Siluman Bukit Tengger - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SILUMAN BUKIT TENGGER

SATU

“O, Penguasa Agung...! O, penyelamat kami...! Terimalah persembahan kami!”

Beberapa kalimat yang diucapkan dengan irama teratur terdengar dari mulut seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh lima tahun dengan pakaian seperti pendeta. Agaknya, dia adalah seorang pemuka suatu aliran kepercayaan yang tengah memimpin sebuah upacara di sebuah gua di Bukit Tengger ini.

Di belakang laki-laki tua itu berdiri seorang gadis cantik yang tak henti-hentinya menangis sesenggukan, seperti menyesali nasibnya. Di kiri-kanan gadis itu berdiri sambil memegangi, seorang laki-laki setengah baya dan seorang wanita juga berusia setengah baya. Sebentar-sebentar, wanita setengah baya ini ikut menangis, seraya memeluk gadis di sebelah kirinya. Sedangkan beberapa orang lain yang ikut mendampingi, hanya berdiri terpaku tak bisa berbuat apa-apa.

Sementara, matahari makin merambat naik, menerangi mayapada. Namun sengatan sinarnya, seakan tak menghalangi jalannya upacara di depan gua. Dan setelah laki-laki tua pemimpin upacara selesai dengan mantera-manteranya, suasana jadi hening. Tidak ada sahutan apa-apa dari dalam gua. Dan suasana makin menggiriskan ketika angin bertiup semilir.

Kini laki-laki tua pemimpin upacara telah membalikkan tubuhnya. Di berinya isyarat pada gadis cantik itu untuk berjalan memasuki gua di depannya.

Gadis itu tidak langsung melangkah. Sebentar matanya memandang laki-laki setengah baya di samping kirinya. Ketika laki-laki itu mengangguk sambil menelan ludah, gadis itu beralih menatap pada ibunya. Sebentar kedua wanita itu berpelukan, lalu perlahan-lahan gadis itu melepas pelukannya dan berbalik. Sedangkan wanita setengah baya yang masih menangis, menghambur ke dalam pelukan laki-laki setengah baya yang di dekatnya.

“Tidak perlu disesali, Ki dan Nyi Pangestu. Seharusnya kalian beruntung bila Nuning Sari putri kalian, terpilih sebagai korban. Itu suatu kehormatan tiada tara bagi kalian,” ujar laki-laki tua pemimpin upacara.

Laki-laki dan wanita setengah baya yang dipanggil Ki dan Nyi Pangestu ini tidak menyahut. Bahkan tidak menoleh. Apa pun yang akan dikatakan laki-laki tua pemimpin upacara, tidak akan bisa mengobati luka hati karena harus kehilangan gadis bernama Nuning Sari yang ternyata putri mereka satu-satunya.

“Ayah... Ibu...! Aku pergi...,” pamit Nuning Sari, sambil melangkah menghampiri gua tanpa menunggu jawaban kedua orangtuanya. Dia berjalan perlahan-lahan diiringi laki-laki tua pemimpin upacara.

Nyi Pangestu terus menangis. Bahkan terasa semakin keras, membuat suaminya kewalahan. “Anakku, Anakku...!” keluh wanita setengah baya ini berulang-ulang.

“Sudah, sudah! Semuanya sudah ditentukan. Jangan menangis lagi. Nyi. Kita harus tabah menerima semua ini,” hibur Ki Pangestu.

“Anakku.... Oh, dia anak kita satu-satunya! Dia anak kita satu-satunya...!” isak wanita itu, tidak peduli bujukan suaminya.

Sementara Nuning Sari telah menghilang ke dalam gua. Dan saat itu juga tangis Nyi Pangestu semakin kuat terdengar. Suasana benar-benar mengharukan. Siapa yang tidak trenyuh melihat suami istri tengah melepas anaknya untuk dijadikan korban! Konon, korban itu ditujukan untuk Penguasa Bukit Tengger ini.

********************

Udara pagi ini terasa dingin menggigilkan. Sementara kabut masih menyelimuti, bagaikan tirai yang amat tipis. Matahari belum muncul di ufuk timur, meski ayam jantan sudah sejak tadi memanggil-manggil.

Di pinggir jalan yang masih sunyi, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun tengah mengeluh kesal. Sebelah roda pedati yang ditumpanginya patah, terperosok di bibir jurang yang penuh belukar. Jauh di bawah jurang sana terlihat kudanya meringkik-ringkik kesakitan dijemput ajal. Sementara dari dalam pedati sendiri, terlihat butiran-butiran gabah yang terus berjatuhan ke bawah jurang.

“Celaka! Apa yang bisa kukerjakan? Mestikah semua padi ini kubuang untuk menyelamatkan pedatiku?” keluh laki-laki tua ini lagi.

Orang tua ini berjalan mondar-mandir. Dahinya berkerut, berusaha memikirkan langkah terbaik untuk menyelamatkan harta bendanya. Pada saat tubuhnya berbalik....

“Aaa!” Orang tua itu menjerit kaget ketika tiba-tiba melihat satu sosok bayangan di balik kabut sekitar dua tombak di depannya. Seketika kakinya surut ke belakang dengan wajah pucat pasi. Keringat dingin mulai keluar satu persatu. Apalagi, ketika sosok bayangan itu makin mendekatinya.

“Jangan takut, Ki. Aku bukan hantu...,” ujar seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung sambil tersenyum. “Kau kelihatan murung? Ada yang bisa kubantu?”

Orang tua itu terpana. Hatinya sedikit lega, meski detak jantungnya belum kembali berdetak seperti biasa. “Siapa kau?” tegur laki-laki berbadan gemuk terbungkus pakaian dari sutera halus.

“Aku Rangga, seorang pengembara yang kebetulan lewat di sini...,” jelas pemuda berbaju rompi putih ini.

“Kau..., betul-betul manusia?!” cecar laki-laki tua ini.

“Tentu saja. Lihat saja. Kakiku menginjak tanah, bukan?” sahut pemuda berbaju rompi putih ini.

Laki-laki tua itu langsung melihat sepasang kaki pemuda yang tak lain memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Dan nyatanya, sepasang kaki itu memang menapak tanah. “Oh, syukurlah...!” desah orang tua itu lega.

“Apa yang terjadi? Apakah pedati ini milikmu, Ki?” tanya Rangga ketika melihat pedati yang hampir terjerumus ke jurang.

Orang tua itu mengangguk. Mukanya kelihatan kusut. “Kabut menghalangi, membuat kudaku terperosok ke jurang. Mungkin sebentar lagi mati. Masih untung pedatiku tertahan batu besar ini. Kalau tidak, entah apa jadinya. Tidak ada yang bisa kujual ke pasar,” keluh orang bertubuh gemuk yang ternyata seorang pedagang.

“Biar kubantu!” Tanpa meminta persetujuan orang tua itu, Rangga langsung memegang bibir bak pedati dengan sebelah tangan. Saat itu juga, tangannya yang berotot kekar telah menegang. Sejenak ditariknya napas panjang. Lalu....

“Heup!”

“Hei?!” Pedagang tua itu terkesiap seperti tidak percaya dengan penglihatannya. Perlahan-lahan, pedatinya bergerak dan kembali ke jalan semula. Padahal, meski ditarik tiga orang, rasanya akan sulit. Apalagi, pedati ini sarat dengan muatan.

“Nah, sekarang pedati ini telah kembali ke jalan semula. Tinggal memperbaiki rodanya yang patah,” kata Rangga. “Kau bawa golok, Ki?”

“Eh, bawa! Ini...!” Dengan sedikit heran orang tua pedagang itu menyerahkan golok yang terselip di pinggang.

Begitu menerima golok, Rangga segera mencari kulit batang pohon untuk dijadikan tali. Tak begitu jauh tali itu didapat, karena di pinggir jurang banyak pohon-pohon yang memiliki akar-akar yang kenyal dan kuat. Sebentar saja di tangan pemuda itu telah terjulur beberapa utas akar-akar yang kuat.

Dengan cekatan Pendekar Rajawali Sakti mengikat roda pedati yang patah, serta mengganti beberapa bagian yang memang sudah tidak bisa diperbaiki. Meski darurat, namun akhirnya toh roda pedati itu bisa diperbaiki pula.

“Kau memang cerdik, Nak!” puji orang tua itu, ketika Rangga baru saja rampung dengan pekerjaannya. “Tapi kini aku bingung, bagaimana membawa pedati ini...?”

“Ke mana tujuanmu, Ki?” tanya Rangga seraya menyerahkan golok yang tadi dipinjamnya.

“Desa Legowo.”

“Jauhkah tempat itu?”

“Setelah melewati ujung jalan ini, lalu berbelok sedikit ke kiri. Maka akan terlihat sebuah tugu. Itulah batas Desa Legowo,” papar orang tua itu.

“Baiklah. Biar kutarik pedatimu.”

“Hei? Kau sungguh-sungguh?! Pedati ini berat, Nak!”

Rangga hanya tersenyum.

“Ah! Aku tidak tahu, harus bagaimana berterima kasih padamu! Kau telah banyak sekali menolongku...!” desah laki-laki pedagang ini.

“Tidak usah dipikirkan, Ki. Aku sudah senang bisa membantu,” ujar Pendekar Rajawali Sakti.

“Ah! Kau terlalu murah hati, Nak. Eh! Aku sampai lupa memperkenalkan diri. Namaku... Sudira. Oh, ya. Ke mana tujuanmu?”

“Aku hanya seorang pengembara, Ki. Ke mana kakiku melangkah, ke situlah tujuanku,” sahut Rangga sekenanya.

“Kalau begitu, bagaimana kalau sekarang kau ikut ke rumahku? Dan aku paling benci kalau ditolak. Yah, sekadar makan singkong dan minum kopi...!” ajak laki-laki pedagang bernama Ki Sudira ini.

“Baiklah kalau begitu, Ki....”

********************

Ki Sudira tertegun sebentar ketika melihat banyak orang berkumpul di rumah tetangganya. Tapi sebentar kemudian, dia buru-buru mengajak Rangga ke rumahnya.

“Apa yang terjadi di rumah sebelah, Ki? Apakah ada sanak keluarganya yang tertimpa musibah?” tanya Rangga heran, ketika Ki Sudira mengajaknya duduk di ruang tamu.

“Ya...,” sahut Ki Sudira, lirih.

“Ada yang meninggal?” kejar Rangga.

“Anak Ki Jayeng harus dikorbankan nanti malam,” sahut orang tua itu, masygul.

“Dikorbankan? Korban kepada siapa?” desak Rangga, penasaran. Keningnya langsung berkerut.

“Penghuni Bukit Tengger,” sahut Ki Sudira, singkat.

“Hm, aneh! Siapa sebenarnya penghuni Bukit Tengger itu? Kenapa dia meminta korban manusia?”

“Tak seorang pun yang mengetahuinya, Nak. Dia datang bagai angin. Orang-orang menyebutnya sebagai Siluman Bukit Tengger.”

“Tidak ada yang berusaha menyelidiki?”

“Siapa yang berani? Mereka yang melakukan hal itu akan mati. Dulu pernah ada yang coba-coba menyelidikinya. Namun tak lama kemudian orang itu mati. Mayatnya dicampakkan ke tengah-tengah desa. Digantung!”

“Kalau kalian tidak mengirimkan korban?” tanya Rangga, memancing.

“Maka keesokan harinya semua orang desa akan melihat tiga laki-laki penduduk desa akan digantung setiap hari,” sahut Ki Sudira.

“Pernah terjadi?”

Ki Sudira mengangguk. “Dua hari, enam penduduk menjadi korban. Tapi untung kejadian itu tidak menimpa desa ini.”

“Siluman itu juga meresahkan penduduk desa lain?” kejar Rangga lagi.

Orang tua itu mengangguk. “Ada empat desa di sekitar wilayah Pegunungan Tengger. Maka dari setiap desa dimintai korban dua orang setiap minggu, secara bergiliran.”

“Lalu, dari mana mereka tahu korbannya? Apakah hal itu diatur kepala desa?”

“Tidak! Pada hari yang ditentukan, maka di pintu rumah mereka akan terlihat tanda merah. Itu berarti, si pemilik rumah harus menyerahkan anak perawannya untuk dikorbankan.”

“Anak perawan?”

“Ya! Siluman itu selalu minta perawan suci yang berusia belasan tahun.”

“Edan!” rutuk Rangga, seraya menghantamkan kepalan tangan kanan ke telapak tangan kiri.

“Hus! Jangan keras-keras, Nak! Orang-orang percaya kalau siluman itu sakti. Dia bisa mendengar serta mengetahui siapa saja yang coba melawan dan membantah. Kita akan kualat!” ujar Ki Sudira memperingatkan.

“Siluman tidak butuh perawan! Yang butuh perawan hanya laki-laki hidung belang!” dengus Rangga gusar.

“Hus! Jangan keras-keras!” Ki Sudira kembali memperingatkan.

Paras muka laki-laki tua ini tampak ketakutan. Dan sesekali matanya melirik ke sekelilingnya. Dia takut kalau, saat itu juga ocehan pemuda di depannya terdengar sang siluman yang dipercaya sering gentayangan di empat pelosok desa.

“Kau takut, Ki?” tanya Rangga tersenyum.

“Siapa yang tidak takut kualat? Siapa pun orangnya yang coba melawan, akan binasa,” sahut Ki Sudira meyakinkan.

“Dan selamanya penduduk desa ini akan terus begini?”

“Kami tidak punya pilihan lain. Ada beberapa orang yang coba mengungsi, tapi esok hari mayatnya tergeletak di tengah-tengah pemukiman penduduk.”

“Kalau begitu, siluman itu harus dilawan. Kalau tidak, dia akan besar kepala dan berbuat sesuka hatinya!” tandas Rangga, mantap.

“Aduh, Nak! Kumohon, jangan keluarkan kata-kata itu! Siluman itu akan mendengar dan membunuhmu nantinya!” ujar Ki Sudira bernada meratap. Hatinya benar-benar khawatir kata-kata pemuda itu akan terdengar oleh Siluman Bukit Tengger.

Rangga kembali tersenyum. Orang tua ini kelihatannya percaya betul kalau Siluman Bukit Tengger akan mendengar siapa saja orang yang membicarakan dirinya. Sungguh hebat! Tapi..., apa mungkin siluman doyan perawan? Ini yang membuat Rangga tidak bisa mempercayai begitu saja. Tapi melihat kekhawatiran Ki Sudira, rasanya beralasan. Orang-orang di desa ini sudah telanjur dilanda ketakutan.

“Kapan persembahan itu akan dilakukan?” tanya Rangga mengalihkan pembicaraan.

“Sebentar lagi, bila persiapan telah selesai,” sahut Ki Sudira.

“Kau ingin ikut mengantar, Ki?”

“Iya.”

“Orang luar sepertiku boleh juga?”

“Tidak ada larangan. Karena semakin banyak yang mengantarkan si korban, maka akan semakin baik. Itu membuktikan kepatuhan terhadapnya,” sahut laki-laki gemuk itu lagi.

Rangga mengangguk pelan.

“Tapi kuingatkan, Nak. Sebaiknya jangan macam-macam di tempat upacara pengorbanan itu!” ujar Ki Sudira, khawatir.

Pemuda itu tersenyum. “Tidak. Aku tidak macam-macam. Tapi kalau sekadar ingin melihat tampang siluman itu, apakah termasuk pelanggaran?” tanya Rangga.

“Tiada seorang pun yang pernah melihatnya!”

“Berarti tidak dilarang?”

“Bukan begitu. Sebab, tidak boleh seorang pun mendekati gua itu. Dan berarti pula, tidak diperbolehkan mengetahui sang siluman tersebut,” jelas Ki Sudira.

“Gua? Jadi gadis-gadis itu dimasukkan ke dalam gua?” gumam Rangga, seperti berkata sendiri.

Ki Sudira mengangguk. Rangga menghela napas. Matanya memandang ke jurusan lain dengan tatapan kosong. Pikirannya mulai menduga-duga serta membuat rencana.

********************

DUA

Memang sudah jadi watak seorang pendekar, bila melihat ketidakadilan dan tindak kesewenang-wenangan, akan selalu menumpasnya. Paling tidak, begitulah tekad Pendekar Rajawali Sakti setelah mendengar penjelasan Ki Sudira. Baginya, upacara pengorbanan tumbal manusia adalah suatu perbuatan nista yang harus dicegah. Dalam kamus hidupnya, upacara itu tak lebih dari perbuatan iblis neraka.

Maka tak heran kalau kini Rangga yang dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti, seorang pendekar digdaya di jagad ini, berusaha untuk menyelidikinya. Kini Pendekar Rajawali Sakti berjalan bersama penduduk Desa Legowo menuju Bukit Tengger. Menurut Ki Sudira, hari ini yang akan dikorbankan adalah gadis bernama Sri Ayem, putri Ki dan Nyi Rambang.

Berjalan paling depan adalah Sri Ayem, seorang gadis yang beranjak remaja. Di belakangnya, Ki Rambang bersama istrinya. Di belakang suami istri itu terlihat seorang laki-laki tua berpakaian pendeta. Dari Ki Sudira, Rangga tahu kalau orang yang memimpin upacara pengorbanan ini bernama Ki Sepuh. Sementara paling belakang, mengiringi sekitar dua puluh lima orang tetangga Ki Rambang.

“Masih jauh lagi?” bisik Rangga pada Ki Sudira saat mereka sudah mendaki Bukit Tengger.

“Sebentar lagi...,” sahut Ki Sudira.

Apa yang dikatakan laki-laki gemuk itu memang benar. Sekitar lima puluh tombak dari tempatnya sekarang, di atas sana Rangga melihat sebuah mulut gua yang dikanan serta di kirinya dipasangi umbul-umbul berwarna-warni. Juga tidak ketinggalan beberapa hiasan terbuat dari janur.

“Di situ?” tanya Rangga lagi, ingin memastikan.

Ki Sudira mengangguk. Dalam waktu singkat mereka tiba disana. Kemudian tampak Ki Sepuh memberi isyarat agar iring-iringan berhenti. Laki-laki tua berpakaian pendeta itu melangkah mendekati mulut gua, dan berhenti saat jaraknya telah terpaut tujuh langkah.

“O, Dewa Yang Agung! O, Penghuni Bukit Tengger! O, Pelindung Kami Yang Mulia! Hari ini kami datang membawakan sesuatu bagimu. Mudah-mudahan kau berkenan dan tetap melindungi kami semua dari segala bencana...!” panggil Ki Sepuh dengan irama teratur dan ditingkahi dengan mantera-mantera.

Ki Sepuh kemudian berlutut, setelah memberi isyarat pada rombongan ini untuk berlutut pula. Tak terdengar sahutan apa-apa. Namun mereka semua tampak khidmat sambil menundukkan kepala, mendengarkan Ki Sepuh yang kembali membaca mantera-mantera.

Di antara mereka, rasanya hanya Pendekar Rajawali Sakti saja yang tidak bisa tenang. Sebentar-sebentar matanya memandang ke mulut gua, lalu beralih ke sekeliling tempat seperti tengah mengawasi. Dan Rangga melihat tak ada sesuatu yang mencurigakan. Semuanya tenang seperti sediakala. Sepertinya tidak akan terjadi apa pun.

Pandangan Rangga kembali tertuju pada Ki Sepuh yang telah selesai membaca mantera-mantera. Laki-laki tua itu kini berdiri, dan melangkah ke arah Sri Ayem perlahan-lahan.

Sementara itu Sri Ayem sendiri mulai melangkah satu-satu mendekati mulut gua setelah dibimbing Ki Sepuh. Dan gadis itu berhenti sebentar memandang orangtuanya.

“Ayah...! Ibu...!” seru Sri Ayem lirih.

Suami istri itu memandang putrinya agak lama. Tapi kemudian mereka menunduk. Sementara Nyi Rambang agaknya kurang tabah menghadapi peristiwa ini. Air matanya yang sejak tadi menggantung, kini tertumpah. Bahkan semakin keras bersama isak tangisnya.

“Kalian mendapat kehormatan, karena Sri Ayem terpilih. Tidak seharusnya berduka seperti itu,” tegur Ki Sepuh, mengingatkan setelah membimbing Sri Ayem dan kembali ke tempatnya.

Suami istri berusia setengah baya itu tidak menyahut. Mereka hanya tertunduk lesu, pasrah dengan nasib yang menimpa.

“Hadapkan wajahmu ke sana. Dan, tersenyumlah. Kau makhluk mulia yang diinginkan dewata. Oleh sebab itu, janganlah bersedih. Sebab dewata akan murka jadinya,” tegur Ki Sepuh ketika melihat Sri Ayem masih memandangi kedua orangtuanya.

Gadis lugu itu memandangi laki-laki tua ini sebentar kemudian mengangguk lesu. Mukanya masih saja pucat. Dengan langkah gemetar memasuki mulut gua.

Memang, biar bagaimana pun, tetap saja hati Sri Ayem cemas dan gelisah. Dia tak tahu, siapa atau apa yang akan menyambutnya di dalam gua itu. Manusiakah? Siluman berwujud makhluk mengerikan? Atau apa?

Memang tak seorang pun yang tahu apa yang terjadi pada gadis itu setiba di dalam gua. Dan ketika Sri Ayem memasukinya, tidak terdengar jerit kesakitan atau ketakutan. Seolah-olah gadis itu raib ditelan bumi.

Ki Rambang dan istrinya masih terduduk lesu. Kesedihan yang membayangi wajah mereka tidak akan sirna secepat itu. Meski Ki Sepuh membujuk dengan kata-kata manis dan menghibur.

“Dewata akan mengganjarmu dengan karunia yang lebih baik atas kepatuhanmu ini. Oleh sebab itu, janganlah bersedih. Itu menandakan bahwa kalian tidak ikhlas melepas Sri Ayem....”

Ki Rambang memandang Ki Sepuh sebentar, kemudian membujuk istrinya untuk tabah. Perlahan-lahan mereka beranjak meninggalkan tempat itu, mengikuti rombongan yang telah angkat kaki lebih dulu.

“Aduh, kebelet betul! Silakan pulang dulu, Ki. Aku akan cari tempat aman untuk buang hajat!” kata Rangga ketika telah beberapa langkah meninggalkan Bukit Tengger.

Ki Sudira sedikit curiga, meski alasan yang dikemukakan pemuda itu masuk akal. Namun karena Rangga membuat wajahnya demikian meyakinkan, sehingga mau tak mau orang tua itu percaya. Wajahnya tampak khawatir, namun pemuda itu agaknya pandai membujuk orang.

“Jangan khawatir, Ki. Siluman Bukit Tengger tidak suka padaku karena aku bukan perawan!” lanjut Rangga enteng, ketika membaca raut wajah Ki Sudira.

Orang tua itu menggeleng lemah, tapi tak bisa berbuat apa-apa. “Terserahmulah.... Tapi ingat, Rangga! Ingat pesanku tadi,” ujar orang tua itu.

“Baik, Ki!” sahut Rangga, mantap.

Dan Ki Sudira segera angkat kaki, menyusul rombongan yang sedang menuruni bukit. Rangga berlari kecil, menuju semak-semak. Sesekali orang tua itu coba meyakinkan kalau Rangga tidak kembali ke tempat semula. Meski melihat arah yang dituju pemuda itu berlainan, namun entah kenapa hatinya tetap saja cemas.

Benar saja. Tepat ketika rombongan itu tak terlihat lagi. Rangga keluar dari semak-semak. Masih sempat matanya memandang ke arah kepergian mereka, sebelum akhirnya kembali ke tempat gua persembahan.

“Aku harus tahu, apa isi perut gua itu!” gumam Rangga mantap.

Dengan sekali berkelebat, Pendekar Rajawali Sakti telah berada di dekat mulut gua. Dia sengaja tidak datang dari depan gua, tapi dari perbukitan di atasnya. Ketika jaraknya dengan gua terpaut kurang lebih sepuluh langkah, pemuda itu diam mematung.

Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memejamkan matanya seraya sambil mengerahkan aji ‘Pembeda Gerak Dan Suara’ untuk mengamati keadaan di dalam gua. Dalam keadaan seperti ini, suara jarum jatuh pun rasanya akan terdengar oleh pendengarannya.

“Hm, aneh...!” gumam Rangga. “Gua ini kosong. Ke mana perginya gadis itu?”

Dengan dahi berkerut dan heran, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun. Tubuhnya langsung merapat ke samping kiri mulut gua, kemudian dengan hati-hati masuk ke dalam.

“Tidak ada siapa-siapa di sini?” gumam Pendekar Rajawali Sakti kembali seperti bertanya sendiri, sambil memperhatikan ruangan di dalam gua.

Apa yang dilihat pemuda berbaju rompi putih ini memang membingungkan. Karena, isi gua itu tidak terlalu luas. Di dalamnya tidak terdapat sesuatu yang berarti.

“Tidak mungkin dia hilang begitu saja...!” desis Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti mengamati keadaan isi gua ini dengan seksama. Setiap lekukan di permukaan dinding maupun tanah, tidak luput dari perhatiannya.

“Aku yakin ada ruangan di balik dinding gua ini....” Baru saja kata-kata Rangga selesai, mendadak satu sosok bayangan kecil berkelebat ke arahnya.

Siut!

“Hei?!”

Sosok bayangan kecil yang ternyata seekor kelelawar melesat cepat keluar gua, hampir menabrak wajah Pendekar Rajawali Sakti. Untung saja Rangga cepat menjatuhkan diri untuk menghindar. Dan secara tak sengaja, sebelah kakinya menghantam sebuah batu yang mencuat satu jengkal dari permukaan tanah.

Grek... Greg...!

Siut!

Begitu salah satu bagian dinding gua bergeser, saat itu juga belasan anak panah melesat ke arah Rangga. Pemuda ini terkejut, namun untungnya dalam keadaan rebah di tanah. Sehingga, tubuhnya terhindar dari terjangan anak-anak panah.

“Gila! Tempat ini sekaligus merupakan perangkap. Kalau saja aku dalam keadaan berdiri pasti telah disate!” desis Pendekar Rajawali Sakti seraya bangkit berdiri dengan helaan napas lega.

Kemudian dengan hati-hati Pendekar Rajawali Sakti melangkah masuk ke dalam dinding gua yang tadi sedikit bergeser. Di situ terdapat sebuah terowongan yang diterangi beberapa buah obor tertancap di dinding. Sulit ditaksir, berapa panjang terowongan. Karena jauh di depannya, keadaan amat gelap. Terowongan itu sendiri tidak terlalu luas. Lebarnya kira-kira dua kali tubuhnya. Dan Rangga sendiri mesti sedikit membungkuk, saat memasukinya. Namun baru beberapa langkah memasuki terowongan ini....

“Siapa?!”

Tiba-tiba terdengar bentakan keras di ujung lorong. Rangga terdiam sebentar. Sulit baginya untuk bersembunyi. Suara itu berasal dari bagian ujung lorong yang gelap. Sedang dia berada di tempat terang. Seseorang pasti telah mengetahui dan sejak tadi memperhatikannya.

“Siapa?!” Kembali terdengar bentakan.

“Aku...,” sahut Rangga.

“Siapa namamu?!”

“Rangga....” Sambil berkata begitu. Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah mendekati. Tapi baru saja sampai di bagian yang gelap, pintu di belakangnya bergeser dan kembali menutup. Rangga terkejut, langsung menoleh.

Siuuut!

Saat itu dari arah depan terasa angin kencang bersiur ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Hei?!” Rangga kembali memandang ke depan. Dan betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, melihat belasan anak panah meluncur ke arahnya. Kali ini tidak ada jalan lagi baginya untuk menghindar. Dengan kuda-kuda kokoh, Rangga cepat menghentakkan kedua tangannya.

“Aji ‘Bayu Bajra’.... Yeaaah...!”

Wuss...!

Trak! Traak!

Saat itu juga anak-anak panah yang meluncur berpentalan ke segala arah, tersapu ajian ‘Bayu Bajra’ yang dikeluarkan Rangga. Tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat menghampiri ujung lorong. Kali ini tidak ada anak panah yang meluncur menghalangi geraknya.

Pada saat berkelebat, pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti yang tajam melihat sesosok bayangan bergerak gesit ke bawah. Secepat kilat Rangga melompat dan mengejar. Tanpa disadarinya dia telah berada dalam sebuah ruangan yang cukup besar di perut bukit. Ujung terowongan itu sendiri berada agak di atas.

“Berhenti kau!” bentak Pendekar Rajawali Sakti, seraya mencelat dan persis melayang di atas orang yang tengah dikejarnya.

Set!

Mendadak orang yang dikejar mengebutkan tombak. Namun secepat itu pula Rangga menarik kakinya yang terjulur. Begitu serangan lewat, dengan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’ Pendekar Rajawali Sakti kembali meluruk hendak melanjutkan serangan.

Wesss!

Tapi selarik cahaya keperakan melesat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiiih!” Saat itu juga Rangga menghentakkan kedua tangannya dengan pengerahan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’.

Wess...!

Seketika sinar merah membara melesat, memapak luncuran sinar keperakan yang menuju ke arahnya. Dan....

Jdeer!

Terjadi benturan dahsyat, membuat perut bukit ini terasa bergetar seperti dilanda gempa. Pada saat yang sama, sosok bayangan tadi telah kembali berkelebat, dan masuk ke dalam lorong lain. Lalu....

Gregg...!

“Hei?!” Rangga terkejut bukan main melihat salah satu dinding gua yang lain terbuka hendak menutup kembali. Sekali dia berkelebat cepat, berusaha menembus celah dinding yang sebentar lagi tertutup rapat.

“Uts!”

Greg!

Tepat saat Pendekar Rajawali Sakti melewati, maka dinding gua itu merapat kembali. Tubuhnya berjumpalitan beberapa kali, lalu hinggap di atas sebuah batu besar. Dan ternyata, kini dia telah berada di luar, pada salah satu tebing Bukit Tengger. Sementara buruannya lenyap entah ke mana, hilang seperti ditelan bumi.

“Kurang ajar...!” dengus Rangga geram.

Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang telah sangat tinggi, Pendekar Rajawali Sakti melompat dari satu tempat ke tempat lain. Dikitarinya tempat itu untuk mencari buruannya. Namun tidak juga kunjung didapat. Setelah sekian lama tidak juga menemukan tanda atau jejak buruannya, Rangga melangkah penuh kecewa meninggalkan tempat itu.

“Eh...?!” Nyaris saja Rangga terkejut, ketika Ki Sudira tahu-tahu muncul dari balik semak-semak.

“Ah, syukurlah! Aku mencari-carimu ke mana-mana. Kukira kau tersesat!” desah Ki Sudira.

Rangga memperhatikan laki-laki gemuk itu sesaat dengan tatapan curiga. Diperhatikan kedua bahu serta hela napas Ki Sudira.

“Dari mana saja kau?” tegur Ki Sudira, memotong dugaan Rangga. Dan memang bahu serta hela napas laki-laki gemuk itu tidak memburu kencang, seperti orang yang habis berlari. Berarti Ki Sudira memang bukan orang yang dimaksud.

“Oh, ini... jalan-jalan sebentar.”

“Kau tentu tidak macam-macam dengan tempat itu, bukan?”

“Ah, tidaaak.”

“Aku khawatir terjadi apa-apa denganmu. Itulah sebabnya aku kembali lagi menyusulmu. Kucari ke tempat tadi, ternyata kau tak ada. Lalu, kuputuskan kembali ke tempat ini dan mengitarinya,” jelas Ki Sudira, menepis kecurigaan Rangga yang tersirat dari tatapan matanya.

“Ah, aku jadi merepotkanmu saja, Ki...!”

“Ah, tidak. Eh, ngomong-ngomong sepertinya kau tengah mengejar seseorang atau apa?” tebak Ki Sudira.

“Hm, ya. Kau melihatnya, Ki?”

“Astaga!” Orang tua bertubuh gemuk ini terkejut. Buru-buru ditariknya lengan Rangga dan diajaknya meninggalkan tempat ini secepat mungkin.

“Ada apa, Ki?” tanya Rangga tenang ketika mereka telah jauh dari kawasan itu.

“Kau yakin tidak mengacak-acak tempat itu?” Ki Sudira malah balik bertanya.

“Tempat apa?” tanya Rangga lagi.

“Gua itu tentunya!”

“Tidak.”

“Dan orang yang kau kejar itu siapa?”

“Aku tak tahu. Dia muncul tiba-tiba saja, kemudian memanahku. Dan saat kukejar, dia kabur dan menghilang. Kau melihatnya, Ki?”

“Tidak! Tapi kau perlu waspada.”

“Kepada siapa?”

“Jangan-jangan itu adalah siluman penunggu bukit ini!” sahut Ki Sudira dengan wajah meyakinkan.

Rangga tersenyum. “Aku sungguh-sungguh, Rangga! Jangan anggap enteng persoalan ini!” seru orang tua gemuk itu meyakinkan.

“Ya, aku juga menganggapnya demikian.”

“Sebaiknya kau jangan dekat-dekat di bukit itu lagi. Berbahaya! Masih untung kau selamat,” ujar Ki Sudira, mengingatkan.

“Ya,” sahut pemuda itu, sekadar melegakan hati Ki Sudira.

Meski begitu, Ki Sudira agaknya masih belum puas. Hatinya masih terus dihantui perasaan takut dan cemas. Bukan saja terhadap nasib pemuda ini, tapi juga nasib keluarganya. Dan selama Rangga ada di rumahnya, maka Ki Sudira tidak yakin kalau pemuda ini akan patuh pada larangannya agar tidak mengusik gua itu lagi. Tapi mengusir Rangga pun, dia tidak sampai hati. Karena, Rangga telah berjasa padanya.

Dan Rangga bukannya tidak mengerti. Sikap Ki Sudira mencurigakan. Dan dari paras mukanya, bisa ditafsirkan kalau Ki Sudira tidak menghendakinya berlama-lama di sini. Khususnya, di rumahnya sendiri.

“E, maaf, Ki. Kalau kau tak keberatan aku akan langsung pergi saja. Jadi aku tidak mampir ke rumahmu dulu,” ucap Rangga ketika sebentar lagi memasuki Desa Legowo tempat tinggal Ki Sudira.

“Baiklah, Rangga. Kalau itu maumu,” sahut Ki Sudira, tak terkesan ingin menahan. Dan Rangga cukup menyadarinya.

“Maaf, telah merepotkanmu, Ki....”

“Ah, tidak mengapa. Justru aku yang telah merepotkanmu!” sahut Ki Sudira dengan senyum lega. “Hati-hati di jalan. Dan, jaga dirimu baik-baik.”

********************

TIGA

“Oh, Ki Sepuh! Ada apa gerangan? Silakan duduk.”

Ki Sudira sedikit terkejut ketika melihat kehadiran Ki Sepuh di ruang tamunya, pada malam hari seperti ini. Laki-laki tua yang menjabat pemuka adat serta kepercayaan di Desa Legowo ini mengangguk pelan dan duduk dengan tenang. Sementara, jantung Ki Sudira terus berdetak semakin kencang pertanda gelisah dengan hati penuh dengan tanda tanya. Bukan hal yang lazim kalau Ki Sepuh datang ke tempatnya.

“Kudengar kau mengundang seorang tamu?” tanya Ki Sepuh dengan tatapan menyelidik.

“Eh! Benar, Ki!” sahut Ki Sudira pendek.

“Tamu itu tentunya bukan orang sembarangan?” duga Ki Sepuh.

“Kelihatannya begitu.”

“Apa maksudmu?”

“Tidak ada maksud apa-apa, Ki Sepuh. Dia menolongku subuh tadi ketika pedatiku nyaris terjerumus ke jurang. Lalu dia kuajak kemari sekadar menghirup kopi dan makan singkong rebus. Apakah itu perbuatan salah?” tanya Ki Sudira, polos.

“Aku bisa merasakan kalau tamumu membawa bencana bagi kita!” desis Ki Sepuh, menyentak Ki Sudira.

“Bencana, Ki? Bencana apa?!” tanya Ki Sudira, tercekat.

“Dia coba mengusik keberadaan penghuni bukit itu!” papar Ki Sepuh langsung.

“Astaga! Bagaimana mungkin? Aku telah memberitahukan agar dia tidak macam-macam. Apa yang telah dilakukannya?”

“Dia telah memasuki gua terlarang dan mengusik penghuninya!”

“Astaga!” Kekagetan Ki Sudira semakin menjadi saja mendengar keterangan itu. “Bocah itu akan celaka! Padahal aku telah memperingatkannya.”

“Mana tamumu itu?”

“Dia sudah meninggalkan tempat ini. Sebenarnya, aku pun khawatir. Pemuda itu sepertinya ingin mengetahui semuanya. Oleh sebab itu, aku tidak berani menahannya berlama-lama di sini,” sahut Ki Sudira menjelaskan.

“Bagus! Tindakanmu sudah tepat!” sambut Ki Sepuh, sedikit cerah.

“Eh! Apa..., apakah pemuda itu akan kualat dan terkena bencana, Ki Sepuh?” tanya Ki Sudira, takut-takut.

“Tentu saja! Setiap orang yang coba-coba mengusik keberadaan penghuni Bukit Tengger, akan dikutuk!” jawab Ki Sepuh, meyakinkan.

“Dan..., apakah kami pun terkena getahnya?” tanya Ki Sudira, penuh kekhawatiran.

Ki Sepuh tidak langsung menjawab. Dipandanginya laki-laki gemuk ini dengan seksama. “Kau tidak ikut campur dalam perbuatannya, bukan?”

“Tentu saja tidak! Mana aku berani.”

“Itu berarti, kau tidak ikut campur dan tidak terkena getah perbuatannya sendiri.”

Wajah laki-laki gemuk itu jadi lega mendengar jawaban Ki Sepuh.

“Kalau dia datang ke sini, maka kau tidak boleh menerimanya. Kau tahu, dia akan membawa bencana yang lebih besar bagi desa kita? Mengerti?” ujar Ki Sepuh.

“Eh! Iya..., iya!” sahut Ki Sudira, langsung.

“Bagus! Sekarang aku pergi dulu,” lanjut Ki Sepuh, seraya beranjak meninggalkan tempat ini.

Sepeninggal Ki Sepuh, istri Ki Sudira tergopoh-gopoh menghampiri suaminya.

“Ada apa, Kang? Kudengar tamu kita itu membawa bencana?!” tanya Ki Sudira.

“Begitulah menurut Ki Sepuh...,” desah Ki Sudira.

“Aduh, celaka kita! Di mana pemuda itu sekarang?” keluh Nyi Sudira. Wajahnya tampak cemas.

“Sudah pergi,” kata Ki Sudira, lirih.

“Betul-betul sudah pergi?! Kakang usir?”

“Tidak. Dia pergi sendiri.”

“Syukurlah. Eh! Sebenarnya, bencana apa yang dibuat pemuda itu?” tanya Nyi Sudira penuh rasa ingin tahu.

“Dia telah memasuki gua terlarang itu,” jawab Ki Sudira, pendek.

“Astaga! Sungguh gila anak itu. Apa dia tak takut mati?!”

Ki Sudira terdiam. Ucapan istrinya menggugah pikirannya. Sekaligus membuatnya heran.

“Biasanya, orang akan mati kalau berani memasuki pintu gua. Tapi pemuda itu malah ke dalam dan..., dia masih segar-bugar,” ucap Ki Sudira seperti pada diri sendiri.

“Sudah! Jangan persoalkan hal itu. Yang penting, dia tidak boleh berada di rumah kita! Kau harus ingat, Kang. Kita punya dua anak perempuan. Aku tidak mau mereka celaka karena pemuda itu!” tegas Nyi Sudira.

Laki-laki setengah baya itu diam saja tak menjawab.

“Kang! Kau dengar kataku, kan? Kalau pemuda itu masih di sini, dia akan membawa bencana bagi kita!” tambah Nyi Sudira, penuh kekhawatiran.

“Iya, ya...!” sahut Ki Sudira ragu.

Hati Ki Sudira sebenarnya tidak tega untuk menjawab. Bagaimanapun, pemuda itu bukan orang jahat. Hanya saja keinginannya bisa mencelakakan. Bukan hanya kepada dirinya sendiri, tapi juga kepada orang lain.

********************

Ki Sepuh melangkah pelan memasuki rumahnya, yang sederhana namun cukup terawat. Wajahnya kelihatan tegang dengan pandangan lurus ke depan. Di halaman rumahnya yang berpagar tinggi, seseorang menyambutnya dengan membungkuk.

“Ada tamu untukku, Tumang?” tanya Ki Sepuh.

“Tidak, Ki,” sahut pemuda yang dipanggil Tumang.

“Hm... ya, sudah. Kunci pintunya kembali,” perintah laki-laki tua ini.

“Baik, Ki.”

Orang tua itu tak banyak bicara lagi. Kakinya terus melangkah masuk ke dalam ruang tamunya. Disambarnya cangkir di meja lalu diteguknya sebentar. Kemudian dia terus masuk ke kamar.

Ruangan ini kosong tanpa perabotan. Bau kemenyan segera menyengat penciuman. Tak ada penerangan. Dan ini memang sengaja dibiarkan begitu oleh Ki Sepuh. Dan baru saja Ki Sepuh membungkuk hendak duduk bersila di depan pedupaannya....

“Kaukah yang bernama Ki Sepuh?”

Mendadak terdengar suara menyapa, nyaris membuat orang tua itu melompat keluar. Namun Ki Sepuh berusaha menguatkan hatinya. Dicobanya menegaskan pandangan seraya menatap lurus ke depan. Pada salah satu pojok ruangan, terlihat satu sosok orang tengah duduk bersila. Wajahnya tidak terlihat jelas. Namun di punggungnya terlihat gagang pedang yang menyembul ke atas.

“Siapa kau?! Lancang betul memasuki ruanganku!” bentak Ki Sepuh geram.

“Kudengar kau mendatangi tempat Ki Sudira. Kau mengancamnya?” tanpa mempedulikan bentakan Ki Sepuh, orang itu malah balik bertanya.

“Aku tidak akan menjawab pertanyaan orang yang tak kukenal!” sahut orang tua itu tegas.

“Kau tak perlu mengenalku. Sebab, kau hanya perlu menjawab!” balas sosok itu.

“Kau tidak akan mendapat jawaban apa pun dariku! Ini tempatku. Dan aku bisa berbuat apa pun di sini. Keluarlah, sebelum kau celaka!” gertak Ki Sepuh, mendengus tajam.

Didalam kegelapan, sosok itu tersenyum dingin. Kemudian, perlahan dia bangkit. Namun, tetap berada di tempatnya semula. “Aku menunggu ancamanmu. Dan setelah itu, maka kau akan melihat bahwa aku pun bisa berbuat sesuka hatiku padamu!” balas sosok itu tak kalah gertak.

“Siapa kau sebenarnya. Dan, apa maumu?!” desis Ki Sepuh.

Suara orang tua ini bergetar penuh ketakutan. Paling tidak, disadari kalau dia tak akan mampu berbuat apa-apa selain berteriak. Dan sebelum itu dilakukan, sosok ini bisa saja membunuhnya.

“Sudah kukatakan dari tadi, kau tak perlu tahu siapa diriku. Aku hanya ingin kau menjawab beberapa pertanyaan yang kuajukan!” sergah sosok ini, penuh tekanan.

“Pertanyaan apa?” tanya Ki Sepuh.

“Kenapa kau menakut-nakuti Ki Sudira?”

“Aku tidak menakut-nakutinya.”

“Apa hubunganmu dengan siluman bukit itu?”

“Tidak ada. Aku hanya sekadar membawakan upacara.”

“Kalau begitu, bagaimana kau tahu bahwa tamu Ki Sudira memasuki gua itu. Padahal, kau telah lebih dulu pulang?” ucap sosok ini, menyudutkan Ki Sepuh.

Ki Sepuh terdiam. Tubuhnya kelihatan mulai gemetar. Dan keringat dingin keluar pelan-pelan dari pori-porinya.

“Jawab pertanyaanku!” desak sosok itu, penuh tekanan dan ancaman.

“Eh! Aku..., aku hanya kebetulan tahu saja,” kilah Ki Sepuh.

“Tidak mungkin!”

“Sungguh! Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan penghuni bukit itu.”

“Kau tahu? Aku bisa saja menghancurkan gua itu. Tapi, itu tidak kulakukan. Dan itu berarti, aku tidak takut sedikit pun pada siluman keparat yang kalian takuti!” tandas sosok itu.

“Kau..., kau tamu Ki Sudira?” tanya Ki Sepuh tergagap.

“Kau tak perlu tahu!”

“Entah siapa pun kau, sebaiknya pergilah dari desa ini. Mungkin saja kau berani. Tapi, kami di desa ini amat ketakutan. Karena, kami yang nantinya menjadi korban....”

“Kau tidak perlu mewakili orang-orang desa. Kau tidak punya istri, apalagi anak. Siluman itu hanya menginginkan perawan belasan tahun, sehingga kau tidak perlu kehilangan seseorang yang kau kasihi. Oleh karena itu, kau tidak akan merasakan kesedihan yang berkepanjangan seperti mereka yang kehilangan putrinya. Dan kau malah menjadi penghubung antara mereka dengan siluman jahanam itu. Kau sungguh terkutuk dan biadab. Orang Tua! Sekarang, katakan padaku! Siapa siluman itu?! Dan, di mana dia sekarang?!” ujar sosok itu, makin menyudutkan.

“Eh! Aku..., aku sungguh-sungguh tidak bisa mengatakan apa-apa padamu,” sahut Ki Sepuh, serba salah.

“Bukan berarti kau tidak tahu, bukan? Kalau kau terus melakukan persekongkolan ini, berarti sama biadabnya dengan siluman itu. Kau telah menjerumuskan orang-orang desa!”

“Tidak! Itu tidak benar. Aku hanya sekadar menjalankan tugas!” sangkal orang tua itu.

“Tugas apa?! Ikut membantu menyengsarakan penduduk desa ini?! Dosamu terus bertambah. Orang Tua! Kau tidak punya harga diri! Demi sepotong nyawamu yang tak berharga, kau relakan penduduk desa ini diliputi ketakutan. Tapi meski bagaimana pun, aku akan menyingkap semua tabir yang menyelimuti desa ini. Akan kutangkap siluman keparat itu!” desis sosok itu, mantap.

Baru saja kata-kata sosok ini selesai, pada saat itu juga tubuhnya melesat ke atas secepat kilat. Dan tubuhnya langsung menembus genteng rumah Ki Sepuh yang sudah terbuka. Bahkan genteng itu kembali tersusun seperti semula!

“Hhh....” Ki Sepuh menghela napas lega. Dengan tingkat kepandaian seperti itu, sosok tadi memang tidak bisa dianggap enteng. Ki Sepuh bisa celaka, kalau orang itu bersungguh-sungguh membuktikan ancamannya.

********************

Malam semakin pekat menyelimuti Desa Legowo ini. Dan gerimis turun pelan-pelan, seperti meratapi tingkah manusia yang berbuat nista dengan segala tindak-tanduknya. Dari kejauhan terdengar lolongan serigala. Dalam keadaan begini, tak seorang pun penduduk desa yang berani keluar rumah. Sehingga keadaan betul-betul sunyi dan mencekam!

Ki Sudira duduk di ruang depan sambil mengisap rokoknya dalam-dalam. Wajahnya kusut dan keruh diliputi ketegangan. Kelihatan kalau hatinya tidak tenang. Pikirannya memang gelisah, sejak Ki Sepuh datang tadi. Dan perasaan was-was terus berkecamuk. Sebentar-sebentar dia bangkit dari kursi dan melihat keadaan istri dan kedua putrinya. Dan ketika keadaan mereka baik-baik saja, kembali dia bergerak ke tempat semula. Meski begitu, hatinya tetap belum tenang. Entah kenapa, sepertinya laki-laki itu merasa sesuatu akan terjadi padanya. Atau....

Wut!

“Eh!” Ki Sudira tersentak kaget. Entah, apakah pandangan matanya yang salah lihat. Namun dia merasakan ada sesuatu yang berkelebat bagai angin dari arah samping, melintas di depan rumah. Kebetulan, pintu ruang depannya sedikit terbuka. Dengan hati-hati orang tua itu beranjak ke pintu dan coba mengintip.

“Hmmm...!”

“Ohh!” Saat itu juga jantung Ki Sudira bagai berhenti berdetak. Keluhan tertahan langsung keluar dari mulutnya, ketika mendengar deheman halus dari belakang. Dan seketika tubuhnya berbalik. Paras wajahnya langsung berubah pucat, begitu melihat sesosok tubuh berdiri. Sekujur tubuh sampai kepala ditutupi kain hitam. Tidak mudah baginya untuk bisa mengetahui wajah orang itu. Dan tak habis mengerti, bagaimana orang di depannya masuk ke dalam rumahnya secepat itu. Kalau dari belakang rumahnya, kenapa tidak terdengar suara apa-apa?

“Si... siapa kau...?!” tanya Ki Sudira tergagap.

“Jangan ribut! Atau, kau mati sekarang!” ancam sosok itu.

“Ohh!” Mendengar ancaman ini kesadaran Ki Sudira semakin melemah saja. Semangatnya terbang entah ke mana. Terbayang sudah malapetaka yang akan menimpanya. Dan tanpa sadar, orang tua itu jatuh terduduk di lantai.

“Siapa pun adanya kau, ampunilah aku. Aku..., aku tidak bersalah apa-apa. Aku..., tidak ikut campur dalam persoalannya,” sahut Ki Sudira terbata-bata.

“Kau bersalah, Sudira! Kau telah memasukkan orang asing ke dalam desa kita. Untuk itu, kau mesti berhadapan dengan penghuni Bukit Tengger untuk mempertanggung-jawabkannya!” tandas sosok berselubung kain hitam, penuh tekanan.

“Oh, tidak. Tidak. Kasihanilah aku. Aku betul-betul tidak ikut campur dalam persoalannya. Kenapa kalian memojokkanku? Kalau memang dia bersalah, maka itu urusannya. Seharusnya dia yang kalian cari. Bukan aku,” ratap Ki Sudira, belingsatan.

Baru saja selesai kata-kata Ki Sudira... “Dia memang tidak bersalah. Aku yang ingin tahu, siapa kau sesungguhnya. Kepadakulah kau berurusan!”

“Hei?!” Sebuah suara mendadak terdengar, membuat orang berselubung kain hitam dan Ki Sudira tersentak kaget. Dan belum habis kaget mereka, sekonyong-konyong dari atas atap ruang depan ini meluncur satu sosok bayangan, dan mendarat empuk di lantai.

“Rangga?!” seru Ki Sudira, begitu tahu siapa yang datang.

Sosok yang baru saja mendarat memang Rangga yang terkenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Memang setelah menyatroni rumah Ki Sepuh, Rangga seperti mendapat firasat kalau keselamatan Ki Sudira terancam. Makanya secara diam-diam, dia langsung ke tempat ini.

“Jangan khawatir, Ki. Tidak akan kubiarkan siluman terkutuk ini memperlakukanmu seenak perutnya!” dengus pemuda berbaju rompi putih itu.

“Eh, Rangga.... Tapi, lebih baik kau tidak usah mencampuri urusan ini. Kami, eh! Aku tak ingin terlibat di dalamnya,” ujar Ki Sudira serba salah.

“Kau memang tidak terlibat, Ki. Maka tenang sajalah. Ini menjadi tanggung jawabku. Kalau memang dia berani mengajakku menemui siluman bukit itu, maka lebih baik lagi,” sahut Rangga disertai senyum.

Laki-laki gemuk itu jadi semakin bingung saja melihat kejadian ini. Dipandangnya Rangga dan sosok berselubung kain hitam itu bergantian. Dan perlahan-lahan tubuhnya menepi untuk menghindari hal-hal yang ditakutkan.

“Kini aku ada di hadapanmu. Kenapa buang-buang waktu? Ayo, tangkaplah dan serahkan pada majikanmu” kata Rangga, tenang pada sosok berselubung kain hitam.

“Kau akan celaka karena menentang kami. Bocah!” desis orang berselubung kain hitam itu dengan nada mengancam.

“Tidak usah banyak bicara. Kau tidak akan berhasil menakut-nakutiku. Lakukan saja, apa yang ingin kau lakukan kepadaku!” tukas Rangga lantang.

“Huh! Sebaiknya lekas pergi dari desa ini, sebelum kau celaka dan tak sempat menyesal!” desis sosok itu, sarat ancaman.

Kening Rangga berkerut, namun lantas tersenyum manis. Tak ada rasa gentar sedikit pun dalam hatinya. Sebagai seorang pendekar, sudah sering dia mendapat ancaman seperti ini.

“Sudah kukatakan, kau tidak akan berhasil menakut-nakutiku. Dan aku tak akan menyesal berhadapan denganmu. Nah, bagaimana kalau kau kutunggu di luar. Rasanya di tempat ini cukup sempit,” ujar Rangga kalem, seraya melangkah mendekati pintu tempat Ki Sudira tadi mengintip.

Di depan pintu Pendekar Rajawali Sakti berhenti. Dia berdiri di ambang pintu, ketika menyadari orang berkerudung itu belum juga beranjak dari tempatnya.

“Kenapa? Kau tak jadi menangkapku? Siluman macam apa kau ini? Atau barangkali kau hanya pengecut yang hanya berani kepada penduduk yang tidak berdaya?!” ejek pemuda itu berusaha memanas-manasi.

“Kurang ajar!” Begitu selesai menghardik, orang berselubung hitam itu menghentakkan tangannya. “Hiiih!”

Wesss...!

Saat itu juga dari telapak tangan orang itu meluruk secarik cahaya keperakan mengancam keselamatan Pendekar Rajawali Sakti.

“Uts!” Namun hanya memiringkan tubuh sedikit, Pendekar Rajawali Sakti membuat pukulan itu luput dari sasaran.

“Sasaranmu masih jauh. Hm..., aku tahu. Kau yang berada di dalam gua itu. Pukulan itu persis sama!” lanjut Rangga.

Orang berselubung kain hitam itu tidak menyahut. Seketika tubuhnya meluruk menerjang Pendekar Rajawali Sakti.

“Heaaa...!”

“Hup!” Namun cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mencelat keluar dengan berjumpalitan, menjauhi serangan. Dan agaknya, sosok berselubung kain hitam ini tidak memberi kesempatan sedikit pun pada pemuda itu. Langsung dikejarnya Pendekar Rajawali Sakti sambil melepaskan serangan bertubi-tubi.

“Yeaaa!”

Namun dengan pengerahan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, mampu menghindari setiap serangan.

“Hm.... Boleh juga. Tidak heran kalau kau berminat menjadi siluman!” kata Rangga, ketika baru saja menghindari sebuah serangan.

“Tahu apa kau tentang Siluman Bukit Tengger? Kau tidak punya derajat bertemu dengannya!” dengus orang berselubung kain hitam itu.

“Aku pun tak berminat bertemu jahanam pemetik bunga sepertinya. Kecuali, bila dia segera menghentikan perbuatannya...! Dengan terpaksa aku harus melenyapkannya!” tandas Pendekar Rajawali Sakti.

“Keparat! Mulutmu kelewat sombong.-Dan aku terpaksa harus merobeknya lebih dulu, sebelum memecahkan batok kepalamu!” dengus sosok berselubung kain hitam itu.

Tanpa banyak bicara lagi, orang berselubung kain hitam itu menyerang gencar, seolah ingin membuktikan ucapannya secepat mungkin.

“Uts!” Saat itu juga, pertarungan sengit terjadi dan tak terelakkan lagi. Sampai saat ini. Pendekar Rajawali Sakti hanya mengerahkan jurus-jurus pembuka dari lima rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’.

“Hup!”

EMPAT

Ki Sudira terpana melihat pertarungan antara Rangga dengan orang berselubung kain hitam yang ternyata anak buah dari Siluman Bukit Tengger. Walaupun tidak jelas wajahnya, namun kepandaiannya hebat. Sementara pemuda yang telah menolongnya itu pun tak kalah hebat. Kini keduanya bertarung sengit dan masih kelihatan seimbang. Belum jelas betul, siapa yang jadi pemenangnya.

Pada saat itu, istri dan kedua anak Ki Sudira yang mendengar keributan sudah terjaga, dan ikut berkumpul. Wajah mereka tampak cemas. Apalagi melihat pertarungan itu.

“Ada apa. Kang. Apa yang terjadi? Siapa mereka?” bisik wanita setengah baya bertubuh tambun, istri Ki Sudira dengan suara bergetar ditekan rasa takut.

“Seseorang muncul dan mengancamku,” sahut Ki Sudira, juga dengan suara bergetar.

“Siapa?” tanya Nyi Sudira lagi.

Ki Sudira menggeleng lemah.

“Lalu, siapa yang seorang lagi?” cecar perempuan bertubuh tambun ini.

“Pemuda itu. Entah dari mana datangnya. Tiba-tiba saja dia muncul dan menyelamatkanku,” jelas Ki Sudira.

“Pemuda yang tadi menjadi tamu kita?”

Laki-laki gemuk ini mengangguk.

“Apa..., orang yang mengancammu tadi ada hubungannya dengan perbuatan pemuda itu? Eh! Maksudku, dia..., penghuni bukit itu...?” tanya perempuan ini, takut-takut.

“Mungkin saja.”

“Aduh! Celaka kita. Kang!”

Ki Sudira terdiam. Dia mengerti, apa yang dipikirkan istrinya saat ini. Tidak jauh beda dengan yang dipikirkannya.

“Kau harus berbuat sesuatu!” ujar Nyi Sudira kelihatan mulai gelisah.

“Aku harus berbuat apa? Memisahkan mereka? Gila! Bisa mati dihajar salah seorang!” rungut Ki Sudira.

“Pokoknya, kita harus berbuat sesuatu. Keadaan kita terancam. Dan Siluman Bukit Tengger akan terus mengancam kita. Bahkan tidak mustahil akan membunuh kita semua!” desak Nyi Sudira.

Laki-laki setengah baya itu terdiam karena bingung. Dia tidak tahu harus berbuat apa.

“Ayo, Kang! Jangan diam saja!” desak perempuan tambun ini lagi.

“Apa yang harus kulakukan?” Ki Sudira malah bertanya.

“Apa saja! Bahkan, kalau perlu pindah dari desa ini!” sahut Nyi Sudira, mantap.

“Pindah malam-malam begini? Gila! Kau mencari penyakit. Kita tidak akan selamat melewati perbatasan!” sergah Ki Sudira dengan mata melotot.

“Dari pada harus mati di sini tanpa usaha?”

“Tidak. Kita harus tetap di sini, dan menghadapi apa pun yang akan terjadi.”

“Kau akan mengorbankan kami?”

“Jangan berprasangka buruk. Mana mungkin aku mengorbankan kalian. Kita harus tenang dan mencari jalan keluar sebaik-baiknya.”

Baru saja Ki Sudira berkata begitu mendadak....

“Aaa...!” Terdengar teriakan kesakitan. Suami istri itu terkejut, dan serentak menoleh ke arah pertarungan di luar sana.

Tampak orang berselubung kain hitam itu terjungkal ke belakang. Selubung kepalanya telah tersingkap. Tampak jelas kalau orang itu adalah laki-laki. Namun, Ki Sudira tidak bisa mengenali. Selain jarak pertarungan cukup jauh ciri-ciri laki-laki ini tidak dikenalinya pula. Paling tidak, tak ada yang mirip dengan penduduk desa ini yang rata-rata dikenalnya.

“Hm.... Kukira tampangmu seram dengan kedua caling di sudut bibirnya. Ternyata wajahmu jauh dari menyeramkan!” ejek Rangga sambil memandang lawannya yang berkulit sawo matang.

Laki-laki ini berusia sekitar empat puluh tahun. Rambutnya keriting kecil dan agak pendek. Sepasang matanya agak sipit dengan cuping hidung besar. Raut wajahnya tidak enak dipandang, apalagi ditambah bibirnya yang tebal.

“Tunjukkan padaku, di mana gadis-gadis itu kau bawa?!” lanjut Pendekar Rajawali Sakti seraya perlahan mendekati laki-laki itu dengan sikap mengancam.

Set!

Tiba-tiba saja laki-laki yang berpakaian juga serba hitam ini mencabut pisau dengan sikap menantang. Matanya membuka lebar dengan senyum sinis.

“Kau tidak akan bisa memaksaku!” dengus laki-laki itu.

“Sudahlah, Kisanak. Aku bisa membuatmu lebih dari ini. Atau barangkali kau ingin mencobanya?” ujar Rangga, enteng.

“Jangan merasa menang dulu, Keparat! Karena, kau tidak akan mendapatkan apa-apa dariku!”

Baru saja kata-kata orang berpakaian serba hitam ini habis, mendadak....

“Hiiih!” Saat itu juga, laki-laki ini menghadapkan ujung pisaunya ke perutnya sendiri. Lalu....

“Heh?!”

Crap!

“Aaakh...!”

Rangga terkejut setengah mati. Menurut pikirannya, pisau di tangan laki-laki itu akan digunakan untuk melawannya. Tapi di luar dugaan, justru dihunjamkan ke dadanya sendiri, dan tepat menembus jantungnya.

“Kau tak akan mendapat apa-apa...,” kata laki-laki itu sambil tersenyum mengejek.

Tubuh orang yang mengaku sebagai anak buah Siluman Bukit Tengger ini berlumur darah. Sebentar dia terhuyung-huyung lalu ambruk. Nyawanya melayang beberapa saat.

Rangga hanya bisa tertegun memandangi anak buah Siluman Bukit Tengger ini. Pemuda itu melirik sekilas, ketika terdengar suara langkah mendekati. Ternyata yang datang Ki Sudira. Mata laki-laki gemuk itu terus memandangi mayat orang yang tadi mengenakan selubung kain hitam.

“Kau kenal dengannya, Ki?” tanya Rangga.

Ki Sudira menggeleng lemah.

“Tapi dari sini kau mesti sadar kalau pengikut Penghuni Siluman Bukit Tengger adalah manusia. Sama seperti kita. Bukan siluman atau apa pun yang bisa bergentayangan seenaknya,” ujar Rangga, sedikit memberi nasihat.

“Ya! Kau benar. Rangga....”

“Dan aku berani menjamin, bahwa orang ini tidak sendiri. Masih ada lagi kawan-kawannya yang kemungkinan besar termasuk di dalamnya adalah penduduk desa ini juga,” tambah Rangga.

“Penduduk desa ini?” Ki Sudira malah bertanya dengan kening berkerut.

“Ya!”

Ki Sudira tertegun. Dipandanginya lagi mayat itu. Lalu kepalanya berpaling pada Pendekar Rajawali Sakti.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang, Rangga?” tanya laki-laki gemuk ini, bingung.

“Aku tetap pada pendirianku, bahwa semua ini akan kusingkap. Dan, biang keladinya harus ditangkap!” tandas Pendekar Rajawali Sakti, mantap.

Kembali laki-laki bertubuh gemuk itu tertegun. Dia mulai sependapat dengan pemuda itu. Toh, untuk saat ini siapa yang bisa menjamin keselamatan keluarganya? Padahal, pemuda ini telah terbukti menyelamatkannya beberapa kali. Jadi jelas Rangga menunjukkan itikad baiknya.

“Bagaimana? Aku tidak meminta dukungan kalau kau takut, Ki. Tapi kejadian ini mulai hangat, dan sebentar lagi merebak. Telah terbukti bahwa meski kau tidak ikut campur, tetap saja disalahkan. Kenapa tidak sekalian saja ikut campur? Toh, kalau kita mau jujur, rasanya tidak akan ada dari semua penduduk desa yang menginginkan keadaan ini. Mereka kelihatan hidup damai, namun sesungguhnya diselimuti ketakutan,” papar Rangga memberi pengertian:

Ki Sudira mulai mengangguk pelan. Dibenarkannya kata-kata Pendekar Rajawali Sakti.

“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?” ulang Ki Sudira dengan suara menggantung.

“Ingin kudengar dulu, di mana kau berpihak sekarang?” tanya Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku berpihak padamu,” sahut Ki Sudira, namun masih terdengar ragu.

“Sungguh?!”

Ki Sudira mengangguk mantap. Namun, seketika wajahnya tampak cemas dan khawatir.

“Kenapa? Ragu?” tanya Rangga.

“Tidak. Apa yang kau katakan memang benar, Rangga. Kita tidak bisa berdiam diri dan harus menyingkap tabir ini. Tapi....”

Ki Sudira tidak melanjutkan kata-katanya. Namun matanya melirik kepada istri dan kedua putrinya yang berdiri di ambang pintu rumah.

“Aku mengkhawatirkan mereka...,” desah laki-laki gemuk itu.

Rangga terdiam. Dia ikut merasakan apa yang tengah dipikirkan orang tua itu. Dan belum juga ada yang membuka suara lagi....

Set!

“Awas...! Hup!” Rangga berteriak lantang memperingatkan, ketika mendadak saja berkelebat sinar putih keperakan ke arah Ki Sudira. Secepat kilat, didorongnya tubuh laki-laki gemuk itu hingga jatuh berdebuk di tanah. Dan seketika itu pula tangannya bergerak.

Tap!

“Hih!” Begitu berhasil menangkap benda putih keperakan yang ternyata sebuah pisau. Pendekar Rajawali Sakti langsung melemparkannya kembali ke arah datangnya tadi.

Pisau itu tidak menemukan sasaran dan langsung menerobos kerimbunan sebuah pohon, karena satu sosok berpakaian serba hitam telah lebih dulu melenting, menghindarinya. Sosok yang ternyata juga berselubung kain hitam ini langsung melesat, meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti dengan pukulan bertubi-tubi.

“Uts!” Rangga membuang diri ke belakang, seraya melepaskan satu hantaman ke perut dengan kaki kanan. Namun orang itu agaknya cukup waspada. Serambut lagi kaki Pendekar Rajawali Sakti menuju sasaran, tangannya cepat bergerak menangkis.

Plak!

Begitu orang itu lewat di atas badannya, Rangga cepat bangkit berdiri dengan menjejakkan kedua tangannya yang menyentuh tanah.

“Hup!”

Namun baru saja bangkit, satu tendangan keras kembali meluncur, membuat Rangga terpaksa mencelat ke atas. Tapi begitu berada di udara, Pendekar Rajawali Sakti mendadak meluruk dengan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’ tingkat pertama. Begitu cepat gerakannya sehingga belum sempat orang itu berbalik, kibasan tangan Rangga telah mengancam. Dan....

Desss...!

“Akh...!” Orang berselubung kain hitam itu menjerit kesakitan begitu kibasan tangan Rangga mendarat di punggungnya. Tubuhnya terjungkal roboh, namun seketika bangkit tanpa menghiraukan rasa sakit.

Dan sebelum Rangga menyerang kembali, mendadak saja orang berselubung kain hitam itu memasukkan tangannya ke balik baju. Lalu seketika itu juga, tangannya bergerak mengibas ke depan.

Set!

Seketika, meluncur sinar putih keperakan mengancam keselamatan Rangga. Namun dengan gerakan cepat bagai kilat, pemuda itu menarik tubuhnya ke samping kiri dengan tangan kanan bergerak ke depan. Dan....

Tap!

“Hih...!” Begitu berhasil menangkap sinar putih keperakan yang ternyata pisau, dengan kecepatan luar biasa Rangga melemparkannya kembali disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Sehingga....

Wutt...!

Crass...!

Cres!

“Uhh...!” Orang berselubung kain hitam ini mengeluh tertahan. Bahu kirinya tergores pisau miliknya sendiri ketika berusaha menghindar. Dan belum sempat disadari apa yang terjadi....

“Hiyaaa...!” Dengan gerakan dahsyat Pendekar Rajawali Sakti berkelebat dengan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Dan seketika itu pula tangannya bergerak mengibas ke arah dada. Sehingga....

Dess!

“Aaa...!” Disertai jerit kesakitan, orang itu terpental deras ke belakang disertai semburan darah segar. Telak sekali kibasan tangan Rangga mendarat di dada, membuat orang itu tak bangun-bangun lagi begitu menyentuh tanah.

Sejenak Rangga menatap mayat bekas lawannya, lalu bergerak menghampiri Ki Sudira yang sudah berkumpul bersama istri dan anak-anaknya.

Tewasnya dua anak buah Siluman Bukit Tengger membuat Ki Sudira tidak bisa tidur. Terlebih bagi istri dan kedua putrinya. Sepanjang malam wajah mereka terus tegang ketakutan. Rasa kantuk yang tadi menyerang, seketika sirna. Ki Sudira sendiri tidak punya pilihan, selain mengajak Pendekar Rajawali Sakti untuk sementara waktu tinggal bersamanya. Peristiwa ini bisa berbuntut panjang. Dan bukan tidak mungkin, dia akan celaka. Maka lebih baik pemuda itu ada di antara keluarganya. Paling tidak, mereka bisa sedikit merasa aman.

“Apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Ki Sudira dengan suara serak, setelah berdiam diri bagai patung untuk beberapa lama.

“Menunggu pagi tentunya...,” sahut Rangga enteng.

“Bukan itu maksudku...,” sergah laki-laki gemuk ini.

“Tidak usah khawatir. Kedua mayat itu telah kubawa jauh dari rumahmu. Orang tidak akan mengira kalau keduanya terbunuh olehku. Kecuali, kalau kalian buka mulut,” tukas Rangga.

“Eh! Tentu saja kami tidak akan cerita kepada siapa pun!”

“Bagus. Biarkan orang-orang desa menduga sesuka hatinya. Nanti pun akan datang seorang utusan ke sini.”

“Seorang utusan? Apa maksudmu?” tanya Ki Sudira dengan kening berkerut, sarat dengan ketidakmengertian.

“Siluman itu ternyata tidak sendiri. Mungkin dia punya banyak kawan. Atau bahkan majikan. Salah seorang kawannya, atau entah berapa kawannya, bisa jadi melihat peristiwa itu. Dan mereka tidak ingin menunjukkan diri. Mungkin takut atau merasa perlu untuk melapor. Yang jelas, dia tahu bahwa akulah penyebab kematian kedua kawannya itu,” papar Pendekar Rajawali Sakti disertai senyum sinis.

“Eh! Bagaimana dengan kami?” tanya Ki Sudira bergegas. Dia memang sangat mengkhawatirkan anak istrinya.

“Tenanglah. Selama aku masih di sini, kalian tetap akan selamat,” tambah Rangga.

“Bagaimana kau bisa begitu yakin?”

“Bukan kalian yang akan dicari mereka, tetapi aku. Kalau mereka mudah mencariku, maka kalian tidak akan diusik. Kecuali, kalau mereka sulit menemukanku. Maka, kalian akan dijadikan pelampiasan kekesalannya,” jelas Rangga.

Ki Sudira mengerti persoalannya kini. Dipandanginya pemuda itu dengan sinar mata penuh harap.

“Lalu, apa keputusanmu? Apakah akan meninggalkan kami begitu saja setelah peristiwa tadi?” tanya Ki Sudira, hati-hati.

Rangga tersenyum seraya menepuk bahu orang gemuk itu. “Jangan khawatir. Aku tidak akan pergi, sebelum persoalan ini selesai,” sahut Rangga, meyakinkan.

“Oh, syukurlah...!”

“Nah! Bila telah bulat tekad di hatimu untuk menyingkap semua tabir ini, maka carilah orang-orang desa yang bisa diajak bekerja sama. Kita harus bahu-membahu untuk berjuang bersama,” ujar Rangga.

“Baiklah.”

“Sekarang tenang-tenang saja. Dan jangan pikirkan soal kematian dua orang itu. Aku akan bertanggung jawab soal itu. Pergilah tenangkan istri dan kedua putrimu itu!”

Ki Sudira mengangguk dan segera menemui istri dan kedua putrinya.

********************

Matahari telah muncul di ufuk timur. Cahayanya yang lembut menyapu seluruh desa. Namun pagi yang seharusnya tenang dikejutkan oleh tersiarnya kabar kalau ada dua orang kedapatan tewas di depan rumah Ki Sepuh. Tentu saja berita ini amat mengagetkan Ki Sudira.

“Kaukah yang meletakkan kedua mayat itu di depan rumah Ki Sepuh?” tanya Ki Sudira pada Rangga, ketika mereka berbincang-bincang di beranda rumah laki-laki gemuk itu.

“Ya,” sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.

“Kenapa?” kejar Ki Sudira.

“Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin orang tua itu agar ikut merasa bertanggung jawab atas persoalan ini,” jelas Rangga.

“Tapi kau katakan kalau kedua mayat itu telah dibuang. Dan kau akan bertanggung jawab. Kenapa melemparkan kesalahan kepada orang lain?”

“Siapa sebenarnya Ki Sepuh itu?” tanya Rangga dengan wajah sungguh-sungguh.

“Kau sudah tahu siapa dia, bukan? Jadi rasanya tak perlu kujelaskan lagi.”

“Ya. Dia pemuka kepercayaan, sekaligus pemuka adat. Dengan begitu, tiada seorang pun yang akan menaruh curiga kepadanya,” kata Rangga.

“Apa maksudmu?”

“Orang seperti dia, luput dari kecurigaan. Padahal, dia orang terpenting yang menghubungkan para korban dengan pihak siluman gadungan itu. Dia leluasa berbuat sesuka hatinya tentu dengan imbalan, entah berupa apa. Kini sudah saatnya dia merasa ikut bertanggung jawab atas persoalan ini!” tandas Rangga.

“Tapi kau tidak punya alasan serta bukti menuduhnya ikut campur dalam persoalan ini,” tukas Ki Sudira.

“Tidak ada. Namun, dia tidak menyangkal!” sahut Rangga menandaskan.

“Apa maksudmu?”

“Aku telah datang padanya tadi malam, sebelum ke sini. Pikirkan baik-baik. Tak seorang pun yang mengetahui kehadiranku di gua itu. Tidak juga Ki Sepuh, karena dia berjalan lebih dulu. Tapi dari mana dia tahu kalau aku berada di sana? Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?”

“Ki Sepuh dipercaya orang memiliki mata batin yang kuat. Dia tahu hal-hal yang tidak diketahui orang lain,” sahut Ki Sudira, setengah ragu.

“Kalau begitu mengapa dia tidak tahu tentang kehadiranku di ruangan khususnya?”

Sampai di situ Ki Sudira tak bisa menjawab, diam seribu bahasa!

LIMA

Penduduk Desa Legowo seketika heboh membicarakan kejadian ditemukannya dua mayat di depan rumah Ki Sepuh. Kalau saja kedua mayat itu berada di luar pagar rumah pimpinan adat itu, mungkin tidak akan ribut seperti ini.

Tapi kedua mayat itu berada di depan rumahnya. Sehingga, beberapa dugaan pun muncul. Ada yang menyangka Ki Sepuh membunuh mereka karena untuk membela diri. Tapi membela diri untuk apa? Merampok harta bendanya?

Tidak mungkin! Sebab, Ki Sepuh bukanlah orang kaya yang memiliki banyak harta. Orang-orang desa mengenalnya sebagai orang yang selalu hidup sederhana. Kalau pun ada seseorang yang bekerja dengannya, itu hanya hendak mengabdi tanpa imbalan apa pun.

“Siapa kedua mayat itu, Ki? Apa yang mereka lakukan di sini?” tanya seorang penduduk yang berkumpul di depan rumah Ki Sepuh.

“Aku tidak bisa menjelaskannya. Kedua mayat ini tiba-tiba saja telah ada, ketika aku bangun,” sahut Ki Sepuh. “Tapi yang jelas aku tidak membunuh mereka!”

“Bagaimana mungkin bisa terjadi, Ki?!” tanya yang lain.

Laki-laki tua berpakaian pendeta itu terdiam. Dan belum sempat dia menjawab, muncul seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tujuh tahun dengan pakaian serba putih yang langsung menyibak kerumunan. Penduduk desa ini tahu kalau laki-laki itu bernama Ki Tanureja, Kepala Desa Legowo.

Setelah memperhatikan kedua mayat itu, Ki Tanureja menatapi satu persatu warganya. Seketika, semua yang dipandang menundukkan kepala, tak mampu menentang pandangan laki-laki tua itu.

“Lebih baik kita kebumikan dulu mereka. Lalu, kita cari siapa pembunuh kedua mayat ini!” teriak Ki Tanureja, lantang..

Seketika beberapa penduduk bergerak, mengurus mayat yang tergolek. Beberapa penduduk segera pergi meninggalkan tempat ini, mengiringi orang-orang yang menggotong kedua mayat itu. Namun masih ada beberapa penduduk yang sepertinya enggan meninggalkan tempat ini. Agaknya, mereka masih belum puas dengan jawaban Ki Sepuh tadi.

“Kalian yang masih ada di sini, cepat bubar! Nanti bisa kita buktikan apakah Ki Sepuh bersalah atau tidak!” ujar Kepala Desa itu lantang. Diberinya isyarat pada anak buahnya untuk mengamankan beberapa penduduk desa yang tidak puas atas keputusannya.

Sebentar beberapa penduduk yang tak puas ini menatap Ki Sepuh, lalu pergi meninggalkan tempat ini. Sementara, Ki Sepuh sendiri sudah tak mempedulikan mereka. Segera dihampirinya Ki Tanureja.

“Aku tidak membunuh mereka,” tandas Ki Sepuh.

“Lalu, bagaimana kedua mayat itu berada di sini?” tanya Ki Tanureja.

“Aku tidak tahu,” sahut ketua adat ini, singkat.

“Siapa yang kau curigai?” kejar Ki Tanureja.

“Pemuda itu!” dengus Ki Sepuh.

“Tamu Ki Sudira?”

“Lantas, siapa lagi?!”

“Bagaimana kau bisa membuktikannya?”

“Entahlah. Tadi malam aku terlelap dan tidak tahu apa yang telah terjadi. Tapi kuat dugaanku bahwa pemuda itu yang telah membunuh mereka!” jelas Ki Sepuh.

“Kita harus bereskan hal ini secepatnya!” desis Ki Tanureja.

“Pemuda itu tidak bisa dipandang enteng. Kepandaiannya tinggi. Dia telah membuat si Angkoro tak berdaya sebelumnya!”

Ki Tanureja tersenyum sinis. “Jangan mengagungkan orang. Kau tidak tahu, berapa dalamnya laut dan berapa tingginya langit. Kita memiliki puluhan orang yang memiliki kepandaian setingkat si Angkoro. Apa susahnya meringkus pemuda itu?!” dengus Kepala Desa Legowo ini.

Ki Sepuh terdiam. “Lalu, apa yang mesti kita lakukan sekarang? Si Angkoro telah mati. Padahal, kita butuh seseorang untuk menjaga gua itu,” tanya Ki Sepuh.

“Jangan khawatir. Serahkan saja padaku!” sahut Ki Tanureja, enteng.

“Tapi..., bagaimana dengan tamu Ki Sudira itu? Dia tentu akan mengacau lagi.”

“Memang. Aku telah memikirkannya.”

“Apa tidak sebaiknya kita hentikan dulu?”

“Tidak! Dia akan besar kepala. Dan dengan begitu, nanti penduduk akan mengelu-elukannya. Kita harus mencegahnya. Telah kuperintahkan pada mereka untuk meringkus pemuda itu!” dengus Ki Tanureja.

“Mereka? Siapa?”

“Para pengikut Siluman Bukit Tengger. Dan aku juga telah memperketat penjagaan di gua. Kini lebih dari lima orang telah berjaga-jaga. Pemuda itu tak akan selamat kalau coba-coba usil!” papar Ki Tanureja.

“Tapi pemuda keparat itu mesti cepat-cepat dibereskan!” tukas Ki Sepuh.

“Aku akan mengurusnya. Dan kau siapkan korban-korban berikutnya. Beliau menginginkan yang terbaik. Ingat! Jangan sampai mengecewakan beliau!” tegas Ki Tanureja.

“Akan kuusahakan sebaik mungkin! Eh! Tapi, tapi ada satu hal yang kuinginkan.”

“Apa?”

“Aku ingin seseorang ditempatkan di rumahku untuk berjaga-jaga. Aku tidak ingin ada sesuatu yang buruk menimpaku lagi.”

“Baiklah.”

“Terima kasih, Ki!”

“Hm, ya. Nah, jangan khawatirkan soal kedua mayat itu. Biar kuurus secepatnya!”

“Sekali lagi, kuucapkan terima kasih, Ki!” ucap Ki Sepuh menghormat dalam-dalam.

Sedang Ki Tanureja segera meninggalkan tempat ini.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Sepulang dari acara penguburan kedua mayat yang tidak dikenal. Kepala Desa Legowo dan Ki Sepuh menyempatkan diri datang ke rumah Ki Sudira. Nyaris laki-laki gemuk tua itu gugup menerima kedatangan tamu-tamunya, kalau saja Rangga tidak mendampinginya.

“Silakan duduk!” sambut Ki Sudira.

“Terima kasih,” sahut Ki Tanureja.

“Kalau boleh kutahu, apa gerangan yang membuat Ki Tanureja mampir di gubukku ini?” tanya Ki Sudira, memberanikan diri.

“Kau mendengar berita tadi pagi, Ki Sudira?” tanya kepala desa ini.

“Dengar, Ki,” sahut Ki Sudira, pendek.

“Dua orang mati secara aneh. Dan mereka bukan penduduk desa ini. Mayatnya dilemparkan ke depan pintu rumah Ki Sepuh, seolah-olah si pembunuh hendak menuduh bahwa Ki Sepuhlah yang melakukan pembunuhan. Itu fitnah yang keji!” dengus Ki Tanureja, seraya melirik ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga dilihat tenang-tenang saja. Bahkan sama sekali tidak merasa terkejut.

“Benar, Ki. Tapi aku tak mengerti, kenapa ada orang yang melakukan hal itu? Apa mungkin seseorang melemparkan mayat ke depan pintu rumah seseorang tanpa maksud tertentu?” kata Ki Sudira, hati-hati.

“Itulah yang sedang kuusut. Kita akan mengadakan pemeriksaan. Aku tidak ingin Kanjeng Adipati sampai tahu bahwa desa kita tak aman. Kalau beliau mendengar berita ini, bisa jadi kunjungannya akan dibatalkan,” jelas Kepala Desa Legowo ini.

“Kanjeng Adipati akan berkunjung ke desa, Ki?” tanya Ki Sudira dengan mata melotot lebar.

“Ya.”

“Kapan?”

“Dua hari lagi. Oleh sebab itu, kita harus menyambutnya dengan baik. Jangan sampai beliau kecewa. Bahkan hal-hal seperti kejadian tadi pagi,” ujar Ki Tanureja lagi.

“Baik, Ki.”

“Dan ada hal yang juga amat perlu, Ki!” lanjut Ki Tanureja. “Kita harus mencurigai setiap orang asing yang berada di desa ini!”

Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau dirinya tengah disindir. Namun sikapnya tenang-tenang saja. Bahkan raut wajahnya tidak menunjukkan perubahan apa-apa. Sementara Ki Sudira jadi salah tingkah sendiri. Dan dia tak mampu berkata apa-apa.

“Kalau hanya mencurigai orang asing saja, rasanya tidak adil, Kisanak. Kepala desa yang bijaksana haruslah mengusut segalanya dengan baik, tanpa membedakan kecurigaan kepada penduduk asli atau orang asing,” sahut Rangga, enteng.

“Kau tidak perlu mengajariku soal itu, Anak Muda. Aku tahu, apa yang mesti kulakukan!” tandas Ki Tanureja.

“Syukurlah kalau memang demikian.”

“Sebenarnya apa yang kau cari di desa kami ini? Kalau memang keperluanmu sudah selesai, kau boleh melanjutkan perjalananmu!” lanjut Ki Tanureja, bernada mengusir.

Rangga tersenyum mendengar pengusiran secara halus itu. Namun bagaimana pun, dia tetap berusaha bersikap tenang. “Kudengar di desa ini terdapat siluman hebat. Beritanya sampai ke telingaku. Dan kehebatannyalah yang mengundangku ke desa ini. Aku ingin berkenalan dengannya. Namun sayang, sampai saat ini belum juga kutemui. Nah! Karena keinginanku belum terpenuhi, maka sayang sekali kalau aku mesti melanjutkan perjalanan dengan tangan hampa,” sahut Rangga tanpa mempedulikan tatapan mata Ki Sudira yang mendelik was-was.

“Jangan bermain-main dengan siluman itu, sebab kau akan celaka nantinya!” desis Ki Tanureja, mengancam.

“Astaga! Celaka kenapa? Jahatkah siluman itu?!” seru pemuda berbaju rompi putih ini dengan wajah kaget.

Ki Tanureja mendengus sinis, melihat sikap Rangga yang seperti mengejek dan memandang rendah. Tanpa berkata apa-apa lagi kepala desa itu segera meninggalkan rumah Ki Sudira, diikuti yang lainnya.

“Sepertinya kepala desa itu sudah tahu persoalan ini,” desah Ki Sudira, ketika tamu-tamunya telah pergi.

“Ya! Ini akan semakin ramai!” sahut Rangga, seenaknya.

“Apa maksudnya?” tanya Ki Sudira.

“Siluman-siluman itu! Seperti yang kukatakan, tidak bekerja sendiri. Banyak pihak yang diikutkan. Kita akan mendapat tantangan berat,” jelas Rangga, kali ini tampak sungguh-sungguh.

“Lalu, bagaimana langkah kita selanjutnya?”

“Berapa orang yang berdiri di pihak kita?”

“Tidak banyak. Sekitar lima kepala keluarga.”

“Jumlah itu masih kurang.”

“Ya. Tapi, mereka susah dibujuk karena diliputi perasaan takut.”

“Ya, aku bisa mengerti hal itu. Coba bujuk lagi yang lain,” ujar Rangga, penuh tekanan.

“Aku telah berusaha. Rangga....”

Rangga memandang laki-laki gemuk ini kemudian tersenyum. “Berapa jumlah mereka yang putrinya menjadi korban siluman itu?” tanya Rangga lagi.

“Sekitar lima belas orang,” sahut Ki Sudira pendek.

“Bujuklah mereka. Dan jangan lupa, mereka mempunyai pelindung. Tidak perlu takut. Siluman itu tidak akan bergentayangan menakut-nakuti mereka!” ujar Pendekar Rajawali Sakti, tegas.

“Baiklah,” desah Ki Sudira lirih, setelah terdiam sejurus lamanya memikirkan kata-kata pemuda ini. “Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?”

“Aku akan menyelidiki kepala desa itu,” jawab Rangga.

“Hm, ya. Itu memang alasan tepat. Beliau memang akrab dengan Ki Sepuh. Dan selain itu, tidak begitu akrab dengan penduduk. Kalau pun penduduk patuh padanya, itu karena tukang pukulnya banyak sekali,” jelas Ki Sudira.

“Sangat aneh, bukan? Seorang kepala desa memiliki tukang pukul dalam jumlah banyak? Padahal, di desa ini tidak ada kejadian hebat sehingga mesti menyewa tukang pukul.”

Ki Sudira mengangguk.

********************

Senja baru saja berlalu. Dan di depan rumah Kepala Desa Legowo keramaian seperti tidak terusik. Beberapa anak buahnya bermain judi di beranda depan. Sementara beberapa orang lainnya berkumpul tidak jauh dari kawan-kawannya sambil bercerita, serta sesekali diselingi tawa keras. Beberapa bumbung tuak tampak kosong, namun orang-orang itu seperti tidak mau berhenti menenggaknya. Seseorang bergegas ke dalam untuk mengambil bumbung tuak yang lain. Sementara dua orang bergegas keluar.

“Sial! Perutku mulas...!” umpat seorang laki-laki pendek yang baru saja keluar dengan tergopoh-gopoh. Di sampingnya, tampak seorang laki-laki kurus yang juga mengalami hal yang sama.

Mereka berdua seperti hendak saling mendahului ketika menuju ke sebuah batang pohon yang tumbuh di halaman rumah kepala desa itu.

“Jangan jauh-jauh. Calung. Bisa-bisa kau disambar siluman itu nantinya!” ledek laki-laki kurus itu.

“Brengsek!” umpat laki-laki pendek yang dipanggil Calung. Dia tampak kebingungan untuk melepaskan hajat.

Tapi sebentar kemudian. Calung menemukan tempat yang cocok, di depan kolam kecil tidak jauh dari rumah Ki Tanureja. Sesaat terdengar sesuatu berkecipak di air kolam. Wajah Calung kelihatan lega. Buru-buru pantatnya dibersihkan. Setelah memakai celana, laki-laki gemuk itu merapikan golok. Namun baru saja kakinya akan melangkah....

Tuk!

“Uhhh....” Calung melenguh pendek ketika tahu-tahu ada sesuatu yang menghantam tengkuknya. Tubuhnya mendadak kaku tak bisa digerakkan. Bahkan suaranya seperti tercekat di kerongkongan.

“Si..., siapa?” keluh Calung tertahan.

“Aku siluman penunggu tempat ini,” sahut sebuah suara yang tak terlihat bentuk jasadnya.

“Apa?!” seru Calung, tersentak kaget. Darah laki-laki pendek ini seperti tersirap. Bulu kuduknya seketika berdiri. Mukanya pucat ketakutan.

“Oh, ampun! Ampuuun! Aku tidak sengaja buang hajat di sini!” ratap Calung dengan suara memelas.

“Kau akan kuampuni, tapi dengan satu syarat!” kata suara itu.

“Apa syaratnya?”

“Kalian telah menipu banyak orang dengan mengatakan bahwa gua di Bukit Tengger itu dihuni siluman. Raja kami sangat marah, sehingga mengutusku untuk menghajar kalian. Sekarang, katakan! Siapa yang mengaku sebagai siluman di sana?!”

“Eh! Itu aku..., aku tak tahu!”

“Jangan bohong! Atau, kucekik kau sampai mampus?!”

“Ja..., jangan! Ampun...!”

“Ayo, katakan! Siapa yang menjadi siluman gadungan itu?!”

“Aku..., aku tidak tahu.”

“Kalau begitu, kau memilih mampus! Baiklah. Lebih baik kau kucekik saja sekarang!”

“Aaakh...!” Merasakan lehernya mulai tercekat cekikan, seketika Calung menjerit ketakutan.

“Kurang ajar!” dengus sosok yang tak jelas itu, karena tubuhnya berada dalam kegelapan. Seketika ditotoknya urat suara Calung sehingga jeritannya berhenti.

Tapi jeritan tadi cukup membuat kawan-kawan Calung tersentak kaget. Beberapa orang cepat menghampiri dan terkejut ketika melihat Calung berdiri mematung.

“Itu si Calung! Apa yang terjadi dengannya?!” seru salah seorang tukang pukul Ki Tanureja.

Tapi belum lagi mereka mendekat, mendadak berkelebat bayangan putih dari samping.

“Awaaas!” Terdengar teriakan seseorang bernada memperingatkan, tapi percuma saja. Peringatan itu terlambat, karena mereka tak mampu berbuat apa-apa ketika bayangan putih itu menghajar sekaligus.

Plak! Begkh!

Des!

“Aaakh...!” Orang-orang itu kontan ambruk berjatuhan disertai jerit kesakitan. Dan ini membuat para tukang pukul Ki Tanureja yang masih berada di beranda depan menjadi penasaran. Seketika mereka berlompatan menghampiri tempat keributan.

“Ada apa? Kurang ajar! Apa yang terjadi?!” teriak seseorang lantang, sambil bertolak pinggang ketika melihat beberapa kawannya meringis kesakitan.

“Se..., setan! Ada setan!” sahut salah seorang dari mereka.

“Omong kosong! Tidak ada setan di sini!” sahut laki-laki bertubuh tegap yang berkacak pinggang.

Tapi baru saja orang ini berkata begitu, mendadak berkelebat kembali bayangan putih tadi ke arahnya.

“Hup!” Seketika laki-laki tegap itu menggeser tubuhnya kesamping sambil menangkis.

Plak!

Laki-laki itu terjajar beberapa langkah ke belakang, sehabis menangkis. Dan belum lagi dia menyiapkan serangan, sudah terasa angin sambaran tajam ke dadanya. Seketika dia menjatuhkan diri, sehingga serangan itu luput.

“Itu dia setannya, Kang Kelana!” teriak seorang tukang pukul lainnya.

“Hhh...!” Laki-laki tegap yang dipanggil Kelana cepat bangkit memperlihatkan kegeramannya. Sepasang matanya liar memandang sesosok tubuh berpakaian putih, dan memakai penutup kepala hitam di depannya pada jarak lima langkah. Kelana memang memiliki kepandaian yang paling tinggi di antara yang lainnya. Sehingga tak heran kalau dia bertindak sebagai pemimpin.

Sret!

“Heaaa...!”

Disertai kegeraman memuncak. Kelana mencabut goloknya. Dan saat itu juga tubuhnya langsung meluruk menyambar sosok bertopeng kain hitam itu.

Wut! Bet!

Dua tebasan ke leher dan pinggang dapat dihindari sosok yang tak jelas wajahnya dengan liukan tubuhnya yang indah. Sebaliknya satu sodokan kaki sosok itu membuat Kelana terkejut. Saat itu juga tubuhnya diputar mencoba menghindar. Namun kaki sosok itu yang satu lagi segera menyusul. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Des!

“Aaakh...!” Kelana langsung terjungkal ke belakang disertai jerit kesakitan ketika tendangan sosok itu mendarat di pipinya. Kepalanya terasa sakit. Dan pandangannya berkunang-kunang. Dan sebelum disadari apa yang terjadi, sesuatu telah menghantam pergelangan tangannya.

Plak!

Saat itu juga golok Kelana terlepas, jatuh ke tanah. Bukan itu saja. Bahkan tubuh Kelana mendadak lemas dan kaku. Tenaganya seperti terkuras. Dia betul-betul tak berdaya. Tubuhnya seperti melayang-layang, meski masih terdengar ribut-ribut anak buahnya.

“Kurang ajar! Dia membawa Kang Kelana!”

“Kejar! Jangan sampai kita kehilangan jejaknya!” teriak yang lain.

Namun percuma saja mereka mengejar. Bayangan itu lenyap dari pandangan dalam waktu singkat. Dan mereka hanya bisa terpaku dan menatap kosong ke depan.

“Sebaiknya kita laporkan kejadian ini pada Ki Tanureja!” usul salah seorang.

“Ya,” sahut yang lain, ragu.

“Bagaimana kalau beliau marah? Kita yang seharusnya menjaga, kok malah beliau yang direpotkan?” tanya salah seorang lagi.

Yang lain terdiam untuk beberapa saat.

“Entah apa jawabannya, tapi kita mesti laporkan hal ini,” ujar yang lainnya lagi.

Tidak ada yang menjawab lagi. Semuanya sepakat untuk melaporkan kejadian barusan pada Ki Tanureja.

ENAM

Bruak!

Meja di depan Ki Tanureja langsung hancur berantakan, ketika kepalan tangannya menghantam. Wajahnya yang geram agaknya tidak bisa disembunyikan lagi.

“Kurang ajar! Siapa yang berani menghinaku seperti itu?!” dengus Kepala Desa Legowo dengan amarah meluap.

“Orang itu memiliki kepandaian hebat, Ki,” tambah salah seorang anak buahnya.

“Di..., dia siluman, Ki...!” timpal Calung.

Wajah laki-laki pendek itu kelihatan tegang. Ketakutan masih tampak menyelimuti hatinya.

“Dia marah, karena ada orang yang jadi siluman gadungan di gua Bukit Tengger itu, Ki!” lanjut Calung bersungguh-sungguh.

“Diam kau. Calung!” hardik Ki Tanureja.

Calung terkejut kaget dan merasa bingung. Apa perkataannya yang salah?

“Hm..., kau..., kau tidak mengenalinya. Calung?” tanya Ki Tanureja, agak turun nada suaranya.

“Tidak, Ki. Wajah orang itu ditutupi kain hitam,” sahut Calung.

“Dasar tolol!”

“Tapi, dia tanya-tanya soal siluman yang ada di dalam gua Bukit Tengger itu, Ki,” lanjut Calung dengan takut-takut.

“Apa katanya?!”

“Dia tanya, siapa yang jadi siluman gadungan di dalam gua itu? Karena aku tak tahu apa-apa jadi tidak kujawab. Dan tiba-tiba, dia mencekik. Langsung saja aku berteriak. Untung saja yang lainnya muncul membantu,” jelas Calung.

“Huh!” dengus Ki Tanureja sinis. “Apa lagi yang kau katakan padanya?!”

“Tidak ada, Ki. Aku hanya minta agar dia tidak mencekikku.”

“Hm, baiklah. Sekarang pergilah kalian! Jaga tempat ini baik-baik. Dan, jangan biarkan seorang pun menyelinap ke sini!” perintah Ki Tanureja, lantang.

“Baik, Ki!” Para tukang pukul itu bergegas meninggalkan orang tua ini kembali ke tempatnya semula.

Sementara itu wajah Ki Tanureja masih ditekuk. Dan sesekali dihelanya napas panjang. Dia bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir. Lalu tak lama kembali duduk. Pikirannya benar-benar kusut! “Keparat!” umpat Ki Tanureja berkali-kali.

Dan belum habis rasa kesal laki-laki tua ini, mendadak....

Bros!

Pada saat itu juga sesuatu menerobos ke dalam rumahnya lewat atap. Dengan gerakan cepat, Ki Tanureja melompat menghindari. Dan dia terkejut kaget ketika melihat apa yang terjatuh.

“Kelana...!”

“Uhh...!” Laki-laki bertubuh tegap bernama Kelana itu mengeluh kesakitan. Sementara, Ki Tanureja segera melepaskan tali yang membelenggu kedua tangan dan kaki tukang pukulnya ini.

“Apa yang terjadi denganmu?!” tanya Ki Tanureja penasaran ketika Kelana bangkit perlahan-lahan sambil meringis kesakitan.

“Aku..., aku ditangkap seseorang, Ki...,” lapor Kelana.

“Siapa orang itu?!”

“Entahlah. Aku tidak bisa jelas melihatnya.”

“Bodoh!” umpat kepala desa ini geram. “Apa yang diinginkannya?!”

“Siluman itu, Ki....”

“Kurang ajar! Orang itu benar-benar mempermainkan kita!” desis Ki Tanureja dengan wajah semakin geram. Kedua tangannya terkepal. Pelipisnya menggembung. Agaknya amarahnya benar-benar telah sampai puncaknya.

“Apakah kau tahu, siapa sebenarnya orang itu, Ki?” tanya Kelana.

“Ya! Aku bisa menduganya!” sahut laki-laki tua itu mantap.

“Siapa orangnya, Ki?”

“Besok akan kita ketahui! Sekarang, pergilah ke Desa Temar. Panggil Sapta dan Anggada. Suruh mereka menghadapku sekarang juga!” perintah Ki Tanureja, lantang.

“Baik, Ki!”

“Awas, hati-hati kau! Jangan sampai dipecundangi lagi. Bawa kawan-kawanmu secepatnya!”

“Beres, Ki!”

********************

Wajah Ki Sudira tampak ketakutan ketika dua orang bertubuh besar memasuki halaman rumahnya. Yang seorang berkepala botak dan bertelanjang dada. Seorang lagi berbaju serba hitam. Rambutnya panjang tidak terurus. Sebelah matanya kelihatan picak. Di belakang mereka tampak Ki Tanureja beserta anak buahnya.

“Mana bocah itu?!” bentak laki-laki botak dengan suara menggeledek.

Lutut Ki Sudira seketika menggigil. Dan semangatnya terbang ketika laki-laki botak ini menyeringai buas kepadanya.

“Tidak usah menakut-nakuti orang tua. Apakah kalian mencariku?”

Mendadak terdengar suara dari ambang pintu. Dan semua mata langsung beralih ke sana. Tampak seorang pemuda berbaju rompi putih bergerak menghampiri Ki Tanureja dan berdiri di sampingnya.

“Hhh, jadi kau orangnya yang mau bertingkah di sini?!” dengus laki-laki botak ini, dengan mata mencorong tajam.

“Apa urusanmu di sini?” tanya pemuda yang tak lain Rangga.

“Bocah pentil! Kupecahkan batok kepalamu!” dengus laki-laki botak menyeringai geram.

Orang itu agaknya tidak bisa lagi menahan diri. Langsung dia maju beberapa tindak, dan langsung melepaskan bogem mentah ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

Wuut!

Namun Rangga cepat bergeser sedikit. Lalu ditangkisnya ayunan tangan laki-laki botak.

Plak!

Sehabis menangkis, Rangga cepat memutar tubuhnya sedikit, kemudian sebelah kakinya menghantam pantat laki-laki botak ini.

Dess!

“Aaakh...!” Karuan saja, orang itu langsung menyeruduk ke depan.

“Keparat...!” dengus laki-laki botak geram, seraya bangkit berdiri. Dia bermaksud menyerang lagi namun....

“Tahan dulu, Sapta!” cegah Ki Tanureja.

Dengan tubuh menggigil menahan geram, laki-laki botak bernama Sapta itu terpaksa menghentikan serangan. Matanya mendelik garang ke arah Pendekar Rajawali Sakti seperti hendak menelan hidup-hidup!

Sementara itu Ki Tanureja mendekati Rangga. Sepasang matanya memandang seperti tidak berkedip, penuh kebencian dan amarah Persis empat langkah di depan pemuda itu, dia berhenti.

“Apa maksudmu menggangguku?” tanya kepala desa ini dengan nada dingin.

“Apa maksudmu?” Rangga malah balik bertanya.

“Jangan berpura-pura! Tadi malam kau telah mengacau di tempatku!” dengus Ki Tanureja.

“Mengacau? Tanyakan pada Ki Sudira. Dan dia akan mengatakan bahwa sepanjang malam aku tertidur lelap!” sahut Rangga tersenyum.

“Betul, Ki! Aku melihat sendiri. Dia tidak ke mana-mana tadi malam!” timpal Ki Sudira, mendukung Rangga.

“Kau memang telah berkomplot dengannya!” dengus kepala desa itu. “Aku tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Dia harus kami tangkap!”

“Buktikan kalau aku bersalah, baru kau boleh menangkapku!” sahut Pendekar Rajawali Sakti.

“Akulah hukum disini! Aku yang menentukan kau bersalah atau tidak!” tegas Ki Tanureja.

Rangga tersenyum mendengarnya. Sebentar matanya beredar lepas ke halaman. Tampak penduduk desa ini mulai berkerumun menyaksikan. “Jadi, inikah kepala desa yang dihormati penduduknya? Menentukan seseorang bersalah dengan sesuka hatinya?!” teriak Rangga lantang.

“Tidak usah banyak mulut kau! Menyerahlah! Atau, aku terpaksa memaksamu!” bentak Ki Tanureja, dengan suara membahana.

“Kisanak! Kuperingatkan kepadamu! Jangan coba-coba memaksaku! Kalau tidak, kau akan merasa malu sendiri!” ujar Pendekar Rajawali Sakti, mengingatkan.

“Persetan! Kau adalah pengacau. Dan hukumanmu berlipat ganda!” dengus Kepala Desa Legowo ini. “Sapta, dan kau Anggada! Ringkus pemuda keparat ini!”

Laki-laki botak bernama Sapta dan laki-laki berbaju serba hitam yang bernama Anggada, segera melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

“Yeaaa...!” Anggada langsung melayangkan tendangan, sedang Sapta melompat ke atas dengan sambaran tangannya. Namun Pendekar Rajawali Sakti berkelit sedikit ke samping, membuat tendangan itu luput dari sasaran. Pada saat yang sama, sebelah tangannya menangkis hantaman Sapta.

Plak!

Begitu serangannya gagal, Sapta langsung melanjutkan serangan lewat tendangan kakinya ke leher. Namun Pendekar Rajawali Sakti telah cepat merunduk sambil memutar tubuhnya. Dan seketika sebelah kakinya menghantam ke arah perut laki-laki botak itu.

“Uts!” Masih untung, Sapta cepat menjatuhkan diri ke samping sehingga tendangan Rangga hanya menyambar angin. Pada saat yang bersamaan, Anggada pun melakukan sodokan maut dari arah samping. Sehingga mau tak mau Pendekar Rajawali Sakti terpaksa mencelat ke atas. Dan ini membuat serangan Anggada luput dari sasaran.

Begitu berada di udara, tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti meluruk cepat bagai kilat dengan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’ pada tingkat pertama. Dan dengan cepat pula, kedua tangannya bergerak mengibas. Sehingga....

Begkh! Des!

“Aakh...!” Sapta dan Anggada kontan menjerit kesakitan ketika dua kepalan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tubuh masing-masing. Sapta mendapat hantaman di muka, sedang Anggada di dada. Keduanya terjungkal ke belakang. Dari hidung si botak meleleh darah segar. Mukanya seketika meringis. Demikian pula halnya Anggada. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti tidak mengeluarkan seluruh kekuatannya. Ditambah lagi, kedua orang itu juga memiliki tingkat kepandaian cukup. Maka tak heran kalau mereka bisa bangkit kembali.

“Keparat! Kuputus lehermu, Bocah!” dengus Sapta.

Srang!

Laki-laki botak ini langsung mengeluarkan rantai besi yang ujungnya terdapat bandul berduri. Sementara Anggada mencabut golok panjangnya.

“Yeaaa...!” Disertai teriakan keras menggeledek, mereka menyerang Pendekar Rajawali Sakti dari arah yang berlawanan.

“Hm.... Ternyata kalian terlalu memaksaku. Apa boleh buat?” gumam Pendekar Rajawali Sakti.

Menyadari kalau kedua lawannya benar-benar hendak membunuh, Rangga merasa harus meningkatkan kekuatannya pada setiap jurus-jurus yang akan dimainkannya.

Tepat ketika sambaran kedua lawannya meluncur datang, Rangga telah mencelat ke atas menggunakan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Begitu cepat gerakannya, sehingga tak satu serangan pun mendarat di tubuhnya.

“Kunyuk!” umpat Sapta, melihat serangannya gagal. Rantai besi laki-laki botak ini kembali menyambar laksana pusaran angin kencang. Dan di antara serangan itu, Anggada coba menyelinap untuk mencuri kesempatan.

Dua jurus telah berlalu, namun tak satu serangan pun yang membuahkan hasil. Mereka baru sadar kalau lawan yang dihadapi berkepandaian sangat tinggi. Dari sini mereka merasa kalau harus meningkatkan serangan.

“Hiaaa...!” Disertai teriakan membahana, Sapta menyabetkan rantai dengan bandul berdurinya ke arah dada.

Namun dengan menggeser tubuhnya sedikit. Rangga berhasil membuat serangan itu lewat menyambar angin kosong. Bahkan seketika sebelah tangannya bergerak menangkap rantai besi.

Tap!

Pada saat yang bersamaan, Anggada melompat menyerang.

“Hiiih!” Tepat ketika tubuh Anggada meluruk, Pendekar Rajawali Sakti menyentak rantai besi. Akibatnya tubuh besar Sapta melayang. Dan dengan rantai yang mengendur di tangan, Rangga menangkis bacokan golok Anggada sambil melayangkan tendangan keperut disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.

Crak!

Des!

“Aaakh...!” Anggada menjerit kesakitan, ketika tubuhnya terjungkal ke belakang. Isi perutnya seperti mau meledak menerima hantaman menggeledek tadi.

Sementara itu, Sapta yang tengah melayang cepat memasukkan tangannya ke balik baju. Begitu tangannya keluar, cepat dikibaskan ke arah Rangga.

Set! Set!

Saat itu juga meluncur dua senjata rahasia berbentuk segi lima yang runcing berkilatan, mengancam keselamatan Pendekar Rajawali Sakti. Namun, Rangga tidak kalah sigap. Dengan rantai besi itu, ditangkisnya kedua senjata rahasia tadi.

Crak! Crak!

Kemudian tubuh Pendekar Rajawali Sakti mendadak melesat ke atas, mengejar Sapta yang masih meluncur. Langsung dilepaskannya satu tendangan menggeledek.

Duk!

“Aaakh...!” Dalam keadaan tubuh melayang begitu, Sapta memang tak bisa menghindar lagi. Dan telak sekali tendangan Pendekar Rajawali Sakti mampir di dadanya. Laki-laki botak bertubuh sebesar kerbau itu terjungkal roboh disertai pekik kesakitan.

“Ayo, bangun! Mana kegarangan kalian tadi?!” dengus Pendekar Rajawali Sakti, dingin menggetarkan.

“Ohh...! Aduuuh...!”

Sapta dan Anggada berusaha bangkit sambil mengerang kesakitan. Tapi mereka tak bermaksud menyerang kembali.

Sementara, Rangga sudah menebar pandangan dingin ke arah Ki Tanureja. “Kisanak, pergilah. Dan jangan menggangguku! Kalau kau tetap memaksakan kehendakmu, maka aku tidak akan memandang kedudukanmu lagi,” desis Rangga, dengan perbawa kuat.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Ki Tanureja berlalu dari tempat itu, membawa rasa geram dan dendam.

“Hebat, Rangga! Kau bahkan telah membuat nyali mereka rontok!” puji Ki Sudira, ketika Ki Tanureja dan kaki tangannya telah tak kelihatan lagi.

Beberapa penduduk mendekat, dan berkumpul di dekat mereka. Satu dua orang berbisik-bisik memuji Rangga. Sekaligus, mencari tahu jati dirinya.

“Persoalan ini belum selesai, Ki...,” desah Rangga pendek seraya melangkah ke beranda depan.

“Ya. Apa yang akan kita lakukan?” tanya laki-laki gemuk itu seraya mengikutinya.

Rangga diam tak menyahut. Beberapa orang tetangga Ki Sudira agaknya belum beranjak. Dan mereka masih berkumpul di pekarangan rumahnya. Hal itu membuat Rangga enggan bicara lebih lanjut.

Ki Sudira menyadari hal itu. Seketika pembicaraan dialihkan pada hal-hal lain. Baru ketika kerumunan itu menghilang satu persatu, mereka mengalihkan pembicaraan lagi.

“Kita tidak bisa terus begini. Aku akan bergerak cepat!” tandas Pendekar Rajawali Sakti.

“Apa maksudmu, Rangga? Apa yang akan kau lakukan?” tanya Ki Sudira.

“Aku harus menemukan gadis-gadis itu, hidup atau mati! Dengan begitu bukti akan cukup kuat,” sahut Rangga, mantap.

“Tapi, dari mana kau bisa mencarinya?”

“Ki Sepuh dan Ki Tanureja adalah antek-antek siluman itu. Atau..., barangkali mereka sendiri otak di balik semua ini. Aku akan memaksa mereka atau siapa pun orangnya yang ikut campur dalam persoalan ini!” jelas Rangga.

Melihat wajah Rangga penuh perbawa, diam-diam orang tua itu bergidik ngeri. Dia tidak tahu, siapa pemuda ini sebenarnya. Dan apa urusannya membantu mereka. Namun jelas kelihatannya dia tidak butuh pamrih. Dan dengan kepandaiannya yang hebat, pemuda ini mungkin saja bisa mengobrak-abrik siluman yang ditakuti penduduk di kawasan empat desa.

“Besok Adipati akan ke sini. Apakah itu hal biasa?” tanya Rangga.

“Tidak. Jarang sekali ada pembesar yang berkunjung ke desa ini,” jelas Ki Sudira.

“Lalu dalam rangka apa?”

“Entahlah. Mungkin beliau prihatin atas kejadian yang menimpa empat desa di kawasan Bukit Tengger ini.”

“Adipati itu murah hati?”

“Aku pernah dengar itu. Beliau memang orang yang murah hati dan suka membantu rakyat yang kesulitan.”

“Hmm...!”

“Kenapa, Rangga?”

“Tidak ada apa-apa.”

“Kau mencurigai Kanjeng Adipati?” tanya Ki Sudira dengan wajah berkerut.

Rangga tak menyahut. Baik dengan kata-kata maupun isyarat.

“Aduh, Rangga! Jangan! Jangan keterlaluan! Itu sama artinya membahayakan diri sendiri. Kita akan celaka! Lagi pula, aku tidak yakin. Sebab berita yang kudengar selama ini, beliau adalah orang yang arif lagi bijaksana!” lanjut Ki Sudira khawatir.

“Aku tidak mengatakan kalau aku mencurigainya, Ki. Tapi, siapa pun orangnya yang berbuat kesalahan, meski raja sekalipun, dia tidak akan luput dari dosa. Dan itu akan ditanggungnya, di dunia serta akhirat. Dia akan mendapat ganjaran yang setimpal!” kilah Pendekar Rajawali Sakti.

Ki Sudira terdiam. Pikirannya melayang jauh, membayangkan apa saja yang telah dilakukan pemuda ini. Pertama, dia mencurigai Ki Sepuh. Lalu, kepala desa. Dan, kalau sampai Kanjeng Adipati pun dicurigai, maka itu sudah kelewatan!

TUJUH

Ki Tanureja benar-benar tidak bisa tidur memikirkan persoalan yang dihadapi. Wajahnya sejak tadi keruh menahan geram dan kesal yang berkobar. Entah berapa kali dia mondar-mandir di ruangan ini. Sebentar-sebentar matanya menatap liar keluar lewat jeruji jendela. Tampak para tukang pukulnya berjaga-jaga didepan. Juga, di kanan-kiri serta belakang rumahnya. Kepala desa ini memang sengaja menambah jumlah tukang pukul untuk melindunginya.

Kejadian pagi tadi di rumah Ki Sudira, benar-benar membuat Ki Tanureja tak bisa tidur. Dan pemuda berbaju rompi putih itu telah menghantui pikirannya sejak tadi.

“Kelana!” teriak Ki Tanureja.

Yang dipanggil bergegas menghampiri. “Ada apa, Ki?” tanya Kelana.

“Apa mereka sudah datang?”

“Belum, Ki.”

Ki Tanureja terdiam, seperti tengah berpikir. Lalu dia duduk sebentar, untuk kemudian bangkit kembali.

“Aku ingin pemuda itu ditangkap dan dijatuhi hukuman mati!” dengus orang tua itu.

“Sabar saja, Ki. Aku yakin, Kanjeng Adipati akan membawa pasukan dalam jumlah banyak!”

“Bagaimana dengan si Gonggola?” tanya Ki Tanureja lagi.

“Sudah. Dia sudah pergi menghubungi orang itu, Ki.”

“Siapa namanya?”

“Ki Gering Wesi.”

“Apa bisa diandalkan?”

“Dia tokoh hebat, Ki. Siapa yang tidak mengenalnya? Dunia persilatan mengenalnya sebagai Ular Mata Maut. Orang itu berilmu tinggi. Pemuda itu pasti tak berkutik dibuatnya!” jelas Kelana penuh semangat.

“Apa bisa kau pastikan dia akan datang sekarang?” tanya laki-laki tua itu lagi.

“Tentu saja, Ki! Siapa yang tidak suka melihat tumpukan uang emas?!” sambut Kelana dengan wajah berseri-seri. “Dia pasti akan datang. Jangan khawatir. Pemuda itu secepatnya akan binasa!”

Wajah Ki Tanureja tersenyum membayangkan sesuatu yang akan terjadi pada pemuda yang amat dibencinya.

“Bagus! Aku ingin secepatnya melihat kepala pemuda itu untuk kujadikan pajangan di ruang tamu ini!”

“Sabar saja, Ki. Tak akan lama lagi keinginanmu itu akan terpenuhi.”

Ki Tanureja kembali tertawa, terkekeh. Namun ketawanya seketika terhenti. Dan matanya kontan terbelalak ketika....

“Kau?! Apa yang kau lakukan di sini?! Hei, tangkap dia?!” teriak Ki Tanureja belingsatan.

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan pintu ruangan tampak seorang pemuda berbaju rompi putih tegak berdiri sambil tersenyum dingin. Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin malam. Dari sini bisa dilihat betapa tingginya kepandaian pemuda itu, sehingga kehadirannya tak diketahui para penjaga rumah Ki Tanureja.

Untuk sesaat, kedua orang itu terpaku. Namun tak lama kemudian Kelana sadar akan tugasnya. “Tenang, Ki. Akan kubereskan bocah ini!” ujar Kelana mantap, seraya mencabut golok. Langsung diserangnya pemuda itu.

Wut!

“Uts!” Pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti ini cepat bergerak ke samping, membuat tebasan golok hanya menyambar angin kosong. Dan dengan sekali bergerak, ditangkapnya pergelangan tangan Kelana, lalu dipelintirnya ke belakang.

Krek!

Belum juga Kelana bisa berbuat apa-apa, jari-jari tangan Pendekar Rajawali Sakti telah bergerak ke punggungnya. Dan....

Tuk!

Golok di tangan Kelana langsung jatuh. Dan tubuhnya kontan melorot tak berdaya dalam keadaan tertotok. Sementara Ki Tanureja mundur ke belakang ketika melihat pemuda itu menghampirinya perlahan-lahan dengan sorot mata tajam.

“Penjaga...! Tangkap dia! Kenapa kalian diam saja?! Tangkap dia!” teriak Ki Tanureja.

Tapi, sia-sia saja orang tua itu berteriak-teriak, karena tidak seorang pun anak buahnya yang muncul untuk menolongnya. Dan itu semakin membuat Ki Tanureja kecut bercampur geram.

“Percuma saja kau berteriak-teriak memanggil mereka. Aku telah membuat mereka istirahat barang sejenak,” kata Rangga sambil tersenyum dingin.

“Kurang ajar! Pergi kau dari tempatku!” bentak Ki Tanureja.

“Aku ingin minta tanggung jawabmu dulu,” sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.

Darah orang tua itu mendesir dicekam ketakutan. Wajahnya pucat dan jantungnya berdetak lebih kencang.

“Kenapa? Kau mulai takut mati dalam kesendirian karena tidak ada yang menemanimu?” ejek Rangga.

“Apa maumu sebenarnya?!” sentak Ki Tanureja.

“Dimana gadis-gadis itu kau sembunyikan?” tanya Rangga, langsung.

“Apa maksudmu?!”

“Jangan pura-pura! Gadis-gadis yang dipersembahkan untuk siluman gadungan itu, kau sembunyikan di mana?!” bentak Pendekar Rajawali Sakti, mulai berang melihat sikap orang tua itu.

“Aku tidak mengerti maksudmu? Kau boleh saja tidak percaya pada siluman itu. Tapi, kau tidak berhak menuduhku macam-macam!”

Baru saja habis kata-kata Ki Tanureja, Pendekar Rajawali Sakti telah melayangkan kakinya ke depan.

Duk!

“Aaakh...!” Ki Tanureja menjerit kesakitan, mendapat tendangan pemuda itu yang menghantam perutnya.

Tubuhnya langsung terjerembab menghantam kursi. Dan baru saja hendak bangkit, pemuda itu telah tegak berdiri di depannya sambil mendengus geram.

“Di mana kau sembunyikan gadis-gadis itu?!”

Laki-laki itu belum sempat menjawab ketika....

Wesss...!

Sss...!

“Heh...?!” Rangga terkejut setengah mati, ketika terdengar desir halus dari belakang. Secepat kilat dia menoleh ke belakang. Benar saja, dari arah pintu, mendadak meluncur dua buah benda berwarna kehitaman.

Dengan gerakan cepat luar biasa Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas, sehingga terjangan dua benda kehitaman yang ternyata dua ekor ular hijau sebesar kelingking itu hanya menemui tempat kosong.

Begitu berada di atas, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya dan mendarat manis di depan seorang laki-laki kurus berambut panjang awut-awutan. Di tangan orang itu tergenggam tongkat hijau yang ujung atasnya berbentuk kepala ular. Sepasang matanya kecil namun tatapannya amat tajam. Kuat dugaan, orang inilah yang telah melemparkan kedua ular hitam tadi.

Di samping laki-laki kurus itu, tampak seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya agak pendek. Goloknya terselip di pinggang.

Melihat kedatangan kedua orang itu, seketika wajah Ki Tanureja berseri-seri. “Gonggola! Bagus, kau cepat datang...!” sambut Ki Tanureja.

“Kau tidak apa-apa, Ki?” tanya laki-laki agak pendek yang dipanggil Gonggola.

“Hanya sedikit sakit. Tapi, tak apa. Aku senang kau datang. Itukah orangnya?” kata Kepala Desa Legowo, seraya melihat laki-laki kurus dengan tongkat kepala ular.

Gonggola mengangguk. Sementara itu, laki-laki bertongkat yang tengah dibicarakan sudah saling tatap dengan Pendekar Rajawali Sakti.

“Selamat datang, Ki Gering Wesi...! Kau datang tepat pada waktunya!” seru Ki Tanureja girang.

“Kau tidak apa-apa, Ki Tanureja?” tanya laki-laki tua kurus dengan tongkat kepala ular yang dipanggil Ki Gering Wesi alias Ular Mata Maut. Sambil berkata demikian, matanya tak lepas dari wajah Rangga.

“Tidak,” sahut Ki Tanureja.

“Hm.... Jadi, inikah orang yang kau maksud?” dengus Ular Mata Maut.

“Betul, Ki! Bereskan dia secepatnya. Kalau berhasil, akan kutambah upahmu!” sahut Ki Tanureja bersemangat.

“Jangan khawatir. Akan kupersembahkan kepalanya untukmu!” desis Ki Gering Wesi, sarat ancaman.

Laki-laki tua berjuluk Ular Mata Maut lantas melangkah tiga tindak mendekati Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum sinis.

“Boleh juga kepandaianmu, Bocah. Tapi sayang, kau terlalu usil dan mau tahu urusan orang. Untuk itu, kau patut mampus!” bentak Ular Mata Maut.

“Usil demi kebaikan, lebih mulia ketimbang orang upahan sepertimu. Harga dirimu hanya sebesar beberapa keping uang, Kisanak. Selagi ada kesempatan, cobalah bertindak bijaksana,” balas Rangga tanpa rasa gentar sedikit pun.

“Tutup mulutmu! Kau boleh berkhotbah setelah di neraka sana!”

Setelah berkata begitu, Ki Gering Wesi langsung mengirim serangan kilat. Namun di luar dugaan, Pendekar Rajawali Sakti melesat ke atas dan langsung menerjang atap rumah Ki Tanureja.

Broll!

“Hei, jangan lari kau!” teriak Ular Mata Maut, ketika melihat buruannya menembus atap.

Dengan gerakan tak kalah hebat, Ki Gering Wesi mencelat ke atas, langsung mengejar Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Ki Tanureja dan Gonggola bergegas mengejar lewat pintu depan.

Baru saja Ki Gering Wesi mendarat di tanah, ternyata Pendekar Rajawali Sakti telah menunggu di halaman depan rumah Ki Tanureja.

“Aku tak bakal lari, Kisanak. Kupikir, di dalam sana terlalu sempit buat kita bermain-main,” kata Rangga kalem.

“Bagus! Berarti ucapanmu tadi bukan sekadar gertak sambal!” sambut Ular Mata Maut. “Sekarang, terimalah seranganku yang sesungguhnya! Heaaa...!”

Ular Mata Maut langsung menyambarkan tongkatnya yang berujung runcing ke leher Rangga. Dari gerakan Ular Mata Maut, Rangga sadar kalau lawannya memang tak bisa dipandang sebelah mata. Bukan saja kepandaiannya, tapi juga kebutan tongkatnya yang mengandung tenaga dalam tinggi serta asap tipis beracun.

Rangga yang terus berkelit dengan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ cepat memindahkan pernapasannya ke perut. Walaupun sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti kebal racun, namun asap itu cukup mengganggunya. Dan yang jelas, tak satu serangan pun yang berhasil menyentuh tubuhnya.

“Hm.... Agaknya dia benar-benar memaksaku. Tapi, biarlah akan kucoba dulu dengan jurus dari lima rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’!” gumam Rangga, dalam hati.

“Hai, Bocah! Ayo keluarkan seluruh kemampuanmu! Jangan bisanya hanya menghindar!” bentak Ki Gering Wesi.

“Jangan terlalu memaksaku, Kisanak. Kau akan celaka nantinya,” sahut Rangga ketika berhasil menghindari serangan.

“Banyak mulut! Buktikan ocehanmu itu di akhirat sana!” tukas Ki Gering Wesi. Baru saja Ular Mata Maut berkata demikian, tongkatnya telah kembali berkelebat mengancam leher Pendekar Rajawali Sakti.

“Uts!” Dengan gerakan cepat, Rangga menarik kepalanya ke belakang. Namun belum juga pemuda berbaju rompi putih ini bersiap kembali, Ular Mata Maut telah menyentakkannya ke depan.

Wesss!

Saat itu juga meluncur sinar hijau ke arah Rangga. Dengan sebisa-bisanya, Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri ke samping dan bergulingan menjauh. Akibatnya, sinar warna hijau itu terus meluncur. Dan....

Jdeer!

Beberapa tempat disekitar pertarungan kontan hangus terbakar oleh sinar hijau dari telapak tangan Ki Gering Wesi. Bahkan dua anak buah Ki Tanureja yang tengah tertotok langsung tewas tersambar. Sudah barang tentu kepala desa yang semula girang karena jagonya dapat diandalkan, mendadak mulai ciut nyalinya. Jangan-jangan Ki Gering Wesi malah mencelakakan mereka, meskipun tidak sengaja.

“Aku tidak mengerti, bagaimana cara menyadarkan mereka. Tapi bawalah mereka ketempat yang aman, Gonggola!” perintah Ki Tanureja.

“I... iya, Ki!” sahut Gonggola takut-takut terkena pukulan nyasar.

Sementara itu pertarungan telah mencapai puncaknya. Rangga telah berhasil menyelamatkan diri dan telah bangkit berdiri. Sementara Ki Gering Wesi kehabisan akal, bagaimana caranya menaklukkan pemuda itu secepatnya. Sejak pertama tidak satu pun serangannya yang membuahkan hasil. Pendekar Rajawali Sakti yang menyadari kalau lawannya sangat berbahaya, segera menggerakkan tangan kanannya ke punggung. Lalu....

Sring!

“Heh?” Cahaya biru menyilaukan langsung menerangi malam yang gelap, dari batang pedang Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu juga, Ular Mata Maut tersentak kaget melihat perbawa pedang Rajawali Sakti. Bahkan Ki Tanureja sampai bergidik ngeri.

“Astaga! Siapa sebenarnya pemuda itu? Apakah dia betul-betul siluman?!” desis Kepala Desa Legowo itu.

“Yeaaa...!”

Belum juga Ki Gering Wesi mampu menghilangkan keterkejutannya. Pendekar Rajawali Sakti sudah membentak nyaring. Tubuhnya seketika mencelat kearah Ular Mata Maut dengan kibasan pedangnya.

“Ohh...!” Ki Gering Wesi terkesiap. Sebelum sambaran Pedang Pusaka Rajawali Sakti datang, dia malah merasakan hawa panas menyengat. Sebisanya dicobanya untuk menangkis dengan tongkatnya.

Cras!

“Hei?!” Betapa kagetnya Ular Mata Maut ketika melihat tongkatnya putus tersisa dua jengkal tersambar senjata Pendekar Rajawali Sakti. Namun belum sempat dia memaki geram, pedang pemuda itu kembali menyambar.

“Keparat!” umpat Ular Mata Maut, seraya mencelat ke belakang. Seketika tangannya bergerak kesaku dan mengibas.

Wess...!

Sss! Sss!

Suara mendesir terdengar ketika dua buah ular hitam kecil meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gerakan dahsyat Pendekar Rajawali Sakti cepat bergerak memapak.

Tes! Tes!

Saat itu juga potongan-potongan ular hitam kecil berjatuhan di atas tanah, terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiyaaa!” Rupanya Pendekar Rajawali Sakti tak ingin lagi memberi kesempatan pada Ular Mata Maut. Baru saja Ki Gering Wesi mendarat di tanah, tubuh Rangga telah meluruk deras dengan satu tendangan geledek yang cepat bagai kilat. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti dalam pengerahan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’ yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga....

Begkh!

“Uhh...!” Ki Gering Wesi mengeluh tertahan dengan tubuh terhuyung-huyung ke belakang, begitu tendangan Rangga mendarat telak di dadanya.

“Hiyaaa...!”

Rangga tidak menyia-nyiakan kesempatan yang amat tipis. Begitu mendarat, tubuhnya kembali meluruk dengan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’ disertai permainan pedangnya, yang cepat dan dahsyat ke arah leher. Dan....

Crass...!

“Aaa...!” Terdengar jeritan menyayat, ketika sambaran pedang Pendekar Rajawali Sakti tepat melewati leher Ular Mata Maut. Orang tua itu hanya mendelik dengan tubuh mematung. Tampak sayatan tipis melingkari lehernya.

Trek!

Tepat ketika Rangga memasukkan pedangnya kembali ke warangka, tubuh Ki Gering Wesi mulai ambruk.

Bruk!

Begitu tubuh orang tua ini ambruk darah langsung mengucur deras dari lehernya. Sementara kepalanya menggelinding, tiga tombak dari badannya. Tak ada gerakan lagi pada tubuhnya. Mati.

DELAPAN

Ki Tanureja dan anak buahnya yang berada di tempat ini langsung bergidik ngeri melihat kejadian yang terjadi di depan mata. Betapa tidak? Kepala Ki Gering Wesi menggelinding ditebas pedang pemuda itu!

Dan kini, semangat Kepala Desa Legowo itu seperti melayang terbang entah kemana ketika Pendekar Rajawali Sakti mendekatinya perlahan-lahan dengan sorot mata penuh perbawa.

“Oh, tidak! Jangan...! Jangan bunuh aku...!” ratap kepala desa itu, langsung bersimpuh dengan lututnya.

“Katakan, dimana gadis-gadis itu berada. Maka, nyawamu akan selamat!” gertak Pendekar Rajawali Sakti.

“Oh! Aku..., aku tak berani,” sahut Ki Tanureja, tergagap.

“Katakan!” hardik Rangga.

“Eh! Itu..., ng....”

“Cepat! Atau kepalamu akan menyusul?!”

“Oh, jangan! Ampun...! Baiklah, akan kuberitahu.”

“Di mana?!”

“Di... kediaman Kanjeng Adipati Wiradirga, penguasa Kadipaten Banyu Mubal.”

“Jangan main-main denganku! Katakan yang sebenarnya, di mana mereka?!” ujar Rangga, penuh tekanan.

“Aku berkata yang sebenarnya!” tegas Ki Tanureja.

“Jelaskan padaku!” pinta Rangga, setengah memaksa.

“Sudah lama Kanjeng Adipati mempunyai kebiasaan aneh, yaitu harus bersetubuh dengan wanita setiap tiga hari sekali. Makanya secara diam-diam beliau memerintahkan bawahannya untuk mencari wanita-wanita muda untuk melayaninya. Hal itu dikerjakan secara sembunyi atau tersamar, agar citra beliau tidak buruk di mata rakyat,” jelas kepala desa itu.

“Terkutuk!” umpat pemuda itu geram. “Dan, apa yang kau dapat dari hasil perbuatanmu ini? Berapa keping emas kau dibayar untuk melakukan perbuatan biadab ini?!”

Tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak kebawah, langsung dicengkeramnya leher Ki Tanureja.

“Oh! Aduh! Lepaskan cengkeramanmu, Anak Muda. Kau menyakitiku. Tolong lepaskan,” ratap Ki Tanureja mengiba.

“Sebaiknya kau memang mampus saja, Jahanam!” dengus Rangga geram.

“Oh, ampun! Ampuuun...!” ratap Ki Tanureja lagi, kembali menjatuhkan diri dan bersujud beberapa kali di depan Rangga. “Aku bersedia melakukan apa saja, asal kau mengampuniku!” Pendekar Rajawali Sakti terdiam sebentar untuk meredakan amarahnya. “Sungguh?”

“Aku bersumpah!”

“Baiklah. Kupercaya sumpahmu. Ada dua tugas yang harus kau kerjakan,” kata Rangga pada akhirnya.

“Katakanlah, apa itu?” tanya Ki Tanureja.

“Pertama, kau harus membuat pengakuan kepada seluruh penduduk desa ini bahwa Siluman Bukit Tengger sebenarnya tidak pernah ada. Dan itu hanya akal-akalan kalian saja.”

“Tapi....” Kata-kata Ki Tanureja terputus.

“Kenapa? Kau tidak mau?” tanya Rangga, dingin.

“Penduduk desa ini akan mengutuk dan berusaha membunuhku!”

“Mereka tidak akan berbuat sekejam itu.”

“Apakah kau bisa menjamin?”

“Tidak! Tapi paling tidak, aku berusaha menenangkan mereka. Untuk sementara, kau tidak perlu menerangkan kepada semuanya. Cukup kepada orang-orang tertentu saja.”

Laki-laki tua ini berpikir sebentar, sebelum mengangguk lemah.

“Yang kedua! Kau harus membantuku menangkap adipati keparat itu!” desis Rangga.

“Apa?!” Ki Tanureja terkesiap kaget mendengarnya.

“Kenapa? Kau tak mau?” tanya Rangga lagi dengan sorot mata tajam sarat ancaman.

“Itu sama artinya dengan bunuh diri! Besok beliau akan ke sini dengan pasukan besar untuk....” Laki-laki tua itu ragu-ragu meneruskan kalimatnya.

“Untuk menangkapku, bukan?” tukas Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum dingin. “Dia tak datang dengan pasukan besarnya, sebab anak buahmu yang kau suruh mengabarkan persoalan di sini telah kutangkap dan tidak akan sempat melapor.”

Ki Tanureja tertunduk lesu mendengar cerita pemuda di depannya.

“Apa alasanmu lagi? Apakah kau tetap akan membela adipati berhati bejat itu?! Kalau demikian, nasibmu akan sama dengannya. Maka lebih baik kau kubunuh saja!” ancam Rangga.

“Eh, tidak! Baiklah, aku akan membantumu menangkapnya!” sahut orang tua itu, buru-buru.

“Bagus. Berarti kau masih sayang nyawamu! Dan sekarang juga, kau ikut aku! Ingat! Kalau kau macam-macam, aku tidak akan banyak bicara lagi. Kutebas lehermu!” desis Pendekar Rajawali Sakti.

“Mau di bawa ke mana aku?” tanya Ki Tanureja.

“Menjelaskan persoalan kepada sebagian penduduk, lalu mengatur rencana untuk menangkap adipati jahanam itu!” tukas Rangga cepat.

********************

Kedatangan Adipati Wiradirga di Desa Legowo disambut dingin. Tidak ada derai tawa, sorak sorai, atau teriakan yang mengelu-elukannya. Penguasa Kadipaten Banyu Mubal itu sendiri sedikit mengernyitkan dahi karena heran. Tidak biasanya dia mendapat sambutan seperti ini.

Namun laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun dengan tubuh sedikit agak kurus itu tidak berkecil hati. Dicobanya tersenyum kepada siapa saja yang ditemui sambil menghela kuda pelan-pelan.

Sementara, satu persatu penduduk desa ini mengikuti dari belakang sampai rombongan yang berjumlah sepuluh orang itu tiba di depan rumah kepala desa.

“Ah! Selamat datang, Kanjeng Gusti Adipati! Selamat datang ke tempatku yang buruk ini!” sambut Ki Tanureja seraya tergopoh-gopoh menghampiri.

Adipati ini kemudian turun dari kudanya. Seorang pembantu kepala desa itu menerima kuda Adipati Wiradirga. Begitu juga pembantu yang lain menerima kuda-kuda para pengawal adipati ini.

“Hm.... Sungguh meriah sambutan orang-orang yang ada di sini. Mereka beramai-ramai datang ke tempatmu ini,” gumam Adipati Wiradirga seraya memandang kesekeliling. Dan dia melihat hampir semua penduduk desa keluar dan berkumpul di sekitar rumah Ki Tanureja.

“Itu pertanda mereka mencintai pemimpinnya!” sahut kepala desa ini sambil tersenyum-senyum. “Eh! Ada hal yang penting. Kanjeng Adipati!”

“Apa itu?”

“Mereka agaknya berkumpul di sini mempunyai maksud. Yaitu, ingin mengadukan nasibnya kepada Kanjeng Adipati. Apakah Kanjeng Adipati berkenan mengabulkannya?” jelas Ki Tanureja.

“Oh, silakan! Aku senang sekali mendengar keluhan rakyatku,” sahut Adipati Wiradirga, ramah.

Maka seketika itu juga Ki Tanureja berpidato didepan kerumunan penduduk desanya, untuk memberitahukan bahwa adipati berkenan menampung keluhan mereka.

“Kanjeng Adipati, hamba hendak bertanya. Apa hukuman bagi seseorang yang berbuat kejahatan?!” teriak seorang penduduk.

“Setiap kejahatan tentu mendapat hukuman. Berat atau ringannya, tergantung kejahatan yang diperbuatnya. Kejahatan apa yang kau maksudkan?” kata adipati ini sambil melempar pertanyaan kembali.

“Kejahatan yang hamba maksudkan adalah menipu serta mengelabui orang banyak. Berbuat baik, padahal di belakangnya berbuat keji dan busuk!”

Adipati Wiradirga tersenyum. “Orang itu sungguh licik. Maka dia patut mendapat hukuman berat,” jelas adipati ini, singkat.

“Seperti apa?” tanya yang lain.

“Penjara seumur hidup. Atau, ikut dalam kerja paksa. Atau boleh juga..., dihukum mati.”

“Terima kasih. Kanjeng Adipati. Kami telah mendapatkan jawaban yang adil darimu. Oleh sebab itu, kami akan menghukum orang itu!” teriak seorang pemuda berbaju rompi putih, seraya melangkah kedepan menghampiri Adipati Wiradirga.

Pemuda yang tidak lain Pendekar Rajawali Sakti ini melangkah dengan sikap mengancam. Dan bersamaan dengan itu, para penduduk desa mengikuti dari belakang.

Sudah barang tentu hal ini membuat Adipati Wiradirga kaget. Para pengawalnya segera bertindak menghunus senjata, untuk menghalau kerumunan orang-orang itu.

“Minggir kalian! Minggir! Jangan coba-coba berbuat macam-macam kepada Kanjeng Adipati. Atau, kalian akan celaka!” ancam para pengawal.

“Kaulah yang minggir!” desis Pendekar Rajawali Sakti seraya melepaskan kibasan tangan.

Dregh!

Seorang pengawal yang berada di dekat Rangga kontan terpental, terkena kibasan tangan.

“Aakh...!”

Sementara melihat keberanian Rangga, maka kerumunan penduduk yang semula takut-takut kini semakin berani. Dan mereka beramai-ramai melawan para pengawal Adipati Wiradirga.

Adipati itu sendiri melihat keadaan ini menjadi belingsatan. Buru-buru dihampirinya Ki Tanureja untuk mencari perlindungan. Tapi saat itu juga, anak buah kepala desa ini meringkusnya.

“Tanureja! Apa-apaan ini?! Apa yang kau lakukan padaku?!” sentak Adipati Wiradirga dengan suara geram.

“Semua sudah berakhir, Kanjeng Adipati...,” ucap Ki Tanureja, lirih.

“Apa maksudmu?!” tanya adipati ini, dengan keringat dingin sudah membasahi seluruh wajahnya.

“Mereka sudah mengetahui sandiwara ini, Kanjeng Adipati. Kita tidak bisa mempertahankannya terus...,” sahut kepala desa itu, lemah.

“Kurang ajar! Kau telah mengkhianatiku! Keparat kau, Tanureja!” teriak adipati itu kalap.

Percuma saja Adipati Wiradirga berontak, karena anak buah Ki Tanureja buru-buru mengamankannya. Begitu juga para prajurit kadipaten. Dalam waktu singkat mereka dapat diringkus hingga tidak berkutik oleh para penduduk. Maka sorak sorai penduduk desa ini seketika membahana, mengutuk adipati itu beserta antek-anteknya. Kalau saja Rangga tidak mencegahnya, niscaya mereka akan merajam orang-orang itu dengan kejam.

“Tenanglah, Kisanak semua! Tenang! Kita harus menyelesaikan persoalan ini dengan adil!” teriak Pendekar Rajawali Sakti menenangkan. “Kalau main hakim sendiri, maka kita tidak beda dengan mereka. Orang-orang ini memang telah kelewat batas. Tapi, mereka akan mendapat hukuman yang setimpal. Salah seorang dari kita, telah pergi menghadap Kanjeng Gusti Prabu. Dan tidak lama lagi, akan tiba para prajurit kerajaan untuk membawa mereka!”

“Bagaimana dengan gadis-gadis yang menjadi korban kebiadabannya?!” tanya seorang penduduk.

“Mereka aman. Dan, sampai sekarang masih selamat. Setelah para prajurit Kerajaan Medangwangi tiba, kita akan minta untuk menggeledah kediaman adipati. Tidak lama lagi, mereka akan kembali!” sahut Rangga.

Maka sebelum para prajurit kerajaan yang dijanjikan Pendekar Rajawali Sakti tiba, penduduk desa seperti enggan beranjak dari tempatnya. Mereka seperti tidak ingin orang-orang itu melarikan diri, mengingat perbuatan-perbuatan busuk yang telah dilakukan.

Apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti memang benar. Tidak berapa lama, muncul pasukan Kerajaan Medangwangi kedesa ini, dipimpin seorang panglima muda. Jumlah mereka tidak kurang dari dua puluh lima orang. Tampak Rangga bicara kepada kepala pasukan itu beberapa saat, untuk menjelaskan duduk persoalannya. Kemudian, para prajurit Kerajaan Medangwangi yang membawahi Kadipaten Banyu Mubal itu segera meringkus tawanan untuk diadili di istana kerajaan.

Beberapa penduduk Desa Legowo yang berjumlah sekitar dua puluh orang bergegas mengikuti pasukan kerajaan itu. Sebab, mereka akan singgah ke kadipaten untuk mengabarkan persoalan Adipati Wiradirga kepada keluarga serta para pengawalnya, agar tidak mencari-cari. Dan yang terpenting, melepaskan gadis-gadis yang selama ini disekap adipati itu.

********************

Sementara Ki Sudira sampai saat ini tidak tahu harus berbuat apa-apa. Dipandanginya Rangga yang tengah menenggak minuman yang dihidangkan untuknya.

“Jadi kau akan berangkat sekarang juga, Rangga?” tanya laki-laki gemuk itu dengan suara tercekat di tenggorokan.

“Ya! Persoalan disini sudah selesai, bukan?” sahut Pendekar Rajawali Sakti.

“Eh! Apa tidak-sebaiknya menginap di sini barang satu atau dua hari lagi?” tanya Nyi Sudira bernada penuh harap.

Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. “Aku ingin sekali. Tapi, tak bisa. Masih banyak yang mesti kukerjakan,” tolak Rangga, halus.

“Aku..., merasa bersalah...,” desah Nyi Sudira.

“Kenapa, Nyi?”

“Semula aku mencurigaimu. Bahkan tidak menyukai kehadiranmu yang kuanggap membawa bencana,” lanjut wanita itu dengan suara lirih dan kepala tertunduk malu.

“Itu persoalan biasa. Tidak kenal, maka tak sayang. Tapi kalau kelamaan di sini, malah mungkin saja bukan sayang yang kudapatkan, tapi membuat repot keluarga di sini,” kata Rangga sedikit berkelakar.

“Tidak! Kami sama sekali tidak merasa direpotkan. Iya kan. Kang?” sergah Nyi Sudira, seraya melirik suaminya.

“Tentu saja! Kami tidak merasa kerepotan dengan kehadiranmu!” sahut Ki Sudira cepat.

Rangga tersenyum. “Ya, aku percaya,” desah Pendekar Rajawali Sakti pendek. “Tapi seperti yang tadi kukatakan, masih banyak yang akan kukerjakan.”

Suami istri itu tertunduk mendengarnya, kemudian mengangguk pelan.

“Ya. Aku mengerti, Rangga. Kau membela orang tanpa pamrih. Tentu saja masih banyak lagi orang-orang yang membutuhkan pertolongan,” desah Ki Sudira.

“Syukurlah kalau kau mengerti, Ki....”

“Jadi kau akan berangkat sekarang?”

Rangga mengangguk.

“Aku telah menyiapkan perbekalan untukmu,” lanjut laki-laki gemuk seraya menyerahkan beberapa keping uang emas. “Terimalah meski jumlahnya tak banyak.”

“Jangan membuatku malu, Ki. Apa pun namanya pemberian ini, aku tidak bisa menerimanya. Kalian lebih membutuhkannya. Sedang aku belum kekurangan. Simpanlah. Dan, pergunakan untuk hal-hal lain yang lebih perlu!” tolak Rangga, sangat halus.

“Kami tidak tahu, bagaimana caranya berterimakasih atas semua pertolongan yang kau berikan,” desah laki-laki gemuk itu dengan suara lirih.

“Berterima kasihlah kepada Sang Hyang Widhi. Dia-lah yang menentukan segalanya. Bukan aku.”

Ki Sudira mengangguk.

“Aku pergi dulu, Ki Sudira,” pamit Rangga. Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. “Terima kasih atas hidangannya. Enak sekali!” lanjut Rangga memuji.

“Apakah kita akan bertemu lagi...?” tanya Ki Sudira, pelan.

“Kalau ada umur panjang mudah-mudahan kita akan bertemu lagi!” sahut pemuda itu seraya melangkah tenang.

Di depan rumah Ki Sudira telah berkumpul banyak orang yang mengiringi kepergian Rangga dengan perasaan haru. Mereka berteriak-teriak memuji sambil melambaikan tangan. Dan pemuda itu membalas lambaian tangan mereka, lalu berkelebat cepat bagai kilat. Sehingga sebentar saja Rangga sudah jauh dari pandangan.

Sementara para penduduk hanya saling pandang dengan sinar mata menyiratkan rasa bingung. Cepat sekali pemuda itu lenyap, bagaikan makhluk halus saja. Apakah pemuda tampan itu malaikat? Tak ada seorang pun yang mampu menjawabnya.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: SAYEMBARA MAUT

Siluman Bukit Tengger

SILUMAN BUKIT TENGGER

SATU

“O, Penguasa Agung...! O, penyelamat kami...! Terimalah persembahan kami!”

Beberapa kalimat yang diucapkan dengan irama teratur terdengar dari mulut seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh lima tahun dengan pakaian seperti pendeta. Agaknya, dia adalah seorang pemuka suatu aliran kepercayaan yang tengah memimpin sebuah upacara di sebuah gua di Bukit Tengger ini.

Di belakang laki-laki tua itu berdiri seorang gadis cantik yang tak henti-hentinya menangis sesenggukan, seperti menyesali nasibnya. Di kiri-kanan gadis itu berdiri sambil memegangi, seorang laki-laki setengah baya dan seorang wanita juga berusia setengah baya. Sebentar-sebentar, wanita setengah baya ini ikut menangis, seraya memeluk gadis di sebelah kirinya. Sedangkan beberapa orang lain yang ikut mendampingi, hanya berdiri terpaku tak bisa berbuat apa-apa.

Sementara, matahari makin merambat naik, menerangi mayapada. Namun sengatan sinarnya, seakan tak menghalangi jalannya upacara di depan gua. Dan setelah laki-laki tua pemimpin upacara selesai dengan mantera-manteranya, suasana jadi hening. Tidak ada sahutan apa-apa dari dalam gua. Dan suasana makin menggiriskan ketika angin bertiup semilir.

Kini laki-laki tua pemimpin upacara telah membalikkan tubuhnya. Di berinya isyarat pada gadis cantik itu untuk berjalan memasuki gua di depannya.

Gadis itu tidak langsung melangkah. Sebentar matanya memandang laki-laki setengah baya di samping kirinya. Ketika laki-laki itu mengangguk sambil menelan ludah, gadis itu beralih menatap pada ibunya. Sebentar kedua wanita itu berpelukan, lalu perlahan-lahan gadis itu melepas pelukannya dan berbalik. Sedangkan wanita setengah baya yang masih menangis, menghambur ke dalam pelukan laki-laki setengah baya yang di dekatnya.

“Tidak perlu disesali, Ki dan Nyi Pangestu. Seharusnya kalian beruntung bila Nuning Sari putri kalian, terpilih sebagai korban. Itu suatu kehormatan tiada tara bagi kalian,” ujar laki-laki tua pemimpin upacara.

Laki-laki dan wanita setengah baya yang dipanggil Ki dan Nyi Pangestu ini tidak menyahut. Bahkan tidak menoleh. Apa pun yang akan dikatakan laki-laki tua pemimpin upacara, tidak akan bisa mengobati luka hati karena harus kehilangan gadis bernama Nuning Sari yang ternyata putri mereka satu-satunya.

“Ayah... Ibu...! Aku pergi...,” pamit Nuning Sari, sambil melangkah menghampiri gua tanpa menunggu jawaban kedua orangtuanya. Dia berjalan perlahan-lahan diiringi laki-laki tua pemimpin upacara.

Nyi Pangestu terus menangis. Bahkan terasa semakin keras, membuat suaminya kewalahan. “Anakku, Anakku...!” keluh wanita setengah baya ini berulang-ulang.

“Sudah, sudah! Semuanya sudah ditentukan. Jangan menangis lagi. Nyi. Kita harus tabah menerima semua ini,” hibur Ki Pangestu.

“Anakku.... Oh, dia anak kita satu-satunya! Dia anak kita satu-satunya...!” isak wanita itu, tidak peduli bujukan suaminya.

Sementara Nuning Sari telah menghilang ke dalam gua. Dan saat itu juga tangis Nyi Pangestu semakin kuat terdengar. Suasana benar-benar mengharukan. Siapa yang tidak trenyuh melihat suami istri tengah melepas anaknya untuk dijadikan korban! Konon, korban itu ditujukan untuk Penguasa Bukit Tengger ini.

********************

Udara pagi ini terasa dingin menggigilkan. Sementara kabut masih menyelimuti, bagaikan tirai yang amat tipis. Matahari belum muncul di ufuk timur, meski ayam jantan sudah sejak tadi memanggil-manggil.

Di pinggir jalan yang masih sunyi, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun tengah mengeluh kesal. Sebelah roda pedati yang ditumpanginya patah, terperosok di bibir jurang yang penuh belukar. Jauh di bawah jurang sana terlihat kudanya meringkik-ringkik kesakitan dijemput ajal. Sementara dari dalam pedati sendiri, terlihat butiran-butiran gabah yang terus berjatuhan ke bawah jurang.

“Celaka! Apa yang bisa kukerjakan? Mestikah semua padi ini kubuang untuk menyelamatkan pedatiku?” keluh laki-laki tua ini lagi.

Orang tua ini berjalan mondar-mandir. Dahinya berkerut, berusaha memikirkan langkah terbaik untuk menyelamatkan harta bendanya. Pada saat tubuhnya berbalik....

“Aaa!” Orang tua itu menjerit kaget ketika tiba-tiba melihat satu sosok bayangan di balik kabut sekitar dua tombak di depannya. Seketika kakinya surut ke belakang dengan wajah pucat pasi. Keringat dingin mulai keluar satu persatu. Apalagi, ketika sosok bayangan itu makin mendekatinya.

“Jangan takut, Ki. Aku bukan hantu...,” ujar seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung sambil tersenyum. “Kau kelihatan murung? Ada yang bisa kubantu?”

Orang tua itu terpana. Hatinya sedikit lega, meski detak jantungnya belum kembali berdetak seperti biasa. “Siapa kau?” tegur laki-laki berbadan gemuk terbungkus pakaian dari sutera halus.

“Aku Rangga, seorang pengembara yang kebetulan lewat di sini...,” jelas pemuda berbaju rompi putih ini.

“Kau..., betul-betul manusia?!” cecar laki-laki tua ini.

“Tentu saja. Lihat saja. Kakiku menginjak tanah, bukan?” sahut pemuda berbaju rompi putih ini.

Laki-laki tua itu langsung melihat sepasang kaki pemuda yang tak lain memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Dan nyatanya, sepasang kaki itu memang menapak tanah. “Oh, syukurlah...!” desah orang tua itu lega.

“Apa yang terjadi? Apakah pedati ini milikmu, Ki?” tanya Rangga ketika melihat pedati yang hampir terjerumus ke jurang.

Orang tua itu mengangguk. Mukanya kelihatan kusut. “Kabut menghalangi, membuat kudaku terperosok ke jurang. Mungkin sebentar lagi mati. Masih untung pedatiku tertahan batu besar ini. Kalau tidak, entah apa jadinya. Tidak ada yang bisa kujual ke pasar,” keluh orang bertubuh gemuk yang ternyata seorang pedagang.

“Biar kubantu!” Tanpa meminta persetujuan orang tua itu, Rangga langsung memegang bibir bak pedati dengan sebelah tangan. Saat itu juga, tangannya yang berotot kekar telah menegang. Sejenak ditariknya napas panjang. Lalu....

“Heup!”

“Hei?!” Pedagang tua itu terkesiap seperti tidak percaya dengan penglihatannya. Perlahan-lahan, pedatinya bergerak dan kembali ke jalan semula. Padahal, meski ditarik tiga orang, rasanya akan sulit. Apalagi, pedati ini sarat dengan muatan.

“Nah, sekarang pedati ini telah kembali ke jalan semula. Tinggal memperbaiki rodanya yang patah,” kata Rangga. “Kau bawa golok, Ki?”

“Eh, bawa! Ini...!” Dengan sedikit heran orang tua pedagang itu menyerahkan golok yang terselip di pinggang.

Begitu menerima golok, Rangga segera mencari kulit batang pohon untuk dijadikan tali. Tak begitu jauh tali itu didapat, karena di pinggir jurang banyak pohon-pohon yang memiliki akar-akar yang kenyal dan kuat. Sebentar saja di tangan pemuda itu telah terjulur beberapa utas akar-akar yang kuat.

Dengan cekatan Pendekar Rajawali Sakti mengikat roda pedati yang patah, serta mengganti beberapa bagian yang memang sudah tidak bisa diperbaiki. Meski darurat, namun akhirnya toh roda pedati itu bisa diperbaiki pula.

“Kau memang cerdik, Nak!” puji orang tua itu, ketika Rangga baru saja rampung dengan pekerjaannya. “Tapi kini aku bingung, bagaimana membawa pedati ini...?”

“Ke mana tujuanmu, Ki?” tanya Rangga seraya menyerahkan golok yang tadi dipinjamnya.

“Desa Legowo.”

“Jauhkah tempat itu?”

“Setelah melewati ujung jalan ini, lalu berbelok sedikit ke kiri. Maka akan terlihat sebuah tugu. Itulah batas Desa Legowo,” papar orang tua itu.

“Baiklah. Biar kutarik pedatimu.”

“Hei? Kau sungguh-sungguh?! Pedati ini berat, Nak!”

Rangga hanya tersenyum.

“Ah! Aku tidak tahu, harus bagaimana berterima kasih padamu! Kau telah banyak sekali menolongku...!” desah laki-laki pedagang ini.

“Tidak usah dipikirkan, Ki. Aku sudah senang bisa membantu,” ujar Pendekar Rajawali Sakti.

“Ah! Kau terlalu murah hati, Nak. Eh! Aku sampai lupa memperkenalkan diri. Namaku... Sudira. Oh, ya. Ke mana tujuanmu?”

“Aku hanya seorang pengembara, Ki. Ke mana kakiku melangkah, ke situlah tujuanku,” sahut Rangga sekenanya.

“Kalau begitu, bagaimana kalau sekarang kau ikut ke rumahku? Dan aku paling benci kalau ditolak. Yah, sekadar makan singkong dan minum kopi...!” ajak laki-laki pedagang bernama Ki Sudira ini.

“Baiklah kalau begitu, Ki....”

********************

Ki Sudira tertegun sebentar ketika melihat banyak orang berkumpul di rumah tetangganya. Tapi sebentar kemudian, dia buru-buru mengajak Rangga ke rumahnya.

“Apa yang terjadi di rumah sebelah, Ki? Apakah ada sanak keluarganya yang tertimpa musibah?” tanya Rangga heran, ketika Ki Sudira mengajaknya duduk di ruang tamu.

“Ya...,” sahut Ki Sudira, lirih.

“Ada yang meninggal?” kejar Rangga.

“Anak Ki Jayeng harus dikorbankan nanti malam,” sahut orang tua itu, masygul.

“Dikorbankan? Korban kepada siapa?” desak Rangga, penasaran. Keningnya langsung berkerut.

“Penghuni Bukit Tengger,” sahut Ki Sudira, singkat.

“Hm, aneh! Siapa sebenarnya penghuni Bukit Tengger itu? Kenapa dia meminta korban manusia?”

“Tak seorang pun yang mengetahuinya, Nak. Dia datang bagai angin. Orang-orang menyebutnya sebagai Siluman Bukit Tengger.”

“Tidak ada yang berusaha menyelidiki?”

“Siapa yang berani? Mereka yang melakukan hal itu akan mati. Dulu pernah ada yang coba-coba menyelidikinya. Namun tak lama kemudian orang itu mati. Mayatnya dicampakkan ke tengah-tengah desa. Digantung!”

“Kalau kalian tidak mengirimkan korban?” tanya Rangga, memancing.

“Maka keesokan harinya semua orang desa akan melihat tiga laki-laki penduduk desa akan digantung setiap hari,” sahut Ki Sudira.

“Pernah terjadi?”

Ki Sudira mengangguk. “Dua hari, enam penduduk menjadi korban. Tapi untung kejadian itu tidak menimpa desa ini.”

“Siluman itu juga meresahkan penduduk desa lain?” kejar Rangga lagi.

Orang tua itu mengangguk. “Ada empat desa di sekitar wilayah Pegunungan Tengger. Maka dari setiap desa dimintai korban dua orang setiap minggu, secara bergiliran.”

“Lalu, dari mana mereka tahu korbannya? Apakah hal itu diatur kepala desa?”

“Tidak! Pada hari yang ditentukan, maka di pintu rumah mereka akan terlihat tanda merah. Itu berarti, si pemilik rumah harus menyerahkan anak perawannya untuk dikorbankan.”

“Anak perawan?”

“Ya! Siluman itu selalu minta perawan suci yang berusia belasan tahun.”

“Edan!” rutuk Rangga, seraya menghantamkan kepalan tangan kanan ke telapak tangan kiri.

“Hus! Jangan keras-keras, Nak! Orang-orang percaya kalau siluman itu sakti. Dia bisa mendengar serta mengetahui siapa saja yang coba melawan dan membantah. Kita akan kualat!” ujar Ki Sudira memperingatkan.

“Siluman tidak butuh perawan! Yang butuh perawan hanya laki-laki hidung belang!” dengus Rangga gusar.

“Hus! Jangan keras-keras!” Ki Sudira kembali memperingatkan.

Paras muka laki-laki tua ini tampak ketakutan. Dan sesekali matanya melirik ke sekelilingnya. Dia takut kalau, saat itu juga ocehan pemuda di depannya terdengar sang siluman yang dipercaya sering gentayangan di empat pelosok desa.

“Kau takut, Ki?” tanya Rangga tersenyum.

“Siapa yang tidak takut kualat? Siapa pun orangnya yang coba melawan, akan binasa,” sahut Ki Sudira meyakinkan.

“Dan selamanya penduduk desa ini akan terus begini?”

“Kami tidak punya pilihan lain. Ada beberapa orang yang coba mengungsi, tapi esok hari mayatnya tergeletak di tengah-tengah pemukiman penduduk.”

“Kalau begitu, siluman itu harus dilawan. Kalau tidak, dia akan besar kepala dan berbuat sesuka hatinya!” tandas Rangga, mantap.

“Aduh, Nak! Kumohon, jangan keluarkan kata-kata itu! Siluman itu akan mendengar dan membunuhmu nantinya!” ujar Ki Sudira bernada meratap. Hatinya benar-benar khawatir kata-kata pemuda itu akan terdengar oleh Siluman Bukit Tengger.

Rangga kembali tersenyum. Orang tua ini kelihatannya percaya betul kalau Siluman Bukit Tengger akan mendengar siapa saja orang yang membicarakan dirinya. Sungguh hebat! Tapi..., apa mungkin siluman doyan perawan? Ini yang membuat Rangga tidak bisa mempercayai begitu saja. Tapi melihat kekhawatiran Ki Sudira, rasanya beralasan. Orang-orang di desa ini sudah telanjur dilanda ketakutan.

“Kapan persembahan itu akan dilakukan?” tanya Rangga mengalihkan pembicaraan.

“Sebentar lagi, bila persiapan telah selesai,” sahut Ki Sudira.

“Kau ingin ikut mengantar, Ki?”

“Iya.”

“Orang luar sepertiku boleh juga?”

“Tidak ada larangan. Karena semakin banyak yang mengantarkan si korban, maka akan semakin baik. Itu membuktikan kepatuhan terhadapnya,” sahut laki-laki gemuk itu lagi.

Rangga mengangguk pelan.

“Tapi kuingatkan, Nak. Sebaiknya jangan macam-macam di tempat upacara pengorbanan itu!” ujar Ki Sudira, khawatir.

Pemuda itu tersenyum. “Tidak. Aku tidak macam-macam. Tapi kalau sekadar ingin melihat tampang siluman itu, apakah termasuk pelanggaran?” tanya Rangga.

“Tiada seorang pun yang pernah melihatnya!”

“Berarti tidak dilarang?”

“Bukan begitu. Sebab, tidak boleh seorang pun mendekati gua itu. Dan berarti pula, tidak diperbolehkan mengetahui sang siluman tersebut,” jelas Ki Sudira.

“Gua? Jadi gadis-gadis itu dimasukkan ke dalam gua?” gumam Rangga, seperti berkata sendiri.

Ki Sudira mengangguk. Rangga menghela napas. Matanya memandang ke jurusan lain dengan tatapan kosong. Pikirannya mulai menduga-duga serta membuat rencana.

********************

DUA

Memang sudah jadi watak seorang pendekar, bila melihat ketidakadilan dan tindak kesewenang-wenangan, akan selalu menumpasnya. Paling tidak, begitulah tekad Pendekar Rajawali Sakti setelah mendengar penjelasan Ki Sudira. Baginya, upacara pengorbanan tumbal manusia adalah suatu perbuatan nista yang harus dicegah. Dalam kamus hidupnya, upacara itu tak lebih dari perbuatan iblis neraka.

Maka tak heran kalau kini Rangga yang dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti, seorang pendekar digdaya di jagad ini, berusaha untuk menyelidikinya. Kini Pendekar Rajawali Sakti berjalan bersama penduduk Desa Legowo menuju Bukit Tengger. Menurut Ki Sudira, hari ini yang akan dikorbankan adalah gadis bernama Sri Ayem, putri Ki dan Nyi Rambang.

Berjalan paling depan adalah Sri Ayem, seorang gadis yang beranjak remaja. Di belakangnya, Ki Rambang bersama istrinya. Di belakang suami istri itu terlihat seorang laki-laki tua berpakaian pendeta. Dari Ki Sudira, Rangga tahu kalau orang yang memimpin upacara pengorbanan ini bernama Ki Sepuh. Sementara paling belakang, mengiringi sekitar dua puluh lima orang tetangga Ki Rambang.

“Masih jauh lagi?” bisik Rangga pada Ki Sudira saat mereka sudah mendaki Bukit Tengger.

“Sebentar lagi...,” sahut Ki Sudira.

Apa yang dikatakan laki-laki gemuk itu memang benar. Sekitar lima puluh tombak dari tempatnya sekarang, di atas sana Rangga melihat sebuah mulut gua yang dikanan serta di kirinya dipasangi umbul-umbul berwarna-warni. Juga tidak ketinggalan beberapa hiasan terbuat dari janur.

“Di situ?” tanya Rangga lagi, ingin memastikan.

Ki Sudira mengangguk. Dalam waktu singkat mereka tiba disana. Kemudian tampak Ki Sepuh memberi isyarat agar iring-iringan berhenti. Laki-laki tua berpakaian pendeta itu melangkah mendekati mulut gua, dan berhenti saat jaraknya telah terpaut tujuh langkah.

“O, Dewa Yang Agung! O, Penghuni Bukit Tengger! O, Pelindung Kami Yang Mulia! Hari ini kami datang membawakan sesuatu bagimu. Mudah-mudahan kau berkenan dan tetap melindungi kami semua dari segala bencana...!” panggil Ki Sepuh dengan irama teratur dan ditingkahi dengan mantera-mantera.

Ki Sepuh kemudian berlutut, setelah memberi isyarat pada rombongan ini untuk berlutut pula. Tak terdengar sahutan apa-apa. Namun mereka semua tampak khidmat sambil menundukkan kepala, mendengarkan Ki Sepuh yang kembali membaca mantera-mantera.

Di antara mereka, rasanya hanya Pendekar Rajawali Sakti saja yang tidak bisa tenang. Sebentar-sebentar matanya memandang ke mulut gua, lalu beralih ke sekeliling tempat seperti tengah mengawasi. Dan Rangga melihat tak ada sesuatu yang mencurigakan. Semuanya tenang seperti sediakala. Sepertinya tidak akan terjadi apa pun.

Pandangan Rangga kembali tertuju pada Ki Sepuh yang telah selesai membaca mantera-mantera. Laki-laki tua itu kini berdiri, dan melangkah ke arah Sri Ayem perlahan-lahan.

Sementara itu Sri Ayem sendiri mulai melangkah satu-satu mendekati mulut gua setelah dibimbing Ki Sepuh. Dan gadis itu berhenti sebentar memandang orangtuanya.

“Ayah...! Ibu...!” seru Sri Ayem lirih.

Suami istri itu memandang putrinya agak lama. Tapi kemudian mereka menunduk. Sementara Nyi Rambang agaknya kurang tabah menghadapi peristiwa ini. Air matanya yang sejak tadi menggantung, kini tertumpah. Bahkan semakin keras bersama isak tangisnya.

“Kalian mendapat kehormatan, karena Sri Ayem terpilih. Tidak seharusnya berduka seperti itu,” tegur Ki Sepuh, mengingatkan setelah membimbing Sri Ayem dan kembali ke tempatnya.

Suami istri berusia setengah baya itu tidak menyahut. Mereka hanya tertunduk lesu, pasrah dengan nasib yang menimpa.

“Hadapkan wajahmu ke sana. Dan, tersenyumlah. Kau makhluk mulia yang diinginkan dewata. Oleh sebab itu, janganlah bersedih. Sebab dewata akan murka jadinya,” tegur Ki Sepuh ketika melihat Sri Ayem masih memandangi kedua orangtuanya.

Gadis lugu itu memandangi laki-laki tua ini sebentar kemudian mengangguk lesu. Mukanya masih saja pucat. Dengan langkah gemetar memasuki mulut gua.

Memang, biar bagaimana pun, tetap saja hati Sri Ayem cemas dan gelisah. Dia tak tahu, siapa atau apa yang akan menyambutnya di dalam gua itu. Manusiakah? Siluman berwujud makhluk mengerikan? Atau apa?

Memang tak seorang pun yang tahu apa yang terjadi pada gadis itu setiba di dalam gua. Dan ketika Sri Ayem memasukinya, tidak terdengar jerit kesakitan atau ketakutan. Seolah-olah gadis itu raib ditelan bumi.

Ki Rambang dan istrinya masih terduduk lesu. Kesedihan yang membayangi wajah mereka tidak akan sirna secepat itu. Meski Ki Sepuh membujuk dengan kata-kata manis dan menghibur.

“Dewata akan mengganjarmu dengan karunia yang lebih baik atas kepatuhanmu ini. Oleh sebab itu, janganlah bersedih. Itu menandakan bahwa kalian tidak ikhlas melepas Sri Ayem....”

Ki Rambang memandang Ki Sepuh sebentar, kemudian membujuk istrinya untuk tabah. Perlahan-lahan mereka beranjak meninggalkan tempat itu, mengikuti rombongan yang telah angkat kaki lebih dulu.

“Aduh, kebelet betul! Silakan pulang dulu, Ki. Aku akan cari tempat aman untuk buang hajat!” kata Rangga ketika telah beberapa langkah meninggalkan Bukit Tengger.

Ki Sudira sedikit curiga, meski alasan yang dikemukakan pemuda itu masuk akal. Namun karena Rangga membuat wajahnya demikian meyakinkan, sehingga mau tak mau orang tua itu percaya. Wajahnya tampak khawatir, namun pemuda itu agaknya pandai membujuk orang.

“Jangan khawatir, Ki. Siluman Bukit Tengger tidak suka padaku karena aku bukan perawan!” lanjut Rangga enteng, ketika membaca raut wajah Ki Sudira.

Orang tua itu menggeleng lemah, tapi tak bisa berbuat apa-apa. “Terserahmulah.... Tapi ingat, Rangga! Ingat pesanku tadi,” ujar orang tua itu.

“Baik, Ki!” sahut Rangga, mantap.

Dan Ki Sudira segera angkat kaki, menyusul rombongan yang sedang menuruni bukit. Rangga berlari kecil, menuju semak-semak. Sesekali orang tua itu coba meyakinkan kalau Rangga tidak kembali ke tempat semula. Meski melihat arah yang dituju pemuda itu berlainan, namun entah kenapa hatinya tetap saja cemas.

Benar saja. Tepat ketika rombongan itu tak terlihat lagi. Rangga keluar dari semak-semak. Masih sempat matanya memandang ke arah kepergian mereka, sebelum akhirnya kembali ke tempat gua persembahan.

“Aku harus tahu, apa isi perut gua itu!” gumam Rangga mantap.

Dengan sekali berkelebat, Pendekar Rajawali Sakti telah berada di dekat mulut gua. Dia sengaja tidak datang dari depan gua, tapi dari perbukitan di atasnya. Ketika jaraknya dengan gua terpaut kurang lebih sepuluh langkah, pemuda itu diam mematung.

Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memejamkan matanya seraya sambil mengerahkan aji ‘Pembeda Gerak Dan Suara’ untuk mengamati keadaan di dalam gua. Dalam keadaan seperti ini, suara jarum jatuh pun rasanya akan terdengar oleh pendengarannya.

“Hm, aneh...!” gumam Rangga. “Gua ini kosong. Ke mana perginya gadis itu?”

Dengan dahi berkerut dan heran, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun. Tubuhnya langsung merapat ke samping kiri mulut gua, kemudian dengan hati-hati masuk ke dalam.

“Tidak ada siapa-siapa di sini?” gumam Pendekar Rajawali Sakti kembali seperti bertanya sendiri, sambil memperhatikan ruangan di dalam gua.

Apa yang dilihat pemuda berbaju rompi putih ini memang membingungkan. Karena, isi gua itu tidak terlalu luas. Di dalamnya tidak terdapat sesuatu yang berarti.

“Tidak mungkin dia hilang begitu saja...!” desis Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti mengamati keadaan isi gua ini dengan seksama. Setiap lekukan di permukaan dinding maupun tanah, tidak luput dari perhatiannya.

“Aku yakin ada ruangan di balik dinding gua ini....” Baru saja kata-kata Rangga selesai, mendadak satu sosok bayangan kecil berkelebat ke arahnya.

Siut!

“Hei?!”

Sosok bayangan kecil yang ternyata seekor kelelawar melesat cepat keluar gua, hampir menabrak wajah Pendekar Rajawali Sakti. Untung saja Rangga cepat menjatuhkan diri untuk menghindar. Dan secara tak sengaja, sebelah kakinya menghantam sebuah batu yang mencuat satu jengkal dari permukaan tanah.

Grek... Greg...!

Siut!

Begitu salah satu bagian dinding gua bergeser, saat itu juga belasan anak panah melesat ke arah Rangga. Pemuda ini terkejut, namun untungnya dalam keadaan rebah di tanah. Sehingga, tubuhnya terhindar dari terjangan anak-anak panah.

“Gila! Tempat ini sekaligus merupakan perangkap. Kalau saja aku dalam keadaan berdiri pasti telah disate!” desis Pendekar Rajawali Sakti seraya bangkit berdiri dengan helaan napas lega.

Kemudian dengan hati-hati Pendekar Rajawali Sakti melangkah masuk ke dalam dinding gua yang tadi sedikit bergeser. Di situ terdapat sebuah terowongan yang diterangi beberapa buah obor tertancap di dinding. Sulit ditaksir, berapa panjang terowongan. Karena jauh di depannya, keadaan amat gelap. Terowongan itu sendiri tidak terlalu luas. Lebarnya kira-kira dua kali tubuhnya. Dan Rangga sendiri mesti sedikit membungkuk, saat memasukinya. Namun baru beberapa langkah memasuki terowongan ini....

“Siapa?!”

Tiba-tiba terdengar bentakan keras di ujung lorong. Rangga terdiam sebentar. Sulit baginya untuk bersembunyi. Suara itu berasal dari bagian ujung lorong yang gelap. Sedang dia berada di tempat terang. Seseorang pasti telah mengetahui dan sejak tadi memperhatikannya.

“Siapa?!” Kembali terdengar bentakan.

“Aku...,” sahut Rangga.

“Siapa namamu?!”

“Rangga....” Sambil berkata begitu. Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah mendekati. Tapi baru saja sampai di bagian yang gelap, pintu di belakangnya bergeser dan kembali menutup. Rangga terkejut, langsung menoleh.

Siuuut!

Saat itu dari arah depan terasa angin kencang bersiur ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Hei?!” Rangga kembali memandang ke depan. Dan betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, melihat belasan anak panah meluncur ke arahnya. Kali ini tidak ada jalan lagi baginya untuk menghindar. Dengan kuda-kuda kokoh, Rangga cepat menghentakkan kedua tangannya.

“Aji ‘Bayu Bajra’.... Yeaaah...!”

Wuss...!

Trak! Traak!

Saat itu juga anak-anak panah yang meluncur berpentalan ke segala arah, tersapu ajian ‘Bayu Bajra’ yang dikeluarkan Rangga. Tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat menghampiri ujung lorong. Kali ini tidak ada anak panah yang meluncur menghalangi geraknya.

Pada saat berkelebat, pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti yang tajam melihat sesosok bayangan bergerak gesit ke bawah. Secepat kilat Rangga melompat dan mengejar. Tanpa disadarinya dia telah berada dalam sebuah ruangan yang cukup besar di perut bukit. Ujung terowongan itu sendiri berada agak di atas.

“Berhenti kau!” bentak Pendekar Rajawali Sakti, seraya mencelat dan persis melayang di atas orang yang tengah dikejarnya.

Set!

Mendadak orang yang dikejar mengebutkan tombak. Namun secepat itu pula Rangga menarik kakinya yang terjulur. Begitu serangan lewat, dengan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’ Pendekar Rajawali Sakti kembali meluruk hendak melanjutkan serangan.

Wesss!

Tapi selarik cahaya keperakan melesat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiiih!” Saat itu juga Rangga menghentakkan kedua tangannya dengan pengerahan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’.

Wess...!

Seketika sinar merah membara melesat, memapak luncuran sinar keperakan yang menuju ke arahnya. Dan....

Jdeer!

Terjadi benturan dahsyat, membuat perut bukit ini terasa bergetar seperti dilanda gempa. Pada saat yang sama, sosok bayangan tadi telah kembali berkelebat, dan masuk ke dalam lorong lain. Lalu....

Gregg...!

“Hei?!” Rangga terkejut bukan main melihat salah satu dinding gua yang lain terbuka hendak menutup kembali. Sekali dia berkelebat cepat, berusaha menembus celah dinding yang sebentar lagi tertutup rapat.

“Uts!”

Greg!

Tepat saat Pendekar Rajawali Sakti melewati, maka dinding gua itu merapat kembali. Tubuhnya berjumpalitan beberapa kali, lalu hinggap di atas sebuah batu besar. Dan ternyata, kini dia telah berada di luar, pada salah satu tebing Bukit Tengger. Sementara buruannya lenyap entah ke mana, hilang seperti ditelan bumi.

“Kurang ajar...!” dengus Rangga geram.

Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang telah sangat tinggi, Pendekar Rajawali Sakti melompat dari satu tempat ke tempat lain. Dikitarinya tempat itu untuk mencari buruannya. Namun tidak juga kunjung didapat. Setelah sekian lama tidak juga menemukan tanda atau jejak buruannya, Rangga melangkah penuh kecewa meninggalkan tempat itu.

“Eh...?!” Nyaris saja Rangga terkejut, ketika Ki Sudira tahu-tahu muncul dari balik semak-semak.

“Ah, syukurlah! Aku mencari-carimu ke mana-mana. Kukira kau tersesat!” desah Ki Sudira.

Rangga memperhatikan laki-laki gemuk itu sesaat dengan tatapan curiga. Diperhatikan kedua bahu serta hela napas Ki Sudira.

“Dari mana saja kau?” tegur Ki Sudira, memotong dugaan Rangga. Dan memang bahu serta hela napas laki-laki gemuk itu tidak memburu kencang, seperti orang yang habis berlari. Berarti Ki Sudira memang bukan orang yang dimaksud.

“Oh, ini... jalan-jalan sebentar.”

“Kau tentu tidak macam-macam dengan tempat itu, bukan?”

“Ah, tidaaak.”

“Aku khawatir terjadi apa-apa denganmu. Itulah sebabnya aku kembali lagi menyusulmu. Kucari ke tempat tadi, ternyata kau tak ada. Lalu, kuputuskan kembali ke tempat ini dan mengitarinya,” jelas Ki Sudira, menepis kecurigaan Rangga yang tersirat dari tatapan matanya.

“Ah, aku jadi merepotkanmu saja, Ki...!”

“Ah, tidak. Eh, ngomong-ngomong sepertinya kau tengah mengejar seseorang atau apa?” tebak Ki Sudira.

“Hm, ya. Kau melihatnya, Ki?”

“Astaga!” Orang tua bertubuh gemuk ini terkejut. Buru-buru ditariknya lengan Rangga dan diajaknya meninggalkan tempat ini secepat mungkin.

“Ada apa, Ki?” tanya Rangga tenang ketika mereka telah jauh dari kawasan itu.

“Kau yakin tidak mengacak-acak tempat itu?” Ki Sudira malah balik bertanya.

“Tempat apa?” tanya Rangga lagi.

“Gua itu tentunya!”

“Tidak.”

“Dan orang yang kau kejar itu siapa?”

“Aku tak tahu. Dia muncul tiba-tiba saja, kemudian memanahku. Dan saat kukejar, dia kabur dan menghilang. Kau melihatnya, Ki?”

“Tidak! Tapi kau perlu waspada.”

“Kepada siapa?”

“Jangan-jangan itu adalah siluman penunggu bukit ini!” sahut Ki Sudira dengan wajah meyakinkan.

Rangga tersenyum. “Aku sungguh-sungguh, Rangga! Jangan anggap enteng persoalan ini!” seru orang tua gemuk itu meyakinkan.

“Ya, aku juga menganggapnya demikian.”

“Sebaiknya kau jangan dekat-dekat di bukit itu lagi. Berbahaya! Masih untung kau selamat,” ujar Ki Sudira, mengingatkan.

“Ya,” sahut pemuda itu, sekadar melegakan hati Ki Sudira.

Meski begitu, Ki Sudira agaknya masih belum puas. Hatinya masih terus dihantui perasaan takut dan cemas. Bukan saja terhadap nasib pemuda ini, tapi juga nasib keluarganya. Dan selama Rangga ada di rumahnya, maka Ki Sudira tidak yakin kalau pemuda ini akan patuh pada larangannya agar tidak mengusik gua itu lagi. Tapi mengusir Rangga pun, dia tidak sampai hati. Karena, Rangga telah berjasa padanya.

Dan Rangga bukannya tidak mengerti. Sikap Ki Sudira mencurigakan. Dan dari paras mukanya, bisa ditafsirkan kalau Ki Sudira tidak menghendakinya berlama-lama di sini. Khususnya, di rumahnya sendiri.

“E, maaf, Ki. Kalau kau tak keberatan aku akan langsung pergi saja. Jadi aku tidak mampir ke rumahmu dulu,” ucap Rangga ketika sebentar lagi memasuki Desa Legowo tempat tinggal Ki Sudira.

“Baiklah, Rangga. Kalau itu maumu,” sahut Ki Sudira, tak terkesan ingin menahan. Dan Rangga cukup menyadarinya.

“Maaf, telah merepotkanmu, Ki....”

“Ah, tidak mengapa. Justru aku yang telah merepotkanmu!” sahut Ki Sudira dengan senyum lega. “Hati-hati di jalan. Dan, jaga dirimu baik-baik.”

********************

TIGA

“Oh, Ki Sepuh! Ada apa gerangan? Silakan duduk.”

Ki Sudira sedikit terkejut ketika melihat kehadiran Ki Sepuh di ruang tamunya, pada malam hari seperti ini. Laki-laki tua yang menjabat pemuka adat serta kepercayaan di Desa Legowo ini mengangguk pelan dan duduk dengan tenang. Sementara, jantung Ki Sudira terus berdetak semakin kencang pertanda gelisah dengan hati penuh dengan tanda tanya. Bukan hal yang lazim kalau Ki Sepuh datang ke tempatnya.

“Kudengar kau mengundang seorang tamu?” tanya Ki Sepuh dengan tatapan menyelidik.

“Eh! Benar, Ki!” sahut Ki Sudira pendek.

“Tamu itu tentunya bukan orang sembarangan?” duga Ki Sepuh.

“Kelihatannya begitu.”

“Apa maksudmu?”

“Tidak ada maksud apa-apa, Ki Sepuh. Dia menolongku subuh tadi ketika pedatiku nyaris terjerumus ke jurang. Lalu dia kuajak kemari sekadar menghirup kopi dan makan singkong rebus. Apakah itu perbuatan salah?” tanya Ki Sudira, polos.

“Aku bisa merasakan kalau tamumu membawa bencana bagi kita!” desis Ki Sepuh, menyentak Ki Sudira.

“Bencana, Ki? Bencana apa?!” tanya Ki Sudira, tercekat.

“Dia coba mengusik keberadaan penghuni bukit itu!” papar Ki Sepuh langsung.

“Astaga! Bagaimana mungkin? Aku telah memberitahukan agar dia tidak macam-macam. Apa yang telah dilakukannya?”

“Dia telah memasuki gua terlarang dan mengusik penghuninya!”

“Astaga!” Kekagetan Ki Sudira semakin menjadi saja mendengar keterangan itu. “Bocah itu akan celaka! Padahal aku telah memperingatkannya.”

“Mana tamumu itu?”

“Dia sudah meninggalkan tempat ini. Sebenarnya, aku pun khawatir. Pemuda itu sepertinya ingin mengetahui semuanya. Oleh sebab itu, aku tidak berani menahannya berlama-lama di sini,” sahut Ki Sudira menjelaskan.

“Bagus! Tindakanmu sudah tepat!” sambut Ki Sepuh, sedikit cerah.

“Eh! Apa..., apakah pemuda itu akan kualat dan terkena bencana, Ki Sepuh?” tanya Ki Sudira, takut-takut.

“Tentu saja! Setiap orang yang coba-coba mengusik keberadaan penghuni Bukit Tengger, akan dikutuk!” jawab Ki Sepuh, meyakinkan.

“Dan..., apakah kami pun terkena getahnya?” tanya Ki Sudira, penuh kekhawatiran.

Ki Sepuh tidak langsung menjawab. Dipandanginya laki-laki gemuk ini dengan seksama. “Kau tidak ikut campur dalam perbuatannya, bukan?”

“Tentu saja tidak! Mana aku berani.”

“Itu berarti, kau tidak ikut campur dan tidak terkena getah perbuatannya sendiri.”

Wajah laki-laki gemuk itu jadi lega mendengar jawaban Ki Sepuh.

“Kalau dia datang ke sini, maka kau tidak boleh menerimanya. Kau tahu, dia akan membawa bencana yang lebih besar bagi desa kita? Mengerti?” ujar Ki Sepuh.

“Eh! Iya..., iya!” sahut Ki Sudira, langsung.

“Bagus! Sekarang aku pergi dulu,” lanjut Ki Sepuh, seraya beranjak meninggalkan tempat ini.

Sepeninggal Ki Sepuh, istri Ki Sudira tergopoh-gopoh menghampiri suaminya.

“Ada apa, Kang? Kudengar tamu kita itu membawa bencana?!” tanya Ki Sudira.

“Begitulah menurut Ki Sepuh...,” desah Ki Sudira.

“Aduh, celaka kita! Di mana pemuda itu sekarang?” keluh Nyi Sudira. Wajahnya tampak cemas.

“Sudah pergi,” kata Ki Sudira, lirih.

“Betul-betul sudah pergi?! Kakang usir?”

“Tidak. Dia pergi sendiri.”

“Syukurlah. Eh! Sebenarnya, bencana apa yang dibuat pemuda itu?” tanya Nyi Sudira penuh rasa ingin tahu.

“Dia telah memasuki gua terlarang itu,” jawab Ki Sudira, pendek.

“Astaga! Sungguh gila anak itu. Apa dia tak takut mati?!”

Ki Sudira terdiam. Ucapan istrinya menggugah pikirannya. Sekaligus membuatnya heran.

“Biasanya, orang akan mati kalau berani memasuki pintu gua. Tapi pemuda itu malah ke dalam dan..., dia masih segar-bugar,” ucap Ki Sudira seperti pada diri sendiri.

“Sudah! Jangan persoalkan hal itu. Yang penting, dia tidak boleh berada di rumah kita! Kau harus ingat, Kang. Kita punya dua anak perempuan. Aku tidak mau mereka celaka karena pemuda itu!” tegas Nyi Sudira.

Laki-laki setengah baya itu diam saja tak menjawab.

“Kang! Kau dengar kataku, kan? Kalau pemuda itu masih di sini, dia akan membawa bencana bagi kita!” tambah Nyi Sudira, penuh kekhawatiran.

“Iya, ya...!” sahut Ki Sudira ragu.

Hati Ki Sudira sebenarnya tidak tega untuk menjawab. Bagaimanapun, pemuda itu bukan orang jahat. Hanya saja keinginannya bisa mencelakakan. Bukan hanya kepada dirinya sendiri, tapi juga kepada orang lain.

********************

Ki Sepuh melangkah pelan memasuki rumahnya, yang sederhana namun cukup terawat. Wajahnya kelihatan tegang dengan pandangan lurus ke depan. Di halaman rumahnya yang berpagar tinggi, seseorang menyambutnya dengan membungkuk.

“Ada tamu untukku, Tumang?” tanya Ki Sepuh.

“Tidak, Ki,” sahut pemuda yang dipanggil Tumang.

“Hm... ya, sudah. Kunci pintunya kembali,” perintah laki-laki tua ini.

“Baik, Ki.”

Orang tua itu tak banyak bicara lagi. Kakinya terus melangkah masuk ke dalam ruang tamunya. Disambarnya cangkir di meja lalu diteguknya sebentar. Kemudian dia terus masuk ke kamar.

Ruangan ini kosong tanpa perabotan. Bau kemenyan segera menyengat penciuman. Tak ada penerangan. Dan ini memang sengaja dibiarkan begitu oleh Ki Sepuh. Dan baru saja Ki Sepuh membungkuk hendak duduk bersila di depan pedupaannya....

“Kaukah yang bernama Ki Sepuh?”

Mendadak terdengar suara menyapa, nyaris membuat orang tua itu melompat keluar. Namun Ki Sepuh berusaha menguatkan hatinya. Dicobanya menegaskan pandangan seraya menatap lurus ke depan. Pada salah satu pojok ruangan, terlihat satu sosok orang tengah duduk bersila. Wajahnya tidak terlihat jelas. Namun di punggungnya terlihat gagang pedang yang menyembul ke atas.

“Siapa kau?! Lancang betul memasuki ruanganku!” bentak Ki Sepuh geram.

“Kudengar kau mendatangi tempat Ki Sudira. Kau mengancamnya?” tanpa mempedulikan bentakan Ki Sepuh, orang itu malah balik bertanya.

“Aku tidak akan menjawab pertanyaan orang yang tak kukenal!” sahut orang tua itu tegas.

“Kau tak perlu mengenalku. Sebab, kau hanya perlu menjawab!” balas sosok itu.

“Kau tidak akan mendapat jawaban apa pun dariku! Ini tempatku. Dan aku bisa berbuat apa pun di sini. Keluarlah, sebelum kau celaka!” gertak Ki Sepuh, mendengus tajam.

Didalam kegelapan, sosok itu tersenyum dingin. Kemudian, perlahan dia bangkit. Namun, tetap berada di tempatnya semula. “Aku menunggu ancamanmu. Dan setelah itu, maka kau akan melihat bahwa aku pun bisa berbuat sesuka hatiku padamu!” balas sosok itu tak kalah gertak.

“Siapa kau sebenarnya. Dan, apa maumu?!” desis Ki Sepuh.

Suara orang tua ini bergetar penuh ketakutan. Paling tidak, disadari kalau dia tak akan mampu berbuat apa-apa selain berteriak. Dan sebelum itu dilakukan, sosok ini bisa saja membunuhnya.

“Sudah kukatakan dari tadi, kau tak perlu tahu siapa diriku. Aku hanya ingin kau menjawab beberapa pertanyaan yang kuajukan!” sergah sosok ini, penuh tekanan.

“Pertanyaan apa?” tanya Ki Sepuh.

“Kenapa kau menakut-nakuti Ki Sudira?”

“Aku tidak menakut-nakutinya.”

“Apa hubunganmu dengan siluman bukit itu?”

“Tidak ada. Aku hanya sekadar membawakan upacara.”

“Kalau begitu, bagaimana kau tahu bahwa tamu Ki Sudira memasuki gua itu. Padahal, kau telah lebih dulu pulang?” ucap sosok ini, menyudutkan Ki Sepuh.

Ki Sepuh terdiam. Tubuhnya kelihatan mulai gemetar. Dan keringat dingin keluar pelan-pelan dari pori-porinya.

“Jawab pertanyaanku!” desak sosok itu, penuh tekanan dan ancaman.

“Eh! Aku..., aku hanya kebetulan tahu saja,” kilah Ki Sepuh.

“Tidak mungkin!”

“Sungguh! Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan penghuni bukit itu.”

“Kau tahu? Aku bisa saja menghancurkan gua itu. Tapi, itu tidak kulakukan. Dan itu berarti, aku tidak takut sedikit pun pada siluman keparat yang kalian takuti!” tandas sosok itu.

“Kau..., kau tamu Ki Sudira?” tanya Ki Sepuh tergagap.

“Kau tak perlu tahu!”

“Entah siapa pun kau, sebaiknya pergilah dari desa ini. Mungkin saja kau berani. Tapi, kami di desa ini amat ketakutan. Karena, kami yang nantinya menjadi korban....”

“Kau tidak perlu mewakili orang-orang desa. Kau tidak punya istri, apalagi anak. Siluman itu hanya menginginkan perawan belasan tahun, sehingga kau tidak perlu kehilangan seseorang yang kau kasihi. Oleh karena itu, kau tidak akan merasakan kesedihan yang berkepanjangan seperti mereka yang kehilangan putrinya. Dan kau malah menjadi penghubung antara mereka dengan siluman jahanam itu. Kau sungguh terkutuk dan biadab. Orang Tua! Sekarang, katakan padaku! Siapa siluman itu?! Dan, di mana dia sekarang?!” ujar sosok itu, makin menyudutkan.

“Eh! Aku..., aku sungguh-sungguh tidak bisa mengatakan apa-apa padamu,” sahut Ki Sepuh, serba salah.

“Bukan berarti kau tidak tahu, bukan? Kalau kau terus melakukan persekongkolan ini, berarti sama biadabnya dengan siluman itu. Kau telah menjerumuskan orang-orang desa!”

“Tidak! Itu tidak benar. Aku hanya sekadar menjalankan tugas!” sangkal orang tua itu.

“Tugas apa?! Ikut membantu menyengsarakan penduduk desa ini?! Dosamu terus bertambah. Orang Tua! Kau tidak punya harga diri! Demi sepotong nyawamu yang tak berharga, kau relakan penduduk desa ini diliputi ketakutan. Tapi meski bagaimana pun, aku akan menyingkap semua tabir yang menyelimuti desa ini. Akan kutangkap siluman keparat itu!” desis sosok itu, mantap.

Baru saja kata-kata sosok ini selesai, pada saat itu juga tubuhnya melesat ke atas secepat kilat. Dan tubuhnya langsung menembus genteng rumah Ki Sepuh yang sudah terbuka. Bahkan genteng itu kembali tersusun seperti semula!

“Hhh....” Ki Sepuh menghela napas lega. Dengan tingkat kepandaian seperti itu, sosok tadi memang tidak bisa dianggap enteng. Ki Sepuh bisa celaka, kalau orang itu bersungguh-sungguh membuktikan ancamannya.

********************

Malam semakin pekat menyelimuti Desa Legowo ini. Dan gerimis turun pelan-pelan, seperti meratapi tingkah manusia yang berbuat nista dengan segala tindak-tanduknya. Dari kejauhan terdengar lolongan serigala. Dalam keadaan begini, tak seorang pun penduduk desa yang berani keluar rumah. Sehingga keadaan betul-betul sunyi dan mencekam!

Ki Sudira duduk di ruang depan sambil mengisap rokoknya dalam-dalam. Wajahnya kusut dan keruh diliputi ketegangan. Kelihatan kalau hatinya tidak tenang. Pikirannya memang gelisah, sejak Ki Sepuh datang tadi. Dan perasaan was-was terus berkecamuk. Sebentar-sebentar dia bangkit dari kursi dan melihat keadaan istri dan kedua putrinya. Dan ketika keadaan mereka baik-baik saja, kembali dia bergerak ke tempat semula. Meski begitu, hatinya tetap belum tenang. Entah kenapa, sepertinya laki-laki itu merasa sesuatu akan terjadi padanya. Atau....

Wut!

“Eh!” Ki Sudira tersentak kaget. Entah, apakah pandangan matanya yang salah lihat. Namun dia merasakan ada sesuatu yang berkelebat bagai angin dari arah samping, melintas di depan rumah. Kebetulan, pintu ruang depannya sedikit terbuka. Dengan hati-hati orang tua itu beranjak ke pintu dan coba mengintip.

“Hmmm...!”

“Ohh!” Saat itu juga jantung Ki Sudira bagai berhenti berdetak. Keluhan tertahan langsung keluar dari mulutnya, ketika mendengar deheman halus dari belakang. Dan seketika tubuhnya berbalik. Paras wajahnya langsung berubah pucat, begitu melihat sesosok tubuh berdiri. Sekujur tubuh sampai kepala ditutupi kain hitam. Tidak mudah baginya untuk bisa mengetahui wajah orang itu. Dan tak habis mengerti, bagaimana orang di depannya masuk ke dalam rumahnya secepat itu. Kalau dari belakang rumahnya, kenapa tidak terdengar suara apa-apa?

“Si... siapa kau...?!” tanya Ki Sudira tergagap.

“Jangan ribut! Atau, kau mati sekarang!” ancam sosok itu.

“Ohh!” Mendengar ancaman ini kesadaran Ki Sudira semakin melemah saja. Semangatnya terbang entah ke mana. Terbayang sudah malapetaka yang akan menimpanya. Dan tanpa sadar, orang tua itu jatuh terduduk di lantai.

“Siapa pun adanya kau, ampunilah aku. Aku..., aku tidak bersalah apa-apa. Aku..., tidak ikut campur dalam persoalannya,” sahut Ki Sudira terbata-bata.

“Kau bersalah, Sudira! Kau telah memasukkan orang asing ke dalam desa kita. Untuk itu, kau mesti berhadapan dengan penghuni Bukit Tengger untuk mempertanggung-jawabkannya!” tandas sosok berselubung kain hitam, penuh tekanan.

“Oh, tidak. Tidak. Kasihanilah aku. Aku betul-betul tidak ikut campur dalam persoalannya. Kenapa kalian memojokkanku? Kalau memang dia bersalah, maka itu urusannya. Seharusnya dia yang kalian cari. Bukan aku,” ratap Ki Sudira, belingsatan.

Baru saja selesai kata-kata Ki Sudira... “Dia memang tidak bersalah. Aku yang ingin tahu, siapa kau sesungguhnya. Kepadakulah kau berurusan!”

“Hei?!” Sebuah suara mendadak terdengar, membuat orang berselubung kain hitam dan Ki Sudira tersentak kaget. Dan belum habis kaget mereka, sekonyong-konyong dari atas atap ruang depan ini meluncur satu sosok bayangan, dan mendarat empuk di lantai.

“Rangga?!” seru Ki Sudira, begitu tahu siapa yang datang.

Sosok yang baru saja mendarat memang Rangga yang terkenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Memang setelah menyatroni rumah Ki Sepuh, Rangga seperti mendapat firasat kalau keselamatan Ki Sudira terancam. Makanya secara diam-diam, dia langsung ke tempat ini.

“Jangan khawatir, Ki. Tidak akan kubiarkan siluman terkutuk ini memperlakukanmu seenak perutnya!” dengus pemuda berbaju rompi putih itu.

“Eh, Rangga.... Tapi, lebih baik kau tidak usah mencampuri urusan ini. Kami, eh! Aku tak ingin terlibat di dalamnya,” ujar Ki Sudira serba salah.

“Kau memang tidak terlibat, Ki. Maka tenang sajalah. Ini menjadi tanggung jawabku. Kalau memang dia berani mengajakku menemui siluman bukit itu, maka lebih baik lagi,” sahut Rangga disertai senyum.

Laki-laki gemuk itu jadi semakin bingung saja melihat kejadian ini. Dipandangnya Rangga dan sosok berselubung kain hitam itu bergantian. Dan perlahan-lahan tubuhnya menepi untuk menghindari hal-hal yang ditakutkan.

“Kini aku ada di hadapanmu. Kenapa buang-buang waktu? Ayo, tangkaplah dan serahkan pada majikanmu” kata Rangga, tenang pada sosok berselubung kain hitam.

“Kau akan celaka karena menentang kami. Bocah!” desis orang berselubung kain hitam itu dengan nada mengancam.

“Tidak usah banyak bicara. Kau tidak akan berhasil menakut-nakutiku. Lakukan saja, apa yang ingin kau lakukan kepadaku!” tukas Rangga lantang.

“Huh! Sebaiknya lekas pergi dari desa ini, sebelum kau celaka dan tak sempat menyesal!” desis sosok itu, sarat ancaman.

Kening Rangga berkerut, namun lantas tersenyum manis. Tak ada rasa gentar sedikit pun dalam hatinya. Sebagai seorang pendekar, sudah sering dia mendapat ancaman seperti ini.

“Sudah kukatakan, kau tidak akan berhasil menakut-nakutiku. Dan aku tak akan menyesal berhadapan denganmu. Nah, bagaimana kalau kau kutunggu di luar. Rasanya di tempat ini cukup sempit,” ujar Rangga kalem, seraya melangkah mendekati pintu tempat Ki Sudira tadi mengintip.

Di depan pintu Pendekar Rajawali Sakti berhenti. Dia berdiri di ambang pintu, ketika menyadari orang berkerudung itu belum juga beranjak dari tempatnya.

“Kenapa? Kau tak jadi menangkapku? Siluman macam apa kau ini? Atau barangkali kau hanya pengecut yang hanya berani kepada penduduk yang tidak berdaya?!” ejek pemuda itu berusaha memanas-manasi.

“Kurang ajar!” Begitu selesai menghardik, orang berselubung hitam itu menghentakkan tangannya. “Hiiih!”

Wesss...!

Saat itu juga dari telapak tangan orang itu meluruk secarik cahaya keperakan mengancam keselamatan Pendekar Rajawali Sakti.

“Uts!” Namun hanya memiringkan tubuh sedikit, Pendekar Rajawali Sakti membuat pukulan itu luput dari sasaran.

“Sasaranmu masih jauh. Hm..., aku tahu. Kau yang berada di dalam gua itu. Pukulan itu persis sama!” lanjut Rangga.

Orang berselubung kain hitam itu tidak menyahut. Seketika tubuhnya meluruk menerjang Pendekar Rajawali Sakti.

“Heaaa...!”

“Hup!” Namun cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mencelat keluar dengan berjumpalitan, menjauhi serangan. Dan agaknya, sosok berselubung kain hitam ini tidak memberi kesempatan sedikit pun pada pemuda itu. Langsung dikejarnya Pendekar Rajawali Sakti sambil melepaskan serangan bertubi-tubi.

“Yeaaa!”

Namun dengan pengerahan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, mampu menghindari setiap serangan.

“Hm.... Boleh juga. Tidak heran kalau kau berminat menjadi siluman!” kata Rangga, ketika baru saja menghindari sebuah serangan.

“Tahu apa kau tentang Siluman Bukit Tengger? Kau tidak punya derajat bertemu dengannya!” dengus orang berselubung kain hitam itu.

“Aku pun tak berminat bertemu jahanam pemetik bunga sepertinya. Kecuali, bila dia segera menghentikan perbuatannya...! Dengan terpaksa aku harus melenyapkannya!” tandas Pendekar Rajawali Sakti.

“Keparat! Mulutmu kelewat sombong.-Dan aku terpaksa harus merobeknya lebih dulu, sebelum memecahkan batok kepalamu!” dengus sosok berselubung kain hitam itu.

Tanpa banyak bicara lagi, orang berselubung kain hitam itu menyerang gencar, seolah ingin membuktikan ucapannya secepat mungkin.

“Uts!” Saat itu juga, pertarungan sengit terjadi dan tak terelakkan lagi. Sampai saat ini. Pendekar Rajawali Sakti hanya mengerahkan jurus-jurus pembuka dari lima rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’.

“Hup!”

EMPAT

Ki Sudira terpana melihat pertarungan antara Rangga dengan orang berselubung kain hitam yang ternyata anak buah dari Siluman Bukit Tengger. Walaupun tidak jelas wajahnya, namun kepandaiannya hebat. Sementara pemuda yang telah menolongnya itu pun tak kalah hebat. Kini keduanya bertarung sengit dan masih kelihatan seimbang. Belum jelas betul, siapa yang jadi pemenangnya.

Pada saat itu, istri dan kedua anak Ki Sudira yang mendengar keributan sudah terjaga, dan ikut berkumpul. Wajah mereka tampak cemas. Apalagi melihat pertarungan itu.

“Ada apa. Kang. Apa yang terjadi? Siapa mereka?” bisik wanita setengah baya bertubuh tambun, istri Ki Sudira dengan suara bergetar ditekan rasa takut.

“Seseorang muncul dan mengancamku,” sahut Ki Sudira, juga dengan suara bergetar.

“Siapa?” tanya Nyi Sudira lagi.

Ki Sudira menggeleng lemah.

“Lalu, siapa yang seorang lagi?” cecar perempuan bertubuh tambun ini.

“Pemuda itu. Entah dari mana datangnya. Tiba-tiba saja dia muncul dan menyelamatkanku,” jelas Ki Sudira.

“Pemuda yang tadi menjadi tamu kita?”

Laki-laki gemuk ini mengangguk.

“Apa..., orang yang mengancammu tadi ada hubungannya dengan perbuatan pemuda itu? Eh! Maksudku, dia..., penghuni bukit itu...?” tanya perempuan ini, takut-takut.

“Mungkin saja.”

“Aduh! Celaka kita. Kang!”

Ki Sudira terdiam. Dia mengerti, apa yang dipikirkan istrinya saat ini. Tidak jauh beda dengan yang dipikirkannya.

“Kau harus berbuat sesuatu!” ujar Nyi Sudira kelihatan mulai gelisah.

“Aku harus berbuat apa? Memisahkan mereka? Gila! Bisa mati dihajar salah seorang!” rungut Ki Sudira.

“Pokoknya, kita harus berbuat sesuatu. Keadaan kita terancam. Dan Siluman Bukit Tengger akan terus mengancam kita. Bahkan tidak mustahil akan membunuh kita semua!” desak Nyi Sudira.

Laki-laki setengah baya itu terdiam karena bingung. Dia tidak tahu harus berbuat apa.

“Ayo, Kang! Jangan diam saja!” desak perempuan tambun ini lagi.

“Apa yang harus kulakukan?” Ki Sudira malah bertanya.

“Apa saja! Bahkan, kalau perlu pindah dari desa ini!” sahut Nyi Sudira, mantap.

“Pindah malam-malam begini? Gila! Kau mencari penyakit. Kita tidak akan selamat melewati perbatasan!” sergah Ki Sudira dengan mata melotot.

“Dari pada harus mati di sini tanpa usaha?”

“Tidak. Kita harus tetap di sini, dan menghadapi apa pun yang akan terjadi.”

“Kau akan mengorbankan kami?”

“Jangan berprasangka buruk. Mana mungkin aku mengorbankan kalian. Kita harus tenang dan mencari jalan keluar sebaik-baiknya.”

Baru saja Ki Sudira berkata begitu mendadak....

“Aaa...!” Terdengar teriakan kesakitan. Suami istri itu terkejut, dan serentak menoleh ke arah pertarungan di luar sana.

Tampak orang berselubung kain hitam itu terjungkal ke belakang. Selubung kepalanya telah tersingkap. Tampak jelas kalau orang itu adalah laki-laki. Namun, Ki Sudira tidak bisa mengenali. Selain jarak pertarungan cukup jauh ciri-ciri laki-laki ini tidak dikenalinya pula. Paling tidak, tak ada yang mirip dengan penduduk desa ini yang rata-rata dikenalnya.

“Hm.... Kukira tampangmu seram dengan kedua caling di sudut bibirnya. Ternyata wajahmu jauh dari menyeramkan!” ejek Rangga sambil memandang lawannya yang berkulit sawo matang.

Laki-laki ini berusia sekitar empat puluh tahun. Rambutnya keriting kecil dan agak pendek. Sepasang matanya agak sipit dengan cuping hidung besar. Raut wajahnya tidak enak dipandang, apalagi ditambah bibirnya yang tebal.

“Tunjukkan padaku, di mana gadis-gadis itu kau bawa?!” lanjut Pendekar Rajawali Sakti seraya perlahan mendekati laki-laki itu dengan sikap mengancam.

Set!

Tiba-tiba saja laki-laki yang berpakaian juga serba hitam ini mencabut pisau dengan sikap menantang. Matanya membuka lebar dengan senyum sinis.

“Kau tidak akan bisa memaksaku!” dengus laki-laki itu.

“Sudahlah, Kisanak. Aku bisa membuatmu lebih dari ini. Atau barangkali kau ingin mencobanya?” ujar Rangga, enteng.

“Jangan merasa menang dulu, Keparat! Karena, kau tidak akan mendapatkan apa-apa dariku!”

Baru saja kata-kata orang berpakaian serba hitam ini habis, mendadak....

“Hiiih!” Saat itu juga, laki-laki ini menghadapkan ujung pisaunya ke perutnya sendiri. Lalu....

“Heh?!”

Crap!

“Aaakh...!”

Rangga terkejut setengah mati. Menurut pikirannya, pisau di tangan laki-laki itu akan digunakan untuk melawannya. Tapi di luar dugaan, justru dihunjamkan ke dadanya sendiri, dan tepat menembus jantungnya.

“Kau tak akan mendapat apa-apa...,” kata laki-laki itu sambil tersenyum mengejek.

Tubuh orang yang mengaku sebagai anak buah Siluman Bukit Tengger ini berlumur darah. Sebentar dia terhuyung-huyung lalu ambruk. Nyawanya melayang beberapa saat.

Rangga hanya bisa tertegun memandangi anak buah Siluman Bukit Tengger ini. Pemuda itu melirik sekilas, ketika terdengar suara langkah mendekati. Ternyata yang datang Ki Sudira. Mata laki-laki gemuk itu terus memandangi mayat orang yang tadi mengenakan selubung kain hitam.

“Kau kenal dengannya, Ki?” tanya Rangga.

Ki Sudira menggeleng lemah.

“Tapi dari sini kau mesti sadar kalau pengikut Penghuni Siluman Bukit Tengger adalah manusia. Sama seperti kita. Bukan siluman atau apa pun yang bisa bergentayangan seenaknya,” ujar Rangga, sedikit memberi nasihat.

“Ya! Kau benar. Rangga....”

“Dan aku berani menjamin, bahwa orang ini tidak sendiri. Masih ada lagi kawan-kawannya yang kemungkinan besar termasuk di dalamnya adalah penduduk desa ini juga,” tambah Rangga.

“Penduduk desa ini?” Ki Sudira malah bertanya dengan kening berkerut.

“Ya!”

Ki Sudira tertegun. Dipandanginya lagi mayat itu. Lalu kepalanya berpaling pada Pendekar Rajawali Sakti.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang, Rangga?” tanya laki-laki gemuk ini, bingung.

“Aku tetap pada pendirianku, bahwa semua ini akan kusingkap. Dan, biang keladinya harus ditangkap!” tandas Pendekar Rajawali Sakti, mantap.

Kembali laki-laki bertubuh gemuk itu tertegun. Dia mulai sependapat dengan pemuda itu. Toh, untuk saat ini siapa yang bisa menjamin keselamatan keluarganya? Padahal, pemuda ini telah terbukti menyelamatkannya beberapa kali. Jadi jelas Rangga menunjukkan itikad baiknya.

“Bagaimana? Aku tidak meminta dukungan kalau kau takut, Ki. Tapi kejadian ini mulai hangat, dan sebentar lagi merebak. Telah terbukti bahwa meski kau tidak ikut campur, tetap saja disalahkan. Kenapa tidak sekalian saja ikut campur? Toh, kalau kita mau jujur, rasanya tidak akan ada dari semua penduduk desa yang menginginkan keadaan ini. Mereka kelihatan hidup damai, namun sesungguhnya diselimuti ketakutan,” papar Rangga memberi pengertian:

Ki Sudira mulai mengangguk pelan. Dibenarkannya kata-kata Pendekar Rajawali Sakti.

“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?” ulang Ki Sudira dengan suara menggantung.

“Ingin kudengar dulu, di mana kau berpihak sekarang?” tanya Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku berpihak padamu,” sahut Ki Sudira, namun masih terdengar ragu.

“Sungguh?!”

Ki Sudira mengangguk mantap. Namun, seketika wajahnya tampak cemas dan khawatir.

“Kenapa? Ragu?” tanya Rangga.

“Tidak. Apa yang kau katakan memang benar, Rangga. Kita tidak bisa berdiam diri dan harus menyingkap tabir ini. Tapi....”

Ki Sudira tidak melanjutkan kata-katanya. Namun matanya melirik kepada istri dan kedua putrinya yang berdiri di ambang pintu rumah.

“Aku mengkhawatirkan mereka...,” desah laki-laki gemuk itu.

Rangga terdiam. Dia ikut merasakan apa yang tengah dipikirkan orang tua itu. Dan belum juga ada yang membuka suara lagi....

Set!

“Awas...! Hup!” Rangga berteriak lantang memperingatkan, ketika mendadak saja berkelebat sinar putih keperakan ke arah Ki Sudira. Secepat kilat, didorongnya tubuh laki-laki gemuk itu hingga jatuh berdebuk di tanah. Dan seketika itu pula tangannya bergerak.

Tap!

“Hih!” Begitu berhasil menangkap benda putih keperakan yang ternyata sebuah pisau. Pendekar Rajawali Sakti langsung melemparkannya kembali ke arah datangnya tadi.

Pisau itu tidak menemukan sasaran dan langsung menerobos kerimbunan sebuah pohon, karena satu sosok berpakaian serba hitam telah lebih dulu melenting, menghindarinya. Sosok yang ternyata juga berselubung kain hitam ini langsung melesat, meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti dengan pukulan bertubi-tubi.

“Uts!” Rangga membuang diri ke belakang, seraya melepaskan satu hantaman ke perut dengan kaki kanan. Namun orang itu agaknya cukup waspada. Serambut lagi kaki Pendekar Rajawali Sakti menuju sasaran, tangannya cepat bergerak menangkis.

Plak!

Begitu orang itu lewat di atas badannya, Rangga cepat bangkit berdiri dengan menjejakkan kedua tangannya yang menyentuh tanah.

“Hup!”

Namun baru saja bangkit, satu tendangan keras kembali meluncur, membuat Rangga terpaksa mencelat ke atas. Tapi begitu berada di udara, Pendekar Rajawali Sakti mendadak meluruk dengan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’ tingkat pertama. Begitu cepat gerakannya sehingga belum sempat orang itu berbalik, kibasan tangan Rangga telah mengancam. Dan....

Desss...!

“Akh...!” Orang berselubung kain hitam itu menjerit kesakitan begitu kibasan tangan Rangga mendarat di punggungnya. Tubuhnya terjungkal roboh, namun seketika bangkit tanpa menghiraukan rasa sakit.

Dan sebelum Rangga menyerang kembali, mendadak saja orang berselubung kain hitam itu memasukkan tangannya ke balik baju. Lalu seketika itu juga, tangannya bergerak mengibas ke depan.

Set!

Seketika, meluncur sinar putih keperakan mengancam keselamatan Rangga. Namun dengan gerakan cepat bagai kilat, pemuda itu menarik tubuhnya ke samping kiri dengan tangan kanan bergerak ke depan. Dan....

Tap!

“Hih...!” Begitu berhasil menangkap sinar putih keperakan yang ternyata pisau, dengan kecepatan luar biasa Rangga melemparkannya kembali disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Sehingga....

Wutt...!

Crass...!

Cres!

“Uhh...!” Orang berselubung kain hitam ini mengeluh tertahan. Bahu kirinya tergores pisau miliknya sendiri ketika berusaha menghindar. Dan belum sempat disadari apa yang terjadi....

“Hiyaaa...!” Dengan gerakan dahsyat Pendekar Rajawali Sakti berkelebat dengan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Dan seketika itu pula tangannya bergerak mengibas ke arah dada. Sehingga....

Dess!

“Aaa...!” Disertai jerit kesakitan, orang itu terpental deras ke belakang disertai semburan darah segar. Telak sekali kibasan tangan Rangga mendarat di dada, membuat orang itu tak bangun-bangun lagi begitu menyentuh tanah.

Sejenak Rangga menatap mayat bekas lawannya, lalu bergerak menghampiri Ki Sudira yang sudah berkumpul bersama istri dan anak-anaknya.

Tewasnya dua anak buah Siluman Bukit Tengger membuat Ki Sudira tidak bisa tidur. Terlebih bagi istri dan kedua putrinya. Sepanjang malam wajah mereka terus tegang ketakutan. Rasa kantuk yang tadi menyerang, seketika sirna. Ki Sudira sendiri tidak punya pilihan, selain mengajak Pendekar Rajawali Sakti untuk sementara waktu tinggal bersamanya. Peristiwa ini bisa berbuntut panjang. Dan bukan tidak mungkin, dia akan celaka. Maka lebih baik pemuda itu ada di antara keluarganya. Paling tidak, mereka bisa sedikit merasa aman.

“Apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Ki Sudira dengan suara serak, setelah berdiam diri bagai patung untuk beberapa lama.

“Menunggu pagi tentunya...,” sahut Rangga enteng.

“Bukan itu maksudku...,” sergah laki-laki gemuk ini.

“Tidak usah khawatir. Kedua mayat itu telah kubawa jauh dari rumahmu. Orang tidak akan mengira kalau keduanya terbunuh olehku. Kecuali, kalau kalian buka mulut,” tukas Rangga.

“Eh! Tentu saja kami tidak akan cerita kepada siapa pun!”

“Bagus. Biarkan orang-orang desa menduga sesuka hatinya. Nanti pun akan datang seorang utusan ke sini.”

“Seorang utusan? Apa maksudmu?” tanya Ki Sudira dengan kening berkerut, sarat dengan ketidakmengertian.

“Siluman itu ternyata tidak sendiri. Mungkin dia punya banyak kawan. Atau bahkan majikan. Salah seorang kawannya, atau entah berapa kawannya, bisa jadi melihat peristiwa itu. Dan mereka tidak ingin menunjukkan diri. Mungkin takut atau merasa perlu untuk melapor. Yang jelas, dia tahu bahwa akulah penyebab kematian kedua kawannya itu,” papar Pendekar Rajawali Sakti disertai senyum sinis.

“Eh! Bagaimana dengan kami?” tanya Ki Sudira bergegas. Dia memang sangat mengkhawatirkan anak istrinya.

“Tenanglah. Selama aku masih di sini, kalian tetap akan selamat,” tambah Rangga.

“Bagaimana kau bisa begitu yakin?”

“Bukan kalian yang akan dicari mereka, tetapi aku. Kalau mereka mudah mencariku, maka kalian tidak akan diusik. Kecuali, kalau mereka sulit menemukanku. Maka, kalian akan dijadikan pelampiasan kekesalannya,” jelas Rangga.

Ki Sudira mengerti persoalannya kini. Dipandanginya pemuda itu dengan sinar mata penuh harap.

“Lalu, apa keputusanmu? Apakah akan meninggalkan kami begitu saja setelah peristiwa tadi?” tanya Ki Sudira, hati-hati.

Rangga tersenyum seraya menepuk bahu orang gemuk itu. “Jangan khawatir. Aku tidak akan pergi, sebelum persoalan ini selesai,” sahut Rangga, meyakinkan.

“Oh, syukurlah...!”

“Nah! Bila telah bulat tekad di hatimu untuk menyingkap semua tabir ini, maka carilah orang-orang desa yang bisa diajak bekerja sama. Kita harus bahu-membahu untuk berjuang bersama,” ujar Rangga.

“Baiklah.”

“Sekarang tenang-tenang saja. Dan jangan pikirkan soal kematian dua orang itu. Aku akan bertanggung jawab soal itu. Pergilah tenangkan istri dan kedua putrimu itu!”

Ki Sudira mengangguk dan segera menemui istri dan kedua putrinya.

********************

Matahari telah muncul di ufuk timur. Cahayanya yang lembut menyapu seluruh desa. Namun pagi yang seharusnya tenang dikejutkan oleh tersiarnya kabar kalau ada dua orang kedapatan tewas di depan rumah Ki Sepuh. Tentu saja berita ini amat mengagetkan Ki Sudira.

“Kaukah yang meletakkan kedua mayat itu di depan rumah Ki Sepuh?” tanya Ki Sudira pada Rangga, ketika mereka berbincang-bincang di beranda rumah laki-laki gemuk itu.

“Ya,” sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.

“Kenapa?” kejar Ki Sudira.

“Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin orang tua itu agar ikut merasa bertanggung jawab atas persoalan ini,” jelas Rangga.

“Tapi kau katakan kalau kedua mayat itu telah dibuang. Dan kau akan bertanggung jawab. Kenapa melemparkan kesalahan kepada orang lain?”

“Siapa sebenarnya Ki Sepuh itu?” tanya Rangga dengan wajah sungguh-sungguh.

“Kau sudah tahu siapa dia, bukan? Jadi rasanya tak perlu kujelaskan lagi.”

“Ya. Dia pemuka kepercayaan, sekaligus pemuka adat. Dengan begitu, tiada seorang pun yang akan menaruh curiga kepadanya,” kata Rangga.

“Apa maksudmu?”

“Orang seperti dia, luput dari kecurigaan. Padahal, dia orang terpenting yang menghubungkan para korban dengan pihak siluman gadungan itu. Dia leluasa berbuat sesuka hatinya tentu dengan imbalan, entah berupa apa. Kini sudah saatnya dia merasa ikut bertanggung jawab atas persoalan ini!” tandas Rangga.

“Tapi kau tidak punya alasan serta bukti menuduhnya ikut campur dalam persoalan ini,” tukas Ki Sudira.

“Tidak ada. Namun, dia tidak menyangkal!” sahut Rangga menandaskan.

“Apa maksudmu?”

“Aku telah datang padanya tadi malam, sebelum ke sini. Pikirkan baik-baik. Tak seorang pun yang mengetahui kehadiranku di gua itu. Tidak juga Ki Sepuh, karena dia berjalan lebih dulu. Tapi dari mana dia tahu kalau aku berada di sana? Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?”

“Ki Sepuh dipercaya orang memiliki mata batin yang kuat. Dia tahu hal-hal yang tidak diketahui orang lain,” sahut Ki Sudira, setengah ragu.

“Kalau begitu mengapa dia tidak tahu tentang kehadiranku di ruangan khususnya?”

Sampai di situ Ki Sudira tak bisa menjawab, diam seribu bahasa!

LIMA

Penduduk Desa Legowo seketika heboh membicarakan kejadian ditemukannya dua mayat di depan rumah Ki Sepuh. Kalau saja kedua mayat itu berada di luar pagar rumah pimpinan adat itu, mungkin tidak akan ribut seperti ini.

Tapi kedua mayat itu berada di depan rumahnya. Sehingga, beberapa dugaan pun muncul. Ada yang menyangka Ki Sepuh membunuh mereka karena untuk membela diri. Tapi membela diri untuk apa? Merampok harta bendanya?

Tidak mungkin! Sebab, Ki Sepuh bukanlah orang kaya yang memiliki banyak harta. Orang-orang desa mengenalnya sebagai orang yang selalu hidup sederhana. Kalau pun ada seseorang yang bekerja dengannya, itu hanya hendak mengabdi tanpa imbalan apa pun.

“Siapa kedua mayat itu, Ki? Apa yang mereka lakukan di sini?” tanya seorang penduduk yang berkumpul di depan rumah Ki Sepuh.

“Aku tidak bisa menjelaskannya. Kedua mayat ini tiba-tiba saja telah ada, ketika aku bangun,” sahut Ki Sepuh. “Tapi yang jelas aku tidak membunuh mereka!”

“Bagaimana mungkin bisa terjadi, Ki?!” tanya yang lain.

Laki-laki tua berpakaian pendeta itu terdiam. Dan belum sempat dia menjawab, muncul seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tujuh tahun dengan pakaian serba putih yang langsung menyibak kerumunan. Penduduk desa ini tahu kalau laki-laki itu bernama Ki Tanureja, Kepala Desa Legowo.

Setelah memperhatikan kedua mayat itu, Ki Tanureja menatapi satu persatu warganya. Seketika, semua yang dipandang menundukkan kepala, tak mampu menentang pandangan laki-laki tua itu.

“Lebih baik kita kebumikan dulu mereka. Lalu, kita cari siapa pembunuh kedua mayat ini!” teriak Ki Tanureja, lantang..

Seketika beberapa penduduk bergerak, mengurus mayat yang tergolek. Beberapa penduduk segera pergi meninggalkan tempat ini, mengiringi orang-orang yang menggotong kedua mayat itu. Namun masih ada beberapa penduduk yang sepertinya enggan meninggalkan tempat ini. Agaknya, mereka masih belum puas dengan jawaban Ki Sepuh tadi.

“Kalian yang masih ada di sini, cepat bubar! Nanti bisa kita buktikan apakah Ki Sepuh bersalah atau tidak!” ujar Kepala Desa itu lantang. Diberinya isyarat pada anak buahnya untuk mengamankan beberapa penduduk desa yang tidak puas atas keputusannya.

Sebentar beberapa penduduk yang tak puas ini menatap Ki Sepuh, lalu pergi meninggalkan tempat ini. Sementara, Ki Sepuh sendiri sudah tak mempedulikan mereka. Segera dihampirinya Ki Tanureja.

“Aku tidak membunuh mereka,” tandas Ki Sepuh.

“Lalu, bagaimana kedua mayat itu berada di sini?” tanya Ki Tanureja.

“Aku tidak tahu,” sahut ketua adat ini, singkat.

“Siapa yang kau curigai?” kejar Ki Tanureja.

“Pemuda itu!” dengus Ki Sepuh.

“Tamu Ki Sudira?”

“Lantas, siapa lagi?!”

“Bagaimana kau bisa membuktikannya?”

“Entahlah. Tadi malam aku terlelap dan tidak tahu apa yang telah terjadi. Tapi kuat dugaanku bahwa pemuda itu yang telah membunuh mereka!” jelas Ki Sepuh.

“Kita harus bereskan hal ini secepatnya!” desis Ki Tanureja.

“Pemuda itu tidak bisa dipandang enteng. Kepandaiannya tinggi. Dia telah membuat si Angkoro tak berdaya sebelumnya!”

Ki Tanureja tersenyum sinis. “Jangan mengagungkan orang. Kau tidak tahu, berapa dalamnya laut dan berapa tingginya langit. Kita memiliki puluhan orang yang memiliki kepandaian setingkat si Angkoro. Apa susahnya meringkus pemuda itu?!” dengus Kepala Desa Legowo ini.

Ki Sepuh terdiam. “Lalu, apa yang mesti kita lakukan sekarang? Si Angkoro telah mati. Padahal, kita butuh seseorang untuk menjaga gua itu,” tanya Ki Sepuh.

“Jangan khawatir. Serahkan saja padaku!” sahut Ki Tanureja, enteng.

“Tapi..., bagaimana dengan tamu Ki Sudira itu? Dia tentu akan mengacau lagi.”

“Memang. Aku telah memikirkannya.”

“Apa tidak sebaiknya kita hentikan dulu?”

“Tidak! Dia akan besar kepala. Dan dengan begitu, nanti penduduk akan mengelu-elukannya. Kita harus mencegahnya. Telah kuperintahkan pada mereka untuk meringkus pemuda itu!” dengus Ki Tanureja.

“Mereka? Siapa?”

“Para pengikut Siluman Bukit Tengger. Dan aku juga telah memperketat penjagaan di gua. Kini lebih dari lima orang telah berjaga-jaga. Pemuda itu tak akan selamat kalau coba-coba usil!” papar Ki Tanureja.

“Tapi pemuda keparat itu mesti cepat-cepat dibereskan!” tukas Ki Sepuh.

“Aku akan mengurusnya. Dan kau siapkan korban-korban berikutnya. Beliau menginginkan yang terbaik. Ingat! Jangan sampai mengecewakan beliau!” tegas Ki Tanureja.

“Akan kuusahakan sebaik mungkin! Eh! Tapi, tapi ada satu hal yang kuinginkan.”

“Apa?”

“Aku ingin seseorang ditempatkan di rumahku untuk berjaga-jaga. Aku tidak ingin ada sesuatu yang buruk menimpaku lagi.”

“Baiklah.”

“Terima kasih, Ki!”

“Hm, ya. Nah, jangan khawatirkan soal kedua mayat itu. Biar kuurus secepatnya!”

“Sekali lagi, kuucapkan terima kasih, Ki!” ucap Ki Sepuh menghormat dalam-dalam.

Sedang Ki Tanureja segera meninggalkan tempat ini.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Sepulang dari acara penguburan kedua mayat yang tidak dikenal. Kepala Desa Legowo dan Ki Sepuh menyempatkan diri datang ke rumah Ki Sudira. Nyaris laki-laki gemuk tua itu gugup menerima kedatangan tamu-tamunya, kalau saja Rangga tidak mendampinginya.

“Silakan duduk!” sambut Ki Sudira.

“Terima kasih,” sahut Ki Tanureja.

“Kalau boleh kutahu, apa gerangan yang membuat Ki Tanureja mampir di gubukku ini?” tanya Ki Sudira, memberanikan diri.

“Kau mendengar berita tadi pagi, Ki Sudira?” tanya kepala desa ini.

“Dengar, Ki,” sahut Ki Sudira, pendek.

“Dua orang mati secara aneh. Dan mereka bukan penduduk desa ini. Mayatnya dilemparkan ke depan pintu rumah Ki Sepuh, seolah-olah si pembunuh hendak menuduh bahwa Ki Sepuhlah yang melakukan pembunuhan. Itu fitnah yang keji!” dengus Ki Tanureja, seraya melirik ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga dilihat tenang-tenang saja. Bahkan sama sekali tidak merasa terkejut.

“Benar, Ki. Tapi aku tak mengerti, kenapa ada orang yang melakukan hal itu? Apa mungkin seseorang melemparkan mayat ke depan pintu rumah seseorang tanpa maksud tertentu?” kata Ki Sudira, hati-hati.

“Itulah yang sedang kuusut. Kita akan mengadakan pemeriksaan. Aku tidak ingin Kanjeng Adipati sampai tahu bahwa desa kita tak aman. Kalau beliau mendengar berita ini, bisa jadi kunjungannya akan dibatalkan,” jelas Kepala Desa Legowo ini.

“Kanjeng Adipati akan berkunjung ke desa, Ki?” tanya Ki Sudira dengan mata melotot lebar.

“Ya.”

“Kapan?”

“Dua hari lagi. Oleh sebab itu, kita harus menyambutnya dengan baik. Jangan sampai beliau kecewa. Bahkan hal-hal seperti kejadian tadi pagi,” ujar Ki Tanureja lagi.

“Baik, Ki.”

“Dan ada hal yang juga amat perlu, Ki!” lanjut Ki Tanureja. “Kita harus mencurigai setiap orang asing yang berada di desa ini!”

Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau dirinya tengah disindir. Namun sikapnya tenang-tenang saja. Bahkan raut wajahnya tidak menunjukkan perubahan apa-apa. Sementara Ki Sudira jadi salah tingkah sendiri. Dan dia tak mampu berkata apa-apa.

“Kalau hanya mencurigai orang asing saja, rasanya tidak adil, Kisanak. Kepala desa yang bijaksana haruslah mengusut segalanya dengan baik, tanpa membedakan kecurigaan kepada penduduk asli atau orang asing,” sahut Rangga, enteng.

“Kau tidak perlu mengajariku soal itu, Anak Muda. Aku tahu, apa yang mesti kulakukan!” tandas Ki Tanureja.

“Syukurlah kalau memang demikian.”

“Sebenarnya apa yang kau cari di desa kami ini? Kalau memang keperluanmu sudah selesai, kau boleh melanjutkan perjalananmu!” lanjut Ki Tanureja, bernada mengusir.

Rangga tersenyum mendengar pengusiran secara halus itu. Namun bagaimana pun, dia tetap berusaha bersikap tenang. “Kudengar di desa ini terdapat siluman hebat. Beritanya sampai ke telingaku. Dan kehebatannyalah yang mengundangku ke desa ini. Aku ingin berkenalan dengannya. Namun sayang, sampai saat ini belum juga kutemui. Nah! Karena keinginanku belum terpenuhi, maka sayang sekali kalau aku mesti melanjutkan perjalanan dengan tangan hampa,” sahut Rangga tanpa mempedulikan tatapan mata Ki Sudira yang mendelik was-was.

“Jangan bermain-main dengan siluman itu, sebab kau akan celaka nantinya!” desis Ki Tanureja, mengancam.

“Astaga! Celaka kenapa? Jahatkah siluman itu?!” seru pemuda berbaju rompi putih ini dengan wajah kaget.

Ki Tanureja mendengus sinis, melihat sikap Rangga yang seperti mengejek dan memandang rendah. Tanpa berkata apa-apa lagi kepala desa itu segera meninggalkan rumah Ki Sudira, diikuti yang lainnya.

“Sepertinya kepala desa itu sudah tahu persoalan ini,” desah Ki Sudira, ketika tamu-tamunya telah pergi.

“Ya! Ini akan semakin ramai!” sahut Rangga, seenaknya.

“Apa maksudnya?” tanya Ki Sudira.

“Siluman-siluman itu! Seperti yang kukatakan, tidak bekerja sendiri. Banyak pihak yang diikutkan. Kita akan mendapat tantangan berat,” jelas Rangga, kali ini tampak sungguh-sungguh.

“Lalu, bagaimana langkah kita selanjutnya?”

“Berapa orang yang berdiri di pihak kita?”

“Tidak banyak. Sekitar lima kepala keluarga.”

“Jumlah itu masih kurang.”

“Ya. Tapi, mereka susah dibujuk karena diliputi perasaan takut.”

“Ya, aku bisa mengerti hal itu. Coba bujuk lagi yang lain,” ujar Rangga, penuh tekanan.

“Aku telah berusaha. Rangga....”

Rangga memandang laki-laki gemuk ini kemudian tersenyum. “Berapa jumlah mereka yang putrinya menjadi korban siluman itu?” tanya Rangga lagi.

“Sekitar lima belas orang,” sahut Ki Sudira pendek.

“Bujuklah mereka. Dan jangan lupa, mereka mempunyai pelindung. Tidak perlu takut. Siluman itu tidak akan bergentayangan menakut-nakuti mereka!” ujar Pendekar Rajawali Sakti, tegas.

“Baiklah,” desah Ki Sudira lirih, setelah terdiam sejurus lamanya memikirkan kata-kata pemuda ini. “Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?”

“Aku akan menyelidiki kepala desa itu,” jawab Rangga.

“Hm, ya. Itu memang alasan tepat. Beliau memang akrab dengan Ki Sepuh. Dan selain itu, tidak begitu akrab dengan penduduk. Kalau pun penduduk patuh padanya, itu karena tukang pukulnya banyak sekali,” jelas Ki Sudira.

“Sangat aneh, bukan? Seorang kepala desa memiliki tukang pukul dalam jumlah banyak? Padahal, di desa ini tidak ada kejadian hebat sehingga mesti menyewa tukang pukul.”

Ki Sudira mengangguk.

********************

Senja baru saja berlalu. Dan di depan rumah Kepala Desa Legowo keramaian seperti tidak terusik. Beberapa anak buahnya bermain judi di beranda depan. Sementara beberapa orang lainnya berkumpul tidak jauh dari kawan-kawannya sambil bercerita, serta sesekali diselingi tawa keras. Beberapa bumbung tuak tampak kosong, namun orang-orang itu seperti tidak mau berhenti menenggaknya. Seseorang bergegas ke dalam untuk mengambil bumbung tuak yang lain. Sementara dua orang bergegas keluar.

“Sial! Perutku mulas...!” umpat seorang laki-laki pendek yang baru saja keluar dengan tergopoh-gopoh. Di sampingnya, tampak seorang laki-laki kurus yang juga mengalami hal yang sama.

Mereka berdua seperti hendak saling mendahului ketika menuju ke sebuah batang pohon yang tumbuh di halaman rumah kepala desa itu.

“Jangan jauh-jauh. Calung. Bisa-bisa kau disambar siluman itu nantinya!” ledek laki-laki kurus itu.

“Brengsek!” umpat laki-laki pendek yang dipanggil Calung. Dia tampak kebingungan untuk melepaskan hajat.

Tapi sebentar kemudian. Calung menemukan tempat yang cocok, di depan kolam kecil tidak jauh dari rumah Ki Tanureja. Sesaat terdengar sesuatu berkecipak di air kolam. Wajah Calung kelihatan lega. Buru-buru pantatnya dibersihkan. Setelah memakai celana, laki-laki gemuk itu merapikan golok. Namun baru saja kakinya akan melangkah....

Tuk!

“Uhhh....” Calung melenguh pendek ketika tahu-tahu ada sesuatu yang menghantam tengkuknya. Tubuhnya mendadak kaku tak bisa digerakkan. Bahkan suaranya seperti tercekat di kerongkongan.

“Si..., siapa?” keluh Calung tertahan.

“Aku siluman penunggu tempat ini,” sahut sebuah suara yang tak terlihat bentuk jasadnya.

“Apa?!” seru Calung, tersentak kaget. Darah laki-laki pendek ini seperti tersirap. Bulu kuduknya seketika berdiri. Mukanya pucat ketakutan.

“Oh, ampun! Ampuuun! Aku tidak sengaja buang hajat di sini!” ratap Calung dengan suara memelas.

“Kau akan kuampuni, tapi dengan satu syarat!” kata suara itu.

“Apa syaratnya?”

“Kalian telah menipu banyak orang dengan mengatakan bahwa gua di Bukit Tengger itu dihuni siluman. Raja kami sangat marah, sehingga mengutusku untuk menghajar kalian. Sekarang, katakan! Siapa yang mengaku sebagai siluman di sana?!”

“Eh! Itu aku..., aku tak tahu!”

“Jangan bohong! Atau, kucekik kau sampai mampus?!”

“Ja..., jangan! Ampun...!”

“Ayo, katakan! Siapa yang menjadi siluman gadungan itu?!”

“Aku..., aku tidak tahu.”

“Kalau begitu, kau memilih mampus! Baiklah. Lebih baik kau kucekik saja sekarang!”

“Aaakh...!” Merasakan lehernya mulai tercekat cekikan, seketika Calung menjerit ketakutan.

“Kurang ajar!” dengus sosok yang tak jelas itu, karena tubuhnya berada dalam kegelapan. Seketika ditotoknya urat suara Calung sehingga jeritannya berhenti.

Tapi jeritan tadi cukup membuat kawan-kawan Calung tersentak kaget. Beberapa orang cepat menghampiri dan terkejut ketika melihat Calung berdiri mematung.

“Itu si Calung! Apa yang terjadi dengannya?!” seru salah seorang tukang pukul Ki Tanureja.

Tapi belum lagi mereka mendekat, mendadak berkelebat bayangan putih dari samping.

“Awaaas!” Terdengar teriakan seseorang bernada memperingatkan, tapi percuma saja. Peringatan itu terlambat, karena mereka tak mampu berbuat apa-apa ketika bayangan putih itu menghajar sekaligus.

Plak! Begkh!

Des!

“Aaakh...!” Orang-orang itu kontan ambruk berjatuhan disertai jerit kesakitan. Dan ini membuat para tukang pukul Ki Tanureja yang masih berada di beranda depan menjadi penasaran. Seketika mereka berlompatan menghampiri tempat keributan.

“Ada apa? Kurang ajar! Apa yang terjadi?!” teriak seseorang lantang, sambil bertolak pinggang ketika melihat beberapa kawannya meringis kesakitan.

“Se..., setan! Ada setan!” sahut salah seorang dari mereka.

“Omong kosong! Tidak ada setan di sini!” sahut laki-laki bertubuh tegap yang berkacak pinggang.

Tapi baru saja orang ini berkata begitu, mendadak berkelebat kembali bayangan putih tadi ke arahnya.

“Hup!” Seketika laki-laki tegap itu menggeser tubuhnya kesamping sambil menangkis.

Plak!

Laki-laki itu terjajar beberapa langkah ke belakang, sehabis menangkis. Dan belum lagi dia menyiapkan serangan, sudah terasa angin sambaran tajam ke dadanya. Seketika dia menjatuhkan diri, sehingga serangan itu luput.

“Itu dia setannya, Kang Kelana!” teriak seorang tukang pukul lainnya.

“Hhh...!” Laki-laki tegap yang dipanggil Kelana cepat bangkit memperlihatkan kegeramannya. Sepasang matanya liar memandang sesosok tubuh berpakaian putih, dan memakai penutup kepala hitam di depannya pada jarak lima langkah. Kelana memang memiliki kepandaian yang paling tinggi di antara yang lainnya. Sehingga tak heran kalau dia bertindak sebagai pemimpin.

Sret!

“Heaaa...!”

Disertai kegeraman memuncak. Kelana mencabut goloknya. Dan saat itu juga tubuhnya langsung meluruk menyambar sosok bertopeng kain hitam itu.

Wut! Bet!

Dua tebasan ke leher dan pinggang dapat dihindari sosok yang tak jelas wajahnya dengan liukan tubuhnya yang indah. Sebaliknya satu sodokan kaki sosok itu membuat Kelana terkejut. Saat itu juga tubuhnya diputar mencoba menghindar. Namun kaki sosok itu yang satu lagi segera menyusul. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Des!

“Aaakh...!” Kelana langsung terjungkal ke belakang disertai jerit kesakitan ketika tendangan sosok itu mendarat di pipinya. Kepalanya terasa sakit. Dan pandangannya berkunang-kunang. Dan sebelum disadari apa yang terjadi, sesuatu telah menghantam pergelangan tangannya.

Plak!

Saat itu juga golok Kelana terlepas, jatuh ke tanah. Bukan itu saja. Bahkan tubuh Kelana mendadak lemas dan kaku. Tenaganya seperti terkuras. Dia betul-betul tak berdaya. Tubuhnya seperti melayang-layang, meski masih terdengar ribut-ribut anak buahnya.

“Kurang ajar! Dia membawa Kang Kelana!”

“Kejar! Jangan sampai kita kehilangan jejaknya!” teriak yang lain.

Namun percuma saja mereka mengejar. Bayangan itu lenyap dari pandangan dalam waktu singkat. Dan mereka hanya bisa terpaku dan menatap kosong ke depan.

“Sebaiknya kita laporkan kejadian ini pada Ki Tanureja!” usul salah seorang.

“Ya,” sahut yang lain, ragu.

“Bagaimana kalau beliau marah? Kita yang seharusnya menjaga, kok malah beliau yang direpotkan?” tanya salah seorang lagi.

Yang lain terdiam untuk beberapa saat.

“Entah apa jawabannya, tapi kita mesti laporkan hal ini,” ujar yang lainnya lagi.

Tidak ada yang menjawab lagi. Semuanya sepakat untuk melaporkan kejadian barusan pada Ki Tanureja.

ENAM

Bruak!

Meja di depan Ki Tanureja langsung hancur berantakan, ketika kepalan tangannya menghantam. Wajahnya yang geram agaknya tidak bisa disembunyikan lagi.

“Kurang ajar! Siapa yang berani menghinaku seperti itu?!” dengus Kepala Desa Legowo dengan amarah meluap.

“Orang itu memiliki kepandaian hebat, Ki,” tambah salah seorang anak buahnya.

“Di..., dia siluman, Ki...!” timpal Calung.

Wajah laki-laki pendek itu kelihatan tegang. Ketakutan masih tampak menyelimuti hatinya.

“Dia marah, karena ada orang yang jadi siluman gadungan di gua Bukit Tengger itu, Ki!” lanjut Calung bersungguh-sungguh.

“Diam kau. Calung!” hardik Ki Tanureja.

Calung terkejut kaget dan merasa bingung. Apa perkataannya yang salah?

“Hm..., kau..., kau tidak mengenalinya. Calung?” tanya Ki Tanureja, agak turun nada suaranya.

“Tidak, Ki. Wajah orang itu ditutupi kain hitam,” sahut Calung.

“Dasar tolol!”

“Tapi, dia tanya-tanya soal siluman yang ada di dalam gua Bukit Tengger itu, Ki,” lanjut Calung dengan takut-takut.

“Apa katanya?!”

“Dia tanya, siapa yang jadi siluman gadungan di dalam gua itu? Karena aku tak tahu apa-apa jadi tidak kujawab. Dan tiba-tiba, dia mencekik. Langsung saja aku berteriak. Untung saja yang lainnya muncul membantu,” jelas Calung.

“Huh!” dengus Ki Tanureja sinis. “Apa lagi yang kau katakan padanya?!”

“Tidak ada, Ki. Aku hanya minta agar dia tidak mencekikku.”

“Hm, baiklah. Sekarang pergilah kalian! Jaga tempat ini baik-baik. Dan, jangan biarkan seorang pun menyelinap ke sini!” perintah Ki Tanureja, lantang.

“Baik, Ki!” Para tukang pukul itu bergegas meninggalkan orang tua ini kembali ke tempatnya semula.

Sementara itu wajah Ki Tanureja masih ditekuk. Dan sesekali dihelanya napas panjang. Dia bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir. Lalu tak lama kembali duduk. Pikirannya benar-benar kusut! “Keparat!” umpat Ki Tanureja berkali-kali.

Dan belum habis rasa kesal laki-laki tua ini, mendadak....

Bros!

Pada saat itu juga sesuatu menerobos ke dalam rumahnya lewat atap. Dengan gerakan cepat, Ki Tanureja melompat menghindari. Dan dia terkejut kaget ketika melihat apa yang terjatuh.

“Kelana...!”

“Uhh...!” Laki-laki bertubuh tegap bernama Kelana itu mengeluh kesakitan. Sementara, Ki Tanureja segera melepaskan tali yang membelenggu kedua tangan dan kaki tukang pukulnya ini.

“Apa yang terjadi denganmu?!” tanya Ki Tanureja penasaran ketika Kelana bangkit perlahan-lahan sambil meringis kesakitan.

“Aku..., aku ditangkap seseorang, Ki...,” lapor Kelana.

“Siapa orang itu?!”

“Entahlah. Aku tidak bisa jelas melihatnya.”

“Bodoh!” umpat kepala desa ini geram. “Apa yang diinginkannya?!”

“Siluman itu, Ki....”

“Kurang ajar! Orang itu benar-benar mempermainkan kita!” desis Ki Tanureja dengan wajah semakin geram. Kedua tangannya terkepal. Pelipisnya menggembung. Agaknya amarahnya benar-benar telah sampai puncaknya.

“Apakah kau tahu, siapa sebenarnya orang itu, Ki?” tanya Kelana.

“Ya! Aku bisa menduganya!” sahut laki-laki tua itu mantap.

“Siapa orangnya, Ki?”

“Besok akan kita ketahui! Sekarang, pergilah ke Desa Temar. Panggil Sapta dan Anggada. Suruh mereka menghadapku sekarang juga!” perintah Ki Tanureja, lantang.

“Baik, Ki!”

“Awas, hati-hati kau! Jangan sampai dipecundangi lagi. Bawa kawan-kawanmu secepatnya!”

“Beres, Ki!”

********************

Wajah Ki Sudira tampak ketakutan ketika dua orang bertubuh besar memasuki halaman rumahnya. Yang seorang berkepala botak dan bertelanjang dada. Seorang lagi berbaju serba hitam. Rambutnya panjang tidak terurus. Sebelah matanya kelihatan picak. Di belakang mereka tampak Ki Tanureja beserta anak buahnya.

“Mana bocah itu?!” bentak laki-laki botak dengan suara menggeledek.

Lutut Ki Sudira seketika menggigil. Dan semangatnya terbang ketika laki-laki botak ini menyeringai buas kepadanya.

“Tidak usah menakut-nakuti orang tua. Apakah kalian mencariku?”

Mendadak terdengar suara dari ambang pintu. Dan semua mata langsung beralih ke sana. Tampak seorang pemuda berbaju rompi putih bergerak menghampiri Ki Tanureja dan berdiri di sampingnya.

“Hhh, jadi kau orangnya yang mau bertingkah di sini?!” dengus laki-laki botak ini, dengan mata mencorong tajam.

“Apa urusanmu di sini?” tanya pemuda yang tak lain Rangga.

“Bocah pentil! Kupecahkan batok kepalamu!” dengus laki-laki botak menyeringai geram.

Orang itu agaknya tidak bisa lagi menahan diri. Langsung dia maju beberapa tindak, dan langsung melepaskan bogem mentah ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

Wuut!

Namun Rangga cepat bergeser sedikit. Lalu ditangkisnya ayunan tangan laki-laki botak.

Plak!

Sehabis menangkis, Rangga cepat memutar tubuhnya sedikit, kemudian sebelah kakinya menghantam pantat laki-laki botak ini.

Dess!

“Aaakh...!” Karuan saja, orang itu langsung menyeruduk ke depan.

“Keparat...!” dengus laki-laki botak geram, seraya bangkit berdiri. Dia bermaksud menyerang lagi namun....

“Tahan dulu, Sapta!” cegah Ki Tanureja.

Dengan tubuh menggigil menahan geram, laki-laki botak bernama Sapta itu terpaksa menghentikan serangan. Matanya mendelik garang ke arah Pendekar Rajawali Sakti seperti hendak menelan hidup-hidup!

Sementara itu Ki Tanureja mendekati Rangga. Sepasang matanya memandang seperti tidak berkedip, penuh kebencian dan amarah Persis empat langkah di depan pemuda itu, dia berhenti.

“Apa maksudmu menggangguku?” tanya kepala desa ini dengan nada dingin.

“Apa maksudmu?” Rangga malah balik bertanya.

“Jangan berpura-pura! Tadi malam kau telah mengacau di tempatku!” dengus Ki Tanureja.

“Mengacau? Tanyakan pada Ki Sudira. Dan dia akan mengatakan bahwa sepanjang malam aku tertidur lelap!” sahut Rangga tersenyum.

“Betul, Ki! Aku melihat sendiri. Dia tidak ke mana-mana tadi malam!” timpal Ki Sudira, mendukung Rangga.

“Kau memang telah berkomplot dengannya!” dengus kepala desa itu. “Aku tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Dia harus kami tangkap!”

“Buktikan kalau aku bersalah, baru kau boleh menangkapku!” sahut Pendekar Rajawali Sakti.

“Akulah hukum disini! Aku yang menentukan kau bersalah atau tidak!” tegas Ki Tanureja.

Rangga tersenyum mendengarnya. Sebentar matanya beredar lepas ke halaman. Tampak penduduk desa ini mulai berkerumun menyaksikan. “Jadi, inikah kepala desa yang dihormati penduduknya? Menentukan seseorang bersalah dengan sesuka hatinya?!” teriak Rangga lantang.

“Tidak usah banyak mulut kau! Menyerahlah! Atau, aku terpaksa memaksamu!” bentak Ki Tanureja, dengan suara membahana.

“Kisanak! Kuperingatkan kepadamu! Jangan coba-coba memaksaku! Kalau tidak, kau akan merasa malu sendiri!” ujar Pendekar Rajawali Sakti, mengingatkan.

“Persetan! Kau adalah pengacau. Dan hukumanmu berlipat ganda!” dengus Kepala Desa Legowo ini. “Sapta, dan kau Anggada! Ringkus pemuda keparat ini!”

Laki-laki botak bernama Sapta dan laki-laki berbaju serba hitam yang bernama Anggada, segera melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

“Yeaaa...!” Anggada langsung melayangkan tendangan, sedang Sapta melompat ke atas dengan sambaran tangannya. Namun Pendekar Rajawali Sakti berkelit sedikit ke samping, membuat tendangan itu luput dari sasaran. Pada saat yang sama, sebelah tangannya menangkis hantaman Sapta.

Plak!

Begitu serangannya gagal, Sapta langsung melanjutkan serangan lewat tendangan kakinya ke leher. Namun Pendekar Rajawali Sakti telah cepat merunduk sambil memutar tubuhnya. Dan seketika sebelah kakinya menghantam ke arah perut laki-laki botak itu.

“Uts!” Masih untung, Sapta cepat menjatuhkan diri ke samping sehingga tendangan Rangga hanya menyambar angin. Pada saat yang bersamaan, Anggada pun melakukan sodokan maut dari arah samping. Sehingga mau tak mau Pendekar Rajawali Sakti terpaksa mencelat ke atas. Dan ini membuat serangan Anggada luput dari sasaran.

Begitu berada di udara, tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti meluruk cepat bagai kilat dengan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’ pada tingkat pertama. Dan dengan cepat pula, kedua tangannya bergerak mengibas. Sehingga....

Begkh! Des!

“Aakh...!” Sapta dan Anggada kontan menjerit kesakitan ketika dua kepalan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tubuh masing-masing. Sapta mendapat hantaman di muka, sedang Anggada di dada. Keduanya terjungkal ke belakang. Dari hidung si botak meleleh darah segar. Mukanya seketika meringis. Demikian pula halnya Anggada. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti tidak mengeluarkan seluruh kekuatannya. Ditambah lagi, kedua orang itu juga memiliki tingkat kepandaian cukup. Maka tak heran kalau mereka bisa bangkit kembali.

“Keparat! Kuputus lehermu, Bocah!” dengus Sapta.

Srang!

Laki-laki botak ini langsung mengeluarkan rantai besi yang ujungnya terdapat bandul berduri. Sementara Anggada mencabut golok panjangnya.

“Yeaaa...!” Disertai teriakan keras menggeledek, mereka menyerang Pendekar Rajawali Sakti dari arah yang berlawanan.

“Hm.... Ternyata kalian terlalu memaksaku. Apa boleh buat?” gumam Pendekar Rajawali Sakti.

Menyadari kalau kedua lawannya benar-benar hendak membunuh, Rangga merasa harus meningkatkan kekuatannya pada setiap jurus-jurus yang akan dimainkannya.

Tepat ketika sambaran kedua lawannya meluncur datang, Rangga telah mencelat ke atas menggunakan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Begitu cepat gerakannya, sehingga tak satu serangan pun mendarat di tubuhnya.

“Kunyuk!” umpat Sapta, melihat serangannya gagal. Rantai besi laki-laki botak ini kembali menyambar laksana pusaran angin kencang. Dan di antara serangan itu, Anggada coba menyelinap untuk mencuri kesempatan.

Dua jurus telah berlalu, namun tak satu serangan pun yang membuahkan hasil. Mereka baru sadar kalau lawan yang dihadapi berkepandaian sangat tinggi. Dari sini mereka merasa kalau harus meningkatkan serangan.

“Hiaaa...!” Disertai teriakan membahana, Sapta menyabetkan rantai dengan bandul berdurinya ke arah dada.

Namun dengan menggeser tubuhnya sedikit. Rangga berhasil membuat serangan itu lewat menyambar angin kosong. Bahkan seketika sebelah tangannya bergerak menangkap rantai besi.

Tap!

Pada saat yang bersamaan, Anggada melompat menyerang.

“Hiiih!” Tepat ketika tubuh Anggada meluruk, Pendekar Rajawali Sakti menyentak rantai besi. Akibatnya tubuh besar Sapta melayang. Dan dengan rantai yang mengendur di tangan, Rangga menangkis bacokan golok Anggada sambil melayangkan tendangan keperut disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.

Crak!

Des!

“Aaakh...!” Anggada menjerit kesakitan, ketika tubuhnya terjungkal ke belakang. Isi perutnya seperti mau meledak menerima hantaman menggeledek tadi.

Sementara itu, Sapta yang tengah melayang cepat memasukkan tangannya ke balik baju. Begitu tangannya keluar, cepat dikibaskan ke arah Rangga.

Set! Set!

Saat itu juga meluncur dua senjata rahasia berbentuk segi lima yang runcing berkilatan, mengancam keselamatan Pendekar Rajawali Sakti. Namun, Rangga tidak kalah sigap. Dengan rantai besi itu, ditangkisnya kedua senjata rahasia tadi.

Crak! Crak!

Kemudian tubuh Pendekar Rajawali Sakti mendadak melesat ke atas, mengejar Sapta yang masih meluncur. Langsung dilepaskannya satu tendangan menggeledek.

Duk!

“Aaakh...!” Dalam keadaan tubuh melayang begitu, Sapta memang tak bisa menghindar lagi. Dan telak sekali tendangan Pendekar Rajawali Sakti mampir di dadanya. Laki-laki botak bertubuh sebesar kerbau itu terjungkal roboh disertai pekik kesakitan.

“Ayo, bangun! Mana kegarangan kalian tadi?!” dengus Pendekar Rajawali Sakti, dingin menggetarkan.

“Ohh...! Aduuuh...!”

Sapta dan Anggada berusaha bangkit sambil mengerang kesakitan. Tapi mereka tak bermaksud menyerang kembali.

Sementara, Rangga sudah menebar pandangan dingin ke arah Ki Tanureja. “Kisanak, pergilah. Dan jangan menggangguku! Kalau kau tetap memaksakan kehendakmu, maka aku tidak akan memandang kedudukanmu lagi,” desis Rangga, dengan perbawa kuat.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Ki Tanureja berlalu dari tempat itu, membawa rasa geram dan dendam.

“Hebat, Rangga! Kau bahkan telah membuat nyali mereka rontok!” puji Ki Sudira, ketika Ki Tanureja dan kaki tangannya telah tak kelihatan lagi.

Beberapa penduduk mendekat, dan berkumpul di dekat mereka. Satu dua orang berbisik-bisik memuji Rangga. Sekaligus, mencari tahu jati dirinya.

“Persoalan ini belum selesai, Ki...,” desah Rangga pendek seraya melangkah ke beranda depan.

“Ya. Apa yang akan kita lakukan?” tanya laki-laki gemuk itu seraya mengikutinya.

Rangga diam tak menyahut. Beberapa orang tetangga Ki Sudira agaknya belum beranjak. Dan mereka masih berkumpul di pekarangan rumahnya. Hal itu membuat Rangga enggan bicara lebih lanjut.

Ki Sudira menyadari hal itu. Seketika pembicaraan dialihkan pada hal-hal lain. Baru ketika kerumunan itu menghilang satu persatu, mereka mengalihkan pembicaraan lagi.

“Kita tidak bisa terus begini. Aku akan bergerak cepat!” tandas Pendekar Rajawali Sakti.

“Apa maksudmu, Rangga? Apa yang akan kau lakukan?” tanya Ki Sudira.

“Aku harus menemukan gadis-gadis itu, hidup atau mati! Dengan begitu bukti akan cukup kuat,” sahut Rangga, mantap.

“Tapi, dari mana kau bisa mencarinya?”

“Ki Sepuh dan Ki Tanureja adalah antek-antek siluman itu. Atau..., barangkali mereka sendiri otak di balik semua ini. Aku akan memaksa mereka atau siapa pun orangnya yang ikut campur dalam persoalan ini!” jelas Rangga.

Melihat wajah Rangga penuh perbawa, diam-diam orang tua itu bergidik ngeri. Dia tidak tahu, siapa pemuda ini sebenarnya. Dan apa urusannya membantu mereka. Namun jelas kelihatannya dia tidak butuh pamrih. Dan dengan kepandaiannya yang hebat, pemuda ini mungkin saja bisa mengobrak-abrik siluman yang ditakuti penduduk di kawasan empat desa.

“Besok Adipati akan ke sini. Apakah itu hal biasa?” tanya Rangga.

“Tidak. Jarang sekali ada pembesar yang berkunjung ke desa ini,” jelas Ki Sudira.

“Lalu dalam rangka apa?”

“Entahlah. Mungkin beliau prihatin atas kejadian yang menimpa empat desa di kawasan Bukit Tengger ini.”

“Adipati itu murah hati?”

“Aku pernah dengar itu. Beliau memang orang yang murah hati dan suka membantu rakyat yang kesulitan.”

“Hmm...!”

“Kenapa, Rangga?”

“Tidak ada apa-apa.”

“Kau mencurigai Kanjeng Adipati?” tanya Ki Sudira dengan wajah berkerut.

Rangga tak menyahut. Baik dengan kata-kata maupun isyarat.

“Aduh, Rangga! Jangan! Jangan keterlaluan! Itu sama artinya membahayakan diri sendiri. Kita akan celaka! Lagi pula, aku tidak yakin. Sebab berita yang kudengar selama ini, beliau adalah orang yang arif lagi bijaksana!” lanjut Ki Sudira khawatir.

“Aku tidak mengatakan kalau aku mencurigainya, Ki. Tapi, siapa pun orangnya yang berbuat kesalahan, meski raja sekalipun, dia tidak akan luput dari dosa. Dan itu akan ditanggungnya, di dunia serta akhirat. Dia akan mendapat ganjaran yang setimpal!” kilah Pendekar Rajawali Sakti.

Ki Sudira terdiam. Pikirannya melayang jauh, membayangkan apa saja yang telah dilakukan pemuda ini. Pertama, dia mencurigai Ki Sepuh. Lalu, kepala desa. Dan, kalau sampai Kanjeng Adipati pun dicurigai, maka itu sudah kelewatan!

TUJUH

Ki Tanureja benar-benar tidak bisa tidur memikirkan persoalan yang dihadapi. Wajahnya sejak tadi keruh menahan geram dan kesal yang berkobar. Entah berapa kali dia mondar-mandir di ruangan ini. Sebentar-sebentar matanya menatap liar keluar lewat jeruji jendela. Tampak para tukang pukulnya berjaga-jaga didepan. Juga, di kanan-kiri serta belakang rumahnya. Kepala desa ini memang sengaja menambah jumlah tukang pukul untuk melindunginya.

Kejadian pagi tadi di rumah Ki Sudira, benar-benar membuat Ki Tanureja tak bisa tidur. Dan pemuda berbaju rompi putih itu telah menghantui pikirannya sejak tadi.

“Kelana!” teriak Ki Tanureja.

Yang dipanggil bergegas menghampiri. “Ada apa, Ki?” tanya Kelana.

“Apa mereka sudah datang?”

“Belum, Ki.”

Ki Tanureja terdiam, seperti tengah berpikir. Lalu dia duduk sebentar, untuk kemudian bangkit kembali.

“Aku ingin pemuda itu ditangkap dan dijatuhi hukuman mati!” dengus orang tua itu.

“Sabar saja, Ki. Aku yakin, Kanjeng Adipati akan membawa pasukan dalam jumlah banyak!”

“Bagaimana dengan si Gonggola?” tanya Ki Tanureja lagi.

“Sudah. Dia sudah pergi menghubungi orang itu, Ki.”

“Siapa namanya?”

“Ki Gering Wesi.”

“Apa bisa diandalkan?”

“Dia tokoh hebat, Ki. Siapa yang tidak mengenalnya? Dunia persilatan mengenalnya sebagai Ular Mata Maut. Orang itu berilmu tinggi. Pemuda itu pasti tak berkutik dibuatnya!” jelas Kelana penuh semangat.

“Apa bisa kau pastikan dia akan datang sekarang?” tanya laki-laki tua itu lagi.

“Tentu saja, Ki! Siapa yang tidak suka melihat tumpukan uang emas?!” sambut Kelana dengan wajah berseri-seri. “Dia pasti akan datang. Jangan khawatir. Pemuda itu secepatnya akan binasa!”

Wajah Ki Tanureja tersenyum membayangkan sesuatu yang akan terjadi pada pemuda yang amat dibencinya.

“Bagus! Aku ingin secepatnya melihat kepala pemuda itu untuk kujadikan pajangan di ruang tamu ini!”

“Sabar saja, Ki. Tak akan lama lagi keinginanmu itu akan terpenuhi.”

Ki Tanureja kembali tertawa, terkekeh. Namun ketawanya seketika terhenti. Dan matanya kontan terbelalak ketika....

“Kau?! Apa yang kau lakukan di sini?! Hei, tangkap dia?!” teriak Ki Tanureja belingsatan.

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan pintu ruangan tampak seorang pemuda berbaju rompi putih tegak berdiri sambil tersenyum dingin. Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin malam. Dari sini bisa dilihat betapa tingginya kepandaian pemuda itu, sehingga kehadirannya tak diketahui para penjaga rumah Ki Tanureja.

Untuk sesaat, kedua orang itu terpaku. Namun tak lama kemudian Kelana sadar akan tugasnya. “Tenang, Ki. Akan kubereskan bocah ini!” ujar Kelana mantap, seraya mencabut golok. Langsung diserangnya pemuda itu.

Wut!

“Uts!” Pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti ini cepat bergerak ke samping, membuat tebasan golok hanya menyambar angin kosong. Dan dengan sekali bergerak, ditangkapnya pergelangan tangan Kelana, lalu dipelintirnya ke belakang.

Krek!

Belum juga Kelana bisa berbuat apa-apa, jari-jari tangan Pendekar Rajawali Sakti telah bergerak ke punggungnya. Dan....

Tuk!

Golok di tangan Kelana langsung jatuh. Dan tubuhnya kontan melorot tak berdaya dalam keadaan tertotok. Sementara Ki Tanureja mundur ke belakang ketika melihat pemuda itu menghampirinya perlahan-lahan dengan sorot mata tajam.

“Penjaga...! Tangkap dia! Kenapa kalian diam saja?! Tangkap dia!” teriak Ki Tanureja.

Tapi, sia-sia saja orang tua itu berteriak-teriak, karena tidak seorang pun anak buahnya yang muncul untuk menolongnya. Dan itu semakin membuat Ki Tanureja kecut bercampur geram.

“Percuma saja kau berteriak-teriak memanggil mereka. Aku telah membuat mereka istirahat barang sejenak,” kata Rangga sambil tersenyum dingin.

“Kurang ajar! Pergi kau dari tempatku!” bentak Ki Tanureja.

“Aku ingin minta tanggung jawabmu dulu,” sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.

Darah orang tua itu mendesir dicekam ketakutan. Wajahnya pucat dan jantungnya berdetak lebih kencang.

“Kenapa? Kau mulai takut mati dalam kesendirian karena tidak ada yang menemanimu?” ejek Rangga.

“Apa maumu sebenarnya?!” sentak Ki Tanureja.

“Dimana gadis-gadis itu kau sembunyikan?” tanya Rangga, langsung.

“Apa maksudmu?!”

“Jangan pura-pura! Gadis-gadis yang dipersembahkan untuk siluman gadungan itu, kau sembunyikan di mana?!” bentak Pendekar Rajawali Sakti, mulai berang melihat sikap orang tua itu.

“Aku tidak mengerti maksudmu? Kau boleh saja tidak percaya pada siluman itu. Tapi, kau tidak berhak menuduhku macam-macam!”

Baru saja habis kata-kata Ki Tanureja, Pendekar Rajawali Sakti telah melayangkan kakinya ke depan.

Duk!

“Aaakh...!” Ki Tanureja menjerit kesakitan, mendapat tendangan pemuda itu yang menghantam perutnya.

Tubuhnya langsung terjerembab menghantam kursi. Dan baru saja hendak bangkit, pemuda itu telah tegak berdiri di depannya sambil mendengus geram.

“Di mana kau sembunyikan gadis-gadis itu?!”

Laki-laki itu belum sempat menjawab ketika....

Wesss...!

Sss...!

“Heh...?!” Rangga terkejut setengah mati, ketika terdengar desir halus dari belakang. Secepat kilat dia menoleh ke belakang. Benar saja, dari arah pintu, mendadak meluncur dua buah benda berwarna kehitaman.

Dengan gerakan cepat luar biasa Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas, sehingga terjangan dua benda kehitaman yang ternyata dua ekor ular hijau sebesar kelingking itu hanya menemui tempat kosong.

Begitu berada di atas, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya dan mendarat manis di depan seorang laki-laki kurus berambut panjang awut-awutan. Di tangan orang itu tergenggam tongkat hijau yang ujung atasnya berbentuk kepala ular. Sepasang matanya kecil namun tatapannya amat tajam. Kuat dugaan, orang inilah yang telah melemparkan kedua ular hitam tadi.

Di samping laki-laki kurus itu, tampak seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya agak pendek. Goloknya terselip di pinggang.

Melihat kedatangan kedua orang itu, seketika wajah Ki Tanureja berseri-seri. “Gonggola! Bagus, kau cepat datang...!” sambut Ki Tanureja.

“Kau tidak apa-apa, Ki?” tanya laki-laki agak pendek yang dipanggil Gonggola.

“Hanya sedikit sakit. Tapi, tak apa. Aku senang kau datang. Itukah orangnya?” kata Kepala Desa Legowo, seraya melihat laki-laki kurus dengan tongkat kepala ular.

Gonggola mengangguk. Sementara itu, laki-laki bertongkat yang tengah dibicarakan sudah saling tatap dengan Pendekar Rajawali Sakti.

“Selamat datang, Ki Gering Wesi...! Kau datang tepat pada waktunya!” seru Ki Tanureja girang.

“Kau tidak apa-apa, Ki Tanureja?” tanya laki-laki tua kurus dengan tongkat kepala ular yang dipanggil Ki Gering Wesi alias Ular Mata Maut. Sambil berkata demikian, matanya tak lepas dari wajah Rangga.

“Tidak,” sahut Ki Tanureja.

“Hm.... Jadi, inikah orang yang kau maksud?” dengus Ular Mata Maut.

“Betul, Ki! Bereskan dia secepatnya. Kalau berhasil, akan kutambah upahmu!” sahut Ki Tanureja bersemangat.

“Jangan khawatir. Akan kupersembahkan kepalanya untukmu!” desis Ki Gering Wesi, sarat ancaman.

Laki-laki tua berjuluk Ular Mata Maut lantas melangkah tiga tindak mendekati Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum sinis.

“Boleh juga kepandaianmu, Bocah. Tapi sayang, kau terlalu usil dan mau tahu urusan orang. Untuk itu, kau patut mampus!” bentak Ular Mata Maut.

“Usil demi kebaikan, lebih mulia ketimbang orang upahan sepertimu. Harga dirimu hanya sebesar beberapa keping uang, Kisanak. Selagi ada kesempatan, cobalah bertindak bijaksana,” balas Rangga tanpa rasa gentar sedikit pun.

“Tutup mulutmu! Kau boleh berkhotbah setelah di neraka sana!”

Setelah berkata begitu, Ki Gering Wesi langsung mengirim serangan kilat. Namun di luar dugaan, Pendekar Rajawali Sakti melesat ke atas dan langsung menerjang atap rumah Ki Tanureja.

Broll!

“Hei, jangan lari kau!” teriak Ular Mata Maut, ketika melihat buruannya menembus atap.

Dengan gerakan tak kalah hebat, Ki Gering Wesi mencelat ke atas, langsung mengejar Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Ki Tanureja dan Gonggola bergegas mengejar lewat pintu depan.

Baru saja Ki Gering Wesi mendarat di tanah, ternyata Pendekar Rajawali Sakti telah menunggu di halaman depan rumah Ki Tanureja.

“Aku tak bakal lari, Kisanak. Kupikir, di dalam sana terlalu sempit buat kita bermain-main,” kata Rangga kalem.

“Bagus! Berarti ucapanmu tadi bukan sekadar gertak sambal!” sambut Ular Mata Maut. “Sekarang, terimalah seranganku yang sesungguhnya! Heaaa...!”

Ular Mata Maut langsung menyambarkan tongkatnya yang berujung runcing ke leher Rangga. Dari gerakan Ular Mata Maut, Rangga sadar kalau lawannya memang tak bisa dipandang sebelah mata. Bukan saja kepandaiannya, tapi juga kebutan tongkatnya yang mengandung tenaga dalam tinggi serta asap tipis beracun.

Rangga yang terus berkelit dengan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ cepat memindahkan pernapasannya ke perut. Walaupun sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti kebal racun, namun asap itu cukup mengganggunya. Dan yang jelas, tak satu serangan pun yang berhasil menyentuh tubuhnya.

“Hm.... Agaknya dia benar-benar memaksaku. Tapi, biarlah akan kucoba dulu dengan jurus dari lima rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’!” gumam Rangga, dalam hati.

“Hai, Bocah! Ayo keluarkan seluruh kemampuanmu! Jangan bisanya hanya menghindar!” bentak Ki Gering Wesi.

“Jangan terlalu memaksaku, Kisanak. Kau akan celaka nantinya,” sahut Rangga ketika berhasil menghindari serangan.

“Banyak mulut! Buktikan ocehanmu itu di akhirat sana!” tukas Ki Gering Wesi. Baru saja Ular Mata Maut berkata demikian, tongkatnya telah kembali berkelebat mengancam leher Pendekar Rajawali Sakti.

“Uts!” Dengan gerakan cepat, Rangga menarik kepalanya ke belakang. Namun belum juga pemuda berbaju rompi putih ini bersiap kembali, Ular Mata Maut telah menyentakkannya ke depan.

Wesss!

Saat itu juga meluncur sinar hijau ke arah Rangga. Dengan sebisa-bisanya, Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri ke samping dan bergulingan menjauh. Akibatnya, sinar warna hijau itu terus meluncur. Dan....

Jdeer!

Beberapa tempat disekitar pertarungan kontan hangus terbakar oleh sinar hijau dari telapak tangan Ki Gering Wesi. Bahkan dua anak buah Ki Tanureja yang tengah tertotok langsung tewas tersambar. Sudah barang tentu kepala desa yang semula girang karena jagonya dapat diandalkan, mendadak mulai ciut nyalinya. Jangan-jangan Ki Gering Wesi malah mencelakakan mereka, meskipun tidak sengaja.

“Aku tidak mengerti, bagaimana cara menyadarkan mereka. Tapi bawalah mereka ketempat yang aman, Gonggola!” perintah Ki Tanureja.

“I... iya, Ki!” sahut Gonggola takut-takut terkena pukulan nyasar.

Sementara itu pertarungan telah mencapai puncaknya. Rangga telah berhasil menyelamatkan diri dan telah bangkit berdiri. Sementara Ki Gering Wesi kehabisan akal, bagaimana caranya menaklukkan pemuda itu secepatnya. Sejak pertama tidak satu pun serangannya yang membuahkan hasil. Pendekar Rajawali Sakti yang menyadari kalau lawannya sangat berbahaya, segera menggerakkan tangan kanannya ke punggung. Lalu....

Sring!

“Heh?” Cahaya biru menyilaukan langsung menerangi malam yang gelap, dari batang pedang Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu juga, Ular Mata Maut tersentak kaget melihat perbawa pedang Rajawali Sakti. Bahkan Ki Tanureja sampai bergidik ngeri.

“Astaga! Siapa sebenarnya pemuda itu? Apakah dia betul-betul siluman?!” desis Kepala Desa Legowo itu.

“Yeaaa...!”

Belum juga Ki Gering Wesi mampu menghilangkan keterkejutannya. Pendekar Rajawali Sakti sudah membentak nyaring. Tubuhnya seketika mencelat kearah Ular Mata Maut dengan kibasan pedangnya.

“Ohh...!” Ki Gering Wesi terkesiap. Sebelum sambaran Pedang Pusaka Rajawali Sakti datang, dia malah merasakan hawa panas menyengat. Sebisanya dicobanya untuk menangkis dengan tongkatnya.

Cras!

“Hei?!” Betapa kagetnya Ular Mata Maut ketika melihat tongkatnya putus tersisa dua jengkal tersambar senjata Pendekar Rajawali Sakti. Namun belum sempat dia memaki geram, pedang pemuda itu kembali menyambar.

“Keparat!” umpat Ular Mata Maut, seraya mencelat ke belakang. Seketika tangannya bergerak kesaku dan mengibas.

Wess...!

Sss! Sss!

Suara mendesir terdengar ketika dua buah ular hitam kecil meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gerakan dahsyat Pendekar Rajawali Sakti cepat bergerak memapak.

Tes! Tes!

Saat itu juga potongan-potongan ular hitam kecil berjatuhan di atas tanah, terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiyaaa!” Rupanya Pendekar Rajawali Sakti tak ingin lagi memberi kesempatan pada Ular Mata Maut. Baru saja Ki Gering Wesi mendarat di tanah, tubuh Rangga telah meluruk deras dengan satu tendangan geledek yang cepat bagai kilat. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti dalam pengerahan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’ yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga....

Begkh!

“Uhh...!” Ki Gering Wesi mengeluh tertahan dengan tubuh terhuyung-huyung ke belakang, begitu tendangan Rangga mendarat telak di dadanya.

“Hiyaaa...!”

Rangga tidak menyia-nyiakan kesempatan yang amat tipis. Begitu mendarat, tubuhnya kembali meluruk dengan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’ disertai permainan pedangnya, yang cepat dan dahsyat ke arah leher. Dan....

Crass...!

“Aaa...!” Terdengar jeritan menyayat, ketika sambaran pedang Pendekar Rajawali Sakti tepat melewati leher Ular Mata Maut. Orang tua itu hanya mendelik dengan tubuh mematung. Tampak sayatan tipis melingkari lehernya.

Trek!

Tepat ketika Rangga memasukkan pedangnya kembali ke warangka, tubuh Ki Gering Wesi mulai ambruk.

Bruk!

Begitu tubuh orang tua ini ambruk darah langsung mengucur deras dari lehernya. Sementara kepalanya menggelinding, tiga tombak dari badannya. Tak ada gerakan lagi pada tubuhnya. Mati.

DELAPAN

Ki Tanureja dan anak buahnya yang berada di tempat ini langsung bergidik ngeri melihat kejadian yang terjadi di depan mata. Betapa tidak? Kepala Ki Gering Wesi menggelinding ditebas pedang pemuda itu!

Dan kini, semangat Kepala Desa Legowo itu seperti melayang terbang entah kemana ketika Pendekar Rajawali Sakti mendekatinya perlahan-lahan dengan sorot mata penuh perbawa.

“Oh, tidak! Jangan...! Jangan bunuh aku...!” ratap kepala desa itu, langsung bersimpuh dengan lututnya.

“Katakan, dimana gadis-gadis itu berada. Maka, nyawamu akan selamat!” gertak Pendekar Rajawali Sakti.

“Oh! Aku..., aku tak berani,” sahut Ki Tanureja, tergagap.

“Katakan!” hardik Rangga.

“Eh! Itu..., ng....”

“Cepat! Atau kepalamu akan menyusul?!”

“Oh, jangan! Ampun...! Baiklah, akan kuberitahu.”

“Di mana?!”

“Di... kediaman Kanjeng Adipati Wiradirga, penguasa Kadipaten Banyu Mubal.”

“Jangan main-main denganku! Katakan yang sebenarnya, di mana mereka?!” ujar Rangga, penuh tekanan.

“Aku berkata yang sebenarnya!” tegas Ki Tanureja.

“Jelaskan padaku!” pinta Rangga, setengah memaksa.

“Sudah lama Kanjeng Adipati mempunyai kebiasaan aneh, yaitu harus bersetubuh dengan wanita setiap tiga hari sekali. Makanya secara diam-diam beliau memerintahkan bawahannya untuk mencari wanita-wanita muda untuk melayaninya. Hal itu dikerjakan secara sembunyi atau tersamar, agar citra beliau tidak buruk di mata rakyat,” jelas kepala desa itu.

“Terkutuk!” umpat pemuda itu geram. “Dan, apa yang kau dapat dari hasil perbuatanmu ini? Berapa keping emas kau dibayar untuk melakukan perbuatan biadab ini?!”

Tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak kebawah, langsung dicengkeramnya leher Ki Tanureja.

“Oh! Aduh! Lepaskan cengkeramanmu, Anak Muda. Kau menyakitiku. Tolong lepaskan,” ratap Ki Tanureja mengiba.

“Sebaiknya kau memang mampus saja, Jahanam!” dengus Rangga geram.

“Oh, ampun! Ampuuun...!” ratap Ki Tanureja lagi, kembali menjatuhkan diri dan bersujud beberapa kali di depan Rangga. “Aku bersedia melakukan apa saja, asal kau mengampuniku!” Pendekar Rajawali Sakti terdiam sebentar untuk meredakan amarahnya. “Sungguh?”

“Aku bersumpah!”

“Baiklah. Kupercaya sumpahmu. Ada dua tugas yang harus kau kerjakan,” kata Rangga pada akhirnya.

“Katakanlah, apa itu?” tanya Ki Tanureja.

“Pertama, kau harus membuat pengakuan kepada seluruh penduduk desa ini bahwa Siluman Bukit Tengger sebenarnya tidak pernah ada. Dan itu hanya akal-akalan kalian saja.”

“Tapi....” Kata-kata Ki Tanureja terputus.

“Kenapa? Kau tidak mau?” tanya Rangga, dingin.

“Penduduk desa ini akan mengutuk dan berusaha membunuhku!”

“Mereka tidak akan berbuat sekejam itu.”

“Apakah kau bisa menjamin?”

“Tidak! Tapi paling tidak, aku berusaha menenangkan mereka. Untuk sementara, kau tidak perlu menerangkan kepada semuanya. Cukup kepada orang-orang tertentu saja.”

Laki-laki tua ini berpikir sebentar, sebelum mengangguk lemah.

“Yang kedua! Kau harus membantuku menangkap adipati keparat itu!” desis Rangga.

“Apa?!” Ki Tanureja terkesiap kaget mendengarnya.

“Kenapa? Kau tak mau?” tanya Rangga lagi dengan sorot mata tajam sarat ancaman.

“Itu sama artinya dengan bunuh diri! Besok beliau akan ke sini dengan pasukan besar untuk....” Laki-laki tua itu ragu-ragu meneruskan kalimatnya.

“Untuk menangkapku, bukan?” tukas Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum dingin. “Dia tak datang dengan pasukan besarnya, sebab anak buahmu yang kau suruh mengabarkan persoalan di sini telah kutangkap dan tidak akan sempat melapor.”

Ki Tanureja tertunduk lesu mendengar cerita pemuda di depannya.

“Apa alasanmu lagi? Apakah kau tetap akan membela adipati berhati bejat itu?! Kalau demikian, nasibmu akan sama dengannya. Maka lebih baik kau kubunuh saja!” ancam Rangga.

“Eh, tidak! Baiklah, aku akan membantumu menangkapnya!” sahut orang tua itu, buru-buru.

“Bagus. Berarti kau masih sayang nyawamu! Dan sekarang juga, kau ikut aku! Ingat! Kalau kau macam-macam, aku tidak akan banyak bicara lagi. Kutebas lehermu!” desis Pendekar Rajawali Sakti.

“Mau di bawa ke mana aku?” tanya Ki Tanureja.

“Menjelaskan persoalan kepada sebagian penduduk, lalu mengatur rencana untuk menangkap adipati jahanam itu!” tukas Rangga cepat.

********************

Kedatangan Adipati Wiradirga di Desa Legowo disambut dingin. Tidak ada derai tawa, sorak sorai, atau teriakan yang mengelu-elukannya. Penguasa Kadipaten Banyu Mubal itu sendiri sedikit mengernyitkan dahi karena heran. Tidak biasanya dia mendapat sambutan seperti ini.

Namun laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun dengan tubuh sedikit agak kurus itu tidak berkecil hati. Dicobanya tersenyum kepada siapa saja yang ditemui sambil menghela kuda pelan-pelan.

Sementara, satu persatu penduduk desa ini mengikuti dari belakang sampai rombongan yang berjumlah sepuluh orang itu tiba di depan rumah kepala desa.

“Ah! Selamat datang, Kanjeng Gusti Adipati! Selamat datang ke tempatku yang buruk ini!” sambut Ki Tanureja seraya tergopoh-gopoh menghampiri.

Adipati ini kemudian turun dari kudanya. Seorang pembantu kepala desa itu menerima kuda Adipati Wiradirga. Begitu juga pembantu yang lain menerima kuda-kuda para pengawal adipati ini.

“Hm.... Sungguh meriah sambutan orang-orang yang ada di sini. Mereka beramai-ramai datang ke tempatmu ini,” gumam Adipati Wiradirga seraya memandang kesekeliling. Dan dia melihat hampir semua penduduk desa keluar dan berkumpul di sekitar rumah Ki Tanureja.

“Itu pertanda mereka mencintai pemimpinnya!” sahut kepala desa ini sambil tersenyum-senyum. “Eh! Ada hal yang penting. Kanjeng Adipati!”

“Apa itu?”

“Mereka agaknya berkumpul di sini mempunyai maksud. Yaitu, ingin mengadukan nasibnya kepada Kanjeng Adipati. Apakah Kanjeng Adipati berkenan mengabulkannya?” jelas Ki Tanureja.

“Oh, silakan! Aku senang sekali mendengar keluhan rakyatku,” sahut Adipati Wiradirga, ramah.

Maka seketika itu juga Ki Tanureja berpidato didepan kerumunan penduduk desanya, untuk memberitahukan bahwa adipati berkenan menampung keluhan mereka.

“Kanjeng Adipati, hamba hendak bertanya. Apa hukuman bagi seseorang yang berbuat kejahatan?!” teriak seorang penduduk.

“Setiap kejahatan tentu mendapat hukuman. Berat atau ringannya, tergantung kejahatan yang diperbuatnya. Kejahatan apa yang kau maksudkan?” kata adipati ini sambil melempar pertanyaan kembali.

“Kejahatan yang hamba maksudkan adalah menipu serta mengelabui orang banyak. Berbuat baik, padahal di belakangnya berbuat keji dan busuk!”

Adipati Wiradirga tersenyum. “Orang itu sungguh licik. Maka dia patut mendapat hukuman berat,” jelas adipati ini, singkat.

“Seperti apa?” tanya yang lain.

“Penjara seumur hidup. Atau, ikut dalam kerja paksa. Atau boleh juga..., dihukum mati.”

“Terima kasih. Kanjeng Adipati. Kami telah mendapatkan jawaban yang adil darimu. Oleh sebab itu, kami akan menghukum orang itu!” teriak seorang pemuda berbaju rompi putih, seraya melangkah kedepan menghampiri Adipati Wiradirga.

Pemuda yang tidak lain Pendekar Rajawali Sakti ini melangkah dengan sikap mengancam. Dan bersamaan dengan itu, para penduduk desa mengikuti dari belakang.

Sudah barang tentu hal ini membuat Adipati Wiradirga kaget. Para pengawalnya segera bertindak menghunus senjata, untuk menghalau kerumunan orang-orang itu.

“Minggir kalian! Minggir! Jangan coba-coba berbuat macam-macam kepada Kanjeng Adipati. Atau, kalian akan celaka!” ancam para pengawal.

“Kaulah yang minggir!” desis Pendekar Rajawali Sakti seraya melepaskan kibasan tangan.

Dregh!

Seorang pengawal yang berada di dekat Rangga kontan terpental, terkena kibasan tangan.

“Aakh...!”

Sementara melihat keberanian Rangga, maka kerumunan penduduk yang semula takut-takut kini semakin berani. Dan mereka beramai-ramai melawan para pengawal Adipati Wiradirga.

Adipati itu sendiri melihat keadaan ini menjadi belingsatan. Buru-buru dihampirinya Ki Tanureja untuk mencari perlindungan. Tapi saat itu juga, anak buah kepala desa ini meringkusnya.

“Tanureja! Apa-apaan ini?! Apa yang kau lakukan padaku?!” sentak Adipati Wiradirga dengan suara geram.

“Semua sudah berakhir, Kanjeng Adipati...,” ucap Ki Tanureja, lirih.

“Apa maksudmu?!” tanya adipati ini, dengan keringat dingin sudah membasahi seluruh wajahnya.

“Mereka sudah mengetahui sandiwara ini, Kanjeng Adipati. Kita tidak bisa mempertahankannya terus...,” sahut kepala desa itu, lemah.

“Kurang ajar! Kau telah mengkhianatiku! Keparat kau, Tanureja!” teriak adipati itu kalap.

Percuma saja Adipati Wiradirga berontak, karena anak buah Ki Tanureja buru-buru mengamankannya. Begitu juga para prajurit kadipaten. Dalam waktu singkat mereka dapat diringkus hingga tidak berkutik oleh para penduduk. Maka sorak sorai penduduk desa ini seketika membahana, mengutuk adipati itu beserta antek-anteknya. Kalau saja Rangga tidak mencegahnya, niscaya mereka akan merajam orang-orang itu dengan kejam.

“Tenanglah, Kisanak semua! Tenang! Kita harus menyelesaikan persoalan ini dengan adil!” teriak Pendekar Rajawali Sakti menenangkan. “Kalau main hakim sendiri, maka kita tidak beda dengan mereka. Orang-orang ini memang telah kelewat batas. Tapi, mereka akan mendapat hukuman yang setimpal. Salah seorang dari kita, telah pergi menghadap Kanjeng Gusti Prabu. Dan tidak lama lagi, akan tiba para prajurit kerajaan untuk membawa mereka!”

“Bagaimana dengan gadis-gadis yang menjadi korban kebiadabannya?!” tanya seorang penduduk.

“Mereka aman. Dan, sampai sekarang masih selamat. Setelah para prajurit Kerajaan Medangwangi tiba, kita akan minta untuk menggeledah kediaman adipati. Tidak lama lagi, mereka akan kembali!” sahut Rangga.

Maka sebelum para prajurit kerajaan yang dijanjikan Pendekar Rajawali Sakti tiba, penduduk desa seperti enggan beranjak dari tempatnya. Mereka seperti tidak ingin orang-orang itu melarikan diri, mengingat perbuatan-perbuatan busuk yang telah dilakukan.

Apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti memang benar. Tidak berapa lama, muncul pasukan Kerajaan Medangwangi kedesa ini, dipimpin seorang panglima muda. Jumlah mereka tidak kurang dari dua puluh lima orang. Tampak Rangga bicara kepada kepala pasukan itu beberapa saat, untuk menjelaskan duduk persoalannya. Kemudian, para prajurit Kerajaan Medangwangi yang membawahi Kadipaten Banyu Mubal itu segera meringkus tawanan untuk diadili di istana kerajaan.

Beberapa penduduk Desa Legowo yang berjumlah sekitar dua puluh orang bergegas mengikuti pasukan kerajaan itu. Sebab, mereka akan singgah ke kadipaten untuk mengabarkan persoalan Adipati Wiradirga kepada keluarga serta para pengawalnya, agar tidak mencari-cari. Dan yang terpenting, melepaskan gadis-gadis yang selama ini disekap adipati itu.

********************

Sementara Ki Sudira sampai saat ini tidak tahu harus berbuat apa-apa. Dipandanginya Rangga yang tengah menenggak minuman yang dihidangkan untuknya.

“Jadi kau akan berangkat sekarang juga, Rangga?” tanya laki-laki gemuk itu dengan suara tercekat di tenggorokan.

“Ya! Persoalan disini sudah selesai, bukan?” sahut Pendekar Rajawali Sakti.

“Eh! Apa tidak-sebaiknya menginap di sini barang satu atau dua hari lagi?” tanya Nyi Sudira bernada penuh harap.

Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. “Aku ingin sekali. Tapi, tak bisa. Masih banyak yang mesti kukerjakan,” tolak Rangga, halus.

“Aku..., merasa bersalah...,” desah Nyi Sudira.

“Kenapa, Nyi?”

“Semula aku mencurigaimu. Bahkan tidak menyukai kehadiranmu yang kuanggap membawa bencana,” lanjut wanita itu dengan suara lirih dan kepala tertunduk malu.

“Itu persoalan biasa. Tidak kenal, maka tak sayang. Tapi kalau kelamaan di sini, malah mungkin saja bukan sayang yang kudapatkan, tapi membuat repot keluarga di sini,” kata Rangga sedikit berkelakar.

“Tidak! Kami sama sekali tidak merasa direpotkan. Iya kan. Kang?” sergah Nyi Sudira, seraya melirik suaminya.

“Tentu saja! Kami tidak merasa kerepotan dengan kehadiranmu!” sahut Ki Sudira cepat.

Rangga tersenyum. “Ya, aku percaya,” desah Pendekar Rajawali Sakti pendek. “Tapi seperti yang tadi kukatakan, masih banyak yang akan kukerjakan.”

Suami istri itu tertunduk mendengarnya, kemudian mengangguk pelan.

“Ya. Aku mengerti, Rangga. Kau membela orang tanpa pamrih. Tentu saja masih banyak lagi orang-orang yang membutuhkan pertolongan,” desah Ki Sudira.

“Syukurlah kalau kau mengerti, Ki....”

“Jadi kau akan berangkat sekarang?”

Rangga mengangguk.

“Aku telah menyiapkan perbekalan untukmu,” lanjut laki-laki gemuk seraya menyerahkan beberapa keping uang emas. “Terimalah meski jumlahnya tak banyak.”

“Jangan membuatku malu, Ki. Apa pun namanya pemberian ini, aku tidak bisa menerimanya. Kalian lebih membutuhkannya. Sedang aku belum kekurangan. Simpanlah. Dan, pergunakan untuk hal-hal lain yang lebih perlu!” tolak Rangga, sangat halus.

“Kami tidak tahu, bagaimana caranya berterimakasih atas semua pertolongan yang kau berikan,” desah laki-laki gemuk itu dengan suara lirih.

“Berterima kasihlah kepada Sang Hyang Widhi. Dia-lah yang menentukan segalanya. Bukan aku.”

Ki Sudira mengangguk.

“Aku pergi dulu, Ki Sudira,” pamit Rangga. Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. “Terima kasih atas hidangannya. Enak sekali!” lanjut Rangga memuji.

“Apakah kita akan bertemu lagi...?” tanya Ki Sudira, pelan.

“Kalau ada umur panjang mudah-mudahan kita akan bertemu lagi!” sahut pemuda itu seraya melangkah tenang.

Di depan rumah Ki Sudira telah berkumpul banyak orang yang mengiringi kepergian Rangga dengan perasaan haru. Mereka berteriak-teriak memuji sambil melambaikan tangan. Dan pemuda itu membalas lambaian tangan mereka, lalu berkelebat cepat bagai kilat. Sehingga sebentar saja Rangga sudah jauh dari pandangan.

Sementara para penduduk hanya saling pandang dengan sinar mata menyiratkan rasa bingung. Cepat sekali pemuda itu lenyap, bagaikan makhluk halus saja. Apakah pemuda tampan itu malaikat? Tak ada seorang pun yang mampu menjawabnya.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: SAYEMBARA MAUT