Si Kumbang Merah Pengisap Kembang Jilid 14 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Hay Hay dan Han Siong saling pandang, kemudian Han Siong menjawab, "Sama sekali aku tidak keberatan untuk bicara dengan sam-wi lo-suhu, akan tetapi lebih dulu aku ingin tahu siapa sesungguhnya sam-wi ini."

Han Siong yang cerdik agaknya cukup berhati-hati sehingga dia ingin agar Hay Hay lebih dulu juga mendengar siapa adanya tiga orang pendeta Lama itu sebelum dia mengadakan pembicaraan sendirian saja bersama mereka.

Mendengar ini, tiga orang pendeta itu juga saling pandang, kemudian orang pertama yang bertubuh tinggi besar menjawab, "Ketahuilah, saudara muda Pek, kami adalah tiga orang pendeta dari Tibet. Nama pinceng (aku) adalah Gunga Lama."

“Pinceng bernama Janghau Lama," kata pendeta tinggi kurus yang matanya sangat sipit dan bersabuk ular hidup.

"Dan pinceng bernama Pat Hoa Lama," kata pendeta bongkok yang pada punggungnya terdapat senjata sepasang cakar harimau. Dari nama mereka saja dapat diketahui bahwa yang dua orang pertama adalah orang-orang Tibet asli, sedangkan orang ke tiga adalah peranakan Tibet dan Han.

Ouw Lok Khi yang merupakan seorang berpengalaman, dengan diam-diam juga merasa curiga melihat tiga orang pendeta Tibet begitu datang lantas ingin berbicara dengan Pek Han Siong. Maka dia pun mendahului mereka, sesudah mereka memperkenalkan diri, dia segera maju dan memberi hormat.

"Sam-wi lo-suhu, kami sangat berterima kasih kepada sam-wi dan untuk memperlihatkan rasa terima kasih kami, maka kami mengundang sam-wi untuk menjadi tamu kami dan di sanalah sam-wi dapat berbicara dengan Pek-taihiap secara leluasa tanpa terganggu. Mari, silakan, sam-wi lo-suhu, Pek-taihiap dan Tang-taihiap."

Diam-diam dua orang pendekar muda itu bersyukur akan sikap hati-hati dari bekas ketua Pek-tiauw-pang itu. Tiga orang pendeta itu tertegun, akan tetapi sesudah saling pandang, mereka mengangguk dan tanpa banyak cakap mereka semua lalu bubaran meninggalkan kuburan. Para pelayat lain kembali ke rumah masing-masing, ada pun tiga orang pendeta itu turut bersama Ouw Lok Khi dan Ouw Ci Goat. Han Siong dan Hay Hay juga berjalan mengikuti mereka, dan mereka berdua berjalan paling belakang.

"Hay Hay, kurasa mereka tidak berniat buruk walau pun aku tetap akan berhati-hati sekali dalam menghadapi mereka. Engkau jangan lupa tugasmu!"

"Tugasku...? Ahh, nona Ouw maksudmu? Jangan khawatir. Kita membagi tugas, engkau bicara dengan tiga orang pendeta Lama itu dan aku bicara dengan Ouw Ci Goat. He-he, tugasku lebih menyenangkan, dapat berdekatan dan bercakap-cakap dengan gadis cantik manis, sedangkan engkau... heh-heh!"

"Dasar mata keranjang kau!" Han Siong mengomel.

Akan tetapi Hay Hay hanya tertawa saja, walau pun di dalam hatinya dia harus mengakui bahwa tugasnya jauh lebih berat. Dia harus menyampaikan kenyataan yang sangat tidak menyenangkan bagi Ci Goat, dan dia harus mencari akal yang jitu supaya gadis itu dapat menerima berita yang disampaikannya dengan tabah.

********************

"Ci Goat, aku ingin bicara denganmu, bolehkah?"

Gadis itu terkejut. Dia sedang termenung seorang diri di kebun belakang rumah barunya, rumah yang merupakan peninggalan dari suheng-nya, yaitu mendiang Thio Ki. Dia sedang termenung dan terkenang akan percakapannya dengan Hay Hay yang pandai merayu, kemudian terkenang akan ucapan pemuda itu yang di depan Han Siong yang secara terus terang mengatakan keyakinannya bahwa dia mencinta Han Siong!

Betapa malu rasa hatinya ketika itu, akan tetapi diam-diam dia pun bersyukur bahwa Hay Hay sudah mengetahui akan isi hatinya dan mewakilinya menyampaikan hal itu kepada Han Siong! Kini dia tinggal menanti bagaimana reaksi dari Han Siong setelah mendengar bahwa dia mencintanya. Diam-diam dia merasa sangat berterima kasih kepada Hay Hay yang perayu akan tetapi tidak kurang ajar itu.

Ketika ada suara memanggilnya, dia tersentak kaget dan menoleh. Kiranya Hay Hay yang memanggilnya. Kedua pipinya menjadi kemerahan, apa lagi mendengar betapa pemuda ini menyebut namanya begitu saja, padahal biasanya menyebutnya nona!

“Ahhh, ternyata Tang-taihiap...” katanya sambil bangkit berdiri dari atas bangku yang tadi didudukinya.

Hay Hay tersenyum dan agaknya dia pandai membaca hati orang dengan hanya melihat sikapnya. "Jangan kaget kalau aku menyebut namamu begitu saja, Ci Goat. Sesudah kita menjadi kenalan dan sahabat baik, rasanya janggal kalau aku harus menyebutmu nona, apa lagi engkau menyebut taihiap kepadaku, sebut saja toako (kakak), bukankah engkau juga menyebut begitu kepada Han Siong?"

Kedua pipi itu semakin merah sehingga nampak amat menggairahkan seperti buah tomat! Manisnya melebihi madu!

"Baiklah... Toako. Ehh, tentu saja boleh bicara dengan aku. Silakan duduk...”

Bangku itu terlalu pendek. Kalau dia harus duduk di sana bersama Ci Goat, tentu mereka harus duduk berdempetan. Tentu akan senang sekali duduk begitu dekat, akan tetapi Hay Hay maklum bahwa tentu gadis itu yang akan merasa risih dan rikuh. Maka dia pun duduk saja di atas batu depan bangku itu, dalam jarak dua tiga meter.

"Engkau duduklah, Ci Goat. Aku ingin mengobrol denganmu karena sahabatku Han Siong lebih senang mengobrol dengan tiga orang pendeta Lama itu dari pada dengan aku atau engkau!"

Ci Goat mengerutkan alisnya dan memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata jelas membayangkan kekhawatiran. "Tang-taihiap... eh, Toako, sebetulnya siapakah tiga orang pendeta itu dan apakah maksud mereka hendak menemui dan bicara dengan Pek-toako? Kemunculan mereka yang tiba-tiba sungguh mencurigakan!"

Sikap gadis ini yang mengkhawatirkan keadaan Han Siong menambah jelas bagi Hay Hay bahwa gadis ini memang sudah jatuh cinta kepada Anak Ajaib itu. Dia tidak pernah dapat melupakan bahwa Pek Han Siong adalah Sin-tong (Anak ajaib) yang menurut pendapat para pendeta Lama di Tibet, Anak Ajaib adalah seorang anak yang sudah ditakdirkan dan dipilih menjadi seorang Dalai Lama!

"Jangan khawatir, Ci Goat. Apa pun yang menjadi maksud mereka, ketiga orang pendeta Lama itu tak akan mampu mencelakai Han Siong. Di samping dia sendiri mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi, masih ada aku di sini yang selalu siap untuk membantunya andai kata dia terancam bahaya."

Jelas nampak betapa wajah yang tadinya diliputi kekhawatiran itu sekarang berseri tanda bahwa hatinya lega. "Ohh, terima kasih, Taihiap... ehh Toako…"

"Sudahlah, Ci Goat, jangan kita membicarakan orang lain. Aku hendak mengajak engkau mengobrol tentang diri kita sendiri, tidak membicarakan orang lain."

Kini Ci Goat dapat tersenyum. Dia sudah mulai mengenal watak pendekar yang ganteng ini. Watak yang perayu, mata keranjang akan tetapi tetap sopan dan tidak kurang ajar biar pun agak ‘berani’! Pemuda semacam ini tidak cocok bila ditanggapi dengan serius, maka sebaiknya dia bersikap ramah dan main-main pula.

"Tang-toako, engkau ingin bicara tentang apakah?”

"Tentang cinta!"

Sepasang mata jeli itu terbelalak dan Hay Hay pun terpesona. Gadis ini memang sudah cantik, dengan wajahnya yang putih mulus dan berbentuk bulat bagaikan bulan purnama, juga senyumnya yang memikat. Akan tetapi begitu sepasang mata itu terbelalak, muncul sepasang bintang yang amat indahnya!

"Apa... apa maksudmu... ?” Gadis itu bertanya dengan suara lirih dan seketika mukanya berubah merah.

Hay Hay tertawa. "He-he-he, adik Ci Goat yang manis, kenapa engkau begitu tersipu dan terkejut mendengar kata cinta? Apa sih salahnya orang muda berbicara mengenai cinta? Engkau sudah cukup dewasa, dan aku pun bukan kanak-kanak. Tidak ada salahnya kalau orang-orang muda seperti kita bicara tentang cinta." “Tapi... tapi, apa maksudmu?”

Senyum Hay Hay semakin melebar. Dia tahu kenapa gadis itu tersipu. Tentu disangkanya bahwa dia akan menyatakan cinta kepada gadis itu! Ah, betapa mudahnya mengaku cinta kepada gadis-gadis muda cantik, apa lagi yang seperti Ci Goat ini. Akan tetapi pengakuan cintanya akan merupakan kebohongan besar kalau hal itu dia lakukan.

Tidak, dia belum pernah jatuh cinta walau pun entah sudah berapa puluh kali dia tertarik dan suka sekali kepada gadis cantik jelita. Bahkan setiap gadis selalu menarik hatinya, menimbulkan rasa suka. Akan tetapi jatuh cinta? Rasanya belum pernah!

Perasaannya terhadap wanita-wanita seperti Ji Sun Bi atau Siok Bi merupakan dorongan nafsu birahi saja yang dibangkitkan oleh sikap kedua orang wanita itu. Dan memang ada gadis-gadis yang sangat dikaguminya dan disukanya, seperti misalnya Siangkoan Bi Lian dan Cia Kui Hong, akan tetapi dia pun tidak tahu apakah dia mencinta seorang di antara mereka atau tidak.

Dia ingin bebas, tidak terikat cinta dengan seorang wanita tertentu. Enak bebas, sehingga dia akan bebas pula mengagumi kecantikan setiap orang wanita yang dijumpainya tanpa merasa bahwa dia mengkhianati cintanya terhadap wanita tertentu itu!

"Jangan khawatir, adik manis. Aku tidak bermaksud yang bukan-bukan, melainkan hanya ingin bicara tentang cinta itu sendiri denganmu, mengingat bahwa engkau adalah seorang wanita sehingga pandanganmu mengenai cinta tentu berbeda kalau dibandingkan dengan pendapat seorang pria seperti aku."

"Aku masih belum mengerti, Toako. Akan tetapi bicaralah, dan aku akan mencoba untuk mengerti apa yang kau maksudkan," kata gadis itu tabah.

Dia merasa yakin bahwa pendekar ini tidak akan bicara yang bukan-bukan. Pendekar ini sendiri yang pernah menyatakan bahwa dia jatuh cinta kepada Pek Han Siong, maka tak mungkin kalau kini dia akan begitu tega untuk menyatakan cinta kepadanya!

"Begini, Ci Goat. Terus terang saja, sampai berusia dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun sekarang ini, aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Aku tidak tahu apa cinta itu dan bagaimana rasanya orang jatuh cinta. Tentu saja aku hanya dapat mengira-ngira saja sehingga belum tentu benar. Sekarang aku ingin mendengar dari mulut seorang wanita, bagaimana sesungguhnya rasanya orang jatuh cinta?"

Ci Goat tersenyum lega. Pemuda ini memang aneh luar biasa! Mengajak dia berbincang-bincang tentang cinta, bukan untuk mengaku cinta. Dia sendiri pun baru sekali jatuh cinta, yaitu sekarang ini jatuh cinta kepada Pek Han Siong. Maka dia lalu mengenangkan segala perasaan yang dirasakannya selama jatuh cinta ini. Dia ingin jujur kepada Hay Hay yang ketika mengajukan pertanyaan itu kelihatan demikian sungguh-sungguh, tidak berkelakar lagi.

"Rasanya jatuh cinta? Hemmm, aku sendiri pun tidak yakin apakah pendapatku ini benar, Koko. Akan tetapi... agaknya orang yang sedang jatuh cinta akan selalu terkenang pada orang yang dicintanya. Kalau siang jadi kenangan, kalau malam jadi impian. Ingin selalu berdekatan, ingin selalu bersamanya, ingin melihat dia bahagia, ingin memiliki dan dimiliki selamanya, ingin... ahh, hanya itulah yang kuketahui."

Hay Hay memandang dan ada rasa iba di dalam hatinya. Jelas gadis ini sudah jatuh cinta kepada Han Siong, maka dapat mengatakan itu semua dan ketika mengatakan perasaan cinta itu, matanya melamun kosong dan pada saat bicara jelas bahwa perasaannya juga turut berbicara! Kasihan, gadis ini menjatuhkan benih cinta di atas tanah yang sudah ada tanamannya sehingga benih itu akan sia-sia dan tidak dapat tumbuh!

"Ahh, bagus sekali! Hampir tidak ada bedanya dengan yang kubayangkan, Goat-moi (adik Goat)! Aku setuju sekali dan agaknya memang begitulah perasaan hati orang yang tengah jatuh cinta. Sekarang aku ingin sekali tahu bagaimana pendapat seorang wanita terhadap keadaan seorang pria yang gagal dalam cintanya."

"Gagal dalam cintanya? Apa yang kau maksudkan, Toako?"

"Begini, adikku. Ada seorang pemuda yang jatuh cinta kepada seorang gadis, jatuh cinta setengah mati! Namun kemudian dia mendapat kenyataan bahwa gadis yang dicintanya mati-matian itu ternyata sudah mencintai seorang pemuda lain! Cintanya hanya bertepuk sebelah tangan! Lalu menurut pendapatmu, apa yang harus dilakukan oleh pemuda yang gagal dalam cintanya itu? Apakah dia harus bunuh diri di hadapan gadis itu? Ataukah dia harus membunuh kekasih gadis yang dicintanya itu?"

Gadis itu mengerutkan sepasang alisnya dan sinar matanya berkilat seperti orang marah, tanda bahwa dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat itu.

"Ihhh…! Mengapa dia harus membunuh diri atau membunuh kekasih gadis itu? Itu adalah perbuatan yang bodoh dan jahat!” jawabnya hampir berteriak.

Hay Hay menyembunyikan senyum dari bibir dan matanya. Dia memandang dengan sikap penasaran. "Lho! Kenapa bodoh dan jahat, Goat-moi? Bukankah pemuda itu menjadi sakit hati karena cintanya ditolak dan gadis itu memilih pemuda lain?"

"Hati boleh sakit, akah tetapi pikiran harus tetap waras! Mana ada cinta yang dipaksakan oleh sepihak jika pihak lawan tidak menyambutnya? Cinta harus timbul dalam hati kedua pihak, baru jadi! Kalau gadis itu menolak cintanya karena sudah mencintai pemuda lain, maka gadis itu tidak bersalah dan kekasihnya juga tiak bersalah. Kenapa harus dibunuh? Dan pemuda yang putus cinta lantas membunuh diri adalah seorang yang bodoh dan tolol! Di dunia ini masih banyak sekali terdapat gadis-gadis yang mungkin lebih cantik dari pada yang dicintanya, yang siap untuk menyambut cintanya itu. Eh, Toako... apakah... apakah engkau pemuda itu? Maafkan aku...”

Hay Hay tertawa dan dari suara ketawanya saja tahulah Ci Goat bahwa pemuda itu bukan Hay Hay, maka hatinya terasa lega sekali. "Syukurlah kalau bukan engkau, Tang-toako!" sambungnya.

"Kita hanya mengobrol saja tentang cinta dan liku-likunya, tidak menyinggung seseorang. Pendapatmu tadi memang tepat dan agaknya cocok sekali dengan pendapatku sendiri."

"Tang-toako, betapa pun juga... aku merasa kasihan sekali terhadap pemuda itu. Aku tahu siapa yang kau maksudkan itu dan aku merasa amat kasihan. Sungguh luar biasa sekali, bagaimana ada seorang gadis yang dapat menolak seorang pria seperti dia untuk menjadi suaminya...! Ahhh, betapa dia mencinta gadis itu, namun gadis bodoh itu justru menolak cintanya... apakah dia telah mencintai laki-laki lain?"

Melihat gadis itu seperti bicara kepada dirinya sendiri, Hay Hay mengerutkan alisnya dan memandang dengan penuh perhatian. "Heii, Goat-moi, apa yang kau bicarakan itu? Siapa yang kau maksudkan dengan pemuda itu?"

"Aih, engkau masih pura-pura tidak tahu, Toako? Sebagai seorang sahabat baiknya, tentu engkau sudah tahu bahwa yang kumaksudkan ialah toako Pek Han Siong. Tunangannya itu menolak untuk menjadi istrinya."

Tentu saja Hay Hay tidak tahu akan hal ini, akan tetapi dengan cerdik dia mengangguk. "Ahh, benar, tentu saja aku tahu mengenai hal itu, hanya tidak kusangka bahwa ternyata dia sudah bercerita tentang hal itu kepadamu, karena itu aku tadi tidak menyangka bahwa engkau maksudkan dia. Sekarang sebaiknya kita tidak membicarakan orang lain dan kita melanjutkan obrolan kita tentang cinta."

Gadis itu tersenyum. "Bicaralah, Toako. Agaknya engkau memang seorang yang sangat memperhatikan tentang cinta."

"Tentu saja, adik manis. Apa artinya hidup tanpa cinta? Bila kita pikir secara mendalam, tanpa adanya cinta, engkau dan aku tidak akan terlahir di dunia ini!" Hay Hay tertawa dan biar pun mukanya berubah merah mendengar ucapan yang penuh arti itu, mau tidak mau Ci Goat juga tertawa.

"Persoalan cinta apa lagi yang hendak kau kemukakan, Toako?" Dia mulai tertarik dengan percakapan tentang cinta ini, hal yang tentu saja sangat menjadi perhatiannya karena dia sendiri pun sedang dilanda cinta.

"Masih persoalan yang tadi, akan tetapi kini peranannya dibalik. Sekarang seorang wanita yang jatuh cinta kepada seorang pria, tetapi ternyata bahwa pria itu tidak dapat menerima cintanya, atau menolak cintanya karena pria itu telah memiliki pilihan hati, telah mencinta seorang gadis lain. Nah, kalau demikian keadaannya, lalu apa yang harus dilakukan gadis itu?"

Sejenak gadis itu memandang wajah Hay Hay dan pemuda ini pun balas memandang. Dua pasang mata saling menatap dan Hay Hay melihat betapa sinar mata itu meredup, wajah itu memucat dan betapa bola mata yang bening itu menjadi basah. Biar pun mulut gadis itu masih tersenyum, namun senyum itu membuat dia merasa jantungnya bagaikan disayat, membuat dia ingin merangkul dan menghiburnya karena dia tahu bahwa gadis itu sudah mengerti, bahwa gadis itu merasa betapa hatinya ditusuk-tusuk. Suaranya gemetar dan mata itu menunduk, bibir itu menggigil ketika akhirnya dia berkata,

"Tang-toako, tolonglah... tolong engkau saja yang mengatakan, apa yang harus dilakukan gadis itu dalam keadaan seperti itu? Bunuh diri? Atau mencukur gundul rambutnya lantas menjadi nikouw (pendeta wanita)? Katakanlah, Toako, dan aku akan mempertimbangkan kata-katamu...”

"Bunuh diri? Menjadi nikouw? Hanya gadis tolol dan bodoh yang akan melakukan hal itu, Goat-moi! Seperti kau katakan tadi. Cinta tidak mungkin hanya bertepuk sebelah tangan. Cinta tidak mungkin dapat dipaksakan! Kalau memang pemuda itu tidak dapat membalas cintanya karena telah mencinta gadis lain, berarti dia tidak berjodoh dengan pemuda itu! Dan dia tidak perlu terlalu berduka atau putus asa. Dunia bukan sebesar buah appel! Di dunia ini masih ada jutaan pemuda yang mungkin lebih segala-galanya dari pada pemuda yang tidak dapat membalas cintanya itu! Maka gadis itu harus dapat melupakan pemuda itu, hidup bebas dan mentertawakan saja kegagalan cintanya, menganggapnya sebagai suatu pengalaman hidup! Habis perkara!"

Akan tetapi Hay Hay melihat betapa gadis itu menahan-nahan air matanya, betapa bibir itu gemetar dan suara itu sukar sekali keluarnya seakan lehernya tercekik ketika Ci Goat bertanya,

"Toako... apakah dia masih mencinta gadis yang telah menolaknya itu?”

Sepasang mata itu kini nampak seperti mata kelinci yang ketakutan, seperti mata yang penuh harap akan pertolongan, dan air yang tadi menggenang di pelupuk mata, kini mulai menetes turun, seperti dua butir mutiara perlahan menuruni kedua pipi yang agak pucat itu.

Hay Hay merasa terharu sekali, merasa lehernya seperti dicekik sehingga dia tak mampu mengeluarkan suara. Akan tetapi, biar pun dia tidak tahu benar akan hubungan Han Siong dengan gadis kekasihnya ini, dia langsung mengambil kesempatan untuk berterus terang bahwa Han Siong tidak dapat menerima cinta Ci Goat. Maka dia pun lantas mengangguk, anggukan tanpa kata yang dengan amat tajamnya membabat putus tali harapan Ci Goat, dan dia pun menutup mukanya dengan kedua tangannya.

Hay Hay memandang dengan hati bagaikan diremas. Melihat betapa gadis itu mengguguk dan air mata mengalir keluar melalui celah jari-jari kedua tangan yang menutupi muka, di luar kesadarannya dia pun bangkit dan menghampiri Ci Goat, lalu duduk di sampingnya di atas bangku, merangkul pundaknya dan berkata lembut,

"Sudahlah, Ci Goat, kuatkan hatimu... tenangkan pikiranmu...”

Sentuhan lembut dan kata-kata halus itu seperti membuka bendungan di hati Ci Goat. Dia menjerit dan merangkul, lalu menangis tanpa terbendung lagi, sesenggukan di atas dada Hay Hay!

Pemuda ini memeluk, membenamkan wajahnya di kepala yang penuh rambut halus itu, tangannya mengelus pundak dan kepala, penuh rasa sayang dan iba seperti menghibur seorang adiknya sendiri.

Karena hatinya diliputi keharuan yang mendalam, Hay Hay kehilangan kewaspadaannya dan dia tidak tahu bahwa pada waktu itu ada tiga pasang mata yang mengamatinya dari jauh. Tiga pasang mata yang mencorong tajam dan penuh kekuatan sihir! Mata tiga orang pendeta Lama yang agaknya sudah selesai melakukan pembicaraan dengan Han Siong dan kini mereka meninggalkan rumah yang telah menjadi tempat tinggal Ouw Lok Khi.

"Hemmm, pasangan yang cocok. Wanitanya cantik, prianya tampan dan gagah!" kata Pat Hoa Lama.

"Omitohud!" kata Janghau Lama. "Apakah engkau tergerak dan merasa iri melihat adegan itu, Sute?"

"Aih, ji-suheng (kakak seperguruan ke dua)! Bagaimana engkau dapat berkata seperti itu? Pinceng hanya mengatakan bahwa mereka itu pasangan yang cocok dan...”

"Ssttt, kalian jangan ribut dan jangan bertengkar.” Gunga Lama mencela dua orang adik seperguruannya. "Kita tadi melihat betapa lihainya pemuda itu. Hemm... sungguh sebuah kesempatan yang baik sekali. Dua orang pemuda itu harus dipisahkan dahulu, baru kita dapat membawa Sin-tong ke Tibet tanpa halangan!"

"Bagaimana caranya, toa-suheng (kakak seperguruan terbesar)?" tanya kedua orang adik seperguruan itu.

"Ssttt, serahkan pada pinceng. Mari kita cepat pergi dari sini!"

Sementara itu, Ci Goat baru merasa lega setelah menumpahkan segala kedukaan hatinya melalui tangis yang tidak terbendung lagi sampai baju pada bagian dada Hay Hay basah kuyup, bahkan air mata itu membasahi pula kulit dadanya. Sekarang tangisnya itu hanya tinggal isak saja.

Kesempatan ini digunakan oleh Hay Hay untuk mengelus rambut kepala gadis itu. "Nah, apakah sekarang air matamu telah habis, Goat-moi? Bagus, semua kesedihan kosong ini harus dilarutkan dengan banjir air mata, biar habis tidak berbekas lagi. Lebih baik engkau menangis sepuasmu seperti ini dari pada engkau membunuh diri seperti gadis tolol, atau menjadi nikouw. Wah, kepalamu akan menjadi gundul, rambutmu yang indah akan lenyap dan tentu engkau akan kelihatan lucu sekali, lucu dan jelek!"

Kata-kata itu seperti mengusir sisa-sisa isak di dada Ci Goat. Dia segera melepaskan diri dan menarik tubuhnya ke belakang, memandang kepada pemuda itu dengan mata merah dan agak membengkak karena tangis. Akan tetapi mulutnya membentuk senyum pahit.

"Terima, kasih, Toako, terima kasih. Engkau benar-benar merupakan sahabat dan seperti seorang kakak yang baik hati. Katakanlah, apakah dia... Pek-toako, tahu bahwa engkau datang menceritakan semua ini kepadaku?"

Hay Hay mengangguk. "Dialah yang minta tolong kepadaku supaya aku menyampaikan kepadamu bahwa tidak mungkin baginya untuk menerima dan membalas cintamu."

"Ohhh... , tapi... kenapa dia tidak menyampaikannya sendiri kepadaku... ?"

"Dia tidak berani, dia tidak tega melihat engkau kecewa."

Gadis itu mengangguk perlahan, kemudian menarik napas panjang. "Pek-toako memang seorang yang berwatak budiman, dan... engkau juga, Toako. Semoga kalian berdua akan selalu mendapat berkah dari Tuhan dan kelak akan hidup berbahagia dengan isteri pilihan hati masing-masing."

Hay Hay merasa gembira bukan main. Diraihnya pundak gadis itu, ditariknya dan dia pun mengecup dahi yang halus itu dengan bibirnya, satu kali saja akan tetapi dengan sepenuh hatinya, lalu dilepaskannya kembali rangkulannya dan dia pun bangkit berdiri, sepasang matanya agak basah.

"Engkau juga, Goat-moi. Engkau adalah gadis yang hebat! Dan aku merasa yakin bahwa seorang gadis seperti engkau ini kelak pasti akan memperoleh seorang suami yang amat baik!"

Tadinya Ci Goat terkejut sekali ketika merasa betapa dirinya diraih kemudian ditarik oleh pemuda itu. Akan tetapi, ketika dia merasa betapa pemuda itu mencium dahinya dengan lembut, seperti ciuman dari seorang kakak atau seorang sahabat baik, ciuman yang sama sekali tidak mengandung nafsu birahi, hatinya menjadi terharu dan dia pun tadi memeluk pinggang pemuda itu. Sekarang mereka bangkit, keduanya melangkah mundur dan saling pandang.

"Haiiii, adik manis, mana senyummu yang tadi? Hayo lekas perlihatkan! Tidak baik kalau hari hujan melulu, telah tiba saatnya hujan berhenti dan matahari muncul kembali berseri! Ingat, banyak duka menjadi lekas tua. Sayang sekali kalau kulit mukamu yang putih mulus dan halus itu berubah berkerut keriput, bukan?"

Mendengar ucapan ini, Ci Goat tersenyum. Bibirnya saja tersenyum, akan tetapi matanya masih mata yang penuh tangis walau pun air matanya sudah habis tertumpah.

"Aku akan selalu tersenyum kalau ingat kepadamu, Toako. Setiap kali berduka, aku akan mengenangmu agar aku dapat tersenyum," katanya dan dia pun membalikkan tubuhnya, lalu pergi meninggalkan Hay Hay yang berdiri mengikuti lenggang yang lemah gemulai itu dengan bengong.

Dia langsung teringat kepada Han Siong. Apa yang terjadi dengan kawannya itu sesudah mengadakan percakapan dengan tiga orang pendeta Lama? Apakah mereka masih belum selesai dengan percakapan mereka?

Memang dia telah menaruh kecurigaan. Maka, setelah Ci Goat meninggalkannya, dia pun cepat-cepat keluar dari kebun itu menuju ke rumah. Tentu Han Siong mengajak tiga orang pendeta Lama itu untuk bercakap-cakap di ruangan belakang yang lebar. Dia melihat Ouw Lok Khi di ambang pintu samping dan memandang kepadanya sambil tersenyum ramah.

"Tang-taihiap, kuharap saja engkau akan dapat menghibur hati Ci Goat. Kehancuran Pek-tiauw-pang membuat hatinya terbenam dalam kedukaan," katanya.

Hay Hay memandang kepadanya dengan hati bertanya-tanya. Mengapa orang ini berkata demikian?

"Paman, agaknya paman belum mengenal betul watak puterimu sendiri. Dia adalah gadis yang berhati tabah, karena itu aku yakin dia mampu menghadapi serta mengatasi segala kedukaannya. Oh ya, paman Ouw, bagaimana dengan tiga orang pendeta Lama tadi? Di manakah mereka sekarang? Apakah masih bercakap-cakap dengan Han Siong?"

"Mereka sudah pergi. Percakapan dengan Pek-taihiap berlangsung di ruangan belakang dan tidak terlalu lama. Mereka itu ramah dan baik sekali."

"Hemm, di manakah Han Siong sekarang, Paman?"

"Di dalam kamarnya."

Hay Hay lalu memasuki rumah dan langsung pergi ke kamar Han Siong yang berada di sebelah kamarnya. Rumah peninggalan Thio Ki itu mempunyai lima buah kamar sehingga Han Siong dan Hay Hay masing-masing mendapatkan sebuah kamar. Kamar besar paling depan dipakai Ouw Lok Khi, sedangkan kamar Ci Goat berada di ruangan belakang yang jendelanya menembus kebun.

"Tok-tok-tok!" Hay Hay mengetuk daun pintu kamar yang tertutup itu.

"Siapa?" terdengar suara Han Siong.

"Aku, bolehkah aku masuk?"

Hening sejenak, lalu terdengar jawaban yang malas-malasan. "Masuklah, Hay Hay!"

Hay Hay mendorong daun pintu yang tidak terkunci dari dalam. Dia memperhatikan kamar itu. Tidak ada sesuatu yang luar biasa, akan tetapi Han Siong nampak rebah terlentang di atas pembaringannya. Begitu dia masuk, Han Siong langsung bangkit duduk, nampaknya malas-malasan.

"Heii, Han Siong apa yang telah terjadi?"

"Tidak terjadi apa-apa...,” jawabnya, nampak tak bersemangat.

"Ehhh? Kenapa engkau nampak malas dan tidak bersemangat? Han Siong, ceritakan apa yang telah terjadi antara engkau dan tiga orang pendeta Lama itu!"

Hay Hay mendekatinya, lalu membuka daun jendela agar kamar itu nampak lebih terang. Kemudian, dengan sinar matanya yang mencorong dia mengamati sahabatnya itu penuh selidik, untuk meneliti apakah sahabatnya itu memperlihatkan tanda-tanda yang tak wajar atau tidak. Siapa tahu, mungkin saja tiga orang pendeta Lama itu telah mempergunakan ilmu hitam yang sangat kuat, yang mampu mematahkan pertahanan Han Siong. Akan tetapi tidak. Matanya tidak melihat tanda-tanda bahwa sahabatnya itu sedang berada di bawah pengaruh sihir. Juga tidak menderita luka.

"Sudahlah, Hay Hay. Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak apa-apa. Hanya ada sesuatu yang membuat aku termenung sejak tadi, sesudah tiga orang pendeta Lama itu pergi. Aku menjadi ragu dan bingung...”

Hay Hay menarik sebuah kursi lantas duduk di atas kursi yang sudah didekatkan dengan pembaringan. Mereka saling pandang, kemudian Hay Hay berkata dengan suara sungguh-sungguh, tidak berkelakar seperti biasa.

"Dengar, Han Siong. Aku sudah melaksanakan permintaanmu, aku sudah bicara dengan. Ci Goat, dan telah kujelaskan semua kepadanya bahwa engkau tidak mungkin menerima dan membalas cintanya karena engkau telah memiliki pilihan hati, seorang gadis lain."

"Ahhh... dan dia... dia bagaimana, Hay Hay?" tanya Han Siong, pandang matanya penuh iba dan gelisah.

"Dia seorang gadis tabah, Han Siong. Dia dapat menghadapi kenyataan yang bagaimana pun juga. Jangan khawatir, dia tidak akan membunuh diri, dia tidak akan menjadi nikouw, dan dia pun dapat melihat bahwa di dunia ini masih terdapat banyak sekali pemuda hebat yang akan dapat menyambut cintanya. Dia bisa mengatasi kedukaan dan patah hati, Han Siong."

"Syukurlah kalau begitu! Terima kasih, Hay Hay, aku sungguh merasa kasihan padanya. Terima kasih."

"Aku tidak butuh terima kasih darimu, Han Siong, melainkan butuh keterangan mengenai tiga orang pendeta Lama tadi. Nah, sesudah aku melaksanakan tugas yang berat darimu, sekarang kau ceritakanlah apa saja yang kau bicarakan dengan tiga orang pendeta Lama itu."

Han Siong tersenyum, akan tetapi Hay Hay melihat betapa wajah itu masih diliputi dengan keraguan dan kehampaan. "Tiga orang pendeta Lama itu mengaku sebagai utusan Dalai Lama sendiri, Hay Hay. Menurut mereka, tanpa disengaja mereka mendengar disebutnya namaku sebagai Sin-tong ketika engkau berjumpa dengan aku dan menyebutnya secara main-main. Menurut mereka, sudah bertahun-tahun mereka ditugaskan untuk mencariku tanpa hasil sehingga mereka tidak berani kembali ke tibet. Setelah bertemu dengan aku, mereka mengatakan bahwa mereka tidak berani memaksaku kalau aku tidak mau pergi ke Tibet bersama mereka untuk menghadap Dalai Lama. Mereka mohon kepadaku agar aku suka menolong mereka sehingga mereka akan berani berani pulang dan tidak takut dengan hukuman dari Dalai lama…” Sampai di sini Han Siong berhenti.

“Pertolongan apa yang mereka harapkan darimu, Han Siong?” tanya Hay Hay tak sabar lagi.

“Mereka minta beberapa tetes darahku...”

“Ahhh…! Untuk apa? Jangan kau berikan!”

“Mereka itu memohon kepadaku. Tadinya aku juga tidak mau dan aku bertanya untuk apa mereka minta darahku. Mereka lalu mengatakan bahwa mereka akan membohongi Dalai Lama yang sejak dulu tidak pernah berhenti berusaha untuk mendapatkan diriku. Mereka akan mengatakan bahwa aku tidak mau diajak ke Tibet sehingga terjadi perkelahin dan akhirnya aku tewas di tangan mereka. Mereka akan menunjukkan beberapa tetes darahku kepada Dalai Lama sebagai bukti bahwa aku telah mati,."

"Bohong itu! Ketika mereka tiba di sana, beberapa tetes darah itu tentu sudah kering, lagi pula, bagaimana mungkin Dalai Lama akan dapat mengenal darahmu?"

"Tadi aku juga berkata persis seperti yang kau katakan itu, Hay Hay. Aku tetapi mereka menjawab bahwa walau pun darah itu sudah mengering, akan tetapi masih dapat dikenal karena meski pun sudah kering, darahku berbeda dengan darah orang biasa, darah biasa merah, dan darahku... putih!"

"Bohong! Omong kosong! Aku tidak percaya! Kalau darahmu putih, tentu engkau akan nampak pucat seperti mayat yang menyeramkan!"

"Aku pun tadinya tidak percaya, akan tetapi mereka dapat membuktikannya, Hay Hay!"

"Membuktikan bahwa darahmu putih?"

Han Siong mengangguk. "Mereka lalu mengeluarkan sebotol air yang mereka namakan air suci dari Tibet, kata mereka air itu keluar dari sebuah sumber di sana, dan air itulah yang akan menunjukkan keaslian darahku. Seorang dari mereka lalu menusuk jari telunjuknya dengan jarum, mengeluarkan darahnya sendiri beberapa tetes. Ketika darah itu ditetesi air dari botol, warnanya tetap merah, bahkan semakin merah. Kemudian aku diminta untuk mengeluarkan beberapa tetes darah dari telunjukku. Karena aku juga ingin tahu, kutusuk telunjukku, kukeluarkan beberapa tetes darah seperti yang dilakukan oleh Pat Hoa Lama. Darahku yang beberapa tetes itu lalu ditetesi air dari botol dan... seketika berubah putih seperti kapur!"

"Ihhh! Itu tentu sihir!"

"Bukan, Hay Hay. Aku pun menyangka demikian maka aku tetap waspada. Kalau mereka menyihirku, tentu aku akan merasakan hal itu. Tidak ada pengaruh sihir sama sekali!"

"Lalu bagaimana?"

"Melihat bukti itu, dan merasa kasihan bahwa sudah belasan tahun mereka tidak berani pulang, apa lagi yang diminta hanyalah beberapa tetes darah saja, aku lalu mengeluarkan beberapa tetes lagi dari ujung telunjukku. Mereka menampungnya dan membawa darah itu."

"Tetapi mengapa bukan yang sudah dicampur air dan menjadi putih itu saja yang mereka bawa?"

Han Siong tersenyum. "Aneh sekali, Hay Hay. Semua yang kau tanyakan itu sama benar dengan yang kutanyakan kepada mereka! Aku pun bertanya demikian lalu mereka berkata bahwa Dalai Lama harus diyakinkan dengan darah murni yang belum dicampuri air suci. Dalai Lama sendiri yang akan menguji bahwa darah itu adalah darahku agar dia percaya bahwa aku telah tewas dan dia tidak akan mencariku lagi. Sebetulnya, yang terakhir inilah yang mendorongku memenuhi permintaan mereka, Hay Hay. Aku ingin sekali bebas dan tidak dikejar-kejar lagi. Lagi pula, apa artinya beberapa tetes darah itu?"

"Hemm... hemm..., aku sendiri tidak tahu apakah beberapa tetes darahmu itu ada artinyal Akan tetapi siapa tahu? Orang-orang seperti mereka itu sungguh sulit dimengerti. Mereka orang aneh dan tidak lumrah manusia. Akan tetapi sudahlah. Engkau sudah memberikan sedikit darahmu, tak dapat ditarik kembali. Akan tetapi, kenapa sekarang engkau nampak termenung dan engkau tadi mengatakan bahwa engkau ragu dan bingung! Nah, apa lagi maksudmu?"

"Tentang darahku itu, Hay Hay. Bukan mengenai darahku yang mereka bawa pergi, akan tetapi kenapa darahku putih! Benarkah itu? Hal itulah yang membuat aku termangu-mangu dan bingung. Benarkah darahku aslinya putih dan berbeda dengan manusia lain? Hal ini yang menggelisahkan hatiku...”

Hay Hay tersenyum. Melihat bahwa memang tidak ada apa-apa yang perlu dikhawatirkan, maka kembali sudah wataknya yang jenaka dan suka bergurau.

"Aih, biar putih atau biru atau hitam sekali pun, apa bedanya, Han Siong? Kulihat engkau juga seperti manusia biasa. Mungkin darah putihmu itulah yang membuat engkau disebut Sin-tong! Aku sendiri belum percaya benar kepada mereka itu. Kalau engkau yakin bahwa mereka tidak main-main dengan sihir, tentu yang mereka sebut air suci itu adalah air yang mengandung obat tertentu. Akan tetapi andai kata mereka berbohong, apa pula maksud mereka? Yang jelas, mereka sudah pergi dan engkau tidak diganggu. Sudahlah, jangan memikirkan mereka lagi, namun engkau jangan meninggalkan kewaspadaan. Dan kukira tidak ada lagi urusan kita di rumah ini sesudah permintaanmu itu kulaksanakan dengan hasil baik."

Han Siong tetap saja terlihat lesu. "Aku gembira sekali mendengar bahwa urusan itu telah kau selesaikan dengan baik, Hay Hay. Akan tetapi sebaiknya kita jangan pergi sekarang. Pertama, aku masih merasa malas dan ingin beristirahat dulu, yang ke dua, kita sudah menerima undangan paman Ouw, maka tidak baik kalau pergi sekarang. Setidaknya, malam ini kita bermalam di sini dan baru besok aku akan melanjutkan perjalananku.”

“Baiklah, aku juga belum sempat mengobrol denganmu. Ingin kuketahui pengalaman apa saja yang kau hadapi semenjak kita berpisah, dan mengapa pula engkau berada di sini, dari mana hendak kemana...”

“Ah, lain kali sajalah, Hay Hay. Biarkan aku mengaso sekarang, aku ingin beristirahat. Biar besok pagi kita berjumpa lagi...”

“Heiii! Benar yakinkah engkau bahwa tidak terjadi sesuatu apa pun dengan dirimu?” Hay Hay masih bertanya ketika dia sudah melangkah ke ambang pintu.

“Tidak, sungguh tidak apa-apa, Hay Hay!” jawab Han Siong tegas.

Hay Hay menggerakkan kedua pundaknya, lalu keluar dan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar. Kalau saja Hay Hay tahu! Dan kalau saja Han Siong tahu. Dua orang pemuda sakti itu sama sekali tidak tahu dan tidak pernah menyangka bahwa pada saat itu terjadi sesuatu yang amat membahayakan diri Han Siong!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Tiga orang pendeta Lama itu kini berada di sebuah bangunan kuil tua yang sudah tidak digunakan lagi, yang terletak di lereng sebuah bukit kecil di luar kota Hok-lam. Hari sudah mulai sore dan mereka duduk bersila di atas lantai dari ruangan dalam kuil tua itu yang sudah mereka bersihkan.

"Mari segera kita mulai," kata Gunga Lama sambil mengeluarkan beberapa buah barang dari dalam saku jubahnya yang lebar. Ada tasbeh dari tulang manusia, sebuah tengkorak kecil sebesar kepalan tangan, ada seikat gumpalan rambut dan tali hitam, ada pula batu kapur dan buntalan-buntalan kain kecil yang bertuliskan huruf-huruf kuno yang aneh, yaitu jimat-jimat. Semua ini dikeluarkannya satu demi satu dan ditaruhnya di atas lantai.

Terakhir dia mengeluarkan sebuah buntalan yang terisi segumpal kapas yang putih. Akan tetapi merah oleh darah. Darah Han Siong! Darah itu sudah dihisap dan ‘disimpan’ dalam kapas itu.

"Toa-suheng (kakak seperguruan tertua), kenapa kita harus menggunakan cara bersusah-payah seperti ini? Ketika kita bertemu dengan dia, jika kita langsung saja menyergapnya, apa sih sukarnya menangkap orang muda itu?" tanya Pat Hoa Lama yang merasa tidak puas melihat cara yang dipergunakan Gunga Lama yang dianggapnya merepotkan dan tidak praktis.

"Hemm, apa bila hal itu kita lakukan, ada kemungkinan kita akan gagal, Sute. Sin-tong itu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi dan meski pun kita bertiga tentu saja tidak perlu takut menghadapinya, tetapi kalau kita tidak dapat mengalahkannya kemudian terdengar oleh pemuda yang berpakaian biru itu, maka keadaan bisa berbahaya untuk kita. Pemuda itu memiliki ilmu silat yang lihai sekali."

"Akan tetapi, Suheng. Kita bisa mempergunakan kekuatan sihir untuk menundukkan Pek Han Siong!" Janghau Lama juga membantah.

"Wah, seperti kalian tidak tahu saja! Pek Han Siong adalah Sin-tong. Hal itu saja sudah menyulitkan kita untuk mempergunakan sihir, karena di dalam dirinya sudah ada kekuatan ajaib, ditambah lagi dia telah mempelajari ilmu sihir. Lihat saja sinar matanya. Terlebih lagi pemuda yang bernama Tang Hay itu! Apakah kalian tidak melihat betapa dia mengusir tiga orang Pek-lian-kauw itu dengan kekuatan sihirnya yang ampuh? Menggunakan sihir secara berterang akan lebih berbahaya lagi. Sekarang kita tempuh jalan yang aman dan hasilnya pasti memuaskan. Kita harus membuat dua orang pemuda itu bermusuhan dan berpisah, barulah kita dapat turun tangan. Nah, cukup sudah kata-kata ini, bahkan terlalu banyak. Sekarang mari kita bekerja. Lihat, sinar matahari mulai suram, saat yang terbaik untuk mempergunakan tenaga kegelapan.”

Tiga orang pendeta itu duduk berjajar dan Gunga Lama mulai membuat coretan-coretan dengan batu kapur di atas lantai. Ada beberapa macam guratan aneh berupa lingkaran lebar yang diisi lingkaran-lingkaran kecil lainnya, dan pada beberapa sudut diberi gambar tengkorak. Tengkorak kecil lantas diletakkan di tengah-tengah lingkaran, kemudian kapas dengan darah Han Siong diletakkan di atas tengkorak itu, pada ubun-ubunnya. Beberapa batang lilin dinyalakan, dan dibakar pula dupa yang mengepul tebal.

Tiga orang pendeta yang duduk bersila itu kemudian mempergunakan tasbeh, membaca mantera dan doa dalam bahasa Tibet kuno yang aneh didengar. Gunga Lama yang duduk di tengah dan memimpin upacara sembahyang itu, beberapa kali menggerak-gerakkan kedua tangannya ke atas dupa berasap, dengan tasbeh digenggam. Kemudian ditariknya sejumput kapas lantas dibakarnya kapas yang mengandung darah Han Siong itu di atas dupa membara.

Terdengar letupan kecil dan muncul nyala api yang hanya sebentar saja menjilat ke atas. Sementara itu matahari sudah tenggelam ke barat dan ketiga orang pendeta itu semakin dalam saja tenggelam di dalam kesibukan mereka.

********************

Han Siong yang rebah di atas pembaringan nampak gelisah. Dia masih pulas, akan tetapi tubuhnya gelisah dan selalu bergerak miring ke kanan kiri, telentang atau menelungkup. Sampai sekarang dia masih berpakaian lengkap.

Semenjak ditinggalkan Hay Hay, dia tidak pernah keluar lagi dari kamarnya. Bahkan dia mengunci daun pintu dari dalam dan ketika ditawari makan malam, dia menjawab bahwa dia masih kenyang dan tidak ingin makan. Dia pun minta agar jangan diganggu karena malam itu dia hendak tidur dan mengaso.

Menjelang tengah malam tiba-tiba Han Siong bangkit duduk dan dia memijat-mijat kedua pelipisnya. Kepalanya terasa pening bukan main, akan tetapi sungguh aneh sekali, wajah Ci Goat terbayang di hadapan matanya, wajah yang bulat dan cantik manis, tersenyum-senyum kepadanya. Pandang mata gadis itu seperti memanggil-manggil dan senyumnya amat menantang.

Han Siong menjadi bingung. Apa lagi ketika dia merasa betapa darahnya seperti bergolak oleh nafsu birahi yang menyesak dada. Sekilas dia sadar bahwa hal ini tidak sewajarnya, maka dia pun cepat duduk bersila dan mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan.

Akan tetapi dia malah terbawa hanyut, luluh oleh gairah nafsu sehingga dia merasa tidak berdaya, membiarkan pikirannya hanyut, mengingat dan mengenang segala kecantikan dan keindahan tubuh Ci Goat, teringat akan sikap Ci Goat terhadap dirinya yang sangat memperhatikan dan baik, bahkan teringat akan gadis itu yang mengaku cinta kepadanya!

Makin hebat saja kenangan ini sampai tak tertahankan lagi. Dia harus bertemu dengan Ci Goat. Harus! Dia tidak boleh menyakiti hati Ci Goat. Dia mencinta Ci Goat. Dia sungguh cinta kepada gadis itu!

Samar-samar muncul kesadaran di balik semua ini, kesadaran yang mengatakan bahwa semua ini aneh dan tidak wajar. Akan tetapi kesadaran itu pun kemudian hanyut, bahkan akhirnya menghilang.

Kini Han Siong turun dari pembaringan, tubuhnya agak terhuyung seperti orang mabok, menghampiri jendela dan di lain saat dia sudah keluar dari kamarnya melalui jendela yang kemudian ditutupkannya kembali. Han Siong bergerak seperti orang dalam mimpi. Bahkan dia menjadi demikian lengah sehingga dia tidak tahu bahwa bayangan Hay Hay berkelebat keluar dari kamarnya dan mengintainya!

Semenjak sore tadi Hay Hay memang tidak pernah tidur. Dia masih merasa curiga melihat sikap Han Siong, terlebih lagi ketika pemuda itu sama sekali tidak keluar lagi dari dalam kamarnya, malah menolak ketika ditawari makan malam. Tentu ada apa-apanya, pikirnya! Sikap Han Siong itu sama sekali tidak wajar.

Walau pun dia belum sempat bergaul lama dengan Sin-tong (Anak Ajaib) itu, namun dia sudah dapat menilai wataknya. Maka sejak sore dia tidak tidur, melainkan duduk bersila di atas pembaringannya dan selalu waspada. Suara sedikit saja di luar kamarnya tentu akan tertangkap oleh pendengarannya yang dipusatkan, selalu memperhatikan ke arah kamar Han Siong di sebelahnya. Itulah sebabnya ketika Han Siong turun dan membuka jendela kamar, dia mendengarnya lalu keluar dengan cepat namun hati-hati.

Hay Hay sudah keluar pula dari kamarnya dan mengintai, lalu membayangi Han Siong. Dia sudah merasa curiga, tentu ‘ada apa-apa’ pada diri Han Siong maka pemuda perkasa itu bersikap aneh. Entah apa pula yang akan dilakukannya sekarang!

Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan penasaran Hay Hay terus membayangi dari jauh. Dia harus berhati-hati karena dia maklum betapa lihainya Han Siong. Kenyataan bahwa Han Siong tidak mengetahui kalau dia sedang dibayangi itu saja sudah merupakan suatu keanehan, dan membuktikan bahwa memang telah terjadi sesuatu yang aneh pada diri Han Siong.

Han Siong menuju ke ruang belakang. Dia tidak berindap-indap seperti maling melainkan dengan tenang namun cepat berjalan menuju ke kamar Ci Goat, memutar ke belakang memasuki kebun dan tidak lama kemudian dia sudah mengetuk pintu jendela kamar itu! Dengan mata terbelalak Hay Hay mengintai dari belakang pohon di kebun itu!

"Siapa...?” Dia mendengar suara Ci Goat dari dalam kamar.

"Aku Han Siong. Bukalah jendela kamarmu, aku ingin bicara denganmu, Goat-moi!” kata Han Siong lirih.

"Siong-ko...!" Terdengar pula suara Ci Goat mengandung keheranan, lalu jendela itu pun dibuka dari dalam.

Bagai seekor kucing Han Siong melompat ke dalam kamar itu melalui jendela dan daun jendela segera ditutup dari dalam! Gawat, pikir Hay Hay dan dia sudah siap siaga untuk menerjang ke dalam kalau terdengar jerit Ci Goat. Apa bila Han Siong sampai melakukan perbuatan keji, memperkosa gadis itu, maka dia akan menentangnya dengan mati-matian! Akan tetapi dia tidak mendengar jerit Ci Goat.

Dia mendekat dan mendengar ucapan Han Siong yang terengah-engah. "Ci Goat... Goat-moi... aku... aku cinta padamu...”

"Siong-koko..., benarkah itu? Benarkah itu, Koko... ?"

Hay Hay merasa penasaran, maka dia pun mengintai dari celah jendela. Di bawah sinar sebatang lilin yang kelap-kelip suram, dia melihat betapa kedua orang itu saling rangkul dan ketika Han Siong menciumi gadis itu seperti orang kesetanan, Ci Goat sama sekali tidak menolak, bahkan menyambutnya dengan mesra!

Tak ada lagi kata-kata terdengar. Dia masih melihat betapa Han Siong memondong tubuh Ci Goat dan membawanya ke pembaringan, lantas sekali tiup padamlah lilin di atas meja sehingga kamar itu menjadi gelap, tidak nampak apa pun lagi!

Hay Hay bengong, lalu menjauhi kamar. Mukanya merah sekali dan dia tertawa haha-hihi seperti orang sinting. Apakah yang harus dilakukannya kalau sudah begitu? Tak mungkin dia menerjang masuk!

Betapa akan malunya mengganggu dua orang yang sedang bermain cinta dengan suka rela! Apa bila keduanya sudah sama-sama menghendaki, apa hubungannya dengan dia? Jika dia adalah ayah gadis itu, atau setidaknya saudaranya, tentu dia masih berhak untuk mencegah dan mengingatkan bahwa mereka berdua itu melakukan perbuatan yang tidak patut, melanggar ketentuan dan kesusilaan. Akan tetapi dia bukan apa-apa, hanya orang luar.

Apakah dia harus memberi tahukan ayah gadis itu? Ahhh, apa gunanya? Kalau memang mereka berdua sudah saling mencinta, mau apa lagi? Tinggal menikah saja dan dia yang akan menjadi saksi. Bagaimana pun juga, Han Siong harus mempertanggung jawabkan perbuatannya malam itu.

Setelah tiba di dalam kamarnya, Hay Hay tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, monyet benar Han Siong itu! Pura-pura alim, tidak tahunya... ha-ha-ha, wah, dalam hal ini aku kalah olehnya! Sungguh dia melakukan gerak cepat!" Hay Hay tertawa geli seorang diri. Akan tetapi dia lalu termenung.

Benarkah watak Han Siong seperti itu? Pura-pura menolak cinta seorang gadis lalu pada malam harinya menggerumut ke dalam kamar gadis itu? Sungguh sikap yang tidak pantas dilakukan seorang pendekar seperti Han Siong! Jangan-jangan ada apa-apanya ini!

Di lain saat Hay Hay sudah keluar lagi dari dalam kamarnya. Ketika dia mendekati kamar Ci Goat, dia hanya mendengar bisik-bisik mesra yang membuat wajahnya terasa panas dan merah sekali, lalu cepat dia menjauhinya lagi.

"Setan! Bikin aku kebakaran saja!" gerutunya geli.

Dia pun mengamati dari jauh saja. Dia harus melihat Han Siong keluar dari kamar dara itu untuk ditegur dan dimintai pertanggungan jawabnya. Dia hendak melihat bagaimana sikap Han Siong. Apa bila pemuda itu hanya ingin mempermainkan Ci Goat, mempergunakan kesempatan karena gadis itu jatuh cinta padanya, dan tidak mau bertanggung jawab, dia akan menghajarnya!

Hemmm, boleh jadi Han Siong lihai dan dia belum tentu menang, akan tetapi bagaimana pun juga dia akan menentang dan menantangnya! Han Siong harus mempertanggung jawabkan perbuatannya malam ini.

Waktu terasa merayap sangat lambat bagi Hay Hay. Beberapa kali dia harus menggaruki kulit tubuhnya yang dikeroyok nyamuk.

"Setan," gerutunya, "mereka enak-enak bersenang-senang, aku di sini dikeroyok nyamuk! Monyet Han Siong agaknya sudah lupa diri dan lupa daratan sampai lupa waktu. Sudah hampir pagi masih enak-enak saja."

Tiba-tiba dia melihat jendela kamar Ci Goat terbuka dari dalam dan Han Siong melompat keluar. Nampak Ci Goat dengan senyum manis dan rambut awut-awutan menutup kembali daun jendela. Hay Hay cepat mendahului Han Siong yang berjalan kembali ke kamarnya seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

Barulah Han Siong terkejut ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Hay Hay sudah berada di depannya dengan sikap tidak ramah. Akan tetapi kekagetannya ini bukan lain karena kemunculan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka itu.

"Han Siong, bagus sekali, ya! Engkau benar-benar seperti seekor harimau berbulu domba! Sesudah apa yang kau lakukan terhadap Ci Goat, maka engkau harus mempertanggung jawabkannya dan mengawini gadis itu dengan resmi!"

"Engkau tidak berhak mencampuri urusanku! Apa pedulimu? Aku tidak akan mengawini gadis mana pun!" jawaban ini jelas bukan sikap Han Siong!

"Han Siong, apa yang kau katakan ini? Engkau telah memasuki kamar seorang gadis dan tidur dengannya selama semalaman, tetapi engkau tidak mau mengawininya?" suara Hay Hay lirih karena dia tidak ingin terdengar oleh orang lain.

"Heh engkau lancang mulut! Apa yang kulakukan adalah urusanku sendiri! Aku tidak akan mengawini siapa pun dan engkau tidak berhak mencampuri urusanku. Hayo lekas pergi atau terpaksa aku akan menghajar mulutmu yang lancang!"

Hay Hay semakin heran dan dia memandang tajam, mempergunakan kekuatan sihirnya. Akan tetapi dia tidak berhasil membuat Han Siong sadar sehingga dia berkata lagi, "Pek Han Siong, tidak tahukah engkau siapa aku? Aku Hay Hay, aku Tang Hay Pendekar Mata Keranjang! Lupakah engkau?"

"Aku tidak peduli engkau siapa!” bentak Han Siong.

“Aihh, sungguh celaka! Jelas bahwa engkau telah bertindak di luar kesadaranmu. Celaka! Kenapa aku tidak menyadari hal ini? Engkau masuk ke kamar Ci Goat karena dituntun oleh kekuatan hitam! Engkau telah dicengkeram oleh ilmu hitam tiga orang pendeta Lama itu, Han Siong! Sadarlah!"

“Keparat, engkau memang layak dihajar!” Han Siong membentak dan tiba-tiba. dia sudah menyerang Hay Hay dengan tamparan tangannya yang ampuh.

Akan tetapi Hay Hay cepat mengelak. Sampai empat kali dia mengelak, dan agar jangan sampai menarik perhatian orang lain maka dia pun meloncat keluar dari rumah itu sambil berkata,

"Kalau engkau memang jantan, mari kita selesaikan urusan ini di luar rumah supaya tidak mengagetkan orang lain!" Tentu saja tantangannya ini langsung diterima Han Siong yang cepat melakukan pengejaran ketika melihat lawannya melarikan diri keluar rumah.

Sesudah tiba di tempat sunyi, agak jauh dari rumah keluarga Ouw, Hay Hay berhenti dan menghadapi Han Siong. Dia mengeluarkan bentakan nyaring yang penuh dengan sinkang untuk membuyarkan semua kekuatan hitam.

"Pek Han Siong, sadarlah! Semua kekuasaan dari kegelapan sudah lepas darimu! Sinar terang mengusir kegelapan dan mengembalikan kesadaranmu!" Hay Hay menggerakkan kedua tangannya ke arah Han Siong. Han Siong terhuyung ke belakang seperti terdorong oleh kekuatan luar biasa, akan tetapi dia lalu meloncat dan kelihatan semakin marah.

"Engkau sungguh manusia jahat dan layak dihajar!" Setelah berkata demikian, Han Siong sudah menerjang lagi dengan ganasnya.

Hay Hay terkejut. Kekuasaan apakah yang sedang mencengkeram Han Siong sehingga kekuatan sihir dalam diri Han Siong ditambah kekuatannya sendiri tidak mampu mengusir kekuasaan aneh itu? Dia tidak sempat berpikir lebih banyak karena sangatlah berbahaya menghadapi serangan seorang lawan seperti Han Siong. Dia pun cepat mempergunakan kelincahannya dan mengelak sambil balas menyerang untuk merobohkan Han Siong yang agaknya sudah tidak menguasai dirinya sendiri itu.

Terjadilah pertandingan yang dahsyat di pagi hari itu, di tempat sunyi luar kota Hok-lam. Pek Han Siong adalah seorang pemuda perkasa yang menguasai banyak ilmu silat yang tinggi. Dari orang tuanya yang turun temurun menjadi ketua perkumpulan Pek-sim-pang, dia sudah mewarisi ilmu silat Pek-sim-pang yang diringkas menjadi tiga belas jurus. Dari guru-gurunya, yaitu suami isteri Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu dia pun menerima gemblengan dan mewarisi ilmu-ilmu silat yang amat tinggi, baik dari aliran sesat karena kedua orang gurunya itu dahulunya berasal dari dunia sesat, mau pun ilmu-ilmu kesaktian yang ditemukan kedua orang gurunya itu, yaitu Kwan Im Sin-kun dan Kwan Im Kiam-sut, peninggalan seorang tokoh di antara Delapan Dewa.

Selain itu dia masih mendapat gemblengan dari Ban Hok Lo-jin, juga seorang di antara Delapan Dewa, menerima ilmu pukulan sakti Pek-hong Sin-ciang, bahkan dari kakek ini dia mendapat pelajaran ilmu sihir yang cukup kuat! Pek Han Siong merupakan seorang pendekar muda yang sukar dicari tandingannya, pandai ilmu silat, pandai ilmu sihir, dan memiliki tenaga sinkang yang amat kuat.

Di lain pihak, Tang Hay atau Hay Hay adalah seorang pemuda gemblengan pula. Dia juga murid dari dua orang datuk sakti yang termasuk sebagai anggota Delapan Dewa, yaitu See-thian La-ma dan Ciu-sian Sin-kai. Ilmu-ilmu silatnya disempurnakan oleh kakek sakti Song Lojin, dan dia juga menerima pelajaran ilmu sihir tingkat tinggi dari Pek Mau Sianjin.

Di antara ilmu-ilmu pilihan yang dikuasainya adalah Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Pukulan) dari Ciu-sian Sin-kai yang luar biasa ampuhnya, sementara dari See-thian Lama dia memperoleh dua ilmu yang amat hebat, yaitu Yan-cu Coan-in ilmu meringankan tubuh yang membuat dia seakan-akan pandai terbang atau dapat menghilang saking cepatnya gerakannya, dan ilmu langkah ajaib Jiau-pouw Poan-san.

Maka dapatlah dibayangkan alangkah hebatnya ketika dua orang pemuda sakti ini saling bertemu di dalam sebuah pertandingan! Tentu saja Hay Hay tidak memusuhi Han Siong yang dia tahu pasti dalam keadaan tidak wajar. Dia selalu mengalah dan mengandalkan ilmunya Jiau-pouw Poan-san yang membuat semua serangan Han Siong tidak mengenai dirinya. Akan tetapi, Hay Hay merasa kewalahan juga karena kalau dia tidak bersungguh-sungguh, sebaliknya Han Siong yang agaknya sudah tidak sadar lagi siapa dirinya, terus menyerangnya dengan hebat, mengerahkan semua tenaga dan kepandaiannya!

Sambil menghindarkan semua serangan Han Siong dengan ilmu langkah ajaib Jiau-pouw Poan-san, Hay Hay memutar otaknya. Dia merasa yakin bahwa keadaan Han Siong tidak sewajarnya. Sudah pasti bahwa pemuda ini sedang dicengkeram kekuasaan ilmu hitam yang amat jahat dan kuat.

Melihat sikap pemuda itu, bukan mustahil bahwa semenjak sore tadi kekuasaan itu mulai mempengaruhinya biar pun belum hebat. Akan tetapi kini kekuasaan itu telah menguasai Han Siong sepenuhnya! Bukan sihir biasa, dan agaknya mereka yang menyihirnya tidak berada di tempat itu. Tentu sihir ilmu hitam yang dilakukan dengan mempergunakan alat-alat dan jimat-jimat, dengan kekuatan mantera dan bantuan iblis.

"Bukkk!" Tubuhnya hampir terjengkang dan cepat Hay Hay meloncat lalu menggerakkan kedua kakinya memainkan langkah ajaibnya.

Setan, pikirnya. Hampir saja dia celaka karena tadi melamun memikirkan keadaan Han Siong. Sebuah pukulan ke arah dadanya hampir mengenai sasaran. Untunglah dia masih sempat memiringkan tubuh dan menerima tonjokan keras itu dengan pangkal lengannya. Dan merasa betapa pukulan itu keras sekali, Hay Hay maklum bahwa Han Siong dalam keadaan tidak sadar itu benar-benar menganggap dia seorang musuh besar!

Sungguh berbahaya sekali. Dia tidak boleh melamun, namun harus mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya kalau tidak ingin benar-benar dipukul roboh! Akan tetapi tiba-tiba sekarang dia teringat sesuatu. Tentu darah itu! Darah Han Siong!

Walau pun hanya beberapa tetes, darah Han Siong telah diambil oleh tiga orang pendeta Lama dan tentu melalui darah itulah mereka menyihir Han Siong! Dan dia pun tahu bahwa dalam ilmu yang berasal dari kegelapan, dari iblis, terdapat ilmu menguasai semangat dan pikiran orang lain melalui potongan kuku atau rambut, namun yang paling ampuh adalah dengan mempergunakan darah orang itu!

Pantas semua usahanya menyadarkan Han Siong dengan kekuatan sihir selalu gagal dan tenaga atau kekuatan sihir dalam diri Han Siong sendiri tidak mampu menolak pengaruh jahat itu. Sekarang dia mengerti bahwa tentu semenjak sore tadi Han Siong telah mulai dikuasai oleh ilmu hitam dan pemuda itu juga dalam keadaan tidak sadar atau dikuasai sihir ketika memasuki kamar Ci Goat.

Untuk merobohkan Han Siong bukanlah hal yang mudah. Tingkat kepandaian mereka tak banyak selisihnya. Dalam keadaan biasa kekuatan sihirnya masih lebih kuat dari pada Han Siong, akan tetapi pada saat itu ada kekuatan sihir yang sangat dahsyat menguasai Han Siong sehingga sukar baginya untuk mengalahkan Han Siong metalui sihir.

Kemudian dia teringat. Naluri dari watak yang bersih dan baik! Itulah yang paling kuat dan biar pun nampaknya tidak berdaya karena orangnya dikuasai sihir, namun naluri itu masih ada dalam dirinya. Naluri ini datang dari kekuasaan Tuhan dan tidak ada kekuasaan apa pun di dunia ini yang mampu mengalahkannya!

Pada saat Han Siong menyerang dengan sebuah tendangan, Hay Hay sengaja bergerak agak lambat dan menerima tendangan itu dengan perutnya yang telah dilindungi dengan sinkang agar isi perutnya tidak sampai rusak.

"Desss…!"

Tubuhnya terjengkang dan dia pun membiarkan tubuhnya berkelojotan sambil menggeliat-geliat, mulutnya merintih-rintih, "Aduhhh... aduhhhh... mati aku... engkau membunuhku... ahh… mati aku...!"

Han Siong berdiri tertegun, matanya terbelalak memandang kepada tubuh Hay Hay yang sekarang sudah menelungkup tak bergerak, bibirnya gemetar dan berbisik, "...apa yang kulakukan ini...? Aku... aku membunuhnya...”

Dugaan dan perhitungan Hay Hay memang tepat. Naluri watak yang baik kini bekerja dan Han Siong menghampiri tubuh Hay Hay, lantas berlutut. Akan tetapi, sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, Han Siong tetap waspada.

Hay Hay maklum bahwa dia harus membuat perhitungan yang sangat tepat, tidak boleh salah sedikit pun. Apa bila dia menyerang pada saat itu, tentu dia akan gagal karena Han Siong memiliki kewaspadaan tinggi.

Han Siong memegang pundak Hay Hay dan membalikkan tubuh yang menelungkup itu. Kini tubuh Hay Hay telentang dan nampak betapa ada darah segar keluar dari mulut itu.

"Ahh... dia... dia mati...!” Han Siong berkata dengan penuh kaget dan penyesalan.

Pada saat itulah Hay Hay baru menggerakkan tangannya, secepat kilat kedua tangannya telah melakukan gerakan menotok. Dalam keadaan menyesal dan terkejut itu, terlebih lagi melihat darah itu dia percaya bahwa orang yang ditendangnya benar-benar sudah mati, untuk sesaat Han Siong kehilangan kewaspadaannya dan saat itu digunakan dengan baik oleh Hay Hay.

Han Siong berusaha melempar tubuh ke belakang, namun satu di antara serangan Hay Hay tepat mengenai sasaran. Jalan darahnya tertotok lantas dia pun roboh terkulai lemas! Hay Hay meloncat bangun dengan girang sekali. Ketika ‘berkelojotan’ tadi dia menggigit lengannya sendiri sampai keluar banyak darah yang berlepotan di bibirnya!

Si Kumbang Merah Pengisap Kembang Jilid 14

Hay Hay dan Han Siong saling pandang, kemudian Han Siong menjawab, "Sama sekali aku tidak keberatan untuk bicara dengan sam-wi lo-suhu, akan tetapi lebih dulu aku ingin tahu siapa sesungguhnya sam-wi ini."

Han Siong yang cerdik agaknya cukup berhati-hati sehingga dia ingin agar Hay Hay lebih dulu juga mendengar siapa adanya tiga orang pendeta Lama itu sebelum dia mengadakan pembicaraan sendirian saja bersama mereka.

Mendengar ini, tiga orang pendeta itu juga saling pandang, kemudian orang pertama yang bertubuh tinggi besar menjawab, "Ketahuilah, saudara muda Pek, kami adalah tiga orang pendeta dari Tibet. Nama pinceng (aku) adalah Gunga Lama."

“Pinceng bernama Janghau Lama," kata pendeta tinggi kurus yang matanya sangat sipit dan bersabuk ular hidup.

"Dan pinceng bernama Pat Hoa Lama," kata pendeta bongkok yang pada punggungnya terdapat senjata sepasang cakar harimau. Dari nama mereka saja dapat diketahui bahwa yang dua orang pertama adalah orang-orang Tibet asli, sedangkan orang ke tiga adalah peranakan Tibet dan Han.

Ouw Lok Khi yang merupakan seorang berpengalaman, dengan diam-diam juga merasa curiga melihat tiga orang pendeta Tibet begitu datang lantas ingin berbicara dengan Pek Han Siong. Maka dia pun mendahului mereka, sesudah mereka memperkenalkan diri, dia segera maju dan memberi hormat.

"Sam-wi lo-suhu, kami sangat berterima kasih kepada sam-wi dan untuk memperlihatkan rasa terima kasih kami, maka kami mengundang sam-wi untuk menjadi tamu kami dan di sanalah sam-wi dapat berbicara dengan Pek-taihiap secara leluasa tanpa terganggu. Mari, silakan, sam-wi lo-suhu, Pek-taihiap dan Tang-taihiap."

Diam-diam dua orang pendekar muda itu bersyukur akan sikap hati-hati dari bekas ketua Pek-tiauw-pang itu. Tiga orang pendeta itu tertegun, akan tetapi sesudah saling pandang, mereka mengangguk dan tanpa banyak cakap mereka semua lalu bubaran meninggalkan kuburan. Para pelayat lain kembali ke rumah masing-masing, ada pun tiga orang pendeta itu turut bersama Ouw Lok Khi dan Ouw Ci Goat. Han Siong dan Hay Hay juga berjalan mengikuti mereka, dan mereka berdua berjalan paling belakang.

"Hay Hay, kurasa mereka tidak berniat buruk walau pun aku tetap akan berhati-hati sekali dalam menghadapi mereka. Engkau jangan lupa tugasmu!"

"Tugasku...? Ahh, nona Ouw maksudmu? Jangan khawatir. Kita membagi tugas, engkau bicara dengan tiga orang pendeta Lama itu dan aku bicara dengan Ouw Ci Goat. He-he, tugasku lebih menyenangkan, dapat berdekatan dan bercakap-cakap dengan gadis cantik manis, sedangkan engkau... heh-heh!"

"Dasar mata keranjang kau!" Han Siong mengomel.

Akan tetapi Hay Hay hanya tertawa saja, walau pun di dalam hatinya dia harus mengakui bahwa tugasnya jauh lebih berat. Dia harus menyampaikan kenyataan yang sangat tidak menyenangkan bagi Ci Goat, dan dia harus mencari akal yang jitu supaya gadis itu dapat menerima berita yang disampaikannya dengan tabah.

********************

"Ci Goat, aku ingin bicara denganmu, bolehkah?"

Gadis itu terkejut. Dia sedang termenung seorang diri di kebun belakang rumah barunya, rumah yang merupakan peninggalan dari suheng-nya, yaitu mendiang Thio Ki. Dia sedang termenung dan terkenang akan percakapannya dengan Hay Hay yang pandai merayu, kemudian terkenang akan ucapan pemuda itu yang di depan Han Siong yang secara terus terang mengatakan keyakinannya bahwa dia mencinta Han Siong!

Betapa malu rasa hatinya ketika itu, akan tetapi diam-diam dia pun bersyukur bahwa Hay Hay sudah mengetahui akan isi hatinya dan mewakilinya menyampaikan hal itu kepada Han Siong! Kini dia tinggal menanti bagaimana reaksi dari Han Siong setelah mendengar bahwa dia mencintanya. Diam-diam dia merasa sangat berterima kasih kepada Hay Hay yang perayu akan tetapi tidak kurang ajar itu.

Ketika ada suara memanggilnya, dia tersentak kaget dan menoleh. Kiranya Hay Hay yang memanggilnya. Kedua pipinya menjadi kemerahan, apa lagi mendengar betapa pemuda ini menyebut namanya begitu saja, padahal biasanya menyebutnya nona!

“Ahhh, ternyata Tang-taihiap...” katanya sambil bangkit berdiri dari atas bangku yang tadi didudukinya.

Hay Hay tersenyum dan agaknya dia pandai membaca hati orang dengan hanya melihat sikapnya. "Jangan kaget kalau aku menyebut namamu begitu saja, Ci Goat. Sesudah kita menjadi kenalan dan sahabat baik, rasanya janggal kalau aku harus menyebutmu nona, apa lagi engkau menyebut taihiap kepadaku, sebut saja toako (kakak), bukankah engkau juga menyebut begitu kepada Han Siong?"

Kedua pipi itu semakin merah sehingga nampak amat menggairahkan seperti buah tomat! Manisnya melebihi madu!

"Baiklah... Toako. Ehh, tentu saja boleh bicara dengan aku. Silakan duduk...”

Bangku itu terlalu pendek. Kalau dia harus duduk di sana bersama Ci Goat, tentu mereka harus duduk berdempetan. Tentu akan senang sekali duduk begitu dekat, akan tetapi Hay Hay maklum bahwa tentu gadis itu yang akan merasa risih dan rikuh. Maka dia pun duduk saja di atas batu depan bangku itu, dalam jarak dua tiga meter.

"Engkau duduklah, Ci Goat. Aku ingin mengobrol denganmu karena sahabatku Han Siong lebih senang mengobrol dengan tiga orang pendeta Lama itu dari pada dengan aku atau engkau!"

Ci Goat mengerutkan alisnya dan memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata jelas membayangkan kekhawatiran. "Tang-taihiap... eh, Toako, sebetulnya siapakah tiga orang pendeta itu dan apakah maksud mereka hendak menemui dan bicara dengan Pek-toako? Kemunculan mereka yang tiba-tiba sungguh mencurigakan!"

Sikap gadis ini yang mengkhawatirkan keadaan Han Siong menambah jelas bagi Hay Hay bahwa gadis ini memang sudah jatuh cinta kepada Anak Ajaib itu. Dia tidak pernah dapat melupakan bahwa Pek Han Siong adalah Sin-tong (Anak ajaib) yang menurut pendapat para pendeta Lama di Tibet, Anak Ajaib adalah seorang anak yang sudah ditakdirkan dan dipilih menjadi seorang Dalai Lama!

"Jangan khawatir, Ci Goat. Apa pun yang menjadi maksud mereka, ketiga orang pendeta Lama itu tak akan mampu mencelakai Han Siong. Di samping dia sendiri mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi, masih ada aku di sini yang selalu siap untuk membantunya andai kata dia terancam bahaya."

Jelas nampak betapa wajah yang tadinya diliputi kekhawatiran itu sekarang berseri tanda bahwa hatinya lega. "Ohh, terima kasih, Taihiap... ehh Toako…"

"Sudahlah, Ci Goat, jangan kita membicarakan orang lain. Aku hendak mengajak engkau mengobrol tentang diri kita sendiri, tidak membicarakan orang lain."

Kini Ci Goat dapat tersenyum. Dia sudah mulai mengenal watak pendekar yang ganteng ini. Watak yang perayu, mata keranjang akan tetapi tetap sopan dan tidak kurang ajar biar pun agak ‘berani’! Pemuda semacam ini tidak cocok bila ditanggapi dengan serius, maka sebaiknya dia bersikap ramah dan main-main pula.

"Tang-toako, engkau ingin bicara tentang apakah?”

"Tentang cinta!"

Sepasang mata jeli itu terbelalak dan Hay Hay pun terpesona. Gadis ini memang sudah cantik, dengan wajahnya yang putih mulus dan berbentuk bulat bagaikan bulan purnama, juga senyumnya yang memikat. Akan tetapi begitu sepasang mata itu terbelalak, muncul sepasang bintang yang amat indahnya!

"Apa... apa maksudmu... ?” Gadis itu bertanya dengan suara lirih dan seketika mukanya berubah merah.

Hay Hay tertawa. "He-he-he, adik Ci Goat yang manis, kenapa engkau begitu tersipu dan terkejut mendengar kata cinta? Apa sih salahnya orang muda berbicara mengenai cinta? Engkau sudah cukup dewasa, dan aku pun bukan kanak-kanak. Tidak ada salahnya kalau orang-orang muda seperti kita bicara tentang cinta." “Tapi... tapi, apa maksudmu?”

Senyum Hay Hay semakin melebar. Dia tahu kenapa gadis itu tersipu. Tentu disangkanya bahwa dia akan menyatakan cinta kepada gadis itu! Ah, betapa mudahnya mengaku cinta kepada gadis-gadis muda cantik, apa lagi yang seperti Ci Goat ini. Akan tetapi pengakuan cintanya akan merupakan kebohongan besar kalau hal itu dia lakukan.

Tidak, dia belum pernah jatuh cinta walau pun entah sudah berapa puluh kali dia tertarik dan suka sekali kepada gadis cantik jelita. Bahkan setiap gadis selalu menarik hatinya, menimbulkan rasa suka. Akan tetapi jatuh cinta? Rasanya belum pernah!

Perasaannya terhadap wanita-wanita seperti Ji Sun Bi atau Siok Bi merupakan dorongan nafsu birahi saja yang dibangkitkan oleh sikap kedua orang wanita itu. Dan memang ada gadis-gadis yang sangat dikaguminya dan disukanya, seperti misalnya Siangkoan Bi Lian dan Cia Kui Hong, akan tetapi dia pun tidak tahu apakah dia mencinta seorang di antara mereka atau tidak.

Dia ingin bebas, tidak terikat cinta dengan seorang wanita tertentu. Enak bebas, sehingga dia akan bebas pula mengagumi kecantikan setiap orang wanita yang dijumpainya tanpa merasa bahwa dia mengkhianati cintanya terhadap wanita tertentu itu!

"Jangan khawatir, adik manis. Aku tidak bermaksud yang bukan-bukan, melainkan hanya ingin bicara tentang cinta itu sendiri denganmu, mengingat bahwa engkau adalah seorang wanita sehingga pandanganmu mengenai cinta tentu berbeda kalau dibandingkan dengan pendapat seorang pria seperti aku."

"Aku masih belum mengerti, Toako. Akan tetapi bicaralah, dan aku akan mencoba untuk mengerti apa yang kau maksudkan," kata gadis itu tabah.

Dia merasa yakin bahwa pendekar ini tidak akan bicara yang bukan-bukan. Pendekar ini sendiri yang pernah menyatakan bahwa dia jatuh cinta kepada Pek Han Siong, maka tak mungkin kalau kini dia akan begitu tega untuk menyatakan cinta kepadanya!

"Begini, Ci Goat. Terus terang saja, sampai berusia dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun sekarang ini, aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Aku tidak tahu apa cinta itu dan bagaimana rasanya orang jatuh cinta. Tentu saja aku hanya dapat mengira-ngira saja sehingga belum tentu benar. Sekarang aku ingin mendengar dari mulut seorang wanita, bagaimana sesungguhnya rasanya orang jatuh cinta?"

Ci Goat tersenyum lega. Pemuda ini memang aneh luar biasa! Mengajak dia berbincang-bincang tentang cinta, bukan untuk mengaku cinta. Dia sendiri pun baru sekali jatuh cinta, yaitu sekarang ini jatuh cinta kepada Pek Han Siong. Maka dia lalu mengenangkan segala perasaan yang dirasakannya selama jatuh cinta ini. Dia ingin jujur kepada Hay Hay yang ketika mengajukan pertanyaan itu kelihatan demikian sungguh-sungguh, tidak berkelakar lagi.

"Rasanya jatuh cinta? Hemmm, aku sendiri pun tidak yakin apakah pendapatku ini benar, Koko. Akan tetapi... agaknya orang yang sedang jatuh cinta akan selalu terkenang pada orang yang dicintanya. Kalau siang jadi kenangan, kalau malam jadi impian. Ingin selalu berdekatan, ingin selalu bersamanya, ingin melihat dia bahagia, ingin memiliki dan dimiliki selamanya, ingin... ahh, hanya itulah yang kuketahui."

Hay Hay memandang dan ada rasa iba di dalam hatinya. Jelas gadis ini sudah jatuh cinta kepada Han Siong, maka dapat mengatakan itu semua dan ketika mengatakan perasaan cinta itu, matanya melamun kosong dan pada saat bicara jelas bahwa perasaannya juga turut berbicara! Kasihan, gadis ini menjatuhkan benih cinta di atas tanah yang sudah ada tanamannya sehingga benih itu akan sia-sia dan tidak dapat tumbuh!

"Ahh, bagus sekali! Hampir tidak ada bedanya dengan yang kubayangkan, Goat-moi (adik Goat)! Aku setuju sekali dan agaknya memang begitulah perasaan hati orang yang tengah jatuh cinta. Sekarang aku ingin sekali tahu bagaimana pendapat seorang wanita terhadap keadaan seorang pria yang gagal dalam cintanya."

"Gagal dalam cintanya? Apa yang kau maksudkan, Toako?"

"Begini, adikku. Ada seorang pemuda yang jatuh cinta kepada seorang gadis, jatuh cinta setengah mati! Namun kemudian dia mendapat kenyataan bahwa gadis yang dicintanya mati-matian itu ternyata sudah mencintai seorang pemuda lain! Cintanya hanya bertepuk sebelah tangan! Lalu menurut pendapatmu, apa yang harus dilakukan oleh pemuda yang gagal dalam cintanya itu? Apakah dia harus bunuh diri di hadapan gadis itu? Ataukah dia harus membunuh kekasih gadis yang dicintanya itu?"

Gadis itu mengerutkan sepasang alisnya dan sinar matanya berkilat seperti orang marah, tanda bahwa dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat itu.

"Ihhh…! Mengapa dia harus membunuh diri atau membunuh kekasih gadis itu? Itu adalah perbuatan yang bodoh dan jahat!” jawabnya hampir berteriak.

Hay Hay menyembunyikan senyum dari bibir dan matanya. Dia memandang dengan sikap penasaran. "Lho! Kenapa bodoh dan jahat, Goat-moi? Bukankah pemuda itu menjadi sakit hati karena cintanya ditolak dan gadis itu memilih pemuda lain?"

"Hati boleh sakit, akah tetapi pikiran harus tetap waras! Mana ada cinta yang dipaksakan oleh sepihak jika pihak lawan tidak menyambutnya? Cinta harus timbul dalam hati kedua pihak, baru jadi! Kalau gadis itu menolak cintanya karena sudah mencintai pemuda lain, maka gadis itu tidak bersalah dan kekasihnya juga tiak bersalah. Kenapa harus dibunuh? Dan pemuda yang putus cinta lantas membunuh diri adalah seorang yang bodoh dan tolol! Di dunia ini masih banyak sekali terdapat gadis-gadis yang mungkin lebih cantik dari pada yang dicintanya, yang siap untuk menyambut cintanya itu. Eh, Toako... apakah... apakah engkau pemuda itu? Maafkan aku...”

Hay Hay tertawa dan dari suara ketawanya saja tahulah Ci Goat bahwa pemuda itu bukan Hay Hay, maka hatinya terasa lega sekali. "Syukurlah kalau bukan engkau, Tang-toako!" sambungnya.

"Kita hanya mengobrol saja tentang cinta dan liku-likunya, tidak menyinggung seseorang. Pendapatmu tadi memang tepat dan agaknya cocok sekali dengan pendapatku sendiri."

"Tang-toako, betapa pun juga... aku merasa kasihan sekali terhadap pemuda itu. Aku tahu siapa yang kau maksudkan itu dan aku merasa amat kasihan. Sungguh luar biasa sekali, bagaimana ada seorang gadis yang dapat menolak seorang pria seperti dia untuk menjadi suaminya...! Ahhh, betapa dia mencinta gadis itu, namun gadis bodoh itu justru menolak cintanya... apakah dia telah mencintai laki-laki lain?"

Melihat gadis itu seperti bicara kepada dirinya sendiri, Hay Hay mengerutkan alisnya dan memandang dengan penuh perhatian. "Heii, Goat-moi, apa yang kau bicarakan itu? Siapa yang kau maksudkan dengan pemuda itu?"

"Aih, engkau masih pura-pura tidak tahu, Toako? Sebagai seorang sahabat baiknya, tentu engkau sudah tahu bahwa yang kumaksudkan ialah toako Pek Han Siong. Tunangannya itu menolak untuk menjadi istrinya."

Tentu saja Hay Hay tidak tahu akan hal ini, akan tetapi dengan cerdik dia mengangguk. "Ahh, benar, tentu saja aku tahu mengenai hal itu, hanya tidak kusangka bahwa ternyata dia sudah bercerita tentang hal itu kepadamu, karena itu aku tadi tidak menyangka bahwa engkau maksudkan dia. Sekarang sebaiknya kita tidak membicarakan orang lain dan kita melanjutkan obrolan kita tentang cinta."

Gadis itu tersenyum. "Bicaralah, Toako. Agaknya engkau memang seorang yang sangat memperhatikan tentang cinta."

"Tentu saja, adik manis. Apa artinya hidup tanpa cinta? Bila kita pikir secara mendalam, tanpa adanya cinta, engkau dan aku tidak akan terlahir di dunia ini!" Hay Hay tertawa dan biar pun mukanya berubah merah mendengar ucapan yang penuh arti itu, mau tidak mau Ci Goat juga tertawa.

"Persoalan cinta apa lagi yang hendak kau kemukakan, Toako?" Dia mulai tertarik dengan percakapan tentang cinta ini, hal yang tentu saja sangat menjadi perhatiannya karena dia sendiri pun sedang dilanda cinta.

"Masih persoalan yang tadi, akan tetapi kini peranannya dibalik. Sekarang seorang wanita yang jatuh cinta kepada seorang pria, tetapi ternyata bahwa pria itu tidak dapat menerima cintanya, atau menolak cintanya karena pria itu telah memiliki pilihan hati, telah mencinta seorang gadis lain. Nah, kalau demikian keadaannya, lalu apa yang harus dilakukan gadis itu?"

Sejenak gadis itu memandang wajah Hay Hay dan pemuda ini pun balas memandang. Dua pasang mata saling menatap dan Hay Hay melihat betapa sinar mata itu meredup, wajah itu memucat dan betapa bola mata yang bening itu menjadi basah. Biar pun mulut gadis itu masih tersenyum, namun senyum itu membuat dia merasa jantungnya bagaikan disayat, membuat dia ingin merangkul dan menghiburnya karena dia tahu bahwa gadis itu sudah mengerti, bahwa gadis itu merasa betapa hatinya ditusuk-tusuk. Suaranya gemetar dan mata itu menunduk, bibir itu menggigil ketika akhirnya dia berkata,

"Tang-toako, tolonglah... tolong engkau saja yang mengatakan, apa yang harus dilakukan gadis itu dalam keadaan seperti itu? Bunuh diri? Atau mencukur gundul rambutnya lantas menjadi nikouw (pendeta wanita)? Katakanlah, Toako, dan aku akan mempertimbangkan kata-katamu...”

"Bunuh diri? Menjadi nikouw? Hanya gadis tolol dan bodoh yang akan melakukan hal itu, Goat-moi! Seperti kau katakan tadi. Cinta tidak mungkin hanya bertepuk sebelah tangan. Cinta tidak mungkin dapat dipaksakan! Kalau memang pemuda itu tidak dapat membalas cintanya karena telah mencinta gadis lain, berarti dia tidak berjodoh dengan pemuda itu! Dan dia tidak perlu terlalu berduka atau putus asa. Dunia bukan sebesar buah appel! Di dunia ini masih ada jutaan pemuda yang mungkin lebih segala-galanya dari pada pemuda yang tidak dapat membalas cintanya itu! Maka gadis itu harus dapat melupakan pemuda itu, hidup bebas dan mentertawakan saja kegagalan cintanya, menganggapnya sebagai suatu pengalaman hidup! Habis perkara!"

Akan tetapi Hay Hay melihat betapa gadis itu menahan-nahan air matanya, betapa bibir itu gemetar dan suara itu sukar sekali keluarnya seakan lehernya tercekik ketika Ci Goat bertanya,

"Toako... apakah dia masih mencinta gadis yang telah menolaknya itu?”

Sepasang mata itu kini nampak seperti mata kelinci yang ketakutan, seperti mata yang penuh harap akan pertolongan, dan air yang tadi menggenang di pelupuk mata, kini mulai menetes turun, seperti dua butir mutiara perlahan menuruni kedua pipi yang agak pucat itu.

Hay Hay merasa terharu sekali, merasa lehernya seperti dicekik sehingga dia tak mampu mengeluarkan suara. Akan tetapi, biar pun dia tidak tahu benar akan hubungan Han Siong dengan gadis kekasihnya ini, dia langsung mengambil kesempatan untuk berterus terang bahwa Han Siong tidak dapat menerima cinta Ci Goat. Maka dia pun lantas mengangguk, anggukan tanpa kata yang dengan amat tajamnya membabat putus tali harapan Ci Goat, dan dia pun menutup mukanya dengan kedua tangannya.

Hay Hay memandang dengan hati bagaikan diremas. Melihat betapa gadis itu mengguguk dan air mata mengalir keluar melalui celah jari-jari kedua tangan yang menutupi muka, di luar kesadarannya dia pun bangkit dan menghampiri Ci Goat, lalu duduk di sampingnya di atas bangku, merangkul pundaknya dan berkata lembut,

"Sudahlah, Ci Goat, kuatkan hatimu... tenangkan pikiranmu...”

Sentuhan lembut dan kata-kata halus itu seperti membuka bendungan di hati Ci Goat. Dia menjerit dan merangkul, lalu menangis tanpa terbendung lagi, sesenggukan di atas dada Hay Hay!

Pemuda ini memeluk, membenamkan wajahnya di kepala yang penuh rambut halus itu, tangannya mengelus pundak dan kepala, penuh rasa sayang dan iba seperti menghibur seorang adiknya sendiri.

Karena hatinya diliputi keharuan yang mendalam, Hay Hay kehilangan kewaspadaannya dan dia tidak tahu bahwa pada waktu itu ada tiga pasang mata yang mengamatinya dari jauh. Tiga pasang mata yang mencorong tajam dan penuh kekuatan sihir! Mata tiga orang pendeta Lama yang agaknya sudah selesai melakukan pembicaraan dengan Han Siong dan kini mereka meninggalkan rumah yang telah menjadi tempat tinggal Ouw Lok Khi.

"Hemmm, pasangan yang cocok. Wanitanya cantik, prianya tampan dan gagah!" kata Pat Hoa Lama.

"Omitohud!" kata Janghau Lama. "Apakah engkau tergerak dan merasa iri melihat adegan itu, Sute?"

"Aih, ji-suheng (kakak seperguruan ke dua)! Bagaimana engkau dapat berkata seperti itu? Pinceng hanya mengatakan bahwa mereka itu pasangan yang cocok dan...”

"Ssttt, kalian jangan ribut dan jangan bertengkar.” Gunga Lama mencela dua orang adik seperguruannya. "Kita tadi melihat betapa lihainya pemuda itu. Hemm... sungguh sebuah kesempatan yang baik sekali. Dua orang pemuda itu harus dipisahkan dahulu, baru kita dapat membawa Sin-tong ke Tibet tanpa halangan!"

"Bagaimana caranya, toa-suheng (kakak seperguruan terbesar)?" tanya kedua orang adik seperguruan itu.

"Ssttt, serahkan pada pinceng. Mari kita cepat pergi dari sini!"

Sementara itu, Ci Goat baru merasa lega setelah menumpahkan segala kedukaan hatinya melalui tangis yang tidak terbendung lagi sampai baju pada bagian dada Hay Hay basah kuyup, bahkan air mata itu membasahi pula kulit dadanya. Sekarang tangisnya itu hanya tinggal isak saja.

Kesempatan ini digunakan oleh Hay Hay untuk mengelus rambut kepala gadis itu. "Nah, apakah sekarang air matamu telah habis, Goat-moi? Bagus, semua kesedihan kosong ini harus dilarutkan dengan banjir air mata, biar habis tidak berbekas lagi. Lebih baik engkau menangis sepuasmu seperti ini dari pada engkau membunuh diri seperti gadis tolol, atau menjadi nikouw. Wah, kepalamu akan menjadi gundul, rambutmu yang indah akan lenyap dan tentu engkau akan kelihatan lucu sekali, lucu dan jelek!"

Kata-kata itu seperti mengusir sisa-sisa isak di dada Ci Goat. Dia segera melepaskan diri dan menarik tubuhnya ke belakang, memandang kepada pemuda itu dengan mata merah dan agak membengkak karena tangis. Akan tetapi mulutnya membentuk senyum pahit.

"Terima, kasih, Toako, terima kasih. Engkau benar-benar merupakan sahabat dan seperti seorang kakak yang baik hati. Katakanlah, apakah dia... Pek-toako, tahu bahwa engkau datang menceritakan semua ini kepadaku?"

Hay Hay mengangguk. "Dialah yang minta tolong kepadaku supaya aku menyampaikan kepadamu bahwa tidak mungkin baginya untuk menerima dan membalas cintamu."

"Ohhh... , tapi... kenapa dia tidak menyampaikannya sendiri kepadaku... ?"

"Dia tidak berani, dia tidak tega melihat engkau kecewa."

Gadis itu mengangguk perlahan, kemudian menarik napas panjang. "Pek-toako memang seorang yang berwatak budiman, dan... engkau juga, Toako. Semoga kalian berdua akan selalu mendapat berkah dari Tuhan dan kelak akan hidup berbahagia dengan isteri pilihan hati masing-masing."

Hay Hay merasa gembira bukan main. Diraihnya pundak gadis itu, ditariknya dan dia pun mengecup dahi yang halus itu dengan bibirnya, satu kali saja akan tetapi dengan sepenuh hatinya, lalu dilepaskannya kembali rangkulannya dan dia pun bangkit berdiri, sepasang matanya agak basah.

"Engkau juga, Goat-moi. Engkau adalah gadis yang hebat! Dan aku merasa yakin bahwa seorang gadis seperti engkau ini kelak pasti akan memperoleh seorang suami yang amat baik!"

Tadinya Ci Goat terkejut sekali ketika merasa betapa dirinya diraih kemudian ditarik oleh pemuda itu. Akan tetapi, ketika dia merasa betapa pemuda itu mencium dahinya dengan lembut, seperti ciuman dari seorang kakak atau seorang sahabat baik, ciuman yang sama sekali tidak mengandung nafsu birahi, hatinya menjadi terharu dan dia pun tadi memeluk pinggang pemuda itu. Sekarang mereka bangkit, keduanya melangkah mundur dan saling pandang.

"Haiiii, adik manis, mana senyummu yang tadi? Hayo lekas perlihatkan! Tidak baik kalau hari hujan melulu, telah tiba saatnya hujan berhenti dan matahari muncul kembali berseri! Ingat, banyak duka menjadi lekas tua. Sayang sekali kalau kulit mukamu yang putih mulus dan halus itu berubah berkerut keriput, bukan?"

Mendengar ucapan ini, Ci Goat tersenyum. Bibirnya saja tersenyum, akan tetapi matanya masih mata yang penuh tangis walau pun air matanya sudah habis tertumpah.

"Aku akan selalu tersenyum kalau ingat kepadamu, Toako. Setiap kali berduka, aku akan mengenangmu agar aku dapat tersenyum," katanya dan dia pun membalikkan tubuhnya, lalu pergi meninggalkan Hay Hay yang berdiri mengikuti lenggang yang lemah gemulai itu dengan bengong.

Dia langsung teringat kepada Han Siong. Apa yang terjadi dengan kawannya itu sesudah mengadakan percakapan dengan tiga orang pendeta Lama? Apakah mereka masih belum selesai dengan percakapan mereka?

Memang dia telah menaruh kecurigaan. Maka, setelah Ci Goat meninggalkannya, dia pun cepat-cepat keluar dari kebun itu menuju ke rumah. Tentu Han Siong mengajak tiga orang pendeta Lama itu untuk bercakap-cakap di ruangan belakang yang lebar. Dia melihat Ouw Lok Khi di ambang pintu samping dan memandang kepadanya sambil tersenyum ramah.

"Tang-taihiap, kuharap saja engkau akan dapat menghibur hati Ci Goat. Kehancuran Pek-tiauw-pang membuat hatinya terbenam dalam kedukaan," katanya.

Hay Hay memandang kepadanya dengan hati bertanya-tanya. Mengapa orang ini berkata demikian?

"Paman, agaknya paman belum mengenal betul watak puterimu sendiri. Dia adalah gadis yang berhati tabah, karena itu aku yakin dia mampu menghadapi serta mengatasi segala kedukaannya. Oh ya, paman Ouw, bagaimana dengan tiga orang pendeta Lama tadi? Di manakah mereka sekarang? Apakah masih bercakap-cakap dengan Han Siong?"

"Mereka sudah pergi. Percakapan dengan Pek-taihiap berlangsung di ruangan belakang dan tidak terlalu lama. Mereka itu ramah dan baik sekali."

"Hemm, di manakah Han Siong sekarang, Paman?"

"Di dalam kamarnya."

Hay Hay lalu memasuki rumah dan langsung pergi ke kamar Han Siong yang berada di sebelah kamarnya. Rumah peninggalan Thio Ki itu mempunyai lima buah kamar sehingga Han Siong dan Hay Hay masing-masing mendapatkan sebuah kamar. Kamar besar paling depan dipakai Ouw Lok Khi, sedangkan kamar Ci Goat berada di ruangan belakang yang jendelanya menembus kebun.

"Tok-tok-tok!" Hay Hay mengetuk daun pintu kamar yang tertutup itu.

"Siapa?" terdengar suara Han Siong.

"Aku, bolehkah aku masuk?"

Hening sejenak, lalu terdengar jawaban yang malas-malasan. "Masuklah, Hay Hay!"

Hay Hay mendorong daun pintu yang tidak terkunci dari dalam. Dia memperhatikan kamar itu. Tidak ada sesuatu yang luar biasa, akan tetapi Han Siong nampak rebah terlentang di atas pembaringannya. Begitu dia masuk, Han Siong langsung bangkit duduk, nampaknya malas-malasan.

"Heii, Han Siong apa yang telah terjadi?"

"Tidak terjadi apa-apa...,” jawabnya, nampak tak bersemangat.

"Ehhh? Kenapa engkau nampak malas dan tidak bersemangat? Han Siong, ceritakan apa yang telah terjadi antara engkau dan tiga orang pendeta Lama itu!"

Hay Hay mendekatinya, lalu membuka daun jendela agar kamar itu nampak lebih terang. Kemudian, dengan sinar matanya yang mencorong dia mengamati sahabatnya itu penuh selidik, untuk meneliti apakah sahabatnya itu memperlihatkan tanda-tanda yang tak wajar atau tidak. Siapa tahu, mungkin saja tiga orang pendeta Lama itu telah mempergunakan ilmu hitam yang sangat kuat, yang mampu mematahkan pertahanan Han Siong. Akan tetapi tidak. Matanya tidak melihat tanda-tanda bahwa sahabatnya itu sedang berada di bawah pengaruh sihir. Juga tidak menderita luka.

"Sudahlah, Hay Hay. Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak apa-apa. Hanya ada sesuatu yang membuat aku termenung sejak tadi, sesudah tiga orang pendeta Lama itu pergi. Aku menjadi ragu dan bingung...”

Hay Hay menarik sebuah kursi lantas duduk di atas kursi yang sudah didekatkan dengan pembaringan. Mereka saling pandang, kemudian Hay Hay berkata dengan suara sungguh-sungguh, tidak berkelakar seperti biasa.

"Dengar, Han Siong. Aku sudah melaksanakan permintaanmu, aku sudah bicara dengan. Ci Goat, dan telah kujelaskan semua kepadanya bahwa engkau tidak mungkin menerima dan membalas cintanya karena engkau telah memiliki pilihan hati, seorang gadis lain."

"Ahhh... dan dia... dia bagaimana, Hay Hay?" tanya Han Siong, pandang matanya penuh iba dan gelisah.

"Dia seorang gadis tabah, Han Siong. Dia dapat menghadapi kenyataan yang bagaimana pun juga. Jangan khawatir, dia tidak akan membunuh diri, dia tidak akan menjadi nikouw, dan dia pun dapat melihat bahwa di dunia ini masih terdapat banyak sekali pemuda hebat yang akan dapat menyambut cintanya. Dia bisa mengatasi kedukaan dan patah hati, Han Siong."

"Syukurlah kalau begitu! Terima kasih, Hay Hay, aku sungguh merasa kasihan padanya. Terima kasih."

"Aku tidak butuh terima kasih darimu, Han Siong, melainkan butuh keterangan mengenai tiga orang pendeta Lama tadi. Nah, sesudah aku melaksanakan tugas yang berat darimu, sekarang kau ceritakanlah apa saja yang kau bicarakan dengan tiga orang pendeta Lama itu."

Han Siong tersenyum, akan tetapi Hay Hay melihat betapa wajah itu masih diliputi dengan keraguan dan kehampaan. "Tiga orang pendeta Lama itu mengaku sebagai utusan Dalai Lama sendiri, Hay Hay. Menurut mereka, tanpa disengaja mereka mendengar disebutnya namaku sebagai Sin-tong ketika engkau berjumpa dengan aku dan menyebutnya secara main-main. Menurut mereka, sudah bertahun-tahun mereka ditugaskan untuk mencariku tanpa hasil sehingga mereka tidak berani kembali ke tibet. Setelah bertemu dengan aku, mereka mengatakan bahwa mereka tidak berani memaksaku kalau aku tidak mau pergi ke Tibet bersama mereka untuk menghadap Dalai Lama. Mereka mohon kepadaku agar aku suka menolong mereka sehingga mereka akan berani berani pulang dan tidak takut dengan hukuman dari Dalai lama…” Sampai di sini Han Siong berhenti.

“Pertolongan apa yang mereka harapkan darimu, Han Siong?” tanya Hay Hay tak sabar lagi.

“Mereka minta beberapa tetes darahku...”

“Ahhh…! Untuk apa? Jangan kau berikan!”

“Mereka itu memohon kepadaku. Tadinya aku juga tidak mau dan aku bertanya untuk apa mereka minta darahku. Mereka lalu mengatakan bahwa mereka akan membohongi Dalai Lama yang sejak dulu tidak pernah berhenti berusaha untuk mendapatkan diriku. Mereka akan mengatakan bahwa aku tidak mau diajak ke Tibet sehingga terjadi perkelahin dan akhirnya aku tewas di tangan mereka. Mereka akan menunjukkan beberapa tetes darahku kepada Dalai Lama sebagai bukti bahwa aku telah mati,."

"Bohong itu! Ketika mereka tiba di sana, beberapa tetes darah itu tentu sudah kering, lagi pula, bagaimana mungkin Dalai Lama akan dapat mengenal darahmu?"

"Tadi aku juga berkata persis seperti yang kau katakan itu, Hay Hay. Aku tetapi mereka menjawab bahwa walau pun darah itu sudah mengering, akan tetapi masih dapat dikenal karena meski pun sudah kering, darahku berbeda dengan darah orang biasa, darah biasa merah, dan darahku... putih!"

"Bohong! Omong kosong! Aku tidak percaya! Kalau darahmu putih, tentu engkau akan nampak pucat seperti mayat yang menyeramkan!"

"Aku pun tadinya tidak percaya, akan tetapi mereka dapat membuktikannya, Hay Hay!"

"Membuktikan bahwa darahmu putih?"

Han Siong mengangguk. "Mereka lalu mengeluarkan sebotol air yang mereka namakan air suci dari Tibet, kata mereka air itu keluar dari sebuah sumber di sana, dan air itulah yang akan menunjukkan keaslian darahku. Seorang dari mereka lalu menusuk jari telunjuknya dengan jarum, mengeluarkan darahnya sendiri beberapa tetes. Ketika darah itu ditetesi air dari botol, warnanya tetap merah, bahkan semakin merah. Kemudian aku diminta untuk mengeluarkan beberapa tetes darah dari telunjukku. Karena aku juga ingin tahu, kutusuk telunjukku, kukeluarkan beberapa tetes darah seperti yang dilakukan oleh Pat Hoa Lama. Darahku yang beberapa tetes itu lalu ditetesi air dari botol dan... seketika berubah putih seperti kapur!"

"Ihhh! Itu tentu sihir!"

"Bukan, Hay Hay. Aku pun menyangka demikian maka aku tetap waspada. Kalau mereka menyihirku, tentu aku akan merasakan hal itu. Tidak ada pengaruh sihir sama sekali!"

"Lalu bagaimana?"

"Melihat bukti itu, dan merasa kasihan bahwa sudah belasan tahun mereka tidak berani pulang, apa lagi yang diminta hanyalah beberapa tetes darah saja, aku lalu mengeluarkan beberapa tetes lagi dari ujung telunjukku. Mereka menampungnya dan membawa darah itu."

"Tetapi mengapa bukan yang sudah dicampur air dan menjadi putih itu saja yang mereka bawa?"

Han Siong tersenyum. "Aneh sekali, Hay Hay. Semua yang kau tanyakan itu sama benar dengan yang kutanyakan kepada mereka! Aku pun bertanya demikian lalu mereka berkata bahwa Dalai Lama harus diyakinkan dengan darah murni yang belum dicampuri air suci. Dalai Lama sendiri yang akan menguji bahwa darah itu adalah darahku agar dia percaya bahwa aku telah tewas dan dia tidak akan mencariku lagi. Sebetulnya, yang terakhir inilah yang mendorongku memenuhi permintaan mereka, Hay Hay. Aku ingin sekali bebas dan tidak dikejar-kejar lagi. Lagi pula, apa artinya beberapa tetes darah itu?"

"Hemm... hemm..., aku sendiri tidak tahu apakah beberapa tetes darahmu itu ada artinyal Akan tetapi siapa tahu? Orang-orang seperti mereka itu sungguh sulit dimengerti. Mereka orang aneh dan tidak lumrah manusia. Akan tetapi sudahlah. Engkau sudah memberikan sedikit darahmu, tak dapat ditarik kembali. Akan tetapi, kenapa sekarang engkau nampak termenung dan engkau tadi mengatakan bahwa engkau ragu dan bingung! Nah, apa lagi maksudmu?"

"Tentang darahku itu, Hay Hay. Bukan mengenai darahku yang mereka bawa pergi, akan tetapi kenapa darahku putih! Benarkah itu? Hal itulah yang membuat aku termangu-mangu dan bingung. Benarkah darahku aslinya putih dan berbeda dengan manusia lain? Hal ini yang menggelisahkan hatiku...”

Hay Hay tersenyum. Melihat bahwa memang tidak ada apa-apa yang perlu dikhawatirkan, maka kembali sudah wataknya yang jenaka dan suka bergurau.

"Aih, biar putih atau biru atau hitam sekali pun, apa bedanya, Han Siong? Kulihat engkau juga seperti manusia biasa. Mungkin darah putihmu itulah yang membuat engkau disebut Sin-tong! Aku sendiri belum percaya benar kepada mereka itu. Kalau engkau yakin bahwa mereka tidak main-main dengan sihir, tentu yang mereka sebut air suci itu adalah air yang mengandung obat tertentu. Akan tetapi andai kata mereka berbohong, apa pula maksud mereka? Yang jelas, mereka sudah pergi dan engkau tidak diganggu. Sudahlah, jangan memikirkan mereka lagi, namun engkau jangan meninggalkan kewaspadaan. Dan kukira tidak ada lagi urusan kita di rumah ini sesudah permintaanmu itu kulaksanakan dengan hasil baik."

Han Siong tetap saja terlihat lesu. "Aku gembira sekali mendengar bahwa urusan itu telah kau selesaikan dengan baik, Hay Hay. Akan tetapi sebaiknya kita jangan pergi sekarang. Pertama, aku masih merasa malas dan ingin beristirahat dulu, yang ke dua, kita sudah menerima undangan paman Ouw, maka tidak baik kalau pergi sekarang. Setidaknya, malam ini kita bermalam di sini dan baru besok aku akan melanjutkan perjalananku.”

“Baiklah, aku juga belum sempat mengobrol denganmu. Ingin kuketahui pengalaman apa saja yang kau hadapi semenjak kita berpisah, dan mengapa pula engkau berada di sini, dari mana hendak kemana...”

“Ah, lain kali sajalah, Hay Hay. Biarkan aku mengaso sekarang, aku ingin beristirahat. Biar besok pagi kita berjumpa lagi...”

“Heiii! Benar yakinkah engkau bahwa tidak terjadi sesuatu apa pun dengan dirimu?” Hay Hay masih bertanya ketika dia sudah melangkah ke ambang pintu.

“Tidak, sungguh tidak apa-apa, Hay Hay!” jawab Han Siong tegas.

Hay Hay menggerakkan kedua pundaknya, lalu keluar dan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar. Kalau saja Hay Hay tahu! Dan kalau saja Han Siong tahu. Dua orang pemuda sakti itu sama sekali tidak tahu dan tidak pernah menyangka bahwa pada saat itu terjadi sesuatu yang amat membahayakan diri Han Siong!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Tiga orang pendeta Lama itu kini berada di sebuah bangunan kuil tua yang sudah tidak digunakan lagi, yang terletak di lereng sebuah bukit kecil di luar kota Hok-lam. Hari sudah mulai sore dan mereka duduk bersila di atas lantai dari ruangan dalam kuil tua itu yang sudah mereka bersihkan.

"Mari segera kita mulai," kata Gunga Lama sambil mengeluarkan beberapa buah barang dari dalam saku jubahnya yang lebar. Ada tasbeh dari tulang manusia, sebuah tengkorak kecil sebesar kepalan tangan, ada seikat gumpalan rambut dan tali hitam, ada pula batu kapur dan buntalan-buntalan kain kecil yang bertuliskan huruf-huruf kuno yang aneh, yaitu jimat-jimat. Semua ini dikeluarkannya satu demi satu dan ditaruhnya di atas lantai.

Terakhir dia mengeluarkan sebuah buntalan yang terisi segumpal kapas yang putih. Akan tetapi merah oleh darah. Darah Han Siong! Darah itu sudah dihisap dan ‘disimpan’ dalam kapas itu.

"Toa-suheng (kakak seperguruan tertua), kenapa kita harus menggunakan cara bersusah-payah seperti ini? Ketika kita bertemu dengan dia, jika kita langsung saja menyergapnya, apa sih sukarnya menangkap orang muda itu?" tanya Pat Hoa Lama yang merasa tidak puas melihat cara yang dipergunakan Gunga Lama yang dianggapnya merepotkan dan tidak praktis.

"Hemm, apa bila hal itu kita lakukan, ada kemungkinan kita akan gagal, Sute. Sin-tong itu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi dan meski pun kita bertiga tentu saja tidak perlu takut menghadapinya, tetapi kalau kita tidak dapat mengalahkannya kemudian terdengar oleh pemuda yang berpakaian biru itu, maka keadaan bisa berbahaya untuk kita. Pemuda itu memiliki ilmu silat yang lihai sekali."

"Akan tetapi, Suheng. Kita bisa mempergunakan kekuatan sihir untuk menundukkan Pek Han Siong!" Janghau Lama juga membantah.

"Wah, seperti kalian tidak tahu saja! Pek Han Siong adalah Sin-tong. Hal itu saja sudah menyulitkan kita untuk mempergunakan sihir, karena di dalam dirinya sudah ada kekuatan ajaib, ditambah lagi dia telah mempelajari ilmu sihir. Lihat saja sinar matanya. Terlebih lagi pemuda yang bernama Tang Hay itu! Apakah kalian tidak melihat betapa dia mengusir tiga orang Pek-lian-kauw itu dengan kekuatan sihirnya yang ampuh? Menggunakan sihir secara berterang akan lebih berbahaya lagi. Sekarang kita tempuh jalan yang aman dan hasilnya pasti memuaskan. Kita harus membuat dua orang pemuda itu bermusuhan dan berpisah, barulah kita dapat turun tangan. Nah, cukup sudah kata-kata ini, bahkan terlalu banyak. Sekarang mari kita bekerja. Lihat, sinar matahari mulai suram, saat yang terbaik untuk mempergunakan tenaga kegelapan.”

Tiga orang pendeta itu duduk berjajar dan Gunga Lama mulai membuat coretan-coretan dengan batu kapur di atas lantai. Ada beberapa macam guratan aneh berupa lingkaran lebar yang diisi lingkaran-lingkaran kecil lainnya, dan pada beberapa sudut diberi gambar tengkorak. Tengkorak kecil lantas diletakkan di tengah-tengah lingkaran, kemudian kapas dengan darah Han Siong diletakkan di atas tengkorak itu, pada ubun-ubunnya. Beberapa batang lilin dinyalakan, dan dibakar pula dupa yang mengepul tebal.

Tiga orang pendeta yang duduk bersila itu kemudian mempergunakan tasbeh, membaca mantera dan doa dalam bahasa Tibet kuno yang aneh didengar. Gunga Lama yang duduk di tengah dan memimpin upacara sembahyang itu, beberapa kali menggerak-gerakkan kedua tangannya ke atas dupa berasap, dengan tasbeh digenggam. Kemudian ditariknya sejumput kapas lantas dibakarnya kapas yang mengandung darah Han Siong itu di atas dupa membara.

Terdengar letupan kecil dan muncul nyala api yang hanya sebentar saja menjilat ke atas. Sementara itu matahari sudah tenggelam ke barat dan ketiga orang pendeta itu semakin dalam saja tenggelam di dalam kesibukan mereka.

********************

Han Siong yang rebah di atas pembaringan nampak gelisah. Dia masih pulas, akan tetapi tubuhnya gelisah dan selalu bergerak miring ke kanan kiri, telentang atau menelungkup. Sampai sekarang dia masih berpakaian lengkap.

Semenjak ditinggalkan Hay Hay, dia tidak pernah keluar lagi dari kamarnya. Bahkan dia mengunci daun pintu dari dalam dan ketika ditawari makan malam, dia menjawab bahwa dia masih kenyang dan tidak ingin makan. Dia pun minta agar jangan diganggu karena malam itu dia hendak tidur dan mengaso.

Menjelang tengah malam tiba-tiba Han Siong bangkit duduk dan dia memijat-mijat kedua pelipisnya. Kepalanya terasa pening bukan main, akan tetapi sungguh aneh sekali, wajah Ci Goat terbayang di hadapan matanya, wajah yang bulat dan cantik manis, tersenyum-senyum kepadanya. Pandang mata gadis itu seperti memanggil-manggil dan senyumnya amat menantang.

Han Siong menjadi bingung. Apa lagi ketika dia merasa betapa darahnya seperti bergolak oleh nafsu birahi yang menyesak dada. Sekilas dia sadar bahwa hal ini tidak sewajarnya, maka dia pun cepat duduk bersila dan mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan.

Akan tetapi dia malah terbawa hanyut, luluh oleh gairah nafsu sehingga dia merasa tidak berdaya, membiarkan pikirannya hanyut, mengingat dan mengenang segala kecantikan dan keindahan tubuh Ci Goat, teringat akan sikap Ci Goat terhadap dirinya yang sangat memperhatikan dan baik, bahkan teringat akan gadis itu yang mengaku cinta kepadanya!

Makin hebat saja kenangan ini sampai tak tertahankan lagi. Dia harus bertemu dengan Ci Goat. Harus! Dia tidak boleh menyakiti hati Ci Goat. Dia mencinta Ci Goat. Dia sungguh cinta kepada gadis itu!

Samar-samar muncul kesadaran di balik semua ini, kesadaran yang mengatakan bahwa semua ini aneh dan tidak wajar. Akan tetapi kesadaran itu pun kemudian hanyut, bahkan akhirnya menghilang.

Kini Han Siong turun dari pembaringan, tubuhnya agak terhuyung seperti orang mabok, menghampiri jendela dan di lain saat dia sudah keluar dari kamarnya melalui jendela yang kemudian ditutupkannya kembali. Han Siong bergerak seperti orang dalam mimpi. Bahkan dia menjadi demikian lengah sehingga dia tidak tahu bahwa bayangan Hay Hay berkelebat keluar dari kamarnya dan mengintainya!

Semenjak sore tadi Hay Hay memang tidak pernah tidur. Dia masih merasa curiga melihat sikap Han Siong, terlebih lagi ketika pemuda itu sama sekali tidak keluar lagi dari dalam kamarnya, malah menolak ketika ditawari makan malam. Tentu ada apa-apanya, pikirnya! Sikap Han Siong itu sama sekali tidak wajar.

Walau pun dia belum sempat bergaul lama dengan Sin-tong (Anak Ajaib) itu, namun dia sudah dapat menilai wataknya. Maka sejak sore dia tidak tidur, melainkan duduk bersila di atas pembaringannya dan selalu waspada. Suara sedikit saja di luar kamarnya tentu akan tertangkap oleh pendengarannya yang dipusatkan, selalu memperhatikan ke arah kamar Han Siong di sebelahnya. Itulah sebabnya ketika Han Siong turun dan membuka jendela kamar, dia mendengarnya lalu keluar dengan cepat namun hati-hati.

Hay Hay sudah keluar pula dari kamarnya dan mengintai, lalu membayangi Han Siong. Dia sudah merasa curiga, tentu ‘ada apa-apa’ pada diri Han Siong maka pemuda perkasa itu bersikap aneh. Entah apa pula yang akan dilakukannya sekarang!

Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan penasaran Hay Hay terus membayangi dari jauh. Dia harus berhati-hati karena dia maklum betapa lihainya Han Siong. Kenyataan bahwa Han Siong tidak mengetahui kalau dia sedang dibayangi itu saja sudah merupakan suatu keanehan, dan membuktikan bahwa memang telah terjadi sesuatu yang aneh pada diri Han Siong.

Han Siong menuju ke ruang belakang. Dia tidak berindap-indap seperti maling melainkan dengan tenang namun cepat berjalan menuju ke kamar Ci Goat, memutar ke belakang memasuki kebun dan tidak lama kemudian dia sudah mengetuk pintu jendela kamar itu! Dengan mata terbelalak Hay Hay mengintai dari belakang pohon di kebun itu!

"Siapa...?” Dia mendengar suara Ci Goat dari dalam kamar.

"Aku Han Siong. Bukalah jendela kamarmu, aku ingin bicara denganmu, Goat-moi!” kata Han Siong lirih.

"Siong-ko...!" Terdengar pula suara Ci Goat mengandung keheranan, lalu jendela itu pun dibuka dari dalam.

Bagai seekor kucing Han Siong melompat ke dalam kamar itu melalui jendela dan daun jendela segera ditutup dari dalam! Gawat, pikir Hay Hay dan dia sudah siap siaga untuk menerjang ke dalam kalau terdengar jerit Ci Goat. Apa bila Han Siong sampai melakukan perbuatan keji, memperkosa gadis itu, maka dia akan menentangnya dengan mati-matian! Akan tetapi dia tidak mendengar jerit Ci Goat.

Dia mendekat dan mendengar ucapan Han Siong yang terengah-engah. "Ci Goat... Goat-moi... aku... aku cinta padamu...”

"Siong-koko..., benarkah itu? Benarkah itu, Koko... ?"

Hay Hay merasa penasaran, maka dia pun mengintai dari celah jendela. Di bawah sinar sebatang lilin yang kelap-kelip suram, dia melihat betapa kedua orang itu saling rangkul dan ketika Han Siong menciumi gadis itu seperti orang kesetanan, Ci Goat sama sekali tidak menolak, bahkan menyambutnya dengan mesra!

Tak ada lagi kata-kata terdengar. Dia masih melihat betapa Han Siong memondong tubuh Ci Goat dan membawanya ke pembaringan, lantas sekali tiup padamlah lilin di atas meja sehingga kamar itu menjadi gelap, tidak nampak apa pun lagi!

Hay Hay bengong, lalu menjauhi kamar. Mukanya merah sekali dan dia tertawa haha-hihi seperti orang sinting. Apakah yang harus dilakukannya kalau sudah begitu? Tak mungkin dia menerjang masuk!

Betapa akan malunya mengganggu dua orang yang sedang bermain cinta dengan suka rela! Apa bila keduanya sudah sama-sama menghendaki, apa hubungannya dengan dia? Jika dia adalah ayah gadis itu, atau setidaknya saudaranya, tentu dia masih berhak untuk mencegah dan mengingatkan bahwa mereka berdua itu melakukan perbuatan yang tidak patut, melanggar ketentuan dan kesusilaan. Akan tetapi dia bukan apa-apa, hanya orang luar.

Apakah dia harus memberi tahukan ayah gadis itu? Ahhh, apa gunanya? Kalau memang mereka berdua sudah saling mencinta, mau apa lagi? Tinggal menikah saja dan dia yang akan menjadi saksi. Bagaimana pun juga, Han Siong harus mempertanggung jawabkan perbuatannya malam itu.

Setelah tiba di dalam kamarnya, Hay Hay tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, monyet benar Han Siong itu! Pura-pura alim, tidak tahunya... ha-ha-ha, wah, dalam hal ini aku kalah olehnya! Sungguh dia melakukan gerak cepat!" Hay Hay tertawa geli seorang diri. Akan tetapi dia lalu termenung.

Benarkah watak Han Siong seperti itu? Pura-pura menolak cinta seorang gadis lalu pada malam harinya menggerumut ke dalam kamar gadis itu? Sungguh sikap yang tidak pantas dilakukan seorang pendekar seperti Han Siong! Jangan-jangan ada apa-apanya ini!

Di lain saat Hay Hay sudah keluar lagi dari dalam kamarnya. Ketika dia mendekati kamar Ci Goat, dia hanya mendengar bisik-bisik mesra yang membuat wajahnya terasa panas dan merah sekali, lalu cepat dia menjauhinya lagi.

"Setan! Bikin aku kebakaran saja!" gerutunya geli.

Dia pun mengamati dari jauh saja. Dia harus melihat Han Siong keluar dari kamar dara itu untuk ditegur dan dimintai pertanggungan jawabnya. Dia hendak melihat bagaimana sikap Han Siong. Apa bila pemuda itu hanya ingin mempermainkan Ci Goat, mempergunakan kesempatan karena gadis itu jatuh cinta padanya, dan tidak mau bertanggung jawab, dia akan menghajarnya!

Hemmm, boleh jadi Han Siong lihai dan dia belum tentu menang, akan tetapi bagaimana pun juga dia akan menentang dan menantangnya! Han Siong harus mempertanggung jawabkan perbuatannya malam ini.

Waktu terasa merayap sangat lambat bagi Hay Hay. Beberapa kali dia harus menggaruki kulit tubuhnya yang dikeroyok nyamuk.

"Setan," gerutunya, "mereka enak-enak bersenang-senang, aku di sini dikeroyok nyamuk! Monyet Han Siong agaknya sudah lupa diri dan lupa daratan sampai lupa waktu. Sudah hampir pagi masih enak-enak saja."

Tiba-tiba dia melihat jendela kamar Ci Goat terbuka dari dalam dan Han Siong melompat keluar. Nampak Ci Goat dengan senyum manis dan rambut awut-awutan menutup kembali daun jendela. Hay Hay cepat mendahului Han Siong yang berjalan kembali ke kamarnya seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

Barulah Han Siong terkejut ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Hay Hay sudah berada di depannya dengan sikap tidak ramah. Akan tetapi kekagetannya ini bukan lain karena kemunculan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka itu.

"Han Siong, bagus sekali, ya! Engkau benar-benar seperti seekor harimau berbulu domba! Sesudah apa yang kau lakukan terhadap Ci Goat, maka engkau harus mempertanggung jawabkannya dan mengawini gadis itu dengan resmi!"

"Engkau tidak berhak mencampuri urusanku! Apa pedulimu? Aku tidak akan mengawini gadis mana pun!" jawaban ini jelas bukan sikap Han Siong!

"Han Siong, apa yang kau katakan ini? Engkau telah memasuki kamar seorang gadis dan tidur dengannya selama semalaman, tetapi engkau tidak mau mengawininya?" suara Hay Hay lirih karena dia tidak ingin terdengar oleh orang lain.

"Heh engkau lancang mulut! Apa yang kulakukan adalah urusanku sendiri! Aku tidak akan mengawini siapa pun dan engkau tidak berhak mencampuri urusanku. Hayo lekas pergi atau terpaksa aku akan menghajar mulutmu yang lancang!"

Hay Hay semakin heran dan dia memandang tajam, mempergunakan kekuatan sihirnya. Akan tetapi dia tidak berhasil membuat Han Siong sadar sehingga dia berkata lagi, "Pek Han Siong, tidak tahukah engkau siapa aku? Aku Hay Hay, aku Tang Hay Pendekar Mata Keranjang! Lupakah engkau?"

"Aku tidak peduli engkau siapa!” bentak Han Siong.

“Aihh, sungguh celaka! Jelas bahwa engkau telah bertindak di luar kesadaranmu. Celaka! Kenapa aku tidak menyadari hal ini? Engkau masuk ke kamar Ci Goat karena dituntun oleh kekuatan hitam! Engkau telah dicengkeram oleh ilmu hitam tiga orang pendeta Lama itu, Han Siong! Sadarlah!"

“Keparat, engkau memang layak dihajar!” Han Siong membentak dan tiba-tiba. dia sudah menyerang Hay Hay dengan tamparan tangannya yang ampuh.

Akan tetapi Hay Hay cepat mengelak. Sampai empat kali dia mengelak, dan agar jangan sampai menarik perhatian orang lain maka dia pun meloncat keluar dari rumah itu sambil berkata,

"Kalau engkau memang jantan, mari kita selesaikan urusan ini di luar rumah supaya tidak mengagetkan orang lain!" Tentu saja tantangannya ini langsung diterima Han Siong yang cepat melakukan pengejaran ketika melihat lawannya melarikan diri keluar rumah.

Sesudah tiba di tempat sunyi, agak jauh dari rumah keluarga Ouw, Hay Hay berhenti dan menghadapi Han Siong. Dia mengeluarkan bentakan nyaring yang penuh dengan sinkang untuk membuyarkan semua kekuatan hitam.

"Pek Han Siong, sadarlah! Semua kekuasaan dari kegelapan sudah lepas darimu! Sinar terang mengusir kegelapan dan mengembalikan kesadaranmu!" Hay Hay menggerakkan kedua tangannya ke arah Han Siong. Han Siong terhuyung ke belakang seperti terdorong oleh kekuatan luar biasa, akan tetapi dia lalu meloncat dan kelihatan semakin marah.

"Engkau sungguh manusia jahat dan layak dihajar!" Setelah berkata demikian, Han Siong sudah menerjang lagi dengan ganasnya.

Hay Hay terkejut. Kekuasaan apakah yang sedang mencengkeram Han Siong sehingga kekuatan sihir dalam diri Han Siong ditambah kekuatannya sendiri tidak mampu mengusir kekuasaan aneh itu? Dia tidak sempat berpikir lebih banyak karena sangatlah berbahaya menghadapi serangan seorang lawan seperti Han Siong. Dia pun cepat mempergunakan kelincahannya dan mengelak sambil balas menyerang untuk merobohkan Han Siong yang agaknya sudah tidak menguasai dirinya sendiri itu.

Terjadilah pertandingan yang dahsyat di pagi hari itu, di tempat sunyi luar kota Hok-lam. Pek Han Siong adalah seorang pemuda perkasa yang menguasai banyak ilmu silat yang tinggi. Dari orang tuanya yang turun temurun menjadi ketua perkumpulan Pek-sim-pang, dia sudah mewarisi ilmu silat Pek-sim-pang yang diringkas menjadi tiga belas jurus. Dari guru-gurunya, yaitu suami isteri Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu dia pun menerima gemblengan dan mewarisi ilmu-ilmu silat yang amat tinggi, baik dari aliran sesat karena kedua orang gurunya itu dahulunya berasal dari dunia sesat, mau pun ilmu-ilmu kesaktian yang ditemukan kedua orang gurunya itu, yaitu Kwan Im Sin-kun dan Kwan Im Kiam-sut, peninggalan seorang tokoh di antara Delapan Dewa.

Selain itu dia masih mendapat gemblengan dari Ban Hok Lo-jin, juga seorang di antara Delapan Dewa, menerima ilmu pukulan sakti Pek-hong Sin-ciang, bahkan dari kakek ini dia mendapat pelajaran ilmu sihir yang cukup kuat! Pek Han Siong merupakan seorang pendekar muda yang sukar dicari tandingannya, pandai ilmu silat, pandai ilmu sihir, dan memiliki tenaga sinkang yang amat kuat.

Di lain pihak, Tang Hay atau Hay Hay adalah seorang pemuda gemblengan pula. Dia juga murid dari dua orang datuk sakti yang termasuk sebagai anggota Delapan Dewa, yaitu See-thian La-ma dan Ciu-sian Sin-kai. Ilmu-ilmu silatnya disempurnakan oleh kakek sakti Song Lojin, dan dia juga menerima pelajaran ilmu sihir tingkat tinggi dari Pek Mau Sianjin.

Di antara ilmu-ilmu pilihan yang dikuasainya adalah Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Pukulan) dari Ciu-sian Sin-kai yang luar biasa ampuhnya, sementara dari See-thian Lama dia memperoleh dua ilmu yang amat hebat, yaitu Yan-cu Coan-in ilmu meringankan tubuh yang membuat dia seakan-akan pandai terbang atau dapat menghilang saking cepatnya gerakannya, dan ilmu langkah ajaib Jiau-pouw Poan-san.

Maka dapatlah dibayangkan alangkah hebatnya ketika dua orang pemuda sakti ini saling bertemu di dalam sebuah pertandingan! Tentu saja Hay Hay tidak memusuhi Han Siong yang dia tahu pasti dalam keadaan tidak wajar. Dia selalu mengalah dan mengandalkan ilmunya Jiau-pouw Poan-san yang membuat semua serangan Han Siong tidak mengenai dirinya. Akan tetapi, Hay Hay merasa kewalahan juga karena kalau dia tidak bersungguh-sungguh, sebaliknya Han Siong yang agaknya sudah tidak sadar lagi siapa dirinya, terus menyerangnya dengan hebat, mengerahkan semua tenaga dan kepandaiannya!

Sambil menghindarkan semua serangan Han Siong dengan ilmu langkah ajaib Jiau-pouw Poan-san, Hay Hay memutar otaknya. Dia merasa yakin bahwa keadaan Han Siong tidak sewajarnya. Sudah pasti bahwa pemuda ini sedang dicengkeram kekuasaan ilmu hitam yang amat jahat dan kuat.

Melihat sikap pemuda itu, bukan mustahil bahwa semenjak sore tadi kekuasaan itu mulai mempengaruhinya biar pun belum hebat. Akan tetapi kini kekuasaan itu telah menguasai Han Siong sepenuhnya! Bukan sihir biasa, dan agaknya mereka yang menyihirnya tidak berada di tempat itu. Tentu sihir ilmu hitam yang dilakukan dengan mempergunakan alat-alat dan jimat-jimat, dengan kekuatan mantera dan bantuan iblis.

"Bukkk!" Tubuhnya hampir terjengkang dan cepat Hay Hay meloncat lalu menggerakkan kedua kakinya memainkan langkah ajaibnya.

Setan, pikirnya. Hampir saja dia celaka karena tadi melamun memikirkan keadaan Han Siong. Sebuah pukulan ke arah dadanya hampir mengenai sasaran. Untunglah dia masih sempat memiringkan tubuh dan menerima tonjokan keras itu dengan pangkal lengannya. Dan merasa betapa pukulan itu keras sekali, Hay Hay maklum bahwa Han Siong dalam keadaan tidak sadar itu benar-benar menganggap dia seorang musuh besar!

Sungguh berbahaya sekali. Dia tidak boleh melamun, namun harus mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya kalau tidak ingin benar-benar dipukul roboh! Akan tetapi tiba-tiba sekarang dia teringat sesuatu. Tentu darah itu! Darah Han Siong!

Walau pun hanya beberapa tetes, darah Han Siong telah diambil oleh tiga orang pendeta Lama dan tentu melalui darah itulah mereka menyihir Han Siong! Dan dia pun tahu bahwa dalam ilmu yang berasal dari kegelapan, dari iblis, terdapat ilmu menguasai semangat dan pikiran orang lain melalui potongan kuku atau rambut, namun yang paling ampuh adalah dengan mempergunakan darah orang itu!

Pantas semua usahanya menyadarkan Han Siong dengan kekuatan sihir selalu gagal dan tenaga atau kekuatan sihir dalam diri Han Siong sendiri tidak mampu menolak pengaruh jahat itu. Sekarang dia mengerti bahwa tentu semenjak sore tadi Han Siong telah mulai dikuasai oleh ilmu hitam dan pemuda itu juga dalam keadaan tidak sadar atau dikuasai sihir ketika memasuki kamar Ci Goat.

Untuk merobohkan Han Siong bukanlah hal yang mudah. Tingkat kepandaian mereka tak banyak selisihnya. Dalam keadaan biasa kekuatan sihirnya masih lebih kuat dari pada Han Siong, akan tetapi pada saat itu ada kekuatan sihir yang sangat dahsyat menguasai Han Siong sehingga sukar baginya untuk mengalahkan Han Siong metalui sihir.

Kemudian dia teringat. Naluri dari watak yang bersih dan baik! Itulah yang paling kuat dan biar pun nampaknya tidak berdaya karena orangnya dikuasai sihir, namun naluri itu masih ada dalam dirinya. Naluri ini datang dari kekuasaan Tuhan dan tidak ada kekuasaan apa pun di dunia ini yang mampu mengalahkannya!

Pada saat Han Siong menyerang dengan sebuah tendangan, Hay Hay sengaja bergerak agak lambat dan menerima tendangan itu dengan perutnya yang telah dilindungi dengan sinkang agar isi perutnya tidak sampai rusak.

"Desss…!"

Tubuhnya terjengkang dan dia pun membiarkan tubuhnya berkelojotan sambil menggeliat-geliat, mulutnya merintih-rintih, "Aduhhh... aduhhhh... mati aku... engkau membunuhku... ahh… mati aku...!"

Han Siong berdiri tertegun, matanya terbelalak memandang kepada tubuh Hay Hay yang sekarang sudah menelungkup tak bergerak, bibirnya gemetar dan berbisik, "...apa yang kulakukan ini...? Aku... aku membunuhnya...”

Dugaan dan perhitungan Hay Hay memang tepat. Naluri watak yang baik kini bekerja dan Han Siong menghampiri tubuh Hay Hay, lantas berlutut. Akan tetapi, sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, Han Siong tetap waspada.

Hay Hay maklum bahwa dia harus membuat perhitungan yang sangat tepat, tidak boleh salah sedikit pun. Apa bila dia menyerang pada saat itu, tentu dia akan gagal karena Han Siong memiliki kewaspadaan tinggi.

Han Siong memegang pundak Hay Hay dan membalikkan tubuh yang menelungkup itu. Kini tubuh Hay Hay telentang dan nampak betapa ada darah segar keluar dari mulut itu.

"Ahh... dia... dia mati...!” Han Siong berkata dengan penuh kaget dan penyesalan.

Pada saat itulah Hay Hay baru menggerakkan tangannya, secepat kilat kedua tangannya telah melakukan gerakan menotok. Dalam keadaan menyesal dan terkejut itu, terlebih lagi melihat darah itu dia percaya bahwa orang yang ditendangnya benar-benar sudah mati, untuk sesaat Han Siong kehilangan kewaspadaannya dan saat itu digunakan dengan baik oleh Hay Hay.

Han Siong berusaha melempar tubuh ke belakang, namun satu di antara serangan Hay Hay tepat mengenai sasaran. Jalan darahnya tertotok lantas dia pun roboh terkulai lemas! Hay Hay meloncat bangun dengan girang sekali. Ketika ‘berkelojotan’ tadi dia menggigit lengannya sendiri sampai keluar banyak darah yang berlepotan di bibirnya!