Istana Tulang Emas - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ISTANA TULANG EMAS

SATU

PULAU Perawan sebenarnya tidak terlalu jauh dari pantai barat Tanah Jawadwipa ini. Kalau diperkirakan, mungkin jaraknya kurang dari lima puluh tombak sebelah selatan. Namun begitu jarang sekali ada yang menginjakkan kakinya di sana. Agaknya itu tidak mengherankan, sebab pantainya hanya hutan lebat yang terdiri dari pohon bakau, api-api, sampai pepohonan besar agak jauh ke daratan. Bahkan seorang pemburu sekalipun, jarang tersesat sampai di tempat ini. Padahal pulau itu banyak didiami binatang buruan.

Sementara di Tanah Jawadwipa, seorang laki-laki berbaju hitam berusia sekitar tiga puluh tahun, tepatnya di pesisir pantai bagian barat, tampak berlari-lari menerobos semak belukar. Baju yang dikenakannya telah robek di sana-sini. Demikian pula celana yang dikenakannya. Tubuhnya telah dipenuhi goresan ranting dan duri-duri. Sebagian dari lukanya sedikit mengering. Tapi beberapa di antaranya terlihat masih baru.

Laki-laki bertubuh sedang dengan ikat kepala merah ini berhenti di dekat sebuah batu besar. Napasnya terengah-engah seperti mau putus. Beberapa saat kemudian, matanya memandang ke sekeliling tempat ini.

“Badar...!” panggil laki-laki itu dengan suara agak dipelankan.

Tidak ada sahutan. Mata laki-laki ini merayapi sekitarnya sambil mengendap-endap. Mendadak, dia melihat dua sosok tubuh tengah berjalan. Dua sosok gadis berpakaian ala kadarnya. Bagian dada dan bawah perut hanya ditutupi pakaian dari kulit binatang. Tak urung, bagian-bagian tubuhnya yang mengundang masih juga terlihat. Sehingga, membuat mata laki-laki itu kian liar menjilatinya dengan jakun turun naik.

“Astaga! Apa aku tidak salah lihat? Siapa mereka? Dewi Penunggu tempat inikah?” batin laki-laki ini.

Dengan benak dipenuhi tanda tanya, dia mulai membuat rencana. Sementara, matanya terus melotot seperti tidak berkedip, mengawasi dua gadis cantik itu.

“Mereka hanya dua orang dan bersenjata tombak. Hm... dia kalau kuringkus..., lalu yang seorang kuserahkan Ki Seta, tentu dia senang dan bersedia mengampuniku,” gumam laki-laki berbaju hitam ini.

Ketika semangatnya telah terkumpul, laki-laki itu mencelat, langsung menghadang kedua gadis yang berjalan pelan tidak jauh di depannya.

“Ha! Jangan takut dengan Kakang Kaliki, Adik-adik Manis. Aku tidak galak, kok!” ujar laki-laki yang ternyata bernama Kaliki ini.

Belum sempat gadis itu berkata-kata, Kaliki langsung menyambar tombak di tangan kedua gadis itu. Kedua gadis itu kaget. Tapi langsung menyodorkan ujung tombak ke arah Kaliki dengan kecepatan dahsyat. Dan ini di luar dugaan laki-laki ini.

“Uts!” Baru saja Kaliki melompat ke belakang menghindari sodokan tombak, gadis yang seorang lagi telah menyabetkan tombaknya. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Cras!

“Akh...! Kaliki menjerit kesakitan, begitu tombak itu menggores pinggangnya. Darah tampak langsung mengucur dari lukanya yang memanjang. Dan baru saja dia hendak melompat ke belakang, gadis-gadis yang ternyata gesit ini cepat berkelebat. Tahu-tahu saja salah satu ujung tombak mereka menempel di lehernya.

Kaliki terkesiap dan tidak bisa berkutik. Lebih-lebih, ketika ujung tombak yang satu lagi menempel di dada kiri mengancam jantungnya.

“Aku..., aku tidak bermaksud mengganggu. Percayalah,” kilah Kaliki, seraya tersenyum lebar.

Tapi, tanpa banyak bicara kedua gadis itu cepat meringkus Kaliki dengan mengikat kedua tangan dan kakinya. Lalu seperti mengangkat hewan buruan, mereka menyongketnya dengan tombak. Kemudian dibawanya laki-laki itu pergi dari tempat ini.

“Tolong...! Badar! Keluarlah kau! Tolong aku...!”

Kaliki berteriak-teriak memanggil kawannya yang diyakini berada di sekitar tempat itu Kedua gadis itu merasa terusik. Kemudian salah seorang cepat bertindak, menyumpal mulut Kaliki dengan dedaunan kering. Karuan saja, laki-laki itu berusaha berontak. Tapi, gadis itu terus memaksanya. Sehingga, Kaliki tidak berkutik dan hanya bisa menyumpah-nyumpah di hati.

Sementara itu di tempat yang tersembunyi, seorang laki-laki berusia dua puluh delapan tahun tengah memperhatikan kejadian ini. Semula dia hendak membantu. Tapi begitu melihat ketangkasan kedua gadis itu, niatnya surut. Dan dia hanya bisa memandangi kawannya yang dibawa seperti hewan buruan.

Namun begitu, hati laki-laki yang sebenarnya bernama Badar masih penasaran. Sehingga dari tempat bersembunyi, dia membuntuti dengan mengendap-endap. Sayang, dia tidak bisa terus membuntuti. Karena kedua gadis itu segera menaiki perahu kecil. Lalu, mereka mendayungnya menuju pulau diujung sana, yang masih terlihat dalam pandangan mata. Setelah merasa yakin mereka menuju pulau itu, Badar segera berlari kencang meninggalkan tempat ini.

********************

Matahari telah sejak tadi tenggelam di ufuk barat di pinggiran Desa Jember. Bulan sepotong yang muncul, sebenarnya tak kuasa menerangi mayapada ini. Namun, kegelapan itu tertolong oleh sinar-sinar obor yang ditancapkan di sudut-sudut sebuah rumah besar yang dijaga beberapa orang berpakaian serba hitam.

Di dalam ruang tengah rumah besar ini, tampak duduk di kursi berukir seorang laki-laki bertubuh gemuk dengan perutnya yang buncit seperti gentong. Kursi yang didudukinya bergoyang-goyang, karena laki-laki berusia empat puluh lima tahun itu seperti tidak bisa tenang. Tangan kanannya memegang sekerat daging. Kedua pipinya mengembung, dengan mulut mengunyah tidak berhenti. Tangan kirinya melingkar pada leher seorang wanita yang duduk dalam pangkuannya. Wanita yang selalu tertawa genit itu sesekali menggelitikinya. Sementara, di depannya duduk bersila di lantai beberapa orang bertampang sangar. Mereka ikut melahap hidangan masing-masing, sambil tertawa mengekeh.

“Diam kalian, Tolol! Kenapa malah ikut tertawa?!” bentak laki-laki gemuk itu.

Seketika, semua orang yang berada di ruangan ini terdiam dengan kepala tertunduk. Sedangkan, dengan sapuan matanya laki-laki gemuk itu menatap satu-persatu orang-orang yang ada di hadapannya.

“Pikiranku belum tenang, meski kalian adakan pesta ini untuk menghiburku! Aku menginginkan kedua keparat itu! Kalau mereka telah tertangkap, baru puas hatiku!” lanjut laki-laki gemuk ini dengan suara menggelegar.

“Tapi mereka tengah berusaha mencarinya, Ki Seta. Sebentar lagi pasti berhasil,” sahut seorang laki-laki berkumis lebat.

“Tutup mulutmu, Kaslan! Kau hanya pandai bicara saja! Sudah berapa lama, he?! Dan mana dua orang yang kau janjikan itu?!” hardik laki-laki gemuk yang dipanggil Ki Seta, geram.

Kaslan tidak bisa menjawab. Dia hanya diam dengan kepala tertunduk.

“Huh! Kalau saja tertangkap, akan kuremukkan kepala mereka berdua!” lanjut Ki Seta.

Krek!

Bersamaan dengan itu Ki Seta mengepalkan tangan kanannya erat-erat. Sehingga daging di tangan yang kini tinggal tulang, remuk dalam genggaman. Wajahnya berkerut. Jelas ini menyiratkan hatinya yang tengah marah besar.

“Kenapa kalian bisa teledor membiarkan mereka menyembunyikan harta rampasan itu?!” bentak Ki Seta.

“Maafkan kami, Ki. Tapi, bukankah mereka telah mengembalikannya...?” sahut Kaslan, kembali memberanikan diri.

“Setan! Apa kau kira itu cukup, he?! Aku inginkan kepatuhan serta kesetiaan kalian! Tak seorang pun boleh menipuku. Apalagi coba mempermainkanku!” dengus Ki Seta.

Kembali Kaslan tutup mulut. Demikian pula yang lainnya. Mereka mengerti, bila Ki Seta marah jangan coba-coba membantah. Tapi kalau pertanyaannya tidak dijawab, dia malah lebih marah. Sehingga, mereka jadi serba salah.

“Huh!” Ki Seta melirik sinis. Lalu kembali diraupnya sekerat daging sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Wanita yang tadi didekatnya kembali mengelus-elusnya, setelah terdiam dan tak tahu harus berbuat apa. Dan sebelum ada yang bersuara, tiba-tiba masuk seorang pemuda ke dalam ruangan ini dan terus berlutut.

“Maaf, Ki...!” ucap pemuda ini.

“Ada apa?!” tanya Ki Seta.

“Kami membawa Badar.”

“Apa? Bagus!” sambut Ki Seta terlonjak girang mendengar berita itu. “Bawa dia ke sini!”

“Baik, Ki!”

Pemuda itu kemudian berbalik, dan melangkah meninggalkan ruangan ini. Tak lama Ki Seta menunggu, sebentar saja dari pintu masuk ruangan ini telah muncul tiga anak buahnya yang menggiring seseorang dalam keadaan terikat. Salah seorang dari mereka mendorong hingga keras. Maka tawanan yang kedua tangannya terikat itu nyaris tersungkur di ujung kaki Ki Seta.

“Hih!” Ki Seta cepat mengangkat kaki kanan, dan menempelkannya di leher orang itu.

“Akh...! Ampun, Ki...! Ampuuun...!”

“Kau kira bisa lari dariku, Badar!” geram Ki Seta.

“Aduh! Ampun, Ki! Aku... aku sengaja datang menyerahkan diri...!” ratap laki-laki yang dipanggil Badar ini.

“Menyerahkan diri? Huh! Kau mau menghinaku? Jangan coba berdalih, bahwa kau hebat dan mereka tidak bisa menangkapmu!” dengus Ki Seta sambil menunjuk Badar.

“Benar, Ki! Aku tidak bohong. Tanyakan saja pada mereka...!” kata Badar, berusaha meyakinkan Ki Seta.

Ki Seta memandang ketiga anak buahnya yang meringkus Badar. “Benar katanya?”

“Benar, Ki! Dia mencari kami, lalu menyerahkan diri,” sahut salah seorang dari ketiga anak buah Ki Seta.

“Hm...!” Diiringi satu gumaman tak jelas, Ki Seta melepaskan satu pijakan kakinya. Tapi tawanan bernama Badar ini belum berani mengangkat kepalanya, sebelum laki-laki bertubuh gemuk itu memberi perintah.

“Terima kasih, Ki,” ujar Badar, ketika Ki Seta mengizinkannya.

“Pergilah kalian!” perintah Ki Seta, pada ketiga anak buahnya yang tadi membawa Badar.

“Baik, Ki!” Setelah menjura memberi hormat, tiga orang itu berbalik dan melangkah meninggalkan ruangan ini.

“Apa alasanmu menyerahkan diri? Kau tahu, kalau aku pasti akan memberi hukuman berat padamu?” tanya Ki Seta setelah ketiga anak buahnya lenyap di balik pintu.

“Ada berita baik, Ki,” sahut Badar.

“Berita apa? Lekas katakan!”

“Tapi, apakah setelah itu Ki Seta bersedia mengampuniku?”

“Sial kau! Aku yang menentukan, apakah kau akan kuhukum atau tidak. Dan, jangan coba-coba mengaturku!” bentak laki-laki tambun berusia seikat empat puluh lima tahun itu.

“Eh! Ba..., baiklah,” sahut Badar, gemetar.

Kemudian Badar menceritakan peristiwa yang dilihatnya tadi siang di tepi pantai, disertai tambahan bumbu agar terdengar menarik di telinga Ki Seta.

“Hei? Bagus juga ceritamu! Kau yakin pulau itu penuh emas serta wanita cantik?” tanya Ki Seta, begitu Badar selesai bercerita.

“Tentu saja, Ki! Aku melihat sendiri wanita itu mengenakan perhiasan emas di seluruh tubuhnya. Untuk apa mereka membawa Kaliki kesana? Pulau itu pasti penuh wanita serta emas. Kalau kita serbu, maka kita akan menguasai keduanya!” sahut Badar, bersemangat.

“Pintar juga kau! Tapi, tetap saja kau telah melakukan kesalahan!”

“Eh! Jadi..., jadi Ki Seta tidak memaafkan kesalahanku...?” tanya Badar dengan muka kecut.

“Kau telah menambah kesalahan lagi,” kata Ki Seta, enteng.

“Ma..., maksud Ki Seta?”

“Kaliki mereka ringkus, tapi kau tidak membantu. Bahkan malah mendiamkan saja!”

“Kalau aku membantunya, mana mungkin berita ini bisa kusampaikan pada Ki Seta. Lagi pula, keduanya memiliki kepandaian hebat, Ki!”

“Diam kau! Apa kau kira bisa menakut-nakutiku?!” sentak Ki Seta geram.

“Tentu saja tidak, Ki! Mana mungkin aku merendahkan Ki Seta! Justru aku merasa yakin, kalau dibawah pimpinan Ki Seta mereka dapat diringkus. Kita raup semua harta berharga yang mereka miliki, dan kita nikmati wanita-wanita cantik itu!” sergah Badar, bersemangat.

“Ha ha ha...! Pintar kau, Badar. Baiklah, kau kuampuni! Besok pagi, siapkan orang-orang kita. Dipimpin Ki Mangun, kau tunjukkan dimana pulau itu berada. Bawa ke sini wanita-wanita cantik dan emas serta barang berharga yang kau katakan!” ujar Ki Seta.

“Baik, Ki! Akan kukerjakan semua perintahmu dengan baik. Dan, terima kasih atas kebaikan hatimu!” ucap Badar sambil menjura hormat berkali-kali, sebelum pergi dari ruangan ini.

********************

Sementara itu, di Pulau Perawan, matahari baru saja menyinari dengan cahayanya yang lembut. Dan cahaya itu terus menerobos sebuah jendela yang terbuka lebar, dari sebuah ruangan besar dan indah. Duduk di kursi yang berukir indah, seorang wanita cantik. Sepasang matanya bulat dan jernih dengan bulu mata lentik. Sepasang alisnya tebal dan hampir bertaut. Bentuk mukanya agak lonjong dengan hidung kecil agak mancung. Bibirnya tipis, kulitnya halus-kuning langsat.

Tangan kanan wanita itu menggenggam sebuah tongkat yang ujungnya berbentuk bunga, dengan dua buah tangkai berbentuk kaki ayam jantan yang memiliki taji panjang dan tajam. Di kepalanya melingkar sebuah mahkota emas yang bertahtakan batu-batu permata beraneka warna. Pakaian yang dikenakannya sangat indah, meski pada bagian-bagian tertentu tampak tembus pandang. Penutup dada terbuat dari kain hitam bersulam emas. Demikian pula penutup bagian bawah perut.

Sementara itu tidak jauh di sebelah kiri, duduk seorang wanita tua berhidung panjang dan sedikit bengkok. Rambutnya yang panjang dan sebagian memutih, disanggul. Tampak lima buah arnel emas menghiasi sanggulnya. Sementara di sebelah kanan, duduk seorang wanita bertubuh besar. Wajahnya manis. Tapi karena jarang tersenyum, sehingga terkesan angker.

“Mimpi itu mengerikan! Seolah Istana Tulang Emas ini terbakar. Orang-orang berlarian ke sana-kemari! Ini bencana besar, Tuanku Kembang Taji...,” tutur wanita tua berhidung bengkok, yang ternyata baru mengakhiri ceritanya.

“Nenek Kampar Ilir! Kau adalah dukun terbesar di negeri ini, sekaligus orang kepercayaanku. Selama ini perkataan dan ramalanmu benar. Dan aku mempercayainya. Tapi apakah kali ini hal itu tidak berlebihan? Bencana? Dari mana datangnya bencana itu? Apakah ada rakyat yang hendak berontak padaku?” tanya wanita cantik.yang dipanggil Kembang Taji seraya tersenyum tipis.

“Kalau ada yang berani berontak dan melawan kekuasaan Tuanku, akan kuhukum orang-orang itu!” sahut wanita bertubuh besar itu sambil mendengus geram.

“Bukan pemberontakan dari dalam. Tuanku Kembang Taji...!” sahut wanita tua yang bernama Nenek Kampar Ilir.

“Lalu apa, Nek?” tanya Kembang Taji.

“Sesuatu yang datangnya dari luar!” jelas Nenek Kampar Ilir dengan suara agak tinggi.

“Dari luar apa yang kau maksudkan?”

“Sabarlah, Kijang Merah...!” sahut Nenek Kampar Ilir pada wanita bertubuh besar.

Nenek yang merupakan dukun sekaligus orang kepercayaan Kembang Taji itu kemudian terdiam. Kedua matanya terpejam. Lalu kedua telapak tangannya bertumpu pada ujung tongkat yang sejak tadi dipegangnya. Tongkat itu sendiri aneh, sebab terbuat dari kayu hitam. Seluruhnya terdapat urat-urat kayu yang memanjang. Pangkalnya berbentuk mulut seekor ular yang tengah terbuka.

“Ya! Dari luar...!” seru Nenek Kampar Ilir kemudian setelah membuka kelopak matanya kembali.

“Dari luar bagaimana yang kau maksudkan, Nek...?” desak Kembang Taji.

“Orang asing yang akan datang ke sini, Tuanku.”

“Siapa yang kau maksudkan?”

“Orang asing. Seorang laki-laki!”

“Seorang laki-laki? Tidak mungkin! Semua tahu, bahwa di Kerajaan Tulang Emas ini lelaki tidak punya kekuasaan apa pun. Tugas mereka hanya memberi keturunan pada kita. Tidak mungkin mereka membuat bencana!” bantah Kembang Taji.

“Tuanku! Hamba berkata yang sesungguhnya. Tidak lama lagi, akan datang seorang laki-laki ke tempat kita ini. Dan dari dia, bencana itu akan datang menimpa seluruh kerajaan ini,” sahut Nenek Kampar Ilir yakin.

“Kalau begitu awasi setiap penjuru pulau ini. Tangkap siapa pun orang asing yang coba-coba ingin mengacau di kerajaan ini!” perintah Kembang Taji.

“Jangan khawatir, Tuanku! Segala titah akan hamba kerjakan dengan sebaiknya!” sahut wanita gemuk bernama Kijang Merah, mantap.

“Jangan lupa! Bunuh laki-laki mana pun. Baik orang asing, maupun orang-orang kita yang coba membuat ulah!” lanjut Kembang Taji yang ternyata adalah seorang raja di Kerajaan Tulang Emas.

“Baik, Tuanku!” Setelah menyembah hormat. Kijang Merah segera beranjak dan berlalu dari ruangan ini.

“Bagaimana menurutmu, Nek? Apakah kau kira masih ada lagi bencana di kerajaan kita ini?” tanya Kembang Taji, ketika Kijang Merah sudah tak terlihat lagi.

Nenek Kampar Ilir menggeleng lemah sambil mendesah pelan. Ditariknya napas panjang, sebelum menjawab. “Maafkan hamba. Tuanku.... Sepertinya bencana itu akan tetap datang, meski apa pun yang akan kita kerjakan.”

Kembang Taji agak gusar mendengar jawaban ini. Ditatapnya wanita tua itu tajam-tajam. “Kalau begitu lakukan sesuatu! Tolak bencana itu dari kerajaan ini!” seru Kembang Taji lantang.

“Hamba akan kerjakan sebaik mungkin, Tuanku...!”

Pada saat itu juga Kijang Merah telah kembali ke ruangan ini. “Maaf, Tuanku. Hamba kembali mengganggu! Ada berita yang harus hamba sampaikan secepatnya!” ucap Kijang Merah setelah menjura hormat.

“Berita apa yang kau bawa?”

“Dua orang prajurit kita membawa seorang tawanan... laki-laki.”

“Laki-laki?!”

********************

DUA

Kembang Taji terkejut. Dipandangnya Nenek Kampar Ilir beberapa saat, lalu menatap tajam ke arah Kijang Merah. “Bawa ke sini!”

“Baik, Tuanku!” sahut Kijang Merah cepat, bergegas keluar dari ruangan ini.

Tidak ada sepuluh helaan napas, Kijang Merah telah kembali bersama seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun di bahunya. Kedua tangan dan kaki laki-laki itu terikat. Sedang mulutnya disumpal dedaunan kering. Dengan gerakan cepat. Kijang merah melemparkan laki-laki di bahunya ke hadapan junjungannya, Dan....

“Berlutut...!” hardik Kijang Merah, menggelegar.

“Hhh...!” Laki-laki tawanan itu agaknya bermaksud bangkit. Tapi wanita bertubuh tegap itu sudah lebih dulu menggerakkan tangannya yang menggenggam tombak. Dan....

Tak!

“Akh!” Telak sekali pangkal tombak itu menghantam tengkuk si tawanan, hingga mengeluh tak jelas.

“Jangan coba-coba kurang ajar! Kau berada di Istana Tulang Emas. Berlututlah pada ratu kami!” desis Kijang Merah geram, memerintahkan.

Dengan bersungut-sungut tawanan itu berlutut Tapi Kijang merah yang keburu marah langsung menekan tombaknya ke tengkuk. Sehingga, tawanan itu jadi bersikap sujud persis di dekat kaki Kembang Taji.

“Bangunlah,” ujar Kembang Taji.

“Ohhh.”

Wanita cantik itu memberi isyarat agar salah seorang anak buahnya membuang sumpal yang menutupi mulut tawanan ini.

“Puih!” Baru saja sumpal mulut itu dibuka, tawanan itu meludah ke lantai. Dan akibatnya....

Des!

“Aaakh...!”

Kijang Merah tidak tanggung-tanggung, langsung menghajar tawanan sampai jungkir balik. Begitu tubuh tawanan ini terjungkal ke samping, maka dua orang pengawal yang berada di dekatnya kembali menghajar dengan tendangan-tendangan telak.

Duk! Digh!

“Aaah...!” Tawanan itu kembali memekik kesakitan, dengan tubuh terpental balik.

“Jangan kurang ajar di hadapan ratu kami! Jaga kesopananmu! Atau, kau akan mampus sekarang juga!” hardik Kijang Merah.

“Oh....” Tawanan itu mengeluh kesakitan ketika bangkit kembali dengan susah payah, karena kedua kaki dan tangannya terikat.

“Siapa namamu?” tanya Kembang Taji datar.

“Kaliki,” sahut tawanan, yang ternyata Kaliki.

“Kaliki? Dari mana asalmu?”

“Pulau Jawadwipa. Tapi, aku ditangkap di Hutan Damar Setan.”

“Di mana hutan itu?” tanya Kembang Taji dengan dahi berkerut.

“Seberang pulau ini lalu ke utara. Di sanalah hutan itu,” jelas Kaliki.

“Oh..., kami menyebutnya Hutan Mati. Tapi tidak ada kehidupan di situ, sebab para prajuritku sering berburu sampai ke sana selama puluhan tahun. Dan kami tidak pernah menjumpai kehidupan seorang pun. Katakan yang benar, dari mana asalmu?!”

“Sebenarnya aku lari dari kawan-kawanku. Mereka hendak membunuhku. Lalu kami sampai di pinggiran hutan sebelah utara,” sahut Kaliki, kembali menjelaskan.

“Kau sendiri atau berdua?”

“Berdua.”

“Kemana kawanmu yang seorang lagi?” desak Kembang Taji.

“Entahlah.... Kami berpencar karena kawan-kawanku yang lain terus mengejar untuk membunuh kami.”

“Siapa pemimpinmu di sana?”

“Orangnya gemuk dan besar. Dia amat kejam. Kami memanggilnya Ki Seta,” sahut Kaliki jujur.

Kembang Taji terdiam beberapa saat, seraya memperhatikan tawanan itu. Caranya bertutur, dan nama-nama yang disebutkannya berbeda dengan keadaan mereka disini. Sehingga, dia yakin kalau laki-laki ini adalah orang asing.

“Nenek Kampar Ilir! Inikah laki-laki asing yang kau katakan tadi akan membuat bencana bagi kita?” tanya Kembang Taji seraya menoleh kepada wanita tua bermuka buruk itu.

“Ya! Dialah penyebab bencana itu, Tuanku! Meski Tuanku memberinya hukuman mati, namun segalanya telah terlambat. Hamba yakin kawannya yang seorang lagi akan kembali bersama kawan-kawannya, kemudian bencana itu akan dimulai,” sahut Nenek Kampar Ilir dengan suara lantang dan bola mata mendelik tajam kepada Kaliki.

“Kalau begitu, dia memang tidak berguna!” ujar Kembang Taji, dingin.

“Oh.... Apa maksud kalian...?!” tanya Kaliki terperangah memandang wanita tua itu dan Kembang Taji bergantian.

“Artinya kau harus menjalani hukuman mati!” desis Kijang Merah.

“Oh, tidak! Tidaaak...!” teriak Kaliki.

Laki-laki itu berontak, berusaha melepaskan diri dari ikatan di kedua tangan dan kakinya. Tapi dengan sigap dua orang pengawal langsung meringkus dan membawanya keluar dari tempat itu. Masih sempat terdengar teriakannya yang panjang, namun sesaat kemudian terhenti. Kedua pengawal itu mengetahui kalau ratu mereka tidak suka keributan. Maka salah seorang kembali menyumpal mulut Kaliki!

********************

Hutan Damar Setan bukanlah hutan biasa. Selama ini, mereka mengetahui kalau semakin masuk ke dalam wilayah utara, maka segala binatang buas akan mereka temui. Biasanya hewan siang yang ditakuti manusia. Sehingga tidak heran bila ada orang yang memasukinya, harus bergerak malam hari. Dengan demikian hewan buas yang berkeliaran di siang hari tidak akan berani mengganggu mereka.

“Apakah aku harus selalu jalan di depan...?” keluh seorang laki-laki sambil berkali-kali menoleh kebelakang.

“Tidak usah membantah, Badar!” dengus laki-laki berbadan besar.

Memang, mereka adalah rombongan anak buah Ki Seta yang hendak menuju Pulau Perawan yang merupakan letak dari Istana Tulang Emas. Menurut Badar yang menjadi penunjuk jalan, di pulau itu banyak terdapat emas berlian dan wanita-wanita cantik.

Jumlah mereka sekitar lima puluh orang dengan dua buah senjata di tangan masing-masing. Sedangkan sebagian lagi membawa obor sebagai penerangan.

Sementara itu, laki-laki yang bernama Badar bersungut-sungut kesal. Pikirannya mulai bercabang merasakan keadaan ini. Ki Seta memang mengampuninya. Tapi, sikapnya tetap sinis. Dia sama sekali tidak dihargai, meski telah menceritakan hal yang menarik hati. Dan kini laki-laki berbadan besar yang bernama Ki Mangun seenaknya saja membentak dan menghardiknya sejak tadi.

Saat ini Badar malah memikirkan, bagaimana caranya bisa kabur dari mereka. Soalnya kalau mereka berhasil mencapai pulau itu, dan ternyata di sana tidak ada emas seperti yang diceritakannya, maka habislah riwayatnya. Ki Seta yang kali ini diwakili Ki Mangun, pasti akan menebas lehernya!

“Berapa lama lagi kita akan sampai?” tanya Ki Mangun.

“Eh, apa? Oh, tidak lama lagi! Sebentar lagi kita sampai,” sahut Badar.

“Jangan main-main kau, Badar! Sudah berapa lama kita berjalan? Sudah mau patah kakiku ini!” bentak Ki Mangun.

“Tidak lama lagi, Ki! Apakah kau tidak merasakan angin laut? Itu berarti kita akan sampai,” sahut Badar, berusaha meyakinkan.

Apa yang dikatakan Badar memang benar. Tidak berapa lama, mereka tiba di tepi pantai. Tempat ini memang sangat asing bagi mereka, sebab tidak seorang pun yang pernah ke sini.

“Itukah pulau yang kau maksud?” tanya Ki Mangun, menunjuk ke utara.

Badar mengangguk.

“Kelihatannya tidak seberapa jauh. Tapi kita harus membuat rakit untuk tiba di sana.”

“Mereka sudah letih. Sebaiknya, kita istirahat sambil menyantap bekal yang dibawa. Baru setelah itu, kita buat rakit untuk menyeberang kesana. Kita serang mereka menjelang dini hari,” usul Badar.

“Ya, usul yang baik. Baiklah! Kita istirahat sambil mengamati keadaan di tempat ini. Tapi harus waspada! Beberapa orang mesti berjaga,” sahut Ki Mangun. Namun baru saja mereka akan membuka bekal untuk bersantap....

“Aaa...!” Tiba-tiba terdengar jerit kesakitan dari salah seorang. Serentak mereka terkejut dan menoleh ke arah jerit tadi.

“Heh?!”

“Kurang ajar...!”

Ternyata seekor ular sebesar lengan membelit kaki salah satu anggota rombongan. Orang itu terus berteriak kesakitan, dan berusaha melepaskan diri. Tapi percuma saja. Sebab bisa ular itu bekerja amat cepat. Dalam waktu singkat, orang itu ambruk dan tewas seketika dengan tubuh membiru.

Sementara orang-orang yang berada di dekat si korban baru tersadar setelah melihat orang itu tewas. Salah seorang menggeram, dan segera mencabut golok untuk menebas ular itu. Tapi belum lagi hal itu dilakukannya....

“Aaa...!” Mendadak kembali terdengar jeritan yang saling susul.

Dua orang tampak ambruk dipatuk ular-ular kecil yang amat berbisa. Mereka langsung tewas dengan tubuh membiru. Hal ini menimbulkan kekalutan di antara mereka.

“Tenang! Kalian harus tenang dan selalu waspada. Jangan sampai kecerobohan seperti tadi terulang lagi!” teriak Ki Mangun lantang.

Tapi dalam keadaan itu tidak seorang pun yang mau mendengar kata-katanya. Mereka sibuk menyelamatkan diri sendiri. Dan setiap mata selalu melihat ke bawah, serta berkumpul di satu tempat terbuka yang jauh dari semak-semak serta ranting-ranting pohon.

“Auuung...!”

“Heh?!”

“Lolongan serigala? Sial! Kita terjepit di tempat ini!” seru salah seorang anggota rombongan terkejut mendengar lolongan itu.

“Jangan kalut! Kita harus bisa menguasai diri!” teriak Ki Mangun berulang-ulang.

Namun mereka sudah tidak mempedulikan lagi teriakan Ki Mangun. Mereka mulai gelisah membayangkan nasib buruk yang akan menimpa.

“Auuung...!”

Kembali terdengar lolongan serigala bersahut-sahutan, dan terasa amat dekat. Kegelisahan semakin mencekam. Dan kantuk serta lelah yang tadi mulai dirasakan, tiba-tiba saja sirna. Berganti ketakutan yang semakin memuncak!

“Grrr...!”

“Oh!” Hampir saja salah seorang dari mereka melompat kaget ketika terdengar raungan di dekatnya. Ketika dia melihat ke arah sumber suara, tampak sepasang mata nyalang memandangnya dari kegelapan. Ketika pandangannya dipertegas maka terlihat beberapa pasang mata lagi yang mengawasi.

“Kawanan serigala!” seru orang itu penuh ketakutan.

“Celaka! Kita terkepung. Serigala-serigala itu telah menutup semua jalan keluar. Tidak ada jalan lain. Kita harus menghalau mereka atau lari menyeberangi pantai ini!” teriak salah seorang, mulai resah.

Tapi sebelum mereka memikirkan cara untuk menyelamatkan diri, dua ekor serigala melompat menerkam disertai raungan keras.

“Graungrrr...!”

Tindakan itu seketika diikuti serigala-serigala yang lainnya. Hingga dalam waktu singkat, terjadi kehebohan. Tiga orang dari mereka tewas diterkam kawanan serigala yang berjumlah lebih dari dua puluh lima ekor. Sementara lainnya masih sempat mencabut senjata dan berusaha menghalau serangan.

“Hus! Hus...!”

Bret!

“Graungr...!”

Beberapa ekor serigala pun mati tertebas senjata. Bau darah manusia bercampur bau darah hewan buas itu langsung menyeruak menusuk hidung. Dan itu semakin membuat kawanan serigala bernafsu menerkam mangsanya. Mereka semakin liar dan buas. Binatang-binatang itu menerkam, lalu merobek-robek mangsanya tanpa kenal ampun sampai tidak berbentuk lagi.

Semangat kawanan serigala itu membuat nyali mereka ciut. Sementara Ki Mangun mengajak anak buahnya untuk mundur lewat jalan pantai, setelah korban dipihak mereka semakin banyak berjatuhan.

“Ayo cepat! Kawanan serigala itu tidak akan berani menyerang di dalam air!” teriak Ki Mangun lantang.

Pada mulanya kawanan serigala itu masih juga mengejar. Padahal Ki Mangun dan anak buahnya terus mundur sampai air laut telah setinggi perut. Tapi karena merasa tidak bisa berbuat banyak, akhirnya satu-persatu kawanan serigala itu berkumpul. Namun begitu, mereka masih juga menyusuri pantai mengikuti mangsanya yang berusaha kabur.

********************

“Apa?!” Ki Seta sampai terlonjak berdiri dari kursinya, begitu menerima laporan dari salah seorang anak buahnya tentang kegagalan mereka dalam menjarah ke Pulau Perawan. Sepasang mata laki-laki bertubuh besar ini melotot lebar. Gerahamnya saling berkerotokan. Dilemparkannya buah-buah yang berada dalam cengkeraman tangannya penuh kegeraman.

Sementara itu, beberapa anak buah Ki Seta yang berada di ruangan ini hanya duduk bersila dengan kepala tertunduk. Tidak ada seorang pun yang berani mengangkat wajahnya. Tampang mereka lusuh dengan tubuh berkeringat serta bau darah dari luka-luka cakar yang diderita. Baju-baju yang dikenakan robek di sana-sini tidak karuan.

“Mangun, sini kau!”

Orang yang dipanggil Mangun bangkit berdiri. Segera dihampirinya Ki Seta dengan kepala tertunduk.

“Iya, Ki....”

Saat itu juga Ki Seta melayangkan tamparan keras ke wajah Ki Mangun.

Plaaak!

“Akh!” Telak sekali tangan kanan Ki Seta mendarat di pipi Ki Mangun. Seketika laki-laki bertubuh besar itu mengeluh tertahan dan sedikit terhuyung-huyung ke kanan. Pipi kirinya terasa kebas dan gigi-giginya seperti mau tanggal.

“Kau kupercaya ke sana bukan untuk melaporkan kegagalan, Setan! Tapi apa yang kau bawa? Lima puluh orang kupercaya di bawah pimpinanmu. Dan sekarang, yang kembali kurang dari dua puluh lima! Dimana otakmu?! Apakah hanya dengan kawanan serigala kau takut, lalu mesti kalah?!” bentak Ki Seta. Mata Ki Seta melotot lebar, seperti hendak keluar dari sarangnya ketika mukanya didekatkan pada Ki Mangun.

“Tapi, Ki.... Jumlah mereka banyak. Dan kawanan serigala itu liar serta....” Belum habis kata-kata Ki Mangun, tangan Ki Seta sudah melayang kembali. Dan....

Plaaak!

“Aku tidak suruh kau menjawab. Tolol!” bentak Ki Seta garang.

Sementara Ki Mangun hanya mengeluh tertahan. Kembali tubuhnya terhuyung-huyung sambil mengelus-elus pipinya yang sakit. Namun begitu, kembali dia menghadap Ki Seta seraya mengusap darah yang menetes dari bibirnya yang pecah.

“Aku tidak sudi mendengar kalau anak buahku dikalahkan, apalagi hanya dengan hewan!” lanjut Ki Seta menggeram.

Kali ini Ki Mangun tidak menjawab.

“Kau dengar ini, Mangun?!”

“De..., dengar, Ki...!”

“Lalu kenapa kau lakukan?!”

“Aku..., aku mengaku salah, Ki. Aku janji pasti tidak akan terulang lagi!” sahut Ki Mangun, mantap.

“Kalau terulang?”

“Ki Seta boleh memberi hukuman padaku!”

“Kau sendiri yang berkata begitu, bukan? Aku akan menghukummu dengan hukuman paling berat, yaitu memancung kepalamu. Lalu, kuserahkan pada kawanan serigala itu agar mereka mencincangnya!”

Ki Mangun bergidik ngeri membayangkan hukuman yang akan dijatuhkan Ki Seta.

“Kau dengar itu?!” hardik Ki Seta.

“De... dengar, Ki!”

“Bagus! Karena si Badar mampus juga, maka kau yang akan kutunjuk untuk memimpin perjalanan ke sana!”

“Maksud Ki Seta, kami..., kami akan ke sana lagi?” tanya Ki Mangun, seperti ingin menegaskan.

“Tentu saja, Goblok! Semua keinginanku harus terpenuhi, apa pun tantangannya!”

“Eh! Ba..., baik, Ki. Tapi....”

“Tapi apa?!”

“Jalan kesana cukup jauh. Dan lagi, kita harus memiliki perahu untuk sampai ke pulau itu. Jangan sampai kejadian yang menimpa kami terulang lagi....”

“Tentu saja aku telah memikirkan hal itu, Tolol!”

“Maksud Ki Seta...?”

“Aku akan meminta bantuan saudaraku yang menguasai laut di sebelah barat sana!”

“Ki Jalidar?”

“Ya! Jalidar alias si Hiu Perak. Dia gembong perampok yang menguasai daerah barat sana. Anak buahnya cukup banyak. Aku akan minta bantuannya untuk menyerang pulau itu dan menguasainya.”

“Itu usul yang bagus, Ki!” seru Ki Mangun girang.

“Tentu saja, Goblok!”

Ki Mangun mengkeret mendengar semprotan itu. Bibirnya yang mulai menyungging senyum, kembali terlipat lagi dengan kepala tertunduk.

“Sebagian hukuman, kau beserta semua anak buahku ikut kembali ke sana! Kalian akan dipimpin Muwangkoro beserta anak buahnya sebagai tambahan!” lanjut Ki Seta.

“Baik, Ki,” sahut Ki Mangun lesu.

Orang yang bernama Ki Muwangkoro adalah orang kepercayaan Ki Seta. Badannya besar. Tampangnya seram, serta jarang tersenyum. Senjatanya adalah sepasang kapak besar yang terselip di pinggang kiri dan kanan.

“Muwangkoro, ke sini kau!”

Ki Muwangkoro yang sejak tadi berada di ruangan itu segera menghampiri Ki Seta seraya menjura hormat.

“Kau dengar tadi?”

“Dengar, Ki!”

“Pergilah sekarang juga ke pantai barat. Temui si Hiu Perak! Katakan padanya aku butuh bantuan. Dan, ajaklah dia ke pulau itu!”

“Baik, Ki!” sahut Ki Muwangkoro.

********************

TIGA

Kedatangan anak buah Ki Seta yang bernama Ki Muwangkoro disambut oleh Ki Jalidar yang berjuluk si Hiu Perak penuh rasa gembira. Laki-laki berbadan besar dengan usia sekitar empat puluh tahun itu memang kawan lama Ki Seta. Dia malang-melintang di lautan. Dan selama ini, dikenal sebagai perampok yang ditakuti. Kedua kakinya buntung sebatas lutut dan disambung kaki besi yang berujung runcing.

Namun begitu, tetap saja tidak ada yang berani coba-coba untuk melawannya. Anak buahnya yang berjumlah sekitar seratus orang sangat patuh dan takut padanya. Si Hiu Perak memang memerintah anak buahnya dengan tangan besi. Dia tidak segan-segan membunuh anak buahnya yang bersalah!

Mendengar keinginan sobatnya yang meminta bantuan untuk menaklukkan sebuah pulau yang berada di sebelah timur dari tempatnya, si Hiu Perak begitu gembira. Tapi sebenarnya yang membuatnya gembira adalah membayangkan sebuah pulau berisi harta benda berlimpah serta wanita-wanita cantik di dalamnya.

Maka tanpa buang-buang waktu lagi, Ki Jalidar segera memberi perintah pada anak buahnya untuk menyiapkan sebuah perahu besar yang cukup menampung sekian banyak orang. Juga disiapkannya sekitar lima puluh anak buahnya. Sedang rombongan Ki Muwangkoro sebanyak lima puluh orang pula. Sehingga jumlah mereka seratus orang.

“Untuk apa mengerahkan orang-orang kita sebanyak itu, Ki? Kita hanya akan merebut sebuah pulau yang tidak seberapa besar. Dan lagi, belum diketahui kekuatannya. Siapa tahu di sana hanya ada dua atau tiga keluarga!” ujar seorang anak buah Ki Jalidar, ketika Ki Muwangkoro dan anak buahnya tengah beristirahat sambil bersantap di ruangan lain.

Ki Jalidar tersenyum mendengarnya. “Apakah kau kira aku akan sia-sia menyertakanmu didalamnya, Gagas Kelana?”

“Aku belum mengerti, Ki,” sahut laki-laki yang dipanggil Gagas Kelana.

Gagas Kelana memang tangan kanan Ki Jalidar yang amat dipercaya. Bukan saja karena kesaktian dan ilmu olah kanuragannya yang hebat, tetapi juga karena cerdas dan cepat tanggap dalam keadaan apa pun. Padahal, usianya masih tergolong muda. Baru dua puluh enam tahun.

Si Hiu Perak yang saat ini tengah mengawasi persiapan anak buahnya, memandang tajam ke sekelilingnya. Dan dia hanya ditemani Gagas Kelana. Melihat gelagat itu Gagas Kelana menyadari kalau Ki Jalidar ini hendak bicara hal yang rahasia.

“Bila keterangan itu benar, maka aku tidak akan sudi membaginya dengan orang lain!” bisik si Hiu Perak.

“Akan kita kuasai, Ki?!” tanya Gagas Kelana, menuntut jawaban.

“Ya!”

“Tapi..., bukankah Ki Seta kawan dekatmu?”

“He he he...! Dia memang kawan dekatku. Tapi harta dan wanita tidak mengenal kawan. Dia pun akan berpikir begitu kalau jadi aku.”

“Lalu, bagaimana dengan anak buahnya?”

“Apakan kau tidak bisa berpikir, untuk apa kuperintahkan kau membawa anak buah sebanyak itu?” Ki Jalidar malah balik bertanya.

“Kami harus membinasakan mereka, kalau ternyata cerita itu benar terbukti?” tanya Gagas Kelana minta kepastian.

“Kau makin pintar. Gagas!” puji Ki Jalidar sambil ketawa terkekeh.

Dipuji begitu, hidung Gagas Kelana jadi kembang-kempis sambil mesem-mesem.

“Tapi, Ki.... Berarti kita menciptakan permusuhan dengan Ki Seta!” kata pemuda ini dengan wajah sungguh-sungguh ketika hal itu terlintas dalam benaknya.

“Binasakan mereka jangan sampai ada yang lolos. Terserahmu, bagaimana caranya! Kalau di darat mereka boleh hebat Tapi jika di laut kalian sampai kalah, maka tidak usah kembali. Sebab, aku tidak akan segan-segan memancung kalian!” dengus Ki Jalidar, keras.

Gagas Kelana bergidik ngeri membayangkan ancaman pimpinannya itu.

“Kalau pun ada sempat yang lolos, tidak mengapa. Kita tunggu, apakah si Seta berani macam-macam denganku. Kalau dia punya nyali dan datang ke sini, maka kita habisi sekalian!” lanjut si Hiu Perak.

“Kalau begitu perintahmu, maka akan kukerjakan sebaik mungkin dan serapi mungkin.”

“Harus begitu! Sebab kalau tidak, maka akan kupancung leher kalian!”

Gagas Kelana sebenarnya sering mendengar ancaman seperti itu. Tapi tetap saja hatinya bergidik ngeri, setiap kali mendengarnya. Tubuhnya gemetar dan panas dingin. Seolah-olah hukuman itu benar-benar telah dijatuhkan padanya. Memang sukar dipercaya, Gagas Kelana yang selalu galak dan kasar, di hadapan Ki Jalidar betul-betul bertekuk lutut. Dan memang dia tahu bahwa si Hiu Perak tidak pernah main-main dengan kata-katanya. Sekali berkata hitam, maka akan tetap hitam.

“Nah, pergilah kau! Temani mereka. Dan jangan sampai membuat mereka curiga. Kerjakan serapi mungkin!” ujar Ki Jalidar.

“Baik, Ki!” sahut Gagas Kelana. Pemuda itu segera menjura hormat, dan berlalu.

Si Hiu Perak memperhatikannya. Bibirnya menyungging senyum sambil mengusap-usap dagunya.

********************

Kembang Taji bangkit perlahan-lahan mendekati jendela. Dari situ matanya menatap kosong pada pohon rimbun yang bercampur kembang di kebun istananya. Wajahnya yang cantik kelihatan gelisah. Beberapa kali dia menarik napas panjang.

“Sudahlah, Tuanku. Tidak ada yang perlu digelisahkan. Hamba akan menjaga istana ini sebaik mungkin. Semua prajurit kita siap mempertahankan serangan dari luar,” hibur Kijang Merah.

Meski suaranya berusaha dilembutkan, tetap saja yang keluar adalah suara serak yang kaku. Kijang Merah memang tidak biasa berhalus-halus kata. Wanita satu ini selalu tegas, dan tidak mau bertele-tele. Sehingga tidak heran kalau Kembang Taji mempercayakan jabatan panglima perang utama kepadanya.

“Yang terjadi akan terjadi. Dan tidak perlu dirisaukan, Tuanku...!” tambah Nenek Kampar Ilir. Tapi suaranya mirip gumaman orang yang putus asa. Dan itu membuat perasaan Kembang Taji semakin gelisah saja.

Sebenarnya Kijang Merah tidak menyukai sikap seperti itu. Tapi tidak ada alasan baginya untuk menyangkal kata-kata Nenek Kampar Ilir. Karena selama ini, apa yang keluar dari mulut perempuan tua itu selalu dipercaya. Bukan saja oleh ratu mereka, tapi juga seluruh rakyat di negeri ini. Dan kalau saja dia berani membantah, meski niatnya baik untuk membuat Kembang Taji tidak gelisah dan cemas, bukan tidak mungkin akan dikatakan pembangkang. Dan hukuman pembangkang di negeri ini cukup berat!

“Aku ingin tidur dulu...!” ujar Kembang Taji.

“Oh! Hamba akan memeriksa keamanan Tuanku sekali lagi!” ujar Kijang Merah.

“Bukankah keamanan yang kau siapkan telah berjalan baik?” tanya wanita cantik itu.

“Hamba ingin meyakinkan, bahwa segala sesuatunya belaian baik!” sahut Kijang Merah.

“Baiklah,” sahut Kembang Taji.

Wanita itu melangkah ke kamarnya. Dan Kijang Merah mengikuti dari belakang. Sementara, Nenek Kampar Ilir mengikuti keduanya dengan pandangan matanya.

“Tuanku, maafkan hamba,” ujar Kijang Merah, setelah mereka hilang dari pandangan Nenek Kampar Ilir.

“Hm, ada apa?”

Kijang Merah menutup pintu kamar, lalu menarik napas panjang. “Tuanku tidak perlu khawatir dan cemas. Hamba bukan bermaksud membangkang. Tapi, sekadar menenangkan hati Tuanku. Tidak perlu seluruh keterangan Nenek Kampar Ilir didengar....”

“Kijang Merah! Kau tahu apa artinya itu? Dia dukun ampuh dan terpercaya yang diangkat Guru Suci serta Guru-guru Tua, sebagai penasihatku. Semua yang dikatakannya selalu terbukti. Dan telah menjadi ketentuan bahwa kita tidak boleh membantahnya!” sahut Kembang Taji, sedikit marah.

“Ampun atas kelancangan hamba, Tuanku! Kalau hamba bersalah, memang pantas menerima hukuman. Tapi, percayalah.... Seluruh jiwa raga hamba dipersembahkan bagi negeri ini. Dan kesetiaan hamba selalu untuk Tuanku! Tidak ada niat di hati hamba untuk menghasut...!” ucap Kijang Merah, sedikit lantang.

“Lalu, apa maksudmu?”

“Maksud hamba, Tuanku tidak perlu terlalu gelisah terhadap bencana yang dikatakan Nenek Kampar Ilir. Hamba telah menyiapkan segalanya bagi keselamatan Tuanku!”

Kembang Taji terdiam. Dipandanginya Kijang Merah sejurus lamanya. Kemudian wanita berwajah cantik itu menghela napas pendek.

“Aku yakin akan kesetiaanmu, Kijang Merah. Dan itulah yang membuatku yakin bahwa kau bukanlah sebagai pembangkang. Aku juga percaya kesigapan serta rencana-rencanamu bagi keselamatanku. Tapi, tahukah kau apa yang kupikirkan saat ini?”

Kijang Merah terdiam. Ditunggunya Kembang Taji untuk meneruskan kata-katanya.

“Sekian ratus tahun kita hidup tenang di negeri ini dan jauh dari keramaian dunia luar. Aku sendiri tidak tahu, bagaimana kehidupan di dunia luar sana. Dan kita semua sepakat untuk tidak mau mengetahuinya. Kita cukup aman dan tenteram di sini. Lagi pula menurut cerita Guru Suci, di dunia luar sana penuh kekejaman dan segala bentuk kejahatan. Terutama, kejahatan yang dilakukan oleh para laki-laki. Tapi..., segalanya kini mulai terganggu.”

Keduanya terdiam. Kata-kata sang Ratu cukup meresap di hati, membuat Kijang Merah trenyuh. Dirasakannya bentuk kegelisahan Kembang Taji yang mendalam.

“Negeri ini dilanda bencana. Dan kehidupan kita kacau! Rakyat diperbudak, dan kita semua menjadi budak...!” desis Kembang Taji.

“Tuanku.... Tidak akan kubiarkan negeri ini menjadi begitu!” tandas Kijang Merah lantang.

Kembang Taji tersenyum kecut seraya berbalik. Dari situ dia berusaha mengintip lewat celah jendela. Langit terlihat diterangi cahaya rembulan. Dan di sekitar istananya, berdiri tegak puluhan prajurit yang mengawalnya amat ketat. Namun tak lama keduanya dikejutkan suara dari dalam ruangan ini. Rupanya ada seorang prajurit wanita yang meminta izin masuk ke dalam.

“Ada apa? Ratu sedang sibuk tidak boleh diganggu!” sahut Kijang Merah.

“Maafkan hamba. Panglima! Kita diserang musuh dari lautan...!” jelas prajurit wanita itu, dari balik pintu.

“Apa?!”

********************

Bukan hanya Panglima Kijang Merah saja yang kaget. Tapi Kembang Taji pun ikut terkesiap. Secepat itu pula, Kijang Merah membuka pintu.

“Ceritakan cepat...!” sentak Kijang Merah.

Prajurit itu segera berlutut menghormat. “Sebuah kapal besar mendarat. Dan dari dalamnya meluncur beberapa buah perahu yang mengitari pulau ini. Prajurit-prajurit kita tengah bertempur mati-matian melawan mereka!” jelas prajurit wanita ini.

“Kurang ajar!” dengus Kijang Merah geram.

Kalau tidak ingat janjinya melindungi Ratu Kembang Taji, ingin rasanya dia melompat sekarang juga dan ikut bertempur menghalau musuh.

“Perintahkan prajurit-prajurit untuk memperketat penjagaan di istana. Kirim beberapa orang untuk menjemput Guru Suci dan Guru-guru Tua, serta Nenek Kampar Ilir. Temui kami di pintu gerbang sebelah timur!” perintah wanita perkasa itu.

“Baik, Panglima!” sahut prajurit wanita ini seraya menjura memberi hormat.

Begitu prajurit ini keluar. Kijang Merah segera membawa Ratu Kembang Taji keluar dari kamarnya.

“Ke mana aku akan kau bawa. Kijang Merah?” tanya Kembang Taji.

“Kita akan mengungsi. Tuanku!”

“Bukankah sebaiknya kita berperang melawan mereka?”

“Maaf, Tuanku! Ratu tidak boleh tertawan musuh. Sebab, itu akan menjatuhkan derajat bangsa kita. Begitulah yang diajarkan Guru-guru Tua pada hamba...!”

Kembang Taji tidak banyak bicara lagi. Maka segera diikutinya langkah panglimanya itu. Kepergian mereka diikuti dua orang pengawal kerajaan yang tadi berjaga di pintu.

********************

Kijang Merah merasa gelisah, ketika teriakan-teriakan pertempuran mulai terdengar dari segala penjuru.

“Musuh telah semakin dekat...!” keluh Kijang Merah dengan hati geram.

“Para prajurit kita tidak mampu menahan mereka, bukan?” gumam Kembang Taji dengan hati cemas.

Tapi panglima itu tidak banyak bicara lagi sampai mereka tiba di gerbang timur. Mereka menunggu beberapa saat sampai muncul beberapa orang yang tergopoh-gopoh menghampiri.

“Ibunda...!” seru Kembang Taji, langsung bersimpuh di kaki seorang wanita setengah baya yang baru muncul di antara yang lainnya.

“Bangunlah, Anakku! Aku tahu apa yang menggelisahkan hatimu,” ujar wanita setengah baya ini, yang ternyata ibu kandung Kembang Taji.

“Hamba tidak mampu berbuat apa-apa dalam hal ini,” keluh Kembang Taji pelan, seraya bangkit berdiri.

“Kami tidak menyalahkanmu. Nak. Mungkin sudah tiba saatnya negeri kita hancur....”

“Guru Suci, para Guru Tua, serta Nenek Kampar Ilir, kita tidak bisa berlama-lama disini. Hamba harus menyelamatkan Ratu Kembang Taji melalui lorong rahasia!” seru Kijang Merah.

“Ya, pergilah kalian! Doa kami senantiasa bersama kalian. Bawalah beberapa orang prajurit sebagai pendamping,” sahut Guru Suci, wanita yang tadi dipanggil ibunda oleh Ratu Kembang Taji.

“Maksud hamba kita semua harus menyelamatkan diri. Guru Suci...!”

Wanita setengah baya yang berpakaian serba putih itu tersenyum tipis sambil menggeleng pelan. “Tidak, Anakku Kijang Merah! Pergilah kalian semua. Aku serta para Guru Tua dan Nenek Kampar Ilir akan bertahan di sini!” sahut Guru Suci.

“Guru Suci! Musuh berjumlah banyak dan terlalu kuat! Kita tidak bisa bertahan disini!” seru seorang prajurit, mengingatkan.

“Kerajaan Tulang Emas telah memiliki seorang ratu. Dan kalian wajib mempertahankannya. Kalau pun kita kalah, maka kalianlah penerus kami. Pikirkan cara untuk menghalau mereka!”

“Tapi, Ibunda...!” Kembang Taji hendak berlutut, namun buru-buru Guru Suci menangkap dan mencegahnya.

“Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, Anakku. Pergilah dengan tenang...,” ujar Guru Suci sambil tersenyum kecil.

Kembang Taji hendak bicara lagi, tapi saat itu terdengar teriakan-teriakan nyaring tidak jauh dari situ. Bahkan mereka bisa melihat musuh yang mulai menyerbu istana kerajaan. Wajah wanita itu semakin gelisah dan tidak tenang.

“Pergilah, Nak! Pergilah...!” desak Guru Suci, khawatir.

“Tapi, Ibunda....”

“Tidak ada yang mesti dipikirkan lagi!” tukas Guru Suci cepat. “Pergilah kalian! Selamatkan dirimu. Bila segalanya bisa kami atasi, maka secepatnya kami akan menghubungimu!”

Kembang Taji memandang mereka satu per satu. Berat rasanya mengalami hal seperti ini. Tapi, ini harus dilakukan demi keselamatannya yang akan memegang kelangsungan bangsa mereka kelak.

“Tuanku... silakan!” ujar Kijang Merah, langsung menghampiri sebuah batu yang menempel di tebing gunung karang, dekat tembok istana.

Terlihat sebuah mulut gua yang gelap. Sehingga tidak bisa diperkirakan, berapa jauh ke dalam dan tembus ke mana gua itu. Kembang Taji melirik sekilas. Seumur hidupnya, dia belum tahu kalau di tempat itu terdapat sebuah gua rahasia. Banyak pertanyaan yang mengganjal di kepala. Tapi, seperti tidak berarti pada saat seperti ini. Kesedihan serta kegalauan hatinya menyelimuti seluruh hati dan pikirannya.

“Ibunda, Ananda pamit dulu...,” ucap Kembang Taji dengan bibir gemetar.

Kembang Taji segera mengikuti Kijang Merah kedalam. Sementara lima prajurit menyertai mereka dalam perjalanan ini.

Kijang Merah tahu apa yang harus dilakukannya. Segera ditutupnya pintu gua itu secepatnya. Lalu dinyalakannya obor yang berada di dinding ruangan! Tampak Ratu Kembang Taji masih termenung dengan wajah muram.

“Tuanku, kita mesti bergegas...!” ujar Kijang Merah pelan.

Kembang Taji menatap sekilas, kemudian menarik napas panjang. Lalu kepalanya mengangguk pelan. “Akan kau bawa ke mana aku?”

“Ke Pulau Penyu. Di sana, ada ruangan rahasia dibawah tanah. Dan tak seorang pun yang mengetahui, selain aku!”

“Dari mana kau bisa tahu semua hal-hal rahasia? Padahal, aku sendiri tidak mengetahuinya?”

“Maafkan hamba, Tuanku. Seperti diketahui, Tuanku dididik oleh Tuan Suci. Sedang hamba dididik oleh para Guru Tua. Salah seorang adalah bekas panglima kerajaan, ketika Guru Suci masih menjadi ratu. Maka rahasia kerajaan diberitahukan pada hamba. Semua itu untuk menunjang tugas hamba, melindungi kerajaan. Khususnya, melindungi Tuanku,” jelas Kijang Merah.

Kembang Taji mengangguk pelan. Kalau saja tidak dalam keadaan galau begini, mungkin keterangan Kijang Merah membuat hati Kembang Taji terperangah. Dan ingin rasanya dia mengetahui hal-hal lain yang mungkin belum diketahuinya. Tapi saat ini, wanita cantik itu banyak berdiam diri. Pikirannya kacau oleh kejadian yang menimpa negerinya. Dan hatinya gelisah memikirkan nasib rakyatnya. Apa yang tengah menimpa mereka saat ini?

“Hamba akan melihat-lihat apa yang menimpa negeri kita, Tuanku! Tapi, hamba harus yakinkan bahwa Tuanku selamat lebih dulu di Pulau Penyu,” ujar Kijang Merah, seperti mengerti apa yang tengah dipikirkan ratunya saat ini.

Kembang Taji tidak menjawab. Mereka terus menyusuri terowongan yang cukup panjang. Di ujung sana, mereka akan bertemu dengan sebuah pantai yang agak tersembunyi. Persis di mulut terowongan ini, tertambat sebuah perahu kecil yang cukup untuk membawa mereka menuju ke Pulau Penyu.

EMPAT

Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih berdiri tegak di atas sebuah bukit sambil menengadahkan kepalanya ke langit. Matahari bersinar tidak terlalu garang. Bahkan sekumpulan awan kelabu menghalangi. Angin yang bertiup perlahan mengibar-ngibarkan rambutnya. Sementara tidak jauh di dekatnya, seekor kuda berbulu hitam tengah merumput dengan tenang.

“Suiiit...!” Pemuda dengan pedang bergagang kepala burung di punggung itu bersuit nyaring, membuat kuda hitam itu terkejut sesaat. Tapi kemudian, binatang perkasa ini kembali merumput dengan tenang.

“Apakah jarak yang terlalu jauh, sehingga Rajawali Putih tidak mendengar?” gumam pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga. Di dalam dunia persilatan, dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Sementara kuda yang merumput didekatnya sudah pasti Dewa Bayu.

Untuk yang ketiga kalinya Pendekar Rajawali Sakti bersuit. Kali ini lebih keras dan nyaring. Waktunya pun sedikit lebih lama, dibanding suitan yang pertama dan kedua. Tapi, yang ditunggu-tunggunya ternyata belum juga muncul. Wajahnya tampak kecewa, ketika pandangan matanya yang menyorot ke angkasa luas belum menemukan tanda-tanda sosok burung rajawali raksasa, yang biasa menjadi tunggangannya. Seekor burung raksasa yang juga guru, sahabat, bahkan orangtua angkatnya semasa di Lembah Bangkai. Sejak kecil, Rangga memang diasuh oleh burung rajawali raksasa yang diberi nama Rajawali Putih.

“Mungkin dia tidak mendengar panggilanku,” gumam Pendekar Rajawali Sakti sambil menurunkan wajahnya.

“Hieee...!” Kuda hitam bernama Dewa Bayu meringkik halus. Pendekar Rajawali Sakti segera menoleh disertai senyum manisnya. Lalu didekatinya dan diusap-usapnya leher Dewa Bayu. Baru saja Rangga hendak melompat kepunggung kudanya, mendadak....

“Kraaagkh...!”

“Hei?!”

Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar di angkasa. Saat itu juga, kepalanya mendongak ke angkasa. Dan bibirnya langsung tersenyum kembali, ketika di angkasa terlihat satu titik benda putih keperakan tengah melayang-layang dengan kecepatan dahsyat.

“Ah! Ternyata Rajawali Putih mendengar panggilanku!” seru Rangga girang. “Ke sini Rajawali Putih!” Rangga berteriak sambil memberi isyarat dengan tangannya.

“Kraaagkh...!” Dengan kecepatan dahsyat, burung besar itu mengepak-ngepakkan sayapnya, lalu menukik ke bawah. Makin lama, bentuk asli burung itu makin jelas. Sampai akhirnya, tampak seekor burung rajawali raksasa yang besarnya hampir menyamai sebuah bukit!

“Kaaakgkh...!”

Pemuda itu tersenyum, begitu Rajawali Putih mendarat di depannya sambil menggerak-gerakkan lehernya. Pelan-pelan dihampirinya burung raksasa itu. “Telah lama kita tidak bertemu. Rajawali! Mudah-mudahan kau baik-baik saja...!” kata Pendekar Rajawali Sakti sambil mengusap-usap leher hewan raksasa itu.

“Kraaagh...!” Rajawali Putih memberi isyarat dengan suaranya. Dan, sepertinya Rangga mengerti betul apa yang dikatakan burung raksasa itu.

“Kau ingin mengatakan sesuatu?” Dahi Pendekar Rajawali Sakti berkerut, mendengar suara rajawali raksasa ini.

“Kaaagkh...!”

“Apa yang hendak kau tunjukkan padaku, Rajawali Putih?”

“Kagkh...!” Rajawali Putih memekik nyaring, siap hendak terbang.

“Baiklah, baiklah...! Aku akan ikut denganmu...!” ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga berpaling pada Dewa Bayu tunggangannya. Segera dihampirinya kuda berbulu hitam mengkilat itu. Beberapa saat dielus-elusnya leher Dewa Bayu. Kuda hitam itu meringkik halus, kemudian berbalik. Dan dengan kecepatan kilat, binatang ini pergi meninggalkan bukit.

“Ayo, kita berangkat sekarang! Tunjukkan padaku apa yang hendak kau perlihatkan!” ujar Rangga, begitu Dewa Bayu tidak terlihat lagi.

“Kargh...!”

“Hup!” Dengan gerakan manis sekali. Pendekar Rajawali Sakti melenting dan mendarat tepat di leher Rajawali Putih. Begitu indah gerakannya, sehingga tak terdengar suara sedikit pun ketika hinggap.

Rajawali Putih segera merentangkan kedua sayapnya. Dan ketika sayapnya dikepakkan, saat itu juga mereka melesat ke atas. Burung raksasa itu berputar sekali, lalu melesat ke arah tenggara!

Rajawali Putih memang bukan burung biasa. Dia seperti burung penjelmaan dewa yang sengaja turun hendak membimbing Pendekar Rajawali Sakti. Tak heran kalau kemudian Rangga di bawah asuhannya berubah menjadi pendekar yang pilih tanding. Bahkan namanya telah terukir sebagai pendekar pujaan atas yang memerangi keangkaramurkaan.

“Kaaakgkh...!” Burung raksasa itu berteriak nyaring, ketika hampir sampai di tujuan.

“Ya.... Aku juga melihatnya, Rajawali. Cepatlah menuju kesana!” ujar Pendekar Rajawali Sakti. “Hm.... Apa yang terjadi di sana? Cepat, Rajawali. Rendahkan terbangmu!”

Burung raksasa itu pun merendahkan terbangnya.

“Astaga!” seru Rangga kaget, begitu melihat pemandangan yang menggiriskan dibawah sana.

Ternyata Rajawali Putih membawa Pendekar Rajawali Sakti ke permukaan laut didekat gugusan pulau sebelah barat Pulau Jawadwipa. Dan tepat di dekat Pulau Perawan, terlihat mayat-mayat mengambang, dipermainkan ombak. Sebagian mayat-mayat itu merapat ke pantai. Tapi yang lainnya hanyut makin ke tengah.

“Seperti pembantaian...!” gumam Rangga, seperti tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. “Inikah yang kau maksud?”

“Kaaakgkh...!”

“Baiklah. Akan kita selidiki, apa yang terjadi di bawah sana. Bawa aku ke salah satu pulau kecil!” ujar Pendekar Rajawali Sakti, langsung menunjuk ke satu arah.

Rajawali Putih langsung menukik ke pulau yang ditunjuk Rangga.

“Begitu aku melompat, terbanglah kembali, Rajawali Putih! Tunggulah aku di atas sana. Awasi aku!” teriak Rangga, berusaha mengalahkan deru angin ketika Rajawali Putih menukik ke bawah. “Hup!”

Rangga cepat melompat dan mendarat di tanah, sementara rajawali raksasa itu kembali melesat. Segera dihampirinya beberapa sosok tubuh yang terdampar dipantai pulau ini.

“Hm.... Orang-orang ini sudah mati. Tubuhnya menggembung karena terkena air laut. Penuh luka senjata tajam,” gumam Rangga pelan, sambil mengamati keadaan mayat-mayat itu.

Kini Rangga segera menyusuri pantai. Beberapa sosok tubuh lagi ditemuinya. Kebanyakan dari mereka adalah wanita berusia muda. Dan melihat dari wajahnya, rata-rata cukup cantik.

“Hm.... Cukup banyak juga jumlah mereka. Dari mana asalnya? Dan apa yang telah menimpa mereka?” gumam Rangga pendek, seraya melompat ke atas sebuah batu karang.

Begitu hinggap di atas batu karang, Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. “Sulit menentukan, dari mana asal mereka. Mayat-mayat ini agaknya telah lama di air. Paling tidak sejak tadi malam,” lanjut Rangga lirih. “Tapi rasanya tidak berasal dari tempat jauh. Mungkin..., pulau besar itu!”

Rangga memandang tajam pada sebuah pulau yang paling besar, di antara sekian banyak gugusan pulau yang berada di sekitar wilayah ini. Jarak pulau besar itu dari tempatnya berpijak, dihalangi dua pulau kecil lainnya. Namun begitu, matanya masih melihat bagian lain dari pulau itu. Terlalu jauh untuk melihat, apa yang terjadi. Sebab hanya pepohonan belaka yang terlihat.

Rangga kembali melompat turun, dan kembali menyusuri pantai, sambil mengedarkan pandangannya. Baru saja kakinya melangkah beberapa tindak...

“Haaa...!”

“Hei?!” Pendekar Rajawali Sakti sedikit terkejut, namun cepat berbalik begitu terdengar sebuah suara dari belakangnya. Tahu-tahu dari balik semak-semak melompat seseorang mengayunkan sebilah golok.

Wut! Wuttt!

“Uts!” Dua kali sambaran ke leher dan pinggang, mudah sekali dielakkan Pendekar Rajawali Sakti dengan meliuk-liukkan tubuhnya. Saat gadis itu hendak menikam jantungnya, Rangga berkelit kekanan. Tiba-tiba ditangkapnya pergelangan tangan gadis itu lalu ditekuknya. Sementara tangan kanannya menotok ke tubuh gadis ini.

Tuk!

“Aaah...!” Saat itu juga, gadis dalam telikungan Pendekar Rajawali Sakti terkulai. Golok dalam genggamannya langsung terlepas.

“Nisanak, maafkan. Aku tidak bermaksud buruk kepadamu...,” ujar Rangga, halus.

Tapi tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti terkejut ketika melihat perut gadis ini meneteskan darah segar. Barulah disadari kalau gadis itu telah terluka sejak tadi. Ketika bergerak, balutan lukanya terlepas. Dan luka yang mulai mengering kembali berdarah.

“Mari kubantu, Nisanak...!” Rangga cepat menotok beberapa bagian di sekitar lukanya untuk menghentikan pendarahan. Mula-mula gadis itu melotot marah. Tapi ketika tahu kalau pemuda itu hendak menolong, dia diam saja.

“Apa yang terjadi denganmu? Dan, mayat-mayat siapa itu?”

“Apa gunanya kau tanyakan? Kau adalah bagian dari mereka! Dan lebih tahu, apa yang kau lakukan terhadap kami!” sahut gadis itu, ketus.

“Nisanak! Aku tidak mengerti bicaramu....”

“Tidak perlu berpura-pura. Kau mungkin saja menolongku. Tapi, aku tidak butuh pertolonganmu!” tukas gadis ini, masih dengan nada garang.

Rangga menghela napas pendek. “Kau dalam keadaan terluka parah, Nisanak! Sebaiknya, singkirkan pikiran burukmu terhadapku!” ujar Rangga, kalem.

Gadis itu tidak menjawab. Sedikit pun matanya tak memandang Pendekar Rajawali Sakti.

“Maaf kalau terpaksa aku menotokmu. Kalau kau berjanji tidak menyerangku lagi, maka akan kubebaskan totokanmu. Aku bukan musuhmu. Percayalah!” kata Rangga, sambil tersenyum.

Tapi gadis itu tidak menoleh. Apalagi menyahut! Kembali tangan Rangga bergerak cepat. Dan....

Tuk!

Rangga melepaskan totokan. Namun gadis ini masih tetap tidak bergerak sedikit pun. “Nisanak! Apa yang telah terjadi di sini? Siapakah kau? Dan, siapa pula mayat-mayat itu?” tanya Rangga.

“Kau ingin tahu apa yang terjadi di sini? Hm.... Sebuah malapetaka. Aku bernama Mardani, salah satu penghuni pulau ini. Dan aku adalah korban malapetaka yang terjadi, disamping mayat-mayat itu!” jelas gadis bernama Mardani, sambil menunjuk ke arah mayat-mayat itu.

“Jadi mayat-mayat itu kawan-kawanmu? Apa yang terjadi dengan kalian?”

Gadis itu menoleh kepada Rangga dengan tatapan tajam. “Siapa kau? Dan, apa urusanmu dengan kami?” Mardani malah balik bertanya.

Nada suara gadis itu terdengar angkuh dan tidak bersahabat. Bahkan dengan raut mukanya, tampak sangat memandang rendah kepada Pendekar Rajawali Sakti.

“Namaku Rangga...,” sahut pemuda itu ramah. “Aku memang tidak punya kepentingan pribadi.”

“Kalau begitu pergilah. Dan, tidak usah campuri urusan kami!”

Nada bicara Mardani betul-betul ketus. Dan sepertinya tidak mau bersahabat sedikit pun! Rangga hanya menarik napas panjang seraya bangkit berdiri.

“Baiklah, kalau memang demikian kehendakmu. Agaknya aku memang tidak perlu ikut campur urusan orang lain. Aku mohon pamit...!” desah Pendekar Rajawali Sakti seraya melangkah.

Tapi baru saja beberapa langkah, mendadak Pendekar Rajawali Sakti melihat sebuah perahu kecil menuju ke arah mereka, dari pulau yang paling dekat dengan pulau ini. Gadis itu tampak geram. Tapi, buru-buru dia bersembunyi. Melihat itu, Rangga pun ikut bersembunyi tidak jauh darinya. Perahu itu memang mendarat di pulau ini. Dari dalamnya, turun lima lelaki bertampang kasar yang masing-masing memegang sebilah golok panjang.

“Kurang ajar! Ke mana lagi harus kita cari mereka?!” desis salah seorang yang wajahnya dipenuhi bulu. Sejak turun dari perahu dia terus memaki-maki tak karuan.

“Diam, Panjalu. Tidak usah banyak ribut!” sentak seorang laki-laki bertampang penuh bopeng.

“Hei?! Kau tidak perlu membentak begitu, Sindu! Kau bukan majikanku!” balas orang yang dipanggil Panjalu dengan nada tidak senang.

“Yang menjadi pimpinan adalah Gagas Kelana. Dan dia adalah pimpinan kami! Apa mau kalian?!” balas Sindu tak mau kalah.

Panjalu dan Sindu terus bersitegang. Dan anehnya, kawan-kawan mereka sama sekali tidak melerai.

“He, jadi kau kira begitu?! Kau mengecilkan kehadiran Ki Muwangkoro?!” dengus Panjalu, geram.

“Tidak usah banyak mulut! Kalian sama-sama tahu, Ki Gagas yang memimpin penyerangan ini. Maka, dialah yang menjadi pimpinan semua!” tukas Sindu.

“Brengsek! Apa maumu bicara soal pemimpin segala? Apa kau kira dengan begitu bisa berbuat seenaknya pada kami?!”

“He he he...! Kawanan kalian hanya sekumpulan tikus yang coba-coba mengaum di depan kawanan serigala!” ejek Sindu, lebih keras lagi.

“Jaga bicaramu. Keparat! Tidakkah kau sadar kalau aku bisa gelap mata dan membunuhmu?!” sentak Panjalu.

“Kau ingin membunuhku? He he he...! Meski kalian bertiga, belum tentu bisa membunuhku,” sahut Sindu dengan sikap merendahkan.

Mendengar itu bukan main geramnya Panjalu. Amarahnya tidak bisa ditahan lagi. Apalagi, saat kedua kawannya mulai memanas-manasi.

“Sikat saja mereka! Biar orang-orang ini tahu, siapa kita!”

“Betul, Panjalu. Bereskan saja. Lalu katakan, bahwa mereka disergap musuh!” timpal yang seorang lagi.

Maka tanpa pikir panjang lagi, Panjalu langsung menghunus golok. Seketika tangannya cepat mengibaskan golok ke arah Sindu.

“Hih!”

“Uts!” Dengan mudah Sindu berkelit ke samping. Lalu kakinya terayun, melepaskan tendangan menggeledek.

“Yeaaa...!”

“Hup!” Namun Panjalu cepat melompat ke belakang, sehingga serangan Sindu luput dari sasaran. Sebelum Sindu mengejar, dua kawan Panjalu telah melompat lebih dulu untuk membantu.

“Jangan khawatir, Panjalu. Kita bereskan mereka secepatnya!” kata salah seorang kawan Panjalu.

Melihat pertarungan yang tidak seimbang, kawan Sindu juga tidak tinggal diam. Dia langsung melompat menghadang kedua orang itu.

“Biar kuhadapi Panjalu dan Gandung ini, Setiaji! Kau bereskan saja si Reksa,” ujar Sindu.

“Beres!” sahut laki-laki yang dipanggil Setiaji.

Pertarungan tak dapat dielakkan lagi. Tapi meski dikeroyok dua, Sindu agaknya mampu mengatasi. Bahkan pelan-pelan mulai mendesak Panjalu dan Gandung.

“Yeaaa...!” Pada satu kesempatan, Sindu meluncur sambil membabatkan goloknya. Pada saat yang sama, Gandung juga melesat disertai sabetan golok panjangnya. Dan....

Trang!

Begitu terjadi benturan senjata, dengan gerakan dahsyat Sindu memutar goloknya, lalu langsung dikelebatkan ke perut Gandung. Sehingga....

Brettt!

“Aaakh...!” Gandung memekik kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil memegangi perutnya yang robek ditebas golok Sindu. Panjalu bermaksud membantu, tapi Sindu terus memburu Gandung yang sudah ambruk di tanah dan tengah sekarat.

Cras!

“Aaa...!” Golok panjang di tangan Sindu tidak mengenal ampun. Langsung dibelahnya dada Gandung yang sudah tidak berdaya.

“Biadab!” desis Panjalu geram.

“Tidak usah banyak bicara! Kau akan mengalami nasib yang sama dengannya!” tukas Sindu, enteng saja.

“Aku akan menyeretmu untuk ke akhirat bersama kawanku!” Baru saja Panjalu berteriak sambil melompat menerjang....

“Aaa...!” Kembali terdengar jeritan. Kali ini Reksa yang menjadi lawan Setiaji menjadi korban. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Dada kanannya berlubang terkena tikaman senjata Setiaji.

“Heaaat!”

Panjalu membatalkan serangannya. Dan dia bermaksud melindungi kawannya yang bernama Reksa dari serangan Setiaji selanjutnya. Tapi Sindu ternyata lebih cepat bergerak. Golok di tangannya cepat dilemparkan ke arah leher Reksa yang terhuyung-huyung. Dan....

Cras!

“Hokh!”

“Hei?!” Kembali Panjalu terkesiap, melihat leher Reksa telah tertancap golok yang dilemparkan Sindu. Berarti dua kawannya telah tewas dalam waktu singkat secara mengenaskan.

“Biadab! Aku harus membalas kematian mereka berdua, lebih kejam daripada yang kalian lakukan!” bentak Panjalu penuh amarah.

“Tidak usah buang-buang tenagamu. Sebentar lagi kau akan menyusul mereka...,” ejek Sindu, setelah mencabut goloknya yang tertancap di leher lawannya.

“Heaaat...!” Saat itu juga Sindu langsung melompat menyerang dengan ayunan goloknya. Pada saat yang sama, Setiaji dan Sindu sudah sama-sama meluruk dengan sambaran golok masing-masing. Namun, apalah daya Panjalu saat ini? Apalagi kini harus menghadapi kerubutan dua orang. Kini tampak, serangan masing-masing pihak akan bertemu di udara.

Trang!

Sambaran golok Setiaji berhasil dipapak Panjalu dengan memalangkan goloknya ke depan wajah. Namun pada jarak yang hampir bersamaan, Sindu membabatkan goloknya ke perut.

“Hup!” Cepat bagai kilat, Panjalu menjatuhkan diri ketanah. Namun, ternyata Sindu dapat mengejarnya.

Dan baru saja dia bangkit, Sindu telah melepaskan tendangan ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Duk!

Panjalu terhuyung-huyung ke belakang disertai keluhan tertahan, begitu tendangan Sindu berhasil bersarang di dadanya. Meski tidak terlalu keras, tapi cukup membuatnya lengah. Sehingga, Setiaji yang telah siap sejak tadi cepat membabatkan senjatanya ke perut.

Crasss!

“Aaah...!” Panjalu kontan memekik keras, begitu perutnya robek mengeluarkan darah. Tentu saja, hal ini membuat gerakannya terhambat.

“Heaaat...!” Pada saat itu Sindu sudah melompat dengan senjata di tangan, siap menghabisi Panjalu.

“Yeaaa...!”

LIMA

Pada saat yang gawat bagi Panjalu, mendadak melesat sesosok bayangan putih yang langsung memapaki serangan Sindu. Gerakannya cepat bukan main. Dan....

Plak!

“Aaakh...!” Tahu-tahu Sindu memekik kesakitan sambil memegangi tangan kanannya yang terasa nyeri. Sementara senjatanya lepas entah ke mana.

Dan baru saja Sindu bisa menguasai perasaannya, di depannya telah berdiri seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung. Sementara Setiaji hanya terbengong-bengong, tak tahu harus berbuat apa.

“Siapa pun adanya kau, lebih baik tidak usah ikut campur dalam urusan ini!” dengus Sindu, berusaha menghilangkan rasa kegentarannya. Betapa tidak gentar? Pada saat berbenturan tadi, Sindu yakin tenaga dalamnya jauh dibawah pemuda berbaju rompi putih di depannya.

Pemuda yang tidak lain dari Pendekar Rajawali Sakti itu tersenyum dingin. Matanya menyorot tajam pada Sindu. “Aku pemilik pulau ini. Maka segala sesuatu yang terjadi disini berhak kuketahui,” sahut Pendekar Rajawali Sakti enteng.

“Setan! Agaknya kau belum kenal kami, he?!” bentak Sindu. “Heaaa...!” Saat itu juga Sindu melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan kibasan tangan secara bertubi-tubi.

“Uts!” Namun hanya sedikit memiringkan tubuhnya. Rangga berhasil menghindarinya. Dan baru saja Sindu hendak membangun serangan kembali, sebelah kaki Pendekar Rajawali Sakti cepat melayang dengan satu tendangan keras.

Diegh!

“Aaakh…!” Telak sekali tendangan itu bersarang dileher Sindu. Disertai jerit kesakitan, Sindu tersuruk mencium tanah. Dan baru saja dia hendak bangkit, Rangga tahu-tahu telah menjejak di lehernya.

“Aku telah tahu siapa dirimu. Dan kau pun telah tahu siapa aku saat ini! Aku adalah malaikat pencabut nyawa. Maka jangan coba-coba bertindak macam-macam. Lehermu akan putus bila kau bertindak macam-macam!” ancam Rangga.

“Ohhh.... Ekh...!” Sindu mengeluh tertahan dan sulit bernapas ketika Rangga membuktikan ancaman dengan menekan telapak kakinya yang menempel ke leher lawan.

“Nah! Kau semakin tahu, bukan? Jadi kau tidak usah macam-macam!” lanjut pemuda itu melonggarkan pijakan kakinya.

Sementara, melihat kawannya jatuh dalam satu kali gebrakan, Setiaji tidak berani bertindak. Dia sadar, kalau pun membokong, pasti pemuda berbaju rompi putih itu pasti dapat melumpuhkannya. Sehingga, dia hanya berdiam diri dengan tatapan kasihan pada Sindu.

“Apa maumu?!” tanya Sindu lantang.

“Seharusnya aku yang bertanya! Siapa kalian?! Dan, apa maksud kalian disini?!” balas Rangga, dingin.

“Aku anak buah Gagas Kelana penguasa gugusan pulau ini!”

“Siapa Gagas Kelana itu?”

“Boleh jadi kau tak mengenalnya. Tapi kami semua berada di bawah pimpinan Ki Jalidar alias si Hiu Perak, yang menguasai seluruh perairan di wilayah laut bagian barat Pulau Jawadwipa ini!” sahut Sindu dengan nada sedikit angkuh.

Nama Hiu Perak sebenarnya telah terkenal di setiap penjuru sebagai pimpinan bajak laut yang di takuti. Bukan saja mereka yang sering bepergian menggunakan perahu layar, tetapi juga dikenal oleh orang-orang yang berada di daratan. Dengan begitu, Sindu berharap pemuda itu akan gentar mendengarnya.

“Hiu Perak? Hm.... Belum pernah kudengar namanya. Tapi, pasti kalian semua suka membuat resah!”

“Maaf, Kisanak! Kau jangan menyamakannya dengan kami!” Panjalu yang sudah bisa bangkit berdiri langsung menyahuti kata-kata Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti langsung menoleh tajam kepada Panjalu. “Dan kau siapa? Kudengar, kalian tadi meributkan pemimpin masing-masing!”

“Namaku Panjalu, anak buah Ki Muwangkoro. Kami ke sini diutus Ki Seta yang menguasai hutan Damar Setan,” sahut Panjalu.

“Tidak salah dugaanku. Kalian memang para perampok yang suka membuat keresahan. Hm.... Apa yang kalian kerjakan disini, kalau tidak sedang membuat keonaran?”

Tidak ada yang menyahut. Rangga menatap tajam mereka satu-persatu, lalu mengalihkan pandangan pada Sindu yang masih diinjaknya. “Apa yang kalian lakukan di sini?!” desis Rangga geram sambil menekan telapak kakinya lebih kuat.

“Ekh... kekh... kekh...!”

“Katakan lekas!” bentak Pendekar Rajawali Sakti, kembali mengendurkan pijakan kakinya.

“Aku... aku tak tahu.... Aaakh!” Sindu menjerit keras, karena Rangga tidak puas dengan jawabannya.

“Tidak perlu berbohong padaku! Kau termasuk anak buah si Hiu Perak. Dan jelas, kau tahu apa yang dilakukan disini.”

“Baiklah. Kami..., kami berada di pulau yang paling besar itu.”

“Untuk apa?”

“Menyerang penghuni pulau itu...!”

“Wanita-wanita yang mayatnya berserakan itukah yang mendiami pulau itu?”

“Be..., betul!”

“Untuk apa kalian memusuhi mereka?”

“Eh! Aku, aku tidak tahu...!” Tapi baru saja berkata seperti itu, kembali Sindu menjerit kesakitan ketika Rangga menekan kakinya lebih kuat.

“Katakan!”

“Eh! Ba..., baiklah.”

Tapi belum, juga Rangga mendapat jawaban....

“Wanita itu mencuri perahu kita!” seru Panjalu, seraya menunjuk pantai.

Perhatian Rangga jadi beralih ke arah pantai. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan Sindu. Cepat tubuhnya bergulingan, melepaskan diri dari pijakan kaki Pendekar Rajawali Sakti.

“Heh?!”

Rangga tadi sempat melihat gadis yang tadi bersamanya tengah mendorong perahu milik Sindu dan kawan-kawannya. Sementara Sindu yang telah terbebas cepat bangkit dan segera mengejar ke arah gadis itu.

“Hei, berhenti! Kurang ajar, berhenti...!” teriak Sindu, terus mengejar kearah pantai.

Tapi Rangga tidak tinggal diam. Kakinya cepat bergerak, menendang sebutir batu kecil sebesar kurang dari kepalan tangan.

“Hih...!”

Saat itu juga batu kecil ini meluncur deras ke arah Sindu. Dan....

Tak!

“Aaakh...!” Sindu kontan tersungkur ke depan disertai keluhan kesakitan begitu batu yang ditendang Rangga menghantam lehernya. Namun dia cepat bangkit, seraya mengambil goloknya yang tadi terpental. Lalu secepat kilat dia berbalik, memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah geram.

“Keparat! Kubunuh kau...!” umpat Sindu garang, langsung menghampiri Rangga dengan golok terhunus. Begitu telah berada dalam jangkauannya, Sindu cepat membabatkan goloknya.

“Uts!” Rangga bergeser sedikit ke samping, sehingga golok Sindu hanya menyambar angin. Begitu kuat sambaran itu, membuat Sindu kehilangan keseimbangan. Untung dia langsung bergulingan, menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.

Tapi, Rangga tidak mendiamkan begitu saja. Tubuhnya cepat berkelebat. Dan begitu Sindu bangkit, satu tendangan keras dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat gerakannya, sehingga Sindu tak dapat menghindarinya.

Des!

“Aaakh...!” Telak sekali tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tengkuk Sindu yang langsung terpekik dan jatuh tersungkur. Tak ada gerakan lagi ditubuhnya, kecuali tarikan napasnya yang terlihat lemah. Pingsan!

Pada saat yang bersamaan, Setiaji yang sudah timbul keberaniannya, meluruk dengan sambaran goloknya hendak membokong Pendekar Rajawali Sakti. Namun dari angin sambaran itu. Rangga sudah mampu menebak adanya serangan gelap. Cepat bagai kilat tubuhnya bergeser ke samping, langsung menangkap pergelangan tangan Setiaji.

Tap!

Dan belum juga Setiaji bisa berbuat apa-apa lagi, Rangga telah melepaskan satu sodokan keras lewat sikut ke perut.

Desss...!

“Aaakh...!” Setiaji menjerit kesakitan. Begitu kuat sodokan Rangga, membuat perut Setiaji seperti mau pecah. Bahkan laki-laki itu langsung ambruk tidak sadarkan diri.

Sementara itu Panjalu hanya bisa berdiri terpaku dengan wajah kecut. “Si..., siapa kau sebenarnya?” tanya Panjalu. Suaranya terdengar sedikit tergagap.

“Aku malaikat maut yang akan menghukummu!” sahut Rangga menakut-nakuti.

“Oh, ampuni aku. Tuan Pendekar. Kasihanilah aku. Dan lagi, aku tengah terluka...,” ratap Panjalu.

“Kenapa aku mesti kasihan padamu? Kau seorang perampok. Dan bagi kalian, nyawa tiada artinya, bukan? Perhatikan mayat-mayat yang mengambang di tepi pantai! Perbuatan siapakah itu?”

“Itu..., itu perbuatan mereka...! Aku tidak ikut-ikutan...,” sahut Panjalu, makin ketakutan.

“Biadab!” rutuk Rangga. Sepasang mata Pendekar Rajawali Sakti menatap tajam laksana seekor harimau yang hendak menerkam mangsa.

Sementara, Panjalu merasa tubuhnya menggigil ketakutan. Belum pernah dia merasa ketakutan begini, meski dihardik Ki Seta, pimpinannya.

“Berapa jumlah kalian dipulau itu?” tanya Rangga.

“Sekarang kira-kira..., tujuh puluh orang. Sebagian dipimpin Gagas Kelana. Sedang sisanya dipimpin Ki Muwangkoro.”

“Apa yang kalian lakukan di sini?”

“Mencari ratu mereka.”

“Apakah hanya kalian yang ditugaskan mencarinya?”

“Tidak. Ada sekitar sepuluh perahu lagi, yang masing-masing berisi lima atau enam orang.”

“Ceritakan padaku kehidupan di sana. Dan, apa yang kalian inginkan dari orang-orang itu!”

“Ba..., baik....”

Panjalu pun mulai bercerita dari awal sampai akhir. Serta, apa yang kira-kira terjadi saat ini.

Rangga mulai mengangguk mengerti setelah Panjalu selesai bercerita.

“Eee..., kalau boleh kutahu..., untuk apa kau bersusah payah membela mereka? Orang-orang itu memperbudak laki-laki.”

“Kau tidak perlu tahu. Lagi pula, belum tentu aku akan membela mereka!”

“Apakah kau akan ke pulau itu? Di sana emas berlimpah-ruah! Kalau kau mau bekerja sama, aku akan menunjukkan tempatnya. Kita singkirkan mereka semua!”

Rangga tersenyum sinis. “Apa kau kira aku akan bertindak bodoh? Begitu emas kudapat, maka aku bisa membunuhmu!”

Panjalu terdiam seraya menelan ludah dengan wajah kecut. Sementara Rangga sudah tak mempedulikannya lagi. Malah, kepalanya mendongak ke langit lalu....

“Suiiit...!” Tiba-tiba Rangga bersuit nyaring dan terdengar aneh. Sebentar Rangga menunggu, tak lama bibirnya tampak tersenyum ketika di angkasa terlihat rajawali raksasa masih berputar.

Dan dengan lesatan yang cepat sekali, Rajawali Putih menukik kebawah. Sehingga bentuknya yang sangat besar sempat membuat Panjalu bergidik ngeri. Apalagi setelah burung itu mendarat.

“Heh? Burung apa ini?! Hi...!” Panjalu makin mengkeret hatinya. Sungguh, seumur hidup baru kali ini melihat burung rajawali yang demikian besar.

Sementara Rangga tidak mempedulikan sikap Panjalu yang tampak gemetar. Bahkan tanpa terasa, celananya telah basah karena terkencing-kencing.

“Diamlah baik-baik di sini. Dan, jangan macam-macam. Aku bisa membunuhmu dari jauh!” ancam Pendekar Rajawali Sakti seraya melompat keatas punggung Rajawali Putih.

Panjalu hanya bisa mengangguk, dengan wajah penuh ketakutan. Namun Rangga tak memperhatikannya, karena Rajawali Putih kembali melesat ke angkasa. Hanya dengan beberapa kepakan sayap, mereka telah membubung tinggi, membelah angkasa.

“Kau telah menemukannya, Rajawali Putih?” teriak Rangga, berusaha mengalahkan deru angin.

“Kragh...!”

“Hm.... Kalau begitu cepat kita ke sana!”

Rajawali Putih terus melesat menuju ke pulau yang paling besar di antara gugusan pulau-pulau itu. Dari atas, Pendekar Rajawali Sakti melihat sebuah perahu berukuran agak besar seperti yang tadi didengarnya dari cerita Panjalu.

“Mendarat disana, Rajawali!” teriak Rangga sambil menunjuk kesebuah dataran luas!

“Kragh...!” Saat itu juga Rajawali Putih menukik cepat bagai kilat. Dan sebentar saja, dia telah mendarat dengan empuk. Sementara, Rangga cepat melompat dari punggungnya.

“Keeerrkh...!”

“Ada apa. Rajawali?”

Kening Rangga berkerut ketika Rajawali Putih berbunyi aneh. Ujung paruhnya tampak menunjuk ke satu arah. Tapi, Rangga belum melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Sementara rajawali raksasa itu tetap menunjuk ke arah semula, mau tidak mau, pemuda itu mulai curiga.

“Rajawali, tinggalkan aku di sini. Dan, tolong awasi aku dari atas!” ujar Rangga, begitu menatap tunggangannya.

“Kraaagkh...!”

“Iya..., aku akan hati-hati,” sahut Pendekar Rajawali Sakti, ketika mendengar nada kekhawatiran pada suara Rajawali Putih.

Seketika Rajawali Putih mengepakkan sayapnya. Dan saat itu juga tubuhnya melesat keudara dengan kecepatan dahsyat.

“Mungkinkah ada tempat rahasia di sekitar sini...?” pikir Rangga sambil mengamati sekitarnya, begitu Rajawali Putih telah melayang-layang di angkasa.

Ada beberapa ranting patah dan dedaunan masih hijau dan segar. Dan Pendekar Rajawali Sakti yakin, itu bukan karena kaki si Rajawali Putih saat turun tadi. Tapi, lebih mirip perbuatan seseorang. Beberapa jejak tampak dihapus terburu-buru, menuju ke satu arah. Kemudian hilang di balik sebuah pohon besar.

“Hm.... Aku yakin ada tempat rahasia di sekitar sini,” gumam Rangga halus.

Pemuda berbaju rompi putih itu mulai mengetuk-ngetuk tanah dengan kakinya. Lalu diperiksanya batang pohon besar di depannya disertai pengerahan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’.

“Dibawah ini...,” desis Pendekar Rajawali Sakti nyaris tidak terdengar.

Rangga bisa melihat garis tipis di batang pohon yang membentuk sebuah persegi panjang. Dia mulai menduga bahwa itu adalah pintu masuk ruangan rahasia yang berada di bawah tanah. Tapi, bagaimana caranya? Apakah harus didobrak?

Lama pemuda berbaju rompi putih ini merenung, memikirkan cara untuk masuk kedalam. Sampai akhirnya, diputuskannya untuk menunggu saja. Mungkin suatu saat penghuninya akan keluar. Sambil menunggu, Rangga segera menelusuri tempat lain di sekitar pulau ini.

“Mungkin pintu masuknya tidak hanya dari sini...,” gumam Pendekar Rajawali Sakti pelan, ketika kakinya menapak dan mendapatkan keanehan.

Duk! Duk!

Rangga menghentak-hentakkan kakinya ketanah. Dan telinganya mendengar bunyi yang mencurigakan. “Hm.... Sebuah terowongan?” gumam Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga memang mendengar suara hampa, yang menandakan kalau di bawah tanah yang dipijaknya terdapat sebuah ruangan semacam gua.

“Hm.... Tempat ini menuju pantai...?” Rangga mengernyitkan dahi ketika terus menyusuri lorong di bawah tanah lewat pendengarannya yang tajam.

Kini Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak tepat ditepi pantai. Kedua kakinya sesekali disapu ombak kecil. Pandangan matanya menyapu permukaan laut, seperti hendak menembus sampai ke dasarnya.

“Bisa jadi di dasar laut ada mulut gua yang menghubungkannya ketempat mereka,” duga Rangga.

Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti menyeburkan diri ke air laut. Beberapa kali kepalanya timbul untuk menghirup napas sebanyak-banyaknya, lalu kembali menyelam ke bawah menyusuri dasar pantai.

Disitu Pendekar Rajawali Sakti menemukan tumpukan karang, yang di antaranya terlihat sebuah bunga karang besar. Bunga karang ini ternyata menghalangi sebuah lubang sebesar tampah. Tanpa ragu-ragu pemuda itu menyingkirkan bunga karang itu, lalu memasuki lubang itu.

Lubang itu ternyata sebuah terowongan yang tidak terlalu panjang dan terus menuju keatas. Dan terowongan itu kemudian berakhir pada lubang yang berada dalam sebuah ruangan di dalam perut bumi.

Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil mengeluarkan napas lega. Kemudian dia bersembunyi di balik sebuah batu, ketika mendengar suatu percakapan yang tidak jauh dari tempatnya berada.

“Siapa pemuda itu?” tanya sebuah suara. Nadanya lantang dan sedikit tegas.

“Aku..., aku tidak tahu...,” sahut suara lain.

“Apakah dia salah satu dari mereka?”

“Dia tidak mengaku.”

“Dia mencelakaimu?”

“Tidak. Saat kutinggalkan, mereka tengah berkelahi.”

“Hm.... Dari mana dia...?"

“Apakah ketika kau pergi tidak ada yang mengikuti?”

“Entahlah. Saat itu aku gugup, dan buru-buru mendayung!”

“Hm.... Kau terlalu ceroboh! Mungkin saat ini mereka tengah mengawasi kita!”

“Sudahlah, Kijang Merah. Tidak usah terlalu berburuk sangka kepadanya...,” sela sebuah suara lain.

“Tuanku! Kita harus waspada pada apa pun, meski sekecil butiran pasir!” tandas sosok yang dipanggil Kijang Merah.

Memang, mereka yang tengah berbicara adalah Kembang Taji yang merupakan penguasa Kerajaan Tulang Emas, Kijang Merah yang merupakan seorang panglima, dan seorang prajurit wanita yang waktu itu pernah bersama Rangga.

Tentu saja Rangga hanya mengenali prajurit wanita yang pernah bersamanya itu. Dan dia terus mengawasi dari tempat tersembunyi.

“Tapi jangan berlebihan. Tidakkah kau lihat dia terluka dan sedikit takut?” bela Kembang Taji.

“Seorang prajurit harus kuat lahir dan batin. Dan hamba telah menggembleng mereka demikian. Sehingga tidak ada alasan untuk berlemah-lemah,” kilah Kijang Merah.

“Sudahlah, biarkan saja. Aku sadar bahwa dia telah berbuat yang terbaik bagi dirinya....”

“Dia memang telah berbuat yang terbaik...!” Tiba-tiba Rangga memperlihatkan diri.

“Heh?!”

“Siapa kau?!”

“Tuanku! Pemuda inilah yang bertemu dengan hamba tadi!”

“Tangkap dia!”

ENAM

Begitu mendengar teriakan Kijang Merah, para prajurit wanita itu segera bergerak hendak meringkus Pendekar Rajawali Sakti.

“Heaaat...!”

“Dengarkan! Aku tidak bermaksud jahat kepada kalian. Tidak usah pakai kekerasan segala,” cegah Pendekar Rajawali Sakti sambil menghindar dari serangan dua orang prajurit.

“Jangan dengarkan ocehannya! Bunuh dia!” teriak wanita bertubuh tegap yang bernama Kijang Merah kembali.

Maka saat itu juga dua orang gadis berwajah manis kembali menyerangnya dengan ganas. Wajah mereka tampak mengeras, menggambarkan jiwa seorang prajurit yang patuh pada atasan.

“Hmmm...!” Rangga hanya bergumam tak jelas sambil menggelengkan kepala ketika serangan-serangan meluncur ke arahnya. Ruangan ini agak sempit. Tapi bukan berarti dia tidak mampu melumpuhkan kedua lawannya. Semula dia tidak ingin main keras. Tapi karena mereka memulainya, maka tidak ada jalan lain lagi.

Pendekar Rajawali Sakti melenting ringan menghindar tebasan senjata gadis-gadis cantik itu. Dan dengan berpijak pada langit-langit gua tubuhnya meluncur deras menyambar dengan gerakan tak terduga. Kedua tangannya cepat bergerak. Dan...

Tuk! Tuk!

“Ohhh...!” Kedua gadis itu kontan jatuh lemas, begitu Rangga berhasil mendaratkan totokan di tubuh mereka.

“Heaaat...!”

Baru saja Rangga mendarat, Kijang Merah sudah melompat menyerang. Goloknya yang terhunus langsung disabetkan ke leher Rangga.

Wuuut!

Namun Rangga yang langsung mengerahkan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’ cepat menghindar dengan melempar tubuhnya kesamping. Sehingga serangan itu luput. Sementara Kijang Merah tidak berhenti sampai di situ saja. Goloknya kembali berkelebat mengancam dada.

“Hih!”

“Uts!” Pendekar Rajawali Sakti mundur selangkah.

Dan begitu serangan itu hanya menebas angin, cepat dilepaskannya satu tendangan keras ke pinggang. Namun, rupanya Kijang Merah cepat tanggap. Secepat itu pula, kibasan goloknya berbalik.

Cepat-cepat Rangga menarik pulang kakinya, karena tendangan itu hanya berupa tipuan. Dan tepat ketika sambaran golok itu meluncur, kakinya yang satu lagi kembali bergerak. Dan....

Plak!

“Heh?” Betapa terkejutnya Kijang Merah, melihat goloknya terpental terkena tendangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum sempat dia berbuat apa-apa, satu luncuran tangan Rangga telah datang. Dan....

Tuk! Tuk!

“Ohhh...!”

Dua kali Pendekar Rajawali Sakti melepaskan dua totokan kedada Kijang Merah. Saat itu juga perempuan perkasa ini merasakan tubuhnya lemas, lalu melorot ambruk di tanah.

“Siapa lagi yang akan menantangku?” tanya Pendekar Rajawali Sakti, tanpa mempedulikan yang melotot garang ke arahnya. Rangga kini malah menatap Kembang Taji.

Sementara, Kembang Taji yang duduk diatas batu itu tidak menjawab. Diperhatikannya pemuda itu untuk sejurus lamanya.

“Siapa kau...?” tanya Kembang Taji.

“Namaku Rangga.”

“Aku Kembang Taji, Ratu Kerajaan Tulang Emas. Kulihat kau cukup hebat. Apakah kau bersedia mengabdi padaku?”

“Maaf, Ratu. Aku bukan abdimu. Tapi kalau kau menginginkan bantuan, tentu saja dengan senang hati aku akan membantumu,” sahut Rangga disertai senyum manis.

“Kau sungguh aneh. Tapi, semua perbuatanmu kuampuni. Tak seorang pun yang boleh membantah perintahku. Apalagi, hal itu dilakukan oleh laki-laki.”

“Kembang Taji! Kuhormati kau sebagai seorang ratu. Namun, aku tidak bisa menerima bila kau merendahkan martabat laki-laki. Itu hanya ada dalam duniamu. Sebab dibanyak tempat, justru laki-laki yang berkuasa. Maka, hilangkanlah hal-hal yang merendahkan laki-laki. Dan aku akan senang hati membantumu,” ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Wanita itu terdiam sejurus lamanya. Dipandanginya pemuda itu, lalu berpaling pada orang-orangnya. “Jumlah prajuritku sedikit. Dan di ruang lain beberapa orang lagi tengah dirawat. Sedang jumlah mereka cukup besar. Bagaimana mungkin kita dapat mengalahkannya...?” tanya Kembang Taji bernada putus asa.

“Dalam perjuangan yang diperlukan adalah semangat. Bila tidak ada semangat, maka tidak perlu berperang. Lagi pula jumlahmu tidak sekecil ini? Bukankah masih banyak prajuritmu yang berada di sana? Mereka ditawan orang-orang itu....”

“Dari mana kau tahu?”

“Aku berhasil meringkus tiga orang dari mereka. Dan salah seorang telah menceritakan padaku,” jelas Rangga.

“Oh, begitu...!” kata Kembang Taji, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Bagaimana keputusanmu sekarang?” tanya Rangga.

“Kapan kita adakan serangan terhadap mereka?” Kembang Taji malah balik bertanya.

“Setelah segala sesuatu berjalan lancar.”

“Apa maksudmu?” tanya Kembang Taji dengan dahi berkerut.

“Kita harus merencanakan segalanya untuk penyerangan itu. Setelah aku mendapatkan keterangan, maka dari kalian pun aku harus mendapatkan keterangan pula,” jelas Rangga.

“Keterangan apa yang kau perlukan dari kami?”

“Mengenai seluk-beluk pekerjaanmu. Lalu, wilayah pulau itu serta jumlah kekuatan prajuritmu.”

“Menurut Kijang Merah banyak prajuritku yang tewas. Mereka berjuang gagah berani, rela mengorbankan diri demi ratu dan kerajaannya. Mungkin jumlah mereka saat ini hanya setengahnya saja,” sahut Kembang Taji, masygul.

“Tidak apa. Kita harus membebaskan mereka. Dan kalau benar mereka setia, tentu mau berjuang lagi membelamu setelah dibebaskan.”

“Mengenai yang lain, kau bisa tanyakan pada panglimaku,” ujar Ratu Kembang Taji. “Tapi mereka tengah tidak berdaya karena ulahmu.”

“Aku tidak bermaksud melukai mereka,” desah Rangga, sambil tersenyum manis.

Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah menghampiri Kijang Merah dan dua prajurit wanita yang tadi ditotoknya. Dengan gerakan yang cepat luar biasa, semua orang yang tertotok sudah terbebas. Ini untuk membuktikan, kalau dia tidak bermaksud jahat.

“Kijang Merah! Kau telah dengar percakapan kami tadi, bukan? Berilah keterangan pada pemuda ini!” ujar Kembang Taji, ketika Kijang Merah bangkit berdiri.

“Ampun, Tuanku! Kenapa kita harus bekerja sama dengannya? Dia cuma laki-laki asing yang tidak kita kenal. Kenapa mesti percaya padanya? Siapa tahu dia mata-mata untuk mengetahui persembunyian kita. Sebaiknya kita bunuh saja sekarang!” sahut Kijang Merah, penuh dendam karena dengan mudah berhasil dijatuhkan.

“Kau tadi telah mencobanya. Dan ternyata tidak mampu. Lalu dengan cara bagaimana kita bisa membunuhnya?” tanya Kembang Taji memancing.

“Kalau Tuanku ijinkan, hamba rela mengorbankan nyawa sekalipun. Demikian pula yang lainnya!” tandas Kijang Merah.

“Tidak, Kijang Merah! Telah banyak yang berkorban untukku dan kerajaan ini. Sekarang, giliran kita untuk berkorban demi mereka. Kita harus berbuat sesuatu. Dan kalau pun pemuda ini memang mata-mata musuh, maka biarlah hal itu akan kutanggung sendiri. Tapi kalau memang kalian masih menganggapku sebagai ratu, maka ikutlah padaku! Aku percaya kalau dia jujur. Maka, hendaknya kalian pun percaya padanya!”

“Kalau memang demikian kehendak Tuanku, maka kami mematuhinya!” sahut Kijang Merah.

Wanita berperawakan tegap itu kemudian berlutut dihadapan Pendekar Rajawali Sakti, diikuti para prajuritnya.

“Tuan! Karena Ratu kami mempercayaimu, maka kami pun mempercayaimu! Katakanlah, apa yang bisa kami bantu?” tanya Kijang Merah, tetap berkerut.

“Bangunlah. Pertama, aku ingin agar kalian tidak merendahkan martabat laki-laki. Yang harus dipandang rendah adalah mereka yang berbuat kejahatan. Tidak peduli laki-laki atau wanita!” ujar Pendekar Rajawali Sakti.

“Baiklah, jika memang begitu kehendak Tuan!”

“Kemudian, kalian tidak usah khawatir dengan ratumu. Dia dalam pengawasanku. Maka kujamin keselamatannya dengan nyawa sebagai taruhannya!” tambah Rangga mantap.

“Kami senang mendengarnya.”

“Nah! Sekarang, ceritakan padaku tentang seluk-beluk istana, serta daerah-daerah dipulau itu secara terperinci. Juga, perhitungkan kekuatan musuh. Jangan lupa, perkirakan kekuatan kita sendiri jika para prajuritmu dibebaskan!”

Kijang Merah segera menerangkan apa yang diinginkan Pendekar Rajawali Sakti dengan panjang lebar.

“Sekarang dua orang harap menjaga dan merawat kawan-kawan kalian yang terluka...!” ujar Pendekar Rajawali Sakti setelah mendengar cerita Kijang Merah.

“Apakah kita akan menyerang mereka sekarang?” tanya Kijang Merah.

“Ya!” sahut Rangga mantap.

“Mereka pasti tahu!”

Rangga tersenyum. “Betul! Tapi ada hal yang kuperhitungkan. Yaitu, sebagian dari mereka saat ini akan bertolak ketempatnya untuk melaporkan hasil kerja kepada pimpinan mereka. Oleh sebab itu, kekuatan mereka berkurang,” jelas Rangga.

“Tapi tetap saja amat berbahaya...?!” keluh Kijang Merah dengan sikap ragu.

“Bukankah kalian bangsa pelaut? Kalian tentu hebat di lautan, bukan? Jalankan perahu. Dan, jangan ditambatkan dipantai. Buanglah jangkar agak jauh dari pantai. Kemudian, berenanglah ke pantai di tempat yang tersembunyi. Aku akan mengagetkan mereka. Sehingga bila perhatian mereka telah tertuju padaku, disaat itulah kalian bebaskan para tawanan,” lanjut Rangga membeberkan rencananya.

“Apakah tidak berbahaya?” tanya Kembang Taji.

“Kita hanya punya kesempatan sekali ini saja. Mereka hanya mengetahui, kalau jumlah prajurit yang dibawa sang Ratu hanya sedikit. Sehingga tidak mungkin mampu melawan mereka. Oleh sebab itu, yang bertolak saat ini jumlahnya cukup banyak untuk melaporkan kerja mereka pada si Hiu Perak.”

“Hiu Perak? Itukah pemimpin mereka?” tanya Kembang Taji.

“Begitulah menurut apa yang kudengar.”

“Baiklah. Kita bergerak sekarang!”

“Kenapa Ratu tidak tinggal disini saja. Biar kami yang berperang melawan mereka?” tukas Kijang Merah.

“Tidak! Aku ingin rakyat juga melihat bahwa ratu mereka pantas menjadi panutan dengan ikut berjuang!”

Kijang Merah tidak bisa berkata apa-apa lagi mendengar jawaban itu.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Gagas Kelana tengah berpesta-pora menyambut kemenangan kali ini. Laki-laki itu sengaja membawa anak buahnya masuk ke dalam istana ditemani gadis-gadis cantik penghuni istana yang kini menjadi tawanan.

“He he he...! Ayo, mari kita berpesta! Tidak usah malu-malu! Kita berada di surga. Dan segalanya ada di sini! Mau wanita tinggal pilih. Mau harta, tinggal ambil! Hua ha ha...!”

Suara tawa Gagas Kelana menggelegar. Sesekali dia menenggak anggur merah. Dua orang gadis dalam dekapannya, menuangkan anggur ke dalam cangkir. Tampaknya mereka enggan melakukannya. Namun, tidak punya pilihan lain. Keduanya sesekali melengos, ketika Gagas Kelana hendak mencumbu.

“Hehhh! Kalian kira bisa selamat dengan berontak begitu? Negeri ini ada dalam telapak kakiku. Tidak usah bermimpi kalau kalian bisa berbuat macam-macam!” desis laki-laki itu geram.

“Aaah...!” Kedua gadis itu mengeluh tertahan, ketika Gagas Kelana merenggut rambut mereka. Sehingga, wajah keduanya mendongak ke atas.

Pada saat itu juga beberapa anak buahnya keluar dari beberapa kamar sambil mesem-mesem dan membetulkan letak celananya.

“Ada apa?” tanya salah seorang.

“He he he...! Agaknya kau belum juga mau mencicipi mereka!” seru yang lain.

“Diam kalian!” bentak Gagas Kelana geram.

Laki-laki itu tampak tersinggung, meski anak buahnya tidak bermaksud demikian. Tak seorang pun yang tahu kalau sebenarnya dia tidak mampu mengumbar nafsu kelaki-lakiannya pada wanita seperti yang dilakukan anak buahnya. Gagas Kelana hanya bisa gigit jari, dan hanya mampu mencumbu serta membelai-belai gadis-gadis dalam dekapannya. Dan ketika anak buahnya selesai melampiaskan nafsu kelelakiannya, lalu berkata seperti tadi, maka seketika kemarahannya bangkit.

“Maaf, Kang. Kami tidak bermaksud menyinggung perasaanmu,” sahut seorang anak buahnya dengan sikap bersalah.

“Iya, Kang? Maafkan kami. Kami tidak tahu kalau hal itu membuatmu tersinggung,” timpal yang lain.

“Sudahlah! Kalian boleh teruskan pekerjaan lain.”

“Baik, Kang.”

“Eit, tunggu dulu!” sentak Gagas Kelana sebelum mereka meninggalkan ruangan ini.

“Ada apa, Kang?” sahut salah seorang, mewakili kawan-kawannya.

“Bagaimana pekerjaan kalian? Sudah beres?”

“Beres, Kang!” sahut orang itu dengan wajah gembira.

Tapi, tiba-tiba wajah kedua orang itu berubah murung. Dan perlahan-lahan didekatinya Gagas Kelana yang menjadi pemimpin di sini.

“Ada apa?” tanya Gagas Kelana curiga.

“Anu, Kang. Sindu dan Setiaji belum kembali.”

“Maksudmu?!” tanya Gagas Kelana dengan wajah tampak mulai murka.

“Mereka belum kembali. Anak buah Ki Muwangkoro pun belum kembali juga....”

“Goblok! Kenapa kalian tidak bertindak cepat?! Anak buah Muwangkoro bisa kembali dan melaporkan kejadian ini padanya!”

“Eh! Akan kami cari mereka sekarang ini juga, Kang...!”

“Cepaaat...!”

“Ba... baik, Kang!” Setelah menjura hormat dengan tubuh gemetar ketakutan, mereka segera berlalu dari ruangan ini.

Sementara Gagas Kelana masih bersungut-sungut kesal mendengar berita dari anak buahnya itu. Sehingga pikirannya tidak lagi terpaku pada kedua gadis yang berada di dekatnya.

“Ke sini kau!” teriak laki-laki yang masih berusia muda ini memanggil seorang anak buahnya.

“Ada apa. Kang?” sahut orang itu buru-buru menghampiri.

“Di mana si Muwangkoro sekarang?”

“Ada di tempatnya. Kang.”

“Pergi ke sana, dan awasi semua anak buahnya! Bawa beberapa orang kawanmu!”

“Baik, Kang!”

“Cepaaat...!”

“Ba..., baik. Kang!” sahut orang itu tergagap dan segera meninggalkan ruangan.

“Kau! Ke sini...!” bentak Gagas Kelana pada seorang lagi.

Orang itu buru-buru menghampiri, dan nyaris terpeleset di lantai ruangan yang agak licin.

“Panggil Garlika ke sini!”

“Baik, Kang...!” sahut orang itu cepat. Dengan sigap, dia segera melompat meninggalkan ruangan, sebelum Gagas Kelana membentaknya seperti yang lain.

“Huh!” Baru saja Gagas Kelana menghempaskan napas beberapa kali, salah satu anak buahnya masuk ke dalam.

“Mau apa kau?!” sentak pemuda ini.

“Eh! Ki Muwangkoro akan menghadap, Kang,” sahut orang itu ketakutan.

“Hm, suruh dia masuk!”

“Baik, Kang.”

Gagas Kelana segera bangkit berdiri menyambut sekutunya. Wajahnya dibuat semanis mungkin, ketika mempersilakan tangan kanan Ki Seta itu duduk.

“Ada apa gerangan, Ki Muwangkoro...?”

“Langsung saja. Gagas Kelana. Aku tidak biasa berbasa-basi,” kata laki-laki yang ternyata Ki Muwangkoro.

“O, ya! Katakanlah, ada apa?”

“Beberapa anak buahku kau sertakan dalam pencarian ratu mereka. Anak buahku kembali. Tapi, mereka mengatakan kalau habis diserang musuh. Aku tidak mengerti, bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa barangkali anak buahmu berdiam diri saja melihat anak buahku berhadapan dengan musuh? Atau, mereka memang sengaja menjerumuskannya?” tanya Ki Muwangkoro sinis.

TUJUH

Wajah Gagas Kelana terkesiap kaget, tapi perlahan-lahan mengembangkan senyum. “Agaknya kau terlalu mencurigai kami, Sobat. Mana mungkin kami akan berbuat begitu?, Kalian adalah kawan sendiri. Dan kita telah sepakat, bahwa harta benda serta seluruh kekayaan yang ada di sini akan dibagi rata,” ujar Gagas Kelana berkilah.

“Kalau begitu, tunggu apa lagi? Kita telah taklukkan mereka. Dan kita telah memperoleh apa yang diinginkan! Kenapa tidak lekas angkat kaki dari sini?” tanya Ki Muwangkoro.

“Sabarlah, Sobat. Masih banyak yang harus kita temukan di sini. Tidakkah kau lihat, bahwa tempat ini amat menakjubkan?” kilah Gagas Kelana.

“Kami tidak butuh hal-hal lain, Gagas Kelana. Tentukan bagian kami. Dan kami segera akan angkat kaki dari sini!” dengus Ki Muwangkoro.

“Hm.... Kenapa terburu-buru? Apakah kau dan anak buahmu tidak ingin bersenang-senang dulu? Disini segalanya tersedia. Bahkan wanita-wanita cantik tinggal pilih saja. Lagi pula, beberapa anak buahmu masih belum kembali. Juga beberapa lainnya tengah menemani anak buahku untuk melapor pada si Hiu Perak.”

“Kau boleh melapor pada pimpinanmu. Sedang aku tidak kau berikan perahu untuk melapor pada pimpinanku!”

“Sabar, sabar...! Bukankah Ki Seta telah menyerahkan urusan ini pada si Hiu Perak? Dia mempercayainya. Lalu, kenapa kau malah mencurigai kami? Apakah kau sengaja hendak merusak persahabatan yang telah terjalin diantara mereka?”

“Gagas Kelana! Aku tidak pandai bersilat lidah! Harap kau kabulkan saja keinginan kami. Berikan harta bagian kami, termasuk separuh wanita-wanita muda yang mendiami pulau ini. Setelah itu, kami akan angkat kaki dari sini!” sentak Ki Muwangkoro.

“Ha ha ha...! Tenanglah, Sobat. Itu soal mudah. Mana mungkin aku berani mengangkangi harta benda ini semua. Tentu saja akan kita bagi dua. Tapi kalau kau menginginkannya, Ki Seta akan kecewa sekali. Sebab dengan begitu kau telah menyerahkan pulau serta istana yang indah kepada kami....”

Ki Muwangkoro terdiam sesaat. Apa yang dikatakan Gagas Kelana memang benar. Bila dia meninggalkan tempat ini berarti istana serta isinya telah sah menjadi milik si Hiu Perak. Dan kalau pun dia meminta bagiannya segera, bukannya tanpa alasan. Ki Muwangkoro mulai mencium adanya ketidakberesan. Orang-orangnya mulai menghilang satu-persatu. Sementara, anak buah Gagas Kelana seperti mulai menguasai seluruh pelosok pulau ini.

“Bagaimana, Sobat...?” tanya Gagas Kelana sambil tersenyum-senyum kecil.

“Biar kuputuskan bersama anak buahku....”

“Ha ha ha...! Kau pemimpin mereka. Apa yang kau katakan mereka pasti menurut. Lagi pula, usulku itu tidak buruk. Karena, demi kepentingan kita bersama. Kalau saja aku bermaksud buruk, maka tidak akan kuberitahu padamu tentang hal itu.”

Ki Muwangkoro terdiam lagi untuk beberapa saat.

“Sudahlah, lebih baik kau kembali ke tempatmu dan bersenang-senang. Kenapa harus mempersoalkan hal-hal sepele yang bisa menimbulkan perselisihan diantara kita...?” ujar Gagas Kelana.

“Mungkin juga kau benar. Aku permisi dulu...!” sahut Ki Muwangkoro, pendek.

Orang itu segera meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi, diiringi senyum Gagas Kelana. Di depan pintu, dia bertemu salah seorang anak buah Gagas Kelana yang hendak ke dalam. Mereka sempat bertegur sapa, namun Ki Muwangkoro terus melangkah keluar.

“Kenapa tidak kau suruh aku membereskan orang itu?” tanya anak buah Gagas Kelana seraya duduk seenaknya di dekat pimpinannya.

“Tidak sekarang, Garlika. Kita jangan ceroboh dan tidak boleh seorang pun yang boleh lolos. Mereka harus mati, tanpa menyadari bahwa maut tengah mengintainya!” sahut Gagas Kelana sambil tersenyum-senyum.

“Huh! Sudah muak aku melihat mereka!” dengus laki-laki yang dipanggil Garlika.

“He he he...! Kau ini kenapa tidak bisa bersabar? Kalau terus begini, jangan-jangan kau malah membahayakan kedudukanku?!” kata Gagas Kelana.

“Sial kau. Gagas!” umpat Garlika. “Aku bukan sekadar anak buahmu. Tapi, juga kawanmu sejak kecil. Apakah kau tidak mempercayaiku?!”

“Ha ha ha...! Aku hanya berkelakar, Sobat. Aku tahu, diantara kawan-kawanku, kaulah yang paling bisa dipercaya.”

“Nah! Lalu, urusan apa kau hendak memanggilku ke sini?”

Gagas Kelana tidak langsung menjawab. Tapi, disuruhnya pergi kedua gadis itu dari ruangan ini lebih dulu.

“Kau tahu, harta disini cukup banyak. Kita bisa berbuat apa saja dengan harta ini, bukan?” ujar Gagas Kelana, berbisik.

“Benar. Maksudmu, akan kita kelabui saja si Hiu Perak itu?” tanya Garlika seperti kurang percaya.

“He he he...! Kau sungguh pintar, Sobat. Aku telah mengirim orang-orang yang bisa kupercaya menghadap kepadanya. Lalu disini, pelan-pelan akan kita singkirkan dulu si Muwangkoro beserta anak buahnya. Tapi sebelum itu, aku masih membutuhkan tenaga mereka. Oleh sebab itu, tidak perlu terburu-buru melenyapkan mereka,” jelas Gagas Kelana.

“Pintar sekali kau, Sobat!” puji Garlika sambil tertawa terkekeh-kekeh.

“He he he...!” Gagas Kelana ikut tertawa girang bersamanya.

Pada saat itu muncul seorang dengan tergopoh-gopoh. Mukanya pucat dan tubuhnya gemetar. “Celaka, Kang! Ada seorang pemuda sedang mengamuk!” lapor orang itu.

“Apa?! Kurang ajar! Tangkap dia. Dan, bunuh sekaligus!” sentak Gagas Kelana.

“Tapi, Kang.... Pemuda itu kuat sekali. Ba..., banyak anggota kita yang tewas di tangannya....”

“Kurang ajar!” dengus Gagas Kelana menggeram. Namun sebelum laki-laki itu semakin murka, Garlika cepat berdiri.

“Biar kulihat, siapa bocah itu. Tenang saja. Sobat. Akan kubereskan segera!” ujar Garlika, lalu melangkah lebar meninggalkan ruangan ini.

Memang, apa yang dikatakan orang tadi tidak salah. Sebagian anggota si Hiu Perak kini berkumpul di satu tempat, dan beramai-ramai mengerubuti seorang pemuda berbaju rompi putih. Dan Garlika tidak sempat memperhatikan, kalau anak buah Ki Muwangkoro ternyata tidak ikut membantu. Dia terlalu sibuk melihat korban yang jatuh semakin banyak.

“Berhenti semua! Biar kubereskan bocah ini!” bentak Garlika dengan suara menggelegar.

Saat itu juga, pertarungan berhenti. Sementara para anak buah Gagas Kelana segera menyingkir dan memberi jalan pada Garlika begitu mengetahui siapa yang muncul. Dan Garlika memandang sinis pada pemuda yang dikeroyok. Perlahan-lahan didekatinya dengan sikap mengancam.

“Bocah busuk! Kau cari mati berani datang ke sini!” desis Garlika geram.

“Tidak usah banyak mulut! Kedatanganku kesini justru ingin mencabut nyawa busuk kalian semua!” sahut pemuda berbaju rompi putih itu, dingin. Dia tak lain memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

“Setan!” bentak Garlika geram.

Sret!

Laki-laki berusia sekitar tiga puluh delapan tahun itu langsung mencabut golok panjang dari pinggang. “Mampus kau! Yeaaa...!”

Disertai teriakan keras, Garlika meluruk kearah Pendekar Rajawali Sakti dengan sabetan goloknya. Tapi yang dihadapi Garlika adalah Pendekar Rajawali Sakti, seorang pendekar tingkat atas. Dengan pedang di tangan yang berhasil direbutnya dari tangan salah seorang lawan, Rangga menangkis senjata Garlika.

Trang!

Begitu habis terjadi benturan, Pendekar Rajawali Sakti cepat menyerang ganas. Sedangkan Garlika terkesiap. Ujung pedang itu nyaris menebas lehernya kalau tidak cepat melompat ke belakang. Dan baru saja menjejakkan kaki, serangan Pendekar Rajawali Sakti telah datang lagi. Dengan sebisanya, Garlika menangkis dengan golok panjangnya.

Namun Garlika kontan meringis, begitu telapak tangannya terasa linu dan sakit sekali sehabis menangkis. Dan dengan kerepotan, dia terpaksa membuang diri kesamping untuk menghindari tebasan senjata Pendekar Rajawali Sakti yang bertubi-tubi.

“Heaaat...!” Tubuh Pendekar Rajawali Sakti melompat dan mengejar Garlika yang bergulingan menghindarkan diri dari sambaran pedangnya.

“Hup!” Dan baru saja Garlika bangkit, satu tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dadanya.

Des!

“Akh...!” Garlika memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal kebelakang. Dan sebelum sampai menyentuh tanah, senjata Pendekar Rajawali Sakti meluncur dengan serangan kilat.

“Hiiih!”

Bles!

“Aaa...!”

Gerakan Pendekar Rajawali Sakti cepat sekali. Bahkan orang-orang yang berada di sekitarnya tidak mampu mengikuti dengan pandangan mata. Yang terlihat, tahu-tahu pedang pemuda itu menancap dijantung Garlika. Tubuh Garlika terhempas ke belakang dengan darah mengucur deras dari luka di dada kiri. Nyawanya lepas beberapa saat kemudian.

“Siapa yang ingin menyusul, maju ke sini!” dengus Pendekar Rajawali Sakti, dingin.

Pandangan mata Rangga tajam mengawasi mereka satu-persatu. Dan untuk sesaat tampak mereka ragu-ragu melanjutkan serangan. Tapi sejurus kemudian, mungkin orang-orang itu menyadari kalau jumlah mereka banyak. Maka saat itu juga terdengar teriakan beberapa orang yang melompat menyerang Rangga secara serentak.

“Heaaat...!”

“Yeaaa...!”

“Huh!”

Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tidak tinggal diam jika tak ingin celaka. Sebelum mereka sempat melayangkan senjata, maka Rangga telah lebih dulu berkelebat menyerang dengan pengerahan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Sementara pedang di tangannya berkelebat bagai kilat, menyambar-nyambar.

Trang! Trak!

Cras! Bret!

“Aaa...!”

Korban-korban kembali berjatuhan. Namun begitu mereka terus bersemangat menyerang tanpa mengenal rasa takut. Sedangkan Rangga sendiri agaknya betul-betul ingin menunjukkan pada mereka, kalau mampu bertindak kejam. Sehingga, pedangnya seperti tidak bermata dan menyambar siapa saja yang berada didekatnya.

Pada saat kemudian, mereka dikejutkan teriakan-teriakan nyaring dari arah lain. Beberapa orang anak buah Gagas Kelana tersungkur berlumuran darah. Tentu saja hal itu membuat mereka terkejut. Terlebih lagi ketika mengetahui bahwa orang-orang yang melakukan pembunuhan itu.

“Keparat! Mereka orang-orangnya Ki Muwangkoro!” seru salah seorang anak buah Gagas Kelana.

“Singkirkan mereka!”

“Bunuuuh...!”

Pasukan itu terpecah menjadi dua bagian. Tapi, Rangga agaknya tidak membiarkan mereka pergi begitu saja. Pemuda itu kembali mengamuk, untuk mengejutkan mereka.

“Heaaa...!”

Tring! Breeet!

“Aaa...!”

Beberapa orang kembali ambruk bermandikan darah disambar pedang Rangga. Sehingga membuat yang lainnya semakin kalut. Sebab dengan begitu, anak buah Ki Muwangkoro akan terus menghajar mereka habis-habisan.

“Aaa...!”

Dalam pada itu kembali terdengar jerit kematian dari mana-mana. Dan banyak di antara anak buah Gagas Kelana yang tewas menemui ajalnya. Kali ini mereka dikagetkan, sebab yang menyerang adalah pasukan yang terdiri dari wanita. Penduduk asli pulau ini!

Dengan adanya serangan-serangan mendadak dalam waktu dekat membuat anak buah Hiu Perak yang berada di bawah pengawasan Gagas Kelana kocar-kacir. Sebagian malah terbirit-birit melarikan diri menyerbu pantai dan berebutan mencari perahu-perahu. Sementara, yang terjebak dalam kepungan itu melawan mati-matian.

“Yeaaa...!” Pada saat itu juga mencelat sesosok tubuh, dan langsung menghantam anak buah Ki Muwangkoro.

Crass! Cras!

“Aaa.... Akh!”

Dua orang tewas seketika ditebas pedang panjang milik orang itu. Tapi ketika hendak menyerang lawan yang lain, Pendekar Rajawali Sakti telah melompat menangkis.

Trang! Wuuut!

“Uhhh...!” Sosok itu kontan terkesiap. Tangannya bergetar setelah menangkis senjata yang dipegang Pendekar Rajawali Sakti.

“Kaukah pemuda pengacau itu?!” dengus sosok ini geram.

“Bukan. Kau salah duga. Aku malaikat maut yang hendak mencabut nyawamu!” sahut Pendekar Rajawali Sakti, dingin.

Pada saat itu Ki Muwangkoro muncul dengan pedang masih berlumur darah. “Sobat muda! Serahkan keparat Gagas Kelana itu padaku! Dia telah membunuh anak buahku!” dengus Ki Muwangkoro geram.

“Ki Muwangkoro! Apa-apaan ini?! Kau malah membela pemuda ini, dan bukannya bersatu denganku?!” hardik sosok yang ternyata Gagas Kelana.

“Gagas Kelana! Tidak perlu menjelaskan lagi. Kau memang pandai bersilat lidah. Tapi kali ini, aku tidak mau tertipu olehmu. Seorang anak buahku telah kembali. Dia menceritakan, bagaimana niat busukmu! Kau sertakan anak buahku mencari ratu mereka, tapi ternyata hal itu hanya siasat busukmu! Kau perintahkan anak buahmu membunuh mereka. Maka, kini aku menagih nyawa mereka dengan kepalamu!” sahut Ki Muwangkoro lantang.

Kelihatan sekali kalau Ki Muwangkoro tidak bisa menahan amarahnya. Langsung diserangnya Gagas Kelana dengan satu kelebatan yang cepat bagai kilat.

“Mampus kau!”

“Uts!” Gagas Kelana berkelit gesit. Kemudian senjatanya dikibaskan cepat balas menyerang. Namun, Ki Muwangkoro yang tengah diliputi amarah, dengan gerakan tidak kalah gesit cepat mengelak. Saat itu juga pertarungan sengit terjadi.

Sementara Pendekar Rajawali Sakti tidak peduli pada pertarungan. Dia kembali menghajar anak buah Gagas Kelana. “Heaaa...!”

Trang! Bret! Cras!

“Aaa...!”

Pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak mencari korban. Dua orang tewas seketika dengan leher nyaris putus. Dan seorang lagi menyusul dengan pinggang robek.

“Hup! Yeaaa...!” Pendekar Rajawali Sakti terus melompat ringan, mendekati satu orang dari pasukan yang terdiri dari para wanita itu. Dia bermaksud melindungi dari serangan.

“Maaf, Kembang Taji...! Aku sedikit lengah, sehingga lupa tanggung jawabku...!” ucap Rangga seraya mengibaskan pedang, ketika ada dua serangan datang.

Trak! Cras!

“Aaa...!” Dua orang yang berada di dekatnya kontan memekik kesakitan ketika pedang Pendekar Rajawali Sakti menebas leher.

“Tidak apa. Aku mampu melindungi diriku...,” sahut sosok yang tak lain Kembang Taji.

“Sudah bertemu Guru Suci serta para Guru Tua?”

“Sudah.”

“Syukurlah.”

Sementara itu. Kijang Merah bertempur dengan semangat menyala-nyala. Banyak musuh yang tewas di tangannya. Sedangkan para prajurit yang lainnya yang tadi dibebaskan, kini melampiaskan dendam pada orang-orang Gagas Kelana yang berbuat sesuka hatinya pada mereka. Sehingga begitu ada kesempatan membalas, maka mereka pergunakan sebaik-baiknya.

Anak buah Gagas Kelana agaknya tidak punya nyali lagi untuk bertahan dari serangan. Mereka yang masih sayang dengan nyawanya, berusaha menyelamatkan diri dan kabur dari tempat itu.

“Kejar! Jangan biarkan seorang pun dari mereka lolos!” teriak Kijang Merah, memberi perintah pada anak buahnya.

Maka dengan serta-merta para prajurit wanita itu mengejar orang-orang itu ke mana pun mereka pergi. Meskipun panglima mereka tidak memberi perintah, tetap saja gadis-gadis itu akan mengejar dan membinasakan lawan-lawannya. Bahkan sampai yang tengah berperahu pun dikejar dan diserang dari bawah laut.

Sedangkan sisanya, menjadi bagian anak buah Ki Muwangkoro. Mereka pun agaknya punya dendam yang sama meski kejadiannya berbeda. Orang-orang itu merasa dikhianati, setelah mengetahui kalau kawan-kawan mereka dibantai orang-orang yang selama ini dianggap kawan sendiri.

“Hm.... Agaknya semua berjalan sesuai rencana...,” ujar Kembang Taji sambil tersenyum kecil.

“Syukurlah...,” sahut Rangga.

Anak buah Gagas Kelana tinggal sedikit saja. Demikian pula anak buah Ki Muwangkoro. Sedangkan pimpinan mereka saat ini tengah terlibat pertarungan, ditonton Pendekar Rajawali Sakti dan yang lainnya.

DELAPAN

Seperti dua orang musuh yang saling melepaskan dendam kesumat masing-masing, Gagas Kelana yang memang sejak semula ingin menyingkirkan Ki Muwangkoro, sudah barang tentu tidak mau mengalah begitu saja. Demikian pula sebaliknya Ki Muwangkoro. Orang itu merasa dikhianati. Padahal, Gagas Kelana sudah dianggap sebagai kawan. Sehingga, dendamnya semakin bergejolak dan tidak dapat ditahan lagi.

Kepandaian mereka sebenarnya seimbang. Sehingga sulit untuk menentukan, mana yang lebih unggul. Tidak heran kalau keduanya sama-sama mengalami luka parah yang cukup seimbang.

“Apa yang harus kita lakukan terhadap mereka?” tanya Kembang Taji.

“Tidak usah ditangkap atau dipisahkan. Untuk sementara, biarkan mereka saling baku hantam. Kita kumpulkan saja anak buah Muwangkoro itu kesini.”

“Prajurit-prajuritku segera melakukannya!”

Kembang Taji segera memberi isyarat pada seorang prajurit, lalu mereka bicara sebentar. Kemudian, prajurit itu segera berlalu.

Sementara menunggu, mereka kembali melihat pertarungan antara Gagas Kelana melawan Ki Muwangkoro. Keduanya sama-sama jatuh lemas. Gagas Kelana mendapat luka dipinggang, sedang perut Ki Muwangkoro robek disambar senjata. Meski begitu keduanya masih berusaha bangkit dan bermaksud menghabisi.

“Keparat kau. Gagas! Aku tidak akan puas sebelum kau mati!” desis Ki Muwangkoro.

“Huh! Kau kira bisa menghabisiku, Setan! Kaulah yang akan mampus di tanganku!” balas Gagas Kelana.

“Uhhh...! Hiiih...!” Ki Muwangkoro mengkertak rahang, lalu mengibaskan pedangnya. Namun Gagas Kelana cepat dapat menangkisnya.

Trang!

Pedang itu terus bergeser, menyambar pangkal leher Gagas Kelana.

Crasss!

Pada saat yang sama senjata Gagas Kelana menghunjam dalam ke jantung kiri Ki Muwangkoro.

Bles!

“Aaah...!”

Keduanya sama-sama terpekik. Gagas Kelana lebih dulu roboh dengan kepala nyaris putus. Sementara, Ki Muwangkoro terhuyung-huyung kebelakang sambal memegangi pedang yang menancap di dadanya.

“To..., tolong...,” ujar Ki Muwangkoro lemah, seraya menggapai-gapaikan tangan.

Rangga buru-buru mendekat, pura-pura memeriksa lukanya. Namun baru saja memegang tubuh Ki Muwangkoro, orang itu telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Pendekar Rajawali Sakti hanya menggeleng lemah dan merebahkannya pelan-pelan ke tanah.

Pemuda itu kemudian bangkit berdiri, lalu menatap agak lama pada mayat itu. Kemudian kepalanya berpaling. Beberapa anak buah Ki Muwangkoro yang berada ditempat itu, buru-buru menghampiri jenazah pemimpinnya.

“Kisanak! Kami mengucapkan terima kasih atas bantuanmu...,” ujar salah seorang anak buah Ki Muwangkoro yang tak lain Panjalu.

Memang dari Panjalu-lah Ki Muwangkoro serta yang lainnya mengetahui kalau mereka telah dikhianati Gagas Kelana.

“Kau juga membantu kami. Nah, mewakili mereka aku pun mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu dan kawan-kawanmu,” sahut Rangga.

“Kami akan angkat kaki dari pulau ini sekarang juga...,” suara Panjalu terdengar lesu.

Wajah Pendekar Rajawali Sakti mendongak keatas. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat Dan di sekitar tempat ini, obor-obor telah dinyalakan sebagai penerangan.

“Kurasa Ratu Kembang Taji tidak keberatan, kalau kau dan kawan-kawanmu menginap barang semalam...,” kata Rangga.

“Kalian boleh menginap satu malam ini. Lalu, besok pagi pergilah! Kami akan menyiapkan perahu-perahu untuk kalian!” sahut Kembang Taji cepat.

“Terima kasih, Ratu. Kami akan berangkat pagi-pagi sekali!”

“Dan, ingat! Jangan coba-coba mempermainkan rakyat serta para prajuritku. Kecuali, mereka suka dengan sendirinya. Bila ada saja yang berani mengganggu, maka aku tidak akan segan-segan menghukum pancung kepala kalian!”

“Aku akan ingat hal itu. Sang Ratu....”

Kembang Taji memberi isyarat, pada lima prajurit. Maka mereka segera mengajak Panjalu dan kawan-kawannya untuk beristirahat.

“Hm.... Kau memang seorang ratu yang bijaksana,” puji Rangga.

Kembang Taji tersenyum. “Aku belajar banyak dari pengalaman. Juga dari Guru Suci. Aku belajar untuk bersikap arif pada musuh,” jelas Kembang Taji.

“Rakyat serta seluruh penghuni negeri ini pasti suka padamu.”

“Terima kasih....”

Sementara itu, Panglima Kijang Merah telah kembali bersama Guru Suci dan para Guru Tua, serta Nenek Kampar Ilir. Kembang Taji segera memberi hormat pada mereka. Demikian pula Rangga.

“Hm.... Inikah pemuda gagah yang telah membantu kita?” tanya Guru Suci dengan suara bergumam dan bibir tersenyum.

“Guru Suci! Masih ingatkah kau dengan salah satu ketentuan di kerajaan ini?” tanya salah seorang dari Guru Tua yang berjumlah lima orang.

“Hm, tentang apa itu?” Guru Suci malah balik bertanya.

“Setiap laki-laki yang berjasa bagi negeri, maka derajatnya akan kita tinggikan....”

“Ya, aku ingat itu.” Guru Suci memandang Pendekar Rajawali Sakti. Lalu diusapnya kening dan dahi Rangga.

“Dengan berkatku, mana kutinggikan derajat serta martabatmu, Anak Muda!” seru Guru Suci.

“Terima kasih. Aku senang sekali dengan pemberkatan kalian. Tapi harap tidak salah mengerti. Aku berasal dari dunia luar. Dan selama ini, selalu berpendapat bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama. Ada pun mereka yang hina adalah yang melakukan kejahatan...,” ucap Rangga, kalem.

“He he he...! Benar sekali kau, Anak Muda...!” seru Nenek Kampar Ilir. “Tapi seperti yang telah kau katakan, kau dari dunia luar. Maka di sini, hal itu penghargaan yang tiada tara. Kau diberkati langsung oleh Guru Suci!”

Rangga terdiam sejenak. “Ya, mungkin Nenek ini ada benarnya,” ucap Pendekar Rajawali Sakti lirih.

“Nenek Kampar Ilir adalah penasihatku, sekaligus penasihat kerajaan...,” jelas Kembang Taji.

“O, ya? Pantas. Kata-katanya sungguh bijaksana!” seru Rangga seraya tersenyum.

Tapi Nenek Kampar Ilir sama sekali tidak tersenyum. Orang tua itu malah menatap tajam kepada Pendekar Rajawali Sakti.

“Anak Muda, hati-hati bicaramu! Kau berada di pulau ini, dan segalanya harus pakai aturan!” desis Nenek Kampar Ilir.

“Nenek Kampar Ilir! Terima kasih atas nasihatmu. Aku bisa menjaga diriku sendiri!” Setelah berkata begitu, Nenek Kampar Ilir melengos dan meninggalkan tempat ini.

Guru Suci serta para Guru Tua jadi tidak enak hati. Terlebih lagi Kembang Taji. Agaknya antara pemuda itu dengan Nenek Kampar Ilir tidak saling cocok. Namun begitu, sebagai seorang ratu, dia harus bertindak bijaksana. Maka dengan ramah diajaknya, Pendekar Rajawali Sakti masuk ke dalam istana.

Tapi tidak berapa lama. Guru Suci serta para Guru Tua meninggalkan mereka berdua. Menyusul, Panglima Kijang Merah serta para prajurit lainnya yang tadi mengikuti.

“Kenapa mereka pergi...?” tanya Rangga heran.

“Mereka merasa malu denganmu....”

“Malu kenapa?”

“Seorang laki-laki, ternyata menjadi dewa penolong kami. Padahal negeri ini telah telanjur menganggap rendah derajat laki-laki. Lalu ketika Guru Suci memberi, anugerah, ternyata Nenek Kampar Ilir seperti tidak setuju. Dan yang lebih membuat mereka malu, karena kau pun ternyata tidak mau menerima anugerah itu,” jelas Kembang Taji.

Rangga terdiam, dan mengerti apa yang terjadi. Pemuda itu merenung beberapa saat. “Maaf.... Sebenarnya aku tidak bermaksud begitu,” ucap Rangga, lemah.

Kembang Taji tidak menjawab. Gadis itu terdiam. Pikirannya menerawang entah kemana. Rangga menunggu beberapa saat. Dan ketika gadis itu belum juga berpaling, pemuda ini memberanikan diri untuk membuka pembicaraan lagi.

“Mungkin kehadiranku disini tidak diperlukan lagi....”

“Eh, apa? Oh, maaf! Aku tidak bermaksud membuatmu susah!” ucap Kembang Taji.

“Aku telah cukup menyusahkan kalian, bukan?” tanya Rangga.

Kembang Taji tidak langsung menjawab. Gadis itu menarik napas agak panjang. “Kita berasal dari dunia yang berbeda. Baik adat istiadat dan kebiasaan. Sehingga setiap benturan yang terjadi, hendaknya bisa disadari dan tidak menimbulkan pertikaian. Apalagi sampai menciptakan permusuhan. Rangga! Aku tidak pernah berpikir bahwa kau menyusahkan. Bahkan dengan jujur kukatakan, bahwa kau adalah pahlawan kami. Semua orang di negeri ini pasti akan mengingat dan mengenangmu,” tutur Kembang Taji, lirih.

“Terima kasih...,” desah Rangga, halus.

“Kau tidak merasa tersinggung, bukan?”

Rangga tersenyum. Sebagai seorang yang hidup di lingkungan yang tidak menghargai arti laki-laki, rasanya agak janggal bila Kembang Taji menanyakan perasaannya. Tapi sebagai seorang ratu, agaknya Rangga bisa menilai bahwa gadis ini lebih arif ketimbang yang lainnya.

“Tidak,” jawab Rangga, singkat.

“Syukurlah....”

“Eh, aku sampai lupa! Bagaimana anak buah Gagas Kelana?”

“Para prajuritku telah membereskan mereka!”

“Tapi sayang, sebelumnya mereka sempat bertolak. Mungkin saat ini, si Hiu Perak tengah mempersiapkan armada untuk menyambut kemenangan anak buahnya.”

“Ya! Aku pun tengah memikirkan hal itu,” sahut Kembang Taji masygul. “Jumlah prajurit kami berkurang banyak. Dan rasanya tidak akan sanggup menahan seandainya mereka menyerang kembali....”

“Ya, aku bisa mengerti. Mestinya Ki Muwangkoro dan anak buahnya bisa kita manfaatkan. Tapi kalau mereka tidak kembali, pemimpinnya tentu akan bertanya-tanya. Dan bukan tidak mungkin, akan bertolak kesini,” kata Rangga.

“Aku jadi merasa bahwa kemelut ini akan semakin kacau dan tak ada akhirnya,” desah Kembang Taji.

“Kau ingin aku membantumu lagi?”

“Aku sungkan untuk memintanya.”

“Aku akan membantu kalian tanpa diminta.”

Kembang Taji terdiam sesaat. “Bagaimana caramu membantu kami?”

“Malam ini juga, akan kupastikan kalau atasan Ki Muwangkoro mengetahui kalau mereka telah dikhianati kawannya sendiri. Dengan begitu, kuharap mereka akan saling berperang!”

“Bagus sekali! Tapi, bagaimana caranya?”

“Akan kubawa Ki Muwangkoro menghadap pemimpinnya malam ini juga!”

“Malam ini? Bagaimana mungkin? Perairan di sekitar pulau ini sering mengganas di malam hari. Kalian tidak akan selamat. Lagi pula, hal itu memerlukan waktu cukup lama!” tanya Kembang Taji, heran.

“Tidak usah khawatir...,” sahut Rangga, enteng.

“Maksudmu?”

“Sudahlah.... Yang jelas setelah aku berhasil meyakinkan pemimpin mereka aku tidak bisa kembali lagi,” kata Rangga.

Kembang Taji terkesiap. Di pandanginya pemuda itu sejurus lamanya, seperti tidak percaya akan pendengarannya tadi.

“Kau..., kau akan pergi meninggalkan kami...?”

“Kehadiranku disini hanya untuk membantu kalian. Bila segalanya telah selesai, maka aku harus pergi. Banyak orang lain yang mungkin memerlukan pertolonganku,” sahut Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum.

“Berarti kita tidak akan bertemu lagi?”

“Kita akan bertemu bila panjang umur. Dan kau bisa saja menemuiku kapan saja kau suka!”

“Di mana?”

“Di sebuah negeri bernama Karang Setra. Negeri itu terletak ditanah Jawadwipa dibagian timur. Bila kau mendarat di pulau besar yang berada di utara itu, maka teruslah ke timur. Bila menunggang kuda, maka akan tiba empat hari perjalanan setelah diselingi istirahat,” jelas Rangga.

“Karang Setra? Hm.... Aku akan mengingatnya. Orang-orang disana pasti akan mengenalmu?” tanya Kembang Taji.

“Ya! Mereka akan kenal Pendekar Rajawali Sakti.”

“Pendekar Rajawali Sakti? Begitukah mereka memanggilmu?”

“Begitulah orang-orang persilatan memanggilku,” sahut Pendekar Rajawali Sakti.

Kembang Taji tersenyum kecil.

“Aku berangkat sekarang. Akan kupastikan segala sesuatunya beres. Dan tidak usah khawatir. Sebab bila pemimpin Ki Muwangkoro tidak mau kuhasut, akan kuhancurkan mereka. Juga, si Hiu Perak itu,” tandas Pendekar Rajawali Sakti.

“Terima kasih....”

Rangga segera meninggalkan tempat itu untuk menemui Ki Muwangkoro, lalu pergi meninggalkan pulau ini sekarang juga. Sementara Kembang Taji masih memperhatikan pemuda itu dari jendela kamarnya. Wajah gadis itu tampak muram. Bola matanya berkaca-kaca. Dan entah kenapa, kedua pipinya terasa hangat ketika beberapa tetes air mata membasahi. Entah apa yang dirasakannya saat ini.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: WANITA IBLIS

Istana Tulang Emas

ISTANA TULANG EMAS

SATU

PULAU Perawan sebenarnya tidak terlalu jauh dari pantai barat Tanah Jawadwipa ini. Kalau diperkirakan, mungkin jaraknya kurang dari lima puluh tombak sebelah selatan. Namun begitu jarang sekali ada yang menginjakkan kakinya di sana. Agaknya itu tidak mengherankan, sebab pantainya hanya hutan lebat yang terdiri dari pohon bakau, api-api, sampai pepohonan besar agak jauh ke daratan. Bahkan seorang pemburu sekalipun, jarang tersesat sampai di tempat ini. Padahal pulau itu banyak didiami binatang buruan.

Sementara di Tanah Jawadwipa, seorang laki-laki berbaju hitam berusia sekitar tiga puluh tahun, tepatnya di pesisir pantai bagian barat, tampak berlari-lari menerobos semak belukar. Baju yang dikenakannya telah robek di sana-sini. Demikian pula celana yang dikenakannya. Tubuhnya telah dipenuhi goresan ranting dan duri-duri. Sebagian dari lukanya sedikit mengering. Tapi beberapa di antaranya terlihat masih baru.

Laki-laki bertubuh sedang dengan ikat kepala merah ini berhenti di dekat sebuah batu besar. Napasnya terengah-engah seperti mau putus. Beberapa saat kemudian, matanya memandang ke sekeliling tempat ini.

“Badar...!” panggil laki-laki itu dengan suara agak dipelankan.

Tidak ada sahutan. Mata laki-laki ini merayapi sekitarnya sambil mengendap-endap. Mendadak, dia melihat dua sosok tubuh tengah berjalan. Dua sosok gadis berpakaian ala kadarnya. Bagian dada dan bawah perut hanya ditutupi pakaian dari kulit binatang. Tak urung, bagian-bagian tubuhnya yang mengundang masih juga terlihat. Sehingga, membuat mata laki-laki itu kian liar menjilatinya dengan jakun turun naik.

“Astaga! Apa aku tidak salah lihat? Siapa mereka? Dewi Penunggu tempat inikah?” batin laki-laki ini.

Dengan benak dipenuhi tanda tanya, dia mulai membuat rencana. Sementara, matanya terus melotot seperti tidak berkedip, mengawasi dua gadis cantik itu.

“Mereka hanya dua orang dan bersenjata tombak. Hm... dia kalau kuringkus..., lalu yang seorang kuserahkan Ki Seta, tentu dia senang dan bersedia mengampuniku,” gumam laki-laki berbaju hitam ini.

Ketika semangatnya telah terkumpul, laki-laki itu mencelat, langsung menghadang kedua gadis yang berjalan pelan tidak jauh di depannya.

“Ha! Jangan takut dengan Kakang Kaliki, Adik-adik Manis. Aku tidak galak, kok!” ujar laki-laki yang ternyata bernama Kaliki ini.

Belum sempat gadis itu berkata-kata, Kaliki langsung menyambar tombak di tangan kedua gadis itu. Kedua gadis itu kaget. Tapi langsung menyodorkan ujung tombak ke arah Kaliki dengan kecepatan dahsyat. Dan ini di luar dugaan laki-laki ini.

“Uts!” Baru saja Kaliki melompat ke belakang menghindari sodokan tombak, gadis yang seorang lagi telah menyabetkan tombaknya. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Cras!

“Akh...! Kaliki menjerit kesakitan, begitu tombak itu menggores pinggangnya. Darah tampak langsung mengucur dari lukanya yang memanjang. Dan baru saja dia hendak melompat ke belakang, gadis-gadis yang ternyata gesit ini cepat berkelebat. Tahu-tahu saja salah satu ujung tombak mereka menempel di lehernya.

Kaliki terkesiap dan tidak bisa berkutik. Lebih-lebih, ketika ujung tombak yang satu lagi menempel di dada kiri mengancam jantungnya.

“Aku..., aku tidak bermaksud mengganggu. Percayalah,” kilah Kaliki, seraya tersenyum lebar.

Tapi, tanpa banyak bicara kedua gadis itu cepat meringkus Kaliki dengan mengikat kedua tangan dan kakinya. Lalu seperti mengangkat hewan buruan, mereka menyongketnya dengan tombak. Kemudian dibawanya laki-laki itu pergi dari tempat ini.

“Tolong...! Badar! Keluarlah kau! Tolong aku...!”

Kaliki berteriak-teriak memanggil kawannya yang diyakini berada di sekitar tempat itu Kedua gadis itu merasa terusik. Kemudian salah seorang cepat bertindak, menyumpal mulut Kaliki dengan dedaunan kering. Karuan saja, laki-laki itu berusaha berontak. Tapi, gadis itu terus memaksanya. Sehingga, Kaliki tidak berkutik dan hanya bisa menyumpah-nyumpah di hati.

Sementara itu di tempat yang tersembunyi, seorang laki-laki berusia dua puluh delapan tahun tengah memperhatikan kejadian ini. Semula dia hendak membantu. Tapi begitu melihat ketangkasan kedua gadis itu, niatnya surut. Dan dia hanya bisa memandangi kawannya yang dibawa seperti hewan buruan.

Namun begitu, hati laki-laki yang sebenarnya bernama Badar masih penasaran. Sehingga dari tempat bersembunyi, dia membuntuti dengan mengendap-endap. Sayang, dia tidak bisa terus membuntuti. Karena kedua gadis itu segera menaiki perahu kecil. Lalu, mereka mendayungnya menuju pulau diujung sana, yang masih terlihat dalam pandangan mata. Setelah merasa yakin mereka menuju pulau itu, Badar segera berlari kencang meninggalkan tempat ini.

********************

Matahari telah sejak tadi tenggelam di ufuk barat di pinggiran Desa Jember. Bulan sepotong yang muncul, sebenarnya tak kuasa menerangi mayapada ini. Namun, kegelapan itu tertolong oleh sinar-sinar obor yang ditancapkan di sudut-sudut sebuah rumah besar yang dijaga beberapa orang berpakaian serba hitam.

Di dalam ruang tengah rumah besar ini, tampak duduk di kursi berukir seorang laki-laki bertubuh gemuk dengan perutnya yang buncit seperti gentong. Kursi yang didudukinya bergoyang-goyang, karena laki-laki berusia empat puluh lima tahun itu seperti tidak bisa tenang. Tangan kanannya memegang sekerat daging. Kedua pipinya mengembung, dengan mulut mengunyah tidak berhenti. Tangan kirinya melingkar pada leher seorang wanita yang duduk dalam pangkuannya. Wanita yang selalu tertawa genit itu sesekali menggelitikinya. Sementara, di depannya duduk bersila di lantai beberapa orang bertampang sangar. Mereka ikut melahap hidangan masing-masing, sambil tertawa mengekeh.

“Diam kalian, Tolol! Kenapa malah ikut tertawa?!” bentak laki-laki gemuk itu.

Seketika, semua orang yang berada di ruangan ini terdiam dengan kepala tertunduk. Sedangkan, dengan sapuan matanya laki-laki gemuk itu menatap satu-persatu orang-orang yang ada di hadapannya.

“Pikiranku belum tenang, meski kalian adakan pesta ini untuk menghiburku! Aku menginginkan kedua keparat itu! Kalau mereka telah tertangkap, baru puas hatiku!” lanjut laki-laki gemuk ini dengan suara menggelegar.

“Tapi mereka tengah berusaha mencarinya, Ki Seta. Sebentar lagi pasti berhasil,” sahut seorang laki-laki berkumis lebat.

“Tutup mulutmu, Kaslan! Kau hanya pandai bicara saja! Sudah berapa lama, he?! Dan mana dua orang yang kau janjikan itu?!” hardik laki-laki gemuk yang dipanggil Ki Seta, geram.

Kaslan tidak bisa menjawab. Dia hanya diam dengan kepala tertunduk.

“Huh! Kalau saja tertangkap, akan kuremukkan kepala mereka berdua!” lanjut Ki Seta.

Krek!

Bersamaan dengan itu Ki Seta mengepalkan tangan kanannya erat-erat. Sehingga daging di tangan yang kini tinggal tulang, remuk dalam genggaman. Wajahnya berkerut. Jelas ini menyiratkan hatinya yang tengah marah besar.

“Kenapa kalian bisa teledor membiarkan mereka menyembunyikan harta rampasan itu?!” bentak Ki Seta.

“Maafkan kami, Ki. Tapi, bukankah mereka telah mengembalikannya...?” sahut Kaslan, kembali memberanikan diri.

“Setan! Apa kau kira itu cukup, he?! Aku inginkan kepatuhan serta kesetiaan kalian! Tak seorang pun boleh menipuku. Apalagi coba mempermainkanku!” dengus Ki Seta.

Kembali Kaslan tutup mulut. Demikian pula yang lainnya. Mereka mengerti, bila Ki Seta marah jangan coba-coba membantah. Tapi kalau pertanyaannya tidak dijawab, dia malah lebih marah. Sehingga, mereka jadi serba salah.

“Huh!” Ki Seta melirik sinis. Lalu kembali diraupnya sekerat daging sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Wanita yang tadi didekatnya kembali mengelus-elusnya, setelah terdiam dan tak tahu harus berbuat apa. Dan sebelum ada yang bersuara, tiba-tiba masuk seorang pemuda ke dalam ruangan ini dan terus berlutut.

“Maaf, Ki...!” ucap pemuda ini.

“Ada apa?!” tanya Ki Seta.

“Kami membawa Badar.”

“Apa? Bagus!” sambut Ki Seta terlonjak girang mendengar berita itu. “Bawa dia ke sini!”

“Baik, Ki!”

Pemuda itu kemudian berbalik, dan melangkah meninggalkan ruangan ini. Tak lama Ki Seta menunggu, sebentar saja dari pintu masuk ruangan ini telah muncul tiga anak buahnya yang menggiring seseorang dalam keadaan terikat. Salah seorang dari mereka mendorong hingga keras. Maka tawanan yang kedua tangannya terikat itu nyaris tersungkur di ujung kaki Ki Seta.

“Hih!” Ki Seta cepat mengangkat kaki kanan, dan menempelkannya di leher orang itu.

“Akh...! Ampun, Ki...! Ampuuun...!”

“Kau kira bisa lari dariku, Badar!” geram Ki Seta.

“Aduh! Ampun, Ki! Aku... aku sengaja datang menyerahkan diri...!” ratap laki-laki yang dipanggil Badar ini.

“Menyerahkan diri? Huh! Kau mau menghinaku? Jangan coba berdalih, bahwa kau hebat dan mereka tidak bisa menangkapmu!” dengus Ki Seta sambil menunjuk Badar.

“Benar, Ki! Aku tidak bohong. Tanyakan saja pada mereka...!” kata Badar, berusaha meyakinkan Ki Seta.

Ki Seta memandang ketiga anak buahnya yang meringkus Badar. “Benar katanya?”

“Benar, Ki! Dia mencari kami, lalu menyerahkan diri,” sahut salah seorang dari ketiga anak buah Ki Seta.

“Hm...!” Diiringi satu gumaman tak jelas, Ki Seta melepaskan satu pijakan kakinya. Tapi tawanan bernama Badar ini belum berani mengangkat kepalanya, sebelum laki-laki bertubuh gemuk itu memberi perintah.

“Terima kasih, Ki,” ujar Badar, ketika Ki Seta mengizinkannya.

“Pergilah kalian!” perintah Ki Seta, pada ketiga anak buahnya yang tadi membawa Badar.

“Baik, Ki!” Setelah menjura memberi hormat, tiga orang itu berbalik dan melangkah meninggalkan ruangan ini.

“Apa alasanmu menyerahkan diri? Kau tahu, kalau aku pasti akan memberi hukuman berat padamu?” tanya Ki Seta setelah ketiga anak buahnya lenyap di balik pintu.

“Ada berita baik, Ki,” sahut Badar.

“Berita apa? Lekas katakan!”

“Tapi, apakah setelah itu Ki Seta bersedia mengampuniku?”

“Sial kau! Aku yang menentukan, apakah kau akan kuhukum atau tidak. Dan, jangan coba-coba mengaturku!” bentak laki-laki tambun berusia seikat empat puluh lima tahun itu.

“Eh! Ba..., baiklah,” sahut Badar, gemetar.

Kemudian Badar menceritakan peristiwa yang dilihatnya tadi siang di tepi pantai, disertai tambahan bumbu agar terdengar menarik di telinga Ki Seta.

“Hei? Bagus juga ceritamu! Kau yakin pulau itu penuh emas serta wanita cantik?” tanya Ki Seta, begitu Badar selesai bercerita.

“Tentu saja, Ki! Aku melihat sendiri wanita itu mengenakan perhiasan emas di seluruh tubuhnya. Untuk apa mereka membawa Kaliki kesana? Pulau itu pasti penuh wanita serta emas. Kalau kita serbu, maka kita akan menguasai keduanya!” sahut Badar, bersemangat.

“Pintar juga kau! Tapi, tetap saja kau telah melakukan kesalahan!”

“Eh! Jadi..., jadi Ki Seta tidak memaafkan kesalahanku...?” tanya Badar dengan muka kecut.

“Kau telah menambah kesalahan lagi,” kata Ki Seta, enteng.

“Ma..., maksud Ki Seta?”

“Kaliki mereka ringkus, tapi kau tidak membantu. Bahkan malah mendiamkan saja!”

“Kalau aku membantunya, mana mungkin berita ini bisa kusampaikan pada Ki Seta. Lagi pula, keduanya memiliki kepandaian hebat, Ki!”

“Diam kau! Apa kau kira bisa menakut-nakutiku?!” sentak Ki Seta geram.

“Tentu saja tidak, Ki! Mana mungkin aku merendahkan Ki Seta! Justru aku merasa yakin, kalau dibawah pimpinan Ki Seta mereka dapat diringkus. Kita raup semua harta berharga yang mereka miliki, dan kita nikmati wanita-wanita cantik itu!” sergah Badar, bersemangat.

“Ha ha ha...! Pintar kau, Badar. Baiklah, kau kuampuni! Besok pagi, siapkan orang-orang kita. Dipimpin Ki Mangun, kau tunjukkan dimana pulau itu berada. Bawa ke sini wanita-wanita cantik dan emas serta barang berharga yang kau katakan!” ujar Ki Seta.

“Baik, Ki! Akan kukerjakan semua perintahmu dengan baik. Dan, terima kasih atas kebaikan hatimu!” ucap Badar sambil menjura hormat berkali-kali, sebelum pergi dari ruangan ini.

********************

Sementara itu, di Pulau Perawan, matahari baru saja menyinari dengan cahayanya yang lembut. Dan cahaya itu terus menerobos sebuah jendela yang terbuka lebar, dari sebuah ruangan besar dan indah. Duduk di kursi yang berukir indah, seorang wanita cantik. Sepasang matanya bulat dan jernih dengan bulu mata lentik. Sepasang alisnya tebal dan hampir bertaut. Bentuk mukanya agak lonjong dengan hidung kecil agak mancung. Bibirnya tipis, kulitnya halus-kuning langsat.

Tangan kanan wanita itu menggenggam sebuah tongkat yang ujungnya berbentuk bunga, dengan dua buah tangkai berbentuk kaki ayam jantan yang memiliki taji panjang dan tajam. Di kepalanya melingkar sebuah mahkota emas yang bertahtakan batu-batu permata beraneka warna. Pakaian yang dikenakannya sangat indah, meski pada bagian-bagian tertentu tampak tembus pandang. Penutup dada terbuat dari kain hitam bersulam emas. Demikian pula penutup bagian bawah perut.

Sementara itu tidak jauh di sebelah kiri, duduk seorang wanita tua berhidung panjang dan sedikit bengkok. Rambutnya yang panjang dan sebagian memutih, disanggul. Tampak lima buah arnel emas menghiasi sanggulnya. Sementara di sebelah kanan, duduk seorang wanita bertubuh besar. Wajahnya manis. Tapi karena jarang tersenyum, sehingga terkesan angker.

“Mimpi itu mengerikan! Seolah Istana Tulang Emas ini terbakar. Orang-orang berlarian ke sana-kemari! Ini bencana besar, Tuanku Kembang Taji...,” tutur wanita tua berhidung bengkok, yang ternyata baru mengakhiri ceritanya.

“Nenek Kampar Ilir! Kau adalah dukun terbesar di negeri ini, sekaligus orang kepercayaanku. Selama ini perkataan dan ramalanmu benar. Dan aku mempercayainya. Tapi apakah kali ini hal itu tidak berlebihan? Bencana? Dari mana datangnya bencana itu? Apakah ada rakyat yang hendak berontak padaku?” tanya wanita cantik.yang dipanggil Kembang Taji seraya tersenyum tipis.

“Kalau ada yang berani berontak dan melawan kekuasaan Tuanku, akan kuhukum orang-orang itu!” sahut wanita bertubuh besar itu sambil mendengus geram.

“Bukan pemberontakan dari dalam. Tuanku Kembang Taji...!” sahut wanita tua yang bernama Nenek Kampar Ilir.

“Lalu apa, Nek?” tanya Kembang Taji.

“Sesuatu yang datangnya dari luar!” jelas Nenek Kampar Ilir dengan suara agak tinggi.

“Dari luar apa yang kau maksudkan?”

“Sabarlah, Kijang Merah...!” sahut Nenek Kampar Ilir pada wanita bertubuh besar.

Nenek yang merupakan dukun sekaligus orang kepercayaan Kembang Taji itu kemudian terdiam. Kedua matanya terpejam. Lalu kedua telapak tangannya bertumpu pada ujung tongkat yang sejak tadi dipegangnya. Tongkat itu sendiri aneh, sebab terbuat dari kayu hitam. Seluruhnya terdapat urat-urat kayu yang memanjang. Pangkalnya berbentuk mulut seekor ular yang tengah terbuka.

“Ya! Dari luar...!” seru Nenek Kampar Ilir kemudian setelah membuka kelopak matanya kembali.

“Dari luar bagaimana yang kau maksudkan, Nek...?” desak Kembang Taji.

“Orang asing yang akan datang ke sini, Tuanku.”

“Siapa yang kau maksudkan?”

“Orang asing. Seorang laki-laki!”

“Seorang laki-laki? Tidak mungkin! Semua tahu, bahwa di Kerajaan Tulang Emas ini lelaki tidak punya kekuasaan apa pun. Tugas mereka hanya memberi keturunan pada kita. Tidak mungkin mereka membuat bencana!” bantah Kembang Taji.

“Tuanku! Hamba berkata yang sesungguhnya. Tidak lama lagi, akan datang seorang laki-laki ke tempat kita ini. Dan dari dia, bencana itu akan datang menimpa seluruh kerajaan ini,” sahut Nenek Kampar Ilir yakin.

“Kalau begitu awasi setiap penjuru pulau ini. Tangkap siapa pun orang asing yang coba-coba ingin mengacau di kerajaan ini!” perintah Kembang Taji.

“Jangan khawatir, Tuanku! Segala titah akan hamba kerjakan dengan sebaiknya!” sahut wanita gemuk bernama Kijang Merah, mantap.

“Jangan lupa! Bunuh laki-laki mana pun. Baik orang asing, maupun orang-orang kita yang coba membuat ulah!” lanjut Kembang Taji yang ternyata adalah seorang raja di Kerajaan Tulang Emas.

“Baik, Tuanku!” Setelah menyembah hormat. Kijang Merah segera beranjak dan berlalu dari ruangan ini.

“Bagaimana menurutmu, Nek? Apakah kau kira masih ada lagi bencana di kerajaan kita ini?” tanya Kembang Taji, ketika Kijang Merah sudah tak terlihat lagi.

Nenek Kampar Ilir menggeleng lemah sambil mendesah pelan. Ditariknya napas panjang, sebelum menjawab. “Maafkan hamba. Tuanku.... Sepertinya bencana itu akan tetap datang, meski apa pun yang akan kita kerjakan.”

Kembang Taji agak gusar mendengar jawaban ini. Ditatapnya wanita tua itu tajam-tajam. “Kalau begitu lakukan sesuatu! Tolak bencana itu dari kerajaan ini!” seru Kembang Taji lantang.

“Hamba akan kerjakan sebaik mungkin, Tuanku...!”

Pada saat itu juga Kijang Merah telah kembali ke ruangan ini. “Maaf, Tuanku. Hamba kembali mengganggu! Ada berita yang harus hamba sampaikan secepatnya!” ucap Kijang Merah setelah menjura hormat.

“Berita apa yang kau bawa?”

“Dua orang prajurit kita membawa seorang tawanan... laki-laki.”

“Laki-laki?!”

********************

DUA

Kembang Taji terkejut. Dipandangnya Nenek Kampar Ilir beberapa saat, lalu menatap tajam ke arah Kijang Merah. “Bawa ke sini!”

“Baik, Tuanku!” sahut Kijang Merah cepat, bergegas keluar dari ruangan ini.

Tidak ada sepuluh helaan napas, Kijang Merah telah kembali bersama seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun di bahunya. Kedua tangan dan kaki laki-laki itu terikat. Sedang mulutnya disumpal dedaunan kering. Dengan gerakan cepat. Kijang merah melemparkan laki-laki di bahunya ke hadapan junjungannya, Dan....

“Berlutut...!” hardik Kijang Merah, menggelegar.

“Hhh...!” Laki-laki tawanan itu agaknya bermaksud bangkit. Tapi wanita bertubuh tegap itu sudah lebih dulu menggerakkan tangannya yang menggenggam tombak. Dan....

Tak!

“Akh!” Telak sekali pangkal tombak itu menghantam tengkuk si tawanan, hingga mengeluh tak jelas.

“Jangan coba-coba kurang ajar! Kau berada di Istana Tulang Emas. Berlututlah pada ratu kami!” desis Kijang Merah geram, memerintahkan.

Dengan bersungut-sungut tawanan itu berlutut Tapi Kijang merah yang keburu marah langsung menekan tombaknya ke tengkuk. Sehingga, tawanan itu jadi bersikap sujud persis di dekat kaki Kembang Taji.

“Bangunlah,” ujar Kembang Taji.

“Ohhh.”

Wanita cantik itu memberi isyarat agar salah seorang anak buahnya membuang sumpal yang menutupi mulut tawanan ini.

“Puih!” Baru saja sumpal mulut itu dibuka, tawanan itu meludah ke lantai. Dan akibatnya....

Des!

“Aaakh...!”

Kijang Merah tidak tanggung-tanggung, langsung menghajar tawanan sampai jungkir balik. Begitu tubuh tawanan ini terjungkal ke samping, maka dua orang pengawal yang berada di dekatnya kembali menghajar dengan tendangan-tendangan telak.

Duk! Digh!

“Aaah...!” Tawanan itu kembali memekik kesakitan, dengan tubuh terpental balik.

“Jangan kurang ajar di hadapan ratu kami! Jaga kesopananmu! Atau, kau akan mampus sekarang juga!” hardik Kijang Merah.

“Oh....” Tawanan itu mengeluh kesakitan ketika bangkit kembali dengan susah payah, karena kedua kaki dan tangannya terikat.

“Siapa namamu?” tanya Kembang Taji datar.

“Kaliki,” sahut tawanan, yang ternyata Kaliki.

“Kaliki? Dari mana asalmu?”

“Pulau Jawadwipa. Tapi, aku ditangkap di Hutan Damar Setan.”

“Di mana hutan itu?” tanya Kembang Taji dengan dahi berkerut.

“Seberang pulau ini lalu ke utara. Di sanalah hutan itu,” jelas Kaliki.

“Oh..., kami menyebutnya Hutan Mati. Tapi tidak ada kehidupan di situ, sebab para prajuritku sering berburu sampai ke sana selama puluhan tahun. Dan kami tidak pernah menjumpai kehidupan seorang pun. Katakan yang benar, dari mana asalmu?!”

“Sebenarnya aku lari dari kawan-kawanku. Mereka hendak membunuhku. Lalu kami sampai di pinggiran hutan sebelah utara,” sahut Kaliki, kembali menjelaskan.

“Kau sendiri atau berdua?”

“Berdua.”

“Kemana kawanmu yang seorang lagi?” desak Kembang Taji.

“Entahlah.... Kami berpencar karena kawan-kawanku yang lain terus mengejar untuk membunuh kami.”

“Siapa pemimpinmu di sana?”

“Orangnya gemuk dan besar. Dia amat kejam. Kami memanggilnya Ki Seta,” sahut Kaliki jujur.

Kembang Taji terdiam beberapa saat, seraya memperhatikan tawanan itu. Caranya bertutur, dan nama-nama yang disebutkannya berbeda dengan keadaan mereka disini. Sehingga, dia yakin kalau laki-laki ini adalah orang asing.

“Nenek Kampar Ilir! Inikah laki-laki asing yang kau katakan tadi akan membuat bencana bagi kita?” tanya Kembang Taji seraya menoleh kepada wanita tua bermuka buruk itu.

“Ya! Dialah penyebab bencana itu, Tuanku! Meski Tuanku memberinya hukuman mati, namun segalanya telah terlambat. Hamba yakin kawannya yang seorang lagi akan kembali bersama kawan-kawannya, kemudian bencana itu akan dimulai,” sahut Nenek Kampar Ilir dengan suara lantang dan bola mata mendelik tajam kepada Kaliki.

“Kalau begitu, dia memang tidak berguna!” ujar Kembang Taji, dingin.

“Oh.... Apa maksud kalian...?!” tanya Kaliki terperangah memandang wanita tua itu dan Kembang Taji bergantian.

“Artinya kau harus menjalani hukuman mati!” desis Kijang Merah.

“Oh, tidak! Tidaaak...!” teriak Kaliki.

Laki-laki itu berontak, berusaha melepaskan diri dari ikatan di kedua tangan dan kakinya. Tapi dengan sigap dua orang pengawal langsung meringkus dan membawanya keluar dari tempat itu. Masih sempat terdengar teriakannya yang panjang, namun sesaat kemudian terhenti. Kedua pengawal itu mengetahui kalau ratu mereka tidak suka keributan. Maka salah seorang kembali menyumpal mulut Kaliki!

********************

Hutan Damar Setan bukanlah hutan biasa. Selama ini, mereka mengetahui kalau semakin masuk ke dalam wilayah utara, maka segala binatang buas akan mereka temui. Biasanya hewan siang yang ditakuti manusia. Sehingga tidak heran bila ada orang yang memasukinya, harus bergerak malam hari. Dengan demikian hewan buas yang berkeliaran di siang hari tidak akan berani mengganggu mereka.

“Apakah aku harus selalu jalan di depan...?” keluh seorang laki-laki sambil berkali-kali menoleh kebelakang.

“Tidak usah membantah, Badar!” dengus laki-laki berbadan besar.

Memang, mereka adalah rombongan anak buah Ki Seta yang hendak menuju Pulau Perawan yang merupakan letak dari Istana Tulang Emas. Menurut Badar yang menjadi penunjuk jalan, di pulau itu banyak terdapat emas berlian dan wanita-wanita cantik.

Jumlah mereka sekitar lima puluh orang dengan dua buah senjata di tangan masing-masing. Sedangkan sebagian lagi membawa obor sebagai penerangan.

Sementara itu, laki-laki yang bernama Badar bersungut-sungut kesal. Pikirannya mulai bercabang merasakan keadaan ini. Ki Seta memang mengampuninya. Tapi, sikapnya tetap sinis. Dia sama sekali tidak dihargai, meski telah menceritakan hal yang menarik hati. Dan kini laki-laki berbadan besar yang bernama Ki Mangun seenaknya saja membentak dan menghardiknya sejak tadi.

Saat ini Badar malah memikirkan, bagaimana caranya bisa kabur dari mereka. Soalnya kalau mereka berhasil mencapai pulau itu, dan ternyata di sana tidak ada emas seperti yang diceritakannya, maka habislah riwayatnya. Ki Seta yang kali ini diwakili Ki Mangun, pasti akan menebas lehernya!

“Berapa lama lagi kita akan sampai?” tanya Ki Mangun.

“Eh, apa? Oh, tidak lama lagi! Sebentar lagi kita sampai,” sahut Badar.

“Jangan main-main kau, Badar! Sudah berapa lama kita berjalan? Sudah mau patah kakiku ini!” bentak Ki Mangun.

“Tidak lama lagi, Ki! Apakah kau tidak merasakan angin laut? Itu berarti kita akan sampai,” sahut Badar, berusaha meyakinkan.

Apa yang dikatakan Badar memang benar. Tidak berapa lama, mereka tiba di tepi pantai. Tempat ini memang sangat asing bagi mereka, sebab tidak seorang pun yang pernah ke sini.

“Itukah pulau yang kau maksud?” tanya Ki Mangun, menunjuk ke utara.

Badar mengangguk.

“Kelihatannya tidak seberapa jauh. Tapi kita harus membuat rakit untuk tiba di sana.”

“Mereka sudah letih. Sebaiknya, kita istirahat sambil menyantap bekal yang dibawa. Baru setelah itu, kita buat rakit untuk menyeberang kesana. Kita serang mereka menjelang dini hari,” usul Badar.

“Ya, usul yang baik. Baiklah! Kita istirahat sambil mengamati keadaan di tempat ini. Tapi harus waspada! Beberapa orang mesti berjaga,” sahut Ki Mangun. Namun baru saja mereka akan membuka bekal untuk bersantap....

“Aaa...!” Tiba-tiba terdengar jerit kesakitan dari salah seorang. Serentak mereka terkejut dan menoleh ke arah jerit tadi.

“Heh?!”

“Kurang ajar...!”

Ternyata seekor ular sebesar lengan membelit kaki salah satu anggota rombongan. Orang itu terus berteriak kesakitan, dan berusaha melepaskan diri. Tapi percuma saja. Sebab bisa ular itu bekerja amat cepat. Dalam waktu singkat, orang itu ambruk dan tewas seketika dengan tubuh membiru.

Sementara orang-orang yang berada di dekat si korban baru tersadar setelah melihat orang itu tewas. Salah seorang menggeram, dan segera mencabut golok untuk menebas ular itu. Tapi belum lagi hal itu dilakukannya....

“Aaa...!” Mendadak kembali terdengar jeritan yang saling susul.

Dua orang tampak ambruk dipatuk ular-ular kecil yang amat berbisa. Mereka langsung tewas dengan tubuh membiru. Hal ini menimbulkan kekalutan di antara mereka.

“Tenang! Kalian harus tenang dan selalu waspada. Jangan sampai kecerobohan seperti tadi terulang lagi!” teriak Ki Mangun lantang.

Tapi dalam keadaan itu tidak seorang pun yang mau mendengar kata-katanya. Mereka sibuk menyelamatkan diri sendiri. Dan setiap mata selalu melihat ke bawah, serta berkumpul di satu tempat terbuka yang jauh dari semak-semak serta ranting-ranting pohon.

“Auuung...!”

“Heh?!”

“Lolongan serigala? Sial! Kita terjepit di tempat ini!” seru salah seorang anggota rombongan terkejut mendengar lolongan itu.

“Jangan kalut! Kita harus bisa menguasai diri!” teriak Ki Mangun berulang-ulang.

Namun mereka sudah tidak mempedulikan lagi teriakan Ki Mangun. Mereka mulai gelisah membayangkan nasib buruk yang akan menimpa.

“Auuung...!”

Kembali terdengar lolongan serigala bersahut-sahutan, dan terasa amat dekat. Kegelisahan semakin mencekam. Dan kantuk serta lelah yang tadi mulai dirasakan, tiba-tiba saja sirna. Berganti ketakutan yang semakin memuncak!

“Grrr...!”

“Oh!” Hampir saja salah seorang dari mereka melompat kaget ketika terdengar raungan di dekatnya. Ketika dia melihat ke arah sumber suara, tampak sepasang mata nyalang memandangnya dari kegelapan. Ketika pandangannya dipertegas maka terlihat beberapa pasang mata lagi yang mengawasi.

“Kawanan serigala!” seru orang itu penuh ketakutan.

“Celaka! Kita terkepung. Serigala-serigala itu telah menutup semua jalan keluar. Tidak ada jalan lain. Kita harus menghalau mereka atau lari menyeberangi pantai ini!” teriak salah seorang, mulai resah.

Tapi sebelum mereka memikirkan cara untuk menyelamatkan diri, dua ekor serigala melompat menerkam disertai raungan keras.

“Graungrrr...!”

Tindakan itu seketika diikuti serigala-serigala yang lainnya. Hingga dalam waktu singkat, terjadi kehebohan. Tiga orang dari mereka tewas diterkam kawanan serigala yang berjumlah lebih dari dua puluh lima ekor. Sementara lainnya masih sempat mencabut senjata dan berusaha menghalau serangan.

“Hus! Hus...!”

Bret!

“Graungr...!”

Beberapa ekor serigala pun mati tertebas senjata. Bau darah manusia bercampur bau darah hewan buas itu langsung menyeruak menusuk hidung. Dan itu semakin membuat kawanan serigala bernafsu menerkam mangsanya. Mereka semakin liar dan buas. Binatang-binatang itu menerkam, lalu merobek-robek mangsanya tanpa kenal ampun sampai tidak berbentuk lagi.

Semangat kawanan serigala itu membuat nyali mereka ciut. Sementara Ki Mangun mengajak anak buahnya untuk mundur lewat jalan pantai, setelah korban dipihak mereka semakin banyak berjatuhan.

“Ayo cepat! Kawanan serigala itu tidak akan berani menyerang di dalam air!” teriak Ki Mangun lantang.

Pada mulanya kawanan serigala itu masih juga mengejar. Padahal Ki Mangun dan anak buahnya terus mundur sampai air laut telah setinggi perut. Tapi karena merasa tidak bisa berbuat banyak, akhirnya satu-persatu kawanan serigala itu berkumpul. Namun begitu, mereka masih juga menyusuri pantai mengikuti mangsanya yang berusaha kabur.

********************

“Apa?!” Ki Seta sampai terlonjak berdiri dari kursinya, begitu menerima laporan dari salah seorang anak buahnya tentang kegagalan mereka dalam menjarah ke Pulau Perawan. Sepasang mata laki-laki bertubuh besar ini melotot lebar. Gerahamnya saling berkerotokan. Dilemparkannya buah-buah yang berada dalam cengkeraman tangannya penuh kegeraman.

Sementara itu, beberapa anak buah Ki Seta yang berada di ruangan ini hanya duduk bersila dengan kepala tertunduk. Tidak ada seorang pun yang berani mengangkat wajahnya. Tampang mereka lusuh dengan tubuh berkeringat serta bau darah dari luka-luka cakar yang diderita. Baju-baju yang dikenakan robek di sana-sini tidak karuan.

“Mangun, sini kau!”

Orang yang dipanggil Mangun bangkit berdiri. Segera dihampirinya Ki Seta dengan kepala tertunduk.

“Iya, Ki....”

Saat itu juga Ki Seta melayangkan tamparan keras ke wajah Ki Mangun.

Plaaak!

“Akh!” Telak sekali tangan kanan Ki Seta mendarat di pipi Ki Mangun. Seketika laki-laki bertubuh besar itu mengeluh tertahan dan sedikit terhuyung-huyung ke kanan. Pipi kirinya terasa kebas dan gigi-giginya seperti mau tanggal.

“Kau kupercaya ke sana bukan untuk melaporkan kegagalan, Setan! Tapi apa yang kau bawa? Lima puluh orang kupercaya di bawah pimpinanmu. Dan sekarang, yang kembali kurang dari dua puluh lima! Dimana otakmu?! Apakah hanya dengan kawanan serigala kau takut, lalu mesti kalah?!” bentak Ki Seta. Mata Ki Seta melotot lebar, seperti hendak keluar dari sarangnya ketika mukanya didekatkan pada Ki Mangun.

“Tapi, Ki.... Jumlah mereka banyak. Dan kawanan serigala itu liar serta....” Belum habis kata-kata Ki Mangun, tangan Ki Seta sudah melayang kembali. Dan....

Plaaak!

“Aku tidak suruh kau menjawab. Tolol!” bentak Ki Seta garang.

Sementara Ki Mangun hanya mengeluh tertahan. Kembali tubuhnya terhuyung-huyung sambil mengelus-elus pipinya yang sakit. Namun begitu, kembali dia menghadap Ki Seta seraya mengusap darah yang menetes dari bibirnya yang pecah.

“Aku tidak sudi mendengar kalau anak buahku dikalahkan, apalagi hanya dengan hewan!” lanjut Ki Seta menggeram.

Kali ini Ki Mangun tidak menjawab.

“Kau dengar ini, Mangun?!”

“De..., dengar, Ki...!”

“Lalu kenapa kau lakukan?!”

“Aku..., aku mengaku salah, Ki. Aku janji pasti tidak akan terulang lagi!” sahut Ki Mangun, mantap.

“Kalau terulang?”

“Ki Seta boleh memberi hukuman padaku!”

“Kau sendiri yang berkata begitu, bukan? Aku akan menghukummu dengan hukuman paling berat, yaitu memancung kepalamu. Lalu, kuserahkan pada kawanan serigala itu agar mereka mencincangnya!”

Ki Mangun bergidik ngeri membayangkan hukuman yang akan dijatuhkan Ki Seta.

“Kau dengar itu?!” hardik Ki Seta.

“De... dengar, Ki!”

“Bagus! Karena si Badar mampus juga, maka kau yang akan kutunjuk untuk memimpin perjalanan ke sana!”

“Maksud Ki Seta, kami..., kami akan ke sana lagi?” tanya Ki Mangun, seperti ingin menegaskan.

“Tentu saja, Goblok! Semua keinginanku harus terpenuhi, apa pun tantangannya!”

“Eh! Ba..., baik, Ki. Tapi....”

“Tapi apa?!”

“Jalan kesana cukup jauh. Dan lagi, kita harus memiliki perahu untuk sampai ke pulau itu. Jangan sampai kejadian yang menimpa kami terulang lagi....”

“Tentu saja aku telah memikirkan hal itu, Tolol!”

“Maksud Ki Seta...?”

“Aku akan meminta bantuan saudaraku yang menguasai laut di sebelah barat sana!”

“Ki Jalidar?”

“Ya! Jalidar alias si Hiu Perak. Dia gembong perampok yang menguasai daerah barat sana. Anak buahnya cukup banyak. Aku akan minta bantuannya untuk menyerang pulau itu dan menguasainya.”

“Itu usul yang bagus, Ki!” seru Ki Mangun girang.

“Tentu saja, Goblok!”

Ki Mangun mengkeret mendengar semprotan itu. Bibirnya yang mulai menyungging senyum, kembali terlipat lagi dengan kepala tertunduk.

“Sebagian hukuman, kau beserta semua anak buahku ikut kembali ke sana! Kalian akan dipimpin Muwangkoro beserta anak buahnya sebagai tambahan!” lanjut Ki Seta.

“Baik, Ki,” sahut Ki Mangun lesu.

Orang yang bernama Ki Muwangkoro adalah orang kepercayaan Ki Seta. Badannya besar. Tampangnya seram, serta jarang tersenyum. Senjatanya adalah sepasang kapak besar yang terselip di pinggang kiri dan kanan.

“Muwangkoro, ke sini kau!”

Ki Muwangkoro yang sejak tadi berada di ruangan itu segera menghampiri Ki Seta seraya menjura hormat.

“Kau dengar tadi?”

“Dengar, Ki!”

“Pergilah sekarang juga ke pantai barat. Temui si Hiu Perak! Katakan padanya aku butuh bantuan. Dan, ajaklah dia ke pulau itu!”

“Baik, Ki!” sahut Ki Muwangkoro.

********************

TIGA

Kedatangan anak buah Ki Seta yang bernama Ki Muwangkoro disambut oleh Ki Jalidar yang berjuluk si Hiu Perak penuh rasa gembira. Laki-laki berbadan besar dengan usia sekitar empat puluh tahun itu memang kawan lama Ki Seta. Dia malang-melintang di lautan. Dan selama ini, dikenal sebagai perampok yang ditakuti. Kedua kakinya buntung sebatas lutut dan disambung kaki besi yang berujung runcing.

Namun begitu, tetap saja tidak ada yang berani coba-coba untuk melawannya. Anak buahnya yang berjumlah sekitar seratus orang sangat patuh dan takut padanya. Si Hiu Perak memang memerintah anak buahnya dengan tangan besi. Dia tidak segan-segan membunuh anak buahnya yang bersalah!

Mendengar keinginan sobatnya yang meminta bantuan untuk menaklukkan sebuah pulau yang berada di sebelah timur dari tempatnya, si Hiu Perak begitu gembira. Tapi sebenarnya yang membuatnya gembira adalah membayangkan sebuah pulau berisi harta benda berlimpah serta wanita-wanita cantik di dalamnya.

Maka tanpa buang-buang waktu lagi, Ki Jalidar segera memberi perintah pada anak buahnya untuk menyiapkan sebuah perahu besar yang cukup menampung sekian banyak orang. Juga disiapkannya sekitar lima puluh anak buahnya. Sedang rombongan Ki Muwangkoro sebanyak lima puluh orang pula. Sehingga jumlah mereka seratus orang.

“Untuk apa mengerahkan orang-orang kita sebanyak itu, Ki? Kita hanya akan merebut sebuah pulau yang tidak seberapa besar. Dan lagi, belum diketahui kekuatannya. Siapa tahu di sana hanya ada dua atau tiga keluarga!” ujar seorang anak buah Ki Jalidar, ketika Ki Muwangkoro dan anak buahnya tengah beristirahat sambil bersantap di ruangan lain.

Ki Jalidar tersenyum mendengarnya. “Apakah kau kira aku akan sia-sia menyertakanmu didalamnya, Gagas Kelana?”

“Aku belum mengerti, Ki,” sahut laki-laki yang dipanggil Gagas Kelana.

Gagas Kelana memang tangan kanan Ki Jalidar yang amat dipercaya. Bukan saja karena kesaktian dan ilmu olah kanuragannya yang hebat, tetapi juga karena cerdas dan cepat tanggap dalam keadaan apa pun. Padahal, usianya masih tergolong muda. Baru dua puluh enam tahun.

Si Hiu Perak yang saat ini tengah mengawasi persiapan anak buahnya, memandang tajam ke sekelilingnya. Dan dia hanya ditemani Gagas Kelana. Melihat gelagat itu Gagas Kelana menyadari kalau Ki Jalidar ini hendak bicara hal yang rahasia.

“Bila keterangan itu benar, maka aku tidak akan sudi membaginya dengan orang lain!” bisik si Hiu Perak.

“Akan kita kuasai, Ki?!” tanya Gagas Kelana, menuntut jawaban.

“Ya!”

“Tapi..., bukankah Ki Seta kawan dekatmu?”

“He he he...! Dia memang kawan dekatku. Tapi harta dan wanita tidak mengenal kawan. Dia pun akan berpikir begitu kalau jadi aku.”

“Lalu, bagaimana dengan anak buahnya?”

“Apakan kau tidak bisa berpikir, untuk apa kuperintahkan kau membawa anak buah sebanyak itu?” Ki Jalidar malah balik bertanya.

“Kami harus membinasakan mereka, kalau ternyata cerita itu benar terbukti?” tanya Gagas Kelana minta kepastian.

“Kau makin pintar. Gagas!” puji Ki Jalidar sambil ketawa terkekeh.

Dipuji begitu, hidung Gagas Kelana jadi kembang-kempis sambil mesem-mesem.

“Tapi, Ki.... Berarti kita menciptakan permusuhan dengan Ki Seta!” kata pemuda ini dengan wajah sungguh-sungguh ketika hal itu terlintas dalam benaknya.

“Binasakan mereka jangan sampai ada yang lolos. Terserahmu, bagaimana caranya! Kalau di darat mereka boleh hebat Tapi jika di laut kalian sampai kalah, maka tidak usah kembali. Sebab, aku tidak akan segan-segan memancung kalian!” dengus Ki Jalidar, keras.

Gagas Kelana bergidik ngeri membayangkan ancaman pimpinannya itu.

“Kalau pun ada sempat yang lolos, tidak mengapa. Kita tunggu, apakah si Seta berani macam-macam denganku. Kalau dia punya nyali dan datang ke sini, maka kita habisi sekalian!” lanjut si Hiu Perak.

“Kalau begitu perintahmu, maka akan kukerjakan sebaik mungkin dan serapi mungkin.”

“Harus begitu! Sebab kalau tidak, maka akan kupancung leher kalian!”

Gagas Kelana sebenarnya sering mendengar ancaman seperti itu. Tapi tetap saja hatinya bergidik ngeri, setiap kali mendengarnya. Tubuhnya gemetar dan panas dingin. Seolah-olah hukuman itu benar-benar telah dijatuhkan padanya. Memang sukar dipercaya, Gagas Kelana yang selalu galak dan kasar, di hadapan Ki Jalidar betul-betul bertekuk lutut. Dan memang dia tahu bahwa si Hiu Perak tidak pernah main-main dengan kata-katanya. Sekali berkata hitam, maka akan tetap hitam.

“Nah, pergilah kau! Temani mereka. Dan jangan sampai membuat mereka curiga. Kerjakan serapi mungkin!” ujar Ki Jalidar.

“Baik, Ki!” sahut Gagas Kelana. Pemuda itu segera menjura hormat, dan berlalu.

Si Hiu Perak memperhatikannya. Bibirnya menyungging senyum sambil mengusap-usap dagunya.

********************

Kembang Taji bangkit perlahan-lahan mendekati jendela. Dari situ matanya menatap kosong pada pohon rimbun yang bercampur kembang di kebun istananya. Wajahnya yang cantik kelihatan gelisah. Beberapa kali dia menarik napas panjang.

“Sudahlah, Tuanku. Tidak ada yang perlu digelisahkan. Hamba akan menjaga istana ini sebaik mungkin. Semua prajurit kita siap mempertahankan serangan dari luar,” hibur Kijang Merah.

Meski suaranya berusaha dilembutkan, tetap saja yang keluar adalah suara serak yang kaku. Kijang Merah memang tidak biasa berhalus-halus kata. Wanita satu ini selalu tegas, dan tidak mau bertele-tele. Sehingga tidak heran kalau Kembang Taji mempercayakan jabatan panglima perang utama kepadanya.

“Yang terjadi akan terjadi. Dan tidak perlu dirisaukan, Tuanku...!” tambah Nenek Kampar Ilir. Tapi suaranya mirip gumaman orang yang putus asa. Dan itu membuat perasaan Kembang Taji semakin gelisah saja.

Sebenarnya Kijang Merah tidak menyukai sikap seperti itu. Tapi tidak ada alasan baginya untuk menyangkal kata-kata Nenek Kampar Ilir. Karena selama ini, apa yang keluar dari mulut perempuan tua itu selalu dipercaya. Bukan saja oleh ratu mereka, tapi juga seluruh rakyat di negeri ini. Dan kalau saja dia berani membantah, meski niatnya baik untuk membuat Kembang Taji tidak gelisah dan cemas, bukan tidak mungkin akan dikatakan pembangkang. Dan hukuman pembangkang di negeri ini cukup berat!

“Aku ingin tidur dulu...!” ujar Kembang Taji.

“Oh! Hamba akan memeriksa keamanan Tuanku sekali lagi!” ujar Kijang Merah.

“Bukankah keamanan yang kau siapkan telah berjalan baik?” tanya wanita cantik itu.

“Hamba ingin meyakinkan, bahwa segala sesuatunya belaian baik!” sahut Kijang Merah.

“Baiklah,” sahut Kembang Taji.

Wanita itu melangkah ke kamarnya. Dan Kijang Merah mengikuti dari belakang. Sementara, Nenek Kampar Ilir mengikuti keduanya dengan pandangan matanya.

“Tuanku, maafkan hamba,” ujar Kijang Merah, setelah mereka hilang dari pandangan Nenek Kampar Ilir.

“Hm, ada apa?”

Kijang Merah menutup pintu kamar, lalu menarik napas panjang. “Tuanku tidak perlu khawatir dan cemas. Hamba bukan bermaksud membangkang. Tapi, sekadar menenangkan hati Tuanku. Tidak perlu seluruh keterangan Nenek Kampar Ilir didengar....”

“Kijang Merah! Kau tahu apa artinya itu? Dia dukun ampuh dan terpercaya yang diangkat Guru Suci serta Guru-guru Tua, sebagai penasihatku. Semua yang dikatakannya selalu terbukti. Dan telah menjadi ketentuan bahwa kita tidak boleh membantahnya!” sahut Kembang Taji, sedikit marah.

“Ampun atas kelancangan hamba, Tuanku! Kalau hamba bersalah, memang pantas menerima hukuman. Tapi, percayalah.... Seluruh jiwa raga hamba dipersembahkan bagi negeri ini. Dan kesetiaan hamba selalu untuk Tuanku! Tidak ada niat di hati hamba untuk menghasut...!” ucap Kijang Merah, sedikit lantang.

“Lalu, apa maksudmu?”

“Maksud hamba, Tuanku tidak perlu terlalu gelisah terhadap bencana yang dikatakan Nenek Kampar Ilir. Hamba telah menyiapkan segalanya bagi keselamatan Tuanku!”

Kembang Taji terdiam. Dipandanginya Kijang Merah sejurus lamanya. Kemudian wanita berwajah cantik itu menghela napas pendek.

“Aku yakin akan kesetiaanmu, Kijang Merah. Dan itulah yang membuatku yakin bahwa kau bukanlah sebagai pembangkang. Aku juga percaya kesigapan serta rencana-rencanamu bagi keselamatanku. Tapi, tahukah kau apa yang kupikirkan saat ini?”

Kijang Merah terdiam. Ditunggunya Kembang Taji untuk meneruskan kata-katanya.

“Sekian ratus tahun kita hidup tenang di negeri ini dan jauh dari keramaian dunia luar. Aku sendiri tidak tahu, bagaimana kehidupan di dunia luar sana. Dan kita semua sepakat untuk tidak mau mengetahuinya. Kita cukup aman dan tenteram di sini. Lagi pula menurut cerita Guru Suci, di dunia luar sana penuh kekejaman dan segala bentuk kejahatan. Terutama, kejahatan yang dilakukan oleh para laki-laki. Tapi..., segalanya kini mulai terganggu.”

Keduanya terdiam. Kata-kata sang Ratu cukup meresap di hati, membuat Kijang Merah trenyuh. Dirasakannya bentuk kegelisahan Kembang Taji yang mendalam.

“Negeri ini dilanda bencana. Dan kehidupan kita kacau! Rakyat diperbudak, dan kita semua menjadi budak...!” desis Kembang Taji.

“Tuanku.... Tidak akan kubiarkan negeri ini menjadi begitu!” tandas Kijang Merah lantang.

Kembang Taji tersenyum kecut seraya berbalik. Dari situ dia berusaha mengintip lewat celah jendela. Langit terlihat diterangi cahaya rembulan. Dan di sekitar istananya, berdiri tegak puluhan prajurit yang mengawalnya amat ketat. Namun tak lama keduanya dikejutkan suara dari dalam ruangan ini. Rupanya ada seorang prajurit wanita yang meminta izin masuk ke dalam.

“Ada apa? Ratu sedang sibuk tidak boleh diganggu!” sahut Kijang Merah.

“Maafkan hamba. Panglima! Kita diserang musuh dari lautan...!” jelas prajurit wanita itu, dari balik pintu.

“Apa?!”

********************

Bukan hanya Panglima Kijang Merah saja yang kaget. Tapi Kembang Taji pun ikut terkesiap. Secepat itu pula, Kijang Merah membuka pintu.

“Ceritakan cepat...!” sentak Kijang Merah.

Prajurit itu segera berlutut menghormat. “Sebuah kapal besar mendarat. Dan dari dalamnya meluncur beberapa buah perahu yang mengitari pulau ini. Prajurit-prajurit kita tengah bertempur mati-matian melawan mereka!” jelas prajurit wanita ini.

“Kurang ajar!” dengus Kijang Merah geram.

Kalau tidak ingat janjinya melindungi Ratu Kembang Taji, ingin rasanya dia melompat sekarang juga dan ikut bertempur menghalau musuh.

“Perintahkan prajurit-prajurit untuk memperketat penjagaan di istana. Kirim beberapa orang untuk menjemput Guru Suci dan Guru-guru Tua, serta Nenek Kampar Ilir. Temui kami di pintu gerbang sebelah timur!” perintah wanita perkasa itu.

“Baik, Panglima!” sahut prajurit wanita ini seraya menjura memberi hormat.

Begitu prajurit ini keluar. Kijang Merah segera membawa Ratu Kembang Taji keluar dari kamarnya.

“Ke mana aku akan kau bawa. Kijang Merah?” tanya Kembang Taji.

“Kita akan mengungsi. Tuanku!”

“Bukankah sebaiknya kita berperang melawan mereka?”

“Maaf, Tuanku! Ratu tidak boleh tertawan musuh. Sebab, itu akan menjatuhkan derajat bangsa kita. Begitulah yang diajarkan Guru-guru Tua pada hamba...!”

Kembang Taji tidak banyak bicara lagi. Maka segera diikutinya langkah panglimanya itu. Kepergian mereka diikuti dua orang pengawal kerajaan yang tadi berjaga di pintu.

********************

Kijang Merah merasa gelisah, ketika teriakan-teriakan pertempuran mulai terdengar dari segala penjuru.

“Musuh telah semakin dekat...!” keluh Kijang Merah dengan hati geram.

“Para prajurit kita tidak mampu menahan mereka, bukan?” gumam Kembang Taji dengan hati cemas.

Tapi panglima itu tidak banyak bicara lagi sampai mereka tiba di gerbang timur. Mereka menunggu beberapa saat sampai muncul beberapa orang yang tergopoh-gopoh menghampiri.

“Ibunda...!” seru Kembang Taji, langsung bersimpuh di kaki seorang wanita setengah baya yang baru muncul di antara yang lainnya.

“Bangunlah, Anakku! Aku tahu apa yang menggelisahkan hatimu,” ujar wanita setengah baya ini, yang ternyata ibu kandung Kembang Taji.

“Hamba tidak mampu berbuat apa-apa dalam hal ini,” keluh Kembang Taji pelan, seraya bangkit berdiri.

“Kami tidak menyalahkanmu. Nak. Mungkin sudah tiba saatnya negeri kita hancur....”

“Guru Suci, para Guru Tua, serta Nenek Kampar Ilir, kita tidak bisa berlama-lama disini. Hamba harus menyelamatkan Ratu Kembang Taji melalui lorong rahasia!” seru Kijang Merah.

“Ya, pergilah kalian! Doa kami senantiasa bersama kalian. Bawalah beberapa orang prajurit sebagai pendamping,” sahut Guru Suci, wanita yang tadi dipanggil ibunda oleh Ratu Kembang Taji.

“Maksud hamba kita semua harus menyelamatkan diri. Guru Suci...!”

Wanita setengah baya yang berpakaian serba putih itu tersenyum tipis sambil menggeleng pelan. “Tidak, Anakku Kijang Merah! Pergilah kalian semua. Aku serta para Guru Tua dan Nenek Kampar Ilir akan bertahan di sini!” sahut Guru Suci.

“Guru Suci! Musuh berjumlah banyak dan terlalu kuat! Kita tidak bisa bertahan disini!” seru seorang prajurit, mengingatkan.

“Kerajaan Tulang Emas telah memiliki seorang ratu. Dan kalian wajib mempertahankannya. Kalau pun kita kalah, maka kalianlah penerus kami. Pikirkan cara untuk menghalau mereka!”

“Tapi, Ibunda...!” Kembang Taji hendak berlutut, namun buru-buru Guru Suci menangkap dan mencegahnya.

“Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, Anakku. Pergilah dengan tenang...,” ujar Guru Suci sambil tersenyum kecil.

Kembang Taji hendak bicara lagi, tapi saat itu terdengar teriakan-teriakan nyaring tidak jauh dari situ. Bahkan mereka bisa melihat musuh yang mulai menyerbu istana kerajaan. Wajah wanita itu semakin gelisah dan tidak tenang.

“Pergilah, Nak! Pergilah...!” desak Guru Suci, khawatir.

“Tapi, Ibunda....”

“Tidak ada yang mesti dipikirkan lagi!” tukas Guru Suci cepat. “Pergilah kalian! Selamatkan dirimu. Bila segalanya bisa kami atasi, maka secepatnya kami akan menghubungimu!”

Kembang Taji memandang mereka satu per satu. Berat rasanya mengalami hal seperti ini. Tapi, ini harus dilakukan demi keselamatannya yang akan memegang kelangsungan bangsa mereka kelak.

“Tuanku... silakan!” ujar Kijang Merah, langsung menghampiri sebuah batu yang menempel di tebing gunung karang, dekat tembok istana.

Terlihat sebuah mulut gua yang gelap. Sehingga tidak bisa diperkirakan, berapa jauh ke dalam dan tembus ke mana gua itu. Kembang Taji melirik sekilas. Seumur hidupnya, dia belum tahu kalau di tempat itu terdapat sebuah gua rahasia. Banyak pertanyaan yang mengganjal di kepala. Tapi, seperti tidak berarti pada saat seperti ini. Kesedihan serta kegalauan hatinya menyelimuti seluruh hati dan pikirannya.

“Ibunda, Ananda pamit dulu...,” ucap Kembang Taji dengan bibir gemetar.

Kembang Taji segera mengikuti Kijang Merah kedalam. Sementara lima prajurit menyertai mereka dalam perjalanan ini.

Kijang Merah tahu apa yang harus dilakukannya. Segera ditutupnya pintu gua itu secepatnya. Lalu dinyalakannya obor yang berada di dinding ruangan! Tampak Ratu Kembang Taji masih termenung dengan wajah muram.

“Tuanku, kita mesti bergegas...!” ujar Kijang Merah pelan.

Kembang Taji menatap sekilas, kemudian menarik napas panjang. Lalu kepalanya mengangguk pelan. “Akan kau bawa ke mana aku?”

“Ke Pulau Penyu. Di sana, ada ruangan rahasia dibawah tanah. Dan tak seorang pun yang mengetahui, selain aku!”

“Dari mana kau bisa tahu semua hal-hal rahasia? Padahal, aku sendiri tidak mengetahuinya?”

“Maafkan hamba, Tuanku. Seperti diketahui, Tuanku dididik oleh Tuan Suci. Sedang hamba dididik oleh para Guru Tua. Salah seorang adalah bekas panglima kerajaan, ketika Guru Suci masih menjadi ratu. Maka rahasia kerajaan diberitahukan pada hamba. Semua itu untuk menunjang tugas hamba, melindungi kerajaan. Khususnya, melindungi Tuanku,” jelas Kijang Merah.

Kembang Taji mengangguk pelan. Kalau saja tidak dalam keadaan galau begini, mungkin keterangan Kijang Merah membuat hati Kembang Taji terperangah. Dan ingin rasanya dia mengetahui hal-hal lain yang mungkin belum diketahuinya. Tapi saat ini, wanita cantik itu banyak berdiam diri. Pikirannya kacau oleh kejadian yang menimpa negerinya. Dan hatinya gelisah memikirkan nasib rakyatnya. Apa yang tengah menimpa mereka saat ini?

“Hamba akan melihat-lihat apa yang menimpa negeri kita, Tuanku! Tapi, hamba harus yakinkan bahwa Tuanku selamat lebih dulu di Pulau Penyu,” ujar Kijang Merah, seperti mengerti apa yang tengah dipikirkan ratunya saat ini.

Kembang Taji tidak menjawab. Mereka terus menyusuri terowongan yang cukup panjang. Di ujung sana, mereka akan bertemu dengan sebuah pantai yang agak tersembunyi. Persis di mulut terowongan ini, tertambat sebuah perahu kecil yang cukup untuk membawa mereka menuju ke Pulau Penyu.

EMPAT

Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih berdiri tegak di atas sebuah bukit sambil menengadahkan kepalanya ke langit. Matahari bersinar tidak terlalu garang. Bahkan sekumpulan awan kelabu menghalangi. Angin yang bertiup perlahan mengibar-ngibarkan rambutnya. Sementara tidak jauh di dekatnya, seekor kuda berbulu hitam tengah merumput dengan tenang.

“Suiiit...!” Pemuda dengan pedang bergagang kepala burung di punggung itu bersuit nyaring, membuat kuda hitam itu terkejut sesaat. Tapi kemudian, binatang perkasa ini kembali merumput dengan tenang.

“Apakah jarak yang terlalu jauh, sehingga Rajawali Putih tidak mendengar?” gumam pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga. Di dalam dunia persilatan, dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Sementara kuda yang merumput didekatnya sudah pasti Dewa Bayu.

Untuk yang ketiga kalinya Pendekar Rajawali Sakti bersuit. Kali ini lebih keras dan nyaring. Waktunya pun sedikit lebih lama, dibanding suitan yang pertama dan kedua. Tapi, yang ditunggu-tunggunya ternyata belum juga muncul. Wajahnya tampak kecewa, ketika pandangan matanya yang menyorot ke angkasa luas belum menemukan tanda-tanda sosok burung rajawali raksasa, yang biasa menjadi tunggangannya. Seekor burung raksasa yang juga guru, sahabat, bahkan orangtua angkatnya semasa di Lembah Bangkai. Sejak kecil, Rangga memang diasuh oleh burung rajawali raksasa yang diberi nama Rajawali Putih.

“Mungkin dia tidak mendengar panggilanku,” gumam Pendekar Rajawali Sakti sambil menurunkan wajahnya.

“Hieee...!” Kuda hitam bernama Dewa Bayu meringkik halus. Pendekar Rajawali Sakti segera menoleh disertai senyum manisnya. Lalu didekatinya dan diusap-usapnya leher Dewa Bayu. Baru saja Rangga hendak melompat kepunggung kudanya, mendadak....

“Kraaagkh...!”

“Hei?!”

Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar di angkasa. Saat itu juga, kepalanya mendongak ke angkasa. Dan bibirnya langsung tersenyum kembali, ketika di angkasa terlihat satu titik benda putih keperakan tengah melayang-layang dengan kecepatan dahsyat.

“Ah! Ternyata Rajawali Putih mendengar panggilanku!” seru Rangga girang. “Ke sini Rajawali Putih!” Rangga berteriak sambil memberi isyarat dengan tangannya.

“Kraaagkh...!” Dengan kecepatan dahsyat, burung besar itu mengepak-ngepakkan sayapnya, lalu menukik ke bawah. Makin lama, bentuk asli burung itu makin jelas. Sampai akhirnya, tampak seekor burung rajawali raksasa yang besarnya hampir menyamai sebuah bukit!

“Kaaakgkh...!”

Pemuda itu tersenyum, begitu Rajawali Putih mendarat di depannya sambil menggerak-gerakkan lehernya. Pelan-pelan dihampirinya burung raksasa itu. “Telah lama kita tidak bertemu. Rajawali! Mudah-mudahan kau baik-baik saja...!” kata Pendekar Rajawali Sakti sambil mengusap-usap leher hewan raksasa itu.

“Kraaagh...!” Rajawali Putih memberi isyarat dengan suaranya. Dan, sepertinya Rangga mengerti betul apa yang dikatakan burung raksasa itu.

“Kau ingin mengatakan sesuatu?” Dahi Pendekar Rajawali Sakti berkerut, mendengar suara rajawali raksasa ini.

“Kaaagkh...!”

“Apa yang hendak kau tunjukkan padaku, Rajawali Putih?”

“Kagkh...!” Rajawali Putih memekik nyaring, siap hendak terbang.

“Baiklah, baiklah...! Aku akan ikut denganmu...!” ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga berpaling pada Dewa Bayu tunggangannya. Segera dihampirinya kuda berbulu hitam mengkilat itu. Beberapa saat dielus-elusnya leher Dewa Bayu. Kuda hitam itu meringkik halus, kemudian berbalik. Dan dengan kecepatan kilat, binatang ini pergi meninggalkan bukit.

“Ayo, kita berangkat sekarang! Tunjukkan padaku apa yang hendak kau perlihatkan!” ujar Rangga, begitu Dewa Bayu tidak terlihat lagi.

“Kargh...!”

“Hup!” Dengan gerakan manis sekali. Pendekar Rajawali Sakti melenting dan mendarat tepat di leher Rajawali Putih. Begitu indah gerakannya, sehingga tak terdengar suara sedikit pun ketika hinggap.

Rajawali Putih segera merentangkan kedua sayapnya. Dan ketika sayapnya dikepakkan, saat itu juga mereka melesat ke atas. Burung raksasa itu berputar sekali, lalu melesat ke arah tenggara!

Rajawali Putih memang bukan burung biasa. Dia seperti burung penjelmaan dewa yang sengaja turun hendak membimbing Pendekar Rajawali Sakti. Tak heran kalau kemudian Rangga di bawah asuhannya berubah menjadi pendekar yang pilih tanding. Bahkan namanya telah terukir sebagai pendekar pujaan atas yang memerangi keangkaramurkaan.

“Kaaakgkh...!” Burung raksasa itu berteriak nyaring, ketika hampir sampai di tujuan.

“Ya.... Aku juga melihatnya, Rajawali. Cepatlah menuju kesana!” ujar Pendekar Rajawali Sakti. “Hm.... Apa yang terjadi di sana? Cepat, Rajawali. Rendahkan terbangmu!”

Burung raksasa itu pun merendahkan terbangnya.

“Astaga!” seru Rangga kaget, begitu melihat pemandangan yang menggiriskan dibawah sana.

Ternyata Rajawali Putih membawa Pendekar Rajawali Sakti ke permukaan laut didekat gugusan pulau sebelah barat Pulau Jawadwipa. Dan tepat di dekat Pulau Perawan, terlihat mayat-mayat mengambang, dipermainkan ombak. Sebagian mayat-mayat itu merapat ke pantai. Tapi yang lainnya hanyut makin ke tengah.

“Seperti pembantaian...!” gumam Rangga, seperti tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. “Inikah yang kau maksud?”

“Kaaakgkh...!”

“Baiklah. Akan kita selidiki, apa yang terjadi di bawah sana. Bawa aku ke salah satu pulau kecil!” ujar Pendekar Rajawali Sakti, langsung menunjuk ke satu arah.

Rajawali Putih langsung menukik ke pulau yang ditunjuk Rangga.

“Begitu aku melompat, terbanglah kembali, Rajawali Putih! Tunggulah aku di atas sana. Awasi aku!” teriak Rangga, berusaha mengalahkan deru angin ketika Rajawali Putih menukik ke bawah. “Hup!”

Rangga cepat melompat dan mendarat di tanah, sementara rajawali raksasa itu kembali melesat. Segera dihampirinya beberapa sosok tubuh yang terdampar dipantai pulau ini.

“Hm.... Orang-orang ini sudah mati. Tubuhnya menggembung karena terkena air laut. Penuh luka senjata tajam,” gumam Rangga pelan, sambil mengamati keadaan mayat-mayat itu.

Kini Rangga segera menyusuri pantai. Beberapa sosok tubuh lagi ditemuinya. Kebanyakan dari mereka adalah wanita berusia muda. Dan melihat dari wajahnya, rata-rata cukup cantik.

“Hm.... Cukup banyak juga jumlah mereka. Dari mana asalnya? Dan apa yang telah menimpa mereka?” gumam Rangga pendek, seraya melompat ke atas sebuah batu karang.

Begitu hinggap di atas batu karang, Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. “Sulit menentukan, dari mana asal mereka. Mayat-mayat ini agaknya telah lama di air. Paling tidak sejak tadi malam,” lanjut Rangga lirih. “Tapi rasanya tidak berasal dari tempat jauh. Mungkin..., pulau besar itu!”

Rangga memandang tajam pada sebuah pulau yang paling besar, di antara sekian banyak gugusan pulau yang berada di sekitar wilayah ini. Jarak pulau besar itu dari tempatnya berpijak, dihalangi dua pulau kecil lainnya. Namun begitu, matanya masih melihat bagian lain dari pulau itu. Terlalu jauh untuk melihat, apa yang terjadi. Sebab hanya pepohonan belaka yang terlihat.

Rangga kembali melompat turun, dan kembali menyusuri pantai, sambil mengedarkan pandangannya. Baru saja kakinya melangkah beberapa tindak...

“Haaa...!”

“Hei?!” Pendekar Rajawali Sakti sedikit terkejut, namun cepat berbalik begitu terdengar sebuah suara dari belakangnya. Tahu-tahu dari balik semak-semak melompat seseorang mengayunkan sebilah golok.

Wut! Wuttt!

“Uts!” Dua kali sambaran ke leher dan pinggang, mudah sekali dielakkan Pendekar Rajawali Sakti dengan meliuk-liukkan tubuhnya. Saat gadis itu hendak menikam jantungnya, Rangga berkelit kekanan. Tiba-tiba ditangkapnya pergelangan tangan gadis itu lalu ditekuknya. Sementara tangan kanannya menotok ke tubuh gadis ini.

Tuk!

“Aaah...!” Saat itu juga, gadis dalam telikungan Pendekar Rajawali Sakti terkulai. Golok dalam genggamannya langsung terlepas.

“Nisanak, maafkan. Aku tidak bermaksud buruk kepadamu...,” ujar Rangga, halus.

Tapi tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti terkejut ketika melihat perut gadis ini meneteskan darah segar. Barulah disadari kalau gadis itu telah terluka sejak tadi. Ketika bergerak, balutan lukanya terlepas. Dan luka yang mulai mengering kembali berdarah.

“Mari kubantu, Nisanak...!” Rangga cepat menotok beberapa bagian di sekitar lukanya untuk menghentikan pendarahan. Mula-mula gadis itu melotot marah. Tapi ketika tahu kalau pemuda itu hendak menolong, dia diam saja.

“Apa yang terjadi denganmu? Dan, mayat-mayat siapa itu?”

“Apa gunanya kau tanyakan? Kau adalah bagian dari mereka! Dan lebih tahu, apa yang kau lakukan terhadap kami!” sahut gadis itu, ketus.

“Nisanak! Aku tidak mengerti bicaramu....”

“Tidak perlu berpura-pura. Kau mungkin saja menolongku. Tapi, aku tidak butuh pertolonganmu!” tukas gadis ini, masih dengan nada garang.

Rangga menghela napas pendek. “Kau dalam keadaan terluka parah, Nisanak! Sebaiknya, singkirkan pikiran burukmu terhadapku!” ujar Rangga, kalem.

Gadis itu tidak menjawab. Sedikit pun matanya tak memandang Pendekar Rajawali Sakti.

“Maaf kalau terpaksa aku menotokmu. Kalau kau berjanji tidak menyerangku lagi, maka akan kubebaskan totokanmu. Aku bukan musuhmu. Percayalah!” kata Rangga, sambil tersenyum.

Tapi gadis itu tidak menoleh. Apalagi menyahut! Kembali tangan Rangga bergerak cepat. Dan....

Tuk!

Rangga melepaskan totokan. Namun gadis ini masih tetap tidak bergerak sedikit pun. “Nisanak! Apa yang telah terjadi di sini? Siapakah kau? Dan, siapa pula mayat-mayat itu?” tanya Rangga.

“Kau ingin tahu apa yang terjadi di sini? Hm.... Sebuah malapetaka. Aku bernama Mardani, salah satu penghuni pulau ini. Dan aku adalah korban malapetaka yang terjadi, disamping mayat-mayat itu!” jelas gadis bernama Mardani, sambil menunjuk ke arah mayat-mayat itu.

“Jadi mayat-mayat itu kawan-kawanmu? Apa yang terjadi dengan kalian?”

Gadis itu menoleh kepada Rangga dengan tatapan tajam. “Siapa kau? Dan, apa urusanmu dengan kami?” Mardani malah balik bertanya.

Nada suara gadis itu terdengar angkuh dan tidak bersahabat. Bahkan dengan raut mukanya, tampak sangat memandang rendah kepada Pendekar Rajawali Sakti.

“Namaku Rangga...,” sahut pemuda itu ramah. “Aku memang tidak punya kepentingan pribadi.”

“Kalau begitu pergilah. Dan, tidak usah campuri urusan kami!”

Nada bicara Mardani betul-betul ketus. Dan sepertinya tidak mau bersahabat sedikit pun! Rangga hanya menarik napas panjang seraya bangkit berdiri.

“Baiklah, kalau memang demikian kehendakmu. Agaknya aku memang tidak perlu ikut campur urusan orang lain. Aku mohon pamit...!” desah Pendekar Rajawali Sakti seraya melangkah.

Tapi baru saja beberapa langkah, mendadak Pendekar Rajawali Sakti melihat sebuah perahu kecil menuju ke arah mereka, dari pulau yang paling dekat dengan pulau ini. Gadis itu tampak geram. Tapi, buru-buru dia bersembunyi. Melihat itu, Rangga pun ikut bersembunyi tidak jauh darinya. Perahu itu memang mendarat di pulau ini. Dari dalamnya, turun lima lelaki bertampang kasar yang masing-masing memegang sebilah golok panjang.

“Kurang ajar! Ke mana lagi harus kita cari mereka?!” desis salah seorang yang wajahnya dipenuhi bulu. Sejak turun dari perahu dia terus memaki-maki tak karuan.

“Diam, Panjalu. Tidak usah banyak ribut!” sentak seorang laki-laki bertampang penuh bopeng.

“Hei?! Kau tidak perlu membentak begitu, Sindu! Kau bukan majikanku!” balas orang yang dipanggil Panjalu dengan nada tidak senang.

“Yang menjadi pimpinan adalah Gagas Kelana. Dan dia adalah pimpinan kami! Apa mau kalian?!” balas Sindu tak mau kalah.

Panjalu dan Sindu terus bersitegang. Dan anehnya, kawan-kawan mereka sama sekali tidak melerai.

“He, jadi kau kira begitu?! Kau mengecilkan kehadiran Ki Muwangkoro?!” dengus Panjalu, geram.

“Tidak usah banyak mulut! Kalian sama-sama tahu, Ki Gagas yang memimpin penyerangan ini. Maka, dialah yang menjadi pimpinan semua!” tukas Sindu.

“Brengsek! Apa maumu bicara soal pemimpin segala? Apa kau kira dengan begitu bisa berbuat seenaknya pada kami?!”

“He he he...! Kawanan kalian hanya sekumpulan tikus yang coba-coba mengaum di depan kawanan serigala!” ejek Sindu, lebih keras lagi.

“Jaga bicaramu. Keparat! Tidakkah kau sadar kalau aku bisa gelap mata dan membunuhmu?!” sentak Panjalu.

“Kau ingin membunuhku? He he he...! Meski kalian bertiga, belum tentu bisa membunuhku,” sahut Sindu dengan sikap merendahkan.

Mendengar itu bukan main geramnya Panjalu. Amarahnya tidak bisa ditahan lagi. Apalagi, saat kedua kawannya mulai memanas-manasi.

“Sikat saja mereka! Biar orang-orang ini tahu, siapa kita!”

“Betul, Panjalu. Bereskan saja. Lalu katakan, bahwa mereka disergap musuh!” timpal yang seorang lagi.

Maka tanpa pikir panjang lagi, Panjalu langsung menghunus golok. Seketika tangannya cepat mengibaskan golok ke arah Sindu.

“Hih!”

“Uts!” Dengan mudah Sindu berkelit ke samping. Lalu kakinya terayun, melepaskan tendangan menggeledek.

“Yeaaa...!”

“Hup!” Namun Panjalu cepat melompat ke belakang, sehingga serangan Sindu luput dari sasaran. Sebelum Sindu mengejar, dua kawan Panjalu telah melompat lebih dulu untuk membantu.

“Jangan khawatir, Panjalu. Kita bereskan mereka secepatnya!” kata salah seorang kawan Panjalu.

Melihat pertarungan yang tidak seimbang, kawan Sindu juga tidak tinggal diam. Dia langsung melompat menghadang kedua orang itu.

“Biar kuhadapi Panjalu dan Gandung ini, Setiaji! Kau bereskan saja si Reksa,” ujar Sindu.

“Beres!” sahut laki-laki yang dipanggil Setiaji.

Pertarungan tak dapat dielakkan lagi. Tapi meski dikeroyok dua, Sindu agaknya mampu mengatasi. Bahkan pelan-pelan mulai mendesak Panjalu dan Gandung.

“Yeaaa...!” Pada satu kesempatan, Sindu meluncur sambil membabatkan goloknya. Pada saat yang sama, Gandung juga melesat disertai sabetan golok panjangnya. Dan....

Trang!

Begitu terjadi benturan senjata, dengan gerakan dahsyat Sindu memutar goloknya, lalu langsung dikelebatkan ke perut Gandung. Sehingga....

Brettt!

“Aaakh...!” Gandung memekik kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil memegangi perutnya yang robek ditebas golok Sindu. Panjalu bermaksud membantu, tapi Sindu terus memburu Gandung yang sudah ambruk di tanah dan tengah sekarat.

Cras!

“Aaa...!” Golok panjang di tangan Sindu tidak mengenal ampun. Langsung dibelahnya dada Gandung yang sudah tidak berdaya.

“Biadab!” desis Panjalu geram.

“Tidak usah banyak bicara! Kau akan mengalami nasib yang sama dengannya!” tukas Sindu, enteng saja.

“Aku akan menyeretmu untuk ke akhirat bersama kawanku!” Baru saja Panjalu berteriak sambil melompat menerjang....

“Aaa...!” Kembali terdengar jeritan. Kali ini Reksa yang menjadi lawan Setiaji menjadi korban. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Dada kanannya berlubang terkena tikaman senjata Setiaji.

“Heaaat!”

Panjalu membatalkan serangannya. Dan dia bermaksud melindungi kawannya yang bernama Reksa dari serangan Setiaji selanjutnya. Tapi Sindu ternyata lebih cepat bergerak. Golok di tangannya cepat dilemparkan ke arah leher Reksa yang terhuyung-huyung. Dan....

Cras!

“Hokh!”

“Hei?!” Kembali Panjalu terkesiap, melihat leher Reksa telah tertancap golok yang dilemparkan Sindu. Berarti dua kawannya telah tewas dalam waktu singkat secara mengenaskan.

“Biadab! Aku harus membalas kematian mereka berdua, lebih kejam daripada yang kalian lakukan!” bentak Panjalu penuh amarah.

“Tidak usah buang-buang tenagamu. Sebentar lagi kau akan menyusul mereka...,” ejek Sindu, setelah mencabut goloknya yang tertancap di leher lawannya.

“Heaaat...!” Saat itu juga Sindu langsung melompat menyerang dengan ayunan goloknya. Pada saat yang sama, Setiaji dan Sindu sudah sama-sama meluruk dengan sambaran golok masing-masing. Namun, apalah daya Panjalu saat ini? Apalagi kini harus menghadapi kerubutan dua orang. Kini tampak, serangan masing-masing pihak akan bertemu di udara.

Trang!

Sambaran golok Setiaji berhasil dipapak Panjalu dengan memalangkan goloknya ke depan wajah. Namun pada jarak yang hampir bersamaan, Sindu membabatkan goloknya ke perut.

“Hup!” Cepat bagai kilat, Panjalu menjatuhkan diri ketanah. Namun, ternyata Sindu dapat mengejarnya.

Dan baru saja dia bangkit, Sindu telah melepaskan tendangan ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Duk!

Panjalu terhuyung-huyung ke belakang disertai keluhan tertahan, begitu tendangan Sindu berhasil bersarang di dadanya. Meski tidak terlalu keras, tapi cukup membuatnya lengah. Sehingga, Setiaji yang telah siap sejak tadi cepat membabatkan senjatanya ke perut.

Crasss!

“Aaah...!” Panjalu kontan memekik keras, begitu perutnya robek mengeluarkan darah. Tentu saja, hal ini membuat gerakannya terhambat.

“Heaaat...!” Pada saat itu Sindu sudah melompat dengan senjata di tangan, siap menghabisi Panjalu.

“Yeaaa...!”

LIMA

Pada saat yang gawat bagi Panjalu, mendadak melesat sesosok bayangan putih yang langsung memapaki serangan Sindu. Gerakannya cepat bukan main. Dan....

Plak!

“Aaakh...!” Tahu-tahu Sindu memekik kesakitan sambil memegangi tangan kanannya yang terasa nyeri. Sementara senjatanya lepas entah ke mana.

Dan baru saja Sindu bisa menguasai perasaannya, di depannya telah berdiri seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung. Sementara Setiaji hanya terbengong-bengong, tak tahu harus berbuat apa.

“Siapa pun adanya kau, lebih baik tidak usah ikut campur dalam urusan ini!” dengus Sindu, berusaha menghilangkan rasa kegentarannya. Betapa tidak gentar? Pada saat berbenturan tadi, Sindu yakin tenaga dalamnya jauh dibawah pemuda berbaju rompi putih di depannya.

Pemuda yang tidak lain dari Pendekar Rajawali Sakti itu tersenyum dingin. Matanya menyorot tajam pada Sindu. “Aku pemilik pulau ini. Maka segala sesuatu yang terjadi disini berhak kuketahui,” sahut Pendekar Rajawali Sakti enteng.

“Setan! Agaknya kau belum kenal kami, he?!” bentak Sindu. “Heaaa...!” Saat itu juga Sindu melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan kibasan tangan secara bertubi-tubi.

“Uts!” Namun hanya sedikit memiringkan tubuhnya. Rangga berhasil menghindarinya. Dan baru saja Sindu hendak membangun serangan kembali, sebelah kaki Pendekar Rajawali Sakti cepat melayang dengan satu tendangan keras.

Diegh!

“Aaakh…!” Telak sekali tendangan itu bersarang dileher Sindu. Disertai jerit kesakitan, Sindu tersuruk mencium tanah. Dan baru saja dia hendak bangkit, Rangga tahu-tahu telah menjejak di lehernya.

“Aku telah tahu siapa dirimu. Dan kau pun telah tahu siapa aku saat ini! Aku adalah malaikat pencabut nyawa. Maka jangan coba-coba bertindak macam-macam. Lehermu akan putus bila kau bertindak macam-macam!” ancam Rangga.

“Ohhh.... Ekh...!” Sindu mengeluh tertahan dan sulit bernapas ketika Rangga membuktikan ancaman dengan menekan telapak kakinya yang menempel ke leher lawan.

“Nah! Kau semakin tahu, bukan? Jadi kau tidak usah macam-macam!” lanjut pemuda itu melonggarkan pijakan kakinya.

Sementara, melihat kawannya jatuh dalam satu kali gebrakan, Setiaji tidak berani bertindak. Dia sadar, kalau pun membokong, pasti pemuda berbaju rompi putih itu pasti dapat melumpuhkannya. Sehingga, dia hanya berdiam diri dengan tatapan kasihan pada Sindu.

“Apa maumu?!” tanya Sindu lantang.

“Seharusnya aku yang bertanya! Siapa kalian?! Dan, apa maksud kalian disini?!” balas Rangga, dingin.

“Aku anak buah Gagas Kelana penguasa gugusan pulau ini!”

“Siapa Gagas Kelana itu?”

“Boleh jadi kau tak mengenalnya. Tapi kami semua berada di bawah pimpinan Ki Jalidar alias si Hiu Perak, yang menguasai seluruh perairan di wilayah laut bagian barat Pulau Jawadwipa ini!” sahut Sindu dengan nada sedikit angkuh.

Nama Hiu Perak sebenarnya telah terkenal di setiap penjuru sebagai pimpinan bajak laut yang di takuti. Bukan saja mereka yang sering bepergian menggunakan perahu layar, tetapi juga dikenal oleh orang-orang yang berada di daratan. Dengan begitu, Sindu berharap pemuda itu akan gentar mendengarnya.

“Hiu Perak? Hm.... Belum pernah kudengar namanya. Tapi, pasti kalian semua suka membuat resah!”

“Maaf, Kisanak! Kau jangan menyamakannya dengan kami!” Panjalu yang sudah bisa bangkit berdiri langsung menyahuti kata-kata Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti langsung menoleh tajam kepada Panjalu. “Dan kau siapa? Kudengar, kalian tadi meributkan pemimpin masing-masing!”

“Namaku Panjalu, anak buah Ki Muwangkoro. Kami ke sini diutus Ki Seta yang menguasai hutan Damar Setan,” sahut Panjalu.

“Tidak salah dugaanku. Kalian memang para perampok yang suka membuat keresahan. Hm.... Apa yang kalian kerjakan disini, kalau tidak sedang membuat keonaran?”

Tidak ada yang menyahut. Rangga menatap tajam mereka satu-persatu, lalu mengalihkan pandangan pada Sindu yang masih diinjaknya. “Apa yang kalian lakukan di sini?!” desis Rangga geram sambil menekan telapak kakinya lebih kuat.

“Ekh... kekh... kekh...!”

“Katakan lekas!” bentak Pendekar Rajawali Sakti, kembali mengendurkan pijakan kakinya.

“Aku... aku tak tahu.... Aaakh!” Sindu menjerit keras, karena Rangga tidak puas dengan jawabannya.

“Tidak perlu berbohong padaku! Kau termasuk anak buah si Hiu Perak. Dan jelas, kau tahu apa yang dilakukan disini.”

“Baiklah. Kami..., kami berada di pulau yang paling besar itu.”

“Untuk apa?”

“Menyerang penghuni pulau itu...!”

“Wanita-wanita yang mayatnya berserakan itukah yang mendiami pulau itu?”

“Be..., betul!”

“Untuk apa kalian memusuhi mereka?”

“Eh! Aku, aku tidak tahu...!” Tapi baru saja berkata seperti itu, kembali Sindu menjerit kesakitan ketika Rangga menekan kakinya lebih kuat.

“Katakan!”

“Eh! Ba..., baiklah.”

Tapi belum, juga Rangga mendapat jawaban....

“Wanita itu mencuri perahu kita!” seru Panjalu, seraya menunjuk pantai.

Perhatian Rangga jadi beralih ke arah pantai. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan Sindu. Cepat tubuhnya bergulingan, melepaskan diri dari pijakan kaki Pendekar Rajawali Sakti.

“Heh?!”

Rangga tadi sempat melihat gadis yang tadi bersamanya tengah mendorong perahu milik Sindu dan kawan-kawannya. Sementara Sindu yang telah terbebas cepat bangkit dan segera mengejar ke arah gadis itu.

“Hei, berhenti! Kurang ajar, berhenti...!” teriak Sindu, terus mengejar kearah pantai.

Tapi Rangga tidak tinggal diam. Kakinya cepat bergerak, menendang sebutir batu kecil sebesar kurang dari kepalan tangan.

“Hih...!”

Saat itu juga batu kecil ini meluncur deras ke arah Sindu. Dan....

Tak!

“Aaakh...!” Sindu kontan tersungkur ke depan disertai keluhan kesakitan begitu batu yang ditendang Rangga menghantam lehernya. Namun dia cepat bangkit, seraya mengambil goloknya yang tadi terpental. Lalu secepat kilat dia berbalik, memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah geram.

“Keparat! Kubunuh kau...!” umpat Sindu garang, langsung menghampiri Rangga dengan golok terhunus. Begitu telah berada dalam jangkauannya, Sindu cepat membabatkan goloknya.

“Uts!” Rangga bergeser sedikit ke samping, sehingga golok Sindu hanya menyambar angin. Begitu kuat sambaran itu, membuat Sindu kehilangan keseimbangan. Untung dia langsung bergulingan, menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.

Tapi, Rangga tidak mendiamkan begitu saja. Tubuhnya cepat berkelebat. Dan begitu Sindu bangkit, satu tendangan keras dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat gerakannya, sehingga Sindu tak dapat menghindarinya.

Des!

“Aaakh...!” Telak sekali tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tengkuk Sindu yang langsung terpekik dan jatuh tersungkur. Tak ada gerakan lagi ditubuhnya, kecuali tarikan napasnya yang terlihat lemah. Pingsan!

Pada saat yang bersamaan, Setiaji yang sudah timbul keberaniannya, meluruk dengan sambaran goloknya hendak membokong Pendekar Rajawali Sakti. Namun dari angin sambaran itu. Rangga sudah mampu menebak adanya serangan gelap. Cepat bagai kilat tubuhnya bergeser ke samping, langsung menangkap pergelangan tangan Setiaji.

Tap!

Dan belum juga Setiaji bisa berbuat apa-apa lagi, Rangga telah melepaskan satu sodokan keras lewat sikut ke perut.

Desss...!

“Aaakh...!” Setiaji menjerit kesakitan. Begitu kuat sodokan Rangga, membuat perut Setiaji seperti mau pecah. Bahkan laki-laki itu langsung ambruk tidak sadarkan diri.

Sementara itu Panjalu hanya bisa berdiri terpaku dengan wajah kecut. “Si..., siapa kau sebenarnya?” tanya Panjalu. Suaranya terdengar sedikit tergagap.

“Aku malaikat maut yang akan menghukummu!” sahut Rangga menakut-nakuti.

“Oh, ampuni aku. Tuan Pendekar. Kasihanilah aku. Dan lagi, aku tengah terluka...,” ratap Panjalu.

“Kenapa aku mesti kasihan padamu? Kau seorang perampok. Dan bagi kalian, nyawa tiada artinya, bukan? Perhatikan mayat-mayat yang mengambang di tepi pantai! Perbuatan siapakah itu?”

“Itu..., itu perbuatan mereka...! Aku tidak ikut-ikutan...,” sahut Panjalu, makin ketakutan.

“Biadab!” rutuk Rangga. Sepasang mata Pendekar Rajawali Sakti menatap tajam laksana seekor harimau yang hendak menerkam mangsa.

Sementara, Panjalu merasa tubuhnya menggigil ketakutan. Belum pernah dia merasa ketakutan begini, meski dihardik Ki Seta, pimpinannya.

“Berapa jumlah kalian dipulau itu?” tanya Rangga.

“Sekarang kira-kira..., tujuh puluh orang. Sebagian dipimpin Gagas Kelana. Sedang sisanya dipimpin Ki Muwangkoro.”

“Apa yang kalian lakukan di sini?”

“Mencari ratu mereka.”

“Apakah hanya kalian yang ditugaskan mencarinya?”

“Tidak. Ada sekitar sepuluh perahu lagi, yang masing-masing berisi lima atau enam orang.”

“Ceritakan padaku kehidupan di sana. Dan, apa yang kalian inginkan dari orang-orang itu!”

“Ba..., baik....”

Panjalu pun mulai bercerita dari awal sampai akhir. Serta, apa yang kira-kira terjadi saat ini.

Rangga mulai mengangguk mengerti setelah Panjalu selesai bercerita.

“Eee..., kalau boleh kutahu..., untuk apa kau bersusah payah membela mereka? Orang-orang itu memperbudak laki-laki.”

“Kau tidak perlu tahu. Lagi pula, belum tentu aku akan membela mereka!”

“Apakah kau akan ke pulau itu? Di sana emas berlimpah-ruah! Kalau kau mau bekerja sama, aku akan menunjukkan tempatnya. Kita singkirkan mereka semua!”

Rangga tersenyum sinis. “Apa kau kira aku akan bertindak bodoh? Begitu emas kudapat, maka aku bisa membunuhmu!”

Panjalu terdiam seraya menelan ludah dengan wajah kecut. Sementara Rangga sudah tak mempedulikannya lagi. Malah, kepalanya mendongak ke langit lalu....

“Suiiit...!” Tiba-tiba Rangga bersuit nyaring dan terdengar aneh. Sebentar Rangga menunggu, tak lama bibirnya tampak tersenyum ketika di angkasa terlihat rajawali raksasa masih berputar.

Dan dengan lesatan yang cepat sekali, Rajawali Putih menukik kebawah. Sehingga bentuknya yang sangat besar sempat membuat Panjalu bergidik ngeri. Apalagi setelah burung itu mendarat.

“Heh? Burung apa ini?! Hi...!” Panjalu makin mengkeret hatinya. Sungguh, seumur hidup baru kali ini melihat burung rajawali yang demikian besar.

Sementara Rangga tidak mempedulikan sikap Panjalu yang tampak gemetar. Bahkan tanpa terasa, celananya telah basah karena terkencing-kencing.

“Diamlah baik-baik di sini. Dan, jangan macam-macam. Aku bisa membunuhmu dari jauh!” ancam Pendekar Rajawali Sakti seraya melompat keatas punggung Rajawali Putih.

Panjalu hanya bisa mengangguk, dengan wajah penuh ketakutan. Namun Rangga tak memperhatikannya, karena Rajawali Putih kembali melesat ke angkasa. Hanya dengan beberapa kepakan sayap, mereka telah membubung tinggi, membelah angkasa.

“Kau telah menemukannya, Rajawali Putih?” teriak Rangga, berusaha mengalahkan deru angin.

“Kragh...!”

“Hm.... Kalau begitu cepat kita ke sana!”

Rajawali Putih terus melesat menuju ke pulau yang paling besar di antara gugusan pulau-pulau itu. Dari atas, Pendekar Rajawali Sakti melihat sebuah perahu berukuran agak besar seperti yang tadi didengarnya dari cerita Panjalu.

“Mendarat disana, Rajawali!” teriak Rangga sambil menunjuk kesebuah dataran luas!

“Kragh...!” Saat itu juga Rajawali Putih menukik cepat bagai kilat. Dan sebentar saja, dia telah mendarat dengan empuk. Sementara, Rangga cepat melompat dari punggungnya.

“Keeerrkh...!”

“Ada apa. Rajawali?”

Kening Rangga berkerut ketika Rajawali Putih berbunyi aneh. Ujung paruhnya tampak menunjuk ke satu arah. Tapi, Rangga belum melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Sementara rajawali raksasa itu tetap menunjuk ke arah semula, mau tidak mau, pemuda itu mulai curiga.

“Rajawali, tinggalkan aku di sini. Dan, tolong awasi aku dari atas!” ujar Rangga, begitu menatap tunggangannya.

“Kraaagkh...!”

“Iya..., aku akan hati-hati,” sahut Pendekar Rajawali Sakti, ketika mendengar nada kekhawatiran pada suara Rajawali Putih.

Seketika Rajawali Putih mengepakkan sayapnya. Dan saat itu juga tubuhnya melesat keudara dengan kecepatan dahsyat.

“Mungkinkah ada tempat rahasia di sekitar sini...?” pikir Rangga sambil mengamati sekitarnya, begitu Rajawali Putih telah melayang-layang di angkasa.

Ada beberapa ranting patah dan dedaunan masih hijau dan segar. Dan Pendekar Rajawali Sakti yakin, itu bukan karena kaki si Rajawali Putih saat turun tadi. Tapi, lebih mirip perbuatan seseorang. Beberapa jejak tampak dihapus terburu-buru, menuju ke satu arah. Kemudian hilang di balik sebuah pohon besar.

“Hm.... Aku yakin ada tempat rahasia di sekitar sini,” gumam Rangga halus.

Pemuda berbaju rompi putih itu mulai mengetuk-ngetuk tanah dengan kakinya. Lalu diperiksanya batang pohon besar di depannya disertai pengerahan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’.

“Dibawah ini...,” desis Pendekar Rajawali Sakti nyaris tidak terdengar.

Rangga bisa melihat garis tipis di batang pohon yang membentuk sebuah persegi panjang. Dia mulai menduga bahwa itu adalah pintu masuk ruangan rahasia yang berada di bawah tanah. Tapi, bagaimana caranya? Apakah harus didobrak?

Lama pemuda berbaju rompi putih ini merenung, memikirkan cara untuk masuk kedalam. Sampai akhirnya, diputuskannya untuk menunggu saja. Mungkin suatu saat penghuninya akan keluar. Sambil menunggu, Rangga segera menelusuri tempat lain di sekitar pulau ini.

“Mungkin pintu masuknya tidak hanya dari sini...,” gumam Pendekar Rajawali Sakti pelan, ketika kakinya menapak dan mendapatkan keanehan.

Duk! Duk!

Rangga menghentak-hentakkan kakinya ketanah. Dan telinganya mendengar bunyi yang mencurigakan. “Hm.... Sebuah terowongan?” gumam Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga memang mendengar suara hampa, yang menandakan kalau di bawah tanah yang dipijaknya terdapat sebuah ruangan semacam gua.

“Hm.... Tempat ini menuju pantai...?” Rangga mengernyitkan dahi ketika terus menyusuri lorong di bawah tanah lewat pendengarannya yang tajam.

Kini Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak tepat ditepi pantai. Kedua kakinya sesekali disapu ombak kecil. Pandangan matanya menyapu permukaan laut, seperti hendak menembus sampai ke dasarnya.

“Bisa jadi di dasar laut ada mulut gua yang menghubungkannya ketempat mereka,” duga Rangga.

Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti menyeburkan diri ke air laut. Beberapa kali kepalanya timbul untuk menghirup napas sebanyak-banyaknya, lalu kembali menyelam ke bawah menyusuri dasar pantai.

Disitu Pendekar Rajawali Sakti menemukan tumpukan karang, yang di antaranya terlihat sebuah bunga karang besar. Bunga karang ini ternyata menghalangi sebuah lubang sebesar tampah. Tanpa ragu-ragu pemuda itu menyingkirkan bunga karang itu, lalu memasuki lubang itu.

Lubang itu ternyata sebuah terowongan yang tidak terlalu panjang dan terus menuju keatas. Dan terowongan itu kemudian berakhir pada lubang yang berada dalam sebuah ruangan di dalam perut bumi.

Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil mengeluarkan napas lega. Kemudian dia bersembunyi di balik sebuah batu, ketika mendengar suatu percakapan yang tidak jauh dari tempatnya berada.

“Siapa pemuda itu?” tanya sebuah suara. Nadanya lantang dan sedikit tegas.

“Aku..., aku tidak tahu...,” sahut suara lain.

“Apakah dia salah satu dari mereka?”

“Dia tidak mengaku.”

“Dia mencelakaimu?”

“Tidak. Saat kutinggalkan, mereka tengah berkelahi.”

“Hm.... Dari mana dia...?"

“Apakah ketika kau pergi tidak ada yang mengikuti?”

“Entahlah. Saat itu aku gugup, dan buru-buru mendayung!”

“Hm.... Kau terlalu ceroboh! Mungkin saat ini mereka tengah mengawasi kita!”

“Sudahlah, Kijang Merah. Tidak usah terlalu berburuk sangka kepadanya...,” sela sebuah suara lain.

“Tuanku! Kita harus waspada pada apa pun, meski sekecil butiran pasir!” tandas sosok yang dipanggil Kijang Merah.

Memang, mereka yang tengah berbicara adalah Kembang Taji yang merupakan penguasa Kerajaan Tulang Emas, Kijang Merah yang merupakan seorang panglima, dan seorang prajurit wanita yang waktu itu pernah bersama Rangga.

Tentu saja Rangga hanya mengenali prajurit wanita yang pernah bersamanya itu. Dan dia terus mengawasi dari tempat tersembunyi.

“Tapi jangan berlebihan. Tidakkah kau lihat dia terluka dan sedikit takut?” bela Kembang Taji.

“Seorang prajurit harus kuat lahir dan batin. Dan hamba telah menggembleng mereka demikian. Sehingga tidak ada alasan untuk berlemah-lemah,” kilah Kijang Merah.

“Sudahlah, biarkan saja. Aku sadar bahwa dia telah berbuat yang terbaik bagi dirinya....”

“Dia memang telah berbuat yang terbaik...!” Tiba-tiba Rangga memperlihatkan diri.

“Heh?!”

“Siapa kau?!”

“Tuanku! Pemuda inilah yang bertemu dengan hamba tadi!”

“Tangkap dia!”

ENAM

Begitu mendengar teriakan Kijang Merah, para prajurit wanita itu segera bergerak hendak meringkus Pendekar Rajawali Sakti.

“Heaaat...!”

“Dengarkan! Aku tidak bermaksud jahat kepada kalian. Tidak usah pakai kekerasan segala,” cegah Pendekar Rajawali Sakti sambil menghindar dari serangan dua orang prajurit.

“Jangan dengarkan ocehannya! Bunuh dia!” teriak wanita bertubuh tegap yang bernama Kijang Merah kembali.

Maka saat itu juga dua orang gadis berwajah manis kembali menyerangnya dengan ganas. Wajah mereka tampak mengeras, menggambarkan jiwa seorang prajurit yang patuh pada atasan.

“Hmmm...!” Rangga hanya bergumam tak jelas sambil menggelengkan kepala ketika serangan-serangan meluncur ke arahnya. Ruangan ini agak sempit. Tapi bukan berarti dia tidak mampu melumpuhkan kedua lawannya. Semula dia tidak ingin main keras. Tapi karena mereka memulainya, maka tidak ada jalan lain lagi.

Pendekar Rajawali Sakti melenting ringan menghindar tebasan senjata gadis-gadis cantik itu. Dan dengan berpijak pada langit-langit gua tubuhnya meluncur deras menyambar dengan gerakan tak terduga. Kedua tangannya cepat bergerak. Dan...

Tuk! Tuk!

“Ohhh...!” Kedua gadis itu kontan jatuh lemas, begitu Rangga berhasil mendaratkan totokan di tubuh mereka.

“Heaaat...!”

Baru saja Rangga mendarat, Kijang Merah sudah melompat menyerang. Goloknya yang terhunus langsung disabetkan ke leher Rangga.

Wuuut!

Namun Rangga yang langsung mengerahkan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’ cepat menghindar dengan melempar tubuhnya kesamping. Sehingga serangan itu luput. Sementara Kijang Merah tidak berhenti sampai di situ saja. Goloknya kembali berkelebat mengancam dada.

“Hih!”

“Uts!” Pendekar Rajawali Sakti mundur selangkah.

Dan begitu serangan itu hanya menebas angin, cepat dilepaskannya satu tendangan keras ke pinggang. Namun, rupanya Kijang Merah cepat tanggap. Secepat itu pula, kibasan goloknya berbalik.

Cepat-cepat Rangga menarik pulang kakinya, karena tendangan itu hanya berupa tipuan. Dan tepat ketika sambaran golok itu meluncur, kakinya yang satu lagi kembali bergerak. Dan....

Plak!

“Heh?” Betapa terkejutnya Kijang Merah, melihat goloknya terpental terkena tendangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum sempat dia berbuat apa-apa, satu luncuran tangan Rangga telah datang. Dan....

Tuk! Tuk!

“Ohhh...!”

Dua kali Pendekar Rajawali Sakti melepaskan dua totokan kedada Kijang Merah. Saat itu juga perempuan perkasa ini merasakan tubuhnya lemas, lalu melorot ambruk di tanah.

“Siapa lagi yang akan menantangku?” tanya Pendekar Rajawali Sakti, tanpa mempedulikan yang melotot garang ke arahnya. Rangga kini malah menatap Kembang Taji.

Sementara, Kembang Taji yang duduk diatas batu itu tidak menjawab. Diperhatikannya pemuda itu untuk sejurus lamanya.

“Siapa kau...?” tanya Kembang Taji.

“Namaku Rangga.”

“Aku Kembang Taji, Ratu Kerajaan Tulang Emas. Kulihat kau cukup hebat. Apakah kau bersedia mengabdi padaku?”

“Maaf, Ratu. Aku bukan abdimu. Tapi kalau kau menginginkan bantuan, tentu saja dengan senang hati aku akan membantumu,” sahut Rangga disertai senyum manis.

“Kau sungguh aneh. Tapi, semua perbuatanmu kuampuni. Tak seorang pun yang boleh membantah perintahku. Apalagi, hal itu dilakukan oleh laki-laki.”

“Kembang Taji! Kuhormati kau sebagai seorang ratu. Namun, aku tidak bisa menerima bila kau merendahkan martabat laki-laki. Itu hanya ada dalam duniamu. Sebab dibanyak tempat, justru laki-laki yang berkuasa. Maka, hilangkanlah hal-hal yang merendahkan laki-laki. Dan aku akan senang hati membantumu,” ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Wanita itu terdiam sejurus lamanya. Dipandanginya pemuda itu, lalu berpaling pada orang-orangnya. “Jumlah prajuritku sedikit. Dan di ruang lain beberapa orang lagi tengah dirawat. Sedang jumlah mereka cukup besar. Bagaimana mungkin kita dapat mengalahkannya...?” tanya Kembang Taji bernada putus asa.

“Dalam perjuangan yang diperlukan adalah semangat. Bila tidak ada semangat, maka tidak perlu berperang. Lagi pula jumlahmu tidak sekecil ini? Bukankah masih banyak prajuritmu yang berada di sana? Mereka ditawan orang-orang itu....”

“Dari mana kau tahu?”

“Aku berhasil meringkus tiga orang dari mereka. Dan salah seorang telah menceritakan padaku,” jelas Rangga.

“Oh, begitu...!” kata Kembang Taji, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Bagaimana keputusanmu sekarang?” tanya Rangga.

“Kapan kita adakan serangan terhadap mereka?” Kembang Taji malah balik bertanya.

“Setelah segala sesuatu berjalan lancar.”

“Apa maksudmu?” tanya Kembang Taji dengan dahi berkerut.

“Kita harus merencanakan segalanya untuk penyerangan itu. Setelah aku mendapatkan keterangan, maka dari kalian pun aku harus mendapatkan keterangan pula,” jelas Rangga.

“Keterangan apa yang kau perlukan dari kami?”

“Mengenai seluk-beluk pekerjaanmu. Lalu, wilayah pulau itu serta jumlah kekuatan prajuritmu.”

“Menurut Kijang Merah banyak prajuritku yang tewas. Mereka berjuang gagah berani, rela mengorbankan diri demi ratu dan kerajaannya. Mungkin jumlah mereka saat ini hanya setengahnya saja,” sahut Kembang Taji, masygul.

“Tidak apa. Kita harus membebaskan mereka. Dan kalau benar mereka setia, tentu mau berjuang lagi membelamu setelah dibebaskan.”

“Mengenai yang lain, kau bisa tanyakan pada panglimaku,” ujar Ratu Kembang Taji. “Tapi mereka tengah tidak berdaya karena ulahmu.”

“Aku tidak bermaksud melukai mereka,” desah Rangga, sambil tersenyum manis.

Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah menghampiri Kijang Merah dan dua prajurit wanita yang tadi ditotoknya. Dengan gerakan yang cepat luar biasa, semua orang yang tertotok sudah terbebas. Ini untuk membuktikan, kalau dia tidak bermaksud jahat.

“Kijang Merah! Kau telah dengar percakapan kami tadi, bukan? Berilah keterangan pada pemuda ini!” ujar Kembang Taji, ketika Kijang Merah bangkit berdiri.

“Ampun, Tuanku! Kenapa kita harus bekerja sama dengannya? Dia cuma laki-laki asing yang tidak kita kenal. Kenapa mesti percaya padanya? Siapa tahu dia mata-mata untuk mengetahui persembunyian kita. Sebaiknya kita bunuh saja sekarang!” sahut Kijang Merah, penuh dendam karena dengan mudah berhasil dijatuhkan.

“Kau tadi telah mencobanya. Dan ternyata tidak mampu. Lalu dengan cara bagaimana kita bisa membunuhnya?” tanya Kembang Taji memancing.

“Kalau Tuanku ijinkan, hamba rela mengorbankan nyawa sekalipun. Demikian pula yang lainnya!” tandas Kijang Merah.

“Tidak, Kijang Merah! Telah banyak yang berkorban untukku dan kerajaan ini. Sekarang, giliran kita untuk berkorban demi mereka. Kita harus berbuat sesuatu. Dan kalau pun pemuda ini memang mata-mata musuh, maka biarlah hal itu akan kutanggung sendiri. Tapi kalau memang kalian masih menganggapku sebagai ratu, maka ikutlah padaku! Aku percaya kalau dia jujur. Maka, hendaknya kalian pun percaya padanya!”

“Kalau memang demikian kehendak Tuanku, maka kami mematuhinya!” sahut Kijang Merah.

Wanita berperawakan tegap itu kemudian berlutut dihadapan Pendekar Rajawali Sakti, diikuti para prajuritnya.

“Tuan! Karena Ratu kami mempercayaimu, maka kami pun mempercayaimu! Katakanlah, apa yang bisa kami bantu?” tanya Kijang Merah, tetap berkerut.

“Bangunlah. Pertama, aku ingin agar kalian tidak merendahkan martabat laki-laki. Yang harus dipandang rendah adalah mereka yang berbuat kejahatan. Tidak peduli laki-laki atau wanita!” ujar Pendekar Rajawali Sakti.

“Baiklah, jika memang begitu kehendak Tuan!”

“Kemudian, kalian tidak usah khawatir dengan ratumu. Dia dalam pengawasanku. Maka kujamin keselamatannya dengan nyawa sebagai taruhannya!” tambah Rangga mantap.

“Kami senang mendengarnya.”

“Nah! Sekarang, ceritakan padaku tentang seluk-beluk istana, serta daerah-daerah dipulau itu secara terperinci. Juga, perhitungkan kekuatan musuh. Jangan lupa, perkirakan kekuatan kita sendiri jika para prajuritmu dibebaskan!”

Kijang Merah segera menerangkan apa yang diinginkan Pendekar Rajawali Sakti dengan panjang lebar.

“Sekarang dua orang harap menjaga dan merawat kawan-kawan kalian yang terluka...!” ujar Pendekar Rajawali Sakti setelah mendengar cerita Kijang Merah.

“Apakah kita akan menyerang mereka sekarang?” tanya Kijang Merah.

“Ya!” sahut Rangga mantap.

“Mereka pasti tahu!”

Rangga tersenyum. “Betul! Tapi ada hal yang kuperhitungkan. Yaitu, sebagian dari mereka saat ini akan bertolak ketempatnya untuk melaporkan hasil kerja kepada pimpinan mereka. Oleh sebab itu, kekuatan mereka berkurang,” jelas Rangga.

“Tapi tetap saja amat berbahaya...?!” keluh Kijang Merah dengan sikap ragu.

“Bukankah kalian bangsa pelaut? Kalian tentu hebat di lautan, bukan? Jalankan perahu. Dan, jangan ditambatkan dipantai. Buanglah jangkar agak jauh dari pantai. Kemudian, berenanglah ke pantai di tempat yang tersembunyi. Aku akan mengagetkan mereka. Sehingga bila perhatian mereka telah tertuju padaku, disaat itulah kalian bebaskan para tawanan,” lanjut Rangga membeberkan rencananya.

“Apakah tidak berbahaya?” tanya Kembang Taji.

“Kita hanya punya kesempatan sekali ini saja. Mereka hanya mengetahui, kalau jumlah prajurit yang dibawa sang Ratu hanya sedikit. Sehingga tidak mungkin mampu melawan mereka. Oleh sebab itu, yang bertolak saat ini jumlahnya cukup banyak untuk melaporkan kerja mereka pada si Hiu Perak.”

“Hiu Perak? Itukah pemimpin mereka?” tanya Kembang Taji.

“Begitulah menurut apa yang kudengar.”

“Baiklah. Kita bergerak sekarang!”

“Kenapa Ratu tidak tinggal disini saja. Biar kami yang berperang melawan mereka?” tukas Kijang Merah.

“Tidak! Aku ingin rakyat juga melihat bahwa ratu mereka pantas menjadi panutan dengan ikut berjuang!”

Kijang Merah tidak bisa berkata apa-apa lagi mendengar jawaban itu.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Gagas Kelana tengah berpesta-pora menyambut kemenangan kali ini. Laki-laki itu sengaja membawa anak buahnya masuk ke dalam istana ditemani gadis-gadis cantik penghuni istana yang kini menjadi tawanan.

“He he he...! Ayo, mari kita berpesta! Tidak usah malu-malu! Kita berada di surga. Dan segalanya ada di sini! Mau wanita tinggal pilih. Mau harta, tinggal ambil! Hua ha ha...!”

Suara tawa Gagas Kelana menggelegar. Sesekali dia menenggak anggur merah. Dua orang gadis dalam dekapannya, menuangkan anggur ke dalam cangkir. Tampaknya mereka enggan melakukannya. Namun, tidak punya pilihan lain. Keduanya sesekali melengos, ketika Gagas Kelana hendak mencumbu.

“Hehhh! Kalian kira bisa selamat dengan berontak begitu? Negeri ini ada dalam telapak kakiku. Tidak usah bermimpi kalau kalian bisa berbuat macam-macam!” desis laki-laki itu geram.

“Aaah...!” Kedua gadis itu mengeluh tertahan, ketika Gagas Kelana merenggut rambut mereka. Sehingga, wajah keduanya mendongak ke atas.

Pada saat itu juga beberapa anak buahnya keluar dari beberapa kamar sambil mesem-mesem dan membetulkan letak celananya.

“Ada apa?” tanya salah seorang.

“He he he...! Agaknya kau belum juga mau mencicipi mereka!” seru yang lain.

“Diam kalian!” bentak Gagas Kelana geram.

Laki-laki itu tampak tersinggung, meski anak buahnya tidak bermaksud demikian. Tak seorang pun yang tahu kalau sebenarnya dia tidak mampu mengumbar nafsu kelaki-lakiannya pada wanita seperti yang dilakukan anak buahnya. Gagas Kelana hanya bisa gigit jari, dan hanya mampu mencumbu serta membelai-belai gadis-gadis dalam dekapannya. Dan ketika anak buahnya selesai melampiaskan nafsu kelelakiannya, lalu berkata seperti tadi, maka seketika kemarahannya bangkit.

“Maaf, Kang. Kami tidak bermaksud menyinggung perasaanmu,” sahut seorang anak buahnya dengan sikap bersalah.

“Iya, Kang? Maafkan kami. Kami tidak tahu kalau hal itu membuatmu tersinggung,” timpal yang lain.

“Sudahlah! Kalian boleh teruskan pekerjaan lain.”

“Baik, Kang.”

“Eit, tunggu dulu!” sentak Gagas Kelana sebelum mereka meninggalkan ruangan ini.

“Ada apa, Kang?” sahut salah seorang, mewakili kawan-kawannya.

“Bagaimana pekerjaan kalian? Sudah beres?”

“Beres, Kang!” sahut orang itu dengan wajah gembira.

Tapi, tiba-tiba wajah kedua orang itu berubah murung. Dan perlahan-lahan didekatinya Gagas Kelana yang menjadi pemimpin di sini.

“Ada apa?” tanya Gagas Kelana curiga.

“Anu, Kang. Sindu dan Setiaji belum kembali.”

“Maksudmu?!” tanya Gagas Kelana dengan wajah tampak mulai murka.

“Mereka belum kembali. Anak buah Ki Muwangkoro pun belum kembali juga....”

“Goblok! Kenapa kalian tidak bertindak cepat?! Anak buah Muwangkoro bisa kembali dan melaporkan kejadian ini padanya!”

“Eh! Akan kami cari mereka sekarang ini juga, Kang...!”

“Cepaaat...!”

“Ba... baik, Kang!” Setelah menjura hormat dengan tubuh gemetar ketakutan, mereka segera berlalu dari ruangan ini.

Sementara Gagas Kelana masih bersungut-sungut kesal mendengar berita dari anak buahnya itu. Sehingga pikirannya tidak lagi terpaku pada kedua gadis yang berada di dekatnya.

“Ke sini kau!” teriak laki-laki yang masih berusia muda ini memanggil seorang anak buahnya.

“Ada apa. Kang?” sahut orang itu buru-buru menghampiri.

“Di mana si Muwangkoro sekarang?”

“Ada di tempatnya. Kang.”

“Pergi ke sana, dan awasi semua anak buahnya! Bawa beberapa orang kawanmu!”

“Baik, Kang!”

“Cepaaat...!”

“Ba..., baik. Kang!” sahut orang itu tergagap dan segera meninggalkan ruangan.

“Kau! Ke sini...!” bentak Gagas Kelana pada seorang lagi.

Orang itu buru-buru menghampiri, dan nyaris terpeleset di lantai ruangan yang agak licin.

“Panggil Garlika ke sini!”

“Baik, Kang...!” sahut orang itu cepat. Dengan sigap, dia segera melompat meninggalkan ruangan, sebelum Gagas Kelana membentaknya seperti yang lain.

“Huh!” Baru saja Gagas Kelana menghempaskan napas beberapa kali, salah satu anak buahnya masuk ke dalam.

“Mau apa kau?!” sentak pemuda ini.

“Eh! Ki Muwangkoro akan menghadap, Kang,” sahut orang itu ketakutan.

“Hm, suruh dia masuk!”

“Baik, Kang.”

Gagas Kelana segera bangkit berdiri menyambut sekutunya. Wajahnya dibuat semanis mungkin, ketika mempersilakan tangan kanan Ki Seta itu duduk.

“Ada apa gerangan, Ki Muwangkoro...?”

“Langsung saja. Gagas Kelana. Aku tidak biasa berbasa-basi,” kata laki-laki yang ternyata Ki Muwangkoro.

“O, ya! Katakanlah, ada apa?”

“Beberapa anak buahku kau sertakan dalam pencarian ratu mereka. Anak buahku kembali. Tapi, mereka mengatakan kalau habis diserang musuh. Aku tidak mengerti, bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa barangkali anak buahmu berdiam diri saja melihat anak buahku berhadapan dengan musuh? Atau, mereka memang sengaja menjerumuskannya?” tanya Ki Muwangkoro sinis.

TUJUH

Wajah Gagas Kelana terkesiap kaget, tapi perlahan-lahan mengembangkan senyum. “Agaknya kau terlalu mencurigai kami, Sobat. Mana mungkin kami akan berbuat begitu?, Kalian adalah kawan sendiri. Dan kita telah sepakat, bahwa harta benda serta seluruh kekayaan yang ada di sini akan dibagi rata,” ujar Gagas Kelana berkilah.

“Kalau begitu, tunggu apa lagi? Kita telah taklukkan mereka. Dan kita telah memperoleh apa yang diinginkan! Kenapa tidak lekas angkat kaki dari sini?” tanya Ki Muwangkoro.

“Sabarlah, Sobat. Masih banyak yang harus kita temukan di sini. Tidakkah kau lihat, bahwa tempat ini amat menakjubkan?” kilah Gagas Kelana.

“Kami tidak butuh hal-hal lain, Gagas Kelana. Tentukan bagian kami. Dan kami segera akan angkat kaki dari sini!” dengus Ki Muwangkoro.

“Hm.... Kenapa terburu-buru? Apakah kau dan anak buahmu tidak ingin bersenang-senang dulu? Disini segalanya tersedia. Bahkan wanita-wanita cantik tinggal pilih saja. Lagi pula, beberapa anak buahmu masih belum kembali. Juga beberapa lainnya tengah menemani anak buahku untuk melapor pada si Hiu Perak.”

“Kau boleh melapor pada pimpinanmu. Sedang aku tidak kau berikan perahu untuk melapor pada pimpinanku!”

“Sabar, sabar...! Bukankah Ki Seta telah menyerahkan urusan ini pada si Hiu Perak? Dia mempercayainya. Lalu, kenapa kau malah mencurigai kami? Apakah kau sengaja hendak merusak persahabatan yang telah terjalin diantara mereka?”

“Gagas Kelana! Aku tidak pandai bersilat lidah! Harap kau kabulkan saja keinginan kami. Berikan harta bagian kami, termasuk separuh wanita-wanita muda yang mendiami pulau ini. Setelah itu, kami akan angkat kaki dari sini!” sentak Ki Muwangkoro.

“Ha ha ha...! Tenanglah, Sobat. Itu soal mudah. Mana mungkin aku berani mengangkangi harta benda ini semua. Tentu saja akan kita bagi dua. Tapi kalau kau menginginkannya, Ki Seta akan kecewa sekali. Sebab dengan begitu kau telah menyerahkan pulau serta istana yang indah kepada kami....”

Ki Muwangkoro terdiam sesaat. Apa yang dikatakan Gagas Kelana memang benar. Bila dia meninggalkan tempat ini berarti istana serta isinya telah sah menjadi milik si Hiu Perak. Dan kalau pun dia meminta bagiannya segera, bukannya tanpa alasan. Ki Muwangkoro mulai mencium adanya ketidakberesan. Orang-orangnya mulai menghilang satu-persatu. Sementara, anak buah Gagas Kelana seperti mulai menguasai seluruh pelosok pulau ini.

“Bagaimana, Sobat...?” tanya Gagas Kelana sambil tersenyum-senyum kecil.

“Biar kuputuskan bersama anak buahku....”

“Ha ha ha...! Kau pemimpin mereka. Apa yang kau katakan mereka pasti menurut. Lagi pula, usulku itu tidak buruk. Karena, demi kepentingan kita bersama. Kalau saja aku bermaksud buruk, maka tidak akan kuberitahu padamu tentang hal itu.”

Ki Muwangkoro terdiam lagi untuk beberapa saat.

“Sudahlah, lebih baik kau kembali ke tempatmu dan bersenang-senang. Kenapa harus mempersoalkan hal-hal sepele yang bisa menimbulkan perselisihan diantara kita...?” ujar Gagas Kelana.

“Mungkin juga kau benar. Aku permisi dulu...!” sahut Ki Muwangkoro, pendek.

Orang itu segera meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi, diiringi senyum Gagas Kelana. Di depan pintu, dia bertemu salah seorang anak buah Gagas Kelana yang hendak ke dalam. Mereka sempat bertegur sapa, namun Ki Muwangkoro terus melangkah keluar.

“Kenapa tidak kau suruh aku membereskan orang itu?” tanya anak buah Gagas Kelana seraya duduk seenaknya di dekat pimpinannya.

“Tidak sekarang, Garlika. Kita jangan ceroboh dan tidak boleh seorang pun yang boleh lolos. Mereka harus mati, tanpa menyadari bahwa maut tengah mengintainya!” sahut Gagas Kelana sambil tersenyum-senyum.

“Huh! Sudah muak aku melihat mereka!” dengus laki-laki yang dipanggil Garlika.

“He he he...! Kau ini kenapa tidak bisa bersabar? Kalau terus begini, jangan-jangan kau malah membahayakan kedudukanku?!” kata Gagas Kelana.

“Sial kau. Gagas!” umpat Garlika. “Aku bukan sekadar anak buahmu. Tapi, juga kawanmu sejak kecil. Apakah kau tidak mempercayaiku?!”

“Ha ha ha...! Aku hanya berkelakar, Sobat. Aku tahu, diantara kawan-kawanku, kaulah yang paling bisa dipercaya.”

“Nah! Lalu, urusan apa kau hendak memanggilku ke sini?”

Gagas Kelana tidak langsung menjawab. Tapi, disuruhnya pergi kedua gadis itu dari ruangan ini lebih dulu.

“Kau tahu, harta disini cukup banyak. Kita bisa berbuat apa saja dengan harta ini, bukan?” ujar Gagas Kelana, berbisik.

“Benar. Maksudmu, akan kita kelabui saja si Hiu Perak itu?” tanya Garlika seperti kurang percaya.

“He he he...! Kau sungguh pintar, Sobat. Aku telah mengirim orang-orang yang bisa kupercaya menghadap kepadanya. Lalu disini, pelan-pelan akan kita singkirkan dulu si Muwangkoro beserta anak buahnya. Tapi sebelum itu, aku masih membutuhkan tenaga mereka. Oleh sebab itu, tidak perlu terburu-buru melenyapkan mereka,” jelas Gagas Kelana.

“Pintar sekali kau, Sobat!” puji Garlika sambil tertawa terkekeh-kekeh.

“He he he...!” Gagas Kelana ikut tertawa girang bersamanya.

Pada saat itu muncul seorang dengan tergopoh-gopoh. Mukanya pucat dan tubuhnya gemetar. “Celaka, Kang! Ada seorang pemuda sedang mengamuk!” lapor orang itu.

“Apa?! Kurang ajar! Tangkap dia. Dan, bunuh sekaligus!” sentak Gagas Kelana.

“Tapi, Kang.... Pemuda itu kuat sekali. Ba..., banyak anggota kita yang tewas di tangannya....”

“Kurang ajar!” dengus Gagas Kelana menggeram. Namun sebelum laki-laki itu semakin murka, Garlika cepat berdiri.

“Biar kulihat, siapa bocah itu. Tenang saja. Sobat. Akan kubereskan segera!” ujar Garlika, lalu melangkah lebar meninggalkan ruangan ini.

Memang, apa yang dikatakan orang tadi tidak salah. Sebagian anggota si Hiu Perak kini berkumpul di satu tempat, dan beramai-ramai mengerubuti seorang pemuda berbaju rompi putih. Dan Garlika tidak sempat memperhatikan, kalau anak buah Ki Muwangkoro ternyata tidak ikut membantu. Dia terlalu sibuk melihat korban yang jatuh semakin banyak.

“Berhenti semua! Biar kubereskan bocah ini!” bentak Garlika dengan suara menggelegar.

Saat itu juga, pertarungan berhenti. Sementara para anak buah Gagas Kelana segera menyingkir dan memberi jalan pada Garlika begitu mengetahui siapa yang muncul. Dan Garlika memandang sinis pada pemuda yang dikeroyok. Perlahan-lahan didekatinya dengan sikap mengancam.

“Bocah busuk! Kau cari mati berani datang ke sini!” desis Garlika geram.

“Tidak usah banyak mulut! Kedatanganku kesini justru ingin mencabut nyawa busuk kalian semua!” sahut pemuda berbaju rompi putih itu, dingin. Dia tak lain memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

“Setan!” bentak Garlika geram.

Sret!

Laki-laki berusia sekitar tiga puluh delapan tahun itu langsung mencabut golok panjang dari pinggang. “Mampus kau! Yeaaa...!”

Disertai teriakan keras, Garlika meluruk kearah Pendekar Rajawali Sakti dengan sabetan goloknya. Tapi yang dihadapi Garlika adalah Pendekar Rajawali Sakti, seorang pendekar tingkat atas. Dengan pedang di tangan yang berhasil direbutnya dari tangan salah seorang lawan, Rangga menangkis senjata Garlika.

Trang!

Begitu habis terjadi benturan, Pendekar Rajawali Sakti cepat menyerang ganas. Sedangkan Garlika terkesiap. Ujung pedang itu nyaris menebas lehernya kalau tidak cepat melompat ke belakang. Dan baru saja menjejakkan kaki, serangan Pendekar Rajawali Sakti telah datang lagi. Dengan sebisanya, Garlika menangkis dengan golok panjangnya.

Namun Garlika kontan meringis, begitu telapak tangannya terasa linu dan sakit sekali sehabis menangkis. Dan dengan kerepotan, dia terpaksa membuang diri kesamping untuk menghindari tebasan senjata Pendekar Rajawali Sakti yang bertubi-tubi.

“Heaaat...!” Tubuh Pendekar Rajawali Sakti melompat dan mengejar Garlika yang bergulingan menghindarkan diri dari sambaran pedangnya.

“Hup!” Dan baru saja Garlika bangkit, satu tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dadanya.

Des!

“Akh...!” Garlika memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal kebelakang. Dan sebelum sampai menyentuh tanah, senjata Pendekar Rajawali Sakti meluncur dengan serangan kilat.

“Hiiih!”

Bles!

“Aaa...!”

Gerakan Pendekar Rajawali Sakti cepat sekali. Bahkan orang-orang yang berada di sekitarnya tidak mampu mengikuti dengan pandangan mata. Yang terlihat, tahu-tahu pedang pemuda itu menancap dijantung Garlika. Tubuh Garlika terhempas ke belakang dengan darah mengucur deras dari luka di dada kiri. Nyawanya lepas beberapa saat kemudian.

“Siapa yang ingin menyusul, maju ke sini!” dengus Pendekar Rajawali Sakti, dingin.

Pandangan mata Rangga tajam mengawasi mereka satu-persatu. Dan untuk sesaat tampak mereka ragu-ragu melanjutkan serangan. Tapi sejurus kemudian, mungkin orang-orang itu menyadari kalau jumlah mereka banyak. Maka saat itu juga terdengar teriakan beberapa orang yang melompat menyerang Rangga secara serentak.

“Heaaat...!”

“Yeaaa...!”

“Huh!”

Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tidak tinggal diam jika tak ingin celaka. Sebelum mereka sempat melayangkan senjata, maka Rangga telah lebih dulu berkelebat menyerang dengan pengerahan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Sementara pedang di tangannya berkelebat bagai kilat, menyambar-nyambar.

Trang! Trak!

Cras! Bret!

“Aaa...!”

Korban-korban kembali berjatuhan. Namun begitu mereka terus bersemangat menyerang tanpa mengenal rasa takut. Sedangkan Rangga sendiri agaknya betul-betul ingin menunjukkan pada mereka, kalau mampu bertindak kejam. Sehingga, pedangnya seperti tidak bermata dan menyambar siapa saja yang berada didekatnya.

Pada saat kemudian, mereka dikejutkan teriakan-teriakan nyaring dari arah lain. Beberapa orang anak buah Gagas Kelana tersungkur berlumuran darah. Tentu saja hal itu membuat mereka terkejut. Terlebih lagi ketika mengetahui bahwa orang-orang yang melakukan pembunuhan itu.

“Keparat! Mereka orang-orangnya Ki Muwangkoro!” seru salah seorang anak buah Gagas Kelana.

“Singkirkan mereka!”

“Bunuuuh...!”

Pasukan itu terpecah menjadi dua bagian. Tapi, Rangga agaknya tidak membiarkan mereka pergi begitu saja. Pemuda itu kembali mengamuk, untuk mengejutkan mereka.

“Heaaa...!”

Tring! Breeet!

“Aaa...!”

Beberapa orang kembali ambruk bermandikan darah disambar pedang Rangga. Sehingga membuat yang lainnya semakin kalut. Sebab dengan begitu, anak buah Ki Muwangkoro akan terus menghajar mereka habis-habisan.

“Aaa...!”

Dalam pada itu kembali terdengar jerit kematian dari mana-mana. Dan banyak di antara anak buah Gagas Kelana yang tewas menemui ajalnya. Kali ini mereka dikagetkan, sebab yang menyerang adalah pasukan yang terdiri dari wanita. Penduduk asli pulau ini!

Dengan adanya serangan-serangan mendadak dalam waktu dekat membuat anak buah Hiu Perak yang berada di bawah pengawasan Gagas Kelana kocar-kacir. Sebagian malah terbirit-birit melarikan diri menyerbu pantai dan berebutan mencari perahu-perahu. Sementara, yang terjebak dalam kepungan itu melawan mati-matian.

“Yeaaa...!” Pada saat itu juga mencelat sesosok tubuh, dan langsung menghantam anak buah Ki Muwangkoro.

Crass! Cras!

“Aaa.... Akh!”

Dua orang tewas seketika ditebas pedang panjang milik orang itu. Tapi ketika hendak menyerang lawan yang lain, Pendekar Rajawali Sakti telah melompat menangkis.

Trang! Wuuut!

“Uhhh...!” Sosok itu kontan terkesiap. Tangannya bergetar setelah menangkis senjata yang dipegang Pendekar Rajawali Sakti.

“Kaukah pemuda pengacau itu?!” dengus sosok ini geram.

“Bukan. Kau salah duga. Aku malaikat maut yang hendak mencabut nyawamu!” sahut Pendekar Rajawali Sakti, dingin.

Pada saat itu Ki Muwangkoro muncul dengan pedang masih berlumur darah. “Sobat muda! Serahkan keparat Gagas Kelana itu padaku! Dia telah membunuh anak buahku!” dengus Ki Muwangkoro geram.

“Ki Muwangkoro! Apa-apaan ini?! Kau malah membela pemuda ini, dan bukannya bersatu denganku?!” hardik sosok yang ternyata Gagas Kelana.

“Gagas Kelana! Tidak perlu menjelaskan lagi. Kau memang pandai bersilat lidah. Tapi kali ini, aku tidak mau tertipu olehmu. Seorang anak buahku telah kembali. Dia menceritakan, bagaimana niat busukmu! Kau sertakan anak buahku mencari ratu mereka, tapi ternyata hal itu hanya siasat busukmu! Kau perintahkan anak buahmu membunuh mereka. Maka, kini aku menagih nyawa mereka dengan kepalamu!” sahut Ki Muwangkoro lantang.

Kelihatan sekali kalau Ki Muwangkoro tidak bisa menahan amarahnya. Langsung diserangnya Gagas Kelana dengan satu kelebatan yang cepat bagai kilat.

“Mampus kau!”

“Uts!” Gagas Kelana berkelit gesit. Kemudian senjatanya dikibaskan cepat balas menyerang. Namun, Ki Muwangkoro yang tengah diliputi amarah, dengan gerakan tidak kalah gesit cepat mengelak. Saat itu juga pertarungan sengit terjadi.

Sementara Pendekar Rajawali Sakti tidak peduli pada pertarungan. Dia kembali menghajar anak buah Gagas Kelana. “Heaaa...!”

Trang! Bret! Cras!

“Aaa...!”

Pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak mencari korban. Dua orang tewas seketika dengan leher nyaris putus. Dan seorang lagi menyusul dengan pinggang robek.

“Hup! Yeaaa...!” Pendekar Rajawali Sakti terus melompat ringan, mendekati satu orang dari pasukan yang terdiri dari para wanita itu. Dia bermaksud melindungi dari serangan.

“Maaf, Kembang Taji...! Aku sedikit lengah, sehingga lupa tanggung jawabku...!” ucap Rangga seraya mengibaskan pedang, ketika ada dua serangan datang.

Trak! Cras!

“Aaa...!” Dua orang yang berada di dekatnya kontan memekik kesakitan ketika pedang Pendekar Rajawali Sakti menebas leher.

“Tidak apa. Aku mampu melindungi diriku...,” sahut sosok yang tak lain Kembang Taji.

“Sudah bertemu Guru Suci serta para Guru Tua?”

“Sudah.”

“Syukurlah.”

Sementara itu. Kijang Merah bertempur dengan semangat menyala-nyala. Banyak musuh yang tewas di tangannya. Sedangkan para prajurit yang lainnya yang tadi dibebaskan, kini melampiaskan dendam pada orang-orang Gagas Kelana yang berbuat sesuka hatinya pada mereka. Sehingga begitu ada kesempatan membalas, maka mereka pergunakan sebaik-baiknya.

Anak buah Gagas Kelana agaknya tidak punya nyali lagi untuk bertahan dari serangan. Mereka yang masih sayang dengan nyawanya, berusaha menyelamatkan diri dan kabur dari tempat itu.

“Kejar! Jangan biarkan seorang pun dari mereka lolos!” teriak Kijang Merah, memberi perintah pada anak buahnya.

Maka dengan serta-merta para prajurit wanita itu mengejar orang-orang itu ke mana pun mereka pergi. Meskipun panglima mereka tidak memberi perintah, tetap saja gadis-gadis itu akan mengejar dan membinasakan lawan-lawannya. Bahkan sampai yang tengah berperahu pun dikejar dan diserang dari bawah laut.

Sedangkan sisanya, menjadi bagian anak buah Ki Muwangkoro. Mereka pun agaknya punya dendam yang sama meski kejadiannya berbeda. Orang-orang itu merasa dikhianati, setelah mengetahui kalau kawan-kawan mereka dibantai orang-orang yang selama ini dianggap kawan sendiri.

“Hm.... Agaknya semua berjalan sesuai rencana...,” ujar Kembang Taji sambil tersenyum kecil.

“Syukurlah...,” sahut Rangga.

Anak buah Gagas Kelana tinggal sedikit saja. Demikian pula anak buah Ki Muwangkoro. Sedangkan pimpinan mereka saat ini tengah terlibat pertarungan, ditonton Pendekar Rajawali Sakti dan yang lainnya.

DELAPAN

Seperti dua orang musuh yang saling melepaskan dendam kesumat masing-masing, Gagas Kelana yang memang sejak semula ingin menyingkirkan Ki Muwangkoro, sudah barang tentu tidak mau mengalah begitu saja. Demikian pula sebaliknya Ki Muwangkoro. Orang itu merasa dikhianati. Padahal, Gagas Kelana sudah dianggap sebagai kawan. Sehingga, dendamnya semakin bergejolak dan tidak dapat ditahan lagi.

Kepandaian mereka sebenarnya seimbang. Sehingga sulit untuk menentukan, mana yang lebih unggul. Tidak heran kalau keduanya sama-sama mengalami luka parah yang cukup seimbang.

“Apa yang harus kita lakukan terhadap mereka?” tanya Kembang Taji.

“Tidak usah ditangkap atau dipisahkan. Untuk sementara, biarkan mereka saling baku hantam. Kita kumpulkan saja anak buah Muwangkoro itu kesini.”

“Prajurit-prajuritku segera melakukannya!”

Kembang Taji segera memberi isyarat pada seorang prajurit, lalu mereka bicara sebentar. Kemudian, prajurit itu segera berlalu.

Sementara menunggu, mereka kembali melihat pertarungan antara Gagas Kelana melawan Ki Muwangkoro. Keduanya sama-sama jatuh lemas. Gagas Kelana mendapat luka dipinggang, sedang perut Ki Muwangkoro robek disambar senjata. Meski begitu keduanya masih berusaha bangkit dan bermaksud menghabisi.

“Keparat kau. Gagas! Aku tidak akan puas sebelum kau mati!” desis Ki Muwangkoro.

“Huh! Kau kira bisa menghabisiku, Setan! Kaulah yang akan mampus di tanganku!” balas Gagas Kelana.

“Uhhh...! Hiiih...!” Ki Muwangkoro mengkertak rahang, lalu mengibaskan pedangnya. Namun Gagas Kelana cepat dapat menangkisnya.

Trang!

Pedang itu terus bergeser, menyambar pangkal leher Gagas Kelana.

Crasss!

Pada saat yang sama senjata Gagas Kelana menghunjam dalam ke jantung kiri Ki Muwangkoro.

Bles!

“Aaah...!”

Keduanya sama-sama terpekik. Gagas Kelana lebih dulu roboh dengan kepala nyaris putus. Sementara, Ki Muwangkoro terhuyung-huyung kebelakang sambal memegangi pedang yang menancap di dadanya.

“To..., tolong...,” ujar Ki Muwangkoro lemah, seraya menggapai-gapaikan tangan.

Rangga buru-buru mendekat, pura-pura memeriksa lukanya. Namun baru saja memegang tubuh Ki Muwangkoro, orang itu telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Pendekar Rajawali Sakti hanya menggeleng lemah dan merebahkannya pelan-pelan ke tanah.

Pemuda itu kemudian bangkit berdiri, lalu menatap agak lama pada mayat itu. Kemudian kepalanya berpaling. Beberapa anak buah Ki Muwangkoro yang berada ditempat itu, buru-buru menghampiri jenazah pemimpinnya.

“Kisanak! Kami mengucapkan terima kasih atas bantuanmu...,” ujar salah seorang anak buah Ki Muwangkoro yang tak lain Panjalu.

Memang dari Panjalu-lah Ki Muwangkoro serta yang lainnya mengetahui kalau mereka telah dikhianati Gagas Kelana.

“Kau juga membantu kami. Nah, mewakili mereka aku pun mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu dan kawan-kawanmu,” sahut Rangga.

“Kami akan angkat kaki dari pulau ini sekarang juga...,” suara Panjalu terdengar lesu.

Wajah Pendekar Rajawali Sakti mendongak keatas. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat Dan di sekitar tempat ini, obor-obor telah dinyalakan sebagai penerangan.

“Kurasa Ratu Kembang Taji tidak keberatan, kalau kau dan kawan-kawanmu menginap barang semalam...,” kata Rangga.

“Kalian boleh menginap satu malam ini. Lalu, besok pagi pergilah! Kami akan menyiapkan perahu-perahu untuk kalian!” sahut Kembang Taji cepat.

“Terima kasih, Ratu. Kami akan berangkat pagi-pagi sekali!”

“Dan, ingat! Jangan coba-coba mempermainkan rakyat serta para prajuritku. Kecuali, mereka suka dengan sendirinya. Bila ada saja yang berani mengganggu, maka aku tidak akan segan-segan menghukum pancung kepala kalian!”

“Aku akan ingat hal itu. Sang Ratu....”

Kembang Taji memberi isyarat, pada lima prajurit. Maka mereka segera mengajak Panjalu dan kawan-kawannya untuk beristirahat.

“Hm.... Kau memang seorang ratu yang bijaksana,” puji Rangga.

Kembang Taji tersenyum. “Aku belajar banyak dari pengalaman. Juga dari Guru Suci. Aku belajar untuk bersikap arif pada musuh,” jelas Kembang Taji.

“Rakyat serta seluruh penghuni negeri ini pasti suka padamu.”

“Terima kasih....”

Sementara itu, Panglima Kijang Merah telah kembali bersama Guru Suci dan para Guru Tua, serta Nenek Kampar Ilir. Kembang Taji segera memberi hormat pada mereka. Demikian pula Rangga.

“Hm.... Inikah pemuda gagah yang telah membantu kita?” tanya Guru Suci dengan suara bergumam dan bibir tersenyum.

“Guru Suci! Masih ingatkah kau dengan salah satu ketentuan di kerajaan ini?” tanya salah seorang dari Guru Tua yang berjumlah lima orang.

“Hm, tentang apa itu?” Guru Suci malah balik bertanya.

“Setiap laki-laki yang berjasa bagi negeri, maka derajatnya akan kita tinggikan....”

“Ya, aku ingat itu.” Guru Suci memandang Pendekar Rajawali Sakti. Lalu diusapnya kening dan dahi Rangga.

“Dengan berkatku, mana kutinggikan derajat serta martabatmu, Anak Muda!” seru Guru Suci.

“Terima kasih. Aku senang sekali dengan pemberkatan kalian. Tapi harap tidak salah mengerti. Aku berasal dari dunia luar. Dan selama ini, selalu berpendapat bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama. Ada pun mereka yang hina adalah yang melakukan kejahatan...,” ucap Rangga, kalem.

“He he he...! Benar sekali kau, Anak Muda...!” seru Nenek Kampar Ilir. “Tapi seperti yang telah kau katakan, kau dari dunia luar. Maka di sini, hal itu penghargaan yang tiada tara. Kau diberkati langsung oleh Guru Suci!”

Rangga terdiam sejenak. “Ya, mungkin Nenek ini ada benarnya,” ucap Pendekar Rajawali Sakti lirih.

“Nenek Kampar Ilir adalah penasihatku, sekaligus penasihat kerajaan...,” jelas Kembang Taji.

“O, ya? Pantas. Kata-katanya sungguh bijaksana!” seru Rangga seraya tersenyum.

Tapi Nenek Kampar Ilir sama sekali tidak tersenyum. Orang tua itu malah menatap tajam kepada Pendekar Rajawali Sakti.

“Anak Muda, hati-hati bicaramu! Kau berada di pulau ini, dan segalanya harus pakai aturan!” desis Nenek Kampar Ilir.

“Nenek Kampar Ilir! Terima kasih atas nasihatmu. Aku bisa menjaga diriku sendiri!” Setelah berkata begitu, Nenek Kampar Ilir melengos dan meninggalkan tempat ini.

Guru Suci serta para Guru Tua jadi tidak enak hati. Terlebih lagi Kembang Taji. Agaknya antara pemuda itu dengan Nenek Kampar Ilir tidak saling cocok. Namun begitu, sebagai seorang ratu, dia harus bertindak bijaksana. Maka dengan ramah diajaknya, Pendekar Rajawali Sakti masuk ke dalam istana.

Tapi tidak berapa lama. Guru Suci serta para Guru Tua meninggalkan mereka berdua. Menyusul, Panglima Kijang Merah serta para prajurit lainnya yang tadi mengikuti.

“Kenapa mereka pergi...?” tanya Rangga heran.

“Mereka merasa malu denganmu....”

“Malu kenapa?”

“Seorang laki-laki, ternyata menjadi dewa penolong kami. Padahal negeri ini telah telanjur menganggap rendah derajat laki-laki. Lalu ketika Guru Suci memberi, anugerah, ternyata Nenek Kampar Ilir seperti tidak setuju. Dan yang lebih membuat mereka malu, karena kau pun ternyata tidak mau menerima anugerah itu,” jelas Kembang Taji.

Rangga terdiam, dan mengerti apa yang terjadi. Pemuda itu merenung beberapa saat. “Maaf.... Sebenarnya aku tidak bermaksud begitu,” ucap Rangga, lemah.

Kembang Taji tidak menjawab. Gadis itu terdiam. Pikirannya menerawang entah kemana. Rangga menunggu beberapa saat. Dan ketika gadis itu belum juga berpaling, pemuda ini memberanikan diri untuk membuka pembicaraan lagi.

“Mungkin kehadiranku disini tidak diperlukan lagi....”

“Eh, apa? Oh, maaf! Aku tidak bermaksud membuatmu susah!” ucap Kembang Taji.

“Aku telah cukup menyusahkan kalian, bukan?” tanya Rangga.

Kembang Taji tidak langsung menjawab. Gadis itu menarik napas agak panjang. “Kita berasal dari dunia yang berbeda. Baik adat istiadat dan kebiasaan. Sehingga setiap benturan yang terjadi, hendaknya bisa disadari dan tidak menimbulkan pertikaian. Apalagi sampai menciptakan permusuhan. Rangga! Aku tidak pernah berpikir bahwa kau menyusahkan. Bahkan dengan jujur kukatakan, bahwa kau adalah pahlawan kami. Semua orang di negeri ini pasti akan mengingat dan mengenangmu,” tutur Kembang Taji, lirih.

“Terima kasih...,” desah Rangga, halus.

“Kau tidak merasa tersinggung, bukan?”

Rangga tersenyum. Sebagai seorang yang hidup di lingkungan yang tidak menghargai arti laki-laki, rasanya agak janggal bila Kembang Taji menanyakan perasaannya. Tapi sebagai seorang ratu, agaknya Rangga bisa menilai bahwa gadis ini lebih arif ketimbang yang lainnya.

“Tidak,” jawab Rangga, singkat.

“Syukurlah....”

“Eh, aku sampai lupa! Bagaimana anak buah Gagas Kelana?”

“Para prajuritku telah membereskan mereka!”

“Tapi sayang, sebelumnya mereka sempat bertolak. Mungkin saat ini, si Hiu Perak tengah mempersiapkan armada untuk menyambut kemenangan anak buahnya.”

“Ya! Aku pun tengah memikirkan hal itu,” sahut Kembang Taji masygul. “Jumlah prajurit kami berkurang banyak. Dan rasanya tidak akan sanggup menahan seandainya mereka menyerang kembali....”

“Ya, aku bisa mengerti. Mestinya Ki Muwangkoro dan anak buahnya bisa kita manfaatkan. Tapi kalau mereka tidak kembali, pemimpinnya tentu akan bertanya-tanya. Dan bukan tidak mungkin, akan bertolak kesini,” kata Rangga.

“Aku jadi merasa bahwa kemelut ini akan semakin kacau dan tak ada akhirnya,” desah Kembang Taji.

“Kau ingin aku membantumu lagi?”

“Aku sungkan untuk memintanya.”

“Aku akan membantu kalian tanpa diminta.”

Kembang Taji terdiam sesaat. “Bagaimana caramu membantu kami?”

“Malam ini juga, akan kupastikan kalau atasan Ki Muwangkoro mengetahui kalau mereka telah dikhianati kawannya sendiri. Dengan begitu, kuharap mereka akan saling berperang!”

“Bagus sekali! Tapi, bagaimana caranya?”

“Akan kubawa Ki Muwangkoro menghadap pemimpinnya malam ini juga!”

“Malam ini? Bagaimana mungkin? Perairan di sekitar pulau ini sering mengganas di malam hari. Kalian tidak akan selamat. Lagi pula, hal itu memerlukan waktu cukup lama!” tanya Kembang Taji, heran.

“Tidak usah khawatir...,” sahut Rangga, enteng.

“Maksudmu?”

“Sudahlah.... Yang jelas setelah aku berhasil meyakinkan pemimpin mereka aku tidak bisa kembali lagi,” kata Rangga.

Kembang Taji terkesiap. Di pandanginya pemuda itu sejurus lamanya, seperti tidak percaya akan pendengarannya tadi.

“Kau..., kau akan pergi meninggalkan kami...?”

“Kehadiranku disini hanya untuk membantu kalian. Bila segalanya telah selesai, maka aku harus pergi. Banyak orang lain yang mungkin memerlukan pertolonganku,” sahut Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum.

“Berarti kita tidak akan bertemu lagi?”

“Kita akan bertemu bila panjang umur. Dan kau bisa saja menemuiku kapan saja kau suka!”

“Di mana?”

“Di sebuah negeri bernama Karang Setra. Negeri itu terletak ditanah Jawadwipa dibagian timur. Bila kau mendarat di pulau besar yang berada di utara itu, maka teruslah ke timur. Bila menunggang kuda, maka akan tiba empat hari perjalanan setelah diselingi istirahat,” jelas Rangga.

“Karang Setra? Hm.... Aku akan mengingatnya. Orang-orang disana pasti akan mengenalmu?” tanya Kembang Taji.

“Ya! Mereka akan kenal Pendekar Rajawali Sakti.”

“Pendekar Rajawali Sakti? Begitukah mereka memanggilmu?”

“Begitulah orang-orang persilatan memanggilku,” sahut Pendekar Rajawali Sakti.

Kembang Taji tersenyum kecil.

“Aku berangkat sekarang. Akan kupastikan segala sesuatunya beres. Dan tidak usah khawatir. Sebab bila pemimpin Ki Muwangkoro tidak mau kuhasut, akan kuhancurkan mereka. Juga, si Hiu Perak itu,” tandas Pendekar Rajawali Sakti.

“Terima kasih....”

Rangga segera meninggalkan tempat itu untuk menemui Ki Muwangkoro, lalu pergi meninggalkan pulau ini sekarang juga. Sementara Kembang Taji masih memperhatikan pemuda itu dari jendela kamarnya. Wajah gadis itu tampak muram. Bola matanya berkaca-kaca. Dan entah kenapa, kedua pipinya terasa hangat ketika beberapa tetes air mata membasahi. Entah apa yang dirasakannya saat ini.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: WANITA IBLIS