Pedang Ular Merah Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG ULAR MERAH JILID 06

Karena buaian cumbu rayu dan kasih sayang, sepasang orang muda ini melakukan perjalanan dengan amat gembira. Mereka tidak memperdulikan lagi akan bahaya yang mungkin datang dari kejaran Tiong Han maupun suhu mereka. Kui Hwa amat percaya kepada kekasihnya, karena dara inipun maklum akan kelihaian Tiong Kiat. Misalnya suhu mereka mengejar, dengan kekuatan mereka, agaknya guru mereka sendiripun takkan dapat mengganggu kebahagiaan mereka.

Akan tetapi beberapa belas hari kemudian, ketika sepasang orang muda ini akan pesiar di sebuah telaga, mengaso di pinggir telaga melihat orang-orang berpesta di atas perahu alangkah terkejutnya hati mereka ketika tiba- tiba Can Kong berdiri di hadapan mereka dengan pedang terhunus di tangan kanan.

"Ayah...!" Kui Hwa berseru dengan wajah pucat dan gadis itu menghampiri ayahnya hendak berlutut, akan tetapi Can Kong menggerakkan pedangnya dan membacokkan pedang itu ke arah leher Kui Hwa! Biatpun kepandaian Kui Hwa lebih tinggi dari pada ayahnya, namun bacokan yang dilakukan oleh ayahnya dan diserangkan kepadanya yang sedang berlutut itu, agaknya tak dapat dielakkan lagi!

"Traang...!" terdengar suara keras dan pedang di tangan Can Kong tinggal gagangnya saja.

Ternyata bahwa pedangnya yang mengancam nyawa puterinya sendiri itu tehh kena ditangkis oleh Tiong Kiat yang mempergunakan pedang Ang-coa-kiam. Dapat dibayangkan betapa tajam dan ampuhnya pedang Ang-coa-kiam. Baru saja terbentur sekali, pedang di tangan Can Kong telah dibabat putus!

"Anjing... anjing rendah tak tahu bermalu!" Can Kong berseru dengan nafas terengah-engah. "Kalian harus mampus.” kemudian dengan nekad Can Kong lalu menubruk Kui Hwa uuruk mencekik lehernya.

"Ayah...! Ampunkan anakmu, ayah..."

Kui Hwa mengeluh tanpa berani melawan, akan tetapi kembali Tiong Kiat yang menolongnya. Sebuah sampokan lengan kanan pemuda ini membuat tubuh Can Kong terpental dan terhuyung-huyung mundur ke belakang hampir jatuh! Memang, kepandaian Can Kong masih kalah jauh kalah dibandingkan dengan kepandaian Tiong Kiat, baik ilmu pedang, maupun tenaga lweekangnya.

"Suheng," kata Tiong Kiat yang menyebut kakak seperguruan karena memang Can Kong juga murid dari Lui Thian Sianjin, "tidak ada harimau makan anaknya, apalagi manusia!"

"Anjing she Sim!" Can Kong marah sekali sehingga sepasang matanya seakan-akan mengeluarkan cahaya api dan mulutnya mengeluarkan buih. "Kau telah melakukan perbuatan rendah melarikan anak gadis orang, masih dapat memberi nasihat kepadaku? Saat ini kalau bukan kau, tentu aku yang akan mampus!" Setelah berkata demikian, Can Kong kembali menyerang, dan kali ini ia menyerang Tiong Kiat dengan sepenuh tenaga!

"Ayah...!" Kui Hwa menjerit dan hanya dapat menangis. Ayahnya sudah nekad benar dan menyerang secara bertubi-tubi dan mata gelap.

Tiong Kiat telah menyimpan kembali pedangnya dan sesungguhnya ia tidak berani untuk membalas serangannya orang tua yang nekad itu. Akan tetapi, karena Can Kong menyerang dengan mati-matian, ia menjadi repot juga.

"Can suheng, mengapa kau berlaku seperti anak kecil. Biarkan kami berdua pergi. Aku masih menghormatimu sebagai seorang subeng dan kalau boleh, sebagai orang tua sendiri, akan tetapi kesabaran ada batasnya“ kata Tiong Kiat sambil menangkis sebuah pukulan dengan tenaga sepenuhnya sehingga Can Kong merasa betapa lengannya sakit sekali dan kembali tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.

"Bangsat rendah! Binatang tak bermalu!" Can Kong memaki lagi tanpa memperdulikan rasa sakit pada lengannya, ia menyerbu kembali dengan ilmu pukulan Kim-liong pai yang berbahaya bagi lawannya.

"Kau mencari penyakit sendiri" kata Tiong Kiat dengan marah karena ia anggap orang tua ini amat keterlaluan.

"Koko, jangan...!" Kui Hwa berseru akan tetapi terlambat. Tiong Kiat telah membalas serangan lawannya dan ketika tubuhnya bergerak cepat, sebuah tendangannya yang lihai telah mengenai lambung Can Kong dengan hebatnya. Tubuh Can Kong terlempar jauh dan roboh ke dalam air telaga!

"Ayah...” Kui Hwa menjerit dan menolong ayahnya, akan tetapi pada saat itu, diantara perahu-perahu yang bergerak ke sana ke mari di atas telaga, meluncur cepat sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh seorang hwesio gemuk, sekali ia mengulurkan tangannya tubuh Can Kong yang hampir tenggelam itu telah berpindah ke dalam perahu.

"Siapa pemuda itu, siapa pula gadis itu dan siapa kau” tanya pendeta Buddha ini kepada Can Kong yang napasnya sudah empas-empis.

Can Kong membuka matanya dan ketika ia melihat hwesio gemuk itu ia tersenyum pahit. Ia mengenal hwesio ini yane bukan lain adalah seorang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal, la bernama Cin Kun Hosiang, tokoh dari Bu-tong-pai, hwesio perantau yang menjadi pendekar besar penolong rakyat sehingga namanya amat terkenal, baik di kalangan rakyat maupun di dunia kang-ouw.

"Cin suhu, celakalah... hancur nama... baikku oleh anjing-anjing tak bermalu itu. Perempuan itu adalah puteri tunggalku, sedangkan pemuda itu adalah suteku sendiri. Mereka... mereka minggat... dan..."

Orang tua itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia menjadi lemas dan pingsan karena luka pada lambungnya yang hebat akibat tendangan Tiong Kiat. Bukan main marahnya Cin Kun Hosiang mendengar keterangan ini. Dengan tangan kiri memondong tubuh Can Kong. Ia lalu melompat ke pantai, mengagumkan sekali gerakannya ini karena tubuhnya yang gendut itu seakan-akan amat ringan.

Ketika berhadapan dengan Tiong Kiat yang memandang dengan sikap dingin dan Kui Hwa yang masih mengucurkan air mata, hwesio itu lalu menurunkan tubuh Can Kong yang masih pingsan itu di atas tanah. Kui Hwa hendak menubruk ayahnya, akan tetapi hwesio itu mengebutkan ujung lengan bajunya ke arah gadis itu sambil berkata,

"Jangan mengotori ayahmu dengan tanganmu yang bernoda"

Kui Hwa terkejut sekali karena ujung lengan baju itu mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat. Akan tetapi dengan lincahnya ia dapat mengelak dan memandang kepada hwesio itu dengan marah.

"Kepala gundul. Siapakah kau maka berani sekali kau berkata demikian kepadaku?" bentaknya.

Hwesio itu tertawa bergelak. "Pinceng Cin Kun Hosiang paling benci kepada orang orang jahat, akan tetapi lebih benci lagi kepada seorang anak durbaka. Kau adalah seorang anak perempuan yang mendurhakan terhadap orang tua, seorang anak gadis tak bermalu yang menodai nama keluarga! Percuma saja kau dilahirkan di atas dunia, lebih baik sekarang juga kau meninggalkan dunia agar nama baik ayahmu tidak sampai menjadi buah tutur orang!"

"Keparat” bentak Kui Hwa. "Aku pernah mendengar nama Cin Kun Hosiang sebagai tokoh Bu-tong-pai yang tersohor, akan tetapi ternyata kau hanya seorang kepala gundul ysng berpura-pura alim dan orang yang lancang yang suka mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Kau kira aku takut kepadamu?"

Kui Hwa menjadi marah sekali oleh karena ucapan itu didengar oleh orang-orang yang kini mulai berkumpul menonton mereka. Ia merasa dihina dan dibikin malu sekali, maka setelah mencabut pedangnya ia lalu menyerang hwesio gemuk itu.

Cin Kun Hosiang ketika melihat datangnya serangan yang cukup hebat ini, diam-diam menjadi terkejut. Ia maklum akan kehebatan ilmu pedang Kim-liong-pai akan tetapi ia pernah melihat Can Kong bermain silat dengan pedang dan karena tingkat Can Kong masih rendah, maka hwesio ini merasa sanggup untuk menghadapinya.

Kini melihat gerakan Kui Hwa, selain terkejut iapun merasa heran bagaimana gadis ini memiliki ilmu pedang yang jauh lebih hebat dari pada ilmu pedang ayahnya! Akan tetapi ia tidak tempat banyak berpikir dan cepat pula ia mencabut senjatanya, yakni sebatang tongkat pendek yang tadinya terselip di pinggangnya.

Pertempuran hebat terjadi di pantai telaga itu antara Cin Kun Hosiang dan Kui Hwa. Kalau dibandingkan antara kedua orang yang sedang bertempur ini, maka kepandaian mereka boleh dibilang berimbang kuatnya. Hwesio gemuk itu lebih menang dalam hal tenaga lweekang dan pengalaman, akan tetapi Kui Hwa menang jauh dalam kecepatan dan kehebatan gerakan pedangnya.

Pedangnya melupakan seekor burung elang yang menyerang dan menyambar-nyambar dan semua penjuru, sedangkan tongkat di tangan Cin Kun Hosiang merupakan seekor induk ayam yang melindungi anak anaknya dari serangan elang itu. Gerakannya tidak cepat dan amat tenang, akan tetapi sekali digerakkan, cukup untuk membikiu pedang Kui Hwa terpental kembali.

Betapapun juga, karena kalah lihai ilmu silatnya, hwesio gendut itu terdesak hebat oleh Kui Hwa, sungguhpun takkan mudah bagi Kui Hwa untuk merobohkan lawannya. Diam-diam Cin Kun Hosiang merasa kaget sekali. Jarang sekali hwesio ini bertemu dengan lawan yang sedemikian tangguhnya. Banyak sudah ia mengalami pertempuran menghadapi penjahat-penjahat dan perampok-perampok, akan tetapi selalu ia memperoleh kemenangan.

Jarang ada orang yang sanggup menghadapi tongkatnya yang digerakkan dengan tenaga lweekangnya yang sudah tinggi. Akan tetapi siapa kira bahwa kini menghadapi puteri Can Kong seorang dara jelita yang masih muda sekali, ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membalas serangan gadis ini.

Cin Kun Hosiang menjadi keki (gemas) juga. Pada saat pedang Kui Hwa menyambar dari atas, ia cepat menangkis dengan tongkatnya, dan membarengi dengan serangan pukulan tangan kirinya ke arah dada gadis itu! Inilah serangan dari ilmu pukulan Lwee-khi-ciang-hoat yang luar biasa hebatnya, karena pukulan ini dilakukan dengan pengerahan tenaga khi-kang. pukulan ini tidak perlu mengenai tubuh, hawa pukulannya saja cukup mengalahkan lawan. Yang paling hebat adalah pukulan ini takkan terasa oleh lawan dan tidak melukai tubuh luar, namun menyerang dan melukai tubuh bagian dalam.

Untung bagi Kui Hwa selama itu, Tiong Kiat memandang pertempuran dengan penuh perhatian. Ketika ia melihat betapa Kui Hwa dapat mendesak lawannya dan meyakinkan bahwa kekasihnya itu pasti akan dapat mengalahkan Cin Kun Hosiang, ia merasa lega dan tidak mau turun tangan membantu. Akan tetapi ketika melihat gerakan pukulan hwesio itu, ia menjadi terkejut sekali.

"Awas pukulan Lwee-khi!" teriaknya memperingatkan Kui Hwa dan berbareng ia mengirim pukulan dengan tenaga khikangnya ke arah hwesio itu.

Cin Kun Hosiang terkejut ketika merasa angin pukulan yang luar biasa kuatnya menyambar dari samping. Ia terpaksa menarik kembali pukulannya itu dan mencoba menjejak, akan tetapi Kui Hwa yang merasa marah sekali kepada lawannya, tidak memberi hati dan ketika pedangnya meluncur ke depan biarpun Cin Kun Hosiang mencoba untuk mengelak, tetap saja ujung pedang itu menancap ke pundaknya sebelah kanan.

Ketika Kui Hwa mencabut pedangnya, Cin Kun Hosiang terhuyung ke belakang, kemudian roboh mandi darah dalam keadaan pingsan. Tiong Kiat memegang tangan kekasihnya, menariknya sambil berkata,

"Hayo kita pergi, moi-moi"

Kui Hwa beberapa kali menengok ke arah ayahnya, akan tetapi ia hanya terisak sedih dan mengikuti kekasihnya yang berlari cepat. Setelah jauh dari tempat itu, Kui Hwa berhenti berlari, menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis tersedu-sedu. Tiong Kiat menghampirinya, lalu memeluknya.

"Koko mengapa kau melukai ayah? Bagaimana kalau kalau ia mati? Ah, kau yang membunuhnya"

Tiong Kiat mnmegang kedua pundak Kui Hwa dan memaksa gadis itu memandangnya. “Kui Hwa, pikirlah baik-baik. Dalam keadaan seperti itu, kau hanya tinggal memilih, ayahmu atau aku! Dia telah menyerangku mati-matian, dan kaupun tahu bahwa tadinya aku selalu mengalah. Akan tetapi, kalau aku terus mengalah, bukan dia yang roboh pasti aku yang roboh, pasti akulah yang telah dirobohkannya. Kalau aku yang terluka, apakah ayahmu akan mau melepaskan aku begitu saja tanpa membunuhku lebih dulu?”

Mendengar ucapan ini, Kui Hwa menundukkan mukanya sambil terisak-isak menahan kepedihan. “Aku aku menyesal sekali, koko... Bagaimanakah nasibku menjadi begini? Aku bermusuhan dengan ayah sendiri..."

Tiong Kiat menghiburnya, menggunakan tangannya untuk menghapus air mata kekasihnya yang mengalir turun disepanjang pipinya, lalu mendekap kepalanya.

"Jangan takut, moi-moi. Bukankah ada aku yang akan selalu melindungimu? Tidak apalah kalau ayahmu membencimu, bukankah sudah ada aku seorang yang akan mencinta dan membelamu selama hidupku?"

Terhibur juga hati Kui Hwa mendengar ucapan yang penuh cinta kasih ini. "Koko, betul-betulkah kau akan tetap mencintaiku selama hidupmu? Tidak akan tertarik oleh gadis lain yang lebih cantik dari pada aku?" bisiknya manja.

"Aku bersumpah, moi-moi. Bukankah sudah berkali-kali aku menyatakan bahwa aku mencintamu dengan segenap nyawaku?" kata Tiong Kiat kepada Kui Hwa yang merem melek terayun oleh bujuk rayu yang dikeluarkan dengan suara halus dan yang cukup kuat untuk merobohkan hati seoiang gadis ini.

Demikianlah amat berbahaya kalau seorang gadis hanya membuka telinga untuk mendengarkan bujuk rayu seorang pemuda, tanpa membuka kewaspadaan hatinya dan kewaspadaan matanya untuk dapat melihat apakah yang tersembunyi di balik senyum manis, dan apa yang terdengar di balik cumbu rayu itu. Sekali ia telah terjebak dan masuk perangkap sukarlah baginya untuk keluar kembali.

"Koko, sekali lagi aku mohon kepadamu, janganlah kau melupakan aku, jangan meninggalkan aku, dan jangan pula kau bermain gila dengar wanita lain. Aku takkan kuat menahannya dan aku lebih baik mati dari pada harus berpisah dengan kau, dari pada harus melihat engkau berkasih-kasihan dengan wanita lain. Akan kubunuh wanita itu!"

"Jangan khawatir, kekasihku, tidak ada wanita yang lebih cantik, lebih manis dan lebih setia dari padamu!"

Terhiburlah hati Kui Hwa dan anak ini telah melupakan lagi ayahnya yang ditinggalkan dalam keadaan terluka parah. Tidak teringat lagi ia apakah ayahnya akan mati akibat tendangan kekasihnya itu, ataukah masih hidup? Bahkan Kui Hwa tidak perduli lagi akan nama Cin Kun Hoaiang yang sudah ia lukai.

Pada hal kalau pikirannya sadar, ia akan mengeluarkan keringat dingin kalau teringat betapa telah melukai seorang pendekar yang sudah tersohor namanya, seorang gagah yang dicintai oleh orang-orang kang-ouw, yang mempunyai banyak sekali kawan-kawan yang tentu saja takkan tinggal diam.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan, merantau tanpa arah tujuan tetap. Di mana saja mereka mendengar ada tempat yang bagus dan menyenangkan, mereka lalu mendatangi tempat itu. Keadaan mereka tiada ubahnya seperti sepasang pengantin baru yang melakukan perjalanan berbulan madu.

********************

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Akan tetapi, tepat sebagaimana yang di ajarkan oleh para cerdik pandai dan para bijaksana di jaman dahulu, bahwa segala sesuatu mengenai tindakan dalam hidup, harus dilakukan dengan hati suci, bersih dari pada Lima Sifat yang dipergunakan sebagai garis dan batas hidup. Lima Sifat itu adalah Jin, Gie, Lee, Ti, Sin.

Demikianlah dengan hubungan antara Tiong Kiat dan Kui Hwa. Kedua orang muda ini melakukan hubungan hanya karena dorongan nafsu semata, nafsu yang membikin buta mata batin mereka, yang melumpuhkan keteguhan iman mereka. Dan semua penyelewengan ini terjadi karena tidak adanya Lee, karena tidak adanya peraturan. Mereka telah melanggar Lee, melanggar peraturan yang diajarkan oleh para bijaksana.

Hubungan mereka setelah dewasa melampaui kesopanan dan sama sekali melanggar peraturan kesopanan dan kesusilaan. Akibatnya mereka terkena bujukan iblis, dan kemudian mereka bahkan meninggalkan suhu dan orang tua, minggat dan melakukan pelanggaran peraturan yang kedua. Ketiga kalinya mereka hidup seperti suami isteri di luar pernikahan yang sah, dan hal ini lebih-lebih melakukan pelanggaran peraturan yang amat buruk.

Semenjak jaman dahulu, orang orang di negeri Tiongkok selalu berpegang teguh kepada peraturan, terutama sekali dalam hal hubungan antara laki-laki dan wanita, dan bagaimana bukti kebaikannya? Bagi seorang rakyat Tiongkok, pernikahannya hanya terjadi satu kali selama mereka hidup. Jarang sekali, hampir tidak ada, terjadi perceraian-perceraian, dan suami isteri hidup rukun sampai di hari tua.


Setelah melakukan perjalanan beberapa bulan saja, mulai lunturlah cinta kasih yang didengungkan oleh mulut Tiong Kiat terhadap Kui Hwa. Biarpun kini pemuda itu sama sekali tidak menyatakan kelunturan cinta kasihnya dalam kata-kata, namun pandangan mata dan sikapnya membuat Kui Hwa amat gelisah. Gadis ini benar-benar mencinta Tiong Kiat, bahkan telah membuktikan cintanya itu dengan memberatkan pemuda itu dari pada ayahnya.

Berkali-kali mulai timbul percecokan dan perbantahan diantara mereka karena soal kecil saja dan hati Kui Hwa makin lama makin gelisah dan sedih. Ia membujuk-bujuk kekasihnya itu untuk menghentikan perantauan mereka dan tinggal di dalam sebuah kota, mencari rumah dan hidup berumah tangga sebagaimana yang diidam-idamkan oleh semua gadis di dunia ini. Akan tetapi Tiong Kiat selalu menyatakan tidak setuju.

"Aku tidak betah tinggal di rumah. Kalau kau merasa lelah ikut aku merantau, marilah kita mencari rumah dan kau beristirahat di situ. biar aku melanjutkan perantauan seorang diri."

Semenjak mendapat jawaban ini, Kui Hwa tidak berani lagi bicara tentang menghentikan perantauan mereka. Ia juga tidak membantah ketika melihat Tiong Kiat mendatangi rumah gedung orang-orang hartawan untuk mencuri emas dan perak guna dipakai membiayai perjalanan mereka. Beberapa bulan kemudian, mereka tiba di sebuah dusun di luar kota Heng-yang.

Baru saja mereka berjalan mematuki pagar dusun, tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan dan mereka melihat dua orang wanita sedang berlari ketakutan, dikejar oleh seorang laki-laki tua yang membawa golok yang diangkatnya tinggi-tinggi. Dua orang wanita itu adalah orang-orang dusun, akan tetapi yang seorang biarpun berpakaian sederhana seperti pakaian orang dusun, ternyata masih muda dan amat cantiknya. Adapun wanita kedua sudah setengah tua, berlari sambil menggandeng dan menarik lengan gadis cantik manis itu.

Melihat bahaya maut mengancam kedua orang wanita itu, Tiong Kiat dan Kui Hwa segera turun tangan. Kui Hwa melompat ke dekat kedua orang wanita itu untuk melindungi mereka, adapun Tiong Kiat cepat menyerbu laki-laki bergolok itu. Akan tetapi, alangkah herannya ketika sekali saja mengulur tangan, golok itu dengan mudah telah dapat dirampasnya. Ternyata laki laki itu seorang dusun yang lemah dan sama sekali tidak pantas menjadi orang jahat yang mengganggu dan mengancam wanita! la menyangka bahwa mungkin orang ini berotak miring, maka bentaknya,

"Orang gila darimana berlaku kurang ajar kepada orang perempuan?”

Akan tetapi orang laki-laki yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu, menjadi marah dan menegur Tiong Kiat dengan mata merah,

"Orang muda, kau perduli apakah dengan urusan rumah tangga orang lain? Mereka adalah istri dan anakku, aku hendak membunuh mereka kemudian membunuh diri sendiri, ada hubungan apakah dengan engkau?"

Tiong Kiat tersenyum jenaka. "Kakek lucu, kau ingin mati mengapa mengajak orang lain? Bila kau memaksa anak istri untuk ikut sertamu mati, sungguh pengecut!”

Kakek itu makin marah. ”Mengapa kau bilang aku pengecut!”

“Itu karena kau takut hidup, takut menghadapi kesukaran, maka kuanggap kau pengecut! Sudah terang bahwa anak istrimu tidak sudi mati, akan tetapi kau hendak memaksa mereka. Dengan perbuatan ini, kembali kau pengecut, jadi dua kali pengecut!"

Mendengar ucapan ini, tiba-tiba wajah yang tadinya marah itu menjadi muram dan laki-laki itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah dan menangis! Kedua orang wanita yang dikejar-kejar tadi lalu berlari menghampiri dan bertangis-tangisanlah ketiga orang itu! Tentu saja Tiong Kiat dan Kui Hwa hanya bisa saling pandang dengan heran dan geli hatinya.

"Eh, ah, bagaimana pula ini?" Kui Hwa kini maju bertanya. "Seperti anak keciI saja kalian ini. Tadi berkejar-kejaran sekarang bertangis-tangisan! Kesusahan apakah yang mengganggu kalian? Beritahukan kepada kami, pasti kami akan dapat membantu kalian."

Ketiga orang itu mengangkat muka memandang kepada dua orang muda itu dan setelah kini melihat dari dekat, diam-diam Tiong Kiat mengerling kagum ke arah gadis dusun yang benar benar cantik sekali itu! Karena menangis sepasang pipi gadis itu menjadi kemerah-merahan dan bibirnya demikian menarik dan indah sehingga diam-diam Tiong Kiat menelan ludah!

"Kami adalah orang orang yang tertimpa kemalangan hebat," kata kakek itu. "Loan Li puteri kami yang hanya seorang ini telah terlihat oleh Hek-pa-cu (Macan Tutul Hitam) dan telah dipinang! Kami tidak melihat jalan keluar, maka kupikir lebih baik kami binasa daripada anak kami menjadi korban Hek-pa-cu!

"Hm, siapakah Hek pa cu itu? Orang macam apakah dia?" tanya Tiong Kiat sambil memandang gadis yang bernama Loan Li itu.

Kini kakek itu yang memandang heran. "jiwi tentu datang dari tempat jauh maka belum pernah mendengar nama Hek-pa-cu Tong Sun! Dia telah dikenal baik oleh seluruh penduduk di sekitar daerah Heng-yang. Dialah pemimpin dari gerombolan Sorban Merah yang terkenal!”

"Kalau begitu mengapa pula kau menolak pinangannya? Bukankah ia seorang ternama seperti katamu tadi? Terima saja pinangannya, habis perkara!" kata Kui Hwa.

"Tidak... tidak sudi... lebih baik mati!” gadis cantik berkata dan wajahnya berobah pucat, sambiI menggoyang-goyangkan kedua tangan ia menyatakan tidak setuju.

"Nah, itulah yang menggelisahkan hatiku. Anakku tidak mau menjadi bini muda Hek pa cu dan penolakan ini berarti kematian yang mengerikan bagi kami bertiga. Dari pada mati disiksa oleh kaki tangan Hek-pa-cu lebih baik aku sendiri yang menjadi algojo atas nyawa kami bertiga."

"Hm, orang macam apakah Hek-pa-cu ini sehingga ia demikian berkuasa?" kata Tiong Kiat.

"Empek, jangan kau takut, kebetulan sekali aku adalah seorang ahli menangkap se...

(Maaf! ada sebagai yang hilang, sehingga cerita ini terpotong...!)

“Kami keluarga Gu, namaku Gu Seng, bertempat tinggal di dusun ini. Banyak terima kasih karena taihiap dan lihiap sudi menolong kami. Akan tetapi, Hek-pa-cu adalah seorang yang kejam dan tangguh sekali, adapun kaki tangannya amat banyak jumlahnya. Bagaimanakah jiwi dapat menghadapinya?"

"Tak usah kuatir lopek " kata Kui Hwa, "biarpun seandainya terdapat seratus orang Hek-pa-cu kami berdua sanggup untuk mencabuti kumis dan ekor mereka!"

Dengan girang tiga orang itu berlutut menghaturkan terima kasih, kemudian mereka lalu kembali ke rumah mereka dan menanti dengan hati berdebar-debar.

"Hwa moi, agaknya Hek-pa-cu ini amat jahat dan berpengaruh. Lebih baik kita mendatangi sarangnya dan membasminya sama sekali agar daerah ini terhindar dari pada kejahatannya. Biarlah gadis itu dibawa ke sarang mereka dan diam-diam kita mengikutinya, Setelah tiba di sarang mereka, barulah kita turun tangan, menolong gadis itu dan sekalian menghancurkan sarang mereka. Bagaimana pendapatmu?"

"Memang sebaiknya demikian, koko. Akan tetapi, hal ini perlu kita beritahukan kepada keluarga Gu, agar mereka tidak menjadi terkejut dan gelisah, dan mengerti akan siasat kita."

Menjelang malam, kedua orang muda ini mendatangi rumah keluarga Gu, dan memberi-tahukan siasat mereka itu. Karena keluarga Gu tidak melihat jalan keluar dari pada ancaman ini, maka tentu saja mereka menurut segala petunjuk dan kehendak penolong mereka!

Dan pada malam hari ini, datanglah serombongan orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar berpakaian seragam dengan sorban merah. Mereka ini adalah anak buah dari Hek-pa-cu yang datang membawa sebuah tandu untuk mengambil Loan Li. Jumlah mereka lima belas orang, semuanya nampak seram dan galak.

Penduduk kampung itu yang sudah mendengar tentang kehendak Hek pa cu untuk mengambil Loan Li, siang-siang sudah menutup pintu dan yang berani keluar hanyalah orang-orang lelaki yang berdiri di depan rumah dengan sikap menghormat. Mereka memandang kepada rombongan orang-orang itu dengan ketakutan, bagaikan melihat serombongan macan tutul yang galak.

Dengan hati tidak karuan rasa, Gu Seng dan istrinya menyambut kedatangan rombongan itu dan dengan memaksa diri menarik muka manis dan ramah tamah, mereka lalu menghidangkan minuman dan makanan. Akan tetapi pemimpin rombongan itu menolak hidangannya sambil berkata,

“Orang she Gu tak perlu menyambut kami. Yang penting segera suruh anakmu berhias dan masuk ke dalam tandu, ikut dengan kami. Twako sudah tidak sabar lagi, dan besok siang kau boleh datang ke hutan sebelah barat untuk menerima penghormatan dari twako serta hadiah-hadiah!"

Dengan wajah pucat dan kedua kaki gemetar, loan Li lalu berjalan keluar, dibimbing oleh ibunya, lalu setengah memaksa ibunya menyuruh gadis itu memasuki tandu yang sudah tersedia di depan rumah. Rombongan itu sambil tertawa-tawa melihat gadis ini dan kemudian tandu lalu dipanggul dan dibawalah gadis itu keluar dari dusun memasuki hutan sebelah barat!

Diam diam dua bayangan orang mengikuti gerak gerik rombongan Sorban Merah ini. Mereka bukan lain adalah Tiong Kiat dan Kui Hwa. Mereka mengikuti rombongan itu memasuki hutan dan ternyata bahwa rombongan itu membawa Loan-Li ke sebuah rumah besar yang terdapat di dalam hutan itu. Akan tetapi, ketika Kui Hwa dan Tiong Kiat mengintai dari atas genteng, mereka melihat bahwa gadis itu dimasukkan ke dalam kamar yang terjaga kuat, sedangkan di tempat itu tidak nampak bayangan Hek-pa-cu!

Kemudian mereka mendengar dari pembicaraan para penjaga itu bahwa Hek-pa-cu sebetulnya tinggal di kota Heng-yang dan keesokan harinya baru akan datang menjemput calon bini mudanya! Terpaksa sepasang orang muda ini melewatkan malam itu di dalam hutan, akan tetapi karena mereka berdua dapat saling menghibur maka malam itu dilewatkan dengan penuh kegembiraan. Pada saat seperti itu dalam bujuk dan cumbu rayu Tiong Kiat yang tampan dan manis bahasa, lenyaplah segala keraguan hati Kui Hwa dan cinta kasihnya terhadap Tiong Kiat makin mendalam.

Pada keesokan harinya, baru saja matahari muncul dan burung-burung berkicau riuh rendah menyambut datangnya siang, terdengarlah suara gemuruh dari luar hutan. Suara ini ternyata adalah sorak-sorai yang penuh kegembiraan dari serombongan anggota-anggota Sorban Merah terdiri dari empat puluh orang lebih. Mereka mengiringkan seorang laki-laki tinggi besar yang berusia hampir empat puluh tahun, berbaju biru, bercelana hitam dan sorbannya merah sekali.

Orang ini berjalan dengan langkah yang gagah dan yang mendatangkan rasa seram pada orang yang melihatnya, adalah sepasang matanya yang liar dan senjatanya yang luar biasa. Senjatanya ini adalah sebuah penggada yang aneh dan mengerikan bentuknya, bulat memanjang dengan ujung tiga meruncing. Penggada ini nampak berat sekali, akan tetapi biarpun senjata besar ini tergantung pada pinggangnya, ia berjalan dengan enak saja, seakan-akan senjata itu hanya merupakan benda yang ringan saja. Inilah dia Teng Sun yang berjuluk Hek-pa-cu Si Macan Tutul Hitam, kepala dari gerombolan Sorban Merah yang amat terkenal dan ditakuti oleh orang!

Ketika Hek.pa cu dengan rombongan telah tiba di dekat rumah besar itu, tiba tiba dari atas pohon melayang turun dua orang muda yang dengan tenang berdiri di depan kepala gerombolan ini. Teng Sun tercengang melihat seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan berdiri di depannya maka ia membentak keras,

“Jiwi siapakah dan ada keperluan apa kiranya menghadang perjalanan kami?"

“Kaukah yang bernama Hek pa cu Teng Sun?" tanya Tiong Kiat.

"Benar dugaanmu saudara muda yang gagah. Siapakah kalian ini dan keperluan apakah yang membawamu datang ke tempat ini?”

“Hek-pa-cu! Tak usah kau tahu siapa kami, akan tetapi kedatangan kami ini untuk menamatkan riwayatmu yang buruk ! Kau telah memaksa gadis she Gu untuk menjadi bini mudamu! Apakah ini laku seorang jantan? Kau mempergunakan pengaruhmu untuk menakut-nakuti penduduk dusun, untuk mengganggu anak bini orang. Sungguh tidak patut!"

Tiba-tiba Hek-pa-cu Tang Sun terbahak-bahak tertawa mendengar makian-makian ini. la anggap sangat lucu seorang pemuda yang tampak lemah bersama dengan seorang gadis cantik ini berani memaki dan menentangnya! Bahkan orang orang kang-ouw yang ternama saja masih akan berpikir-pikir dulu untuk menantangnya bagaimana dua orang muda yang masih seperti kanak-kanak ini berani berlaku kurang ajar kepadanya?

"Ha ha ha! bocah yang masih hijau! Kau perduli apakah dengan segala urusan dan kesenanganku? Kalau kau mau mengambil gadis she Gu itu, ambillah. Aku rela melepaskannya asal saja kau tinggalkan kawanmu itu sebagai gantinya!"

Bukan main marahnya Tiong Kiat mendengar ini, akan tetapi ia kalah dulu oleh Kui Hwa yang juga menjadi luar biasa marahnya.

"Jahanam besar, kau sudah bosan hidup!” teriak Kui Hwa dan tahu-tahu ia telah menyerang Hek-pa-cu dengan pedangnya!

Gerakannya amat cepat bagaikan kilat menyambar sehingga kepala perampok itu terkejut sekali. Ia cepat mengelak, akan tetapi ujung sorbannya masih terbabat! Tak disangkanya bahwa gadis cantik ini mempunyai kepandaian demikian hebatnya, maka tahulah dia bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh. Cepat ia menarik senjatanya yang hebat itu dan bertempurlah mereka dengan seru.

Sementara itu, Tong Kiat juga sudah mencabut pedang Ang-coa-kiam dan sekali ia memutar pedangnya, dua orang anggota Sorban Merah roboh mandi darah! Anak buah gerombolan Sorban Merah itu berteriak teriak marah dan semua mencabut golok mereka, akan tetapi kembali beberapa orang roboh oleh Tiong Kiat ketika pemuda ini menerjang ke depan! Dalam waktu yang amat singkat saja sudah ada delapan orang yang binasa di ujung pedang Ang-coa-kiam! Penjahat-penjahat itu menjadi gentar juga dan merasa ragu-ragu untuk mengeroyok Tiong Kiat.

"Moi moi, kau uruslah anjing-anjing ini, biar aku menolong nona Gu!”

Tiong Kiat berseru dan tanpa menanti jawaban kekasihnya, ia lalu berlari ke arah rumah besar di mana Loan Li ditahan. Di situ ia disambut oleh beberapa orang penjaga, akan tetapi mereka bukanlah lawan Tiong Kiat yang lihai, maka bertumpuk-tumpuklah mayat anak buah Sorban Merah, ketika pemuda ini mengamuk sambil menyerbu ke dalam rumah.

Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara Kui Hwa dan Teng Sun berjalan amat serunya, Hek-pa-cu Teng Sun ternyata memang pandai dan kosen. Senjatanya yang besar dan berat itu diputar sedemikian rupa, mendatangkan angin besar dan celakalah Kui Hwa kalau satu kali saja senjata itu mengenai tubuhnya!

Senjata ini beratnya sedikitnya ada dua ratus kati dan dimainkan dengan tenaga yang luar biasa kuatnya. Akan tetapi Kui Hwa mempergunakan ginkangnya yang luar biasa sehingga tubuhnya seakan-akan merupakan seekor burung yang menyambar-nyambar dari segala jurusan. Pedangnya berkelebat-kelebat merupakan segulung sinar putih dan tubuhnya kadang kadang mumbul ke atas, melayang dan menyambar dari atas dengan kecepatan luar biasa!

Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, Teng Sun merasa terdesak hebat. Pedang di tangan dara manis itu benar-benar amat lihai. Gerakan pedang yang cepat, ditambah pula oleh ginkang yang luar biasa membuat gadis itu kadang-kadang lenyap dari depan matanya. Kalau saja Teng Sun tidak bersenjata penggada yang besar dan berat yang diputar-putar sedemikian rupa sehingga Kui Hwa harus berlaku hati-hati, tentu kepala gerombolan inii sudah roboh sejak tadi!

"Kawan-kawan, bantulah menangkap gadis liar ini!” Teng Sun berseru keras kepada kawannya karena la benar-benar telah kewalahan sekali.

Beberapa orang tauwbak (pemimpin gerombolan pembantu-pembantunya) yang semenjak tadi berdiri bengong menonton pertempuran itu, bergerak maju hendak mengeroyok. Mereka adalah empat orang yang bertubuh tinggi besar yang dipilih oleh Hek-pa-cu Teng Sun sebagai pembantu-pembantunya. Akan tetapi belum juga mereka dapat menggerakkan golok, tiba - tiba Kui Hwa berseru nyaring dan keras.

Tubuhnya melompat ke atas sampai hampir dua tombak, dan dengan gerakan Merak Sakti Mematuk Ular, pedangnya meluncur dari atas ke bawah, melakukan serangan yang luar biasa cepat dan kuatnya! Gerakan ini benar benar mengandalkan ginkang yang sempurna, sehingga tidak terduga sama sekali oleh Hek-pa-cu Teng Sun. Percuma saja ia mengangkat penggadanya untuk menghantam tubuh yang melayang ke atas itu, karena baru saja ia mengangkat penggadanya, pedang di tangan Kui Hwa telah menyambar dan menancap ditenggorokannya!

Hek-pa-cu Teng San mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih, tubuhnya terhuyung-huyung, penggadanya terlepas dari pegangan dan ia lalu roboh tak bernapas lagi!

Dengan wajah keren, Kui Hwa menghadapi empat orang tauwbak dan para anak buah gerombolan dengan pedang di tangan. "Siapa telah bosan hidup? Hayo majulah! Biarlah hari ini pedangku membasmi gerombolan Sorban Merah sampai ke akar akarnya!"

Sikapnya demikian gagah dan garang sehingga empat orang tauwbak itu saling pandang dan kemudian mereka berempat lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kui Hwa! Kawan kawannya yang puluhan banyaknya ketika melihat empat orang pemimpin itu berlutut, segera menjatuhkan diri pula berlutut sambil meletakkan senjata di atas tanah. Inilah tanda menyerah dan takluk terhadap gadis yang gagah perkasa itu.

"Lihiap yang gagah perkasa. Sepak terjangmu demikian gagah dan amat mengagumkan hati kami seluruh anggota Sorban Merah. Lihiap jauh lebih gagah dari pada Hek-pa-cu Teng Sun, maka kami seluruh anggota Sorban Merah menyerah dan mohon ampun dari lihiap. Sudilah kiranya lihiap memimpin kami orang orang bodoh menggantikan kedudukan Hek-pa cu!"

Untuk sesaat, gadis itu berdiri bengong. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang-orang yang tinggi besar dan galak itu kini semua berlutut memberi hormat kepadanya, bahkan memilihnya sebagai kepala mereka! Ia tak dapat menjawab, dan akhirnya ia berkata perlahan,

"Aku Can Kui Hwa bukanlah keturunan perampok bagaimana kalian mau mengangkat aku menjadi kepala perampok?"

"Lihiap, harap jangan salah sangka," berkata seorang diantara empat orang tauwbak itu, "Sesungguhnya rombongan Sorban Merah bukanlah gerombolan perampok. Perkumpulan kami dulunya merupakan perkumpulan orang-orang gagah yang bekerja dengan cara jujur, menjaga keamanan kampung-kampung dari serbuan perampok, mengawal pengiriman barang barang atau orang-orang hartawan yang melakukan perjalanan jauh, dan di samping pekerjaan itu, kami memperdalam kepandaian silat. Semenjak Hek-pa-cu datang dan merampas kedudukan ketua, kami diselewengkan dan terpaksa mengikuti jejaknya. Kami kini telah bertobat, dan asal saja lihiap sudi memimpin kami, perkumpulan Sorban Merah akan menjadi perkumpulan yang baik lagi."

Akan tetapi pada saat itu, Kui Hwa teringat kepada Tiong Kiat, maka ia segera bertanya, "Di manakah adanya kawanku tadi? Dan bagaimanakah dengan nasib nona Gu Loan Li?"

"Kawanmu itupun hebat dan ganas sekali lihiap. Banyak kawan kami telah mati di dalam tangannya. Nona Gu yang ditahan di dalam kamar, telah dirampas dan dibawa lari oleh kawanmu itu."

"Kalau begitu biarlah urusan pengangkatan ketua ini nanti saja dibicarakan lagi setelah aku dapat bertemu dengan kawanku. Dia adalah suhengku dan kalau kalian hendak mencari seorang pemimpin, dialah orangnya, bukan aku!"

Setelah berkata demikian, sekali ia menggerakkan kedua kakinya, Kui Hwa telah lenyap dari situ, membuat para anggota Sorban Merah menjadi makin kagum saja. Dengan cepat Kui Hwa berlari kembali ke dusun tempat tinggal Loan Li. Akan tetapi, ketika ia tiba di rumah keluarga Gu Seng, ternyata bahwa keluarga itu masih menanti-nanti dan Tiong Kiat bersama nona Gu belum juga tiba di rumah itu!

Kui Hwa menjadi heran dan juga bercuriga. Tanpa berkata sesuatu kepada keluarga yang memandang penuh kegelisahaan itu, ia melompat pergi dan kembali ke dalam hutan. Ia mencari-cari sampai hari menjadi gelap, akan tetapi ia tak melihat bayangan suhengnya dan nona Gu yang ditolongnya itu. Akhirnya ia kembali lagi ke dusun dan menuju ke rumah keluarga Gu. Lalu apakah yang didengarnya? Keluh kesah dan tangis yang memilukan!

Kui Hwa merasa tak enak hati sekali dan cepat ia masuk ke dalam rumah itu lalu menuju ke ruang belakang. la melihat Gu Seng duduk sambiI menangis dan ketika melihat Kui Hwa datang, kakek itu berkata,

"Tidak ada gunanya pertolonganmu nona. akhirnya anakku tertimpa bencana juga!" Kui Hwa terkejut sekali. Ia memegang lengan kakek itu dengan keras sehingga Gu Seng memandangnya dengan kaget dan kesakitan.

"Hayo lekas ceritakan apa yang terjadi dan di mana adanya suhengku!"

Kakek itu memandang heran. "Nona, benar-benarkah kau tidak tahu? Suhengmu telah mengantarkan Loan Li pulang dengan selamat, akan tetapi begitu masuk ke kamarnya Loan Li telah menggantung diri sampai mati! Ternyata... kau dan suhengmu... datang terlambat... dan dia... anakku itu telah menjadi korban keganasan Hek-pa-cu...!" Kakek itu mendekap mukanya dan menangis lagi.

Kui Hwa menjadi pucat air mukanya, dan setelah termenung sebentar, mengerahkan otak untuk berpikir, ia lalu memegang lagi tangan kakek itu dan berkata,

"Apakah yang terjadi ? Mengapakah Loan Li menggantung diri!"

"Inilah suratnya, lihiap. Kau bacalah sendiri...” Kakek itu memperlihatkan sehelai kertas yang ditinggalkan oleh Loan Li yang bernasib malang. Surat itu ternyata ditulis dengan tangan gemetar, merupakan empat baris pantun sederhana yang berbunyi demikian:

Mengusir harimau dengan pertolongan srigala Apa bedanya? Hanya satu Jalan membebaskan diri dari noda. Tinggalkan raga!

"Aku juga tidak tahu apakah artinya tulisan ini lihiap. Akan tetapi ia menyebut tentang membebaskan diri dari noda, maka mudah sekali diduga bahwa ia tentu telah menjadi korban keganasan Hek-pa-cu!" kata Gu Seng dengan suara sedih.

Akan tetapi wajah Kui Hwa makin pucat. Jari-jari tangan yang memegang surat itu menggigil sehingga surat itu terlepas dan melayang turun. "Di mana suhengku!” tanyanya dengan suara berat dan bibir gemetar...

Pedang Ular Merah Jilid 06

PEDANG ULAR MERAH JILID 06

Karena buaian cumbu rayu dan kasih sayang, sepasang orang muda ini melakukan perjalanan dengan amat gembira. Mereka tidak memperdulikan lagi akan bahaya yang mungkin datang dari kejaran Tiong Han maupun suhu mereka. Kui Hwa amat percaya kepada kekasihnya, karena dara inipun maklum akan kelihaian Tiong Kiat. Misalnya suhu mereka mengejar, dengan kekuatan mereka, agaknya guru mereka sendiripun takkan dapat mengganggu kebahagiaan mereka.

Akan tetapi beberapa belas hari kemudian, ketika sepasang orang muda ini akan pesiar di sebuah telaga, mengaso di pinggir telaga melihat orang-orang berpesta di atas perahu alangkah terkejutnya hati mereka ketika tiba- tiba Can Kong berdiri di hadapan mereka dengan pedang terhunus di tangan kanan.

"Ayah...!" Kui Hwa berseru dengan wajah pucat dan gadis itu menghampiri ayahnya hendak berlutut, akan tetapi Can Kong menggerakkan pedangnya dan membacokkan pedang itu ke arah leher Kui Hwa! Biatpun kepandaian Kui Hwa lebih tinggi dari pada ayahnya, namun bacokan yang dilakukan oleh ayahnya dan diserangkan kepadanya yang sedang berlutut itu, agaknya tak dapat dielakkan lagi!

"Traang...!" terdengar suara keras dan pedang di tangan Can Kong tinggal gagangnya saja.

Ternyata bahwa pedangnya yang mengancam nyawa puterinya sendiri itu tehh kena ditangkis oleh Tiong Kiat yang mempergunakan pedang Ang-coa-kiam. Dapat dibayangkan betapa tajam dan ampuhnya pedang Ang-coa-kiam. Baru saja terbentur sekali, pedang di tangan Can Kong telah dibabat putus!

"Anjing... anjing rendah tak tahu bermalu!" Can Kong berseru dengan nafas terengah-engah. "Kalian harus mampus.” kemudian dengan nekad Can Kong lalu menubruk Kui Hwa uuruk mencekik lehernya.

"Ayah...! Ampunkan anakmu, ayah..."

Kui Hwa mengeluh tanpa berani melawan, akan tetapi kembali Tiong Kiat yang menolongnya. Sebuah sampokan lengan kanan pemuda ini membuat tubuh Can Kong terpental dan terhuyung-huyung mundur ke belakang hampir jatuh! Memang, kepandaian Can Kong masih kalah jauh kalah dibandingkan dengan kepandaian Tiong Kiat, baik ilmu pedang, maupun tenaga lweekangnya.

"Suheng," kata Tiong Kiat yang menyebut kakak seperguruan karena memang Can Kong juga murid dari Lui Thian Sianjin, "tidak ada harimau makan anaknya, apalagi manusia!"

"Anjing she Sim!" Can Kong marah sekali sehingga sepasang matanya seakan-akan mengeluarkan cahaya api dan mulutnya mengeluarkan buih. "Kau telah melakukan perbuatan rendah melarikan anak gadis orang, masih dapat memberi nasihat kepadaku? Saat ini kalau bukan kau, tentu aku yang akan mampus!" Setelah berkata demikian, Can Kong kembali menyerang, dan kali ini ia menyerang Tiong Kiat dengan sepenuh tenaga!

"Ayah...!" Kui Hwa menjerit dan hanya dapat menangis. Ayahnya sudah nekad benar dan menyerang secara bertubi-tubi dan mata gelap.

Tiong Kiat telah menyimpan kembali pedangnya dan sesungguhnya ia tidak berani untuk membalas serangannya orang tua yang nekad itu. Akan tetapi, karena Can Kong menyerang dengan mati-matian, ia menjadi repot juga.

"Can suheng, mengapa kau berlaku seperti anak kecil. Biarkan kami berdua pergi. Aku masih menghormatimu sebagai seorang subeng dan kalau boleh, sebagai orang tua sendiri, akan tetapi kesabaran ada batasnya“ kata Tiong Kiat sambil menangkis sebuah pukulan dengan tenaga sepenuhnya sehingga Can Kong merasa betapa lengannya sakit sekali dan kembali tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.

"Bangsat rendah! Binatang tak bermalu!" Can Kong memaki lagi tanpa memperdulikan rasa sakit pada lengannya, ia menyerbu kembali dengan ilmu pukulan Kim-liong pai yang berbahaya bagi lawannya.

"Kau mencari penyakit sendiri" kata Tiong Kiat dengan marah karena ia anggap orang tua ini amat keterlaluan.

"Koko, jangan...!" Kui Hwa berseru akan tetapi terlambat. Tiong Kiat telah membalas serangan lawannya dan ketika tubuhnya bergerak cepat, sebuah tendangannya yang lihai telah mengenai lambung Can Kong dengan hebatnya. Tubuh Can Kong terlempar jauh dan roboh ke dalam air telaga!

"Ayah...” Kui Hwa menjerit dan menolong ayahnya, akan tetapi pada saat itu, diantara perahu-perahu yang bergerak ke sana ke mari di atas telaga, meluncur cepat sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh seorang hwesio gemuk, sekali ia mengulurkan tangannya tubuh Can Kong yang hampir tenggelam itu telah berpindah ke dalam perahu.

"Siapa pemuda itu, siapa pula gadis itu dan siapa kau” tanya pendeta Buddha ini kepada Can Kong yang napasnya sudah empas-empis.

Can Kong membuka matanya dan ketika ia melihat hwesio gemuk itu ia tersenyum pahit. Ia mengenal hwesio ini yane bukan lain adalah seorang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal, la bernama Cin Kun Hosiang, tokoh dari Bu-tong-pai, hwesio perantau yang menjadi pendekar besar penolong rakyat sehingga namanya amat terkenal, baik di kalangan rakyat maupun di dunia kang-ouw.

"Cin suhu, celakalah... hancur nama... baikku oleh anjing-anjing tak bermalu itu. Perempuan itu adalah puteri tunggalku, sedangkan pemuda itu adalah suteku sendiri. Mereka... mereka minggat... dan..."

Orang tua itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia menjadi lemas dan pingsan karena luka pada lambungnya yang hebat akibat tendangan Tiong Kiat. Bukan main marahnya Cin Kun Hosiang mendengar keterangan ini. Dengan tangan kiri memondong tubuh Can Kong. Ia lalu melompat ke pantai, mengagumkan sekali gerakannya ini karena tubuhnya yang gendut itu seakan-akan amat ringan.

Ketika berhadapan dengan Tiong Kiat yang memandang dengan sikap dingin dan Kui Hwa yang masih mengucurkan air mata, hwesio itu lalu menurunkan tubuh Can Kong yang masih pingsan itu di atas tanah. Kui Hwa hendak menubruk ayahnya, akan tetapi hwesio itu mengebutkan ujung lengan bajunya ke arah gadis itu sambil berkata,

"Jangan mengotori ayahmu dengan tanganmu yang bernoda"

Kui Hwa terkejut sekali karena ujung lengan baju itu mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat. Akan tetapi dengan lincahnya ia dapat mengelak dan memandang kepada hwesio itu dengan marah.

"Kepala gundul. Siapakah kau maka berani sekali kau berkata demikian kepadaku?" bentaknya.

Hwesio itu tertawa bergelak. "Pinceng Cin Kun Hosiang paling benci kepada orang orang jahat, akan tetapi lebih benci lagi kepada seorang anak durbaka. Kau adalah seorang anak perempuan yang mendurhakan terhadap orang tua, seorang anak gadis tak bermalu yang menodai nama keluarga! Percuma saja kau dilahirkan di atas dunia, lebih baik sekarang juga kau meninggalkan dunia agar nama baik ayahmu tidak sampai menjadi buah tutur orang!"

"Keparat” bentak Kui Hwa. "Aku pernah mendengar nama Cin Kun Hosiang sebagai tokoh Bu-tong-pai yang tersohor, akan tetapi ternyata kau hanya seorang kepala gundul ysng berpura-pura alim dan orang yang lancang yang suka mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Kau kira aku takut kepadamu?"

Kui Hwa menjadi marah sekali oleh karena ucapan itu didengar oleh orang-orang yang kini mulai berkumpul menonton mereka. Ia merasa dihina dan dibikin malu sekali, maka setelah mencabut pedangnya ia lalu menyerang hwesio gemuk itu.

Cin Kun Hosiang ketika melihat datangnya serangan yang cukup hebat ini, diam-diam menjadi terkejut. Ia maklum akan kehebatan ilmu pedang Kim-liong-pai akan tetapi ia pernah melihat Can Kong bermain silat dengan pedang dan karena tingkat Can Kong masih rendah, maka hwesio ini merasa sanggup untuk menghadapinya.

Kini melihat gerakan Kui Hwa, selain terkejut iapun merasa heran bagaimana gadis ini memiliki ilmu pedang yang jauh lebih hebat dari pada ilmu pedang ayahnya! Akan tetapi ia tidak tempat banyak berpikir dan cepat pula ia mencabut senjatanya, yakni sebatang tongkat pendek yang tadinya terselip di pinggangnya.

Pertempuran hebat terjadi di pantai telaga itu antara Cin Kun Hosiang dan Kui Hwa. Kalau dibandingkan antara kedua orang yang sedang bertempur ini, maka kepandaian mereka boleh dibilang berimbang kuatnya. Hwesio gemuk itu lebih menang dalam hal tenaga lweekang dan pengalaman, akan tetapi Kui Hwa menang jauh dalam kecepatan dan kehebatan gerakan pedangnya.

Pedangnya melupakan seekor burung elang yang menyerang dan menyambar-nyambar dan semua penjuru, sedangkan tongkat di tangan Cin Kun Hosiang merupakan seekor induk ayam yang melindungi anak anaknya dari serangan elang itu. Gerakannya tidak cepat dan amat tenang, akan tetapi sekali digerakkan, cukup untuk membikiu pedang Kui Hwa terpental kembali.

Betapapun juga, karena kalah lihai ilmu silatnya, hwesio gendut itu terdesak hebat oleh Kui Hwa, sungguhpun takkan mudah bagi Kui Hwa untuk merobohkan lawannya. Diam-diam Cin Kun Hosiang merasa kaget sekali. Jarang sekali hwesio ini bertemu dengan lawan yang sedemikian tangguhnya. Banyak sudah ia mengalami pertempuran menghadapi penjahat-penjahat dan perampok-perampok, akan tetapi selalu ia memperoleh kemenangan.

Jarang ada orang yang sanggup menghadapi tongkatnya yang digerakkan dengan tenaga lweekangnya yang sudah tinggi. Akan tetapi siapa kira bahwa kini menghadapi puteri Can Kong seorang dara jelita yang masih muda sekali, ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membalas serangan gadis ini.

Cin Kun Hosiang menjadi keki (gemas) juga. Pada saat pedang Kui Hwa menyambar dari atas, ia cepat menangkis dengan tongkatnya, dan membarengi dengan serangan pukulan tangan kirinya ke arah dada gadis itu! Inilah serangan dari ilmu pukulan Lwee-khi-ciang-hoat yang luar biasa hebatnya, karena pukulan ini dilakukan dengan pengerahan tenaga khi-kang. pukulan ini tidak perlu mengenai tubuh, hawa pukulannya saja cukup mengalahkan lawan. Yang paling hebat adalah pukulan ini takkan terasa oleh lawan dan tidak melukai tubuh luar, namun menyerang dan melukai tubuh bagian dalam.

Untung bagi Kui Hwa selama itu, Tiong Kiat memandang pertempuran dengan penuh perhatian. Ketika ia melihat betapa Kui Hwa dapat mendesak lawannya dan meyakinkan bahwa kekasihnya itu pasti akan dapat mengalahkan Cin Kun Hosiang, ia merasa lega dan tidak mau turun tangan membantu. Akan tetapi ketika melihat gerakan pukulan hwesio itu, ia menjadi terkejut sekali.

"Awas pukulan Lwee-khi!" teriaknya memperingatkan Kui Hwa dan berbareng ia mengirim pukulan dengan tenaga khikangnya ke arah hwesio itu.

Cin Kun Hosiang terkejut ketika merasa angin pukulan yang luar biasa kuatnya menyambar dari samping. Ia terpaksa menarik kembali pukulannya itu dan mencoba menjejak, akan tetapi Kui Hwa yang merasa marah sekali kepada lawannya, tidak memberi hati dan ketika pedangnya meluncur ke depan biarpun Cin Kun Hosiang mencoba untuk mengelak, tetap saja ujung pedang itu menancap ke pundaknya sebelah kanan.

Ketika Kui Hwa mencabut pedangnya, Cin Kun Hosiang terhuyung ke belakang, kemudian roboh mandi darah dalam keadaan pingsan. Tiong Kiat memegang tangan kekasihnya, menariknya sambil berkata,

"Hayo kita pergi, moi-moi"

Kui Hwa beberapa kali menengok ke arah ayahnya, akan tetapi ia hanya terisak sedih dan mengikuti kekasihnya yang berlari cepat. Setelah jauh dari tempat itu, Kui Hwa berhenti berlari, menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis tersedu-sedu. Tiong Kiat menghampirinya, lalu memeluknya.

"Koko mengapa kau melukai ayah? Bagaimana kalau kalau ia mati? Ah, kau yang membunuhnya"

Tiong Kiat mnmegang kedua pundak Kui Hwa dan memaksa gadis itu memandangnya. “Kui Hwa, pikirlah baik-baik. Dalam keadaan seperti itu, kau hanya tinggal memilih, ayahmu atau aku! Dia telah menyerangku mati-matian, dan kaupun tahu bahwa tadinya aku selalu mengalah. Akan tetapi, kalau aku terus mengalah, bukan dia yang roboh pasti aku yang roboh, pasti akulah yang telah dirobohkannya. Kalau aku yang terluka, apakah ayahmu akan mau melepaskan aku begitu saja tanpa membunuhku lebih dulu?”

Mendengar ucapan ini, Kui Hwa menundukkan mukanya sambil terisak-isak menahan kepedihan. “Aku aku menyesal sekali, koko... Bagaimanakah nasibku menjadi begini? Aku bermusuhan dengan ayah sendiri..."

Tiong Kiat menghiburnya, menggunakan tangannya untuk menghapus air mata kekasihnya yang mengalir turun disepanjang pipinya, lalu mendekap kepalanya.

"Jangan takut, moi-moi. Bukankah ada aku yang akan selalu melindungimu? Tidak apalah kalau ayahmu membencimu, bukankah sudah ada aku seorang yang akan mencinta dan membelamu selama hidupku?"

Terhibur juga hati Kui Hwa mendengar ucapan yang penuh cinta kasih ini. "Koko, betul-betulkah kau akan tetap mencintaiku selama hidupmu? Tidak akan tertarik oleh gadis lain yang lebih cantik dari pada aku?" bisiknya manja.

"Aku bersumpah, moi-moi. Bukankah sudah berkali-kali aku menyatakan bahwa aku mencintamu dengan segenap nyawaku?" kata Tiong Kiat kepada Kui Hwa yang merem melek terayun oleh bujuk rayu yang dikeluarkan dengan suara halus dan yang cukup kuat untuk merobohkan hati seoiang gadis ini.

Demikianlah amat berbahaya kalau seorang gadis hanya membuka telinga untuk mendengarkan bujuk rayu seorang pemuda, tanpa membuka kewaspadaan hatinya dan kewaspadaan matanya untuk dapat melihat apakah yang tersembunyi di balik senyum manis, dan apa yang terdengar di balik cumbu rayu itu. Sekali ia telah terjebak dan masuk perangkap sukarlah baginya untuk keluar kembali.

"Koko, sekali lagi aku mohon kepadamu, janganlah kau melupakan aku, jangan meninggalkan aku, dan jangan pula kau bermain gila dengar wanita lain. Aku takkan kuat menahannya dan aku lebih baik mati dari pada harus berpisah dengan kau, dari pada harus melihat engkau berkasih-kasihan dengan wanita lain. Akan kubunuh wanita itu!"

"Jangan khawatir, kekasihku, tidak ada wanita yang lebih cantik, lebih manis dan lebih setia dari padamu!"

Terhiburlah hati Kui Hwa dan anak ini telah melupakan lagi ayahnya yang ditinggalkan dalam keadaan terluka parah. Tidak teringat lagi ia apakah ayahnya akan mati akibat tendangan kekasihnya itu, ataukah masih hidup? Bahkan Kui Hwa tidak perduli lagi akan nama Cin Kun Hoaiang yang sudah ia lukai.

Pada hal kalau pikirannya sadar, ia akan mengeluarkan keringat dingin kalau teringat betapa telah melukai seorang pendekar yang sudah tersohor namanya, seorang gagah yang dicintai oleh orang-orang kang-ouw, yang mempunyai banyak sekali kawan-kawan yang tentu saja takkan tinggal diam.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan, merantau tanpa arah tujuan tetap. Di mana saja mereka mendengar ada tempat yang bagus dan menyenangkan, mereka lalu mendatangi tempat itu. Keadaan mereka tiada ubahnya seperti sepasang pengantin baru yang melakukan perjalanan berbulan madu.

********************

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Akan tetapi, tepat sebagaimana yang di ajarkan oleh para cerdik pandai dan para bijaksana di jaman dahulu, bahwa segala sesuatu mengenai tindakan dalam hidup, harus dilakukan dengan hati suci, bersih dari pada Lima Sifat yang dipergunakan sebagai garis dan batas hidup. Lima Sifat itu adalah Jin, Gie, Lee, Ti, Sin.

Demikianlah dengan hubungan antara Tiong Kiat dan Kui Hwa. Kedua orang muda ini melakukan hubungan hanya karena dorongan nafsu semata, nafsu yang membikin buta mata batin mereka, yang melumpuhkan keteguhan iman mereka. Dan semua penyelewengan ini terjadi karena tidak adanya Lee, karena tidak adanya peraturan. Mereka telah melanggar Lee, melanggar peraturan yang diajarkan oleh para bijaksana.

Hubungan mereka setelah dewasa melampaui kesopanan dan sama sekali melanggar peraturan kesopanan dan kesusilaan. Akibatnya mereka terkena bujukan iblis, dan kemudian mereka bahkan meninggalkan suhu dan orang tua, minggat dan melakukan pelanggaran peraturan yang kedua. Ketiga kalinya mereka hidup seperti suami isteri di luar pernikahan yang sah, dan hal ini lebih-lebih melakukan pelanggaran peraturan yang amat buruk.

Semenjak jaman dahulu, orang orang di negeri Tiongkok selalu berpegang teguh kepada peraturan, terutama sekali dalam hal hubungan antara laki-laki dan wanita, dan bagaimana bukti kebaikannya? Bagi seorang rakyat Tiongkok, pernikahannya hanya terjadi satu kali selama mereka hidup. Jarang sekali, hampir tidak ada, terjadi perceraian-perceraian, dan suami isteri hidup rukun sampai di hari tua.


Setelah melakukan perjalanan beberapa bulan saja, mulai lunturlah cinta kasih yang didengungkan oleh mulut Tiong Kiat terhadap Kui Hwa. Biarpun kini pemuda itu sama sekali tidak menyatakan kelunturan cinta kasihnya dalam kata-kata, namun pandangan mata dan sikapnya membuat Kui Hwa amat gelisah. Gadis ini benar-benar mencinta Tiong Kiat, bahkan telah membuktikan cintanya itu dengan memberatkan pemuda itu dari pada ayahnya.

Berkali-kali mulai timbul percecokan dan perbantahan diantara mereka karena soal kecil saja dan hati Kui Hwa makin lama makin gelisah dan sedih. Ia membujuk-bujuk kekasihnya itu untuk menghentikan perantauan mereka dan tinggal di dalam sebuah kota, mencari rumah dan hidup berumah tangga sebagaimana yang diidam-idamkan oleh semua gadis di dunia ini. Akan tetapi Tiong Kiat selalu menyatakan tidak setuju.

"Aku tidak betah tinggal di rumah. Kalau kau merasa lelah ikut aku merantau, marilah kita mencari rumah dan kau beristirahat di situ. biar aku melanjutkan perantauan seorang diri."

Semenjak mendapat jawaban ini, Kui Hwa tidak berani lagi bicara tentang menghentikan perantauan mereka. Ia juga tidak membantah ketika melihat Tiong Kiat mendatangi rumah gedung orang-orang hartawan untuk mencuri emas dan perak guna dipakai membiayai perjalanan mereka. Beberapa bulan kemudian, mereka tiba di sebuah dusun di luar kota Heng-yang.

Baru saja mereka berjalan mematuki pagar dusun, tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan dan mereka melihat dua orang wanita sedang berlari ketakutan, dikejar oleh seorang laki-laki tua yang membawa golok yang diangkatnya tinggi-tinggi. Dua orang wanita itu adalah orang-orang dusun, akan tetapi yang seorang biarpun berpakaian sederhana seperti pakaian orang dusun, ternyata masih muda dan amat cantiknya. Adapun wanita kedua sudah setengah tua, berlari sambil menggandeng dan menarik lengan gadis cantik manis itu.

Melihat bahaya maut mengancam kedua orang wanita itu, Tiong Kiat dan Kui Hwa segera turun tangan. Kui Hwa melompat ke dekat kedua orang wanita itu untuk melindungi mereka, adapun Tiong Kiat cepat menyerbu laki-laki bergolok itu. Akan tetapi, alangkah herannya ketika sekali saja mengulur tangan, golok itu dengan mudah telah dapat dirampasnya. Ternyata laki laki itu seorang dusun yang lemah dan sama sekali tidak pantas menjadi orang jahat yang mengganggu dan mengancam wanita! la menyangka bahwa mungkin orang ini berotak miring, maka bentaknya,

"Orang gila darimana berlaku kurang ajar kepada orang perempuan?”

Akan tetapi orang laki-laki yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu, menjadi marah dan menegur Tiong Kiat dengan mata merah,

"Orang muda, kau perduli apakah dengan urusan rumah tangga orang lain? Mereka adalah istri dan anakku, aku hendak membunuh mereka kemudian membunuh diri sendiri, ada hubungan apakah dengan engkau?"

Tiong Kiat tersenyum jenaka. "Kakek lucu, kau ingin mati mengapa mengajak orang lain? Bila kau memaksa anak istri untuk ikut sertamu mati, sungguh pengecut!”

Kakek itu makin marah. ”Mengapa kau bilang aku pengecut!”

“Itu karena kau takut hidup, takut menghadapi kesukaran, maka kuanggap kau pengecut! Sudah terang bahwa anak istrimu tidak sudi mati, akan tetapi kau hendak memaksa mereka. Dengan perbuatan ini, kembali kau pengecut, jadi dua kali pengecut!"

Mendengar ucapan ini, tiba-tiba wajah yang tadinya marah itu menjadi muram dan laki-laki itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah dan menangis! Kedua orang wanita yang dikejar-kejar tadi lalu berlari menghampiri dan bertangis-tangisanlah ketiga orang itu! Tentu saja Tiong Kiat dan Kui Hwa hanya bisa saling pandang dengan heran dan geli hatinya.

"Eh, ah, bagaimana pula ini?" Kui Hwa kini maju bertanya. "Seperti anak keciI saja kalian ini. Tadi berkejar-kejaran sekarang bertangis-tangisan! Kesusahan apakah yang mengganggu kalian? Beritahukan kepada kami, pasti kami akan dapat membantu kalian."

Ketiga orang itu mengangkat muka memandang kepada dua orang muda itu dan setelah kini melihat dari dekat, diam-diam Tiong Kiat mengerling kagum ke arah gadis dusun yang benar benar cantik sekali itu! Karena menangis sepasang pipi gadis itu menjadi kemerah-merahan dan bibirnya demikian menarik dan indah sehingga diam-diam Tiong Kiat menelan ludah!

"Kami adalah orang orang yang tertimpa kemalangan hebat," kata kakek itu. "Loan Li puteri kami yang hanya seorang ini telah terlihat oleh Hek-pa-cu (Macan Tutul Hitam) dan telah dipinang! Kami tidak melihat jalan keluar, maka kupikir lebih baik kami binasa daripada anak kami menjadi korban Hek-pa-cu!

"Hm, siapakah Hek pa cu itu? Orang macam apakah dia?" tanya Tiong Kiat sambil memandang gadis yang bernama Loan Li itu.

Kini kakek itu yang memandang heran. "jiwi tentu datang dari tempat jauh maka belum pernah mendengar nama Hek-pa-cu Tong Sun! Dia telah dikenal baik oleh seluruh penduduk di sekitar daerah Heng-yang. Dialah pemimpin dari gerombolan Sorban Merah yang terkenal!”

"Kalau begitu mengapa pula kau menolak pinangannya? Bukankah ia seorang ternama seperti katamu tadi? Terima saja pinangannya, habis perkara!" kata Kui Hwa.

"Tidak... tidak sudi... lebih baik mati!” gadis cantik berkata dan wajahnya berobah pucat, sambiI menggoyang-goyangkan kedua tangan ia menyatakan tidak setuju.

"Nah, itulah yang menggelisahkan hatiku. Anakku tidak mau menjadi bini muda Hek pa cu dan penolakan ini berarti kematian yang mengerikan bagi kami bertiga. Dari pada mati disiksa oleh kaki tangan Hek-pa-cu lebih baik aku sendiri yang menjadi algojo atas nyawa kami bertiga."

"Hm, orang macam apakah Hek-pa-cu ini sehingga ia demikian berkuasa?" kata Tiong Kiat.

"Empek, jangan kau takut, kebetulan sekali aku adalah seorang ahli menangkap se...

(Maaf! ada sebagai yang hilang, sehingga cerita ini terpotong...!)

“Kami keluarga Gu, namaku Gu Seng, bertempat tinggal di dusun ini. Banyak terima kasih karena taihiap dan lihiap sudi menolong kami. Akan tetapi, Hek-pa-cu adalah seorang yang kejam dan tangguh sekali, adapun kaki tangannya amat banyak jumlahnya. Bagaimanakah jiwi dapat menghadapinya?"

"Tak usah kuatir lopek " kata Kui Hwa, "biarpun seandainya terdapat seratus orang Hek-pa-cu kami berdua sanggup untuk mencabuti kumis dan ekor mereka!"

Dengan girang tiga orang itu berlutut menghaturkan terima kasih, kemudian mereka lalu kembali ke rumah mereka dan menanti dengan hati berdebar-debar.

"Hwa moi, agaknya Hek-pa-cu ini amat jahat dan berpengaruh. Lebih baik kita mendatangi sarangnya dan membasminya sama sekali agar daerah ini terhindar dari pada kejahatannya. Biarlah gadis itu dibawa ke sarang mereka dan diam-diam kita mengikutinya, Setelah tiba di sarang mereka, barulah kita turun tangan, menolong gadis itu dan sekalian menghancurkan sarang mereka. Bagaimana pendapatmu?"

"Memang sebaiknya demikian, koko. Akan tetapi, hal ini perlu kita beritahukan kepada keluarga Gu, agar mereka tidak menjadi terkejut dan gelisah, dan mengerti akan siasat kita."

Menjelang malam, kedua orang muda ini mendatangi rumah keluarga Gu, dan memberi-tahukan siasat mereka itu. Karena keluarga Gu tidak melihat jalan keluar dari pada ancaman ini, maka tentu saja mereka menurut segala petunjuk dan kehendak penolong mereka!

Dan pada malam hari ini, datanglah serombongan orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar berpakaian seragam dengan sorban merah. Mereka ini adalah anak buah dari Hek-pa-cu yang datang membawa sebuah tandu untuk mengambil Loan Li. Jumlah mereka lima belas orang, semuanya nampak seram dan galak.

Penduduk kampung itu yang sudah mendengar tentang kehendak Hek pa cu untuk mengambil Loan Li, siang-siang sudah menutup pintu dan yang berani keluar hanyalah orang-orang lelaki yang berdiri di depan rumah dengan sikap menghormat. Mereka memandang kepada rombongan orang-orang itu dengan ketakutan, bagaikan melihat serombongan macan tutul yang galak.

Dengan hati tidak karuan rasa, Gu Seng dan istrinya menyambut kedatangan rombongan itu dan dengan memaksa diri menarik muka manis dan ramah tamah, mereka lalu menghidangkan minuman dan makanan. Akan tetapi pemimpin rombongan itu menolak hidangannya sambil berkata,

“Orang she Gu tak perlu menyambut kami. Yang penting segera suruh anakmu berhias dan masuk ke dalam tandu, ikut dengan kami. Twako sudah tidak sabar lagi, dan besok siang kau boleh datang ke hutan sebelah barat untuk menerima penghormatan dari twako serta hadiah-hadiah!"

Dengan wajah pucat dan kedua kaki gemetar, loan Li lalu berjalan keluar, dibimbing oleh ibunya, lalu setengah memaksa ibunya menyuruh gadis itu memasuki tandu yang sudah tersedia di depan rumah. Rombongan itu sambil tertawa-tawa melihat gadis ini dan kemudian tandu lalu dipanggul dan dibawalah gadis itu keluar dari dusun memasuki hutan sebelah barat!

Diam diam dua bayangan orang mengikuti gerak gerik rombongan Sorban Merah ini. Mereka bukan lain adalah Tiong Kiat dan Kui Hwa. Mereka mengikuti rombongan itu memasuki hutan dan ternyata bahwa rombongan itu membawa Loan-Li ke sebuah rumah besar yang terdapat di dalam hutan itu. Akan tetapi, ketika Kui Hwa dan Tiong Kiat mengintai dari atas genteng, mereka melihat bahwa gadis itu dimasukkan ke dalam kamar yang terjaga kuat, sedangkan di tempat itu tidak nampak bayangan Hek-pa-cu!

Kemudian mereka mendengar dari pembicaraan para penjaga itu bahwa Hek-pa-cu sebetulnya tinggal di kota Heng-yang dan keesokan harinya baru akan datang menjemput calon bini mudanya! Terpaksa sepasang orang muda ini melewatkan malam itu di dalam hutan, akan tetapi karena mereka berdua dapat saling menghibur maka malam itu dilewatkan dengan penuh kegembiraan. Pada saat seperti itu dalam bujuk dan cumbu rayu Tiong Kiat yang tampan dan manis bahasa, lenyaplah segala keraguan hati Kui Hwa dan cinta kasihnya terhadap Tiong Kiat makin mendalam.

Pada keesokan harinya, baru saja matahari muncul dan burung-burung berkicau riuh rendah menyambut datangnya siang, terdengarlah suara gemuruh dari luar hutan. Suara ini ternyata adalah sorak-sorai yang penuh kegembiraan dari serombongan anggota-anggota Sorban Merah terdiri dari empat puluh orang lebih. Mereka mengiringkan seorang laki-laki tinggi besar yang berusia hampir empat puluh tahun, berbaju biru, bercelana hitam dan sorbannya merah sekali.

Orang ini berjalan dengan langkah yang gagah dan yang mendatangkan rasa seram pada orang yang melihatnya, adalah sepasang matanya yang liar dan senjatanya yang luar biasa. Senjatanya ini adalah sebuah penggada yang aneh dan mengerikan bentuknya, bulat memanjang dengan ujung tiga meruncing. Penggada ini nampak berat sekali, akan tetapi biarpun senjata besar ini tergantung pada pinggangnya, ia berjalan dengan enak saja, seakan-akan senjata itu hanya merupakan benda yang ringan saja. Inilah dia Teng Sun yang berjuluk Hek-pa-cu Si Macan Tutul Hitam, kepala dari gerombolan Sorban Merah yang amat terkenal dan ditakuti oleh orang!

Ketika Hek.pa cu dengan rombongan telah tiba di dekat rumah besar itu, tiba tiba dari atas pohon melayang turun dua orang muda yang dengan tenang berdiri di depan kepala gerombolan ini. Teng Sun tercengang melihat seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan berdiri di depannya maka ia membentak keras,

“Jiwi siapakah dan ada keperluan apa kiranya menghadang perjalanan kami?"

“Kaukah yang bernama Hek pa cu Teng Sun?" tanya Tiong Kiat.

"Benar dugaanmu saudara muda yang gagah. Siapakah kalian ini dan keperluan apakah yang membawamu datang ke tempat ini?”

“Hek-pa-cu! Tak usah kau tahu siapa kami, akan tetapi kedatangan kami ini untuk menamatkan riwayatmu yang buruk ! Kau telah memaksa gadis she Gu untuk menjadi bini mudamu! Apakah ini laku seorang jantan? Kau mempergunakan pengaruhmu untuk menakut-nakuti penduduk dusun, untuk mengganggu anak bini orang. Sungguh tidak patut!"

Tiba-tiba Hek-pa-cu Tang Sun terbahak-bahak tertawa mendengar makian-makian ini. la anggap sangat lucu seorang pemuda yang tampak lemah bersama dengan seorang gadis cantik ini berani memaki dan menentangnya! Bahkan orang orang kang-ouw yang ternama saja masih akan berpikir-pikir dulu untuk menantangnya bagaimana dua orang muda yang masih seperti kanak-kanak ini berani berlaku kurang ajar kepadanya?

"Ha ha ha! bocah yang masih hijau! Kau perduli apakah dengan segala urusan dan kesenanganku? Kalau kau mau mengambil gadis she Gu itu, ambillah. Aku rela melepaskannya asal saja kau tinggalkan kawanmu itu sebagai gantinya!"

Bukan main marahnya Tiong Kiat mendengar ini, akan tetapi ia kalah dulu oleh Kui Hwa yang juga menjadi luar biasa marahnya.

"Jahanam besar, kau sudah bosan hidup!” teriak Kui Hwa dan tahu-tahu ia telah menyerang Hek-pa-cu dengan pedangnya!

Gerakannya amat cepat bagaikan kilat menyambar sehingga kepala perampok itu terkejut sekali. Ia cepat mengelak, akan tetapi ujung sorbannya masih terbabat! Tak disangkanya bahwa gadis cantik ini mempunyai kepandaian demikian hebatnya, maka tahulah dia bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh. Cepat ia menarik senjatanya yang hebat itu dan bertempurlah mereka dengan seru.

Sementara itu, Tong Kiat juga sudah mencabut pedang Ang-coa-kiam dan sekali ia memutar pedangnya, dua orang anggota Sorban Merah roboh mandi darah! Anak buah gerombolan Sorban Merah itu berteriak teriak marah dan semua mencabut golok mereka, akan tetapi kembali beberapa orang roboh oleh Tiong Kiat ketika pemuda ini menerjang ke depan! Dalam waktu yang amat singkat saja sudah ada delapan orang yang binasa di ujung pedang Ang-coa-kiam! Penjahat-penjahat itu menjadi gentar juga dan merasa ragu-ragu untuk mengeroyok Tiong Kiat.

"Moi moi, kau uruslah anjing-anjing ini, biar aku menolong nona Gu!”

Tiong Kiat berseru dan tanpa menanti jawaban kekasihnya, ia lalu berlari ke arah rumah besar di mana Loan Li ditahan. Di situ ia disambut oleh beberapa orang penjaga, akan tetapi mereka bukanlah lawan Tiong Kiat yang lihai, maka bertumpuk-tumpuklah mayat anak buah Sorban Merah, ketika pemuda ini mengamuk sambil menyerbu ke dalam rumah.

Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara Kui Hwa dan Teng Sun berjalan amat serunya, Hek-pa-cu Teng Sun ternyata memang pandai dan kosen. Senjatanya yang besar dan berat itu diputar sedemikian rupa, mendatangkan angin besar dan celakalah Kui Hwa kalau satu kali saja senjata itu mengenai tubuhnya!

Senjata ini beratnya sedikitnya ada dua ratus kati dan dimainkan dengan tenaga yang luar biasa kuatnya. Akan tetapi Kui Hwa mempergunakan ginkangnya yang luar biasa sehingga tubuhnya seakan-akan merupakan seekor burung yang menyambar-nyambar dari segala jurusan. Pedangnya berkelebat-kelebat merupakan segulung sinar putih dan tubuhnya kadang kadang mumbul ke atas, melayang dan menyambar dari atas dengan kecepatan luar biasa!

Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, Teng Sun merasa terdesak hebat. Pedang di tangan dara manis itu benar-benar amat lihai. Gerakan pedang yang cepat, ditambah pula oleh ginkang yang luar biasa membuat gadis itu kadang-kadang lenyap dari depan matanya. Kalau saja Teng Sun tidak bersenjata penggada yang besar dan berat yang diputar-putar sedemikian rupa sehingga Kui Hwa harus berlaku hati-hati, tentu kepala gerombolan inii sudah roboh sejak tadi!

"Kawan-kawan, bantulah menangkap gadis liar ini!” Teng Sun berseru keras kepada kawannya karena la benar-benar telah kewalahan sekali.

Beberapa orang tauwbak (pemimpin gerombolan pembantu-pembantunya) yang semenjak tadi berdiri bengong menonton pertempuran itu, bergerak maju hendak mengeroyok. Mereka adalah empat orang yang bertubuh tinggi besar yang dipilih oleh Hek-pa-cu Teng Sun sebagai pembantu-pembantunya. Akan tetapi belum juga mereka dapat menggerakkan golok, tiba - tiba Kui Hwa berseru nyaring dan keras.

Tubuhnya melompat ke atas sampai hampir dua tombak, dan dengan gerakan Merak Sakti Mematuk Ular, pedangnya meluncur dari atas ke bawah, melakukan serangan yang luar biasa cepat dan kuatnya! Gerakan ini benar benar mengandalkan ginkang yang sempurna, sehingga tidak terduga sama sekali oleh Hek-pa-cu Teng Sun. Percuma saja ia mengangkat penggadanya untuk menghantam tubuh yang melayang ke atas itu, karena baru saja ia mengangkat penggadanya, pedang di tangan Kui Hwa telah menyambar dan menancap ditenggorokannya!

Hek-pa-cu Teng San mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih, tubuhnya terhuyung-huyung, penggadanya terlepas dari pegangan dan ia lalu roboh tak bernapas lagi!

Dengan wajah keren, Kui Hwa menghadapi empat orang tauwbak dan para anak buah gerombolan dengan pedang di tangan. "Siapa telah bosan hidup? Hayo majulah! Biarlah hari ini pedangku membasmi gerombolan Sorban Merah sampai ke akar akarnya!"

Sikapnya demikian gagah dan garang sehingga empat orang tauwbak itu saling pandang dan kemudian mereka berempat lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kui Hwa! Kawan kawannya yang puluhan banyaknya ketika melihat empat orang pemimpin itu berlutut, segera menjatuhkan diri pula berlutut sambil meletakkan senjata di atas tanah. Inilah tanda menyerah dan takluk terhadap gadis yang gagah perkasa itu.

"Lihiap yang gagah perkasa. Sepak terjangmu demikian gagah dan amat mengagumkan hati kami seluruh anggota Sorban Merah. Lihiap jauh lebih gagah dari pada Hek-pa-cu Teng Sun, maka kami seluruh anggota Sorban Merah menyerah dan mohon ampun dari lihiap. Sudilah kiranya lihiap memimpin kami orang orang bodoh menggantikan kedudukan Hek-pa cu!"

Untuk sesaat, gadis itu berdiri bengong. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang-orang yang tinggi besar dan galak itu kini semua berlutut memberi hormat kepadanya, bahkan memilihnya sebagai kepala mereka! Ia tak dapat menjawab, dan akhirnya ia berkata perlahan,

"Aku Can Kui Hwa bukanlah keturunan perampok bagaimana kalian mau mengangkat aku menjadi kepala perampok?"

"Lihiap, harap jangan salah sangka," berkata seorang diantara empat orang tauwbak itu, "Sesungguhnya rombongan Sorban Merah bukanlah gerombolan perampok. Perkumpulan kami dulunya merupakan perkumpulan orang-orang gagah yang bekerja dengan cara jujur, menjaga keamanan kampung-kampung dari serbuan perampok, mengawal pengiriman barang barang atau orang-orang hartawan yang melakukan perjalanan jauh, dan di samping pekerjaan itu, kami memperdalam kepandaian silat. Semenjak Hek-pa-cu datang dan merampas kedudukan ketua, kami diselewengkan dan terpaksa mengikuti jejaknya. Kami kini telah bertobat, dan asal saja lihiap sudi memimpin kami, perkumpulan Sorban Merah akan menjadi perkumpulan yang baik lagi."

Akan tetapi pada saat itu, Kui Hwa teringat kepada Tiong Kiat, maka ia segera bertanya, "Di manakah adanya kawanku tadi? Dan bagaimanakah dengan nasib nona Gu Loan Li?"

"Kawanmu itupun hebat dan ganas sekali lihiap. Banyak kawan kami telah mati di dalam tangannya. Nona Gu yang ditahan di dalam kamar, telah dirampas dan dibawa lari oleh kawanmu itu."

"Kalau begitu biarlah urusan pengangkatan ketua ini nanti saja dibicarakan lagi setelah aku dapat bertemu dengan kawanku. Dia adalah suhengku dan kalau kalian hendak mencari seorang pemimpin, dialah orangnya, bukan aku!"

Setelah berkata demikian, sekali ia menggerakkan kedua kakinya, Kui Hwa telah lenyap dari situ, membuat para anggota Sorban Merah menjadi makin kagum saja. Dengan cepat Kui Hwa berlari kembali ke dusun tempat tinggal Loan Li. Akan tetapi, ketika ia tiba di rumah keluarga Gu Seng, ternyata bahwa keluarga itu masih menanti-nanti dan Tiong Kiat bersama nona Gu belum juga tiba di rumah itu!

Kui Hwa menjadi heran dan juga bercuriga. Tanpa berkata sesuatu kepada keluarga yang memandang penuh kegelisahaan itu, ia melompat pergi dan kembali ke dalam hutan. Ia mencari-cari sampai hari menjadi gelap, akan tetapi ia tak melihat bayangan suhengnya dan nona Gu yang ditolongnya itu. Akhirnya ia kembali lagi ke dusun dan menuju ke rumah keluarga Gu. Lalu apakah yang didengarnya? Keluh kesah dan tangis yang memilukan!

Kui Hwa merasa tak enak hati sekali dan cepat ia masuk ke dalam rumah itu lalu menuju ke ruang belakang. la melihat Gu Seng duduk sambiI menangis dan ketika melihat Kui Hwa datang, kakek itu berkata,

"Tidak ada gunanya pertolonganmu nona. akhirnya anakku tertimpa bencana juga!" Kui Hwa terkejut sekali. Ia memegang lengan kakek itu dengan keras sehingga Gu Seng memandangnya dengan kaget dan kesakitan.

"Hayo lekas ceritakan apa yang terjadi dan di mana adanya suhengku!"

Kakek itu memandang heran. "Nona, benar-benarkah kau tidak tahu? Suhengmu telah mengantarkan Loan Li pulang dengan selamat, akan tetapi begitu masuk ke kamarnya Loan Li telah menggantung diri sampai mati! Ternyata... kau dan suhengmu... datang terlambat... dan dia... anakku itu telah menjadi korban keganasan Hek-pa-cu...!" Kakek itu mendekap mukanya dan menangis lagi.

Kui Hwa menjadi pucat air mukanya, dan setelah termenung sebentar, mengerahkan otak untuk berpikir, ia lalu memegang lagi tangan kakek itu dan berkata,

"Apakah yang terjadi ? Mengapakah Loan Li menggantung diri!"

"Inilah suratnya, lihiap. Kau bacalah sendiri...” Kakek itu memperlihatkan sehelai kertas yang ditinggalkan oleh Loan Li yang bernasib malang. Surat itu ternyata ditulis dengan tangan gemetar, merupakan empat baris pantun sederhana yang berbunyi demikian:

Mengusir harimau dengan pertolongan srigala Apa bedanya? Hanya satu Jalan membebaskan diri dari noda. Tinggalkan raga!

"Aku juga tidak tahu apakah artinya tulisan ini lihiap. Akan tetapi ia menyebut tentang membebaskan diri dari noda, maka mudah sekali diduga bahwa ia tentu telah menjadi korban keganasan Hek-pa-cu!" kata Gu Seng dengan suara sedih.

Akan tetapi wajah Kui Hwa makin pucat. Jari-jari tangan yang memegang surat itu menggigil sehingga surat itu terlepas dan melayang turun. "Di mana suhengku!” tanyanya dengan suara berat dan bibir gemetar...