Dendam Pendekar Pendekar Gila - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

DENDAM PENDEKAR-PENDEKAR GILA

SATU
“Kemari kau...!”

Terdengar bentakan seorang gadis cantik berpakaian ketat warna merah muda. Tangannya menuding ke arah seorang pemuda yang terbungkuk-bungkuk maju dengan kepala tertunduk dan wajah pucat.

“Ampun.... Aku hanya ikut-ikutan! Ampuni aku, Nisanak...!” ratap pemuda bertampang menyebalkan.

Sementara, tiga orang pemuda lainnya tampak merapat ketakutan. Namun, salah seorang ada yang mencoba beringsut ke belakang. Dan tiba-tiba saja bola mata gadis berbaju merah muda itu mendelik garang.

“Jangan coba-coba kabur! Atau, jiwamu akan ke neraka sekarang juga! Tunggu giliranmu nanti!” bentak gadis itu lantang.

“Kami berjanji tidak akan berbuat seperti itu lagi, Nisanak! Sungguh! Kau boleh pegang kata-kataku...!” ujar pemuda yang hendak kabur dengan nada memohon dan muka agak memelas.

“Siapa sudi percaya pada kata-kata anjing busuk sepertimu?!”

“Sungguh, aku berjanji! Aku dan kawan-kawanku tidak akan mengulangi perbuatan kami...!” lanjut pemuda itu seraya mendekat terbungkuk-bungkuk.

Keempat pemuda itu memang tengah kena batunya. Mereka dikenal sebagai biang kerok di Desa Tegal Sari yang suka membuat resah. Dan ketika mencoba menggoda seorang gadis, baru mereka merasakan akibatnya.

Kini mereka dibuat babak belur dihajar gadis berbaju merah muda yang ternyata berkepandaian tinggi. Ada yang putus tangan kirinya dan ada yang kehilangan kedua belah telinganya. Namun, gadis ini agaknya tidak mau menyudahinya begitu saja. Meski, para pemuda ini telah memohon berulang kali. Bahkan tiba-tiba kaki gadis itu melayang, tepat menghantam dagu salah seorang pemuda.

Duk!

“Aaakh...!” Pemuda yang sebenarnya bernama Bakil kontan memekik kesakitan. Beberapa buah giginya tanggal, dan mulutnya berlumur darah.

“Jangan memohon padaku seperti anjing. Kau tahu, derajatmu lebih rendah ketimbang anjing! Satu-satunya hukuman yang pantas buatmu adalah kematian!” desis gadis itu.

“Oh, tidak! Jangan.... Ampuni aku! Ampuni aku...!” ratap Bakil. Wajahnya semakin pucat. Dan dia cepat menghampiri, lalu bersimpuh di kaki gadis berbaju merah muda ini.

“Brengsek! Kau semakin membuatku muak saja!” desis gadis itu seraya mengayunkan pedang.

Sekali tebas, leher Bakil akan menggelinding. Sementara ketiga kawannya menahan napas. Demikian pula para penduduk yang tadi mengintip dari balik pintu dan jendela rumah di sepanjang jalan utama desa ini. Sedikit lagi pedang itu menemui sasaran, mendadak satu bayangan berkelebat Langsung dipapaknya laju senjata pedang gadis berpakaian merah muda ini.

Trang!

Bukan main terkejutnya gadis berbaju merah muda itu. Menyadari ada yang menggagalkan tebasan senjatanya terus dikelebatkan. Kali ini bukan untuk memenggal kepala Bakil, melainkan kearah sesosok tubuh yang menggagalkan rencananya.

Sosok itu bergerak menghindar dengan lincah. Namun gadis berbaju merah muda ini tidak kalah gesit mengejar. Dia kelihatan gusar sekali pada orang yang berani mencampuri urusannya.

Wut!

“Tahan seranganmu, Dewi...!” sentak sosok itu tiba-tiba.

Tubuh orang itu melompat ringan, menjauhi si gadis. Dan dia berdiri tegak pada jarak sembilan langkah. Bola mata gadis itu menatap tajam. Dan wajahnya jadi berkerut menahan geram melihat sesosok pemuda berusia sekitar dua puluh delapan tahun yang masih menggenggam pedang ditangan kanannya. Senjata itu yang agaknya dipergunakan untuk menangkis pedangnya tadi.

“Bocah busuk! Apa kau Bosan hidup berani mencampuri urusanku?!”

“Dewi, maaf.... Aku sama sekali tidak bermaksud mencampuri urusanmu. Tapi membunuh orang sembarangan, tentu saja tidak bisa dibenarkan....”

Mendengar jawaban itu, gadis yang dipanggil Dewi ini semula hendak marah. Namun dia menarik napas panjang, lalu tersenyum seraya mendekati pemuda di depannya.

“Ya, ya.... Betul juga katamu. Untung kau mengingatkanku. Aku patut berterima kasih. Siapa namamu, Bocah? Dan, dari padepokan mana asalmu?” tanya Dewi ramah dengan wajah manis.

“Aku Jaka Lola, dari Padepokan Ulat Sutera....”

“Oh, murid Dewa Subrata, he?”

“Benar, Dewi...!”

“Hm.... Kau memanggilku Dewi. Apakah kau tahu, siapa aku?”

“Tentu saja. Siapa yang tidak kenal Bidadari Tangan Api!” sahut pemuda yang ternyata bernama Jaka Lola.

“Bagus! Kalau begitu, kau tahu juga kalau aku paling tidak suka urusanku dicampuri!” dengus Dewi yang berjuluk Bidadari Tangan Api, mendadak berubah geram. Bahkan tiba-tiba saja wanita itu melompat sambil menghunuskan pedang. Langsung diserangnya Jaka Lola dengan ganas.

“Hups!”

Trang!

Jaka Lola sempat menangkis sambil melompat ke samping. Lalu dia terus mencelat ke atas, ketika pedang Bidadari Tangan Api terus mengejar dengan sambaran kilat.

“Yeaaa...!”

“Dewi, tunggu! Jangan salah paham...!”

“Kau yang salah paham menilaiku, Bangsat Kecil! Kau kira dengan menyandang murid Ulat Sutera, bisa leluasa mengatur orang?! Huh! Biar Dewa Subrata melihat anak didiknya terkapar di sini!”

Jaka Lola mengeluh dalam hati berkali-kali. Meski mampu menangkis serangan, bukan berarti mampu pula menahan serangan Bidadari Tangan Api berikutnya. Apalagi, wanita ini memiliki kepandaian setingkat dengan gurunya. Untung saja, dia murid terpandai di padepokannya. Dan lebih dari itu, Jaka Lola lebih memiliki banyak pengalaman bertarung setelah menamatkan pelajarannya di Padepokan Ulat Sutera. Tapi menghadapi wanita galak ini, mungkinkah dia bisa mengungguli?

“Dewi, dengarlah. Aku sama sekali tidak ingin bentrok. Kulakukan tadi sekadar untuk mengingatkanmu, bahwa kau tidak pantas meladeninya. Hanya penjahat teri. Kelas kampung! Mana bisa disejajarkan denganmu. Kau tidak pantas mengurusi orang seperti mereka!” bujuk Jaka Lola.

“Tutup mulutmu! Aku tak peduli, apakah mereka penjahat teri atau maling kurap sekalipun. Tapi siapa saja yang mengusikku dan membuatku tidak senang, boleh mampus! Termasuk kau...!” desis Bidadari Tangan Api.

“Celaka...!” Jaka Lola merutuk kesal.

Kalau saja tahu begini akibatnya, tentu pemuda ini tidak akan ikut campur dan lebih baik menghindar. Tapi nasi telah menjadi bubur. Dan keadaan agaknya tidak bisa diperbaiki lagi. Mau tidak mau, Jaka Lola terpaksa harus mempertahankan diri dari serangan-serangan.

Pada saat Bidadari Tangan Api dan Jaka Lola tengah terlibat dalam pertarungan seru, Bakil menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Sayang, orang tidak menyadari siapa wanita itu. Padahal meski tengah bertarung begini. Bidadari Tangan Api tidak berlaku lengah. Sebilah pedang pendek lainnya yang masih terselip di pinggang langsung dicabutnya. Dan seketika tangannya mengebut ke arah Bakil, melepaskan pedang pendek. Dan....

Bles!

“Aaa...!” Bakil memekik keras begitu pedang Bidadari Tangan Api meluncur, menancap, di punggung kiri sampai menembus dada. Tubuhnya langsung tersungkur, dan tewas beberapa saat kemudian dengan mata melotot lebar.

“Heh?!”

Ketiga kawan Bakil terkejut setengah mati melihat kejadian itu. Dua orang yang tadi ingin mengikuti jejak Bakil, seketika mengurungkan niatnya.

“Huh! Kalian kira bisa kabur seenaknya dariku?” dengus Bidadari Tangan Api, langsung mencelat ringan meninggalkan Jaka Lola yang menjadi lawannya.

Bidadari Tangan Api menghampiri mayat Bakil. Segera dicabutnya pedang yang masih tertancap di punggung pemuda itu. Dan secepat itu pula, kembali diserangnya Jaka Lola yang terbengong-bengong menyaksikan kehebatan gerak wanita itu.

“Sekarang giliranmu. Bocah Tengik!” sentak Bidadari Tangan Api.

Mendapat serangan mendadak, Jaka Lola berusaha menangkis sebisa-bisanya.

Trang!

“Uhhh...!” Pemuda itu jadi mengeluh tertahan ketika terjadi benturan senjata. Dan belum juga getaran pada tangannya hilang, Bidadari Tangan Api kembali menyerang. Cepat bagai kilat, Jaka Lola melompat ke belakang. Tapi, ke mana pun bergerak, wanita ini agaknya tak memberi kesempatan dan terus mengejar. Sehingga pemuda itu tak bisa berkutik. Dia sendiri bahkan tidak tahu, apakah bisa selamat dari incaran senjata Bidadari Tangan Api ini.

Memang, Bidadari Tangan Api bukanlah tokoh sembarangan. Kepandaiannya cukup hebat Terutama, ilmu meringankan tubuh dan permainan sepasang pedang pendeknya yang terbuat dari perak. Hingga, meski Jaka Lola telah mengerahkan segenap kemampuan, tetap saja tidak mampu terus bertahan. Bahkan melewati empat jurus, pemuda itu mulai terdesak hebat.

Trang! Bet!

“Uhhh...!” Ujung pedang di tangan kiri Bidadari Tangan Api bergerak menyambar ke leher. Dengan gerakan cepat Jaka Lola berusaha menangkis. Namun, wanita itu mendadak menarik serangannya. Bahkan dengan tubuh berputar Bidadari Tangan Api mencelat kesamping hendak memapas pergelangan tangan pemuda itu.

Jaka Lola terkejut. Dia berusaha menghindar sebisa mungkin, namun pedang Bidadari Tangan Api telah memapak pedang hingga terlepas dari genggaman.

Trang!

Belum hilang rasa terkejut pemuda itu, Bidadari Tangan Api telah melanjutkan serangan. Jaka Lola bergegas melompat ke belakang, namun gerakan wanita itu lebih cepat. Sehingga....

Bret!

“Aaakh...!” Jaka Lola menjerit keras begitu paha kirinya tersambar pedang Bidadari Tangan Api. Kakinya terpincang-pincang, ketika mendarat di tanah. Dan sebelum dia sempat menguasai diri, pedang si Bidadari Tangan Api yang satu lagi telah berkelebat lagi.

Crab!

“Aaa...!”

Murid Padepokan Ulat Sutera itu tersungkur bermandikan darah, begitu pedang Bidadari Tangan Api menembus perutnya. Setelah meregang nyawa sesaat, Jaka Lola terdiam kaku. Mati.

“Oh...!”

Tiga pemuda kawan Bakil hanya berseru kaget. Namun mereka cepat menunduk saat wanita itu menoleh sinis.

Sementara para penduduk Desa Tegal Sari yang sejak tadi mengintip semua kejadian di tempat ini dari celah-celah dinding rumah, semakin ketakutan saja. Gadis itu tidak bisa dibilang Dewi Penolong. Wataknya kejam dan tidak berperikemanusiaan. Bukan tidak mungkin dia akan menggantikan kedudukan Bakil dan kawan-kawannya dalam mengacau di desa ini!

Bidadari Tangan Api membersihkan batang pedangnya yang masih berlumur darah, kemudian menyarungkannya kembali. Matanya memandang dingin, lalu memberi isyarat dengan tangannya.

“Sini kau!” sentak Bidadari Tangan Api.

“Eh, ya... tapi....,” sahut salah satu pemuda yang ditunjuk wanita itu. Pemuda itu menggigil. Wajahnya pucat penuh ketakutan.

“Kesini kataku!” sentak Bidadari Tangan Api dengan mata melotot garang.

“Eh, iya... iya!” Pemuda itu beringsut, menghampiri dengan terburu-buru. Kedua tangannya dirangkapkan. “Ampuni aku, Nisanak! Ampuni...! Kasihanilah selembar nyawaku! Apa pun yang kau perintahkan pasti akan kuturuti...!” sahut pemuda itu, meratap.

“Siapa namamu?!” tanya Bidadari Tangan Api dingin.

“Waskita....”

“Dengarkan baik-baik, Waskita! Akan kuampuni jiwamu. Dan sebagai gantinya, bunuh kedua kawanmu!” ujar Bidadari Tangan Api, enteng.

“Apa?!” Pemuda bernama Waskita terkesiap. Matanya terbelalak lebar. Dipandangnya wanita itu, kemudian beralih pada kedua kawannya berkali-kali.

“Gunakan pedang ini!” lanjut wanita itu, tak peduli seraya menendang pedang Jaka Lola yang berada di dekatnya.

Tang!

Tap!

Dengan gesit Waskita menangkap pedang itu. Namun tubuhnya tidak juga bergerak. Dipandanginya senjata itu agak lama, lalu memandang Bidadari Tangan Api. “Nisanak, aku....”

“Kau mau mati lebih dulu?” potong wanita itu cepat.

“Tentu saja tidak!”

“Kalau begitu, penggal kepala mereka! Atau, kau yang akan menggantikannya.”

“Tapi, Nisanak....”

“Kurang ajar!” Bidadari Tangan Api mendelik garang, lalu mencabut pedangnya. “Kalau begitu kau yang harus mati untuk menggantikan mereka!”

“Eh, ampun! Ampun, Nisanak! Baiklah, akan kuturuti keinginanmu...!” sahut Waskita cepat. Waskita menjura hormat dua kali, kemudian melangkah pelan mendekati kedua kawannya.

“Waskita! Apa yang kau lakukan?! Kau hendak membunuh kami?!” desis salah seorang kawan Waskita yang tadi kehilangan sebelah lengannya.

“Tidak! Kau tidak boleh lakukan itu!” timpal seorang lagi yang kehilangan dua daun telinganya.

“Maaf, Sobat. Aku memang tidak tega melakukannya. Tapi aku pun perlu hidup. Tidak ada jalan lain...,” sahut Waskita hampa. Tanpa banyak bicara lagi. Waskita mengayunkan pedangnya ke leher kedua kawannya.

Wut!

“Terkutuk kau, Waskita...!” bentak pemuda yang kehilangan sebelah lengan, berusaha melompat menghindar. Demikian pula yang seorang lagi.

Mereka memaki-maki tidak karuan. Namun, Waskita yang semula tidak tega membunuh semakin beringas.

“Yeaaa...!” Waskita membentak garang. Pedang di tangannya terus berkelebat semakin ganas mengancam kedua kawannya.

Pada dasarnya mereka memang tidak memiliki kepandaian hebat. Kalaupun ada, tingkatannya tidak seberapa. Dan rata-rata seimbang. Pada saat ini Waskita bersenjata. Sedang kedua kawannya tidak. Bila Waskita mendapat dukungan dari si Bidadari Tangan Api, sedangkan kedua kawannya bukan saja telah terluka, tapi juga telah kendor semangat sejak dihajar wanita itu. Sehingga tidak heran bila dalam waktu singkat Waskita berhasil mendesak. Bahkan, Pedang Waskita berkelebat Langsung dipapasnya kaki salah seorang kawannya yang terdesak.

Bret!

“Akh!” Orang itu mengeluh kesakitan. Kaki kirinya putus sebatas lutut, dan langsung tersungkur.

Waskita tidak menyia-nyiakan kesempatan. Pedangnya langsung bergerak cepat.

“Waskita, ampun...!”

Meski sempat berteriak memperingatkan dengan wajah memohon belas kasihan, tetap saja Waskita tidak mengurungkan niat Dan....

Bles!

“Aaa...!” Orang itu terpekik begitu pedang Waskita menghujam jantungnya. Tubuhnya tegang sesaat, lalu melenguh pelan saat pedang yang menghujam jantungnya dicabut dengan paksa. Tubuhnya terkulai, dengan nyawa melayang.

Waskita ternyata benar-benar memenggal leher kawannya yang telah mati!

DUA

“Waskita! Apa yang telah kau lakukan? Oh, kau sungguh biadab! Kau betul-betul telah menjadi budak wanita iblis itu!” desis kawan Waskita yang seorang lagi, tak percaya.

“Diam kau, Parta! Kau akan mendapat giliran sekarang juga!” sentak Waskita.

“Biadab! Kita memang jahat. Tapi, kita tidak pernah membunuh kawan sendiri!”

“Banyak mulut! Heaaa...!”

Waskita langsung menerjang kawannya yang kehilangan dua daun telinganya dan bernama Parta. Pedangnya semakin lincah mengancam keselamatan Parta. Waskita memang seperti kesurupan. Dia terus mencecar dengan penuh nafsu membunuh.

Parta yang berusia dua puluh tujuh tahun itu melompat ke belakang, ketika Waskita terus mencecar. Gerakannya sudah tak gesit lagi, karena rasa sakit hebat pada kedua telinganya. Sementara Waskita sendiri semakin bernafsu.

Pada satu kesempatan, kaki kiri Waskita sempat menghajar punggung. Parta berbalik, dan bermaksud bergerak kesamping untuk menghindari tendangan berikutnya. Namun gerakan Waskita ternyata hanya tipuan belaka. Karena tahu-tahu ujung pedang Waskita lebih cepat menyambar leher Parta. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Bres!

“Ugkh...!” Parta tidak sempat mengelak. Bahkan dia hanya bisa menjerit tertahan ketika pedang Waskita menebas lehernya. Kepalanya kontan menggelinding bersama tubuhnya yang ambruk dan tewas seketika!

Setelah berhasil membunuh kedua kawannya. Waskita berbalik menghadap Bidadari Tangan Api.

“Bagus. Kau telah melakukan tugasmu dengan baik. Kemarilah.... Ada hadiah untukmu!” ujar wanita itu.

“Eh! Sebenarnya aku tidak mengharapkan hadiah apa-apa. Kau telah mengampuni jiwaku. Dan itu sudah cukup...,” sahut Waskita gugup.

“Apakah kau akan menolaknya?” tanya Bidadari Tangan Api mengerling genit disertai senyum memikat.

“Aku... aku....” Waskita jadi salah tingkah dibuatnya. Jantungnya berdegup kencang dan cuping hidungnya kembang-kempis. Didekatinya gadis itu sambil mesem-mesem.

“Pedang ini amat mengganggu...,” ujar Bidadari Tangan Api, manja.

Wanita itu segera meraih pedang dalam genggaman Waskita. Kemudian dipeluknya pemuda itu erat-erat. Karuan saja. Waskita jadi kelabakan, tidak menyangka. Apalagi ketika wanita ini menciuminya. Dia hanya terpana. Dan sesaat pikirannya melayang entah ke mana. Rasanya seperti mimpi. Namun....

Bles!

“Hugkh...! Kau... kau....” Waskita terkejut. Tahu-tahu sebuah benda tajam menembus punggung kirinya, membuat rasa sakit hebat. Seketika dia berusaha melepaskan pelukan, segera diperiksanya kedua tangannya. Ternyata, telah dipenuhi bercak darah. Bola matanya melotot garang. Kontan dipandangnya wanita itu dengan wajah tak percaya. Namun tidak lama. Sebab kemudian Waskita mengeluh panjang dan ambruk tak berdaya.

Tangan kanan Bidadari Tangan Api mengacungkan pedang yang masih berlumur darah. Dengan senjata ini, agaknya dia merenggut nyawa Waskita. “Huh! Kau kira bisa bernasib baik ketimbang kawan-kawanmu? Jangan mimpi!” dengus wanita ini, dengan menyeringai lebar.

Kemudian wanita itu mencampakkan begitu saja pedang tadi. Dan kakinya mulai melangkah dengan wajah angkuh. Bola matanya memandang ke sekeliling. Sementara penduduk yang sempat bertatapan mata secara tidak sengaja, buru-buru berpaling.

“Hei, penduduk desa ini! Keluarlah kalian! Sekarang, kalian lihat! Pengacau-pengacau itu telah menemukan ganjaran setimpal atas perbuatan mereka selama ini...! Ayo, keluar! Apakah kalian tidak ingin menyambutku?!”

Tak ada seorang pun yang menyahut. Semua penduduk bersembunyi didalam rumah dengan ketakutan. Mereka khawatir, bila keluar dan menampakkan diri maka gadis itu akan membunuh!

“Kurang ajar! Inikah rasa terima kasih kalian padaku?! Huh! Dasar kerbau-kerbau tolol! Mungkin setelah dipaksa baru kalian mau menunjukkan batang hidung di depanku!” dengus Bidadari Tangan Api.

Setelah berkata begitu. Bidadari Tangan Api menghantam salah satu rumah yang berada di dekatnya. “Yeaaa...!”

Bruak...!

Rumah gubuk itu kontan hancur berantakan. Maka seketika itu pula empat orang penghuninya yang terdiri dari sepasang suami istri berusia lanjut beserta dua orang anak laki-lakinya terkejut. Mereka bertiarap, lalu tegak berdiri ketakutan memandangi rumahnya yang tidak karuan. Kemudian mereka memandang Bidadari Tangan Api bergantian.

“Ke sini kalian!” bentak wanita itu galak.

“Eh, kami... kami...,” sahut seorang laki-laki tua, kepala keluarga rumah ini. Tubuhnya gemetar. Suaranya tercekat di kerongkongan.

Itu saja sudah cukup membuat wanita itu semakin berang. Dia melompat dan bermaksud menghabisi mereka sekaligus. Namun sebelum niatnya terlaksana, mendadak....

“Nisanak! Kurasa cukup sudah tindakanmu! Kau telah melewati batas!” Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.

“Hm...!”

Wanita itu menoleh ke arah asal suara di belakangnya. Matanya disipitkan, melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di dada. Pemuda dengan sebilah pedang bergagang kepala burung menyembul dari balik punggungnya itu melangkah dan mendekati Bidadari Tangan Api. Lalu dia berhenti saat jarak mereka terpaut lima langkah.

“Siapa kau, Bocah?! Apa kau bosan hidup, sehingga berani mencampuri urusanku?!” desis Bidadari Tangan Api lantang dan garang.

“Kau tak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, aku bukan anak kecil yang mesti dipanggil bocah. Dan aku hanya ingin kau menghentikan tindakanmu yang kelewat batas...,” sahut pemuda berbaju rompi putih ini, kalem.

“Kurang ajar! Hei, buka matamu lebar-lebar. Dan, lihat kesekelilingmu!” tuding Bidadari Tangan Api geram, sambil menunjuk mayat-mayat yang bergelimpangan.

Tapi pemuda itu hanya tersenyum dingin menanggapi ocehan wanita ini. Namun begitu, sama sekali matanya tidak ingin melirik. Agaknya dia sekadar menunjukkan kalau gertakan wanita ini tidak membuatnya takut.

“Aku tak peduli pada mereka. Dan aku hanya minta kau tidak keterlaluan. Cukup sudah mereka yang menjadi korbanmu. Jangan ditambah lagi. Apalagi terhadap penduduk desa tak berdosa,” sahut pemuda itu tenang.

“Dasar lancang! Hei! Agaknya kau belum tahu siapa aku?! Pergilah, sebelum kau menjadi korbanku berikutnya!” bentak Bidadari Tangan Api, lantang.

“Aku juga tak peduli, siapa dirimu. Yang jelas, tindakanmu membuatku harus mencegahmu!” sahut pemuda itu enteng.

“Kurang ajar! Rupanya kau betul-betul ingin mampus! Baik kalau itu yang kau inginkan!” dengus wanita itu. Lalu....

Sring!

Bidadari Tangan Api langsung mencabut sepasang pedang pendeknya. Seketika diserangnya pemuda berbaju rompi putih yang tak lain adalah Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

“Yeaaa...!”

Wuk!

Kelebatan sepasang pedang Bidadari Tangan Api terlihat cepat. Dan bagi mata orang awam rasanya tidak akan mampu melihatnya. Namun begitu, Pendekar Rajawali Sakti tenang-tenang saja. Begitu kedua senjata itu meluncur dekat, tubuhnya meliuk indah seperti tengah menari. Sudah tentu hal itu membuat Bidadari Tangan Api mengamuk sejadi-jadinya.

“Hm, pantas! Agaknya kau sedikit punya kemampuan yang hendak dipamerkan di depanku. Huh! Kau akan merasakan pelajaran pahit. Bocah!”

“Kepandaianku memang belum seberapa. Dan aku memang butuh pelajaran baru darimu...,” balas Rangga, tetap tenang.

“Huh, Bangsat! Kau boleh mampus sekarang juga!” desis Bidadari Tangan Api semakin geram.

Kembali wanita itu menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan menambah kecepatan dan tenaga dalamnya. Gerakannya mulai berbeda dan penuh gerak tipu. Agaknya, dia mulai mengeluarkan kepandaiannya yang paling tidak untuk menjatuhkan Pendekar Rajawali Sakti secepatnya. Tapi, Rangga sama sekali tidak kelihatan terdesak. Bahkan sejauh ini bukan saja mampu mengimbangi, tapi juga mulai balas menyerang.

“Heaaa...!”

Wut! Set!

Kedua pedang Bidadari Tangan Api mencoba mengurung. Tapi dengan mudah Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas sambil berputar bagai kitiran. Bahkan cepat mengayunkan satu tendangan keras ke wajah.

Wuk!

“Uhhh...!” Bidadari Tangan Api terkesiap. Gerakan pemuda itu lebih cepat daripada dugaannya semula. Kalau saja tidak mencelat ke belakang, bukan mustahil wajahnya remuk terhantam tendangan.

“Yaaat...!” Pendekar Rajawali Sakti kembali mengejar. Meski si Bidadari Tangan Api coba bertahan dengan mengibaskan sepasang pedangnya, tetap saja tidak mampu mengimbangi gerakan Rangga.

Mendadak serangkum angin kencang menerpa pipi kiri Bidadari Tangan Api. Wanita itu menoleh sambil mengibaskan pedang. Dan tahu-tahu, serangkum angin yang berasal dari kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti lurus terarah ke dada. Buru-buru Bidadari Tangan Api menjatuhkan diri, bermaksud bergulingan untuk menghindarinya.

Di luar dugaan. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya sambil melepaskan satu tendangan setengah melingkar ke pinggang. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Begkh!

“Aouw...!” Sekali lagi Bidadari Tangan Api harus mengakui keunggulan pemuda itu dalam bergerak. Pinggangnya kena dihajar. Sambil mengeluh kesakitan, wanita itu terus bergulingan untuk menghindari serangan berikutnya.

Namun, ternyata Pendekar Rajawali Sakti masih tetap tegak di tempatnya. Dan sampai Bidadari Tangan Api kembali bangkit berdiri. Rangga tetap belum melanjutkan serangan. Seolah pemuda itu ingin menunjukkan kalau mampu bersikap ksatria dan tidak menyerang wanita itu selagi lawan belum bersiap.

“Huh! Jangan dikira sudah menang. Bocah! Kau akan merasakan hajaranku, Bangsat!” dengus Bidadari Tangan Api dengan wajah berkerut geram.

“Nisanak! Kau masih muda. Bahkan kepandaianmu cukup hebat. Alangkah baiknya jika kepandaianmu digunakan untuk membela kebenaran ketimbang berbuat ugal-ugalan...,” ujar pemuda itu menasihati.

“Jangan berkhotbah di depanku. Bangsat!” desis Bidadari Tangan Api.

Wajah wanita berpakaian merah muda ini berkerut setelah menyelipkan pedangnya kembali di pinggang. Kedua tangannya menyilang di dada dengan jari membentuk cakar. Kedua kakinya tegak membentuk kuda-kuda kokoh. Sesaat ditariknya napas panjang. Kemudian kedua tangannya yang membentuk cakar berubah sedikit kemerahan laksana bara.

Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum. Sama sekali tidak terlihat kekhawatiran pada wajahnya. “Hm, aji Tangan Api...” gumam Pendekar Rajawali Sakti.

“Bagus! Kini kau telah tahu, siapa aku. Huh! Tak ada waktu lagi untuk menyesali diri. Kau akan mampus seperti yang lain. Keparat!” dengus Bidadari Tangan Api. “Heaaat...!”

Diiringi bentakan nyaring tubuh Bidadari Tangan Api melesat, menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan gerakan jungkir balik. Begitu menjejak tanah, kedua tangannya langsung dihentakkan.

“Heaaat...!” Saat itu juga, selarik cahaya merah kekuningan laksana lidah api, mencelat kearah Pendekar Rajawali Sakti. Namun, Rangga tak kalah sigap. Dengan gesit dia melenting tinggi. Akibatnya, sinar merah kekuningan itu terus meluncur. Dan....

Blar...!

Sebuah rumah kontan hancur terbakar oleh pukulan jarak jauh Bidadari Tangan Api. Penghuninya langsung berlarian ke sana kemari sambil berteriak-teriak kebingungan.

“Kurang ajar! Wanita ini agaknya sudah keterlaluan...!” dengus Rangga dingin, begitu menjejak tanah kembali.

Wajah Pendekar Rajawali Sakti berkerut, menandakan hatinya yang geram bukan main. Niat di hatinya hendak mencegah tindakan sewenang-wenang wanita ini kepada penduduk desa. Dan secara tidak sengaja, justru perbuatannya telah membuat wanita itu kalap. Sehingga, yang dirugikan akhirnya penduduk desa juga.

“Heup!” Pendekar Rajawali Sakti kini menekuk kedua kakinya dalam kedudukan sedikit melebar. Lalu kedua tangannya terkepal di pinggang. Dari gerakannya bisa diketahui kalau Rangga tengah mengerahkan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’. Apalagi ketika melihat kedua tangannya yang sudah berubah menjadi merah bagai bara, ketika mengerahkan tenaga dalamnya.

Pada saat yang bersamaan. Bidadari Tangan Api siap menggelar aji ‘Tangan Api’ yang telah ditunjukkannya tadi.

“Heaaat..!” Seketika nyala api itu menjulur cepat kearah Rangga, ketika Bidadari Tangan Api menghentakkan tangan kanannya.

Dan Pendekar Rajawali Sakti juga menghantamkan telapak tangan kanannya ke depan. “Hih!” Saat itu juga, melesat selarik cahaya merah ke arah juluran api milik Bidadari Tangan Api.

Wup!

Cahaya merah itu langsung menggulung lidah api yang dilepaskan Bidadari Tangan Api.

Plas!

Dalam sekejap mata, lidah api itu lenyap. Bahkan cahaya merah dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ terus menghantam dan tak mampu ditahan.

“Aaakh...!” Wanita itu memekik kesakitan. Tubuhnya kontan terlempar beberapa langkah ke belakang. Dan dari sudut bibirnya menetes darah segar ketika dia berusaha bangkit dengan susah-payah.

“Aku belum menghendaki kau celaka lebih parah. Sebab, siapa tahu kau masih bisa bertobat. Pergilah. Dan, jangan sampai aku melihatmu melakukan perbuatan tidak terpuji...,” ujar pemuda itu tenang.

“Hm.... Aku pernah kenal pukulan itu. Tapi, lupa di mana. Kau hebat bisa menjatuhkanku. Dan aku tidak perlu malu bila mengetahui kalau orang yang mengalahkanku adalah pendekar besar...,” kata Bidadari Tangan Api, lemah suaranya.

“Nisanak, kau salah. Aku bukan pendekar besar, aku hanya seorang pengelana biasa....”

“Kau tidak bisa berdusta padaku, Kisanak! Meski bicaramu merendah, tapi aku bisa merasakannya. Katakanlah... Jangan biarkan aku penasaran bila tidak mengetahui siapa yang telah menjatuhkanku,” desah Bidadari Tangan Api.

“Apa gunanya?”

“Bidadari Tangan Api tidak boleh dikalahkan begitu saja tanpa membalas! Aku harus tahu, kepada siapa dendamku kelak harus terbalas!” sahut wanita itu berterus-terang.

Rangga menggeleng lemah. Dia menduga wanita ini akan bertobat setelah kena batunya. Tapi, agaknya sia-sia saja. kenyataannya, wanita satu ini begitu keras kepala. Tidak akan menerima kekalahannya begitu saja.

“Baiklah kalau kau memaksa...,” sahut pemuda itu, seraya menghela napas panjang.

Bidadari Tangan Api memandangnya, menunggu pemuda itu melanjutkan kata-katanya.

“Orang menyebutku.... Pendekar Rajawali Sakti.”

“Pendekar Rajawali Sakti?! Ah! Dugaanku tidak jauh beda rupanya. Hm, pantas. Pantas sekali bila aku dijatuhkan olehmu!” seru wanita itu, kagum.

Bidadari Tangan Api memandangi pemuda itu sejurus lamanya, sambil tersenyum-senyum kecil. Sulit diduga, apakah dia kagum yang sebenarnya, atau sekadar mengingat kalau telah mengetahui kepada siapa kelak harus membalaskan dendamnya.

“Nisanak! Kejadian ini sebenarnya tidak harus terjadi. Kau terlalu keras dan memaksaku. Lebih dari itu, aku tidak bisa membenarkan tindakanmu membunuh orang seenaknya....”

“Kau katakan seenaknya? Huh! Keempat orang itu adalah pengacau. Tanyakan pada semua penduduk desa ini. Maka, kau akan tahu sendiri. Orang-orang seperti itu sudah sepatutnya mati. Hukuman tidak akan membuat mereka jera!”

“Dan pemuda satu itu?” tunjuk Rangga.

Wanita itu tersenyum dingin. “Dia murid Padepokan Ulat Sutera. Salahnya sendiri. Dia terlalu ikut campur urusan orang. Bagiku, siapa saja yang mencampuri urusanku, maka harus mati. Kau adalah pengecualian. Sebab, saat ini aku tidak mampu menepati janjiku sendiri. Tapi, bukan berarti kau akan hidup tenang. Ke mana pun kau pergi, bila saatnya tiba, maka aku akan membayar hutang hari ini. Berikut bunganya. Pendekar Rajawali Sakti!” tandas Bidadari Tangan Api mantap.

“Hm.... Hatimu diliputi dendam, Nisanak. Kau hanya menyiksa diri. Aku sama sekali tidak takut ancamanmu. Aku hanya menyayangkan, bahwa kau akan menghabiskan umurmu hanya karena soal dendam...,” sahut Rangga kalem.

“Aku tak peduli segala petuahmu! Tak seorang pun boleh mengatur hidupku! Aku menentukan sendiri, apa yang patut kukerjakan dan mana yang tidak. Kalau kau takut, boleh membunuhku sekarang juga!” ujar wanita itu, lantang.

Rangga kembali menggeleng. Hela napasnya terasa panjang dan berat. “Nisanak, pergilah. Kau boleh bawa dendammu. Aku akan menunggu, sampai kau bisa membalaskan dendammu. Tapi, ingatlah. Sesungguhnya aku lebih suka kau menghabiskan sisa usiamu untuk berbuat kebaikan dengan kepandaianmu. Itu lebih berguna dan amat terpuji...,” ujar Rangga, tetap bersikap tenang.

“Sudah kukatakan, aku yang menentukan jalan hidupku sendiri. Bila itu keputusanmu, maka tunggulah saatnya. Aku akan datang menagih nyawamu!” desis Bidadari Tangan Api. Setelah berkata demikian, wanita itu berbalik. Dan seketika itu pula tubuhnya melesat kencang meninggalkan desa ini.

Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa menggeleng lemah memandangnya dengan wajah kasihan. Tak ada yang bisa diucapkannya, selain menyesalkan sikap wanita itu yang keras kepala.

********************

TIGA

“Maling-maling...! Ayo, kejar! dia menuju pinggiran telaga yang dekat hutan sana!”

Terdengar teriakan keras membahana, menyeruak ketenangan Desa Tegal Sari. Sebentar saja, orang-orang desa itu sudah cepat berkumpul sambil mengacungkan segala jenis senjata tajam. Kemudian, mereka menyusul yang lain untuk mengejar seseorang yang kini menjadi buronan.

“Kejar.... Jangan sampai lolos!”

“Hajar! Pecahkan kepalanya...!” teriak yang lain menimpali.

Hampir semua lelaki penduduk desa itu mengejar sosok yang diteriaki maling. Jumlah mereka tidak kurang tiga puluh lima orang.

Sementara itu orang yang dikejar adalah laki-laki berusia sekitar dua puluh enam tahun. Wajahnya lebar. Tubuhnya berukuran luar biasa. Bila ada orang yang bertubuh tinggi dan berbadan besar, tak ada apa-apanya dibanding tubuh lelaki itu. Maka ketika berlari kencang begitu, bumi laksana bergoncang oleh derap kakinya.

“Nah, nah...! Dia mulai kelabakan!” seru salah seorang penduduk desa ketika laki-laki bertubuh raksasa ini terjebak di pinggiran Telaga Maut.

Telaga itu sendiri lebar dan cukup dalam. Selama ini, penduduk Desa Tegal Sari jarang ada yang berani mendekatinya. Konon, telaga ini memang angker. Beberapa orang yang jatuh dipastikan akan tenggelam dan tak akan tertolong lagi. Ketika mendekati telaga, semula mereka ragu. Namun amarah yang membakar hati, membuat mereka menguatkan diri dan terus mengejar buruan hingga terdesak.

“Mau ke mana kau, Buto Ijo?! Hari ini tamat riwayatmu! Tidak ada lagi pencurian ternak. Tidak akan ada lagi perusakan sawah ladang. Bila kau mati, maka segalanya akan berakhir!” dengus yang lain.

Orang yang barusan berkata tampak gemas. Sikapnya terlihat garang. Goloknya yang tergenggam di tangan kanan sesekali dimain-mainkan dengan sikap mengancam. Sementara, para penduduk yang lain pun agaknya bersikap sama. Kelihatan mereka begitu geram dan mendendam pada pemuda bertubuh raksasa satu ini.

Para penduduk sebenarnya kenal laki-laki bertubuh raksasa bernama Darmo Angkor ini, sebab memang masih penduduk desa ini juga. Walaupun tempat tinggal Darmo Angkor yang dijuluki Buto Ijo agak jauh dari perkampungan penduduk.

Dari dulu kedua orang tua pemuda bertubuh raksasa itu memang jarang berbaur dengan penduduk lainnya. Entah kenapa. Namun, sikap penduduk pun memang kelihatan enggan. Sebab, mereka menduga kalau kedua orangtua Darmo Angkor adalah dukun sakti yang amat jahat. Semula memang tidak ada persoalan di antara mereka. Apalagi, kedua orangtua Darmo Angkor yang dicurigai sebagai dukun jahat itu tidak pernah mengusik.

Sejak pemuda itu tumbuh besar dengan nafsu makan yang semakin menjadi-jadi, sementara orangtuanya tidak mampu mencukupi, maka mulailah perkampungan dijarahnya. Dan sejak itu, penduduk dibuat jengkel. Setiap hari ada saja yang kehilangan ternak. Baik ayam, kambing, maupun yang lainnya. Bahkan sawah ladang pun tidak luput dari kerusakan. Buah-buahan yang hendak dipetik, raib tak bersisa. Demikian pula padi-padian yang belum dipanen. Hilang tak berbekas!

Semula, kecurigaan penduduk tidak tertuju pada pemuda bertubuh raksasa ini. Tapi suatu saat, salah seorang penduduk sempat memergoki Darmo Angkor yang tengah melahap ternak hasil curian. Maka, kecurigaan terhadapnya sejak itu semakin menjadi-jadi. Beberapa orang penduduk pernah mendatangi orangtuanya dan melaporkan kejadian itu. Namun suami istri dukun sakti itu tidak bisa terima. Mereka marah dan mengusir penduduk yang datang. Karena tidak ada jalan lain, mereka segera meringkus Darmo Angkor untuk dimintai pertanggung-jawabannya.

“Sudah, Ki Soma! Bereskan saja Buto Ijo ini sekarang juga!” teriak salah seorang penduduk.

Orang yang dipanggil Ki Soma berusia lima puluh tahun lebih. Tubuhnya agak kurus, sehingga tulang dadanya terlihat menonjol. Namun begitu, sorot matanya terlihat tajam penuh wibawa. Orang-orang segan kepadanya. Maka tidak heran bila dia dipercaya memangku jabatan Kepala Desa Tegal Sari.

“Ya! Kita akan menghukumnya sekarang juga...,” sahut orang tua itu dingin.

Baru saja selesai kata-kata Ki Soma, saat itu juga melompat beberapa orang pemuda dengan golok terhunus menyerang Darmo Angkor.

“Yeaaa!”

“Mampus kau, Buto Ijo...!”

Pemuda bertubuh raksasa itu tampak pucat ketakutan. Secara tidak sengaja, kedua tangannya disilangkan untuk melindungi muka dari sambaran golok. Dan....

Tak! Pletak!

“Heh?!” Kedua pemuda desa itu terkejut. Golok mereka sama sekali tidak mampu melukai kulit tubuh Darmo Angkor. Sekali lagi mereka menebas bagian lain yang lunak. Namun, hasilnya tetap sama.

Sementara, Darmo Angkor sendiri hanya meringis menahan sakit. Namun begitu, pemuda yang kelihatan tolol ini tidak berusaha membalas. Dia malah tetap berdiri dengan wajah bingung, saat kedua pemuda desa ini terheran-heran.

“Ki Soma! Apa yang harus kita lakukan?! Buto Ijo ini ternyata kebal terhadap senjata tajam!” teriak seorang pemuda yang menyerang.

“Biar aku yang membereskannya. Minggir kalian!” sahut orang tua itu, langsung melompat mendekati Darmo Angkor.

Dan lagi-lagi, kekaguman penduduk desa semakin bertambah ketika melihat kehebatan orang tua ini. Ki Soma ternyata mampu berkelebat ringan, menggunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup hebat.

“Darmo Angkor, bersiaplah.... Kau akan menerima hukuman atas perbuatanmu selama ini. Orangtuamu sudah tidak mau tahu lagi. Sehingga kau harus mempertanggungjawabkannya sendiri!” desis Ki Soma, begitu berdiri di depan Darmo Angkor.

Orang tua itu menarik napas panjang. Kedua tangannya menyilang di dada, bersiap menghantam pemuda bertubuh raksasa itu dengan tenaga dalam kuat. Dengan sekali hajar, agaknya diyakini, kalau Darmo Angkor akan terjungkal dan tenggelam ke dasar telaga di belakangnya. Namun sebelum pukulan Ki Soma terlepas....

“Tahan...!” Mendadak terdengar bentakan keras, membuat terkejut semua orang yang ada di situ.

Ki Soma menahan gerakannya. Seketika, kepalanya berpaling kearah asal suara. Tampak sosok tubuh sudah mencelat ringan ke depannya. Mereka adalah sepasang suami istri bertubuh kurus. Yang lelaki berusia hampir sama dengan Ki Soma. Tubuhnya pun kurus serta kecil, dibalut pakaian serba hitam. Kepalanya memakai.semacam blangkon hitam. Giginya hitam dan kotor. Beberapa buah terlihat tanggal ketika menyeringai lebar.

“Ayahhh...!” seru Darmo Angkor girang.

Wajah pemuda bertubuh raksasa itu langsung berseri-seri seperti bocah yang mendapatkan mainan kesukaannya. Dengan tergesa-gesa, dihampirinya suami istri itu. Lalu, dipeluknya satu persatu. Kemudian dia bersembunyi dibelakang dua sosok yang ternyata orangtuanya.

“Kau hendak melindungi anakmu, Bungkelen?” sinis nada suara Ki Soma.

“Huh! Bila kau memiliki anak, sementara anakmu dalam bahaya, apakah kau akan berdiam diri?!” dengus orangtua laki-laki Darmo Angkor yang bernama Ki Bungkelen.

“Aku tidak pernah punya anak. Dan kalaupun ada, anakku tidak sebengal anakmu,” sahut Ki Soma enteng.

Kata-kata Ki Soma terasa perih didengar dan amat menusuk perasaan hati. Tentu saja membuat suami istri itu berang bukan main.

“Siapapun adanya kalian semua, jangan coba-coba menyentuh anakku! Kalian boleh langkahi mayatku lebih dulu!” teriak Nyai Bungkelen ibu dari Darmo Angkor lantang seraya mencabut keris yang terselip dipinggang belakang.

Wajah wanita tua itu garang, membuat penduduk desa lain menjadi ciut nyalinya. Namun tidak demikian halnya Ki soma. Orang tua itu tersenyum sinis.

“Ki dan Nyai Bungkelen! Apa mau kalian? Apakah hendak melindungi anakmu yang kurang ajar dengan menakut-nakuti kami? Berapa kali kami telah memberi peringatan pada kalian. Tapi kalian tidak peduli. Dan kini ketika kemarahan penduduk tidak dapat dibendung lagi, kalian mencoba melindunginya. Padahal, dia nyata-nyata bersalah...,” tuding Ki Soma.

“Siapa pun tidak akan rela melihat anaknya dibunuh di depan batang hidung sendiri!” sentak Ki Bungkelen.

“Boleh saja kami tidak membunuhnya. Tapi, dia harus mendapat hukuman setimpal atas perbuatannya selama ini,” sahut Ki Soma tenang.

“Aku bisa mengajar anakku tanpa campur tangan kalian. Biar aku yang akan memberi hukuman padanya!” kali ini Nyai Bungkelen yang menyahuti.

“Hukuman apa yang akan kalian berikan padanya? Lakukan sekarang agar kami bisa menilai, apakah itu setimpal dengan perbuatannya selama ini!”

“Tiada hakmu untuk ikut campur dalam soal ini!”

“Kau boleh berkata begitu. Tapi, aku kepala desa di sini. Aku punya kewajiban menenteramkan penduduk yang resah, karena ulah anak kalian. Panen mereka sering gagal karena dirusak anak kalian. Sehingga, mereka tidak punya sesuatu untuk dimakan. Ternak lenyap dicuri Darmo Angkor sehingga mereka tidak bisa membajak. Tidak bisa memerah susu, juga tidak bisa mengambil dagingnya untuk dimakan. Mereka kelaparan dan hidup sengsara. Lebih dua puluh keluarga menjadi korban ulah anak kalian. Kini masihkah kalian berusaha melindunginya? Atau barangkali sengaja membiarkan perbuatannya?!” sentak Ki Soma, lantang.

Ki Bungkelen diam. Dia pandang istrinya, lalu kepada anaknya. Sementara Darmo Angkor menundukkan kepala. Wajahnya meringis seperti bocah tak berdosa.

“Kuberi kalian kesempatan untuk memikirkannya. Dan sesudahnya, berikan jawaban memuaskan untuk kami. Kalau tidak, maka biarkan kami yang memutuskan hukuman apa yang tepat bagi anak kalian...!” lanjut Ki Soma.

Ki Bungkelen hanya melirik sekilas. Lalu matanya memberi isyarat pada anaknya. Darmo Angkor mendekat dan berlutut di depan ayahnya. Meski begitu tinggi, Ki Bungkelen tidak mampu menyamai tinggi tubuhnya.

“Darmo! Kau anakku satu-satunya. Apa pun perbuatanmu, aku dan ibumu akan melindungimu. Mereka akan berbuat kasar. Dan mungkin kami akan tewas nantinya. Bila kami binasa, maka pergilah kau. Selamatkan dirimu. Bila perlu, lawanlah mereka! Kau punya kelebihan. Nak. Bukan saja tubuhmu yang besar dan tenagamu yang kuat, tapi juga kebal senjata tajam. Kau bisa membunuh mereka bila bisa memompa keberanian dalam dirimu...,” ujar Ki Bungkelen memberi wejangan pada putranya.

Darmo Angkor hanya menunduk. Dia tidak mengerti sepenuhnya, apa yang diucapkan ayahnya. Pemuda itu memang bodoh, dan pikirannya agak terbelakang. Dia hanya memandangi wajah ayahnya, kemudian tidak menunjukkan tanggapan apa-apa. Juga saat Ki Bungkelen berdiri tegak berhadapan dengan Ki Soma.

“Silakan langkahi mayatku bila kalian hendak menghukumnya!” ujar orang tua itu mantap.

“Hm.... Itu berarti kau benar melindunginya. Tak ada jalan lain. Kau harus ikut bertanggung jawab.”

“Tidak usah banyak bicara. Lakukan saja apa maumu!” sentak Ki Bungkelen.

“Baiklah...,” desah Ki Soma.

Kemudian Kepala Desa Tegal Sari mencabut golok yang terselip di pinggangnya. Lalu tubuhnya berputar ke kanan sedikit dengan mengibas-ngibaskan senjatanya. Demikian pula halnya Ki Bungkelen. Dengan kerisnya dia bersiap mengincar titik kelemahan lawan. Kemudian pada saat yang tepat kedua orang tua itu bergerak bersamaan.

“Heaaat...!”

Trang! Bet!

Pertarungan tidak dapat dielakkan lagi. Sementara para penduduk telah menyingkir agak jauh untuk membuat ruang gerak. Sampai sejauh ini, para penduduk semakin kagum saja pada kepala desa itu. Lama mereka hanya mendengar keangkeran Ki Soma, tapi belum bisa membuktikannya secara langsung. Kali ini adalah kesempatan langka. Dan mereka menontonnya dengan mulut ternganga dan wajah kagum.

Permainan golok Ki Soma amat mengagumkan. Bukan saja mampu menangkis setiap serangan Ki Bungkelen yang terus merangseknya, tapi juga mampu balas menyerang.

Pertarungan mereka sendiri berlangsung cepat Masing-masing mempunyai ciri khas berbeda. Bila Ki Bungkelen begitu bernafsu untuk menjatuhkan lawan secepatnya, sebaliknya Ki Soma begitu tenang. Dia tidak terpancing oleh amarah Ki Bungkelen. Namun begitu, justru gerakannya sangat berbahaya. Bahkan beberapa kali Ki Bungkelen nyaris terserempet goloknya.

“Haaat! Yeaaap...!”

Golok Ki Soma berkelebat menyapu leher. Ki Bungkelen cepat berkelit ke samping dan memiringkan kepala. Namun kepala desa itu juga melompat ke samping. Tubuhnya cepat dibungkukkan serendah mungkin, lalu menyambar bagian bawah tubuh Ki Bungkelen. Dengan agak terkesiap, Ki Bungkelen mengkelebatkan kerisnya, menutup ruang gerak golok itu.

Trang!

“Huaiiit!”

Begitu golok Ki Soma kena ditangkis Ki Bungkelen, secepat itu tubuhnya bergulingan dan menebas betis kiri. Melihat serangan ini, Ki Bungkelen segera mencelat keatas. Tapi bersamaan dengan itu pula Ki Soma melenting ke atas, senjata di tangan berkelebat Begitu cepat gerakan kepala desa itu, sehingga Ki Bungkelen tak sempat menyadarinya. Dan....

Bret!

“Aaakh...!” Ki Bungkelen berteriak kesakitan ketika perutnya berhasil dirobek golok Ki Soma. Dengan susah payah orang tua itu berusaha menjaga keseimbangannya ketika kakinya menjejak tanah dengan tangan kiri mendekap perut.

“Kakang Bungkelen...!” teriak Nyai Bungkelen, cemas.

Wanita itu coba menolong suaminya, namun Ki Soma lebih cepat lagi bergerak. Begitu menjejakkan kaki, kembali tubuhnya mencelat Langsung dikirimkannya satu tendangan menggeledek yang tak mampu ditahan Ki Bungkelen.

Duk!

“Aaakh...!”

Byar...!

Tubuh Ki Bungkelen terpental dan jatuh tepat ke dalam telaga. Tak ada seorang pun yang mampu menolongnya, ketika orang tua itu tenggelam seperti batu tercebur di air.

“Ayaaahhh...!” Darmo Angkor terkejut, berusaha menggapai ayahnya.

Hampir saja pemuda raksasa ini ikut jatuh ke dalam telaga itu kalau saja ibunya tidak menarik kedua kakinya. Masih untung Darmo Angkor tidak berusaha berontak. Sebab bila terjadi, niscaya ibunya tidak akan mampu menahan kekuatan tenaganya.

“Hentikan perbuatan tololmu itu! Ayo bangun!” sentak Nyai Bungkelen.

“Tapi, Bu....”

“Jangan cengeng! Ingat pesan ayahmu yang terakhir. Kau harus membalaskan dendamnya!” ujar Nyai Bungkelen, tegas.

“Ayah tidak berkata begitu. Dia hanya menyuruhku lari...,” sahut pemuda itu polos.

“Dasar anak tolol! Tidakkah kau sadari bahwa kau memiliki kelebihan dibanding orang-orang lain? Ayo, pergunakan itu untuk membantu ibumu. Kita hajar mereka! Mereka hendak membunuhmu. Maka sebelum itu, kita harus membunuh mereka lebih dulu!” sentak wanita itu lagi.

Setelah itu. Nyai Bungkelen mencabut keris yang terselip di pinggang. Dan dia langsung melompat menerjang Ki Soma. “Binatang keparat! Kau akan menebus nyawa suamiku dengan jiwa busukmu!” desis Nyai Bungkelen.

“Heup!” Ki soma cepat berkelit dengan melompat ke belakang. Lalu tubuhnya bergerak ke samping dan cepat membungkuk, ketika senjata wanita itu menyambarnya. Bahkan golok di tangannya yang masih berlumuran darah cepat dikelebatkan, menyambar ke perut.

Wanita itu melompat ke atas dengan gesit. Namun, Ki Soma mengikutinya sambil membabatkan goloknya. Tidak seperti suaminya, wanita itu lebih cerdik dan cepat menduga siasat yang digunakan Ki Soma. Dan dia tidak mau terpancing karenanya.

“Hup!” Tubuh Nyai Bungkelen berputar bagai kitiran. Sebelah kakinya cepat menghantam kemuka, sehingga membuat Ki Soma terkejut. Namun, itu tidak mengurangi kegesitannya untuk mencelat ke belakang. Dengan sekali menjejak bumi, Ki Soma kembali melesat menerjang wanita itu.

“Heaaat...!” Mengandalkan kecepatan bergerak, kepala desa itu berusaha mengecoh. Ujung kakinya disodorkan ke dada. Dan pada saat wanita itu memapasnya, tendangannya ditarik. Tubuh Ki Soma lantas berputar sembari mencelat ke atas, dan kembali melakukan tendangan. Gerakannya tidak lurus, melainkan membuat lengkungan. Sehingga, gerakan tendangannya menyapu dari kanan ke kiri.

Nyai Bungkelen terkesiap. Sungguh tidak diduga kalau laki-laki itu mampu bergerak cepat begitu rupa. Sebisanya dia melompat kebelakang untuk menjaga jarak.

“Heaaat...!” Namun, Ki soma tidak tinggal diam. Goloknya seketika itu pula dilepaskan tanpa mampu dicegah lagi, senjata itu melesat bagai kilat. Dan....

Crab!

“Aaa...!” Golok Ki Soma menancap tepat di dada kiri Nyai Bungkelen. Wanita itu kontan memekik keras. Tubuhnya terhuyung-huyung kebelakang.

“Hiyaaa...!” Melihat kesempatan ini, Ki Soma tak menyia-nyiakannya. Tubuhnya langsung berkelebat mendekati, dengan sedikit berputar. Lalu langsung disambarnya wanita itu dengan satu tendangan menggeledek berisi tenaga dalam tinggi.

Duk!

“Aaagkh...!”

Byur...!

Seperti nasib suaminya. Nyai Bungkelen terjungkal. Tubuhnya jatuh kedalam Telaga Maut dan tak tertolong lagi.

“Ibuuu...!” Darmo Angkor terkejut. Pemuda itu berusaha menolong, namun tiba-tiba pikiran waras berkelebat dalam benaknya. Dalam sekejapan mata, tubuh kedua orangtuanya ditelan Telaga Maut. Dia tidak akan bisa menolong, karena akan langsung tenggelam. Kecuali, kalau ingin mati bersama. Tapi dengan begitu, orangtuanya akan mati percuma. Karena, tak ada yang membalaskan kematian mereka.

EMPAT

Berpikir begitu, Darmo Angkor berbalik. Dia tegak berdiri, memandang Ki Soma. Bias ketakutan yang tadi menghiasi wajahnya, berubah cepat Yang ada saat ini hanya kerut-merut penuh dendam, dan sorot mata galak dipenuhi hawa nafsu amarah.

“Orang tua! Kau telah membunuh ayah ibuku! Kau harus mati di tanganku!” dengus Darmo Angkor dengan suara sedikit parau. Seperti raungan gajah yang terluka, Darmo Angkor menerjang Ki Soma.

“Heaaa...!”

Plak!

Ki Soma menepis serangan Darmo Angkor. Bahkan saat itu juga dilepaskannya satu pukulan geledek ke dada pemuda itu.

Bugkh!

“Heh?!” Betapa terkejutnya kepala desa ini. Bukan saja pukulannya tidak membawa hasil, tapi juga tangannya sendiri yang bergetar. Bahkan dia sampai terpekik kaget. Ki Soma jadi penasaran, seketika dilepaskannya satu tendangan dengan tenaga dalam penuh.

Deb!

“Uhhh...!” Sekali lagi orang tua ini dibuat penasaran. Tendangannya yang berisi tenaga dalam tinggi ternyata sama sekali tidak berpengaruh terhadap Darmo Angkor. Pemuda itu menggeram, memperlihatkan kemarahannya. Tangannya cepat dikibaskan. Seketika itu pula, Ki Soma menangkis.

Plak!

Lagi-lagi Ki Soma merasakan tangannya linu bukan main. “Gila! Orang ini agaknya bukan manusia...!” desis orang tua itu.

“Ki Soma! Biar kita bereskan dia sama-sama!” teriak seseorang.

“Ya! Kita bereskan dia! Ayo, biar tidak ada lagi perusuh di desa kita!” sambut yang lain bersemangat.

“Heaaat...!”

Ki Soma tidak menyahut, seperti menyetujui tindakan penduduk desa untuk mengeroyok Darmo Angkor.

“Goaaarrrgkh...!” Mendadak saja Darmo Angkor menggerung mengerikan. Tubuhnya menggeliat dengan sorot mata buas menakutkan. Beberapa senjata tajam berhasil memapas tubuhnya. Namun tidak satu pun yang berhasil melukainya. Padahal, mereka lakukan berulang-ulang. Dan kini Darmo Angkor mulai balas menyerang. Sekali tangannya dikibaskan, dua atau tiga orang lawannya terpelanting saling tubrukan.

Plak! Prak!

“Aaa...!” Tulang-belulang mereka patah. Bahkan beberapa diantaranya terpental dengan kepala remuk. Sementara pemuda bertubuh raksasa itu terus mengamuk dahsyat!

“Yeaaat..!” Kali ini disertai teriakan keras, Ki Soma berusaha mendesak Darmo Angkor ke dalam telaga dengan tendangannya.

Des!

“Uhhh...!” Tendangan orang tua itu tepat mengenai dada Darmo Angkor. Hingga mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung sedikit ke belakang.

“Terus, Ki! Terus...! Desak dia ke telaga! Ceburkan Buto Ijo ke sana!” teriak yang lain memberi semangat.

Orang tua itu bergerak lincah. Begitu menjejakkan kaki, tubuhnya kembali mencelat melakukan tendangan menggeledek.

“Hiyaaa...!”

Tap! Wut!

Tidak seperti tadi, kali ini Darmo Angkor berhasil menangkap kaki Ki Soma dan dia bermaksud akan membantingnya. Masih untung Ki Soma berhasil melepaskan diri. Darmo Angkor tidak diam begitu saja. Pemuda bertubuh raksasa itu terus mengejar. Sementara beberapa pengeroyok lain tidak begitu dihiraukannya.

“Heaaa...!”

Ki Soma segera bergulingan menyelamatkan diri. Sementara, Darmo Angkor sepertinya tak ingin memberi kesempatan sedikit pun. Tubuhnya langsung mencelat, dengan kaki terjulur kearah dada Ki Soma. Dan....

Jder...!

Tubuh kepala desa nyaris hancur luluh kalau saja tidak cepat menghindar dengan terus bergulingan. Tanah bekas hantaman kaki Darmo Angkor tampak berlubang dalam. Bahkan bumi di sekitarnya bergetar hebat membuat kaget para penduduk.

Setelah bergulingan, Ki Soma cepat melenting bangkit berdiri. Kemudian tubuhnya melesat, melakukan tendangan kembali ke perut. Darmo Angkor yang masih celingukan mencari-cari lawannya, tak sempat lagi mengelak ketika tubuh Ki Soma meluncur datang. Hingga....

Buk!

“Uhhh...!” Tubuh Darmo Angkor terhuyung-huyung ke belakang begitu tendangan kepala desa itu telak mendarat di sasaran. Namun, belum juga tumbang. Melihat keadaan Darmo Angkor, Ki Soma segera mengerahkan tenaga dalam ke arah ayunan goloknya. Yang jadi sasaran adalah perut pemuda bertubuh raksasa ini.

Tak!

“Sial...!” Kepala desa itu menggerutu geram. Goloknya ternyata tidak berhasil melukai kulit Darmo Angkor. Dan sekali lagi hal itu dilakukan, hasilnya tetap sama.

Darmo Angkor hanya mengeluh kesakitan. Juga ketika beberapa buah senjata tajam lainnya menghujani, pemuda itu berteriak agak keras. Namun begitu tidak mampu melukai kulitnya. Darmo Angkor menggerung geram, lalu mengamuk sejadi-jadinya. Kedua tangannya bergerak ke kanan dan kiri. Sementara kakinya sibuk menendang orang-orang yang berada di dekatnya.

Duk! Prak! Begkh!

“Aaa...!”

Beberapa pengeroyok berhasil menghindar. Namun, yang lainnya menjadi korban. Mereka menjerit kesakitan. Di antaranya menderita patah tulang ketika diinjak Darmo Angkor. Bahkan ada juga yang kepalanya remuk.

“Heaaat...!” Tengah pemuda itu mengamuk, sekonyong-konyong Ki Soma menendangnya dari belakang yang tak mampu dihindari lagi.

Begkh!

“Uhhh...!” Kali ini Darmo Angkor terjerembab setelah terhuyung-huyung ke depan.

Maka seketika itu pula orang-orang desa itu langsung mengerubutinya. Kali ini mereka menghujani batu-batu besar, sehingga membuat Darmo Angkor kebingungan. Beberapa kali dia berteriak-teriak kesakitan sambil mengibas-ngibaskan kedua tangan untuk melindungi bagian mukanya.

Ki Soma menggunakan kesempatan itu untuk menghajar. Seketika dilepaskannya tendangan ke selangkangan Darmo Angkor.

Tak!

“Aaakh...!” Pemuda itu menggerung setinggi langit menahan rasa sakit yang hebat. Sedang Ki Soma mendengus geram, sambil memandang sinis. Kali ini, orang tua itu mengetahui kelemahan lawannya. Dan dengan sekali hajar lagi disertai pengerahan seluruh tenaga dalam diyakini pemuda itu segera menemui ajalnya.

“Pencuri busuk! Kau boleh mampus sekarang juga!” desis Ki Soma seraya mengayunkan tendangan. Dan sedikit lagi tendangan itu mendarat...

“Hiyaaa...!” Mendadak saat itu juga terdengar bentakan nyaring. Akibatnya, niat orang tua itu terhenti.

Belum juga hilang gema teriakan tadi, tahu-tahu melesat sosok bayangan merah darah dengan gerakan cepat bukan main. Lalu....

Bret!

“Aaa...!” Beberapa penduduk desa tahu-tahu memekik kesakitan. Mereka ambruk dan tewas seketika dengan luka sabetan senjata tajam.

“Keparat!” Ki Soma mendengus geram, begitu melihat sosok yang tengah mengamuk dahsyat. Dengan golok terhunus, langsung diterjangnya sosok yang ternyata seorang gadis cantik berbaju merah muda ini.

Trang! Bet!

“Uhhh...!” Golok Ki Soma menghantam senjata yang digunakan gadis berbaju merah muda itu. Tapi, justru tangannya yang bergetar. Dia mengeluh pendek. Dan belum lagi sempat menguasai diri, sekonyong-konyong terasa angin tajam menyambar pinggang. Cepat bagai kilat Ki Soma berkelit dengan melompat kebelakang seraya mengibaskan golok.

Trang!

Orang tua itu berhasil menangkis senjata gadis berpakaian merah muda ini. Namun secara tak terduga gadis itu berputar, kembali mengkelebatkan senjatanya. Begitu cepatnya, sehingga tidak mampu dielakkan.

Cras!

“Aaakh...!” Ki Soma menjerit kesakitan begitu pinggangnya robek lebar tersambar senjata gadis itu. Darah tampak mengucur deras dari lukanya.

“Hiyaaat...!”

Dan belum sempat Ki Soma berbuat apa-apa, gadis itu telah kembali menyerang dengan cepat dan ganas. Karena untuk menghindar sudah tak mungkin lagi, terpaksa goloknya dikelebatkan untuk memapak senjata gadis berbaju merah muda ini.

Trang!

Begitu habis memapak, Ki Soma terpaksa membuang diri ke samping. Karena saat itu pula, satu sambaran senjata yang lain mengancam ke leher. Agaknya baru disadari kalau gadis ini memiliki sepasang senjata untuk menghadapinya.

“Haiiit!”

Baru saja tubuh Ki soma bergulingan, gadis itu telah memutar tubuhnya. Tepat saat orang tua itu baru saja bangkit, gadis itu telah berkelebat sambil melepaskan satu tendangan geledek.

Des!

“Akh...!” Tak ayal lagi, satu tendangan keras menghantam dada Ki Soma. Orang tua itu memekik keras. Tubuhnya terjungkal dan ambruk ke dalam telaga.

Byur...!

“Ouf, tolong...! Tolo... ng...!”

Teriakan Ki Soma hanya sesaat. Karena saat tubuhnya mulai bergerak, lumpur dasar telaga itu cepat menyedotnya ke bawah. Tubuhnya terus tenggelam. Tamatlah riwayatnya.

Orang-orang desa memang tidak sempat memberi pertolongan. Karena kejadian itu begitu singkat dan cepat. Mereka masih terkesima melihat kehadiran gadis berbaju merah muda.

“Yeaaat!”

Belum tuntas keterkejutan para penduduk, kembali dikagetkan teriakan lainnya. Tampak seorang gadis cantik berpakaian merah muda dengan kedua pedang di tangan, mengamuk hebat membantai para penduduk. Gadis yang tadi menjatuhkan Ki Soma itu membunuh orang-orang desa dengan mudah seperti membalikkan telapak tangan saja. Beberapa orang tewas. Sementara yang lainnya menyusul dengan cepat.

Pekik kematian dan mayat-mayat ambruk dalam keadaan mengerikan tak dapat dihindari lagi. Akibatnya para penduduk yang masih selamat menjadi ciut nyalinya melihat keganasan gadis itu. Dan mereka yang tersisa langsung kabur tunggang-langgang menyelamatkan diri.

“Hm....” Gadis berpakaian merah muda itu menggumam sinis tanpa mempedulikan mereka. Dia membersihkan pedangnya yang berlumuran darah menggunakan baju mayat-mayat yang menjadi korbannya.

Sempat matanya melirik sekilas orang-orang desa yang tinggal segelintir itu. Dalam sekejapan mata, bayangan mereka sudah tidak terlihat lagi. Kini gadis itu melangkah mendekati Darmo Angkor yang tegak berdiri memandanginya dengan wajah takjub.

“Siapa namamu...?” tanya gadis itu, dingin.

“Eh, Darmo.... Darmo Angkor! Siapakah Kakak ini? Hebat sekali! Dalam sekejap mampu membuat mereka kabur ketakutan...!”

“Namaku Dewi Tanjung Putih. Tapi, orang-orang menyebutku sebagai Bidadari Tangan Api....”

“Bidadari Tangan Api? Oh! Apakah Kakak berasal dari swargaloka? Jadi..., jadi tangan Kakak bisa mengeluarkan api?!” tanya Darmo Angkor dengan mata membelalak lebar dan wajah keheranan.

Gadis yang ternyata Bidadari Tangan Api tersenyum kecil. Dipandanginya wajah pemuda bertubuh raksasa ini. Kelihatan polos, seperti bocah di bawah sepuluh tahun.

“Ya, aku dari swargaloka. Tanganku bisa mengeluarkan api, tapi tidak boleh sembarangan digunakan. Hanya untuk menghukum orang-orang jahat...,” sahut Bidadari Tangan Api yang bernama asli Dewi Tanjung Putih, enteng.

“Seperti orang-orang tadi?” tanya Darmo Angkor, lugu.

“Ya....”

Tiba-tiba saja pemuda bertubuh raksasa itu termenung memandangi permukaan telaga. Kemudian kakinya melangkah pelan dan berhenti tepat di tepinya. Dipandanginya untuk beberapa saat seperti hendak menembus telaga yang kelihatan dangkal.

“Kenapa kau sedih...?” tanya Dewi Tanjung Putih.

“Orangtuaku.... Mereka berada di dasar telaga ini. Bisakah Kakak menolong untuk mengeluarkan mereka?” tanya Darmo Angkor dengan wajah lesu.

Dewi Tanjung Putih tersenyum, lalu melangkah mendekati Darmo Angkor. “Mereka tengah beristirahat. Dan kau tidak boleh mengganggunya lagi...,” sahut gadis berjuluk Bidadari Tangan Api ini, sambil menepuk-nepuk pinggang pemuda itu.

“Tapi, tapi.... Mereka adalah pelindungku. Kalau mereka beristirahat, lalu siapa yang melindungiku? Orang-orang itu ingin membunuhku. Mereka membenciku...!” ujar Darmo Angkor, masghul.

“Kenapa harus bingung? Apakah kau tidak mau menganggapku sebagai kakakmu? Aku akan melindungimu dari orang-orang jahat itu...,” tandas Dewi Tanjung Putih cepat.

“Oh, benarkah?! Aku suka sekali kalau kau sudi menjadi kakakku?!” sahut pemuda itu seraya berlutut dan merangkapkan kedua tangan. Wajah Darmo Angkor tampak gembira dengan senyum mengembang lebar.

“Ya, mulai hari ini kita akan mengikat saudara. Kau menjadi adikku dan aku menjadi kakakmu. Sebagai seorang adik, kau harus patuh dan turut pada yang kukatakan.”

“Tentu saja! Aku akan patuh dan menuruti semua kata-katamu. Tapi....”

“Ada apa, Darmo?”

“Perutku lapar. Kak...,” sahut Darmo Angkor, lirih.

“Ayo berdiri! Kita ke desa itu dan cari makanan. Kau akan makan sepuas-puasmu!”

“Tapi, tapi.... Mereka akan membunuh kita nantinya...?!”

“Apakah kau tidak percaya kalau aku akan melindungimu? Ayo, bila mereka berani mengusik, akan kutebas lehernya!” sahut si Bidadari Tangan Api bersemangat.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

“Siapa lagi yang bisa kau andalkan kini. Orang Tua? Serahkan putrimu. Dan kau boleh bebas pergi dengan nyawa utuh,” ujar seorang pemuda tampan berpakaian baju jubah panjang dan tampak resik. Pada tangannya tergenggam sebuah suling. Rambutnya yang panjang digelung ke atas, diikat pita merah.

“Bajingan terkutuk, langkahi mayatku jika kau inginkan putriku!” dengus seorang laki-laki tua sambil mendekap seorang gadis berusia sekitar enam belas tahun.

Memang meski pemuda itu tampan, namun tidak membuat gadis ini menjadi senang. Malah tubuhnya menggigil ketakutan merapat ke tubuh laki-laki tua yang ternyata ayahnya. Bola matanya melirik sekilas pada mayat-mayat yang bergeletakan di sekitar mereka. Jumlahnya ada enam orang. Mereka tewas dengan cara mengerikan.

“Hm.... Jadi kau menginginkan mati ketimbang menyerahkan putrimu baik-baik?” tanya pemuda itu, masih dengan sikap tenang.

“Huh! Terkutuklah kau! Orang sepertimu seharusnya tidak boleh hidup di dunia ini!” desis orang tua berpakaian indah itu.

“Ha-ha-ha...! Begitukah menurutmu? Orang tua! Seharusnya kau merasa bangga karena anakmu berjodoh denganku. Aku Kamajaya, adalah orang terpandang. Berapa banyak gadis yang mengejar-ngejar, namun tak seorang pun yang berkenan dihatiku...,” kata pemuda yang ternyata bernama Kamajaya.

“Siapa yang peduli segala omong kosong itu?!”

“Hm!” Senyum Kamajaya seketika sirna mendengar kata-kata orang tua itu. Wajahnya berkerut Dan kelihatannya dia mulai tidak sabar menghadapi orang tua yang keras kepala ini.

“Aku telah cukup bersabar dan berbaik hati padamu. Tapi kau tidak juga mengerti niat baikku. Orang sepertimu agaknya harus dipaksa agar mengerti niat baik seseorang!” desis Kamajaya geram.

“Persetan dengan segala ocehanmu! Berani kau menyentuh putriku, maka pedang ini akan menebas lehermu!” ancam orang tua itu seraya menyilangkan pedang ke wajah.

“Pedang itu? Kau hendak menghadapi Pendekar Suling Emas? Huh! Kau boleh mimpi. Tolol! Tak seorang pun yang bisa menolak dari keinginanku. Tidak juga kau!” sentak Kamajaya, yang berjuluk Pendekar Suling Emas.

Baru saja selesai berkata begitu, tubuh Kamajaya mencelat. Orang tua itu terkesiap, berusaha mengibaskan pedang. Namun senjatanya hanya menebas angin. Bahkan tiba-tiba saja tubuhnya terdorong kesamping oleh satu tenaga kuat. Dan bersamaan dengan itu....

“Ayaaah...!” Terdengar jeritan gadis yang tadi mengkeret dalam pelukan orangtuanya.

“Anakku...!” jerit laki-laki tua itu kaget. Bola mata orang tua ini melotot garang. Darahnya tersirap sampai ke ubun-ubun ketika mengetahui kalau putrinya telah berada dalam pelukan Kamajaya.

Pemuda itu sendiri tersenyum-senyum mengejek. “Sekarang apa yang bisa kau lakukan? Dia dalam genggamanku, maka berarti milikku. Aku bisa berbuat apa saja terhadap milikku...,” ejek Kamajaya.

“Bedebah! Lepaskan putriku! Lepaskan dia...!” geram si orang tua.

Sambil menghunus pedang, laki-laki tua berpakaian indah ini mengejar penuh nafsu. Namun, ringan sekali gerakan Kamajaya saat melompat menghindar. Dan untuk kedua kalinya, senjata itu hanya menebas angin. Dan sebelum laki-laki tua itu bermaksud menyerang lagi....

“Berhenti, Orang Tua! Kalau tidak, aku tidak akan segan memecahkan batok kepala putrimu ini!” bentak Kamajaya, membuat gerakan laki-laki tua ini berhenti.

Laki-laki tua berpakaian indah ini terkesiap, melihat pemuda itu mengangkat sulingnya tepat di atas kepala putrinya. Memang, agaknya suling itu tidak bisa dianggap main-main. Buktinya tadi para pengawal orang tua ini binasa, terhajar suling yang kelihatannya aneh ini.

“Syukur kau tahu gelagat. Nah, sekarang jangan ganggu lagi...,” lanjut pemuda itu sambil menyeringai lebar.

“Tunggu dulu! Mau kau bawa ke mana putriku?” tahan laki-laki tua ini sebelum Kamajaya melangkah meninggalkan tempat itu.

“Kau tidak perlu tahu, sebab sekarang bukan urusanmu lagi. He-he-he...! Jangan coba bertindak bodoh. Dan aku tidak segan-segan memecahkan kepala putrimu ini!” sahut Kamajaya, seraya menyeret gadis yang berusaha berontak sambil berteriak-teriak ketakutan.

Wajah gadis itu pucat. Tubuhnya tampak menggigil. Suaranya serak di kerongkongan. Laki-laki tua itu bisa merasakan ketakutan yang dialami putrinya. Dan, dia tidak mampu berbuat apa-apa karena takut ancaman pemuda bernama Kamajaya. Namun....

“Serahkan gadis itu pada orangtuanya!” Terdengar bentakan nyaring menggelegar, mengejutkan semua orang yang ada di tempat ini.

LIMA

Kamajaya terkesiap. Tahu-tahu saja di tempat ini muncul seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Entah dari mana datangnya. Tampak sebilah pedang bergagang kepala burung bertengger dipunggungnya. Dibelakangnya, terlihat seekor kuda berbulu hitam mengkilat.

“Kisanak! Lepaskan gadis itu. Dan, jangan berbuat macam-macam kepadanya!” ulang pemuda yang baru muncul ini.

“Huh! Apa urusanmu? Hei, lebih baik menyingkir! Kalau tidak, aku betul-betul akan memecahkan batok kepala gadis ini!” ancam Kamajaya alias Pendekar Suling Emas.

Mendengar itu, orangtua gadis ini semakin ketakutan saja. Dia mencoba memohon agar pemuda yang berbaju rompi putih itu tidak ikut campur dalam urusan ini.

“Tenanglah, Ki. Dia tidak akan berani melakukannya...,” ujar pemuda yang tidak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

“Dia akan melakukannya. Anak Muda! Kau lihat mayat-mayat itu? Mereka adalah korban kekejamannya!” sahut orang tua ini masih dengan wajah khawatir.

“Percayalah padaku. Dia tidak akan berani melakukannya...,” bujuk Pendekar Rajawali Sakti.

“Tutup mulutmu! Barangkali kau ingin melihat kepala gadis ini remuk, he?!” ancam Kamajaya, berang.

Rangga senyum-senyum mendengar ancaman Pendekar Suling Emas. “Sempat kudengar kalau kau ternyata Pendekar Suling Emas. Hm.... Seorang tokoh yang kukenal amat mengagumkan. Hebat, dan jarang tandingannya. Tapi hari ini, orang-orang akan menertawaimu karena menyandera seorang gadis. Bahkan berani mengancamnya. Padahal, gadis itu sama sekali tak memiliki kepandaian. Itu dilakukannya karena takut menghadapi seorang gembel sepertiku...!”

“Kurang ajar! Apa katamu, he?!”

“Bukankah kau takut padaku, sehingga perlu berlindung dibelakang seorang gadis tidak berdaya dengan menyanderanya?” ejek Pendekar Rajawali Sakti.

“Keparat! Kau kira aku takut denganmu? Phuih! Seribu orang sepertimu akan kuhabisi dalam sekejap mata!” bentak Kamajaya dengan wajah berkerut geram.

“Kalau begitu lepaskan dia. Dan, hadapi aku,” sahut Rangga tenang.

“Phuih! Kau coba mengakaliku, he?!”

“Nama Pendekar Suling Emas begitu menjulang. Tapi sejauh ini, belum kubuktikan kehebatannya. Kalau ternyata nama itu tidak sepadan keadaan sebenarnya, sudah tentu amat memalukan.”

“Kalau begitu, kau boleh menunggu kematianmu, sementara aku bersenang-senang dengan gadis ini!” ujar Kamajaya terkekeh kecil.

“Sayang sekali, aku tidak bisa menunggu...,” sahut Rangga. Pendekar Rajawali Sakti kemudian memungut sebilah pedang yang mungkin milik salah seorang mayat yang tergeletak di dekatnya.

“Aku tidak peduli, kau akan menyandera gadis itu atau tidak. Dan aku juga tidak peduli, kau menjadikannya tameng bagi seranganku. Yang jelas, kau hanyalah seorang pengecut!” lanjut Rangga, langsung melompat menyerang.

“Kurang ajar!” Mendengar kata-kata pedas itu, panas juga telinga Kamajaya. Apalagi ketika Rangga langsung melompat menyerang. Mungkin apa yang dikatakannya benar. Dia sama sekali tidak peduli bila gadis ini celaka. Dan bila menjadikannya perisai, hanya akan merepotkannya saja. Tapi yang terpenting, tentu saja, dia tidak ingin disebut pengecut.

“Huh! Akan kulihat, sampai di mana kebenaran bacotmu itu, Setan!” desis Pendekar Suling Emas seraya mendorong gadis itu.

Gadis manis ini jatuh terjerembab. Namun, hatinya lega. Maka buru-buru dia bangkit menghampiri orangtuanya.

“Oh! Kau tidak apa-apa. Nak...?” tanya laki-laki tua itu, khawatir.

“Tidak, Ayah. Aku..., aku hanya takut...”

“Maafkan Ayahmu yang tidak berguna ini. Nak. Aku tidak mampu melindungimu dengan baik...,” ucap orangtua itu, masghul.

“Ayah, apakah tidak sebaiknya kita segera pergi selagi mereka berkelahi....?” usul gadis itu.

“Ya! Memang sebaiknya begitu!” sahut laki-laki tua ini. Orang tua itu sempat melirik ke arah pertarungan, sebelum akhirnya buru-buru kabur bersama putrinya.

Sementara itu, pertarungan berlangsung seru dan cepat Pendekar Suling Emas, berkali-kali mendengus geram. Hatinya kesal bukan main. Betapa tidak? Sampai saat ini dia belum juga mampu mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Padahal, perlahan-lahan serangannya ditingkatkan. Bahkan akhirnya telah mengerahkan jurus-jurus andalannya.

Sementara Pendekar Rajawali Sakti yang tidak bergeming sedikit pun, masih mampu mengimbangi serangan dengan mantap.

“Heaaat...!”

Sekali lagi, Pendekar Suling Emas berusaha mendesak. Dan kali ini suling yang dijadikannya senjata berusaha menerobos pertahanan Pendekar Rajawali Sakti, mengincar ke jantung. Namun, hal itu tidak mudah dilakukannya. Pedang ditangan pemuda berbaju rompi putih ini mampu bergerak cepat, menangkis semua serangannya. Bahkan balas menyerang dengan hebat.

Sambil mengerahkan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ untuk menjajaki kepandaian lawannya. Rangga meliuk-liukkan tubuhnya dengan indah. Dan tiba-tiba, pedangnya terhunus menyambar batok kepala Kamajaya. Namun Pendekar Suling Emas cepat menangkis dengan sulingnya. Pada saat yang bersamaan, satu tendangan keras menghantam dada. Kamajaya masih mampu berkelit. Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat memberi serangan susulan yang begitu cepat lewat kakinya yang satu lagi. Dan...

Duk!

“Hugkh...!” Pendekar Suling Emas menjerit kesakitan, begitu pinggangnya terhantam tendangan Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah. Dengan cepat dia bangkit Wajahnya tampak memerah menahan malu, sekaligus amarah.

“Kurang ajar! Kau akan rasakan balasanku, Keparat!” dengus Kamajaya.

“Tidak usah banyak bicara. Seandainya kau memang menjual, aku siap membeli,” sahut Rangga, tenang.

Kamajaya menggeram. Lalu dia melompat menerjang sambil membentak nyaring. “Yeaaa...!”

Trang! Bet!

Suling di tangan Pendekar Suling Emas meluncur, mengancam batok kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa mengalami kesulitan. Rangga menangkisnya dengan mantap. Dan ketika Kamajaya menyodok perutnya lewat satu tendangan keras, tubuhnya berkelit kesamping dan balas menyikut muka.

“Uhhh...!” Kamajaya mengeluh kaget. Nyaris wajahnya jadi sasaran hantaman Pendekar Rajawali Sakti kalau tidak membungkuk dan bergeser ke samping. Hebat! Bersamaan dengan itu Kamajaya masih sempat mengebutkan ujung senjata ke dada Rangga. Tapi secepat kilat, tangan kiri Rangga menangkapnya.

Tap!

“Hiiih!” Saat itu juga Rangga menarik suling. Dan bersamaan dengan itu, pedangnya berkelebat menyambar leher Pendekar Suling Emas. Bukan main kagetnya Kamajaya melihat keadaan itu.

“Yaaap!”

Terpaksa Pendekar Suling Emas melepaskan sulingnya kalau mau selamat Dan seketika itu pula dia melompat ke belakang. Tapi begitu serangannya gagal, maka secepat itu pula Rangga jungkir balik mengejar seraya melakukan tendangan kilat Dan...

Begkh!

“Aaargkh...!” Dan untuk kedua kalinya serangan itu tak dapat dielakkan. Kamajaya jatuh tersungkur disertai jerit kesakitan. Dia berusaha bangun dengan wajah berkerut menahan sakit Namun tahu-tahu sesuatu menahan gerakannya, ternyata ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti telah menyentuh lehernya! Sekali lagi Kamajaya dibuat kagum. Betapa tidak? Ternyata Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat bergerak. Bahkan sebelum dia sempat menyadari!

“Tetap di tempatmu kalau ingin hidup lebih lama...!”

“Eh, oh....”

“Tidak usah takut Aku bukan pembunuh kejam. Kecuali kalau kau memaksa...,” ujar Rangga ketika melihat wajah Kamajaya pucat ketakutan.

Bahkan suaranya nyaris tidak keluar dari kerongkongan. “Apa..., maumu?” tanya Kamajaya.

“Bukankah kau sudah tahu?”

“Eh! Tapi..., tapi aku tidak pernah mengenalmu sebelumnya. Apa kau datang untuk membalas dendam...?”

“Boleh juga dibilang begitu. Berapa banyak wanita yang telah menjadi korban lelaki hidung belang sepertimu?” tanya Rangga, dingin.

“Eh! Aku..., aku....”

“Lima, tujuh, atau barangkali dua puluh...?!”

“Eh! Ng..., aku....”

“Mungkin lebih dua puluh. Tapi masih ada kesempatan bagimu untuk bertobat,” sahut Rangga. Pendekar Rajawali Sakti kemudian berbalik membelakangi Kamajaya. Lalu, dilemparkannya suling di tangannya.

“Pergilah! Dan, jangan ulangi perbuatan bejadmu itu. Kalau tidak, aku akan datang menagih nyawamu!”

Pendekar Suling Emas cepat memungut suling, lalu bangkit perlahan-lahan. Dalam keadaan begitu saja, dia bisa membokong Pendekar Rajawali Sakti. Namun itu tidak dilakukannya. Memang sebagai seorang tokoh silat yang sedikit banyak telah berpengalaman, dia tahu betul kalau pemuda di depannya ini pasti bukan tokoh sembarangan.

Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti melangkah tenang menghampiri kudanya. Namun tangannya masih menggenggam pedang, tetap menjaga kewaspadaannya.

“Hup!” Rangga melompat ke punggung Dewa Bayu. Lalu dihampirinya Pendekar Suling Emas setelah melihat bapak dan anak yang ditolongnya telah pergi dari tempat ini.

“Ingat baik-baik pesanku tadi...,” ulang Pendekar Rajawali Sakti.

“Siapa kau sebenarnya?” tanya Kamajaya, tidak mempedulikan kata-kata pemuda itu.

“Untuk apa? Kau masih penasaran?”

“Hari ini aku kalah. Tapi lain waktu, aku akan mencarimu untuk menebus kekalahan hari ini!” tandas Pendekar Suling Emas.

“Hm.... Terlalu banyak manusia keras kepala sepertimu didunia ini. Seharusnya kubunuh saja sekarang juga.”

“Kalau memang kau pengecut, bisa saja melakukannya sekarang juga. Aku memang kalah dan tak bakal menang. Tapi dengan begitu, aku tahu kalau kau memang penakut. Takut oleh pembalasan yang kulakukan kelak terhadapmu!” dengus Kamajaya.

Rangga tertawa kecil mendengar ocehan pemuda itu. Sama sekali amarahnya tidak terpancing oleh pemuda itu. Namun begitu dia tetap mengangguk dan mengabulkan keinginan Pendekar Suling Emas.

“Kisanak, dengan senang hati tantanganmu kuterima. Tapi bila sekali lagi kau berhadapan denganku, maka saat itu hanya ada dua kemungkinan bagi kita. Kau atau aku yang bakal mampus! Nah! Kau boleh mencari Pendekar Rajawali Sakti nantinya...!”

Setelah berkata begitu. Rangga menggebah kudanya. Hewan berbulu hitam itu berlari kencang, meninggalkan suara derap yang keras serta debu mengepul di udara.

“Pendekar Rajawali Sakti...? Pantas saja...!” desis Kamajaya termangu.

Pendekar Suling Emas memandang Pendekar Rajawali Sakti sampai hilang di tikungan jalan. Lalu dia menarik napas panjang. Wajahnya tampak tegang dan bibirnya menyungging senyum sinis.

“Huh! Peduli kau iblis dari perut bumi sekalipun, Kamajaya akan membalas dendam! Tunggu saja! Kau akan merasakan akibatnya berani mengusik-usikku!” dengus Pendekar Suling Emas menggeram.

********************

Sore baru saja berganti. Dan malam belum lagi pekat. Namun manakala angin bertiup, terasa begitu dingin menyengat sampai ke tulang sumsum. Suasana seperti ini membuat orang-orang enggan keluar rumah. Mereka lebih memilih berkerumun di tempat tidur, atau bercakap-cakap sambil menghirup kopi panas dan singkong rebus.

Namun keadaan seperti itu tidak berlaku bagi sesosok tubuh berpakaian kuning. Dia melompat ringan sekali, melewati dahan-dahan pohon. Lalu tubuhnya melenting gesit bagai seekor tupai, kemudian hinggap di genteng rumah. Dan dia terus mencelat ke genteng rumah lainnya. Arah yang dituju ke selatan. Bila dia seorang pencuri, sudah pasti yang ditujunya adalah rumah Juragan Anggada. Sebab dia merupakan orang terkaya di desa ini. Rumahnya besar dan hartanya banyak.

Sesosok tubuh itu memang hinggap di genteng rumah juragan Anggada. Namun, hanya sebentar. Matanya memandang ke sekeliling, lalu kembali mencelat bagai seekor katak.

Tidak jauh di belakang rumah Juragan Anggada, lebih kurang sekitar dua puluh tombak, terdapat sebuah bangunan cukup besar dan memiliki halaman luas. Bangunan berpagar di sekelilingnya itu hanya bisa ditempuh lewat satu jalan. Yaitu, melalui pintu gerbang depan. Namun, itu pun harus melewati pemeriksaan beberapa orang penjaga. Bila orang biasa yang tidak memiliki urusan penting, maka jarang bisa bertemu pemilik bangunan itu.

Semula, bangunan itu sendiri tidak begitu istimewa. Hanya sebuah padepokan silat bernama Gunung Kembang yang dipimpin Ki Raja Mulih. Namun beberapa tahun belakangan, padepokan ini mengalami kemajuan amat pesat Betapa tidak? Sebagian besar muridnya yang telah menamatkan pelajaran, kini telah bergabung dengan prajurit Kerajaan Tulang Bawang. Dan keandalan mereka sudah teruji. Ketika terjadi beberapa kali peperangan, ternyata dimenangkan oleh kerajaan ini. Dan itu memang tidak terlepas dari jasa para prajuritnya.

Kepercayaan Gusti Prabu Syailendra semakin bertambah. Dan sebagai wujud nyatanya, dia mengirim beberapa orang panglima serta putra-putranya untuk belajar ilmu olah kanuragan di tempat ini. Kehadiran orang-orang penting di kerajaan itulah yang membuat Padepokan Gunung Kembang berbeda dengan padepokan lainnya. Dan akibatnya, orang tidak lagi bisa bebas keluar masuk seperti dulu.

“Hei, siapa itu?!” teriak seorang penjaga.

Dua orang penjaga lainnya mengikuti arah telunjuk itu. Dan mereka melihat sesosok tubuh berpakaian kuning melayang menghampiri mereka, bagai selembar daun kering tertiup angin.

“Pengacau keparat! Hajar dia...!” sentak orang tadi, memberi perintah pada kawannya. Mereka menyambar tombak. Sementara seorang lagi mencabut pedang yang terselip di pinggang.

Wuk! Klap!

Sesosok tubuh berpakaian kuning itu berkelit demikian ringan, menghindari sambaran senjata para murid padepokan ini. Tubuhnya lantas bergerak gesit balas menyerang.

Bret!

“Wuaaa...!” Sesaat terdengar pekik kematian. Dua orang roboh dengan cakar di lehernya!

Teriakan tadi membuat murid-murid lain tersentak kaget. Mereka yang tengah terlelap, atau bermalas-malasan, segera bangkit dan menyambar senjata dengan sigap. Dalam waktu singkat, mereka telah menyerbu keluar dan mengurung si pengacau!

Malam yang mulai gelap di sekitar tempat ini, seketika terang-benderang oleh puluhan obor yang dibawa murid-murid Padepokan Gunung Kembang. Sehingga kini bisa terlihat jelas, siapa si pengacau itu.

Dia adalah seorang laki-laki bertubuh kurus. Rambutnya pendek serta tumbuh jarang-jarang dan kelihatan nyaris botak. Tubuhnya tertutup rompi kuning terbuat dari kulit binatang. Celananya pendek. Kulitnya hitam legam seperti pantat kuali. Kuku jari-jari kedua tangan dan kaki panjang lagi runcing. Mulutnya menyeringai lebar, memandangi orang-orang yang mengelilinginya. Sedikit pun tidak terlihat bias ketakutan di wajahnya.

“He-he-he...! Kalian semua keluar untuk meringkusku? Ayo, tunggu apa lagi? Cepat lakukan! Telah kubunuh dua orang kawan kalian. Dan kini, siapa lagi yang akan menyusul?!” kata laki-laki berbaju kulit binatang itu sambil terkekeh-kekeh.

“Siapa kau sebenarnya?! Dan apa maksudmu mengacau di sini?!” bentak seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun.

Laki-laki yang merupakan salah satu murid utama ini bernama Sela Katiran. Perawakannya gagah dan tubuhnya kekar. Sebaris kumis tipis menghiasi atas bibirnya. Tangan kirinya menggenggam sebilah pedang yang warangkanya berukir indah keemasan. Kepandaiannya terhitung cukup tinggi.

“He-he-he...! Aku Jingga Kalamanda. Dan tak perlu tahu segala urusanku! Ayo, perintahkan kawan-kawanmu untuk mengeroyok. Atau, barangkali kau sendiri yang ingin maju? He-he-he...!”

“Kisanak! Kami bukanlah orang-orang liar sepertimu. Segala urusan harus ada dasarnya. Kau datang menyelinap, lalu membunuh dua orang murid padepokan ini. Apa alasannya?!” tanya Sela Katiran.

“Alasan? Kau menanyakan alasanku?! He-he-he...! Bocah tengik! Kau tanyakan pada gurumu, apa alasanku datang ke sini! Mana si tua bangka Raja Mulih?! Kenapa tidak keluar menemuiku? Atau barangkali bersembunyi ketakutan? He-he-he...!” ejek laki-laki nyaris botak bernama Jingga Kalamanda.

“Kisanak! Bicaramu semakin ngawur tak karuan! Kalau kau sengaja hendak berbuat keonaran, maka kami tidak bisa mendiamkannya begitu saja. Guru kami bukan takut padamu. Tapi menghadapi orang sepertimu, dia tidak perlu turun tangan!” sahut Sela Katiran menahan amarah di dadanya.

Laki-laki itu kemudian memberi isyarat Maka dua orang murid padepokan ini segera melompat kedepan, menghadang Jingga Kalamanda.

“He-he-he...! Dua kunyuk ini yang kau hadapkan padaku? He-he-he...! Ayo, maju! Pertahankan dirimu baik-baik!” ujar orang berkulit legam itu terkekeh nyaring. Baru saja Jingga Kalamanda selesai bicara, tubuhnya telah berkelebat bagaikan kilat Dan....

Bret!

“Aaa...!” Dua orang murid di padepokan kontan terjungkal seraya memekik nyaring. Di tenggorokan mereka terlihat luka cakar menganga. Tentu saja hal ini amat mengagetkan yang lainnya. Sebab mereka tahu, dua orang yang tewas barusan bukan murid sembarangan.

“Ringkus pengacau ini!” bentak Sela Katiran. Serentak, lebih dari lima belas murid Padepokan Gunung Kembang melompat dengan senjata terhunus. Dan mereka langsung menyerang Jingga Kalamanda.

“Heaaat..!”

“Huh!” Jingga Kalamanda yang berusia sekitar lima puluh tahun itu mendengus sinis. Matanya tajam mengawasi murid-murid padepokan yang semakin dekat. Lalu....

“Guaaargkh...!” Diiringi raungan keras bagai lolongan serigala buas, tubuh Jingga Kalamanda melompat tinggi. Lalu dia jungkir balik, menerobos para pengepungnya. Tangannya yang kurus berkali-kali menangkis tombak bahkan menahan laju mata pedang. Sehingga murid-murid Padepokan Gunung Kembang ternganga kagum. Bukannya tangan Jingga Kalamanda yang terluka. Malah para murid yang menebas tersentak. Betapa tidak? Senjata mereka bergetar!

ENAM

Dan sebelum orang-orang itu menyadari apa yang terjadi, Jingga Kalamanda telah menyambar menggunakan cakar kuku tangan dan kaki.

Bret!

“Aaa...!” Sebentar saja terdengar pekik kematian. Beberapa orang ambruk dengan luka mengerikan. Leher robek, isi perut terburai, atau tulang rusuk patah.

“Kurang ajar!” maki Sela Katiran geram. Bersama murid-murid lain yang seangkatan. Sela Katiran menyerang orang tua aneh itu.

“Yeaaat...!”

“He-he-he...! Kau ingin ikut kemeriahan juga? Kenapa tidak dari tadi? Ayo, sini mendekat padaku! Mendekat, Bocah...!” ejek orang tua itu sembari terkekeh.

Jingga Kalamanda melompat gesit dengan tubuh ditekuk. Dia melayang bagai seekor tupai. Tapi saat menerjang, amat ganas laksana seekor serigala kelaparan. Orang tua itu agaknya memiliki tubuh alot, tak mempan senjata tajam. Terbukti beberapa kali senjata para murid Padepokan Gunung Kembang menghantam ke bagian tubuhnya, namun tidak membuatnya bergeming. Bahkan beberapa kali kepalan murid-murid padepokan ini yang berisi tenaga dalam kuat menghantam punggung atau tengkuknya, tidak dirasakannya sama sekali. Sebaliknya, bila serangannya datang, tidak seorang pun yang mampu menahan.

Bret! Prak!

“Aaa...!”

“Wuaaa...!”

Sekali cakarnya terayun, dua atau tiga nyawa melayang. Begitu pula bila tangannya terkepal dan menghantam. Maka beberapa orang tewas dengan dada remuk atau kepala pecah.

“He-he-he...! Ayo, maju semua. Ayo, ramaikan suasana ini! Kenapa diam?! Tangkap aku! Tangkaplah! Aku telah membunuh kawan-kawan kalian. Tidakkah itu cukup menjadi alasan untuk meringkusku?!” teriak Jingga Kalamanda sembari tertawa nyaring.

Kelihatan sekali kalau Jingga Kalamanda memandang enteng pada lawan-lawannya. Padahal, jumlah mereka cukup banyak. Dan orang-orang itu pun bukan tokoh sembarangan. Namun melihat korban yang jatuh, dan sejauh ini belum juga serangan-serangan mereka membawa hasil, membuat yang lain tertegun menghentikan serangan. Demikian pula Sela Katiran sendiri. Dia tidak tahu, tindakan apa lagi yang harus dilakukan.

“Mundurlah kalian semua...!” Tiba-tiba terdengar sebuah suara. Pelan, namun lantang. Para murid berpaling dan segera memberi hormat kepada orang tua berbaju serba putih dan bersorban putih yang berdiri tegak di beranda depan.

“Guru...!”

“Sudahlah, Sela. Aku tahu kesulitan kalian. Lawanmu bukanlah orang sembarangan. Meski kalian maju bersama belum tentu mampu menandinginya...,” sahut orang tua yang ternyata Ketua Padepokan Gunung Kembang. Tangannya memberi isyarat, langsung menghentikan kata-kata muridnya.

Ketua Padepokan Gunung Kembang yang tak lain dari Ki Raja Mulih ini melangkah pelan menuruni anak tangga. Lalu didekatinya orang tua yang membikin kekacauan di tempat ini. Sejenak mereka saling bertatapan ketika orang tua bersorban putih itu berhenti. Jarak mereka kali ini hanya terpaut beberapa langkah saja.

“Akhirnya kau muncul juga, Jingga Kalamanda...,” desah Ki Raja Mulih.

“He-he-he...! Tua bangka bau tanah! Kau kira aku apa, he?! Justru aku yang seharusnya bertanya begitu padamu. Sejak tadi, kau tahu kehadiranku. Tapi, malah bersembunyi di balik ranjang. He-he-he...! Semakin tua, ternyata nyalimu semakin kecil saja. Atau barangkali segala kekayaan dan ketenaran membuatmu takut mati?!” ejek Jingga Kalamanda.

Orang tua bersorban putih itu menarik napas dalam-dalam. Dia berusaha menepis amarah yang mulai memercik hatinya, mendengar penghinaan laki-laki tua aneh berkulit hitam ini.

“Jingga Kalamanda! Kita sudah sama-sama tua. Dan sebentar lagi, akan masuk liang kubur. Apa gunanya mempersoalkan rasa takut segala? Umur di tangan Yang Maha Kuasa. Dan, tiada seorang pun yang bisa menentukannya. Selagi nyawa masih di kandung badan, alangkah bijaksana bila kita menghabiskannya untuk hal-hal.yang berguna...,” ucap orang tua itu bijak, berusaha melunakkan hati Jingga Kalamanda.

“He-he-he...! Mungkin benar katamu. Tapi sebelumnya, segala hutang harus dilunasi. Nyawa muridku yang kau bunuh, harus ditebus dengan nyawa busukmu. Dan setelah itu, barulah kita akan sama-sama menghabiskan sisa umur ini...,” sahut Jingga Kalamanda, terkekeh mengejek.

“Muridmu tewas, karena kebandelannya sendiri. Aku telah memperingatkannya. Tapi, dia keras kepala. Membunuh kepala desa yang tidak bersalah, itu adalah perbuatan kaji. Tidakkah kau bisa mengerti?” balas Ki Raja Mulih.

“Siapa yang mempersoalkan keji atau tidak? Yang kuinginkan saat ini adalah, tanggung jawabmu. Hutang nyawa bayar nyawa. Dan sekarang, akan kuambil darimu!” desis Jingga Kalamanda.

Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja orang tua aneh itu melolong nyaring laksana seekor serigala di tengah kegelapan malam. Bersamaan dengan lolongannya, tubuhnya mencelat menerjang Ki Raja Mulih dengan raungan dahsyat.

“Grauuungrr...!”

Ketua Padepokan Gunung Kembang telah bersiap sejak tadi. Sehingga ketika Jingga Kalamanda menyerang, dengan gesit ditangkisnya.

Plak! Plak!

“Hup!”

Dua serangan Jingga Kalamanda berhasil ditangkis. Bahkan Ki Raja Mulih masih sempat mengirim tendangan ke perut. Namun tubuh kurus dan hitam itu telah melejit ke atas, sehingga tendangannya hanya menerjang angin.

“Yeaaa...!”

“Uts!” Ki Raja Mulih berbalik. Kembali dilepaskannya satu tendangan lewat kakinya yang lain, sambil memiringkan tubuh. Sehingga, ujung kakinya ke atas lebih tinggi.

Jingga Kalamanda menjatuhkan diri menghindarinya. Dan tahu-tahu, dia telah berada di bawah mengincar selangkangan lawan lewat cakar mautnya.

Karuan saja, hal itu membuat Ki Raja Mulih terkesiap. Buru-buru tubuhnya mencelat ke belakang. Namun, Jingga Kalamanda mengimbangi dengan cakar kakinya seraya berputar cepat.

Bret!

“Uhhh...!” Celana di bagian paha kiri Ki Raja Mulih robek, menggurat kulit dagingnya sedikit. Meski tidak berbahaya, namun khawatir menyelinap didadanya jika membayangkan racun yang ada di kuku kaki orang aneh ini. Lebih dari itu, juga cukup membuktikan kalau Jingga Kalamanda mampu bergerak lebih cepat dibandingkan dirinya.

“Tidak usah cemas. Cakar kuku-kuku milikku tidak kububuhi racun. Aku suka kedua tangan dan kakiku berkubang darah lawan-lawanku. He-he-he...! Berhati-hatilah kau. Salah sedikit, nyawamu akan melayang...,” ejek Jingga Kalamanda.

Orang tua aneh itu tetap tegak di tempatnya, tidak melanjutkan serangan. Itu dilakukan untuk memberi kesempatan bagi Ketua Padepokan Gunung Kembang ini bersiap kembali. Dengan begitu, dia ingin mempermalukan Ki Raja Mulih didepan murid-muridnya sendiri.

“Cabut pedangmu kalau kau tidak ingin celaka!” bentak Jingga Kalamanda.

“Huh! Kurasa masih belum perlu! Aku masih mampu menghadapimu!” dengus Ki Raja Mulih.

Jingga Kalamanda terkekeh mengejek. “Dengan menggunakan jurus ‘Kuda Melompati Sungai’ kau berharap bisa menjatuhkanku? Ha-ha-ha...! Kau boleh bermimpi. Tua Bangka Kunyuk!” ejek Jingga Kalamanda, sangat memandang rendah.

“Tutup mulutmu! Kau akan rasakan setelah menerima akibatnya!” desis Ki Raja Mulih.

Kali ini terlihat, Ki Raja Mulih mulai terpancing amarahnya. Setelah tadi kecolongan, kemudian mendengar ejekan-ejekan Jingga Kalamanda, pelipisnya menggembung dan gerahamnya berkerotokan. Didahului bentakan nyaring. Ketua Padepokan Gunung Kembang ini menerjang lebih dulu.

“Heaaa...!” Serangan Ki Raja Mulih cepat dan berisi tenaga dalam kuat Jurus-jurus yang disebut ‘Kuda Melompati Sungai’ termasuk jurus hebat dan sangat diandalkan. Gerakannya terlihat kaku. Namun, seketika bisa luwes seperti tengah menari. Sehingga untuk beberapa saat, terlihat Jingga Kalamanda sedikit kerepotan. Saat menangkis sodokan, maka sebelah kaki Ki Raja Mulih menyambar tengkuknya sambil melompat Dan ketika membungkuk untuk menghindarinya, Ki Raja Mulih telah berada diselangkangan dan melakukan tendangan keras ke arah perut.

“Hiyaaa...!” Jingga Kalamanda mencelat ke atas, sehingga mencapai sekitar dua tombak lebih. Hal itu menimbulkan kekaguman murid-murid padepokan ini. Ki Raja Mulih berusaha mengejar. Namun sebelum sampai menyentuh, Jingga Kalamanda mengibaskan tangannya.

Plak!

Rrap!

“Heh...?!” Ki Raja Mulih terkesiap. Begitu menangkis, cakar Jingga Kalamanda langsung mencengkeram pergelangan tangannya dan membetotnya dengan keras. Meski berusaha menahan, tidak urung keadaan Ki Raja Mulih menjadi goyah. Pada saat itu, sebelah kaki Jingga Kalamanda menyambar dada.

Bret!

“Uhhh...!” Ki Raja Mulih mengeluh tertahan. Dadanya robek terkena cakar kaki Jingga Kalamanda. Namun begitu, dia masih sempat mencabut pedang dan langsung menyambar kearah leher.

Sring!

“Hiiih!” Jingga Kalamanda terpaksa melepaskan cengkeramannya. Tubuhnya kemudian melejit ke bawah, menghindari sambaran senjata Ki Raja Mulih. Sementara Ketua Padepokan Gunung Kembang itu tidak mau ketinggalan dan terus mencecar. Kab ini, dilepaskannya pukulan maut kearah si tua aneh berkulit hitam.

“Heaaat...!” Seketika selarik cahaya putih yang menyilaukan pandangan menyambar bagai kilat.

“Uts!”

Jlegar!

Jingga Kalamanda bergulingan untuk menghindarinya. Dan bekas tempatnya berpijak semula, tampak hancur menimbulkan lubang yang dalam akibat hantaman pukulan Ki Raja Mulih.

“He-he-he...! Sungguh hebat pukulan Bandul Jagad mu itu, Kunyuk. Tapi jangan dikira bisa menakut-nakuti aku. Pukulanmu tak seujung kuku!” ejek Jingga Kalamanda sambil terkekeh kecil.

“Tertawalah sepuas hatimu. Sebentar lagi, kau tidak akan sempat melakukannya lagi!”

Mendengar itu, Jingga Kalamanda malah ketawa makin keras. Sehingga, membuat kaget orang-orang yang berada di sekitarnya. “Hi-hi-hi...! Ha-ha-ha...!”

“Ohhh...!” Para murid Padepokan Gunung Kembang mendekap telinga dan tubuhnya gemetar. Wajah-wajah mereka berkerut menahan sakit. Suara tawa itu memang berisi tenaga dalam tinggi. Bagi mereka yang memiliki tenaga dalam rendah, akan langsung kelojotan. Dari lubang telinga, hidung, mata serta pori-pori, meleleh cairan darah. Tidak berapa lama kemudian, mereka tewas dengan cara mengerikan.

“Iblis keparat! Hentikan perbuatan biadabmu!” desis Ki Raja Mulih geram, langsung menerjang dengan mengerahkan seluruh kemampuan.

“Mundur kau...!” bentak Jingga Kalamanda seraya menyorong telapak tangan kanan ke depan. “Hih...!”

Angin topan bergulung-gulung keluar dari telapak tangan Jingga Kalamanda dan langsung melesat kencang menghantam Ki Raja Mulih. Orang tua itu terkesiap, tak mampu menghindar.

Des!

“Aaakh...!” Ketua Padepokan Gunung Kembang terpental ke belakang disertai jerit kesakitan. Dari sudut bibirnya meleleh darah segar. Belum lagi sempat bangkit, Jingga Kalamanda kembali menerjang dengan kecepatan kilat.

“Heaaat..!” Ki Raja Mulih menyabetkan pedangnya. Namun, Jingga Kalamanda telah melejit keatas dengan tubuh bergulung. Sebelah kakinya menghantam ke muka, membuat laki-laki aneh itu terpaksa bergulingan untuk menghindarinya.

“Graungrrr...!” Jingga Kalamanda meraung keras dan kembali menerjang. Sepasang matanya berkilau tajam, dan sesekali menyeringai lebar memperlihatkan deretan giginya yang runcing laksana taring serigala. Saat itu pula, tangannya bergerak mengibas.

Splak!

Satu hantamannya berhasil ditangkis Ki Raja Mulih. Namun, mendadak cengkeraman tangan Jingga Kalamanda yang satu lagi meliuk kebawah. Dan bersamaan dengan tubuhnya yang berpindah ke samping, cakar mautnya merobek perut tanpa bisa dihindari Ki Raja Mulih.

Bret!

“Uhhh...!” Ki Raja Mulih mengeluh tertahan. Sebelah tangannya mendekap perut, ketika terhuyung-huyung kebelakang. Darah tampak menetes deras dari luka di perut Wajahnya berkerut menahan sakit Saat itu pula dengan mengerahkan seluruh tenaga, dia melepaskan pukulan ‘Bandul Jagad’ kearah Jingga Kalamanda yang telah berkelebat menerjangnya.

“Hih...!”

Jingga Kalamanda agaknya tidak bodoh. Segera disiapkannya pukulan andalan untuk mengimbangi serangan Ki Raja Mulih. Maka ketika kedua pukulan mereka beradu.

Jger!

Kedua tokoh sakti itu sama-sama mengeluh saat pukulan mereka beradu dan menimbulkan suara keras. Hanya saja, Jingga Kalamanda masih mampu tegak berdiri dengan mantap sambil tertawa mengejek melihat Ki Raja Mulih terjungkal dan muntah darah.

“He-he-he...! Kematianmu hanya soal waktu, Tua Bangka Kunyuk! Luka dalammu cukup parah. Dan tak seorang pun yang mampu bertahan dari pukulan Topan Siluman ku!”

“Keparat!” desis Sela Katiran yang saat itu sudah memapah gurunya. Murid utama ini mendengus geram pada Jingga Kalamanda. Setelah meletakkan Ki Raja Mulih di tempat yang aman, bersama yang lain dia bersiap hendak mengadakan pembalasan. Namun....

“Tahan, Sela...,” cegah Ki Raja Mulih, sambil mengangkat tangan kanannya.

“Tapi, Guru! Dia telah mencelakakanmu! Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja!” sentak Sela Katiran dengan tubuh gemetar menahan amarah.

Ki Raja Mulih yang telah duduk bersila dikelilingi muridnya, hanya tersenyum kecut. Mukanya pucat. Beberapa kali dia terbatuk-batuk dengan darah kental menyembur.

“Tak ada gunanya kalian melawan. Orang itu memiliki kepandaian hebat. Dan meski ditambah jumlah dua kali lipat, kalian tidak akan mampu. Dia hanya menginginkan aku. Maka setelah keinginannya terpenuhi, dia tidak akan mengganggu kalian...,” lanjut Ketua Padepokan Gunung Kembang itu terputus-putus.

“Huh!” Sela Katiran hanya mendengus geram seraya mengepalkan tangan.

Masih sempat murid utama itu mengepalkan tangan sambil memandang penuh kebencian terhadap Jingga Kalamanda yang masih terkekeh mengejek. Orang tua aneh itu sama sekali tidak peduli. Dan kehadirannya di tempat ini seperti hendak mencari gara-gara.

“He-he-he...! Kenapa diam? Ayo, serang aku! Tangkap aku! Guru kalian sebentar lagi mampus. Dan itu karena ulahku. Tidakkah kalian berniat membalas dendam?!” teriak Jingga Kalamanda memancing keributan baru.

Beberapa murid Padepokan Gunung Kembang memperlihatkan muka marah. Dan kalau saja guru mereka tidak memperingatkan, rasanya mereka tidak akan peduli keselamatan sendiri.

“Jangan pedulikan dia. Dan, jangan terpancing ejekannya. Dia sengaja mencari kesempatan untuk membantai kalian...,” ingat Ki Raja Mulih.

“Guru, jumlah kita banyak. Tidak mungkin dia bisa mengalahkan kita...?!”

“Tahukah kau, siapa dia sebenarnya? Orang itu bergelar Serigala Muka Hitam. Sesuai julukannya, dia memiliki keahlian memanggil kawanan serigala yang bisa digunakan untuk membunuh lawan-lawannya. Sanggupkah kalian melawannya.... Hugkh...!”

Suara Ki Raja Mulih terhenti ketika memuntahkan darah kental. Tubuhnya mengejang. Sepasang bola matanya membelalak lebar. Bersamaan dengan itu, semua muridnya terkejut. Sesaat mereka menjerit keras ketika orang tua itu telah menghembuskan napasnya yang terakhir.

“He-he-he...! Hutang nyawa bayar nyawa. Dan nyawa busuk itu telah membayarnya! He-he-he...!” teriak Jingga Kalamanda langsung mencelat dari tempat itu meninggalkan suara tawanya yang nyaring.

TUJUH

Satu sosok berpakaian kuning bergerak begitu gesit, melayang-layang memamerkan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya. Kadang tubuhnya mencelat dari satu atap rumah ke atap rumah lainnya. Dan di lain saat, dia melewati beberapa cabang pohon dan terus mencelat ke cabang pohon lainnya. Dia melesat semakin jauh meninggalkan desa itu. Rasanya akan sulit bagi orang biasa untuk bisa menyusulnya.

Mendadak langkah sosok berbaju kuning itu terhenti ketika terasa seseorang mengejarnya dari belakang. Dia berhenti di salah satu cabang pohon, dan memandang ke sekeliling tempat. Lalu tubuhnya melesat ke cabang pohon yang lebat, dan diam memperhatikan.

Apa yang dirasakannya ternyata benar. Beberapa saat kemudian terlihat sesosok tubuh di tempat itu. Sosok yang ternyata seorang pemuda ini berdiri tegak di bawah pohon tempat sosok berbaju kuning tadi berada. Matanya memandang kesegala penjuru. Pendengarannya dipertajam, namun tidak juga menemukan apa yang dicarinya.

“Brengsek! Ke mana larinya dia...?!” dengus pemuda itu seraya memukul-mukul telapak tangannya. Tiba-tiba...

Krosak!

“Ehhh!” Pemuda itu terkejut ketika dari atasnya mencelat turun seorang laki-laki tua berpakaian kuning. Langsung diserangnya pemuda itu dengan ganas. Namun, pemuda ini pun ternyata mampu mengelak dengan gesit. Tubuhnya mencelat ke belakang. Saat laki-laki berbaju kuning hendak menerjangnya lagi.

“Paman Jingga Kalamanda hentikan! Aku Kamajaya...!” teriak pemuda berbaju jubah panjang.

“Kamajaya?! He-he-he...! Dasar kunyuk kecil! Apa kerjamu menguntit he?!” sahut lelaki tua berbaju kuning yang ternyata Jingga Kalamanda, langsung menghentikan serangan.

Pemuda yang memang Kamajaya mendekat dan wajahnya tampak muram.

“Ada apa, he?!” sentak Jingga Kalamanda.

“Aku..., aku....”

“Minta bantuanku lagi?!” tebak laki-laki tua aneh ini. Kamajaya mengangguk lemah. “Soal apa lagi?”

“Seseorang telah menghinaku....”

“He, sungguh mengherankan! Siapa yang berani menghinamu. Dan, kenapa didiamkan saja?!” dengus Jingga Kalamanda.

“Aku hendak menghajarnya. Tapi, dia hebat. Dan akhirnya, akulah yang dihajarnya...,” ujar pemuda itu lirih.

“Kurang ajar! Siapa orang itu?!”

“Pendekar Rajawali Sakti....”

“Pendekar Rajawali Sakti? Hm...!” ulang Jingga Kalamanda, berusaha mengingat-ingat. Pelan-pelan terlihat bibirnya tersenyum kecil.

“Kenapa Paman terdiam? Apakah takut padanya?” usik Kamajaya.

“Kunyuk kecil! Jangan memanas-manasiku! Aku tahu apa yang akan kulakukan!” dengus Jingga Kalamanda.

“Jadi Paman akan menghajarnya?!” seru pemuda itu, mulai berseri.

Jingga Kalamanda tersenyum. Dipandangnya keponakannya itu sekilas seraya menepuk-nepuk pundaknya. “Telah lama tanganku gatal untuk merasakan kehebatannya. Kata orang, dia sakti mandraguna. Tapi Jingga Kalamanda harus membuktikannya!” sahut orang tua aneh itu dingin.

“Betul, Paman! Dia harus dihajar! Kalau tidak, dia akan besar kepala!” timpal Kamajaya memanas-manasi.

“Huh, Kunyuk Sialan! Sudah kubilang jangan memanas-manasiku! Aku melakukannya untuk diriku sendiri!” dengus Jingga Kalamanda lagi.

“Eh, iya, iya...! Maaf, Paman. Terserah alasannya apa. Yang jelas, dia harus dapat pelajaran pahit. Eh, kenapa tidak sekalian dibunuh saja. Paman?”

Jingga Kalamanda mendelik garang. Dan wajah Kamajaya langsung mengkeret. Lagi-lagi dia terlupa, telah menggurui pamannya.

“Dasar anak manja! Kalau saja ayahmu masih ada, kau tentu akan dicincangnya! Cengeng, dan klemar-klemer seperti banci!” Kamajaya terkekeh kecil. “Kau tentu membuat kesalahan, sehingga dia turun tangan menghajarmu?”

“Ah, tidaaak...!”

“Kunyuk kecil, berani kau bohong padaku!” bentak Jingga Kalamanda kembali sepasang bola matanya melotot garang.

“Eh, i... iya. Paman. Tapi, tidak banyak. Dan memang dia saja yang cari gara-gara. Apakah Paman tidak tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti itu paling suka mencari gara-gara?” kata Kamajaya menutup-nutupi kebusukannya.

“Apa peduliku dengan kelakuan orang lain?! Yang kupedulikan hanya kau, Keponakanku! Aku tidak suka kecengenganmu itu!”

“Maafkan aku, Paman. Aku akan berusaha. Dan selama ini juga, selalu berusaha mematuhi semua nasihatmu...,” ucap pemuda itu lirih.

“Hm, sudahlah! Sekarang tunjukkan padaku, dimana Pendekar Rajawali Sakti itu berada?!”

“Terakhir aku bertemu di wilayah selatan. Dan rasanya bila dugaanku benar, dia akan menuju Timur Laut. Sebaiknya, kita menuju satu arah dengannya, Paman!”

“Ayo! Kau adalah penunjuk jalanku!” sahut Jingga Kalamanda, seraya menepuk pundak keponakannya.

Kamajaya tersenyum lega. Selesai sudah satu urusan, membujuk pamannya! Urusan lain akan mudah diselesaikan bila pamannya ada di sampingnya. Dia yakin betul kalau pamannya mampu melakukan apa saja demi kepentingannya.

********************

Dua sosok berjalan. Namun kelihatannya aneh sekali. Yang seorang berwajah cantik, mengenakan pakaian ketat berwarna merah muda. Sehingga, memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya. Sementara yang seorang lagi memiliki muka lebar dan tubuh raksasa. Tinggi wanita itu hanya sebatas pinggang pemuda disampingnya.

Mereka tidak lain dari Dewi Tanjung Putih alias Bidadari Tangan Api dan Darmo Angkor. Keputusannya sudah bulat ketika bertemu pemuda itu, dan melihat kehebatannya. Meski agak tolol, namun Darmo Angkor yang amat patuh padanya, bisa dimanfaatkan untuk membantunya guna membalaskan dendam pada Pendekar Rajawali Sakti.

“Akan kemana tujuan kita sekarang. Kak...?” tanya Darmo Angkor.

“Kita akan menemui seseorang...,” sahut Dewi Tanjung Putih.

“Kawan Kakak...?”

“Bukan.”

“Kalau begitu... musuh? Orang jahat?”

“Bisa dibilang begitu!”

“Kakak hendak menghajarnya?”

“Ya!”

“Biar nanti kubantu Kakak menghajarnya. Tapi....” Wajah Darmo Angkor tiba-tiba meringis. Pemuda itu melirik Bidadari Tangan Api malu-malu sambil tersenyum-senyum kecil.

“Kenapa kau?” tanya Bidadari Tangan Api.

“Anu..., perutku lapar....”

“Dasar rakus! Baru saja makan, sudah lapar lagi!”

Darmo Angkor tertawa lebar. “Kakak tahu? Makan kita tadi belum seberapa. Biasanya, sekali makan aku mampu menghabiskan seekor kambing serta lima piring nasi dalam bumbung besar. Dan ketika memperoleh seekor kerbau, aku mampu menghabiskannya dalam waktu sehari,” papar pemuda bertubuh raksasa ini bangga.

Dewi Tanjung Putih mendecah sambil tersenyum kecil. “Sudahlah. Nanti kita akan cari apa yang kau suka di desa terdekat....”

“Aku ingin seekor kambing, atau anak kerbau...!” ujar Darmo Angkor.

“Ya, ya.... Akan kucarikan nanti untukmu,” sahut Bidadari Tangan Api.

Wajah pemuda tolol itu tampak gembira. Seolah-olah laparnya hilang dan terbayang hidangan lezat di depan matanya. Dia suka jalan bersama Dewi Tanjung Putih, sebab segala apa yang diinginkannya tidak pernah dibantah. Gadis yang dianggapnya kakak sendiri ini selalu mengabulkannya. Sehingga, dia tidak merasakan kesedihan ditinggal mati orangtuanya.

Kurang lebih sepeminum teh, mereka akan tiba di sebuah desa terdekat. Di tempat itu, Bidadari Tangan Api berharap bisa mendapat keterangan tentang Pendekar Rajawali Sakti. Namun sebelum tiba di perbatasan desa, gadis ini terkesiap. Jantungnya kontan berdetak kencang, menandakan bahwa ada firasat tidak enak. Beberapa orang penunggang kuda melintasi jalan ini di depannya dari arah yang berlawanan.

Firasat Bidadari Tangan Api semakin mendekati kenyataan ketika jarak mereka terpaut semakin dekat. Rombongan berkuda tampaknya tidak memberi jalan. Bahkan beberapa orang di belakang yang mengikuti rombongan itu dengan berjalan kaki, tiba-tiba saja menyebar membentuk setengah lingkaran. Tidak ada jalan lagi kedepan, selain harus melewati mereka.

“Kita berhenti dulu, Darmo...,” ujar Bidadari Tangan Api memberi isyarat.

Pemuda dungu itu bingung. Dipandangnya kakak angkatnya dengan wajah tidak mengerti. Lalu perhatiannya beralih ke depan.

“Ada apa. Kak...?” tanya Darmo Angkor.

“Orang-orang jahat itu hendak mengganggu kita...,” sahut Bidadari Tangan Api, kalem.

“Huh! Apakah kau ingin agar mereka kuhajar?!” dengus Darmo Angkor seraya mengepalkan kedua tangan.

“Kita akan menghajar bersama-sama jika mereka berani mengganggu.”

“Ya, ya...!”

Dewi Tanjung Putih menyipitkan mata memandang pada mereka. Berada paling depan adalah tiga orang tua berusia rata-rata lima puluh tahun lebih. Yang berada ditengah bersenjata pedang. Disebelah kirinya menggenggam ruyung. Dan yang berada di sebelah kanan memegang tongkat bambu.

“Nisanak! Kaukah Bidadari Tangan Api?” tanya orang tua yang berada ditengah.

“Benar, akulah orangnya. Sebaliknya, siapa kalian? Dan, ada maksud apa mencariku?”

“Aku Ki Dewa Subrata. Di sebelah kiriku Ki Paksi Jaladara. Dan di kananku adalah Ki Teja Rukmana...,” jelas orang tua yang mengaku bernama Ki Dewa Subrata.

“Hm.... Ki Dewa Subrata adalah Ketua Padepokan Ulat Sutera. Sedang Ki Paksi Jaladara adalah Ketua Padepokan Ruyung Langit. Dan yang satu lagi. Pendekar Bukit Rebung. Alangkah hebatnya kalian berkumpul di sini. Dan lebih hebat lagi, karena kalian bersama-sama mencariku. Kalau boleh kutahu, urusan besar apakah gerangan?”

“Kau telah membunuh murid kesayanganku yang bernama Jaka Lola. Dia adalah putera Ki Teja Rukmana, keponakan Ki Paksi Jaladara. Kami telah bersepakat menurunkan kepandaian kami padanya, sebab dia amat berbakat. Dia baru sedikit belajar dariku...,” jelas Ki Dewa Subrata.

“Hm, itu rupanya. Muridmu itu memang berbakat sekali. Tapi, dia amat usil dan menggangguku. Sehingga terpaksa harus kuberi pelajaran. Dan sekarang kalian datang beramai-ramai mencariku? Hm.... Hendak mengeroyokku? Sungguh hebat!” ujar gadis itu seraya tersenyum sinis.

“Nisanak! Penduduk desa tahu kejadian yang sebenarnya. Tidak usah kau mungkir. Lagi pula, tidak perlu kau takut. Kami tak akan mengeroyokmu. Kehadiran kami dengan jumlah banyak sama sekali tidak direncanakan untuk mengeroyokmu. Kebetulan saja, aku hendak mengajak mereka guna menziarahi kuburan Jaka Lola, lalu bertemu denganmu di sini. Maka suatu kebetulan sekali. Aku masih mampu memberi pelajaran padamu,” kata orang tua bernama Ki Dewa Subrata itu seraya melompat turun dari punggung kudanya.

“Hm.... Kuragukan kata-katamu itu. Aku tidak pernah mempercayai setiap orang...,” sahut Dewi Tanjung Putih mencibir sinis.

“Tidak perlu banyak bicara. Hanya mengulur waktu saja! Cabut pedangmu. Dan, hadapi aku!”

Sring!

Ki Dewa Subrata tidak mempedulikan ocehan Bidadari Tangan Api. Saat itu juga, pedangnya dicabut, langsung menyerang.

“Hiyaaat!”

Klap! Wuk!

“Uts, hap!” Bidadari Tangan Api tidak terlalu terkejut mendapat serangan mendadak begitu. Dengan tenang tubuhnya melejit ke atas menghindari sambaran pedang Ki Dewa Subrata. Namun Ketua Padepokan Ulat Sutera itu tidak berhenti sampai disitu. Dia terus merangsek dengan serangan-serangan gencar.

Darmo Angkor semula terpana melihat keadaan begitu. Namun otaknya bekerja cepat. Peristiwa yang menimpa orangtuanya, kembali melintas dalam benaknya. Mereka tenggelam ke dalam rawa dikerubuti orang-orang. Dan dia diam saja tidak memberikan pertolongan. Padahal, dia mampu melakukannya. Kini Bidadari Tangan Api yang sudah dianggapnya sebagai kakak sendiri, tengah bertarung. Kalau diam saja, bukan tidak mungkin kakaknya akan mati oleh pedang lawan. Dan dia akan kehilangan orang yang menyayanginya. Maka berpikir begitu, Darmo Angkor langsung menerjang Ki Dewa Subrata.

“Heaaat...!”

“Darmo! Kau tidak perlu ikut campur lebih dulu! Tetaplah di tempatmu!” teriak Dewi Tanjung Putih memperingatkan.

Namun pemuda bertubuh raksasa itu tidak mempedulikannya. Dia terus menghantam Ki Dewa Subrata dengan tenaganya yang kuat.

Wut!

Ki Dewa Subrata menghindari serangan lawan barunya dengan mudah. Meski terasa sambaran angin serangan pemuda raksasa itu kencang, namun dia mampu berkelit lincah dan balas menyerang lewat babatan pedangnya.

Tak!

“Heh?!” Alangkah kagetnya orang tua itu, menyadari kalau pedangnya seperti menghantam benda keras saja. Kulit pemuda raksasa itu sama sekali tidak terluka! Kekagetan itu membuat Ki Dewa Subrata lengah. Dan tahu-tahu kepalan pemuda raksasa itu menghantam perutnya.

Begkh!

“Akh...!” Ki Dewa Subrata terjungkal ke belakang disertai keluhan tertahan. Masih untung, dia mampu berdiri tegak setelah bersalto beberapa putaran.

Pukulan Darmo Angkor memang tidak berisi tenaga dalam kuat. Tapi, cukup membuat isi perutnya terasa mau pecah. Napasnya pun turun naik tidak beraturan.

“Biar kami urus dia, Ki...!” sahut salah seorang anak buah Ki Dewa Subrata.

“Hm.... Uruslah dia baik-baik!” sahut orang tua itu.

Ki Dewa Subrata sebenarnya penasaran, sekaligus geram terhadap pemuda raksasa itu. Namun kepentingannya pada Bidadari Tangan Api lebih diutamakannya. Sehingga agar pemuda itu tidak mengganggunya, langsung disetujui usul anak buahnya tadi. Setelah mendapat izin dari orang tua itu, beberapa orang langsung menyergap Darmo Angkor dengan senjata terhunus.

“Yeaaat...!”

“Hmh...!” dengus Darmo Angkor geram. Sebelum senjata menyentuh kulitnya, Darmo Angkor sudah langsung melompat menerjang.

Tak! Blap!

“Heh?!” Para pengeroyok menjadi terkejut ketika menyadari senjata mereka tak berpengaruh apa-apa ditubuh pemuda raksasa ini. Sementara, kepalan tangan yang besar dan keras milik Darmo Angkor mulai meminta korban.

“Uhhh...!”

“Aaa...!” Beberapa pengeroyok langsung menemui ajal disertai pekik setinggi langit. Orang-orang itu tewas dengan cara amat mengerikan. Kepala remuk, dan tulang-tulang rusuk patah.

“Heh, gila?!” desis yang lain.

Kejadian ini mengejutkan yang lain. Bukan hanya Ki Paksi Jaladara dan Ki Teja Rukmana saja yang terkesiap, tetapi juga Ki Dewa Subrata yang tengah berhadapan dengan Bidadari Tangan Api.

“Biar kuurus gajah bengkak ini!” seru Ki Paksi Jaladara dengan wajah geram. Seketika Ki Paksi Jaladara melompat turun. Tanpa banyak bicara, kepalan tangannya menghantam ke perut Darmo Angkor. Tentu saja pemuda raksasa ini tidak tinggal diam. Tangannya cepat memapak.

Plak!

Orang tua itu terkejut. Tangannya sampai bergetar akibat benturan tadi. Seketika tenaganya dilipatgandakan. Lalu diayunkannya tendangan ke dada Darmo Angkor.

“Uts!” Darmo Angkor berkelit ke samping, langsung menangkis tendangan itu dengan telapak tangannya. Tubuhnya bergetar dan sedikit terdorong ke belakang. Wajahnya berkerut menahan sakit Pemuda itu tahu kalau tidak boleh sembarangan menahan serangan. Sehingga ketika Ki Paksi Jaladara melompat dan menerjangnya, dia tidak berusaha memapak, melainkan menghindar serta menangkis bila dirasa perlu.

Sementara itu, Ki Teja Rukmana yang sejak tadi diam di tempatnya dan memandang pertarungan dengan hati geram, agaknya tidak lagi dapat menahan diri. Amarah serta dendam yang menggelora di dada meletup-letup hebat Sehingga beberapa saat kemudian, dia melompat dari punggung kudanya.

“Ki Dewa Subrata! Aku tidak bisa menahan diri lagi! Dia harus mati di tanganku!” desis Ki Teja Rukmana geram.

“Ki Teja Rukmana! Kau tidak perlu repot-repot! Aku masih mampu mengatasinya. Lagi pula apa kata orang nanti bila kita mengerubuti seekor tikus? Sangat memalukan!” sahut Ki Dewa Subrata.

“Aku tidak peduli! Dia telah membunuh putraku! Perempuan ini harus mati ditanganku!” desis Ki Teja Rukmana, tidak mempedulikan kata-kata Ki Dewa Subrata. Orang tua bergelar Pendekar Bukit Rebung itu langsung menyerang. Tongkat bambunya sudah berkelebat menyambar Bidadari Tangan Api.

Wut!

“Hi-hi-hi...! Dugaanku ternyata tidak keliru. Orang-orang seperti kalian memang hanya punya kebiasaan main keroyok. Tapi meski begitu, jangan kira aku takut. Meski maju semua menghadapiku, jangan harap aku akan mundur!” teriak wanita itu, seraya melompat menghindari serangan.

Dewa Subrata jadi tidak enak hati mendengar ejekan wanita itu. Bahkan sejak Ki Teja Rukmana turun tangan tadi. Maka, seketika tubuhnya mencelat ke belakang. Dibiarkannya Ki Teja Rukmana seorang diri menghadapi Bidadari Tangan Api. Namun sebelum hal itu dilakukannya.

“Ha-ha-ha...! Tua bangka tak tahu diri. Tidak malu mengeroyok seorang gadis...!” Mendadak terdengar suara tawa nyaring yang disusul berkelebatnya dua sosok tubuh ketempat itu.

“Hm!”

Pertarungan berhenti seketika. Namun tidak demikian halnya Darmo Angkor. Dia tidak peduli pada apa dan siapa pun. Sebelum lawan binasa semua di tangannya, maka dia tidak akan berhenti.

DELAPAN

Sementara itu, melihat seorang pemuda tampan berpakaian rapi dan membawa-bawa sebuah suling. Bidadari Tangan Api cepat mengenalinya. “Kakang Kamajaya...,” gumam Dewi Tanjung Putih pelan.

Orang yang muncul itu tidak lain memang Kamajaya alias si Pendekar Suling Emas, dan seorang tua berkulit legam memakai rompi kuning. Celananya pendek sebatas paha. Kuku-kuku tangan dan kakinya panjang lagi runcing. Siapa lagi kalau bukan Jingga Kalamanda.

“Paman, kenalkanlah. Ini kekasihku. Namanya, Dewi Tanjung Putih. Dia cantik, bukan?” ujar Kamajaya seraya tersenyum-senyum.

Pendekar Suling Emas seolah tidak mempedulikan orang lain yang berada disini. Bibirnya tersenyum mengenalkan gadis itu pada pamannya. Sementara Jingga Kalamanda tidak begitu mempedulikannya. Matanya hanya melirik sekilas, lalu menatap tajam pada dua orang tua yang tadi mengeroyok Bidadari Tangan Api.

“Huh, Pengecut-pengecut Busuk! Tak punya malu mengeroyok seorang wanita...!” dengus Jingga Kalamanda alias Serigala Muka Hitam mencibir sinis.

“Kisanak! Kau tidak usah ikut campur, jika tidak tahu urusan orang lain!” sahut Ki Teja Rukmana garang.

“Tidak seorang pun boleh bicara begitu padaku, kecuali sudah bosan hidup!” dengus Serigala Muka Hitam seraya menatap tajam kepada Ki Teja Rukmana.

“Huh! Tidak usah banyak bicara! Enyahlah dari sini. Atau, kalian boleh mampus bersama wanita iblis itu!” Sikap Ki Teja Rukmana semakin garang mendengar ocehan orang tua berkulit legam itu.

“Kurang ajar!” Jingga Kalamanda menggeram. Dan bersamaan dengan itu, Serigala Muka Hitam langsung melompat menerjang.

Ki Teja Rukmana terkesiap. Gerakan laki-laki hitam ini cepat bukan main. Namun begitu dia masih sempat menangkis.

“Hih!”

Plak!

“Uhhh...!” Ki Teja Rukmana alias Pendekar Bukit Rebung mengeluh tertahan. Tangannya terasa linu ketika beradu dengan tangan Serigala Muka Hitam. Belum lagi sempat membalas serangan, Jingga Kalamanda telah berkelebat melakukan tendangan ke arah kepala. Dan saat Ki Teja Rukmana menepisnya dengan ayunan senjata. Serigala.Muka Hitam sama sekali tidak berusaha menarik pulang kakinya.

Krak!

Sungguh luar biasa! Senjata Ki Teja Rukmana kontan patah begitu menghantam kaki Jingga Kalamanda. Bahkan lutut Serigala Muka Hitam terus berkelebat dengan tendangan terus meluncur menghajar dada. Akibatnya....

Diegkh!

“Aaakh...!”

“Ki Teja...!” teriak Ki Dewa Subrata kaget. Langsung dia menghambur ke arah jatuhnya Ki Teja Rukmana yang memuntahkan darah segar.

“Heaaat...!” Sementara, Jingga Kalamanda tidak diam sampai di situ. Tubuhnya langsung berkelebat menerjang lawannya yang belum siap bangkit. Melihat keadaan itu, mau tidak mau Ki Dewa Subrata terpaksa turun tangan. Segera pedangnya dikibaskan untuk menghalau serangan.

“Hiiih!”

“Uts!” Serigala Muka Hitam melejit cepat, menghindari tebasan senjata. Tahu-tahu dia telah berada di samping kiri Ki Dewa Subrata sambil berusaha menyikut dada.

Ki Dewa Subrata cepat melompat ke kanan dengan sambaran pedang ke leher Jingga Kalamanda. Namun Serigala Muka Hitam itu telah melompat mengikuti gerakannya, sambil melakukan tendangan ke punggung.

“Uhhh...!” Ki Dewa Subrata terkesiap. Meski berhasil bergulingan menghindari, namun tak urung angin serangan lawan yang kencang sempat dirasakannya. Dan baru saja hendak bangkit, kepalan Serigala Muka Hitam telah meluncur cepat kearah Ketua Padepokan Ulat Sutera ini.

Begkh!

“Aaakh...!” Ki Dewa Subrata kontan terjungkal ke belakang disertai muntahan darah segar begitu pukulan Jingga Kalamanda yang keras bukan main menghantam telak dadanya.

Serigala Muka Hitam mendengus sinis dan siap menerjang kembali. Namun sebelum Serigala Muka Hitam melakukannya....

“Alangkah pengecutnya bila seseorang menghabisi lawan yang tengah tak berdaya...!” Tiba-tiba terdengar suara yang disusul berkelebatnya sosok berbaju rompi putih. Dan sosok itu mendarat lalu tegak berdiri di depan Ki Dewa Subrata.

Melihat siapa yang muncul, Kamajaya mendengus sinis. Sementara Bidadari Tangan Api ikut tersenyum sinis, sambil melangkah mendekati Kamajaya.

“Paman, pemuda itulah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti...,” tunjuk Kamajaya.

Serigala Muka Hitam mendelik tajam. Namun sebelum berkata sesuatu, Dewi Tanjung Putih telah lebih dulu memberi isyarat pada Kamajaya.

“Kakang Kamajaya! Jangan campuri urusanku. Pemuda ini adalah bagianku. Dia punya hutang yang harus dibayar!” ujar Bidadari Tangan Api seraya memberi isyarat pada Darmo Angkor yang masih asyik membantai lawan-lawannya.

“Ada apa. Kak?” tanya pemuda tolol itu dengan napas sedikit terengah-engah, setelah menghampiri.

“Ingatkah kau dengan orang jahat yang kukatakan? Nah! Itulah orangnya!” tunjuk Dewi Tanjung Putih pada pemuda yang bam muncul, dan tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.

Darmo Angkor memandang pemuda itu. Wajahnya berkerut menahan geram. Lalu kakinya melangkah lebar, mendatangi Pendekar Rajawali Sakti. Namun sebelum berjalan dua langkah, sebelah tangan Jingga Kalamanda yang direntangkan menghalangi jalannya.

“Jangan campuri urusanku, Buto Ijo!” dengus Serigala Muka Hitam dingin.

Darmo Angkor menggeram. Dan kalau saja Bidadari Tangan Api tidak melarangnya, sudah pasti pemuda raksasa itu akan menyerang Serigala Muka Hitam. Dewi Tanjung Putih, tahu siapa orang tua itu. Dan dia tidak mau Darmo Angkor celaka begitu saja. Padahal, mereka di pihak yang sama.

“Kalau tidak salah, kau pasti Serigala Muka Hitam, Paman Kamajaya yang merupakan kawan baikku. Dan karena aku punya sedikit urusan dengan pemuda itu, harap jangan menghalanginya...,” ujar Dewi Tanjung Putih dengan wajah manis.

Jingga Kalamanda melirik sekilas, namun sorot matanya tajam menusuk. “Hei! Aku tak peduli apa yang kau bicarakan! Aku akan berurusan dengannya. Bila ikut campur, maka kau yang akan berurusan denganku lebih dulu!” dengus Serigala Muka Hitam.

Dewi Tanjung Putih tersedak mendengar kata-kata Jingga Kalamanda. Dia tak berani menyahut Bahkan sampai orang tua itu meninggalkannya untuk menghampiri pemuda tampan berambut panjang yang baru saja muncul.

“Kenapa Kakak takut dengannya? Biar kuhajar orang tua hitam itu?!” dengus Darmo Angkor, gusar.

“Ssst! Sudahlah, dia masih kawan kita...,” sahut Bidadari Tangan Api memberi isyarat agar pemuda raksasa itu tidak lagi banyak bicara.

“Maafkan aku, Dewi. Paman memang berwatak keras. Tidak seorang pun bisa menghalanginya. Tapi ngomong-ngomong, punya urusan apa kau dengan Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Kamajaya, seraya mendekati gadis itu.

“Itu urusanku, bukan urusanmu!” sahut Bidadari Tangan Api, mendengus sinis.

“Kau masih marah padaku...?” tanya Kamajaya, sambil tersenyum kecil.

Tanjung Putih tidak menjawab. Malah perhatiannya dipalingkan ke depan. Jingga Kalamanda telah tegak berdiri pada jarak lima langkah dengan pemuda berbaju rompi putih yang membawa sebilah pedang bergagang kepala burung di punggungnya.

“Hm.... Kaukah Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Serigala Muka Hitam, sinis.

“Begitukah orang menjuluki aku...!”

“Telah lama kunantikan saat seperti ini. Dan, siapa nyana kau datang sendiri menemuiku. Ha-ha-ha...! Kudengar tentang kehebatanmu. Dan, kudengar pula tentang sepak terjangmu belakangan ini. Itu membuatku tersinggung. Dan kau mewujudkannya, saat mengganggu keponakanku. Bocah! Tak seorang pun berani berbuat begitu terhadap Serigala Muka Hitam!”

“Serigala Muka Hitam! Sedikit pun aku tak menyinggung perasaanmu. Dan soal keponakanmu, adalah kesalahannya sendiri. Barangkali sebagai pamannya, kau bisa memberi pelajaran padanya,” sahut Rangga.

“Tutup mulutmu! Kunyuk buduk! Siapa suruh menasihatiku?! Bedebah! Phuih!” maki Jingga Kalamanda sambil meludah tak karuan. Kemarahan orang tua berkulit hitam itu seketika berlanjut, saat melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

“Mulutmu harus dirobek agar kau bisa belajar sopan sedikit!” desis Serigala Muka Hitam geram.

Rangga memberanikan diri, berusaha memapak pukulan Serigala Muka Hitam untuk menjajaki kemampuannya.

Plak!

“Uhhh...!” Namun wajah Rangga jadi berkerut. Pemuda itu mengeluh pelan, ketika telapak tangannya terasa perih saat menangkis kepalan Jingga Kalamanda yang berjuluk Serigala Muka Hitam.

“Yeaaat..!”

Serigala Muka Hitam melanjutkan serangan. Dia yakin mampu mengatasi pemuda itu dalam waktu singkat. Dalam gebrakan pertama saja, dia agaknya berada di atas angin. Apalagi ketika pemuda itu belum juga memberi serangan balasan, selain terus menghindar dari serangannya. Dalam perkiraannya, pasti pemuda itu agak keteter. Dan sebentar lagi, tentu dengan mudah dijatuhkannya.

Apa yang diperkirakan Serigala Muka Hitam setengahnya mungkin saja benar. Rangga yang saat itu mengerahkan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ memang merasakan serangan-serangan dahsyat yang berisi tenaga dalam kuat. Dan sejauh ini, dia memang terus mengelak sambil menjajaki kemampuan lawannya. Namun melewati tiga jurus pertama, Pendekar Rajawali Sakti mulai balas menyerang.

“Heaaat!” Rangga melompat ke belakang. Namun, Jingga Kalamanda tidak mau memberi kesempatan. Kedua cakar tangan serta kakinya bergerak cepat, menyambar Pendekar Rajawali Sakti.

Saat itu juga Rangga melenting ke atas. Setelah berputaran tubuhnya menukik laksana kilat membuka jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’. Begitu cepat gerakannya, sehingga Serigala Muka Hitam hanya mampu terkesiap. Dan....

Duk!

“Uhhh...! Kurang ajar!” Jingga Kalamanda memaki ketika kecolongan. Kedua tangan pemuda itu telak sekali menghantam ke batok kepala. Tubuhnya sempat terhuyung-huyung, namun cepat menjaga keseimbangan.

Jingga Kalamanda menggeram. Seketika dikeluarkannya raungan laksana serigala mengamuk. Sinar matanya tajam menusuk. Wajahnya berkerut menggiriskan. Dan seketika itu pula Serigala Muka Hitam melompat menerkam dengan amarah meluap-luap dalam dada.

Rangga yang baru saja menjejak tanah memandangnya dengan kening berkerut. Namun dia tak bisa terpaku lebih lama lagi, karena serangan Serigala Muka Hitam telah meluncur cepat. Maka dengan nekat ditangkisnya tangan laki-laki berkulit hitam itu.

Plak!

Bahkan Serigala Muka Hitam melanjutkan serangan berupa tendangan ke perut.

“Hup!” Rangga cepat melompat ke belakang untuk menghindarinya. Dan pada saat yang sama pula. Serigala Muka Hitam mengikuti gerakannya dengan mencelat ke atas sambil jungkir balik. Lalu disambarnya punggung Pendekar Rajawali Sakti.

Bret!

“Aaakh...!” Rangga mengeluh tertahan, ketika punggungnya tersambar tangan Serigala Muka Hitam. Tampak darah mengalir dari punggungnya yang terluka.

“Yeaaa!” Serigala Muka Hitam tidak berhenti sampai di situ. Belum sempat Pendekar Rajawali Sakti menyiapkan serangan, Jingga Kalamanda telah menghentakkan tangan kanannya begitu mendarat di tanah.

“Hih...!”

“Uts!” Cepat bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti bergulingan menghindarkan diri, begitu merasakan angin sambaran yang keluar dari telapak tangan Serigala Muka Hitam.

Jder...!

Apa yang diperbuat Serigala Muka Hitam sungguh hebat. Beberapa orang yang berada di sekitar tempat itu terpental, terkena angin serangannya. Pepohonan serta kerikil-kerikil sebesar kepalan tangan lebih, terbang dan melayang. Sementara itu, setelah bergulingan beberapa kali. Pendekar Rajawali Sakti mencelat keatas. Langsung dicabutnya Pedang Pusaka Rajawali Sakti.

Sring!

Melihat itu, Jingga Kalamanda terkekeh nyaring sambil mengejarnya dari belakang. “He-he-he...! Kenapa tidak sejak tadi menggunakan senjata bututmu itu. Bocah? Kau mulai gelisah? Mulai ketakutan? He-he-he...!” ejek Serigala Muka Hitam.

Pendekar Rajawali Sakti tidak menyahut. Dia hanya menatap dingin. Wajahnya kini menyiratkan perbawa kuat. Bahkan sebenarnya mampu meruntuhkan nyali Serigala Muka Hitam. Jingga Kalamanda sebenarnya sudah jatuh nyalinya. Namun karena malu dia berusaha menutupi dengan berkata-kata seperti itu.

Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang bersinar biru berkilauan itu kini jadi amat luar biasa di tangan Rangga. Bahkan ketika Pendekar Rajawali Sakti melesat sambil mengebutkan pedang. Serigala Muka Hitam harus mengerahkan segenap kemampuan ilmu meringankan tubuhnya.

Wung...!

“Uhhh...!” Kembali Serigala Muka Hitam terkesiap. Suara berdengung dan hawa panas seketika menyengat sekujur tubuhnya. Bahkan sampai menusuk-nusuk pendengarannya, ketika pedang Pendekar Rajawali Sakti nyaris menyambar lehernya.

Jingga Kalamanda mendengus geram. Dia memiliki pukulan ‘Topan Siluman’. Dan selama ini, telah terbukti kehebatannya. Lebih dari itu, dia pun memiliki ajian yang membuat tubuhnya kebal segala jenis senjata tajam. Meskipun melihat pedang pemuda itu, dia tidak begitu yakin kalau aji kebalnya mampu menahannya. Berpikir begitu kembali. Serigala Muka Hitam mengerahkan pukulan mautnya. Seketika tangan kanannya menghentak ke depan.

“Heaaat..!”

Rangga sengaja tidak meladeni. Dan dia lebih memilih untuk menghindarinya. Apa yang terjadi kini terulang kembali. Mereka yang telah mengetahui kehebatan pukulan ‘Topan Siluman’, buru-buru menyingkir dari tempat itu. Dan mereka hanya melihat pertarungan dari jarak yang cukup jauh.

Melihat serangannya kembali luput dari sasaran, Jingga Kalamanda mendengus geram. Seketika dilepaskannya pukulan andalan kembali sebelum pemuda itu menjejakkan kakinya di tanah.

“Yeaaat..!”

Namun, agaknya Rangga tidak mau terpedaya. Sejak berada di udara tadi, dia memang telah mengusap batang pedangnya. Sehingga sinar warna biru kini berkumpul ditangan kanannya. Lalu cepat sekali Rangga memasukkan pedangnya kedalam warangka. Tepat begitu pukulan Serigala Muka Hitam meluncur datang, kedua tangannya segera dihentakkan ke depan.

“Aji ‘Cakra Buana Sukma’...!” bentak Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu juga, meluncur sinar biru dari telapak tangan Rangga, memapak pukulan Serigala Muka Hitam.

Siut...!

Jder!

“Aaa...!” Jingga Kalamanda kontan memekik setinggi langit. Tubuhnya tampak terpental beberapa tombak kebelakang, dan diam tidak berkutik. Dari mulut, hidung, mata, serta seluruh pori-porinya keluar cairan darah. Serigala Muka Hitam tewas dengan tubuh makin menghitam. Tercium bau hangus terbakar yang berasal dari tubuhnya.

Srak!

Rangga menyarungkan pedang. Kakinya melangkah, mendekati Serigala Muka Hitam untuk meyakinkan kematiannya. “Maaf, Sobat. Aku tidak bermaksud begini. Tapi, kau terlalu memaksa...,” ucap Pendekar Rajawali Sakti lirih.

Rangga menarik napas panjang, lalu menoleh ke belakang. Tampak Ki Dewa Subrata serta yang lainnya telah berada di situ.

“Pendekar Rajawali Sakti, kami amat berterima kasih atas bantuanmu...,” ucap Ki Dewa Subrata seraya menjura hormat, diikuti yang lainnya.

“Kisanak, tidak usah begitu. Sudah kewajiban kita selaku manusia untuk saling tolong-menolong...,” sahut Pendekar Rajawali Sakti merendah.

“Hm.... Kau rendah hati sekali. Tidak salah bila banyak orang yang memujamu....”

“Jangan keterlaluan memuji orang, Kisanak. Aku tidak beda dengan yang lain. Seperti kalian juga...,” sahut Rangga, lagi-lagi merendah.

Kemudian pandangan Rangga beredar ke sekeliling mencari-cari si Bidadari Tangan Api, Kamajaya, dan pemuda bertubuh raksasa tadi. Namun mereka tidak terlihat lagi di tempat itu.

“Sebentar tadi kami pun mencari-cari. Mungkin mereka kabur setelah mengetahui kematian Serigala Muka Hitam...,” jelas Ki Dewa Subrata. “Oh, ya. Sekali lagi kami berterima kasih karena kau telah memberi pelajaran pada Bidadari Tangan Api. Wanita itu telah membunuh murid kami, Jaka Lola....”

“Ah, Jaka Lola.... Ya! Aku pernah mendengarnya. Maafkan, Kisanak. Sebab aku terlambat menolong muridmu....”

“Sudahlah. Segalanya telah berlalu. Mungkin telah ditakdirkan kalau hari itu adalah naas bagi Jaka Lola....”

Mereka terdiam sejenak, sampai Pendekar Rajawali Sakti bersuit nyaring. Tampak seekor kuda hitam menghampirinya. Begitu dekat, pemuda itu langsung melompat kepunggungnya. Kemudian dia segera berlalu dari tempat itu.

“Kisanak! Tidak ada lagi urusanku disini. Aku mohon pamit!” Setelah itu, Dewa Bayu berlari kencang, meninggalkan kepulan debu yang sesaat menghalangi pandangan.

********************

Berhasilkah Pendekar Rajawali Sakti menemukan Bidadari Tangan Api, Kamajaya, dan Darmo Angkor untuk mencegah sepak terjangnya? Untuk mengetahui ceritanya, Ikuti kelanjutan kisah petualangan Pendekar Rajawali Sakti dalam episode PASUKAN ALIS KUNING

Dendam Pendekar Pendekar Gila

DENDAM PENDEKAR-PENDEKAR GILA

SATU
“Kemari kau...!”

Terdengar bentakan seorang gadis cantik berpakaian ketat warna merah muda. Tangannya menuding ke arah seorang pemuda yang terbungkuk-bungkuk maju dengan kepala tertunduk dan wajah pucat.

“Ampun.... Aku hanya ikut-ikutan! Ampuni aku, Nisanak...!” ratap pemuda bertampang menyebalkan.

Sementara, tiga orang pemuda lainnya tampak merapat ketakutan. Namun, salah seorang ada yang mencoba beringsut ke belakang. Dan tiba-tiba saja bola mata gadis berbaju merah muda itu mendelik garang.

“Jangan coba-coba kabur! Atau, jiwamu akan ke neraka sekarang juga! Tunggu giliranmu nanti!” bentak gadis itu lantang.

“Kami berjanji tidak akan berbuat seperti itu lagi, Nisanak! Sungguh! Kau boleh pegang kata-kataku...!” ujar pemuda yang hendak kabur dengan nada memohon dan muka agak memelas.

“Siapa sudi percaya pada kata-kata anjing busuk sepertimu?!”

“Sungguh, aku berjanji! Aku dan kawan-kawanku tidak akan mengulangi perbuatan kami...!” lanjut pemuda itu seraya mendekat terbungkuk-bungkuk.

Keempat pemuda itu memang tengah kena batunya. Mereka dikenal sebagai biang kerok di Desa Tegal Sari yang suka membuat resah. Dan ketika mencoba menggoda seorang gadis, baru mereka merasakan akibatnya.

Kini mereka dibuat babak belur dihajar gadis berbaju merah muda yang ternyata berkepandaian tinggi. Ada yang putus tangan kirinya dan ada yang kehilangan kedua belah telinganya. Namun, gadis ini agaknya tidak mau menyudahinya begitu saja. Meski, para pemuda ini telah memohon berulang kali. Bahkan tiba-tiba kaki gadis itu melayang, tepat menghantam dagu salah seorang pemuda.

Duk!

“Aaakh...!” Pemuda yang sebenarnya bernama Bakil kontan memekik kesakitan. Beberapa buah giginya tanggal, dan mulutnya berlumur darah.

“Jangan memohon padaku seperti anjing. Kau tahu, derajatmu lebih rendah ketimbang anjing! Satu-satunya hukuman yang pantas buatmu adalah kematian!” desis gadis itu.

“Oh, tidak! Jangan.... Ampuni aku! Ampuni aku...!” ratap Bakil. Wajahnya semakin pucat. Dan dia cepat menghampiri, lalu bersimpuh di kaki gadis berbaju merah muda ini.

“Brengsek! Kau semakin membuatku muak saja!” desis gadis itu seraya mengayunkan pedang.

Sekali tebas, leher Bakil akan menggelinding. Sementara ketiga kawannya menahan napas. Demikian pula para penduduk yang tadi mengintip dari balik pintu dan jendela rumah di sepanjang jalan utama desa ini. Sedikit lagi pedang itu menemui sasaran, mendadak satu bayangan berkelebat Langsung dipapaknya laju senjata pedang gadis berpakaian merah muda ini.

Trang!

Bukan main terkejutnya gadis berbaju merah muda itu. Menyadari ada yang menggagalkan tebasan senjatanya terus dikelebatkan. Kali ini bukan untuk memenggal kepala Bakil, melainkan kearah sesosok tubuh yang menggagalkan rencananya.

Sosok itu bergerak menghindar dengan lincah. Namun gadis berbaju merah muda ini tidak kalah gesit mengejar. Dia kelihatan gusar sekali pada orang yang berani mencampuri urusannya.

Wut!

“Tahan seranganmu, Dewi...!” sentak sosok itu tiba-tiba.

Tubuh orang itu melompat ringan, menjauhi si gadis. Dan dia berdiri tegak pada jarak sembilan langkah. Bola mata gadis itu menatap tajam. Dan wajahnya jadi berkerut menahan geram melihat sesosok pemuda berusia sekitar dua puluh delapan tahun yang masih menggenggam pedang ditangan kanannya. Senjata itu yang agaknya dipergunakan untuk menangkis pedangnya tadi.

“Bocah busuk! Apa kau Bosan hidup berani mencampuri urusanku?!”

“Dewi, maaf.... Aku sama sekali tidak bermaksud mencampuri urusanmu. Tapi membunuh orang sembarangan, tentu saja tidak bisa dibenarkan....”

Mendengar jawaban itu, gadis yang dipanggil Dewi ini semula hendak marah. Namun dia menarik napas panjang, lalu tersenyum seraya mendekati pemuda di depannya.

“Ya, ya.... Betul juga katamu. Untung kau mengingatkanku. Aku patut berterima kasih. Siapa namamu, Bocah? Dan, dari padepokan mana asalmu?” tanya Dewi ramah dengan wajah manis.

“Aku Jaka Lola, dari Padepokan Ulat Sutera....”

“Oh, murid Dewa Subrata, he?”

“Benar, Dewi...!”

“Hm.... Kau memanggilku Dewi. Apakah kau tahu, siapa aku?”

“Tentu saja. Siapa yang tidak kenal Bidadari Tangan Api!” sahut pemuda yang ternyata bernama Jaka Lola.

“Bagus! Kalau begitu, kau tahu juga kalau aku paling tidak suka urusanku dicampuri!” dengus Dewi yang berjuluk Bidadari Tangan Api, mendadak berubah geram. Bahkan tiba-tiba saja wanita itu melompat sambil menghunuskan pedang. Langsung diserangnya Jaka Lola dengan ganas.

“Hups!”

Trang!

Jaka Lola sempat menangkis sambil melompat ke samping. Lalu dia terus mencelat ke atas, ketika pedang Bidadari Tangan Api terus mengejar dengan sambaran kilat.

“Yeaaa...!”

“Dewi, tunggu! Jangan salah paham...!”

“Kau yang salah paham menilaiku, Bangsat Kecil! Kau kira dengan menyandang murid Ulat Sutera, bisa leluasa mengatur orang?! Huh! Biar Dewa Subrata melihat anak didiknya terkapar di sini!”

Jaka Lola mengeluh dalam hati berkali-kali. Meski mampu menangkis serangan, bukan berarti mampu pula menahan serangan Bidadari Tangan Api berikutnya. Apalagi, wanita ini memiliki kepandaian setingkat dengan gurunya. Untung saja, dia murid terpandai di padepokannya. Dan lebih dari itu, Jaka Lola lebih memiliki banyak pengalaman bertarung setelah menamatkan pelajarannya di Padepokan Ulat Sutera. Tapi menghadapi wanita galak ini, mungkinkah dia bisa mengungguli?

“Dewi, dengarlah. Aku sama sekali tidak ingin bentrok. Kulakukan tadi sekadar untuk mengingatkanmu, bahwa kau tidak pantas meladeninya. Hanya penjahat teri. Kelas kampung! Mana bisa disejajarkan denganmu. Kau tidak pantas mengurusi orang seperti mereka!” bujuk Jaka Lola.

“Tutup mulutmu! Aku tak peduli, apakah mereka penjahat teri atau maling kurap sekalipun. Tapi siapa saja yang mengusikku dan membuatku tidak senang, boleh mampus! Termasuk kau...!” desis Bidadari Tangan Api.

“Celaka...!” Jaka Lola merutuk kesal.

Kalau saja tahu begini akibatnya, tentu pemuda ini tidak akan ikut campur dan lebih baik menghindar. Tapi nasi telah menjadi bubur. Dan keadaan agaknya tidak bisa diperbaiki lagi. Mau tidak mau, Jaka Lola terpaksa harus mempertahankan diri dari serangan-serangan.

Pada saat Bidadari Tangan Api dan Jaka Lola tengah terlibat dalam pertarungan seru, Bakil menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Sayang, orang tidak menyadari siapa wanita itu. Padahal meski tengah bertarung begini. Bidadari Tangan Api tidak berlaku lengah. Sebilah pedang pendek lainnya yang masih terselip di pinggang langsung dicabutnya. Dan seketika tangannya mengebut ke arah Bakil, melepaskan pedang pendek. Dan....

Bles!

“Aaa...!” Bakil memekik keras begitu pedang Bidadari Tangan Api meluncur, menancap, di punggung kiri sampai menembus dada. Tubuhnya langsung tersungkur, dan tewas beberapa saat kemudian dengan mata melotot lebar.

“Heh?!”

Ketiga kawan Bakil terkejut setengah mati melihat kejadian itu. Dua orang yang tadi ingin mengikuti jejak Bakil, seketika mengurungkan niatnya.

“Huh! Kalian kira bisa kabur seenaknya dariku?” dengus Bidadari Tangan Api, langsung mencelat ringan meninggalkan Jaka Lola yang menjadi lawannya.

Bidadari Tangan Api menghampiri mayat Bakil. Segera dicabutnya pedang yang masih tertancap di punggung pemuda itu. Dan secepat itu pula, kembali diserangnya Jaka Lola yang terbengong-bengong menyaksikan kehebatan gerak wanita itu.

“Sekarang giliranmu. Bocah Tengik!” sentak Bidadari Tangan Api.

Mendapat serangan mendadak, Jaka Lola berusaha menangkis sebisa-bisanya.

Trang!

“Uhhh...!” Pemuda itu jadi mengeluh tertahan ketika terjadi benturan senjata. Dan belum juga getaran pada tangannya hilang, Bidadari Tangan Api kembali menyerang. Cepat bagai kilat, Jaka Lola melompat ke belakang. Tapi, ke mana pun bergerak, wanita ini agaknya tak memberi kesempatan dan terus mengejar. Sehingga pemuda itu tak bisa berkutik. Dia sendiri bahkan tidak tahu, apakah bisa selamat dari incaran senjata Bidadari Tangan Api ini.

Memang, Bidadari Tangan Api bukanlah tokoh sembarangan. Kepandaiannya cukup hebat Terutama, ilmu meringankan tubuh dan permainan sepasang pedang pendeknya yang terbuat dari perak. Hingga, meski Jaka Lola telah mengerahkan segenap kemampuan, tetap saja tidak mampu terus bertahan. Bahkan melewati empat jurus, pemuda itu mulai terdesak hebat.

Trang! Bet!

“Uhhh...!” Ujung pedang di tangan kiri Bidadari Tangan Api bergerak menyambar ke leher. Dengan gerakan cepat Jaka Lola berusaha menangkis. Namun, wanita itu mendadak menarik serangannya. Bahkan dengan tubuh berputar Bidadari Tangan Api mencelat kesamping hendak memapas pergelangan tangan pemuda itu.

Jaka Lola terkejut. Dia berusaha menghindar sebisa mungkin, namun pedang Bidadari Tangan Api telah memapak pedang hingga terlepas dari genggaman.

Trang!

Belum hilang rasa terkejut pemuda itu, Bidadari Tangan Api telah melanjutkan serangan. Jaka Lola bergegas melompat ke belakang, namun gerakan wanita itu lebih cepat. Sehingga....

Bret!

“Aaakh...!” Jaka Lola menjerit keras begitu paha kirinya tersambar pedang Bidadari Tangan Api. Kakinya terpincang-pincang, ketika mendarat di tanah. Dan sebelum dia sempat menguasai diri, pedang si Bidadari Tangan Api yang satu lagi telah berkelebat lagi.

Crab!

“Aaa...!”

Murid Padepokan Ulat Sutera itu tersungkur bermandikan darah, begitu pedang Bidadari Tangan Api menembus perutnya. Setelah meregang nyawa sesaat, Jaka Lola terdiam kaku. Mati.

“Oh...!”

Tiga pemuda kawan Bakil hanya berseru kaget. Namun mereka cepat menunduk saat wanita itu menoleh sinis.

Sementara para penduduk Desa Tegal Sari yang sejak tadi mengintip semua kejadian di tempat ini dari celah-celah dinding rumah, semakin ketakutan saja. Gadis itu tidak bisa dibilang Dewi Penolong. Wataknya kejam dan tidak berperikemanusiaan. Bukan tidak mungkin dia akan menggantikan kedudukan Bakil dan kawan-kawannya dalam mengacau di desa ini!

Bidadari Tangan Api membersihkan batang pedangnya yang masih berlumur darah, kemudian menyarungkannya kembali. Matanya memandang dingin, lalu memberi isyarat dengan tangannya.

“Sini kau!” sentak Bidadari Tangan Api.

“Eh, ya... tapi....,” sahut salah satu pemuda yang ditunjuk wanita itu. Pemuda itu menggigil. Wajahnya pucat penuh ketakutan.

“Kesini kataku!” sentak Bidadari Tangan Api dengan mata melotot garang.

“Eh, iya... iya!” Pemuda itu beringsut, menghampiri dengan terburu-buru. Kedua tangannya dirangkapkan. “Ampuni aku, Nisanak! Ampuni...! Kasihanilah selembar nyawaku! Apa pun yang kau perintahkan pasti akan kuturuti...!” sahut pemuda itu, meratap.

“Siapa namamu?!” tanya Bidadari Tangan Api dingin.

“Waskita....”

“Dengarkan baik-baik, Waskita! Akan kuampuni jiwamu. Dan sebagai gantinya, bunuh kedua kawanmu!” ujar Bidadari Tangan Api, enteng.

“Apa?!” Pemuda bernama Waskita terkesiap. Matanya terbelalak lebar. Dipandangnya wanita itu, kemudian beralih pada kedua kawannya berkali-kali.

“Gunakan pedang ini!” lanjut wanita itu, tak peduli seraya menendang pedang Jaka Lola yang berada di dekatnya.

Tang!

Tap!

Dengan gesit Waskita menangkap pedang itu. Namun tubuhnya tidak juga bergerak. Dipandanginya senjata itu agak lama, lalu memandang Bidadari Tangan Api. “Nisanak, aku....”

“Kau mau mati lebih dulu?” potong wanita itu cepat.

“Tentu saja tidak!”

“Kalau begitu, penggal kepala mereka! Atau, kau yang akan menggantikannya.”

“Tapi, Nisanak....”

“Kurang ajar!” Bidadari Tangan Api mendelik garang, lalu mencabut pedangnya. “Kalau begitu kau yang harus mati untuk menggantikan mereka!”

“Eh, ampun! Ampun, Nisanak! Baiklah, akan kuturuti keinginanmu...!” sahut Waskita cepat. Waskita menjura hormat dua kali, kemudian melangkah pelan mendekati kedua kawannya.

“Waskita! Apa yang kau lakukan?! Kau hendak membunuh kami?!” desis salah seorang kawan Waskita yang tadi kehilangan sebelah lengannya.

“Tidak! Kau tidak boleh lakukan itu!” timpal seorang lagi yang kehilangan dua daun telinganya.

“Maaf, Sobat. Aku memang tidak tega melakukannya. Tapi aku pun perlu hidup. Tidak ada jalan lain...,” sahut Waskita hampa. Tanpa banyak bicara lagi. Waskita mengayunkan pedangnya ke leher kedua kawannya.

Wut!

“Terkutuk kau, Waskita...!” bentak pemuda yang kehilangan sebelah lengan, berusaha melompat menghindar. Demikian pula yang seorang lagi.

Mereka memaki-maki tidak karuan. Namun, Waskita yang semula tidak tega membunuh semakin beringas.

“Yeaaa...!” Waskita membentak garang. Pedang di tangannya terus berkelebat semakin ganas mengancam kedua kawannya.

Pada dasarnya mereka memang tidak memiliki kepandaian hebat. Kalaupun ada, tingkatannya tidak seberapa. Dan rata-rata seimbang. Pada saat ini Waskita bersenjata. Sedang kedua kawannya tidak. Bila Waskita mendapat dukungan dari si Bidadari Tangan Api, sedangkan kedua kawannya bukan saja telah terluka, tapi juga telah kendor semangat sejak dihajar wanita itu. Sehingga tidak heran bila dalam waktu singkat Waskita berhasil mendesak. Bahkan, Pedang Waskita berkelebat Langsung dipapasnya kaki salah seorang kawannya yang terdesak.

Bret!

“Akh!” Orang itu mengeluh kesakitan. Kaki kirinya putus sebatas lutut, dan langsung tersungkur.

Waskita tidak menyia-nyiakan kesempatan. Pedangnya langsung bergerak cepat.

“Waskita, ampun...!”

Meski sempat berteriak memperingatkan dengan wajah memohon belas kasihan, tetap saja Waskita tidak mengurungkan niat Dan....

Bles!

“Aaa...!” Orang itu terpekik begitu pedang Waskita menghujam jantungnya. Tubuhnya tegang sesaat, lalu melenguh pelan saat pedang yang menghujam jantungnya dicabut dengan paksa. Tubuhnya terkulai, dengan nyawa melayang.

Waskita ternyata benar-benar memenggal leher kawannya yang telah mati!

DUA

“Waskita! Apa yang telah kau lakukan? Oh, kau sungguh biadab! Kau betul-betul telah menjadi budak wanita iblis itu!” desis kawan Waskita yang seorang lagi, tak percaya.

“Diam kau, Parta! Kau akan mendapat giliran sekarang juga!” sentak Waskita.

“Biadab! Kita memang jahat. Tapi, kita tidak pernah membunuh kawan sendiri!”

“Banyak mulut! Heaaa...!”

Waskita langsung menerjang kawannya yang kehilangan dua daun telinganya dan bernama Parta. Pedangnya semakin lincah mengancam keselamatan Parta. Waskita memang seperti kesurupan. Dia terus mencecar dengan penuh nafsu membunuh.

Parta yang berusia dua puluh tujuh tahun itu melompat ke belakang, ketika Waskita terus mencecar. Gerakannya sudah tak gesit lagi, karena rasa sakit hebat pada kedua telinganya. Sementara Waskita sendiri semakin bernafsu.

Pada satu kesempatan, kaki kiri Waskita sempat menghajar punggung. Parta berbalik, dan bermaksud bergerak kesamping untuk menghindari tendangan berikutnya. Namun gerakan Waskita ternyata hanya tipuan belaka. Karena tahu-tahu ujung pedang Waskita lebih cepat menyambar leher Parta. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Bres!

“Ugkh...!” Parta tidak sempat mengelak. Bahkan dia hanya bisa menjerit tertahan ketika pedang Waskita menebas lehernya. Kepalanya kontan menggelinding bersama tubuhnya yang ambruk dan tewas seketika!

Setelah berhasil membunuh kedua kawannya. Waskita berbalik menghadap Bidadari Tangan Api.

“Bagus. Kau telah melakukan tugasmu dengan baik. Kemarilah.... Ada hadiah untukmu!” ujar wanita itu.

“Eh! Sebenarnya aku tidak mengharapkan hadiah apa-apa. Kau telah mengampuni jiwaku. Dan itu sudah cukup...,” sahut Waskita gugup.

“Apakah kau akan menolaknya?” tanya Bidadari Tangan Api mengerling genit disertai senyum memikat.

“Aku... aku....” Waskita jadi salah tingkah dibuatnya. Jantungnya berdegup kencang dan cuping hidungnya kembang-kempis. Didekatinya gadis itu sambil mesem-mesem.

“Pedang ini amat mengganggu...,” ujar Bidadari Tangan Api, manja.

Wanita itu segera meraih pedang dalam genggaman Waskita. Kemudian dipeluknya pemuda itu erat-erat. Karuan saja. Waskita jadi kelabakan, tidak menyangka. Apalagi ketika wanita ini menciuminya. Dia hanya terpana. Dan sesaat pikirannya melayang entah ke mana. Rasanya seperti mimpi. Namun....

Bles!

“Hugkh...! Kau... kau....” Waskita terkejut. Tahu-tahu sebuah benda tajam menembus punggung kirinya, membuat rasa sakit hebat. Seketika dia berusaha melepaskan pelukan, segera diperiksanya kedua tangannya. Ternyata, telah dipenuhi bercak darah. Bola matanya melotot garang. Kontan dipandangnya wanita itu dengan wajah tak percaya. Namun tidak lama. Sebab kemudian Waskita mengeluh panjang dan ambruk tak berdaya.

Tangan kanan Bidadari Tangan Api mengacungkan pedang yang masih berlumur darah. Dengan senjata ini, agaknya dia merenggut nyawa Waskita. “Huh! Kau kira bisa bernasib baik ketimbang kawan-kawanmu? Jangan mimpi!” dengus wanita ini, dengan menyeringai lebar.

Kemudian wanita itu mencampakkan begitu saja pedang tadi. Dan kakinya mulai melangkah dengan wajah angkuh. Bola matanya memandang ke sekeliling. Sementara penduduk yang sempat bertatapan mata secara tidak sengaja, buru-buru berpaling.

“Hei, penduduk desa ini! Keluarlah kalian! Sekarang, kalian lihat! Pengacau-pengacau itu telah menemukan ganjaran setimpal atas perbuatan mereka selama ini...! Ayo, keluar! Apakah kalian tidak ingin menyambutku?!”

Tak ada seorang pun yang menyahut. Semua penduduk bersembunyi didalam rumah dengan ketakutan. Mereka khawatir, bila keluar dan menampakkan diri maka gadis itu akan membunuh!

“Kurang ajar! Inikah rasa terima kasih kalian padaku?! Huh! Dasar kerbau-kerbau tolol! Mungkin setelah dipaksa baru kalian mau menunjukkan batang hidung di depanku!” dengus Bidadari Tangan Api.

Setelah berkata begitu. Bidadari Tangan Api menghantam salah satu rumah yang berada di dekatnya. “Yeaaa...!”

Bruak...!

Rumah gubuk itu kontan hancur berantakan. Maka seketika itu pula empat orang penghuninya yang terdiri dari sepasang suami istri berusia lanjut beserta dua orang anak laki-lakinya terkejut. Mereka bertiarap, lalu tegak berdiri ketakutan memandangi rumahnya yang tidak karuan. Kemudian mereka memandang Bidadari Tangan Api bergantian.

“Ke sini kalian!” bentak wanita itu galak.

“Eh, kami... kami...,” sahut seorang laki-laki tua, kepala keluarga rumah ini. Tubuhnya gemetar. Suaranya tercekat di kerongkongan.

Itu saja sudah cukup membuat wanita itu semakin berang. Dia melompat dan bermaksud menghabisi mereka sekaligus. Namun sebelum niatnya terlaksana, mendadak....

“Nisanak! Kurasa cukup sudah tindakanmu! Kau telah melewati batas!” Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.

“Hm...!”

Wanita itu menoleh ke arah asal suara di belakangnya. Matanya disipitkan, melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di dada. Pemuda dengan sebilah pedang bergagang kepala burung menyembul dari balik punggungnya itu melangkah dan mendekati Bidadari Tangan Api. Lalu dia berhenti saat jarak mereka terpaut lima langkah.

“Siapa kau, Bocah?! Apa kau bosan hidup, sehingga berani mencampuri urusanku?!” desis Bidadari Tangan Api lantang dan garang.

“Kau tak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, aku bukan anak kecil yang mesti dipanggil bocah. Dan aku hanya ingin kau menghentikan tindakanmu yang kelewat batas...,” sahut pemuda berbaju rompi putih ini, kalem.

“Kurang ajar! Hei, buka matamu lebar-lebar. Dan, lihat kesekelilingmu!” tuding Bidadari Tangan Api geram, sambil menunjuk mayat-mayat yang bergelimpangan.

Tapi pemuda itu hanya tersenyum dingin menanggapi ocehan wanita ini. Namun begitu, sama sekali matanya tidak ingin melirik. Agaknya dia sekadar menunjukkan kalau gertakan wanita ini tidak membuatnya takut.

“Aku tak peduli pada mereka. Dan aku hanya minta kau tidak keterlaluan. Cukup sudah mereka yang menjadi korbanmu. Jangan ditambah lagi. Apalagi terhadap penduduk desa tak berdosa,” sahut pemuda itu tenang.

“Dasar lancang! Hei! Agaknya kau belum tahu siapa aku?! Pergilah, sebelum kau menjadi korbanku berikutnya!” bentak Bidadari Tangan Api, lantang.

“Aku juga tak peduli, siapa dirimu. Yang jelas, tindakanmu membuatku harus mencegahmu!” sahut pemuda itu enteng.

“Kurang ajar! Rupanya kau betul-betul ingin mampus! Baik kalau itu yang kau inginkan!” dengus wanita itu. Lalu....

Sring!

Bidadari Tangan Api langsung mencabut sepasang pedang pendeknya. Seketika diserangnya pemuda berbaju rompi putih yang tak lain adalah Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

“Yeaaa...!”

Wuk!

Kelebatan sepasang pedang Bidadari Tangan Api terlihat cepat. Dan bagi mata orang awam rasanya tidak akan mampu melihatnya. Namun begitu, Pendekar Rajawali Sakti tenang-tenang saja. Begitu kedua senjata itu meluncur dekat, tubuhnya meliuk indah seperti tengah menari. Sudah tentu hal itu membuat Bidadari Tangan Api mengamuk sejadi-jadinya.

“Hm, pantas! Agaknya kau sedikit punya kemampuan yang hendak dipamerkan di depanku. Huh! Kau akan merasakan pelajaran pahit. Bocah!”

“Kepandaianku memang belum seberapa. Dan aku memang butuh pelajaran baru darimu...,” balas Rangga, tetap tenang.

“Huh, Bangsat! Kau boleh mampus sekarang juga!” desis Bidadari Tangan Api semakin geram.

Kembali wanita itu menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan menambah kecepatan dan tenaga dalamnya. Gerakannya mulai berbeda dan penuh gerak tipu. Agaknya, dia mulai mengeluarkan kepandaiannya yang paling tidak untuk menjatuhkan Pendekar Rajawali Sakti secepatnya. Tapi, Rangga sama sekali tidak kelihatan terdesak. Bahkan sejauh ini bukan saja mampu mengimbangi, tapi juga mulai balas menyerang.

“Heaaa...!”

Wut! Set!

Kedua pedang Bidadari Tangan Api mencoba mengurung. Tapi dengan mudah Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas sambil berputar bagai kitiran. Bahkan cepat mengayunkan satu tendangan keras ke wajah.

Wuk!

“Uhhh...!” Bidadari Tangan Api terkesiap. Gerakan pemuda itu lebih cepat daripada dugaannya semula. Kalau saja tidak mencelat ke belakang, bukan mustahil wajahnya remuk terhantam tendangan.

“Yaaat...!” Pendekar Rajawali Sakti kembali mengejar. Meski si Bidadari Tangan Api coba bertahan dengan mengibaskan sepasang pedangnya, tetap saja tidak mampu mengimbangi gerakan Rangga.

Mendadak serangkum angin kencang menerpa pipi kiri Bidadari Tangan Api. Wanita itu menoleh sambil mengibaskan pedang. Dan tahu-tahu, serangkum angin yang berasal dari kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti lurus terarah ke dada. Buru-buru Bidadari Tangan Api menjatuhkan diri, bermaksud bergulingan untuk menghindarinya.

Di luar dugaan. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya sambil melepaskan satu tendangan setengah melingkar ke pinggang. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Begkh!

“Aouw...!” Sekali lagi Bidadari Tangan Api harus mengakui keunggulan pemuda itu dalam bergerak. Pinggangnya kena dihajar. Sambil mengeluh kesakitan, wanita itu terus bergulingan untuk menghindari serangan berikutnya.

Namun, ternyata Pendekar Rajawali Sakti masih tetap tegak di tempatnya. Dan sampai Bidadari Tangan Api kembali bangkit berdiri. Rangga tetap belum melanjutkan serangan. Seolah pemuda itu ingin menunjukkan kalau mampu bersikap ksatria dan tidak menyerang wanita itu selagi lawan belum bersiap.

“Huh! Jangan dikira sudah menang. Bocah! Kau akan merasakan hajaranku, Bangsat!” dengus Bidadari Tangan Api dengan wajah berkerut geram.

“Nisanak! Kau masih muda. Bahkan kepandaianmu cukup hebat. Alangkah baiknya jika kepandaianmu digunakan untuk membela kebenaran ketimbang berbuat ugal-ugalan...,” ujar pemuda itu menasihati.

“Jangan berkhotbah di depanku. Bangsat!” desis Bidadari Tangan Api.

Wajah wanita berpakaian merah muda ini berkerut setelah menyelipkan pedangnya kembali di pinggang. Kedua tangannya menyilang di dada dengan jari membentuk cakar. Kedua kakinya tegak membentuk kuda-kuda kokoh. Sesaat ditariknya napas panjang. Kemudian kedua tangannya yang membentuk cakar berubah sedikit kemerahan laksana bara.

Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum. Sama sekali tidak terlihat kekhawatiran pada wajahnya. “Hm, aji Tangan Api...” gumam Pendekar Rajawali Sakti.

“Bagus! Kini kau telah tahu, siapa aku. Huh! Tak ada waktu lagi untuk menyesali diri. Kau akan mampus seperti yang lain. Keparat!” dengus Bidadari Tangan Api. “Heaaat...!”

Diiringi bentakan nyaring tubuh Bidadari Tangan Api melesat, menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan gerakan jungkir balik. Begitu menjejak tanah, kedua tangannya langsung dihentakkan.

“Heaaat...!” Saat itu juga, selarik cahaya merah kekuningan laksana lidah api, mencelat kearah Pendekar Rajawali Sakti. Namun, Rangga tak kalah sigap. Dengan gesit dia melenting tinggi. Akibatnya, sinar merah kekuningan itu terus meluncur. Dan....

Blar...!

Sebuah rumah kontan hancur terbakar oleh pukulan jarak jauh Bidadari Tangan Api. Penghuninya langsung berlarian ke sana kemari sambil berteriak-teriak kebingungan.

“Kurang ajar! Wanita ini agaknya sudah keterlaluan...!” dengus Rangga dingin, begitu menjejak tanah kembali.

Wajah Pendekar Rajawali Sakti berkerut, menandakan hatinya yang geram bukan main. Niat di hatinya hendak mencegah tindakan sewenang-wenang wanita ini kepada penduduk desa. Dan secara tidak sengaja, justru perbuatannya telah membuat wanita itu kalap. Sehingga, yang dirugikan akhirnya penduduk desa juga.

“Heup!” Pendekar Rajawali Sakti kini menekuk kedua kakinya dalam kedudukan sedikit melebar. Lalu kedua tangannya terkepal di pinggang. Dari gerakannya bisa diketahui kalau Rangga tengah mengerahkan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’. Apalagi ketika melihat kedua tangannya yang sudah berubah menjadi merah bagai bara, ketika mengerahkan tenaga dalamnya.

Pada saat yang bersamaan. Bidadari Tangan Api siap menggelar aji ‘Tangan Api’ yang telah ditunjukkannya tadi.

“Heaaat..!” Seketika nyala api itu menjulur cepat kearah Rangga, ketika Bidadari Tangan Api menghentakkan tangan kanannya.

Dan Pendekar Rajawali Sakti juga menghantamkan telapak tangan kanannya ke depan. “Hih!” Saat itu juga, melesat selarik cahaya merah ke arah juluran api milik Bidadari Tangan Api.

Wup!

Cahaya merah itu langsung menggulung lidah api yang dilepaskan Bidadari Tangan Api.

Plas!

Dalam sekejap mata, lidah api itu lenyap. Bahkan cahaya merah dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ terus menghantam dan tak mampu ditahan.

“Aaakh...!” Wanita itu memekik kesakitan. Tubuhnya kontan terlempar beberapa langkah ke belakang. Dan dari sudut bibirnya menetes darah segar ketika dia berusaha bangkit dengan susah-payah.

“Aku belum menghendaki kau celaka lebih parah. Sebab, siapa tahu kau masih bisa bertobat. Pergilah. Dan, jangan sampai aku melihatmu melakukan perbuatan tidak terpuji...,” ujar pemuda itu tenang.

“Hm.... Aku pernah kenal pukulan itu. Tapi, lupa di mana. Kau hebat bisa menjatuhkanku. Dan aku tidak perlu malu bila mengetahui kalau orang yang mengalahkanku adalah pendekar besar...,” kata Bidadari Tangan Api, lemah suaranya.

“Nisanak, kau salah. Aku bukan pendekar besar, aku hanya seorang pengelana biasa....”

“Kau tidak bisa berdusta padaku, Kisanak! Meski bicaramu merendah, tapi aku bisa merasakannya. Katakanlah... Jangan biarkan aku penasaran bila tidak mengetahui siapa yang telah menjatuhkanku,” desah Bidadari Tangan Api.

“Apa gunanya?”

“Bidadari Tangan Api tidak boleh dikalahkan begitu saja tanpa membalas! Aku harus tahu, kepada siapa dendamku kelak harus terbalas!” sahut wanita itu berterus-terang.

Rangga menggeleng lemah. Dia menduga wanita ini akan bertobat setelah kena batunya. Tapi, agaknya sia-sia saja. kenyataannya, wanita satu ini begitu keras kepala. Tidak akan menerima kekalahannya begitu saja.

“Baiklah kalau kau memaksa...,” sahut pemuda itu, seraya menghela napas panjang.

Bidadari Tangan Api memandangnya, menunggu pemuda itu melanjutkan kata-katanya.

“Orang menyebutku.... Pendekar Rajawali Sakti.”

“Pendekar Rajawali Sakti?! Ah! Dugaanku tidak jauh beda rupanya. Hm, pantas. Pantas sekali bila aku dijatuhkan olehmu!” seru wanita itu, kagum.

Bidadari Tangan Api memandangi pemuda itu sejurus lamanya, sambil tersenyum-senyum kecil. Sulit diduga, apakah dia kagum yang sebenarnya, atau sekadar mengingat kalau telah mengetahui kepada siapa kelak harus membalaskan dendamnya.

“Nisanak! Kejadian ini sebenarnya tidak harus terjadi. Kau terlalu keras dan memaksaku. Lebih dari itu, aku tidak bisa membenarkan tindakanmu membunuh orang seenaknya....”

“Kau katakan seenaknya? Huh! Keempat orang itu adalah pengacau. Tanyakan pada semua penduduk desa ini. Maka, kau akan tahu sendiri. Orang-orang seperti itu sudah sepatutnya mati. Hukuman tidak akan membuat mereka jera!”

“Dan pemuda satu itu?” tunjuk Rangga.

Wanita itu tersenyum dingin. “Dia murid Padepokan Ulat Sutera. Salahnya sendiri. Dia terlalu ikut campur urusan orang. Bagiku, siapa saja yang mencampuri urusanku, maka harus mati. Kau adalah pengecualian. Sebab, saat ini aku tidak mampu menepati janjiku sendiri. Tapi, bukan berarti kau akan hidup tenang. Ke mana pun kau pergi, bila saatnya tiba, maka aku akan membayar hutang hari ini. Berikut bunganya. Pendekar Rajawali Sakti!” tandas Bidadari Tangan Api mantap.

“Hm.... Hatimu diliputi dendam, Nisanak. Kau hanya menyiksa diri. Aku sama sekali tidak takut ancamanmu. Aku hanya menyayangkan, bahwa kau akan menghabiskan umurmu hanya karena soal dendam...,” sahut Rangga kalem.

“Aku tak peduli segala petuahmu! Tak seorang pun boleh mengatur hidupku! Aku menentukan sendiri, apa yang patut kukerjakan dan mana yang tidak. Kalau kau takut, boleh membunuhku sekarang juga!” ujar wanita itu, lantang.

Rangga kembali menggeleng. Hela napasnya terasa panjang dan berat. “Nisanak, pergilah. Kau boleh bawa dendammu. Aku akan menunggu, sampai kau bisa membalaskan dendammu. Tapi, ingatlah. Sesungguhnya aku lebih suka kau menghabiskan sisa usiamu untuk berbuat kebaikan dengan kepandaianmu. Itu lebih berguna dan amat terpuji...,” ujar Rangga, tetap bersikap tenang.

“Sudah kukatakan, aku yang menentukan jalan hidupku sendiri. Bila itu keputusanmu, maka tunggulah saatnya. Aku akan datang menagih nyawamu!” desis Bidadari Tangan Api. Setelah berkata demikian, wanita itu berbalik. Dan seketika itu pula tubuhnya melesat kencang meninggalkan desa ini.

Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa menggeleng lemah memandangnya dengan wajah kasihan. Tak ada yang bisa diucapkannya, selain menyesalkan sikap wanita itu yang keras kepala.

********************

TIGA

“Maling-maling...! Ayo, kejar! dia menuju pinggiran telaga yang dekat hutan sana!”

Terdengar teriakan keras membahana, menyeruak ketenangan Desa Tegal Sari. Sebentar saja, orang-orang desa itu sudah cepat berkumpul sambil mengacungkan segala jenis senjata tajam. Kemudian, mereka menyusul yang lain untuk mengejar seseorang yang kini menjadi buronan.

“Kejar.... Jangan sampai lolos!”

“Hajar! Pecahkan kepalanya...!” teriak yang lain menimpali.

Hampir semua lelaki penduduk desa itu mengejar sosok yang diteriaki maling. Jumlah mereka tidak kurang tiga puluh lima orang.

Sementara itu orang yang dikejar adalah laki-laki berusia sekitar dua puluh enam tahun. Wajahnya lebar. Tubuhnya berukuran luar biasa. Bila ada orang yang bertubuh tinggi dan berbadan besar, tak ada apa-apanya dibanding tubuh lelaki itu. Maka ketika berlari kencang begitu, bumi laksana bergoncang oleh derap kakinya.

“Nah, nah...! Dia mulai kelabakan!” seru salah seorang penduduk desa ketika laki-laki bertubuh raksasa ini terjebak di pinggiran Telaga Maut.

Telaga itu sendiri lebar dan cukup dalam. Selama ini, penduduk Desa Tegal Sari jarang ada yang berani mendekatinya. Konon, telaga ini memang angker. Beberapa orang yang jatuh dipastikan akan tenggelam dan tak akan tertolong lagi. Ketika mendekati telaga, semula mereka ragu. Namun amarah yang membakar hati, membuat mereka menguatkan diri dan terus mengejar buruan hingga terdesak.

“Mau ke mana kau, Buto Ijo?! Hari ini tamat riwayatmu! Tidak ada lagi pencurian ternak. Tidak akan ada lagi perusakan sawah ladang. Bila kau mati, maka segalanya akan berakhir!” dengus yang lain.

Orang yang barusan berkata tampak gemas. Sikapnya terlihat garang. Goloknya yang tergenggam di tangan kanan sesekali dimain-mainkan dengan sikap mengancam. Sementara, para penduduk yang lain pun agaknya bersikap sama. Kelihatan mereka begitu geram dan mendendam pada pemuda bertubuh raksasa satu ini.

Para penduduk sebenarnya kenal laki-laki bertubuh raksasa bernama Darmo Angkor ini, sebab memang masih penduduk desa ini juga. Walaupun tempat tinggal Darmo Angkor yang dijuluki Buto Ijo agak jauh dari perkampungan penduduk.

Dari dulu kedua orang tua pemuda bertubuh raksasa itu memang jarang berbaur dengan penduduk lainnya. Entah kenapa. Namun, sikap penduduk pun memang kelihatan enggan. Sebab, mereka menduga kalau kedua orangtua Darmo Angkor adalah dukun sakti yang amat jahat. Semula memang tidak ada persoalan di antara mereka. Apalagi, kedua orangtua Darmo Angkor yang dicurigai sebagai dukun jahat itu tidak pernah mengusik.

Sejak pemuda itu tumbuh besar dengan nafsu makan yang semakin menjadi-jadi, sementara orangtuanya tidak mampu mencukupi, maka mulailah perkampungan dijarahnya. Dan sejak itu, penduduk dibuat jengkel. Setiap hari ada saja yang kehilangan ternak. Baik ayam, kambing, maupun yang lainnya. Bahkan sawah ladang pun tidak luput dari kerusakan. Buah-buahan yang hendak dipetik, raib tak bersisa. Demikian pula padi-padian yang belum dipanen. Hilang tak berbekas!

Semula, kecurigaan penduduk tidak tertuju pada pemuda bertubuh raksasa ini. Tapi suatu saat, salah seorang penduduk sempat memergoki Darmo Angkor yang tengah melahap ternak hasil curian. Maka, kecurigaan terhadapnya sejak itu semakin menjadi-jadi. Beberapa orang penduduk pernah mendatangi orangtuanya dan melaporkan kejadian itu. Namun suami istri dukun sakti itu tidak bisa terima. Mereka marah dan mengusir penduduk yang datang. Karena tidak ada jalan lain, mereka segera meringkus Darmo Angkor untuk dimintai pertanggung-jawabannya.

“Sudah, Ki Soma! Bereskan saja Buto Ijo ini sekarang juga!” teriak salah seorang penduduk.

Orang yang dipanggil Ki Soma berusia lima puluh tahun lebih. Tubuhnya agak kurus, sehingga tulang dadanya terlihat menonjol. Namun begitu, sorot matanya terlihat tajam penuh wibawa. Orang-orang segan kepadanya. Maka tidak heran bila dia dipercaya memangku jabatan Kepala Desa Tegal Sari.

“Ya! Kita akan menghukumnya sekarang juga...,” sahut orang tua itu dingin.

Baru saja selesai kata-kata Ki Soma, saat itu juga melompat beberapa orang pemuda dengan golok terhunus menyerang Darmo Angkor.

“Yeaaa!”

“Mampus kau, Buto Ijo...!”

Pemuda bertubuh raksasa itu tampak pucat ketakutan. Secara tidak sengaja, kedua tangannya disilangkan untuk melindungi muka dari sambaran golok. Dan....

Tak! Pletak!

“Heh?!” Kedua pemuda desa itu terkejut. Golok mereka sama sekali tidak mampu melukai kulit tubuh Darmo Angkor. Sekali lagi mereka menebas bagian lain yang lunak. Namun, hasilnya tetap sama.

Sementara, Darmo Angkor sendiri hanya meringis menahan sakit. Namun begitu, pemuda yang kelihatan tolol ini tidak berusaha membalas. Dia malah tetap berdiri dengan wajah bingung, saat kedua pemuda desa ini terheran-heran.

“Ki Soma! Apa yang harus kita lakukan?! Buto Ijo ini ternyata kebal terhadap senjata tajam!” teriak seorang pemuda yang menyerang.

“Biar aku yang membereskannya. Minggir kalian!” sahut orang tua itu, langsung melompat mendekati Darmo Angkor.

Dan lagi-lagi, kekaguman penduduk desa semakin bertambah ketika melihat kehebatan orang tua ini. Ki Soma ternyata mampu berkelebat ringan, menggunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup hebat.

“Darmo Angkor, bersiaplah.... Kau akan menerima hukuman atas perbuatanmu selama ini. Orangtuamu sudah tidak mau tahu lagi. Sehingga kau harus mempertanggungjawabkannya sendiri!” desis Ki Soma, begitu berdiri di depan Darmo Angkor.

Orang tua itu menarik napas panjang. Kedua tangannya menyilang di dada, bersiap menghantam pemuda bertubuh raksasa itu dengan tenaga dalam kuat. Dengan sekali hajar, agaknya diyakini, kalau Darmo Angkor akan terjungkal dan tenggelam ke dasar telaga di belakangnya. Namun sebelum pukulan Ki Soma terlepas....

“Tahan...!” Mendadak terdengar bentakan keras, membuat terkejut semua orang yang ada di situ.

Ki Soma menahan gerakannya. Seketika, kepalanya berpaling kearah asal suara. Tampak sosok tubuh sudah mencelat ringan ke depannya. Mereka adalah sepasang suami istri bertubuh kurus. Yang lelaki berusia hampir sama dengan Ki Soma. Tubuhnya pun kurus serta kecil, dibalut pakaian serba hitam. Kepalanya memakai.semacam blangkon hitam. Giginya hitam dan kotor. Beberapa buah terlihat tanggal ketika menyeringai lebar.

“Ayahhh...!” seru Darmo Angkor girang.

Wajah pemuda bertubuh raksasa itu langsung berseri-seri seperti bocah yang mendapatkan mainan kesukaannya. Dengan tergesa-gesa, dihampirinya suami istri itu. Lalu, dipeluknya satu persatu. Kemudian dia bersembunyi dibelakang dua sosok yang ternyata orangtuanya.

“Kau hendak melindungi anakmu, Bungkelen?” sinis nada suara Ki Soma.

“Huh! Bila kau memiliki anak, sementara anakmu dalam bahaya, apakah kau akan berdiam diri?!” dengus orangtua laki-laki Darmo Angkor yang bernama Ki Bungkelen.

“Aku tidak pernah punya anak. Dan kalaupun ada, anakku tidak sebengal anakmu,” sahut Ki Soma enteng.

Kata-kata Ki Soma terasa perih didengar dan amat menusuk perasaan hati. Tentu saja membuat suami istri itu berang bukan main.

“Siapapun adanya kalian semua, jangan coba-coba menyentuh anakku! Kalian boleh langkahi mayatku lebih dulu!” teriak Nyai Bungkelen ibu dari Darmo Angkor lantang seraya mencabut keris yang terselip dipinggang belakang.

Wajah wanita tua itu garang, membuat penduduk desa lain menjadi ciut nyalinya. Namun tidak demikian halnya Ki soma. Orang tua itu tersenyum sinis.

“Ki dan Nyai Bungkelen! Apa mau kalian? Apakah hendak melindungi anakmu yang kurang ajar dengan menakut-nakuti kami? Berapa kali kami telah memberi peringatan pada kalian. Tapi kalian tidak peduli. Dan kini ketika kemarahan penduduk tidak dapat dibendung lagi, kalian mencoba melindunginya. Padahal, dia nyata-nyata bersalah...,” tuding Ki Soma.

“Siapa pun tidak akan rela melihat anaknya dibunuh di depan batang hidung sendiri!” sentak Ki Bungkelen.

“Boleh saja kami tidak membunuhnya. Tapi, dia harus mendapat hukuman setimpal atas perbuatannya selama ini,” sahut Ki Soma tenang.

“Aku bisa mengajar anakku tanpa campur tangan kalian. Biar aku yang akan memberi hukuman padanya!” kali ini Nyai Bungkelen yang menyahuti.

“Hukuman apa yang akan kalian berikan padanya? Lakukan sekarang agar kami bisa menilai, apakah itu setimpal dengan perbuatannya selama ini!”

“Tiada hakmu untuk ikut campur dalam soal ini!”

“Kau boleh berkata begitu. Tapi, aku kepala desa di sini. Aku punya kewajiban menenteramkan penduduk yang resah, karena ulah anak kalian. Panen mereka sering gagal karena dirusak anak kalian. Sehingga, mereka tidak punya sesuatu untuk dimakan. Ternak lenyap dicuri Darmo Angkor sehingga mereka tidak bisa membajak. Tidak bisa memerah susu, juga tidak bisa mengambil dagingnya untuk dimakan. Mereka kelaparan dan hidup sengsara. Lebih dua puluh keluarga menjadi korban ulah anak kalian. Kini masihkah kalian berusaha melindunginya? Atau barangkali sengaja membiarkan perbuatannya?!” sentak Ki Soma, lantang.

Ki Bungkelen diam. Dia pandang istrinya, lalu kepada anaknya. Sementara Darmo Angkor menundukkan kepala. Wajahnya meringis seperti bocah tak berdosa.

“Kuberi kalian kesempatan untuk memikirkannya. Dan sesudahnya, berikan jawaban memuaskan untuk kami. Kalau tidak, maka biarkan kami yang memutuskan hukuman apa yang tepat bagi anak kalian...!” lanjut Ki Soma.

Ki Bungkelen hanya melirik sekilas. Lalu matanya memberi isyarat pada anaknya. Darmo Angkor mendekat dan berlutut di depan ayahnya. Meski begitu tinggi, Ki Bungkelen tidak mampu menyamai tinggi tubuhnya.

“Darmo! Kau anakku satu-satunya. Apa pun perbuatanmu, aku dan ibumu akan melindungimu. Mereka akan berbuat kasar. Dan mungkin kami akan tewas nantinya. Bila kami binasa, maka pergilah kau. Selamatkan dirimu. Bila perlu, lawanlah mereka! Kau punya kelebihan. Nak. Bukan saja tubuhmu yang besar dan tenagamu yang kuat, tapi juga kebal senjata tajam. Kau bisa membunuh mereka bila bisa memompa keberanian dalam dirimu...,” ujar Ki Bungkelen memberi wejangan pada putranya.

Darmo Angkor hanya menunduk. Dia tidak mengerti sepenuhnya, apa yang diucapkan ayahnya. Pemuda itu memang bodoh, dan pikirannya agak terbelakang. Dia hanya memandangi wajah ayahnya, kemudian tidak menunjukkan tanggapan apa-apa. Juga saat Ki Bungkelen berdiri tegak berhadapan dengan Ki Soma.

“Silakan langkahi mayatku bila kalian hendak menghukumnya!” ujar orang tua itu mantap.

“Hm.... Itu berarti kau benar melindunginya. Tak ada jalan lain. Kau harus ikut bertanggung jawab.”

“Tidak usah banyak bicara. Lakukan saja apa maumu!” sentak Ki Bungkelen.

“Baiklah...,” desah Ki Soma.

Kemudian Kepala Desa Tegal Sari mencabut golok yang terselip di pinggangnya. Lalu tubuhnya berputar ke kanan sedikit dengan mengibas-ngibaskan senjatanya. Demikian pula halnya Ki Bungkelen. Dengan kerisnya dia bersiap mengincar titik kelemahan lawan. Kemudian pada saat yang tepat kedua orang tua itu bergerak bersamaan.

“Heaaat...!”

Trang! Bet!

Pertarungan tidak dapat dielakkan lagi. Sementara para penduduk telah menyingkir agak jauh untuk membuat ruang gerak. Sampai sejauh ini, para penduduk semakin kagum saja pada kepala desa itu. Lama mereka hanya mendengar keangkeran Ki Soma, tapi belum bisa membuktikannya secara langsung. Kali ini adalah kesempatan langka. Dan mereka menontonnya dengan mulut ternganga dan wajah kagum.

Permainan golok Ki Soma amat mengagumkan. Bukan saja mampu menangkis setiap serangan Ki Bungkelen yang terus merangseknya, tapi juga mampu balas menyerang.

Pertarungan mereka sendiri berlangsung cepat Masing-masing mempunyai ciri khas berbeda. Bila Ki Bungkelen begitu bernafsu untuk menjatuhkan lawan secepatnya, sebaliknya Ki Soma begitu tenang. Dia tidak terpancing oleh amarah Ki Bungkelen. Namun begitu, justru gerakannya sangat berbahaya. Bahkan beberapa kali Ki Bungkelen nyaris terserempet goloknya.

“Haaat! Yeaaap...!”

Golok Ki Soma berkelebat menyapu leher. Ki Bungkelen cepat berkelit ke samping dan memiringkan kepala. Namun kepala desa itu juga melompat ke samping. Tubuhnya cepat dibungkukkan serendah mungkin, lalu menyambar bagian bawah tubuh Ki Bungkelen. Dengan agak terkesiap, Ki Bungkelen mengkelebatkan kerisnya, menutup ruang gerak golok itu.

Trang!

“Huaiiit!”

Begitu golok Ki Soma kena ditangkis Ki Bungkelen, secepat itu tubuhnya bergulingan dan menebas betis kiri. Melihat serangan ini, Ki Bungkelen segera mencelat keatas. Tapi bersamaan dengan itu pula Ki Soma melenting ke atas, senjata di tangan berkelebat Begitu cepat gerakan kepala desa itu, sehingga Ki Bungkelen tak sempat menyadarinya. Dan....

Bret!

“Aaakh...!” Ki Bungkelen berteriak kesakitan ketika perutnya berhasil dirobek golok Ki Soma. Dengan susah payah orang tua itu berusaha menjaga keseimbangannya ketika kakinya menjejak tanah dengan tangan kiri mendekap perut.

“Kakang Bungkelen...!” teriak Nyai Bungkelen, cemas.

Wanita itu coba menolong suaminya, namun Ki Soma lebih cepat lagi bergerak. Begitu menjejakkan kaki, kembali tubuhnya mencelat Langsung dikirimkannya satu tendangan menggeledek yang tak mampu ditahan Ki Bungkelen.

Duk!

“Aaakh...!”

Byar...!

Tubuh Ki Bungkelen terpental dan jatuh tepat ke dalam telaga. Tak ada seorang pun yang mampu menolongnya, ketika orang tua itu tenggelam seperti batu tercebur di air.

“Ayaaahhh...!” Darmo Angkor terkejut, berusaha menggapai ayahnya.

Hampir saja pemuda raksasa ini ikut jatuh ke dalam telaga itu kalau saja ibunya tidak menarik kedua kakinya. Masih untung Darmo Angkor tidak berusaha berontak. Sebab bila terjadi, niscaya ibunya tidak akan mampu menahan kekuatan tenaganya.

“Hentikan perbuatan tololmu itu! Ayo bangun!” sentak Nyai Bungkelen.

“Tapi, Bu....”

“Jangan cengeng! Ingat pesan ayahmu yang terakhir. Kau harus membalaskan dendamnya!” ujar Nyai Bungkelen, tegas.

“Ayah tidak berkata begitu. Dia hanya menyuruhku lari...,” sahut pemuda itu polos.

“Dasar anak tolol! Tidakkah kau sadari bahwa kau memiliki kelebihan dibanding orang-orang lain? Ayo, pergunakan itu untuk membantu ibumu. Kita hajar mereka! Mereka hendak membunuhmu. Maka sebelum itu, kita harus membunuh mereka lebih dulu!” sentak wanita itu lagi.

Setelah itu. Nyai Bungkelen mencabut keris yang terselip di pinggang. Dan dia langsung melompat menerjang Ki Soma. “Binatang keparat! Kau akan menebus nyawa suamiku dengan jiwa busukmu!” desis Nyai Bungkelen.

“Heup!” Ki soma cepat berkelit dengan melompat ke belakang. Lalu tubuhnya bergerak ke samping dan cepat membungkuk, ketika senjata wanita itu menyambarnya. Bahkan golok di tangannya yang masih berlumuran darah cepat dikelebatkan, menyambar ke perut.

Wanita itu melompat ke atas dengan gesit. Namun, Ki Soma mengikutinya sambil membabatkan goloknya. Tidak seperti suaminya, wanita itu lebih cerdik dan cepat menduga siasat yang digunakan Ki Soma. Dan dia tidak mau terpancing karenanya.

“Hup!” Tubuh Nyai Bungkelen berputar bagai kitiran. Sebelah kakinya cepat menghantam kemuka, sehingga membuat Ki Soma terkejut. Namun, itu tidak mengurangi kegesitannya untuk mencelat ke belakang. Dengan sekali menjejak bumi, Ki Soma kembali melesat menerjang wanita itu.

“Heaaat...!” Mengandalkan kecepatan bergerak, kepala desa itu berusaha mengecoh. Ujung kakinya disodorkan ke dada. Dan pada saat wanita itu memapasnya, tendangannya ditarik. Tubuh Ki Soma lantas berputar sembari mencelat ke atas, dan kembali melakukan tendangan. Gerakannya tidak lurus, melainkan membuat lengkungan. Sehingga, gerakan tendangannya menyapu dari kanan ke kiri.

Nyai Bungkelen terkesiap. Sungguh tidak diduga kalau laki-laki itu mampu bergerak cepat begitu rupa. Sebisanya dia melompat kebelakang untuk menjaga jarak.

“Heaaat...!” Namun, Ki soma tidak tinggal diam. Goloknya seketika itu pula dilepaskan tanpa mampu dicegah lagi, senjata itu melesat bagai kilat. Dan....

Crab!

“Aaa...!” Golok Ki Soma menancap tepat di dada kiri Nyai Bungkelen. Wanita itu kontan memekik keras. Tubuhnya terhuyung-huyung kebelakang.

“Hiyaaa...!” Melihat kesempatan ini, Ki Soma tak menyia-nyiakannya. Tubuhnya langsung berkelebat mendekati, dengan sedikit berputar. Lalu langsung disambarnya wanita itu dengan satu tendangan menggeledek berisi tenaga dalam tinggi.

Duk!

“Aaagkh...!”

Byur...!

Seperti nasib suaminya. Nyai Bungkelen terjungkal. Tubuhnya jatuh kedalam Telaga Maut dan tak tertolong lagi.

“Ibuuu...!” Darmo Angkor terkejut. Pemuda itu berusaha menolong, namun tiba-tiba pikiran waras berkelebat dalam benaknya. Dalam sekejapan mata, tubuh kedua orangtuanya ditelan Telaga Maut. Dia tidak akan bisa menolong, karena akan langsung tenggelam. Kecuali, kalau ingin mati bersama. Tapi dengan begitu, orangtuanya akan mati percuma. Karena, tak ada yang membalaskan kematian mereka.

EMPAT

Berpikir begitu, Darmo Angkor berbalik. Dia tegak berdiri, memandang Ki Soma. Bias ketakutan yang tadi menghiasi wajahnya, berubah cepat Yang ada saat ini hanya kerut-merut penuh dendam, dan sorot mata galak dipenuhi hawa nafsu amarah.

“Orang tua! Kau telah membunuh ayah ibuku! Kau harus mati di tanganku!” dengus Darmo Angkor dengan suara sedikit parau. Seperti raungan gajah yang terluka, Darmo Angkor menerjang Ki Soma.

“Heaaa...!”

Plak!

Ki Soma menepis serangan Darmo Angkor. Bahkan saat itu juga dilepaskannya satu pukulan geledek ke dada pemuda itu.

Bugkh!

“Heh?!” Betapa terkejutnya kepala desa ini. Bukan saja pukulannya tidak membawa hasil, tapi juga tangannya sendiri yang bergetar. Bahkan dia sampai terpekik kaget. Ki Soma jadi penasaran, seketika dilepaskannya satu tendangan dengan tenaga dalam penuh.

Deb!

“Uhhh...!” Sekali lagi orang tua ini dibuat penasaran. Tendangannya yang berisi tenaga dalam tinggi ternyata sama sekali tidak berpengaruh terhadap Darmo Angkor. Pemuda itu menggeram, memperlihatkan kemarahannya. Tangannya cepat dikibaskan. Seketika itu pula, Ki Soma menangkis.

Plak!

Lagi-lagi Ki Soma merasakan tangannya linu bukan main. “Gila! Orang ini agaknya bukan manusia...!” desis orang tua itu.

“Ki Soma! Biar kita bereskan dia sama-sama!” teriak seseorang.

“Ya! Kita bereskan dia! Ayo, biar tidak ada lagi perusuh di desa kita!” sambut yang lain bersemangat.

“Heaaat...!”

Ki Soma tidak menyahut, seperti menyetujui tindakan penduduk desa untuk mengeroyok Darmo Angkor.

“Goaaarrrgkh...!” Mendadak saja Darmo Angkor menggerung mengerikan. Tubuhnya menggeliat dengan sorot mata buas menakutkan. Beberapa senjata tajam berhasil memapas tubuhnya. Namun tidak satu pun yang berhasil melukainya. Padahal, mereka lakukan berulang-ulang. Dan kini Darmo Angkor mulai balas menyerang. Sekali tangannya dikibaskan, dua atau tiga orang lawannya terpelanting saling tubrukan.

Plak! Prak!

“Aaa...!” Tulang-belulang mereka patah. Bahkan beberapa diantaranya terpental dengan kepala remuk. Sementara pemuda bertubuh raksasa itu terus mengamuk dahsyat!

“Yeaaat..!” Kali ini disertai teriakan keras, Ki Soma berusaha mendesak Darmo Angkor ke dalam telaga dengan tendangannya.

Des!

“Uhhh...!” Tendangan orang tua itu tepat mengenai dada Darmo Angkor. Hingga mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung sedikit ke belakang.

“Terus, Ki! Terus...! Desak dia ke telaga! Ceburkan Buto Ijo ke sana!” teriak yang lain memberi semangat.

Orang tua itu bergerak lincah. Begitu menjejakkan kaki, tubuhnya kembali mencelat melakukan tendangan menggeledek.

“Hiyaaa...!”

Tap! Wut!

Tidak seperti tadi, kali ini Darmo Angkor berhasil menangkap kaki Ki Soma dan dia bermaksud akan membantingnya. Masih untung Ki Soma berhasil melepaskan diri. Darmo Angkor tidak diam begitu saja. Pemuda bertubuh raksasa itu terus mengejar. Sementara beberapa pengeroyok lain tidak begitu dihiraukannya.

“Heaaa...!”

Ki Soma segera bergulingan menyelamatkan diri. Sementara, Darmo Angkor sepertinya tak ingin memberi kesempatan sedikit pun. Tubuhnya langsung mencelat, dengan kaki terjulur kearah dada Ki Soma. Dan....

Jder...!

Tubuh kepala desa nyaris hancur luluh kalau saja tidak cepat menghindar dengan terus bergulingan. Tanah bekas hantaman kaki Darmo Angkor tampak berlubang dalam. Bahkan bumi di sekitarnya bergetar hebat membuat kaget para penduduk.

Setelah bergulingan, Ki Soma cepat melenting bangkit berdiri. Kemudian tubuhnya melesat, melakukan tendangan kembali ke perut. Darmo Angkor yang masih celingukan mencari-cari lawannya, tak sempat lagi mengelak ketika tubuh Ki Soma meluncur datang. Hingga....

Buk!

“Uhhh...!” Tubuh Darmo Angkor terhuyung-huyung ke belakang begitu tendangan kepala desa itu telak mendarat di sasaran. Namun, belum juga tumbang. Melihat keadaan Darmo Angkor, Ki Soma segera mengerahkan tenaga dalam ke arah ayunan goloknya. Yang jadi sasaran adalah perut pemuda bertubuh raksasa ini.

Tak!

“Sial...!” Kepala desa itu menggerutu geram. Goloknya ternyata tidak berhasil melukai kulit Darmo Angkor. Dan sekali lagi hal itu dilakukan, hasilnya tetap sama.

Darmo Angkor hanya mengeluh kesakitan. Juga ketika beberapa buah senjata tajam lainnya menghujani, pemuda itu berteriak agak keras. Namun begitu tidak mampu melukai kulitnya. Darmo Angkor menggerung geram, lalu mengamuk sejadi-jadinya. Kedua tangannya bergerak ke kanan dan kiri. Sementara kakinya sibuk menendang orang-orang yang berada di dekatnya.

Duk! Prak! Begkh!

“Aaa...!”

Beberapa pengeroyok berhasil menghindar. Namun, yang lainnya menjadi korban. Mereka menjerit kesakitan. Di antaranya menderita patah tulang ketika diinjak Darmo Angkor. Bahkan ada juga yang kepalanya remuk.

“Heaaat...!” Tengah pemuda itu mengamuk, sekonyong-konyong Ki Soma menendangnya dari belakang yang tak mampu dihindari lagi.

Begkh!

“Uhhh...!” Kali ini Darmo Angkor terjerembab setelah terhuyung-huyung ke depan.

Maka seketika itu pula orang-orang desa itu langsung mengerubutinya. Kali ini mereka menghujani batu-batu besar, sehingga membuat Darmo Angkor kebingungan. Beberapa kali dia berteriak-teriak kesakitan sambil mengibas-ngibaskan kedua tangan untuk melindungi bagian mukanya.

Ki Soma menggunakan kesempatan itu untuk menghajar. Seketika dilepaskannya tendangan ke selangkangan Darmo Angkor.

Tak!

“Aaakh...!” Pemuda itu menggerung setinggi langit menahan rasa sakit yang hebat. Sedang Ki Soma mendengus geram, sambil memandang sinis. Kali ini, orang tua itu mengetahui kelemahan lawannya. Dan dengan sekali hajar lagi disertai pengerahan seluruh tenaga dalam diyakini pemuda itu segera menemui ajalnya.

“Pencuri busuk! Kau boleh mampus sekarang juga!” desis Ki Soma seraya mengayunkan tendangan. Dan sedikit lagi tendangan itu mendarat...

“Hiyaaa...!” Mendadak saat itu juga terdengar bentakan nyaring. Akibatnya, niat orang tua itu terhenti.

Belum juga hilang gema teriakan tadi, tahu-tahu melesat sosok bayangan merah darah dengan gerakan cepat bukan main. Lalu....

Bret!

“Aaa...!” Beberapa penduduk desa tahu-tahu memekik kesakitan. Mereka ambruk dan tewas seketika dengan luka sabetan senjata tajam.

“Keparat!” Ki Soma mendengus geram, begitu melihat sosok yang tengah mengamuk dahsyat. Dengan golok terhunus, langsung diterjangnya sosok yang ternyata seorang gadis cantik berbaju merah muda ini.

Trang! Bet!

“Uhhh...!” Golok Ki Soma menghantam senjata yang digunakan gadis berbaju merah muda itu. Tapi, justru tangannya yang bergetar. Dia mengeluh pendek. Dan belum lagi sempat menguasai diri, sekonyong-konyong terasa angin tajam menyambar pinggang. Cepat bagai kilat Ki Soma berkelit dengan melompat kebelakang seraya mengibaskan golok.

Trang!

Orang tua itu berhasil menangkis senjata gadis berpakaian merah muda ini. Namun secara tak terduga gadis itu berputar, kembali mengkelebatkan senjatanya. Begitu cepatnya, sehingga tidak mampu dielakkan.

Cras!

“Aaakh...!” Ki Soma menjerit kesakitan begitu pinggangnya robek lebar tersambar senjata gadis itu. Darah tampak mengucur deras dari lukanya.

“Hiyaaat...!”

Dan belum sempat Ki Soma berbuat apa-apa, gadis itu telah kembali menyerang dengan cepat dan ganas. Karena untuk menghindar sudah tak mungkin lagi, terpaksa goloknya dikelebatkan untuk memapak senjata gadis berbaju merah muda ini.

Trang!

Begitu habis memapak, Ki Soma terpaksa membuang diri ke samping. Karena saat itu pula, satu sambaran senjata yang lain mengancam ke leher. Agaknya baru disadari kalau gadis ini memiliki sepasang senjata untuk menghadapinya.

“Haiiit!”

Baru saja tubuh Ki soma bergulingan, gadis itu telah memutar tubuhnya. Tepat saat orang tua itu baru saja bangkit, gadis itu telah berkelebat sambil melepaskan satu tendangan geledek.

Des!

“Akh...!” Tak ayal lagi, satu tendangan keras menghantam dada Ki Soma. Orang tua itu memekik keras. Tubuhnya terjungkal dan ambruk ke dalam telaga.

Byur...!

“Ouf, tolong...! Tolo... ng...!”

Teriakan Ki Soma hanya sesaat. Karena saat tubuhnya mulai bergerak, lumpur dasar telaga itu cepat menyedotnya ke bawah. Tubuhnya terus tenggelam. Tamatlah riwayatnya.

Orang-orang desa memang tidak sempat memberi pertolongan. Karena kejadian itu begitu singkat dan cepat. Mereka masih terkesima melihat kehadiran gadis berbaju merah muda.

“Yeaaat!”

Belum tuntas keterkejutan para penduduk, kembali dikagetkan teriakan lainnya. Tampak seorang gadis cantik berpakaian merah muda dengan kedua pedang di tangan, mengamuk hebat membantai para penduduk. Gadis yang tadi menjatuhkan Ki Soma itu membunuh orang-orang desa dengan mudah seperti membalikkan telapak tangan saja. Beberapa orang tewas. Sementara yang lainnya menyusul dengan cepat.

Pekik kematian dan mayat-mayat ambruk dalam keadaan mengerikan tak dapat dihindari lagi. Akibatnya para penduduk yang masih selamat menjadi ciut nyalinya melihat keganasan gadis itu. Dan mereka yang tersisa langsung kabur tunggang-langgang menyelamatkan diri.

“Hm....” Gadis berpakaian merah muda itu menggumam sinis tanpa mempedulikan mereka. Dia membersihkan pedangnya yang berlumuran darah menggunakan baju mayat-mayat yang menjadi korbannya.

Sempat matanya melirik sekilas orang-orang desa yang tinggal segelintir itu. Dalam sekejapan mata, bayangan mereka sudah tidak terlihat lagi. Kini gadis itu melangkah mendekati Darmo Angkor yang tegak berdiri memandanginya dengan wajah takjub.

“Siapa namamu...?” tanya gadis itu, dingin.

“Eh, Darmo.... Darmo Angkor! Siapakah Kakak ini? Hebat sekali! Dalam sekejap mampu membuat mereka kabur ketakutan...!”

“Namaku Dewi Tanjung Putih. Tapi, orang-orang menyebutku sebagai Bidadari Tangan Api....”

“Bidadari Tangan Api? Oh! Apakah Kakak berasal dari swargaloka? Jadi..., jadi tangan Kakak bisa mengeluarkan api?!” tanya Darmo Angkor dengan mata membelalak lebar dan wajah keheranan.

Gadis yang ternyata Bidadari Tangan Api tersenyum kecil. Dipandanginya wajah pemuda bertubuh raksasa ini. Kelihatan polos, seperti bocah di bawah sepuluh tahun.

“Ya, aku dari swargaloka. Tanganku bisa mengeluarkan api, tapi tidak boleh sembarangan digunakan. Hanya untuk menghukum orang-orang jahat...,” sahut Bidadari Tangan Api yang bernama asli Dewi Tanjung Putih, enteng.

“Seperti orang-orang tadi?” tanya Darmo Angkor, lugu.

“Ya....”

Tiba-tiba saja pemuda bertubuh raksasa itu termenung memandangi permukaan telaga. Kemudian kakinya melangkah pelan dan berhenti tepat di tepinya. Dipandanginya untuk beberapa saat seperti hendak menembus telaga yang kelihatan dangkal.

“Kenapa kau sedih...?” tanya Dewi Tanjung Putih.

“Orangtuaku.... Mereka berada di dasar telaga ini. Bisakah Kakak menolong untuk mengeluarkan mereka?” tanya Darmo Angkor dengan wajah lesu.

Dewi Tanjung Putih tersenyum, lalu melangkah mendekati Darmo Angkor. “Mereka tengah beristirahat. Dan kau tidak boleh mengganggunya lagi...,” sahut gadis berjuluk Bidadari Tangan Api ini, sambil menepuk-nepuk pinggang pemuda itu.

“Tapi, tapi.... Mereka adalah pelindungku. Kalau mereka beristirahat, lalu siapa yang melindungiku? Orang-orang itu ingin membunuhku. Mereka membenciku...!” ujar Darmo Angkor, masghul.

“Kenapa harus bingung? Apakah kau tidak mau menganggapku sebagai kakakmu? Aku akan melindungimu dari orang-orang jahat itu...,” tandas Dewi Tanjung Putih cepat.

“Oh, benarkah?! Aku suka sekali kalau kau sudi menjadi kakakku?!” sahut pemuda itu seraya berlutut dan merangkapkan kedua tangan. Wajah Darmo Angkor tampak gembira dengan senyum mengembang lebar.

“Ya, mulai hari ini kita akan mengikat saudara. Kau menjadi adikku dan aku menjadi kakakmu. Sebagai seorang adik, kau harus patuh dan turut pada yang kukatakan.”

“Tentu saja! Aku akan patuh dan menuruti semua kata-katamu. Tapi....”

“Ada apa, Darmo?”

“Perutku lapar. Kak...,” sahut Darmo Angkor, lirih.

“Ayo berdiri! Kita ke desa itu dan cari makanan. Kau akan makan sepuas-puasmu!”

“Tapi, tapi.... Mereka akan membunuh kita nantinya...?!”

“Apakah kau tidak percaya kalau aku akan melindungimu? Ayo, bila mereka berani mengusik, akan kutebas lehernya!” sahut si Bidadari Tangan Api bersemangat.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

“Siapa lagi yang bisa kau andalkan kini. Orang Tua? Serahkan putrimu. Dan kau boleh bebas pergi dengan nyawa utuh,” ujar seorang pemuda tampan berpakaian baju jubah panjang dan tampak resik. Pada tangannya tergenggam sebuah suling. Rambutnya yang panjang digelung ke atas, diikat pita merah.

“Bajingan terkutuk, langkahi mayatku jika kau inginkan putriku!” dengus seorang laki-laki tua sambil mendekap seorang gadis berusia sekitar enam belas tahun.

Memang meski pemuda itu tampan, namun tidak membuat gadis ini menjadi senang. Malah tubuhnya menggigil ketakutan merapat ke tubuh laki-laki tua yang ternyata ayahnya. Bola matanya melirik sekilas pada mayat-mayat yang bergeletakan di sekitar mereka. Jumlahnya ada enam orang. Mereka tewas dengan cara mengerikan.

“Hm.... Jadi kau menginginkan mati ketimbang menyerahkan putrimu baik-baik?” tanya pemuda itu, masih dengan sikap tenang.

“Huh! Terkutuklah kau! Orang sepertimu seharusnya tidak boleh hidup di dunia ini!” desis orang tua berpakaian indah itu.

“Ha-ha-ha...! Begitukah menurutmu? Orang tua! Seharusnya kau merasa bangga karena anakmu berjodoh denganku. Aku Kamajaya, adalah orang terpandang. Berapa banyak gadis yang mengejar-ngejar, namun tak seorang pun yang berkenan dihatiku...,” kata pemuda yang ternyata bernama Kamajaya.

“Siapa yang peduli segala omong kosong itu?!”

“Hm!” Senyum Kamajaya seketika sirna mendengar kata-kata orang tua itu. Wajahnya berkerut Dan kelihatannya dia mulai tidak sabar menghadapi orang tua yang keras kepala ini.

“Aku telah cukup bersabar dan berbaik hati padamu. Tapi kau tidak juga mengerti niat baikku. Orang sepertimu agaknya harus dipaksa agar mengerti niat baik seseorang!” desis Kamajaya geram.

“Persetan dengan segala ocehanmu! Berani kau menyentuh putriku, maka pedang ini akan menebas lehermu!” ancam orang tua itu seraya menyilangkan pedang ke wajah.

“Pedang itu? Kau hendak menghadapi Pendekar Suling Emas? Huh! Kau boleh mimpi. Tolol! Tak seorang pun yang bisa menolak dari keinginanku. Tidak juga kau!” sentak Kamajaya, yang berjuluk Pendekar Suling Emas.

Baru saja selesai berkata begitu, tubuh Kamajaya mencelat. Orang tua itu terkesiap, berusaha mengibaskan pedang. Namun senjatanya hanya menebas angin. Bahkan tiba-tiba saja tubuhnya terdorong kesamping oleh satu tenaga kuat. Dan bersamaan dengan itu....

“Ayaaah...!” Terdengar jeritan gadis yang tadi mengkeret dalam pelukan orangtuanya.

“Anakku...!” jerit laki-laki tua itu kaget. Bola mata orang tua ini melotot garang. Darahnya tersirap sampai ke ubun-ubun ketika mengetahui kalau putrinya telah berada dalam pelukan Kamajaya.

Pemuda itu sendiri tersenyum-senyum mengejek. “Sekarang apa yang bisa kau lakukan? Dia dalam genggamanku, maka berarti milikku. Aku bisa berbuat apa saja terhadap milikku...,” ejek Kamajaya.

“Bedebah! Lepaskan putriku! Lepaskan dia...!” geram si orang tua.

Sambil menghunus pedang, laki-laki tua berpakaian indah ini mengejar penuh nafsu. Namun, ringan sekali gerakan Kamajaya saat melompat menghindar. Dan untuk kedua kalinya, senjata itu hanya menebas angin. Dan sebelum laki-laki tua itu bermaksud menyerang lagi....

“Berhenti, Orang Tua! Kalau tidak, aku tidak akan segan memecahkan batok kepala putrimu ini!” bentak Kamajaya, membuat gerakan laki-laki tua ini berhenti.

Laki-laki tua berpakaian indah ini terkesiap, melihat pemuda itu mengangkat sulingnya tepat di atas kepala putrinya. Memang, agaknya suling itu tidak bisa dianggap main-main. Buktinya tadi para pengawal orang tua ini binasa, terhajar suling yang kelihatannya aneh ini.

“Syukur kau tahu gelagat. Nah, sekarang jangan ganggu lagi...,” lanjut pemuda itu sambil menyeringai lebar.

“Tunggu dulu! Mau kau bawa ke mana putriku?” tahan laki-laki tua ini sebelum Kamajaya melangkah meninggalkan tempat itu.

“Kau tidak perlu tahu, sebab sekarang bukan urusanmu lagi. He-he-he...! Jangan coba bertindak bodoh. Dan aku tidak segan-segan memecahkan kepala putrimu ini!” sahut Kamajaya, seraya menyeret gadis yang berusaha berontak sambil berteriak-teriak ketakutan.

Wajah gadis itu pucat. Tubuhnya tampak menggigil. Suaranya serak di kerongkongan. Laki-laki tua itu bisa merasakan ketakutan yang dialami putrinya. Dan, dia tidak mampu berbuat apa-apa karena takut ancaman pemuda bernama Kamajaya. Namun....

“Serahkan gadis itu pada orangtuanya!” Terdengar bentakan nyaring menggelegar, mengejutkan semua orang yang ada di tempat ini.

LIMA

Kamajaya terkesiap. Tahu-tahu saja di tempat ini muncul seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Entah dari mana datangnya. Tampak sebilah pedang bergagang kepala burung bertengger dipunggungnya. Dibelakangnya, terlihat seekor kuda berbulu hitam mengkilat.

“Kisanak! Lepaskan gadis itu. Dan, jangan berbuat macam-macam kepadanya!” ulang pemuda yang baru muncul ini.

“Huh! Apa urusanmu? Hei, lebih baik menyingkir! Kalau tidak, aku betul-betul akan memecahkan batok kepala gadis ini!” ancam Kamajaya alias Pendekar Suling Emas.

Mendengar itu, orangtua gadis ini semakin ketakutan saja. Dia mencoba memohon agar pemuda yang berbaju rompi putih itu tidak ikut campur dalam urusan ini.

“Tenanglah, Ki. Dia tidak akan berani melakukannya...,” ujar pemuda yang tidak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

“Dia akan melakukannya. Anak Muda! Kau lihat mayat-mayat itu? Mereka adalah korban kekejamannya!” sahut orang tua ini masih dengan wajah khawatir.

“Percayalah padaku. Dia tidak akan berani melakukannya...,” bujuk Pendekar Rajawali Sakti.

“Tutup mulutmu! Barangkali kau ingin melihat kepala gadis ini remuk, he?!” ancam Kamajaya, berang.

Rangga senyum-senyum mendengar ancaman Pendekar Suling Emas. “Sempat kudengar kalau kau ternyata Pendekar Suling Emas. Hm.... Seorang tokoh yang kukenal amat mengagumkan. Hebat, dan jarang tandingannya. Tapi hari ini, orang-orang akan menertawaimu karena menyandera seorang gadis. Bahkan berani mengancamnya. Padahal, gadis itu sama sekali tak memiliki kepandaian. Itu dilakukannya karena takut menghadapi seorang gembel sepertiku...!”

“Kurang ajar! Apa katamu, he?!”

“Bukankah kau takut padaku, sehingga perlu berlindung dibelakang seorang gadis tidak berdaya dengan menyanderanya?” ejek Pendekar Rajawali Sakti.

“Keparat! Kau kira aku takut denganmu? Phuih! Seribu orang sepertimu akan kuhabisi dalam sekejap mata!” bentak Kamajaya dengan wajah berkerut geram.

“Kalau begitu lepaskan dia. Dan, hadapi aku,” sahut Rangga tenang.

“Phuih! Kau coba mengakaliku, he?!”

“Nama Pendekar Suling Emas begitu menjulang. Tapi sejauh ini, belum kubuktikan kehebatannya. Kalau ternyata nama itu tidak sepadan keadaan sebenarnya, sudah tentu amat memalukan.”

“Kalau begitu, kau boleh menunggu kematianmu, sementara aku bersenang-senang dengan gadis ini!” ujar Kamajaya terkekeh kecil.

“Sayang sekali, aku tidak bisa menunggu...,” sahut Rangga. Pendekar Rajawali Sakti kemudian memungut sebilah pedang yang mungkin milik salah seorang mayat yang tergeletak di dekatnya.

“Aku tidak peduli, kau akan menyandera gadis itu atau tidak. Dan aku juga tidak peduli, kau menjadikannya tameng bagi seranganku. Yang jelas, kau hanyalah seorang pengecut!” lanjut Rangga, langsung melompat menyerang.

“Kurang ajar!” Mendengar kata-kata pedas itu, panas juga telinga Kamajaya. Apalagi ketika Rangga langsung melompat menyerang. Mungkin apa yang dikatakannya benar. Dia sama sekali tidak peduli bila gadis ini celaka. Dan bila menjadikannya perisai, hanya akan merepotkannya saja. Tapi yang terpenting, tentu saja, dia tidak ingin disebut pengecut.

“Huh! Akan kulihat, sampai di mana kebenaran bacotmu itu, Setan!” desis Pendekar Suling Emas seraya mendorong gadis itu.

Gadis manis ini jatuh terjerembab. Namun, hatinya lega. Maka buru-buru dia bangkit menghampiri orangtuanya.

“Oh! Kau tidak apa-apa. Nak...?” tanya laki-laki tua itu, khawatir.

“Tidak, Ayah. Aku..., aku hanya takut...”

“Maafkan Ayahmu yang tidak berguna ini. Nak. Aku tidak mampu melindungimu dengan baik...,” ucap orangtua itu, masghul.

“Ayah, apakah tidak sebaiknya kita segera pergi selagi mereka berkelahi....?” usul gadis itu.

“Ya! Memang sebaiknya begitu!” sahut laki-laki tua ini. Orang tua itu sempat melirik ke arah pertarungan, sebelum akhirnya buru-buru kabur bersama putrinya.

Sementara itu, pertarungan berlangsung seru dan cepat Pendekar Suling Emas, berkali-kali mendengus geram. Hatinya kesal bukan main. Betapa tidak? Sampai saat ini dia belum juga mampu mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Padahal, perlahan-lahan serangannya ditingkatkan. Bahkan akhirnya telah mengerahkan jurus-jurus andalannya.

Sementara Pendekar Rajawali Sakti yang tidak bergeming sedikit pun, masih mampu mengimbangi serangan dengan mantap.

“Heaaat...!”

Sekali lagi, Pendekar Suling Emas berusaha mendesak. Dan kali ini suling yang dijadikannya senjata berusaha menerobos pertahanan Pendekar Rajawali Sakti, mengincar ke jantung. Namun, hal itu tidak mudah dilakukannya. Pedang ditangan pemuda berbaju rompi putih ini mampu bergerak cepat, menangkis semua serangannya. Bahkan balas menyerang dengan hebat.

Sambil mengerahkan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ untuk menjajaki kepandaian lawannya. Rangga meliuk-liukkan tubuhnya dengan indah. Dan tiba-tiba, pedangnya terhunus menyambar batok kepala Kamajaya. Namun Pendekar Suling Emas cepat menangkis dengan sulingnya. Pada saat yang bersamaan, satu tendangan keras menghantam dada. Kamajaya masih mampu berkelit. Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat memberi serangan susulan yang begitu cepat lewat kakinya yang satu lagi. Dan...

Duk!

“Hugkh...!” Pendekar Suling Emas menjerit kesakitan, begitu pinggangnya terhantam tendangan Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah. Dengan cepat dia bangkit Wajahnya tampak memerah menahan malu, sekaligus amarah.

“Kurang ajar! Kau akan rasakan balasanku, Keparat!” dengus Kamajaya.

“Tidak usah banyak bicara. Seandainya kau memang menjual, aku siap membeli,” sahut Rangga, tenang.

Kamajaya menggeram. Lalu dia melompat menerjang sambil membentak nyaring. “Yeaaa...!”

Trang! Bet!

Suling di tangan Pendekar Suling Emas meluncur, mengancam batok kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa mengalami kesulitan. Rangga menangkisnya dengan mantap. Dan ketika Kamajaya menyodok perutnya lewat satu tendangan keras, tubuhnya berkelit kesamping dan balas menyikut muka.

“Uhhh...!” Kamajaya mengeluh kaget. Nyaris wajahnya jadi sasaran hantaman Pendekar Rajawali Sakti kalau tidak membungkuk dan bergeser ke samping. Hebat! Bersamaan dengan itu Kamajaya masih sempat mengebutkan ujung senjata ke dada Rangga. Tapi secepat kilat, tangan kiri Rangga menangkapnya.

Tap!

“Hiiih!” Saat itu juga Rangga menarik suling. Dan bersamaan dengan itu, pedangnya berkelebat menyambar leher Pendekar Suling Emas. Bukan main kagetnya Kamajaya melihat keadaan itu.

“Yaaap!”

Terpaksa Pendekar Suling Emas melepaskan sulingnya kalau mau selamat Dan seketika itu pula dia melompat ke belakang. Tapi begitu serangannya gagal, maka secepat itu pula Rangga jungkir balik mengejar seraya melakukan tendangan kilat Dan...

Begkh!

“Aaargkh...!” Dan untuk kedua kalinya serangan itu tak dapat dielakkan. Kamajaya jatuh tersungkur disertai jerit kesakitan. Dia berusaha bangun dengan wajah berkerut menahan sakit Namun tahu-tahu sesuatu menahan gerakannya, ternyata ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti telah menyentuh lehernya! Sekali lagi Kamajaya dibuat kagum. Betapa tidak? Ternyata Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat bergerak. Bahkan sebelum dia sempat menyadari!

“Tetap di tempatmu kalau ingin hidup lebih lama...!”

“Eh, oh....”

“Tidak usah takut Aku bukan pembunuh kejam. Kecuali kalau kau memaksa...,” ujar Rangga ketika melihat wajah Kamajaya pucat ketakutan.

Bahkan suaranya nyaris tidak keluar dari kerongkongan. “Apa..., maumu?” tanya Kamajaya.

“Bukankah kau sudah tahu?”

“Eh! Tapi..., tapi aku tidak pernah mengenalmu sebelumnya. Apa kau datang untuk membalas dendam...?”

“Boleh juga dibilang begitu. Berapa banyak wanita yang telah menjadi korban lelaki hidung belang sepertimu?” tanya Rangga, dingin.

“Eh! Aku..., aku....”

“Lima, tujuh, atau barangkali dua puluh...?!”

“Eh! Ng..., aku....”

“Mungkin lebih dua puluh. Tapi masih ada kesempatan bagimu untuk bertobat,” sahut Rangga. Pendekar Rajawali Sakti kemudian berbalik membelakangi Kamajaya. Lalu, dilemparkannya suling di tangannya.

“Pergilah! Dan, jangan ulangi perbuatan bejadmu itu. Kalau tidak, aku akan datang menagih nyawamu!”

Pendekar Suling Emas cepat memungut suling, lalu bangkit perlahan-lahan. Dalam keadaan begitu saja, dia bisa membokong Pendekar Rajawali Sakti. Namun itu tidak dilakukannya. Memang sebagai seorang tokoh silat yang sedikit banyak telah berpengalaman, dia tahu betul kalau pemuda di depannya ini pasti bukan tokoh sembarangan.

Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti melangkah tenang menghampiri kudanya. Namun tangannya masih menggenggam pedang, tetap menjaga kewaspadaannya.

“Hup!” Rangga melompat ke punggung Dewa Bayu. Lalu dihampirinya Pendekar Suling Emas setelah melihat bapak dan anak yang ditolongnya telah pergi dari tempat ini.

“Ingat baik-baik pesanku tadi...,” ulang Pendekar Rajawali Sakti.

“Siapa kau sebenarnya?” tanya Kamajaya, tidak mempedulikan kata-kata pemuda itu.

“Untuk apa? Kau masih penasaran?”

“Hari ini aku kalah. Tapi lain waktu, aku akan mencarimu untuk menebus kekalahan hari ini!” tandas Pendekar Suling Emas.

“Hm.... Terlalu banyak manusia keras kepala sepertimu didunia ini. Seharusnya kubunuh saja sekarang juga.”

“Kalau memang kau pengecut, bisa saja melakukannya sekarang juga. Aku memang kalah dan tak bakal menang. Tapi dengan begitu, aku tahu kalau kau memang penakut. Takut oleh pembalasan yang kulakukan kelak terhadapmu!” dengus Kamajaya.

Rangga tertawa kecil mendengar ocehan pemuda itu. Sama sekali amarahnya tidak terpancing oleh pemuda itu. Namun begitu dia tetap mengangguk dan mengabulkan keinginan Pendekar Suling Emas.

“Kisanak, dengan senang hati tantanganmu kuterima. Tapi bila sekali lagi kau berhadapan denganku, maka saat itu hanya ada dua kemungkinan bagi kita. Kau atau aku yang bakal mampus! Nah! Kau boleh mencari Pendekar Rajawali Sakti nantinya...!”

Setelah berkata begitu. Rangga menggebah kudanya. Hewan berbulu hitam itu berlari kencang, meninggalkan suara derap yang keras serta debu mengepul di udara.

“Pendekar Rajawali Sakti...? Pantas saja...!” desis Kamajaya termangu.

Pendekar Suling Emas memandang Pendekar Rajawali Sakti sampai hilang di tikungan jalan. Lalu dia menarik napas panjang. Wajahnya tampak tegang dan bibirnya menyungging senyum sinis.

“Huh! Peduli kau iblis dari perut bumi sekalipun, Kamajaya akan membalas dendam! Tunggu saja! Kau akan merasakan akibatnya berani mengusik-usikku!” dengus Pendekar Suling Emas menggeram.

********************

Sore baru saja berganti. Dan malam belum lagi pekat. Namun manakala angin bertiup, terasa begitu dingin menyengat sampai ke tulang sumsum. Suasana seperti ini membuat orang-orang enggan keluar rumah. Mereka lebih memilih berkerumun di tempat tidur, atau bercakap-cakap sambil menghirup kopi panas dan singkong rebus.

Namun keadaan seperti itu tidak berlaku bagi sesosok tubuh berpakaian kuning. Dia melompat ringan sekali, melewati dahan-dahan pohon. Lalu tubuhnya melenting gesit bagai seekor tupai, kemudian hinggap di genteng rumah. Dan dia terus mencelat ke genteng rumah lainnya. Arah yang dituju ke selatan. Bila dia seorang pencuri, sudah pasti yang ditujunya adalah rumah Juragan Anggada. Sebab dia merupakan orang terkaya di desa ini. Rumahnya besar dan hartanya banyak.

Sesosok tubuh itu memang hinggap di genteng rumah juragan Anggada. Namun, hanya sebentar. Matanya memandang ke sekeliling, lalu kembali mencelat bagai seekor katak.

Tidak jauh di belakang rumah Juragan Anggada, lebih kurang sekitar dua puluh tombak, terdapat sebuah bangunan cukup besar dan memiliki halaman luas. Bangunan berpagar di sekelilingnya itu hanya bisa ditempuh lewat satu jalan. Yaitu, melalui pintu gerbang depan. Namun, itu pun harus melewati pemeriksaan beberapa orang penjaga. Bila orang biasa yang tidak memiliki urusan penting, maka jarang bisa bertemu pemilik bangunan itu.

Semula, bangunan itu sendiri tidak begitu istimewa. Hanya sebuah padepokan silat bernama Gunung Kembang yang dipimpin Ki Raja Mulih. Namun beberapa tahun belakangan, padepokan ini mengalami kemajuan amat pesat Betapa tidak? Sebagian besar muridnya yang telah menamatkan pelajaran, kini telah bergabung dengan prajurit Kerajaan Tulang Bawang. Dan keandalan mereka sudah teruji. Ketika terjadi beberapa kali peperangan, ternyata dimenangkan oleh kerajaan ini. Dan itu memang tidak terlepas dari jasa para prajuritnya.

Kepercayaan Gusti Prabu Syailendra semakin bertambah. Dan sebagai wujud nyatanya, dia mengirim beberapa orang panglima serta putra-putranya untuk belajar ilmu olah kanuragan di tempat ini. Kehadiran orang-orang penting di kerajaan itulah yang membuat Padepokan Gunung Kembang berbeda dengan padepokan lainnya. Dan akibatnya, orang tidak lagi bisa bebas keluar masuk seperti dulu.

“Hei, siapa itu?!” teriak seorang penjaga.

Dua orang penjaga lainnya mengikuti arah telunjuk itu. Dan mereka melihat sesosok tubuh berpakaian kuning melayang menghampiri mereka, bagai selembar daun kering tertiup angin.

“Pengacau keparat! Hajar dia...!” sentak orang tadi, memberi perintah pada kawannya. Mereka menyambar tombak. Sementara seorang lagi mencabut pedang yang terselip di pinggang.

Wuk! Klap!

Sesosok tubuh berpakaian kuning itu berkelit demikian ringan, menghindari sambaran senjata para murid padepokan ini. Tubuhnya lantas bergerak gesit balas menyerang.

Bret!

“Wuaaa...!” Sesaat terdengar pekik kematian. Dua orang roboh dengan cakar di lehernya!

Teriakan tadi membuat murid-murid lain tersentak kaget. Mereka yang tengah terlelap, atau bermalas-malasan, segera bangkit dan menyambar senjata dengan sigap. Dalam waktu singkat, mereka telah menyerbu keluar dan mengurung si pengacau!

Malam yang mulai gelap di sekitar tempat ini, seketika terang-benderang oleh puluhan obor yang dibawa murid-murid Padepokan Gunung Kembang. Sehingga kini bisa terlihat jelas, siapa si pengacau itu.

Dia adalah seorang laki-laki bertubuh kurus. Rambutnya pendek serta tumbuh jarang-jarang dan kelihatan nyaris botak. Tubuhnya tertutup rompi kuning terbuat dari kulit binatang. Celananya pendek. Kulitnya hitam legam seperti pantat kuali. Kuku jari-jari kedua tangan dan kaki panjang lagi runcing. Mulutnya menyeringai lebar, memandangi orang-orang yang mengelilinginya. Sedikit pun tidak terlihat bias ketakutan di wajahnya.

“He-he-he...! Kalian semua keluar untuk meringkusku? Ayo, tunggu apa lagi? Cepat lakukan! Telah kubunuh dua orang kawan kalian. Dan kini, siapa lagi yang akan menyusul?!” kata laki-laki berbaju kulit binatang itu sambil terkekeh-kekeh.

“Siapa kau sebenarnya?! Dan apa maksudmu mengacau di sini?!” bentak seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun.

Laki-laki yang merupakan salah satu murid utama ini bernama Sela Katiran. Perawakannya gagah dan tubuhnya kekar. Sebaris kumis tipis menghiasi atas bibirnya. Tangan kirinya menggenggam sebilah pedang yang warangkanya berukir indah keemasan. Kepandaiannya terhitung cukup tinggi.

“He-he-he...! Aku Jingga Kalamanda. Dan tak perlu tahu segala urusanku! Ayo, perintahkan kawan-kawanmu untuk mengeroyok. Atau, barangkali kau sendiri yang ingin maju? He-he-he...!”

“Kisanak! Kami bukanlah orang-orang liar sepertimu. Segala urusan harus ada dasarnya. Kau datang menyelinap, lalu membunuh dua orang murid padepokan ini. Apa alasannya?!” tanya Sela Katiran.

“Alasan? Kau menanyakan alasanku?! He-he-he...! Bocah tengik! Kau tanyakan pada gurumu, apa alasanku datang ke sini! Mana si tua bangka Raja Mulih?! Kenapa tidak keluar menemuiku? Atau barangkali bersembunyi ketakutan? He-he-he...!” ejek laki-laki nyaris botak bernama Jingga Kalamanda.

“Kisanak! Bicaramu semakin ngawur tak karuan! Kalau kau sengaja hendak berbuat keonaran, maka kami tidak bisa mendiamkannya begitu saja. Guru kami bukan takut padamu. Tapi menghadapi orang sepertimu, dia tidak perlu turun tangan!” sahut Sela Katiran menahan amarah di dadanya.

Laki-laki itu kemudian memberi isyarat Maka dua orang murid padepokan ini segera melompat kedepan, menghadang Jingga Kalamanda.

“He-he-he...! Dua kunyuk ini yang kau hadapkan padaku? He-he-he...! Ayo, maju! Pertahankan dirimu baik-baik!” ujar orang berkulit legam itu terkekeh nyaring. Baru saja Jingga Kalamanda selesai bicara, tubuhnya telah berkelebat bagaikan kilat Dan....

Bret!

“Aaa...!” Dua orang murid di padepokan kontan terjungkal seraya memekik nyaring. Di tenggorokan mereka terlihat luka cakar menganga. Tentu saja hal ini amat mengagetkan yang lainnya. Sebab mereka tahu, dua orang yang tewas barusan bukan murid sembarangan.

“Ringkus pengacau ini!” bentak Sela Katiran. Serentak, lebih dari lima belas murid Padepokan Gunung Kembang melompat dengan senjata terhunus. Dan mereka langsung menyerang Jingga Kalamanda.

“Heaaat..!”

“Huh!” Jingga Kalamanda yang berusia sekitar lima puluh tahun itu mendengus sinis. Matanya tajam mengawasi murid-murid padepokan yang semakin dekat. Lalu....

“Guaaargkh...!” Diiringi raungan keras bagai lolongan serigala buas, tubuh Jingga Kalamanda melompat tinggi. Lalu dia jungkir balik, menerobos para pengepungnya. Tangannya yang kurus berkali-kali menangkis tombak bahkan menahan laju mata pedang. Sehingga murid-murid Padepokan Gunung Kembang ternganga kagum. Bukannya tangan Jingga Kalamanda yang terluka. Malah para murid yang menebas tersentak. Betapa tidak? Senjata mereka bergetar!

ENAM

Dan sebelum orang-orang itu menyadari apa yang terjadi, Jingga Kalamanda telah menyambar menggunakan cakar kuku tangan dan kaki.

Bret!

“Aaa...!” Sebentar saja terdengar pekik kematian. Beberapa orang ambruk dengan luka mengerikan. Leher robek, isi perut terburai, atau tulang rusuk patah.

“Kurang ajar!” maki Sela Katiran geram. Bersama murid-murid lain yang seangkatan. Sela Katiran menyerang orang tua aneh itu.

“Yeaaat...!”

“He-he-he...! Kau ingin ikut kemeriahan juga? Kenapa tidak dari tadi? Ayo, sini mendekat padaku! Mendekat, Bocah...!” ejek orang tua itu sembari terkekeh.

Jingga Kalamanda melompat gesit dengan tubuh ditekuk. Dia melayang bagai seekor tupai. Tapi saat menerjang, amat ganas laksana seekor serigala kelaparan. Orang tua itu agaknya memiliki tubuh alot, tak mempan senjata tajam. Terbukti beberapa kali senjata para murid Padepokan Gunung Kembang menghantam ke bagian tubuhnya, namun tidak membuatnya bergeming. Bahkan beberapa kali kepalan murid-murid padepokan ini yang berisi tenaga dalam kuat menghantam punggung atau tengkuknya, tidak dirasakannya sama sekali. Sebaliknya, bila serangannya datang, tidak seorang pun yang mampu menahan.

Bret! Prak!

“Aaa...!”

“Wuaaa...!”

Sekali cakarnya terayun, dua atau tiga nyawa melayang. Begitu pula bila tangannya terkepal dan menghantam. Maka beberapa orang tewas dengan dada remuk atau kepala pecah.

“He-he-he...! Ayo, maju semua. Ayo, ramaikan suasana ini! Kenapa diam?! Tangkap aku! Tangkaplah! Aku telah membunuh kawan-kawan kalian. Tidakkah itu cukup menjadi alasan untuk meringkusku?!” teriak Jingga Kalamanda sembari tertawa nyaring.

Kelihatan sekali kalau Jingga Kalamanda memandang enteng pada lawan-lawannya. Padahal, jumlah mereka cukup banyak. Dan orang-orang itu pun bukan tokoh sembarangan. Namun melihat korban yang jatuh, dan sejauh ini belum juga serangan-serangan mereka membawa hasil, membuat yang lain tertegun menghentikan serangan. Demikian pula Sela Katiran sendiri. Dia tidak tahu, tindakan apa lagi yang harus dilakukan.

“Mundurlah kalian semua...!” Tiba-tiba terdengar sebuah suara. Pelan, namun lantang. Para murid berpaling dan segera memberi hormat kepada orang tua berbaju serba putih dan bersorban putih yang berdiri tegak di beranda depan.

“Guru...!”

“Sudahlah, Sela. Aku tahu kesulitan kalian. Lawanmu bukanlah orang sembarangan. Meski kalian maju bersama belum tentu mampu menandinginya...,” sahut orang tua yang ternyata Ketua Padepokan Gunung Kembang. Tangannya memberi isyarat, langsung menghentikan kata-kata muridnya.

Ketua Padepokan Gunung Kembang yang tak lain dari Ki Raja Mulih ini melangkah pelan menuruni anak tangga. Lalu didekatinya orang tua yang membikin kekacauan di tempat ini. Sejenak mereka saling bertatapan ketika orang tua bersorban putih itu berhenti. Jarak mereka kali ini hanya terpaut beberapa langkah saja.

“Akhirnya kau muncul juga, Jingga Kalamanda...,” desah Ki Raja Mulih.

“He-he-he...! Tua bangka bau tanah! Kau kira aku apa, he?! Justru aku yang seharusnya bertanya begitu padamu. Sejak tadi, kau tahu kehadiranku. Tapi, malah bersembunyi di balik ranjang. He-he-he...! Semakin tua, ternyata nyalimu semakin kecil saja. Atau barangkali segala kekayaan dan ketenaran membuatmu takut mati?!” ejek Jingga Kalamanda.

Orang tua bersorban putih itu menarik napas dalam-dalam. Dia berusaha menepis amarah yang mulai memercik hatinya, mendengar penghinaan laki-laki tua aneh berkulit hitam ini.

“Jingga Kalamanda! Kita sudah sama-sama tua. Dan sebentar lagi, akan masuk liang kubur. Apa gunanya mempersoalkan rasa takut segala? Umur di tangan Yang Maha Kuasa. Dan, tiada seorang pun yang bisa menentukannya. Selagi nyawa masih di kandung badan, alangkah bijaksana bila kita menghabiskannya untuk hal-hal.yang berguna...,” ucap orang tua itu bijak, berusaha melunakkan hati Jingga Kalamanda.

“He-he-he...! Mungkin benar katamu. Tapi sebelumnya, segala hutang harus dilunasi. Nyawa muridku yang kau bunuh, harus ditebus dengan nyawa busukmu. Dan setelah itu, barulah kita akan sama-sama menghabiskan sisa umur ini...,” sahut Jingga Kalamanda, terkekeh mengejek.

“Muridmu tewas, karena kebandelannya sendiri. Aku telah memperingatkannya. Tapi, dia keras kepala. Membunuh kepala desa yang tidak bersalah, itu adalah perbuatan kaji. Tidakkah kau bisa mengerti?” balas Ki Raja Mulih.

“Siapa yang mempersoalkan keji atau tidak? Yang kuinginkan saat ini adalah, tanggung jawabmu. Hutang nyawa bayar nyawa. Dan sekarang, akan kuambil darimu!” desis Jingga Kalamanda.

Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja orang tua aneh itu melolong nyaring laksana seekor serigala di tengah kegelapan malam. Bersamaan dengan lolongannya, tubuhnya mencelat menerjang Ki Raja Mulih dengan raungan dahsyat.

“Grauuungrr...!”

Ketua Padepokan Gunung Kembang telah bersiap sejak tadi. Sehingga ketika Jingga Kalamanda menyerang, dengan gesit ditangkisnya.

Plak! Plak!

“Hup!”

Dua serangan Jingga Kalamanda berhasil ditangkis. Bahkan Ki Raja Mulih masih sempat mengirim tendangan ke perut. Namun tubuh kurus dan hitam itu telah melejit ke atas, sehingga tendangannya hanya menerjang angin.

“Yeaaa...!”

“Uts!” Ki Raja Mulih berbalik. Kembali dilepaskannya satu tendangan lewat kakinya yang lain, sambil memiringkan tubuh. Sehingga, ujung kakinya ke atas lebih tinggi.

Jingga Kalamanda menjatuhkan diri menghindarinya. Dan tahu-tahu, dia telah berada di bawah mengincar selangkangan lawan lewat cakar mautnya.

Karuan saja, hal itu membuat Ki Raja Mulih terkesiap. Buru-buru tubuhnya mencelat ke belakang. Namun, Jingga Kalamanda mengimbangi dengan cakar kakinya seraya berputar cepat.

Bret!

“Uhhh...!” Celana di bagian paha kiri Ki Raja Mulih robek, menggurat kulit dagingnya sedikit. Meski tidak berbahaya, namun khawatir menyelinap didadanya jika membayangkan racun yang ada di kuku kaki orang aneh ini. Lebih dari itu, juga cukup membuktikan kalau Jingga Kalamanda mampu bergerak lebih cepat dibandingkan dirinya.

“Tidak usah cemas. Cakar kuku-kuku milikku tidak kububuhi racun. Aku suka kedua tangan dan kakiku berkubang darah lawan-lawanku. He-he-he...! Berhati-hatilah kau. Salah sedikit, nyawamu akan melayang...,” ejek Jingga Kalamanda.

Orang tua aneh itu tetap tegak di tempatnya, tidak melanjutkan serangan. Itu dilakukan untuk memberi kesempatan bagi Ketua Padepokan Gunung Kembang ini bersiap kembali. Dengan begitu, dia ingin mempermalukan Ki Raja Mulih didepan murid-muridnya sendiri.

“Cabut pedangmu kalau kau tidak ingin celaka!” bentak Jingga Kalamanda.

“Huh! Kurasa masih belum perlu! Aku masih mampu menghadapimu!” dengus Ki Raja Mulih.

Jingga Kalamanda terkekeh mengejek. “Dengan menggunakan jurus ‘Kuda Melompati Sungai’ kau berharap bisa menjatuhkanku? Ha-ha-ha...! Kau boleh bermimpi. Tua Bangka Kunyuk!” ejek Jingga Kalamanda, sangat memandang rendah.

“Tutup mulutmu! Kau akan rasakan setelah menerima akibatnya!” desis Ki Raja Mulih.

Kali ini terlihat, Ki Raja Mulih mulai terpancing amarahnya. Setelah tadi kecolongan, kemudian mendengar ejekan-ejekan Jingga Kalamanda, pelipisnya menggembung dan gerahamnya berkerotokan. Didahului bentakan nyaring. Ketua Padepokan Gunung Kembang ini menerjang lebih dulu.

“Heaaa...!” Serangan Ki Raja Mulih cepat dan berisi tenaga dalam kuat Jurus-jurus yang disebut ‘Kuda Melompati Sungai’ termasuk jurus hebat dan sangat diandalkan. Gerakannya terlihat kaku. Namun, seketika bisa luwes seperti tengah menari. Sehingga untuk beberapa saat, terlihat Jingga Kalamanda sedikit kerepotan. Saat menangkis sodokan, maka sebelah kaki Ki Raja Mulih menyambar tengkuknya sambil melompat Dan ketika membungkuk untuk menghindarinya, Ki Raja Mulih telah berada diselangkangan dan melakukan tendangan keras ke arah perut.

“Hiyaaa...!” Jingga Kalamanda mencelat ke atas, sehingga mencapai sekitar dua tombak lebih. Hal itu menimbulkan kekaguman murid-murid padepokan ini. Ki Raja Mulih berusaha mengejar. Namun sebelum sampai menyentuh, Jingga Kalamanda mengibaskan tangannya.

Plak!

Rrap!

“Heh...?!” Ki Raja Mulih terkesiap. Begitu menangkis, cakar Jingga Kalamanda langsung mencengkeram pergelangan tangannya dan membetotnya dengan keras. Meski berusaha menahan, tidak urung keadaan Ki Raja Mulih menjadi goyah. Pada saat itu, sebelah kaki Jingga Kalamanda menyambar dada.

Bret!

“Uhhh...!” Ki Raja Mulih mengeluh tertahan. Dadanya robek terkena cakar kaki Jingga Kalamanda. Namun begitu, dia masih sempat mencabut pedang dan langsung menyambar kearah leher.

Sring!

“Hiiih!” Jingga Kalamanda terpaksa melepaskan cengkeramannya. Tubuhnya kemudian melejit ke bawah, menghindari sambaran senjata Ki Raja Mulih. Sementara Ketua Padepokan Gunung Kembang itu tidak mau ketinggalan dan terus mencecar. Kab ini, dilepaskannya pukulan maut kearah si tua aneh berkulit hitam.

“Heaaat...!” Seketika selarik cahaya putih yang menyilaukan pandangan menyambar bagai kilat.

“Uts!”

Jlegar!

Jingga Kalamanda bergulingan untuk menghindarinya. Dan bekas tempatnya berpijak semula, tampak hancur menimbulkan lubang yang dalam akibat hantaman pukulan Ki Raja Mulih.

“He-he-he...! Sungguh hebat pukulan Bandul Jagad mu itu, Kunyuk. Tapi jangan dikira bisa menakut-nakuti aku. Pukulanmu tak seujung kuku!” ejek Jingga Kalamanda sambil terkekeh kecil.

“Tertawalah sepuas hatimu. Sebentar lagi, kau tidak akan sempat melakukannya lagi!”

Mendengar itu, Jingga Kalamanda malah ketawa makin keras. Sehingga, membuat kaget orang-orang yang berada di sekitarnya. “Hi-hi-hi...! Ha-ha-ha...!”

“Ohhh...!” Para murid Padepokan Gunung Kembang mendekap telinga dan tubuhnya gemetar. Wajah-wajah mereka berkerut menahan sakit. Suara tawa itu memang berisi tenaga dalam tinggi. Bagi mereka yang memiliki tenaga dalam rendah, akan langsung kelojotan. Dari lubang telinga, hidung, mata serta pori-pori, meleleh cairan darah. Tidak berapa lama kemudian, mereka tewas dengan cara mengerikan.

“Iblis keparat! Hentikan perbuatan biadabmu!” desis Ki Raja Mulih geram, langsung menerjang dengan mengerahkan seluruh kemampuan.

“Mundur kau...!” bentak Jingga Kalamanda seraya menyorong telapak tangan kanan ke depan. “Hih...!”

Angin topan bergulung-gulung keluar dari telapak tangan Jingga Kalamanda dan langsung melesat kencang menghantam Ki Raja Mulih. Orang tua itu terkesiap, tak mampu menghindar.

Des!

“Aaakh...!” Ketua Padepokan Gunung Kembang terpental ke belakang disertai jerit kesakitan. Dari sudut bibirnya meleleh darah segar. Belum lagi sempat bangkit, Jingga Kalamanda kembali menerjang dengan kecepatan kilat.

“Heaaat..!” Ki Raja Mulih menyabetkan pedangnya. Namun, Jingga Kalamanda telah melejit keatas dengan tubuh bergulung. Sebelah kakinya menghantam ke muka, membuat laki-laki aneh itu terpaksa bergulingan untuk menghindarinya.

“Graungrrr...!” Jingga Kalamanda meraung keras dan kembali menerjang. Sepasang matanya berkilau tajam, dan sesekali menyeringai lebar memperlihatkan deretan giginya yang runcing laksana taring serigala. Saat itu pula, tangannya bergerak mengibas.

Splak!

Satu hantamannya berhasil ditangkis Ki Raja Mulih. Namun, mendadak cengkeraman tangan Jingga Kalamanda yang satu lagi meliuk kebawah. Dan bersamaan dengan tubuhnya yang berpindah ke samping, cakar mautnya merobek perut tanpa bisa dihindari Ki Raja Mulih.

Bret!

“Uhhh...!” Ki Raja Mulih mengeluh tertahan. Sebelah tangannya mendekap perut, ketika terhuyung-huyung kebelakang. Darah tampak menetes deras dari luka di perut Wajahnya berkerut menahan sakit Saat itu pula dengan mengerahkan seluruh tenaga, dia melepaskan pukulan ‘Bandul Jagad’ kearah Jingga Kalamanda yang telah berkelebat menerjangnya.

“Hih...!”

Jingga Kalamanda agaknya tidak bodoh. Segera disiapkannya pukulan andalan untuk mengimbangi serangan Ki Raja Mulih. Maka ketika kedua pukulan mereka beradu.

Jger!

Kedua tokoh sakti itu sama-sama mengeluh saat pukulan mereka beradu dan menimbulkan suara keras. Hanya saja, Jingga Kalamanda masih mampu tegak berdiri dengan mantap sambil tertawa mengejek melihat Ki Raja Mulih terjungkal dan muntah darah.

“He-he-he...! Kematianmu hanya soal waktu, Tua Bangka Kunyuk! Luka dalammu cukup parah. Dan tak seorang pun yang mampu bertahan dari pukulan Topan Siluman ku!”

“Keparat!” desis Sela Katiran yang saat itu sudah memapah gurunya. Murid utama ini mendengus geram pada Jingga Kalamanda. Setelah meletakkan Ki Raja Mulih di tempat yang aman, bersama yang lain dia bersiap hendak mengadakan pembalasan. Namun....

“Tahan, Sela...,” cegah Ki Raja Mulih, sambil mengangkat tangan kanannya.

“Tapi, Guru! Dia telah mencelakakanmu! Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja!” sentak Sela Katiran dengan tubuh gemetar menahan amarah.

Ki Raja Mulih yang telah duduk bersila dikelilingi muridnya, hanya tersenyum kecut. Mukanya pucat. Beberapa kali dia terbatuk-batuk dengan darah kental menyembur.

“Tak ada gunanya kalian melawan. Orang itu memiliki kepandaian hebat. Dan meski ditambah jumlah dua kali lipat, kalian tidak akan mampu. Dia hanya menginginkan aku. Maka setelah keinginannya terpenuhi, dia tidak akan mengganggu kalian...,” lanjut Ketua Padepokan Gunung Kembang itu terputus-putus.

“Huh!” Sela Katiran hanya mendengus geram seraya mengepalkan tangan.

Masih sempat murid utama itu mengepalkan tangan sambil memandang penuh kebencian terhadap Jingga Kalamanda yang masih terkekeh mengejek. Orang tua aneh itu sama sekali tidak peduli. Dan kehadirannya di tempat ini seperti hendak mencari gara-gara.

“He-he-he...! Kenapa diam? Ayo, serang aku! Tangkap aku! Guru kalian sebentar lagi mampus. Dan itu karena ulahku. Tidakkah kalian berniat membalas dendam?!” teriak Jingga Kalamanda memancing keributan baru.

Beberapa murid Padepokan Gunung Kembang memperlihatkan muka marah. Dan kalau saja guru mereka tidak memperingatkan, rasanya mereka tidak akan peduli keselamatan sendiri.

“Jangan pedulikan dia. Dan, jangan terpancing ejekannya. Dia sengaja mencari kesempatan untuk membantai kalian...,” ingat Ki Raja Mulih.

“Guru, jumlah kita banyak. Tidak mungkin dia bisa mengalahkan kita...?!”

“Tahukah kau, siapa dia sebenarnya? Orang itu bergelar Serigala Muka Hitam. Sesuai julukannya, dia memiliki keahlian memanggil kawanan serigala yang bisa digunakan untuk membunuh lawan-lawannya. Sanggupkah kalian melawannya.... Hugkh...!”

Suara Ki Raja Mulih terhenti ketika memuntahkan darah kental. Tubuhnya mengejang. Sepasang bola matanya membelalak lebar. Bersamaan dengan itu, semua muridnya terkejut. Sesaat mereka menjerit keras ketika orang tua itu telah menghembuskan napasnya yang terakhir.

“He-he-he...! Hutang nyawa bayar nyawa. Dan nyawa busuk itu telah membayarnya! He-he-he...!” teriak Jingga Kalamanda langsung mencelat dari tempat itu meninggalkan suara tawanya yang nyaring.

TUJUH

Satu sosok berpakaian kuning bergerak begitu gesit, melayang-layang memamerkan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya. Kadang tubuhnya mencelat dari satu atap rumah ke atap rumah lainnya. Dan di lain saat, dia melewati beberapa cabang pohon dan terus mencelat ke cabang pohon lainnya. Dia melesat semakin jauh meninggalkan desa itu. Rasanya akan sulit bagi orang biasa untuk bisa menyusulnya.

Mendadak langkah sosok berbaju kuning itu terhenti ketika terasa seseorang mengejarnya dari belakang. Dia berhenti di salah satu cabang pohon, dan memandang ke sekeliling tempat. Lalu tubuhnya melesat ke cabang pohon yang lebat, dan diam memperhatikan.

Apa yang dirasakannya ternyata benar. Beberapa saat kemudian terlihat sesosok tubuh di tempat itu. Sosok yang ternyata seorang pemuda ini berdiri tegak di bawah pohon tempat sosok berbaju kuning tadi berada. Matanya memandang kesegala penjuru. Pendengarannya dipertajam, namun tidak juga menemukan apa yang dicarinya.

“Brengsek! Ke mana larinya dia...?!” dengus pemuda itu seraya memukul-mukul telapak tangannya. Tiba-tiba...

Krosak!

“Ehhh!” Pemuda itu terkejut ketika dari atasnya mencelat turun seorang laki-laki tua berpakaian kuning. Langsung diserangnya pemuda itu dengan ganas. Namun, pemuda ini pun ternyata mampu mengelak dengan gesit. Tubuhnya mencelat ke belakang. Saat laki-laki berbaju kuning hendak menerjangnya lagi.

“Paman Jingga Kalamanda hentikan! Aku Kamajaya...!” teriak pemuda berbaju jubah panjang.

“Kamajaya?! He-he-he...! Dasar kunyuk kecil! Apa kerjamu menguntit he?!” sahut lelaki tua berbaju kuning yang ternyata Jingga Kalamanda, langsung menghentikan serangan.

Pemuda yang memang Kamajaya mendekat dan wajahnya tampak muram.

“Ada apa, he?!” sentak Jingga Kalamanda.

“Aku..., aku....”

“Minta bantuanku lagi?!” tebak laki-laki tua aneh ini. Kamajaya mengangguk lemah. “Soal apa lagi?”

“Seseorang telah menghinaku....”

“He, sungguh mengherankan! Siapa yang berani menghinamu. Dan, kenapa didiamkan saja?!” dengus Jingga Kalamanda.

“Aku hendak menghajarnya. Tapi, dia hebat. Dan akhirnya, akulah yang dihajarnya...,” ujar pemuda itu lirih.

“Kurang ajar! Siapa orang itu?!”

“Pendekar Rajawali Sakti....”

“Pendekar Rajawali Sakti? Hm...!” ulang Jingga Kalamanda, berusaha mengingat-ingat. Pelan-pelan terlihat bibirnya tersenyum kecil.

“Kenapa Paman terdiam? Apakah takut padanya?” usik Kamajaya.

“Kunyuk kecil! Jangan memanas-manasiku! Aku tahu apa yang akan kulakukan!” dengus Jingga Kalamanda.

“Jadi Paman akan menghajarnya?!” seru pemuda itu, mulai berseri.

Jingga Kalamanda tersenyum. Dipandangnya keponakannya itu sekilas seraya menepuk-nepuk pundaknya. “Telah lama tanganku gatal untuk merasakan kehebatannya. Kata orang, dia sakti mandraguna. Tapi Jingga Kalamanda harus membuktikannya!” sahut orang tua aneh itu dingin.

“Betul, Paman! Dia harus dihajar! Kalau tidak, dia akan besar kepala!” timpal Kamajaya memanas-manasi.

“Huh, Kunyuk Sialan! Sudah kubilang jangan memanas-manasiku! Aku melakukannya untuk diriku sendiri!” dengus Jingga Kalamanda lagi.

“Eh, iya, iya...! Maaf, Paman. Terserah alasannya apa. Yang jelas, dia harus dapat pelajaran pahit. Eh, kenapa tidak sekalian dibunuh saja. Paman?”

Jingga Kalamanda mendelik garang. Dan wajah Kamajaya langsung mengkeret. Lagi-lagi dia terlupa, telah menggurui pamannya.

“Dasar anak manja! Kalau saja ayahmu masih ada, kau tentu akan dicincangnya! Cengeng, dan klemar-klemer seperti banci!” Kamajaya terkekeh kecil. “Kau tentu membuat kesalahan, sehingga dia turun tangan menghajarmu?”

“Ah, tidaaak...!”

“Kunyuk kecil, berani kau bohong padaku!” bentak Jingga Kalamanda kembali sepasang bola matanya melotot garang.

“Eh, i... iya. Paman. Tapi, tidak banyak. Dan memang dia saja yang cari gara-gara. Apakah Paman tidak tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti itu paling suka mencari gara-gara?” kata Kamajaya menutup-nutupi kebusukannya.

“Apa peduliku dengan kelakuan orang lain?! Yang kupedulikan hanya kau, Keponakanku! Aku tidak suka kecengenganmu itu!”

“Maafkan aku, Paman. Aku akan berusaha. Dan selama ini juga, selalu berusaha mematuhi semua nasihatmu...,” ucap pemuda itu lirih.

“Hm, sudahlah! Sekarang tunjukkan padaku, dimana Pendekar Rajawali Sakti itu berada?!”

“Terakhir aku bertemu di wilayah selatan. Dan rasanya bila dugaanku benar, dia akan menuju Timur Laut. Sebaiknya, kita menuju satu arah dengannya, Paman!”

“Ayo! Kau adalah penunjuk jalanku!” sahut Jingga Kalamanda, seraya menepuk pundak keponakannya.

Kamajaya tersenyum lega. Selesai sudah satu urusan, membujuk pamannya! Urusan lain akan mudah diselesaikan bila pamannya ada di sampingnya. Dia yakin betul kalau pamannya mampu melakukan apa saja demi kepentingannya.

********************

Dua sosok berjalan. Namun kelihatannya aneh sekali. Yang seorang berwajah cantik, mengenakan pakaian ketat berwarna merah muda. Sehingga, memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya. Sementara yang seorang lagi memiliki muka lebar dan tubuh raksasa. Tinggi wanita itu hanya sebatas pinggang pemuda disampingnya.

Mereka tidak lain dari Dewi Tanjung Putih alias Bidadari Tangan Api dan Darmo Angkor. Keputusannya sudah bulat ketika bertemu pemuda itu, dan melihat kehebatannya. Meski agak tolol, namun Darmo Angkor yang amat patuh padanya, bisa dimanfaatkan untuk membantunya guna membalaskan dendam pada Pendekar Rajawali Sakti.

“Akan kemana tujuan kita sekarang. Kak...?” tanya Darmo Angkor.

“Kita akan menemui seseorang...,” sahut Dewi Tanjung Putih.

“Kawan Kakak...?”

“Bukan.”

“Kalau begitu... musuh? Orang jahat?”

“Bisa dibilang begitu!”

“Kakak hendak menghajarnya?”

“Ya!”

“Biar nanti kubantu Kakak menghajarnya. Tapi....” Wajah Darmo Angkor tiba-tiba meringis. Pemuda itu melirik Bidadari Tangan Api malu-malu sambil tersenyum-senyum kecil.

“Kenapa kau?” tanya Bidadari Tangan Api.

“Anu..., perutku lapar....”

“Dasar rakus! Baru saja makan, sudah lapar lagi!”

Darmo Angkor tertawa lebar. “Kakak tahu? Makan kita tadi belum seberapa. Biasanya, sekali makan aku mampu menghabiskan seekor kambing serta lima piring nasi dalam bumbung besar. Dan ketika memperoleh seekor kerbau, aku mampu menghabiskannya dalam waktu sehari,” papar pemuda bertubuh raksasa ini bangga.

Dewi Tanjung Putih mendecah sambil tersenyum kecil. “Sudahlah. Nanti kita akan cari apa yang kau suka di desa terdekat....”

“Aku ingin seekor kambing, atau anak kerbau...!” ujar Darmo Angkor.

“Ya, ya.... Akan kucarikan nanti untukmu,” sahut Bidadari Tangan Api.

Wajah pemuda tolol itu tampak gembira. Seolah-olah laparnya hilang dan terbayang hidangan lezat di depan matanya. Dia suka jalan bersama Dewi Tanjung Putih, sebab segala apa yang diinginkannya tidak pernah dibantah. Gadis yang dianggapnya kakak sendiri ini selalu mengabulkannya. Sehingga, dia tidak merasakan kesedihan ditinggal mati orangtuanya.

Kurang lebih sepeminum teh, mereka akan tiba di sebuah desa terdekat. Di tempat itu, Bidadari Tangan Api berharap bisa mendapat keterangan tentang Pendekar Rajawali Sakti. Namun sebelum tiba di perbatasan desa, gadis ini terkesiap. Jantungnya kontan berdetak kencang, menandakan bahwa ada firasat tidak enak. Beberapa orang penunggang kuda melintasi jalan ini di depannya dari arah yang berlawanan.

Firasat Bidadari Tangan Api semakin mendekati kenyataan ketika jarak mereka terpaut semakin dekat. Rombongan berkuda tampaknya tidak memberi jalan. Bahkan beberapa orang di belakang yang mengikuti rombongan itu dengan berjalan kaki, tiba-tiba saja menyebar membentuk setengah lingkaran. Tidak ada jalan lagi kedepan, selain harus melewati mereka.

“Kita berhenti dulu, Darmo...,” ujar Bidadari Tangan Api memberi isyarat.

Pemuda dungu itu bingung. Dipandangnya kakak angkatnya dengan wajah tidak mengerti. Lalu perhatiannya beralih ke depan.

“Ada apa. Kak...?” tanya Darmo Angkor.

“Orang-orang jahat itu hendak mengganggu kita...,” sahut Bidadari Tangan Api, kalem.

“Huh! Apakah kau ingin agar mereka kuhajar?!” dengus Darmo Angkor seraya mengepalkan kedua tangan.

“Kita akan menghajar bersama-sama jika mereka berani mengganggu.”

“Ya, ya...!”

Dewi Tanjung Putih menyipitkan mata memandang pada mereka. Berada paling depan adalah tiga orang tua berusia rata-rata lima puluh tahun lebih. Yang berada ditengah bersenjata pedang. Disebelah kirinya menggenggam ruyung. Dan yang berada di sebelah kanan memegang tongkat bambu.

“Nisanak! Kaukah Bidadari Tangan Api?” tanya orang tua yang berada ditengah.

“Benar, akulah orangnya. Sebaliknya, siapa kalian? Dan, ada maksud apa mencariku?”

“Aku Ki Dewa Subrata. Di sebelah kiriku Ki Paksi Jaladara. Dan di kananku adalah Ki Teja Rukmana...,” jelas orang tua yang mengaku bernama Ki Dewa Subrata.

“Hm.... Ki Dewa Subrata adalah Ketua Padepokan Ulat Sutera. Sedang Ki Paksi Jaladara adalah Ketua Padepokan Ruyung Langit. Dan yang satu lagi. Pendekar Bukit Rebung. Alangkah hebatnya kalian berkumpul di sini. Dan lebih hebat lagi, karena kalian bersama-sama mencariku. Kalau boleh kutahu, urusan besar apakah gerangan?”

“Kau telah membunuh murid kesayanganku yang bernama Jaka Lola. Dia adalah putera Ki Teja Rukmana, keponakan Ki Paksi Jaladara. Kami telah bersepakat menurunkan kepandaian kami padanya, sebab dia amat berbakat. Dia baru sedikit belajar dariku...,” jelas Ki Dewa Subrata.

“Hm, itu rupanya. Muridmu itu memang berbakat sekali. Tapi, dia amat usil dan menggangguku. Sehingga terpaksa harus kuberi pelajaran. Dan sekarang kalian datang beramai-ramai mencariku? Hm.... Hendak mengeroyokku? Sungguh hebat!” ujar gadis itu seraya tersenyum sinis.

“Nisanak! Penduduk desa tahu kejadian yang sebenarnya. Tidak usah kau mungkir. Lagi pula, tidak perlu kau takut. Kami tak akan mengeroyokmu. Kehadiran kami dengan jumlah banyak sama sekali tidak direncanakan untuk mengeroyokmu. Kebetulan saja, aku hendak mengajak mereka guna menziarahi kuburan Jaka Lola, lalu bertemu denganmu di sini. Maka suatu kebetulan sekali. Aku masih mampu memberi pelajaran padamu,” kata orang tua bernama Ki Dewa Subrata itu seraya melompat turun dari punggung kudanya.

“Hm.... Kuragukan kata-katamu itu. Aku tidak pernah mempercayai setiap orang...,” sahut Dewi Tanjung Putih mencibir sinis.

“Tidak perlu banyak bicara. Hanya mengulur waktu saja! Cabut pedangmu. Dan, hadapi aku!”

Sring!

Ki Dewa Subrata tidak mempedulikan ocehan Bidadari Tangan Api. Saat itu juga, pedangnya dicabut, langsung menyerang.

“Hiyaaat!”

Klap! Wuk!

“Uts, hap!” Bidadari Tangan Api tidak terlalu terkejut mendapat serangan mendadak begitu. Dengan tenang tubuhnya melejit ke atas menghindari sambaran pedang Ki Dewa Subrata. Namun Ketua Padepokan Ulat Sutera itu tidak berhenti sampai disitu. Dia terus merangsek dengan serangan-serangan gencar.

Darmo Angkor semula terpana melihat keadaan begitu. Namun otaknya bekerja cepat. Peristiwa yang menimpa orangtuanya, kembali melintas dalam benaknya. Mereka tenggelam ke dalam rawa dikerubuti orang-orang. Dan dia diam saja tidak memberikan pertolongan. Padahal, dia mampu melakukannya. Kini Bidadari Tangan Api yang sudah dianggapnya sebagai kakak sendiri, tengah bertarung. Kalau diam saja, bukan tidak mungkin kakaknya akan mati oleh pedang lawan. Dan dia akan kehilangan orang yang menyayanginya. Maka berpikir begitu, Darmo Angkor langsung menerjang Ki Dewa Subrata.

“Heaaat...!”

“Darmo! Kau tidak perlu ikut campur lebih dulu! Tetaplah di tempatmu!” teriak Dewi Tanjung Putih memperingatkan.

Namun pemuda bertubuh raksasa itu tidak mempedulikannya. Dia terus menghantam Ki Dewa Subrata dengan tenaganya yang kuat.

Wut!

Ki Dewa Subrata menghindari serangan lawan barunya dengan mudah. Meski terasa sambaran angin serangan pemuda raksasa itu kencang, namun dia mampu berkelit lincah dan balas menyerang lewat babatan pedangnya.

Tak!

“Heh?!” Alangkah kagetnya orang tua itu, menyadari kalau pedangnya seperti menghantam benda keras saja. Kulit pemuda raksasa itu sama sekali tidak terluka! Kekagetan itu membuat Ki Dewa Subrata lengah. Dan tahu-tahu kepalan pemuda raksasa itu menghantam perutnya.

Begkh!

“Akh...!” Ki Dewa Subrata terjungkal ke belakang disertai keluhan tertahan. Masih untung, dia mampu berdiri tegak setelah bersalto beberapa putaran.

Pukulan Darmo Angkor memang tidak berisi tenaga dalam kuat. Tapi, cukup membuat isi perutnya terasa mau pecah. Napasnya pun turun naik tidak beraturan.

“Biar kami urus dia, Ki...!” sahut salah seorang anak buah Ki Dewa Subrata.

“Hm.... Uruslah dia baik-baik!” sahut orang tua itu.

Ki Dewa Subrata sebenarnya penasaran, sekaligus geram terhadap pemuda raksasa itu. Namun kepentingannya pada Bidadari Tangan Api lebih diutamakannya. Sehingga agar pemuda itu tidak mengganggunya, langsung disetujui usul anak buahnya tadi. Setelah mendapat izin dari orang tua itu, beberapa orang langsung menyergap Darmo Angkor dengan senjata terhunus.

“Yeaaat...!”

“Hmh...!” dengus Darmo Angkor geram. Sebelum senjata menyentuh kulitnya, Darmo Angkor sudah langsung melompat menerjang.

Tak! Blap!

“Heh?!” Para pengeroyok menjadi terkejut ketika menyadari senjata mereka tak berpengaruh apa-apa ditubuh pemuda raksasa ini. Sementara, kepalan tangan yang besar dan keras milik Darmo Angkor mulai meminta korban.

“Uhhh...!”

“Aaa...!” Beberapa pengeroyok langsung menemui ajal disertai pekik setinggi langit. Orang-orang itu tewas dengan cara amat mengerikan. Kepala remuk, dan tulang-tulang rusuk patah.

“Heh, gila?!” desis yang lain.

Kejadian ini mengejutkan yang lain. Bukan hanya Ki Paksi Jaladara dan Ki Teja Rukmana saja yang terkesiap, tetapi juga Ki Dewa Subrata yang tengah berhadapan dengan Bidadari Tangan Api.

“Biar kuurus gajah bengkak ini!” seru Ki Paksi Jaladara dengan wajah geram. Seketika Ki Paksi Jaladara melompat turun. Tanpa banyak bicara, kepalan tangannya menghantam ke perut Darmo Angkor. Tentu saja pemuda raksasa ini tidak tinggal diam. Tangannya cepat memapak.

Plak!

Orang tua itu terkejut. Tangannya sampai bergetar akibat benturan tadi. Seketika tenaganya dilipatgandakan. Lalu diayunkannya tendangan ke dada Darmo Angkor.

“Uts!” Darmo Angkor berkelit ke samping, langsung menangkis tendangan itu dengan telapak tangannya. Tubuhnya bergetar dan sedikit terdorong ke belakang. Wajahnya berkerut menahan sakit Pemuda itu tahu kalau tidak boleh sembarangan menahan serangan. Sehingga ketika Ki Paksi Jaladara melompat dan menerjangnya, dia tidak berusaha memapak, melainkan menghindar serta menangkis bila dirasa perlu.

Sementara itu, Ki Teja Rukmana yang sejak tadi diam di tempatnya dan memandang pertarungan dengan hati geram, agaknya tidak lagi dapat menahan diri. Amarah serta dendam yang menggelora di dada meletup-letup hebat Sehingga beberapa saat kemudian, dia melompat dari punggung kudanya.

“Ki Dewa Subrata! Aku tidak bisa menahan diri lagi! Dia harus mati di tanganku!” desis Ki Teja Rukmana geram.

“Ki Teja Rukmana! Kau tidak perlu repot-repot! Aku masih mampu mengatasinya. Lagi pula apa kata orang nanti bila kita mengerubuti seekor tikus? Sangat memalukan!” sahut Ki Dewa Subrata.

“Aku tidak peduli! Dia telah membunuh putraku! Perempuan ini harus mati ditanganku!” desis Ki Teja Rukmana, tidak mempedulikan kata-kata Ki Dewa Subrata. Orang tua bergelar Pendekar Bukit Rebung itu langsung menyerang. Tongkat bambunya sudah berkelebat menyambar Bidadari Tangan Api.

Wut!

“Hi-hi-hi...! Dugaanku ternyata tidak keliru. Orang-orang seperti kalian memang hanya punya kebiasaan main keroyok. Tapi meski begitu, jangan kira aku takut. Meski maju semua menghadapiku, jangan harap aku akan mundur!” teriak wanita itu, seraya melompat menghindari serangan.

Dewa Subrata jadi tidak enak hati mendengar ejekan wanita itu. Bahkan sejak Ki Teja Rukmana turun tangan tadi. Maka, seketika tubuhnya mencelat ke belakang. Dibiarkannya Ki Teja Rukmana seorang diri menghadapi Bidadari Tangan Api. Namun sebelum hal itu dilakukannya.

“Ha-ha-ha...! Tua bangka tak tahu diri. Tidak malu mengeroyok seorang gadis...!” Mendadak terdengar suara tawa nyaring yang disusul berkelebatnya dua sosok tubuh ketempat itu.

“Hm!”

Pertarungan berhenti seketika. Namun tidak demikian halnya Darmo Angkor. Dia tidak peduli pada apa dan siapa pun. Sebelum lawan binasa semua di tangannya, maka dia tidak akan berhenti.

DELAPAN

Sementara itu, melihat seorang pemuda tampan berpakaian rapi dan membawa-bawa sebuah suling. Bidadari Tangan Api cepat mengenalinya. “Kakang Kamajaya...,” gumam Dewi Tanjung Putih pelan.

Orang yang muncul itu tidak lain memang Kamajaya alias si Pendekar Suling Emas, dan seorang tua berkulit legam memakai rompi kuning. Celananya pendek sebatas paha. Kuku-kuku tangan dan kakinya panjang lagi runcing. Siapa lagi kalau bukan Jingga Kalamanda.

“Paman, kenalkanlah. Ini kekasihku. Namanya, Dewi Tanjung Putih. Dia cantik, bukan?” ujar Kamajaya seraya tersenyum-senyum.

Pendekar Suling Emas seolah tidak mempedulikan orang lain yang berada disini. Bibirnya tersenyum mengenalkan gadis itu pada pamannya. Sementara Jingga Kalamanda tidak begitu mempedulikannya. Matanya hanya melirik sekilas, lalu menatap tajam pada dua orang tua yang tadi mengeroyok Bidadari Tangan Api.

“Huh, Pengecut-pengecut Busuk! Tak punya malu mengeroyok seorang wanita...!” dengus Jingga Kalamanda alias Serigala Muka Hitam mencibir sinis.

“Kisanak! Kau tidak usah ikut campur, jika tidak tahu urusan orang lain!” sahut Ki Teja Rukmana garang.

“Tidak seorang pun boleh bicara begitu padaku, kecuali sudah bosan hidup!” dengus Serigala Muka Hitam seraya menatap tajam kepada Ki Teja Rukmana.

“Huh! Tidak usah banyak bicara! Enyahlah dari sini. Atau, kalian boleh mampus bersama wanita iblis itu!” Sikap Ki Teja Rukmana semakin garang mendengar ocehan orang tua berkulit legam itu.

“Kurang ajar!” Jingga Kalamanda menggeram. Dan bersamaan dengan itu, Serigala Muka Hitam langsung melompat menerjang.

Ki Teja Rukmana terkesiap. Gerakan laki-laki hitam ini cepat bukan main. Namun begitu dia masih sempat menangkis.

“Hih!”

Plak!

“Uhhh...!” Ki Teja Rukmana alias Pendekar Bukit Rebung mengeluh tertahan. Tangannya terasa linu ketika beradu dengan tangan Serigala Muka Hitam. Belum lagi sempat membalas serangan, Jingga Kalamanda telah berkelebat melakukan tendangan ke arah kepala. Dan saat Ki Teja Rukmana menepisnya dengan ayunan senjata. Serigala.Muka Hitam sama sekali tidak berusaha menarik pulang kakinya.

Krak!

Sungguh luar biasa! Senjata Ki Teja Rukmana kontan patah begitu menghantam kaki Jingga Kalamanda. Bahkan lutut Serigala Muka Hitam terus berkelebat dengan tendangan terus meluncur menghajar dada. Akibatnya....

Diegkh!

“Aaakh...!”

“Ki Teja...!” teriak Ki Dewa Subrata kaget. Langsung dia menghambur ke arah jatuhnya Ki Teja Rukmana yang memuntahkan darah segar.

“Heaaat...!” Sementara, Jingga Kalamanda tidak diam sampai di situ. Tubuhnya langsung berkelebat menerjang lawannya yang belum siap bangkit. Melihat keadaan itu, mau tidak mau Ki Dewa Subrata terpaksa turun tangan. Segera pedangnya dikibaskan untuk menghalau serangan.

“Hiiih!”

“Uts!” Serigala Muka Hitam melejit cepat, menghindari tebasan senjata. Tahu-tahu dia telah berada di samping kiri Ki Dewa Subrata sambil berusaha menyikut dada.

Ki Dewa Subrata cepat melompat ke kanan dengan sambaran pedang ke leher Jingga Kalamanda. Namun Serigala Muka Hitam itu telah melompat mengikuti gerakannya, sambil melakukan tendangan ke punggung.

“Uhhh...!” Ki Dewa Subrata terkesiap. Meski berhasil bergulingan menghindari, namun tak urung angin serangan lawan yang kencang sempat dirasakannya. Dan baru saja hendak bangkit, kepalan Serigala Muka Hitam telah meluncur cepat kearah Ketua Padepokan Ulat Sutera ini.

Begkh!

“Aaakh...!” Ki Dewa Subrata kontan terjungkal ke belakang disertai muntahan darah segar begitu pukulan Jingga Kalamanda yang keras bukan main menghantam telak dadanya.

Serigala Muka Hitam mendengus sinis dan siap menerjang kembali. Namun sebelum Serigala Muka Hitam melakukannya....

“Alangkah pengecutnya bila seseorang menghabisi lawan yang tengah tak berdaya...!” Tiba-tiba terdengar suara yang disusul berkelebatnya sosok berbaju rompi putih. Dan sosok itu mendarat lalu tegak berdiri di depan Ki Dewa Subrata.

Melihat siapa yang muncul, Kamajaya mendengus sinis. Sementara Bidadari Tangan Api ikut tersenyum sinis, sambil melangkah mendekati Kamajaya.

“Paman, pemuda itulah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti...,” tunjuk Kamajaya.

Serigala Muka Hitam mendelik tajam. Namun sebelum berkata sesuatu, Dewi Tanjung Putih telah lebih dulu memberi isyarat pada Kamajaya.

“Kakang Kamajaya! Jangan campuri urusanku. Pemuda ini adalah bagianku. Dia punya hutang yang harus dibayar!” ujar Bidadari Tangan Api seraya memberi isyarat pada Darmo Angkor yang masih asyik membantai lawan-lawannya.

“Ada apa. Kak?” tanya pemuda tolol itu dengan napas sedikit terengah-engah, setelah menghampiri.

“Ingatkah kau dengan orang jahat yang kukatakan? Nah! Itulah orangnya!” tunjuk Dewi Tanjung Putih pada pemuda yang bam muncul, dan tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.

Darmo Angkor memandang pemuda itu. Wajahnya berkerut menahan geram. Lalu kakinya melangkah lebar, mendatangi Pendekar Rajawali Sakti. Namun sebelum berjalan dua langkah, sebelah tangan Jingga Kalamanda yang direntangkan menghalangi jalannya.

“Jangan campuri urusanku, Buto Ijo!” dengus Serigala Muka Hitam dingin.

Darmo Angkor menggeram. Dan kalau saja Bidadari Tangan Api tidak melarangnya, sudah pasti pemuda raksasa itu akan menyerang Serigala Muka Hitam. Dewi Tanjung Putih, tahu siapa orang tua itu. Dan dia tidak mau Darmo Angkor celaka begitu saja. Padahal, mereka di pihak yang sama.

“Kalau tidak salah, kau pasti Serigala Muka Hitam, Paman Kamajaya yang merupakan kawan baikku. Dan karena aku punya sedikit urusan dengan pemuda itu, harap jangan menghalanginya...,” ujar Dewi Tanjung Putih dengan wajah manis.

Jingga Kalamanda melirik sekilas, namun sorot matanya tajam menusuk. “Hei! Aku tak peduli apa yang kau bicarakan! Aku akan berurusan dengannya. Bila ikut campur, maka kau yang akan berurusan denganku lebih dulu!” dengus Serigala Muka Hitam.

Dewi Tanjung Putih tersedak mendengar kata-kata Jingga Kalamanda. Dia tak berani menyahut Bahkan sampai orang tua itu meninggalkannya untuk menghampiri pemuda tampan berambut panjang yang baru saja muncul.

“Kenapa Kakak takut dengannya? Biar kuhajar orang tua hitam itu?!” dengus Darmo Angkor, gusar.

“Ssst! Sudahlah, dia masih kawan kita...,” sahut Bidadari Tangan Api memberi isyarat agar pemuda raksasa itu tidak lagi banyak bicara.

“Maafkan aku, Dewi. Paman memang berwatak keras. Tidak seorang pun bisa menghalanginya. Tapi ngomong-ngomong, punya urusan apa kau dengan Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Kamajaya, seraya mendekati gadis itu.

“Itu urusanku, bukan urusanmu!” sahut Bidadari Tangan Api, mendengus sinis.

“Kau masih marah padaku...?” tanya Kamajaya, sambil tersenyum kecil.

Tanjung Putih tidak menjawab. Malah perhatiannya dipalingkan ke depan. Jingga Kalamanda telah tegak berdiri pada jarak lima langkah dengan pemuda berbaju rompi putih yang membawa sebilah pedang bergagang kepala burung di punggungnya.

“Hm.... Kaukah Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Serigala Muka Hitam, sinis.

“Begitukah orang menjuluki aku...!”

“Telah lama kunantikan saat seperti ini. Dan, siapa nyana kau datang sendiri menemuiku. Ha-ha-ha...! Kudengar tentang kehebatanmu. Dan, kudengar pula tentang sepak terjangmu belakangan ini. Itu membuatku tersinggung. Dan kau mewujudkannya, saat mengganggu keponakanku. Bocah! Tak seorang pun berani berbuat begitu terhadap Serigala Muka Hitam!”

“Serigala Muka Hitam! Sedikit pun aku tak menyinggung perasaanmu. Dan soal keponakanmu, adalah kesalahannya sendiri. Barangkali sebagai pamannya, kau bisa memberi pelajaran padanya,” sahut Rangga.

“Tutup mulutmu! Kunyuk buduk! Siapa suruh menasihatiku?! Bedebah! Phuih!” maki Jingga Kalamanda sambil meludah tak karuan. Kemarahan orang tua berkulit hitam itu seketika berlanjut, saat melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

“Mulutmu harus dirobek agar kau bisa belajar sopan sedikit!” desis Serigala Muka Hitam geram.

Rangga memberanikan diri, berusaha memapak pukulan Serigala Muka Hitam untuk menjajaki kemampuannya.

Plak!

“Uhhh...!” Namun wajah Rangga jadi berkerut. Pemuda itu mengeluh pelan, ketika telapak tangannya terasa perih saat menangkis kepalan Jingga Kalamanda yang berjuluk Serigala Muka Hitam.

“Yeaaat..!”

Serigala Muka Hitam melanjutkan serangan. Dia yakin mampu mengatasi pemuda itu dalam waktu singkat. Dalam gebrakan pertama saja, dia agaknya berada di atas angin. Apalagi ketika pemuda itu belum juga memberi serangan balasan, selain terus menghindar dari serangannya. Dalam perkiraannya, pasti pemuda itu agak keteter. Dan sebentar lagi, tentu dengan mudah dijatuhkannya.

Apa yang diperkirakan Serigala Muka Hitam setengahnya mungkin saja benar. Rangga yang saat itu mengerahkan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ memang merasakan serangan-serangan dahsyat yang berisi tenaga dalam kuat. Dan sejauh ini, dia memang terus mengelak sambil menjajaki kemampuan lawannya. Namun melewati tiga jurus pertama, Pendekar Rajawali Sakti mulai balas menyerang.

“Heaaat!” Rangga melompat ke belakang. Namun, Jingga Kalamanda tidak mau memberi kesempatan. Kedua cakar tangan serta kakinya bergerak cepat, menyambar Pendekar Rajawali Sakti.

Saat itu juga Rangga melenting ke atas. Setelah berputaran tubuhnya menukik laksana kilat membuka jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’. Begitu cepat gerakannya, sehingga Serigala Muka Hitam hanya mampu terkesiap. Dan....

Duk!

“Uhhh...! Kurang ajar!” Jingga Kalamanda memaki ketika kecolongan. Kedua tangan pemuda itu telak sekali menghantam ke batok kepala. Tubuhnya sempat terhuyung-huyung, namun cepat menjaga keseimbangan.

Jingga Kalamanda menggeram. Seketika dikeluarkannya raungan laksana serigala mengamuk. Sinar matanya tajam menusuk. Wajahnya berkerut menggiriskan. Dan seketika itu pula Serigala Muka Hitam melompat menerkam dengan amarah meluap-luap dalam dada.

Rangga yang baru saja menjejak tanah memandangnya dengan kening berkerut. Namun dia tak bisa terpaku lebih lama lagi, karena serangan Serigala Muka Hitam telah meluncur cepat. Maka dengan nekat ditangkisnya tangan laki-laki berkulit hitam itu.

Plak!

Bahkan Serigala Muka Hitam melanjutkan serangan berupa tendangan ke perut.

“Hup!” Rangga cepat melompat ke belakang untuk menghindarinya. Dan pada saat yang sama pula. Serigala Muka Hitam mengikuti gerakannya dengan mencelat ke atas sambil jungkir balik. Lalu disambarnya punggung Pendekar Rajawali Sakti.

Bret!

“Aaakh...!” Rangga mengeluh tertahan, ketika punggungnya tersambar tangan Serigala Muka Hitam. Tampak darah mengalir dari punggungnya yang terluka.

“Yeaaa!” Serigala Muka Hitam tidak berhenti sampai di situ. Belum sempat Pendekar Rajawali Sakti menyiapkan serangan, Jingga Kalamanda telah menghentakkan tangan kanannya begitu mendarat di tanah.

“Hih...!”

“Uts!” Cepat bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti bergulingan menghindarkan diri, begitu merasakan angin sambaran yang keluar dari telapak tangan Serigala Muka Hitam.

Jder...!

Apa yang diperbuat Serigala Muka Hitam sungguh hebat. Beberapa orang yang berada di sekitar tempat itu terpental, terkena angin serangannya. Pepohonan serta kerikil-kerikil sebesar kepalan tangan lebih, terbang dan melayang. Sementara itu, setelah bergulingan beberapa kali. Pendekar Rajawali Sakti mencelat keatas. Langsung dicabutnya Pedang Pusaka Rajawali Sakti.

Sring!

Melihat itu, Jingga Kalamanda terkekeh nyaring sambil mengejarnya dari belakang. “He-he-he...! Kenapa tidak sejak tadi menggunakan senjata bututmu itu. Bocah? Kau mulai gelisah? Mulai ketakutan? He-he-he...!” ejek Serigala Muka Hitam.

Pendekar Rajawali Sakti tidak menyahut. Dia hanya menatap dingin. Wajahnya kini menyiratkan perbawa kuat. Bahkan sebenarnya mampu meruntuhkan nyali Serigala Muka Hitam. Jingga Kalamanda sebenarnya sudah jatuh nyalinya. Namun karena malu dia berusaha menutupi dengan berkata-kata seperti itu.

Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang bersinar biru berkilauan itu kini jadi amat luar biasa di tangan Rangga. Bahkan ketika Pendekar Rajawali Sakti melesat sambil mengebutkan pedang. Serigala Muka Hitam harus mengerahkan segenap kemampuan ilmu meringankan tubuhnya.

Wung...!

“Uhhh...!” Kembali Serigala Muka Hitam terkesiap. Suara berdengung dan hawa panas seketika menyengat sekujur tubuhnya. Bahkan sampai menusuk-nusuk pendengarannya, ketika pedang Pendekar Rajawali Sakti nyaris menyambar lehernya.

Jingga Kalamanda mendengus geram. Dia memiliki pukulan ‘Topan Siluman’. Dan selama ini, telah terbukti kehebatannya. Lebih dari itu, dia pun memiliki ajian yang membuat tubuhnya kebal segala jenis senjata tajam. Meskipun melihat pedang pemuda itu, dia tidak begitu yakin kalau aji kebalnya mampu menahannya. Berpikir begitu kembali. Serigala Muka Hitam mengerahkan pukulan mautnya. Seketika tangan kanannya menghentak ke depan.

“Heaaat..!”

Rangga sengaja tidak meladeni. Dan dia lebih memilih untuk menghindarinya. Apa yang terjadi kini terulang kembali. Mereka yang telah mengetahui kehebatan pukulan ‘Topan Siluman’, buru-buru menyingkir dari tempat itu. Dan mereka hanya melihat pertarungan dari jarak yang cukup jauh.

Melihat serangannya kembali luput dari sasaran, Jingga Kalamanda mendengus geram. Seketika dilepaskannya pukulan andalan kembali sebelum pemuda itu menjejakkan kakinya di tanah.

“Yeaaat..!”

Namun, agaknya Rangga tidak mau terpedaya. Sejak berada di udara tadi, dia memang telah mengusap batang pedangnya. Sehingga sinar warna biru kini berkumpul ditangan kanannya. Lalu cepat sekali Rangga memasukkan pedangnya kedalam warangka. Tepat begitu pukulan Serigala Muka Hitam meluncur datang, kedua tangannya segera dihentakkan ke depan.

“Aji ‘Cakra Buana Sukma’...!” bentak Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu juga, meluncur sinar biru dari telapak tangan Rangga, memapak pukulan Serigala Muka Hitam.

Siut...!

Jder!

“Aaa...!” Jingga Kalamanda kontan memekik setinggi langit. Tubuhnya tampak terpental beberapa tombak kebelakang, dan diam tidak berkutik. Dari mulut, hidung, mata, serta seluruh pori-porinya keluar cairan darah. Serigala Muka Hitam tewas dengan tubuh makin menghitam. Tercium bau hangus terbakar yang berasal dari tubuhnya.

Srak!

Rangga menyarungkan pedang. Kakinya melangkah, mendekati Serigala Muka Hitam untuk meyakinkan kematiannya. “Maaf, Sobat. Aku tidak bermaksud begini. Tapi, kau terlalu memaksa...,” ucap Pendekar Rajawali Sakti lirih.

Rangga menarik napas panjang, lalu menoleh ke belakang. Tampak Ki Dewa Subrata serta yang lainnya telah berada di situ.

“Pendekar Rajawali Sakti, kami amat berterima kasih atas bantuanmu...,” ucap Ki Dewa Subrata seraya menjura hormat, diikuti yang lainnya.

“Kisanak, tidak usah begitu. Sudah kewajiban kita selaku manusia untuk saling tolong-menolong...,” sahut Pendekar Rajawali Sakti merendah.

“Hm.... Kau rendah hati sekali. Tidak salah bila banyak orang yang memujamu....”

“Jangan keterlaluan memuji orang, Kisanak. Aku tidak beda dengan yang lain. Seperti kalian juga...,” sahut Rangga, lagi-lagi merendah.

Kemudian pandangan Rangga beredar ke sekeliling mencari-cari si Bidadari Tangan Api, Kamajaya, dan pemuda bertubuh raksasa tadi. Namun mereka tidak terlihat lagi di tempat itu.

“Sebentar tadi kami pun mencari-cari. Mungkin mereka kabur setelah mengetahui kematian Serigala Muka Hitam...,” jelas Ki Dewa Subrata. “Oh, ya. Sekali lagi kami berterima kasih karena kau telah memberi pelajaran pada Bidadari Tangan Api. Wanita itu telah membunuh murid kami, Jaka Lola....”

“Ah, Jaka Lola.... Ya! Aku pernah mendengarnya. Maafkan, Kisanak. Sebab aku terlambat menolong muridmu....”

“Sudahlah. Segalanya telah berlalu. Mungkin telah ditakdirkan kalau hari itu adalah naas bagi Jaka Lola....”

Mereka terdiam sejenak, sampai Pendekar Rajawali Sakti bersuit nyaring. Tampak seekor kuda hitam menghampirinya. Begitu dekat, pemuda itu langsung melompat kepunggungnya. Kemudian dia segera berlalu dari tempat itu.

“Kisanak! Tidak ada lagi urusanku disini. Aku mohon pamit!” Setelah itu, Dewa Bayu berlari kencang, meninggalkan kepulan debu yang sesaat menghalangi pandangan.

********************

Berhasilkah Pendekar Rajawali Sakti menemukan Bidadari Tangan Api, Kamajaya, dan Darmo Angkor untuk mencegah sepak terjangnya? Untuk mengetahui ceritanya, Ikuti kelanjutan kisah petualangan Pendekar Rajawali Sakti dalam episode PASUKAN ALIS KUNING