. Sesudah matahari naik tinggi dia menggiring kerbaunya kembali ke kandang. Kelebihan waktunya dia pergunakan untuk menyabit rumput sebagai penambah makanan hewan itu. Sore hari dan malamnya dia boleh beristirahat di dalam pondok dekat kandang kerbau itu.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa diam-diam Tong Kim Hok menaruh dendam kepadanya. Pemuda ini dimarahi oleh ayahnya karena sudah memukuli Si Kong. Dia tahu bahwa tentu adiknya yang mengadu, akan tetapi kemarahannya dia timpakan kepada Si Kong.

Selain menggembala tiga puluh ekor kerbau, Si Kong juga diberi tugas untuk mengurus dan merawat lima ekor kuda yang menjadi kuda tunggangan keluarga Tong. Setiap hari dia harus memberi makan dan menggosok badan kuda sampai bersih.

Pada suatu siang Si Kong pulang dari menggembala kerbau. Setelah selesai makan dan hendak berangkat menyabit rumput untuk kerbau-kerbaunya dan lima ekor kuda, tiba-tiba saja muncul Kim Lan di depan pondoknya. Si Kong menyambutnya dengan hormat.

“Apakah Nona membutuhkan kuda untuk ditunggangi hari ini?” tanyanya.

Sudah sering kali dia bertemu dengan gadis manis ini karena Kim Lan memang senang sekali menunggang kuda. Ia selalu datang sendiri ke kandang untuk mengambil kudanya.

“Tidak, Si Kong. Aku hanya ingin bertanya mengenai pekerjaanmu di sini. Apakah engkau sudah cocok dan suka tinggal di sini bekerja untuk kami?”

“Cocok dan senang sekali, Nona. Nona dan Tong-loya amat baik kepada saya.”

Gadis itu tersenyum sambil menatap tajam wajah Si Kong yang gagah. Dia mengerutkan alisnya dan bertanya. “Si Kong, engkau berasal dari manakah dan mengapa bisa sampai ke sini, minta pekerjaan kepada ayahku? Di mana orang tua dan keluargamu?”

Si Kong tersenyum sedih, lantas menjawab. “Saya berasal dari jauh, Nona, dari sebuah dusun yang disebut Ki-ceng. Akan tetapi saya telah yatim piatu dan tidak memiliki sanak keluarga, tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini, sebatang kara. Saya seorang kelana dan ketika lewat di sini, saya tertarik dan ingin mencari pekerjaan tetap. Untunglah Nona menolong saya dan menghadapkan kepada Loya sehingga saya mendapatkan pekerjaan di sini. Terima kasih, Nona.”

Tiba-tiba dari arah kandang kerbau muncul Tong Kim Hok. Pemuda itu kelihatan marah sekali dan berkata kepada Si Kong, “Hei, Si Kong! Bagaimana engkau bekerja ini? Kalau engkau lalai seperti ini, lama-kelamaan kerbau-kerbau kami akan mati semua!”

Si Kong terkejut dan memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak heran. “Apa yang Kongcu maksudkan? Saya tidak pernah lalai menjaga kerbau-kerbau itu!”

“Enak saja kau bicara! Seekor di antara mereka mengalami luka parah pada kakinya dan kau bilang kau menjaga dengan baik?”

“Koko, apa artinya ini?” tanya Tong Kim Lan.

“Moi-moi, engkau tak perlu bersikap manis kepadanya! Kau lihat sendiri, ada kerbau yang terluka dan dia pura-pura tidak tahu! Mari lihat sendiri!”

Kim Hok berjalan ke arah kandang, diikuti oleh Kim Lan dan Si Kong yang merasa heran akan tetapi juga khawatir. Setelah tiba di kandang Kim Hok lalu menuding ke arah seekor kerbau yang mendekam di sudut.

“Lihat itu! Kakinya luka berdarah. Dia bahkan tidak kuat berdiri!”

Si Kong terkejut sekali dan cepat memasuki kandang, membantu kerbau yang mendekam itu agar berdiri. Dan nampak olehnya betapa sebuah kaki depan kerbau itu terluka parah!

“Tapi ini... ini aneh sekali! Tadi ketika saya menggiring mereka masuk kandang, tidak ada yang terluka kakinya!”

“Apa yang aneh? Setiap hari engkaulah yang mengurus kerbau-kerbau ini. Kini ada yang terluka kakinya, karena engkau takut dimarahi ayah maka engkau pura-pura bodoh dan tidak tahu! Bagus sekali, ya?”

“Si Kong, apa yang terjadi dengan kerbau ini? Nampaknya seperti terluka oleh bacokan senjata tajam!” kata Kim Lan sambil mendekati Si Kong dan kerbaunya.

“Saya tidak tahu, Nona. Ketika tadi saya menggiring semua kerbau memasuki kandang, belum ada yang terluka. Agaknya ada orang yang sengaja melukai kerbau ini pada waktu saya sedang makan.”

“Apa?! Kau berani menuduh aku melukai kerbau ini? Jangan kurang ajar, Si Kong!’ bentak Kim Hok marah dan dia sudah menghampiri Si Kong dengan sikap hendak menyerang.

Akan tetapi Kim Lan menghadangnya. “Tahan, koko. Si Kong tidak menuduh siapa-siapa, hanya mengatakan bahwa agaknya ada orang melukai kerbau ini pada waktu dia sedang makan, tetapi dia tidak menuduhmu!”

Pada saat itu terdengar suara orang tertawa, tawa seorang wanita terkekeh-kekeh. Kim Hok dan Kim Lan terkejut lalu menengok, demikian pula Si Kong memandang ke kanan, ke arah datangnya suara tawa.

Kiranya di situ telah berdiri seorang wanita yang usianya sekitar empat puluh tahun, akan tetapi dia masih kelihatan cantik dengan pakaiannya yang amat mewah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang, sementara tangan kirinya menggenggam sebatang kebutan berbulu merah.

“Hi-hi-hik-heh-heh! Kalau tidak ada yang membacok dengan pedang, mana mungkin kaki kerbau bisa terluka? Si Huncwe Maut berwatak serakah dan curang, agaknya menurun kepada puteranya! Heh-heh!”

Mendengar ini Kim Hok menjadi merah mukanya dan dia melompat ke depan wanita itu. Huncwe Maut adalah nama julukan ayahnya di dunia kang-ouw, maka jelas bahwa wanita itu tadi maksudkan dia sebagai putera Huncwe Maut.

“Siapakah engkau? Berani sekali berlancang mulut!” bentak Kim Hok marah.

“Hi-hik, orang muda, engkau masih remaja akan tetapi sudah banyak akal dan licik. Coba cabut pedangmu, di situ pasti masih ada bekas darah kaki kerbau itu!”

“Perempuan lancang! Engkau datang melanggar wilayah kami, hayo cepat pergi sebelum aku terpaksa menggunakan kekerasan!”

“He-he-he-hi-hik! Persis seperti ayahnya, berani, angkuh dan cerdik! Akan tetapi engkau tidak tahu siapa yang engkau hadapi, anak muda. Lebih baik lekas panggil ayahmu ke sini untuk bertemu denganku!”

Watak Kim Hok memang angkuh dan dia merasa kuat sendiri. Tentu saja dia memandang rendah terhadap wanita setengah tua itu. Orang perempuan itu berani tidak memandang mata kepada ayahnya!

“Engkau layak dipukul!” katanya dan cepat dia sudah menerjang ke depan dan memukul ke arah muka wanita itu.

Wanita itu hanya mengelak sedikit dan begitu tangannya bergerak, tubuh Kim Hok segera terlempar ke belakang dan terbanting jatuh!

Kim Hok marah sekali. Dia tidak menjadi jera, bahkan kini dia mencabut pedangnya dan menyerang wanita itu dengan tusukan pedangnya ke arah dada. Akan tetapi wanita itu menggerakkan tangan kirinya, bulu kebutannya membelit pedang dan sekali bergerak dia sudah menendang Kim Hok sehingga untuk kedua kalinya tubuh pemuda itu terpental dan pedangnya sudah terampas. Sambil mendengus penuh ejekan wanita itu menggerakkan kebutannya dan pedang itu meluncur lalu menancap di atas tanah dekat kaki Kim Hok!

Seorang pembantu melihat perkelahian itu, dan dia cepat berlari masuk ke gedung untuk memberi tahu kepada majikannya. Sementara itu Kim Hok sudah mencabut pedangnya dari tanah, lalu seperti kerbau gila dia mengamuk dan menyerang wanita itu, lupa bahwa sudah dua kali dia dirobohkan.

Melihat kakaknya dua kali dirobohkan wanita itu, Kim Lan langsung mencabut pedangnya dan hendak membantu. Akan tetapi Si Kong berkata kepadanya, “Nona, wanita itu bukan lawanmu! Dia terlalu lihai bagimu!”

Kim Lan tidak jadi menyerang dan hanya memandang ketika kakaknya itu kembali sudah menyerang secara bertubi-tubi. Tapi dengan mudahnya wanita itu mengelak ke sana-sini sambil mengeluarkan suara tawa mengejek seperti mempermainkan seorang anak.

“Anak nakal, engkau masih belum mau mengaku kalah juga?” Tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan hudtim-nya ke depan dan seketika tubuh Kim Hok menjadi kaku dan tidak mampu bergerak lagi karena jalan darahnya sudah tertotok.

“Hi-hi-hik, kau anak nakal yang bandel!”

Wanita itu menggunakan tangannya untuk mengelus dan mencubit dagu Kim Hok dengan gaya yang genit sekali, kemudian tangannya mendorong dada Kim Hok dan untuk ketiga kalinya Kim Hok terjengkang roboh! Sekali ini dia roboh dekat kaki Si Kong yang segera membungkuk dan menolongnya.

“Kongcu, engkau tidak apa-apa?” katanya sambil diam-diam menotok punggung pemuda itu sehingga tubuh Kim Hok yang tadinya kaku dapat bergerak kembali.

“Huh! Jangan pegang-pegang aku!” Kim Hok membentak sambil meronta, dan dia sudah memegang pedangnya kuat-kuat untuk menyerang lagi.

Akan tetapi sebelum Kim Hok menyerang lagi, terdengar bentakan ayahnya, “Kim Hok, jangan lancang!”

Mendengar bentakan ayahnya, Kim Hok berhenti menyerang dan mundur. Tong Li Koan kini berdiri berhadapan dengan wanita itu. Setelah memandang dengan mata tajam penuh selidik sambil mengisap huncwe-nya, Tong Li Koan melepaskan huncwe dari mulut dan berkata sambil tersenyum.

“Hemmm, kalau tidak salah duga, agaknya aku sedang berhadapan dengan Ang-bi Mo-li (Iblis Perempuan Cantik Merah).” Julukan ini tentu dihubungkan dengan bulu kebutannya yang berwarna merah.

Wanita itu tertawa hingga nampak giginya yang rapi berderet rapi. “Kiranya yang berjuluk Huncwe Maut, selain kaya raya juga berpemandangan tajam! Tong Wan-gwe (Hartawan Tong), aku memang Ang-bi Mo-li! Puteramu ini curang, angkuh namun pemberani. Tidak kecewa menjadi putera Huncwe Maut, hanya sayang ilmu silatnya rendah saja sehingga aku menjadi ragu apakah ilmu kepandaianmu juga sebesar namamu!”

Tong Li Koan maklum bahwa Iblis Betina ini sengaja hendak mencari perkara, maka dia segera mengangkat tangan ke depan dada, memberi hormat lalu berkata, “Anakku masih muda dan lancang, harap engkau suka memaafkannya. Setelah engkau lewat di sini, mari silakan singgah di rumah kami supaya kami lebih leluasa menyambutmu sebagai tamu.” Tong Li Koan sengaja bersikap lunak karena dia tidak ingin bermusuhan dengan wanita yang namanya terkenal di dunia persilatan sebagai tokoh yang lihai sekali.

Mendengar ini, Ang-bi Mo-li tertawa terkekeh-kekeh. “Heh-heh-heh-hi-hik! Tong wan-gwe aku berada di daerah ini bukan sebagai tamu dan juga engkau bukan sebagai tuan rumah di sini. Dahulu, lama sebelum engkau datang, tanah ini sudah menjadi wilayahku dan aku tinggal di sebelah timur bukit. Sekarang aku mendengar bahwa engkau sudah menguasai seluruh bukit. Ini tidak adil! Karena aku berminat untuk tinggal di sini lagi, sebaiknya kita bagi rata saja. Bagian timur bukit menjadi milikku dan engkau menguasai bagian barat ini.”

Tong Li Koan mengerutkan alisnya, mengisap huncwe-nya lantas mengepulkan asapnya dari hidung. Kemudian dia berkata dengan suara lantang. “Usulmu itu tidak mungkin dapat dilaksanakan, Mo-li! Sebelum aku datang seluruh daerah bukit ini masih berupa hutan dan rawa liar. Aku yang membangunnya sehingga sekarang menjadi tanah sawah ladang yang subur dan digarap oleh orang-orangku. Mana bisa aku yang mencangkul dan menanam, tetapi sekarang engkau yang ingin memetik hasilnya begitu saja?”

“Aku yang datang lebih dulu, orang she Tong! Kalau engkau berkukuh hendak menguasai bukit ini seluruhnya, maka engkau harus dapat mengalahkan dan mengusir aku dari sini. Sebaliknya kalau engkau kalah olehku, engkaulah yang harus pergi meninggalkan tempat ini bersama seluruh keluargamu!”

Mendengar ini, Tong Li Koan menjadi marah. Bahkan kedua orang anaknya juga menjadi marah bukan main.

“Ayah, kita hajar saja orang kurang ajar ini!” kata Kim Lan sambil mencabut pedangnya.

“Kim Lan, dan engkau Kim Hok, jangan ikut campur. Dia bukan lawan kalian!” kata Tong Li Koan, lalu dia maju menghampiri Ang-bi Mo-li dan berkata, “Mo-li, kalau kedatanganmu ini hendak menantang aku, aku tidak dapat menolaknya. Jangan dikira bahwa aku takut menghadapimu! Silakan!” Dia segera memasang kuda-kuda dan memegang huncwe-nya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mencabut pedangnya.

Melihat ini, Ang-bi Mo-li tertawa terkekeh-kekeh, lalu tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan tahu-tahu dia telah mencabut pedangnya dari punggung dengan amat cepatnya.

“Orang she Tong! Engkau lebih memilih mati dari pada menyerahkan bagian timur bukit ini?” ejeknya.

“Akan kupertaruhkan nyawaku untuk bukit ini!” jawab Tong Li Koan dengan tegas.

“Bagus, lihat seranganku!”

Tanpa sungkan lagi Ang-bi Mo-li sudah mulai menyerang. Pedangnya berkelebat disusul berkelebatnya hudtim (kebutan) pada tangan kirinya. Entah mana yang lebih berbahaya, pedangnya atau kebutannya karena keduanya menyambar dengan dahsyat dan mengirim serangan maut.

“Trangg-traanggg...!”

Si Huncwe Maut menangkis dengan pedang dan huncwe-nya, kemudian balas menyerang dengan hebatnya pula. Ang-bi Mo-li juga dapat menghindarkan diri dari serangan Huncwe Maut. Terjadilah perkelahian yang amat menegangkan antara kedua orang yang namanya sudah terkenal di dunia persilatan itu.

Bila kebutan itu berbahaya sekali karena bisa menjadi kaku untuk menusuk atau menotok kemudian menjadi lemas untuk melilit senjata lawan, huncwe itu tak kalah berbahayanya. Dengan gerakan tertentu Tong Li Koan dapat membuat huncwe itu memercikkan api ke arah wajah lawan, lalu menotok jalan darah dengan ujungnya.

Berkali-kali kedua pedang itu bertemu dan berpijarlah bunga-bunga api yang menyilaukan mata. Kim Hok dan Kim Lan yang menonton pertandingan itu merasa tegang bukan main. Mereka tidak tahu apakah ayah mereka akan menang atau kalah dalam pertandingan itu, namun untuk membantu mereka tidak berani. Ilmu kepandaian mereka masih jauh untuk dapat membantu.

Akan tetapi Si Kong yang juga menonton pertandingan itu mengerutkan alisnya. Dengan tingkat kepandaiannya dia dapat mengikuti pertandingan itu dengan baik dan dia melihat betapa tingkat kepandaian wanita itu masih lebih tinggi dari pada kepandaian majikannya. Majikannya akan kalah, hal ini sudah dapat diduganya melihat jalannya pertandingan.

Dugaan Si Kong memang benar. Walau pun dalam hal tenaga dalam kedua orang yang bertanding itu memiliki kekuatan seimbang, namun dalam hal kecepatan gerakan, Tong Li Koan atau si Huncwe Maut masih kalah sehingga kini perlahan-lahan wanita itu mampu mendesaknya dengan sambaran kebutan dan pedangnya.

Setelah Tong Li Koan terdesak dan mundur terus, kedua orang anaknya baru mengetahui bahwa ayah mereka terdesak dan hampir kalah. Rasa takut terhadap wanita itu langsung hilang karena melihat ayah mereka terancam bahaya maut, kemudian dua orang anak itu meloncat ke depan dan menggunakan pedang mereka untuk menyerang Ang-bi Mo-li!

Akan tetapi kebutan Ang-bi Mo-li langsung menyambar. Kim Hok dan Kim Lan terlempar ke belakang dan bergulingan. Pada saat itu pula pedang Tong Li Koan menusuk ke arah dada Ang-bi Mo-li. Dengan cepatnya wanita itu mengelak, kebutannya menyambar dan membelit pergelangan tangan Tong Li Koan yang memegang pedang.

Ketika Tong Li Koan mengayunkan huncwe-nya, dia kalah dulu karena pedang wanita itu sudah mengenai ujung pundaknya. Dia berteriak dan meloncat ke belakang, pedangnya terampas dan pundaknya berdarah. Kim Hok dan Kim Lan melompat dekat ayah mereka.

“Ayah, engkau tidak apa-apa?” tanya Kim Hok.

“Ayah, pundakmu berdarah,” kata Kim Lan.

Tong Li Koan menghela napas panjang. “Aku telah kalah...,” katanya dengan nada sedih.

“Heh-heh-heh-hi-hik, engkau cukup jantan untuk mengaku kalah. Aku memberi waktu dua hari kepada kalian semua untuk meninggalkan bukit ini!” kata Ang-bi Mo-li.

“Nanti dulu...!” terdengar bentakan dan semua orang menengok memandang kepada Si Kong yang datang menghampiri karena pemuda inilah yang membentak tadi.

“Ang-bi Mo-li, enak saja kau bicara! Majikanku telah mengalah, hal itu sudah sepatutnya karena engkau seorang wanita. Akan tetapi engkau tidak tahu diri, hendak merampas hak milik orang lain begitu saja. Masih ada aku di sini yang mempertahankannya dan kuharap engkaulah yang segera pergi dan jangan mengganggu majikanku!”

“Si Kong...!” Kim Lan cepat-cepat berlari mendekati. “Apa kau sudah gila? Dia... dia akan membunuhmu!”

Si Kong tersenyum. Hatinya senang bukan main karena anak perempuan majikannya ini mengkhawatirkan dirinya. Selama ini Kim Lan bersikap ramah dan baik sekali kepadanya.

“Terima kasih, Nona. Sebaiknya Nona kembali kepada loya, biar aku hadapi iblis betina ini!”

Kim Lan berlari kembali kepada ayahnya. “Ayah...!” Dia hendak minta ayahnya mencegah wanita itu membunuh Si Kong yang sudah berani mati membela keluarganya. Akan tetapi ayahnya menggeleng kepala dan memandang kepada Si Kong dengan sinar mata heran dan kagum.

Dengan langkah lebar dan tenang kini Si Kong menghampiri Ang-bi Mo-li. Sejenak iblis betina ini merasa tertegun dan heran melihat seorang pemuda remaja berani berkata dan bersikap seperti itu kepadanya. Terlebih lagi pemuda remaja itu menyebut Tong Li Koan sebagai majikannya. Pemuda ini tentu hanya seorang pembantu!

“Kau... kau siapa?” tanyanya, alisnya berkerut dan pedangnya menuding ke arah muka Si Kong.

“Namaku Si Kong dan aku menjadi penggembala kerbau di sini.”

Ang-bi Mo-li telah menguasai keheranannya, maka sekarang dia tertawa terkekeh-kekeh. “Penggembala kerbau? Hah-hah-heh-heh-heh-heh, Tong Li Koan, tidak malukah engkau dibela oleh penggembala kerbaumu? Suruh dia mundur. Kalau dia berani menentangku berarti dia akan mati di tanganku!”

Tong Li Koan menghela napas panjang. Tentu saja dia merasa malu kalau penggembala itu sampai mengorbankan nyawa untuknya.

“Si Kong, mundurlah. Aku tidak ingin melihat engkau mati untukku.”

“Loya, harap jangan khawatir. Aku takkan mati oleh wanita ini. Ang-bi Mo-li, kalau engkau tidak berani melawan aku, bilang saja terus terang, tidak perlu bicara dengan majikanku!”

“Bocah setan! Engkau tadi telah dikhianati oleh kongcu-mu dan sekarang engkau bahkan hendak membela ayahnya? Kongcu-mu yang melukai kerbaumu, aku melihatnya sendiri.”

“Cukup! Urusan kami tidak ada sangkut pautnya denganmu, Ang-bi Mo-li!”

Kini Ang-bi Mo-li benar-benar marah. Tentu saja dia tidak takut kepada Si Kong, hanya dia merasa malu kalau harus bertanding melawan seorang pemuda remaja penggembala kerbau!

“Bocah gila! Majulah bila engkau sudah bosan hidup. Akan tetapi sekali kau maju, engkau pasti akan mampus!”

“Dan aku tidak akan membunuhmu, Ang-bi Mo-li! Aku tidak akan sekejam itu.”

Ang-bi Mo-li menyarungkan kembali pedangnya di punggung dan memegang kebutannya dengan tangan kanan. Tanpa pedang, bahkan tanpa kebutan sekali pun dia akan mampu membunuh pemuda remaja itu.

“Ang-bi Mo-li, kalau engkau menurunkan tangan keji membunuh seorang pemuda remaja, engkau akan menjadi bahan ejekan orang-orang sedunia kang-ouw!” kata Tong Li Koan di dalam usahanya untuk menghindarkan Si Kong dari kematian.

“Heh-heh-heh, aku tidak sebodoh itu, Tong Li Koan. Aku tidak akan membunuhnya, hanya akan membuat kedua kakinya lumpuh selama hidupnya, heh-heh!”

Sementara itu, melihat betapa lihainya wanita itu mempergunakan kebutannya sebagai senjata, Si Kong tidak berani main-main. Dia segera menyambar sebuah tongkat bambu yang biasa dia pergunakan untuk memikul keranjang rumput.

“Ang-bi Mo-li, aku sudah siap, tidak perlu terlalu banyak bicara lagi!” kata Si Kong sambil menghadapi wanita itu dengan tongkat di tangan.

“Heh-heh-heh, kau sudah siap untuk menjadi lumpuh seumur hidupmu? Nah, sambutlah serangan ini!” Ang-bi Mo-li sudah menggerakkan kebutannya dengan cepat sekali.

“Wuuuttttt...!”

Ang-bi Mo-li terkejut melihat betapa pemuda itu dengan mudah dan lincahnya mengelak dengan loncatan ke kiri, kemudian tiba-tiba saja tongkat di tangannya sudah terayun dan mengancam pinggul kirinya. Tentu saja wanita ini tidak mau kalau pinggul kirinya digebuk tongkat. Ia mengayun kebutannya untuk menangkis dengan membuat kebutan itu menjadi kaku. Dia bermaksud hendak membenturkan tongkat itu supaya terlepas dari pegangan si penggembala kerbau.

“Takkk...!”

Kembali Ang-bi Mo-li terkejut bukan main. Tangannya tergetar hebat ketika kebutannya menangkis tongkat, karena tongkat itu ternyata mengandung tenaga yang amat kuat! Dia hampir terpekik kaget karena begitu tertangkis tongkat itu sudah membalik dan sekarang menghantam ke arah pundaknya! Dia menggunakan kelincahannya untuk mengelak, akan tetapi pundaknya nyaris terkena hantaman tongkat.

Dari rasa kaget, wanita itu menjadi marah bukan main. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa pemuda tanggung itu dapat memiliki tenaga demikian kuat dan kecepatan gerakan tongkat yang luar biasa.

“Bocah setan, mampuslah!” Dia berseru dengan marah lantas menggerakkan kebutannya untuk menyerang lebih cepat dan kuat lagi.

Sekarang dia tak peduli lagi apakah serangannya akan membunuh lawan ini. Kebutan itu menegang dan menusuk ke arah leher Si Kong. Namun kembali Si Kong menggerakkan tongkatnya yang ujungnya menggetar untuk menangkis.

“Plakk!”

Ketika kebutan bertemu tongkat, Ang-bi Mo-li mengubah tenaganya sehingga kebutan itu menjadi lemas dan membelit tongkat itu. Dia ingin merampas tongkat itu dahulu sebelum menghajar pemiliknya.

Akan tetapi untuk yang kesekian kalinya dia terkejut. Kebutannya sama sekali tak mampu merampas tongkat. Biar pun dia menarik dengan tenaga dalam yang kuat namun tongkat itu tidak bergeming, bahkan kini tongkat itu membalik dan ujungnya yang lain menyodok perutnya!

“Ihhhhh...!” Ang-bi Mo-li berseru dan melepaskan libatan kebutannya sambil meloncat ke belakang.

Si Kong kini mendesak maju dan mainkan ilmu silat tongkat Ta-kaw Sin-tung. Tongkatnya seakan berubah menjadi banyak dan setiap ujung tongkat dengan gencar menghujankan gebukan kepada lawannya, Ang-bi Mo-li terkejut bukan main melihat gerakan tongkat itu, gerakan ilmu tongkat yang mengingatkan dia akan seorang tokoh besar dunia persilatan. Kembali dia memutar kebutannya untuk melindungi dirinya sambil meloncat ke belakang.

“Tahan dulu!” serunya setelah dia mendapatkan kesempatan.

Mendengar seruan itu, Si Kong menahan tongkatnya, memegang tongkat itu melintang di depan dadanya.

“Apa hubunganmu dengan Yok-sian Lo-kai?” tanya Ang-bi Mo-li.

“Beliau adalah guruku!” kata Si Kong. Dia kembali mulai menyerang sambil berseru, “Lihat seranganku!”

Ang-bi Mo-li cepat mencabut pedangnya karena dia merasa kewalahan sekali kalau hanya menggunakan kebutan. Sementara itu Tong Li Koan, Kim Hok dan Kim Lan memandang dengan bengong. Sedikit pun tidak pernah mereka sangka bahwa Si Kong selihai itu!

Terutama sekali Kim Hok. Wajahnya menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang kepada Si Kong, seolah-oelah tidak percaya kepada penglihatannya sendiri. Si Kong yang pernah dihajarnya! Tanpa dapat melawannya! Kini sanggup menandingi Ang-bi Mo-li yang demikian lihainya! Sedangkan Kim Lan ternganga, terkagum-kagum.

Ang-bi Mo-li kini menyerang dengan pedang dan kebutannya. Serangannya cepat dan dahsyat sekali. Wanita itu kini tidak berani memandang rendah setelah mendengar bahwa pemuda remaja ini adalah murid Yok-sian Lo-kai. Dengan sepasang senjatanya yang lihai dia merasa sanggup menghadapi ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung.

Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut sekali. Ia telah kehilangan lawannya yang tahu-tahu telah berada di belakangnya. Demikian cepatnya gerakan Si Kong sehingga dia sendiri menjadi bingung. Pemuda itu seolah dapat menghilang.

Ternyata pemuda itu sudah menggabungkan ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung dengan ilmu meringankan tubuh Liok-te Hui-teng sehingga dia seperti pandai menghilang dan gerakan tongkatnya semakin cepat sehingga tongkat itu seolah mempunyai berpuluh-puluh ujung yang menyerang dari segala penjuru.

“Takk...! Tranggg...!”

Kebutan dan pedang itu terpental pada saat bertemu dengan tongkat. Kecepatan gerakan pemuda itu membuat Ang-bi Mo-li teringat kepada Penyair Gila yang terkenal mempunyai ginkang yang sukar ditandingi. Ketika melompat mundur dia mempergunakan kesempatan itu untuk bertanya.

“Apa hubunganmu dengan Kwa Siucai?”

“Beliau adalah guruku juga!” jawab Si Kong pula dengan terus terang tanpa menghentikan desakannya.

Ang-bi Mo-li kaget bukan main mendengar pengakuan itu. Pantas pemuda ini lihai bukan main, ternyata murid Yok-sian Lo-kai dan Kwa Siucai! Dengan repot dia menggerakkan kebutan serta pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan ujung tongkat yang gerakannya amat cepat dan sukar diikuti pandangan mata itu.

Tetapi betapa pun cepat dia memutar kedua senjatanya untuk melindungi tubuhnya, tetap saja ujung tongkat itu menotok pundaknya, membuat lengannya seperti lumpuh dan dia pun terhuyung ke belakang, memegang pundak kanannya dengan tangan kiri yang masih memegang kebutan. Wajahnya berubah pucat, lalu kemerahan.

Dia merasa malu bukan main karena jelas dia sudah kalah. Dia harus mengakui ini dan menerimanya, karena jika dilanjutkan mungkin dia akan menderita luka yang lebih hebat. Pemuda itu terlalu cepat baginya, ilmu tongkatnya terlalu aneh dan sulit ditandingi.

“Si Kong, kali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi lain kali aku akan menebus kekalahan ini!” katanya untuk menutupi rasa malu. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi tubuhnya telah melompat jauh dan dia pun melarikan diri secepatnya dari tempat yang membuatnya malu itu.

Sejenak suasana menjadi sunyi karena keluarga Tong masih tertegun saking heran dan kagumnya. Kemudian meledaklah kegembiraan Kim Lan yang cepat berlari menghampiri Si Kong.

“Si Kong, engkau hebat sekali!” kata gadis itu dengan penuh kekaguman.

Juga Tong Li Koan menghampiri pemuda itu dengan wajah gembira dan kagum. Pemuda yang menjadi penggembala kerbaunya ini sudah menyelamatkannya! Apa bila tidak ada Si Kong maka dia beserta seluruh keluarganya terpaksa harus meninggalkan tempat itu dan menyerahkan bukit itu kepada Ang-bi Mo-li!

“Si Kong, kenapa engkau tak pernah memberi tahukan kepadaku bahwa engkau memiliki kepandaian yang tinggi?” kata Tong Li Koan dengan nada menegur.

Kalau Tong Li Koan dan Tong Kim Lan menghampiri Si Kong dengan wajah berseri-seri gembira dan penuh kekaguman, Tong Kim Hok masih berdiri di tempatnya semula tanpa menggerakkan kakinya dan mukanya menjadi pucat. Dia merasa malu bukan main!

Si Kong sudah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan Bukit Bangau. Tong Kim Hok sudah jelas tidak suka kepadanya. Untuk apa dia bekerja terus di sana kalau putera majikannya tidak suka kepadanya?

“Maaf, Loya. Saya pamit karena hendak pergi dari sini.”

Tong Li Koan terbelalak. “Pergi dari sini? Hendak ke mana dan mengapa pergi?”

Si Kong tersenyum. “Saya hendak melanjutkan pergi berkelana. Sudah terlalu lama saya tinggal di sini. Terima kasih kepada Loya dan Siocia, selama ini telah bersikap baik sekali kepadaku.”

“Si Kong, engkau jangan pergi dan jangan menyebutku nona. Panggil saja namaku. Aku ingin bersahabat denganmu, juga ingin belajar silat darimu.” Kata Kim Lan.

“Benar, Si Kong. Mulai sekarang engkau tidak usah menggembala kerbau lagi, bantu saja mengawasi para pekerja di ladang,” kata Tong Li Koan. “Engkau tidak usah pergi dari sini.”

“Maaf, Loya dan Siocia. Saya harus pergi berkelana untuk meluaskan pengalamanku.”

Ketika itu pula Kim Hok berlari menghampirinya. Dengan muka kemerahan dia berkata. “Ayah, akulah yang bersalah mengganggunya. Si Kong, kau maafkanlah aku dan jangan pergi dari sini.”

Si Kong tersenyum, kemudian menepuk-nepuk pundak pemuda yang lebih tua darinya itu. “Sudahlah, Kongcu. Kesalahan apa pun yang dilakukan seseorang, kalau dia sudah insyaf dan menyesali kesalahannya, hal itu baik sekali. Saya senang melihat Kongcu menyadari kesalahannya.”

Walau pun tiga orang itu membujuknya agar jangan pergi, tetap saja Si Kong mengambil buntalan pakaiannya, lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada dan berkata, “Loya, harap jangan khawatir. Ang-bi Mo-li tentu tidak berani datang kembali. Kini kemarahannya tertumpah kepadaku, bila dia hendak membalas tentu mencari saya bukan mencari Loya. Selamat tinggal Loya, Siocia dan Kongcu.”

Tiga orang itu tidak sempat menahan lagi karena setelah berkata demikian, dengan sekali berkelebat Si Kong yang menggunakan ginkang-nya itu telah lenyap dari depan mereka.

Tong Li Koan menarik napas panjang. “Anak itu benar-benar luar biasa. Semuda itu telah memiliki ilmu kepandaian yang begitu hebat, bahkan menjadi murid Yok-sian Lo-kai dan Kwa Siucai! Dan dia tidak malu untuk bekerja menjadi penggembala kerbau! Luar biasa! Kim Hok, engkau patut mencontoh dia, sudah pandai masih rendah hati sedemikian rupa.”

“Ini semua kesalahan koko!” Kim Lan merengek. “Karena perbuatan koko maka Si Kong menjadi tersinggung kemudian meninggalkan kita! Koko telah menuduhnya menggembala kerbau secara tidak benar sehingga kaki seekor kerbaunya terluka, padahal, menurut Moli tadi, yang melukai kaki kerbau itu adalah koko sendiri!”

Tong Li Koan mengerutkan alisnya dan memandang tajam penuh selidik pada puteranya. “Benarkah itu, Kim Hok?”

“Ampun, Ayah. Saya memang bersalah, dan tadi pun saya sudah minta maaf kepada Si Kong,” kata Kim Hok.

“Akan tetapi kenapa engkau melakukan fitnah begitu kepada Si Kong?”

“Tadinya hati saya masih merasa jengkel kepadanya, Ayah, karena dia pernah melawan para penjaga.”

“Jangan ulangi lagi perbuatan macam itu, Kim Hok. Engkau sama sekali tidak boleh tinggi hati dan angkuh dan sama sekali tidak boleh memandang rendah kepada orang lain. Ahh, kalau saja sikapmu seperti Si Kong, alangkah akan bahagianya hatiku.”

“Ampun, Ayah. Sekarang saya telah sadar dan saya akan mencontoh Si Kong, saya akan belajar dengan tekun dan tidak akan memandang rendah orang lain.”

“Begitu baru kakakku!” kata Kim Lan girang.

Tong Li Koan mengajak dua orang anaknya masuk ke dalam, diam-diam berterima kasih sekali kepada Si Kong karena berkat anak pengelana itu keluarganya dapat terbebas dari ancaman Ang-bi Mo-li. Dan lebih dari itu, kini puteranya sudah menyadari kesalahannya dan akan berusaha mencontoh sikap Si Kong yang rendah hati.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Dalam perantauannya, pada suatu pagi yang cerah Si Kong mendaki sebuah bukit yang oleh penduduk di bukit-bukit lain disebut Bukit Iblis. Bukit ini diselimuti hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar. Justru mendengar sebutan Bukit Iblis inilah yang membuat hati Si Kong tertarik sehingga pagi itu dia mendaki Bukit Iblis, sebuah di antara bukit-bukit di pegunungan Thian-san yang amat luas dan penuh perbukitan itu.

"Kenapa disebut Bukit Iblis?" tanya Si Kong kepada pemilik rumah di dusun pegunungan di mana dia numpang menginap.

"Entahlah, akan tetapi tidak ada seorang pun berani naik ke bukit yang kabarnya dihuni oleh iblis-iblis yang mengerikan. Semua orang yang berani mendaki bukit itu tidak pernah kembali lagi ke bawah dan lenyap begitu saja."

Si Kong sudah mendapat cukup banyak pendidikan dari Yok-sian Lo-kai dan Kwa Siucai. Dia seorang pemberani dan tidak percaya akan takhyul, maka mendengar keterangan itu timbullah keinginan hatinya untuk menyelidik keadaan Bukit Iblis itu.

Sesudah tiba di lereng teratas, Si Kong tersenyum sendiri. Penduduk dusun yang takhyul itu, pikirnya. Di situ tidak ada apa-apa kecuali pemandangan yang indah sekali di pagi hari yang cerah itu! Jangankan iblis, bahkan bayangannya sekali pun tidak nampak.

Akan tetapi tiba-tiba Si Kong menahan langkahnya. Dia mendengar bunyi langkah orang di belakangnya! Dia cepat menengok tetapi tidak melihat siapa pun. Dia melangkah maju lagi dan kembali terdengar langkah dua orang, langkah yang terdengar lembut sekali. Apa bila dia tidak mengerahkan kekuatan pendengarannya dan menahan napas maka dia tak akan dapat mendengar langkah itu. Tepat di belakangnya!

Cepat sekali dia menoleh ke belakang tetapi kembali dia kecelik. Tidak nampak seorang pun di belakangnya! Dia mulai bergidik ngeri. Benarkah ada iblis di tempat ini? Siang hari ada iblis yang berkeliaran? Ataukah manusia-manusia yang mengeluarkan bunyi langkah itu? Jika manusia tentu ilmunya meringankan tubuh sudah mencapai tingkat tinggi sekali.

Dia mendaki terus ke puncak. Ternyata puncak bukit itu berbentuk datar dan merupakan padang rumput yang cukup luas. Ketika tiba di atas dia melihat belasan orang lelaki yang bertubuh kekar sedang berkumpul, duduk mengelilingi batu besar di mana duduk seorang lelaki tinggi besar seperti raksasa yang berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dari sikap dan lagaknya mudah diketahui bahwa lelaki raksasa itu tentu menjadi pemimpin belasan orang itu. Dia menyelinap di balik semak-semak dan mengintai. Kiranya mereka itu orang-orang biasa yang bertubuh kekar kuat dan bersikap kasar. Tetapi bukan iblis-iblis!

Raksasa yang duduk di atas batu besar itu mengembangkan dua lengannya dan berkata dengan suara lantang.

"Saudara-saudaraku, bagaimana pendapat kalian mengenai bukit ini kalau menjadi sarang kita yang baru? Ha-ha-ha, tempat ini sunyi tak pernah didatangi orang. Mereka ketakutan karena nama bukit ini Bukit Iblis. Ha-ha-ha, sekarang benar-benar menjadi Bukit Iblis dan iblisnya adalah kita."

Belasan orang segera turut tertawa sehingga suara tawa mereka riuh rendah memenuhi permukaan bukit itu. Jika ada orang yang mendengarnya, tentu akan menyangka bahwa iblislah yang tertawa itu.

"Tempat ini baik sekali, Twako! Kami merasa cocok untuk tinggal di sini. Di dalam hutan-hutan bawah itu terdapat banyak kayu besar dan bambu, mudah bagi kita untuk membuat bangunan-bangunan yang menjadi tempat tinggal kita."

Pada saat itu terdengar suara orang terkekeh-kekeh saling sahutan. Dari suara tawa yang berbeda-beda itu dapat diketahui bahwa yang tertawa itu lebih dari satu orang. Kemudian nampaklah tiga sosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di situ sudah berdiri tiga orang yang menyeramkan.

Yang seorang tinggi kurus laksana tiang bambu, kepalanya juga panjang kecil sehingga nampak aneh sekali. Orang kedua pendek gendut dan segalanya yang ada pada orang ini bundar belaka, jauh sekali bedanya dengan orang pertama yang serba ramping panjang. Orang ketiga bertubuh katai seperti kanak-kanak, tetapi mukanya menunjukkan bahwa dia sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya dan lebih muda sedikit saja dari dua orang terdahulu. Tiga orang ini muncul sambil tertawa-tawa.

"Ha-ha-he-heh-heh!" Orang pertama yang tubuhnya tinggi kurus berkata sambil tertawa-tawa. "Segerombolan setan kecil berani mengganggu daerah kami, sungguh sudah bosan hidup!"

"Jangan, Sam-kwi (Setan ke Tiga), jangan bunuh. Kita memerlukan mereka untuk menjadi pelayan-pelayan kita. Kita bikin tempat ini menjadi istana dengan belasan orang pelayan, heh-heh!"

"Benar apa yang dikatakan Thai-kwi (Setan Tertua) tadi, Sam-kwi. Aku pun sudah bosan setiap hari harus mencari makanan sendiri!"

Mendengar ucapan tiga orang itu, laki-laki raksasa yang memimpin lima belas orang anak buahnya itu terbelalak.

"Apakah kalian yang berjuluk Liok-te Sam-kwi (Tiga Iblis Bumi)?"

Kakek yang gendut bundar tertawa.

"Ha-ha-ha-ha, kiranya setan cilik ini cerdik juga, sudah dapat menduga siapa adanya kita. Setan-setan cilik, sesudah kalian mengetahui siapa kami, hayo lekas berlutut dan berjanji untuk menjadi pelayan-pelayan kami yang patuh!"

Raksasa yang berdiri di atas batu besar lantas bangkit berdiri, tubuhnya yang tinggi besar penuh otot mengembang itu amat menyeramkan dan dia berkata dengan lantang.

"Liok-te Sam-kwi, orang lain boleh merasa takut kepada kalian bertiga. Akan tetapi kami tidak takut kepada kalian. Kalau kalian tidak cepat pergi dari sini, kami enam belas orang pasti akan menyingkirkan kalian dengan paksa."

Thai-kwi yang bertubuh pendek gendut itu tertawa mendengar ucapan ini.

"Ji-kwi dan Sam-kwi, kalian mendengar bualan itu? Mari kita hajar mereka agar mengenal siapa kita, akan tetapi jangan dibunuh, kita membutuhkan tenaga mereka untuk melayani kita!"

Kepala gerombolan itu meloncat turun dari atas batu besar, lalu mencabut sebatang golok besar dari punggungnya dan memberi aba-aba kepada para anak buahnya,

"Serbu...! Bunuh mereka...!"

Lima belas orang anak buahnya juga sudah mencabut golok masing-masing dan dengan ganas mereka menyerang tiga orang aneh itu. Si Kong dalam persembunyiannya melihat betapa tiga orang itu kelihatan tenang saja, akan tetapi sesudah serangan keroyokan itu dilakukan, mereka segera bergerak mengelak kemudian membalas dengan tamparan dan tendangan mereka.

Memang gerakan mereka hebat sekali. Mereka tidak memegang senjata, namun gerakan mereka demikian cepat sehingga sukar diikuti dengan mata, tahu-tahu para pengeroyok itu berpelantingan terkena sambaran tangan atau kaki mereka. Golok-golok beterbangan terlepas dari tangan mereka dan dalam waktu sebentar saja enam belas orang itu sudah roboh semua!

Diam-diam Si Kong memandang dengan kagum. Di antara ketiga orang itu dia melihat si pendek gendut yang paling lihai. Akan tetapi yang diherankan dari ketiga orang ini, walau pun mempunyai ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, ternyata masih belum mampu melangkah seperti yang didengarnya ketika mendaki bukit ini tadi. Langkah-langkah orang di belakangnya akan tetapi begitu dia menengok, tidak nampak orangnya!

Agaknya ginkang ketiga orang ini belum setinggi yang dia dengar langkahnya tadi. Betapa pun juga harus diakui bahwa tiga orang itu lihai sekali. Dikeroyok enam belas orang yang rata-rata memiliki tenaga besar, begitu mudahnya bagi ketiga orang itu untuk merobohkan mereka semua.

Raksasa itu agaknya terkena tendangan yang paling parah karena dia tidak dapat segera bangun, hanya mengaduh-aduh sambil memegang dadanya yang tertendang oleh kaki si pendek gendut.

"Ha-ha-ha-ha!" Tiga orang itu kini tertawa-tawa. "Apakah kalian sudah mengenal kami?" Si pendek gendut yang menjadi orang pertama dari Tiga Iblis itu menghampiri pimpinan belasan orang itu.

Raksasa itu maklum bahwa dia dan kawan-kawannya tidak akan menang melawan tiga Datuk Iblis itu, maka dia pun terpaksa mengakui kekalahannya dari pada dibunuh.

"Kami telah kalah dan meyerah atas pimpinan sam-wi."

"Bagus! Mulai sekarang kalian enam belas orang menjadi anak buah kami, siapa berani membangkang akan kami bunuh!" kata pula si pendek gendut dengan girang.

Si Kong menyaksikan semua ini dan dia tidak ingin mencampuri. Itu adalah urusan orang-orang kang-ouw sesat yang saling berebut kekuasaan di Bukit Iblis itu. Tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya dan dia tidak ingin mencampuri. Biarlah kalau tiga orang iblis ini menguasai bukit ini dan mengambil belasan orang itu sebagai anak buah mereka.

Akan tetapi, selagi dia hendak pergi menyingkir dari tempat itu agar jangan terlibat, tiba-tiba terdengar lengkingan panjang yang membuat dia terkejut dan terpaksa Si Kong tidak jadi pergi, tetap mendekam di balik semak-semak untuk melihat apa yang akan terjadi.

Suara melengking tinggi itu bukan saja nyaring sekali, namun juga mengandung getaran yang membuat semua pendengarnya merasa jantung mereka terguncang hebat. Begitu mendengar lengkingan ini, belasan orang yang tadi kena hajar dan kini belum pulih benar, menjadi panik dan mereka roboh kembali karena tidak dapat menahan guncangan jantung mereka.

Ada pun tiga orang Datuk Iblis itu juga nampak terkejut, lalu mereka memejamkan mata dan mengerahkan sinkang untuk melindungi jantung mereka dan menolak pengaruh yang hebat dari lengkingan panjang itu. Si Kong sendiri menahan napas sambil mengerahkan sinkang untuk melindungi jantungnya.

Belum habis suara melengking itu, segera disusul suara gerengan yang juga amat hebat. Gerengan ini seperti gerengan harimau yang mengguncangkan jantung. Dua suara yang getarannya sama kuat ini seperti saling bersahutan, dan akhirnya dua suara ini berhenti. Dan entah dari mana datangnya, di atas batu besar yang tadi diduduki raksasa pemimpin gerombolan itu telah berdiri dua orang kakek.

Yang seorang berusia sedikitnya enam puluh tahun dan kepalanya besar sekali, sungguh menyolok karena berbeda dengan tubuhnya yang amat kecil. Kedua telinganya juga lebar sekali, tidak seperti telinga manusia biasa dan kepalanya botak. Dia memakai baju serba putih, tangan kanannya memegang sebuah tongkat kayu berbentuk ular yang panjangnya sampai ke pundaknya.

Orang kedua juga amat aneh. Kepalanya penuh rambut tebal yang panjangnya sampai ke punggung, mukanya juga penuh rambut seperti muka monyet, kedua lengannya panjang sekali hingga melebihi lututnya ketika tergantung di samping tubuhnya. Tangan kanannya memegang sebatang pecut seperti yang biasa dipegang oleh para penggembala ternak. Pakaiannya serba hitam.

Si Kong terkejut sekali melihat mereka. Dia sendiri tidak tahu kapan mereka itu datang, tahu-tahu telah berada di atas batu itu. Sekarang tahulah dia siapa yang tadi terdengar langkahnya akan tetapi tak nampak orangnya. Tentu kedua orang kakek aneh ini. Mereka memiliki ginkang yang sukar diukur tingginya. Dia sendiri yang sudah mahir ilmu Liok-te Hui-teng yang membuat dia dapat bergerak seperti terbang cepatnya, sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan dua orang kakek ini.

Liok-te Sam-kwi (Tiga Setan Bumi) juga terkejut melihat munculnya dua orang aneh ini. Mereka bertiga adalah tokoh-tokoh dunia sesat yang terkenal, akan tetapi mereka belum pernah bertemu dengan dua orang ini. Dan melihat kemunculan mereka, ketiga orang itu teringat akan dua nama yang amat ditakuti para tokoh persilatan. Dua nama yang hanya dikenal namanya akan tetapi jarang ada orang yang dapat bertemu dengan dua orang ini.

Thai-kwi, orang pertama dari Liok-te Sam-kwi yang pendek gendut, cepat-cepat memberi hormat dari tempat di mana dia berdiri. Dia mengangkat kedua tangannya ke depan dada sebagai penghormatan, lalu dengan suaranya yang besar dia pun berkata,

"Kalau kami tidak salah duga, tentu ji-wi yang dijuluki Ji Ok (Dua Yang Jahat). Apa bila memang demikian, kami bertiga Liok-te Sam-kwi menghaturkan hormat kami kepada ji-wi locianpwe!"

Dengan menyebut ji-wi locianpwe, Thai-kwi sudah merendahkan diri dan ini menandakan bahwa dia merasa jeri menghadapi kedua orang aneh itu. Melihat sikap Thai-kwi yang merendahkan diri, kakek yang kepalanya besar tertawa, suara tawanya menggelegar dan membuat seluruh puncak bukit itu tergetar.

"Hoa-ha-ha-ha-ha, bagaimana pendapatmu, Ji Ok (Jahat Ke Dua)? Kita berdua berjuluk Thai-mo-ong (Raja Iblis Tertua) dan Ji-mo-ong (Raja Iblis ke Dua) dan sekarang muncul mereka yang mengaku Liok-te Sam-kwi dan hendak menguasai Bukit Iblis ini? Apa yang harus kita lakukan terhadap Siauw-kwi (Iblis Cilik) ini?"

"Toa-ok, kenapa pusing-pusing memikirkan hal itu? Bunuh saja mereka agar tidak menjadi saingan dan penghalang bagi kita!" kata kakek seperti monyet yang mengenakan pakaian serba hitam itu.

"Ha-ha-ha-ha! Engkau benar sekali, Ji Ok. Nah, kalian bertiga sudah mendengar sendiri. Liok-te Sam-kwi, kami tidak ingin mengotorkan tangan untuk membunuh kalian. Sekarang cepat kalian bertiga membunuh diri di depan kami!"

Liok-te Sam-kwi terkejut bukan kepalang. Ini sungguh keterlaluan sekali. Mereka diminta membunuh diri supaya tidak menjadi saingan dan tidak menghalangi mereka berdua. Ini namanya terlalu memandang rendah kepada mereka!

Orang ketiga dari Liok-te Sam-kwi yang bertubuh katai seperti anak-anak ternyata adalah seorang cerdik. Dia hendak mempergunakan tenaga enam belas orang gerombolan yang baru saja menyerah kepada mereka. Dia meloncat ke depan pimpinan gerombolan itu dan berkata,

"Kami perintahkan kalian semua untuk mengeroyok dua orang kakek itu!"

Enam belas orang itu tidak berani membangkang. Mereka sudah mencabut golok mereka dan mengepung dua orang kakek itu, ada pun Liok-te Sam-kwi sendiri sudah bersiap-siap pula.

Dengan penuh perhatian Si Kong menonton dari tempat persembunyiannya. Jantungnya berdebar tegang karena dia tahu bahwa sekarang akan terjadi pertandingan yang hebat. Tiga orang Liok-te Sam-kwi itu mempunyai ilmu kepandaian yang hebat, akan tetapi dua orang kakek Toa Ok dan Ji Ok ini agaknya memiliki ilmu yang lebih hebat lagi.

Karena dapat menduga bahwa mereka menghadapi lawan yang berat, Liok-te Sam-kwi langsung mengeluarkan senjata masing-masing. Orang pertama yang gendut bundar itu mengeluarkan sebuah rantai baja yang ujungnya dipasangi kaitan, yang tadinya dilibatkan pada pinggangnya.

Orang kedua yang tinggi kurus juga mencabut sebatang pedang dari punggungnya, dan orang ketiga yang katai mencabut sepasang golok kecil dari punggungnya pula. Bersama enam belas orang gerombolan yang sudah menjadi anak buah mereka itu, mereka kini mengepung batu besar di mana Toa Ok dan Ji Ok berdiri.

Dua orang Raja Iblis ini hanya tersenyum-senyum dengan tenangnya, bagaikan dua orang dewasa menghadapi pengeroyokan anak-anak kecil saja. Tiba-tiba, seperti sudah saling bersepakat lebih dahulu, Toa Ok si kepala besar meloncat turun dari atas batu, ke arah kiri, sedangkan Ji Ok Si Muka Monyet itu meloncat turun ke arah kanan sehingga mereka terpisah menjadi dua.

Para pengeroyoknya juga terbagi menjadi dua. Si gendut dan si katai bersama delapan orang anak buah sudah mengepung Toa Ok. Sedangkan si tinggi kurus bersama delapan orang anak buah yang lain mengepung Ji Ok.

"Hyaaattttt..!"

Si gendut sudah mulai dengan serangannya. Cambuk rantainya menyambar dan menjadi sinar putih menghantam ke arah leher Toa Ok. Gerakan ini disusul pula oleh si katai yang menggerakkan sepasang goloknya. Demikian pula delapan orang anak buah mereka telah menggerakkan golok masing-masing untuk mengeroyok.

Toa Ok tertawa bergelak dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke atas dengan kecepatan kilat. Sambil meloncat dia menggerakkan tongkat ularnya ke bawah, kemudian sekali tongkat itu menyambar maka robohlah empat orang anak buah gerombolan itu dengan kepala pecah!

Ji Ok juga dikepung rapat oleh si tinggi kurus dan delapan orang anak buahnya. Si tinggi kurus menggerakkan pedangnya dan menyerang dengan cepat sekali, diikuti oleh delapan orang anak buahnya yang menggerakkan golok mereka. Akan tetapi Ji Ok memandang rendah mereka. Pecutnya meledak-ledak dan nampak seperti kepulan asap ketika pecut itu meledak-ledak. Tubuhnya sendiri berkelebat lenyap dari kepungan sembilan orang itu dan pada saat pecutnya berhenti meledak, sudah ada empat orang pengeroyok terkapar dengan leher hampir putus! Gerakan pecutnya demikian lihai sehingga pecut itu menjadi tajam seperti pedang.

Liok-te Sam-kwi mengeroyok dan berusaha mati-matian untuk merobohkan Toa Ok dan Ji Ok, akan tetapi mereka kalah cepat dan tenaganya kalah kuat. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, begitu tongkat ular berhenti menyambar dan pecut berhenti meledak, semua pengeroyok itu, Liok-te Sam-kwi bersama keenam belas orang anak buah mereka sudah roboh dan tewas semua!

Dua orang kakek itu meloncat lagi ke atas batu besar, lantas keduanya tertawa terkekeh saking gembiranya telah dapat membunuh sekian banyaknya orang dalam waktu singkat. Si Kong bergidik. Sungguh tepat mereka disebut Toa Ok dan Ji Ok, Si Jahat Pertama dan Si Jahat Kedua dengan julukan Thai-mo-ong dan Ji-mo-ong! Mereka dapat membunuhi belasan orang dengan begitu saja, tanpa sebab yang jelas.

Karena tak dapat menahan lagi menonton pertunjukan yang kejam itu, Si Kong membuat gerakan hendak pergi dari tempat persembunyiannya. Dia lupa betapa lihainya dua orang Raja Iblis itu. Baru saja beberapa langkah dia maju, tiba-tiba Ji Ok sudah berseru dengan suaranya yang tinggi kecil.

"Siapa itu? Berhenti atau kamu mati!"

Si Kong terkejut dan baru teringat bahwa sedikit gerakan saja tentu akan diketahui oleh mereka yang sangat lihai. Dia berhenti melangkah dan membalikan tubuh. Kini dia sudah berdiri di balik semak sehingga dari pinggang ke atas dapat terlihat oleh dua Raja Iblis itu. Melihat betapa orang itu hanya seorang pemuda remaja yang membawa buntalan pakaian di ujung pikulan bambunya, dua orang kakek itu mendengus marah.

"Engkau melihat apa?!" bentak Ji Ok pula.

Karena masih muak menyaksikan pembunuhan atau pembantaian keji itu, seperti dengan sendirinya Si Kong menjawab,

"Saya melihat pembantaian di luar peri kemanusiaan!"

Dua orang kakek itu tertegun, lantas tertawa bergelak. Ji Ok menggerakkan pecutnya ke bawah. Pecut itu meledak dan menyambar ke bawah, ujungnya sudah melibat sebatang golok milik anak buah gerombolan, lantas sekali menggerakkan pecutnya, golok itu sudah terbang kemudian menancap di depan kaki Si Kong.

"Pungut pedang itu dan gorok lehermu sendiri!" Ji Ok membentak pula.

Panas hati Si Kong. Dia tahu bahwa dua orang kakek itu lihai sekali, akan tetapi dia tidak takut. Apa lagi disuruh membunuh diri sendiri. Mana mungkin dia dapat mentaati perintah yang keji itu? Dia membungkuk perlahan dan memungut golok itu. Akan tetapi dia tidak menggorok batang leher sendiri melainkan menggunakan jari tangan menekuk golok itu.

"Pletakkk!" Golok itu patah menjadi dua, lalu dilempar ke atas tanah oleh Si Kong.

Melihat ini Ji Ok menjadi marah sekali. Gerakan Si Kong mematahkan golok itu dianggap sebagai tantangan kepadanya! Dia ditantang oleh anak kemarin sore, seorang pemuda remaja! Akan tetapi Ji Ok masih merasa segan untuk bermusuhan dengan seorang bocah remaja. Hal itu dianggapnya sangat memalukan dan merendahkan kedudukannya sebagai datuk besar.

Dengan kemarahan yang ditahan-tahan dia menendang ujung batu besar itu. Ujungnya pecah lalu pecahan batu sebesar kepala itu meluncur dan menyambar ke arah kepala Si Kong! Akan tetapi dengan tenang saja Si Kong menarik kepalanya ke belakang sehingga sambaran batu itu luput.