Pemuas Nafsu Iblis - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEMUAS NAFSU IBLIS

SATU
DESA Dukuh Barus tampak sepi, sejak kematian kepala desanya akibat suatu penyakit aneh. Ki Janggir, kepala desa yang malang itu, dihinggapi penyakit yang tak dapat disembuhkan. Seluruh tubuhnya kembung. Kemudian ketika pecah, keluar cairan nanah bercampur darah!

Keadaan seperti ini berlangsung sejak satu bulan belakangan ini. Bahkan disusul kematian beberapa penduduk desa lain. Kebanyakan kematian mereka hampir sama dengan kematian Ki Janggir. Yaitu, diserang penyakit aneh yang selama ini belum pernah dikenal.

Ada yang percaya kalau wabah penyakit itu disebabkan oleh kutukan. Akibatnya, sebagian besar penduduk Desa Dukuh Barus mengungsi ke tempat lain. Saat ini, yang tinggal di desa itu hanya para orang tua dan mereka yang tidak mempunyai sanak saudara di tempat lain, serta orang-orang yang berada di bawah lindungan Nyai Dukun Sirah.

Wanita tua itu adalah dukun sakti yang telah banyak membantu para penderita penyakit aneh. Orang-orang berlindung dibawah ketiak Nyai Dukun Sirah inilah yang senantiasa membujuk penduduk lain, agar tidak perlu mengungsi.

"Nyai Dukun Sirah orangnya baik, Kang Suminta. Lagi pula di bawah lindungannya kita akan aman!" tegas seorang pemuda, meyakinkan sebuah keluarga yang hendak meninggalkan desa ini.

Seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun kepala keluarga di rumah ini yang dipanggil Suminta kelihatan mendengus sinis. Sudah banyak cerita yang didengarnya tentang wanita tua itu. Dan kebanyakan, adalah cerita buruk.

"Gondo! Kau masih termasuk saudaraku. Jangan kau bujuk aku untuk mendukung wanita gila itu! Dia penipu! Mungkin, dialah sebenarnya yang menyebarkan penyakit didesa kita ini. Lalu dengan cara menyembuhkan orang-orang yang sakit, wanita tua itu mengeruk harta mereka sampai ludes!" tegas Suminta.

"Jangan berkata begitu, Kang Suminta! Nyai Dukun Sirah punya seribu telinga. Kalau dia mendengar, kau akan celaka sendiri!" ujar laki laki bernama Gondo.

"Huh! Aku tidak takut! Desa ini sudah seperti neraka. Semua orang pergi mengungsi. Untuk apa aku berlama-lama di sini?!" dengus Suminta.

"Apakah kau tidak kasihan pada Jumadi putramu itu? Dia tengah sakit. Jangan-jangan...," tukas Gondo.

"Apa?! Kau ingin mengatakan anakku akan mati bila aku tidak datang memohon pertolongan wanita sial itu?!" cibir Suminta dengan mata melotot garang.

"Aku tidak berkata begitu. Tapi...," desah Gondo, terputus.

"Sudah! Lebih baik kau angkat kaki dari rumahku! Kau sama saja dengan yang lain. Menjadi budak penyihir gila itu! Pergi! Ayo, cepat pergi!" bentak Suminta garang.

Melihat gelagat yang tidak baik, Gondo segera angkat kaki. "Aku hanya memperingatkanmu. Tapi bila kau tidak percaya, maka boleh tanggung sendiri akibatnya." Pemuda itu masih sempat memperingatkan Suminta, ketika tubuhnya telah rnenghilang dibalik pintu.

"Phuih! Aku tidak butuh nasihatmu!" dengus Suminta, kesal.

Sepeninggal Gondo, seorang wanita berusia dua puluh delapan tahun tergopoh-gopoh menghampiri Suminta dari belakang, Wajahnya kelihatan pucat dan bibirnya gemetar.

"Jumadi...! Jumadi anak kita, Kang. Dia.., dia...?!" kata wanita yang rupanya istri Suminta, terbata-bata. Ditariknya lengan suaminya agar buru-buru mengikuti ke kamar belakang.

"Ada apa dengan Jumadi, Warsih?!" tanya Suminta, kaget.

"Dia muntah-muntah dan mengeluarkan darah!" kata wanita itu.

"Apa?!" Suminta terlonjak kaget. Segera dia menghambur kekamar putranya.

Warsih tidak dapat menahan diri. Begitu masuk kamar, dia langsung menangis tersedu-sedu sambil memegangi sebelah tangan bocah laki-laki berusia delapan.tahun yang terbaring di tempat tidur.

Bocah bernama Jumadi itu tampak menggelepar sambil menggerung-gerung kesakitan. Tubuhnya penuh keringat. Kulitnya pucat dan menggembung. Suminta berusaha sekuat tenaga menenangkan putranya dengan segala macam cara. Namun, bocah kecil ini tidak juga kunjung diam. Dia malah berteriak-teriak, merasakan sakit yang hebat. Jumadi melenguh panjang dengan tubuh kejang, lalu lunglai tak bergerak-gerak lagi.

Warsih kontan memekik, seraya memeluk tubuh putranya. Tangisnya berderai tidak tertahankan. Sementara, Suminta hanya bisa menunduk lesu dengan wajah penuh duka. Putranya telah meninggal di hadapannya. Dan dia tidak mampu berbuat apa pun untuk menolong!

********************

Setelah kematian anak Suminta, keadaan Desa Dukuh Barus semakin kisruh. Suminta yang menjadi ketua desa ini, berusaha menenangkan orang-orang yang mulai resah oleh ganasnya wabah penyakit. Di samping itu, kehadiran Nyai Dukun Sirah mampu mengobati mereka yang menderita penyakit, menjadikannya sebagai wanita tua yang memiliki pengaruh hebat.

Orang-orang mulai berdatangan kepadanya dan menaruh hormat. Tapi secara tidak sadar mereka masuk ke dalam jerat, karena Nyai Dukun Sirah meminta bayaran tinggi. Sehingga tidak jarang, penduduk desa ini terpaksa harus menjual hewan ternak. Bahkan menggadaikan sawah ladangnya.

Munculnya pengikut Nyai Dukun Sirah yang terus bertambah, juga semakin membuat resah. Pada mulanya, mereka terdiri dari orang-orang desa ini. Tapi lambat laun, pengikutnya sama sekali bukan penduduk desa ini. Mereka berbuat sewenang-wenang, dengan merampas apa saja yang dimiliki keluarga si penderita yang berobat pada Nyai Dukun Sirah, yang tidak mampu bayar.

Tentu saja hal ini menimbulkan ketidaksenangan penduduk lain. Namun mereka tidak berani berontak. Sebab siapa saja yang ketahuan menentang Nyai Dukun Sirah, bisa dipastikan nyawanya tidak akan selamat. Sehingga secara diam-diam, banyak penduduk desa ini yang mengungsi.

Sementara di rumah Suminta sendiri, suasana semakin bertambah panas saja. Rupanya, kematian anaknya yang bernama Jumadi, membuat Suminta terus memikirkannya. Apalagi, setelah diyakini kalau Nyai Dukun Sirahlah otak semua ini.

"Keparat! Aku akan buat perhitungan pada iblis durjana itu!" dengus Suminta, geram.

"Kang, mau ke mana?! Kang Suminta!" teriak Warsih kaget, melihat suaminya keluar dari kamar ini dengan langkah lebar-lebar.

Wanita itu seperti bisa menduga apa yang akan dilakukan suaminya. Makanya, dia segera mengejar. Dan dugaannya memang benar. Suminta tampak menyambar golok yang terselip di dinding ruangan tengah, lalu bergegas keluar rumah.

Warsih terus berusaha mengejar. Dan dia bermaksud mencegah niatnya sambil menjerit- jerit dengan suara cemas. Namun, Suminta yang telah di bakar amarah tidak mempedulikannya lagi. Tujuannya sudah bulat seperti tekad di hatinya. Nyai Dukun Sirah harus mampus di ujung goloknya, demi membayar nyawa putranya!

Suminta tiba di halaman depan rumah Ki Janggir, yang kini ditempati Nyai Dukun Sirah, sejak kematian kepala desa itu.

"Nyai Dukun Sirah! Keluar kau! Wanita iblis, keluar! Kau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu atas kematian anakku! Keluaaarrr...!"

Dari dalam rumah, tak lama berlompatan beberapa sosok pemuda anak buah Nyai Dukun Sirah menyambut kedatangannya.

"Mau apa kalian?! Minggir! Aku hanya berurusan dengan setan betina itu. Minggir kataku!" gertak Suminta, garang.

"Urusan dengan Nyai Dukun Sirah, adalah urusan kami juga. Kang Suminta! Jangan cari gara-gara. Pulanglah segera!" sahut salah seorang.

"Bukankah kau Sitok, anak Ki Sadin? Heh?! Jangan coba halangi aku! Wanita iblis itu telah membunuh anakku. Suruh dia keluar! Akan kucincang tubuhnya!"

Setelah berkata begitu, Suminta langsung menghambur hendak memasuki rumah itu. Namun para penghadangnya telah membuat pagar betis.

"Kang Suminta! Pulanglah! Dan, jangan cari keributan!" teriak pemuda bernama Sitok kembali. Nadanya kali ini lebih keras.

"Kurang ajar! Kiranya kau sama saja dengan iblis wanita itu! Ayo! Siapa yang berani menghalangiku, boleh mampus di ujung golok ini!" geram Suminta sambil mengayun-ayunkan golok di tangannya.

Tindakan Suminta ternyata tidak membuat para penghadang menjadi takut. Mereka malah semakin kesal dan gusar.

"Kurang ajar! Dikasih hati malah minta jantung. Bunuh saja!" dengus salah seorang penghadang Suminta.

Kata-kata itu seperti sebuah aba-aba. Dengan tiba-tiba, mereka menyerang. Dan hanya dalam sekejap, Suminta mulai keteter.

Kemampuan ilmu olah kanuragan Suminta memang sangat rendah. Sedang saat ini, para pengeroyok seperti kesurupan setan. Mereka tidak peduli pada Suminta yang makin terdesak.

Cras!

"Akh...!" Suminta memekik kesakitan, begitu sebuah senjata merobek perutnya. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perut. Namun sesaat kemudian, dua kali bacokan golok menyambar pinggang dan dadanya. Sekali lagi, Suminta menjerit panjang. Dia berusaha berdiri. Namun darah yang mengucur deras, membuat keseimbangan tubuhnya mulai goyah.

"Kaaang...!" Sementara itu Warsih yang persis tiba di tempat ini kontan menjerit kaget melihat keadaan suaminya. Wanita itu menghambur, dan langsung memeluk suaminya sambil menangis keras. Tubuhnya ikut bersimbah darah. Suminta yang tersungkur ke tanah. Masih sempat Suminta berkata lirih. Namun, suaranya tercekat dikerongkongan. Lalu tubuhnya mengejang, dan nyawanya melayang. Warsih kembali menjerit menyayat.

Pada saat itu di pintu depan berdiri seorang wanita tua berbaju hitam dekil. Tangannya memegang tongkat yang ujungnya terdapat sebuah tengkorak kepala manusia. Di bawah tengkorak, bergantung lonceng kecil berjumlah tujuh buah. Bibirnya menyungging senyum.

"Bawa wanita itu ke dalam..." ujar wanita tua itu, pada para pemuda yang mengeroyok Suminta.

"Baik, Nyai...!"

Para pemuda anak buah wanita tua itu segera memberi perintah lagi pada kawannya. Maka tiga orang pemuda lain bergerak menghampiri Warsih seraya mencekal kedua tangannya. Warsih berusaha berontak sambil memaki-maki geram. Namun ketiga pemuda itu sama sekali tidak peduli. Dengan kasar mereka membawa Warsih ke dalam lewat pintu samping.

********************

Warsih dibaringkan pada sebuah tempat tidur. Kedua tangan dan kakinya diikat pada masing-masing kaki tempat tidur dalam keadaan telentang. Mulutnya pun disumbat kain.

Seorang wanita tua tampak berdiri memperhatikan dari ambang pintu sambil terkekeh-kekeh. Setelah para pemuda itu selesai membereskan Warsih, wanita tua ini memberi isyarat. Maka ketiga anak buahnya segera meninggalkan ruangan setelah menjura hormat.

"He he he...! Jadi kau yang bernama Warsih, istri Suminta itu, ya?" tanya wanita tua yang tak lain Nyai Dukun Sirah, mendekati Warsih yang terikat setelah mengunci pintu.

"Ufh...! Ufhhh!" Mata Warsih melotot garang penuh amarah yang tersirat dari wajahnya.

"He he he...! Akan kulepaskan sumbat di mulutmu, kalau kau berjanji tidak akan ribut...," kata Nyai Dukun Sirah.

Namun bola mata Warsih semakin lebar melotot. Dan dari mulutnya yang tersumbat, keluar umpatan yang tidak dimengerti. Sementara wanita tua itu malah terkekeh girang.

"Oh! Galak juga rupanya kau, ya? Hm, wanita sepertimu pasti akan hebat sekali dalam menggairahkan laki-laki."

"Ufh! Ufhhh...!"

Nyai Dukun Sirah duduk di dekat Warsih, dan mulai meraba-raba tubuhnya. Bibirnya selalu menyungging senyum. Tentu saja hal ini membuat Warsih bergidik ngeri. Usapan serta rabaan wanita tua ini jelas saja aneh. Dan ini hanya pantas di lakukan seorang laki-laki! Bukankah Nyai Dukun Sirah adalah seorang wanita?

"Kau tahu kalau aku Nyai Dukun Sirah, bukan? Aku hendak berbuat baik pada keluargamu Tapi, sayang Suamimu selalu curiga. Dia patut mendapat ganjaran atas perbuatannya," ujar wanita tua itu seraya membuka sumbat di mulut Warsih.

Begitu sumbat di mulut terbuka, sumpah serapah segera keluar dari mulut Warsih. "Iblis! Kau betul-betul manusia iblis! Kau pembunuh anakku! Dan kini, kau bunuh suamiku! Terkutuklah kau...!"

Mendapat makian itu, Nyai Dukun Sirah tenang-tenang saja. Bahkan orang tua itu tersenyum-senyum, sehingga membuat kemarahan Warsih semakin menjadi-jadi.

"Iblis keparat! Lebih baik kau bunuh saja aku! Ayo, bunuh saja! Aku tidak takut denganmu! Bunuh aku...!"

"Membunuhmu? He he he...! Sungguh tindakan tolol. Melihat wajahmu yang cantik dan tubuhmu yang indah, sayang rasanya bila dilewatkan begitu saja...," sahut Nyai Dukun Sirah sambil mengelus-elus paha Warsih. Dan Warsih semakin bingung saja.

"Apa yang kau lakukan padaku?! Cih, aku jijik bersentuhan denganmu! Lepaskan tanganmu!"

"He he he...! Semakin kau berteriak begitu, semakin bergairah rasanya aku memandangmu. Apalagi menatap tubuhmu yang aduhai...!" kata Nyai Dukun Sirah dengan pandangan jalang. Lalu, tangannya bergerak cepat. Dan...

Bret!

"Aouw! Jahanam! Apa yang kau lakukan? Perempuan sinting, enyahlah kau!" Warsih berteriak kaget, ketika tiba-tiba Nyai Dukun Sirah merobek bajunya.

Bret!

"Iblis! Apa yang akan kau lakukan padaku?! Iblis gila! Apakah kau tidak waras? Kurang ajar! Pergi kau! Pergi...!"

"He he he...! Tenanglah, Manis. Kau nanti akan tahu, apa yang kuinginkan darimu."

"Bola mata Nyai Dukun Sirah makin melotot lebar memandang tubuh Warsih yang kini terbuka lebar. Kulitnya putih, Payudaranya besar menantang. Kedua tangan Nyai Dukun Sirah seperti tidak sabar. Dan tiba-tiba, diremasinya dada Warsih, sambil mencumbu.

"Ouw, kurang ajar! Iblis cabul keparat! Apa yang kau lakukan?! Apakah otakmu tidak waras?! Jahanam! Hentikan perbuatanmu! Hentikan perbuatan terkutukmu ini...!" teriak Warsih berusaha berontak.

Namun tali-tali pengikat kedua tangan dan kaki istri almarhum Suminta begitu kuat. Sehingga meski Warsih berusaha berontak, tidak juga putus. Wanita itu berusaha menggelinjang kesana kemari untuk menghempaskan tubuh Nyai Dukun Sirah yang telah menindih tubuhnya.

Wajah Warsih berkerut dan perutnya terasa mual melihat kelakuan wanita tua ini. Beberapa kali muka Nyai Dukun Sirah diludahi dan terus berontak, namun Nyai Dukun Sirah seperti kesetanan dan tidak peduli.

Bret'

"Ouw...!" Untuk yang kesekian kalinya, Warsih menjerit kaget. Kali ini Nyai Dukun Sirah merobek kain penutup tubuh bagian bawah. Dan terakhir, disingkapnya penutup tubuh di bawah perut!

"Iblis! Apa yang akan kau lakukan padaku?! Sinting! Apakah otakmu tidak waras? Sadarkah kau dengan keinginan gilamu?! Iblis keparat, pergi...! Pergi!"

"He he he...! Sebentar lagi kau akan mengerti. Kau akan mengerti, Manis...," sahut Nyai Dukun Sirah seenaknya.

Kini dengan leluasa, Nyai Dukun Sirah menggerayangi tubuh Warsih dengan mata melotot lebar. Wajah istri Suminta ini semakin bergidik, bercampur geli. Dia mengerti, apa yang akan dilakukan wanita tua ini terhadapnya. Hanya saja, perbuatan itu tidak wajar dan amat menjijikkan. Bukankah Nyai Dukun Sirah seorang wanita? Kecuali kalau benar-benar sinting. Dan kelihatannya orang tua ini memang sinting. Dia begitu menikmati apa yang dilakukannya terhadap Warsih. Padahal, Warsih begitu jijik. Sampai-sampai dia hendak muntah melihat kelakuan wanita ini terhadapnya.

"Nyai Dukun Sirah! Kalau benar suka terhadap wanita, kumohon jangan lakukan itu terhadapku. Aku betul-betul jijik dan ingin muntah! Carilah wanita lain yang bisa memenuhi seleramu" ujar Warsih di antara rasa putus asanya untuk menghindar dari perbuatan keji wanita tua ini.

"He he he...! Kaulah yang mampu memenuhi seleraku, Anak Manis..."

"Kau mungkin sinting. Aku tidak sudi diperlakukan begini!" dengus Warsih, geram.

"He he he...! Apakah menurutmu aku sinting?"

"Kau memang sinting! Gila...! Tapi aku tidak sudi ketularanmu! Iblis cabul lepaskan aku!"

"He he he...! Aku mengerti apa yang kau pikirkan. Tapi, sekarang kau akan mengerti...," sahut Nyai Dukun Sirah, tenang.

Nyai Dukun Sirah kini membuka pakaiannya. Dan Warsih pun terperangah melihat sesuatu. Wajah pucat dan mulutnya sedikit terbuka. Dia betul-betul tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dan tanpa sadar, pikirannya melayang entah ke mana.

Kini Nyai Dukun Sirah tidak membuang-buang waktu. Secepat kilat ditubruknya Warsih dan ditindihnya dengan pelukan erat-erat. Dari mulutnya keluar erangan laksana seekor harimau yang menggeram yang mengiringi helaan napasnya yang kasar.

Warsih betul-betul kaget, dan tidak tahu harus berbuat apa. Kejadian ini cepat sekali berlangsung. Dan yang mampu dilakukannya hanya menjerit!

********************

DUA

Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun bangkit, langsung meraih cangkulnya. Lalu ditinggalkannya tempat ini dengan langkah gontai tersaruk-saruk, setelah seharian bekerja di sawah.

Kini pemuda itu mendaki sedikit pada dataran yang agak tinggi. Di situ terdapat hutan kecil yang biasa dilalui penduduk desa untuk ke sawah. Rumahnya agak ke pinggir. Sehingga bila melewab jalan biasa, akan memakan waktu lama dan berputar, maka diputuskannya untuk mengambil jalan memotong.

Dia berbelok ke kanan. Dan di sini, pepohonan lebih lebat dan semak belukarnya pun lebih banyak. Sesaat tengkuknya merinding ngeri dan bulu kuduknya berdiri. Menurut cerita orang kampung, tempat ini banyak dihuni makhluk halus.

Tapi hari belum terlalu gelap. Dan mungkin setan-setan itu masih enggan keluar dari sarangnya. Lagi pula, di ujung hutan ini terdapat sebuah desa yang cukup ramai, yaitu Desa Dukuh Barus. Dia tinggal berbelok ke kiri sekali lagi, dan tidak lama akan sampai di rumah.

Duk!

"Uh, sial! Apa ini...?" gerutu pemuda itu kesal, ketika kakinya tersandung sesuatu.

Dia mengamati dengan seksama. Dan seketika wajahnya tampak kaget. Pemuda itu coba memastikan. Digulirnya sesosok tubuh yang tertelungkup di dekatnya.

"Astaga! Apa yang terjadi dengannya?! Kenapa orang ini bisa berada di sini?!" seru pemuda itu kaget.

Tidak terasa, bulu kuduk pemuda itu kembali meremang. Darahnya tersirap deras, serta jantungnya berdegup kencang. Sesaat kepalanya celingukan memandang keadaan di sekelilingnya.

Ketakutannya yang semula berusaha ditepis, kini semakin menjadi-jadi. Di depan pemuda itu tergeletak sesosok mayat wanita yang seluruh kulitnya menggelembung. Bahkan sebagian telah meletus mengeluarkan nanah bercampur darah yang menebar bau tidak sedap. Pikiran pemuda itu berkecamuk, dan menduga yang bukan-bukan.

"Apakah ini perbuatan penunggu hutan...?" tanya hati pemuda ini.

Kakinya tersurut mudur ke belakang. Lalu dengan cepat dia memutuskan untuk kembali kejalan yang biasa dilalui dengan berlan-lari kencang sambil berteriak-teriak.

"Tolong...! Tolooong...!"

Suara pemuda itu bergema. Sementara keta-kutan hebat terus bergolak di hatinya. Beberapa kali kakinya tersandung akar pohon, namun tidak dipedulikannya. Dia terus kabur tanpa menoleh ke belakang lagi. Namun begitu mendekati perkampungan penduduk, hatinya tercekat. Seketika larinya dihentikan. Di depan sana, terdengar jeritan yang sama. Bahkan lebih memilukan hati. Beberapa orang kabur. Sementara yang lain mengejar. Ada jerit tangis anak-anak yang tercampur jeritan dan pekikan kematian wanita.

Pemuda itu bersembunyi di balik pohon besar, mengamati dengan seksama. "Oh! Apa yang terjadi! Apakah mereka kawanan perampok...?" gumam pemuda itu dengan napas tersengal.

Jeritan itu semakin membuatnya pilu. Namun, pemuda ini tidak mampu berbuat apa-apa. Semangatnya semakin ciut melihat pemandangan yang terjadi di depannya.

Namun dengan tiba-tiba Bidin tercekat. Tampak seorang wanita muda tengah diseret-seret oleh tiga orang pemuda lain sambil terkekeh-kekeh kegirangan. Wanita muda itu berusaha meronta. Namun ketiga pemuda itu mencengkeramnya kuat-kuat. Dua orang memegang kedua tangannya, sementara yang seorang memeluknya dari belakang. Wajah pemuda yang bersembunyi di balik pohon itu berkerut menahan geram. Api amarah memercik dalam hatinya. Dan tanpa sadar, dia mendengus kasar.

"Kurang ajar! Apa yang mereka lakukan terhadap Marni...?!"

Tanpa sadar, pemuda itu melompat seraya mengayunkan cangkul. "Bangsat terkutuk! Mampuslah kalian semua ...!"

"Heh?!"

Ketiga pemuda yang tengah menyeret wanita itu terkejut mendengar teriakan seseorang. Namun mereka cepat bergerak menghindar, melihat serangan. Bahkan mereka langsung mencabut golok yang terselip dipinggang.

"Setan alas! Mau cari mampus dia rupanya!" desis salah seorang dari ketiga pemuda itu.

Mereka terpaksa melepaskan cengkeramannya pada gadis yang dipanggil Marni. Kini, pemuda itu langsung mencengkeram tangan gadis ini.

"Kang Bidin! Oh, syukurlah kau cepat datang...!" seru Marni dengan wajah gembira seraya memeluk pemuda bernama Bidin yang telah menolongnya.

"Marni, awas! Jangan jauh-jauh dariku!" ujar Bidin memperingatkan.

Bidin melepaskan pelukan Marni, ketika melihat ketiga pemuda itu telah melompat menyerang. Namun Bidin cepat mengibaskan tangannya, untuk menangkis.

Trak! Trak!

"Yeaaa...!" Begitu habis terjadi benturan senjata. Bidin balas menyerang. Cangkul di tangannya berubah menjadi senjata yang mematikan. Dan membuat ketiga pemuda pengeroyoknya bertambah geram dan penasaran

"Kurang ajar! Lebih baik kau menyerang, Keparat! Kalau tidak, kau akan celaka sendiri!" desis salah seorang pemuda yang bercelana pendek dengan wajah berkerut geram.

"Huh! Aku tidak takut pada kalian! Siapa pun yang coba menyentuh kekasihku, dia boleh mampus ditanganku!" balas Bidin tidak kalah geram.

"Hm... Jadi, gadis itu kekasihmu? Bagus! Kami akan merebutnya. Dan akan kau lihat pemandangan mengasyikkan didepan matamu, setelah kau sekarat!"

"Langkahi dulu mayatku, bila kalian hendak berbuat tidak senonoh padanya!" dengus Bidin.

"Baik! Kau boleh mampus sekarang!"

Setelah itu, pemuda bercelana pendek ini memberi isyarat pada kedua kawannya. Dan kini, mereka segera merubah siasat. Ketiganya mengitari Bidin yang telah bersiap menyambut dengan cangkul.

Marni yang berada di belakang Bidin mulai kecut hatinya. Wajahnya tampak pucat. Dalam pandangannya, ketiga pemuda itu tidak beda dengan hewan-hewan buas yang siap menerkam mangsa.

"Yeaaa...!"

Dua orang menerkam disertai bentakan nyaring. Yang seorang dari depan, dan seorang lagi dari samping kanan. Sementara, orang ketiga berusaha meringkus Marni.

"Setan!" maki Bidin. Pemuda itu memegang cangkul dengan kedua tangan, lalu menangkis serangan yang datang dari kanan. Tubuhnya langsung berputar setengah lingkaran ke kiri dengan tubuh membungkuk sedikit. Langsung disabetnya salah seorang lawan dengan mata cangkul.

Trak! Tak!

Dua orang yang mengeroyok tersentak. Golok mereka nyaris terpental dihantam cangkul Bidin. Rencana mereka gagal, sebab Bidin mengetahuinya. Sehingga dia lebih merapatkan diri pada Marni. Bahkan ketika seorang lawan yang berada di sebelah kanan berusaha mencuri kesempatan untuk menarik Marni, ujung cangkulnya menyodok ke perut.

Des!

"Akh...!" Orang itu menjerit kesakitan dengan tubuh terhuyung-huyung ke belakang.

"Heh?!"

"Hiiih!"

Kedua pengeroyok tercekat. Dan Bidin tidak menyia-nyiakan kesempatan di saat mereka lengah. Ujung cangkulnya cepat menghajar keduanya sekaligus. Yang seorang cepat mengelak dengan melompat ke belakang. Namun yang seorang lagi bernasib sial. Karena...

Krak!

"Aaakh...!" Cangkul Bidin telah menyerempet dada orang itu, dan merobek kulit tubuhnya. Orang itu memekik setinggi langit. Beberapa tulang rusuknya patah. Darah tampak mengucur deras ketika tubuhnya terjungkal ke belakang, dan langsung menghantam sebatang pohon.

"Heaaa!" Sekali lagi Bidin melihat kesempatan baik dan tidak mau disia-siakannya sedikit pun. Melihat lawan yang seorang lagi berusaha bangkit, dia telah melompat menerjang. Kedua kakinya tepat menghujam ke dada.

Des!

"Aaakh!" Kembali orang itu dibuat terbanting keras sambil menjerit kesakitan.

"Ayo Marni! Kita harus kabur secepatnya dari sini!" seru Bidin seraya menarik lengan Marni.

"Tapi, Kang...! Ayah dan ibuku...," sergah Marni.

"Jangan pikirkan mereka dulu! Ayo, selamatkan dirimu!"

Bidin tidak mempedulikan alasan kekasihnya. Diseretnya Marni dan kabur dari tempat ini, sebelum ketiga lawannya bangkit dan mengejar ataumemanggil kawan-kawannya yang lain.

"Kang! Mau ke mana kita? Ayah dan ibu...! Mereka..., mereka...," ujar Marni bingung, seraya menoleh ke belakang beberapa kali.

"Sudah! Jangan pikirkan mereka! Kau bisa celaka! Kita akan kabur sejauh-jauhnya dari desa ini!" ujar Bidin.

"Tapi, Kang! Orang-orang desa tengah dilanda bahaya. Bukankah sebaiknya Kakang menolong mereka?"

"Aku tidak bisa, Marni! Mana mungkin? Jumlah mereka sangat banyak. Lagi pula, mereka amat ahli ilmu kanuragan!"

"Tapi, Kakang! Bukankah kau pun memiliki kepandaian hebat? Kau murid Padepokan Cagak Layung. Seharusnya kau ikut membantu yang lain menghadapi mereka. Bukannya malah kabur dan menyelamatkan diri sendiri!" sanggah Marni dengan wajah bersungut-sungut.

"Marni! Aku tidak bisa.

"Huh! Aku tidak suka melihat kekasihku seorang pengecut! Sementara pemuda-pemuda lainnya berjuang melawan mereka, kau malah melarikan diri!" umpat Marni, semakin kesal.

"Marni! Sudah kukatakan, itu tidak mungkin. Jumlah mereka banyak. Sia-sia saja melawan..."

"Aku tidak peduli! Aku tidak sudi ikut denganmu!" sentak Marni. Gadis itu tiba-tiba melepaskan cekalan Bidin. Dan tubuhnya langsung berbalik meninggalkan pemuda itu.

"Marni, tunggu! Tungguuu...! Kau tidak boleh kembali ke sana'" teriak Bidin berusaha mengejar.

Namun, gadis itu tidak menghiraukan teriakannya. Dan terus saja berlari menembus semak belukar dan kegelapan malam.

Bidin tercekat, begitu kehilangan jejak Marni. Tapi, mendadak terdengar jeritan Marni. Dia segera memburu. Namun langkahnya terhenti, ketika melihat tujuh orang lelaki bertubuh besar tengah menyergap Marni.

Bidin menarik napas panjang. Dia berusaha menahan gemuruh di hatinya mendengar jeritan Marni yang ketakutan bercampur gelak tawa laki-laki yang meringkusnya. Dia memalingkan muka, dan terduduk lesu. Pikirannya kalut dan tidak menentu. Antara keinginan menyelamatkan Marni dari cengkeraman mereka, dan rasa takut di hati melihat jumlah lawan yang tidak sepadan. Tidak ada yang bisa diperbuatnya selain mengutuk geram, dan memukul-mukul batang pohon dengan kepalan tangan. Dari kejauhan masih terdengar jerit Marni, penuh ketakutan.

********************

Seorang pemuda tengah menggebah pelan kudanya yang berbulu hitam berkilat. Hewan itu mendengus kecil, lalu melangkah agak kencang. Di depan terlihat batas sebuah desa. Pemuda itu mengernyitkan dahi sekilas, kemudian kembali menggebah kudanya.

"Sebentar lagi malam, Dewa Bayu. Mudah-mudahan di desa itu ada yang berbaik hati menerima kita untuk menginap," ujar pemuda berbaju rompi putih itu lirih pada hewan tunggangannya yang dipanggil Dewa Bayu.

"Hieee!" Hewan berbulu hitam itu meringkik pelan seraya menggoyang-goyangkan kepala.

Pemuda yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. Matanya tajam memandang ke depan, seperti hendak menembus keremangan senja. Jalan tampak sepi. Tidak seorang pun yang berpapasan dengannya.

Jarak batas desa dengan perkampungan penduduk cukup jauh. Namun Rangga menempuhnya dalam waktu singkat. Dari kejauhan mulai terlihal atap-atap rumah penduduk serta obor yang menyala di tiap-tiap depan rumah. Namun, sungguh aneh. Ternyata tak seorang pun yang ditemuinya berkeliaran di desa ini. Dan Rangga pun menghentikan langkah kudanya.

"Hm... Apa gerangan yang terjadi? Firasatku mengatakan, ada sesuatu yang tidak beres...," gumam Pendekar Rajawali Sakb lirih, sambil memperhatikan dengan seksama.

Pendekar Rajawali Sakti turun dari punggung kudanya. Dituntunnya Dewa Bayu memasuki sebuah pekarangan rumah. Kakinya melangkah hati-hati mendekati pintu, lalu mengetuknya.

Tidak terdengar sahutan dari dalam. Kembali Rangga mengetuk.

"Sampurasun... Selamat malam. Kisanak yang berada didalam, bolehkah aku menumpang menginap barang semalam?"

Hening. Tak ada sahutan. Namun, pemuda itu yakin kalau rumah ini tidak kosong. Rangga mendesah pelan. Diputuskannya untuk mengetuk pintu rumah yang lain, karena menduga kalau pemilik rumah ini tidak bersedia menerimanya.

Namun ketika Rangga berbalik, di halaman depan telah berdiri tegak lima lelaki berbaju hitam yang masing-masing membawa golok di pinggang. Pendekar Rajawali Sakti tersenyum dan berusaha bersikap ramah.

"Siapa kau?! Dan, apa yang kau lakukan di sini?" tanya salah seorang dari mereka dengan nada datar.

"Namaku, Rangga. Dan aku seorang pengembara. Karena kemalaman, aku bermaksud menginap. Namun pemilik rumah ini agaknya tidak bersedia menerimaku," sahut pemuda itu, jujur.

Kelima orang ini tidak langsung menyahut kembali. Dua orang yang berada di belakang laki-laki yang pertama bicara segera mendekat dan membisikkan sesuatu. Sesaat kemudian, laki-laki itu mengangguk dan memandang kepada Rangga.

"Hm... Kalau kau hendak menginap, kenapa tidak mampir saja ke tempat kami?"

"Oh, terima kasih! Apakah kalian penduduk desa ini?"

"Ya!"

"Baiklah..."

"Mari ikut denganku!" lanjut laki-laki itu. Rangga segera mengikuti mereka seraya menuntun kudanya. Kelima orang itu tidak banyak bicara. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, apa yang harus dibicarakan terhadap mereka. Sehingga mereka hanya berdiam diri selama perjalanan.

Mereka membawa Pendekar Rajawali Sakti pada sebuah rumah yang cukup besar yang terbuat dari kayu dengan atap terbuat dari ijuk. Halamannya cukup luas. Di beranda depan, terlihat beberapa orang sedang duduk. Mereka segera berpaling, begitu melihat kedatangan keenam orang ini.

"Tunggu sebentar! Aku akan bicara pada pemilik rumah ini...!" kata laki-laki yang bicara padanya tadi.

"Maksudmu, aku boleh menginap disini?" tanya Rangga.

"Ya." Orang itu mengangguk, lantas beranjak kedalam. Sedang, tiga kawannya bergabung dengan yang lain. Sementara yang seorang lagi mengajak Rangga duduk di undakan anak rangga.

Tidak lama kemudian, laki-laki tadi keluar bersama seorang lelaki gagah berkumis tebal baju putih. Pada wajahnya terdapat beberapa guratan bekas luka. Sepasang matanya tampak sedikit merah. Di pinggangnya terselip sebilah golok bergagang perak, berbentuk tengkorak.

"Mari, Kisanak. Silakan masuk! Jadi kaukah orangnya yang hendak menginap disini?" sapa laki-laki berkumis tebal itu dengan wajah ramah dan senyum lebar.

"Benar. Apakah Kisanak tidak keberatan?" ujar Rangga, sambil mendekat.

"Oh, tidak! Sama sekali aku tidak keberatan. Rumahku besar dan kamarnya banyak. Kau boleh menempati salah satu kamar "

"Terima kasih...." Rangga mengikuti pemilik rumah ini ke dalam. Meski suaranya terdengar kasar, namun laki-laki berkumis tebal itu tampaknya ramah. Dia berusaha sebaik mungkin memperhalus kata-katanya.

"Kau tentu lelah setelah melakukan perjalanan jauh, bukan? Nah! Ikutlah denganku. Kita minum dulu, sebelum kutunjukkan kamar yang pantas untukmu!" kata laki-laki berkumis tebal itu.

Rangga tidak bisa menolak. Apalagi pemilik rumah ini bersama beberapa pembantunya telah mengajaknya memasuki sebuah ruangan. Di situ telah tersedia sebuah meja makan yang lengkap dengan beberapa hidangan buah-buahan dan arak.

"He he he...! Silakan, dan jangan malu-malu. Kebetulan sekali kau datang saat kami hendak bersantap. Aku orang yang paling menghormati tamu. Jadi, jangan merasa sungkan. Ayo, duduklah!"

Pendekar Rajawali Sakti mengambil tempat tepat berhadapan dengan pemilik rumah ini. Sedang yang lainnya berada di kanan dan kirinya. Rangga menghitung, kursi di meja makan ini hanya enam. Maka tiga orang lain yang tidak kebagian tempat, hanya bisa berdiri. Dua menjaga dipintu, dan seorang lagi berdiri di belakang laki-laki berbaju putih ini.

"Namaku Jembor. Dan mereka semua adalah pekerjaku. Aku mempunyai banyak sawah dan kebun di sini. Dan kebanyakan dari mereka, mengawasinya...," jelas laki-laki bernama Jembor itu seraya menuang arak ke cawan.

Rangga mengangguk, dan tersenyum kecil.

"Kelihatannya, kau bukan sembarang pengelana, Rangga. Apakah ada sesuatu yang kau tuju di desa ini?" tanya Ki Jembor, seraya mengerling pada tamunya.

"Tidak. Hanya kebetulan saja lewat di sini. Tujuanku hanya mengikuti kemana saja kakiku melangkah."

"Hm, sayang sekali. Anak muda seusiamu menghabiskan waktu dengan sia-sia. Tapi kalau kau suka, aku akan menawarkan pekerjaan padamu...," kata Ki Jembor.

"Pekerjaan apa yang hendak kau tawarkan padaku?"

"He he he...! Sebaiknya kita minum dulu sebelum membicarakan soal itu? "

Set!

Setelah tertawa begitu, tiba-tiba Ki Jembor mendorong cawan berisi arak ke arah Rangga. Seketika cawan itu bergeser cepat. Namun, tidak ada setetes pun yang tertumpah.

"Silakan diminum, Rangga!"

Rangga tersenyum. Diketuknya meja dengan satu jari. Dan mendadak, cawan yang bergerak kearahnya itu melompat ke atas. Namun, Ki Jembor tidak membiarkannya begitu saja. Telapak tangannya langsung diayunkan ke depan. Dan dari situ, melesat angin kencang menerpa cawan.

Ternyata Rangga pun tidak kalah sigap. Telunjuknya cepat menyambar bagian bawah cawan. Bahkan, cawan itu tetap berada di atas telunjuknya dengan berputar akibat hantaman Ki Jembor. Arak yang berada di dalam cawan sama sekali tidak tertumpah. Bahkan dengan tenang Rangga menenggak isinya sampai tandas!

TIGA

"Terima kasih atas kemurahan hatimu, Ki Jembor!" ucap Rangga.

"Tapi aku masih kurang. Bolehkah minta sedikit lagi?"

Bersamaan dengan itu, Rangga mengibaskan tangannya. Seketika itu cawan melayang ke arah Ki Jembor.

Wuuut!

Ki Jembor terkejut. Cawan itu bergerak cepat dan terasa dihempaskan oleh tenaga dalam tinggi. Dalam kegugupannya, dia tidak mampu menangkap. Yang bisa dilakukannya hanya menepis, membuat cawan itu pecah terhantam tangannya!

Prak!

Wajah Ki Jembor tampak merah, menahan malu. Matanya langsung melirik sekilas pada Rangga, lalu berpaling kepada anak buahnya. Tak ada seorang pun yang berani buka suara. Malah, anak buahnya yang berdiri dibelakang, buru-buru memberikan cawan pengganti.

"Ah, sayang sekali. Akibat kelalaianku, maka cawanmu pecah. Maafkan kekurangajaranku, Ki Jembor!" kata Rangga merasa bersalah.

"Tidak apa...," sahut Ki Jembor, sedikit gugup.

"Hm.... Lebih baik kita minum bersama! Mari, Rangga!" seru salah seorang anak buah Ki Jembor seraya menuang arak dan mengajak yang lainnya untuk minum bersama.

Sementara, anak buah Ki Jembor yang lain segera menyediakan cawan bagi Rangga, lalu menuangkan arak ke dalamnya. Rangga tersenyum sambil menunggu yang lain minum bersama. Bagaimanapun, dia tidak pernah mempercayai mereka seorang pun!

"He he he...! Ayo, mari kita minum, Rangga!" ajak Ki Jembor seraya menenggak isi cawannya.

Anak buah Ki Jembor yang lainnya mengikuti. Rangga sendiri sebenarnya sudah menangkap gelagat tak baik. Namun dia ikut pula menenggak arak.

"Tambah lagi, Rangga!" ujar anak buah Ki Jembor yang berada di dekatnya, seraya mengisi cawan yang berada dalam genggaman Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm, kurasa cukup. Aku tidak biasa mabuk..."

"Ha ha ha...! Arak ini tidak akan memabukkan, bila secawan atau dua cawan!" timpal Ki Jembor.

Yang lain ikut menanggapi. Sehingga mau tidak mau, Rangga terpaksa menenggak kembali isi cawan dalam genggamannya. Apalagi, ketika yang lain menenggak arak tanpa ragu-ragu dari guci yang sama.

Namun ketika mereka hendak mengisi cawan untuk yang ketiga kali, Rangga menahannya.

"Kurasa sudah cukup, bila sekadar untuk menghilangkan rasa haus...."

"Ha ha ha...! Arak ini amat langka. Jadi, sayang sekali bila kau mencicipinya sedikit. Minumlah sepuasmu! Aku masih punya persediaan banyak!" sahut Ki Jembor.

"Betul, Rangga! Kenapa ragu? Ki Jembor amat pemurah. Jadi jangan disia-siakan kesempatan ini!" timpal seorang anak buah Ki Jembor.

Rangga tidak langsung menjawab. Dan mendadak saja dia mengerjap-ngerjapkan matanya, seperti orang mabuk. Ki Jembor sendiri melihat pemuda itu seperti menderita pening yang hebat.

"Kenapa, Rangga? Apa yang kau rasa?" tanya Ki Jembor.

"Entahlah... Pandanganku seperti mengabur...," sahut Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti sadar, kalau arak yang disuguhkan mengandung suatu racun jahat. Kalau toh yang lain minum dari guci yang sama, pasti mereka telah minum obat pemunah yang sebelumnya. Tapi biar bagaimanapun, Rangga sejak dulu telah kebal racun. Sejak di Lembah Bangkai dulu, Pendekar Rajawali Sakti sering makan jamur yang membuat tubuhnya kebal racun. Dan karena ingin tahu apa yang akan dilakukan Ki Jembor selanjutnya, Rangga terpaksa berpura-pura, seolah dirinya kini telah teracuni.

"Oh! Kepalaku... sakit sekali...," keluh Pendekar Rajawali Sakti, seraya bangkit berdiri dan memijit-mijit keningnya.

"Mungkin kau terlalu lelah, Rangga. Sebaiknya, istirahatlah dulu. Anak buahku akan menunjukkan tempatmu...!" ujar Ki Jembor.

"Mungkin juga...."

Dua orang anak buah Ki Jembor mengapit dan membawa Rangga kesuatu tempat. Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Pendekar Rajawali Sakti menuruti saja.

********************

Byur!

"Ohhh...!" Seember air disiramkan ke muka Rangga. Pendekar Rajawali Sakti pura-pura gelagapan, Sementara kedua tangan dan kakinya telah terikat kuat pada dinding dibelakangnya.

"Siram lagi!" perintah satu suara.

Lalu seember kecil lainnya mengguyur wajah Rangga. Pemuda itu kembali pura-pura gelagapan. Padahal, dia telah memindahkan pernapasannya keperut, Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengerjap-ngerjapkan mata. Beberapa orang kini telah berdiri di depan Rangga.

"Kau sudah sadar, Rangga?" tanya sebuah suara.

"Ki Jembor...," kata Rangga, pura-pura.

"Ha ha ha...! Benar! Ternyata kau telah sadar rupanya...!"

Rangga kembali mengerjap-ngerjapkan mata. Tampak Ki Jembor mondar-mandir di depannya. Di belakang orang itu berdiri lima orang anak buahnya. Mereka adalah yang tadi ikut dalam perjamuan.

"Ki Jembor, apa maksudmu dengan semua ini?" tanya Rangga, terus bersandiwara, seraya melirik kedua tangan dan kakinya yang dirantai.

"Sekadar penjagaan saja."

"Penjagaan apa? Aku tidak bermaksud buruk padamu. Kenapa kau perlakukan aku begini?" sesal Pendekar Rajawali Sakti

"Itu persoalan mudah. Ada hal penting yang ingin kutanyakan padamu. Yaitu, maukah kau bekerja padaku?"

Rangga tersenyum. "Jadi, hanya untuk itukah kau menawanku?"

"Ha ha ha...! Ketahuilah. Aku tidak suka penolakan. Semua yang kuinginkan dari seseorang harus, terpenuhi. Atau..., orang itu harus mati!"

Wajah Ki Jembor tampak terlipat geram, setelah semula tertawa girang. Sekadar menunjukkan pada pemuda itu, kalau dia bersungguh-sungguh dengan kata-katanya.

"Tapi, tidak perlu dengan cara begini. Kau bisa memintaku dengan secara baik-baik..."

"Huh! Kenapa aku harus memintamu? Itu hanya basa-basi saja. Sebab, apa pun jawabanmu kau harus bekerja dan menuruti perintahku. Atau, barangkali kau sudah bosan hidup?!" dengus Ki Jembor geram seraya mendekatkan wajahnya.

"Bagaimana kalau aku menolak?"

"Kau telah mendengarnya. Dan keputusanku tidak bisa ditawar-tawar lagi!" sahut Ki Jembor, seraya membelakangi tawanannya.

"Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?"

"Kulihat, kepandaianmu hebat. Sehingga orang sepertimu pantas menjadi anak buahku"

Rangga tersenyum kecil. "Kepandaianku tidak seberapa dibandingkan denganmu atau semua anak buahmu. Kau telah memiliki mereka. Dan kukira, mereka bukanlah orang-orang bodoh. Sebab bila bodoh, kau tidak mungkin menjadikan mereka anak buah. Jumlah mereka telah cukup banyak. Dan dengan bertambahnya aku, tidak akan membuat kekuatanmu goyah. Aku hanya orang biasa...."

Ki Jembor berbalik. Dan wajahnya jelas terlihat tidak senang mendengar jawaban pemuda itu.

"Kau pandai bersilat lidah. Tapi, aku tidak peduli. Kau boleh jawab tawaranku, atau terima kematianmu. Dan aku tidak memberi pilihan, selain dari itu!" sahut Ki Jembor menegaskan.

"Kenapa aku musti ragu? Bila benar kau amat menginginkan aku bekerja untukmu, tentu saja dengan senang hati kuterima!" sahut Rangga, dengan wajah gembira.

"Bagus! Kau telah menyelamatkan dirimu. Tapi, bukan berarti aku bisa percaya begitu saja. Kau harus membuktikan kesetiaanmu padaku."

"Apa maksudmu?"

"Maksudku, aku tidak percaya kalau kau mau menjadi anak buahku. Oleh sebab itu, kau harus membuatku percaya," jelas Ki Jembor.

"Hm? Bagaimana caranya agar aku bisa membuatmu percaya?"

Ki Jembor memberi isyarat. Tak lama, seorang anak buahnya mendekat, membawa sebuah cawan berisi arak. Ki Jembor mengambil, lalu mengamati isi cawan itu. Kemudian matanya memandang Rangga sambil tersenyum-senyum.

"Arak ini telah kububuhi racun ganas yang mematikan. Namun, kerjanya lama sekali. Dia akan menggerogoti isi tubuh perlahan-lahan. Hanya aku yang memiliki obatnya. Nah! Kau harus meminumnya. Dalam waktu satu bulan, kau harus membuktikan kesetiaanmu padaku. Sebab bila tidak, maka kau akan mati percuma. Tidak ada seorang pun yang bisa menyembuhkan dari racunku ini!" jelas Ki Jembor.

"Ki Jembor! Bila kau melumpuhkan semua tenagaku dengan racunmu, maka untuk apa lagi kau menginginkanku bekerja denganmu? Bukankah pekerjaan yang kau berikan padaku membutuhkan tenaga?"

"Ha ha ha...! Tidak semudah itu, Rangga," kata Ki Jembor, disertai tawa terbahak.

"Lalu apa yang harus kulakukan lagi?"

"Minum ini!" sahut Ki Jembor, mengangsurkan cawan arak di tangannya.

Rangga terdiam. Disadari, dia tidak akan terpengaruh oleh racun itu. Tapi penjagaan di sini terlalu ketat. Dan bila Pendekar Rajawali Sakti berusaha melepaskan diri secara paksa, maka akan celakalah dirinya. Dan Rangga berniat mengatur siasat. Dia menunggu saat-saat yang tepat, untuk membebaskan diri. Ditengah-tengah Rangga sedang mengatur siasat, mendadak.

"Kebakaran! Kebakaran...!" Terdengar teriakan keras dari arah luar rumah ini.

"Apa?!" Ki Jembor tampak kaget. Dia segera melompat keluar, diikuti anak buahnya yang lain.

"Hei?! Kau jaga di sini!" teriak laki-laki berkumis itu memerintah pada seorang anak buahnya.

"Beres, Ki!"

Ki Jembor dan yang lainnya baru saja keluar dari ruangan ini, mendadak sesosok tubuh melayang dari wuwungan.

"He, siapa kau?!" bentak anak buah Ki Jembor yang berada di sini.

Di hadapan orang itu berdiri sesosok tubuh berselubung kain hitam, mengenakan penutup muka. Seketika anak buah Ki Jembor mencabut golok, langsung menyerang orang bertopeng ini. Orang bertopeng itu berkelit kesamping. Lalu tangannya mengibaskan, menghantam pergelangan anak buah Ki Jembor.

Wut! Plak!

Golok di tangan anak buah Ki Jembor terlepas. Sementara orang bertopeng itu sudah berbalik. Lalu sebelah kakinya menyodok ke dada.

Des!

"Aaakh!" Anak buah Ki Jembor mengeluh kesakitan begitu kaki orang bertopeng bersarang telak di dadanya. Tubuhnya terbanting keras menghantam dinding, dan jatuh ke lantai dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sementara saat terjadi pertarungan, Rangga berusaha melepaskan rantai besi yang mengikat kedua tangan dan kakinya.

Tring! Tring!

"Siapa kau?" tanya Rangga, begitu ikatan pada tangan dan kakinya terlepas.

Orang bertopeng itu hanya memandangi Rangga dengan takjub, namun tidak menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. "Mari ikut aku, Kisanak!" ajak orang bertopeng itu. Mereka kemudian berkelebat, berusaha keluar dari rumah ini.

"Hei, siapa kalian?!" Seorang anak buah Ki Jembor memergoki mereka. Orang bertopeng itu menoleh. Dan tahu-tahu, dari sebelah tangannya melesat beberapa batang jarum halus ke arah anak buah Ki Jembor.

Wer!

"Aaa...!" Tanpa mempedulikan anak buah Ki Jembor yang terjungkal dan sekarat orang bertopeng itu terus berlari bersama Pendekar Rajawali Sakti melewati pagar samping. Mereka terus berusaha menjauh dari tempat ini.

"He, siapa itu?! Berhenti...!" teriak seseorang.

"Kurang ajar! Hentikan dia!" timpal yang lain.

"Tawanan kita kabur! Kejar! Hentikan mereka!" teriak yang lain pula.

Lebih dari dua puluh orang anak buah Ki Jembor berlompatan mengejar orang bertopeng yang berlari bersama tawanan mereka.

Namun, Rangga yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna, tidak kehabisan akal. Segera dicekalnya tangan orang bertopeng itu. Lalu tubuhnya berkelebat sangat cepat ke arah selatan. Di malam yang gelap ini, Rangga pun mengerahkan aji 'Tatar Netra'. Sehingga mereka dengan leluasa dapat berlari di malam yang gelap begini. Dan kini para pengejarnya telah tertinggal jauh, tanpa dapat mengejar lagi.

EMPAT

"Namaku Rangga. Siapa namamu, Kisanak?" tanya Pendekar Rajawali Sakti ketika mereka berdua telah tiba di rumah yang ditunjuk orang bertopeng itu.

"Aku..., Bidin," sahut orang bertopeng itu, dengan perasaan enggan.

"Terima kasih atas bantuanmu," ucap Pendekar Rajawali Sakti.

Orang bertopeng itu diam saja.

"Bidin..."

"Ya."

"Ini rumahmu?"

"Hanya untuk sementara ..."

"Untuk sementara? Lalu, dimana rumahmu yang sesungguhnya?"

Bidin tidak menyahut. Buru-buru dia masuk ke dalam sebuah ruangan. Dan dia kembali membawa cangkir dari bumbung bambu yang berisi air minum.

"Minumlah. Mungkin kau haus. .!"

Rangga menerima dan menenggak isinya sampai ludes. Rangga melirik dan memperhatikan wajah di balik topeng. Usianya tidak jauh berbeda dengannya. Juga, tidak terlalu buruk!

"Sebenarnya apa yang terjadi di desa ini, Bidin. Kulihat orang-orang enggan menampakkan diri. Dan yang kulihat di luaran hanya orang telengas saja.

Bidin tersenyum pahit. Lalu wajahnya menerawang seperti hendak menembus atap gubuk ini. "Sebuah malapetaka telah terjadi di desa ini. Dan aku kini adalah jadi seorang pengecut," sahut Bidin, menyesali diri sendiri.

"Apa maksudmu?"

Bidin tidak menyahut. Malah bibirnya tersenyum pahit seperti tadi.

"Apakah kau kenal Ki Jembor?" tanya Rangga berusaha mengalihkan perhatian.

"Dia hanya salah seorang kaki tangan Nyai Dukun Sirah, orang yang membuat malapetaka di desa ini."

"Nyai Dukun Sirah? Siapa dia?"

"Dukun wanita sakti yang menguasai beberapa desa, termasuk desa ini," sahut Bidin, datar.

"Menguasai beberapa desa? Hm, hebat sekali!"

"Dia bahkan membuat repot Kanjeng Adipati..."

"Luar biasa! Apa sebenarnya yang diinginkan wanita itu?"

"Dia ingin menjadi raja?"

"Perbuatan ini sungguh nekat! Wanita itu terlalu gegabah!"

Bidin tersenyum mendengar tanggapan pemuda itu. "Apakah kau sungguh tidak tahu?"

"Apa?"

"Nyai Dukun Sirah tidak seceroboh yang kau duga"

"Hm, lalu...?"

"Kawasan Kadipaten Sanggriang sepertinya mendapat ancaman Nyai Dukun Sirah. Sang Adipati sendiri tak mampu berbuat apa-apa. Nyai Dukun Sirah telah membangun angkatan perang. Dan setiap saat, selalu mendesak kekuasaan Adipati Rapaksa," jelas Bidin.

"Apakah Adipati Rapaksa tidak meminta bantuan pada kerajaan?"

"Tidak bisa. Sebab, semua tempat di seluruh kadipaten ini berada dalam jangkauan Nyai Dukun Sirah. Apalagi, perempuan tua itu memiliki seribu telinga. Mata-matanya tersebar dimana-mana. Pernah beberapa kali Adipati Rapaksa mengirim utusan rahasia kepada kerajaan. Namun, tidak seorang pun yang pernah kembali. Diduga, mereka binasa atau ditawan Nyai Dukun Sirah..." lanjut Bidin.

"Hm, ternyata kekuatan Nyai Dukun Sirah tidak bisa dianggap main-main!" desah Rangga.

Bidin terdiam. Wajahnya muram seperti saat bercerita.

"Apakah Nyai Dukun Sirah menyengsarakan rakyat?"

"Ya! Rakyat merasa tertekan sekali. Mereka memungut pajak semaunya Dan anak buahnya sering berbuat keonaran. Banyak di antara penduduk desa berusaha kabur dan pindah ke desa lain. Namun, tidak semuanya selamat. Nyai Dukun Sirah tidak kenal ampun. Semua orang yang membangkang dijatuhi hukuman mati.

"Apakah tidak ada rakyat yang memberontak?"

"Tidak. Mereka tidak berani melawan..."

"Para pemudanya?"

Bidin terdiam. Kepalanya tertunduk. Lalu pandangannya dibuang ke tempat lain. Tidak terasa, malam telah berlalu. Dan subuh mulai datang ketika dari kejauhan terdengar kokok ayam jantan bersahutan. Namun, keduanya masih terdiam.

Rangga mulai merasa yakin kalau Bidin menyimpan satu rahasia terhadapnya. Wajah pemuda itu tampak suram, menyiratkan kesedihan yang dalam di hatinya. Perasaan putus asa dan nelangsa.

"Selama ini apa yang kau lakukan...?" tanya Rangga hati-hati.

"Tidak ada apa-apa..."

"Apakah keluargamu ada yang menjadi korban kekejaman mereka?"

Bidin kembali terdiam.

"Kau ingin menuntut balas terhadap mereka? Aku bersedia membantumu," lanjut Rangga, merasa yakin kalau kesedihan yang dirasa Bidin pasti berkaitan dengan ulah Nyai Dukun Sirah.

Bidin menoleh dengan wajah suram. "Apa maksudmu?"

"Kalau benar apa yang kau katakan, maka Nyai Dukun Sirah bukanlah orang baik-baik. Dia penindas. Dan orang seperti dia harus dilenyapkan dari muka bumi. Nah! Bila kau berpikiran sama, maka aku bersedia membantumu," sahut Rangga menegaskan.

"Nyai Dukun Sirah hebat, dan sakti. Kita hanya berdua. Mana mungkin bisa melawannya..."

"Apakah tidak terpikir untuk menggerakkan semangat rakyat dalam melawan Nyai Dukun Sirah? Lagi pula, kita punya dukungan. Yaitu, dari sang adipati sendiri!"

Bidin menghela napas. Berat.

"Kenapa? Kau tidak setuju?" desak Rangga.

"Aku terlalu pengecut untuk berbuat seperti itu...," sahut Bidin lirih.

"Kenapa? Semua orang mampu melakukannya bila dalam dirinya ada sedikit semangat untuk membela kaum lemah!"

"Tidak! Tidak...!" bentak Bidin keras. Pemuda itu bangkit, lalu menghantam dinding didekatnya hingga jebol. Kemudian, kakinya melangkah lebar keluar.

Rangga segera menyusul dan menghadang di depannya. "Ada apa, Sobat? Apakah kau tidak ingin berbuat sesuatu bagi desa atau orang-orangmu?" tanya Rangga, mencoba memompa semangat Bidin.

"Aku tidak mampu! Aku tidak bisa...! Jangan halangi. Aku harus pergi! Aku sendiri pengecut..!"

Bidin kembali berteriak. Dan dengan kasar, ditepisnya tangan Rangga. Lalu dia berlari kencang, kemana saja kakinya melangkah. Namun baru saja sepuluh tindak melangkah, mendadak beberapa sosok tubuh menghadang.

"Berhenti...!" bentak salah seorang penghadang.

"Setan alas! Minggir kalian...!" balas Bidin, langsung mengayunkan kepalan tangan pada orang yang berada di dekatnya.

Wut!

Sodokan Bidin ditangkis dengan sigap oleh orang itu.

Plak!

Namun Bidin langsung berputar. Kemudian sebelah kakinya tepat menghantam dada.

Des!

Orang itu mengeluh kesakitan dan terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada.

"Kurang ajar! Pasti kau orang bertopeng yang membuat kekacauan, sehingga tawanan kita lari!" bentak yang lain geram.

Seketika lima orang serentak menyerang Bidin.

"Heaaa...!"

Bidin terkesiap, saat golok-golok lawan menyambar ke arahnya. Dia melompat ke belakang, sambil menangkis beberapa hantaman serta tendangan lawan.

Plak! Plak!

Dan seketika itu pula, Bidin mencabut golok yang terselip di pinggang.

Trang!

Empat senjata para pengeroyok berhasil ditangkis Bidin. Namun wajahnya berkerut seperti menahan beban berat. Lawan-lawannya ini agaknya bukanlah orang sembarangan. Tenaga dalam mereka kuat. Bahkan berada di atasnya. Sehingga, pemuda itu terus meringis setiap kali senjatanya beradu. Bahkan telapak tangannya mulai terkelupas. Dan beberapa kali golok ditangannya nyaris terpental. Namun begitu, dia masih mampu bertahan dengan semangat menyala-nyala.

"Heaaa!"

Pada saat itu, Rangga datang membantu. Dia melompat melenting tinggi. Setelah berputaran diudara, Pendekar Rajawali Sakti menyerang salah seorang lawan.

Orang itu langsung menyambut Rangga dengan sabetan golok. Namun, Rangga berkelit lincah. Bahkan tangan kanannya cepat menangkap pergelangan tangan lawan. Pada saat yang bersamaan, seorang lawan yang lain menyergap dari belakang.

"Hiiih!"

Rangga mencengkeram tangan lawan yang kemudian ditariknya ke belakang. Pada saat yang sama, tubuhnya membungkuk dan maju kedepan. Lalu....

Wut! Bres!

"Aaa...!" Golok itu meluncur ke belakang, dan menancap di jantung lawan yang berada di belakang Rangga. Terdengar jeritan panjang. Dan orang itu ambruk beberapa saat, sambil mendekap dada kirinya yang mengucurkan darah segar.

Sementara lawan Rangga yang tangannya masih dicengkeram tersentak kaget. Namun, Rangga tidak mempedulikannya. Ditekuknya lengan orang itu hingga terdengar tulang berderak patah.

Krak!

Rangga tidak berhenti sampai di situ, tangan kanannya cepat bergerak.

Des!

"Aaa...!" Kembali terdengar jeritan panjang. Dan tubuh orang itu kontan terjungkal. Begitu mencium tanah, tubuhnya menggelepar beberapa saat, lalu diam tidak bergerak.

"Yeaaa!"

Pada saat itu juga dua lawan lain melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan kalap. Kematian dua orang kawan mereka, membuat amarah pengeroyok itu semakin berkobar.

Bet! Bet!

"Uts...!" Dua golok berkelebat menyambar Rangga. Namun dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Pendekar Rajawali Sakti menghindarinya lewat gerakan-gerakan manis yang sulit ditebak.

Tap! Wut!

Salah seorang membabat leher. Secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti membungkuk. Lalu tubuhnya dengan cepat, menangkap pergelangan salah seorang lawan dengan tangan kiri. Dan secepat itu pula, tangan kanannya menghantam dada.

Des!

"Aaakkh...!" Orang itu menjerit kesakitan. Dan ketika seorang lagi menyerang, Rangga menyorongkan lawan yang dicengkeramnya, ke arah orang yang menyerangnya.

"Heh?!"

Bles!

"Aaa...!"

Bukan main terkejutnya lawan yang tengah menyerang Rangga. Goloknya ternyata menembus kawannya sendiri. Dan tahu-tahu, Pendekar Rajawali Sakti mengangkat orang yang dibuatnya sebagai tameng. Seketika Rangga melompat keatas sambil mengangkat orang yang masih dicengkeramnya. Dan seketika itu pula orang itu dihantamkan pada kawannya yang masih terpaku. Lalu...

Prok!

Aaakh....!"

Kedua kepalan mereka saling berbenturan hingga terdengar bunyi berderak. Keduanya kembali memekik. Darah kontan mengucur deras dari batok kepala mereka. Keduanya ambruk dan tewas seketika itu pula.

Tiga orang lawan yang tersisa sangat terkejut melihat sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti yang pernah mereka tawan. Bahkan salah seorang yang tengah mengeroyok Bidin, berusaha kabur dari tempat ini.

Rangga menendang salah satu golok lawanyang tergeletak ditanah. Seketika, golok itu meluncur deras dan tepat menancap di punggung orang yang berusaha kabur.

Creb!

"Aaa...!" Orang itu memekik, langsung tersungkur ke depan.

Melihat tidak ada lagi kesempatan untuk kabur, dua orang yang tersisa menghentikan perlawanan. Mereka segera membuang golok masing-masing pertanda menyerah.

Pendekar Rajawali Sakti mendekati mereka dengan tatapan dingin. "Kalian tahu? Aku tidak biasa berbuat kejam seperti tadi, kecuali bagi orang-orang yang berbuat jahat terhadapku. Seharusnya kalian berdua kubunuh!" ancam Rangga, dingin.

"Oh, ampun! Ampuni kami, Tuan Pendekar..!" ratap mereka serentak seraya berlutut.

Sepak terjang Rangga barusan membuat mereka bergidik ngeri. Pemuda itu bertindak tidak kepalang tanggung. Bahkan dengan mudah membinasakan kawan-kawannya.

"Ku ampuni kalian. Kembalilah. Dan, katakan pada majikanmu, Pendekar Rajawali Sakti tidak akan tutup mata melihat kebatilan! kata Rangga tanpa bermaksud menyombongkan diri.

"Eeeh! Ba..., baik..."

"Cepat pergi!" bentak Rangga.

Tanpa menoleh lagi kedua orang itu langsung kabur dengan terbirit-birit. Sementara itu Bidin masih terpaku di tempatnya. Dia tidak percaya, pemuda itu mampu membereskan lawan dalam waktu singkat. Tapi hal yang membuatnya kaget adalah, ketika Rangga menyebutkan siapa dirinya yang sebenarnya.

"Pendekar Rajawali Sakti...?" gumam Bidin saat Rangga tersenyum memandangnya.

LIMA

"Jadi, kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Bidin, berusaha meyakini.

"Ya...," sahut Rangga sambil mengangguk.

"Kenapa kau tidak mengatakannya dari tadi?"

"Rasanya itu terlalu berlebihan." sahut Rangga, merendah.

"Lantas, bagaimana kau sampai berada diwilayah kekuasaan Ki Jembor?" tanya Bidin.

"Aku sebenarnya tertarik dengan cerita orang, yang mengatakan kalau di daerah ini terjadi wabah penyakit. Kemudian aku mencoba mencari keterangan, sampai akhirnya ditawan oleh Ki Jembor. Sengaja aku tak melawan, agar mudah memperoleh keterangan," jelas Rangga.

Namun Bidin diam saja. Dan dia tersenyum pahit. "Dan ternyata, aku mendapat kepastian darimu, kalau wabah penyakit dan segala malapetaka yang terjadi di desa ini adalah ulah wanita yang kau sebut Nyai Dukun Sirah," lanjut Rangga.

"Apakah kau sungguh-sungguh hendak membantuku melawan Nyai Dukun Sirah?" tanya Bidin, ingin memastikan.

Rangga mengangguk

Bidin kembali tersenyum. "Ketika kulihat mereka membawamu, kukira kau adalah kawan-kawan mereka. Tapi aku penasaran. Dan kuikuti kalian. Belakangan baru kuketahui kalau mereka ingin memperdayaimu. Kemudian kucari akal untuk mengalihkan perhatian mereka...," jelas Bidin seperti bicara pada diri sendiri.

"Jadi kau yang membuat kekacauan itu?"

"Ya. Kubakar ruangan dapur. Lalu aku bergerak keatas, bermaksud membebaskanmu. Sepanjang hidupku rasanya itulah perbuatanku yang paling hebat. Tapi nyatanya, kulihat kau sebenarnya mampu membebaskan diri sendiri."

"Tidak usah terlalu dipikirkan. Aku sebenarnya hanya berpura-pura saat hendak diperdaya. Aku memang sudah curiga. Maka kuputuskan untuk membiarkan diriku tertawan.

Bidin kembali tersenyum pahit. Ada satu ganjalan yang masih tertahan di lubuk hatinya. Terutama ketika dirinya dituduh pengecut oleh Marni, kekasihnya.

"Ada suatu kenyataan yang begitu pahit kurasakan. Sehingga, aku tidak punya keberanian untuk menolongnya...," tiba-tiba Bidin bergumam.

"Siapa yang kau maksud?"

"Marni, kekasihku. Dia ditangkap oleh anak buah Nyai Dukun Sirah. Sampai sekarang, jeritannya masih terngiang. Sehingga membuat hatiku pilu. Aku memang pengecut, dan sama sekali tidak berguna!" desis Bidin geram. Kembali tangannya menghantam dinding gubuk ini untuk melampiaskan kekesalan hatinya.

"Kita masih bisa menyelamatkannya, Bidin," sahut Rangga hendak menggugah semangat kawan barunya.

Bidin tersenyum pahit mendengar kata-kata itu. "Peristiwa itu terjadi kira-kira dua minggu lalu. Saat ini aku tidak tahu, apakah Marni masih hidup atau tidak. Oh! Seandainya pun dia hidup, tentu amat menderita! Anak buah Nyai Dukun Sirah pasti mempermainkannya setiap saat! Bajingan...!" Bidin kembali menggeram.

"Kita akan mencari tahu, apakah Marni masih hidup atau tidak. Aku akan membantumu!" tegas Rangga.

"Betulkah...?" Bidin memandang pemuda itu sejurus lamanya dengan wajah penuh harap.

Rangga mengangguk mantap. Namun, wajah Bidin yang mulai berseri kembali redup. Bahkan berganti dengan kedukaan.

"Kenapa? Kau tidak suka kita mencari tahu keadaan Marni?"

"Selama ini, aku berkeliaran seorang diri. Dan sejauh ini pula, kuketahui bahwa anak buah Nyai Dukun Sirah amat rakus dan biadab. Mereka mempermainkan seorang wanita seenaknya saja. Bahkan menggilirnya satu persatu, kemudian dijadikan sebagai pemuas nafsu iblis!" jelas Bidin dengan wajah geram.

"Biadab! Mereka harus mendapat ganjaran yang setimpal!" desis Rangga ikut-ikutan geram.

Mereka terdiam sejenak. Di luar, udara pagi mulai merasuk ke dalam gubuk sejak tadi. Namun kini tidak sedingin tadi, sejak di ufuk timur matahari mulai muncul. Suara burung pun berkicau mulai riuh terdengar.

"Bagaimana cara kita mencari tahu soal Marni?" tanya Bidin.

"Kita akan memaksa Ki Jembor, atau siapa pun yang berada di sana untuk memberitahukannya!" sahut Rangga tersenyum.

"Jadi, kita ketempat Ki Jembor lebih dulu?"

"Ya!"

"Dengan kejadian tadi, anak buahnya tentu akan melapor. Dan setelah mendengar namamu, tentu Ki Jembor akan mengirim urusan untuk memberitahukan Nyai Dukun Sirah...."

"Tidak apa-apa. Nah, kita berangkat sekarang!" ujar Rangga.

Rangga bangkit. Dan Bidin segera mengikuti. Langkahnya terasa ringan. Isi dadanya seperti mau meledak oleh semangat untuk menumpahkan sakit hati serta dendam yang selama ini dipendamnya.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Warga Desa Dukuh Barus yang tidak mengungsi mulai terlihat satu persatu. Dan itu pun hanya para pemuda serta laki-laki yang hendak kesawah dan ladang masing-masing. Sedang para wanita dan anak-anak lebih banyak mengurung diri dirumah masing-masing.

Tidak seperti biasanya, hari ini anak buah Ki Jembor tidak berkeliling desa untuk menarik upeti, atau mencari gara-gara pada penduduk. Namun begitu, Rangga dan Bidin tetap menghindari jalan-jalan desa. Mereka menempuh jalan di pinggiran hutan, lalu menuju sebuah rumahpanggung berukuran besar dan sangat bagus terbuat dari kayu dan papan yang disana-sini terdapat ukiran indah.

Rumah ini semula milik kepala desa. Namun sejak kedatangan Ki Jembor serta anak buahnya, rumah ini diambil alih. Kepala desa itu mati dibunuh. Sedang para pembantunya kabur entah ke mana ketika kerusuhan terjadi. Rangga manggut-manggut mendengar penjelasan Bidin sepanjang perjalanan ke tempat ini.

"Agaknya kau sudah lama berada di sini?"

"Hanya disini aku bisa leluasa bersembunyi dari intaian kaki tangan dukun wanita itu. Ki Jembor itu tolol. Kepandaiannya paling lemah, dibanding anak buah Nyai Dukun Sirah yang lain..."

"Kalau begitu, mereka telah mengetahui kehadiranmu sampai kau harus dikejar-kejar?"

"Aku pernah membunuh beberapa orang anak buahnya. Kebetulan, saat mereka berjalan berdua atau seorang. Selama ini telah lima orang yang binasa di tanganku!" jelas Bidin.

"Nah! Bukankah itu menunjukkan kalau sebenarnya kau bukan pengecut?"

Bidin tersenyum lebar. "Tapi mereka kujatuhkan secara tidak jujur."

"Bagaimana caranya?"

"Aku mengendap-endap dari belakang. Kudekati salah seorang, lalu kupukul dari belakang sampai tulang lehernya patah. Dan ketika yang seorang lagi menoleh, kuhantam lagi dadanya dengan balok kayu besar sampai roboh. Atau kadang kadang ke kepala mereka kuhujamkan batu besar...," jelas Bidin.

Rangga tersenyum mendengar cerita kawan barunya. "Kenapa kau merasa itu tidak jujur? Dalam perjuangan membela kebenaran, maka segala cara yang kira-kira memungkinkan boleh dilakukan."

"Hanya sayang, tujuan semulaku bukan membela yang benar. Tapi, balas dendam karena mereka mempermainkan Marni. Mereka memperlakukan Marni sesuka hatinya. Mereka...." Bidin tidak mampu melanjutkan kata-katanya.

"Sudahlah, Sobat. Kau akan mendapat kesempatan untuk mencari Marni. Kalaupun tidak, kita telah berjuang membela yang benar...," bujuk Rangga.

Bidin tidak langsung merasa tenang. Dia masih diam, tidak menyahut. Sejurus lamanya, baru kepalanya berpaling. Wajahnya masih murung, namun menurut saja ketika Rangga mengajaknya terus berjalan mendekata tempat yang dituju.

Bekas rumah kepala desa itu dijaga ketat dan berlapis-lapis. Tujuh orang berdiri di halaman depan dengan mata tajam memandang kesekelilingnya. Masing-masing lima orang di kiri dan kanan juga ikut berjaga-jaga. Empat orang lain berada di atap rumah. Dan, tidak kurang jumlahnya yang berjaga di beranda depan.

"Bagaimana...?" tanya Bidin seraya ikut bersembunyi di balik semak-semak.

Rangga berpikir sejenak. Matanya terarah pada kandang kuda yang berada di sebelah kiri rumah itu. Wajahnya berseri, ketika melihat kuda hitamnya masih berada di tempat itu.

"Suiiit..!"

"Hiiieee...!"

Pendekar Rajawali Sakti bersuit nyaring. Serentak, kuda hitam bernama Dewa Bayu yang berada di kandang meringkik keras seraya menyentak tali kekang yang melilit di salah satu balok. Kedua kakinya terangkat tinggi. Lalu tubuhnya berbalik, dan menendang pintu kandang dengan kedua kaki belakang.

"Heh?! Apa itu...?!"

Mereka yang berada di tempat itu terkejut, segera mengalihkan perhatian ke kandang kuda.

Dewa Bayu sendiri keluar dari kandang sambil meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depannya berkali-kali. Kemudian hewan itu lari dan berputar-putar di sekitar halaman tempat ini.

Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Rangga. Tubuhnya berkelebat cepat, dan menyelinap lewat samping kanan. Lalu dia melompat ke atap, langsung melumpuhkan salah seorang penjaga tanpa menimbulkan suara yang berarti. Sementara Rangga berusaha menerobos ke dalam, Bidin memperhatikan dari tempatnya semula tanpa beranjak.

Para penjaga rumah itu, berusaha menjinakkan Dewa Bayu, namun tidak berhasil. Hewan itu malah semakin liar sambil mendengus-dengus garang. Bahkan beberapa kali menendang lewat kedua kaki belakangnya, atau juga mengangkat kedua kaki depan sambil meringkik keras.

Keributan itu menarik perhatian Ki Jembor. Dengan diikuti dua orang anak buahnya, dia bergegas keluar. Namun baru saja keluar dari pintu, sesosok tubuh pemuda berbaju rompi putih telah mencegatnya.

"Eee...!" Ki Jembor terkejut Darahnya kontan tersirap ketika mengetahui siapa orang yang menghadangnya.

"Kita bertemu lagi, Ki Jembor! Mudah-mudahan kau tidak cepat lupa padaku..!" ujar pemuda itu sambil tersenyum kecil.

"Kurang ajar! Ringkus dia...!" sentak Ki Jembor geram. Tanpa pikir panjang lagi, dia memberi perintah pada dua orang anak buahnya.

"Yeaaa!"

Srang!

Bet! Bet!

Kedua orang itu segera mencabut golok, langsung menyerang. Namun Pendekar Rajawali Sakti telah bergerak lincah menghindan serangan. Tubuhnya melejit keatas sambil berjumpalitan. Dan bersamaan dengan itu, dicengkeramnya kedua pergelangan tangan lawan-lawannya yang menggenggam golok.

Cras! Bret!

"Aaa...!"

Senjata di tangan anak buah Ki Jembor saling menyambar satu sama lain masing-masing kearah leher dan perut mereka sendiri. Tidak cukup sampai di situ. Kedua kaki pemuda berbaju rompi putih ini terus menghantam dada mereka. Kedua orang itu terjungkal roboh seraya memekik kesakitan.

Mendengar keributan itu, mereka yang berada diluar segera mengalihkan perhatian. Sementara mereka berbondong-bondong kedalam untuk melihat keadaan majikannya.

Set! Wut!

Pemuda berbaju rompi yang tidak lain Rangga alias si Pendekar Rajawali Sakti, tersenyum sinis melihat anak buah Ki Jembor menyerbu ke arah nya. Dua bilah golok yang tergeletak dilantai, dihantam dengan sebelah kaki. Seketika, golok itu melayang menyambar dua orang lawan yang berada paling depan.

Creb!

"Aaa...!"

Kedua orang itu tersungkur ke depan. Golok di genggaman mereka terpental ke arah si Pendekar Rajawali Sakti. Dan Rangga tidak menyia-nyiakannya. Kakinya kembali menghantam. Maka kedua golok itu melayang hampir bersamaan.

Crap!

"Aaakh...!"

Kembali terdengar jeritan panjang. Dua lawan lainnya kembali tersungkur dengan golok tertancap di dada.

Melihat itu, Ki Jembor tidak tinggal diam. Kemampuannya dikerahkan sekuat tenaga. Lalu dihantamnya Pendekar Rajawali Sakti dengan seluruh tenaga dalam yang dimiliki.

"Heaaa...!"

Rangga terkesiap, namun masih mampu menghindari hantaman dengan melompat kesamping dan terus bergulingan.

"Hup!"

Jder!

Sehingga pukulan Ki Jembor luput dari sasaran, dan hanya menghantam dinding hingga jebol.

"Yaaat!"

Ki Jembor langsung melompat mengejar, setelah mencabut goloknya. Dia mendesak Rangga dengan mengerahkan seluruh kemampuannya.

Bet!

Rangga melompat ke samping. Lalu tubuhnya kembali melejit ke atas saat beberapa orang anak buah Ki Jembor menyergapnya. Setelah berjumpalitan beberapa kali, Rangga mulai balas menyerang dengan satu tendangan dari belakang.

Des!

"Ugkh...!" Orang itu memekik kesakitan. Tubuhnya tersungkur ke depan. Namun begitu, Rangga berhasil merampas goloknya sebelum ikut terjatuh. Dan dengan senjata itu, ditangkisnya golok lawan yang hendak menebas lehernya dari depan serta samping kiri dan kanan.

Trang! Bret!

"Aaa...!"

Golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti langsung menyambar perut ketiga lawannya. Mereka terjungkal dengan luka menganga lebar. Rangga tidak berhenti sampai disitu. Dia terus mengamuk hebat, menghajar siapa saja yang berada di dekatnya.

Bret! Cras!

"Aaa...!"

"Kurang ajar! Kau akan mampus di tanganku, Keparat!" geram Ki Jembor geram melihat anak buahnya satu persatu dibabat Pendekar Rajawali Sakti dengan mudah.

"Huh!" Pendekar Rajawali Sakti hanya mendengus dingin.

Trang!

Golok ditangan Rangga kembali menangkis senjata Ki Jembor. Dan bersamaan dengan itu, sebelah kakinya menghantam perut Ki Jembor menghindar dengan gesit. Tubuhnya bergerak kesamping, lalu berputar. Segera dia balas menyerang sambil menyabetkan golok ke perut. Namun, Pendekar Rajawali Sakti keburu melompat keatas. Bahkan telah siap melakukan tendangan kilat kebatok kepala.

Wuuut!

"Uhhh...!" Ki Jembor cepat-cepat menjatuhkan diri, sehingga luput dari serangan. Namun begitu jantungnya sempat berdegup kencang. Wajahnya tampak pucat karena tidak mengira kalau pemuda itu mampu melakukan tendangan begitu cepat.

"Yeaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti melayang meski tendangannya luput dari sasaran, namun telapak kakinya cepat menjejak di dinding. Seketika tenaga dorongan itu digunakan untuk kembali berputar, lalu melakukan tendangan kembali saat Ki Jembor baru saja bangkit. Maka....

Des!

"Akh...!" Ki Jembor tak mampu mengelak. Pelipisnya langsung terjahar telak. Orang itu terhuyung-huyung kesamping sambil mendekap pelipis kirinya.

"Heaaa!"

Anak buah Ki Jembor tentu saja tidak membiarkan begitu saja melihat majikan mereka celaka.

Set! Set!

Tap!

Beberapa bilah golok langsung melayang ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun Rangga mampu berkelit, meski dengan susah payah karena ruangan yang sempit. Tiga bilah golok berhasil ditangkap dan dua buah kembali ke arah para pengeroyoknya. Akibatnya...

"Aaa...!"

Dua orang yang paling dekat dengan Rangga memekik setinggi langit dan ambruk dengan golok tertancap di dada.

"Hiiih!" Golok ketiga dilemparkan Pendekar Rajawali Sakti ke arah Ki Jembor sambil mendengus geram. Ki Jembor cepat menangkis gesit.

Trang!

"Yeaaa...!"

Bersamaan dengan itu, tubuh Pendekar Rajawali Sakti berkelebat kearah Ki Jembor, melakukan serangan gencar.

Trang!

Satu sambaran golok ditangan Pendekar Rajawali Sakti berhasil ditangkis Ki Jembor. Namun, pemuda itu langsung melanjutkan dengan sodokan keras lewat tendangan kaki kanan ke arah ulu hati.

Duk!

"Akh...!" Ki Jembor mengeluh tertahan. dengan wajah berkerut menahan rasa sakit hebat.

"Hup!"

Rangga cepat melompat ke atas melewati kepalanya Ki Jembor masih berusaha menghalangi dengan ayunan golok. Cepat bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti menangkis.

Plak!

Dan tiba-tiba Rangga menangkap pergelangan tangan Ki Jembor. langsung menelikungnya ke belakang. Bahkan golok ditangannya cepat bergerak mengancam leher Ki Jembor.

"Siapa yang berani maju, maka kepala majikan kalian ini menggelinding!" bentak Pendekar Rajawali Sakti mengancam anak buah Ki Jembor yang bergerak hendak mengancamnya.

Wajah Ki Jembor tampak pucat ketakutan. Keringat dingin mulai membasahi tubuh. Golok di tangan pemuda itu telah menempel di leher. Sedikit saja bergerak, maka putuslah lehernya!"

ENAM

Semua anak buah Ki Jembor terdiam. Tak seorang pun yang berani bertindak, melihat majikannya terancam.

"Perintahkan mereka untuk membuang senjatanya!" dengus Rangga, memerintah.

"Bu..., buang senjata kalian...!" teriak Ki Jembor dengan suara tercekat di tenggorokan.

"Sekarang, jawab pertanyaanku! Kau bekerja untuk Nyai Dukun Sirah, bukan?"

"I..., iya...!"

"Tahu, apa yang dilakukannya?"

"Tidak..., tidak!"

Rangga mendekatkan mata golok itu ke leher Ki Jembor. Sehingga membuat wajah Ki Jembor yang pucat, semakin putih saja.

"Eee...!" seru Ki Jembor gugup, makin gemetar.

"Aku tidak segan-segan membunuhmu. Maka, jawab pertanyaanku dengan jujur!"

"Eh! Ba..., baik..."

"Nah! Kau tahu, apa yang dilakukan majikanmu?"

"Ta..., tahu..."

Baru saja Ki Jembor menyahut, mendadak Rangga menendang golok milik Ki Jembor yang tadi terlepas dari genggaman. Senjata itu seketika melayang, melewati beberapa anak buah Ki Jembor. Dan...

Crab!

"Aaa...!"

Golok itu menancap persis di punggung salah seorang anak buah Ki Jembor yang berusaha kabur diam-diam. Orang itu tersungkur disertai pekik kesakitan. Dia tewas setelah menggelepar beberapa saat kemudian.

"Jangan coba-coba kabur dariku!" dengus Rangga sinis. Pendekar Rajawali Sakti kemudian memerintahkan mereka agar berkumpul semua di ruangan ini, dan menutup pintu rapat-rapat.

"Kalian tidak akan selamat meski keluar sekalipun. Sebab, seorang kawanku tengah meyakinkan penduduk kalau kalian tidak punya kekuasaan apa apa sejak saat ini!" lanjut Rangga.

"Kau tidak bisa menakut-nakuti kami...!" dengus salah seorang anak buah Ki Jembor.

Mendengar itu, Ki Jembor tersentak kaget. Matanya kontan mendelik garang penuh amarah. Dia khawatir, kata-kata itu akan membuat Rangga marah. Dan dengan demikian, golok yang menempel di lehernya akan... bret! Ki Jembor menelan ludah, kelakutan.

"Kadung, jangan macam-macam kau!" sentak Ki Jembor.

"Kenapa? Apakah kau takut mati, Ki Jembor? Dia tidak akan berani melakukannya. Huh! Dan memandang rendah pada Nyai Dukun Sirah. Bila hari ini dia menang, maka dalam waktu singkat anak buah Nyai Dukun Sirah akan membuat perhitungan. Dia akan mati tanpa ampun!" sahut pemuda bernama Kadung lebih berani. Sama sekali tidak dipedulikan bentakan Ki Jembor. Dia hendak membentak lebih keras, namun....

"Diam kau!" Rangga telah mendahului dengan satu bentakan keras.

Rangga memandang Kadung, lalu tersenyum kecil. "Hebat! Seharusnya kau yang pantas memimpin mereka. Bukan si tolol ini. Kau berani dan sedikit sombong. Jadi kalau aku menawan kalian, Nyai Dukun Sirah akan ke sini?"

"Huh! Dia memiliki seribu mata dan telinga!. Dia akan tahu kejadian yang menimpa anak buahnya!"

"Kapan kira-kira dia akan ke sini?"

"Untuk membereskanmu, dia tidak perlu turun tangan sendiri. Seorang anak buahnya yang lain telah cukup!"

Rangga tersenyum. Di luar, mulai terdengar suara ribut dan teriakan-teriakan bersemangat. Pendekar Rajawali Sakti mengintip dari jendela. Tampak sekitar tiga puluh orang penduduk desa ini berkumpul di halaman depan sambil mengacung-acungkan senjata apa adanya.

"Masuklah...!" sahut Rangga ketika pintu diketuk dari luar.

Bidin muncul di ambang pintu. Dan dia tersenyum sinis melihat anak buah Ki Jembor. "Aku telah berhasil mengumpulkan penduduk seperti rencanamu. Semula, mereka tidak percaya. Namun melihat bukti ini, mungkin semangat mereka akan semakin menggebu." ujar Bidin.

Rangga tersenyum, memuji dalam hati pekerjaan kawannya. "Carikan tali. Dan, bawa beberapa orang pemuda ke sini. Lalu, ikat mereka!" lanjut Rangga.

********************

"Heaaa...!"

Terdengar teriakan membahana dari kejauhan membuat para penduduk Desa Dukuh Barus terkejut. Dua orang penunggang kuda melarikan tunggangannya dengan cepat. Para penduduk cepat menyingkir. Begitu berada dihalaman depan salah seorang langsung melompat, hendak membebaskan Ki Jembor.

"Yeaaa...!"

"Hup!"

Namun, Rangga tidak membiarkannya begitu saja. Tubuhnya cepat bergerak, langsung memapak orang itu sebelum membebaskan Ki Jembor.

Plak! Plak!

"Uhhh...!" Sosok yang baru muncul itu terpental kebelakang. Namun, keseimbangan tubuhnya masih mampu diatur. Dia berdiri tegak, pada jarak lima langkah dari Rangga yang telah lebih dulu menjejakkan kakinya.

Kini Pendekar Rajawali Sakti bisa melihat jelas, siapa orang yang baru muncul. Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Rambutnya panjang tidak terurus. Kumisnya tebal. Tubuhnya besar dan kekar. Tampangnya tampak galak. Apalagi dengan sebuah gada berduri yang tergantung di pinggang.

"Heh?! Jadi kaukah yang bernama Pendekar Rajawali Sakti?!" geram orang itu seraya memelintir ujung kumisnya.

"Benar. Hm... Jadi, Ki Jembor sempat mengirim utusan untuk membawamu ke sini?" sahut Rangga sinis.

"Aku Gajah Metu! Dan kawanku Rompang Wiguna! Kisanak! Kuminta, melepaskan Ki Jembor dan yang lainnya," ujar Ki Gajah Metu.

Sementara itu orang yang bernama Rompang Wiguna segera turun dari punggung kudanya. Segera didekati Gajah Metu. Orang yang bertubuh kurus ini berwajah lonjong. Sorot matanya tajam. Sikapnya angkuh, seperti memandang rendah Pendekar Rajawali Sakti.

"Membebaskan mereka? Kisanak! Tidak perlu repot-repot. Biar nanti aku yang akan melakukannya. Pergilah kalian menghadap Nyai Dukun Sirah. Sampaikan permohonanku agar dia menghentikan sepak terjangnya yang menyengsarakan rakyat," sahut Rangga sambil tersenyum kecil.

"Huh! Kau kira semudah itu?! Aku masih memandangmu. Dan, jangan sampai kami bertindak kasar padamu!" dengus Gajah Metu geram.

Orang bernama Gajah Metu ini agaknya pemarah dan tidak sabaran. Seketika sikapnya langsung garang, dan wajahnya berkerut menahan amarah.

"Hm... Kalau begitu, biarlah aku sendiri yang akan memintanya pada Nyai Dukun Sirah," sahut Rangga enteng.

"Ha ha ha...! Kau kira Nyai Dukun Sirah akan mengabulkan keinginanmu? Dia akan memenggal kepalamu, begitu kau memperkenalkan diri!" sahut Rompang Wiguna tertawa mengejek.

"Begitukah? Hm Kukira Nyai Dukun Sirah seorang yang mau mendengar keluhan orang lain...."

"Huh, jangan mimpi! Meski kau paksa sekalipun, dia tidak sudi menuruti keinginanmu!" dengus Rompang Wiguna.

"Hm... Menurut kalian, cara apa yang harus kugunakan untuk membujuknya? Eh! Aku ada akal! Barangkali bila aku ke sana membawa kepala kalian berdua, dia tentu akan mendengarkan kata-kataku!" seru Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah berseri.

Bukan main geramnya Gajah Metu dan Rompang Wiguna mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Jelas, pemuda ini menganggap sebelah mata dan sama sekali tidak mempedulikan keberadaan mereka di sini. Gajah Metu tidak bisa menahan diri lagi. Langsung dia melompat menerjang.

"Monyet buduk! Kurobek mulutmu yang lancang itu...!"

"Hup!"

Pendekar Rajawali Sakti memiringkan sedikit tubuhnya. Sehingga, senjata Gajah Metu yang mengancam batok kepalanya luput dari sasaran. Kemudian tubuhnya berkelebat kesamping kiri. Sehingga, laki-laki berkumis melintang itu sulit menyambar tubuhnya.

Gajah Metu kemudian mengibaskan kepalan kiri untuk menghantam pinggang Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti telah melompat ke belakang untuk mengecohnya. Dan itu semakin membuat Gajah Metu geram saja.

"Jahanam! Kuremukkan tubuhmu, Setan...!" maki Gajah Metu semakin geram.

"Silakan saja, Kisanak. Jangan malu-malu!" balas Rangga.

"Kurang ajar! Hiiih!" Gajah Metu tampak semakin geram saja. Serangannya segera diperhebat, namun tidak juga mampu mendesak. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti dengan gerakan lincah dan indah mampu menghindari setiap serangannya.

"Hiiih!" Rangga mendengus dingin. Setelah membaca jurus Gajah Metu, Pendekar Rajawali Sakti mulai balas menyerang. Sambil membungkuk untuk menghindari sambaran senjata, tubuhnya menyusup ke samping seraya menyorongkan lutut kanan, persis menghantam ke perut.

Duk!

"Uhhh...!" Gajah Metu mengeluh tertahan. Tubuhnya kontan terdorong ke belakang. Belum sempat dia berbuat apa-apa, ujung kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti terus menyodok dagu.

Tak!

"Aaargkh...!" Kembali Gajah Metu mengeluh dengan suara keras. Sebuah giginya rontok. Dari mulutnya tampak menetes darah segar. Tubuh besar itu limbung ke belakang. Namun sebelum ambruk, Rangga menotoknya hingga tidak berdaya. Maka Gajah Metu ambruk seperti batang pohon besar.

"Jahanam! Lepaskan totokanmu Akan kuremukkan tubuhmu! Lepaskan!" teriak Gajah Metu geram.

Namun Rangga sama sekali tidak mempedulikannya. Dia memberi isyarat pada Bidin yang sejak tadi melongo dengan wajah takjub.

"Ikat dia...!"

"Kurang ajar! Kau kira bisa berbuat semaumu di depanku he!?" Rompang Wiguna mendengus geram.

Kaki tangan Nyai Dukun Sirah ini mencabut pedang. Langsung dia melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.

Srang!

"Yeaaa...!" Dengan suara menggelegar penuh amarah meluap, Rompang Wiguna menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Segenap kemampuannya langsung dikerahkan.

Wut! Wut!

"Hup!" Pendekar Rajawali Sakti melejit ke belakang dengan satu lompatan ringan. Lalu disambarnya sebilah golok milik anak buah Ki Jembor yang terletak di lantai beranda depan. Kemudian sebelum lawan sempat mengejarnya, Pendekar Rajawali Sakti telah kembali menyambut serangan.

"Biarlah kupergunakan golok ini. Hitung-hitung menghormatimu sebagai kawan mereka...!" kata Rangga seraya tersenyum mengejek.

"Huh! Aku tidak peduli senjata yang kau pakai! Yang jelas, hari ini kau harus mampus di tanganku!" dengus Rompang Wiguna semakin geram saja melihat tingkah.pemuda itu.

Satu sama lain bergerak gesit saling menangkis dan balas menyerang. Tidak seperti tadi, maka kali ini Rangga betul-betul mengamuk. Golok di tangannya berkali-kali mengancam, membuat Rompang Wiguna mengeluh tertahan. Tangannya kesemutan setiap kali terjadi benturan senjata. Bahkan telapak tangannya mulai terkelupas. Namun begitu, sedikit pun dia tidak mau menunjukkan kelemahannya. Pedangnya terus berkelebat memapak serangan.

"Hiiih!"

Trang!

Kali ini golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti berkelebat lebih cepat. Dan ini membuat pedang di tangan laki-laki itu terlepas dari genggaman. Rompang Wiguna cepat melompat kebelakang untuk menghindar tebasan golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

Bet! Set!

Namun, Rangga bukannya menyambar dengan golok di tangannya, melainkan melepaskan satu tendangan keras ke arah dada. Cepat-cepat Rompang Wiguna melompat ke samping kanan. Sayang, saat itulah golok ditangan Rangga melesat.

Sret!

"Uhhh...!" Rompang Wiguna melompat ke atas untuk menghindari terjangan senjata itu. Namun, tak urung pahanya terserempet. Dia mengeluh tertahan. Dan sebelum menyadari sesuatu, Pendekar Rajawali Sakti telah menerjang lewat totokannya.

Tuk! Tuk!

"Aaah...!" Rompang Wiguna kontan jatuh terjerembab, tidak mampu bangkit. Seluruh tubuhnya terasa kaku untuk digerakkan.

"Kurang ajar! Jahanam licik, lepaskan totokan ini! Kalau benar jantan, maka kau tidak akan berbuat begini. Aku masih mampu bertarung denganmu sampai seribu jurus!" bentak Rompang Wiguna geram.

"Hm.... Kalau aku mau bisa kupecahkan kepalamu! Dan bila kau katakan mampu menandingiku sampai seribu jurus, kau tidak akan terbaring di sini. Kau hanya besar mulut!" sahut Rangga, mengejek.

Rompang Wiguna terus memaki-maki. Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak mempedulikannya.

"Tolong ikat dia seperti yang lainnya!" seru Rangga pada Bidin.

Bidin bekerja cepat. Dibantu yang lain, mereka mengikat Rompang Wiguna.

"Sekarang apa yang kita lakukan?" tanya Bidin setelah menyelesaikan tugasnya.

"Menunggu Nyai Dukun Sirah...."

Bidin terdiam dengan wajah gelisah.

"Kenapa? Apakah kau ragu?"

"Rangga! Kau mungkin hebat. Tapi, Nyai Dukun Sirah tidak bisa dibuat main-main. Orang itu tak waras. Dan kau bisa celaka karena urusan ini...," ujar Bidin, lesu.

"Tidak usah khawatir. Mungkin saja dia hebat. Tapi segala kejahatan harus ditumpas. Dan kejahatan itu ada didepan mataku. Meski harus mati. aku akan merasa puas," sahut Rangga mantap.

Bidin tersenyum kecut mendengar jawaban pemuda itu. "Aku jadi merasa malu...," ujar Bidin lirih.

"Sudahlah? Tidak perlu merasa begitu. Lebih baik kita kerjakan rencana selanjutnya!"

"Eh! Bila ingin agar Nyai Dukun Sirah ke sini, kenapa tidak mengutus salah seorang dari mereka saja?"

"Bagus! Akhirnya kau punya usul juga! Tapi. tidak perlu...."

"Kenapa?"

"Nyai Dukun Sirah akan kehilangan kedua orang anak buahnya. Maka dia akan menyusulnya kesini," sahut Rangga enteng.

"Apakah kau yakin?"

"Bukankah mereka begitu yakin kalau Nyai Dukun Sirah punya seribu mata dan telinga? Dia pasti akan mendengar. Dan mungkin juga melihat...," sahut Rangga, lalu beranjak ke beranda rumah iru.

Bidin mengikuti dari belakang. "Lalu, apa rencanamu terhadap mereka?" tunjuk Bidin pada tawanan mereka.

"Panggil semua pemuda di desa ini, untuk bersiap mempertahankan desa. Kita akan menghadapi Nyai Dukun Sirah!"

"Lalu akan kita apakan mereka?"

"Apakah kau punya usul?"

"Entahlah. Yang jelas, mereka tidak akan kita biarkan berkeliaran..."

Bidin segera mengajak beberapa orang pemuda untuk membantu mempertahankan desa ini.

TUJUH

Nyai Dukun Sirah duduk di singgasananya yang terbuat dari kursi kayu besar berukir indah sambil memegang sebuah tongkat yang ujungnya terdapat tengkorak kepala manusia. Beberapa buah lonceng kecil bergantung di bawah tengkorak itu. Sehingga bila tongkat itu bergerak-gerak, maka terdengar suara gemirincing.

Wajah wanita tua itu berkerut. Sesekali dia mendengus geram. Orang-orang yang berada di depannya tidak ada yang berani bersuara. Kebanyakan dari mereka tertunduk, diam seribu bahasa.

Tolol! Goblok.! Apa kerja mereka disana, he?!" umpat Nyai Dukun Sirah geram sambil mengetuk-ngetukkan tongkat ke lantai. Sepasang mata wanita itu melotot garang. Sehingga urat-urat berwarna merah yang memenuhi biji matanya terlihat jelas.

"Laporkan padaku, apa yang kau peroleh?" tanya Nyai Dukun Sirah pada laki-laki setengah baya yang duduk bersimpuh di depan singgasananya.

"Mereka menguasai dua desa dalam waktu singkat. Orang-orang kita ditawan dan tidak berdaya. Menurut laporan, mereka akan menyerang Desa Jembrang...."

"Kurang ajar...!" maki wanita tua itu kembali seraya menghentak hentakkan tongkatnya ke lantai. Matanya semakin mendelik garang. Hela napasnya terdengar kasar, menandakan hatinya yang amat gusar karena memendam amarah.

"Nyai? Desa Pandak yang telah dikuasai mereka merupakan jalan utama menuju kadipaten. Dan kini mereka telah bersatu. Kalau kita tidak cepat menggempur mereka, maka Desa Jembrang akan kembali mereka rebut. Apa yang harus kita lakukan sekarang...?" tanya laki-laki setengah baya yang bersimpuh di depannya itu.

"Huh! Jadi semua ini karena ulah pemuda itu?! Pendekar Rajawali Sakti? Chuih! Dia belum tahu kekuasaanku, he?!"

"Ki Gajah Metu dan Ki Rompang Wiguna tidak kembali. Kuat dugaan kami, mereka gagal menjalankan tugas. Nyai harus berbuat sesuatu untuk mengatasinya..."

"Tutup mulutmu, Gendar?! Sejak kapan kau berani mengajariku?! "

Laki-laki setengah baya bernama Gendar itu langsung menunduk, setelah tersentak kaget mendengar bentakan majikannya.

"Ampuni aku, Nyai..."

"Huh! Kau semakin kurang ajar saja! Seharusnya kau kuhukum mati!"

"Ampun, Nyai...! Ampun...! Aku berjanji tidak akan berbuat seperti itu lagi...!" ratap Gendar seraya bersujud di depan kaki wanita tua itu.

"Masih untung jasamu banyak terhadapku. Sehingga, aku masih menyayangi jiwamu. Tapi sekali lagi kau berani mengguruiku tak ada ampun bagimu!"

"Aku berjanji, Nyai!" sahut Gendar cepat.

"Sudah, kembali ke tempatmu!" bentak wanita tua itu.

Gendar langsung beringsut mundur ke belakang, dan mengambil tempat duduk di barisan sebelah kiri.

"Kalian bertiga, kesini!" tunjuk Nyai Dukun Sirah.

Tiga orang segera menuju ke depan. Setelah menjura hormat, mereka duduk bersila di depan Nyai Dukun Sirah. Seorang bersenjata tombak dan bertubuh gemuk. Namanya, Bogar Seta. Yang berada di tengah adalah wanita berusia kurang dari tiga puluh delapan tahun. Dia bernama Nyai Laning. Tubuhnya kurus dan kedua pipinya cekung. Di pinggangnya terselip dua buah kapak yang biasa dipergunakan untuk menebang kayu. Orang ketiga bernama Ki Semplung. Tubuhnya kurus senjatanya berupa cambuk. Usia mereka rata-rata tidak jauh berbeda.

"Kalian tahu, apa yang telah terjadi, bukan?" tanya Nyai Dukun Sirah.

"Tahu, Nyai!"

"Bagus! Pemuda bergelar Pendekar Rajawali Sakti itu telah menghinaku. Dia menginjak-injak mukaku! Pergilah! Dan, temui dia di Desa Dukuh Barus! Penggal kepalanya, lalu persembahkan padaku!" perintah Nyai Dukun Sirah dengan nada berang.

"Beres, Nyai! Itu urusan kecil!' Bogar Seta menunjukkan jari kelingkingnya.

"Bagus! Kau ingat kata-katamu, Bogar? Bila kau kembali dengan tangan hampa, maka kepalamu yang akan menggantikannya!"

"Huh! Segala anak bau kencur mau bertingkah! Tidak usah khawatir, Nyai. Tenangkan saja hatamu. Kami akan kembali membawa kepalanya! sahut Bogar Seta, kembali meyakinkan majikannya.

"Nah! Kalau begitu, pergilah kalian sekarang! Bawa anak buah secukupnya jika kalian berhadapan dengan pasukan kadipaten!"

"Hm, kurasa hal itu tidak perlu. Kami masih mampu mengatasi mereka!' kali ini Ki Semplung yang menyahut.

"Benar, Nyai! Kami bertiga sudah cukup untuk mengatasi mereka!" tjmpal Nyai Laning.

"Aku percaya pada kalian. Pergilah sekarang!"

"Kami berangkat, Nyai!" ujar mereka serempak. Dan ketiganya segera beringsut, lalu berlalu dari ruangan ini.

********************

Seorang laki-laki gagah berpakaian panglima turun dari punggung kudanya. Memang setelah menerima laporan dari salah seorang penduduk Desa Dukuh Barus, Adipati Rapaksa memerintahkan panglimanya yang bernama Kertapati untuk menemui Pendekar Rajawali Sakti. Panglima yang dipercaya memimpin pasukan kadipaten ini memberi hormat, lalu duduk di dekat pemuda itu.

"Apa kabar, Panglima? Adakah sesuatu yang kau bawa untukku?"

"Kanjeng Adipati berkenan memenuhi keinginanmu. Beliau senang sekali mendapat bantuan darimu. Makanya hari ini aku membawa pasukan untuk menyerbu desa-desa yang dikuasai anak buah Nyai Dukun Sirah... "

"Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan junjunganmu. Lalu berapa jumlah pasukan yang kau bawa saat ini?" ucap Rangga.

"Lima puluh orang, Rangga!"

"Hm? Jumlah anak buah Nyai Dukun Sirah sekitar dua puluh lima orang. Kurasa, kita bisa menyapu bersih mereka hari ini."

"Kami akan senang sekali jika kau bersedia ikut."

"Tentu! Aku akan ikut dengan kalian. Bahkan aku punya rencana lain."

"Rencana apa, Rangga?"

"Salah seorang mata-mata yang kukirim mengatakan, dua desa lainnya yang dikuasai anak buah Nyai Dukun Sirah, yaitu Desa Gelagah dan Desa Tandon, memiliki jumlah yang sama."

"Apakah kita akan merebut dua desa itu pula?"

"Desa Gelagah tidak begitu jauh dari Desa Jembrang yang juga telah dikuasai Nyai Dukun Sirah. Desa itu sangat penting, sebab merupakan jalan termudah dan terdekat menuju ibukota kerajaan. Desa itu harus dikuasai, meski bagaimanapun caranya!" tandas Rangga.

"Aku setuju!" sahut Panglima Kertapati bersemangat.

"Rangga, aku ada pertanyaan...?" cetus Bidin.

"Ada apa, Sobat?"

"Apakah hal ini tidak terlalu berbahaya?"

"Maksudmu?"

"Kita menyerbu anak buah Nyai Dukun Sirah di desa lain. Dan sementara kita pergi, mereka akan datang lalu menguasai Desa Dukuh Barus ini!"

Namun sebelum Rangga menjawab, mendadak salah seorang penduduk desa yang berjaga-jaga dihalaman depan masuk dengan napas memburu.

"Rangga, salah seorang penduduk yang berjaga-jaga di atas pohon tinggi memberitahukan kalau kita akan kedatangan tamu," lapor orang itu setelah menjura hormat.

"Apakah mereka anak buah Nyai Dukun Sirah?"

"Mungkin."

"Berapa jumlah mereka?"

"Tiga orang."

"Tiga orang?" Panglima Kertapati tampak bingung mendengar berita itu.

"Apakah mereka tidak jadi menyerbu kita? Atau, Nyai Dukun Sirah menganggap sepele?" lanjut Bidin dengan wajah tak percaya.

"Nyai Dukun Sirah mungkin tidak menganggap sepele. Bahkan menganggap tinggi terhadap kita...," sahut Rangga disertai senyum kecil.

"Maksudmu...?" tanya Bidin dan Panglima Kertapati, nyaris bersamaan.

"Setelah kehilangan dua orang kepercayaannya, maka sudah barang tentu dia marah besar. Sehingga sampai mengirim tiga orang ini."

"Apakah kau beranggapan kalau mereka orang kepercayaan Nyai Dukun Sirah?" tanya Bidin.

"Tentu saja. Tidak mungkin Nyai Dukun Sirah mengirim utusan yang memiliki kepandaian rendah dari dua orang yang terdahulu," sahut Rangga enteng.

"Tapi, kenapa tidak dia saja yang datang sendiri?" tanya Bidin lagi.

"Entahlah. Mungkin wanita itu punya rencana lain. Sebaiknya, kita keluar. Sebab, tidak baik membiarkan tamu menunggu lebih lama," ujar Pendekar Rajawali Sakti. Setelah berkata begitu, mereka segera mengikuti Pendekar Rajawali Sakti yang beranjak ke beranda depan.

Apa yang dikatakan si pelapor tadi memangbenar. Dari kejauhan, terlihat tiga orang penunggang kuda yang melarikan tunggangannya dengan kecepatan tinggi. Sehingga, terlihat debu mengepul ke udara.

Rangga melangkah beberapa tindak ke halaman depan, diikuti Bidin serta Panglima Kertapati dan beberapa pemuda desa ini yang selalu mendampingi.

Ketiga penunggang kuda itu berhenti pada jarak tujuh langkah. Sama sekali mereka tidak bermaksud turun dari punggung kudanya.

"Siapa di antara kalian yang bernama Pendekar Rajawali Sakti?" tanya salah seorang yang berada di tengah.

Rangga memperhatikan seorang wanita yang barusan bicara sesaat. Wanita ini tampak angkuh dan betul-betul menganggap sepi kehadiran mereka di sini. Padahal, di halaman depan ini telah berkumpul lima puluh orang prajurit kadipaten dengan senjata lengkap.

"Akulah orangnya. Siapa kalian?" sahut Pendekar Rajawali Sakti.

"Orang menyebutku Nyai Laning. Dan di sebelah kananku, Bogar Seta. Sementara di sebelah kiriku, Ki Semplung. Kuperintahkan atas nama Nyai Dukun Sirah, agar kalian menyerah! Jangan sampai kami menggunakan kekerasan!"

"Kurang ajar! Perempuan lancang! Apa hakmu bicara seperti itu?!" bentak Panglima Kertapati, geram.

"Tenanglah, Panglima. Biar kuselesaikan urusan ini...," ujar Rangga menahan kemarahan panglima kadipaten ini.

Panglima Kertapati bersungut-sungut kesal mendengar kata-kata Nyai Laning yang angkuh dan takabur. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti tidak mencegahnya, ingin rasanya dia merobek mulut wanita itu.

"Nyai Laning. Permintaanmu terlalu gegabah. Dan kami sekali sekali tidak bermaksud menyerah. Sebaliknya, kaulah yang harus sadar kalau Nyai Dukun Sirah bukanlah orang baik-baik. Dia dan semua pengikutnya telah menindas rakyat. Bahkan telah menimbulkan kekacauan di daerah ini. Orang sepertinya sudah patut mendapat hukuman...," sahut Rangga tenang.

"Kurang ajar! Pemuda lancang! Jangan sok mengguruiku! Kau kira, siapa dirimu berani bicara seperti itu?!" geram Nyai Laning.

"Nisanak! Aku hanya memberi kesempatan sekali. Dan sekarang, masih ada kesempatan untuk bertobat," sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.

"Setan! Tutup mulutmu...!" bentak Nyai Laning. Begitu selesai berkata begitu, Nyai Laning melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"Heaaa!"

"Mundur...!" teriak Rangga pada orang-orang di belakangnya. Seketika Pendekar Rajawali Sakti berkelebat, memapak serangan Nyai Laning.

Plak! Plak!

Wuuut!

Tendangan Nyai Laning berhasil ditepis Rangga dengan tangan kiri. Namun, wanita itu langsung menyodok kepala lewat kepalan tangan kirinya. Rangga sedikit menunduk, sehingga pukulan itu hanya mengenai tempat kosong.

Pada saat yang bersamaan, Nyai Laning menghantam Rangga dengan pukulan bertenaga kuat dalam jarak yang amat dekat. Namun, Pendekar Rajawali Sakti telah menduga. Buru-buru tubuhnya berkelebat ke samping. Dan seketika itu pula dikerahkannya jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' untuk balas mendesak.

"Yaaat...!"

Bet! Bet!

"Uhhh...!" Untuk sesaat Nyai Laning terlihat kewalahan menghindari serangan-serangan gencar Pendekar Rajawali Sakti yang seperti melayang di udara. Nyai Laning berkelit mati-matian sambil mendengus geram. Dia melompat kebelakang untuk menyiapkan jurus baru. Namun, Rangga tidak memberi kesempatan dan terus mengejar dengan kakinya yang terus mengibas.

Wanita itu kalah sigap. Cepat tubuhnya berkelit kesamping, seraya menangkap kaki Pendekar Rajawali Sakti. Dan seketika itu pula, disentaknya kaki Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiiih!"

Pada saat Rangga mengikuti sentakan itu, Nyai Laning mengejar sambil menghantam lewat keprukan tangannya yang bertenaga dalam tinggi. Sasarannya, batok kepala pemuda itu. Cepat bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti berkelit kekanan. Langsung ditangkisnya keprukan itu.

Plak!

Belum sempat Nyai Laning berbuat sesuatu, cepat sekali tangan Rangga bergulir kebawah. Langsung dihantamnya perut wanita itu.

Des!

"Aaakh...!" Nyai Laning memekik keras. Tubuhnya terhuyung-huyung kebelakang sambil mendekap perutnya yang terasa mau meledak.

"Jahanam...!" maki wanita itu geram. Nyai Laning melotot garang. Wajahnya tampak berkerut menyeramkan. Langsung sepasang kapak yang terselip di pinggangnya dicabut.

"Minggir! Aku masih mampu meladeni keparat ini!" bentak Nyai Laning garang ketika kedua kawannya melompat dari punggung kuda dan bermaksud membantu.

"Tapi, Nyai..."

"Minggir kataku! Huh! Menghadapi kunyuk ini aku masih belum memerlukan bantuan!" potong Nyai Laning, membentak kedua kawannya yang bernama Bogar Seta dan Ki Semplung diam saja. Sementara Nyai Laning mendengus geram, lalu membuka jurus baru. Sedangkan Rangga telah bersiap menyambut serangan.

"Hiiih!" Kapak di tangan wanita itu berkelebat cepat, dibarengi tenaga dalam kuat. Rangga merasakan bahwa serangan itu sungguh hebat. Mau tak mau Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa menganggap enteng. Maka tubuhnya cepat melejit ke atas. Se-telah berputaran beberapa kali, tubuhnya kembali menerjang dengan menggunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', sebelum Nyai Laning menyerang kembali.

"Yeaaat!"

Bet!

Nyai Laning menyambut serangan dengan sabetan kedua kapaknya. Namun mendadak tubuh Pendekar Rajawali Sakti menarik serangannya. Tubuhnya langsung meliuk-liuk menghindari sabetan kapak. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti balas menyerang secara tidak terduga, lewat sepakan kaki. Dan ini membuat Nyai Laning sampai kalang kabut, menghindarinya.

Nyai Laning cepat mengibaskan kapaknya. Namun Pendekar Rajawali Sakti tiba-tiba saja berkelebat cepat, langsung menyambar ke arah tengkuk. Wanita itu mencoba menghindar, namun terlambat. Dan...

Tuk!

"Akh...!" Totokan Rangga mendarat telak ditengkuk Nyai Laning. Bukan main terkejutnya wanita itu, ketika merasakan lengan kirinya kaku dan sulit di gerakkan. Dia bermaksud menghajar dengan tangan yang sebelah lagi. Namun sebelum dilakukan, Pendekar Rajawali Sakti telah kembali menyelinap dari bawah, langsung melepaskan totokan ke arah dada kanan. Seketika itu pula, tubuh Nyai Laning melorot ambruk ke tanah.

"Kurang ajar! Apa yang kau lakukan, Keparat?! Kubunuh kau...!" teriak wanita itu memaki, berusaha melepaskan diri dari totokan.

"Bangsat pengecut! Ternyata nyalimu rendah! Kau hanya mampu memperdaya tanpa berani melawannya habis-habisan. Kali ini biar aku yang akan meremukkannya!" teriak Ki Semplung bernada geram.

Tepat ketika Ki Semplung dan Bogar Seta melompat bersamaan, Bidin dan Panglima Kertapati juga bermaksud membantu Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti memberi isyarat agar mereka tetap di tempat.

"Aku masih mampu menghadapi mereka..."

"Ya! Kau masih mampu menunggu ajalmu saat ini!" dengus Bogar Seta sambil memainkan ujung tombaknya yang bergerak menyapu tubuh Rangga. Pendekar Rajawali Sakti berkelit lincah, menggunakan jurus Sembilan Langkah Ajaib.

Ctar!

"Heh?!" Pendekar Rajawali Sakti sempat terkejut, begitu Ki Semplung mengeluarkan senjatanya. Sebuah pecut yang suaranya cukup keras. Malah nyaris saja, pecut itu menyambar wajahnya. kalau tidak sempat mengegoskan kepala. "Sial!" desis Rangga geram.

Cambuk Ki Semplung kembali menjilat angkasa, mengancam perut Rangga. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri. Baru saja Rangga bangkit berdiri, Bogar Seta telah melancarkan serangan dahsyat. Permainan tongkatnya semakin cepat, pertanda tengah mengerahkan seluruh kemampuan.

Untuk beberapa saat terlihat kalau Pendekar Rajawali Sakti hanya mampu menghindar dari setiap serangan. Dan itu membuat kedua lawannya semakin bersemangat mendesaknya habis-habisan. Tombak di tangan Bogar Seta serta cambuk dalam genggaman Ki Semplung terus mengincar kelemahan Pendekar Rajawali Sakti.

"Heaaat...!"

Rangga melompat ke belakang. Dan ketika lawan-lawannya bermaksud mengejar, dilepaskannya Pukulan Maut Paruh Rajawali. Seketika selarik cahaya merah meluruk cepat ke arah kedua anak buah Nyai Dukun Sirah. Mereka terkejut. Bogar Seta dan Ki Semplung kalang kabut melompat, menghindari hantaman pukulan jarak jauh pemuda itu. Dan pada saat itu pula, Rangga mendesak salah seorang dari mereka. Dan pilihannya jatuh pada Bogar Seta.

"Yaaat...!"

Bogar Seta terkejut melihat serangan Pendekar Rajawali Sakti yang mendadak dan cepat bukan main. Tombaknya masih sempat dikibaskan untuk menghalau kedatangan Rangga.

Wuuut!

"Uts!" Tapi Rangga cepat membungkuk dengan kedua kaki melebar, rata dengan tanah. Lalu dengan bertumpu pada kedua telapak tangan yang menempel tanah, dia melompat. Langsung dilepaskannya satu tendangan ke dada.

DELAPAN

Bogar Seta cepat melompat ke belakang. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti cepat berdiri, langsung menangkap senjata laki-laki itu.

"Heup!" Rangga menarik dengan keras. Sedangkan Bogar Seta berusaha mempertahankannya. Tarik-menarik di antara mereka tidak berlangsung lama, ketika cambuk Ki Semplung melecut kearah Pendekar Rajawali Sakti.

"Heaaa!" Rangga melipatgandakan tenaga dalamnya. Akibatnya, tubuh Bogar Seta terangkat ke atas, bahkan langsung dijadikan sasaran ujung cambuk Ki Semplung.

Ctar!

"Aaa...!" Bogar Seta kontan memekik keras. Punggungnya seketika tersengat senjata kawannya sendiri.

"Ohhh...! Bogar Seta...!" Ki Semplung terkejut. Buru-buru dihampirinya Bogar Seta dan berjongkok di sisinya.

Sementara Bogar Seta tampak menggelepar dengan wajah berkerut menahan sakit. Matanya melotot lebar. Punggungnya robek. Darah tampak menggenang ditanah. Setelah meregang nyawa, orang itu tewas beberapa saat kemudian.

"Bogar, maafkan. Aku..., aku tidak bermaksud begini?," ratap Ki Semplung.

Ki Semplung menunduk sedih, merasa bersalah. Untuk beberapa saat tak ada yang bisa dilakukannya, selain berdiam diri. Namun mendadak, tubuhnya bangkit. Di pandangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan tatapan garang.

"Kau telah membunuh kawanku! Aku akan merencah kepalamu, Keparat Busuk!" dengus Ki Semplung geram. "Heaaa!" Begitu selesai dengan kata-katanya, Ki Semplung melecutkan cambuknya.

Ctar!

Kemudian laki-laki itu melompat, menerjang Pendekar Rajawali Sakti.

"Uts!" Rangga melompat ke atas sambil menggenggam tombak Bogar Seta yang tadi berhasil dirampasnya. Tidak dipedulikannya lagi amarah Ki Semplung yang meluap-luap. Tombak ditangannya menyambar Ki Semplung yang coba mendekat.

Wuk!

Ki Semplung agaknya menyadari kalau tenaga dalam pemuda itu berada di atasnya. Sehingga dia tidak berani sembarangan melecutkan cambuk. Dan bila cambuknya berhasil ditangkis dan dililit kuat, maka Pendekar Rajawali Sakti akan menyentaknya kuat-kuat.

Tapi, Rangga bukannya tidak bisa membaca siasat Ki Semplung. Dalam kemarahannya yang meluap, tentu Ki Semplung akan membabi-buta menyerangnya dengan senjata cambuk. Namun, ternyata Ki Semplung seperti berusaha menghindari benturan kedua senjata.

Pendekar Rajawali Sakti tidak mau memberi hati. Tombak di tangannya diputar laksana baling-baling, untuk menyerang dahsyat. Meski Ki Semplung berusaha menghindar dan sesekali balas menyerang, tetap saja tidak berkutik. Tombak ditangan Pendekar Rajawali Sakti selain untuk menyerang, juga sebagai tameng.

Bet! Bet!

"Uhhh?!" Ki Semplung pontang-panting menyelamatkan diri. Dan dia berusaha menghantam dengan pukulan jarak jauh. Namun, Pendekar Rajawali Sakti mampu menghindar dengan mudah. Bahkan ujung tombaknya selalu mengincar setiap saat. Dan saat Ki Semplung tidak mampu lagi menghindar, cambuk di tangannya melecut untuk membalas serangan.

Rrrt!

Seperti yang diduga, Pendekar Rajawali Sakti menangkis dengan tombak. Sehingga cambuk itu melilit erat. Seketika Pendekar Rajawali Sakti menyentaknya.

Plas!

Ki Semplung tidak mau bertindak gegabah. Dilepaskannya cambuknya. Dan segera dihantamnya pemuda itu dengan pukulan jarak jauh disertai pengerahan seluruh tenaga dalam tingkat tinggi.

"Heaaa...!"

"Uts!" Pendekar Rajawali Sakti cepat bagai kilat melompat menghindar, membuat pukulan Ki Semplung luput. Pada saat berada di udara Rangga cepat menangkap gagang cambuk yang melayang.

Tap!

Belum sempat Ki Semplung memperbaiki kuda-kudanya, Pendekar Rajawali Sakti telah mengebutkan cambuk yang berhasil dirampas kearah dada.

Ctar!

"Aaakh...!" Ki Semplung memekik keras begitu ujung cambuk menyengat dadanya. Tubuhnya terlempar ke belakang. Bajunya robek. Dan didadanya terlihat menghitam bekas cambukan.

Pendekar Rajawali Sakti sengaja tidak melukai lawannya. Dan dengan tenang, dihampirinya Ki Semplung yang tidak berani bangkit. "Ikat dia! Dan, satukan dengan yang lain!" ujar Rangga dingin.

Serentak Bidin dan para pemuda lainnya melompat. Mereka langsung mengikat Ki Semplung yang tanpa melakukan perlawanan berarti. Namun baru saja Ki Semplung selesai diikat, mendadak terlihat berkelebat satu sosok bayangan memasuki halaman depan ini.

Tahu-tahu. di halaman telah berdiri seorang wanita tua. Tangannya memegang sebatang tongkat yang ujungnya tertancap tengkorak kepala manusia. Dan di bawah tengkorak, bergantung beberapa buah lonceng kecil yang berbunyi dengan nada beraturan.

"Nyai Dukun Sirah?!" seru Ki Semplung dan Nyai Laning, hampir bersamaan. "Celakalah kalian! Hiih!"

Raut wajah wanita tua yang ternyata Nyai Dukun Sirah seketika berubah menggiriskan. Dan tiba-tiba dia mendengus sinis, sambil mengacungkan tongkat di tangannya. Dari lobang biji mata tengkorak kepala manusia itu mendesir angin halus. Dan tahu-tahu ...

Cras! Crasss!

"Aaa..." Nyai Laning dan Ki Semplung kontan memekik setinggi langit, begitu desir angin halus menghantam mereka. Keduanya terjengkang dan tewas seketika dengan tubuh membiru. Pada leher mereka tertancap beberapa batang jarum yang amat halus bagai buluh bambu.

Perbuatan Nyai Dukun Sirah membuat yang lain terkejut. Namun, kematian dua orang itu sama sekali tidak menimbulkan penyesalan sedikit pun di wajahnya yang semakin bengis. Terlebih lagi ketika memandang kepada Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm.... Jadi kau Pendekar Rajawali Sakti...?" tanya Nyai Dukun Sirah, dingin.

"Betul," sahut Rangga seraya berkacak pinggang.

"Kau tahu? Aku Nyai Dukun Sirah! Tempat ini telah kukepung. Maka lebih baik suruh kawan-kawanmu menyerah. Dan, bebaskan anak buahku yang kalian tawan!" ujar wanita tua itu lantang.

Begitu selesai berkata-kata, seketika itu pula bermunculan anak buah Nyai Dukun Sirah dari segala penjuru mengepung tempat ini. Jumlah mereka sekitar seratus orang, siap dengan senjata di tangan.

Melihat kemunculan mereka, maka semua yang berada di sini terkejut. Sebagian dari mereka tampak ciut. Namun, Pendekar Rajawali Sakti kelihatan tenang-tenang saja.

"Nyai Dukun Sirah! Kau bermaksud mengancamku dengan menunjukkan kecoa-kecoa ini? Huh! Jangan harap! Sebaiknya, kaulah yang parut menyerah. Dosamu telah lewat takaran, Nyai!"

"Bocah keparat! Kau kira tengah bicara dengan siapa?! Huh! Akan kupecahkan batok kepalamu!" dengus Nyai Dukun Sirah.

Serentak Nyai Dukun Sirah memberi isyarat. Maka semua anak buahnya langsung berlompatan hendak menyerang. Tapi mendadak...

"Suiiit...!" Rangga bersuit nyaring bernada aneh. Seketika anak buah wanita tua itu menghentikan serangan, memandang aneh pada Rangga.

"Kragkh....!"

Semua orang yang berada di tempat ini makin terkejut, ketika tiba-tiba terdengar suara aneh yang keras menggelegar membelah angkasa. Belum sempat keterkejutan mereka hilang, mendadak terasa angin kencang laksana badai topan. Sementara dari angkasa terlihat bayangan hitam besar. Dan ketika mereka memandang keatas, makin lengkaplah keterkejutan mereka.

"Heh?! Apa itu?! Rajawali raksasa...!"

"Rajawah raksasa...!" timpal yang lain.

"Serang mereka, Putih!" ujar Pendekar Rajawali Sakti sambil menunjuk kearah anak buah Nyai Dukun Sirah.

"Khragkh...!" sahut rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu, seperti mengerti kata-kata Rangga.

Burung rajawali berukuran raksasa yang baru muncul langsung menyambar anak buah Nyai Dukun Sirah. Seketika barisan mereka jadi kocar-kacir. Beberapa orang berusaha melawan, namun kandas dan terhempas dihalau sayap Rajawali Putih. Bahkan banyak yang lari ketakutan.

Semula Bidin, Panglima Kertapati, dan yang lain-lain merasa gentar. Namun belakangan mereka baru menyadari kalau kedatangan hewan raksasa itu berada dipihak mereka. Terbuka burung itu hanya menyerang anak buah Nyai Dukun Sirah. Maka melihat itu, keberanian mereka muncul. Dan dengan dipimpin Panglima Kertapati, mereka bergerak menyerang anak buah Nyai Dukun Sirah dengan semangat menyala-nyala.

"Yeaaat...!"

Sementara itu, sepak terjang Rajawali Putih amat dahsyat. Tak heran kalau dalam waktu singkat, burung raksasa itu mampu menimbulkan korban yang cukup banyak. Dan hal ini membuat Nyai Dukun Sirah geram bukan main.

"Binatang sial! Kau boleh mampus sekarang!" desis wanita tua itu garang seraya mengacungkan tongkat ke arah Rajawali Putih.

Seketika dari mata tengkorak ditongkat Nyai Dukun Sirah. mendesir angin halus bersama benda kecil berkilatan ke arah Rajawali Putih.

"Khraaagkh...!" Rajawali Putih berteriak nyaring. Sebelah sayapnya langsung mengebut jarum-jarum beracun yang dilepaskan Nyai Dukun Sirah. Dan wanita tua itu jadi kalang kabut, ketika jarum-jarum beracunnya, malah berbalik menyerangnya. Bahkan ada yang menyerang beberapa anak buahnya yang berada di tempat ini.

"Uts! Setan...!"

"Aaa...!" Nyai Dukun Sirah menghindar. Namun anak buahnya yang terkena jarum beracun tewas seketika dengan tubuh kejang berwarna biru.

"Binatang terkutuk! Rasakan pembalasanku...!" desis wanita itu geram.

Nyai Dukun Sirah mengerahkan seluruh kekuatannya. Dan dia bersiap menghantam dengan pukulan maut yang amat diandalkannya. Apalagi disadari kalau burung rajawali amat istimewa dan bertenaga kuat. Maka dia tidak mau bertindak setengah-setengah untuk menghabisinya. Namun sebelum hal itu terjadi...

"Nyai Dukun Sirah! Akulah lawanmu?!"

Nyai Dukun Sirah segera melompat kearah datangnya suara. Dan wajahnya menggiriskan dengan mata melotot lebar kearah Pendekar Rajawali Sakti yang tadi berteriak keras.

"Kalau begitu kau boleh mampus lebih dulu!" desis Nyai Dukun Sirah garang seraya menyorongkan telapak tangan kirinya ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

Bersamaan dengan itu, melesat selarik cahaya kehitaman yang berbau busuk menimbulkan hawa pengap disekitarnya.

"Hup! Yeaaa...!" Rangga melenting tinggi ke atas. Begitu berada diudara, tangannya menghentak ke depan.

"Aji Bayu Bajra!" teriak Pendekar Rajawali Sakti.

Wueeerrr...!

Saat itu pula serangkum angin kencang laksana badai topan menderu dahsyat menyerang wanita itu. Nyai Dukun Sirah berusaha bertahan. Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya terus berkelebat bagai kilat sambil mencabut pedangnya.

Sring! "Heaaat...!"

Nyai Dukun Sirah terkesiap. Dia tidak mau mengikuti gerakan Pendekar Rajawali Sakti yang cepat bagai kilat. Bahkan yang dilihatnya hanya sekelebatan cahaya biru yang bergerak cepat menyambarnya. Dengan sebisanya, dia berusaha menangkis dengan tongkatnya.

Tes!

Betapa terkejutnya Nyai Dukun Sirah melihat tongkatnya putus jadi dua bagian. Dan belum sempat dia berbuat apa apa, pedang Pendekar Rajawali Sakti telah kembali berkelebat keperutnya.

Cras!

"Aaakh...!" Nyai Dukun Sirah memekik setinggi langit begitu perutnya tersambar pedang Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya kontan ambruk dan bergulingan untuk beberapa saat. Kemudian dia diam tidak berkutik dengan darah membajiri bumi. Sebelah tangannya masih memegang tongkatnya yang patah.

Trek!

Rangga menyarungkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Dihampirinya mayat wanita tua itu. Ada sesuatu di wajah Nyai Dukun Sirah yang menarik perhatian.nya. Kulitnya terkelupas. Agak tebal, namun lentur. Rangga mengamatinya dengan seksama, lalu memungutnya.

Sementara itu, pertarungan yang lain berjalan singkat. Anak buah Nyai Dukun Sirah menyerah, setelah mengetahui pimpinan mereka tewas. Sebagian mati dalam pertempuran. Sedangkan yang lain kabur, ketika Rajawali Putih datang.

"Mereka menyerah! Kita menang...!" seru Bidin gembira, melaporkan hal itu pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm, syukurlah..." sahut Rangga seraya memperhatikan keadaan sekelilingnya.

Pendekar Rajawali Sakti melambaikan tangan, saat Rajawali Putih membubung tinggi menembus mega.

"Apa itu?" tanya Bidin melirik benda dalam genggaman Pendekar Rajawali Sakti.

"Topeng...."

"Topeng siapa?"

Pendekar Rajawali Sakti tidak menjawab. Diberikannya topeng itu pada Bidin, yang mengamatinya dengan seksama.

"Nyai Dukun Sirah? desis Bidin kaget. Bidin segera memeriksa wajah Nyai Dukun Sirah yang tergeletak tak berdaya, kemudian memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan mulut ternganga.

"Apa artinya semua ini, Rangga? Nyai Dukun Sirah ternyata seorang laki-laki?!"

"Agaknya begitu, Sobat." sahut Rangga lirih.

"Apa maksudnya?? Apa maksudnya??" guman Bidin berkali-kali, seraya menggengam topeng itu. Di pandangnya jasad Nyai Dukun Sirah.

"Kita tidak tahu. Mungkin Nyai Dukun Sirah punya alasan sendiri. Sobat...,? desah Rangga pelan.

Bidin terdiam. Agak lama dia seperti memikirkan sesuatu, kemudian berdiri lesu. Diamatinya topeng Nyai Dukun Sirah agak lama.

"Marni..."

"Adakah hasil yang kau peroleh dari mereka...?" tanya Rangga.

Bidin menggeleng lesu. "Mereka tidak tahu soal Marni. Bahkan setelah kupaksa, mereka tetap menjawab hal yang sama. Hanya saja..." Bidin terdiam sambil menggeleng lesu. Wajahnya tampak semakin muram.

"Ada apa, Sobat?"

"Mereka mengatakan kalau Nyai Dukun Sirah selalu membutuhkan wanita setiap hari. Entah untuk apa. Tapi, setiap wanita yang dibawa ke kamarnya tidak pernah kelihatan lagi...," lanjut Bidin.

Rangga mengangguk. Dan Bidin masih terdiam lagi. Keduanya seperti memikirkan hal yang sama. "Tabahkan hatimu Sobat..." ujar Rangga lemah, seraya menepuk-nepuk pundak kawan barunya.

Bidin mengangguk lesu. "Aku tidak tahu harus berbuat apa. Tapi setelah mengetahui siapa sesungguhnya Nyai Dukun Sirah, maka berat dugaanku kalau Marni telah menjadi korban pemuas nafsu iblisnya. Keparat!" maki Bidin geram.

Sementara itu, Rangga bersuit pelan. Tak lama, kuda berbulu hitam yang tadi berada dikandang, berlari kecil menghampirinya.

"Sobat, aku pergi dulu?," ujar Pendekar Rajawali Sakti pada Bidin sebelum melompat ke punggung kuda bernama Dewa Bayu.

Bidin mengangguk lemah. "Terima kasih segala bantuan yang kau berikan, Rangga...."

"Sama-sama. Aku pun berterima kasih padamu...."

Pada saat itu, Panglima Kertapati mendekatinya dengan wajah gembira. "Rangga, kita berhasil melumpuhkan mereka! Semua ini tidak terlepas dari jasamu. Kanjeng Adipati akan senang sekali bila kau sudi berkunjung ketempatnya."

"Terima kasih. Sampaikan saja salamku untuk beliau. Dan, sampaikan pula maafku, karena aku tidak bisa berkunjung ketempatnya."

"Ah! Sayang sekali. Beliau tentu akan sangat kecewa..."

"Mudah-mudahan bila ada umur panjang, aku akan berkunjung kesana"

"Rangga... Aku atas nama beliau, akan selalu menanti. Rakyat dinegeri ini sangat berterima kasih atas segala bantuan yang kau berikan," kata Panglima Kertapati.

"Jangan berkata begitu. Kita melakukannya bersama-sama. Dan bila tanpa bantuan kalian, aku juga tidak bisa meringkus mereka," sahut Rangga, merendah.

"Ah! Rangga, bisa saja kau merendah. Tapi, ada hal yang membuat kami penasaran. Dari mana datangnya rajawali raksasa. Dan siapa pemiliknya?" tanya Panglima Kertapati.

"Rajawali raksasa? Ah, iya! Dari mana datangnya? Dan, siapa pemiliknya? Apakah kalian pernah melihat burung itu sebelumnya? sahut Rangga berlagak pilon.

"Tidak! Kami belum pernah melihat burung itu sebelumnya. Hm, tapi aku curiga!" Panglima Kertapati tersenyum-senyum dikulum.

"Curiga bagaimana...?"

"Kau tadi bersuit. Dan rajawali itu lalu datang. Maka...

Rangga tertawa kecil. "Jadi kau menduga kalau rajawali itu milikku? Itu hanya kebetulan. Sebab, saat bersuit tadi, aku berharap mereka terkejut. Lalu, dengan mudah kita menyerang. Dan ternyata, siasat itu berhasil. Tapi, aku sama sekali tidak menduga, ternyata datang bala bantuan. Entahlah... Aku sendiri masih bingung. Tapi, saat ini aku ada urusan penting yang harus kuselesaikan. Hm... Jika ada waktu, tentu saja aku senang sekali bisa menyelidiki siapa pemilik burung itu...," sahut Pendekar Rajawali.

Rangga segera mohon diri, dan berlalu dari tempat ini. Kudanya digebah kencang. Mereka hanya mampu memandang dengan wajah kagum.

Sedang Panglima Kertapati masih termangu, mencerna jawaban Pendekar Rajawali Sakti. Benarkah yang dikatakannya tadi? Panglima kadipaten itu hanya bisa menghela napas panjang.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA:
PANGERAN DARI KEGELAPAN

Pemuas Nafsu Iblis

PEMUAS NAFSU IBLIS

SATU
DESA Dukuh Barus tampak sepi, sejak kematian kepala desanya akibat suatu penyakit aneh. Ki Janggir, kepala desa yang malang itu, dihinggapi penyakit yang tak dapat disembuhkan. Seluruh tubuhnya kembung. Kemudian ketika pecah, keluar cairan nanah bercampur darah!

Keadaan seperti ini berlangsung sejak satu bulan belakangan ini. Bahkan disusul kematian beberapa penduduk desa lain. Kebanyakan kematian mereka hampir sama dengan kematian Ki Janggir. Yaitu, diserang penyakit aneh yang selama ini belum pernah dikenal.

Ada yang percaya kalau wabah penyakit itu disebabkan oleh kutukan. Akibatnya, sebagian besar penduduk Desa Dukuh Barus mengungsi ke tempat lain. Saat ini, yang tinggal di desa itu hanya para orang tua dan mereka yang tidak mempunyai sanak saudara di tempat lain, serta orang-orang yang berada di bawah lindungan Nyai Dukun Sirah.

Wanita tua itu adalah dukun sakti yang telah banyak membantu para penderita penyakit aneh. Orang-orang berlindung dibawah ketiak Nyai Dukun Sirah inilah yang senantiasa membujuk penduduk lain, agar tidak perlu mengungsi.

"Nyai Dukun Sirah orangnya baik, Kang Suminta. Lagi pula di bawah lindungannya kita akan aman!" tegas seorang pemuda, meyakinkan sebuah keluarga yang hendak meninggalkan desa ini.

Seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun kepala keluarga di rumah ini yang dipanggil Suminta kelihatan mendengus sinis. Sudah banyak cerita yang didengarnya tentang wanita tua itu. Dan kebanyakan, adalah cerita buruk.

"Gondo! Kau masih termasuk saudaraku. Jangan kau bujuk aku untuk mendukung wanita gila itu! Dia penipu! Mungkin, dialah sebenarnya yang menyebarkan penyakit didesa kita ini. Lalu dengan cara menyembuhkan orang-orang yang sakit, wanita tua itu mengeruk harta mereka sampai ludes!" tegas Suminta.

"Jangan berkata begitu, Kang Suminta! Nyai Dukun Sirah punya seribu telinga. Kalau dia mendengar, kau akan celaka sendiri!" ujar laki laki bernama Gondo.

"Huh! Aku tidak takut! Desa ini sudah seperti neraka. Semua orang pergi mengungsi. Untuk apa aku berlama-lama di sini?!" dengus Suminta.

"Apakah kau tidak kasihan pada Jumadi putramu itu? Dia tengah sakit. Jangan-jangan...," tukas Gondo.

"Apa?! Kau ingin mengatakan anakku akan mati bila aku tidak datang memohon pertolongan wanita sial itu?!" cibir Suminta dengan mata melotot garang.

"Aku tidak berkata begitu. Tapi...," desah Gondo, terputus.

"Sudah! Lebih baik kau angkat kaki dari rumahku! Kau sama saja dengan yang lain. Menjadi budak penyihir gila itu! Pergi! Ayo, cepat pergi!" bentak Suminta garang.

Melihat gelagat yang tidak baik, Gondo segera angkat kaki. "Aku hanya memperingatkanmu. Tapi bila kau tidak percaya, maka boleh tanggung sendiri akibatnya." Pemuda itu masih sempat memperingatkan Suminta, ketika tubuhnya telah rnenghilang dibalik pintu.

"Phuih! Aku tidak butuh nasihatmu!" dengus Suminta, kesal.

Sepeninggal Gondo, seorang wanita berusia dua puluh delapan tahun tergopoh-gopoh menghampiri Suminta dari belakang, Wajahnya kelihatan pucat dan bibirnya gemetar.

"Jumadi...! Jumadi anak kita, Kang. Dia.., dia...?!" kata wanita yang rupanya istri Suminta, terbata-bata. Ditariknya lengan suaminya agar buru-buru mengikuti ke kamar belakang.

"Ada apa dengan Jumadi, Warsih?!" tanya Suminta, kaget.

"Dia muntah-muntah dan mengeluarkan darah!" kata wanita itu.

"Apa?!" Suminta terlonjak kaget. Segera dia menghambur kekamar putranya.

Warsih tidak dapat menahan diri. Begitu masuk kamar, dia langsung menangis tersedu-sedu sambil memegangi sebelah tangan bocah laki-laki berusia delapan.tahun yang terbaring di tempat tidur.

Bocah bernama Jumadi itu tampak menggelepar sambil menggerung-gerung kesakitan. Tubuhnya penuh keringat. Kulitnya pucat dan menggembung. Suminta berusaha sekuat tenaga menenangkan putranya dengan segala macam cara. Namun, bocah kecil ini tidak juga kunjung diam. Dia malah berteriak-teriak, merasakan sakit yang hebat. Jumadi melenguh panjang dengan tubuh kejang, lalu lunglai tak bergerak-gerak lagi.

Warsih kontan memekik, seraya memeluk tubuh putranya. Tangisnya berderai tidak tertahankan. Sementara, Suminta hanya bisa menunduk lesu dengan wajah penuh duka. Putranya telah meninggal di hadapannya. Dan dia tidak mampu berbuat apa pun untuk menolong!

********************

Setelah kematian anak Suminta, keadaan Desa Dukuh Barus semakin kisruh. Suminta yang menjadi ketua desa ini, berusaha menenangkan orang-orang yang mulai resah oleh ganasnya wabah penyakit. Di samping itu, kehadiran Nyai Dukun Sirah mampu mengobati mereka yang menderita penyakit, menjadikannya sebagai wanita tua yang memiliki pengaruh hebat.

Orang-orang mulai berdatangan kepadanya dan menaruh hormat. Tapi secara tidak sadar mereka masuk ke dalam jerat, karena Nyai Dukun Sirah meminta bayaran tinggi. Sehingga tidak jarang, penduduk desa ini terpaksa harus menjual hewan ternak. Bahkan menggadaikan sawah ladangnya.

Munculnya pengikut Nyai Dukun Sirah yang terus bertambah, juga semakin membuat resah. Pada mulanya, mereka terdiri dari orang-orang desa ini. Tapi lambat laun, pengikutnya sama sekali bukan penduduk desa ini. Mereka berbuat sewenang-wenang, dengan merampas apa saja yang dimiliki keluarga si penderita yang berobat pada Nyai Dukun Sirah, yang tidak mampu bayar.

Tentu saja hal ini menimbulkan ketidaksenangan penduduk lain. Namun mereka tidak berani berontak. Sebab siapa saja yang ketahuan menentang Nyai Dukun Sirah, bisa dipastikan nyawanya tidak akan selamat. Sehingga secara diam-diam, banyak penduduk desa ini yang mengungsi.

Sementara di rumah Suminta sendiri, suasana semakin bertambah panas saja. Rupanya, kematian anaknya yang bernama Jumadi, membuat Suminta terus memikirkannya. Apalagi, setelah diyakini kalau Nyai Dukun Sirahlah otak semua ini.

"Keparat! Aku akan buat perhitungan pada iblis durjana itu!" dengus Suminta, geram.

"Kang, mau ke mana?! Kang Suminta!" teriak Warsih kaget, melihat suaminya keluar dari kamar ini dengan langkah lebar-lebar.

Wanita itu seperti bisa menduga apa yang akan dilakukan suaminya. Makanya, dia segera mengejar. Dan dugaannya memang benar. Suminta tampak menyambar golok yang terselip di dinding ruangan tengah, lalu bergegas keluar rumah.

Warsih terus berusaha mengejar. Dan dia bermaksud mencegah niatnya sambil menjerit- jerit dengan suara cemas. Namun, Suminta yang telah di bakar amarah tidak mempedulikannya lagi. Tujuannya sudah bulat seperti tekad di hatinya. Nyai Dukun Sirah harus mampus di ujung goloknya, demi membayar nyawa putranya!

Suminta tiba di halaman depan rumah Ki Janggir, yang kini ditempati Nyai Dukun Sirah, sejak kematian kepala desa itu.

"Nyai Dukun Sirah! Keluar kau! Wanita iblis, keluar! Kau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu atas kematian anakku! Keluaaarrr...!"

Dari dalam rumah, tak lama berlompatan beberapa sosok pemuda anak buah Nyai Dukun Sirah menyambut kedatangannya.

"Mau apa kalian?! Minggir! Aku hanya berurusan dengan setan betina itu. Minggir kataku!" gertak Suminta, garang.

"Urusan dengan Nyai Dukun Sirah, adalah urusan kami juga. Kang Suminta! Jangan cari gara-gara. Pulanglah segera!" sahut salah seorang.

"Bukankah kau Sitok, anak Ki Sadin? Heh?! Jangan coba halangi aku! Wanita iblis itu telah membunuh anakku. Suruh dia keluar! Akan kucincang tubuhnya!"

Setelah berkata begitu, Suminta langsung menghambur hendak memasuki rumah itu. Namun para penghadangnya telah membuat pagar betis.

"Kang Suminta! Pulanglah! Dan, jangan cari keributan!" teriak pemuda bernama Sitok kembali. Nadanya kali ini lebih keras.

"Kurang ajar! Kiranya kau sama saja dengan iblis wanita itu! Ayo! Siapa yang berani menghalangiku, boleh mampus di ujung golok ini!" geram Suminta sambil mengayun-ayunkan golok di tangannya.

Tindakan Suminta ternyata tidak membuat para penghadang menjadi takut. Mereka malah semakin kesal dan gusar.

"Kurang ajar! Dikasih hati malah minta jantung. Bunuh saja!" dengus salah seorang penghadang Suminta.

Kata-kata itu seperti sebuah aba-aba. Dengan tiba-tiba, mereka menyerang. Dan hanya dalam sekejap, Suminta mulai keteter.

Kemampuan ilmu olah kanuragan Suminta memang sangat rendah. Sedang saat ini, para pengeroyok seperti kesurupan setan. Mereka tidak peduli pada Suminta yang makin terdesak.

Cras!

"Akh...!" Suminta memekik kesakitan, begitu sebuah senjata merobek perutnya. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perut. Namun sesaat kemudian, dua kali bacokan golok menyambar pinggang dan dadanya. Sekali lagi, Suminta menjerit panjang. Dia berusaha berdiri. Namun darah yang mengucur deras, membuat keseimbangan tubuhnya mulai goyah.

"Kaaang...!" Sementara itu Warsih yang persis tiba di tempat ini kontan menjerit kaget melihat keadaan suaminya. Wanita itu menghambur, dan langsung memeluk suaminya sambil menangis keras. Tubuhnya ikut bersimbah darah. Suminta yang tersungkur ke tanah. Masih sempat Suminta berkata lirih. Namun, suaranya tercekat dikerongkongan. Lalu tubuhnya mengejang, dan nyawanya melayang. Warsih kembali menjerit menyayat.

Pada saat itu di pintu depan berdiri seorang wanita tua berbaju hitam dekil. Tangannya memegang tongkat yang ujungnya terdapat sebuah tengkorak kepala manusia. Di bawah tengkorak, bergantung lonceng kecil berjumlah tujuh buah. Bibirnya menyungging senyum.

"Bawa wanita itu ke dalam..." ujar wanita tua itu, pada para pemuda yang mengeroyok Suminta.

"Baik, Nyai...!"

Para pemuda anak buah wanita tua itu segera memberi perintah lagi pada kawannya. Maka tiga orang pemuda lain bergerak menghampiri Warsih seraya mencekal kedua tangannya. Warsih berusaha berontak sambil memaki-maki geram. Namun ketiga pemuda itu sama sekali tidak peduli. Dengan kasar mereka membawa Warsih ke dalam lewat pintu samping.

********************

Warsih dibaringkan pada sebuah tempat tidur. Kedua tangan dan kakinya diikat pada masing-masing kaki tempat tidur dalam keadaan telentang. Mulutnya pun disumbat kain.

Seorang wanita tua tampak berdiri memperhatikan dari ambang pintu sambil terkekeh-kekeh. Setelah para pemuda itu selesai membereskan Warsih, wanita tua ini memberi isyarat. Maka ketiga anak buahnya segera meninggalkan ruangan setelah menjura hormat.

"He he he...! Jadi kau yang bernama Warsih, istri Suminta itu, ya?" tanya wanita tua yang tak lain Nyai Dukun Sirah, mendekati Warsih yang terikat setelah mengunci pintu.

"Ufh...! Ufhhh!" Mata Warsih melotot garang penuh amarah yang tersirat dari wajahnya.

"He he he...! Akan kulepaskan sumbat di mulutmu, kalau kau berjanji tidak akan ribut...," kata Nyai Dukun Sirah.

Namun bola mata Warsih semakin lebar melotot. Dan dari mulutnya yang tersumbat, keluar umpatan yang tidak dimengerti. Sementara wanita tua itu malah terkekeh girang.

"Oh! Galak juga rupanya kau, ya? Hm, wanita sepertimu pasti akan hebat sekali dalam menggairahkan laki-laki."

"Ufh! Ufhhh...!"

Nyai Dukun Sirah duduk di dekat Warsih, dan mulai meraba-raba tubuhnya. Bibirnya selalu menyungging senyum. Tentu saja hal ini membuat Warsih bergidik ngeri. Usapan serta rabaan wanita tua ini jelas saja aneh. Dan ini hanya pantas di lakukan seorang laki-laki! Bukankah Nyai Dukun Sirah adalah seorang wanita?

"Kau tahu kalau aku Nyai Dukun Sirah, bukan? Aku hendak berbuat baik pada keluargamu Tapi, sayang Suamimu selalu curiga. Dia patut mendapat ganjaran atas perbuatannya," ujar wanita tua itu seraya membuka sumbat di mulut Warsih.

Begitu sumbat di mulut terbuka, sumpah serapah segera keluar dari mulut Warsih. "Iblis! Kau betul-betul manusia iblis! Kau pembunuh anakku! Dan kini, kau bunuh suamiku! Terkutuklah kau...!"

Mendapat makian itu, Nyai Dukun Sirah tenang-tenang saja. Bahkan orang tua itu tersenyum-senyum, sehingga membuat kemarahan Warsih semakin menjadi-jadi.

"Iblis keparat! Lebih baik kau bunuh saja aku! Ayo, bunuh saja! Aku tidak takut denganmu! Bunuh aku...!"

"Membunuhmu? He he he...! Sungguh tindakan tolol. Melihat wajahmu yang cantik dan tubuhmu yang indah, sayang rasanya bila dilewatkan begitu saja...," sahut Nyai Dukun Sirah sambil mengelus-elus paha Warsih. Dan Warsih semakin bingung saja.

"Apa yang kau lakukan padaku?! Cih, aku jijik bersentuhan denganmu! Lepaskan tanganmu!"

"He he he...! Semakin kau berteriak begitu, semakin bergairah rasanya aku memandangmu. Apalagi menatap tubuhmu yang aduhai...!" kata Nyai Dukun Sirah dengan pandangan jalang. Lalu, tangannya bergerak cepat. Dan...

Bret!

"Aouw! Jahanam! Apa yang kau lakukan? Perempuan sinting, enyahlah kau!" Warsih berteriak kaget, ketika tiba-tiba Nyai Dukun Sirah merobek bajunya.

Bret!

"Iblis! Apa yang akan kau lakukan padaku?! Iblis gila! Apakah kau tidak waras? Kurang ajar! Pergi kau! Pergi...!"

"He he he...! Tenanglah, Manis. Kau nanti akan tahu, apa yang kuinginkan darimu."

"Bola mata Nyai Dukun Sirah makin melotot lebar memandang tubuh Warsih yang kini terbuka lebar. Kulitnya putih, Payudaranya besar menantang. Kedua tangan Nyai Dukun Sirah seperti tidak sabar. Dan tiba-tiba, diremasinya dada Warsih, sambil mencumbu.

"Ouw, kurang ajar! Iblis cabul keparat! Apa yang kau lakukan?! Apakah otakmu tidak waras?! Jahanam! Hentikan perbuatanmu! Hentikan perbuatan terkutukmu ini...!" teriak Warsih berusaha berontak.

Namun tali-tali pengikat kedua tangan dan kaki istri almarhum Suminta begitu kuat. Sehingga meski Warsih berusaha berontak, tidak juga putus. Wanita itu berusaha menggelinjang kesana kemari untuk menghempaskan tubuh Nyai Dukun Sirah yang telah menindih tubuhnya.

Wajah Warsih berkerut dan perutnya terasa mual melihat kelakuan wanita tua ini. Beberapa kali muka Nyai Dukun Sirah diludahi dan terus berontak, namun Nyai Dukun Sirah seperti kesetanan dan tidak peduli.

Bret'

"Ouw...!" Untuk yang kesekian kalinya, Warsih menjerit kaget. Kali ini Nyai Dukun Sirah merobek kain penutup tubuh bagian bawah. Dan terakhir, disingkapnya penutup tubuh di bawah perut!

"Iblis! Apa yang akan kau lakukan padaku?! Sinting! Apakah otakmu tidak waras? Sadarkah kau dengan keinginan gilamu?! Iblis keparat, pergi...! Pergi!"

"He he he...! Sebentar lagi kau akan mengerti. Kau akan mengerti, Manis...," sahut Nyai Dukun Sirah seenaknya.

Kini dengan leluasa, Nyai Dukun Sirah menggerayangi tubuh Warsih dengan mata melotot lebar. Wajah istri Suminta ini semakin bergidik, bercampur geli. Dia mengerti, apa yang akan dilakukan wanita tua ini terhadapnya. Hanya saja, perbuatan itu tidak wajar dan amat menjijikkan. Bukankah Nyai Dukun Sirah seorang wanita? Kecuali kalau benar-benar sinting. Dan kelihatannya orang tua ini memang sinting. Dia begitu menikmati apa yang dilakukannya terhadap Warsih. Padahal, Warsih begitu jijik. Sampai-sampai dia hendak muntah melihat kelakuan wanita ini terhadapnya.

"Nyai Dukun Sirah! Kalau benar suka terhadap wanita, kumohon jangan lakukan itu terhadapku. Aku betul-betul jijik dan ingin muntah! Carilah wanita lain yang bisa memenuhi seleramu" ujar Warsih di antara rasa putus asanya untuk menghindar dari perbuatan keji wanita tua ini.

"He he he...! Kaulah yang mampu memenuhi seleraku, Anak Manis..."

"Kau mungkin sinting. Aku tidak sudi diperlakukan begini!" dengus Warsih, geram.

"He he he...! Apakah menurutmu aku sinting?"

"Kau memang sinting! Gila...! Tapi aku tidak sudi ketularanmu! Iblis cabul lepaskan aku!"

"He he he...! Aku mengerti apa yang kau pikirkan. Tapi, sekarang kau akan mengerti...," sahut Nyai Dukun Sirah, tenang.

Nyai Dukun Sirah kini membuka pakaiannya. Dan Warsih pun terperangah melihat sesuatu. Wajah pucat dan mulutnya sedikit terbuka. Dia betul-betul tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dan tanpa sadar, pikirannya melayang entah ke mana.

Kini Nyai Dukun Sirah tidak membuang-buang waktu. Secepat kilat ditubruknya Warsih dan ditindihnya dengan pelukan erat-erat. Dari mulutnya keluar erangan laksana seekor harimau yang menggeram yang mengiringi helaan napasnya yang kasar.

Warsih betul-betul kaget, dan tidak tahu harus berbuat apa. Kejadian ini cepat sekali berlangsung. Dan yang mampu dilakukannya hanya menjerit!

********************

DUA

Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun bangkit, langsung meraih cangkulnya. Lalu ditinggalkannya tempat ini dengan langkah gontai tersaruk-saruk, setelah seharian bekerja di sawah.

Kini pemuda itu mendaki sedikit pada dataran yang agak tinggi. Di situ terdapat hutan kecil yang biasa dilalui penduduk desa untuk ke sawah. Rumahnya agak ke pinggir. Sehingga bila melewab jalan biasa, akan memakan waktu lama dan berputar, maka diputuskannya untuk mengambil jalan memotong.

Dia berbelok ke kanan. Dan di sini, pepohonan lebih lebat dan semak belukarnya pun lebih banyak. Sesaat tengkuknya merinding ngeri dan bulu kuduknya berdiri. Menurut cerita orang kampung, tempat ini banyak dihuni makhluk halus.

Tapi hari belum terlalu gelap. Dan mungkin setan-setan itu masih enggan keluar dari sarangnya. Lagi pula, di ujung hutan ini terdapat sebuah desa yang cukup ramai, yaitu Desa Dukuh Barus. Dia tinggal berbelok ke kiri sekali lagi, dan tidak lama akan sampai di rumah.

Duk!

"Uh, sial! Apa ini...?" gerutu pemuda itu kesal, ketika kakinya tersandung sesuatu.

Dia mengamati dengan seksama. Dan seketika wajahnya tampak kaget. Pemuda itu coba memastikan. Digulirnya sesosok tubuh yang tertelungkup di dekatnya.

"Astaga! Apa yang terjadi dengannya?! Kenapa orang ini bisa berada di sini?!" seru pemuda itu kaget.

Tidak terasa, bulu kuduk pemuda itu kembali meremang. Darahnya tersirap deras, serta jantungnya berdegup kencang. Sesaat kepalanya celingukan memandang keadaan di sekelilingnya.

Ketakutannya yang semula berusaha ditepis, kini semakin menjadi-jadi. Di depan pemuda itu tergeletak sesosok mayat wanita yang seluruh kulitnya menggelembung. Bahkan sebagian telah meletus mengeluarkan nanah bercampur darah yang menebar bau tidak sedap. Pikiran pemuda itu berkecamuk, dan menduga yang bukan-bukan.

"Apakah ini perbuatan penunggu hutan...?" tanya hati pemuda ini.

Kakinya tersurut mudur ke belakang. Lalu dengan cepat dia memutuskan untuk kembali kejalan yang biasa dilalui dengan berlan-lari kencang sambil berteriak-teriak.

"Tolong...! Tolooong...!"

Suara pemuda itu bergema. Sementara keta-kutan hebat terus bergolak di hatinya. Beberapa kali kakinya tersandung akar pohon, namun tidak dipedulikannya. Dia terus kabur tanpa menoleh ke belakang lagi. Namun begitu mendekati perkampungan penduduk, hatinya tercekat. Seketika larinya dihentikan. Di depan sana, terdengar jeritan yang sama. Bahkan lebih memilukan hati. Beberapa orang kabur. Sementara yang lain mengejar. Ada jerit tangis anak-anak yang tercampur jeritan dan pekikan kematian wanita.

Pemuda itu bersembunyi di balik pohon besar, mengamati dengan seksama. "Oh! Apa yang terjadi! Apakah mereka kawanan perampok...?" gumam pemuda itu dengan napas tersengal.

Jeritan itu semakin membuatnya pilu. Namun, pemuda ini tidak mampu berbuat apa-apa. Semangatnya semakin ciut melihat pemandangan yang terjadi di depannya.

Namun dengan tiba-tiba Bidin tercekat. Tampak seorang wanita muda tengah diseret-seret oleh tiga orang pemuda lain sambil terkekeh-kekeh kegirangan. Wanita muda itu berusaha meronta. Namun ketiga pemuda itu mencengkeramnya kuat-kuat. Dua orang memegang kedua tangannya, sementara yang seorang memeluknya dari belakang. Wajah pemuda yang bersembunyi di balik pohon itu berkerut menahan geram. Api amarah memercik dalam hatinya. Dan tanpa sadar, dia mendengus kasar.

"Kurang ajar! Apa yang mereka lakukan terhadap Marni...?!"

Tanpa sadar, pemuda itu melompat seraya mengayunkan cangkul. "Bangsat terkutuk! Mampuslah kalian semua ...!"

"Heh?!"

Ketiga pemuda yang tengah menyeret wanita itu terkejut mendengar teriakan seseorang. Namun mereka cepat bergerak menghindar, melihat serangan. Bahkan mereka langsung mencabut golok yang terselip dipinggang.

"Setan alas! Mau cari mampus dia rupanya!" desis salah seorang dari ketiga pemuda itu.

Mereka terpaksa melepaskan cengkeramannya pada gadis yang dipanggil Marni. Kini, pemuda itu langsung mencengkeram tangan gadis ini.

"Kang Bidin! Oh, syukurlah kau cepat datang...!" seru Marni dengan wajah gembira seraya memeluk pemuda bernama Bidin yang telah menolongnya.

"Marni, awas! Jangan jauh-jauh dariku!" ujar Bidin memperingatkan.

Bidin melepaskan pelukan Marni, ketika melihat ketiga pemuda itu telah melompat menyerang. Namun Bidin cepat mengibaskan tangannya, untuk menangkis.

Trak! Trak!

"Yeaaa...!" Begitu habis terjadi benturan senjata. Bidin balas menyerang. Cangkul di tangannya berubah menjadi senjata yang mematikan. Dan membuat ketiga pemuda pengeroyoknya bertambah geram dan penasaran

"Kurang ajar! Lebih baik kau menyerang, Keparat! Kalau tidak, kau akan celaka sendiri!" desis salah seorang pemuda yang bercelana pendek dengan wajah berkerut geram.

"Huh! Aku tidak takut pada kalian! Siapa pun yang coba menyentuh kekasihku, dia boleh mampus ditanganku!" balas Bidin tidak kalah geram.

"Hm... Jadi, gadis itu kekasihmu? Bagus! Kami akan merebutnya. Dan akan kau lihat pemandangan mengasyikkan didepan matamu, setelah kau sekarat!"

"Langkahi dulu mayatku, bila kalian hendak berbuat tidak senonoh padanya!" dengus Bidin.

"Baik! Kau boleh mampus sekarang!"

Setelah itu, pemuda bercelana pendek ini memberi isyarat pada kedua kawannya. Dan kini, mereka segera merubah siasat. Ketiganya mengitari Bidin yang telah bersiap menyambut dengan cangkul.

Marni yang berada di belakang Bidin mulai kecut hatinya. Wajahnya tampak pucat. Dalam pandangannya, ketiga pemuda itu tidak beda dengan hewan-hewan buas yang siap menerkam mangsa.

"Yeaaa...!"

Dua orang menerkam disertai bentakan nyaring. Yang seorang dari depan, dan seorang lagi dari samping kanan. Sementara, orang ketiga berusaha meringkus Marni.

"Setan!" maki Bidin. Pemuda itu memegang cangkul dengan kedua tangan, lalu menangkis serangan yang datang dari kanan. Tubuhnya langsung berputar setengah lingkaran ke kiri dengan tubuh membungkuk sedikit. Langsung disabetnya salah seorang lawan dengan mata cangkul.

Trak! Tak!

Dua orang yang mengeroyok tersentak. Golok mereka nyaris terpental dihantam cangkul Bidin. Rencana mereka gagal, sebab Bidin mengetahuinya. Sehingga dia lebih merapatkan diri pada Marni. Bahkan ketika seorang lawan yang berada di sebelah kanan berusaha mencuri kesempatan untuk menarik Marni, ujung cangkulnya menyodok ke perut.

Des!

"Akh...!" Orang itu menjerit kesakitan dengan tubuh terhuyung-huyung ke belakang.

"Heh?!"

"Hiiih!"

Kedua pengeroyok tercekat. Dan Bidin tidak menyia-nyiakan kesempatan di saat mereka lengah. Ujung cangkulnya cepat menghajar keduanya sekaligus. Yang seorang cepat mengelak dengan melompat ke belakang. Namun yang seorang lagi bernasib sial. Karena...

Krak!

"Aaakh...!" Cangkul Bidin telah menyerempet dada orang itu, dan merobek kulit tubuhnya. Orang itu memekik setinggi langit. Beberapa tulang rusuknya patah. Darah tampak mengucur deras ketika tubuhnya terjungkal ke belakang, dan langsung menghantam sebatang pohon.

"Heaaa!" Sekali lagi Bidin melihat kesempatan baik dan tidak mau disia-siakannya sedikit pun. Melihat lawan yang seorang lagi berusaha bangkit, dia telah melompat menerjang. Kedua kakinya tepat menghujam ke dada.

Des!

"Aaakh!" Kembali orang itu dibuat terbanting keras sambil menjerit kesakitan.

"Ayo Marni! Kita harus kabur secepatnya dari sini!" seru Bidin seraya menarik lengan Marni.

"Tapi, Kang...! Ayah dan ibuku...," sergah Marni.

"Jangan pikirkan mereka dulu! Ayo, selamatkan dirimu!"

Bidin tidak mempedulikan alasan kekasihnya. Diseretnya Marni dan kabur dari tempat ini, sebelum ketiga lawannya bangkit dan mengejar ataumemanggil kawan-kawannya yang lain.

"Kang! Mau ke mana kita? Ayah dan ibu...! Mereka..., mereka...," ujar Marni bingung, seraya menoleh ke belakang beberapa kali.

"Sudah! Jangan pikirkan mereka! Kau bisa celaka! Kita akan kabur sejauh-jauhnya dari desa ini!" ujar Bidin.

"Tapi, Kang! Orang-orang desa tengah dilanda bahaya. Bukankah sebaiknya Kakang menolong mereka?"

"Aku tidak bisa, Marni! Mana mungkin? Jumlah mereka sangat banyak. Lagi pula, mereka amat ahli ilmu kanuragan!"

"Tapi, Kakang! Bukankah kau pun memiliki kepandaian hebat? Kau murid Padepokan Cagak Layung. Seharusnya kau ikut membantu yang lain menghadapi mereka. Bukannya malah kabur dan menyelamatkan diri sendiri!" sanggah Marni dengan wajah bersungut-sungut.

"Marni! Aku tidak bisa.

"Huh! Aku tidak suka melihat kekasihku seorang pengecut! Sementara pemuda-pemuda lainnya berjuang melawan mereka, kau malah melarikan diri!" umpat Marni, semakin kesal.

"Marni! Sudah kukatakan, itu tidak mungkin. Jumlah mereka banyak. Sia-sia saja melawan..."

"Aku tidak peduli! Aku tidak sudi ikut denganmu!" sentak Marni. Gadis itu tiba-tiba melepaskan cekalan Bidin. Dan tubuhnya langsung berbalik meninggalkan pemuda itu.

"Marni, tunggu! Tungguuu...! Kau tidak boleh kembali ke sana'" teriak Bidin berusaha mengejar.

Namun, gadis itu tidak menghiraukan teriakannya. Dan terus saja berlari menembus semak belukar dan kegelapan malam.

Bidin tercekat, begitu kehilangan jejak Marni. Tapi, mendadak terdengar jeritan Marni. Dia segera memburu. Namun langkahnya terhenti, ketika melihat tujuh orang lelaki bertubuh besar tengah menyergap Marni.

Bidin menarik napas panjang. Dia berusaha menahan gemuruh di hatinya mendengar jeritan Marni yang ketakutan bercampur gelak tawa laki-laki yang meringkusnya. Dia memalingkan muka, dan terduduk lesu. Pikirannya kalut dan tidak menentu. Antara keinginan menyelamatkan Marni dari cengkeraman mereka, dan rasa takut di hati melihat jumlah lawan yang tidak sepadan. Tidak ada yang bisa diperbuatnya selain mengutuk geram, dan memukul-mukul batang pohon dengan kepalan tangan. Dari kejauhan masih terdengar jerit Marni, penuh ketakutan.

********************

Seorang pemuda tengah menggebah pelan kudanya yang berbulu hitam berkilat. Hewan itu mendengus kecil, lalu melangkah agak kencang. Di depan terlihat batas sebuah desa. Pemuda itu mengernyitkan dahi sekilas, kemudian kembali menggebah kudanya.

"Sebentar lagi malam, Dewa Bayu. Mudah-mudahan di desa itu ada yang berbaik hati menerima kita untuk menginap," ujar pemuda berbaju rompi putih itu lirih pada hewan tunggangannya yang dipanggil Dewa Bayu.

"Hieee!" Hewan berbulu hitam itu meringkik pelan seraya menggoyang-goyangkan kepala.

Pemuda yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. Matanya tajam memandang ke depan, seperti hendak menembus keremangan senja. Jalan tampak sepi. Tidak seorang pun yang berpapasan dengannya.

Jarak batas desa dengan perkampungan penduduk cukup jauh. Namun Rangga menempuhnya dalam waktu singkat. Dari kejauhan mulai terlihal atap-atap rumah penduduk serta obor yang menyala di tiap-tiap depan rumah. Namun, sungguh aneh. Ternyata tak seorang pun yang ditemuinya berkeliaran di desa ini. Dan Rangga pun menghentikan langkah kudanya.

"Hm... Apa gerangan yang terjadi? Firasatku mengatakan, ada sesuatu yang tidak beres...," gumam Pendekar Rajawali Sakb lirih, sambil memperhatikan dengan seksama.

Pendekar Rajawali Sakti turun dari punggung kudanya. Dituntunnya Dewa Bayu memasuki sebuah pekarangan rumah. Kakinya melangkah hati-hati mendekati pintu, lalu mengetuknya.

Tidak terdengar sahutan dari dalam. Kembali Rangga mengetuk.

"Sampurasun... Selamat malam. Kisanak yang berada didalam, bolehkah aku menumpang menginap barang semalam?"

Hening. Tak ada sahutan. Namun, pemuda itu yakin kalau rumah ini tidak kosong. Rangga mendesah pelan. Diputuskannya untuk mengetuk pintu rumah yang lain, karena menduga kalau pemilik rumah ini tidak bersedia menerimanya.

Namun ketika Rangga berbalik, di halaman depan telah berdiri tegak lima lelaki berbaju hitam yang masing-masing membawa golok di pinggang. Pendekar Rajawali Sakti tersenyum dan berusaha bersikap ramah.

"Siapa kau?! Dan, apa yang kau lakukan di sini?" tanya salah seorang dari mereka dengan nada datar.

"Namaku, Rangga. Dan aku seorang pengembara. Karena kemalaman, aku bermaksud menginap. Namun pemilik rumah ini agaknya tidak bersedia menerimaku," sahut pemuda itu, jujur.

Kelima orang ini tidak langsung menyahut kembali. Dua orang yang berada di belakang laki-laki yang pertama bicara segera mendekat dan membisikkan sesuatu. Sesaat kemudian, laki-laki itu mengangguk dan memandang kepada Rangga.

"Hm... Kalau kau hendak menginap, kenapa tidak mampir saja ke tempat kami?"

"Oh, terima kasih! Apakah kalian penduduk desa ini?"

"Ya!"

"Baiklah..."

"Mari ikut denganku!" lanjut laki-laki itu. Rangga segera mengikuti mereka seraya menuntun kudanya. Kelima orang itu tidak banyak bicara. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, apa yang harus dibicarakan terhadap mereka. Sehingga mereka hanya berdiam diri selama perjalanan.

Mereka membawa Pendekar Rajawali Sakti pada sebuah rumah yang cukup besar yang terbuat dari kayu dengan atap terbuat dari ijuk. Halamannya cukup luas. Di beranda depan, terlihat beberapa orang sedang duduk. Mereka segera berpaling, begitu melihat kedatangan keenam orang ini.

"Tunggu sebentar! Aku akan bicara pada pemilik rumah ini...!" kata laki-laki yang bicara padanya tadi.

"Maksudmu, aku boleh menginap disini?" tanya Rangga.

"Ya." Orang itu mengangguk, lantas beranjak kedalam. Sedang, tiga kawannya bergabung dengan yang lain. Sementara yang seorang lagi mengajak Rangga duduk di undakan anak rangga.

Tidak lama kemudian, laki-laki tadi keluar bersama seorang lelaki gagah berkumis tebal baju putih. Pada wajahnya terdapat beberapa guratan bekas luka. Sepasang matanya tampak sedikit merah. Di pinggangnya terselip sebilah golok bergagang perak, berbentuk tengkorak.

"Mari, Kisanak. Silakan masuk! Jadi kaukah orangnya yang hendak menginap disini?" sapa laki-laki berkumis tebal itu dengan wajah ramah dan senyum lebar.

"Benar. Apakah Kisanak tidak keberatan?" ujar Rangga, sambil mendekat.

"Oh, tidak! Sama sekali aku tidak keberatan. Rumahku besar dan kamarnya banyak. Kau boleh menempati salah satu kamar "

"Terima kasih...." Rangga mengikuti pemilik rumah ini ke dalam. Meski suaranya terdengar kasar, namun laki-laki berkumis tebal itu tampaknya ramah. Dia berusaha sebaik mungkin memperhalus kata-katanya.

"Kau tentu lelah setelah melakukan perjalanan jauh, bukan? Nah! Ikutlah denganku. Kita minum dulu, sebelum kutunjukkan kamar yang pantas untukmu!" kata laki-laki berkumis tebal itu.

Rangga tidak bisa menolak. Apalagi pemilik rumah ini bersama beberapa pembantunya telah mengajaknya memasuki sebuah ruangan. Di situ telah tersedia sebuah meja makan yang lengkap dengan beberapa hidangan buah-buahan dan arak.

"He he he...! Silakan, dan jangan malu-malu. Kebetulan sekali kau datang saat kami hendak bersantap. Aku orang yang paling menghormati tamu. Jadi, jangan merasa sungkan. Ayo, duduklah!"

Pendekar Rajawali Sakti mengambil tempat tepat berhadapan dengan pemilik rumah ini. Sedang yang lainnya berada di kanan dan kirinya. Rangga menghitung, kursi di meja makan ini hanya enam. Maka tiga orang lain yang tidak kebagian tempat, hanya bisa berdiri. Dua menjaga dipintu, dan seorang lagi berdiri di belakang laki-laki berbaju putih ini.

"Namaku Jembor. Dan mereka semua adalah pekerjaku. Aku mempunyai banyak sawah dan kebun di sini. Dan kebanyakan dari mereka, mengawasinya...," jelas laki-laki bernama Jembor itu seraya menuang arak ke cawan.

Rangga mengangguk, dan tersenyum kecil.

"Kelihatannya, kau bukan sembarang pengelana, Rangga. Apakah ada sesuatu yang kau tuju di desa ini?" tanya Ki Jembor, seraya mengerling pada tamunya.

"Tidak. Hanya kebetulan saja lewat di sini. Tujuanku hanya mengikuti kemana saja kakiku melangkah."

"Hm, sayang sekali. Anak muda seusiamu menghabiskan waktu dengan sia-sia. Tapi kalau kau suka, aku akan menawarkan pekerjaan padamu...," kata Ki Jembor.

"Pekerjaan apa yang hendak kau tawarkan padaku?"

"He he he...! Sebaiknya kita minum dulu sebelum membicarakan soal itu? "

Set!

Setelah tertawa begitu, tiba-tiba Ki Jembor mendorong cawan berisi arak ke arah Rangga. Seketika cawan itu bergeser cepat. Namun, tidak ada setetes pun yang tertumpah.

"Silakan diminum, Rangga!"

Rangga tersenyum. Diketuknya meja dengan satu jari. Dan mendadak, cawan yang bergerak kearahnya itu melompat ke atas. Namun, Ki Jembor tidak membiarkannya begitu saja. Telapak tangannya langsung diayunkan ke depan. Dan dari situ, melesat angin kencang menerpa cawan.

Ternyata Rangga pun tidak kalah sigap. Telunjuknya cepat menyambar bagian bawah cawan. Bahkan, cawan itu tetap berada di atas telunjuknya dengan berputar akibat hantaman Ki Jembor. Arak yang berada di dalam cawan sama sekali tidak tertumpah. Bahkan dengan tenang Rangga menenggak isinya sampai tandas!

TIGA

"Terima kasih atas kemurahan hatimu, Ki Jembor!" ucap Rangga.

"Tapi aku masih kurang. Bolehkah minta sedikit lagi?"

Bersamaan dengan itu, Rangga mengibaskan tangannya. Seketika itu cawan melayang ke arah Ki Jembor.

Wuuut!

Ki Jembor terkejut. Cawan itu bergerak cepat dan terasa dihempaskan oleh tenaga dalam tinggi. Dalam kegugupannya, dia tidak mampu menangkap. Yang bisa dilakukannya hanya menepis, membuat cawan itu pecah terhantam tangannya!

Prak!

Wajah Ki Jembor tampak merah, menahan malu. Matanya langsung melirik sekilas pada Rangga, lalu berpaling kepada anak buahnya. Tak ada seorang pun yang berani buka suara. Malah, anak buahnya yang berdiri dibelakang, buru-buru memberikan cawan pengganti.

"Ah, sayang sekali. Akibat kelalaianku, maka cawanmu pecah. Maafkan kekurangajaranku, Ki Jembor!" kata Rangga merasa bersalah.

"Tidak apa...," sahut Ki Jembor, sedikit gugup.

"Hm.... Lebih baik kita minum bersama! Mari, Rangga!" seru salah seorang anak buah Ki Jembor seraya menuang arak dan mengajak yang lainnya untuk minum bersama.

Sementara, anak buah Ki Jembor yang lain segera menyediakan cawan bagi Rangga, lalu menuangkan arak ke dalamnya. Rangga tersenyum sambil menunggu yang lain minum bersama. Bagaimanapun, dia tidak pernah mempercayai mereka seorang pun!

"He he he...! Ayo, mari kita minum, Rangga!" ajak Ki Jembor seraya menenggak isi cawannya.

Anak buah Ki Jembor yang lainnya mengikuti. Rangga sendiri sebenarnya sudah menangkap gelagat tak baik. Namun dia ikut pula menenggak arak.

"Tambah lagi, Rangga!" ujar anak buah Ki Jembor yang berada di dekatnya, seraya mengisi cawan yang berada dalam genggaman Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm, kurasa cukup. Aku tidak biasa mabuk..."

"Ha ha ha...! Arak ini tidak akan memabukkan, bila secawan atau dua cawan!" timpal Ki Jembor.

Yang lain ikut menanggapi. Sehingga mau tidak mau, Rangga terpaksa menenggak kembali isi cawan dalam genggamannya. Apalagi, ketika yang lain menenggak arak tanpa ragu-ragu dari guci yang sama.

Namun ketika mereka hendak mengisi cawan untuk yang ketiga kali, Rangga menahannya.

"Kurasa sudah cukup, bila sekadar untuk menghilangkan rasa haus...."

"Ha ha ha...! Arak ini amat langka. Jadi, sayang sekali bila kau mencicipinya sedikit. Minumlah sepuasmu! Aku masih punya persediaan banyak!" sahut Ki Jembor.

"Betul, Rangga! Kenapa ragu? Ki Jembor amat pemurah. Jadi jangan disia-siakan kesempatan ini!" timpal seorang anak buah Ki Jembor.

Rangga tidak langsung menjawab. Dan mendadak saja dia mengerjap-ngerjapkan matanya, seperti orang mabuk. Ki Jembor sendiri melihat pemuda itu seperti menderita pening yang hebat.

"Kenapa, Rangga? Apa yang kau rasa?" tanya Ki Jembor.

"Entahlah... Pandanganku seperti mengabur...," sahut Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti sadar, kalau arak yang disuguhkan mengandung suatu racun jahat. Kalau toh yang lain minum dari guci yang sama, pasti mereka telah minum obat pemunah yang sebelumnya. Tapi biar bagaimanapun, Rangga sejak dulu telah kebal racun. Sejak di Lembah Bangkai dulu, Pendekar Rajawali Sakti sering makan jamur yang membuat tubuhnya kebal racun. Dan karena ingin tahu apa yang akan dilakukan Ki Jembor selanjutnya, Rangga terpaksa berpura-pura, seolah dirinya kini telah teracuni.

"Oh! Kepalaku... sakit sekali...," keluh Pendekar Rajawali Sakti, seraya bangkit berdiri dan memijit-mijit keningnya.

"Mungkin kau terlalu lelah, Rangga. Sebaiknya, istirahatlah dulu. Anak buahku akan menunjukkan tempatmu...!" ujar Ki Jembor.

"Mungkin juga...."

Dua orang anak buah Ki Jembor mengapit dan membawa Rangga kesuatu tempat. Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Pendekar Rajawali Sakti menuruti saja.

********************

Byur!

"Ohhh...!" Seember air disiramkan ke muka Rangga. Pendekar Rajawali Sakti pura-pura gelagapan, Sementara kedua tangan dan kakinya telah terikat kuat pada dinding dibelakangnya.

"Siram lagi!" perintah satu suara.

Lalu seember kecil lainnya mengguyur wajah Rangga. Pemuda itu kembali pura-pura gelagapan. Padahal, dia telah memindahkan pernapasannya keperut, Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengerjap-ngerjapkan mata. Beberapa orang kini telah berdiri di depan Rangga.

"Kau sudah sadar, Rangga?" tanya sebuah suara.

"Ki Jembor...," kata Rangga, pura-pura.

"Ha ha ha...! Benar! Ternyata kau telah sadar rupanya...!"

Rangga kembali mengerjap-ngerjapkan mata. Tampak Ki Jembor mondar-mandir di depannya. Di belakang orang itu berdiri lima orang anak buahnya. Mereka adalah yang tadi ikut dalam perjamuan.

"Ki Jembor, apa maksudmu dengan semua ini?" tanya Rangga, terus bersandiwara, seraya melirik kedua tangan dan kakinya yang dirantai.

"Sekadar penjagaan saja."

"Penjagaan apa? Aku tidak bermaksud buruk padamu. Kenapa kau perlakukan aku begini?" sesal Pendekar Rajawali Sakti

"Itu persoalan mudah. Ada hal penting yang ingin kutanyakan padamu. Yaitu, maukah kau bekerja padaku?"

Rangga tersenyum. "Jadi, hanya untuk itukah kau menawanku?"

"Ha ha ha...! Ketahuilah. Aku tidak suka penolakan. Semua yang kuinginkan dari seseorang harus, terpenuhi. Atau..., orang itu harus mati!"

Wajah Ki Jembor tampak terlipat geram, setelah semula tertawa girang. Sekadar menunjukkan pada pemuda itu, kalau dia bersungguh-sungguh dengan kata-katanya.

"Tapi, tidak perlu dengan cara begini. Kau bisa memintaku dengan secara baik-baik..."

"Huh! Kenapa aku harus memintamu? Itu hanya basa-basi saja. Sebab, apa pun jawabanmu kau harus bekerja dan menuruti perintahku. Atau, barangkali kau sudah bosan hidup?!" dengus Ki Jembor geram seraya mendekatkan wajahnya.

"Bagaimana kalau aku menolak?"

"Kau telah mendengarnya. Dan keputusanku tidak bisa ditawar-tawar lagi!" sahut Ki Jembor, seraya membelakangi tawanannya.

"Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?"

"Kulihat, kepandaianmu hebat. Sehingga orang sepertimu pantas menjadi anak buahku"

Rangga tersenyum kecil. "Kepandaianku tidak seberapa dibandingkan denganmu atau semua anak buahmu. Kau telah memiliki mereka. Dan kukira, mereka bukanlah orang-orang bodoh. Sebab bila bodoh, kau tidak mungkin menjadikan mereka anak buah. Jumlah mereka telah cukup banyak. Dan dengan bertambahnya aku, tidak akan membuat kekuatanmu goyah. Aku hanya orang biasa...."

Ki Jembor berbalik. Dan wajahnya jelas terlihat tidak senang mendengar jawaban pemuda itu.

"Kau pandai bersilat lidah. Tapi, aku tidak peduli. Kau boleh jawab tawaranku, atau terima kematianmu. Dan aku tidak memberi pilihan, selain dari itu!" sahut Ki Jembor menegaskan.

"Kenapa aku musti ragu? Bila benar kau amat menginginkan aku bekerja untukmu, tentu saja dengan senang hati kuterima!" sahut Rangga, dengan wajah gembira.

"Bagus! Kau telah menyelamatkan dirimu. Tapi, bukan berarti aku bisa percaya begitu saja. Kau harus membuktikan kesetiaanmu padaku."

"Apa maksudmu?"

"Maksudku, aku tidak percaya kalau kau mau menjadi anak buahku. Oleh sebab itu, kau harus membuatku percaya," jelas Ki Jembor.

"Hm? Bagaimana caranya agar aku bisa membuatmu percaya?"

Ki Jembor memberi isyarat. Tak lama, seorang anak buahnya mendekat, membawa sebuah cawan berisi arak. Ki Jembor mengambil, lalu mengamati isi cawan itu. Kemudian matanya memandang Rangga sambil tersenyum-senyum.

"Arak ini telah kububuhi racun ganas yang mematikan. Namun, kerjanya lama sekali. Dia akan menggerogoti isi tubuh perlahan-lahan. Hanya aku yang memiliki obatnya. Nah! Kau harus meminumnya. Dalam waktu satu bulan, kau harus membuktikan kesetiaanmu padaku. Sebab bila tidak, maka kau akan mati percuma. Tidak ada seorang pun yang bisa menyembuhkan dari racunku ini!" jelas Ki Jembor.

"Ki Jembor! Bila kau melumpuhkan semua tenagaku dengan racunmu, maka untuk apa lagi kau menginginkanku bekerja denganmu? Bukankah pekerjaan yang kau berikan padaku membutuhkan tenaga?"

"Ha ha ha...! Tidak semudah itu, Rangga," kata Ki Jembor, disertai tawa terbahak.

"Lalu apa yang harus kulakukan lagi?"

"Minum ini!" sahut Ki Jembor, mengangsurkan cawan arak di tangannya.

Rangga terdiam. Disadari, dia tidak akan terpengaruh oleh racun itu. Tapi penjagaan di sini terlalu ketat. Dan bila Pendekar Rajawali Sakti berusaha melepaskan diri secara paksa, maka akan celakalah dirinya. Dan Rangga berniat mengatur siasat. Dia menunggu saat-saat yang tepat, untuk membebaskan diri. Ditengah-tengah Rangga sedang mengatur siasat, mendadak.

"Kebakaran! Kebakaran...!" Terdengar teriakan keras dari arah luar rumah ini.

"Apa?!" Ki Jembor tampak kaget. Dia segera melompat keluar, diikuti anak buahnya yang lain.

"Hei?! Kau jaga di sini!" teriak laki-laki berkumis itu memerintah pada seorang anak buahnya.

"Beres, Ki!"

Ki Jembor dan yang lainnya baru saja keluar dari ruangan ini, mendadak sesosok tubuh melayang dari wuwungan.

"He, siapa kau?!" bentak anak buah Ki Jembor yang berada di sini.

Di hadapan orang itu berdiri sesosok tubuh berselubung kain hitam, mengenakan penutup muka. Seketika anak buah Ki Jembor mencabut golok, langsung menyerang orang bertopeng ini. Orang bertopeng itu berkelit kesamping. Lalu tangannya mengibaskan, menghantam pergelangan anak buah Ki Jembor.

Wut! Plak!

Golok di tangan anak buah Ki Jembor terlepas. Sementara orang bertopeng itu sudah berbalik. Lalu sebelah kakinya menyodok ke dada.

Des!

"Aaakh!" Anak buah Ki Jembor mengeluh kesakitan begitu kaki orang bertopeng bersarang telak di dadanya. Tubuhnya terbanting keras menghantam dinding, dan jatuh ke lantai dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sementara saat terjadi pertarungan, Rangga berusaha melepaskan rantai besi yang mengikat kedua tangan dan kakinya.

Tring! Tring!

"Siapa kau?" tanya Rangga, begitu ikatan pada tangan dan kakinya terlepas.

Orang bertopeng itu hanya memandangi Rangga dengan takjub, namun tidak menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. "Mari ikut aku, Kisanak!" ajak orang bertopeng itu. Mereka kemudian berkelebat, berusaha keluar dari rumah ini.

"Hei, siapa kalian?!" Seorang anak buah Ki Jembor memergoki mereka. Orang bertopeng itu menoleh. Dan tahu-tahu, dari sebelah tangannya melesat beberapa batang jarum halus ke arah anak buah Ki Jembor.

Wer!

"Aaa...!" Tanpa mempedulikan anak buah Ki Jembor yang terjungkal dan sekarat orang bertopeng itu terus berlari bersama Pendekar Rajawali Sakti melewati pagar samping. Mereka terus berusaha menjauh dari tempat ini.

"He, siapa itu?! Berhenti...!" teriak seseorang.

"Kurang ajar! Hentikan dia!" timpal yang lain.

"Tawanan kita kabur! Kejar! Hentikan mereka!" teriak yang lain pula.

Lebih dari dua puluh orang anak buah Ki Jembor berlompatan mengejar orang bertopeng yang berlari bersama tawanan mereka.

Namun, Rangga yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna, tidak kehabisan akal. Segera dicekalnya tangan orang bertopeng itu. Lalu tubuhnya berkelebat sangat cepat ke arah selatan. Di malam yang gelap ini, Rangga pun mengerahkan aji 'Tatar Netra'. Sehingga mereka dengan leluasa dapat berlari di malam yang gelap begini. Dan kini para pengejarnya telah tertinggal jauh, tanpa dapat mengejar lagi.

EMPAT

"Namaku Rangga. Siapa namamu, Kisanak?" tanya Pendekar Rajawali Sakti ketika mereka berdua telah tiba di rumah yang ditunjuk orang bertopeng itu.

"Aku..., Bidin," sahut orang bertopeng itu, dengan perasaan enggan.

"Terima kasih atas bantuanmu," ucap Pendekar Rajawali Sakti.

Orang bertopeng itu diam saja.

"Bidin..."

"Ya."

"Ini rumahmu?"

"Hanya untuk sementara ..."

"Untuk sementara? Lalu, dimana rumahmu yang sesungguhnya?"

Bidin tidak menyahut. Buru-buru dia masuk ke dalam sebuah ruangan. Dan dia kembali membawa cangkir dari bumbung bambu yang berisi air minum.

"Minumlah. Mungkin kau haus. .!"

Rangga menerima dan menenggak isinya sampai ludes. Rangga melirik dan memperhatikan wajah di balik topeng. Usianya tidak jauh berbeda dengannya. Juga, tidak terlalu buruk!

"Sebenarnya apa yang terjadi di desa ini, Bidin. Kulihat orang-orang enggan menampakkan diri. Dan yang kulihat di luaran hanya orang telengas saja.

Bidin tersenyum pahit. Lalu wajahnya menerawang seperti hendak menembus atap gubuk ini. "Sebuah malapetaka telah terjadi di desa ini. Dan aku kini adalah jadi seorang pengecut," sahut Bidin, menyesali diri sendiri.

"Apa maksudmu?"

Bidin tidak menyahut. Malah bibirnya tersenyum pahit seperti tadi.

"Apakah kau kenal Ki Jembor?" tanya Rangga berusaha mengalihkan perhatian.

"Dia hanya salah seorang kaki tangan Nyai Dukun Sirah, orang yang membuat malapetaka di desa ini."

"Nyai Dukun Sirah? Siapa dia?"

"Dukun wanita sakti yang menguasai beberapa desa, termasuk desa ini," sahut Bidin, datar.

"Menguasai beberapa desa? Hm, hebat sekali!"

"Dia bahkan membuat repot Kanjeng Adipati..."

"Luar biasa! Apa sebenarnya yang diinginkan wanita itu?"

"Dia ingin menjadi raja?"

"Perbuatan ini sungguh nekat! Wanita itu terlalu gegabah!"

Bidin tersenyum mendengar tanggapan pemuda itu. "Apakah kau sungguh tidak tahu?"

"Apa?"

"Nyai Dukun Sirah tidak seceroboh yang kau duga"

"Hm, lalu...?"

"Kawasan Kadipaten Sanggriang sepertinya mendapat ancaman Nyai Dukun Sirah. Sang Adipati sendiri tak mampu berbuat apa-apa. Nyai Dukun Sirah telah membangun angkatan perang. Dan setiap saat, selalu mendesak kekuasaan Adipati Rapaksa," jelas Bidin.

"Apakah Adipati Rapaksa tidak meminta bantuan pada kerajaan?"

"Tidak bisa. Sebab, semua tempat di seluruh kadipaten ini berada dalam jangkauan Nyai Dukun Sirah. Apalagi, perempuan tua itu memiliki seribu telinga. Mata-matanya tersebar dimana-mana. Pernah beberapa kali Adipati Rapaksa mengirim utusan rahasia kepada kerajaan. Namun, tidak seorang pun yang pernah kembali. Diduga, mereka binasa atau ditawan Nyai Dukun Sirah..." lanjut Bidin.

"Hm, ternyata kekuatan Nyai Dukun Sirah tidak bisa dianggap main-main!" desah Rangga.

Bidin terdiam. Wajahnya muram seperti saat bercerita.

"Apakah Nyai Dukun Sirah menyengsarakan rakyat?"

"Ya! Rakyat merasa tertekan sekali. Mereka memungut pajak semaunya Dan anak buahnya sering berbuat keonaran. Banyak di antara penduduk desa berusaha kabur dan pindah ke desa lain. Namun, tidak semuanya selamat. Nyai Dukun Sirah tidak kenal ampun. Semua orang yang membangkang dijatuhi hukuman mati.

"Apakah tidak ada rakyat yang memberontak?"

"Tidak. Mereka tidak berani melawan..."

"Para pemudanya?"

Bidin terdiam. Kepalanya tertunduk. Lalu pandangannya dibuang ke tempat lain. Tidak terasa, malam telah berlalu. Dan subuh mulai datang ketika dari kejauhan terdengar kokok ayam jantan bersahutan. Namun, keduanya masih terdiam.

Rangga mulai merasa yakin kalau Bidin menyimpan satu rahasia terhadapnya. Wajah pemuda itu tampak suram, menyiratkan kesedihan yang dalam di hatinya. Perasaan putus asa dan nelangsa.

"Selama ini apa yang kau lakukan...?" tanya Rangga hati-hati.

"Tidak ada apa-apa..."

"Apakah keluargamu ada yang menjadi korban kekejaman mereka?"

Bidin kembali terdiam.

"Kau ingin menuntut balas terhadap mereka? Aku bersedia membantumu," lanjut Rangga, merasa yakin kalau kesedihan yang dirasa Bidin pasti berkaitan dengan ulah Nyai Dukun Sirah.

Bidin menoleh dengan wajah suram. "Apa maksudmu?"

"Kalau benar apa yang kau katakan, maka Nyai Dukun Sirah bukanlah orang baik-baik. Dia penindas. Dan orang seperti dia harus dilenyapkan dari muka bumi. Nah! Bila kau berpikiran sama, maka aku bersedia membantumu," sahut Rangga menegaskan.

"Nyai Dukun Sirah hebat, dan sakti. Kita hanya berdua. Mana mungkin bisa melawannya..."

"Apakah tidak terpikir untuk menggerakkan semangat rakyat dalam melawan Nyai Dukun Sirah? Lagi pula, kita punya dukungan. Yaitu, dari sang adipati sendiri!"

Bidin menghela napas. Berat.

"Kenapa? Kau tidak setuju?" desak Rangga.

"Aku terlalu pengecut untuk berbuat seperti itu...," sahut Bidin lirih.

"Kenapa? Semua orang mampu melakukannya bila dalam dirinya ada sedikit semangat untuk membela kaum lemah!"

"Tidak! Tidak...!" bentak Bidin keras. Pemuda itu bangkit, lalu menghantam dinding didekatnya hingga jebol. Kemudian, kakinya melangkah lebar keluar.

Rangga segera menyusul dan menghadang di depannya. "Ada apa, Sobat? Apakah kau tidak ingin berbuat sesuatu bagi desa atau orang-orangmu?" tanya Rangga, mencoba memompa semangat Bidin.

"Aku tidak mampu! Aku tidak bisa...! Jangan halangi. Aku harus pergi! Aku sendiri pengecut..!"

Bidin kembali berteriak. Dan dengan kasar, ditepisnya tangan Rangga. Lalu dia berlari kencang, kemana saja kakinya melangkah. Namun baru saja sepuluh tindak melangkah, mendadak beberapa sosok tubuh menghadang.

"Berhenti...!" bentak salah seorang penghadang.

"Setan alas! Minggir kalian...!" balas Bidin, langsung mengayunkan kepalan tangan pada orang yang berada di dekatnya.

Wut!

Sodokan Bidin ditangkis dengan sigap oleh orang itu.

Plak!

Namun Bidin langsung berputar. Kemudian sebelah kakinya tepat menghantam dada.

Des!

Orang itu mengeluh kesakitan dan terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada.

"Kurang ajar! Pasti kau orang bertopeng yang membuat kekacauan, sehingga tawanan kita lari!" bentak yang lain geram.

Seketika lima orang serentak menyerang Bidin.

"Heaaa...!"

Bidin terkesiap, saat golok-golok lawan menyambar ke arahnya. Dia melompat ke belakang, sambil menangkis beberapa hantaman serta tendangan lawan.

Plak! Plak!

Dan seketika itu pula, Bidin mencabut golok yang terselip di pinggang.

Trang!

Empat senjata para pengeroyok berhasil ditangkis Bidin. Namun wajahnya berkerut seperti menahan beban berat. Lawan-lawannya ini agaknya bukanlah orang sembarangan. Tenaga dalam mereka kuat. Bahkan berada di atasnya. Sehingga, pemuda itu terus meringis setiap kali senjatanya beradu. Bahkan telapak tangannya mulai terkelupas. Dan beberapa kali golok ditangannya nyaris terpental. Namun begitu, dia masih mampu bertahan dengan semangat menyala-nyala.

"Heaaa!"

Pada saat itu, Rangga datang membantu. Dia melompat melenting tinggi. Setelah berputaran diudara, Pendekar Rajawali Sakti menyerang salah seorang lawan.

Orang itu langsung menyambut Rangga dengan sabetan golok. Namun, Rangga berkelit lincah. Bahkan tangan kanannya cepat menangkap pergelangan tangan lawan. Pada saat yang bersamaan, seorang lawan yang lain menyergap dari belakang.

"Hiiih!"

Rangga mencengkeram tangan lawan yang kemudian ditariknya ke belakang. Pada saat yang sama, tubuhnya membungkuk dan maju kedepan. Lalu....

Wut! Bres!

"Aaa...!" Golok itu meluncur ke belakang, dan menancap di jantung lawan yang berada di belakang Rangga. Terdengar jeritan panjang. Dan orang itu ambruk beberapa saat, sambil mendekap dada kirinya yang mengucurkan darah segar.

Sementara lawan Rangga yang tangannya masih dicengkeram tersentak kaget. Namun, Rangga tidak mempedulikannya. Ditekuknya lengan orang itu hingga terdengar tulang berderak patah.

Krak!

Rangga tidak berhenti sampai di situ, tangan kanannya cepat bergerak.

Des!

"Aaa...!" Kembali terdengar jeritan panjang. Dan tubuh orang itu kontan terjungkal. Begitu mencium tanah, tubuhnya menggelepar beberapa saat, lalu diam tidak bergerak.

"Yeaaa!"

Pada saat itu juga dua lawan lain melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan kalap. Kematian dua orang kawan mereka, membuat amarah pengeroyok itu semakin berkobar.

Bet! Bet!

"Uts...!" Dua golok berkelebat menyambar Rangga. Namun dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Pendekar Rajawali Sakti menghindarinya lewat gerakan-gerakan manis yang sulit ditebak.

Tap! Wut!

Salah seorang membabat leher. Secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti membungkuk. Lalu tubuhnya dengan cepat, menangkap pergelangan salah seorang lawan dengan tangan kiri. Dan secepat itu pula, tangan kanannya menghantam dada.

Des!

"Aaakkh...!" Orang itu menjerit kesakitan. Dan ketika seorang lagi menyerang, Rangga menyorongkan lawan yang dicengkeramnya, ke arah orang yang menyerangnya.

"Heh?!"

Bles!

"Aaa...!"

Bukan main terkejutnya lawan yang tengah menyerang Rangga. Goloknya ternyata menembus kawannya sendiri. Dan tahu-tahu, Pendekar Rajawali Sakti mengangkat orang yang dibuatnya sebagai tameng. Seketika Rangga melompat keatas sambil mengangkat orang yang masih dicengkeramnya. Dan seketika itu pula orang itu dihantamkan pada kawannya yang masih terpaku. Lalu...

Prok!

Aaakh....!"

Kedua kepalan mereka saling berbenturan hingga terdengar bunyi berderak. Keduanya kembali memekik. Darah kontan mengucur deras dari batok kepala mereka. Keduanya ambruk dan tewas seketika itu pula.

Tiga orang lawan yang tersisa sangat terkejut melihat sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti yang pernah mereka tawan. Bahkan salah seorang yang tengah mengeroyok Bidin, berusaha kabur dari tempat ini.

Rangga menendang salah satu golok lawanyang tergeletak ditanah. Seketika, golok itu meluncur deras dan tepat menancap di punggung orang yang berusaha kabur.

Creb!

"Aaa...!" Orang itu memekik, langsung tersungkur ke depan.

Melihat tidak ada lagi kesempatan untuk kabur, dua orang yang tersisa menghentikan perlawanan. Mereka segera membuang golok masing-masing pertanda menyerah.

Pendekar Rajawali Sakti mendekati mereka dengan tatapan dingin. "Kalian tahu? Aku tidak biasa berbuat kejam seperti tadi, kecuali bagi orang-orang yang berbuat jahat terhadapku. Seharusnya kalian berdua kubunuh!" ancam Rangga, dingin.

"Oh, ampun! Ampuni kami, Tuan Pendekar..!" ratap mereka serentak seraya berlutut.

Sepak terjang Rangga barusan membuat mereka bergidik ngeri. Pemuda itu bertindak tidak kepalang tanggung. Bahkan dengan mudah membinasakan kawan-kawannya.

"Ku ampuni kalian. Kembalilah. Dan, katakan pada majikanmu, Pendekar Rajawali Sakti tidak akan tutup mata melihat kebatilan! kata Rangga tanpa bermaksud menyombongkan diri.

"Eeeh! Ba..., baik..."

"Cepat pergi!" bentak Rangga.

Tanpa menoleh lagi kedua orang itu langsung kabur dengan terbirit-birit. Sementara itu Bidin masih terpaku di tempatnya. Dia tidak percaya, pemuda itu mampu membereskan lawan dalam waktu singkat. Tapi hal yang membuatnya kaget adalah, ketika Rangga menyebutkan siapa dirinya yang sebenarnya.

"Pendekar Rajawali Sakti...?" gumam Bidin saat Rangga tersenyum memandangnya.

LIMA

"Jadi, kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Bidin, berusaha meyakini.

"Ya...," sahut Rangga sambil mengangguk.

"Kenapa kau tidak mengatakannya dari tadi?"

"Rasanya itu terlalu berlebihan." sahut Rangga, merendah.

"Lantas, bagaimana kau sampai berada diwilayah kekuasaan Ki Jembor?" tanya Bidin.

"Aku sebenarnya tertarik dengan cerita orang, yang mengatakan kalau di daerah ini terjadi wabah penyakit. Kemudian aku mencoba mencari keterangan, sampai akhirnya ditawan oleh Ki Jembor. Sengaja aku tak melawan, agar mudah memperoleh keterangan," jelas Rangga.

Namun Bidin diam saja. Dan dia tersenyum pahit. "Dan ternyata, aku mendapat kepastian darimu, kalau wabah penyakit dan segala malapetaka yang terjadi di desa ini adalah ulah wanita yang kau sebut Nyai Dukun Sirah," lanjut Rangga.

"Apakah kau sungguh-sungguh hendak membantuku melawan Nyai Dukun Sirah?" tanya Bidin, ingin memastikan.

Rangga mengangguk

Bidin kembali tersenyum. "Ketika kulihat mereka membawamu, kukira kau adalah kawan-kawan mereka. Tapi aku penasaran. Dan kuikuti kalian. Belakangan baru kuketahui kalau mereka ingin memperdayaimu. Kemudian kucari akal untuk mengalihkan perhatian mereka...," jelas Bidin seperti bicara pada diri sendiri.

"Jadi kau yang membuat kekacauan itu?"

"Ya. Kubakar ruangan dapur. Lalu aku bergerak keatas, bermaksud membebaskanmu. Sepanjang hidupku rasanya itulah perbuatanku yang paling hebat. Tapi nyatanya, kulihat kau sebenarnya mampu membebaskan diri sendiri."

"Tidak usah terlalu dipikirkan. Aku sebenarnya hanya berpura-pura saat hendak diperdaya. Aku memang sudah curiga. Maka kuputuskan untuk membiarkan diriku tertawan.

Bidin kembali tersenyum pahit. Ada satu ganjalan yang masih tertahan di lubuk hatinya. Terutama ketika dirinya dituduh pengecut oleh Marni, kekasihnya.

"Ada suatu kenyataan yang begitu pahit kurasakan. Sehingga, aku tidak punya keberanian untuk menolongnya...," tiba-tiba Bidin bergumam.

"Siapa yang kau maksud?"

"Marni, kekasihku. Dia ditangkap oleh anak buah Nyai Dukun Sirah. Sampai sekarang, jeritannya masih terngiang. Sehingga membuat hatiku pilu. Aku memang pengecut, dan sama sekali tidak berguna!" desis Bidin geram. Kembali tangannya menghantam dinding gubuk ini untuk melampiaskan kekesalan hatinya.

"Kita masih bisa menyelamatkannya, Bidin," sahut Rangga hendak menggugah semangat kawan barunya.

Bidin tersenyum pahit mendengar kata-kata itu. "Peristiwa itu terjadi kira-kira dua minggu lalu. Saat ini aku tidak tahu, apakah Marni masih hidup atau tidak. Oh! Seandainya pun dia hidup, tentu amat menderita! Anak buah Nyai Dukun Sirah pasti mempermainkannya setiap saat! Bajingan...!" Bidin kembali menggeram.

"Kita akan mencari tahu, apakah Marni masih hidup atau tidak. Aku akan membantumu!" tegas Rangga.

"Betulkah...?" Bidin memandang pemuda itu sejurus lamanya dengan wajah penuh harap.

Rangga mengangguk mantap. Namun, wajah Bidin yang mulai berseri kembali redup. Bahkan berganti dengan kedukaan.

"Kenapa? Kau tidak suka kita mencari tahu keadaan Marni?"

"Selama ini, aku berkeliaran seorang diri. Dan sejauh ini pula, kuketahui bahwa anak buah Nyai Dukun Sirah amat rakus dan biadab. Mereka mempermainkan seorang wanita seenaknya saja. Bahkan menggilirnya satu persatu, kemudian dijadikan sebagai pemuas nafsu iblis!" jelas Bidin dengan wajah geram.

"Biadab! Mereka harus mendapat ganjaran yang setimpal!" desis Rangga ikut-ikutan geram.

Mereka terdiam sejenak. Di luar, udara pagi mulai merasuk ke dalam gubuk sejak tadi. Namun kini tidak sedingin tadi, sejak di ufuk timur matahari mulai muncul. Suara burung pun berkicau mulai riuh terdengar.

"Bagaimana cara kita mencari tahu soal Marni?" tanya Bidin.

"Kita akan memaksa Ki Jembor, atau siapa pun yang berada di sana untuk memberitahukannya!" sahut Rangga tersenyum.

"Jadi, kita ketempat Ki Jembor lebih dulu?"

"Ya!"

"Dengan kejadian tadi, anak buahnya tentu akan melapor. Dan setelah mendengar namamu, tentu Ki Jembor akan mengirim urusan untuk memberitahukan Nyai Dukun Sirah...."

"Tidak apa-apa. Nah, kita berangkat sekarang!" ujar Rangga.

Rangga bangkit. Dan Bidin segera mengikuti. Langkahnya terasa ringan. Isi dadanya seperti mau meledak oleh semangat untuk menumpahkan sakit hati serta dendam yang selama ini dipendamnya.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Warga Desa Dukuh Barus yang tidak mengungsi mulai terlihat satu persatu. Dan itu pun hanya para pemuda serta laki-laki yang hendak kesawah dan ladang masing-masing. Sedang para wanita dan anak-anak lebih banyak mengurung diri dirumah masing-masing.

Tidak seperti biasanya, hari ini anak buah Ki Jembor tidak berkeliling desa untuk menarik upeti, atau mencari gara-gara pada penduduk. Namun begitu, Rangga dan Bidin tetap menghindari jalan-jalan desa. Mereka menempuh jalan di pinggiran hutan, lalu menuju sebuah rumahpanggung berukuran besar dan sangat bagus terbuat dari kayu dan papan yang disana-sini terdapat ukiran indah.

Rumah ini semula milik kepala desa. Namun sejak kedatangan Ki Jembor serta anak buahnya, rumah ini diambil alih. Kepala desa itu mati dibunuh. Sedang para pembantunya kabur entah ke mana ketika kerusuhan terjadi. Rangga manggut-manggut mendengar penjelasan Bidin sepanjang perjalanan ke tempat ini.

"Agaknya kau sudah lama berada di sini?"

"Hanya disini aku bisa leluasa bersembunyi dari intaian kaki tangan dukun wanita itu. Ki Jembor itu tolol. Kepandaiannya paling lemah, dibanding anak buah Nyai Dukun Sirah yang lain..."

"Kalau begitu, mereka telah mengetahui kehadiranmu sampai kau harus dikejar-kejar?"

"Aku pernah membunuh beberapa orang anak buahnya. Kebetulan, saat mereka berjalan berdua atau seorang. Selama ini telah lima orang yang binasa di tanganku!" jelas Bidin.

"Nah! Bukankah itu menunjukkan kalau sebenarnya kau bukan pengecut?"

Bidin tersenyum lebar. "Tapi mereka kujatuhkan secara tidak jujur."

"Bagaimana caranya?"

"Aku mengendap-endap dari belakang. Kudekati salah seorang, lalu kupukul dari belakang sampai tulang lehernya patah. Dan ketika yang seorang lagi menoleh, kuhantam lagi dadanya dengan balok kayu besar sampai roboh. Atau kadang kadang ke kepala mereka kuhujamkan batu besar...," jelas Bidin.

Rangga tersenyum mendengar cerita kawan barunya. "Kenapa kau merasa itu tidak jujur? Dalam perjuangan membela kebenaran, maka segala cara yang kira-kira memungkinkan boleh dilakukan."

"Hanya sayang, tujuan semulaku bukan membela yang benar. Tapi, balas dendam karena mereka mempermainkan Marni. Mereka memperlakukan Marni sesuka hatinya. Mereka...." Bidin tidak mampu melanjutkan kata-katanya.

"Sudahlah, Sobat. Kau akan mendapat kesempatan untuk mencari Marni. Kalaupun tidak, kita telah berjuang membela yang benar...," bujuk Rangga.

Bidin tidak langsung merasa tenang. Dia masih diam, tidak menyahut. Sejurus lamanya, baru kepalanya berpaling. Wajahnya masih murung, namun menurut saja ketika Rangga mengajaknya terus berjalan mendekata tempat yang dituju.

Bekas rumah kepala desa itu dijaga ketat dan berlapis-lapis. Tujuh orang berdiri di halaman depan dengan mata tajam memandang kesekelilingnya. Masing-masing lima orang di kiri dan kanan juga ikut berjaga-jaga. Empat orang lain berada di atap rumah. Dan, tidak kurang jumlahnya yang berjaga di beranda depan.

"Bagaimana...?" tanya Bidin seraya ikut bersembunyi di balik semak-semak.

Rangga berpikir sejenak. Matanya terarah pada kandang kuda yang berada di sebelah kiri rumah itu. Wajahnya berseri, ketika melihat kuda hitamnya masih berada di tempat itu.

"Suiiit..!"

"Hiiieee...!"

Pendekar Rajawali Sakti bersuit nyaring. Serentak, kuda hitam bernama Dewa Bayu yang berada di kandang meringkik keras seraya menyentak tali kekang yang melilit di salah satu balok. Kedua kakinya terangkat tinggi. Lalu tubuhnya berbalik, dan menendang pintu kandang dengan kedua kaki belakang.

"Heh?! Apa itu...?!"

Mereka yang berada di tempat itu terkejut, segera mengalihkan perhatian ke kandang kuda.

Dewa Bayu sendiri keluar dari kandang sambil meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depannya berkali-kali. Kemudian hewan itu lari dan berputar-putar di sekitar halaman tempat ini.

Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Rangga. Tubuhnya berkelebat cepat, dan menyelinap lewat samping kanan. Lalu dia melompat ke atap, langsung melumpuhkan salah seorang penjaga tanpa menimbulkan suara yang berarti. Sementara Rangga berusaha menerobos ke dalam, Bidin memperhatikan dari tempatnya semula tanpa beranjak.

Para penjaga rumah itu, berusaha menjinakkan Dewa Bayu, namun tidak berhasil. Hewan itu malah semakin liar sambil mendengus-dengus garang. Bahkan beberapa kali menendang lewat kedua kaki belakangnya, atau juga mengangkat kedua kaki depan sambil meringkik keras.

Keributan itu menarik perhatian Ki Jembor. Dengan diikuti dua orang anak buahnya, dia bergegas keluar. Namun baru saja keluar dari pintu, sesosok tubuh pemuda berbaju rompi putih telah mencegatnya.

"Eee...!" Ki Jembor terkejut Darahnya kontan tersirap ketika mengetahui siapa orang yang menghadangnya.

"Kita bertemu lagi, Ki Jembor! Mudah-mudahan kau tidak cepat lupa padaku..!" ujar pemuda itu sambil tersenyum kecil.

"Kurang ajar! Ringkus dia...!" sentak Ki Jembor geram. Tanpa pikir panjang lagi, dia memberi perintah pada dua orang anak buahnya.

"Yeaaa!"

Srang!

Bet! Bet!

Kedua orang itu segera mencabut golok, langsung menyerang. Namun Pendekar Rajawali Sakti telah bergerak lincah menghindan serangan. Tubuhnya melejit keatas sambil berjumpalitan. Dan bersamaan dengan itu, dicengkeramnya kedua pergelangan tangan lawan-lawannya yang menggenggam golok.

Cras! Bret!

"Aaa...!"

Senjata di tangan anak buah Ki Jembor saling menyambar satu sama lain masing-masing kearah leher dan perut mereka sendiri. Tidak cukup sampai di situ. Kedua kaki pemuda berbaju rompi putih ini terus menghantam dada mereka. Kedua orang itu terjungkal roboh seraya memekik kesakitan.

Mendengar keributan itu, mereka yang berada diluar segera mengalihkan perhatian. Sementara mereka berbondong-bondong kedalam untuk melihat keadaan majikannya.

Set! Wut!

Pemuda berbaju rompi yang tidak lain Rangga alias si Pendekar Rajawali Sakti, tersenyum sinis melihat anak buah Ki Jembor menyerbu ke arah nya. Dua bilah golok yang tergeletak dilantai, dihantam dengan sebelah kaki. Seketika, golok itu melayang menyambar dua orang lawan yang berada paling depan.

Creb!

"Aaa...!"

Kedua orang itu tersungkur ke depan. Golok di genggaman mereka terpental ke arah si Pendekar Rajawali Sakti. Dan Rangga tidak menyia-nyiakannya. Kakinya kembali menghantam. Maka kedua golok itu melayang hampir bersamaan.

Crap!

"Aaakh...!"

Kembali terdengar jeritan panjang. Dua lawan lainnya kembali tersungkur dengan golok tertancap di dada.

Melihat itu, Ki Jembor tidak tinggal diam. Kemampuannya dikerahkan sekuat tenaga. Lalu dihantamnya Pendekar Rajawali Sakti dengan seluruh tenaga dalam yang dimiliki.

"Heaaa...!"

Rangga terkesiap, namun masih mampu menghindari hantaman dengan melompat kesamping dan terus bergulingan.

"Hup!"

Jder!

Sehingga pukulan Ki Jembor luput dari sasaran, dan hanya menghantam dinding hingga jebol.

"Yaaat!"

Ki Jembor langsung melompat mengejar, setelah mencabut goloknya. Dia mendesak Rangga dengan mengerahkan seluruh kemampuannya.

Bet!

Rangga melompat ke samping. Lalu tubuhnya kembali melejit ke atas saat beberapa orang anak buah Ki Jembor menyergapnya. Setelah berjumpalitan beberapa kali, Rangga mulai balas menyerang dengan satu tendangan dari belakang.

Des!

"Ugkh...!" Orang itu memekik kesakitan. Tubuhnya tersungkur ke depan. Namun begitu, Rangga berhasil merampas goloknya sebelum ikut terjatuh. Dan dengan senjata itu, ditangkisnya golok lawan yang hendak menebas lehernya dari depan serta samping kiri dan kanan.

Trang! Bret!

"Aaa...!"

Golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti langsung menyambar perut ketiga lawannya. Mereka terjungkal dengan luka menganga lebar. Rangga tidak berhenti sampai disitu. Dia terus mengamuk hebat, menghajar siapa saja yang berada di dekatnya.

Bret! Cras!

"Aaa...!"

"Kurang ajar! Kau akan mampus di tanganku, Keparat!" geram Ki Jembor geram melihat anak buahnya satu persatu dibabat Pendekar Rajawali Sakti dengan mudah.

"Huh!" Pendekar Rajawali Sakti hanya mendengus dingin.

Trang!

Golok ditangan Rangga kembali menangkis senjata Ki Jembor. Dan bersamaan dengan itu, sebelah kakinya menghantam perut Ki Jembor menghindar dengan gesit. Tubuhnya bergerak kesamping, lalu berputar. Segera dia balas menyerang sambil menyabetkan golok ke perut. Namun, Pendekar Rajawali Sakti keburu melompat keatas. Bahkan telah siap melakukan tendangan kilat kebatok kepala.

Wuuut!

"Uhhh...!" Ki Jembor cepat-cepat menjatuhkan diri, sehingga luput dari serangan. Namun begitu jantungnya sempat berdegup kencang. Wajahnya tampak pucat karena tidak mengira kalau pemuda itu mampu melakukan tendangan begitu cepat.

"Yeaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti melayang meski tendangannya luput dari sasaran, namun telapak kakinya cepat menjejak di dinding. Seketika tenaga dorongan itu digunakan untuk kembali berputar, lalu melakukan tendangan kembali saat Ki Jembor baru saja bangkit. Maka....

Des!

"Akh...!" Ki Jembor tak mampu mengelak. Pelipisnya langsung terjahar telak. Orang itu terhuyung-huyung kesamping sambil mendekap pelipis kirinya.

"Heaaa!"

Anak buah Ki Jembor tentu saja tidak membiarkan begitu saja melihat majikan mereka celaka.

Set! Set!

Tap!

Beberapa bilah golok langsung melayang ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun Rangga mampu berkelit, meski dengan susah payah karena ruangan yang sempit. Tiga bilah golok berhasil ditangkap dan dua buah kembali ke arah para pengeroyoknya. Akibatnya...

"Aaa...!"

Dua orang yang paling dekat dengan Rangga memekik setinggi langit dan ambruk dengan golok tertancap di dada.

"Hiiih!" Golok ketiga dilemparkan Pendekar Rajawali Sakti ke arah Ki Jembor sambil mendengus geram. Ki Jembor cepat menangkis gesit.

Trang!

"Yeaaa...!"

Bersamaan dengan itu, tubuh Pendekar Rajawali Sakti berkelebat kearah Ki Jembor, melakukan serangan gencar.

Trang!

Satu sambaran golok ditangan Pendekar Rajawali Sakti berhasil ditangkis Ki Jembor. Namun, pemuda itu langsung melanjutkan dengan sodokan keras lewat tendangan kaki kanan ke arah ulu hati.

Duk!

"Akh...!" Ki Jembor mengeluh tertahan. dengan wajah berkerut menahan rasa sakit hebat.

"Hup!"

Rangga cepat melompat ke atas melewati kepalanya Ki Jembor masih berusaha menghalangi dengan ayunan golok. Cepat bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti menangkis.

Plak!

Dan tiba-tiba Rangga menangkap pergelangan tangan Ki Jembor. langsung menelikungnya ke belakang. Bahkan golok ditangannya cepat bergerak mengancam leher Ki Jembor.

"Siapa yang berani maju, maka kepala majikan kalian ini menggelinding!" bentak Pendekar Rajawali Sakti mengancam anak buah Ki Jembor yang bergerak hendak mengancamnya.

Wajah Ki Jembor tampak pucat ketakutan. Keringat dingin mulai membasahi tubuh. Golok di tangan pemuda itu telah menempel di leher. Sedikit saja bergerak, maka putuslah lehernya!"

ENAM

Semua anak buah Ki Jembor terdiam. Tak seorang pun yang berani bertindak, melihat majikannya terancam.

"Perintahkan mereka untuk membuang senjatanya!" dengus Rangga, memerintah.

"Bu..., buang senjata kalian...!" teriak Ki Jembor dengan suara tercekat di tenggorokan.

"Sekarang, jawab pertanyaanku! Kau bekerja untuk Nyai Dukun Sirah, bukan?"

"I..., iya...!"

"Tahu, apa yang dilakukannya?"

"Tidak..., tidak!"

Rangga mendekatkan mata golok itu ke leher Ki Jembor. Sehingga membuat wajah Ki Jembor yang pucat, semakin putih saja.

"Eee...!" seru Ki Jembor gugup, makin gemetar.

"Aku tidak segan-segan membunuhmu. Maka, jawab pertanyaanku dengan jujur!"

"Eh! Ba..., baik..."

"Nah! Kau tahu, apa yang dilakukan majikanmu?"

"Ta..., tahu..."

Baru saja Ki Jembor menyahut, mendadak Rangga menendang golok milik Ki Jembor yang tadi terlepas dari genggaman. Senjata itu seketika melayang, melewati beberapa anak buah Ki Jembor. Dan...

Crab!

"Aaa...!"

Golok itu menancap persis di punggung salah seorang anak buah Ki Jembor yang berusaha kabur diam-diam. Orang itu tersungkur disertai pekik kesakitan. Dia tewas setelah menggelepar beberapa saat kemudian.

"Jangan coba-coba kabur dariku!" dengus Rangga sinis. Pendekar Rajawali Sakti kemudian memerintahkan mereka agar berkumpul semua di ruangan ini, dan menutup pintu rapat-rapat.

"Kalian tidak akan selamat meski keluar sekalipun. Sebab, seorang kawanku tengah meyakinkan penduduk kalau kalian tidak punya kekuasaan apa apa sejak saat ini!" lanjut Rangga.

"Kau tidak bisa menakut-nakuti kami...!" dengus salah seorang anak buah Ki Jembor.

Mendengar itu, Ki Jembor tersentak kaget. Matanya kontan mendelik garang penuh amarah. Dia khawatir, kata-kata itu akan membuat Rangga marah. Dan dengan demikian, golok yang menempel di lehernya akan... bret! Ki Jembor menelan ludah, kelakutan.

"Kadung, jangan macam-macam kau!" sentak Ki Jembor.

"Kenapa? Apakah kau takut mati, Ki Jembor? Dia tidak akan berani melakukannya. Huh! Dan memandang rendah pada Nyai Dukun Sirah. Bila hari ini dia menang, maka dalam waktu singkat anak buah Nyai Dukun Sirah akan membuat perhitungan. Dia akan mati tanpa ampun!" sahut pemuda bernama Kadung lebih berani. Sama sekali tidak dipedulikan bentakan Ki Jembor. Dia hendak membentak lebih keras, namun....

"Diam kau!" Rangga telah mendahului dengan satu bentakan keras.

Rangga memandang Kadung, lalu tersenyum kecil. "Hebat! Seharusnya kau yang pantas memimpin mereka. Bukan si tolol ini. Kau berani dan sedikit sombong. Jadi kalau aku menawan kalian, Nyai Dukun Sirah akan ke sini?"

"Huh! Dia memiliki seribu mata dan telinga!. Dia akan tahu kejadian yang menimpa anak buahnya!"

"Kapan kira-kira dia akan ke sini?"

"Untuk membereskanmu, dia tidak perlu turun tangan sendiri. Seorang anak buahnya yang lain telah cukup!"

Rangga tersenyum. Di luar, mulai terdengar suara ribut dan teriakan-teriakan bersemangat. Pendekar Rajawali Sakti mengintip dari jendela. Tampak sekitar tiga puluh orang penduduk desa ini berkumpul di halaman depan sambil mengacung-acungkan senjata apa adanya.

"Masuklah...!" sahut Rangga ketika pintu diketuk dari luar.

Bidin muncul di ambang pintu. Dan dia tersenyum sinis melihat anak buah Ki Jembor. "Aku telah berhasil mengumpulkan penduduk seperti rencanamu. Semula, mereka tidak percaya. Namun melihat bukti ini, mungkin semangat mereka akan semakin menggebu." ujar Bidin.

Rangga tersenyum, memuji dalam hati pekerjaan kawannya. "Carikan tali. Dan, bawa beberapa orang pemuda ke sini. Lalu, ikat mereka!" lanjut Rangga.

********************

"Heaaa...!"

Terdengar teriakan membahana dari kejauhan membuat para penduduk Desa Dukuh Barus terkejut. Dua orang penunggang kuda melarikan tunggangannya dengan cepat. Para penduduk cepat menyingkir. Begitu berada dihalaman depan salah seorang langsung melompat, hendak membebaskan Ki Jembor.

"Yeaaa...!"

"Hup!"

Namun, Rangga tidak membiarkannya begitu saja. Tubuhnya cepat bergerak, langsung memapak orang itu sebelum membebaskan Ki Jembor.

Plak! Plak!

"Uhhh...!" Sosok yang baru muncul itu terpental kebelakang. Namun, keseimbangan tubuhnya masih mampu diatur. Dia berdiri tegak, pada jarak lima langkah dari Rangga yang telah lebih dulu menjejakkan kakinya.

Kini Pendekar Rajawali Sakti bisa melihat jelas, siapa orang yang baru muncul. Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Rambutnya panjang tidak terurus. Kumisnya tebal. Tubuhnya besar dan kekar. Tampangnya tampak galak. Apalagi dengan sebuah gada berduri yang tergantung di pinggang.

"Heh?! Jadi kaukah yang bernama Pendekar Rajawali Sakti?!" geram orang itu seraya memelintir ujung kumisnya.

"Benar. Hm... Jadi, Ki Jembor sempat mengirim utusan untuk membawamu ke sini?" sahut Rangga sinis.

"Aku Gajah Metu! Dan kawanku Rompang Wiguna! Kisanak! Kuminta, melepaskan Ki Jembor dan yang lainnya," ujar Ki Gajah Metu.

Sementara itu orang yang bernama Rompang Wiguna segera turun dari punggung kudanya. Segera didekati Gajah Metu. Orang yang bertubuh kurus ini berwajah lonjong. Sorot matanya tajam. Sikapnya angkuh, seperti memandang rendah Pendekar Rajawali Sakti.

"Membebaskan mereka? Kisanak! Tidak perlu repot-repot. Biar nanti aku yang akan melakukannya. Pergilah kalian menghadap Nyai Dukun Sirah. Sampaikan permohonanku agar dia menghentikan sepak terjangnya yang menyengsarakan rakyat," sahut Rangga sambil tersenyum kecil.

"Huh! Kau kira semudah itu?! Aku masih memandangmu. Dan, jangan sampai kami bertindak kasar padamu!" dengus Gajah Metu geram.

Orang bernama Gajah Metu ini agaknya pemarah dan tidak sabaran. Seketika sikapnya langsung garang, dan wajahnya berkerut menahan amarah.

"Hm... Kalau begitu, biarlah aku sendiri yang akan memintanya pada Nyai Dukun Sirah," sahut Rangga enteng.

"Ha ha ha...! Kau kira Nyai Dukun Sirah akan mengabulkan keinginanmu? Dia akan memenggal kepalamu, begitu kau memperkenalkan diri!" sahut Rompang Wiguna tertawa mengejek.

"Begitukah? Hm Kukira Nyai Dukun Sirah seorang yang mau mendengar keluhan orang lain...."

"Huh, jangan mimpi! Meski kau paksa sekalipun, dia tidak sudi menuruti keinginanmu!" dengus Rompang Wiguna.

"Hm... Menurut kalian, cara apa yang harus kugunakan untuk membujuknya? Eh! Aku ada akal! Barangkali bila aku ke sana membawa kepala kalian berdua, dia tentu akan mendengarkan kata-kataku!" seru Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah berseri.

Bukan main geramnya Gajah Metu dan Rompang Wiguna mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Jelas, pemuda ini menganggap sebelah mata dan sama sekali tidak mempedulikan keberadaan mereka di sini. Gajah Metu tidak bisa menahan diri lagi. Langsung dia melompat menerjang.

"Monyet buduk! Kurobek mulutmu yang lancang itu...!"

"Hup!"

Pendekar Rajawali Sakti memiringkan sedikit tubuhnya. Sehingga, senjata Gajah Metu yang mengancam batok kepalanya luput dari sasaran. Kemudian tubuhnya berkelebat kesamping kiri. Sehingga, laki-laki berkumis melintang itu sulit menyambar tubuhnya.

Gajah Metu kemudian mengibaskan kepalan kiri untuk menghantam pinggang Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti telah melompat ke belakang untuk mengecohnya. Dan itu semakin membuat Gajah Metu geram saja.

"Jahanam! Kuremukkan tubuhmu, Setan...!" maki Gajah Metu semakin geram.

"Silakan saja, Kisanak. Jangan malu-malu!" balas Rangga.

"Kurang ajar! Hiiih!" Gajah Metu tampak semakin geram saja. Serangannya segera diperhebat, namun tidak juga mampu mendesak. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti dengan gerakan lincah dan indah mampu menghindari setiap serangannya.

"Hiiih!" Rangga mendengus dingin. Setelah membaca jurus Gajah Metu, Pendekar Rajawali Sakti mulai balas menyerang. Sambil membungkuk untuk menghindari sambaran senjata, tubuhnya menyusup ke samping seraya menyorongkan lutut kanan, persis menghantam ke perut.

Duk!

"Uhhh...!" Gajah Metu mengeluh tertahan. Tubuhnya kontan terdorong ke belakang. Belum sempat dia berbuat apa-apa, ujung kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti terus menyodok dagu.

Tak!

"Aaargkh...!" Kembali Gajah Metu mengeluh dengan suara keras. Sebuah giginya rontok. Dari mulutnya tampak menetes darah segar. Tubuh besar itu limbung ke belakang. Namun sebelum ambruk, Rangga menotoknya hingga tidak berdaya. Maka Gajah Metu ambruk seperti batang pohon besar.

"Jahanam! Lepaskan totokanmu Akan kuremukkan tubuhmu! Lepaskan!" teriak Gajah Metu geram.

Namun Rangga sama sekali tidak mempedulikannya. Dia memberi isyarat pada Bidin yang sejak tadi melongo dengan wajah takjub.

"Ikat dia...!"

"Kurang ajar! Kau kira bisa berbuat semaumu di depanku he!?" Rompang Wiguna mendengus geram.

Kaki tangan Nyai Dukun Sirah ini mencabut pedang. Langsung dia melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.

Srang!

"Yeaaa...!" Dengan suara menggelegar penuh amarah meluap, Rompang Wiguna menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Segenap kemampuannya langsung dikerahkan.

Wut! Wut!

"Hup!" Pendekar Rajawali Sakti melejit ke belakang dengan satu lompatan ringan. Lalu disambarnya sebilah golok milik anak buah Ki Jembor yang terletak di lantai beranda depan. Kemudian sebelum lawan sempat mengejarnya, Pendekar Rajawali Sakti telah kembali menyambut serangan.

"Biarlah kupergunakan golok ini. Hitung-hitung menghormatimu sebagai kawan mereka...!" kata Rangga seraya tersenyum mengejek.

"Huh! Aku tidak peduli senjata yang kau pakai! Yang jelas, hari ini kau harus mampus di tanganku!" dengus Rompang Wiguna semakin geram saja melihat tingkah.pemuda itu.

Satu sama lain bergerak gesit saling menangkis dan balas menyerang. Tidak seperti tadi, maka kali ini Rangga betul-betul mengamuk. Golok di tangannya berkali-kali mengancam, membuat Rompang Wiguna mengeluh tertahan. Tangannya kesemutan setiap kali terjadi benturan senjata. Bahkan telapak tangannya mulai terkelupas. Namun begitu, sedikit pun dia tidak mau menunjukkan kelemahannya. Pedangnya terus berkelebat memapak serangan.

"Hiiih!"

Trang!

Kali ini golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti berkelebat lebih cepat. Dan ini membuat pedang di tangan laki-laki itu terlepas dari genggaman. Rompang Wiguna cepat melompat kebelakang untuk menghindar tebasan golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

Bet! Set!

Namun, Rangga bukannya menyambar dengan golok di tangannya, melainkan melepaskan satu tendangan keras ke arah dada. Cepat-cepat Rompang Wiguna melompat ke samping kanan. Sayang, saat itulah golok ditangan Rangga melesat.

Sret!

"Uhhh...!" Rompang Wiguna melompat ke atas untuk menghindari terjangan senjata itu. Namun, tak urung pahanya terserempet. Dia mengeluh tertahan. Dan sebelum menyadari sesuatu, Pendekar Rajawali Sakti telah menerjang lewat totokannya.

Tuk! Tuk!

"Aaah...!" Rompang Wiguna kontan jatuh terjerembab, tidak mampu bangkit. Seluruh tubuhnya terasa kaku untuk digerakkan.

"Kurang ajar! Jahanam licik, lepaskan totokan ini! Kalau benar jantan, maka kau tidak akan berbuat begini. Aku masih mampu bertarung denganmu sampai seribu jurus!" bentak Rompang Wiguna geram.

"Hm.... Kalau aku mau bisa kupecahkan kepalamu! Dan bila kau katakan mampu menandingiku sampai seribu jurus, kau tidak akan terbaring di sini. Kau hanya besar mulut!" sahut Rangga, mengejek.

Rompang Wiguna terus memaki-maki. Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak mempedulikannya.

"Tolong ikat dia seperti yang lainnya!" seru Rangga pada Bidin.

Bidin bekerja cepat. Dibantu yang lain, mereka mengikat Rompang Wiguna.

"Sekarang apa yang kita lakukan?" tanya Bidin setelah menyelesaikan tugasnya.

"Menunggu Nyai Dukun Sirah...."

Bidin terdiam dengan wajah gelisah.

"Kenapa? Apakah kau ragu?"

"Rangga! Kau mungkin hebat. Tapi, Nyai Dukun Sirah tidak bisa dibuat main-main. Orang itu tak waras. Dan kau bisa celaka karena urusan ini...," ujar Bidin, lesu.

"Tidak usah khawatir. Mungkin saja dia hebat. Tapi segala kejahatan harus ditumpas. Dan kejahatan itu ada didepan mataku. Meski harus mati. aku akan merasa puas," sahut Rangga mantap.

Bidin tersenyum kecut mendengar jawaban pemuda itu. "Aku jadi merasa malu...," ujar Bidin lirih.

"Sudahlah? Tidak perlu merasa begitu. Lebih baik kita kerjakan rencana selanjutnya!"

"Eh! Bila ingin agar Nyai Dukun Sirah ke sini, kenapa tidak mengutus salah seorang dari mereka saja?"

"Bagus! Akhirnya kau punya usul juga! Tapi. tidak perlu...."

"Kenapa?"

"Nyai Dukun Sirah akan kehilangan kedua orang anak buahnya. Maka dia akan menyusulnya kesini," sahut Rangga enteng.

"Apakah kau yakin?"

"Bukankah mereka begitu yakin kalau Nyai Dukun Sirah punya seribu mata dan telinga? Dia pasti akan mendengar. Dan mungkin juga melihat...," sahut Rangga, lalu beranjak ke beranda rumah iru.

Bidin mengikuti dari belakang. "Lalu, apa rencanamu terhadap mereka?" tunjuk Bidin pada tawanan mereka.

"Panggil semua pemuda di desa ini, untuk bersiap mempertahankan desa. Kita akan menghadapi Nyai Dukun Sirah!"

"Lalu akan kita apakan mereka?"

"Apakah kau punya usul?"

"Entahlah. Yang jelas, mereka tidak akan kita biarkan berkeliaran..."

Bidin segera mengajak beberapa orang pemuda untuk membantu mempertahankan desa ini.

TUJUH

Nyai Dukun Sirah duduk di singgasananya yang terbuat dari kursi kayu besar berukir indah sambil memegang sebuah tongkat yang ujungnya terdapat tengkorak kepala manusia. Beberapa buah lonceng kecil bergantung di bawah tengkorak itu. Sehingga bila tongkat itu bergerak-gerak, maka terdengar suara gemirincing.

Wajah wanita tua itu berkerut. Sesekali dia mendengus geram. Orang-orang yang berada di depannya tidak ada yang berani bersuara. Kebanyakan dari mereka tertunduk, diam seribu bahasa.

Tolol! Goblok.! Apa kerja mereka disana, he?!" umpat Nyai Dukun Sirah geram sambil mengetuk-ngetukkan tongkat ke lantai. Sepasang mata wanita itu melotot garang. Sehingga urat-urat berwarna merah yang memenuhi biji matanya terlihat jelas.

"Laporkan padaku, apa yang kau peroleh?" tanya Nyai Dukun Sirah pada laki-laki setengah baya yang duduk bersimpuh di depan singgasananya.

"Mereka menguasai dua desa dalam waktu singkat. Orang-orang kita ditawan dan tidak berdaya. Menurut laporan, mereka akan menyerang Desa Jembrang...."

"Kurang ajar...!" maki wanita tua itu kembali seraya menghentak hentakkan tongkatnya ke lantai. Matanya semakin mendelik garang. Hela napasnya terdengar kasar, menandakan hatinya yang amat gusar karena memendam amarah.

"Nyai? Desa Pandak yang telah dikuasai mereka merupakan jalan utama menuju kadipaten. Dan kini mereka telah bersatu. Kalau kita tidak cepat menggempur mereka, maka Desa Jembrang akan kembali mereka rebut. Apa yang harus kita lakukan sekarang...?" tanya laki-laki setengah baya yang bersimpuh di depannya itu.

"Huh! Jadi semua ini karena ulah pemuda itu?! Pendekar Rajawali Sakti? Chuih! Dia belum tahu kekuasaanku, he?!"

"Ki Gajah Metu dan Ki Rompang Wiguna tidak kembali. Kuat dugaan kami, mereka gagal menjalankan tugas. Nyai harus berbuat sesuatu untuk mengatasinya..."

"Tutup mulutmu, Gendar?! Sejak kapan kau berani mengajariku?! "

Laki-laki setengah baya bernama Gendar itu langsung menunduk, setelah tersentak kaget mendengar bentakan majikannya.

"Ampuni aku, Nyai..."

"Huh! Kau semakin kurang ajar saja! Seharusnya kau kuhukum mati!"

"Ampun, Nyai...! Ampun...! Aku berjanji tidak akan berbuat seperti itu lagi...!" ratap Gendar seraya bersujud di depan kaki wanita tua itu.

"Masih untung jasamu banyak terhadapku. Sehingga, aku masih menyayangi jiwamu. Tapi sekali lagi kau berani mengguruiku tak ada ampun bagimu!"

"Aku berjanji, Nyai!" sahut Gendar cepat.

"Sudah, kembali ke tempatmu!" bentak wanita tua itu.

Gendar langsung beringsut mundur ke belakang, dan mengambil tempat duduk di barisan sebelah kiri.

"Kalian bertiga, kesini!" tunjuk Nyai Dukun Sirah.

Tiga orang segera menuju ke depan. Setelah menjura hormat, mereka duduk bersila di depan Nyai Dukun Sirah. Seorang bersenjata tombak dan bertubuh gemuk. Namanya, Bogar Seta. Yang berada di tengah adalah wanita berusia kurang dari tiga puluh delapan tahun. Dia bernama Nyai Laning. Tubuhnya kurus dan kedua pipinya cekung. Di pinggangnya terselip dua buah kapak yang biasa dipergunakan untuk menebang kayu. Orang ketiga bernama Ki Semplung. Tubuhnya kurus senjatanya berupa cambuk. Usia mereka rata-rata tidak jauh berbeda.

"Kalian tahu, apa yang telah terjadi, bukan?" tanya Nyai Dukun Sirah.

"Tahu, Nyai!"

"Bagus! Pemuda bergelar Pendekar Rajawali Sakti itu telah menghinaku. Dia menginjak-injak mukaku! Pergilah! Dan, temui dia di Desa Dukuh Barus! Penggal kepalanya, lalu persembahkan padaku!" perintah Nyai Dukun Sirah dengan nada berang.

"Beres, Nyai! Itu urusan kecil!' Bogar Seta menunjukkan jari kelingkingnya.

"Bagus! Kau ingat kata-katamu, Bogar? Bila kau kembali dengan tangan hampa, maka kepalamu yang akan menggantikannya!"

"Huh! Segala anak bau kencur mau bertingkah! Tidak usah khawatir, Nyai. Tenangkan saja hatamu. Kami akan kembali membawa kepalanya! sahut Bogar Seta, kembali meyakinkan majikannya.

"Nah! Kalau begitu, pergilah kalian sekarang! Bawa anak buah secukupnya jika kalian berhadapan dengan pasukan kadipaten!"

"Hm, kurasa hal itu tidak perlu. Kami masih mampu mengatasi mereka!' kali ini Ki Semplung yang menyahut.

"Benar, Nyai! Kami bertiga sudah cukup untuk mengatasi mereka!" tjmpal Nyai Laning.

"Aku percaya pada kalian. Pergilah sekarang!"

"Kami berangkat, Nyai!" ujar mereka serempak. Dan ketiganya segera beringsut, lalu berlalu dari ruangan ini.

********************

Seorang laki-laki gagah berpakaian panglima turun dari punggung kudanya. Memang setelah menerima laporan dari salah seorang penduduk Desa Dukuh Barus, Adipati Rapaksa memerintahkan panglimanya yang bernama Kertapati untuk menemui Pendekar Rajawali Sakti. Panglima yang dipercaya memimpin pasukan kadipaten ini memberi hormat, lalu duduk di dekat pemuda itu.

"Apa kabar, Panglima? Adakah sesuatu yang kau bawa untukku?"

"Kanjeng Adipati berkenan memenuhi keinginanmu. Beliau senang sekali mendapat bantuan darimu. Makanya hari ini aku membawa pasukan untuk menyerbu desa-desa yang dikuasai anak buah Nyai Dukun Sirah... "

"Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan junjunganmu. Lalu berapa jumlah pasukan yang kau bawa saat ini?" ucap Rangga.

"Lima puluh orang, Rangga!"

"Hm? Jumlah anak buah Nyai Dukun Sirah sekitar dua puluh lima orang. Kurasa, kita bisa menyapu bersih mereka hari ini."

"Kami akan senang sekali jika kau bersedia ikut."

"Tentu! Aku akan ikut dengan kalian. Bahkan aku punya rencana lain."

"Rencana apa, Rangga?"

"Salah seorang mata-mata yang kukirim mengatakan, dua desa lainnya yang dikuasai anak buah Nyai Dukun Sirah, yaitu Desa Gelagah dan Desa Tandon, memiliki jumlah yang sama."

"Apakah kita akan merebut dua desa itu pula?"

"Desa Gelagah tidak begitu jauh dari Desa Jembrang yang juga telah dikuasai Nyai Dukun Sirah. Desa itu sangat penting, sebab merupakan jalan termudah dan terdekat menuju ibukota kerajaan. Desa itu harus dikuasai, meski bagaimanapun caranya!" tandas Rangga.

"Aku setuju!" sahut Panglima Kertapati bersemangat.

"Rangga, aku ada pertanyaan...?" cetus Bidin.

"Ada apa, Sobat?"

"Apakah hal ini tidak terlalu berbahaya?"

"Maksudmu?"

"Kita menyerbu anak buah Nyai Dukun Sirah di desa lain. Dan sementara kita pergi, mereka akan datang lalu menguasai Desa Dukuh Barus ini!"

Namun sebelum Rangga menjawab, mendadak salah seorang penduduk desa yang berjaga-jaga dihalaman depan masuk dengan napas memburu.

"Rangga, salah seorang penduduk yang berjaga-jaga di atas pohon tinggi memberitahukan kalau kita akan kedatangan tamu," lapor orang itu setelah menjura hormat.

"Apakah mereka anak buah Nyai Dukun Sirah?"

"Mungkin."

"Berapa jumlah mereka?"

"Tiga orang."

"Tiga orang?" Panglima Kertapati tampak bingung mendengar berita itu.

"Apakah mereka tidak jadi menyerbu kita? Atau, Nyai Dukun Sirah menganggap sepele?" lanjut Bidin dengan wajah tak percaya.

"Nyai Dukun Sirah mungkin tidak menganggap sepele. Bahkan menganggap tinggi terhadap kita...," sahut Rangga disertai senyum kecil.

"Maksudmu...?" tanya Bidin dan Panglima Kertapati, nyaris bersamaan.

"Setelah kehilangan dua orang kepercayaannya, maka sudah barang tentu dia marah besar. Sehingga sampai mengirim tiga orang ini."

"Apakah kau beranggapan kalau mereka orang kepercayaan Nyai Dukun Sirah?" tanya Bidin.

"Tentu saja. Tidak mungkin Nyai Dukun Sirah mengirim utusan yang memiliki kepandaian rendah dari dua orang yang terdahulu," sahut Rangga enteng.

"Tapi, kenapa tidak dia saja yang datang sendiri?" tanya Bidin lagi.

"Entahlah. Mungkin wanita itu punya rencana lain. Sebaiknya, kita keluar. Sebab, tidak baik membiarkan tamu menunggu lebih lama," ujar Pendekar Rajawali Sakti. Setelah berkata begitu, mereka segera mengikuti Pendekar Rajawali Sakti yang beranjak ke beranda depan.

Apa yang dikatakan si pelapor tadi memangbenar. Dari kejauhan, terlihat tiga orang penunggang kuda yang melarikan tunggangannya dengan kecepatan tinggi. Sehingga, terlihat debu mengepul ke udara.

Rangga melangkah beberapa tindak ke halaman depan, diikuti Bidin serta Panglima Kertapati dan beberapa pemuda desa ini yang selalu mendampingi.

Ketiga penunggang kuda itu berhenti pada jarak tujuh langkah. Sama sekali mereka tidak bermaksud turun dari punggung kudanya.

"Siapa di antara kalian yang bernama Pendekar Rajawali Sakti?" tanya salah seorang yang berada di tengah.

Rangga memperhatikan seorang wanita yang barusan bicara sesaat. Wanita ini tampak angkuh dan betul-betul menganggap sepi kehadiran mereka di sini. Padahal, di halaman depan ini telah berkumpul lima puluh orang prajurit kadipaten dengan senjata lengkap.

"Akulah orangnya. Siapa kalian?" sahut Pendekar Rajawali Sakti.

"Orang menyebutku Nyai Laning. Dan di sebelah kananku, Bogar Seta. Sementara di sebelah kiriku, Ki Semplung. Kuperintahkan atas nama Nyai Dukun Sirah, agar kalian menyerah! Jangan sampai kami menggunakan kekerasan!"

"Kurang ajar! Perempuan lancang! Apa hakmu bicara seperti itu?!" bentak Panglima Kertapati, geram.

"Tenanglah, Panglima. Biar kuselesaikan urusan ini...," ujar Rangga menahan kemarahan panglima kadipaten ini.

Panglima Kertapati bersungut-sungut kesal mendengar kata-kata Nyai Laning yang angkuh dan takabur. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti tidak mencegahnya, ingin rasanya dia merobek mulut wanita itu.

"Nyai Laning. Permintaanmu terlalu gegabah. Dan kami sekali sekali tidak bermaksud menyerah. Sebaliknya, kaulah yang harus sadar kalau Nyai Dukun Sirah bukanlah orang baik-baik. Dia dan semua pengikutnya telah menindas rakyat. Bahkan telah menimbulkan kekacauan di daerah ini. Orang sepertinya sudah patut mendapat hukuman...," sahut Rangga tenang.

"Kurang ajar! Pemuda lancang! Jangan sok mengguruiku! Kau kira, siapa dirimu berani bicara seperti itu?!" geram Nyai Laning.

"Nisanak! Aku hanya memberi kesempatan sekali. Dan sekarang, masih ada kesempatan untuk bertobat," sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.

"Setan! Tutup mulutmu...!" bentak Nyai Laning. Begitu selesai berkata begitu, Nyai Laning melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"Heaaa!"

"Mundur...!" teriak Rangga pada orang-orang di belakangnya. Seketika Pendekar Rajawali Sakti berkelebat, memapak serangan Nyai Laning.

Plak! Plak!

Wuuut!

Tendangan Nyai Laning berhasil ditepis Rangga dengan tangan kiri. Namun, wanita itu langsung menyodok kepala lewat kepalan tangan kirinya. Rangga sedikit menunduk, sehingga pukulan itu hanya mengenai tempat kosong.

Pada saat yang bersamaan, Nyai Laning menghantam Rangga dengan pukulan bertenaga kuat dalam jarak yang amat dekat. Namun, Pendekar Rajawali Sakti telah menduga. Buru-buru tubuhnya berkelebat ke samping. Dan seketika itu pula dikerahkannya jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' untuk balas mendesak.

"Yaaat...!"

Bet! Bet!

"Uhhh...!" Untuk sesaat Nyai Laning terlihat kewalahan menghindari serangan-serangan gencar Pendekar Rajawali Sakti yang seperti melayang di udara. Nyai Laning berkelit mati-matian sambil mendengus geram. Dia melompat kebelakang untuk menyiapkan jurus baru. Namun, Rangga tidak memberi kesempatan dan terus mengejar dengan kakinya yang terus mengibas.

Wanita itu kalah sigap. Cepat tubuhnya berkelit kesamping, seraya menangkap kaki Pendekar Rajawali Sakti. Dan seketika itu pula, disentaknya kaki Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiiih!"

Pada saat Rangga mengikuti sentakan itu, Nyai Laning mengejar sambil menghantam lewat keprukan tangannya yang bertenaga dalam tinggi. Sasarannya, batok kepala pemuda itu. Cepat bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti berkelit kekanan. Langsung ditangkisnya keprukan itu.

Plak!

Belum sempat Nyai Laning berbuat sesuatu, cepat sekali tangan Rangga bergulir kebawah. Langsung dihantamnya perut wanita itu.

Des!

"Aaakh...!" Nyai Laning memekik keras. Tubuhnya terhuyung-huyung kebelakang sambil mendekap perutnya yang terasa mau meledak.

"Jahanam...!" maki wanita itu geram. Nyai Laning melotot garang. Wajahnya tampak berkerut menyeramkan. Langsung sepasang kapak yang terselip di pinggangnya dicabut.

"Minggir! Aku masih mampu meladeni keparat ini!" bentak Nyai Laning garang ketika kedua kawannya melompat dari punggung kuda dan bermaksud membantu.

"Tapi, Nyai..."

"Minggir kataku! Huh! Menghadapi kunyuk ini aku masih belum memerlukan bantuan!" potong Nyai Laning, membentak kedua kawannya yang bernama Bogar Seta dan Ki Semplung diam saja. Sementara Nyai Laning mendengus geram, lalu membuka jurus baru. Sedangkan Rangga telah bersiap menyambut serangan.

"Hiiih!" Kapak di tangan wanita itu berkelebat cepat, dibarengi tenaga dalam kuat. Rangga merasakan bahwa serangan itu sungguh hebat. Mau tak mau Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa menganggap enteng. Maka tubuhnya cepat melejit ke atas. Se-telah berputaran beberapa kali, tubuhnya kembali menerjang dengan menggunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', sebelum Nyai Laning menyerang kembali.

"Yeaaat!"

Bet!

Nyai Laning menyambut serangan dengan sabetan kedua kapaknya. Namun mendadak tubuh Pendekar Rajawali Sakti menarik serangannya. Tubuhnya langsung meliuk-liuk menghindari sabetan kapak. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti balas menyerang secara tidak terduga, lewat sepakan kaki. Dan ini membuat Nyai Laning sampai kalang kabut, menghindarinya.

Nyai Laning cepat mengibaskan kapaknya. Namun Pendekar Rajawali Sakti tiba-tiba saja berkelebat cepat, langsung menyambar ke arah tengkuk. Wanita itu mencoba menghindar, namun terlambat. Dan...

Tuk!

"Akh...!" Totokan Rangga mendarat telak ditengkuk Nyai Laning. Bukan main terkejutnya wanita itu, ketika merasakan lengan kirinya kaku dan sulit di gerakkan. Dia bermaksud menghajar dengan tangan yang sebelah lagi. Namun sebelum dilakukan, Pendekar Rajawali Sakti telah kembali menyelinap dari bawah, langsung melepaskan totokan ke arah dada kanan. Seketika itu pula, tubuh Nyai Laning melorot ambruk ke tanah.

"Kurang ajar! Apa yang kau lakukan, Keparat?! Kubunuh kau...!" teriak wanita itu memaki, berusaha melepaskan diri dari totokan.

"Bangsat pengecut! Ternyata nyalimu rendah! Kau hanya mampu memperdaya tanpa berani melawannya habis-habisan. Kali ini biar aku yang akan meremukkannya!" teriak Ki Semplung bernada geram.

Tepat ketika Ki Semplung dan Bogar Seta melompat bersamaan, Bidin dan Panglima Kertapati juga bermaksud membantu Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti memberi isyarat agar mereka tetap di tempat.

"Aku masih mampu menghadapi mereka..."

"Ya! Kau masih mampu menunggu ajalmu saat ini!" dengus Bogar Seta sambil memainkan ujung tombaknya yang bergerak menyapu tubuh Rangga. Pendekar Rajawali Sakti berkelit lincah, menggunakan jurus Sembilan Langkah Ajaib.

Ctar!

"Heh?!" Pendekar Rajawali Sakti sempat terkejut, begitu Ki Semplung mengeluarkan senjatanya. Sebuah pecut yang suaranya cukup keras. Malah nyaris saja, pecut itu menyambar wajahnya. kalau tidak sempat mengegoskan kepala. "Sial!" desis Rangga geram.

Cambuk Ki Semplung kembali menjilat angkasa, mengancam perut Rangga. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri. Baru saja Rangga bangkit berdiri, Bogar Seta telah melancarkan serangan dahsyat. Permainan tongkatnya semakin cepat, pertanda tengah mengerahkan seluruh kemampuan.

Untuk beberapa saat terlihat kalau Pendekar Rajawali Sakti hanya mampu menghindar dari setiap serangan. Dan itu membuat kedua lawannya semakin bersemangat mendesaknya habis-habisan. Tombak di tangan Bogar Seta serta cambuk dalam genggaman Ki Semplung terus mengincar kelemahan Pendekar Rajawali Sakti.

"Heaaat...!"

Rangga melompat ke belakang. Dan ketika lawan-lawannya bermaksud mengejar, dilepaskannya Pukulan Maut Paruh Rajawali. Seketika selarik cahaya merah meluruk cepat ke arah kedua anak buah Nyai Dukun Sirah. Mereka terkejut. Bogar Seta dan Ki Semplung kalang kabut melompat, menghindari hantaman pukulan jarak jauh pemuda itu. Dan pada saat itu pula, Rangga mendesak salah seorang dari mereka. Dan pilihannya jatuh pada Bogar Seta.

"Yaaat...!"

Bogar Seta terkejut melihat serangan Pendekar Rajawali Sakti yang mendadak dan cepat bukan main. Tombaknya masih sempat dikibaskan untuk menghalau kedatangan Rangga.

Wuuut!

"Uts!" Tapi Rangga cepat membungkuk dengan kedua kaki melebar, rata dengan tanah. Lalu dengan bertumpu pada kedua telapak tangan yang menempel tanah, dia melompat. Langsung dilepaskannya satu tendangan ke dada.

DELAPAN

Bogar Seta cepat melompat ke belakang. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti cepat berdiri, langsung menangkap senjata laki-laki itu.

"Heup!" Rangga menarik dengan keras. Sedangkan Bogar Seta berusaha mempertahankannya. Tarik-menarik di antara mereka tidak berlangsung lama, ketika cambuk Ki Semplung melecut kearah Pendekar Rajawali Sakti.

"Heaaa!" Rangga melipatgandakan tenaga dalamnya. Akibatnya, tubuh Bogar Seta terangkat ke atas, bahkan langsung dijadikan sasaran ujung cambuk Ki Semplung.

Ctar!

"Aaa...!" Bogar Seta kontan memekik keras. Punggungnya seketika tersengat senjata kawannya sendiri.

"Ohhh...! Bogar Seta...!" Ki Semplung terkejut. Buru-buru dihampirinya Bogar Seta dan berjongkok di sisinya.

Sementara Bogar Seta tampak menggelepar dengan wajah berkerut menahan sakit. Matanya melotot lebar. Punggungnya robek. Darah tampak menggenang ditanah. Setelah meregang nyawa, orang itu tewas beberapa saat kemudian.

"Bogar, maafkan. Aku..., aku tidak bermaksud begini?," ratap Ki Semplung.

Ki Semplung menunduk sedih, merasa bersalah. Untuk beberapa saat tak ada yang bisa dilakukannya, selain berdiam diri. Namun mendadak, tubuhnya bangkit. Di pandangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan tatapan garang.

"Kau telah membunuh kawanku! Aku akan merencah kepalamu, Keparat Busuk!" dengus Ki Semplung geram. "Heaaa!" Begitu selesai dengan kata-katanya, Ki Semplung melecutkan cambuknya.

Ctar!

Kemudian laki-laki itu melompat, menerjang Pendekar Rajawali Sakti.

"Uts!" Rangga melompat ke atas sambil menggenggam tombak Bogar Seta yang tadi berhasil dirampasnya. Tidak dipedulikannya lagi amarah Ki Semplung yang meluap-luap. Tombak ditangannya menyambar Ki Semplung yang coba mendekat.

Wuk!

Ki Semplung agaknya menyadari kalau tenaga dalam pemuda itu berada di atasnya. Sehingga dia tidak berani sembarangan melecutkan cambuk. Dan bila cambuknya berhasil ditangkis dan dililit kuat, maka Pendekar Rajawali Sakti akan menyentaknya kuat-kuat.

Tapi, Rangga bukannya tidak bisa membaca siasat Ki Semplung. Dalam kemarahannya yang meluap, tentu Ki Semplung akan membabi-buta menyerangnya dengan senjata cambuk. Namun, ternyata Ki Semplung seperti berusaha menghindari benturan kedua senjata.

Pendekar Rajawali Sakti tidak mau memberi hati. Tombak di tangannya diputar laksana baling-baling, untuk menyerang dahsyat. Meski Ki Semplung berusaha menghindar dan sesekali balas menyerang, tetap saja tidak berkutik. Tombak ditangan Pendekar Rajawali Sakti selain untuk menyerang, juga sebagai tameng.

Bet! Bet!

"Uhhh?!" Ki Semplung pontang-panting menyelamatkan diri. Dan dia berusaha menghantam dengan pukulan jarak jauh. Namun, Pendekar Rajawali Sakti mampu menghindar dengan mudah. Bahkan ujung tombaknya selalu mengincar setiap saat. Dan saat Ki Semplung tidak mampu lagi menghindar, cambuk di tangannya melecut untuk membalas serangan.

Rrrt!

Seperti yang diduga, Pendekar Rajawali Sakti menangkis dengan tombak. Sehingga cambuk itu melilit erat. Seketika Pendekar Rajawali Sakti menyentaknya.

Plas!

Ki Semplung tidak mau bertindak gegabah. Dilepaskannya cambuknya. Dan segera dihantamnya pemuda itu dengan pukulan jarak jauh disertai pengerahan seluruh tenaga dalam tingkat tinggi.

"Heaaa...!"

"Uts!" Pendekar Rajawali Sakti cepat bagai kilat melompat menghindar, membuat pukulan Ki Semplung luput. Pada saat berada di udara Rangga cepat menangkap gagang cambuk yang melayang.

Tap!

Belum sempat Ki Semplung memperbaiki kuda-kudanya, Pendekar Rajawali Sakti telah mengebutkan cambuk yang berhasil dirampas kearah dada.

Ctar!

"Aaakh...!" Ki Semplung memekik keras begitu ujung cambuk menyengat dadanya. Tubuhnya terlempar ke belakang. Bajunya robek. Dan didadanya terlihat menghitam bekas cambukan.

Pendekar Rajawali Sakti sengaja tidak melukai lawannya. Dan dengan tenang, dihampirinya Ki Semplung yang tidak berani bangkit. "Ikat dia! Dan, satukan dengan yang lain!" ujar Rangga dingin.

Serentak Bidin dan para pemuda lainnya melompat. Mereka langsung mengikat Ki Semplung yang tanpa melakukan perlawanan berarti. Namun baru saja Ki Semplung selesai diikat, mendadak terlihat berkelebat satu sosok bayangan memasuki halaman depan ini.

Tahu-tahu. di halaman telah berdiri seorang wanita tua. Tangannya memegang sebatang tongkat yang ujungnya tertancap tengkorak kepala manusia. Dan di bawah tengkorak, bergantung beberapa buah lonceng kecil yang berbunyi dengan nada beraturan.

"Nyai Dukun Sirah?!" seru Ki Semplung dan Nyai Laning, hampir bersamaan. "Celakalah kalian! Hiih!"

Raut wajah wanita tua yang ternyata Nyai Dukun Sirah seketika berubah menggiriskan. Dan tiba-tiba dia mendengus sinis, sambil mengacungkan tongkat di tangannya. Dari lobang biji mata tengkorak kepala manusia itu mendesir angin halus. Dan tahu-tahu ...

Cras! Crasss!

"Aaa..." Nyai Laning dan Ki Semplung kontan memekik setinggi langit, begitu desir angin halus menghantam mereka. Keduanya terjengkang dan tewas seketika dengan tubuh membiru. Pada leher mereka tertancap beberapa batang jarum yang amat halus bagai buluh bambu.

Perbuatan Nyai Dukun Sirah membuat yang lain terkejut. Namun, kematian dua orang itu sama sekali tidak menimbulkan penyesalan sedikit pun di wajahnya yang semakin bengis. Terlebih lagi ketika memandang kepada Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm.... Jadi kau Pendekar Rajawali Sakti...?" tanya Nyai Dukun Sirah, dingin.

"Betul," sahut Rangga seraya berkacak pinggang.

"Kau tahu? Aku Nyai Dukun Sirah! Tempat ini telah kukepung. Maka lebih baik suruh kawan-kawanmu menyerah. Dan, bebaskan anak buahku yang kalian tawan!" ujar wanita tua itu lantang.

Begitu selesai berkata-kata, seketika itu pula bermunculan anak buah Nyai Dukun Sirah dari segala penjuru mengepung tempat ini. Jumlah mereka sekitar seratus orang, siap dengan senjata di tangan.

Melihat kemunculan mereka, maka semua yang berada di sini terkejut. Sebagian dari mereka tampak ciut. Namun, Pendekar Rajawali Sakti kelihatan tenang-tenang saja.

"Nyai Dukun Sirah! Kau bermaksud mengancamku dengan menunjukkan kecoa-kecoa ini? Huh! Jangan harap! Sebaiknya, kaulah yang parut menyerah. Dosamu telah lewat takaran, Nyai!"

"Bocah keparat! Kau kira tengah bicara dengan siapa?! Huh! Akan kupecahkan batok kepalamu!" dengus Nyai Dukun Sirah.

Serentak Nyai Dukun Sirah memberi isyarat. Maka semua anak buahnya langsung berlompatan hendak menyerang. Tapi mendadak...

"Suiiit...!" Rangga bersuit nyaring bernada aneh. Seketika anak buah wanita tua itu menghentikan serangan, memandang aneh pada Rangga.

"Kragkh....!"

Semua orang yang berada di tempat ini makin terkejut, ketika tiba-tiba terdengar suara aneh yang keras menggelegar membelah angkasa. Belum sempat keterkejutan mereka hilang, mendadak terasa angin kencang laksana badai topan. Sementara dari angkasa terlihat bayangan hitam besar. Dan ketika mereka memandang keatas, makin lengkaplah keterkejutan mereka.

"Heh?! Apa itu?! Rajawali raksasa...!"

"Rajawah raksasa...!" timpal yang lain.

"Serang mereka, Putih!" ujar Pendekar Rajawali Sakti sambil menunjuk kearah anak buah Nyai Dukun Sirah.

"Khragkh...!" sahut rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu, seperti mengerti kata-kata Rangga.

Burung rajawali berukuran raksasa yang baru muncul langsung menyambar anak buah Nyai Dukun Sirah. Seketika barisan mereka jadi kocar-kacir. Beberapa orang berusaha melawan, namun kandas dan terhempas dihalau sayap Rajawali Putih. Bahkan banyak yang lari ketakutan.

Semula Bidin, Panglima Kertapati, dan yang lain-lain merasa gentar. Namun belakangan mereka baru menyadari kalau kedatangan hewan raksasa itu berada dipihak mereka. Terbuka burung itu hanya menyerang anak buah Nyai Dukun Sirah. Maka melihat itu, keberanian mereka muncul. Dan dengan dipimpin Panglima Kertapati, mereka bergerak menyerang anak buah Nyai Dukun Sirah dengan semangat menyala-nyala.

"Yeaaat...!"

Sementara itu, sepak terjang Rajawali Putih amat dahsyat. Tak heran kalau dalam waktu singkat, burung raksasa itu mampu menimbulkan korban yang cukup banyak. Dan hal ini membuat Nyai Dukun Sirah geram bukan main.

"Binatang sial! Kau boleh mampus sekarang!" desis wanita tua itu garang seraya mengacungkan tongkat ke arah Rajawali Putih.

Seketika dari mata tengkorak ditongkat Nyai Dukun Sirah. mendesir angin halus bersama benda kecil berkilatan ke arah Rajawali Putih.

"Khraaagkh...!" Rajawali Putih berteriak nyaring. Sebelah sayapnya langsung mengebut jarum-jarum beracun yang dilepaskan Nyai Dukun Sirah. Dan wanita tua itu jadi kalang kabut, ketika jarum-jarum beracunnya, malah berbalik menyerangnya. Bahkan ada yang menyerang beberapa anak buahnya yang berada di tempat ini.

"Uts! Setan...!"

"Aaa...!" Nyai Dukun Sirah menghindar. Namun anak buahnya yang terkena jarum beracun tewas seketika dengan tubuh kejang berwarna biru.

"Binatang terkutuk! Rasakan pembalasanku...!" desis wanita itu geram.

Nyai Dukun Sirah mengerahkan seluruh kekuatannya. Dan dia bersiap menghantam dengan pukulan maut yang amat diandalkannya. Apalagi disadari kalau burung rajawali amat istimewa dan bertenaga kuat. Maka dia tidak mau bertindak setengah-setengah untuk menghabisinya. Namun sebelum hal itu terjadi...

"Nyai Dukun Sirah! Akulah lawanmu?!"

Nyai Dukun Sirah segera melompat kearah datangnya suara. Dan wajahnya menggiriskan dengan mata melotot lebar kearah Pendekar Rajawali Sakti yang tadi berteriak keras.

"Kalau begitu kau boleh mampus lebih dulu!" desis Nyai Dukun Sirah garang seraya menyorongkan telapak tangan kirinya ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

Bersamaan dengan itu, melesat selarik cahaya kehitaman yang berbau busuk menimbulkan hawa pengap disekitarnya.

"Hup! Yeaaa...!" Rangga melenting tinggi ke atas. Begitu berada diudara, tangannya menghentak ke depan.

"Aji Bayu Bajra!" teriak Pendekar Rajawali Sakti.

Wueeerrr...!

Saat itu pula serangkum angin kencang laksana badai topan menderu dahsyat menyerang wanita itu. Nyai Dukun Sirah berusaha bertahan. Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya terus berkelebat bagai kilat sambil mencabut pedangnya.

Sring! "Heaaat...!"

Nyai Dukun Sirah terkesiap. Dia tidak mau mengikuti gerakan Pendekar Rajawali Sakti yang cepat bagai kilat. Bahkan yang dilihatnya hanya sekelebatan cahaya biru yang bergerak cepat menyambarnya. Dengan sebisanya, dia berusaha menangkis dengan tongkatnya.

Tes!

Betapa terkejutnya Nyai Dukun Sirah melihat tongkatnya putus jadi dua bagian. Dan belum sempat dia berbuat apa apa, pedang Pendekar Rajawali Sakti telah kembali berkelebat keperutnya.

Cras!

"Aaakh...!" Nyai Dukun Sirah memekik setinggi langit begitu perutnya tersambar pedang Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya kontan ambruk dan bergulingan untuk beberapa saat. Kemudian dia diam tidak berkutik dengan darah membajiri bumi. Sebelah tangannya masih memegang tongkatnya yang patah.

Trek!

Rangga menyarungkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Dihampirinya mayat wanita tua itu. Ada sesuatu di wajah Nyai Dukun Sirah yang menarik perhatian.nya. Kulitnya terkelupas. Agak tebal, namun lentur. Rangga mengamatinya dengan seksama, lalu memungutnya.

Sementara itu, pertarungan yang lain berjalan singkat. Anak buah Nyai Dukun Sirah menyerah, setelah mengetahui pimpinan mereka tewas. Sebagian mati dalam pertempuran. Sedangkan yang lain kabur, ketika Rajawali Putih datang.

"Mereka menyerah! Kita menang...!" seru Bidin gembira, melaporkan hal itu pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm, syukurlah..." sahut Rangga seraya memperhatikan keadaan sekelilingnya.

Pendekar Rajawali Sakti melambaikan tangan, saat Rajawali Putih membubung tinggi menembus mega.

"Apa itu?" tanya Bidin melirik benda dalam genggaman Pendekar Rajawali Sakti.

"Topeng...."

"Topeng siapa?"

Pendekar Rajawali Sakti tidak menjawab. Diberikannya topeng itu pada Bidin, yang mengamatinya dengan seksama.

"Nyai Dukun Sirah? desis Bidin kaget. Bidin segera memeriksa wajah Nyai Dukun Sirah yang tergeletak tak berdaya, kemudian memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan mulut ternganga.

"Apa artinya semua ini, Rangga? Nyai Dukun Sirah ternyata seorang laki-laki?!"

"Agaknya begitu, Sobat." sahut Rangga lirih.

"Apa maksudnya?? Apa maksudnya??" guman Bidin berkali-kali, seraya menggengam topeng itu. Di pandangnya jasad Nyai Dukun Sirah.

"Kita tidak tahu. Mungkin Nyai Dukun Sirah punya alasan sendiri. Sobat...,? desah Rangga pelan.

Bidin terdiam. Agak lama dia seperti memikirkan sesuatu, kemudian berdiri lesu. Diamatinya topeng Nyai Dukun Sirah agak lama.

"Marni..."

"Adakah hasil yang kau peroleh dari mereka...?" tanya Rangga.

Bidin menggeleng lesu. "Mereka tidak tahu soal Marni. Bahkan setelah kupaksa, mereka tetap menjawab hal yang sama. Hanya saja..." Bidin terdiam sambil menggeleng lesu. Wajahnya tampak semakin muram.

"Ada apa, Sobat?"

"Mereka mengatakan kalau Nyai Dukun Sirah selalu membutuhkan wanita setiap hari. Entah untuk apa. Tapi, setiap wanita yang dibawa ke kamarnya tidak pernah kelihatan lagi...," lanjut Bidin.

Rangga mengangguk. Dan Bidin masih terdiam lagi. Keduanya seperti memikirkan hal yang sama. "Tabahkan hatimu Sobat..." ujar Rangga lemah, seraya menepuk-nepuk pundak kawan barunya.

Bidin mengangguk lesu. "Aku tidak tahu harus berbuat apa. Tapi setelah mengetahui siapa sesungguhnya Nyai Dukun Sirah, maka berat dugaanku kalau Marni telah menjadi korban pemuas nafsu iblisnya. Keparat!" maki Bidin geram.

Sementara itu, Rangga bersuit pelan. Tak lama, kuda berbulu hitam yang tadi berada dikandang, berlari kecil menghampirinya.

"Sobat, aku pergi dulu?," ujar Pendekar Rajawali Sakti pada Bidin sebelum melompat ke punggung kuda bernama Dewa Bayu.

Bidin mengangguk lemah. "Terima kasih segala bantuan yang kau berikan, Rangga...."

"Sama-sama. Aku pun berterima kasih padamu...."

Pada saat itu, Panglima Kertapati mendekatinya dengan wajah gembira. "Rangga, kita berhasil melumpuhkan mereka! Semua ini tidak terlepas dari jasamu. Kanjeng Adipati akan senang sekali bila kau sudi berkunjung ketempatnya."

"Terima kasih. Sampaikan saja salamku untuk beliau. Dan, sampaikan pula maafku, karena aku tidak bisa berkunjung ketempatnya."

"Ah! Sayang sekali. Beliau tentu akan sangat kecewa..."

"Mudah-mudahan bila ada umur panjang, aku akan berkunjung kesana"

"Rangga... Aku atas nama beliau, akan selalu menanti. Rakyat dinegeri ini sangat berterima kasih atas segala bantuan yang kau berikan," kata Panglima Kertapati.

"Jangan berkata begitu. Kita melakukannya bersama-sama. Dan bila tanpa bantuan kalian, aku juga tidak bisa meringkus mereka," sahut Rangga, merendah.

"Ah! Rangga, bisa saja kau merendah. Tapi, ada hal yang membuat kami penasaran. Dari mana datangnya rajawali raksasa. Dan siapa pemiliknya?" tanya Panglima Kertapati.

"Rajawali raksasa? Ah, iya! Dari mana datangnya? Dan, siapa pemiliknya? Apakah kalian pernah melihat burung itu sebelumnya? sahut Rangga berlagak pilon.

"Tidak! Kami belum pernah melihat burung itu sebelumnya. Hm, tapi aku curiga!" Panglima Kertapati tersenyum-senyum dikulum.

"Curiga bagaimana...?"

"Kau tadi bersuit. Dan rajawali itu lalu datang. Maka...

Rangga tertawa kecil. "Jadi kau menduga kalau rajawali itu milikku? Itu hanya kebetulan. Sebab, saat bersuit tadi, aku berharap mereka terkejut. Lalu, dengan mudah kita menyerang. Dan ternyata, siasat itu berhasil. Tapi, aku sama sekali tidak menduga, ternyata datang bala bantuan. Entahlah... Aku sendiri masih bingung. Tapi, saat ini aku ada urusan penting yang harus kuselesaikan. Hm... Jika ada waktu, tentu saja aku senang sekali bisa menyelidiki siapa pemilik burung itu...," sahut Pendekar Rajawali.

Rangga segera mohon diri, dan berlalu dari tempat ini. Kudanya digebah kencang. Mereka hanya mampu memandang dengan wajah kagum.

Sedang Panglima Kertapati masih termangu, mencerna jawaban Pendekar Rajawali Sakti. Benarkah yang dikatakannya tadi? Panglima kadipaten itu hanya bisa menghela napas panjang.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA:
PANGERAN DARI KEGELAPAN