Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Liong Ki dan Liong Bi saling pandang. Wajah mereka berubah dan hati mereka tegang. Mereka berdua maklum bahwa mereka bertemu dengan seorang hwesio yang mempunyai tingkat kepandaian sangat tinggi. Hwesio itu tadi sudah mendemonstrasikan tenaga sakti jarak jauh yang luar biasa sekali. Dalam hal itu mereka berdua jelas tidak akan mampu menandinginya.

"Dia lawan yang amat berbahaya, akan tetapi dapat menjadi kawan yang amat berguna," bisik Liong Ki dan wanita cantik itu mengangguk, mengerti apa yang dimaksudkan sekutu dan kekasihnya.

Mereka berdua lalu meghampiri hwesio yang kini sedang makan lagi seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu. Tiga jagoan itu kini sibuk menolong lima orang pemuda hartawan keluar dari dalam kolam, kemudian mereka segera pergi bergegas meninggalkan taman itu. Mereka yang kebetulan berada di taman itu kini juga mulai bubaran sesudah tadi ikut menjadi penonton.

Kini Liong Ki dan Liong Bi sudah tiba di hadapan hwesio itu dan mereka berdua segera memberi hormat. Liong Ki berkata dengan sikap menghormat,

"Locianpwe, lima orang hartawan muda dan tiga orang jagoan mereka itu memang patut dihajar karena tidak menghormati seorang hwesio suci. Walau pun kami berdua bukan hartawan, akan tetapi kami dapat menghargai seorang pendeta dan kalau Locianpwe sudi menerimanya, kami hendak mengundang Locianpwe untuk menikmati hidangan lezat di rumah makan Lok-an yang terkenal di kota raja ini."

Hwesio itu bukan lain adalah Hek-tok Sian-su. Seperti yang sudah kita ketahui, bersama mendiang Bak Tok Sian-su, hwesio ini baru saja pulang dari See-thian (dunia barat atau India) setelah puluhan tahun mereka menimba ilmu dari sana. Sesudah mereka melihat Ceng Hok Hwesio, ketua kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu pegunungan Heng-toan-san dalam keadaan sakit, kemudian meninggal dunia dalam keadaan menderita, dan mereka mendengar pula cerita tentang Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang mereka anggap sebagai penyebab kesengsaraan Ceng Hok Hwesio, mereka menjadi marah sekali. Ketua kuil Siauw-lim-si itu mereka anggap sebagai penyelamat mereka yang telah menyadarkan mereka dari kehidupan sesat, bahkan dia pula yang kemudian mengirim mereka ke barat untuk memperdalam ilmu.

Mereka segera mencari Siangkoan Ci Kang dan isterinya, Toan Hui Cu untuk menuntut pertanggungan jawab mereka. Namun dalam pertandingan melawan Siangkoan Ci Kang akhirnya Ban Tok Siancu tewas walau pun dia mampu melukai Siangkoan Ci Kang.

Dapat dibayangkan kesedihan hati Hek-tok Sian-su sesudah rekan, sahabat dan saudara seperguruan yang selama puluhan tahun merantau ke barat bersamanya itu tewas. Dia pun membawa jenazah suheng-nya itu ke kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu, kemudian memperabukan jenazah itu. Dia meninggalkan obat penawar racun kepada hwesio di kuil itu untuk diberikan kepada Siangkoan Ci Kang.

Tepat seperti dugaan keluarga Siangkoan Ci Kang, Hek-tok Sian-su tidak rela membiarkan Siangkoan Ci Kang tewas begitu saja oleh pukulan beracun suheng-nya. Dia ingin agar Siangkoan Ci Kang serta isterinya menebus dosa dan bertapa di kuil Siauw-lim-si sampai mati untuk menenangkan roh penasaran dari mendiang Ceng Hok Hwesio!

Dia sendiri segera pergi ke kota raja setelah mendengar berita bahwa Tang Hay berada di kota raja! Inilah yang menjadi tujuan utama ketika dia dan suheng-nya kembali dari barat, yaitu untuk mencari pemuda bernama Tang Hay!

Pada waktu Hek-tok Sian-su dan suheng-nya, mendiang Ban-tok Sian-su, mengembara ke Tibet untuk memperdalam ilmu mereka, kedua orang hwesio bekas penjahat besar ini mendapatkan saudara-saudara seperguruan mereka yang telah menjadi pendeta-pendeta Lama. Tiga orang pendeta Lama yang mengadakan pemberontakan terhadap Dalai Lama adalah saudara-saudara seperguruan mereka. Tiga orang Lama itu adalah Gunga Lama, Janghau Lama, dan Pat Hoa Lama.

Hek-tok Sian-su dan Ban-tok Sian-su sendiri tidak ingin terlibat dalam pemberontakan itu. Namun mereka menjadi marah dan mendendam ketika mereka mendengar betapa ketiga orang saudara mereka ini tewas terbunuh. Mereka sudah menyelidiki siapa pembunuh tiga orang pendeta Lama itu. Gunga Lama tewas di tangan Kim Mo Sian-kouw pertapa di Puncak Awan Kelabu pegunungan Ning-jing-san, sedangkan yang dua orang lagi, Jang-hau Lama dan Pat Hoa Lama, tewas di tangan seorang pemuda bernama Tang Hay!

Mereka segera mencari Kim Mo Sian-kouw. Pertapa wanita yang rambutnya keemasan ini tidak menyangkal ketika ditanya, dan dia pun melakukan perlawanan dengan gigih ketika dua orang pendeta beracun itu menyerangnya. Terjadi perkelahian mati-matian yang seru di puncak itu. Namun, karena dikeroyok dua, padahal masing-masing hwesio merupakan tandingan yang setingkat dengannya, akhirnya Kim Mo Sian-kouw roboh dan tewas!

Dua orang hwesio itu lantas melakukan perjalanan pulang ke timur untuk mencari musuh mereka yang ke dua, yaitu pemuda yang bernama Tang Hay. Akan tetapi ketika singgah di kuil Siauw-lim-si, mereka melihat keadaan dan kematian Ceng Hok Hwesio sehingga untuk sementara mereka menangguhkan usaha mereka mencari Tang Hay karena harus membalas kematian Ceng Hok Hwesio terhadap Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Usaha balas dendam itu bahkan mengakibatkan tewasnya Ban-tok Sian-su.

Kini Hek-tok Sian-su berangkat sendiri ke kota raja untuk mencari Tang Hay. Ketika tiba di kota raja, hari itu dia masuk ke taman dan melihat lima orang pemuda hartawan hendak berpesta-pora di taman tanpa menghiraukan orang lain, bahkan tidak menawarkan makan kepadanya. Dia pun lalu mengambil makanan dan minuman yang sedianya akan dipakai pesta lima orang pemuda hartawan itu, tidak menghiraukan teriakan mereka, bahkan lalu makan minum dengan santai tanpa mempedulikan lagi kepada mereka sampai lima orang pemuda itu memanggil tukang pukul mereka.

Saat Liong Ki dan Liong Bi muncul di depannya dan menawarkan makanan dan minuman di rumah makan, Hek-tok Sian-su mengamati mereka berdua. Dia adalah seorang yang sudah kenyang makan garam dunia kangouw, pandangan matanya tajam dan dia segera dapat mengenal orang pandai, walau pun pemuda dan wanita itu masih tergolong muda. Dia tersenyum karena sikap sopan dari Liong Ki menyenangkan hatinya.

"Ha-ha-ha, orang-orang muda yang baik. Untuk makanan lezat dan mahal, arak yang tua, perut pinceng tak pernah merasa kenyang dan mulut pinceng tak pernah merasa puas, ha-ha! Kalian adalah dua orang muda yang baik sekali, suka menghargai pendeta seperti pinceng, omitohud...!"

Hek-tok Sian-su bangkit berdiri. Dia meninggalkan sisa makanan dan araknya, mengikuti Liong Ki dan Liong Bi keluar dari taman itu tanpa menoleh lagi. Ketika lewat dekat lima orang pemuda hartawan yang sudah keluar dari dalam kolam dalam pakaian basah kuyup seperti lima ekor tikus baru saja dikeluarkan dari air, Liong Ki berkata kepada mereka.

"Jadikan pengalaman ini sebagai pelajaran agar kalian tidak bersikap sombong lagi. Aku adalah perwira pasukan pengawal Cang Taijin, dan aku tidak akan menuntut kalian kalau kalian mau menghabiskan urusan itu sampai di sini saja."

Mendengar bahwa pemuda itu ternyata adalah perwira pasukan pengawal Menteri Cang, lima orang pemuda hartawan itu terkejut dan cepat mereka menjura dengan sikap hormat, bahkan mereka lalu menghormat ke arah Hek-tok Sian-su sambil berkata,

"Mohon Thai-suhu mengampuni kami yang bersikap tidak sepantasnya."

"Omitohud, kalian memang telah diampuni oleh Sang Buddha. Kalau tidak, apa kalian kira dapat keluar dari empang dengan masih bernyawa?" Dia tertawa dan mengikuti Liong Ki dan Liong Bi keluar dari taman.

Lima orang hartawan muda dan tiga orang jagoannya tertegun, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh pendeta gendut itu. Akan tetapi Liong Ki dan Liong Bi mengerti. Tentu hwesio yang amat lihai ini hendak mengatakan bahwa kalau dia menghendaki, tentu lima orang pemuda hartawan itu tadi terlempar ke kolam ikan dalam keadaan tidak bernyawa lagi!

Hek-tok Sian-su memang seorang yang aneh sekali wataknya. Dulu, pada puluhan tahun yang lalu, bersama mendiang Ban-tok Sian-su, dia hanya seorang tokoh sesat yang biasa saja. Seorang yang sepenuhnya diperhamba nafsu, mengejar kesenangan dengan cara apa saja. Tidak ada pantangan baginya dan dia dapat membunuh orang sambil tertawa.

Kemudian dia dan Ban-tok Sian-su bertemu Ceng Hok Hwesio ketua kuil Siauw-lim-si dan bukan hanya kalah dalam ilmu silat menghadapi hwesio itu, akan tetapi mereka bahkan ditundukkan dengan budi pekerti dan disadarkan. Mereka bertobat dan bahkan merelakan diri menjadi hwesio, kemudian dipimpin dalam hal keagamaan oleh Ceng Hok Hwesio.

Ketua Siauw-lim-si ini melihat ketekunan dua orang bekas penjahat itu sesudah menjadi hwesio, maka dengan bekal pengetahuan agama yang telah mereka kuasai, mereka lalu dianjurkan pergi ke See-thian untuk mempelajari dan memperdalam ilmu agama Buddha.

Demikianlah, kedua orang itu pergi ke Tibet dan India, berkelana di negara asing itu dan memperdalam pengetahuan agama mereka, juga dalam kesempatan itu mereka bertemu dengan banyak pendeta dan pertapa lihai, maka mereka lantas memperdalam ilmu silat mereka pula. Bukan hanya ilmu silat, juga ilmu sihir dan ilmu-ilmu, tentang racun! Dan dalam hal keagamaan pula mereka bergaul dengan golongan yang menyimpang dari pada agama yang asli.

Karena mempelajari bermacam-macam ilmu inilah maka Hek-tok Sian-su menjadi seorang manusia yang aneh dan tidak wajar. Kadang dia bersikap seperti seorang pendeta yang saleh dan budiman, akan tetapi kadang kala dia dapat bersikap ganas dan kejam seperti iblis. Kebaikan yang dikejar-kejar dapat menimbulkan kejahatan dalam pengejaran itu.

Hek-tok Sian-su yang menganggap dirinya sudah berada di puncak, tidak peduli lagi akan baik buruk perbuatannya. Dia menganggap bahwa semua perbuatannya benar. Dia selalu menuruti dorongan hatinya yang berada dalam gelombang pertentangan yang tak kunjung henti antara keinginan mengejar kesenangan dan keinginan menjauhi kesenangan. Kedua keinginan itu nampaknya berlawanan, tetapi sesungguhnya masih merupakan nafsu yang sama.

Nafsu selalu menghendaki agar keinginannya dapat tercapai, dan betapa terselubung pun keadaan nafsu, diberi pakaian dan sebutan yang indah dan bersih, tetap saja tujuannya hanya demi kepentingan diri sendiri. Aku tidak peduli kalau melakukan kejahatan karena aku ingin mendapat kesenangan dari hasil kejahatan itu. Aku harus melakukan kebaikan karena aku ingin mendapatkan kesenangan dari hasil kebaikan itu.

Berlawanan namun tujuannya sama, yaitu ingin mendapatkan kesenangan dari perbuatan itu. Perbuatan itu tidak utuh, melainkan dijadikan sarana atau cara untuk mencapai titik tujuan, yaitu kesenangan yang dikejar-kejar.

Nafsu selalu menyelinap ke dalam pamrih dan pamrih yang saling berlawanan di antara manusia menerbitkan bentrokan. Pengejar hasil kebaikan yang satu bertabrakan dengan pengejar hasil kebaikan yang lainnya karena terjadi bentrokan pamrih. Agama yang satu bentrok dengan agama yang lain karena masing-masing pemeluknya, yaitu para manusia, saling mempertahankan 'kebaikan' berpamrih tadi.

Orang menyalahkan keadaan di luar diri, menyalahkan lingkungan atau masyarakat yang dianggap sebagai penyebab dari penyelewengan dan kesesatan dirinya. Kita lupa bahwa lingkungan atau masyarakat dibentuk oleh keadaan pribadi-pribadi. Jika manusia hendak menyehatkan lingkungan, seharusnya menyehatkan pribadi. Kalau pribadi-pribadi sehat maka lingkungan pun otomatis menjadi sehat.

Boleh saja orang bertapa mengasingkan diri ke tempat-tempat sunyi, menjauhkan diri dari keramaian, menyiksa diri dengan segala macam cara berusaha untuk mengalahkan dan mengendalikan nafsunya sendiri. Namun orang lupa bahwa perbuatan ini pun merupakan suatu usaha yang mengandung pamrih, jadi masih di dalam lingkaran setan karena masih terdorong oleh nafsu.

Selama ada dasar 'aku ingin' tentu ada nafsu tersembunyi dalam bentuk 'agar berhasil'. Apa pun hasil yang dikejar-kejar itu, dengan pakaian bersih, dengan istilah mulia seperti sorga, kedamaian, keheningan, keabadian, kesempurnaan dan sebagainya, tetap saja di dalamnya bersembunyi 'kesenangan'. Karena sorga, kedamaian, keheningan, keabadian dan sebagainya itu dianggap enak dan menyenangkan maka kita kejar-kejar dengan cara memaksa diri berbuat apa yang kita anggap sebagai kebaikan. Kita tak pernah bertanya kepada diri sendiri, andai kata sorga itu tidak menyenangkan, kedamaian dan sebagainya itu tidak enak, apakah kita masih melakukan kebaikan yang dipaksakan itu? Lalu untuk apa?

Kebaikan adalah suatu sifat, suatu keadaan yang wajar, bukan sebuah perbuatan yang disengaja. Kalau kita sadar bahwa kita berbuat baik, maka di situ pasti terkandung suatu harapan akan pahalanya, walau tersembunyi sekali pun. Matahari merupakan kebutuhan mutlak bagi semua makhluk, memberi kehidupan ketika melimpahkan cahayanya, tetapi dia tidak tahu apakah itu suatu perbuatan baik. Pohon-pohon memberikan bunga-bunga harum, buah-buah segar, kayu dan kulitnya pun bermanfaat bagi serangga dan manusia, hewan-hewan seperti sapi, kuda, anjing dan sebagainya, akan tetapi semua melakukan 'kebaikan' tanpa sengaja dan tidak mengharapkan imbalan.

Kita dianugerahi hati dan akal pikiran yang menjadikan kita sebagai makhluk termulia di dunia. Dengan alat-alat itu kita dapat berbuat lebih banyak bagi alam, jauh lebih banyak dibandingkan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Mestinya begitu, akan tetapi justru hati serta akal pikiran manusia yang menimbulkan mala petaka di dunia ini, karena nafsulah yang menguasainya. Nafsu mutlak penting bagi kehidupan kita, namun juga mutlak berbahaya karena dapat menyeret kita ke dalam kesesatan. Lalu bagaimana?

Jalan satu-satunya hanyalah kembali kepada kekuasaan Tuhan. Menyerah! Hanya Tuhan saja yang mampu mengatur dan mengembalikan kita ke alam kewajaran di mana seluruh anggota tubuh kita luar dalam termasuk hati akal pikiran dibersihkan dari pengaruh nafsu dan berfungsi seperti sebelum dikuasai nafsu. Bila sudah begitu, manusia akan menjadi manusia seutuhnya, dibimbing dan dikendalikan oleh jiwa yang bersih dari nafsu. Bahkan nafsu yang tadinya merajalela dikembalikan kepada fungsinya semula, yaitu alat dari jiwa dalam jasmani, bukan menjadi majikan.


Sesudah dijamu makan minum secara royal sekali oleh Liong Ki dan Liong Bi di rumah makan terbesar, Hek-tok Sian-su menjadi akrab dengan mereka. Dia menyeringai senang dan mengelus perutnya yang menjadi semakin gendut karena baru diisi banyak makanan dan arak.

"Heh-heh-heh, kalian adalah dua orang muda yang baik sekali. Orang muda, tadi engkau mengatakan kepada tikus-tikus itu bahwa engkau adalah perwira pengawal Cang Taijin, siapakah pembesar itu dan siapa pula nama kalian yang bersikap begini baik kepadaku?"

"Locianpwe, nama saya Liong Ki dan ini adalah adik saya yang bernama Liong Bi. Kami berdua bekerja menjadi pembantu Menteri Cang Ku Ceng, saya sebagai perwira pasukan pengawal, dan adik saya sebagai pengawal Keluarga Cang."

"Hemm, lalu kenapa kalian bersikap baik kepada pinceng? Pinceng Hek-tok Sian-su tidak pernah berkenalan dengan pengawal menteri, mau apa kalian bersikap baik kepadaku?"

Liong Ki dan Liong Bi yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang sakti dan berwatak aneh. Terhadap orang seperti ini mereka harus bersikap hati-hati sekali. Orang seperti ini harus ditarik menjadi kawan, sama sekali tidak boleh dijadikan lawan.

Dari julukan kakek itu saja mereka sudah bisa menduga bahwa kakek ini tentulah seorang datuk yang lebih condong kepada golongan hitam. Julukannya adalah Racun Hitam (Hek Tok), dan sepak terjangnya tadi ketika menghajar lima orang pemuda dan tukang-tukang pukulnya sudah membuktikan akan kelihaiannya.

"Locianpwe, kami kakak beradik sangat suka akan ilmu silat dan mengagumi orang-orang pandai. Begitu bertemu dengan Locianpwe, kami bisa menduga bahwa Locianpwe adalah seorang sakti yang berilmu tinggi. Berkenalan dengan Locianpwe merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar bagi kami yang ingin meluaskan pengetahuan kami yang masih dangkal," kata Liong Bi dengan suara merdu dan gaya memikat.

Kakek gundul gendut yang kulitnya hitam kehijauan itu memandang dengan mata yang semakin mencorong, tanda bahwa dia senang sekali. Dia mengangguk-angguk kemudian mengamati kedua orang muda itu. "Kalian mengaku sebagai pembantu-pembantu Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal sekali sebagai seorang pembantu kaisar dan sangat besar kekuasaannya. Kedudukan kalian sebagai pengawal pribadi berarti sudah tinggi dan kalian tentu memiliki kepandaian yang hebat maka dapat menjadi pengawalnya. Nah, perlu apa lagi berkenalan dengan pinceng, seorang kakek perantau yang tidak punya apa-apa?"

"Locianpwe, harap jangan salah mengerti," kata Liong Ki cepat. "Kami berdua hanya ingin mengajak Locianpwe untuk bertemu dengan Cang Taijin. Beliau adalah seorang pembesar yang amat bijaksana dan selalu menghargai orang-orang pandai. Kalau Locianpwe suka, marilah kami ajak untuk menghadap Cang Taijin. Pasti Locianpwe akan diterima dengan senang hati."

"Heh-heh-heh, pinceng tidak ingin mendapatkan kedudukan, apa lagi yang remeh. Kalau kaisar sendiri yang menawarkan kedudukan, baru pantas untuk dipertimbangkan."

Liong Ki dan Liong Bi bertukar pandang. "Locianpwe, pendapat Locianpwe memang tepat dan cocok sekali dengan keinginan kami berdua. Kami sendiri juga ingin sekali mendapat kedudukan di istana kaisar, akan tetapi tidak mudah untuk mendapatkan anugerah seperti itu. Dan kedudukan di samping Cang Taijin akan amat memungkinkan untuk meningkat ke istana kaisar. Marilah, Locianpwe, kami perkenalkan Locianpwe dengan Cang Taijin dan Locianpwe akan kami akui sebagai guru kami. Kami siap membantu Locianpwe agar kita bertiga kelak akan dapat menduduki tempat yang berarti di istana kaisar..."

Hek-tok Sian-su merasa tertarik. Semenjak dia kembali dari perantauannya yang puluhan tahun lamanya bersama mendiang Ban-tok Sian-su, dia tidak pernah hidup senang, selalu menjalani perantauan yang membosankan, kadang harus menahan rasa lapar dan haus, kadang kepanasan atau kehujanan tanpa dapat berteduh di rumah sendiri yang pantas.

Sekarang Ban-tok Sian-su sudah tiada, dan dia sendiri pun sudah tua. Kapan lagi kalau tidak mulai sekarang mencari kedudukan yang pantas dan layak sehingga dia akan dapat menghabiskan sisa hidup dalam kemuliaan dan kesenangan? Lagi pula, selama puluhan tahun ini dengan susah payah dia mempelajari segala macam ilmu, lalu untuk apa semua jerih payah itu dia lakukan kalau hasilnya tidak dinikmati?

Akan tetapi yang mengajaknya adalah kakak beradik yang masih muda dan yang sama sekali tidak dikenalnya. Dia harus lebih dulu yakin akan kejujuran mereka, harus lebih dulu mengenal tingkat kepandaian mereka, apakah mereka itu cukup pantas mengakui dirinya sebagai guru mereka.

"Omitohud, karena kalian tetap mendesak, pinceng jadi tertarik juga. Tetapi pinceng harus benar-benar mengenal kalian yang hendak mengaku sebagai murid pinceng. Bagaimana mungkin seorang guru tidak mengenal tingkat kepandaian muridnya sendiri? Mari kita ke tempat sepi dan ingin aku mengenal kepandaian kalian agar hatiku tidak ragu-ragu lagi." Sesudah berkata demikian kakek itu lantas keluar dari rumah makan, diikuti oleh Liong Ki dan Liong Bi.

Mereka sampai di sebuah hutan kecil di luar kota. Di bawah sebuah pohon besar mereka berhenti dan Hek-tok Sian-su tertawa senang. "Nah, sekarang pinceng ingin berkenalan dengan ilmu kepandaian kalian yang ingin mengaku sebagai murid pinceng." tantangnya sambil berdiri tegak, perut gendutnya menonjol ke depan, kedua lengannya yang pendek tergantung di kedua sisi badan.

"Kak Liong Ki, biar aku yang akan minta petunjuk Locianpwe Hek-tok Sian-su lebih dulu," kata Liong Bi, kemudian dia pun melangkah maju menghampiri kakek itu.

Hek-tok Sian-su tersenyum. Bagaimana pun juga dua orang muda ini cukup gagah karena mereka tidak maju berdua mengeroyoknya. Sikap ini saja sudah menyenangkan hatinya dan membuat dia menduga bahwa tentu mereka ini mempunyai kepandaian yang cukup boleh diandalkan maka berani maju satu demi satu.

"Liong Bi, majulah dan keluarkan semua kepandaianmu agar pinceng dapat menilainya."

"Baik, Locianpwe. Sambutlah seranganku!" Liong Bi membentak dan tubuhnya langsung menerjang dengan cepat sekali.

Kedua tangannya menyambar-nyambar dalam bentuk cakar harimau, mencakar lambung dan muka secara bertubi-tubi, cepat dan mengandung tenaga dahsyat karena wanita itu memang sengaja mengerahkan tenaganya. Ia tidak main-main dan menyerang sungguh-sungguh karena dia pun hendak menguji kepandaian kakek itu, apakah pantas untuk dijadikan sekutunya.

Diam-diam kakek itu terkejut dan kagum sekali. Ternyata gadis ini memiliki kekuatan dan kecepatan yang jauh di atas dugaannya semula. Dia hanya menggeser kaki ke belakang dan ke kanan kiri untuk mengelak dari serangkaian serangan sepasang cakar harimau itu. Namun tiba-tiba kaki kiri Liong Bi mencuat dan menyambar ke arah pusarnya! Kakek itu terkejut dan cepat menangkis dengan lengannya.

"Dukkk!" Akibatnya tubuh Liong Bi terpental dan dia pun membuat gerakan salto jungkir balik tiga kali, sedangkan tubuh Hek-tok Sian-su terdorong mundur dua langkah.

"Omitohud....engkau boleh juga, Nona!" kakek itu memuji. "Coba kau sambut seranganku ini!"

Dan kini kakek itu menerjang maju, kedua tangan yang berlengan baju longgar dan lebar itu menyambar-nyambar dari kanan kiri dan atas bawah. Gerakannya tidak nampak terlalu cepat, namun sambaran angin pukulan yang keluar dari kedua tangan itu mendatangkan angin dahsyat yang menggerakkan pohon dan membuat daun-daun pohon rontok!

Liong Bi terkejut. Ia cepat mempergunakan ginkang-nya untuk berkelebatan ke sana sini, menghindarkan diri dari sambaran tangan dan dua ujung lengan baju itu. Bahkan Liong Ki yang menonton di pinggir merasa terkejut, maklum bahwa kakek ini, seperti yang sudah diduganya, memiliki ilmu kepandaian hebat. Sungguh akan menguntungkan sekali apa bila dia dan Liong Bi mampu memikat orang seperti ini agar menjadi sekutu dan kawan.

Di lain pihak, Hek Tok Sian-su menjadi semakin kagum. Dia telah mempergunakan ilmu pukulan Angin Taufan, dan jarang ada orang yang mampu mempertahankan diri lebih dari belasan jurus menghadapi ilmu pukulan yang memiliki tenaga jarak jauh yang dahsyat ini. Akan tetapi, gadis muda ini mampu bertahan sampai dua puluh jurus lebih!

Untung saja dia tadi maju seorang diri. Kalau kakaknya juga memiliki kepandaian seperti adiknya, dan mereka maju berbareng, belum tentu dia akan dapat mengalahkan mereka! Ternyata kini dia sedang berhadapan dengan dua orang muda yang hebat; yang tak akan mengecewakan untuk dijadikan sekutu atau pembantunya.

Ketika dahulu dia berdua dengan Ban-tok Sian-su, dialah yang menjadi pembantu karena Ban-tok Sian-su sebagai suheng-nya selalu memimpin. Sekarang kalau dua orang muda ini bekerja sama dengan dia, apa lagi mengaku sebagai muridnya, berarti mereka dapat menjadi pembantu-pembantunya yang boleh diandalkan!

Mendadak Hek-tok Sian-su mengeluarkan suara gerengan seperti seekor beruang marah dan gerakan tubuhnya langsung berubah. Kini kedua tangan berikut lengan baju lebar itu menyerang seperti gelombang samudera bergulung-gulung dan ada uap kehitaman yang keluar dari gulungan serangan itu!

Liong Bi terkejut bukan main. Maka dia pun bertanding dengan sungguh-sungguh karena dia hendak menguji kepandaian orang. Menghadapi gelombang serangan ini, dia segera mengeluarkan suara melengking tinggi lalu dia pun mengeluarkan ilmu simpanannya yang ampuh, yaitu ilmu silat Pek-lian-kun (Silat Teratai Putih) dari Pek-lian-kauw. Gerakan silat ini mengandung kekuatan sihir, dan ilmu ini dia pelajari dari mendiang tiga orang gurunya, yaitu Pel-lian Sam-kwi. Ada uap putih keluar dari kedua tangannya ketika dia memainkan ilmu ini.

Akan tetapi, begitu bertemu dengan gelombang serangan dahsyat dari Hek-tok Sian-su, tubuh Liong Bi segera terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung.

"Srettt...!"

Liong Bi meloncat ke belakang sambil berteriak kaget dan mukanya berubah merah. Dua tangannya cepat menutupkan kembali bajunya yang terobek dan terbuka.

"Aihh, Locianpwe nakal...," katanya manja.

"Omitohud, sekali tanganku menyerang, harus menjatuhkan korban. Karena pinceng tidak ingin merobohkanmu, maka terpaksa pinceng merobek baju itu sebagai gantinya," kata Hek-tok Sian-su dan dari sikap dan bicaranya saja tahulah Liong Bi bahwa kakek ini tidak bisa disamakan dengan mendiang tiga orang gurunya. Kakek kulit hitam ini tidak menjadi hamba nafsu birahinya, dan penyobekan bajunya tadi bukan karena watak cabulnya, tapi untuk menunjukkan bahwa dia lebih unggul.

"Ilmu kepandaian Locianpwe hebat, aku mengaku kalah." kata Liong Bi dengan sejujurnya karena dia maklum bahwa jika mereka bertanding sungguh-sungguh, maka dia tidak akan mampu mengalahkan kakek ini. Hek-tok Sian-su tertawa senang.

"Engkau pun hebat, Liong Bi, dan pinceng tidak akan malu diakui sebagai guru olehmu. Nah, Liong Ki, sekarang giliranmu. Majulah dan mari kita main-main sebentar..."

"Baik, Locianpwe. Sambutlah seranganku ini!"

Liong Ki menerjang maju. Seperti juga Liong Bi, dia tidak main-main, mengerahkan tenaga sinkang-nya dan mengeluarkan ilmu silat yang ampuh untuk mengalahkan lawan. Karena dia tadi melihat betapa ketika menyerang dan mengalahkan Liong Bi gerakan kakek itu mendatangkan angin dan gelombang yang amat dahsyat, maka begitu menyerang dia pun memainkan ilmu Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru angin)! Gerakannya cepat dan mendatangkan angin yang cukup dahsyat.

"Omitohud....!" Hek-tok Sian-su berseru kaget dan kagum.

Kalau tadi dia mengenal ilmu silat yang dimainkan Liong Bi berasal dari Pek-lian-kauw, sekarang dia menghadapi permainan silat yang sama sekali tidak dikenalnya, namun yang dahsyatnya bukan kepalang. Pemuda ini ternyata lebih lihai dari pada adiknya! Tentu saja kakek ini tidak tahu bahwa ilmu yang dimainkan Liong Ki itu adalah ilmu silat yang dahulu dia pelajari dari Si Pendekar Sadis Ceng Thian Sin!

Karena dia merasa bahwa kalau sampai dia kalah oleh pemuda ini, bukan saja dia akan gagal mendapatkan kedudukan tinggi, juga tentu pemuda itu tidak jadi menariknya dan mengakuinya sebagai guru di depan Cang Taijin, maka Hek-tok Sian-su juga tidak berani main-main. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan ilmunya yang memiliki gerakan-gerakan aneh, yaitu ilmu yang diperolehnya selama puluhan tahun berkeliaran di sekitar Pegunungan Himalaya dan negara-negara sekitarnya.

Pertandingan itu memang amat seru dan hebat bukan main. Setiap kali tangan keduanya terpaksa bertemu mengadu tenaga, ternyata Liong Ki masih kalah kuat hingga terdorong mundur sampai empat lima langkah, sedangkan lawannya hanya terdorong mundur dua langkah. Namun dalam hal kecepatan Liong Ki dapat mengimbangi kakek itu, dan dia pun memiliki lebih banyak ilmu silat tinggi yang tidak dikenal kakek itu dan membuat kakek itu agaknya sukar untuk mengalahkannya.

Setelah lewat empat puluh jurus, kakek itu lalu berjongkok dan mendorong dengan kedua tangan ke depan, seperti seekor katak besar yang hendak meloncat. Dari kedua telapak tangannya menyambar tenaga dahsyat disertai uap hitam!

Liong Ki mengenal ilmu pukulan yang amat berbahaya, maka dia pun langsung meloncat ke samping untuk menghindar. Baru saja kedua kakinya kembali ke atas tanah, kakek itu sudah menerjangnya lagi, sekali ini tubuh kakek itu bergulingan seperti seekor trenggiling dan kaki tangannya menyerang ketika dia bergulingan itu.

Menghadapi serangan yang sangat aneh ini, Liong Ki terkejut dan terdesak. Ke mana pun dia mengelak, tubuh yang bergulingan itu selalu mengejarnya. Akhirnya terpaksa Liong Ki menyambut kedua tangan lawan dengan tangannya ketika kakek itu menghantamnya lagi dalam keadaan jongkok seperti katak.

"Plakkk!"

Dua pasang tangan bertemu dan saling melekat, dan pada saat itu kaki Hek-tok Sian-su menendang, mengenai paha Liong Ki sehingga tubuh pemuda itu pun terjengkang! Akan tetapi Liong Ki dapat meloncat bangun dengan cepat dan dia pun memberi hormat kepada kakek itu.

"Kepadaian Locianpwe sungguh dahsyat, aku mengaku kalah."

Hek-tok Sian-su tertawa bergelak sambil meraba-raba dagunya yang tak berjenggot. "Ha-ha-ha, selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan dua orang muda selihai kalian. Bahkan andai kata aku memiliki murid, agaknya dia akan kalah kalau bertanding melawan salah seorang di antara kalian. Hebat, memang sudah pinceng dengar bahwa kini banyak bermunculan orang-orang muda yang berkepandaian tinggi. Tentu saja pinceng merasa bangga jika diperkenalkan sebagai guru kalian. Kini pinceng mau kalian ajak menghadap Menteri Cang, dan suka bekerja sama dengan kalian. Namun sebaiknya, kalian sebagai murid-murid angkat harus membantuku mencari seseorang sampai dapat..."

"Tentu saja kami bersedia membantumu, Suhu!" kata Liong Ki dan mendengar sebutan itu, Hek-tok Sian-su lalu tersenyum. "Katakan siapakah orang itu dan di mana tinggalnya, pasti kami akan berusaha mencarinya. Kalau perlu kami juga bisa mengerahkan pasukan penyelidik...."

"Bagus, memang itulah yang pinceng kehendaki. Orang yang sedang pinceng cari-cari itu juga seorang pemuda yang lihai seperti engkau, namanya Tang Hay..."

"Hay Hay...?!" teriak Liong Ki

"Pendekar Mata Keranjang?" Liong Bi juga berseru sambil bangkit berdiri dari atas batu besar di mana dia tadi duduk.

"Oh, kalian sudah mengenal dia, bukan? Bagus sekali. Di mana dia sekarang?"

Liong Bi yang cerdik cepat mendahului Liong Ki agar jangan salah bicara. "Kami memang mengenal Tang Hay atau Hay Hay Si Mata Keranjang itu, Suhu, akan tetapi kami tidak tahu di mana dia sekarang. Akan tetapi, apakah hubungan Suhu dengan dia dan kenapa pula Suhu mencari Hay Hay?"

Tentu saja mereka merasa khawatir ketika mendengar bahwa orang yang dicari-cari oleh kakek ini ternyata adalah Hay Hay, musuh besar mereka! Kalau kakek ini sanak keluarga atau sahabat baik Hay Hay, maka akan celakalah mereka!

Hek-tok Sian-su selalu menganggap bahwa dirinya adalah seorang datuk yang menduduki tingkat tinggi, maka dia tidak merasa perlu untuk menyembunyikan sesuatu karena tidak ada yang ditakutinya di dunia ini. Maka, mendengar pertanyaan Liong Bi tadi, mulutnya yang selalu tersenyum sinis itu kini menyeringai.

"Tang Hay adalah musuhku dan pinceng mencari dia untuk membunuhnya..."

Mendengar ini, Liong Ki dan Liong Bi saling pandang. Hati mereka lega dan senang, akan tetapi mereka cerdik dan ingin yakin lebih dahulu.

"Locianpwe, apakah yang telah dilakukan Tang Hay maka Locianpwe hendak membunuh dia? Apa dosanya?

"Ha-ha-ha, dosanya sungguh besar sekali! Bersama Kim Mo Sian-kouw, Tang Hay telah membunuh ketiga orang suheng-ku yang bernama Gunga Lama, Janghau Lama, dan Pat Hoa Lama. Aku telah berhasil membunuh Kim Mo Sian-kouw, sekarang tinggal Tang Hay yang belum dapat kutemukan."

Barulah hati kedua orang muda itu yakin dan merasa gembira bukan main. Apa lagi Liong Bi yang sudah mendengar tentang tiga orang pendeta Lama yang dimaksudkan oleh Hek-tok Sian-su tadi. Tiga orang pendeta Lama itu adalah tiga pendeta sakti yang berusaha untuk memberontak di Tibet, namun dapat dihancurkan oleh Dalai Lama dan pasukannya. Kiranya Hay Hay juga membantu pembasmian pemberontakan itu.

"Kalau begitu, sungguh kebetulan sekali, Suhu!" kata Liong Ki dengan girang. "Ketahuilah bahwa kami pun sangat membenci anak jai-hwa-cat Ang-hong-cu itu! Dia adalah musuh besar kami pula!"

"Hemm, begitukah? Pinceng juga sudah mendengar bahwa pemuda bernama Tang Hay itu anak jai-hwa-cat Ang-hong-cu (penjahat pemetik bunga Si Kumbang Merah). Dia harus membayar kematian tiga orang suheng-ku. Tetapi kenapa kalian memusuhinya pula?"

"Anak jai-hwa-cat itu sombong dan jahat bukan main, Suhu." kata Liong Bi. "Aku pernah bertemu dengan dia dan hampir saja dia memperkosaku, kalau saja tidak muncul kakak Liong Ki yang menyelamatkan aku."

"Benar, dia memang jahat dan kejam, penjahat cabul seperti ayahnya. Julukannya saja Pendekar Mata Keranjang. Aku juga pernah bentrok beberapa kali dengan penjahat itu. Kami akan membantu sekuat tenaga untuk menyelidiki di mana pemuda jahat itu berada, Suhu. Sekarang marilah kita menghadap Cang Taijin, dan Suhu akan kami perkenalkan dengan beliau."

Mereka bertiga lalu meninggalkan hutan, kembali ke kota dan langsung menuju ke istana Menteri Cang Ku Ceng. Menteri Cang menerima kunjungan Hek-tok Sian-su dengan hati gembira. Menteri yang bijaksana ini memang pandai sekali menghargai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Apa lagi ketika kakek gundul itu diperkenalkan oleh dua orang pembantunya sebagai guru mereka, dia menyambut dengan hormat.

Sesudah berbincang-bincang sejenak, dengan ramah Menteri Cang memberi ijin kepada Liong Ki yang mohon perkenan agar untuk sementara 'gurunya' dapat tinggal bersama dia di kamarnya. Bahkan kepada Menteri Cang, Liong Ki mengatakan dia akan membujuk gurunya agar suka melatih ilmu kepada keluarga Cang dan kepada para perwiranya.

Ketika Liong Ki dan Liong Bi meninggalkan ruangan dalam di mana mereka tadi diterima oleh Cang Taijin, sambil mengajak Hek-tok Sian-su, dan mereka menuju ke perumahan di belakang komplek lingkungan istana menteri itu, mereka berjumpa dengan Mayang.

Gadis ini memang sudah mulai merasa tidak senang kepada Liong Ki dan Liong Bi, walau pun perasaan itu dipendamnya saja di dalam dada karena tidak ada alasan yang dapat dijadikan bukti. Sikapnya dingin saja ketika berjumpa dengan tiga orang itu, hanya diam-diam dia merasa heran melihat kedua orang itu berjalan bersama seorang kakek pendeta gundul berjubah kuning.

"Mayang, perkenalkan. Ini adalah guru kami...," kata Liong Ki.

Mayang mengerutkan kedua alisnya. Setahunya, guru Liong Ki atau Sim Ki Liong adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya di pulau Teratai Merah.

"Gurumu...?" gumamnya.

"Ini adalah guruku, suhu Hek-tok Sian-su." Liong Bi memotong cepat dan Liong Ki yang menyadari kesalahannya cepat menyambung.

"Sekarang menjadi guruku pula, Mayang. Aku sudah mengangkat locianpwe ini menjadi guruku."

Mayang mengangguk-angguk, walau pun masih agak ragu namun keterangan pemuda itu masuk akal. Bisa saja dia mengangkat guru orang lain lagi karena gurunya yang di pulau Teratai Merah sudah tidak mengakuinya lagi. Lagi pula, apa salahnya kalau dia berguru lagi kepada orang pandai? Dengan sikap acuh saja dia lalu meninggalkan mereka.

"Siapakah nona itu? Dia seperti bukan gadis Han." kata Hek-tok Sian-su tertarik.

"Memang dia gadis peranakan Tibet, Suhu. Sebetulnya dia jahat sekali dan dapat menjadi penghalang kemajuan kita. Aku sudah ingin melenyapkannya, akan tetapi selalu dilarang kakak Liong Ki karena dia dan gadis itu saling mencinta, atau lebih tepat, dia tergila-gila kepada Mayang."

"Mayang?"

"Ya, nama gadis itu Mayang. Dia terbawa oleh kami ke sini, akan tetapi agaknya dia tidak suka kepada kami, atau ingin mengambil jalan sendiri. Dengan kecantikannya agaknya dia hendak memikat hati Cang-kongcu, putera Menteri Cang dan jika dia berhasil, kami yakin dia tentu akan mempergunakan kekuasaannya untuk medesak kami." kata pula Liong Bi.

"Omitohud, alangkah jahatnya. Memang sudah sepantasnya kalau dia dilenyapkan," kata kakek itu. Mendengar ini Liong Ki dan Liong Bi merasa girang dan mereka maklum bahwa mereka boleh mengandalkan tenaga bantuan kakek ini.

"Suhu," kata Liong Ki, "memang sebaiknya Mayang itu dilenyapkan, akan tetapi aku telah terlanjur jatuh cinta padanya dan aku tidak tega membunuhnya. Aku ingin agar dia dapat kutundukkan kemudian menjadi milikku. Kalau sudah begitu maka aku dapat menguasai dan mempengaruhinya supaya dia selalu taat padaku. Kuharap Suhu suka membantuku dalam hal ini."

"Omitohud, engkau terlalu memandang rendah dirimu sendiri Liong Ki. Kulihat kepandaian kalian sudah cukup hebat, apa sukarnya menundukkan seorang gadis muda seperti itu? Memang masih memerlukan bantuan pinceng?"

"Suhu tidak tahu, Mayang itu memiliki kepandaian yang cukup lihai. Ia pun kebal terhadap ilmu sihir. Dan dia pun amat berbahaya bagi Suhu sendiri!" kata Liong Bi.

"Heh? Berbahaya bagi pinceng? Kenapa?"

"Dia adalah murid Kim Mo Sian-kouw."

Hwesio itu terbelalak. "Omitohud! Jadi dia adalah murid Si Rambut Emas itu? Kalau dia tahu bahwa gurunya mati di tanganku, tentu dia akan memusuhiku. Kalau begitu memang sudah sepatutnya dia dilenyapkan." kata Hek-tok Sian-su.

"Lebih dari itu, Suhu, dia adalah adik tiri dari Tang Hay. Dia pun puteri Si Kumbang Merah tetapi berlainan ibu," kata Liong Ki.

"Bagus, bagus! Serahkan dia kepada pinceng. Pinceng akan melenyapkan dia tanpa ada yang mengetahuinya, jangan khawatir..."

"Ahh, tidak, Suhu. Maksudku bukan begitu. Aku cinta padanya, dan akan merasa sayang sekali kalau dia dilenyapkan. Aku menghendaki agar dia jatuh ke dalam pelukanku, agar dia menjadi milikku dan kalau sudah begitu tentu dia akan tunduk kepadaku."

"Ho-ho-hoh, kiranya begitu maksudmu? Cinta memang dapat membuat orang melakukan apa saja. Baiklah, pinceng akan membantumu. Apa yang harus pinceng lakukan? Apakah menangkap dia, lalu menelikungnya dan menyerahkan kepadamu?" .

"Tidak, suhu. Aku tak ingin mempergunakan kekerasan terhadap Mayang. Aku terlampau mencintanya. Kita harus menggunakan cara halus dan akan kuberitahu kepada suhu bila saatnya tiba. Sekarang ini ada dua hal penting yang kami berdua harapkan bantuan dari Suhu."

"Hemm, bantuan apa lagi yang kalian harapkan dari pinceng?"

Kini Liong Bi yang menjelaskan. "Suhu, kami ingin sekali meningkatkan kedudukan kami. Menteri Cang memiliki dua orang anak. Yang laki-laki bernama Cang Sun, ada pun yang perempuan bernama Cang Hui. Nah, kalau aku dan koko Liong Ki dapat berjodoh dengan mereka, tentu dengan sendirinya derajat dan tingkat kedudukan kami akan naik. Sebagai guru kami, tentu derajat Suhu juga akan terangkat. Kami berdua sudah melakukan usaha pendekatan dan hampir saja berhasil, akan tetapi selalu Mayang yang menghalangi dan menggagalkan usaha kami. Kami mohon bantuan Suhu agar Cang-kongcu itu tergila-gila kepadaku, dan Cang-siocia tergila-gila kepada kakak Liong Ki.

"Ho-hoh-ha-ha! Demikian banyaknya permintaan bantuan dari kalian kepadaku! Dan apa imbalannya? Kalau hanya makan minum enak saja, setiap saat aku bisa memperolehnya tanpa susah payah."

"Ingat, Suhu. Kami telah berjanji akan membantu mencarikan Tang Hay, musuh besarmu itu. Dan kedua, di istana keluarga Cang ini Suhu mendapat kedudukan baik sebagai guru kami, bahkan kami bisa memintakan kepada Cang Taijin agar Suhu memperoleh pangkat yang resmi. Dan ketiga, kalau kami berdua sudah menjadi mantu keluarga Cang, berarti kedudukan Suhu ikut naik dan kita dapat meningkatkan lagi kedudukan kita karena sudah semakin dekat dengan istana kaisar. Bukankah itu berarti bahwa kelak kita bertiga akan menikmati nama besar, kedudukan tinggi, kemuliaan dan harta benda?"

Hwesio itu tertawa dan perut gendutnya terguncang-guncang. Dia merasa gembira sekali telah dapat berkenalan dengan dua orang muda yang cerdik ini.

"Ha-ha-ha-ha, kalian memang berjodoh sekali dengan pinceng. Kalian masih muda namun sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan yang lebih lagi, kalian memiliki kecerdikan luar biasa. Baik, pinceng akan membantu kalian"

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

"Kui Hong. Bagaimanakah engkau ini? Sudah sering datang pinangan, akan tetapi engkau selalu menolak. Engkau telah cukup dewasa dan ayah ibumu sudah ingin melihat engkau menikah, Nak. Pinangan sekali ini datang dari murid Kun-lun-pai yang gagah, bahkan dia adalah putera ketua Kun-lun-pai. Bagaimana kini engkau menolaknya pula? Kami benar-benar merasa amat tidak enak hati," kata Ceng Sui Cin kepada puterinya.

"Maaf, Ibu dan Ayah. Aku sudah tidak mempunyai sedikit pun keinginan untuk menikah. Bila dipaksakan tentu aku hanya akan hidup menderita dan kecewa, dan aku yakin Ayah dan Ibu tidak ingin melihat aku hidup menderita, bukan? Biarlah aku seperti sekarang ini, hidup di samping Ayah dan Ibu sambil mengurus Cin-ling-pai."

Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, saling pandang dengan alis berkerut. Mereka mengamati wajah puteri mereka. Kini Kui Hong sudah jauh berbeda dengan gadis lincah jenaka yang dahulu. Tubuhnya kurus, matanya tidak memancarkan cahaya seperti dulu, mulut yang biasa tersenyum itu kini selalu merapat, dan kalau dahulu dia ramah gembira dan suka berceloteh, kini menjadi seorang gadis yang sangat pendiam dan kaku seperti mayat hidup saja.

"Kui Hong, pikirkanlah baik-baik," kini ayahnya yang berkata. "Kurasa para peminang itu memenuhi semua syarat. Ada yang kaya raya, ada putera bangsawan, ada pula seorang pendekar yang mempunyai nama terkenal, tetapi engkau selalu menolak. Bahkan hendak diperkenalkan pun tidak mau. Seakan-akan engkau memang sudah mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya. Betulkah?"

Gadis itu mengangkat mukanya, memandang kepada ayahya, lalu kepada ibunya. Suami isteri itu hampir tidak tahan menerima pandang mata itu. Pandang mata yang benar-benar amat menyedihkan. Mata itu nampak lebar karena mukanya kurus sekali.

"Ayah, menikah berarti penyerahan diri kepada seseorang yang untuk selama hidup akan menjadi teman. Betapa mungkin aku menyerahkan sisa hidupku kepada seseorang yang sama sekali tidak kusukai, bahkan sama sekali tidak kukenal? Dari pada kelak menderita sengsara di samping orang yang tidak kusayang, lebih baik hidup seorang diri. Aku yakin Ayah dan Ibu cukup bijaksana untuk tidak memaksaku menyerahkan diri dan sisa hidupku kepada orang yang tidak kucinta."

Gadis itu lalu menunduk kembali dan suami isteri itu saling pandang. Sudah lama mereka berdua sering bicara dalam kamar mengenai puteri mereka ini. Sesudah saling pandang dengan suaminya dan menghela nafas berulang-ulang untuk mencari kekuatan, akhirnya Ceng Sui Cin yang bertanya,

"Kui Hong, apakah sampai sekarang engkau masih tetap mencinta Tang Hay?"

Kui Hong merasa seperti disengat kalajengking ketika mendengar ibunya menyebut nama ini. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa ibunya akan menyebut nama ini. Alisnya berkerut, wajahnya berubah pucat dan jantungnya seperti ditusuk. Dia mengangkat muka memandang kepada ayah ibunya dan melihat betapa mereka mengamatinya dengan sinar mata tajam penuh selidik.

Muncul perlawanan dalam hatinya. Selama ini dia menderita batin karena penolakan ayah ibunya terhadap diri Tang Hay, dan kini ibunya bahkan bertanya apakah dia masih tetap mencinta pemuda itu!

"Ibu dan Ayah!" jawabnya dan suaranya mengandung kekerasan. "Apakah cinta kasih itu dapat berubah dan dapat diganti begitu saja? Tentu saja aku masih mencinta Hay-koko, dan sampai mati pun aku akan tetap mencintanya. Hanya dengan Hay-koko saja aku mau menikah. Perlukah hal ini kutegaskan lagi? Ayah dan Ibu sudah tidak setuju, kenapa kini mesti mengungkit kembali dan menyebut namanya?"

Suami isteri itu kembali bertukar pandang. "Kui Hong, jangan salah mengerti. Ayah ibumu amat sayang kepadamu dan engkau tentu sudah tahu mengapa dahulu kami tidak setuju engkau berjodoh dengan Tang Hay..."

Kui Hong bangkit berdiri, tusukan di jantungnya terasa menghujam makin dalam. "Ayah, tidak perlu dijelaskan lagi, aku sudah cukup mengetahui! Ayah dan Ibu menolak karena Hay-koko adalah seorang anak haram, terlahir dari perkosaan, ayahnya seorang jahanam busuk Ang-hong-cu, seorang jai-hwa-cat terkutuk!" Di dalam suaranya ini terkandung isak dan beberapa butir air mata mengalir keluar dari sepasang matanya. "Perlukah Ayah dan Ibu mengingatkannya kembali, menekan-nekan dan menggosok-gosok luka di hatiku agar pecah kembali?"

"Kui Hong, kau kira kami sekejam itu terhadap anak sendiri?" Ceng Sui Cin mendekat dan memegang kedua tangan puterinya. "Kui Hong, kalau kami dahulu menolak adalah karena kami amat sayang kepadamu, kami ingin melihat engkau memperoleh jodoh seorang laki-laki dari keturunan terhormat. Kami hanya memikirkan masa depanmu, Nak. Akan tetapi, kalau sampai sekarang engkau tidak dapat melupakan dia, masih tetap mencintanya dan hanya mau berjodoh dengannya, kalau memang hanya menjadi isterinya saja yang dapat membahagiakan hatimu, kami juga tidak dapat melarangmu..."

Kui Hong terkejut, memandang kepada wajah ibunya, lalu ayahnya. "Apa maksud Ibu dan Ayah...?"

Kini Hui Song yang berkata, "Sudah lama aku dan ibumu membicarakan hal ini, Kui Hong. Akhirnya kami bersepakat bahwa kalau memang tidak ada pilihan lain, dan engkau tetap memilih Tang Hay menjadi suamimu, kami berdua tak akan melarangmu lagi. Kau carilah dia dan ajaklah dia ke sini agar kami dapat bercakap-cakap dengan calon suamimu itu."

Kui Hong terbelalak, merasa seperti berada di dalam mimpi, hampir tidak dapat percaya. Dia menatap wajah ayahnya, lalu perlahan-lahan memandang ibunya dan berbisik, "Ibu..., Ibu..., benarkah...?"

Ceng Sui Cin tersenyum. Matanya basah. "Benar, Anakku. Kami teringat bahwa kami pun pernah memiliki nenek moyang yang menyeleweng. Kalau ayahnya tersesat, belum tentu anaknya juga jahat. Kami telah bersikap tidak adil kepadamu, maafkan kami."

"Ibu....!" Kui Hong menjerit, merangkul ibunya dan bertangisan. Kemudian dia melepaskan ibunya dan menubruk ayahnya.

"Ayah...!"

Suami isteri itu merasa terharu. Sekarang mereka betul-betul yakin bahwa puteri mereka ini amat mencinta Tang Hay. Hanya karena ingin berbakti kepada mereka saja maka Kui Hong mengorbankan perasaannya, rela hidup terpisah dengan kekasihnya demi mentaati orang tua.

"Kui Hong, engkau cepatlah pergi mencari Tang Hay, kemudian ajaklah dia ke sini. Aku ingin mengenalnya lebih baik." kata Hui Song.

"Akan tetapi, tahukah engkau ke mana harus mencarinya, Anakku?" tanya ibunya.

Kui Hong tersenyum dan menyusut air matanya dengan sapu tangan, lalu mengangguk. "Aku pasti akan dapat menemukannya, Ibu. Memang aku tidak tahu dia sedang berada di mana sekarang. Namun aku akan mencarinya sampai dapat! Pernah dia berkata bahwa kalau kami sudah menikah, dia ingin tinggal di kota raja. Dia suka tinggal di sana karena ramai dan mudah mendapatkan pekerjaan. Apa lagi dia mengenal baik Menteri Cang yang bijaksana, yang tentu akan suka memberi pekerjaan kepadanya. Aku akan mencarinya ke kota raja!"

Pada keesokan harinya, setelah berpamit dari ayah ibunya, kakeknya, dan menyerahkan semua urusan Cin-ling-pai kepada ayahnya, Cia Kui Hong lalu meninggalkan Cin-ling-pai. Ayah ibu serta kakeknya yang mengantarnya sampai keluar pintu gerbang Cin-ling-pai, diam-diam merasa terharu dan juga gembira melihat betapa keputusan mereka itu dalam sehari semalam saja telah mengubah diri Kui Hong secara hebat, yang tak mungkin dapat dihasilkan oleh obat yang bagaimana manjur sekali pun.

Gadis itu seperti sudah menemukan dirinya kembali, sudah kembali seperti dahulu, lincah gagah dan penuh semangat, dengan sepasang mata yang kini bersinar-sinar, wajah yang berseri-seri dan bibir yang tersenyum manja.

Ceng Sui Cin merangkul anaknya. "Aku akan bersembahyang setiap hari, berdoa agar engkau segera dapat bertemu dengan dia dan mengajaknya pulang ke sini, Kui Hong."

"Terima kasih dan jangan khawatir, Ibu. Aku pasti bisa menemukannya dan mengajaknya menghadap Ayah dan Ibu. Selamat tinggal." Kui Hong mencium pipi ibunya yang basah, dan kini dia tidak menangis lagi, melainkan tersenyum melambaikan tangan kepada ayah, ibu dan kakeknya. Kemudian dia pun berlari menuruni lereng gunung dengan cepat, bagai seekor burung terbang meninggalkan sarangnya.

Memang Kui Hong sudah menemukan dirinya kembali. Semenjak ditinggal pergi Hay Hay yang membuat dia jatuh sakit, dia seperti kehilangan semangat, kehilangan gairah hidup. Biar pun dia sangat giat mengurus Cin-ling-pai, membangun kembali perkumpulan nenek moyangnya yang baru saja mengalami malapetaka besar dengan menyelundupnya tokoh-tokoh sesat yang hendak menghancurkan Cin-ling-pai, namun dia bekerja seperti boneka hidup saja. Dia tak mempedulikan dirinya sendiri sehingga tubuhnya menjadi kurus sekali, bahkan rambutnya yang hitam panjang itu nampak kusut tak terpelihara. Semangat dan gairah hidupnya lenyap terbawa pergi bayangan Hay Hay.

Kini harapan bertemu dan bersatu kembali dengan Hay Hay memulihkan keadaannya dan mengembalikan gairahnya. Dia tahu benar bahwa Hay Hay sangat mencintanya, bahwa kepergian Hay Hay meninggalkannya merupakan bukti dari cintanya yang sejati. Pemuda itu rela berkorban, rela berpisah dan menderita batin demi Kui Hong! Pemuda itu pergi meninggalkannya karena dia tidak ingin melihat Kui Hong bentrok dengan orang tuanya.

Ia bisa membayangkan betapa Hay Hay tentu pergi meninggalkannya dengan hati hancur. Dia yakin benar bahwa Hay Hay, meski pun putera Ang-hong-cu, sama sekali tidak dapat disamakan dengan ayahnya yang jai-hwa-cat itu.

Orang-orang boleh saja menjuluki dia Pendekar Mata Keranjang, namun itu hanya karena wataknya yang gembira, suka bergurau, suka akan keindahan dan tidak menyembunyikan rasa kagumnya terhadap keindahan, termasuk kecantikan wanita. Karena keterbukaannya itulah maka dia dikatakan mata kerajang, padahal dia tahu benar bahwa di lubuk hatinya Hay Hay tidak mempunyai pikiran yang cabul. Dia bukan hamba nafsu birahinya. Hal ini ia ketahui benar setelah lama bergaul dengan dia.

Dahulu pun dia pernah menyangka bahwa Hay Hay seorang pemuda yang sama dengan ayahnya, suka berjinah dan berbuat mesum dengan wanita cantik mana saja. Akan tetapi sekarang dia sudah benar-benar yakin!

Kui Hong melakukan perjalanan cepat. Dia tidak tahu bahwa tiga hari kemudian sesudah dia meninggalkan Cin-ling-pai, seorang gadis yang cantik jelita, bertahi lalat di dagunya, mendaki gunung Cin-ling-san dengan gerakan cepat dan ringan, menunjukkan bahwa dia seorang gadis yang berilmu tinggi. Gadis itu bukan lain adalah Siangkoan Bi Lian.

Seperti kita ketahui, pada saat Bi Lian menjadi pengantin dengan Pek Han Siong, dalam pesta perayaan pernikahan itu muncullah Ban-tok Sian-su bersama Hek-tok Sian-su yang mendendam karena menganggap bahwa kematian Ceng Hok Hwesio ketua kuil Siauw-limsi adalah karena Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, orang tua Bi Lian. Ceng Hok Hwesio menyiksa diri, bertapa sampai mati dan dua orang pendeta aneh ini menyalahkan Siang Koan Cikang dan isterinya, dan mereka datang untuk minta pertanggungan jawab.

Terjadilah bentrokan di mana Ban-tok Sian-su bertanding melawan Siangkoan Ci Kang yang mengakibatkan tewasnya Ban-tok Sian-su, tetapi Siangkoan Ci Kang juga roboh dan terkena pukulan beracun yang sangat hebat dari Ban-tok Sian-su. Hek-tok Sian-su lantas pergi sambil membawa jenazah suheng-nya.

Keluarga Siangkoan menjadi geger. Luka yang diderita Siangkoan Ci Kang sangat parah sebab pukulan beracun itu sukar diobati sampai sembuh. Han Siong dan Bi Lian, juga ibu Bi Lian, hanya dapat memberi obat agar racun tidak menjalar saja, akan tetapi tidak dapat menyembuhkan hingga pulih sepenuhnya.

Mereka segera membagi tugas. Han Siong melakukan pengejaran kepada Hek-tok Sian-su untuk minta obat penawar, sedangkan Bi Lian pergi mencari Hay Hay untuk meminjam mustika penyedot racun yang dimiliki Hay Hay.

Han Siong telah memberitahu kepadanya bahwa sebaiknya dia mencari Hay Hay ke Cin-ling-san, karena ketika mereka saling berpisah dahulu, Hay Hay pergi bersama Kui Hong. Setidaknya di Cin-ling-pai tentu Bi Lian akan bisa mendapat keterangan di mana adanya Hay Hay.

Demikianlah, pada pagi hari itu, dengan menggunakan ilmu berlari cepat, Bi Lian mendaki pegunungan Cin-ling-san, sama sekali tidak tahu bahwa baru tiga hari yang lalu Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai melalui lereng yang lain.

Karena pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran akan keadaan ayahnya, maka Bi Lian melupakan urusannya sendiri. Andai kata ia tidak memikirkan keadaan ayahnya mungkin dia akan berduka sekali.

Betapa tidak? Dia baru saja melangsungkan pernikahannya dengan Han Siong. Peristiwa besar dan penting baginya itu tengah dirayakan, dan terjadilah kegegeran itu sehingga kini membuat dia terpisah dari suaminya! Dia menjadi isteri Han Siong hanya dalam upacara saja, belum menjadi isteri yang sebenarnya, belum melewatkan malam pengantin! Namun pada saat itu semuanya ini tidak dia hiraukan, bahkan tidak diingatnya lagi karena seluruh perhatiannya tercurah pada usaha mencarikan obat untuk menyembuhkan ayahnya.

Keluarga Cia di Cing-ling-pai menyambut kunjungan gadis perkasa ini dengan heran. Akan tetapi mereka pun segera menyambutnya dengan ramah ketika Bi Lian memperkenalkan namanya dan menyatakan bahwa dia ingin mencari Cia Kui Hong atau Tang Hay. Dari Kui Hong mereka sudah banyak mendengar mengenai Siangkoan Bi Lian ini. Ketika Bi Lian mendengar bahwa baru tiga hari Kui Hong turun gunung untuk mencari Hay Hay, dia pun tidak ingin tinggal lebih lama lagi.

"Ke manakah adik Kui Hong mencari Hay Hay?" tanyanya.

"Menurut Kui Hong, dia akan mencarinya ke kota raja," jawab Ceng Sui Cin.

"Kalau begitu harap Paman dan Bibi memaafkan, saya tidak dapat tinggal lebih lama lagi. Saya harus segera menyusul adik Kui Hong. Saya juga sedang mencari Tang Hay untuk meminjam mustika penyedot racun yang dimilikinya, untuk mengobati ayah yang terkena pukulan beracun."

Demikianlah, dengan tergesa-gesa Bi Lian berpamit dan pada siang hari itu juga dia telah menuruni kembali gunung Cia-ling-san untuk mengejar Kui Hong. Dia mengambil jalan ke arah kota raja dan mempergunakan ilmu berlari cepat. Akan tetapi karena Kui Hong juga mempergunakan ilmu berlari cepat, dan Bi Lian sering berhenti untuk bertanya-tanya dan mencari keterangan tentang Kui Hong agar dia tidak kehilangan jejak, tentu saja Bi Lian tertinggal jauh. Pada permulaan saja jarak antara mereka sudah tiga hari. Bagaimana pun juga, keduanya mengambil jalan yang sama, yaitu menuju ke kota raja.

********************

Sejak pertama kali melihat Hek-tok Sian-su yang diaku guru oleh Liong Ki dan Liong Bi, hati Mayang sudah merasa tidak enak sekali. Dia dapat menduga bahwa tentu kakek itu lihai bukan main dan jelas bukan guru Liong Ki. Dia tahu betul bahwa guru Liong Ki adalah Pendekar Sadis dan isterinya di pulau Teratai Merah. Kalau dua orang itu mengakui kakek gendut itu sebagai guru, lantas mengajaknya ke istana Menteri Cang, tentu ada maksud tertentu yang tersembunyi di balik perbuatan itu. Dia harus waspada.

Dia menemui Cang Hui dan Teng Cin Nio di kamar mereka dan dengan berbisik-bisik dia memberitahu kepada mereka tentang kecurigaannya terhadap kakek gundul yag perutnya gendut itu.

"Aku mengenal guru Liong Ki, maka dengan pengakuannya sebagai guru terhadap kakek itu tentu ada maksud tertentu yang tidak sehat. Aku merasa curiga sekali. Adik Hui dan adik Cin, mulai sekarang kalian harus berhati-hati menjaga diri tetapi bersikap pura-pura tidak menaruh curiga apa pun. Jangan khawatir, aku selalu siap siaga menjaga kalian dan seluruh keluarga Cang."

"Mayang, apakah tidak sebaiknya kalau kuperingatkan ayah supaya dia menangkap dan memeriksa mereka?" kata Cang Hui.

Mayang menggelengkan kepala. "Tanpa bukti, bagaimana mungkin ayahmu bertindak? Ayahmu adalah seorang yang bijaksana, tentu tidak mau bertindak tanpa bukti."

"Kalau begitu, akan kuberitahu kepada kakak Sun," kata Cang Hui.

Mayang mengangguk. "Tetapi hati-hati, jangan sampai dia menjadi kaget dan gelisah."

Cang Hui tersenyum karena melihat Mayang mengkhawatirkan kakaknya. "Ada engkau di sini, apakah dia perlu khawatir?"

Dengan wajah merah Mayang menunduk, lalu melirik ke arah Cin Nio yang mukanya juga berubah menjadi merah. "Kami semua mengharapkan perlindunganmu, Mayang," kata Cin Nio yang merasa salah tingkah. Dia sudah mendengar dari sepupunya bahwa Cang Sun yang dicintanya akan tetapi tidak membalas itu jatuh hati kepada Mayang.

"Kami pun tidak akan tinggal diam, Mayang. Mulai sekarang aku dan Cin Nio akan selalu membawa pedang untuk menjaga diri. Kalau perlu, pada waktu mandi atau tidur pun kami akan selalu membawa pedang!" kata Cang Hui bergurau karena dia merasa telah bicara terlalu banyak sehingga menimbulkan suasana yang kikuk kepada dua orang gadis itu.

"Benar, Mayang. Dan kita juga harus berlatih lebih tekun. Gerakan pedang dengan jurus Ular Hitam Menyelam Samudera itu masih belum juga dapat kulakukan dengan benar," kata Cin Nio. Mayang lalu melatih kedua orang gadis itu di taman bunga belakang kamar mereka.

Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 18

Liong Ki dan Liong Bi saling pandang. Wajah mereka berubah dan hati mereka tegang. Mereka berdua maklum bahwa mereka bertemu dengan seorang hwesio yang mempunyai tingkat kepandaian sangat tinggi. Hwesio itu tadi sudah mendemonstrasikan tenaga sakti jarak jauh yang luar biasa sekali. Dalam hal itu mereka berdua jelas tidak akan mampu menandinginya.

"Dia lawan yang amat berbahaya, akan tetapi dapat menjadi kawan yang amat berguna," bisik Liong Ki dan wanita cantik itu mengangguk, mengerti apa yang dimaksudkan sekutu dan kekasihnya.

Mereka berdua lalu meghampiri hwesio yang kini sedang makan lagi seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu. Tiga jagoan itu kini sibuk menolong lima orang pemuda hartawan keluar dari dalam kolam, kemudian mereka segera pergi bergegas meninggalkan taman itu. Mereka yang kebetulan berada di taman itu kini juga mulai bubaran sesudah tadi ikut menjadi penonton.

Kini Liong Ki dan Liong Bi sudah tiba di hadapan hwesio itu dan mereka berdua segera memberi hormat. Liong Ki berkata dengan sikap menghormat,

"Locianpwe, lima orang hartawan muda dan tiga orang jagoan mereka itu memang patut dihajar karena tidak menghormati seorang hwesio suci. Walau pun kami berdua bukan hartawan, akan tetapi kami dapat menghargai seorang pendeta dan kalau Locianpwe sudi menerimanya, kami hendak mengundang Locianpwe untuk menikmati hidangan lezat di rumah makan Lok-an yang terkenal di kota raja ini."

Hwesio itu bukan lain adalah Hek-tok Sian-su. Seperti yang sudah kita ketahui, bersama mendiang Bak Tok Sian-su, hwesio ini baru saja pulang dari See-thian (dunia barat atau India) setelah puluhan tahun mereka menimba ilmu dari sana. Sesudah mereka melihat Ceng Hok Hwesio, ketua kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu pegunungan Heng-toan-san dalam keadaan sakit, kemudian meninggal dunia dalam keadaan menderita, dan mereka mendengar pula cerita tentang Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang mereka anggap sebagai penyebab kesengsaraan Ceng Hok Hwesio, mereka menjadi marah sekali. Ketua kuil Siauw-lim-si itu mereka anggap sebagai penyelamat mereka yang telah menyadarkan mereka dari kehidupan sesat, bahkan dia pula yang kemudian mengirim mereka ke barat untuk memperdalam ilmu.

Mereka segera mencari Siangkoan Ci Kang dan isterinya, Toan Hui Cu untuk menuntut pertanggungan jawab mereka. Namun dalam pertandingan melawan Siangkoan Ci Kang akhirnya Ban Tok Siancu tewas walau pun dia mampu melukai Siangkoan Ci Kang.

Dapat dibayangkan kesedihan hati Hek-tok Sian-su sesudah rekan, sahabat dan saudara seperguruan yang selama puluhan tahun merantau ke barat bersamanya itu tewas. Dia pun membawa jenazah suheng-nya itu ke kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu, kemudian memperabukan jenazah itu. Dia meninggalkan obat penawar racun kepada hwesio di kuil itu untuk diberikan kepada Siangkoan Ci Kang.

Tepat seperti dugaan keluarga Siangkoan Ci Kang, Hek-tok Sian-su tidak rela membiarkan Siangkoan Ci Kang tewas begitu saja oleh pukulan beracun suheng-nya. Dia ingin agar Siangkoan Ci Kang serta isterinya menebus dosa dan bertapa di kuil Siauw-lim-si sampai mati untuk menenangkan roh penasaran dari mendiang Ceng Hok Hwesio!

Dia sendiri segera pergi ke kota raja setelah mendengar berita bahwa Tang Hay berada di kota raja! Inilah yang menjadi tujuan utama ketika dia dan suheng-nya kembali dari barat, yaitu untuk mencari pemuda bernama Tang Hay!

Pada waktu Hek-tok Sian-su dan suheng-nya, mendiang Ban-tok Sian-su, mengembara ke Tibet untuk memperdalam ilmu mereka, kedua orang hwesio bekas penjahat besar ini mendapatkan saudara-saudara seperguruan mereka yang telah menjadi pendeta-pendeta Lama. Tiga orang pendeta Lama yang mengadakan pemberontakan terhadap Dalai Lama adalah saudara-saudara seperguruan mereka. Tiga orang Lama itu adalah Gunga Lama, Janghau Lama, dan Pat Hoa Lama.

Hek-tok Sian-su dan Ban-tok Sian-su sendiri tidak ingin terlibat dalam pemberontakan itu. Namun mereka menjadi marah dan mendendam ketika mereka mendengar betapa ketiga orang saudara mereka ini tewas terbunuh. Mereka sudah menyelidiki siapa pembunuh tiga orang pendeta Lama itu. Gunga Lama tewas di tangan Kim Mo Sian-kouw pertapa di Puncak Awan Kelabu pegunungan Ning-jing-san, sedangkan yang dua orang lagi, Jang-hau Lama dan Pat Hoa Lama, tewas di tangan seorang pemuda bernama Tang Hay!

Mereka segera mencari Kim Mo Sian-kouw. Pertapa wanita yang rambutnya keemasan ini tidak menyangkal ketika ditanya, dan dia pun melakukan perlawanan dengan gigih ketika dua orang pendeta beracun itu menyerangnya. Terjadi perkelahian mati-matian yang seru di puncak itu. Namun, karena dikeroyok dua, padahal masing-masing hwesio merupakan tandingan yang setingkat dengannya, akhirnya Kim Mo Sian-kouw roboh dan tewas!

Dua orang hwesio itu lantas melakukan perjalanan pulang ke timur untuk mencari musuh mereka yang ke dua, yaitu pemuda yang bernama Tang Hay. Akan tetapi ketika singgah di kuil Siauw-lim-si, mereka melihat keadaan dan kematian Ceng Hok Hwesio sehingga untuk sementara mereka menangguhkan usaha mereka mencari Tang Hay karena harus membalas kematian Ceng Hok Hwesio terhadap Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Usaha balas dendam itu bahkan mengakibatkan tewasnya Ban-tok Sian-su.

Kini Hek-tok Sian-su berangkat sendiri ke kota raja untuk mencari Tang Hay. Ketika tiba di kota raja, hari itu dia masuk ke taman dan melihat lima orang pemuda hartawan hendak berpesta-pora di taman tanpa menghiraukan orang lain, bahkan tidak menawarkan makan kepadanya. Dia pun lalu mengambil makanan dan minuman yang sedianya akan dipakai pesta lima orang pemuda hartawan itu, tidak menghiraukan teriakan mereka, bahkan lalu makan minum dengan santai tanpa mempedulikan lagi kepada mereka sampai lima orang pemuda itu memanggil tukang pukul mereka.

Saat Liong Ki dan Liong Bi muncul di depannya dan menawarkan makanan dan minuman di rumah makan, Hek-tok Sian-su mengamati mereka berdua. Dia adalah seorang yang sudah kenyang makan garam dunia kangouw, pandangan matanya tajam dan dia segera dapat mengenal orang pandai, walau pun pemuda dan wanita itu masih tergolong muda. Dia tersenyum karena sikap sopan dari Liong Ki menyenangkan hatinya.

"Ha-ha-ha, orang-orang muda yang baik. Untuk makanan lezat dan mahal, arak yang tua, perut pinceng tak pernah merasa kenyang dan mulut pinceng tak pernah merasa puas, ha-ha! Kalian adalah dua orang muda yang baik sekali, suka menghargai pendeta seperti pinceng, omitohud...!"

Hek-tok Sian-su bangkit berdiri. Dia meninggalkan sisa makanan dan araknya, mengikuti Liong Ki dan Liong Bi keluar dari taman itu tanpa menoleh lagi. Ketika lewat dekat lima orang pemuda hartawan yang sudah keluar dari dalam kolam dalam pakaian basah kuyup seperti lima ekor tikus baru saja dikeluarkan dari air, Liong Ki berkata kepada mereka.

"Jadikan pengalaman ini sebagai pelajaran agar kalian tidak bersikap sombong lagi. Aku adalah perwira pasukan pengawal Cang Taijin, dan aku tidak akan menuntut kalian kalau kalian mau menghabiskan urusan itu sampai di sini saja."

Mendengar bahwa pemuda itu ternyata adalah perwira pasukan pengawal Menteri Cang, lima orang pemuda hartawan itu terkejut dan cepat mereka menjura dengan sikap hormat, bahkan mereka lalu menghormat ke arah Hek-tok Sian-su sambil berkata,

"Mohon Thai-suhu mengampuni kami yang bersikap tidak sepantasnya."

"Omitohud, kalian memang telah diampuni oleh Sang Buddha. Kalau tidak, apa kalian kira dapat keluar dari empang dengan masih bernyawa?" Dia tertawa dan mengikuti Liong Ki dan Liong Bi keluar dari taman.

Lima orang hartawan muda dan tiga orang jagoannya tertegun, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh pendeta gendut itu. Akan tetapi Liong Ki dan Liong Bi mengerti. Tentu hwesio yang amat lihai ini hendak mengatakan bahwa kalau dia menghendaki, tentu lima orang pemuda hartawan itu tadi terlempar ke kolam ikan dalam keadaan tidak bernyawa lagi!

Hek-tok Sian-su memang seorang yang aneh sekali wataknya. Dulu, pada puluhan tahun yang lalu, bersama mendiang Ban-tok Sian-su, dia hanya seorang tokoh sesat yang biasa saja. Seorang yang sepenuhnya diperhamba nafsu, mengejar kesenangan dengan cara apa saja. Tidak ada pantangan baginya dan dia dapat membunuh orang sambil tertawa.

Kemudian dia dan Ban-tok Sian-su bertemu Ceng Hok Hwesio ketua kuil Siauw-lim-si dan bukan hanya kalah dalam ilmu silat menghadapi hwesio itu, akan tetapi mereka bahkan ditundukkan dengan budi pekerti dan disadarkan. Mereka bertobat dan bahkan merelakan diri menjadi hwesio, kemudian dipimpin dalam hal keagamaan oleh Ceng Hok Hwesio.

Ketua Siauw-lim-si ini melihat ketekunan dua orang bekas penjahat itu sesudah menjadi hwesio, maka dengan bekal pengetahuan agama yang telah mereka kuasai, mereka lalu dianjurkan pergi ke See-thian untuk mempelajari dan memperdalam ilmu agama Buddha.

Demikianlah, kedua orang itu pergi ke Tibet dan India, berkelana di negara asing itu dan memperdalam pengetahuan agama mereka, juga dalam kesempatan itu mereka bertemu dengan banyak pendeta dan pertapa lihai, maka mereka lantas memperdalam ilmu silat mereka pula. Bukan hanya ilmu silat, juga ilmu sihir dan ilmu-ilmu, tentang racun! Dan dalam hal keagamaan pula mereka bergaul dengan golongan yang menyimpang dari pada agama yang asli.

Karena mempelajari bermacam-macam ilmu inilah maka Hek-tok Sian-su menjadi seorang manusia yang aneh dan tidak wajar. Kadang dia bersikap seperti seorang pendeta yang saleh dan budiman, akan tetapi kadang kala dia dapat bersikap ganas dan kejam seperti iblis. Kebaikan yang dikejar-kejar dapat menimbulkan kejahatan dalam pengejaran itu.

Hek-tok Sian-su yang menganggap dirinya sudah berada di puncak, tidak peduli lagi akan baik buruk perbuatannya. Dia menganggap bahwa semua perbuatannya benar. Dia selalu menuruti dorongan hatinya yang berada dalam gelombang pertentangan yang tak kunjung henti antara keinginan mengejar kesenangan dan keinginan menjauhi kesenangan. Kedua keinginan itu nampaknya berlawanan, tetapi sesungguhnya masih merupakan nafsu yang sama.

Nafsu selalu menghendaki agar keinginannya dapat tercapai, dan betapa terselubung pun keadaan nafsu, diberi pakaian dan sebutan yang indah dan bersih, tetap saja tujuannya hanya demi kepentingan diri sendiri. Aku tidak peduli kalau melakukan kejahatan karena aku ingin mendapat kesenangan dari hasil kejahatan itu. Aku harus melakukan kebaikan karena aku ingin mendapatkan kesenangan dari hasil kebaikan itu.

Berlawanan namun tujuannya sama, yaitu ingin mendapatkan kesenangan dari perbuatan itu. Perbuatan itu tidak utuh, melainkan dijadikan sarana atau cara untuk mencapai titik tujuan, yaitu kesenangan yang dikejar-kejar.

Nafsu selalu menyelinap ke dalam pamrih dan pamrih yang saling berlawanan di antara manusia menerbitkan bentrokan. Pengejar hasil kebaikan yang satu bertabrakan dengan pengejar hasil kebaikan yang lainnya karena terjadi bentrokan pamrih. Agama yang satu bentrok dengan agama yang lain karena masing-masing pemeluknya, yaitu para manusia, saling mempertahankan 'kebaikan' berpamrih tadi.

Orang menyalahkan keadaan di luar diri, menyalahkan lingkungan atau masyarakat yang dianggap sebagai penyebab dari penyelewengan dan kesesatan dirinya. Kita lupa bahwa lingkungan atau masyarakat dibentuk oleh keadaan pribadi-pribadi. Jika manusia hendak menyehatkan lingkungan, seharusnya menyehatkan pribadi. Kalau pribadi-pribadi sehat maka lingkungan pun otomatis menjadi sehat.

Boleh saja orang bertapa mengasingkan diri ke tempat-tempat sunyi, menjauhkan diri dari keramaian, menyiksa diri dengan segala macam cara berusaha untuk mengalahkan dan mengendalikan nafsunya sendiri. Namun orang lupa bahwa perbuatan ini pun merupakan suatu usaha yang mengandung pamrih, jadi masih di dalam lingkaran setan karena masih terdorong oleh nafsu.

Selama ada dasar 'aku ingin' tentu ada nafsu tersembunyi dalam bentuk 'agar berhasil'. Apa pun hasil yang dikejar-kejar itu, dengan pakaian bersih, dengan istilah mulia seperti sorga, kedamaian, keheningan, keabadian, kesempurnaan dan sebagainya, tetap saja di dalamnya bersembunyi 'kesenangan'. Karena sorga, kedamaian, keheningan, keabadian dan sebagainya itu dianggap enak dan menyenangkan maka kita kejar-kejar dengan cara memaksa diri berbuat apa yang kita anggap sebagai kebaikan. Kita tak pernah bertanya kepada diri sendiri, andai kata sorga itu tidak menyenangkan, kedamaian dan sebagainya itu tidak enak, apakah kita masih melakukan kebaikan yang dipaksakan itu? Lalu untuk apa?

Kebaikan adalah suatu sifat, suatu keadaan yang wajar, bukan sebuah perbuatan yang disengaja. Kalau kita sadar bahwa kita berbuat baik, maka di situ pasti terkandung suatu harapan akan pahalanya, walau tersembunyi sekali pun. Matahari merupakan kebutuhan mutlak bagi semua makhluk, memberi kehidupan ketika melimpahkan cahayanya, tetapi dia tidak tahu apakah itu suatu perbuatan baik. Pohon-pohon memberikan bunga-bunga harum, buah-buah segar, kayu dan kulitnya pun bermanfaat bagi serangga dan manusia, hewan-hewan seperti sapi, kuda, anjing dan sebagainya, akan tetapi semua melakukan 'kebaikan' tanpa sengaja dan tidak mengharapkan imbalan.

Kita dianugerahi hati dan akal pikiran yang menjadikan kita sebagai makhluk termulia di dunia. Dengan alat-alat itu kita dapat berbuat lebih banyak bagi alam, jauh lebih banyak dibandingkan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Mestinya begitu, akan tetapi justru hati serta akal pikiran manusia yang menimbulkan mala petaka di dunia ini, karena nafsulah yang menguasainya. Nafsu mutlak penting bagi kehidupan kita, namun juga mutlak berbahaya karena dapat menyeret kita ke dalam kesesatan. Lalu bagaimana?

Jalan satu-satunya hanyalah kembali kepada kekuasaan Tuhan. Menyerah! Hanya Tuhan saja yang mampu mengatur dan mengembalikan kita ke alam kewajaran di mana seluruh anggota tubuh kita luar dalam termasuk hati akal pikiran dibersihkan dari pengaruh nafsu dan berfungsi seperti sebelum dikuasai nafsu. Bila sudah begitu, manusia akan menjadi manusia seutuhnya, dibimbing dan dikendalikan oleh jiwa yang bersih dari nafsu. Bahkan nafsu yang tadinya merajalela dikembalikan kepada fungsinya semula, yaitu alat dari jiwa dalam jasmani, bukan menjadi majikan.


Sesudah dijamu makan minum secara royal sekali oleh Liong Ki dan Liong Bi di rumah makan terbesar, Hek-tok Sian-su menjadi akrab dengan mereka. Dia menyeringai senang dan mengelus perutnya yang menjadi semakin gendut karena baru diisi banyak makanan dan arak.

"Heh-heh-heh, kalian adalah dua orang muda yang baik sekali. Orang muda, tadi engkau mengatakan kepada tikus-tikus itu bahwa engkau adalah perwira pengawal Cang Taijin, siapakah pembesar itu dan siapa pula nama kalian yang bersikap begini baik kepadaku?"

"Locianpwe, nama saya Liong Ki dan ini adalah adik saya yang bernama Liong Bi. Kami berdua bekerja menjadi pembantu Menteri Cang Ku Ceng, saya sebagai perwira pasukan pengawal, dan adik saya sebagai pengawal Keluarga Cang."

"Hemm, lalu kenapa kalian bersikap baik kepada pinceng? Pinceng Hek-tok Sian-su tidak pernah berkenalan dengan pengawal menteri, mau apa kalian bersikap baik kepadaku?"

Liong Ki dan Liong Bi yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang sakti dan berwatak aneh. Terhadap orang seperti ini mereka harus bersikap hati-hati sekali. Orang seperti ini harus ditarik menjadi kawan, sama sekali tidak boleh dijadikan lawan.

Dari julukan kakek itu saja mereka sudah bisa menduga bahwa kakek ini tentulah seorang datuk yang lebih condong kepada golongan hitam. Julukannya adalah Racun Hitam (Hek Tok), dan sepak terjangnya tadi ketika menghajar lima orang pemuda dan tukang-tukang pukulnya sudah membuktikan akan kelihaiannya.

"Locianpwe, kami kakak beradik sangat suka akan ilmu silat dan mengagumi orang-orang pandai. Begitu bertemu dengan Locianpwe, kami bisa menduga bahwa Locianpwe adalah seorang sakti yang berilmu tinggi. Berkenalan dengan Locianpwe merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar bagi kami yang ingin meluaskan pengetahuan kami yang masih dangkal," kata Liong Bi dengan suara merdu dan gaya memikat.

Kakek gundul gendut yang kulitnya hitam kehijauan itu memandang dengan mata yang semakin mencorong, tanda bahwa dia senang sekali. Dia mengangguk-angguk kemudian mengamati kedua orang muda itu. "Kalian mengaku sebagai pembantu-pembantu Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal sekali sebagai seorang pembantu kaisar dan sangat besar kekuasaannya. Kedudukan kalian sebagai pengawal pribadi berarti sudah tinggi dan kalian tentu memiliki kepandaian yang hebat maka dapat menjadi pengawalnya. Nah, perlu apa lagi berkenalan dengan pinceng, seorang kakek perantau yang tidak punya apa-apa?"

"Locianpwe, harap jangan salah mengerti," kata Liong Ki cepat. "Kami berdua hanya ingin mengajak Locianpwe untuk bertemu dengan Cang Taijin. Beliau adalah seorang pembesar yang amat bijaksana dan selalu menghargai orang-orang pandai. Kalau Locianpwe suka, marilah kami ajak untuk menghadap Cang Taijin. Pasti Locianpwe akan diterima dengan senang hati."

"Heh-heh-heh, pinceng tidak ingin mendapatkan kedudukan, apa lagi yang remeh. Kalau kaisar sendiri yang menawarkan kedudukan, baru pantas untuk dipertimbangkan."

Liong Ki dan Liong Bi bertukar pandang. "Locianpwe, pendapat Locianpwe memang tepat dan cocok sekali dengan keinginan kami berdua. Kami sendiri juga ingin sekali mendapat kedudukan di istana kaisar, akan tetapi tidak mudah untuk mendapatkan anugerah seperti itu. Dan kedudukan di samping Cang Taijin akan amat memungkinkan untuk meningkat ke istana kaisar. Marilah, Locianpwe, kami perkenalkan Locianpwe dengan Cang Taijin dan Locianpwe akan kami akui sebagai guru kami. Kami siap membantu Locianpwe agar kita bertiga kelak akan dapat menduduki tempat yang berarti di istana kaisar..."

Hek-tok Sian-su merasa tertarik. Semenjak dia kembali dari perantauannya yang puluhan tahun lamanya bersama mendiang Ban-tok Sian-su, dia tidak pernah hidup senang, selalu menjalani perantauan yang membosankan, kadang harus menahan rasa lapar dan haus, kadang kepanasan atau kehujanan tanpa dapat berteduh di rumah sendiri yang pantas.

Sekarang Ban-tok Sian-su sudah tiada, dan dia sendiri pun sudah tua. Kapan lagi kalau tidak mulai sekarang mencari kedudukan yang pantas dan layak sehingga dia akan dapat menghabiskan sisa hidup dalam kemuliaan dan kesenangan? Lagi pula, selama puluhan tahun ini dengan susah payah dia mempelajari segala macam ilmu, lalu untuk apa semua jerih payah itu dia lakukan kalau hasilnya tidak dinikmati?

Akan tetapi yang mengajaknya adalah kakak beradik yang masih muda dan yang sama sekali tidak dikenalnya. Dia harus lebih dulu yakin akan kejujuran mereka, harus lebih dulu mengenal tingkat kepandaian mereka, apakah mereka itu cukup pantas mengakui dirinya sebagai guru mereka.

"Omitohud, karena kalian tetap mendesak, pinceng jadi tertarik juga. Tetapi pinceng harus benar-benar mengenal kalian yang hendak mengaku sebagai murid pinceng. Bagaimana mungkin seorang guru tidak mengenal tingkat kepandaian muridnya sendiri? Mari kita ke tempat sepi dan ingin aku mengenal kepandaian kalian agar hatiku tidak ragu-ragu lagi." Sesudah berkata demikian kakek itu lantas keluar dari rumah makan, diikuti oleh Liong Ki dan Liong Bi.

Mereka sampai di sebuah hutan kecil di luar kota. Di bawah sebuah pohon besar mereka berhenti dan Hek-tok Sian-su tertawa senang. "Nah, sekarang pinceng ingin berkenalan dengan ilmu kepandaian kalian yang ingin mengaku sebagai murid pinceng." tantangnya sambil berdiri tegak, perut gendutnya menonjol ke depan, kedua lengannya yang pendek tergantung di kedua sisi badan.

"Kak Liong Ki, biar aku yang akan minta petunjuk Locianpwe Hek-tok Sian-su lebih dulu," kata Liong Bi, kemudian dia pun melangkah maju menghampiri kakek itu.

Hek-tok Sian-su tersenyum. Bagaimana pun juga dua orang muda ini cukup gagah karena mereka tidak maju berdua mengeroyoknya. Sikap ini saja sudah menyenangkan hatinya dan membuat dia menduga bahwa tentu mereka ini mempunyai kepandaian yang cukup boleh diandalkan maka berani maju satu demi satu.

"Liong Bi, majulah dan keluarkan semua kepandaianmu agar pinceng dapat menilainya."

"Baik, Locianpwe. Sambutlah seranganku!" Liong Bi membentak dan tubuhnya langsung menerjang dengan cepat sekali.

Kedua tangannya menyambar-nyambar dalam bentuk cakar harimau, mencakar lambung dan muka secara bertubi-tubi, cepat dan mengandung tenaga dahsyat karena wanita itu memang sengaja mengerahkan tenaganya. Ia tidak main-main dan menyerang sungguh-sungguh karena dia pun hendak menguji kepandaian kakek itu, apakah pantas untuk dijadikan sekutunya.

Diam-diam kakek itu terkejut dan kagum sekali. Ternyata gadis ini memiliki kekuatan dan kecepatan yang jauh di atas dugaannya semula. Dia hanya menggeser kaki ke belakang dan ke kanan kiri untuk mengelak dari serangkaian serangan sepasang cakar harimau itu. Namun tiba-tiba kaki kiri Liong Bi mencuat dan menyambar ke arah pusarnya! Kakek itu terkejut dan cepat menangkis dengan lengannya.

"Dukkk!" Akibatnya tubuh Liong Bi terpental dan dia pun membuat gerakan salto jungkir balik tiga kali, sedangkan tubuh Hek-tok Sian-su terdorong mundur dua langkah.

"Omitohud....engkau boleh juga, Nona!" kakek itu memuji. "Coba kau sambut seranganku ini!"

Dan kini kakek itu menerjang maju, kedua tangan yang berlengan baju longgar dan lebar itu menyambar-nyambar dari kanan kiri dan atas bawah. Gerakannya tidak nampak terlalu cepat, namun sambaran angin pukulan yang keluar dari kedua tangan itu mendatangkan angin dahsyat yang menggerakkan pohon dan membuat daun-daun pohon rontok!

Liong Bi terkejut. Ia cepat mempergunakan ginkang-nya untuk berkelebatan ke sana sini, menghindarkan diri dari sambaran tangan dan dua ujung lengan baju itu. Bahkan Liong Ki yang menonton di pinggir merasa terkejut, maklum bahwa kakek ini, seperti yang sudah diduganya, memiliki ilmu kepandaian hebat. Sungguh akan menguntungkan sekali apa bila dia dan Liong Bi mampu memikat orang seperti ini agar menjadi sekutu dan kawan.

Di lain pihak, Hek Tok Sian-su menjadi semakin kagum. Dia telah mempergunakan ilmu pukulan Angin Taufan, dan jarang ada orang yang mampu mempertahankan diri lebih dari belasan jurus menghadapi ilmu pukulan yang memiliki tenaga jarak jauh yang dahsyat ini. Akan tetapi, gadis muda ini mampu bertahan sampai dua puluh jurus lebih!

Untung saja dia tadi maju seorang diri. Kalau kakaknya juga memiliki kepandaian seperti adiknya, dan mereka maju berbareng, belum tentu dia akan dapat mengalahkan mereka! Ternyata kini dia sedang berhadapan dengan dua orang muda yang hebat; yang tak akan mengecewakan untuk dijadikan sekutu atau pembantunya.

Ketika dahulu dia berdua dengan Ban-tok Sian-su, dialah yang menjadi pembantu karena Ban-tok Sian-su sebagai suheng-nya selalu memimpin. Sekarang kalau dua orang muda ini bekerja sama dengan dia, apa lagi mengaku sebagai muridnya, berarti mereka dapat menjadi pembantu-pembantunya yang boleh diandalkan!

Mendadak Hek-tok Sian-su mengeluarkan suara gerengan seperti seekor beruang marah dan gerakan tubuhnya langsung berubah. Kini kedua tangan berikut lengan baju lebar itu menyerang seperti gelombang samudera bergulung-gulung dan ada uap kehitaman yang keluar dari gulungan serangan itu!

Liong Bi terkejut bukan main. Maka dia pun bertanding dengan sungguh-sungguh karena dia hendak menguji kepandaian orang. Menghadapi gelombang serangan ini, dia segera mengeluarkan suara melengking tinggi lalu dia pun mengeluarkan ilmu simpanannya yang ampuh, yaitu ilmu silat Pek-lian-kun (Silat Teratai Putih) dari Pek-lian-kauw. Gerakan silat ini mengandung kekuatan sihir, dan ilmu ini dia pelajari dari mendiang tiga orang gurunya, yaitu Pel-lian Sam-kwi. Ada uap putih keluar dari kedua tangannya ketika dia memainkan ilmu ini.

Akan tetapi, begitu bertemu dengan gelombang serangan dahsyat dari Hek-tok Sian-su, tubuh Liong Bi segera terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung.

"Srettt...!"

Liong Bi meloncat ke belakang sambil berteriak kaget dan mukanya berubah merah. Dua tangannya cepat menutupkan kembali bajunya yang terobek dan terbuka.

"Aihh, Locianpwe nakal...," katanya manja.

"Omitohud, sekali tanganku menyerang, harus menjatuhkan korban. Karena pinceng tidak ingin merobohkanmu, maka terpaksa pinceng merobek baju itu sebagai gantinya," kata Hek-tok Sian-su dan dari sikap dan bicaranya saja tahulah Liong Bi bahwa kakek ini tidak bisa disamakan dengan mendiang tiga orang gurunya. Kakek kulit hitam ini tidak menjadi hamba nafsu birahinya, dan penyobekan bajunya tadi bukan karena watak cabulnya, tapi untuk menunjukkan bahwa dia lebih unggul.

"Ilmu kepandaian Locianpwe hebat, aku mengaku kalah." kata Liong Bi dengan sejujurnya karena dia maklum bahwa jika mereka bertanding sungguh-sungguh, maka dia tidak akan mampu mengalahkan kakek ini. Hek-tok Sian-su tertawa senang.

"Engkau pun hebat, Liong Bi, dan pinceng tidak akan malu diakui sebagai guru olehmu. Nah, Liong Ki, sekarang giliranmu. Majulah dan mari kita main-main sebentar..."

"Baik, Locianpwe. Sambutlah seranganku ini!"

Liong Ki menerjang maju. Seperti juga Liong Bi, dia tidak main-main, mengerahkan tenaga sinkang-nya dan mengeluarkan ilmu silat yang ampuh untuk mengalahkan lawan. Karena dia tadi melihat betapa ketika menyerang dan mengalahkan Liong Bi gerakan kakek itu mendatangkan angin dan gelombang yang amat dahsyat, maka begitu menyerang dia pun memainkan ilmu Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru angin)! Gerakannya cepat dan mendatangkan angin yang cukup dahsyat.

"Omitohud....!" Hek-tok Sian-su berseru kaget dan kagum.

Kalau tadi dia mengenal ilmu silat yang dimainkan Liong Bi berasal dari Pek-lian-kauw, sekarang dia menghadapi permainan silat yang sama sekali tidak dikenalnya, namun yang dahsyatnya bukan kepalang. Pemuda ini ternyata lebih lihai dari pada adiknya! Tentu saja kakek ini tidak tahu bahwa ilmu yang dimainkan Liong Ki itu adalah ilmu silat yang dahulu dia pelajari dari Si Pendekar Sadis Ceng Thian Sin!

Karena dia merasa bahwa kalau sampai dia kalah oleh pemuda ini, bukan saja dia akan gagal mendapatkan kedudukan tinggi, juga tentu pemuda itu tidak jadi menariknya dan mengakuinya sebagai guru di depan Cang Taijin, maka Hek-tok Sian-su juga tidak berani main-main. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan ilmunya yang memiliki gerakan-gerakan aneh, yaitu ilmu yang diperolehnya selama puluhan tahun berkeliaran di sekitar Pegunungan Himalaya dan negara-negara sekitarnya.

Pertandingan itu memang amat seru dan hebat bukan main. Setiap kali tangan keduanya terpaksa bertemu mengadu tenaga, ternyata Liong Ki masih kalah kuat hingga terdorong mundur sampai empat lima langkah, sedangkan lawannya hanya terdorong mundur dua langkah. Namun dalam hal kecepatan Liong Ki dapat mengimbangi kakek itu, dan dia pun memiliki lebih banyak ilmu silat tinggi yang tidak dikenal kakek itu dan membuat kakek itu agaknya sukar untuk mengalahkannya.

Setelah lewat empat puluh jurus, kakek itu lalu berjongkok dan mendorong dengan kedua tangan ke depan, seperti seekor katak besar yang hendak meloncat. Dari kedua telapak tangannya menyambar tenaga dahsyat disertai uap hitam!

Liong Ki mengenal ilmu pukulan yang amat berbahaya, maka dia pun langsung meloncat ke samping untuk menghindar. Baru saja kedua kakinya kembali ke atas tanah, kakek itu sudah menerjangnya lagi, sekali ini tubuh kakek itu bergulingan seperti seekor trenggiling dan kaki tangannya menyerang ketika dia bergulingan itu.

Menghadapi serangan yang sangat aneh ini, Liong Ki terkejut dan terdesak. Ke mana pun dia mengelak, tubuh yang bergulingan itu selalu mengejarnya. Akhirnya terpaksa Liong Ki menyambut kedua tangan lawan dengan tangannya ketika kakek itu menghantamnya lagi dalam keadaan jongkok seperti katak.

"Plakkk!"

Dua pasang tangan bertemu dan saling melekat, dan pada saat itu kaki Hek-tok Sian-su menendang, mengenai paha Liong Ki sehingga tubuh pemuda itu pun terjengkang! Akan tetapi Liong Ki dapat meloncat bangun dengan cepat dan dia pun memberi hormat kepada kakek itu.

"Kepadaian Locianpwe sungguh dahsyat, aku mengaku kalah."

Hek-tok Sian-su tertawa bergelak sambil meraba-raba dagunya yang tak berjenggot. "Ha-ha-ha, selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan dua orang muda selihai kalian. Bahkan andai kata aku memiliki murid, agaknya dia akan kalah kalau bertanding melawan salah seorang di antara kalian. Hebat, memang sudah pinceng dengar bahwa kini banyak bermunculan orang-orang muda yang berkepandaian tinggi. Tentu saja pinceng merasa bangga jika diperkenalkan sebagai guru kalian. Kini pinceng mau kalian ajak menghadap Menteri Cang, dan suka bekerja sama dengan kalian. Namun sebaiknya, kalian sebagai murid-murid angkat harus membantuku mencari seseorang sampai dapat..."

"Tentu saja kami bersedia membantumu, Suhu!" kata Liong Ki dan mendengar sebutan itu, Hek-tok Sian-su lalu tersenyum. "Katakan siapakah orang itu dan di mana tinggalnya, pasti kami akan berusaha mencarinya. Kalau perlu kami juga bisa mengerahkan pasukan penyelidik...."

"Bagus, memang itulah yang pinceng kehendaki. Orang yang sedang pinceng cari-cari itu juga seorang pemuda yang lihai seperti engkau, namanya Tang Hay..."

"Hay Hay...?!" teriak Liong Ki

"Pendekar Mata Keranjang?" Liong Bi juga berseru sambil bangkit berdiri dari atas batu besar di mana dia tadi duduk.

"Oh, kalian sudah mengenal dia, bukan? Bagus sekali. Di mana dia sekarang?"

Liong Bi yang cerdik cepat mendahului Liong Ki agar jangan salah bicara. "Kami memang mengenal Tang Hay atau Hay Hay Si Mata Keranjang itu, Suhu, akan tetapi kami tidak tahu di mana dia sekarang. Akan tetapi, apakah hubungan Suhu dengan dia dan kenapa pula Suhu mencari Hay Hay?"

Tentu saja mereka merasa khawatir ketika mendengar bahwa orang yang dicari-cari oleh kakek ini ternyata adalah Hay Hay, musuh besar mereka! Kalau kakek ini sanak keluarga atau sahabat baik Hay Hay, maka akan celakalah mereka!

Hek-tok Sian-su selalu menganggap bahwa dirinya adalah seorang datuk yang menduduki tingkat tinggi, maka dia tidak merasa perlu untuk menyembunyikan sesuatu karena tidak ada yang ditakutinya di dunia ini. Maka, mendengar pertanyaan Liong Bi tadi, mulutnya yang selalu tersenyum sinis itu kini menyeringai.

"Tang Hay adalah musuhku dan pinceng mencari dia untuk membunuhnya..."

Mendengar ini, Liong Ki dan Liong Bi saling pandang. Hati mereka lega dan senang, akan tetapi mereka cerdik dan ingin yakin lebih dahulu.

"Locianpwe, apakah yang telah dilakukan Tang Hay maka Locianpwe hendak membunuh dia? Apa dosanya?

"Ha-ha-ha, dosanya sungguh besar sekali! Bersama Kim Mo Sian-kouw, Tang Hay telah membunuh ketiga orang suheng-ku yang bernama Gunga Lama, Janghau Lama, dan Pat Hoa Lama. Aku telah berhasil membunuh Kim Mo Sian-kouw, sekarang tinggal Tang Hay yang belum dapat kutemukan."

Barulah hati kedua orang muda itu yakin dan merasa gembira bukan main. Apa lagi Liong Bi yang sudah mendengar tentang tiga orang pendeta Lama yang dimaksudkan oleh Hek-tok Sian-su tadi. Tiga orang pendeta Lama itu adalah tiga pendeta sakti yang berusaha untuk memberontak di Tibet, namun dapat dihancurkan oleh Dalai Lama dan pasukannya. Kiranya Hay Hay juga membantu pembasmian pemberontakan itu.

"Kalau begitu, sungguh kebetulan sekali, Suhu!" kata Liong Ki dengan girang. "Ketahuilah bahwa kami pun sangat membenci anak jai-hwa-cat Ang-hong-cu itu! Dia adalah musuh besar kami pula!"

"Hemm, begitukah? Pinceng juga sudah mendengar bahwa pemuda bernama Tang Hay itu anak jai-hwa-cat Ang-hong-cu (penjahat pemetik bunga Si Kumbang Merah). Dia harus membayar kematian tiga orang suheng-ku. Tetapi kenapa kalian memusuhinya pula?"

"Anak jai-hwa-cat itu sombong dan jahat bukan main, Suhu." kata Liong Bi. "Aku pernah bertemu dengan dia dan hampir saja dia memperkosaku, kalau saja tidak muncul kakak Liong Ki yang menyelamatkan aku."

"Benar, dia memang jahat dan kejam, penjahat cabul seperti ayahnya. Julukannya saja Pendekar Mata Keranjang. Aku juga pernah bentrok beberapa kali dengan penjahat itu. Kami akan membantu sekuat tenaga untuk menyelidiki di mana pemuda jahat itu berada, Suhu. Sekarang marilah kita menghadap Cang Taijin, dan Suhu akan kami perkenalkan dengan beliau."

Mereka bertiga lalu meninggalkan hutan, kembali ke kota dan langsung menuju ke istana Menteri Cang Ku Ceng. Menteri Cang menerima kunjungan Hek-tok Sian-su dengan hati gembira. Menteri yang bijaksana ini memang pandai sekali menghargai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Apa lagi ketika kakek gundul itu diperkenalkan oleh dua orang pembantunya sebagai guru mereka, dia menyambut dengan hormat.

Sesudah berbincang-bincang sejenak, dengan ramah Menteri Cang memberi ijin kepada Liong Ki yang mohon perkenan agar untuk sementara 'gurunya' dapat tinggal bersama dia di kamarnya. Bahkan kepada Menteri Cang, Liong Ki mengatakan dia akan membujuk gurunya agar suka melatih ilmu kepada keluarga Cang dan kepada para perwiranya.

Ketika Liong Ki dan Liong Bi meninggalkan ruangan dalam di mana mereka tadi diterima oleh Cang Taijin, sambil mengajak Hek-tok Sian-su, dan mereka menuju ke perumahan di belakang komplek lingkungan istana menteri itu, mereka berjumpa dengan Mayang.

Gadis ini memang sudah mulai merasa tidak senang kepada Liong Ki dan Liong Bi, walau pun perasaan itu dipendamnya saja di dalam dada karena tidak ada alasan yang dapat dijadikan bukti. Sikapnya dingin saja ketika berjumpa dengan tiga orang itu, hanya diam-diam dia merasa heran melihat kedua orang itu berjalan bersama seorang kakek pendeta gundul berjubah kuning.

"Mayang, perkenalkan. Ini adalah guru kami...," kata Liong Ki.

Mayang mengerutkan kedua alisnya. Setahunya, guru Liong Ki atau Sim Ki Liong adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya di pulau Teratai Merah.

"Gurumu...?" gumamnya.

"Ini adalah guruku, suhu Hek-tok Sian-su." Liong Bi memotong cepat dan Liong Ki yang menyadari kesalahannya cepat menyambung.

"Sekarang menjadi guruku pula, Mayang. Aku sudah mengangkat locianpwe ini menjadi guruku."

Mayang mengangguk-angguk, walau pun masih agak ragu namun keterangan pemuda itu masuk akal. Bisa saja dia mengangkat guru orang lain lagi karena gurunya yang di pulau Teratai Merah sudah tidak mengakuinya lagi. Lagi pula, apa salahnya kalau dia berguru lagi kepada orang pandai? Dengan sikap acuh saja dia lalu meninggalkan mereka.

"Siapakah nona itu? Dia seperti bukan gadis Han." kata Hek-tok Sian-su tertarik.

"Memang dia gadis peranakan Tibet, Suhu. Sebetulnya dia jahat sekali dan dapat menjadi penghalang kemajuan kita. Aku sudah ingin melenyapkannya, akan tetapi selalu dilarang kakak Liong Ki karena dia dan gadis itu saling mencinta, atau lebih tepat, dia tergila-gila kepada Mayang."

"Mayang?"

"Ya, nama gadis itu Mayang. Dia terbawa oleh kami ke sini, akan tetapi agaknya dia tidak suka kepada kami, atau ingin mengambil jalan sendiri. Dengan kecantikannya agaknya dia hendak memikat hati Cang-kongcu, putera Menteri Cang dan jika dia berhasil, kami yakin dia tentu akan mempergunakan kekuasaannya untuk medesak kami." kata pula Liong Bi.

"Omitohud, alangkah jahatnya. Memang sudah sepantasnya kalau dia dilenyapkan," kata kakek itu. Mendengar ini Liong Ki dan Liong Bi merasa girang dan mereka maklum bahwa mereka boleh mengandalkan tenaga bantuan kakek ini.

"Suhu," kata Liong Ki, "memang sebaiknya Mayang itu dilenyapkan, akan tetapi aku telah terlanjur jatuh cinta padanya dan aku tidak tega membunuhnya. Aku ingin agar dia dapat kutundukkan kemudian menjadi milikku. Kalau sudah begitu maka aku dapat menguasai dan mempengaruhinya supaya dia selalu taat padaku. Kuharap Suhu suka membantuku dalam hal ini."

"Omitohud, engkau terlalu memandang rendah dirimu sendiri Liong Ki. Kulihat kepandaian kalian sudah cukup hebat, apa sukarnya menundukkan seorang gadis muda seperti itu? Memang masih memerlukan bantuan pinceng?"

"Suhu tidak tahu, Mayang itu memiliki kepandaian yang cukup lihai. Ia pun kebal terhadap ilmu sihir. Dan dia pun amat berbahaya bagi Suhu sendiri!" kata Liong Bi.

"Heh? Berbahaya bagi pinceng? Kenapa?"

"Dia adalah murid Kim Mo Sian-kouw."

Hwesio itu terbelalak. "Omitohud! Jadi dia adalah murid Si Rambut Emas itu? Kalau dia tahu bahwa gurunya mati di tanganku, tentu dia akan memusuhiku. Kalau begitu memang sudah sepatutnya dia dilenyapkan." kata Hek-tok Sian-su.

"Lebih dari itu, Suhu, dia adalah adik tiri dari Tang Hay. Dia pun puteri Si Kumbang Merah tetapi berlainan ibu," kata Liong Ki.

"Bagus, bagus! Serahkan dia kepada pinceng. Pinceng akan melenyapkan dia tanpa ada yang mengetahuinya, jangan khawatir..."

"Ahh, tidak, Suhu. Maksudku bukan begitu. Aku cinta padanya, dan akan merasa sayang sekali kalau dia dilenyapkan. Aku menghendaki agar dia jatuh ke dalam pelukanku, agar dia menjadi milikku dan kalau sudah begitu tentu dia akan tunduk kepadaku."

"Ho-ho-hoh, kiranya begitu maksudmu? Cinta memang dapat membuat orang melakukan apa saja. Baiklah, pinceng akan membantumu. Apa yang harus pinceng lakukan? Apakah menangkap dia, lalu menelikungnya dan menyerahkan kepadamu?" .

"Tidak, suhu. Aku tak ingin mempergunakan kekerasan terhadap Mayang. Aku terlampau mencintanya. Kita harus menggunakan cara halus dan akan kuberitahu kepada suhu bila saatnya tiba. Sekarang ini ada dua hal penting yang kami berdua harapkan bantuan dari Suhu."

"Hemm, bantuan apa lagi yang kalian harapkan dari pinceng?"

Kini Liong Bi yang menjelaskan. "Suhu, kami ingin sekali meningkatkan kedudukan kami. Menteri Cang memiliki dua orang anak. Yang laki-laki bernama Cang Sun, ada pun yang perempuan bernama Cang Hui. Nah, kalau aku dan koko Liong Ki dapat berjodoh dengan mereka, tentu dengan sendirinya derajat dan tingkat kedudukan kami akan naik. Sebagai guru kami, tentu derajat Suhu juga akan terangkat. Kami berdua sudah melakukan usaha pendekatan dan hampir saja berhasil, akan tetapi selalu Mayang yang menghalangi dan menggagalkan usaha kami. Kami mohon bantuan Suhu agar Cang-kongcu itu tergila-gila kepadaku, dan Cang-siocia tergila-gila kepada kakak Liong Ki.

"Ho-hoh-ha-ha! Demikian banyaknya permintaan bantuan dari kalian kepadaku! Dan apa imbalannya? Kalau hanya makan minum enak saja, setiap saat aku bisa memperolehnya tanpa susah payah."

"Ingat, Suhu. Kami telah berjanji akan membantu mencarikan Tang Hay, musuh besarmu itu. Dan kedua, di istana keluarga Cang ini Suhu mendapat kedudukan baik sebagai guru kami, bahkan kami bisa memintakan kepada Cang Taijin agar Suhu memperoleh pangkat yang resmi. Dan ketiga, kalau kami berdua sudah menjadi mantu keluarga Cang, berarti kedudukan Suhu ikut naik dan kita dapat meningkatkan lagi kedudukan kita karena sudah semakin dekat dengan istana kaisar. Bukankah itu berarti bahwa kelak kita bertiga akan menikmati nama besar, kedudukan tinggi, kemuliaan dan harta benda?"

Hwesio itu tertawa dan perut gendutnya terguncang-guncang. Dia merasa gembira sekali telah dapat berkenalan dengan dua orang muda yang cerdik ini.

"Ha-ha-ha-ha, kalian memang berjodoh sekali dengan pinceng. Kalian masih muda namun sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan yang lebih lagi, kalian memiliki kecerdikan luar biasa. Baik, pinceng akan membantu kalian"

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

"Kui Hong. Bagaimanakah engkau ini? Sudah sering datang pinangan, akan tetapi engkau selalu menolak. Engkau telah cukup dewasa dan ayah ibumu sudah ingin melihat engkau menikah, Nak. Pinangan sekali ini datang dari murid Kun-lun-pai yang gagah, bahkan dia adalah putera ketua Kun-lun-pai. Bagaimana kini engkau menolaknya pula? Kami benar-benar merasa amat tidak enak hati," kata Ceng Sui Cin kepada puterinya.

"Maaf, Ibu dan Ayah. Aku sudah tidak mempunyai sedikit pun keinginan untuk menikah. Bila dipaksakan tentu aku hanya akan hidup menderita dan kecewa, dan aku yakin Ayah dan Ibu tidak ingin melihat aku hidup menderita, bukan? Biarlah aku seperti sekarang ini, hidup di samping Ayah dan Ibu sambil mengurus Cin-ling-pai."

Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, saling pandang dengan alis berkerut. Mereka mengamati wajah puteri mereka. Kini Kui Hong sudah jauh berbeda dengan gadis lincah jenaka yang dahulu. Tubuhnya kurus, matanya tidak memancarkan cahaya seperti dulu, mulut yang biasa tersenyum itu kini selalu merapat, dan kalau dahulu dia ramah gembira dan suka berceloteh, kini menjadi seorang gadis yang sangat pendiam dan kaku seperti mayat hidup saja.

"Kui Hong, pikirkanlah baik-baik," kini ayahnya yang berkata. "Kurasa para peminang itu memenuhi semua syarat. Ada yang kaya raya, ada putera bangsawan, ada pula seorang pendekar yang mempunyai nama terkenal, tetapi engkau selalu menolak. Bahkan hendak diperkenalkan pun tidak mau. Seakan-akan engkau memang sudah mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya. Betulkah?"

Gadis itu mengangkat mukanya, memandang kepada ayahya, lalu kepada ibunya. Suami isteri itu hampir tidak tahan menerima pandang mata itu. Pandang mata yang benar-benar amat menyedihkan. Mata itu nampak lebar karena mukanya kurus sekali.

"Ayah, menikah berarti penyerahan diri kepada seseorang yang untuk selama hidup akan menjadi teman. Betapa mungkin aku menyerahkan sisa hidupku kepada seseorang yang sama sekali tidak kusukai, bahkan sama sekali tidak kukenal? Dari pada kelak menderita sengsara di samping orang yang tidak kusayang, lebih baik hidup seorang diri. Aku yakin Ayah dan Ibu cukup bijaksana untuk tidak memaksaku menyerahkan diri dan sisa hidupku kepada orang yang tidak kucinta."

Gadis itu lalu menunduk kembali dan suami isteri itu saling pandang. Sudah lama mereka berdua sering bicara dalam kamar mengenai puteri mereka ini. Sesudah saling pandang dengan suaminya dan menghela nafas berulang-ulang untuk mencari kekuatan, akhirnya Ceng Sui Cin yang bertanya,

"Kui Hong, apakah sampai sekarang engkau masih tetap mencinta Tang Hay?"

Kui Hong merasa seperti disengat kalajengking ketika mendengar ibunya menyebut nama ini. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa ibunya akan menyebut nama ini. Alisnya berkerut, wajahnya berubah pucat dan jantungnya seperti ditusuk. Dia mengangkat muka memandang kepada ayah ibunya dan melihat betapa mereka mengamatinya dengan sinar mata tajam penuh selidik.

Muncul perlawanan dalam hatinya. Selama ini dia menderita batin karena penolakan ayah ibunya terhadap diri Tang Hay, dan kini ibunya bahkan bertanya apakah dia masih tetap mencinta pemuda itu!

"Ibu dan Ayah!" jawabnya dan suaranya mengandung kekerasan. "Apakah cinta kasih itu dapat berubah dan dapat diganti begitu saja? Tentu saja aku masih mencinta Hay-koko, dan sampai mati pun aku akan tetap mencintanya. Hanya dengan Hay-koko saja aku mau menikah. Perlukah hal ini kutegaskan lagi? Ayah dan Ibu sudah tidak setuju, kenapa kini mesti mengungkit kembali dan menyebut namanya?"

Suami isteri itu kembali bertukar pandang. "Kui Hong, jangan salah mengerti. Ayah ibumu amat sayang kepadamu dan engkau tentu sudah tahu mengapa dahulu kami tidak setuju engkau berjodoh dengan Tang Hay..."

Kui Hong bangkit berdiri, tusukan di jantungnya terasa menghujam makin dalam. "Ayah, tidak perlu dijelaskan lagi, aku sudah cukup mengetahui! Ayah dan Ibu menolak karena Hay-koko adalah seorang anak haram, terlahir dari perkosaan, ayahnya seorang jahanam busuk Ang-hong-cu, seorang jai-hwa-cat terkutuk!" Di dalam suaranya ini terkandung isak dan beberapa butir air mata mengalir keluar dari sepasang matanya. "Perlukah Ayah dan Ibu mengingatkannya kembali, menekan-nekan dan menggosok-gosok luka di hatiku agar pecah kembali?"

"Kui Hong, kau kira kami sekejam itu terhadap anak sendiri?" Ceng Sui Cin mendekat dan memegang kedua tangan puterinya. "Kui Hong, kalau kami dahulu menolak adalah karena kami amat sayang kepadamu, kami ingin melihat engkau memperoleh jodoh seorang laki-laki dari keturunan terhormat. Kami hanya memikirkan masa depanmu, Nak. Akan tetapi, kalau sampai sekarang engkau tidak dapat melupakan dia, masih tetap mencintanya dan hanya mau berjodoh dengannya, kalau memang hanya menjadi isterinya saja yang dapat membahagiakan hatimu, kami juga tidak dapat melarangmu..."

Kui Hong terkejut, memandang kepada wajah ibunya, lalu ayahnya. "Apa maksud Ibu dan Ayah...?"

Kini Hui Song yang berkata, "Sudah lama aku dan ibumu membicarakan hal ini, Kui Hong. Akhirnya kami bersepakat bahwa kalau memang tidak ada pilihan lain, dan engkau tetap memilih Tang Hay menjadi suamimu, kami berdua tak akan melarangmu lagi. Kau carilah dia dan ajaklah dia ke sini agar kami dapat bercakap-cakap dengan calon suamimu itu."

Kui Hong terbelalak, merasa seperti berada di dalam mimpi, hampir tidak dapat percaya. Dia menatap wajah ayahnya, lalu perlahan-lahan memandang ibunya dan berbisik, "Ibu..., Ibu..., benarkah...?"

Ceng Sui Cin tersenyum. Matanya basah. "Benar, Anakku. Kami teringat bahwa kami pun pernah memiliki nenek moyang yang menyeleweng. Kalau ayahnya tersesat, belum tentu anaknya juga jahat. Kami telah bersikap tidak adil kepadamu, maafkan kami."

"Ibu....!" Kui Hong menjerit, merangkul ibunya dan bertangisan. Kemudian dia melepaskan ibunya dan menubruk ayahnya.

"Ayah...!"

Suami isteri itu merasa terharu. Sekarang mereka betul-betul yakin bahwa puteri mereka ini amat mencinta Tang Hay. Hanya karena ingin berbakti kepada mereka saja maka Kui Hong mengorbankan perasaannya, rela hidup terpisah dengan kekasihnya demi mentaati orang tua.

"Kui Hong, engkau cepatlah pergi mencari Tang Hay, kemudian ajaklah dia ke sini. Aku ingin mengenalnya lebih baik." kata Hui Song.

"Akan tetapi, tahukah engkau ke mana harus mencarinya, Anakku?" tanya ibunya.

Kui Hong tersenyum dan menyusut air matanya dengan sapu tangan, lalu mengangguk. "Aku pasti akan dapat menemukannya, Ibu. Memang aku tidak tahu dia sedang berada di mana sekarang. Namun aku akan mencarinya sampai dapat! Pernah dia berkata bahwa kalau kami sudah menikah, dia ingin tinggal di kota raja. Dia suka tinggal di sana karena ramai dan mudah mendapatkan pekerjaan. Apa lagi dia mengenal baik Menteri Cang yang bijaksana, yang tentu akan suka memberi pekerjaan kepadanya. Aku akan mencarinya ke kota raja!"

Pada keesokan harinya, setelah berpamit dari ayah ibunya, kakeknya, dan menyerahkan semua urusan Cin-ling-pai kepada ayahnya, Cia Kui Hong lalu meninggalkan Cin-ling-pai. Ayah ibu serta kakeknya yang mengantarnya sampai keluar pintu gerbang Cin-ling-pai, diam-diam merasa terharu dan juga gembira melihat betapa keputusan mereka itu dalam sehari semalam saja telah mengubah diri Kui Hong secara hebat, yang tak mungkin dapat dihasilkan oleh obat yang bagaimana manjur sekali pun.

Gadis itu seperti sudah menemukan dirinya kembali, sudah kembali seperti dahulu, lincah gagah dan penuh semangat, dengan sepasang mata yang kini bersinar-sinar, wajah yang berseri-seri dan bibir yang tersenyum manja.

Ceng Sui Cin merangkul anaknya. "Aku akan bersembahyang setiap hari, berdoa agar engkau segera dapat bertemu dengan dia dan mengajaknya pulang ke sini, Kui Hong."

"Terima kasih dan jangan khawatir, Ibu. Aku pasti bisa menemukannya dan mengajaknya menghadap Ayah dan Ibu. Selamat tinggal." Kui Hong mencium pipi ibunya yang basah, dan kini dia tidak menangis lagi, melainkan tersenyum melambaikan tangan kepada ayah, ibu dan kakeknya. Kemudian dia pun berlari menuruni lereng gunung dengan cepat, bagai seekor burung terbang meninggalkan sarangnya.

Memang Kui Hong sudah menemukan dirinya kembali. Semenjak ditinggal pergi Hay Hay yang membuat dia jatuh sakit, dia seperti kehilangan semangat, kehilangan gairah hidup. Biar pun dia sangat giat mengurus Cin-ling-pai, membangun kembali perkumpulan nenek moyangnya yang baru saja mengalami malapetaka besar dengan menyelundupnya tokoh-tokoh sesat yang hendak menghancurkan Cin-ling-pai, namun dia bekerja seperti boneka hidup saja. Dia tak mempedulikan dirinya sendiri sehingga tubuhnya menjadi kurus sekali, bahkan rambutnya yang hitam panjang itu nampak kusut tak terpelihara. Semangat dan gairah hidupnya lenyap terbawa pergi bayangan Hay Hay.

Kini harapan bertemu dan bersatu kembali dengan Hay Hay memulihkan keadaannya dan mengembalikan gairahnya. Dia tahu benar bahwa Hay Hay sangat mencintanya, bahwa kepergian Hay Hay meninggalkannya merupakan bukti dari cintanya yang sejati. Pemuda itu rela berkorban, rela berpisah dan menderita batin demi Kui Hong! Pemuda itu pergi meninggalkannya karena dia tidak ingin melihat Kui Hong bentrok dengan orang tuanya.

Ia bisa membayangkan betapa Hay Hay tentu pergi meninggalkannya dengan hati hancur. Dia yakin benar bahwa Hay Hay, meski pun putera Ang-hong-cu, sama sekali tidak dapat disamakan dengan ayahnya yang jai-hwa-cat itu.

Orang-orang boleh saja menjuluki dia Pendekar Mata Keranjang, namun itu hanya karena wataknya yang gembira, suka bergurau, suka akan keindahan dan tidak menyembunyikan rasa kagumnya terhadap keindahan, termasuk kecantikan wanita. Karena keterbukaannya itulah maka dia dikatakan mata kerajang, padahal dia tahu benar bahwa di lubuk hatinya Hay Hay tidak mempunyai pikiran yang cabul. Dia bukan hamba nafsu birahinya. Hal ini ia ketahui benar setelah lama bergaul dengan dia.

Dahulu pun dia pernah menyangka bahwa Hay Hay seorang pemuda yang sama dengan ayahnya, suka berjinah dan berbuat mesum dengan wanita cantik mana saja. Akan tetapi sekarang dia sudah benar-benar yakin!

Kui Hong melakukan perjalanan cepat. Dia tidak tahu bahwa tiga hari kemudian sesudah dia meninggalkan Cin-ling-pai, seorang gadis yang cantik jelita, bertahi lalat di dagunya, mendaki gunung Cin-ling-san dengan gerakan cepat dan ringan, menunjukkan bahwa dia seorang gadis yang berilmu tinggi. Gadis itu bukan lain adalah Siangkoan Bi Lian.

Seperti kita ketahui, pada saat Bi Lian menjadi pengantin dengan Pek Han Siong, dalam pesta perayaan pernikahan itu muncullah Ban-tok Sian-su bersama Hek-tok Sian-su yang mendendam karena menganggap bahwa kematian Ceng Hok Hwesio ketua kuil Siauw-limsi adalah karena Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, orang tua Bi Lian. Ceng Hok Hwesio menyiksa diri, bertapa sampai mati dan dua orang pendeta aneh ini menyalahkan Siang Koan Cikang dan isterinya, dan mereka datang untuk minta pertanggungan jawab.

Terjadilah bentrokan di mana Ban-tok Sian-su bertanding melawan Siangkoan Ci Kang yang mengakibatkan tewasnya Ban-tok Sian-su, tetapi Siangkoan Ci Kang juga roboh dan terkena pukulan beracun yang sangat hebat dari Ban-tok Sian-su. Hek-tok Sian-su lantas pergi sambil membawa jenazah suheng-nya.

Keluarga Siangkoan menjadi geger. Luka yang diderita Siangkoan Ci Kang sangat parah sebab pukulan beracun itu sukar diobati sampai sembuh. Han Siong dan Bi Lian, juga ibu Bi Lian, hanya dapat memberi obat agar racun tidak menjalar saja, akan tetapi tidak dapat menyembuhkan hingga pulih sepenuhnya.

Mereka segera membagi tugas. Han Siong melakukan pengejaran kepada Hek-tok Sian-su untuk minta obat penawar, sedangkan Bi Lian pergi mencari Hay Hay untuk meminjam mustika penyedot racun yang dimiliki Hay Hay.

Han Siong telah memberitahu kepadanya bahwa sebaiknya dia mencari Hay Hay ke Cin-ling-san, karena ketika mereka saling berpisah dahulu, Hay Hay pergi bersama Kui Hong. Setidaknya di Cin-ling-pai tentu Bi Lian akan bisa mendapat keterangan di mana adanya Hay Hay.

Demikianlah, pada pagi hari itu, dengan menggunakan ilmu berlari cepat, Bi Lian mendaki pegunungan Cin-ling-san, sama sekali tidak tahu bahwa baru tiga hari yang lalu Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai melalui lereng yang lain.

Karena pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran akan keadaan ayahnya, maka Bi Lian melupakan urusannya sendiri. Andai kata ia tidak memikirkan keadaan ayahnya mungkin dia akan berduka sekali.

Betapa tidak? Dia baru saja melangsungkan pernikahannya dengan Han Siong. Peristiwa besar dan penting baginya itu tengah dirayakan, dan terjadilah kegegeran itu sehingga kini membuat dia terpisah dari suaminya! Dia menjadi isteri Han Siong hanya dalam upacara saja, belum menjadi isteri yang sebenarnya, belum melewatkan malam pengantin! Namun pada saat itu semuanya ini tidak dia hiraukan, bahkan tidak diingatnya lagi karena seluruh perhatiannya tercurah pada usaha mencarikan obat untuk menyembuhkan ayahnya.

Keluarga Cia di Cing-ling-pai menyambut kunjungan gadis perkasa ini dengan heran. Akan tetapi mereka pun segera menyambutnya dengan ramah ketika Bi Lian memperkenalkan namanya dan menyatakan bahwa dia ingin mencari Cia Kui Hong atau Tang Hay. Dari Kui Hong mereka sudah banyak mendengar mengenai Siangkoan Bi Lian ini. Ketika Bi Lian mendengar bahwa baru tiga hari Kui Hong turun gunung untuk mencari Hay Hay, dia pun tidak ingin tinggal lebih lama lagi.

"Ke manakah adik Kui Hong mencari Hay Hay?" tanyanya.

"Menurut Kui Hong, dia akan mencarinya ke kota raja," jawab Ceng Sui Cin.

"Kalau begitu harap Paman dan Bibi memaafkan, saya tidak dapat tinggal lebih lama lagi. Saya harus segera menyusul adik Kui Hong. Saya juga sedang mencari Tang Hay untuk meminjam mustika penyedot racun yang dimilikinya, untuk mengobati ayah yang terkena pukulan beracun."

Demikianlah, dengan tergesa-gesa Bi Lian berpamit dan pada siang hari itu juga dia telah menuruni kembali gunung Cia-ling-san untuk mengejar Kui Hong. Dia mengambil jalan ke arah kota raja dan mempergunakan ilmu berlari cepat. Akan tetapi karena Kui Hong juga mempergunakan ilmu berlari cepat, dan Bi Lian sering berhenti untuk bertanya-tanya dan mencari keterangan tentang Kui Hong agar dia tidak kehilangan jejak, tentu saja Bi Lian tertinggal jauh. Pada permulaan saja jarak antara mereka sudah tiga hari. Bagaimana pun juga, keduanya mengambil jalan yang sama, yaitu menuju ke kota raja.

********************

Sejak pertama kali melihat Hek-tok Sian-su yang diaku guru oleh Liong Ki dan Liong Bi, hati Mayang sudah merasa tidak enak sekali. Dia dapat menduga bahwa tentu kakek itu lihai bukan main dan jelas bukan guru Liong Ki. Dia tahu betul bahwa guru Liong Ki adalah Pendekar Sadis dan isterinya di pulau Teratai Merah. Kalau dua orang itu mengakui kakek gendut itu sebagai guru, lantas mengajaknya ke istana Menteri Cang, tentu ada maksud tertentu yang tersembunyi di balik perbuatan itu. Dia harus waspada.

Dia menemui Cang Hui dan Teng Cin Nio di kamar mereka dan dengan berbisik-bisik dia memberitahu kepada mereka tentang kecurigaannya terhadap kakek gundul yag perutnya gendut itu.

"Aku mengenal guru Liong Ki, maka dengan pengakuannya sebagai guru terhadap kakek itu tentu ada maksud tertentu yang tidak sehat. Aku merasa curiga sekali. Adik Hui dan adik Cin, mulai sekarang kalian harus berhati-hati menjaga diri tetapi bersikap pura-pura tidak menaruh curiga apa pun. Jangan khawatir, aku selalu siap siaga menjaga kalian dan seluruh keluarga Cang."

"Mayang, apakah tidak sebaiknya kalau kuperingatkan ayah supaya dia menangkap dan memeriksa mereka?" kata Cang Hui.

Mayang menggelengkan kepala. "Tanpa bukti, bagaimana mungkin ayahmu bertindak? Ayahmu adalah seorang yang bijaksana, tentu tidak mau bertindak tanpa bukti."

"Kalau begitu, akan kuberitahu kepada kakak Sun," kata Cang Hui.

Mayang mengangguk. "Tetapi hati-hati, jangan sampai dia menjadi kaget dan gelisah."

Cang Hui tersenyum karena melihat Mayang mengkhawatirkan kakaknya. "Ada engkau di sini, apakah dia perlu khawatir?"

Dengan wajah merah Mayang menunduk, lalu melirik ke arah Cin Nio yang mukanya juga berubah menjadi merah. "Kami semua mengharapkan perlindunganmu, Mayang," kata Cin Nio yang merasa salah tingkah. Dia sudah mendengar dari sepupunya bahwa Cang Sun yang dicintanya akan tetapi tidak membalas itu jatuh hati kepada Mayang.

"Kami pun tidak akan tinggal diam, Mayang. Mulai sekarang aku dan Cin Nio akan selalu membawa pedang untuk menjaga diri. Kalau perlu, pada waktu mandi atau tidur pun kami akan selalu membawa pedang!" kata Cang Hui bergurau karena dia merasa telah bicara terlalu banyak sehingga menimbulkan suasana yang kikuk kepada dua orang gadis itu.

"Benar, Mayang. Dan kita juga harus berlatih lebih tekun. Gerakan pedang dengan jurus Ular Hitam Menyelam Samudera itu masih belum juga dapat kulakukan dengan benar," kata Cin Nio. Mayang lalu melatih kedua orang gadis itu di taman bunga belakang kamar mereka.