Misteri Wanita Bertopeng - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MISTERI WANITA BERTOPENG

SATU

"Heaaa...!"

Dua orang mengendarai kudanya membelah udara malam yang pekat. Hawa dingin yang menggigit seakan tak dipedulikan. Tubuh mereka terguncang-guncang di atas punggung kuda yang berlari bagai kesetanan.

"Sebentar lagi kita sampai di Desa Sangit, Gopala!" teriak laki-laki yang berkuda di sebelah kanan. Suaranya seolah hendak mengalahkan deru angin yang begitu keras menerpa telinga.

"Banyak hal-hal menarik di sana."

"Kau kelihatan senang sekali membicarakan tempat itu, Sengkolo? Ada apa sebenarnya?" tanya laki-laki yang berkuda di sebelah kiri.

"Apakah kau tidak tahu?!" tukas laki-laki yang dipanggil Sengkolo.

Laki-laki bernama Gopala menggeleng. Kepalanya menoleh ke arah Sengkolo dengan wajah sungguh-sungguh.

"Kita bisa singgah di Pesanggrahan Kembang Melati'" kata Sengkolo agak meninggi. Berharap kalau Gopala cuma pura-pura lupa. Namun dia sedikit kecewa karena melihat wajah Gopala malah semakin bingung.

"Kau sungguh-sungguh tak tahu?" tanya Sengkolo.

"Tidak. Ada apa sebenarnya?" sahut Gopala.

"Di tempat itu banyak wanita cantik segala macam rupa dan bentuk!" jelas Sengkolo terkekeh lagi, menyangka Gopala pun akan tergelak.

"O..., cuma itu?" sahut Gopala tanpa terkejut.

"Cuma itu katamu?! Tempat itu amat istimewa! Orang-orang dari segala penjuru datang ke sana. Dan kau cuma mengatakan begitu?!" tukas Sengkolo, kecewa.

"Aku mesti bilang apa?" tanya Gopala, seraya memperlambat jalannya kuda.

"Kita ke sana. Dan kau akan melihat betapa hebatnya tempat itu!" jelas Sengkolo bersemangat, namun juga memperlambat jalannya kuda. Sepertinya dia ingin benar-benar meyakinkan Gopala.

"Kita sedang dalam tugas dan harus tiba secepatnya ke istana untuk melaporkan hasil penyelidikan," sergah Gopala, mengingatkan.

"Alaaah! Kau ini seperti yang bukan laki-laki saja! Tugas bisa ditunda. Tapi kesempatan ini jarang ada duanya. Apalagi pada awal-awal bulan seperti sekarang! Pesanggrahan itu menyediakan banyak wanita muda yang cantik-cantik! Kau pasti akan tertarik!" bujuk Sengkolo, tak putus asa.

Gopala menarik napas panjang. Kudanya makin diperlambat, sehingga seperti berjalan biasa. Demikian pula Sengkolo.

"Bagaimana? Atau barangkali kau tak tertarik pada wanita?" cetus Sengkolo lagi.

"Bila Gusti Prabu tahu kita melalaikan tugas, maka kita akan dijatuhi hukuman berat...," keluh Gopala, mulai goyah pendiriannya.

"Kita tak berseragam. Dan, cuma segelintir orang yang tahu kalau kita prajurit kerajaan! Lantas, apa yang mesti ditakutkan? Bahkan bila prajurit-prajurit lain ke sini, belum tentu mereka mengenali kita."

Gopala masih terdiam, menimbang rayuan temannya.

"Ayolah! Apalagi yang kau pikirkan? Atau..., dugaanku tadi benar? Sebenarnya kau bukan takut dipergoki, tapi..., takut kalau rahasia terbesarmu ketahuan!"

"Jangan meledek, kau!"

Sangkolo tersenyum mengejek. “Tidak! Aku bicara sesungguhnya. Dan akan bertambah yakin kalau kau terus menolak. Laki-laki mana yang menolak pada wanita cantik?!" Sengkolo terus memanasi kawannya.

"Aku tidak seperti yang kau tuduhkan...," kilah Gopala.

"Lalu apa?"

"Kita tengah menjalankan tugas...."

"Itu tidak masuk akal! Kau pasti hanya tak mampu. Kalau mampu, buktikan bersamaku di sana!" tantang Sengkolo.

Gopala menghela napas. Selain khawatir karena telah melalaikan tugas, juga karena didesak terus Oleh Sengkolo.

"Bagaimana?"

"Berapa kau berani taruhan?"

"Bagus!" teriak Sengkolo girang dan menunjukkan jempol.

"Berapa kau berani taruhan?" tantang Gopala agak kesal.

"Sekeping perak!"

"Tambahkan empat keping, jadi lima!"

"Gila! Itu sama dengan harga di sana."

"Hitung-hitung kau mengongkosi aku!" kelit Gopala sambil terkekeh.

"Sompret!"

"Eeee, tidak jadi?!"

"Yaaa, apa boleh buat...?" sahut Sengkolo lesu. "Yang penting tunjukkan padaku bahwa kau laki-laki perkasa. Dan..., hitung-hitung juga aku punya kawan. Jadi tidak kelewat canggung."

"Kau sering ke sana, jadi kenapa mesti canggung?”

"Tidak juga. Aku hanya dengar dari orang-orang. Baru sekarang ingin menjajalnya...," sahut Sengkolo tersipu.

"Sompret! Kukira kau sudah sering ke sana!"

Sengkolo cekakakan. "Ayolah, cepat! Aku sudah tak sabar membuktikan cerita orang-orang!"

"Heaaa...!"

********************

Seorang laki-laki setengah tua menyambut Sengkolo dan Gopala di pintu gerbang dengan ramah. Dipanggilnya seseorang untuk mengurus kuda-kuda tamu yang baru datang ini.

"Silakan, Tuan-tuan...! Jangan sungkan-sungkan” Ucap laki-laki tua itu.

"Mari ke sini, Tuan...!" panggil seorang wanita setengah baya berdandanan menyolok. Wajahnya tebal oleh bedak. Bibirnya merah menyala. Dan pakaian yang membungkus tubuhnya terlihat tipis, amat ketat. Wanita itu membawa kedua laki-laki tadi ke dalam sebuah ruangan luas yang mirip kedai. Di dalamnya terdapat beberapa laki-laki yang tengah mabuk atau setengah mabuk yang masing-masing ditemani seorang gadis.

Dua gadis mendekat dengan senyum lebar. Sengkolo ikut-ikutan tersenyum. Sebaliknya Gopala malah tersenyum kecut dengan dahi berkerut. Agaknya laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun ini hendak memperlihatkan keengganannya kepada dua gadis itu. Sementara wanita setengah baya itu cepat bertindak dengan memanggil seorang gadis lainnya. Barulah kelihatan Gopala tersenyum-senyum senang.

"Mari ku temani, Tuan!" ajak gadis yang baru menghampiri tadi.

Sementara Sengkolo telah berlalu ke sebuah meja bersama seorang gadis pilihannya. Dan Gopala pun mengambil tempat yang tidak seberapa jauh. Kini dua gadis itu menyuguhkan arak pilihan sambil bercakap-cakap. Namun hal yang dibicarakan lebih banyak menjurus pada kemaksiatan. Dan tanpa disadari, kedua prajurit yang sebenarnya juga telik sandi ini terus disuguhkan minuman sampai mulai mabuk.

"Cukup! Cukup! Jangan sampai mabuk! He he he...! Bisa kita mulai sekarang?" tanya Sengkolo sambil menolak suguhan arak yang hendak dituangkan gadis pendampingnya.

"Tuan hendak mulai sekarang?" sahut gadis bertubuh padat itu dengan senyum genit.

"He he he...! Aku sudah tak tahan lagi. Melihat bentuk tubuhmu yang aduhai, dan suaramu yang merdu, benar-benar membuatku mabuk kepayang. Ayolah.... Apalagi yang ditunggu? Bawa aku ke sorga yang tadi kau ceritakan. He he he...!" oceh Sengkolo.

"Kenapa tidak? Mari!" tantang gadis ini, membuat gairah Sengkolo kian terpacu.

Dengan setengah memapah, gadis itu melingkarkan sebelah lengan Sengkolo ke belakang leher dan mengajaknya masuk ke dalam sebuah kamar yang ada di belakang rumah ini. Bersamaan dengan mereka, banyak pasangan lain yang mengikuti dari belakang, lalu menuju kamar masing-masing yang banyak berjejer di sepanjang lorong menuju ke belakang.

Sementara di sebuah ruangan lain di pesanggrahan ini, terlihat dua laki-laki bertubuh besar masuk ke sebuah kamar. Begitu pintu ditutup, mereka menjura hormat pada seseorang berjubah hitam yang berdiri membelakangi. "Hormat kami, Ketua!" ucap kedua laki-laki bertubuh besar ini.

"Apa yang kalian dapatkan?" tanya sosok berjubah hitam yang dipanggil Ketua tanpa berbalik.

"Banyak hal, Ketua. Namun di antaranya mungkin ada yang membuat Ketua gembira."

"Katakan! Apa yang membuatku gembira?" tuntut sosok berjubah hitam ini.

"Dua prajurit telik sandi kerajaan singgah di pesanggrahan kita," jelas salah seorang laki-laki itu.

"Lalu apa yang membuatmu merasa yakin kalau aku gembira mendengar kabar ini?"

"Gadis-gadis itu memberitahu bahwa mereka berdua mengemban tugas mengintai seseorang. Dan orang itu tak lain dari.., Sangkaran!"

Mendengar nama itu disebutkan, sosok berjubah hitam itu berbalik. Dan terlihatlah seraut wajah yang seluruhnya tertutup kain hitam. Dari sepasang lubang yang digunakan untuk melihat, kelihatan kalau sepasang bola matanya berbinar-binar. Senang campur gembira!

"Sangkaran keparat! Akhirnya kutemukan juga kau!" desisnya dengan senyum lebar.

"Apa yang kami lakukan sekarang, Ketua?" tanya laki-laki bertubuh tinggi besar itu.

"Siapkan orang-orang kita!" ujar sosok yang dipanggil Ketua ini, tegas.

"Kita menuju ke sana?"

"Sudah lama kesempatan ini kutunggu-tunggu. Dan aku tak mau menundanya barang sekejap pun!"

"Tapi..., ada suatu hal yang agaknya perlu dipertimbangkan, Ketua...."

"Pertimbangkan apa yang kalian maksudkan?"

"Menurut mereka. Sangkaran kini dikelilingi tokoh-tokoh persilatan berkepandaian tinggi. Kita tidak bisa gegabah ke sana."

Sosok bertopeng berjubah hitam yang jelas seorang wanita itu mendongak ke atas. Dari mulutnya mengeluarkan suara mengikik.

"Hi hi hi...! Kalian terlalu meremehkan kekuatan kita. Apakah tidak kalian sadari bahwa kekuatan kita saat ini mampu menghancurkan sebuah kerajaan hingga rata dengan tanah?"

"Aku tahu hal itu, Ketua. Tapi...."

"Pergilah! Dan, siapkan pasukan! Kita menuju ke sana sekarang juga!" perintah wanita berjubah hitam ini, tandas.

"Kalau Ketua berkehendak begitu tentu saja akan kami jalankan sebaik-baiknya."

"Bagus!" Dari balik topengnya, wanita berjubah hitam yang bertubuh padat sempurna ini tersenyum lebar ketika dua orang itu telah berlalu. Dia mondar-mandir dalam ruangan ini bagai seorang gadis yang tak sabar menunggu kehadiran kekasihnya.

Tok! Tok! Tok!

"Ketua, perkenankan hamba masuk!" Terdengar suara ketukan yang ditingkahi suara seseorang dari balik pintu.

"Kaukah itu, Ki Jelanta?" tanya wanita berjubah dan bertopeng hitam ini.

"Benar, Ketua."

"Hmm..., masuklah!"

Begitu pintu terbuka, muncul seorang laki-laki tua bertubuh kurus dan agak tinggi. Rambutnya yang panjang dan telah memutih, dikuncir agak ke atas. Kumis dan jenggotnya yang berwarna sama dengan rambut, tumbuh liar tak terurus. Bajunya lusuh dengan celana pendek yang juga amat lusuh.

"Kudengar Ketua hendak mengadakan penyerbuan?" tanya laki-laki bernama Ki Jelanta, setelah menutup pintu.

“Iya" sahut wanita bertopeng ini.

"Dan kudengar pula si Sangkaran telah ditemukan?"

"Benar."

"Dia dikelilingi oleh orang-orang tangguh. Ceroboh namanya kalau kita menyerang tanpa mengetahui kekuatan lawan."

"Aku tidak bisa menunggu meski barang sekejap!"

"Ha ha ha...! Dendammu amat menggelegak, Ketua. Tapi sekadar dendam tanpa perhitungan, hanyalah kekonyolan yang mau kau dapat. Dan dendammu akan terkatung-katung. Malah akhirnya kau yang lebih dulu ke neraka."

"Apa maksudmu?" desis wanita itu, bertanya.

"Biar aku ke sana untuk menyelidiki kekuatan mereka. Setelah aku kembali, maka kita buat rencana jitu untuk menghancurkan mereka. Dengan begitu kemungkinan besar rencana kita akan berhasil, tidak sia-sia!" jelas Ki Jelanta.

Wanita berjubah hitam itu terdiam beberapa saat

"Bagaimana? Ketua setuju tentunya," usik laki-laki tua itu.

"Baiklah...."

"Nah! Perintahkan sekarang juga maka aku akan pergi menyelidikinya!"

"Pergilah sekarang juga!" Ki Jelanta terkekeh, lalu keluar dari ruangan itu.

Ki Jelanta memacu cepat kudanya meninggalkan pesanggrahan menuju utara. "Heaaa...!" Lelaki tua ini tidak merasakan kalau ada se‐seorang yang mengikuti dari belakang dan mengatur jarak dengan baik.

Sementara itu malam semakin larut. Namun cahaya bulan purnama yang memancarkan sinarnya ke mayapada, cukup untuk menerangi laki-laki tua itu dalam berkuda membelah jalan utama yang di kiri-kanannya hanya persawahan. Suara jangkrik dan hewan malam lainnya meningkahi derap kudanya yang berlari makin cepat.

Menjelang subuh ketika ayam jantan hutan mulai berkokok saling bersahutan, Ki Jelanta tiba di halaman sebuah bangunan tua yang tak terurus. Segera laki-laki tua ini turun dan menambatkan kudanya di sebuah pohon yang tumbuh di halaman bangunan tua itu. Matanya langsung beredar ke sekeliling. Yang terlihat hanya halaman tak terurus, penuh daun-daun kering dan ranting-ranting.

Bangunan tua itu sendiri pun bagaikan sarang hantu saja. Sebagian tiang penyangganya telah roboh. Genteng-gentengnya pun berpecahan. Sementara teras depan penuh oleh sampah dedaunan. Sejenak Ki Jelanta mengedarkan pandangan. Baru setelah merasa tak seorang pun mengetahui kehadirannya di sini, laki-laki tua itu segera melangkah ke pintu bangunan tua ini.

Tok! Tok! Tok!

"Siapa?" Terdengar suara dari dalam, begitu pintu diketuk tiga kali.

"Aku si Lutung Aneh!" sahut Ki Jelanta setengah berbisik. Namun matanya jelalatan memandang keluar.

Tak lama, pintu terbuka. Dan laki-laki tua yang ternyata berjuluk Lutung Aneh ini buru-buru masuk sebelum pintu tertutup kembali. Tepat ketika tubuh si Lutung Aneh lenyap, sebuah bayangan hitam melesat bagai seekor burung. Dan dengan gerakan manis sekali, bayangan hitam itu melenting ke atas bangunan tua ini. Lalu....

Tap!

Seperti lintah, bayangan hitam itu langsung menempel di genteng. Dan dengan perlahan serta hati-hati sekali, dia menggeser sebuah genteng untuk melihat apa yang ada di dalam. Di bawah sana, bayangan ini melihat Ki Jelanta tengah berdiri berhadapan dengan seorang laki-laki bertubuh besar dan berperut gendut.

"Kau yakin kepergianmu tidak diketahui mereka?" tanya laki-laki berperut gendut itu.

"Apa kau meragukan kemampuanku, Sangkaran?!" desis si Lutung Aneh.

"Perempuan aneh itu punya banyak anak buah yang tak bisa dipandang enteng...."

"Jangan khawatir. Aku bisa jaga diri!"

"Apa yang kau bawa?" tanya laki-laki gendut berpakaian bagus ternyata bernama Sangkaran.

"Mereka mengetahui tempatmu di sini, Sangkaran!" sahut si Lutung Aneh. "Mulanya mereka akan menyerbu sekarang juga. Namun berhasil kucegah. Dan akhirnya, perempuan aneh itu menyuruhku untuk menyelidik ke sini."

"Kurang ajar! Siapa yang memberitahukannya itu pada mereka?!" bentak laki-laki setengah baya berperut gendut itu seraya menggebrak kursi.

"Kau tak perlu marah-marah, Sangkaran. Mungkin anak buahmu yang ceroboh, sehingga dua prajurit kerajaan mengetahuinya," kata Ki Jelanta.

"Dua prajurit kerajaan katamu, Jelanta?!"

"Mereka singgah di pesanggrahan. Dan perempuan-perempuan lacur di sana berhasil mengorek keterangan!" jelas Ki Jelanta.

"Keparat! Apakah mereka masih berada di sana?!" dengus Ki Sangkaran.

"Sekarang mungkin sudah pulang...."

"Kirim seekor merpati yang kuat untuk membawa surat, guna memberitahukan orang-orang kita yang ada di sana. Dan bunuh kedua prajurit itu!" perintah Ki Sangkaran.

"Eee, tidak usah buru-buru!" cegah Ki Jelanta.

"Apa maksudmu, Jelanta?"

"Sebelum ke sini, aku telah menitahkan dua anak buahku untuk membereskan mereka sepulang dari pesanggrahan. Kemudian, ku sebar desas-desus kalau mereka dibunuh orang-orang pesanggrahan. Dengan begitu...."

"Ha ha ha...!" Belum habis bicaranya, Ki Sangkaran tertawa keras sampai perutnya berguncang karena kegirangan. "Luar biasa! Luar biasa, Jelanta! Kau pantas kuangkat jadi penasihat bila aku bisa menduduki kursi kerajaan kelak!"

Ki Jelanta mesem-mesem. Cuping hidungnya kembang-kempis dipuji begitu. Tapi untuk tidak memperlihatkan perasaannya, sebelah tangan dikibaskan untuk menepis.

"Sudah! Sudah! Aku harus kembali secepatnya sebelum matahari ada di ubun-ubun. Dan, jangan lupa! Awasi pesanggrahan itu terus. Begitu mereka lengah, kita bereskan seketika!"

DUA

"Heaaa...!" Ki Jalanta yang ternyata mempunyai julukan si Lutung Aneh telah menggebah kudanya kuat-kuat, meninggalkan bangunan tua yang tadi dikunjunginya.

"Hm.... Mudah-mudahan tak ada pihak pe‐sanggrahan yang mengikutiku," gumam laki-laki tua ini sambil memperhatikan keadaan sekeliling. Si Lutung Aneh semakin jauh berkuda. Kini bangunan tua yang porak-poranda itu pun tidak kelihatan lagi. Dan sejauh ini perjalanannya aman-aman saja. Namun....

"Hooop...!" Ki Jelanta menarik tali kekang kudanya, ketika tiba-tiba pada jarak sepuluh tombak melompat satu bayangan hitam dari balik pepohonan hutan kecil itu dan langsung berdiri menghadang. Untungnya, si Lutung Aneh ini cukup tangkas mengendalikan kudanya yang langsung berubah liar dengan mengangkat dua kaki depannya tinggi-tinggi. Maka sebentar kemudian kudanya telah bisa ditenangkan kembali.

"Kisanak, menepilah! Kau menghalangi jalanku..." desis Ki Jelanta, dingin.

"Aku memang sengaja menghambat mu di sini, Ki Jelanta," sahut sosok bayangan hitam itu dingin seraya berbalik.

"Oh! Kau rupanya, Capung Hitam!" seru Ki Jelanta.

Pada mulanya, si Lutung Aneh agak kaget. Tapi setelah mengenali penghadangnya, wajahnya tampak berseri. Sebuah wajah yang sudah sangat dikenalnya. Seorang laki-laki berjubah hitam. Kepalanya besar dengan mata besar pula. Badannya tegap, terbungkus pakaian serba hitam.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ki Jelanta, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.

"Membawa perintah Ketua!" jawab sosok berpakaian serba hitam yang dipanggil Capung Hitam.

"Hmmm.... Agaknya kita sama-sama dipercaya Sang Ketua mengemban amanatnya...."

"Mungkin juga. Apa perintah Ketua untukmu?"

"Mengawasi si Sangkaran. Dan kau?"

"Membereskan pengkhianat!" sahut si Capung Hitam dengan suara dingin.

"Pengkhianat?! Astaga! Siapa pengkhianat di tubuh kelompok kita?!" tanya Ki Jelanta, pura-pura kaget.

"Ha ha ha...!" Si Capung Hitam terbahak-bahak.

"Tahukah kau, hukuman apa yang diinginkan Sang Ketua kepada pengkhianat? Penggal kepala! Dan aku akan melaksanakan hukuman itu...!" lanjut Capung Hitam, mendesis.

"Tentu saja, tentu saja...! Pengkhianat memang harus dihukum berat. Tapi ngomong-ngomong, siapa sebenarnya pengkhianat itu, Sobat?" sahut Ki Jelanta, masih coba mengatur nafasnya. Dan bibirnya masih menyungging senyum.

"Kau sungguh-sungguh ingin tahu?"

"Tentu saja! Sebagai anggota pesanggrahan, tentu saja aku ikut merasa bertanggung jawab atas pengkhianatan yang dilakukan salah seorang anggota kita."

"Ha ha ha...! Kau tak perlu repot-repot, Jelanta. Pengkhianat itu tepat berdiri di depanku!"

"Apa maksudmu?"

"Ya, kau sendirilah orangnya!"

"Aku?! Kau menuding ku sebagai pengkhianat?!” Ki Jelanta menunjuk dirinya dengan wajah tak percaya. "Jangan bergurau, Sobat!"

"ha..ha..ha...! Kau kira aku tengah bergurau? Kalau begitu kau tidak mengenalku dengan baik."

Tiba-tiba wajah si Capung Hitam berubah kembali. Sepasang matanya memandang tajam, seperti hendak menghujam jantung si Lutung Aneh. "Aku tidak bergurau, Jelanta! Dan karena pengkhianatanmu, maka kau akan mati sekarang juga!" desis laki-laki berpakaian serba hitam ini.

"Hm.... Kalau Ketua tahu kelakuanmu, maka kau pun akan mengalami hal yang sama!" balas si Lutung Aneh.

"Kau kira siapa yang mengutus ku untuk membunuhmu?" tukas si Capung Hitam.

"Kau tentu berdusta bila mengatakan Ketua yang mengutusmu! Beliau seorang yang bijaksana dan amat mempercayaiku. Jadi, tak mungkin menuduhku pengkhianat."

"Syukur kau mengetahui kalau beliau seorang yang bijaksana. Maka, mestinya kau menyadari kalau beliau mencurigaimu. Dan kecurigaan itu ternyata beralasan. Kau mata-mata si Sangkaran yang diselundupkan ke pesanggrahan. Aku mengikutimu sejak kau pergi dari pesanggrahan. Dan aku mencuri dengar pembicaraan kalian. Apakah kau hendak menyangkal?!"

Si Lutung Aneh terhenyak. Diam-diam dia memuji kehebatan ilmu meringankan tubuh si Capung Hitam. Dia mampu mengikuti dan mendengar pembicaraan mereka. Padahal di tempat Ki Sangkaran banyak terdapat tokoh persilatan berilmu tinggi. Mendengar pengkhianatannya ditelanjangi, si Lutung Aneh tak mampu berdalih lagi selain tertawa kecut.

"He he he...! Lalu apa yang bisa kau lakukan terhadapku sekarang? Membunuhku? Sebaiknya urungkan niatmu, Sobat," tantang si Lutung Aneh.

"Menganggap enteng padaku, Jelanta? Kau akan temui malaikat maut sebentar lagi!" ancam si Capung Hitam.

"Bukan begitu. Maksudku, Sangkaran butuh orang sepertimu. Dan dia berani membayar mahal untukmu."

"Ha ha ha...!"

"Kenapa kau tertawa? Kau kira dia tak bisa membayarmu dua kali lipat daripada yang kau terima dari Ketua? Dia bahkan juga bisa menjadikanmu orang kepercayaannya yang bisa diandalkan," lanjut Ki Jelanta.

"Dan kau sendiri?" tanya si Capung Hitam, tapi nadanya melecehkan.

"Aku? Tentu saja bisa jadi kawan dekatmu."

"Kalau begitu biar kusingkarkan dulu dirimu. Paling tidak, nanti aku bisa mendapat kedudukan yang lebih tinggi ketimbang kedudukanmu saat ini di sana!" dengus si Capung Hitam.

"Heaaa...!" Selesai bicara begitu, tubuh si Capung Hitam berkelebat cepat. Dan tahu-tahu, kedua kakinya yang panjang mencelat ke arah Ki Jelanta.

Si Lutung Aneh mengegos ke kiri. Seketika dia balas menyerang lewat sodokan kepalan tangan.

Wut!

"Hup!" Si Capung Hitam dengan tangkas memutar tubuhnya di udara. Sehingga, sodokan itu menghantam angin. Bahkan mendadak dua kakinya menyambar batok kepala si Lutung Aneh.

"Uts!" Dengan gerakan gesit Ki Jelanta membawa tubuhnya ke bawah dengan kaki merentang sehingga pantatnya menyentuh tanah. Tepat ketika si Capung Hitam mendarat, tubuhnya digulirkan ke samping dengan kaki kanan mengincar pinggang bagian belakang.

Wut!

Namun tubuh si Capung Hitam yang seringan bulu tiba-tiba saja telah mencelat ke atas. Sebelah kakinya menahan serangan, sedang sebelah lagi menghantam ke tengkuk.

Plak! Duk!

"Uhh...!" Telak sekali hantaman kaki si Capung Hitam mendarat di tengkuk si Lutung Aneh. Ki Jelanta kontan mengeluh tertahan dengan terhuyung-huyung ke depan. Pandangannya sedikit kabur, serta kepalanya berdenyut-denyut. Sambil mengatur keseimbangannya, dia berbalik menghadapi si Capung Hitam.

"Hanya segitukah kemampuanmu, Lutung Buluk?" ejek si Capung Hitam, tepat berdiri lima langkah di depan si Lutung Aneh.

"Setan! Kau kira bisa mempecundangi aku, Hah?!" dengus Ki Jelanta.

"Bukti yang bicara!"

"Huh! Hadapi rangkaian jurus Lutung Mabuk ku...!" Ki Jelanta langsung membuka jurus baru yang di beri nama Lutung Mabuk. Gerakannya liar dan tidak teratur. Ini merupakan jurus awal yang amat dibanggakannya.

"Heaaakh...!" Dengan teriakan seperti seekor lutung marah, si Lutung Aneh melompat menerkam. Kedua tangan membentuk cakar. Kesepuluh jari kakinya pun dalam keadaan tertekuk. Kedua puluh kukunya siap digunakan untuk membeset tubuh si Capung Hitam.

Bet! Bet!

Kedua tangan Ki Jelanta menyambar ke muka, dada lalu ke perut. Namun si Capung Hitam lebih cepat melenting ke belakang. Si Lutung Aneh mengejar dengan kedua kaki bergerak menghajar. Begitu mendarat, si Capung Hitam memiringkan tubuhnya ke kanan, sehingga kedua kaki lawan nyeplos menyambar angin.

"Kreaaakh...!"

Begitu mendarat di tanah, si Lutung Aneh berbalik dan berguling cepat. Saat mendekat ke arah si Capung Hitam yang juga sudah berbalik, dua tangan dan kakinya bergerak cepat menyerang secara bergantian pada bagian yang berbeda di tubuh laki-laki berjubah hitam itu. Si Capung Hitam terkejut. Seketika tubuhnya melesat ke atas, namun si Lutung Aneh terus mengejar.

"Hiaaat...!" Di udara si Capung Hitam melepaskan ikatan jubahnya yang sejak tadi digunakan untuk menjaga keseimbangan saat mengapung di udara. Seketika jubah itu meluruk ke arah Ki Jelanta. Dan....

Plup!

"Setan!" Si Lutung Aneh memaki geram karena dalam sekejap tubuhnya terbungkus jubah yang mampu bergerak cepat bagai anak panah. Secepat itu dia meluruk kembali ke tanah. Dan dengan susah-payah, dia berusaha melepaskan diri. Tepat ketika jubah itu tersingkap, bersamaan dengan itu, tubuh si Capung Hitam telah meluruk cepat dengan sebuah tendangan menggeledek. Dan....

Duk!

"Aaakh...!" Si Lutung Aneh menjerit tertahan ketika tendangan si Capung Hitam mendarat telak di dada kirinya. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang disertai muntahan darah segar. Dan sebelum dia mampu menguasai diri, si Capung Hitam telah berkelebat cepat sekali.

"Heaaaa...!" Begitu dekat ke arah sasaran, telapak tangan si Capung Hitam menghantam ke tengkuk. Sedangkan kuku-kuku tangan kirinya menyabet ke leher. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Desss! Crasss!

"Aaa...!" Si Lutung Aneh terjajar ke belakang disertai pekikan panjang. Dari lehernya yang koyak, mengucur darah segar. Sebentar tubuhnya sempoyongan, lalu ambruk tak bergerak lagi. Mati dengan leher nyaris putus!

"Sayang, kau salah perhitungan Lutung Buduk! Kau terlalu membanggakan kepandaianmu...," desis si Capung Hitam, sambil berdiri tegak mengawasi dengan bibir tersenyum dingin.

********************

TIGA

Matahari baru saja berada di ubun-ubun ketika si Capung Hitam tiba di Pesanggrahan Kembang Melati. Dari depan terlihat keramaian tamu-tamu di rumah makan. Laki-laki berjubah hitam ini menyelinap, masuk ke dalam lewat jalan belakang untuk tidak menarik perhatian tamu-tamu yang tengah makan. Si Capung Hitam tak mempedulikan keadaan di sekelilingnya. Dia terus saja memasuki sebuah ruangan yang dijaga dua orang pengawal.

"Aku harus ketemu Ketua!" kata laki-laki berjubah hitam ini dengan suara dingin.

Kedua pengawal yang tampaknya telah mengenal si Capung Hitam mempersilakan masuk. Begitu sampai di dalam si Capung Hitam rupanya telah ditunggu oleh seorang bertubuh ramping memakai jubah hitam. Rambutnya tergerai hingga pinggang. Hitam dan lebat. Ketika berbalik, terlihat wajahnya ditutupi sehelai topeng hitam terbuat dari kain sutera. Dan, hanya menyisakan dua buah lubang untuk melihat.

"Aku menghadap, Ketua!" kata si Capung Hitam sedikit membungkukkan badan.

"Kenapa lama sekali kau muncul?" tanya sosok ramping yang jelas seorang wanita ini.

"Aku harus balik lagi ke sana untuk melihat keadaan...," jelas si Capung Hitam.

"Lalu?" tuntut wanita yang dipanggil Ketua ini.

"Kelihatannya mereka hendak memata-matai kita di sini, atau mungkin juga menyerang."

"Bagaimana si Lutung Aneh?"

"Dia sudah berangkat ke neraka!"

"Hmm.... Orang itu memang tak bisa dipercaya...."

"Orang itu memang sengaja bekerja pada Sangkaran dan disusupkan ke sini."

"Dia pantas menerima akibatnya!" sambar wanita bertopeng itu, mendengus.

"Hanya saja yang tak dapat kuterima, kenapa dia mesti bekerja pada si Sangkaran terkutuk itu? Mestinya dia bisa menghargai niat baikku...." Dari nada suaranya, jelas kalau wanita bertopeng itu menyesali sikap si Lutung Aneh.

"Buat apa menyesali segala? Orang itu amat licik dan patut menerima akibatnya!" tukas si Capung Hitam.

"Ya, kau benar!" wanita itu mengangguk.

"Siapkan anak buahmu. Kita akan meringkus si keparat Sangkaran sekarang juga sebelum kabur."

"Beres! Dalam sekejap kami telah siap. Tapi sebaiknya tidak usah membawa semua kekuatan. Sisakan untuk menjaga pesanggrahan ini," kata si Capung Hitam seraya mengusulkan.

"Aku juga berpikir begitu. Kerjakanlah!"

Si Capung Hitam memberi hormat, kemudian bergegas keluar.

"Huh! Kau akan terima balasan dariku, Sangkaran terkutuk!" desis wanita bertopeng dengan sinar mata membiaskan kebencian mendalam. Kedua tangannya terkepal, menimbulkan suara berkerotokan. Beberapa saat kemudian, wanita bertopeng ini keluar dari kamarnya.

********************

Sebuah tandu diusung oleh empat orang pemuda bertubuh kekar. Di sampingnya, berkuda laki-laki berjubah hitam berkepala besar dan bermata besar. Siapa lagi kalau bukan si Capung Hitam? Di belakang tandu, berjalan lebih dari dua puluh orang berpakaian serba hitam. Di pinggang ma‐sing-masing terselip sebilah golok. Rombongan itu telah melintasi jalan utama Desa Sangit dan terus bergerak ke utara.

"Berapa lama kita tiba di sana, Capung Hitam?" Terdengar sebuah pertanyaan dari dalam tandu pada si Capung Hitam yang berkuda di dekatnya.

"Mudah-mudahan sebelum sore kita telah tiba di sana, Ketua," sahut si Capung Hitam.

"Hm, cukup jauh juga perjalanan ini!"

"Tempat itu memang jauh dan eh?! Apa itu...?"

Mendadak saja dari kejauhan terdengar gesekan rebab yang mengalun pelan dan mendayu-dayu. Suaranya tak terlalu keras, namun dimainkan lewat pengerahan tenaga dalam mengagumkan. Sehingga membuat semua rombongan ini tertegun.

"Siapa kira-kira yang memainkan rebab itu?" tanya suara dari dalam tandu lagi. Suara itu tak lain dan mulut wanita berjubah hitam dan bertopeng kain hitam, majikan si Capung Hitam. Seorang wanita yang menguasai Pesanggrahan Kembang Melati.

"Entahlah.... Rasa-rasanya aku pernah ingat... Sebentar! Hm.... Mungkin si Raja Penyair," duga si Capung Hitam.

"Raja Penyair? Hebatkah dia?" tanya wanita bertopeng hitam itu.

"Kata orang-orang dia termasuk tokoh langka. Namun, aku belum pernah bentrok dengannya."

"Waspada saja! Siapa tahu dia kaki tangan si Sangkaran!"

"Sangkaran tak akan mampu membeli dirinya, Ketua!" tegas si Capung Hitam.

"Kenapa kau bisa berkata begitu?" tanya wanita itu.

"Harga dirinya kelewat tinggi untuk tunduk pada perintah orang lain."

"Meski begitu, tetap kita mesti waspada."

"Baik, Ketua!"

Baru saja tak ada yang bicara lagi dari arah berlawanan tampak seseorang bertubuh ramping seperti wanita. Rambutnya yang panjang sepinggang agak kemerahan, dibiarkan lepas begitu saja tanpa pengikat. Wajahnya ditutupi topeng kayu berbentuk wajah seorang wanita bergincu amat merah dan berbedak tebal. Hidung topeng dibuat lebar. Tangan kirinya memegang rebab. Sementara tangan kanannya memegang penggesek. Tanpa mempedulikan keadaan di sekeliling, dia menggesek rebab. Begitu menikmati sambil bersyair.

Duhai jahanamku sayang, ke mana gerangan kau kini? Seribu abad kumencari, selaksa waktu kuhabiskan. Namun bayangmu belum juga kutemukan. Terhalang tembok tebal yang menindih

Aduhai malang nasibku, apakah kau menyadari? Bila tembok ini kuruntuhkan, maka kembalilah padaku Karena aku merindukanmu. Namun kau tak mendengar Apakah karena diriku nista?


"Tak salah lagi, dia Raja Penyair!" kata si Capung Hitam.

"Kalau begitu, tahan langkahnya. Aku mau bicara sebentar," ujar wanita dalam tandu tertutup itu.

Tepat pada jarak lima tombak dengan sosok yang diduga sebagai Raja Penyair, si Capung Hitam mengangkat tangannya. Dia memberi isyarat agar rombongannya berhenti. Dengan gerakan ringan, si Capung Hitam turun dari kudanya. Tanpa suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah, pertanda ilmu meringankan tubuhnya telah sangat tinggi.

"Kisanak, maafkan! Kami mengganggu perjalananmu...!" ujar si Capung Hitam.

Raja Penyair menghentikan langkahnya. Ditatapnya si Capung Hitam dengan sorot mata tajam. "Ada apa. Kenapa kau menghentikan langkahku?" tanya Raja Penyair.

Suaranya halus seperti perempuan. Dan melihat bentuk tubuh serta lukisan topeng yang dikenakannya, mestinya adalah perempuan. Dan gelarnya, Ratu Penyair. Jadi, bukannya Raja Penyair. Dan mendengar suaranya itu, si Capung Hitam jadi ragu apakah mesti memanggilnya Kisanak atau Nisanak? Namun cepat dia mengambil kesimpulan. Jika mendengar gelarnya, maka yang pasti dia mesti memanggil Kisanak.

"Majikanku agaknya ada sedikit keperluan denganmu," jelas si Capung Hitam.

"Majikanmu? Perempuan di dalam tandu itu maksudmu?" tunjuk Raja Penyair ke arah tandu.

Si Capung Hitam tertegun sebentar. Demikian pula wanita yang ada di dalam tandu. Padahal tandu itu tertutup rapat. Dan kalaupun ada sedikit celah, rasanya mustahil seorang yang berada di luar bisa menebak apakah orang yang ada dalam tandu itu perempuan atau laki-laki. Namun Raja Penyair betul-betul yakin dengan kata-katanya.

"Turunkan tandu...!" ujar wanita berjubah hitam itu.

Keempat pemuda itu segera meletakkan tandu di tanah. Pelan-pelan wanita bertopeng yang ada dalam tandu menyibak tirai di depannya. Kemudian dia melangkah keluar. Sepasang matanya berbinar memandang Raja Penyair.

"Kisanak, syair mu indah dan musik mu merdu.... Maukah kau memainkannya sekali lagi untukku?" pinta wanita bertopeng hitam itu.

"Aku melantunkan syair bila hatiku senang. Dan kumainkan rebab ini bila hendak menyenangkan orang yang ku senangi," sahut Raja Penyair

"Lalu..., apakah kau menyenangi ku dan mau memainkan syair dan rebab mu?"

"Aku tidak ingin memainkannya...."

"Berarti kau tidak menyenangiku?"

"Hi hi hi...! Apakah kita pernah bermusuhan, hingga aku mesti tidak menyenangimu?"

"Kalau begitu mainkan rebab mu dan lantunkan syairmu untukku. Untuk itu, aku akan membayar berapa saja yang kau minta," desak wanita itu.

"Hi hi hi...! Bila hati sedang kasmaran, maka segala sesuatu hendak dimiliki. Tapi aku bukanlah benda. Dan yang memiliki adalah Sang Maha Pencipta," tolak Raja Penyair, halus.

"Sobat, jangan berbelit-belit! Katakanlah! Kau tentu suka memainkannya untukku, bukan?"

"Hi hi hi...! Kenapa kau begitu yakin? Apakah karena matamu hendak merayu ku?"

"Kurang ajar!" maki wanita ini dalam hati.

"Dia tidak mempan oleh ilmu sihir ku. Siapa orang ini gerangan?" Rupanya lewat sorot mata, wanita itu tadi mengerahkan ilmu sihirnya.

"Begitukah menurutmu?" tukas wanita itu.

Raja Penyair kembali terkekeh. "Dunia boleh saja dimiliki. Dan, segala isinya boleh tunduk. Tapi sekali-kali kita bukanlah Yang Maha Pencipta. Kita hanya sebutir debu tak berguna. Dan bila bertiup angin kencang, kita melayang-layang tak tentu arah. Apakah orang-orang seperti itu hendak memiliki kemauan besar? Sekali-sekali tidak akan mampu diwujudkannya, kecuali hendak membinasakan diri sendiri," celoteh Raja Penyair berfilsafat.

"Kisanak! Aku tak mengerti ke mana arah bicaramu?!" sentak wanita itu.

"Kau tak mengerti? Hi hi hi...!" tukas Raja Penyair sambil terkekeh. Lalu ditinggalkannya tempat itu seenaknya sambil menggesek rebab. Namun baru dua langkah....

"Berhenti kau!" bentak si Capung Hitam. Suara laki-laki itu menggelegar, mengandung tenaga dalam untuk mengejutkan. Dan tiba-tiba saja tubuhnya melompat, berdiri di hadapan Raja Penyair.

"Manusia tak tahu diri! Kau kira tengah berhadapan dengan siapa?! Perlihatkan sikap hormatmu pada Pimpinan Pesanggrahan Kembang Melati!" bentak si Capung Hitam.

"Dia bukan majikanku. Lagi pula, kalian yang mengganggu perjalananku. Lalu kenapa aku mesti menghormatinya segala?" sahut Raja Penyair tenang.

"Bangsat! Rupanya kau belum kenal kami”

"Untuk apa kenal dengan orang-orang yang tidak punya santun? Apakah akan menaikkan derajat ku?"

"Kau betul-betul cari gara-gara! Jangan salahkan kalau kami bersikap keras. Pilihan mu hanya satu. Kembali dan mendengarkan bicara majikanku! Kalau dia belum menyuruhmu pergi, kau tak berhak angkat kaki!"

"Kalau tidak?" tanya Raja Penyair, menantang.

"Kau akan merasakan hajaran ku!" tegas si Capung Hitam.

"Hi hi hi...! Hebat sekali gertakan mu Capung Hitam!" sahut Raja Penyair sambil tertawa halus. "Aku ingin merasakan sejak dulu, bagaimana hebatnya hajaranmu. Karena itu aku memilih untuk tidak menuruti perintahmu."

"Kurang ajar!" Meski dalam hati agak kaget karena Raja Penyair mengetahui siapa dirinya, namun kemarahan si Capung Hitam lebih besar. Sehingga tanpa basa-basi lagi....

"Yeaaa...!" Si Capung Hitam melepas satu pukulan keras bertenaga dalam lumayan.

"Uts!" Si Raja Penyair lompat ke belakang sambil mengibaskan penggesek rebab.

Seketika terasa angin tajam menyambar ke arah si Capung Hitam. Laki-laki berjubah hitam ini kaget. Namun, dia mampu menghindar dengan memutar tubuhnya. Bahkan langsung melanjutkan serangan dengan kaki yang menyambar ke arah kepala. Namun, lagi-lagi Raja Penyair mengibaskan penggesek rebab untuk menangkis. Gerakan itu kelihatan lemah, tapi....

Tak!

"Aaakh...!" Si Capung Hitam meringis kesakitan ketika penggesek rebab menghantam kakinya.

Bahkan sebelum dia berbuat sesuatu, serangan balasan Raja Penyair telah meluncur datang ke arah perut.

"Hup!" Masih untung si Capung Hitam sempat melompat ke belakang. Namun Raja Penyair tak mengejar. Dan bersamaan itu....

"Cukup! Hentikan...!" teriak wanita bertopeng hitam yang ternyata orang yang menguasai Pe‐sanggrahan Kembang Melati.

"Ketua! Aku masih mampu menghajarnya...?!" seru Capung Hitam dengan wajah kecewa ketika mengetahui majikannya yang menghentikan pertarungan.

"Aku tahu, Capung Hitam!" sahut Pimpinan Pesanggrahan Kembang Melati.

"Lalu kenapa Ketua menghentikannya?"

"Karena memang sebaiknya begitu. Kalau saja Raja Penyair tak mau bicara denganku, biarlah. Tak perlu kita memaksa orang supaya bersikap hormat dari orang-orang yang hatinya tak setuju kan menyakitkannya. Maka, biarkan dia pergi."

"Baiklah kalau begitu, Ketua...," sahut si Capung Hitam lemah. Lalu matanya menatap tajam Raja Penyair. "Lekas angkat kaki sebelum kesabaranku hilang!"

"Sebenarnya aku ingin melihat kesabaranmu hilang. Tapi karena majikanmu mengatakan aku boleh pergi, sebaiknya kuturuti. Ha ha ha...! Tak baik membantah perkataan orang yang keluar dari hatinya," sahut Raja Penyair, kalem.

Dan Raja Penyair meninggalkan tempat itu dengan langkah lambat. Seolah ingin menunjukkan kalau tak ada yang mesti ditakuti. Sementara itu Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati masuk ke dalam tandunya kembali.

"Kita berangkat sekarang!" perintahnya.

********************

Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih berdiri mematung memandangi sebuah bangunan tua yang tak terurus lagi. Tatapan matanya begitu tajam, seolah hendak menembus dinding-dinding bangunan itu.

"Permisi! Aku hendak bertemu pemilik bangunan ini...!" teriak pemuda yang di punggungnya tersandang sebilah pedang bergagang kepala burung itu.

Tak terdengar sahutan apa-apa. Bangunan itu benar-benar tak terurus. Dan setiap orang yang melewatinya, pasti merasa yakin kalau penghuninya telah minggat puluhan tahun lalu. Namun pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti ini merasa yakin kalau penghuninya masih berada di dalam. Paling tidak, penghuni baru! Dan baru saja Rangga hendak bersuara kembali.

"Kisanak, apa yang kau lakukan di situ?"

"Hmm..." Rangga bergumam pelan sambil menoleh sedikit. Dan dia melihat seorang laki-laki setengah baya lengah memanggul cangkul. Kepalanya memakai tudung bambu, berpakaian seperti petani. Namun dari kehadirannya yang tiba-tiba tanpa terdengar suara, Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau laki-laki itu mempunyai kepandaian cukup tinggi. "Aku ingin bertemu penghuni rumah ini," sahut Rangga sambil kembali meluruskan pandangan ke depan.

"Kau gila! Penghuni rumah ini telah pergi beberapa puluh tahun lalu!" kata laki-laki petani ini.

"Kalau begitu pada penghuni yang ada di dalam saat ini," tegas Rangga bersikeras.

"Penghuni? Ha ha ha...! Kau mungkin bermimpi. Sejak bertahun-tahun aku tinggal di sekitar tempat ini, belum pernah kulihat seorang pun penghuni, kecuali kawanan kelelawar dan binatang-binatang hutan. Bahkan orang-orang di sekitar tempat ini menjuluki rumah ini sebagai rumah hantu!" jelas petani itu.

"Kalau begitu aku ingin bertemu kelelawar, binatang hutan, atau hantu. Atau, apa pun namanya!"

"Terserah padamu, Anak Muda. Aku telah mengatakannya. Dan kau tak mau percaya. Lama-lama kau bisa sinting memanggil orang yang tak ada” kata petani ini sambil tertawa dan menggeleng lemah. Rangga tersenyum kecut.

"Entah, aku atau kau yang sinting. Tapi kau seperti orang tua yang hendak membodoh-bodohi cucunya, agar jangan masuk ke dalam rumah itu. Sementara, kau baru saja keluar dari situ. Dan cucunya mengetahui dengan jelas. Lalu, sekarang siapa yang sebenarnya sinting?" sindir Rangga.

Wajah petani itu kontan berubah. Kalau saja menoleh, Rangga akan melihat raut wajah petani itu telah memerah. Entah perasaan mendongkol atau rasa kesal. Tapi sebenarnya tanpa melihat pun sudah diduga demikian.

"Nah! Karena tak ada lagi yang akan kau katakan, panggillah penghuni rumah ini. Aku ingin bertemu dengannya!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.

"Siapa yang kau maksudkan?" tanya petani tadi dengan suara datar.

"Sangkaran!" sahut Rangga, tegas.

"Kami tak pernah dengar nama itu!"

"Apakah kau pernah dengar nama Jatmika?"

Dahi petani itu berkerut sebentar sebelum menggeleng lemah.

"Sayang sekali. Padahal, dia mengatakan dengan jelas bahwa kau tinggal di sini...," desah Rangga.

"Apa maksudmu?" selak laki-laki petani ini.

"Dia sempat mengatakan kalau Petani Kere tinggal di sini. Dan saat ini, dia tengah berada di belakangku."

"Hm, bagus! Matamu sungguh tajam, Anak Muda. Bisa jadi orang bernama Jatmika itu benar. Tapi, dia berdusta bila mengatakan kalau di sini ada yang bernama Sangkaran."

"Kau kelewat bernafsu, Sobat. Dia sama sekali tidak mengatakan begitu. Sebelum tewas, dia mengatakan kalau kau mengetahui di mana Sangkaran berada. Jangan sampai di antara kita terjadi silang sengketa...."

"Tak mudah menggertakku, Anak Muda!" dengus laki-laki yang ternyata berjuluk si Petani Kere.

"Aku tak menggertak. Kecuali, kalau kau tetap bungkam!"

"Setan! Heaaa...!"

Wuuttt...!

Petani Kere yang kemarahannya telah membludak langsung mengayunkan cangkulnya. Namun dengan hanya mengegos ke kiri, Rangga berhasil menghindarinya. Dan begitu cangkul itu lewat di sisinya, mendadak tangannya mengibas ke tangan Petani Kere yang memegang cangkul.

Plak!

"Ohh...!" Petani Kere terkesiap. Tahu-tahu cangkulnya terjatuh di tanah, begitu tangannya terasa nyeri bukan main terhantam tangan Pendekar Rajawali Sakti. Sebelum kesadarannya sempurna, Rangga menyodokkan sikutnya sambil maju selangkah, ke dada laki-laki itu.

Desss...!

"Uhh...!" Petani Kere terjajar beberapa langkah disertai keluhan tertahan. Sambil mendekap dada, matanya tajam memandang Rangga.

"Siapa kau sebenarnya?!" tanya Petani Kere, bergetar.

"Sangkaran akan tahu kalau aku kawan lamanya. Karena itu suruhlah dia keluar!" sahut Rangga, sambil menentang tatapan laki-laki itu dengan tak kalah dinginnya.

"Huh! Kawan lama tidak akan begini caranya bila hendak bertemu!" dengus Petani Kere.

"Jangan terlalu menguras kesabaranku, Petani Kere! Panggillah dia untuk menemuiku!" desis Rangga, menggetarkan.

"Tidak perlu menggertak ku, Anak Muda. Aku tidak takut denganmu!"

"Memang tak seharusnya kau takut denganku," sahut Rangga tenang seraya melangkah mendekati.

EMPAT

Meski wajahnya dipasang angker dan kesan tidak takut sedikit pun, tapi sesungguhnya nyali Petani Kere mulai ciut setelah menerima gebrakan Rangga tadi. Hanya sekali gebrak saja, dia telah merasakan kehebatan pemuda di depannya. Itu menandakan kalau pemuda ini memiliki kepandaian hebat dan kalau menyerang lagi apakah masih mampu menahannya atau tidak. Tapi, Petani Kere bertindak nekat. Tiba-tiba....

"Heaaat...!" Disertai teriakan menggelegar, Petani Kere itu melesat dengan hantaman bertubi-tubi. Namun, sambil melangkah ke belakang dengan tubuh meliuk, Pendekar Rajawali Sakti mampu menghindarinya. Bahkan pada jarak tertentu, tiba-tiba Rangga berputar seraya melepas tendangan menggeledek. Petani Kere terkesiap. Dengan tangan kanan dicobanya untuk memapak.

Plak!

"Uhh...!" Meski berhasil menangkis, namun tak urung wajah Petani Kere meringis kesakitan. Dari adu tenaga barusan, nyata kalau tenaga dalam pemuda itu berada di atasnya. Dan kalau ini terjadi terus, tidak sampai lima jurus dia bakal dapat dijatuhkan.

Namun dugaan Petani Kere keliru. Karena baru menginjak jurus berikutnya, tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi ke udara dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Beberapa kali tubuhnya berputar, lalu mendadak meluruk deras ke arah Petani Kere. Saat itu juga lewat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', tangan kanannya menyodok ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga Petani Kere hanya melongo saja. Tahu-tahu....

Begkh...!

"Aaakh...!" Petani Kere terjatuh di tanah disertai teriakan kesakitan. Dari mulutnya mengeluarkan darah segar. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti tadi tidak mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya. Kalau sampai itu terjadi, bukan tak mungkin dadanya akan amblong!

Sementara itu, Rangga yang sudah mendarat di tanah sudah bersiap-siap kembali, bila Petani Kere akan menyerang lagi. Namun sebelum itu terjadi....

"Hentikan!"

"Hmm!" Pendekar Rajawali Sakti bergumam tak jelas ketika terdengar suara bentakan dari belakang. Seketika tubuhnya berbalik.

Rangga melihat seorang laki-laki setengah baya berperut gendut tengah berdiri di ambang pintu bangunan tua itu. Wajahnya tampak kaku, menyiratkan ketidaksenangannya terhadap kehadiran Pendekar Rajawali Sakti. Sementara di kanan-kirinya berbaris rapi beberapa tokoh persilatan yang selama ini mengawalnya.

"Adipati Sangkaran! Senang sekali bisa bertemu denganmu!" sapa Rangga. Meski memanggil dengan sebutan adipati, sesungguhnya tekanan suaranya tadi jelas-jelas menyiratkan ketidaksenangannya.

"Terus terang saja, apa maksud kedatanganmu ke sini?" tanya laki-laki berperut gendut yang dipanggil Adipati Sangkaran. (Untuk mengetahui siapa itu Adipati Sangkaran, silakan baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Ancaman Dari Utara)

"Aku tidak membiarkan orang yang telah berbuat kelaliman berkeliaran begitu saja!" desis Rangga.

"Kau lihat orang-orang ini, Pendekar Rajawali Sakti? Mereka setia padaku dan rela bersabung nyawa jika nyawaku terancam. Kutawarkan perdamaian padamu. Dan kau boleh tinggalkan tempat ini dengan aman!" ujar Adipati Sangkaran, yang disertai ancaman.

Rangga tersenyum kecut. "Apa urusannya dengan mereka? Aku hanya berurusan denganmu. Dan kalau mereka ikut campur, maka tanggung sendiri akibatnya!" balas Rangga, kalem.

Dengan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti barusan, jelas merupakan tantangan bagi para tokoh persilatan yang berdiri di belakang Adipati Sangkaran. Harga diri mereka merasa terinjak jika tak menyambut tantangan itu. Apalagi, mereka punya kewajiban melindungi junjungannya.

Mereka memang pernah mendengar kehebatan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kali ini tidak membuat mereka gentar. Toh, belum dicoba. Begitu pikir mereka. Maka saat itu juga melompat satu orang ke depan. Orang ini bertubuh lebih besar. Wajahnya garang. Sepasang alisnya terangkat ketika memutar-mutar tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Pendekar Rajawali Sakti! Kau boleh berhadapan dengan Tombak Setan bila hendak mencelakai junjunganku!" teriak laki-laki bertubuh tinggi besar yang mengaku berjuluk si Tombak Setan. Suaranya terdengar serak dan parau.

"Kuperingatkan! Kalian hanyalah budak dari durjana itu. Oleh sebab itu, pergilah sebelum pikiranku berubah...!" desis Rangga.

"Banyak mulut! Heaaa...!"

Wuk! Set!

Tombak Setan langsung memutar tombak dan menghujamkannya ke jantung Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti hanya perlu melompat sedikit ke samping, lalu memutar tubuh untuk melepas tendangan.

Duk!

Hugkh!" Tendangan Rangga tepat menghantam ulu hati. Saat itu juga muka seram Tombak Setan berubah. Kini wajahnya berkerut menahan nyeri ketika terhuyung-huyung ke belakang.

"Heaaa...!" Rangga tak memberi kesempatan, langsung melesat. Ternyata dalam keadaan demikian, Tombak Setan masih mampu menyabetkan senjatanya.

"Hup!" Pendekar Rajawali Sakti cepat bersalto di udara. Entah kebetulan atau tidak sebelah kakinya mendarat di batang tombak lawannya. Sementara kaki yang satu lagi cepat sekali menghantam dagu Tombak Setan.

Duk!

"Uhh...!" Tendangan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam jalan saraf Tombak Setan. Seketika Laki-laki tinggi besar ini ambruk ke tanah. Pingsan!

Melihat kejadian itu, nyali Adipati Sangkaran sedikit ciut. Namun dia masih punya harapan ketika dua orang anak buahnya langsung melompat ke hadapan Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau boleh mengalahkannya! Tapi jangan coba-coba terhadap Ular Besi dan Gong Sekati!" dengus salah seorang yang bersenjata rantai panjang. Pada ujung rantai terdapat mata tombak runcing.

Dan di dunia persilatan, dia dijuluki Ular Besi. Yang seorang lagi bertubuh pendek. Dia membawa sebuah gong beserta pemukulnya. Orang ini bergelar Gong Sekati. Padahal nama sebenarnya Kalapu. Tanpa basa-basi lagi, mereka menyerang Pendekar Rajawali Sakti bersamaan.

"Heaaa...!"

Wut! Wuk!

Si Ular Besi memutar-mutar rantainya, seperti hendak membelit Pendekar Rajawali Sakti. Sementara si Gong Sekati siap mengayunkan pemukul Gongnya.

"Hup!" Rangga seketika membuka jurus 'Sembilan Langkah Ajaib’. Saat itu juga tubuhnya meliuk-liuk indah ditopang oleh gerakan kaki yang lincah. Sampai sejauh ini, tak satu serangan pun yang berhasil menyentuh tubuhnya. Mendadak, lewat satu gerakan tak terduga, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat sekali. Tubuhnya bergerak memutari kedua lawannya. Jelas Rangga tengah mengerahkan jurus 'Seribu Rajawali'. Maka saat itu juga tubuhnya berubah bagai seribu jumlahnya.

"Heh?!" Si Ular Besi terkesiap melihat tubuh Pendekar Rajawali Sakti berubah jadi banyak. Dan sebelum dia menyadari apa yang terjadi....

Des!

"Akh!" Dan Rangga tak memberi kesempatan meski sekejap pun. Begitu lawannya termangu, dilepaskannya satu pukulan telak yang bersarang diulu hati. Ki Jambangan menjerit kesakitan ketika tubuhnya terlempar ke belakang. Dia ingin segera bangkit, tapi tak mampu. Gong Sekati yang melihat temannya terlempar jadi terkejut. Namun dia cepat memukul-mukul gongnya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Dang! Dong! Dang...!

Dengan begitu, laki-laki ini bermaksud membuyarkan perhatian Pendekar Rajawali Sakti. Memang suara gong yang ditabuh begitu kuat menindih pendengaran Rangga. Namun Rangga pun tak tinggal diam. Cepat disalurkannya hawa murni, seraya meningkatkan tenaga dalamnya. Lalu tiba-tiba salah satu tubuhnya yang berubah banyak itu, berkelebat cepat ke arah Gong Sekati. Dan....

Desss...!

"Aaakh...!" Telak sekali hantaman Pendekar Rajawali Sakti yang langsung mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', mendarat di dada Gong Sekati hingga terlempar beberapa langkah. Laki-laki itu menjerit kesakitan sambil memegangi dadanya yang terasa sesak.

Kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti semakin membuat ciut nyali Adipati Sangkaran. Tiga jagonya keok. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti tak kurang suatu apa pun.

"Astaga! Ki Kalapu nyaris mampus hanya beberapa gebrakan. Bukan main!" puji Adipati Sangkaran di hati.

Sementara itu di hadapan Pendekar Rajawali Sakti telah berdiri penantang lain. Dia adalah seorang laki-laki setengah baya bertubuh sedang. Kepalanya gundul. Dia tidak membawa senjata apa pun. Namun dari sorot matanya terasa kalau laki-laki ini memiliki tenaga dalam hebat.

"Pendekar Rajawali Sakti! Kini kau lawanku!" desis laki-laki botak ini.

"Aku heran! Mestinya kepandaian kalian bisa digunakan untuk jalan kebaikan. Tapi kenapa mesti bekerja dengan orang telengas macam Adipati Sangkaran?" kata Rangga, dingin.

"Kau tak tahu apa-apa tentangnya!" sentak laki-laki botak itu.

"Dia adalah bajingan tengik yang telah begitu tega memperkosa putri tirinya! Dan dia adalah seorang pemberontak!" dengus Rangga.

Laki-laki botak ini tak bisa bicara lagi. Wajahnya berkerut menahan amarah.

"Walet Batu! Kau kubayar bukan untuk adu mulut dengannya! Bereskan dia lekas!" teriak Adipati Sangkaran, membakar amarah laki-laki botak yang ternyata berjuluk Walet Batu.

"O, jadi kau yang berjuluk Walet Batu? Sayang sekali, orang sepertimu mesti bekerja pada manusia durjana seperti Sangkaran...!"

"Pendekar Rajawali Sakti! Lebih baik tutup mulutmu! Atau aku yang akan membungkamnya!" bentak si Walet Batu.

"Hm, mestinya julukanmu jangan Walet Batu, tapi Kepala Batu!"

"Kurang ajar!" Saat itu juga Walet Batu melompat menyerang dengan hantaman tangan bertubi-tubi. Gerakannya gesit. Angin serangannya mengandung tenaga dalam kuat. Orang ini memang bertenaga besar dan mampu bergerak gesit. Seperti julukannya, dia mampu bergerak secepat walet.

"Hup!" Rangga yang telah mendengar kehebatan Walet Batu tidak mau bertindak ayal-ayalan. Seketika tenaga dalamnya dikerahkan. Telapak kirinya yang terkembang cepat menahan kepalan kanan Walet Batu yang bergerak cepat.

Plak!

Terjadi benturan keras. Tubuh Walet Batu bergetar dan terasa ada sesuatu dorongan tenaga luar biasa. Dia sempoyongan dengan kuda-kuda goyah. Sementara Rangga tegak berdiri. Seolah memberi kesempatan pada Walet Batu untuk menyerang.

"Heaaa...!"

"Nekat juga rupanya kau!" gumam Rangga sambil tersenyum pahit.

Walet Batu kali ini melesat ke atas. Kedua tangannya terkepal, hendak menghantam Pendekar Rajawali Sakti. Sambil melangkah mundur, Rangga menangkis gesit. Dan ketika Walet Batu hendak menghantam dadanya, Rangga meliukkan tubuhnya dengan manis sekali. Bahkan seketika kakinya terangkat lurus menghantam dada.

Desss...!

"Aaakh...!" Si Walet Batu terlontar deras ke belakang disertai jerit kesakitan. Begitu menjejak tanah, langkahnya sempoyongan.

Kesempatan itu digunakan Pendekar Rajawali Sakti untuk melesat dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'! "Hup! Yeaaa...!"

"Ohh...!" Bukan main kagetnya si Walet Batu ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti menyerangnya dengan satu gedoran keras. Padahal saat itu dia betul-betul tidak siap. Hingga akibatnya...

Desss...!

"Akh!" Tubuh Walet Batu terhempas ke tanah disertai pekik kesakitan. Tak ayal lagi, darah mengucur deras dari mulutnya. Sebenarnya dengan serangan sebelumnya, Walet Batu telah terluka dalam. Dan dia berusaha menyembunyikannya dengan menutup mulutnya rapat-rapat. Namun serangan Rangga barusan benar-benar membuatnya tak bisa bangkit lagi.

"Hoeekh...!" Tepat ketika si Walet Batu batuk-batuk muntah darah, Rangga berkelebat ke arah Adipati Sangkaran.

"Eeeeh...!" Adipati Sangkaran terkesiap. Dan sebelum dia berbuat sesuatu, Pendekar Rajawali Sakti telah menggerakkan tangan kanannya ke tengkuk.

Tuk!

"Ohh...!"

Satu buah totokan, langsung membuat Adipati Sangkaran pingsan dengan tubuh lemas. Rangga langsung menangkap tubuh yang hendak ambruk. Lalu matanya memandang garang pada sisa anak buah Adipati Sangkaran.

"Siapa yang coba-coba hendak menyelamatkannya, maka akan mengalami nasib sama dengan yang lainnya!" teriak Rangga.

"Mau kau bawa ke mana dia?" tanya salah seorang.

"Mau kubawa ke mana, itu urusanku! Awas! Jangan ada yang coba-coba membuntuti ku, kalau masih ingin melihat matahari esok pagi!" ancam Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan berkeliling, lalu memondong tubuh Adipati Sangkaran. Saat itu juga tubuhnya berkelebat cepat. Namun baru beberapa puluh tombak melesat, Pendekar Rajawali Sakti berpapasan dengan sebuah rombongan yang dipimpin oleh seorang penunggang kuda. Empat pemuda di antara rombongan itu memanggul tandu.

"Kisanak, tahan langkahmu!" teriak orang yang berkuda.

"Hmm!" Rangga menghentikan lesatannya. Matanya langsung terarah pada seorang laki-laki berjubah hitam. Kepalanya besar dengan sepasang mata melotot lebar seperti hendak keluar dari sarangnya. Setelah diamati seksama akan terlihat kalau sepasang matanya lebih besar ketimbang bola mata orang dewasa pada umumnya. Jadi bukan sedang menunjukkan kemarahannya. Orang inilah yang tadi mengeluarkan bentakan.

"Ada apa, Kisanak?" tanya Rangga, datar.

"Maaf, Kisanak! Siapa orang yang tengah kau bawa?" tanya laki-laki berkepala besar yang tak lain si Capung Hitam.

"Dia kawanku!" sahut Rangga singkat.

Dari jawaban serta sikapnya, jelas menunjukkan kalau Pendekar Rajawali Sakti tak senang orang itu mengganggu langkahnya. Namun laki-laki itu seperti tak mau mengerti. Atau memang sengaja?!

"Bukankah itu Adipati Sangkaran?" tanya si Capung Hitam, sambil memandang curiga.

"Kisanak, menepilah! Aku tak ingin ada urusan dengan kalian!" desis Rangga, tak mempedulikan pertanyaan si Capung Hitam.

"Justru kami yang hendak berurusan denganmu!"

"Hmm!" Raut wajah Pendekar Rajawali Sakti berubah tegang mendengar jawaban itu.

"Sebenarnya kedatangan kami ke sini ada keperluan dengan Adipati Sangkaran. Namun karena kau telah mengacaukannya, maka terpaksa kita berurusan," lanjut si Capung Hitam.

"Maaf, Kisanak! Aku tak suka diganggu! Aku tak peduli urusanmu. Dan orang dalam pondongan ku harus kuserahkan pada seseorang...."

"Jangan bicara gegabah, Anak Muda! Kau be­lum tahu siapa aku!" bentak si Capung Hitam.

"Aku tak perlu tahu siapa kau. Tapi siapa pun yang coba menghalangi jalanku, jangan salahkan kalau aku bertindak keras!"

"Ha ha ha...! Apakah kau pikir bisa bertingkah di depanku?!"

LIMA

Rangga menghela napas, untuk membuang kekesalannya. Kepalanya menggeleng perlahan dengan bibir tersenyum kecut "Sebenarnya siapa yang bertingkah?" tukas Pendekar Rajawali Sakti, kalem. "Bukankah kau yang menghentikan langkahku?"

"Kurang ajar!" Bukan main geramnya si Capung Hitam mendengar pemuda itu meremehkannya. Demikian pula halnya yang lain. Mereka ingin segera menggasak pemuda berbaju rompi putih ini. Namun sebelum seorang pun ada yang bergerak....

"Capung Hitam! Biarkan aku bicara dengannya...." Terdengar suara dari dalam tandu. Tentu saja, dia tak lain dari Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.

"Tapi, Ketua...."

"Sudahlah. Tak apa. Aku bisa menanganinya," potong Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati. "Turunkan tandu!"

Begitu tandu diletakkan di tanah perlahan, tirai tersibak. Dari dalamnya, keluar satu sosok berpakaian dan berjubah hitam. Kepalanya tertutup kain hitam pula. Pendekar Rajawali Sakti menatap tajam sosok tubuh ramping berpakaian serba hitam dan berambut panjang melewati pinggang ini. Rangga sulit mengenali karena yang terlihat hanya dua bola matanya yang memancar penuh kekuatan sihir dari dua buah bolongan kecil di kain hitam itu.

"Hmm! Sorot matanya mengandung daya sihir. Aku mesti hati-hati...," gumam Rangga ketika mata hatinya yang tajam menembus dua bola mata sosok di depannya. Dia seperti melihat cahaya terang yang menyilaukan. Saat itu juga Rangga mengerahkan kekuatan tenaga batinnya.

"Kisanak! Kalau boleh aku mengetahui, apa urusanmu dengan si Sangkaran ini?" tanya sosok ramping berbaju serba hitam yang dikenal pula sebagai Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.

"Ini urusan pribadi," sahut Rangga berdusta.

"Urusan pribadi? Hmm.... Kalau demikian, hampir sama denganku. Hanya saja aku menginginkannya untuk kawanku. Dan kalau tak salah, dia pernah cerita banyak tentangmu...."

"Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan. Tapi kalau kau coba membujuk ku untuk meminta si Sangkaran, lupakanlah! Aku tidak akan memberikannya padamu!"

"Begitukah? Bukankah kau Pendekar Rajawali Sakti? Dan..., kata Malini kau pernah berjanji untuk meringkus dan menyerahkan si Sangkaran padanya...."

"Malini? Kau kenal dengannya?" Wajah Rangga berubah mendengar nama itu disebutkan (Tentang Malini dapat diikuti dalam episode Memburu Rajawali)

"Dia sahabat terbaikku. Dan tahukah kau, bahwa keinginanku menangkap si Sangkaran adalah karena permintaannya. Bukankah tujuanmu pun begitu?"

"Ya, memang...."

"Kalau begitu kau boleh menyerahkan Sangkaran padaku. Dan nanti pasti akan kuberikan pada Malini."

Hampir saja Rangga memberikannya. Karena dengan begitu urusannya selesai. Dia bisa melanjutkan petualangannya. Tapi..., Pendekar Rajawali Sakti merasa tak kenal dengan sosok bertopeng ini. Meski mengaku kawan Malini, namun tanpa melihat langsung sulit baginya untuk percaya. Lagi bila dia mesti yakin kalau Adipati Sangkaran harus sampai ke tangan Malini.

"Maaf, aku tak bisa menyerahkannya padamu" tandas Rangga.

"Apakah kau tak percaya?" tukas Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.

"Kenapa aku mesti percaya padamu? Kenal denganmu saja, belum. Bahkan meski bertemu seperti ini, toh aku tak tahu wajahmu. Mungkin saja kau kawannya. Tapi soal si Sangkaran ini sangat penting. Karena aku telah berjanji padanya. Dan itu harus sampai ke tangannya."

Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati mengeluarkan suara kecil, bersamaan dengan hela nafasnya. "Luar biasa! Dalam dunia yang semakin kacau, ternyata masih ada orang-orang yang berjiwa sepertimu!" puji wanita bertopeng itu. "Kuhargai sikapmu, Pendekar Rajawali Sakti. Dan tentu saja aku tak memaksamu. Aku hanya ingin menawarkan sesuatu. Dan mudah-mudahan, kau tak menolaknya.

"Apa itu?" tanya Rangga, dengan kening berkerut.

"Mampirlah ke tempat kami," ajak wanita bertopeng ini.

"Maaf, aku tak punya kepentingan dengan ka­lian. Lagi pula aku mesti buru-buru," tolak Rangga halus.

"Sayang sekali.... Bukankah kau ingin menyerahkan si Sangkaran pada Malini?"

"Hm, ya...."

"Kalau begitu, aku tak salah menawarkan padamu. Karena Malini tengah menunggu ditempat kami."

Rangga tersenyum. "Jangan coba mengakaliku...!"

"Kenapa aku mesti mencari penyakit dengan mengakali Pendekar Rajawali Sakti?"

Rangga terdiam. Dahinya agak berkerut. Otaknya berpikir untuk coba mempertimbangkan tawaran Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.

"Baiklah...!" desah Rangga, akhirnya.

"Hm, aku tahu. Kau pasti telah memperhitungkan baik dan buruknya. Tapi, percayalah. Aku sama sekali tak bermaksud buruk padamu," tandas wanita itu.

"Kupegang kata-katamu. Dan bila kau berdusta, jangan harap bisa mendapatkan si Sangkaran, kata Rangga kalem tapi tegas.

"Kalau begitu, mari kita berangkat."

"Jalanlah lebih dulu. Biar aku mengikuti dari belakang," sahut Pendekar Rajawali Sakti.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Duhai kekasih hatiku,
kiranya hari ini pertemuan kita
Apakah kau akan pergi meninggalkan diriku kembali?
Padahal sekian lama aku merindukanmu
Maka bila kau hendak pergi,
tak kurelakan aku sendiri lagi


Lantunan syair terdengar berulang-ulang diiringi gesekan rebab, ketika rombongan Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati memasuki Desa Sangit. Orang yang melantunkannya tak lain dari Raja Penyair.

"Kurang ajar!" maki si Capung Hitam ketika melihat sosok Raja Penyair. Hatinya masih panas karena kekesalannya belum terlampiaskan.

"Capung Hitam! Tahan amarah mu. Jangan ladeni dia!" seru Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati, mengingatkan.

"Orang ini seperti sengaja mengejek kita! Dia mesti dihajar, biar tahu rasa!"

"Biarkan! Tak perlu diusik."

Geraham si Capung Hitam berkerotokan meski tetap mematuhi apa yang diperintahkan majikan Pesanggrahan Kembang Melati. Sepasang matanya mendelik dan seperti mau lompat keluar, ketika jarak mereka semakin dekat dengan Raja Penyair.

Siapakah yang paling malang di dunia ini?
Menanti cinta yang tak terbalas atau mengejar cinta yang tak ada?
Siapa yang paling dungu di dunia ini?
Yang mengabdi seperti anjing atau anjing mengabdi seperti manusia?


"Ketua! Perintahkan padaku untuk menghajar mulutnya yang lancang itu?!" desis si Capung Hitam menahan geram.

"Tidak perlu."

Lagi-lagi tubuh laki-laki berjubah hitam ini menggigil menahan geram. Amarah di hati makin menggelegak saja. Seketika kedua tangannya menghentak ke samping.

"Hiih!"

Brakkk!

Sebatang pohon sebesar paha laki-laki dewasa yang ada di kiri jalan hancur berantakan dihajar pukulan jarak jauh si Capung Hitam untuk melampiaskan kemarahannya.

Kata orang keledai yang paling pandir
Memikul beban tanpa mengeluh
Tapi ternyata ada yang paling pandir
Memukul benda yang tak mampu melawan


Kali ini lengkap sudah kemarahan si Capung Hitam mendengar syair berikutnya yang dilantunkan Raja Penyair. Secepat kilat tubuhnya mencelat dari punggung kuda. Langsung dilepaskannya satu serangan menggeledek.

Siuuut!

Raja Penyair cuma sedikit bergeser, maka serangan si Capung Hitam mengenai tempat kosong. Namun serangan laki-laki berjubah hitam itu tidak berhenti sampai di situ. Karena sebelah kakinya tiba-tiba menyodok keperut, setelah berputar.

"Uts!"

Bet! Bet!

Raja Penyair melompat ke atas seraya mengibaskan penggesek rebab ke batok kepala. Namun Capung Hitam menjatuhkan diri. Tubuhnya bergulingan sebentar, lalu melenting ke atas dalam sikap menerkam dengan kedua kaki lebih dulu melayang.

"He he he...! Kenapa kau ini, Kawan? Menyerang tanpa sebab seperti kambing kebakaran jenggot," ejek Raja Penyair sambil menghindar dengan melompat ke kanan.

"Tutup mulutmu!" bentak si Capung Hitam, terus menyerang kembali.

"Ha ha ha...! Kau ini semakin lucu saja. Mulut adalah anugerah Yang Maha Pencipta. Dan dibuat, untuk dibuka agar kita bisa bicara, makan, dan bersyair."

"Penyair Busuk! Aku akan menutup mulutmu yang penuh cacing itu!"

"Kau hendak menutupnya? Hi hi hi...! Sedangkan ibuku sendiri menyuruhku untuk sering-sering membukanya. Kalau tertutup, sulit bagiku untuk bicara, makan, dan bersyair."

Jawaban-jawaban Raja Penyair semakin membuat si Capung Hitam tambah geram. Seketika serangannya ditingkatkan. Namun sebegitu jauh, tak satu pun yang membuahkan hasil. Padahal selama ini si Capung Hitam terkenal memiliki gerakan cepat dan ringan. Bahkan tenaga dalam yang dimilikinya pun tak kalah dibanding tokoh-tokoh kosen lainnya. Namun Raja Penyair ternyata juga bukan tokoh kemarin sore. Tubuhnya mampu berkelit-kelit lincah.

"Setan!" Si Capung Hitam semakin geram saja dibuatnya. Apalagi ketika Raja Penyair mencelat tinggi ke atas, dan hinggap di salah satu cabang pohon. Lalu kembali tubuhnya mencelat ke cabang pohon lainnya dengan ringan.

"Sobat Capung Hitam! Aku tidak bermusuhan denganmu. Maka jangan buang-buang tenaga untuk hal-hal yang tak perlu!"

Selesai berkata begitu, Raja Penyair berkelebat cepat. Dan dalam sekejap bayangannya telah lenyap dari pandangan. Sementara si Capung Hitam hanya terpaku, menyaksikan kehebatan ilmu meringankan tubuh Raja Penyair. Dan ini membuatnya makin geram saja.

"Kurang ajar! Hiih!" Saking geramnya, si Capung Hitam menghentakkan kedua tangannya ke sisi jalan.

Wusss...! Krakkk...!

Sebatang pohon lain kontan ambruk terkena pelampiasan kemarahan si Capung Hitam yang diwujudkan dalam bentuk pukulan jarak jauh. "Sudahlah.... Tidak usah dipikirkan soal orang aneh itu...," bujuk Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.

"Penyair busuk itu jelas-jelas menyindir kita...!" dengus si Capung Hitam sambil bersungut-sungut.

"Biarkan saja. Toh dia tak mengganggu kita. Ayo, lanjutkan lagi perjalanan!"

Meski masih memendam kejengkelan, si Capung Hitam akhirnya menurut.

********************

Pendekar Rajawali Sakti yang diajak Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati telah tiba di pesanggrahan itu. Saat ini hari telah sore. Gadis-gadis yang ada dalam pesanggrahan telah bersiap-siap menyambut tamu-tamu dengan segala macam daya pikat. Bau harum wewangian menebar hingga keluar pesanggrahan, langsung tercium pemuda berompi putih ini.

"Malini berada di tempat ini? Apa yang dikerjakannya? Sepertinya tempat ini tempat berkumpul gadis-gadis nakal...," gumam hati Rangga.

Pertanyaan Rangga agaknya tak perlu dijawab oleh siapa pun. Karena saat tiba di halaman depan, terlihat banyak gadis berkumpul dengan dandanan medok dan senyum genit. Tingkah mereka memberi isyarat apa yang dilakukan di sini.

"Rangga, silakan!" ujar Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati, tiba-tiba telah berada di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Tempat apa ini?" tanya Rangga. Sebuah pertanyaan yang agaknya bukan sekadar meminta jawaban, namun ingin menegaskan apakah benar Malini berada di tempat seperti ini.

"Oh, itu! Kau akan mengetahui sendiri. Atau..., mungkin kau tak berkenan?"

"Apakah..., apakah Malini bekerja di sini seperti mereka?" tanya Rangga, ragu.

"Hi hi hi...! Tentu saja tidak. Dia gadis terhormat. Dan aku tak akan membujuknya untuk bekerja seperti mereka. Ayo, silakan masuk! Jangan biarkan dia menunggu terlalu lama!" ajak Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.

Dengan sedikit termangu, Rangga melangkah. tak ada yang berani menggodanya. Gadis-gadis itu hanya melirik sekilas. Namun karena pemuda tampan itu datang bersama pemimpin tempat ini, buru-buru mereka mengalihkan pandang ke tempat lain.

"Tunggulah di sini! Akan kupanggilkan Malini!" ujar Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati seraya mengajak pemuda itu ke sebuah ruangan.

Rangga mengangguk. Lalu direbahkannya Adi­pati Sangkaran yang masih pingsan ke sebuah bangku panjang. Matanya jelalatan mengawasi seluruh ruangan tempat ini. Ketika masuk, tampak dua pengawal berjaga didepan pintu. Sedang si Capung Hitam dan yang lain menyebar entah ke mana. Mungkin tengah kembali pada pekerjaan semula. Atau..., tengah mengamankan pesanggrahan?

"Hmm!" Rangga cepat menoleh ketika telinganya mendengar langkah halus mendekati ruangan ini dari pintu yang lain. Tampak seorang gadis berkulit putih kemerahan dengan sepasang mata bulat indah dan hidung mancung telah hadir di ruangan ini. Rambutnya panjang. Pas betul dengan bentuk tubuhnya yang tinggi dan berisi. Manakala tersenyum, ruangan ini bagaikan terselimuti keceriaan.

“Malini…”

“Kakang Rangga...”

ENAM

Suasana jadi hening saat antara Rangga dan Malini tak ada yang bersuara. Gadis itu tersenyum malu dengan kepala tertunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah dadu. Sedangkan Rangga diam membisu, tak tahu mesti bicara apa.

"Seperti yang pernah kujanjikan, aku membawakannya untukmu...," kata Rangga, memecah keheningan sambil menunjuk Adipati Sangkaran.

"Kakang, aku tak tahu harus berkata apa! Kau..., kau baik sekali padaku," ucap gadis ini.

"Hanya ini yang bisa kulakukan padamu. Dia tak sadarkan diri. Dan terserah padamu, hukuman apa yang hendak kau jatuhkan padanya."

"Dia akan mendapat hukuman berat!" dengus Malini.

"Mestinya begitu."

"Tapi tidak sekarang...."

"Hmm!"

Gadis itu tersenyum lebar melihat Rangga mengerutkan dahi. Aku ingin pertemuan kita ini dirayakan meski hanya kecil-kecilan. Terakhir, Kakang cepat sekali berlalu...”

"Ah, ya! Aku sampai lupa. Bagaimana kabar ayahmu?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

Malini menarik napas lalu berpaling. Kemudian bangkit berdiri mendekati pintu. Dipanggilnya seorang pengawal untuk membawa keluar Ki Sangkaran.

"Tolong perketat penjagaan! Jangan sampai dia lolos!" ujar gadis ini, tegas.

Pengawal itu mengangguk, lalu membawa Adi­pati Sangkaran keluar. Setelah itu, Malini menutup pintu dan kembali duduk di dekat Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku tak betah tinggal bersama Ayah...," desah Malini, lirih.

"Apakah dia galak?" tanya Rangga.

"Tidak."

"Lalu?"

Malini tak langsung menjawab. Ditariknya napas dalam-dalam.

"Tak apa. Kalau memang berat menceritakannya, kita bisa bercerita hal-hal lain!" kata Rangga sambil tersenyum lebar.

"Tidak. Aku memang ingin menceritakannya. Telah lama kusimpan sendiri. Dan aku berharap suatu saat aku bisa berbagi duka denganmu, Kakang. Dan siapa nyana ternyata keinginanku terpenuhi. Maukah Kakang mendengarnya?" kata Malini, sedikit manja.

"Aku suka sekali! Tapi..., rasanya kita berada di tempat yang salah...," sahut Pendekar Rajawali Sakti seraya memperhatikan keadaan sekeliling ruangan ini.

"Kenapa? Kakang merasa tidak tenang di sini?"

"Entahlah...."

"Pemilik tempat ini baik. Dan dia kawan karib ku ketika aku masih kecil. Syukur dia mau.menampungku di sini...," tutur Malini, menjelaskan tanpa diminta.

"Kau betah di sini?" tanya Rangga.

"Ya, ketimbang bersama ayahku. Yang beliau pikirkan hanya harta dan bagaimana menumpuknya. Aku tetap saja tak merasakan kasih sayang seorang Ayah. Belakangan, beliau malah tergila-gila dengan wanita. Aku bosan melihatnya. Maka aku memilih kabur," papar Malini, sendu.

"Kabur? Apakah kau punya tujuan?" Rangga tertarik mendengarnya.

Malini menggeleng lemah. "Aku menuruti kemana kakiku melangkah saja. Dan..., pernah terlintas dalam benakku untuk mencarimu, Kakang.... Tapi kurasa kau pasti tak suka kuikuti seperti dulu."

Rangga terdiam. Dia memang tak suka diikuti. Apalagi oleh seorang gadis. Tapi untuk membenarkan kata-kata Malini tentu saja akan menyakiti hati gadis itu.

"Lalu aku bertemu Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati yang bersedia menampungku disini. Aku menceritakan kesulitanku. Juga, menceritakan tentang keinginanku meringkus si Sangkaran. Dan..., seperti yang Kakang lihat. Dia betul-betul baik dan rela berkorban segalanya untuk memenuhi keinginanku," papar Malini.

"Tanpa pamrih?" tanya Rangga.

Malini tersenyum sambil menggeleng.

Tok! Tok! Tok!

Pada saat itu terdengar ketukan dari luar. Gadis itu buru-buru bangkit. Begitu pintu dibuka, tampak seorang gadis berdiri di ambang pintu membawa nampan berisi makanan dan minuman. Lengkap dengan piring serta cangkir.

"Letakkan di meja. Dan kau boleh kembali ketempat mu!" ujar Malini.

Gadis itu melakukan apa yang diperintahkan tanpa menoleh pada Rangga. Sesudah memberi hormat, buru-buru dia keluar seraya menutup pintu.

"Mereka semua menghormatimu. Apa sebenarnya tugasmu di sini?" tanya Rangga ketika gadis itu menghidangkan secawan arak berbau harum padanya.

"Tugasku?" Malini tersenyum. "Aku tak punya tugas apa-apa."

"Hm.... Jarang ada seorang kawan sebaik itu!"

"Ya," sahut Malini mengangguk pasti. Entah dia tahu atau tidak kalau Rangga menyindir. Malini mengangkat cawan, langsung menyodorkan pada pemuda itu.

"Kakang, silakan!" kata Malini, halus.

"Terima kasih!" Tanpa menaruh curiga, Rangga menenggak arak. Dan begitu habis, Malini menuangkannya lagi

"Kakang.... Kau boleh menginap di sini kalau suka. Sebentar lagi malam...," kata Malini. Suaranya terdengar lirih dan berbisik.

"Aku tak bisa, Malini...," tolak Rangga halus.

"Sayang sekali...," keluh gadis ini dengan wa­jah kecewa

“Paling tidak, aku tak bisa menginap di tempat seperti ini."

"Kalau begitu, mengapa kita tidak cari tempat penginapan yang lain?!"

Rangga tersenyum melihat wajah gadis itu berbinar menawarkan usul. "Tidak perlu...."

Lagi-lagi Malini cemberut. "Yaaah, aku memang sudah menduga demikian. Kalau memang tak bisa, tak apa. Tapi paling tidak, Kakang telah menemaniku di sini barang sesaat. Itu pun sudah amat menggembirakanku...," desah Malini.

"Aku harus pergi, Malini...," kata Rangga seraya bangkit. Dan mendadak kepalanya terasa pusing bukan main.

"Begitu cepatkah? Sedangkan arak ini belum lagi habis," cegah Malini halus.

"Tidak Aku tak boleh banyak-banyak minum arak."

Malini menunduk dengan wajah murung. Usahanya untuk menahan pemuda itu kembali menemui jalan buntu.

"Aku pergi sekarang. Sampaikan salamku pada kawanmu...," pamit Rangga sambil meninggalkan ruangan.

Dari kejauhan Pendekar Rajawali Sakti menoleh sekali lagi. Tampak Malini belum juga mengangkat kepala di depan bangunan pesanggrahan. Ditariknya napas dan menguatkan tekad. Tidak baik baginya berlama-lama di sini. Berdua dengan seorang gadis cantik dalam suasana seperti itu, rasanya Rangga tak ingin terburu. Apalagi, sepertinya dia mengetahui hasrat hati gadis itu padanya. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti sedikit memberi perhatian lagi, maka sama artinya dengan memberi harapan.

Padahal itu tak diharapkannya. Ada bayangan Pandan Wangi yang cepat menyelinap dan mengingatkannya. Sejurus kemudian langkah Pendekar Rajawali Sakti kembali terayun tegar semakin jauh meninggalkan pesanggrahan. Sekilas langkahnya hanya satu-satu. Namun kenyataannya tubuhnya begitu cepat berkelebat. Sungguh suatu pameran ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi.

Namun ketika berada cukup jauh dari Desa Sangit, Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya. Tepat di ujung tikungan jalan, telah berdiri lima sosok tubuh berpakaian serba hitam menghadang. Bahkan dua dari mereka sudah meluruk menyerang dengan sabetan pedang.

"Yeaaa...!"

"Sialan!" Rangga memaki kesal, namun cepat meliuk-liukkan tubuhnya menghindari tebasan pedang. Begitu mendapat celah untuk menyerang, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas. Tubuhnya berputaran dua kali, dan mendadak kedua kakinya menghajar.

"Hiih!"

Desss...! Desss...!

"Aaakh...!" Dua orang berbaju serba hitam itu kontan terjungkal ke belakang disertai pekik kesakitan. Tapi bersamaan dengan itu, tiga orang lainnya maju merangsek. Bahkan kemudian belasan orang lagi melompat dari balik semak-semak ikut menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!" Rangga lompat ke belakang beberapa langkah. Di pasangnya kuda-kuda kokoh, siap mengerahkan aji 'Bayu Bajra'. Namun....

"Ohh...! Ada apa ini? Kenapa kepalaku terasa berdenyut dan pusing sekali?!" keluh Rangga dalam hati. "Apakah Malini yang...."

"Yiaaa...!"

Tengah Pendekar Rajawali Sakti mengalami gejala aneh dalam dirinya serta memikirkan siapa orang yang mempengaruhi daya kerja tubuhnya, para pengeroyok telah menyerang semakin beringas.

"Hup!" Pendekar Rajawali Sakti berniat melenting tinggi ke udara. Namun sedikit pun tubuhnya tak mampu bergerak.

"Gila! Tenagaku pun seperti cepat terkuras habis. Celaka! Apa yang telah terjadi padaku? Malinikah yang berbuat. Tapi rasanya...."

Desss!

"Aaakh...!" Kata-kata Rangga terpenggal oleh satu tendangan yang mendarat di punggungnya. Tubuhnya terjajar ke depan beberapa langkah. Kesempatan itu digunakan salah seorang lawan untuk melepas hantaman keras dan bertenaga dalam tinggi.

Buk!

"Uhh!" Rangga terhuyung-huyung sambil menekap dadanya

"Ayo, terus! Dia sudah hampir lemah...!" teriak seseorang.

"Lekas...!"

"Yeaaa...!"

Apa yang dikatakan orang itu memang benar. Keadaan Rangga saat ini benar-benar tidak menguntungkan. Kepala pusing dan berat, serta pandangan berkunang-kunang. Dan yang lebih mengkhawatirkan, tenaganya pelan-pelan terkuras tanpa bisa dicegah lagi.

Namun dalam hati Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau keadaannya disebabkan oleh makanan dan minuman yang disediakan Mali­ni, yang mungkin telah diberi ajian tertentu. Pada saat itu dua sabetan pedang berkelebat ke arah Rangga. Satu ke leher dan satu lagi ke pinggang. Pendekar Rajawali Sakti berusaha menghindar dengan susah payah. Tubuhnya berputar sambil membungkuk, lalu lompat ke belakang. Tapi begitu menjejak tanah....

Dess! Begkh!

"Aaakh...!" Satu tonjokan di dada, dan tendangan geledek ke perut. Membuat pemuda itu kontan terpental beberapa langkah ke belakang dan jatuh berdebuk keras di tanah.

"Ringkus dia...!"

Srap!

"Uhh...!" Begitu terdengar teriakan, pada kejap itu juga melayang sebuah jala yang membungkus tubuh Pendekar Rajawali Sakti sebelum sempat bangkit berdiri. Percuma saja Rangga berontak karena jala itu terbuat dari oyot-oyot yang amat alot. Apalagi, tenaga dalamnya tak mampu dikerahkan. Maka Pendekar Rajawali Sakti seperti seekor ikan yang tak berdaya dalam jala.

"Ha ha ha...! Ternyata hanya cuma segini kehebatan Pendekar Rajawali Sakti!"

Rangga kembali berusaha berontak, namun tubuhnya terasa lemas sekali. Tulang-tulangnya terasa dilolosi, sehingga tak dapat bergerak.

"Ha ha ha...! Atau barangkali kita menangkap Pendekar Rajawali Sakti palsu?" timpal yang lain.

Semua pengeroyok tertawa terbahak-bahak. Sementara dua orang segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Mereka mengeluarkan tangan dan kaki Pendekar Rajawali Sakti dari celah-celah jala, lalu mengikatnya. Bahkan seluruh tubuh Rangga pun dibebat seperti seekor binatang buruan.

"Huh! Kalau saja tak ada perintah, akan kugorok lehernya sekarang juga!" dengus salah seorang.

"Aku juga! Sudah lama sekali aku menunggu saat seperti ini. Kalau sudah mampus, dia tak akan bisa bertingkah lagi!" timpal yang lain.

"Kita bawa dia sekarang!" teriak seseorang yang agaknya bertindak sebagai pimpinan kawanan ini.

"Huh!" Dengan kasar kedua orang yang tadi mengikat segera memikul tubuh Pendekar Rajawali Sakti seperti membawa babi hutan hasil buruan. Dari sela-sela jala, dimasukkan sebatang bambu untuk memikul.

"Begini sudah lebih baik. Mestinya kita seret dia!" dengus salah seorang pemikul.

"Sudah! Jangan cerewet terus. Kita cuma menjalankan perintah Ketua. Jadi jangan bicara macam-macam!"

Mendengar bentakan, dua orang pemikul diam membisu. Kini mereka melanjutkan perjalanan dengan tenang. Namun belum lagi sampai di batas Desa Sangit, mendadak...

"Hm, si Raja Penyair!" dengus pemimpin kawanan ini, ketika mendengar suara gesekan rebab.

"Kebetulan bertemu di sini!"

"Kita hajar dia?" tanya kawannya.

Tak ada jawaban. Masing-masing telah mengepalkan kedua tangan dengan raut wajah terlihat memendam kegeraman. Dari arah berlawanan tampak pemain rebab yang dimaksud berjalan tenang seperti tak mempedulikan kehadiran mereka. Sosok itu memang Raja Penyair.

"Hei, Raja Penyair! Kebetulan kau berada di sini!" bentak laki-laki bertubuh kekar yang menjadi pemimpin. Tahu-tahu dia telah berdiri di depan Raja Penyair dengan golok besar dan panjang di tangan kanan.

Raja Penyair menghentikan langkahnya. Matanya memandang sekilas. Terlihat bola matanya bergerak-gerak di balik topeng yang dikenakannya. Namun seperti tak peduli, kembali kakinya melangkah sambil menggesek rebananya.

“Kurang ajar! Aku tengah bicara padamu. Dan kau harus mendengar!" bentak laki-laki kekar itu dengan tubuh menggigil menahan geram.

"Aku tak bicara dengan seekor kerbau tolol...!” sahut Raja Penyair seenaknya, dan terus melenggang melewati laki-laki kekar itu.

"Kurang ajar! Belum pernah ada orang yang bicara seperti itu pada Golok Terbang. Karena, berarti kematian semakin dekat!" dengus laki-laki kekar berjuluk si Golok Terbang seraya membabatkan goloknya sambil melompat.

"Sekarang aku yang mengatakannya. Dan kau tak akan percaya kalau sebenarnya kematianmu yang begitu dekat!" sahut Raja Penyair tanpa menoleh.

Siut!

Sedikit lagi golok akan menebas leher, Raja Penyair membungkuk. Tubuhnya cepat berbalik sambil mengibaskan penggesek.

"Oh...?!" Si Golok Terbang berseru kaget. Gelagapan dia menangkis dengan tangan.

Pletak!

"Aaah.. !" Kontan si Golok Terbang menjerit kesakitan seraya terjajar ke belakang. Pergelangan kakinya nyaris patah dengan rasa sakit tak terkira.

"Itu baru permulaan...!" ejek Raja Penyair ter­senyum.

"Keparat! Kubunuh kau! Kubunuh kau, Penyair Busuk...!" bentak si Golok Terbang kalap. Dan dengan serta merta, laki-laki kekar itu melompat kembali. Goloknya diputar sedemikian rupa, hingga menimbulkan suara mendesing tajam.

"Permainan golokmu buruk. Dan kau sama sekali tak berbakat!" ejek Raja Penyair. Dengan tenang, Raja Penyair merendahkan tubuhnya. Penggeseknya dikibaskan, menangkis sambaran golok.

Trak!

Begitu si Golok Terbang terjajar, ujung peng­gesek Raja Penyair berputaran. Seketika terasa angin kencang bergulung-gulung kearah pelipis.

"Uhh...!" Si Golok Terbang terkejut. Gerakannya terhambat. Dan sebelum dia menyadari apa yang terjadi, satu sabetan mendera punggungnya.

Plar!

"Aaakh...!" Terdengar jeritan si Golok Terbang yang melengking. Kulit punggungnya robek dan berdarah. Wajahnya semakin geram saja melihat lawan yang tersenyum-senyum.

"Setan!" Dengan mengumpat geram, si Golok Setan memberi isyarat pada anak buahnya. Belasan orang langsung bergerak serentak setelah mencabut senjata. Sikap mereka siap menyerang.

"He he he...! Hendak mengeroyokku? Kenapa tidak sejak tadi?!" ejek Raja Penyair.

TUJUH

"Jangan pedulikan ocehannya! Bunuh dia...!" bentak si Golok Terbang.

Serentak belasan orang berpakaian serba hitam ini melompat menerjang.

"Heaaat!"

Raja Penyair melompat ke sana kemari sambil menangkis serangan dengan penggesek ditangannya.

Trak! Trak!

Begitu lincah dan cepat gerakan Raja Penyair. Bahkan ketika penggesek rebabnya meliuk-liuk mencari sasaran, tak seorang pun yang bisa mencegahnya.

Pletak!

"Aaakh...!" Seorang lawan menjerit kesakitan. Punggung­nya robek seperti yang dialami si Golok Terbang, tersabet penggesek rebab milik Raja Penyair.

"He he he...! Satu! Sekarang jadi dua!" seru Raja Penyair sambil terus berlompat menghindari sambaran tombak sekaligus. Bahkan tiba-tiba saja kedua kakinya bergerak lincah menendang.

Pak! Pak! Pletak!

"Aaakh...!" Tombak di tangan mereka terpental. Dan sebe­lum mereka sempat berbuat sesuatu, tengkuk mereka telah tersabet senjata aneh milik Raja Penyair. Kcduanya langsung sempoyongan sambil menjerit kesakitan.

"Salah! Ternyata jadi tiga! He he he...!" si Raja Penyair.

"Setan!" Si Golok Terbang kesal bukan main melihat ulah Raja Penyair. Namun dia sendiri tak mampu berbuat apa-apa. Apalagi ketika laki-laki bertopeng perempuan itu mulai mengamuk. Hatinya pun kian dikekang ketakutan. Dan dia semakin bertambah gentar saja ketika dalam waktu singkat satu persatu anak buahnya lumpuh tak bangun-bangun lagi.

"He he he...! Sekarang tinggal kau seorang...!" tunjuk Raja Penyair pada si Golok Terbang.

"Huh!" Meski nyalinya semakin ciut, namun si Golok Terbang masih mampu pasang lagak dengan menunjukkan wajah bengis.

"Pilihlah kematianmu dengan cara bagaimana!" ledek Raja Penyair.

"Phuih...! Kau kira mudah membunuhku?!"

"He he he...! Membunuh adalah mudah bagi Yang Maha Pencipta, seperti mudahnya menghidupkan yang mati. Aku bukan Maha Pencipta. Namun aku sanggup memisahkan leher dari tubuhmu!" sahut Raja Penyair.

"Keparat! Aku pun mampu mengorek jantungmu!" seru si Golok Terbang seraya membabatkan goloknya.

"Kedengarannya hebat. Tapi perlu latihan puluhan tahun untuk mampu melakukannya terhadapku. Dan orang sepertimu, meski berlatih seumur hidup, tak akan mampu melakukannya," sahut Raja Penyair menganggap enteng, langsung melenting keatas.

Dan kesombongan Raja Penyair ternyata bukan omong kosong belaka. Sebab, serangan-serangan maut yang dilancarkan si Golok Terbang sama sekali tak mampu mengenai sasaran. Sebaliknya, dengan sekali serang si Golok Terbang tampak kewalahan. Penggesek rebab di tangan Raja Penyair menjadi senjata yang amat ampuh. Beberapa kali terjadi benturan, namun justru wajah si Golok Terbang yang berkerut menahan nyeri ditangan yang menjalar ke seluruh tubuh.

"Sudah cukup! Aku bosan bermain-main denganmu!" seru Raja Penyair. Begitu habis kata-katanya, tiba-tiba Raja Penyair mengebutkan senjata di tangan. Seketika serangkum angin kencang berputar-putar meluruk ke arah si Golok Terbang.

"Uhh...!" Demikian kuatnya angin yang ditimbulkan, membuat si Golok Terbang terhuyung-huyung ke belakang. Dan pada saat itu juga Raja Penyair melesat ke arahnya dengan tangan terjulur.

Tuk!

"Aaah...!" Satu totokan halus, mendarat di bawah tengkuk. Disertai keluhan tertahan tubuh si Golok Terbang melorot tak berdaya.

"Aku bukan pembunuh. Tapi, tukang membuat syair. Hingga hari ini kupikir belum saatnya membunuh. Atau mungkin juga aku sedang tak ingin. Setelah totokanmu terlepas, kau boleh pergi dengan aman...," kata Raja Penyair tanpa mempedulikan keadaan si Golok Terbang.

Laki-laki bertopeng wajah perempuan ini melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Begitu dekat penggesek rebabnya dikibaskan.

Tras!

Dengan sekali tebas, jala yang membungkus tubuh pemuda itu putus. Demikian pula ikatan pada kedua tangan dan kakinya.

Pluk!

Kemudian sambil berbalik, Raja Penyair melemparkan sesuatu pada Rangga. "Minumlah obat itu. Kau telah terkena sesuatu ajian yang berasal dari makanan dan minuman. Obat itu sendiri hanya untuk mengembalikan kekuatan tubuhmu. Untuk menghilangkan pengaruh ajian itu, kau harus bersemadi," ujar Raja Penyair.

"Terima kasih. Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga seraya memungut obat yang diberikan laki-laki itu.

"Orang-orang menyebutku sebagai Raja Penyair. Tapi aku sendiri tidak merasa begitu...," sahut Raja Penyair merendah.

"Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu...!" sahut Rangga seraya merangkapkan tangan di depan hidung.

“Tidak perlu! Aku menolongmu karena suatu hari mungkin aku butuh bantuanmu," cegah Raja Penyair.

"Bantuan apa yang bisa kuberikan? Katakanlah!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, setelah menelan obat sebesar kotoran kambing.

"Tidak sekarang. Selesaikan urusanmu lebih dulu. Dan setelah itu, beritahu aku di mana harus mencarimu. Selamat tinggal!"

Setelah berkata begitu Raja Penyair melesat cepat meninggalkan tempat itu Rangga termangu memandang kepergian Raja Penyair. Dan ketika tubuhnya terasa agak segar, dia berkelebat cepat meninggalkan tempat ini.

********************

"Goblok!”

Wajah si Capung Hitam tampak geram. Hawa amarah membayang jelas ketika suaranya terdengar menggelegar, mengejutkan barisan laki-laki berpakaian serba hitam di depannya.

"Dengan jumlah yang demikian besar kalian tak mampu meringkusnya?!"

Berdiri paling depan adalah si Golok Terbang. Kepalanya tertunduk, menyembunyikan mukanya dalam-dalam. Sedikit pun dia tak berani menentang tatapan si Capung Hitam.

"Mestinya kalian tidak bermain-main dulu...!" sambung si Capung Hitam bersungut-sungut.

"Sekarang apa yang bisa kalian perbuat? Apa pertanggungjawaban ku terhadap Ketua?!"

"Biarlah akan kami usahakan lagi menangkapnya...," sahut si Golok Terbang, lirih.

"Menangkapnya? Apa kau kira mudah?!" bentak laki-laki berjubah hitam itu.

"Kukira dia belum terlalu jauh...," kilah si Golok Terbang.

"Kalau kau berpikir begitu, kenapa tidak dikejar?! Malah kemari dan membawa berita buruk!"

Mendengar bentakan itu, nyali si Golok Ter­bang kembali mengkeret. Dan untuk beberapa saat dia tak berani bicara sepatah kata pun.

"Keadaannya sekarang jadi kacau. Kalian gagal. Dan dia malah kabur! Padahal Ketua berharap penuh kalau kalian berhasil meringkusnya."

"Kalau saja si Raja Penyair tidak muncul...."

"Jangan salahkan dia! Salahkan diri kalian sendiri!" tukas si Capung Hitam meradang.

Si Golok Terbang kembali terdiam.

"Kurasa lebih baik kalian melapor sendiri pada Ketua!"

"Tapi..."

"Itu tanggung jawab kalian. Dan mestinya kalian sendiri yang harus menanggung akibatnya!" tegas si Capung Hitam.

Si Golok Terbang semakin bergidik saja mendengar kata-kata si Capung Hitam. Kalau mesti memilih, maka dia akan memilih melapor pada si Capung Hitam seperti yang dilakukannya sekarang ketimbang mesti melapor pada Pimpinan Pesanggrahan Kembang Melati. Karena yang sudah-sudah, siapa yang melapor tentang kegagalan, maka Ketua akan memberi hukuman berat.

Sedangkan kepada si Capung Hitam, yang merupakan orang kepercayaan Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati, paling sial dimaki-maki! Asal diam saja, maka makiannya tak lama. Dan sebentar pun reda. Tapi kali ini beda! Si Capung Hitam kelihatan betul-betul marah. Dan itu dilampiaskannya dengan menyuruh si Golok Terbang melapor sendiri pada Ketua. Itu menandakan kalau si Capung Hitam agaknya takut kena hukuman pula.

"Lekaaas...!" bentak si Capung Hitam.

"Ba..., baiklah...."

Dengan lesu si Golok Terbang menghormat, lantas berbalik. Tapi sebelum melangkah, dia terjingkat. Ketika mendongak ke atas, terlihat Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati telah menghadang!

"Ketua, maafkan! Hamba tak melihat kehadiran Ketua di sini...!" ucap si Golok Terbang ketakutan.

Si Capung Hitam pun berbuat yang sama dengan membungkuk hormat.

"Maaf, Ketua. Kami tak mengetahui kehadiran Ketua di sini...."

"Sudahlah. Tak apa...," sahut wanita bertopeng itu.

"Eh, ng.... Kalau boleh tahu, ada keperluan apa Ketua telah berada di sini?" tanya si Capung Hitam, memberanikan diri.

"Aku ingin dengar laporan hasil tugasmu. Karena, yang lain kulihat telah kembali."

"Eh, itu..., itu...."

Si Capung Hitam jadi bingung sendiri. Si Golok Terbang adalah kawannya. Dan untuk mengatakannya langsung, tentu saja agak sungkan meskipun tadi telah mengancam.

"Kenapa, Capung Hitam? Kau kelihatan takut dan sungkan. Ceritakanlah, bagaimana hasil tugas kalian'" tanya Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati. Suaranya datar. Bahkan bernada halus.

Mendengar itu hati si Capung Hitam sedikit lega. Meskipun, masih was-was. "Kami..., kami telah gagal, Ketua...."

"Hmmh!" Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati itu tak memberi tanggapan kecuali sepasang matanya yang menatap tajam ke arah mereka berdua.

"Kami mohon maaf, Ketua. Mestinya berhasil. Tapi.., si Raja Penyair telah mengganggu," sambung si Capung Hitam, menjelaskan.

"Apa maksudmu? Si Raja Penyair mengganggu?"

Si Capung Hitam memberi isyarat agar si Golok Terbang segera bicara.

"Kami telah berhasil meringkusnya, Ketua. Tapi di tengah perjalanan, Raja Penyair muncul dan menghajar kami. Lalu dia membebaskan pemuda itu...," lapor si Golok Terbang.

"Si Raja Penyair biasanya tak akan mengganggu kalau tidak diganggu lebih dulu," gumam wanita itu.

"Ketua...!"

"Ya, aku tahu," potong wanita ini. "Kalian kesal melihat tingkahnya. Mestinya kalian bisa menahan diri, karena tengah menjalankan tugas. Dan mestinya pula, jangan menunda-nunda tugas yang telah kuberikan!"

"Ketua, aku terima salah! Hukumlah aku de­ngan hukuman yang pantas!" seru si Golok Terbang seraya berlutut di hadapan Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.

Tak terdengar jawaban dari wanita yang wajahnya tertutup topeng kain hitam itu. Hanya terdengar hela nafasnya yang panjang. "Sudahlah. Kali ini kau ku maafkan, Golok Ter­bang...," katanya datar. "Namun sebagai gantinya, kau mesti membawa ke sini seorang jago silat yang sebanding dengan Pendekar Rajawali Sakti. Katakan padanya, berapa pun bayaran yang diminta, aku menyanggupi!"

"Terima kasih atas ampunan Ketua! Segala titah kujunjung tinggi!" desah si Golok Terbang.

"Pergilah sekarang juga! Dan cepat kembali! Kuberi kau waktu sampai esok pagi!"

"Baik, Ketua...!"

Setelah memberi hormat, si Golok Terbang segera bangkit dan berlalu dari tempat ini, diikuti beberapa orang. Si Capung Hitam sedikit heran melihat kemurahan hati ketuanya kali ini. Biasanya beliau ringan tangan dan suka menghukum. Tapi kali ini si Golok Terbang malah diampuni dan diberi tugas ringan, sebagai gantinya. Namun dia tak berani lagi mengusik soal hukuman atas kegagalan si Golok Terbang dalam menjalankan tugas.

"Ketua, untuk apa mesti menyuruh si Golok Terbang mencari jago silat lain...?" tanya si Capung Hitam hati-hati.

Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati yang semula hendak berbalik dan keluar dari ruangan itu, mengurungkan niatnya. Dipandanginya si Capung Hitam sesaat. "Apakah kau kira mudah mengalahkan Pen­dekar Rajawali Sakti?" tukas wanita bertopeng ini.

"Jika Ketua perintahkan, aku sanggup membawa kepalanya untukmu!"

Perempuan bertopeng itu mengeluarkan suara tawa sengau. "Capung Hitam! Tidak ku ragukan keahlian mu dalam ilmu silat. Tapi Pendekar Rajawali Sakti bukan orang sembarangan. Dan aku tak mau kehilangan orang kepercayaan ku untuk suatu yang sia-sia."

"Mengapa Ketua memandang tinggi padanya? Kadang nama besar yang kita dengar tidak sebanding dengan kenyataan."

"Benar katamu! Tapi aku bukan sekadar mendengar. Bahkan telah menyaksikan sendiri kehebatan Pendekar Rajawali Sakti!"

"Ketua. Kau kuanggap memiliki kesaktian di atasku. Apakah..., kau pun gentar terhadapnya?" tanya si Capung Hitam.

Pertanyaan itu sebenarnya sangat lancang. Karena meragukan kemampuan ketuanya sendiri. Tapi dia perlu mengetahui sendiri dari mulut wanita bertopeng ini. Perempuan bertopeng berambut panjang itu terdiam. Lalu tubuhnya berbalik sambil melangkah pelan.

"Ya! Aku memang segan bertarung dengannya...," sahutnya dengan suara pelan.

Si Capung Hitam termangu. Demikian hebatnyakah Pendekar Rajawali Sakti sampai ketuanya pun segan terhadap pemuda itu? Tapi si Golok Terbang mengatakan kalau dia dan kawan-kawannya dengan mudah meringkus pemuda itu?

"Kalaupun si Golok Terbang dan kawan-kawannya berhasil meringkus, itu karena dalam minuman kuberi ajian khusus yang sebenarnya hanya bertahan dua hari. Tapi mungkin akan cepat hilang jika mengingat tenaga dalamnya hebat. Itulah sebabnya aku perlu jago silat yang bisa mengatasi amukan pemuda itu dalam waktu cepat!" jelas Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati, seperti bisa membaca pikiran si Capung Hitam. Si Capung Hitam mengangguk mengerti.

"Tapi..., kalau hanya mencari seorang jago silat yang benar-benar hebat, kenapa tidak perintahkan aku saja!" tuntut si Capung Hitam.

Perempuan bertopeng itu berbalik. Sepasang matanya tampak berbinar. "Apa maksudmu?" tanyanya.

"Aku tahu jago silat yang Ketua maksudkan!"

"Siapa?"

"Guruku sendiri!"

Perempuan bertopeng itu belum memberikan tanggapan untuk beberapa saat.

"Beliau terkenal sebagai jago silat nomor wahid di tanah Jawa ini. Jarang ada yang bisa menandingi kehebatannya! Aku sendiri hanya dapat secuil dari kepandaiannya...," lanjut si Capung Hitam. Pada mulanya nada bicaranya berapi-api. Namun sampai pada kalimat terakhir terdengar lirih. Bahkan cenderung masygul.

"Bagaimana kau bisa memanggilnya ke sini?" tanya wanita bertopeng itu.

"Itu tak jadi soal. Namun yang berat adalah syarat yang mungkin beliau ajukan...," desah si Capung Hitam.

"Apa syaratnya?" tanya wanita itu, jadi tertarik.

"Beliau ingin dilayani seperti layaknya seorang raja...."

"Kalau itu tidak menjadi masalah!"

"Namun tidak sekadar cuma itu, Ketua....!"

"Hmm!"

"Ada syarat yang terberat...," jelas si Capung Hitam dengan suara berat. Dia tak buru-buru melanjutkan kalimat. Di pandanginya pemimpin pesanggrahan ini sesaat lamanya.

"Syarat berat apa yang kau maksudkan. Katakanlah!" ujar wanita itu.

"Mungkin ini tak pantas, Ketua...."

"Hmm!"

"Beliau suka perempuan. Dan kalau tahu yang meminta bantuannya adalah seorang perempuan, maka biasanya akan minta dilayani layaknya suami istri. Sekurang-kurangnya selama sebulan. Dan setiap hari, tiga kali melayaninya di tempat tidur.

"Kurang ajar...!" sentak Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati dengan mata melotot geram.

"Maafkan hamba, Ketua...!" ucap si Capung Hitam.

"Hhh...!" desah wanita itu.

Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati itu tak dapat menahan amarahnya. Hela nafasnya terasa berat. Sejenak dipandanginya si Capung Hitam. Namun sesudahnya, dia cepat berbalik dan meninggalkan tempat itu.

"Ketua, maafkan...! Aku tak bermaksud membuatmu marah...!"

Percuma saja si Capung Hitam mengejar, karena dalam sekejap wanita itu masuk ke dalam kamarnya. Langsung dikuncinya pintu. Laki-laki berjubah hitam itu cuma bisa mematung di depan pintu. Tapi saat itu juga muncul seorang anak buahnya dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya pucat seperti mayat dan nafasnya turun naik tak beraturan.

"Ki Anjer, syukur kau ada di sini! Celaka, Ki! Celaka...!" lapor laki-laki berusia dua puluh delapan tahun, menyebut nama asli si Capung Hitam.

"Hei, Badar! Ada apa? Tenanglah, ada apa? Ceritakan pelan-pelan!" ujar si Capung Hitam alias Ki Anjer.

"Seseorang datang dengan tiba-tiba, lalu mengacau!" lapor laki-laki bernama Badar.

"Siapa?"

“Orang asing! Pakaiannya berbeda dengan orang kebanyakan. Dan dia menyebutkan namanya. Kalau tak salah, Banghadur Gupta. Dia ingin bertemu Ketua!"

"Ketua tengah ada persoalan. Beliau tak bisa diganggu. Biar kuhadapi dia!" kata Ki Anjer.

"Tapi, Ki...."

"Kenapa kau ini?!" potong si Capung Hitam. "Tunjukkan padaku, di mana pengacau itu?!"

"Baiklah...."

DELAPAN

Si Capung Hitam tercengang begitu sampai didepan. Beberapa anak buahnya tampak bergelimpangan menjadi mayat. Di dekatnya terdapat bangkai hewan seperti anjing, babi hutan, burung-burung kecil dan ular. Kemudian tidak jauh dari pintu depan terlihat seorang laki-laki kurus bertelanjang dada tengah berdiri tersenyum-senyum. Orang itu memakai sorban putih dan memakai cawat yang terbuat dari selendang putih yang dililit sedemikian rupa. Di sekelilingnya terlihat segala jenis binatang.

"Kurang ajar! Apa yang kau perbuat di sini?!" Hardik si Capung Hitam.

"Monyet busuk! Jangan banyak bicara kau! Panggil ketuamu ke sini!" balas laki-laki bersorban yang mengaku bernama Banghadur Gupta!

"Setan! Setelah apa yang kau perbuat, kau masih pentang bacot di sini! Huh! Nyawamu ada di tanganku, Cacing Busuk!"

Baru saja Ki Anjer selesai membentak, Banghadur Gupta telah mengibaskan tangan kanan. Seketika serangkum angin kencang menerpa kuat ke arahnya.

"Hup! Kurang ajar!" Namun orang kepercayaan Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati itu cepat melompat ke atas menghindarinya.

Krakkk!

Akibatnya, sebatang pilar yang ada dibelakang si Capung Hitam roboh dalam keadaan hancur. Namun bahaya lain mengintai Ki Anjer. Dua ekor serigala tiba-tiba menerkam gesit dari dua arah yang berlawanan. Secepatnya Ki Anjer mencelat keatas. Tubuhnya berputaran di udara. Lalu meluruk sambil menghantam salah satu serigala.

Plak!

"Kaing!" Seekor serigala berhasil ditewaskan. Sementara yang seekor lagi berhasil dihindari si Capung Hitam dengan menjatuhkan diri. Namun begitu Ki Anjer bangkit berdiri, Banghadur Gupta telah mengibaskan tangannya. Seketika dari telapak tangannya melesat sinar berwarna kuning keemasan.

Jdegg!

"Aaakh...!" Si Capung Hitam terpental beberapa langkah sambil menjerit kesakitan ketika sinar kuning menghantam tubuhnya. Dari mulutnya menyembur darah segar. Sebelah tangannya mendekap dada.

"Hi hi hi...! Hanya seginikah kemampuan orang andalanmu, Malini?! Ayo, keluarlah! Jangan sembunyi terus di dalam!" teriak Banghadur Gupta.

"Keparat!" Si Capung Hitam menggeram, seraya berusaha hendak bangkit. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang diderita, dia bermaksud menyerang kembali, namun....

"Tahan!" Terdengar seruan seseorang dari belakang.

Cepat si Capung Hitam berbalik. "Oh, Ketua!"

"Hi hi hi...! Akhirnya kau keluar juga, Anak Bengal!" seru laki-laki ceking dan berkulit hitam itu melihat kemunculan Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati. Perempuan bertopeng itu memandang sekilas. Lalu perhatiannya dialihkan pada si Capung Hitam.

"Berapa lama waktu yang kau perlukan untuk memanggil gurumu ke sini?" tanya wanita bertopeng hitam yang dipanggil Malini.

"Apa maksud, Ketua?!" tanya Ki Anjer.

"Berapa lama kataku?!"

"Oh! Tapi..., tapi...."

"Jawab, Ki Anjer!"

"Baiklah. Mungkin sekitar sepenanakan nasi...."

"Hmm! Kalau begitu, dia tak jauh dari sini."

"Sebaliknya, Ketua. Aku bahkan tak tahu, seberapa jauh dia dari sini. Tapi aku punya cara untuk menghubunginya agar dia segera ke sini. Dan baginya jarak bukanlah persoalan sulit. Begitu pesanku diterima, maka dalam sekejap dia akan ke sini!" jelas Ki Anjer.

"Kalau begitu, lekas panggil dia!"

"Tapi, Ketua...."

"Aku tak peduli dengan syarat-syarat yang diajukannya! Lekas! Pergilah kau lewat jalan belakang, setelah aku berurusan dengan laki-laki kurus ini. Katakan pada gurumu, dia harus menyelamatkanku dari laki-laki kurus ini!" perintah Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.

"Tapi, Ketua...."

Perempuan itu tak menjawab, dan terus melangkah mendekati laki-laki kurus berkulit hitam itu.

"He he he...! Malini! Bagaimanapun kau bersembunyi, mana mungkin bisa lari dariku. Apalagi dengan mengenakan topeng buruk itu! He he he...!" oceh Banghadur Gupta.

"Ayah! Terimalah sembah hormat anakmu...!" ujar Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati sambil berlutut di hadapan laki-laki kurus berkulit hitam itu.

"Hi hi hi...! Bagus, bagus! Ini baru namanya anak yang berbakti!" seru Banghadur Gupta. "Tapi bukan berarti aku mengampunimu, Malini!"

Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati yang memang Malini, menggigil tubuhnya mendengar kata-kata Banghadur Gupta.

"Kau telah lari dariku dengan membawa benda-benda berharga yang selama ini kusimpan bertahun-tahun!" desis Banghadur Gupta.

"Tapi, Ayah.... Bukankah Ayah telah lihat hasilnya? Lihat pesanggrahan ini! Indah, bukan? Ini ku bangun khusus untuk Ayah. Kalau menunggu Ayah berbuat, sampai kapan akan terwujud?" kilah Malini.

"Hi hi hi...! Kau mewarisi kepintaran berkelit dariku rupanya. Tapi jangan kira aku tak mengetahuinya. Kau akan tetap dapat hukuman atas kelancanganmu!" ancam laki-laki kurus, ayahnya Malini.

"Tapi, Ayah...!"

"Nanti malam akan datang ke sini seorang hartawan kaya raya. Kau harus melayaninya selama dua hari dua malam!"

"Ayah...?!"

"Keputusanku tak bisa ditawar-tawar!" tukas Banghadur Gupta. "Perintahkan anak buahmu yang tersisa untuk membereskan bangkai-bangkai ini sekarang juga. Dan, kau! Berdandanlah yang rapi! Buka topeng bulukan yang melekat di mukamu itu!"

Malini tak berani membantah sepatah kata pun titah Banghadur Gupta. Namun untuk bangkit pun, rasanya tak kuat. Rasanya, kekuatannya dihimpit oleh perasaan yang berkecamuk di hati atas perintah yang ditimpakan Banghadur Gupta kepadanya.

Namun sebelum Malini bersuara, muncul seorang pemuda berompi putih di halaman depan bangunan pesanggrahan. "Banghadur Gupta! Maafkan! Anakmu harus menyelesaikan urusannya padaku!" kata pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti.

"Hei!" Banghadur Gupta cepat menoleh. Bibirnya langsung tersenyum-senyum ketika mengenali pemuda itu.

"Kau rupanya, Bocah! He he he...! Dunia ternyata hanya sedaun kelor. Dan tak kusangka kita akan bertemu lagi di sini."

"Kakang Rangga...!" desis Malini. Gadis ini baru saja hendak bangkit menghampiri, namun....

"Diam di tempatmu!" bentak Banghadur Gupta, nyaring.

Langkah Malini kontan terpaku. "Ohh...!" Seperti dilolosi tulang-belulangnya, tubuh Malini ambruk tak berdaya.

"Mentang-mentang ada gendakmu di sini, kau kira bisa berbuat seenaknya?!" dengus Banghadur Gupta.

"Banghadur Gupta! Kau boleh berbuat apa saja terhadapnya. Tapi kuharap, jangan ikut campur dalam urusan kami!" tangkis Pendekar Rajawali Sakti.

"Hi hi hi...! Kau kira bisa menolongnya dalam cengkeramanku, Bocah? Dia putri ku. Dan kau tak berhak ikut campur! Kalau tidak, jangan salahkan kalau aku menurunkan tangan jahat padamu!" ancam Banghadur Gupta tertawa mengejek. "Meski rajawali raksasa itu kau perintahkan untuk melawanku, jangan kira kali ini aku tak mampu mempengaruhinya untuk membunuhmu!" (Banghadur Gupta pernah bertemu Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Memburu Rajawali)

"Aku tak perlu sahabatku untuk menghajarmu! Aku saja sudah cukup!"

"He he he...! Bocah sombong! Dengan mengandalkan apa kau ingin menghadapiku?"

"Aku tak mengandalkan apa-apa...," sahut Rangga datar.

"Jangan sok merendah! Aku punya banyak cara untuk melumpuhkanmu, tahu?! Salah satunya ini!" Begitu habis kata-katanya, Banghadur Gupta mengibaskan tangan. Maka saat itu juga tiga ekor serigala dan empat ekor elang menyerang Pendekar Rajawali Sakti dari segala penjuru.

"He he he...! Kalau ini bukan sihir, Bocah! Kau boleh hadapi mereka dulu sebelum aku turun tangan!"

"Hup!" Rangga mundur dua langkah langsung memasang kuda-kuda kokoh. Kedua telapak tangannya merapat di depan dada. Lalu tiba-tiba....

"Aji 'Bayu Bajra'...!" Disertai bentakan nyaring Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya kesegala penjuru. Seketika dari kedua telapaknya melesat angin keras bagai badai topan.

Wuuurr...!

"Kaing...!"

Angin kencang laksana badai topan kontan menyapu binatang-binatang yang hendak menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Binatang-binatang itu beterbangan jauh tak tentu arah.

"Heaaa...!" Begitu menutup ajiannya, Rangga bertindak tidak kepalang tanggung. Seketika tubuhnya berkelebat cepat bagai kilat dengan rangkaian jurus-jurus 'Rajawali Sakti' menyerang Banghadur Gupta.

"Hi hi hi„.! Dasar bocah dungu! Kau akan mati di tanganku!" leceh laki-laki kurus kering itu.

Plas!

Saat itu juga Banghadur Gupta menghilang membuat serangan Rangga hanya menyambar-nyambar angin. Pendekar Rajawali Sakti jadi celingukan ketika terdengar tawa laki-laki kurus itu.

"Hmm!" Rangga menggumam tak jelas. Dia tak sudi terpancing oleh tipu muslihat lawan. Secepat itu matanya dipejamkan. Kini dia mengandalkan tenaga batin serta pendengarannya.

"Ha ha ha...! Ayo, serang aku lagi! Ayo, serang, Bocah Tolol!" seru Banghadur Gupta yang kasat mata.

"Yeaaa...!" Rangga bergerak ke kanan, seraya mengibaskan tangannya yang berisi tenaga dalam tinggi. Kemudian dia melompat tiga langkah ke depan, lalu terus mengejar ke samping kiri empat langkah. Tak terdengar suara tawa Banghadur Gupta yang terdengar malah seruan kaget.

"Sialan!" maki suara tanpa wujud.

"Tak perlu memaki, Orang Asing!"

"Ternyata kehebatanmu boleh juga. Tapi aku punya kejutan untukmu, Bocah Edan!" Banghadur Gupta yang kembali menampakkan wujud kasarnya, bergerak menjauh. Dan sebelum Rangga sempat menyerang, dia memutar telunjuk kanan beberapa kali.

Wusss...!

Terdengar angin halus bertiup pelan. Namun mendadak berubah cepat, menimbulkan suara gemuruh seperti badai topan. Suara pasir bergerak, daun-daun bergemerisik. Dan sesekali diiringi suara guntur.

"Hm.... Apa yang tengah diperbuatnya?" gumam Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga termangu. Dan sesaat dia tak tahu harus berbuat apa. Pada saat yang sama terdengar suara tawa Banghadur Gupta dari segala penjuru.

"Hi hi hi...! Ayo, kerahkan segala kemampuanmu untuk menghadapi permainan ini, Bocah Dungu! Ayo, kerahkan seluruh kehebatanmu! Hi hi hi...!"

Rangga jadi ragu sendiri. Apakah semua ini sihir atau kesaktian laki-laki kurus itu. "Kalau kubuka mataku, jangan-jangan aku akan terus terperangkap ke dalam sihirnya. Tapi kalau tidak kubuka, keadaanku akan semakin payah.... Apa yang mesti kuperbuat?"

Belum lagi Rangga menentukan keputusan, mendadak terasa dua desir angin dari arah depan dan belakang yang bergerak ke arahnya. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas dengan mata masih terpejam. Lalu....

Jdaggg!

"Aaakh...!" Tak disangka-sangka, satu hantaman telak menggedor dada Pendekar Rajawali Sakti. Rangga kontan terlempar ke belakang sambil menjerit tertahan. Sebelah tangannya mendekap dada. Meski begitu, dia masih sempat menguasai diri dengan berputaran diudara. Lalu kakinya mendarat empuk di tanah.

"Aku akan patahkan kedua tangan dan kakimu sebagai tanda mata dariku!" teriak Banghadur Gupta.

Rangga bertindak nekat. Sambil membuka mata dan menunduk ke bawah, dia mencabut pedang.

Sring!

Begitu pedang tercabut, pada saat itu terdengar suara bergemuruh. Rangga tersentak kaget demikian pula Banghadur Gupta!

"Ha ha ha...! Ada gadis cantik menungguku! Dan aku sudah tak sabar hendak merangkulnya!"

Siuttt!

"Oh, Ayaaah...! Kakang Ranggaaa...!"

"Malini...?!"

Rangga dan Banghadur Gupta sama-sama berseru kaget. Kejadian ini berlangsung demikian cepat. Tadi mereka sempat melihat kelebatan bayangan yang bergerak amat cepat membawa satu sosok tubuh. Bahkan Rangga sendiri melihatnya samar-samar. Kemudian jeritan Malini terdengar. Lalu bayangan itu lenyap bersamanya.

"Iblis terkutuk! Kau kira bisa lari begitu saja dariku?!" teriak Banghadur Gupta, kalap.

Secepatnya, laki-laki tua kurus berkulit hitam itu mengejar dengan mengerahkan segenap ilmu meringankan tubuhnya. Semula Rangga ingin ikut mengejar. Tapi setelah berpikir sesaat, niatnya diurungkan. Pedangnya yang memancarkan sinar biru berkilau telah kembali ke dalam warangkanya.

"Aku tengah terluka. Dan..., tak ada untungnya aku mengejarnya. Buat apa? Menyelamatkannya? Kurasa tak perlu. Karena, toh dia pun bermaksud buruk padaku.... Dan lagi, aku yakin ayahnya bisa menyelamatkannya...," gumam Pendekar Rajawali Sakti dalam hati.

Dengan langkah lesu, Rangga meninggalkan tempat itu. Namun....

"Tuan...! Tuan, tunggu.. !"

Rangga berbalik saat mendengar seruan dari belakang. Tampak seorang perempuan muda tergopoh-gopoh menghampirinya. "Tuan, tunggu sebentar! Jangan pergi dulu!" cegah perempuan ini.

"Siapa kau?" tanya Rangga.

"Aku..., aku abdi setia Ketua...," sahut perempuan muda itu dengan napas terengah-engah. "Namaku..., namaku Nganinten."

"Hm. Maksudmu, Malini? Lalu apa maksudmu menghentikan langkahku?" tanya Rangga lagi.

"Aku..., aku ingin minta pertolonganmu, Tuan...."

"Pertolongan apa?"

"Tuan...! Kudengar kau seorang pendekar budiman. Maka kau tentu bersedia menolongku...."

"Pertolongan apa yang bisa kuberikan padamu?"

"Tapi, tentu Tuan berjanji melakukannya, bukan?"

"Nganinten! Aku tak tahu pertolongan apa yang kau inginkan. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa mengabulkannya?"

"Tolonglah Ketua, Tuan...."

"Hmm! Kalau itu tidak bisa!" sahut Rangga tegas.

"Tuan, tolonglah Tuan! Tolonglah dia...!" seru Nganinten seraya menubruk dan memeluk sebelah kaki pemuda itu erat-erat.

"Tolong, Nganinten. Jangan cegah aku. Lepaskanlah kakiku," ujar Rangga halus.

"Aku tak akan melepaskannya sebelum Tuan mengabulkan permintaanku!" tegas Nganinten.

"Aku tak akan menolong orang yang telah mengecewakanku. Bahkan dia bermaksud membunuhku...!"

"Membunuhmu? Tidak! Itu tidak benar! Ketua tidak pernah punya maksud membunuhmu, Tuan!" sanggah Nganinten.

"Apa yang kau tahu soal itu?" sahut Rangga datar. "Beberapa orangnya datang menyergapku, lalu meringkusku setelah majikanmu memberi ajian pelumpuh raga dalam minuman ku!"

"Tuan! Kau salah sangka! Majikanku sama sekali tak bermaksud membunuhmu!" seru Nganinten

"Kalau tidak, tak perlu dia menggunakan cara seperti itu!"

"Dia hanya tak ingin jati dirinya diketahui..., oleh Tuan...!"

"Hmm!" Rangga berpikir sebentar. Dan Rangga teringat kalau Malini menerangkan bahwa Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati adalah kawannya. Padahal, sebenarnya gadis itu sendiri. Dan para penyergap Pendekar Rajawali Sakti dipimpin oleh anak buah pemimpin pesanggrahan itu. Paling tidak agar timbul seolah-olah pemimpin pesanggrahan itu yang bermaksud meringkusnya. Dan saat mereka menyerang, sama sekali tak bermaksud membunuhnya.

Apalagi saat mendengar umpatan kekesalan dua orang pengeroyok yang tengah mengikatnya. Mereka begitu geram hendak membunuhnya, namun terhalang oleh perintah majikan Pesanggrahan Kembang Melati. Dan yang belakangan baru diketahui, ternyata Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati itu adalah Malini sendiri. Tapi apa maksudnya berbuat seperti itu?

"Bagaimana? Tuan tentu mau menolongnya, bukan?" desak Nganinten.

"Siapa sebenarnya orang itu...?" tanya Rangga.

"Aku tak sengaja menguping pembicaraan beliau dengan Ki Anjer...," jelas Nganinten.

"Ki Anjer?"

"Si Capung Hitam! Ketua telah memperhitungkan kalau Tuan bakal datang dan menghajarnya. Oleh karenanya, dia bersiap-siap. Disuruhnya si Golok Terbang mencari jago silat yang mampu menandingi Tuan. Belakangan si Capung Hitam menawarkan diri dan bermaksud memanggil gurunya. Tapi tabiat gurunya itu aneh. Dan itulah yang aku takutkan. Menurut si Capung Hitam, gurunya gila perempuan!"

Rangga kembali terdiam. Entah apa yang tengah dipikirkannya saat ini. "Aku tak bisa menjanjikan karena aku pun ada urusan lain yang mesti kuselesaikan. Tapi kalau kesempatan itu ada, aku akan berusaha menolongnya..."

Setelah berkata begitu, Rangga berkelebat cepat sekali diikuti pandangan kosong Nganinten.

S E L E S A I

Bagaimana nasib Malini...? Siapa sosok bayangan yang membawanya pergi. Mampukah Banghadur Gupta menolong anaknya? Bersediakah Pendekar Rajawali Sakti memenuhi permintaan Nganinten? Untuk mengetahui kisahnya, baca episode HARPA NERAKA

Misteri Wanita Bertopeng

MISTERI WANITA BERTOPENG

SATU

"Heaaa...!"

Dua orang mengendarai kudanya membelah udara malam yang pekat. Hawa dingin yang menggigit seakan tak dipedulikan. Tubuh mereka terguncang-guncang di atas punggung kuda yang berlari bagai kesetanan.

"Sebentar lagi kita sampai di Desa Sangit, Gopala!" teriak laki-laki yang berkuda di sebelah kanan. Suaranya seolah hendak mengalahkan deru angin yang begitu keras menerpa telinga.

"Banyak hal-hal menarik di sana."

"Kau kelihatan senang sekali membicarakan tempat itu, Sengkolo? Ada apa sebenarnya?" tanya laki-laki yang berkuda di sebelah kiri.

"Apakah kau tidak tahu?!" tukas laki-laki yang dipanggil Sengkolo.

Laki-laki bernama Gopala menggeleng. Kepalanya menoleh ke arah Sengkolo dengan wajah sungguh-sungguh.

"Kita bisa singgah di Pesanggrahan Kembang Melati'" kata Sengkolo agak meninggi. Berharap kalau Gopala cuma pura-pura lupa. Namun dia sedikit kecewa karena melihat wajah Gopala malah semakin bingung.

"Kau sungguh-sungguh tak tahu?" tanya Sengkolo.

"Tidak. Ada apa sebenarnya?" sahut Gopala.

"Di tempat itu banyak wanita cantik segala macam rupa dan bentuk!" jelas Sengkolo terkekeh lagi, menyangka Gopala pun akan tergelak.

"O..., cuma itu?" sahut Gopala tanpa terkejut.

"Cuma itu katamu?! Tempat itu amat istimewa! Orang-orang dari segala penjuru datang ke sana. Dan kau cuma mengatakan begitu?!" tukas Sengkolo, kecewa.

"Aku mesti bilang apa?" tanya Gopala, seraya memperlambat jalannya kuda.

"Kita ke sana. Dan kau akan melihat betapa hebatnya tempat itu!" jelas Sengkolo bersemangat, namun juga memperlambat jalannya kuda. Sepertinya dia ingin benar-benar meyakinkan Gopala.

"Kita sedang dalam tugas dan harus tiba secepatnya ke istana untuk melaporkan hasil penyelidikan," sergah Gopala, mengingatkan.

"Alaaah! Kau ini seperti yang bukan laki-laki saja! Tugas bisa ditunda. Tapi kesempatan ini jarang ada duanya. Apalagi pada awal-awal bulan seperti sekarang! Pesanggrahan itu menyediakan banyak wanita muda yang cantik-cantik! Kau pasti akan tertarik!" bujuk Sengkolo, tak putus asa.

Gopala menarik napas panjang. Kudanya makin diperlambat, sehingga seperti berjalan biasa. Demikian pula Sengkolo.

"Bagaimana? Atau barangkali kau tak tertarik pada wanita?" cetus Sengkolo lagi.

"Bila Gusti Prabu tahu kita melalaikan tugas, maka kita akan dijatuhi hukuman berat...," keluh Gopala, mulai goyah pendiriannya.

"Kita tak berseragam. Dan, cuma segelintir orang yang tahu kalau kita prajurit kerajaan! Lantas, apa yang mesti ditakutkan? Bahkan bila prajurit-prajurit lain ke sini, belum tentu mereka mengenali kita."

Gopala masih terdiam, menimbang rayuan temannya.

"Ayolah! Apalagi yang kau pikirkan? Atau..., dugaanku tadi benar? Sebenarnya kau bukan takut dipergoki, tapi..., takut kalau rahasia terbesarmu ketahuan!"

"Jangan meledek, kau!"

Sangkolo tersenyum mengejek. “Tidak! Aku bicara sesungguhnya. Dan akan bertambah yakin kalau kau terus menolak. Laki-laki mana yang menolak pada wanita cantik?!" Sengkolo terus memanasi kawannya.

"Aku tidak seperti yang kau tuduhkan...," kilah Gopala.

"Lalu apa?"

"Kita tengah menjalankan tugas...."

"Itu tidak masuk akal! Kau pasti hanya tak mampu. Kalau mampu, buktikan bersamaku di sana!" tantang Sengkolo.

Gopala menghela napas. Selain khawatir karena telah melalaikan tugas, juga karena didesak terus Oleh Sengkolo.

"Bagaimana?"

"Berapa kau berani taruhan?"

"Bagus!" teriak Sengkolo girang dan menunjukkan jempol.

"Berapa kau berani taruhan?" tantang Gopala agak kesal.

"Sekeping perak!"

"Tambahkan empat keping, jadi lima!"

"Gila! Itu sama dengan harga di sana."

"Hitung-hitung kau mengongkosi aku!" kelit Gopala sambil terkekeh.

"Sompret!"

"Eeee, tidak jadi?!"

"Yaaa, apa boleh buat...?" sahut Sengkolo lesu. "Yang penting tunjukkan padaku bahwa kau laki-laki perkasa. Dan..., hitung-hitung juga aku punya kawan. Jadi tidak kelewat canggung."

"Kau sering ke sana, jadi kenapa mesti canggung?”

"Tidak juga. Aku hanya dengar dari orang-orang. Baru sekarang ingin menjajalnya...," sahut Sengkolo tersipu.

"Sompret! Kukira kau sudah sering ke sana!"

Sengkolo cekakakan. "Ayolah, cepat! Aku sudah tak sabar membuktikan cerita orang-orang!"

"Heaaa...!"

********************

Seorang laki-laki setengah tua menyambut Sengkolo dan Gopala di pintu gerbang dengan ramah. Dipanggilnya seseorang untuk mengurus kuda-kuda tamu yang baru datang ini.

"Silakan, Tuan-tuan...! Jangan sungkan-sungkan” Ucap laki-laki tua itu.

"Mari ke sini, Tuan...!" panggil seorang wanita setengah baya berdandanan menyolok. Wajahnya tebal oleh bedak. Bibirnya merah menyala. Dan pakaian yang membungkus tubuhnya terlihat tipis, amat ketat. Wanita itu membawa kedua laki-laki tadi ke dalam sebuah ruangan luas yang mirip kedai. Di dalamnya terdapat beberapa laki-laki yang tengah mabuk atau setengah mabuk yang masing-masing ditemani seorang gadis.

Dua gadis mendekat dengan senyum lebar. Sengkolo ikut-ikutan tersenyum. Sebaliknya Gopala malah tersenyum kecut dengan dahi berkerut. Agaknya laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun ini hendak memperlihatkan keengganannya kepada dua gadis itu. Sementara wanita setengah baya itu cepat bertindak dengan memanggil seorang gadis lainnya. Barulah kelihatan Gopala tersenyum-senyum senang.

"Mari ku temani, Tuan!" ajak gadis yang baru menghampiri tadi.

Sementara Sengkolo telah berlalu ke sebuah meja bersama seorang gadis pilihannya. Dan Gopala pun mengambil tempat yang tidak seberapa jauh. Kini dua gadis itu menyuguhkan arak pilihan sambil bercakap-cakap. Namun hal yang dibicarakan lebih banyak menjurus pada kemaksiatan. Dan tanpa disadari, kedua prajurit yang sebenarnya juga telik sandi ini terus disuguhkan minuman sampai mulai mabuk.

"Cukup! Cukup! Jangan sampai mabuk! He he he...! Bisa kita mulai sekarang?" tanya Sengkolo sambil menolak suguhan arak yang hendak dituangkan gadis pendampingnya.

"Tuan hendak mulai sekarang?" sahut gadis bertubuh padat itu dengan senyum genit.

"He he he...! Aku sudah tak tahan lagi. Melihat bentuk tubuhmu yang aduhai, dan suaramu yang merdu, benar-benar membuatku mabuk kepayang. Ayolah.... Apalagi yang ditunggu? Bawa aku ke sorga yang tadi kau ceritakan. He he he...!" oceh Sengkolo.

"Kenapa tidak? Mari!" tantang gadis ini, membuat gairah Sengkolo kian terpacu.

Dengan setengah memapah, gadis itu melingkarkan sebelah lengan Sengkolo ke belakang leher dan mengajaknya masuk ke dalam sebuah kamar yang ada di belakang rumah ini. Bersamaan dengan mereka, banyak pasangan lain yang mengikuti dari belakang, lalu menuju kamar masing-masing yang banyak berjejer di sepanjang lorong menuju ke belakang.

Sementara di sebuah ruangan lain di pesanggrahan ini, terlihat dua laki-laki bertubuh besar masuk ke sebuah kamar. Begitu pintu ditutup, mereka menjura hormat pada seseorang berjubah hitam yang berdiri membelakangi. "Hormat kami, Ketua!" ucap kedua laki-laki bertubuh besar ini.

"Apa yang kalian dapatkan?" tanya sosok berjubah hitam yang dipanggil Ketua tanpa berbalik.

"Banyak hal, Ketua. Namun di antaranya mungkin ada yang membuat Ketua gembira."

"Katakan! Apa yang membuatku gembira?" tuntut sosok berjubah hitam ini.

"Dua prajurit telik sandi kerajaan singgah di pesanggrahan kita," jelas salah seorang laki-laki itu.

"Lalu apa yang membuatmu merasa yakin kalau aku gembira mendengar kabar ini?"

"Gadis-gadis itu memberitahu bahwa mereka berdua mengemban tugas mengintai seseorang. Dan orang itu tak lain dari.., Sangkaran!"

Mendengar nama itu disebutkan, sosok berjubah hitam itu berbalik. Dan terlihatlah seraut wajah yang seluruhnya tertutup kain hitam. Dari sepasang lubang yang digunakan untuk melihat, kelihatan kalau sepasang bola matanya berbinar-binar. Senang campur gembira!

"Sangkaran keparat! Akhirnya kutemukan juga kau!" desisnya dengan senyum lebar.

"Apa yang kami lakukan sekarang, Ketua?" tanya laki-laki bertubuh tinggi besar itu.

"Siapkan orang-orang kita!" ujar sosok yang dipanggil Ketua ini, tegas.

"Kita menuju ke sana?"

"Sudah lama kesempatan ini kutunggu-tunggu. Dan aku tak mau menundanya barang sekejap pun!"

"Tapi..., ada suatu hal yang agaknya perlu dipertimbangkan, Ketua...."

"Pertimbangkan apa yang kalian maksudkan?"

"Menurut mereka. Sangkaran kini dikelilingi tokoh-tokoh persilatan berkepandaian tinggi. Kita tidak bisa gegabah ke sana."

Sosok bertopeng berjubah hitam yang jelas seorang wanita itu mendongak ke atas. Dari mulutnya mengeluarkan suara mengikik.

"Hi hi hi...! Kalian terlalu meremehkan kekuatan kita. Apakah tidak kalian sadari bahwa kekuatan kita saat ini mampu menghancurkan sebuah kerajaan hingga rata dengan tanah?"

"Aku tahu hal itu, Ketua. Tapi...."

"Pergilah! Dan, siapkan pasukan! Kita menuju ke sana sekarang juga!" perintah wanita berjubah hitam ini, tandas.

"Kalau Ketua berkehendak begitu tentu saja akan kami jalankan sebaik-baiknya."

"Bagus!" Dari balik topengnya, wanita berjubah hitam yang bertubuh padat sempurna ini tersenyum lebar ketika dua orang itu telah berlalu. Dia mondar-mandir dalam ruangan ini bagai seorang gadis yang tak sabar menunggu kehadiran kekasihnya.

Tok! Tok! Tok!

"Ketua, perkenankan hamba masuk!" Terdengar suara ketukan yang ditingkahi suara seseorang dari balik pintu.

"Kaukah itu, Ki Jelanta?" tanya wanita berjubah dan bertopeng hitam ini.

"Benar, Ketua."

"Hmm..., masuklah!"

Begitu pintu terbuka, muncul seorang laki-laki tua bertubuh kurus dan agak tinggi. Rambutnya yang panjang dan telah memutih, dikuncir agak ke atas. Kumis dan jenggotnya yang berwarna sama dengan rambut, tumbuh liar tak terurus. Bajunya lusuh dengan celana pendek yang juga amat lusuh.

"Kudengar Ketua hendak mengadakan penyerbuan?" tanya laki-laki bernama Ki Jelanta, setelah menutup pintu.

“Iya" sahut wanita bertopeng ini.

"Dan kudengar pula si Sangkaran telah ditemukan?"

"Benar."

"Dia dikelilingi oleh orang-orang tangguh. Ceroboh namanya kalau kita menyerang tanpa mengetahui kekuatan lawan."

"Aku tidak bisa menunggu meski barang sekejap!"

"Ha ha ha...! Dendammu amat menggelegak, Ketua. Tapi sekadar dendam tanpa perhitungan, hanyalah kekonyolan yang mau kau dapat. Dan dendammu akan terkatung-katung. Malah akhirnya kau yang lebih dulu ke neraka."

"Apa maksudmu?" desis wanita itu, bertanya.

"Biar aku ke sana untuk menyelidiki kekuatan mereka. Setelah aku kembali, maka kita buat rencana jitu untuk menghancurkan mereka. Dengan begitu kemungkinan besar rencana kita akan berhasil, tidak sia-sia!" jelas Ki Jelanta.

Wanita berjubah hitam itu terdiam beberapa saat

"Bagaimana? Ketua setuju tentunya," usik laki-laki tua itu.

"Baiklah...."

"Nah! Perintahkan sekarang juga maka aku akan pergi menyelidikinya!"

"Pergilah sekarang juga!" Ki Jelanta terkekeh, lalu keluar dari ruangan itu.

Ki Jelanta memacu cepat kudanya meninggalkan pesanggrahan menuju utara. "Heaaa...!" Lelaki tua ini tidak merasakan kalau ada se‐seorang yang mengikuti dari belakang dan mengatur jarak dengan baik.

Sementara itu malam semakin larut. Namun cahaya bulan purnama yang memancarkan sinarnya ke mayapada, cukup untuk menerangi laki-laki tua itu dalam berkuda membelah jalan utama yang di kiri-kanannya hanya persawahan. Suara jangkrik dan hewan malam lainnya meningkahi derap kudanya yang berlari makin cepat.

Menjelang subuh ketika ayam jantan hutan mulai berkokok saling bersahutan, Ki Jelanta tiba di halaman sebuah bangunan tua yang tak terurus. Segera laki-laki tua ini turun dan menambatkan kudanya di sebuah pohon yang tumbuh di halaman bangunan tua itu. Matanya langsung beredar ke sekeliling. Yang terlihat hanya halaman tak terurus, penuh daun-daun kering dan ranting-ranting.

Bangunan tua itu sendiri pun bagaikan sarang hantu saja. Sebagian tiang penyangganya telah roboh. Genteng-gentengnya pun berpecahan. Sementara teras depan penuh oleh sampah dedaunan. Sejenak Ki Jelanta mengedarkan pandangan. Baru setelah merasa tak seorang pun mengetahui kehadirannya di sini, laki-laki tua itu segera melangkah ke pintu bangunan tua ini.

Tok! Tok! Tok!

"Siapa?" Terdengar suara dari dalam, begitu pintu diketuk tiga kali.

"Aku si Lutung Aneh!" sahut Ki Jelanta setengah berbisik. Namun matanya jelalatan memandang keluar.

Tak lama, pintu terbuka. Dan laki-laki tua yang ternyata berjuluk Lutung Aneh ini buru-buru masuk sebelum pintu tertutup kembali. Tepat ketika tubuh si Lutung Aneh lenyap, sebuah bayangan hitam melesat bagai seekor burung. Dan dengan gerakan manis sekali, bayangan hitam itu melenting ke atas bangunan tua ini. Lalu....

Tap!

Seperti lintah, bayangan hitam itu langsung menempel di genteng. Dan dengan perlahan serta hati-hati sekali, dia menggeser sebuah genteng untuk melihat apa yang ada di dalam. Di bawah sana, bayangan ini melihat Ki Jelanta tengah berdiri berhadapan dengan seorang laki-laki bertubuh besar dan berperut gendut.

"Kau yakin kepergianmu tidak diketahui mereka?" tanya laki-laki berperut gendut itu.

"Apa kau meragukan kemampuanku, Sangkaran?!" desis si Lutung Aneh.

"Perempuan aneh itu punya banyak anak buah yang tak bisa dipandang enteng...."

"Jangan khawatir. Aku bisa jaga diri!"

"Apa yang kau bawa?" tanya laki-laki gendut berpakaian bagus ternyata bernama Sangkaran.

"Mereka mengetahui tempatmu di sini, Sangkaran!" sahut si Lutung Aneh. "Mulanya mereka akan menyerbu sekarang juga. Namun berhasil kucegah. Dan akhirnya, perempuan aneh itu menyuruhku untuk menyelidik ke sini."

"Kurang ajar! Siapa yang memberitahukannya itu pada mereka?!" bentak laki-laki setengah baya berperut gendut itu seraya menggebrak kursi.

"Kau tak perlu marah-marah, Sangkaran. Mungkin anak buahmu yang ceroboh, sehingga dua prajurit kerajaan mengetahuinya," kata Ki Jelanta.

"Dua prajurit kerajaan katamu, Jelanta?!"

"Mereka singgah di pesanggrahan. Dan perempuan-perempuan lacur di sana berhasil mengorek keterangan!" jelas Ki Jelanta.

"Keparat! Apakah mereka masih berada di sana?!" dengus Ki Sangkaran.

"Sekarang mungkin sudah pulang...."

"Kirim seekor merpati yang kuat untuk membawa surat, guna memberitahukan orang-orang kita yang ada di sana. Dan bunuh kedua prajurit itu!" perintah Ki Sangkaran.

"Eee, tidak usah buru-buru!" cegah Ki Jelanta.

"Apa maksudmu, Jelanta?"

"Sebelum ke sini, aku telah menitahkan dua anak buahku untuk membereskan mereka sepulang dari pesanggrahan. Kemudian, ku sebar desas-desus kalau mereka dibunuh orang-orang pesanggrahan. Dengan begitu...."

"Ha ha ha...!" Belum habis bicaranya, Ki Sangkaran tertawa keras sampai perutnya berguncang karena kegirangan. "Luar biasa! Luar biasa, Jelanta! Kau pantas kuangkat jadi penasihat bila aku bisa menduduki kursi kerajaan kelak!"

Ki Jelanta mesem-mesem. Cuping hidungnya kembang-kempis dipuji begitu. Tapi untuk tidak memperlihatkan perasaannya, sebelah tangan dikibaskan untuk menepis.

"Sudah! Sudah! Aku harus kembali secepatnya sebelum matahari ada di ubun-ubun. Dan, jangan lupa! Awasi pesanggrahan itu terus. Begitu mereka lengah, kita bereskan seketika!"

DUA

"Heaaa...!" Ki Jalanta yang ternyata mempunyai julukan si Lutung Aneh telah menggebah kudanya kuat-kuat, meninggalkan bangunan tua yang tadi dikunjunginya.

"Hm.... Mudah-mudahan tak ada pihak pe‐sanggrahan yang mengikutiku," gumam laki-laki tua ini sambil memperhatikan keadaan sekeliling. Si Lutung Aneh semakin jauh berkuda. Kini bangunan tua yang porak-poranda itu pun tidak kelihatan lagi. Dan sejauh ini perjalanannya aman-aman saja. Namun....

"Hooop...!" Ki Jelanta menarik tali kekang kudanya, ketika tiba-tiba pada jarak sepuluh tombak melompat satu bayangan hitam dari balik pepohonan hutan kecil itu dan langsung berdiri menghadang. Untungnya, si Lutung Aneh ini cukup tangkas mengendalikan kudanya yang langsung berubah liar dengan mengangkat dua kaki depannya tinggi-tinggi. Maka sebentar kemudian kudanya telah bisa ditenangkan kembali.

"Kisanak, menepilah! Kau menghalangi jalanku..." desis Ki Jelanta, dingin.

"Aku memang sengaja menghambat mu di sini, Ki Jelanta," sahut sosok bayangan hitam itu dingin seraya berbalik.

"Oh! Kau rupanya, Capung Hitam!" seru Ki Jelanta.

Pada mulanya, si Lutung Aneh agak kaget. Tapi setelah mengenali penghadangnya, wajahnya tampak berseri. Sebuah wajah yang sudah sangat dikenalnya. Seorang laki-laki berjubah hitam. Kepalanya besar dengan mata besar pula. Badannya tegap, terbungkus pakaian serba hitam.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ki Jelanta, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.

"Membawa perintah Ketua!" jawab sosok berpakaian serba hitam yang dipanggil Capung Hitam.

"Hmmm.... Agaknya kita sama-sama dipercaya Sang Ketua mengemban amanatnya...."

"Mungkin juga. Apa perintah Ketua untukmu?"

"Mengawasi si Sangkaran. Dan kau?"

"Membereskan pengkhianat!" sahut si Capung Hitam dengan suara dingin.

"Pengkhianat?! Astaga! Siapa pengkhianat di tubuh kelompok kita?!" tanya Ki Jelanta, pura-pura kaget.

"Ha ha ha...!" Si Capung Hitam terbahak-bahak.

"Tahukah kau, hukuman apa yang diinginkan Sang Ketua kepada pengkhianat? Penggal kepala! Dan aku akan melaksanakan hukuman itu...!" lanjut Capung Hitam, mendesis.

"Tentu saja, tentu saja...! Pengkhianat memang harus dihukum berat. Tapi ngomong-ngomong, siapa sebenarnya pengkhianat itu, Sobat?" sahut Ki Jelanta, masih coba mengatur nafasnya. Dan bibirnya masih menyungging senyum.

"Kau sungguh-sungguh ingin tahu?"

"Tentu saja! Sebagai anggota pesanggrahan, tentu saja aku ikut merasa bertanggung jawab atas pengkhianatan yang dilakukan salah seorang anggota kita."

"Ha ha ha...! Kau tak perlu repot-repot, Jelanta. Pengkhianat itu tepat berdiri di depanku!"

"Apa maksudmu?"

"Ya, kau sendirilah orangnya!"

"Aku?! Kau menuding ku sebagai pengkhianat?!” Ki Jelanta menunjuk dirinya dengan wajah tak percaya. "Jangan bergurau, Sobat!"

"ha..ha..ha...! Kau kira aku tengah bergurau? Kalau begitu kau tidak mengenalku dengan baik."

Tiba-tiba wajah si Capung Hitam berubah kembali. Sepasang matanya memandang tajam, seperti hendak menghujam jantung si Lutung Aneh. "Aku tidak bergurau, Jelanta! Dan karena pengkhianatanmu, maka kau akan mati sekarang juga!" desis laki-laki berpakaian serba hitam ini.

"Hm.... Kalau Ketua tahu kelakuanmu, maka kau pun akan mengalami hal yang sama!" balas si Lutung Aneh.

"Kau kira siapa yang mengutus ku untuk membunuhmu?" tukas si Capung Hitam.

"Kau tentu berdusta bila mengatakan Ketua yang mengutusmu! Beliau seorang yang bijaksana dan amat mempercayaiku. Jadi, tak mungkin menuduhku pengkhianat."

"Syukur kau mengetahui kalau beliau seorang yang bijaksana. Maka, mestinya kau menyadari kalau beliau mencurigaimu. Dan kecurigaan itu ternyata beralasan. Kau mata-mata si Sangkaran yang diselundupkan ke pesanggrahan. Aku mengikutimu sejak kau pergi dari pesanggrahan. Dan aku mencuri dengar pembicaraan kalian. Apakah kau hendak menyangkal?!"

Si Lutung Aneh terhenyak. Diam-diam dia memuji kehebatan ilmu meringankan tubuh si Capung Hitam. Dia mampu mengikuti dan mendengar pembicaraan mereka. Padahal di tempat Ki Sangkaran banyak terdapat tokoh persilatan berilmu tinggi. Mendengar pengkhianatannya ditelanjangi, si Lutung Aneh tak mampu berdalih lagi selain tertawa kecut.

"He he he...! Lalu apa yang bisa kau lakukan terhadapku sekarang? Membunuhku? Sebaiknya urungkan niatmu, Sobat," tantang si Lutung Aneh.

"Menganggap enteng padaku, Jelanta? Kau akan temui malaikat maut sebentar lagi!" ancam si Capung Hitam.

"Bukan begitu. Maksudku, Sangkaran butuh orang sepertimu. Dan dia berani membayar mahal untukmu."

"Ha ha ha...!"

"Kenapa kau tertawa? Kau kira dia tak bisa membayarmu dua kali lipat daripada yang kau terima dari Ketua? Dia bahkan juga bisa menjadikanmu orang kepercayaannya yang bisa diandalkan," lanjut Ki Jelanta.

"Dan kau sendiri?" tanya si Capung Hitam, tapi nadanya melecehkan.

"Aku? Tentu saja bisa jadi kawan dekatmu."

"Kalau begitu biar kusingkarkan dulu dirimu. Paling tidak, nanti aku bisa mendapat kedudukan yang lebih tinggi ketimbang kedudukanmu saat ini di sana!" dengus si Capung Hitam.

"Heaaa...!" Selesai bicara begitu, tubuh si Capung Hitam berkelebat cepat. Dan tahu-tahu, kedua kakinya yang panjang mencelat ke arah Ki Jelanta.

Si Lutung Aneh mengegos ke kiri. Seketika dia balas menyerang lewat sodokan kepalan tangan.

Wut!

"Hup!" Si Capung Hitam dengan tangkas memutar tubuhnya di udara. Sehingga, sodokan itu menghantam angin. Bahkan mendadak dua kakinya menyambar batok kepala si Lutung Aneh.

"Uts!" Dengan gerakan gesit Ki Jelanta membawa tubuhnya ke bawah dengan kaki merentang sehingga pantatnya menyentuh tanah. Tepat ketika si Capung Hitam mendarat, tubuhnya digulirkan ke samping dengan kaki kanan mengincar pinggang bagian belakang.

Wut!

Namun tubuh si Capung Hitam yang seringan bulu tiba-tiba saja telah mencelat ke atas. Sebelah kakinya menahan serangan, sedang sebelah lagi menghantam ke tengkuk.

Plak! Duk!

"Uhh...!" Telak sekali hantaman kaki si Capung Hitam mendarat di tengkuk si Lutung Aneh. Ki Jelanta kontan mengeluh tertahan dengan terhuyung-huyung ke depan. Pandangannya sedikit kabur, serta kepalanya berdenyut-denyut. Sambil mengatur keseimbangannya, dia berbalik menghadapi si Capung Hitam.

"Hanya segitukah kemampuanmu, Lutung Buluk?" ejek si Capung Hitam, tepat berdiri lima langkah di depan si Lutung Aneh.

"Setan! Kau kira bisa mempecundangi aku, Hah?!" dengus Ki Jelanta.

"Bukti yang bicara!"

"Huh! Hadapi rangkaian jurus Lutung Mabuk ku...!" Ki Jelanta langsung membuka jurus baru yang di beri nama Lutung Mabuk. Gerakannya liar dan tidak teratur. Ini merupakan jurus awal yang amat dibanggakannya.

"Heaaakh...!" Dengan teriakan seperti seekor lutung marah, si Lutung Aneh melompat menerkam. Kedua tangan membentuk cakar. Kesepuluh jari kakinya pun dalam keadaan tertekuk. Kedua puluh kukunya siap digunakan untuk membeset tubuh si Capung Hitam.

Bet! Bet!

Kedua tangan Ki Jelanta menyambar ke muka, dada lalu ke perut. Namun si Capung Hitam lebih cepat melenting ke belakang. Si Lutung Aneh mengejar dengan kedua kaki bergerak menghajar. Begitu mendarat, si Capung Hitam memiringkan tubuhnya ke kanan, sehingga kedua kaki lawan nyeplos menyambar angin.

"Kreaaakh...!"

Begitu mendarat di tanah, si Lutung Aneh berbalik dan berguling cepat. Saat mendekat ke arah si Capung Hitam yang juga sudah berbalik, dua tangan dan kakinya bergerak cepat menyerang secara bergantian pada bagian yang berbeda di tubuh laki-laki berjubah hitam itu. Si Capung Hitam terkejut. Seketika tubuhnya melesat ke atas, namun si Lutung Aneh terus mengejar.

"Hiaaat...!" Di udara si Capung Hitam melepaskan ikatan jubahnya yang sejak tadi digunakan untuk menjaga keseimbangan saat mengapung di udara. Seketika jubah itu meluruk ke arah Ki Jelanta. Dan....

Plup!

"Setan!" Si Lutung Aneh memaki geram karena dalam sekejap tubuhnya terbungkus jubah yang mampu bergerak cepat bagai anak panah. Secepat itu dia meluruk kembali ke tanah. Dan dengan susah-payah, dia berusaha melepaskan diri. Tepat ketika jubah itu tersingkap, bersamaan dengan itu, tubuh si Capung Hitam telah meluruk cepat dengan sebuah tendangan menggeledek. Dan....

Duk!

"Aaakh...!" Si Lutung Aneh menjerit tertahan ketika tendangan si Capung Hitam mendarat telak di dada kirinya. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang disertai muntahan darah segar. Dan sebelum dia mampu menguasai diri, si Capung Hitam telah berkelebat cepat sekali.

"Heaaaa...!" Begitu dekat ke arah sasaran, telapak tangan si Capung Hitam menghantam ke tengkuk. Sedangkan kuku-kuku tangan kirinya menyabet ke leher. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Desss! Crasss!

"Aaa...!" Si Lutung Aneh terjajar ke belakang disertai pekikan panjang. Dari lehernya yang koyak, mengucur darah segar. Sebentar tubuhnya sempoyongan, lalu ambruk tak bergerak lagi. Mati dengan leher nyaris putus!

"Sayang, kau salah perhitungan Lutung Buduk! Kau terlalu membanggakan kepandaianmu...," desis si Capung Hitam, sambil berdiri tegak mengawasi dengan bibir tersenyum dingin.

********************

TIGA

Matahari baru saja berada di ubun-ubun ketika si Capung Hitam tiba di Pesanggrahan Kembang Melati. Dari depan terlihat keramaian tamu-tamu di rumah makan. Laki-laki berjubah hitam ini menyelinap, masuk ke dalam lewat jalan belakang untuk tidak menarik perhatian tamu-tamu yang tengah makan. Si Capung Hitam tak mempedulikan keadaan di sekelilingnya. Dia terus saja memasuki sebuah ruangan yang dijaga dua orang pengawal.

"Aku harus ketemu Ketua!" kata laki-laki berjubah hitam ini dengan suara dingin.

Kedua pengawal yang tampaknya telah mengenal si Capung Hitam mempersilakan masuk. Begitu sampai di dalam si Capung Hitam rupanya telah ditunggu oleh seorang bertubuh ramping memakai jubah hitam. Rambutnya tergerai hingga pinggang. Hitam dan lebat. Ketika berbalik, terlihat wajahnya ditutupi sehelai topeng hitam terbuat dari kain sutera. Dan, hanya menyisakan dua buah lubang untuk melihat.

"Aku menghadap, Ketua!" kata si Capung Hitam sedikit membungkukkan badan.

"Kenapa lama sekali kau muncul?" tanya sosok ramping yang jelas seorang wanita ini.

"Aku harus balik lagi ke sana untuk melihat keadaan...," jelas si Capung Hitam.

"Lalu?" tuntut wanita yang dipanggil Ketua ini.

"Kelihatannya mereka hendak memata-matai kita di sini, atau mungkin juga menyerang."

"Bagaimana si Lutung Aneh?"

"Dia sudah berangkat ke neraka!"

"Hmm.... Orang itu memang tak bisa dipercaya...."

"Orang itu memang sengaja bekerja pada Sangkaran dan disusupkan ke sini."

"Dia pantas menerima akibatnya!" sambar wanita bertopeng itu, mendengus.

"Hanya saja yang tak dapat kuterima, kenapa dia mesti bekerja pada si Sangkaran terkutuk itu? Mestinya dia bisa menghargai niat baikku...." Dari nada suaranya, jelas kalau wanita bertopeng itu menyesali sikap si Lutung Aneh.

"Buat apa menyesali segala? Orang itu amat licik dan patut menerima akibatnya!" tukas si Capung Hitam.

"Ya, kau benar!" wanita itu mengangguk.

"Siapkan anak buahmu. Kita akan meringkus si keparat Sangkaran sekarang juga sebelum kabur."

"Beres! Dalam sekejap kami telah siap. Tapi sebaiknya tidak usah membawa semua kekuatan. Sisakan untuk menjaga pesanggrahan ini," kata si Capung Hitam seraya mengusulkan.

"Aku juga berpikir begitu. Kerjakanlah!"

Si Capung Hitam memberi hormat, kemudian bergegas keluar.

"Huh! Kau akan terima balasan dariku, Sangkaran terkutuk!" desis wanita bertopeng dengan sinar mata membiaskan kebencian mendalam. Kedua tangannya terkepal, menimbulkan suara berkerotokan. Beberapa saat kemudian, wanita bertopeng ini keluar dari kamarnya.

********************

Sebuah tandu diusung oleh empat orang pemuda bertubuh kekar. Di sampingnya, berkuda laki-laki berjubah hitam berkepala besar dan bermata besar. Siapa lagi kalau bukan si Capung Hitam? Di belakang tandu, berjalan lebih dari dua puluh orang berpakaian serba hitam. Di pinggang ma‐sing-masing terselip sebilah golok. Rombongan itu telah melintasi jalan utama Desa Sangit dan terus bergerak ke utara.

"Berapa lama kita tiba di sana, Capung Hitam?" Terdengar sebuah pertanyaan dari dalam tandu pada si Capung Hitam yang berkuda di dekatnya.

"Mudah-mudahan sebelum sore kita telah tiba di sana, Ketua," sahut si Capung Hitam.

"Hm, cukup jauh juga perjalanan ini!"

"Tempat itu memang jauh dan eh?! Apa itu...?"

Mendadak saja dari kejauhan terdengar gesekan rebab yang mengalun pelan dan mendayu-dayu. Suaranya tak terlalu keras, namun dimainkan lewat pengerahan tenaga dalam mengagumkan. Sehingga membuat semua rombongan ini tertegun.

"Siapa kira-kira yang memainkan rebab itu?" tanya suara dari dalam tandu lagi. Suara itu tak lain dan mulut wanita berjubah hitam dan bertopeng kain hitam, majikan si Capung Hitam. Seorang wanita yang menguasai Pesanggrahan Kembang Melati.

"Entahlah.... Rasa-rasanya aku pernah ingat... Sebentar! Hm.... Mungkin si Raja Penyair," duga si Capung Hitam.

"Raja Penyair? Hebatkah dia?" tanya wanita bertopeng hitam itu.

"Kata orang-orang dia termasuk tokoh langka. Namun, aku belum pernah bentrok dengannya."

"Waspada saja! Siapa tahu dia kaki tangan si Sangkaran!"

"Sangkaran tak akan mampu membeli dirinya, Ketua!" tegas si Capung Hitam.

"Kenapa kau bisa berkata begitu?" tanya wanita itu.

"Harga dirinya kelewat tinggi untuk tunduk pada perintah orang lain."

"Meski begitu, tetap kita mesti waspada."

"Baik, Ketua!"

Baru saja tak ada yang bicara lagi dari arah berlawanan tampak seseorang bertubuh ramping seperti wanita. Rambutnya yang panjang sepinggang agak kemerahan, dibiarkan lepas begitu saja tanpa pengikat. Wajahnya ditutupi topeng kayu berbentuk wajah seorang wanita bergincu amat merah dan berbedak tebal. Hidung topeng dibuat lebar. Tangan kirinya memegang rebab. Sementara tangan kanannya memegang penggesek. Tanpa mempedulikan keadaan di sekeliling, dia menggesek rebab. Begitu menikmati sambil bersyair.

Duhai jahanamku sayang, ke mana gerangan kau kini? Seribu abad kumencari, selaksa waktu kuhabiskan. Namun bayangmu belum juga kutemukan. Terhalang tembok tebal yang menindih

Aduhai malang nasibku, apakah kau menyadari? Bila tembok ini kuruntuhkan, maka kembalilah padaku Karena aku merindukanmu. Namun kau tak mendengar Apakah karena diriku nista?


"Tak salah lagi, dia Raja Penyair!" kata si Capung Hitam.

"Kalau begitu, tahan langkahnya. Aku mau bicara sebentar," ujar wanita dalam tandu tertutup itu.

Tepat pada jarak lima tombak dengan sosok yang diduga sebagai Raja Penyair, si Capung Hitam mengangkat tangannya. Dia memberi isyarat agar rombongannya berhenti. Dengan gerakan ringan, si Capung Hitam turun dari kudanya. Tanpa suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah, pertanda ilmu meringankan tubuhnya telah sangat tinggi.

"Kisanak, maafkan! Kami mengganggu perjalananmu...!" ujar si Capung Hitam.

Raja Penyair menghentikan langkahnya. Ditatapnya si Capung Hitam dengan sorot mata tajam. "Ada apa. Kenapa kau menghentikan langkahku?" tanya Raja Penyair.

Suaranya halus seperti perempuan. Dan melihat bentuk tubuh serta lukisan topeng yang dikenakannya, mestinya adalah perempuan. Dan gelarnya, Ratu Penyair. Jadi, bukannya Raja Penyair. Dan mendengar suaranya itu, si Capung Hitam jadi ragu apakah mesti memanggilnya Kisanak atau Nisanak? Namun cepat dia mengambil kesimpulan. Jika mendengar gelarnya, maka yang pasti dia mesti memanggil Kisanak.

"Majikanku agaknya ada sedikit keperluan denganmu," jelas si Capung Hitam.

"Majikanmu? Perempuan di dalam tandu itu maksudmu?" tunjuk Raja Penyair ke arah tandu.

Si Capung Hitam tertegun sebentar. Demikian pula wanita yang ada di dalam tandu. Padahal tandu itu tertutup rapat. Dan kalaupun ada sedikit celah, rasanya mustahil seorang yang berada di luar bisa menebak apakah orang yang ada dalam tandu itu perempuan atau laki-laki. Namun Raja Penyair betul-betul yakin dengan kata-katanya.

"Turunkan tandu...!" ujar wanita berjubah hitam itu.

Keempat pemuda itu segera meletakkan tandu di tanah. Pelan-pelan wanita bertopeng yang ada dalam tandu menyibak tirai di depannya. Kemudian dia melangkah keluar. Sepasang matanya berbinar memandang Raja Penyair.

"Kisanak, syair mu indah dan musik mu merdu.... Maukah kau memainkannya sekali lagi untukku?" pinta wanita bertopeng hitam itu.

"Aku melantunkan syair bila hatiku senang. Dan kumainkan rebab ini bila hendak menyenangkan orang yang ku senangi," sahut Raja Penyair

"Lalu..., apakah kau menyenangi ku dan mau memainkan syair dan rebab mu?"

"Aku tidak ingin memainkannya...."

"Berarti kau tidak menyenangiku?"

"Hi hi hi...! Apakah kita pernah bermusuhan, hingga aku mesti tidak menyenangimu?"

"Kalau begitu mainkan rebab mu dan lantunkan syairmu untukku. Untuk itu, aku akan membayar berapa saja yang kau minta," desak wanita itu.

"Hi hi hi...! Bila hati sedang kasmaran, maka segala sesuatu hendak dimiliki. Tapi aku bukanlah benda. Dan yang memiliki adalah Sang Maha Pencipta," tolak Raja Penyair, halus.

"Sobat, jangan berbelit-belit! Katakanlah! Kau tentu suka memainkannya untukku, bukan?"

"Hi hi hi...! Kenapa kau begitu yakin? Apakah karena matamu hendak merayu ku?"

"Kurang ajar!" maki wanita ini dalam hati.

"Dia tidak mempan oleh ilmu sihir ku. Siapa orang ini gerangan?" Rupanya lewat sorot mata, wanita itu tadi mengerahkan ilmu sihirnya.

"Begitukah menurutmu?" tukas wanita itu.

Raja Penyair kembali terkekeh. "Dunia boleh saja dimiliki. Dan, segala isinya boleh tunduk. Tapi sekali-kali kita bukanlah Yang Maha Pencipta. Kita hanya sebutir debu tak berguna. Dan bila bertiup angin kencang, kita melayang-layang tak tentu arah. Apakah orang-orang seperti itu hendak memiliki kemauan besar? Sekali-sekali tidak akan mampu diwujudkannya, kecuali hendak membinasakan diri sendiri," celoteh Raja Penyair berfilsafat.

"Kisanak! Aku tak mengerti ke mana arah bicaramu?!" sentak wanita itu.

"Kau tak mengerti? Hi hi hi...!" tukas Raja Penyair sambil terkekeh. Lalu ditinggalkannya tempat itu seenaknya sambil menggesek rebab. Namun baru dua langkah....

"Berhenti kau!" bentak si Capung Hitam. Suara laki-laki itu menggelegar, mengandung tenaga dalam untuk mengejutkan. Dan tiba-tiba saja tubuhnya melompat, berdiri di hadapan Raja Penyair.

"Manusia tak tahu diri! Kau kira tengah berhadapan dengan siapa?! Perlihatkan sikap hormatmu pada Pimpinan Pesanggrahan Kembang Melati!" bentak si Capung Hitam.

"Dia bukan majikanku. Lagi pula, kalian yang mengganggu perjalananku. Lalu kenapa aku mesti menghormatinya segala?" sahut Raja Penyair tenang.

"Bangsat! Rupanya kau belum kenal kami”

"Untuk apa kenal dengan orang-orang yang tidak punya santun? Apakah akan menaikkan derajat ku?"

"Kau betul-betul cari gara-gara! Jangan salahkan kalau kami bersikap keras. Pilihan mu hanya satu. Kembali dan mendengarkan bicara majikanku! Kalau dia belum menyuruhmu pergi, kau tak berhak angkat kaki!"

"Kalau tidak?" tanya Raja Penyair, menantang.

"Kau akan merasakan hajaran ku!" tegas si Capung Hitam.

"Hi hi hi...! Hebat sekali gertakan mu Capung Hitam!" sahut Raja Penyair sambil tertawa halus. "Aku ingin merasakan sejak dulu, bagaimana hebatnya hajaranmu. Karena itu aku memilih untuk tidak menuruti perintahmu."

"Kurang ajar!" Meski dalam hati agak kaget karena Raja Penyair mengetahui siapa dirinya, namun kemarahan si Capung Hitam lebih besar. Sehingga tanpa basa-basi lagi....

"Yeaaa...!" Si Capung Hitam melepas satu pukulan keras bertenaga dalam lumayan.

"Uts!" Si Raja Penyair lompat ke belakang sambil mengibaskan penggesek rebab.

Seketika terasa angin tajam menyambar ke arah si Capung Hitam. Laki-laki berjubah hitam ini kaget. Namun, dia mampu menghindar dengan memutar tubuhnya. Bahkan langsung melanjutkan serangan dengan kaki yang menyambar ke arah kepala. Namun, lagi-lagi Raja Penyair mengibaskan penggesek rebab untuk menangkis. Gerakan itu kelihatan lemah, tapi....

Tak!

"Aaakh...!" Si Capung Hitam meringis kesakitan ketika penggesek rebab menghantam kakinya.

Bahkan sebelum dia berbuat sesuatu, serangan balasan Raja Penyair telah meluncur datang ke arah perut.

"Hup!" Masih untung si Capung Hitam sempat melompat ke belakang. Namun Raja Penyair tak mengejar. Dan bersamaan itu....

"Cukup! Hentikan...!" teriak wanita bertopeng hitam yang ternyata orang yang menguasai Pe‐sanggrahan Kembang Melati.

"Ketua! Aku masih mampu menghajarnya...?!" seru Capung Hitam dengan wajah kecewa ketika mengetahui majikannya yang menghentikan pertarungan.

"Aku tahu, Capung Hitam!" sahut Pimpinan Pesanggrahan Kembang Melati.

"Lalu kenapa Ketua menghentikannya?"

"Karena memang sebaiknya begitu. Kalau saja Raja Penyair tak mau bicara denganku, biarlah. Tak perlu kita memaksa orang supaya bersikap hormat dari orang-orang yang hatinya tak setuju kan menyakitkannya. Maka, biarkan dia pergi."

"Baiklah kalau begitu, Ketua...," sahut si Capung Hitam lemah. Lalu matanya menatap tajam Raja Penyair. "Lekas angkat kaki sebelum kesabaranku hilang!"

"Sebenarnya aku ingin melihat kesabaranmu hilang. Tapi karena majikanmu mengatakan aku boleh pergi, sebaiknya kuturuti. Ha ha ha...! Tak baik membantah perkataan orang yang keluar dari hatinya," sahut Raja Penyair, kalem.

Dan Raja Penyair meninggalkan tempat itu dengan langkah lambat. Seolah ingin menunjukkan kalau tak ada yang mesti ditakuti. Sementara itu Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati masuk ke dalam tandunya kembali.

"Kita berangkat sekarang!" perintahnya.

********************

Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih berdiri mematung memandangi sebuah bangunan tua yang tak terurus lagi. Tatapan matanya begitu tajam, seolah hendak menembus dinding-dinding bangunan itu.

"Permisi! Aku hendak bertemu pemilik bangunan ini...!" teriak pemuda yang di punggungnya tersandang sebilah pedang bergagang kepala burung itu.

Tak terdengar sahutan apa-apa. Bangunan itu benar-benar tak terurus. Dan setiap orang yang melewatinya, pasti merasa yakin kalau penghuninya telah minggat puluhan tahun lalu. Namun pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti ini merasa yakin kalau penghuninya masih berada di dalam. Paling tidak, penghuni baru! Dan baru saja Rangga hendak bersuara kembali.

"Kisanak, apa yang kau lakukan di situ?"

"Hmm..." Rangga bergumam pelan sambil menoleh sedikit. Dan dia melihat seorang laki-laki setengah baya lengah memanggul cangkul. Kepalanya memakai tudung bambu, berpakaian seperti petani. Namun dari kehadirannya yang tiba-tiba tanpa terdengar suara, Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau laki-laki itu mempunyai kepandaian cukup tinggi. "Aku ingin bertemu penghuni rumah ini," sahut Rangga sambil kembali meluruskan pandangan ke depan.

"Kau gila! Penghuni rumah ini telah pergi beberapa puluh tahun lalu!" kata laki-laki petani ini.

"Kalau begitu pada penghuni yang ada di dalam saat ini," tegas Rangga bersikeras.

"Penghuni? Ha ha ha...! Kau mungkin bermimpi. Sejak bertahun-tahun aku tinggal di sekitar tempat ini, belum pernah kulihat seorang pun penghuni, kecuali kawanan kelelawar dan binatang-binatang hutan. Bahkan orang-orang di sekitar tempat ini menjuluki rumah ini sebagai rumah hantu!" jelas petani itu.

"Kalau begitu aku ingin bertemu kelelawar, binatang hutan, atau hantu. Atau, apa pun namanya!"

"Terserah padamu, Anak Muda. Aku telah mengatakannya. Dan kau tak mau percaya. Lama-lama kau bisa sinting memanggil orang yang tak ada” kata petani ini sambil tertawa dan menggeleng lemah. Rangga tersenyum kecut.

"Entah, aku atau kau yang sinting. Tapi kau seperti orang tua yang hendak membodoh-bodohi cucunya, agar jangan masuk ke dalam rumah itu. Sementara, kau baru saja keluar dari situ. Dan cucunya mengetahui dengan jelas. Lalu, sekarang siapa yang sebenarnya sinting?" sindir Rangga.

Wajah petani itu kontan berubah. Kalau saja menoleh, Rangga akan melihat raut wajah petani itu telah memerah. Entah perasaan mendongkol atau rasa kesal. Tapi sebenarnya tanpa melihat pun sudah diduga demikian.

"Nah! Karena tak ada lagi yang akan kau katakan, panggillah penghuni rumah ini. Aku ingin bertemu dengannya!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.

"Siapa yang kau maksudkan?" tanya petani tadi dengan suara datar.

"Sangkaran!" sahut Rangga, tegas.

"Kami tak pernah dengar nama itu!"

"Apakah kau pernah dengar nama Jatmika?"

Dahi petani itu berkerut sebentar sebelum menggeleng lemah.

"Sayang sekali. Padahal, dia mengatakan dengan jelas bahwa kau tinggal di sini...," desah Rangga.

"Apa maksudmu?" selak laki-laki petani ini.

"Dia sempat mengatakan kalau Petani Kere tinggal di sini. Dan saat ini, dia tengah berada di belakangku."

"Hm, bagus! Matamu sungguh tajam, Anak Muda. Bisa jadi orang bernama Jatmika itu benar. Tapi, dia berdusta bila mengatakan kalau di sini ada yang bernama Sangkaran."

"Kau kelewat bernafsu, Sobat. Dia sama sekali tidak mengatakan begitu. Sebelum tewas, dia mengatakan kalau kau mengetahui di mana Sangkaran berada. Jangan sampai di antara kita terjadi silang sengketa...."

"Tak mudah menggertakku, Anak Muda!" dengus laki-laki yang ternyata berjuluk si Petani Kere.

"Aku tak menggertak. Kecuali, kalau kau tetap bungkam!"

"Setan! Heaaa...!"

Wuuttt...!

Petani Kere yang kemarahannya telah membludak langsung mengayunkan cangkulnya. Namun dengan hanya mengegos ke kiri, Rangga berhasil menghindarinya. Dan begitu cangkul itu lewat di sisinya, mendadak tangannya mengibas ke tangan Petani Kere yang memegang cangkul.

Plak!

"Ohh...!" Petani Kere terkesiap. Tahu-tahu cangkulnya terjatuh di tanah, begitu tangannya terasa nyeri bukan main terhantam tangan Pendekar Rajawali Sakti. Sebelum kesadarannya sempurna, Rangga menyodokkan sikutnya sambil maju selangkah, ke dada laki-laki itu.

Desss...!

"Uhh...!" Petani Kere terjajar beberapa langkah disertai keluhan tertahan. Sambil mendekap dada, matanya tajam memandang Rangga.

"Siapa kau sebenarnya?!" tanya Petani Kere, bergetar.

"Sangkaran akan tahu kalau aku kawan lamanya. Karena itu suruhlah dia keluar!" sahut Rangga, sambil menentang tatapan laki-laki itu dengan tak kalah dinginnya.

"Huh! Kawan lama tidak akan begini caranya bila hendak bertemu!" dengus Petani Kere.

"Jangan terlalu menguras kesabaranku, Petani Kere! Panggillah dia untuk menemuiku!" desis Rangga, menggetarkan.

"Tidak perlu menggertak ku, Anak Muda. Aku tidak takut denganmu!"

"Memang tak seharusnya kau takut denganku," sahut Rangga tenang seraya melangkah mendekati.

EMPAT

Meski wajahnya dipasang angker dan kesan tidak takut sedikit pun, tapi sesungguhnya nyali Petani Kere mulai ciut setelah menerima gebrakan Rangga tadi. Hanya sekali gebrak saja, dia telah merasakan kehebatan pemuda di depannya. Itu menandakan kalau pemuda ini memiliki kepandaian hebat dan kalau menyerang lagi apakah masih mampu menahannya atau tidak. Tapi, Petani Kere bertindak nekat. Tiba-tiba....

"Heaaat...!" Disertai teriakan menggelegar, Petani Kere itu melesat dengan hantaman bertubi-tubi. Namun, sambil melangkah ke belakang dengan tubuh meliuk, Pendekar Rajawali Sakti mampu menghindarinya. Bahkan pada jarak tertentu, tiba-tiba Rangga berputar seraya melepas tendangan menggeledek. Petani Kere terkesiap. Dengan tangan kanan dicobanya untuk memapak.

Plak!

"Uhh...!" Meski berhasil menangkis, namun tak urung wajah Petani Kere meringis kesakitan. Dari adu tenaga barusan, nyata kalau tenaga dalam pemuda itu berada di atasnya. Dan kalau ini terjadi terus, tidak sampai lima jurus dia bakal dapat dijatuhkan.

Namun dugaan Petani Kere keliru. Karena baru menginjak jurus berikutnya, tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi ke udara dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Beberapa kali tubuhnya berputar, lalu mendadak meluruk deras ke arah Petani Kere. Saat itu juga lewat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', tangan kanannya menyodok ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga Petani Kere hanya melongo saja. Tahu-tahu....

Begkh...!

"Aaakh...!" Petani Kere terjatuh di tanah disertai teriakan kesakitan. Dari mulutnya mengeluarkan darah segar. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti tadi tidak mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya. Kalau sampai itu terjadi, bukan tak mungkin dadanya akan amblong!

Sementara itu, Rangga yang sudah mendarat di tanah sudah bersiap-siap kembali, bila Petani Kere akan menyerang lagi. Namun sebelum itu terjadi....

"Hentikan!"

"Hmm!" Pendekar Rajawali Sakti bergumam tak jelas ketika terdengar suara bentakan dari belakang. Seketika tubuhnya berbalik.

Rangga melihat seorang laki-laki setengah baya berperut gendut tengah berdiri di ambang pintu bangunan tua itu. Wajahnya tampak kaku, menyiratkan ketidaksenangannya terhadap kehadiran Pendekar Rajawali Sakti. Sementara di kanan-kirinya berbaris rapi beberapa tokoh persilatan yang selama ini mengawalnya.

"Adipati Sangkaran! Senang sekali bisa bertemu denganmu!" sapa Rangga. Meski memanggil dengan sebutan adipati, sesungguhnya tekanan suaranya tadi jelas-jelas menyiratkan ketidaksenangannya.

"Terus terang saja, apa maksud kedatanganmu ke sini?" tanya laki-laki berperut gendut yang dipanggil Adipati Sangkaran. (Untuk mengetahui siapa itu Adipati Sangkaran, silakan baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Ancaman Dari Utara)

"Aku tidak membiarkan orang yang telah berbuat kelaliman berkeliaran begitu saja!" desis Rangga.

"Kau lihat orang-orang ini, Pendekar Rajawali Sakti? Mereka setia padaku dan rela bersabung nyawa jika nyawaku terancam. Kutawarkan perdamaian padamu. Dan kau boleh tinggalkan tempat ini dengan aman!" ujar Adipati Sangkaran, yang disertai ancaman.

Rangga tersenyum kecut. "Apa urusannya dengan mereka? Aku hanya berurusan denganmu. Dan kalau mereka ikut campur, maka tanggung sendiri akibatnya!" balas Rangga, kalem.

Dengan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti barusan, jelas merupakan tantangan bagi para tokoh persilatan yang berdiri di belakang Adipati Sangkaran. Harga diri mereka merasa terinjak jika tak menyambut tantangan itu. Apalagi, mereka punya kewajiban melindungi junjungannya.

Mereka memang pernah mendengar kehebatan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kali ini tidak membuat mereka gentar. Toh, belum dicoba. Begitu pikir mereka. Maka saat itu juga melompat satu orang ke depan. Orang ini bertubuh lebih besar. Wajahnya garang. Sepasang alisnya terangkat ketika memutar-mutar tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Pendekar Rajawali Sakti! Kau boleh berhadapan dengan Tombak Setan bila hendak mencelakai junjunganku!" teriak laki-laki bertubuh tinggi besar yang mengaku berjuluk si Tombak Setan. Suaranya terdengar serak dan parau.

"Kuperingatkan! Kalian hanyalah budak dari durjana itu. Oleh sebab itu, pergilah sebelum pikiranku berubah...!" desis Rangga.

"Banyak mulut! Heaaa...!"

Wuk! Set!

Tombak Setan langsung memutar tombak dan menghujamkannya ke jantung Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti hanya perlu melompat sedikit ke samping, lalu memutar tubuh untuk melepas tendangan.

Duk!

Hugkh!" Tendangan Rangga tepat menghantam ulu hati. Saat itu juga muka seram Tombak Setan berubah. Kini wajahnya berkerut menahan nyeri ketika terhuyung-huyung ke belakang.

"Heaaa...!" Rangga tak memberi kesempatan, langsung melesat. Ternyata dalam keadaan demikian, Tombak Setan masih mampu menyabetkan senjatanya.

"Hup!" Pendekar Rajawali Sakti cepat bersalto di udara. Entah kebetulan atau tidak sebelah kakinya mendarat di batang tombak lawannya. Sementara kaki yang satu lagi cepat sekali menghantam dagu Tombak Setan.

Duk!

"Uhh...!" Tendangan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam jalan saraf Tombak Setan. Seketika Laki-laki tinggi besar ini ambruk ke tanah. Pingsan!

Melihat kejadian itu, nyali Adipati Sangkaran sedikit ciut. Namun dia masih punya harapan ketika dua orang anak buahnya langsung melompat ke hadapan Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau boleh mengalahkannya! Tapi jangan coba-coba terhadap Ular Besi dan Gong Sekati!" dengus salah seorang yang bersenjata rantai panjang. Pada ujung rantai terdapat mata tombak runcing.

Dan di dunia persilatan, dia dijuluki Ular Besi. Yang seorang lagi bertubuh pendek. Dia membawa sebuah gong beserta pemukulnya. Orang ini bergelar Gong Sekati. Padahal nama sebenarnya Kalapu. Tanpa basa-basi lagi, mereka menyerang Pendekar Rajawali Sakti bersamaan.

"Heaaa...!"

Wut! Wuk!

Si Ular Besi memutar-mutar rantainya, seperti hendak membelit Pendekar Rajawali Sakti. Sementara si Gong Sekati siap mengayunkan pemukul Gongnya.

"Hup!" Rangga seketika membuka jurus 'Sembilan Langkah Ajaib’. Saat itu juga tubuhnya meliuk-liuk indah ditopang oleh gerakan kaki yang lincah. Sampai sejauh ini, tak satu serangan pun yang berhasil menyentuh tubuhnya. Mendadak, lewat satu gerakan tak terduga, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat sekali. Tubuhnya bergerak memutari kedua lawannya. Jelas Rangga tengah mengerahkan jurus 'Seribu Rajawali'. Maka saat itu juga tubuhnya berubah bagai seribu jumlahnya.

"Heh?!" Si Ular Besi terkesiap melihat tubuh Pendekar Rajawali Sakti berubah jadi banyak. Dan sebelum dia menyadari apa yang terjadi....

Des!

"Akh!" Dan Rangga tak memberi kesempatan meski sekejap pun. Begitu lawannya termangu, dilepaskannya satu pukulan telak yang bersarang diulu hati. Ki Jambangan menjerit kesakitan ketika tubuhnya terlempar ke belakang. Dia ingin segera bangkit, tapi tak mampu. Gong Sekati yang melihat temannya terlempar jadi terkejut. Namun dia cepat memukul-mukul gongnya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Dang! Dong! Dang...!

Dengan begitu, laki-laki ini bermaksud membuyarkan perhatian Pendekar Rajawali Sakti. Memang suara gong yang ditabuh begitu kuat menindih pendengaran Rangga. Namun Rangga pun tak tinggal diam. Cepat disalurkannya hawa murni, seraya meningkatkan tenaga dalamnya. Lalu tiba-tiba salah satu tubuhnya yang berubah banyak itu, berkelebat cepat ke arah Gong Sekati. Dan....

Desss...!

"Aaakh...!" Telak sekali hantaman Pendekar Rajawali Sakti yang langsung mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', mendarat di dada Gong Sekati hingga terlempar beberapa langkah. Laki-laki itu menjerit kesakitan sambil memegangi dadanya yang terasa sesak.

Kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti semakin membuat ciut nyali Adipati Sangkaran. Tiga jagonya keok. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti tak kurang suatu apa pun.

"Astaga! Ki Kalapu nyaris mampus hanya beberapa gebrakan. Bukan main!" puji Adipati Sangkaran di hati.

Sementara itu di hadapan Pendekar Rajawali Sakti telah berdiri penantang lain. Dia adalah seorang laki-laki setengah baya bertubuh sedang. Kepalanya gundul. Dia tidak membawa senjata apa pun. Namun dari sorot matanya terasa kalau laki-laki ini memiliki tenaga dalam hebat.

"Pendekar Rajawali Sakti! Kini kau lawanku!" desis laki-laki botak ini.

"Aku heran! Mestinya kepandaian kalian bisa digunakan untuk jalan kebaikan. Tapi kenapa mesti bekerja dengan orang telengas macam Adipati Sangkaran?" kata Rangga, dingin.

"Kau tak tahu apa-apa tentangnya!" sentak laki-laki botak itu.

"Dia adalah bajingan tengik yang telah begitu tega memperkosa putri tirinya! Dan dia adalah seorang pemberontak!" dengus Rangga.

Laki-laki botak ini tak bisa bicara lagi. Wajahnya berkerut menahan amarah.

"Walet Batu! Kau kubayar bukan untuk adu mulut dengannya! Bereskan dia lekas!" teriak Adipati Sangkaran, membakar amarah laki-laki botak yang ternyata berjuluk Walet Batu.

"O, jadi kau yang berjuluk Walet Batu? Sayang sekali, orang sepertimu mesti bekerja pada manusia durjana seperti Sangkaran...!"

"Pendekar Rajawali Sakti! Lebih baik tutup mulutmu! Atau aku yang akan membungkamnya!" bentak si Walet Batu.

"Hm, mestinya julukanmu jangan Walet Batu, tapi Kepala Batu!"

"Kurang ajar!" Saat itu juga Walet Batu melompat menyerang dengan hantaman tangan bertubi-tubi. Gerakannya gesit. Angin serangannya mengandung tenaga dalam kuat. Orang ini memang bertenaga besar dan mampu bergerak gesit. Seperti julukannya, dia mampu bergerak secepat walet.

"Hup!" Rangga yang telah mendengar kehebatan Walet Batu tidak mau bertindak ayal-ayalan. Seketika tenaga dalamnya dikerahkan. Telapak kirinya yang terkembang cepat menahan kepalan kanan Walet Batu yang bergerak cepat.

Plak!

Terjadi benturan keras. Tubuh Walet Batu bergetar dan terasa ada sesuatu dorongan tenaga luar biasa. Dia sempoyongan dengan kuda-kuda goyah. Sementara Rangga tegak berdiri. Seolah memberi kesempatan pada Walet Batu untuk menyerang.

"Heaaa...!"

"Nekat juga rupanya kau!" gumam Rangga sambil tersenyum pahit.

Walet Batu kali ini melesat ke atas. Kedua tangannya terkepal, hendak menghantam Pendekar Rajawali Sakti. Sambil melangkah mundur, Rangga menangkis gesit. Dan ketika Walet Batu hendak menghantam dadanya, Rangga meliukkan tubuhnya dengan manis sekali. Bahkan seketika kakinya terangkat lurus menghantam dada.

Desss...!

"Aaakh...!" Si Walet Batu terlontar deras ke belakang disertai jerit kesakitan. Begitu menjejak tanah, langkahnya sempoyongan.

Kesempatan itu digunakan Pendekar Rajawali Sakti untuk melesat dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'! "Hup! Yeaaa...!"

"Ohh...!" Bukan main kagetnya si Walet Batu ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti menyerangnya dengan satu gedoran keras. Padahal saat itu dia betul-betul tidak siap. Hingga akibatnya...

Desss...!

"Akh!" Tubuh Walet Batu terhempas ke tanah disertai pekik kesakitan. Tak ayal lagi, darah mengucur deras dari mulutnya. Sebenarnya dengan serangan sebelumnya, Walet Batu telah terluka dalam. Dan dia berusaha menyembunyikannya dengan menutup mulutnya rapat-rapat. Namun serangan Rangga barusan benar-benar membuatnya tak bisa bangkit lagi.

"Hoeekh...!" Tepat ketika si Walet Batu batuk-batuk muntah darah, Rangga berkelebat ke arah Adipati Sangkaran.

"Eeeeh...!" Adipati Sangkaran terkesiap. Dan sebelum dia berbuat sesuatu, Pendekar Rajawali Sakti telah menggerakkan tangan kanannya ke tengkuk.

Tuk!

"Ohh...!"

Satu buah totokan, langsung membuat Adipati Sangkaran pingsan dengan tubuh lemas. Rangga langsung menangkap tubuh yang hendak ambruk. Lalu matanya memandang garang pada sisa anak buah Adipati Sangkaran.

"Siapa yang coba-coba hendak menyelamatkannya, maka akan mengalami nasib sama dengan yang lainnya!" teriak Rangga.

"Mau kau bawa ke mana dia?" tanya salah seorang.

"Mau kubawa ke mana, itu urusanku! Awas! Jangan ada yang coba-coba membuntuti ku, kalau masih ingin melihat matahari esok pagi!" ancam Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan berkeliling, lalu memondong tubuh Adipati Sangkaran. Saat itu juga tubuhnya berkelebat cepat. Namun baru beberapa puluh tombak melesat, Pendekar Rajawali Sakti berpapasan dengan sebuah rombongan yang dipimpin oleh seorang penunggang kuda. Empat pemuda di antara rombongan itu memanggul tandu.

"Kisanak, tahan langkahmu!" teriak orang yang berkuda.

"Hmm!" Rangga menghentikan lesatannya. Matanya langsung terarah pada seorang laki-laki berjubah hitam. Kepalanya besar dengan sepasang mata melotot lebar seperti hendak keluar dari sarangnya. Setelah diamati seksama akan terlihat kalau sepasang matanya lebih besar ketimbang bola mata orang dewasa pada umumnya. Jadi bukan sedang menunjukkan kemarahannya. Orang inilah yang tadi mengeluarkan bentakan.

"Ada apa, Kisanak?" tanya Rangga, datar.

"Maaf, Kisanak! Siapa orang yang tengah kau bawa?" tanya laki-laki berkepala besar yang tak lain si Capung Hitam.

"Dia kawanku!" sahut Rangga singkat.

Dari jawaban serta sikapnya, jelas menunjukkan kalau Pendekar Rajawali Sakti tak senang orang itu mengganggu langkahnya. Namun laki-laki itu seperti tak mau mengerti. Atau memang sengaja?!

"Bukankah itu Adipati Sangkaran?" tanya si Capung Hitam, sambil memandang curiga.

"Kisanak, menepilah! Aku tak ingin ada urusan dengan kalian!" desis Rangga, tak mempedulikan pertanyaan si Capung Hitam.

"Justru kami yang hendak berurusan denganmu!"

"Hmm!" Raut wajah Pendekar Rajawali Sakti berubah tegang mendengar jawaban itu.

"Sebenarnya kedatangan kami ke sini ada keperluan dengan Adipati Sangkaran. Namun karena kau telah mengacaukannya, maka terpaksa kita berurusan," lanjut si Capung Hitam.

"Maaf, Kisanak! Aku tak suka diganggu! Aku tak peduli urusanmu. Dan orang dalam pondongan ku harus kuserahkan pada seseorang...."

"Jangan bicara gegabah, Anak Muda! Kau be­lum tahu siapa aku!" bentak si Capung Hitam.

"Aku tak perlu tahu siapa kau. Tapi siapa pun yang coba menghalangi jalanku, jangan salahkan kalau aku bertindak keras!"

"Ha ha ha...! Apakah kau pikir bisa bertingkah di depanku?!"

LIMA

Rangga menghela napas, untuk membuang kekesalannya. Kepalanya menggeleng perlahan dengan bibir tersenyum kecut "Sebenarnya siapa yang bertingkah?" tukas Pendekar Rajawali Sakti, kalem. "Bukankah kau yang menghentikan langkahku?"

"Kurang ajar!" Bukan main geramnya si Capung Hitam mendengar pemuda itu meremehkannya. Demikian pula halnya yang lain. Mereka ingin segera menggasak pemuda berbaju rompi putih ini. Namun sebelum seorang pun ada yang bergerak....

"Capung Hitam! Biarkan aku bicara dengannya...." Terdengar suara dari dalam tandu. Tentu saja, dia tak lain dari Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.

"Tapi, Ketua...."

"Sudahlah. Tak apa. Aku bisa menanganinya," potong Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati. "Turunkan tandu!"

Begitu tandu diletakkan di tanah perlahan, tirai tersibak. Dari dalamnya, keluar satu sosok berpakaian dan berjubah hitam. Kepalanya tertutup kain hitam pula. Pendekar Rajawali Sakti menatap tajam sosok tubuh ramping berpakaian serba hitam dan berambut panjang melewati pinggang ini. Rangga sulit mengenali karena yang terlihat hanya dua bola matanya yang memancar penuh kekuatan sihir dari dua buah bolongan kecil di kain hitam itu.

"Hmm! Sorot matanya mengandung daya sihir. Aku mesti hati-hati...," gumam Rangga ketika mata hatinya yang tajam menembus dua bola mata sosok di depannya. Dia seperti melihat cahaya terang yang menyilaukan. Saat itu juga Rangga mengerahkan kekuatan tenaga batinnya.

"Kisanak! Kalau boleh aku mengetahui, apa urusanmu dengan si Sangkaran ini?" tanya sosok ramping berbaju serba hitam yang dikenal pula sebagai Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.

"Ini urusan pribadi," sahut Rangga berdusta.

"Urusan pribadi? Hmm.... Kalau demikian, hampir sama denganku. Hanya saja aku menginginkannya untuk kawanku. Dan kalau tak salah, dia pernah cerita banyak tentangmu...."

"Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan. Tapi kalau kau coba membujuk ku untuk meminta si Sangkaran, lupakanlah! Aku tidak akan memberikannya padamu!"

"Begitukah? Bukankah kau Pendekar Rajawali Sakti? Dan..., kata Malini kau pernah berjanji untuk meringkus dan menyerahkan si Sangkaran padanya...."

"Malini? Kau kenal dengannya?" Wajah Rangga berubah mendengar nama itu disebutkan (Tentang Malini dapat diikuti dalam episode Memburu Rajawali)

"Dia sahabat terbaikku. Dan tahukah kau, bahwa keinginanku menangkap si Sangkaran adalah karena permintaannya. Bukankah tujuanmu pun begitu?"

"Ya, memang...."

"Kalau begitu kau boleh menyerahkan Sangkaran padaku. Dan nanti pasti akan kuberikan pada Malini."

Hampir saja Rangga memberikannya. Karena dengan begitu urusannya selesai. Dia bisa melanjutkan petualangannya. Tapi..., Pendekar Rajawali Sakti merasa tak kenal dengan sosok bertopeng ini. Meski mengaku kawan Malini, namun tanpa melihat langsung sulit baginya untuk percaya. Lagi bila dia mesti yakin kalau Adipati Sangkaran harus sampai ke tangan Malini.

"Maaf, aku tak bisa menyerahkannya padamu" tandas Rangga.

"Apakah kau tak percaya?" tukas Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.

"Kenapa aku mesti percaya padamu? Kenal denganmu saja, belum. Bahkan meski bertemu seperti ini, toh aku tak tahu wajahmu. Mungkin saja kau kawannya. Tapi soal si Sangkaran ini sangat penting. Karena aku telah berjanji padanya. Dan itu harus sampai ke tangannya."

Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati mengeluarkan suara kecil, bersamaan dengan hela nafasnya. "Luar biasa! Dalam dunia yang semakin kacau, ternyata masih ada orang-orang yang berjiwa sepertimu!" puji wanita bertopeng itu. "Kuhargai sikapmu, Pendekar Rajawali Sakti. Dan tentu saja aku tak memaksamu. Aku hanya ingin menawarkan sesuatu. Dan mudah-mudahan, kau tak menolaknya.

"Apa itu?" tanya Rangga, dengan kening berkerut.

"Mampirlah ke tempat kami," ajak wanita bertopeng ini.

"Maaf, aku tak punya kepentingan dengan ka­lian. Lagi pula aku mesti buru-buru," tolak Rangga halus.

"Sayang sekali.... Bukankah kau ingin menyerahkan si Sangkaran pada Malini?"

"Hm, ya...."

"Kalau begitu, aku tak salah menawarkan padamu. Karena Malini tengah menunggu ditempat kami."

Rangga tersenyum. "Jangan coba mengakaliku...!"

"Kenapa aku mesti mencari penyakit dengan mengakali Pendekar Rajawali Sakti?"

Rangga terdiam. Dahinya agak berkerut. Otaknya berpikir untuk coba mempertimbangkan tawaran Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.

"Baiklah...!" desah Rangga, akhirnya.

"Hm, aku tahu. Kau pasti telah memperhitungkan baik dan buruknya. Tapi, percayalah. Aku sama sekali tak bermaksud buruk padamu," tandas wanita itu.

"Kupegang kata-katamu. Dan bila kau berdusta, jangan harap bisa mendapatkan si Sangkaran, kata Rangga kalem tapi tegas.

"Kalau begitu, mari kita berangkat."

"Jalanlah lebih dulu. Biar aku mengikuti dari belakang," sahut Pendekar Rajawali Sakti.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Duhai kekasih hatiku,
kiranya hari ini pertemuan kita
Apakah kau akan pergi meninggalkan diriku kembali?
Padahal sekian lama aku merindukanmu
Maka bila kau hendak pergi,
tak kurelakan aku sendiri lagi


Lantunan syair terdengar berulang-ulang diiringi gesekan rebab, ketika rombongan Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati memasuki Desa Sangit. Orang yang melantunkannya tak lain dari Raja Penyair.

"Kurang ajar!" maki si Capung Hitam ketika melihat sosok Raja Penyair. Hatinya masih panas karena kekesalannya belum terlampiaskan.

"Capung Hitam! Tahan amarah mu. Jangan ladeni dia!" seru Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati, mengingatkan.

"Orang ini seperti sengaja mengejek kita! Dia mesti dihajar, biar tahu rasa!"

"Biarkan! Tak perlu diusik."

Geraham si Capung Hitam berkerotokan meski tetap mematuhi apa yang diperintahkan majikan Pesanggrahan Kembang Melati. Sepasang matanya mendelik dan seperti mau lompat keluar, ketika jarak mereka semakin dekat dengan Raja Penyair.

Siapakah yang paling malang di dunia ini?
Menanti cinta yang tak terbalas atau mengejar cinta yang tak ada?
Siapa yang paling dungu di dunia ini?
Yang mengabdi seperti anjing atau anjing mengabdi seperti manusia?


"Ketua! Perintahkan padaku untuk menghajar mulutnya yang lancang itu?!" desis si Capung Hitam menahan geram.

"Tidak perlu."

Lagi-lagi tubuh laki-laki berjubah hitam ini menggigil menahan geram. Amarah di hati makin menggelegak saja. Seketika kedua tangannya menghentak ke samping.

"Hiih!"

Brakkk!

Sebatang pohon sebesar paha laki-laki dewasa yang ada di kiri jalan hancur berantakan dihajar pukulan jarak jauh si Capung Hitam untuk melampiaskan kemarahannya.

Kata orang keledai yang paling pandir
Memikul beban tanpa mengeluh
Tapi ternyata ada yang paling pandir
Memukul benda yang tak mampu melawan


Kali ini lengkap sudah kemarahan si Capung Hitam mendengar syair berikutnya yang dilantunkan Raja Penyair. Secepat kilat tubuhnya mencelat dari punggung kuda. Langsung dilepaskannya satu serangan menggeledek.

Siuuut!

Raja Penyair cuma sedikit bergeser, maka serangan si Capung Hitam mengenai tempat kosong. Namun serangan laki-laki berjubah hitam itu tidak berhenti sampai di situ. Karena sebelah kakinya tiba-tiba menyodok keperut, setelah berputar.

"Uts!"

Bet! Bet!

Raja Penyair melompat ke atas seraya mengibaskan penggesek rebab ke batok kepala. Namun Capung Hitam menjatuhkan diri. Tubuhnya bergulingan sebentar, lalu melenting ke atas dalam sikap menerkam dengan kedua kaki lebih dulu melayang.

"He he he...! Kenapa kau ini, Kawan? Menyerang tanpa sebab seperti kambing kebakaran jenggot," ejek Raja Penyair sambil menghindar dengan melompat ke kanan.

"Tutup mulutmu!" bentak si Capung Hitam, terus menyerang kembali.

"Ha ha ha...! Kau ini semakin lucu saja. Mulut adalah anugerah Yang Maha Pencipta. Dan dibuat, untuk dibuka agar kita bisa bicara, makan, dan bersyair."

"Penyair Busuk! Aku akan menutup mulutmu yang penuh cacing itu!"

"Kau hendak menutupnya? Hi hi hi...! Sedangkan ibuku sendiri menyuruhku untuk sering-sering membukanya. Kalau tertutup, sulit bagiku untuk bicara, makan, dan bersyair."

Jawaban-jawaban Raja Penyair semakin membuat si Capung Hitam tambah geram. Seketika serangannya ditingkatkan. Namun sebegitu jauh, tak satu pun yang membuahkan hasil. Padahal selama ini si Capung Hitam terkenal memiliki gerakan cepat dan ringan. Bahkan tenaga dalam yang dimilikinya pun tak kalah dibanding tokoh-tokoh kosen lainnya. Namun Raja Penyair ternyata juga bukan tokoh kemarin sore. Tubuhnya mampu berkelit-kelit lincah.

"Setan!" Si Capung Hitam semakin geram saja dibuatnya. Apalagi ketika Raja Penyair mencelat tinggi ke atas, dan hinggap di salah satu cabang pohon. Lalu kembali tubuhnya mencelat ke cabang pohon lainnya dengan ringan.

"Sobat Capung Hitam! Aku tidak bermusuhan denganmu. Maka jangan buang-buang tenaga untuk hal-hal yang tak perlu!"

Selesai berkata begitu, Raja Penyair berkelebat cepat. Dan dalam sekejap bayangannya telah lenyap dari pandangan. Sementara si Capung Hitam hanya terpaku, menyaksikan kehebatan ilmu meringankan tubuh Raja Penyair. Dan ini membuatnya makin geram saja.

"Kurang ajar! Hiih!" Saking geramnya, si Capung Hitam menghentakkan kedua tangannya ke sisi jalan.

Wusss...! Krakkk...!

Sebatang pohon lain kontan ambruk terkena pelampiasan kemarahan si Capung Hitam yang diwujudkan dalam bentuk pukulan jarak jauh. "Sudahlah.... Tidak usah dipikirkan soal orang aneh itu...," bujuk Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.

"Penyair busuk itu jelas-jelas menyindir kita...!" dengus si Capung Hitam sambil bersungut-sungut.

"Biarkan saja. Toh dia tak mengganggu kita. Ayo, lanjutkan lagi perjalanan!"

Meski masih memendam kejengkelan, si Capung Hitam akhirnya menurut.

********************

Pendekar Rajawali Sakti yang diajak Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati telah tiba di pesanggrahan itu. Saat ini hari telah sore. Gadis-gadis yang ada dalam pesanggrahan telah bersiap-siap menyambut tamu-tamu dengan segala macam daya pikat. Bau harum wewangian menebar hingga keluar pesanggrahan, langsung tercium pemuda berompi putih ini.

"Malini berada di tempat ini? Apa yang dikerjakannya? Sepertinya tempat ini tempat berkumpul gadis-gadis nakal...," gumam hati Rangga.

Pertanyaan Rangga agaknya tak perlu dijawab oleh siapa pun. Karena saat tiba di halaman depan, terlihat banyak gadis berkumpul dengan dandanan medok dan senyum genit. Tingkah mereka memberi isyarat apa yang dilakukan di sini.

"Rangga, silakan!" ujar Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati, tiba-tiba telah berada di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Tempat apa ini?" tanya Rangga. Sebuah pertanyaan yang agaknya bukan sekadar meminta jawaban, namun ingin menegaskan apakah benar Malini berada di tempat seperti ini.

"Oh, itu! Kau akan mengetahui sendiri. Atau..., mungkin kau tak berkenan?"

"Apakah..., apakah Malini bekerja di sini seperti mereka?" tanya Rangga, ragu.

"Hi hi hi...! Tentu saja tidak. Dia gadis terhormat. Dan aku tak akan membujuknya untuk bekerja seperti mereka. Ayo, silakan masuk! Jangan biarkan dia menunggu terlalu lama!" ajak Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.

Dengan sedikit termangu, Rangga melangkah. tak ada yang berani menggodanya. Gadis-gadis itu hanya melirik sekilas. Namun karena pemuda tampan itu datang bersama pemimpin tempat ini, buru-buru mereka mengalihkan pandang ke tempat lain.

"Tunggulah di sini! Akan kupanggilkan Malini!" ujar Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati seraya mengajak pemuda itu ke sebuah ruangan.

Rangga mengangguk. Lalu direbahkannya Adi­pati Sangkaran yang masih pingsan ke sebuah bangku panjang. Matanya jelalatan mengawasi seluruh ruangan tempat ini. Ketika masuk, tampak dua pengawal berjaga didepan pintu. Sedang si Capung Hitam dan yang lain menyebar entah ke mana. Mungkin tengah kembali pada pekerjaan semula. Atau..., tengah mengamankan pesanggrahan?

"Hmm!" Rangga cepat menoleh ketika telinganya mendengar langkah halus mendekati ruangan ini dari pintu yang lain. Tampak seorang gadis berkulit putih kemerahan dengan sepasang mata bulat indah dan hidung mancung telah hadir di ruangan ini. Rambutnya panjang. Pas betul dengan bentuk tubuhnya yang tinggi dan berisi. Manakala tersenyum, ruangan ini bagaikan terselimuti keceriaan.

“Malini…”

“Kakang Rangga...”

ENAM

Suasana jadi hening saat antara Rangga dan Malini tak ada yang bersuara. Gadis itu tersenyum malu dengan kepala tertunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah dadu. Sedangkan Rangga diam membisu, tak tahu mesti bicara apa.

"Seperti yang pernah kujanjikan, aku membawakannya untukmu...," kata Rangga, memecah keheningan sambil menunjuk Adipati Sangkaran.

"Kakang, aku tak tahu harus berkata apa! Kau..., kau baik sekali padaku," ucap gadis ini.

"Hanya ini yang bisa kulakukan padamu. Dia tak sadarkan diri. Dan terserah padamu, hukuman apa yang hendak kau jatuhkan padanya."

"Dia akan mendapat hukuman berat!" dengus Malini.

"Mestinya begitu."

"Tapi tidak sekarang...."

"Hmm!"

Gadis itu tersenyum lebar melihat Rangga mengerutkan dahi. Aku ingin pertemuan kita ini dirayakan meski hanya kecil-kecilan. Terakhir, Kakang cepat sekali berlalu...”

"Ah, ya! Aku sampai lupa. Bagaimana kabar ayahmu?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

Malini menarik napas lalu berpaling. Kemudian bangkit berdiri mendekati pintu. Dipanggilnya seorang pengawal untuk membawa keluar Ki Sangkaran.

"Tolong perketat penjagaan! Jangan sampai dia lolos!" ujar gadis ini, tegas.

Pengawal itu mengangguk, lalu membawa Adi­pati Sangkaran keluar. Setelah itu, Malini menutup pintu dan kembali duduk di dekat Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku tak betah tinggal bersama Ayah...," desah Malini, lirih.

"Apakah dia galak?" tanya Rangga.

"Tidak."

"Lalu?"

Malini tak langsung menjawab. Ditariknya napas dalam-dalam.

"Tak apa. Kalau memang berat menceritakannya, kita bisa bercerita hal-hal lain!" kata Rangga sambil tersenyum lebar.

"Tidak. Aku memang ingin menceritakannya. Telah lama kusimpan sendiri. Dan aku berharap suatu saat aku bisa berbagi duka denganmu, Kakang. Dan siapa nyana ternyata keinginanku terpenuhi. Maukah Kakang mendengarnya?" kata Malini, sedikit manja.

"Aku suka sekali! Tapi..., rasanya kita berada di tempat yang salah...," sahut Pendekar Rajawali Sakti seraya memperhatikan keadaan sekeliling ruangan ini.

"Kenapa? Kakang merasa tidak tenang di sini?"

"Entahlah...."

"Pemilik tempat ini baik. Dan dia kawan karib ku ketika aku masih kecil. Syukur dia mau.menampungku di sini...," tutur Malini, menjelaskan tanpa diminta.

"Kau betah di sini?" tanya Rangga.

"Ya, ketimbang bersama ayahku. Yang beliau pikirkan hanya harta dan bagaimana menumpuknya. Aku tetap saja tak merasakan kasih sayang seorang Ayah. Belakangan, beliau malah tergila-gila dengan wanita. Aku bosan melihatnya. Maka aku memilih kabur," papar Malini, sendu.

"Kabur? Apakah kau punya tujuan?" Rangga tertarik mendengarnya.

Malini menggeleng lemah. "Aku menuruti kemana kakiku melangkah saja. Dan..., pernah terlintas dalam benakku untuk mencarimu, Kakang.... Tapi kurasa kau pasti tak suka kuikuti seperti dulu."

Rangga terdiam. Dia memang tak suka diikuti. Apalagi oleh seorang gadis. Tapi untuk membenarkan kata-kata Malini tentu saja akan menyakiti hati gadis itu.

"Lalu aku bertemu Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati yang bersedia menampungku disini. Aku menceritakan kesulitanku. Juga, menceritakan tentang keinginanku meringkus si Sangkaran. Dan..., seperti yang Kakang lihat. Dia betul-betul baik dan rela berkorban segalanya untuk memenuhi keinginanku," papar Malini.

"Tanpa pamrih?" tanya Rangga.

Malini tersenyum sambil menggeleng.

Tok! Tok! Tok!

Pada saat itu terdengar ketukan dari luar. Gadis itu buru-buru bangkit. Begitu pintu dibuka, tampak seorang gadis berdiri di ambang pintu membawa nampan berisi makanan dan minuman. Lengkap dengan piring serta cangkir.

"Letakkan di meja. Dan kau boleh kembali ketempat mu!" ujar Malini.

Gadis itu melakukan apa yang diperintahkan tanpa menoleh pada Rangga. Sesudah memberi hormat, buru-buru dia keluar seraya menutup pintu.

"Mereka semua menghormatimu. Apa sebenarnya tugasmu di sini?" tanya Rangga ketika gadis itu menghidangkan secawan arak berbau harum padanya.

"Tugasku?" Malini tersenyum. "Aku tak punya tugas apa-apa."

"Hm.... Jarang ada seorang kawan sebaik itu!"

"Ya," sahut Malini mengangguk pasti. Entah dia tahu atau tidak kalau Rangga menyindir. Malini mengangkat cawan, langsung menyodorkan pada pemuda itu.

"Kakang, silakan!" kata Malini, halus.

"Terima kasih!" Tanpa menaruh curiga, Rangga menenggak arak. Dan begitu habis, Malini menuangkannya lagi

"Kakang.... Kau boleh menginap di sini kalau suka. Sebentar lagi malam...," kata Malini. Suaranya terdengar lirih dan berbisik.

"Aku tak bisa, Malini...," tolak Rangga halus.

"Sayang sekali...," keluh gadis ini dengan wa­jah kecewa

“Paling tidak, aku tak bisa menginap di tempat seperti ini."

"Kalau begitu, mengapa kita tidak cari tempat penginapan yang lain?!"

Rangga tersenyum melihat wajah gadis itu berbinar menawarkan usul. "Tidak perlu...."

Lagi-lagi Malini cemberut. "Yaaah, aku memang sudah menduga demikian. Kalau memang tak bisa, tak apa. Tapi paling tidak, Kakang telah menemaniku di sini barang sesaat. Itu pun sudah amat menggembirakanku...," desah Malini.

"Aku harus pergi, Malini...," kata Rangga seraya bangkit. Dan mendadak kepalanya terasa pusing bukan main.

"Begitu cepatkah? Sedangkan arak ini belum lagi habis," cegah Malini halus.

"Tidak Aku tak boleh banyak-banyak minum arak."

Malini menunduk dengan wajah murung. Usahanya untuk menahan pemuda itu kembali menemui jalan buntu.

"Aku pergi sekarang. Sampaikan salamku pada kawanmu...," pamit Rangga sambil meninggalkan ruangan.

Dari kejauhan Pendekar Rajawali Sakti menoleh sekali lagi. Tampak Malini belum juga mengangkat kepala di depan bangunan pesanggrahan. Ditariknya napas dan menguatkan tekad. Tidak baik baginya berlama-lama di sini. Berdua dengan seorang gadis cantik dalam suasana seperti itu, rasanya Rangga tak ingin terburu. Apalagi, sepertinya dia mengetahui hasrat hati gadis itu padanya. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti sedikit memberi perhatian lagi, maka sama artinya dengan memberi harapan.

Padahal itu tak diharapkannya. Ada bayangan Pandan Wangi yang cepat menyelinap dan mengingatkannya. Sejurus kemudian langkah Pendekar Rajawali Sakti kembali terayun tegar semakin jauh meninggalkan pesanggrahan. Sekilas langkahnya hanya satu-satu. Namun kenyataannya tubuhnya begitu cepat berkelebat. Sungguh suatu pameran ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi.

Namun ketika berada cukup jauh dari Desa Sangit, Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya. Tepat di ujung tikungan jalan, telah berdiri lima sosok tubuh berpakaian serba hitam menghadang. Bahkan dua dari mereka sudah meluruk menyerang dengan sabetan pedang.

"Yeaaa...!"

"Sialan!" Rangga memaki kesal, namun cepat meliuk-liukkan tubuhnya menghindari tebasan pedang. Begitu mendapat celah untuk menyerang, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas. Tubuhnya berputaran dua kali, dan mendadak kedua kakinya menghajar.

"Hiih!"

Desss...! Desss...!

"Aaakh...!" Dua orang berbaju serba hitam itu kontan terjungkal ke belakang disertai pekik kesakitan. Tapi bersamaan dengan itu, tiga orang lainnya maju merangsek. Bahkan kemudian belasan orang lagi melompat dari balik semak-semak ikut menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!" Rangga lompat ke belakang beberapa langkah. Di pasangnya kuda-kuda kokoh, siap mengerahkan aji 'Bayu Bajra'. Namun....

"Ohh...! Ada apa ini? Kenapa kepalaku terasa berdenyut dan pusing sekali?!" keluh Rangga dalam hati. "Apakah Malini yang...."

"Yiaaa...!"

Tengah Pendekar Rajawali Sakti mengalami gejala aneh dalam dirinya serta memikirkan siapa orang yang mempengaruhi daya kerja tubuhnya, para pengeroyok telah menyerang semakin beringas.

"Hup!" Pendekar Rajawali Sakti berniat melenting tinggi ke udara. Namun sedikit pun tubuhnya tak mampu bergerak.

"Gila! Tenagaku pun seperti cepat terkuras habis. Celaka! Apa yang telah terjadi padaku? Malinikah yang berbuat. Tapi rasanya...."

Desss!

"Aaakh...!" Kata-kata Rangga terpenggal oleh satu tendangan yang mendarat di punggungnya. Tubuhnya terjajar ke depan beberapa langkah. Kesempatan itu digunakan salah seorang lawan untuk melepas hantaman keras dan bertenaga dalam tinggi.

Buk!

"Uhh!" Rangga terhuyung-huyung sambil menekap dadanya

"Ayo, terus! Dia sudah hampir lemah...!" teriak seseorang.

"Lekas...!"

"Yeaaa...!"

Apa yang dikatakan orang itu memang benar. Keadaan Rangga saat ini benar-benar tidak menguntungkan. Kepala pusing dan berat, serta pandangan berkunang-kunang. Dan yang lebih mengkhawatirkan, tenaganya pelan-pelan terkuras tanpa bisa dicegah lagi.

Namun dalam hati Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau keadaannya disebabkan oleh makanan dan minuman yang disediakan Mali­ni, yang mungkin telah diberi ajian tertentu. Pada saat itu dua sabetan pedang berkelebat ke arah Rangga. Satu ke leher dan satu lagi ke pinggang. Pendekar Rajawali Sakti berusaha menghindar dengan susah payah. Tubuhnya berputar sambil membungkuk, lalu lompat ke belakang. Tapi begitu menjejak tanah....

Dess! Begkh!

"Aaakh...!" Satu tonjokan di dada, dan tendangan geledek ke perut. Membuat pemuda itu kontan terpental beberapa langkah ke belakang dan jatuh berdebuk keras di tanah.

"Ringkus dia...!"

Srap!

"Uhh...!" Begitu terdengar teriakan, pada kejap itu juga melayang sebuah jala yang membungkus tubuh Pendekar Rajawali Sakti sebelum sempat bangkit berdiri. Percuma saja Rangga berontak karena jala itu terbuat dari oyot-oyot yang amat alot. Apalagi, tenaga dalamnya tak mampu dikerahkan. Maka Pendekar Rajawali Sakti seperti seekor ikan yang tak berdaya dalam jala.

"Ha ha ha...! Ternyata hanya cuma segini kehebatan Pendekar Rajawali Sakti!"

Rangga kembali berusaha berontak, namun tubuhnya terasa lemas sekali. Tulang-tulangnya terasa dilolosi, sehingga tak dapat bergerak.

"Ha ha ha...! Atau barangkali kita menangkap Pendekar Rajawali Sakti palsu?" timpal yang lain.

Semua pengeroyok tertawa terbahak-bahak. Sementara dua orang segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Mereka mengeluarkan tangan dan kaki Pendekar Rajawali Sakti dari celah-celah jala, lalu mengikatnya. Bahkan seluruh tubuh Rangga pun dibebat seperti seekor binatang buruan.

"Huh! Kalau saja tak ada perintah, akan kugorok lehernya sekarang juga!" dengus salah seorang.

"Aku juga! Sudah lama sekali aku menunggu saat seperti ini. Kalau sudah mampus, dia tak akan bisa bertingkah lagi!" timpal yang lain.

"Kita bawa dia sekarang!" teriak seseorang yang agaknya bertindak sebagai pimpinan kawanan ini.

"Huh!" Dengan kasar kedua orang yang tadi mengikat segera memikul tubuh Pendekar Rajawali Sakti seperti membawa babi hutan hasil buruan. Dari sela-sela jala, dimasukkan sebatang bambu untuk memikul.

"Begini sudah lebih baik. Mestinya kita seret dia!" dengus salah seorang pemikul.

"Sudah! Jangan cerewet terus. Kita cuma menjalankan perintah Ketua. Jadi jangan bicara macam-macam!"

Mendengar bentakan, dua orang pemikul diam membisu. Kini mereka melanjutkan perjalanan dengan tenang. Namun belum lagi sampai di batas Desa Sangit, mendadak...

"Hm, si Raja Penyair!" dengus pemimpin kawanan ini, ketika mendengar suara gesekan rebab.

"Kebetulan bertemu di sini!"

"Kita hajar dia?" tanya kawannya.

Tak ada jawaban. Masing-masing telah mengepalkan kedua tangan dengan raut wajah terlihat memendam kegeraman. Dari arah berlawanan tampak pemain rebab yang dimaksud berjalan tenang seperti tak mempedulikan kehadiran mereka. Sosok itu memang Raja Penyair.

"Hei, Raja Penyair! Kebetulan kau berada di sini!" bentak laki-laki bertubuh kekar yang menjadi pemimpin. Tahu-tahu dia telah berdiri di depan Raja Penyair dengan golok besar dan panjang di tangan kanan.

Raja Penyair menghentikan langkahnya. Matanya memandang sekilas. Terlihat bola matanya bergerak-gerak di balik topeng yang dikenakannya. Namun seperti tak peduli, kembali kakinya melangkah sambil menggesek rebananya.

“Kurang ajar! Aku tengah bicara padamu. Dan kau harus mendengar!" bentak laki-laki kekar itu dengan tubuh menggigil menahan geram.

"Aku tak bicara dengan seekor kerbau tolol...!” sahut Raja Penyair seenaknya, dan terus melenggang melewati laki-laki kekar itu.

"Kurang ajar! Belum pernah ada orang yang bicara seperti itu pada Golok Terbang. Karena, berarti kematian semakin dekat!" dengus laki-laki kekar berjuluk si Golok Terbang seraya membabatkan goloknya sambil melompat.

"Sekarang aku yang mengatakannya. Dan kau tak akan percaya kalau sebenarnya kematianmu yang begitu dekat!" sahut Raja Penyair tanpa menoleh.

Siut!

Sedikit lagi golok akan menebas leher, Raja Penyair membungkuk. Tubuhnya cepat berbalik sambil mengibaskan penggesek.

"Oh...?!" Si Golok Terbang berseru kaget. Gelagapan dia menangkis dengan tangan.

Pletak!

"Aaah.. !" Kontan si Golok Terbang menjerit kesakitan seraya terjajar ke belakang. Pergelangan kakinya nyaris patah dengan rasa sakit tak terkira.

"Itu baru permulaan...!" ejek Raja Penyair ter­senyum.

"Keparat! Kubunuh kau! Kubunuh kau, Penyair Busuk...!" bentak si Golok Terbang kalap. Dan dengan serta merta, laki-laki kekar itu melompat kembali. Goloknya diputar sedemikian rupa, hingga menimbulkan suara mendesing tajam.

"Permainan golokmu buruk. Dan kau sama sekali tak berbakat!" ejek Raja Penyair. Dengan tenang, Raja Penyair merendahkan tubuhnya. Penggeseknya dikibaskan, menangkis sambaran golok.

Trak!

Begitu si Golok Terbang terjajar, ujung peng­gesek Raja Penyair berputaran. Seketika terasa angin kencang bergulung-gulung kearah pelipis.

"Uhh...!" Si Golok Terbang terkejut. Gerakannya terhambat. Dan sebelum dia menyadari apa yang terjadi, satu sabetan mendera punggungnya.

Plar!

"Aaakh...!" Terdengar jeritan si Golok Terbang yang melengking. Kulit punggungnya robek dan berdarah. Wajahnya semakin geram saja melihat lawan yang tersenyum-senyum.

"Setan!" Dengan mengumpat geram, si Golok Setan memberi isyarat pada anak buahnya. Belasan orang langsung bergerak serentak setelah mencabut senjata. Sikap mereka siap menyerang.

"He he he...! Hendak mengeroyokku? Kenapa tidak sejak tadi?!" ejek Raja Penyair.

TUJUH

"Jangan pedulikan ocehannya! Bunuh dia...!" bentak si Golok Terbang.

Serentak belasan orang berpakaian serba hitam ini melompat menerjang.

"Heaaat!"

Raja Penyair melompat ke sana kemari sambil menangkis serangan dengan penggesek ditangannya.

Trak! Trak!

Begitu lincah dan cepat gerakan Raja Penyair. Bahkan ketika penggesek rebabnya meliuk-liuk mencari sasaran, tak seorang pun yang bisa mencegahnya.

Pletak!

"Aaakh...!" Seorang lawan menjerit kesakitan. Punggung­nya robek seperti yang dialami si Golok Terbang, tersabet penggesek rebab milik Raja Penyair.

"He he he...! Satu! Sekarang jadi dua!" seru Raja Penyair sambil terus berlompat menghindari sambaran tombak sekaligus. Bahkan tiba-tiba saja kedua kakinya bergerak lincah menendang.

Pak! Pak! Pletak!

"Aaakh...!" Tombak di tangan mereka terpental. Dan sebe­lum mereka sempat berbuat sesuatu, tengkuk mereka telah tersabet senjata aneh milik Raja Penyair. Kcduanya langsung sempoyongan sambil menjerit kesakitan.

"Salah! Ternyata jadi tiga! He he he...!" si Raja Penyair.

"Setan!" Si Golok Terbang kesal bukan main melihat ulah Raja Penyair. Namun dia sendiri tak mampu berbuat apa-apa. Apalagi ketika laki-laki bertopeng perempuan itu mulai mengamuk. Hatinya pun kian dikekang ketakutan. Dan dia semakin bertambah gentar saja ketika dalam waktu singkat satu persatu anak buahnya lumpuh tak bangun-bangun lagi.

"He he he...! Sekarang tinggal kau seorang...!" tunjuk Raja Penyair pada si Golok Terbang.

"Huh!" Meski nyalinya semakin ciut, namun si Golok Terbang masih mampu pasang lagak dengan menunjukkan wajah bengis.

"Pilihlah kematianmu dengan cara bagaimana!" ledek Raja Penyair.

"Phuih...! Kau kira mudah membunuhku?!"

"He he he...! Membunuh adalah mudah bagi Yang Maha Pencipta, seperti mudahnya menghidupkan yang mati. Aku bukan Maha Pencipta. Namun aku sanggup memisahkan leher dari tubuhmu!" sahut Raja Penyair.

"Keparat! Aku pun mampu mengorek jantungmu!" seru si Golok Terbang seraya membabatkan goloknya.

"Kedengarannya hebat. Tapi perlu latihan puluhan tahun untuk mampu melakukannya terhadapku. Dan orang sepertimu, meski berlatih seumur hidup, tak akan mampu melakukannya," sahut Raja Penyair menganggap enteng, langsung melenting keatas.

Dan kesombongan Raja Penyair ternyata bukan omong kosong belaka. Sebab, serangan-serangan maut yang dilancarkan si Golok Terbang sama sekali tak mampu mengenai sasaran. Sebaliknya, dengan sekali serang si Golok Terbang tampak kewalahan. Penggesek rebab di tangan Raja Penyair menjadi senjata yang amat ampuh. Beberapa kali terjadi benturan, namun justru wajah si Golok Terbang yang berkerut menahan nyeri ditangan yang menjalar ke seluruh tubuh.

"Sudah cukup! Aku bosan bermain-main denganmu!" seru Raja Penyair. Begitu habis kata-katanya, tiba-tiba Raja Penyair mengebutkan senjata di tangan. Seketika serangkum angin kencang berputar-putar meluruk ke arah si Golok Terbang.

"Uhh...!" Demikian kuatnya angin yang ditimbulkan, membuat si Golok Terbang terhuyung-huyung ke belakang. Dan pada saat itu juga Raja Penyair melesat ke arahnya dengan tangan terjulur.

Tuk!

"Aaah...!" Satu totokan halus, mendarat di bawah tengkuk. Disertai keluhan tertahan tubuh si Golok Terbang melorot tak berdaya.

"Aku bukan pembunuh. Tapi, tukang membuat syair. Hingga hari ini kupikir belum saatnya membunuh. Atau mungkin juga aku sedang tak ingin. Setelah totokanmu terlepas, kau boleh pergi dengan aman...," kata Raja Penyair tanpa mempedulikan keadaan si Golok Terbang.

Laki-laki bertopeng wajah perempuan ini melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Begitu dekat penggesek rebabnya dikibaskan.

Tras!

Dengan sekali tebas, jala yang membungkus tubuh pemuda itu putus. Demikian pula ikatan pada kedua tangan dan kakinya.

Pluk!

Kemudian sambil berbalik, Raja Penyair melemparkan sesuatu pada Rangga. "Minumlah obat itu. Kau telah terkena sesuatu ajian yang berasal dari makanan dan minuman. Obat itu sendiri hanya untuk mengembalikan kekuatan tubuhmu. Untuk menghilangkan pengaruh ajian itu, kau harus bersemadi," ujar Raja Penyair.

"Terima kasih. Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga seraya memungut obat yang diberikan laki-laki itu.

"Orang-orang menyebutku sebagai Raja Penyair. Tapi aku sendiri tidak merasa begitu...," sahut Raja Penyair merendah.

"Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu...!" sahut Rangga seraya merangkapkan tangan di depan hidung.

“Tidak perlu! Aku menolongmu karena suatu hari mungkin aku butuh bantuanmu," cegah Raja Penyair.

"Bantuan apa yang bisa kuberikan? Katakanlah!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, setelah menelan obat sebesar kotoran kambing.

"Tidak sekarang. Selesaikan urusanmu lebih dulu. Dan setelah itu, beritahu aku di mana harus mencarimu. Selamat tinggal!"

Setelah berkata begitu Raja Penyair melesat cepat meninggalkan tempat itu Rangga termangu memandang kepergian Raja Penyair. Dan ketika tubuhnya terasa agak segar, dia berkelebat cepat meninggalkan tempat ini.

********************

"Goblok!”

Wajah si Capung Hitam tampak geram. Hawa amarah membayang jelas ketika suaranya terdengar menggelegar, mengejutkan barisan laki-laki berpakaian serba hitam di depannya.

"Dengan jumlah yang demikian besar kalian tak mampu meringkusnya?!"

Berdiri paling depan adalah si Golok Terbang. Kepalanya tertunduk, menyembunyikan mukanya dalam-dalam. Sedikit pun dia tak berani menentang tatapan si Capung Hitam.

"Mestinya kalian tidak bermain-main dulu...!" sambung si Capung Hitam bersungut-sungut.

"Sekarang apa yang bisa kalian perbuat? Apa pertanggungjawaban ku terhadap Ketua?!"

"Biarlah akan kami usahakan lagi menangkapnya...," sahut si Golok Terbang, lirih.

"Menangkapnya? Apa kau kira mudah?!" bentak laki-laki berjubah hitam itu.

"Kukira dia belum terlalu jauh...," kilah si Golok Terbang.

"Kalau kau berpikir begitu, kenapa tidak dikejar?! Malah kemari dan membawa berita buruk!"

Mendengar bentakan itu, nyali si Golok Ter­bang kembali mengkeret. Dan untuk beberapa saat dia tak berani bicara sepatah kata pun.

"Keadaannya sekarang jadi kacau. Kalian gagal. Dan dia malah kabur! Padahal Ketua berharap penuh kalau kalian berhasil meringkusnya."

"Kalau saja si Raja Penyair tidak muncul...."

"Jangan salahkan dia! Salahkan diri kalian sendiri!" tukas si Capung Hitam meradang.

Si Golok Terbang kembali terdiam.

"Kurasa lebih baik kalian melapor sendiri pada Ketua!"

"Tapi..."

"Itu tanggung jawab kalian. Dan mestinya kalian sendiri yang harus menanggung akibatnya!" tegas si Capung Hitam.

Si Golok Terbang semakin bergidik saja mendengar kata-kata si Capung Hitam. Kalau mesti memilih, maka dia akan memilih melapor pada si Capung Hitam seperti yang dilakukannya sekarang ketimbang mesti melapor pada Pimpinan Pesanggrahan Kembang Melati. Karena yang sudah-sudah, siapa yang melapor tentang kegagalan, maka Ketua akan memberi hukuman berat.

Sedangkan kepada si Capung Hitam, yang merupakan orang kepercayaan Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati, paling sial dimaki-maki! Asal diam saja, maka makiannya tak lama. Dan sebentar pun reda. Tapi kali ini beda! Si Capung Hitam kelihatan betul-betul marah. Dan itu dilampiaskannya dengan menyuruh si Golok Terbang melapor sendiri pada Ketua. Itu menandakan kalau si Capung Hitam agaknya takut kena hukuman pula.

"Lekaaas...!" bentak si Capung Hitam.

"Ba..., baiklah...."

Dengan lesu si Golok Terbang menghormat, lantas berbalik. Tapi sebelum melangkah, dia terjingkat. Ketika mendongak ke atas, terlihat Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati telah menghadang!

"Ketua, maafkan! Hamba tak melihat kehadiran Ketua di sini...!" ucap si Golok Terbang ketakutan.

Si Capung Hitam pun berbuat yang sama dengan membungkuk hormat.

"Maaf, Ketua. Kami tak mengetahui kehadiran Ketua di sini...."

"Sudahlah. Tak apa...," sahut wanita bertopeng itu.

"Eh, ng.... Kalau boleh tahu, ada keperluan apa Ketua telah berada di sini?" tanya si Capung Hitam, memberanikan diri.

"Aku ingin dengar laporan hasil tugasmu. Karena, yang lain kulihat telah kembali."

"Eh, itu..., itu...."

Si Capung Hitam jadi bingung sendiri. Si Golok Terbang adalah kawannya. Dan untuk mengatakannya langsung, tentu saja agak sungkan meskipun tadi telah mengancam.

"Kenapa, Capung Hitam? Kau kelihatan takut dan sungkan. Ceritakanlah, bagaimana hasil tugas kalian'" tanya Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati. Suaranya datar. Bahkan bernada halus.

Mendengar itu hati si Capung Hitam sedikit lega. Meskipun, masih was-was. "Kami..., kami telah gagal, Ketua...."

"Hmmh!" Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati itu tak memberi tanggapan kecuali sepasang matanya yang menatap tajam ke arah mereka berdua.

"Kami mohon maaf, Ketua. Mestinya berhasil. Tapi.., si Raja Penyair telah mengganggu," sambung si Capung Hitam, menjelaskan.

"Apa maksudmu? Si Raja Penyair mengganggu?"

Si Capung Hitam memberi isyarat agar si Golok Terbang segera bicara.

"Kami telah berhasil meringkusnya, Ketua. Tapi di tengah perjalanan, Raja Penyair muncul dan menghajar kami. Lalu dia membebaskan pemuda itu...," lapor si Golok Terbang.

"Si Raja Penyair biasanya tak akan mengganggu kalau tidak diganggu lebih dulu," gumam wanita itu.

"Ketua...!"

"Ya, aku tahu," potong wanita ini. "Kalian kesal melihat tingkahnya. Mestinya kalian bisa menahan diri, karena tengah menjalankan tugas. Dan mestinya pula, jangan menunda-nunda tugas yang telah kuberikan!"

"Ketua, aku terima salah! Hukumlah aku de­ngan hukuman yang pantas!" seru si Golok Terbang seraya berlutut di hadapan Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.

Tak terdengar jawaban dari wanita yang wajahnya tertutup topeng kain hitam itu. Hanya terdengar hela nafasnya yang panjang. "Sudahlah. Kali ini kau ku maafkan, Golok Ter­bang...," katanya datar. "Namun sebagai gantinya, kau mesti membawa ke sini seorang jago silat yang sebanding dengan Pendekar Rajawali Sakti. Katakan padanya, berapa pun bayaran yang diminta, aku menyanggupi!"

"Terima kasih atas ampunan Ketua! Segala titah kujunjung tinggi!" desah si Golok Terbang.

"Pergilah sekarang juga! Dan cepat kembali! Kuberi kau waktu sampai esok pagi!"

"Baik, Ketua...!"

Setelah memberi hormat, si Golok Terbang segera bangkit dan berlalu dari tempat ini, diikuti beberapa orang. Si Capung Hitam sedikit heran melihat kemurahan hati ketuanya kali ini. Biasanya beliau ringan tangan dan suka menghukum. Tapi kali ini si Golok Terbang malah diampuni dan diberi tugas ringan, sebagai gantinya. Namun dia tak berani lagi mengusik soal hukuman atas kegagalan si Golok Terbang dalam menjalankan tugas.

"Ketua, untuk apa mesti menyuruh si Golok Terbang mencari jago silat lain...?" tanya si Capung Hitam hati-hati.

Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati yang semula hendak berbalik dan keluar dari ruangan itu, mengurungkan niatnya. Dipandanginya si Capung Hitam sesaat. "Apakah kau kira mudah mengalahkan Pen­dekar Rajawali Sakti?" tukas wanita bertopeng ini.

"Jika Ketua perintahkan, aku sanggup membawa kepalanya untukmu!"

Perempuan bertopeng itu mengeluarkan suara tawa sengau. "Capung Hitam! Tidak ku ragukan keahlian mu dalam ilmu silat. Tapi Pendekar Rajawali Sakti bukan orang sembarangan. Dan aku tak mau kehilangan orang kepercayaan ku untuk suatu yang sia-sia."

"Mengapa Ketua memandang tinggi padanya? Kadang nama besar yang kita dengar tidak sebanding dengan kenyataan."

"Benar katamu! Tapi aku bukan sekadar mendengar. Bahkan telah menyaksikan sendiri kehebatan Pendekar Rajawali Sakti!"

"Ketua. Kau kuanggap memiliki kesaktian di atasku. Apakah..., kau pun gentar terhadapnya?" tanya si Capung Hitam.

Pertanyaan itu sebenarnya sangat lancang. Karena meragukan kemampuan ketuanya sendiri. Tapi dia perlu mengetahui sendiri dari mulut wanita bertopeng ini. Perempuan bertopeng berambut panjang itu terdiam. Lalu tubuhnya berbalik sambil melangkah pelan.

"Ya! Aku memang segan bertarung dengannya...," sahutnya dengan suara pelan.

Si Capung Hitam termangu. Demikian hebatnyakah Pendekar Rajawali Sakti sampai ketuanya pun segan terhadap pemuda itu? Tapi si Golok Terbang mengatakan kalau dia dan kawan-kawannya dengan mudah meringkus pemuda itu?

"Kalaupun si Golok Terbang dan kawan-kawannya berhasil meringkus, itu karena dalam minuman kuberi ajian khusus yang sebenarnya hanya bertahan dua hari. Tapi mungkin akan cepat hilang jika mengingat tenaga dalamnya hebat. Itulah sebabnya aku perlu jago silat yang bisa mengatasi amukan pemuda itu dalam waktu cepat!" jelas Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati, seperti bisa membaca pikiran si Capung Hitam. Si Capung Hitam mengangguk mengerti.

"Tapi..., kalau hanya mencari seorang jago silat yang benar-benar hebat, kenapa tidak perintahkan aku saja!" tuntut si Capung Hitam.

Perempuan bertopeng itu berbalik. Sepasang matanya tampak berbinar. "Apa maksudmu?" tanyanya.

"Aku tahu jago silat yang Ketua maksudkan!"

"Siapa?"

"Guruku sendiri!"

Perempuan bertopeng itu belum memberikan tanggapan untuk beberapa saat.

"Beliau terkenal sebagai jago silat nomor wahid di tanah Jawa ini. Jarang ada yang bisa menandingi kehebatannya! Aku sendiri hanya dapat secuil dari kepandaiannya...," lanjut si Capung Hitam. Pada mulanya nada bicaranya berapi-api. Namun sampai pada kalimat terakhir terdengar lirih. Bahkan cenderung masygul.

"Bagaimana kau bisa memanggilnya ke sini?" tanya wanita bertopeng itu.

"Itu tak jadi soal. Namun yang berat adalah syarat yang mungkin beliau ajukan...," desah si Capung Hitam.

"Apa syaratnya?" tanya wanita itu, jadi tertarik.

"Beliau ingin dilayani seperti layaknya seorang raja...."

"Kalau itu tidak menjadi masalah!"

"Namun tidak sekadar cuma itu, Ketua....!"

"Hmm!"

"Ada syarat yang terberat...," jelas si Capung Hitam dengan suara berat. Dia tak buru-buru melanjutkan kalimat. Di pandanginya pemimpin pesanggrahan ini sesaat lamanya.

"Syarat berat apa yang kau maksudkan. Katakanlah!" ujar wanita itu.

"Mungkin ini tak pantas, Ketua...."

"Hmm!"

"Beliau suka perempuan. Dan kalau tahu yang meminta bantuannya adalah seorang perempuan, maka biasanya akan minta dilayani layaknya suami istri. Sekurang-kurangnya selama sebulan. Dan setiap hari, tiga kali melayaninya di tempat tidur.

"Kurang ajar...!" sentak Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati dengan mata melotot geram.

"Maafkan hamba, Ketua...!" ucap si Capung Hitam.

"Hhh...!" desah wanita itu.

Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati itu tak dapat menahan amarahnya. Hela nafasnya terasa berat. Sejenak dipandanginya si Capung Hitam. Namun sesudahnya, dia cepat berbalik dan meninggalkan tempat itu.

"Ketua, maafkan...! Aku tak bermaksud membuatmu marah...!"

Percuma saja si Capung Hitam mengejar, karena dalam sekejap wanita itu masuk ke dalam kamarnya. Langsung dikuncinya pintu. Laki-laki berjubah hitam itu cuma bisa mematung di depan pintu. Tapi saat itu juga muncul seorang anak buahnya dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya pucat seperti mayat dan nafasnya turun naik tak beraturan.

"Ki Anjer, syukur kau ada di sini! Celaka, Ki! Celaka...!" lapor laki-laki berusia dua puluh delapan tahun, menyebut nama asli si Capung Hitam.

"Hei, Badar! Ada apa? Tenanglah, ada apa? Ceritakan pelan-pelan!" ujar si Capung Hitam alias Ki Anjer.

"Seseorang datang dengan tiba-tiba, lalu mengacau!" lapor laki-laki bernama Badar.

"Siapa?"

“Orang asing! Pakaiannya berbeda dengan orang kebanyakan. Dan dia menyebutkan namanya. Kalau tak salah, Banghadur Gupta. Dia ingin bertemu Ketua!"

"Ketua tengah ada persoalan. Beliau tak bisa diganggu. Biar kuhadapi dia!" kata Ki Anjer.

"Tapi, Ki...."

"Kenapa kau ini?!" potong si Capung Hitam. "Tunjukkan padaku, di mana pengacau itu?!"

"Baiklah...."

DELAPAN

Si Capung Hitam tercengang begitu sampai didepan. Beberapa anak buahnya tampak bergelimpangan menjadi mayat. Di dekatnya terdapat bangkai hewan seperti anjing, babi hutan, burung-burung kecil dan ular. Kemudian tidak jauh dari pintu depan terlihat seorang laki-laki kurus bertelanjang dada tengah berdiri tersenyum-senyum. Orang itu memakai sorban putih dan memakai cawat yang terbuat dari selendang putih yang dililit sedemikian rupa. Di sekelilingnya terlihat segala jenis binatang.

"Kurang ajar! Apa yang kau perbuat di sini?!" Hardik si Capung Hitam.

"Monyet busuk! Jangan banyak bicara kau! Panggil ketuamu ke sini!" balas laki-laki bersorban yang mengaku bernama Banghadur Gupta!

"Setan! Setelah apa yang kau perbuat, kau masih pentang bacot di sini! Huh! Nyawamu ada di tanganku, Cacing Busuk!"

Baru saja Ki Anjer selesai membentak, Banghadur Gupta telah mengibaskan tangan kanan. Seketika serangkum angin kencang menerpa kuat ke arahnya.

"Hup! Kurang ajar!" Namun orang kepercayaan Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati itu cepat melompat ke atas menghindarinya.

Krakkk!

Akibatnya, sebatang pilar yang ada dibelakang si Capung Hitam roboh dalam keadaan hancur. Namun bahaya lain mengintai Ki Anjer. Dua ekor serigala tiba-tiba menerkam gesit dari dua arah yang berlawanan. Secepatnya Ki Anjer mencelat keatas. Tubuhnya berputaran di udara. Lalu meluruk sambil menghantam salah satu serigala.

Plak!

"Kaing!" Seekor serigala berhasil ditewaskan. Sementara yang seekor lagi berhasil dihindari si Capung Hitam dengan menjatuhkan diri. Namun begitu Ki Anjer bangkit berdiri, Banghadur Gupta telah mengibaskan tangannya. Seketika dari telapak tangannya melesat sinar berwarna kuning keemasan.

Jdegg!

"Aaakh...!" Si Capung Hitam terpental beberapa langkah sambil menjerit kesakitan ketika sinar kuning menghantam tubuhnya. Dari mulutnya menyembur darah segar. Sebelah tangannya mendekap dada.

"Hi hi hi...! Hanya seginikah kemampuan orang andalanmu, Malini?! Ayo, keluarlah! Jangan sembunyi terus di dalam!" teriak Banghadur Gupta.

"Keparat!" Si Capung Hitam menggeram, seraya berusaha hendak bangkit. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang diderita, dia bermaksud menyerang kembali, namun....

"Tahan!" Terdengar seruan seseorang dari belakang.

Cepat si Capung Hitam berbalik. "Oh, Ketua!"

"Hi hi hi...! Akhirnya kau keluar juga, Anak Bengal!" seru laki-laki ceking dan berkulit hitam itu melihat kemunculan Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati. Perempuan bertopeng itu memandang sekilas. Lalu perhatiannya dialihkan pada si Capung Hitam.

"Berapa lama waktu yang kau perlukan untuk memanggil gurumu ke sini?" tanya wanita bertopeng hitam yang dipanggil Malini.

"Apa maksud, Ketua?!" tanya Ki Anjer.

"Berapa lama kataku?!"

"Oh! Tapi..., tapi...."

"Jawab, Ki Anjer!"

"Baiklah. Mungkin sekitar sepenanakan nasi...."

"Hmm! Kalau begitu, dia tak jauh dari sini."

"Sebaliknya, Ketua. Aku bahkan tak tahu, seberapa jauh dia dari sini. Tapi aku punya cara untuk menghubunginya agar dia segera ke sini. Dan baginya jarak bukanlah persoalan sulit. Begitu pesanku diterima, maka dalam sekejap dia akan ke sini!" jelas Ki Anjer.

"Kalau begitu, lekas panggil dia!"

"Tapi, Ketua...."

"Aku tak peduli dengan syarat-syarat yang diajukannya! Lekas! Pergilah kau lewat jalan belakang, setelah aku berurusan dengan laki-laki kurus ini. Katakan pada gurumu, dia harus menyelamatkanku dari laki-laki kurus ini!" perintah Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.

"Tapi, Ketua...."

Perempuan itu tak menjawab, dan terus melangkah mendekati laki-laki kurus berkulit hitam itu.

"He he he...! Malini! Bagaimanapun kau bersembunyi, mana mungkin bisa lari dariku. Apalagi dengan mengenakan topeng buruk itu! He he he...!" oceh Banghadur Gupta.

"Ayah! Terimalah sembah hormat anakmu...!" ujar Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati sambil berlutut di hadapan laki-laki kurus berkulit hitam itu.

"Hi hi hi...! Bagus, bagus! Ini baru namanya anak yang berbakti!" seru Banghadur Gupta. "Tapi bukan berarti aku mengampunimu, Malini!"

Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati yang memang Malini, menggigil tubuhnya mendengar kata-kata Banghadur Gupta.

"Kau telah lari dariku dengan membawa benda-benda berharga yang selama ini kusimpan bertahun-tahun!" desis Banghadur Gupta.

"Tapi, Ayah.... Bukankah Ayah telah lihat hasilnya? Lihat pesanggrahan ini! Indah, bukan? Ini ku bangun khusus untuk Ayah. Kalau menunggu Ayah berbuat, sampai kapan akan terwujud?" kilah Malini.

"Hi hi hi...! Kau mewarisi kepintaran berkelit dariku rupanya. Tapi jangan kira aku tak mengetahuinya. Kau akan tetap dapat hukuman atas kelancanganmu!" ancam laki-laki kurus, ayahnya Malini.

"Tapi, Ayah...!"

"Nanti malam akan datang ke sini seorang hartawan kaya raya. Kau harus melayaninya selama dua hari dua malam!"

"Ayah...?!"

"Keputusanku tak bisa ditawar-tawar!" tukas Banghadur Gupta. "Perintahkan anak buahmu yang tersisa untuk membereskan bangkai-bangkai ini sekarang juga. Dan, kau! Berdandanlah yang rapi! Buka topeng bulukan yang melekat di mukamu itu!"

Malini tak berani membantah sepatah kata pun titah Banghadur Gupta. Namun untuk bangkit pun, rasanya tak kuat. Rasanya, kekuatannya dihimpit oleh perasaan yang berkecamuk di hati atas perintah yang ditimpakan Banghadur Gupta kepadanya.

Namun sebelum Malini bersuara, muncul seorang pemuda berompi putih di halaman depan bangunan pesanggrahan. "Banghadur Gupta! Maafkan! Anakmu harus menyelesaikan urusannya padaku!" kata pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti.

"Hei!" Banghadur Gupta cepat menoleh. Bibirnya langsung tersenyum-senyum ketika mengenali pemuda itu.

"Kau rupanya, Bocah! He he he...! Dunia ternyata hanya sedaun kelor. Dan tak kusangka kita akan bertemu lagi di sini."

"Kakang Rangga...!" desis Malini. Gadis ini baru saja hendak bangkit menghampiri, namun....

"Diam di tempatmu!" bentak Banghadur Gupta, nyaring.

Langkah Malini kontan terpaku. "Ohh...!" Seperti dilolosi tulang-belulangnya, tubuh Malini ambruk tak berdaya.

"Mentang-mentang ada gendakmu di sini, kau kira bisa berbuat seenaknya?!" dengus Banghadur Gupta.

"Banghadur Gupta! Kau boleh berbuat apa saja terhadapnya. Tapi kuharap, jangan ikut campur dalam urusan kami!" tangkis Pendekar Rajawali Sakti.

"Hi hi hi...! Kau kira bisa menolongnya dalam cengkeramanku, Bocah? Dia putri ku. Dan kau tak berhak ikut campur! Kalau tidak, jangan salahkan kalau aku menurunkan tangan jahat padamu!" ancam Banghadur Gupta tertawa mengejek. "Meski rajawali raksasa itu kau perintahkan untuk melawanku, jangan kira kali ini aku tak mampu mempengaruhinya untuk membunuhmu!" (Banghadur Gupta pernah bertemu Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Memburu Rajawali)

"Aku tak perlu sahabatku untuk menghajarmu! Aku saja sudah cukup!"

"He he he...! Bocah sombong! Dengan mengandalkan apa kau ingin menghadapiku?"

"Aku tak mengandalkan apa-apa...," sahut Rangga datar.

"Jangan sok merendah! Aku punya banyak cara untuk melumpuhkanmu, tahu?! Salah satunya ini!" Begitu habis kata-katanya, Banghadur Gupta mengibaskan tangan. Maka saat itu juga tiga ekor serigala dan empat ekor elang menyerang Pendekar Rajawali Sakti dari segala penjuru.

"He he he...! Kalau ini bukan sihir, Bocah! Kau boleh hadapi mereka dulu sebelum aku turun tangan!"

"Hup!" Rangga mundur dua langkah langsung memasang kuda-kuda kokoh. Kedua telapak tangannya merapat di depan dada. Lalu tiba-tiba....

"Aji 'Bayu Bajra'...!" Disertai bentakan nyaring Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya kesegala penjuru. Seketika dari kedua telapaknya melesat angin keras bagai badai topan.

Wuuurr...!

"Kaing...!"

Angin kencang laksana badai topan kontan menyapu binatang-binatang yang hendak menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Binatang-binatang itu beterbangan jauh tak tentu arah.

"Heaaa...!" Begitu menutup ajiannya, Rangga bertindak tidak kepalang tanggung. Seketika tubuhnya berkelebat cepat bagai kilat dengan rangkaian jurus-jurus 'Rajawali Sakti' menyerang Banghadur Gupta.

"Hi hi hi„.! Dasar bocah dungu! Kau akan mati di tanganku!" leceh laki-laki kurus kering itu.

Plas!

Saat itu juga Banghadur Gupta menghilang membuat serangan Rangga hanya menyambar-nyambar angin. Pendekar Rajawali Sakti jadi celingukan ketika terdengar tawa laki-laki kurus itu.

"Hmm!" Rangga menggumam tak jelas. Dia tak sudi terpancing oleh tipu muslihat lawan. Secepat itu matanya dipejamkan. Kini dia mengandalkan tenaga batin serta pendengarannya.

"Ha ha ha...! Ayo, serang aku lagi! Ayo, serang, Bocah Tolol!" seru Banghadur Gupta yang kasat mata.

"Yeaaa...!" Rangga bergerak ke kanan, seraya mengibaskan tangannya yang berisi tenaga dalam tinggi. Kemudian dia melompat tiga langkah ke depan, lalu terus mengejar ke samping kiri empat langkah. Tak terdengar suara tawa Banghadur Gupta yang terdengar malah seruan kaget.

"Sialan!" maki suara tanpa wujud.

"Tak perlu memaki, Orang Asing!"

"Ternyata kehebatanmu boleh juga. Tapi aku punya kejutan untukmu, Bocah Edan!" Banghadur Gupta yang kembali menampakkan wujud kasarnya, bergerak menjauh. Dan sebelum Rangga sempat menyerang, dia memutar telunjuk kanan beberapa kali.

Wusss...!

Terdengar angin halus bertiup pelan. Namun mendadak berubah cepat, menimbulkan suara gemuruh seperti badai topan. Suara pasir bergerak, daun-daun bergemerisik. Dan sesekali diiringi suara guntur.

"Hm.... Apa yang tengah diperbuatnya?" gumam Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga termangu. Dan sesaat dia tak tahu harus berbuat apa. Pada saat yang sama terdengar suara tawa Banghadur Gupta dari segala penjuru.

"Hi hi hi...! Ayo, kerahkan segala kemampuanmu untuk menghadapi permainan ini, Bocah Dungu! Ayo, kerahkan seluruh kehebatanmu! Hi hi hi...!"

Rangga jadi ragu sendiri. Apakah semua ini sihir atau kesaktian laki-laki kurus itu. "Kalau kubuka mataku, jangan-jangan aku akan terus terperangkap ke dalam sihirnya. Tapi kalau tidak kubuka, keadaanku akan semakin payah.... Apa yang mesti kuperbuat?"

Belum lagi Rangga menentukan keputusan, mendadak terasa dua desir angin dari arah depan dan belakang yang bergerak ke arahnya. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas dengan mata masih terpejam. Lalu....

Jdaggg!

"Aaakh...!" Tak disangka-sangka, satu hantaman telak menggedor dada Pendekar Rajawali Sakti. Rangga kontan terlempar ke belakang sambil menjerit tertahan. Sebelah tangannya mendekap dada. Meski begitu, dia masih sempat menguasai diri dengan berputaran diudara. Lalu kakinya mendarat empuk di tanah.

"Aku akan patahkan kedua tangan dan kakimu sebagai tanda mata dariku!" teriak Banghadur Gupta.

Rangga bertindak nekat. Sambil membuka mata dan menunduk ke bawah, dia mencabut pedang.

Sring!

Begitu pedang tercabut, pada saat itu terdengar suara bergemuruh. Rangga tersentak kaget demikian pula Banghadur Gupta!

"Ha ha ha...! Ada gadis cantik menungguku! Dan aku sudah tak sabar hendak merangkulnya!"

Siuttt!

"Oh, Ayaaah...! Kakang Ranggaaa...!"

"Malini...?!"

Rangga dan Banghadur Gupta sama-sama berseru kaget. Kejadian ini berlangsung demikian cepat. Tadi mereka sempat melihat kelebatan bayangan yang bergerak amat cepat membawa satu sosok tubuh. Bahkan Rangga sendiri melihatnya samar-samar. Kemudian jeritan Malini terdengar. Lalu bayangan itu lenyap bersamanya.

"Iblis terkutuk! Kau kira bisa lari begitu saja dariku?!" teriak Banghadur Gupta, kalap.

Secepatnya, laki-laki tua kurus berkulit hitam itu mengejar dengan mengerahkan segenap ilmu meringankan tubuhnya. Semula Rangga ingin ikut mengejar. Tapi setelah berpikir sesaat, niatnya diurungkan. Pedangnya yang memancarkan sinar biru berkilau telah kembali ke dalam warangkanya.

"Aku tengah terluka. Dan..., tak ada untungnya aku mengejarnya. Buat apa? Menyelamatkannya? Kurasa tak perlu. Karena, toh dia pun bermaksud buruk padaku.... Dan lagi, aku yakin ayahnya bisa menyelamatkannya...," gumam Pendekar Rajawali Sakti dalam hati.

Dengan langkah lesu, Rangga meninggalkan tempat itu. Namun....

"Tuan...! Tuan, tunggu.. !"

Rangga berbalik saat mendengar seruan dari belakang. Tampak seorang perempuan muda tergopoh-gopoh menghampirinya. "Tuan, tunggu sebentar! Jangan pergi dulu!" cegah perempuan ini.

"Siapa kau?" tanya Rangga.

"Aku..., aku abdi setia Ketua...," sahut perempuan muda itu dengan napas terengah-engah. "Namaku..., namaku Nganinten."

"Hm. Maksudmu, Malini? Lalu apa maksudmu menghentikan langkahku?" tanya Rangga lagi.

"Aku..., aku ingin minta pertolonganmu, Tuan...."

"Pertolongan apa?"

"Tuan...! Kudengar kau seorang pendekar budiman. Maka kau tentu bersedia menolongku...."

"Pertolongan apa yang bisa kuberikan padamu?"

"Tapi, tentu Tuan berjanji melakukannya, bukan?"

"Nganinten! Aku tak tahu pertolongan apa yang kau inginkan. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa mengabulkannya?"

"Tolonglah Ketua, Tuan...."

"Hmm! Kalau itu tidak bisa!" sahut Rangga tegas.

"Tuan, tolonglah Tuan! Tolonglah dia...!" seru Nganinten seraya menubruk dan memeluk sebelah kaki pemuda itu erat-erat.

"Tolong, Nganinten. Jangan cegah aku. Lepaskanlah kakiku," ujar Rangga halus.

"Aku tak akan melepaskannya sebelum Tuan mengabulkan permintaanku!" tegas Nganinten.

"Aku tak akan menolong orang yang telah mengecewakanku. Bahkan dia bermaksud membunuhku...!"

"Membunuhmu? Tidak! Itu tidak benar! Ketua tidak pernah punya maksud membunuhmu, Tuan!" sanggah Nganinten.

"Apa yang kau tahu soal itu?" sahut Rangga datar. "Beberapa orangnya datang menyergapku, lalu meringkusku setelah majikanmu memberi ajian pelumpuh raga dalam minuman ku!"

"Tuan! Kau salah sangka! Majikanku sama sekali tak bermaksud membunuhmu!" seru Nganinten

"Kalau tidak, tak perlu dia menggunakan cara seperti itu!"

"Dia hanya tak ingin jati dirinya diketahui..., oleh Tuan...!"

"Hmm!" Rangga berpikir sebentar. Dan Rangga teringat kalau Malini menerangkan bahwa Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati adalah kawannya. Padahal, sebenarnya gadis itu sendiri. Dan para penyergap Pendekar Rajawali Sakti dipimpin oleh anak buah pemimpin pesanggrahan itu. Paling tidak agar timbul seolah-olah pemimpin pesanggrahan itu yang bermaksud meringkusnya. Dan saat mereka menyerang, sama sekali tak bermaksud membunuhnya.

Apalagi saat mendengar umpatan kekesalan dua orang pengeroyok yang tengah mengikatnya. Mereka begitu geram hendak membunuhnya, namun terhalang oleh perintah majikan Pesanggrahan Kembang Melati. Dan yang belakangan baru diketahui, ternyata Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati itu adalah Malini sendiri. Tapi apa maksudnya berbuat seperti itu?

"Bagaimana? Tuan tentu mau menolongnya, bukan?" desak Nganinten.

"Siapa sebenarnya orang itu...?" tanya Rangga.

"Aku tak sengaja menguping pembicaraan beliau dengan Ki Anjer...," jelas Nganinten.

"Ki Anjer?"

"Si Capung Hitam! Ketua telah memperhitungkan kalau Tuan bakal datang dan menghajarnya. Oleh karenanya, dia bersiap-siap. Disuruhnya si Golok Terbang mencari jago silat yang mampu menandingi Tuan. Belakangan si Capung Hitam menawarkan diri dan bermaksud memanggil gurunya. Tapi tabiat gurunya itu aneh. Dan itulah yang aku takutkan. Menurut si Capung Hitam, gurunya gila perempuan!"

Rangga kembali terdiam. Entah apa yang tengah dipikirkannya saat ini. "Aku tak bisa menjanjikan karena aku pun ada urusan lain yang mesti kuselesaikan. Tapi kalau kesempatan itu ada, aku akan berusaha menolongnya..."

Setelah berkata begitu, Rangga berkelebat cepat sekali diikuti pandangan kosong Nganinten.

S E L E S A I

Bagaimana nasib Malini...? Siapa sosok bayangan yang membawanya pergi. Mampukah Banghadur Gupta menolong anaknya? Bersediakah Pendekar Rajawali Sakti memenuhi permintaan Nganinten? Untuk mengetahui kisahnya, baca episode HARPA NERAKA