Asmara Berdarah Jilid 27 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

KEMUNCULAN gadis muda yang membelanya ini menimbulkan harapan baginya bahwa dia akan tertolong dari ancaman maut, biar pun hal ini tidak mendatangkan kegirangan besar dalam hatinya. Pada saat itu, bagi Ci Kang mati dan hidup tiada bedanya, bahkan dia tak akan menyesal kalau tewas karena hal ini hanya akan membebaskan dirinya dari pada kedukaan dan penyesalan.

Perkelahian itu berlangsung dengan serunya dan lima puluh jurus telah berlalu. Kini tiada keraguan lagi di dalam hati Siang Hwa bahwa lawannya sudah mengenal semua gerakan silatnya, namun dia pun mengenal gerakan yang serupa dengan ilmu silat yang diajarkan kepadanya oleh suhu dan subo-nya.

Malang baginya, gerakan kebutan itu asing baginya sehingga baberapa kali dia kebobolan dan hampir saja celaka ketika ujung kebutan menyambar. Untung dia amat gesit sehingga hanya keserempet saja dan belum terkena serangan yang telak. Bagaimana pun juga hal ini mengecutkan hatinya, maka Siang Hwa mulai terdesak hebat oleh Hui Cu.

Untung bagi Siang Hwa, sejak kecil Hui Cu hidup menyendiri di dalam goa di bawah tanah sehingga dia berwatak bersih, belum terseret ke dalam lembah kekejaman dan kejahatan oleh kehidupan orang tuanya. Oleh karena itu, walau pun dia telah mempelajari ilmu-ilmu silat dari ibunya, bahkan menguasai ilmu kebutan yang merupakan ilmu rahasia dan yang hanya dipelajari olehnya sendiri, namun tiada sedikit pun keinginan di dalam hatinya untuk mencelakakan orang lain.

Perasaan inilah yang membuat dia menentang mati-matian ketika ibunya pernah hendak membunuh Cia Sun dan Ci Kang. Dan sekarang dia menentang Siang Hwa yang hendak membunuh Ci Kang.

"Hyaaaattt...!"

Tiba-tiba Hui Cu mengeluarkan bentakan aneh seperti sering dilatihnya ketika dia berlatih silat di dalam goa bawah tanah, dan ujung kebutannya membuat gulungan cahaya yang membuat pandangan mata Siang Hwa kabur. Sebelum Siang Hwa dapat menghindarkan dirinya baik-baik, pundak kirinya telah disambar ujung kebutan dan dia berteriak kesakitan lantas meloncat ke belakang. Pundaknya terasa nyeri bukan main dan kalau saja dia tidak melindungi dirinya dengan tenaga sinkang, tentu dia sudah roboh.

Dengan muka agak pucat Siang Hwa memandang gadis itu lalu telunjuknya menuding ke arah muka yang putih agak pucat itu. "Kau... dari mana engkau mencuri ilmu perguruan kami...!"

Yang ditanya hanya tersenyum saja dan wajahnya tak lagi nampak menyeramkan akibat kepucatan wajahnya, karena sesudah tersenyum, wajah itu menjadi manis sekali. "Aihhh, agaknya engkaulah murid ibuku. Engkau amat lihai dengan pedangmu itu, sayang engkau jahat, mau membunuh orang! Ibu pernah bercerita mengenai seorang muridnya bernama Gui Siang Hwa. Engkaukah itu?"

Gui Siang Hwa menjadi semakin terkejut. Puteri subo-nya? Belum pernah dia mendengar subo-nya mempunyai seorang puteri. Memang subo-nya pernah melahirkan seorang anak perempuan akan tetapi anak itu telah mati!

"Kau... kau... puteri subo...?" Ia memandang terbelalak seperti melihat setan. Mungkinkah anak yang mati dapat hidup kembali?

Tiba-tiba Hui Cu teringat akan pesan ibunya agar tidak memperkenalkan diri kepada siapa pun juga, maka dia pun berkata dengan tak sabar lagi, "Sudahlah, engkau cepat pergi dari sini dan jangan mengganggu orang lain. Pergilah!" Dia melangkah maju dan mengancam dengan kebutannya untuk mengusir Siang Hwa.

Pada saat itu pula ada angin menyambar kuat, lantas tiba-tiba muncullah seorang nenek berpakaian putih dengan rambut putih riap-riapan dan wajah pucat kehijauan. Ci Kang mengenal nenek ini sebagai Ratu Iblis dan diam-diam dia pun merasa menyesal mengapa dia masih dalam keadaan tertotok. Kalau tidak, ingin dia melawan Ratu Iblis ini dengan muridnya yang jahat.

"Hui Cu, apa yang sedang kau lakukan ini?" bentak nenek itu kepada puterinya dan ketika dia melihat Siang Hwa, wajah nenek itu lalu berubah, alisnya berkerut dan sinar matanya mencorong. "Siang Hwa, apa yang kau kerjakan di sini?"

Nenek ini sejenak merasa bingung dan kaget melihat betapa anaknya yang kehadirannya dirahasiakan itu ternyata telah bentrok dengan muridnya dan jika hal ini sampai ketahuan oleh suaminya tentu akan terjadi kegegeran. Suaminya tentu akan menuntut agar Hui Cu dibunuh mati atau diberikan kepadanya untuk menjadi selirnya!

"Subo, teecu berhasil merobohkan Siangkoan Ci Kang dan hendak membunuhnya, akan tetapi lalu muncul... ehhh, adik ini yang menentang teecu," kata Siang Hwa membela diri karena dia tahu bahwa subo-nya sedang marah sekali.

Nenek itu membalikkan tubuhnya memandang pada tubuh Ci Kang, lalu kepada puterinya dengan sikap marah. Sebelum dia mengeluarkan kata-kata, Hui Cu sudah meloncat dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah tiba di dekat Ci Kang dan dia bersikap melindungi.

"Ibu, kenapa engkau dan juga muridmu itu berkeras hendak membunuh orang yang tidak bersalah?"

"Hui Cu, pergilah dan biarkan Siang Hwa membunuhnya!" bentak Ratu Iblis.

"Tidak! Siapa pun tak boleh membunuhnya! Aku akan menentang siapa saja yang hendak membunuhnya!" berkata Hui Cu dengan sikap gagah lalu dia melintangkan kebutannya di depan dada. "Siang Hwa, kalau engkau berkeras hendak membunuhnya, aku yang akan lebih dulu merobohkanmu. Kalau engkau jahat, aku pun terpaksa akan tega melukaimu!"

Tentu saja Siang Hwa tidak berani sembarangan bergerak. Dia sudah tahu akan kelihaian gadis itu, apa lagi setelah kini tahu bahwa gadis itu ternyata adalah puteri subo-nya. Mana dia berani menyerang atau menentangnya?

"Kalau aku yang membunuhnya?" bentak pula nenek itu.

"Aku tetap akan melindunginya dan agaknya ibu harus membunuh aku lebih dulu sebelum dapat membunuhnya!"

Nenek itu nampak terkejut dan sepasang matanya yang mencorong itu terbelalak. "Apa?! Kau... kau cinta pemuda itu?"

"Aku tidak tahu apa maksudmu, ibu. Aku tidak tahu apa artinya cinta, akan tetapi aku suka kepadanya karena dia orang yang baik dan aku tidak suka melihat dia dibunuh. Aku akan menentang setiap pembunuhan tanpa sebab."

Melihat kenekatan puterinya, nenek itu sejenak nampak bingung dan kehabisan akal. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akan tetapi baginya, mati hidupnya seorang pemuda seperti Siangkoan Ci Kang tidaklah begitu penting. Yang merupakan urusan besar adalah pertemuan antara anaknya dengan Siang Hwa. Maka dia menoleh ke arah Siang Hwa dan berkata dengan suara penuh mengandung ancaman,

"Siang Hwa, berjanjilah untuk menutup mulutmu dan tidak bicara kepada siapa pun juga tentang Hui Cu, terutama sekali kepada suhu-mu. Kalau hal ini sampai bocor, engkaulah satu-satunya orang yang tahu maka engkau akan kubunuh!"

Mendengar suara subo-nya dan melihat sikap yang mengancam itu, Siang Hwa menjadi pucat dan dia pun mengangguk sambil berkata lirih, "Baik subo... teecu berjanji tak akan bicara dengan siapa juga mengenai... sumoi."

"Nah, Hui Cu, Siang Hwa, mari kita pergi!" kata pula nenek itu.

Hui Cu memandang kepada Ci Kang, dan kemudian dengan ragu-ragu kepada ibunya. "Ibu... dan... suci sungguh tidak akan membunuh dia?"

"Tidak, mari kita pergi," kata pula nenek itu mendesak.

"Pergilah dahulu, ibu dan suci, nanti aku menyusul," kata pula Hui Cu yang masih belum percaya benar bahwa ibunya dan suci-nya itu benar-benar akan membebaskan Ci Kang dan tidak mengganggunya.

"Mau apa kau?!" ibunya membentak.

"Aku mau bercakap-cakap dulu sebentar dengan dia," jawab gadis itu menunjuk kepada Ci Kang.

Nenek itu mendengus marah, akan tetapi dia segera meninggalkan tempat itu. Siang Hwa tersenyum mengejek.

"Sumoi yang manis, agaknya engkau sudah tergila-gila kepada pemuda ini, ya? Memang dia tampan dan gagah, akan tetapi hati-hatilah, dia jahat dan curang tak dapat dipercaya. Jangan-jangan engkau akan celaka olehnya. Bila engkau ingin agar dia dapat melayanimu sepuas hatimu, engkau berilah dia minum ini." Wanita itu lalu mengeluarkan sebungkus bubukan merah dan memberikannya kepada Hui Cu.

Akan tetapi Hui Cu menolak, menggelengkan kepala dengan alis berkerut. "Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan, akan tetapi dia tidak jahat dan curang seperti engkau. Pergilah cepat!" bentaknya marah.

Gui Siang Hwa hendak menjawab, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking lirih dan ini adalah tanda panggilan dari subo-nya. Maka, sambil tersenyum mengejek Siang Hwa mengangkat pundak dan pergi meninggalkan sumoi-nya.

Hui Cu berjongkok dan melihat betapa pemuda itu tak mampu bergerak karena totokan, ia cepat menepuk lalu mengurut punggung dan kedua pundak Ci Kang. Akhirnya berhasillah dia membebaskan pemuda itu dari pengaruh totokan dan Ci Kang segera bangkit duduk sambil mengatur pernapasan.

"Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh suci tadi." Hui Cu mengomel sambil duduk di depan Ci Kang.

Pemuda ini menatap wajah yang manis itu dan merasa kagum. Gadis ini sungguh masih bersih dan polos, batinnya belum tercemar oleh kekotoran yang mengelilingi keluarganya.

"Suci-mu itu jahat sekali, Hui Cu. Dan kalau tadi aku tidak tertotok, tentu akan kuserang dan kurobohkan suci-mu itu."

Gadis itu memandang dengan alis berkerut, agaknya bingung dan tak mengerti. "Kenapa akan kau lakukan hal itu?"

"Karena dia jahat dan berbahaya bagi orang lain, dan ibumu juga."

"Engkau akan menyerang dan membunuh ibuku pula?"

"Kalau mungkin, biar pun ibumu lihai sekali. Mereka itu jahat bukan main, mereka adalah datuk-datuk sesat, bahkan ibumu dijuluki Ratu Iblis. Mereka semua hanya menyebarkan perbuatan jahat dan kejam dan merupakan ancaman bagi keselamatan orang-orang lain yang tidak berdosa dan mengotorkan bumi."

"Engkau... benci kepada mereka?"

Mendengar pertanyaan ini, Ci Kang termenung sambil mengamati batinnya sendiri. Tidak, dia tidak benci siapa pun. Apa yang diajarkan oleh Ciu-sian Lo-kai tentang cinta, benci dan dendam sudah mendalam di dalam batinnya dan dia tidak merasa membenci siapa pun juga. Akan tetapi dia merasa harus menentang orang-orang semacam Ratu Iblis dan Siang Hwa karena mereka itu jahat dan berbahaya bagi manusia pada umumnya, seperti juga dia menentang ayahnya sendiri yang sama sekali tidak dibencinya.

"Tidak, Hui Cu. Aku tak membenci mereka, akan tetapi yang kutentang adalah kejahatan mereka demi menyelamatkan orang-orang dari ancaman kejahatan mereka."

Gadis itu menggeleng-geleng kepala. "Aku menjadi bingung dan tidak mengerti, Ci Kang. Akan tetapi, tadi aku melihat engkau seorang diri menangis demikian sedihnya. Kemudian muncul suci yang menotokmu dengan curang. Ci Kang, kenapa engkau menangis begitu menyedihkan? Apakah yang menyusahkan hatimu?"

Ci Kang merasa terharu sekali. Terhadap seorang gadis yang sejujur dan sebersih ini, dia merasa mendapatkan seorang sahabat sehingga dia tidak perlu merasa malu atau harus menyembunyikan rahasia hatinya. Bahkan Hui Cu dapat merupakan satu-satunya orang kepada siapa dia boleh mencurahkan semua kepedihan hatinya saat itu.

"Hui Cu, aku memang berduka sekali karena aku mencinta seorang gadis tetapi tidak ada harapan bagiku untuk berjodoh dengannya."

Gadis itu mengerutkan alisnya seperti hendak mengerahkan otaknya untuk menangkap arti ucapan Ci Kang. "Engkau cinta padanya? Apakah cinta itu?"

Ci Kang tersenyum. Tidak mengherankan kalau gadis ini demikian hijau, karena semenjak kecil selalu berada seorang diri saja di dalam goa bawah tanah.

"Cinta adalah perasaan seorang pria terhadap wanita, Hui Cu, dan orang yang mencinta mengharapkan untuk bisa hidup bersama dengan wanita yang dicintanya. Aku jatuh cinta kepada seorang gadis akan tetapi tidak ada harapan bagiku untuk dapat berjodoh dan hidup bersamanya."

"Kenapa, Ci Kang? Engkau seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik. Apakah dia tidak suka kepadamu?"

"Aku tidak tahu..." Dia lantas teringat betapa Sui Cin menyuapkan makanan ke mulutnya, betapa gadis itu mengobati dan merawatnya. "Mungkin dia suka padaku... akan tetapi aku sudah melakukan kesalahan besar terhadap dirinya... dan pula, dia adalah puteri seorang pendekar besar, sedangkan aku..."

"Engkau kenapa?"

"Aku sebaliknya adalah anak seorang datuk sesat yang amat jahat!" kata Ci Kang dengan gemas dan suaranya mengandung penuh penyesalan.

Ucapan ini amat menarik hati Hui Cu. Gadis itu memegang lengan Ci Kang dan menatap tajam wajah pemuda itu. "Apa? Orang tuamu itu jahat? Sejahat... orang tuaku?"

Ci Kang mengangguk. "Ayah dan ibumu berjuluk Raja dan Ratu Iblis dan kini menjadi raja para datuk sesat. Sebelum itu, yang menjadi raja datuk-datuk sesat adalah ayahku yang berjuluk Iblis Buta."

"Ahh... kenapa mereka itu jahat? Aku tidak suka perbuatan jahat, dan engkau pun tidak suka. Kenapa mereka begitu, Ci Kang?"

Pertanyaan yang sederhana ini tidak mampu terjawab oleh Ci Kang. "Aku tidak tahu, Hui Cu. Akan tetapi aku girang bahwa engkau tidak suka kejahatan seperti mereka. Kita ini senasib, sama-sama menjadi anak orang-orang jahat. Dan ayahku kini telah tiada..."

"Akan tetapi kalau dia buta, berarti tidak dapat melihat, kenapa jahat? Dan dia tentu lihai sekali, karena engkau pun amat lihai."

"Dia lihai, akan tetapi masih kalah oleh ayah ibumu. Ayahku tewas di tangan ibumu."

"Ihhhh...! Dan kau... kau adalah puteranya, karena itu engkau membenci ibu dan hendak membalas..."

"Tidak! Engkau keliru, Hui Cu. Kalau aku menentang ibumu, itu hanya karena ibumu jahat. Ayahku mati karena akibat perbuatannya sendiri, akibat kejahatannya sendiri. Aku tidak mendendam kepada siapa pun juga."

Gadis itu terdiam. "Aku bingung dan tidak mengerti mengenai semua ini, Ci Kang. Akan tetapi, mendengar bahwa engkau pun anak seorang datuk sesat seperti aku, aku semakin suka padamu. Ehh, Ci Kang, di manakah kawanmu itu?"

"Kawanku? Kau maksudkan Cia Sun?"

"Benar! Cia Sun, yang bersamamu masuk ke dalam goa bawah tanah itu. Di manakah dia sekarang dan mengapa tidak bersamamu? Aku ingin sekali bertemu dan bicara dengan dia."

Mendengar kegairahan dalam suara gadis itu, Ci Kang menatap wajahnya dengan penuh selidik. Akan tetapi wajah dan pandangan mata yang berseri itu tidak berubah dan tetap polos terbuka.

"Hui Cu, kau... kau cinta pada Cia Sun?"

"Cinta? Ahh, kau tadi bilang bahwa cinta berarti ingin selamanya hidup bersama orang yang dicinta. Aku tidak tahu, apakah aku ingin hidup selamanya dengan Cia Sun, akan tetapi, aku suka sekali kepadanya dan semenjak bertemu dengannya, aku selalu teringat kepadanya."

"Hemm, kalau tidur engkau sering kali mimpi bertemu dengannya?"

"Benar..."

"Kalau engkau sedang duduk seorang diri, wajahnya sering terbayang olehmu, suaranya seperti kau dengar kembali, setiap gerak-geriknya amat menyenangkan hatimu?"

"Wah, benar! Benar sekali! Ehh, bagaimana engkau bisa tahu?"

Ci Kang tersenyum pahit. Tentu saja dia tahu benar, karena seperti itulah keadaan dan perasaannya terhadap Sui Cin selama ini! Puteri Raja dan Ratu Iblis ini sudah jatuh cinta kepada Cia Sun! Kenyataan ini membuat hatinya semakin pedih.

Dia, putera datuk sesat jatuh cinta kepada puteri Pendekar Sadis yang terkenal. Dan kini, puteri Raja Iblis yang sangat jahat itu jatuh cinta kepada putera ketua Pek-liong-pang dari Lembah Naga yang juga terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang dihormati orang! Mana mungkin terjadi?

"Ci Kang, kenapa engkau bengong saja? Kau belum menjawab pertanyaanku, bagaimana engkau dapat mengetahui apa yang kualami selama ini, dan di mana pula adanya Cia Sun?"

"Hui Cu, aku tahu apa yang kau alami karena aku sendiri pun mengalami hal yang sama terhadap bayangan gadis yang kucinta. Dan Cia Sun... ah, engkau belum tahu siapa dia. Dia bukan orang sembarangan saja, dia adalah putera dari pendekar besar Cia Han Tiong, ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga."

"Lembah Naga? Aku pernah mendengar nama tempat itu dari ibu, tidak begitu jauh dari sini! Jadi dia berada di sana?"

"Entahlah, kukira begitu."

"Kalau begitu, aku akan pergi mencarinya! Aku akan mencari Cia Sun, aku tidak senang tinggal bersama ibuku!" Gadis itu bangkit berdiri.

"Nanti dulu, Hui Cu!" Ci Kang juga melompat dan memegang lengan gadis itu.

"Kenapa kau menahanku? Ada apa?"

Ci Kang merasa kasihan terhadap gadis ini dan tidak ingin melihat gadis ini mengalami patah hati dan penghinaan di Lembah Naga. "Dengarkan dahulu baik-baik. Ingat bahwa engkau adalah puteri Raja dan Ratu Iblis, sedangkan Cia Sun adalah putera pendekar..."

Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu menyambar angin dahsyat sekali dan tahu-tahu di situ muncul seorang kakek yang rambutnya riap-riapan putih, pakaiannya juga serba putih dan sepasang matanya mencorong mengerikan, ada pun mukanya pucat kehijauan. Melihat kakek ini, terkejutlah Ci Kang karena dia mengenal kakek ini sebagai Raja Iblis sendiri!

"Aku mendengar tadi ada puteri Raja dan Ratu Iblis. Siapa puteri itu?" terdengar suara kakek aneh itu, suaranya seperti terdengar dari lain tempat yang jauh, dan bibirnya tidak nampak bergerak.

Hui Cu yang juga kaget melihat munculnya seorang kakek aneh, kini memandang kakek itu dengan mata terbelalak. "Engkau kakek aneh dan lucu, bicara tanpa menggerakkan bibir! Akulah puteri Raja dan Ratu Iblis!"

Ci Kang terkejut sekali dan tidak sempat menahan gadis itu mengeluarkan kata-kata yang demikian beraninya. Berhadapan dengan iblis ini tak perlu banyak cakap, pikirnya, karena tak mungkin iblis itu akan mau melepasnya seperti yang dilakukan oleh Ratu Iblis karena bujukan puterinya tadi.

Maka tanpa banyak cakap lagi dia pun cepat menerjang maju dengan pukulan tangannya yang ampuh. Karena dia maklum bahwa lawannya ini amat sakti, maka begitu menerjang dia langsung mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya kemudian mengirim pukulan yang mengandung tenaga dahsyat.

"Wuuuttt...! Dukkk...!"

Tubuh Ci Kang terjengkang ke belakang dan dia tentu akan terbanting keras kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik dan berloncatan ke belakang. Dia dapat berdiri lagi dengan tegak dan merasa betapa lengan kanannya yang tertangkis oleh lengan kakek itu terasa nyeri dan panas.

"Jangan pukul kawanku!" Hui Cu membentak dan dia pun langsung menyerang kakek itu dengan kebutannya. Dia marah melihat betapa Ci Kang terjengkang dan hampir roboh.

Kakek itu mengeluarkan suara menggereng aneh dan begitu jari-jari tangannya bergerak, bulu kebutan itu berhenti dan menempel di telapak tangannya, sedangkan tangan kirinya diulur untuk mencengkeram ubun-ubun kepala Hui Cu. Jelas bahwa dia bermaksud akan membunuh puterinya itu dengan sekali serangan.

"Iblis keji! Kau hendak membunuh anakmu sendiri?" Ci Kang membentak, lantas dengan nekat dia menerjang dari samping, memukul ke arah tengkuk kakek itu dan tangan kirinya menangkis tangan kakek yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Hui Cu.

"Dukk! Dukkk!"

Kembali lengan mereka beradu dan Ci Kang terjengkang, akan tetapi Hui Cu selamat dan dapat menarik kembali kebutannya. Gadis ini memandang kakek itu dengan kedua mata terbelalak ketika dia mendengar bentakan Ci Kang tadi.

"Apa?! Dia... dia ini ayahku?" teriaknya.

"Benar, dia adalah Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit Ong, ayah kandungmu. Pangeran Toan Jit Ong, gadis ini adalah Toan Hui Cu, puterimu sendiri. Jangan ganggu dia, akulah lawanmu dan mari kita bertanding sampai mati!" Ci Kang menantang dengan sikap gagah dan dia sudah memasang kuda-kuda dan siap untuk berkelahi mati-matian melawan raja kaum sesat ini.

Akan tetapi kakek itu tidak menjawab, bahkan tidak memperhatikan dia. Sepasang mata yang mencorong itu ditujukan kepada Hui Cu, mengamatinya dari pucuk rambut sampai ke kaki.

"Ia harus mati, tapi sayang, dia gagah dan cantik. Engkau harus melahirkan anak laki-laki dariku!"

Dan tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan tangannya sudah meluncur ke depan. Lengan itu dapat mulur panjang dan tangan itu hendak menangkap pinggang Hui Cu. Gadis ini terkejut dan menjerit, kebutannya digerakkan menotok ke arah pergelangan tangan lawan.

"Tukkk!"

Bagaimana pun saktinya, Raja Iblis itu terkejut karena pergelangan tangan yang tertotok ujung kebutan itu seperti dipatuk ular sehingga terasa kesemutan. Mengertilah dia bahwa isterinya telah melatih anak ini dan mungkin anak ini telah mewarisi ilmu kebutan rahasia dari mendiang gurunya yang belum sempat dipelajarinya, dan ilmu kebutan ini lebih lihai dari pada ilmu menggunakan rambut dari isterinya. Maka terpaksa dia menarik kembali lengannya.

"Iblis keji!" Ci Kang menyerangnya dari samping dengan totokan ke arah lambung kiri Raja Iblis.

Totokan ini amat hebat dan saking cepatnya, tidak dapat ditangkis lagi sehingga terpaksa pula Raja Iblis itu menggerakkan tubuh ke belakang untuk mengelak. Diam-diam dia pun terkejut. Pemuda ini cukup lihai, mungkin lebih lihai dari pada semua pembantunya. Dan anak perempuan itu pun memiliki ilmu kebutan yang hebat.

Tiba-tiba dia melompat ke belakang dan mengangkat kedua tangan. Kakek ini memang memiliki wibawa yang kuat karena dua orang muda itu segera berhenti dan memandang.

"Siapa namamu?" tanyanya kepada Ci Kang.

"Aku Siangkoan Ci Kang," jawab pemuda itu dengan tabah.

"Bagus! Kau putera Siangkoan Lo-jin?"

"Benar!"

"Hemm, kau datang untuk membalas kematian ayahmu?"

"Tidak, aku datang untuk menentang kejahatanmu!"

"Siangkoan Ci Kang, apakah engkau cinta kepada puteriku ini? Engkau jadilah suaminya dan kalian menjadi pembantu-pembantuku yang setia. Bagaimana?"

Sungguh luar biasa sekali watak iblis ini! Baru saja menyerang dan hendak membunuh, sekarang tiba-tiba menawarkan hal yang sebaliknya. Ini menunjukkan betapa cerdiknya Raja Iblis. Dia segera dapat mengubah pendirian begitu melihat segi keuntungannya.

"Persetan dengan engkau!" bentak Ci Kang.

Usul Raja Iblis itu tentang perjodohannya dengan Hui Cu tentu saja bukan merupakan hal yang buruk, akan tetapi menjadi pembantu iblis itu benar-benar merupakan tawaran yang dianggapnya amat menghina. "Lebih baik mati dari pada menjadi antekmu!"

Dan pemuda itu sudah menyerang lagi. Raja Iblis mengelak dengan mudah lantas balas menendang dengan kecepatan kilat. Akan tetapi Ci Kang juga dapat menghindarkan diri dan langsung menyerang kembali dengan bertubi-tubi.

"Kalau begitu engkau akan mampus dan ia menjadi isteriku!" Raja Iblis berloncatan sambil berkata demikian, kemudian membalas.

Terjadilah serang-menyerang dengan hebat dan lewat beberapa jurus, kembali tangannya yang ampuh itu ketika ditangkis Ci Kang membuat pemuda itu terhuyung ke belakang.

"Mampuslah!" Raja Iblis meloncat dan mengirim pukulan susulan terhadap pemuda yang sedang terhuyung itu.

Akan tetapi Hui Cu menerjang dari samping dengan kebutannya yang menyambar dan beruntun mematuk ke arah jalan darah di pelipis, leher serta pundak! Terpaksa Raja Iblis mengurungkan pukulannya terhadap Ci Kang dan mengelak dari sambaran ujung kebutan yang cukup lihai itu. Kesempatan ini cepat dipergunakan oleh Ci Kang untuk memperbaiki kedudukannya, lalu dia pun membantu Hui Cu menyerang lagi.

Raja Iblis menjadi marah sekali. Selama ini hampir tidak pernah ada orang yang berani menentangnya, namun kini, seorang pemuda, hanya putera mendiang Iblis Buta, berani menentangnya. Dan yang lebih menggemaskan lagi anak perempuan itu, anaknya sendiri, membantu si pemuda!

Ia mengeluarkan suara lengkingan nyaring berkali-kali dan kedua tangannya kini bergerak dengan dorongan-dorongan yang mengeluarkan hawa panas dan menerbitkan angin kuat. Nampak uap putih setiap kali dia mendorongkan kedua tangannya.

Dan dua orang muda itu pun segera terdesak hebat. Hanya dengan pengerahkan sinkang sekuatnya saja keduanya tak sampai terlempar oleh hawa dorongan yang begitu kuatnya. Walau pun demikian, Ci Kang maklum bahwa tidak lama lagi dia dan Hui Cu tentu akan roboh. Raja Iblis ini sungguh memiliki ilmu kepandaian yang amat dahsyat.

Karena merasa bahwa tenaga sinkang-nya masih kalah jauh dibandingkan kakek itu, Ci Kang segera teringat akan ilmu yang diajarkan oleh Ciu-sian Lo-kai kepadanya, yaitu ilmu silat menggunakan tongkat atau benda apa saja yang berbentuk tongkat. Dia melompat ke kiri dan menyambar patah sebatang cabang pohon yang besarnya selengan, kemudian dia pun menggunakan senjata ini.

Ilmu tongkat bambu merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Ciu-sian Lo-kai. Karena itu, begitu Ci Kang mainkan tongkat ini, dia dapat menggempur desakan-desakan lawan dan dibantu oleh Hui Cu, kini dia mampu membalas, bekerja sama dengan kebutan gadis itu yang juga ampuh sekali.

Menghadapi keadaan yang berbalik ini, Raja Iblis menjadi semakin marah dan mendadak dia pun mengeluarkan gerengan keras dan ketika kedua tangannya bergerak menyilang menyambut tongkat di tangan Ci Kang, terdengarlah suara keras. Tongkat itu hancur dan tubuh Ci Kang terjengkang!

Dengan mengeluarkan suara gerengan seperti tertawa, kakek itu cepat menubruk ke arah Ci Kang yang masih terlentang. Pemuda ini menyambutnya dengan satu tendangan, akan tetapi kakek itu berhasil menangkis tendangan ini dan segera menjatuhkan diri berlutut, kedua tangannya dihunjamkan dengan jari-jari terbuka ke arah kepala Ci Kang.

Pemuda ini merasa betapa ada hawa pukulan dahsyat menyambar, maka maklumlah dia bahwa dia sedang terancam maut karena sekali jari-jari tangan itu mengenai kepalanya, tentu kepalanya akan hancur berantakan. Jalan satu-satunya baginya hanya menangkis. Dia mengangkat kedua tangannya dan berhasil menangkap dua lengan tangan lawan.

Terjadilah adu tenaga yang mengerikan. Kakek itu berusaha melanjutkan terkaman kedua tangannya, ada pun Ci Kang yang berada di bawah berusaha mempertahankan. Mereka bersitegang dan sepasang lengan Ci Kang mulai menggigil, mukanya pucat dan penuh keringat, tanda bahwa dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan berada di tepi maut. Agaknya sebentar lagi dia tidak akan kuat bertahan sehingga kakek itu dapat melanjutkan pukulan mautnya.

Melihat keadaan Ci Kang yang terancam maut seperti itu, tiba-tiba Hui Cu mengeluarkan teriakan keras dan dia pun cepat menggerakkan kebutannya. Ujung kebutannya berubah menjadi dua gumpal yang ujungnya meruncing seperti pedang, lantas dua batang pedang dari bulu-bulu halus yang kini menjadi kaku keras itu menusuk ke arah sepasang mata Raja Iblis! Tusukan ini cepat dan hebat sekali dan agaknya gadis itu sudah lupa bahwa dia bisa menewaskan atau setidaknya membutakan mata ayah kandungnya.

Menghadapi serangan mendadak yang amat berbahaya ini, Raja Iblis terkejut sekali dan terpaksa dia cepat menarik kembali kedua tangan yang tadi menekan ke bawah, dan kaki kanannya menyambar ke depan menyambut serangan gadis itu.

"Desss...!"

Tubuh Hui Cu terpental dan biar pun dia sudah melindungi dirinya dengan sinkang, tidak urung tubuhnya terlempar sampai beberapa meter jauhnya lalu terbanting ke atas tanah sampai bergulingan. Akan tetapi, perbuatannya itu menyelamatkan Ci Kang yang segera meloncat bangun dan menjauhkan diri karena dia harus mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya.

Hui Cu juga sudah melompat bangun dan kedua orang muda itu sudah bersiap lagi. Kini wajah mereka pucat dan kedua kaki agak gemetar karena kecapaian.

Raja Iblis tersenyum mengejek. Kedua orang itu tentu akan dapat dirobohkannya dalam serangan berikutnya. Dia menggerak-gerakkan sepasang tangannya, saling bersilang dan setiap kali dua lengan itu bergesekan, tentu nampak uap putih mengepul. Memang hebat sekali ilmu kakek ini kalau dia sudah mengeluarkan tenaga sakti seperti itu.

Ci Kang memandang khawatir. Dia tidak mengkhawatirkan diri sendiri. Memang sejak tadi dia telah menghadapi kematian dengan tenang. Akan tetapi dia mengkhawatirkan Hui Cu. Gadis itu tadi sudah menyelamatkan nyawanya. Dia tahu bahwa tanpa bantuan Hui Cu tadi, dia sudah tewas.

Dan kini, dia merasa tidak kuat untuk dapat melindungi gadis itu dari ayah kandungnya yang jahat seperti iblis itu. Namun betapa pun juga, dia akan melawan dan melindungi Hui Cu sampai napas terakhir.

Karena adanya niat hendak melindungi ini, perlahan-lahan Ci Kang menghampiri Hui Cu sambil matanya terus memandang ke arah Raja Iblis yang berdiri dalam jarak lima meter dari mereka. Setelah dekat, dia menyentuh lengan gadis itu.

"Jangan takut, Hui Cu, aku akan membelamu sampai mati."

Hui Cu tersenyum duka. "Kita berdua akan mati, Ci Kang. Akan tetapi aku gembira dapat mati bersama seorang sahabat sepertimu. Mari kita lawan dia."

"Yang berat adalah tenaga dorongannya, mari kita satukan tenaga untuk menyambutnya," bisik Ci Kang. Gadis itu mengangguk, kemudian menyelipkan kebutan pada pinggangnya, dan bersama Ci Kang dia lalu melangkah maju berdampingan.

Melihat dua orang muda itu nekat maju bersama, Raja Iblis kembali tersenyum mengejek. Dia tahu akan siasat pemuda itu hendak menyatukan tenaga. Akan tetapi dia tadi sudah mengukur sampai di mana tenaga mereka dan dia tidak menjadi gentar. Bahkan sengaja dia maju lagi menyerang dengan kedua tangannya didorongkon ke depan, kedua telapak tangannya menghadap kepada dua orang lawan itu. Begitu kedua tangannya mendorong, nampak uap putih dan angin menyambar dahsyat.

Ci Kang dan Hui Cu yang sudah maklum akan kehebatan tenaga dorongan itu langsung menyambut dengan kedua tangan didorongkan pula. Sekarang mereka bergerak dengan berbareng, menyatukan tenaga sinkang menyambut dengan kuatnya.

"Desss...!"

Hebat bukan main ketika tiga pasang tangan itu bertemu dan akibatnya tubuh Raja Iblis undur dua langkah, akan tetapi tubuh Ci Kang dan Hui Cu terjengkang kemudian roboh terbanting! Mereka kalah tenaga dan kini mereka berdua merasa betapa napas mereka menjadi sesak.

Terpaksa mereka cepat-cepat mengatur pernapasan dan menyalurkan hawa murni untuk mencegah dada yang terguncang hebat itu agar jangan sampai terluka. Kesempatan baik terbuka bagi Raja Iblis dan sambil tersenyum lebar dia melangkah maju, siap-siap untuk mengirim pukulan maut!

"Sungguh tidak tahu malu tua bangka menghina orang-orang muda!" Tiba-tiba terdengar suara halus dan suatu hawa tenaga yang sangat kuat mendorong dan menyambut Raja Iblis.

Kakek ini terkejut dan mengerahkan tenaga, menggunakan tangannya mengibas dan dua tenaga sakti saling bentur membuat keduanya terkejut karena masing-masing mendapat kenyataan betapa kuatnya lawan yang dihadapi!

Raja Iblis cepat memandang dan alisnya pun berkerut. Yang muncul di depannya adalah seorang laki-laki yang usianya paling banyak lima puluh tahun. Perawakannya gagah dan wajahnya masih kelihatan tampan menarik, pakaiannya serba indah sehingga membuat dia nampak semakin anggun. Wajah itu tersenyum ramah akan tetapi sepasang matanya mencorong penuh kekuatan.

Di samping kiri pria ini berdiri seorang wanita yang usianya sebaya, cantik sekali, dengan pakaian yang juga mewah, bersih dan baru, rambutnya dihias batu permata. Akan tetapi, berbeda dengan laki-laki di sampingnya yang tersenyum ramah, wanita cantik ini nampak anggun dan angkuh, serius dengan sepasang matanya menatap wajah Raja Iblis seperti hendak menegur.

Raja Iblis belum pernah mengenal mereka, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kedua orang ini tentulah dua orang dari golongan pendekar yang mempunyai kepandaian tinggi, maka dia tidak memandang rendah dan bersikap waspada dan hati-hati.

Biasanya, apa bila ada Ratu Iblis di sampingnya, dia tidak pernah mau bicara sendiri dan bahkan jarang dia turun tangan sendiri. Kini, karena dia seorang diri saja, dia terpaksa bicara dan bertindak sendiri.

Dia teringat bahwa di antara para datuk di dunia persilatan, banyak yang sudah pernah ditaklukkannya, bahkan mereka bersumpah tidak akan melawannya kalau dia memegang Tongkat Suci Sakti. Kini berhadapan dengan dua orang itu, bahkan dia sudah mengukur tenaga pria itu yang ternyata sangat kuat, dia hendak mengambil cara yang lebih mudah.

Kalau dua orang ini memiliki hubungan dengan para tokoh yang pernah ditundukkannya, tentu mereka tidak akan berani pula menentang dia yang memegang Tongkat Suci Sakti. Cepat dia mengeluarkan sebatang tongkat dari balik jubahnya, lantas sambil mengangkat tongkat itu ke atas kepala, dia berkata, suaranya bergema seperti datang dari jauh dan amat berwibawa.

"Lihat Tongkat Suci Sakti dan berlututlah kalian sebelum aku menyatakan kalian berdosa dan harus menerima hukumanku!"

Pria dan wanita itu memandang dengan heran, lalu saling pandang dan pria itu tertawa.

"Ha-ha-ha-ha! Yang suci dan sakti bagi orang jahat belum tentu suci bagi kami! Aku orang she Ceng belum pernah melihat tongkat butut itu!"

"Tua bangka, jangan membadut di hadapan kami. Pergilah dan jangan ganggu dua orang muda ini sebelum aku turun tangan menghajarmu!" kata si wanita dengan suara galak dan sepasang matanya mencorong penuh ancaman.

Raja iblis menjadi marah sekali. Tongkat Suci Sakti itu mereka hina! Padahal, bila melihat tongkat itu saja banyak tokoh persilatan gemetar dan berlutut.

"Bagus, kalau begitu kalian adalah calon-calon bangkai!" Raja Iblis menyerbu ke depan, menggunakan tongkat itu dan secepat kilat tongkat itu sudah melakukan dua kali pukulan ke arah pria dan wanita itu secara bertubi-tubi, bahkan diikuti oleh cengkeraman tangan kirinya yang tidak kalah berbahaya.

Pria dan wanita itu pun bukan orang sembarangan. Dengan sekali gerakan saja mereka sudah maklum akan kelihaian kakek yang mukanya seperti kedok mayat itu, dan mereka paham akan bahayanya tongkat yang disebut Tongkat Suci Sakti itu. Karena itu keduanya cepat mengelak dengan gerakan yang indah dan cepat sehingga semua serangan kakek itu mengenai tempat kosong.

Wanita itu meloncat untuk menghindar dan pada waktu dia membalikkan tubuhnya, kedua tangannya telah memegang sepasang pedang berwarna hitam dan ketika dicabut, tampak dua sinar hitam bergulung-gulung.

"Awas, tongkatnya itu beracun!" kata si wanita kepada pria yang hanya tersenyum saja.

"Orangnya busuk, bagaimana tongkatnya tidak akan beracun?" Pria itu malah mengejek.

Raja Iblis menjadi semakin marah. Tongkatnya menyambar ganas ke arah kepala wanita itu. Wanita setengah tua yang cantik itu bersikap tenang. Sepasang pedang hitamnya lalu membuat gerakan menangkis dan menggunting, menyambut tongkat.

"Trakkk!"

Tongkat itu terjepit oleh sepasang pedang hitam. Pada saat itu pula tangan kiri Raja Iblis melayang, menampar kepala lawan.

"Singgg...!"

Pedang kanan melesat dari tongkat lalu menyambut tangan! Raja Iblis kaget, tak mengira wanita itu mempunyai gerakan sedemikian cepat dan lihainya. Dia tidak berani mengadu lengannya dengan pedang hitam, menarik tangan dan langsung tangan itu mendorong ke depan. Serangkum hawa panas dan kuat sekali menyambar.

"Ihh!" Wanita itu berseru kaget dan cepat meloncat ke belakang. Ketika Raja Iblis hendak mendesak terus, suami wanita itu sudah menghadapinya dan menghalanginya mendesak isterinya.

"Hemmm, engkau lihai juga," kata pria itu. Sungguh jarang terdapat orang yang mampu mengejutkan isterinya dalam satu gebrakan saja. "Siapakah engkau?"

Akan tetapi Raja Iblis tidak menjawab melainkan menubruk dengan serangan tongkatnya yang menyambar dengan totokan ke arah dahi di antara dua mata lawan. Pria itu cepat mengelak dengan kepala ditundukkan dan pada saat tongkat itu melanjutkan gerakannya menyambar ke arah tengkuknya, dia cepat mengangkat tangan kirinya menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkang untuk melindungi kulit lengannya kalau-kalau benar tongkat itu mengandung racun seperti yang tadi diperingatkan oleh isterinya. Di dalam hal racun, isterinya memang jauh lebih ahli dari pada dia. Akan tetapi dia tidak takut terhadap racun.

"Plakkk!"

Dan kembali keduanya terkejut. Pria itu merasa betapa lengannya tergetar dan dia tahu pula bahwa tongkat itu memang dilumuri atau direndam dengan racun. Sebaliknya Raja Iblis merasa tangannya yang memegang tongkat bertemu dengan tenaga yang dahsyat sekali.

Jarang dia bertemu tanding yang tenaganya sehebat ini. Apa lagi melihat betapa lawan itu sama sekali tak terpengaruh oleh racun pada tongkatnya. Semenjak tongkatnya terampas oleh kelicikan Sui Cin dahulu itu, dia merendam tongkat saktinya dengan racun yang amat jahat agar siapa pun yang akan merampas tongkatnya menjadi keracunan, dan juga setelah direndam racun, tongkat itu selain merupakan benda pusaka untuk menundukkan tokoh-tokoh dunia persilatan, juga dapat menjadi sebuah senjata yang ampuh. Akan tetapi lawan ini sedemikian lihainya sehingga sinkang-nya mampu menolak hawa beracun yang amat kuat dari tongkatnya.

Maklum akan kehebatan lawan, begitu tongkatnya tertangkis, secara tiba-tiba dan cepat sekali Raja Iblis menggerakkan tangan kirinya dan sebelum pria itu dapat mengelak atau menangkis, tangan kirinya telah menghantam punggung lawan. Tamparan telapak tangan kiri Raja Iblis ini hebat dan cepat sekali, sama sekali tidak tersangka-sangka dan agaknya pria itu pun tidak sempat pula mengelak.

"Plakkk...!"

Tiba-tiba saja sepasang mata Raja iblis terbelalak. Nampak dia berusaha menarik kembali tangan kirinya, akan tetapi tangannya itu sudah melekat pada punggung lawan. Sekarang baru dia tahu bahwa lawannya memang sengaja tidak mengelak dan memang menerima tamparannya tadi.

"Thi-khi I-beng...!" Raja Iblis berseru lantas secepat kilat tongkatnya menyambar ke arah mata lawan.

Pria itu terpaksa mundur dan Raja Iblis segera menyimpan tenaga saktinya. Agaknya dia tahu pula bagaimana cara menghadapi Ilmu Thi-khi I-beng. Setelah Raja Iblis menyimpan tenaga saktinya, tangannya yang tadi melekat di punggung lawan terlepas dengan mudah kemudian dia pun meloncat jauh ke belakang.

"Kau... Pendekar Sadis?" tanyanya, lalu menoleh ke arah wanita cantik.

"Dan kau... yang dulu berjuluk Lam-sin, kau puteri Pangeran Toan Su Ong?"

Kini tahulah pria dan wanita itu dengan siapa mereka berhadapan dan keduanya nampak terkejut bukan main.

"Aha! Ternyata engkau yang terkenal dengan julukan Raja Iblis yang tersohor itu?" kata Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis.

Isterinya, Toan Kim Hong, turut berkata, "Inikah Pangeran Toan Jit Ong yang kabarnya memberontak terhadap pemerintah itu?"

"Hemm, kalau engkau puteri Toan Su Ong, berarti engkau adalah keponakanku sendiri! Keponakan dan mantu keponakan. Tidak lekas memberi hormat kepada pamanmu?"

"Biar paman, biar siapa pun, kalau jahat adalah musuh kami!" Toan Kim Hong berkata dengan suara garang.

Raja Iblis Toan Jit Ong adalah seorang yang amat cerdik. Dia tidak takut menghadapi dan melawan Pendekar Sadis dan isterinya, akan tetapi dia pun tahu bahwa tidak akan mudah baginya untuk mengalahkan suami isteri perkasa ini.

Apa lagi ada Siangkoan Ci Kang di situ dan pemuda ini pun tidak dapat dipandang ringan. Belum lagi puterinya sendiri yang malah membantu musuh! Jika dia tetap nekat melawan mereka berempat lalu kalah atau mati sekali pun tidak takut, akan tetapi namanya akan jatuh dan lagi pula, bagaimana dengan rencana besarnya?

Raja Iblis menarik napas panjang. "Sudahlah, mengingat hubungan darah antara kita, biar aku memandang arwah kakanda Toan Su Ong untuk mengampuni kalian berdua. Inilah anakku. Kemarilah, nak. Mereka ini adalah enci-mu sendiri serta kakak iparmu." Dengan lagak kebapakan dia menghampiri Hui Cu seperti hendak memperkenalkan mereka.

Melihat sikap kakek yang menjadi ayah kandungnya itu, Hui Cu yang masih hijau itu tentu saja menjadi lengah. Dengan amat mudahnya Raja Iblis dapat menangkap lengan kanan anaknya dan tiba-tiba kakek itu sudah menotoknya dan memanggulnya, lantas meloncat jauh dan melarikan diri. Melihat ini, Ci Kang meloncat dan hendak mengejar.

"Lepaskan dia!" bentaknya marah. Akan tetapi, suami isteri pendekar dari Pulau Teratai Merah itu tahu-tahu telah menghadangnya.

"Mengejar dia sama dengan bunuh diri!" kata Pendekar Sadis.

"Gadis itu dibawa pergi oleh ayah kandungnya sendiri, jadi mencampurinya adalah suatu kebodohan!" kata pula Toan Kim Hong.

Ci Kang lantas maklum bahwa suami isteri ini mencegahnya untuk melakukan pengejaran dengan maksud hendak menghindarkan dirinya dari bahaya maut dan dia pun sadar akan kebodohannya. Lagi pula Raja Iblis itu telah cepat menghilang dan dia sendiri tidak begitu mengenal daerah ini maka melakukan pengejaran selain tidak mungkin, juga benar-benar sama dengan membunuh diri. Baru menghadapi Raja Iblis seorang diri saja dia sudah kalah, apa lagi kalau raja sesat itu muncul bersama kaki tangannya.

Akan tetapi, bagaimana pun juga tak mungkin dia dapat mendiamkan saja Hui Cu dibawa ayahnya. Gadis itu seperti berada dalam cengkeraman harimau. Lebih celaka lagi, seperti berada di dalam cengkeraman iblis. Harimau tidak akan membunuh anaknya sendiri, akan tetapi Raja Iblis itu hendak memaksa Hui Cu menjadi isterinya, atau akan dibunuhnya.

Sekarang setelah Raja Iblis pergi, Ci Kang dapat mencurahkan perhatiannya pada suami isteri itu. Dia memandang kepada mereka dan merasa jantungnya berdebar-debar penuh ketegangan. Jadi inikah yang terkenal dengan julukan Pendekar Sadis itu? Ayah dan ibu Sui Cin, gadis yang dicintanya.

Dan mereka ini demikian gagah perkasa, demikian anggun dan berpakaian sangat indah. Sepasang pendekar yang berilmu tinggi, yang mampu membuat datuk sesat seperti Raja Iblis melarikan diri. Sepasang pendekar perkasa yang agaknya kaya raya pula.

Sedangkan dia? Dia hanya seorang yatim piatu, dan lebih lagi, anak seorang datuk sesat yang buta. Dibandingkan dengan Sui Cin dan keluarganya, dia tidak lebih pantas menjadi seorang pelayan atau pegawai mereka saja.

Akan tetapi dia cepat teringat bahwa kemunculan dua orang ini tadi telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut. Apa bila tidak ada mereka ini, tentu dia sudah tewas di tangan Raja Iblis, maka dia pun cepat menjura dengan sikap menghormat.

"Ji-wi locianpwe telah menyelamatkan nyawa saya. Saya menghaturkan terima kasih."

Suami isteri itu memandang dengan wajah berseri. Mereka merasa suka kepada pemuda gagah yang berani melawan Raja Iblis dan membela gadis itu. Mereka menduga bahwa tentu pemuda ini kekasih gadis itu, atau setidaknya mencinta gadis itu dan mungkin Raja Iblis tidak merestui hubungan mereka. Akan tetapi semua itu bukan urusan mereka.

"Orang muda, engkau gagah dan agaknya tidak akan mudah dapat dirobohkan oleh Raja Iblis itu. Tidak perlu berterima kasih karena kebetulan saja kita berjumpa di sini dan setiap orang gagah memang wajib menentang iblis jahat semacam Raja Iblis itu. Nah, selamat berpisah," kata Ceng Thian Sin dengan suara ramah. Bersama isterinya dia membalikkan tubuhnya hendak melanjutkan perjalanan mereka.

Kepergian Sui Cin yang amat lama itu menggelisahkan hati suami isteri ini dan mereka sering kali melakukan perjalanan untuk mencari puteri mereka. Itulah sebabnya ketika Sui Cin pulang ke Pulau Teratai Merah, ia tidak bertemu dengan ayah bundanya yang sedang pergi mencarinya. Ia meninggalkan surat dan melanjutkan perjalanannya ke utara, sesuai dengan perintah gurunya.

Tak lama kemudian Ceng Thian Sin dan isterinya yang kembali ke pulau itu, menemukan surat puteri mereka. Tentu saja keduanya merasa khawatir sekali mendengar betapa Sui Cin melibatkan diri dalam urusan menentang pemberontakan di utara, hendak menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menentang gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Iblis. Karena mengkhawatirkan puteri mereka, suami isteri ini berangkat lagi melakukan pengejaran ke utara.

"Ji-wi, harap perlahan dulu!"

Mendengar suara pemuda itu menahan mereka, Ceng Thian Sin serta isterinya berhenti melangkah lalu menengok dengan heran.

"Ada apakah, orang muda?" Pendekar Sadis bertanya.

"Apa bila tadi saya tidak salah mendengar, locianpwe berjuluk Pendekar Sadis. Apakah locianpwe bernama Ceng Thian Sin dan ji-wi merupakan ayah bunda dari nona Ceng Sui Cin?"

"Benar, apakah engkau mengenal anakku itu?" Toan Kim Hong berseru dengan wajah berseri dan suaranya mengandung kegembiraan.

Selama ini mereka berdua telah mencari hingga ke mana-mana akan tetapi belum pernah mendengar tentang puterinya dan tidak dapat menemukan jejaknya. Dan sekarang, tanpa disangkanya dia mendengar orang bertanya tentang Sui Cin!

"Saya mengenal nona Ceng dengan baik," jawab Ci Kang perlahan.

Ceng Thian Sin segera memandang wajah pemuda itu dengan penuh perhatian. Setelah mendengar bahwa pemuda ini mengenal Sui Cin dan agaknya merupakan sumber berita di mana adanya puterinya itu, tiba-tiba saja pemuda itu menjadi penting baginya.

"Orang muda, sungguh Thian sudah menuntun kami berdua untuk bertemu denganmu di sini. Siapakah namamu, orang muda?"

"Nama saya Siangkoan Ci Kang."

"Siangkoan...? Jarang mendengar tokoh dengan she Siangkoan di dunia persilatan," kata Pendekar Sadis.

"Bukankah ada seorang datuk yang juga memiliki she Siangkoan, yang terkenal dengan ilmu silatnya yang tinggi?" tiba-tiba Toan Kim Hong berkata.

"Ahh, maksudmu Siangkoan Lo-jin? Mana ada hubungannya dengan..."

"Maaf, locianpwe. Siangkoan Lo-jin adalah mendiang ayah saya."

"Ahhhh...!" Suami isteri itu saling pandang. Mereka sudah mendengar tentang Siangkoan Lo-jin atau Si Iblis Buta yang terkenal sebagai seorang datuk kaum sesat yang selain berilmu tinggi, juga amat kejam. Dan mereka juga mendengar berita di dunia kang-ouw selama mereka mencari Sui Cin bahwa Iblis Buta sudah tewas di tangan Raja dan Ratu Iblis yang kini merampas kedudukan pemimpin para datuk kaum sesat.

Sebab itu mereka pun kini menduga bahwa tentu pemuda ini memusuhi Raja Iblis karena mendendam atas kematian ayahnya. Akan tetapi kenapa pemuda ini membela puteri Raja Iblis? Namun mereka tidak ingin tahu lebih banyak karena hal itu bukan urusan mereka.

"Orang muda, engkau tadi mengatakan mengenal baik anak kami. Di manakah kini anak kami Sui Cin itu?" Pendekar Sadis bertanya tidak sabar.

"Menurut pengetahuan saya, nona Ceng Sui Cin kini berada bersama para pimpinan suku bangsa di utara ini. Dia telah membantu nenek Yelu Kim yang berhasil meraih kedudukan pemimpin para suku bangsa. Kalau ji-wi dapat bertemu dengan nenek Yelu Kim yang kini menjadi pemimpin besar para kepala suku bangsa di utara, tentu ji-wi akan dapat bertemu pula dengan nona Ceng."

"Apa? Anakku membantu pemimpin para kepala suku liar?" Toan Kim Hong bertanya, matanya terbelalak.

"Orang muda, di mana adanya rombongan nenek Yelu Kim itu sekarang?" Ceng Thian Sin bertanya.

"Tidak begitu jauh dari sini, locianpwe. Di balik bukit tandus di barat itu. Kalau tidak salah, para kepala suku masih berada di sana bersama rombongan masing-masing."

"Terima kasih, orang muda. Kami akan mencarinya sekarang juga."

Thian Sin serta isterinya kemudian mengangguk dan meninggalkan Ci Kang yang hanya menjura dengan hormat kepada mereka. Dia tidak berani bicara banyak tentang Su Cin, tentang hubungannya dengan gadis itu.

Setelah pasangan suami isteri itu pergi, pemuda itu lalu berdiri termangu-mangu, merasa nelangsa dan kesepian, merasa betapa semakin jauhnya dirinya dari Sui Cin, gadis yang dicintanya itu. Akan tetapi, dia segera teringat kepada Hui Cu dan bangkit semangatnya.

Saat ini, yang paling penting adalah menolong Hui Cu dari cengkeraman iblis, dari tangan ayahnya sendiri. Maka dia pun cepat pergi dari situ untuk mencari jejak Hui Cu, atau lebih tepat lagi, jejak Raja Iblis.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Pertemuan yang dinanti-nantikan dengan hati tegang oleh para pendekar itu pun tibalah. Pada malam bulan purnama, dan mengambil tempat di bekas benteng Jeng-hwa-pang yang sudah rusak dan keadaannya menyeramkan karena tidak pernah ditinggali manusia.

Pada malam itu, tak kurang dari seratus orang pendekar dari berbagai aliran berkumpul di tempat itu. Tentu saja tidak semua aliran mengirim wakilnya karena tidak semua pendekar berjiwa patriot. Bahkan banyak sekali para pendekar di dunia kang-ouw yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan pemerintahan mau pun pemberontakan. Mereka lebih suka bekerja secara bebas, menghadapi kejahatan perorangan dan tidak suka terikat di dalam suatu kelompok.

Akan tetapi yang hadir pada malam hari itu sudah mewakili sebagian besar dari semua perguruan silat serta cabang persilatan. Hal ini adalah karena sebagian besar dari para pendekar merasa perlu untuk menghadiri pertemuan.

Pemberontakan yang terjadi sekarang ini bukanlah sekedar pemberontakan dari golongan yang tidak puas terhadap golongan lain yang berkuasa, bukan hanya sekedar perebutan kedudukan belaka. Akan tetapi yang memberontak adalah golongan sesat yang menjadi musuh besar mereka di sepanjang masa.

Raja Iblis sendiri, dibantu oleh Cap-sha-kui, telah mengumpulkan para datuk sesat untuk merampas kedudukan dan menggulingkan pemerintah. Jika sampai mereka berhasil, jika sampai pemerintah dipegang oleh kaum sesat, berarti dunia para pendekar akan hancur! Jadi, pemberontakan kaum sesat itu bukan hanya mengancam para penguasa yang kini menduduki kekuasaan, melainkan juga mengancam kehidupan para pendekar sendiri.

Di pekarangan bangunan-bangunan rusak yang sangat luas itu, yang kini menjadi padang rumput akibat tak terpelihara, para pendekar berkumpul dan membentuk sebuah lingkaran lebar, dan di dalam lingkaran itu dinyalakan api unggun besar. Mereka bekerja bergotong-royong tanpa adanya suatu pimpinan karena memang mereka itu datang untuk berunding, mendengar berita dari mulut ke mulut, dan di antara mereka tidak ada golongan pimpinan.

Hanya dengan sendirinya mereka semua menganggap para locianpwe yang hadir sebagai pimpinan, bukan hanya karena usia mereka yang lebih tua saja, akan tetapi juga karena kedudukan mereka dalam tingkat kepandaian. Dan di antara para tokoh tua dari berbagai cabang persilatan seperti dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai yang kini hadir, terdapat pula empat orang tokoh tua yang dianggap sebagai tokoh-tokoh bertingkat tinggi oleh mereka, walau pun sebagian dari para pendekar tidak pernah mengenal mereka.

Asmara Berdarah Jilid 27

KEMUNCULAN gadis muda yang membelanya ini menimbulkan harapan baginya bahwa dia akan tertolong dari ancaman maut, biar pun hal ini tidak mendatangkan kegirangan besar dalam hatinya. Pada saat itu, bagi Ci Kang mati dan hidup tiada bedanya, bahkan dia tak akan menyesal kalau tewas karena hal ini hanya akan membebaskan dirinya dari pada kedukaan dan penyesalan.

Perkelahian itu berlangsung dengan serunya dan lima puluh jurus telah berlalu. Kini tiada keraguan lagi di dalam hati Siang Hwa bahwa lawannya sudah mengenal semua gerakan silatnya, namun dia pun mengenal gerakan yang serupa dengan ilmu silat yang diajarkan kepadanya oleh suhu dan subo-nya.

Malang baginya, gerakan kebutan itu asing baginya sehingga baberapa kali dia kebobolan dan hampir saja celaka ketika ujung kebutan menyambar. Untung dia amat gesit sehingga hanya keserempet saja dan belum terkena serangan yang telak. Bagaimana pun juga hal ini mengecutkan hatinya, maka Siang Hwa mulai terdesak hebat oleh Hui Cu.

Untung bagi Siang Hwa, sejak kecil Hui Cu hidup menyendiri di dalam goa di bawah tanah sehingga dia berwatak bersih, belum terseret ke dalam lembah kekejaman dan kejahatan oleh kehidupan orang tuanya. Oleh karena itu, walau pun dia telah mempelajari ilmu-ilmu silat dari ibunya, bahkan menguasai ilmu kebutan yang merupakan ilmu rahasia dan yang hanya dipelajari olehnya sendiri, namun tiada sedikit pun keinginan di dalam hatinya untuk mencelakakan orang lain.

Perasaan inilah yang membuat dia menentang mati-matian ketika ibunya pernah hendak membunuh Cia Sun dan Ci Kang. Dan sekarang dia menentang Siang Hwa yang hendak membunuh Ci Kang.

"Hyaaaattt...!"

Tiba-tiba Hui Cu mengeluarkan bentakan aneh seperti sering dilatihnya ketika dia berlatih silat di dalam goa bawah tanah, dan ujung kebutannya membuat gulungan cahaya yang membuat pandangan mata Siang Hwa kabur. Sebelum Siang Hwa dapat menghindarkan dirinya baik-baik, pundak kirinya telah disambar ujung kebutan dan dia berteriak kesakitan lantas meloncat ke belakang. Pundaknya terasa nyeri bukan main dan kalau saja dia tidak melindungi dirinya dengan tenaga sinkang, tentu dia sudah roboh.

Dengan muka agak pucat Siang Hwa memandang gadis itu lalu telunjuknya menuding ke arah muka yang putih agak pucat itu. "Kau... dari mana engkau mencuri ilmu perguruan kami...!"

Yang ditanya hanya tersenyum saja dan wajahnya tak lagi nampak menyeramkan akibat kepucatan wajahnya, karena sesudah tersenyum, wajah itu menjadi manis sekali. "Aihhh, agaknya engkaulah murid ibuku. Engkau amat lihai dengan pedangmu itu, sayang engkau jahat, mau membunuh orang! Ibu pernah bercerita mengenai seorang muridnya bernama Gui Siang Hwa. Engkaukah itu?"

Gui Siang Hwa menjadi semakin terkejut. Puteri subo-nya? Belum pernah dia mendengar subo-nya mempunyai seorang puteri. Memang subo-nya pernah melahirkan seorang anak perempuan akan tetapi anak itu telah mati!

"Kau... kau... puteri subo...?" Ia memandang terbelalak seperti melihat setan. Mungkinkah anak yang mati dapat hidup kembali?

Tiba-tiba Hui Cu teringat akan pesan ibunya agar tidak memperkenalkan diri kepada siapa pun juga, maka dia pun berkata dengan tak sabar lagi, "Sudahlah, engkau cepat pergi dari sini dan jangan mengganggu orang lain. Pergilah!" Dia melangkah maju dan mengancam dengan kebutannya untuk mengusir Siang Hwa.

Pada saat itu pula ada angin menyambar kuat, lantas tiba-tiba muncullah seorang nenek berpakaian putih dengan rambut putih riap-riapan dan wajah pucat kehijauan. Ci Kang mengenal nenek ini sebagai Ratu Iblis dan diam-diam dia pun merasa menyesal mengapa dia masih dalam keadaan tertotok. Kalau tidak, ingin dia melawan Ratu Iblis ini dengan muridnya yang jahat.

"Hui Cu, apa yang sedang kau lakukan ini?" bentak nenek itu kepada puterinya dan ketika dia melihat Siang Hwa, wajah nenek itu lalu berubah, alisnya berkerut dan sinar matanya mencorong. "Siang Hwa, apa yang kau kerjakan di sini?"

Nenek ini sejenak merasa bingung dan kaget melihat betapa anaknya yang kehadirannya dirahasiakan itu ternyata telah bentrok dengan muridnya dan jika hal ini sampai ketahuan oleh suaminya tentu akan terjadi kegegeran. Suaminya tentu akan menuntut agar Hui Cu dibunuh mati atau diberikan kepadanya untuk menjadi selirnya!

"Subo, teecu berhasil merobohkan Siangkoan Ci Kang dan hendak membunuhnya, akan tetapi lalu muncul... ehhh, adik ini yang menentang teecu," kata Siang Hwa membela diri karena dia tahu bahwa subo-nya sedang marah sekali.

Nenek itu membalikkan tubuhnya memandang pada tubuh Ci Kang, lalu kepada puterinya dengan sikap marah. Sebelum dia mengeluarkan kata-kata, Hui Cu sudah meloncat dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah tiba di dekat Ci Kang dan dia bersikap melindungi.

"Ibu, kenapa engkau dan juga muridmu itu berkeras hendak membunuh orang yang tidak bersalah?"

"Hui Cu, pergilah dan biarkan Siang Hwa membunuhnya!" bentak Ratu Iblis.

"Tidak! Siapa pun tak boleh membunuhnya! Aku akan menentang siapa saja yang hendak membunuhnya!" berkata Hui Cu dengan sikap gagah lalu dia melintangkan kebutannya di depan dada. "Siang Hwa, kalau engkau berkeras hendak membunuhnya, aku yang akan lebih dulu merobohkanmu. Kalau engkau jahat, aku pun terpaksa akan tega melukaimu!"

Tentu saja Siang Hwa tidak berani sembarangan bergerak. Dia sudah tahu akan kelihaian gadis itu, apa lagi setelah kini tahu bahwa gadis itu ternyata adalah puteri subo-nya. Mana dia berani menyerang atau menentangnya?

"Kalau aku yang membunuhnya?" bentak pula nenek itu.

"Aku tetap akan melindunginya dan agaknya ibu harus membunuh aku lebih dulu sebelum dapat membunuhnya!"

Nenek itu nampak terkejut dan sepasang matanya yang mencorong itu terbelalak. "Apa?! Kau... kau cinta pemuda itu?"

"Aku tidak tahu apa maksudmu, ibu. Aku tidak tahu apa artinya cinta, akan tetapi aku suka kepadanya karena dia orang yang baik dan aku tidak suka melihat dia dibunuh. Aku akan menentang setiap pembunuhan tanpa sebab."

Melihat kenekatan puterinya, nenek itu sejenak nampak bingung dan kehabisan akal. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akan tetapi baginya, mati hidupnya seorang pemuda seperti Siangkoan Ci Kang tidaklah begitu penting. Yang merupakan urusan besar adalah pertemuan antara anaknya dengan Siang Hwa. Maka dia menoleh ke arah Siang Hwa dan berkata dengan suara penuh mengandung ancaman,

"Siang Hwa, berjanjilah untuk menutup mulutmu dan tidak bicara kepada siapa pun juga tentang Hui Cu, terutama sekali kepada suhu-mu. Kalau hal ini sampai bocor, engkaulah satu-satunya orang yang tahu maka engkau akan kubunuh!"

Mendengar suara subo-nya dan melihat sikap yang mengancam itu, Siang Hwa menjadi pucat dan dia pun mengangguk sambil berkata lirih, "Baik subo... teecu berjanji tak akan bicara dengan siapa juga mengenai... sumoi."

"Nah, Hui Cu, Siang Hwa, mari kita pergi!" kata pula nenek itu.

Hui Cu memandang kepada Ci Kang, dan kemudian dengan ragu-ragu kepada ibunya. "Ibu... dan... suci sungguh tidak akan membunuh dia?"

"Tidak, mari kita pergi," kata pula nenek itu mendesak.

"Pergilah dahulu, ibu dan suci, nanti aku menyusul," kata pula Hui Cu yang masih belum percaya benar bahwa ibunya dan suci-nya itu benar-benar akan membebaskan Ci Kang dan tidak mengganggunya.

"Mau apa kau?!" ibunya membentak.

"Aku mau bercakap-cakap dulu sebentar dengan dia," jawab gadis itu menunjuk kepada Ci Kang.

Nenek itu mendengus marah, akan tetapi dia segera meninggalkan tempat itu. Siang Hwa tersenyum mengejek.

"Sumoi yang manis, agaknya engkau sudah tergila-gila kepada pemuda ini, ya? Memang dia tampan dan gagah, akan tetapi hati-hatilah, dia jahat dan curang tak dapat dipercaya. Jangan-jangan engkau akan celaka olehnya. Bila engkau ingin agar dia dapat melayanimu sepuas hatimu, engkau berilah dia minum ini." Wanita itu lalu mengeluarkan sebungkus bubukan merah dan memberikannya kepada Hui Cu.

Akan tetapi Hui Cu menolak, menggelengkan kepala dengan alis berkerut. "Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan, akan tetapi dia tidak jahat dan curang seperti engkau. Pergilah cepat!" bentaknya marah.

Gui Siang Hwa hendak menjawab, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking lirih dan ini adalah tanda panggilan dari subo-nya. Maka, sambil tersenyum mengejek Siang Hwa mengangkat pundak dan pergi meninggalkan sumoi-nya.

Hui Cu berjongkok dan melihat betapa pemuda itu tak mampu bergerak karena totokan, ia cepat menepuk lalu mengurut punggung dan kedua pundak Ci Kang. Akhirnya berhasillah dia membebaskan pemuda itu dari pengaruh totokan dan Ci Kang segera bangkit duduk sambil mengatur pernapasan.

"Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh suci tadi." Hui Cu mengomel sambil duduk di depan Ci Kang.

Pemuda ini menatap wajah yang manis itu dan merasa kagum. Gadis ini sungguh masih bersih dan polos, batinnya belum tercemar oleh kekotoran yang mengelilingi keluarganya.

"Suci-mu itu jahat sekali, Hui Cu. Dan kalau tadi aku tidak tertotok, tentu akan kuserang dan kurobohkan suci-mu itu."

Gadis itu memandang dengan alis berkerut, agaknya bingung dan tak mengerti. "Kenapa akan kau lakukan hal itu?"

"Karena dia jahat dan berbahaya bagi orang lain, dan ibumu juga."

"Engkau akan menyerang dan membunuh ibuku pula?"

"Kalau mungkin, biar pun ibumu lihai sekali. Mereka itu jahat bukan main, mereka adalah datuk-datuk sesat, bahkan ibumu dijuluki Ratu Iblis. Mereka semua hanya menyebarkan perbuatan jahat dan kejam dan merupakan ancaman bagi keselamatan orang-orang lain yang tidak berdosa dan mengotorkan bumi."

"Engkau... benci kepada mereka?"

Mendengar pertanyaan ini, Ci Kang termenung sambil mengamati batinnya sendiri. Tidak, dia tidak benci siapa pun. Apa yang diajarkan oleh Ciu-sian Lo-kai tentang cinta, benci dan dendam sudah mendalam di dalam batinnya dan dia tidak merasa membenci siapa pun juga. Akan tetapi dia merasa harus menentang orang-orang semacam Ratu Iblis dan Siang Hwa karena mereka itu jahat dan berbahaya bagi manusia pada umumnya, seperti juga dia menentang ayahnya sendiri yang sama sekali tidak dibencinya.

"Tidak, Hui Cu. Aku tak membenci mereka, akan tetapi yang kutentang adalah kejahatan mereka demi menyelamatkan orang-orang dari ancaman kejahatan mereka."

Gadis itu menggeleng-geleng kepala. "Aku menjadi bingung dan tidak mengerti, Ci Kang. Akan tetapi, tadi aku melihat engkau seorang diri menangis demikian sedihnya. Kemudian muncul suci yang menotokmu dengan curang. Ci Kang, kenapa engkau menangis begitu menyedihkan? Apakah yang menyusahkan hatimu?"

Ci Kang merasa terharu sekali. Terhadap seorang gadis yang sejujur dan sebersih ini, dia merasa mendapatkan seorang sahabat sehingga dia tidak perlu merasa malu atau harus menyembunyikan rahasia hatinya. Bahkan Hui Cu dapat merupakan satu-satunya orang kepada siapa dia boleh mencurahkan semua kepedihan hatinya saat itu.

"Hui Cu, aku memang berduka sekali karena aku mencinta seorang gadis tetapi tidak ada harapan bagiku untuk berjodoh dengannya."

Gadis itu mengerutkan alisnya seperti hendak mengerahkan otaknya untuk menangkap arti ucapan Ci Kang. "Engkau cinta padanya? Apakah cinta itu?"

Ci Kang tersenyum. Tidak mengherankan kalau gadis ini demikian hijau, karena semenjak kecil selalu berada seorang diri saja di dalam goa bawah tanah.

"Cinta adalah perasaan seorang pria terhadap wanita, Hui Cu, dan orang yang mencinta mengharapkan untuk bisa hidup bersama dengan wanita yang dicintanya. Aku jatuh cinta kepada seorang gadis akan tetapi tidak ada harapan bagiku untuk dapat berjodoh dan hidup bersamanya."

"Kenapa, Ci Kang? Engkau seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik. Apakah dia tidak suka kepadamu?"

"Aku tidak tahu..." Dia lantas teringat betapa Sui Cin menyuapkan makanan ke mulutnya, betapa gadis itu mengobati dan merawatnya. "Mungkin dia suka padaku... akan tetapi aku sudah melakukan kesalahan besar terhadap dirinya... dan pula, dia adalah puteri seorang pendekar besar, sedangkan aku..."

"Engkau kenapa?"

"Aku sebaliknya adalah anak seorang datuk sesat yang amat jahat!" kata Ci Kang dengan gemas dan suaranya mengandung penuh penyesalan.

Ucapan ini amat menarik hati Hui Cu. Gadis itu memegang lengan Ci Kang dan menatap tajam wajah pemuda itu. "Apa? Orang tuamu itu jahat? Sejahat... orang tuaku?"

Ci Kang mengangguk. "Ayah dan ibumu berjuluk Raja dan Ratu Iblis dan kini menjadi raja para datuk sesat. Sebelum itu, yang menjadi raja datuk-datuk sesat adalah ayahku yang berjuluk Iblis Buta."

"Ahh... kenapa mereka itu jahat? Aku tidak suka perbuatan jahat, dan engkau pun tidak suka. Kenapa mereka begitu, Ci Kang?"

Pertanyaan yang sederhana ini tidak mampu terjawab oleh Ci Kang. "Aku tidak tahu, Hui Cu. Akan tetapi aku girang bahwa engkau tidak suka kejahatan seperti mereka. Kita ini senasib, sama-sama menjadi anak orang-orang jahat. Dan ayahku kini telah tiada..."

"Akan tetapi kalau dia buta, berarti tidak dapat melihat, kenapa jahat? Dan dia tentu lihai sekali, karena engkau pun amat lihai."

"Dia lihai, akan tetapi masih kalah oleh ayah ibumu. Ayahku tewas di tangan ibumu."

"Ihhhh...! Dan kau... kau adalah puteranya, karena itu engkau membenci ibu dan hendak membalas..."

"Tidak! Engkau keliru, Hui Cu. Kalau aku menentang ibumu, itu hanya karena ibumu jahat. Ayahku mati karena akibat perbuatannya sendiri, akibat kejahatannya sendiri. Aku tidak mendendam kepada siapa pun juga."

Gadis itu terdiam. "Aku bingung dan tidak mengerti mengenai semua ini, Ci Kang. Akan tetapi, mendengar bahwa engkau pun anak seorang datuk sesat seperti aku, aku semakin suka padamu. Ehh, Ci Kang, di manakah kawanmu itu?"

"Kawanku? Kau maksudkan Cia Sun?"

"Benar! Cia Sun, yang bersamamu masuk ke dalam goa bawah tanah itu. Di manakah dia sekarang dan mengapa tidak bersamamu? Aku ingin sekali bertemu dan bicara dengan dia."

Mendengar kegairahan dalam suara gadis itu, Ci Kang menatap wajahnya dengan penuh selidik. Akan tetapi wajah dan pandangan mata yang berseri itu tidak berubah dan tetap polos terbuka.

"Hui Cu, kau... kau cinta pada Cia Sun?"

"Cinta? Ahh, kau tadi bilang bahwa cinta berarti ingin selamanya hidup bersama orang yang dicinta. Aku tidak tahu, apakah aku ingin hidup selamanya dengan Cia Sun, akan tetapi, aku suka sekali kepadanya dan semenjak bertemu dengannya, aku selalu teringat kepadanya."

"Hemm, kalau tidur engkau sering kali mimpi bertemu dengannya?"

"Benar..."

"Kalau engkau sedang duduk seorang diri, wajahnya sering terbayang olehmu, suaranya seperti kau dengar kembali, setiap gerak-geriknya amat menyenangkan hatimu?"

"Wah, benar! Benar sekali! Ehh, bagaimana engkau bisa tahu?"

Ci Kang tersenyum pahit. Tentu saja dia tahu benar, karena seperti itulah keadaan dan perasaannya terhadap Sui Cin selama ini! Puteri Raja dan Ratu Iblis ini sudah jatuh cinta kepada Cia Sun! Kenyataan ini membuat hatinya semakin pedih.

Dia, putera datuk sesat jatuh cinta kepada puteri Pendekar Sadis yang terkenal. Dan kini, puteri Raja Iblis yang sangat jahat itu jatuh cinta kepada putera ketua Pek-liong-pang dari Lembah Naga yang juga terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang dihormati orang! Mana mungkin terjadi?

"Ci Kang, kenapa engkau bengong saja? Kau belum menjawab pertanyaanku, bagaimana engkau dapat mengetahui apa yang kualami selama ini, dan di mana pula adanya Cia Sun?"

"Hui Cu, aku tahu apa yang kau alami karena aku sendiri pun mengalami hal yang sama terhadap bayangan gadis yang kucinta. Dan Cia Sun... ah, engkau belum tahu siapa dia. Dia bukan orang sembarangan saja, dia adalah putera dari pendekar besar Cia Han Tiong, ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga."

"Lembah Naga? Aku pernah mendengar nama tempat itu dari ibu, tidak begitu jauh dari sini! Jadi dia berada di sana?"

"Entahlah, kukira begitu."

"Kalau begitu, aku akan pergi mencarinya! Aku akan mencari Cia Sun, aku tidak senang tinggal bersama ibuku!" Gadis itu bangkit berdiri.

"Nanti dulu, Hui Cu!" Ci Kang juga melompat dan memegang lengan gadis itu.

"Kenapa kau menahanku? Ada apa?"

Ci Kang merasa kasihan terhadap gadis ini dan tidak ingin melihat gadis ini mengalami patah hati dan penghinaan di Lembah Naga. "Dengarkan dahulu baik-baik. Ingat bahwa engkau adalah puteri Raja dan Ratu Iblis, sedangkan Cia Sun adalah putera pendekar..."

Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu menyambar angin dahsyat sekali dan tahu-tahu di situ muncul seorang kakek yang rambutnya riap-riapan putih, pakaiannya juga serba putih dan sepasang matanya mencorong mengerikan, ada pun mukanya pucat kehijauan. Melihat kakek ini, terkejutlah Ci Kang karena dia mengenal kakek ini sebagai Raja Iblis sendiri!

"Aku mendengar tadi ada puteri Raja dan Ratu Iblis. Siapa puteri itu?" terdengar suara kakek aneh itu, suaranya seperti terdengar dari lain tempat yang jauh, dan bibirnya tidak nampak bergerak.

Hui Cu yang juga kaget melihat munculnya seorang kakek aneh, kini memandang kakek itu dengan mata terbelalak. "Engkau kakek aneh dan lucu, bicara tanpa menggerakkan bibir! Akulah puteri Raja dan Ratu Iblis!"

Ci Kang terkejut sekali dan tidak sempat menahan gadis itu mengeluarkan kata-kata yang demikian beraninya. Berhadapan dengan iblis ini tak perlu banyak cakap, pikirnya, karena tak mungkin iblis itu akan mau melepasnya seperti yang dilakukan oleh Ratu Iblis karena bujukan puterinya tadi.

Maka tanpa banyak cakap lagi dia pun cepat menerjang maju dengan pukulan tangannya yang ampuh. Karena dia maklum bahwa lawannya ini amat sakti, maka begitu menerjang dia langsung mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya kemudian mengirim pukulan yang mengandung tenaga dahsyat.

"Wuuuttt...! Dukkk...!"

Tubuh Ci Kang terjengkang ke belakang dan dia tentu akan terbanting keras kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik dan berloncatan ke belakang. Dia dapat berdiri lagi dengan tegak dan merasa betapa lengan kanannya yang tertangkis oleh lengan kakek itu terasa nyeri dan panas.

"Jangan pukul kawanku!" Hui Cu membentak dan dia pun langsung menyerang kakek itu dengan kebutannya. Dia marah melihat betapa Ci Kang terjengkang dan hampir roboh.

Kakek itu mengeluarkan suara menggereng aneh dan begitu jari-jari tangannya bergerak, bulu kebutan itu berhenti dan menempel di telapak tangannya, sedangkan tangan kirinya diulur untuk mencengkeram ubun-ubun kepala Hui Cu. Jelas bahwa dia bermaksud akan membunuh puterinya itu dengan sekali serangan.

"Iblis keji! Kau hendak membunuh anakmu sendiri?" Ci Kang membentak, lantas dengan nekat dia menerjang dari samping, memukul ke arah tengkuk kakek itu dan tangan kirinya menangkis tangan kakek yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Hui Cu.

"Dukk! Dukkk!"

Kembali lengan mereka beradu dan Ci Kang terjengkang, akan tetapi Hui Cu selamat dan dapat menarik kembali kebutannya. Gadis ini memandang kakek itu dengan kedua mata terbelalak ketika dia mendengar bentakan Ci Kang tadi.

"Apa?! Dia... dia ini ayahku?" teriaknya.

"Benar, dia adalah Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit Ong, ayah kandungmu. Pangeran Toan Jit Ong, gadis ini adalah Toan Hui Cu, puterimu sendiri. Jangan ganggu dia, akulah lawanmu dan mari kita bertanding sampai mati!" Ci Kang menantang dengan sikap gagah dan dia sudah memasang kuda-kuda dan siap untuk berkelahi mati-matian melawan raja kaum sesat ini.

Akan tetapi kakek itu tidak menjawab, bahkan tidak memperhatikan dia. Sepasang mata yang mencorong itu ditujukan kepada Hui Cu, mengamatinya dari pucuk rambut sampai ke kaki.

"Ia harus mati, tapi sayang, dia gagah dan cantik. Engkau harus melahirkan anak laki-laki dariku!"

Dan tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan tangannya sudah meluncur ke depan. Lengan itu dapat mulur panjang dan tangan itu hendak menangkap pinggang Hui Cu. Gadis ini terkejut dan menjerit, kebutannya digerakkan menotok ke arah pergelangan tangan lawan.

"Tukkk!"

Bagaimana pun saktinya, Raja Iblis itu terkejut karena pergelangan tangan yang tertotok ujung kebutan itu seperti dipatuk ular sehingga terasa kesemutan. Mengertilah dia bahwa isterinya telah melatih anak ini dan mungkin anak ini telah mewarisi ilmu kebutan rahasia dari mendiang gurunya yang belum sempat dipelajarinya, dan ilmu kebutan ini lebih lihai dari pada ilmu menggunakan rambut dari isterinya. Maka terpaksa dia menarik kembali lengannya.

"Iblis keji!" Ci Kang menyerangnya dari samping dengan totokan ke arah lambung kiri Raja Iblis.

Totokan ini amat hebat dan saking cepatnya, tidak dapat ditangkis lagi sehingga terpaksa pula Raja Iblis itu menggerakkan tubuh ke belakang untuk mengelak. Diam-diam dia pun terkejut. Pemuda ini cukup lihai, mungkin lebih lihai dari pada semua pembantunya. Dan anak perempuan itu pun memiliki ilmu kebutan yang hebat.

Tiba-tiba dia melompat ke belakang dan mengangkat kedua tangan. Kakek ini memang memiliki wibawa yang kuat karena dua orang muda itu segera berhenti dan memandang.

"Siapa namamu?" tanyanya kepada Ci Kang.

"Aku Siangkoan Ci Kang," jawab pemuda itu dengan tabah.

"Bagus! Kau putera Siangkoan Lo-jin?"

"Benar!"

"Hemm, kau datang untuk membalas kematian ayahmu?"

"Tidak, aku datang untuk menentang kejahatanmu!"

"Siangkoan Ci Kang, apakah engkau cinta kepada puteriku ini? Engkau jadilah suaminya dan kalian menjadi pembantu-pembantuku yang setia. Bagaimana?"

Sungguh luar biasa sekali watak iblis ini! Baru saja menyerang dan hendak membunuh, sekarang tiba-tiba menawarkan hal yang sebaliknya. Ini menunjukkan betapa cerdiknya Raja Iblis. Dia segera dapat mengubah pendirian begitu melihat segi keuntungannya.

"Persetan dengan engkau!" bentak Ci Kang.

Usul Raja Iblis itu tentang perjodohannya dengan Hui Cu tentu saja bukan merupakan hal yang buruk, akan tetapi menjadi pembantu iblis itu benar-benar merupakan tawaran yang dianggapnya amat menghina. "Lebih baik mati dari pada menjadi antekmu!"

Dan pemuda itu sudah menyerang lagi. Raja Iblis mengelak dengan mudah lantas balas menendang dengan kecepatan kilat. Akan tetapi Ci Kang juga dapat menghindarkan diri dan langsung menyerang kembali dengan bertubi-tubi.

"Kalau begitu engkau akan mampus dan ia menjadi isteriku!" Raja Iblis berloncatan sambil berkata demikian, kemudian membalas.

Terjadilah serang-menyerang dengan hebat dan lewat beberapa jurus, kembali tangannya yang ampuh itu ketika ditangkis Ci Kang membuat pemuda itu terhuyung ke belakang.

"Mampuslah!" Raja Iblis meloncat dan mengirim pukulan susulan terhadap pemuda yang sedang terhuyung itu.

Akan tetapi Hui Cu menerjang dari samping dengan kebutannya yang menyambar dan beruntun mematuk ke arah jalan darah di pelipis, leher serta pundak! Terpaksa Raja Iblis mengurungkan pukulannya terhadap Ci Kang dan mengelak dari sambaran ujung kebutan yang cukup lihai itu. Kesempatan ini cepat dipergunakan oleh Ci Kang untuk memperbaiki kedudukannya, lalu dia pun membantu Hui Cu menyerang lagi.

Raja Iblis menjadi marah sekali. Selama ini hampir tidak pernah ada orang yang berani menentangnya, namun kini, seorang pemuda, hanya putera mendiang Iblis Buta, berani menentangnya. Dan yang lebih menggemaskan lagi anak perempuan itu, anaknya sendiri, membantu si pemuda!

Ia mengeluarkan suara lengkingan nyaring berkali-kali dan kedua tangannya kini bergerak dengan dorongan-dorongan yang mengeluarkan hawa panas dan menerbitkan angin kuat. Nampak uap putih setiap kali dia mendorongkan kedua tangannya.

Dan dua orang muda itu pun segera terdesak hebat. Hanya dengan pengerahkan sinkang sekuatnya saja keduanya tak sampai terlempar oleh hawa dorongan yang begitu kuatnya. Walau pun demikian, Ci Kang maklum bahwa tidak lama lagi dia dan Hui Cu tentu akan roboh. Raja Iblis ini sungguh memiliki ilmu kepandaian yang amat dahsyat.

Karena merasa bahwa tenaga sinkang-nya masih kalah jauh dibandingkan kakek itu, Ci Kang segera teringat akan ilmu yang diajarkan oleh Ciu-sian Lo-kai kepadanya, yaitu ilmu silat menggunakan tongkat atau benda apa saja yang berbentuk tongkat. Dia melompat ke kiri dan menyambar patah sebatang cabang pohon yang besarnya selengan, kemudian dia pun menggunakan senjata ini.

Ilmu tongkat bambu merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Ciu-sian Lo-kai. Karena itu, begitu Ci Kang mainkan tongkat ini, dia dapat menggempur desakan-desakan lawan dan dibantu oleh Hui Cu, kini dia mampu membalas, bekerja sama dengan kebutan gadis itu yang juga ampuh sekali.

Menghadapi keadaan yang berbalik ini, Raja Iblis menjadi semakin marah dan mendadak dia pun mengeluarkan gerengan keras dan ketika kedua tangannya bergerak menyilang menyambut tongkat di tangan Ci Kang, terdengarlah suara keras. Tongkat itu hancur dan tubuh Ci Kang terjengkang!

Dengan mengeluarkan suara gerengan seperti tertawa, kakek itu cepat menubruk ke arah Ci Kang yang masih terlentang. Pemuda ini menyambutnya dengan satu tendangan, akan tetapi kakek itu berhasil menangkis tendangan ini dan segera menjatuhkan diri berlutut, kedua tangannya dihunjamkan dengan jari-jari terbuka ke arah kepala Ci Kang.

Pemuda ini merasa betapa ada hawa pukulan dahsyat menyambar, maka maklumlah dia bahwa dia sedang terancam maut karena sekali jari-jari tangan itu mengenai kepalanya, tentu kepalanya akan hancur berantakan. Jalan satu-satunya baginya hanya menangkis. Dia mengangkat kedua tangannya dan berhasil menangkap dua lengan tangan lawan.

Terjadilah adu tenaga yang mengerikan. Kakek itu berusaha melanjutkan terkaman kedua tangannya, ada pun Ci Kang yang berada di bawah berusaha mempertahankan. Mereka bersitegang dan sepasang lengan Ci Kang mulai menggigil, mukanya pucat dan penuh keringat, tanda bahwa dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan berada di tepi maut. Agaknya sebentar lagi dia tidak akan kuat bertahan sehingga kakek itu dapat melanjutkan pukulan mautnya.

Melihat keadaan Ci Kang yang terancam maut seperti itu, tiba-tiba Hui Cu mengeluarkan teriakan keras dan dia pun cepat menggerakkan kebutannya. Ujung kebutannya berubah menjadi dua gumpal yang ujungnya meruncing seperti pedang, lantas dua batang pedang dari bulu-bulu halus yang kini menjadi kaku keras itu menusuk ke arah sepasang mata Raja Iblis! Tusukan ini cepat dan hebat sekali dan agaknya gadis itu sudah lupa bahwa dia bisa menewaskan atau setidaknya membutakan mata ayah kandungnya.

Menghadapi serangan mendadak yang amat berbahaya ini, Raja Iblis terkejut sekali dan terpaksa dia cepat menarik kembali kedua tangan yang tadi menekan ke bawah, dan kaki kanannya menyambar ke depan menyambut serangan gadis itu.

"Desss...!"

Tubuh Hui Cu terpental dan biar pun dia sudah melindungi dirinya dengan sinkang, tidak urung tubuhnya terlempar sampai beberapa meter jauhnya lalu terbanting ke atas tanah sampai bergulingan. Akan tetapi, perbuatannya itu menyelamatkan Ci Kang yang segera meloncat bangun dan menjauhkan diri karena dia harus mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya.

Hui Cu juga sudah melompat bangun dan kedua orang muda itu sudah bersiap lagi. Kini wajah mereka pucat dan kedua kaki agak gemetar karena kecapaian.

Raja Iblis tersenyum mengejek. Kedua orang itu tentu akan dapat dirobohkannya dalam serangan berikutnya. Dia menggerak-gerakkan sepasang tangannya, saling bersilang dan setiap kali dua lengan itu bergesekan, tentu nampak uap putih mengepul. Memang hebat sekali ilmu kakek ini kalau dia sudah mengeluarkan tenaga sakti seperti itu.

Ci Kang memandang khawatir. Dia tidak mengkhawatirkan diri sendiri. Memang sejak tadi dia telah menghadapi kematian dengan tenang. Akan tetapi dia mengkhawatirkan Hui Cu. Gadis itu tadi sudah menyelamatkan nyawanya. Dia tahu bahwa tanpa bantuan Hui Cu tadi, dia sudah tewas.

Dan kini, dia merasa tidak kuat untuk dapat melindungi gadis itu dari ayah kandungnya yang jahat seperti iblis itu. Namun betapa pun juga, dia akan melawan dan melindungi Hui Cu sampai napas terakhir.

Karena adanya niat hendak melindungi ini, perlahan-lahan Ci Kang menghampiri Hui Cu sambil matanya terus memandang ke arah Raja Iblis yang berdiri dalam jarak lima meter dari mereka. Setelah dekat, dia menyentuh lengan gadis itu.

"Jangan takut, Hui Cu, aku akan membelamu sampai mati."

Hui Cu tersenyum duka. "Kita berdua akan mati, Ci Kang. Akan tetapi aku gembira dapat mati bersama seorang sahabat sepertimu. Mari kita lawan dia."

"Yang berat adalah tenaga dorongannya, mari kita satukan tenaga untuk menyambutnya," bisik Ci Kang. Gadis itu mengangguk, kemudian menyelipkan kebutan pada pinggangnya, dan bersama Ci Kang dia lalu melangkah maju berdampingan.

Melihat dua orang muda itu nekat maju bersama, Raja Iblis kembali tersenyum mengejek. Dia tahu akan siasat pemuda itu hendak menyatukan tenaga. Akan tetapi dia tadi sudah mengukur sampai di mana tenaga mereka dan dia tidak menjadi gentar. Bahkan sengaja dia maju lagi menyerang dengan kedua tangannya didorongkon ke depan, kedua telapak tangannya menghadap kepada dua orang lawan itu. Begitu kedua tangannya mendorong, nampak uap putih dan angin menyambar dahsyat.

Ci Kang dan Hui Cu yang sudah maklum akan kehebatan tenaga dorongan itu langsung menyambut dengan kedua tangan didorongkan pula. Sekarang mereka bergerak dengan berbareng, menyatukan tenaga sinkang menyambut dengan kuatnya.

"Desss...!"

Hebat bukan main ketika tiga pasang tangan itu bertemu dan akibatnya tubuh Raja Iblis undur dua langkah, akan tetapi tubuh Ci Kang dan Hui Cu terjengkang kemudian roboh terbanting! Mereka kalah tenaga dan kini mereka berdua merasa betapa napas mereka menjadi sesak.

Terpaksa mereka cepat-cepat mengatur pernapasan dan menyalurkan hawa murni untuk mencegah dada yang terguncang hebat itu agar jangan sampai terluka. Kesempatan baik terbuka bagi Raja Iblis dan sambil tersenyum lebar dia melangkah maju, siap-siap untuk mengirim pukulan maut!

"Sungguh tidak tahu malu tua bangka menghina orang-orang muda!" Tiba-tiba terdengar suara halus dan suatu hawa tenaga yang sangat kuat mendorong dan menyambut Raja Iblis.

Kakek ini terkejut dan mengerahkan tenaga, menggunakan tangannya mengibas dan dua tenaga sakti saling bentur membuat keduanya terkejut karena masing-masing mendapat kenyataan betapa kuatnya lawan yang dihadapi!

Raja Iblis cepat memandang dan alisnya pun berkerut. Yang muncul di depannya adalah seorang laki-laki yang usianya paling banyak lima puluh tahun. Perawakannya gagah dan wajahnya masih kelihatan tampan menarik, pakaiannya serba indah sehingga membuat dia nampak semakin anggun. Wajah itu tersenyum ramah akan tetapi sepasang matanya mencorong penuh kekuatan.

Di samping kiri pria ini berdiri seorang wanita yang usianya sebaya, cantik sekali, dengan pakaian yang juga mewah, bersih dan baru, rambutnya dihias batu permata. Akan tetapi, berbeda dengan laki-laki di sampingnya yang tersenyum ramah, wanita cantik ini nampak anggun dan angkuh, serius dengan sepasang matanya menatap wajah Raja Iblis seperti hendak menegur.

Raja Iblis belum pernah mengenal mereka, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kedua orang ini tentulah dua orang dari golongan pendekar yang mempunyai kepandaian tinggi, maka dia tidak memandang rendah dan bersikap waspada dan hati-hati.

Biasanya, apa bila ada Ratu Iblis di sampingnya, dia tidak pernah mau bicara sendiri dan bahkan jarang dia turun tangan sendiri. Kini, karena dia seorang diri saja, dia terpaksa bicara dan bertindak sendiri.

Dia teringat bahwa di antara para datuk di dunia persilatan, banyak yang sudah pernah ditaklukkannya, bahkan mereka bersumpah tidak akan melawannya kalau dia memegang Tongkat Suci Sakti. Kini berhadapan dengan dua orang itu, bahkan dia sudah mengukur tenaga pria itu yang ternyata sangat kuat, dia hendak mengambil cara yang lebih mudah.

Kalau dua orang ini memiliki hubungan dengan para tokoh yang pernah ditundukkannya, tentu mereka tidak akan berani pula menentang dia yang memegang Tongkat Suci Sakti. Cepat dia mengeluarkan sebatang tongkat dari balik jubahnya, lantas sambil mengangkat tongkat itu ke atas kepala, dia berkata, suaranya bergema seperti datang dari jauh dan amat berwibawa.

"Lihat Tongkat Suci Sakti dan berlututlah kalian sebelum aku menyatakan kalian berdosa dan harus menerima hukumanku!"

Pria dan wanita itu memandang dengan heran, lalu saling pandang dan pria itu tertawa.

"Ha-ha-ha-ha! Yang suci dan sakti bagi orang jahat belum tentu suci bagi kami! Aku orang she Ceng belum pernah melihat tongkat butut itu!"

"Tua bangka, jangan membadut di hadapan kami. Pergilah dan jangan ganggu dua orang muda ini sebelum aku turun tangan menghajarmu!" kata si wanita dengan suara galak dan sepasang matanya mencorong penuh ancaman.

Raja iblis menjadi marah sekali. Tongkat Suci Sakti itu mereka hina! Padahal, bila melihat tongkat itu saja banyak tokoh persilatan gemetar dan berlutut.

"Bagus, kalau begitu kalian adalah calon-calon bangkai!" Raja Iblis menyerbu ke depan, menggunakan tongkat itu dan secepat kilat tongkat itu sudah melakukan dua kali pukulan ke arah pria dan wanita itu secara bertubi-tubi, bahkan diikuti oleh cengkeraman tangan kirinya yang tidak kalah berbahaya.

Pria dan wanita itu pun bukan orang sembarangan. Dengan sekali gerakan saja mereka sudah maklum akan kelihaian kakek yang mukanya seperti kedok mayat itu, dan mereka paham akan bahayanya tongkat yang disebut Tongkat Suci Sakti itu. Karena itu keduanya cepat mengelak dengan gerakan yang indah dan cepat sehingga semua serangan kakek itu mengenai tempat kosong.

Wanita itu meloncat untuk menghindar dan pada waktu dia membalikkan tubuhnya, kedua tangannya telah memegang sepasang pedang berwarna hitam dan ketika dicabut, tampak dua sinar hitam bergulung-gulung.

"Awas, tongkatnya itu beracun!" kata si wanita kepada pria yang hanya tersenyum saja.

"Orangnya busuk, bagaimana tongkatnya tidak akan beracun?" Pria itu malah mengejek.

Raja Iblis menjadi semakin marah. Tongkatnya menyambar ganas ke arah kepala wanita itu. Wanita setengah tua yang cantik itu bersikap tenang. Sepasang pedang hitamnya lalu membuat gerakan menangkis dan menggunting, menyambut tongkat.

"Trakkk!"

Tongkat itu terjepit oleh sepasang pedang hitam. Pada saat itu pula tangan kiri Raja Iblis melayang, menampar kepala lawan.

"Singgg...!"

Pedang kanan melesat dari tongkat lalu menyambut tangan! Raja Iblis kaget, tak mengira wanita itu mempunyai gerakan sedemikian cepat dan lihainya. Dia tidak berani mengadu lengannya dengan pedang hitam, menarik tangan dan langsung tangan itu mendorong ke depan. Serangkum hawa panas dan kuat sekali menyambar.

"Ihh!" Wanita itu berseru kaget dan cepat meloncat ke belakang. Ketika Raja Iblis hendak mendesak terus, suami wanita itu sudah menghadapinya dan menghalanginya mendesak isterinya.

"Hemmm, engkau lihai juga," kata pria itu. Sungguh jarang terdapat orang yang mampu mengejutkan isterinya dalam satu gebrakan saja. "Siapakah engkau?"

Akan tetapi Raja Iblis tidak menjawab melainkan menubruk dengan serangan tongkatnya yang menyambar dengan totokan ke arah dahi di antara dua mata lawan. Pria itu cepat mengelak dengan kepala ditundukkan dan pada saat tongkat itu melanjutkan gerakannya menyambar ke arah tengkuknya, dia cepat mengangkat tangan kirinya menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkang untuk melindungi kulit lengannya kalau-kalau benar tongkat itu mengandung racun seperti yang tadi diperingatkan oleh isterinya. Di dalam hal racun, isterinya memang jauh lebih ahli dari pada dia. Akan tetapi dia tidak takut terhadap racun.

"Plakkk!"

Dan kembali keduanya terkejut. Pria itu merasa betapa lengannya tergetar dan dia tahu pula bahwa tongkat itu memang dilumuri atau direndam dengan racun. Sebaliknya Raja Iblis merasa tangannya yang memegang tongkat bertemu dengan tenaga yang dahsyat sekali.

Jarang dia bertemu tanding yang tenaganya sehebat ini. Apa lagi melihat betapa lawan itu sama sekali tak terpengaruh oleh racun pada tongkatnya. Semenjak tongkatnya terampas oleh kelicikan Sui Cin dahulu itu, dia merendam tongkat saktinya dengan racun yang amat jahat agar siapa pun yang akan merampas tongkatnya menjadi keracunan, dan juga setelah direndam racun, tongkat itu selain merupakan benda pusaka untuk menundukkan tokoh-tokoh dunia persilatan, juga dapat menjadi sebuah senjata yang ampuh. Akan tetapi lawan ini sedemikian lihainya sehingga sinkang-nya mampu menolak hawa beracun yang amat kuat dari tongkatnya.

Maklum akan kehebatan lawan, begitu tongkatnya tertangkis, secara tiba-tiba dan cepat sekali Raja Iblis menggerakkan tangan kirinya dan sebelum pria itu dapat mengelak atau menangkis, tangan kirinya telah menghantam punggung lawan. Tamparan telapak tangan kiri Raja Iblis ini hebat dan cepat sekali, sama sekali tidak tersangka-sangka dan agaknya pria itu pun tidak sempat pula mengelak.

"Plakkk...!"

Tiba-tiba saja sepasang mata Raja iblis terbelalak. Nampak dia berusaha menarik kembali tangan kirinya, akan tetapi tangannya itu sudah melekat pada punggung lawan. Sekarang baru dia tahu bahwa lawannya memang sengaja tidak mengelak dan memang menerima tamparannya tadi.

"Thi-khi I-beng...!" Raja Iblis berseru lantas secepat kilat tongkatnya menyambar ke arah mata lawan.

Pria itu terpaksa mundur dan Raja Iblis segera menyimpan tenaga saktinya. Agaknya dia tahu pula bagaimana cara menghadapi Ilmu Thi-khi I-beng. Setelah Raja Iblis menyimpan tenaga saktinya, tangannya yang tadi melekat di punggung lawan terlepas dengan mudah kemudian dia pun meloncat jauh ke belakang.

"Kau... Pendekar Sadis?" tanyanya, lalu menoleh ke arah wanita cantik.

"Dan kau... yang dulu berjuluk Lam-sin, kau puteri Pangeran Toan Su Ong?"

Kini tahulah pria dan wanita itu dengan siapa mereka berhadapan dan keduanya nampak terkejut bukan main.

"Aha! Ternyata engkau yang terkenal dengan julukan Raja Iblis yang tersohor itu?" kata Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis.

Isterinya, Toan Kim Hong, turut berkata, "Inikah Pangeran Toan Jit Ong yang kabarnya memberontak terhadap pemerintah itu?"

"Hemm, kalau engkau puteri Toan Su Ong, berarti engkau adalah keponakanku sendiri! Keponakan dan mantu keponakan. Tidak lekas memberi hormat kepada pamanmu?"

"Biar paman, biar siapa pun, kalau jahat adalah musuh kami!" Toan Kim Hong berkata dengan suara garang.

Raja Iblis Toan Jit Ong adalah seorang yang amat cerdik. Dia tidak takut menghadapi dan melawan Pendekar Sadis dan isterinya, akan tetapi dia pun tahu bahwa tidak akan mudah baginya untuk mengalahkan suami isteri perkasa ini.

Apa lagi ada Siangkoan Ci Kang di situ dan pemuda ini pun tidak dapat dipandang ringan. Belum lagi puterinya sendiri yang malah membantu musuh! Jika dia tetap nekat melawan mereka berempat lalu kalah atau mati sekali pun tidak takut, akan tetapi namanya akan jatuh dan lagi pula, bagaimana dengan rencana besarnya?

Raja Iblis menarik napas panjang. "Sudahlah, mengingat hubungan darah antara kita, biar aku memandang arwah kakanda Toan Su Ong untuk mengampuni kalian berdua. Inilah anakku. Kemarilah, nak. Mereka ini adalah enci-mu sendiri serta kakak iparmu." Dengan lagak kebapakan dia menghampiri Hui Cu seperti hendak memperkenalkan mereka.

Melihat sikap kakek yang menjadi ayah kandungnya itu, Hui Cu yang masih hijau itu tentu saja menjadi lengah. Dengan amat mudahnya Raja Iblis dapat menangkap lengan kanan anaknya dan tiba-tiba kakek itu sudah menotoknya dan memanggulnya, lantas meloncat jauh dan melarikan diri. Melihat ini, Ci Kang meloncat dan hendak mengejar.

"Lepaskan dia!" bentaknya marah. Akan tetapi, suami isteri pendekar dari Pulau Teratai Merah itu tahu-tahu telah menghadangnya.

"Mengejar dia sama dengan bunuh diri!" kata Pendekar Sadis.

"Gadis itu dibawa pergi oleh ayah kandungnya sendiri, jadi mencampurinya adalah suatu kebodohan!" kata pula Toan Kim Hong.

Ci Kang lantas maklum bahwa suami isteri ini mencegahnya untuk melakukan pengejaran dengan maksud hendak menghindarkan dirinya dari bahaya maut dan dia pun sadar akan kebodohannya. Lagi pula Raja Iblis itu telah cepat menghilang dan dia sendiri tidak begitu mengenal daerah ini maka melakukan pengejaran selain tidak mungkin, juga benar-benar sama dengan membunuh diri. Baru menghadapi Raja Iblis seorang diri saja dia sudah kalah, apa lagi kalau raja sesat itu muncul bersama kaki tangannya.

Akan tetapi, bagaimana pun juga tak mungkin dia dapat mendiamkan saja Hui Cu dibawa ayahnya. Gadis itu seperti berada dalam cengkeraman harimau. Lebih celaka lagi, seperti berada di dalam cengkeraman iblis. Harimau tidak akan membunuh anaknya sendiri, akan tetapi Raja Iblis itu hendak memaksa Hui Cu menjadi isterinya, atau akan dibunuhnya.

Sekarang setelah Raja Iblis pergi, Ci Kang dapat mencurahkan perhatiannya pada suami isteri itu. Dia memandang kepada mereka dan merasa jantungnya berdebar-debar penuh ketegangan. Jadi inikah yang terkenal dengan julukan Pendekar Sadis itu? Ayah dan ibu Sui Cin, gadis yang dicintanya.

Dan mereka ini demikian gagah perkasa, demikian anggun dan berpakaian sangat indah. Sepasang pendekar yang berilmu tinggi, yang mampu membuat datuk sesat seperti Raja Iblis melarikan diri. Sepasang pendekar perkasa yang agaknya kaya raya pula.

Sedangkan dia? Dia hanya seorang yatim piatu, dan lebih lagi, anak seorang datuk sesat yang buta. Dibandingkan dengan Sui Cin dan keluarganya, dia tidak lebih pantas menjadi seorang pelayan atau pegawai mereka saja.

Akan tetapi dia cepat teringat bahwa kemunculan dua orang ini tadi telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut. Apa bila tidak ada mereka ini, tentu dia sudah tewas di tangan Raja Iblis, maka dia pun cepat menjura dengan sikap menghormat.

"Ji-wi locianpwe telah menyelamatkan nyawa saya. Saya menghaturkan terima kasih."

Suami isteri itu memandang dengan wajah berseri. Mereka merasa suka kepada pemuda gagah yang berani melawan Raja Iblis dan membela gadis itu. Mereka menduga bahwa tentu pemuda ini kekasih gadis itu, atau setidaknya mencinta gadis itu dan mungkin Raja Iblis tidak merestui hubungan mereka. Akan tetapi semua itu bukan urusan mereka.

"Orang muda, engkau gagah dan agaknya tidak akan mudah dapat dirobohkan oleh Raja Iblis itu. Tidak perlu berterima kasih karena kebetulan saja kita berjumpa di sini dan setiap orang gagah memang wajib menentang iblis jahat semacam Raja Iblis itu. Nah, selamat berpisah," kata Ceng Thian Sin dengan suara ramah. Bersama isterinya dia membalikkan tubuhnya hendak melanjutkan perjalanan mereka.

Kepergian Sui Cin yang amat lama itu menggelisahkan hati suami isteri ini dan mereka sering kali melakukan perjalanan untuk mencari puteri mereka. Itulah sebabnya ketika Sui Cin pulang ke Pulau Teratai Merah, ia tidak bertemu dengan ayah bundanya yang sedang pergi mencarinya. Ia meninggalkan surat dan melanjutkan perjalanannya ke utara, sesuai dengan perintah gurunya.

Tak lama kemudian Ceng Thian Sin dan isterinya yang kembali ke pulau itu, menemukan surat puteri mereka. Tentu saja keduanya merasa khawatir sekali mendengar betapa Sui Cin melibatkan diri dalam urusan menentang pemberontakan di utara, hendak menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menentang gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Iblis. Karena mengkhawatirkan puteri mereka, suami isteri ini berangkat lagi melakukan pengejaran ke utara.

"Ji-wi, harap perlahan dulu!"

Mendengar suara pemuda itu menahan mereka, Ceng Thian Sin serta isterinya berhenti melangkah lalu menengok dengan heran.

"Ada apakah, orang muda?" Pendekar Sadis bertanya.

"Apa bila tadi saya tidak salah mendengar, locianpwe berjuluk Pendekar Sadis. Apakah locianpwe bernama Ceng Thian Sin dan ji-wi merupakan ayah bunda dari nona Ceng Sui Cin?"

"Benar, apakah engkau mengenal anakku itu?" Toan Kim Hong berseru dengan wajah berseri dan suaranya mengandung kegembiraan.

Selama ini mereka berdua telah mencari hingga ke mana-mana akan tetapi belum pernah mendengar tentang puterinya dan tidak dapat menemukan jejaknya. Dan sekarang, tanpa disangkanya dia mendengar orang bertanya tentang Sui Cin!

"Saya mengenal nona Ceng dengan baik," jawab Ci Kang perlahan.

Ceng Thian Sin segera memandang wajah pemuda itu dengan penuh perhatian. Setelah mendengar bahwa pemuda ini mengenal Sui Cin dan agaknya merupakan sumber berita di mana adanya puterinya itu, tiba-tiba saja pemuda itu menjadi penting baginya.

"Orang muda, sungguh Thian sudah menuntun kami berdua untuk bertemu denganmu di sini. Siapakah namamu, orang muda?"

"Nama saya Siangkoan Ci Kang."

"Siangkoan...? Jarang mendengar tokoh dengan she Siangkoan di dunia persilatan," kata Pendekar Sadis.

"Bukankah ada seorang datuk yang juga memiliki she Siangkoan, yang terkenal dengan ilmu silatnya yang tinggi?" tiba-tiba Toan Kim Hong berkata.

"Ahh, maksudmu Siangkoan Lo-jin? Mana ada hubungannya dengan..."

"Maaf, locianpwe. Siangkoan Lo-jin adalah mendiang ayah saya."

"Ahhhh...!" Suami isteri itu saling pandang. Mereka sudah mendengar tentang Siangkoan Lo-jin atau Si Iblis Buta yang terkenal sebagai seorang datuk kaum sesat yang selain berilmu tinggi, juga amat kejam. Dan mereka juga mendengar berita di dunia kang-ouw selama mereka mencari Sui Cin bahwa Iblis Buta sudah tewas di tangan Raja dan Ratu Iblis yang kini merampas kedudukan pemimpin para datuk kaum sesat.

Sebab itu mereka pun kini menduga bahwa tentu pemuda ini memusuhi Raja Iblis karena mendendam atas kematian ayahnya. Akan tetapi kenapa pemuda ini membela puteri Raja Iblis? Namun mereka tidak ingin tahu lebih banyak karena hal itu bukan urusan mereka.

"Orang muda, engkau tadi mengatakan mengenal baik anak kami. Di manakah kini anak kami Sui Cin itu?" Pendekar Sadis bertanya tidak sabar.

"Menurut pengetahuan saya, nona Ceng Sui Cin kini berada bersama para pimpinan suku bangsa di utara ini. Dia telah membantu nenek Yelu Kim yang berhasil meraih kedudukan pemimpin para suku bangsa. Kalau ji-wi dapat bertemu dengan nenek Yelu Kim yang kini menjadi pemimpin besar para kepala suku bangsa di utara, tentu ji-wi akan dapat bertemu pula dengan nona Ceng."

"Apa? Anakku membantu pemimpin para kepala suku liar?" Toan Kim Hong bertanya, matanya terbelalak.

"Orang muda, di mana adanya rombongan nenek Yelu Kim itu sekarang?" Ceng Thian Sin bertanya.

"Tidak begitu jauh dari sini, locianpwe. Di balik bukit tandus di barat itu. Kalau tidak salah, para kepala suku masih berada di sana bersama rombongan masing-masing."

"Terima kasih, orang muda. Kami akan mencarinya sekarang juga."

Thian Sin serta isterinya kemudian mengangguk dan meninggalkan Ci Kang yang hanya menjura dengan hormat kepada mereka. Dia tidak berani bicara banyak tentang Su Cin, tentang hubungannya dengan gadis itu.

Setelah pasangan suami isteri itu pergi, pemuda itu lalu berdiri termangu-mangu, merasa nelangsa dan kesepian, merasa betapa semakin jauhnya dirinya dari Sui Cin, gadis yang dicintanya itu. Akan tetapi, dia segera teringat kepada Hui Cu dan bangkit semangatnya.

Saat ini, yang paling penting adalah menolong Hui Cu dari cengkeraman iblis, dari tangan ayahnya sendiri. Maka dia pun cepat pergi dari situ untuk mencari jejak Hui Cu, atau lebih tepat lagi, jejak Raja Iblis.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Pertemuan yang dinanti-nantikan dengan hati tegang oleh para pendekar itu pun tibalah. Pada malam bulan purnama, dan mengambil tempat di bekas benteng Jeng-hwa-pang yang sudah rusak dan keadaannya menyeramkan karena tidak pernah ditinggali manusia.

Pada malam itu, tak kurang dari seratus orang pendekar dari berbagai aliran berkumpul di tempat itu. Tentu saja tidak semua aliran mengirim wakilnya karena tidak semua pendekar berjiwa patriot. Bahkan banyak sekali para pendekar di dunia kang-ouw yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan pemerintahan mau pun pemberontakan. Mereka lebih suka bekerja secara bebas, menghadapi kejahatan perorangan dan tidak suka terikat di dalam suatu kelompok.

Akan tetapi yang hadir pada malam hari itu sudah mewakili sebagian besar dari semua perguruan silat serta cabang persilatan. Hal ini adalah karena sebagian besar dari para pendekar merasa perlu untuk menghadiri pertemuan.

Pemberontakan yang terjadi sekarang ini bukanlah sekedar pemberontakan dari golongan yang tidak puas terhadap golongan lain yang berkuasa, bukan hanya sekedar perebutan kedudukan belaka. Akan tetapi yang memberontak adalah golongan sesat yang menjadi musuh besar mereka di sepanjang masa.

Raja Iblis sendiri, dibantu oleh Cap-sha-kui, telah mengumpulkan para datuk sesat untuk merampas kedudukan dan menggulingkan pemerintah. Jika sampai mereka berhasil, jika sampai pemerintah dipegang oleh kaum sesat, berarti dunia para pendekar akan hancur! Jadi, pemberontakan kaum sesat itu bukan hanya mengancam para penguasa yang kini menduduki kekuasaan, melainkan juga mengancam kehidupan para pendekar sendiri.

Di pekarangan bangunan-bangunan rusak yang sangat luas itu, yang kini menjadi padang rumput akibat tak terpelihara, para pendekar berkumpul dan membentuk sebuah lingkaran lebar, dan di dalam lingkaran itu dinyalakan api unggun besar. Mereka bekerja bergotong-royong tanpa adanya suatu pimpinan karena memang mereka itu datang untuk berunding, mendengar berita dari mulut ke mulut, dan di antara mereka tidak ada golongan pimpinan.

Hanya dengan sendirinya mereka semua menganggap para locianpwe yang hadir sebagai pimpinan, bukan hanya karena usia mereka yang lebih tua saja, akan tetapi juga karena kedudukan mereka dalam tingkat kepandaian. Dan di antara para tokoh tua dari berbagai cabang persilatan seperti dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai yang kini hadir, terdapat pula empat orang tokoh tua yang dianggap sebagai tokoh-tokoh bertingkat tinggi oleh mereka, walau pun sebagian dari para pendekar tidak pernah mengenal mereka.