Asmara Berdarah Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

"Hemm, selamanya belum pernah aku makan selezat ini!" Hui Song mengaku sejujurnya sambil mengelus-elus perutnya setelah mereka selesai makan dan minum air tawar yang segar. "Bukan main sedapnya! Sobat, engkau sungguh luar biasa sekali. Engkau pandai membuat masakan, seperti seorang wanita saja engkau!"

Sui Cin sedang mencuci kedua tangannya maka kepalanya menunduk sehingga Hui Song tidak melihat betapa muka yang kotor berdebu itu berubah merah sekali. "Biar pun lezat, daging kodok batu ini cukup amis. Kalau diberi air jeruk pada waktu makan amisnya akan berkurang. Maka tangan harus dicuci bersih betul, baru hilang bau amisnya. Aku memang mempelajari ilmu memasak."

"Ahh, pantas kalau begitu! Siapa gurumu memasak?"

"Guruku...? Dia... enci-ku sendiri."

Tiba-tiba Hui Song meloncat bangkit, kemudian memandang pemuda jembel itu dengan sepasang mata tajam penuh selidik akan tetapi mulutnya tersenyum. "Ha! Aku tahu siapa enci-mu!"

"Ehhh?" Pemuda jembel itu memandang heran. "Benarkah? Kalau tahu, siapakah nama enci-ku dan dari mana dia datang?"

"Wah, itu aku belum tahu. Akan tetapi, maksudku aku sudah mengenalnya, sudah pernah bertemu dengannya. Malah dia pernah menyelamatkan aku, membantuku pada saat aku dikeroyok oleh tiga orang dari Cap-sha-kui. Dan tadi di pasar engkau sudah membantuku, jadi kalian adik dan enci pernah membantuku. Sungguh aku patut untuk berterima kasih kepada kalian. Adik yang baik, pada saat aku bertemu dengan enci-mu, dia tidak sempat memperkenalkan diri. Maukah engkau memberi tahu, siapa nama enci-mu dan siapa pula orang tua atau gurunya? Aku melihat betapa ilmu silatmu dan ilmu silat enci-mu masih satu sumber dengan ilmu silatku."

Sui Cin diam-diam merasa geli sekali, lantas wataknya yang bengal membuat dia hendak mempermainkan pemuda ini. "Mana aku tahu bahwa engkau benar-benar pernah bertemu dengan enci-ku? Kalau benar pernah bertemu, hayo ceritakan bagaimana wajahnya dan apa keistimewaannya?"

"Ahhh, mudah sekali itu. Mana bisa aku melupakan dia?" kata Hui Song sambil menatap tajam ke wajah pemuda jembel itu. "Rambutnya hitam sekali, gemuk dan panjang, dengan anak rambut halus menutupi bagian atas dahinya yang halus. Mukanya bulat telur dengan dagu agak meruncing, potongan wajahnya manis, sepasang matanya lebar dan jeli, kedua ujungnya agak naik dan seperti ditambah guratan hitam, bulu matanya lentik dan panjang, hidungnya kecil mancung dan bibirnya merah basah, bentuknya manis sekali, bila tertawa ada lesung pipit di pipi kirinya, kulit mukanya putih halus seperti salju..."

"Eh, kau ini sedang menggambarkan wajah enci-ku akan tetapi kenapa matamu terbelalak memandang aku?" pemuda jembel itu menegur. Dia merasa sungkan dan tak enak sekali melihat sepasang mata itu tanpa berkedip terus-menerus memandanginya.

"Habis, wajah enci-mu itu bagaikan pinang dibelah dua dengan wajahmu!" kata Hui Song sambil tersenyum lebar.

"Teruskan, teruskan...!"

"Pendeknya, enci-mu adalah seorang dara remaja yang belum pernah kulihat keduanya di dunia ini. Tubuhnya ramping padat, pakaiannya aneh-aneh dan nyentrik, selalu membawa payung butut yang dapat menjadi senjata yang ampuh, naik seekor keledai... ehhh, kuda yang mirip keledai karena kecil dan pendeknya..."

"Cukup, ternyata engkau memang sudah mengenalnya," kata pemuda jembel itu sambil menyembunyikan perasaan girang dan juga malu dalam hatinya. Bagaimana dia tak akan merasa girang akan tetapi juga jengah jika mendengar orang memuji-muji kecantikannya di depannya secara begitu terbuka sehingga kecantikannya diperinci?

"Memang aku telah mengenalnya, bahkan kami sudah berkelahi bahu-membahu melawan tiga orang tokoh Cap-sha-kui! Sayang aku belum mengenal namanya. Maka, sobat muda yang baik, kau beri tahukanlah aku siapa nama enci-mu itu dan bagaimana pula keadaan keluargamu."

"Nanti dulu, sobat. Engkau sendiri belum memperkenalkan dirimu. Terus terang saja, aku dan enci-ku tidak biasa memperkenalkan diri kepada orang lain. Maka, sebaiknya engkau bercerita tentang dirimu sebelum aku memperkenalkan enci-ku."

Hui Song adalah seorang pemuda yang lincah jenaka, bahkan senang sekali menggoda orang dan wataknya agak berandalan. Akan tetapi dia pun cerdik dan dia tahu bahwa dia tengah berhadapan dengan putera atau murid orang pandai yang masih ada hubungannya dengan Cin-ling-pai, maka dia pun tak segan-segan untuk bersikap hormat dan mengalah, walau pun dia merasa jauh lebih tua dari pada jembel muda ini.

"Baiklah, sobat muda. Aku bernama Cia Hui Song. Ayahku adalah ketua Cin-ling-pai dan aku adalah putera tunggal. Tadinya aku mewakili Cin-ling-pai untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang diadakan di Puncak Bukit Perahu. Pertemuan itu gagal dan tidak jadi, maka aku hendak kembali lagi ke Cin-ling-pai. Di tengah perjalanan aku bertemu dengan tokoh-tokoh Cap-sha-kui dan aku dikeroyok, nyaris celaka bila tidak muncul enci-mu yang lihai dan yang membantuku itu sehingga kami berhasil mengusir tiga orang iblis itu. Nah, itulah keadaanku."

Sui Cin mengangguk-angguk. "Aih, kiranya putera ketua Cin-ling-pai! Pantas saja begini lihainya. Siapa tidak mengenal pendekar sakti Cia Kong Liang yang memiliki ilmu tinggi, kedudukannya setinggi langit menjadi ketua perkumpulan besar yang demikian terkenal di seluruh dunia, yaitu Cin-ling-pai? Benar-benar merupakan kehormatan besar sekali bagiku untuk dapat mengenalmu, Cia-taihiap!"

Sui Cin yang mendengar dari ayahnya mengenai ketinggian hati ketua Cin-ling-pai segera berdiri dan memberi hormat, sengaja menyebut taihiap kepada pemuda itu untuk menguji apakah pemuda itu pun memiliki kecongkakan seperti ayahnya.

"Aihh, adik yang baik, minta ampun, jangan menyebutku taihiap!"

"Mengapa? Bukankah engkau seorang pendekar besar, putera tunggal ketua Cin-ling-pai yang dihormati dan disegani orang-orang gagah di seluruh dunia?"

"Wah, aku tak kuat menerima sebutan itu. Selama hidup belum pernah aku disebut orang taihiap, dan aku tak pernah merasa menjadi taihiap. Jangankan pendekar besar, menjadi pendekar yang paling kecil pun aku bukan! Karena engkau jauh lebih muda dari pada aku, sebut saja aku kakak atau paman juga boleh!"

Sui Cin tertawa. Hatinya gembira sekali. Pemuda ini sama sekali tidak congkak. Apakah berita mengenai ketinggian hati ketua Cin-ling-pai itu tidak benar? Kalau benar bapaknya berhati congkak, mengapa putera tunggalnya demikian ramah, polos, jenaka dan rendah hati malah?

"Baiklah, aku akan menyebutmu kakak. Bagaimana pun engkau hanya lebih tua beberapa tahun saja dari pada aku."

"Beberapa tahun? Engkau paling banyak berusia empat belas tahun!"

"Aku sudah enam belas tahun... ehhh, hampir! Song-twako, engkau paling banyak berusia dua puluh empat tahun."

"Aku baru dua puluh satu tahun, karena tinggi besar, mungkin nampak lebih tua," kata Hui Song. "Dan sekarang ceritakanlah keadaan kalian..."

"Nanti dulu, Song-twako. Aku belum tahu benar mengenai keadaanmu. Apakah... apakah engkau sudah menikah?"

Hui Song tertawa. "Ha-ha-ha-ha, apakah aku kelihatan seperti orang yang telah menikah? Belum, adik yang baik. Aku belum menikah dan mungkin tak akan menikah!"

"Ehh, kenapa? Semua orang akan menikah kalau sudah berusia dua puluh tahun lebih."

"Apakah itu suatu keharusan? Aku tidak mau kalau dipaksa menikah, kecuali kalau hatiku memang ingin menikah."

"Sebagai putera tunggal ketua Cin-ling-pai, tentu sejak kecil engkau sudah ditunangkan dengan puteri seorang yang berkedudukan tinggi dan terkenal pula."

Hui Song tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala. "Tidak, aku belum bertunangan dan tidak akan ditunangkan di luar keinginanku. Nah, sekarang ceritakanlah, siapa nama enci-mu?"

"Hei, Song-twako. Engkau sedang berhadapan dan berkenalan dengan aku, kenapa yang kau tanyakan hanya enci-ku melulu?"

Hui Song tertawa menutupi rasa malunya. "Baiklah, aku tanyakan namamu dahulu. Siapa namamu, adik yang baik?"

"Namaku Ceng Sui Cin..."

Hui Song segera bangkit berdiri dan matanya terbelalak, wajahnya berseri. "She Ceng? Ahh, sudah kuduga di dalam hatiku. Engkau putera Pendekar Sadis Ceng Thian Sin yang amat terkenal itu!"

"Hemmm... jadi engkau sudah tahu banyak tentang ayahku?" Sui Cin bertanya, matanya memandang penuh selidik. Kalau memang benar pemuda ini sudah banyak mengetahui tentang keadaan ayahnya, tiada gunanya lagi permainannya menyamar sebagai adik Sui Cin yang bernama Sui Cin itu!

Akan tetapi hatinya lega ketika melihat pemuda itu menggeleng kepala. "Tentu saja aku tahu mengenai ayahmu dari penuturan ayahku. Akan tetapi yang kuketahui hanya bahwa ayahmu Ceng Thian Sin berjuluk Pendekar Sadis dan memiliki kepandaian sangat hebat. Selanjutnya aku tidak tahu apa-apa lagi mengenai beliau karena ayah tidak menceritakan lebih banyak lagi, agaknya ayah memang tidak tahu banyak tentang ayahmu."

Memang ketua Cin-ling-pai itu benar-benar tinggi hati, pikir Sui Cin. Bagaimana pun juga ayahnya mempunyai hubungan dekat sekali dengan Cin-ling-pai, tetapi ketua Cin-ling-pai itu tidak banyak bercerita tentang ayahnya kepada puteranya.

Hal ini saja sudah membuktikan bahwa ketua Cin-ling-pai itu adalah orang yang congkak dan tinggi hati. Akan tetapi, bagaimana pun juga keadaan ini melegakan hatinya. Dia lebih senang keadaan keluarganya tidak diketahui oleh Hui Song sebab dengan demikian maka dia dapat mempermainkan pemuda itu sesuka hatinya.

"Sekarang ceritakan, siapa nama enci-mu itu, Cin-te (adik Cin)?"

Sui Cin tersenyum. "Song-twako, terus terang saja, aku tidak berani melanggar pantangan enci. Jika aku menceritakan tentu aku akan ditamparnya. Dia galak sekali lho. Sebaiknya kelak engkau tanyakan sendiri saja kalau berjumpa lagi dengannya, Song-twako."

Hui Song mengerutkan alisnya, akan tetapi dia sendiri sudah pernah bertemu dengan dara itu dan tahu akan watak yang aneh dan keras, maka dia pun tidak terlalu menyalahkan Sui Cin kalau takut dengan enci-nya yang galak itu. Karena memang wataknya terbuka dan ramah, Hui Song dapat membuang kekecewaannya.

Bagaimana pun juga dia sudah berkenalan dan bersahabat dengan adik dara itu, ini pun sudah merupakan suatu hal yang amat menguntungkan. Dan kalau dia sudah berkenalan dan bersahabat dengan adiknya, maka jalan menuju ke arah perkenalan dengan enci-nya tentu saja jauh lebih dekat dan mudah. Dan bagaimana pun juga, dia merasa bangga hati dapat berkenalan dengan seorang putera dari Pendekar Sadis yang sangat terkenal dan sudah lama dikaguminya itu.

"Cin-te, apakah sekarang engkau hendak pulang ke rumah orang tuamu? Dan di manakah mereka tinggal?" tanyanya.

"Kami tinggal jauh di selatan, di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi aku belum mau pulang, aku hendak pergi ke kota raja untuk... ehhh, untuk mencari enci-ku di sana."

"Ah, bagus sekali! Aku hendak pergi ke kota raja. Kita dapat jalan bersama kalau begitu." Hui Song berseru gembira.

Sui Cin tersenyum menggoda. "Ehh, katanya tadi bilang hendak ke Cin-ling-pai? Kenapa sekarang tiba-tiba hendak pergi ke kota raja?"

Mendengar nada suara yang mentertawakan ini, Hui Song lalu tertawa. "Wah, terus terang saja, memang aku ingin sekali dapat segera bertemu dan berkenalan dengan enci-mu itu. Akan tetapi, selain keinginanku berkenalan dengan enci-mu, sebenarnya ada pula hal-hal penting yang mendorong aku pergi ke kota raja melakukan penyelidikan."

Sui Cin merasa tertarik. "Hal-hal penting apakah, twako?"

"Aku mengalami dua hal yang amat aneh di Cin-an. Pertama kali, saat aku melihat kaisar dalam penyamarannya dilindungi oleh datuk-datuk Cap-sha-kui, dan kedua kalinya melihat gerombolan ganas seperti Hwa-i Kai-pang itu bekerja sama dengan pasukan pemerintah. Bukankah hal itu penting dan aneh sekali? Aku hendak menyelidiki keanehan itu di kota raja. Pasti terjadi apa-apa yang luar biasa di kota raja, kalau tidak demikian, tak mungkin para penjahat keji bersekutu dengan pemerintah."

Sui Cin mengangguk-angguk. "Engkau benar. Tidak terpikirkan olehku tentang keanehan kerja sama antara penjahat dan petugas keamanan itu. Kalau begitu, mari kita berangkat dan kita selidiki bersama, twako."

"Baiklah, dan aku pun akan membantumu mencari enci-mu di kota raja," kata Hui Song dan Sui Cin hanya tertawa saja.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Istana tua di Lembah Naga itu dulu merupakan tempat yang amat sunyi. Akan tetapi sejak pendekar sakti Cia Han Tiong mendirikan perkumpulan Pek-liong-pai (Partai Naga Putih), tempat terpencil itu sudah tak begitu sunyi lagi. Pada kanan kiri gedung istana tua itu kini telah didirikan bangunan-bangunan pondok di mana murid-murid Pek-liong-pai tinggal dan tempat itu kini terawat baik dan bersih.

Selain belajar ilmu silat di tempat itu, para murid atau anggota Pek-liong-pai juga bekerja dengan rajin, menjaga baik-baik tempat itu. Ada pula yang bertani, memelihara ternak dan sebagainya.

Sudah banyak murid yang tamat belajar lalu meninggalkan Lembah Naga, terjun ke dunia ramai sebagai pendekar-pendekar budiman sehingga mereka inilah yang memperkenalkan serta mengharumkan nama Pek-liong-pai di dunia kang-ouw. Karena sepak terjang para murid lulusan Pek-liong-pai yang gagah perkasa, apa lagi mendengar bahwa Pek-liong-pai didirikan oleh putera Pendekar Lembah Naga yang dulu namanya pernah menggemparkan dunia persilatan, maka nama perkumpulan itu pun mendatangkan rasa hormat dan segan di hati para pendekar, dan ditakuti oleh para penjahat.

Dalam mengajarkan ilmu-ilmunya, Cia Han Tiong ketua Pek-liong-pai bersikap amat keras dan berdisiplin. Setiap orang murid yang mengajukan permohonan hendak belajar di sana akan mengalami ujian terlebih dulu, diteliti watak dan bakatnya. Setelah belajar, sebelum dinyatakan tamat, murid ini sama sekali tidak boleh meninggalkan lembah.

Pendekar ini maklum bahwa pelajar silat yang masih mentah sajalah yang belum mampu menguasai dirinya dan suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan ilmu silatnya. Di samping hal ini amat berbahaya, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain, juga akan menyeret nama Pek-liong-pai ke dalam lumpur.

Ketika dia mendirikan Pek-liong-pai belasan tahun yang lalu, ayah bundanya masih hidup. Ayahnya, mendiang Cia Sin Liong adalah seorang pendekar sakti yang di masa mudanya pernah menggegerkan dunia kang-ouw dan berjuluk Pendekar Lembah Naga, begitu pula mendiang ibunya adalah seorang pendekar wanita yang lihai.

Menjelang hari akhirnya, Cia Sin Liong dengan isterinya hidup tenang di lembah itu, lebih banyak bersemedhi dan menyendiri. Akan tetapi pendekar sakti ini sangat merestui niat puteranya untuk mendirikan perkumpulan agar ilmu keluarga mereka tidak punah, bahkan pendekar sakti Cia Sin Liong turut pula membantu puteranya untuk memberi gemblengan akhlak kepada para murid Pek-liong-pai dengan mempelajari ilmu kesusasteraan dan budi pekerti.

Setelah kemudian suami isteri Pendekar Lembah Naga meninggal dunia dalam usia tua, Han Tiong melanjutkan pendidikan budi pekerti itu dengan tekun dan berdisiplin. Semua anak murid Pek-liong-pai diharuskan bersumpah untuk tidak membunuh orang lain.

"Tiada gading yang tidak retak, tidak ada manusia tanpa cacad di dunia ini," demikianlah antara lain ia menasehati para murid Pek-liong-pai. "Dan kita sendiri pun adalah manusia, maka kita juga tidak terlepas dari pada cacad-cacad itu. Setiap orang manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, memiliki kebaikannya serta keburukannya masing-masing. Orang yang sedang tersesat atau melakukan perbuatan yang kita sebut jahat, hanyalah merupakan manusia yang sedang dihinggapi penyakit. Bukan jasmaninya yang sakit, melainkan batinnya. Akan tetapi, seperti juga penyakit badan, maka penyakit batin ini pun bisa sembuh. Orang yang hari ini sakit, besok atau lusa bisa sembuh, orang yang ini hari melakukan perbuatan sesat, besok atau lusa bisa saja bertobat. Sebaliknya orang yang sedang sehat, jangan sekali-kali takabur karena sewaktu-waktu bisa saja dia dihinggapi penyakit batin itu. Jadi, sebagai seorang pendekar yang mengetahui ini semua, yakin bahwa diri sendiri pun sewaktu-waktu bisa saja sakit, kita tidak boleh meremehkan dan memandang rendah pada orang-orang yang sedang sakit batinnya. Yang harus kita berantas adalah penyakit batinnya itu, bukan orangnya. Dan sebaiknya kita menyadarkan mereka, karena hal ini berarti mengusahakan pengobatan. Bila perlu memang kita dapat juga menggunakan ilmu silat kita untuk menundukkannya, menghajarnya supaya dia jera. Akan tetapi ingat, seorang yang bagaimana jahatnya pun adalah seorang manusia, sama dengan kita, maka tidak berhaklah kita untuk membunuhnya."

"Tapi, suhu," ada seorang murid yang memberanikan diri untuk membantah, "bagaimana kalau ada orang jahat yang walau pun sudah dihajar berkali-kali namun belum juga mau bertobat dan masih saja melanjutkan kejahatannya?"

Cia Han Tiong tersenyum lebar. "Ada juga penyakit badan yang sukar diobati. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kita lalu boleh membunuh saja orang sakit yang tidak mudah diobati itu! Cepat atau lambatnya dia bertobat sangat tergantung dari keadaan badannya, tergantung dari berat ringannya penyakit yang dideritanya. Tidak ada istilah bosan dalam usaha pengobatan, baik pengobatan terhadap penyakit badan mau pun penyakit batin."

"Maaf, suhu," seorang murid lainnya membantah. "bagaimana kalau kita bertemu dengan orang jahat, atau yang suhu sebut sebagai orang yang sedang sakit batinnya, lalu orang itu menyerang dan hendak membunuh kita? Apakah kita harus membiarkan diri sendiri terbunuh olehnya karena kita tidak boleh membunuhnya?"

"Kalian jangan salah paham," Han Tiong menjawab. "yang disebut membunuh itu adalah perbuatan yang sengaja kita lakukan karena kebencian di hati. Menjaga serta melindungi diri sendiri dari kehancuran dan kematian merupakan suatu keharusan dalam hidup kita. Apa bila untuk membela diri, untuk melindungi diri, baik terhadap ancaman maut di tangan binatang atau manusia, terpaksa kita merobohkan penyerang itu sampai dia tewas, bukan pembunuhan yang kita lakukan dengan sengaja, maka hal itu bukan tindakan buruk. Aku tidak melarang perbuatan yang tidak disengaja seperti itu. Akan tetapi, sedapat mungkin, cegahlah serangan yang dapat mematikan lawan."

Demikianlah antara lain gemblengan batin yang diberikan oleh Cia Han Tiong kepada para muridnya. Oleh karena itulah, para murid yang sudah dinyatakan lulus kemudian terjun ke dalam dunia ramai sebagai seorang pendekar Pek-liong-pai, dengan pakaian serba putih mereka, selalu mendatangkan kagum di dunia kang-ouw.

Para pendekar sangat menghormati nama Pek-liong-pai yang menentang kejahatan tanpa rasa benci perorangan terhadap pelaku-pelaku kejahatan itu sendiri. Jarang sekali terjadi seorang penjahat tewas di tangan murid Pek-liong-pai, sungguh pun dengan ilmu silatnya yang tinggi murid Pek-liong-pai itu telah menekan si penjahat untuk segera menghentikan kejahatannya.

Cia Han Tiong dan isterinya hanya memiliki seorang putera saja, yaitu Cia Sun. Seperti juga para murid lain dari Pek-liong-pai, Cia Sun juga digembleng oleh ayahnya, bahkan tentu saja penggemblengan terhadap dirinya lebih hebat sehingga dalam usia dua puluh tahun saja Cia Sun sudah mewarisi semua ilmu kepandaian ayahnya. Juga dia mewarisi watak ayahnya yang pendiam, halus penuh perasaan, berwibawa, jujur dan setia, seorang kuncu atau budiman lahir batin seperti yang dimaksudkan dalam pelajaran Nabi Khong Cu.

Pada pagi hari yang cerah itu, Cia Han Tiong dan isterinya bercakap-cakap sambil duduk di serambi depan istana kuno yang menjadi tempat tinggal mereka. Pagi itu cerah sekali dan hawanya segar, membuat orang merasa tubuhnya sehat dan batinnya tenteram.

Kini Cia Han Tiong sudah berusia empat puluh tujuh tahun kurang sedikit, akan tetapi dia masih nampak gagah perkasa dan wajahnya membayangkan watak yang budiman, halus peramah. Tubuhnya yang tegap membayangkan tenaga yang kuat dan patutlah kalau dia menjadi ketua Pek-liong-pai yang gagah perkasa.

Isterinya, Ciu Lian Hong, kini sudah berusia empat puluh dua tahun, masih nampak muda dan cantik. Mereka bercakap-cakap dan membicarakan putera mereka yang sedang pergi mewakili Pek-liong-pai menghadiri pertemu-an para pendekar di Puncak Bukit Perahu.

"Mudah-mudahan tidak terjadi keributan di selatan sana," Cia Han Tiong berkata kepada isterinya. "Aku tidak ingin melihat Cia Sun terlibat dalam permusuhan yang tiada hentinya antara golongan hitam dan golongan putih. Kalau dia terlibat, berarti seluruh Pek-liong-pai akan terlibat pula."

Isterinya menghela napas panjang. "Aku selalu menghargai semua pendirianmu, suamiku, dan memang aku pun dapat melihat bahwa kekerasan tidak mungkin dapat melenyapkan kekerasan. Akan tetapi, golongan hitam dengan golongan putih merupakan dua golongan yang berdiri saling berhadapan dan saling bertentangan. Mana mungkin mencegah kedua golongan yang saling bertentangan itu untuk tidak bentrok dan bermusuhan?"

"Ahh, justru itulah yang kadang-kadang amat menyedihkan hati. Golongan hitam dianggap melakukan kejahatan dengan menggunakan kekerasan, lantas golongan putih menentang mereka dengan kekerasan pula. Kalau keduanya sudah menggunakan kekerasan maka sukarlah untuk dinilai siapa yang lebih baik dan siapa pula yang lebih buruk. Seyogianya mereka yang menamakan dirinya golongan putih itu melenyapkan dulu perasaan dendam dan benci dari dalam hati mereka sehingga tindakan mereka bukan dilandasi kebencian melainkan dilandasi cinta kasih..."

"Cinta kasih? Cinta kasih kepada kaum sesat yang jahat seperti iblis?" Isterinya bertanya, kaget sendiri akan kenyataan sikap suaminya yang dianggap tak masuk akal ini.

Suaminya menggeleng kepala. "Bukan terhadap golongan tertentu. Melainkan cinta kasih antara manusia. Dan manusia itu bisa siapa saja, tanpa memilih golongan. Dengan dasar inilah maka mereka yang merasa bersih itu akan bertindak dengan dasar menyadarkan, membersihkan, membimbing ke arah yang benar."

Ciu Lian Hong bangkit berdiri. Pusing dia kalau sudah bicara tentang kehidupan dengan suaminya. Pandangan suaminya berbeda dengan umum, karena itu kadang-kadang amat membingungkan dirinya.

"Ahh, kalau saja Cia Sun pulang...," katanya, kemudian dia pun berdiri di depan serambi, memandang ke depan, jauh ke arah hutan lebat yang membentang luas di depan istana Lembah Naga. Suaminya juga turut bangkit lalu menghampiri isterinya, berdiri di samping isterinya.

"Hong-moi, aku tahu bahwa engkau ingin sekali melihat Sun-ji menikah dan engkau ingin sekali menimang cucu. Biarlah kalau dia pulang aku akan bicarakan mengenai hal itu dan secepatnya aku akan mencari adik Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah..."

Ciu Lian Hong cepat menoleh kepada suaminya, "Jangan dulu, suamiku. Biarkanlah anak kita itu meluaskan pengalamannya. Siapa tahu dia akan berjumpa sendiri dengan calon jodohnya. Dalam perjodohan, kita tak boleh memaksa dan memperkosa hatinya. Biarkan dia memilih jodohnya sendiri. Setujukah engkau, suamiku?" Berkata demikian, isteri yang amat mencinta suaminya itu menaruh tangannya di pundak suaminya, menggelendot dan bersandar pada pundak suaminya yang kuat dengan sikap manja dan mesra.

Han Tiong menahan senyumnya dan menarik napas panjang sambil merangkul isterinya yang tercinta. Selalu isterinya mengatakan demikian kalau dia bicara tentang niat hatinya menjodohkan Cia Sun dengan puteri Ceng Thian Sin. Siapa pula nama anak perempuan Ceng Thian Sin, anak perempuan yang pada waktu kecilnya sudah nampak bengal dan berwatak keras itu? Ceng Sui Cin, ya, begitulah namanya.

Pernah anak itu ikut ayahnya ketika berkunjung kira-kira sepuluh tahun yang lalu! Dan dia tahu betul mengapa isterinya kelihatan tidak setuju dan tidak rela menjodohkan Cia Sun dengan Ceng Sui Sin. Bukan karena anak perempuan itu sendiri karena mereka berdua belum tahu bagaimana keadaan anak perempuan itu sekarang setelah dia dewasa, tetapi terutama sekali karena isterinya itu merasa enggan untuk berbesan dengan Pendekar Sadis!

Hal ini tidaklah aneh karena di waktu masih gadis dulu, hubungan antara Lian Hong dan Thian Sin erat sekali. Bahkan dia pun tahu benar betapa Thian Sin pernah mencinta Lian Hong setengah mati, dan seakan-akan terjadi perebutan di dalam hatinya antara dia dan Thian Sin terhadap Lian Hong. Sebenarnya dia bersedia mengalah, akan tetapi akhirnya ternyata bahwa Lian Hong memilih dia dan menjadi isterinya, sedangkan Ceng Thian Sin menikah, atau lebih tepat, hidup bersama sebagai suami isteri dengan Toan Kim Hong.

Salah satu di antara sebab yang membuat Lian Hong memilihnya adalah karena Thian Sin berwatak kejam, bahkan menjadi Pendekar Sadis yang sangat ditakuti orang. Hubungan itulah, juga watak Thian Sin yang kejam sebagai pendekar yang berjuluk Pendekar Sadis itulah yang membuat Lian Hong kini berkeberatan untuk menjodohkan puteranya dengan puteri Pendekar Sadis. Jadi bukan gadis itu yang memberatkan hatinya, melainkan dia tidak mau berbesan dengan Thian Sin!

Pada pagi hari itu, dari luar hutan yang menjadi batas terakhir dari Lembah Naga, nampak seorang kakek dan seorang nenek berjalan memasuki hutan. Kakek dan nenek itu tentu telah berusia enam puluh tahun lebih dan melihat keadaannya, mereka itu seperti seorang kakek dan seorang nenek petani biasa saja.

Keduanya berjalan dibantu oleh tongkat mereka. Kakek itu bertongkat hitam dan si nenek bertongkat putih. Baju mereka longgar dan kepala mereka dilindungi caping lebar dari kulit bambu. Ketika mereka tiba di tengah hutan itu dan melihat ada gundukan besar dari tiga batu bertumpuk, mereka berhenti, termenung sejenak.

"Benar di sinikah tempat itu, kanda?" si nenek itu bertanya dengan suara halus dan penuh kemesraan sambil memandang gundukan tiga bongkah batu bertumpuk itu. Kalau hanya mempergunakan tenaga orang biasa saja, agaknya akan dibutuhkan puluhan orang untuk mengangkat dan menumpuk tiga buah batu besar yang amat berat itu.

"Benar, adinda. Di sinilah. Lihat di permukaan batu paling bawah, bukankah di situ masih ada tulisannya?" jawab si kakek. Mereka berdua memandang tulisan huruf asing di atas permukaan batu paling bawah.

TEMPAT GUGURNYA BIBI GURU HEK-HIAT MO-LI

"Tidak salah lagi, suhu kita yang menumpuk tiga bongkah batu ini untuk memperingati kematian nenek guru Hek-hiat Mo-li. Ahh, tenaga suhu sudah begini hebat akan tetapi tak mampu mengalahkan musuh," kata lagi si nenek.

"Jangan keliru. Pada waktu itu suhu hanya mempunyai tenaga yang kuat saja akan tetapi belum menyempurnakan Ilmu Im-kan Sin-hoat (Ilmu Sakti Akhirat), dan sekarang setelah berhasil menyempurnakan ilmu itu, suhu kehabisan tenaga dan meninggal dunia sebelum dapat mencari ke sini."

"Engkau benar, kanda. Untunglah bahwa dia sudah mewariskan ilmu itu kepada kita dan setelah kita melatih diri dengan sempurna, kini tibalah saatnya bagi kita untuk membalas dendam kepada Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong!"

"Mau keturunannya atau pun muridnya, akan kita gempur dan basmi hingga habis seakar-akarnya!"

Mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan tumpukan tiga bongkah batu itu dan memberi hormat, kemudian sejenak mereka bersemedhi di tempat itu seperti orang hendak mohon berkah. Ketika akhirnya mereka bangkit berdiri lagi, wajah mereka penuh semangat lantas dengan langkah tegap mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Istana Lembah Naga.

Ketika mereka keluar dari hutan dan melihat bangunan kuno menjulang tinggi di depan, mereka berhenti kembali. Bagaimana pun juga, wajah mereka kelihatan tegang sekali dan kiranya mereka gentar juga melihat istana tua yang kokoh itu, seolah-olah melambangkan kekokohan serta kekuatan para penghuninya. Kemunculan mereka itu bukan dari depan istana, melainkan dari samping kanan, maka mereka tidak melihat bahwa pada waktu itu ketua Pek-liong-pai dan isterinya sedang berdiri di serambi depan.

Sebaliknya, empat anggota Pek-liong-pang yang tengah bertugas di sebelah kanan istana itu melihat munculnya kakek dan nenek yang berpakaian sederhana berwarna kuning itu. Tentu saja mereka merasa heran sehingga mereka segera menunda pekerjaan mereka. Dua orang di antara mereka cepat menghampiri dan melihat bahwa yang datang adalah dua orang tua, dua murid Pek-liong-pai cepat memberi hormat. Itulah satu di antara ajaran yang mereka peroleh di perguruan Pek-liong-pai, yaitu menghormat orang yang lebih tua.

"Maaf, lopek berdua hendak mencari siapa?" seorang di antara dua murid Pek-liong-pai itu bertanya.

Kakek dan nenek itu memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, baru kemudian si kakek bertanya, suaranya terdengar asing dan kaku, tanda bahwa dia adalah seorang asing, "Kami mencari Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong!"

Dua orang murid tingkat tiga dari Pek-liong-pai itu saling pandang dengan hati kaget dan heran. Kakek dan nenek ini mencari kakek guru mereka yang telah meninggal dunia!

"Tapi... beliau telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu..."

Kini kakek dan nenek itu saling pandang dan wajah mereka membayangkan kekecewaan. Kakek itu lalu menoleh ke arah istana tua dan bertanya, "Lalu, siapa yang tinggal di dalam istana itu?"

"Yang tinggal di situ adalah suhu dan subo..."

"Siapakah mereka?" tanya si nenek dengan cepat.

"Suhu adalah ketua Pek-liong-pai, perkumpulan kami..."

"Apa hubungannya dengan Pendekar Lembah Naga?"

Diberondong pertanyaan-pertanyaan itu, dua orang murid Pek-liong-pai lalu mengerutkan alisnya. Jelas kakek dan nenek ini adalah orang asing, akan tetapi sungguh tidak sopan mengajukan pertanyaan bertubi-tubi seperti hakim memeriksa pesakitan saja. Akan tetapi demi kesopanan terhadap orang yang jauh lebih tua, alhirnya mereka menjawab juga.

"Suhu adalah putera beliau."

Dua pasang mata tua itu memancarkan sinar yang mengejutkan hati dua orang murid Pek-liong-pai itu. "Jadi kalian adalah cucu murid Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong si jahanam?!" teriak si nenek marah.

Dua orang laki-laki yang usianya sudah mendekati tiga puluh tahun itu terkejut akan tetapi mengangguk. Tiba-tiba nampak sinar berkelebat saat kakek dan nenek itu menggerakkan tongkat mereka ke depan. Kedua orang murid Pek-liong-pai terkejut sekali dan berusaha menghindarkan diri dari serangan kilat itu, namun gerakan mereka jauh kalah cepat.

"Kekkk! Kekkk!"

Dua orang murid Pek-liong-pai itu terjengkang roboh dan tewas seketika dengan lubang tepat di tenggorokan mereka yang mengucurkan darah hitam! Mereka roboh dan tewas tanpa berkelojotan lagi. Sungguh mengerikan dan hebat bukan main serangan kakek dan nenek itu.

Dua orang murid lain yang melihat betapa dua orang saudara seperguruan mereka roboh dan tidak bangkit kembali, menjadi terkejut dan mereka pun cepat berlari menghampiri ke tempat itu. Saat mereka melihat kenyataan yang mengejutkan bahwa dua orang saudara mereka itu telah tewas dengan mata mendelik dan leher berlubang, tentu saja keduanya marah bukan main.

"Kenapa kalian membunuh dua orang sute kami?!" bentak seorang di antara mereka.

"Mampuslah!" Kakek itu membentak dan kembali dua batang tongkat kakek dan nenek itu menyambar ke depan.

Akan tetapi, selain lebih tangkas dari pada dua orang sute mereka yang tewas, dua orang murid Pek-liong-pai itu juga mereka telah siap sedia karena sudah tahu bahwa kakek dan nenek itu adalah orang-orang yang memusuhi mereka, maka sambaran tongkat itu dapat mereka elakkan dengan cara melempar tubuh ke belakang.

Akan tetapi kakek dan nenek itu menyerang terus dengan gerakan yang sangat dahsyat. Mereka hanya sanggup mengelak beberapa kali dan ketika mereka terpaksa menangkis, terdengarlah suara nyaring dan tulang lengan mereka patah bertemu tongkat. Seorang di antara mereka sempat mengeluarkan pekik melengking untuk memperingatkan para murid Pek-liong-pai lainnya sebelum mereka berdua roboh, sekali ini bukan oleh tusukan ujung tongkat, melainkan karena tamparan tangan kiri kakek dan nenek itu.

Tamparan itu hebat bukan main karena sama sekali tidak dapat dielakkan lagi kemudian robohlah mereka dengan tubuh utuh. Mereka roboh dan tewas seketika. Tidak kelihatan adanya luka pada kepala mereka yang kena ditampar, hanya nampak tanda menghitam di pelipis kanan mereka bekas tangan kakek dan nenek itu. Ternyata isi kepala mereka telah terguncang dan rusak oleh tenaga tamparan yang amat ampuh itu!

Akan tetapi pekik melengking yang sempat dikeluarkan oleh salah seorang di antara dua murid Pek-liong-pai sebelum mereka tewas tadi, mengejutkan semua murid Pek-liong-pai. Pada waktu itu, di Lembah Naga terdapat tak kurang dari empat puluh orang murid, terdiri dari tingkat pertama, kedua dan ketiga.

Akan tetapi pada saat itu sebagian dari mereka sedang bekerja di sawah ladang, ada pula yang berburu binatang sehingga pada pagi hari itu, yang berada di sekitar istana hanya ada dua puluh lima orang termasuk empat yang tewas itu. Dan di antara dua puluh lima orang ini, yang tingkat satu dan hanya menunggu dinyatakan lulus hanya ada tiga orang, selebihnya adalah murid-murid tingkat dua dan tiga.

Kakek dan nenek itu menyeringai penuh ejekan ketika mereka melihat dua puluh orang murid Pek-liong-pai yang rata-rata mengenakan pakaian serba putih itu berdatangan dari segenap penjuru, ada yang masih membawa cangkul, sapu dan lain-lain.

Walau pun sudah melihat bahwa empat orang saudara mereka tewas dan pembunuhnya tentu kakek dan nenek itu, namun mentaati ajaran dan perintah guru mereka, dua puluh orang lebih murid-murid Pek-liong-pai itu tidak sembrono turun tangan mengeroyok, akan tetapi mengepung saja agar kakek dan nenek pemhunuh itu tidak dapat melarikan diri.

Tiga orang murid tingkat pertama yang berada di situ bertindak sebagai pemimpin. Mereka berdiri menghadapi kakek dan nenek itu, lantas seorang di antara mereka yang usianya sudah hampir empat puluh tahun, melangkah maju dan memberi hormat.

"Siapakah locianpwe berdua dan apa kesalahan adik-adik seperguruan kami maka ji-wi locianpwe (dua orang gagah) turun tangan membunuh mereka? Sekarang kami terpaksa menuntut agar ji-wi suka menyerah dan menghadap ketua kami!"

Kakek dan nenek itu saling pandang dan mereka kelihatan bergembira! Kakek itu tertawa bergelak sambil mengelus-elus jenggotnya yang jarang akan tetapi cukup panjang, tangan kanannya memegang tongkat yang didirikan di depan kakinya, sedangkan nenek itu pun tersenyum dan tangan kirinya bertolak pinggang.

"Ha-ha-ha-ha, adinda yang baik, lihat, mereka ini semuanya sudah mengenakan pakaian berkabung, seolah-olah mereka sudah tahu bahwa hari ini mereka akan mati semua! Hayo kita berlomba, siapa di antara kita yang dapat membunuh musuh paling banyak!" Setelah berkata demikian, segera nampak dua sinar berkelebat dan dua batang tongkat itu sudah menyambar secepat kilat ke arah dua orang murid pertama Pek-liong-pai!

Hebat bukan main serangan itu, akan tetapi sekarang yang diserang adalah murid-murid Pek-liong-pai yang sudah hampir tamat. Tentu saja kedua orang itu sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, dan biar pun mereka kaget sekali, namun mereka berhasil menghindarkan diri dengan loncatan ke belakang.

Maklum bahwa kakek dan nenek itu mempunyai kepandaian yang amat tinggi, maka tiga orang murid pertama itu cepat mencabut pedang mereka dan seorang di antara mereka memberi komando, "Kurung dan tangkap mereka untuk dihadapkan kepada suhu!"

Suheng ini masih memperingatkan para sute-nya agar jangan sembarangan turun tangan, membunuh kakek dan nenek itu!

Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Kakek dan nenek itu mengamuk dengan tongkat dan tangan kiri mereka. Entah mana yang lebih ampuh. Tongkat itu tidak dapat ditangkis. Senjata penangkis tentu patah dan kalau ujungnya sampai mengenai tubuh, tentu tembus dan yang terkena tewas seketika. Akan tetapi tangan kiri mereka juga hebat bukan main, membawa getaran aneh yang tidak dapat ditangkis, hanya dapat dielakkan saja, itu pun oleh para murid Pek-liong-pai yang cukup gesit.

Para murid itu menggunakan senjata seadanya. Yang memegang cangkul menggunakan alat ini untuk senjata, ada yang menggunakan pedang mereka, ada pula yang terpaksa mengeroyok dengan tangan kosong. Dan akibatnya sungguh mengerikan.

Kakek dan nenek itu menyebar maut sehingga dalam waktu singkat saja, di antara dua puluh lima orang murid itu, dikurangi empat orang yang tewas terlebih dahulu, kini tinggal sepuluh orang lagi saja! Lima belas orang murid sudah menggeletak tanpa nyawa, mayat mereka berserakan di tempat itu, termasuk seorang murid pertama!

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Tahan senjata...!"

Bentakan ini demikian penuh wibawa dan mengandung getaran khikang yang amat kuat sehingga kakek dan nenek itu terkejut. Mereka meloncat ke belakang, lalu melintangkan tongkat di depan dada sambil menatap ke depan.

Cia Han Tiong dan isterinya, Ciu Lian Hong, sudah berdiri di situ dengan muka pucat dan mata terbelalak. Ketua Pek-liong-pai itu merasa ngeri sekali ketika melihat belasan orang muridnya sudah tewas dan mayat mereka malang-melintang memenuhi tempat itu, ada pun yang sepuluh orang lagi kelihatan pucat dan gentar.

Dia segera memandang ke arah kakek dan nenek itu yang juga memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Mereka pun menduga-duga siapa adanya laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang gagah perkasa dan mempunyai wibawa yang amat kuat ini.

"Apakah engkau ketua Pek-liong-pai?" Kakek itu bertanya, matanya mengeluarkan sinar berapi.

Sinar mata yang penuh kebencian, pikir Han Tiong. Dia lantas mengangguk. "Benar, dan siapakah ji-wi locianpwe? Andai kata ada murid kami yang bersalah, mengapa ji-wi begitu tega untuk membunuh begini banyak orang? Permusuhan apakah yang ada antara ji-wi dengan Pek-liong-pai?" Pertanyaannya tidak mengandung kemarahan, akan tetapi tegas dan penuh nada teguran.

"Ha-ha-ha-ha, masih begini muda sudah menjadi ketua. Siapakah namamu dan benarkah engkau putera mendiang Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong?" kakek itu bertanya lagi.

Han Tiong mengerutkan kedua alisnya. "Benar, locianpwe. Nama saya adalah Cia Han Tiong dan Pendekar Lembah Naga adalah mendiang ayah saya."

"Bagus! Cia Han Tiong, jangan salahkan murid-muridmu dan kami juga tidak mempunyai permusuhan apa pun dengan Pek-liong-pai. Engkau salahkan saja nenek moyangmu dan terutama ayahmu yang dulu telah membunuh nenek guru kami, yaitu bibi dari guru kami. Nama nenek guru kami itu adalah Hek-hiat Mo-li, pendatang dari Sailan. Kami sebagai keturunan perguruannya melanjutkan usaha guru kami untuk mencari Pendekar Lembah Naga dan membalas dendam."

"Akan tetapi, ayah telah meninggal dunia beberapa tahun yang lampau! Kenapa ji-wi lalu membunuhi murid-murid kami yang tidak berdosa...?"

"Hemmm, puluhan tahun kami melatih diri, hidup sengsara agar dapat berbakti, kemudian melakukan perjalanan yang sangat jauh dari selatan, apakah semua itu harus sia-sia saja karena kematian ayahmu? Ayahmu boleh saja mati, akan tetapi masih ada puteranya dan cucu-cucu muridnya!"

Cia Han Tiong mengerutkan kedua alisnya. Hatinya diliputi penyesalan besar. Mendiang ayahnya tidak pernah bercerita tentang musuh-musuhnya di waktu dahulu, akan tetapi dia merasa yakin bahwa memang benar ayahnya tentu dahulu pernah menewaskan nenek guru dari dua orang ini. Dan dia pun yakin pula bahwa nenek guru mereka yang memakai julukan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Darah Hitam) tentulah bukan orang baik-baik dan tidak mengherankan kalau ayahnya membunuhnya dalam perkelahian.

Makin terasa olehnya alangkah buruknya hidup dalam kekerasan. Sampai turun-temurun, dendam masih mengikatnya! Dia menarik napas panjang. Ikatan karma ini harus diakhiri. Manusia selalu dikejar ikatan karma karena ulah sendiri. Kini saatnya untuk menentukan apakah karma itu akan terus mengejar dirinya serta anak cucunya, sepenuhnya berada di telapak tangannya. Akan tetapi, apakah dia harus menyerahkan saja nyawanya?

Kakek dan nenek ini memiliki sinar mata penuh kebencian, tentu mereka tidak akan puas apa bila hanya dia yang menyerahkan diri. Mereka tentu akan membunuh pula isterinya, semua muridnya, bahkan mereka tentu akan mencari putera tunggalnya untuk dibunuh! Tidak, dia harus mempertahankan keluarganya. Dia harus membela diri serta melindungi keluarga dan para muridnya.

"Orang yang sedang dibebani dendam terkutuk! Siapakah namamu?" Akhirnya Han Tiong bertanya, suaranya penuh wibawa.

Kakek itu tertawa. "Nama kami tidak ada gunanya kau ketahui. Akan tetapi agar engkau ingat bahwa kami datang untuk membalaskan dendam nenek kami Hek-hiat Mo-li, biarlah engkau dan dunia kang-ouw mengenal kami sebagai Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo! Ha-ha-ha, akan tetapi apa gunanya? Sebentar lagi kalian semua akan menyusul mereka yang sudah mampus lebih dahulu!"

Cia Han Tiong melangkah maju. "Hek-hiat Lo-mo, marilah kita bereskan perhitungan lama secara jantan. Mari engkau dan aku menentukan dengan taruhan nyawa kita dan urusan dendam ini kita habiskan di sini, tidak perlu menyangkut orang lain."

"Enak saja engkau hendak menyelamatkan keluarga serta murid-muridmu. Tidak, kalian semua harus mampus di tangan kami, barulah kami merasa puas dan terlepas dari beban batin selama puluhan tahun!" Nenek yang diberi nama Hek-hiat Lo-bo itu berkata dengan suara melengking-lengking.

Ciu Lian Hong yang sejak tadi diam saja, kini melangkah maju mendekati suaminya dan berkata, "Mari kita hadapi mereka!" dengan sikap gagah nyonya ini pun mempersiapkan diri.

Akan tetapi suaminya menggeleng kepala dan menyuruhnya mundur dengan sikap halus. "Jangan engkau mencampuri, biarkan aku saja yang membereskan urusan ini," katanya.

"Ha-ha-ha, ketua Pek-liong-pang. Tidak perlu sungkan dan malu. Kami datang berdua dan kami telah mempersiapkan segalanya, termasuk pengeroyokan murid-muridmu. Nah, kau kerahkanlah semua tenagamu di sini, kami tidak akan takut, tidak akan mencelamu kalau kau melakukan pengeroyokan!" kata Hek-hiat Lo-mo.

Akan tetapi Cia Han Tiong adalah seorang pendekar lengkap, seorang yang menjunjung tinggi kehormatan. "Kami bukan pengecut yang suka main keroyokan dan mengandalkan banyak orang. Kalian hanya datang berdua, jika setuju, biarlah kulayani kalian satu demi satu."

"Kami datang berdua dan kami maju bersama. Kau boleh mengerahkan semua keluarga dan muridmu!" Hek-hiat Lo-bo membentak.

Nenek ini telah menerjang dahsyat menggunakan tongkatnya yang meluncur ke arah dada ketua Pek-liong-pang itu. Suaminya, Hek-hiat Lo-mo, juga menyerang dengan tongkatnya.

Menghadapi serangan beruntun yang dilakukan dua orang itu secara dahsyat dan susul menyusul, Han Tiong mengebutkan kedua lengan bajunya untuk menangkis ujung tongkat sambil meloncat ke belakang.

"Plak-plak...! Brettt...!"

Ujung lengan bajunya dapat menyampok terpental kedua senjata lawan, akan tetapi ujung lengan baju kiri yang menangkis senjata di tangan Hek-hiat Lo-mo itu terobek.

Kedua pihak terkejut. Kakek dan nenek itu dapat merasakan betapa kuat tangkisan ujung lengan baju tadi. Mereka bergerak dengan hati-hati dan kini mengambil posisi di kanan kiri lawan, lantas tongkat mereka membuat gerakan-gerakan aneh dan mengeluarkan suara berdesing seperti senjata tajam saja.

Melihat gerakan mereka yang amat teratur, Han Tiong bisa menduga bahwa kedua orang ini memang sudah mempelajari cara bersilat berdua yang merupakan semacam ilmu silat berpasangan. Ilmu ini amat kuat karena keduanya dapat bekerja sama secara teratur dan rapi, dapat saling bantu dan saling melindungi secara otomatis. Mengertilah dia mengapa mereka tidak mau maju satu demi satu, melainkan ingin maju bersama.

"Singgg...!"

Cia Han Tiong memang pantang membunuh, akan tetapi menghadapi lawan-lawan yang sangat tangguh itu, dia pun mencabut pedangnya untuk dapat membela diri dengan baik. Sebetulnya pendekar ini tidak pernah menggunakan pedang dan pedang yang dibawanya itu lebih merupakan hiasan saja. Akan tetapi, sekali ini dia membutuhkannya.

"Hiaaaat...!" Hek-hiat Lo-mo sudah menusukkan tongkatnya dari kanan.

"Ihhh...!" Hek-hiat Lo-bo juga menyerang dari kiri dengan totokan ke arah leher.

"Wuuutt...! Singgg...! Trang-tranggg...!"

Pedang berkelebat membentuk sinar terang dan menangkis kedua tongkat. Akan tetapi, begitu kedua tongkat terpental, kakek dan nenek itu langsung menggerakkan tangan kiri dan ternyata serangan tangan kiri mereka yang menyambar itu tidak kalah ampuhnya jika dibandingkan tongkat mereka!

Han Tiong cepat menggeser kaki dua kali, mengelak sambil menggunakan ujung lengan baju kiri untuk menangkis. Kini tahulah dia bahwa yang paling berbahaya adalah tangan kiri kedua lawan itu. Inti penyerangan mereka terletak pada kedua tangan kiri sedangkan tongkat-tongkat itu lebih bertugas sebagai pengacau kedudukan lawan dan mengalihkan perhatian agar tangan kiri mereka lebih banyak memperoleh kesempatan untuk mencuri kelengahan lawan.

Maka dia pun segera mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuat di tangan kirinya untuk menjaga diri dan balas menyerang. Kini terjadilah sebuah pertandingan yang amat seru.

Akan tetapi ternyata dua orang kakek dan nenek itu memiliki gerakan silat yang luar biasa dan asing bagi Han Tiong. Yang amat berbahaya dan tak terduga-duga datangnya adalah serangan kaki mereka. Kaki mereka itu bisa menyelingi serangan tongkat dan tangan kiri dengan tendangan-tendangan aneh yang dilakukan dalam berbagai posisi, baik tendangan langsung, miring ke belakang, bahkan tendangan dengan lutut.

Cara menendang gaya Sailan ini masih belum dikenal oleh Han Tiong. Berbeda dengan gaya tendangan dari daerah selatan yang mempergunakan seluruh panjang kaki dengan pengerahan kekuatan dan dilakukan dengan cepat dari jarak agak jauh, tendangan kakek dan nenek ini dapat dilakukan dari jarak dekat, dengan menggunakan lutut dan tiba-tiba datangnya. Bagaimana pun juga kematangan Han Tiong dalam ilmu silatnya membuat dia selalu dapat mengelak dan membalas dengan serangan-serangan dahsyat pula sehingga sering membuat kedua lawannya terkejut dan kesatuan gerakan mereka membuyar.

Ciu Lian Hong merasa penasaran ketika tadi suaminya menyuruh ia mundur. Apa lagi kini melihat suaminya dikeroyok dua dan kelihatan terdesak, dia merasa semakin penasaran. Karena merasa khawatir akan keselamatan suaminya, akhirnya Ciu Lian Hong tak dapat lagi menahan kemarahannya.

"Kakek nenek iblis curang!" bentaknya, lantas nyonya itu pun meloncat ke depan, sambil menyerang Hek-hiat Lo-bo dengan tamparan tangan kanannya.

"Plakkk...!"

Tubuh nyonya itu nyaris saja terpelanting saat tamparannya ditangkis oleh Hek-hiat Lo-bo dengan amat kuatnya.

"Heh-heh-heh, bagus! Engkau datang menyerahkan nyawamu!" nenek itu terkekeh-kekeh lalu menyerang Ciu Lian Hong dengan tongkatnya. Nyonya ini mengelak dan berloncatan ke sana-sini, akan tetapi ujung tongkat itu terus mengejarnya.

"Trangggg...!" Sinar pedang berkelebat dan ternyata Han Tiong sudah menangkis tongkat yang mengancam keselamatan isterinya itu.

"Hong-moi, mundurlah! Biar kuhadapi sendiri..."

"Tidak! Aku harus membantumu!" teriak Lian Hong.

Han Tiong khawatir akan keselamatan isterinya, maklum bahwa tidak mungkin Lian Hong bisa dicegah. Dia menyerahkan pedang di tangannya kepada isterinya lalu berbisik cepat, "Pergunakan pedang ini dan mainkan Thai-kek Sin-kun hanya untuk membela diri saja!"

Dua orang musuh mereka itu tertawa, lalu menyerang kembali, si kakek menyerang Han Tiong yang bertangan kosong sedangkan nenek itu memutar tongkatnya lalu menyerang Lian Hong.

Nyonya ini maklum akan kelihaian lawan. Maka dia pun cepat menggerakkan pedangnya dan bersilat dengan Ilmu Thai-kek Sin-kun, sesuai dengan pesan suaminya. Ilmu ini dapat dimainkan dengan pedang dan ilmu silat ini memang mengandung daya tahan yang amat hebat. Ketika Lian Hong memutar pedangnya dan mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, tongkat lawannya tidak mampu menembus benteng pertahanan yang kokoh kuat itu.

Betapa pun juga, tenaga lawan lebih besar dan ilmu kepandaian nenek itu memang jauh lebih tinggi tingkatnya, maka biar pun Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun amat kokoh kuat, tetap saja Lian Hong terdesak dan tangannya yang memegang pedang terasa panas dan nyeri setiap kali pedangnya bertemu tongkat.

Semenjak tadi Lian Hong hanya membela diri saja, sesuai dengan petunjuk suaminya, tak pernah membalas karena dia terus mencurahkan seluruh perhatian dan tenaganya untuk bertahan. Akan tetapi lama kelamaan nyonya ini merasa sangat penasaran. Dia didesak dan dihimpit dan meski pun ilmu silat itu ternyata mampu melindunginya sehingga selama hampir lima puluh jurus dia belum pernah terpukul, akan tetapi jika hanya bertahan terus, akhirnya pasti dia akan kalah juga. Rasa penasaran membuat Lian Hong kini menyelingi pertahanannya dengan serangan balasan. Dan inilah kesalahannya!

Tadi Han Tiong sempat melihat betapa tingkat kepandaian isterinya masih kalah jauh jika dibandingkan lawan, karena itu dia sengaja memberikan pedangnya dengan pesan agar isterinya memainkan Thai-kek Sin-kun untuk melindungi dirinya. Dengan demikian, walau pun isterinya tidak akan menang, setidaknya isterinya akan mampu melindungi diri sendiri sampai dia berhasil mengalahkan Hek-hiat Lo-mo kemudian membantu Lian Hong. Akan tetapi tak disangkanya sama sekali bahwa kakek itu benar-benar amat lihai.

Kini, tanpa memegang pedang, sebenarnya Han Tiong dapat mengeluarkan ilmu-ilmunya yang sakti. Sayang, hatinya yang bersih sama sekali tak menghendaki membunuh lawan. Dia merasa bahwa pihaknya yang berhutang. Maka dia hanya membela diri dan balasan serangannya mempergunakan batas-batas supaya jangan sampai dia membunuh lawan. Hal ini mengurangi daya serangannya dan sedemikian jauhnya dia masih belum mampu mengalahkan lawan. Pada saat itu pula, Lian Hong yang sudah amat penasaran itu mulai membalas dengan serangan hebat kepada Hek-hiat Lo-bo!

"Haiiitttttt...!" Lian Hong menusukkan pedangnya dengan cepat dan kuat ke arah perut nenek itu.

"Iiihhh...!" Nenek itu meloncat dan terhuyung ke belakang.

Nenek yang sudah berpengalaman ini memang licik sekali. Tadi dia sudah hampir putus asa menghadapi daya tahan yang kokoh kuat dari ilmu silat lawannya. Dia merasa amat penasaran dan kehabisan akal. Dia tahu bahwa dia menang segala-galanya dari lawan, akan tetapi semua ilmu sudah dia keluarkan namun belum juga dia mampu membobolkan sinar pedang yang membentuk benteng pertahanan lawan itu.

Ketika melihat lawan tiba-tiba mulai menyerang, dia menjadi gembira sekali. Begitu lawan menyerang, dia melihat ada lubang terbuka dalam benteng pertahanan itu! Akan tetapi dia tidak mau tergesa-gesa, bahkan memancing lawan agar menyerang terus sehingga akan terbuka lubang serta kesempatan yang lebih besar. Maka dia pura-pura terkejut, berseru sambil terhuyung ke belakang seakan-akan dia terdesak hebat oleh serangan lawan tadi. Dan Lian Hong terkena jebakan ini!

Melihat betapa nenek itu terhuyung oleh serangannya, Lian Hong menjadi gembira sekali, mengira bahwa serangannya ini berhasil. Dia lalu mendesak dan mengirimkan serangan susulan dengan pedangnya, menubruk ke depan sambil menyabetkan pedangnya ke arah leher nenek itu dari samping.

"Hong-moi, mundur...!" Tiba-tiba terdengar Han Tiong berseru keras sekali.

Dia hendak meloncat ke depan untuk mencegah isterinya, namun Hek-hiat Lo-mo sudah menghadang dengan totokan tongkatnya. Dan juga seruannya tadi telah terlambat karena isterinya yang sudah merasa girang melihat kemenangannya di depan mata itu tidak mau menahan serangannya.

"Wuuuttt...! Srettt...!"

Pedang itu menyambar leher Hek-hiat Lo-bo yang mengelak dan ketika ia menggerakkan kepala, ikatan rambutnya yang penuh uban itu terlepas lalu gumpalan rambutnya bergerak seperti hidup, tahu-tahu sudah membelit dan menangkap pedang lawan.

Lian Hong mengerahkan tenaga untuk menarik pedangnya, akan tetapi sukar sekali dan selagi dia bersitegang, mendadak tongkat di tangan nenek itu meluncur di bawah lengan Lian Hong kemudian menotok dada, tepat di dekat ketiak.

"Tukkk...!" Nyonya itu mengeluh lirih, terkulai dan roboh tak dapat berkutik lagi.

Han Tiong mengeluarkan gerengan yang menggetarkan seluruh tempat itu, lalu menerjang kakek yang menghalang dengan tongkatnya. Karena marah dan khawatir melihat isterinya roboh, sekarang dia pun mengeluarkan ilmu simpanannya yang disebut Keng-lun Tai-pun. Dia melakukan sebuah jurus aneh, tubuhnya melayang ke depan sambil kedua lengannya dikembangkan dan dari kedua tangannya keluar hawa panas menyambar-nyambar.

"Tukk! Desss...!"

Tubuh Hek-hiat Lo-mo terjengkang, ada pun tubuh Han Tiong terguncang terkena totokan tongkat. Akan tetapi dia menerjang terus dan meloncat ke arah isterinya yang kini rebah miring. Melihat suaminya terjengkang, Hek-hiat Lo-bo mengeluarkan suara pekik nyaring melengking dan menyambut Han Tiong dengan tusukan tongkat dibarengi oleh hantaman telapak tangan kiri. Hebat bukan main serangan nenek yang tingkat kepandaiannya tidak di bawah suaminya ini.

"Tukk! Plak! Desss...!"

Tubuh Hek-hiat Lo-bo langsung terpelanting dan terguling-guling ke dekat tubuh suaminya. Keduanya dengan susah payah bangkit duduk, muka mereka pucat sekali, napas mereka memburu dan dari mulut serta hidung mereka keluar darah.

Maklum bahwa mereka telah terluka parah dalam pertemuan tenaga sakti melawan ketua Pek-liong-pang tadi, keduanya lantas duduk bersila menghimpun hawa murni dan menanti datangnya pukulan maut dari lawan. Mereka berdua tahu bahwa dalam keadaan seperti itu tidak mungkin melarikan diri, apa lagi melawan!

Han Tiong sendiri pun terluka, akan tetapi masih untung baginya bahwa tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh tadi telah melindungi tubuhnya sehingga biar pun dalam tubuhnya terguncang hebat dan dari mulutnya mengalir darah segar pula, tapi totokan-totokan dan hantaman tangan kiri lawan yang amat ampuh tadi tak sampai mengakibatkan luka parah.

Dia tidak mempedulikan lagi kedua orang lawannya, melainkan menjatuhkan diri berlutut di dekat tubuh isterinya. Dia mengangkat dan memangku tubuh yang lunglai itu dan biar pun tubuh itu masih hangat, dia tahu bahwa isterinya telah tewas!

"Hong-moi... aihh, Hong-moi... engkau telah menjadi korban kekerasan keluargaku...," dia meratap dan mengeluh, penuh rasa duka dan terharu.

Kalau tadi para murid Pek-liong-pai tidak berani turun tangan menghadapi musuh tanpa perintah suhu mereka, kini melihat subo mereka tewas dan dua orang musuh itu agaknya telah terluka parah sehingga tinggal menyusulkan sebuah pukulan maut saja, mereka lalu bergerak menyerang kakek dan nenek itu untuk membalaskan kematian subo dan lima belas orang saudara seperguruan mereka.

Sebagai dua orang yang pandai, tentu saja kakek dan nenek itu tahu akan bahaya yang mengancam diri mereka. Mereka sudah terluka parah dan mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan berarti membunuh diri sendiri. Akan tetapi sebelum mati lebih baik mereka merobohkan lagi beberapa orang lawan yang tingkat kepandaiannya belum tinggi. Mereka lalu bangkit berdiri, terengah-engah menyeringai, bertopang pada tongkat mereka.

"Hah, majulah kalian, heh-heh...!" Hek-hiat Lo-mo menantang.

Isterinya juga siap di sebelahnya, tetapi tidak berani dan tidak kuat lagi membuka suara. Para murid Pek-liong-pang terkejut dan menjadi agak gentar, menunda serangan mereka dan kini maju mengepung, siap dengan senjata mereka.

"Tahan...!" tiba-tiba untuk kedua kalinya Han Tiong membentak. Semua muridnya terkejut, menahan senjata dan menoleh ke arah pendekar itu.

Dengan lembut Han Tiong menurunkan tubuh isterinya, merebahkan mayat yang masih hangat itu di atas tanah, lalu dia bangkit berdiri, mengusap darah dari tepi bibirnya, lalu melangkah maju menghampiri kakek dan nenek itu. Sejak tadi matanya menatap wajah mereka dengan tajam.

Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo memandang dengan muka pucat, maklum bahwa jiwa mereka berada di tangan pendekar ini karena tidak mungkin lagi bagi mereka yang sudah terluka parah untuk melawan pendekar ini.

Mendadak Hek-hiat Lo-mo terkekeh. Dia tertawa untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya. "Heh-heh-heh, orang she Cia! Kami sudah kalah olehmu. Mau bunuh lekaslah lakukan itu. Kami tidak merasa rugi karena nyawa kami ditukar nyawa isterimu dan lima belas orang muridmu!"

Sinar berapi-api penuh kemarahan memancar dari sepasang mata pendekar ini, ada pun kedua tangannya mengepal tinju. Terdengar bunyi berkerotokan ketika dia mengerahkan tenaga sehingga dua orang tua itu merasa semakin seram.

Mereka tahu betapa dahsyatnya tenaga yang tersembunyi di dalam sepasang tangan itu sehingga sekali saja tangan itu bergerak, mereka takkan mampu mempertahankan nyawa mereka lagi. Juga para murid Pek-liong-pang memandang terbelalak, ingin sekali melihat guru mereka menurunkan tangan maut membunuh dua orang musuh besar itu.

Akan tetapi pukulan yang dinanti-nantikan itu tidak kunjung datang. Bahkan pendekar itu menoleh ke arah mayat isterinya, membalik memandang kakek dan nenek itu, lalu bicara, suaranya menggetar penuh duka.

"Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, sesudah kalian membunuh isteriku serta lima belas orang muridku, keuntungan apa yang kalian peroleh dari kematian mereka? Dan apakah dengan kematian mereka itu lantas nenek guru kalian yang tewas oleh mendiang ayahku itu dapat hidup kembali?"

Mendengar pertanyaan yang aneh ini, kakek dan nenek itu saling berpandangan dengan bimbang, kemudian kakek itu yang menjawab, "Tentu saja nenek guru kami tidak mungkin hidup kembali, dan keuntungan yang kami dapat adalah rasa puas bahwa dendam kami sudah terbalas sebagian!"

"Benarkah itu? Benarkah kalian merasa puas? Ataukah akan timbul dendam lain karena kalian gagal membunuhku dan dengan sekali pukul aku akan dapat membunuh kalian?"

"Sudahlah, kami sudah kalah dan gagal, engkau boleh saja membunuh kami, kami tidak merasa takut!"

Akan tetapi Han Tiong menggeleng kepala dan menarik napas panjang lalu menundukkan mukanya. "Tidak, aku tidak akan mau memperpanjang dan menyambung karma buruk ini. Biarlah isteriku dan lima belas orang muridku menjadi penebus hutang mendiang ayahku dan kubikin putus rantai karma yang membelengguku. Harap kalian dapat menghabiskan permusuhan sampai di sini saja."

Kakek dan nenek itu kembali saling pandang seperti tidak percaya akan apa yang mereka dengar.

"Kau... kau tidak akan membunuh kami...?" tanya nenek itu, suaranya mengandung isak tertahan karena dia terlepas dari ketegangan hati seorang yang menghadapi maut yang nampaknya tak terelakkan lagi mengancam dirinya tadi.

Han Tiong mengangguk dan menarik napas panjang. "Benar, kalian boleh pergi..."

Kakek dan nenek itu merasa terharu sekali. Baru saja mereka membunuh isteri serta lima belas orang murid pendekar ini, akan tetapi pendekar ini mengampuni mereka! Selama hidup belum pernah mereka mendengar hal seganjil ini, apa lagi mengalaminya. Jantung mereka seperti ditusuk-tusuk rasanya dan sekarang pun mereka mulai merasa menyesal sekali.

Peristiwa pembunuhan ini selama hidup akan terus-menerus menghantui mereka dengan penyesalan. Jika pendekar ini merasa dendam dan hendak membalas atas pembunuhan-pembunuhan itu, tentu tidak akan terdapat penyesalan di dalam hati mereka. Akan tetapi sekarang sikap pendekar itu akan membuat mereka selama hidup menyesal sekali sudah melakukan pembunuhan pada hari ini. Mereka lebih suka kalau dibunuh saja.

Keduanya menjura dengan muka pucat dan mata basah. "Cia-taihiap, kami berhadapan dengan seorang mulia, kami takluk dan merasa menyesal sekali...," kata kakek itu.

"Pergilah kalian... pergilah...!" kata Han Tiong.

Dia lalu menghampiri mayat isterinya, dipondongnya jenazah itu dan dibawanya pulang. Para muridnya juga mengangkat mayat saudara-saudara mereka mengikuti suhu mereka dari belakang.

Kakek dan nenek itu mengikuti iring-iringan jenazah yang sangat menyedihkan itu dengan muka pucat dan pandang mata sayu, kemudian dengan tertatih-tatih mereka pun pergi meninggalkan Lembah Naga.

Sesudah belasan jenazah itu dimasukkan peti dan para murid Pek-liong-pang berkumpul dan berkabung, suasana menjadi sangat menyedihkan. Sisa para murid cepat memberi kabar kepada saudara-saudara seperguruan mereka, dan kemudian setiap kali ada murid Pek-liong-pang yang datang, maka meledaklah ratap tangis di antara mereka.

Hampir tiga puluh orang murid Pek-liong-pang berkumpul pada malam terakhir itu. Besok pagi, enam belas peti mati itu akan dikebumikan. Dan dalam kesempatan ini, para murid kepala lalu menyatakan rasa penasaran hati mereka terhadap sikap suhu mereka kepada kakek dan nenek yang memusuhi Pek-liong-pang dan yang menyebar maut itu.

"Suhu, teecu sekalian masih tetap merasa penasaran mengapa suhu membiarkan kakek dan nenek iblis itu pergi. Sepatutnya mereka dibunuh untuk membalaskan kematian subo dan enam belas murid Pek-liong-pang. Karena suhu mengampuni dan membebaskan dua iblis itu, apakah arwah subo dan sute tidak penasaran?" demikian seorang murid tua yang telah lulus dan baru saja tiba, mewakili saudara-saudara seperguruannya menyampaikan rasa penasaran hati mereka. Para murid lainnya mengangguk setuju, lantas semua mata ditujukan kepada pendekar itu.

Dalam beberapa hari ini, Cia Han Tiong seolah-olah sudah bertambah tua sepuluh tahun. Dia memandang para muridnya yang duduk bersila di depannya, dekat dengan peti-peti jenazah yang berjajar.

"Subo kalian dan para murid Pek-liong-pang tewas dalam perkelahian, bahkan pihak kita yang melakukan pengeroyokan. Mereka, juga subo kalian, tewas karena memang kalah pandai. Bukankah kalah menang adalah wajar saja dalam sebuah perkelahian? Juga luka atau tewas merupakan rangkaian dan akibat dari kekerasan yang dilakukan kedua pihak. Apa yang harus dibuat penasaran lagi?"

"Akan tetapi, suhu. Mereka yang datang menyerang, bukan kita yang mulai perkelahian itu."

"Mereka datang bukan tanpa sebab. Mereka datang sebagai akibat dari sebab lama, yaitu terbunuhnya nenek guru mereka oleh mendiang sukong kalian."

"Akan tetapi, suhu, mereka datang menyebar maut dan membunuh! Setelah suhu berhasil mengalahkan mereka, mengapa suhu melarang teecu sekalian membunuh mereka untuk membalas dendam, malah suhu membebaskan mereka. Hal ini sungguh dapat membuat orang mati penasaran!" kata seorang murid yang berwatak keras.

Han Tiong tersenyum duka dan timbul niatnya untuk mengajak para muridnya membuka mata untuk melihat betapa kenyataan hidup itu kadang-kadang pahit adanya.

"Kalian dengar dan camkanlah baik-baik. Kalian bilang bahwa mereka datang membalas dendam dan membunuh, lantas kalian menganggap mereka itu jahat. Akan tetapi kalian juga ingin membunuh mereka untuk membalas dendam. Lalu apa bedanya antara mereka dengan kita jika kita juga ingin membunuh karena dendam? Membunuh adalah perbuatan jahat, apa pun juga alasannya, apa lagi membunuh dengan dasar dendam dan kebencian. Andai kata kita membunuh mereka berdua, apakah enam belas jenazah ini akan dapat hidup kembali? Tidak! Maka tidak ada gunanya sama sekali jika kita membunuh mereka, bahkan kita menanam bibit permusuhan baru lagi. Mungkin bibit ini kelak berbuah dengan datangnya keturunan mereka yang akan membalas dendam kepada kita atau keturunan kita."

Keadaan menjadi hening sejenak. Semua kata-kata itu meresap di dalam hati sanubari para murid Pek-liong-pang karena mata mereka kini terbuka dan baru melihat kenyataan yang hebat.

"Lihatlah," ketua Pek-liong-pang itu melanjutkan, "bukankah tiap peristiwa yang menimpa diri kita hanya merupakan pemetikan buah saja dari pohon yang sudah kita tanam sendiri, sedangkan setiap perbuatan kita seperti menanam bibit yang kelak menjadi pohon lantas berbuah dan buahnya harus kita petik sendiri pula? Karena itu kita tidak perlu penasaran memetik buah pohon tanaman kita sendiri. Jadi kalau menanam bibit, tanamlah yang baik! Kalau aku menerima mala petaka ini sebagai pemetikan buah dari pohon lama tanaman ayah, kemudian aku tidak menanam bibit baru, berarti aku sudah mamatahkan belenggu mata rantai karma yang akan mengikat aku dan keluargaku."

"Akan tetapi suhu, dapatkah manusia hidup bebas dari karma?" tanya seorang murid.

"Setiap perbuatan yang didorong oleh nafsu dan pamrih, tentu akan mengikatkan diri kita kepada karma. Karma adalah hukum rangkaian sebab-akibat. Harus kalian ketahui bahwa sebab-sebabnya berada di telapak tangan kita sendiri. Jadi, terputus atau bersambungnya karma pun berada di tangan kita sendiri. Dendam-mendendam, hutang-pihutang budi atau dendam, menciptakan mata rantai karma yang sangat kuat. Apa bila setiap tindakan atau perbuatan kita dilandasi cinta kasih yang berarti wajar tanpa pamrih, maka perbuatan itu habis sampai di sana saja, bukan merupakan akibat mau pun sebab, tanpa dipengaruhi karma. Pamrih timbul karena kita mengharapkan jasa bagi kita dan kutuk bagi orang lain yang merugikan diri kita. Maka, murid-muridku, hiduplah bebas dari dendam dan hutang-pihutang budi, dan kalian akan bebas dari karma."

Malam sudah larut. Tengah malam baru lewat dan para murid mengganti lilin yang tinggal sedikit dengan lilin-lilin baru. Han Tiong sendiri menyalakan hio (dupa lidi) harum hingga ruangan itu dipenuhi asap dupa harum. Keadaan menjadi amat hening ketika mereka tak lagi bicara, keheningan yang mencekam, penuh duka dan keseraman.

Asmara Berdarah Jilid 07

"Hemm, selamanya belum pernah aku makan selezat ini!" Hui Song mengaku sejujurnya sambil mengelus-elus perutnya setelah mereka selesai makan dan minum air tawar yang segar. "Bukan main sedapnya! Sobat, engkau sungguh luar biasa sekali. Engkau pandai membuat masakan, seperti seorang wanita saja engkau!"

Sui Cin sedang mencuci kedua tangannya maka kepalanya menunduk sehingga Hui Song tidak melihat betapa muka yang kotor berdebu itu berubah merah sekali. "Biar pun lezat, daging kodok batu ini cukup amis. Kalau diberi air jeruk pada waktu makan amisnya akan berkurang. Maka tangan harus dicuci bersih betul, baru hilang bau amisnya. Aku memang mempelajari ilmu memasak."

"Ahh, pantas kalau begitu! Siapa gurumu memasak?"

"Guruku...? Dia... enci-ku sendiri."

Tiba-tiba Hui Song meloncat bangkit, kemudian memandang pemuda jembel itu dengan sepasang mata tajam penuh selidik akan tetapi mulutnya tersenyum. "Ha! Aku tahu siapa enci-mu!"

"Ehhh?" Pemuda jembel itu memandang heran. "Benarkah? Kalau tahu, siapakah nama enci-ku dan dari mana dia datang?"

"Wah, itu aku belum tahu. Akan tetapi, maksudku aku sudah mengenalnya, sudah pernah bertemu dengannya. Malah dia pernah menyelamatkan aku, membantuku pada saat aku dikeroyok oleh tiga orang dari Cap-sha-kui. Dan tadi di pasar engkau sudah membantuku, jadi kalian adik dan enci pernah membantuku. Sungguh aku patut untuk berterima kasih kepada kalian. Adik yang baik, pada saat aku bertemu dengan enci-mu, dia tidak sempat memperkenalkan diri. Maukah engkau memberi tahu, siapa nama enci-mu dan siapa pula orang tua atau gurunya? Aku melihat betapa ilmu silatmu dan ilmu silat enci-mu masih satu sumber dengan ilmu silatku."

Sui Cin diam-diam merasa geli sekali, lantas wataknya yang bengal membuat dia hendak mempermainkan pemuda ini. "Mana aku tahu bahwa engkau benar-benar pernah bertemu dengan enci-ku? Kalau benar pernah bertemu, hayo ceritakan bagaimana wajahnya dan apa keistimewaannya?"

"Ahhh, mudah sekali itu. Mana bisa aku melupakan dia?" kata Hui Song sambil menatap tajam ke wajah pemuda jembel itu. "Rambutnya hitam sekali, gemuk dan panjang, dengan anak rambut halus menutupi bagian atas dahinya yang halus. Mukanya bulat telur dengan dagu agak meruncing, potongan wajahnya manis, sepasang matanya lebar dan jeli, kedua ujungnya agak naik dan seperti ditambah guratan hitam, bulu matanya lentik dan panjang, hidungnya kecil mancung dan bibirnya merah basah, bentuknya manis sekali, bila tertawa ada lesung pipit di pipi kirinya, kulit mukanya putih halus seperti salju..."

"Eh, kau ini sedang menggambarkan wajah enci-ku akan tetapi kenapa matamu terbelalak memandang aku?" pemuda jembel itu menegur. Dia merasa sungkan dan tak enak sekali melihat sepasang mata itu tanpa berkedip terus-menerus memandanginya.

"Habis, wajah enci-mu itu bagaikan pinang dibelah dua dengan wajahmu!" kata Hui Song sambil tersenyum lebar.

"Teruskan, teruskan...!"

"Pendeknya, enci-mu adalah seorang dara remaja yang belum pernah kulihat keduanya di dunia ini. Tubuhnya ramping padat, pakaiannya aneh-aneh dan nyentrik, selalu membawa payung butut yang dapat menjadi senjata yang ampuh, naik seekor keledai... ehhh, kuda yang mirip keledai karena kecil dan pendeknya..."

"Cukup, ternyata engkau memang sudah mengenalnya," kata pemuda jembel itu sambil menyembunyikan perasaan girang dan juga malu dalam hatinya. Bagaimana dia tak akan merasa girang akan tetapi juga jengah jika mendengar orang memuji-muji kecantikannya di depannya secara begitu terbuka sehingga kecantikannya diperinci?

"Memang aku telah mengenalnya, bahkan kami sudah berkelahi bahu-membahu melawan tiga orang tokoh Cap-sha-kui! Sayang aku belum mengenal namanya. Maka, sobat muda yang baik, kau beri tahukanlah aku siapa nama enci-mu itu dan bagaimana pula keadaan keluargamu."

"Nanti dulu, sobat. Engkau sendiri belum memperkenalkan dirimu. Terus terang saja, aku dan enci-ku tidak biasa memperkenalkan diri kepada orang lain. Maka, sebaiknya engkau bercerita tentang dirimu sebelum aku memperkenalkan enci-ku."

Hui Song adalah seorang pemuda yang lincah jenaka, bahkan senang sekali menggoda orang dan wataknya agak berandalan. Akan tetapi dia pun cerdik dan dia tahu bahwa dia tengah berhadapan dengan putera atau murid orang pandai yang masih ada hubungannya dengan Cin-ling-pai, maka dia pun tak segan-segan untuk bersikap hormat dan mengalah, walau pun dia merasa jauh lebih tua dari pada jembel muda ini.

"Baiklah, sobat muda. Aku bernama Cia Hui Song. Ayahku adalah ketua Cin-ling-pai dan aku adalah putera tunggal. Tadinya aku mewakili Cin-ling-pai untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang diadakan di Puncak Bukit Perahu. Pertemuan itu gagal dan tidak jadi, maka aku hendak kembali lagi ke Cin-ling-pai. Di tengah perjalanan aku bertemu dengan tokoh-tokoh Cap-sha-kui dan aku dikeroyok, nyaris celaka bila tidak muncul enci-mu yang lihai dan yang membantuku itu sehingga kami berhasil mengusir tiga orang iblis itu. Nah, itulah keadaanku."

Sui Cin mengangguk-angguk. "Aih, kiranya putera ketua Cin-ling-pai! Pantas saja begini lihainya. Siapa tidak mengenal pendekar sakti Cia Kong Liang yang memiliki ilmu tinggi, kedudukannya setinggi langit menjadi ketua perkumpulan besar yang demikian terkenal di seluruh dunia, yaitu Cin-ling-pai? Benar-benar merupakan kehormatan besar sekali bagiku untuk dapat mengenalmu, Cia-taihiap!"

Sui Cin yang mendengar dari ayahnya mengenai ketinggian hati ketua Cin-ling-pai segera berdiri dan memberi hormat, sengaja menyebut taihiap kepada pemuda itu untuk menguji apakah pemuda itu pun memiliki kecongkakan seperti ayahnya.

"Aihh, adik yang baik, minta ampun, jangan menyebutku taihiap!"

"Mengapa? Bukankah engkau seorang pendekar besar, putera tunggal ketua Cin-ling-pai yang dihormati dan disegani orang-orang gagah di seluruh dunia?"

"Wah, aku tak kuat menerima sebutan itu. Selama hidup belum pernah aku disebut orang taihiap, dan aku tak pernah merasa menjadi taihiap. Jangankan pendekar besar, menjadi pendekar yang paling kecil pun aku bukan! Karena engkau jauh lebih muda dari pada aku, sebut saja aku kakak atau paman juga boleh!"

Sui Cin tertawa. Hatinya gembira sekali. Pemuda ini sama sekali tidak congkak. Apakah berita mengenai ketinggian hati ketua Cin-ling-pai itu tidak benar? Kalau benar bapaknya berhati congkak, mengapa putera tunggalnya demikian ramah, polos, jenaka dan rendah hati malah?

"Baiklah, aku akan menyebutmu kakak. Bagaimana pun engkau hanya lebih tua beberapa tahun saja dari pada aku."

"Beberapa tahun? Engkau paling banyak berusia empat belas tahun!"

"Aku sudah enam belas tahun... ehhh, hampir! Song-twako, engkau paling banyak berusia dua puluh empat tahun."

"Aku baru dua puluh satu tahun, karena tinggi besar, mungkin nampak lebih tua," kata Hui Song. "Dan sekarang ceritakanlah keadaan kalian..."

"Nanti dulu, Song-twako. Aku belum tahu benar mengenai keadaanmu. Apakah... apakah engkau sudah menikah?"

Hui Song tertawa. "Ha-ha-ha-ha, apakah aku kelihatan seperti orang yang telah menikah? Belum, adik yang baik. Aku belum menikah dan mungkin tak akan menikah!"

"Ehh, kenapa? Semua orang akan menikah kalau sudah berusia dua puluh tahun lebih."

"Apakah itu suatu keharusan? Aku tidak mau kalau dipaksa menikah, kecuali kalau hatiku memang ingin menikah."

"Sebagai putera tunggal ketua Cin-ling-pai, tentu sejak kecil engkau sudah ditunangkan dengan puteri seorang yang berkedudukan tinggi dan terkenal pula."

Hui Song tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala. "Tidak, aku belum bertunangan dan tidak akan ditunangkan di luar keinginanku. Nah, sekarang ceritakanlah, siapa nama enci-mu?"

"Hei, Song-twako. Engkau sedang berhadapan dan berkenalan dengan aku, kenapa yang kau tanyakan hanya enci-ku melulu?"

Hui Song tertawa menutupi rasa malunya. "Baiklah, aku tanyakan namamu dahulu. Siapa namamu, adik yang baik?"

"Namaku Ceng Sui Cin..."

Hui Song segera bangkit berdiri dan matanya terbelalak, wajahnya berseri. "She Ceng? Ahh, sudah kuduga di dalam hatiku. Engkau putera Pendekar Sadis Ceng Thian Sin yang amat terkenal itu!"

"Hemmm... jadi engkau sudah tahu banyak tentang ayahku?" Sui Cin bertanya, matanya memandang penuh selidik. Kalau memang benar pemuda ini sudah banyak mengetahui tentang keadaan ayahnya, tiada gunanya lagi permainannya menyamar sebagai adik Sui Cin yang bernama Sui Cin itu!

Akan tetapi hatinya lega ketika melihat pemuda itu menggeleng kepala. "Tentu saja aku tahu mengenai ayahmu dari penuturan ayahku. Akan tetapi yang kuketahui hanya bahwa ayahmu Ceng Thian Sin berjuluk Pendekar Sadis dan memiliki kepandaian sangat hebat. Selanjutnya aku tidak tahu apa-apa lagi mengenai beliau karena ayah tidak menceritakan lebih banyak lagi, agaknya ayah memang tidak tahu banyak tentang ayahmu."

Memang ketua Cin-ling-pai itu benar-benar tinggi hati, pikir Sui Cin. Bagaimana pun juga ayahnya mempunyai hubungan dekat sekali dengan Cin-ling-pai, tetapi ketua Cin-ling-pai itu tidak banyak bercerita tentang ayahnya kepada puteranya.

Hal ini saja sudah membuktikan bahwa ketua Cin-ling-pai itu adalah orang yang congkak dan tinggi hati. Akan tetapi, bagaimana pun juga keadaan ini melegakan hatinya. Dia lebih senang keadaan keluarganya tidak diketahui oleh Hui Song sebab dengan demikian maka dia dapat mempermainkan pemuda itu sesuka hatinya.

"Sekarang ceritakan, siapa nama enci-mu itu, Cin-te (adik Cin)?"

Sui Cin tersenyum. "Song-twako, terus terang saja, aku tidak berani melanggar pantangan enci. Jika aku menceritakan tentu aku akan ditamparnya. Dia galak sekali lho. Sebaiknya kelak engkau tanyakan sendiri saja kalau berjumpa lagi dengannya, Song-twako."

Hui Song mengerutkan alisnya, akan tetapi dia sendiri sudah pernah bertemu dengan dara itu dan tahu akan watak yang aneh dan keras, maka dia pun tidak terlalu menyalahkan Sui Cin kalau takut dengan enci-nya yang galak itu. Karena memang wataknya terbuka dan ramah, Hui Song dapat membuang kekecewaannya.

Bagaimana pun juga dia sudah berkenalan dan bersahabat dengan adik dara itu, ini pun sudah merupakan suatu hal yang amat menguntungkan. Dan kalau dia sudah berkenalan dan bersahabat dengan adiknya, maka jalan menuju ke arah perkenalan dengan enci-nya tentu saja jauh lebih dekat dan mudah. Dan bagaimana pun juga, dia merasa bangga hati dapat berkenalan dengan seorang putera dari Pendekar Sadis yang sangat terkenal dan sudah lama dikaguminya itu.

"Cin-te, apakah sekarang engkau hendak pulang ke rumah orang tuamu? Dan di manakah mereka tinggal?" tanyanya.

"Kami tinggal jauh di selatan, di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi aku belum mau pulang, aku hendak pergi ke kota raja untuk... ehhh, untuk mencari enci-ku di sana."

"Ah, bagus sekali! Aku hendak pergi ke kota raja. Kita dapat jalan bersama kalau begitu." Hui Song berseru gembira.

Sui Cin tersenyum menggoda. "Ehh, katanya tadi bilang hendak ke Cin-ling-pai? Kenapa sekarang tiba-tiba hendak pergi ke kota raja?"

Mendengar nada suara yang mentertawakan ini, Hui Song lalu tertawa. "Wah, terus terang saja, memang aku ingin sekali dapat segera bertemu dan berkenalan dengan enci-mu itu. Akan tetapi, selain keinginanku berkenalan dengan enci-mu, sebenarnya ada pula hal-hal penting yang mendorong aku pergi ke kota raja melakukan penyelidikan."

Sui Cin merasa tertarik. "Hal-hal penting apakah, twako?"

"Aku mengalami dua hal yang amat aneh di Cin-an. Pertama kali, saat aku melihat kaisar dalam penyamarannya dilindungi oleh datuk-datuk Cap-sha-kui, dan kedua kalinya melihat gerombolan ganas seperti Hwa-i Kai-pang itu bekerja sama dengan pasukan pemerintah. Bukankah hal itu penting dan aneh sekali? Aku hendak menyelidiki keanehan itu di kota raja. Pasti terjadi apa-apa yang luar biasa di kota raja, kalau tidak demikian, tak mungkin para penjahat keji bersekutu dengan pemerintah."

Sui Cin mengangguk-angguk. "Engkau benar. Tidak terpikirkan olehku tentang keanehan kerja sama antara penjahat dan petugas keamanan itu. Kalau begitu, mari kita berangkat dan kita selidiki bersama, twako."

"Baiklah, dan aku pun akan membantumu mencari enci-mu di kota raja," kata Hui Song dan Sui Cin hanya tertawa saja.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Istana tua di Lembah Naga itu dulu merupakan tempat yang amat sunyi. Akan tetapi sejak pendekar sakti Cia Han Tiong mendirikan perkumpulan Pek-liong-pai (Partai Naga Putih), tempat terpencil itu sudah tak begitu sunyi lagi. Pada kanan kiri gedung istana tua itu kini telah didirikan bangunan-bangunan pondok di mana murid-murid Pek-liong-pai tinggal dan tempat itu kini terawat baik dan bersih.

Selain belajar ilmu silat di tempat itu, para murid atau anggota Pek-liong-pai juga bekerja dengan rajin, menjaga baik-baik tempat itu. Ada pula yang bertani, memelihara ternak dan sebagainya.

Sudah banyak murid yang tamat belajar lalu meninggalkan Lembah Naga, terjun ke dunia ramai sebagai pendekar-pendekar budiman sehingga mereka inilah yang memperkenalkan serta mengharumkan nama Pek-liong-pai di dunia kang-ouw. Karena sepak terjang para murid lulusan Pek-liong-pai yang gagah perkasa, apa lagi mendengar bahwa Pek-liong-pai didirikan oleh putera Pendekar Lembah Naga yang dulu namanya pernah menggemparkan dunia persilatan, maka nama perkumpulan itu pun mendatangkan rasa hormat dan segan di hati para pendekar, dan ditakuti oleh para penjahat.

Dalam mengajarkan ilmu-ilmunya, Cia Han Tiong ketua Pek-liong-pai bersikap amat keras dan berdisiplin. Setiap orang murid yang mengajukan permohonan hendak belajar di sana akan mengalami ujian terlebih dulu, diteliti watak dan bakatnya. Setelah belajar, sebelum dinyatakan tamat, murid ini sama sekali tidak boleh meninggalkan lembah.

Pendekar ini maklum bahwa pelajar silat yang masih mentah sajalah yang belum mampu menguasai dirinya dan suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan ilmu silatnya. Di samping hal ini amat berbahaya, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain, juga akan menyeret nama Pek-liong-pai ke dalam lumpur.

Ketika dia mendirikan Pek-liong-pai belasan tahun yang lalu, ayah bundanya masih hidup. Ayahnya, mendiang Cia Sin Liong adalah seorang pendekar sakti yang di masa mudanya pernah menggegerkan dunia kang-ouw dan berjuluk Pendekar Lembah Naga, begitu pula mendiang ibunya adalah seorang pendekar wanita yang lihai.

Menjelang hari akhirnya, Cia Sin Liong dengan isterinya hidup tenang di lembah itu, lebih banyak bersemedhi dan menyendiri. Akan tetapi pendekar sakti ini sangat merestui niat puteranya untuk mendirikan perkumpulan agar ilmu keluarga mereka tidak punah, bahkan pendekar sakti Cia Sin Liong turut pula membantu puteranya untuk memberi gemblengan akhlak kepada para murid Pek-liong-pai dengan mempelajari ilmu kesusasteraan dan budi pekerti.

Setelah kemudian suami isteri Pendekar Lembah Naga meninggal dunia dalam usia tua, Han Tiong melanjutkan pendidikan budi pekerti itu dengan tekun dan berdisiplin. Semua anak murid Pek-liong-pai diharuskan bersumpah untuk tidak membunuh orang lain.

"Tiada gading yang tidak retak, tidak ada manusia tanpa cacad di dunia ini," demikianlah antara lain ia menasehati para murid Pek-liong-pai. "Dan kita sendiri pun adalah manusia, maka kita juga tidak terlepas dari pada cacad-cacad itu. Setiap orang manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, memiliki kebaikannya serta keburukannya masing-masing. Orang yang sedang tersesat atau melakukan perbuatan yang kita sebut jahat, hanyalah merupakan manusia yang sedang dihinggapi penyakit. Bukan jasmaninya yang sakit, melainkan batinnya. Akan tetapi, seperti juga penyakit badan, maka penyakit batin ini pun bisa sembuh. Orang yang hari ini sakit, besok atau lusa bisa sembuh, orang yang ini hari melakukan perbuatan sesat, besok atau lusa bisa saja bertobat. Sebaliknya orang yang sedang sehat, jangan sekali-kali takabur karena sewaktu-waktu bisa saja dia dihinggapi penyakit batin itu. Jadi, sebagai seorang pendekar yang mengetahui ini semua, yakin bahwa diri sendiri pun sewaktu-waktu bisa saja sakit, kita tidak boleh meremehkan dan memandang rendah pada orang-orang yang sedang sakit batinnya. Yang harus kita berantas adalah penyakit batinnya itu, bukan orangnya. Dan sebaiknya kita menyadarkan mereka, karena hal ini berarti mengusahakan pengobatan. Bila perlu memang kita dapat juga menggunakan ilmu silat kita untuk menundukkannya, menghajarnya supaya dia jera. Akan tetapi ingat, seorang yang bagaimana jahatnya pun adalah seorang manusia, sama dengan kita, maka tidak berhaklah kita untuk membunuhnya."

"Tapi, suhu," ada seorang murid yang memberanikan diri untuk membantah, "bagaimana kalau ada orang jahat yang walau pun sudah dihajar berkali-kali namun belum juga mau bertobat dan masih saja melanjutkan kejahatannya?"

Cia Han Tiong tersenyum lebar. "Ada juga penyakit badan yang sukar diobati. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kita lalu boleh membunuh saja orang sakit yang tidak mudah diobati itu! Cepat atau lambatnya dia bertobat sangat tergantung dari keadaan badannya, tergantung dari berat ringannya penyakit yang dideritanya. Tidak ada istilah bosan dalam usaha pengobatan, baik pengobatan terhadap penyakit badan mau pun penyakit batin."

"Maaf, suhu," seorang murid lainnya membantah. "bagaimana kalau kita bertemu dengan orang jahat, atau yang suhu sebut sebagai orang yang sedang sakit batinnya, lalu orang itu menyerang dan hendak membunuh kita? Apakah kita harus membiarkan diri sendiri terbunuh olehnya karena kita tidak boleh membunuhnya?"

"Kalian jangan salah paham," Han Tiong menjawab. "yang disebut membunuh itu adalah perbuatan yang sengaja kita lakukan karena kebencian di hati. Menjaga serta melindungi diri sendiri dari kehancuran dan kematian merupakan suatu keharusan dalam hidup kita. Apa bila untuk membela diri, untuk melindungi diri, baik terhadap ancaman maut di tangan binatang atau manusia, terpaksa kita merobohkan penyerang itu sampai dia tewas, bukan pembunuhan yang kita lakukan dengan sengaja, maka hal itu bukan tindakan buruk. Aku tidak melarang perbuatan yang tidak disengaja seperti itu. Akan tetapi, sedapat mungkin, cegahlah serangan yang dapat mematikan lawan."

Demikianlah antara lain gemblengan batin yang diberikan oleh Cia Han Tiong kepada para muridnya. Oleh karena itulah, para murid yang sudah dinyatakan lulus kemudian terjun ke dalam dunia ramai sebagai seorang pendekar Pek-liong-pai, dengan pakaian serba putih mereka, selalu mendatangkan kagum di dunia kang-ouw.

Para pendekar sangat menghormati nama Pek-liong-pai yang menentang kejahatan tanpa rasa benci perorangan terhadap pelaku-pelaku kejahatan itu sendiri. Jarang sekali terjadi seorang penjahat tewas di tangan murid Pek-liong-pai, sungguh pun dengan ilmu silatnya yang tinggi murid Pek-liong-pai itu telah menekan si penjahat untuk segera menghentikan kejahatannya.

Cia Han Tiong dan isterinya hanya memiliki seorang putera saja, yaitu Cia Sun. Seperti juga para murid lain dari Pek-liong-pai, Cia Sun juga digembleng oleh ayahnya, bahkan tentu saja penggemblengan terhadap dirinya lebih hebat sehingga dalam usia dua puluh tahun saja Cia Sun sudah mewarisi semua ilmu kepandaian ayahnya. Juga dia mewarisi watak ayahnya yang pendiam, halus penuh perasaan, berwibawa, jujur dan setia, seorang kuncu atau budiman lahir batin seperti yang dimaksudkan dalam pelajaran Nabi Khong Cu.

Pada pagi hari yang cerah itu, Cia Han Tiong dan isterinya bercakap-cakap sambil duduk di serambi depan istana kuno yang menjadi tempat tinggal mereka. Pagi itu cerah sekali dan hawanya segar, membuat orang merasa tubuhnya sehat dan batinnya tenteram.

Kini Cia Han Tiong sudah berusia empat puluh tujuh tahun kurang sedikit, akan tetapi dia masih nampak gagah perkasa dan wajahnya membayangkan watak yang budiman, halus peramah. Tubuhnya yang tegap membayangkan tenaga yang kuat dan patutlah kalau dia menjadi ketua Pek-liong-pai yang gagah perkasa.

Isterinya, Ciu Lian Hong, kini sudah berusia empat puluh dua tahun, masih nampak muda dan cantik. Mereka bercakap-cakap dan membicarakan putera mereka yang sedang pergi mewakili Pek-liong-pai menghadiri pertemu-an para pendekar di Puncak Bukit Perahu.

"Mudah-mudahan tidak terjadi keributan di selatan sana," Cia Han Tiong berkata kepada isterinya. "Aku tidak ingin melihat Cia Sun terlibat dalam permusuhan yang tiada hentinya antara golongan hitam dan golongan putih. Kalau dia terlibat, berarti seluruh Pek-liong-pai akan terlibat pula."

Isterinya menghela napas panjang. "Aku selalu menghargai semua pendirianmu, suamiku, dan memang aku pun dapat melihat bahwa kekerasan tidak mungkin dapat melenyapkan kekerasan. Akan tetapi, golongan hitam dengan golongan putih merupakan dua golongan yang berdiri saling berhadapan dan saling bertentangan. Mana mungkin mencegah kedua golongan yang saling bertentangan itu untuk tidak bentrok dan bermusuhan?"

"Ahh, justru itulah yang kadang-kadang amat menyedihkan hati. Golongan hitam dianggap melakukan kejahatan dengan menggunakan kekerasan, lantas golongan putih menentang mereka dengan kekerasan pula. Kalau keduanya sudah menggunakan kekerasan maka sukarlah untuk dinilai siapa yang lebih baik dan siapa pula yang lebih buruk. Seyogianya mereka yang menamakan dirinya golongan putih itu melenyapkan dulu perasaan dendam dan benci dari dalam hati mereka sehingga tindakan mereka bukan dilandasi kebencian melainkan dilandasi cinta kasih..."

"Cinta kasih? Cinta kasih kepada kaum sesat yang jahat seperti iblis?" Isterinya bertanya, kaget sendiri akan kenyataan sikap suaminya yang dianggap tak masuk akal ini.

Suaminya menggeleng kepala. "Bukan terhadap golongan tertentu. Melainkan cinta kasih antara manusia. Dan manusia itu bisa siapa saja, tanpa memilih golongan. Dengan dasar inilah maka mereka yang merasa bersih itu akan bertindak dengan dasar menyadarkan, membersihkan, membimbing ke arah yang benar."

Ciu Lian Hong bangkit berdiri. Pusing dia kalau sudah bicara tentang kehidupan dengan suaminya. Pandangan suaminya berbeda dengan umum, karena itu kadang-kadang amat membingungkan dirinya.

"Ahh, kalau saja Cia Sun pulang...," katanya, kemudian dia pun berdiri di depan serambi, memandang ke depan, jauh ke arah hutan lebat yang membentang luas di depan istana Lembah Naga. Suaminya juga turut bangkit lalu menghampiri isterinya, berdiri di samping isterinya.

"Hong-moi, aku tahu bahwa engkau ingin sekali melihat Sun-ji menikah dan engkau ingin sekali menimang cucu. Biarlah kalau dia pulang aku akan bicarakan mengenai hal itu dan secepatnya aku akan mencari adik Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah..."

Ciu Lian Hong cepat menoleh kepada suaminya, "Jangan dulu, suamiku. Biarkanlah anak kita itu meluaskan pengalamannya. Siapa tahu dia akan berjumpa sendiri dengan calon jodohnya. Dalam perjodohan, kita tak boleh memaksa dan memperkosa hatinya. Biarkan dia memilih jodohnya sendiri. Setujukah engkau, suamiku?" Berkata demikian, isteri yang amat mencinta suaminya itu menaruh tangannya di pundak suaminya, menggelendot dan bersandar pada pundak suaminya yang kuat dengan sikap manja dan mesra.

Han Tiong menahan senyumnya dan menarik napas panjang sambil merangkul isterinya yang tercinta. Selalu isterinya mengatakan demikian kalau dia bicara tentang niat hatinya menjodohkan Cia Sun dengan puteri Ceng Thian Sin. Siapa pula nama anak perempuan Ceng Thian Sin, anak perempuan yang pada waktu kecilnya sudah nampak bengal dan berwatak keras itu? Ceng Sui Cin, ya, begitulah namanya.

Pernah anak itu ikut ayahnya ketika berkunjung kira-kira sepuluh tahun yang lalu! Dan dia tahu betul mengapa isterinya kelihatan tidak setuju dan tidak rela menjodohkan Cia Sun dengan Ceng Sui Sin. Bukan karena anak perempuan itu sendiri karena mereka berdua belum tahu bagaimana keadaan anak perempuan itu sekarang setelah dia dewasa, tetapi terutama sekali karena isterinya itu merasa enggan untuk berbesan dengan Pendekar Sadis!

Hal ini tidaklah aneh karena di waktu masih gadis dulu, hubungan antara Lian Hong dan Thian Sin erat sekali. Bahkan dia pun tahu benar betapa Thian Sin pernah mencinta Lian Hong setengah mati, dan seakan-akan terjadi perebutan di dalam hatinya antara dia dan Thian Sin terhadap Lian Hong. Sebenarnya dia bersedia mengalah, akan tetapi akhirnya ternyata bahwa Lian Hong memilih dia dan menjadi isterinya, sedangkan Ceng Thian Sin menikah, atau lebih tepat, hidup bersama sebagai suami isteri dengan Toan Kim Hong.

Salah satu di antara sebab yang membuat Lian Hong memilihnya adalah karena Thian Sin berwatak kejam, bahkan menjadi Pendekar Sadis yang sangat ditakuti orang. Hubungan itulah, juga watak Thian Sin yang kejam sebagai pendekar yang berjuluk Pendekar Sadis itulah yang membuat Lian Hong kini berkeberatan untuk menjodohkan puteranya dengan puteri Pendekar Sadis. Jadi bukan gadis itu yang memberatkan hatinya, melainkan dia tidak mau berbesan dengan Thian Sin!

Pada pagi hari itu, dari luar hutan yang menjadi batas terakhir dari Lembah Naga, nampak seorang kakek dan seorang nenek berjalan memasuki hutan. Kakek dan nenek itu tentu telah berusia enam puluh tahun lebih dan melihat keadaannya, mereka itu seperti seorang kakek dan seorang nenek petani biasa saja.

Keduanya berjalan dibantu oleh tongkat mereka. Kakek itu bertongkat hitam dan si nenek bertongkat putih. Baju mereka longgar dan kepala mereka dilindungi caping lebar dari kulit bambu. Ketika mereka tiba di tengah hutan itu dan melihat ada gundukan besar dari tiga batu bertumpuk, mereka berhenti, termenung sejenak.

"Benar di sinikah tempat itu, kanda?" si nenek itu bertanya dengan suara halus dan penuh kemesraan sambil memandang gundukan tiga bongkah batu bertumpuk itu. Kalau hanya mempergunakan tenaga orang biasa saja, agaknya akan dibutuhkan puluhan orang untuk mengangkat dan menumpuk tiga buah batu besar yang amat berat itu.

"Benar, adinda. Di sinilah. Lihat di permukaan batu paling bawah, bukankah di situ masih ada tulisannya?" jawab si kakek. Mereka berdua memandang tulisan huruf asing di atas permukaan batu paling bawah.

TEMPAT GUGURNYA BIBI GURU HEK-HIAT MO-LI

"Tidak salah lagi, suhu kita yang menumpuk tiga bongkah batu ini untuk memperingati kematian nenek guru Hek-hiat Mo-li. Ahh, tenaga suhu sudah begini hebat akan tetapi tak mampu mengalahkan musuh," kata lagi si nenek.

"Jangan keliru. Pada waktu itu suhu hanya mempunyai tenaga yang kuat saja akan tetapi belum menyempurnakan Ilmu Im-kan Sin-hoat (Ilmu Sakti Akhirat), dan sekarang setelah berhasil menyempurnakan ilmu itu, suhu kehabisan tenaga dan meninggal dunia sebelum dapat mencari ke sini."

"Engkau benar, kanda. Untunglah bahwa dia sudah mewariskan ilmu itu kepada kita dan setelah kita melatih diri dengan sempurna, kini tibalah saatnya bagi kita untuk membalas dendam kepada Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong!"

"Mau keturunannya atau pun muridnya, akan kita gempur dan basmi hingga habis seakar-akarnya!"

Mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan tumpukan tiga bongkah batu itu dan memberi hormat, kemudian sejenak mereka bersemedhi di tempat itu seperti orang hendak mohon berkah. Ketika akhirnya mereka bangkit berdiri lagi, wajah mereka penuh semangat lantas dengan langkah tegap mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Istana Lembah Naga.

Ketika mereka keluar dari hutan dan melihat bangunan kuno menjulang tinggi di depan, mereka berhenti kembali. Bagaimana pun juga, wajah mereka kelihatan tegang sekali dan kiranya mereka gentar juga melihat istana tua yang kokoh itu, seolah-olah melambangkan kekokohan serta kekuatan para penghuninya. Kemunculan mereka itu bukan dari depan istana, melainkan dari samping kanan, maka mereka tidak melihat bahwa pada waktu itu ketua Pek-liong-pai dan isterinya sedang berdiri di serambi depan.

Sebaliknya, empat anggota Pek-liong-pang yang tengah bertugas di sebelah kanan istana itu melihat munculnya kakek dan nenek yang berpakaian sederhana berwarna kuning itu. Tentu saja mereka merasa heran sehingga mereka segera menunda pekerjaan mereka. Dua orang di antara mereka cepat menghampiri dan melihat bahwa yang datang adalah dua orang tua, dua murid Pek-liong-pai cepat memberi hormat. Itulah satu di antara ajaran yang mereka peroleh di perguruan Pek-liong-pai, yaitu menghormat orang yang lebih tua.

"Maaf, lopek berdua hendak mencari siapa?" seorang di antara dua murid Pek-liong-pai itu bertanya.

Kakek dan nenek itu memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, baru kemudian si kakek bertanya, suaranya terdengar asing dan kaku, tanda bahwa dia adalah seorang asing, "Kami mencari Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong!"

Dua orang murid tingkat tiga dari Pek-liong-pai itu saling pandang dengan hati kaget dan heran. Kakek dan nenek ini mencari kakek guru mereka yang telah meninggal dunia!

"Tapi... beliau telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu..."

Kini kakek dan nenek itu saling pandang dan wajah mereka membayangkan kekecewaan. Kakek itu lalu menoleh ke arah istana tua dan bertanya, "Lalu, siapa yang tinggal di dalam istana itu?"

"Yang tinggal di situ adalah suhu dan subo..."

"Siapakah mereka?" tanya si nenek dengan cepat.

"Suhu adalah ketua Pek-liong-pai, perkumpulan kami..."

"Apa hubungannya dengan Pendekar Lembah Naga?"

Diberondong pertanyaan-pertanyaan itu, dua orang murid Pek-liong-pai lalu mengerutkan alisnya. Jelas kakek dan nenek ini adalah orang asing, akan tetapi sungguh tidak sopan mengajukan pertanyaan bertubi-tubi seperti hakim memeriksa pesakitan saja. Akan tetapi demi kesopanan terhadap orang yang jauh lebih tua, alhirnya mereka menjawab juga.

"Suhu adalah putera beliau."

Dua pasang mata tua itu memancarkan sinar yang mengejutkan hati dua orang murid Pek-liong-pai itu. "Jadi kalian adalah cucu murid Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong si jahanam?!" teriak si nenek marah.

Dua orang laki-laki yang usianya sudah mendekati tiga puluh tahun itu terkejut akan tetapi mengangguk. Tiba-tiba nampak sinar berkelebat saat kakek dan nenek itu menggerakkan tongkat mereka ke depan. Kedua orang murid Pek-liong-pai terkejut sekali dan berusaha menghindarkan diri dari serangan kilat itu, namun gerakan mereka jauh kalah cepat.

"Kekkk! Kekkk!"

Dua orang murid Pek-liong-pai itu terjengkang roboh dan tewas seketika dengan lubang tepat di tenggorokan mereka yang mengucurkan darah hitam! Mereka roboh dan tewas tanpa berkelojotan lagi. Sungguh mengerikan dan hebat bukan main serangan kakek dan nenek itu.

Dua orang murid lain yang melihat betapa dua orang saudara seperguruan mereka roboh dan tidak bangkit kembali, menjadi terkejut dan mereka pun cepat berlari menghampiri ke tempat itu. Saat mereka melihat kenyataan yang mengejutkan bahwa dua orang saudara mereka itu telah tewas dengan mata mendelik dan leher berlubang, tentu saja keduanya marah bukan main.

"Kenapa kalian membunuh dua orang sute kami?!" bentak seorang di antara mereka.

"Mampuslah!" Kakek itu membentak dan kembali dua batang tongkat kakek dan nenek itu menyambar ke depan.

Akan tetapi, selain lebih tangkas dari pada dua orang sute mereka yang tewas, dua orang murid Pek-liong-pai itu juga mereka telah siap sedia karena sudah tahu bahwa kakek dan nenek itu adalah orang-orang yang memusuhi mereka, maka sambaran tongkat itu dapat mereka elakkan dengan cara melempar tubuh ke belakang.

Akan tetapi kakek dan nenek itu menyerang terus dengan gerakan yang sangat dahsyat. Mereka hanya sanggup mengelak beberapa kali dan ketika mereka terpaksa menangkis, terdengarlah suara nyaring dan tulang lengan mereka patah bertemu tongkat. Seorang di antara mereka sempat mengeluarkan pekik melengking untuk memperingatkan para murid Pek-liong-pai lainnya sebelum mereka berdua roboh, sekali ini bukan oleh tusukan ujung tongkat, melainkan karena tamparan tangan kiri kakek dan nenek itu.

Tamparan itu hebat bukan main karena sama sekali tidak dapat dielakkan lagi kemudian robohlah mereka dengan tubuh utuh. Mereka roboh dan tewas seketika. Tidak kelihatan adanya luka pada kepala mereka yang kena ditampar, hanya nampak tanda menghitam di pelipis kanan mereka bekas tangan kakek dan nenek itu. Ternyata isi kepala mereka telah terguncang dan rusak oleh tenaga tamparan yang amat ampuh itu!

Akan tetapi pekik melengking yang sempat dikeluarkan oleh salah seorang di antara dua murid Pek-liong-pai sebelum mereka tewas tadi, mengejutkan semua murid Pek-liong-pai. Pada waktu itu, di Lembah Naga terdapat tak kurang dari empat puluh orang murid, terdiri dari tingkat pertama, kedua dan ketiga.

Akan tetapi pada saat itu sebagian dari mereka sedang bekerja di sawah ladang, ada pula yang berburu binatang sehingga pada pagi hari itu, yang berada di sekitar istana hanya ada dua puluh lima orang termasuk empat yang tewas itu. Dan di antara dua puluh lima orang ini, yang tingkat satu dan hanya menunggu dinyatakan lulus hanya ada tiga orang, selebihnya adalah murid-murid tingkat dua dan tiga.

Kakek dan nenek itu menyeringai penuh ejekan ketika mereka melihat dua puluh orang murid Pek-liong-pai yang rata-rata mengenakan pakaian serba putih itu berdatangan dari segenap penjuru, ada yang masih membawa cangkul, sapu dan lain-lain.

Walau pun sudah melihat bahwa empat orang saudara mereka tewas dan pembunuhnya tentu kakek dan nenek itu, namun mentaati ajaran dan perintah guru mereka, dua puluh orang lebih murid-murid Pek-liong-pai itu tidak sembrono turun tangan mengeroyok, akan tetapi mengepung saja agar kakek dan nenek pemhunuh itu tidak dapat melarikan diri.

Tiga orang murid tingkat pertama yang berada di situ bertindak sebagai pemimpin. Mereka berdiri menghadapi kakek dan nenek itu, lantas seorang di antara mereka yang usianya sudah hampir empat puluh tahun, melangkah maju dan memberi hormat.

"Siapakah locianpwe berdua dan apa kesalahan adik-adik seperguruan kami maka ji-wi locianpwe (dua orang gagah) turun tangan membunuh mereka? Sekarang kami terpaksa menuntut agar ji-wi suka menyerah dan menghadap ketua kami!"

Kakek dan nenek itu saling pandang dan mereka kelihatan bergembira! Kakek itu tertawa bergelak sambil mengelus-elus jenggotnya yang jarang akan tetapi cukup panjang, tangan kanannya memegang tongkat yang didirikan di depan kakinya, sedangkan nenek itu pun tersenyum dan tangan kirinya bertolak pinggang.

"Ha-ha-ha-ha, adinda yang baik, lihat, mereka ini semuanya sudah mengenakan pakaian berkabung, seolah-olah mereka sudah tahu bahwa hari ini mereka akan mati semua! Hayo kita berlomba, siapa di antara kita yang dapat membunuh musuh paling banyak!" Setelah berkata demikian, segera nampak dua sinar berkelebat dan dua batang tongkat itu sudah menyambar secepat kilat ke arah dua orang murid pertama Pek-liong-pai!

Hebat bukan main serangan itu, akan tetapi sekarang yang diserang adalah murid-murid Pek-liong-pai yang sudah hampir tamat. Tentu saja kedua orang itu sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, dan biar pun mereka kaget sekali, namun mereka berhasil menghindarkan diri dengan loncatan ke belakang.

Maklum bahwa kakek dan nenek itu mempunyai kepandaian yang amat tinggi, maka tiga orang murid pertama itu cepat mencabut pedang mereka dan seorang di antara mereka memberi komando, "Kurung dan tangkap mereka untuk dihadapkan kepada suhu!"

Suheng ini masih memperingatkan para sute-nya agar jangan sembarangan turun tangan, membunuh kakek dan nenek itu!

Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Kakek dan nenek itu mengamuk dengan tongkat dan tangan kiri mereka. Entah mana yang lebih ampuh. Tongkat itu tidak dapat ditangkis. Senjata penangkis tentu patah dan kalau ujungnya sampai mengenai tubuh, tentu tembus dan yang terkena tewas seketika. Akan tetapi tangan kiri mereka juga hebat bukan main, membawa getaran aneh yang tidak dapat ditangkis, hanya dapat dielakkan saja, itu pun oleh para murid Pek-liong-pai yang cukup gesit.

Para murid itu menggunakan senjata seadanya. Yang memegang cangkul menggunakan alat ini untuk senjata, ada yang menggunakan pedang mereka, ada pula yang terpaksa mengeroyok dengan tangan kosong. Dan akibatnya sungguh mengerikan.

Kakek dan nenek itu menyebar maut sehingga dalam waktu singkat saja, di antara dua puluh lima orang murid itu, dikurangi empat orang yang tewas terlebih dahulu, kini tinggal sepuluh orang lagi saja! Lima belas orang murid sudah menggeletak tanpa nyawa, mayat mereka berserakan di tempat itu, termasuk seorang murid pertama!

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Tahan senjata...!"

Bentakan ini demikian penuh wibawa dan mengandung getaran khikang yang amat kuat sehingga kakek dan nenek itu terkejut. Mereka meloncat ke belakang, lalu melintangkan tongkat di depan dada sambil menatap ke depan.

Cia Han Tiong dan isterinya, Ciu Lian Hong, sudah berdiri di situ dengan muka pucat dan mata terbelalak. Ketua Pek-liong-pai itu merasa ngeri sekali ketika melihat belasan orang muridnya sudah tewas dan mayat mereka malang-melintang memenuhi tempat itu, ada pun yang sepuluh orang lagi kelihatan pucat dan gentar.

Dia segera memandang ke arah kakek dan nenek itu yang juga memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Mereka pun menduga-duga siapa adanya laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang gagah perkasa dan mempunyai wibawa yang amat kuat ini.

"Apakah engkau ketua Pek-liong-pai?" Kakek itu bertanya, matanya mengeluarkan sinar berapi.

Sinar mata yang penuh kebencian, pikir Han Tiong. Dia lantas mengangguk. "Benar, dan siapakah ji-wi locianpwe? Andai kata ada murid kami yang bersalah, mengapa ji-wi begitu tega untuk membunuh begini banyak orang? Permusuhan apakah yang ada antara ji-wi dengan Pek-liong-pai?" Pertanyaannya tidak mengandung kemarahan, akan tetapi tegas dan penuh nada teguran.

"Ha-ha-ha-ha, masih begini muda sudah menjadi ketua. Siapakah namamu dan benarkah engkau putera mendiang Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong?" kakek itu bertanya lagi.

Han Tiong mengerutkan kedua alisnya. "Benar, locianpwe. Nama saya adalah Cia Han Tiong dan Pendekar Lembah Naga adalah mendiang ayah saya."

"Bagus! Cia Han Tiong, jangan salahkan murid-muridmu dan kami juga tidak mempunyai permusuhan apa pun dengan Pek-liong-pai. Engkau salahkan saja nenek moyangmu dan terutama ayahmu yang dulu telah membunuh nenek guru kami, yaitu bibi dari guru kami. Nama nenek guru kami itu adalah Hek-hiat Mo-li, pendatang dari Sailan. Kami sebagai keturunan perguruannya melanjutkan usaha guru kami untuk mencari Pendekar Lembah Naga dan membalas dendam."

"Akan tetapi, ayah telah meninggal dunia beberapa tahun yang lampau! Kenapa ji-wi lalu membunuhi murid-murid kami yang tidak berdosa...?"

"Hemmm, puluhan tahun kami melatih diri, hidup sengsara agar dapat berbakti, kemudian melakukan perjalanan yang sangat jauh dari selatan, apakah semua itu harus sia-sia saja karena kematian ayahmu? Ayahmu boleh saja mati, akan tetapi masih ada puteranya dan cucu-cucu muridnya!"

Cia Han Tiong mengerutkan kedua alisnya. Hatinya diliputi penyesalan besar. Mendiang ayahnya tidak pernah bercerita tentang musuh-musuhnya di waktu dahulu, akan tetapi dia merasa yakin bahwa memang benar ayahnya tentu dahulu pernah menewaskan nenek guru dari dua orang ini. Dan dia pun yakin pula bahwa nenek guru mereka yang memakai julukan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Darah Hitam) tentulah bukan orang baik-baik dan tidak mengherankan kalau ayahnya membunuhnya dalam perkelahian.

Makin terasa olehnya alangkah buruknya hidup dalam kekerasan. Sampai turun-temurun, dendam masih mengikatnya! Dia menarik napas panjang. Ikatan karma ini harus diakhiri. Manusia selalu dikejar ikatan karma karena ulah sendiri. Kini saatnya untuk menentukan apakah karma itu akan terus mengejar dirinya serta anak cucunya, sepenuhnya berada di telapak tangannya. Akan tetapi, apakah dia harus menyerahkan saja nyawanya?

Kakek dan nenek ini memiliki sinar mata penuh kebencian, tentu mereka tidak akan puas apa bila hanya dia yang menyerahkan diri. Mereka tentu akan membunuh pula isterinya, semua muridnya, bahkan mereka tentu akan mencari putera tunggalnya untuk dibunuh! Tidak, dia harus mempertahankan keluarganya. Dia harus membela diri serta melindungi keluarga dan para muridnya.

"Orang yang sedang dibebani dendam terkutuk! Siapakah namamu?" Akhirnya Han Tiong bertanya, suaranya penuh wibawa.

Kakek itu tertawa. "Nama kami tidak ada gunanya kau ketahui. Akan tetapi agar engkau ingat bahwa kami datang untuk membalaskan dendam nenek kami Hek-hiat Mo-li, biarlah engkau dan dunia kang-ouw mengenal kami sebagai Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo! Ha-ha-ha, akan tetapi apa gunanya? Sebentar lagi kalian semua akan menyusul mereka yang sudah mampus lebih dahulu!"

Cia Han Tiong melangkah maju. "Hek-hiat Lo-mo, marilah kita bereskan perhitungan lama secara jantan. Mari engkau dan aku menentukan dengan taruhan nyawa kita dan urusan dendam ini kita habiskan di sini, tidak perlu menyangkut orang lain."

"Enak saja engkau hendak menyelamatkan keluarga serta murid-muridmu. Tidak, kalian semua harus mampus di tangan kami, barulah kami merasa puas dan terlepas dari beban batin selama puluhan tahun!" Nenek yang diberi nama Hek-hiat Lo-bo itu berkata dengan suara melengking-lengking.

Ciu Lian Hong yang sejak tadi diam saja, kini melangkah maju mendekati suaminya dan berkata, "Mari kita hadapi mereka!" dengan sikap gagah nyonya ini pun mempersiapkan diri.

Akan tetapi suaminya menggeleng kepala dan menyuruhnya mundur dengan sikap halus. "Jangan engkau mencampuri, biarkan aku saja yang membereskan urusan ini," katanya.

"Ha-ha-ha, ketua Pek-liong-pang. Tidak perlu sungkan dan malu. Kami datang berdua dan kami telah mempersiapkan segalanya, termasuk pengeroyokan murid-muridmu. Nah, kau kerahkanlah semua tenagamu di sini, kami tidak akan takut, tidak akan mencelamu kalau kau melakukan pengeroyokan!" kata Hek-hiat Lo-mo.

Akan tetapi Cia Han Tiong adalah seorang pendekar lengkap, seorang yang menjunjung tinggi kehormatan. "Kami bukan pengecut yang suka main keroyokan dan mengandalkan banyak orang. Kalian hanya datang berdua, jika setuju, biarlah kulayani kalian satu demi satu."

"Kami datang berdua dan kami maju bersama. Kau boleh mengerahkan semua keluarga dan muridmu!" Hek-hiat Lo-bo membentak.

Nenek ini telah menerjang dahsyat menggunakan tongkatnya yang meluncur ke arah dada ketua Pek-liong-pang itu. Suaminya, Hek-hiat Lo-mo, juga menyerang dengan tongkatnya.

Menghadapi serangan beruntun yang dilakukan dua orang itu secara dahsyat dan susul menyusul, Han Tiong mengebutkan kedua lengan bajunya untuk menangkis ujung tongkat sambil meloncat ke belakang.

"Plak-plak...! Brettt...!"

Ujung lengan bajunya dapat menyampok terpental kedua senjata lawan, akan tetapi ujung lengan baju kiri yang menangkis senjata di tangan Hek-hiat Lo-mo itu terobek.

Kedua pihak terkejut. Kakek dan nenek itu dapat merasakan betapa kuat tangkisan ujung lengan baju tadi. Mereka bergerak dengan hati-hati dan kini mengambil posisi di kanan kiri lawan, lantas tongkat mereka membuat gerakan-gerakan aneh dan mengeluarkan suara berdesing seperti senjata tajam saja.

Melihat gerakan mereka yang amat teratur, Han Tiong bisa menduga bahwa kedua orang ini memang sudah mempelajari cara bersilat berdua yang merupakan semacam ilmu silat berpasangan. Ilmu ini amat kuat karena keduanya dapat bekerja sama secara teratur dan rapi, dapat saling bantu dan saling melindungi secara otomatis. Mengertilah dia mengapa mereka tidak mau maju satu demi satu, melainkan ingin maju bersama.

"Singgg...!"

Cia Han Tiong memang pantang membunuh, akan tetapi menghadapi lawan-lawan yang sangat tangguh itu, dia pun mencabut pedangnya untuk dapat membela diri dengan baik. Sebetulnya pendekar ini tidak pernah menggunakan pedang dan pedang yang dibawanya itu lebih merupakan hiasan saja. Akan tetapi, sekali ini dia membutuhkannya.

"Hiaaaat...!" Hek-hiat Lo-mo sudah menusukkan tongkatnya dari kanan.

"Ihhh...!" Hek-hiat Lo-bo juga menyerang dari kiri dengan totokan ke arah leher.

"Wuuutt...! Singgg...! Trang-tranggg...!"

Pedang berkelebat membentuk sinar terang dan menangkis kedua tongkat. Akan tetapi, begitu kedua tongkat terpental, kakek dan nenek itu langsung menggerakkan tangan kiri dan ternyata serangan tangan kiri mereka yang menyambar itu tidak kalah ampuhnya jika dibandingkan tongkat mereka!

Han Tiong cepat menggeser kaki dua kali, mengelak sambil menggunakan ujung lengan baju kiri untuk menangkis. Kini tahulah dia bahwa yang paling berbahaya adalah tangan kiri kedua lawan itu. Inti penyerangan mereka terletak pada kedua tangan kiri sedangkan tongkat-tongkat itu lebih bertugas sebagai pengacau kedudukan lawan dan mengalihkan perhatian agar tangan kiri mereka lebih banyak memperoleh kesempatan untuk mencuri kelengahan lawan.

Maka dia pun segera mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuat di tangan kirinya untuk menjaga diri dan balas menyerang. Kini terjadilah sebuah pertandingan yang amat seru.

Akan tetapi ternyata dua orang kakek dan nenek itu memiliki gerakan silat yang luar biasa dan asing bagi Han Tiong. Yang amat berbahaya dan tak terduga-duga datangnya adalah serangan kaki mereka. Kaki mereka itu bisa menyelingi serangan tongkat dan tangan kiri dengan tendangan-tendangan aneh yang dilakukan dalam berbagai posisi, baik tendangan langsung, miring ke belakang, bahkan tendangan dengan lutut.

Cara menendang gaya Sailan ini masih belum dikenal oleh Han Tiong. Berbeda dengan gaya tendangan dari daerah selatan yang mempergunakan seluruh panjang kaki dengan pengerahan kekuatan dan dilakukan dengan cepat dari jarak agak jauh, tendangan kakek dan nenek ini dapat dilakukan dari jarak dekat, dengan menggunakan lutut dan tiba-tiba datangnya. Bagaimana pun juga kematangan Han Tiong dalam ilmu silatnya membuat dia selalu dapat mengelak dan membalas dengan serangan-serangan dahsyat pula sehingga sering membuat kedua lawannya terkejut dan kesatuan gerakan mereka membuyar.

Ciu Lian Hong merasa penasaran ketika tadi suaminya menyuruh ia mundur. Apa lagi kini melihat suaminya dikeroyok dua dan kelihatan terdesak, dia merasa semakin penasaran. Karena merasa khawatir akan keselamatan suaminya, akhirnya Ciu Lian Hong tak dapat lagi menahan kemarahannya.

"Kakek nenek iblis curang!" bentaknya, lantas nyonya itu pun meloncat ke depan, sambil menyerang Hek-hiat Lo-bo dengan tamparan tangan kanannya.

"Plakkk...!"

Tubuh nyonya itu nyaris saja terpelanting saat tamparannya ditangkis oleh Hek-hiat Lo-bo dengan amat kuatnya.

"Heh-heh-heh, bagus! Engkau datang menyerahkan nyawamu!" nenek itu terkekeh-kekeh lalu menyerang Ciu Lian Hong dengan tongkatnya. Nyonya ini mengelak dan berloncatan ke sana-sini, akan tetapi ujung tongkat itu terus mengejarnya.

"Trangggg...!" Sinar pedang berkelebat dan ternyata Han Tiong sudah menangkis tongkat yang mengancam keselamatan isterinya itu.

"Hong-moi, mundurlah! Biar kuhadapi sendiri..."

"Tidak! Aku harus membantumu!" teriak Lian Hong.

Han Tiong khawatir akan keselamatan isterinya, maklum bahwa tidak mungkin Lian Hong bisa dicegah. Dia menyerahkan pedang di tangannya kepada isterinya lalu berbisik cepat, "Pergunakan pedang ini dan mainkan Thai-kek Sin-kun hanya untuk membela diri saja!"

Dua orang musuh mereka itu tertawa, lalu menyerang kembali, si kakek menyerang Han Tiong yang bertangan kosong sedangkan nenek itu memutar tongkatnya lalu menyerang Lian Hong.

Nyonya ini maklum akan kelihaian lawan. Maka dia pun cepat menggerakkan pedangnya dan bersilat dengan Ilmu Thai-kek Sin-kun, sesuai dengan pesan suaminya. Ilmu ini dapat dimainkan dengan pedang dan ilmu silat ini memang mengandung daya tahan yang amat hebat. Ketika Lian Hong memutar pedangnya dan mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, tongkat lawannya tidak mampu menembus benteng pertahanan yang kokoh kuat itu.

Betapa pun juga, tenaga lawan lebih besar dan ilmu kepandaian nenek itu memang jauh lebih tinggi tingkatnya, maka biar pun Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun amat kokoh kuat, tetap saja Lian Hong terdesak dan tangannya yang memegang pedang terasa panas dan nyeri setiap kali pedangnya bertemu tongkat.

Semenjak tadi Lian Hong hanya membela diri saja, sesuai dengan petunjuk suaminya, tak pernah membalas karena dia terus mencurahkan seluruh perhatian dan tenaganya untuk bertahan. Akan tetapi lama kelamaan nyonya ini merasa sangat penasaran. Dia didesak dan dihimpit dan meski pun ilmu silat itu ternyata mampu melindunginya sehingga selama hampir lima puluh jurus dia belum pernah terpukul, akan tetapi jika hanya bertahan terus, akhirnya pasti dia akan kalah juga. Rasa penasaran membuat Lian Hong kini menyelingi pertahanannya dengan serangan balasan. Dan inilah kesalahannya!

Tadi Han Tiong sempat melihat betapa tingkat kepandaian isterinya masih kalah jauh jika dibandingkan lawan, karena itu dia sengaja memberikan pedangnya dengan pesan agar isterinya memainkan Thai-kek Sin-kun untuk melindungi dirinya. Dengan demikian, walau pun isterinya tidak akan menang, setidaknya isterinya akan mampu melindungi diri sendiri sampai dia berhasil mengalahkan Hek-hiat Lo-mo kemudian membantu Lian Hong. Akan tetapi tak disangkanya sama sekali bahwa kakek itu benar-benar amat lihai.

Kini, tanpa memegang pedang, sebenarnya Han Tiong dapat mengeluarkan ilmu-ilmunya yang sakti. Sayang, hatinya yang bersih sama sekali tak menghendaki membunuh lawan. Dia merasa bahwa pihaknya yang berhutang. Maka dia hanya membela diri dan balasan serangannya mempergunakan batas-batas supaya jangan sampai dia membunuh lawan. Hal ini mengurangi daya serangannya dan sedemikian jauhnya dia masih belum mampu mengalahkan lawan. Pada saat itu pula, Lian Hong yang sudah amat penasaran itu mulai membalas dengan serangan hebat kepada Hek-hiat Lo-bo!

"Haiiitttttt...!" Lian Hong menusukkan pedangnya dengan cepat dan kuat ke arah perut nenek itu.

"Iiihhh...!" Nenek itu meloncat dan terhuyung ke belakang.

Nenek yang sudah berpengalaman ini memang licik sekali. Tadi dia sudah hampir putus asa menghadapi daya tahan yang kokoh kuat dari ilmu silat lawannya. Dia merasa amat penasaran dan kehabisan akal. Dia tahu bahwa dia menang segala-galanya dari lawan, akan tetapi semua ilmu sudah dia keluarkan namun belum juga dia mampu membobolkan sinar pedang yang membentuk benteng pertahanan lawan itu.

Ketika melihat lawan tiba-tiba mulai menyerang, dia menjadi gembira sekali. Begitu lawan menyerang, dia melihat ada lubang terbuka dalam benteng pertahanan itu! Akan tetapi dia tidak mau tergesa-gesa, bahkan memancing lawan agar menyerang terus sehingga akan terbuka lubang serta kesempatan yang lebih besar. Maka dia pura-pura terkejut, berseru sambil terhuyung ke belakang seakan-akan dia terdesak hebat oleh serangan lawan tadi. Dan Lian Hong terkena jebakan ini!

Melihat betapa nenek itu terhuyung oleh serangannya, Lian Hong menjadi gembira sekali, mengira bahwa serangannya ini berhasil. Dia lalu mendesak dan mengirimkan serangan susulan dengan pedangnya, menubruk ke depan sambil menyabetkan pedangnya ke arah leher nenek itu dari samping.

"Hong-moi, mundur...!" Tiba-tiba terdengar Han Tiong berseru keras sekali.

Dia hendak meloncat ke depan untuk mencegah isterinya, namun Hek-hiat Lo-mo sudah menghadang dengan totokan tongkatnya. Dan juga seruannya tadi telah terlambat karena isterinya yang sudah merasa girang melihat kemenangannya di depan mata itu tidak mau menahan serangannya.

"Wuuuttt...! Srettt...!"

Pedang itu menyambar leher Hek-hiat Lo-bo yang mengelak dan ketika ia menggerakkan kepala, ikatan rambutnya yang penuh uban itu terlepas lalu gumpalan rambutnya bergerak seperti hidup, tahu-tahu sudah membelit dan menangkap pedang lawan.

Lian Hong mengerahkan tenaga untuk menarik pedangnya, akan tetapi sukar sekali dan selagi dia bersitegang, mendadak tongkat di tangan nenek itu meluncur di bawah lengan Lian Hong kemudian menotok dada, tepat di dekat ketiak.

"Tukkk...!" Nyonya itu mengeluh lirih, terkulai dan roboh tak dapat berkutik lagi.

Han Tiong mengeluarkan gerengan yang menggetarkan seluruh tempat itu, lalu menerjang kakek yang menghalang dengan tongkatnya. Karena marah dan khawatir melihat isterinya roboh, sekarang dia pun mengeluarkan ilmu simpanannya yang disebut Keng-lun Tai-pun. Dia melakukan sebuah jurus aneh, tubuhnya melayang ke depan sambil kedua lengannya dikembangkan dan dari kedua tangannya keluar hawa panas menyambar-nyambar.

"Tukk! Desss...!"

Tubuh Hek-hiat Lo-mo terjengkang, ada pun tubuh Han Tiong terguncang terkena totokan tongkat. Akan tetapi dia menerjang terus dan meloncat ke arah isterinya yang kini rebah miring. Melihat suaminya terjengkang, Hek-hiat Lo-bo mengeluarkan suara pekik nyaring melengking dan menyambut Han Tiong dengan tusukan tongkat dibarengi oleh hantaman telapak tangan kiri. Hebat bukan main serangan nenek yang tingkat kepandaiannya tidak di bawah suaminya ini.

"Tukk! Plak! Desss...!"

Tubuh Hek-hiat Lo-bo langsung terpelanting dan terguling-guling ke dekat tubuh suaminya. Keduanya dengan susah payah bangkit duduk, muka mereka pucat sekali, napas mereka memburu dan dari mulut serta hidung mereka keluar darah.

Maklum bahwa mereka telah terluka parah dalam pertemuan tenaga sakti melawan ketua Pek-liong-pang tadi, keduanya lantas duduk bersila menghimpun hawa murni dan menanti datangnya pukulan maut dari lawan. Mereka berdua tahu bahwa dalam keadaan seperti itu tidak mungkin melarikan diri, apa lagi melawan!

Han Tiong sendiri pun terluka, akan tetapi masih untung baginya bahwa tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh tadi telah melindungi tubuhnya sehingga biar pun dalam tubuhnya terguncang hebat dan dari mulutnya mengalir darah segar pula, tapi totokan-totokan dan hantaman tangan kiri lawan yang amat ampuh tadi tak sampai mengakibatkan luka parah.

Dia tidak mempedulikan lagi kedua orang lawannya, melainkan menjatuhkan diri berlutut di dekat tubuh isterinya. Dia mengangkat dan memangku tubuh yang lunglai itu dan biar pun tubuh itu masih hangat, dia tahu bahwa isterinya telah tewas!

"Hong-moi... aihh, Hong-moi... engkau telah menjadi korban kekerasan keluargaku...," dia meratap dan mengeluh, penuh rasa duka dan terharu.

Kalau tadi para murid Pek-liong-pai tidak berani turun tangan menghadapi musuh tanpa perintah suhu mereka, kini melihat subo mereka tewas dan dua orang musuh itu agaknya telah terluka parah sehingga tinggal menyusulkan sebuah pukulan maut saja, mereka lalu bergerak menyerang kakek dan nenek itu untuk membalaskan kematian subo dan lima belas orang saudara seperguruan mereka.

Sebagai dua orang yang pandai, tentu saja kakek dan nenek itu tahu akan bahaya yang mengancam diri mereka. Mereka sudah terluka parah dan mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan berarti membunuh diri sendiri. Akan tetapi sebelum mati lebih baik mereka merobohkan lagi beberapa orang lawan yang tingkat kepandaiannya belum tinggi. Mereka lalu bangkit berdiri, terengah-engah menyeringai, bertopang pada tongkat mereka.

"Hah, majulah kalian, heh-heh...!" Hek-hiat Lo-mo menantang.

Isterinya juga siap di sebelahnya, tetapi tidak berani dan tidak kuat lagi membuka suara. Para murid Pek-liong-pang terkejut dan menjadi agak gentar, menunda serangan mereka dan kini maju mengepung, siap dengan senjata mereka.

"Tahan...!" tiba-tiba untuk kedua kalinya Han Tiong membentak. Semua muridnya terkejut, menahan senjata dan menoleh ke arah pendekar itu.

Dengan lembut Han Tiong menurunkan tubuh isterinya, merebahkan mayat yang masih hangat itu di atas tanah, lalu dia bangkit berdiri, mengusap darah dari tepi bibirnya, lalu melangkah maju menghampiri kakek dan nenek itu. Sejak tadi matanya menatap wajah mereka dengan tajam.

Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo memandang dengan muka pucat, maklum bahwa jiwa mereka berada di tangan pendekar ini karena tidak mungkin lagi bagi mereka yang sudah terluka parah untuk melawan pendekar ini.

Mendadak Hek-hiat Lo-mo terkekeh. Dia tertawa untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya. "Heh-heh-heh, orang she Cia! Kami sudah kalah olehmu. Mau bunuh lekaslah lakukan itu. Kami tidak merasa rugi karena nyawa kami ditukar nyawa isterimu dan lima belas orang muridmu!"

Sinar berapi-api penuh kemarahan memancar dari sepasang mata pendekar ini, ada pun kedua tangannya mengepal tinju. Terdengar bunyi berkerotokan ketika dia mengerahkan tenaga sehingga dua orang tua itu merasa semakin seram.

Mereka tahu betapa dahsyatnya tenaga yang tersembunyi di dalam sepasang tangan itu sehingga sekali saja tangan itu bergerak, mereka takkan mampu mempertahankan nyawa mereka lagi. Juga para murid Pek-liong-pang memandang terbelalak, ingin sekali melihat guru mereka menurunkan tangan maut membunuh dua orang musuh besar itu.

Akan tetapi pukulan yang dinanti-nantikan itu tidak kunjung datang. Bahkan pendekar itu menoleh ke arah mayat isterinya, membalik memandang kakek dan nenek itu, lalu bicara, suaranya menggetar penuh duka.

"Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, sesudah kalian membunuh isteriku serta lima belas orang muridku, keuntungan apa yang kalian peroleh dari kematian mereka? Dan apakah dengan kematian mereka itu lantas nenek guru kalian yang tewas oleh mendiang ayahku itu dapat hidup kembali?"

Mendengar pertanyaan yang aneh ini, kakek dan nenek itu saling berpandangan dengan bimbang, kemudian kakek itu yang menjawab, "Tentu saja nenek guru kami tidak mungkin hidup kembali, dan keuntungan yang kami dapat adalah rasa puas bahwa dendam kami sudah terbalas sebagian!"

"Benarkah itu? Benarkah kalian merasa puas? Ataukah akan timbul dendam lain karena kalian gagal membunuhku dan dengan sekali pukul aku akan dapat membunuh kalian?"

"Sudahlah, kami sudah kalah dan gagal, engkau boleh saja membunuh kami, kami tidak merasa takut!"

Akan tetapi Han Tiong menggeleng kepala dan menarik napas panjang lalu menundukkan mukanya. "Tidak, aku tidak akan mau memperpanjang dan menyambung karma buruk ini. Biarlah isteriku dan lima belas orang muridku menjadi penebus hutang mendiang ayahku dan kubikin putus rantai karma yang membelengguku. Harap kalian dapat menghabiskan permusuhan sampai di sini saja."

Kakek dan nenek itu kembali saling pandang seperti tidak percaya akan apa yang mereka dengar.

"Kau... kau tidak akan membunuh kami...?" tanya nenek itu, suaranya mengandung isak tertahan karena dia terlepas dari ketegangan hati seorang yang menghadapi maut yang nampaknya tak terelakkan lagi mengancam dirinya tadi.

Han Tiong mengangguk dan menarik napas panjang. "Benar, kalian boleh pergi..."

Kakek dan nenek itu merasa terharu sekali. Baru saja mereka membunuh isteri serta lima belas orang murid pendekar ini, akan tetapi pendekar ini mengampuni mereka! Selama hidup belum pernah mereka mendengar hal seganjil ini, apa lagi mengalaminya. Jantung mereka seperti ditusuk-tusuk rasanya dan sekarang pun mereka mulai merasa menyesal sekali.

Peristiwa pembunuhan ini selama hidup akan terus-menerus menghantui mereka dengan penyesalan. Jika pendekar ini merasa dendam dan hendak membalas atas pembunuhan-pembunuhan itu, tentu tidak akan terdapat penyesalan di dalam hati mereka. Akan tetapi sekarang sikap pendekar itu akan membuat mereka selama hidup menyesal sekali sudah melakukan pembunuhan pada hari ini. Mereka lebih suka kalau dibunuh saja.

Keduanya menjura dengan muka pucat dan mata basah. "Cia-taihiap, kami berhadapan dengan seorang mulia, kami takluk dan merasa menyesal sekali...," kata kakek itu.

"Pergilah kalian... pergilah...!" kata Han Tiong.

Dia lalu menghampiri mayat isterinya, dipondongnya jenazah itu dan dibawanya pulang. Para muridnya juga mengangkat mayat saudara-saudara mereka mengikuti suhu mereka dari belakang.

Kakek dan nenek itu mengikuti iring-iringan jenazah yang sangat menyedihkan itu dengan muka pucat dan pandang mata sayu, kemudian dengan tertatih-tatih mereka pun pergi meninggalkan Lembah Naga.

Sesudah belasan jenazah itu dimasukkan peti dan para murid Pek-liong-pang berkumpul dan berkabung, suasana menjadi sangat menyedihkan. Sisa para murid cepat memberi kabar kepada saudara-saudara seperguruan mereka, dan kemudian setiap kali ada murid Pek-liong-pang yang datang, maka meledaklah ratap tangis di antara mereka.

Hampir tiga puluh orang murid Pek-liong-pang berkumpul pada malam terakhir itu. Besok pagi, enam belas peti mati itu akan dikebumikan. Dan dalam kesempatan ini, para murid kepala lalu menyatakan rasa penasaran hati mereka terhadap sikap suhu mereka kepada kakek dan nenek yang memusuhi Pek-liong-pang dan yang menyebar maut itu.

"Suhu, teecu sekalian masih tetap merasa penasaran mengapa suhu membiarkan kakek dan nenek iblis itu pergi. Sepatutnya mereka dibunuh untuk membalaskan kematian subo dan enam belas murid Pek-liong-pang. Karena suhu mengampuni dan membebaskan dua iblis itu, apakah arwah subo dan sute tidak penasaran?" demikian seorang murid tua yang telah lulus dan baru saja tiba, mewakili saudara-saudara seperguruannya menyampaikan rasa penasaran hati mereka. Para murid lainnya mengangguk setuju, lantas semua mata ditujukan kepada pendekar itu.

Dalam beberapa hari ini, Cia Han Tiong seolah-olah sudah bertambah tua sepuluh tahun. Dia memandang para muridnya yang duduk bersila di depannya, dekat dengan peti-peti jenazah yang berjajar.

"Subo kalian dan para murid Pek-liong-pang tewas dalam perkelahian, bahkan pihak kita yang melakukan pengeroyokan. Mereka, juga subo kalian, tewas karena memang kalah pandai. Bukankah kalah menang adalah wajar saja dalam sebuah perkelahian? Juga luka atau tewas merupakan rangkaian dan akibat dari kekerasan yang dilakukan kedua pihak. Apa yang harus dibuat penasaran lagi?"

"Akan tetapi, suhu. Mereka yang datang menyerang, bukan kita yang mulai perkelahian itu."

"Mereka datang bukan tanpa sebab. Mereka datang sebagai akibat dari sebab lama, yaitu terbunuhnya nenek guru mereka oleh mendiang sukong kalian."

"Akan tetapi, suhu, mereka datang menyebar maut dan membunuh! Setelah suhu berhasil mengalahkan mereka, mengapa suhu melarang teecu sekalian membunuh mereka untuk membalas dendam, malah suhu membebaskan mereka. Hal ini sungguh dapat membuat orang mati penasaran!" kata seorang murid yang berwatak keras.

Han Tiong tersenyum duka dan timbul niatnya untuk mengajak para muridnya membuka mata untuk melihat betapa kenyataan hidup itu kadang-kadang pahit adanya.

"Kalian dengar dan camkanlah baik-baik. Kalian bilang bahwa mereka datang membalas dendam dan membunuh, lantas kalian menganggap mereka itu jahat. Akan tetapi kalian juga ingin membunuh mereka untuk membalas dendam. Lalu apa bedanya antara mereka dengan kita jika kita juga ingin membunuh karena dendam? Membunuh adalah perbuatan jahat, apa pun juga alasannya, apa lagi membunuh dengan dasar dendam dan kebencian. Andai kata kita membunuh mereka berdua, apakah enam belas jenazah ini akan dapat hidup kembali? Tidak! Maka tidak ada gunanya sama sekali jika kita membunuh mereka, bahkan kita menanam bibit permusuhan baru lagi. Mungkin bibit ini kelak berbuah dengan datangnya keturunan mereka yang akan membalas dendam kepada kita atau keturunan kita."

Keadaan menjadi hening sejenak. Semua kata-kata itu meresap di dalam hati sanubari para murid Pek-liong-pang karena mata mereka kini terbuka dan baru melihat kenyataan yang hebat.

"Lihatlah," ketua Pek-liong-pang itu melanjutkan, "bukankah tiap peristiwa yang menimpa diri kita hanya merupakan pemetikan buah saja dari pohon yang sudah kita tanam sendiri, sedangkan setiap perbuatan kita seperti menanam bibit yang kelak menjadi pohon lantas berbuah dan buahnya harus kita petik sendiri pula? Karena itu kita tidak perlu penasaran memetik buah pohon tanaman kita sendiri. Jadi kalau menanam bibit, tanamlah yang baik! Kalau aku menerima mala petaka ini sebagai pemetikan buah dari pohon lama tanaman ayah, kemudian aku tidak menanam bibit baru, berarti aku sudah mamatahkan belenggu mata rantai karma yang akan mengikat aku dan keluargaku."

"Akan tetapi suhu, dapatkah manusia hidup bebas dari karma?" tanya seorang murid.

"Setiap perbuatan yang didorong oleh nafsu dan pamrih, tentu akan mengikatkan diri kita kepada karma. Karma adalah hukum rangkaian sebab-akibat. Harus kalian ketahui bahwa sebab-sebabnya berada di telapak tangan kita sendiri. Jadi, terputus atau bersambungnya karma pun berada di tangan kita sendiri. Dendam-mendendam, hutang-pihutang budi atau dendam, menciptakan mata rantai karma yang sangat kuat. Apa bila setiap tindakan atau perbuatan kita dilandasi cinta kasih yang berarti wajar tanpa pamrih, maka perbuatan itu habis sampai di sana saja, bukan merupakan akibat mau pun sebab, tanpa dipengaruhi karma. Pamrih timbul karena kita mengharapkan jasa bagi kita dan kutuk bagi orang lain yang merugikan diri kita. Maka, murid-muridku, hiduplah bebas dari dendam dan hutang-pihutang budi, dan kalian akan bebas dari karma."

Malam sudah larut. Tengah malam baru lewat dan para murid mengganti lilin yang tinggal sedikit dengan lilin-lilin baru. Han Tiong sendiri menyalakan hio (dupa lidi) harum hingga ruangan itu dipenuhi asap dupa harum. Keadaan menjadi amat hening ketika mereka tak lagi bicara, keheningan yang mencekam, penuh duka dan keseraman.