Telapak Kematian - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Telapak Kematian

TELAPAK KEMATIAN

SATU
Seorang pemuda murid sebuah padepokan di desa Branjangan tersentak kaget. Di atas pintu gerbang yang bertuliskan Padepokan Macan Putih, nama padepokan mereka, terlihat sebuah telapak tangan dari cairan darah. Wajahnya pucat. Bola matanya langsung terbelalak. Bergegas dia berlari ke dalam.

"Guru...! Guru...!" teriak pemuda itu. Beberapa murid yang berpapasan dengannya terkejut. Buru-buru dihampirinya pemuda berusia dua puluh tahun yang hendak berlari memasuki bangunan utama Padepokan Macan Putih.

"Ada apa? Kenapa kau seperti dikejar setan?" tanya salah seorang murid lainnya.

"Telapak... telapak tangan darah di pintu gerbang...!" jawab pemuda itu tergagap. "Mana guru? Kita harus memberitahukannya pada beliau!"

"Apa?! Telapak tangan darah...?!"

Beberapa orang murid kontan tersentak kaget. Sementara, beberapa orang lainnya bergegas ke depan, untuk membuktikan perkataan kawan mereka. Dan dikawani tiga orang lainnya, pemuda tadi terus masuk ke bangunan utama padepokan itu.

"Guru...! Guru...!" teriak pemuda itu berulang-ulang.

"Hei! Hei...!" Ada apa ini? Kenapa kau berteriak-teriak seperti itu?!" tanya laki-laki bertubuh besar, berusia empat puluh tahun. Dia langsung menghadang pemuda itu.

"Ki Kolo Gemet! Oh, maafkan aku. Anu.... Di pintu gerbang ada..., ada...," lapor pemuda itu, tapi tak dilanjutkan.

"Bicara yang benar! Ada apa di pintu gerbang?!" sentak laki-laki bernama Kolo Gemet. Dia adalah salah satu dari sekian murid utama Padepokan Macan Putih.

"Anu, Ki. Ada..., ada telapak tangan darah!" "Telapak tangan darah?!"

Wajah Ki Kolo Gemet tersentak kaget. Untuk beberapa saat, dia tercenung sampai pemuda itu menyambung kata-katanya kembali.

"Aku..., aku baru saja melihat-lihat ke depan. Di sana, aku melihat tanda itu. Kita harus secepatnya memberitahu guru!" jelas pemuda itu.

"Ya, ya.... Biar aku yang memberitahukan pada beliau," sahut Ki Kolo Gemet mengangguk pelan.

"Apa yang harus kami lakukan, Ki...?" tanya pemuda itu lebih lanjut.

"Perintahkan pada yang lain untuk berjaga-jaga!"

"Baik, Ki!" sahut pemuda itu cepat.

Begitu pemuda itu berlalu, Ki Kolo Gemet segera memasuki sebuah ruangan besar yang berada di dalam bangunan utama ini. Setelah memasuki ruangan ini, Ki Kolo Gemet langsung menjura memberi hormat pada orang tua yang duduk dengan tenang bersama beberapa orang. Wajah orang tua yang memang guru dari padepokan ini tampak cerah. Dan sesekali terlihat senyum yang mengembang. Ketika melihat wajah Ki Kolo Gemet cemas, wajah orang tua itu jadi ikut sedikit berubah.

"Kolo Gemet! Ah..., kebetulan sekali kau muncul! Hm.... Ada apa gerangan? Adakah sesuatu yang merisaukan hatimu...?" tanya orang tua yang sebenar-nya bernama Sugala ini.

Ki Kolo Gemet segera mengambil tempat tidak jauh di depan orang tua berusia enam puluh tahun itu. "Guru.... Salah seorang murid memberitahukan, kalau di pintu gerbang padepokan terdapat tanda telapak tangan darah...," jelas Ki Kolo Gemet, menghenyakkan pantatnya di lantai yang beralaskan permadani.

"Telapak tangan darah? Apa maksudmu?!" tanya Ki Sugala, semakin berubah.

"Betul, Guru..."

"Hm...." Ki Sugala mengusap-usap jenggotnya yang ber-warna putih seraya memandang murid-muridnya yang berada di ruangan ini.

"Apa yang akan kita lakukan, Guru...?" tanya Ki Kolo Gemet.

"Agaknya, Dewi Tangan Darah betul-betul akan menyebarkan maut di mana-mana. Kita tidak akan tinggal diam. Ancamannya harus dihadapi!" dengus Ki Sugala, tegas.

"Tapi, Guru! Bukankah wanita itu memiliki kepandaian hebat? Selain itu, dia amat ganas dan tidak kenal ampun. Apakah kita mampu melawannya...?" tanya salah seorang murid yang lain dengan wajah cemas.

"Kau meragukan kemampuan kita, Wikalpa...?" Ki Sugala malah balik bertanya.

"Ampun, Guru! Sekali-sekali aku tidak pernah berpikir begitu. Namun kalangan persilatan tahu, siapa Dewi Tangan Darah. Dia wanita kejam berwatak aneh. Tanpa sebab musabab, membantai tokoh-tokoh persilatan demi kesenangannya belaka. Dan selama ini, belum ada seorang pun yang mampu menahan sepak-terjangnya. Bahkan, belakangan ini lebih dari lima orang tokoh berkepandaian tinggi tewas di tangannya. Demikian pula tiga padepokan silat yang punya nama hebat. Mereka hancur olehnya...," jelas laki-laki yang dipanggil Wikalpa mengemukakan kekhawatirannya.

"Aku mengerti apa yang kau khawatirkan, Wikalpa. Namun bagaimana pun kita tidak bisa menghindar begitu saja dari ancamannya. Wanita itu telah kelewatan,dan menganggap dirinya hebat. Kita harus tunjukkan padanya, bahwa kita tidak bisa dianggap enteng. Kalian murid-muridku, bukanlah orang-orang yang bernyali tempe dan pengecut! Kita akan menghadapinya bersama-sama!" tegas Ki Sugala, bersemangat.

"Betul, Wikalpa. Kita tidak bisa berdiam diri dalam ketakutan. Nama besar seseorang bukanlah jaminan, kalau dia bisa berbuat seenaknya," timpal Ki Kolo Gemet. "Dia hanya seorang diri. Sedang jumlah kita banyak. Dengan semangat serta keberanian, dia akan kita hancurkan. Lagi pula kalau bukan kita, siapa yang akan melenyapkan orang seperti Dewi Tangan Darah?"

Wikalpa mengangguk-angguk, lalu memandang yang lain.

"Adakah di antara kalian yang takut untuk menghadapi wanita itu?!" tanya Ki Sugala lantang. "Kalau ada, maka kuizinkan kalian untuk menyingkir!"

"Guru! Kami akan selalu berdiri di belakangmu!" sahut Wikalpa mantap.

"Betul, Guru! Segala keputusan yang telah kau tetapkan, maka akan kami patuhi selamanya. Meski, dengan taruhan nyawa!" sahut yang lainnya.

"Wanita itu memang harus dilenyapkan sebelum membuat malapetaka yang lebih besar lagi!" sambut seorang lagi bernada semangat.

Dan yang lainnya agaknya sependapat. Itu diungkapkan lewat sikap, anggukan kepala, maupun kata setuju.

Ki Sugala tersenyum seraya mengangguk senang. "Nah! Kalau begitu, persiapkan diri kalian masing-masing. Perketat penjagaan. Baik di pintu gerbang, pintu belakang, atau di atap-atap bangunan. Pokoknya jaga semua tempat di padepokan ini. Dan, jangan biarkan dia bisa menyelinap seenaknya, lalu membunuh kita satu persatu!" perintah orang tua itu berapi-api.

"Siap, Guru...!" sahut murid-murid Padepokan Macan Putih serentak.

"Ingat..!" lanjut Ki Sugala. "Kita tidak tahu, kapan wanita itu muncul. Mungkin sebentar lagi, siang nanti, sore nanti, atau malam. Bahkan esok atau lusa. Maka kuperintahkan pada kalian, untuk selalu bersiaga terus-menerus!"

"Baik, Guru...!"

"Nah. Laksanakan segera saat ini juga!" Semua murid-murid laki-laki tua itu bangkit dan memberi hormat, sebelum meninggalkan ruangan dan menjalankan apa yang diperintahkan.

Ki Sugala memang boleh merasa cemas. Demikian juga halnya Ki Kolo Gemet yang selama ini selalu bertindak sebagai wakilnya di Padepokan Macan Putih. Tanda telapak tangan darah di pintu gerbang padepokan, bukanlah tanda sembarangan. Jelas, itu merupakan ancaman maut dari seorang wanita kejam berkepandaian tinggi yang belakangan ini selalu membuat kekacauan. Dewi Tangan Maut!

Wanita iblis itu menjadi momok yang menakutkan, sekaligus membuat banyak orang menaruh dendam. Sepak terjangnya yang dahsyat dan tidak kenal ampun, membuat orang-orang merasa resah dan ngeri. Namun sebagian lagi justru mengharapkan kemunculan wanita itu, karena ingin menumpas sifat kejam dan angkara murka yang bersarang di hatinya. Entah bagaimana perasaan hati Ki Sugala yang sebenarnya. Namun yang jelas, dia telah memutus-kan untuk memberikan perlawanan sampai tetes darah penghabisan!

Kini semua orang di Padepokan Macan Putih menunggu sampai pagi berganti siang. Namun, Dewi Tangan Darah belum juga muncul. Wajah murid-murid padepokan itu diliputi perasaan tegang. Setiap bunyi yang terdengar, langsung mengundang perhatian. Seakan-akan disadari betul bahwa lawan bisa datang secara tiba-tiba seperti setan. Waktu terus bergulir. Dan siang pun merangkak perlahan-lahan menuju sore. Sebagian telah jemu menunggu. Namun, kewaspadaan tetap terus dijaga. Ki Sugala dan Ki Kolo Gemet serta beberapa orang murid utama lainnya, berkumpul di balairung utama bangunan perguruan itu sejak tadi pagi.

"Hm.... Kurasa wanita itu takut untuk muncul melihat persiapan dan jumlah kita yang banyak, Guru...!" dengus salah seorang murid.

"He he he...! Biar dia tahu rasa kalau berani muncul!" sambut yang lain sambil terkekeh dan menuangkan minuman ke cawan.

"Begitu muncul, akan kita hajar dia beramai-ramai!" timpal yang lain dengan wajah geram.

Ki Sugala hanya tersenyum-senyum kecil, mendengar ocehan murid-muridnya sambil menuang arak ke cawan lalu menenggaknya berkali-kali dengan perasaan nikmat yang terpancar di wajahnya.

"Bagaimanapun, kalian tidak boleh melupakan kewaspadaan...," kata Ketua Padepokan Macan Putih ini, mengingatkan.

"Hm.... Bisa berbuat apa wanita iblis itu pada kita!" desis salah seorang muridnya menyahuti.

"Ya! Bisa berbuat apa dia pada kita? Ha ha ha...! Hari ini, Dewi Tangan Darah akan rontok di tangan Padepokan Macan Putih!" sahut yang lain.

Mereka kembali terkekeh lebar. Namun belum lagi habis tawa mereka....

"Aaa...!"

Mendadak terdengar jeritan nyaring dari luar. Kemudian disusul jeritan beberapa orang lainnya, sehingga membuat Ki Sugala dan murid-muridnya tersentak kaget.

"Heh?!"

Mereka segera berlompatan dan langsung melesat keluar. Begitu tiba di luar, mereka melihat pintu gerbang depan hancur berantakan. Beberapa orang murid perguruan tewas dengan kepala remuk. Dan beberapa orang lainnya tewas dengan tubuh membiru terserang racun ganas.

Sementara itu, tampak seorang wanita cantik duduk di punggung kudanya di halaman padepokan. Sorot matanya tajam. Raut wajahnya dingin penuh hawa maut. Tangan kanannya memegang rotan sepanjang setengah depa yang pada ujungnya terdapat bulu-bulu dari tali rami. Benda yang agaknya sebuah kebutan itu selalu dikibas-kibaskan. Sementara kuda yang ditungganginya beberapa kali menggeleng-geleng, sehingga terdengar bunyi klenengan yang digantung di lehernya.

Kleneng...! Kleneng...!

Bunyi itu memang ciri khas kedatangan dari Dewi Tangan Darah. Sehingga mereka bisa cepat men-duga. Dan yang lebih menguatkan dugaan itu adalah cara berpakaian wanita cantik ini. Dia hanya ber-pakaian dari tali-tali yang dianyam sedemikian rupa.

"Dewi Tangan Darah! Akhirnya kau datang juga...!" desis Ki Sugala dengan suara datar. Wanita berjuluk Dewi Tangan Darah itu memandang sinis ke arah Ketua Padepokan Macan Putih.

"Kaukah orang yang bernama Sugala...?"

"Ya! Akulah orangnya!"

"Pilihlah kesempatan untuk menebas lehermu sendiri, sebelum aku yang melakukannya!" sahut wanita cantik itu dingin.

"Huh! Kau kira kepandaianmu sudah sedemikian hebat sehingga bisa berbuat seenaknya!" dengus Ki Sugala mulai tampak garang. Segera diberinya isyarat pada murid-muridnya untuk menyerang.

Tapi wanita itu lebih cepat bergerak. Telapak langan kirinya langsung dikibaskan ke arah orang-orang yang hendak bergerak menyerangnya.

Set! Set!

Seketika, dari telapak tangan Dewi Tangan Darah melesat beberapa benda kecil berwarna keperakan ke arah para penyerang.

"Aaakh...! Aaa...!"

Saat itu juga terdengar pekik kesakitan begitu benda kecil berupa jarum-jarum beracun itu menghajar para murid Padepokan Macan Putih yang tak sempat mengelak. Lima orang murid perguruan itu kontan ambruk di tanah dengan tubuh membiru. Mereka langsung tewas terkena senjata rahasia yang disebar Dewi Tangan Darah.

"Hiyaaa...!"

Kini Dewi Tangan Darah segera melompat dari punggung kuda. Setelah membuat putaran beberapa kali, tubuhnya kemudian menderu deras ke arah Ki Sugala.

"Heh?!" Ki Sugala terkejut bukan main melihat gerakan Dewi Tangan Darah yang tiba-tiba saja menyerangnya.

"Uhhh...!" Dengan gesit orang tua itu bergerak ke samping. Lalu tubuhnya berputar sambil mengayunkan satu tendangan keras ke arah wanita cantik itu. "Yeaaa!"

Dewi Tangan Darah sedikit meliukkan tubuhnya, sehingga tendangan laki-laki itu hanya mengenai tempat kosong. Lalu selanjutnya, wanita cantik itu kembali melesat cepat. Senjata mautnya yang berupa kebutan dihantamkan ke dada Ki Sugala.

"Hiiih!"

Bukan main terkejutnya Ketua Padepokan Macan Putih saat merasakan angin serangan lawannya. Seumur hidupnya belum pernah dia berhadapan dengan lawan seperti wanita ini. Angin serangannya saja mampu membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Dan senjata kebutan di tangan Dewi Tangan Darah bagai seribu jarum beracun yang menusuk-nusuk setiap pembuluh darah di tubuhnya. Tidak bisa dibayangkan, bila senjata itu sempat melukainya.

"Heaaa...!" Ki Sugala membentak nyaring. Tubuhnya langsung melompat ke atas sambil mencabut senjata andalannya, berupa cakar macan yang terbuat dari baja pilihan.

Dewi Tangan Darah agaknya orang yang tak suka banyak bicara. Juga tidak peduli dengan apa yang dilakukan lawan. Wanita ini terlalu percaya diri, dan merasa mampu mengalahkan lawan.

Cakar macan yang memiliki pegangan sepanjang dua jengkal itu langsung menyambar ke arah Dewi Tangan Darah. Namun wanita cantik itu cepat nyambutnya dengan senjata mautnya.

Praaak!

"Hei?!" Bukan main kagetnya Ki Sugala ketika senjatanya hancur dihantam oleh senjata kebutan Dewi Tangan Darah yang kelihatan lemah gemulai itu.

"Hiiih!"

Belum juga keterkejutan Ki Sugala hilang, ujung kaki wanita itu langsung menghantam ke arah dada.

"Uts!" Namun Ki Sugala masih mampu melompat ke belakang untuk menghindarinya. Sementara Dewi Tangan Darah tidak berhenti sampai di situ saja. Segera dilepaskan jarum-jarum beracun yang amat halus ke arah laki-laki tua itu. Keringat dingin mulai mengucur deras dari pori-pori Ki Sugala. Namun dengan cepat dia bergulingan di tanah dan terus mencelat ke belakang. Beberapa jarum beracun nyaris menyambar tubuhnya, kalau dia tak cepat bergerak. Tapi rupanya serangan itu hanya pancingan belaka. Pada saat tubuh Ki Sugala mencelat ke belakang, Dewi Tangan Darah terus memburunya dengan ancaman senjata kebutannya. Dan begitu kaki laki-laki tua itu menjejak tanah, senjata Dewi Tangan Darah cepat berkelebat ke arah kepala. Dan...

Praaak!

"Aaakh!" Ki Sugala menjerit tertahan begitu kepalanya retak dihantam senjata kebutan Dewi Tangan Darah. Tubuhnya terhuyung-huyung dengan kedua tangan memegangi kepala yang bermandikan darah. Sebentar saja tubuh laki-laki tua itu ambruk dan menggelepar-gelepar di tanah. Disertai senyum dingin Dewi Tangan Darah, nyawa Ki Sugala melayang ke akherat.

"Hei?!" Ki Kolo Gemet terkejut. Juga murid-murid yang lain. Pertarungan tadi berjalan cepat. Dan tahu-tahu, guru mereka tewas secara mengerikan.

"Setan! Bunuh dia! Cincang tubuhnya...!" teriak seorang murid, kalap.

"Yeaaah...!"

"Hih!" Dewi Tangan Darah mendengus dingin seraya melompat ke belakang, ketika lawan-lawannya menyerang laksana tanggul jebol. Kedua tangannya bergerak lincah. Tangan kiri menebar jarum-jarum racun, sementara tangan kanan mengayunkan senjata kebutannya dengan cepat dan lincah.

Werrr!

Crep...!

"Aaakh...!"

Jerit kematian silih berganti saling sambut. Mereka yang terkena serangan jarum-jarum beracun kontan tewas dengan tubuh membiru. Sementara yang lain dengan kepala remuk atau tulang dada hancur dihantam senjata kebutan maut yang berada di tangan kanan Dewi Tangan Darah. "Iblis keji! Akulah lawanmu! Yeaaa...!" bentak Kolo Gemet garang seraya melompat menyerang lawan.

Senjata yang digunakan wakil ketua Padepokan Macan Putih sama seperti yang digunakan Ki Sugala, berupa cakar macan terbuat dari baja dan memiliki tangkai sepanjang dua jengkal.

Bet! Bet!

"Hiiih!"

Dewi Tangan Darah tersenyum dingin. Tanpa banyak bicara, tubuhnya meliuk indah menghindari sambaran senjata lawan. Namun Ki Kolo Gemet agaknya tidak kalah gesit. Ketika senjatanya hendak disambar senjata wanita itu, dia mampu meng-hindarinya dengan baik.

Belajar dari pengalaman gurunya, Ki Kolo Gemet berpikir cepat. Tidak ada gunanya senjata lawan dipapaki. Maka dia lebih banyak menghindar. Dan sesekali dibalasnya serangan dengan mencuri-curi kelengahan pertahanan Dewi Tangan Darah. Namun Dewi Tangan Darah bukanlah tokoh sembarangan. Wanita ini jarang bertarung lama-lama, sebab mempunyai sikap untuk menghabisi lawan secepatnya. Maka...

"Hiyaaa...!"

Bet! Bet!

Senjata di tangan Dewi Tangan Darah berkelebat ke sana kemari menimbulkan angin kencang dan mengejar Ki Kolo Gemet ke mana saja bergerak. Tapi tidak seperti gurunya, laki-laki setengah baya ini sedikit lebih cerdik. Menyadari dia tengah mati-matian menyelamatkan selembar nyawanya, dia berteriak pada murid-muridnya agar menyerang wanita ini bersamaan.

"Kenapa kalian diam saja?! Ayo, serang dia! Bunuh wanita iblis ini!"

"Yeaaa...!"

Serentak semua murid padepokan ini langsung melompat menyerang Dewi Tangan Darah. Namun, wanita itu sama sekali tidak mempedulikannya. Dan dia terus mencecar Ki Kolo Gemet. Sesekali tangan kirinya mengibas ke belakang. Maka jarum-jarum beracun yang amat halus langsung menerpa murid-murid itu.

"Wuaaa...!"

"Hiiih!"

Kembali beberapa orang murid Padepokan Macan Putih terjungkal sambil memekik kesakitan. Tubuh mereka langsung membiru dan tewas beberapa saat, setelah menggelepar-gelepar menuju maut.

Dewi Tangan Darah terus mengayunkan satu tendangan keras ke arah dada Ki Kolo Gemet. Cepat bagai kilat laki-laki itu melompat ke belakang. Namun tubuh wanita ini telah bergerak berputar, mengincar bagian bawah tubuhnya. Kembali Ki Kolo Gemet terkejut dan dia berusaha menjauh dengan melompat ke samping kiri. Namun, kepalan tangan Dewi Tangan Darah lebih cepat menghantam tulang keringnya.

Kraaak!

"Aaakh...!" Ki Kolo Gemet memekik kesakitan. Tulang kakinya hancur dihantam pukulan Dewi Tangan Darah. Dan belum sempat dia menguasai diri, senjata wanita itu kembali menghantam batok kepalanya. Begitu cepat gerakannya, sehingga...

Praaak!

"Aaa!" Ki Kolo Gemet kontan memekik tertahan. Kepalanya remuk dan tubuhnya bersimbah darah ketika ambruk ke tanah. Nyawanya lepas beberapa saat, setelah meregang nyawa!

"Kurang ajar! Dia telah membunuh Ki Sugala. Dan kini, Ki Kolo Gemet pun tewas di tangannya! Kita harus membalas. Iblis betina ini harus mampus...!" teriak seorang murid dengan geram untuk memberi semangat pada kawan-kawannya.

"Hiiih!"

"Aaakh...!"

Werrr!

Orang itu tidak sempat meneruskan kata-katanya, karena seketika itu juga tubuhnya ambruk dan tewas dengan tubuh membiru. Dewi Tangan Darah telah melepaskan jarum-jarum beracunnya ke arahnya dan tak mampu dihindari.

Sementara itu, Dewi Tangan Darah terus berputar seraya melepaskan kembali jarum-jarum beracunnya. Wanita itu tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya kembali berputar seraya memutar-mutar kebutan ditangannya. Seketika terasa angin bertiup kencang laksana badai topan. Lalu, kebutan di tangannya bergerak cepat. Dan...

Prak! Prok!

"Aaa...!"

Pekik kematian terus terdengar tak henti-hentinya. Sebentar saja, murid-murid Padepokan Macan Putih musnah tanpa sisa. Dewi Tangan Darah tidak berhenti sampai di situ. Kebutannya kembali berputar. Maka angin kencang kembali berdesir laksana badai topan menerbangkan apa saja yang terdapat di sekitarnya.

"Heaaa...!"

Bruaaak...!

Dewi Tangan Darah membentak nyaring. Telapak kirinya dihantamkan ke depan. Maka selarik sinar kemerahan menderu dahsyat menghantam bangunan di depannya. Seketika gedung Padepokan Macan Putih hancur lebur dan rata jadi tanah!

Setelah melihat di tempat itu tidak ada lagi kehidupan, wanita itu seenaknya melompat ke punggung kuda dan meninggalkan tempat itu dengan tenang. Klenengan di leher kudanya berbunyi teratur dengan nada satu-satu.

Kleneng...! Teng...!

********************

DUA

Seorang pemuda berbaju rompi putih melambatkan lari kuda hitamnya ketika memasuki sebuah desa. Telah seharian dia melakukan perjalanan, sehingga rasa haus serta letih begitu menyiksa.

"Sabarlah, Dewa Bayu. Sebentar lagi kita akan beristirahat dan makan yang kenyang...," kata pemuda bersenjata pedang bergagang kepala burung yang tersampir di punggung. Ditepuk-tepuknya leher kuda itu pelan.

Kuda berbulu hitam dan berkilat ditimpa sinar matahari itu meringkik pelan. Sementara, pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. Segera dihentikannya langkah Dewa Bayu. Lalu dia turun dari punggung kudanya dan menuntunnya ke depan sebuah kedai makan. Dewa Bayu ditambatkan di depan kedai. Baru setelah itu, Rangga memasuki kedai yang kelihatannya cukup ramai. Seorang pelayan kedai menghampiri saat Rangga berada di dalam.

"Silakan masuk, Den. Masih ada tempat untuk, Aden...!" ucap pelayan setengah baya itu.

Rangga mengangguk disertai senyum manis. "Di mana aku bisa menemukan orang yang bisa mengurus dan memberi makan kudaku...?" tanya Rangga.

"Oh, bisa. Nanti akan kuurus...," sahut pelayan kedai itu.

Pendekar Rajawali Sakti segera menunjuk kudanya. Dan pelayan kedai itu pun mengangguk. Rangga memperhatikan sejenak isi kedai itu. Pengunjungnya cukup banyak, mengisi sebagian besar ruangan kedai yang beralaskan tanah dan berdinding bilik bambu. Pemuda itu mengambil tempat agak di ujung, dan segera memesan makanan yang disukainya.

Ruangan kedai ini sendiri agak ribut, karena beberapa orang bicara dengan suara agak keras. Hanya satu atau dua orang yang memperhatikan kehadirannya. Sementara, yang lain tenggelam menyimak cerita-cerita yang diungkapkan beberapa orang. Atau juga sibuk menyantap makanan yang dihidangkan.

Rangga sedikit menyimak dan menyimpulkan cerita-cerita yang didengarnya. Dan cerita itu berkisar tentang seseorang yang belakangan ini menggeger-kan dan menjadi buah bibir.

"Sungguh gila! Padepokan Macan Putih hancur-lebur dibuatnya!" desis salah seorang pemuda ber-usia tujuh belas tahun. Rambutnya tipis dan kaku. Sementara dua orang kawannya yang semeja begitu seksama mendengar ceritanya.

"Hei, Danu! Apakah kau yakin kalau itu perbuatan Dewi Tangan Darah?" tanya pemuda bertubuh kurus.

"Kenapa tidak? Pagi itu mereka menemukan tanda telapak tangan dari cairan darah di pintu gerbangnya. Bukankah itu ciri-ciri kedatangan Dewi Tangan Darah?!" tegas pemuda berambut tipis yang dipanggil Danu.

"Kasihan mereka...!" sahut pemuda yang berhidung pesek dan berkulit legam.

"Hm.... Entah, berapa orang dan berapa perguruan lagi yang akan binasa di tangan wanita iblis itu...," lanjut Danuwirya, pemuda yang pertama kali bercerita sambil menggeleng lemah.

"Kalau saja aku punya kepandaian, sudah kutantang iblis betina itu!" desis lelaki yang bertubuh kurus.

Danuwirya terkekeh kecil. "Kau hendak menantang Dewi Tangan Darah? He he he...! Hei, Dikin! Lebih baik urus emakmu yang cerewet itu. Menghadapi dia saja, kau sudah repot!" ejek Danuwirya.

"Itu kan, kalau aku punya kepandaian hebat. Kalau sekarang? Hm.... Berhadapan dengan seorang perampok saja, tubuhku sudah gemetar," sahut Dikin malu-malu.

"Yah... Itu memang bukan urusan kita. Orang-orang seperti kita bisa berbuat apa...?" timpal laki-laki hidung pesek dengan suara pasrah.

Sementara seorang wanita tua yang duduk tidak jauh dari mereka, tampak acuh saja. Sedangkan gadis cantik di dekatnya yang berusia kurang dari tujuh belas tahun, malah memperhatikan dengan seksama cerita ketiga pemuda itu.

"Nenek... Benarkah ada seorang wanita yang begitu kejam seperti yang mereka ceritakan tadi...?" tanya gadis itu dengan suara nyaris berbisik.

Wanita itu memandangnya beberapa saat, kemudian tersenyum. "Apakah ada sesuatu yang aneh...?" wanita tua itu malah balik bertanya.

"Seseorang yang bertindak begitu, pasti ada alasannya. Apa alasan wanita yang berjuluk Dewi Tangan Darah melakukan tindakan keji itu?" tanya gadis itu lagi.

"Mungkin dendam, mungkin juga demi kepuasan diri sendiri...," jelas wanita tua itu enteng.

"Demi kepuasan diri sendiri? Apa maksudnya...?" tanya si gadis dengan wajah semakin tidak mengerti.

Nenek itu menghentikan suapannya, lalu tersenyum kecil. "Ambar.... Kau terlalu muda untuk mengerti soal ini. Di dunia ini, ada orang yang merasa dirinya hebat, lalu ingin menguji sampai di mana kehebatannya. Atau, ada juga yang melakukan pembunuhan di mana-mana, dengan tujuan untuk mencari kesenangan. Misalnya, kau suka bunga. Maka, orang itu mempunyai kesukaan membunuh orang. Bila telah membunuh, maka hatinya terasa girang...," jelas si nenek.

"Astaga! Bagaimana seseorang sampai memiliki watak demikian?"

"Sudahlah. Jangan terlalu hiraukan soal itu. Cepat habiskan makananmu, karena kita harus tiba di tempat orangtuamu sebelum senja tiba!" elak si nenek.

Gadis yang dipanggil Ambar terdiam. Namun baru sesuap mengunyah, matanya kembali dipatri ke arah nenek itu. "Apakah orang seperti itu didiamkan saja? Maksudku, apakah tidak ada orang-orang yang menghukumnya...?" desak Ambar.

"Siapa yang bisa menghukumnya...? Jika dia mampu menghancurleburkan beberapa padepokan yang memiliki banyak murid, maka apa artinya dua atau tiga pasukan kerajaan yang ditugaskan untuk menangkapnya? Mereka pasti akan binasa sebelum berhasil meringkusnya!" jelas perempuan tua itu.

"Dari kalangan pendekar...?"

"Ada juga. Namun, mereka binasa di tangannya..."

"Nenek.... Kau memiliki kepandaian ilmu silat cukup hebat. Apakah tidak berniat hendak menangkap dan menyerahkannya pada pihak kadipaten atau kerajaan?" tanya Ambar.

Si nenek tertawa kecil mendengar kata-kata gadis itu. "Ambar... Kita tidak perlu mencari-cari masalah dengan urusan ini. Lagi pula, mana mungkin gurumu ini mampu melawan orang itu..."

"Sedemikian hebatnyakah wanita itu, Nek...?"

"Ya...," jawab nenek itu singkat seraya mengangguk. "Ayolah. Sekarang kita harus melanjutkan perjalanan."

Setelah selesai menyantap makanan kedua orang yang usianya berbeda jauh itu segera bangkit. Dan setelah membayar makanan, mereka berlalu. Sementara Rangga hanya tersenyum.

"Gadis itu polos sekali...," gumam Pendekar Rajawali Sakti di hati.

Namun jelas kalau percakapan di kedai itu menarik perhatian Rangga. "Hm.... Siapa Dewi Tangan Darah itu? Dan, apa yang dicarinya...?" pikir Pendekar Rajawali Sakti dengan dahi berkerut.

Bergegas, Rangga bangkit dan melangkah menghampiri pelayan kedai. Setelah membayar makanan, dia meninggalkan kedai dan mengikuti kedua wanita itu secara diam-diam dari jarak cukup iauh.

********************

Wanita tua itu yang berjalan bersama Ambar sebenarnya bernama Nyai Padmi. Dalam rimba persilatan, dia tidak begitu menonjol. Meski demikian, ilmu silatnya tergolong hebat. Sedangkan nama lengkap gadis itu sendiri adalah Ambarwati. Dia memang murid Nyai Padmi satu-satunya. Keduanya berjalan pelan. Namun sesekali Nyai Padmi terlihat menoleh ke belakang.

"Ada apa, Nek? Apakah ada sesuatu yang mencurigakan...?" tanya Ambarwati heran.

"Entahlah. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres...."

"Tidak beres bagaimana?"

"Seperti ada yang mengikuti kita...," sahut Nyai Padmi pelan, seraya menghentikan langkah. Lalu tubuhnya berbalik dan memandang ke sekitar tempat itu.

Dan Ambarwati akhirnya berbuat sama meski tidak merasakan apa-apa. "Nek... Aku tidak melihat apa-apa. Juga, tidak merasakan bahwa seseorang mengikuti kita. Kecuali..., penunggang kuda itu," tunjuk Ambarwati di ke jauhan.

"Hm... Dialah orang yang kumaksud!"

"Tapi kalau menguntit begitu, kenapa musti terang-terangan? Kurasa dia hanya kebetulan satu arah dengan kita...," sahut gadis itu mengemukakan alasannya.

"Ambar.... Hidup di dunia ini tidak boleh terlalu percaya pada orang begitu saja. Kadang, kecurigaan lebih diperlukan untuk keselamatan diri sendiri. Ayo, cepat bersembunyi! Kita sergap dia, begitu lewat di sini!" ujar Nyai Padmi, langsung melompat dan bersembunyi di balik semak-semak yang banyak terdapat di pinggir jalan.

Ambarwati kelihatan enggan, namun tidak bisa membantah. Maka dengan malas-malasan dituruti saja tindakan Nyai Padmi. Penunggang kuda yang memang Rangga hanya tersenyum-senyum kecil melihat tingkah kedua wanita itu. Melalui aji 'Tatar Netra', dia mampu melihat mereka dengan jelas. Dan tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tahu apa yang mereka lakukan. Maka tanpa mempedulikan apa pun, dia tetap saja menghela kudanya perlahan-lahan.

"Heup!"

"Berhenti...!"

Dua sosok tubuh ramping mendadak melayang ringan dan berdiri tegak di depan Pendekar Rajawali Sakti dengan sikap menghadang. Rangga pura-pura kaget dan segera menghentikan langkah Dewa Bayu.

"Siapa kau?! Dan, apa yang kau inginkan, sehingga berani menguntit kami?!" hardik Nyai Padmi, garang.

"Eh! Maafkan aku... Tapi..., tapi..."

"Ayo, jawab! Apa yang kau inginkan?!" sentak nenek itu sudah tidak sabar mendengar jawaban pemuda itu.

"Nek... Bukankah pemuda ini yang tadi berada di kedai...?" kata Ambarwati dengan wajah yakin.

"Hm.... Kau membawa-bawa pedang. Jawab pertanyaanku, atau kau akan mampus di tanganku! Apa yang kau inginkan dengan menguntit kami?!" sentak Nyai Padmi.

"Nyisanak, Maafkan. Aku sama sekali tidak bermaksud menguntitmu. Aku..., aku..." Rangga berpura-pura bodoh dengan berkata gagap seperti itu. Dan wajahnya pun dibuat sedemikian rupa.

"Bicara tidak karuan! Kau kira kami bodoh, heh?!" dengus Nyai Padmi.

Sring!

Nyai Padmi langsung mencabut pedang dengan wajah geram. Ujung senjatanya bergerak cepat, mengancam leher pemuda itu. Dan Rangga jadi terbeliak kaget dengan wajah pucat. Malah wajahnya dibuat seolah-olah amat takut dengan ancaman perempuan tua itu.

"Eh! Ini, ini...."

"Jangan berlagak dungu! Ayo, cepat jawab! Aku tidak akan segan-segan menebas batang lehermu!" desis nenek ini geram.

"Ba..., baiklah. Tapi, jauhkan dulu pe..., pedang ini...."

"Huh! Kalau kau mengulur waktu lagi, benar-benar akan kutebas lehermu!" rungut Nyai Padmi, segera menjauhkan pedangnya dari leher pemuda itu.

"Uh. ., hampir saja...," pemuda itu menarik napas lega.

"Lekas katakan, apa yang kau inginkan sehingga menguntit kami?!" bentak Nyai Padmi.

"Eh! Di kedai tadi, secara tidak sengaja aku mendengar percakapan kalian mengenai Dewi Tangan Darah. Tahukah Nyisanak, di mana orang itu saat ini...?"

"Mau apa kau mencarinya? Apakah kau sanak keluarganya...?!" tanya Nyai Padmi, penuh selidik.

"Bukan. Aku justru ingin bertarung dengannya?!"

Mendengar jawaban itu nenek ini malah tertawa agak keras. "Ha ha ha...! Kau ingin bertarung dengannya? Hei, Bocah! Berkacalah dulu, apakah dirimu pantas berhadapan dengannya. Kecuali, kalau kau sudah bosan hidup. Baru kau boleh mencari-carinya, dan mengatakan kalau ingin membunuhnya!"

"Ya.... Aku memang sudah bosan hidup. Tiada guna lagi aku hidup lebih lama di dunia ini. Kedua orang tuaku telah dibunuhnya. Demikian juga kakek dan guruku. Aku harus menuntut balas kematian mereka. Kalau tidak, rasanya tidak pantas aku hidup!" sahut Rangga berbohong, tapi bernada sungguh-sungguh. Sama sekali tidak dihiraukan ejekan Nyai Padmi.

Mendengar itu wajah Nyai Padmi jadi berubah. Semula dikira pemuda ini mengada-ada saja. Namun melihat kesungguhan di wajah pemuda itu, paling tidak dia jadi menaruh perhatian pula.

"Bocah! Apakah kau bersungguh-sungguh dengan kata-katamu?"

"Apakah aku kelihatan tengah bermain-main...?"

Wanita tua itu menghela napas pendek sambil menggeleng lemah. "He, mungkin benar kau berkata seperti itu. Juga alasanmu. Tapi membalas dendam secara membabi-buta, tidak baik akibatnya. Kau hanya mengantar nyawa percuma. Kusarankan, sebaiknya lupakan dendammu itu. Atau, kalau tetap nekat, maka belajarlah dengan seorang guru yang pandai. Sampai, kau merasa yakin kalau ilmu silatmu sudah cukup hebat...," ujar nenek ini menasihati.

"Maaf, Nyisanak. Bukan aku tidak mengerti itu. Tapi, yang kubutuhkan saat ini adalah, di mana jahanam itu bisa kutemui!"

Nyai Padmi kembali menghela napas sesak. Kemudian kepalanya menggeleng lemah. Pemuda ini begitu keras kepala dan sama sekali tidak mau mendengar kata-katanya. Agaknya, dia hanya menuruti nafsu dan amarah yang bergejolak di hati.

"Sungguhkah kau tidak tahu?" desak Rangga.

"Maaf.... Aku benar-benar tidak tahu...," ucap Nyai Padmi sambil menggeleng lemah kembali.

"Baiklah. Kalau demikian, aku permisi dulu. Aku akan mencari orang yang mengetahui di mana wanita iblis itu berada. Maaf, aku telah mengganggu kalian. Selamat tinggal...!"

Pendekar Rajawali Sakti segera menghela kudanya kencang, berlalu dari situ. Sementara Nyai Padmi dan muridnya memandang sampai pemuda itu hilang di tikungan jalan.

"Kasihan.... Dia hanya akan mengantar nyawa percuma...," gumam Nyai Padmi seraya menggeleng lemah dan menghela napas pendek.

"Dia kelihatan begitu mendendam padanya, Nek...," timpal Ambarwati.

"Iya! Orang seperti itu telah membahayakan diri sendiri...."

"Pemuda itu mungkin salah satu dari banyak orang yang begitu mendendam pada Dewi Tangan Darah...," duga Ambarwati setengah bergumam. "Kasihan dia...."

"Sudahlah.... Kita tidak perlu memikirkannya. Paling tidak, kita telah memberi nasihat. Dan bila tidak didengarkan, dia boleh mengalami nasibnya sendiri..."

Gadis itu hanya terdiam dan kembali melangkah pelan mengikuti gurunya. Keringatnya mulai bercucuran dan wajahnya yang putih tampak memerah. Kedua kakinya kelihatan penuh debu. Namun sama sekali wajahnya tidak menunjukkan keletihan. Ambarwati memang amat tegar. Bisa jadi, itu karena gemblengan nenek ini yang berwatak keras. Sehingga, dia berusaha menyingkirkan perasaan letih yang dialaminya.

"Kita istirahat di sini dulu. Kau tentu lelah, bukan...?" tanya Nyai Padmi.

Ambarwati hanya mengangguk pelan. Baru saja gadis itu hendak bersandar seraya meng-usap keringat di wajahnya.

Teng! Kleneng...!

Tiba-tiba terdengar sebuah suara aneh di kejauhan.

"Nek, suara apa itu...?" tanya Ambarwati.

"Hm.... Paling hanya orang iseng!"

Teng! Teng...!

Suara itu kembali terdengar semakin dekat, dan terus mendekat. Sehingga, mereka bisa melihat seorang wanita cantik berambut panjang yang berbaju dari anyaman tali. Sehingga menampakkan bagian tubuhnya yang halus mulus. Matanya tampak sayu. Dia duduk seenaknya di punggung kuda yang di lehernya terdapat sebuah klenengan sapi.

"Nek..," panggil Ambarwati pelan.

Nyai Padmi yang sama sekali tidak mempedulikan terpaksa harus mengalihkan perhatian ketika Ambarwati menepuk pundaknya.

"Hm..."

"Wanita itu menuju ke sini..."

"Kenapa rupanya?"

"Perasaanku tidak enak, Nek...!" sahut gadis itu cemas.

"Ambar... Kenapa kau ini? Biarkan saja dia ke sini. Mungkin ingin bertanya sesuatu, seperti pemuda tadi. Atau juga, ingin berteduh. Tempat ini rimbun dan teduh...," kilah Nyai Padmi, walau jantungnya berdegup kencang.

"Tapi, Nek...."

"Sudahlah. Jangan berpikiran macam-macam!"

Ambarwati diam saja. Sementara wanita yang dilihatnya dengan tenang, menghela kudanya ke arah mereka. Dari wajahnya yang datar tanpa mencerminkan apa-apa, justru membuat gadis itu bergidik ngeri dengan hati diliputi tanda tanya besar. Wanita cantik itu berpakaian tidak senonoh. Pasti bukan orang baik, pikir gadis itu. Lagi pula berjalan seorang diri dalam keadaan begitu, bukankah hanya akan mengundang lelaki iseng untuk berpikir macam-macam?

"Heup!"

Wanita itu melompat ringan dari punggung kudanya. Kemudian dia berkacak pinggang seraya memandang kedua orang di hadapannya.

Jantung Ambarwati semakin berdegup kencang melihat gelagat yang tidak baik ini. Wanita itu sama sekali tidak ingin berteduh, juga tidak ingin bertanya sesuatu. Dan dengan sikapnya, dia seperti orang ingin mencari gara-gara.

"Hm... Kau kira bisa kabur begitu saja dariku...?" tanya wanita itu dengan nada sinis.

Mau tidak mau, Nyai Padmi terpaksa mengalihkan perhatian dan memandang wanita itu dengan seksama.

"Siapa kau? Dan, apa maksud kata-katamu...?"

"Berpura-pura pikun, he?! Orang tua! Aku telah memberi tanda di pintu rumahmu. Dan untuk itu, kau harus mampus! Jangan coba-coba lari dariku dengan membawa cucumu mengungsi! Kau tak bisa menghindari diri dariku...!" dingin suara wanita itu.

"Kau.... Kau..., Dewi Tangan Darah...?!" seru Nyai Padmi terkejut.

"Bagus! Kau mulai ingat. Nah! Bersiaplah menghadapi maut. Cabut pedangmu!" dengus wanita yang tak lain Dewi Tangan Darah.

Tubuh Nyai Padmi bergetar hebat. Sehari sebelumnya, dia memang menemukan tanda telapak tangan darah di muka pintu rumahnya. Dan sebagai tokoh persilatan, tentu saja arti tanda itu diketahuinya. Dia juga tahu, siapa yang melakukannya.

Nyai Padmi sadar kalau bukan lawan yang sepadan bagi Dewi Tangan Darah. Tapi untuk menolak tantangan, jelas tidak mudah. Selama ini, tidak ada satu alasan pun yang bisa membatalkan ancaman wanita iblis itu. Makanya Nyai Padmi segera mengajak Ambarwati untuk menyingkir dari rumah dengan tergesa-gesa. Dan gadis itu sama sekali tidak mengerti, kenapa guru yang telah dianggapnya sebagai nenek sendiri itu tiba-tiba saja mengajaknya kembali ke tempat orang tuanya. Hal itu dilakukan Nyai Padmi, bukan sekadar menghindari diri dari ancaman lawan. Tapi sekadar menyelamatkan Ambarwati. Tapi ternyata iblis betina itu telah berada di hadapannya. Dan dia tidak tahu, harus bagaimana lagi menyelamatkan Ambarwati.

Nyai Padmi berdiri tegak. Matanya memandang tajam ke arah wanita itu sambil mencabut pedangnya perlahan-lahan. "Dewi Tangan Darah! Kuterima tantanganmu. Tapi, ingat! Muridku ini tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan kita. Kau tidak boleh melibatkannya, walau apa pun yang terjadi!" seru wanita tua itu, lantang.

TIGA

Dewi Tangan Darah mendengus disertai senyum sinis. "Yang kuinginkan kau! Bukan bocah tolol itu! Nah, puaskah kau dengan jawabanku?"

"Terima kasih. Namun masih ada satu lagi permintaanku...," kata Nyai Padmi.

"Hm...." Dewi Tangan Darah menggumam dingin.

"Kenapa kau menginginkan kematianku? Aku bukanlah tokoh hebat dan terkenal. Masih banyak tokoh lain yang bisa memuaskan hatimu...," tanya perempuan tua itu.

"Kau adalah pewaris ilmu silat 'Belalang Ijo'. Puluhan tahun yang lalu di tangan Ki Sampar Bangun, ilmu itu amat menggetarkan kalangan persilatan. Yang ingin kulihat bukan ketenaran dan nama besarmu. Tapi ingin kuketahui, sampai di mana kehebatan ahli waris dari ilmu 'Belalang Ijo' yang dulu amat menggetarkan itu. Nah, bersiaplah. Aku tidak banyak waktu untuk menjawab segala pertanyaan-pertanyaanmu!" jelas Dewi Tangan Darah.

Nyai Padmi menghela napas pendek. Lalu matanya menatap muridnya. "Ambar.... Pergilah dari sini! Tunggu aku di rumah orangtuamu. Aku akan menyusul nanti!" ujar Nyai Padmi.

"Tapi, Nek... Kau..., kau..."

"Jangan membantah! Turuti kata-kataku...!" bentak Nyai Padmi garang.

Gadis itu tidak juga mau beranjak. Wajahnya sudah tampak gelisah bercampur cemas. Jelas, Ambarwati amat mengkhawatirkan gurunya. Lawan yang di-hadapinya kali ini bukanlah tokoh sembarangan. Malah gurunya sediri telah mengakui kalau tidak akan mampu menghadapinya.

"Ambar, pergi kataku! Tinggalkan tempat ini, secepatnya, kalau kau masih menganggapku sebagai gurumu!" bentak Nyai Padmi kembali.

"Nek.... Mana mungkin aku meninggalkanmu begitu saja...."

Nyai Padmi tidak sempat menjawab. Sebab, tiba-tiba Dewi Tangan Darah melompat menyerang.

"Yeaaa...!"

"Hup!"

Dengan cepat wanita tua itu melompat ringan ke atas, untuk menghindari terjangan Dewi Tangan Darah. Wanita tua itu tersentak kaget, sebab gerakan yang dilakukan Dewi Tangan Darah cepat bukan main saat menyambar mengikuti gerakannya sendiri.

"Hiiih!"

"Uts!"

Kalau saja Nyai Padmi tidak mengegoskan pinggang, niscaya sodokan maut yang dilancarkan kepalan tangan kiri Dewi Tangan Darah akan menghantam telak perutnya.

"Nyai Padmi! Kuperingatkan, jangan mempermalukan leluhurmu. Pergunakan jurus 'Belalang Ijo' pada tingkat tinggi. Lalu, mainkan pedangmu dengan bersungguh-sungguh. Sebab, aku tidak akan segan-segan mencabut nyawamu!" teriak Dewi Tangan Darah mengingatkan.

"Tidak usah khawatir, Dewi Tangan Darah! Siapa yang mau memberi jiwanya secara sia-sia?!" sahut perempuan tua itu.

"Bagus! Nah, sekarang lihat serangan...!"

Set!

Dewi Tangan Darah cepat melompat ke belakang, lalu berdiri dengan satu kaki. Tangan kirinya ditekap di dada, lalu tangan kanannya yang memegang senjata kebutan, diputar sedemikian rupa. Senjata yang kelihatannya remeh, tidak ubahnya bagai pengusir lalat. Namun di tangan Dewi Tangan Darah, senjata itu berubah menjadi amat dahsyat.

Werrr...!

"Heh?!"

Serangkum angin dahsyat seketika menderu keras laksana badai topan menghantam Nyai Padmi. Wanita tua itu terkesiap kaget. Namun dengan mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya, dia berusaha menahan. Dan sambil membentak nyaring tubuhnya melompat, melepaskan serangan balasan dengan putaran pedangnya.

"Hiyaaat...!"

Kali ini Nyai Padmi memainkan jurus 'Pedang Belalang Memakan Rumput', yang merupakan permainan pedang terhebat dari jurus yang dikuasainya.

Bet! Bet!

"Uts!"

Dewi Tangan Darah melompat ke belakang, menghindari sambaran senjata Nyai Padmi yang berkelebat seperti hendak mengepung dirinya dari berbagai arah. Terlihat jelas kalau jurus-jurus itu bukan gerakan sembarangan. Kalau saja yang dihadapi saat ini berkepandaian rendah, maka dalam waktu singkat niscaya akan binasa di tangannya. Namun Dewi Tangan Darah malah tersenyum dingin. Malah sama sekali tidak merasa kesulitan untuk menghindari setiap serangan.

"Yeaaat...!"

Ketika tubuh Dewi Tangan Darah melompat ke belakang, Nyai Padmi terus mengejar. Disertai bentakan nyaring, begitu kedua kakinya menjejak tanah maka tubuh Dewi Tangan Darah kembali mencelat ringan. Gesit dan cepat sekali gerakannya sehingga sulit diikuti pandangan mata biasa. Senjata kebutan di tangannya berputar sedemikian rupa, menghantam ke arah perempuan tua itu.

Pada saat yang sama, tangan kiri Dewi Tangan Darah berkelebat ke depan ke arah Nyai Padmi. Dan...

Set! Set!

Saat itu juga, sinar keperakan meluruk deras ke arah perempuan tua itu.

"Heh?!"

Werrr...!

Nyai Padmi kembali dibuat terkejut, ketika merasakan sambaran angin tajam ke arahnya. Nyai Padmi segera menyadari datangnya serangan senjata rahasia berupa jarum-jarum beracun yang amat halus menerpa ke arahnya. Cepat bagai kilat pedang di tangannya diputar sedemikian rupa, untuk meng-halau serangan gelap itu. Dan tubuh Nyai Padmi cepat bergulingan, saat Dewi Tangan Darah terus meluruk dengan sambaran senjata kebutannya.

Wusss!

Sambil bergulingan, telapak tangan kiri Nyai Padmi menghantam deras ke arah Dewi Tangan Darah. Seketika dari telapak tangan kirinya melesat selarik cahaya hijau agak pudar, yang menimbulkan angin dingin menerpa Dewi Tangan Darah.

Wanita cantik berpakaian tidak senonoh itu mendengus tajam. Terpaksa serangannya dihentikan, dan terus bergerak gesit menghindari pukulan jarak jauh perempuan tua itu. Dan sekejap itu pula, senjata kebutan di tangannya kembali berputar. Dan bersamaan dengan itu, tangan kirinya mengibas ke depan.

"Hiiih...!"

Nyai Padmi yang berusaha menghindar dari serangan senjata kebutan, tak kuasa lagi meng-hindari, beberapa buah jarum beracun Dewi Tangan Darah yang menyerempet kulit tubuhnya.

Cras...! Crasss...!

"Aaa...!" Terdengar jeritan menyayat yang diiringi ambruknya tubuh Nyai Padmi ke tanah.

"Nenek...!" Ambarwati menjerit keras dan langsung berlari kencang memburu tubuh gurunya dan meletakkan dalam pangkuannya.

"Am..., Ambar...!" Bibir Nyai Padmi bergetar hebat dengan tubuh menghitam. Ambarwati dapat merasakan sekujur tubuh wanita tua ini dingin bagai air pegunungan di waktu pagi.

"Nenek...! Bangun, Nek! Banguuun...!" Gadis itu menjerit menyayat sambil mengguncang-guncangkan tubuh gurunya.

Tubuh Nyai Padmi terkulai lesu. Nyawanya langsung lepas dari raga. Sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya.

"Nenek, jangan tinggalkan aku sendiri! Nek, bangun.... Bangun!" tangis Ambarwati sambil mengguncang-guncang tubuh gurunya. Ambarwati sama sekali tidak menyadari kalau saat itu Dewi Tangan Darah telah meninggalkan tempat ini, tanpa meninggalkan suara sedikit pun.

"Huh! Aku harus membalas kematian, Nenek. Aku harus membalasnya! Dewi Tangan Darah! Kau harus mati di tanganku!" desis Ambarwati geram dengan kedua tangan terkepal. Seketika tubuhnya berbalik cepat. Namun wanita berjuluk Dewi Tangan Darah telah tidak ada di tempat lagi. Dan Ambarwati hanya bisa menggeram berkali-kali dengan hati kecewa.

"Nenek, tenanglah di alam sana. Aku akan membalas kematianmu kelak...," bisik gadis itu lirih, dan segera mengangkat tubuh gurunya itu.

Ambarwati melangkah pelan meninggalkan tempat itu sambil memandang jasad gurunya untuk dikebumikan di tempat asal mereka. Tapi belum jauh melangkah, sekonyong-konyong Ambarwati berpapasan dengan seorang pemuda gembel berpakaian pengemis. Di tangan kanannya tampak sebatang tombak kayu. Sedangkan tangan kirinya menggenggam seguci arak dalam ukuran cukup besar. Kalau diperhatikan seksama, usia pemuda itu paling tidak sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya tampan, namun tidak terurus. Beberapa kumis dan cambang tumbuh liar di wajahnya. Senyumnya seperti tidak pernah terlepas dari bibir.

"Amboi, Cah Ayu! Kenapa kau? Apa yang kau bawa? Bolehkah aku menolongmu...?!" sapa pemuda itu dengan nada riang.

Ambarwati sama sekali tidak mempedulikan. Terus saja gadis itu melewatinya. Sementara pemuda itu cepat berbalik, dan terus mengikuti sambil terkekeh-kekeh kecil.

"Aduh, sombongnya...! Apakah aku terlalu jelek untuk sekadar mendapat satu dua patah kata dan senyum manismu...?!" ledek pemuda itu.

Ambarwati sama sekali tidak menggubrisnya. Dia terus berjalan semakin cepat Namun pengemis muda itu seperti tidak patah semangat. Meski sama sekali tidak dipedulikan, namun terus menggoda.

"Aduhai leganya hatiku bila kau sudi melempar senyum barang sedikit padaku. Lalu, berkata-kata dengan bibirmu nan indah itu. Siapa gerangan kau, Cah Ayu? Pastilah kau memiliki nama indah seperti wajahmu...," rayu pemuda gembel ini dengan kata-kata indah sebagaimana layaknya seorang penyair.

Lama-kelamaan, kata-kata pemuda gembel ini membuat Ambarwati merasa terganggu dan membuatnya kesal. Matanya langsung melotot dengan wajah geram. "Gembel busuk! Minggirlah! Dan, jangan ganggu jalanku! Kalau tidak, akan kuhajar kau...!"

"Amboi, benar dugaanku! Sungguh benar. Suaramu sungguh merdu dan indah, seperti wajahmu...!" sahut gembel ini, sambil tersenyum lebar.

"Brengsek...!" dengus Ambarwati geram.

"Betul! Betul, Cah Ayu. Kakangmu ini memiliki wajah tampan..."

Ambarwati betul-betul merasa jengkel melihat kelakuan pengemis gembel ini. Segera tubuh gurunya diturunkan dan langsung berkacak pinggang seraya mendengus geram. "Kisanak! Apa sebenarnya yang kau inginkan? Tidak tahukah kau, bahwa saat ini aku tengah berduka? Pergilah! Dan, jangan ganggu aku. Kalau kau ingin uang, nih! Ambillah...!" Gadis itu langsung melemparkan beberapa keping uang perak pada pengemis itu.

Cring!

Ambarwati sengaja melemparkan beberapa keping uang perak dengan pengerahan tenaga dalam kuat. Menurut perhitungannya, kepingan uang itu akan melesak ke dalam tanah. Dan pengemis gembel itu tentu akan bersusah-payah untuk mendapatkannya. Sehingga dengan begitu, dia akan bisa berlalu tanpa mendapat gangguan lagi. Namun perhitungan gadis itu ternyata meleset Pengemis gembel itu cepat memutar tongkatnya. Maka, beberapa keping uang yang dilemparkan Ambarwati jadi meliuk dan mencelat ke atas. Lalu lengan mudahnya kepingan uang itu ditangkap.

Tap! Tap!

"Aduhai. Kau sungguh bermurah hati sekali padaku! Terima kasih, Cah Ayu. Terima kasih. Adakah sesuatu yang bisa kubantu sebagai imbalan yang kau berikan...?" kata pengemis itu tersenyum-senyum lebar.

Ambarwati tidak habis pikir. Kepalanya menggeleng lemah sambil menghela napas pendek dan memperhatikan pengemis itu untuk beberapa saat dengan pikiran menduga-duga. Bukan sembarangan orang mampu melakukan gerakan itu seperti tadi. Jelas, pengemis ini bukan orang sembarangan. Tapi, apa maunya mengganggu? Ambarwati menarik napas sesak dan menunggu pengemis itu selesai menenggak araknya.

"Huaaah...! Enak betul arak ini. Apalagi dikawani gadis cantik sepertimu. He he he...!" Pengemis itu kembali terkekeh-kekeh kecil. Lalu, dipandangnya gadis itu.

"Nah, kau telah memberiku upah. Apa yang harus kulakukan untuk membantumu...?"

"Kisanak, aku tengah berduka. Harap kau tidak menggangguku...."

"Ah, mana bisa begitu?! Kenapa kau berduka? Aduhai. Janganlah bersedih, sebab hanya membuat wajahmu semakin suram. Hei? Kenapa wanita tua itu tertidur begitu lelap?!" tunjuk pengemis ini ke arah jenazah Nyai Padmi dengan wajah heran.

"Itu guruku. Dia... telah tewas...," sahut Ambarwati lirih.

"Tewas? Mati...? Wualah! Kenapa? Siapa yang telah membuatnya mati?!" tanya pengemis ini dengan wajah terkejut dan sepasang mata melotot lebar.

Ambarwati tidak menyahut. Kembali dia menghela napas sesak, lalu memanggul jasad neneknya. "Kisanak... Aku hendak pergi. Sekali lagi kumohon, jangan ganggu aku. Pergilah ke mana sesuka hatimu...."

"Aku suka sekali bersamamu. Dan, Pandir Kelana tidak akan mengganggumu. Aku tidak mengganggumu, Cah Ayu. Kau telah memberiku uang. Maka aku harus membalas budimu..."

"Tidak apa. Aku ikhlas memberi uang itu padamu. Dan kau tidak perlu membalas budi segala..."

"Tidak bisa! Tidak bisa...! Guruku mengajarkan, kalau setiap kebaikan harus dibalas dengar kebaikan pula. Jika kejahatan, maka harus dibalas kejahatan pula. Kau telah berbuat baik padaku. Maka aku harus membalas kebaikanmu!" tegas pengemis yang mengaku bernama Pandir Kelana.

Ambarwati menggeleng lemah. Telah dicobanya membujuk berkali-kali. Namun Pandir Kelana tampak tidak mengerti. Gadis itu jadi hilang akal dibuatnya. Paling tidak, pengemis ini tidak berbuat jahat padanya. Kelihatannya, Pandir Kelana terlalu polos untuk melakukan tindakan jahat. Lagi pula, orangnya periang, dan bisa sedikit menghibur hatinya yang gundah saat ini. Maka meski tidak mengatakan persetujuannya, dibiarkannya saja Pandir Kelana mengikuti langkahnya.

"Aduh, terima kasih! Terima kasih, Cah Ayu...! Aku tidak akan mengganggumu. Bahkan akan selalu menjagamu dari orang-orang jahat!" teriak Pandir Kelana berkali-kali sambil melompat-lompat kegirangan dengan wajah berseri-seri.

"Heaaa...!"

"Brengsek! Apa itu...?"

Mendadak saja tiga orang berkuda berlari kencang di depan Ambarwati dan Pandir Kelana. Debu mengepul ke udara, disertai teriakan-teriakan keras berkumandang. Seakan, ketiga penunggang kuda itu sedang berpacu untuk saling menyaingi satu sama lain. Nyaris Ambarwati dan pemuda gembel itu diinjak hewan-hewan itu kalau saja tidak buru-buru melompat menghindar.

"Kurang ajar! Manusia-manusia tidak tahu diri...!" maki Ambarwati dengan wajah berang.

"He he he...! lya, iya... Apakah kau menginginkan aku untuk menghajarnya...?" tanya pemuda gembel itu.

"Huh...!" Ambarwati hanya mendengus kesal seraya memandang ketiga penunggang kuda itu.

Pengemis itu hendak melompat, namun mendadak ketiga penunggang kuda itu berbalik. Dan seketika hewan tunggangannya itu dipacu ke arah mereka.

"Heaaa...!"

"Berhenti...!" teriak seseorang sambil melambaikan tangan. Matanya memandang Ambarwati dengan seringai lebar. "Ha ha ha...! Mimpi apa aku semalam? Siang-siang begini, bertemu bidadari jelita...!"

Ambarwati memandang ketiga penunggang kuda itu dengan wajah sebal. Ketiga orang itu berwajah kasar. Yang barusan bicara adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya hitam, berambut pendek. Pakaiannya indah terbuat dari sutera mahal. Paling tidak, dia pasti berasal dari kalangan orang kaya. Sementara dua lainnya menyandang golok di pinggang. Yang seorang berkumis tebal, dan seorang lagi berambut gondrong. Melihat gerak-geriknya, kedua orang ini agaknya para tukang pukul pemuda itu.

"Gondo! Dan kau, Burik...! Bagaimana pendapatmu? Apakah gadis ini cocok untukku...?" tanya pemuda berwajah hitam itu.

"He he he...! Cocok sekali, Den! Sangat cocok...!" sahut dua laki-laki yang bernama Gondo dan Burik sambil terkekeh-kekeh. Melihat itu Pandir Kelana yang bersama Ambarwati ikut tertawa-tawa. Lalu dipandangnya gadis itu.

"Cah Ayu, bagaimana pendapatmu? Apakah kodok buduk satu ini pantas dijitak?" tanya Pandir Kelana.

Ambarwati yang sejak tadi sudah mulai sebal dan geram melihat sikap ketiga orang ini, bisa sedikit tersenyum melihat ulah Pandir Kelana.

"Kurang ajar! Hei, Gembel Tengik! Tutup mulutmu! Kalau tidak, aku akan menendang pantatmu jauh-jauh!" hardik pemuda berpakaian mewah itu dengan mata melotot garang.

"Gembel busuk, minggirlah kau! Den Lesmana sedang ada urusan. Nih, ambillah uang ini. Dan, belikan makanan!" sahut Gondo yang berambut gondrong seraya melemparkan dua keping uang kepada Pandir Kelana.

Set!

Begitu kedua keping uang itu melesat ke arahnya, Pandir Kelana cepat menangkis dengan tongkat.

Tring!

"Heh?!"

Kedua keping uang itu langsung mencelat ke atas setinggi lebih kurang dua tombak. Sementara Pandir Kelana terkekeh girang. Sedangkan ketiga orang di depannya terkejut kaget.

"Terima kasih uang busukmu ini! Hiiih!" Si pengemis muda itu membentak dan langsung menghantam kedua keping uang itu begitu jatuh di dekatnya.

Tring!

Ketiga penunggang kuda itu gelapagan. Sedang kedua keping uang yang dilemparkan si pengemis muda itu melesat cepat bagaikan dua buah pisau tajam.

"Setan...!"

"Haram jadah...!"

Ketiga penunggang kuda itu memaki. Dan mereka segera melompat dari punggung kuda masing-masing untuk menghindari terjangan dua buah kepingan uang itu. Gerakan mereka terlihat indah, begitu mendarat di tanah. Dari sini bisa dilihat kalau mereka memiliki kepandaian yang patut diperhitungkan.

"He he he...! Apa kataku. Dua ekor kodok melompat dan seorang lagi tertelungkup...!" ejek Pandir Kelana tertawa girang.

"Hajar si Keparat ini...!" perintah pemuda bernama Lesmana garang pada kedua tukang pukulnya. Maka Gondo dan laki-laki berkumis tebal yang bernama Burik langsung bangkit dan mencabut golok masingmasing.

Srak!

"Cah Ayu, sebaiknya mereka dibuat seperti apa? Kupotong kupingnya? Atau kucolok matanya? Atau apa...?" tanya Pandir Kelana sambil tersenyum-senyum kepada si gadis.

"Eh! Aku..., aku..., terserah kau saja. Yang penting mereka tidak menggangguku...."

"He he he...! Pasti! Sudah pasti mereka tidak akan mengganggumu lagi!" sahut pengemis gembel ini cepat, dan segera menenggak araknya.

Pada saat yang bersamaan, kedua orang itu melompat geram seraya mengayunkan goloknya.

Glek! Glek!

"Yeaaah...!"

"Mampus kau, Pengemis Hina...!"

Pandir Kelana cepat melompat ke belakang dalam keadaan tetap menenggak arak. Lalu.... "Fruuuhhh...! Kalian mengganggu kesenanganku saja...!" gerutu si pengemis muda itu sambil menyemburkan arak yang masih berada di mulutnya.

"Wuaaa...!"

Kedua tukang pukul Lesmana kontan memekik kesakitan seraya mendekap wajahnya yang terkena semburan arak si pengemis itu. Mereka kontan ambruk di tanah, sambil bergulingan.

EMPAT

"Ha ha ha...! Rasakan oleh kalian! Itulah akibatnya bagi orang yang suka usil...!" ejek Pandir Kelana sambil terkekeh-kekeh kegirangan.

Kedua tukang pukul Lesmana menggelepar, menahan rasa perih dan gatal yang menyerang sekujur tubuh. Apa yang dilakukan Pandir Kelana kelihatannya remeh saja. Namun akibatnya sungguh membuat bulu kuduk Ambarwati bergidik ngeri. Kulit-kulit kedua tukang pukul itu terkelupas seperti disiram air panas yang baru saja mendidih. Maka ketika digaruk-garuk, terlihat darah mengucur deras dan membasahi sekujur tubuh. Namun begitu, mereka terus menggaruk dengan rasa sakit yang menghebat.

"Pengemis hina! Apa yang kau lakukan terhadap mereka, he?!" bentak Lesmana garang dengan mata melotot lebar.

"Kau kira apa, he?!" sahut Pandir Kelana tidak kalah garang sambil berkacak pinggang dan menenggak araknya. Glek! Glek!

"Kurang ajar! Kau boleh mampus akibat ulahmu!" desis pemuda bangsawan itu garang, langsung melompat menyerang Pandir Kelana.

"He he he...! Ingin mengalami nasib seperti mereka? Boleh saja! Sini...!"

Lesmana langsung membabatkan goloknya ke leher Pandir Kelana.

Bet! Bet!

"Uts! Tidak kena, huh!" ejek pengemis muda itu sambil melenting ke belakang menghindari tebasan golok.

"Keparat!" Lesmana menggeram dan kembali menghantamkan senjatanya ke arah pengemis muda yang baru saja mendaratkan kakinya di tanah.

Kali ini Pandir Kelana tidak mau tinggal diam. Tubuhnya cepat melompat ke atas kembali, dan membuat putaran di udara. Tongkatnya cepat diayunkan, memapak senjata Lesmana.

Tak!

Tongkat di tangan Pandir Kelana kelihatan rapuh dan mudah patah. Namun ketika menghantam golok, Lesmana jadi terkejut. Goloknya terpental, dan pergelangan tangannya langsung dihantam tongkat pengemis itu.

Tuk!

"Ukh...!"

Dan belum lagi Lesmana menyadari apa yang harus dilakukan, perutnya terasa seperti dihantam benda keras.

Begkh!

"Akh...!"

Lesmana kontan menjerit keras. Tubuhnya terbungkuk sambil mendekap perutnya yang terasa akan pecah. Pada saat itu Pandir Kelana kembali menghantamkan tongkat ke punggungnya. Lagi-lagi pemuda bangsawan itu menjerit. Tubuhnya ambruk dan diam tidak berkutik.

"Kau..., kau.... Apa yang telah kau lakukan pada mereka...?" tanya Ambarwati dengan wajah bingung.

"Tenanglah. Mereka tidak apa-apa. Yang ini hanya pingsan. Sedang dua lainnya tengah menari-nari...," sahut pengemis itu enteng.

"Kisanak! Jangan seperti itu. Kasihan kedua orang itu. Kau harus membebaskan penderitaan mereka...!" ujar Ambarwati dengan wajah kasihan.

"Oh! Kau ingin begitu? Baiklah...," sahut pengemis muda itu seraya menenggak araknya. Lalu....

Fruh! Fruh...!

Kembali Pandir Kelana menyemburkan arak di mulut ke arah dua orang yang tengah bergulingan menggaruk-garuk sekujur tubuh hingga penuh luka.

Aneh bin ajaib! Setelah pengemis itu menyemburkan arak, maka kedua tukang pukul itu berhenti menggaruk. Namun wajah mereka tampak meringis, sebab menahan rasa sakit dari sekujur tubuh vang penuh luka garukan kuku.

"He he he...! Masih ingin sok jago? Ayo, minta maaf pada gadis ini. Atau...!" ujar si pengemis itu ambil mendelik garang.

Kedua orang itu melirik ke arah majikannya. Lalu matanya memandang takut-takut pada si pengemis. Kemudian, mereka buru-buru menghampiri si gadis itu dan berlutut di kakinya.

"Nisanak.... Maafkan kesalahan kami! Ampuni jiwa kami...."

"Eh? Apa-apaan ini? Ayo, bangkitlah! Bangkit kataku! Dan, cepat pergi dari sini!" sentak Ambarwati dengan perasaan risih. Lagi pula dia tidak tega melihat keadaan kedua orang itu.

"Hi hi hi...! Nah! Tuan putrimu telah berkata begitu. Maka, pergilah cepat sebelum pikirannya berubah! Ayo...!" sentak Pandir Kelana seraya mengibaskan tangan seperti mengusir seekor anjing. "Jangan lupa, bawa serta pemuda busuk itu!"

"Eh, iya... iya...!" sahut keduanya cepat, langsung menggotong tubuh Lesmana dan buru-buru meninggalkan tempat ini.

"Kisanak, kau keterlaluan sekali...!" gerutu si gadis itu seperti melupakan kesedihan hatinya atas kematian gurunya.

"He he he...! Kenapa masih menyebutku kisanak? Panggil namaku saja Pandir Kelana. Huh! Mereka memang sudah sewajarnya menerima hal itu. Eh, Anak Manis. Aku harus memanggil apa padamu...?"

"Namaku Ambarwati.... Jangan panggil lagi aku anak manis!" gerutu gadis ini dengan wajah cemberut.

"Ambarwati... oh! Amboi, sudah kuduga, pasti namamu indah seperti wajahmu!" puji Pandir Kelana disertai senyum lebar. "Nah! Ke manakah tujuan paduka saat ini? Hamba akan siap mengawalnya!"

Ambarwati tersenyum kecil. Namun manakala melihat kembali kepada tubuh gurunya, wajahnya berubah murung. Namun Pandir Kelana selalu menghiburnya dengan gayanya sendiri. Sehingga tidak terasa gadis itu merasa terhibur juga.

********************

Seorang wanita tua tampak berdiri tegak di halaman dekat pintu gerbang padepokannya yang bertuliskan Padepokan Walet Merah. Sedangkan murid-muridnya yang kebanyakan terdiri dari wanita, berdiri tegak di belakangnya. Wajahnya tampak murung, bercampur tegang. Sepasang pedang berukuran pendek terselip di pinggang kiri. Baju dan celana pangsinya berwarna merah. Demikian pula jubahnya. Dari sikapnya bisa diduga kalau wanita berusia tujuh puluh lima tahun ini, siap menghadapi suatu pertarungan. Agaknya demikian pula yang dilakukan murid-muridnya. Mereka seperti bersiap menghadapi suatu perang besar!

"Guru, apakah kita akan menunggu terus di depan...?" tanya salah seorang murid setengah berbisik.

"Ya...," desah wanita tua itu, kalem.

"Seluruh murid tampak cemas...," bisik gadis berusia dua puluh delapan tahun itu.

Wanita yang agaknya Ketua Padepokan Walet Merah ini memandang ke belakang. Dan matanya melihat apa yang dikatakan muridnya memang tidak salah. Seluruh muridnya terlihat cemas, meski berusaha memberanikan diri dengan memompa seluruh semangat yang dimiliki.

"Ranti.... Bukankah sudah kukatakan, bahwa mereka bebas menentukan pilihan? Dewi Tangan Darah bukanlah orang sembarangan. Dan kita harus bersiap menanggung semua akibatnya. Pergilah kalian selagi belum terlambat. Biarkan urusan ini jadi milikku!" tandas perempuan tua itu.

"Guru.... Aku telah sampaikan, namun hanya tiga orang yang menuruti. Sedang lainnya tetap bersikeras untuk tetap berada di sini. Dan mereka akan membela nama padepokan dan dirimu, sampai tetes darah penghabisan!"

"Hm.... Pengorbanan yang sia-sia.... Mereka masih muda, dan masih banyak kesempatan hidup. Dewi Tangan Darah telah membuat tanda telapak darah sebagai tantangan pada padepokan kita. Dan itu telah menjadi tanggung jawabku. Pergilah kalian...!" ujar wanita tua itu lagi.

"Kenapa berkata demikian, Guru? Selama ini susah dan senang kita rasakan bersama. Lalu, kenapa saat genting begini kami harus meninggalkanmu seorang diri kalau menghadapi bahaya besar? Itu tidak adil. Dan apa yang dipikirkan mereka, sama dengan apa yang kupikirkan saat ini!" sahut gadis yang dipanggil Ranti mantap.

Ketua Padepokan Walet Merah ini tersenyum kecil seraya menepuk pundak muridnya. "Terima kasih,... Kalian betul-betul murid yang setia...."

"Bukankah semua ini berkat bimbingan Guru...?"

Wanita berbaju merah ini tidak bisa berkata apa-apa mendengar jawaban murinya. Saat ini, hatinya betul-betul haru mendengar kata-kata dan tekad gadis itu. Kalau saja tidak ingat tempat, maka ingin rasanya dia menangis saat itu juga.

Teng! Kleneng...!

"Guru...?"

"Ya, dia telah datang. Beritahukan pada semua murid untuk bersiaga...," kata Ketua Padepokan Walet Merah disertai anggukan kepala.

"Baik, Guru..!," Ranti mengangguk cepat, lalu berlari ke belakang untuk memberitahukan pada kawan-kawannya.

Mereka menunggu dengan wajah semakin tegang. Dan kini semua mata menatap ke arah pintu gerbang. Tiba-tiba....

Bruakkk!

Mendadak saja satu hantaman keras yang menimbulkan angin kencang, membuat pintu gerbang perguruan itu tanggal dan jatuh berdebum. Dan seketika debu-debu di dekatnya mengepul ke udara. Di depan pintu gerbang, kini terlihat seorang wanita cantik berpakaian tak senonoh tersenyum dingin. Matanya memandang ketua padepokan ini berikut murid-muridnya yang telah bersiaga menyambutnya. Wanita itu menghela kuda tunggangannya pelan, sehingga terdengar bunyi klenengan pelan. Kudanya dihentikan saat jarak mereka terpaut tujuh langkah.

"Hm.... Kaukah yang bernama Nyai Tarmi...?" tanya wanita berpakaian tak senonoh itu dengan nada dingin.

"Ya, akulah orangnya!" sahut Ketua Padepokan Walet Merah yang ternyata bernama Nyai Tarmi mantap.

"Bagus! Kau ingin menyertakan mereka...?" Pertanyaan itu sebenarnya tidak bermaksud apa-apa, dan sekadar meyakinkan diri saja kalau dia tidak berhadapan dengan satu orang. Namun, Nyai Tarmi menyimpulkan pertanyaan tadi sebagai suatu ejekan. Suatu sindiran halus untuk mengatakan kalau dirinya seorang pengecut.

"Dewi Tangan Darah! Mereka di luar kuasaku. Murid-muridku merasa bertanggung jawab terhadap keselamatanku. Meski aku telah tegas-tegas melarang, namun agaknya mereka tidak mau mengindahkannya...!"

"Hm...!" Wanita berpakaian tidak senonoh yang memang Dewi Tangan Darah menggumam pelan. Matanya terus memperhatikan mereka sekilas. Kemudian terlihat kepalanya mengangguk.

"Bagus! Mereka tentu akan menyusulmu...!"

"Kau boleh mulai jika sudah selesai!" sahut Nyai Tarmi, segera memberi isyarat pada murid-muridnya untuk segera mundur untuk mengelilingi arena pertarungan.

"Hm.... Aku telah siap sejak tadi...," sahut Dewi Tangan Darah sambil mengibas-ngibaskan kebutan di tangan kanannya.

Sring!

Nyai Tarmi segera mencabut kedua pedangnya. Pedang di tangan kiri, ujungnya menyentuh tanah. Sedang pedang di tangan kanan melintang di dada.

"Silakan, Dewi Tangan Darah...."

"Hiiih!"

"Hup!"

Cepat sekali tubuh Dewi Tangan Darah mencelat menyerang, sehingga sempat membuat Nyai Tarmi terkejut. Namun Ketua Padepokan Walet Merah itu segera menyambut serangan dengan kelebatan pedangnya.

Rrrt!

Wuuuk!

Ujung senjata kebutan Dewi Tangan Darah seketika melibat batang pedang Nyai Tarmi. Senjata kebutan itu kelihatan rapuh, namun sama sekali tidak mampu ditebas batang pedang. Dalam hati, Ketua Padepokan Walet Merah itu mengakui kehebatan tenaga dalam lawannya. Maka dengan gemas pedang yang satu lagi dikibaskan.

Wuuut!

"Uts!"

Dewi Tangan Darah hanya sedikit mengegoskan pinggang, sehingga pedang itu lewat setengah jengkal dari perutnya. Dan mendadak saja ujung kaki kanannya menghantam ke arah dada. Dan ber-samaan dengan itu, tangan kanannya dikibaskan keras ke kanan.

"Lepas...!" bentak Dewi Tangan Darah garang.

"Uhhh..."

Nyai Tarmi terpaksa melompat ke belakang, dan merelakan sebilah pedangnya terlepas dari geng-gaman. Sentakan Dewi Tangan Darah tadi keras bukan main. Dan kalau saja dia bertahan untuk terus menggenggamnya, bukan tidak mungkin lengannya akan putus. Lagi pula dengan melepaskannya, dia terbebas dua serangan lawan sekaligus.

"Yeaaat..!" Dewi Tanga Darah membentak nyaring, langsung melompat mengejar Nyai Tarmi. *** "Heup! Heaaat..!" Nyai Tarmi cepat bersiaga dan memutar pedangnya sedemikian rupa memainkan jurus terhebatnya yang bernama 'Walet Merah Bersarang di Puncak Gunung'.

Bet! Bet!

Pedang Ketua Padepokan Walet Merah berputar hebat menimbulkan bunyi mendesing nyaring dan angin bersiur kencang. Bila dilihat sepintas, terlihat Dewi Tangan Darah terkurung oleh kelebatan permainan pedangnya yang sungguh hebat.





"Yeaaa...!" Dewi Tangan Darah membentak nyaring. Lalu tubuhnya mencelat ke atas untuk menghindari kejaran pedang Nyai Tarmi. Senjata kebutan di tangan kanannya dikibaskan ke depan. Dan ber-samaan dengan itu, telapak tangan kirinya mengeluarkan cahaya kemerahan yang berhawa panas.

"Hiiih!"

Nyai Tarmi bukannya tidak menyadari kalau Dewi Tangan Darah akan mengerahkan pukulan jarak jauh untuk menghantamnya. Maka dia cepat bersiap siaga untuk memapak dengan pukulan mautnya. Seketika tangan kirinya yang kosong menghentak ke depan. Saat itu juga dari telapak tangan kiri Nyai Tarmi melesat cahaya yang juga berwarna merah menuju Dewi Tangan Darah. Dua sinar yang berwarna sama ini kini hendak saling terjang. Dan....

Blarrr...!

"Aaakh...!"

Kedua pukulan itu beradu di tengah-tengah, menimbulkan suara agak keras. Tapi Nyai Tarmi jadi terpekik. Tubuhnya kontan terlempar ke belakang dan jatuh ke tanah. Dan pada saat yang sama tubuh Dewi Tangan Darah telah berkelebat cepat hendak menghabisinya.

"Hiiih!"

Namun beberapa murid utama Padepokan Walet Merah tidak tinggal diam. Dan mereka sudah langsung melompat menghadang. Dewi Tangan Darah hanya mendengus dingin. Seketika tangan kirinya dikibaskan ke depan. Set! Set...!"

Maka dari telapak kiri Dewi Tangan Darah melesat belasan jarum beracun yang amat halus menerpa mereka yang coba menghadang.

"Aaa...!"

Pekik kematian terdengar bersama ambruknya beberapa orang murid Padepokan Walet Merah. Mereka kontan tewas dengan tubuh membiru.

"Hm...!"

Dewi Tangan Darah mendengus dingin dan terus mencelat menyerang Nyai Tarmi yang tadi terhambat. Agaknya wanita berhati iblis ini tidak akan berdiam diri begitu saja, sebelum lawan benar-benar binasa di tangannya. Meski beberapa orang murid padepokan mencoba menghalangi, namun jarum-jarum beracun-nya kembali menghadang. Dan tubuh Dewi Tangan Darah terus berkelebat dengan sambaran senjata kebutannya.

Trang!

Nyai Tarmi segera menangkis dengan pedangnya meski keadaan tubuhnya sangat parah akibat kalah adu tenaga dalam pertarungan pukulan jarak jauh tadi. Namun senjata kebutan di tangan Dewi Tangan Darah melibat senjatanya. Dan dengan sekali sentak, pedang itu terlepas dari genggaman. Wanita tua itu hanya sempat terkesima sesaat, namun saat itu juga...

Prakkk!

"Aaakh...!"

Senjata kebutan Dewi Tangan Darah mendadak saja kembali berkelebat, menghantam batok kepalanya. Begitu cepat gerakannya, sehingga tak bisa dielakkan. Nyai Tarmi kontan memekik tertahan. Begitu ambruk di tanah, dia tewas seketika dengan kepala hancur.

"Guru...?!"

Murid-murid Padepokan Walet Merah tersentak kaget melihat kematian gurunya yang mengenaskan. Beberapa orang di antaranya buru-buru menghampiri dengan wajah duka. Namun, yang lain langsung menyerang Dewi Tangan Darah dengan geram dan penuh amarah.

"Dewi Tangan Darah! Kau harus membalas kematian guru kami...!"

"Yeaaa..!"

Dewi Tangan Darah hanya mendengus dingin. Kebutan di tangannya diputar sedemikian rupa, sehingga bertiup angin kencang menderu laksana badai topan, menghantam para pengeroyoknya. Beberapa dari mereka yang tidak memiliki ke-pandaian hebat kontan melayang. Dan sebagian lagi mencoba bertahan, dengan pengerahan seluruh tenaga dalam.

"Heaaat...!"

Dewi Tangan Darah membentak nyaring. Tubuhnya langsung melompat ke arah para pengeroyoknya sambil melepaskan jarum-jarum beracun yang amat halus.

"Aaa...!"

Prak! Prok!

"Aaakh!"

Beberapa orang murid yang coba bertahan, tewas dengan tubuh membiru terkena sambaran jarum-jarum beracun yang dilepaskan wanita itu. Sementara yang lain mengalami nasib mengenaskan, tewas dengan batok kepala hancur dihantam kebutan lawan.

Dewi Tangan Darah tidak berhenti sampai di situ saja. Dia mengamuk habis-habisan. Dan tidak ada seorang pun dari murid-murid padepokan yang mampu menahan. Mereka hanya mengantarkan nyawa percuma. Dalam waktu singkat semua murid Padepokan Walet Merah binasa di tangan Dewi Tangan Darah!

"Huh...!" Wanita itu mendengus dingin sambil berdiri tegak, memandang mayat-mayat untuk beberapa saat. Lalu dengan tenang kembali dihampirinya kudanya. Dan dia segera melompat kepunggung tunggangannya.

Baru saja Dewi Tangan Darah hendak menggebah kudanya perlahan-lahan, mendadak...

"Dewi Tangan Darah! Perbuatanmu sungguh biadab...!"

Terdengar bentakan nyaring yang disusul melesatnya dua sosok tubuh ke hadapan Dewi Tangan Darah.

"Wanita iblis! Kau patut mati dengan semua kelakuanmu ini!" timpal sebuah suara lagi. Dan kini dua sosok itu telah berdiri tegak dengan mata menyorot tajam ke arah Dewi Tangan Darah.

Dewi Tangan Darah memandang keduanya dengan sorot mata tak kalah tajam. Yang seorang bertubuh sedang dan bersenjata golok. Sementara yang seorang lagi, berusia lanjut sekitar enam puluh tahun. Dan dia tidak membawa senjata apa pun.

"Siapa kalian...?" tanya wanita itu dingin.

"Huh! Aku Demung, keponakan Nyai Tarmi, Ketua Padepokan Walet Merah yang kau binasakan. Dan ini Ki Ranta, kawan baik bibiku. Perbuatanmu sungguh keji Dan kami tidak akan membiarkan berlalu begitu saja!" desis pemuda bernama Demung.

"Belum pemah kudengar nama kalian. Maaf, kalian bukan tandinganku. Menyingkirlah cepat!"

"Wanita iblis! Sungguh sombong bicaramu. Kau kira bisa berbuat sesuka hatimu, he?!" rutuk Ki Ranta geram.

"Kakek busuk! Usiamu tidak lama lagi. Sebaiknya, nikmati saja hidup ini daripada mati sia-sia. Nah! Menepilah dari jalanku!" sahut Dewi Tangan Darah tidak mempedulikan ocehan mereka.

"Keparat! Kau kira dirimu sudah hebat hingga seenaknya melakukan pembantaian di mana-mana, he?! Aku tidak akan membiarkanmu bercokol dimuka bumi ini!" desis Demung seraya melompat menyerang sambil mencabut goloknya.

Srak!

"Yeaaa..!"

LIMA

Dewi Tangan Darah mendengus dingin. Sikapnya tetap tenang saja dipunggung kudanya sambil mengibas-ngibaskan senjata kebutan di tangannya. Dan begitu Demung sedikit lagi hendak meng-hantamnya, cepat bagai kilat kebutan di tangannya dikibaskan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.

Wuuut!

Tap!

"Kurang ajar...!" maki Demung.

Senjata kebutan Dewi Tangan Darah langsung melibat batang golok Demung. Lalu dengan satu sentakan kuat, senjata itu lepas dari genggamannya. Terpaksa pemuda itu menjatuhkan diri sebelum sodokan Dewi Tangan Darah menghantam ke arah dada.

"Hiyaaat...!"

Dewi Tangan Darah kini melompat ringan dari punggung kudanya. Begitu mendarat ditanah, kakinya cepat melepaskan tendangan dahsyat. Namun saat itu juga, Ki Ranta langsung turun tangan.

"Wanita iblis, terima hadiah dariku! Yeaaa...!"

Werrr!

Ki Ranta langsung melepaskan pukulan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga seketika menderu angin kencang laksana badai topan kuat ke arah wanita itu.

"Hm...."

Dewi Tangan Darah hanya mendengus dingin, setelah membabatkan serangannya kearah Demung. Tubuhnya kemudian cepat sekali meliuk, menghindari hantaman pukulan jarak jauh Ki Ranta. Lalu dia mencelat ke samping. Dan baru saja kakinya menjejak, kebutan ditangannya berputar kencang. Maka serangkum angin keras berbalik menyambar ke arah Ki Ranta.

"Setan...!" maki Ki Ranta dengan wajah gusar ketika berusaha menghindar dari serangan lawan.

"Yeaaat...!"

Sementara Demung tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dan dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya, tangannya menyodok kearah pinggang sambil berputar kencang. Agaknya Demung bertindak nekat.

"Demung, kau...?! Ah..."

Bukan main terkejutnya Ki Ranta melihat apa yang dilakukan pemuda itu. Mungkin Demung merasa yakin kalau dia mampu melukai wanita itu. Padahal terhadap seorang seperti Dewi Tangan Darah, perbuatannya amat berbahaya. Wanita itu mendadak menangkis kepalan tangan Demung dengan tangan kiri. Lalu..., cepat sekali senjata kebutan di tangan kanan Dewi Tangan Darah menghantam ke batok kepala pemuda itu, tanpa bisa dicegah lagi.

Prok!

"Aaakh...!"

Demung kontan memekik tertahan, begitu batok kepalanya remuk terhantam senjata kebutan Dewi Tangan Darah. Dan nyawanya melayang saat itu juga, sesaat ambruk di tanah.

"Wanita iblis! Kau telah membunuhnya! Aku akan mengadu jiwa denganmu...!" geram Ki Ranta, langsung melompat menyerang.

Dewi Tangan Darah tidak berusaha mengelak. Malah dipapaknya serangan Ki Ranta dengan mantap.

Plak!

"Uhhh...!"

Ki Ranta mengeluh kesakitan. Tangannya seperti menghantam balok besi saja. Belajar dari pengalaman, Ki Ranta cepat melompat ke belakang. Dugaannya memang benar. Sebab saat itu juga, Dewi Tangan Darah mengibaskan senjata kebutannya. Meski mampu mengelak, namun terasa kalau angin serangan wanita itu membuat jantungnya berdegup kencang.

"Hiiih...!"

Mendadak saja Dewi Tangan Darah mengibaskan tangan kirinya. Maka seketika berkelebatan sinar kecil berwarna putih keperakan.

"Oh, celaka...!"

Ki Ranta terkejut ketika Dewi Tangan Darah melepaskan jarum-jarum beracun ke arahnya. Dia berusaha mengelak disertai hantaman pukulan jarak jauh dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.

"Yeaaat...!"

Werrr!

Seketika bertiup angin kencang ketika telapak tangan Ki Ranta disorong sedemikian rupa. Tubuh orang tua itu langsung bergulingan beberapa kali, namun jarum-jarum beracun yang dilepaskan Dewi Tangan Darah tidak seluruhnya rontok. Bahkan hanya sebagian kecil, sebab sebagian besar lainnya masih terus memburunya seperti tidak tertahankan.

Crep! Crep!

"Aaakh...!"

Ki Ranta terpekik ketika beberapa buah jarum beracun menancap di tubuhnya. Cepat sekali daya kerja racun itu sehingga sekujur tubuhnya panas bukan main seperti tengah direbus. Ki Ranta menggelepar-gelepar sambil terus bergulingan, untuk menahan hawa racun yang telah menjalar di seluruh peredaran darahnya. Mulutnya berbusa, dan tubuhnya mulai membiru. Setelah meregang nyawa sesaat, orang tua itu tewas.

"Huh...!" Wanita itu mendengus dingin. Lalu tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya, kembali dia melompat ke punggung kudanya untuk meninggalkan tempat ini.

********************

Seorang pemuda berwajah tampan membasuh wajahnya beberapa kali, setelah meneguk beberapa kali air sungai yang jernih di depannya. Sementara tiga langkah di sebelah kanan, seekor kuda berbulu hitam mengkilat tengah meminum air sungai itu.

"Minumlah yang banyak, Dewa Bayu. Kau tentu haus sekali...," ujar pemuda itu.

Pemuda yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti menghela napas berat. Setelah berdiri, Rangga memandang ke sekitarnya. Matahari tampak mulai tenggelam di ufuk barat. Hewan-hewan malam menampakkan diri satu persatu. Dan bersamaan dengan itu, angin kencang mulai berhembus, menerbangkan dedaunan kering serta debu.

"Hm... Malam yang tidak menyenangkan. Sebentar lagi hujan akan turun. Dan melihat mendung yang begini tebal, sudah pasti hujan akan turun deras sekali. Aku harus cepat mencari tempat berlindung...," gumam Rangga sambil menepuk-nepuk punggung Dewa Bayu.

"Hieee...!"

"Kau sudah selesai, Sobat? Kalau begitu, mari kita berangkat. Sebentar lagi hujan lebat turun. Dan aku tidak mau basah kuyup dalam keadaan perut lapar seperti ini," kata Rangga segera melompat ke punggung kuda. Lalu Dewa Bayu dihela kuat-kuat, sehingga berlari secepat kilat dari tempat itu.

Kuda berbulu hitam bernama Dewa Bayu memang bukan hewan sembarangan. Larinya cepat bukan main. Tak ada satu kuda pun yang mampu menandinginya. Dalam waktu singkat, mereka kini tiba di sebuah desa. Suasana tampak lengang. Dan sebagian besar pintu rumah telah terkunci rapat. Desa ini seperti mati, dan tidak banyak orang-orang berkumpul di suatu tempat. Atau juga karena cuaca yang tidak menguntungkan saat ini, sehingga mereka lebih suka berdiam diri?

Pendekar Rajawali Sakti bergegas menghentikan lari kudanya. Dan dengan gerakan ringan dia turun, lalu melangkah menghampiri sebuah rumah vang tertutup rapat.

"Kisanak, selamat sore. Bolehkah aku menumpang menginap disini barang semalam...?" tanya Rangga sambil mengetuk pintu rumah itu.

Tidak terdengar jawaban. Pendekar Rajawali Sakti mengulangi permintaannya. Sementara pendengarannya yang tajam, dapat mendengar degup jantung ketakutan dan langkah-langkah kaki yang berkumpul dalam satu kamar.

"Kenapa mereka? Tampaknya ketakutan sekali. Apa yang membuat mereka takut...?" keluh Rangga bertanya pada diri sendiri.

Rangga lalu melangkah ke rumah yang lain sambil menuntun Dewa Bayu. Dan dia melakukan hal yang sama. Namun jawaban yang diterimanya sama saja. Penghuni rumah itu tidak membukakan pintu. Bahkan sama sekali tidak mau menyahut barang sepatah kata pun!

Pemuda itu mencoba lagi beberapa rumah yang lain, namun yang ditemuinya sama saja. Mereka tidak mau menerima kehadirannya. Diakah yang ditakuti? Atau, ada orang lain? Atau barangkali penghuni desa ini tidak ramah pada seorang pendatang?

"Aneh...!" desis Rangga dengan langkah gontai. Baru saja Rangga melangkah beberapa tindak....

"Hm, hujan mulai turun. Dan tidak ada seorang pun yang mau menerimamu. Kenapa tidak bermalam saja di sini...?"

Mendadak terdengar suara seseorang, yang membuat Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget. Rangga cepat menoleh, dan melihat sesosok tubuh duduk dengan tenang menghadapi kobaran api unggun di dalam sebuah kandang tua yang baru saja dilewatinya. Agaknya kandang itu sudah tidak ter-pakai lagi. Pemuda itu melangkah ragu, namun tidak ada pilihan lagi. Gerimis mulai turun. Dan dia tidak mempunyai tempat untuk berteduh.

Meski kandang kerbau itu hanya memiliki tiga buah dinding yang masih berdiri, namun keadaannya sungguh buruk. Beberapa bagian dari atapnya bocor, dan dinding-dindingnya sudah keropos. Sebuah dinding yang terbuka lebar, masih untung terhalang sedikit oleh sebatang pohon mangga. Sehingga saat angin bertiup kencang, tidak begitu menyiksa.

Sosok itu adalah seorang wanita cantik berambut panjang dengan pakaian tidak sopan. Beberapa bagian tubuhnya yang terlarang sempat dilirik pemuda itu, hingga membuatnya jengah. Siapa pun akan mengatakan kalau wanita ini seperti memancing nafsu kelelakian dengan caranya berpakaian.

"Eh! Kurasa..., lebih baik aku mencari tempat lain saja. Terima kasih...," kata pemuda itu, hendak ber-lalu meninggalkan tempat ini.

Glarrr...!

Baru saja Pendekar Rajawali Sakti berbalik, mendadak terdengar gemuruh menggelegar. Kudanya meringkik kaget. Demikian pula seekor kuda lainnya yang tertambat di samping kandang kerbau ini. Angin bertiup kencang. Dan hujan turun dengan derasnya dalam waktu singkat. Rangga terpaksa masuk ke dalam kandang, dan berdiri dengan sikap tidak menentu.

"Duduklah. Apa kau ingin semalaman terus begitu...?" ujar wanita itu sambil menambahkan beberapa buah ranting kering ke dalam api unggun.

Rangga duduk dengan tenang. Sikapnya menyamping, dan sama sekali tidak ingin melirik wanita itu.

"Namaku Ayu Puspita Sari. Siapa namamu...?"

"Rangga...," sahut Pendekar Rajawali Sakti, kalem.

"Hm, Rangga. Nama itu seperti tidak asing di telingaku. Tapi, di mana aku pernah mendengarnya...?"

"Aku hanya seorang pengembara biasa. Mana mungkin dikenal banyak orang."

"Hm..., mungkin juga. Dari sekian banyak orang, sudah pasti ada yang memiliki nama sama," sahut wanita bernama Ayu Puspita Sari tidak mempersoalkan hal itu. Matanya lantas melirik senjata di punggung pemuda itu. "Senjatamu tampaknya bukan pedang sembarangan. Paling tidak, kau mampu memainkannya...."

Rangga tersenyum kecil. "Sekadar mempertahankan diri dari kawanan begal picisan. Bukankah seorang pengembara sepertiku ini sering menjadi sasaran orang-orang seperti mereka...?" sahut Rangga enteng.

Ayu Puspita Sari tertawa kecil.

"Kenapa wanita sepertimu berada di tempat ini...?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Wanita sepertiku? Apa maksudmu...?" Ayu Puspita Sari malah balik bertanya dengan nada datar.

Rangga menoleh. Namun wajahnya dipalingkan disertai senyum kecil menyadari kekeliruannya. Dengan berkata seperti itu, dia telah membuat Ayu Puspita Sari merasa tersinggung.

"Maaf, aku tidak bermaksud buruk...."

"Tidak apa...," sahut Ayu Puspita Sari pelan.

"Maksudku, siapa kau sebenarnya? Dan apa yang hendak kau lakukan di tempat ini? Barangkali kau hanya kebetulan lewat dan berteduh sepertiku. ..?"

"Ya, begitulah kira-kira...," desah Ayu Puspita Sari.

"Hendak ke tempat sanak keluarga...?" tanya Rangga.

"Aku ada urusan penting..."

"Hm...," Rangga mengangguk pelan.

"Sebelum ke sini, sempat kutemukan dua ekor kelinci yang gemuk dalam keadaan tidak berdaya. Kukira, hasil tangkapan pemburu yang lupa dibawa. Kelinci itu telah kupanggang dan sebagian telah tandas kulahap. Kau mungkin lapar. Ambillah sisanya ini..," ujar Ayu Puspita Sari seraya menyodorkan beberapa potong daging bakar.

"Terima kasih...." Rangga cepat mengambil pemberian wanita itu dan melahapnya segera.

Wanita itu tersenyum kecil seraya memperhatikan Rangga. "Kau lugu sekali, selain... tampan...," gumam Ayu Puspita Sari pelan.

"Kenapa kau berkata seperti itu?" tanya Rangga.

"Kau baru kenal denganku, dan sudah menerima begitu saja pemberianku. Apakah tidak takut kalau makanan itu kuberi racun, atau sesuatu lainnya? Kau akan celaka!" kata Ayu Puspita Sari.

Rangga tersenyum. "Aku orang lemah dan tidak berdaya. Kalau kau hendak mencelakakanku, tentu mudah sekali kau lakukan sejak tadi. Lalu, kenapa harus menaruh curiga terhadap makanan yang kau berikan?"

"Dari mana kau bisa menduga demikian...?"

"Kau berjalan seorang diri. Dan..., maaf. Dengan berpakaian demikian, kau pasti sering mendapat gangguan dari laki-laki iseng. Hanya ada dua pilihan bagi seorang wanita. Kalau bukan perempuan murahan yang bisa dibayar beberapa keping uang perak, pasti kau seorang tokoh persilatan berilmu tinggi dan mampu melindungi diri dari niat jahat laki-laki iseng...," jelas Rangga.

Wanita itu tersenyum agak lebar. "Lalu dari mana kau tahu kalau aku memiliki kepandaian hebat, dan bukannya seorang pelacur murahan...?"

"Kau tidak akan memanggilku, lalu memberinya makan," sahut Rangga singkat.

"Pintar kau, Rangga. He, berapa usiamu...?"

"Apakah kau hendak mencalonkanku untuk jadi suamimu?" sahut Rangga dengan senyum lebar.

Wanita itu pun ikut-ikutan tersenyum. "Kau tahu, berapa usiaku saat ini...?"

"Aku tidak membatasi usia calon istriku," sahut Rangga bergurau.

Wanita itu tersenyum pelan. "Hampir empat puluh tahun...," kata Ayu Puspita Sari, menjawab sendiri.

"Hm... Kau kelihatan lebih muda dari usiamu yang sebenarnya. Seperti gadis berusia belasan tahun!" puji Rangga.

"Terima kasih..."

"Ayu, eh! Aku harus panggil apa...?"

"Aku belum pernah menikah," sahut wanita itu memberitahukan kalau belum menikah.

"Ayu, aku yakin sekali kalau kau memiliki kemampuan hebat. Dan ilmu silatmu pun tidak kalah dari tokoh-tokoh kelas satu di kalangan persilatan. Sedikit banyak, aku mengenal tokoh persilatan dari beberapa orang yang pernah kutemui. Kalau boleh kutahu, siapakah nama kebesaranmu...?"

Ayu Puspita Sari tersenyum kecil. "Tahukah kau, bagaimana kehidupanku ketika masih kecil?" tanya Ayu Puspita Sari seperti hendak mengalihkan pertanyaan pemuda itu.

Rangga menggeleng lemah.

"Pada usia tujuh tahun, aku bahagia sekali. Aku adalah anak satu-satunya dari kedua orang-tuaku. Ayahku memiliki banyak murid. Tidak hanya sekadar dari desa sekitar kami, tapi juga dari berbagai tempat. Aku menghormati kedua orangtuaku. Ayahku seorang yang pandai bergaul sehingga tidak heran kalau memiliki banyak kawan. Demikian juga ibuku. Namun, kebahagiaan kami tidak berlangsung lama..." Ayu Puspita Sari menghentikan ceritanya yang tanpa diminta. Ditariknya napas dalam-dalam dengan tatapan kosong ke depan. "Kawanan perampok ganas yang dipimpin Bagaspati datang mengacau. Semua orang desa dibunuhnya. Hanya sebagian yang sempat melarikan diri. Ayah beserta murid-murid yang lain berusaha menahan, namun Bagaspati terlalu kuat. Sehingga, mereka tewas satu persatu di depanku. Dan hal yang tidak pernah kulupakan adalah..., keparat itu memperkosa ibuku sebelum dibunuhnya. Entah kenapa, dia tidak membunuhku. Tapi malah menculikku...."

"Lalu, kau tinggal bersamanya...?" tanya Rangga ketika wanita itu menghentikan ceritanya beberapa saat.

Ayu Puspita Sari mengangguk. "Meski usiaku baru tujuh tahun, namun tubuhku agak bongsor dan lebih besar dibanding anak-anak seusiaku. Bagaspati menjadikanku sebagai budaknya, yang harus melayani segala kebutuhan. Dan... saat usiaku menginjak sepuluh tahun, perkembangan tubuhku sudah seperti gadis belasan tahun. Agaknya, Bagaspati telah lama memperhatikanku. Pada suatu malam..., dia berhasil menodaiku secara paksa...." Wanita itu kembali menghentikan ceritanya. Wajah-nya tampak muram dan bola matanya berkaca-kaca.

Rangga sengaja tidak berusaha menyelak, Pendekar Rajawali Sakti tetap diam tidak bersuara untuk memberikan kesempatan pada wanita itu menumpahkan kesedihan hati.

"Dan ternyata bukan hanya sampai di situ. Bahkan berkali-kali perbuatan itu dilakukannya, sampai akhirnya aku tidak bisa menghitung lagi. Kadang kalau hatinya sedang gembira atas keberhasilan salah seorang anak buahnya dalam menunaikan tugas, aku dihadiahkan pada anak buahnya untuk beberapa minggu. Aku tidak ubahnya seperti boneka yang bisa dipakai sesuka hatinya...."

Rangga menghela napas pendek. "Kau tidak berusaha kabur...?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, lirih.

"Pernah kucoba, namun gagal. Bagaspati menyiksaku habis-habisan. Mulai saat itu, aku kapok. Namun otakku cepat berpikir. Paling tidak aku harus membawa bekal untuk kabur. Aku sering melihat Bagaspati mengajarkan anak buahnya ilmu silat. Maka secara diam-diam tanpa sepengetahuannya, aku mempelajarinya. Setelah merasa aku mempunyai bekal, aku segera kabur. Dan kali ini, tidak ada seorang pun dari mereka yang mampu mengejarku...."

"Lalu apa yang kau lakukan setelah terbebas dari mereka?"

"Dendamku tidak akan pernah padam. Namun untuk membunuh Bagaspati, bukanlah persoalan mudah. Aku segera mendatangi kawan-kawan almarhum ayahku untuk memohon membantuku membinasakan Bagaspati. Tapi jawaban mereka sungguh pengecut. Tidak ada seorang pun sudi menolongku, karena mereka takut dengan Bagaspati. Aku menjadi putus asa. Dendam di hatiku tidak pernah berhenti, tapi malah semakin berkobar ketika banyak pendekar hebat yang kumintai tolong untuk melenyapkan Bagaspati, semua enggan dan menolak. Kalau bukan karena takut, pasti mereka tidak mempedulikanku. Mulai saat itu aku membenci mereka! Tekadku sudah bulat, walau apa pun yang terjadi. Aku harus membalas sakit hatiku seorang diri. Namun menyadari kemampuanku saat itu, tidak mungkin rasanya sakit hatiku bisa terbalaskan. Satu-satunya jalan, aku harus berguru pada orang-orang berkepandaian hebat. Dan untuk yang satu ini, aku menggunakan segala cara. Sampai..., aku tidak peduli untuk mengorbankan kehormatanku sendiri...," jelas Ayu Puspita Sari tersenyum pahit ketika mengakhiri ceritanya.

"Lalu...?"

Wanita itu tersenyum. Kemudian mulutnya yang menguap lebar ditutupnya dengan tangan. "Aku mengantuk dan letih sekali. Tidurlah. Siapa tahu, kita bisa cocok satu sama lain...," sahut Ayu Puspita Sari pendek seraya merebahkan diri dan tidak mempedulikan pemuda itu.

Rangga menghela napas pendek, tidak begitu menyimak kata-kata terakhir yang diucapkan wanita itu. Perlahan-lahan tubuhnya direbahkan, membelakangi wanita itu.

********************

ENAM

Semalaman, Rangga sengaja membuat dirinya agar terlihat tidur lelap. Sehingga sedikit pun dia tidak membuat yang mencurigakan. Sebagai pendekar yang berpengalaman, tentu saja Rangga tak melepas kewaspadaannya, dengan menerima tawaran seseorang yang baru dikenalnya begitu saja.

Sementara itu Ayu Puspita Sari bangkit perlahan-lahan, manakala ayam jantan mulai berkokok satu persatu. Gerakan wanita itu ringan sekali. Dan dengan berjingkat-jingkat, dia keluar dari kandang kerbau lalu menuntun kudanya tanpa menimbulkan bunyi berarti.

Rangga tersenyum dalam hati. Dengan mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara', Pendekar Rajawali Sakti bisa merasakan dengan jelas, apa yang diperbuat wanita itu. Agaknya, Ayu Puspita Sari ingin meninggalkannya secara diam-diam.

Suasana kembali tenang dan sunyi. Rangga yakin, wanita itu telah tidak ada di tempat. Maka segera dia bangkit dan memeriksa sekeliling tempat. Lalu, perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti keluar dan melompat ke punggung kudanya.

"Kau tentu bisa melihat, ke mana mereka pergi, bukan? Nah, Dewa Bayu. Kita akan menyusul mereka. Jangan membuat suara yang ribut!" ujar Pendekar Rajawali Sakti sambil mengusap-usap leher kuda tunggangannya.

Kuda berbulu hitam dan bertubuh besar itu meringkik halus. Lalu ketika Rangga menepak punggungnya pelan, hewan itu melompat dan berlari kencang menembus kegelapan pagi. Rangga terus memacu kudanya, ketika matahari mulai memperlihatkan sinamya yang cerah di ufuk timur. Kuda yang ditunggangi Pendekar Rajawali Sakti seperti memiliki daya penciuman yang tajam. Dan dia berlari terus ke arah selatan, seperti tidak mau berhenti sebelum tujuannya tercapai.

Tepat ketika Pendekar Rajawali Sakti memasuki sebuah pinggiran hutan, terdengar suara ribut-ribut di depannya. Dengan cepat Rangga memacu kudanya. Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti telah melihat dua orang tengah bertarung di hadapannya. Rupanya Ayu Puspita Sari tengah menghadapi seorang laki-laki berusia lanjut yang bersenjatakan tongkat. Laki-laki tua berjubah abu-abu itu kelihatan gesit sekali bergerak ke sana kemari menghindari terjangan serangan wanita itu.

"Yeaaat...!"

Rangga memperhatikan seksama. Dan untuk sesaat, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan selain mematung dan duduk tenang di punggung kudanya. Sementara itu Ayu Puspita Sari melompat ringan sambil memutar sebuah senjata kebutan di tangan kanannya. Senjata itu kelihatan ringan saja, namun sesungguhnya menjadi sangat hebat di tangannya. Angin yang bersiur kencang laksana badai topan, langsung menghantam ke arah orang tua lawannya.

Namun, laki-laki tua itu pun ternyata bukan orang sembarangan. Tongkat di tangannya diputar sedemikian rupa, seperti baling-baling. Segera dibalasnya serangan wanita itu dengan ganas.

"Hiiih!"

Werrr...!

Pada satu kesempatan, Ayu Puspita Sari melepaskan jarum-jarum beracun yang amat halus ke arah orang tua itu. Dan tindakannya sudah membuat Rangga yang berada tidak begitu jauh, tapi cukup tersembunyi jadi terkejut!

Rangga yang sebelumnya memang sudah curiga, semakin kuat dugaannya. Menurut apa yang didengarnya, selain berpakaian secara seronok, dan bersenjata sebuah kebutan, wanita itu juga mempunyai senjata rahasia berupa jarum beracun yang amat ganas. Semalam Rangga hanya melihat salah satu ciri khasnya, yaitu cara wanita itu berpakaian. Namun, dia tidak melihat kebutan yang disimpan wanita itu di balik baju. Tidak salah lagi! Wanita itu pasti Dewi Tangan Darah yang beberapa hari ini dicarinya.

"Kisanak, berhati-hatilah kau!" teriak Pendekar Rajawali Sakti.

Teriakan Rangga yang amat keras, sudah cukup dimengerti laki-laki tua itu. Segera tubuhnya melenting ke atas, sehingga jarum-jarum beracun itu tidak sampai merajam tubuhnya.

"Hei?!"

Begitu menoleh, Ayu Puspita Sari jadi terkejut. Dan matanya yang tajam, telah melihat sosok pemuda yang menginap bersamanya di kandang kerbau semalam. Dan begitu lawannya mendarat, wanita itu segera melepaskan pukulan jarak jauh, lalu langsung mencelat kabur dengan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata biasa.

"Kurang ajar...!" dengus orang tua geram, langsung menghindari diri dengan bergulingan. "Kau kira bisa kabur begitu saja, he?!"

Begitu bangkit berdiri, orang tua itu segera mengejar Ayu Puspita Sari yang ternyata adalah Dewi Tangan Darah. Rangga termangu untuk beberapa saat, tidak tahu harus berbuat apa. Namun tiba-tiba, Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget. Seketika kudanya dihela kencang untuk mengejar mereka.

"Ayo, Dewa Bayu! Kejar mereka. .! Kerahkan seluruh kekuatanmu...!" teriak Rangga sambil menepuk-nepuk punggung kudanya.

"Hieee...!" Baru saja Dewa Bayu melesat kencang, tiba-tiba....

"Hei, apa itu?!"

"Kurang ajar! Yeaaa...!"

Tiba-tiba terdengar bentakan keras, ketika Rangga yang tak begitu memperhatikan sekitarnya melewati dua sosok tubuh. Dua orang yang dilewati Pendekar Rajawali Sakti tampak begitu terkejut ketika merasakan angin kencang dari derap kuda Dewa Bayu. Sementara yang seorang lagi secara tidak terduga melompat mengejar Rangga.

Wuuut!

Rangga cukup dibuat kaget ketika tiba-tiba telinganya mendengar angir berkesiur ke arah kepalanya. Cepat kepalanya menunduk kemudian balas meng-ayunkan kaki menghantam ke arah sosok yang membokongnya.

Plak!

"Yeaaah...!"

Orang itu menangkis, dan terdengar keluhan lirih. Namun niatnya tidak berhenti untuk mencegat Rangga. Kembali tubuhnya berkelebat, mengejar Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!"

Tubuh sosok itu berputaran beberapa kali, dan mendarat ringan di depan Pendekar Rajawali Sakti dengan sebatang tongkat pendek dikibaskan. Rangga terpaksa menghentikan laju kudanya. Dan dia melihat jelas, siapa sesungguhnya orang yang telah menghadang perjalanannya. Tampak didepannya seorang pengemis muda dengan tangan kiri berkacak pinggang. Sementara tangan kanan yang memegang tongkat, menuding ke arah Rangga.

"Dasar geblek! Hei?! Kau kira jalan ini punya nenek moyangmu...?!" maki pengemis itu kesal.

"Kisanak! Kenapa kau ini? Tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba saja menghadang perjalananku dan cari gara-gara?"

"Sial! Hei, Tolol! Siapa yang cari gara-gara? Siapa bilang tidak ada hujan? Siapa bilang tidak ada angin? Kau baru saja hendak melindas kami!" bentak pengemis muda itu dengan suara lantang dan sepasang mata melotot lebar.

"Jangan mengada-ada, Kisanak. Kudaku tidak pernah salah jalan. Dan dia pun tidak akan pernah melindas seseorang, kalau tidak kuperintahkan. Sekarang, menepilah. Dan biarkan aku lewat," sahut Rangga, kesal.

"Kurang ajar! Kau kira mentang-mentang anak orang kaya, bisa berbuat seenaknya, he?! Huh! Orang sepertimu memang sudah sepatutnya mendapat pelajaran agar tidak seenaknya berbuat seenaknya pada orang lain!" dengus pengemis muda itu, bersiap menerjang Rangga.

"Pandir, ada apa? Kenapa kau ini...?" Seorang gadis cantik yang agaknya kawan dari pengemis itu baru saja tiba, setelah menyusul.

"Nisanak... Kau pun ada di sini," sapa Rangga, ketika mengenali gadis itu.

"Kau...? Hm, rasanya aku pernah mengenalmu...," kata gadis itu.

"Aku pernah bertemu denganmu beberapa hari lalu, setelah keluar dari kedai itu!" jelas Rangga.

"Oh, iya! Maaf, aku ingat sekarang!" sentak gadis itu.

"Mana gurumu sekarang? Eh?! Apakah beliau gurumu...?"

Gadis yang tidak lain Ambarwati itu mengangguk lesu. Wajahnya tampak murung. "Dia..., telah tiada...," kata Ambarwati lirih.

"Telah tiada? Apakah dia...."

Ambarwati mengangguk. "Dia telah tewas..."

"Siapa yang melakukannya?"

"Siapa lagi kalau bukan si keparat Dewi Tangan Darah!" nada suara Ambarwati terdengar geram ketika mengucapkan kata-kata yang terakhir.

"Dewi Tangan Darah? Astaga! Betul-betul biadab wanita itu...!" sahut Rangga, dengan wajah kaget.

"Hei, hei...! Apa-apaan ini?! Huh! Sudah berbuat salah, kini mau basa-basi segala. Dasar kutu busuk! Ayo, cepat minta maaf kalau tidak kukemplang kepalamu,'" sentak pengemis muda tadi, dengan wajah berang.

"Pandir, sudahlah...," cegah Ambarwati.

"Tidak bisa! Orang ini harus diberi pelajaran. Sebab kalau tidak, dia akan berbuat seenaknya pada orang lain!" sentak si pengemis yang memang Pandir Kelana, garang.

"Kisanak, maafkan kawanku ini. Dia memang penaik darah sekali...," Ambarwati jadi tidak enak hati pada Rangga.

"Kenapa minta-minta maaf segala? Memangnya kau pengemis? Dia yang patut melakukannya pada kita!" desis Pandir Kelana garang saja. "Ayo cepat berlutut, sebelum aku naik darah dan menghajarmu!"

"Kisanak, aku tidak suka bermain-main. Apalagi, meladeni segala sikapmu yang aneh itu," sahut Rangga dingin, segera melompat ke punggung kudanya. Lalu ditatapnya gadis itu.

"Nisanak, maaf. Aku tidak bisa berlama-lama, sebab saat ini aku harus mengejar si De...." Belum lagi habis kata-kata pemuda itu, mendadak si pengemis muda melompat menyerangnya dengan amarah meluap-luap.

"Yeaaat...!"

Agaknya Pandir Kelana tidak bisa menerima kata-kata Rangga yang terakhir. Terlebih, dari semula dia memang sudah tidak senang melihat sikap Pendekar Rajawali Sakti. Dua hal yang dianggapnya keterlaluan, sudah membuat amarahnya tidak terkendali lagi. Menyadari kalau serangan pengemis itu demikian cepat, Rangga tersentak kaget. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melompat dari punggung kudanya, dan terus berputaran di udara menghindari serangan. Sedang Ambarwati terkejut kaget melihat apa yang dilakukan kawannya.

"Pandir Kelana, apa-apaan kau ini?! Hentikan! Hentikan semua ini sebelum ada yang terluka...!" teriak gadis itu, kalap.

"Diamlah, Ambar!. Biar kuselesaikan dulu anak sok jago ini, biar tidak bersikap seenak hatinya!" sahut Pandir Kelana, enteng.

"Heup!" Pendekar Rajawali Sakti kembali melenting ke atas begitu kedua kakinya menjejak tanah.

Sementara tongkat di tangan Pandir Kelana terus menghantam dengan gerakan meliuk ke arah batok kepala, dada, lalu ke perut. Semua itu dilakukan dengan gerakan cepat bukan main. Bahkan sempat membuat Pendekar Rajawali Sakti tidak habis pikir. Semula dikira, gembel ini hanya jual lagak dan tidak punya kemampuan hebat. Tapi setelah merasakannya, Rangga semakin yakin kalau gembel penaik darah ini pasti murid orang berkepandaian tinggi. Gerakannya lincah dan gesit. Malah tenaga dalamnya lumayan kuat. Buktinya, tongkat di tangannya berubah menjadi senjata maut yang sewaktu-waktu mampu membinasakannya.

"Haiiit! Uts...!" Rangga yang mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', memutar tubuhnya. Dan kini tubuhnya mengapung di udara dalam keadaan telentang, lalu terus mencelat ke salah satu cabang pohon terdekat.

Pandir Kelana agaknya tidak pusing-pusing memikirkan kehebatan lawan. Padahal apa yang barusan dilakukan Pendekar Rajawali Sakti jarang mampu dilakukan tokoh-tokoh lain yang memiliki kepandaian tinggi.

"Yeaaat...! Mampus kau! Mampus...!" teriak pengemis muda itu kalap seraya mengayunkan tongkat di tangan dan mengobrak-abrik tempat dimana pemuda itu tadi melesat.

Rangga hanya terkekeh kecil. Lalu dia mematahkan sebuah ranting kayu yang berukuran sedikit lebih kecil dari tongkat yang dimiliki lawan. Kemudian tubuhnya mencelat ringan beberapa saat, sebelum Pandir Kelana sempat menghajar.

"Gembel! Bagaimana gurumu mengajari? Kenapa batang pohon yang tidak tahu apa-apa menjadi sasaranmu?" ledek Rangga.

"Hei, kau? Setan! Kuhajar kepalamu! Awas kau! Kucekik nanti! Jangan lari, setan busuk! Ayo, awas kalau kau lari! Aku betul-betul tidak akan mengampuni...," maki Pandir Kelana, langsung memburu Rangga sambil mengoceh tidak karuan.

Tongkat di tangan pengemis muda itu berputar cepat dan menghantam apa saja yang berada di dekatnya. Rangga berusaha menghindar, dalam beberapa jurus untuk membiarkan Pandir Kelana semakin kalap. Dan pancingannya memang mengena. Karena pengemis itu semakin berang saja melihat sikapnya.

"Setan cilik! He, apa kebisaanmu hanya menghindar saja seperti maling jemuran?!" maki pengemis itu kesal.

"Aku memang maling jemuran. Lalu, apa yang bisa kau perbuat terhadapku?" sahut Rangga mengejek.

"Setan! Jahanam keparat! Betul-betul akan kubunuh kau...!" geram Pandir Kelana tidak bisa lagi menahan amarah, karena dipermainkan begitu rupa.

Bahkan teriakan-teriakan Ambarwati sama sekali tidak dihiraukannya. Padahal, selama ini dia amat patuh pada gadis itu. Segala apa yang diinginkan Ambarwati, maka akan dipenuhinya saat itu juga. Dia betul-betul penurut. Beda betul dengan saat ini.

"Pandir Kelana, sudahlah! Jangan berbuat begitu. Hentikan seranganmu! Ayo, hentikan...!"

"Tenang-tenang sajalah, Ambarwati. Biar kuhajar dulu bocah ini, baru setelah itu aku berhenti!" sahut Pandir Kelana seenaknya.

"Heup!" Rangga tampak mulai bosan. Dan kini Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang beberapa langkah untuk balas menyerang. Ranting di tangannya yang memang sengaja terus digenggam, diputar sedemikian rupa saat lawan sudah terus mencelat menyerangnya.

"Huh! Kau kira aku takut melihatmu bersenjata, he? Meski kau membawa pedang yang tajam sekali pun, tongkatku masih mampu menggebukmu!" desis Pandir Kelana mengejek.

"Yeaaat...!" Pengemis itu segera mengibaskan tongkatnya. Tentu saja Rangga tidak tinggal diam. Seketika kelebatan tongkat itu dipapak dengan ranting di tangannya.

Trak! Trak!

Kedua senjata aneh di tangan mereka beradu. Pandir Kelana mengeluh tertahan. Tongkatnya terasa perih dan bergetar hebat, manakala beradu dengan ranting kayu di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum lagi sempat menyerang, Rangga telah lebih dulu menyambar lehernya dengan ranting.

Bet! "Uts!"

Kalau saja Pandir Kelana melompat ke belakang untuk menghindarinya, maka pasti Rangga bisa melemparkan ranting ditangannya. Dan dia akan celaka. Maka pengemis muda itu memilih menghindar, dengan bergerak ke kanan. Lalu tubuhnya terus bergulingan untuk menghindari serangan tidak terduga.

Wuuut!

Ujung ranting itu memang menyambar ke arah pinggang. Namun, Pandir Kelana mampu meliukkan tubuhnya, sehingga serangan Pendekar Rajawali Sakti luput dari sasaran. Namun secara tidak terduga, satu tendangan keras melayang ke arah perutnya.

Desss!

"Aduuuh...!" Pandir Kelana berteriak kesakitan. Tubuhnya langsung terjungkal beberapa langkah.

"Bagaimana, Gembel? Apakah kau ingin memberiku pelajaran atau sudah kapok?" tanya Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak dengan nada mengejek.

"Sial! Akan kucincang tubuhmu...!" geram Pandir Kelana setelah bangkit berdiri. Wajahnya tampak merah, menahan amarah yang semakin berkobar saja. Dengan gesit, pengemis itu kembali menyerang. Padahal, Ambarwati telah berusaha mencegahnya.

"Pandir Kelana, sudahlah! Tidak perlu diteruskan...!"

Namun pengemis muda itu sama sekali tidak menghiraukannya. Harga dirinya betul-betul tersinggung diperlakukan begitu. Apalagi sampai terjatuh di hadapan seorang gadis cantik seperti Ambarwati.

"Hm, bandel rupanya...," gumam Pendekar Rajawali Sakti dingin.

"Brengsek! Akan kurobek mulutmu, yeaaat..!" Kali ini Pandir Kelana tampak lebih hati-hati. Namun agaknya sejak tadi, Pendekar Rajawali Sakti telah memperhatikan dengan seksama jurus-jurus yang dimainkannya. Sedikit banyak, Rangga mengetahui gaya serangan maupun gaya menghindar pengemis itu. Maka ketika menyerang dengan gencar, Pandir Kelana harus mati-matian menyelamatkan diri.

Ranting di tangan Pendekar Rajawali Sakti dua kali mampu dihindari. Begitu juga ketika Rangga mengayunkan tendangan. Namun ketika tubuh Pendekar Rajawali Sakti mengejar, Pandir Kelana tampak gelagapan. Pertarungan jarak dekat yang terjadi, membuat Pandir Kelana semakin tidak berdaya saja. Baik tenaga maupun gerakan Pendekar Rajawali Sakti lebih lihai dibandingkan dengannya. Maka tidak heran kalau dia hanya mampu menangkis dua serangan saja. Sebab pada serangan ketiga...

Begkh!

"Aaakh...!" Tubuh Pandir Kelana kembali terjungkal disertai jeritan keras ketika satu sodokan keras menghantam dada.

Meski demikian, pengemis muda itu berusaha bangkit kembali dan bermaksud menyerang dengan wajah berkerut rasa sakit. Namun, Rangga agaknya sudah tidak ingin bermain-main lagi. Dia betul-betul tidak mau diganggu pengemis muda ini lagi. Maka ketika pengemis itu bangkit, Pendekar Rajawali Sakti kembali cepat menyerang.

Trak!

Pandir Kelana hanya mampu menangkis serangan tipuan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan serangan yang sesungguhnya, tak mampu dielakkan.

Desss!

"Wuaaa...!" Tubuh pengemis itu kembali terjerembab ketika tendangan Rangga menyodok perut.

"He he he...! Dasar anak tolol, hei Bocah! Coba layani aku barang beberapa jurus...!" Mendadak saja terdengar satu suara menggelegar disusul melesatnya sesosok tubuh ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiyaaat...!"

TUJUH

Sosok bayangan yang baru datang langsung me-nyerang Pendekar Rajawali Sakti. Seketika Rangga merasakan angin serangan tajam menderu ke arahnya. Ranting yang di tangannya langsung dipakai untuk memapak.

Trak!

Terjadi benturan keras ketika ranting kecil di tangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam sesuatu. Dan Rangga cepat memiringkan kepala, ketika kembali terasa serangan kilat yang menghantam punggung. Dan ketika tubuhnya tegak kembali, Rangga segera meluruk melepaskan serangan balasan.

"Hebat! Hebat...!" puji sosok itu ketika ranting di tangan Pendekar Rajawali Sakti mengurung tubuhnya dengan gencar.

Orang itu berusaha melompat menghindar ke atas sambil memiringkan tubuh. Namun pada saat itu juga, kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti men-deru keras ke dadanya. Dan orang itu mencoba menangkis.

Plak!

"Gila! Bocah setan! Siapa kau sebenarnya...?!"

Bukan main kagetnya orang itu, ketika berusaha menangkis dengan telapak tangan. Tubuhnya langsung bergetar hebat, dan terdorong ke belakang dengan langkah sedikit limbung.

Rangga segera menghentikan serangan dan berdiri tegak pada jarak tujuh langkah dari sosok itu. Sehingga, kini Pendekar Rajawali Sakti bisa melihat jelas seorang laki-laki berusia lanjut yang sudah dikenalnya, sebagai orang tua yang tadi tengah bertarung melawan Ayu Puspita Sari.

"Guru...!"

Pandir Kelana berseru girang dan buru-buru menghampiri membungkuk hormat. Lalu dengan tingkah seperti anak kecil, wajahnya meringis dan mulai merengek.

"Guru, bocah sok itu harus diberi pelajaran. Dia telah mengganggu kami. Kau harus menghajarnya. Kalau tidak, aku akan terus menangis...!"

"Sudah, sudah...! Nanti akan kuhajar dia. Jangan menangis. Ayo, diam. Tuh, lihat ada gadis cantik. Malu, kan? Eh, siapa yang kau sebut kami? Gadis itukah kekasihmu...?" sahut orang tua itu seraya mengusap-usap kepala muridnya.

"Eh, itu... ng...," Pandir Kelana mesem-mesem, menyembunyikan wajahnya.

"Kenapa malu? Katakan saja kalau dia kekasihmu. Aku tidak keberatan!" desak orang tua itu.

"Ambar, perkenalkanlah. Ini guruku...!" teriak pengemis muda ini tanpa mempedulikan ocehan gurunya.

Ambarwati bukannya tidak mendengar apa yang dikatakan orang tua itu. Hatinya jadi jengah sendiri. Dan entah apa yang dirasakannya saat ini.

Murid dan guru itu seperti memiliki watak aneh. Tapi selama beberapa hari ini berjalan bersama Pandir Kelana, pemuda itu baik padanya. Mungkin juga gurunya baik pula, meski menyadari kalau Pandir Kelana terkadang sering berbuat sesuka hatinya. Malah cenderung bersikap seperti anak kecil, seperti sekarang ini. Padahal, usianya lebih dua puluh lima tahun!

"He he he...! Jadi, namamu Ambarwati? Muridku pasti tidak salah pilih menjadikan kau kekasihnya. Sebab kau sangat beruntung mendapatkannya. He he he...! Ayo, beri salam pada bapak mertuamu...," kata orang tua itu sambil tertawa girang.

"Eh! Aku..., aku..."

"Ha ha ha...! Pandir, pintar betul kau memilih calon istrimu? Gadis ini betul-betul masih hijau dan malu-malu. Aku setuju sekali! Aku setuju! Kau pasti bisa mengarahkannya dengan baik...!" sahut orang tua itu, memotong pembicaraan Ambarwati.

Tentu saja hal ini membuat gadis itu menjadi sebal betul. Tidak ada sedikit pun di hatinya rasa suka terhadap Pandir Kelana. Dan kini, orang tua itu seenaknya saja bicara begitu. Semula dia gugup, karena merasa tidak enak hati untuk menyinggung perasaan keduanya. Tapi kini kekesalan hatinya telah bercampur marah.

"Kisanak, maaf. Mungkin kau salah duga. Aku sama sekali bukan kekasih muridmu. Kami hanya berkawan biasa. !" tandas Ambarwati.

"He, apa katamu...?!" Sepasang mata si orang tua mendelik garang.

Dan Pandir Kelana tampak kaget, langsung memandang Ambarwati dengan wajah tidak percaya.

"Ambar! Apa katamu? Kau kekasihku, dan aku kekasihmu. Bukankah kita telah berjalan bersama-sama? Kenapa kau berkata seperti itu di depan guruku? Ayo, jujur saja! Beliau tidak suka kau berpura-pura seperti itu!" desak Pandir Kelana.

"Bicara apa kau ini, Pandir Kelana?!" sentak Ambarwati menunjukkan perasaan tidak senangnya.

Mendengar itu, Pandir Kelana bukannya sadar. Dia malah mendengus geram seraya menuding ke arah Rangga yang tersenyum-senyum kecil melihat kejadian ini.

"Huh! Agaknya semua ini gara-gara kau, Kisanak! Kau telah merebut Ambarwati sehingga berpaling dariku!" desis Pandir Kelana Geram, lalu berpaling pada gurunya. "Guru! Lebih baik kau hajar pemuda sial itu! Gara-gara dia, maka Ambarwati bersikap seperti sekarang!"

"Pandir Kelana, jaga bicaramu! Kau semakin keterlaluan saja. Siapa yang mengatakan kalau di antara kita ada hubungan? Kita hanya kawan dan tidak lebih dari itu!" sentak Ambarwati kembali.

Tapi dasar berwatak aneh, kedua murid dan guru itu sama sekali tidak mempedulikan ocehan Ambarwati. Orang tua itu kini malah memandang tajam ke arah Rangga. Wajahnya berkerut geram, dan sesekali terlihat mendengus sinis.

"Hm.... Kau rupanya yang buat gara-gara, he?! Bocah, kau telah membuat hati muridku hancur. Dan siapa pun yang menyakiti muridku, akan berurusan denganku. Oleh sebab itu, kau harus mampus!" dengus orang tua itu.

"Sinting!" desis Ambarwati.

Tapi, orang tua itu sudah langsung melompat menyerang Rangga. "Yeaaat...!"

"Guru! Aku pun harus mendapat bagian untuk menghajarnya!" teriak Pandir Kelana, ikut melompat pula membantu gurunya.

"Hm... Dasar orang-orang kurang waras!" dengus Rangga kesal setelah memperhatikan tingkah laku mereka tadi. Murid dan guru itu sebetulnya memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan yang cukup hebat. Kalau saja orang berkepandaian rendah, niscaya akan binasa dalam waktu singkat di tangan mereka. Serangan mereka kuat dan sama sekali tidak main-main. Begitu yang dirasakan Rangga, ketika menghadapi mereka saat ini.

Bet! "Uts!"

Pendekar Rajawali Sakti langsung memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghadapi kedua lawannya. Tubuhnya meliuk indah seperti seorang penari. Dan kedua kakinya bergerak lincah silih berganti, mengecoh lawan-lawannya. Dan tongkat di tangan kedua lawannya sampai saat ini belum juga mampu melukai. Dan hal ini semakin membuat murid dan guru itu gemas serta penasaran sekali.

"Guru! Apakah kau tidak mampu menghajarnya? Ayo, pecahkan saja kepalanya. Bocah ini sombong sekali. Dan kalau Guru tidak memberinya pelajaran pahit, dia tidak akan pernah jera!" geram Pandir Kelana dengan nada kesal.

"Huh! Aku akan menghilang dari kalangan persilatan, jika tidak mampu membuat bocah ini mampus! Tidak usah ada nama Panji Untara di jagad ini!" desis orang tua yang mengaku bernama Panji Untara.

Ambarwati yang semula khawatir melihat kedua orang itu yang marah tidak karuan, lambat laun merasa geli sendiri. Karena, Rangga mampu mengecoh kedua lawannya. Padahal, gadis ini tahu dan bisa melihat kalau guru dan murid itu memiliki kepandaian hebat. Dan agaknya, Rangga juga bukan pemuda sembarangan pula. Sebab tidak mungkin dia mampu menahan serangan kedua lawannya lebih dari tujuh jurus.

Tapi ketika Ki Panji Untara merubah jurus, mau tidak mau gadis itu merasa khawatir kembali. Sebab apa yang dilakukan Ki Panji Untara saat ini, seperti pertarungan antara hidup dan mati!

Sementara Rangga sendiri juga merasakan per-tarungan ini memang telah meningkat. Ki Panji Untara tidak main-main dengan ucapannya. Baru saja orang tua itu mematahkan ranting di tangannya dengan hantaman tongkat maut. Melihat itu, Pandir Kelana tertawa kegirangan.

"Ha ha ha...! Bagus, Guru! Bagus...! Sebentar lagi bocah ini bakal mampus!"

"Kisanak! Jangan keterlaluan dan membesarkan persoalan! Mengingat nama besarmu, biarlah aku mengalah dan mengaku kalah. Kita bisa selesaikan persoalan ini baik-baik!" kata Rangga mengingatkan.

"Phuih! Tai kucing! Kau kira aku anak kecil yang bisa dibujuk? Setelah melukai muridku, lalu menghina kami. Maka tiada ampun lagi bagimu! Kau harus mampus...!" dengus Ki Panji Untara.

Rangga menggeleng lemah mendengar kata-kata orang tua itu. Tidak ada harapan lagi baginya untuk bicara baik-baik, sebab tekad orang tua itu agaknya sudah betul-betul. Maka....

Sriiing!

Seketika terlihat cahaya kebiruan ketika Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak, dengan wajah geram. Kini pedangnya terlintang di dadanya. "Kisanak, kau boleh memulainya...!"

Sebaliknya begitu melihat batang pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti, Ki Panji Untara tersentak kaget. Rupanya dia tahu betul, siapa pemilik pedang yang amat mengagumkan ini. "Hei, pedang itu! Bukankah itu kepunyaan Pendekar Rajawali Sakti...?!" desis Ki Panji Untara, terkejut.

"Kau kira aku merebut pedang ini darinya, he?!" sahut Rangga dingin.

"Jadi..., kau adalah si Pendekar Rajawali Sakti itu?!"

"Begitulah orang menyebutku..."

Ki Panji Untara seperti tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Dan untuk sesaat, orang tua itu hanya bisa terdiam. Sedangkan muridnya menjadi heran melihat tingkah gurunya. Sama sekali tidak dirasakannya kehebatan pemuda itu, karena cerita mengenai Pendekar Rajawali Sakti baginya hanya dongeng belaka. Dan pedang di tangan Rangga, sama sekali tidak membuatnya aneh. Justru, sikap gurunya yang tiba-tiba melunak dan kelihatan takut pada pemuda itu yang membuatnya aneh.

"Guru! Kenapa diam saja? Ayo, hajar bocah geblek itu! Hajar dia dan jangan diam saja...!" desak Pandir Kelana kembali.

"Dasar murid tolol! Diam kau...!" bentak Ki Panji Untara garang. "Kenapa tidak kau katakan kalau dia si Pendekar Rajawali Sakti, he?! Kenapa?"

"A..., apa maksudmu...?"

"Huh, pura-pura tolol!" Ki Panji Untara menggeram. Dan tiba-tiba saja tangannya melayang menampar muridnya.

Plok!

"Aouw! Ampun, Guru! Apa salahku? Kenapa kau memukulku...?!"

Plok! Plok!

"Adouw! Ampun, Guru! Ampuuun...!" Pandir Kelana jadi bingung sendiri, kenapa gurunya berubah begitu. Bukannya menjelaskan alasannya, tapi tamparan lagi yang didapat. Pemuda pengemis itu berteriak-teriak kesakitan dan melarikan diri dari tempat itu.

"Eee.... Mau melarikan diri, he? Awas kau! Awas, ya...!"

Ki Panji Untara segera mengejarnya tanpa mempedulikan Pendekar Rajawali Sakti dan Ambarwati yang berdiri dengan wajah heran. Kedua guru dan murid itu kini saling berkejaran!

"Dasar orang sinting!" desis Rangga pelan seraya menyarungkan kembali pedangnya.

"Kisanak! Apakah benar kau..., kau Pendekar Rajawali Sakti...?" tanya Ambarwati setelah beberapa saat terdiam.

"Kau telah mendengarnya sendiri, bukan...?"

Ambarwati mengangguk. "Maaf.... Karena kami, urusanmu jadi berantakan. Melihat kau terburu-buru, pasti ada urusan amat penting!" duga Ambarwati.

"Aku tengah mengejar Dewi Tangan Darah," jelas Rangga tenang.

"Dewi Tangan Darah? Oh, sungguh kebetulan! Aku pun sedang mencari wanita iblis itu. Maukah Kisanak mengajakku?"' tanya gadis itu dengan wajah berseri.

"Nisanak.... Dewi Tangan Darah bukanlah orang sembarangan. Kalau gurumu tewas di tangannya, berarti kau belum mampu membalaskan sakit hatinya. Tabahkanlah hatimu. Dan, maaf aku tidak bisa mengajakmu. Nisanak, aku permisi dulu...!" sahut Rangga tegas.

Segera Pendekar Rajawali Sakti menghampiri kudanya. Begitu melompat ke atas punggung Dewa Bayu, kuda itu dipacu hingga melesat cepat bagaikan kilat dari tempat ini.

Ambarwati hanya bisa memaki-maki kesal dengan wajah geram atas jawaban Rangga. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Matanya hanya memandang kepergian Pendekar Rajawali Sakti dengan sorot sayu.

********************

Seorang laki-laki berusia lebih dari lima puluh tahun tengah berdiri tegak di beranda depan padepokan-nya. Sementara dua orang lainnya tampak duduk di sebelah kiri, sedangkan lebih kurang dua puluh orang juga tengah bersiaga di halaman depan padepokan ini.

Wajah orang tua itu kelihatan gelisah. Namun dia berusaha menenangkan diri. Demikian juga kedua orang yang duduk di kiri dan kanannya yang rata-rata memiliki selisih usia tidak jauh beda. Yang seorang adalah wanita setengah baya bersenjata keris di tangan. Sementara yang seorang lagi adalah laki-laki bersenjata tombak bermata golok. Mata mereka tampak tidak lepas memandang jauh ke depan dengan telinga dibuka lebar-lebar.

"Ki Gandarwita.... Apa kau yakin dia akan datang hari ini?" tanya laki-laki bersenjata tombak, pada lakilaki yang berdiri tegak.

"Tanda telapak tangan berdarah itu tertera di pintu padepokan kemarin sore, Batara Wiraya! Dia pasti datang siang ini...!" sahut laki-laki yang berdiri itu, dan bernama Ki Gandarwita.

"Hm, dasar wanita iblis! Entah apa yang dicarinya dengan semua ini!" dengus wanita yang memegang keris.

"Sudahlah, Nyai Dimpa Amogya. Tidak usah dipersoalkan hal itu. Yang penting saat ini, kita harus bersatu-padu. Kepandaian Dewi Tangan Darah bukan main hebat, sebab dia telah menaklukkan banyak tokoh persilatan kalangan atas," sahut lelaki bersenjata tombak yang bemama Ki Batara Wirya.

Ki Gandarwita menghela napas pendek. Kemudian, dia kembali duduk di kursinya. Dipandanginya kedua orang itu beberapa saat. "Aneh...," desah Ki Gandarwita.

"Aneh kenapa?" tanya wanita bersenjata keris yang bernama Nyai Dimpa Amogya.

"Tidakkah kalian perhatikan korban-korbannya...?" Ki Gandarwita balik bertanya.

"Apa maksudmu, Ki...?" tanya Ki Batara Wirya dengan dahi berkerut.

"Kebanyakan dari korbannya, adalah tokoh yang kita kenal baik. Hanya sedikit yang kurang kita kenal. Ataukah, ini hanya kebetulan belaka?"

Kedua kawan Ki Gandarwita terdiam seperti merenungi kata-katanya. Kemudian teriihat Ki Batara Wirya mengangguk pelan.

"Betul katamu, Ki. Kebanyakan tokoh yang tewas di tangannya, kita kenal baik. He, padahal masih banyak tokoh lain yang memiliki kepandaian hebat. Apa yang dicari wanita itu sebenarnya?" tanya Ki Batara Wirya seperti untuk diri sendiri.

"Aku jadi curiga...," kata Ki Gandarwita.

"Curiga kenapa, Ki Gandarwita?" tanya Ki Batara Wirya.

"Ingatkah kalian peristiwa beberapa puluh tahun silam? Peristiwa yang menimpa keluarga Ki Sapta Dewantara? Anak gadisnya diculik kawanan rampok yang diketuai Ki Bagaspati. Lalu ketika berhasil meloloskan diri, dia meminta bantuan pada kita! Namun, tidak ada seorang pun dari kita yang bersedia. Lalu..., ah! Barangkali ini hanya kecurigaan-ku semata!" jelas Ki Gandarwita.

"He, bukan tidak mungkin, Ki!" seru Ki Batara Wirya. "Ki Bagaspati juga telah binasa di tangan Dewi Tangan Darah. Demikian pula sebagian besar anak buahnya. Bisa jadi memang anak itu!"

"Dan kalian ingin mengatakan kalau kedatangannya kali ini untuk membalas dendam atas sakit hatinya pada kita, karena tidak membantunya saat itu?" tanya Nyai Dimpa Amogya menduga.

"Hm, bisa jadi begitu!" sahut Ki Gandarwita.

"Hm.... Bagaimanapun dan siapa saja dirinya, yang jelas dia akan mengancam keselamatan kita! Lalu, sudah sepatutnya kita membela diri. Dan kalau dia sudah kelewatan, tidak ada jalan lain. Kita terpaksa harus membunuhnya!" tandas Ki Batara Wirya.

Mendengar itu Nyai Dimpa Amogya tersenyum kecil. "Bicaramu sudah seperti penguasa saja. Apa dikira mudah membunuh Dewi Tangan Darah? Heh! Wanita iblis itu telah membunuh lebih sepuluh tokoh silat yang memiliki kepandaian hebat. Dan beberapa perguruan silat ternama, binasa di tangannya."

"Hm.... Agaknya kau merendahkan kemampuan sendiri, Nyai...," sindir Ki Batara Wirya.

"Begitukah? Aku hanya sekadar memberitahukan kalau kekuatan lawan tidak bisa dianggap enteng. Kelemahan yang paling utama adalah, menganggap enteng lawan. Dan itu bisa mencelakakan diri sendiri," kilah Nyai Dimpa Amogya. Ki Batara Wirya belum sempat menyahut, ketika dari kejauhan terdengar bunyi klenengan yang sayupsanyup.

Teng...! Teng...!

"Hm ... Dia telah tiba...," gumam Ki Gandarwita.

Orang tua itu segera memberi isyarat pada seluruh muridnya untuk bersiap-siap menyambut kehadiran tamu yang ditunggu-tunggu.

Teng! Teng...!

Suara klenengan itu semakin dekat saja terdengar. Wajah semuanya tampak gelisah seperti menunggu suatu bencana hebat yang akan menimpa. Tapi siapa pun menyadari kalau mereka tidak patut menunjukkan rasa takutnya.

"Buka pintunya...!" teriak Ki Gandarwita, ketika merasa kalau tamu yang ditunggu tiba di pintu gerbang.

Dua murid melakukan perintah Ki Gandarwita. Dan kini di dekat pintu gerbang terlihat seorang wanita cantik menunggang seekor kuda yang di lehernya terikat sebuah klenengan sapi. Wanita yang berpakaian seronok itu diam mematung sambil memandang tajam ke depannya. Lalu matanya terpaku pada ketiga orang tua yang berdiri tegak di halaman depan.. Kemudian terlihat kepalanya mengangguk kecil sambil tersenyum dingin. Dan kini tunggangannya melangkah pelan mendekati.

"Hm.... Agaknya kau telah mempersiapkan segalanya. Bagus. Aku jadi tidak perlu berlama-lama membereskan kalian semua. Sekali tepuk, maka tiga nyawa yang terpenting akan melayang!"

********************

DELAPAN

Ki Gandarwita maju ke depan setelah membereskan letak pedang yang terselip di pinggang. Jarak mereka kini hanya terpaut tiga langkah saja. Sehingga laki-laki tua itu bisa memperhatikan wajah wanita yang tak lain Dewi Tangan Darah dengan seksama.

"Hm, tidak salah dugaanku. Kau pasti putri Ki Sapta Dewantara...," gumam Ki Gandarwita pelan.

Wanita itu tersenyum dingin seraya memandang tajam ke arah orang tua itu. "Bagus! Ternyata kau lebih pintar dari yang lainnya, Pengecut!"

"Ayu Puspita Sari, apa maksudmu dengan semua pembantaian ini?"

"Hm.... Ternyata semakin tua, otakmu semakin butek. Sudah jelas, aku ingin kalian merasakan betapa sakitnya hatiku saat itu. Pengecut-pengecut seperti kalian, tak selayaknya hidup lebih lama di muka bumi ini. Aku bersumpah akan membunuh kalian semua. Nah! Cabutlah senjatamu!" desis Dewi Tangan Darah yang bernama asli Ayu Puspita Sari.

"Ayu, aku bisa menjelaskan semua itu...," bujuk Ki Gandarwita.

"Tidak perlu!" sentak Dewi Tangan Darah memotong. "Bersiaplah menemui ajalmu!" Setelah berkata demikian, telapak kiri Dewi Tangan Darah dihantamkan ke depan. Maka serangkum angin kencang langsung menderu keras ke arah Ki Gandarwita.

"Yeaaat...!"

"Uhhh...!"

Orang tua itu langsung melompat menghindar. Dan bersamaan dengan itu, seluruh muridnya serentak mengepung. Bahkan beberapa orang segera menyerang Dewi Tangan Darah. Tidak ketinggalan juga Nyai Dimpa Amogya dan Ki Batara Wirya.

"Hiiih...!"

Set! Set!

Dewi Tangan Darah mendengus dingin. Tubuhnya langsung mencelat tinggi, lalu melepaskan jarum-jarum beracunnya.

"Awas, hati-hati...!" teriak Ki Gandarwita memperingatkan.

Crap! Crep!

"Aaa...!"

Namun, tak urung beberapa orang langsung menjerit tertahan, terkena sambaran jarum-jarum beracun yang dilepaskan Dewi Tangan Darah. Mereka kontan ambruk di tanah dengan tubuh membiru!

"Heaaat...!"

Dewi Tangan Darah betul-betul mengamuk hebat, tak terhindarkan lagi. Selain jarum-jarum beracun yang dilepaskan, senjata kebutan di tangan kanannya pun bergerak lincah mencari mangsa.

Prak! Prok!

"Wuaaa...!"

Beberapa murid Ki Gandarwita binasa dengan kepala remuk, terkena hantaman senjata Dewi Tangan Darah yang aneh namun dahsyat.

"Ayu, jangan keterlaluan kau...!" teriak Ki Gandarwita memperingatkan.

Namun belum lagi selesai kata-kata itu, Dewi Tangan Darah menghantamkan satu pukulan jarak jauh ke arah Ki Gandarwita.

"Yeaaat!"

"Sial!" dengus Ki Gandarwita langsung melompat dengan gesit.

"Buat apa bicara baik-baik segala?! Sudah, bereskan saja dia!" sentak Ki Batara Wirya.

"Tanganku sudah gatal ingin menghajar bocah kurang ajar ini!" timpal Nyai Dimpa Amogya. Wanita tua itu sudah mencabut kerisnya.

Mau tidak mau Ki Gandarwita menjadi panas juga hatinya. Apalagi melihat kalau dalam waktu singkat, murid-muridnya binasa secara mengenaskan. Dewi Tangan Darah membunuh mereka bagai menindas sekumpulan semut saja.

"Kenapa sungkan-sungkan segala? Kedatanganku ke sini bukan untuk main-main, tapi ingin mencabut nyawa kalian semua!" teriak wanita itu lantang, disertai senyum mengejek.

"Hm... Kalau begitu, jangan salahkan kalau kami bersikap keras padamu!" dengusnya.

"Ha ha ha...! Bisa berbuat apa kalian padaku? Si keparat Bagaspati yang kalian takuti saja, tewas di tanganku. Apalagi menghadapi tikus-tikus pengecut seperti kalian!" balas Ayu Puspita Sari yang berjuluk Dewi Tangan Darah.

"Yeaaa...!"

Nyai Dimpa Amogya geram bukan main. Langsung dilepaskannya pukulan maut jarak jauh yang bernama 'Petir Kumala'. Maka selarik cahaya kekuningan berhawa panas langsung meluruk ke arah Dewi Tangan Darah. Dewi Tangan Darah cepat mengelak dengan melenting ke udara. Begitu berada di atas dia balas menyerang.

"Huh! Pukulanmu sama sekali tidak berarti. Dan terimalah hadiah dari Penghuni Pulau Ular. Heaaat...!" Ayu Puspita Sari membentak nyaring, melepaskan pukulan jarak jauh ke arah Nyai Dimpa Amogya.

"Heh?!" Wanita tua itu terkejut. Dan dia berusaha mengelak, namun terlambat.

Prasss!

"Aaakh...!"

Sinar kemerahan yang keluar dari telapak Dewi Tangan Darah lebih cepat lagi menyambar tubuh wanita tua itu. Seketika tubuh Nyai Dimpa Amogya terjungkal ke tanah. Dan dia tewas seketika dengan tubuh hancur!

Bukan main geramnya Ki Gandarwita melihat itu. Lebih-lebih lagi Ki Batara Wirya. Dia sudah langsung melejit menyerang pada jarak dekat. Tombak bermata golok di tangan Ki Batara Wirya menyambar ke arah leher Dewi Tangan Darah. Namun dengan sedikit menundukkan kepala, senjata tombak luput dari sasaran. Selanjutnya senjata kebutan di tangan wanita itu, melibat erat.

Prrrt...!

"Lepas!"

Dan dengan sekali sentak, maka tombak Ki Batara Wirya terlepas dari genggaman. Belum sempat laki-laki itu menyadari apa yang terjadi, satu tendangan keras dilancarkan Dewi Tangan Darah. Masih untung Ki Batara Wirya mampu berkelit ke kiri. Namun, Dewi Tangan Darah terus mengejarnya dengan kebutan maut di tangan. Begitu cepat gerakannya, sehingga orang tua itu tak mungkin menghindar. Dan...

Proook!

"Aaakh!" Ki Batara Wirya memekik keras, ketika senjata kebutan itu mendarat dan meremukkan kepalanya. Setelah jatuh di tanah dan menggelepar-gelepar untuk beberapa saat, dia tewas mengenaskan. Batok kepalanya remuk dan tubuhnya bermandikan darah!

"Sekarang giliranmu, Orang Tua...!" dengus Dewi Tangan Darah dingin, sambil mengibas-ngibaskan kebutannya. Wajahnya tampak dingin. Dan senyumnya mengundang hawa maut dan menggiriskan.

Ki Gandarwita tergagap. Dan untuk sementara, dia tidak tahu harus berbuat apa. Kematian kedua kawannya secara mengenaskan, sudah cukup mem-buat nyalinya ciut. Tidak terasa, bulu kuduknya me-rinding membayangkan nasibnya seperti apa. Tiga orang muridnya yang tersisa, agaknya tidak banyak membantu. Wajah mereka pucat. Dan rasa ketakutan hebat, tergambar jelas di sinar mata mereka. Hanya karena memandang rasa hormat saja pada gurunya, maka mereka tidak melarikan diri. Tapi untuk berbuat sesuatu, agaknya mereka tidak berani.

"Hm, mulai ketakutan...? Bisakah kau rasakan, bagaimana ketakutannya aku saat itu, Orang Tua? Bagaimana ketidakpedulian kalian terhadap keluargaku? Padahal, ayahku mengatakan kalau kalian adalah kawan baiknya. Tapi, apa yang kualami? Hanya kepengecutan kalian belaka dengan membiarkan hidupku terhina!" desis Ayu Puspita Sari geram.

"Ayu, dengarlah baik-baik penjelasanku. Tadi, kau katakan tentang sesuatu mengenai Pulau Ular. Kalau benar kau berguru pada orang-orang itu, pasti hatimu telah kerasukan setan. Sehingga, kau tidak bisa lagi berpikir secara jernih...," kata Ki Gandarwita, sengaja mengulurkan waktu, kalau-kalau ada kesempatan untuk melarikan diri.

"Tutup mulutmu! Peduli apa kau, kalau aku berasal dari neraka sekali pun? Bagiku, mereka adalah keluargaku. Mereka telah menolongku dan menjadikanku seperti saat ini. Sedangkan kalian, hanya bisa menunjukkan sikap pengecut!" sentak Dewi Tangan Darah.

"Itu tidak benar...," sanggah Ki Gandarwita.

"Tidak usah banyak bicara! Mainkan pedangmu. Dan, pertahankanlah selembar nyawa pengecutmu itu!" tandas Ayu Puspita Sari, dingin sambil melangkah pelan mendekati orang tua itu.

Ki Gandarwita pelan menelan ludah. Kali ini tidak ada lagi harapan baginya untuk mengelak. Kepandaian kedua kawannya tidak terpaut jauh dengannya. Dan kalau mereka dapat mudah dibinasakan, maka nasibnya sendiri sudah bisa ditentukan. Namun meski demikian, dia berusaha menguatkan semangatnya. Lalu, perlahan-lahan pedangnya di-angkat!

"Bagus! Begitu lebih baik bagimu...," kata wanita itu, tersenyum kecil.

Namun sebelum Dewi Tangan Darah melakukan sesuatu, terdengar derap langkah seekor kuda yang berlari kencang menghampiri tempat ini. Dewi Tangan Darah jadi terkejut, dan kelihatan ingin kabur dari situ. Namun penunggang kuda yang baru tiba, lebih cepat lagi melompat dari punggung kuda, langsung menghadang di depannya.

"Ayu, cukup! Hentikan semua ini...!" Wanita itu terdiam, langsung memandang pemuda tampan berbaju rompi putih di depannya untuk beberapa saat. Wajahnya tampak sendu.

"Rangga, jangan campuri urusanku. Pergilah dari sini...," ujar Dewi Tangan Darah.

"Kau tidak bisa terus-menerus begini, Ayu. Sudah terlalu banyak yang menjadi korbanmu? Lalu, sampai kapan semua ini berakhir? Hentikanlah, Ayu. Dan hiduplah secara benar. Masih banyak jalan lain yang bisa dilakukan...," bujuk pemuda yang memang Pendekar Rajawali Sakti. Ayu Puspita Sari memandang Rangga, lalu tersenyum kecut.

"Tahukah kau, kenapa kemarin aku meninggalkan saat pertarungan? Padahal, aku ingin sekali memecahkan batok kepala tua bangka usil itu. Yang jelas, aku tidak ingin melibatkanmu. Juga, saat ini. Tolong jangan campuri urusanku...!" pinta wanita itu dengan suara rendah, namun mengandung ketegasan.

"Ayu.... Aku tahu, siapa kau sebenarnya. Tapi tahukah kau, bahwa belakangan ini justru kaulah yang kucari-cari! Aku tidak bisa membiarkanmu mengumbar dendam dan amarah, dengan membunuh semua orang sebagai pelampiasan sakit hatimu. Yang lalu, biarkanlah berlalu. Dan kehidupan hari ini, seharusnya kau jalani dengan baik," bujuk Pendekar Rajawali Sakti.

"Rangga! Aku tidak akan malu-malu mengatakan kalau aku mulai menyukaimu sejak perkenalan kita. Kalau saja bisa kukabulkan semua keinginanmu, tentu saja dengan senang hati akan kulakukan. Tapi, tidak untuk yang satu ini!" desis Ayu Puspita Sari menekankan kata-katanya yang terakhir. "Kau tidak merasakan, betapa hampa dan terhinanya aku saat itu. Mereka membisu dan menutup mata, padahal tahu bahwa saat itu aku sangat membutuhkan pertolongan. Jika saja mereka tidak mampu menghadapi Bagaspati seorang diri, mereka toh bisa bersama-sama. Aku minta tolong, bukan pada seorang. Tapi semua kawan ayahku yang terdekat dan sering berkunjung ke rumah. Kau tidak akan tahu dan bisa merasakan, bagaimana perihnya hatiku menerima jawaban mereka!"

"Seseorang berhak menentukan sikapnya meski tidak terpuji. Dan kita tidak berhak mencabut nyawanya, hanya karena pendirian dan sikapnya yang buruk dan tidak bisa diterima. Semua telah digariskan Yang Maha Kuasa, termasuk kematian orangtuamu. Juga, nasibmu telah digariskannya. Kenapa kita hendak menentang dan melawan? Cobalah terima kenyataan ini dengan lapang dada...," bujuk Pendekar Rajawali Sakti lagi.

"Rangga, maafkan. Aku tidak bisa...."

"Ayu, jangan tambah korban lagi. Karena bagaimanapun, aku akan mencegahmu!"

Wanita itu memandang Rangga, lalu tersenyum kecil. Sepertinya dia tidak percaya dengan kata-kata yang di depannya tadi. "Kau ingin mencegahku...?" tanya Dewi Tangan Darah meremehkan kemampuan pemuda itu.

"Aku bersungguh-sungguh!" Rangga berusaha meyakinkan.

"Nah! Kalau demikian, cobalah...!" Bersamaan dengan itu, tubuh Dewi Tangan Darah mencelat menyerang Ki Gandarwita yang sejak tadi berdiri mematung mendengarkan percakapan.

"Hiyaaat!"

Wuuut!

Pendekar Rajawali Sakti cepat bagai kilat melejit memapak serangan Dewi Tangan Darah dengan telapak kirinya. Sementara tangan kanannya menepis tangan kiri wanita itu.

Plak! Plak!

Dewi Tangan Darah melompat ke belakang. Demikian juga Rangga. Wanita itu memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah tak percaya. "Siapa kau sebenarnya...?" tanya Ayu Puspita Sari heran. Kecepatan gerak serta tenaga dalam pemuda ini hebat bukan main. Sungguh jauh dari bayangan Dewi Tangan Darah semula. Tentu saja itu membuatnya terkejut bukan main.

"Orang-orang menyebutku Pendekar Rajawali Sakti...," sahut pemuda itu, datar tanpa menyombongkan diri.

"Hm, pantas! Agaknya selama ini kau berpura-pura bodoh di depanku, he?!" dengus Dewi Tangan Darah.

Agaknya bukan hanya wanita itu yang terkejut mendengar penjelasan Rangga yang menyebutkan julukannya. Tapi, juga Ki Gandarwita. Dalam pikiran orang tua itu timbul pertanyaan, kenapa Pendekar Rajawali Sakti bisa berkenalan dengan Dewi Tangan Darah? Hubungan apa yang telah terjadi antara mereka selama ini?

Rangga tersenyum kecil. "Aku tidak pernah membohongi siapa pun. Kalau aku berpura-pura bodoh, itu adalah hal yang sebenarnya."

"Hm.... Jadi kau berkeras hendak mencegahku...?" tanya Dewi Tangan Darah dengan suara ditekan.

Rangga mengangguk tegas.

Dewi Tangan Darah mendengus dingin. "Kau boleh langkahi mayatku, baru bisa mencegah niatku!"

Rangga hanya terdiam sambil memandang dengan wajah kasihan. Hal inilah yang tidak diinginkannya. Wanita itu bisa saja menyadari kesalahannya selama ini, dan tidak mengulangi lagi. Tapi, Ayu Puspita Sari memang keras kepala. Dan Rangga tidak bisa menasihatinya lagi. Keputusan wanita itu tampaknya telah bulat.

Sementara angin bertiup lembut, menerbangkan dedaunan debu-debu, dan mengibar-ngibarkan rambut mereka. Pendekar Rajawali Sakti dan Dewi Tangan Darah saling berhadapan satu sama lain pada jarak tujuh langkah, Dewi Tangan Darah mendengus pelan, lalu memutar kebutannya beberapa kali. Dan....

"Yeaaat...!"

"Hiyaaat...!"

Kedua tokoh yang sama-sama berkepandaian tinggi berteriak nyaring dan saling melompat bersamaan. Satu tendangan keras yang bertenaga dalam kuat menghantam ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun Rangga cepat mengegoskan, lalu menepisnya dengan tangan kiri.

Plak! Plak!

Senjata kebutan Dewi Tangan Darah menyusul menghantam batok kepala Pendekar Rajawali Sakti. Namun tubuh pemuda itu telah mencelat ke belakang. Dewi Tangan Darah terus mengejarnya sambil melepaskan jarum-jarum beracunnya.

Set! Set!

"Hei? Uhhh...!"

Pendekar Rajawali Sakti'yang saat ini memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib, jadi terkejut. Buru-buru dia menjatuhkan diri sambil bergulingan untuk menghindari serangan. Namun, Dewi Tangan Darah tidak membiarkannya begitu saja. Seusai melepaskan senjata rahasia, pukulan mautnya terus menghantam seperti tidak ingin memberi sedikit pun kesempatan pada Rangga untuk bernapas. Malah pada satu kesempatan, satu pukulan maut mendarat di sisi Pendekar Rajawali Sakti.

Prasss...!

"Aaakh...!" Pendekar Rajawali Sakti mengeluh kesakitan. Tubuhnya terasa perih, meski pukulan Dewi Tangan Darah luput dari sasaran. Namun jaraknya hanya sedikit sekali. Bahkan tanah tempat dia tadi bergulingan terbelah seperti dihantam ledakan keras.

"Ayo, keluarkan semua kemampuanmu! Tunjukkan kehebatanmu di hadapanku! Huh! Hanya segitukah kemampuan Pendekar Rajawali Sakti?! Ayo, lawan aku! Apakah kebisaanmu hanya menghindar seperti seorang pengecut?!" teriak Dewi Tangan Darah seperti orang kalap. Dan dia terus menghamburkan pukulan-pukulan maut serta serangan-serangan menggila.

"Heaaat!"

Sambil berteriak nyaring Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Lalu tubuhnya membuat beberapa gerakan dengan kaki merentang. Sementara kedua tangannya merapat di depan dada. Begitu tubuhnya tegak kembali, terlihat semburat cahaya biru di antara kedua telapak tangannya yang tetap merapat di depan dada. Rangga tahu kalau Dewi Tangan Darah sudah hendak melepaskan aji pamungkasnya. Maka dia tak mau tanggung-tanggung lagi segera disiapkannya aji 'Cakra Buana Sukma' tingkat terakhir.

"Bagus! Nah, mampuslah kau Hiaaat...!" teriak Dewi Tangan Darah langsung melepaskan aji pamungkas yang bernama 'Racun Ular'. Seketika dari telapak tangan Dewi Tangan Darah meluruk sinar merah ke arah Pendeka Rajawali Sakti.

Melihat hal ini, Rangga tidak tinggal diam. Seketika kedua tangannya dihentakkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. "Aji 'Cakra Buana Sukma'...!"

Dua cahaya yang meluruk cepat dari dua aji kesaktian tampaknya akan beradu ditengah-tengah. Dan...

Jederrr...!

"Aaakh...!"

"Uhhh...!"

Terdengar ledakan keras ketika kedua pukulan mereka beradu di tengah. Asap hitam mengepul ke udara dan bumi seperti berguncang. Bahkan Ki Gandarwita yang masih menonton pertarungan terpental beberapa langkah. Sedangkan ketiga muridnya yang tersisa, langsung tergeletak tidak sadarkan diri. Bukan saja ledakan keras yang seperti memecahkan gendang telinga yang membuat mereka demikian. Tapi, juga karena angin kencang laksana badai topan, berhawa panas yang amat menyengat akibat beradunya kedua pukulan tadi.

Dewi Tangan Darah memekik setinggi langit. Tubuhnya langsung hancur berantakan dalam keadaan gosong. Sementara seberkas sinar biru, yang menyelimuti tubuhnya tadi telah sirna perlahan-lahan. Bau sangit seperti daging terbakar, samar-samar tercium.

Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sempat mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Dan dia segera bersandar pada sebatang pohon. Napasnya megap-megap tidak karuan, dan tubuhnya masih bergetar hebat.

"Hm.... Tenaga dalamnya sungguh luar biasa...," gumam Pendekar Rajawali Sakti pelan. Lalu Rangga segera membuat sikap bersemadi.

Cukup lama Pendekar Rajawali Sakti bersemadi, untuk menghilangkan guncangan pada dadanya. Baru setelah itu, matanya terbuka. Dan dia segera bangkit berdiri. Segera dihampirinya kepingan mayat Ayu Puspita Sari.

"Maafkan aku, Ayu. Aku tidak bermaksud begini. Tapi, kau terlalu memaksa...," gumam Rangga lirih.

Untuk sesaat Pendekar Rajawali Sakti mematung dengan wajah berduka. Bagaimanapun, dia patut merasa iba setelah mengetahui perihnya kehidupan wanita ini.

"Pendekar Rajawali Sakti.... Tidak seharusnya kau merasa bersalah. Orang itu sudah sepatutnya menerima ganjaran atas apa yang dilakukannya selama ini...," sahut satu suara.

Rangga melihat Ki Gandarwita menghampiri sambil tersenyum kecil. Entah kenapa, hatinya amat muak melihat sikap orang tua itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera melompat kepunggung kudanya.

"Eh! Mau ke mana kau, Kisanak...?!"

Pendekar Rajawali Sakti menoleh sejenak. "Kisanak, kematian Dewi Tangan Darah mungkin menyenangkanmu. Tapi bukan berarti dia merusak segalanya. Justru orang-orang sepertimulah yang menebar benih bencana!"

Ki Gandarwita terdiam dan mematung sambil memandangi kepergian pemuda itu. Mungkin laki-laki tua itu tidak percaya dengan kata-kata tadi. Atau juga merenunginya. Sementara dalam beberapa saat saja, Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap dari pandangannya!

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: SENGKETA TIGA POTONG PETA