Pendekar Mata Keranjang Jilid 42 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pada saat itu Ki Liong sudah berdiri di dekat meja Hay Hay yang tentu saja melihat dan mendengar ucapan pelayan itu. Seperti tak disengaja, Ki Liong menoleh dan memandang ke arah meja Hay Hay. Di situ masih terdapat dua buah bangku kosong, karena meja kecil itu biasanya diperuntukkan empat orang, berbeda dengan meja besar yang biasa dipakai delapan sampai sepuluh orang.

"Ahhh, perutku sudah lapar sekali. Sejak kemarin siang aku belum makan, dan sekarang tempat sudah penuh!" Dia lalu memandang kepada Hay Hay dan Ling Ling, dengan sikap sopan sekali dia lalu melangkah maju dan bersoja sambil membungkuk kepada Hay Hay dan Ling Ling.

"Harap Ji-wi (Kalian) sudi memaafkan jika saya mengganggu. Kalau sekiranya Ji-wi tidak keberatan, bolehkah saya menumpang di meja ini untuk makan? Kalau Ji-wi keberatan, tidak mengapalah..."

Melihat pemuda tampan berpakaian rapi yang bersikap demikian ramah dan sopan, tentu saja Hay Hay dan Ling Ling merasa suka sehingga mereka pun cepat bangkit membalas penghormatan pemuda itu. Ling Ling lantas memandang kepada Hay Hay seolah hendak menyerahkan keputusannya kepada susiok-nya itu. Hay Hay tersenyum ramah.

"Ahh, kita sama-sama merupakan tamu di restoran ini. Kalau Saudara suka, tentu saja boleh duduk bersama kami di meja ini. Silakan!"

"Terima kasih, terima kasih... ahh, Ji-wi sungguh baik sekali, tepat seperti apa yang saya duga. Ehh, Bung, tolong hidangkan semangkok nasi putih dan buatkan dua tiga macam masakan sayuran. Ingat, tidak memakai daging, ya? Saya sedang Ciak-jai (makan sayur, pantang daging). Dan air teh saja untuk minumku," sambungnya kepada pelayan itu yang segera mengangguk dan meninggalkan meja mereka. Mendengar pemuda yang tampan itu tidak makan daging, Hay Hay dan Ling Ling memandang heran.

Mereka saling pandang sambil tersenyum. Begitu pandang mata Ki Liong bertemu dengan Ling Ling, gadis ini segera menundukkan mukanya dan sepasang pipinya menjadi agak kemerahan. Dia menemukan sesuatu pada pandang mata itu, sesuatu yang membuatnya merasa sungkan dan malu. Dia melihat betapa pandang mata pemuda itu dengan lembut menuju ke arah dadanya, dan ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu seolah-olah meraba-raba tubuhnya!

"Ah, agaknya Saudara tidak suka makan barang berjiwa?" Hay Hay bertanya, iseng saja karena tidak tahu apa yang harus dikatakan terhadap orang yang menumpang di mejanya itu.

Ki Liong tersenyum. "Tidak demikian, Saudara yang baik. Biasanya saya makan apa saja, juga daging, akan tetapi hari ini tidak karena hari ini merupakan hari dan tanggal kematian ayahku, sembilan belas tahun yang lalu."

"Ahhh..." diam-diam Hay Hay merasa kagum sekali.

Ayah orang ini sudah sembilan belas tahun meninggal dunia, akan tetapi agaknya setiap tahun masih selalu diperingati oleh pemuda ini sebagai hari berkabung sehingga dia tidak makan barang berjiwa untuk mengenang dan berkabung atas kematian ayahnya. Sungguh seorang pemuda yang berbakti! Dan memang kesan inilah yang dikehendaki oleh Ki Liong ketika dia berbohong dan berpura-pura ciak-jai untuk mengenang kematian ayahnya.

"Maaf, bukan maksudku untuk mengetahui keadaan hidupmu, Saudara. Akan tetapi hatiku tertarik sekali. Kalau begitu, agaknya engkau masih kecil sekali ketika ayahmu meninggal dunia," kata Hay Hay.

Ki Liong mengangguk sambil tersenyum. "Tidak apa-apa, Saudara. Keramahan Ji-wi yang sudah menerimaku duduk di sini membuktikan bahwa Ji-wi berhati baik dan berarti bahwa kita sudah saling bersahabat, bukan? Memang saya masih kecil sekali ketika ayah saya meninggal, saya baru berusia satu tahun. Maaf, setelah Ji-wi begitu baik menerima saya di meja ini, maukah Ji-wi menerima saya sebagai kenalan? Saya bernama Sim Ki Liong, dan bolehkah saya mengenal nama Ji-wi yang terhormat?"

Inilah kesalahan Ki Liong. Dia memperkenalkan namanya tanpa ragu karena dia merasa yakin bahwa kedua orang muda di depannya itu belum pernah mendengar namanya dan tidak mengenalnya. Ki Liong sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa Hay Hay pernah mendengar nama ini dari Kui Hong!

Mendengar nama 'Ki Liong', diam-diam Hay Hay merasa terkejut walau pun kemudian dia meragu karena dahulu Kui Hong memberi tahu kepadanya bahwa murid Pendekar Sadis dan isterinya mempunyai nama keturunan Ciang, bukan Sim! Apakah kebetulan namanya saja sama, pikirnya.

"Ahh, engkau sungguh baik sekali, Saudara Sim. Ketahuilah bahwa saya Hay Hay dan dia ini bernama Ling Ling," Hay Hay memperkenalkan diri dan gadis itu.

Dengan sikap sopan Ki Liong tersenyum sambil memandang kepada mereka bergantian. "Maaf, walau pun nama Ji-wi itu indah sekali, tetapi agaknya Saudara lupa menyebutkan nama keluarga Ji-wi yang mulia."

Karena tadi pemuda itu juga sudah menyebutkan nama keluarganya, nama keluarga yang membuat dirinya menduga-duga apakah pemuda ini adalah murid Pendekar Sadis seperti yang dimaksudkan Kui Hong atau bukan, terpaksa Hay Hay memperkenalkan pula nama keluarganya.

"Nama keluarga saya adalah Tang, dan dia ini... ehh, Ling Ling, aku lupa lagi, siapa nama keluargamu?" Hay Hay berpura-pura, bermaksud hendak menyerahkan kepada Ling Ling sendiri apakah mau mengakui nama keluarganya atau tidak karena bagaimana pun juga, nama keluarga Cia sudah terkenal di kalangan kang-ouw dan dapat segera menimbulkan dugaan orang bahwa ada hubungan antara gadis ini dengan keluarga Cia di Cin-ling-pai.

Ling Ling adalah seorang gadis yang lembut dan jujur, tanpa prasangka, maka meski pun sinar mata pemuda yang baru dikenalnya itu tak menyamankan hatinya, dia memandang Hay Hay dengan heran ketika mendengar pertanyaan pemuda ini.

"Susiok, sungguh heran sekali. Apakah Susiok sudah lupa lagi dengan nama keluargaku? Aku she (bernama keluarga) Cia!"

"Aihh, ternyata Ji-wi adalah seorang susiok dan murid keponakannya? Kalau begitu, Ji-wi adalah dua orang pendekar!" Ki Liong berseru.

Hay Hay tersenyum. "Kami hanyalah orang-orang biasa, dan maaf, saya tadi lupa nama keluarganya karena meski pun kami masih paman dan keponakan, namun baru pagi tadi kami saling berjumpa." Kini Hay Hay tertawa, tidak khawatir lagi karena Ling Ling sudah berterus terang. "Akan tetapi jangan menyangka bahwa kami adalah pendekar!" Kemudian disambungnya, seperti sambil lalu saja, "Saudara Sim menyangka kami adalah pendekar, apakah Saudara sendiri juga seorang ahli silat yang lihai?"

Ki Liong tertawa dan nampak wajahnya semakin tampan menarik ketika dia tertawa, dan sepasang matanya yang jernih dan tajam itu menyambar ke arah Ling Ling. Kembali gadis ini merasa betapa sinar mata itu memandang kepadanya tidak sewajarnya, maka dia pun cepat menundukkan pandang matanya.

"Ha-ha-ha, saya ingin berterus terang saja. Memang saya pernah mempelajari ilmu silat, akan tetapi hanya iseng-iseng saja dan sama sekali tidak dapat dikata bahwa saya lihai."

Pada saat itu pula dua orang pelayan datang membawa pesanan makanan dan minuman mereka. Agaknya karena ketiga orang itu duduk semeja, maka pesanan Hay Hay dan Ki Liong dikeluarkan berbareng. Ki Liong menghadapi nasi dan tiga mangkok masakan sayur tanpa daging, sedangkan Hay Hay dan Ling Ling menghadapi nasi dengan lima macam masakan. Hay Hay menawarkan anggurnya, akan tetapi Ki Liong menolak dengan halus.

"Hari ini hanya sayuran dan air teh saja untuk saya," katanya, kemudian dia melanjutkan, "Sebelum kita mulai makan, saya ingin menghaturkan rasa terima kasih dan hormat saya kepada Ji-wi dengan air teh di poci saya. Harap Ji-wi suka menerimanya!" Tanpa memberi kesempatan kepada dua orang itu untuk menjawab, Ki Liong sudah mengambil cawan di depan Hay Hay kemudian menuangkan poci di tangan kanannya ke dalam cawan yang dipegang di tangan kirinya.

Sambil tersenyum Hay Hay memandang, akan tetapi senyumnya segera lenyap sesudah dia melihat betapa cawannya yang dipegang oleh tangan kiri Ki Liong sudah penuh akan tetapi teh dari poci itu masih di tuang terus! Kini cawan itu terlalu penuh, akan tetapi air teh itu tak sampai meluber, seolah-olah tertahan oleh sesuatu dan air teh itu berada lebih tinggi dari pada bibir cawan, membulat seperti telur yang bergoyang-goyang!

"Silakan, Saudara Tang!" kata Ki Liong sambil menyodorkan cawan itu kepada Hay Hay.

Hay Hay tersenyum lagi dan sekarang makin keras dugaannya bahwa pemuda inilah yang dimaksudkan Kui Hong, yaitu murid dari Pendekar Sadis. Pemuda ini telah menunjukkan kepandaiannya, mempergunakan sinkang-nya (hawa sakti) untuk menahan air teh di atas cawan itu sehingga tidak sampai meluber dan tumpah. Kalau penerimanya tidak memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat, ketika menerima cawan itu tentu air tehnya yang terlalu penuh melebihi ukuran itu akan tumpah.

"Saudara Sim, engkau sungguh terlalu sungkan!" katanya sambil menerima cawan yang penuh air teh itu sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya. "Aihh, air tehmu masih panas!" katanya tersenyum.

Saat Ki Liong memandang, dia merasa kagum sekali. Bukan saja air teh itu tidak meluber dan tumpah, bahkan kini air teh itu mengepulkan uap karena panas! Padahal, biar pun air teh itu masih hangat, namun ketika dia menuangkan ke dalam cawan tidak mengeluarkan uap panas!

Maka tahulah dia bahwa benar seperti laporan Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko, pemuda ini benar-benar lihai sekali, dan dia harus berhati-hati menghadapinya. Dia tersenyum kagum melihat Hay Hay minum air teh dalam cawan itu sampai habis.

"Sekarang harap Nona sudi menerima penghormatan saya dengan secawan air teh," kata Ki Liong sambil menuangkan poci air teh itu ke dalam cawan yang diambilnya dari depan gadis itu. Seperti tadi, sekali ini dia juga menyodorkan cawan yang terlalu penuh terisi air teh.

"Terima kasih!" kata Ling Ling dan dengan sikap tenang,

Ia pun menerima cawan itu sambil mengerahkan tenaganya. Dan ternyata air teh itu sama sekali tidak meluber atau tumpah, bahkan pada saat gadis itu mengangkat cawannya dan menuangkan isinya ke mulut, air teh itu tidak dapat turun atau tumpah, tetap melekat pada cawan seolah-olah sudah berubah membeku dan melekat pada cawannya!"

"Aih, air tehmu membeku dan biarlah dikembalikan ke poci agar mencair lebih dulu!" kata Ling Ling dan dengan tenang dia membuka tutup poci air teh Ki Liong lalu menuangkan isi cawannya ke dalam poci. Demikianlah, sambil mendemonstrasikan kepandaiannya, gadis itu secara halus menolak pemberian air teh oleh pemuda itu!

Melihat ini Ki Liong yang cerdik segera bangkit berdiri dan bersoja dengan hormat. "Aihh, sungguh saya bermata akan tetapi seperti buta, tidak melihat bahwa saya berhadapan dengan dua orang yang memiliki kesaktian!"

"Saudara Sim, kiranya ini bukan tempat yang tepat bagi kita untuk bersungkan-sungkan!" kata Hay Hay. Pemuda ini berbicara dengan lirih sehingga tidak terdengar oleh para tamu lainnya.

Ki Liong mengangguk. "Saudara Tang benar, sekarang mari kita makan hidangan kita dan nanti saja kita bicara di tempat yang lebih layak."

Mereka bertiga lalu mulai makan minum dan tidak banyak cakap lagi. Diam-diam Hay Hay merasa hampir yakin bahwa tentu pemuda ini adalah murid Pendekar Sadis itu dan dia menduga-duga apa hubunganya pemuda ini dengan gerakan para tokoh sesat. Dan apa pula maksud pemuda ini menghubungi dia dan Ling Ling, karena dia tidak percaya bahwa pertemuan ini hanya suatu kebetulan saja. Lebih tepat kalau semua ini telah direncanakan orang! Akan tetapi apa maksudnya?

Bagaimana pun juga dia harus bersikap hati-hati karena maklum bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Bukan hanya ilmu silatnya yang tinggi, namun mungkin sekali juga amat cerdik dan sikapnya ini merupakan satu di antara siasat yang cerdik. Dia tidak perlu mengisyaratkan Ling Ling untuk berhati-hati, karena penolakan suguhan air teh tadi saja sudah menunjukkan bahwa Ling Ling telah bersikap hati-hati sekali dan tidak mau minum air teh yang disuguhkan berarti bahwa gadis itu tidak begitu percaya kepada pemuda itu.

Tiga orang muda itu sama sekali tidak tahu bahwa ada sepasang mata secara diam-diam mengamati mereka dari sudut lain ruangan rumah makan itu. Sepasang mata ini adalah milik seorang laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, seorang laki-laki yang gagah perkasa, dengan tubuh yang sedang namun padat dan tegak, nampak kuat.

Pakaiannya sederhana namun rapi dan wajahnya mengandung wibawa. Wajah itu tampak gagah, dengan kumis dan jenggot yang terpelihara secara baik. Wajahnya berkulit segar kemerahan, sepasang matanya bersinar tajam dan lincah membayangkan kecerdikan dan keberanian. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum penuh kejantanan dan daya pikat. Dagunya yang persegi menambah kegagahannya.

Sejak tadi secara diam-diam pria ini mengamati tiga orang muda itu dan ketika Ki Liong menawarkan minuman dari poci, matanya yang tajam itu mengeluarkan sinar dan bibirnya yang dibayangi senyum itu bergerak memperlebar senyumnya, bahkan dia mengangguk-angguk seorang diri sambil minum araknya.

Sekarang Hay Hay, Ling Ling, dan Ki Liong sudah selesai makan.

"Saya mempunyai urusan penting untuk dibicarakan dengan Ji-wi, akan tetapi tentu saja tidak di tempat ini. Maukah Ji-wi menemui saya di luar pintu gerbang kota sebelah barat? Atau sekarang juga ikut dengan saya ke sana agar kita lebih leluasa bicara?" Sim Ki Liong menjadi pembicara pertama setelah mereka selesai makan.

"Kalau memang ada keperluan penting, baiklah Saudara Sim, kami akan menemuimu di sana. Berangkatlah dulu, kami masih ada urusan lain dan sebentar lagi kami menyusul," kata Hay Hay sebelum Ling Ling yang sudah mengerutkan alisnya itu sempat menolak.

"Terima kasih, Saudara Tang dan Nona Cia," kata Ki Liong, lantas pemuda ini cepat-cepat pergi meninggalkan mereka, agaknya merasa khawatir kalau-kalau Hay Hay akan menarik kembali kesanggupannya.

Setelah Ki Liong pergi, Ling Ling yang berjalan keluar setelah Hay Hay membayar harga makanan mereka, segera menegur Hay Hay. "Susiok, kenapa kita harus melayani orang itu? Kita baru saja berkenalan dengan dia, kita tidak tahu dia itu orang macam apa. Terus terang saja, ada sesuatu pada pandang matanya yang membuat aku merasa curiga dan tidak suka."

"Justru itulah, Ling Ling. Aku pun curiga melihat bahwa dia seorang yang berilmu tinggi. Tapi kalau dugaanku benar, kalau dia itu merupakan seorang di antara tokoh sesat yang mengadakan gerakan, justru kebetulan sekali! Ketika makan tadi aku telah mendapatkan sebuah siasat yang baik sekali."

Mendengar ucapan ini, hilanglah rasa penasaran yang tadi membayang pada wajah gadis itu. "Bagaimana siasat itu, Susiok?"

"Agaknya dia ingin menghubungi kita dan kalau benar dia tokoh pergerakan, agaknya dia hendak membujuk kita untuk bersekutu. Nah, kesempatan ini akan kugunakan sebaiknya. Aku akan pura-pura setuju sehingga dengan demikian aku akan dapat memasuki sarang mereka dengan mudah. Jika aku diterima sebagai kawan, tentu dengan mudah aku akan dapat menyelidiki keadaan mereka dari dalam."

Gadis itu membelalakkan matanya, memandang penuh khawatir. Melihat sepasang mata itu terbelalak indah bagaikan bintang kembar bercahaya, Hay Hay menjadi kagum. "Ahh, matamu indah sekali, Ling Ling!" katanya.

Ling Ling mengerutkan sepasang alisnya dan kedua pipinya berubah merah, akan tetapi dia tidak marah, bahkan tersenyum malu. "Ihh, Susiok. Orang bicara dengan serius malah ditanggapi dengan senda-gurau!"

"Aku tidak bergurau, Ling Ling. Memang matamu tadi nampak indah bukan main. Jangan engkau khawatir, jika aku dapat melakukan penyelidikan dari dalam berarti tugasku akan lebih berhasil."

"Tapi... tapi... masuk ke dalam sarang mereka? Sungguh berbahaya sekali, Susiok!"

"Aku dapat membela diri, Ling Ling. Akan tetapi engkau tidak perlu ikut masuk ke sarang mereka. Engkau menyelidiki dari luar saja. Coba engkau mengadakan hubungan dengan para pendekar yang aku yakin banyak terdapat di sekitar daerah ini."

"Tapi... tapi, bagaimana nanti kita akan dapat saling bertemu lagi, Susiok? Kalau engkau hendak masuk ke sarang mereka, biar aku ikut. Aku pun tidak takut!"

"Ah, jangan, Ling Ling. Biar aku saja. Begini sajalah, dalam waktu tiga hari, aku pasti akan mencarimu di tepi telaga itu. Tempat itu menjadi tempat pertemuan kita... ssttt," Hay Hay memberi isyarat dan cepat menghentikan kata-katanya ketika seorang laki-laki lewat di dekat mereka. Lelaki setengah tua yang ganteng dan gagah, yang tadi memperhatikan mereka di dalam rumah makan.

Akan tetapi orang itu lewat begitu saja, sambil menunduk dan sama sekali tidak melirik ke arah mereka sehingga baik Hay Hay mau pun Ling Ling sama sekali tidak menaruh curiga karena di depan restoran itu memang merupakan jalan raya di mana terdapat lalu lintas yang cukup ramai.

"Nah, kiranya cukup pesanku, Ling Ling. Lagi pula semua itu hanya kalau dugaanku benar bahwa dia mempunyai hubungan dengan persekutuan itu. Jika tidak, tentu saja akan lain lagi jadinya. Kita lihat saja nanti. Hayo, kita menuju ke pintu gerbang sebelah barat."

Kemudian dua orang muda itu berangkat, tidak tahu betapa sepasang mata yang tajam mengikuti mereka. Laki-laki setengah tua tadi tersenyum sambil mengelus jenggotnya, lalu dia membayangi dari jauh, menuju ke pintu gerbang sebelah barat.

Hay Hay dan Ling Ling melangkah dengan seenaknya menuju ke pintu gerbang sebelah barat. Tiba-tiba Hay Hay menyentuh tangan Ling Ling dan berbisik sampai menoleh, "Ling Ling, engkau jangan menengok dan tetap berjalan biasa saja. Di belakang kita terdapat tujuh orang yang mencurigakan, agaknya mereka membayangi kita."

Ling Ling mengangguk dan jantungnya berdebar. Sebagai seorang gadis yang baru saja meninggalkan tempat tinggal orang tuanya untuk merantau, memang sudah beberapa kali dia menghadapi gangguan dan selalu dapat mengatasinya. Akan tetapi baru sekarang dia menyadari bahwa dia berada di daerah yang berbahaya, di mana terdapat banyak orang pandai yang belum dikenalnya dan tidak diketahuinya apakah mereka itu kawan ataukah lawan.

Keadaan pemuda bernama Sim Ki Liong itu saja sudah menimbulkan banyak kecurigaan dan rahasia, dan sekarang sebelum rahasia itu terpecahkan telah muncul lagi tujuh orang membayangi mereka! Dia ingin sekali melihat siapakah mereka, orang-orang macam apa, akan tetapi dia tidak boleh menengok ke belakang.

Mendadak sapu tangan yang tadi dipegang oleh tangan kiri gadis itu terlepas, lalu dengan gerakan seperti tanpa disengaja dia pun membungkuk dan berjongkok mengambil sapu tangannya. Kesempatan ini dipergunakannya untuk melirik ke belakang dan sekejap saja cukuplah baginya. Nampak enam orang yang berpakaian ringkas dipimpin oleh seorang yang berpakaian tosu (Pendeta To!)

Hay Hay tersenyum geli. Tentu saja dia maklum kenapa sapu tangan Ling Ling terjatuh. Cerdik juga gadis ini, pikirnya. Memang sangat tidak enak kalau mengerti bahwa dirinya dibayangi orang akan tetapi tidak boleh melihat siapa orang itu. Tadi pun dia tidak sengaja menoleh dan melihat mereka.

Ketika mereka keluar dari pintu gerbang, dari tempat itu sudah kelihatan seorang pemuda berdiri di tempat agak jauh, tempat yang sunyi karena keluar dari pintu gerbang barat itu yang nampak hanya hutan-hutan pegunungan. Hanya sedikit orang yang lewat, dan kalau pun ada, mereka itu adalah orang-orang suku bangsa Hui dan Miao.

Dua suku bangsa ini mudah saja dikenalnya dari pakaian mereka. Orang suku bangsa Hui selalu memakai sorban dari kain putih yang dibelit-belitkan di kepalanya, pikirnya. Mereka adalah orang-orang beragama Islam. Orang-orang suku bangsa Hui ini terkenal sebagai peternak-peternak, terutama kambing, penjagal dan juga pandai masak sehingga banyak di antara mereka membuka rumah makan di kota-kota.

Sebenarnya orang-orang Hui merupakan orang-orang Han juga. Perbedaannya di antara mereka adalah bahwa orang Hui beragama Islam sedangkan orang Han memiliki banyak macam agama, terutama sekali mereka menjadi penganut Agama Buddha, Khong-hucu, dan Tao, biar pun ada pula sejumlah kecil orang Han yang menjadi pengikut Agama Islam atau Kristen.

Sedangkan suku bangsa Miao mudah dikenal dari pakaian mereka yang serba hitam dan orang-orangnya yang pendiam dan kasar. Kaum wanitanya memakai anting-anting yang khas, berbentuk gelang yang besar sehingga daun telinga mereka tertarik ke bawah dan memanjang. Suku bangsa Miao yang terdesak oleh orang-orang Han itu kini banyak hidup di daerah pegunungan bagian selatan, bercocok tanam dan juga berternak, dan mereka pun terkenal sebagai pemburu yang pandai.

Dengan langkah seenaknya tanpa tergesa-gesa, Hay Hay dan Ling Ling terus melangkah keluar dari pintu gerbang menuju ke arah pemuda yang telah berdiri menanti mereka itu. Diam-diam Hay Hay mengerling ke arah belakang sambil menengok ke kiri seakan-akan bicara dengan Ling Ling dan dia melihat betapa tujuh orang itu telah tiba di pintu gerbang pula, kemudian mereka menyelinap ke kiri dan lenyap di dalam hutan kecil.

Ki Liong segera menyambut mereka dengan senyum ramah. "Terima kasih, ternyata Ji-wi memenuhi janji dengan cepatnya. Marilah, Ji-wi, kita memasuki hutan ini agar percakapan kita tidak terganggu, karena di jalan ini ada saja orang yang lewat."

Tanpa menanti jawaban, Ki Liong melangkah memasuki hutan, diikuti oleh Hay Hay dan Ling Ling yang masih mengerutkan alisnya karena bagaimana pun juga gadis ini sama sekali tidak percaya akan itikad baik pemuda kenalan baru itu. Akhirnya Ki Liong berhenti di bawah sebatang pohon besar.

Memang tempat itu tampak enak untuk bercakap-cakap. Tempatnya teduh, terlindung dari terik matahari siang, dan di atas tanah terhampar permadani hijau dari rumput tebal yang segar. Akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan tanah menjadi bangku-bangku yang enak diduduki. Mereka bertiga duduk di atas akar pohon, saling berhadapan.

"Maafkan kalau saya bersikap seperti ini, karena Ji-wi jluga maklum bahwa untuk dapat membicarakan urusan penting, kita harus mencari tempat yang sunyi agar tidak terdengar orang lain."

"Saudara Sim, kini kami telah datang memenuhi undanganmu. Nah, katakanlah apa yang ingin kau bicarakan dengan kami?" kata Hay Hay sambil memandang tajam penuh selidik ke arah wajah yang tampan dan penuh senyum manis dan kelembutan itu.

Sim Ki Liong memandang Hay Hay dan Ling Ling. Dia kelihatan agak gelisah, tampaknya sukar baginya untuk menyatakan kehendak hatinya. Kemudian dia baru berkata dengan suara yang lembut,

"Begitu bertemu dengan Ji-wi, hati saya sudah amat tertarik. Apa lagi setelah mendapat keyakinan bahwa Ji-wi memiliki ilmu kepandaian tinggi, saya merasa kagum bukan main. Sebab itu timbullah rasa sayang dan alangkah penasaran rasa hati ini melihat Ji-wi tetap menjadi orang biasa saja, padahal orang-orang yang mempunyai ilmu kepandaian seperti Ji-wi ini sepatutnya menduduki pangkat yang tinggi dan kemuliaan."

"Kami tidak mengerti apa maksudmu, Saudara Sim," kata Hay Hay, berpura-pura karena hatinya berdebar tegang melihat betapa tepatnya apa yang diduganya semula.

"Maksudku, Ji-wi pantas sekali untuk menjabat pangkat tinggi di kerajaan, sesuai dengan kepandaian Ji-wi."

Hay Hay dan Ling Ling bertukar pandang, kemudian Hay Hay tertawa. "Ha-ha-ha, harap engkau tidak main-main, Saudara Sim! Mana mungkin orang seperti kami dapat menjabat pangkat tinggi?"

"Kenapa tidak mungkin? Memang, pemerintah sekarang hanya memilih orang-orang yang menjadi antek mereka! Kedudukan tinggi diberikan kepada orang-orang yang tidak becus dan jahat! Karena itu saya mengajak Ji-wi untuk bekerja sama dengan kami yang sedang mempersiapkan perjuangan." Tiba-tiba Sim Ki Liong berhenti bicara dan menoleh ke kiri. Hay Hay dan Ling Ling juga sudah mendengar suara jejak kaki dari arah kiri.

Tiba-tiba saja, dengan berloncatan muncullah tujuh orang laki-laki setengah tua, dipimpin oleh seorang di antara mereka, yaitu seorang tosu yang berjubah kuning dan memegang sebatang tongkat yang setinggi tubuhnya. Tosu ini berusia lima puluh tahunan, wajahnya angker dan berwibawa, sedangkan enam orang lainnya adalah orang-orang berusia antara empat puluh tahun dan di punggung mereka terdapat sebatang pedang bersarung. Sikap mereka juga kereng dan berwibawa.

Tiba-tiba tosu itu menudingkan tongkat panjangnya ke arah Hay Hay sambil membentak. "Ang-hong-cu! Menyerahlah engkau sebelum pinto terpaksa menggunakan kekerasan!"

Hay Hay sangat terkejut mendengar seruan itu. Juga Sim Ki Liong memandang dengan heran dan jelas terlihat betapa dia terkejut dan kini memandang kepada Hay Hay dengan mata penuh selidik. Tak diduganya bahwa pemuda lihai ini ternyata adalah Ang-hong-cu! Tentu saja Ki Liong sudah mendengar nama Ang-hong-cu ini, nama seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga, pemerkosa wanita) yang amat tersohor akan tetapi yang belum pernah diketahui bagaimana wajahnya itu!

Gerak-gerik jai-hwa-cat itu penuh rahasia sehingga kabarnya selama ini banyak pendekar yang gagal pada saat berusaha menangkapnya. Kabarnya lihai seperti setan dan kiranya pemuda ini orangnya!

Juga Ling Ling memandang kepada Hay Hay dengan alis berkerut. Susiok-nya ini adalah Ang-hong-cu? Dia pun sudah mendengar berita tentang penjahat pemerkosa wanita yang amat keji itu, akan tetapi sungguh sukar dapat dipercaya bahwa susiok-nya ini orangnya! Hay Hay sendiri bersikap tenang.

"Totiang, harap totiang jangan sembarangan saja menuduh orang. Siapakah Totiang dan apa sebabnya Totiang begitu datang lalu menyebut aku Ang-hong-cu dan minta agar aku menyerah? Apa artinya semua ini?"

"Hemm, engkau masih mencoba untuk berpura-pura alim? Ang-hong-cu, ketahuilah bahwa pinto adalah Tiong Gi Cinjin, wakil Ketua Bu-tong-pai sedangkan mereka adalah Bu-tong Liok-eng, murid-murid keponakan pinto. Nah, setelah kami memperkenalkan diri, tidakkah sepatutnya kalau engkau segera berlutut menyerahkan diri, Ang-hong-cu?" Tosu itu lantas berkata lagi, agaknya ingin menyelesaikan urusan itu dengan jalan damai, "Kami hendak menghadapkan engkau kepada ketua kami agar beliau sendiri bisa mengambil keputusan mengenai hukuman atas dosamu terhadap Bu-tong-pai."

Hay Hay lantas teringat akan pengalamannya kurang lebih satu tahun yang lampau. Dulu pernah dia diserang oleh tiga orang pendekar Bu-tong-pai. Mereka menuduhnya sebagai Ang-hong-cu dan tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk membantahnya, mereka langsung menyerangnya kalang kabut sehingga terpaksa dia menggunakan ilmu sihirnya untuk menghilang dari penglihatan mereka.

Maka tahulah dia sekarang bahwa wakil ketua Bu-tong-pai ini sudah keluar sendiri untuk menangkap dirinya. Wah, kalau begitu keadaannya sangat gawat. Akan tetapi karena dia masih tetap penasaran, dia pun segera bertanya.

"Maaf, Totiang. Sesungguhnya aku merasa tidak pernah melakukan kesalahan terhadap Bu-tong-pai. Kenapa sekarang Totiang, sebagai wakil ketua, dan enam orang saudara ini ingin menangkapku? Jelaskan dulu apa kesalahanku!"

Sepasang mata pendeta itu mencorong penuh kemarahan. Sikap yang tidak bertanggung jawab dianggapnya sebagai sikap seorang pengecut sehingga membuat dia marah sekali. "Ang-hong-cu, apakah engkau sudah lupa akan peristiwa kurang lebih setahun yang lalu ketika engkau diserang oleh tiga orang murid pinto?"

Menjemukan sekali, pikir Hay Hay. Dia bukan Ang-hong-cu (Si Tawon Merah) dan julukan Ang-hong-cu ini selalu membuat dadanya panas dan kepalanya merasa pening karena itu adalah julukan dari seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat besar yang bukan lain adalah... ayah kandungnya! Dia sudah dapat menduga apa yang sudah terjadi antara penjahat itu dengan Bu-tong-pai, akan tetapi dia ingin jelas dan yakin.

"Aku belum lupa, Totiang, akan tetapi sampai sekarang pun aku masih bingung dan tidak mengerti mengapa tiga orang murid Bu-tong-pai itu menyerangku mati-matian."

Tiong Gi Cinjin menoleh pada enam orang tokoh Bu-tong-pai yang sejak tadi memandang dan mendengarkan saja. Dia lantas menyuruh seorang di antara mereka untuk memberi penjelasan. Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis tipis lalu melangkah maju menghadapi Hay Hay.

"Orang muda, kami bukanlah orang-orang yang suka menuduh membabi-buta saja tanpa bukti. Sepak terjang Ang-hong-cu sudah lama kami kenal, dan pada suatu hari, seorang sumoi kami menjadi korban! Sebelum tewas sumoi sempat mengaku bahwa dia menjadi korban Ang-hong-cu. Tentu saja hal ini merupakan penghinaan bagi kami sehingga kami segera menyebar murid-murid untuk mencari sampai dapat penjahat yang telah merusak nama dan kehormatan kami. Kurang lebih setahun yang lalu, tiga orang sute kami telah berhasil menemukanmu dan menyerangmu. Engkaulah jai-hwa-cat Ang-hong-cu jahanam itu!"

"Hemm, apa buktinya?" Hay Hay membantah.

"Buktinya? Saat itu tiga orang sute kami melihat betapa engkau memegang sebuah tanda perhiasan berbentuk tawon merah, sangat persis dengan benda yang diterima oleh sumoi kami! Engkaulah Ang-hong-cu, maka harap engkau cukup jantan untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu!"

"Tapi... tapi... aku bukan Ang-hong-cu..." bantah Hay Hay.

"Dan perhiasan tawon merah yang ada padamu itu?" bentak Tiong Gi Cinjin penasaran.

"Aku... aku hanya kebetulan menemukan barang itu," kata Hay Hay agak gagap karena tentu saja dia tidak mau mengaku dari mana dia memperoleh perhiasan itu dan mengaku bahwa Ang-hong-cu adalah ayah kandungnya!

"Susiok, benarkah engkau bukan Ang-hong-cu?" Ling Ling yang sejak tadi memandang sambil mendengarkan dengan alis berkerut dan wajah agak pucat, kini tiba-tiba bertanya. Mendengar ini, Hay Hay memandang gadis itu dan menggelengkan kepalanya.

"Bukan, Ling Ling, percayalah!"

Kini Ling Ling menghadapi Tiong Gi Cinjin dan berkata. "Totiang, rasanya ada kekeliruan dalam hal ini. Kalau tidak salah, nama Ang-hong-cu sudah tersohor sejak belasan tahun silam! Bagaimana mungkin Susiok-ku ini yang menjadi Ang-hong-cu, padahal usia Susiok ini baru dua puluh lebih?"

Tujuh orang Bu-tong-pai ini saling pandang, akan tetapi Tiong Gi Cinjin segera berkata, "Kalau dia ini bukan Ang-hong-cu, tentulah keturunannya atau muridnya! Ang-hong-cu tak pernah memperlihatkan dirinya, hanya selalu meninggalkan perhiasan tawon merah. Akan tetapi pemuda ini memiliki perhiasan itu, dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa dialah Ang-hong-cu. Gerak-geriknya sudah lama dibayangi oleh para murid Bu-tong-pai dan dia seorang pemuda mata keranjang yang suka menggoda wanita!"

"Ahhhh...!" Ling Ling melangkah mundur dan memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata penuh keraguan.

"Ling Ling! Engkau... tidak percaya padaku?"

"Aku.. aku tidak tahu..." gadis itu menjawab sambil melangkah mundur lagi sampai lima langkah.

"Sudahlah, orang muda. Menyerahlah saja dan nanti di depan ketua kami, boleh engkau membela diri sesukamu!" kata Tiong Gi Cinjin sambil melangkah maju.

"Tidak, Totiang, aku tidak mau menyerah karena aku tak merasa bersalah terhadap pihak Bu-tong-pai!" kata Hay Hay yang menjadi tidak sabar lagi, terutama sekali melihat betapa Ling Ling agaknya juga mulai bercuriga kepadanya, telah mengira bahwa dia benar-benar Ang-hong-cu!

"Kalau begitu terpaksa pinto mempergunakan kekerasan!" kata tosu itu dan enam orang murid keponakannya juga sudah mencabut pedang dari punggung masing-masing. Cara mereka mencabut pedang saja sudah menunjukkan bahwa mereka telah menguasai Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-sut yang terkenal indah dan ampuh.

Tiba-tiba Sim Ki Liong tertawa kemudian dia pun melangkah maju. "Nanti dulu, Totiang. Saudara ini adalah tamuku, dan akulah yang mengajak mereka berdua datang ke tempat ini. Oleh karena itu, jika Totiang dan para murid Bu-tong-pai hendak menyerang Saudara Tang ini, berarti menyerang tamuku. Sebagai seorang tuan rumah, tentu saja saya tidak dapat membiarkan tamu saya diganggu!"

Tiong Gi Cinjin memandang wajah Ki Liong dengan alis berkerut. Dia bertindak atas nama Bu-tong-pai dan dia tidak mau kalau sampai perkumpulannya terlibat dalam permusuhan dengan golongan lain. "Orang muda, siapakah engkau? Di antara kita tidak ada persoalan sesuatu, karena itu harap engkau orang muda jangan mencampuri urusan kami dengan Ang-hong-cu."

"Namaku Sim Ki Liong, Totiang. Memang benar bahwa di antara kita tidak pernah terjadi bentrokan atau ada persoalan, tetapi kalau hari ini pihak Bu-tong-pai hendak mengganggu tamu-tamuku dan tidak dapat kuminta supaya tidak melanjutkan kehendaknya itu, berarti bahwa Bu-tong-pai sengaja hendak mencari gara-gara dan urusan dengan aku," jawaban ini tenang akan tetapi juga mengandung peringatan dan ancaman.

"Orang she Sim!" bentak seorang di antara Bu-tong Liok-eng (Enam Pendekar Bu-tong) yang kurus tadi. "Ini adalah hutan raya, sebuah tempat umum. Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa Ang-hong-cu ini adalah tamumu? Jika engkau hendak melindunginya berarti bahwa engkau pun bukan manusia baik-baik! Yang melindungi penjahat, berarti dia penjahat pula! Harap Susiok jangan melayani bocah ini dan biarlah kami yang akan menghabisinya!" Berkata demikian Si Kurus ini lantas memberi isyarat kepada lima orang temannya dan mereka berenam langsung mengepung Ki Liong dengan pedang di tangan! Akan tetapi Ki Liong hanya tersenyum dan berdiri tenang.

"Sudah kukatakan bahwa aku tak ingin bermusuhan, akan tetapi kalau kalian orang-orang Bu-tong-pai mengganggu tamuku dan aku, apa boleh buat, jangan dikira kalau aku takut terhadap kalian!" Tangan kanannya bergerak dan nampak sinar berkelebat. Tahu-tahu di tangan kanannya sudah terdapat sebatang pedang putih karena pedang itu terbuat dari perak!

Melihat ini jantung Hay Hay berdebar tegang. Kini dia sudah yakin benar. Sim Ki Liong ini adalah sama dengan Ciang Ki Liong yang pernah didengarnya dari Kui Hong, yaitu murid Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah, murid murtad yang pergi meninggalkan pulau itu tanpa pamit dengan membawa pusaka-pusaka pulau itu, termasuk sebatang pedang yang dia masih ingat saat Kui Hong bercerita, yaitu pedang yang namanya Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak).

Melihat pemuda itu mengeluarkan sebatang pedang, enam orang pengepungnya segera menerjang dari berbagai penjuru. Tampak sinar perak yang menyilaukan mata lalu disusul suara nyaring berdencingan ketika Ki Liong memutar pedangnya menangkis.

Enam orang itu berloncatan ke belakang dengan hati kaget. Pertemuan antara pedang itu telah membuat mereka terkejut karena tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa orang muda itu sungguh lihai! Mereka kembali mengepung dengan hati-hati dan maklum bahwa mereka tidak boleh mengadu senjata secara langsung dengan lawan itu.

Sementara itu Tiong Gi Cinjin telah melintangkan tongkatnya dan membentak kepada Hay Hay, "Orang muda, engkau tidak mau menyerah dan memaksakan perkelahian. Baiklah, keluarkan senjatamu dan lawanlah tongkat pinto!"

Hay Hay yang memperhatikan gerakan pedang perak di tangan Ki Liong, kini tersenyum sambil menggelengkan kepala kepada tosu itu. "Totiang, aku tak pernah mempersiapkan senjata untuk berkelahi. Apa bila Totiang masih penasaran dan hendak memaksaku untuk menyerah, atau hendak menyerang dengan tongkat itu, silakan!"

Ucapan dan sikap tenang Hay Hay itu dianggap suatu tantangan oleh Tiong Gi Cinjin dan mukanya menjadi merah. Dia seorang wakil Ketua Bu-tong-pai, kini menghadapi seorang pemuda dengan tongkatnya yang terkenal di tangan, dan pemuda itu sama sekali tak mau melawannya dengan senjata, melainkan dengan tangan kosong saja! Maka dia pun cepat menancapkan tongkatnya ke atas tanah sambil mengerahkan tenaganya.

"Cappp!" Tongkat panjang itu masuk ke dalam tanah sampai sepertiganya, dan dia pun menghadapi Hay Hay dengan tangan kosong!

"Ang-hong-cu, selain jahat engkau juga sombong bukan main! Nah, pinto juga bertangan kosong. Bersiaplah untuk menerima serangan. Haiiiitttt...!" Tosu itu langsung menerjang setelah mengeluarkan teriakan itu.

Hay Hay cepat mengelak dari sambaran tangan kakek itu. Dia merasa betapa ada angin pukulan yang amat kuat dan diam-diam dia pun maklum bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh. Dia tidak mau mempergunakan ilmu sihir. Tentu para murid Bu-tong-pai yang pernah dipermainkannya dengan ilmu sihir itu telah melapor, dan kalau kakek ini berani datang melawannya tentulah kakek ini sudah yakin bahwa dia akan mampu menghadapi kekuatan sihir, kalau pemuda lawannya itu mempergunakannya.

Betapa pun juga Hay Hay maklum bahwa para tokoh Bu-tong-pai ini hanya salah sangka. Mereka datang untuk membalas dendam karena kematian murid wanita Bu-tong-pai yang menjadi korban Ang-hong-cu, dan karena mereka menyangka bahwa dialah Ang-hong-cu, dengan bukti perhiasan tawon merah yang dimilikinya, maka sekarang mereka berusaha mati-matian menangkapnya. Jadi dalam hal ini orang-orang Bu-tong-pai tidak melakukan kejahatan terhadap dirinya dan jika dipikir secara mendalam, maka yang bersalah adalah Ang-hong-cu, sedangkan dia adalah putera kandung Ang-hong-cu!

Karena ini maka dia pun selalu mengalah dan biar pun tosu itu menyerang secara bertubi, dengan dahsyat sekali, tapi Hay Hay hanya selalu mengelak dan menangkis tanpa pernah membalas. Ia hanya mengandalkan kelincahan gerakannya untuk menghindarkan diri dari terjangan tosu yang lihai itu. Akan tetapi, karena tosu yang menjadi wakil perkumpulan Bu-tong-pai itu memang memiliki tingkat kepandaian yang sudah tinggi, Hay Hay nampak sibuk sekali dan terdesak.

Keadaan Sim Ki Liong masih lebih baik dari pada Hay Hay yang terdesak terus. Pemuda yang memegang Gin-hwa-kiam itu mengerahkan ilmu kepandaiannya dan tidak mengalah seperti yang dilakukan Hay Hay. Pedangnya membentuk gulungan sinar putih yang amat dahsyat dan menyilaukan sehingga enam orang pengeroyoknya bahkan kewalahan untuk menjaga diri dari sinar pedang yang menyambar-nyambar itu.

Kalau mereka itu bukan murid-murid utama dari Bu-tong-pai, tentu semenjak tadi mereka telah roboh terluka. Bu-tong-pai memang terkenal dengan ilmu pedangnya sehingga enam orang itu dapat memainkan pedang mereka dengan gaya yang amat indah dan meski pun mereka kalah tingkat dalam menghadapi Ki Liong, tapi permainan pedang mereka dapat dipusatkan untuk pertahanan yang amat ketat.

Selagi ramai-ramainya kedua pihak itu berkelahi di tempat sunyi itu, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki setegah tua yang menggiring puluhan ekor kambing. Dia seorang suku bangsa Hui, mengenakan sorban putih di kepalanya, dan tangannya memegang sebatang tongkat penggembala.

Entah bagaimana, agaknya kambing-kambing yang jumlahnya mendekati seratus ekor itu berlari-lari kacau menuju ke tempat perkelahian. Penggembala setengah tua itu mengejar di belakang mereka sambil memaki-maki dalam bahasa Hui, mengayun-ayun tongkatnya sehingga kambing-kambing itu menjadi makin ketakutan. Karena berada dalam keadaan panik, gerombolan binatang itu lari kacau-balau menyerbu tempat perkelahian sehingga mereka yang berkelahi menjadi kacau pula.

Melihat ada segerombolan kambing menyerbu, orang-orang Bu-tong-pai menjadi marah sehingga para pengeroyok Ki Liong mempergunakan kaki mereka menendangi beberapa ekor kambing yang segera terlempar dan terbanting. Makin riuh suara kambing-kambing itu mengembik dan suasana menjadi semakin kacau.

Penggembala itu menjadi marah. Dengan mata melotot dia lalu menghampiri orang-orang Bu-tong-pai itu dan memaki-maki. "Kalian orang-orang kurang ajar, kenapa menendangi kambing-kambingku?" Sambil terus memaki-maki dalam bahasa Hui, penggembala itu kini mengobat-abitkan tongkat gembalanya, mengamuk dan menyerang kalang-kabut kepada enam orang Bu-tong-pai itu!

Orang-orang Bu-tong-pai itu bukanlah orang-orang kejam. Tentu saja mereka tidak ingin memusuhi seorang penggembala bangsa Hui, maka melihat kemarahan penggembala itu yang menyerang mereka dengan tongkat panjang, mereka itu hanya menangkis dengan pedang mereka.

Terdengar bunyi nyaring enam kali dan enam orang Bu-tong-pai itu terkejut bukan main. Tongkat Si Penggembala itu bergerak cepat dan walau pun sudah ditangkis, tetapi secara bertubi-tubi dapat menyambar ke arah mereka. Dan bukan itu saja, juga mereka berenam merasa betapa tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa tongkat itu digerakkan oleh tenaga yang dahsyat!

Kakek penggembala berusia sekitar lima puluh tahun itu masih terus menyerang kalang-kabut, nampaknya dengan gerakan kacau, namun ternyata ujung tongkatnya menyambar-nyambar dengan tepat ke arah enam orang Bu-tong-pai. Melihat serangan ini, enam tosu itu segera berloncatan mundur.

Kakek bangsa Hui itu kini memutar tongkatnya dan menyerang dengan hantaman ke arah kepala Tiong Gi Cinjin yang masih bertanding dengan seru, atau lebih tepat, mendesak hebat kepada Hay Hay! Dan wakil Ketua Bu-tong-pai ini pun amat terkejut karena tongkat itu menyambar dengan amat kuatnya, didahului oleh angin pukulan yang ganas! Tiong Gi Cinjin cepat mengelak. lantas menggerakkan lengannya menangkis sambil mengerahkan tenaga, dengan maksud mematahkan tongkat penggembala itu.

"Dukkk!"

Tongkat itu ternyata tidak patah, bahkan melalui tangannya yang tergetar Tiong Gi Cinjin dapat merasakan betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam tongkat itu! Maklumlah dia bahwa penggembala Hui ini pun seorang yang memiliki kepandaian tinggi!

Padahal tadi pun dia sudah merasa bingung saat melihat kenyataan betapa pemuda yang disangkanya Ang-hong-cu itu sama sekali tak pemah membalas serangannya dan hanya mempertahankan diri, tetapi sebegitu jauh dia belum juga dapat merobohkannya! Bahkan satu kali pun belum ada serangannya yang berhasil mengenai sasaran! Juga dia melihat betapa enam orang anak buahnya sama sekali tak dapat menandingi kehebatan pemuda yang menggunakan sebatang pedang yang sinarnya seperti perak itu.

"Hayo, siapa pun yang berani mengganggu kambingku akan kupukul dengan tongkat ini!" Penggembala Hui itu berteriak-teriak sambil mengobat-abitkan tongkatnya yang panjang.

Sambil mencabut tongkatnya Tiong Gi Cinjin segera berkata, suaranya terdengar lembut, "Sobat, tidak ada yang mengganggu kambingmu. Karena kambing-kambingmu memasuki tempat perkelahian ini, maka ada yang kena tendangan. Hitung saja berapa yang tewas dan kami akan menggantinya."

Penggembala itu menghitung kambingnya, akan tetapi tidak ada yang tewas karena tadi para murid Bu-tong-pai memang menendang kambing hanya untuk mengusir mereka saja tanpa niat membunuh. Sesudah melihat betapa kambingnya masih utuh, penggembala itu lalu bersungut-sungut dan meneriaki kambing-kambing yang agak menjauh, tanpa peduli lagi dengan mereka yang kini menghentikan perkelahian.

"Ang-hong-cu, biarlah sekali ini pinto melepaskanmu, tapi lain kali pinto akan mencarimu dengan kekuatan yang lebih besar. Bagaimana pun juga engkau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu terhadap murid wanita kami!" Setelah berkata demikian, Tiong Gi Cinjin memberi isyarat kepada anak buahnya untuk pergi dari tempat itu.

Dengan sikap acuh penggembala itu juga menggiring pergi semua kambingnya, teriakan-teriakannya terdengar sampai jauh, bahkan teriakannya masih terus terdengar ketika dia dan kambing-kambingnya sudah tidak kelihatan lagi.

Diam-diam Hay Hay merasa heran. Dia tahu bahwa penggembala kambing bangsa Hui itu bukan orang sembarangan sehingga tosu Bu-tong-pai dan anak buahnya segera mundur begitu penggembala itu datang mengacau dengan kambing-kambingnya.

Sim Ki Liong juga merasa heran dan kagum. Timbullah suatu niat di dalam hatinya untuk membujuk orang Hui itu agar suka bekerja sama dengan persekutuan di mana dia menjadi pembantu pimpinan.

"Saudara Tang Hay, nanti dulu, aku ingin mengejar dan bicara dengan penggembala Hui itu!" Sesudah berkata demikian, Ki Liong segera meloncat dan berlari cepat mengejar ke arah menghilahgnya Si Penggembala bersama kambing-kambingnya.

Kini Hay Hay berdiri memandang kepada Ling Ling yang semenjak tadi berdiri mematung. Dara ini terlampau bingung untuk mencampuri perkelahian tadi. Hatinya menjadi bimbang sekali sesudah mendengar tuduhan tosu Bu-tong-pai dan para muridnya tadi bahwa Hay Hay adalah Ang-hong-cu.

Dia merasa tertarik kepada Hay Hay yang dianggap susiok-nya itu, bahkan gadis ini mulai merasa yakin bahwa hatinya bukan hanya sekedar tertarik, melainkan ada perasaan cinta terhadap pemuda itu. Akan tetapi wakil Ketua Bu-tong-pai menuduh pemuda itu sebagai Ang-hong-cu, penjahat pemerkosa wanita yang terkenal kejam dan sangat jahat! Dan dia merasa ragu-ragu.

Hay Hay adalah seorang pemuda yang sangat pandai merayu wanita, suka memuji-muji dan mudah menundukkan hati wanita, jadi tuduhan itu bukan tidak masuk akal. Apa lagi para tokoh Bu-tong-pai terkenal sebagai perdekar-pendekar gagah, pasti tidak menuduh sembarangan saja, dan bukankah ada buktinya, yaitu Hay Hay mempunyai sebuah benda perhiasan tawon merah yang menjadi tanda khas dari penjahat Ang-hong-cu?

"Ling Ling, jangan engkau memandangku seperti itu!" Hay Hay berkata. "Percayalah, aku bukanlah Ang-hong-cu penjahat itu!"

Ling Ling menggelengkan kepala, matanya masih terbelalak dan mukanya agak pucat. "Aku... tidak tahu... aku tidak... tahu...," katanya ragu-ragu dan bingung, kemudian dia membalikkan tubuhnya. "Lebih baik aku pergi saja..."

"Ling Ling, ingat akan pesanku. Tiga hari kemudian aku akan mencarimu di tepi telaga...!" Hay Hay mengingatkan gadis itu.

Dia telah mengambil keputusan akan melakukan siasat mendekati Ki Liong dan pura-pura mau bekerja sama supaya dia dapat langsung masuk ke dalam sarang persekutuan itu. Dengan demikian akan mudah baginya untuk melakukan penyelidikan, mengetahui siapa saja anggota pimpinan persekutuan itu. Tidak perlu terlalu lama, tiga hari pun cukuplah.

Kemudian dia akan melarikan diri keluar untuk menemui Ling Ling. Dia harus meyakinkan hati gadis itu bahwa dia bukan Ang-hong-cu, sungguh pun dia belum tahu bagaimana dia akan dapat meyakinkannya tanpa membuka rahasianya bahwa Ang-hong-cu adalah ayah kandungnya.

Ling Ling tidak menjawab, melainkan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Tempat yang tadinya menjadi medan perkelahian itu kini menjadi sunyi. Hay Hay lalu duduk, menunggu kembalinya Ki Liong. Tidak lama kemudian pemuda itu pun datang dengan berlari cepat, dan begitu tiba di situ Ki Liong memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya karena dia tidak melihat Ling Ling di situ.

"Ehh, di mana Nona Cia...?" tanyanya.

Hay Hay menghela napas panjang. Dia tidak perlu berpura-pura, karena itu dia tidak perlu berbohong pula. "Dia telah pergi, marah karena mengira bahwa aku adalah Ang-hong-cu, tentu dia merasa malu mempunyai seorang susiok yang menjadi jai-hwa-cat tersohor itu."

Ki Liong tersenyum. "Saudara Tang, benarkah engkau bukan Ang-hong-cu? Tokoh-tokoh Bu-tong-pai itu kelihatan begitu yakin... "

"Hemmm, Saudara Sim Ki Liong, seperti yang dikatakan oleh Ling Ling tadi, Ang-hong-cu terkenal sebagai seorang jai-hwa-cat sejak puluhan tahun yang lalu. Bagaimana mungkin aku yang baru berusia dua puluh satu tahun tahu-tahu dituduh sebagai Ang-hong-cu yang usianya tentu sudah jauh lebih tua?" Lalu, dengan muka memperlihatkan penasaran dan kemarahan, Hay Hay bertanya. "Saudara Sim, apakah engkau juga ikut-ikut menuduh aku Ang-hog-cu?"

Sim Ki Liong tertawa. "Sama sekali tidak, Saudara Tang. Dan andai kata betul sekali pun, aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu. Memang para pendekar itu kadang-kadang terlalu memandang rendah orang lain seakan-akan diri mereka saja yang baik, bersih dan gagah. Engkau pun telah mereka musuhi dan mereka tuduh semena-mena. Nah, mereka sama sekali tidak menghargaimu. Tetapi aku, maksudku kami, akan dapat menghargaimu yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan kalau engkau suka bergabung dengan kami, membantu perjuangan kami sehingga berhasil, kelak engkau pun akan menjadi seorang berpangkat tinggi dan manusia-manusia macam mereka itu tak akan berani memandang rendah dan meremehkanmu lagi, apa lagi menghina seperti yang mereka lakukan tadi."

"Hemm, tadi engkau bicara tentang perjuangan. Apa yang sebenarnya kau maksudkan?" Hay Hay memancing.

"Kami sedang menghimpun kekuatan dalam sebuah persekutuan, memperjuangkan nasib kita dari tekanan pemerintah yang lalim. Kaisar beserta para menteri sekarang ini kurang bijaksana, banyak pembesar melakukan korup, banyak terjadi kelaliman, oleh karena itu kami berusaha untuk melakukan suatu perjuangan."

"Maksudmu pemberontakan terhadap pemerintah?"

"Ki Liong tersenyum. "Bagi kami bukan pemberontakan, melainkan perjuangan, Saudara Tang! Memberontak terhadap kelaliman adalah suatu perjuangan yang mulia. Karena itu marilah engkau bergabung dengan kami agar kepandaianmu tidak akan sia-sia."

Hay Hay pura-pura mengerutkan alisnya dan berpikir. "Akan tetapi aku belum tahu siapa pemimpin kalian dan orang macam apa dia, dan siapa pula yang menjadi anggotanya."

"Jangan khawatir, Saudara Tang, pemimpin kami adalah seorang yang memiliki ilmu tinggi sekali. Bengcu kami adalah orang yang bijaksana dan aku sendiri telah diangkat menjadi pembantu utamanya. Banyak orang-orang kang-ouw yang telah menggabungkan diri dan jangan engkau heran apa bila di antara mereka terdapat tokoh-tokoh dari golongan hitam. Dalam suatu perjuangan urusan pribadi harus ditinggalkan, dan kami menghimpun tenaga dari mana pun juga asal dapat membantu gerakan kami. Marilah engkau kuperkenalkan dengan Bengcu dan para anggota pimpinan."

"Di mana pusat persekutuan kalian itu?

"Di Pegunungan Yunan. Marilah engkau ikut bersamaku, Saudara Tang. Sungguh sayang sekali bahwa Nona Cia tidak dapat ikut ke sana."

"Dia sedang marah, jadi tidak perlu dihubungi lagi, dan baiklah, aku akan ikut denganmu, Saudara Sim. Akan tetapi, bagaimana dengan penggembala Hui tadi? Siapakah dia dan sudahkah engkau tadi bertemu dengan dia, Saudara Sim?"

"Wah, orang itu memang aneh dan mencurigakan, juga agaknya dia lihai sekali. Melihat kelihaiannya tadi aku ingin menghubunginya, maka aku cepat melakukan pengejaran. Tapi ketika aku tiba di luar hutan ini, yang kutemukan hanyalah segerombolan kambing yang digembala oleh seorang anak kecil suku bangsa Hui. Kutanyakan dia mengenai laki-laki setengah tua tadi, tapi dia hanya bilang bahwa lelaki itu meminjam kambing-kambingnya itu dan baru saja dikembalikan. Anak itu telah diberi beberapa potong uang perak, namun dia tak mengenal siapa adanya laki-laki itu yang langsung pergi dengan cepatnya setelah mengembalikan kambing-kambingnya dan memberinya beberapa potong uang perak."

"Aneh sekali...," kata Hay Hay heran.

"Memang aneh. Jelas bahwa laki-laki itu sengaja menyamar sebagai penggembala untuk membubarkan perkelahian, atau jika tak keliru dugaanku, dia sengaja hendak membantu kami dalam menghadapi orang-orang Bu-tong-pai. Akan tetapi sudahlah, dia sudah pergi. Mari engkau ikut bersamaku menemui Bengcu kami, Saudara Tang."

Hay Hay mengangguk-angguk, lantas mengikuti pemuda tampan itu meninggalkan tempat itu menuju ke barat. Diam-diam dia masih membayangkan keanehan lelaki penggembala bangsa Hui itu.

Siapakah dia dan apa pula maksudnya dengan berpura-pura menggembala kambing dan menyerbu ke tempat perkelahian? Melihat betapa penggembala palsu itu dapat membuat gentar orang-orang Bu-tong-pai, telah membuktikan bahwa orang itu memang lihai sekali, padahal baru melakukan penyerangan beberapa kali saja dengan tongkat gembalanya!

Akan tetapi karena dia pun bisa menduga bahwa di tempat itu banyak berkeliaran orang pandai, Hay Hay menduga bahwa laki-laki setengah tua tadi tentu seorang di antara para pendekar yang menurut Menteri Yang Ting Hoo, banyak berdatangan ke tempat itu untuk melakukan penyelidikan terhadap persekutuan orang sesat yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo itu. Dan kini dia dibawa oleh Ki Liong menghadap Lam-hai Giam-lo!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

"Hay-ko...! Engkaukah ini...?" Pek Eng berseru dengan girang sekali ketika dia mengenal Hay Hay.

Pemuda itu masuk bersama Kim Liong untuk menghadap Lam-hai Giam-lo, dan karena para pengawal mengatakan bahwa bengcu sedang berlatih silat dengan murid atau puteri angkatnya di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat), maka Ki Liong yang memiliki kebebasan di tempat itu sebagai pembantu utama dan terpercaya dari bengcu, segera saja mengajak Hay Hay untuk memasuki ruangan itu.

Begitu mereka masuk Hay Hay segera melihat dan mengenal seorang gadis yang sedang berlatih silat dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Gadis itu bukan lain adalah Pek Eng! Keraguannya lenyap seketika setelah gadis itu menoleh dan matanya terbelalak, lalu memanggilnya dengan gembira.

"Adik Eng...! Benar engkaukah ini? Bagaimana bisa di sini ?" Dia pun bertanya terheran-heran. Apakah keluarga Pek, pimpinan Pek-sim-pang yang termasuk aliran putih itu juga sudah bersekutu dengan gerombolan pemberontak yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo? Rasanya tidak mungkin begitu.

"Ahh, kalian sudah saling mengenal? Bagus!" kata Ki Liong.

Tentu saja dia hanya berpura-pura, sebab ketika Pek Eng baru tiba di tempat itu, gadis ini telah bercerita bahwa dia mencari dua orang, yaitu kakak kandungnya yang bernama Pek Han Siong, dan orang ke dua adalah Hay Hay. Dia sendiri sempat mendengar ketika Pek Eng menceritakan hal itu kepada Bi Lian, murid dari mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi itu.

Sementara itu Lam-hai Giam-lo telah mendengar beritanya lebih dahulu tentang pemuda bernama Hay Hay itu, yang kabarnya amat lihai, sedemikian lihainya sehingga dua orang di antara para pembantunya yang dipercaya, yaitu Min-san Mo-ko beserta Ji Sun Bi, juga merasa jeri dan harus mengundang Ki Liong untuk membantu mereka. Sekarang Ki Liong telah kembali bersama pemuda itu dan agaknya berhasil membujuknya, maka diam-diam hati Lam-hai Giam-lo menjadi gembira sekali. Makin banyak orang pandai membantunya maka akan semakin baik pula.

Pek Eng dan Hay Hay saling pandang dan tiba-tiba saja sepasang pipi gadis itu berubah merah karena dia teringat betapa dia pernah mencium dan dicium pipinya oleh pemuda ini yang tadinya dia sangka kakak kandungnya! Seorang pernuda yang pandai merayu, akan tetapi... menyenangkan sekali dan kelihaiannya membuat dia kagum bukan main. Setelah dia teringat tentang peristiwa penciuman itu, tiba-tiba saja Pek Eng menjadi pemalu dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata.

Sementara itu Lam-hai Giam-lo juga merasa girang sekali melihat betapa muridnya, juga anak angkatnya yang amat disayangnya itu sudah saling mengenal dengan pemuda yang baru datang ini. Kalau Eng Eng telah mengenalnya maka akan mudah mengetahui siapa sebenarnya pemuda itu, dan tentu lebih dapat dipercaya.

"Saudara Tang Hay, inilah Bengcu yang memimpin gerakan perjuangan kami. Bengcu, dia adalah Saudara Tang Hay, seorang pemuda petualang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia sudah mendengar dariku mengenai semua cita-cita perjuangan kita dan menyatakan setuju untuk membantu agar kelak dia bisa memperoleh bagian jabatan yang tinggi," kata Sim Ki Liong.

Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk.

"Mari, silakan ikut dengan kami ke ruangan duduk, orang muda, supaya kita dapat bicara dengan lebih leluasa."

Mereka kemudian memasuki ruangan duduk, dan diam-diam Hay Hay mengagumi semua perabot rumah yang serba mewah itu. Juga ruangan duduknya sangat luas dan nyaman, dihias oleh lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah. Mereka berempat lalu duduk di dalam ruangan itu. Dua orang pelayan wanita muda yang cantik-cantik segera keluar membawa arak dan air teh harum, lalu pergi lagi dengan langkah kaki yang genit

"Eng Eng, engkau sudah kenal dengan pemuda ini? Di mana engkau mengenalnya dan siapakah dia ini sebenarnya?" Lam-hai Giam-lo bertanya kepada Pek Eng dengan suara menyayang.

Hay Hay melihat sikap ini dan dia merasa semakin heran. Agaknya kakek bemuka kuda yang julukannya Lam-hai Giam-lo ini, pemimpin dari gerombolan orang sesat yang hendak memberontak terhadap pemerintah, amat akrab dengan Pek Eng. Tadi dia sudah melihat betapa Pek Eng berlatih silat di bawah bimbingan kakek ini!

Suara kakek ini pun luar biasa sekali, parau pecah seperti ringkik kuda. Keadaan wajah dan tubuhnya juga aneh. Mukanya mirip kuda, dengan mulut atas menjorok keluar, dua matanya sipit dan sepasang telinganya lebar. Tubuhnya yang tinggi kurus itu mempunyai sepasang kaki yang panjang. Seorang kakek yang sangat aneh dan usianya belum begitu tua, sekitar lima puluh tahun lebih.

"Bengcu, aku mengenalnya sebagai Hay Hay, ketika masih bayi dia pernah menjadi anak angkat dari orang tuaku."

"Ho-ho-ha-ha...!" Lam-hai Giam-lo tertawa hingga suaranya bergema di ruangan itu, "kalau begitu dia ini masih kakak angkatmu sendiri?"

Pek Eng adalah seorang gadis yang sangat cerdik dan tangkas. Dia sudah merasa kaget dan heran bukan main ketika Hay Hay muncul tadi, dan sungguh pun dia tidak tahu apa maksud kedatangan Hay Hay di tempat itu, namun dia tahu bahwa kalau kedatangan Hay Hay ini hendak menentang persekutuan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo, maka akan terancamlah keselamatan Hay Hay. Agaknya pemuda itu belum tahu bahwa di tempat ini berkumpul banyak sekali orang yang sangat lihai. Maka dia pun cepat-cepat mengangguk membenarkan ketika mendengar ucapan Lam-hai Giam-lo.

"Begitulah, Bengcu. Boleh dibilang dia adalah kakakku sendiri, kakak angkat karena dia pernah diangkat anak oleh ayah bundaku"

Hay Hay mengangguk-angguk pula, menahan hatinya yang penuh diliputi perasaan heran dan penasaran bagaimana Pek Eng dapat berada di tempat itu dan nampaknya hubungan dara ini begitu dekat dengan Lam-hai Giam-lo, pemimpin kaum pemberontak itu! Padahal setahunya keluarga Pek merupakan keluarga pendekar yang tentu saja sama sekali tidak akan sudi berhubungan dengan para pemberontak, apa lagi kalau pemberontak itu terdiri dari orang-orang golongan hitam. Akan tetapi dengan cerdik dia pun menahan dirinya. Dia akan bertanya mengenai keanehan itu dari Pek Eng sendiri, kalau mereka sempat bicara empat mata saja.

"Sobat Tang Hay, kalau engkau pernah diangkat anak oleh orang tua Eng Eng, mengapa engkau tidak memakai nama keluarga Pek akan tetapi sekarang memakai nama keluarga Tang?"

Pertanyaan yang tiba-tiba dari Lam-hai Giam-lo ini sebetulnya mengejutkan hati Hay Hay, tetapi sama sekali tidak terlihat pada wajahnya yang tetap tenang. Dia bahkan tersenyum lalu memberi hormat kepada pemimpin itu.

"Maaf, Bengcu. Sebelum kita berbicara tentang diriku, lebih dahulu aku ingin sekali tahu, apakah Bengcu dapat menerima aku untuk membantu gerakan perjuangan yang Bengcu pimpin? Tentu saja dengan janji bahwa kalau kelak gerakan berhasil, aku akan mendapat bagian, yaitu sebuah kedudukan yang tinggi dan terhormat sesuai dengan jasa-jasaku?"

Wajah Lam-hai Giam-lo berseri-seri. Kalau ada orang membantunya dengan pamrih agar kelak bisa memperoleh jabatan, maka orang itu dapat dipercaya! Dia tertawa lalu berkata, "Tentu saja, orang muda yang gagah. Dan karena yang mengajak engkau datang adalah Sim-kongcu yang sudah kupercaya sepenuhnya, maka kami pun percaya kepadamu. Kita lihat saja nanti bagaimana kesetiaanmu terhadap gerakan kita dan apa saja jasa-jasamu selama dalam perjuangan. Nah, sekarang jawablah pertanyaanku tadi."

Hay Hay merasa kagum sekali. Kakek bermuka kuda ini sungguh kuat ingatannya, masih ingat dengan pertanyaannya yang belum terjawab tadi. Dengan sewajarnya dia menjawab, "Meski pun aku pernah diangkat anak oleh keluarga Pek, akan tetapi hanya sebentar, jadi aku merasa tidak berhak menggunakan nama keluarga Pek yang terhormat. Karena itulah maka aku memakai nama keluarga ayah kandungku sendiri yang sudah tiada. Bukankah begitu, Eng-moi?"

Ditanya demikian, Pek Eng hanya mengangguk. Tentu saja gadis ini tidak mau membuka rahasia pemuda yang dikaguminya itu bahwa pemuda itu adalah putera dari jai-hwa-cat Ang-hong-cu yang tersohor itu.

Sebelum Lam-hai Giam-lo sempat berbicara lebih lanjut, terdengar suara ribut-rlbut di luar lian-bu-thia (ruangan latihan silat) itu. Terdengar suara orang yang lantang dan nadanya mengejek. "Eh-ehh, kalian mau apa? Sudah kukatakan bahwa aku datang untuk mencari Lam-hai Giam-lo. Bukankah kabarnya dia menampung orang-orang gagah untuk bekerja sama? Sekarang aku sudah datang, tapi kenapa disambut seperti musuh saja? Beginikah yang dinamakan menghargai orang gagah?"

"Orang asing! Engkau datang tanpa mau menyebutkan nama serta apa kepentinganmu hendak bertemu dengan Bengcu. Sikapmu mencurigakan, tentu saja kami menghadapimu sebagai musuh. Tak seorang pun boleh nyelonong begitu saja memasuki tempat kami ini, apa lagi hendak bertemu langsung dengan Bengcu," terdengar salah seorang anak buah Kui-kok-pang membantah.

"Habis kalau aku terus masuk dan terus mencari Bengcu kalian, lalu kalian mau apa? Mau menghalangiku? Ha-ha-ha, boleh kalau kalian mampu!" terdengar pula suara lantang itu.

Mendengar percakapan ini disusul suara ribut-ribut orang berkelahi, dengan alis berkerut Lam-hai Giam-lo melangkah keluar, diikuti oleh Pek Eng, Ki Liong dan Hay Hay. Sesudah mereka tiba di luar, mereka melihat seorang lelaki gagah berusia lima puluh tahun sedang dikeroyok oleh belasan orang anak buah Kui-kok-pang!

Pendekar Mata Keranjang Jilid 42

Pada saat itu Ki Liong sudah berdiri di dekat meja Hay Hay yang tentu saja melihat dan mendengar ucapan pelayan itu. Seperti tak disengaja, Ki Liong menoleh dan memandang ke arah meja Hay Hay. Di situ masih terdapat dua buah bangku kosong, karena meja kecil itu biasanya diperuntukkan empat orang, berbeda dengan meja besar yang biasa dipakai delapan sampai sepuluh orang.

"Ahhh, perutku sudah lapar sekali. Sejak kemarin siang aku belum makan, dan sekarang tempat sudah penuh!" Dia lalu memandang kepada Hay Hay dan Ling Ling, dengan sikap sopan sekali dia lalu melangkah maju dan bersoja sambil membungkuk kepada Hay Hay dan Ling Ling.

"Harap Ji-wi (Kalian) sudi memaafkan jika saya mengganggu. Kalau sekiranya Ji-wi tidak keberatan, bolehkah saya menumpang di meja ini untuk makan? Kalau Ji-wi keberatan, tidak mengapalah..."

Melihat pemuda tampan berpakaian rapi yang bersikap demikian ramah dan sopan, tentu saja Hay Hay dan Ling Ling merasa suka sehingga mereka pun cepat bangkit membalas penghormatan pemuda itu. Ling Ling lantas memandang kepada Hay Hay seolah hendak menyerahkan keputusannya kepada susiok-nya itu. Hay Hay tersenyum ramah.

"Ahh, kita sama-sama merupakan tamu di restoran ini. Kalau Saudara suka, tentu saja boleh duduk bersama kami di meja ini. Silakan!"

"Terima kasih, terima kasih... ahh, Ji-wi sungguh baik sekali, tepat seperti apa yang saya duga. Ehh, Bung, tolong hidangkan semangkok nasi putih dan buatkan dua tiga macam masakan sayuran. Ingat, tidak memakai daging, ya? Saya sedang Ciak-jai (makan sayur, pantang daging). Dan air teh saja untuk minumku," sambungnya kepada pelayan itu yang segera mengangguk dan meninggalkan meja mereka. Mendengar pemuda yang tampan itu tidak makan daging, Hay Hay dan Ling Ling memandang heran.

Mereka saling pandang sambil tersenyum. Begitu pandang mata Ki Liong bertemu dengan Ling Ling, gadis ini segera menundukkan mukanya dan sepasang pipinya menjadi agak kemerahan. Dia menemukan sesuatu pada pandang mata itu, sesuatu yang membuatnya merasa sungkan dan malu. Dia melihat betapa pandang mata pemuda itu dengan lembut menuju ke arah dadanya, dan ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu seolah-olah meraba-raba tubuhnya!

"Ah, agaknya Saudara tidak suka makan barang berjiwa?" Hay Hay bertanya, iseng saja karena tidak tahu apa yang harus dikatakan terhadap orang yang menumpang di mejanya itu.

Ki Liong tersenyum. "Tidak demikian, Saudara yang baik. Biasanya saya makan apa saja, juga daging, akan tetapi hari ini tidak karena hari ini merupakan hari dan tanggal kematian ayahku, sembilan belas tahun yang lalu."

"Ahhh..." diam-diam Hay Hay merasa kagum sekali.

Ayah orang ini sudah sembilan belas tahun meninggal dunia, akan tetapi agaknya setiap tahun masih selalu diperingati oleh pemuda ini sebagai hari berkabung sehingga dia tidak makan barang berjiwa untuk mengenang dan berkabung atas kematian ayahnya. Sungguh seorang pemuda yang berbakti! Dan memang kesan inilah yang dikehendaki oleh Ki Liong ketika dia berbohong dan berpura-pura ciak-jai untuk mengenang kematian ayahnya.

"Maaf, bukan maksudku untuk mengetahui keadaan hidupmu, Saudara. Akan tetapi hatiku tertarik sekali. Kalau begitu, agaknya engkau masih kecil sekali ketika ayahmu meninggal dunia," kata Hay Hay.

Ki Liong mengangguk sambil tersenyum. "Tidak apa-apa, Saudara. Keramahan Ji-wi yang sudah menerimaku duduk di sini membuktikan bahwa Ji-wi berhati baik dan berarti bahwa kita sudah saling bersahabat, bukan? Memang saya masih kecil sekali ketika ayah saya meninggal, saya baru berusia satu tahun. Maaf, setelah Ji-wi begitu baik menerima saya di meja ini, maukah Ji-wi menerima saya sebagai kenalan? Saya bernama Sim Ki Liong, dan bolehkah saya mengenal nama Ji-wi yang terhormat?"

Inilah kesalahan Ki Liong. Dia memperkenalkan namanya tanpa ragu karena dia merasa yakin bahwa kedua orang muda di depannya itu belum pernah mendengar namanya dan tidak mengenalnya. Ki Liong sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa Hay Hay pernah mendengar nama ini dari Kui Hong!

Mendengar nama 'Ki Liong', diam-diam Hay Hay merasa terkejut walau pun kemudian dia meragu karena dahulu Kui Hong memberi tahu kepadanya bahwa murid Pendekar Sadis dan isterinya mempunyai nama keturunan Ciang, bukan Sim! Apakah kebetulan namanya saja sama, pikirnya.

"Ahh, engkau sungguh baik sekali, Saudara Sim. Ketahuilah bahwa saya Hay Hay dan dia ini bernama Ling Ling," Hay Hay memperkenalkan diri dan gadis itu.

Dengan sikap sopan Ki Liong tersenyum sambil memandang kepada mereka bergantian. "Maaf, walau pun nama Ji-wi itu indah sekali, tetapi agaknya Saudara lupa menyebutkan nama keluarga Ji-wi yang mulia."

Karena tadi pemuda itu juga sudah menyebutkan nama keluarganya, nama keluarga yang membuat dirinya menduga-duga apakah pemuda ini adalah murid Pendekar Sadis seperti yang dimaksudkan Kui Hong atau bukan, terpaksa Hay Hay memperkenalkan pula nama keluarganya.

"Nama keluarga saya adalah Tang, dan dia ini... ehh, Ling Ling, aku lupa lagi, siapa nama keluargamu?" Hay Hay berpura-pura, bermaksud hendak menyerahkan kepada Ling Ling sendiri apakah mau mengakui nama keluarganya atau tidak karena bagaimana pun juga, nama keluarga Cia sudah terkenal di kalangan kang-ouw dan dapat segera menimbulkan dugaan orang bahwa ada hubungan antara gadis ini dengan keluarga Cia di Cin-ling-pai.

Ling Ling adalah seorang gadis yang lembut dan jujur, tanpa prasangka, maka meski pun sinar mata pemuda yang baru dikenalnya itu tak menyamankan hatinya, dia memandang Hay Hay dengan heran ketika mendengar pertanyaan pemuda ini.

"Susiok, sungguh heran sekali. Apakah Susiok sudah lupa lagi dengan nama keluargaku? Aku she (bernama keluarga) Cia!"

"Aihh, ternyata Ji-wi adalah seorang susiok dan murid keponakannya? Kalau begitu, Ji-wi adalah dua orang pendekar!" Ki Liong berseru.

Hay Hay tersenyum. "Kami hanyalah orang-orang biasa, dan maaf, saya tadi lupa nama keluarganya karena meski pun kami masih paman dan keponakan, namun baru pagi tadi kami saling berjumpa." Kini Hay Hay tertawa, tidak khawatir lagi karena Ling Ling sudah berterus terang. "Akan tetapi jangan menyangka bahwa kami adalah pendekar!" Kemudian disambungnya, seperti sambil lalu saja, "Saudara Sim menyangka kami adalah pendekar, apakah Saudara sendiri juga seorang ahli silat yang lihai?"

Ki Liong tertawa dan nampak wajahnya semakin tampan menarik ketika dia tertawa, dan sepasang matanya yang jernih dan tajam itu menyambar ke arah Ling Ling. Kembali gadis ini merasa betapa sinar mata itu memandang kepadanya tidak sewajarnya, maka dia pun cepat menundukkan pandang matanya.

"Ha-ha-ha, saya ingin berterus terang saja. Memang saya pernah mempelajari ilmu silat, akan tetapi hanya iseng-iseng saja dan sama sekali tidak dapat dikata bahwa saya lihai."

Pada saat itu pula dua orang pelayan datang membawa pesanan makanan dan minuman mereka. Agaknya karena ketiga orang itu duduk semeja, maka pesanan Hay Hay dan Ki Liong dikeluarkan berbareng. Ki Liong menghadapi nasi dan tiga mangkok masakan sayur tanpa daging, sedangkan Hay Hay dan Ling Ling menghadapi nasi dengan lima macam masakan. Hay Hay menawarkan anggurnya, akan tetapi Ki Liong menolak dengan halus.

"Hari ini hanya sayuran dan air teh saja untuk saya," katanya, kemudian dia melanjutkan, "Sebelum kita mulai makan, saya ingin menghaturkan rasa terima kasih dan hormat saya kepada Ji-wi dengan air teh di poci saya. Harap Ji-wi suka menerimanya!" Tanpa memberi kesempatan kepada dua orang itu untuk menjawab, Ki Liong sudah mengambil cawan di depan Hay Hay kemudian menuangkan poci di tangan kanannya ke dalam cawan yang dipegang di tangan kirinya.

Sambil tersenyum Hay Hay memandang, akan tetapi senyumnya segera lenyap sesudah dia melihat betapa cawannya yang dipegang oleh tangan kiri Ki Liong sudah penuh akan tetapi teh dari poci itu masih di tuang terus! Kini cawan itu terlalu penuh, akan tetapi air teh itu tak sampai meluber, seolah-olah tertahan oleh sesuatu dan air teh itu berada lebih tinggi dari pada bibir cawan, membulat seperti telur yang bergoyang-goyang!

"Silakan, Saudara Tang!" kata Ki Liong sambil menyodorkan cawan itu kepada Hay Hay.

Hay Hay tersenyum lagi dan sekarang makin keras dugaannya bahwa pemuda inilah yang dimaksudkan Kui Hong, yaitu murid dari Pendekar Sadis. Pemuda ini telah menunjukkan kepandaiannya, mempergunakan sinkang-nya (hawa sakti) untuk menahan air teh di atas cawan itu sehingga tidak sampai meluber dan tumpah. Kalau penerimanya tidak memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat, ketika menerima cawan itu tentu air tehnya yang terlalu penuh melebihi ukuran itu akan tumpah.

"Saudara Sim, engkau sungguh terlalu sungkan!" katanya sambil menerima cawan yang penuh air teh itu sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya. "Aihh, air tehmu masih panas!" katanya tersenyum.

Saat Ki Liong memandang, dia merasa kagum sekali. Bukan saja air teh itu tidak meluber dan tumpah, bahkan kini air teh itu mengepulkan uap karena panas! Padahal, biar pun air teh itu masih hangat, namun ketika dia menuangkan ke dalam cawan tidak mengeluarkan uap panas!

Maka tahulah dia bahwa benar seperti laporan Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko, pemuda ini benar-benar lihai sekali, dan dia harus berhati-hati menghadapinya. Dia tersenyum kagum melihat Hay Hay minum air teh dalam cawan itu sampai habis.

"Sekarang harap Nona sudi menerima penghormatan saya dengan secawan air teh," kata Ki Liong sambil menuangkan poci air teh itu ke dalam cawan yang diambilnya dari depan gadis itu. Seperti tadi, sekali ini dia juga menyodorkan cawan yang terlalu penuh terisi air teh.

"Terima kasih!" kata Ling Ling dan dengan sikap tenang,

Ia pun menerima cawan itu sambil mengerahkan tenaganya. Dan ternyata air teh itu sama sekali tidak meluber atau tumpah, bahkan pada saat gadis itu mengangkat cawannya dan menuangkan isinya ke mulut, air teh itu tidak dapat turun atau tumpah, tetap melekat pada cawan seolah-olah sudah berubah membeku dan melekat pada cawannya!"

"Aih, air tehmu membeku dan biarlah dikembalikan ke poci agar mencair lebih dulu!" kata Ling Ling dan dengan tenang dia membuka tutup poci air teh Ki Liong lalu menuangkan isi cawannya ke dalam poci. Demikianlah, sambil mendemonstrasikan kepandaiannya, gadis itu secara halus menolak pemberian air teh oleh pemuda itu!

Melihat ini Ki Liong yang cerdik segera bangkit berdiri dan bersoja dengan hormat. "Aihh, sungguh saya bermata akan tetapi seperti buta, tidak melihat bahwa saya berhadapan dengan dua orang yang memiliki kesaktian!"

"Saudara Sim, kiranya ini bukan tempat yang tepat bagi kita untuk bersungkan-sungkan!" kata Hay Hay. Pemuda ini berbicara dengan lirih sehingga tidak terdengar oleh para tamu lainnya.

Ki Liong mengangguk. "Saudara Tang benar, sekarang mari kita makan hidangan kita dan nanti saja kita bicara di tempat yang lebih layak."

Mereka bertiga lalu mulai makan minum dan tidak banyak cakap lagi. Diam-diam Hay Hay merasa hampir yakin bahwa tentu pemuda ini adalah murid Pendekar Sadis itu dan dia menduga-duga apa hubunganya pemuda ini dengan gerakan para tokoh sesat. Dan apa pula maksud pemuda ini menghubungi dia dan Ling Ling, karena dia tidak percaya bahwa pertemuan ini hanya suatu kebetulan saja. Lebih tepat kalau semua ini telah direncanakan orang! Akan tetapi apa maksudnya?

Bagaimana pun juga dia harus bersikap hati-hati karena maklum bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Bukan hanya ilmu silatnya yang tinggi, namun mungkin sekali juga amat cerdik dan sikapnya ini merupakan satu di antara siasat yang cerdik. Dia tidak perlu mengisyaratkan Ling Ling untuk berhati-hati, karena penolakan suguhan air teh tadi saja sudah menunjukkan bahwa Ling Ling telah bersikap hati-hati sekali dan tidak mau minum air teh yang disuguhkan berarti bahwa gadis itu tidak begitu percaya kepada pemuda itu.

Tiga orang muda itu sama sekali tidak tahu bahwa ada sepasang mata secara diam-diam mengamati mereka dari sudut lain ruangan rumah makan itu. Sepasang mata ini adalah milik seorang laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, seorang laki-laki yang gagah perkasa, dengan tubuh yang sedang namun padat dan tegak, nampak kuat.

Pakaiannya sederhana namun rapi dan wajahnya mengandung wibawa. Wajah itu tampak gagah, dengan kumis dan jenggot yang terpelihara secara baik. Wajahnya berkulit segar kemerahan, sepasang matanya bersinar tajam dan lincah membayangkan kecerdikan dan keberanian. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum penuh kejantanan dan daya pikat. Dagunya yang persegi menambah kegagahannya.

Sejak tadi secara diam-diam pria ini mengamati tiga orang muda itu dan ketika Ki Liong menawarkan minuman dari poci, matanya yang tajam itu mengeluarkan sinar dan bibirnya yang dibayangi senyum itu bergerak memperlebar senyumnya, bahkan dia mengangguk-angguk seorang diri sambil minum araknya.

Sekarang Hay Hay, Ling Ling, dan Ki Liong sudah selesai makan.

"Saya mempunyai urusan penting untuk dibicarakan dengan Ji-wi, akan tetapi tentu saja tidak di tempat ini. Maukah Ji-wi menemui saya di luar pintu gerbang kota sebelah barat? Atau sekarang juga ikut dengan saya ke sana agar kita lebih leluasa bicara?" Sim Ki Liong menjadi pembicara pertama setelah mereka selesai makan.

"Kalau memang ada keperluan penting, baiklah Saudara Sim, kami akan menemuimu di sana. Berangkatlah dulu, kami masih ada urusan lain dan sebentar lagi kami menyusul," kata Hay Hay sebelum Ling Ling yang sudah mengerutkan alisnya itu sempat menolak.

"Terima kasih, Saudara Tang dan Nona Cia," kata Ki Liong, lantas pemuda ini cepat-cepat pergi meninggalkan mereka, agaknya merasa khawatir kalau-kalau Hay Hay akan menarik kembali kesanggupannya.

Setelah Ki Liong pergi, Ling Ling yang berjalan keluar setelah Hay Hay membayar harga makanan mereka, segera menegur Hay Hay. "Susiok, kenapa kita harus melayani orang itu? Kita baru saja berkenalan dengan dia, kita tidak tahu dia itu orang macam apa. Terus terang saja, ada sesuatu pada pandang matanya yang membuat aku merasa curiga dan tidak suka."

"Justru itulah, Ling Ling. Aku pun curiga melihat bahwa dia seorang yang berilmu tinggi. Tapi kalau dugaanku benar, kalau dia itu merupakan seorang di antara tokoh sesat yang mengadakan gerakan, justru kebetulan sekali! Ketika makan tadi aku telah mendapatkan sebuah siasat yang baik sekali."

Mendengar ucapan ini, hilanglah rasa penasaran yang tadi membayang pada wajah gadis itu. "Bagaimana siasat itu, Susiok?"

"Agaknya dia ingin menghubungi kita dan kalau benar dia tokoh pergerakan, agaknya dia hendak membujuk kita untuk bersekutu. Nah, kesempatan ini akan kugunakan sebaiknya. Aku akan pura-pura setuju sehingga dengan demikian aku akan dapat memasuki sarang mereka dengan mudah. Jika aku diterima sebagai kawan, tentu dengan mudah aku akan dapat menyelidiki keadaan mereka dari dalam."

Gadis itu membelalakkan matanya, memandang penuh khawatir. Melihat sepasang mata itu terbelalak indah bagaikan bintang kembar bercahaya, Hay Hay menjadi kagum. "Ahh, matamu indah sekali, Ling Ling!" katanya.

Ling Ling mengerutkan sepasang alisnya dan kedua pipinya berubah merah, akan tetapi dia tidak marah, bahkan tersenyum malu. "Ihh, Susiok. Orang bicara dengan serius malah ditanggapi dengan senda-gurau!"

"Aku tidak bergurau, Ling Ling. Memang matamu tadi nampak indah bukan main. Jangan engkau khawatir, jika aku dapat melakukan penyelidikan dari dalam berarti tugasku akan lebih berhasil."

"Tapi... tapi... masuk ke dalam sarang mereka? Sungguh berbahaya sekali, Susiok!"

"Aku dapat membela diri, Ling Ling. Akan tetapi engkau tidak perlu ikut masuk ke sarang mereka. Engkau menyelidiki dari luar saja. Coba engkau mengadakan hubungan dengan para pendekar yang aku yakin banyak terdapat di sekitar daerah ini."

"Tapi... tapi, bagaimana nanti kita akan dapat saling bertemu lagi, Susiok? Kalau engkau hendak masuk ke sarang mereka, biar aku ikut. Aku pun tidak takut!"

"Ah, jangan, Ling Ling. Biar aku saja. Begini sajalah, dalam waktu tiga hari, aku pasti akan mencarimu di tepi telaga itu. Tempat itu menjadi tempat pertemuan kita... ssttt," Hay Hay memberi isyarat dan cepat menghentikan kata-katanya ketika seorang laki-laki lewat di dekat mereka. Lelaki setengah tua yang ganteng dan gagah, yang tadi memperhatikan mereka di dalam rumah makan.

Akan tetapi orang itu lewat begitu saja, sambil menunduk dan sama sekali tidak melirik ke arah mereka sehingga baik Hay Hay mau pun Ling Ling sama sekali tidak menaruh curiga karena di depan restoran itu memang merupakan jalan raya di mana terdapat lalu lintas yang cukup ramai.

"Nah, kiranya cukup pesanku, Ling Ling. Lagi pula semua itu hanya kalau dugaanku benar bahwa dia mempunyai hubungan dengan persekutuan itu. Jika tidak, tentu saja akan lain lagi jadinya. Kita lihat saja nanti. Hayo, kita menuju ke pintu gerbang sebelah barat."

Kemudian dua orang muda itu berangkat, tidak tahu betapa sepasang mata yang tajam mengikuti mereka. Laki-laki setengah tua tadi tersenyum sambil mengelus jenggotnya, lalu dia membayangi dari jauh, menuju ke pintu gerbang sebelah barat.

Hay Hay dan Ling Ling melangkah dengan seenaknya menuju ke pintu gerbang sebelah barat. Tiba-tiba Hay Hay menyentuh tangan Ling Ling dan berbisik sampai menoleh, "Ling Ling, engkau jangan menengok dan tetap berjalan biasa saja. Di belakang kita terdapat tujuh orang yang mencurigakan, agaknya mereka membayangi kita."

Ling Ling mengangguk dan jantungnya berdebar. Sebagai seorang gadis yang baru saja meninggalkan tempat tinggal orang tuanya untuk merantau, memang sudah beberapa kali dia menghadapi gangguan dan selalu dapat mengatasinya. Akan tetapi baru sekarang dia menyadari bahwa dia berada di daerah yang berbahaya, di mana terdapat banyak orang pandai yang belum dikenalnya dan tidak diketahuinya apakah mereka itu kawan ataukah lawan.

Keadaan pemuda bernama Sim Ki Liong itu saja sudah menimbulkan banyak kecurigaan dan rahasia, dan sekarang sebelum rahasia itu terpecahkan telah muncul lagi tujuh orang membayangi mereka! Dia ingin sekali melihat siapakah mereka, orang-orang macam apa, akan tetapi dia tidak boleh menengok ke belakang.

Mendadak sapu tangan yang tadi dipegang oleh tangan kiri gadis itu terlepas, lalu dengan gerakan seperti tanpa disengaja dia pun membungkuk dan berjongkok mengambil sapu tangannya. Kesempatan ini dipergunakannya untuk melirik ke belakang dan sekejap saja cukuplah baginya. Nampak enam orang yang berpakaian ringkas dipimpin oleh seorang yang berpakaian tosu (Pendeta To!)

Hay Hay tersenyum geli. Tentu saja dia maklum kenapa sapu tangan Ling Ling terjatuh. Cerdik juga gadis ini, pikirnya. Memang sangat tidak enak kalau mengerti bahwa dirinya dibayangi orang akan tetapi tidak boleh melihat siapa orang itu. Tadi pun dia tidak sengaja menoleh dan melihat mereka.

Ketika mereka keluar dari pintu gerbang, dari tempat itu sudah kelihatan seorang pemuda berdiri di tempat agak jauh, tempat yang sunyi karena keluar dari pintu gerbang barat itu yang nampak hanya hutan-hutan pegunungan. Hanya sedikit orang yang lewat, dan kalau pun ada, mereka itu adalah orang-orang suku bangsa Hui dan Miao.

Dua suku bangsa ini mudah saja dikenalnya dari pakaian mereka. Orang suku bangsa Hui selalu memakai sorban dari kain putih yang dibelit-belitkan di kepalanya, pikirnya. Mereka adalah orang-orang beragama Islam. Orang-orang suku bangsa Hui ini terkenal sebagai peternak-peternak, terutama kambing, penjagal dan juga pandai masak sehingga banyak di antara mereka membuka rumah makan di kota-kota.

Sebenarnya orang-orang Hui merupakan orang-orang Han juga. Perbedaannya di antara mereka adalah bahwa orang Hui beragama Islam sedangkan orang Han memiliki banyak macam agama, terutama sekali mereka menjadi penganut Agama Buddha, Khong-hucu, dan Tao, biar pun ada pula sejumlah kecil orang Han yang menjadi pengikut Agama Islam atau Kristen.

Sedangkan suku bangsa Miao mudah dikenal dari pakaian mereka yang serba hitam dan orang-orangnya yang pendiam dan kasar. Kaum wanitanya memakai anting-anting yang khas, berbentuk gelang yang besar sehingga daun telinga mereka tertarik ke bawah dan memanjang. Suku bangsa Miao yang terdesak oleh orang-orang Han itu kini banyak hidup di daerah pegunungan bagian selatan, bercocok tanam dan juga berternak, dan mereka pun terkenal sebagai pemburu yang pandai.

Dengan langkah seenaknya tanpa tergesa-gesa, Hay Hay dan Ling Ling terus melangkah keluar dari pintu gerbang menuju ke arah pemuda yang telah berdiri menanti mereka itu. Diam-diam Hay Hay mengerling ke arah belakang sambil menengok ke kiri seakan-akan bicara dengan Ling Ling dan dia melihat betapa tujuh orang itu telah tiba di pintu gerbang pula, kemudian mereka menyelinap ke kiri dan lenyap di dalam hutan kecil.

Ki Liong segera menyambut mereka dengan senyum ramah. "Terima kasih, ternyata Ji-wi memenuhi janji dengan cepatnya. Marilah, Ji-wi, kita memasuki hutan ini agar percakapan kita tidak terganggu, karena di jalan ini ada saja orang yang lewat."

Tanpa menanti jawaban, Ki Liong melangkah memasuki hutan, diikuti oleh Hay Hay dan Ling Ling yang masih mengerutkan alisnya karena bagaimana pun juga gadis ini sama sekali tidak percaya akan itikad baik pemuda kenalan baru itu. Akhirnya Ki Liong berhenti di bawah sebatang pohon besar.

Memang tempat itu tampak enak untuk bercakap-cakap. Tempatnya teduh, terlindung dari terik matahari siang, dan di atas tanah terhampar permadani hijau dari rumput tebal yang segar. Akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan tanah menjadi bangku-bangku yang enak diduduki. Mereka bertiga duduk di atas akar pohon, saling berhadapan.

"Maafkan kalau saya bersikap seperti ini, karena Ji-wi jluga maklum bahwa untuk dapat membicarakan urusan penting, kita harus mencari tempat yang sunyi agar tidak terdengar orang lain."

"Saudara Sim, kini kami telah datang memenuhi undanganmu. Nah, katakanlah apa yang ingin kau bicarakan dengan kami?" kata Hay Hay sambil memandang tajam penuh selidik ke arah wajah yang tampan dan penuh senyum manis dan kelembutan itu.

Sim Ki Liong memandang Hay Hay dan Ling Ling. Dia kelihatan agak gelisah, tampaknya sukar baginya untuk menyatakan kehendak hatinya. Kemudian dia baru berkata dengan suara yang lembut,

"Begitu bertemu dengan Ji-wi, hati saya sudah amat tertarik. Apa lagi setelah mendapat keyakinan bahwa Ji-wi memiliki ilmu kepandaian tinggi, saya merasa kagum bukan main. Sebab itu timbullah rasa sayang dan alangkah penasaran rasa hati ini melihat Ji-wi tetap menjadi orang biasa saja, padahal orang-orang yang mempunyai ilmu kepandaian seperti Ji-wi ini sepatutnya menduduki pangkat yang tinggi dan kemuliaan."

"Kami tidak mengerti apa maksudmu, Saudara Sim," kata Hay Hay, berpura-pura karena hatinya berdebar tegang melihat betapa tepatnya apa yang diduganya semula.

"Maksudku, Ji-wi pantas sekali untuk menjabat pangkat tinggi di kerajaan, sesuai dengan kepandaian Ji-wi."

Hay Hay dan Ling Ling bertukar pandang, kemudian Hay Hay tertawa. "Ha-ha-ha, harap engkau tidak main-main, Saudara Sim! Mana mungkin orang seperti kami dapat menjabat pangkat tinggi?"

"Kenapa tidak mungkin? Memang, pemerintah sekarang hanya memilih orang-orang yang menjadi antek mereka! Kedudukan tinggi diberikan kepada orang-orang yang tidak becus dan jahat! Karena itu saya mengajak Ji-wi untuk bekerja sama dengan kami yang sedang mempersiapkan perjuangan." Tiba-tiba Sim Ki Liong berhenti bicara dan menoleh ke kiri. Hay Hay dan Ling Ling juga sudah mendengar suara jejak kaki dari arah kiri.

Tiba-tiba saja, dengan berloncatan muncullah tujuh orang laki-laki setengah tua, dipimpin oleh seorang di antara mereka, yaitu seorang tosu yang berjubah kuning dan memegang sebatang tongkat yang setinggi tubuhnya. Tosu ini berusia lima puluh tahunan, wajahnya angker dan berwibawa, sedangkan enam orang lainnya adalah orang-orang berusia antara empat puluh tahun dan di punggung mereka terdapat sebatang pedang bersarung. Sikap mereka juga kereng dan berwibawa.

Tiba-tiba tosu itu menudingkan tongkat panjangnya ke arah Hay Hay sambil membentak. "Ang-hong-cu! Menyerahlah engkau sebelum pinto terpaksa menggunakan kekerasan!"

Hay Hay sangat terkejut mendengar seruan itu. Juga Sim Ki Liong memandang dengan heran dan jelas terlihat betapa dia terkejut dan kini memandang kepada Hay Hay dengan mata penuh selidik. Tak diduganya bahwa pemuda lihai ini ternyata adalah Ang-hong-cu! Tentu saja Ki Liong sudah mendengar nama Ang-hong-cu ini, nama seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga, pemerkosa wanita) yang amat tersohor akan tetapi yang belum pernah diketahui bagaimana wajahnya itu!

Gerak-gerik jai-hwa-cat itu penuh rahasia sehingga kabarnya selama ini banyak pendekar yang gagal pada saat berusaha menangkapnya. Kabarnya lihai seperti setan dan kiranya pemuda ini orangnya!

Juga Ling Ling memandang kepada Hay Hay dengan alis berkerut. Susiok-nya ini adalah Ang-hong-cu? Dia pun sudah mendengar berita tentang penjahat pemerkosa wanita yang amat keji itu, akan tetapi sungguh sukar dapat dipercaya bahwa susiok-nya ini orangnya! Hay Hay sendiri bersikap tenang.

"Totiang, harap totiang jangan sembarangan saja menuduh orang. Siapakah Totiang dan apa sebabnya Totiang begitu datang lalu menyebut aku Ang-hong-cu dan minta agar aku menyerah? Apa artinya semua ini?"

"Hemm, engkau masih mencoba untuk berpura-pura alim? Ang-hong-cu, ketahuilah bahwa pinto adalah Tiong Gi Cinjin, wakil Ketua Bu-tong-pai sedangkan mereka adalah Bu-tong Liok-eng, murid-murid keponakan pinto. Nah, setelah kami memperkenalkan diri, tidakkah sepatutnya kalau engkau segera berlutut menyerahkan diri, Ang-hong-cu?" Tosu itu lantas berkata lagi, agaknya ingin menyelesaikan urusan itu dengan jalan damai, "Kami hendak menghadapkan engkau kepada ketua kami agar beliau sendiri bisa mengambil keputusan mengenai hukuman atas dosamu terhadap Bu-tong-pai."

Hay Hay lantas teringat akan pengalamannya kurang lebih satu tahun yang lampau. Dulu pernah dia diserang oleh tiga orang pendekar Bu-tong-pai. Mereka menuduhnya sebagai Ang-hong-cu dan tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk membantahnya, mereka langsung menyerangnya kalang kabut sehingga terpaksa dia menggunakan ilmu sihirnya untuk menghilang dari penglihatan mereka.

Maka tahulah dia sekarang bahwa wakil ketua Bu-tong-pai ini sudah keluar sendiri untuk menangkap dirinya. Wah, kalau begitu keadaannya sangat gawat. Akan tetapi karena dia masih tetap penasaran, dia pun segera bertanya.

"Maaf, Totiang. Sesungguhnya aku merasa tidak pernah melakukan kesalahan terhadap Bu-tong-pai. Kenapa sekarang Totiang, sebagai wakil ketua, dan enam orang saudara ini ingin menangkapku? Jelaskan dulu apa kesalahanku!"

Sepasang mata pendeta itu mencorong penuh kemarahan. Sikap yang tidak bertanggung jawab dianggapnya sebagai sikap seorang pengecut sehingga membuat dia marah sekali. "Ang-hong-cu, apakah engkau sudah lupa akan peristiwa kurang lebih setahun yang lalu ketika engkau diserang oleh tiga orang murid pinto?"

Menjemukan sekali, pikir Hay Hay. Dia bukan Ang-hong-cu (Si Tawon Merah) dan julukan Ang-hong-cu ini selalu membuat dadanya panas dan kepalanya merasa pening karena itu adalah julukan dari seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat besar yang bukan lain adalah... ayah kandungnya! Dia sudah dapat menduga apa yang sudah terjadi antara penjahat itu dengan Bu-tong-pai, akan tetapi dia ingin jelas dan yakin.

"Aku belum lupa, Totiang, akan tetapi sampai sekarang pun aku masih bingung dan tidak mengerti mengapa tiga orang murid Bu-tong-pai itu menyerangku mati-matian."

Tiong Gi Cinjin menoleh pada enam orang tokoh Bu-tong-pai yang sejak tadi memandang dan mendengarkan saja. Dia lantas menyuruh seorang di antara mereka untuk memberi penjelasan. Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis tipis lalu melangkah maju menghadapi Hay Hay.

"Orang muda, kami bukanlah orang-orang yang suka menuduh membabi-buta saja tanpa bukti. Sepak terjang Ang-hong-cu sudah lama kami kenal, dan pada suatu hari, seorang sumoi kami menjadi korban! Sebelum tewas sumoi sempat mengaku bahwa dia menjadi korban Ang-hong-cu. Tentu saja hal ini merupakan penghinaan bagi kami sehingga kami segera menyebar murid-murid untuk mencari sampai dapat penjahat yang telah merusak nama dan kehormatan kami. Kurang lebih setahun yang lalu, tiga orang sute kami telah berhasil menemukanmu dan menyerangmu. Engkaulah jai-hwa-cat Ang-hong-cu jahanam itu!"

"Hemm, apa buktinya?" Hay Hay membantah.

"Buktinya? Saat itu tiga orang sute kami melihat betapa engkau memegang sebuah tanda perhiasan berbentuk tawon merah, sangat persis dengan benda yang diterima oleh sumoi kami! Engkaulah Ang-hong-cu, maka harap engkau cukup jantan untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu!"

"Tapi... tapi... aku bukan Ang-hong-cu..." bantah Hay Hay.

"Dan perhiasan tawon merah yang ada padamu itu?" bentak Tiong Gi Cinjin penasaran.

"Aku... aku hanya kebetulan menemukan barang itu," kata Hay Hay agak gagap karena tentu saja dia tidak mau mengaku dari mana dia memperoleh perhiasan itu dan mengaku bahwa Ang-hong-cu adalah ayah kandungnya!

"Susiok, benarkah engkau bukan Ang-hong-cu?" Ling Ling yang sejak tadi memandang sambil mendengarkan dengan alis berkerut dan wajah agak pucat, kini tiba-tiba bertanya. Mendengar ini, Hay Hay memandang gadis itu dan menggelengkan kepalanya.

"Bukan, Ling Ling, percayalah!"

Kini Ling Ling menghadapi Tiong Gi Cinjin dan berkata. "Totiang, rasanya ada kekeliruan dalam hal ini. Kalau tidak salah, nama Ang-hong-cu sudah tersohor sejak belasan tahun silam! Bagaimana mungkin Susiok-ku ini yang menjadi Ang-hong-cu, padahal usia Susiok ini baru dua puluh lebih?"

Tujuh orang Bu-tong-pai ini saling pandang, akan tetapi Tiong Gi Cinjin segera berkata, "Kalau dia ini bukan Ang-hong-cu, tentulah keturunannya atau muridnya! Ang-hong-cu tak pernah memperlihatkan dirinya, hanya selalu meninggalkan perhiasan tawon merah. Akan tetapi pemuda ini memiliki perhiasan itu, dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa dialah Ang-hong-cu. Gerak-geriknya sudah lama dibayangi oleh para murid Bu-tong-pai dan dia seorang pemuda mata keranjang yang suka menggoda wanita!"

"Ahhhh...!" Ling Ling melangkah mundur dan memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata penuh keraguan.

"Ling Ling! Engkau... tidak percaya padaku?"

"Aku.. aku tidak tahu..." gadis itu menjawab sambil melangkah mundur lagi sampai lima langkah.

"Sudahlah, orang muda. Menyerahlah saja dan nanti di depan ketua kami, boleh engkau membela diri sesukamu!" kata Tiong Gi Cinjin sambil melangkah maju.

"Tidak, Totiang, aku tidak mau menyerah karena aku tak merasa bersalah terhadap pihak Bu-tong-pai!" kata Hay Hay yang menjadi tidak sabar lagi, terutama sekali melihat betapa Ling Ling agaknya juga mulai bercuriga kepadanya, telah mengira bahwa dia benar-benar Ang-hong-cu!

"Kalau begitu terpaksa pinto mempergunakan kekerasan!" kata tosu itu dan enam orang murid keponakannya juga sudah mencabut pedang dari punggung masing-masing. Cara mereka mencabut pedang saja sudah menunjukkan bahwa mereka telah menguasai Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-sut yang terkenal indah dan ampuh.

Tiba-tiba Sim Ki Liong tertawa kemudian dia pun melangkah maju. "Nanti dulu, Totiang. Saudara ini adalah tamuku, dan akulah yang mengajak mereka berdua datang ke tempat ini. Oleh karena itu, jika Totiang dan para murid Bu-tong-pai hendak menyerang Saudara Tang ini, berarti menyerang tamuku. Sebagai seorang tuan rumah, tentu saja saya tidak dapat membiarkan tamu saya diganggu!"

Tiong Gi Cinjin memandang wajah Ki Liong dengan alis berkerut. Dia bertindak atas nama Bu-tong-pai dan dia tidak mau kalau sampai perkumpulannya terlibat dalam permusuhan dengan golongan lain. "Orang muda, siapakah engkau? Di antara kita tidak ada persoalan sesuatu, karena itu harap engkau orang muda jangan mencampuri urusan kami dengan Ang-hong-cu."

"Namaku Sim Ki Liong, Totiang. Memang benar bahwa di antara kita tidak pernah terjadi bentrokan atau ada persoalan, tetapi kalau hari ini pihak Bu-tong-pai hendak mengganggu tamu-tamuku dan tidak dapat kuminta supaya tidak melanjutkan kehendaknya itu, berarti bahwa Bu-tong-pai sengaja hendak mencari gara-gara dan urusan dengan aku," jawaban ini tenang akan tetapi juga mengandung peringatan dan ancaman.

"Orang she Sim!" bentak seorang di antara Bu-tong Liok-eng (Enam Pendekar Bu-tong) yang kurus tadi. "Ini adalah hutan raya, sebuah tempat umum. Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa Ang-hong-cu ini adalah tamumu? Jika engkau hendak melindunginya berarti bahwa engkau pun bukan manusia baik-baik! Yang melindungi penjahat, berarti dia penjahat pula! Harap Susiok jangan melayani bocah ini dan biarlah kami yang akan menghabisinya!" Berkata demikian Si Kurus ini lantas memberi isyarat kepada lima orang temannya dan mereka berenam langsung mengepung Ki Liong dengan pedang di tangan! Akan tetapi Ki Liong hanya tersenyum dan berdiri tenang.

"Sudah kukatakan bahwa aku tak ingin bermusuhan, akan tetapi kalau kalian orang-orang Bu-tong-pai mengganggu tamuku dan aku, apa boleh buat, jangan dikira kalau aku takut terhadap kalian!" Tangan kanannya bergerak dan nampak sinar berkelebat. Tahu-tahu di tangan kanannya sudah terdapat sebatang pedang putih karena pedang itu terbuat dari perak!

Melihat ini jantung Hay Hay berdebar tegang. Kini dia sudah yakin benar. Sim Ki Liong ini adalah sama dengan Ciang Ki Liong yang pernah didengarnya dari Kui Hong, yaitu murid Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah, murid murtad yang pergi meninggalkan pulau itu tanpa pamit dengan membawa pusaka-pusaka pulau itu, termasuk sebatang pedang yang dia masih ingat saat Kui Hong bercerita, yaitu pedang yang namanya Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak).

Melihat pemuda itu mengeluarkan sebatang pedang, enam orang pengepungnya segera menerjang dari berbagai penjuru. Tampak sinar perak yang menyilaukan mata lalu disusul suara nyaring berdencingan ketika Ki Liong memutar pedangnya menangkis.

Enam orang itu berloncatan ke belakang dengan hati kaget. Pertemuan antara pedang itu telah membuat mereka terkejut karena tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa orang muda itu sungguh lihai! Mereka kembali mengepung dengan hati-hati dan maklum bahwa mereka tidak boleh mengadu senjata secara langsung dengan lawan itu.

Sementara itu Tiong Gi Cinjin telah melintangkan tongkatnya dan membentak kepada Hay Hay, "Orang muda, engkau tidak mau menyerah dan memaksakan perkelahian. Baiklah, keluarkan senjatamu dan lawanlah tongkat pinto!"

Hay Hay yang memperhatikan gerakan pedang perak di tangan Ki Liong, kini tersenyum sambil menggelengkan kepala kepada tosu itu. "Totiang, aku tak pernah mempersiapkan senjata untuk berkelahi. Apa bila Totiang masih penasaran dan hendak memaksaku untuk menyerah, atau hendak menyerang dengan tongkat itu, silakan!"

Ucapan dan sikap tenang Hay Hay itu dianggap suatu tantangan oleh Tiong Gi Cinjin dan mukanya menjadi merah. Dia seorang wakil Ketua Bu-tong-pai, kini menghadapi seorang pemuda dengan tongkatnya yang terkenal di tangan, dan pemuda itu sama sekali tak mau melawannya dengan senjata, melainkan dengan tangan kosong saja! Maka dia pun cepat menancapkan tongkatnya ke atas tanah sambil mengerahkan tenaganya.

"Cappp!" Tongkat panjang itu masuk ke dalam tanah sampai sepertiganya, dan dia pun menghadapi Hay Hay dengan tangan kosong!

"Ang-hong-cu, selain jahat engkau juga sombong bukan main! Nah, pinto juga bertangan kosong. Bersiaplah untuk menerima serangan. Haiiiitttt...!" Tosu itu langsung menerjang setelah mengeluarkan teriakan itu.

Hay Hay cepat mengelak dari sambaran tangan kakek itu. Dia merasa betapa ada angin pukulan yang amat kuat dan diam-diam dia pun maklum bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh. Dia tidak mau mempergunakan ilmu sihir. Tentu para murid Bu-tong-pai yang pernah dipermainkannya dengan ilmu sihir itu telah melapor, dan kalau kakek ini berani datang melawannya tentulah kakek ini sudah yakin bahwa dia akan mampu menghadapi kekuatan sihir, kalau pemuda lawannya itu mempergunakannya.

Betapa pun juga Hay Hay maklum bahwa para tokoh Bu-tong-pai ini hanya salah sangka. Mereka datang untuk membalas dendam karena kematian murid wanita Bu-tong-pai yang menjadi korban Ang-hong-cu, dan karena mereka menyangka bahwa dialah Ang-hong-cu, dengan bukti perhiasan tawon merah yang dimilikinya, maka sekarang mereka berusaha mati-matian menangkapnya. Jadi dalam hal ini orang-orang Bu-tong-pai tidak melakukan kejahatan terhadap dirinya dan jika dipikir secara mendalam, maka yang bersalah adalah Ang-hong-cu, sedangkan dia adalah putera kandung Ang-hong-cu!

Karena ini maka dia pun selalu mengalah dan biar pun tosu itu menyerang secara bertubi, dengan dahsyat sekali, tapi Hay Hay hanya selalu mengelak dan menangkis tanpa pernah membalas. Ia hanya mengandalkan kelincahan gerakannya untuk menghindarkan diri dari terjangan tosu yang lihai itu. Akan tetapi, karena tosu yang menjadi wakil perkumpulan Bu-tong-pai itu memang memiliki tingkat kepandaian yang sudah tinggi, Hay Hay nampak sibuk sekali dan terdesak.

Keadaan Sim Ki Liong masih lebih baik dari pada Hay Hay yang terdesak terus. Pemuda yang memegang Gin-hwa-kiam itu mengerahkan ilmu kepandaiannya dan tidak mengalah seperti yang dilakukan Hay Hay. Pedangnya membentuk gulungan sinar putih yang amat dahsyat dan menyilaukan sehingga enam orang pengeroyoknya bahkan kewalahan untuk menjaga diri dari sinar pedang yang menyambar-nyambar itu.

Kalau mereka itu bukan murid-murid utama dari Bu-tong-pai, tentu semenjak tadi mereka telah roboh terluka. Bu-tong-pai memang terkenal dengan ilmu pedangnya sehingga enam orang itu dapat memainkan pedang mereka dengan gaya yang amat indah dan meski pun mereka kalah tingkat dalam menghadapi Ki Liong, tapi permainan pedang mereka dapat dipusatkan untuk pertahanan yang amat ketat.

Selagi ramai-ramainya kedua pihak itu berkelahi di tempat sunyi itu, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki setegah tua yang menggiring puluhan ekor kambing. Dia seorang suku bangsa Hui, mengenakan sorban putih di kepalanya, dan tangannya memegang sebatang tongkat penggembala.

Entah bagaimana, agaknya kambing-kambing yang jumlahnya mendekati seratus ekor itu berlari-lari kacau menuju ke tempat perkelahian. Penggembala setengah tua itu mengejar di belakang mereka sambil memaki-maki dalam bahasa Hui, mengayun-ayun tongkatnya sehingga kambing-kambing itu menjadi makin ketakutan. Karena berada dalam keadaan panik, gerombolan binatang itu lari kacau-balau menyerbu tempat perkelahian sehingga mereka yang berkelahi menjadi kacau pula.

Melihat ada segerombolan kambing menyerbu, orang-orang Bu-tong-pai menjadi marah sehingga para pengeroyok Ki Liong mempergunakan kaki mereka menendangi beberapa ekor kambing yang segera terlempar dan terbanting. Makin riuh suara kambing-kambing itu mengembik dan suasana menjadi semakin kacau.

Penggembala itu menjadi marah. Dengan mata melotot dia lalu menghampiri orang-orang Bu-tong-pai itu dan memaki-maki. "Kalian orang-orang kurang ajar, kenapa menendangi kambing-kambingku?" Sambil terus memaki-maki dalam bahasa Hui, penggembala itu kini mengobat-abitkan tongkat gembalanya, mengamuk dan menyerang kalang-kabut kepada enam orang Bu-tong-pai itu!

Orang-orang Bu-tong-pai itu bukanlah orang-orang kejam. Tentu saja mereka tidak ingin memusuhi seorang penggembala bangsa Hui, maka melihat kemarahan penggembala itu yang menyerang mereka dengan tongkat panjang, mereka itu hanya menangkis dengan pedang mereka.

Terdengar bunyi nyaring enam kali dan enam orang Bu-tong-pai itu terkejut bukan main. Tongkat Si Penggembala itu bergerak cepat dan walau pun sudah ditangkis, tetapi secara bertubi-tubi dapat menyambar ke arah mereka. Dan bukan itu saja, juga mereka berenam merasa betapa tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa tongkat itu digerakkan oleh tenaga yang dahsyat!

Kakek penggembala berusia sekitar lima puluh tahun itu masih terus menyerang kalang-kabut, nampaknya dengan gerakan kacau, namun ternyata ujung tongkatnya menyambar-nyambar dengan tepat ke arah enam orang Bu-tong-pai. Melihat serangan ini, enam tosu itu segera berloncatan mundur.

Kakek bangsa Hui itu kini memutar tongkatnya dan menyerang dengan hantaman ke arah kepala Tiong Gi Cinjin yang masih bertanding dengan seru, atau lebih tepat, mendesak hebat kepada Hay Hay! Dan wakil Ketua Bu-tong-pai ini pun amat terkejut karena tongkat itu menyambar dengan amat kuatnya, didahului oleh angin pukulan yang ganas! Tiong Gi Cinjin cepat mengelak. lantas menggerakkan lengannya menangkis sambil mengerahkan tenaga, dengan maksud mematahkan tongkat penggembala itu.

"Dukkk!"

Tongkat itu ternyata tidak patah, bahkan melalui tangannya yang tergetar Tiong Gi Cinjin dapat merasakan betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam tongkat itu! Maklumlah dia bahwa penggembala Hui ini pun seorang yang memiliki kepandaian tinggi!

Padahal tadi pun dia sudah merasa bingung saat melihat kenyataan betapa pemuda yang disangkanya Ang-hong-cu itu sama sekali tak pemah membalas serangannya dan hanya mempertahankan diri, tetapi sebegitu jauh dia belum juga dapat merobohkannya! Bahkan satu kali pun belum ada serangannya yang berhasil mengenai sasaran! Juga dia melihat betapa enam orang anak buahnya sama sekali tak dapat menandingi kehebatan pemuda yang menggunakan sebatang pedang yang sinarnya seperti perak itu.

"Hayo, siapa pun yang berani mengganggu kambingku akan kupukul dengan tongkat ini!" Penggembala Hui itu berteriak-teriak sambil mengobat-abitkan tongkatnya yang panjang.

Sambil mencabut tongkatnya Tiong Gi Cinjin segera berkata, suaranya terdengar lembut, "Sobat, tidak ada yang mengganggu kambingmu. Karena kambing-kambingmu memasuki tempat perkelahian ini, maka ada yang kena tendangan. Hitung saja berapa yang tewas dan kami akan menggantinya."

Penggembala itu menghitung kambingnya, akan tetapi tidak ada yang tewas karena tadi para murid Bu-tong-pai memang menendang kambing hanya untuk mengusir mereka saja tanpa niat membunuh. Sesudah melihat betapa kambingnya masih utuh, penggembala itu lalu bersungut-sungut dan meneriaki kambing-kambing yang agak menjauh, tanpa peduli lagi dengan mereka yang kini menghentikan perkelahian.

"Ang-hong-cu, biarlah sekali ini pinto melepaskanmu, tapi lain kali pinto akan mencarimu dengan kekuatan yang lebih besar. Bagaimana pun juga engkau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu terhadap murid wanita kami!" Setelah berkata demikian, Tiong Gi Cinjin memberi isyarat kepada anak buahnya untuk pergi dari tempat itu.

Dengan sikap acuh penggembala itu juga menggiring pergi semua kambingnya, teriakan-teriakannya terdengar sampai jauh, bahkan teriakannya masih terus terdengar ketika dia dan kambing-kambingnya sudah tidak kelihatan lagi.

Diam-diam Hay Hay merasa heran. Dia tahu bahwa penggembala kambing bangsa Hui itu bukan orang sembarangan sehingga tosu Bu-tong-pai dan anak buahnya segera mundur begitu penggembala itu datang mengacau dengan kambing-kambingnya.

Sim Ki Liong juga merasa heran dan kagum. Timbullah suatu niat di dalam hatinya untuk membujuk orang Hui itu agar suka bekerja sama dengan persekutuan di mana dia menjadi pembantu pimpinan.

"Saudara Tang Hay, nanti dulu, aku ingin mengejar dan bicara dengan penggembala Hui itu!" Sesudah berkata demikian, Ki Liong segera meloncat dan berlari cepat mengejar ke arah menghilahgnya Si Penggembala bersama kambing-kambingnya.

Kini Hay Hay berdiri memandang kepada Ling Ling yang semenjak tadi berdiri mematung. Dara ini terlampau bingung untuk mencampuri perkelahian tadi. Hatinya menjadi bimbang sekali sesudah mendengar tuduhan tosu Bu-tong-pai dan para muridnya tadi bahwa Hay Hay adalah Ang-hong-cu.

Dia merasa tertarik kepada Hay Hay yang dianggap susiok-nya itu, bahkan gadis ini mulai merasa yakin bahwa hatinya bukan hanya sekedar tertarik, melainkan ada perasaan cinta terhadap pemuda itu. Akan tetapi wakil Ketua Bu-tong-pai menuduh pemuda itu sebagai Ang-hong-cu, penjahat pemerkosa wanita yang terkenal kejam dan sangat jahat! Dan dia merasa ragu-ragu.

Hay Hay adalah seorang pemuda yang sangat pandai merayu wanita, suka memuji-muji dan mudah menundukkan hati wanita, jadi tuduhan itu bukan tidak masuk akal. Apa lagi para tokoh Bu-tong-pai terkenal sebagai perdekar-pendekar gagah, pasti tidak menuduh sembarangan saja, dan bukankah ada buktinya, yaitu Hay Hay mempunyai sebuah benda perhiasan tawon merah yang menjadi tanda khas dari penjahat Ang-hong-cu?

"Ling Ling, jangan engkau memandangku seperti itu!" Hay Hay berkata. "Percayalah, aku bukanlah Ang-hong-cu penjahat itu!"

Ling Ling menggelengkan kepala, matanya masih terbelalak dan mukanya agak pucat. "Aku... tidak tahu... aku tidak... tahu...," katanya ragu-ragu dan bingung, kemudian dia membalikkan tubuhnya. "Lebih baik aku pergi saja..."

"Ling Ling, ingat akan pesanku. Tiga hari kemudian aku akan mencarimu di tepi telaga...!" Hay Hay mengingatkan gadis itu.

Dia telah mengambil keputusan akan melakukan siasat mendekati Ki Liong dan pura-pura mau bekerja sama supaya dia dapat langsung masuk ke dalam sarang persekutuan itu. Dengan demikian akan mudah baginya untuk melakukan penyelidikan, mengetahui siapa saja anggota pimpinan persekutuan itu. Tidak perlu terlalu lama, tiga hari pun cukuplah.

Kemudian dia akan melarikan diri keluar untuk menemui Ling Ling. Dia harus meyakinkan hati gadis itu bahwa dia bukan Ang-hong-cu, sungguh pun dia belum tahu bagaimana dia akan dapat meyakinkannya tanpa membuka rahasianya bahwa Ang-hong-cu adalah ayah kandungnya.

Ling Ling tidak menjawab, melainkan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Tempat yang tadinya menjadi medan perkelahian itu kini menjadi sunyi. Hay Hay lalu duduk, menunggu kembalinya Ki Liong. Tidak lama kemudian pemuda itu pun datang dengan berlari cepat, dan begitu tiba di situ Ki Liong memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya karena dia tidak melihat Ling Ling di situ.

"Ehh, di mana Nona Cia...?" tanyanya.

Hay Hay menghela napas panjang. Dia tidak perlu berpura-pura, karena itu dia tidak perlu berbohong pula. "Dia telah pergi, marah karena mengira bahwa aku adalah Ang-hong-cu, tentu dia merasa malu mempunyai seorang susiok yang menjadi jai-hwa-cat tersohor itu."

Ki Liong tersenyum. "Saudara Tang, benarkah engkau bukan Ang-hong-cu? Tokoh-tokoh Bu-tong-pai itu kelihatan begitu yakin... "

"Hemmm, Saudara Sim Ki Liong, seperti yang dikatakan oleh Ling Ling tadi, Ang-hong-cu terkenal sebagai seorang jai-hwa-cat sejak puluhan tahun yang lalu. Bagaimana mungkin aku yang baru berusia dua puluh satu tahun tahu-tahu dituduh sebagai Ang-hong-cu yang usianya tentu sudah jauh lebih tua?" Lalu, dengan muka memperlihatkan penasaran dan kemarahan, Hay Hay bertanya. "Saudara Sim, apakah engkau juga ikut-ikut menuduh aku Ang-hog-cu?"

Sim Ki Liong tertawa. "Sama sekali tidak, Saudara Tang. Dan andai kata betul sekali pun, aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu. Memang para pendekar itu kadang-kadang terlalu memandang rendah orang lain seakan-akan diri mereka saja yang baik, bersih dan gagah. Engkau pun telah mereka musuhi dan mereka tuduh semena-mena. Nah, mereka sama sekali tidak menghargaimu. Tetapi aku, maksudku kami, akan dapat menghargaimu yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan kalau engkau suka bergabung dengan kami, membantu perjuangan kami sehingga berhasil, kelak engkau pun akan menjadi seorang berpangkat tinggi dan manusia-manusia macam mereka itu tak akan berani memandang rendah dan meremehkanmu lagi, apa lagi menghina seperti yang mereka lakukan tadi."

"Hemm, tadi engkau bicara tentang perjuangan. Apa yang sebenarnya kau maksudkan?" Hay Hay memancing.

"Kami sedang menghimpun kekuatan dalam sebuah persekutuan, memperjuangkan nasib kita dari tekanan pemerintah yang lalim. Kaisar beserta para menteri sekarang ini kurang bijaksana, banyak pembesar melakukan korup, banyak terjadi kelaliman, oleh karena itu kami berusaha untuk melakukan suatu perjuangan."

"Maksudmu pemberontakan terhadap pemerintah?"

"Ki Liong tersenyum. "Bagi kami bukan pemberontakan, melainkan perjuangan, Saudara Tang! Memberontak terhadap kelaliman adalah suatu perjuangan yang mulia. Karena itu marilah engkau bergabung dengan kami agar kepandaianmu tidak akan sia-sia."

Hay Hay pura-pura mengerutkan alisnya dan berpikir. "Akan tetapi aku belum tahu siapa pemimpin kalian dan orang macam apa dia, dan siapa pula yang menjadi anggotanya."

"Jangan khawatir, Saudara Tang, pemimpin kami adalah seorang yang memiliki ilmu tinggi sekali. Bengcu kami adalah orang yang bijaksana dan aku sendiri telah diangkat menjadi pembantu utamanya. Banyak orang-orang kang-ouw yang telah menggabungkan diri dan jangan engkau heran apa bila di antara mereka terdapat tokoh-tokoh dari golongan hitam. Dalam suatu perjuangan urusan pribadi harus ditinggalkan, dan kami menghimpun tenaga dari mana pun juga asal dapat membantu gerakan kami. Marilah engkau kuperkenalkan dengan Bengcu dan para anggota pimpinan."

"Di mana pusat persekutuan kalian itu?

"Di Pegunungan Yunan. Marilah engkau ikut bersamaku, Saudara Tang. Sungguh sayang sekali bahwa Nona Cia tidak dapat ikut ke sana."

"Dia sedang marah, jadi tidak perlu dihubungi lagi, dan baiklah, aku akan ikut denganmu, Saudara Sim. Akan tetapi, bagaimana dengan penggembala Hui tadi? Siapakah dia dan sudahkah engkau tadi bertemu dengan dia, Saudara Sim?"

"Wah, orang itu memang aneh dan mencurigakan, juga agaknya dia lihai sekali. Melihat kelihaiannya tadi aku ingin menghubunginya, maka aku cepat melakukan pengejaran. Tapi ketika aku tiba di luar hutan ini, yang kutemukan hanyalah segerombolan kambing yang digembala oleh seorang anak kecil suku bangsa Hui. Kutanyakan dia mengenai laki-laki setengah tua tadi, tapi dia hanya bilang bahwa lelaki itu meminjam kambing-kambingnya itu dan baru saja dikembalikan. Anak itu telah diberi beberapa potong uang perak, namun dia tak mengenal siapa adanya laki-laki itu yang langsung pergi dengan cepatnya setelah mengembalikan kambing-kambingnya dan memberinya beberapa potong uang perak."

"Aneh sekali...," kata Hay Hay heran.

"Memang aneh. Jelas bahwa laki-laki itu sengaja menyamar sebagai penggembala untuk membubarkan perkelahian, atau jika tak keliru dugaanku, dia sengaja hendak membantu kami dalam menghadapi orang-orang Bu-tong-pai. Akan tetapi sudahlah, dia sudah pergi. Mari engkau ikut bersamaku menemui Bengcu kami, Saudara Tang."

Hay Hay mengangguk-angguk, lantas mengikuti pemuda tampan itu meninggalkan tempat itu menuju ke barat. Diam-diam dia masih membayangkan keanehan lelaki penggembala bangsa Hui itu.

Siapakah dia dan apa pula maksudnya dengan berpura-pura menggembala kambing dan menyerbu ke tempat perkelahian? Melihat betapa penggembala palsu itu dapat membuat gentar orang-orang Bu-tong-pai, telah membuktikan bahwa orang itu memang lihai sekali, padahal baru melakukan penyerangan beberapa kali saja dengan tongkat gembalanya!

Akan tetapi karena dia pun bisa menduga bahwa di tempat itu banyak berkeliaran orang pandai, Hay Hay menduga bahwa laki-laki setengah tua tadi tentu seorang di antara para pendekar yang menurut Menteri Yang Ting Hoo, banyak berdatangan ke tempat itu untuk melakukan penyelidikan terhadap persekutuan orang sesat yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo itu. Dan kini dia dibawa oleh Ki Liong menghadap Lam-hai Giam-lo!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

"Hay-ko...! Engkaukah ini...?" Pek Eng berseru dengan girang sekali ketika dia mengenal Hay Hay.

Pemuda itu masuk bersama Kim Liong untuk menghadap Lam-hai Giam-lo, dan karena para pengawal mengatakan bahwa bengcu sedang berlatih silat dengan murid atau puteri angkatnya di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat), maka Ki Liong yang memiliki kebebasan di tempat itu sebagai pembantu utama dan terpercaya dari bengcu, segera saja mengajak Hay Hay untuk memasuki ruangan itu.

Begitu mereka masuk Hay Hay segera melihat dan mengenal seorang gadis yang sedang berlatih silat dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Gadis itu bukan lain adalah Pek Eng! Keraguannya lenyap seketika setelah gadis itu menoleh dan matanya terbelalak, lalu memanggilnya dengan gembira.

"Adik Eng...! Benar engkaukah ini? Bagaimana bisa di sini ?" Dia pun bertanya terheran-heran. Apakah keluarga Pek, pimpinan Pek-sim-pang yang termasuk aliran putih itu juga sudah bersekutu dengan gerombolan pemberontak yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo? Rasanya tidak mungkin begitu.

"Ahh, kalian sudah saling mengenal? Bagus!" kata Ki Liong.

Tentu saja dia hanya berpura-pura, sebab ketika Pek Eng baru tiba di tempat itu, gadis ini telah bercerita bahwa dia mencari dua orang, yaitu kakak kandungnya yang bernama Pek Han Siong, dan orang ke dua adalah Hay Hay. Dia sendiri sempat mendengar ketika Pek Eng menceritakan hal itu kepada Bi Lian, murid dari mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi itu.

Sementara itu Lam-hai Giam-lo telah mendengar beritanya lebih dahulu tentang pemuda bernama Hay Hay itu, yang kabarnya amat lihai, sedemikian lihainya sehingga dua orang di antara para pembantunya yang dipercaya, yaitu Min-san Mo-ko beserta Ji Sun Bi, juga merasa jeri dan harus mengundang Ki Liong untuk membantu mereka. Sekarang Ki Liong telah kembali bersama pemuda itu dan agaknya berhasil membujuknya, maka diam-diam hati Lam-hai Giam-lo menjadi gembira sekali. Makin banyak orang pandai membantunya maka akan semakin baik pula.

Pek Eng dan Hay Hay saling pandang dan tiba-tiba saja sepasang pipi gadis itu berubah merah karena dia teringat betapa dia pernah mencium dan dicium pipinya oleh pemuda ini yang tadinya dia sangka kakak kandungnya! Seorang pernuda yang pandai merayu, akan tetapi... menyenangkan sekali dan kelihaiannya membuat dia kagum bukan main. Setelah dia teringat tentang peristiwa penciuman itu, tiba-tiba saja Pek Eng menjadi pemalu dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata.

Sementara itu Lam-hai Giam-lo juga merasa girang sekali melihat betapa muridnya, juga anak angkatnya yang amat disayangnya itu sudah saling mengenal dengan pemuda yang baru datang ini. Kalau Eng Eng telah mengenalnya maka akan mudah mengetahui siapa sebenarnya pemuda itu, dan tentu lebih dapat dipercaya.

"Saudara Tang Hay, inilah Bengcu yang memimpin gerakan perjuangan kami. Bengcu, dia adalah Saudara Tang Hay, seorang pemuda petualang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia sudah mendengar dariku mengenai semua cita-cita perjuangan kita dan menyatakan setuju untuk membantu agar kelak dia bisa memperoleh bagian jabatan yang tinggi," kata Sim Ki Liong.

Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk.

"Mari, silakan ikut dengan kami ke ruangan duduk, orang muda, supaya kita dapat bicara dengan lebih leluasa."

Mereka kemudian memasuki ruangan duduk, dan diam-diam Hay Hay mengagumi semua perabot rumah yang serba mewah itu. Juga ruangan duduknya sangat luas dan nyaman, dihias oleh lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah. Mereka berempat lalu duduk di dalam ruangan itu. Dua orang pelayan wanita muda yang cantik-cantik segera keluar membawa arak dan air teh harum, lalu pergi lagi dengan langkah kaki yang genit

"Eng Eng, engkau sudah kenal dengan pemuda ini? Di mana engkau mengenalnya dan siapakah dia ini sebenarnya?" Lam-hai Giam-lo bertanya kepada Pek Eng dengan suara menyayang.

Hay Hay melihat sikap ini dan dia merasa semakin heran. Agaknya kakek bemuka kuda yang julukannya Lam-hai Giam-lo ini, pemimpin dari gerombolan orang sesat yang hendak memberontak terhadap pemerintah, amat akrab dengan Pek Eng. Tadi dia sudah melihat betapa Pek Eng berlatih silat di bawah bimbingan kakek ini!

Suara kakek ini pun luar biasa sekali, parau pecah seperti ringkik kuda. Keadaan wajah dan tubuhnya juga aneh. Mukanya mirip kuda, dengan mulut atas menjorok keluar, dua matanya sipit dan sepasang telinganya lebar. Tubuhnya yang tinggi kurus itu mempunyai sepasang kaki yang panjang. Seorang kakek yang sangat aneh dan usianya belum begitu tua, sekitar lima puluh tahun lebih.

"Bengcu, aku mengenalnya sebagai Hay Hay, ketika masih bayi dia pernah menjadi anak angkat dari orang tuaku."

"Ho-ho-ha-ha...!" Lam-hai Giam-lo tertawa hingga suaranya bergema di ruangan itu, "kalau begitu dia ini masih kakak angkatmu sendiri?"

Pek Eng adalah seorang gadis yang sangat cerdik dan tangkas. Dia sudah merasa kaget dan heran bukan main ketika Hay Hay muncul tadi, dan sungguh pun dia tidak tahu apa maksud kedatangan Hay Hay di tempat itu, namun dia tahu bahwa kalau kedatangan Hay Hay ini hendak menentang persekutuan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo, maka akan terancamlah keselamatan Hay Hay. Agaknya pemuda itu belum tahu bahwa di tempat ini berkumpul banyak sekali orang yang sangat lihai. Maka dia pun cepat-cepat mengangguk membenarkan ketika mendengar ucapan Lam-hai Giam-lo.

"Begitulah, Bengcu. Boleh dibilang dia adalah kakakku sendiri, kakak angkat karena dia pernah diangkat anak oleh ayah bundaku"

Hay Hay mengangguk-angguk pula, menahan hatinya yang penuh diliputi perasaan heran dan penasaran bagaimana Pek Eng dapat berada di tempat itu dan nampaknya hubungan dara ini begitu dekat dengan Lam-hai Giam-lo, pemimpin kaum pemberontak itu! Padahal setahunya keluarga Pek merupakan keluarga pendekar yang tentu saja sama sekali tidak akan sudi berhubungan dengan para pemberontak, apa lagi kalau pemberontak itu terdiri dari orang-orang golongan hitam. Akan tetapi dengan cerdik dia pun menahan dirinya. Dia akan bertanya mengenai keanehan itu dari Pek Eng sendiri, kalau mereka sempat bicara empat mata saja.

"Sobat Tang Hay, kalau engkau pernah diangkat anak oleh orang tua Eng Eng, mengapa engkau tidak memakai nama keluarga Pek akan tetapi sekarang memakai nama keluarga Tang?"

Pertanyaan yang tiba-tiba dari Lam-hai Giam-lo ini sebetulnya mengejutkan hati Hay Hay, tetapi sama sekali tidak terlihat pada wajahnya yang tetap tenang. Dia bahkan tersenyum lalu memberi hormat kepada pemimpin itu.

"Maaf, Bengcu. Sebelum kita berbicara tentang diriku, lebih dahulu aku ingin sekali tahu, apakah Bengcu dapat menerima aku untuk membantu gerakan perjuangan yang Bengcu pimpin? Tentu saja dengan janji bahwa kalau kelak gerakan berhasil, aku akan mendapat bagian, yaitu sebuah kedudukan yang tinggi dan terhormat sesuai dengan jasa-jasaku?"

Wajah Lam-hai Giam-lo berseri-seri. Kalau ada orang membantunya dengan pamrih agar kelak bisa memperoleh jabatan, maka orang itu dapat dipercaya! Dia tertawa lalu berkata, "Tentu saja, orang muda yang gagah. Dan karena yang mengajak engkau datang adalah Sim-kongcu yang sudah kupercaya sepenuhnya, maka kami pun percaya kepadamu. Kita lihat saja nanti bagaimana kesetiaanmu terhadap gerakan kita dan apa saja jasa-jasamu selama dalam perjuangan. Nah, sekarang jawablah pertanyaanku tadi."

Hay Hay merasa kagum sekali. Kakek bermuka kuda ini sungguh kuat ingatannya, masih ingat dengan pertanyaannya yang belum terjawab tadi. Dengan sewajarnya dia menjawab, "Meski pun aku pernah diangkat anak oleh keluarga Pek, akan tetapi hanya sebentar, jadi aku merasa tidak berhak menggunakan nama keluarga Pek yang terhormat. Karena itulah maka aku memakai nama keluarga ayah kandungku sendiri yang sudah tiada. Bukankah begitu, Eng-moi?"

Ditanya demikian, Pek Eng hanya mengangguk. Tentu saja gadis ini tidak mau membuka rahasia pemuda yang dikaguminya itu bahwa pemuda itu adalah putera dari jai-hwa-cat Ang-hong-cu yang tersohor itu.

Sebelum Lam-hai Giam-lo sempat berbicara lebih lanjut, terdengar suara ribut-rlbut di luar lian-bu-thia (ruangan latihan silat) itu. Terdengar suara orang yang lantang dan nadanya mengejek. "Eh-ehh, kalian mau apa? Sudah kukatakan bahwa aku datang untuk mencari Lam-hai Giam-lo. Bukankah kabarnya dia menampung orang-orang gagah untuk bekerja sama? Sekarang aku sudah datang, tapi kenapa disambut seperti musuh saja? Beginikah yang dinamakan menghargai orang gagah?"

"Orang asing! Engkau datang tanpa mau menyebutkan nama serta apa kepentinganmu hendak bertemu dengan Bengcu. Sikapmu mencurigakan, tentu saja kami menghadapimu sebagai musuh. Tak seorang pun boleh nyelonong begitu saja memasuki tempat kami ini, apa lagi hendak bertemu langsung dengan Bengcu," terdengar salah seorang anak buah Kui-kok-pang membantah.

"Habis kalau aku terus masuk dan terus mencari Bengcu kalian, lalu kalian mau apa? Mau menghalangiku? Ha-ha-ha, boleh kalau kalian mampu!" terdengar pula suara lantang itu.

Mendengar percakapan ini disusul suara ribut-ribut orang berkelahi, dengan alis berkerut Lam-hai Giam-lo melangkah keluar, diikuti oleh Pek Eng, Ki Liong dan Hay Hay. Sesudah mereka tiba di luar, mereka melihat seorang lelaki gagah berusia lima puluh tahun sedang dikeroyok oleh belasan orang anak buah Kui-kok-pang!